Berjalan perlahan seperti ini, aku bahkan mulai berpikir tempat yang kami temukan dengan susah payah ini bukanlah Shambhala, melainkan hanya lubang tambang biasa. Yang paling penting, suhu di sini relatif lebih hangat dibandingkan salju dan es di luar. Kami semua melepas pakaian luar tebal, lingkungan yang hangat ini sangat nyaman. Ditambah lagi dengan kekosongan di sekitar dan rasa bosan yang membuatku mulai mengantuk.
Aku ingin beristirahat, mengingat intensitas perjalanan akhir-akhir ini memang sangat besar. Tapi melihat semangat mereka yang terus berseri-seri, aku jadi enggan mengeluh. Terutama orang gemuk dan Nona Qi yang terus bercanda sepanjang jalan. Untuk membuat sang kecantikan tersenyum, si gemuk terus memamerkan sulap menggunakan kertas kuning. Andai leluhur pendiri tahu mantra penakluk siluman justru dipakai keturunannya yang tidak berbakti ini untuk menghibur perempuan, mungkin tamparannya akan mengirim si gemuk ke 18 lapisan neraka.
Dalam kondisi seperti ini, kami terus berjalan selama setengah jam. Akhirnya aku tidak tahan lagi: "Katakan, sebenarnya kita datang ke tempat apa ini?"
"Sebentar lagi." Kata Naduo.
"Sebentar lagi itu kapan?" tanyaku.
"Di depan sana. Jangan buru-buru. Menurut catatan keluarga kami, penduduk asli di sini sudah bertahan hidup ratusan tahun. Awalnya mereka mengira ini adalah tambang emas biasa. Baru saat penambangan mereka menemukan sesuatu, yang kemudian memicu serangkaian peristiwa. Makanya terowongan tambangnya sangat panjang." jelas Naduo.
Aku sudah terlalu sering melihat orang-orang yang menanggap segala pertanyaan dengan ekspresi merendahkan atau bilang "tidak bisa dijelaskan". Jadi ketika aku membuka mulut dengan kesal, Naduo malah memberikan penjelasan panjang lebar. Ini langsung membuat pandanganku tentangnya berubah drastis.
"Daun, Tuan Gendut tahu apa yang kamu pikirkan. Terharu ada yang bicara lembut seperti ini padamu? Coba pikir lagi, dia kan orang yang bersimpuh padamu. Darah leluhur mereka mengalir di tubuhmu," kata si Gendut.
Aku sudah curiga dari tadi kalau si Gendut tiba-tiba ikut campur pasti ada urusan. Benar saja, dia langsung menoleh ke Naduo: "Naduo, kalian tahu urusan Daun lewat cara apa?"
"Sejak kecil aku sudah tahu. Semua orang di keluargaku tahu. Legenda kami mengatakan dewa kami adalah manusia berdarah keemasan. Apalagi setelah aku menyelinap menaruh beberapa cacing gu dekatnya. Cacing-cacing itu ketakutan setengah mati. Dari situ aku yakin dialah orang itu. Terkadang penilaian cacing gu lebih bisa dipercaya daripada manusia. Manusia bisa dipengaruhi pemikirannya, tapi cacing gu murni bergerak atas insting bawaan," jelas Naduo.
"Waduh, menarik sekali. Jadi orang-orang di klanmu benar-benar tidak memberitahu cara kalian menemukan tempat ini?" tanya si Gendut sambil mengulang pertanyaannya. Seperti sebelumnya, Naduo hanya menggeleng dengan wajah memerah setelah ditanya.
Aku mulai menyadari kebiasaan Naduo. Saat dia tahu sesuatu tapi tidak mau mengatakannya, wajahnya akan memerah. Karena mengetahui tapi tidak menjawab, ini bisa dianggap sedikit berbohong. Dari sisi ini, Naduo justru terlihat sangat menggemaskan. Setidaknya ini jauh lebih baik dibandingkan sikap Kakak yang "Laozi tahu tapi Laozi memang tidak mau bilang, Laozi tidak bilang ini untuk kebaikanmu, mau apa lagi?".
Perjalanan menjadi tidak terlalu membosankan berkat komunikasi kami dengan Naduo. Begitu tidak membosankan, kita tidak akan terus-terusan menghitung berapa lama sudah berjalan. Kami terus berjalan, dan akhirnya lubang tambang di depan mulai menunjukkan perubahan. Di dinding batu kedua sisi, kami menemukan banyak emas terselip - bukan pasir emas biasa, melainkan batangan emas yang terlihat jelas di lapisan batu. Si Gemuk menggali beberapa. Chen Dongfang yang melihatnya tak bisa menahan decak kagum: "Ini sudah mirip emas kepala anjing, kemurniannya sangat tinggi. Tidak perlu bicara panjang, siapapun yang menemukan tambang ini dan menambangnya kembali, pasti hartanya bisa menyaingi negara."
"Di luar negeri mungkin masih bisa, di dalam negeri lupakan saja. Semua yang ada di bawah tanah adalah milik negara," Si Gemuk tertawa.
“Kami semua tidak mengambil emas-emas itu, sungguh aneh kami ini. Meski terus-menerus berpetualang, tapi bisa tetap acuh pada emas. Padahal dulu sebagai pegawai desa gaji cuma seribu dua per bulan, setiap hari harus mikir cara membelanjakan satu tael. Sekarang bisa tenang-tenang saja melihat emas. Semua ini karena pengalaman selama setahun lebih ini, benar-benar membuat hati berdesir.”
“Aneh, tambang emas di sini sudah dieksploitasi, tapi kenapa masih ada begitu banyak emas tersisa?” Chen Dongfang melihat dinding batu di kedua sisi. Jejak penambangan jelas terlihat di dinding batu ini.
“Karena jumlah emas tiba-tiba bertambah banyak. Mereka sudah meremehkan serpihan kecil seperti ini. Kekayaan datang dengan risiko, itulah prinsipnya. Dinding batu di depan semuanya akan berisi emas.” Naduo berkata.
Benar saja, saat kami melanjutkan perjalanan, emas di depan semakin luar biasa banyak. Tapi di area ini jejak penambangan tidak terlalu jelas.
“Ternyata benar.” Melihat cahaya emas yang berkilauan, si gemuk tak tahan bertanya.
“Jadi kamu tahu apa? Cepat bicara!” Aku menatap si gemuk.
Si gemuk menggeleng. Entah karena silau oleh kilau emas atau mungkin karena sudah mendekati tujuan, dia mulai mengurangi omongan dengan wajah muram.
Dia berkata: "Yang Jun Song tidak meninggalkan banyak hal di Gunung Kunlun, dia hanya mengatakan bahwa di dalam gua ini adalah tempat yang dipenuhi emas. Aku, Tuan Gendut, menganggap kalimat ini sebagai lelucon. Meski kita tidak menyukai ini, banyak orang di dunia yang tergila-gila. Jika benar ada cadangan emas sebanyak itu, pasti sudah ada orang yang menggali tanah sedalam tiga chi seperti orang gila."
"Emas hanyalah logam biasa. Menurut catatan keluarga, penduduk asli di sini benar-benar terbiasa melihat emas. Ini seperti orang yang terbiasa makan daging dan ikan besar tiba-tiba senang mendapat kue baozi. Penduduk asli di sini lebih menyukai perak. Dulu banyak pedagang menunggu di luar gunung bersalju, menukar perhiasan dan mainan perak dengan balok-balok emas mereka. Leluhur kami menemukan tempat ini berkat kabar tersebut." Naduo menjelaskan.
Saat sampai di bagian ini, si gemuk menatapnya sambil tertawa: "Pemuda, seberapa hati-hati pun kau, tetap saja kau tergelincir lidah? Mengandalkan emas untuk menemukan tempat ini, apa maksudnya? Coba jelaskan!"
Wajah Naduo memerah, menyadari kekeliruannya. Ia segera mengunci mulutnya rapat-rapat.
Saat itu aku juga mulai bersemangat. Meski tidak menyukai, melihat tumpukan emas ini cukup membahagiakan. Namun di depan, batu-batu di lantai tiba-tiba bertambah banyak. Ini menjadi satu-satunya gangguan di sepanjang perjalanan. Naduo berkata: "Tempat tujuan kita sudah dekat. Saat menggali sampai sana, muncul situasi yang tidak bisa ditangani oleh orang-orang di sini."
Kami melewati batu penghalang ini, di depan, kami menemukan sebuah kuil yang berkilauan. Kuil ini tidak terlalu besar, formatnya seperti kuil kecil biasa. Menggunakan kata "berkilauan" untuk menggambarkannya sama sekali tidak berlebihan, karena kuil ini, sialan, terbuat dari emas murni. Di dalamnya terdapat patung-patung Buddha berpenampilan aneh, namun gaya patung-patung ini mirip dengan yang ada di kuil-kuil luar.
"Ini patung Buddha ala Lama. Meskipun Buddha-nya sama, tapi desainnya berbeda, seperti patung Buddha di Thailand, India dan lain-lain yang berbeda dengan Tiongkok. Setiap daerah punya ciri khas sendiri." Liu Qingci menjelaskan.
"Kalau Tuan Gendut ini tidak salah tebak, yang dipuja di kuil ini pasti Bodhisattva Ksitigarbha." Si Gemuk tiba-tiba mengeluarkan pernyataan ini.
"Kenapa kamu bilang begitu?" Aku bertanya.
"Karena di manapun Buddha-nya, patung boleh berbeda, tapi area yang dijaga setiap Buddha sama. Bodhisattva Ksitigarbha adalah Buddha sejati penjaga 18 lapisan neraka. Coba pikir, membangun kuil di lubang tambang seperti ini menunjukkan mereka sudah menemui bahaya di sini. Awalnya mungkin mereka menganggap remeh, jadi membangun kuil untuk menumpas. Di gua bawah tanah puluhan meter ini, kalau ada monster, wajar mereka memanggil Bodhisattva Ksitigarbha." Kata Si Gemuk.
Setelah itu, kami memasuki kuil. Di Aula Utama kuil, kami benar-benar melihat patung Bodhisattva Ksitigarbha yang dipuja di sini.
"Patung Buddha itu tidak besar, namun entah mengapa, begitu masuk ke kuil ini, aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh."
Itu adalah perasaan detak jantung yang berdegup kencang tak terkendali.
