Duan Xiaolou berdiri di bawah rumah Ren He sambil menatap jendela lantai 5: Lampu dalam keadaan padam, rumah kita kosong.
Dua hari ini saat lari malam, dia sama sekali tidak bertemu Ren He. Tapi dia tak bisa menanyakan mengapa Ren He berhenti lari. Melankolisnya tak ada tempat untuk diceritakan.
Seolah hidup kembali ke lintasan orbit asli sebelum adanya Ren He. Dirinya harus seperti rencananya: Lulus SMA dengan mulus, lalu masuk universitas terbaik di negeri dengan performa luar biasa, menjadi ketua OSIS di kampus, lalu lulus dengan CV gemilang.
Inikah seluruh hidupnya? Tak pernah bersalah, dipuja tak terhitung orang, akhirnya memilih yang terbaik dari para pengagum untuk menikah dan melahirkan anak?
Tapi dulu dia sepertinya pernah melihat pilihan lain pada diri Ren He. Kini pilihan itu pun telah dia ingkari sendiri.
Di kejauhan terdengar suara langkah lari. Duan Xiaolou menoleh ke persimpangan jalan dan melihat Ren He berlari masuk dari gerakang perumahan dengan wajah berkeringat. Ren He tersenyum padanya: "Kebetulan!"
"Ini kamu…"
"Oh, tadi aku dari tempat yang cukup jauh. Daripada lari malam nanti, mending langsung lari pulang sekalian olahraga," jelas Ren He sambil memperkirakan jarak dari rumah Yang Xi. "Kurasa jaraknya pas untuk dosis latihan yang ideal."
"Oh... Pantas saja dua hari ini tidak kelihatan," batin Duan Xiaolou. Apakah setiap hari dia berada di tempat yang sama sehingga Ren He memilih ini? Sepertinya jarak dari rumah Yang Xi ke sini...
"Aku ini ngapain sih," Duan Xiaolou menyindir diri sendiri dalam hati. "Yaudah, kamu cepat pulang saja. Aku juga mau mulai lari malam."
"Oke, sampai besok!" Ren He menggerakkan tangannya memberi salam sebelum naik ke lantai atas.
Duan Xiaolou berlari beberapa langkah ke depan tiba-tiba kehilangan minyak, akhirnya memutuskan berhenti lari dan pulang ke rumah.
Ren He kembali ke rumah langsung mengetik dua bab cadangan naskah Kitab Suci. Sekarang dia sudah paham betapa pentingnya cadangan naskah - saat menghadapi Dewa Arak, berapa pun cadangan naskah takkan pernah cukup...
Rata-rata langganan Kitab Suci beberapa hari ini sudah naik ke 18.000, daftar tiket bulanan juga stabil di peringkat ke-7. Ingin naik ke peringkat lebih tinggi sulit, tapi jatuh juga mustahil - terjebak di posisi memalukan ini.
Tapi bagi mayoritas penulis, penulis Kitab Suci Sha Paozi sudah hampir menyandang gelar Dewa Tertinggi, setidaknya calon Dewa Tertinggi.
Untuk menjadi Dewa Tertinggi, perlu membuktikan diri lewat Perang Dewa. Tapi Ren He tak buru-buru - Perang Dewa takkan pecah dalam waktu dekat. Saat ini adalah waktu untuk mengakumulasi pengaruh.
Pagi hari berikutnya, Xie Miaohan datang lebih awal ke kelas sesuai tradisi yang berlaku, dan melihat Ren He sekali lagi menjadi orang pertama yang tiba di sekolah dengan pemandangan yang familiar: jongkok sambil memikul meja...
Adegan ini membuat 10.000 alpaka berlarian liar di hati Xie Miaohan. Bukankah Ren He sedang jongkok pagi itu sebelum melompat dari gedung? Apakah ini pertanda akan terjun lagi?! Ini pemanasan ya?!
Xie Miaohan menatap Ren He dengan hati-hati sambil bertanya, "Kenapa, pemanasan lagi?"
Pemanasan? Ren He tersenyum getir dibuatnya. Rupanya Xie Miahan mengira dia bersiap untuk bunuh diri lagi. Ia buru-buru menjelaskan, "Guru Xie tenang saja, hari ini saya pasti tidak akan membuat masalah!"
"Jangan bicara omong kosong... Setiap kali janjimu selalu 'baik-baik', tidak apa, lompat saja, saya sudah siap mental..." ujar Xie Miaohan dengan ekspresi pasrah sepenuhnya.
Ren He canggung menjilat bibirnya: "Anda lihat, kenapa masih tidak percaya sama gue."
"Kamu memang tidak layak dipercaya……"
Pagi itu ketika Kepala Liu bertemu Xie Miaohan, dia bertanya: "Lao Xie, sudah kasih bimbingan mental ke anak itu belum? Masalah ini sampai mengguncang kepala sekolah, kita diwajibkan menjamin keselamatannya!"
"Sudah, tadi pagi baru saja saya lakukan bimbingan dengannya," jawab Xie Miaohan dengan tenang.
"Apa yang kamu katakan?"
"Saya bilang, lompat saja, saya sudah siap mental," ujar Xie Miaohan datar.
Kepala Liu langsung kebelet pipis: "Lao Xie, jangan menyerah begitu saja dong!"
"Kalau gitu buruan ganti wali kelas, jabatan ini gue enggak mau lanjutin, siapa mau silakan!"
"Oke oke!" Kepala Liu mulai panik: "Saya akan segera laporkan ke kepala sekolah, Lao Xie kamu harus tetap tenang!"
"Oke, saya tunggu kabarmu. Kalau dalam 2 hari belum diganti, saya akan temui Ren He dan bilang: Kau mau lompat atau tidak? Kalau kau tidak lompat, saya yang lompat!" Xie Miaohan menyemburkan bintik-bintik ludah ke wajah Kepala Liu...
Ren He masih duduk di kelas. Pagi ini ia memaksakan diri menyelesaikan misi 100 squat. Namun hadiah dari Sistem Hukuman Langit kali ini seperti tulang ayam: Teknik Bermain Gitar (Ahli).
Ini pertama kalinya sistem sengaja mencantumkan standar "Ahli". Apakah hadiah serupa memiliki perbedaan tingkat kualitas? Lalu bagaimana jadinya jika di masa depan ia membuat Ramuan Muntah tingkat lebih tinggi...
Selain itu, apakah pengetahuan teori musik yang didapat sebelumnya juga memiliki level Ahli? Apakah ada level Master di atas Ahli? Terhadap hal seperti ini ia masih bersikap skeptis. Beberapa hadiah tetap tidak berguna meskipun levelnya tinggi.
Namun kelebihan hadiah hari ini adalah, seligus bisa meneliti lagu bersama Yang Xi, ia juga bisa mempelajari teknik petikan gitar...
Saat siswa-siswa mulai berdatangan ke kelas, mereka ramai membahas acara makan malam yang dihidangkan Liu Yinghai kemarin. Konon biayanya tidak murah dan sangat eksklusif. Ketika Liu Yinghai masuk, banyak siswa menyapanya dengan antusias, bahkan ada yang sengaja mencari topik pembicaraan. Sepertinya jamuan itu cukup efektif.
"Siswa SMP benar-benar mudah disuap... Cuma dengan sekali makan langsung puas," gumam Ren He takjub.
Liu Yinghai merasa sangat puas diri. Ia memang menikmati perasaan dikelilingi seperti bintang. Bukankah wajar bagi remaja seusianya untuk menyukai hal seperti ini? Meski ada sedikit penyesalan karena Yang Xi, Duan Xiaolou, dan Xu Nu tidak hadir, hatinya tetap dipenuhi kepuasan.
Dengan sengaja, ia berbicara keras-keras di dekat Ren He tentang acara kemarin: "Menurutku abalon di restoran itu kurang segar. Kalau tidak, pasti kubelikan semangkuk untuk setiap orang mencobanya."
"Nah, makan abalon saja bisa dibanggakan. Di pinggir laut abalon 20 ribu per biji, aku traktir sampai kamu muntah!" Ren He cuma tertawa lebar di tempatnya, seperti menonton acara varietas. Menurutnya, Liu Yinghai ini memang perlu dihajar.
Liu Yinghaipun mengamati reaksi Ren He dengan penglihatan tepi setelah selesai bicara. Ia berharap wajah Ren He memerah... Tapi di detik itu juga, air matanya tiba-tiba mengalir deras...
Semua murid bengong... Ngobrol biasa saja kok bisa nangis tiba-tiba...
Lalu semua menyaksikan Ren He melonjak berdiri sambil bertepuk tangan: "Waduh, perasaannya terlalu meluap-luap!"
