“Ini anakku!”
Bibi mengerutkan kening, mengangkat Lingyin dan mendudukkannya di pangkuan.
“Apa dia tidak mirip aku?” Bibi agak kesal.
Di mana miripnya? Dia sama sekali tidak ada kemiripan... Wajah tante tua yang semula tersenyum tipis menjadi kaku sejenak, lalu secepat kilat kembali normal, berkata dengan lembut:
“Setelah dilihat lebih dekat, alis dan matanya memang agak mirip. Aku yang kurang awas.”
Hmm, mirip dengan kusir di luar sana.
Perjalanan dilanjutkan dalam diam.
Xu Pingzhi mengemudikan kereta mendekati Menara Pengamatan Bintang, pertama-tama mendengar riuh rendah suara, lalu belok di ujung jalan melihat lautan manusia.
Sekilas dia memperkirakan, kerumunan yang terlihat saja sudah 1-2 ribu. Ini baru sebagian kecil rakyat. Bayangkan berapa jumlah orang yang memadati sekitar Menara Pengamatan Bintang dari segala penjuru - sungguh angka yang mencengangkan.
“Lebih ramai dari Upacara Sembahyang Musim Semi...” Xu Pingzhi menarik tali kekang, menghentikan kereta di pinggir.
“Kenapa berhenti?” Dari dalam kereta, suara bibi terdengar.
“Depan jalan buntu, penuh orang,” Xu Pingzhi menjelaskan: “Kita turun di sini saja.”
Bibi mengangkat tirai jendela, turun dengan bantuan suami. Xu Lingyue juga turun dari kereta dibantu ayahnya, sedangkan si kacang kecil digendong turun oleh Xu Pingzhi.
Bibi mengerutkan alisnya. Biasanya saat naik-turun kereta selalu ada pelayan yang menyediakan bangku kecil, kali ini terasa kurang nyaman.
Untungnya kereta ini sederhana, jarak lantai kereta ke tanah tidak terlalu tinggi. Tidak seperti kereta mewah kayu nanmu berlapis emas miliknya yang tingginya setara pinggang orang.
Dengan lincah ia melompat turun dari kereta.
Xu Pingzhi melambaikan tangan, memanggil seorang Pengawal Kerajaan di pinggir jalan: “Jaga baik-baik kereta ini.”
Sambil berbicara, ia memperlihatkan lencana Pengawal Kerajaan miliknya.
Pengawal Kerajaan muda itu menjawab dengan hormat.
Xu Pingzhi membawa keluarga menyusuri kerumunan menuju jalur yang telah dibersihkan pasukan penjaga istana. Di kedua sisi jalur itu berdiri pasukan penjaga istana yang menghalau rakyat biasa, membentuk "jalur aman" khusus untuk pejabat tinggi.
Di persimpangan jalan, dua tombak pasukan penjaga istana bersilangan menghentikan rombongan Xu Pingzhi.
Xu Pingzhi mengeluarkan lencana pemberian Xu Qi'an. Pasukan penjaga istana melihatnya lalu melepas mereka masuk.
“Ning Yan sekarang posisinya semakin tinggi,” bibi berketa riang: “Tuan, aku bahkan tidak pernah bermimpi bisa duduk bersama pejabat-pejabat tinggi ibukota.”
Xu Xinnian tak tahan menahan iri, mendengus: “Bu, nanti Ibu akan menjadi Nyonya Berpredikat.”
Xu Pingzhi membalas dengan sindiran: “Kau pikir dulu bagaimana caranya bisa tetap tinggal di ibukota.”
Xu Xinnian langsung layu.
Menurut rencana akademi, harus dicari cara untuk mengirimnya ke Qingzhou, menjauhi ibukota, mengembangkan ambisi besarnya.
Tapi Xu Xinnian enggan pergi. Ke Qingzhou berarti berpisah dari orangtua, kakak tertua, dan adik-adik perempuan. Jika masa tugas tiga tahun habis tapi tidak bisa kembali ke ibukota, dia harus menjalani tiga tahun lagi di daerah.
Tiga tahun demi tiga tahun, hanya bisa bertemu keluarga saat kembali ke ibukota untuk laporan tugas.
Tentu ada alasan lain: jika tidak bisa masuk Akademi Hanlin, jalannya menuju kabinet praktis tertutup.
Ucapan Ayah “Putraku Cijiu punya bakat sebagai perdana menteri” benar-benar menjadi omong kosong belaka.
Setelah melewati "jalur aman", keluarga ini memandangi alun-alun luas yang dipenuhi paviliun-paviliun teduh. Pejabat sipil, prajurit, bangsawan duduk teratur namun terpisah jelas di area masing-masing.
Selain itu, banyak pula nyonya-nyonya dan putri klan besar yang membawa seluruh keluarga untuk menyaksikan pertarungan sihir.
Bagi perempuan bangsawan ini, harga diri Kekaisaran Feng hanyalah nomor dua – menonton keributanlah yang paling utama.
Xu Pingzhi mengamati sekeliling sambil membawa istri dan anaknya menuju area kantor Penjaga Malam. Di kursi utama duduk seorang pria berjubah hijau dengan rambut beruban di pelipis.
Di kedua sisinya berjejer para Gong Emas. Di belakang Gong Emas terdapat Gong Perak, sedangkan Gembrekan Tembaga ditugaskan berjaga sehingga tidak berhak menonton dari tenda.
Xu Pingzhi mendekat bersama keluarga, memberi hormat dengan tangan tergenggam, lalu segera mengajak mereka duduk bersama wanita asing tersebut.
Wei Yuan yang termasyhur dan para Gong Emas mengabaikannya, membuat Paman Xu Er lega. Lebih baik tidak menjadi sorotan.
Bibi tua itu juga menghela nafas lega. Menjadi orang biasa sungguh nyaman.
……
Di antara tenda-tenda, yang paling megah adalah paviliun berselimutkan kain sutra kuning. Di bawahnya terpajang meja-meja tempat anggota keluarga kerajaan duduk.
Permaisuri dan Selir Chen yang nyaris bertarung habis-habisan di harem pun hadir. Mereka tertawa riang bak saudari yang rukun, seolah tak pernah ada perselisihan.
Keempat Putri telah berkumpul. Huaiqing duduk di tempat kehormatan, ditemani sang Putri di sampingnya.
Dari para pangeran, hanya Putra Mahkota yang masih dalam tahanan rumah. Yang lain hadir semua.
Pertarungan ini bagi keluarga kerajaan bukan sekadar tontonan, tetapi menyangkut harga diri pengadilan dan reputasi kekaisaran.
"Di mana Xu Qi'an? Kenapa belum muncul? Mampukah ia mengalahkan para botak keledai itu? Metode apa yang akan digunakan para biksu..."
Lin'an terus berbicara tanpa henti, mata persiknya yang berkilau menatap ke sekeliling. Tak melihat budak anjingnya, dia menjadi kecewa.
“Menggantung!”
Pangeran Ketujuh menggelengkan kepala, “Xu Qi'an itu prajurit, bagaimana bisa bertarung melawan Aliran Buddha? Lagipula, dengan kultivasi sepele itu, apa dia sanggup menghadapi?”
Pangeran Ketiga tersenyum menimpali, “Kecuali Aliran Buddha mau adu puisi klasik dengannya.”
Dua putri dan para pangeran tak bisa menahan tawa.
Lin'an murka, matanya menyapu tajam ke arah kakak dan adik perempuannya, “Kalian senang dia kalah? Apa perlu aku buatkan patung Buddha untuk kalian masing-masing?”
Putri Ketiga mengerutkan kening, “Kami hanya bercanda, Lin'an. Kenapa jadi seperti ini?”
Para pangeran lainnya ikut mengerutkan dahi.
Sejak Kasus Selir Fu, karakter Lin'an menjadi kasar. Dia tak lagi sopan terhadap saudara kandungnya, bicaranya semakin tajam.
Huaiqing berkata datar, “Dalam pertarungan aliran Tao, yang kuatlah yang menang. Sistem lain juga begitu. Tapi Aliran Buddha berbeda. Mereka menekankan pencerahan, hati Buddha, dan kebijaksanaan Zen.”
“Xu Qi'an memang cuma petarung Tingkat Ketujuh. Banyak yang lebih kuat darinya. Tapi apa gunanya kekuatan? Sehebat apa pun takkan bisa menyaingi Arhat Du'e?”
Perkataan Huaiqing selalu membuat orang terdiam tanpa sanggup membantah.
Para pangeran dan putri pun menghentikan omongan.
……
Di posisi bersebelahan dengan paviliun keluarga kerajaan, Perdana Menteri Wang Zhenwen meneguk anggur. Ia menyadari pandangan putrinya terus tertuju ke area kantor Penjaga Malam.
Ia mengerutkan kening dan bertanya, "Mu'er, apa yang kau lihat?"
Nona Wang menarik kembali pandangannya, menjawab dengan senyum tipis, "Putri baru pertama kali bertemu dengan Tuan Wei yang termasyhur itu. Sungguh karismanya luar biasa."
Setelah berkata demikian, sorotan matanya yang tersisa menyelinap ke arah seorang junior yang tampan tiada tara.
"Omong-omong, mengapa Yang Mulia tidak terlihat?" Nona Wang dengan licik mengalihkan topik untuk mengalihkan perhatian ayahnya.
Perdana Menteri Wang menoleh ke arah paviliun kerajaan sambil tersenyum, "Dua orang di istana sedang berdebat hiruk-pikuk. Yang Mulia kesal dan tidak mau turun. Saat ini mungkin sedang melihat dari Panggung Bagua."
Nona Wang mengangguk "Oh", lalu bertanya lagi, "Ayah, apa tujuan rombongan utusan Wilayah Barat datang ke ibu kota kali ini? Permintaan tanding ilmu tanpa alasan ini sungguh membingungkan."
Rombongan utusan tidak mungkin datang tanpa agenda. Pasti ada tujuan. Gerakan penuh bau bubuk mesiu dari Aliran Buddha beberapa hari ini membuat orang sadar bahwa kedatangan utusan Wilayah Barat ini tidak membawa niat baik.
"Mungkin terkait kasus Pelanggaran Suci Danau Sangpo," jawab Perdana Menteri Wang dengan datar.
Nona Wang mengerutkan kening. Dari jawaban ayahnya, ia menangkap dua informasi: pertama, sebagai perdana menteri pun ayahnya tidak terlalu paham; kedua, kasus Danau Sangpo sepertinya menyimpan rahasia yang lebih dalam.
Baru ingin mengejar bertanya, Perdana Menteri Wang sudah mengangkat tangan dengan kesal, "Kau ini anak perempuan, jauhilah urusan istana. Kecerdikanmu yang selicin hantu itu, simpanlah untuk suamimu nanti."
"Nona Wang menyeringai, tidak berbicara lagi. Sambil ayahnya tidak memperhatikan, pandangannya kembali tertuju ke kantor Penjaga Malam."
"Setelah pertarungan selesai, aku akan mengadakan acara sastra di kediamanku..." pikirnya diam-diam.
Di sisi lain, Xu Pingzhi memanfaatkan pengalamannya bertahun-tahun bekerja di ibukota. Matanya menyapu deretan paviliun satu per satu, mengenali beberapa orang penting, tentu lebih banyak yang tidak dikenalnya.
Namun, dengan paviliun kekaisaran sebagai inti, semakin dekat jaraknya, pastilah para pejabat tinggi yang statusnya lebih terhormat.
Tiba-tiba terasa seperti melangkah ke panggung kekuasaan ibukota. Semua ini berkat Ning Yan... Jika menang dalam pertarungan ini, namanya akan tersohor di seluruh ibukota dan Kekaisaran Feng... Jika kalah, mungkin akan dicaci maki bertahun-tahun. Sejarah epos pun akan mencatatnya sebagai aib abadi.
Memikirkan ini, Paman Xu Er merasa perasaannya sangat rumit.
"Tuan, lihatlah putri itu. Bukankah dia yang datang menghormati Ning Yan waktu itu?" Bibi yang juga menyaksikan acara itu mengenali Putri Huaiqing yang bersinar bagai teratai dingin.
Xu Pingzhi membalas dengan suara "Hm", mengiyakan istri.
Bibi melanjutkan, "Putri berbaju merah di sampingnya juga cantik, tapi... pandangannya sepertinya bisa menggoda, terlihat kurang sopan."
Xu Pingzhi kaget, berbisik, "Omong kosong! Jangan sembarangan membicarakan putri di tempat seperti ini. Kau ingin seluruh keluarga kita dibantai?"
Bibi segera menutup mulutnya.
“Ada yang tidak boleh diucapkan? Keluarga kerajaan Feng tidak punya satu pun yang baik.” Bibi tua berkata datar.
Kami tidak kenal kamu, pergilah ngomong di situ... Xu Xinnian menyimpan kekesalan dalam hati.
Xu Pingzhi menarik napas panjang, memaksa diri untuk tidak menghiraukan wanita itu, menasihati istri dan anak: "Di tempat seperti ini, harus banyak melihat dan mendengar, sedikit bicara. Tidak melakukan apa-apa berarti tidak akan salah... Linyin?!"
Kata "Linyin" teriakannya bernada berubah.
Entah sejak kapan, Xu Linyin telah melangkahkan kaki pendeknya mendekati kasim berbaju hijau. Ia menengadahkan wajah, menunjuk makanan di meja, dengan penuh harap bertanya:
"Paman, bolehkah aku makan makananmu?"
Melihat pemandangan ini, Xu Pingzhi merasakan sensasi menggelitik dari tulang ekor sampai ke ubun-ubun.
Para Gong Emas di samping Wei Yuan serentak mengerutkan alis, bertanya-tanya dari mana asal bocah kecil yang tidak tahu tata krama ini.
Zhang Kaitai yang pernah berziarah ke Xu Qi'an langsung mengenali si kacang kecil, buru-buru menjelaskan: "Tuan Wei, ini adik perempuan Xu Ningyan."
Para Gong Emas mengamati Xu Linyin dengan tatapan lembut, berpikir: Anak ini tidak takut orang asing, punya nyali, pasti akan menjadi orang besar.
Wei Yuan mengambil sepotong manisan dan menyerahkannya.
Xu Linyin menerimanya, lalu melahapnya dalam beberapa gigitan.
"Manisan tidak dimakan begitu. Semakin lama dikulum di mulut, rasa manisnya akan semakin tahan lama." Wei Yuan tersenyum.
"Kalau menunggu sampai manisnya habis, manisannya sudah habis dimakan orang lain." Xu Linyin mengerutkan alis kecilnya:
“Asalkan aku terus makan, aku akan tetap manis… Paman, aku mau makan lagi.”
Wei Yuan tersenyum dan memberi beberapa buah manisan. Setelah makan beberapa saat, Xu Linyin berkata dengan agak malu: “Kenapa Paman tidak makan?”
Wei Yuan menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Kan Paman sendiri yang tidak mau makan,” mata polos Xu Linyin berkedip-kedip, bertanya dengan hati-hati: “Karena Paman tidak makan, aku baru menghabiskannya.”
“Kau bisa menghabiskannya?” Wei Yuan tertawa, melirik perut kecil Xu Linyin lalu menatap meja penuh buah, manisan, dan kue kelas premium.
“Tu, Tuan Wei…”
Xu Pingzhi dengan nekat mendekat, membungkukkan pinggang, berusaha menahan getar suaranya: “Putri saya nakal, mohon jangan ditanggapi serius.”
Wei Yuan mengangkat lengan jubahnya, mengambil sebuah pir kuning dan memberikannya pada Xu Linyin.
Melihat ini, Jiang Lüzhong tersenyum: “Tuan Wei sedang menemani si kecil bicara, silakan Anda kembali saja.”
Xu Pingzhi melirik si kacang kecil, lalu menatap Wei Yuan yang mengabaikannya, akhirnya pergi dengan pasrah.
“Ayah, takut apa? Kakak adalah gong perak, sangat dihargai Tuan Wei. Lingyin takkan kenapa-kenapa,” kata Erlang.
Xu Pingzhi menghela napas.
Pemuda takkan mengerti betapa mengerikannya Wei Yuan. Mereka yang pernah mengalami Pertempuran Shanhaiguan takkan anggap Wei Yuan orang yang ramah.
Waktu perlahan berlalu, makanan di depan Wei Yuan semakin berkurang. Ia melirik perut kecil Xu Linyin, mengerutkan kening, lalu menekan tangannya di atas kepala anak itu.
Kemudian, ia memijit berbagai bagian tubuh sang bocah perempuan cukup lama.
"Sayang sekali," kata Wei Yuan dengan penuh penyesalan.
"Ayah angkat, ada masalah apa?" tanya Yang Yan.
"Tulangnya kokoh dan energinya melimpah, fondasi bawaan sangat kuat. Tapi kelenturan otot dan uratnya terlalu buruk, tidak cocok belajar bela diri." Wei Yuan menggelengkan kepala.
"Pantasan makannya rakus. Anak perempuan ini tong nasi ya?" ejek Nangong Qianrou.
"Tuituitui..." Xu Linyin meludahi arahnya, alis tipisnya berkerut: "Kamu orang jahat!"
Ia masih ingat kakak perempuan cantik ini pernah datang ke rumah membohongi orang bahwa kakak tertua sudah meninggal, membuat ayah dan ibu menangis lama.
Nangong Qianrou mendengus keras, mengeluarkan saputangan dari sakunya untuk membersihkan air liur di celananya.
Tanpa terasa, waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Master Du'e yang bersila di bawah paviliun membuka mata, suaranya bergema: "Kepala Divisi, tahukah kau tentang biji sesawi di Gunung Sumeru?"
"Trik receh belaka!"
Dari langit ke-sembilan, terdengar suara mengejek Kepala Divisi.
Baik pejabat tinggi di dalam maupun rakyat biasa di luar, semua bersemangat dan bergelora.
Pertunjukan utama dimulai!
Master Du'e mengeluarkan mangkuk emas dari lengan bajunya dan melemparkannya perlahan.
"Brak!"
Mangkuk emas seberat seribu kati menghantam batu paving hingga retak, menancap dalam ke permukaan.
Pancaran cahaya keemasan murni membubung dari mangkuk, mengembang di angkasa lalu menampakkan gunung tinggi dengan tangga batu berkelok-kelok memanjang ke ujung hutan.
Di puncaknya samar terlihat bangunan kuil.
"Metode Dewata..." Bibi tertegun, terpaku membeku.
Kecuali prajurit berkultivasi, semua rakyat jelata yang menyaksikan ini tak bisa mengontrol ekspresi, suara riuh rendah pecah di segala penjuru.
"Ayah angkat, apa itu Xumi Jiezi?" Nangong Qianrou mengerutkan kening.
"Ini legenda dari Aliran Buddha," Wei Yuan melirik Xu Linyin yang tak acuh pada sekelilingnya, berucap datar:
"Xumi menyembunyikan biji sesawi, biji sesawi menampung Xumi. Legenda mengatakan di telapak tangan Buddha ada gunung Xumi, tempat peribadatannya. Ke mana pun ia pergi, sanggar itu selalu menyertai."
Yang Yan teringat Pertempuran Shanhaiguan dua puluh tahun silam, bayangan biksu Buddha tingkat tinggi mengangkut pasukan, tersadar: "Kerajaan Buddha di telapak tangan?"
Wei Yuan mengangguk halus: "Di dalam mangkuk emas ini tersembunyi sebuah gunung."
"Jingsi, masuklah ke gunung dan berkedudukan di pos kedua," Master Du'e memberi perintah.
Biksu tampan berjubah hijau bangkit, menyatukan telapak tangan memberi hormat. Di bawah sorotan ribuan mata, ia melangkah masuk ke mangkuk emas.
Sekejap kemudian, lukisan yang terbentang di langit itu menampakkan sosok biksu muda sedang mendaki gunung.
“Dia mendaki tangga dengan santai, tiba di pinggang gunung, lalu duduk bersila.”
“Sinar keemasan mengalir dari langit, menyatu di tubuhnya. Seketika, permukaan tubuhnya diselimuti lapisan cahaya keemasan, seluruh tubuhnya seolah terbuat dari emas.”
……
“Ternyata di dunia ini benar-benar ada konsep Xumi Jiezi (dunia dalam biji sawi)!” Xu Qi'an bergumam.
“Yang Qianhuan yang membelakanginya mengangguk halus: “Xumi Jiezi, juga disebut negara Buddha di telapak tangan. Tapi sepertinya ini adalah dunia tanpa pemilik yang tersembunyi dalam mangkuk emas.”
“Jika ini adalah 'negara Buddha' yang memiliki pemilik, maka kemenangan akan ditentukan oleh kehendak pemiliknya. Ini masih bisa dianggap adil.””
“Chu Caiwei menyodorkan sekantong kue ke pelukannya, berkata manja: “Xu Ningyan, ini untukmu, makanlah selama pendakian.””
““……Terima kasih, aku tidak lapar.” Xu Qi'an menolak halus.”
“Di belakangnya, sekelompok ahli sihir berbaju putih bersorak: “Pergilah, Tuan Muda Xu. Meski kami tidak tahu mengapa Guru Jenzheng memilihmu, pasti ada alasannya.””
““Pastikan kembali dengan kemenangan, Tuan Muda Xu.””
“Bisa menang atau tidak urusan nanti. Yang penting kesempatan emas ini kugunakan untuk pamer di depan seluruh ibukota…” Xu Qi'an menepuk bahu Yang Qianhuan:”
““Senior Yang, setelah hari ini, kau akan mengerti apa artinya memamerkan kehebatan di depan orang!””
……
“Di luar arena, di atas menara rumah makan, pendekar jubah hijau Chu Yuanzhen dan biksu besar berkepala plontos Hengyuan berdiri berdampingan. Memandang biksu kecil Jing Si yang bercahaya keemasan, sang juara ujian kerajaan mendecakkan lidah:”
“Cahaya keemasan membentuk tubuh, dunia Sumeru ini memperkuat tubuh Adamantium Jing Si. Dengan kekuatan Xu Ningyan saat ini, mustahil untuk memutusnya.”
Hengyuan merasa perasaannya agak rumit. Secara prinsip, sebagai murid Aliran Buddha, seharusnya dia berpihak pada Buddha. Tapi dia juga warga Kekaisaran Feng, dan yang bertarung adalah Orang Baik Xu.
“Ngomong-ngomong, apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Kenapa kalian tidak menerima pesanku?” Chu Yuanzhen bertanya.
“Daozhang Kim Lien yang memblokirnya.” jawab Hengyuan.
Pagi ini, Chu Yuanzhen datang mengajaknya "nonton pertunjukan" bersama, sambil menanyakan soal pesan malam kemarin. Setelah mencocokkan kesaksian, mereka sepakat bahwa Daozhang Kim Lien-lah yang memblokir Nomor Empat.
“Aku tahu Daozhang Kim Lien yang memblokir pesanku. Tapi kenapa?” Chu Yuanzhen menyatakan kebingungannya.
“Mungkin Daozhang tidak mau kamu bocorkan soal Xu Qi'an yang mewakili Sitianjian dalam duel?”
“Hah, menurutmu itu masuk akal?” Chu Yuanzhen menyeringai.
“Tidak masuk akal.” Hengyuan menggelengkan kepala.
“Menurutku ini bukan perkara sederhana.” gumam Chu Yuanzhen sambil merenung. Dia tidak berlama-lama membahas masalah ini, lalu mengalihkan topik:
“Selama tiga hari di Pos Tiga Poplar, ada temuan?”
“Sutra Adamantium tidak bisa diajarkan sembarangan. Guru Buyut Du'e memberitahuku, jika ingin mempelajari Sutra Adamantium, aku harus ikut ke Wilayah Barat dan berkultivasi di Gunung Sumeru selama tiga tahun.” jelas Hengyuan.
“Sampai kau sepenuhnya menjadi bagian Aliran Buddha, dan tak ada lagi hubungan dengan Kekaisaran Feng?” Senyum sinis mengembang di sudut mulut Chu Yuanzhen.
“Bukan demikian,” Hengyuan membela diri: “Sutra Adamantium bukanlah teknik yang bisa dikuasai sembarang orang. Tidakkah kau heran, mengapa yang maju menghadapi tantangan adalah Jing Si, bukan yang lain?”
Chu Yuanzhen tersentak: “Dalam rombongan Wilayah Barat, hanya Jing Si yang berhasil menguasai Sutra Adamantium?”
Hengyuan mengangguk: “Entah terlahir dengan akar Buddha yang memungkinkan memahami makna terdalamnya. Atau, pergi ke Gunung Xumi untuk mendengarkan ajaran Dharma, barangkali ada secercah harapan meraih pencerahan Sutra Adamantium.”
Chu Yuanzhen teringat sesuatu, menepuk tangan dengan geram: “Artinya, meski Xu Qi'an menang dalam kontes spiritual dan mendapatkan Sutra Adamantium, itu akan sia-sia?
“Karena pezina seperti Xu Qi'an mustahil memiliki akar Buddha.”
Hengyuan terdiam sejenak sebelum perlahan mengangguk.
Saat mereka berbincang, suara Master Du'e bergema: “Kontes kali ini bernama Mendaki Gunung! Bila berhasil mencapai puncak dan memasuki kuil tanpa bersedia bergabung dengan Aliran Buddha, berarti kami kalah. Sitianjian memiliki tiga kesempatan.”
Mendengar ini, Wei Yuan tersenyum.
“Mendaki gunung...” Yang Yan bergumam pelan: “Pasti banyak rintangan di sepanjang jalan. Sedikit kelalaian bisa langsung berujung kekalahan.”
Setelah mengumumkan, arhat Du'e kembali diam dan mulai bersila bermeditasi.
Penonton di dalam maupun luar arena menunggu lama, namun Sitianjian tak kunjung mengirim wakil. Keriuhan pun merebak.
“Mengapa Sitianjian tidak bereaksi? Jangan-jangan mereka takut?”
“Di mana Kepala Divisi? Katakan sesuatu!”
“Ada apa ini? Kalau memang takut, mengapa menyanggupi kontes? Mau mempermalukan Kekaisaran Feng lebih jauh?”
Tiba-tiba, seseorang berteriak gembira, "Ada yang keluar dari Menara Pengamatan Bintang!"
Seketika, ribuan kepala berbalik serentak, ribuan tatapan tertuju ke pintu utama Menara Pengamatan Bintang.
Dari lobi lantai dasar, muncul perlahan seorang berjubah dengan kerudung. Tangannya mengguncang guci anggur, kepala tertunduk, wajah tak terlihat.
Saat langkahnya menginjak undakan terakhir, gumaman rendah bergema di arena, dibawa oleh Qi ke telinga hadirin.
"Di usia remaja lima belas dua puluh tahun, jubah hijau dan pedang mengarungi dunia."
Langkah kedua diinjakkan, suara rendah tiba-tiba melengking: "Burung legenda terbang bersama angin, melesat 90.000 li menjangkau langit."
Di bawah tenda-tenda, para pejabat sipil tanpa sadar berdiri, memberikan penghormatan dengan tatapan khidmat.
Langkah ketiga diayunkan. Jari menuding langit, suara bergemuruh: "Di ujung samudra langit menjadi tepian, di puncak Jalan Bela diri akulah mercusuar!"
Alis para pendekar berkerut, ekspresi ganjil. Beberapa preman dunia malah membangkitkan Qi spontan.
Langkah keempat dihentakkan, teriaknya menggema: "Tubuhku menjelajah 3.000 li, sebilah pedang lawan sejuta pasukan."
Wei Yuan mengangkat alis, tubuhnya sedikit condong ke depan.
Para jenderal serentak berdiri tegak.
Langkah kelima diinjak, keluhnya mengguncang: "Tak ada Xu Ningyan di kolong langit, Sembilan Provinsi terbenam dalam kegelapan abadi!"
Xu Xinnian menggigil marah. Ini adalah mahakarya hidupnya, tercipta dalam keputusasaan.
“Saudara Tertua benar-benar tidak tahu malu.”
Dalam kemarahannya, ia melirik ke sekeliling dan melihat wajah-wajah dengan pandangan kosong. Mereka menyaksikan orang berjubah yang melangkah perlahan memasuki arena dengan fokus yang tak tergoyahkan.
“Saat kubacakan puisi ini, keluarga menertawakanku. Tapi saat Saudara Tertua membacanya, semua mata tertuju padanya dengan penuh kekaguman...” Xu Xinnian bergumam dengan geram:
“Saudara Tertua sungguh tak tahu malu.”
Dalam kekesalannya, Xu Xinnian melirik ke wanita di sampingnya yang memandang sosok berjubah itu dengan tatapan kosong.
Putri menatap terpaku pada sosok berjubah itu, seolah tak ada lagi yang layak mendapat perhatiannya.
Huaiqing memancarkan kilau aneh di matanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa pria ini begitu memesona.
Xu Qi'an tidak melanjutkan pembacaan puisi. Dengan membawa guci arak, ia melangkah mantap menuju altar. Saat tiba di depan mangkuk emas, ia membuka kerudungnya dan menenggak arak.
Cairan jingga mengalir di dagunya, membasahi kerah bajunya, mencitrakan keanggunan yang tak terbendung.
Tiba-tiba ia melemparkan guci itu ke tanah. Dalam riuh braak pecahan keramik, ia tertawa mengguntur:
“Pahlawan dunia lahir dari generasiku/Debu zaman mengikis mereka yang masuk ke dunia/Cita megah dibincang dalam canda/Tak ada yang menandingi mabuk kehidupan!”
Dengan tawa penuh keangkuhan, ia melompat masuk ke dalam mangkuk emas.
Sepi mencekam menyergap arena.
Setelah jeda panjang, riuh rendahai tiba-tiba meledak bagai gelombang pasang yang menyapu seluruh ruangan.
“Kekaisaran Feng, PASTI MENANG!”
“Kekaisaran Feng, PASTI MENANG!”
"Penampilan megah ini, setiap bait puisi agung yang dilantunkan, secara instan mengungguli Aliran Buddha dalam segi gaya dan menguasai mereka dalam hal aura."
Juga mengembalikan keyakinan rakyat ibukota.
Para pejabat sipil-militer mengangguk perlahan dengan ekspresi kagum, ternyata aksi spektakuler Xu Qi'an ini mengandung maksud tersembunyi.
Menyapu bersih kemunduran, menyusun strategi baru.
