"Xu Qi'an menggendong Nan Zhi secara horizontal, masuk ke kamar tidur, sambil menyibak selimut kapas, meletakkannya perlahan."
"Saat ia memasak di dapur, Xu Qi'an telah menyiapkan ranjang."
"Saat meninggalkan ibukota dulu, sprei dan selimut disimpan rapi di lemari kayu dengan kapsul pengusir serangga, kini bisa langsung digunakan."
"'Tidurlah!'"
"Xu Qi'an diam-diam menetralkan gas narkotika dari Gu Racun, duduk di tepi ranjang, memegang pergelangan kaki Nan Zhi, melepas sepatu bordir dengan lembut."
"Lalu kaus kaki putih."
"Segera, sepasang kaki telanjang putih mulus terpapar di hadapannya."
"Ukurannya sebesar telapak tangan Xu Qi'an, lengkung punggung kaki yang anggun, jemari bulat sempurna, kuku terpangkas rapi, urat hijau samar di balik kulit porselen..."
"Telapak kakinya kemerahan, saat digenggam, terasa seperti giok terhalus dan terhangat di dunia."
Xu Qi'an menekan tumit dengan jempol. Berbeda dengan tumitnya yang berkulit kapalan tebal akibat latihan bela diri bertahun-tahun, tumitnya (Nan Zhi) justru lembut.
"Tahu batas, tahu batas......"
“Dia memaksa diri melepas kedua kaki kecilnya, menarik selimut untuk menutupi keindahan tak terbatas tubuh Permaisuri.”
“Kemudian, menempatkan rubah putih kecil itu di dalam selimut juga.”
“Setelah berpikir, teringat masa lalu Bai Ji yang tercekik sampai menggelepar, dia mengeluarkannya dari selimut dan membalutnya dengan jubah.”
“Meniup lilin hingga padam, menutup pintu kamar, Xu Qi'an tiba di pekarangan dan mengusap pipi kuda betina kesayangannya:”
“‘Kuda betina kecil, tugas menjaganya kuserahkan padamu.’”
“Kuda betina yang baru menghabiskan kacang-kacangan itu sedang dalam suasana hati baik, menggesekkan moncongnya ke punggung tangan sang tuan.”
……
“Istana Shaoyin.”
Kamar tidur mewah yang luas, di balik layar lipat tiga tingkat yang meniru lukisan "Mudan Shuang He Tu", asap tipis mengepul keluar.
Suara air "Braak" bergema dari bak mandi berwarna merah, sepasang kaki giok melangkah keluar dari bak. Dua pelayan perempuan berbaju kasa tipis yang siap sedia di samping, salah satu langsung membentangkan kain sutra dan dengan cermat membersihkan butiran air dari tubuh majikannya.
Pelayan lainnya melepaskan pakaian yang tergantung di penyekat, lalu membantu sang majikan berganti pakaian.
Tak lama kemudian, Lin'an yang rambutnya disanggul tinggi muncul dari balik penyekat. Ia mengenakan pakaian dalam sutra biru muda yang dipadukan dengan gaun panjang biru permata, rok berkibar-kibar menjuntai di lantai.
Ia duduk bersila di ranjang, bertanya:
"Pil ajaib yang kalian ambil dari apotek kerajaan, sudah semua dibawa?"
Pelayan perempuan di sebelah kiri berkata dengan suara manja:
"Pil ajaib, perak, pakaian... semuanya sudah siap."
Pelayan di sebelah kanan tertawa sambil menutup mulutnya:
"Putri menyiapkan ini semua untuk apa?"
Pelayan kiri memukulnya, bercanda:
"Pura-pura tidak tahu, berani-beraninya mengejek Putri, hati-hati mulutmu kusobek."
Kedua pelayan itu tertawa cekikikan.
Putri bilang mau memutus hubungan dengan orang itu, tapi diam-diam menyiapkan pil ajaib, perak dan pakaian - khawatir orang itu terluka tak ada obat; kekurangan uang di dunia; kesulitan pakaian saat mengembara.
Kebutuhan dasar hidup semuanya dipikirkan.
Selama bertahun-tahun melayani Putri, mereka belum pernah melihatnya seperti ini.
Siapa Putri Lin'an? Putri manja kesayangan almarhum kaisar. Orang yang terlalu dimanja biasanya tidak punya perasaan. Kapan pernah dia begitu perhatian pada pria?
Putri melototi mereka, bertanya santai:
"Ada kabar dari kediaman hari ini?"
Yang dimaksud adalah Lin'anfu di Kota Kekaisaran, kediaman resmi pemberian almarhum kaisar.
Nada bicaranya datar seperti pertanyaan biasa, tapi di balik mata indahnya tersimpan harap.
Dua pelayan itu saling pandang, menjawab hati-hati:
"Tidak ada kabar yang masuk dari kediaman."
"Harapan dalam mata persik redup, dia mengangguk sambil tersenyum paksa, 'Oh,' ucapnya."
"Dia menunggu seharian di istana, tapi tak kunjung datang penjelasannya. Sejak perpisahan di Sitianjian malam itu, rasanya dia sudah terlupakan."
"Kini, tak ada kabar dari kediaman putri di Kota Kekaisaran, artinya Xu Qi'an juga tidak meninggalkan pesan di sana."
"Dia terdiam sesaat, lalu berbisik lembut:"
"'Aku lelah.'"
"Dua pelayan perempuan segera keluar dari kamar tidur menuju ruang luar."
"Mereka tahu Sang Putri sedang murung. Nanti mungkin akan bersembunyi di bawah selimut dan diam-diam mengusap air mata."
"Meski sangat mengenal Lin'an, para pelayan itu masih meremehkan harga dirinya. Dia tidak menangis di balik selimut karena air mata masih menggenang di soket mata, belum tumpah."
"Dia menyelimuti diri dengan selimut kapas tebal, meringkuk menyamping."
"Hingga kini Putri masih tak paham - bagaimana mungkin Guru Negara, wanita yang bahkan Ayahanda tak bisa miliki, sampai buta mata memilih budak anjingnya?"
"Mengingat sikap arogan Nuo Yuhui malam itu, hatinya mendidih. Ingin sekali merobek-robik si wanita tua itu."
"Tapi hanya berani dalam hati."
"Jika rivalnya adalah Nuo Yuhui, Lin'an tak punya keyakinan menang. Meski berstatus putri dan percaya diri akan kecantikannya, status Nuo Yuhui sebagai Pemimpin Aliran Ren sudah cukup untuk menggilasnya."
"Dia teringat kenangan demi kenangan masa lalu, saat Xu Qi'an menemani mengobrol dan main catur. Air mata di soket matanya akhirnya berguling jatuh."
"Putri merasa dirinya patah hati, meski tak mengetahui istilah ini."
"Air mata semakin deras mengalir. Ia berbaring miring, separuh wajah terbenam dalam bantal yang empuk."
"'Jangan menangis sebelum tidur, nanti mata bisa meradang.'"
"Tiba-tiba, dari bagian dalam ranjang, seseorang menyodorkan sapu tangan."
"Putri mengucap 'Oh', menerima sapu tangan dan mengusap air mata. Tiba-tiba tubuhnya kaku, merasakan keanehan. Dia menyentak bangun dari ranjang sambil mengeluarkan jeritan menusuk di telinga."
"Saat berteriak, ia melihat sosok di bagian dalam ranjang: pria berbaju panjang kebiruan bertudung giok, berpakaian seperti pangeran muda kaya raya."
"Budak anjingnya itu."
"Brak! Brak!"
"Suara ketukan pintu terdengar. Dua pelayan perempuan di luar menepuk-nepuk pintu sambil berteriak:"
"'Putri, Putri?'"
"Lin'an melotot dengan garang ke arah Xu Qi'an, menarik selimut untuk menutupinya sambil berbisik:"
"'Jangan bersuara...'"
"Mengendus-endus hidung, membersihkan tenggorokan untuk membuat suaranya terdengar normal: 'Masuklah.'"
"Jeritan tadi terlalu mencekam. Tak bisa diatasi hanya dengan ucapan 'Aku baik-baik saja', karena para pelayan akan curiga sang majikan sedang dipaksa di dalam."
"Mereka adalah pelayan perempuan yang telah menjalani pelatihan ketat, sulit untuk dibohongi."
"Pintu kamar tidur didorong terbuka, seorang pelayan perempuan masuk dengan wajah panik, sementara pelayan lainnya tetap di luar dengan hati-hati tidak masuk, memudahkan untuk segera lari keluar meminta tolong."
"Pelayan yang masuk itu menengok ke kiri-kanan sejenak, lalu memandang ke ranjang dan bertanya:"
"Putri, ada apa?"
"Lin'an berkata datar: 'Baru saja mimpi buruk, sudah tidak apa-apa.'"
"Pelayan itu mengamati soket matanya yang merah beberapa saat, tiba-tiba tersadar dan mulai percaya, lalu mengamati ranjang besar itu lagi."
"Syukurlah sejak kas negara kosong, Kaisar Yongxing memotong anggaran selir istana dan kerabat kerajaan. Arang binatang emas yang mahal termasuk di dalamnya."
"Bara arang tidak bisa lagi digunakan semena-mena seperti dulu, karena itu penutup Lin'an diganti dari 'sutra' tipis dan 'selimut' biasa menjadi 'selimut tebal' bernama qin."
"Selimut yang diisi bulu domba dan bulu bebek itu tebal dan mengembang, menyembunyikan Xu Qi'an dengan sempurna."
"Putri, apakah terlalu panas? Wajah Putri sangat merah."
"Pelayan itu menyatakan keprihatinannya."
"'Aku tidak apa-apa.'"
"Semakin panik Lin'an, semakin dingin ekspresinya."
"Putri terengah-engah berat, apakah terlalu pengap?"
"Sedikit. Buka jendela sedikit."
"Bagaimana jika hamba menunggu di dalam kamar?" usul pelayan itu.
"Tidak perlu. Aku ingin sendiri."
"Mendengar itu, pelayan itu tidak memaksa. Matanya menyapu ruangan sekali lagi sebelum mundur keluar."
"Setelah dia pergi dan menutup pintu kamar tidur, Putri Lin'an langsung membuka selimut, mendorong kepala yang bersandar di dadanya. Wajahnya memerah campur malu, marah, kaget, dan senang. Alis lentiknya terangkat:"
"Budak an..."
Baru dua kata meluncur dari bibir kecilnya, langsung ditutup mulutnya oleh Xu Qi'an. Dia mengangguk ke arah pintu sambil berbisik pelan:
"Mereka belum pergi."
Putri Lin'an menoleh dan melihat bayangan menempel di sisi pintu, sepertinya sedang menguping aktivitas dalam kamar.
Xu Qi'an menarik selimut menutupi mereka berdua, tertawa rendah:
"Tak kusadari, pelayanmu cukup waspada."
Dulu tak pernah kuperhatikan.
"Mereka dilatih oleh suster-suster istana. Pelayan utama para selir di harem kerajaan bahkan lebih sigap."
Putri Lin'an mengiyakan, lalu wajahnya merah padam sambil marah:
"Hamba brengsek! Beraninya kau naik ke ranjangku!"
"Pergi sana! Naik saja ke ranjang Nuo Yuhui!"
Tangannya kecil mendorong-dorong dengan kuat.
Xu Qi'an menggenggam pergelangan tangannya, mendekatkan wajah sampai hembusan napas mereka saling menyentuh pipi:
"Paduka, selama pengembaraan ini, setiap detikku dipenuhi kerinduan. Setiap hari dan malam menyesali tak punya sayap, agar bisa terbang angin menemui Paduka."
Setelah bergaul lama dengan si playboy Santo, Xu Qi'an menguasai metode merayu perempuan. Dia memahami prinsip inti yang dulu tak pernah terpikirkan.
"Untuk menenangkan perempuan, pertama-tama harus berdiri dari sudut pandangnya, lalu memahami apa yang ingin dia dengar dan sikap seperti apa yang dia inginkan."
Jangan melihat dari sudut pandang sendiri.
Jika mencoba membujuk dari sudut pandang diri sendiri, itu sudah kalah.
Contohnya, dari perspektif Xu Qi'an: Guru Negara yang dulu mengambil risiko terbakar api karma untuk menghalangi Hei Lian. Kini api karma-nya kambuh, tanpa dual cultivation dia akan tewas di tangan Tian Jie.
Jika masih punya sedikit kemanusiaan, seharusnya dia melepas celana demi moral.
Jika dijelaskan seperti ini, Lin'an pasti langsung meledak.
Tapi dari sudut pandangnya, apa yang ingin dia dengar? Sikap seperti apa yang diharapkannya?
"Setiap senyuman dan kerutan alis Putri terpatri dalam di otakku, membuatku terus terbayang." Xu Qi'an merangkul pinggang ramping Lin'an dengan pandangan tulus dan nada suara penuh perasaan.
"Tapi aku tahu telah berbuat salah. Hari ini aku terus diliputi kecemasan di rumah, tak berani menemuimu. Namun, aku tak bisa mengkhianati hatiku yang selalu memuja Putri."
Lin'an merasakan detak jantungnya semakin cepat, pipinya memerah seperti terbakar api saat mendengar kata-kata manis itu.
Segala kekesalan pun lenyap, tekad penuh dendamnya luluh oleh peluru berlapis gula.
Dengan suara "Hm!", dia berusaha keras mempertahankan sikap dinginnya, melepaskan lengan yang merangkul pinggangnya sambil memalingkan muka:
"Apakah Yang Mulia Xu juga membujuk perempuan lain dengan cara seperti ini?"
Dia berusaha menekan lelaki ini dengan sikap acuh tak acuhnya.
Xu Qi'an menatap kuping kecilnya yang jernih, menahan dorongan untuk menjilatnya, lalu menghela nafas:
"Ah, sepertinya apapun yang hamba katakan, Putri tak akan memaafkan hamba. Besok hamba harus meninggalkan ibukota. Tak ada permintaan lain, hanya ingin Putri menyanggupi satu hal."
Separuh kalimat pertama membuat hati Lin'an berat, dipenuhi kecemasan. Mendengar separuh terakhir, ia buru-buru bertanya:
"Apa itu?"
Tiba-tiba merasa nada bicaranya kurang berwibawa, ia mendengus: "Aku akan pertimbangkan."
"Ingin mengajak Putri menemani bawahan menyaksikan lentera paling gemerlap di dunia."
Mendengar ini, Lin'an terdiam beberapa saat, tak memahami maksudnya.
Tapi sesaat kemudian, si budak anjing itu menarik selimut menutupi kepala mereka berdua.
Lin'an terjerembab dalam kegelapan tak bertepi. Entah berapa lama, cahaya muncul di matanya, angin menderu di telinganya.
Malam yang kelam, Bulan Kesepian tergantung tinggi.
Ia berdiri di antara langit dan bumi, menghadapi angin dingin. Sunyi sepi namun penuh kebebasan.
Lin'an heran memandang sekeliling. Ia berdiri di atas benteng apung, bulan memancarkan sinar dingin di atas kepala, kaki...
Matanya yang basah dan menggoda tiba-tiba membelalak, memantulkan ribuan titik cahaya lentera.
Di bawahnya terbentang seluruh ibukota. Sebagian besar Kota Luar gelap gulita, sesekali berpendar cahaya redup.
"Yang paling terang dan gemerlap adalah istana kekaisaran, bagaikan kembang api raksasa. Lingkaran terluar kembang api itu adalah Kota Kekaisaran yang sama-sama berkilauan, dengan ribuan lentera menyala mengitari istana."
"Sementara Kota Dalam yang dihuni keluarga-keluarga berkecukupan, bagaikan nyala api terluar, bertaburan seperti rasi bintang."
"Lin'an belum pernah melihat pemandangan malam ibukota sebelumnya, untuk sesaat ia terpana."
"Hal paling romantis yang bisa ia bayangkan adalah puisi Xu Qi'an 'mimpi jernih memenuhi perahu menindih galaksi bintang'. Kini, pria ini kembali memperlihatkan pemandangan berbeda padanya."
"Jangan sampai kedinginan."
"Xu Qi'an mendekat, melepas jubahnya dan menyampirkannya di bahu sang putri, lalu memeluk sang Meiren ke dalam dekapan."
"Lin'an tampak seperti mabuk, matanya berkaca-kaca, wajahnya memerah, seolah hendak terjatuh."
"Umpan balik seperti ini tidak mengejutkan Xu Qi'an, bahkan sudah ia duga. Lin'an yang menyukai romansa, hampir mustahil menahan serangan semacam ini."
"Nanti kembalikan meriam ke Sun Xuanji. Siasat ini tak akan mempan pada Huaiqing... Harus lebih baik memperlakukan Putra Suci, toh aku juga belajar darinya..." Pikiran Xu Qi'an melayang ketika suara Lin'an yang seperti mengigau terdengar:
"'Budak anjing, bagaimana kalau kau melamar Kaisar untukku?'"
"Bagi Lin'an, hubungan mereka sudah ditetapkan sejak ciuman panas Xu Qi'an saat akan meninggalkan ibukota."
"Pria ini bukan sekadar objek ketertarikan, melainkan sang kekasih."
"'Akan kulakukan.'"
Xu Qi'an menatap wajah ovalnya yang memesona: "Tapi bukan sekarang."
Baik dirinya maupun Kekaisaran Feng, keduanya akan menghadapi tantangan besar.
Jika menang, duduk di kanan Lin'an sambil memangku Huaiqing, bersembunyi di balik Guru Negara dan Permaisuri.
Jika kalah, pergilah dengan tenang ke siklus reinkarnasi.
……
Kelamnya malam semakin pekat.
Pelayan perempuan membuka pintu dengan hati-hati, menyelinap masuk ke kamar tidur dan mendekati ranjang.
Putri Lin'an terbungkus selimut, tidur nyenyak dengan senyum mengembang di sudut bibirnya, seolah sedang bermimpi indah.
Pelayan itu mulai legas, tiba-tiba wajahnya berubah pucat melihat jejak ciuman yang tersebar di leher putih salju sang Putri.
Ini... Bulu kuduk pelayan langsung merinding, matanya liar menyapu kamar penuh panik.
Setelah beberapa saat, ekspresinya melunak seolah telah memahami sesuatu.
……
Di bawah langit malam yang sama, di sebuah kota kecil.
Ji Xuan berdiri di atap rumah, mengamati pertarungan di bawahnya.
Liu Hongmian sedang mempermainkan lawannya - seorang pengembara dunia yang menjadi inang energi naga tersebar.
Selama beberapa hari terakhir, dengan bantuan saluran intelijen Istana Tianji, mereka telah menemukan beberapa inang energi naga.
Mulai dari pengembara dunia, cendekiawan terpelajar, pegawai kantor pemerintah, hingga gadis-gadis yang masih tinggal di rumah orangtua.
Rencana Ji Xuan adalah mengumpulkan energi naga tersebar sedikit demi sedikit, menggunakan akumulasi ini untuk memancing pemilik sembilan energi naga utama.
Tentu saja, ini juga berpotensi memancing kedatangan Xu Qi'an.
“Hongmian, jangan buang waktu lagi.” Ji Xuan mengingatkan.
Liu Hongmian segera memukul lawannya hingga pingsan.
Ji Xuan mengeluarkan kuali kecil perunggu seukuran telapak tangan dari dalam jubahnya, bergumam mantra. Dari mulut kuali memancar sinar jernih yang menyedot inang energi naga ke dalamnya.
Kuali perunggu ini bernama Kuali Empat Penjuru, salah satu hadiah yang dikirim Guru Negara setelah mengetahui situasi di Kota Yongzhou.
Berbeda dengan alat ritual penyimpanan biasa yang hanya bisa menyimpan benda, kuali ini mampu menampung manusia.
Ji Xuan menyimpan kuali itu lalu menatap ke arah barat laut, bergumam: "Xu Qi'an!"
……
Keesokan harinya!
Kuil Lingbao di ibu kota.
Di ruang meditasi, Nuo Yuhui yang tertidur panjang selama satu hari dua malam perlahan membuka sorot mata indahnya.
