Namun setelah kurenungkan baik-baik, meski hidupku dari kecil memang berantakan, tapi pasti tak pernah ada episode kehilangan ingatan. Lagipula mustahil ada perempuan seperti ini dalam kehidupanku. Seharusnya ini hal yang sangat kuyakini, tapi saat berhadapan dengan sorot mata Liu Qingci, justru terasa dialah yang benar, dan akulah yang keliru!
"Nona Liu, mungkin Anda salah ingat, atau salah mengenali orang. Ini baru kedua kalinya kita bertemu. Pertama kali di Paviliun Guhua, pasti tidak mungkin salah ingat. Kecuali Anda mengaku pernah mengintipku dari jarak 700-800 meter saat aku berumur lima tahun, itu sih memang tidak akan kuketahui." Kukatakan sambil tersenyum. Menghadapi Liu Qingci ini, kuputuskan untuk bersikap seperti babi mati tak takut air mendidih. Apapun yang dia katakan, hanya akan kujawab dengan senyuman.
"Memang juga, kalau kau masih ingat aku, pasti sudah lama mengincar tubuhku. Mana mungkin kalem begini? Dulu setiap ketemu, bukannya selalu kalap seperti monyet lapar?" Ujar Liu Qingci tiba-tiba, pipinya memerah.
“Niang, barusan kau bilang itu aku masih agak ragu, tapi setelah kau bilang begitu aku jadi yakin. Kau pasti salah orang. Jangan-jangan aku ini masih perjaka, kalaupun bukan, wanita levelmu seperti ini pun tak pernah terlintas di pikiranku. Bisakah kita tidak berbelit-belit? Cepat bahas urusan resmi.” Aku berkata.
“Wanita levelku tak pernah kau pikirkan? Benarkah? Apa Han Xue berbeda level denganku?” Liu Qingci menutupi mulutnya sambil tertawa.
Perkataannya membuat bulu kudukku meremang sekujur tubuh. Bukan karena dia menyebut Han Xue hingga aku tak bisa menjawab, tapi fakta bahwa dia mengetahui hal ini membuktikan sejak dari Paviliun Bunga Kuno sampai sekarang, dia sudah menyelidikiku habis-habisan. Aku sulit tersenyum, tapi tetap memaksakan senyum palsu: “Niang, keluarga di rumah tak tahu apa-apa. Ada masalah, serang saja aku.”
“Lihat kau ketakutan. Orang lain tak tahu dia adalah Dewi Seribu Tangan, tapi aku mungkin tak tahu? Kalau kau benar-benar mengira aku tak tahu, masihkan kau datang mencariku?” keluhnya dengan nada sendu.
Usai bicara, dia menjepit piala kristal bening dengan penjepit lalu mendekatiku. Karena aku duduk di atas bantal sembahyang, dia langsung merebahkan diri di pangkuanku. Saat aku hendak membuka mulut, jemari rampingnya yang seperti tunas bambu menutupi bibirku: “Diam. Minum teh.”
Setelah berkata, dia tidak menyerahkan cangkir kristal padaku, malah meminum teh itu ke dalam mulutnya sendiri, lalu mengaitkan leherku. Dengan tatapan menggoda seperti sutra, bibir mungilnya menyentuh bibirku.
Saat ini seluruh tubuhku kaku. Ingin menghindar, tapi tak ada tenaga untuk melakukannya. Akhirnya kututup mata sambil berpikir dalam hati: "Lakukanlah trikmu!" Menurutku, Liu Qingci pasti bukan perempuan sembrono yang bisa begitu vulgar pada pria yang baru dua kali bertemu. Jika benar demikian, meski wajahnya bisa menghancurkan negara, tak mungkin dia dijuluki Li Shishi-nya Tiongkok Baru.
Ternyata aku salah. Begitu mata tertutup, tiba-tiba bibir hangat menyentuh mulutku. Saat ingin melawan, sudah terlambat. Sebenarnya dalam sekejap itu semua tenaga dan tekad melawanku hilang. Kukedipkan mata terbuka, terkejut melihat Liu Qingci justru membuka matanya lebar-lebar. Sepasang Mata Elangnya memancarkan rayuan tak tertahankan.
Perempuan biasa pasti memilih menutup mata saat seperti ini. Tapi dia malah membuka mata, memberiku kesan ingin menaklukkanku. Yang menyebalkan, perasaan ini justru membuatku kikuk, bahkan dalam hati ada sedikit kenikmatan.
Lalu, lidah mungilnya yang seperti cengkeh membuka bibirku, bergerak lincah seperti ular kecil yang hangat di antara gigi dan bibirku. Teh hangat itu pun disuntikkan ke dalam mulutku olehnya.
Seketika, aroma harum menembus tubuhku. Aku sudah tak bisa membedakan apakah itu wangiannya atau aroma teh.
Dia tertawa pendek lalu melepaskan diri dariku. Sementara itu, mulutku penuh teh yang tak bisa kutelan maupun kulumahkan. Aku hanya memandangnya bengong. Alhasil, dia mengangkat alis dan menudingku dengan jari: "Ye Jihuan, kalau kau minum teh ini, semua baik-baik saja. Tapi kalau berani meludahkannya, akan kulempar kau keluar dari pelataran ini!"
Kuteguhkan hati. Brengsek! Aku ini lelaki dewasa, kalian pikir aku kucing sakit kalau tak menunjukkan taring? Langsung kuminum teh itu habis. Usai menelan, kujentikkan lidah sambil berkata: "Pengin nambah satu cangkir lagi!"
Perlahan kusadari: keberanian mereka menggoda ini hanya karena sikapku yang pemalu. Semakin gugup penampilanku, semakin mereka jumawa. Ini jelas merusak harga diri priaku. Jadi, untuk membuat Liu Qingci jera, harus kuubah taktik. Cara terbaik adalah membalas dengan cara yang sama: kalau kau vulgar, aku akan lebih vulgar lagi!
"Masih berani minum?" Liu Qingci menatapku.
"Apa yang tidak berani?" Aku berdiri, tersungging senyum genit ala ajaran Nona Qi di wajah.
Liu Qingci mengangkat cangkir teh, satu kakinya melangkahi baki teh. Gaun tidurnya yang lembut langsung tersingkap ke atas karena gerakan mengangkat kakinya, kaki putih murni yang ramping itu tanpa diragukan lagi memberikan kejutan visual yang besar. Ia kembali mengangkat cangkir kaca patri, mendongakkan kepala, dan menuangkan teh langsung ke lehernya.
Cairan teh mengalir melalui kulitnya ke bawah.
Mengalir melalui tulang selangkangan indahnya, meresap ke dalam gaun tidur putih. Gaun yang basah itu menempel pada tubuhnya, bahkan menjadi transparan, pemandangan menakjubkan di balik gaun tampak samar-samar.
Liu Qingci menjilat bibirnya, menyipitkan mata ke arahku: "Masih berani minum?"
Sejujurnya, sebagai pemuda berdarah panas, aku sama sekali tak tahan dengan godaan seperti ini. Meski telah berkali-kali mengulang mantra "ruang adalah warna, warna adalah ruang" dalam hati, darahku tetap membara.
Aku mengatupkan gigi, mendekat, dan menariknya ke pelukanku. Memang aku masih perjaka, tapi bukan berarti tak berpengalaman. Materi 'persiapan' yang kupelajari bersama Han Xue sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan kali ini aku harus lebih garang—kugenggam kerah gaun tidurnya, menarik dengan sekuat tenaga. Criit! Gaun itu terkoyak mulai dari kerah.
Ternyata di dalamnya tidak ada pakaian dalam. Saat itu juga, segala bentuk kecantikan terpampang jelas di hadapanku.
Awalnya aku cuma ingin menakut-nakutinya, kupikir pasti dia akan langsung jago kandang. Tapi perempuan ini justru tak menutupi diri, malah dengan bangga mendada, sorot matanya penuh provokasi menatapku.
Jujur saja, saat itu kesabaranku sudah benar-benar habis. Langsung saja kumerundukkan kepala, menuruni lehernya dengan ciuman.
Kalau sudah disebut minum teh!
Akan kuminum sampai habis!
Saat bibirku benar-benar menempel, kulihat kulit putihnya berubah kemerahan. Bahkan permukaan kulitnya merinding bulu kuduk, mata bisa berbohong tapi reaksi nyata tubuh telah mengkhianatinya. Kurasakan kini dia mulai tegang, semakin gugup dia justru harus kutenangkan diri. Kupercepat ritme ciuman turunku, tepat saat hendak mencapit sasaran utama, tiba-tiba dia mendorongku.
Tidak aneh dia mendorongku. Justru jika tak melakukannya, aku bingung harus bagaimana. Masak keperjakaanku yang kujaga bertahun-tahun harus kuserahkan secara tak jelas di tempat begini?
Dia merapikan gaun tidurnya menutupi bagian vital, dua semburat merah menghias pipinya. Matanya melototi ku:"Berani benar kau!"
Kutiru gaya Sun Liancheng mengangkat bahu:"Kalau si jelita sudah beri isyarat, mana mungkin kusia-siakan? Pemandangan indah dan teh berkualitas begini, kalau tak kuminum sama saja merusak benda langka!"
"Kamu tidak tahu siapa aku? Kamu tidak takut mati?" Perempuan ini benar-benar bisa berubah ekspresi secepat membalik halaman buku, kembali tersenyum sambil berbicara padaku.
"Mati di bawah bunga peoni, jadi hantu pun tetap gagah!" Aku tertawa.
"Kakak sangat ingin menyantapmu, tapi belum saatnya. Makhluk kecil, cepat atau lambat kau akan jadi santapanku," katanya.
"Sudah-sudah, jangan pura-pura. Jelas-jelas bukan tipe begitu, buat apa berpura-pura? Biar kuberi tahu, meski aku juga berpura-pura, kalau urusan ini benar-benar diumbar, perempuan yang selalu dirugikan. Pria mana pun akan ngerayuin. Jadi cepatlah bicara! Jika memang mau duel 300 jurus, aku siap kapan saja! Lagipula aku sudah menahan diri terlalu lama!" seruku.
