“Masih banyak lagi kelompok pengungsi seperti yang diikuti Aya. Syukurlah persediaan makanan mereka cukup - Bagaimanapun juga, dengan populasi Kekaisaran yang sudah mati hampir setengah, cadangan makanan untuk mereka masih sangat berlimpah.”
"Sering kali, Aya hanya perlu memberanikan diri untuk pergi ke desa-desa yang telah menjadi wilayah kematian dan lahan-lahan yang telah dibuka, lalu bisa mencari persediaan makanan dari rumah ke rumah. Inilah alasan dia bisa tetap berada dalam pasukan - kontak dengan mayat dan rumah-rumah yang ada orang mati tetap merupakan hal yang sangat berbahaya, jarang yang mau melakukan ini."
"Tapi setelah cadangan makanan tahun ini habis, kelaparan tahun depan akan sangat bermasalah. Sudah lama tidak ada petani yang bercocok tanam. Wabah kali ini telah menyebabkan kerusakan besar pada keteraturan sosial Sasakatkazi."
"Tentu, penduduk asli yang sekarang hanya berdoa bisa bertahan hidup hingga besok, jarang ada yang memikirkan hal ini."
"Ah... Aye Sasna! Aye Sasna datang..."
"Saat itu, keriuhan mulai muncul di depan pasukan, membuat Aya refleks menggenggam lengan adiknya."
"Ketika mendengar nama Aye Sasna, wajah kakak-beradik itu langsung tegang."
"Di antara kerumunan orang yang mengungsi, pengejaran tentara Kekaisaran dan bahaya di wilayah liar hanyalah hal kecil. Yang benar-benar membuat mereka tegang adalah serangan wabah penyakit!"
"Dalam bahasa penduduk lokal, Aye Sasna berarti 'setan yang tak terlacak dan ada di mana-mana', juga menandakan datangnya penyakit mematikan."
"Apakah ada orang di depan yang tertular wabah?"
“Aya pernah melihat beberapa orang, yang sedang berjalan dengan normal di jalan tiba-tiba batuk mengeluarkan darah hitam dan pingsan di jalanan. Ini sudah berarti kedatangan MATI.”
“Kakak beradik itu menghindari kerumunan orang dari jauh, hanya bisa melihat samar sosok kecil terbaring di salju. Orang-orang ramai yang mengungsi dari kedua dunia menghindarinya seperti menghindari jebakan.”
“Itu Adudule! Aku baru bermain bersamanya beberapa hari lalu...”
“Adik Aya mengeluarkan suara terkejut, lalu menundukkan kepalanya.”
“Di saat serangan wabah ini, Kehidupan terlihat sangat rapuh. Aya hanya bisa memeluk kepala adiknya erat-erat, terus-menerus menghibur dengan suara lembut.”
“Terhadap MATI, para pengungsi ini sudah mati rasa. Setelah menghindari posisi mayat, pasukan besar perlahan mulai bergerak maju lagi.”
“Aya mengingat kembali sosok yang terjatuh itu, dalam hatinya juga ada helaan nafas: 'Hampir sampai di Hope Fort... Sayang sekali terjatuh di sini...'”
“'Aku takkan biarkan adikku sampai seperti itu. Setelah melewati pegunungan ini... akan masuk wilayah pengaruh Hope Fort...'”
“Aya menyemangati diri sendiri dalam hati.”
“Tepat saat itu, gempar muncul lagi di belakang pasukan. Suara orang yang rapat mulai menyebar ke segala arah, memicu kekacauan besar.”
“'Ada yang sakit lagi? Tidak! Ini...'”
“Pupil Aya menyempit.”
“'Pasukan Kekaisaran! Benda sial ini, ikut aku serang balik!'”
Seorang pria kekar pribumi berdiri ke depan, memegang trisula khusus untuk menombak ikan. Pria-pria kekar pribumi lainnya juga membawa senjata.
Sementara para pria memberikan tenaga mereka, anggota kelompok yang tua dan lemah langsung berlarian tercerai-berai.
Aya juga menarik adiknya berlari menyelamatkan diri, menghindari pengejaran tentara Kekaisaran dari belakang.
Para penguasa tingkat atas tidak bisa mentolerir kehilangan populasi besar-besaran di wilayah mereka. Meskipun wabah sedang merajalela, mereka memerintahkan tentara di setiap markas untuk menghalau para pengungsi ini.
Tentu saja, masalah bagaimana menyelamatkan pengungsi yang terperangkap di tanah mereka sendiri bukanlah urusan para penguasa.
Sebenarnya, bahkan tentara Kekaisaran Pribumi pun enggan melaksanakan tugas seperti ini, apalagi karena takut penyebaran wabah.
Namun setelah suatu wahyu turun, hampir semua Proteksi dan Totem bersatu menghalangi pengungsi memasuki wilayah pengaruh Hope's Fortress.
"Cepat pergi..."
Suara teriakan dan bunuhan samar dari belakang membuat hati Aya mencekam. Ia terus menarik tangan adiknya sambil berlari.
Tiba-tiba ia merasa tarikan di tangannya memberat. Suara gedebuk benda berat jatuh ke salju terdengar dari belakang.
"Ada apa? Terjatuh? Cepat bangun! Aah!"
Aya menoleh dan melihat adiknya terjatuh di salju, SEGERA memutar badan untuk membalikkan tubuhnya. Tapi kemudian, dia melihat adiknya sudah tak sadarkan diri dengan darah hitam di sekitarnya yang begitu menusuk hingga memancarkan cahaya hingga puncak.
"Dia juga tertular penyakit..."
Seketika, pikiran ini melintas dalam hati Aya, lalu dua aliran air mata tak terbendung mengalir deras.
Aya tak menghiraukan kemungkinan penularan, langsung mendekat dan memeluk adiknya: "Tolong dia... Siapa yang bisa menyelamatkannya..."
Teriakan "Bunuh" semakin mendekat, tapi di mata Aya justru menjadi harapan: "Di tentara ada imam, pasti bisa menggunakan Mantra Tuhan untuk menyelamatkan adikku..."
"Hati-hati, dia sudah terinfeksi..."
Tak lama, tentara Kekaisaran tiba. Yang lain melihat kakak-beradik yang tergeletak di salju dengan jelas terinfeksi, wajah mereka penuh ketakutan, tak berani mendekat.
"Kumohon! Tolong adikku!" Aya tak sadar hendak maju, tapi SEGERA dihalau kembali oleh sebarisan Tombak: "Jangan mendekat..."
Para Pengawal membentuk lingkaran mengurungnya di tengah, seolah sedang menghadapi monster.
"Cepat panggil imam dan Atasan! Ada sumber infeksi di sini!"
Sikap dingin dan tegas ini membuat hati gadis itu perlahan tenggelam dalam keputusasaan.
Dengus kaki kuda mengiringi kedatangan petugas militer dan imam berbaju bulu warna-warni.
"Saat melihat adik Aya yang pingsan di salju dan darah hitam di tanah, wajah kedua orang itu berubah pucat."
"Cepat tembak mereka! Lempar kayu bakar, bakar tempat ini!"
Sebuah perintah turun, merenggut harapan terakhir Aya dengan kejam.
"Adik... Maafkan aku..."
Air mata gadis itu menetes di pipi dan leher adiknya, lalu perlahan matanya terpejam.
Xiu xiu! Xiu xiu!
Suara busur dan anak panah terus terdengar, tapi anehnya tak ada rasa sakit.
Aya membuka mata terkejut, melihat leher perwira di seberang tertembus anak panah berbulu yang masih bergetar di ujungnya, seperti ular kecil yang ingin masuk ke tanah.
"Serangan musuh! Serangan musuh!"
Teriakan perang bergema sementara bayangan-bayangan muncul dari hutan lebat di sekitar.
"Ini tentara Dewa ras lain..."
Wajah imam berubah pucat, langsung memutar kudanya dan kabur. Penduduk lokal lainnya menjatuhkan tombak mereka, menunjukkan situasi yang runtuh.
"Ini orang Hope Fort!!!" Aya menggendong adiknya mendekati kelompok pendeta yang tiba-tiba muncul: "Wahai yang baik dan murah hati... Tolong selamatkan..."
Bruk! Aya yang sudah kehabisan tenaga dan bahkan tertular pun jatuh.
Sebelum kesadarannya tenggelam dalam kegelapan, suara samar terdengar: "Sepasang rakyat jelata! Yang Mulia Santa Barbara..."
……
"Perasaan hangat menyebar, mengembalikan tenaga ke seluruh tubuh Aya."
Perlahan dia membuka mata, melihat api unggun yang hangat. Tenda besar berhasil menahan kabut dingin di luar.
"Siapa namamu? Bagaimana kondisimu sekarang?"
Seorang gadis suku lokal duduk di sisi ranjangnya. Rambut hitam legam dan pupil gelapnya kontras dengan cap emas di dahinya yang memancarkan cahaya suci.
"Namaku Aya. Terima kasih telah menyelamatkanku!"
Wajah Aya memerah saat mengucap terima kasih, tiba-tiba berubah pucat: "Adikku? Di mana adikku?"
"Tenang! Dia ada di sini. Haja infeksinya lebih parah, harus menjalani perawatan lanjutan..."
Santo Barbara menahan gerakan Aya: "Ini Benteng Harapan... Kalian sudah aman..."
Tiga hari kemudian, Aya yang sudah pulih sebagian keluar dari tenda perawatan adiknya. Matanya tertarik pada patung ular bersayap raksasa di pusat kota, lalu dia bersujud dengan khidmat sambil berdoa.
"Oh Dewa Agung! Terima kasih telah menyelamatkan adikku. Mulai hari ini, Aya akan menjadi umat-Mu yang paling saleh..."
Adegan serupa terus terjadi di berbagai sudut Benteng Harapan.
Gelombang kekuatan kepercayaan yang teguh dan membara terus mengalir ke tangan Reilin.
"Jumlah umat bertambah lagi! Keputusan mengirim pasukan ke perbatasan untuk menyelamatkan pengungsi ternyata tepat!"
“Kesadaran ilahi menarik diri dari benang kepercayaan tadi, Reilin kembali memandang data statistik lainnya.
Berkat harapan penyembuhan dan hasil ekspansi di berbagai sektor, wilayah yang berpusat di Hope Fort kini telah memadatkan populasi penduduk asli melebihi 300.000 jiwa.
Di bawah pengaruh jasa penyelamatan nyawa, kepercayaan dan rasa syukur mereka terhadap Reilin masih sangat tulus.
Untuk mengkristalisasi benang kepercayaan populasi asli ini dan menjadikan mereka umat yang saleh melalui doa rutin dan ibadah, diperlukan upaya Tifa beserta kelompok pendeta.
"Dengan perkembangan seperti ini, asalkan populasi ini sepenuhnya tercerna, menyalakan api ilahi sama sekali bukan masalah. Bahkan promosi menjadi dewa sejati pun hampir memadai..."
Di kedalaman mata Reilin terlihat gejolak dalam hati yang tersamar.
Seiring ekspansi Hope Fort, khususnya punahnya beberapa suku sekitar, Reilin telah merebut banyak sifat ketuhanan dari roh totem.
Dengan bantuan sifat-sifat ilahi ini, kekuatan pembunuhan dalam dirinya telah mendidih hingga titik puncak, membuat seluruh tubuhnya terasa seperti akan membakar.
Saat ini, siapapun dapat melihat lapisan cahaya emas suci pada Reilin - manifestasi eksternal dari kekuatan ketuhanan yang telah menyatu sempurna dengan dirinya dan teramplifikasi hingga ekstrim.
Tidak hanya itu, kematian hampir 1 juta penduduk asli membuat Reilin mulai menyentuh kekuatan domain MATI. Meski hanya memperoleh sebagian informasi dan Chip belum sepenuhnya mendigitalisasikannya, progres ini sudah sangat cepat.”
“Gelombang Blek ini dalam menampung pengungsi telah berakhir, saatnya memulai perang di putaran berikutnya……”
