Memberi uang? Apa Ren He sudah gila? Xu Nuo bertanya dalam hati.
Suaranya yang terlalu keras terdengar oleh beberapa murid di depan yang sedang membereskan tas. Mereka saling memandang dan berbisik: "Dasar sok jagoan, uang jalan-jalan saja tidak punya."
Kerumunan murid yang pulang sekolah berdesakan keluar. Seorang pria tua berpakaian sederhana namun beraura karismatik terlihat mencolok berdiri di gerbang sekolah, sepertinya sedang menunggu seseorang.
"Kenapa wajahnya terasa familiar ya?"
"Aku juga tidak ingat. Memang ada kesan pernah lihat."
Bagi siswa SMP pada umumnya mungkin pernah melihat Zhou Lao di suatu berita, tapi untuk mengingat sosok yang begitu jauh dan bukan selebriti seperti ini, mungkin agak sulit.
Setelah menerima telepon Zhou Lao, Ren He telah melakukan persiapan. Begitu melihat sosok aslinya, ia langsung menyambut: "Zhou Lao, saya Ren He."
Zhou Lao tersenyum sambil mengamati Ren He: "Pemuda yang penuh semangat, sering berolahraga ya? Ayo, kita ngobrol sambil jalan."
Zhou Lao datang sendirian tanpa mobil mewah atau sopir. Detail kecil ini justru membuat kesan baik Ren He melonjak. Sosok yang awalnya terkesan megah itu tiba-tiba berubah seperti kakek yang sedang menjemput cucu pulang sekolah.
Sederhana dan dekat dengan rakyat - itulah kesan pertama Ren He pada Zhou Lao. Berbeda dengan bayangan tentang tokoh besar yang selalu dikawal rombongan, bahkan tak punya mobil khusus. Bisa jadi beliau datang dengan naik bus setelah turun dari kereta api.
Setelah menerima telepon Zhou Lao, Ren He sempat mengumpulkan berita tentang sesepuh ini dengan serius: terkenal akan kesederhanaannya, sepertia sebagian besar aktivitas sosialnya adalah untuk mempromosikan karya sastra klasik. Ketika menemukan karya bagus, beliau tak segan-segan mendukungnya habis-habisan.
Kini, tidak berlebihan jika dikatakan murid-murid Zhou Lao tersebar di seluruh penjuru negeri. Bahkan banyak pejabat dan pedagang yang berharap bisa menjadi muridnya.
Namun beliau tak pernah menerima murid. Hanya para penulis yang dibimbingnya atau pengagumnya yang dengan rela menyapanya "Guru Zhou".
"Mengapa kamu ingin menulis San Zi Jing? Benarkah ini karyamu?" tanya Zhou Lao sambil tersenyum. Sebenarnya, bahkan setelah seminggu berlalu, beliau masih sulit menerima kenyataan: Sebuah mahakarya seperti San Zi Jing justru ditulis oleh anak 14 tahun. "Kami yang puluhan tahun lebih tua ini rasanya seperti hidup sia-sia," gumamnya dalam hati.
"Bisakah saya tidak menjawab pertanyaan itu?" Ren He tersenyum getir. "Saya yakin Bapak sangat terkejut. Tapi saya jamin, jika ada sengketa hak cipta, semua akibat akan saya tanggung sendiri. Zhou Lao tak perlu khawatir tentang hal ini."
Sejujurnya, meskipun menjiplak karya klasik, Ren He hanya ingin mencari uang tanpa memikirkan hal lain. Ia tidak butuh ketenaran, juga tidak perlu pengakuan orang atas tingkat sastranya. Ia cuma ingin kaya, sesederhana itu.
Pada dasarnya, Ren He hanyalah orang biasa yang agak kasar. Kalau bilang dia punya sumber daya dari hidup kedua tapi tidak dimanfaatkan, itu tidak sesuai dengan karakter orang biasa. Ada tekanan psikologis? Ada, tapi cuma sedikit.
Ren He sebenarnya sudah merenungkan, jika kebanyakan orang mengalami hal yang sama seperti dirinya, ia tidak percaya mereka akan mengabaikan karya klasik.
Kita semua orang biasa, tak perlu sok suci. Namun, bersikukuh dengan bibir besi dan gigi merah bahwa itu karya orisinal sambil berpuas diri, itu lain cerita.
Lao Zhou mengangkat bahu setelah berpikir: "Kalau kamu tidak mau membahas ini, tidak apa. Tujuan utama kedatanganku adalah membahas masalah hak cipta dan menetapkan royalti."
"Sudah kupikirkan, 6% saja, tapi 6% dari harga eceran, bukan harga grosir," kata Ren He dengan tegas.
Royalti yang dimaksud adalah sistem pembayaran digital yang sudah digunakan seluruh dunia selama ratusan tahun, yaitu royalti yang bisa didapat Ren He = harga buku X jumlah diedarkan X 6%.
Sebenarnya yang lebih umum adalah royalti 8%, tapi itu dihitung berdasarkan harga grosir 65% dari harga normal, jadi 6% yang diminta Ren He memang lebih tinggi.
Lao Zhou berhenti dan menatap Ren He dalam-dalam. Penetapan 6% ini sulit dikatakan siapa yang dirugikan, yang pasti semua pihak masih bisa dapat cuan. Tiba-tiba ia tersenyum: "Bagus, kita ikuti sesuai kesepakatan ini. Ini pertama kalinya aku bernegosiasi dengan pemuda 14 tahun, agak bingung harus mulai dari mana. Jika terlalu keras, orang akan bilang aku yang sudah sepuh ini mengganggumu."
"Pasti Lao Zhou tidak akan menggangguku," kata Ren He sambil tersenyum lebar.
"Ayo pergi, cari lokasi kamu traktir saya makan, sekalian tanda tanganilah kontrak. Kontrak sudah saya bawa."
"Di depan ada kedai mie yang rasanya bagus, dan... honorarium versi ketiga Koran Ibukota..." Ren He menggesekkan tangannya dengan ekspresi agak malu-malu.
“Mata Zhou Lao tiba-tiba melotot: ‘Kau mentraktirku mie saja?’”
“Bahkan ini pun harus pakai honor tulisan dari Bapak,” Ren He membalikkan kantongnya menunjukkan isinya cuma 50 sen: “Kalau kubilang San Zi Jing ini kubuat demi uang, percayakah Bapak?”
Zhou Lao tertawa terbahak-bahak: “Mie ya mie saja! Dulu di ibukota selalu ingin makan Zhajiangmian tapi tak sempat, hari ini berkatmu!” Sambil berkata, ia mengeluarkan amplop dari dalam baju dan menepukkannya ke tangan Ren He: “Honor puisi kelas A, 48 Yuan per baris untukmu.”
Honor karya puisi selalu dihitung per baris. Tapi kebanyakan ‘sastrawan’ hanya dapat 100 Yuan per puisi, bahkan ada yang 1 Yuan per baris. Makanya Ren He sempat ragu soal honor San Zi Jing, karena tak tahu nominal yang akan diberikan.
Ren He langsung menghitung uang di depan Zhou Lao - totalnya lebih dari 8.000 Yuan!
“48 Yuan per baris, andai kutahu akan begini kubagi jadi lebih banyak baris...” Ren He bergumam pelan.
“Sekarang aku baru percaya.”
Ren He tertegun: “Percaya apa?”
Zhou Lao dengan raut wajah kompleks berkata: "Percaya kamu menulis San Zi Jing demi uang. Baru pertama kali ada orang yang menghitung honor di depan saya. Para sastrawan itu takut tindakan ini akan membuat karya mereka terkotori bau tembaga. Mereka ingin di mata orang lain, diri mereka selalu tampak tinggi dan mulia, jauh dari kembang api dunia fana."
Ren He terkekeh: "Jangan tersinggung, saya ini orang biasa yang tidak suka bertele-tele. Tapi pernah dengar pepatah ini? Besar yang vulgar adalah besar yang elegan."
"Besar yang vulgar adalah besar yang elegan..." Zhou Lao mencerna makna kalimat itu: "Hahaha, alangkah hebatnya 'besar yang vulgar adalah besar yang elegan'!" Sejujurnya ini benar-benar pertama kalinya dia mendengar kalimat itu, wajar saja karena bahkan pepatah ini pun dibawa Ren He dari dunia paralel.
Demikianlah, Zhou Wumeng membawa lebih dari 8.000 honor untuk Ren He plus royalti yang mungkin terus mengalir di masa depan. Hasilnya, Ren He hanya mentraktir Zhou Wumeng semangkuk mi telur di warung pinggir jalan.
Zhou Wumeng justru terlihat semakin bersuka cita.
Saat hendak pergi, Zhou Wumeng bertanya: "Kalau ada karya seperti San Zi Jing lagi ke depannya, kita bisa terus bekerja sama. Sejarah sastra telah mengalami terlalu banyak peristiwa seperti pembakaran buku dan penguburan sarjana, penjara literatur yang masif, menyebabkan sastra kita dari era Musim Semi dan Gugur hingga sekarang nyaris tidak mengalami kemajuan. Terlalu banyak karya klasik sejarah yang tenggelam dalam sungai panjang sejarah."
Ren He mengusap rahangnya sambil berpikir, mungkin jalur budaya dunia paralel ini memang menyimpang karena tindakan penghancuran pengetahuan dalam sejarah. Diperkirakan dalam sejarah juga ada karya monumental gemilang seperti di kehidupan sebelumnya-nya, namun semuanya telah terhapus. Tapi menyalin karya klasik ini dia lakukan dengan mempertaruhkan nyawa, dalam waktu singkat tidak berencana sering-sering mempertaruhkan jiwa. Dia menjawab: "Sementara tidak ada lagi, ini kan hasil pertaruhan nyawa."
"Hm?" Zhou Wumeng tak mengerti, "Pertaruhan nyawa maksudmu?"
"Tidak apa, maksudku menulis ini saja hampir membuatku mati kelelahan," Ren He juga tidak bisa menjelaskan ke orang lain bahwa dia sekarang sudah terkena Sistem Hukuman Langit...
Saat mengantar Pak Zhou pergi, Ren He sama sekali tidak menyadari bahwa di belakang mereka, Duan Xiaolou telah mengamati seluruh adegan ini.
Keraguan muncul di matanya. Dia merasa seperti pernah melihat pria tua terhormat ini di suatu tempat, mungkin di berita beberapa hari lalu.
Pulang ke rumah tanpa menghiraukan sapaan orangtua, Duan Xiaolou langsung masuk kamar dan membuka komputer untuk mencari berita yang diingatnya. Baru setelah setengah jam, dia menemukan: "Wawancara Eksklusif Pemimpin Redaksi Zhou Wumeng di Harian Ibukota: San Zi Jing Merupakan Pencapaian Sejarah dalam Pendidikan Dasar Anak-anak".
