Ren He keesokan harinya mengenakan setelan jas dan dasi yang pernah dibeli Yang Xi untuknya, lalu bergegas menuju Columbia University untuk wawancara. Ini pertama kalinya dalam hidupnya mengenakan jas formal. Meski akan menyumbangkan perpustakaan, tata krama tetap harus dijaga - Ren He bukanlah anak-anak yang tak mengerti sopan santun.
Ia juga tak akan sengaja mengenakan kaos oblong untuk merendahkan harga diri sebuah universitas profesional. Nyatanya, jika benar-benar membuat marah, menyumbang 10 perpustakaan pun tak akan bisa masuk...
Justru karena itu Ren He masih merasa dirinya orang biasa, dan senang menjadi demikian. Meski memiliki kemampuan untuk melanggar tradisi, sebenarnya ia lebih pragmatis. Urusan yang bisa diselesaikan dengan mudah, mengapa harus diperumit dengan aksi pencari perhatian?
Ren He menemui resepsionis di gedung kompleks: "Permisi, saya ada janji wawancara dengan Tuan Arthur pukul 10 pagi. Nama saya Ren He."
Resepsionis adalah seorang wanita cantik. Setelah memeriksa catatan, dia tersenyum pada Ren He: "Selamat pagi Bapak Ren He, Bapak Arthur sudah menunggu di kantor 219 lantai dua."
"Terima kasih," jawab Ren He sebelum menuju tangga. Meski bukan musim penerimaan biasa, kesempatan wawancara ini membuktikan daya tarik uang.
Banyak kutipan motivasi mengklaim uang tak bisa memberi kebahagiaan, bahkan menjadi beban. Apakah ini kesalahan uang? Tentu tidak.
Kekayaan memberi manusia kebebasan. Apa itu kebebasan? Saat anak orang lain harus mengemis ke sekolah negeri bagus, Anda bisa memilih sekolah swasta lebih baik. Memiliki lebih banyak pilihan - inilah kebebasan sejati.
Orang kaya bisa hidup sederhana seperti makan bubur dan acar. Tapi apakah rakyat miskin bisa menikmati makanan mewah setiap hari seperti mereka?
Ren He tidak merasa makanan mewah seperti abalon atau teripang enak, bahkan sama sekali tidak terbiasa memakannya. Tapi tidak suka makan adalah satu hal, tidak mampu makan adalah hal lain.
Karena itu ketika melihat "sop buntut" yang mengklaim uang itu buruk, harus segera menjauh karena itu sedang menjeratmu.
Manusia seumur hidup bukanlah entitas independen. Cari uang juga bukan untuk diri sendiri. Jika Ren He adalah anak keluarga miskin yang tak bisa mengobati orangtua sakit, barulah itu namanya keputusasaan sejati.
Kini Ren He menikmati kemudahan yang dibawa uang. Kalimat pertama emailnya menyatakan akan menyumbang perpustakaan, sementara paragraf panjang berikutnya berisi fakta-fakta untuk membuktikan kemampuannya.
Sampai di depan kantor 219, Ren He mengetuk pintu: "Permisi, saya Ren He yang janjian wawancara pukul 10 pagi."
"Silakan masuk," suara berat terdengar dari dalam.
Ren He masuk dan melihat seorang pria paruh baya berkulit putih duduk di balik meja kerja lebar, rambutnya agak menipis tapi terlihat cukup bersemangat.
Ren He tersenyum: "Selamat pagi Tn. Arthur, senang bertemu dengan Anda."
Arthur bangkit sambil tersenyum: "Saya juga senang bertemu pendiri Permainan Pembunuhan! Dulu di kampus, semua mahasiswa bermain game ini. Bahkan saya sendiri sering memainkannya saat kumpul keluarga - sangat menyenangkan dan menarik!"
Untuk menghindari komplikasi berlebihan, Ren He langsung mencantumkan identitasnya sebagai pendiri Permainan Pembunuhan dalam email tersebut!
Meskipun jumlah pemain Dota online bersamaan perlahan mendekati angka 2 juta, namun masih jauh dari pasar game _moba_ yang diprediksi mencapai 20 juta seperti di kehidupan sebelumnya.
Tapi Permainan Pembunuhan berbeda. Jumlah pemain online globalnya hanya mencapai 740 ribu, namun pengaruhnya lebih dari itu karena banyak yang memainkan versi offline sendiri!
Di masa sekarang ini wajar jika ada yang belum pernah mendengar Dota, tapi tidak normal jika belum tahu Permainan Pembunuhan. Inilah pengaruh Permainan Pembunuhan!
Ini memang permainan yang belum tentu menghasilkan banyak uang namun memiliki pengaruh lebih besar. Jadi ketika Ren He menyebut dirinya sebagai pendiri Permainan Pembunuhan dalam email, mata Arthur pun berbinar. Faktanya, jika berbagai syarat aplikasi Ren He terpenuhi, gelar pendiri Permainan Pembunuhan saja sudah cukup membuatnya diprioritaskan untuk diterima.
Hanya saja masalah yang dihadapi Ren He sekarang adalah... tidak satu pun kualifikasinya yang memenuhi standar...
Ketika topik beralih ke urusan resmi, Arthur mulai ragu: "Soft power-mu luar biasa, namun..."
Saat itu juga Ren He tersadar di hati - baik di dalam maupun luar negeri, urusan uang tetap pakai formula yang sama. Memberitahu kesulitannya lalu membiarkanmu menyadari sendiri. Ren He segera menambahkan: "Seperti yang saya sampaikan dalam email, saya bersedia menyumbang 1,2 juta dolar AS untuk membangun perpustakaan besar di Columbia University!"
Ini juga hal yang telah Ren He pelajari dengan serius, membangun perpustakaan di kampung halaman sendiri membutuhkan 6 juta RMB, tapi di Amerika harganya berbeda, mencapai 1,2 juta dolar AS, atau setara 9,6 juta RMB...
Bahkan setelah Ren He kehilangan konsep jelas tentang uang, memikirkan jumlah ini tetap membuatnya agak sakit hati!
Ini semua setara fee endorsement selama setahun sebagai Kesatria di bidang tertentu! Semakin dipikir semakin sakit hati, Ren He tiba-tiba bertanya: "Setelah donasi, bisakah aku tidak bayar uang sekolah?"
Arthur memandang dengan keanehan, sudah menyumbang perpustakaan masih kurang segini? Orang macam apa ini...
Jika Ren He mendengar pikiran ini, diperkirakan akan langsung menjawab: Kurang, sangat kurang uang!
Sungguh sakit hati sekali, semua terasa mahal jika dihitung detail. Dia memang bukan orang yang boros...
Arthur berkata dengan keraguan: "Untuk uang sekolah, kamu bisa mengajukan permohonan beasiswa..."
"Baik, berikan aku satu beasiswa," ujar Ren He dengan penuh keyakinan.
Apa maksudnya langsung minta beasiswa?! Arthur merasa seluruh tubuhnya tidak enak, dengan sabar dia menjelaskan pada Ren He: "Contohnya mahasiswa S1 yang mengajukan beasiswa, biasanya perlu GPA 3.3 ke atas, skor TOEFL 100, skor SAT 2200 ke atas. Lebih bagus lagi jika punya pengalaman menang kompetisi tingkat nasional, aktif di komunitas sekolah, punya bakat khusus, atau pengalaman luar biasa yang berbeda dari manusia biasa..."
Oh, ada syarat nilai juga? Ren He tampak kecewa: "Kalau begitu lupakan saja..."
Arthur merasa tidak bisa memahami Ren He, pola pikir melompat-lompat orang ini... benar-benar ekstrem!
Dia menyusun kembali pikirannya: "Kamu ingin mempelajari jurusan apa?"
"Hmm... Bebas saja," Ren He merasa jawabannya terlalu main-main, buru-buru menambahkan: "Seni rupa mungkin!"
Kelas jurusan seni rupa sepertinya lebih bebas. Jika dia sibuk, mungkin bisa menggunakan alasan untuk pergi plenair? Detailnya dia tidak tahu persis, tapi jurusan serius seperti ekonomi atau keuangan juga tidak terlalu dia butuhkan.
Saat Ren He mengatakan "semua boleh", Arthur merasa deg-degan, murid ini kok sepertinya agak tak biasa?! Akhirnya saat Ren He memastikan ingin masuk jurusan seni rupa, barulah hatinya lega: "Tampaknya Tuan Ren He mencintai seni, baiklah kita tentukan seni rupa. Tapi sebelum masuk, Anda perlu menjalani interview seni terlebih dahulu, tidak akan terlalu sulit."
Tidak akan terlalu sulit... Ren He langsung paham, itu hanya formalitas belaka, aku mengerti!
"Kalau waktu interview sudah ditentukan, beri tahu saya ya. Saya siap datang kapan saja!" kata Ren He sambil tersenyum lebar.
Ren He segera mohon diri mengambil dokumen dari Arthur untuk transfer keuangan. Begitu transfer selesai, Arthur langsung menelepon profesor seni rupa: "Ada murid tanpa dasar yang akan kuliah di jurusanmu, wawancarai dia sekadar formalitas."
Suara renta penuh amarah dari seberang telepon bergemuruh: "Sudah berapa kali kukatakan, jangan masukkan murid seperti ini untuk mengotori seni!"
