Dalam persiapan ini, tentu saja aku hanya jadi asisten. Tapi sebenarnya aku bisa menangkap maksudnya - dia sedang menyusun formasi kantong untuk menjebak si Bodoh di dalamnya. Semua rampung lewat pukul sepuluh malam. Meski pekerjaannya tidak berat, badanku basah kuyup oleh keringat. Setelah mandi, si Gendut melambaikan tangannya padaku: “Pergilah, gendong istrimu tidur.”
“Lalu kamu?” tanyaku.
“Sang Pertapa punya strategi rahasia.” Jawab si Gendut.
“Bisa tidak kau berhenti bertele-tele? Sebenarnya mau ngapain sih?” protesku.
“Formasi yang kubuat ini disebut Formasi Sembilan Kelokan Berantai. Kumasukkan mumi kecil ini ke pusat formasi, lalu sengaja meninggalkan celah untuk si bodoh. Begitu dia masuk ke dalam formasi, segera kumodifikasi susunannya untuk menjebaknya. Sudah, jangan banyak tanya lagi. Penjelasan lebih panjang tetap tidak akan kau pahami. Tenang saja, sejak Tuan Gendut sudah berjanji, pasti tidak akan menyakiti mereka.” kata si Gendut.
Kukembali ke kamar. Karena formasi aneh terpasang di luar, sama sekali tidak bisa tidur. Si Gendut masih duduk di luar. Aku dan Han Xue juga tidak punya mood untuk bercanda, hanya menunggu perkembangan di luar. Selama dua hari ini kami hampir tidak mau tidur di malam hari. Entah bagaimana, saat menunggu ini kami malah tertidur. Tengah malam, tiba-tiba terbangun oleh bunyi lonceng dari luar. Setelah membuka mata, Han Xue juga sudah bangun. Lonceng ini kami beli siang tadi, dirangkai dengan benang merah oleh si Gendut. Begitu mendengar dentang lonceng keras itu, langsung tahu si bodoh pasti sudah terjebak seperti kura-kura dalam guci. Segera kumelompat ke jendela. Lampu luar menyala terang. Si bodoh menggendong mumi kecil dengan wajah panik. Berkali-kali tubuhnya menghantam garis benang merah yang dihiasi bendera kecil kuning aprikot, tapi setiap kali lonceng berdentang, tubuhnya langsung terpental ditolak api.
Han Xue memandang dengan wajah tegang. Kucium pipinya dan berkata: “Kau tunggu di sini, aku akan melihat ke luar.”
Hasilnya, ketika aku keluar untuk mengurus sesuatu, sambil menunggu di pelataran rumah, kebetulan melihat si gemuk menarik tali. Manik-manik doa yang disembunyikannya di pohon rumahku tiba-tiba menutupi si bodoh. Manik-manik doa itu terbang ke atas kepala si bodoh dan berputar terus-menerus. Di bawah manik-manik doa, si bodoh terlihat sangat menderita, terus-menerus berjuang dan menjerit kesakitan. Pemandangan ini membuat jantungku berdebar kencang.
Aku segera mendekati si gemuk dan berkata: "Sudah, jangan keterlaluan. Kau ini sedang apa?!"
"Kalau tidak diberi pelajaran, dia tidak akan jera," kata si gemuk. Namun dia menghentikan putaran manik-manik doa itu, lalu menghadap si bodoh: "Aku bisa mengembalikan anakmu agar kalian bisa bersatu lagi. Tapi kau harus memberitahu Tuan Gendut semua yang kau tahu - kenapa kau terus menerus mencari nona Han Xue, dan menghalangi mereka berdua untuk satu kamar?"
Kali ini si bodoh terlihat sangat menderita. Ini kedua kalinya dia tidak menunjukkan senyum menyeramkan di hadapanku - kedua kali ini karena anaknya. Dia menatapku dengan wajah memohon, seolah memintaku untuk menyelamatkannya. Adegan ini persis seperti saat dia tenggelam dan berjuang di air dulu. Pemandangan ini membuat hatiku luluh. Kutarik lengan si gemuk: "Sudahlah Tuan Gendut, menyiksa janda dan yatim piatu seperti ini bukan perbuatan pahlawan. Bebaskan mereka, biarkan ibu dan anak ini bersatu kembali."
"Kamu bisa berhemat saja, orang gemuk sudah mengeluarkan tenaga sebesar ini, kau bilang lepaskan langsung dilepas?" kata orang gemuk. Setelah selesai bicara, dia menarik pemutar sutra. Begitu ditarik, si bodoh langsung menggeliat tak henti, terlihat sangat menderita. Orang gemuk berkata dengan nada sinis: "Dengar tidak? Ini transaksi yang menguntungkan! Beritahu apa yang kau tahu!"
Si bodoh menatapku, wajahnya masih penuh permohonan. Dia menggelengkan kepala sekuat tenaga, menandakan tidak bisa bicara. Aku benar-benar tidak tega, bahkan ingin mendekat untuk melepaskan ibu dan anak itu. Tepat saat itu, Han Xue sepertinya juga tidak tahan. Dia berlari keluar dari rumah sambil berteriak: "Orang gemuk! Cepat lepaskan mereka berdua!"
Namun orang gemuk sama sekali tidak menghiraukan. Dia berdiri sambil membentak si bodoh: "Katakan! Kenapa kau terus-menerus mencarinya! Jika tidak, saat berikutnya aku putar pemutar sutra ini, Tuan Gendut akan menghancurkan kalian berdua sampai debu!"
"Orang gemuk!" teriakku.
"Kau diam saja!" orang gemuk melototi ku. Aku membuka mulut, tapi tak tahu harus berkata apa. Sebenarnya aku tahu akal budi orang gemuk saat ini benar. Aku juga ingin tahu jawabannya. Hanya saja, pertama aku kasihan melihat ibu dan anak ini, kedua karena Han Xue ada di sini. Hatinya terlalu lembut, pasti tidak bisa menerima 'siksaan' orang gemuk terhadap mereka berdua.
"Aku hitung sampai tiga, satu, dua!" teriak orang gemuk.
Pada saat ini, si bodoh tiba-tiba meletakkan anak itu. Ia bersimpuh di depan Han Xue. Awalnya kukira si bodoh ini benar-benar pintar, ternyata tahu meminta pertolongan kepada orang yang paling lembut hatinya saat ini. Namun kemudian kusadari ada yang aneh, karena setelah bersimpuh dan membenturkan kepala ke lantai, tiba-tiba ia duduk bersila dengan kedua tangan menyatupadukan telapak tangan. Ini adalah postur meditasi seorang umat awam.
Bagi orang lain mungkin ini tak ada artinya, tapi bagiku membuat ubun-ubun kepalaku merinding.
Si bodoh tak mengucapkan sepatah kata pun, namun sebenarnya ia telah memberi kami jawaban. Gerakan bersujud kepada Buddha yang dilakukannya di hadapan Han Xue jelas-jelas menunjukkan bahwa ia mengetahui identitas lain Han Xue.
Buddha, ritual keagamaan, Bodhisattva Avalokitesvara dengan Seribu Tangan, biksu Tibet... Semua bayangan ini terus berputar di otakku. Kulihat Han Xue, bahkan tiba-tiba berhalusinasi seolah wanita di sampingku ini tumbuh enam lengan, dengan aura dewa mengelilingi setiap gerakannya.
Kugoyangkan kepala, ilusi itu pun lenyap lagi. Tanpa sadar kupikir: Apakah ini penjelasan si bodoh? Karena ia tahu Han Xue adalah "Bodhisattva Bermata Seribu", maka ia mencari Han Xue untuk meminta pertolongan?
Aku dan si |orang gemuk saling |saling memandang. Di mata kami tercampur kebingungan dan |kaget. Kurasa kami sedang memikirkan hal yang sama. Saat ini aku tahu sudah waktunya |menghentikan tindakan ini, karena |Han Xue di sana sudah |wajahnya basah oleh air mata. Aku berkata pada si gemuk: "|Lanjut, sudah cukup Tuan Gendut. |menghentikan tindakan ini!"
"Aku akan mengantarmu dan anakmu ke |siklus reinkarnasi. Kau setuju?" Si gemuk saat itu sedang |menuding ke arah |tengah tempat si |si bodoh yang sedang |menggendong |mumi kecil.
Si bodoh menatapku lalu |menggeleng.
Aku jadi |heran, segera berkata: "Dasar bodoh! Sudah menemukan |anak kandungmu, mengapa tidak segera |reinkarnasi? Lebih baik daripada jadi |hantu gentayangan!"
Si bodoh tetap menggeleng. Si gemuk memandangku: "Kau lihat sendiri, bukan aku tidak mau bantu. Dia sendiri |tidak mau pergi."
"Apa yang kau pikirkan?" tanyaku pada si bodoh.
Si bodoh |berdiri, lalu |bersimpuh di depan si gemuk. Tangannya |mengangkat |mumi kecil itu, seolah ingin |memberikannya.
"Maksudmu suruh aku mengantarkan anakmu |siklus reinkarnasi? Lalu mengapa kau tidak pergi sendiri?" Si gemuk |mengerutkan kening.
Si bodoh menatapku lalu menggeleng. |senyuman itu kembali muncul di |wajahnya. Dulu senyum ini membuatku ingin |ngompol ketakutan, tapi sekarang |mentalku sudah berubah. Aku justru merasakan senyuman ini penuh kelembutan dunia.
Seperti seorang perempuan memandang kekasihnya.
Seperti seorang Ibu memandang anak kandungnya.
“Kamu bilang gimana?” orang gemuk menatapku dan berkata.
“Dengarkan dia, dia tidak mau reinkarnasi, pasti ada alasannya sendiri.” Aku melihat si bodoh dan berkata, hanya karena senyumnya yang menatapku, tiba-tiba aku merasa sangat memahami si bodoh.
“Oke, terserah kamu, tapi tidak apa-apa. Menurutku hantu wanita ini tidak berniat jahat, dan pasti tidak akan melukai orang.” orang gemuk berkata. Setelah itu dia menoleh ke si bodoh: “Aku bisa memenuhi permintaanmu. Karena kamu menolak reinkarnasi, sudah pasti aku harus mengantar anak ini pergi. Tuan Gendut ini menghargai ikatan ibu-anakmu. Begini saja, kebetulan ada seorang anak laki-laki yang akan lahir di desa ini. Aku akan mengatur siklus reinkarnasi anakmu di sini. Nanti kalau rindu, kamu bisa mengunjunginya. Tapi kamu harus berjanji: manusia dan hantu berbeda alam. Hanya boleh melihat dari jauh, sama sekali tidak boleh mendekat. Dia sudah menjadi anak orang lain dalam siklus kehidupan barunya. Mengerti?”
Si bodoh langsung terus-menerus membenturkan kepala ke lantai menghormati orang gemuk. Orang gemuk menggelengkan tangannya: “Jangan berterima kasih padaku. Berterimakasihlah pada pasangan muda ini. Tinggalkan anaknya, pergilah. Setelah Tuan Gendut menyelesaikan prosesnya, kamu akan tahu keluarga mana yang akan menjadi tempat reinkarnasinya.”
Setelah berkata demikian, orang gemuk membubarkan formasi magis yang dia pasang. Si bodoh kembali bersujud berterima kasih sebelum akhirnya pergi.
Sementara aku menatap orang gemuk, sebenarnya sudah menebak rencananya. Kutanya: “Chen Qingshan?”
“Betul, lihat langkah catur Tuan Gendut ini gimana? Makhluk kecil ini sudah menguasai semua energi, kalau benar-benar lahir di keluarga Chen Qingshan pasti jadi anak yang membanggakan keluarga. Kebetulan, kalau benar begitu, aku bisa mengambil anak ini. Bukankah ini win-win solution?” kata si Gendut.
“Apakah Chen Qingshan akan setuju?” Aku menggaruk kepala. Harus diakui, ini benar-benar ide bagus.
“Apakah dia punya alasan untuk menolak?” Si Gendut balik bertanya.
