Seberat apapun keluhannya, hidup harus terus berjalan. Fang Ping hanya bisa menerima semua ini secara pasif.
Setelah mengobrol sebentar, wali kelas yang rambutnya sudah memutih berjalan masuk ke kelas.
“Setelah kelas tenang, Pak Ban langsung membahas inti: "Siswa yang mendaftar ujian ilmu bela diri, silakan ke kantor saya untuk pembayaran, pendaftaran, dan mengisi formulir. Bagian administrasi sekolah akan mengurus pendaftaran kalian nanti.”
Saat mengatakan ini, wali kelas terutama melihat ke arah siswa yang akan mendaftar.
Sebenarnya, ujian ilmu bela diri bukan tanpa indikasi.
Sebagai wali kelas, Pak Ban sudah memperkirakan siswa mana yang akan mendaftar.
Nilai harus unggul, fisik prima, latar belakang ekonomi memadai—setelah beberapa tahap seleksi, siswa kelas 12-4 yang akan mendaftar sudah bisa ditebak.
Yangcheng terletak di pedalaman. Meski disebut kota, status sebenarnya adalah kota setingkat kabupaten.
Dibanding kabupaten lain, ekonomi Yangcheng sedikit lebih baik, tapi tidak signifikan. Berbeda dengan kota kabupaten di pesisir yang bahkan lebih maju dari kota setingkat prefektur di pedalaman.
Di Yangcheng, tak banyak orang yang menganggap remeh 10.000 yuan.
Biaya pendaftaran saja sudah menyaring banyak calon.
Setelah pengumuman ini, wali kelas meninggalkan ruangan.
Para siswa yang akan mendaftar mulai beranjak menuju kantor.
Yang Jian di depan barisan Fang Ping pun berdiri.
Di meja sebelah, Zhang Hao—sisiwa yang kemarin mengabarkan Koko Xiao Ma mencapai level 8—juga bangkit.
Saat mereka hendak melangkah, Fang Ping dengan santai berdiri.
Chen Fan, teman sebangkunya, bingung: "Ke toilet?”
"Daftar ujian.”
“……”
Chen Fan tertegun: "Fang Ping mau mendaftar?”
“Tidak hanya Chen Fan, Yang Jian juga tak tahan menoleh ke Fang Ping, terkejut bertanya, ‘Fang Ping, kau juga mendaftar?’
Pria ini, meski ucapannya tidak bermaksud jahat, jelas terkejut dengan pernyataan Fang Ping, suaranya pun cukup keras.
Begitu kata-kata itu keluar, banyak siswa menoleh ke arah mereka.
Setelah beberapa tahun sekelas, mereka cukup paham situasi teman-teman sekelasnya.
Bukan berarti Fang Ping tak boleh mendaftar, tapi fisik Fang Ping yang kecil itu...
Sebenarnya Fang Ping masih lebih berotot dibanding Chen Fan, tapi jika dibandingkan dengan Yang Jian di depannya, jauh berbeda.
Untuk ujian teori dan profesional mungkin masih bisa diatasi, tapi bagaimana dengan tes kesehatan dan ujian praktik? Mampukah Fang Ping melewatinya?
Begitu Yang Jian selesai mengungkapkan keterkejutannya, Zhang Hao di sampingnya berkomentar, ‘Fang Ping, kau licik! Biasanya tidak pernah ikut latihan bersama setelah pulang sekolah, diam-diam berlatih di rumah ya? Dasar kau licik!’
Meski kata-kata Zhang Hao berlebihan, nadanya tidak mengandung sindiran. Dia hanya merasa Fang Ping menyembunyikan kemampuan. Tanpa keyakinan, dengan kondisi ekonomi Fang Ping, mana mungkin berani membuang-buang uang pendaftaran sepuluh ribu yuan?
Fang Ping tidak tersinggung, tertawa sambil berkata, ‘Jangan berpikir macam-macam. Aku punya bakat alami, perlu apa latihan tambahan?
Aku sudah putuskan, bukankah ini cuma sepuluh ribu yuan?
Kalau tidak dicoba, mana tahu bisa lulus. Mungkin tahun ini kuota penerimaan ditambah, kan jadi keuntungan besar bagiku.’
‘Ha ha ha, kau terlalu berkhayal!’
Zhang Hao tertawa terbahak-bahak, tapi ucapan Fang Ping membuat siswa lain yang awalnya tidak berminat mendaftar mulai tertarik.
Perkataan Fang Ping sebenarnya masuk akal juga.
Siapa yang tahu apakah tahun ini kuota penerimaan akan ditambah?”
Beberapa tahun sebelumnya, SMA 1 hanya menghasilkan 2-3 lulusan jurusan ilmu bela diri setiap tahunnya. Tapi tahun lalu, ada 5 orang yang berhasil.
Tahun ini, mungkin akan lebih banyak lagi?
Meski begitu, karena tidak mendaftar pasti ada alasannya. Perkataan Fang Ping hanya menimbulkan riak kecil, tidak mengubah keputusan orang lain.
Sorot mata Chen Fan, teman sebangkunya, terlihat kompleks. Meski sekadar mendaftar bukan berarti diterima.
Keluarga Fang Ping bahkan lebih miskin darinya. Jika Fang Ping berani mencoba, sementara dia sama sekali tidak punya niat, kontras ini membuatnya terlihat pengecut.
Tangannya mencengkeram pulpen lebih kencang. Pada akhirnya, Chen Fan tetap tidak mengubah keputusannya.
Sekalipun mendaftar, harapannya untuk lolos lebih tipis dibanding Fang Ping.
Daripada membuang waktu di sini, lebih baik fokus pada jurusan sastra.
……
Fang Ping tentu tidak memedulikan pikiran teman sekelasnya yang lain.
Bersama beberapa siswa yang akan mendaftar, mereka meninggalkan kelas menuju kantor wali kelas di lantai atas.
Di kelas 12-4, tidak banyak siswa yang mendaftar.
Peluangnya terlalu kecil. Siswa yang jelas tidak memenuhi syarat pasti tidak akan mendaftar.
Akhirnya, hanya 8 orang yang keluar dari kelas bersama.
Ini pun sudah termasuk proporsi tinggi di kelas reguler beberapa tahun terakhir. Jika bukan karena contoh dua lulusan kelas reguler tahun lalu, kelas reguler biasanya hanya 4-5 orang.
Di beberapa SMA biasa, jumlah pendaftar seluruh sekolah bisa dihitung jari.
Fang Ping melirik sekilas ke siswa-siswa yang ikut. Ternyata, mereka semua adalah murid-murid terbaik di kelas.
Bukan hanya nilai akademik yang unggul, yang krusial adalah kondisi tubuh yang baik, semuanya memiliki postur proporsional.
Bahkan Yang Jian yang berjanggut ini, meski nilainya mungkin tidak terlalu istimewa, tapi tidak terlalu buruk juga, kalau tidak dia tidak akan mendaftar.
Di antara mereka ada dua siswi, meski penampilannya tidak terlalu menakjubkan, tapi bentuk tubuhnya terlihat cukup bagus.
Dibandingkan dengan teman sekelas yang masih seperti tauge belum berkembang, kedua siswi ini demi persiapan ujian militer makan dengan baik dan rajin berolahraga, memiliki lekuk tubuh yang indah. Yang Jian dan Zhang Hao di sebelah Fang Ping terus menerus melirik ke arah mereka.
Kecuali Fang Ping, sebenarnya yang lain sudah saling mengenal.
Mempersiapkan ujian militer bukanlah hal instan, di malam hari mereka sering berolahraga bersama, beberapa bahkan mengikuti kursus persiapan di luar sekolah.
Fang Ping bisa dibilang muncul secara tiba-tiba.
Saat ini mereka justru lebih tertarik pada Fang Ping daripada yang lain.
Salah satu siswi yang sering dilirik Yang Jian, sesekali melirik Fang Ping, akhirnya bertanya setelah berjalan beberapa saat: "Fang Ping, berapa energi vitalmu?"
"Aduh?"
Fang Ping bingung harus menjawab apa, haruskah dia mengatakan energinya 1.1?
Masalahnya, dia tidak tahu bagaimana cara pengukuran di dunia nyata, satuan apa yang digunakan.
Untungnya, sebelum Fang Ping menjawab, Yang Jian menyela dengan tertawa: "Zhang Nan, kurasa Fang Ping sama sekali belum periksa. Dia pasti sudah pamer kalau pernah diukur."
Zhang Hao menambahkan: "Mungkin memang belum diperiksa, tapi lihat tubuh kurusnya ini, pasti tidak setinggi aku."
“Potong, jangan ngomong kosong terus.”
Zhang Nan hanya bertanya, karena Fang Ping tidak menjelaskan, entah tidak memeriksa atau tidak mau bicara, dia malas mengejar lebih lanjut.
Menyindir Zhang Hao, Zhang Nan sambil berjalan menggelengkan kepala, "Kelas kita mungkin lagi-lagi cuma jadi pendamping Putra Mahkota."
"Kemarin saya periksa lagi, puncak fluktuasi energi darah saya cuma 108 kal."
"Sebelum pemeriksaan fisik, cuma bisa coba makan obat penguat lagi, siapa tahu bisa naik."
Setelah Zhang Nan selesai, Yang Jian tersenyum lebar, "Saya sedikit lebih baik, terakhir cek puncak saya 112 kal."
"Kal" jelas merupakan satuan pengukuran energi darah, semakin tinggi semakin baik.
Fang Ping belum pernah diperiksa, tak takut ketahuan, bertanya, "Siapa energi darah tertinggi di kelas kita?"
Pemuda berwajah cerah yang berjalan di depan, menoleh sambil tersenyum, "Berdasarkan hasil terakhir, seharusnya saya yang tertinggi, puncak 115 kal."
Orang ini sebenarnya dikenalnya, meski dunia berubah, orangnya tetap sama.
Yang berbicara adalah siswa dengan nilai akademik terbaik, meski sekarang Fang Ping tak yakin.
Tapi dia bukan ketua kelas, faktanya tak ada siswa aktifis di sini karena semua tak punya waktu untuk melayani orang lain.
Setelah mengingat-ingat, nama orang itu seharusnya Wu Zhihao.
Wu Zhihao berkata sambil menggelengkan kepala, "Meskipun energi vitalku cukup baik, tapi beberapa anak kelas unggulan itu lebih hebat. Zhou Bin yang tertinggi, dengar-dengar dari teman kelasnya, nilai puncaknya sudah lebih dari 120 kalori. Kalau soal siswa lain di sekolah kita mungkin belum pasti, tapi kemungkinan Zhou Bin lulus hampir 99%, asalkan tidak ada hambatan di tengah jalan."
"Haha, Zhihao, bagaimana kalau kau menyuruh orang mematahkan kakinya? Jadi kita bisa mengurangi pesaing," canda Zhang Hao sambil tertawa.
Wu Zhihao memutar mata putihnya dan berkata kesal, "Ini bukan seleksi sekolah kita. Sekalipun Zhou Bin gagal, hubungannya dengan kita tidak signifikan. Kalau tidak, aku mungkin benar-benar mempertimbangkan idemu itu."
Zhang Hao terkekeh dan berkata santai, "Tapi tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu bisa lulus."
"Tahun lalu standar penerimaan Universitas Bela Diri Nanjiang hanya 112 kalori energi vital."
"Tahun ini meski lebih tinggi, peningkatannya terbatas. Menurutku peluangmu cukup besar..."
Wu Zhihao kembali menggeleng, "Riskan. Beberapa tahun terakhir standar terus naik. Tahun ini minimal harus 115 kalori ke atas."
"Lagipula, hanya mencapai standar energi vital tidak cukup. Bagaimana dengan aspek lain?"
"Kuncinya bukan di situ, tapi di performa peserta lain. Jika yang lain rendah sementara kita tinggi, baru kita punya harapan."
"Tapi kalau semua peserta tinggi, sebaik apapun nilai kita tetap akan gagal."
"Standar penerimaan ini mirip ujian akademik - tidak tetap. Kuota mahasiswa jurusan bela diri sudah ditentukan."
"Mungkin nilaimu tahun ini memenuhi standar tahun lalu, tapi jika semua peserta tahun ini lebih kuat, tetap saja kau akan gagal."
"Atau sebaliknya, jika performa semua peserta tahun ini buruk, meski nilaimu lebih rendah dari standar tahun lalu, kau tetap bisa lulus."
Tapi di zaman sekarang ini, kehidupan semua orang semakin membaik, standar hampir setiap tahun terus naik, kemungkinan turun terlalu kecil.
Menurut pernyataan Wu Zhihao, dari kelas (4) termasuk Fang Ping, total 8 orang yang mendaftar, hanya tiga yang energi vitalnya melebihi 110 kal.
Wu Zhihao, Yang Jian, dan siswi yang jarang bicara Liu Ruoqi.
Yang lain, termasuk Zhang Hao, belum mencapai 110 kal.
Tapi jarak Zhang Hao dengan 110 kal tidak jauh, sebelum ujian, jika banyak mengonsumsi suplemen penambah kabut darah, masih ada harapan.
Ini tidak dianggap kecurangan, di era sekarang, suplemen yang benar-benar bisa meningkatkan energi vital harganya sangat mahal.
Hanya keluarga berada yang mampu membelinya.
Seorang petarung juga membutuhkan dukungan harta benda.
Perbedaan dukungan finansial dari keluarga kaya dan miskin akan menentukan masa depan petarung, meskipun bukan kondisi mutlak, ini realita umum.
Jadi meski belum mencapai 110 kal, Zhang Hao berani mendaftar karena keluarganya sudah menyiapkan suplemen.
Alasan tidak dikonsumsi sekarang adalah khawatir efek obat akan berkurang setelah dicerna, sehingga tidak memenuhi standar.
Jika dikonsumsi sebelum pemeriksaan fisik, meski tidak bisa langsung tercerna seluruhnya, ini bagus untuk yang ingin masuk - bisa memicu ledakan efek obat lebih besar.
Zhang Hao tidak mengatakannya, tapi sebenarnya yang lain juga punya persiapan serupa.
Tentu ada pengecualian, seperti Fang Ping.
Pendaftarannya ke jurusan bela diri terlalu mendadak, orang tuanya sama sekali tidak menyangka ia akan mendaftar.
Padahal sebenarnya, tanpa sepengetahuan Fang Ping, Fang Mingrong sudah mempertimbangkan apakah akan membeli suplemen energi darah untuk putranya.
Sayangnya suplemen dan obat-obatan itu terlalu mahal, biasanya mulai dari 10.000 yuan. Lao Fang masih belum bisa memutuskan.
Mendengar obrolan teman-temannya, Fang Ping berpikir dalam hati: "Energi darahku 1.1 ini, apakah bisa dikonversi menjadi 110 kal?"
Kemungkinannya cukup besar.
Tapi sekalipun 110 kal, sepertinya belum ada keunggulan. Wu Zhihao dari kelas reguler saja sudah 115 kal, pasti banyak siswa kelas unggulan yang melebihi 110 kal.
Tahun lalu standar minimal penerimaan Universitas Ilmu Bela Diri Nanjiang memang 112 kal, tapi tahun ini belum bisa dipastikan.
"Sepertinya aku harus lebih berusaha di bidang ini. Setidaknya harus melewati tiga ujian pertama baru punya waktu memikirkan hal selanjutnya."
Sambil terus berpikir, mereka pun tiba di depan kantor.
