Yang duduk di sini semua adalah pemuda penuh semangat yang sedang dalam masa keemasan, begitu muda hingga membuat banyak orang licik yang telah terjun ke masyarakat iri, mengingat dahulu mereka juga pernah sesantai ini.
Namun sepuluh tahun kemudian, tak peduli siapa pun, mustahil membayangkan akan menjadi seperti apa, pergi ke mana, bersama siapa, masihkah bahagia, atau apakah telah meraih kebahagiaan.
Ren He memandangi semua orang di meja makan yang tertawa riang, ia pun ikut tersenyum. Dulu ia pernah berfantasi kembali ke era ini di mana mereka hanya perlu duduk bersama, makan dan mengobrol santai. Mungkin terselip seberkas perasaan tertentu diam-diam, sementara di seberang duduk orang yang pernah ia sukai saat SMP namun akan sulit bertemu lagi di SMA.
Mungkin pertemuan berikutnya baru terjadi saat wisuda SMA? Atau... tidak akan pernah bertemu lagi selamanya...
Momen seperti ini selalu dipenuhi kebahagiaan namun juga menyimpan setitik nestapa.
Sejak melakukan perjalanan waktu ke sini, Ren He bahkan belum sempat mengenal ulang teman-teman sekelas ini. Tapi terkadang ia merasa itu tidak perlu lagi.
Ia hanya menikmati detik ini. Hidangan di pusat meja berputar-putar di depan semua orang. Ren He dan Xu Nuo yang sama-sama tukang makan terus menyantap hidangan sambil yang lain mengobrol, sepenuhnya menjadi dua makhluk aneh di meja makan.
Sampai-sampai Ren He tak menyadari atmosfer di ruangan ini mulai berubah menjadi sedikit aneh.
Di tengah perjalanan, ketika Ren He pergi ke toilet, Duan Xiaolou kebetulan juga menuju ke sana. Teman dekat Duan Xiaolou berkata, "Aku temani kamu," tapi orang di sebelahnya segera menarik lengan sambil berbisik tertawa: "Mau jadi lampu sorot apa lagi?"
Suaranya pelan, namun ukuran bilik yang kecil membuat segalanya terdengar jelas. Tampaknya mereka sengaja menggoda agar Ren He dan Duan Xiaolou mendengarnya.
Tiba-tiba teman-teman sekelas mulai tertawa terbahak-bahak menggoda mereka. Seperti tekanan yang terpendam lama akhirnya pecah, layaknya kertas jendela yang tertusuk perlahan. Sejak detik itu, candaan mengalir deras bagai bendungan yang terbuka.
Ren He dan Duan Xiaolou sama-sama terkejut. Jelas keduanya tidak mengantisipasi masa lalu mereka akan digali kembali dan dipertontonkan dengan terang benderang di hotel ini.
Duan Xiaolou dan Ren He masih saja melanjutkan langkah keluar dari bilik, meninggalkan riuh rendah tawa di belakang. Ren He memandang ekspresi canggung Duan Xiaolou sambil tersenyum: "Tenang saja, aku juga tidak menyangka."
“Ya,” kedua orang berjalan sejajar menuju toilet. Sepanjang perjalanan atmosfer canggung menyebar di antara mereka. Duan Xiaolou tiba-tiba bertanya: “Kamu...”
Duan Xiaolou seolah ingin berbicara tapi mengurungkan diri. Sebenarnya dia ingin mengonfirmasi berbagai teorinya tentang Ren He, namun kata-kata itu menguap di ujung lidah. Pikiran gadis memang sulit ditebak seperti jarum di dasar laut.
Ren He penasaran: “Ada apa?”
“Saat main olahraga ekstrem, apakah seru?” Duan Xiaolou mengubah pertanyaannya.
“Seru, tapi keseruan bukanlah segalanya dalam olahraga ekstrem,” Ren He teringat pengalamannya menaklukkan 30 tikungan hairpin seminggu lalu. Ia tersenyum: “Orang selalu berkomentar: Pantas populasi orang asing sedikit. Seolah mereka nekat mati, seolah orang Tiongkok tak bisa menyamai. Padahal bukan begitu. Olahraga ekstrem pada dasarnya adalah bentuk kecintaan pada hidup.”
"Cinta akan hidup?" Duan Xiaolou benar-benar tidak mengerti. Mereka yang tidak benar-benar terjun ke dunia ini tidak akan paham - bukankah ini seperti mencari mati? Bagaimana bisa disebut cinta?
"Hmm... mungkin kamu belum mengerti. Banyak orang yang sibuk dalam rutinitas masyarakat. Mereka perlahan kehilangan kesegaran hidup, merasa semuanya membosankan. Seolah tanpa perubahan pun mereka bisa hidup damai hingga akhir hayat. Tapi suatu hari ketika melompat dari platform bungy jumping, atau saat berdiri di puncak gunung bersalju, baru mereka sadar betapa mencintai hidup ini," Ren He tersenyum. "Ini teriakan perlawanan terhadap kehidupan yang kalah mencolok, sebuah kekuatan di hati terdalam."
Hidup yang kalah mencolok? Duan Xiaolou tertegun. Apakah kehidupan stabil seperti air yang ia bayangkan termasuk dalam kategori ini? Ia mulai meragukan keyakinannya sendiri.
Namun setelah penjelasan Ren He ditambah gejolak dalam hati yang telah lama terpendam, tiba-tiba Duan Xiaolou ingin mencoba olahraga ekstrem legendaris itu, melangkah keluar dari kehidupan yang biasa-biasa saja.
Tiba-tiba dia bertanya: "Kamu memilih sekolah mana?"
"Sekolah ini, tapi mungkin ada perubahan," Ren He mengangkat bahu. Awalnya dia mengira akan menghabiskan masa SMA dengan tenang di Sekolah 13, tapi rencana Su Ruqing mengacaukan semua strateginya.
"Sekolah ini?" Duan Xiaolou terkejut. Di depannya berdiri juara ujian kerajaan Luocheng! Bukan berarti Sekolah 13 buruk, tapi di tingkat kota masih banyak sekolah lebih bagus!
"Kalau kamu?" Ren He tersenyum. "Luo Yi Gao?"
Seharusnya iya. Di Luocheng, siswa berprestasi setelah lulus SMP pasti masuk Luo Yi Gao - sekolah terbaik se-kota.
"Aku akan sekolah di Australia. Diatur keluarga, kebetulan sepupu Huangfu Zhuri juga di sana," jawab Duan Xiaolou sambil tertawa.
Ternyata ia sudah akan kuliah di luar negeri sejak SMA. Ren He tidak terlalu paham tentang kualitas pendidikan Australia, tapi dalam ingatannya, banyak teman sekelas di kehidupan sebelumnya yang pergi ke sana.
Jarak yang awalnya hanya dalam satu kota tiba-tiba terbentang hingga ke seberang lautan. Perasaan ini seolah-olah kehidupan kedua pihak akan tercabik-cabik. Mungkin nanti bahkan telepon pun tak akan saling menelepon lagi. Hanya saat Tahun Baru Imlek ia akan menyeberangi samudera kembali ke Tiongkok, lalu kita semua bertemu seperti dalam reuni sekolah hari ini, kemudian berpisah dengan tergesa-gesa.
Ren He tersenyum: "Semoga beruntung, berhati-hatilah dalam segala hal di luar negeri. Keamanan di sana tidak sebaik yang dibesar-besarkan orang. Tentu, di mana pun ada orang baik dan jahat, itu hal yang normal."
Gadis yang diam-diam disukainya akan pergi ke luar negeri, Ren He merasa ini cukup menarik di dalam hati. Jika gadis itu benar-benar pujaan hatinya, mungkin bagi dirinya yang terlahir kembali ini akan menjadi pengalaman yang lebih bermakna. Namun kenyataannya tidak demikian, ia bukan lagi Ren He yang dulu. Ren He yang asli telah menghilang seiring kedatangannya, mungkin bertukar kehidupan dengannya dan pergi ke dunianya.
Karena itu Ren He tidak merasa nestapa, hanya memiliki sikap polos bahwa "tidak ada pesta yang tak berakhir di dunia".
"Terima kasih," Duan Xiaolou tiba-tiba tersenyum cerah, berkilauan seperti gadis dalam mimpi yang pernah kita impikan. Cantiknya memancarkan segala kebaikan, entah pernah kau sukai diam-diam atau tidak, pada akhirnya mereka akan menghilang dari kehidupan, atau menjadi 'teman' yang bahkan tak ada nomor teleponnya.
Yang bisa kita lakukan hanyalah terus melangkah maju dengan kepala tegak.
"Nanti pulang kampung jadi lulusan luar negeri," Ren He bercanda: "Langkah Ketua Kelas terlalu cepat, kami para teman sekelas lama hanya bisa berusaha mengikuti dari belakang dengan mengorbankan nyawa!"
Duan Xiaolou memasuki kamar mandi dengan tenang, menatap cermin di kamar mandi yang bersih dan terang, entah mengapa dia merasa sedikit kecewa. Dia pernah memiliki fantasi layaknya siswi kecil, misalnya ketika mengumumkan akan ke luar negeri, dia berharap sang lawan bicara akan mengucapkan sesuatu yang lebih bermakna.
Namun tidak ada sama sekali.
Tapi ucapan terakhir Ren He salah, Duan Xiaolou menghela napas, bukan langkahnya yang terlalu cepat. Dengan jelas dia pahami, justru langkah Ren He-lah yang terlalu cepat.
Cepat sampai membuat silau, cepat secara mendadak, begitu cepat hingga Duan Xiaolou hanya bisa merasakan gejolak untuk memandangnya dengan penuh hormat.
Bukan Ren He yang harus mengejar langkah siapa pun, melainkan Duan Xiaolou yang merasa harus mulai mengejar langkah Ren He.
