"Lewat mana? Ada begitu banyak lubang, yang mana harus kita masuki?" Si gemuk berkata sambil melototi kakak. Dari sorot matanya, jelas ia ingin kakak yang memimpin pemilihan jalan.
"Lewat sini." Kakak menunjuk salah satu lubang di antara sekian banyak lubang.
“Selesai bicara, dia langsung mengebor masuk ke dalam. Lubang ini tidak bisa dibilang kecil, tapi juga tidak besar. Ini juga alasan Chen Dongfang mengatakan ini agak mirip lubang pencurian, karena sepertinya hanya cukup untuk satu orang melewati. Chen Dongfang dan Li Qing juga mengikuti Kakak masuk ke dalam. Nona Qi melihat ke arah orang gemuk dan bertanya: "Kita juga masuk?"
Orang gemuk mengangguk dan berkata: "Kalian masuk dulu, aku dan Ye Zi akan menjaga dari belakang."
Nona Qi mengangguk, bersama Qiu Li dan mereka berdua juga masuk ke dalam lubang itu. Orang gemuk saat ini menoleh dengan penuh penyesalan melihat mata yang sudah dibelah Kakak tadi, lalu berkata padaku: "Ye Zi, kamu masuk saja."
"Apa itu Mata Nabi? Apa yang dilakukan Kakak tadi?" Aku bertanya pada orang gemuk. Saat ini yang paling ingin kuketahui adalah ini.
“Ah, memang bodoh juga si Tuan Gendut ini. Sebenarnya itu adalah metode dari Sekte Esoteric Buddhism Tibet. Seharusnya dari dulu Tuan Gendut sudah curiga. Para Lama di Tibet ini sebenarnya sangat aneh. Di satu sisi mereka sangat taat pada dewa dan Buddha, tapi berbeda dengan aliran Buddha di daratan Tiongkok. Aliran Buddha daratan mengutamakan mantra Buddha, artinya kemampuan para biksu itu sepenuhnya bergantung pada pemberian dewa. Tapi Sekte Esoteric Buddhism Tibet berbeda. Selain beriman pada Buddha, mereka lebih mengandalkan kekuatan tubuh. Makanya kebanyakan biksu esoteric Tibet punya keterampilan bertarung yang bagus. Daripada bilang mereka sedang membina diri dalam Buddha, lebih tepatnya mereka sedang membina fisik mereka sendiri. Terkadang, yang lebih mereka puja adalah kekuatan manusia itu sendiri. Pernah Tuan Gendut baca di sebuah buku tentang mantra Tibet ini: mengambil mata dari 99 orang, dikumpulkan jadi satu mata, lalu biksu tinggi akan melakukan sihir untuk melihat. Dengan itu bisa melihat semua yang ingin kau lihat, misalnya masa depan, atau tempat yang jauh.” kata Orang Gemuk.
Setelah selesai bicara, dia mendorongku sambil berkata: “Jangan berlama-lama! Masuklah, masuk dulu nanti Tuan Gendut jelaskan perlahan-lahan padamu.”
Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam lubang yang telah dimasuki mereka. Karena postur tubuhku kurus, aku masih bisa bergerak lincah di dalam lubang ini. Tapi lain halnya dengan si Gendut, tubuhnya terlalu besar sehingga pergerakannya sangat sulit. Namun sambil merangkak, si Gendut berkata: "Kalau tidak salah tebak, semua lubang ini dibuat di bawah komando seorang biksu tinggi. Dengan mantra Mata Nabi, dia bisa melihat benda-benda di dalam dinding emas ini. Di bawah arahannya, para pekerja menggua di dinding emas dan mengeluarkan benda yang tersembunyi di dalam emas. Naduo benar, mungkin di mata biksu itu, benda itu lebih berharga daripada emas."
"Menurutmu apakah itu kerangka Chiyou?" Aku menoleh ke si Gendut.
"Mungkin saja. Makanya Tuan Gendut ini bilang, apa artinya menambang emas malah mengeluarkan siluman? Jelas-jelas penduduk asli sini yang nekat menggali sesuatu yang tidak seharusnya, lalu serakah sehingga membunuh semua orang," kata si Gendut.
"Tapi kenapa Kakak mau menghancurkannya?" tanyaku. Setelah bertanya, aku sadar telah mengucapkan omong kosong karena pasti si Gendut tidak tahu jawabannya.
Benar saja, si Gendut menjawab: "Siapa yang tahu? Mungkin Sun Zhongmou melihat sesuatu yang tidak ingin kita lihat, makanya dihancurkan. Sudah sifatnya begitu, Tuan Gendut ini sudah terbiasa. Tapi bagaimanapun juga, kalau bukan dia kita tidak akan menemukan ini. Ah, tetap salahku juga, terlalu sialan ceroboh!" Si Gendut menggerutu kesal.
——Kami berdua tidak berbicara lagi, karena waktu yang terbuang di mulut gua, sekarang kami sudah cukup jauh dari Nona Qi yang berada di posisi terakhir, ditambah pergerakan si Gendut yang lambat, jadi kami harus segera melanjutkan perjalanan.
Tepat saat itu, tiba-tiba aku terpikir sebuah pertanyaan, aku bertanya pada si Gendut: "Bangsat, kalau misalnya kita masuk ke gua lain, bukan yang ditunjuk Kakak, apa yang akan terjadi?"
Si Gendut langsung terdiam, ia menggelengkan kepala: "Nggak tahu, mungkin kita akan bertemu dengan makhluk-makhluk yang digali oleh para leluhur itu."
Kalimat si Gendut berikutnya membuatku menyesal bertanya padanya, karena dengan semangat ia berkata: "Ye, tertarik buat taruhan? Tuan Gendut ini penasaran banget, kita mundur sekarang, masuk gua lain, berani nggak?"
Harus diakui, setelah si Gendut bilang begitu, hatiku juga jadi gelisah, tapi tetap saja aku menggeleng: "Bukannya itu sama aja dengan meninggalkan jalan terang malah memilih jembatan sempit?"
"Nggak peduli! Tuan Gendut nggak tahan lagi! Sebenarnya apa sih yang membuat Kakakmu begitu takut sampai kita nggak boleh lihat? Gak bisa nih, kalau kamu nggak mau ikut, Tuan Gendut akan pergi sendiri." Mendengar ini, aku segera menoleh ke si Gendut, tapi ternyata senjata ini sudah mulai mundur, sambil mundur ia berkata padaku: "Ye, Tuan Gendut belum pernah minta apa-apa padamu. Kalau... maksudku kalau Tuan Gendut mati dibunuh monster di sana, tolong rawat Qi Mei, carikan suami yang baik untuknya, jangan sampai dia bersama Sun Liancheng itu. Orang itu brengsek!"
“Sialan tuan besar, bilang pergi langsung pergi!” aku memaki.
“Tuan Gendut ini kelihatan seperti orang yang suka bercanda?” kata si gendut.
Aku menggigit gigi dan mulai mundur juga, terutama karena penasaran dengan ucapan si gendut. Terutama aku juga tak tenang melepas si gendut pergi sendirian. Jadi meski harus dipukul kakak, aku tetap melakukannya. Si gendut melihatku mundur lalu tertawa: “Tahu saja kau si nak takkan tahan.”
“Laozi ini khawatir sama kamu! Di tempat ini, tanpa Laozi yang menjaga, kamu nggak bakal bisa.” Aku tertawa marah.
Kami mulai merangkak mundur. Entah kapan mereka akan sadar kami tidak mengikuti. Tapi saat ini aku benar-benar tak mau peduli lagi. Benda di lubang ini, "iblis" yang disebut orang Kota Kuno yang Hilang temukan saat menggali di sini, sangat menarik bagiku.
Karena kami tidak merangkak lama, tak berapa lama kami sudah keluar. Setelah benar-benar keluar, kami ragu-ragu melihat lubang itu. Si gendut memberiku sebatang rokok. Kami memilih satu lubang secara acak. Setelah merokok, si gendut mematikan puntung rokoknya: “Ayo, bertarung habis-habisan! Tidak bisa terus digiring seperti kerbau yang dicucuk hidung oleh Sun Zhongmou!”
Setelah berkata begitu, si gendut bertanya: “Kamu yang depan atau aku?”
“Kalau aku, jika benar-benar menghadapi sesuatu di depan, lari pun takkan sempat. Lagipula tubuhmu yang besar ini menghalangi pandanganku, sangat mengganggu penglihatan. Berikan dua kertas kuning itu padaku.” Kucekkan tangan di bajuku sambil berkata, tanpa sadar telapak tanganku sudah basah oleh keringat. Tindakan ini saja sudah cukup menegangkan, apalagi kami memilih jalan buntu setelah menolak "rute benar" yang ditunjukkan Kakak, membuatnya semakin terasa seperti tantangan.
“Hematlah penggunaannya. Dan ingat, jangan digunakan kecuali dalam keadaan darurat. Tempat ini sangat angker. Jika Avalokitesvara Bertangan Seribu bisa menyerang sekali, dia pasti akan menyerangmu lagi.” Kata si Gemuk.
Aku mengangguk, lalu merangkak masuk ke dalam. Apa yang ada di depan masih menjadi misteri. Aku dan si Gemuk merangkak cepat-cepat. Setelah benar-benar masuk, tiba-tiba aku sangat merindukan Kakak. Setidaknya di sisinya aku merasa aman. Tapi panah telah melesat dari busur, sekarang yang bisa kulakukan hanyalah nekat merangkak terus ke depan.
Sambil merangkak kunyalahakan senter. Lubang ini awalnya lurus, tapi semakin ke belakang mulai berkelok. Di sudut depan, tiba-tiba kulihat seorang mumi Lama berukuran sangat kecil duduk bersila di jalan. Dari posisiku, tampak seperti penghalang jalan. Meski sudah sering melihat mumi, keringat tetap mengucur deras di sekujur tubuhku. Ditambah kelelahan merangkak, aku hanya terdiam menyinarinya, tak ingin melanjutkan perjalanan.
orang gemuk di belakang mendesakku, "Apa yang kau lakukan?"
"Ada penghalang di depan, lihat sendiri." Aku menggeser tubuhku memberi ruang pada orang gemuk.
Orang gemuk menyodorkan kertas kuning padaku, "Pindahkan dia! Bukankah kau sudah sering lihat mumi? Kalau benar-benar jadi bangkai hidup, tempelkan ini di dahinya."
"Bisa tidak? Kertas kuningmu ini kadang manjur kadang tidak." kataku.
"Omong kosong! Kemampuan Tuan Gendut ini mana mungkin kau ragukan? Kalau kadang tidak manjur, itu cuma kebetulan!" Orang gemuk menyodorkannya padaku.
Aku mengatupkan gigi merangkak maju. Benar-benar sampai di samping mumi Lama ini yang sama sekali tidak bergerak. Kudukung tubuhnya, dia jatuh ke tanah sesuai dengan doronganku. Saat tubuhnya miring, tiba-tiba kulihat punggungnya berwarna keemasan.
Bukan hanya kulit dan daging, bajunya pun seluruhnya keemasan.
Tapi bagian depannya, kulitnya berwarna hitam khas mumi, dengan baju merah seperti jubah Lama.
