Sementara dunia nyata gaduh hiruk-pikuk karena Ren He dan Yang Xi, Yang Xi justru sedang membawa Ren He makan di pinggir jalan. Keduanya tampak santai sepenuhnya.
Sebenarnya Yang Xi agak tegang. Bahkan ketika mendarat di 300 meter luar kedutaan saat mengikuti Yang En di Afrika dulu, dia tidak segugup ini. Karena Yang En pernah bilang: semakin kuat negara, semakin aman di daerah kekacauan perang.
Tentu ada pengecualian, namun pernyataan seperti ini biasanya bisa diterima.
Ia tegang memikirkan penilaian orang, juga khawatir apakah penampilan vokal tadi sesuai level biasanya. Tapi kehadiran Ren He yang santai di sampingnya—tak peduli sebesar apa petualangan mereka—membuat Yang Xi secara tak terduga kembali tenang mendengar rengekan "Aku lapar, ayo makan!" darinya.
Pria ini seolah memiliki daya pikat magis.
"Jangan cuma sibuk makan," protes Yang Xi dengan nada kesal, "Bagus tidak suaraku tadi?"
"Sempurna!"
"Jangan cuma manis-manis," Yang Xi mendorong bahunya, "Aku mau dengar kritik jujur."
"Hahaha, di mataku, kau sempurna di setiap helai rambut," jawab Ren He tersenyum lebar.
“Bicara baik-baik kenapa tiba-tiba...” Yang Xi berbalik mulai diam-diam memakan sesuatu, namun perasaan manis tertentu menyebar di hatimu. Yang Xi di usia 15 tahun ini sejujurnya masih gadis kecil, Ren He adalah cinta pertamanya. Ia belum pernah mendengar kata-kata manis, atau mungkin ada yang mengatakannya, tapi sampai di telinganya otomatis terblokir.
Saat itu telepon Yang Xi berdering, nomor yang muncul ternyata Jiang Siyao! Yang Xi bawah sadar langsung menatap Ren He. Ren He menelan benda di mulutnya sambil berkata: "Jika mencari aku, katakan padanya jika masih ingin membeli lagu, bilang aku sedang tidak ada inspirasi. Tunggu sampai kita lulus SMP."
Yang Xi mengangguk, alasan ini sepenuhnya masuk akal. Bagaimanapun, inspirasi siapa pun tidak mungkin tak terhingga, bukan? Bahkan dirinya sendiri merasa ini seharusnya. Yang Xi mengangkat telepon dan mendengar Jiang Siyao tertawa: "Kalian berdua datang ke ibukota bersama? Aku lihat video di internet, lagu keempat juga sangat bagus. Jika debut dengan lagu-lagu ini sudah cukup, tinggal undang beberapa lagu lagi."
Yang Xi tidak menyangka Jiang Siyao tiba-tiba menyebut soal debut. Ia tertegun sejenak lalu berkata: "Menurutnya masih terlalu awal untuk aku debut sekarang."
"Masih awal?" Jiang Siyao malah terkejut. Dalam pikirannya, aksi Ren He membawa Yang Xi membuat kejutan ini jelas ingin memunculkannya di mata publik. Jika sudah begini, tentu harus mulai menyanyi. Mengapa masih disebut awal? Apalagi sekarang prestise sedang tinggi, memanfaatkan momentum pasti akan sangat efektif.
“Ya, masih terlalu dini, menurutku perkataan ia juga masuk akal, aku akan mendengarkannya,” Yang Xi menjelaskan dengan tenang. Dulu hal yang paling ia dambakan adalah bisa menyanyi, namun sekarang justru tak terburu-buru, karena yakin Ren He pasti akan membantu menyelesaikan semuanya.
“Aku traktir kalian makan, kebetulan tahun depan aku masih punya album baru...” ujar Jiang Siyao, namun baru setengah kalimat langsung dipotong oleh Yang Xi.
“Katanya... harus menunggu sampai lulus SMP, masih setengah tahun lagi, selama ini belum ada inspirasi,” bisik Yang Xi menjelaskan.
Jiang Siyao tiba-tiba menyadari, dalam setiap ucapan Yang Xi selalu menyebut 'ia' 'ia' 'ia', seakan dunia gadis lugu ini telah sepenuhnya dipenuhi oleh sang pemuda itu.
Tapi jika permintaan lagu darinya harus menunggu setengah tahun, maka rencana peluncuran album barunya pasti tertunda. Tunggu atau tidak? Jika menunggu, bagaimana jika pihak tiba-tiba berkhianat? Tapi jika tak menunggu, tanpa lagu gemilang yang menyinari seluruh album, bahkan Ratu Musik pun bisa seperti meteor jatuh.
Keputusan akhir Jiang Siyao adalah: Tunggu!
"Baik, aku akan menunggunya," Jiang Siyao menutup telepon. Wanita ini selalu pandai menangkap peluang, kalau tidak mustahil mencapai pencapaian hari ini. Ia mempercayai intuisinya - seorang pemuda yang bisa menghasilkan 8 lagu klasik secepat itu, pastinya masih menyimpan potensi lebih. Adegan saat Ren He menulis lagu dihadapannya dulu membuatnya terpana. Menurutnya, pemuda ini sepadan untuk ditunggu.
Setelah menutup telepon, Yang Xi tersenyum pada Ren He: "Bagaimana? Apakah jawaban tadi bisa?"
"Bisa. Misi semester depan adalah menyelesaikan 5 lagu tersisa untukmu. Yang lain tak sempat kuhiraukan." Ren He tak bisa mengaku bahwa ini karena enggan menerima terlalu banyak misi. Seiring misi yang mulai meningkat levelnya, ia merasa jika kemajuan terlalu cepat bisa membuat level misi mencapai tingkat yang mengerikan dalam waktu singkat. Mengikuti sifat Sistem Hukuman Langit, mungkin saja ia bisa menyelesaikannya, tapi misi-misi itu pasti sangat kompleks. Saat itu tiba, kehidupan siswa yang tenang tak akan bisa dipertahankan lagi.
Dan hukuman mulai berkembang ke arah yang sulit kumengerti, hukuman-hukuman aneh macam apa itu...
Tapi yang patut disyukuri adalah setidaknya menyelesaikan misi tidak lagi berisiko dihapuskan, kalau benar-benar darurat bisa kutahan saja...
Malam itu saat Ren He mengantar Yang Xi pulang, Yang Xi langsung berbisik "Tidak baik!" begitu melihat lampu rumah menyala - Su Ruqing sudah pulang!
Su Ruqing jelas-jelas sudah memperingatkannya untuk tidak keluyuran. Yang Xi tidak takut pada Yang En, tapi justru gentar menghadapi sang ibu yang tegas dan berkuasa ini. Ia harus memikirkan alasan yang masuk akal.
Saat mereka berdua berjalan ke arah rumah, mereka melihat Su Ruqing berdiri tenang di bawah lampu jalan persis di persimpangan... Kaki Ren He mulai gemetar. Aduh, aura ibu mertua ini sungguh menggentarkan. Pertemuan sebelumnya di Luocheng masih bisa dimaklumi, tapi ini terjadi di ibukota!
Dia sebelumnya sudah paham, sikap keras Su Ruqing padanya bukan karena identitasnya, latar belakang keluarga, atau apakah dia punya bakat atau kaya. Keluarga mereka sudah punya semua itu, jadi tidak perlu terlalu dipaksakan untuk mengejar. Yang diperhatikan Su Ruqing adalah masalah prinsip - ini namanya pacaran dini!
Coba bayangkan kalau putri Ren He sendiri di usia 15 tahun berani dikelilingi bocah lelaki, bahkan sampai nekat datang ke ibukota dari jauh. Tahun depan, rumput di kuburan bocah itu mungkin sudah setinggi beberapa zhang!
Sekarang balikkan posisi dan bayangkan perasaan Su Ruqing saat ini...
"Tante, saya datang untuk ikut kompetisi Matematika Olimpiade Nasional. Kebetulan tahu Yang Xi di ibukota, jadi sekalian menyambanginya untuk diskusi pelajaran!" Ren He berusaha tenang menjawab.
Tapi Su Ruqing hanya memandangnya diam-diam. Ren He langsung geli di selangkangan. Justru keheningan yang menusuk inilah yang paling mengerikan, lebih buruk daripada dimarahi langsung...
Seolah-olah lawan sudah sepenuhnya memahami segalanya, namun hanya diam-diam menyaksikanmu mengoceh tak karuan.
Su Ruqing membuka mulut: "Kompetisi Matematika Olimpiade? Tidak membangun tanah air lagi? Tidak menyumbang batu bata untuk Sosialisme?"
Menyumbang batu apa... Waduh, Ren He berteriak dalam hati: Tidak baik! Lawan bahkan tahu hal ini, artinya dia mengetahui dari video yang beredar di internet!
