Di tengah malam, Ren He membawa senter dan memimpin regu kecil Qinghe menuju sumber suara tadi. Wajah Jiang Haoyang dan yang lain dipenuhi kegembiraan, bahkan lupa perut keroncongan. Mereka hanya ingin menyaksikan langsung proses pencurian makam, penasaran apakah akan semenarik yang dibayangkan.
Sementara Ren He berpikir, jika lawan sudah menggunakan bahan peledak, pasti mereka sudah menemukan lokasi tepat dan bersiap menggali lubang pencurian makam untuk turun.
Setelah berlari lebih dari satu kilometer dan mendaki belasan bukit tanah, barulah terlihat sedikit cahaya di depan. Ren He menarik semua orang untuk berbaring: "Jangan bersuara!"
Ren He menyembulkan kepala dengan hati-hati. Cahaya lampu di balik bukit tanah itu tidak terlalu terang, hanya senter tua. Tapi ini sama sekali tidak mempengaruhi penglihatan Ren He karena dia punya hadiah misi rekaman visual super.
Di samping lubang berdiameter 80 cm berdiri pria pendek berwajah licik. Di permukaan tanah berserakan ampas tanah hancur - hasil bahan peledak. Selain itu ada dua tas besar yang isinya tidak diketahui.
Seutas tali besar terikat pada batu besar di sebelahnya. Ujung lain tali kasar itu menjulur ke dalam lubang pencurian makam, mungkin sebagai jalur untuk turun.
Ren He mengamati dengan serius, anak ini sedang waspada melihat tanda-tanda bahaya sekecil apapun di sekitarnya, pasti ini aktivitas perampokan makam. Entah berapa orang yang sudah turun ke bawah.
Di tangan satunya ia mencengkeram mati-matian sebuah belati, tangan lain mengangkat senter. Ren He pun mulai lega - tidak ada senjata api berarti aman.
Sekalipun mereka menyembunyikan senjata api, seperti kasus penculikan di rumah Yang Xi dulu, selama belum sempat mengeluarkannya, Ren He bisa pastikan mereka takkan sempat melakukannya. Lagipula mengeluarkan senjata membutuhkan waktu lebih lama.
Memikirkan ini, Ren He semakin rileks. Setelah menunggu sebentar, mereka melihat si kurus di tepi lubang merangkak ke mulut gua sambil berteriak: "Sudah selesai? Cuma kita berdua ini. Kalau warga datang, kita bakal kewalahan! Zaman sudah beda. Kita belum nyalain lentera, semoga tidak ada masalah..."
Dari dalam lubang terdengar suara berat: "Tunggu bentar! Banyak barang di sini. Jangan ngomong sial-sial, gue nggak percaya tahayul itu!"
Si kurus di luar gua mendengar percakapan di dalam langsung bersukacita: "Ada apa aja nih?!"
"Buru-buru apaan sih, ntar gue keluar lu juga tau!" suara dalam gua bergemuruh, "Sekarang anak kandung pun harus diwaspadai. Orang harus naik duluan sebelum barang, kalau enggak bisa-bisa dikubur hidup-hidup sama sekutu. Itu namanya omong kosong, pasti mati."
Nggak cuma nggak bawa senjata api, cuma berdua, kayaknya juga udah bertengkar sama tim lalu nekat kerja sendiri. Kelihatan nggak profesional soalnya lentera aja nggak dinyalain... Ren He tersenyum lebar sambil memanfaatkan posisi si kurus yang sedang menengok ke dalam lubang, memberi isyarat pada Jiang Haoyang dan kawan-kawan untuk tetap di belakang. Sementara ia sendiri perlahan merayap mendekati mulut gua.
Si kurus masih berbaring di tepi lubang menunggu, tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya: "Kenapa kalian nggak nyalain lentera?!"
Pada malam yang gelap gulita ini, di hadapannya membentang lubang curian kuburan yang hitam pekat, dikelilingi lembah gunung yang gelap, dirinya sendiri sedang melakukan aksi mengeruk harta orang mati. Si kurus yang masih percaya takhayul ini sebenarnya sudah agak ketakutan, tiba-tiba ada suara bertanya: "Apakah kalian menyalakan lentera?"
Seperti apa rasanya ini?
Seolah-olah pemilik makam tiba-tiba bangun dan bertanya: "Apakah kalian tidak mengindahkan aturan? Lentera saja tidak nyalakan? Bagaimana aku bisa memberi isyarat tanpa lentera?"
Si kurus gemetar perlahan menoleh, persis melihat Ren He yang sedang menyorotkan senter dari rahang bawah ke wajaknya, sambil terkikik-kikik...
"Ya ampun!" Jiwa si kurus hampir melayang ketakutan. "Kok bisa ada yang keluar dari kuburan?!" Tangannya gemetar tak karuan merangkak menjauh ke arah berlawanan dari Ren He, lupa bahwa di belakangnya justru ada lubang curian. Terdengar teriakan "Aaaah!" sebelum tubuhnya terjatuh ke dalam lubang...
"Waduh, kok kamu juga turun! Ngomong ngawur apa sih?!" teriak suara dari dalam lubang: "Ada yang dateng ya?"
Si kurus di dalam gua berkata lemah: "Bakcang! Bakcang! Lari keluar!" Sekilas terlihat dia jatuh cukup parah, bicaranya mulai terputus-putus.
"Lari sialan, tutup peti matinya aja gak bergerak! Mana ada bakcang?!" teriak orang di dalam dengan geram: "Gue percaya setengah mati sama omongkosongmu, kelakuan tak berguna!"
Ren He melihat tali di tepi lubang mulai bergoyang - pertanda mereka akan memanjat naik.
Mana mungkin Ren He membiarkan mereka naik dengan mudah? Saat pria itu hampir mencapai mulut gua, sebuah kaki raksasa menyepaknya!
"Waduh! Breded!" Pria berwajah persegi itu terjatuh kembali ke dalam lubang...
"Aduh, kau jatuhin gue!" Terdengar suara si kurus...
Ren He di luar gua sudah tertawa terpingkal-pingkal, dua pencuri bodoh ini benar-benar bisa, satu nekat tak peduli nyawa, satu penakut yang hampir mati ketakutan. Tapi Ren He juga tidak punya simpati pada mereka, penjarah makam sejati tidak semisterius yang ditulis Paman Ketiga, banyak dari mereka biasa melakukan tindakan kriminal, bahkan sampai menculik anak dan perempuan. Ren He tidak akan membunuh mereka, sungguh disuruh membunuh pun dia tidak tega, sekarang hanya mengerjai mereka saja.
Pria wajah persegi di bawah memaki keras: "Sepanjang apapun kau manusia atau hantu, kalau berani luar biasa biarkan gue naik, ayo kita gelut!" Pria wajah persegi sama sekali tidak percaya yang di luar itu hantu, kemungkinan besar mantan anggota geng mereka yang sekarang melihat mereka menemukan makam datang untuk saling memakan sesama penjahat. Kalau penduduk pasti akan berduyun-duyun datang, tidak mungkin sepi seperti ini.
Usai bicara dia mulai memanjat tali lagi...
"Waduh! Dor!"
Ren He mengulurkan kakinya, si anak ini pun terjatuh lagi... Ia berjongkok di mulut gua sambil menggerutu geli di selangkangan: "Apa loe bego?"
Pria wajah persegi sedang kesakitan, tapi mendengar suara ini jelas bukan anggota geng mereka sebelumnya. Namun dua tendangan yang langsung mendarat di wajahnya benar-benar tak bisa ditahan...
Si kurus tiba-tiba terkejut: "Bukan arwah penjaga?"
"Arwah sialan! Liatin dua jejak sepatu di muka gue ini, mana ada arwah yang nendang? Pernah liat arwah jago tendang? Dasar bego! Ngapain gue turun lobang sama loe!" Pria wajah persegi menggerutu penuh kegeraman.
Ren He di luar lobang sudah tak tahan menahan tawa memanggil Jiang Haoyang dan kawan-kawan: "Ayo sini, di dalem cuma ada dua anak bego, nggak berbahaya."
"Siapa yang loe sebut bego?!" Pria wajah persegi tersinggung, membuat si kurus panik menariknya. "Da Ye, kita yang di lobang, mereka di atas, masa masih berani bacot?!"
“Ngapain kau tarik aku, kalau panik terus nanti pulang jadi satpam aja nggak bakal bisa!” Wajah Persegi membentak.
Si Kurus langsung nangis, "Dengan kelakuanmu begini, apa kita masih bisa pulang...?"
Ren He juga tertawa, "Ini rencana mau melakukan satu tiket lalu pensiun jadi satpam? Satpam apaan, minta sepeda pula!"
