"Tidak apa, untung aku cepat menghindar. Kalau tidak..." Orang yang ditanya ini juga melepas helmnya, memperlihatkan wajah tampan dengan bulu halus kehijauan di sekitar bibir. Wajahnya masih terlihat ketakutan saat menceritakan bahaya tadi.
"Syukurlah. Kuota makanan hari ini sudah pasti gagal, lebih baik kita pulang dulu." Suara yang terakhir berbicara jelas berasal dari wanita, meski helmnya tetap terpasang menyembunyikan wajah. Lekuk tubuhnya proporsional, bahkan seragam anti huru-hara yang tebal pun tak bisa sepenuhnya menyamarkan lekuk tubuh feminimnya.
“Hmm, hari ini tidak ada cara lain, kita harus pulang dulu. Kalau tidak, nanti Penjaga Malam keluar akan repot. Aku jadi kesal kalau ingat, sialan! Penjaga Malam Penjaga Malam, bukannya seharusnya hanya keluar malam hari? Kok malah semakin banyak di siang bolong? Ini masih pantas disebut Penjaga Malam? Siapa sih otak udang yang memberi nama ini?” Pria kekar berambut penengah menggerutu dengan muka masam.
“Sudahlah, Kakak Sun, nama ini tertulis di data resmi dari atas. Awalnya memang sesuai, tapi sekarang sepertinya mulai berubah. Lebih baik kita cepat pergi, waktunya hampir habis.” Pemuda itu bergegas menuju pintu kaca toko roti.
Begitu melewati dua rekannya, wajah pemuda itu berubah seketika. Dia pura-pura menyesuaikan sarung tangannya. Tangan kanannya dengan gesit membuka celah sarung tangan di pergelangan tangan kiri, terlihat luka kecil seujung pulpen sepanjang satu sentimeter, mirip garis merah tua yang ditulis tinta. Merah pekat tapi tak ada jejak darah. Entah karena lukanya terlalu kecil atau...
Cepat-cepat menarik kembali sarung tangan itu.
“Tidak apa-apa, luka sekecil ini pasti sembuh. Nanti makan banyak obat antiradang, pasti tidak masalah.” Bisiknya dalam hati. Ekspresinya kembali tenang.
“Cepetan, Kakak Sun, Kakak Wang!” Teriaknya sambil menoleh ke dua orang yang masih memeriksa peralatan di belakang.
“Baik, sebentar lagi.”
Selain toko roti, ketiga orang ini menerobos celah-celah mobil dengan gerakan lincah dan terampil, sepertinya ini bukan pertama kalinya mereka melakukannya.
"Tak tak tak tak..."
Ketiganya berlari kecil menyusuri jalanan macet menuju arah selatan kota. Derap kaki monoton bergema di antara gedung-gedung sepi, seolah seluruh dunia hanya dihuni oleh mereka bertiga. Perasaan kesepian yang menganga itu membuat ingin muntah darah.
Setelah berlari kecil sekitar setengah jam, dengan nafas tersengal-sengal, mereka akhirnya berbelok di sebuah persimpangan dan tiba di wilayah yang sepenuhnya dikepung tembok tinggi.
Area ini awalnya merupakan tiga jalan komersil berbentuk huruf I, berisi supermarket, toko, dan mal. Tapi sekarang berbeda. Seluruh bangunan tepiannya telah dibangun menjadi benteng pertahanan kokoh oleh penyihir unsur tanah. Mereka menambal celah dan persimpangan, menggunakan bangunan sebagai titik dan tembok sihir sebagai garis, membentuk wilayah pertahanan berbentuk I yang dipertebal.
Tembok tinggi dari tanah cokelat kekuningan setinggi sepuluh meter bahkan menyelubungi dinding bangunan penghubung. Aroma amis tanah mengubah jalanan yang dulu indah menjadi seperti tambalan kasar yang buruk rupa.
Ketiganya memperlambat kecepatan sambil merapat ke tembok pertahanan.
Saat ketiga orang mendekati pintu masuk tembok tinggi, bayangan orang lain mulai bermunculan di jalan-jalan yang tersumbat di sekitarnya. Kebanyakan mereka berkelompok tiga hingga lima orang, bergerak dalam formasi regu, terkadang muncul dari suatu lorong jalan. Sebagian tubuhnya penuh noda darah namun wajahnya penuh sukacita. Sebagian lagi muram, pontang-panting namun sedikit hasil. Ada juga yang seperti trio ini, tak mendapat hasil namun beruntung tidak bertemu zombie dan bisa evakuasi dengan aman.
Regu seperti trio ini berjumlah ratusan di zona perlindungan. Mayoritas adalah orang-orang khusus yang ahli senjata api atau memiliki bakat khusus pertarungan. Dalam kondisi persediaan makanan yang semakin menipis dan zombie yang semakin kuat, zona perlindungan terpaksa terus meningkatkan standar seleksi masuk. Pasokan makanan harian pun semakin berkurang. Pasokan untuk orang dengan kemampuan khusus saja sudah kekurangan, apalagi untuk orang biasa. Banyak pemilik kemampuan yang membawa keluarga yang selamat terpaksa mencari makanan sendiri.
Awalnya hasilnya cukup signifikan. Beberapa regu yang keluar mendapatkan hasil melimpah. Namun seiring waktu, semakin banyak regu yang keluar, area pencarian semakin luas, makanan yang ditemukan semakin sedikit, sementara korban jiwa meningkat berlipat ganda.
Zona perlindungan mendapat dua keuntungan dari aksi mereka: mengurangi beban sekaligus meningkatkan koefisien keamanan di sekitar. Karena itu mulai memberikan dukungan penuh.
Berbagai set peralatan tempur, amunisi dalam jumlah besar, perangkat bertenaga baterai, dijual dengan harga sangat murah - hampir setengah harga diberikan kepada regu yang akan keluar.
Pada era di mana pengguna kekuatan gaib merupakan basis utama kekuatan tempur, orang biasa baik dalam hal daya bunuh maupun kondisi fisik jauh kalah dibanding pengguna kekuatan gaib yang telah bangkit. Namun karena faktor bakat, tidak semua orang akan bangkit setelah membunuh zombie. Rasio-nya hanya sekitar sepuluh persen.
Virus zombie sendiri menyebar lewat udara, yang telah menyaring lebih dari separuh populasi. Setelah perburuan oleh zombie, populasi tersisa kurang dari sepersepuluh. Sebagian besar bersembunyi di tempat yang dianggap aman, bertahan hidup dengan persediaan makanan. Zhao Bin termasuk golongan ini, yang kini hampir seluruhnya telah dimusnahkan oleh pasukan zombie yang semakin kuat melalui penggeledahan sistematis.
Lalu ada kelompok yang aktif menyerang. Mereka adalah orang-orang dengan skill tempur atau pengguna kekuatan gaib yang telah bangkit. Setelah konfrontasi singkat dengan korban lebih dari separuh, akhirnya tersisa minoritas berpengalaman dan berkemampuan unggul.
Mereka perlahan berkumpul dan menguasai area kaya persediaan pangan. Zona perlindungan termasuk kategori ini. Berbeda dengan tim penyintas di pinggiran kota yang menguasai Gudang Pangan Gunung Min, wilayah itu merupakan zona semi-militer yang dibentuk personel yang ditugaskan. Sedangkan di sini adalah zona pertahanan murni yang dibangun oleh pengguna kekuatan gaib.
Hanya orang berkemampuan yang diterima di sini. Tentu, cantik juga merupakan kemampuan - kemampuan untuk menyenangkan orang lain.
Jadi penghuni di sini terdiri dari: pengguna kekuatan gaib, ahli senjata api berpengalaman, profesional ahli dengan keahlian khusus tingkat tinggi, dan selebihnya seluruhnya wanita cantik.
Regu tiga orang tegang berjaga-jaga di tengah semakin banyaknya regu lain di sekitar. Orang lain juga sama-sama waspada mengawasi mereka, namun seiring semakin mendekati pintu masuk area perlindungan, suasana perlahan-lahan mulai mengendur.
Pintu masuk area perlindungan terletak di sebelah toko besi, dijaga belasan penjaga bersenjata lengkap di luar. Toko besi berfungsi sebagai tempat pemeriksaan personel yang akan masuk. Pintu toko memiliki satu jalur masuk. Karena tertutup pintu gulung, orang luar tak bisa melihat kondisi di dalam yang dipenuhi belasan penjaga bersenjata lengkap. Beberapa pria paruh baya berpenampilan biasa namun berwajah dingin duduk di dalam. Mereka adalah dokter dan orang dengan kemampuan khusus yang bertugas memeriksa kondisi fisik calon penghuni.
Antrian regu pencari berderet di luar toko, menunggu giliran pemeriksaan. Ketiganya pun mengikuti antrian paling belakang, menyatu dalam barisan panjang yang aneh ini.
"Orang ini! Terinfeksi."
Seorang dokter berkemampuan khusus menunjuk pria yang baru saja melepas perlengkapan atasnya dengan nada datar.
"Tidak!! Bukan! Aku tidak punya luka!! Lihat! Lihatlah!!! Kenapa? Aku tidak terinfeksi, tidak... Bum!"
Dentuman senjata menggema.
Disusul suara benda berat terjatuh. Sebuah mayat diseret keluar toko dan dibuang di samping.
"Selanjutnya." Dokter itu menunjuk orang di belakangnya dengan dingin.
Yang masuk adalah wanita cantik dengan lekuk wajah sempurna dan tubuh proporsional. Ekspresi dokter langsung melunak, menjadi jauh lebih ramah.
“Ayo, lepas baju…” Tangannya sudah bergerak cepat menyentuh bagian yang menjulang pada tubuh wanita itu. Tak lama kemudian, terdengar suara terengah-engah yang menggoda dari dalam toko. Tak berselang, seorang wanita dengan pakaian tidak rapi mengusap sudut bibirnya lalu keluar dari toko dan memasuki pintu masuk yang dijaga di sebelah.
“Selanjutnya.”
……
……
……
……
Menghadapi tindakan dokter. Semua orang dalam antrean tidak ada yang bersuara. Nasib hidup-mati mereka sepenuhnya berada di tangan segelintir dokter ini. Selama belum sampai detik-detik terakhir, tak ada yang mau membela orang tak dikenal.
Antrean segera sampai pada giliran ketiga orang. Si pemuda diam-diam mengepal tinjinya, butiran keringat halus memenuhi dahinya di bawah helm. Tangan kanannya menyusup ke saku celana, di dalamnya masih tersisa dua permen karet. Ini adalah seluruh harapannya.
“Selanjutnya!”
Seorang pria botak bekas luka pedang di depannya meludah di tangannya dan menggosok-gosokkannya. Memasukkan pisau pendeknya ke sarung pedang di pinggang, lalu melangkah gagah masuk ke toko.
Pemuda itu merasakan detak jantungnya bagai genderang perang, semakin kencang dan berat. Napas di telinganya mulai tersengal-sengal.
“Pak!”
Sebuah tangan besar menepuk bahunya.
“Kau baik-baik saja? Han Song, apa kejadian hari ini membuatmu ketakutan? Tenang, pertama kali memang belum terbiasa. Nanti setelah beradaptasi akan lancar. Aku dan Kakak Wang juga pernah melalui tahap ini.” Seorang lelaki kekar berambut pendek di belakangnya menghibur.
“Terima kasih, Kakak Sun. Aku agak tegang tadi.” Pemuda itu membalas dengan penuh rasa syukur.
“Dia terinfeksi!”
"Apa!! Gua sumpahin lu sekeluarga, sial, gua bakal ketularan, lu cari mati ya!!"
"Bang! Bang! Bang! Bang!" Empat kali tembakan beruntun bergema.
Lalu seorang penjaga di pintu masuk toko menyeret dua mayat keluar. Salah satunya ternyata dokter yang tadi memeriksa, satunya lagi si botak bekas luka yang masuk sebelumnya.
Tak ada yang terkejut. Kematian dokter itu seolah sudah biasa. Di sini hal seperti ini terjadi tiap hari. Sudah terlalu sering menyaksikan, semua orang jadi kebas.
"Berikutnya!" Kali ini suaranya jelas berganti, suara perempuan.
Pemuda itu menelan ludah, lalu masuk ke dalam toko.
Tak lama, terdengar suara napas berat pemuda dan rintihan perempuan. Tak berselang, wajah pemuda itu pucat pasi saat keluar dari toko.
"Berikutnya!" Suara perempuan itu terdengar lebih puas.
Dua orang yang mengantri di belakang sama-sama membisu, tak ada yang bersuara.
Si jagoan berambut pendek menepuk bahu pemuda itu, menghela napas panjang. Masuk ke dalam toko.
Pemuda itu bergumam, bibirnya bergetar seolah ingin bicara tapi tak keluar kata. Dengan wajah muram, dia memasuki area perlindungan.
Saat melangkah ke zona aman, tanpa disadarinya, pergelangan tangan yang terluka itu tiba-tiba berkedut.
