Pagi-pagi Ren He sudah keluar dari hotel. Hari ini ia hendak mentraktir Zhou Wumeng makan, baru malam nanti bertemu Yang Xi. Soalnya hari ini diam-diam mengajak putri orang, kalau ketahuan siang hari kan geli di selangkangan?
Ini pertama kalinya ia datang ke Kelompok Media Ibukota. Saat Ren He berdiri di lantai bawah hendak menelepon Zhou Wumeng, terlihat beberapa orang terpencar memegang spanduk di depan gedung: "Minta Kunlun diterbitkan tiap hari!"
Hush! Ren He menghirup napas dingin. Sudah berapa lama masih ada yang segigih ini? Dua hari sekali saja masih demo? Tapi sekarang yang protes sudah jarang, mungkin ini penggemar sejati.
Dihitung waktunya, Kunlun tinggal dua minggu lagi akan tamat. Saat itulah operasi hak cipta sesungguhnya dimulai. Entah kabar baik apa yang akan dibawa Zhou Wumeng hari ini?
Ia menghindar ke samping sambil menelepon Zhou Wumeng: "Halo, Lao Zhou, saya sudah di lantai bawah, ayo cepat keluar makan."
Zhou Wumeng tertawa: "Jam 9 pagi sudah buru-buru mengajak makan, semangat sekali. Tapi makan sekarang kan masih terlalu pagi?"
"Nggak lah, makan youtiao dan susu kedelai saja. Saya masih ada urusan," kata Ren He sambil tersenyum lebar. Dia tahu Zhou Wumeng sengaja ingin memanfaatkan sifat psikopat-nya untuk mengerjai si tajir ini, jadi dia balik mengusik Zhou Wumeng.
"Nggak mau," Zhou Wumeng menolak tanpa ampun: "Naik dulu ke sini, lantai paling atas."
Ren He kembali tersenyum. Dia menyadari sikap Lao Zhou yang rendah hati ini - bagaimana pun bercanda dengan junior seperti dirinya, sang senior tak pernah tersinggung. Inilah sikap layaknya tokoh besar sastra! Berbeda dengan para senior yang mengaku-aku diri itu yang suka memperhitungan hal sepele dengan generasi muda, hati mereka sempit seperti biji kacang hijau. Terhadap tipe orang seperti itu, Ren He paling hanya akan menyebut jabatan mereka, takkan pernah memberi hormat.
Namun Zhou Wumeng berbeda, semata-mata karena dulu ia mau datang sendiri untuk menandatangani San Zi Jing, Ren He merasa harus menghormatinya. Apalagi sejak pengiriman naskah San Zi Jing hingga publikasi, Zhou Wumeng tak pernah mempersoalkan apakah karya itu benar-benar ditulis Ren He.
Bisa dikatakan pihaknya lebih menghargai nilai intrinsik San Zi Jing itu sendiri.
Ren He langsung masuk dan menekan tombol lift menuju lantai paling atas. Kelompok Media Ibukota bukan lembaga pemerintah penting, sistem keamanannya pun biasa-biasa saja. Satpamnya para paman yang sudah mendekati masa pensiun, lift juga tidak memerlukan sistem Larangan, tak ada yang mempertanyakan tujuan kedatangan Ren He.
Sesampainya di puncak, seorang editor muda mengangkat kepala sebentar memandangi Ren He: "Teman sekelas, kamu mencari siapa?"
Tiba-tiba Zhou Wumeng mendorong pintu kacanya sambil menggerakkan jari: "Cepat sini!"
"Siap!" Ren He langsung bergegas menuju kantor Zhou Wumeng.
Para editor di kantor besar di luar tertegun. Siapa sebenarnya pemuda ini bagi Lao Zhou? Pasti bukan hubungan pekerjaan mengingat usianya yang masih terlalu kecil. Namun mereka tahu Zhou Wumeng sama sekali tidak memungkinkan anggota keluarga datang ke grup. Waktu itu gadis kecil menggemaskan Zhou Muqi yang berkunjung langsung diusirnya. Menurut filosofi Zhou, "Kerja ya kerja, hidup ya hidup, harus bisa membedakan dengan jelas."
Harus diakui, alasan para pemuda Grup Penerbitan memuja Zhou Wumeng bukan tanpa sebab. Sikapnya yang totalitas terhadap karier sudah menjadi pemandangan langka di masyarakat modern ini.
Beberapa guru bahkan berani membawa anaknya sendiri ke ruang kelas saat mengajar. Bayi menangis ribut di samping, sementara mereka terus mengajar di podium - pantaskah itu?
Tentu, setiap keluarga punya masalahnya sendiri. Mungkin anak mereka benar-benar tidak ada yang jaga sehingga terpaksa begini. Kadang kita harus mengerti. Tapi Ren He pernah menyaksikan seorang guru membawa anaknya yang berusia tujuh delapan tahun mengacau kelas. Anak itu tidak sekolah karena hari ini "mood"-nya tidak baik, tidak mau masuk SD, jadi ikut ibunya main ke SMP.
Ren He saat itu bingung, apa bisa seenaknya tidak sekolah? Anak sendiri saja tidak bisa dididik, masa mau mengajar orang lain?
Hasilnya, separuh pelajaran berikutnya diisi guru menenangkan anaknya, sementara murid-murid belajar mandiri...
Harus diakui, dia sudah terlalu sering mengkritik fenomena menjengkelkan yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang kaku ini. Dulu brengsek tidak paham, seumur hidup jika bertemu guru model begini lagi, langsung lapor polisi di tempat...
Justru karena para editor tahu gaya dan prinsip Lao Zhou, mereka penasaran: Siapakah pemuda ini?
Hanya editor paruh baya itu yang paling paham identitas sebenarnya Ren He. Pemuda yang bisa menemui Lao Zhou dan masuk ke kantornya hanya ada satu - penulis Kunlun dan San Zi Jing!
Tapi dia tak bisa mengatakannya, itu perintah khusus dari Lao Zhou. Namun saat benar-benar bertemu Ren He, dia terkejut. Terlalu muda! Benarkah ini penulis novel terlaris saat ini? Dia juga membaca Kunlun. Novel megah dan dahsyat yang heroik itu, sungguhkah ditulis oleh seorang pemuda?
Membacanya sampai ingin mengangkat pedang mengarungi dunia.
Tapi kenapa pemuda ini datang ke ibukota? Bukankah dia siswa SMP dari Luocheng?
Ren He masuk ke kantor lalu duduk santai di sofa: "Katanya ada kabar baik untukku?"
"Ada yang ingin membeli hak cipta film Kunlun secara terpisah, tawaran tertinggi di industri saat ini, 6 juta," Zhou Wumeng melihat sikap Ren He jadi malas menanggapi. Tapi urusan resmi tetaplah urusan resmi, selesaikan dulu baru bicara lain.
6 juta？Ren He merenung, jumlah ini memang tidak rendah. Jika dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya, bahkan karya Sang Dewa Er Gen "Satu Pikiran Kekal" hanya bernilai 10 juta, itu pun setelah demam hak cipta memanas. Untuk penulis tradisional biasa, hak cipta beberapa juta saja sudah luar biasa, sedangkan puluhan juta bisa disebut harga selangit.
Harganya terkesan sangat manusiawi, tapi Ren He merasa ada yang kurang pas. Bagaimanapun, jika "Kunlun" benar-benar bisa menjadi klasik abadi seperti novel-novel Lao Jin yang terus difilmkan ulang tanpa henti, ditayangkan berulang di berbagai stasiun TV, lalu diadaptasi menjadi film layar lebar—dalam perbandingan seperti ini, 6 juta memang terasa kecil.
Lalu pilihan apa yang harus diambil? Ren He merenung dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya: "Perusahaan media mana yang berminat?"
"Bukan perusahaan media, tapi bos perusahaan swasta dari Jiang-Zhe yang reputasinya cukup bagus. Katanya sedang mengembangkan e-commerce, meski bukan perusahaan yang sangat sukses. Konon demi membeli hak cipta Kunlun, dia sampai harus menjual semua harta, bahkan arus kas perusahaannya hampir putus. Semua ini demi mewujudkan mimpi wuxia-nya," Zhou Wumeng berkata tenang: "Dia berencana membeli dulu, baru difilmkan setelah ada dana. Tentu dia juga melihat peluang bisnis di Kunlun. Sebelum Kunlun, tidak ada novel silat yang benar-benar berkualitas. Meski tujuannya mencari untung, tapi setidaknya dengan menjual ke orang seperti ini, ada sentuhan emosional yang membuat hasil filmnya tidak akan terlalu buruk."
Ren He merasa penjelasan Lao Zhou cukup masuk akal. Sebenarnya semua penulis yang serius pasti khawatir akan satu hal: karya mereka diadaptasi dengan buruk. Hal seperti ini benar-benar merusak reputasi dan menghancurkan harapan penulis terhadap karyanya sendiri.
Tapi pola kerja sama masih perlu disesuaikan lagi.
