Di depan para senior, Ren He dan anak-anak nakal itu terlihat seperti keluarga yang harmonis. Para senior sampai merasa terharu.
Setelah makan malam, anak-anak nakal biasanya tidak menonton Chunwan. Mereka keluar ke pekarangan untuk menyalakan kembang api. Empat anak nakal di rumah membawa angpao mereka dengan riang gembira pergi. Ren He duduk di sofa sambil menahan tawa, menonton Chunwan bersama yang lain.
Ternyata selama ini ia salah paham tentang Chunwan di kehidupan sebelumnya. Dulu ia mengira itu adalah program hiburan terburuk, tapi sekarang...
Di dunia dengan tingkat hiburan yang rendah, bahkan Chunwan pun menurunkan standarnya. Hal ini membuktikan betapa mendesaknya kebutuhan manusia akan dunia spiritual seiring peningkatan taraf hidup.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa di dunia seperti ini, kebiasaan konsumsi masyarakat belum terbentuk. Mereka tidak terbiasa memperhatikan hiburan, seperti seseorang yang tidak terbiasa makan wasabi biasanya tidak akan mencobanya di kemudian hari.
Tapi perumpamaan ini salah! Kebutuhan manusia akan kehidupan spiritual muncul secara alami - ini adalah kebutuhan pokok!
Semakin langka, semakin membara keinginannya!
Karena langka, saat melihat karya bagus orang justru semakin bersemangat dan rela mengeluarkan uang serta energi. Inilah alasan lagu, Kunlun, dan Kitab Suci diminati.
Ren He menyaksikan Gala Tahun Baru dengan serius. Karena hampir setiap tahun acara ini mewakili tren populer. Ia pasti tidak akan menyanyi, tapi Yang Xi harus tampil.
Bibi dan paman di sampingnya berkata pada Ibu Ren Ru Min: "Beberapa tahun terakhir momentum perkembangan ekonomi cukup baik, ada saran bagus tidak, saudari ipar?"
Ren He menemukan bahwa beberapa kerabat di keluarganya cukup baik. Mereka tidak sekadar menumpang hidup di perusahaan ibu, melainkan menjalankan bisnis kecil-kecilan sendiri. Tentu di awal mereka meminjam modal yang kemudian dikonversi menjadi saham Rumin. Ini sudah sangat baik. Di kehidupan sebelumnya, ia pernah melihat kerabat temannya yang setelah si teman sukses, para kerabat itu hampir tak sabar memarasitinya untuk mengisap darah. Membuka hotel kecil, beli bawang merah putih saja mau potong beberapa ribu rupiah. Kerabat macam itu selalu ia remehkan, buat apa dipertahankan? Simpan sampai tahun baru?
"Kondisi ekonomi memang sedang bagus, tapi sementara belum ada yang benar-benar cocok untuk kalian kembangkan. Sektor kuliner sebenarnya arah yang cukup baik, selain itu sebaiknya diurungkan," Rumin berpikir sejenak lalu berkata: "Saat ini fokus saya adalah properti." Sambil melirik Ren He, ia melanjutkan: "Properti sebenarnya terus mengalami peningkatan, tapi beberapa tahun terakhir trennya malah makin mempercepat."
“Kabarnya sekarang mengembangkan pariwisata sangat prospek, saya baca di koran,” kata Paman kecil Ren He.
“Ini malah semakin tidak cocok untuk kalian. Pariwisata itu siklus investasinya panjang, ROI-nya rendah. Pemerintah masih bisa mengerjakan, rakyat jelata yang menggarap pasti bangkrut,” Rumin menggelengkan kepala.
Ren He langsung sensitif mendengar tiga kata 'real estate', benda itu salah satu proyek paling cuan di zaman ini. Tapi dia tidak menyela, soalnya dia tidak terlalu paham bisnis, takut dikira lebay kalau banyak bicara.
Lagipula uang itu cukup saja, dia tidak berharap mewarisi harta warisan besar. Sekarang sudah mandiri. Dari obrolan mereka, Ren He tahu: Rumah Bibi Besar punya hotel berantai, Bibi Kecil punya warnet yang juga untung banyak. Dua paman kerja sama punya beberapa kolam ikan. Mereka semua bukan orang yang uangnya habis, tapi juga bukan orang tajir.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu dari luar, disusul tangisan anak nakal...
Ren He berlari membuka pintu, langsung melihat si anak nakal pemimpin itu masuk sambil menangis dengan tubuh hitam legam seperti arang...
Seluruh keluarga terguncang: "Apa yang terjadi, kok bisa hitam begini?!"
Hitamnya benar-benar total, dari ujung kepala sampai ujung kaki di bagian depan seluruhnya hitam pekat! Hanya matanya yang masih terlihat sedikit putih!
Ibu si anak nakal langsung meledak marah: "Kau ini gimana sih, Tahun Baru malah mengotori diri sendiri! Sudah dilarang main tetap nekat keluar!"
Ren He di samping mengangguk: "Iya, di luar memang tidak aman!"
Mendengar itu tangisan si anak makin menjadi, matanya berkaca-kaca melirik Ren He lalu meratap: "Meriam kertas dari Kakak sepupu ini cacat, baru dinyalakan langsung meledak! Sama sekali tidak sempat menghindar! Begitu petasan meledak, jadinya seperti ini!"
"Hehe, Kakak hampir tertawa, tapi saat ini tidak boleh tertawa," Ren He berkata dengan terkejut, "Waktu itu kan sengaja dilihat sumbunya panjang sekali, kok bisa begini? Apa kalian beli petasan dari lapak liar di luar? Kualitasnya memang tidak bagus ya!"
Awalnya semua orang percaya pada ucapan si anak nakal, tapi setelah Ren He berbicara, mereka baru teringat bahwa saat itu mereka memang sempat melihat sumbu bawah sadar - memang panjang. Baru setelah itu mereka mengizinkan anak-anak main petasan dengan tenang.
Ibu si anak nakal langsung meledak amarahnya, mencubit pipi anaknya sambil memarahi habis-habisan: "Berani-beraninya menuduh kakakmu! Berani juga berbohong!"
"Tante jangan marah padanya, saya tidak apa-apa. Cepat suruh dia mandi di kamar mandi. Mungkin masih ada baju saya waktu kecil yang bisa dia pakai. Tahun baru jangan sampai muka hitam begini," kata Ren He sambil tersenyum lebar.
Si anak nakal itu sampai tak bisa bicara, dunia ini kenapa?! Namun semua orang yang mendengar perkataan Ren He malah menganggap Ren He adalah orang yang benar-benar paham!
Tapi Ren He tahu... benda ini tidak bisa dicuci...
Setelah dua jam berlalu hingga lewat jam 10 malam, si anak nakal keluar dari kamar mandi dengan wajah tetap hitam. Ibunya memaksanya mandi tiga kali, namun warna hitam di wajahnya sama sekali tidak memudar. Akhirnya dia hanya bisa mengganti baju dan keluar.
Saat mandi di kamar mandi, masih terdengar teriakan ibunya: "Kembang api itu kamu beli di mana? Aku mau cari yang jual!"
"Aku nggak beli, beneran nggak! Itu memang dikasih kakakku!"
"Masih berani mencoreng nama kakakmu! Cepat bilang, beli di mana!"
"Beneran dikasih kakakku!"
Akhirnya terpaksa merayakan Tahun Baru seadanya. Semua orang merasa anak ini keras kepala, sampai situasi segini masih ngotot bilang itu dari Ren He...
Si anak nakal duduk di sofa dengan wajah putus asa. Tahun Baru kali ini ia bersumpah takkan melupakan seumur hidup. Ren He mematahkan pisang dan menyodorkannya: "Takdir memang begitu tak terduga... Saat menghadapi cobaan, kita harus kuat, ya?"
Baru selesai bicara, si anak nakal langsung menangis lagi...
Hahaha, Ren He benar-benar merasa puas. Meski besok harus beli komputer baru, rasanya tak masalah. Kalau masih bandel tahun depan, kita lanjut duel! Di kehidupan sebelumnya saat main e-sports, Ren He dengan berat hati membeli keyboard seharga 1000 yuan. Saat Tahun Baru ia keluar sebentar, pulang malem langsung nemu si anak nakal sudah mencabut separuh dari 100 lebih tombol keyboardnya.
Orangtuanya malah bilang, "Ah, cuma keyboard kok. Nggak apa-apa, Tante kasih 100 yuan buat beli yang baru."
Beli apa anjing!
Sejak saat itu ia bersumpah, kalau ketemu anak nakal lagi takkan pernah mengampuni!
