Putri mereka kadang ingin tinggal bersama orang tuanya? Ini hal yang tak pernah Ren He pertimbangkan sebelumnya. Ia berpikir sejenak lalu berkata: "Bisa saja, tapi dia tak boleh punya kunci. Ini prinsip."
Lagipula setiap kamar di pekarangan ini luas. Jika putri mereka datang, bisa sekamar dengan orang tuanya. Tak ada masalah. Kasihan juga pasangan tua ini yang susah datang ke Beijing, akhirnya Ren He setuju.
Pasangan tua itu langsung bisa lega mendengar jawaban Ren He: "Tenang, Pak! Pasti kami patuhi!"
Sore harinya Ren He baru sadar betapa rajinnya pasangan tua ini. Dalam sekejap, mereka sudah mengupas kulit hijau kenari yang dipetik Ren He dan menjemurnya di pekarangan. Kurma dan kesemek matang juga sudah dipetik dan disusun rapi di piring di kamar Ren He.
Awalnya ada beberapa kesemek matang yang jatuh di bawah pohon lalu hancur berantakan membuat pekarangan kotor, tapi sore ini semuanya sudah dibersihkan.
Ren He tiba-tiba merasakan sensasi menjadi tuan tanah...
Setelah berpikir sejenak, ia mengambil 10.000 yuan untuk pasangan tua itu: "6.000 di antaranya adalah gaji yang dipinjamkan di muka. Setiap tahun akan ada kenaikan. Jika ada yang kurang di rumah, beli langsung saja. Celana dalam dan kaos kaki tak perlu dicuci, aku bisa melakukannya sendiri."
Pasangan tua itu tersentak gembira menerima 10.000 yuan. Putri mereka yang sekolah di ibukota tak hanya membutuhkan uang sekolah, tapi juga biaya hidup. Mereka datang dari kampung halaman karena tak tega melihat putrinya harus kerja paruh waktu sambil kuliah.
Dengan gaji yang dipinjamkan ini, sang putri tak perlu lagi bersusah payah. Setiap bulan mereka berencana memberi 1.500 yuan untuk putrinya dan menabung lebih dari 4.000 yuan, mengingat semua kebutuhan makan-tidur sudah tercukupi di pekarangan ini.
Perlu diketahui! Penghasilan tahunan rata-rata petani di era ini hanya 4.000 yuan!
Itu penghasilan TAHUNAN, 4.000 yuan! Banyak yang bicara tentang kesenjangan kaya-miskin yang terlalu besar, tapi mereka tak benar-benar memahami skalanya.
Inilah alasan Ren He membantu Zhou Lao mendirikan Yayasan Qinghe.
Sepasang orang tua itu menyiapkan bubur millet, telur cabai hijau, kentang tumis asam, dan roti tipis bakar untuk Ren He malam itu. Roti digulung dengan sayuran, membuat Ren He kekenyangan hampir meledak! Keterampilan tangan mereka benar-benar memenuhi standar!
Dengan bantuan pasangan tua ini, Ren He akhirnya berani mengundang semua orang ke rumah barunya untuk acara 'membangkitkan wajan'.
'Membangkitkan wajan' adalah tradisi banyak daerah utara, bermakna membawa nuansa kehidupan, sukacita, dan kemakmuran ke kamar pengantin baru. Bukan karena percaya takhayul, Ren He merasa tak perlu menyembunyikan rumah Siheyuan-nya dari teman-teman yang saling jujur.
Lagipula, diperkirakan akan menetap di ibukota selama beberapa tahun ke depan. Jika ditanya alamatnya, masa menjawab "Tidak ada komentar"? Masih pantas disebut teman?
Yang memuaskan Ren He, pasangan tua itu sama sekali tidak mempertanyakan bagaimana mungkin seorang pemuda seperti dirinya mampu memiliki rumah mewah semacam itu.
……
Xia Yuting berjalan menuju kompleks perumahan dengan mengenakan kacamata hitam dan masker. Sejak ditayangkan seminggu yang lalu, kata "Kunlun" telah mendominasi tata letak berbagai media.
Ulasan bagus dan buruk bermunculan sekaligus, namun yang tak terbantahkan adalah rating Kunlun pada hari ketiga penayangan telah menembus rekor semua saluran TV kecuali Berita Nasional dan Prakiraan Cuaca!
Tidak berlebihan jika disebut sebagai serial TV paling fenomenal sepanjang masa.
Sebagian besar komentar menyebut pemeran pria utama tak memiliki kearifan seperti dalam novel asli, paling banter hanya pria ganteng tanpa bakat.
Namun sebaliknya, peran utama perempuan Xia Yuting dan peran pendukung Yan Kexin justru mendapat pujian.
Yan Kexin dipuji karena akting naturalnya yang berhasil mengekspresikan aura keluhan karakter Hua Xiaoshuang. Pujian justru lebih banyak mengarah pada kemampuan Sutradara Zhang Ming dalam memilih pemeran...
Berbeda dengan Xia Yuting, dalam serial televisi Kunlun, daya pikat memikat namun penuh kekuatan berani yang dimilikinya benar-benar menghidupkan karakter Liu Yingying!
Jika diadakan voting untuk aktor favorit dalam Kunlun, pastilah Xia Yuting yang tak terbantahkan.
Popularitasnya benar-benar meledak. Saat keluar rumah tanpa penyamaran, ia langsung dikenali orang. Ketika dikerubuti banyak orang yang meminta tanda tangan, Xia Yuting sebenarnya ingin menangis - akhirnya ia berhasil.
Kesempatan yang langka ini berhasil digenggamnya, dan benar-benar membuahkan keberhasilan.
Berhari-hari menghafal dialog, memahami gejolak emosi karakter, sampai badannya menyusut SATU PUTARAN karena kelelahan.
Namun setelah sukses, Xia Yuting baru menyadari: Di ibukota yang megah ini, dengan segudang teman, ia justru bingung harus berbagi kebahagiaan dengan siapa.
Teman di lingkaran kita tak mungkin diajak berbagi. Berbagi dengan orang malah dianggap pamer, bisa dibenci.
Orang di luar lingkaran juga tidak bisa, mereka tidak mengerti betapa sulitnya keberhasilan ini. Di hati mereka seolah-olah proses pemilihan peran semata-mata bergantung pada nasib.
Hanya tersisa satu orang: Ren He. Bukan bagian dari lingkaran kita, juga bukan orang luar. Bahkan menyaksikan langsung momen terpilihnya dirinya, bahkan memberikan bantuan verbal.
Saat itu lewat jam 12 malam. Xia Yuting terlalu bersemangat sampai sulit tidur, ingin berbagi kebahagiaan dengan Ren He. Sebenarnya dia orang yang sederhana, tidak serumit itu, juga tidak suka main akal-akalan.
Namun ketika hendak mengetuk pintu seberang, dia mengurungkan niat. Perlahan berjalan kembali ke kamarnya.
Ada perasaan yang tak terungkapkan: Apakah ia mau mendengarkan ceritamu? Apakah kalian benar-benar sudah berteman? Jangan-jangan ini hanya anggapanmu sendiri?
Dalam pergaulan banyak pekerja dewasa, selalu ada pikiran seperti ini. Mereka khawatir "wajah hangat menemui pantat dingin", jadi memilih tidak berkomunikasi dan menghindari interaksi. Ini bentuk ketakutan akan kekecewaan saat ketulusan ditolak.
Akhirnya, ketika dia hampir menjadi primadona terpopuler di layar kaca, kebahagiaan Xia Yuting tak ada yang bisa dibagikan.
Agak kesepian.
Hari ini sepulang dari syuting, saat naik tangga dia melihat pintu seberang terbuka lebar dengan orang-orang sedang memindahkan barang. Xia Yuting tertegun, melongok ke dalam tapi tak melihat siluet Ren He.
Dengan nada kaget dia bertanya: "Permisi, mana pemilik rumah ini?"
Pria muda di dalam menoleh: "Maksudmu pemilik kos?"
"Bukan, yang menyewa sebelumnya," jelas Xia Yuting.
"Oh, yang dulu tidak tahu. Saya baru menyewa, baru hari ini pindah barang dari tempat lama," jawab pemuda itu dengan ceria.
"Oh, maaf mengganggu," bisik Xia Yuting sebelum berbalik dan masuk ke rumahnya.
Dia melepas kacamata hitam, membuka masker, menanggalkan sandal. Lengkungan kaki mungilnya menginjak sandal lembut.
Xia Yuting diam-diam mengambil sebotol anggur merah pemberian teman dan menuangkannya ke gelas yang biasa dipakai minum teh. Tiba-tiba ia ingin tertawa, rupanya mereka memang tidak bisa disebut teman?
Kalau benar teman, bukankah seharusnya memberi kabar sebelum pindah? Lagipula mereka punya nomor telepon masing-masing.
Di ibukota yang luas ini, dua orang yang saling kenal secara kebetulan menjadi tetangga. Ini sempat memberikan kehangatan di hati Xia Yuting, seolah ia tidak sendirian.
Tapi sekarang kehangatan itu berubah menjadi dingin yang menusuk tulang. Seolah semua penderitaan sejak syuting Kunlun dan keluhan yang ditahannya akan meletus. Ia merasa sangat terzalimi.
Meski ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya yang biasanya keras kepala tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini.
Tiba-tiba teleponnya berdering. Xia Yuting tertegun melihat nama yang muncul di layar: Ren He.
Ia ragu selama sepuluh detik. "Kalau sudah bukan teman, buat apa diangkat? Biarlah kita saling melupakan di tengah sungai dan danau," pikirnya.
Tapi tanpa disadari, ia tetap mengangkat telepon: "Halo?"
"Kakak Yu Ting, aku pindah rumah baru. Besok malam ada acara rumah baru, bisa datang? Ada juga banyak teman dari ibukota, semuanya baik cuma ingin rame-rame," kata Ren He sambil tertawa di telepon.
"Baik, kirimkan alamatnya padaku," Xia Yuting tersenyum lembut. Rupanya belum sempat memberitahuku, syukurlah.
……
