Meski ribuan keraguan menggelayut di hati, aku tak ingin mengungkitnya. Pertama, aku belum mau membocorkan informasi yang kuketahui dengan mudah pada perempuan ini. Setidaknya sebelum memastikan kebenaran ucapannya. Aku tidak berbohong, tapi wanita ini seolah memiliki seratus wajah. Setiap kali membuka mulut, yang keluar adalah dusta. Bagaimana jika dia menipu dan menukar intelijen asliku? Bukan main rugi aku nanti!
Tapi saat Liu Qingqing sampai di bagian ini, tiba-tiba berhenti bicara. Dia memetik bunga teratai dari baki teh, merontokkan kelopak demi kelopak sambil menatapku dengan ekspresi penuh dendam, tanpa sepatah kata pun.
"Kenapa tidak melanjutkan?" tanyaku.
"Malam sudah larut. Satu momen di malam musim semi bernilai seribu keping emas. Tidakkah kau merasa kita berdua membicarakan ini sia-sia?" kata Liu Qingqing.
"Nona, Nenek, kenapa selalu begini? Bisakah kita bicara baik-baik?" pintaku dengan nada memohon sambil terkekeh.
"Kenyataannya kau tak percaya padaku. Untuk apa aku terus bicara?" balasnya dengan pertanyaan retoris.
"Kapan aku tidak percaya?" bantahku.
“Dengan level kemampuanmu yang terbatas, apa pun yang ada di hatimu langsung terpancar di wajah. Kalau kakak sampai tidak bisa melihat hal semacam ini, pantaskah menyandang gelar Li Shishi dari Tianjin? Kalau kamu tidak percaya ucapanku, berarti informasi yang kamu dapatkan sebelumnya bertentangan atau tidak sejalan dengan apa yang kakak katakan. Ada keyakinan mendalam di otakmu terhadap informasi yang kamu peroleh, sehingga kamu meragukan kata-kataku. Jadi katakanlah, apa yang kamu tahu? Kalau memang tidak mau tidur dengan kakak, mari kita lakukan pertukaran informasi yang adil. Meski kakak menyukaimu, tapi urusan bisnis tetaplah urusan bisnis!” ujanya sambil tertawa.
“Bagaimana kalau kamu cuma mengarang cerita untuk mengorek informasiku?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
“Kalau ada satu pun kata dusta dari mulutku, biarlah aku—” Di tengah sumpahnya yang tiba-tiba, sebagai lelaki dewasa, aku tidak tega membiarkan gadis secantik ini bersumpah dihadapanku tentang sambaran petir lima arah atau semacamnya. Segera kuhalangi dengan melambaikan tangan: “Nona Liu, tidak perlu sampai begitu. Pengetahuan yang kumiliki ini, biar pun tidak kusampaikan, Liu Kaifeng pasti akan memberitahumu. Jadi lebih baik kujadikan ini sebagai utang budi. Lagipula, tadi kamu sudah begitu jujur padaku, sudah seharusnya aku membalasnya.”
"Ini baru lebih pantas." Liu Qingci menyodorkan secangkir (teh) padaku. Aku tak sempat menikmatinya, di hadapannya aku enggan merokok sehingga jantungku berdebar tak karuan. Kuteguk habis teh itu dalam sekali teguk. Selanjutnya, kuceritakan semua yang kuketahui tentang Penjahit Hantu. Inti pembicaraan kami sekarang adalah Penjahit Hantu, jadi hal lain tak perlu kubicarakan lagi. Akhirnya, kusebutkan juga konten lukisan dinding itu. Perempuan bernama Liu Qingci ini jelas-jelas perempuan tercerdas yang pernah kukenal, tiada tandingannya. Begitu selesai bicara, dia langsung menangkap inti permasalahan, terutama alasan kecurigaanku padanya yang terkuak jelas.
"Andai tahu kamu memang curiga soal ini, aku tak akan bertanya. Karena yang akan kubicarakan berikut ini justru menjawab keraguanmu itu." Liu Qingci tersenyum kepadaku.
"Jangan-jangan karena kecurigaanku, kamu buru-buru mengarang kebohongan baru untuk menambal kebohongan sebelumnya ya, Niang? Nasihatku, sekali kau mengucapkan dusta, harus disusul beberapa kebohongan lagi. Aku memang bodoh, tapi suka mengulik hal-hal seperti ini. Kalau terus begini, kau harus terus berbohong untuk menghadapiku. Jika sampai begitu, kamu yang lelah, aku juga lelah." Aku tertawa.
"Kalau kamu berpikir seperti itu, percakapan kita hari ini tak perlu dilanjutkan. Silakan pulang ke tempatmu!" Ekspresi Liu Qingci yang tadi masih memancarkan tatapan menggoda seperti benang sutra, tiba-tiba berubah wajah merengut diselimuti dingin seperti es.
"Mendengar ini, aku berpikir dalam hati perempuan ini benar-benar bisa berubah sikap secepat membalik halaman buku," segera kuangkat tanganku sambil berkata: "Sudahlah, Nenek, anggap saja ucapan tadi seperti kentut, jangan dimasukin ke jantung. Mulutku ini memang suka ngomong sembarangan, tolong jangan tersinggung."
Setelah itu, kubetulkan dengan menepuk mulutku sendiri pelan-pelan sambil tertawa: "Kuhukum kau yang suka ngomong asal! Sudah membuat Liu Da Meinu kita marah kan?"
Liu Qingci terkikik lalu tertawa: "Nah gini baru bener."
Kemudian dia melanjutkan: "Sebenarnya kamu bisa menebak, aku adalah keturunan klan yang dulu terkena bencana dahsyat itu. Tapi garis keturunanku tidak murni. Ayahku dulu menjadi relawan di Tibet, bertemu ibuku lalu melahirkanku. Tapi setelah kaum intelek diperintahkan pulang ke kota, ayah kembali dan meninggalkan ibuku. Menurutmu, kalau dia tahu putrinya secantik ini, apakah akan menyesal meninggalkan kami?"
"Ada cerita seperti itu?" Aku mengernyitkan dahi. Sebenarnya aku juga pernah curiga Liu Qingci berasal dari sekte Lama, tapi wajahnya sangat khas Han. Menurut penjelasannya, dia sebenarnya campuran Tibet-Han, hanya wajahnya lebih mirip Han warisan ayahnya.
“Ini tidak penting, yang penting adalah, ayahku adalah orang yang sangat pintar, aku mewarisi kepalanya. Jadi seharusnya aku berterima kasih padanya.” Dia tertawa.
Aku ingin bicara, tapi dia menghentikanku dengan melambaikan tangan: "Saat aku enam belas tahun, satu kata penghiburan darimu akan sangat menyentuhku, mungkin bahkan akan kuserahkan diriku. Tapi sekarang, simpanlah kata-kata manismu untuk pacar kecilmu. Fajar hampir tiba, mari kita bahas urusan penting."
Aku mengangguk, memandang Liu Qingci ini, tapi justru melihat sesuatu yang lain darinya. Dia tersenyum dan mulai bercerita tentang kelanjutannya.
——Peristiwa masa itu sebenarnya tidak ada kelanjutannya. Awalnya pemimpin Lama yang baru berniat menguasai Tiongkok Tengah, tapi setelah menyaksikan keganasan kultivator Tiongkok, terutama Liu Bowen dan Yuhuangdao, mereka urung niat itu. Bukan hanya mengurungkan niat, Qianshou Guanyin yang mereka anggap dewa pun pulang ke Tibet dengan luka-luka, menyepi selama tiga tahun sebelum muncul kembali.
Kehadiran Qianshou Guanyin menggeser posisi Lama sebagai penguasa Tibet. Qianshou Guanyin menjadi pemimpin spiritual sejati bagi rakyat Tibet. Cahaya 'Jenius Abad' yang disebut-sebut sebagai pemimpin sekte Tibet itu pun sepenuhnya tertutupi. Selanjutnya, baik Tiongkok Tengah maupun Tibet berada dalam kedamaian. Namun sepuluh tahun kemudian, Qianshou Guanyin tiba-tiba menggunakan pengaruhnya untuk melakukan hal yang menyengsarakan rakyat.
Hal itu adalah membangun tangga langit di gunung salju.
Tangga Langit terbuat dari batu hijau. Oleh karena itu, para umat Tibet harus mengangkut batu hijau dari daratan Tiongkok ke Tibet, lalu memikulnya satu per satu ke atas gunung bersalju. Di sana mereka melakukan pengerjaan fondasi dan membangun sebuah Tangga Langit.
Proyek ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai tugas yang mustahil. Namun keyakinan yang tulus membuat para umat Tibet, meski lebih dari separuh menjadi korban jiwa, dengan ketekunan yang gigih selama tiga belas tahun akhirnya berhasil membangun Tangga Langit di gunung bersalju. Legenda mengatakan tangga ini menjulang hingga menyentuh awan, dan jika berdiri di atasnya, "tangan bisa menyentuh bintang".
Setelah pembangunan selesai, Qianshou Guanyin memberikan ceramah Dharma terakhir kepada para biksu. Kemudian beliau naik sendirian ke tangga tersebut. Ketinggian legendaris itu pasti tidak bisa dipercaya - orang zaman dalu suka menggunakan teknik hiperbola. Namun tak bisa disangkal, tangga ini sangat tinggi. Orang normal akan mati karena hipoksia jika naik. Faktanya, mayoritas korban jiwa umat Tibet disebabkan oleh sesak napas di ketinggian.
Saat Qianshou Guanyin naik ke Tangga Langit, para biksu sebenarnya sudah menyadari maksudnya. Beliau turun ke dunia untuk membasmi siluman. Kini siluman telah diberantas, sehingga Qianshou Guanyin akan kembali ke surga. Nama "Tangga Langit" yang dibangunnya telah menjelaskan segalanya - beliau ingin naik ke langit, "berdampingan dengan matahari".
Perasaan para Lama sebenarnya sangat rumit terhadapnya. Mereka membutuhkannya, menghormatinya, namun juga berharap ia pergi. Kedatangannya membuktikan keberadaan dewa sejati, mengukuhkan identitas mereka sebagai utusan dewa. Tapi selama ia masih disini, rakyat Tibet hanya akan mempercayai dan mendengarkannya. Hanya ketika ia pergi, Tibet akan kembali seperti semula, para Lama akan kembali menjadi penguasa.
Maka kedatangannya didoakan oleh sepuluh ribu Lama.
Kepergiannya pun diantar oleh sepuluh ribu Lama.
Tapi, memanggil dewa mudah, mengantar dewa pergi sulit.
