Mendengar penolakan Ren He terhadap ajakan makan bersama, sorot mata Xia Yuting menunjukkan seberkas kekecewaan yang sekali geser, tapi berhasil disembunyikan dari yang lain.
Ren He mengusap mulutnya lalu berjalan ke suite-nya. Kini ia lebih suka duduk di kursi santai sebelah perapian, tanpa memikirkan apapun, sekadar bersantai dengan sederhana di sana.
Jika Yang Xi punya waktu luang, mereka bisa mengobrol tentang pengalamannya di Belanda.
Tentu saja, saat ini Yang Xi tidak begitu bebas... karena Gadis Kecanduan Internet ini harus main Dota!
Xia Yuting memandang punggung Ren He sambil tersenyum pada Chen Da: "Guru Chen, tiba-tiba saya juga agak lelah. Bagaimana kalau kita makan bersama lain kali saja?"
“Bagus...” Chen Da baru menyadari bahwa orang yang ingin diundang Xia Yuting makan sebenarnya cuma Ren He seorang...
Konsepsi ini membuat Chen Da agak geli di selangkangan, ternyata dirinya cuma numpang saja. Namun ia tidak akan berkomentar, hanya merasa sedikit tidak nyaman.
Saat Ren He naik lift menuju suite-nya, jarinya baru saja menekan tombol lantai tiga. Ketika pintu lift hampir menutup, seorang pria kulit putih tergesa-gesa menyelip masuk dengan ekspresi panik.
Pakaian pria itu tampak lusuh dengan beberapa sobekan baru, sementara janggutnya terlihat tidak dicukur selama beberapa hari.
Aura yang terpancar dari pria ini mengingatkan Ren He pada... seseorang yang sedang dalam pelarian?
Pengalamannya sendiri saat menjadi buruan di New York dulu pun sama persis - janggut yang sengaja dibiarkan tumbuh dan bekas cukuran yang sudah 3 hari jelas berbeda, biasanya langsung ketahuan sekilas pandang.
Ren He penasaran, karena alasan apa orang ini bisa berubah menjadi seperti ini?
Pria kulit putih itu melirik Ren He, setelah ragu sejenak tiba-tiba bertanya: "Orang Tiongkok?"
Ren He mengangguk, dalam hati sudah bulat tekad: Jika orang kulit putih ini berucap sesuatu yang menghina orang Tiongkok, pasti akan kukantoi sampai berdarah-darah...
Saat studi di Berkeley di kehidupan sebelumnya, dia sudah merasakan bahwa banyak orang kulit putih yang tidak ramah pada orang Tiongkok, atau secara umum pada keturunan Asia. Saat pelajaran jika jumlah murid Tiongkok di kelas sedikit, mungkin akan mengalami pengucilan.
Ini juga salah satu alasan mengapa banyak siswa internasional sulit melebur dalam lingkaran orang asing.
Situasi ini bahkan menyebabkan banyak siswa internasional enggan memilih opsi "keturunan Asia" pada formulir investigasi. Di sana, kekayaan akan dianggap pamer, kemiskinan akan diremehkan - pokoknya apapun yang dilakukan selalu dianggap salah.
Menurut Ren He sendiri: Brengsek dengan segala diskriminasi ini! Apa istimewanya sih orang kulit putih?
Saat itu pria kulit putih di sampingnya di dalam lift tiba-tiba bertanya: "Apakah Tiongkok benar-benar aman? Tidak ada kekacauan perang, tidak ada orang membawa senjata api, tidak ada organisasi luar negeri yang berbuat semaunya?"
Ren He tertegun, pertanyaan yang diajukan lawan bicara ini terasa sangat tidak biasa, apakah hal-hal yang diperhatikan orang biasa akan seperti ini?
Entah bertanya tentang kuliner enak, adat istiadat, atau wanita cantik, mana ada yang langsung menanyakan keberadaan senjata api atau organisasi luar negeri yang berbuat semaunya?
Apa yang ditanyakan, menunjukkan apa yang paling dipedulikan dalam hati, sehingga memantulkan kondisi penyeberangan mereka sekarang yang sangat mungkin sedang dikejar-kejar kelompok bersenjata?
Maka ini pun bisa menjelaskan sumber petunjuk yang ada pada diri orang ini.
“Tiongkok sangat aman, selain kasus langka di beberapa daerah yang masih berantakan, banyak wilayah lainnya bahkan kasus kriminalnya sangat minim. Oh, ini dibandingkan dengan negara lain. Selain itu, Tiongkok memberlakukan larangan senjata api. Di kota, jika ada dentuman senjata, polisi akan datang dalam 10 menit. Dan organisasi luar negeri bukankah selalu tak berani berbuat semena-mena di Rusia dan Tiongkok?” Ren He mengangkat bahu.
Setelah peringkat tingkat kejahatan dunia tahun ini dirilis, negara mana yang lebih aman langsung terlihat jelas.
AS menempati peringkat ke-8 dalam daftar negara dengan tingkat kejahatan tertinggi, sementara banyak negara ternama Eropa berduyun-duyun masuk 10 besar. Swedia yang banyak didamba-dambakan ternyata menempati posisi pertama.
Sedangkan Tiongkok berada di peringkat ke-7 dalam daftar negara dengan tingkat kejahatan terendah.
Ekspresi pria kulit putih itu memancarkan kerinduan setelah mendengar penjelasan Ren He: “Benar-benar kerajaan yang mengesankan. Jika ada kesempatan, aku benar-benar ingin hidup di sana.”
“Apa kau sedang dalam masalah?” tanya Ren He seolah santai namun penuh maksud.
Namun begitu topik ini disebut, pria kulit putih itu langsung diam. Ia hanya tersenyum kaku secara sopan ke arah Ren He lalu berhenti bicara.
Saat itu lift tiba di lantai tiga. Tanpa diduga, pria itu malah keluar lift bersama Ren He, bergegas lari ke samping sebuah suite hotel, membuka pintu dan masuk.
Ren He tertegun - ternyata tetangga satu lantai! Pantas saja tidak menekan tombol lantai lain di lift, tadinya Ren He mengira pria itu terlalu grogi sampai lupa.
Dari kemampuannya menyewa suite mewah, jelas ini bukan orang miskin. Sebenarnya kejadian apa yang dilakukan orang ini sampai harus kabur ke Tiongkok untuk mengungsi?
Ren He sama sekali tidak berniat membantu pelariannya ke Tiongkok. Wong tidak kenal siapa-siapa, ngapain ikut campur urusan orang?
Kalau ada orang seperti Steve yang bisa menjadi mitra sinergis, tentu akan dibantu. Lagipula mereka sudah berteman, dan kontribusi Steve memang sangat besar.
Tapi orang yang ada di depan mata ini, Ren He sama sekali tidak berniat mencampuri.
Ren He duduk di kursi malas depan perapian, karena agak panas ia sengaja memindahkan kursinya sedikit lebih jauh dari perapian. Ia memang menikmati suasana hening ini.
Faktanya, yang paling dibutuhkan banyak pria bukanlah bercengkerama dengan pasangan, juga bukan minum arak dengan saudara-saudara sampai subuh, melainkan ruang pribadi yang sunyi sepi.
Setidaknya begitulah yang dipikirkan Ren He. Kekhawatiran terbesarnya selalu kehilangan kesenangan dan tujuan hidup karena orang lain, makanya Yang Xi yang berkarakter independen paling sesuai dengan kebutuhan psikologisnya. Tentu juga karena cintanya yang mendalam pada Yang Xi, kalau tidak meski dibutuhkan juga tak mungkin.
Ia mengirim SMS ke Yang Xi yang tak dibalas. Sekilas tahu pasti sedang bertarung di Dota...
Ren He juga tak mempermasalahkan, malah mulai merenungkan detail perjalanannya ke Belanda, memeriksa apakah ada kelalaian.
Saat membuka suite ini, ia menggunakan dokumen palsu yang disiapkan Steve. Hal ini bahkan tidak diketahui oleh Chen Da dan yang lainnya, dan memang tidak perlu diketahui.
Ren He awalnya hanya khawatir tentang detail yang mungkin menyebabkan dirinya terekspos lebih awal. Jika hal itu terjadi, situasi akan langsung berubah menjadi dirinya yang terekspos sementara lawan bersembunyi dalam bayang-bayang.
Untuk urusan imigrasi, ia menggunakan dokumen asli. Tapi ini tidak perlu dikhawatirkan, lagipula bahkan CIA pun tidak bisa berbuat semaunya di wilayah Belanda.
Kali ini kedua pihak berada di wilayah asing, pasti akan terjadi hal-hal menarik.
Ren He merenungkan apakah akan menggunakan waktu luang ini untuk meningkatkan teknik penyelidikannya ke tingkat ahli Larangan. Dengan begitu, ia akan memiliki jaminan ekstra. Seharusnya Sistem Hukuman Langit tidak akan membuat masalah tak terduga di momen kritis seperti ini?
Hmm, brengsek, hal ini benar-benar sulit dipastikan!
