Chen Dongfang juga menundukkan telinga ke tanah untuk mendengarkan. Saat mengangkat kepala, orang gemuk itu bertanya: "Dengar sesuatu?"
Chen Dongfang tertawa pahit: "Tidak. Pantas saja disebut murid terakhir Kakek Enam. Kemampuan Zhongmou berkembang pesat. Aku sama sekali tidak mendengar apa-apa."
Jika situasi ini terjadi padaku, pasti semua orang akan mengira aku salah dengar. Tapi yang mendengar adalah kakakku. Tidak ada yang berani meragukan kebenaran kakakku, karena kekuatannya sudah terbukti. Kami semua bersembunyi di bawah salju. Meski empat biksu Tibet itu tidak mengerti pembicaraan kami, mereka meniru gerakan kami dan ikut bersembunyi. Sekitar dua puluh menit kemudian, suara yang datang membuktikan kakakku tidak salah menilai. Hanya anehnya, yang pertama kami dengar bukanlah langkah kaki, karena seharusnya suara langkah pasukan besar pasti akan sangat keras.
Yang kami dengar adalah suara pembacaan mantra.
Di tempat seperti ini, meski sudah fajar namun langit masih remang-remang. Dari kejauhan terdengar suara pembacaan mantra yang sangat nyaring. Ini membuatku merasa sangat aneh. Pada dasarnya, baik pendeta Tao, biksu, maupun Lama, para misionaris seperti ini biasanya memberikan rasa aman di malam hari karena dalam alam bawah sadar manusia mereka adalah utusan dewa. Tapi di tempat ini, semuanya terasa agak menyeramkan.
Persis di saat itu, keempat biksu Tibet tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Pandangan kami serentak tertuju pada mereka. Kulihat wajah mereka dipenuhi kegembiraan yang berlebihan, bahkan salah satunya meneteskan air mata. Mereka terus berbicara dengan gugup dan berusaha keluar dari persembunyian untuk berlari ke arah sumber suara tersebut.
“Ini mungkin suara membaca mantra sekte Lama mereka, sampai mereka bisa mengenalinya. Apakah benar keturunan mereka bisa bertahan hidup di kedalaman gunung bersalju ini? Makan apa dan pakai apa?” gumam Si Gemuk.
“Halangi mereka!” kata Chen Dongfang.
Sebelum ucapan Chen Dongfang selesai, bahkan sebenarnya sebelum dia berbicara, pisau Kakak sudah menghadang di depan keempat Lama ini. Saat itu, pemandangan bagaimana Kakak membantai sekawanan serigala salju dengan satu pisau telah disaksikan langsung oleh keempat Lama ini. Mereka tahu betul keganasan Kakak. Meski pisau itu sekarang menghadang di depan mereka, mereka tetap tak berani bergerak. Namun keempat Lama ini tampak sangat marah. Mereka menggerakan tangan seperti cakar sambil berteriak menunjuk ke arah sumber suara, seolah sedang berusaha menjelaskan sesuatu pada Kakak.
Pisau Kakak menekan lebih rendah. “Tiarap, atau aku akan membunuh kalian.”
Tiga dari Lama itu terlihat sangat emosional, ingin bangkit dan bertarung habis-habisan dengan Kakak. Ini wajar saja. Jika prediksi Si Gemuk benar, berarti tamu dari jauh itu adalah saudara sedarah mereka, bahkan leluhur. Wajar jika mereka emosional. Tapi bukankah kebenarannya masih belum pasti?
Saat tiga Lama itu hendak menyerang Kakak, salah satu Lama tampaknya memahami maksud kami. Dia menahan ketiga rekannya dan berbicara keras-keras dengan mereka. Akhirnya, meski wajah ketiga Lama itu masih dipenuhi kegelisahan dan kemarahan, mereka kembali bersembunyi.
——Belum terlihat sosoknya sudah terdengar suaranya, suara memang selalu lebih cepat sampai. Saat kami masih sibuk berurusan di sini, suara dari kejauhan semakin mendekat. Dengan cahaya lemah yang dipantulkan salju, aku bahkan sudah melihat bayangan rombongan manusia berjalan perlahan ke arah kami dari kejauhan. Suara pembacaan sutra itu juga menjadi semakin jelas.
"Tutup telinga! Jangan dengarkan, sialan, Sutra Arwah?!" kata si gemuk sambil menutupi telinga Nona Qi dengan wajah pucat.
"Benda apa ini?" tanya Li Qing.
"Ini sutra yang dibacakan untuk mayat. Legenda mengatakan ini adalah Kitab Sembilan Kegelapan, yang dibacakan Bodhisattva Ksitigarbha untuk mendoakan hantu jahat dari 18 lapisan neraka. Jangan dengar! Orang yang mendengar sutra ini akan diantar jiwanya ke Neraka Yin-Yang – artinya mati!" jelas si gemuk.
Meski terdengar aneh, kami segera menutup telinga. Tepat di saat itu, rombongan biksu ini sudah berada sangat dekat dengan kami.
Kakak berjongkok di depan kami, tangan mencengkeram erat pisau.
Sementara kami menutup telinga, mata tak berkedip mengamati pasangan biksu ini.
Keempat biksu itu bersimpuh di tanah, menangis tersedu-sedu sambil terus bergumam. Si gemuk mengambil belati dari pinggang Li Qing: "Jika ini benar-benar rombongan biksu mati, keempat ini pasti akan memancing mereka datang. Biksu mayat hidup sebanyak ini, dewa turun dari langit pun takkan berguna!"
"Apa yang mau kau lakukan?" tanyaku.
"Habisi mereka!" Orang gemuk berkata dengan penuh dendam.
"Jangan!" Aku berkata.——Bagaimanapun juga, saat Liu Qingci masih ada, keempat Lama ini pernah melindungiku di tengah mereka. Perasaan inilah yang kurasakan sekarang. Setelah Liu Qingci pergi, kusadari aku sangat merindukannya. Bahkan kini saat kuketahui dia hanya memanfaatkanku, aku tak menyalahkannya. Perasaan ini membuatku merasa seperti seorang bego.
"Orang gemuk, tidak perlu." Kali ini Kakak yang berbicara. Saat mengucapkan kalimat ini, sepertinya dia melepaskan napas lega. Setelah berkata demikian, Kakak menyalakan senter dan menyoroti rombongan Lama itu. Karena kami membawa senter cahaya terang, sorotan lampunya sangat terang. Saat menyinari tubuh para Lama, hampir bisa kulihat seluruh penampilan mereka.
Kutahan napas. Baru saja Orang gemuk mengatakan takut memprovokasi mereka, tindakan Kakak ini jelas-jelas sebuah tantangan. Namun anehnya, saat cahaya menyinari tubuh para Lama, mereka seolah sama sekali tidak menyadarinya. Akhirnya, sorotan lampu Kakak terfokus pada wajah seorang Lama. Saat melihat wajah Lama itu, napasku tersengal kaget.
Itu adalah wajah yang sangat familiar.
Kulitnya pucat lesu, tatapan kosong.
Persis seperti wajah mayat yang diangkat Kakak dari dasar danau.
Artinya, para Lama ini sebenarnya sudah mati, tapi dikendalikan oleh kekuatan misterius sehingga masih bisa berjalan?
Dengan kata lain, mayat hidup yang disebut Orang gemuk tadi?
——Tepat pada saat itu, ketika rombongan biksu ini hendak melewati hadapan kami, keempat biksu di sekitar kami akhirnya tidak bisa menahan godaan untuk menemui leluhur mereka. Mereka bangkit sambil berteriak ke arah rombongan biksu itu dan berlari kencang. Si Gemuk tampak kesal ingin menghentikan, namun Kakak mengangkat tangan menghentikannya: "Jangan sentuh, lihat situasinya."
Saat keempat biksu itu mendekati rombongan biksu, tiba-tiba tubuh mereka kaku. Kemudian, keempatnya serentak terjatuh telungkup. Sebenarnya kami melihat jelas, saat mereka mendekat, sekumpulan serangga bercahaya samar terbang dan menempel di tubuh keempat biksu hidup itu.
Itu adalah cacing salju dari dasar danau, atau disebut juga cacing Gu dari Miaojiang.
Setelah keempat biksu itu roboh, mereka tiba-tiba bangkit dengan cepat. Senter Kakak kembali menyorot wajah mereka, dan mungkin kami telah memahami kebenaran tentang para biksu yang berjalan ini.
Keempat biksu itu telah mati. Sorot mata mereka menjadi kosong, terutama di bagian mata yang tanpa pupil. Sama seperti rombongan mayat biksu itu, mereka berubah menjadi mayat hidup. Kemudian, keempat biksu ini bergabung dengan rombongan biksu dan mulai berjalan maju selangkah demi selangkah.
Rombongan biksu ini berjalan di hamparan salju, bagai penjaga ajaran suci, petapa yang bertapa, atau prajurit yang sedang patroli di wilayah kekuasaan mereka.
“Ikuti!” kata Kakak.
Perkataannya membuat wajah kami semua berubah. Aku sendiri tidak takut, tapi mereka tidak bisa. Melawan cacing salju itu bukan lagi soal keterampilan bertarung! Ilmu Gu dari Miaojiang tidak diakui di kalangan orthodox dalam novel silat karena mereka membunuh secara tak berwujud!
“Kau gila?” orang gemuk mengedarkan lehernya.
“Aku melihat Liu Qingci di tengah rombongan para Lama itu,” kata Kakak menatapku.
Mendengar ini, seluruh tubuhku seketika membeku.
“Tahu kenapa dia bilang Daun adalah kunci datang ke sini? Bukan karena Daun bisa memimpin jalan atau menerima petunjuk dewa, tapi darah Daun adalah cara terbaik untuk menghindari cacing salju itu,” jelas Kakak.
Perkataannya membuat jantungku serasa membeku.
“Daun, beri aku darahmu! Tuan Gendut ini sudah merinding!” teriak si gemuk.
“Semua siap,” kata Kakak sambil mengarahkan pisaunya ke arahku, “Maaf, lukamu cepat sembuh. Kita harus ikut rombongan Lama ini karena hanya ini cara menemukan tempat itu.”
Tanpa basa-basi lagi, Kakak menyayat tanganku lagi. Melihat tangan sendiri, tiba-tiba aku merasa sangat menyedihkan.
