Ada peribahasa kuno: Manusia memperebutkan harga diri, Buddha berebut sebatang dupa. Aku tak tahu alasan sebenarnya Barat terus mengincar Timur—apakah untuk berebut kertas hio dan wilayah kekuasaan? Tapi jelas kurasakan, kekuatan Barat jauh melampaui Timur. Bahkan mungkin ada BOSS tersembunyi, makanya aku cuma bisa mengintip dari luar Gunung Sumeru.
Segala yang terjadi ini, seolah-olah secara diam-diam memberitahuku tentang horor dan misteri agama Buddha Barat. Hal ini membuatku agak bingung: Laozi sudah jelas tidak ada lagi, Tianzun juga telah jatuh, mengapa Barat masih tidak bisa terang-terangan menyebarkan ajaran ke Timur? Sebenarnya apa yang mereka khawatirkan? Apakah Laozi yang menunggang kerbau itu, ataukah ada sesuatu yang tersembunyi di Timur? Semakin kupikirkan, semakin kuyakin bahwa Kuil Tianji-lah yang paling mungkin.
Perkataan si gemuk telah membuatku sadar, mungkin Kuil Tianji adalah satu-satunya sekte yang menggunakan Jalan Tao di Benua Tianyuan. Ditambah dengan posisi misterius Kuil Tianji, aku selalu merasa bahwa mereka secara tak kasat mata menahan ekspansi dari Barat.
Meski ini hanya tebakan, perseteruan antara Buddha dan Tao memang tak terhindarkan. Di Bumi sendiri sudah banyak contoh seperti ini. Jika benar-benar terjadi persaingan sengit di sini, sama sekali tidak aneh.
Aku membeli sebuah peta dan seekor kuda. Saat ini aku mulai merindukan Xiao Hei. Entah bagaimana kabarnya di Kota Qingmu. Karena Kota Hitam Macan tempatku sekarang berada di sisi timur Kota Chaoge, untuk mencapai Kota Fuyao harus melewati seluruh Kota Chaoge. Menyebrangi seluruh Kota Fuyao baru bisa sampai ke Wilayah Terlarang di barat laut. Dengan kecepatan kuda biasa, perjalanan ini minimal memakan waktu satu bulan. Hatiku sangat gelisah karena banyak hal bisa terjadi dalam sebulan, tapi urusan ini memang tak bisa dipaksakan.
Setelah keluar dari Kota Heihu, aku langsung berlari secepat mungkin. Sekitar lima hari kemudian, aku mencapai Kota Baiyun yang hanya berjarak sekitar 300 li dari Kota Chaoge. Karena letaknya yang dekat dengan Kota Chaoge, kota kecil ini jauh lebih ramai dibandingkan Kota Heihu. Di sini aku melihat kelompok demi kelompok prajurit berbaju zirah biru - mereka adalah pasukan Kota Chaoge. Para prajurit terlihat sangat bersemangat, semua bergerak menuju arah Kota Fuyao. Jelas sekali bahwa pasukan dari Kota Empat Penjuru saat ini sedang berduyun-duyun menuju Kota Fuyao.
Kuda yang sudah menempuh perjalanan beberapa hari terlihat sangat kelelahan. Manusia boleh tidak istirahat, tapi kuda harus. Aku pun mencari penginapan dan menitipkan kuda pada pelayan. Kemudian masuk ke aula utama sambil makan dan mencari informasi. Begitu masuk, terlihat belasan pria berotot kasar dan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat memesona. Wanita itu berpakaian provokatif dengan bagian dada yang sangat menonjol. Meski para pria pura-pura minum, dari sudut mataku kelihatan jelas sorotan mata mereka yang terus mengincar putih bersinar di dada wanita itu.
Dengan sekilas pandang, kuperhatikan beberapa orang di ruangan ini. Yang berpostur gagah justru hanya memiliki kemampuan tingkat manusia, meski mungkin sudah di puncak tingkat manusia dan siap mencapai Tianjie kapan saja. Yang mengejutkan, ada tujuh atau delapan prajurit tingkat bumi di sini. Bahkan wanita cantik berbadan montok itu juga memiliki kemampuan tingkat bumi.
"Kalau bicara siapa yang terkuat di ruangan ini, justru pria biasa-biasa saja yang duduk di samping wanita itu. Dia memiliki kekuatan tingkat bumi puncak kejayaan, tapi penampilannya terlihat lemah. Kombinasi seorang wanita cantik dengan pria berpenampilan lusuh dan kurus ini selalu terasa aneh."
Setelah aku duduk, aku memesan beberapa makanan kecil dan segelas minuman keras. Aku mulai minum sendiri. Suara para pria berotot itu semakin keras, bualan keren mereka juga semakin menjadi. Setiap kali seseorang mengaku pernah mengalahkan si anu di tempat tertentu, mereka akan menyapu sudut pandang ke arah wanita cantik itu, berharap prestasi gemilangnya bisa membuat sang wanita terkesan. Hasilnya, wanita itu benar-benar memandang si pembual dengan tatapan penuh kekaguman, bahkan terkadang menonjolkan "dasar"nya untuk memberi semangat.
Sekumpulan pria kasar dan seorang wanita genit - suasana pun menjadi sangat meriah.
"Nona cantik, dari pakaian dan penampilanmu, kau bukan orang lokal Kota Putih Awan ya? Apa kau juga ingin pergi ke Kota Fuyao untuk membunuh binatang buas?" Tak lama kemudian, seorang pria berotot berkumis tebal mulai tak puas hanya dengan tatapan genit si wanita. Mungkin dia melihat kesempatan, lalu menjadi semakin aktif.
“Bukan begitu, katanya pasukan besar bertempur habis-habisan dengan binatang buas, mayat bergelimpangan. Kali ini Wali Kota bilang, pendekar yang mau ikut perang juga boleh. Inti hewan yang berhasil dibunuh jadi hak sendiri. Meski harga inti hewan pasti turun banyak setelah perang ini, tapi kalau disimpan untuk kultivasi diri, tentu sangat menguntungkan.” Kata perempuan itu.
Perempuan itu berhenti sejenak setelah bicara, lalu melanjutkan: “Sayangnya aku perempuan lemah, suamiku juga terlihat tak berdaya. Katanya binatang buas kali ini sedang mengamuk, kekuatannya lebih ganas dari biasanya. Kalau sampai di sana tidak ada yang melindungi, entah bisakah aku mengambil inti hewan dari otak binatang buas itu.”
Perkataannya bagai menyuntik semangat si pria yang membuka mulut tadi. Pria itu memang salah satu petarung terkuat di antara kelompoknya. Matanya langsung bersinar: “Imoko, jujur saja, kami datang dari Kota Air sejauh seribu li. Semua ini saudara seperguruanku. Kami juga mau ke Kota Fuyao untuk bertempur. Tentu saja, kalau bisa dapat beberapa inti hewan lebih baik. Imoko secantik ini, bukan cuma binatang buas, para pendekar di sepanjang jalan pasti juga tak bisaalih pandang. Tidak semua orang sejujur kami. Bagaimana kalau ketemu orang bermaksud jahat yang menghina Imoko? Pasti hati orang sakit melihatnya.”
Perempuan itu segera pura-pura ketakutan, bahkan sengaja duduk mendekati pria tersebut: “Lalu apa yang harus kulakukan, Kakak?”
Wanita itu semakin mendekat, dasar yang dimaksud bahkan sudah berada di hadapan mata. Ditambah dengan panggilan "Kakak", sepertinya bisa membuat tulang-tulang pria itu meleleh. Pria itu menepuk dadanya berkata: "Ini mudah. Kau bisa bergabung dengan saudara-saudaraku seperjalanan, saling membantu. Bahkan jika sampai di Wilayah Liar nanti, meski Imoko tak bisa membunuh binatang buas, kami tak akan membiarkanmu pulang tangan kosung. Soal suamimu ini, jujur saja, dengan kondisi tulang-tulangnya yang begini, lebih baik istirahat di rumah. Jangan sampai di sana ditelan bulat-bulat oleh Makhluk Liar. Inti Makhluk memang berharga, tapi nyawa tetaplah milik sendiri. Imoko, setuju kan?"
Wanita itu menjawab: "Ah, sebenarnya maksudku juga begitu. Ingin memburu binatang buas untuk mengambil Inti Makhluk agar suamiku bisa kuat. Tubuhnya kurus kering begini, mana ada sedikitpun wujud pria sejati? Mana bisa dibandingkan kewibawaan Kakak? Tapi suamiku ini keras kepala, selalu tak tenang melepasku pergi. Kakak, bagaimana kalau begini? Biarkan dia ikut bersama kita? Meski kurus dan ilmu silatnya payah, tapi kreasi masakannya luar biasa. Bisa mencuci pakaian dan kerja kasar lainnya untuk meringankan beban Kakak. Nanti, berikan saja dua potong Inti Makhluk untuknya."
Perempuan itu sambil berbicara, lengan-nya sudah memeluk lengan pria sejati itu, menekan lengannya di depan payudaranya yang hampir keluar sambil menggesek-gesek. Pria kasar itu langsung menjadi sangat emosional. Dia berkata, "Kalau Imoko sudah berbicara, segalanya mudah! Biarkan pria-mu ikut kami!"
Aku melirik pria kurus itu, yaitu suami perempuan tersebut. Kulihat wajahnya tenang-tenang saja. Bahkan saat pria kasar itu menatapnya, dia masih memberikan senyuman.
Senyuman ini dibalas dengan senyum mesum dari gerombolan pria kasar itu. Pria pecundang seperti ini? Untuk apa diikutkan? Meski bukan pecundang, setelah sampai di jalan bukankah kami bisa memperlakukan istrinya sesuka hati? —— Kukira inilah cara berpikir pria kasar dan saudara-saudaranya.
Sesuatu yang tidak normal pasti melibatkan siluman. Di dalam hati, aku antara ingin tertawa dan menangis. Harus diketahui, pria kurus itu adalah petarung terbaik di penginapan ini. Ditambah istrinya, seluruh gerombolan ini bukanlah lawan keduanya. Di Benua Tianyuan, mereka yang kemampuan-nya rendah tidak bisa menembus pandang orang yang lebih tinggi. Gerombolan pria kasar itu tentu tidak bisa melihat kedalaman kemampuan pasangan suami istri ini, mungkin mengira mereka orang biasa yang rakus akan keuntungan kecil.
Pasangan suami istri ini pasti punya tujuan tersendiri. Ini membuatku jadi penasaran. Kelompok pria kasar ini jelas hanya jagoan bela diri biasa, bukan orang kaya raya. Apa mungkin ada sesuatu pada diri mereka yang layak diincar oleh pasangan ini?
