Haolou.
Jiang Lüzhong duduk di tepi meja kasus, memegang cangkir teh yang disuguhkan staf administratif. Setelah meniup uap panasnya, dia menyeruput perlahan lalu berkata dengan kagum:
"Masih kuingat tahun lalu pernah minum teh di sini. Aromanya menyegarkan pikiran, harumnya melekat di mulut hingga tiga shichen tak hilang."
Wei Yuan yang sedang mencari buku di rak membelakanginya, berkata datar: "Itu teh persembahan istana. Hasil tiga tahun hanya tiga kati. Bahkan Yang Mulia jarang menikmatinya."
"Tidak heran... Jiang Lüzhong tersadar, penasaran bertanya: "Teh ajaib seperti ini, dari mana asalnya?"
"Dari ibukota."
"Masih ada teh sebaik ini di ibukota? Bawahan kok tidak pernah dengar."
"Ditaman seorang wanita. Karena dia di ibukota, maka teh ini berasal dari sana." Suara Wei Yuan lembut dan dalam.
Jiang Lüzhong mengangguk halus, tidak banyak bertanya. Meski tehnya enak, sebagai prajurit sejati dia tidak terlalu antusias. Kunjungannya ke Haolou kali ini punya tujuan jelas.
"Hari ini Ning Yan bercerita, keberhasilannya di Jiaofangsi yang membuatnya disukai para bidadari itu ada rahasianya." Jiang Lüzhong menjelaskan.
"Meiren menyukai puisi klasik, apalagi perempuan Dunia Fana." Wei Yuan tersenyum.
"Bukan itu," Jiang Lüzhong menggelengkan kepala: "Selain puisi, ada dua jurus rahasia: 'berbicara dalam meski hubungan dangkal' dan 'akhirnya, boleh atau tidak'. Bawahan sudah merenungkan lama tapi tak paham... Tentu saja bukan karena ingin jadi seperti itu, murni rasa ingin tahu saja.
"Yang Mulia luas ilmunya, menguasai langit dan bumi. Pasti Yang Mulia sudah paham maknanya."
Usai bicara, Jiang Lüzhong melihat Tuan Wei berbalik tubuh, mengintainya dengan tatapan tajam.
Setelah 10 detik, Wei Yuan mengalihkan pandangan: "Lüzhong, kau sudah mengikuti saya hampir sepuluh tahun ya."
"Benar."
"Sepuluh tahun ini kau setia dan rajin, Yang Mulia memperhatikan semuanya." Wei Yuan mengambil sebuah buku:
“Baiklah, Yang Mulia akan melanjutkan membaca buku. Kau boleh mundur.”
Jiang Lüzhong pergi dengan ekspresi kosong, kembali ke paviliunnya.
Pantat belum sempat panas, seorang staf administratif masuk sambil membungkuk: "Jiang Jin, Tuan Wei punya perintah."
Bukankah baru saja mengusirku... Jiang Lüzhong bertanya: "Apa masalahnya?"
"Tuan Wei berkata, Jiang Jin telah menjalankan tugas dengan penuh dedikasi dan ketekunan. Harus tetap dipertahankan. Selama sebulan ke depan, tugas jaga malam diserahkan kepada Anda."
Setelah berhenti sejenak, staf itu melanjutkan: "Tuan Wei juga berpesan agar Jiang Jin bersiap pindah ke kantor. Untuk sementara jangan pulang ke rumah."
“？？？”
Inikah perintah yang pantas untuk bawahan yang berdedikasi? Ini ucapan manusia? Jaga malam sebulan penuh, berarti selama sebulan aku tak bisa ke Jiaofangsi (Lembaga Pelatihan Musik) bahkan tak boleh menyentuh wanita?!
Jiang Lüzhong agak linglung.
……
Xu Qi'an menunggu selama dua shichen penuh.
Untung sebelumnya tidak minum banyak, kalau tidak pasti canggung... Matahari tidak cukup terik, tidak bisa menggambarkan kesedihanku... Dia menunggu dengan sabar tanpa mengeluh.
Namun Xu Qi'an memperhatikan, setiap seperempat jam ada pelayan perempuan yang diam-diam mengintip dari dalam paviliun ke gerbang.
Xu Qi'an pura-pura tidak melihat.
Sinar matahari cerah, angin musim semi hangat. Setelah musim semi, taman belakang Taman Shao Yin mulai bangun, perlahan menampakkan pesona memikatnya.
Putri Kedua Lin'an yang bermata persik dan beraura menggoda, duduk kesal di paviliun. Dua pelayan perempuan nekat mendekat disuruhnya main catur lima garis.
Setelah sering main catur, ia mulai suka memberi peringatan cara bermain.
Dua pelayan sama sekali tidak merasakan keseruan permainan, tapi tak berani melawan Putri Kedua yang sedang emosi.
"Putri, Yang Mulia Xu masih menunggamu di luar," lapor pelayan muda secara berkala.
Lin'an bersuara mendengus dengan sopan, lalu tak ada kelanjutan.
"Pelayan muda mundur."
Setelah seperempat jam, dia kembali memeriksa kondisi. Melihat Xu Qi'an masih di sana, hatinya tersentuh.
"Putri kita selalu ngambek begini, bukankah ini mengusir orang penting seperti Yang Mulia Xu ke pihak Putri Huaiqing..." Pikiran itu terlintas ketika dia melihat Yang Mulia Xu tiba-tiba limbung dan terjatuh pingsan.
"Aiyo......"
Pelayan muda itu panik, berlari menghampiri. Dia melihat wajah Xu Qi'an pucat pasi dengan alis berkerut kesakitan.
"Yang Mulia Xu? Yang Mulia Xu?" Pelayan itu mendorong-dorongan tubuhnya dengan gugup, wajahnya hampir menangis.
Xu Qi'an "berkebat-kebit" membuka mata, ia menutup dada sambil berdehem beberapa kali, lalu melambaikan tangan: "Tidak apa, aku baik-baik saja. Cuma luka dari pertarungan tadi yang kambuh karena berdiri terlalu lama. Istirahat sebentar pasti pulih."
Pelayan muda itu campur sedih dan terharu, menasihati: "Yang Mulia Xu, lebih baik Tuan pulang dulu. Putri Kedua sedang geram sekali, pasti tak mau menemui Tuan."
“Putri sedang marah?”
Xu Qi'an terkejut, bertanya: “Ada apa dengan Putri? Siapa yang berani membuat Putri marah?”
Pelayan muda itu terdiam, dalam hati bergumam: Bukankah orang yang membuat Putri marah itu justru Anda sendiri?
Dengan suara rendah dia berkata: “Pengawal Taman Shao Yin melihat Yang Mulia Xu masuk ke istana dan pergi ke Dexin Yuan.”
Xu Qi'an terdiam.
Melihatnya tidak memberi penjelasan, pelayan muda itu tampak kecewa: “Yang Mulia Xu pulanglah. Datang lagi setelah amarah Putri mereda.”
Setelah berkata demikian, dia meninggalkan Xu Qi'an dan masuk ke dalam paviliun.
Bergegas menuju paviliun dalam, dia berkata dengan napas tersengal: “Putri, tadi Yang Mulia Xu pingsan!”
Lin'an mengangkat kepala mendadak. Ekspresi kaget dan cemas melintas di wajahnya sebelum ditahan, lalu bertanya datar: “Pingsan?”
“Katanya karena berdiri terlalu lama, luka pertarungan kemarin kambuh lagi,” jawab pelayan muda itu sambil menunduk.
“Aku juga tidak menyuruhnya menunggu... Main catur saja tidak bisa, kalian berdua bodoh!”
Lin'an menggerutu kesal, lalu berkata pada pelayan itu: “Jika belum pergi, persilakan dia masuk.”
……
Xu Qi'an dibawa ke ruang samping. Setelah meneguk teh panas dan menunggu lama, barulah dia melihat sosok berjubah merah masuk - wajah bulat sempurna, fitur cantik, dengan tatapan dingin yang dipaksakan dari mata yang biasanya menggoda.
“Bukannya sudah kukatakan tidak mau menerima tamu? Kenapa kalian masih mempersilakan dia masuk?”
Lin'an menegur dengan nada yang jelas-jelas menunjukkan "tiada perak 300 tael di sini", lalu pandangannya beralih ke Xu Qi'an. Setelah mengamati sejenak, dia tampak lega dan memerintahkan:
"Yang Mulia Xu telah berjasa bagi pengadilan, aku takkan membiarkanmu cedera tanpa imbalan. Hong'er, bawa barang-barang itu masuk."
Pelayan utama yang pernah ditepuk pantatnya oleh Xu Qi'an mundur. Tidak lama kemudian, dia kembali bersama pegawai kebun yang membawa pil ajaib dan bahan tonik.
"Ramuan dan pil ini kuambil dari apotek kerajaan. Yang Mulia Xu boleh membawanya pulang," ujar Lin'an dengan sopan.
"Paduka telah memohon lama kepada Yang Mulia Raja baru dikabulkan," tambah Hong'er.
"Dasar banyak mulut!" Putri mengangkat alis lentiknya, menarik napas dalam: "Hong'er, antarkan tamu."
Xu Qi'an tak bergerak.
Setelah kebuntuan beberapa saat, Xu Gratisan berkata dengan muka tebal, "Aku telah meneliti catur lima garis lama sekali, menemukan jurus andalan tak terkalahkan di dunia. Berani Paduka melawan?"
Ternyata sang Putri terjebak, mengangguk menerima tantangan.
Para dayang pun membawa catur dan bidak. Mereka bertempur 300 ronde di ruang utama, dengan Xu Qi'an kalah tiga kali berturut-turut lalu menyerah.
"Kecerdasan Paduka sungguh tiada tara, bawahan benar-benar kagum," puji Xu Qi'an.
Sang Putri menaikkan dagu dengan angkuh sambil "hmm", teringat ini adalah serigala berbulu domba yang tak bisa dijinakkan, lalu mendengus:
“Permainan catur sudah selesai, aku tidak akan menahan Yang Mulia Xu lagi.”
“Jangan buru-buru, bawahan punya ide permainan baru. Jika Putri tertarik, hamba bisa mengajarkannya.” Strategi Xu Qi'an seperti babi betina tua memakai kutang.
Taman Shao Yin yang tenang tiba-tiba menjadi ramai. Putri memerintahkan pengawal di taman untuk melakukan penebangan kayu, sementara Xu Qi'an memotong kayu yang sudah ditebang menjadi beberapa bagian.
“Kamu ambil pewarna... Kamu ambil pahat...”
Setelah memerintah pengawal, ia mulai menyuruh pelayan perempuan dengan senyum berseri dan semangat menggebu.
Dua pelayan perempuan menerima perintah dan berbincang sambil berjalan:
“Baru saja Putri marah sampai melempar gelas, matanya merah karena emosi... Sungguh hebat Yang Mulia Xu, tanpa kata-kata manis pun Putri mau memaafkannya.”
“Putri hanya sedang melampiaskan amarah, bukan benar-benar membenci Yang Mulia Xu. Kalau sampai dia pergi, baru Putri akan benar-benar sedih.”
“Ahem!”
Suara batuk berat pria tiba-tiba terdengar dari belakang. Kedua pelayan itu kaget seperti rusa ketakutan, menoleh dan melihat Xu Qi'an.
“Yang Mulia Xu terlalu jahat, membuat hamba kaget.” Hong'er menggerutu.
Xu Qi'an bercanda sebentar dengan dua pelayan cantik itu, lalu masuk ke pokok persoalan:
“Hamba ingin bertanya, pil-pil ajaib yang tak ternilai itu sejak kapan disiapkan Putri?”
"Pil-pil ajaib itu dikonsumsi sendiri oleh Yang Mulia untuk menguatkan qi dan memelihara esensi. Konon, satu tungku hanya menghasilkan 24 buah pil, dan dari 24 tungku baru berhasil satu tungku saja. Kemarin Putri mengganggu Yang Mulia di istana cukup lama, sampai Yang Mulia tak tahan lagi, barulah menghadiahkan sebutir." kata He Er.
"Lalu pagi ini langsung mengirim utusan untuk mengundang Yang Mulia Xu. Tapi siapa sangka..." tambah pelayan perempuan lainnya.
"Pergilah!"
Xu Qi'an menepuk-tepuk pantat mereka sebelum mengusir kedua pelayan itu pergi.
Dengan santai ia kembali melanjutkan pekerjaan yang ada di tangannya, mengukir potongan kayu menjadi bentuk pipih, lalu mengukir pola di atasnya.
Selama prosesnya, Lin'an turut membantu mengukir. Setidaknya putri ini pernah belajar sastra dan bela diri, walau tidak ahli dalam keduanya, dasarnya masih lumayan.
Membentuk kayu menjadi pola pipih bukan masalah baginya.
Tak terasa matahari mulai condong ke barat. Karya baru Xu Qi'an selesai - catur!
Melihat dua set catur buatan tangan sendiri bersama si budak anjing ini, Putri tersenyum tulus. Dalam kedipan mata, ratusan bunga kehilangan warnanya, hanya tersisa pesona senyum sang dewi.
"Shichen sudah larut. Biar hamba jelaskan aturannya dulu pada Putri, sebentar lagi hamba harus meninggalkan istana." Setelah berkata demikian, Xu Qi'an menyuruh pelayan mundur.
Putri melirik ke arah matahari, senyumnya berangsur memudar. "Hmm," gumamnya singkat.
Xu Qi'an dengan serius menerangkan aturan catur, tapi sang Putri menyimak dengan setengah hati. Hari ini hatinya memang masih kesal. Harus diakuinya, dulu memaksa merayu Xu Qi'an semata-mata hanya demi merebut barang Huaiqing.
Perlahan-lahan, dia semakin menyukai budak anjing ini, berbagai cara memberinya perak, memberikan semua yang dimiliki padanya, tak pernah memintanya melakukan apapun untuk dirinya. Selama sempat datang mengajaknya bermain, Putri sudah sangat senang.
Tapi dalam hati selalu ada duri, yakni hubungan "tidak pantas" yang terus dipertahankan Xu Qi'an dengan Huaiqing.
Sudah jelas menyanggupi untuk melayaninya, melepaskan diri dari Huaiqing, diam-diam masih berhubungan dengan Huaiqing. Bukankah ini hubungan tidak pantas?
Dia pura-pura tidak melihat, sekali dua kali tiga kali... sampai hari ini akhirnya meledak. Demi memohon pil ajaib, dibentak dan dimarahi Ayah, dengan muka tebal menahan mentah-mentah. Keesokan harinya mengirim orang untuk menjemput Xu Qi'an, menunggu dengan riang.
Yang kutunggu hanya sepatah kata dari pengawal: Dia pergi ke Dexin Yuan.
Ada satu momen, Putri merasa harga dirinya hancur, merasa dirinya seperti berperilaku dengan muka tebal. Sebenarnya Xu Qi'an sama sekali tidak menganggapnya penting, bahkan memperlakukannya seperti idiot.
Sangat sedih sampai ingin menangis.
"Aduh!"
Tiba-tiba, Xu Qi'an menghela napas panjang dan berbisik, "Putri, tadi aku mampir ke Dexin Yuan dulu."
"Wajah Putri langsung berubah pucat, memalingkan muka: 'Aku tidak tahu apa-apa tentang Dexin Yuan, sejak kamu masuk istana langsung datang ke sini.'"
"'Tidak, aku memang sengaja menemui Putri Huaiqing terlebih dahulu.'"
"'Xu Qi'an!'"
Putri berteriak keras, memutar wajahnya yang sudah memerah di sekitar mata. Apakah dia harus membongkar semua ilusiku? Tidak bisakah dia mempertimbangkan perasaanku?
Xu Qi'an kembali menghela napas panjang, matanya menatap mentari tergantung di barat. Sorot matanya menjadi dalam dan penuh makna, seolah menyimpan ribuan kisah dan pengalaman hidup.
Perlahan ia bersabda kata demi kata: "Paduka, apakah Paduka pernah mendengar pepatah ini?"
Putri diam membeku.
"'Dalam hidup kita akan temui banyak pemandangan dan orang, tapi pilihan terakhir yang kau buat itulah yang paling tulus dari hati.'"
Putri tertegun, memandangnya dengan tatapan kosong.
"'Hari ini Paduka dan Putri Huaiqing sama-sama mengundangku. Tanpa ragu aku memilih menemui Putri Huaiqing terlebih dahulu. Mengapa? Bukan karena dia lebih penting dari Paduka.'"
Xu Qi'an bangkit berdiri dengan semangat: "Andai aku datang ke Taman Shao Yin lebih dulu, pasti tidak bisa berlama-lama. Hanya beberapa patah kata lalu pamit ke Dexin Yuan. Ha! Mungkinkah aku mengabaikan undangan Putri Huaiqing?"
"'Tapi dengan mendatangi Dexin Yuan terlebih dahulu, aku bisa menemanimu sampai gerbang istana ditutup. Mana yang lebih penting antara Paduka dan Huaiqing di hatiku, bukankah sudah jelas?'"
Tatapan Putri perlahan melunak, ekspresinya berubah dari dingin menjadi penuh kelembutan.
“Xu Qi'an duduk kembali, memandang Lin'an dengan tatapan dalam seperti ketika menatap matahari terbenam tadi, berkata lembut: 'Karena aku tahu, yang Putri butuhkan adalah pendampingan.'”
“Kalimat ini menyentuh bagian paling lembut di hati Putri. Ya, dia merasa kesepian dan sunyi.”
“Sejak Kakak Pangeran dikenakan tahanan rumah, Ibu Selir terus meratapinya dan menjejalinya tentang niat jahat Permaisuri. Sikap saudara-saudaranya pun semakin dingin.”
“Ayah tetap sebagai ayah, tapi Lin'an bukan lagi Lin'an yang dulu. Setidaknya kini dia sadar, kasih sayang ayah sepenuhnya karena sifatnya yang polos dan tidak berbahaya.”
“Di balik penampilan putri yang memesona dan angkuh, di hatinya tinggal seorang gadis yang kesepian.”
“Xu Qi'an melirik sekeliling, memastikan pelayan perempuan sudah pergi, lalu berani menggenggam tangan kecil Lin'an:”
“‘Putri, aku akan selalu menemanimu.’”
“Suhu dari genggaman tangan itu terasa hangat. Pipi Lin'an memerah, hatinya bagai disiram aliran hangat.”
“Waktu berlalu dalam keheningan. Xu Qi'an tetap menggenggam tangannya. Suasana ambigu mulai mengkristal di antara mereka.”
“‘Putri, hari sudah sore. Bawahan pamit duluan. Jika ingin bertemu setiap hari, Putri bisa pindah ke Lin'anfu daripada tinggal di istana.’” Xu Qi'an berbisik.
……
“Dalam cahaya senja, Xu Qi'an menuntun kuda betina kesayangannya, derap kakinya bergema di Kota Kekaisaran.”
“Kuda betina kesayangan, berdasarkan pengalaman bertahun-tahunku merayu wanita, kali ini bisa menggenggam tangan Lin'an, lain kali pasti bisa memeluknya... Gadis memang harus dikejar, kalau tidak dikejar dia bukan milikmu.
“Dulu aku pernah dengar lelucon: Seorang playboy berkata pada pacarnya: Orang tuamu baik karena kau anak mereka. Hanya kebaikanku padamu yang tulus mencintai dan menyayangimu.
“Meski logika ngawur, tapi logika ngawur tetaplah logika. Kebaikan Lin'an padaku benar-benar tulus, tanpa campuran kepentingan. Tapi mungkin dunia orang dewasa justru lebih banyak urusan manfaat.
“Meski dia agak bodoh, seperti vas bunga cantik, tapi vas bunga ini mengosongkan diri sepenuhnya untukmu.
“Kalau bicara istri ideal, tetap Chu Caiwei. Makan nasi basinya paling enak tanpa efek samping. Lin'an dan Huaiqing terlalu berisiko.
“Sebenarnya di posisiku sekarang, tak ada syarat khusus untuk wanita. Cuma berharap mereka bisa menerapkan standar ketat pada diri sendiri.”
Di sini, kuda betina kesayangan mendorongnya dengan kepala, mengeluarkan dua derik hidung.
“Kau juga mau kuberi syarat?”
Xu Qi'an berpikir sejenak, “Untukmu... jangan remehkan belut kecil!”
……
Di Kediaman Wang, Wang Zhenwen yang pulang ke kediaman setelah jam dinas menyantap makan malam, lalu ke ruang baca membuka laporan. Di usianya, wanita sudah tak penting.
Mungkin terpengaruh stimulasi rambut Kaisar Yuanjing yang memutih lalu menghitam kembali, para pejabat istana jarang mendekati wanita, sangat memperhatikan kesehatan.
"Tapi Kaisar Yuanjing memiliki bimbingan kultivasi dari Sekte Manusia, dan Sekte Manusia yang membuat pil ajaib untuknya. Ini adalah perlakuan yang tak bisa dinikmati para pejabat istana."
Wang Simu masuk membawa sup peremajaan, lalu dengan alasan merapikan meja, diam-diam mengintip laporan dan catatan ayahnya. Terkadang bahkan berani bertanya macam-macam yang dianggap kurang ajar.
"Dengar dari pelayan kediaman, hari ini di acara sastra, Huiyuan dari Akademi Yunlu datang?" tanya Wang Zhenwen.
"Ya, bahkan sempat berselisih dengan keponakan Menteri Sun."
Wang Simu menceritakan seluruh kejadian secara detail kepada ayahnya, lalu mendengus:
"Ayah, awalnya anak lihat Huiyuan Xu itu punya ide brilian, makanya diundang. Tahu-tahu dia emosional, tak bisa menahan diri, orang sembrono. Ayah harus menghukumnya untuk membela adik Yan!"
Perdana Menteri Wang melihat masalah lebih dalam sambil bergumam: "Murid lulusan Akademi Yunlu yang mengikuti sistem kultivasi Konfusianisme, karakternya tentu tak terlalu buruk."
"Bisa meraih gelar Huiyuan sebagai murid Akademi Yunlu, memang termasuk talenta langka. Masalah pertengkaran antar generasi muda seperti kalian, itu urusan sepele."
Nona Wang menyunggingkan sudut bibir: "Berarti pendapat anak sama dengan Ayah. Menurut Ayah, apakah mungkin kita merayunya?"
"Merayu dia? Untuk apa? Meski berbakat, tak harus dia. Merugikan pejabat lulusan Guozijian hanya demi dia, itu tak bijak. Lagipula Ayah ini perdana menteri, panutan para pejabat sipil." Perdana Menteri Wang menggelengkan kepala.
“Karena Ayah adalah teladan pejabat sipil, justru upaya perekrutan yang Ayah lakukan akan mendapat hambatan terkecil. Menurut putri, jika kita bisa merekrutnya ke dalam bawahan, selain bisa meredam kesombongan Akademi Yunlu, kita juga akan mendapatkan jenderal kompeten. Dua keuntungan sekaligus.”
Nona Wang berpura-pura seperti sedang "menganalisis situasi untuk kepentingan Ayah".
“Tanpa alasan khusus, merekrut orang ini lebih banyak mudaratnya.” Wang Zhenwen menggelengkan kepala.
Nona Wang ingin melanjutkan argumennya, namun tatapan ayahnya langsung mematikan pikirannya.
Cukup sampai di sini.
Tanpa alasan khusus... kebetulan aku juga perlu mengamatinya lebih lama... Pikiran Wang Simu dipenuhi kepuasan.
……
Tembok Selatan, Yangsheng Tang.
Di gudang kayu, cahaya keemasan berangsur memudar. Biksu Jingchen menenangkan "Anjing Hitam" hingga terlelap dalam mimpi indah.
“Amitabba!”
Biksu paruh baya dengan cuping telinga gemuk bersuara berat dengan wajah penuh welas asih: “Keberlangsungan hidup anak ini adalah suatu keajaiban.”
“Ahli sihir Sitianjian pernah mengobatinya, itu... melalui koneksi Yang Mulia Xu.” Hengyuan menambahkan di sampingnya.
“Selama bertahun mengembara di Dunia Fana, menyaksikan penderitaan tak terhitung. Seringkali hamba bertanya, mengapa ribuan lentera Buddha tak sanggup menembus lapisan kegelapan dunia.
“Baru kemarin hamba memahami ajaran Mahayana. Mengejar tingkat spiritual, mengejar status arhat atau bodhisattva adalah untuk keselamatan diri - itu Hinayana. Menyelamatkan umat manusia adalah Mahayana. Jika semua orang dipenuhi welas asih, perlukah lentera Buddha? Tidak lagi.”
Biksu Jingchen berkata dengan perasaan haru.
Hengyuan mengangguk halus, menyatukan kedua telapak tangan: "Yang Mulia Xu benar-benar jelmaan dewa."
Biksu Jingchen menyatukan kedua telapak tangan: "Dia adalah bibit Buddha bawaan lahir, anugerah agung dari Yang Maha Kuasa untuk Aliran Buddha. Biksu ini percaya, suatu hari nanti dia pasti akan mencapai pencerahan sejati dan masuk ke dalam Sangha."
"Biksu ini sangat menantikan hari itu." Hati Hengyuan berbinar-binar.
Biksu Jingchen mengangguk, lalu melanjutkan: "Anak ini kondisi fisiknya lemah, kerusakan kecerdasan spiritual membuatnya tak bisa pulih dalam waktu dekat. Tak tahan perjalanan jauh, saran biksu ini adalah bawa dia ke Kuil Qinglong. Sedangkan kamu, sudah waktunya melanjutkan perjalanan ke barat.
"Kamu sudah tahu, setelah delapan- ada tiga-, tiga- disebut Adamantium. Jika kamu tak melatih Ilmu Adamantium Suci, selamanya tak mungkin menjadi Adamantium."
Hengyuan ragu lama, akhirnya menggelengkan kepala perlahan: "Tadi Paman Guru bilang, menyelamatkan diri sendiri adalah ajaran Hinayana, menyelamatkan semua makhluklah Mahayana."
Jingchen tertegun, menunduk malu sambil menyatukan telapak tangan: "Kakek Guru benar, kamu memang memiliki akar kebijaksanaan yang lebih dalam. Baiklah, baiklah."
Meski telah memahami ajaran Mahayana, kebiasaan berpikir puluhan tahun untuk menyelamatkan diri sendiri tak mudah diubah.
Inilah perbedaan antara yang telah mencapai pencerahan dan yang belum. Arhat Du'e telah tercerahkan, dia tak lagi memiliki inersia pemikiran seperti itu.
"Besok Kakek Guru akan membawa kami kembali ke Wilayah Barat," kata Biksu Jingchen.
"Segitu cepat? Masalah makhluk jahat itu, tidak diselidiki lagi?"
“Makhluk jahat telah bebas selama beberapa bulan, tidak perlu terburu-buru. Guru Buyut ingin kembali ke Wilayah Barat terlebih dahulu untuk menyebarkan ajaran Mahayana.” Biksu Jingchen menjelaskan.
Setelah mengantar kepergian Biksu Jingchen, Hengyuan hendak berbalik badan ketika tiba-tiba melihat seorang Lao Dao berdiri dalam kegelapan paviliun, menatapnya sambil tersenyum.
“Taois Kim Lien?”
……
Kediaman Xu.
Matahari terbenam di barat hanya menyisakan ujung, hampir tenggelam namun masih menggantung, langit kemerahan dipenuhi awan indah berwarna-warni.
Xu Qi'an menunggang kuda betina kesayangan pulang ke kediaman, melemparkan tali kekang kepada pelayan penjaga pintu, lalu masuk ke dalam. Waktu dihitung sangat tepat, persis saat makan malam.
Di meja makan, Xu Xinnian menceritakan keikutsertaannya dalam acara sastra hari ini, sekilas menyebutkan tentang Xu Lingyue yang didorong jatuh ke kolam.
“Apa? Lingyue jatuh ke air?”
Xu Qi'an memandangi adik perempuannya dengan penuh perhatian: “Bagaimana kondisi badanmu? Ada pusing atau demam? Jangan-jangan kena flu?”
Xu Lingyue menjawab lembut: “Tidak ada, Kakak jangan khawatir. Setelah pulang, aku sudah minum obat. Tidak akan kena flu.”
“Ada apa ini?” Xu Qi'an menatap tajam Erlang: “Bagaimana caramu menjaga adik? Ikut acara sastra saja bisa jatuh ke air. Buat apa kamu?”
Erlang melirik Xu Lingyue, yang buru-buru membela: “Jangan salahkan Kakak Kedua. Dia tidak mungkin terus mengawasiku. Lagipula setelah aku jatuh, Kakak Kedua langsung menyelamatkanku.”
“Orang yang mendorongku adalah keponakan perempuan Menteri Hukuman. Sudah meminta maaf dan memberikan ganti rugi.”
Keponakan perempuan Menteri Hukuman... Xu Qi'an mengangkat alisnya, tersenyum sinis: "Baik, nanti aku akan kirim orang untuk mengawasi Kediaman Sun. Saat keponakannya keluar, suruh kereta kudanya menabrak sampai mati."
Setelah itu, dia memandang Lingyue dengan wajah penuh penyesalan: "Adik, ini karena kesalahan Kakak."
Xu Lingyue mengembungkan pipinya, tidak senang: "Apa yang Kakak bicarakan? Kita sudah keluarga masih begitu resmi."
Adik ini sungguh baik hati!
……
Setelah makan malam, Xu Qi'an memulai perjalanan kultivasinya yang panjang: mengatur pernapasan, meditasi visualisasi, memahami Pedang Hati, mempelajari seni menyimpan kesadaran, serta mendalami Ilmu Adamantium Tak Terkalahkan.
Ini membuatnya merasa seperti kembali ke masa sekolah dengan beban pelajaran yang menumpuk.
Tiba-tiba, kabut tebal menyelimuti pandangannya. Ia melihat lapisan-lapisan kabut, memasuki dunia Biksu Shenshu.
Menembus kabut, tiba di sebuah kuil tua yang reyot, melihat biksu tampan yang sedang duduk bersila.
Biksu Shenshu memandangnya dengan tatapan lembut: "Aku akan memasuki tidur panjang dan tak bisa bangun dalam waktu dekat, jadi tak bisa menjagamu. Kuberikan setetes darah esensial lagi untukmu pelajari Ilmu Adamantium."
Darahnya bisa digunakan untuk kultivasi Adamantium? Xu Qi'an terkejut.
Biksu Shenshu tersenyum: "Kau harus pahami bahwa tubuh abadiku ini berdasar apa. Ilmu ini sulit dan lambat perkembangannya bagi orang lain, tapi bagimu bisa mencapai pencapaian nirwana dalam waktu singkat. Dengan ini kau punya cukup kemampuan bertahan."
"Setelah berkata demikian, dia melontarkan setetes darah esensial yang menembus pelipis Xu Qi'an."
"Seketika, tubuhnya terlempar keluar dari dunia kabut dan membuka mata di dalam kamar."
"Kreek-kreek-kreek..."
"Dentuman keras seperti kacang meletus dari tubuhnya. Di permukaan kulit, urat-urat menonjol dan pembuluh darah menggelembung, lalu semuanya dilapisi cat emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin."
"Otak Xu Qi'an dipenuhi seruan 'Wocao!' besar."
"Kultivasi Adamantium telah mencapai tingkat mahir. Sekarang, jika harus bertarung tangan kosong dengan Biksu Jing Si, belum tentu siapa yang kalah."
"Tentu saja, hal ini tidak boleh terpapar di mata Aliran Buddha."
"Xu Qi'an membubarkan aura Adamantium-nya, duduk di tepi meja sambil memutar gelas teh, tenggelam dalam perenungan."
"Biksu Shenshu adalah anggota Aliran Buddha, entitas abadi tak terkalahkan... Pasti dia juga menguasai Adamantium. Kepala Divisi yang menyetujui pertandingan dan secara eksplisit memintaku mewakili Sitianjian..."
"Mengapa Kepala Divisi membangun jalan raya untukku? Bahkan sampai segitunya? Tidak, ini lebih terasa seperti sedang memelihara korban pasar saham..."
"Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan."
"Siapa?"
"Xu Qi'an bangkit dan membuka pintu. Di balik kegelapan malam, berdiri seorang pendeta tua beruban dengan bulu kesucian di tangan, tersenyum ramah."
"Di belakangnya terlihat pendekar jubah hijau Chu Yuanzhen dan sosok perkasa Lu Zhishen."
"Kalian..."
"Xu Qi'an tertegun. Bagaimana mungkin mereka tiba-tiba datang ke rumahnya?"
“Saya punya seorang adik muda yang sedang dalam masalah, ingin meminta bantuan Yang Mulia Xu.” Taois Kim Lien berkata.
