Perdana Menteri Wang memberi hormat kepada para pejabat, lalu mengikuti kasim tua masuk ke istana. Mereka berjalan sampai ke ruang samping ruang studi kekaisaran.
Kasim tua itu memerintahkan kasim lain untuk menyajikan teh, lalu berkata dengan hormat: "Perdana Menteri harap bersabar sebentar."
Setelah mengatakan itu, ia pun pergi.
Perdana Menteri Wang duduk sendirian di kursi. Waktu menunggunya kali ini berlangsung selama setengah shichen.
Ia tak terlihat gelisah, tetap menunggu dengan tenang dalam jubah merah dan topi tinggi, pelipisnya mulai memutih.
Ekspresinya datar, tak terbaca emosi. Namun pandangan matanya yang terkadang kosong mengisyaratkan bahwa emosi pria tua ini tak sesantai penampilannya.
Akhirnya, derap langkah kaki terdengar.
Mata Perdana Menteri Wang yang agak keruh berbinar sebentar saat menatap ke arah pintu.
Kasim tua berbaju naga masuk sendirian dengan bulu kesucian di pelukan lengannya, berkata penuh penyesalan: "Yang Mulia sedang dilanda duka yang tak tertahankan. Beliau merasa tak pantas menemui Paduka saat ini."
Sorot mata Perdana Menteri Wang berangsur-angsur meredup.
Kasim tua itu menghela nafas: "Yang Mulia butuh waktu untuk menenangkan diri. Paduka tentu paham, Pangeran Huai adalah adik kandungnya. Sejak kecil hubungan mereka sangat erat..."
Perdana Menteri Wang mengangguk datar, memberi hormat, lalu meninggalkan ruang samping ruang studi kekaisaran.
Saat menuruni tangga, tak tahan ia menoleh kembali ke arah ruang studi kekaisaran, lalu membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Kemudian pergi dengan langkah lebar, tak menoleh sedikit pun.
……
Memandang Perdana Menteri Wang pergi, kasim tua itu menghela napas legas. Ia agak takut dengan pandangan Wang Zhenwen yang penuh kekecewaan.
Melewati ruang studi kekaisaran, ia memasuki kamar tidur kekaisaran dan membungkuk: "Yang Mulia, Perdana Menteri telah pulang."
Kaisar Yuanjing "Hmm" tanpa membuka mata, tetap bermeditasi, bertanya: "Siapa saja yang berkumpul di gerbang istana?"
Kasim tua itu bersuara berat: "Semua yang seharusnya datang telah hadir."
Kaisar Yuanjing mendengus: "Zhen sudah tahu! Anjing-anjing ini saling serang sehari-hari, separuhnya hanya sandiwara. Keji! Layak dipenggal!"
Setelah marah sejenak, ia tenang kembali: "Apakah Censor Utama Kiri Yuan Xiong datang?"
Kasim tua itu menggelengkan kepala: "Sepertinya tidak terlihat."
Kaisar Yuanjing kembali memejamkan mata. Setelah senyap lama saat kasim tua mengira semuanya berakhir, tiba-tiba terdengar suara kaisar:
"Catat nama-nama yang tidak hadir hari ini. Lakukan hal sama dalam beberapa hari ke depan."
"Da!"
……
Senja, dalam cahaya keemasan kemerahan.
Xu Qi'an menuntun kuda betina kesayangannya, Xu Xinnian menggiring tunggangannya, berjalan perlahan di jalanan.
Bersama mereka Gubernur Zheng Xinghuai dan prajurit kelas lima Shentu Baili.
"Yang Mulia Zheng, apakah Anda menginap di pos peristirahatan?" Suara Xu Qi'an menyiratkan kekhawatiran.
Dengan jabatan Zheng Xinghuai, tempat menginapnya pasti di pos dalam kota dengan kondisi keamanan baik, dilindungi Shentu Baili dan pasukan pengawal pribadi.
Hanya saja, musuh mereka sekarang adalah Kaisar Yuanjing, beberapa hal harus diwaspadai. Prajurit lima tingkat Hua Jin, di ibukota memang tak seberapa.
"Saudara Tertua tak perlu khawatir, peristiwa pembantaian kota oleh Pangeran Zhenbei ini telah mendorong Yang Mulia ke pusat badai, juga mendorung Tuan Zheng ke pusat badai. Bahkan Yang Mulia pun tak akan melakukan tindakan bodoh di saat seperti ini, akan memicu kemarahan publik. Harus dipahami bahwa arus besar tak bisa ditahan mentah-mentah."
Xu Xinnian berkata.
Gubernur Zheng menatapnya heran, di wajah yang penuh derita itu muncul secercah kekaguman:
"Xu Qi'an (Gong Perak), sepupumu ini memang memiliki visi yang tajam, ucapannya sangat tepat. Postur yang tenang menghadapi kejayaan maupun aib ini, pasti akan memiliki masa depan gemilang."
Xu Xinnian tersenyum tipis.
Tidak, dia hanya terbiasa bersikap angkuh dan pamer/sok jagoan. Sebenarnya daya tahan hatinya biasa saja, sering mengalami mati sosial. Bukanlah Grandmaster yang bisa tenang meski gunung runtuh di depan mata... Xu Qi'an menggerutu dalam hati.
Gubernur Zheng tak tahu permainan batin Xu Gratisan ini, dengan nada bernostalgia berkata: "Dia mengingatkanku pada pesona masa muda Tuan Wei."
Bukan, Tuan Zheng, apakah Tuan Wei setuju dengan pernyataan ini... Xu Qi'an menyeringai kaku, akhirnya memilih diam.
Beberapa hal yang terjadi telah terjadi, satu hari tak ditangani, terasa seperti duri di tenggorokan.
"Tak perlu khawatir," kata Gubernur Zheng: "Pos peristirahatan kedatangan sekelompok Penjaga Malam, kau paham maksudku."
“Tuan Wei sudah mengantisipasi hal ini. Dengan dia menjaga keselamatan Gubernur Zheng, aku tak perlu khawatir lagi...” Hati Xu Qi'an merasa lega.
“Saya pamit!”
Gubernur Zheng memberi hormat, lalu pergi bersama Shen Tu Baili.
Xu Qi'an memandang diam-diam. Dari Chu Zhou ke ibukota, hanya sepuluh hari, siluet punggung Zheng Xinghuai sudah mulai membungkuk. Seolah ada beban berat di pundaknya yang membuatnya tak bisa tegak.
“Hah...” Dalam hati dia menghela nafas, meraba lekuk punggung kuda betina kesayangannya, lalu menaikinya.
Diiringi derap-derap kuda, kedua saudara itu berjalan perlahan menuju rumah.
“Gubernur Zheng orang yang malang. Lulusan Jinshi tahun Yuanjing ke-19. Menurut Censor Liu, ayahnya meninggal muda. Ibunya yang janda membesarkannya dengan susah payah. Setelah berhasil menyekolahkannya ke Guozijian hingga lulus Jinshi, sang ibu yang sudah kelelahan seumur hidupnya tak sempat melihat anaknya pulang dengan jubah kehormatan sebelum meninggal.”
Sambil menunggang kuda pelan-pelan, Xu Qi'an bercerita: “Karena sikapnya yang kaku dan tak bisa fleksibel, dia berseteru dengan perdana menteri sebelumnya lalu dibuang ke Chu Zhou.”
“Delapan belas tahun dihabiskannya membangun Chu Zhou, separuh hidupnya terkubur di sana. Tapi semuanya hancur berantakan dalam semalam.”
Xu Xinnian terdiam lama. Rasa sesak di dadanya seperti terhimpit, membuatnya sangat menderita.
Setelah menghela nafas panjang, dia berkomentar pilu: “Delapan belas tahun badai kehidupan, separuh hayat membangun imperium... hanya bisa diceritakan pada tulang belulang.”
“Jangan bicarakan ini.” Sepertinya untuk melepaskan diri dari perasaan depresif itu, Xu Qi'an menunjukkan senyum tak sopan:
“Cijiu, sudah sampai tahap mana dengan nona muda Wang? Apakah sudah…hmm, ‘menuangkan semua isi kantung’?”
Xu Xinnian memerah wajahnya, tidak senang: “Kata ‘sampai’ itu terlalu vulgar. Aku mengakui ada rasa tertarik pada Nona Wang. Dia terpelajar, berpengetahuan luas, tutur katanya elegan, bisa berdiskusi sejarah dan masa kini bersamaku.”
“Kecantikan intelektual seperti ini, selain Putri Huaiqing, belum pernah kulihat yang lain. Wajar saja jika sedikit terpikat.”
Adik, selera kita berdua sama. Aku juga menyukai wanita terpelajar seperti Huaiqing. Oh, selain itu aku juga suka si bodoh Lin'an, si pemakan Cai Wei, wanita pejuang Li Miaozhen, dan si korban malang Zhong Li...
“Sebenarnya aku selalu ragu-ragu.” Xu Xinnian menghela napas: “Wang Zhenwen adalah lawan politik Wei Yuan. Belum tentu dia akan menikahkan Simu denganku. Dan aku juga belum memutuskan untuk menikahinya.”
Xu Qi'an tidak lagi bercanda, bergumam pelan: “Masalah ini sudah kita bahas berkali-kali. Antara kau dan aku, harus ada pemisahan.”
“Kau tempuh jalan cerahmu, aku lewati jembatan kayu tunggalku. Heh, bukankah Tuan Wei itu jembatan kayu tunggal? Aku tahu kekhawatiranmu, takut dipaksa Wang Zhenwen melawanku, pertumpahan darah sesama. Untuk hal ini, Kakak akan memberitahumu sebuah cara.”
Xu Xinnian sopan meminta petunjuk: “Silakan Kakak jelaskan.”
Xu Qi'an berkata dengan nada mengejek: "Memiliki istri sebagai jaminan keamanan diri."
"Apa maksud Saudara Tertua ini?"
"Dengan menikahi putri mereka, secara tidak langsung kamu menyandera mereka. Kecuali Wang Zhenwen tidak peduli pada putri sahnya, meski hubungan kalian buruk, dia takkan benar-benar kejam. Pertahankan batas ini, maka posisimu akan aman. Lagipula, kau tak perlu sepenuhnya bergantung pada Keluarga Wang, hanya memberi Keluarga Xu jalur alternatif."
"Ada logikanya." Xu Xinnian mengangguk perlahan.
Melihat adiknya mulai memahami, Xu Qi'an tersenyum. Matanya menatap ke depan sambil memikirkan simpanannya yang dirawat di luar.
Sudah lama tak bertemu, aku mulai merindukannya... Daya tarik wanita tercantik pertama di Kekaisaran Feng ini memang aneh. Tak semenarik Nuo Yuhui, tapi diam-diam menyusup ke hati?
Sungguh ingin tahu asal-usulnya yang sebenarnya.
Baiklah, biarkan simpanan ini tetap di tempat kekasih cantikku. Akan kujumpai setelah urusan Pangeran Zhenbei mereda. Sebelum itu, harus ekstra hati-hati.
Zhong Li juga kutitipkan dulu di Sitianjian. Beberapa hari ini pasti sering keluar-masuk, membawanya tidak praktis.
Putri Lin'an dan Huaiqing juga kuhindari dulu. Belakangan ini mustahil masuk istana, apalagi ini menyangkut keluarga kerajaan. Aku juga terlibat, jadi lebih baik tidak menemui mereka.
Saat tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar suara Xu Erlang yang bingung: "Saudara, apa arti 'melepas kantung' ini?"
Awalnya dia mengira ini salah ucap dari kakaknya yang kurang pendidikan. Tapi semakin dipikir semakin aneh, akhirnya tak tahan bertanya.
“Xu Qi'an berpikir sejenak, lalu menjawab: "Jika seorang pria mencintai seorang wanita, lihat apakah dia bersedia mengorbankan segalanya untuknya.""
"Ada kriteria seperti itu?" Xu Ci-Jiu bertanya, "Lalu bagaimana dengan wanita yang mencintai pria? Bagaimana cara mengetahuinya?"
Sejak Kakak Tertua mencapai tingkat Penyulingan Qi, rejeki bunga persiknya terus bermekaran. Dia selalu bisa menarik perhatian gadis-gadis tercantik. Dalam hal urusan asmara, Xu Ci-Jiu memang masih mengakui kehebatan kakaknya.
"Apakah kamu ingin bertanya apakah Wang Simu benar-benar menyukaimu?" Setelah merenung lama, Xu Qi'an berkata: "Lihat saja apakah wanita itu bersedia membalas kebaikanmu dengan sepenuh hati."
Omongan apa lagi ini... Xu Ci-Jiu tidak bisa memahami metafora kakaknya. Sepanjang perjalanan dia terus memikirkan kata-kata itu.
……
"Kakaa..."
Saat memasuki kediaman dan sampai di ruang dalam, kebetulan sedang waktu makan malam.
Begitu melihat kakaknya yang lama tak pulang, Xu Linyin langsung meninggalkan makanannya. Dengan kaki pendeknya yang lucu, dia berlari riang menyambut lalu menubruk dada Xu Qi'an.
Badan Xu Qi'an bergoyang sedikit, terkejut.
Baru satu setengah bulan tidak bertemu, kekuatan si kacang kecil sudah meningkat sampai segini?
"Apa akhir-akhir ini kamu membuat Bu marah?" Xu Qi'an menggendong si kecil sambil berjalan ke ruang makan.
"Hah? Aku sering bikin Bu marah?" Xu Linyin balik bertanya dengan wajah penuh keheranan.
Padahal dirinya anak yang sangat penurut. Bu sendiri pernah bilang, seumur hidupnya tidak mengerti kenapa bisa melahirkan Xu Linyin.
Dari situ jelas bahwa dia berbeda dengan Kakak Tertua, Kakak Kedua, dan kakak perempuannya.
“Xu Linyin sampai sekarang masih belum bisa membedakan sepupu dan kakak kandung, selalu mengira Kakak Tertua juga lahir dari Bu.”
Xu Qi'an mengelus kepalanya, tidak berkata apa-apa.
Tampaknya metode kultivasi Divisi Gu Kekuatan memang hanya menambah tenaga fisik, tidak bisa meningkatkan IQ. Kalau tidak, Lina tidak akan seperti sekarang ini.
Memikirkan ini, ia menatap si kulit hitam dari Nanjiang yang berambut ikal di ujung, bermata biru laut, berkulit sawo matang dengan fitur wajah sempurna.
“Aku merasa kau berubah.” Si kulit gelap mengamatinya.
“Bagian mana yang berbeda?” Xu Qi'an membalas bertanya.
Lina berpikir sejenak, menggelengkan kepala, tak bisa menjelaskan. Hanya merasa cara gerak tubuh dan aliran ototnya saat berjalan semakin sempurna.
“Kakak sudah pulang ya.”
Yang paling gembira tentu Xu Lingyue. Wajah segitiganya yang anggun merekah senyum, ia sendiri yang menyiapkan nasi dan sumpit untuk Xu Qi'an.
Xu Ci-Jiu menunggu sebentar. Melihat adik perempuannya sama sekali tidak memperhatikannya, akhirnya melayani diri sendiri.
“Pulang selamat saja sudah cukup.”
Paman Xu Er terus mengamati keponakannya. Melihatnya tak kurang suatu apapun, energi vitalnya malah semakin berlimpah, wajah kasar itu pun tersenyum.
“Hm!”
Bibi yang angkuh mengangguk setuju, lalu berkata: “Linyin, turunlah. Jangan ganggu Kakakmu makan.”
"Bibi hari ini mengenakan pakaian kecil berlengan simpel bermotif begonia berkelas, persis seperti kecantikannya yang memesona dengan lekuk dada yang berisi dan pinggang ramping."
"Bagian bawahnya adalah rok kuning telur yang menambahkan kesan elegan dan intelek pada pesonanya."
"Usai makan malam, Xu Qi'an diundang masuk ke ruang baca Erlang."
"Tanpa disadari, diskusi penting mereka mulai menghindari Paman Xu Er, berbeda saat menghadapi Wakil Menteri Keuangan Zhou Xianping dulu yang dirancang bertiga."
"Kedua saudara merasa ini lebih baik, Paman memang tidak ahli dalam urusan saling siasat. Semakin banyak tahu, justru akan semakin bingung."
"Sebagai tetua, nalurinya adalah mencari solusi, bukan pasif menunggu keponakan dan anaknya yang menyelesaikan masalah."
"Melindungi keturunan adalah naluri setiap orang tua. Sayangnya Paman Xu tidak mahal dalam hal ini, hanya menambah kegelisahan."
……
Paviliun Timur.
Paman Xu Er duduk di meja sambil menyeruput teh, "Dua brengsek itu sudah meremehkan ayah mereka!"
Bibi yang hanya mengenakan baju tipis putih duduk bersila di ranjang sambil memainkan gelang gioknya, "Maksudmu?"
Kakinya yang jenjang dan seimbang bersilangan, menampilkan pemandangan yang menggoda.
"Ah, Chu Zhou sedang kacau. Hari ini para pejabat memberontak di Kota Kekaisaran, desas-desusnya tersebar luas," kerut alis Paman Xu.
"Ada apa?" Bibi bertanya penasaran.
"Perempuan kok ikut campur urusan laki-laki." Paman Xu Er melotot padanya.
Seperti kedua saudara yang tak ingin merepotkan Paman Xu Er, sang paman juga tak ingin istrinya yang masih merasa muda jelita ini ikut cemas. Cukup baginya menjalani hidup dengan tenang dan bahagia.
……
"Saudara Tertua, engkau belum bercerita detail tentang peristiwa di Kota Chu."
Di ruang baca, Xu Erlang duduk di tepi meja sambil memegang secangkir teh kental.
Xu Qi'an berdiri di dekat jendela, menatap pekarangan yang gelap dan sepi mencekam, lalu berkata perlahan: "Kasus Chu jauh lebih rumit dari yang kau bayangkan..."
Dengan tenang ia menceritakan pengalaman perjalanannya ke utara kepada Xu Ci-Jiu, termasuk saat berempati dengan Gubernur Zheng dan menyaksikan pembantaian di Kota Chu.
Nada bicaranya datar, sengaja dijaga agar tak tersirat gejolak apa pun.
Kesedihan yang teramat dalam tanpa air mata.
"Jadi... Jadi dia juga terlibat..."
Xu Xinnian berucap terbata. Dalam hatinya, sisa-sisa kesetiaan pada jun itu bergemuruh runtuh, tak tersisa sedikit pun.
"Tujuan rombongan utusan kembali ke ibu kota adalah untuk menyatakan ke seluruh dunia kejahatan Pangeran Zhenbei. Heh, Zheng tak mengizinkan bangsat seperti itu dimakamkan dengan gelar pangeran atau dikenang sebagai jenderal pelindung negara Feng." Xu Qi'an tersenyum sinis.
“Kaum terpelajar paling mementingkan reputasi setelah kematian. Jika tidak bisa menjatuhkan vonis pada Pangeran Zhenbei, bagi Zheng Xinghuai ini adalah balas dendam yang gagal, belum bisa disebut memperjuangkan keadilan bagi rakyat Chu.”
“Menurut Cijiu, bagaimana seharusnya 'pertempuran' ini dilakukan?” Xu Qi'an mengujinya.
“Kalian sudah melakukannya.” Xu Xinnian berkata: “Dengan mengerahkan momentum besar untuk menekan Kaisar Yuanjing, bahkan seorang kaisar pun tak bisa menahan gelombang amuk massa. Bukankah dia sudah menyanggupi bertemu Perdana Menteri Wang? Tinggal lihat hasilnya besok.”
“Sayangnya urusan istana sudah tak bisa kubantu banyak. Rasanya tidak enak menggantungkan harapan pada orang lain.” Xu Qi'an menghela napas.
“Saudara Tertua, yang sudah kau lakukan lebih dari cukup...”
Xu Xinnian hendak menghibur, tiba-tiba alisnya berkerut. Setelah diam lama, wajahnya berubah serius: “Saudara, sepertinya ada yang tidak beres.”
Xu Qi'an berbalik menatapnya.
Xu Xinnian menurunkan suara: “Menurutmu, jika kasus ini adalah konspirasi Kaisar Yuanjing dan Pangeran Huai, maka rencana rombongan utusan untuk menyerangnya dengan serangan dadakan sudah gagal sejak awal.
“Jangan lupa, Que Yongxiu kabur, mata-mata Pangeran Zhenbei juga lolos. Apakah mereka tidak akan menyebarkan kabar jatuhnya sang pangeran ke ibu kota? Mungkin saat kalian masih penuh semangat, dia sudah mendapat kabar dini.
“Dengan begitu, Kaisar Yuanjing pasti sudah menyiapkan strategi. Jangan meragukan, Kaisar kita ini sudah bermain keterampilan politik puluhan tahun. Jika dia serius, mungkin Tuan Wei dan Perdana Menteri Wang pun bukan lawannya.”
“Kamu menyadarkanku, memang benar demikian.” Xu Qi'an berbalik kembali, menghadap ke pekarangan hitam kelam, tak lagi berbicara.
Xu Qi'an tahu, istana bukan medan tempurnya. Pertama, permainan politik bukanlah penyelidikan kasus, apalagi bisa dikuasai hanya dengan otak pintar. Mereka yang bisa bertahan dalam sistem ujian kekaisaran, mana ada yang bukan orang pintar?
Tapi setiap tahun selalu ada yang naik turun.
Xu Qi'an tidak akan somong sampai mengira dirinya bisa bertempur 300 ronde melawan Kaisar Yuanjing di istana.
Kedua, jabatannya masih terlalu rendah, bahkan tak punya kesempatan menghadiri sidang istana. Ini berarti dia tak berhak maju ke "garis depan".
“Jadi kali ini, posisi pasukan utama harus kuserahkan pada Tuan Wei, Gubernur Zheng, dan para bangsawan yang masih menyimpan sisa keadilan demi nama atau keuntungan... Tapi aku tetap bisa membantu dari luar.”
……
Menara Pengamatan Bintang, Panggung Bagua.
Kepala Divisi yang berjanggut putih dengan baju putih salju, berdiri di tepi panggung Bagua dengan tangan di belakang, memandangi seluruh ibukota.
Angin malam mengibaskan ujung bajunya, mengusap janggut putihnya, memberi kesan dewa yang turun ke bumi.
“Konon, Pangeran Zhenbei tewas di wilayah utara.”
Suara rendah terdengar, datar namun penuh makna seperti percakapan antar sahabat lama.
Di belakang Kepala Divisi, muncul siluet berbaju putih.
Raja Pose dari Kekaisaran Feng, Yang Qianhuan.
Guru dan murid ini berdiri membelakangi dengan pose tangan di belakang, sama-sama berbaju putih salju. Sulit ditentukan siapa yang lebih anggun di antara mereka.
Kepala Divisi "hmm" membalas, tertawa: "Ada orang yang bahkan dalam tidur pasti tertawa terbahak-bahak."
Apakah Guru merujuk pada Wei Yuan, atau siapa... Yang Qianhuan bergumam dalam hati, nada bicaranya tetap datar bak ahli sejati, meniru "hmm" sang Kepala Divisi.
Kepala Divisi sudah terbiasa dengan karakter muridnya ini, tak menghiraukan. Asalkan Yang Qianhuan tak melantunkan "Laut berujung di kaki langit, puncak tertinggi sihir adalah diriku" di hadapannya, Sang Kepala Divisi malas mempersoalkan.
Yang Qianhuan melanjutkan: "Pembunuh Pangeran Zhenbei adalah seorang ahli misteri. Di atas puing Chu, bertarung solo melawan lima ahli, membantai sang pangeran di depan ribuan mata untuk membalaskan dendam rakyat. Lalu mengejar ribuan li, membunuh Jilizhigu.
"Sungguh membuat darah mendidih! Aku ingin menggantikannya. Tapi, memikirkan Xu Ningyan juga tak mendapat sorotan, hatiku pun lega. Hehe, si brengsek ini selalu merebut kesempatanku. Pasti di Chu, melihat sang ahli misteri beraksi, hatinya penuh iri."
Usai bicara, dengan intuisi Praktisi Sihir Tingkat Empat, Yang Qianhuan merasakan Guru Jenzheng - untuk pertama kalinya - menoleh memandangnya.
Apakah Guru akhirnya merasa malu atas kesalahan masa lalunya... Hati Yang Qianhuan berbunga-bunga.
Pandangan Kepala Divisi dipenuhi belas kasihan.
……
Keesokan hari, para menteri kembali berkumpul di gerbang istana, mogok berunjuk rasa. Mereka merasa seperti boneka dalam permainan.
"Kemarin keributan terjadi begitu lama, awalnya dikira Yang Mulia berkompromi dengan mengundang Perdana Menteri untuk berdiskusi. Tapi ternyata jawaban Perdana Menteri Wang adalah: Yang Mulia sama sekali tidak menemui hamba."
Konyol, mengira dengan menghindar bisa menganggap peristiwa ini tak pernah terjadi?
Seiring membesarnya kasus pembantaian kota oleh Pangeran Zhenbei, masalah ini tak lagi terbatas di dunia birokrasi. Di pasar dan berbagai lapisan masyarakat, kabar ini menyebar dengan efek mengejutkan.
Kedai minuman, rumah teh, rumah bordil - pusat-pusat pertukaran informasi ini terus dipenuhi orang yang mendengarkan dan memperbincangkan kasus tersebut sepanjang hari.
"Pangeran Zhenbei kejam tak berperikemanusiaan! Tiga puluh delapan ribu nyawa, satu kota utuh, bagaimana teganya dia?" seseorang menepuk meja sambil mengumpat.
Kini mengutuk Pangeran Zhenbei telah menjadi kebenaran politik di kalangan rakyat. Tak perlu takut dihukum karena seluruh birokrasi pun ikut mengutuk. Siapa yang tak mengutuk dianggap bangsat gila.
Mengutuk Pangeran Zhenbei kini menjadi penanda kaum terpelajar yang paham kitab suci Santo, sekaligus bukti menjadi rekan keadilan.
"Tahukah kalian, yang pergi ke wilayah utara menyelidiki kasus ini adalah Xu Yinluo (Gong Perak). Memang pantas dirinya! Tanpa dia, kejahatan Pangeran Zhenbei mungkin takkan terungkap."
"Dunia ini tak ada kasus yang tak bisa diungkap Xu Yinluo. Keberadaannya membuatku merasa pengadilan masih layak disebut pengadilan, karena penjahat takkan lagi bebas berkeliaran."
"Tapi kudengar, untuk urusan istana, Xu Yinluo pun tak bisa berbuat banyak."
"Tidak mengapa, para pejabat sipil-militer pasti akan menggantikan Xu Qi'an (Gong Perak). Kau dengar belum? Sepupu Xu Qi'an, Huiyuan Ujian Kekaisaran Musim Semi itu, kemarin memaki di gerbang istana selama dua shichen penuh sampai senja. Hari ini pergi lagi."
"Luar biasa sekali ya."
……
Di dalam kamar tidur kekaisaran.
Kasim tua itu masuk dengan wajah pucat marah sambil menginjak ambang pintu: "Yang Mulia, Xu Xinnian itu... lagi-lagi memaki di luar. Sungguh keterlaluan, patut dihukum mati."
Kaisar Yuanjing duduk di kursi besar, memegang kitab Tao, menjawab datar: "Kalau dia dibunuh, itu benar-benar seperti gelombang besar yang tak terhentikan. Akan memicu kemarahan rakyat."
Wajah kaisar tua tetap tenang: "Kemarin, Wei Yuan ada tindakan apa?"
Kasim itu berbisik tak sadar: "Tuan Wei diam-diam menemui Perdana Menteri Wang malam tadi..."
Makna tersiratnya - dua harimau garang di istana ini telah bersekutu diam-diam.
Wei Yuan dan Wang Zhenwen, simbol dua faksi terbesar di istana. Jika mereka bersatu, tak ada yang bisa jadi lawan. Bahkan Yang Mulia pernah dirugikan oleh mereka.
Dulu praktik jual-beli jabatan pernah merajalela, tapi dipadamkan oleh kerja sama mereka. Selama lima tahun, para pejabat ilegal itu dipecat atau dipancung. Sebagian besar jabatan berhasil direbut kembali oleh Perdana Menteri Wang.
Kaisar tua tersenyum sinis, lalu bertanya: "Ada keanehan di dalam istana?"
Kasim itu membungkuk: "Angin tenang ombak teduh. Tapi kemarin Putri Lin'an pulang. Sedangkan Putri Huaiqing..."
“Kaisar tua memicingkan mata: ‘Ada apa dengan Huaiqing?’”
“Sudah keluar istana, kembali ke kediaman Huaiqing.”
Setelah lama senyap, Kaisar tua mengangguk, memerintahkan: “Jika Lin’an datang minta audiensi nanti, suruh dia pulang.”
……
Hari ketiga.
Para menteri tetap berkumpul di gerbang istana, namun yang jeli akan menyadari: meski jumlahnya sama, sebagian pejabat pemegang kekuasaan besar hari ini absen.
Xu Qi’an di kantor Penjaga Malam bertemu dengan pengawal kepala kediaman Putri Huaiqing. Atas perintah sang putri, ia datang mengundang Xu Qi’an ke istana untuk berdiskusi.
