Gelap... Di mana aku... Siapa aku?
Pikirannya masih berkabut, tak ingat identitas maupun lokasinya.
Hiks... hiks...
Dum! Dum! Dum!
Xu Qi'an mendengar suara terompet dan genderang perang. Perlahan, suara lain menyusul: pekik perang bergemuruh, derap kuda kacau-balau, dentuman ledakan, dan gemerincing pedang saling beradu.
"Berbagai macam suara saling bertautan, membentuk gambaran jelas di dalam otak Xu Qi'an."
Ini medan perang!
Baru saja pikirannya melayang, kegelapan di depannya terbelah, cahaya menembus masuk. Benar saja, pandangannya langsung menyaksikan sebuah medan perang.
Pasukan hitam pekat bergerak maju bagai semut yang berkerumun. Prajurit kelas tinggi mengamuk di medan perang, persis seperti manusia yang menginjak sarang semut.
Di medan perang ini tak hanya ada manusia. Ada juga binatang peliharaan raksasa setinggi dua tingkat, ular besar sepanjang puluhan meter, burung pemangsa yang meliuk di angkasa...
Ada biksu tinggi yang duduk bersila di udara sambil melantunkan sutra; suku barbar dengan kekuatan mengangkat gunung dan aura qi yang dahsyat; pasukan mayat berani mati; barisan meriam artileri; kavaleri terkenal di dunia yang menunggangi binatang buas...
"Medan perang apa ini? Terlalu berlebihan, terlalu banyak korban jiwa." Pikir Xu Qi'an dengan kebingungan.
Pandangannya menyapu medan perang, melintasi pasukan mayat, melewati barisan meriam, lalu tertuju pada kawanan binatang terbang yang melayang di belakang medan perang.
Seorang pria berjubah hijau berdiri tegak di atas kepala binatang, tangan terkunci di belakang punggung, memandang sinis ke arah gemuruh pertempuran yang sedang memuncak.
"Wei Yuan?!"
Xu Qi'an tersentak kaget. Tiba-tiba ia ingat siapa dirinya sebenarnya. Pada detik itu juga, gambaran medan perang runtuh, kembali menyatu dengan kegelapan tak bertepi.
Xu Qi'an membuka mata. Yang terlihat tetap kegelapan.
"Aduh, pengap banget... Dia tidak langsung bangun, tapi berkonsentrasi merasakan sekeliling. Kemudian, dia 'melihat' kegelapan kabin kapal, lima peti mati yang tersusun rapi, kapal resmi yang berlayar perlahan, serta kanal yang berkilauan diterpa ombak."
Ini adalah kemampuan ilahi yang didapatkannya setelah memasuki tahap Pemurnian Roh.
Entah bagaimana dengan petarung Pemurnian Roh lainnya, yang pasti telepati Xu Qi'an bisa berfungsi sebagai penglihatan dalam batas tertentu.
Kalaupun suatu hari "mata anjing titanium alloy"-nya buta, dia sama sekali tidak akan khawatir.
"Mimpi yang kulihat tadi... Tidak, ini pasti bukan mimpi biasa. Mana ada mimpi sejelas ini? Pasukan mayat, biksu Buddha tingkat tinggi... Aku belum pernah mengalami ini, kok bisa bermimpi?"
"Kenapa Wei Yuan ada dalam mimpi? Dia terlihat masih muda... Setidaknya rambut di pelipisnya belum beruban. Ayahku waktu muda memang ganteng, seganteng aku..."
Xu Qi'an terbaring di dalam peti mati, mengingat-ingat adegan dalam mimpinya: pegunungan dan lembah dipenuhi pasukan hitam pekat yang jumlahnya luar biasa banyak.
Berbagai kekuatan saling bertempur secara kacau.
Mengombinasikan kemunculan Wei Yuan dengan prestasinya, Xu Qi'an langsung berspekulasi - Pertempuran Shanhaiguan.
"Dalam kisah Wei Yuan, yang paling terkenal adalah Pertempuran Shanhai... Berbagai negara berperang kacau-bilau, skalanya sangat besar, persis sesuai dengan catatan Pertempuran Shanhaiguan dalam sejarah... Tapi kenapa aku bermimpi tentang Pertempuran Shanhaiguan? Pamanku yang lemah ini ternyata bisa selamat, pasti pura-pura mati di tumpukan mayat ya..." Xu Qi'an berpikir sambil membuka tutup peti mati.
Udara segar mengalir masuk. Ia menarik napas dalam-dalam lalu bangkit. Tiba-tiba, dari kabin kapal yang remang-remang terdengar suara gembira:
"Kau sudah bangun."
Xu Qi'an kaget gemetar. Baru sadar ada sesosok berbaju putih duduk bersila 3 meter di sebelah kirinya, membelakangi... Baik, identitas terungkap: Yang Qianhuan.
Hanya dia satu-satunya pria yang bisa Xu Qi'an kenali hanya dari siluet punggung.
Tak langsung merespon, ia bergumam beberapa detik merangkai kata, baru berkata: "Kita sedang di mana ini?"
Suara Yang Qianhuan terdengar riang, menunjukkan mood yang bagus: "Dalam perjalanan pulang ke ibu kota. Oh bukan, di atas air."
"Kasus Yunzhou sudah selesai?" Wajah Xu Qi'an berseri: "Ah, akhirnya kasus sialan ini beres. Laozi tak perlu lagi begadang berjuang mati-matian."
"Aku sudah mati sekali. Entah Song Tingfeng dan Zhu Guangxiao sedih atau tidak. Mungkin lebih sedih kehilangan lima kesempatan gratisan..."
"Ah, akhirnya Su Su tak bisa ditipu jadi istri 2D. Li Miaozhen pasti ingin membunuhku. Untung aku mati lebih dulu, kalau tidak pasti cukup canggung..."
Yang Qianhuan dengan sabar mendengarkan celotehannya.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu juga ada di kapal?" tanya Xu Qi'an.
……Yang Qianhuan berpikir sejenak, lalu berkata: "Aku ke Yunzhou atas perintah guru. Sekarang urusan selesai, waktunya pulang. Kebetulan Penjaga Malam mengangkut tulang-belulang kalian ke ibukota, diam-diam aku menyelinap naik.
"Lalu aku menemukan luka pedang dan lubang panah di tubuhmu sembuh secara misterius. Langsung kutebak kamu belum mati. Setelah menunggu sepuluh hari, nih, beneran hidup lagi."
Narasi Yang Qianhuan terdengar datar, tapi gejolak batinnya jauh lebih dramatis. Saat mendengar kabar Xu Qi'an gugur di medan perang, dia bergumam "habislah aku, pulang nanti guru pasti akan menyegelku di bawah Menara Bintang, terbenam dalam kegelapan abadi."
Hampir saja dia kabur dari sekte karena panik.
Sekaligus merasa sangat menyesal, kenapa anak menarik seperti itu harus mati? Kenapa nekat menukar nyawa orang tua dengan usia 20 tahunnya sendiri?
Zhang Xunfu itu cuma orang tua brengsek yang sebelah kakinya sudah masuk peti mati.
Diam-diam menyusup ke kapal resmi, membuka peti mati Xu Qi'an. Di balik kesulitan ternyata ada kemudahan, kabut pekat tersibak membuka langit biru. Luka di tubuh pemuda ini sembuh ajaib, detak jantung mulai berdenyut - pertanda keberuntungan setelah penderitaan.
Maka Yang Qianhuan pun dengan gembira berjaga di sisi peti mati, sampai tak sempat buang air besar.
Tentu saja semua ini tidak boleh diketahui Xu Qi'an.
……Apa dia membuka peti matiku? Kalau tidak, bagaimana dia tahu luka di tubuhku sudah sembuh... Buat apa dia membuka peti matiku tanpa alasan... Sepertinya ada maksud tersembunyi... Xu Qi'an menyimpan kekesalan dalam hati sambil tersenyum palsu:
"Apa maksud Jenzheng-daren mengirimmu ke Yunzhou?"
Kebetulan Yang Qianhuan bertanya: "Bagaimana kamu bisa hidup kembali dari kematian?"
Setelah bertanya, mereka saling memandang dalam senyap.
Beberapa detik kemudian, dengan perasaan tidak tenang mereka secara kompak mengalihkan topik:
"Cuaca hari ini cukup cerah."
"Angin hari ini cukup riuh."
Xu Qi'an dan Yang Qianhuan kembali terdiam.
Agak canggung... Saat Xu Qi'an hendak mengubah topik pembicaraan, tiba-tiba ia menyadari ada empat surat dalam sakunya.
Surat siapa ini?
Peti mati disimpan di dasar kabin, hanya cahaya redup yang menembus celah-celah geladak.
Geladak kok bisa tembus cahaya? Kapal ini perlu direnovasi... Xu Qi'an bergumam sambil membuka sampul surat dan membaca dengan cahaya minimal.
Sekarang penglihatannya sudah mampu melihat dalam gelap tanpa hambatan.
Setelah mencapai tingkat Penyulingan Roh, semua atribut tubuhnya mengalami peningkatan.
"Saudara Tertua:
Surat yang dikirim sudah diterima keluarga. Ibu dan Ayah sangat senang, Lingyin juga gembira. Terutama Ibu, tidak menyangka Kakak akan mengirim surat untuknya. Ibu sampai menepuk meja kegirangan. Mengetahui Kakak baik-baik saja di perantauan, hatiku jadi tenang."
"Tulisan yang anggun, ini surat dari adik Lingyue."
"Bibi pasti sedang memukul meja dan memarahi almarhumah Bu, ya... Lalu apakah kamu senang, adik kecil..." Wajah segitiga Xu Lingyue yang anggun alami terbayang dalam pikiran Xu Qi'an. Membayangkannya menunduk malu dengan postur tubuh yang gemulai, tanpa sadar sudut mulutnya melengkung saat melanjutkan membaca.
"Tak lama setelah Kakak meninggalkan ibu kota, Lingyin terpaksa masuk sekolah dasar. Semua diurus oleh Kakak kedua. Sekarang Lingyin sudah bisa menghafal sembilan karakter pertama dari Tiga Karakter Klasik. Saat Ayah dan Ibu pertama kali tahu, mereka hampir menangis karena bahagia."
Lingyin bisa menghafal Sembilan karakter? Xu Qi'an hampir menangis karena bahagia.
"Tapi sepertinya dia ditindas. Gelang giok seharga sepuluh liang yang Ibu belikan untuknya menghilang beberapa hari lalu. Ada memar tipis di pergelangan tangannya, jelas bekas dicabut paksa."
"Lingyin yang bodoh ini, saat ditanya siapa pelakunya, dia diam saja. Sepertinya di hatinya, selain makanan, tidak ada yang penting."
"Mendekati ritual musim semi, Ayah pulang ke rumah setiap hari larut malam atau menginap di kamp luar, tidak sempat mengurus urusan rumah. Ibu tidak berani memberitahunya, sendiri menemui guru sekolah untuk meminta penjelasan. Tapi sang guru mengaku tidak tahu, mungkin Lingyin sendiri yang menghilangkannya. Ibu menggigil karena marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa."
“Kalau Saudara Tertua ada di rumah, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini. Kalau Kakak kedua ada di rumah, pasti sudah memarahi Guru sampai tidak ada muka.”
“Tapi akhir-akhir ini Kakak kedua sangat marah. Menurut Ayah, dia kedinginan setengah malam di tengah angin dingin, keesokan harinya saat pulang mengambil qian dan persediaan makanan, dia tidak mau bicara dengan kami lagi. Kakak kedua benar-benar pelit. Lupa mengirim surat untuknya bukan salah Saudara Tertua, Saudara Tertua juga sangat sibuk.”
"Adik-adik perempuan, Erlang tetap adalah kandungmu sendiri. Bukan hanya memihak orang luar, bahkan dadanya saja sudah berpaling ke sini... Tolong pertahankan terus..." Xu Qi'an hampir menutup mulutnya sendiri untuk menahan tawa saat membaca bagian ini.
"Sayang sekali, tidak bisa melihat wajah memalukan Erlang, kukuku..."
“Ngomong-ngomong, Bu bilang setelah musim semi tiba, dia akan mencarikan suami untukku. Bu benar-benar menyebalkan, kenapa dia tidak menikah sendiri. Lingyin sangat merindukanmu, setiap hari berteriak ingin mencari Saudara Tertua. Aku... aku juga sangat merindukanmu.”
“Omong kosong apa? Bagaimana mungkin Bibi bisa menikah lagi? Bibi selagi hidup adalah milik Keluarga Xu, mati pun jadi arwah Keluarga Xu... Hm, Saudara Tertua juga sangat merindukan kalian.”
Setelah selesai membaca, Xu Qi'an melipat surat dengan puas dan memasukkannya kembali ke dalam amplop.
Dia melirik Yang Qianhuan. Pria ini masih membelakanginya, diam seperti patung kayu.
“Kamu lihat aku buat apa, aku bisa di mana lagi?” bentak Yang Qianhuan kesal.
Xu Qi'an mengabaikannya. Dia menunduk dan membuka surat kedua.
“Xu Lang:
"Sudah dua puluh hari sejak berpisah denganmu, kerinduan padamu seperti minyak yang digoreng api, semakin membara. Aku baik-baik saja di Jiaofangsi, hanya sering mengantuk. Setelah bangun, aku memetik bunga plum dan berjalan-jalan. Aku menyimpan segenting arak bunga plum, menantimu pulang untuk minum bersama."
Ini adalah surat balasan dari geisha utama.
"Kadang aku juga menemani tamu minum beberapa gelas, mendengarkan mereka berdiskusi. Sebenarnya hamba ingin mendengar kabar tentangmu, tapi Yunzhou dan ibukota terpisah 10.000 li, sulit menyampaikan pesan."
"Para pria brengsek itu mengaku terpelajar, padahal kebanyakan hanya tong anggur yang bodoh. Bakat mereka biasa saja, tak ada apa-apanya dibandingkan denganmu. Hamba sering berpikir, bertemu denganmu adalah anugerah terbesar dari Yang Maha Kuasa."
"Beberapa hari lalu, dayang membawa kabar bahwa kamu menulis puisi baru di Qingzhou yang dihormati Ziyang Jushi seperti harta karun, diukir di prasasti untuk memperingatkan semua orang. Hamba sangat bangga dan senang tak terkira."
"Xu Lang, hamba merindukanmu setiap malam."
Xu Qi'an tertawa kecut, melipat surat dengan hati-hati lalu memasukkannya kembali ke amplop.
Masih ada dua surat tersisa. Dia mengingat para simpanannya: Chu Caiwei, Huaiqing, Lin'an.
Jelas ada tiga orang... eh, tiga 'ban' serep, kok hanya dua surat balasan?
Xu Qi'an kesal, bertanya dalam hati: Siapa yang tak membalas surat? Apakah teknik memelihara ban serepku kurang baik, atau garpu baja Raja Lautanku ini kurang tepat sasaran?
Dia memilih satu surat secara acak, lalu membukanya untuk dibaca:
“Budak anjing:
Kapan penyelidikan di Yunzhou akan selesai? Aku tidak merindukanmu, hanya merasa upacara sembahyang musim semi sudah dekat. Banyak pengawal yang libur dan pulang ke rumah, jadi hampir tidak ada budak yang bisa digunakan di sekitarku.”
Kalimat pembuka pertama langsung menyemburkan sifat angkuh dan manja yang penuh kepalsuan layaknya biao.
Putri sampai kekurangan pengawal? Hmm... Biao-biao masih ingat membalas suratku, baguslah... Xu Qi'an melanjutkan membacanya.
“Permainan catur lima garis yang kamu ciptakan telah dikembangkan dengan gemilang di tanganku. Semua orang memujiku sebagai sosok yang bijaksana dan penuh perhatian, paling cerdas di dunia. Bahkan Huaiqing yang menyebalkan pun mengaku kalah dengan tulus, sampai sujud syafak diam-diam berkata padaku: 'Kebijaksanaan Lin'an jauh melampauiku, Huaiqing dengan rendah hati mengakui kekalahan.'
“Tapi hal seperti ini pasti tidak akan diakuinya. Aku hanya sekadar memberitahumu, jangan dicatat dalam hati. Bagaimanapun Huaiqing adalah Putri, berikan sedikit kehormatan untuknya.
“Aku juga tidak mau mengambil keuntungan darimu. Upacara sembahyang musim semi semakin dekat, Ayah memberikanku beberapa perabotan emas-perak dan giok, sutra serta perhiasan. Setelah kamu pulang, silakan datang ke gudang istanaku untuk memilih beberapa barang.”
Hahaha, Lin'an si cewek bodoh ini, aku membohonginya bahwa paman kedua berhutang ke mana-mana demi biayai latihan bela diriku, hidupnya sulit. Ternyata dia benar-benar percaya, terus cari-cari cara ngasih aku perak, terlalu naif sialan... Tolong pertahankan terus ya.
Xu Qi'an tersenyum bahagia.
"Apa cerita tentang bubuk ayam itu? Bukannya itu penemuanmu? Kenapa di luar semua bilang itu ditemukan oleh Chu Caiwei dari Sitianjian? Aku sampai marah besar dan langsung menyerbu Sitianjian.
"Para alkemis berbaju putih itu tidak berani melawanku, malah lapor ke Ayah. Aku dimarahi habis-habisan oleh Ayah. Nanti kalau kau pulang, akan kubawa kau untuk menuntut keadilan."
Ehm... Sebenarnya bubuk ayam itu memang karya Cai Wei, aku cuma kasih ide. Dia mau pakai bubuk ayam untuk konsolidasi tingkat alkemis, sudah dari dulu dia kasih tahuku.
Xu Qi'an agak tersentuh, Putri memang sangat protektif terhadap bawahannya.
Ia menyimpan surat Lin'an kembali ke amplop, tarik napas dalam, lalu membuka surat terakhir.
Huaiqing dan Cai Wei, siapa di antara kalian yang pengkhianat, sekarang saatnya terungkap.
Xu Tongluo.
Situasi di Yunzhou kompleks, masalah perampok sudah lama mengakar. Faksi Qi dan Sekte Wu Shen yang sudah berkomplot bertahun-tahun pasti punya kekuatan besar di sana.
"Harap ekstra hati-hati. Meski ada Jiang Lüzhong yang prajurit peringkat empat, tetap tidak sepenuhnya aman. Jika target sudah teridentifikasi, tangkap secepat kilat tanpa memberi waktu reaksi.
"Kuduga Tuan Wei punya skema tersembunyi, tapi mungkin tidak akan bertemu langsung. Mungkin Inspektur Jenderal Zhang tahu, mungkin tidak. Walau kau ahli menyelesaikan kasus, kemampuan tempurmu terbatas, jangan bertindak sendirian."
Surat ini dari Huaiqing.
"Xu Qi'an merasakan perasaan yang rumit, ada kekecewaan dan sukacita. Kecewa karena gadis bermata besar ternyata seorang playgirl, sia-sia perasaanku yang tulus memasukkannya ke kolam ikan, namun dia begitu kejam."
"Gembira karena Huaiqing bukan playgirl, masih mengingat gembrekan tembaga ini di hatinya."
"Daging di telapak tangan dan punggung tangan sama berharganya. Menghadapi akhir seperti ini, Xu Qi'an merasakan suka dan duka bercampur."
"Huaiqing sungguh mengerikan, IQ-nya terlalu tinggi... Tidak, ini bukan sekadar IQ, tapi juga analisis situasi dan penguasaan atas persatuan rakyat. Dia bahkan bisa membaca pikiran Tuan Wei... Habislah, perselingkuhan akan mudah ketahuan nanti."
"Putri Huaiqing rupanya masih setengah murid Wei Yuan, tak heran memiliki kemampuan seperti ini..." Xu Qi'an memicingkan mata, melanjutkan membaca:
"Beberapa hari lalu, Cai Wei datang ke istanaku untuk makan, ngobrol santai sambil menyebutkanmu. Katanya dia sedang bingung bagaimana membalas suratmu karena tidak suka baca buku, takut tulisannya jelek dan kau menertawakannya."
"Dia juga berkata: Xu Ningyan sangat perhatian, mengirimkan sehelai kelopak bunga teratai merah dari Qingzhou. Bilang aku secantik teratai merah yang bersinar seperti angin."
"Saat Cai Wei bercerita padaku, senyum mengembang di sudut matanya... Lalu kukatakan padanya: Aku yang akan menulis balasan untukmu. Dia setuju dengan gembira."
"Hah, Yang Mulia Xu memang playboy sejati. Satu bunga untuk dua orang, dengan kata-kata manis yang berbeda, tapi tepat menggambarkan masing-masing."
"Aku benar-benar kagum."
"...Xu Qi'an menatap kertas surat dengan pandangan kosong."
“Ada apa denganmu?” Yang Qianhuan bertanya.
“Kecelakaan…” Xu Gratisan tersipu malu, ingin melompat ke kanal dan berenang kembali ke Kota Baidi.
Wocao, lupa bahwa Chu Caiwei masih perawan yang polos, hubungannya dengan Huaiqing juga baik. Berbagi hal seperti ini dengan sahabat dekat sama sekali tidak ada hambatan psikologis baginya.
Huaiqing memang sudah punya prasangka padaku, bahkan saat aku meninggalkan ibu kota dia menolak menemuiku. Sekarang dengan aksi Nona Caiwei 'mencuri rumah' ini… Pasti Huaiqing sudah mencapku sebagai playboy. Xu Qi'an memerah sampai ke telinga.
Aku ini orang berwibawa, bagaimana aku bisa pulang ke ibu kota dengan muka… Oh, aku sudah mati, ya sudahlah.
Sekaligus merasa lega karena surat dari Putri, Fuxiang, dan adik Lingyue tidak akan terbaca oleh Huaiqing.
Dua yang terakhir jelas tidak punya hubungan dengan Huaiqing. Meski Putri adalah saudarinya, hubungan mereka saling bermusuhan seperti api-air. Mustahil berbagi surat rahasia kamar tidur seperti ini.
Pamer apalagi, meski Putri terlihat lugu tak berdosa (biao dalam biao), dia tetap putri keluarga kerajaan yang tidak akan bodoh menyebarkan surat seperti ini.
Untungnya aku tahu Chu Caiwei berkepala sekeras kayu, jadi tidak menggombalnya. Isi suratku padanya hanya makanan enak selama perjalanan… Mungkin karena ini Putri Huaiqing tidak senang tapi tetap mengirim surat peringatan. Soalnya suratku padanya berisi cinta (memuja), sedangkan untuk Caiwei isinya normal.
Hehe, tak terpikirkan kan Huaiqing? Kau kira aku di lapisan kedua, padahal aku sudah di lapisan kelima.
"Siapa yang menulis surat ini?"
Melihat Xu Qi'an akhirnya selesai membaca, Yang Qianhuan kembali membuka pintu percakapan.
"Surat dari teman di ibukota." Xu Qi'an menjawab tanpa perubahan ekspresi.
"Kekasihmu, kan?" kata Yang Qianhuan.
Xu Qi'an langsung waspada: "Kau mengintip suratku?"
Yang Qianhuan tersenyum sinis: "Aku Yang Qianhuan tidak sudi melakukan hal hina seperti ini."
"Lagipula kau Praktisi Sihir Tingkat Empat..." Xu Qi'an mengangguk halus, melanjutkan: "Ngomong-ngomong, adik seperguruanmu Cai Wei benar-benar kepala batu. Di usianya yang sudah sepantasnya bermimpi romantis, tetap saja tak bisa kugoda. Saat kutulis surat untuknya, dia malah..."
Xu Qi'an menghela napas panjang.
Yang Qianhuan menyetujui: "Adik seperguruan Cai Wei memang terlambat membuka kesadaran. Dia hanya menganggap ini surat biasa antar teman, baru memberitahu Putri Huaiqing. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya tak berminat, setidaknya kau adalah teman yang sangat penting di hatinya."
Sorot mata Xu Qi'an tiba-tiba tajam: "Brengsek! Dari mana kau tahu dia memberi tahu Huaiqing?"
"......" Yang Qianhuan.
Raja Pose terdiam lama, menyadari dirinya terjebak strategi lawan. Seketika itu juga, ia merasakan rasa malu yang sama seperti Xu Qi'an tadi.
"Kau tidak hanya mengintip suratku, tapi juga mengelemnya kembali..."
"Sudahlah, mengingat kau membantuku menangkap Liang Youping, aku tak akan mempermasalahkan ini." Xu Qi'an memperingatkan:
"Tapi jangan sekali-kali kau bocorkan isi surat ini."
Dalam keadaan seperti ini, toh Yang Qianhuan sudah membacanya. Apa mungkin membuat waktu berbalik? Lebih baik pura-pura bermurah hati.
Yang Qianhuan tertegun: "Aku tidak membantu kalian menangkap Liang Youping."
Dari celah geladak, hembusan udara dingin menerpa tengkuk Xu Qi'an.
Perlahan ia menggigil, bulu kuduknya satu per satu berdiri, bahkan suaranya terdengar gemetar: "Apa katamu?"
……
Di bawah mentari musim dingin yang hangat, Nangong Qianrou mengendarai kereta hingga mencapai gerbang Kota Terlarang.
Setelah memarkir kereta, ia melempar tali kekang ke Pasukan Yulin yang menyambut, lalu membungkuk mengambil bangku kayu dan membuka pintu kereta sambil berkata:
"Ayah angkat, kita sudah sampai."
Wei Yuan dengan jubah hijau mewah dan rambut memutih di pelipis, keluar dari kereta dengan menapaki bangku kayu.
Keduanya memasuki kompleks istana dan berjalan menuju ruang studi kekaisaran.
"Ayah angkat, kabarnya pagi ini ada dokumen 800 li darurat?" tanya Nangong Qianrou.
Sistem informasi Kekaisaran Feng memiliki tingkat prioritas: 300 li darurat, 400 li darurat, 600 li darurat, dan yang tertinggi 800 li darurat.
Dokumen 800 li darurat langsung dikirim ke kabinet untuk disampaikan kepada kaisar. Sebelum masuk kabinet, selain kurir pos yang mengantarkan, tak seorang pun boleh menyentuhnya.
Pelanggaran dianggap sebagai pemberontakan.
Wei Yuan mengangguk dengan wajah muram. Tak lama setelah dokumen 800 li darurat masuk istana, Yang Mulia langsung mengadakan rapat terbatas di ruang studi.
Dokumen 800 li darurat pasti membawa kabar besar, hanya saja belum diketahui dari provinsi mana asalnya.
"Benar-benar masa genting!" Wei Yuan menghela napas. Setelah jeda sejenak, ia melanjutkan: "Persiapan baju zirah badak yang kuminta, bagaimana progresnya?"
"Bahan-bahan telah dikumpulkan, tinggal menunggu untuk dibawa ke Sitianjian untuk diolah." Nangong Qianrou dengan nada asam.
Baju zirah badak ini adalah hadiah yang Wei Yuan ingin berikan kepada Xu Qi'an. Zirah ini kebal senjata dan tahan api-air. Jika ditambah sentuhan alkemis dan ahli formasi dari Sitianjian untuk dijadikan alat ritual,
maka akan menjadi harta tak ternilai dengan pertahanan sempurna. Bahkan petarung tingkat lima pun takkan mudah menembusnya.
Nangong Qianrou tahu maksud Wei Yuan: Ia ingin menutupi kelemahan terakhir Xu Qi'an, melindungi bibit yang belum dewasa ini.
Mendekati ruang studi kekaisaran, Nangong Qianrou dihadang pasukan penjaga. Wei Yuan melanjutkan sendiri.
Wei Yuan melangkahi ambang pintu, masuk ke dalam ruang studi kekaisaran.
Matanya menyapu sekilas para menteri di kedua sisi, alisnya segera berkerut.
Seluruh pejabat menatapnya dengan pandangan yang penuh makna terselubung.
Kaisar Yuanjing juga mengamati Wei Yuan, namun sang kaisar tua tetap berwibawa tanpa menampakkan emosi.
"Yang Mulia." Wei Yuan memberi hormat dengan elegan, lalu mengambil posisinya dalam barisan.
