Profesor Muda Seperti Puisi meledak, popularitasnya melambung di lingkaran musik hingga tak mungkin lebih panas lagi.
Sebenarnya ini juga terkait kemampuan bermainnya yang matang dan top, serta tingkat komposisi yang seperti mukjizat. Misalnya pianis muda populer lainnya, meski terkenal, namun kemampuan mereka masih perlu banyak penyempurnaan. Senior musik yang mendengar penampilan mereka biasanya memuji "calon ahli di masa depan, punya potensi".
Tapi Ren He berbeda. Para Senior akan diam lama setelah mendengar permainannya, karena tak mengerti bagaimana pemuda 16 tahun ini bisa sejajar dengan mereka.
Meski enggan, mereka harus mengakui: Ini benar-benar jenius sejati.
Tidak, beberapa master sudah memberikan pernyataan diam-diam. Ada yang bertanya pada mereka, apakah Profesor Kecil punya potensi menjadi seorang guru besar?
Jawaban para master umumnya: "Kamu salah."
Salah di mana? Beberapa orang bingung, apakah sebenarnya level Profesor Kecil tidak sehebat itu?
Para master menghela napas menjawab: "Bukan punya potensi, dia sudah adalah seorang guru besar."
Waduh! Jika kata-kata ini tersebar pasti akan meledak! Seorang guru besar di usia 16 tahun? Bercanda ya?!
Hal ini secara terselubung meningkatkan prestise Ren He. Seorang guru besar berusia 16 tahun dengan pengaruh yang terus meningkat, tak ada yang tahu kapan batasnya.
Seperti senior di dunia olahraga ekstrem yang sekarang sama sekali tidak berani menunjukkan ketidakpuasan pada Kesatria di acara resmi - bukan karena pencapaian Ren He saat ini, tapi karena usianya!
Usia ini terlalu mengerikan. Orang Tiongkok sering bilang: "Jangan meremehkan kemiskinan seorang pemuda."
Lalu bagaimana jika sejak muda orang ini sudah tidak miskin? Tidak hanya tajir tapi juga menguasai semua bidang...
Para senior di dunia olahraga ekstrem berpikir, jangan brengsek sembarangan mengganggu Kesatria. Bisa-bisa setelah mendengar kritikan, dia berlatih keras beberapa waktu lalu mengambil gelar kehormatan di bidang yang sedang kamu tekuni sekarang.
Prestise Kesatria di dunia olahraga ekstrem benar-benar tak tertandingi. Karena dialah Raja Lintas Bidang sejati, tak ada satu pun yang bisa merebut begitu banyak gelar 'Sang Juara' seperti dirinya, juga tak ada yang bisa membuat seluruh bidang lain merasa gelisah seperti ini.
Yang paling tegang sekarang adalah pemegang posisi pertama di panjat tebing tanpa peralatan. Mengapa? Karena pertama kali Kesatria memanjat Gunung Everest TANPA ALAT! Ini membuktikan brengsek dia sedang berlatih disini!
Maka komunitas panjat tebing tanpa alat terus berspekulasi: Kapan Kesatria akan datang menantang? Sebenarnya mereka paham, memanjat di ketinggian 8800 meter tanpa alat sama seperti manusia super. Mereka sendiri bahkan tak berani bermain gila-gilaan di ketinggian 6000 meter sekalipun.
Seperti rekor dunia sebelumnya yang dipegang oleh Sang Juara bidang ski downhill, yang juga diselesaikan di ketinggian lebih dari dua ribu meter. Untuk 8800 meter, bahkan tak berani ia bayangkan...
Namun di tengah ramainya diskusi tentang Profesor Muda dan Kesatria, Ren He masih berada di apartemen Yang Xi, mendengarkan latihan kecapinya sambil mengisi formulir pendaftaran masuk Columbia University.
Kini Juilliard School telah berjalan mulus. Materi pengajaran yang harus diberikan sudah jelas di hatinya. Bahkan terkadang ia menyelipkan pelajaran tentang komposisi musik, karena memahami proses penulisan lagu bisa membantu siswa menguasai teknik pengolahan dinamika suara. Semua muridnya telah terbiasa dengan gaya mengajarnya yang liar namun terarah!
Kadang ia memulai dengan topik yang tampak tak berhubungan, tapi selalu berhasil mengaitkannya kembali ke musik dengan cara yang mengejutkan. Rasanya memang sedikit aneh, tapi justru penuh keajaiban!
Saat ini Ren He sebenarnya sudah bisa mengajukan pendaftaran ke Columbia University, namun muncul masalah: persyaratan masuk membutuhkan transkrip nilai SMA dan sejenisnya, padahal Ren He hanya sampai kelas 1 SMA sebelum ke AS. Apakah transkripnya berguna? Tidak berguna...
Tapi ketika ingin menyumbang perpustakaan pun dia bingung harus menghubungi siapa. Akhirnya hanya bisa mengirim email dan menunggu balasan mereka.
Di saat yang sama, Yang Xi yang baru selesai berlatih piano menghampirinya. Matanya terbelalak melihat layar komputer: "Kamu mau mendaftar kuliah di Columbia University?"
"Iya, betul," Ren He mengangguk. "Kurasa lebih baik tetap melanjutkan studi. Terutama untuk memberi penjelasan yang jelas pada orang tua..."
"Aku mendukungmu," kata Yang Xi sambil mengangguk. "Boleh lihat isi surat lamaranmu?"
"Jangan, jangan..." Tapi kepala kecil Yang Xi sudah menyandar melihat isi email. Baru baca kalimat pertama, dia langsung tertawa terbahak-bahak.
Ren He dengan muka hitam: "Sudah kubilang jangan lihat. Berhenti ketawa!"
“Aku nggak kuat,” perut Yang Xi sakit karena tertawa. Kalimat pertama surat permohonan Ren He berbunyi: "Yang terhormat, saya ingin menyumbang perpustakaan!"
Hah, apaan ini? Surat permohonan siapa yang ditulis begini?
Tapi Ren He memang tidak punya pilihan lain. Ia benar-benar tidak kenal tokoh berpengaruh di luar negeri, sama sekali tidak bisa mengandalkan rekomendasi Lao Zhou seperti saat masuk Sizhong dulu.
"Ini namanya ekspresi langsung mengutarakan maksud! Kalau kutulis terlalu panjang dan berbelit-belit, khawatir mereka nggak paham!" Ren He berdalih.
"Oke-oke kamu yang benar. Aku penasaran Columbia University akan membalas seperti apa," kata Yang Xi yang meringkuk di sofa dengan senyum mengembang. Ren He tak sengaja menatap kaki mungilnya yang putih halus dan kurus, lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
Yang Xi menyadari tatapannya. Hatinya berdebar-debar saat menyembunyikan kaki itu di balik bantal sofa: "Hush, preman!"
“Ahem,” Ren He menatap komputer dengan canggung: “Hah, cepat sekali balasannya! Besok pagi wawancara!”
Yang Xi terpana, ini beneran?! Langsung bisa wawancara?!
Sebenarnya Ren He juga sudah mempelajari beberapa hal, faktanya peringkat universitas AS banyak kejanggalan. Singkatnya, meski Columbia University peringkat ke-4, tapi dalam aspek akademik yang serius, kemungkinan besar peringkatnya justru sangat rendah.
Contoh lain, meski Stanford University peringkatnya selalu di belakang Harvard-Yale, tapi reputasinya bahkan kadang melebihi Harvard.
Lebih sederhana lagi, Columbia University tidak seserius yang dibayangkan...
Faktanya seperti apa universitas yang kita kenal di kampung halaman? Kesan umumnya harus ujian untuk masuk, tapi di dalam negeri juga ada sebagian orang yang masuk lewat cara tidak resmi.
Sedangkan di luar negeri situasi seperti ini lebih banyak terjadi, mungkin bisa dipahami sebagai perhatian dunia kapitalis terhadap modal... Ren He hanya menyindir dengan santai, dia memang tidak tahu bagaimana kebiasaan ini terbentuk, belum pernah menyelidiki lebih dalam. Uang yang disumbangkan ke sekolah belum tentu benar-benar digunakan untuk membangun perpustakaan, sekadar nama proyek saja, tentang bagaimana pihak sekolah menggunakan uang itu, Ren He juga tidak bisa ikut campur.
Tapi yang perlu dia ketahui hanyalah: menyumbang perpustakaan bisa menjadi batu loncatan untuk masuk ke Columbia University.
"Aku juga tidak tahu akan diwawancarai tentang apa?" kata Yang Xi dengan cemas. Dia sangat ingin Ren He terus bersekolah, karena pengorbanan putus sekolah Ren He sepenuhnya untuknya. Dia juga sangat mengerti betapa besar kerinduan Ren He terhadap kehidupan kampus, meski tidak tahu mengapa ada kegigihan cinta yang begitu besar pada kehidupan sekolah, tapi dia akan mendukung penuh.
Karena Ren He meninggalkan pendidikannya demi dirinya, Yang Xi merasa sedikit rasa bersalah dan sangat berharap Ren He bisa masuk ke Columbia University dengan lancar.
"Tak peduli apa yang diujikan dalam wawancara. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan menyumbang satu perpustakaan. Kalau tidak cukup, ya sumbangkan dua," kata Ren He sambil tersenyum lebar.
"Si Tukang Pamer," balas Yang Xi sambil membalikkan mata. Meski ini istilah merendahkan, Yang Xi berani mengolok-olok Ren He karena dia paling tahu latar belakang sejatinya: Mana ada "tukang pamer" yang memiliki kemampuan piano dan biola tingkat ahli, apalagi inspirasi menggubah lagu bak dewa?
"Aku tukang pamer dan aku bangga," Ren He sama sekali tidak tersinggung dengan julukan itu, bahkan terlihat agak sombong...
