Jujur saja, sama sekali tak ada kesan baik untuk Sun Liancheng ini. Di kampung halaman kami ada pepatah untuk menggambarkan seseorang: "Bisul di kepala nanah di kaki - kejahatan yang sempurna". Kurasa pepatah ini cocok untuknya. Dari awal aku sudah tak suka, sekarang dia muncul dari rumah Chen Shitou. Chen Dakui dan dua saudaranya berdiri di hadapannya dengan senyum lebar penuh kepura-puraan. Tak bisa tidak aku curiga bahwa kasus hilangnya Han Xue pasti ada kaitannya dengan dia. Saat dia tertawa terbahak-bahak mendekatiku, entah dari mana datangnya aura kejahatan itu, langsung kuhimpit lehernya dengan tanganku. Kekuatanku belakangan ini jauh lebih besar dari sebelumnya. Sun Liancheng berusaha melawan, tapi kuhantam hidungnya dengan tinjuku. Tubuhnya terhuyung-huyung. Bukan hanya dia yang bingung, Chen Dakui dan saudara-saudaranya serta warga desa di sekitar juga tertegun.
“Ye Jihuan, kamu ngapain!” Chen Dakui dan ketiga saudaranya berlari mendekat.
“Pergi sana!” Aku memaki mereka bertiga. Ketiga bersaudara ini pernah kuhajar sekali, kali ini mereka benar-benar tidak berani mendekat.
“Kalian bertiga minggir! Kami berdua ini saudara. Urusan antar saudara, apa perlu kalian ikut campur?” Saat ini, Sun Liancheng tiba-tiba juga membentak mereka bertiga, membuat posisi mereka jadi serba salah.
“Daun, bukankah kita punya hubungan persahabatan antara keluarga Ye dan Sun. Kita bisa dibilang teman kan? Orang yang tersenyum tidak pantas dipukul, ini agak berlebihan kan?” Sun Liancheng tersenyum padaku.
“Jangan sok akrab denganku! Membangun PLTA di hulu sungai, bukankah untuk Yuan Long di Dua Belas Gua Hantu? Ini kita berdua sama-sama tahu. Aku peringatkan, meski keluarga Liu sudah dapat izin, urusan ini tidak akan kululuskan dengan mudah. Dan soal Chen Shitou, jangan bilang kamu tidak terlibat.”
“Urusan apa?” Sun Liancheng pura-pura tidak tahu.
“Mau keras kepala ya?” Tanganku langsung ingin memukul lagi. Belakangan sifatku memang agak kasar. Terutama setelah tahu kekuatan fisik bisa menyelesaikan masalah, jadi malas berdebat panjang, apalagi dengan orang seperti Sun Liancheng.
“Aku benar-benar tidak tahu, urusan pembangkit listrik di hulu memang aku yang tangani, tapi aku cuma cari untung saja. Aku sedang pusing dengan masalah Dua Belas Gua Hantu. Ketiga bersaudara ini menyuruh seseorang menghubungiku, bilang ayah mereka bisa membantuku mengatasi masalah Dua Belas Gua Hantu. Aku datang ke sini untuk menemuimu. Di bagasi mobil ada hadiah yang kusiapkan untukmu. Kenapa kamu langsung memukuliku begitu tiba?” kata Sun Liancheng.
“Jangan berkelit! Kukasih tahu, aku tidak suka padamu, kakakku juga tidak. Ini bukan Jinan. Andai pun di Jinan, Sun Liancheng, kalau kau masih berbuat banyak tingkah, aku tidak akan membiarkanmu! Kau pikir Laozi tidak tahu? Awak kapal sialan yang kau cari waktu itu adalah Penjahit Hantu?” dengusku dingin.
Tanganku sudah pegal menahan dia lama, kudorong dia sambil berkata: “Cepat pergi sana! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!”
Aku tahu, sekalipun ada hubungan antara Sun Liancheng dengan urusan ini, dengan kelicinan Sun Liancheng, mustahil aku bisa mengorek informasi apapun dari mulutnya. Jadi aku tidak mau buang-buang waktu berdebat dengannya.
“Kalau tidak percaya padaku, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.” Sun Liancheng mengangkat bahu. Gerakan khasnya ini selama ini tanpa sadar membuat kami sering menirunya – santai, alami, frustasi, tapi sekaligus menjengkelkan. Seolah gerakan ini cocok untuk segala situasi dan emosi.
“Kau tidak mau pergi, ya?” kataku.
“Baiklah, kau hebat. Aku yang pergi.” Sun Liancheng tidak marah. Langsung naik ke mobil dan melesat dengan langkah cepat.
Awalnya aku ingin menelepon Nona Qi untuk menanyakan tentang kematian Liu Kaifeng di pedalaman gunung bersalju dan gejolak apa yang dialami keluarga Liu. Tapi kemudian aku ingat Li Zhenguo pernah mengirim orang untuk membunuh kami, dan Nona Qi sudah lama tidak menghubungiku, mungkin dia sibuk urusannya sendiri. Yang terpenting, aku mulai belajar tidak mengandalkan orang lain dalam menyelesaikan masalah. Karena kusadari, semua orang yang mendekatiku sialan tidak ada yang punya niat baik.
Untuk urusan ini, kalau bukan karena benar-benar tidak bisa kuhandle sendiri dan melibatkan masalah rumit seperti fengshui, bahkan tidak terpikir olehku untuk minta bantuan Tuan Gendut.
Tuan Gendut baru kembali keesokan harinya sore. Terlihat jelas wajahnya letih karena perjalanan jauh. Tanpa banyak bicara, kusuruh Chen Qingshan menyiapkan meja penuh minuman keras. Meski baru berpisah beberapa hari, ini adalah jamuan penyambutan. Yang paling penting, saat ini aku sangat ingin minum bersama Tuan Gendut. Seorang sahabat yang meski punya urusan sendiri, tapi langsung bisa datang dari ribuan kilometer begitu tahu kau butuh bantuan. Hanya dengan menemani-nya mabuk lah kita bisa ungkapkan rasa terima kasih. Tapi baru separuh persediaan minuman yang habis. Kemampuan minum Chen Qingshan memang sedikit di bawahku, tapi Tuan Gendut dalam hal minum hanya punya setengah kekuatan tempur, bahkan kurang. Akhirnya dia berkata: "Udah ah, minuman keras ini memang tidak pernah kusukai. Ayo pergi ke Desa Han, urusan resmi kita selesaikan."
“Orang gemuk sudah bilang tidak mau minum lagi, kami juga tidak berkata apa-apa, Chen Qingshan baru minum sedikit alkohol. Setelah itu, dia menyetir mobil van tuanya sambil mengajak beberapa anak muda yang punya hubungan baik. Kami bersama-sama menuju Desa Keluarga Han. Penduduk Desa Han yang melihat kami datang lagi, mata mereka langsung melotot. Satu per satu mereka ingin berlari menguliti kulit kami, tapi mereka hanya bisa melihat saja. Orang gemuk sudah dengar cerita kami memukuli sekelompok penduduk desa ini. Dia tertawa: "Bagus kalian pukuli, untuk menghadapi makhluk-makhluk penindas yang lemah ini memang harus dipukuli, biar mereka semua kapok."
Kami juga tidak menghiraukan mereka. Sesuai ritual, kami memberi salam kepada Erye, lalu langsung menuju pemakaman Keluarga Han. Orang gemuk memegang kompas sambil mengelilingi seluruh area pemakaman. Akhirnya dia menggelengkan kepala: "Liu Bowen pernah melihat tempat ini, membuat sumur naga di sini. Tapi bagaimana ya... Fengshui tempat ini terlihat terlalu biasa-biasa saja. Tapi masalahnya justru ada di sini."
“Omong-omong Tuan Gendut, Erye bilang dulu ada sumur di sini, airnya bisa menyembuhkan penyakit. Menurutmu ini mungkin?” tanya Chen Qingshan.
“Bagaimana mungkin tidak bisa? Tapi ini tidak ada hubungannya dengan dewa, cuma terletak di lokasi fengshui yang bagus. Artinya, posisi mulut sumur memiliki fengshui yang sangat baik, sehingga air sumur juga mengandung energi spiritual. Makanya airnya punya khasiat menyegarkan. Kalau ada yang flu atau demam bisa sembuh, itu terlalu klise. Dalam bahasa sains sekarang, air sumur ini kaya akan berbagai mineral. Konon di Gunung Kunlun ada mata air yang tidak pernah membeku, itu adalah air yang terkondensasi dari jalur naga leluhur Tiongkok. Airnya seperti jade dan susu naga, warnanya putih seperti susu. Jangan bicara soal menyembuhkan penyakit, minum satu kendi saja bisa memperpanjang umur." kata si Gendut.
"Gua Caa, beneran apa bohong?" tanyaku.
Si Gendut melototkan matanya yang putih ke arahku: "Kenapa? Mau cari peluang bisnis jual air mineral lagi ya? Tuan Gendut sudah bilang ini cuma legenda."
Aku tersenyum. Yang paling mengenal dan mengerti diriku rupanya tetap si Gendut. Dia tidak melanjutkan omongan, tapi berkata pada beberapa pemuda itu: "Cari beberapa sekop di desa, bongkar makam ini untuk dilihat."
Beberapa pemuda itu tanpa banyak pikir langsung lari ke desa mencari sekop. Tapi tak lama kemudian mereka kembali dengan ekspresi wajah yang sangat aneh. Kutanya: "Apa yang terjadi ini?"
"Mereka semua menolak meminjamkan," jawab salah satu dari mereka padaku.
Chen Qingshan langsung naik darah. Kuhalangi dia: "Sudah, jangan macam-macam lagi. Baru saja kita pukuli mereka sampai seperti itu. Dengan jumlah orang kita yang sedikit ini, kalau mereka tidak main tangan hitam saja sudah bagus. Wajar kalau tidak mau meminjamkan."
Tepat saat ucapanku baru saja selesai, tiba-tiba telepon berdering. Kuambil dan melihat itu panggilan dari Han Geru. Begitu kuterima, dia langsung berkata: "Teman gemukmu sudah kembali? Kalian berencana menggali kuburan?"
"Paman Han, kabar Bapak benar-benar cepat sekali!" kataku.
"Ini bukan saatnya bercanda. Ayahku baru saja memberitahuku, penggalian kuburan diperbolehkan asal tidak ada orang luar yang ikut. Aku sedang buru-buru pulang. Ini urusan keluarga kita sendiri, biar kami yang urus. Kau tahu sifat ayahku, dia sudah cukup baik mau menyetujui ini. Beliau sudah tua, aku tidak ingin membuatnya malu." kata Han Geru.
