Kalau bilang Ren He kenal Xia Yuting yang primadona terkenal masih bisa dipahami. Seberapa pun populernya, sampai-sampai naik pesawat pun banyak penggemar yang menjemput. Tapi bagaimanapun mereka masih anak muda, tidak ada kesenjangan generasi. Tapi kalau Ren He kenal Lao Zhou ini benar-benar tak terbayangkan! Di benak murid-murid ibukota, Lao Zhou adalah pemimpin dunia sastra, sosok tinggi yang berada di puncak. Bagaimana mungkin Ren He mengenal orang seperti ini? Apalagi dari nada bicara Ren He ke Lao Zhou, tingkat kedekatan mereka jelas sangat dalam.
Ren He melompat turun dari pikap sambil tertawa, "Kakek, alih-alih jadi pemimpin redaksi di metropolis besar, malah ke sini jadi kepala desa ya?"
Di depan mata, Lao Zhou sedang menghisap rokok setengah batang, mengenakan mantel luar kotor dengan rambut acak-acakan, persis seperti penampilan warga desa abad lalu. Lao Zhou tersenyum bahagia: "Silakan mengolok-olok, yang penting kau datang sudah memenuhi standarku. Guru relawan sudah ditemukan dan akan tiba dalam dua minggu. Kalian hanya perlu bertugas selama dua minggu ini. Guru sebelumnya kabur karena tidak tahan - memang tidak bisa menyalahkannya, kondisi di sini sangat keras. Tapi anak-anak sudah tidak sekolah lebih dari 3 bulan, tidak bisa ditunda lagi."
Ren He menemani Lao Zhou berjalan keluar. Dua asisten Lao Zhou juga terlihat tidak jauh lebih baik penampilannya. Namun semua terlihat bersukacita dengan tulus kedatangan mereka, seperti pasukan tempur yang sedang berebut posisi dalam perang gesekan, lalu datanglah pasukan bantuan - perasaan ini sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Anggota Klub Qinghe mengikuti dari belakang, dikerumuni anak-anak yang tertawa riang. Tapi semua anak di sini pun satu ciri khas: wajah penuh kotoran, baju compang-camping.
Tidak mungkin mereka tidak kotor. Di sini minum air saja susah, apalagi mandi? Mandi setengah tahun sekali saja sudah bagus.
Lao Zhou membawa Ren He ke gedung sekolah tua di desa. Ren He terdiam lama melihat pemandangan di depannya...
Tembok tanah liat tidak beraturan, cuma satu ruang kelas sepi berdiri. Di dalam cuma ada balok kayu besar melintang, papan tulis sederhana penuh lubang.
Atapnya dari genting. Tapi saat masuk dan mendongak, cahaya matahari menyelinap lewat celah-celah genting. Seluruh atap penuh bagian yang berlubang.
Apa artinya rumah? Untuk melindungi dari angin dan hujan.
Tapi di sini bisa melindungi apa? Tidak bisa menahan apa-apa!
Anak-anak harus belajar di ruangan kelas yang tak bisa menahan angin, tak bisa melindungi dari hujan, tak bisa menghalau terik matahari. Katanya belajar untuk apa? Yaitu agar suatu hari nanti atap mereka bisa tertutup rapat, sehingga anak-anak mereka kelak tak perlu belajar di lingkungan seperti ini.
Beberapa orang selalu berkata: Anak desa sekolah bertahun-tahun, akhirnya lulus cuma dapat gaji bulanan 2000 lebih, 3000 lebih, 4000 lebih, buat apa?
Ada pakar mengatakan, orang desa harus sekolah sesuai kemampuannya.
Saat Ren He mendengar pernyataan pakar ini, ia langsung paham satu hal: Orang-orang ini sama sekali tak mengerti betapa menderitanya beberapa daerah. Di lingkungan seperti ini, harus bertarung mati-matian untuk keluar. Hanya dengan keluar, hari-hari bisa menjadi lebih baik.
Kalian sembarangan bicara lalu menasihati orang agar tak sekolah? Sialan! Gaji 2000 lebih masih lebih baik daripada tinggal di tempat seperti ini. Belajar adalah jalan pintas mereka merubah nasib! Di tempat seperti ini, bertani setahun pun tak ada penghasilan 2000 yuan. Bagaimana mungkin mereka tak ingin merubah nasib? Kecuali mereka benar-benar tak tahu cara belajar.
Ren He bahkan tidak tahu bagaimana dirinya bisa belajar jika berada di ruang kelas seperti ini.
Kelas bobrok ini seperti sistem pendidikan Tiongkok, banyak celah! Ren He tiba-tiba mengapa Lao Zhou menangis histeris setelah datang ke sini. Saat itu, ia juga ingin menangis, perih melihat kondisi anak-anak.
Anggota Klub Qinghe terpana melihat semua ini. Di ibukota megah, membaca koran takkan pernah membuat mereka merasakan betapa lingkungan belajar seperti ini bisa membuat anak kota terkejut.
Liu Jiamin menatap tulisan di papan tulis hitam: "Guru merasa bersalah padamu."
Ini pesan guru relawan sebelumnya. Dengan gaji 360 per bulan, ia benar-benar tak tahan. Jika tak pergi, ia akan kesetanan. Namun semua orang paham kepedihan dalam tulisan ini - mahasiswa berbakat datang mengajar, akhirnya jadi desertir setelah 5 tahun.
Tapi Ren He sama sekali tidak merendahkannya. Setidaknya ia pernah datang, dan itu sudah layak dihormati.
Lao Zhou membawa semua orang kembali, tiba-tiba Ren He berkata: "Bagaimana penjualan Sang Pengejar Layang-Layang di luar negeri?"
Mendengar ini Lao Zhou tersenyum lebar: "Saat ini penjualan Sang Pengejar Layang-Layang mengalami letusan sumur, masuk daftar peringkat terlaris di 21 negara. Sekilas dana Yayasan Qinghe perlahan mulai mencukupi, kita bisa membangun banyak sekolah lagi."
“Anda bisa gunakan sepenuhnya, saya akan menulis karya lain untuk dimasukkan ke aset Yayasan Qinghe. Saya yakin karya-karya ini punya kemampuan menghasilkan uang yang luar biasa,” kata Ren He dengan serius: “Penggunaannya untuk yayasan ini jauh lebih baik daripada membeli kapal pesiar. Anda juga pahami kondisi masyarakat sekarang yang semakin instan, memandang hina kemiskinan tapi tak menghakimi pelacuran. Jangan berharap semua orang punya kesadaran seperti Anda. Dalam merekrut guru relawan, kita tak boleh menyiksa rumah tangga mereka. Gaji harus setara dengan tunjangan guru di ibukota provinsi setempat, plus subsidi 1.500 yuan per bulan. Guru bisa mengajar dengan tenang itu lebih penting dari segalanya. Dengan gaji ini, mungkin mereka akan mempertimbangkan untuk tertanam sebagai akar di sini. Masih ingat kata-kata saya? Pemuda kuat maka negara kuat. Melihat masalah tak perlu menunggu orang lain bertindak. Mari kita lakukan sendiri.”
Ren He menyalakan sebatang rokok untuk Lao Zhou, lalu menyalakan satu untuk dirinya sendiri. Kini ia jarang merokok, tapi kali ini agak tak tahan. Lao Zhou tersenyum: "Aku benar-benar harus meninjau ulang penilaianku padamu. Masih ingat penampilan 'si tajir' yang kau perlihatkan saat pertama kita bertemu dulu?"
"Ha-ha, manusia memang bisa berubah. Bayangkan Anda berkata pada pengemis: 'Mari menyumbang untuk anak-anak di pegunungan'," Ren He tertawa. "Menurutmu dia akan menghiraukanmu? Dia sendiri masih kelaparan."
Begitulah logikanya. Sebenarnya beramal harus sesuai kemampuan. Tentu ada juga pribadi-pribadi agung yang menghabiskan tabungan seumur hidupnya untuk membiayai murid-murid, meski simpanan mereka sendiri hampir habis.
Terhadap orang seperti itu, Ren He hanya bisa memandang dengan kagum, tapi takkan meniru. Yang bisa dilakukannya adalah membangun batu fondasi hak cipta yang kokoh untuk Yayasan Qinghe, menjadikannya monster paling dahsyat di dunia amal Tiongkok yang abadi tak tergoyahkan.
Jadi Ren He memberitahu Lao Zhou bahwa ia akan menulis beberapa karya lagi untuk dimasukkan ke aset Yayasan Qinghe, yang akan menjadi bintang paling bersinar dari era kehidupan sebelumnya, memiliki kemampuan menghasilkan uang terkuat.
Setelah pembuatan Dota selesai, uang sudah lebih dari cukup bagi Ren He. Sebelumnya ia masih ragu apakah akan menyimpan karya-karya itu untuk dirinya sendiri, sekarang keraguannya hilang. Ren He memutuskan untuk mewariskannya ke Qinghe. Kemampuan menghasilkan uang Dota dalam sebulan saja akan mencapai 150 juta dolar AS, apalagi masih banyak game lain yang bisa dihadirkan di dunia ini. Apa ia masih belum cukup kaya?
Ren He memutuskan untuk mewariskan "Harry Potter" kepada Yayasan Qinghe!
