"Kakak tidak menghalangi Chen Dongfang berjalan ke sana. Aku melihat Chen Dongfang sudah sampai, dan sepertinya tidak ada bahaya. Meski saat ini aku agak merinding, aku tetap berlari ke sana. Saat benar-benar melihat isi peti mati itu, aku segera tahu dari mana bau amis darah di seluruh rumah ini berasal - karena di dalam sarkofagus batu ini terdapat genangan darah."
Darah itu kental. Berdiri di tepinya, baunya membuatku hampir muntah.
"Kenapa bisa begini? Aku jelas-jelas mendengar suara napas." Aku menatap Kakak sambil berkata. Aku yakin ucapan Kakak tadi "Kenapa bisa begini" juga bermaksud demikian - jelas mendengar suara napas dari dalam, tapi kenapa setelah dibuka malah ada genangan darah?
Orang gemuk akhirnya juga mendekat. Dialah yang terakhir sampai ke sini. Aku tidak menatapnya langsung, hanya mengamati lewat sudut pandang samping. Saat melihat genangan darah ini, tiba-tiba wajahnya menunjukkan ekspresi lega.
"Seharusnya ada apa? Orang gemuk, lagi-lagi kau takut akan apa?" Aku tak tahan lagi menoleh dan bertanya padanya.
"Apa? Apa maksudku takut akan apa? Seharusnya ada apa?" Orang gemuk berkata dengan "ekspresi bingung".
"Sampai kapan kau mau terus berpura-pura!" hardikku pada orang gemuk.
Orang gemuk menatapku, wajahnya mulai berubah sangat pucat. Pada saat itu, Kakak tiba-tiba memasukkan tangannya ke dalam kolam darah sarkofagus batu ini. Chen Dongfang mencoba menghentikannya tapi gagal. Tiba-tiba Kakak menarik kembali tangannya dengan kasar, wajahnya berubah pucat. Ia melambaikan tangan dan berteriak pada kami: "Keluar dari sini, cepat pergi!"
Kulihat kolam berwarna darah ini tiba-tiba mengeluarkan gelembung-gelembung, seolah ada orang yang menghembuskan napas di dasar kolam. Tiba-tiba sebuah tangan berlumuran darah menyembul dari permukaan darah. Gerakan tangan itu sangat cepat. Kakak mengarahkan pisau secara horizontal menahan serangan itu, lalu berteriak lagi: "Cepat pergi! Kalau dia keluar, kita semua tidak akan bisa kabur!"
"Pergi!" kata Chen Dongfang. Kami mulai mundur dari kuil Tao ini. Sejujurnya sampai sekarang aku masih tidak mengerti apa yang terjadi - mengapa tiba-tiba ada orang muncul dari darah? Tapi lebih baik mendengarkan Kakak. Begitu dia menyuruh kami pergi, kami langsung bergerak.
Kami keluar dari kuil Tao dan mulai berlari kencang. Saat sampai di luar, kami masih mendengar suara pertarungan dari dalam kuil. Aku ingin kembali membantu, tapi Chen Dongfang menghalangiku: "Dia tidak apa-apa. Darahmu bukan segalanya."
"Tapi..." protesku.
"Tidak ada 'tapi'!" tegas Chen Dongfang.
"Pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara tembakan sporadis di sekitar kami, membuat kami terkejut sekali lagi. Aku menoleh ke belakang dan melihat rombongan orang di belakang yang berlari seperti orang gila ke arah kami, termasuk beberapa orang yang digotong dengan kursi rotan - tak lain adalah Liu Kaifeng!
"Sialan! Mereka datang sekarang! Tiarap! Cari cara bertahan!" Chen Dongfang langsung merebahkan diri. Sementara orang-orang Liu Kaifeng mulai melepaskan tembakan perlahan ke arah kami. Mereka bukan ingin membunuh, tapi seolah mengintimidasi dan mempermainkan kami.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar lima puluh meter dari kami, rombongan itu berhenti. Liu Kaifeng berseru: "Liu Qingci, tak kusangka kau bisa sampai di sini? Kau kirim orang ini untuk menuntunku ke jalan kematian. Aku biarkan dia hidup hanya untuk membunuhnya di hadapanmu!"
Usai bicara, Liu Kaifeng melambaikan tangan. Ah Wang yang diikat dengan lima ikatan dibawa keluar. Sekujur tubuhnya penuh luka, jelas sudah disiksa berat. Dengan wajah berlumuran air mata ia menjerit: "Nona!"
"Liu Kaifeng, aku baik hati memandu kalian, begini balasan kalian?!" teriak Liu Qingci.
"Memandu? Ke jalan buntu?" Liu Kaifeng menyodokkan pistol ke mulut Ah Wang, lalu menyentuh pelatuk. Kulihat bola mata Ah Wang melotot dan tengkoraknya pecah sebelum jasadnya ambruk ke tanah.
“Aku membunuhmu!” Liu Qingci hendak bangkit, tapi aku langsung menerjangnya hingga terjatuh. Jika dia keluar sekarang, pasti langsung tewas dihujani peluru kacau.
“Setelah segala perhitunganmu, tak kau duga ada Naduo di sini, seorang grandmaster ilmu Gu suku Miao. Tanpa dia, cacing salju itu benar-benar akan mencabut nyawa kita. Liu Qingci, kau sungguh kejam!” kata Liu Kaifeng.
Usai bicara, dia melambaikan tangan: “Semua orang di sini, jangan tinggalkan satu pun! Bunuh semuanya!”
“Bertarung habis-habisan!” seru Li Qing.
Chen Dongfang mengulurkan tangan menghentikan Li Qing. Ia menoleh ke arah kuil Tao itu, lalu berkata pada kami: “Mundur! Mundur terbalik!”
“Tapi di belakang ada sosok darah itu!” protesku.
“Jangan pedulikan, mundur!” perintah Chen Dongfang. Sambil menarikku dan Liu Qingci, kami merangkak mundur ke dalam kuil. Saat masuk, kulihat Kakak menutupi dadanya berlari keluar dari aula besar, diikuti sosok berdarah bermuka mengerikan yang mirip biksu besar Liu Chuanzhi dari Kapal Hantu Penjelajah Dunia Baka. Tapi sosok ini tampak lebih hebat - bahkan Kakak yang biasanya tangguh tak mampu melawannya.
“Orang Gendut, nyalakan Lampu Jiwa!” teriak Kakak pada si Gendut saat berlari.
“Nggak mau! Nyalain nanti loe mukul Tuan Gendut lagi. Lagian kan loe curiga sama gue - takut gue sakiti si Xiao Ye kesayangan loe?!” jawab si Gendut dengan wajah jail.
"Hasilnya, Kakak melemparkan pisau itu. Pisau panjang itu nyaris melesat tepat di wajah si gemuk. Kalau saja si gemuk tidak menghindar cepat, pastilah wajahnya terluka. Si gemuk terkejut, lalu marah besar berteriak: 'Sun Zhongmou! Jangan kau kelewat batas!'"
"'Kalau masih menggerutu, akan kupunyalentera langitmu!' Kakak melototi si gemuk."
——Kakak memilih menyalakan lampu jiwa untukku di saat seperti ini. Keputusan yang selalu dihindarinya. Ini hanya membuktikan satu hal: situasi sekarang sudah di luar kendali Kakak.
Wajah si gemuk masih memperlihatkan keengganan, tapi dia tetap mengambil selembar kertas kuning dan menempelkannya di bahuku. Usai menempel, dia menepuk tengkukku: "Bertarunglah! Digimon!"
"Digimon sialan!" aku memaki. Dulu kau bilang 'Pergilah Pikachu', sekarang 'Bertarunglah Digimon'. Kau pikir ini franchise anime apa?!
Kali ini, efek kertas si gemuk tetap sama: sensasi panas mengalir dari bahu kiriku, menyebar ke seluruh anggota tubuh, lalu memenuhi sekujur badan. Kekuatan dalam tubuhku mulai meledak-ledak.
Di hadapanku, tak ada yang mampu menghalangi langkah majuku.
Berbeda dengan Biksu besar Liu Chuanzhi yang bersujud, sosok berlumuran darah ini justru mendatangiku dengan garang. Tanpa basa-basi, dia langsung mengayunkan tinju ke arahku.
Aku mengulurkan tangan dan langsung menangkap tangannya. Sensasinya seperti orang dewasa memukul anak kecil dengan mudah. Aku mengangkatnya, mengayunkan tubuhnya satu putaran penuh, lalu menghantarkannya ke tanah hingga membentuk lubang dalam.
Setiap kali seperti ini, sifat kejamku muncul. Menghantamnya ke tanah belum cukup. Aku menendangnya hingga terlempar, melompat dan menendangnya lagi sampai terpental keluar pelataran.
Saat itu, anak buah Liu Kaifeng berhamburan masuk ke pelataran. Melihatku, mereka mulai menarik pelatuk senjata.
Peluru menghujam tubuhku. Aku benar-benar merasakan serangkaian rasa sakit.
Ini pertama kalinya aku menghadapi peluru sejak menyalakan lampu jiwa.
Rasa sakit itu nyata, tapi hanya di permukaan kulit belaka.
Aku mengabaikan rasa sakit itu, berjalan maju menghadapi hujan peluru mereka. Di mata bawahahan Liu Kaifeng, penampilanku seperti Iblis yang baru keluar dari kegelapan.
Tapi saat aku melangkah keluar kuil, tiba-tiba muncul suara dan bayangan manusia di kepalaku - lelaki berbaju zirah yang sering muncul dalam mimpiku.
Ia akhirnya mengangkat wajah menatapku, tapi aku tetap tak bisa melihat jelas rupanya karena seluruh tubuhnya seperti terselimuti kekacauan.
"Akhirnya kau datang, saudaraku." Kudengar suaranya berbicara padaku.
"Apakah Anda sedang berbicara dengan saya?" tanyaku.
"Selainmu, masih ada siapa lagi?" jawabnya.
"Siapa Anda?" aku bertanya lagi.
“Saat ini, kamu belum perlu tahu siapa aku. Yang perlu kamu ketahui adalah darah yang mengalir di tubuhmu sama dengan milikku, kita memiliki ikatan darah yang sama. Itu sudah cukup.” Katanya.
Tepat saat aku hendak bertanya lagi, tiba-tiba jimat kuning di bahuku meledak dengan suara "Dor" dan mulai terbakar. Aku juga merasakan kekuatan tak tertandingi di seluruh tubuhku lenyap seketika.
