Berdiri di tanah Gunung Sumeru, kudengar nyanyian suci bergema dari delapan penjuru. Meski tahu jelas di bawah kakiku ada neraka yang mengerikan, tak setitikpun hubungan spiritual kurasakan.
"Mungkin ada semacam barrier. Para pengikut Buddha ini memang punya kemampuan hebat, sayang tak digunakan untuk jalan yang benar!" Kulihat Han Xue di punggungku, amarah mulai menggelegak di hati.
Kakak tak berbicara. Dia memang pendiam. Saat ini dia sudah mulai mencari pintu masuk.
Aotian sebelumnya bilang pintu masuk ada di sini, tapi setelah setengah jam mencari tak juga kami temukan.
"Barrier ini benar-benar kuat, sampai-sampai aku tak bisa menemukan pintunya!" Kukelilingi area ini beberapa kali, tetap tak menemukan jalan masuk. Dalam hati sudah kuhujat Aotian babak belur - dasar senjata ini menghilang di saat krusial begini!
Tapi sebenarnya aku tahu dia pasti takkan celaka, kalau tidak pasti sudah kukejar habis-habisan.
"Aotian pasti tidak salah. Kalau kita tak bisa menemukan, mungkin syarat masuknya belum terpenuhi," tiba-tiba Kakak berkata.
Syarat masuk?
Aku tersentak, "Meski hanya mayat yang bisa ditarik jiwanya, tapi kita tidak harus bunuh diri kan?!"
Kakak melototi saya, "Membunuh diri sendiri, baru kamu bisa mikirin! Yang bisa masuk ke neraka, selain hantu cuma biksu Buddha. Kalau bisa menyamar sebagai orang Buddha, mungkin bisa menemukan pintu masuk." Kakak menjelaskan padaku.
Menyamar sebagai biksu Buddha?
Aku tahu penyamaran di sini pasti bukan sekadar kostum, tapi perubahan daya tarik karismatik. Itu pun harus jadi biksu tinggi berpengaruh, minimal level Delapan Belas Arhat baru ada kesempatan temukan jalan. Soalnya nggak mungkin semua biksu tahu tempat rahasia ini.
"Ada ide!" Tiba-tiba aku tersadar.
Kakak juga menatapku saat itu. Sorot matanya memancarkan sergapan maut – jelas kami berpikiran sama!
Aku berdiri di tempat, mengaktifkan patung emas abadi Buddhisme. Cahaya emas menyembur dari tubuhku, membungkusku dan Han Xue. Teknik pertahanan tingkat tinggi ini cuma bisa dikultivasi jajaran pimpinan Buddha. Dengan memamerkan ini, statusku langsung jelas.
Persis saat patung emas muncul, kurasakan cahaya Buddha di tubuhku tertarik ke satu arah. Mengikuti arah itu, kulihat pintu batu muncul di depan.
Aku yakin sebelumnya di sini nggak ada pintu. Pasti ada trik mata yang dipasang oleh grandmaster. Dengan kemampuan kultivasiku sekarang, mustahil menembus ilusi ini.
"Ini semakin membuatku merasa misteriusnya ajaran Buddha Barat! Sebelumnya Aotian pernah bilang di Buddha ada monster tua yang bahkan dia takuti, kemampuannya mungkin melebihi Santo Penguasa. Entah barrier ini karya dia atau bukan!" Pikiranku melayang, jangan-jangan monster tak terkalahkan yang dirasakan Aotian ini adalah Raja Merak Agung Kong Xuan dari Buddhisme?!
Kakak langsung melangkah maju dan masuk ke pintu batu. Karena aku membopong Han Xue di punggung, aku berjalan di belakangnya.
Begitu masuk pintu batu, langit bumi berubah drastis!
Aroma amis darah menyergap hidung. Kudengar suara jeritan hantu dan lolongan serigala tak berujung. Suara ini mengandung aura jahat yang seolah ingin menginfeksi hatiku!
"Tidak normal!" tiba-tiba Kakak menggeram rendah.
Kukendalikan emosiku sekuat tenaga sambil waspada mengamati sekeliling, tapi tak ada satu orang pun terlihat!
"Ada apa?" tanyaku bingung. Meski masih belum merasakan keanehan di sekitar, perasaan gelisah ini terus menghantuiku.
"Aotian pernah bilang, saat keluar dia mengalahkan penjaga sini dan memancing serbuan para biksu. Tapi sekarang malah sepi. Tidak terasa aneh menurutmu?"
Baru setelah penjelasan Kakak aku tersadar. Pantas saja suasana sekitar terasa menyeramkan! Memang tidak masuk akal tempat seperti ini malah tidak ada penjaganya sama sekali!
"Sudah sampai di sini, sekarang ingin mundur pun sudah terlambat. Lagi pula demi Xue'er, sekalipun itu sarang harimau aku harus menerobosnya!"
Kakak tidak merespons, tapi aku tahu sikapnya. Aku adik kandungnya, di dunia ini siapapun yang mengkhianatiku, dia pasti tidak akan meninggalkanku.
Gemuruh!
Begitu kami berdua masuk, pintu batu di belakang tiba-tiba menutup, memutus jalan mundur kami.
"Ternyata ada tipu muslihat!" Aku mendengus sambil bersiap siaga sepenuh hati.
"Lanjutkan! Mari kita lihat permainan apa yang mereka rencanakan!" Kata Kakak padaku.
Dalam situasi sekarang, hanya bisa melanjutkan. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu khawatir karena Aotian sampai sekarang belum muncul. Meski tidak tahu kemana perginya, dia pasti akan muncul di saat genting!
Semakin kami masuk, bau amis darah semakin menyengat. Kekecewaan yang terpendam juga semakin mencekam seiring kedalaman langkah kami.
"Tunggu, jalannya menurun? Mungkin menuju bawah tanah?" Aku baru menyadari jalan yang kami lalui memiliki kemiringan, meski tidak terlalu curam.
"Aura siluman di sini sangat kuat. Tentu semakin dalam ke bawah tanah semakin sulit dideteksi. Barat Buddha ini diam-diam pasti punya banyak praktik kotor!" Kakak mengerutkan kening. Kami berdua merasakan betapa sulitnya pekerjaan kali ini.
Tak terasa sudah berjalan lama, akhirnya kami melihat cahaya merah - bukan, lebih tepatnya kilauan darah!
"Itu adalah, lautan darah!" Aku terkejut melihat lautan darah yang muncul di hadapan. Sebelumnya mendengar deskripsi Aotian, kupikir hanya kolam darah biasa. Tak disangka ternyata lautan darah seluas samudera, dengan tulang-tulang putih bermunculan. Rintihan tak terhitung menggema dari dalam lautan darah ini. Entah berapa banyak roh dendam yang terkandung di dalamnya.
"Kejahatan!" Kakak mengeluarkan satu kata dingin. Ini adalah penilaiannya terhadap lautan darah tersebut.
Kejahatan!
Siapa sangka, tanah suci Buddha yang dipuja oleh satu pihak dunia, diam-diam menciptakan lautan darah penuh aura jahat ini!
"Mau menyeberang?" Kutatap seberang lautan. Tak terlihat sarana penyeberangan apapun. Meski dengan kekuatan kami sekarang, menyeberangi lautan sebenarnya bukan hal sulit, tapi aura jahat dari lautan darah ini terus membuatku gelisah.
"Penguasa Tertinggi Timur, ingin menyelamatkan wanita di belakangmu? Datanglah kemari!" Tiba-tiba suara itu menggema.
Raja Dewa! Begitu mendengar suara itu, langsung kutebak pemiliknya. Tak disangka kali ini Raja Dewa sendiri yang datang menangani kami. Jika sebelumnya, tanpa kehadiran Aotian mungkin aku bukan tandingannya, tapi sekarang...
Kukinjakkan satu langkah, tapi tiba-tiba lenganku dicengkeram. Kuberbalik dan melihat Kakak-lah yang menahanku!
"Kita ikuti aliran ini. Mari lihat ke mana lautan darah ini mengalir!"
"Aku berpikir sejenak, akhirnya mengangguk. Setelah sampai di tahap ini, kita tak boleh digiring seperti kerbau yang dicucuk hidung oleh mereka! Dan aku juga ingin tahu apa sebenarnya ujung dari lautan darah ini. Mungkin dengan mencapai ujungnya, kita bisa mengerti ambisi sesungguhnya dari Buddha Barat!"
Kali ini, suara Raja Dewa tak kudengar.
Lautan darah tak bertepi. Dengan membopong Han Xue di tepiannya, langkah demi langkah kudengar jerit penderitaan tak terhitung makhluk hidup. Lengan-lengan menjulur dari dasar lautan darah, lalu tenggelam kembali.
Tak kuhitung berapa lama kami berjalan. Dengan stamina saat ini, membopong Han Xue pun tak membuatku lelah. Akhirnya kami sampai di ujung lautan darah!
Tapi yang kami temui kali ini adalah jurang tak berujung. Tebing terjal tempat lautan darah mengalir deras membentuk air terjun raksasa. Namun dasar tebing tetap tak bisa kupandangi!
Aura kejahatan!
Sangat jahat!
Desiran angin dingin dari dasar tebing membuatku merasakan hawa Yin yang menusuk. Sungguh tak kusangka, Buddha yang agung ternyata mempraktikkan jalan sesat!
"Tak bisa turun, kita harus menyeberang!" ujar Kakak padaku.
Kukanggukkan kepala, melirik Han Xue di punggungku. Satu langkah melintasi lautan darah, apa susahnya?
"Biksu botak bajingan! Kembalikan Xue'er hari ini juga, atau kuhancurkan neraka buatanmu ini! Segala upayamu selama sepuluh ribu tahun akan kureduksi menjadi debu!" Seruanku menggema sementara kakiku melangkah mantap.
“Seandainya ini air laut biasa, aku masih bisa berjalan di atasnya seperti di tanah datar. Tapi lautan darah ini memiliki daya tarik misterius yang berusaha menyedotku ke dalamnya. Dari samudra merah itu menjulur ribuan lengan pucat layaknya orang biasa, mereka mencengkram kakiku dan berusaha menyeretku ke bawah!”
“Kakak!” Reaksi pertamaku adalah khawatir sesuatu terjadi pada kakak.
“Jaga dirimu sendiri!”
Saat menoleh, kakak sudah berdiri di sampingku.
“Patung emas abadi Buddhisme, bisakah mengatasi lautan darah dan ribuan arwahmu?”
