Saat An Si dan Liu Erbao mengantar Ren He ke bandara, keduanya terlihat muram. Liu Erbao memaksakan senyum: "Bangsat! Baru kemarin mengobrol soal tim Liu Erbao, TK, dan Kesatria sebagai Segitiga Besi, baru selesai bicara sudah harus berpisah."
Ren He tertawa: "Saat ini kamu sudah jadi tim internasional. Meskipun aku ke luar negeri, kalau perlu merekam video tetap harus cari kamu. Orang lain tak bisa kupercaya, iya kan? Haha, nanti kita ketemu di luar negeri!"
Liu Erbao matanya berbinar: "Mau main apa lagi nih?"
"Jangan buru-buru," An Si melototi Liu Erbao, "Biar dia istirahat dulu. Sejak pulang dari Gunung Everest, kondisi mentalnya belum bisa menyesuaikan. Kalau dipaksa lintas bidang dalam keadaan seperti ini, benar-benar bisa merenggut nyawa."
"Iya iya," Liu Erbao menepuk dahinya, "Otak babi ini! Gak apa-apa, nanti aku usahakan sering ambil job di Amerika biar bisa ketemu minum arak! An Si juga dulu pernah tinggal lama di Amerika, pasti kutarik dia ikut."
"Satu kata satu janji?" Ren He tersenyum.
"Satu kata satu janji!" Liu Erbao dan An Si serentak menjawab.
Saat berpamitan, Ren He tidak banyak bicara pada Liu Bing dkk. Hanya bilang akan melanjutkan studi. "Kalau ada kesulitan bisa email kapan saja. Soalnya beda zona waktu, telepon juga kurang praktis."
Namun kebiasaan Ren He tidak sering mengecek email, jadi dia juga mengingatkan mereka: Jika mengirim email dan tidak dibalas, pastilah dia belum sempat membaca.
Klub Qinghe yang pernah berjaya di fase kelas 1 SMA dengan mendirikan beasiswa sendiri dan meraup pendapatan puluhan miliar, kali ini bahkan semua anggota bersama-sama mendaki Everest. Kini kepergian Ren He membuat mereka seperti kehilangan poros utama.
Sebagai klub pertama di Sizhong yang berhasil mendaki puncak Everest, prestasi gemilang ini saja sudah cukup menjadikan Klub Qinghe sebagai keberadaan paling jempolan di Sizhong.
Tapi bagi Ren He, warisan sejatinya bukanlah Permainan Pembunuhan atau pengalaman mendaki Everest, melainkan platform inti yang dia tulis.
Yang tidak dia sadari adalah: Setelah kepergiannya, berapa pun lama waktu berlalu, yang tetap mencolok di Klub Qinghe tetaplah platform tulisan tangannya itu - materi paling abadi.
Namun karena sudah keluar dari Klub Qinghe, Ren He tak berniat terlalu banyak mengurusi hal-hal terkait klub tersebut. Seperti kata-kata dalam hatinya saat meninggalkan desa pegunungan tempatnya mengajar dulu: langkah kehidupan manusia ini terlalu cepat, begitu cepat sampai orang lain tak mampu mengimbangi. Maka adegan-adegan pengalaman, kejadian, dan sosok yang muncul dalam kehidupannya pasti hanyalah pemandangan sesaat dalam perjalanannya. Ia sudah melakukan cukup banyak untuk Klub Qinghe: "Perjalanan 1.000 li hanya kuantar sejauh ini, badai salju maupun terik matahari selanjutnya bukan urusanku lagi."
Baik hidup dalam kebaikan maupun kejahatan, semuanya bergantung pada takdir masing-masing. Ren He pun tak mungkin bisa membantu siapapun seumur hidup.
"Ren He dan Liu Erbao telah berjanji bertemu kembali di AS," setelah itu Ren He melangkah masuk ke pintu keamanan bandara tanpa menoleh. An Si tiba-tiba memahami deskripsi wartawati bernama An Quan dari Majalah Pariwisata Tiongkok tentang Ren He: "Kami ingin menghalanginya, tapi tak ada yang mampu menyamai langkahnya. Kami hanya bisa menyaksikan punggungnya yang menyendiri menjauh. Punggung itu terasa begitu sepi, bahkan sesaat kupikir itu adalah sosok pahlawan yang terpojok."
Saat ini An Si merasakan sesuatu - seolah langkah Ren He telah melampaui zamannya. Bahkan dia dan Liu Erbao hanya bisa menyaksikan sosok itu perlahan menghilang di kejauhan.
Tapi An Si tahu: "Pesta pertemuan kami dengan Ren He takkan pernah berakhir."
"Kepergian Ren He membuat hatiku terasa hampa," gumam Liu Erbao pelan.
"Kita hanya bisa berharap dia segera menyesuaikan keadaan dan memulai perjalanan baru," kata An Si.
“Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku selalu ingin melompat dari atap gudang yang ditinggalkan itu dengan Lompatan Keyakinan...”
An Si diam selama dua detik: “Aku juga...”
Keduanya saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak sambil melangkah keluar dari terminal bandara.
……
Ren He bersandar di kursi kelas satu, mendengar suara manis pramugari di pengumuman: “Para penumpang yang terhormat, penerbangan CA983 tujuan New York, Amerika Serikat dengan durasi 13 jam 25 menit akan segera lepas landas. Silakan tekan tombol darurat di samping kursi untuk kebutuhan apapun. Mohon kencangkan sabuk pengaman. Semoga kita semua mendapatkan sekali perjalanan yang menyenangkan.”
Di kehidupan sebelumnya, karena hubungan Lao Ren, dia pernah menjadi mahasiswa pertukaran selama setahun di Universitas California, Berkeley di Pantai Barat AS. Kini meski kembali ke tempat yang sama, perasaan tegang tetap menyelimutinya.
Ren He berulang kali mengingat SMS yang dikirim Yang Xi padanya. Dalam pesan itu, yang paling ia rasakan adalah penyesalan Yang Xi: menyesali alasan keluarga yang membuat Ren He harus bolak-balik ke berbagai tempat, mengatasi ribuan rintangan untuk masuk SMA Negeri 4 Ibukota, lalu kini dirinya malah harus sekolah ke Amerika.
Seolah Ren He terus mengejar langkahnya untuk menemani, seiring waktu rasa bersalah akan tumbuh di hati Yang Xi. Ia bertanya-tanya, apakah Ren He masih mau terus mengejar seperti ini?
Tapi kenyataannya, baik Su Ruqing, Yang En, bahkan Yang Xi sendiri, semua meremehkan ketekunan Ren He.
Ia mencintai karakter dan kepribadian Yang Xi. Cinta ini telah melampaui sekadar kekaguman pada penampilan luar. Ia mencintai keberanian Yang Xi yang pergi ke barak militer di ketinggian 6000 meter hanya untuk menyatakan dukungannya - keras kepalanya itu persis seperti diri Ren He sendiri.
Ren He tidak hanya ingin memberikan dirinya sebuah cinta yang bergemuruh, tetapi juga ingin memberikan cinta semacam ini kepada Yang Xi.
Perasaan sebagian orang bisa terkikis oleh waktu, tapi Ren He merasa jika mengesampingkan kehidupan sebelumnya, sikap mentalnya sekarang sudah cukup matang dan telah menyaksikan cukup banyak pemandangan. Perasaan yang tersisa di hatinya hanya cukup untuk mencintai satu orang ini dengan kesetiaan mutlak.
Jika bahkan perasaan ini kalah, ia tidak tahu untuk apa dirinya terlahir kembali kali ini.
Beberapa orang, termasuk An Si dan Liu Erbao, tidak memahami sikap mentalnya. Apakah sepadan melakukan semua ini untuk seorang perempuan?
Ren He merasa itu sepadan. Manusia, kebahagiaan adalah yang terpenting.
Pesawat raksasa bergemuruh lepas landas dari landasan pacu. Ren He menatap keluar jendela dengan bengong hingga tak sadar tertidur. Ia bermimpi di benua baru Amerika, dirinya mengenakan Kacu Merah mengobrak-abrik angin dan hujan, berseru lantang: "Aku adalah penerus komunisme!"
Terbangun dari tidur, Ren He berada di antara ingin tertawa dan menangis. Mimpi brengsek macam apa ini?
……
Tepat pada saat ini, Xia Yuting yang mengenakan baju lengan pendek dan celana pendek memasuki rumah Siheyuan milik Ren He di Liu Hai Hutong. Melihat Paman Fang dan Bibi Wang, dia tersenyum menyapa: "Sedang sibuk ya, Paman Fang, Bibi Wang?"
"Wah, si selebritas besar datang! Kami sedang menonton serial TV genre silat yang kamu bintangini ini. Aktingmu bagus sekali!" Bibi Wang matanya berbinar melihat Xia Yuting. Dia benar-benar merasa majikannya ini luar biasa - baru saja ke luar negeri katanya akan lama, teman-temannya pun semuanya sosok-sosok berkelas. Xia Yuting yang ada di depan mata ini sekarang adalah salah satu primadona perfilman paling populer, jadwal syutingnya menumpuk bagai kertas beterbangan.
Ingat dulu dia harus bertaruh nyawa merebut peran, sekarang peran bisa dipilih sesuka hati.
Memang sudah berbeda. Sebuah film "Kunlun" telah mengubah takdirnya.
Faktanya bahkan di kehidupan sebelumnya Ren He pun demikian, karya-karya legendaris Jin Yong telah mempromosikan begitu banyak bintang besar...
Xia Yuting tersenyum: "Ren He di mana? Dia sudah kembali dari Tibet kan?"
Rupanya dia sedang memantau Kesatria. Orang lain mungkin harus mengintai di bandara, tapi dia tidak perlu. Langsung bisa datang ke rumah. Beberapa waktu lalu dia sibuk syuting, baru kembali ke ibukota langsung menyambangi sini. Entah mengapa begitu tiba di rumah, dia merasa harus mampir ke tempat Ren He. Hanya saja langkah kakinya bergerak sendiri ke sini.
Paman Fang terkekeh: "Pemilik sedang sekolah ke luar negeri. Katanya tidak akan kembali dalam waktu dekat."
Ke luar negeri. Xia Yuting membeku di tempat. Matanya menatap pohon kenari yang rimbun di halaman. Bintik-bintik cahaya yang menembus dedaunan dan jatuh di permukaan tanah bagai hujan yang membeku...
Xia Yuting tersenyum tipis: "Tidak apa. Nanti saja kalau dia sudah pulang."
Senyumnya terlihat dipaksakan. Sepertinya takdir mereka memang harus bersimpang jalan.
