Kemampuan bertarung tidak bagus? Yang En merenung, sebenarnya dia juga tidak tahu bagaimana kemampuan bertarung Ren He sehingga sulit menilai dengan baik. Tapi siswa SMP bisa punya kemampuan bertarung seperti apa?
Ini semua ada di alam bawah sadar orang. Seorang siswa SMP tiba-tiba bilang bisa bertarung, bisa lawan sepuluh orang, selain tertawa apa mungkin dipercaya?
99% orang tidak akan menganggapnya serius.
Jadi tampaknya orang itu memang bukan profesional. Hati Yang En mulai tenang. Namun kejadian ini membuatnya membangun garis pertahanan, seolah Ren He telah menekan tombol alarm untuknya sekali.
Sebelumnya dia tak pernah membayangkan ada yang berani menyerangnya. Dulu dia diplomat, bukan atase militer kedutaan, jadi wajar jika kurang profesional dalam hal ini.
Sedangkan Ren He, meski di kehidupan sebelumnya hidup sampai 26 tahun, hanya sekadar dengar dari keluarga tentang hal seperti ini. Selama ini mengira hidup di masa kejayaan yang makmur.
Tapi ada satu ungkapan yang benar: Sebagian besar orang bisa hidup tanpa gelombang, karena ada orang yang memikul beban di jalan tak terlihat di depan mereka.
Malam hari setelah makan malam, Ren He tetap pergi ke Hotel Kailai seperti biasa. Mendaki gunung tanpa alat sekarang bukan lagi masalah kemahiran teknik baginya - ia sudah cukup terampil.
Untuk mempertaruhkan nyawa sekaligus mempertahankannya, hal terpenting yang harus diperhatikan: Jangan melakukan kesalahan.
Apakah menahan titik tumpuan sulit? Tidak.
Apakah tenaga cukup? Cukup.
Apakah kekuatan cukup? Cukup.
Pada tahap ini, seperti bermain game "Ular Pemakan" atau "Tetris", sebenarnya kontrol permainan sudah dikuasai, tapi satu kesalahan kecil bisa mengakhiri segalanya.
Tapi orang lain bermain game, Ren He bermain NYAWA!
Saat teknik dikosongkan, yang dirasakan Ren He di ketinggian hanyalah angin dingin menusuk di malam musim dingin, di mana kehidupan menyala dan keberadaan nyata terwujud. Seperti kata pepatah "Antara hidup dan mati terdapat ketakutan besar", mereka yang berani bergulat di ambang ini pasti memiliki ketekunan luar biasa.
Ketinggian lantai 28, bahkan separuh jalan merangkak naik, melirik ke bawah terasa seperti tergantung di tepi jurang maut.
Dengan serius Ren He melakukan pemanasan, karena hanya tubuh yang hangat bisa meminimalisir kesalahan. Manusia biasa saja akan mati kedinginan memegang ponsel di malam dingin, apalagi Ren He yang harus mencengkeram mati-matian tembok beku yang menusuk tulang.
Namun tepat saat pemanasan, pandangannya kembali menangkap siluet mobil Lin Hao...
Masih parkir di sini? Lagipula ban sudah kembung lagi, sepertinya sudah ditambal. Toh biaya tambal ban tidak mahal, sekitar 10 sampai 20 yuan. Ren He tersenyum lebar sambil berpikir, lalu mengangkat kunci berbentuk salib dan menusuk hingga meledakkan semua ban...
Ini cuma urusan sampingan, tidak perlu berterima kasih! Dengan puas, Ren He menyelipkan kunci ke saku dan bersiap memulai misi kali ini.
Kali ini Renhe mengontrol ritme dengan baik. Di setiap titik pijakan struktur baja tiap lantai, ia beristirahat 15 detik sebelum melanjutkan pendakian ke lantai berikutnya. Cara ini meredakan tenaga yang terkuras sekaligus memberi waktu merencanakan langkah berikutnya atau merapikan serbuk magnesium di tangan.
Seandainya ada yang memperhatikan dinding Hotel Kailai di kegelapan malam ini, pasti akan mengira ada cicak raksasa sedang merayap di atasnya.
Tapi Ren He memilih sisi ini dengan pertimbangan khusus. Pertama, memastikan struktur baja di sambungan setiap kaca di dinding ini cukup kuat untuk pijakan. Kedua, memastikan area ini berada di bagian belakang cahaya sehingga tidak terkena sorotan lampu. Ketiga, memastikan semua tirai kamar tamu di dinding ini sudah tertutup rapat. Bagaimana jika tamu hotel melihat bayangan hitam raksasa merayap di luar jendela? Bisa-bisa terjadi kehebohan.
Peristiwa seperti "Manusia laba-laba mendaki gedung 28 lantai tanpa alat" di zaman ini pasti akan menjadi berita utama plus mendapat teguran edukatif dari Paman Polisi.
Tapi sejujurnya, jika ada yang benar-benar menyaksikannya, dua kata yang paling ingin diucapkan di hati tetap: Jempolan!
Ren He bukan sok suci dan tidak ingin terkenal. Sebagai Si Tukang Pamer, buat apa dia menolak ketenangan? Yang dia hindari adalah mencari sensasi dengan cara ini. Kalau Ren He memang ingin tenar, saat mencontek buku tinggal publikasikan namanya, contek lagi beberapa karya klasik besar - biar orang meragukan asal tulisannya, langsung jadi selebritas top. Atau nyanyi saja, lagu-lagu hits dinyanyikan semua, bisa nggak jadi terkenal?
Tapi masalahnya dia nggak mau jadi selebritas. Main olahraga ekstrem juga dianggap keluarga sebagai kegiatan tidak produktif. Ada yang bertanya: Menulis dapat uang, main olahraga ekstrem, kok disebut tidak produktif?
Kalau keluarga miskin atau menengah, dapat pemasukan besar pasti seneng bukan main.
Akar masalahnya justru di sini: Keluarga Ren He sudah serba cukup. Buat apa cari uang sekarang? Nggak perlu! Sekarang fokus belajar aja! Meski kelihatannya mereka strict, ini lebih karena dua hal: Takut dia jadi anak manja tanpa masa depan, sekaligus khawatir dia nekat bikin ulah yang bisa mencelakakan orang tua.
"Ayahku Li Gang" - hal seperti ini masih kurang banyak?
Ren He tidak punya keluhan terhadap didikan orangtuanya, sebaliknya setelah dewasa ia bahkan bersyukur bahwa di masa remaja orangtuanya tidak memanjakannya.
Di kehidupan sebelumnya, banyak temannya yang terkenal sebelum 30 tahun, tapi setelah orangtua pensiun mereka sendiri tak punya prestasi dan hanya mengandalkan warisan - apa menariknya itu?
Ibu Ren Rumin juga pernah menawarkan mencari pengasuh untuk memasak, namun ditolak Ren He karena dianggap mengurangi kebebasannya.
Jika suatu hari benar-benar terkenal, Ren He berpikir lebih baik terjun ke industri internet atau game. Untuk game, tak perlu serakah - cukup satu League of Legends atau Dota saja, game yang pernah mendominasi dunia...
Lagipula keduanya mesin pencetak uang!
Peringkat The Strongest King? Sampah! Gue sang pendiri game ini - masih berani nantang?
Tentu masih banyak game lain yang pernah mendunia, hanya dua inilah yang paling Ren He kuasai.
Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan ini, Ren He kembali melanjutkan pendakian ke atas.
Saat ini ia hampir sepenuhnya mengatasi rasa takut akan ketinggian. Di bagian luar dinding lantai 17, jika saja tidak benar-benar kehabisan ruang gerak, Ren He bahkan ingin mengambil swafoto...
Seorang siswa SMP bisa mendaki gedung 28 lantai tanpa alat! Hal seperti ini bahkan jika tersebar ke negara-negara di luar yang sudah mulai populer olahraga ekstrem, kemungkinan akan membuat tak terhitung orang terkejut!
Bisa dikatakan di usianya saat ini, mutlak tak ada seorang pun yang bisa melampaui pencapaian Ren He dalam bidang mendaki bangunan vertikal tanpa alat pada momen ini.
Namun ketika Ren He mencapai lantai 26, tirai di kamar tamu di posisinya tiba-tiba terbuka.
Baik Lin Hao di dalam kamar maupun Ren He di luar, sama-sama membeku di tempat...
Lin Hao merasa saat itu lubang pantatnya mengencang. Siapa brengsek yang bisa membayangkan sensasi membuka tirai di lantai 26 tengah malam hanya untuk menemukan seseorang merangkak di luar?
