“Sialan! Orang gemuk, bercanda apa ini?” Aku juga kaget. Di bawah terik matahari yang menyengat ini, kau bilang makhluk dalam peti mati yang terkubur puluhan tahun ini masih hidup? Ini bukan lelucon internasional?
“Apa Tuan Gendut ini seperti sedang bercanda? Kalau tak percaya, dekati dan dengarkan! Ada suara napas dari dalam!” kata orang gemuk itu padaku.
Saat aku hendak mendekat untuk mendengar, tiba-tiba papan peti mati kayu Yang itu melesat terbang dengan suara "swiiing"! Lalu terdengar "huuush", sesosok bayangan manusia duduk tegak dari dalam peti!
Melihat bayangan ini, napasku sesak. Benar-benar manusia hidup! Tubuhnya kerempeng, rambut dan jenggot panjang. Saat kuperhatikan lebih seksama, ada kemiripan dengan Lao Ye Han.
“Cepat bersimpuh di hadapan ayahmu!” teriak orang gemuk itu pada Lao Ye Han yang sudah limbung.
Lao Ye Han tiba-tiba melolong keras. Kuperkirakan usianya sudah 70-80 tahun. Kini dia bersimpuh sambil berteriak pada kakek tua yang muncul dari peti: “Ayah! Aku salah, aku salah! Aku telah mengkhianatimu!”
“Ini... apa yang terjadi?” Han Geru juga kaget. Tapi semua saudaranya sudah bersimpuh, akhirnya dengan enggan dia pun berlutut menghadap peti.
“Ayah kandungmu, demi mengejar kekuatan fengshui instan, mengubur hidup-hidup kakekmu sendiri!” tegas orang gemuk itu.
Beberapa saudara Han Geru, wajah mereka satu per satu semakin pucat. Lao Ye Han terus-menerus membenturkan kepalanya ke tanah hingga darah mengalir dari dahinya.
"Han Geru, sekarang sudah mengerti? Ayahmu melarang keras menggali makam ini, selain takut karir politikmu terganggu, juga karena ingin menutupi fakta bahwa dia mengubur hidup-hidup kakeknya sendiri!" kata si orang gemuk.
Saat ini, aku menarik lengan si gemuk: "Sudahlah Tuan Gendut, kami semua tahu Lao Ye Han sudah melanggar dao. Tapi sialan, jelaskanlah - bagaimana mungkin orang yang dikubur hidup-hidup selama ini masih bisa hidup?"
Si gemuk meredam suaranya: "Aku juga tidak tahu, makanya sedang mengulur waktu. Kau kira Tuan Gendut ini senang membongkar aib si kakek tua ini?"
Lao Ye Han bersama beberapa saudara laki-laki keluarga Han masih bersimpuh di tanah.
Sosok yang berdiri di peti mati itu tetap diam membeku. Dari segi ini sepertinya belum ada bahaya. Si gemuk mendekat sambil menjepit kertas kuning di jarinya, berkata pada si kakek tua: "Sudah, putramu sudah mengakui kesalahan. Kematianmu tidak sia-sia, cucumu sudah jadi pejabat besar. Seluruh Desa Han menikmati berkah karena cucumu. Bukankah seumur hidup manusia hanya mengharapkan keturunan menjadi Jackie Chan? Kematianmu pun tidak sia-sia. Begini, kalau mau, Tuan Gendut akan melantunkan mantra untukmu sekarang. Kalau tidak mau, gelengkan kepala saja, setuju?"
Orang tua itu menggerakkan kepalanya sedikit, sepertinya ingin mengatakan sesuatu pada si gemuk. Tapi tiba-tiba sebuah guntur menyambar dari langit, menghantam tepat di tubuh si kakek tua. Si gemuk menjerit dan melompat mundur. Di tengah debu kayu dan percikan daging, ketika pandanganku kembali fokus, si kakek tua beserta peti mati kayu Yang yang terbuka itu sudah hancur lebur oleh Guntur Surgawi itu.
Aku menengadah melihat langit. Cuaca cerah ini, tak ada setitik awan hitam di Gunung Langit. Dari mana datangnya petir?
"Apa mungkin Lao Ye ini masih hidup? Ini melanggar hukum alam sampai Surgawi menghukumnya dengan Guntur?" tanyaku.
"Kau bisa menebak sampai segitu! Murid yang bisa diajar!" kata si gemuk.
Tapi belum habis kalimatnya, kami bersama menatap langit. Langit yang tadi terik benderang tiba-tiba dipenuhi awan hitam. Gugusan awan hitam menutupi "matahari", mengubah siang yang terang menjadi gelap gulita.
"Ini mainan apa lagi?!" Si gemuk bergumam.
"Kau sendiri tidak tahu, masih mengharap kami yang tahu?" jawabku.
"Selanjutnya, mulai terdengar gemuruh guruh, lalu kilat demi kilat seakan meledak tepat di atas kepala kami. Pemandangan ini lebih mengerikan daripada ketika si kakek tua tiba-tiba keluar dari papan peti mati tadi, karena Guntur Surgawi ini seolah ingin membelah kami semua seperti yang terjadi pada si kakek itu!"
"Daun, tidakkah sebaiknya kita mundur?" Chen Qingshan mendekat, matanya menatap langit dengan perasaan was-was.
Han Geru juga memperhatikan saya dari seberang. Bagaimana mungkin saya bisa mengambil keputusan dalam situasi seperti ini? Saya buru-buru mendesak si orang gemuk: "Orang gemuk, gimana? Mundur?"
"Mundur! Biarkan mereka yang pergi dulu! Kita berdua tetap di sini!" kata si orang gemuk.
Saya pun tidak mengerti apa rencana si orang gemuk sebenarnya, tapi saya segera berkata pada Han Geru: "Paman Han, kalian pulang saja dulu."
Han Geru baru memutuskan untuk kembali setelah mendengar perkataan saya. Namun Lao Ye Han yang saat ini tengah tiarap di tanah sambil menangis tersedu-sedu itu menolak pergi. Pemadangan ini membuat hati miris - dulu kau menguburnya hidup-hidup demi kekuatan fengshui, sekarang kau malah menangis penuh penyesalan, apa gunanya?
Beberapa saudara Han Geru menarik paksa Lao Ye Han masuk ke mobil. Setelah itu, Han Geru dan Chen Qingshan menghampiri kami. Saat itu juga gemuruh guruh semakin keras disertai hujan badai yang mengguyur. Mereka berdua bertanya: "Kalian tidak mau pergi? Situasi ini benar-benar mengerikan!"
“Tidak apa-apa, kalian pulang dulu, pergilah.” Si gemuk berteriak, bukan karena ingin berteriak, tapi saat ini tiba-tiba situasi berubah, jika dia tidak berbicara keras-keras orang lain tidak akan mendengar.
Han Geru dan Chen Qingshan dengan frustasi akhirnya membawa orang-orang kembali ke desa. Setelah mereka pergi, si gemuk menarik lenganku dan menyuruhku melihat lubang makam yang kami gali. Begitu melihatnya, mataku langsung terbelalak, tanpa sadar berkata: "Gemuk, sudah seperti ini masih belum mundur?!"
Di dalam lubang makam itu, sebelumnya hanya ada cairan darah, sekarang darah mulai menyembur keluar! Seperti mata air berwarna darah!
"Di bawah masih ada makhluk, makhluk ini sangat besar, sampai memancing pasukan Yin meminjam jalan!" kata si gemuk.
Persis di saat itu, tiba-tiba kilat menyambar menerangi seluruh langit, disusul suara ledakan yang hampir memekakkan telingaku. Sekarang aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Kami hanya menggali makam desa, bahkan jika menemukan manusia hidup, untuk apa langit membuat keributan sebesar ini?
Si gemuk menarikku, kami melompat ke dalam selokan tanah di samping. Setelah menekan kepalaku dan membersihkan lumpur di wajahku, dia tiba-tiba melemparkan selembar kertas kuning yang mekar di udara seperti kembang api. Melihat situasi ini, secara refleks kukira dia memberi sinyal pada seseorang: "Kau masih punya bala bantuan?"
"Bala bantuan apaan?!" si gemuk memaki.
Setelah itu, si gemuk berteriak ke arah belakang kami: "Masih belum mau keluar?"
Pada saat itu, dua orang muncul dari ladang jagung di belakang kami. Wajah mereka sama sekali asing, sebelumnya tidak pernah kulihat. Namun si Gendut langsung marah saat melihat mereka, "Kalian menguntitku?!" hardiknya.
Tak disangka, salah satu dari mereka mendekat dengan wajah kesal, "Saudara Liu, mana berani kami! Pemimpin sekte hanya menyuruh kami melihat apakah bisa membantu di sini."
"Kemampuanmu hebat juga!" si Gendut membentak.
Keduanya tampak sangat takut pada si Gendut. Tiba-tiba aku tersadar sesuatu, "Gendut, bukannya kau bilang belum sampai ke Yuhuangdao?"
Si Gendut tersipu malu, "Aku hanya bicara sembarangan agar kau tidak berpikir macam-macam. Jangan marah. Kalau bukan berkat paman pemimpin sekte, mustahil Tuan Gendut ini tahu ada tempat seperti ini."
"Dasar kau..." batinku ingin memaki.
Tiba-tiba si Gendut menekan kepalaku ke dalam lumpur, lalu berteriak pada kedua orang itu, "Cepat jongkok sembunyikan energi tubuh! Kalian ingin dibawa juga?!"
Begitu kami semua tiarap, kilat menyilaukan kembali menyambar.
Dalam cahaya kilat itu, kulihat sekelompok boneka kertas dan kuda kertas - persis seperti buatan pengrajin ritual - berjalan mendekat tanpa takut air, bergerak lurus ke arah kami!
Aku hampir secara refleks berkata pada si Gemuk, "Sialan, ini boneka kertas dan kuda kertas yang membawa pergi orang-orang setelah Chen Jinzhi! Ini yang disebut pasukan Yin?"
