Yang Xi mengatupkan bibir berjalan pulang, mengingat kata-kata Liu Erbao. Ren He ternyata pergi ke Nepal untuk mendaki Everest... Hal seperti ini biasanya tak berani ia bayangkan!
Sudahkah Ren He tiba? Apakah Nepal dingin? Apakah gunungnya dingin? Sebenarnya berbahaya atau tidak? Yang Xi sama sekali tidak tahu.
Jadi sekarang jelas, sebelumnya hal yang dirahasiakan Ren He darinya pasti ini. Rencananya sudah disiapkan sejak lama. Dalam ingatan Yang Xi, Ren He mulai sering menggunakan ponsel sejak dua minggu yang lalu.
Baru sekarang ia sadar bahwa dirinya sebagai pacar sangat tidak becus. Bukan karena tidak mengetahui rencananya lebih awal, toh hubungan mereka selalu didasari kepercayaan. Selama ini Yang Xi sengaja tidak ikut campur, percaya jika Ren He merasa bisa memberitahunya, cepat atau lambat ia pasti akan tahu.
Yang Xi merasa diri tidak becus justru karena kali ini Ren He tak berani memberitahunya. Apakah ia khawatir Yang Xi tidak cukup memahami? Inilah yang membuat Yang Xi malu.
Ren He cukup mempercayainya dan cukup memahaminya, sehingga semua pemikirannya bisa diceritakan tanpa ragu. Namun saat giliran Ren He, ia malah mengkerut.
Yang Xi sekarang paling ingin mengatakan pada Ren He: tak peduli ke mana pun tujuannya, selama untuk idealisme sendiri, ia tak akan menghalangi.
Mereka berdua pasti memiliki kehidupan yang luar biasa. Yang Xi tahu Ren He rela mengorbankan segalanya bahkan nyawa untuknya, dan begitu pula dirinya.
Sekarang ia ingin bicara banyak pada Ren He, tapi sama sekali tak bisa menghubunginya.
Tiba-tiba Yang Xi berhenti di jalan, seolah membuat keputusan penting, langsung menjemput taksi dan menyambar ke rumah ayahnya Yang En!
Begitu masuk, ia membuka meja riasnya, mengambil paspor, menarik koper dari bawah ranjang, lalu memasukkan jaket putih, celana tahan angin, tas pendakian profesional, sepatu gunung — semuanya!
Setelah berpikir sejenak, dia meninggalkan kertas catatan untuk Yang En: "Ayah, ada hal sangat penting. Jangan beri tahu Ibu. Tolong carikan alasan."
Setelah berkata demikian, dia menarik koper troli dan keluar rumah.
Yang Xi tahu tindakannya mungkin terlihat terlalu fantastis. Dia juga paham betapa besar kemarahan yang akan timbul jika Su Ruqing mengetahui kebenaran hal ini. Tapi dia tak peduli lagi pendapat orang lain. Biarkan teman-teman sekelas menilainya sesuka hati. Mungkin di mata mereka, dirinya hari ini telah menjadi gila.
Di lapangan saat ini, hampir semua siswa di sekolah terlibat dalam tebakan liar: Sebenarnya apa yang terjadi pada Yang Xi?
Tiba-tiba seseorang mulai menghubungkan sikap tidak biasa Yang Xi dengan permohonan cuti Ren He. Bagaimanapun, kedua kejadian ini terjadi terlalu berdekatan.
Ada yang berspekulasi: Jangan-jangan Ren He mengidap penyakit mematikan lalu menghilang, membuat Yang Xi menjadi gila? Persis seperti yang ditulis dalam novel... Tentu saja, mereka juga merasa semua ini terlalu dramatis seperti sinetron.
Ada yang mencoba menyelidiki Yang Lan menanyakan ke mana Ren He pergi, Yang Lan mengingat percakapannya sebelumnya dengan Ren He... lalu berkata dengan santai: "Tak ada masalah, mungkin dia cuma ingin bolos saja..."
Justru ucapan Yang Lan inilah yang mematahkan berbagai teori orang-orang, Oh, cuti untuk jalan-jalan ya... iri banget! Setidaknya dengan penjelasan ini, tak ada lagi yang menghubungkan kepergian Ren He dan Yang Xi secara bersamaan.
Yang Xi tidak tahu kejadian di sekolah, tapi semua itu tak dia pedulikan, dia hanya ingin tanpa ragu seperti ngengat terbang ke api mendatangi Ren He.
Karena Ren He pun melakukan hal yang sama padanya!
Saat pulang malam hari, Yang En terpaku melihat kertas itu, "Apa yang terjadi? Tak disebut berapa hari pergi, tak dijelaskan tujuannya, putri kesayangan kami hilang begitu saja?"
Tiba-tiba, dia merasa ini mungkin ada hubungannya dengan Ren He, tapi saat mencoba menelepon Yang Xi, ponselnya sudah dimatikan.
Dulu saat di luar negeri, Yang Xi juga pernah bepergian sendirian, jadi ia tidak terlalu khawatir akan terjadi masalah besar. Yang En hanya memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan antara Ren He dan Yang Xi. Sebagai mantan personel terlatih profesional, pola pikirnya dalam mencari petunjuk sangat tajam. Dengan tenang ia membuka laci meja rias Yang Xi - paspor pun sudah hilang.
Ia menelepon temannya di Kantor Imigrasi untuk meminta bantuan memeriksa catatan perjalanan hari ini. Hasilnya cepat diperoleh: pukul 7:53 pagi, Ren He terbang ke Bangkok; pukul 6:11 malam, Yang Xi menyusul ke tujuan yang sama!
Ternyata memang mereka berdua liburan ke Thailand! Yang En menghela napas. Ia tak menyangka kedua pihak masih menjaga hubungan. Hanya satu yang belum ia pahami: mengapa waktu keberangkatan mereka berbeda?
……
Pagi hari, Ren He dan An Si naik pesawat menuju Bangkok, Thailand. Dari ibukota tidak ada penerbangan langsung ke Nepal. Mereka harus terbang dulu dari ibukota ke Bangkok, lalu transit di Bangkok sebelum melanjutkan penerbangan ke Kathmandu, ibukota Nepal.
Kathmandu, disingkat Jia Du (), terbagi menjadi kota baru dan kota tua. Sebagai kota kuno berusia lebih dari 1000 tahun yang didirikan pada tahun 723, Kathmandu menjadi simbol budaya kuno Nepal melalui seni arsitektur indah serta ukiran kayu dan batu. Selama dinasti-dinasti Nepal, dibangunlah berbagai istana, kuil, pagoda, aula, dan biara di sini. Di pusat kota seluas kurang dari 7 kilometer persegi terdapat lebih dari 250 stupa dan kuil, dengan total 2700 kuil besar-kecil di seluruh kota. Layaknya pepatah "lima langkah satu kuil, sepuluh langkah satu biara", kota ini dijuluki "Kota Kuil" dan "Museum Terbuka".
Kathmandu terletak di lereng selatan Pegunungan Himalaya. Penghalang alami ini melindungi kota dari angin dingin utara. Di sisi selatan, kota ini menyambut aliran hangat Samudra Hindia. Kondisi geografis yang unik ini memberikan suhu tahunan rata-rata sekitar 20℃ dengan iklim yang menyenangkan. Sepanjang tahun dipenuhi sinar matahari keemasan, pepohonan hijau subur, dan bunga-bunga bermekaran, sehingga dijuluki "Surga Pegunungan" dan menjadi tujuan wisata terkenal dunia.
Di sanalah mereka akan bertemu dengan perusahaan pemandu, kemudian melanjutkan ke area perkemahan.
Di dalam pesawat menuju Kathmandu, Ren He dan An Si sengaja memilih tempat duduk dekat jendela. Tiba-tiba awan di bawah pesawat mulai menipis, memungkinkan semua penumpang melihat pegunungan megah hitam-putih Himalaya melalui jendela.
Warna hitam berasal dari tubuh gunung berbentuk kerucut, sedangkan putih adalah salju abadi yang menyelimuti pegunungan Himalaya.
An Si di sampingnya menjelaskan: "Puncak Kanchenjunga, dengan ketinggian 8.586 meter..."
Mereka secara berurutan melewati Gunung Kanchenjunga di pesawat, puncak dengan peringkat kelima tertinggi di dunia, dan akhirnya Gunung Everest yang menduduki posisi pertama.
Ini adalah pemandangan paling bernilai tiket dalam perjalanan dari Bangkok ke Kathmandu! Mereka tegak berdiri di antara langit, menusuk langsung dari troposfer ke stratosfer!
Ren He berbaring di jendela kecil sambil memandang dengan rakus segala sesuatu di bawah pesawat. Inilah tujuan perjalanannya, tempat yang akan dia tantang!
Arus hangat di hatinya merangsang jantungnya. Di kehidupan ini, semua yang ada di depan mata inilah yang paling dia nantikan dan perlu dipertahankan.
Hal paling mendebarkan di ambang hidup-mati, sesuatu yang dahsyat dan megah, itulah keyakinannya.
Di dunia ini ada dua hal yang abadi: pertama, matahari-bulan-bintang yang menggantung di atas kepala kita; kedua, keyakinan mulia yang tersembunyi di dasar kalbu setiap orang.
Apakah keyakinan Ren He mulia? Tentu. Keyakinan setiap orang adalah mulia.
An Si memandang ekspresi di wajah Ren He dengan hening, sebenarnya ia sudah lama mengetahui perbedaan antara dirinya dan Ren He, namun kini pemahamannya semakin mendalam.
Ia rela menerimanya dengan sukarela menjadi asisten Ren He justru untuk ini - ingin memperoleh kekuatan yang hilang dari diri Ren He.
Kekuatan semacam itu bisa seperti percikan bintang yang membakar padang rumput!
