Orang gemuk menggelengkan kepala: "Kau pikir semudah itu? Lampu yang dipadamkan Kakekmu, sumbunya hanya beliau yang tahu. Aku cuma bisa menyalakan sementara, untuk nyala permanen, aku tak sanggup."
Chen Dongfang mungkin merasakan ketegangan kami: "Memini omong kosong, tapi jalan selalu ada. Langit tak menghabisi manusia. Klan Yuhuangdao, XuanYuan, dan banyak ahli pasti takkan biarkan Daun mati. Kalau mau mati, takkan bisa bertahan sampai sekarang."
Perkataan Chen Dongfang masuk akal, tapi tetap saja: yang mau bertindak pasti sudah bertindak, takkan menunggu sampai sekarang.
“Kalian juga tak perlu berdiskusi, Tuan Gendut ini akan jujur. Sebelum berangkat, Paman Guru pernah bilang, bukan Yuhuangdao tidak mau bertindak, tapi Yuhuangdao sekarang belum tentu bisa menghentikan Penjahit Hantu. Di kerajaan saat ini, yang bisa menghadapi Penjahit Hantu ada tiga orang: Penguasa Jiuyou, Kepala Suku Klan XuanYuan, dan Lao Liu si Punggung Bengkok yang bisa menguasai Pisau Raja. Ucapan Penjahit Hantu itu benar, meski sekarang dia tidak sekuat dulu, tapi kultivator dari langit jelas bukan tandingan orang-orang kita. Selain tiga orang ini, yang lain seperti kami ini sama sekali tidak ada artinya. Penguasa Jiuyou tidak menunjukkan niat bertindak, sikap Klan XuanYuan terhadap urusan ini paling ambigu. Jangan lupa, awalnya mereka ingin membunuh Ye. Meski tidak jadi, pasti tidak akan turun tangan, sepenuhnya membiarkan hidup mati Ye ditentukan takdir. Soal Kakek Enam, kalau dia kembali dari Gunung Kunlun dan bisa melewati hambatan yang selama ini tidak bisa dilewati, menguasai aura pisau raja, mungkin masih ada kemampuan bertarung. Kalau tidak, datang pun percuma.” kata si Gendut.
“Lalu menurutmu harus bagaimana? Jangan-jangan urusan ini dibiarkan begitu saja?” Chen Dongfang bertanya.
“Pasrah pada takdir Tian dan lakukan yang terbaik.” si Gendut menghela napas.
Saat diskusi kami sedang panas-panasnya, tiba-tiba ponsel si Gendut berdering. Dia mengeluarkan ponsel dan melihatnya, ekspresi wajahnya langsung berubah sangat aneh. Tanpa perlu ditanya, aku tahu siapa yang membuatnya seperti ini. Kukatakan: “Kalau mau menerima ya terima saja, berpura-pura kuat buat apa.”
“Orang gemuk itu ragu setengah hari, akhirnya mengangkat telepon, tapi begitu menerima, telepon langsung putus. Hasilnya, di ambang pintu terdengar suara Nona Qi: ‘Bagus, untuk mengangkat teleponku saja ragu-ragu, lebih baik jangan angkat sama sekali. Untuk selamanya jangan angkat lagi.’”
Kami menoleh sekejap. Kulihat Nona Qi berdiri tersenyum tipis di ambang pintu. Senyumnya sangat cerah, tapi matanya tak memandang kami – hanya tertuju pada si gemuk.
Orang gemuk itu berdiri sambil menggaruk kepala: “Aku cuma tidak ingin Nona terlibat dalam kekacauan ini.”
“Kau pikir Niang ini orang tak berkesetiaan? Dua hari tidak datang karena tahu kehadiranku hanya akan jadi beban. Untuk urusan besar tak bisa membantu. Bukankah sekarang aku sudah memanggil bala bantuan? Lihat, siapa ini?” Nona Qi menggeser tubuhnya, dari balik pintu muncul seorang pria mengusap hidung.
Dadaku berdebar girang. Kukeraskan suara: “Kakak.”
Pria itu tak lain adalah kakakku Sun Zhongmou, sosok yang selalu memberiku rasa aman. Sekalipun kini aku tahu kepulangannya belum tentu bisa mengalahkan Penjahit Hantu, kehadirannya tetap meredakan kegelisahan dalam hatiku.
Ia mengangguk padaku lalu mendekat. Sebenarnya tak lama kami berpisah, tubuh Kakak semakin kurus berotot, kulitnya menghitam – jelas hasil latihan keras dari Lao Liu si Punggung Bengkok.
Ditepuknya bahuku: “Tak perlu khawatir. Kakak sudah pulang.”
Aku mengangguk dalam-dalam, mata terasa perih. Saat itu, Chen Dongfang menatap Kakak dan bertanya, "Di mana Kakek Enam?"
"Dia bilang ingin pergi jalan-jalan," jawab Kakak.
Mendengar itu, Chen Dongfang langsung keluar bersama Li Qing. Aku yang hanya mendengar legenda Lao Liu si Punggung Bengkok - jagoan bela diri nomor satu di kerajaan sekaligus kakek kandungku - jadi penasaran ingin melihat wajah aslinya. Apakah benar punggungnya bongkok? Benarkah dia kidal yang menggunakan pisau dengan tangan kiri?
Kakak sepertinya membaca pikiranku. Ia mengangguk padaku, "Ayo, kebetulan Kakek Enam juga ingin bertemu."
Kami keluar rumah dan berputar-putar, akhirnya tiba di makam Paman Pilar. Kulihat seorang pria tua berpostur ramping dengan rambut panjang memutih. Ia mengenakan jubah hitam yang terlihat gagah. Punggungnya memang agak melengkung, tapi tidak seekstrim orang bungkuk pada umumnya.
Saat itu, di tangannya tergenggam sebilah pedang - senjata yang menusuk dada Penjahit Hantu hingga tumbang. Itulah jurus terakhir Paman Pilar.
Pria tua itu berdiri membelakangi kami. Secara tak kasat mata, aura mengerikan menyembur dari tubuhnya membuatku sulit mengangkat kepala. Tekanan sekuat ini bahkan tak kurasakan dari Kakak atau Chen Dongfang yang ahli bela diri. Mungkin inilah "kekuatan momentum" yang disebut Si Gemuk - aura perang tak terkalahkan yang membuat Lao Liu si Punggung Bengkok tak pernah kalah seumur hidup.
Kami hanya berdiri menatapnya. Dia berdiri di depan makam ini cukup lama, akhirnya, dia menancapkan pedang itu ke tanah, mengambil segenggam tanah dan meletakkannya di atas nisan sambil berkata: "Pergilah dengan tenang."
Saat itu, Lao Liu si Punggung Bengkok akhirnya menoleh. Awalnya kukira, seorang kakek yang mahir menggunakan pisau pasti terlihat sangat berwibawa, apalagi dia adalah pemimpin organisasi misterius. Tapi setelah Lao Liu menoleh, kudapati sosok kakek tua yang sangat ramah.
Masih terlihat sisa-sisa kearifannya di masa muda, tapi kini dia benar-benar telah tua, wajahnya dipenuhi kerutan.
Chen Dongfang dan Li Qing adalah bawahan langsung Kakek Enam. Melihat Kakek Enam menoleh, mereka segera menghampiri dan berkata: "Kakek Enam."
Tak lama kemudian, Nona Qi juga berlari mendekat, memegang lengan Lao Liu si Punggung Bengkok seperti anak kecil yang manja. Dengan wajah kemerahan, dia menunjuk ke arah si Gemuk sambil berkata sesuatu. Jelas dia sedang memperkenalkan si Gemuk. Seketika itu juga, si Gemuk di sampingku langsung pucat dan berkeringat deras. Dia menggigil: "Daun, Tuan Gendut ini ingin pipis, ke kamar mandi dulu."
Kutertawakan: "Dasar pengecut! Menantu jelek tetap harus ketemu ibu mertua, takut apaan sih?"
"Bayangan pohon dan nama orang! Ini kan Lao Liu si Punggung Bengkok! Aku pacarin cucunya, jangan-jangan dia tampar aku sampai mati?"
Kakek Enam melihat ke arah si gemuk, lalu melambaikan tangan padanya. Butiran keringat di wajah si gemuk mulai berjatuhan ke lantai. Tapi karena Lao Liu si Punggung Bengkok sudah memanggil, dia tak berani menolak. Dengan langkah tertatih, dia berjalan mendekat. Sesampainya di sana, dia memanggil dengan penuh hormat, "Kakek Enam."
"Anak XuanYuan Gongjin, murid He Anxia, masih bisa dibilang layak untuk cucu perempuanku. Tapi jika kau menyakiti sedikit saja Si Nona Ketujuh, aku akan tetap membunuhmu, siapapun kau." Kata Lao Liu si Punggung Bengkok.
Si gemuk segera mengangguk gugup, "Aku tak berani, pasti takkan berani."
Saat itu, Lao Liu si Punggung Bengkok akhirnya menatapku. Dia tidak memanggilku untuk mendekat, melainkan berjalan perlahan mendekatiku. Matanya menatapku dalam-dalam, sepasang mata itu seolah bisa melihat hingga ke dalam jiwaku. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Urusan di sini sudah selesai. Ikut aku ke Gunung Changbai."
Aku pernah mendengar dari Chen Dongfang, dua naga raksasa di masa lalu. Satu tewas dalam pertarungan melawan Penjahit Hantu, jasadnya tercabik-cabik. Sedangkan yang lainnya berada di Danau Tianchi Gunung Changbai. Aku tak tahu apakah yang dimaksud Lao Liu si Punggung Bengkok adalah ini. Tapi di bawah tekanan aura-nya, aku tak berani menolak. Hanya bisa mengangguk, "Baik."
"Bawa aku menemui ibumu. Sudah bertahun-tahun, dia tak pernah sekalipun pulang." Kata Kakek Enam.
Aku mengangguk, membawanya pulang ke rumah. Ibuku yang sedang menyapu di rumah langsung terdiam saat melihat Lao Liu si Punggung Bengkok. Ia menutup mulutnya, berusaha keras menahan tangis.
Lao Liu si Punggung Bengkok membuka kedua tangannya: "Kemarilah nak, biar Papa memelukmu."
Gerakan dan ucapan ini membuat ibuku tak bisa menahan tangis. Ia berlari menghampiri Lao Liu si Punggung Bengkok dan menceburkan diri ke pelukannya.
Ibuku kini sudah berusia lima puluh tahun.
Tapi di pelukan ayahnya, ia seperti anak kecil.
Tiba-tiba aku teringat sebuah pepatah:
"Selama orangtua masih ada, hidupku masih punya asal; bila orangtua tiada, hidupku hanya tinggal jalan pulang."
