Saat ini, kurasakan seolah pintu langit-bumi baru terbuka. Tubuhku memasuki kondisi tak terduga. Aku sedang mengayunkan tinju tanpa melafalkan mantra apapun, tapi energi internal dalam tubuhku mengalir seirama gerakanku. Tak kukendalikan, namun energi itu benar-benar beredar di sekujur tubuhku.
Perlu diketahui, tubuhku adalah "kombinasi" aneh: Ilmu beladiriku berbeda dari orang biasa. Mantra Prasasti Langit menciptakan darah naga keemasan yang menyirami pohon Jalan dalam tubuhku. Pohon itu berbuah Dao, mengandung energi murni tak terbatas. Saat bertarung, buah Dao inilah yang menyuplai energi untukku.
Sebenarnya energi internal dalam tubuhku terpisah dari darah dan tubuhku. Karena itulah, saat aku mengerahkan energi internal untuk bertarung, kekuatan fusi tiga elemen ini membuat tubuhku retak-retak.
Tubuh hanyalah wadah, bukan berarti daging dan darah tubuh mengandung energi internal.
Tapi kali ini, berkat filosofi Taiji dari Taiji Quan dan jalan Langit-Bumi tak tertandingi yang terkandung dalam diagram Taiji di tubuhku, kekuatan Taiji ini menarik energi internalku untuk benar-benar mulai berputar mengelilingi tubuhku. Energi internal mulai memelihara tubuhku, seolah ada kecenderungan penyatuan antara energi internal dan tubuh.
Setelah energi internal mengaliri semua titik akupuntur utama di sekujur tubuhku dalam satu siklus penuh, kuhirup napas dalam. Pada saat itu, kesadaranku jernih sekali. Meski retakan tubuh yang kupaksakan sembuhkan tadi belum hilang setelah energi internal menyelesaikan satu siklus, rasa sakitnya sudah tidak kurasakan lagi. Seluruh tubuhku terasa segar dan ringan.
Esensi Taiji sejatinya adalah penyesuaian tubuh dan aliran energi. Di Bumi, banyak orang tua mempraktikkan Taiji Quan sebagai olahraga penguat tubuh. Tapi kini, dengan fisikku yang perkasa, energi internalku yang dahsyat, ditambah jiwa tinju Taiji Quan, maka Taiji Quan yang kupraktikkan hari ini bukanlah sekadar gerakan hiasan atau senam lansia, melainkan sebuah teknik bela diri sejati.
"Kau benar-benar memberiku kejutan! Meski tak tahu apa yang kau lakukan, dalam sekejap kulihat perubahan drastis padamu! Justru bagus, dengan begini kau baru menarik minatku!" Biksu Raja Dewa itu tertawa.
Setelah berkata demikian, dia langsung mengangkat tinjunya dan menyerangku!
Pertarungannya tetap mengikuti standar duel dunia ini - tanpa menggunakan energi internal, mengandalkan fisik murni, tabrakan kekuatan versus kekuatan!
Dalam hal tenaga dan kekuatan fisik, saat ini aku memang bukan tandingan bagi dia yang hampir menyempurnakan patung emas abadi Buddhisme!
Tapi kali ini, aku benar-benar menemukan cara, jadi sama sekali tidak takut!
Saat dia menyerangku, aku bahkan melakukan gerakan yang membuat semua orang terpana - aku menutup mataku! Meski tanpa penglihatan, setiap pori tubuhku, setiap bagian fisikku menjadi mataku.
Desiran angin adalah mataku, energi spiritual Langit Bumi juga mataku. Inilah hasil yang kudapat setelah mempraktikkan Taiji Quan sebagai kultivator Tingkat Dewa!
Tinjunya memang dahsyat, angin ganas dari pukulannya membuat energi spiritual di sekeliling terdistorsi. Artinya, saat tinjunya menghampiriku, area yang dilalui tinju itu menjadi vakum.
Tinju itu semakin mendekat.
Akhirnya sampai di depan wajahku.
Biasanya, aku akan mengangkat tinju untuk bertarung frontal.
Tapi kali ini, dengan mata tertutup, saat tinju itu hampir menghantam wajahku, aku sedikit menggeser kepala. Angin tinju menyambar wajahku, dan karena pergeseran kecil itu, tinjunya melesat melewati telingaku.
Setiap kekuatan punya momentum.
Karena pukulan yang meleset itu, seluruh tubuhnya agak condong ke depan.
Aku mengulurkan tangan, satu tangan mencengkeram pergelangan tangan tinjunya. Aku tidak melawan kekuatannya, melainkan memanfaatkan tenaganya untuk melemparkannya ke depan sambil menggeser tubuhku ke samping.
Seluruh tubuhnya terlempar melewati depanku.
Kali ini, aku hanya menggunakan sedikit tenaga. Lebih banyak memanfaatkan kekuatannya sendiri. Terbangnya dia disebabkan oleh tenaga miliknya sendiri.
Inilah keindahan Taiji Quan.
Saat itu, bukan hanya para Buddha yang tertegun, bahkan Aotian pun terlihat kaget. Aku membuka mata menatap Raja Dewa yang juga menatapku kembali. Mungkin dia bingung dengan situasi ini, terlihat dari raut wajahnya yang bercampur kebingungan dan semangat.
"Agak menarik!" katanya.
Sesaat kemudian, dia kembali menyerangku.
Masih menggunakan pukulan yang sama, tapi kali ini lebih cepat. Mungkin dalam benaknya, kegagalan serangan sebelumnya karena kurangnya kecepatan.
Kukhindari lagi hembusan tinjunya. Tapi kali ini, aku tak hanya membiarkannya menggunakan tenaganya. Setelah menangkis tinjunya, kucengkeram pergelangan tangannya sementara tangan satunya menyelinap ke ketiaknya.
Satu tangan menarik, satu tangan mendorong.
Meski kekuatanku kalah, bukan berarti jurang pemisah. Dengan tarikan dan dorongan yang kugunakan, tenagaku menyatu dengan tenaganya. Kekuatannya menjadi kekuatanku.
Kujulurkan satu kaki, tubuhku miring sedikit, bahu menahan dadanya.
Tarik lagi.
Seluruh tubuhnya langsung kuhantam ke arah tanah.
Aku takkan melewatkan kesempatan ini. Saat dia jatuh, kuangkat kakiku dan menginjak dadanya.
Saat itu, situasi di lapangan sudah mendidih. Mereka tak paham teknik bela diri. Jika pukulan pertama bisa kuhindari karena keberuntungan sementara, maka pukulan kedua ini jelas dia yang menyerangku, tapi malah tubuhnya terlempar olehku. Ini membuat mereka bingung, apalagi saat melihatku hendak menginjaknya, mereka sama sekali tak mengerti alasannya.
Sang Raja Dewa itu juga tangguh. Saat tubuhnya jatuh, meski tak bisa menghindari tendanganku, dengan gesit dia meliuk di udara. Matanya menatapku, satu tinjuannya menghantam ke atas menuju kaki yang hendak kuinjakkan.
Segera kustabilkan posisi tubuh. Saat tinjuannya menyentuh kakiku, pukulan dahsyat itu seharusnya bisa menembus kakiku jika mengenai langsung.
Faktanya, tinjuannya hanya "menyentuh" kakiku. Karena tubuhku sudah mulai mengalihkan gaya jatuh dan mengubahnya menjadi gaya angkat, sentuhan antara kakiku dan tinjunya sangat ringan.
Tinju yang dia hantamkan ke kakiku justru berubah menjadi gaya dorong yang membuatku melayang cepat ke atas.
Di bawah sudah ada yang bersorak untuknya, tapi kupikir, Raja Dewa Buddhis ini sendiri tahu, aku melayang bukan karena dipukulnya. Dia juga tahu pukulan penuh kekuatan itu sebenarnya tak seberapa menghantam kakiku. Pukulan sesungguhnya yang kuterima masih dalam batas kemampuanku.
Taiji bukan hanya meminjam tenaga, tapi juga melepaskan tenaga.
Raja Dewa tak mau mengalah. Saat aku naik, dia juga mulai naik. Dia berpindah ke seberangku. Kali ini, bukan satu tinju saja, tapi kedua tinjunya menghampar ke arahku.
Kedua tinju bergantian menghantam, seperti gerakan tinju profesional.
Mungkin dia pikir, satu pukulan bisa kuhindari, tapi jurus Chaos seperti ini setiap pukulan seberat seribu kati. Bagaimana mungkin kuhindari? Jika menggunakan Gaya Menghindar tadi, bisa kuhindari satu pukulan, tapi pukulan kedua pasti akan melemparku.
Dari sini terlihat, Raja Dewa ini sebenarnya orang berpengalaman dalam pertempuran nyata. Kecepatan tinjunya luar biasa, pastinya tak mungkin kuhindari sepenuhnya dengan Gaya Menghindar.
Jadi saat dua tinju itu datang, di awal memang banyak pukulan yang mengenaimu. Tapi karena ini jurus Chaos dengan dua tinju, dia tak bisa fokuskan seluruh tenaga di setiap pukulan. Jadi pukulan yang kuterima tak cukup kuat untuk melemparku, masih dalam batas toleransi.
Tapi yang tak dia tahu, aku sudah memahami lintasan pukulannya.
Saat ini, di mataku, dia hanyalah orang berotot yang tak punya aturan dalam bertinju.
Saat serangkaian pukulan berikutnya datang, aku mengulurkan tangan dan menangkap tinjunya, menahan dengan keras separuh kekuatannya. Separuh kekuatan ini yang seharusnya menerima di telapak tanganku, justru diredam ke seluruh tubuh melalui telapak tangan.
Seluruh tubuhku bergetar, dan tenaga itu pun lenyap tanpa bekas.
Tangannya tak bisa menarik tinju dari genggamanku. Di saat bersamaan, tinju satunya lagi menghantam. Tepat di momen ini, aku mengulurkan tangan lainnya dan menepuk pergelangan tangannya.
Kekuatan tepukan ini sangat besar, hampir menggunakan seluruh tenagaku, membuat tinjunya menyimpang dari jalur semula. Jadi aku tak perlu menghindar - pukulan ini sudah pasti akan berakhir sia-sia.
Begitu pukulannya gagal, dia segera mencoba menarik tinju yang terkunci di genggamanku.
Tapi tangan yang menepuk pergelangan tadi kini membalik menjadi telapak yang menghantam dadanya, sementara aku melepaskan cengkeraman.
Kombinasi tenaga tarikan tubuhnya sendiri dengan kekuatan telapak tanganku.
Seluruh tubuhnya terlempar ke belakang.
Di saat yang sama, aku mengangkat kaki dan menyepak.
Dia sudah tak bisa menyerang lagi, hanya bisa mengangkat lengan untuk menahan. Tubuh yang sudah terlempar ini semakin cepat melayang ke belakang karena hentakan kakiku.
Aku berdiri tegak, menatapnya dan kerumunan di bawah yang tadinya mengira aku pasti mati.
Raja Dewa itu menstabilkan posisi, wajahnya memerah karena malu tak tertahankan. Kemampuannya bertarung fisik denganku, keberaniannya menjanjikan metode rahasia Patung Emas Abadi Buddhisme jika aku menang di aspek ini - semua itu membuktikan kepercayaan dirinya yang tak tergoyahkan!
"Tapi setelah beberapa ini, dia selalu kewalahan setiap kali!"
Sang Raja Dewa itu murka, saat ini bahkan Bodhisattva lumpur pun sudah kuketahui kemarahannya, dia mengaum keras dan berlari ke arahku, mulai meninjuiku dengan tenaga yang luar biasa kuat, setiap pukulan disertai angin ganas tak berujung!
Dia marah, dia mengerahkan seluruh kekuatannya!
Dia tidak tahu, dalam pertarungan bela diri di Bumi, kondisi seperti ini sudah bisa membuat orang melihat bahwa dia pasti akan kalah. Tinju-tinju dan energi tubuhnya sudah kehilangan semua aturan, sementara di pihakku, karena kemenangan dalam beberapa ini, dan karena makna Jalan Agung yang dibawa Taiji bagiku, justru sekarang aku sangat tenang, bahkan bisa dibilang sudah memiliki kepercayaan diri dalam bertarung.
Jadi selanjutnya, tidak ada satu pukulan pun darinya yang bisa mengenainya.
Tapi jika aku mendapat kesempatan bertindak, seluruh tubuhnya akan terlempar.
Entah ditepis atau dilempar dengan tenaga lawan.
Saat ini, meski mereka tidak mengerti teknik apa yang kugunakan, tetap bisa melihat bahwa Raja Dewa ini bukanlah lawanku.
Sang Raja Dewa itu menarik napas kasar dan berteriak marah: "Hanya mengulur-ulur waktu, ini ujian tertulis macam apa? Sebagai Tianzun Timur yang terhormat, kau malah berperilaku seperti tikus licik?"
"Tidak mengandalkan energi internal tubuh, semua kemenanganku murni dari fisik. Semua gerakanku berasal dari tubuh, tidak melanggar perjanjian kita. Mengapa aku disebut tikus licik?" Kutertawa.
"Berani hadapi aku langsung?!" teriaknya marah.
"Ayo." Kataku.
"Ye! Jangan memaksakan diri!" Kakak berteriak padaku.
Kulihat kakakku, menggelengkan kepala: "Tenang. Aku tahu batas."
Karena di tengah duel tadi, aku semakin memahami keajaiban Taiji Quan, sementara Raja Dewa itu berubah marah menjadi senang saat mendengar aku setuju untuk berkonfrontasi langsung.
Aura perang di seluruh tubuhnya kembali berkobar.
Dia meneriakkan: "Satu pukulan saja untuk mengakhiri kamu!"
Usai bicara, seluruh tubuhnya melesat bagai roket, bahkan dengan cahaya yang menyala-nyala di kepalan tangannya.
Sedangkan aku, di momen itu, menutup mata dan mengayunkan kedua tangan membentuk lingkaran.
Ini adalah lingkaran Taiji.
Saat kedua tangan mengayun, tanpa menggunakan energi internal, pola Taiji muncul samar-samar.
Pukulannya menyambar secepat kilat.
Aku pun mengulurkan kedua tangan.
Menangkap kepalan tinjunya.
Harus diakui, kekuatannya luar biasa besar, sangat-sangat besar, hingga seluruh tubuhku terlempar.
Tapi selama terlempar, aku tetap mencengkeram tangannya.
Selama proses terlempar ke belakang, tubuhku berderak-derak keras, mungkin orang mengira semua tulangku remuk.
Sebenarnya tidak.
Saat menggunakan Taiji Quan tadi, aku merasakan kebutuhan koordinasi tubuh yang sempurna - setiap bagian harus sinkron saat menyerang.
Kali ini, kugunakan tubuhku sendiri untuk menyerap kekuatannya.
Tenaga masuk ke tanganku, lalu menyebar ke seluruh tubuhku, daging, darah, dan tulang-tulangku mengurai kekuatan itu.
Akhirnya, kugoyangkan tubuh perlahan.
Wajah Raja Dewa dipenuhi ekspresi tak percaya.
Kulepaskan tangannya sambil tersenyum: "Giliranku."
Kedua tanganku mendorong ke depan.
Seluruh tubuhnya, kali ini, kuhantam hingga terjatuh ke lantai.
