Baru saja, jantungku hampir melompat ke tenggorokan. Lebih dari sepuluh ribu kereta busur berulang ditembakkan secara serentak. Meski Nan Gong Li sudah kembali ke tingkat dewa, dia tidak akan bertahan lama. Di saat seperti ini, sebenarnya aku tidak khawatir dengan nyawaku sendiri. Hanya merasa tidak sepadan jika Nan Gong Li mati karenaku. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan, dendam darah yang harus kubalas. Tapi Nan Gong Li juga punya urusan ke Barat untuk mencari wanita yang dicintainya.
Dia tidak berhutang apapun padaku. Seharusnya dia bebas menikmati indahnya dunia Jianghu, bukan mati untukku.
Makanya ketika melihat pasukan bantuan datang dari segala penjuru, nyaris aku menangis bahagia. Bukan karena selamat dari maut, tapi karena akhirnya bisa mencegah Nan Gong Li mati dengan penyesalan.
Jumlah pasukan bantuan ini tidak banyak, pasti tidak mencapai 200.000 pasukan Murong Jiu Ding. Kemampuan tempur prajuritnya juga belum tentu lebih hebat. Tapi sejak lama Nan Gong Li pernah bilang, klan Long punya beberapa naga tua berlevel dewa. Ditambah Nona Bai, Duanmu Lingxiu yang baru masuk daftar Tianji Bang level dewa, serta Nan Gong Li yang kembali ke tingkat dewa - total ada lima jago level dewa di pihak kita. Meski tanpa pasukan siluman laut utara atau tentara Kota Kayu Duanmu Lingxiu, lima dewa ini saja sudah cukup menghadapi 200.000 pasukannya. Jika kita fokus membunuh pemimpinnya dulu - kalau Murong Jiu Ding bisa dihabisi lebih dulu - situasi pasti akan sepenuhnya menguntungkan kita.
"Dua ekor naga Cang datang dari kejauhan. Di atas kepala naga pertama berdiri Niang Putih dengan gaun putih berkibar-kibar. Berdiri di atas kepala naga, aura kesuciannya semakin terlihat jelas. Niang Putih tidak bertindak, namun kedua naga tua itu langsung bermata merah saat melihat Murong Jiuding. Keduanya mengaum mengguncang langit-bumi, lalu menerjang ke arah Murong Jiuding dengan tiba-tiba.
Genderang perang bergema di kapal perang Duanmu Lingxiu.
Di permukaan Laut Utara, suara riuh kaum siluman Laut Utara yang melihat Nangong Li bergemuruh.
Saat ini Murong Jiuding benar-benar berada dalam situasi Si Mian Chu Ge. Tanpa ragu sedikitpun, ia langsung memerintahkan pasukan 200.000 orang untuk segera mundur. Gerak mundurnya terlihat terlalu gegabah, tapi justru inilah yang mencerminkan karakter aslinya. Seperti perkataannya pada Nangong Li tadi: "Hanya yang bertahan hiduplah juara dunia sejati." Ia takkan pernah membiarkan dirinya terperangkap dalam bahaya.
"Murong Jiuding, kau datang semaumu dan pergi sesukamu? Bertemu begitu banyak teman lama tapi tak sekadar memberi salam?" Nangong Li berdiri sambil tertawa.
"Jika aku mau pergi, siapa yang bisa menghalangi? Tak kusangka kalian benar-benar bersekutu demi seorang anak Tianzun yang tak jelas asal-usulnya. Apa kalian masih berharap pada si penunggang kerbau itu? Sekarang aku akan mundur. Tapi ingat, setiap satu anak Kota Sifang yang tewas hari ini, akan kubalas dengan sepuluh nyawa dari kalian di kemudian hari." Kata Murong Jiuding.
Setelah berkata demikian, dia mengangkat tangannya, secara alami para jendal memimpin pasukan mundur. Kali ini Murong Jiuding secara mengejutkan menunjukkan keteguhan hati dengan mengawal di belakang pasukan 200.000 Kota Empat Arah miliknya. Harus diakui, terlepas dari sifat Murong Jiuding yang kontroversial, pria ini memang layak disebut sebagai sosok yang gagah. Berbeda dengan Shangguan Zhenhua yang pernah kulihat, tidak ada kesan tua sama sekali pada dirinya. Dengan zirah emas dan sepasang pedang di pinggang, dia berdiri sendirian di belakang pasukan 200.000, memancarkan aura "satu orang jaga gerbang tak tertembus sepuluh ribu prajurit".
Dua ratus ribu pasukan mundur, dia seorang diri bertahan.
Seorang diri menghadapi lima jago level dewa, dia bahkan berani mengancam "satu nyawa dibayar sepuluh". Aku berpikir dalam hati: "Meski cara kerja Murong Jiuding seringkali memalukan, dalam hal memimpin pasukan memang tak ada cela. Berani mengambil tindakan seperti ini dalam situasi genting, sungguh mencerminkan sikap tenang seorang panglima tertinggi."
Saat itu, Suku Siluman Laut Utara sudah mendarat. Duanmu Lingxiu yang membawa Tombak Fangtian telah meninggalkan kapal perang dan menyeberangi lautan. Nona Bai turun dari kepala naga dengan anggun, sementara di langit dua naga Cang mengamuk dengan mata menyala.
Persis di saat itu, tiba-tiba tiga orang muncul dan berdiri di samping Murong Jiuding. Salah satunya pernah kulihat, yaitu Shangguan Zhenhua Wali Kota Phoenix City. Dua lainnya jika tebakan ku benar, pastilah Di Tian dari Kota Fuyao dan Ximen Wushuang dari Kota Chaoge. Keempat orang inilah penguasa paling berkuasa di dunia saat ini - para Wali Kota dari Empat Kota Suci.
“Kukira hari ini Murong Jiuding sudah berubah sikap. Dulu, kau selalu lari terbirit-birit seperti anjing kehilangan rumah, ingin sekali Tian memberimu dua kaki tambahan. Hari ini tiba-tiba berani tampil sebagai manusia, ternyata karena datang bersama gerombolan kawanan sampah. Apa, Empat Besar dan Lima [klan], merasa sudah pasti menang?” kata Nan Gong Li. Dia seolah menjadi juru bicara kami, padahal sebenarnya hanya dia satu-satunya di pihak kami yang bisa mengucapkan kata-kata sarkas seperti ini.
Baru saja dia selesai bicara, Bai Jianfei yang sebelumnya dipukul mundur oleh pedang Nan Gong Li mendarat. Raja Pembunuh yang tak tertandingi ini adalah orang termuda di seberang. Di wajahnya terpancar senyum jahat dan menggoda, dilihat dari sikap tenangnya saja, bahkan mengingatkan pada Sun Liancheng.
“Masih berani datang lagi?” tanya Nan Gong Li.
“Terima kasih atas pedang Senior sebelumnya. Kebaikan hari ini akan kubalas di lain hari. Tapi Senior Nan Gong tak perlu khawatir, aku Bai Jianfei hanya bekerja untuk uang. Permusuhan kalian dengan mereka bukan urusanku. Tugasku membunuh, bukan menyelamatkan. Kehadiranku di sini hanya untuk menonton keramaian. Waduh, pertempuran tingkat dewa sebanyak ini sungguh memanjakan mata. Empat orang melawan lima, sepertinya kalian tak punya peluang menang. Tapi kalau sampai saling melukai pun tak apa, saat itu aku bisa membunuh si nak itu. Bagaimanapun job ini sudah kuterima, harus kuselesaikan." Kata Bai Jianfei.
Meski dia bilang hanya ingin menonton keramaian tanpa ikut campur, ancaman dalam kata-katanya terasa sangat vulgar. Dalam sekejap, situasi berubah dari dua lawan dua ratus ribu menjadi sepuluh orang yang saling berhadapan. Aku yakin jika kesepuluhnya bertarung, gebrakan yang ditimbulkan takkan kalah dengan pertempuran ratusan ribu pasukan.
"Pangeran Muda, ingatlah wajah empat orang ini. Di masa lalu, merekalah yang bersekongkol dengan biarawan botak dari Barat untuk membunuh Tianzun." Saat itu, naga biru (Canglong) yang melayang di angkasa tiba-tiba bersuara dengan nada seorang tua renta.
Aku mengangguk, mata menyapu keempat lawan di seberang. Mereka juga sedang mengamatiiku dengan tatapan tanpa secercah rasa canggung.
"Wah, ramai sekali." Tiba-tiba seorang pria berpakaian sederhana berjalan terhuyung-huyung mendekat. Dari kejauhan, bau alkoholnya sudah menusuk hidung. Di tangan kirinya ada gentong arak, sementara tangan kanan menggenggam kendi raksasa. Sambil berjalan ia bersenandung: "Hanya pengelana tak bertuan di kolong langit, tapi terikat dalam siklus lima elemen."
Lagu itu diulang-ulang hanya dengan satu kalimat itu saja.
Dengan langkah limbung ia menghampiri kami dan duduk di tengah. Dengan mata berkabut ia berkata: "Mau bertarung? Aku jadi wasit. Tenang, takkan ada yang dikasihani atau dilindungi. Kebenaran adalah kebenaran, hukum adalah hukum."
Kehadiran pria ini langsung menyedot perhatian semua orang. Bagaimana mungkin seorang petarung tingkat dewa yang mewakili kekuatan tempur tertinggi di dunia manusia ini tiba-tiba muncul sebagai wasit mabuk untuk kesepuluh orang itu?
Aku tak bisa menahan pikiran: Kalau nanti dia sadar dari mabuk dan mengingat aksi heroiknya saat ini, apakah celananya akan basah karena ketakutan?
Ucapannya memang kata-kata orang mabuk, tapi kesepuluh orang ini tak ada yang menghiraukannya. Pasukan dua ratus ribu itu juga berhenti mundur ketika tiga wali kota lainnya tiba. Tadinya mereka tak melihat harapan, tapi kini mereka tahu, jika benar-benar berkelahi, peluang menang mereka masih lebih besar.
Jadi di saat seperti ini, sepatah kata dari siapa pun bisa menjadi pemicu pertempuran besar ini.
Yang lain diam, tapi si pemabuk ini tak mau mengalah. Dia menudingku sambil tertawa bodoh: "Kembali, Nak? Pas timingnya. Kalau bukan karena kau, aku akan kesulitan mengumpulkan banyak orang ini. Mereka semua punya status tinggi dan kepala batu. Aku cuma pemabuk, siapa yang mau memberi muka untuk duduk bersama? Baik, pertanyaan terakhir: mau berperang atau tidak?"
Kesepuluh orang tetap diam membisu.
"Tidak mau? Kalau sudah memutuskan tidak berperang, mari duduk dan berunding. Berperang terus-terusan, tidak capek kah? Ini draf yang kubuat saat masih sadar. Baca, kalau setuju, mulai sekarang ikuti aturan ini," kata si pemabuk.
Usai bicara, dia merogoh-rogoh bajunya lama sekali, tapi tak menemukan apa-apa. Sambil menggaruk kepala, dia bergumam: "Aku habiskan satu Batu Arwah untuk menulis ini. Kok bisa hilang? Kalau tidak ketemu, setidaknya ingat apa isinya dong!"
Setelah berkata demikian, dia berdiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah berpikir lama, dia menepuk kepalanya sendiri dan berkata: "Kenapa kau tidak bisa mengerti? Lin Baqian ah Lin Baqian, sudah berapa kali kukatakan jangan minum alkohol, minum hanya akan mengacaukan segalanya. Kenapa kau tidak mendengarkan? Kesempatan emas untuk menunjukkan keangkeranmu sebagai juara dunia di depan orang-orang ini, semuanya hancur karena beberapa guci minuman ini?"
Ucapannya terdengar lucu.
Tapi sebutan "Lin Baqian"-nya sama sekali tidak lucu.
