Dalam makan malam ini, baik Yang En maupun Su Ruqing tidak hadir. Menurut penjelasan Yang Xi, Yang En masih berada di AS sedangkan Su Ruqing sedang berbisnis di Shanghai sehingga tidak bisa kembali.
Ren He juga tidak terlalu memikirkannya. Sikap diam-diam setuju dari ibu mertua sudah merupakan pencapaian besar. Masak ia mau sok jagoan di depan keluarga mereka? Jika benar ia masih pemuda 17 tahun, mungkin karena hati pemberontak akan melawan Su Ruqing. Sayang sekali, bukan itu kenyataannya.
Semakin dewasa, Ren He semakin memahami bahwa cinta dan pernikahan tidak perlu disucikan secara berlebihan. Yang perlu dilakukannya hanyalah bahagia bersama Yang Xi, lalu memberikan usaha maksimal yang bisa ia berikan.
Orang cerdas harus bisa memisahkan prioritas dan urutan. Saat memasak, di satu sisi ada panci sup yang hampir tumpah, di sisi lain keran air yang tidak ditutup rapat. Manusia biasa pasti akan memprioritaskan panci sup. Keran yang terbuka hanya membuang sedikit air, kecuali jika itu adalah environmentalis ekstrem...
Bagi Ren He, cara Su Ruqing memperlakukannya bukanlah hal terpenting. Yang utama adalah bagaimana Yang Xi memperlakukannya. Ini logika paling sederhana yang sangat jelas di hatinya.
Setelah makan malam, beberapa paman dan paman dari pihak Yang Xi mulai minum teh dan mengobrol. Mereka membahas pekerjaan terkini para maestro, langsung mencari bantuan dari yang lain. Ini bukan hal yang pantas didengar Ren He, dan ia pun tidak terlalu tertarik dengan urusan semacam ini.
Kakek Yang menatapnya sambil tersenyum: “Temani kakek jalan-jalan keluar?”
Awalnya Ren He membayangkan, jika Kakek Yang ingin berbicara empat mata dengannya, mungkin mereka akan menuju ke ruang baca legendaris yang dilarang bagi orang luar? Bukankah di film selalu digambarkan seperti itu, para maestro pasti punya ruang studi misterius...
Namun kenyataannya tidak. Kakek Yang langsung mengajak Ren He ke pinggir kebun sayur. Sang kakek berkata dengan ramah: “Hari ini kau membawakan kenari, itu sudah membuatku senang. Tahun depan jika berkunjung, jangan lupa bawa kesemek.”
“Siap!” Sebenarnya sebelum berangkat, Ren He sempat berpikir untuk membawa kesemek. Tapi karena sekarang akhir Oktober, buah itu sudah terlalu matang dan dikhawatirkan akan busuk di perjalanan, akhirnya tidak dibawa. Tak disangka sang kakek masih mengingatnya. Setidaknya kini jelas, segala isi pekarangannya dipantau dengan cermat oleh sang kakek.
“Jangan berpikir macam-macam, kami tidak menyelidiki apa yang ada di pekaranganmu. Karena dulu pekarangan itu ditempati seorang kawan, kemudian dia bunuh diri setelah tidak tahan menderita di kandang sapi. Entah bagaimana tanah itu jatuh ke tangan pengembang properti, jadi murah buatmu,” sang kakek tersenyum. “Dulu kami sering aktif memetik hasil kebun di pekarangannya. Semua orang tahu itu bekas Kediaman Beile dari Dinasti Qing sebelumnya, banyak barang berharga di sana.”
Ren He tertegun, ia benar-benar tak menyangka rumah Siheyuan-nya punya hubungan kekerabatan seperti ini. Ternyata Cui Qiang ini juga luar biasa, bisa mengubah sampah menjadi harta dari properti dengan status kepemilikan tidak jelas seperti ini.
Perlu diketahui, rumah Siheyuan di ibukota bukanlah jumlahnya sedikit. Banyak properti yang status kepemilikannya semakin dikaji semakin gelap, sama sekali tidak bisa dijual.
Bagi para pengembang properti, rumah Siheyuan semacam itu bagai ubi panas yang menjadi beban. Siapa yang bodoh menerimanya, pasti akan kena sial.
“Kamu baik sekali pada Xiao Xi, aku bisa melihatnya,” kakek menatap kebun sayurnya berkata: “Jangan berpikir keluarga kami ini sangat megah. Mengundangmu makan hanya agar kau tak ada keraguan. Di sini bukan kompleks perumahan mewah, juga tak ada intrik. Kalian anak muda menganut cinta bebas, jangan sampai takut dengan hal-hal ini.”
Perkataan ini sebenarnya sepenuhnya dipahami Ren He. Di kehidupan sebelumnya sebelum transmigrasi, ketika pemimpin negara menikahi Ibu Negara, bukankah sang Ibu Negara langsung berkata: "Kompleks keluarga besar, tak sanggup kami jangkau."
Ada yang ingin terbang ke dahan menjadi phoenix, ada juga yang merasa hidup sederhana pun cukup. Ini adalah pilihan setiap orang terhadap nilai kehidupan, semua berhak atas kekuasaan ini.
Tapi sang kakek terlalu khawatir. Ren He sama sekali tak pernah memikirkan hal-hal semacam ini. Sebelum mencintai Yang Xi ia tak tahu, setelah mencintai Yang Xi ia pun tak peduli.
“Ceritakan padaku kisahmu di New York, bagaimana akhirnya kau bisa melarikan diri?” Sang kakek berkata sambil memandang Ren He dengan sorot mata tajam bercahaya: “Dulu saat kami masih di kesatuan militer, AS sudah sangat sulit dihadapi. Beberapa pertempuran harus dibayar dengan nyawa manusia. Meski menang, banyak yang masih menyimpan ambisi tersembunyi. Ternyata kau berhasil melakukan hal besar ini,” sang kakek tersenyum: “Coba ceritakan detailnya. Dulu aku selalu ingin menjadi penembak jitu legendaris di kompi, tapi ternyata bakatku bukan di situ. Aku tidak akan tanya di mana kau berlatih menembak, cukup ceritakan saja padaku.”
Tidak ada percakapan berbelit-belit, tidak ada bahasa politik yang rumit. Sosok besar di depan mata ini hanya ingin Ren He menceritakan kronologi pertempurannya di New York, seolah hanya ingin mendengar kisah pertarungan "penembak jitu legendaris" untuk memuaskan rasa ingin tahunya, tidak lebih dari itu.
，1981，，，……，。
Sekarang Ren He baru bisa dibilang benar-benar percaya sebagian, namun secara spesifik bagaimana masih perlu dilihat lagi. Ia mulai bercerita dari saat kembali ke medan perang, memanjat tebing tanpa peralatan ke lantai 10 untuk merebut senapan runduk, kemudian Houzi menjemputnya. Untuk mengawal Yang Xi mundur, ia memilih bertahan di AS.
Pertempuran besar itu Ren He gambarkan dengan kenangan presisinya, segalanya seolah terwujud di depan mata sang kakek. Saat mendengar Ren He melompati selisih ketinggian 6 meter antar gedung, tangan sang kakek mengepal erat.
Ren He menceritakan pengalamannya bergerilya di selokan bawah tanah melawan Badan Keamanan Nasional. Sang kakek terharu: "Dulu kami terpaksa bersembunyi di rumah warga untuk menghindari penyisiran tentara Jepang. Kami menggali terowongan di gudang bawah tanah mereka, tapi tak sehebat kisahmu. Sebenarnya kami cuma bersembunyi, sama sekali tak berani keluar untuk menembak. Kalau sampai terendus, tentara Jepang yang lihai itu benar-benar bisa membongkar seluruh desa hingga ke dasarnya. Itu akan membebani rekan seperjuangan lain!"
Setelah lama menahan diri, Ren He akhirnya menyentil topik sensitif: "Tidakkah Anda ingin membahas masalah kepemilikan saham Qinghe denganku?"
Si serigala tua itu sengaja menghindari agenda inti, namun justru Ren He-lah yang akhirnya mengungkitnya terlebih dahulu.
Kakek Yang tersenyum meliriknya: "Tenangkan hatimu, tak bermaksud membahas ini. Keluarga besar Yang merebut harta menantu, apa jadinya jika tersiar? Brengsek? Tenang, selain keluarga Yang tak akan merebut, setelah kau melewati pintu ini hari ini, takkan ada yang berani lagi."
……
