Para gadis kecil di kelas sedang menggosipkan kisah cinta dan kebencian antara dua selebriti papan atas Jiang Siyao dan Jiang Chen, persis seperti yang pernah dialami Ren He di masa lalu. Gosip selebriti selalu menjadi kegemaran para remaja putri ini.
Bahkan Xu Nuo si pria gemuk berbisik bertanya pada Yang Xi, "Apa kakakmu tahu soal kedatangan Jiang Chen ini?"
Yang Xi memandang si gemuk dengan ekspresi menghibur sambil tetap bungkam, malah membuat Xu Nuo mengkerut kembali ketakutan.
Ren He tersenyum. Ini seperti segelintir episode kecil dalam kehidupan. Perpisahan dan reuni di kalangan selebriti memang kerap terjadi. Hanya saja kehidupan mereka diperbesar layaknya di bawah mikroskop, dengan segala pandangan masyarakat tertuju tajam.
Sungguh melelahkan. Karena itulah sejak awal Ren He tak pernah berniat menjadi penyanyi.
Tentu, suara seraknya juga menjadi salah satu alasan...
Selama dua hari ini di kelas, selain terus menghindari guru sambil mengetik naskah di ponsel, Ren He juga saling berkirim catatan kecil dengan Yang Xi. Yang Xi duduk di depan serongnya, membuat pertukaran catatan menjadi sangat praktis.
"Makan malam bersama yuk? Kita berempat," tulis Ren He dalam catatannya. Entah mengapa, kini ia merasakan kegelisahan seperti masa sekolah dulu saat mengejar perempuan, seolah mentalnya benar-benar kembali ke era pelajar, sampai-sampai mengajak makan pun berempat.
"Harus pulang tepat waktu untuk makan malam," entah mengapa Yang Xi tidak menolak catatan dari Ren He.
Siswa seperti apa Ren He? Penampilannya biasa-biasa saja paling banter tergolong standar. Nilai akademisnya - selain ujian bulan ini - selalu sangat buruk, setiap kali membuat guru naik pitam. Belum lagi tidak punya uang jajan.
Inilah penilaian para siswi di kelas terhadap Ren He sebelumnya. Karena itu, saat Duan Xiaolou menerima surat cinta Ren He untuk pertama kalinya, hatinya langsung menolak.
Sedangkan ciri siswa paling terkenal di sekolah selain akademis? Selain soal belajar, harus tajir, tampan, pakai baju bermerek, dan punya gaya.
Sekalipun dia sekarang melakukan beberapa hal melampaui batas, tapi cewek-cewek di kelas tidak tahu dia mulai menulis buku dan sangat sukses secara finansial. San Zi Jing sekarang dipuji-puji dan dipromosikan tiap hari, tapi tak ada yang tahu Ren He adalah penulisnya. Lao Zhou benar-benar melakukan pekerjaan kerahasiaan yang solid untuk Ren He dalam hal ini.
Jadi di mata cewek-cewek kelas, Ren He tetap siswa yang buruk, cuma siswa bermasalah yang agak nekat...
Kalau cewek lain, mungkin melihat catatannya juga akan mengabaikannya...
Di kertasnya Ren He menulis: "Sekali tidak pulang makan malam gak masalah, sekalian kita bahas rencana nonton konser."
Begitu catatan itu sampai, Ren He langsung lihat keraguan di wajah Yang Xi. Dia tahu ini ada peluang. Entah kenapa, sejak sorot mata itu saat melompati gedung sekolah, Ren He punya kesan baik misterius pada Yang Xi.
Dan Yang Xi memiliki sesuatu yang tidak dimiliki banyak gadis saat ini, seperti target dan wawasan. Setelah banyak berbicara beberapa hari ini, Ren He menyadari bahwa mungkin karena ayahnya yang seorang diplomat, Yang Xi telah mengunjungi banyak tempat, berinteraksi dengan banyak orang, sehingga memiliki perspektif yang berbeda yang melahirkan pemikiran yang berbeda pula.
Dia ingin bernyanyi, ingin menyanyi untuk banyak orang. Dia iri pada sepupunya yang bisa bernyanyi di tempat yang menjadi sorotan ribuan pasang mata untuk didengar semua orang. Seperti banyak anak yang punya mimpi menjadi bintang sejak kecil, Yang Xi tidak terkecuali, hanya saja dia benar-benar mengambil tindakan.
Ren He juga ingin membantunya bernyanyi, hanya saja sekarang belum saatnya.
Saat istirahat, Yang Xi menelepon ayah diplomatnya: "Halo, Ayah. Aku mau makan malam dulu dengan teman-teman sekelas sebelum pulang."
Ren He bisa mendengar suara pria di seberang telepon tertawa lepas: "Kau sudah besar, urusan seperti ini putuskan sendiri saja. Jangan lupa pulang lebih awal."
Hah, Ren He mulai tertarik pada pria ini, menarik.
"Baiklah, malam ini kita makan bersama," kata Yang Xi sambil tersenyum. Cahaya keemasan dari balik kaca jendela kelas menerangi wajahnya, membuat Ren He merasa matanya hampir silau!
Xu Nuo terlihat bingung: "Makan apa?!"
"Ayo kita makan malam bersama, aku yang traktir," ujar Ren He sambil tersenyum: "Kita bahas persiapan konser hasil transformasi."
Duan Xiaolou melirik Ren He. Belakangan ia menyadari kedekatan Ren He dengan Yang Xi, entah mengapa hatinya merasa kehilangan sesuatu meski tak ditampakkan. "Bagus, mau traktir kita di mana? Warung pinggir jalan tidak boleh ya."
"Aku bisa makan apa saja, asalkan tempatnya bersih," tambah Yang Xi.
"Paviliun Matahari Terbit saja," pikir Ren He. Bukankah itu restoran prasmanan terbaik di Luocheng saat ini?
“Di mana Riguangge?” tanya si pria gemuk, siswa biasa memang belum pernah mendengar tentang sana.
“Jangan tanya lagi, ikut saja setelah kelas usai.”
Ren He tidak menyadari, sorot mata Duan Xiaolou berkedip-kedip seolah mengamatinya kembali. Jelas dia mengetahui tempat itu. Yang membuatnya penasaran adalah, mengapa Ren He tidak seperti rumor di kalangan teman sekelas yang mengatakan uang jajannya bulanan hanya 5 yuan...
Yang Xi berbisik bertanya pada Duan Xiaolou tentang Riguangge. Karena baru kembali ke Luocheng, dia sama sekali tidak tahu. Setelah Duan Xiaolou menjelaskan, Yang Xi berkata: "Jangan ke tempat semewah itu. Di dekat rumahku ada restoran masakan Hunan. Kemarin baru makan di sana bersama ayahku, rasanya enak sekali. Namanya Xiangxi Lawei Xiaochao (Tumis Pedas Xiangxi), lebih ekonomis kalau ke sana."
"Hah?" Ren He bertanya, "Apakah itu warung kecil di Jalan Xingshulu?"
Yang Xi terkejut sekaligus senang: "Kamu juga tahu?!"
“Haha, tentu tahu! Tampak depan tokonya sangat kecil tapi punya banyak cabang. Aku paling suka makan tumis darah bebek dengan kucai dan jeroan ayam kering mereka!” kata Ren He sambil tertawa. Tak disangka di dunia paralel ini masih ada warung kecil itu. Di kehidupan sebelumnya, dia sering sekali makan di sana.
Dibandingkan hotel mewah, dia lebih menyukai warung-warung kecil ekonomis yang tersembunyi di gang-gang. Ini membuatnya merasa lebih dekat dengan rakyat!
Di momen ini, Ren He dan Yang Xi tiba-tiba saling tersenyum penuh pengertian, seolah ada kecocokan hati yang tak terucapkan.
Sedangkan Duan Xiaolou dan Xu Nuo agak kesulitan menyela pembicaraan.
Begitu bel pulang berbunyi, Ren He langsung berteriak mengajak mereka makan. Saat tiba di warung, tampak depan yang sempit membuat Duan Xiaolou mengerutkan kening.
Ren He langsung duduk dan berteriak: "Bos! Bos! Pesan makanan! Satu tumis darah bebek kucai, satu jeroan ayam kering, satu daging merah kecap, satu daging cincang dengan acar kacang, satu ikan wajan datar, satu kubis sobek tangan!"
"Wah, jarang lihat wajah baru nih. Kok langsung pesan semua menu andalan kami sekaligus?" Pemilik toko tersenyum ramah.
"Santai saja, haha! Nanti aku pasti sering main ke sini!" Ren He merasa ada keakraban tak terduga dengan kedai ini.
Yang Xi berbisik khawatir: "Kebanyakan pesannya, nggak bakal habis kita makan."
"Gak apa, sisa bisa dibungkus. Daripada mubazir. Di rumah cuma ada frozen dumpling rebus doang. Makanan bungkus ini sudah termasuk perbaikan hidup!" Ini memang fakta - belakangan ini Ren He sampai muak makan pangsit karena kedua orangtuanya sibuk bekerja.
Ibu Ren pernah menawarkan untuk menyediakan asisten rumah tangga, tapi Ren He menolak mentah-mentat. Kondisi sekarang justru sebaliknya lebih merdeka.
