Kali ini, Yang Xi sama sekali tidak tahu Ren He sudah tiba di ibukota, juga tidak mengetahui Ren He telah menyelesaikan semua prosedur pendaftaran di SMA Negeri 4 Ibukota. Semua ini merupakan kejutan yang Ren He persiapkan untuknya, persis seperti saat mengajak Yang Xi menantang dojo dulu - jika diucapkan langsung akan kehilangan rasanya. Ren He sudah mulai membayangkan perasaan Yang Xi saat melihatnya tiba-tiba muncul di SMA Negeri 4 Ibukota.
Sementara itu Yang Xi masih berspekulasi tentang apa yang akan dilakukan Ren He, terkadang merasa cemas: "Bagaimana jika nanti kesempatan bertemu Ren He menjadi sangat sedikit?"
Yang memikirkan masalah ini bukan hanya Ren He. Nyatanya Yang Xi lebih khawatir daripada Ren He - takut jarak akan memisahkan mereka. Selain itu menurutnya, Ren He sekarang terlalu mudah disukai perempuan. Dalam persaingan perasaan, meski dirinya adalah Ratu Musik, belum tentu punya keunggulan berarti.
Sebaliknya, yang dekat justru mudah menang. Jadi dua hari ini Yang Xi mulai bertanya pada Ren He apakah dia mencintainya - pertanyaan pamungkas dalam hubungan yang muncul akibat rasa tidak aman. Hal ini membuat Ren He hampir tidak tahu harus menangis atau tertawa.
Tapi Ren He menjaga kerahasiaan dengan sangat baik. Segala sesuatu yang sedang berlangsung ini, sekali pun membunuh tidak akan diungkapkannya.
Saat mengurus prosedur pendaftaran, Ren He melihat banyak siswa yang datang ke sekolah sambil membawa kotak alat musik berbagai macam di punggung, ada juga yang menggendong gitar atau papan lukisan. Keadaan seperti ini memang sangat langka di SMA. Di sekolah-sekolah dengan peraturan ketat, bisa saja barang-barang itu disita.
Sudah lama mendengar Sizhong itu unik. Hari ini benar-benar pertemuan yang tidak biasa. Berbagai mobil mewah yang terparkir di luar gerbang membuat Ren He benar-benar paham makna di balik status Sizhong sebagai sekolah pilihan utama keturunan pejabat di ibukota.
Di gedung sekolah tergantung spanduk: "Klub Teater menyambut meriah teman baru yang bergabung."
"Orkestra Kamar menyambut meriah teman baru yang bergabung."
“Asosiasi Komputer disambut meriah anggota baru.”
Bagi Ren He yang di kehidupan sebelumnya hanya bisa bersekolah SMA di pelosok terpencil dengan kehidupan monoton penuh belajar, semua ini terasa sangat segar. Sekolah di kehidupan sebelumnya yang dijalani Ren He dijuluki "penjara siswa nomor satu dalam radius 100 li", dengan waktu istirahat 100 menit per minggu dan satu setengah hari libur tiap 3 minggu...
Ini brengsek, memang hampir tak ada bedanya dengan penjara.
Kini, Ren He bagai membaca Harry Potter pertama kali: mengikuti perjalanan Harry kecil meninggalkan dunia nyata melalui stasiun kereta ajaib, mengunyah cokelat kodok lompat, tak sengaja menginjakkan kaki di Sekolah Sihir Hogwarts. Di bawah kubah langit bertabur bintang gemerlap, dari kejauhan terlihat orang bermain Quidditch dengan sapu terbang, sementara di podium seorang penyihir agung membagi kelas menggunakan topi ajaib... Kehidupan di sini seakan sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Hanya saja bermain gitar, melukis, dan sejenisnya, Kakak sudah tingkat ahli Larangan. Datangkanlah beberapa jenius yang bisa berteriak "666" ya.
Setelah mengurus prosedur pendaftaran sekolah, Ren He langsung melanjutkan urusan administrasi KTP. Di sini terjadi kejutan: Ibu Ren langsung memegang kendali dengan mencantumkan alamat KTP di bawah satu properti, sekaligus memberikan seikat kunci kepada Ren He.
"Ini apa?" Ren He terpaku.
"Ini properti yang kubeli asal-asalan di ibukota tahun lalu saat investasi real estate. Sudah selesai renovasi. Selama sekolah tinggal di sini. Sekarang pikir-pikir, keputusan waktu itu benar-benar bijak," Ibu Ren tersenyum puas. "Harga properti ibukota terus naik. Dalam setahun saja harga rumah ini sudah naik sepertiga. Lagipula nanti kalau kuliah di ibukota, rumah ini bisa terus dipakai."
Ren He memandangi Ibu Ren dengan ekspresi tak tahu harus berkata apa. Di kehidupan sebelumnya, Ibu Ren memberinya rumah setelah ia lulus kuliah. Tak disangka hanya karena masuk SMA Negeri 4 Ibukota, hal ini malah dipercepat empat tahun lebih awal, itupun rumah di ibukota.
Ini benar-benar kejutan. Sebelumnya Ren He bahkan sudah merencanakan untuk menyewa rumah sendiri.
Saat Ibu Ren mengajak Ren He melihat rumahnya, ia terkejut: "Ini bukan perumahan tempat tinggal ibu mertua?!
Sialan! Dirinya saja masih berusaha menghindar, malah tinggal bersebelahan. Bagaimana jika ibu mertua melihat ini? Tak hanya mengikuti Yang Xi ke ibukota untuk sekolah, tapi juga tinggal di sebelah rumah mereka. Apakah ini provokasi?!
Andai ia berada di posisi Su Ruqing, mungkin rumah ini sudah ia ledakkan...
Dan selama tinggal di kompleks perumahan yang sama, meskipun Ren He hidup menyendiri dan jarang keluar rumah, pasti ada satu dua kali bertemu dalam setahun? Begitu ketemu, Yang Xi pasti akan dikirim ke luar negeri. Di Sizhong memang ada bagian internasional, dan faktanya siswa Sizhong selalu disambut meriah oleh universitas top dunia.
Nanti aku harus ikut menyeberangi samudera lagi? Kali ini saja sudah cukup merepotkan!
Tapi bagaimana Ren He bisa menjelaskan pada Ibu Ren? Bilang dia tak pantas tinggal di rumah mewah dan harus hidup susah sambil mengingat penderitaan masa lalu? Ini benar-benar ngaco.
Solusinya cuma membujuk Ibu Ren pergi dulu lalu menyewa rumah sendiri. Ternyata tetap harus menyewa rumah sendiri...
Meski langsung memberikan Ren He sebuah rumah, namun agar Ren He tidak punya terlalu banyak uang tunai, Ibu Ren membelikannya kartu belanja di supermarket. Setiap bulan Ren He hanya mendapat uang saku 500 RMB. Ren He yang memegang kartu belanja bernilai Rp10.000 dan 500 RMB tunai merasa agak geli di selangkangan. Di masa sekolahnya, Ibu Ren benar-benar bersusah payah mencegahnya punya uang untuk jadi nakal.
Untungnya sekarang dia tak kekurangan uang, kalau tidak pasti mati di sini. Level konsumsi ibukota seperti apa? 500 RMB buat apa?
Pikapnya masih terparkir di Luocheng. Sebelum berangkat, Ren He menyelipkan kunci ke pria gemuk itu agar membantunya mencari jasa pengiriman mobil. Lagi pula, dengan mobil di samping, akan lebih mudah saat ada keadaan darurat.
Siang itu dia mengantar Lao Ren dan Ibu Ren pergi. Saat Ibu Ren lengah, Lao Ren menyelundupkan 1000 RMB tambahan untuk Ren He, membuatnya hampir menangis haru. Ternyata pria memang memahami sesama pria...
Ren He segera mencari tempat tinggal setelah mereka pergi. Ia berencana tidak kembali ke sebelah sana malam ini untuk meminimalisir kemungkinan bertemu Su Ruqing.
Segala urusan cepat selesai saat punya uang. Di kompleks perumahan mewah, Ren He menyewa apartemen siap huni yang letaknya tak jauh dari Sizhong, memudahkan pergi-pulang sekolah.
Ini bisa dibilang markas rahasia pertamanya. Tak ada yang tahu ia tinggal di sini, jadi ia bisa leluasa menyimpan barang pribadi seperti laptop. Kalau suatu saat Yang Xi punya kesempatan tidak pulang ke rumah, hehehe...
Saat turun untuk makan malam, tiba-tiba pintu apartemen dihadapannya terbuka. Dua sosok di kedua pintu saling terpaku: "Ren He?"
"Kakak Yu Ting?"
Ren He sama sekali tidak menyangka akan bertemu Xia Yuting di sini. Memang, meski berjuang keras di ibukota, dengan kondisi keluarga yang mapan, menyewa apartemen mewah seperti ini bukanlah masalah. Bahkan mungkin bukan sewa tapi beli.
Tapi ini tidak ada hubungannya dengan Ren He, itu urusan pribadi orang lain.
Hari ini Xia Yuting mengenakan celana pendek denim dengan kaos oblong lengan pendek kerah V putih polos yang diselipkan ke dalam celana, tampilannya segar namun sangat menonjolkan lekuk dada dan kaki panjang yang ramping nan tegak.
Ren He tersenyum: "Kakak Yu Ting tinggal di sini? Berarti mulai sekarang kita jadi tetangga."
Xia Yuting mengamati Ren He beberapa detik: "Aku tinggal di sini wajar saja. Justru aku penasaran kenapa kamu bisa di sini? Tempat ini kan selalu disewakan, sebelumnya dua gadis yang menempati."
“Saya penyewa baru, saya bersekolah di SMA Negeri 4 Ibukota jadi menyewa apartemen ini,” Ren He menjelaskan sambil tersenyum. Meski sebelumnya pernah bertemu di lokasi syuting, Ren He tidak terlalu mempedulikan hal itu. Sekarang interaksi mereka terasa ringan layaknya pertemuan biasa antar teman sekelas. Sejujurnya ia merasa berterima kasih pada Xia Yuting, semangat pantang menyerah gadis itu telah mempengaruhinya sehingga berani menaklukkan Jalan Langit lebih awal.
