Karena sudah kelas tiga SMP, tahun ini Ren He memulai sekolah lebih awal, tepatnya di hari ketujuh Tahun Baru Imlek dia harus melapor ke sekolah.
Sedangkan Yang Xi akan kembali ke Luocheng pada hari keenam Tahun Baru Imlek. Selama jeda waktu ini, Su Ruqing terus memaksa Yang En setuju agar dialah yang merawat Yang Xi dan memindahkan kartu siswa Yang Xi ke ibukota. Namun Yang En tetap menolak dengan alasan tidak ingin putrinya menjadi seperti Su Ruqing. Lagipula dia hanya sibuk sesaat, sedangkan Su Ruqing sibuk setiap hari, sehingga lebih tepat jika dia yang terus merawat.
Dan pada akhirnya, pengadilan memang memberikan hak asuh kepada Yang En.
Saat Yang Xi kembali, dia diantar langsung oleh Su Ruqing. Karena itu Ren He tidak berani menjemputnya secara terbuka, mengingat namanya masih tercantum dalam daftar hitam keluarga itu. Jika dia nekat membuat ulah lagi, bisa-bisa Su Ruqing nekat memindahkan sekolah Yang Xi ke ibukota meski harus menanggung segala konsekuensi.
Kalau sudah begitu, repotlah. Hubungan jarak jauh jelas bukan pilihan.
Banyak orang di awal hubungan berpikir: "Apa masalahnya pacaran jarak jauh? Asal perasaan dalam, jarak pasti bukan masalah!"
Namun faktanya tidak demikian. Hidup sendirian di perantauan tanpa waktu bersama, pasangan tak ada di samping saat sedih atau sakit - perasaan yang perlahan menjauh dalam kondisi seperti ini sangat wajar.
Tapi hubungan jarak jauh juga punya sisi indah.
Saat kau mengalami pacaran dengan seseorang yang berbeda 12 jam efek time dilation, hidup di lingkungan sosial yang sepenuhnya berbeda - kau butuh lebih banyak kecerdasan dasar. Saat komunikasi terbatas pada telepon, internet, video dan segala kemampuan virtual dan tak nyata - kau butuh lebih banyak kesabaran. Saat hari-hari terasa panjang bagai tak berujung - kau butuh harapan yang lebih cerah dan Keyakinan tak tergoyahkan. Singkatnya, saat kau menoleh tajam ke belakang mengingat pertengkaran, putus-nyambung, dan keusilan kalian - semua itu justru membuatmu yakin tak ada lagi yang bisa memisahkan kalian.
Namun keindahan seperti ini terlalu langka.
Lingkaran yang berbeda akan mengarahkan kehidupan yang berbeda, dua orang bagai dua sinar yang semakin menjauh seiring waktu.
Dan cinta yang hanya bertahan dengan kata-kata sesungguhnya terlalu rapuh. Tanpa rasa aman dari sentuhan fisik, tanpa tindakan nyata yang membuktikan kedalaman cinta, semua janji manis yang diulang hari demi hari akan terasa seperti dusta. Perempuan mungkin berkata, "Aku mencintaimu, tapi yang mengantarku pulang saat sakit adalah dia." Laki-laki pun akan menjawab, "Hatiku milikmu, tapi yang bisa kusentuh adalah dia." Baik pria maupun wanita membutuhkan kehangatan nyata dan perhatian konkret. Kebutuhan spiritual memang lebih tinggi tingkatannya, tapi tanpa dasar kehangatan yang nyata dan dekat, sulit untuk dipertahankan.
Karena itulah Ren He khawatir Yang Xi mungkin harus pindah sekolah. Tentu jika benar terjadi, ia pasti akan mencari cara lain.
Pagi hari tanggal 7 Imlek saat melapor ke sekolah, Ren He sudah menunggu Yang Xi di gerbang sekolah. Saat keduanya pertama bertemu, mereka saling tersenyum tapi tidak melenggang dengan angkuh untuk memamerkan hubungan mereka. Mereka belum sampai se-sombong itu.
Perlu diingat ini masih SMP, apalagi SMP di tahun 2005. Pacaran dini di kalangan siswa SMP biasanya canggung dan malu-malu kucing. Bertahan sebulan tanpa sekalipun berani menggenggam tangan sangat mungkin terjadi di masa dimana semua masih polos.
Beda dengan zaman modern dimana anak SD yang tidak pacaran malah dicemooh. Ren He pernah membaca postingan di forum pacaran dini generasi pasca-2005, yang paling mengesankannya adalah: "Cari pacar dengan uang jajan 7 yuan per minggu, syarat bisa bikinkan PR."
Sialan! Kalian ini keterlaluan! Apa mati kalau ngerjain PR sendiri? Ren He merasa fokus perhatiannya agak melenceng.
Jadi saat ini Yang Xi memilih untuk berpacaran diam-diam, Ren He pun tidak keberatan. Sejujurnya, keduanya bukan tipe orang yang terlalu memperhatikan pandangan orang lain, memiliki kepribadian yang sangat independen. Namun, pacaran sembunyi-sembunyi ini seolah memiliki sensasi yang luar biasa.
Mengoper catatan kecil diam-diam di kelas pun terasa sangat merangsang.
Kini sudah masuk semester kedua tingkat tiga SMP. Entah siswa yang biasanya rajin atau malas, topik pembicaraan mereka sebagian besar tetap tentang belajar. Ada juga yang tiba-tiba "mekar", bertekad kuat untuk berjuang.
Sedangkan topik yang paling banyak dibahas adalah: ingin masuk ke SMA mana.
SMA terbaik di Luocheng tentu SMA Negeri 1 Luocheng. Tingkat rata-rata guru di sana sangat tinggi, untuk melamar jadi guru SMP saja minimal harus bergelar magister. Teknik pengajarannya juga mumpuni, banyak guru senior terhormat yang merangkum pengalaman mengajar seumur hidup, khusus meneliti cara membuat siswa benar-benar bisa menyerap pelajaran - jauh berbeda dengan generasi seperti Li Luohe.
Banyak siswa di kelas ingin masuk SMA 1 Luocheng, bahkan Xu Nuo si pria gemuk juga bermimpi masuk sana... Ren He langsung menasihatinya untuk menyerah saja, dengan semangat belajar seperti itu, masuk sekolah ini saja sudah bagus...
Xu Nuo tidak menerima: "Kalau sekarang aku tidur cuma empat jam sehari, belajar mempertaruhkan nyawa, pasti bisa lulus ke SMA 1!"
"Percaya dirimu benar-benar mengagumkan..." Ren He tak berdaya mengomentari: "Bisakah kau benar-benar tidur cuma empat jam sehari?"
"Tidak bisa..." Xu Nuo tiba-tiba putus asa: "Lalu kamu mau masuk SMA mana?"
"Aku? Sekolah ini saja," jawab Ren He wajar. Ini hasil diskusinya dengan Yang Xi. Nasibnya memang takkan fokus ke akademik, sementara Yang Xi akan resmi debut musim panas ini. Meski tetap harus belajar teori nanti, pasti tidak akan terlalu dipusingkan.
Daripada bersusah payah masuk sekolah bagus, lebih baik tetap di sekolah ini. Lingkungan sudah familiar, dan ijazah sebenarnya tidak terlalu berarti bagi keduanya. Tentu saja, Ren He masih berharap Yang Xi bisa menyelesaikan pendidikan SMA-nya dengan utuh, karena kehidupan kampus adalah sesuatu yang dirindukan setiap orang setelah masuk masyarakat. Bagaimana jika suatu hari Yang Xi menyadari dirinya bahkan tak sempat menikmati kehidupan sekolah yang layak? Bukankah itu sangat disesalkan?
Tak ada teman SMA, tak ada teman kuliah, sendirian sepanjang masa.
Sebenarnya, sebagian besar persahabatan yang sangat erat berawal dari lingkungan sekolah. Saat itu kita masih polos, tanpa persaingan, tanpa hubungan kepentingan. Kebersamaan terjalin karena kecocokan watak. Persahabatan seperti ini sungguh langka.
Yang Xi setuju dengan pemikiran Ren He. Maka memasuki bagian SMA sekolah mereka menjadi keputusan akhir bersama. Lagipula, Sekolah 13 sebenarnya punya reputasi cukup baik dalam lingkup Luocheng, tidak termasuk yang terburuk.
Xu Nuo seolah menemukan alasan untuk turun tangan: "Kamu tetap di sekolah ini, aku juga akan tes masuk sini. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian ke Sekolah 1!"
Hehe, kalau bisa lulus juga boleh!
Di saat yang sama, Xie Miaohan yang sedang mempersiapkan materi pelajaran di kantor SMA tiba-tiba merasakan dingin menggigil, seolah ada hal buruk yang akan menimpa dirinya. Tapi setelah dipikir-pikir, apa mungkin ada musibah yang akan terjadi?
