New York tidak hanya memiliki kemewahan. Di pinggiran kota ini, rumah-rumah rendah mendominasi. Gedung sepuluh lantai di sisi jalan yang memancarkan kilatan senjata itu merupakan titik sniper terbaik yang bisa melihat seluruh area dengan jelas.
Yang En dan yang lain mundur masuk ke sebuah bangunan setelah mendengar suara tembakan sniper. Bahkan di hati Lin Hao, melintas seberkas keputusasaan. Tak satu pun dari mereka menyangka pihak lawan ternyata telah menyiapkan jebakan sniper.
Film selalu menampilkan banyak sniper, tapi dalam kenyataannya, Lin Hao dan Lao Wang sama-sama sangat paham betapa sulitnya membina seorang sniper profesional. Bahkan Lin Hao sendiri tidak memiliki kehormatan itu.
Bukan berarti Lin Hao tidak cukup kuat, hanya spesialisasi pasukan yang berbeda.
Sebelumnya Lin Hao dan yang lain juga telah mengamati medan ini dengan serius, gedung 10 lantai itu berada 410 meter di kejauhan. Jika tidak ada sniper yang muncul, medan ini sama sekali tidak bermasalah bagi evakuasi mereka.
Tapi saat ini, segalanya telah berakhir.
Tak ada yang bisa menerobos di lokasi ini di bawah tekanan sniper. Saat ini mereka hanyalah sekumpulan domba yang siap disembelih.
Di dalam gedung, Lin Hao menatap pasukan tempur yang sedang siaga di luar sambil tertawa getir: "Ini benar-benar menyebalkan, saudara-saudara. Ayo kita merokok dulu. Kita tidak bisa keluar. Mereka benar-benar hebat, sengaja memaksa kita ke sini karena sudah ada sniper di tempat ini."
Wang Ping mengganti magasin barunya sambil tersenyum: "Tapi kita harus balik modal dulu. Lao Yang, maaf, kami tidak bisa melindungimu lagi."
Mereka sangat paham situasi saat ini, tapi semua sudah lama tak mempedulikan hidup dan mati. Rasa putus asa tak berguna sekarang. Daripada ditangkap bersama, lebih baik menukar nyawa.
Keluar sendiri memang mustahil, tapi lawan yang ingin masuk juga harus membayar pengorbanan.
Yang En yang berdiri di balik pelindung mendengar perkataan Wang Ping lalu tersenyum tenang: "Jangan bicara seperti orang asing, berikan aku satu senjata juga."
Pasukan di luar tidak terburu-buru menyerang. Target sudah terkunci di dalam, tinggal menjaring ikan dalam keramba. Mereka menunggu perintah lebih lanjut.
Di medan terbuka ini, selama sniper masih bertahan, mustahil lawan melakukan terobosan lagi.
Seorang pria paruh baya berbaju antipeluru berteriak dari balik bunker: "Berhentilah melawan dengan sia-sia. Angkat kedua tangan dan keluarlah, kami tidak akan melukaimu lagi."
Namun tak ada yang merespons. Berdebat mulut pun tak ada gunanya. Yang bisa dilakukan Lin Hao dan kawan-kawan hanyalah pertarungan hidup-mati.
Melihat tak ada respons, pria paruh baya itu memberi isyarat tangan untuk memerintahkan pasukan menyerang dari sisi kiri. Tapi baru saja pasukan mendekat, rentetan tembakan menyambut. Peluru menghujam rompi antipeluru, sementara leher salah satu anggota pasukan terluka gores. Pria itu segera memberi kode untuk mundur.
Tampaknya pihak lawan berniat melawan sampai akhir. Ia harus mencari cara untuk menangkap mereka dengan pengorbanan minimal, sekaligus berusaha memastikan kehidupan mereka.
Tentu saja, jika sudah sampai pada momen terakhir yang memaksa, cukup pastikan Yang En saja yang tetap hidup.
Namun di saat semua orang hanya memperhatikan area ini, sebuah siluet manusia melesat dari sisi jauh di malam kelam menuju gedung tinggi tempat sniper bersembunyi. Kecepatan siluet itu tak terpercaya, bagai halilintar yang mampu melangkahi hampir seratus meter dalam sekejap.
Orang itu adalah Ren He. Dalam perenangannya, sepertinya satu-satunya cara untuk membalikkan rencana ini adalah dengan merebut posisi sniper tersebut.
Ia berlari sekuat tenaga ke arah gedung itu, bayangannya mengangkat angin kencang, rambutnya tertiup ke belakang. Siapa sangka, dalam badai serangan malam ini, akan muncul pemuda liar yang tiba-tiba keluar dari tempat kosong dan berusaha mengubah segalanya.
Bagi Ren He, segala yang terjadi malam ini bagaikan mimpi bagi dirinya yang biasa, sekaligus seperti permainan catur yang setiap langkah penuh bahaya mematikan.
Namun di balik papan catur besar ini, ada sebuah bidak yang melonjak liar di tempat tak terlihat, tanpa sepengetahuan siapa pun.
Di sisi Yang En, pertarungan dengan kelompok operasi masih berlarut-larut. Gerakan "meriam lima maju ke enam", "kereta dua ke tujuh", hanyalah perlawanan terakhir bagai binatang terpojok.
Situasi pertempuran seolah telah mencapai titik final.
Sesaat sebelum mencapai gedung tinggi, Ren He tiba-tiba melompat ke pinggiran lantai dua, lalu seperti hantu mulai mendaki dinding tanpa alat dengan gila-gilaan.
Dia benar-benar kehilangan kendali. Seperti pada setiap momen olahraga ekstrem, darahnya yang menyimpan kehendak gila mulai menyala tanpa henti.
Bagai api yang membakar hatinya.
Lebih cepat! Harus lebih cepat lagi! Waktu tidak menunggu!
Bagi Ren He, sepuluh lantai gedung tinggi ini tak ubahnya seperti tanah datar. Di domain ini, dialah sang Tuhan.
Tak seorang pun menyangka di malam ini ternyata ada bidak kecil tersembunyi di balik papan catur, hanya dengan tangan dan kaki ia melangkah seperti berjalan di tanah datar menuju titik penyergapan ini.
Sampai! Tanpa keraguan sedikitpun, Ren He melompat dari pinggiran platform tinggi. Saat kakinya mendarat, matanya langsung menangkap seluruh situasi: dua orang - satu berjaga di pintu masuk atap, satunya lagi meringkuk di tepi platform dengan senjata api hitam besar terpasang di tepian setinggi 30 cm.
Detik Ren He mendarat di platform, sang penjaga pintu langsung terguncang. Tak pernah terbayang ada yang memanjat dari samping. Dengan refleks, tangannya sudah mengarahkan laras senjata.
Manusia tak mungkin lebih cepat dari peluru, tapi gerakan tangan bisa dikalahkan. Ramuan air mata!
Langkah samping merambah, siluet Ren He bergeser ke kiri sejauh 2 meter bagai hantu lalu menembak - senjata api itu milik pembunuh bayaran sebelumnya! Dentuman senjata bergema, dua tembakan terdengar menyatu seolah satu, membuktikan kecepatan luar biasa Ren He. Saat lawan mulai mengangkat tangan, Ren He sudah menyelesaikan gerakan menggeser tubuh dan menarik-tembakkan pistolnya!
Ini adalah bukti superioritas poin fisik yang tak terbantahkan!
Baru saat itulah sniper sempat berdiri dari tanah dan menggapai pistolnya. Bunga darah mekar dengan indah di langit malam!
Satu tembakan Ledakkan! kepala. Ini pertempuran pertama Ren He membunuh manusia dengan senjata api, namun gerakannya seolah sudah berpengalaman ribuan kali.
Sniper itu membeku dalam kengerian. Terlalu fokus pada bidikan teleskopnya, ia sama sekali tak menyadari dari mana sosok ini muncul. Dan hanya dengan sekali angkat tangan, rekan se-timnya sudah tersungkur ditembak!
Ramuan Air Mata! 3 kali ramuan air mata hari ini telah habis, sniper dengan mata berkabut samar melepaskan dua tembakan berdasarkan intuisi. Namun ia putus asa, karena tak mendengar suara peluru menembus serat otot - kedua peluru itu seolah telah menyusup ke samudera langit malam.
Saat buah catur gila itu melompat dari balik papan catur, medan pertempuran luas ini berubah dalam sekejap. Gemuruh tembakan lain menggema, sniper roboh ke tanah dengan gemuruh.
Terlalu di luar dugaan. Hingga detik terakhir, sniper tak paham bagaimana seseorang bisa menerobos garis pertahanan rekan setimnya dengan begitu mudah.
Ren He membungkuk di atas platform atap yang diselimuti langit malam, mengangkat senapan sniper dari tanah. Kakinya menginjak tepi platform sementara laras senapan terarah di depan matanya.
Buah catur kecil ini akhirnya melepaskan niat membunuh terbesarnya di antara langit dan bumi yang tak terbendung.
Jenderal!
