"Ting Shen Bu Zhi Chu" - sebuah frasa yang menggambarkan pekarangan luas nan anggun. Pekarangan keluarga Yang memang tidak sebesar itu, juga tidak semewah yang dibayangkan.
Di bagian belakang, Ren He melihat area yang seharusnya menjadi halaman rumput - separuhnya masih rumput, separuh lagi telah berubah menjadi kebun sayur.
Menurut Yang Cheng, sepupu Yang Xi, satu-satunya harta karun di hati Kakek di seluruh pekarangan adalah kebun sayur ini. Junior keluarga yang sukses bisa sesekali memetik tomat dari sini, sedangkan yang tidak berkualitas takkan pernah mendapat kesempatan.
Ekspresi puas diri Yang Cheng menunjukkan bahwa dia sering menikmati keistimewaan ini.
Anak-anak manja Keluarga Yang ternyata tak sesuai imajinasi. Mereka lebih rendah hati, berkesan seperti akademisi, berbeda dengan anak-anak kaya semena-mena di kota Sijiu.
Tapi Ren He tahu: kedua sepupu murahan ini, jika melangkah keluar pintu, takkan ada yang berani meremehkan mereka.
Keduanya berkuliah di Renda - satu jurusan politik, satu hukum. Tanpa perlu berpikir pun, ambisi mereka untuk masa depan sudah jelas.
Ren He menatap tomat-tomat yang mekar dengan indah di kebun, ingin sekali memetik dan menggigitnya. Tapi ia urungkan. Sebagai tamu baru, tak pantas melakukan hal yang mengganggu.
“Mau makan silakan,” suara renta namun bergaung terdengar sambil tertawa mengarah ke Ren He.
Ren He mengangkat kepala, tepat melihat seorang kakek beraura karismatik sedang memegang teko tanah ungu di ambang pintu utama yang menatapnya, keramahan dalam sorot matanya terasa jelas oleh Ren He.
Yang Cheng dan Yang Ling terkejut, Apakah ini pengakuan? Mereka tahu betul arti kebun ini. Pekarangan Keluarga Yang yang letaknya tak jauh dari Villa Shuangqing Sang Proklamator itu memang tak berlapis pengaman rumit. Tapi justru di lingkaran selevel mereka, pekarangan Yang sering disebut yang paling mudah dimasuki.
Tapi kalau urusan mencicipi hasil kebunnya, lain cerita. Baru boleh makan kalau sudah diakui.
Sepanjang hidup Kakek Yang, mungkin kebiasaan aneh berkebun inilah satu-satunya yang dianggap tak biasa. Selain itu semua normal, tak beda dengan kakek-kakek biasa.
"Tapi Kakek Yang yang pernah dilihat Ren He hanya di TV. Di layar, kakek itu berwajah penuh kewibawaan mengenakan jas yang pas duduk di barisan paling depan, sama sekali tidak terlihat seperti orang tua biasa."
Ren He juga tidak terlalu dibuat-dibuat. Dengan santai ia memetik dua buah tomat, mengusapnya pakai baju lalu memakan satu dan menyodorkan satu lagi ke Yang Xi.
Kakek Yang memperhatikan Ren He yang nekat memetik dua buah sekaligus lalu membaginya dengan Yang Xi. Sorot matanya tiba-tiba dipenuhi keriangan. Yang Xi pun tanpa rasa canggung menggigit tomat sambil melangkah mendekati sang kakek.
"Kakek, ini kenari yang dibawa Ren He untukmu," kata Yang Cheng sambil mengangkat karung berisi kenari. "Akan kutaruh di dalam rumah ya."
"Sudah lama dengar pekaranganmu punya pohon kenari besar. Hari ini akhirnya bisa mencicipi. Tahun depan kirimkan sedikit ke sini, akan kutebus dengan tomat dan mentimunku," ujar sang kakek tersenyum, sama sekali tak terlihat aura wibawanya.
Ren He berpikir dalam hati, apakah maksud pihak lawan ini memberi isyarat samar untuk melakukan transaksi dengannya? Menukar kepemilikan saham Kelompok Qinghe dengan barang bernilai setara?
Ia belum pernah terlibat dalam politik, juga tidak suka berbicara berbelit-belit. Di kehidupan sebelumnya pun ia cuma pemuda 26 tahun, sehingga setiap perkataan sang kakek membuatnya terus menganalisis, takut salah menangkap makna.
Di kehidupan lalu, ia sering mendengar Lao Ren berkata: "Dunia politik bukan tempat sembarang orang bisa masuk. Anak-anak muda yang baru jadi wakil kepala seksi saja sudah berani bilang masuk politik."
Kalau mau ketat, baru tingkat kabupaten bisa dibilang tepian dunia politik. Baru setelah mencapai tingkat provinsi, seseorang pantas mengaku punya sedikit kecerdasan dasar politik.
Ren He merasa hal ini benar-benar misterius, seolah skill ini mustahil dikuasai tanpa berada di posisi tersebut. Tapi ini memang bukan keunggulannya, sama sekali tak bisa dipahaminya, akhirnya dibatalkan saja.
Baginya sudah ada jalur keluar sendiri. Bukankah hidup seseorang bisa dijalani dengan berbagai cara?
Langsung tak pikir panjang, Ren He tersenyum lebar ke arah Kakek Yang sambil berkata: "Deal!"
Yang dinegosiasikan ini adalah kenari ditukar dengan tomat plus mentimun. Soal urusan Kelompok Qinghe, nanti lihat dulu apa yang akan mereka tawarkan. Meski cuma otaku kecil, tapi toh tawar-menawar simbolis tetap perlu dilakukan, kan?
Sebenarnya pilihan membawa sekantung kenari hari ini punya makna tersendiri. Memberikan giok, batu segel mewah, atau kaligrafi - Ren He memang tak kekurangan uang, tapi memberi hadiah semacam itu justru terasa tidak seperti keluarga.
Sudah lama ia bertekad hanya akan menikahi Yang Xi. Begitu masuk pintu, berarti sudah jadi keluarga. Keluarga punya cara sendiri dalam menyelesaikan urusan, bukan seperti orang luar.
Kalau bisa memeluk 'kaki besar' ini, kenapa tidak? Tak perlu pura-pura sok suci ngotot bilang tidak butuh keluarga Yang. Ngapain juga? Kelompok Qinghe di masa depan pasti akan jadi konsorsium triliunan. Ke mana pun pergi, ia tak takut dibilang numpang pangkat. Yang Xi pun takkan berpikir begitu.
Faktanya di mata Yang Xi, dia merasa diri saat ini adalah calon pengantin anak keluarga Ren, selain Ren He tidak mempertimbangkan orang lain, hidup seperti ini seumur hidup sudah lumayan.
Asalkan Ren He tidak berselingkuh, Yang Xi yakin ini benar-benar akan menjadi ikatan seumur hidup.
Sesekali membayangkan pemuda ini menemani dirinya dari usia 16 hingga 60 bahkan 80 tahun, itu termasuk hal yang sangat romantis, masih ada puluhan tahun bisa main Dota bersama, Gadis Kecanduan Internet ini menganggapnya sebagai kebahagiaan...
Saat makan malam tiba, seluruh anggota keluarga berjalan ke ruang makan, mengelilingi meja besar yang penuh sesak.
Ren He menyadari keluarga Yang tidak memiliki aturan menyebalkan seperti perempuan tidak boleh makan di meja, ini hal yang bagus.
Yang sedikit lebih matang berbincang dengan Ren He tentang perkembangan masa depan Kelompok Qinghe, serta pandangan Ren He mengenai internet masa depan. Ren He pun tak pelit berbagi pemikirannya di depan semua orang: "Perkembangan internet sudah pasti akan terjadi, bahkan mungkin muncul situasi yang menghantam ekonomi riil. Tapi menurutku ini semua hanyalah denyutan sakit dalam proses transisi. Semakin cepat internet berkembang, semakin banyak orang yang bisa menangkap kembali peluang menjadi kaya."
Sang kakek tersenyum memotong: "Yang diminta adalah perkembangan bisnismu sendiri, bukan perkembangan masyarakat. Jangan bicara hal yang tak penting! Sebenarnya aku cukup penasaran dengan internet. Beberapa hari lalu cucu perempuan di Inggrisku memaksaku menggunakan perangkat lunak Qinghe-mu untuk mengobrol dengannya. Katanya seluruh Tiongkok menggunakannya, bahkan para pelajar luar negeri. Menurutku ini cukup menarik."
"Prinsip inti Qinghe adalah mengubah kehidupan masyarakat. Berbincang menjadi lebih sederhana, lingkaran pertemanan lebih jelas, bersosialisasi semakin mudah. Banyak perubahan dalam hidup: tak perlu bawa uang tunai saat keluar, satu ponsel bisa menyelesaikan semua urusan. Bahkan makan tak perlu keluar rumah, beli baju pun bisa dari rumah... Tugas kami adalah menyediakan cara diam-diam bagi para pemalas untuk tetap bisa hidup nyaman..." Ren He mengembalikan topik ke Kelompok Qinghe sendiri. Inilah misi yang akan dijalankan Qinghe. Selama Kelompok Qinghe tetap meneguhkan konsep untuk mempermudah hidup masyarakat, tak ada alasan bagi mereka untuk gagal bertahan.
