"Misi: Selesaikan lari 1000 meter dalam 2 menit 30 detik, batas waktu satu minggu." Ren He hanya berpikir sebentar lalu tak mempedulikan misi ini. Ia ingat rekor dunia lari 1000 meter di kehidupan sebelumnya adalah 2 menit 11 detik. Target ini masih jauh dari batas maksimal manusia. Dengan rasio berat badan dan kekuatan saat ini, misi ini seharusnya tidak terlalu sulit diselesaikan.
Memanfaatkan saat paling kacau di kelas, Ren He membawa Yang Xi berlari keluar kampus menuju atap gedung rumah Yang Xi. Saat melewati gerbang sekolah, mereka saling tersenyum. Ren He berkata: "Apa aku bikin kamu jadi nakal? Pernah bolos sebelumnya?"
"Tidak... Tapi dari dulu pengen coba bolos. Sebenarnya, perasaan waktu bolos... lumayan seru..." jawab Yang Xi sambil berpikir.
"Dulu sering ikut ayahmu ke luar negeri? Lalu sekolah biasa gimana?" Ren He masih penasaran. "Lari ke sana-sini kan nggak mungkin pindah sekolah terus."
"Belajar otodidak. Kebanyakan pelajaran, alat musik, dan musik ya belajar sendiri. Untungnya masih bisa kejar kemajuan," jelas Yang Xi. "Biasanya di tempat baru aku lebih banyak baca buku di rumah."
"Ayahmu bawa kamu kemana-mana karena khawatir nggak ada yang jaga? Ibu kamu dimana?" tanya Ren He penasaran.
“Bukan karena takut tidak ada yang merawatku, Kakek Nenek ingin menjemputku, tapi Ayah khawatir aku akan terpengaruh kebiasaan buruk. Menurutnya dengan ikut dia melihat dunia, menyaksikan negara maju dan terbelakang, bisa membantu pertumbuhan kecerdikanku. Tentang Ibu... dia sudah bercerai dengan Ayah. Ibu membangun bisnis sendiri. Mereka kadang setahun tak bertemu, akhirnya memutuskan berpisah,” suara Yang Xi sedikit bergetar saat menyebut ibunya.
Khawatir tinggal dengan Kakek Nenek akan menularkan kebiasaan buruk? Ren He mengernyit. Menurutnya Yang En sebenarnya takut putrinya terpengaruh gaya hidup boros di ibukota. Wajar saja kakek nenek memanjakan cucu perempuan.
"Soal ibu Yang Xi, Ren He memperkirakan mereka mungkin jarang bertemu. Tidak tahu seperti apa wanita ini. Ngomong-ngomong, itu kan calon ibu mertuaku yang sudah ditetapkan secara internal..."
Sampai di atap, Ren He dengan misterius mengeluarkan selembar kertas surat terlipat dari saku. Yang Xi menghela nafas, "Harus dibuat kayak surat cinta gini?" Ia menyambar kertas itu dari tangan Ren He, "Lagu apa yang kau tulis kali ini?"
"Qu Dali," Ren He tersenyum. "Hari ini tak perlu kau iringi, aku akan main sendiri!"
Teknik gitarnya tiba-tiba naik ke tingkat ahli Larangan. Sejujurnya ini agak seperti tulang ayam. Daripada dapat ini, lebih baik ramuan air mata lagi. Tapi Ren He menerimanya dengan lapang dada, dia tipe orang yang bisa menyesuaikan diri di mana saja.
Ekspresi terkejut muncul di wajah Yang Xi, "Kau bisa main gitar? Kenapa tidak pernah kau beri tahu sebelumnya?"
“Ahem,” wajah Ren He terlihat agak canggung, ini kan hadiah yang baru saja didapat, dia hanya bisa menjelaskan dengan serius: "Aku biasanya tidak memainkannya untuk orang lain, harus pendengar yang lulus dulu, sekarang aku rasa kamu sudah lulus!"
Yang Xi mendadak tertawa terbahak, dia menemukan ciri khas terbesar Ren He adalah keterlaluan benar, tapi bersama orang seperti ini selalu terasa sangat bahagia, dia tersenyum: "Sudahlah jangan sok gaya, cepat nyanyikan untukku."
"Oke, dengarkan baik-baik!" Ren He mengangkat alis dan seketika memasuki gejolak emosi tertentu. Yang Xi yang memperhatikan sikapnya tiba-tiba merasakan—entah mengapa—pemuda yang ditemuinya di puncak masa indahnya ini, sepertinya tidak sebahagia yang dibayangkan.
"Apakah hidupmu tak memenuhi standar?"
"Sudah lama tak tertawa, pun tak tahu mengapa."
Hanya dua kalimat itu. Ren He seolah membelah kebingungan dalam hatinya dan menatapkannya secara gamblang di depan Yang Xi. Hidung Yang Xi tiba-tiba terasa pedih.
Namun di luar itu, Yang Xi tiba-tiba menyadari satu hal! Gitar yang dimainkan Ren He seolah memiliki daya pikat magis, meski not yang sama, ketika dimainkan oleh tangannya bagai disulap menjadi sihir.
Saat Ren He menyelesaikan satu lagu, Yang Xi merasakan gitar ini siap mengiringi siapapun dan membuat lagu apapun terdengar indah. Perlahan ia mulai mempercayai perkataan Ren He sebelumnya..."Aku biasanya tak sembarangan main untuk orang lain, harus pendengar yang lulus dulu. Sekarang kuanggap kau lulus!"
Dengan tingkat seperti ini, pantas saja ia boleh merasa bangga tak mau main sembarangan!
Meski juga belajar gitar, jurang perbedaan antara dirinya dan Ren He bagai langit dan bumi. Memandang Ren He yang duduk santai di atap gedung, ujung jarinya menari perlahan di atas senar transparan - not demi not mengalir masuk ke telinganya, Yang Xi harus akui: hatinya mulai bergejolak.
"Dulu aku tak pernah merasa akan memuja siapa pun, karena karakternya yang terlalu independen. Tapi tiba-tiba aku sadar, mungkin orang-orang yang kukenal sebelumnya belum cukup memukau."
"Sebenarnya kalau dipikir, perasaan memuja pemuda ini sepertinya juga tidak buruk!"
Yang Xi ragu sejenak lalu bertanya: "Kamu benar-benar berbakat di bidang musik. Gitar-mu juga sepenuhnya bisa menyaingi bakat menulis lagumu, tapi mengapa kamu..."
"Kita sudah bahas ini berkali-kali," Ren He tersenyum sambil mengembalikan gitar ke Yang Xi: "Ambisi ku tidak terletak di sini. Masih ada hal lain yang lebih kusukai."
"Hal apa?" Yang Xi penasaran.
"Hmm... nanti saja kuceritakan," Ren He tersenyum: "Kamu latih saja empat lagu yang kutulis untukmu."
Sebenarnya dalam ingatan Ren He, membuat album memiliki persyaratan khusus terkait lagu-lagunya - beberapa lagu jenis tertentu ditambah beberapa lagu genre lain, tergantung tipe penyanyi. Ragam genre dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pendengar.
Namun Ren He sebenarnya tidak terlalu paham hal ini. Mungkin penyanyi lain saat merilis album memiliki ciri khas seperti jazz atau pop... Tapi Ren He hanya punya satu syarat dalam memilih lagu... Enak didengar!
Baginya, karena tidak ahli dalam hal ini maka jangan dipusingkan lagi. Ia tidak percaya album berisi lagu-lagu bagus semua masih tidak laku dijual.
Ia sangat yakin dengan semua lagu ini!
Saat Yang Xi berlatih, tiba-tiba mengangkat kepala dan bertanya: "Bagaimana cara debut? Ikut acara pencarian bakat?"
Ren He tertegun: "Tidak mau minta bantuan sepupumu?"
"Sebenarnya kalau dia yang bantu, perusahaan manajemen mungkin akan menghormati. Tapi kabarnya perusahaan mereka kacau, aku tidak terlalu ingin..." kata Yang Xi dengan melankolis.
Ren He menggaruk rahang bawah sambil berpikir lama: "Baik, urusan ini tidak usah khawatir. Aku yang selesaikan, tunggu liburan musim dingin!"
"Ada ide bagus?" tanya Yang Xi sambil tersenyum. Entah mengapa, sekarang ia selalu secara bawah sadar memilih percaya pada Ren He.
"Takdir ilahi tidak boleh dibocorkan, nanti juga tahu!"
