BAB 3 Menyelamatkan Nyawa

　　BAB 3 Menyelamatkan Nyawa 　　Jatuhnya Ji Chongyi dan Qiao Niang ke danau mengobrak-abrik permukaan air yang tenang, bahkan burung-burung di pohon willow tepi danau terbang ketakutan meninggalkan bulu-bulu. 　　Ji Chongyi yang tak bisa berenang terengah-engah: "Tolong... Tolong..." 　　Jiang Si menatap tajam ke dua orang yang sedang berjuang di air, mendorong A Man: "Laksanakan rencana seperti yang sudah dibahas!" 　　A Man tersentak, membuka bungkusan dan mengeluarkan gong kecil, menyerahkan bungkusan ke Jiang Si sebelum berlari. 　　Jiang Si buru-buru membawa bungkusan ke gubuk jerami dengan atap payung di dekatnya. Dia menyiramkan minyak sayur dari kantong air ke atap, lalu melemparkan korek api yang langsung membakar seluruh gubuk. 　　Di tepi danau terdapat sekitar tujuh atau delapan gazebo beratap jerami seperti ini, dibangun oleh para pemancing yang mengeluhkan teriknya matahari musim panas. 　　Saat Jiang Si menyalakan gazebo jerami kedua, bunyi genta berdentang disertai teriakan panik: "Kebakaran, kebakaran--!" 　　Tak lama kemudian, lampu-lampu di rumah penduduk dekat danau mulai menyala satu per satu, para warga pria-wanita tua-muda bergegas keluar membawa wadah air. 　　Orang-orang pada masa itu sangat takut dengan kebakaran, sehingga begitu ada teriakan "kebakaran", mereka langsung berbondong-bondong keluar untuk memadamkan api. 　　Melihat situasi berkembang sesuai rencana, Jiang Si menghela napas lega dan melemparkan bungkusan di tangannya ke dalam api. 　　Ia tidak berani membakar terlalu banyak gazebo jerami, karena jika sampai memicu kebakaran besar itu akan menjadi dosa. 　　Suara jerit kesakitan di dalam air semakin melemah, Jiang Si mengepal tangan erat sambil menatap ke arah sana. 　　Setelah terlahir kembali, ia pernah berpikir: pada malam ini diam-diam datang ke sini, menunggu Ji Chongyi melompat ke danau lalu menunggu dengan tongkat bambu - begitu kepalanya muncul, tusuk saja dengan tongkat untuk mewujudkan keinginannya mati bersama sang kekasih. 　　Dengan demikian, mereka berdua bisa berubah menjadi kupu-kupu dan terbang bersama, sementara dirinya tak perlu menjalani hidup menjanda kemudian mengalami berbagai kesialan. 　　Tapi setelah dipikir matang-matang, ia urungkan niat itu. 　　Ji Chongyi hanya tidak mencintainya, itu bukanlah dosa yang patut dihukum mati. Lebih penting lagi, jika dia mati seperti ini, dirinya akan dicap sebagai pembawa sial bagi suami. 　　“Hidup kembali, Jiang Si meski sudah tak peduli dengan reputasi kosong, bukan berarti ia rela menanggung akibat dari kebodohan orang lain. 　　Jadi Ji Chongyi tidak hanya tidak boleh mati, Qiao Niang juga harus diselamatkan. 　　Selama kedua orang ini hidup, ia punya alasan sah untuk membatalkan pertunangan. 　　Melihat dua orang yang naik turun di air, jantung Jiang Si mulai berdebar kencang. 　　Ia tidak khawatir dengan Ji Chongyi, karena di kehidupan sebelumnya dia selamat, kali ini pun seharusnya baik-baik saja. Tapi Qiao Niang berbeda. 　　Di kehidupan sebelumnya, jasad Qiao Niang bahkan tidak sempat diangkat dari air. 　　"Kebakaran, ada kebakaran di tepi danau!" Teriakan orang-orang terdengar dari kejauhan, kerumunan massa berhamburan ke arah ini. 　　Pikiran tegang Jiang Si perlahan mengendur. 　　Asal orang-orang ini sampai, mereka akan menemukan kedua korban tenggelam, dan ia bisa mundur dengan aman. 　　Tapi tiba-tiba angin kencang berhembus, menerpa permukaan danau dan menciptakan aliran udara. 　　Di bawah sinar bulan purnama, Jiang Si melihat jelas pusaran air muncul antara Ji Chongyi dan Qiao Niang, lalu Qiao Niang terhisap ke bawah dan tidak muncul lagi. 　　Jantung Jiang Si berdebar kencang. Ia berlindung di balik batu besar, melepas mantel hingga tampak baju ketat perak-abu yang melekat di tubuhnya. 　　Itu adalah pakaian selut dari kulit ikan yang berkilauan di bawah bulan, semakin menonjolkan pinggang ramping gadis itu yang seolah bisa dipatahkan. 　　Gadis itu meluncur seperti putri duyung masuk ke air, berenang menuju lokasi Qiao Niang tenggelam. 　　Malam di awal musim panas, air danau yang agak dingin menyentuh kulit lembut gadis yang terbuka, membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak menggigil. 　　Jiang Si menyelam ke dalam air, mengambil napas di tengah lalu menyelam lagi, samar-samar melihat Qiao Niang terapung-apung dan tenggelam di dalam air. 　　Dengan cepat dia berenang mendekat, meraih pergelangan kaki Qiao Niang dan menariknya ke tepi danau. 　　Jiang Si yang baru berusia lima belas tahun meski pandai berenang, kekuatan fisiknya terbatas. Qiao Niang yang basah kuyup terasa seperti seribu kati baginya. 　　Dia menggigit bibir bawahnya sampai berdarah tanpa sadar. Ketika akhirnya sampai di tepi danau, tenaganya hampir habis. 　　Para penolong kebakaran yang berkerumun di tepi danau tiba-tiba mendengar teriakan A Man yang menyamar di antara kerumunan: "Lihat! Ada orang di danau!" 　　Orang-orang berbalik memandang dan berteriak panik: "Astaga! Ada yang tenggelam!" 　　Beberapa orang yang mahir berenang segera berturut-turut melompat ke danau untuk menolong. 　　Jiang Si mendorong Qiao Niang yang tak sadarkan diri ke tepi, lalu menyelam diam-diam ke sisi lain. Samar terdengar teriakan: "Ada satu lagi di sini!" 　　Tak lama kemudian, Ji Chongyi dan Qiao Niang berhasil diselamatkan. 　　Para penduduk sekitar danau yang sering menghadapi kasus anak-anak nakal mandi diam-diam ini telah menguasai metode pertolongan pertama untuk korban tenggelam. 　　Jiang Si berenang dari sisi lain ke tepi danau, diam-diam naik ke darat, dan bersembunyi di belakang pohon sambil mengintip. Ia melihat dua orang berlutut di tanah memberikan pertolongan kepada Ji Chongyi dan Qiao Niang. 　　Ji Chongyi dan Qiao Niang segera memuntahkan beberapa kali air dan membuka mata mereka. 　　Meski berhasil diselamatkan, kerumunan orang justru menjadi ragu-ragu. 　　Lelaki dan perempuan tak dikenal ini tidak bisa sembarangan dibawa ke rumah orang. 　　Aman yang sudah diinstruksikan Jiang Si sebelumnya bersembunyi di belakang kerumunan, berseru dengan suara kasar: "Hei, pemuda ini adalah Putra Ketiga Keluarga An Guo Gong Fu! Ayo kita antar dia untuk minta hadiah!" 　　Aman yang bertubuh tinggi dan mengenakan pakaian pria tidak terlalu diperhatikan orang karena fokus mereka tertuju pada Ji Chongyi dan Qiao Niang, disangka sebagai pemuda dari keluarga tertentu. 　　"Benarkah ini Putra Ketiga An Guo Gong Fu?" Kerumunan bersemangat mendengar kabar hadiah. 　　Meski menyelamatkan tanpa pamrih, siapa yang akan menolak imbalan? 　　"Aku bukan Putra Ketiga An Guo Gong Fu!" Ji Chongyi yang baru sadar dari insiden itu berubah pucat mendengar perkataan mereka. 　　Ciuman sampai jatuh ke danau, memalukan! 　　Kerumunan kembali ragu: "Yang benar ini siapa?" 　　Orang yang cerdik mengamati pakaian Ji Chongyi: "Bahan pakaian Tuan ini sangat mewah. Meski bukan dari An Guo Gong Fu, pasti berasal dari keluarga kaya." 　　Ada yang tidak sabar berteriak: "Kalau mau tahu apakah dia putra Keluarga An Guo Gong, caranya mudah. Kita kirim orang ke kediaman An Guo Gong untuk bertanya saja." 　　Dengan jumlah orang yang banyak dan keberanian bertambah, beberapa orang segera menyetujui dan pergi bersama ke kediaman An Guo Gong untuk mencari informasi. 　　Kediaman An Guo Gong saat itu sudah kacau balau. Beberapa regu pencari Ji Chongyi telah dikirim. Begitu mendengar kabar bahwa Putra Ketiga tenggelam di Danau Mo You, Nyonya An Guo Gong langsung pingsan. 　　Kakak Ji Chongyi, Ji Chongli, memerintahkan orang yang membawa kabar untuk memandu, lalu memimpin para pelayan menuju Danau Mo You. 　　Keributan ini tentu tak bisa disembunyikan dari tetangga. Setiap rumah di kompleks yang sama mengirim pelayan untuk menyelidiki keadaan. 　　Para pelayan itu cukup lihai. Mereka tahu tak bisa bertanya langsung pada orang An Guo Gong, diam-diam mengikuti rombongan ke tepi Danau Mo You. Dengan bertanya pada warga yang menonton kejadian, lalu melihat Ji Chongyi yang basah kuyup dan perempuan yang berdempetan dengannya, semuanya menjadi jelas. 　　Ya Tuhan! Putra Ketiga An Guo Gong ternyata mencoba bunuh diri cinta dengan seorang gadis! 　　Di masa rilis baru, rekomendasi dan koleksi sangat dibutuhkan. Mohon dukungannya. 4.BAB 4 TAK BERMALU 　　BAB 4 TAK BERMALU 　　Putra Mahkota An Guo Gong, Ji Chongli, bergegas menghampiri Ji Chongyi. Melihat adik ketiganya yang kurus itu basah kuyup dengan wajah pucat, hatinya campur antara kasihan dan marah. 　　“Ji Chongyi adalah anak yang lahir di usia tua orang tuanya, lebih muda lebih dari sepuluh tahun dari Ji Chongli. Karena tubuhnya lemah sejak lahir, seluruh keluarga memperlakukannya seperti harta berharga. Sejak kecil, apapun yang Ji Chongyi inginkan, keluarganya bahkan rela menggapai bintang di langit untuknya.” 　　Pandangan Ji Chongli beralih ke Qiao Niang yang berdiri rapat di samping Ji Chongyi. 　　Ji Chongyi melangkah maju menghalangi Qiao Niang di belakangnya, sikap protektifnya sangat jelas. 　　Ji Chongli tidak bisa menahan diri menghentakkan kaki: "Adik ketiga, kau benar-benar bodoh! Tidakkah kau merasa bersalah pada orang tua dengan perbuatanmu ini?" 　　Ji Chongyi mengatupkan bibir diam seribu bahasa, malah menggenggam tangan Qiao Niang. 　　Di hadapan banyak orang, Ji Chongli tidak enak memarahi. Dengan wajah dingin ia berkata: "Sudahlah, pulang dulu ke kediaman keluarga!" 　　"Aku akan membawa Qiao Niang ikut pulang." Suara Ji Chongyi serak. 　　Ji Chongli melototi Ji Chongyi dengan tajam, menyuruh mandor mengurus sisa urusan, lalu buru-buru membawa Ji Chongyi dan Qiao Niang pergi. 　　Mandor yang tinggal membungkuk memberi hormat ke segala arah, mengambil uang kertas senilai seratus tael dan menyerahkannya pada seorang tetua yang dihormati, lalu pergi dengan sisa orang. 　　Seratus tael bukan jumlah kecil bagi warga yang ikut memadamkan api. Orang-orang segera mengepung sang tetua, berdiskusi cara membagi uang. 　　A Man menyelinap ke tempat yang disepakati dengan Jiang Si. Melihat kain penutup kepala hitam Jiang Si sudah basah kuyup, ia berbisik: "Nona, apakah Anda baik-baik saja?" 　　“Tidak apa, sebarkan kertas sembahyang yang sudah disiapkan, kita cepat-cepat pulang.” Meski sudah masuk musim panas, tapi malam ini udara dingin. Jiang Si yang baru keluar dari air semakin menggigil diterpa angin, bibirnya sudah pucat. 　　A Man segera melaksanakan perintah. 　　“Nona, sudah selesai.” 　　Jiang Si mengangguk, lalu tuan dan pelayan ini pergi diam-diam di tengah keributan. 　　Di perjalanan, A Man masih geram: “Nona, Tuan Ketiga Ji benar-benar keterlaluan! Sudah mau menikah dengan Nona, kok bisa… bisa berbuat begitu dengan perempuan lain?” 　　Bibir yang saling menempel, desahan tergesa-gesa… 　　Membayangkan adegan yang dilihatnya di tepi danau, A Man merasa jijik dan marah. 　　Jiang Si hanya tersenyum, tidak bersuara. 　　Kali ini, dia tidak akan menikah lagi ke sana. 　　Jika Ji Chongyi bisa menikahi Qiao Niang dan setia padanya selamanya, mungkin dia masih bisa menghargainya. 　　Lagipula orang bodoh pun punya kelebihan. 　　Tak mendapat respon dari Jiang Si, A Man masih belum lega. Dia menyeringai: “Untung Nona menyuruh hamba siapkan kertas sembahyang, anggap saja untuk membakar bagi pasangan mesum itu, hehe.” 　　Jiang Si melirik A Man: “Kertas sembahyang itu ada kegunaan lain.” 　　“Kegunaan apa?” A Man penasaran. 　　Angin malam berhembus, dua helai rambut yang keluar dari kerudung sudah mengering, nakal menggelitik pipi Jiang Si yang putih seputih giok. 　　“Jiang Si terus berjalan, merapikan rambut yang terurai ke belakang telinga, memandang ke kegelapan malam yang semakin pekat di kejauhan: ‘Kita harus memberikan alasan yang masuk akal kepada petugas tentang kebakaran di paviliun payung tepi danau.’” 　　A Man matanya berbinar: “Nona memang selalu berpikir matang.” 　　Pelayan kecil itu teringat pada Ji Chongyi, mencibir: “Tuan Ketiga Ji benar-benar buta!” 　　“Sudah, jangan bahas dia lagi. Kita sudah sampai di rumah.” 　　Lubang di sudut tembok masih tertutupi semak-semak. A Man membuka rumput hijau, berbisik: “Nona, silakan masuk dulu.” 　　Jiang Si membungkuk dan merangkak masuk melalui lubang. Saat berdiri tegak, ekspresinya tiba-tiba kaku. 　　Seseorang sedang berjalan maju kurang dari tiga meter darinya, jelas juga baru saja masuk melalui lubang. 　　A Man yang baru saja masuk terkejut melihat ada orang di depan, meski cepat menutup mulut tetap terdengar suara. 　　Orang di depan itu kaku, berbalik tiba-tiba: “Siapa-” 　　Jiang Si dengan gesit mengambil batu bata yang berserakan, menghantamkannya ke wajah yang familiar itu. 　　Benar, orang ini adalah kakaknya yang tidak berguna, Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan menjerit kesakitan dan terjatuh ke belakang. 　　A Man yang melihat wajah Jiang Zhan suaranya gemetar: “No-nona, kenapa nona memukul Tuan Kedua sampai mati?” 　　“Dia baik-baik saja, cepat pergi!” 　　"Jiang Si sebenarnya cukup yakin dengan kekuatan pukulannya. Dia tahu pukulan ini hanya akan membuat Jiang Zhan pingsan sesaat tanpa membahayakan, dan jeritan menyakitkan Jiang Zhan pasti akan menarik perhatian orang. Dengan begitu, dia tidak perlu khawatir kakaknya terbaring terlalu lama di lantai hingga masuk angin." 　　Seperti yang diantisipasi, tak lama kemudian lentera mulai menyala di kejauhan. Beberapa orang keluar untuk memeriksa sumber keributan. 　　Jiang Si bersama Ah Man bergegas kembali melalui rute yang sama. Mereka mendorong pintu samping yang terbuka sedikit, lalu mengunci dari dalam. Setelah memastikan tidak meninggalkan kelemahan, barulah mereka menyelinap kembali ke Haitangju. 　　Bunga-bunga pohon di halaman bermekaran dengan sempurna. Rona merah muda dan putih pucatnya disirami cahaya bulan yang pucat bagai embun beku, menciptakan pemandangan indah yang mencekam. 　　Di halaman Jiang Si, hanya pohon yang ditanam. 　　Orang-orang sering menyesali ketiadaan aroma pada bunga, namun justru inilah yang disukainya. 　　Penciumannya sejak lahir melebihi orang biasa. Terlalu lama berada di sekitar aroma bunga yang menyengat akan membuatnya tidak nyaman. 　　"A Qiao, kami sudah kembali." Ah Man mengetuk pintu dengan lembut. 　　A Qiao membuka pintu dan menyambut kedatangan mereka. Melihat keduanya dalam keadaan selamat, senyum bahagia merekah di wajahnya: "Nona, hamba sudah menyiapkan air panas. Silakan mandi." 　　Dalam bak kayu yang dipenuhi uap panas, seluruh tubuh Jiang Si terendam air, hanya menyisakan kepala dan bahu yang terlihat. 　　Air dengan suhu yang nyaman membelai lembut seluruh tubuh. Jiang Si menarik napas perlahan. Sejak kelahiran kembali, kegelisahan dan penderitaannya seolah sirna bersama kesuksesan malam ini, menyisakan rasa syukur. 　　"Nona, sudah waktunya bangun. Airnya akan dingin," A Qiao mengingatkan. 　　Jiang Si membuka mata, mengenakan baju dalam putih yang disiapkan A Qiao, lalu kembali ke kamar dalam. 　　A Qiao mengeringkan rambut Jiang Si perlahan dengan handuk lembut. 　　Rambut gadis itu yang basah terurai seperti air terjun, menjuntai hingga pinggang. 　　Cermin tembaga memantulkan wajah gadis itu: kulit seputih salju, rambut hitam legam, bibir merah dan gigi putih. Mata yang dulu terlihat gelisah kini tenang bagai air, menambah pesona kecantikannya. 　　A Man yang baru selesai mandi terburu-buru tak bisa menahan pujian: "Nona, Anda sungguh cantik." 　　Jiang Si tak bisa menahan senyum. 　　Besok, kabar Ji Chongyi dan Qiaoniang yang bunuh diri bersama pasti akan tersebar di seluruh ibu kota. Saat itu, sebersih apapun dirinya, cemoohan sebagian orang takkan terhindarkan. 　　Bagi gadis biasa yang berhasil mendapatkan perjodohan luar biasa di mata dunia, kecantikan sendiri sudah menjadi dosa. 　　"Nona, bagaimana Anda tahu kalau Tuan Ji San dan wanita itu akan berkencan di Danau Mochou malam ini?" A Man melontarkan pertanyaan yang telah lama menggelitiknya. 　　Tangan A Qiao yang sedang menyisir terhenti, jelas juga penasaran. 　　"Gadis di cermin perunggu mengedipkan mata: 'Belum lama ini saya menghadiri pesta menikmati bunga di Istana Yongchang, Pangeran Ji Ketiga menyuruh orang memberitahu saya.'" 　　Jiang Si tidak bisa menjelaskan, hanya bisa mencari alasan sembarangan. 　　"Dia berkencan dengan gadis lain, ngapain memberi tahu Anda?" A Man semakin bingung. 　　Jiang Si berkata dengan tenang: "Mungkin ingin saya melihat langsung dengan mata kepala sendiri, agar bisa menyerah." 　　A Man menampar meja rias dengan keras, menggertakkan gigi: "Sungguh tak tahu malu!" 　　Andai saja dia menabuh gong lebih lambat sedikit, biar si bajingan itu tenggelam sampai mati. 　　Jiang Si mengangguk sambil tersenyum: "Iya, aku juga merasa sungguh tak tahu malu." 　　Terima kasih untuk Hadiah He Shibi dari Wanqing Zhao, Guci Dewa Kekayaan dari Tiaopi Xiaoniuniu, Fengzhidian, Lu Chuchu, Gulingpiaoluoyan, Kipas Persik dari Yuan Xiaoqin dan Crazy Fat Elephant, serta kantong wewangian dari 1yezhiqiu456, Taoshengmo, SUN, azi, Su Mu'ai, xiangxinshicheng1210. Terima kasih untuk teman-teman yang memberi hadiah Jimat Kedamaian. Buku baru mencari koleksi dan rekomendasi. 5.Bab 5 Selir yang Baik 　　Bab 5 Selir yang Baik 　　Jiang Si mengeringkan rambutnya, meminum air jahe yang disuguhkan A Qiao, lalu merasa seluruh tubuhnya hangat. Tak lama setelah berbaring di ranjang, ia langsung tertidur lelap. 　　Menyelamatkan orang di air sangat menguras tenaga, ia sudah kelelahan sejak tadi. 　　Kediaman Pangeran Dongping diselimuti kegelapan yang sunyi, sementara di seberang dua blok, Kediaman Adipati Anguo ramai oleh kerumunan orang dan diterangi cahaya lampu. 　　Nyonya Adipati Wei yang bersandar di tepi ranjang menggenggam tangan suaminya sambil terisak histeris. 　　Wajah Adipati Anguo muram, kesal mendengar tangisan istrinya, ia berusaha menghibur: "Jangan menangis lagi. Bukankah Chongli sudah bergegas ke sana? Chongyi pasti selamat." 　　Kekacauan sebelumnya akibat hilangnya putra ketiga belum reda, tiba-tiba kabar tenggelamnya Chongyi di malam hari membuatnya hanya sempat menanyakan keselamatan sebelum menyuruh Chongli berangkat. Hingga kini penyebab pasti tenggelamnya Chongyi masih belum jelas. 　　Hati Adipati Anguo gelisah ketika pelayan bergegas masuk melapor: "Yang Mulia, Nyonya, Pangeran Muda telah kembali membawa Putra Ketiga." 　　"Cepat persilakan masuk!" Seru Nyonya Wei tiba-tiba bangkit sebelum suaminya sempat membuka mulut. 　　Tak lama kemudian derap kaki terdengar di balik pintu. Dayang mengangkat tirai mutiara, memasukkan tiga orang. 　　Melampaui putra sulung Ji Chongli, Nyonya Wei langsung memeluk putra ketiganya yang pucat pasi: "Chongyi, apa yang terjadi? Biarkan ibumu periksa!" 　　"Ibu, aku baik-baik saja," jawab Ji Chongyi dengan senyum lemah. 　　"Bagaimana mungkin?" Nyonya Wei membelai pipi putranya sambil menitikkan air mata, "Rambutmu masih basah. Mengapa kau bisa jatuh ke air?" 　　"Ahem." 　　Suara batuk terdengar, Nyonya Wei tidak bisa tidak melirik ke arah Pangeran Anguo. 　　Pandangan Pangeran Anguo justru tertuju di belakang Ji Chongyi. 　　Setengah zhang dari Ji Chongyi berdiri seorang perempuan mungil, saat ini sedang menunduk sambil memegang ujung gaunnya, tak bisa menyembunyikan kegelisahan. 　　Wajah Nyonya Wei langsung berubah, suaranya tak tertahan meninggi: "Siapa dia?" 　　Melihat ini, Ji Chongyi menarik Qiaoniang ke sampingnya, menatap langsung mata Nyonya Wei: "Ibu, dia adalah orang yang dicintai anakmu, namanya Qiaoniang." 　　Wajah Nyonya Wei menjadi kaku, tatapannya pada Qiaoniang terasa dalam tak bertepi: "Jadi kau Qiaoniang, sebelumnya kudengar kau menyelamatkan putra ketiga kami, aku belum sempat berterima kasih." 　　Qiaoniang terkejut mengangkat pandangan ke Nyonya Wei, lalu segera menunduk lagi, gugup berkata: "Tidak, tidak pantas menerima ucapan terima kasih Nyonya-" 　　"Hanfang, antar nona Qiaoniang istirahat dengan baik." Nyonya Wei memotong dingin perkataan Qiaoniang. 　　Dayang utama di sisi Nyonya Wei, Hanfang, mendekati Qiaoniang sambil tersenyum: "Silakan nona mengikuti hamba." 　　Qiaoniang tidak bisa tidak melirik ke Ji Chongyi. 　　Ji Chongyi berpikir sejenak, lalu mengangguk lembut pada Qiaoniang: "Kau istirahatlah, besok aku akan menemuimu." 　　Barulah Qiaoniang merasa lega, mengikuti dayang itu keluar. 　　Kilatan dingin muncul di mata Nyonya Wei. 　　"Gadis liar yang tidak tahu aturan, tidak hanya seorang gadis yang berhubungan dengan putranya, tapi saat pergi tadi bahkan tidak tahu memberi salam kepada yang hadir, sudah bisa dilihat bagaimana pendidikannya." 　　"Zhan Rui, cepat sajakan teh jahe untuk Tuan Ketiga!" 　　Seorang pelayan dengan pakaian sama seperti Han Fang segera menghampiri membawa secangkir teh jahe. 　　Adipati An Guogong memandang dingin putra bungsunya yang sedang menghabiskan teh jahe, baru bertanya: "Apa sebenarnya yang terjadi?" 　　Pertanyaan ini ditujukan pada putra mahkota Adipati An Guogong, Ji Chongli. 　　Ji Chongli melirik cepat Ji Chongyi, tahu hal ini tak bisa disembunyikan, dengan enggan menjawab: "Adik ketiga... adik ketiga melompat ke danau bersama gadis itu..." 　　"Brengsek!" Adipati An Guogong menendang kursi hingga terjungkal. 　　Ji Chongyi langsung bersujud. 　　Nyonya Wei memandang Adipati dengan kesal: "Mengapa Tuan marah besar? Sanlang baru saja jatuh ke air, lebih baik cepat panggil tabib untuk memeriksanya dan membuat ramuan penghangat." 　　"Untuk apa panggil tabib? Kalau dia mau mati siapa bisa menghalangi?" Adipati memandangi Ji Chongyi yang masih bersujud semakin geram, menunjuk dan memaki: "Dasar anak sialan! Demi seorang perempuan sampai mau mati hidup!" 　　Ji Chongyi membungkuk sampai ke lantai: "Ayah, Ibu, kumohon restu kalian." 　　Lho, kok malah tepat sasaran? 　　“Tidak mungkin! Selama aku masih hidup, kamu harus mengubur impianmu dan menikahi putri keempat dari Keluarga Dongping dengan patuh!” An Guogong mengamuk. 　　Nyonya Wei juga tidak mencoba menenangkan, wajahnya sama-sama muram. 　　Awalnya ia memandang rendah Keluarga Dongping. Dulu An Guogong bersikeras menjodohkan anaknya untuk membalas budi nyawa saudara Dongping, sampai ia sempat protes beberapa kali. 　　Tapi keluarga Dongping yang terpuruk masih lebih baik daripada rakyat jelata. 　　Ji Chongyi berlutut kaku, tegas: "Ayah, anak hanya mencintai Qiaoniang. Anak tidak suka putri keempat keluarga Dongping. Anak bahkan belum pernah bertemu, mustahil menjadi suami-istri!" 　　"San Lang, ayah sudah mencari tahu. Putri keempat keluarga Dongping terkenal sebagai kecantikan di antara putri bangsawan ibu kota." An Guogong mencoba sabar. 　　"Benar, setelah tunangan, ibu juga pernah melihat diam-diam. Ayahmu tidak membohongimu." Nyonya Wei menyambung. 　　"Di mata anak, Qiaonianglah yang tercantik!" Ji Chongyi menatap ayahnya. "Ayah bisa menikahkan anak untuk balas budi, mengapa tidak bisa mengerti perasaan anak? Jika bukan karena Qiaoniang, mungkin anak sudah..." 　　"Diam! Urusan pernikahan tidak boleh semaumu! Jika masih membangkang, ayah akan usir Qiaoniang sekarang juga!" 　　“Kalau Ayah berani mengusir Niang Qiao, maka usir juga putramu ini!” Ji Chongyi langsung berdiri. 　　“Kau——” Adipati An gemetar marah, menoleh ke nenek pelayan di pintu sambil berteriak, “Bawa orang untuk mengusir perempuan Qiao itu dengan tongkat!” 　　“Tidak boleh!” Melihat nenek pelayan hendak pergi, Ji Chongyi berlari mengejar. 　　Adipati An berteriak keras: “Da Lang, halangi adik ketigamu!” 　　Ji Chongli memegang lengan Ji Chongyi sambil membujuk: “San Di, jangan membuat Ayah marah lagi.” 　　“Kakak, minggirlah!” Ji Chongyi berusaha melepaskan diri tapi tak bisa. Melihat nenek pelayan hampir keluar, dalam kepanikan dan kemarahan ia tiba-tiba muntah darah lalu pingsan di pelukan Ji Chongli. 　　Wei Shi terkejut sampai pucat pasi, menjerit: “Cepat panggilkan tabib——” 　　Tabib segera memeriksa Ji Chongyi, menyatakan muntah darah dan pingsan disebabkan amarah yang memuncak ditambah masuk angin, perlu perawatan intensif dan hindari emosi berlebihan. 　　Setelah tabib pergi membuat resep, Wei Shi menggerutu pada Adipati An: “Tuan marah terlalu gegabah, apa mau membunuh San Lang?” 　　“Aku yang membunuhnya? Kenakalannya ini bukankah hasil didikanmu!” Meski begitu, Adipati An merasa ngeri mengingat pemandangan Ji Chongyi muntah darah. 　　“Nyonya Wei mengusap air mata dengan sapu tangan: ‘Sekarang ngomong begini buat apa? Apa Tuan dan Da Lang tidak menyayangi San Lang juga? Menurutku, lebih baik pikirkan solusinya.’” 　　“Bagaimanapun juga, pertunangan dengan Keluarga Dongping Bo tidak boleh dibatalkan!” 　　“Tapi kalau Tuan memisahkan San Lang dengan Qiao Niang secara paksa, San Lang mungkin benar-benar tidak akan bertahan.” 　　Melihat Duke An menyeringai, Nyonya Wei meratap: “Tuan, ingatlah, San Lang dan Qiao Niang sudah pernah bunuh diri bersama sekali. Ada pertama pasti ada kedua. Kalau San Lang benar-benar celaka, kita akan menyesal selamanya.” 　　“Lalu menurutmu harus bagaimana?” 　　Nyonya Wei berhenti menangis, melirik ke kamar dalam: “Bagaimana kalau begini, pertunangan dengan Keluarga Dongping Bo tetap dilanjutkan. Untuk Qiao Niang, biarlah San Lang mengambilnya sebagai selir resmi.” 　　Berjuang mati-matian demi rekomendasi. 6.Bab 6 Ayah dan Kakak 　　Bab 6 Ayah dan Kakak 　　“Pengantin belum masuk pintu sudah punya selir resmi, bagaimana menjelaskannya ke Keluarga Dongping Bo?” Duke An bermuka masam. 　　Nyonya Wei menyeringai: “Setelah generasi Dongping Bo ini, gelar kebangsawanan mereka akan hilang. Nantinya statusnya sama dengan rakyat biasa. Putri mereka yatim sejak kecil, bisa menikah ke Istana Duke kita sudah untung, masih berani bermulut manis?” 　　Duke An semakin tidak senang: “Perkataanmu tidak pantas——” 　　"Ayah, takkah Ayah menyadari? Sanlang sudah dewasa, punya pendirian sendiri. Tak bisa diatur dengan kekerasan. Jika kita larang dia bersama Qiaoniang, dia mungkin melakukan hal nekat lagi." Nyonya Wei mengusap air mata, "Jika sesuatu terjadi pada Sanlang, aku juga tak bisa hidup lagi—" 　　Melihat Adipati An masih ragu, Nyonya Wei bersungut: "Ayah, ini hanya masalah selir. Biar urusan rumah tangga ini kuhandle saja." 　　Adipati An menghela nafas: "Baiklah, besok pagi kunjungi Keluarga Dongping. Bicaralah baik-baik dengan mereka." 　　"Ayah tenang saja, akan kuselesaikan ini baik-baik. Mari kita tengok Sanlang dulu." 　　Malam itu, Ji Chongyi demam. Nyonya Wei gelisah semalaman. Keesokan paginya, menantu perempuan Guo datang memberi salam: "Ibu mertua, izinkan aku mewakili Ibu ke Keluarga Dongping." 　　Meski agak keberatan, Nyonya Guo tak berani menolak. Ia segera mempersiapkan diri. 　　Nyonya Wei merebahkan diri di bantal sulam, memejamkan mata. 　　Menantu pertama sebagai istri pewaris adipati sudah cukup menghormati Keluarga Dongping. Cepat-cepat nikahkan Nona Jiang keempat, maka badai ini akan berlalu. 　　“Warung sarapan di mulut gang Yuqian sudah berdiri, dikerumuni banyak orang. Hari baru dimulai dengan menyantap tahu fa yang diberi serat jamur kuping dan daging muda.” 　　Teriakan memilukan mengoyak kedamaian pagi di Kediaman Dongping Bo. 　　A Man buru-buru masuk kamar: "Nona, Tuan sedang menghukum Putra Kedua!" 　　Jiang Si bangkit dari meja rias, langsung bergegas keluar. 　　"Nona, ini bukan jalan ke Aula Cixin—" A Qiao mengingatkan. 　　Aula Cixin adalah tempat tinggal Nenek Dongping Bo. Secara adat, setiap pagi para putri harus mengunjungi ibu masing-masing dulu sebelum bersama ibu mereka menghadap ke Aula Cixin. Tapi sejak kecil Jiang Si sudah yatim, kakak perempuannya pun sudah menikah, sehingga ia selalu pergi sendirian. 　　"Mari kita lihat Putra Kedua dulu." Langkah Jiang Si semakin cepat. 　　A Qiao semakin bingung, melirik ke arah A Man. 　　A Man juga sama-sama tak mengerti, menggeleng pelan. 　　Sebelum usia 10 tahun, Nona sangat akrab dengan Putra Kedua. Tapi semakin dewasa, hubungan mereka merenggang. Dua tahun terakhir ini hampir tak ada percakapan. 　　Hari ini Nona terlihat aneh. 　　Konon orang yang mengalami trauma bisa berubah drastis. Malam kemarin Nona mengalami kejadian yang sangat menyakitkan. 　　Dua dayang ini sepikiran, rasa kesal mereka pada Putra Ketiga Ji Chongyi dari Kediaman Anguo Gong semakin menjadi. 　　Kediaman Adipati Dongping memiliki empat putra. Kecuali putra keempat yang masih kecil dan tinggal di halaman belakang, ketiga putra lainnya telah menempati paviliun terpisah di halaman depan. Jiang Zhan tinggal di Paviliun Bambu Gemeresik. 　　Baru sampai di gerbang paviliun, Jiang Si sudah mendengar teriakan penuh amarah: "Dasar anak sialan! Ternyata selama ini diam-diam kabur lewat lubang anjing untuk berbuat onar. Kalau suka mengendap-endap seperti anjing, hari ini ayah akan menghajarmu lebih parah dari anjing liar di jalanan!" 　　"Anjing liar tidak menderita kok." Suara lemah menyusul, lalu berubah menjadi jeritan: "Ayah, pelan-pelan! Jangan pukul wajah, jangan pukul wajah - Eh, adik keempat datang." 　　Pria bertubuh tinggi yang sedang mengejar Jiang Zhan menyepak: "Mana mungkin adikmu datang? Dasar penipu!" 　　Jiang Si membuka mulut: "Ayah-" 　　Punggung tinggi itu kaku sejenak sebelum perlahan berbalik. 　　Wajah Adipati Dongping Jiang Ancheng langsung berubah lembut saat melihat putri bungsunya, bahkan terkesan merayu: "Kenapa Si'er datang ke sini?" 　　"Dengar-dengar Ayah sedang menghukum kakak kedua, saya ingin melihat keadaannya." Jiang Si menjawab sambil menatap Jiang Zhan. 　　Remaja 16-17 tahun itu mulai menunjukkan postur menjulang bagai bambu baru. Meski terlihat kucel dikejar-kejar, pesonanya tetap memancar. 　　Seperti Jiang Si, rupa Jiang Zhan juga mewarisi ibunda mereka. 　　“Kakak kedua, apa kau baik-baik saja?” Jiang Si sedikit menekuk lutut menghadap Jiang Zhan. 　　Mata Jiang Zhan membelalak tiba-tiba, telinganya memerah saat menatap Jiang Si, tangannya melambai-lambai gugup. “Jangan khawatir, adik. Aku larinya cepat sekali.” 　　“Bangsat kecil! Larinya cepat itu patut dibanggakan ya?” Amarah Jiang Ancheng yang baru reda kembali berkobar karena ucapan Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan refleks ingin kabur, tapi ingat adiknya sedang memperhatikannya. Ia mengencangkan pinggang dan berkata, “Ayah, tenangkan diri. Kulitku tebal, tangan Ayah tidak akan sakit. Jangan sampai adikku ketakutan.” 　　Hari ini adikku tersenyum padaku. Sekalipun dipukuli Ayah sampai lebih mengenaskan dari anjing, ini sepadan. 　　Hidung Jiang Zhan tiba-tiba terasa pedih. Ia cepat memalingkan muka, takut Jiang Si mengetahui. 　　Di dalam hati Jiang Si juga tersa sedih menggumpal. 　　Dalam beberapa bulan ke depan, kakaknya akan tewas tenggelam saat bersantai di danau dengan teman-teman. Kasus itu ditutup sebagai kecelakaan, tapi belakangan Jiang Si baru tahu ada konspirasi di balik kematiannya. 　　Kini ia tak hanya harus menyelamatkan nyawa kakaknya, tapi juga memastikan pelaku kejahatan mendapat hukuman setimpal. 　　“Bangsat! Mau masuk lubang anjing itu urusanmu, tapi pernahkah kau pikirkan kalau ada pencuri yang masuk lewat sana?” 　　Jiang Zhan mengusap-usap keningnya. 　　“Kekhawatiran Ayah memang beralasan, tadi malam dia sudah diserang penjahat dengan batu bata. Tapi hal ini sama sekali tidak boleh diberitahukan!” 　　“Lubang anjing itu sudah ditutup, mulai sekarang anak berjanji tidak akan lewat sana lagi.” 　　Jiang Ancheng mendengus dari hidungnya. 　　Kalau bukan karena putrinya ada di sini, tidak pantas menunjukkan kemarahan, pasti dia sudah mematahkan kaki anak durhaka ini. 　　“Si'er sudah sarapan?” 　　“Belum, rencananya setelah memberi salam ke nenek baru akan makan. Apa Ayah ingin ikut anak ke Cixin Tang untuk memberi salam?” 　　Melihat Jiang Si menatapnya dengan penuh harap, Jiang Ancheng langsung menjawab: “Ayo, kita pergi bersama.” 　　Sejak kecil, putri bungsunya tidak begitu dekat dengannya. Ini pertama kali dia melihat tatapan penuh harapan seperti itu dari putrinya. 　　Jiang Si tersenyum manis. 　　Dulu dia terlalu tidak mengerti, menyalahkan Ayah yang tidak punya kemampuan, tidak seperti tetangga Yongchang Bo yang berjasa memperpanjang gelar kebangsawanan keluarga, membuatnya diremehkan orang. Padahal dia lupa kasih sayang Ayah padanya tak ternilai harganya. 　　“Si'er, kenapa tidak jalan?” 　　“Ini jalan.” Jiang Si mengangkat ujung roknya dan menyusul. 　　Pada pagi hari di kehidupan sebelumnya, Keluarga Anggota Negara An sudah mengirim Nyonya Guo istri putra mahkota untuk membicarakan percepatan pernikahan. Saat itu tidak ada kasak kusuk kakak laki-laki ketahuan masuk lubang anjing. Ayah pergi sejak pagi, nenek langsung menyetujui tanpa menunggu musyawarah dengan Ayah. 　　"Dia masih ingat ayahnya yang marah besar setelah pulang dan mendengar hal ini, bahkan bertengkar dengan neneknya, lalu bertanya pendapatnya." 　　Saat itu, dia dengan polos berkata: "Apakah anak perempuan tidak lebih baik dari orang mati? Pernikahan baik dibatalkan, bisakah Ayah mencarikan pernikahan yang lebih baik untukku?" 　　Ayahnya diam membisu, punggungnya yang pergi terlihat seperti telah menua beberapa tahun. 　　Sayangnya saat itu dia memiliki sepasang mata yang indah namun tak bisa melihat apa yang paling penting. 　　"Ayah, Adik Keempat, tunggu aku. Aku ikut juga." 　　Terima kasih untuk He Shibi dari Dongcao1125, Kipas Persik dari Wuaixiatianchang9 dan Qijudao, kantong wewangian dari liping730510, Aqiuqiu99s dan Xilingda, serta jimat perdamaian dari mcj221. Terima kasih untuk teman-teman yang mengoleksi dan merekomendasikan. Dukungan kalian saat karya ini masih tipis sangat berarti bagi Liuye. 7.Bab 7 Aula Cixin 　　Bab 7 Aula Cixin 　　Jiang Ancheng melotot ke Jiang Zhan: "Kamu mau mempermalukan diri dengan penampilan seperti ini?" 　　Jiang Zhan mengusap kepalanya. 　　Rambutku tidak acak-acakan, mana yang memalukan? 　　Jiang Si tersenyum pada Jiang Zhan: "Kakak Kedua, aku ingin makan Bakpao Isi Kuah Cai Ji." 　　Bakpao Isi Kuah Cai Ji adalah merek legendaris berusia 100 tahun, terletak dua blok dari Kediaman Dongping Bo, dekat kompleks Kediaman Anguo Gong di Kawang Kangde. 　　“Di kehidupan sebelumnya, ketika Ji Chongyi dan Qiaoniang jatuh ke air, kejadiannya tidak segaduh ini. Kediaman Adipati Anguo berhasil menutupi aib ini dengan mudah. Saat pernikahan kedua keluarga dipercepat, banyak yang berspekulasi kalau ada yang tidak beres denganku.” 　　Dulu, karena masih muda dan naif, aku hanya ingin menikah dengan keluarga bangsawan untuk mengangkat gengsi. Baru kemudian aku sadar, pahitnya memendam perasaan bukanlah hal yang mudah ditelan. 　　Setelah keributan tadi malam, meski kabar tentang Ji Chongyi belum sampai ke Kediaman Dongpingbo, pasti sudah tersebar luas di kawasan Kangdefang. Kalau kakak kedua pergi ke Toko Cai beli bakpao kuah sekarang, pasti akan mendengar desas-desus. 　　“Adik keempat ingin makan bakpao kuah? Kebetulan aku juga ingin. Tunggu di sini, aku akan beli sekarang.” Jiang Zhan tak lagi menyebut urusan menghadap ke Aula Cixin. Ia menyeka debu di bajunya, lalu bergegas pergi. Baru beberapa langkah, ia kembali sambil tersenyum kecut pada Jiang Ancheng. 　　Alis Jiang Ancheng berkerut seperti karakter ‘’: “Ada apa?” 　　Jiang Zhan mengulurkan tangan: “Dana saku anak akhir-akhir ini agak menipis. Ayah bisa meminjamkan dulu?” 　　“Pergi!” Jiang Ancheng merogoh koin perak dari kantong pinggangnya dan melemparkannya ke dada Jiang Zhan sambil menggerutu. 　　Jiang Zhan melesat pergi. Saat sampai di gerbang, ia berteriak: “Tunggu aku, Adik Keempat!” 　　Meski senyumnya masih terlihat sembrono, sorot matanya berbinar-binar - ekspresi yang sudah bertahun-tahun tak terlihat oleh Jiang Si. 　　“Aku akan menunggu Kakak Kedua di Paviliun Haitang.” 　　Jiang Si dan Jiang Ancheng bersama-sama menuju Aula Cixin. 　　Dayang utama A Fu di Balai Cixin memberi hormat kepada kedua orang itu: "Tuan Besar, Nona Keempat, Nyonya Tua sedang menerima tamu. Mohon izinkan hamba melapor terlebih dahulu." 　　Menerima tamu sedini ini? Ekspresi terkejut melintas di wajah Jiang Ancheng. 　　Jiang Si menghirup udara pelan-pelan, menangkap bau samar yang melayang. 　　Aroma itu segar dan halus, tak umum ditemui. Meski berdiri di luar ruangan, Jiang Si langsung mengenalinya: itu wangi bunga kaca piring. 　　Nyonya Guo, istri putra mahkota Adipati Anguo, mantan kakak iparnya dulu, sangat menyukai aroma bunga kaca piring. 　　Secara normal mustahil orang biasa di posisi ini bisa mencium wewangian dari penghuni ruangan, tapi Jiang Si berbeda. 　　Indra penciumannya luar biasa tajam. Ketika terdampar di Nanjiang dulu, karena mirip dengan cucu perempuan almarhum tetua suku Wu Miao, ia pun hidup dengan identitas gadis itu. 　　Tetua suku Wu Miao adalah nenek yang usia sebenarnya tak tertebak, memiliki banyak keajaiban. Berdasarkan bakat penciuman istimewa Jiang Si, ia mengajarinya ilmu gaib. Tak cuma bisa membedakan aroma tubuh orang dengan akurat, bahkan hembusan angin pun bisa ia analisa untuk memprediksi hujan melalui perbedaan rasa halusnya. 　　Mengetahui Nyonya Guo ada di dalam, Jiang Si diam-diam lega. 　　Tak lama kemudian dayang utama A Fu kembali, berkata pada Jiang Ancheng: "Tuan Besar, Nyonya Tua mempersilakan Tuan masuk." 　　Pandangannya tertuju pada Jiang Si, mengandung kerumitan: "Nona Keempat, Nona bisa menunggu di kamar samping sambil menikmati secangkir teh hangat." 　　“Ayah, kalau begitu saya menunggu di luar dulu.” Jiang Si membungkuk lutut kepada Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng mengikuti Afu masuk, langsung melihat seorang perempuan yang duduk berhadapan dengan Nyonya Tua Feng. 　　Perempuan itu berusia sekitar tiga puluh tahun, berparas cantik dengan mata agak panjang yang menunjukkan kecerdikan. 　　Jiang Ancheng semakin heran. 　　Ibu sedang menerima tamu perempuan, mengapa memanggilnya masuk? 　　“Inikah Sang Bangsawan?” Perempuan itu berdiri. 　　Nyonya Tua Feng mengangguk: “Ini ayah dari Si Anak Keempat. Anak sulung, ini adalah Istri Putra Mahkota An Guo Gong, hari ini datang untuk membahas pernikahan.” 　　“Bukankah tanggal sudah ditentukan?” 　　Nyonya Tua Feng melirik Nyonya Guo. 　　Nyonya Guo tampak malu: “Tadi malam terjadi perubahan situasi, maksud ayah mertua dan ibu mertua adalah ingin segera menikahkan Si Nona Keempat...” 　　“Mengapa begitu?” Wajah Jiang Ancheng berubah muram. 　　Biasanya pernikahan yang sudah ditetapkan tiba-tiba dimajukan, pasti akan menimbulkan gosip. Hal ini tidak berpengaruh pada pihak laki-laki, tapi merugikan pihak perempuan. 　　Walau merasa canggung, Nyonya Guo tahu kejadian tadi malam tak bisa ditutupi: “Adik ipar kurang bijak, tadi malam main ke Danau Moyou, tak sengaja terpeleset jatuh ke air--” 　　Bagaimanapun kabar burung beredar, keluarga bangsawan sama sekali tak bisa mengakui adik ipar bunuh diri melompat ke danau bersama seorang perempuan-- sungguh memalukan. 　　Jiang Ancheng memotong perkataan Nyonya Guo dengan wajah masam: "Apa hubungannya putra ketiga Tuan yang jatuh ke air dengan percepatan pernikahan? Apakah dia tinggal satu tarikan nafas saja, sehingga ingin menyuruh putriku menikah untuk mengusir sial?" 　　"Tuan Kelas Bangsawan salah paham, adik ipar meski kaget tapi tidak apa-apa." Nyonya Guo dalam hati merasa tidak senang. 　　Andai saja adik iparnya tidak bertindak bodoh seperti itu, mana mungkin ia harus merendahkan diri di hadapan keluarga bangsawan rendahan ini. 　　"Lalu kenapa nikahnya dipercepat?" Jiang Ancheng terus mendesak. 　　Tiga anaknya sudah kehilangan ibu sejak kecil. Dalam urusan pernikahan, ia sama sekali tidak boleh lengah. 　　Sikap Jiang Ancheng yang agresif membuat Nyonya Guo yang terbiasa dipuja semakin gerah, tapi raut wajahnya tetap tenang: "Meski adik ipar tidak apa-apa, tapi tadi malam ada seorang perempuan yang ikut terjatuh bersamanya... Untuk menghindari desas-desus, mertua memutuskan agar Nona Keempat segera menikah..." 　　"Ada perempuan lain?" Wajah Jiang Ancheng membeku seperti es, "Perempuan macam apa itu?" 　　Nyonya Guo yang kesal akhirnya membuka kartu: "Jujur saja, adik ipar sudah kenal perempuan itu sebelumnya. Tapi Tuan tak perlu khawatir, dia hanya masih muda. Mertua pasti akan mengawasinya ketat. Perempuan itu-" 　　"BATALKAN TUNANGAN!" Jiang Ancheng menghentikan dengan dingin. 　　Nyonya Guo terkejut. 　　“Apakah pendengarannya salah? Apa yang baru saja dikatakan Dongping Bo?” 　　“Membatalkan pertunangan?” 　　Guo Shi merasa ini sangat konyol. 　　Pertunangan antara Keluarga Dongping Bo dengan Keluarga An Guo Gong adalah keberuntungan langka, bagaimana bisa Dongping Bo dengan enteng mengatakan ingin membatalkannya? 　　“Tuan Bo, tenang dulu, biarkan saya menjelaskan——” 　　“Batalkan pertunangan!” Jiang Ancheng berkata tegas. 　　Dia menunggu apa? Bisakah wanita ini mengeluarkan kata-kata yang bermutu? 　　“Nyonya Tua, lihatlah——” Guo Shi pasrah memandang Nyonya Tua Feng. 　　Rupanya Dongping Bo ini sembrono, bagaimana bisa orang seperti ini menyelamatkan ayah mertua hingga terjadi pertunangan ini. 　　Untung Nyonya Tua Dongping Bo masih waras, pasti Dongping Bo akan mendengarkan keputusannya. 　　“Anak sulung, dengarkan dulu penjelasan Istri Pangeran Muda. Pertunangan dua keluarga adalah urusan besar, tidak bisa dibatalkan sembarangan!” Nyonya Tua Feng bersuara berat. 　　“Justru karena ini urusan besar, aku tidak bisa menjerumuskan putriku ke lubang api!” 　　“Perkataan Tuan Bo keterlaluan, wanita itu paling hanya jadi selir, tidak akan menggoyahkan posisi Putri Keempat sebagai nyonya muda——” 　　“Batalkan pertunangan!” Dua kata Jiang Ancheng memotong ucapan Guo Shi. 　　Guo Shi berkata datar: “Tuan Bo, bukankah ini harus meminta pendapat Nyonya Tua?” 　　Jiang Ancheng menyeringai: “Istri Pangeran Muda berasal dari keluarga terpandang, pasti dididik dengan baik. Kubertanya padamu, prinsip apa yang harus dijunjung dalam urusan pernikahan?” 　　“Tentu perintah orangtua dan perantaraan matchmaker,” jawab Guo Shi spontan. 　　“Ini dia, aku adalah ayah kandung, apa ada masalah untuk membatalkan pertunangan?” 　　Ngomong-ngomong, Jiang Zhan cameo dari grup pembaca Chen Zhou. Terima kasih untuk Guci Dewa Kekayaan dari Mo Yu Moxi, kipas persik dari Xiong Tai Chu Zhao, kantong wewangian dari Wo Nai Da Luo Jin Xian, 1 Ye Zhi Qiu456, serta jimat perlindungan dari Shi Liu Bu Deng Yu Shi Liu, Yan Zhi Hu1, Yi Sha Ou, Fan Jinju000, Si Xiao Yan De Wen Rou, Song3. Lanjut minta koleksi dan rekomendasi vote. 8.Bab 8 Urusan Pernikahan 　　Bab 8 Urusan Pernikahan 　　Nyonya Guo sudah menyadari bahwa Jiang Ancheng, Pangeran Dongping bukanlah orang yang beradab. 　　Seperti cendekiawan bertemu tentara - susah berdebat dengan logika. Ia menekan rasa sesak di dada dan tersenyum pada Nyonya Dongping Bo: "Nyonya, pertunangan ini adalah penyatuan dua marga, tentu tak bisa asal-asalan. Bagaimana jika Anda berdiskusi dulu dengan Pangeran, saya akan menunggu kabar di ruang tamu." 　　Melihat Nyonya Guo sementara mengundurkan diri, Nyonya Feng lega. 　　Meski tak berniat membatalkan pertunangan, tapi di hadapan keluarga An Guo Gong Fu tak boleh terlihat lemah. Karena An Guo Gong Fu yang salah duluan, tentu tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. 　　Kebetulan, ia sedang pusing memikirkan cara agar Cang Ge bisa berguru pada sarjana besar Qing Ya Xiansheng. 　　Dalam pikiran Nyonya Feng, pertunangan sama sekali tak boleh dibatalkan, tapi memanfaatkan situasi untuk mendapat keuntungan adalah win-win solution. 　　Tentu, ia harus meyakinkan putra sulungnya dulu. 　　Melihat wajah sang putra sulung yang pucat marah, Nyonya Feng tak bisa menahan kerutnya kening. 　　"Putra sulung bakatnya biasa saja, tahun lalu tangannya lumpuh karena menyelamatkan Adipati An Guo. Jangankan memikirkan cara melanjutkan kejayaan Kekaisaran Bo, bisa mempertahankan situasi saat ini saja sudah bagus." 　　"Sudah dewasa tapi sama sekali tidak mengerti sopan santun!" 　　"Ibu, masalah ini tidak bisa ditawar lagi. Pertunangan ini harus dibatalkan! Keluarga Adipati An Guo sudah keterlaluan!" 　　"Harus dibatalkan? Anak sulung, pernahkah kau berpikir betapa besar dampaknya bagi gadis yang diputuskan tunangannya? Meskipun kesalahan ada di pihak pria, apakah gadis yang sudah dibatalkan tunangannya bisa mendapatkan jodoh baik lagi?" 　　Jiang Ancheng mendengus dingin: "Lebih baik menikahkan Si'er dengan rakyat jelata daripada pria yang masih selingkuh dengan wanita lain sebelum pernikahan!" 　　"Rakyat jelata?" Nyonya Feng menatap Jiang Ancheng dengan pandangan kecewa, "Tahukah kau uang bedak dan perias bulanan Si'er setara dengan pengeluaran tahunan lima anggota keluarga biasa?" 　　Jiang Ancheng tertegun oleh pertanyaan Nyonya Feng. 　　Nyonya Feng memperkeras nada: "Cinta bisa mengenyangkan hanya omong kosong. Istri Pangeran Muda An Guo berkata padaku, wanita itu berasal dari keluarga rendahan, bahkan tidak bisa baca huruf. Tuan Ji Ketiga hanya sedang iseng, setelah dimasukkan ke kamar, tak lama akan dibuang." 　　Jiang Ancheng mendengus keras: "Ibu salah! Ini bukan masalah apakah si brengsek itu peduli wanita lain, tapi dia tidak menghargai Si'er sama sekali. Orang seperti ini bukan pasangan baik!" 　　"Sudahkah kau tanya pendapat Si'er?" Nyonya Feng tiba-tiba bertanya. 　　“Suara Jiang Ancheng terhenti.” 　　Nyonya Feng mengangkat sudut bibirnya: “Kau belum pernah menanyai Si'er, mana tahu dia mau membatalkan pertunangan? Meskipun urusan pernikahan adalah perintah orangtua, tidakkah kau takut membuat keputusan yang salah dan membuat Si'er membencimu seumur hidup?” 　　Perkataan Nyonya Feng membuat wajah Jiang Ancheng pucat. 　　Almarhumah istrinya meninggalkan dua putri dan satu putra, dari ketiga anaknya yang paling ia sayangi adalah Si'er. 　　Daging di telapak tangan dan punggung tangan sama-sama berharga, ia tahu ini tidak baik, tapi siapa yang bisa menyangkal Si'er paling mirip dengan almarhumah istrinya? 　　Begitu melihat putri bungsunya, hatinya langsung meleleh tak terkendali. 　　Tapi putri bungsunya sejak kecil tidak dekat dengannya, hari ini sikapnya baru mulai melunak, ia tidak ingin kembali menjauh. 　　Nyonya Feng menyeringai dingin dalam hati. 　　Ia sudah tahu, mengangkat nama Si'er untuk membujuk sang kakak pasti berhasil. 　　“Meski Si'er membenciku, aku tetap——” 　　“Panggil Si Nona ke sini.” Nyonya Feng memotong ucapan Jiang Ancheng, menyuruh dayang utama A Fu. 　　A Fu segera pergi ke kamar samping untuk menjemput Jiang Si. 　　Jiang Si sedang menghitung waktu. 　　Saat ini ayahnya seharusnya sudah memahami situasi. 　　Sebelumnya, ayahnya juga menentang pernikahan yang dipercepat. Kali ini Qiao Niang tidak mati, dengan sifat Nyonya An Guogong yang memanjakan Ji Chongyi, pasti tidak berani mengusir Qiao Niang. Begitu ayah mengetahuinya, pasti akan membatalkan pertunangan. 　　Tentu saja, Nyonya Guo saat menceritakan aib keluarganya pasti menghiasinya, kemarahan ayah masih kurang sedikit. 　　“Tidak apa-apa. Nanti ketika Kakak Kedua mendengar kabar angin di luar dan memberitahu Ayah, Ayah pasti bisa mengambil keputusan tegas.” 　　Jiang Si memahami situasi dengan jelas. Di saat-saat genting, nenek dari Cixin Tang yang selama ini cukup baik padanya ternyata tak bisa diandalkan. 　　Tapi kenapa Kakak Kedua belum juga pulang? 　　“Nona Keempat, Nyonya Tua memanggilmu masuk.” 　　Jiang Si menarik kembali pikirannya dan masuk dengan wajah tenang mengikuti A Fu. 　　“Nona Keempat, sudah lama menunggu ya?” 　　Jiang Si memberi salam hormat pada Nyonya Feng, lalu tersenyum: “Wajar saja cucu menunggu sebentar saat Nenek sedang menerima tamu.” 　　“Nona Keempat memang paling mengerti adat.” Keriput di sudut mata Nyonya Feng semakin dalam saat memanggil Jiang Si mendekat. “Si'er tahu tamu itu siapa?” 　　“Cucu tidak tahu.” 　　“Istri Pangeran Anguo.” Nyonya Feng memperhatikan ekspresi Jiang Si yang tak berubah, melanjutkan. “Keluarga Istana ingin kamu segera masuk ke keluarga mereka. Apa kamu bersedia?” 　　“Ibu!” Jiang An Cheng wajahnya menghitam karena marah. 　　“Ibu ini kenapa? Tidak menjelaskan situasi sama sekali pada Si'er langsung bertanya seperti ini. Ini kan menipu orang?” 　　Nyonya Feng tak menghiraukan Jiang An Cheng, matanya tajam menatap Jiang Si. 　　Dia lebih memahami cucu perempuannya ini dibanding putra sulungnya. 　　Ambisi setinggi langit tapi nasib tipis seperti kertas - itu julukan untuk gadis ini. Dia tak percaya Si'er rela melepas perjodohan bagus ini. 　　Ekspresi Jiang Si tetap tenang. “Apakah Tuan Ji Ketiga sekarat, sehingga perlu aku dimajukan pernikahannya untuk menjodohkan untuk membawa keberuntungan?” 　　Nyonya Feng tertegun. 　　"Sudut mulut Jiang Ancheng tak bisa menahan untuk melengkung ke atas." 　　Entah mengapa, mendengar perkataan putrinya, sepertinya dia bisa merasa lega. 　　"Tuan Ketiga Ji baik-baik saja, ke mana arah pikiranmu ini, Si Yatou?" Nenek Feng butuh waktu cukup lama untuk menyusun kembali pikirannya setelah tindakan tak terduga Jiang Si. 　　"Apakah mungkin Adipati An atau Permaisuri An sedang sakit parah, sehingga perlu aku segera menikah untuk mengusir sial?" tanya Jiang Si lagi. 　　"Hmm-hmm." Jiang Ancheng menutupi tawanya dengan batuk-batuk palsu. 　　Nenek Feng mulai merasakan sakit kepala. 　　Untunglah Permaisuri Pangeran Muda An tidak ada di sini, kalau tidak pasti dia akan mati marah mendengar ucapan gadis ini. 　　"Tidak ada yang sakit di keluarga Adipati An." 　　Wajah Jiang Si serius: "Kalau begitu, cucu tidak mengerti alasan mereka memajukan pernikahan ini." 　　Pelipis Nenek Feng berdenyut-denyut, terpaksa menjelaskan: "Beginilah, kemarin Tuan Ketiga Ji sedang berperahu dengan seorang gadis rakyat dan tidak sengaja terjatuh. Kasus ini jika tersebar akan memalukan kedua keluarga, makanya kami ingin kalian segera menikah..." 　　Sambil berbicara, Nenek Feng mengamati ekspresi Jiang Si: "Bagaimana pendapatmu, Er?" 　　Jiang Ancheng tak bisa menahan ketegangannya. 　　"Bagaimana rencana keluarga Adipati An untuk menempatkan gadis itu?" 　　"Sudah terjadi hal seperti ini, tentu harus dijadikan selir. Kau anak pintar, harusnya tahu selir tidak berarti apa-apa, cuma benda bernyawa belaka." 　　Hati Jiang Si menyeringai dingin. 　　Benda bernyawa? 　　“Ji Chongyi demi makhluk hidup yang bisa bernapas sampai setahun pernikahan tidak pernah menyentuhnya. Begitu dipikir, aku bahkan tidak lebih dari benda bernapas.” 　　"Nona Keempat?" Melihat Jiang Si diam, Nenek Feng mendesak. 　　Jiang Si menunduk melepas sepasang gelang giok berkualitas tinggi dari pergelangan tangannya, menyodorkannya ke tangan Jiang Ancheng. 　　Sepasang gelang giok ini merupakan hadiah pertunangan dari An Guo Gong Fu. Saat itu Jiang Si langsung menyukainya dan terus memakainya. 　　Wajah Nenek Feng berubah. 　　Jiang Si mengangkat pandangan, tersenyum manis pada Nenek Feng: "Urusan pernikahan harus mengikuti perintah orangtua dan perantara pernikahan. Aku mendengarkan ayah. Jika ayah merasa aku harus terus memakai gelang ini, aku akan memakainya. Jika ayah memutuskan mengembalikan, aku pun tidak akan menyesal." 　　Jangan lupa untuk memberikan suara, terima kasih dengan hormat. 9.BAB 9 HADIAH DAN HUKUMAN 　　BAB 9 HADIAH DAN HUKUMAN 　　Nenek Feng terkejut dalam hati, memandangi Jiang Si seolah tidak mengenalinya. 　　Jiang Si tetap tenang, membiarkan Nenek Feng mengamat-amatinya. 　　Di kehidupan sebelumnya meski tidak melewati usia 20 tahun, penderitaan yang dialaminya lebih banyak dari wanita seumur hidup. Tentu saja tidak takut diperhatikan orang. 　　Jiang Ancheng mengendurkan ekspresi: "Jika Si'er berkata begitu, ayah akan memutuskan - BATALKAN PERTUNANGAN!" 　　Teriakan "Batalkan pertunangan" bergema penuh keyakinan, hati Jiang Si tiba-tiba lega. 　　"Tidak boleh!" Teriak Nenek Feng dengan suara keras dan kasar. 　　“Awalnya berharap cucu perempuan bisa mengendalikan anak sulung, siapa sangka kelainan Jiang Si membuat rencana Nyonya Tua Feng gagal. Tanpa ragu ia menyobek cadar kehangatan, suaranya dingin dan keras seperti pisau: ‘Aku sama sekali tidak setuju pembatalan pertunangan!’” 　　“Ibu!” 　　“Jangan kau bicara lagi! Tahukah kau betapa banyak orang iri bisa bertunangan dengan Keluarga Adipati Anguo? Lihat saja, Nona Besar dan Nona Kedua dihormati di keluarga suami, setahun terakhir lamaran untuk Nona Ketiga pun berasal dari keluarga lebih terpandang. Jujur saja, ini karena ingin berhubungan dengan Adipati Anguo. Kakak, meski tak memikirkan Si Yatou, pikirkanlah kedudukan Keluarga Bupati kita!” 　　“Ibu, maksud Ibu demi Keluarga Bupati, kita bisa mengorbankan kebahagiaan seumur hidup Si Er?” Jiang Ancheng membalas bertanya. 　　“Kurang ajar! Berani kau ucapkan kata-kata menghakimi seperti ini!” Tubuh Nyonya Tua Feng goyah, tangan memegang dahi sambil terjatuh ke belakang. Dayang utamanya, Ah Fu, gesit menyangga. 　　“Ibu, Ibu baik-baik saja?” Meski kecewa dengan tindakan Nyonya Tua Feng, Jiang Ancheng tetap cemas melihat keadaannya. 　　Nyonya Tua Feng memandang dingin pada Jiang Ancheng: “Kau anak durhaka! Berani menyangka aku mengabaikan nyawa Si Yatou demi Keluarga Bupati! Bukankah dia cucuku juga? Menikah ke Keluarga Adipati Anguo jelas menguntungkan dia dan keluarga, tapi kau mau batalkan tunangan karena emosi sesaat!” 　　“Ini bukan karena emosi——” 　　“Diam! Urusan pernikahan adalah keputusan orang tua, tapi Si'er sudah kehilangan ibunya sejak kecil. Apakah saya sebagai nenek tidak berhak memutuskan? Hari ini saya akan bicara jelas, Keluarga Anguo Gong yang bersalah duluan. Kau boleh mengajukan permintaan untuk Si'er, tapi saya tidak setuju pembatalan pertunangan!” 　　Perkataan Nyonya Feng membuat Jiang Ancheng merasa dingin sampai ke tulang. Saat hendak membujuk lagi, dayang utama lain di samping Nyonya Feng, Axi, berlari terburu-bapur masuk sambil terengah-engah: "Nyonya, tidak baik! Putra kedua, Putra kedua dia——" 　　"Kejahatan apa lagi yang diperbuat si brengsek itu?" Di momen genting ini, Jiang Ancheng langsung pusing mendengar nama Jiang Zhan disebut. Seandainya Jiang Zhan ada di depannya, ingin sekali ia menendang sampai mati. 　　Wajah Axi pucat: "Putra kedua menghancurkan kereta kuda Keluarga Anguo Gong yang diparkir di depan gerbang kita!" 　　"Apa?!" Kepala Nyonya Feng yang tadinya pusing langsung segar. Ia bangkit berdiri dengan cepat. 　　Amarah Jiang Ancheng tiba-tiba lenyap bagai asap. 　　Ya, bagus sekali. Anak brengsek itu sesekali masih melakukan hal yang benar. 　　"Apakah pengurus itu hanya makan gaji buta? Cepat halangi dia!" 　　"Nyonya, tidak bisa dihalangi! Putra kedua sedang menuju ke sini. Pengurus tidak berani mengejar dengan membawa orang——" 　　"Ke sini?" Mata Nyonya Feng berkedip penuh kebingungan. 　　Jangan-jangan si brengsek itu datang untuk memohon maaf dengan membawa dahan berduri? 　　"Nyonya Tua Feng segera menyadari dirinya terlalu khawatir, ketika seorang dayang lain berlari masuk melapor: 'Nyonya Tua, Putra Kedua sedang menerobos ke paviliun bunga, hamba-hamba hampir tak bisa menahannya!'" 　　Pandangan Nyonya Tua Feng berkunang-kunang, kali ini benar-benar ingin pingsan. 　　"Ikut aku!" Nyonya Tua Feng melototi Jiang Ancheng, lalu bergegas menuju paviliun bunga. 　　"Putra Kedua, Yang Mulia tak boleh masuk! Ada tamu penting di dalam." 　　Jiang Zhan melompat setinggi tiga kaki: "Cih! Tamu penting macam apa? Keluarga yang menghina adikku pantaskah disebut tamu penting? Minggir!" 　　Dengan satu tendangan, Jiang Zhan menghempaskan dayang yang menghalanginya, sama sekali tak punya rasa belas kasihan. 　　Nyonya Guo, istri Putra Mahkota Adipati An Guo, tercengang membatu. 　　"Kau dari keluarga Adipati An Guo?" 　　Nyonya Guo spontan berdiri. Andai bukan karena wajah remaja yang mendekatinya terlalu tampan dan tak mirip perampok, pasti sudah kabur terbirit-birit. 　　"Aku adalah Istri Putra Mahkota Adipati An Guo. Siapa kau? Berani berlaku tak sopan seperti ini?" Nyonya Guo mencoba berdiplomasi dengan pemuda tampan itu. 　　Jiang Zhan mendengar ini malah bersemangat - target kelas berat yang tertangkap di rumah sendiri. Tanpa ragu ia mengangkat meja kecil dan melemparkannya. 　　Nyonya Guo menjerit, matanya terbalik hendak pingsan. 　　Dayang di pintu berteriak: "Nyonya Putra Mahkota, jangan pingsan! Putra Kedua kami kalau sudah mengamuk tak bisa dihentikan--" 　　"Guo Shi langsung terkejut, kepalanya tidak pusing lagi, kakinya tidak gemetar, langsung berlari. 　　Meja kecil menghantam sudut meja, mengeluarkan suara keras, sudut meja langsung patah sepotong. 　　Jiang Zhan membawa meja kecil mengejar: "Berhenti, sudah mengganggu adikku masih mau lari?" 　　"Bajingan kecil, kau berbuat apa?" Nenek Feng bergegas datang, melihat Jiang Zhan mengejar Guo Shi sampai pusing. 　　Guo Shi mengambil napas. 　　Akhirnya Nenek Dongping Bo datang. 　　Suara gadis lembut terdengar: "Nyonya Shizi, cepatlah pulang, Er Gongzi kalau sudah gila nenek pun tidak bisa mengendalikan, meski nanti dihukum, kerusakan sudah terjadi." 　　Guo Shi merasa benar, bahkan tidak sempat melihat wajah gadis yang mengingatkannya, langsung kabur dibantu dayang. 　　Jiang Si melihat punggung Guo Shi yang lari sambil tersenyum. 　　Jiang Zhan mengabaikan teriakan Nenek Feng, terus mengejar tanpa henti. 　　"Anak sulung, cepat hentikan anak durhaka itu!" 　　"Ibu jangan marah, anak segera menghentikan si brengsek itu." Jiang Ancheng menghibur perlahan. 　　"Kalau begitu cepat pergi!" Nenek Feng menghentak kaki. 　　Barulah Jiang Ancheng berjalan keluar. 　　Jiang Zhan mengejar sampai depan gerbang, melemparkan meja kecil hingga pecah berkeping-keping. 　　“Mulai sekarang, jika orang dari Kediaman Adipati Anguo berani menginjakkan kaki di Kediaman Bupati lagi, inilah akhirnya!” 　　Sejak Jiang Zhan mulai menghancurkan kereta kuda, kerumunan penonton sudah memadati luar gedung. 　　Masyarakat yang suka gosip langsung menyelidiki penyebab keributan ini, dan kini mereka ramai berkomentar. 　　“Sepertinya kedua keluarga ini sudah putus hubungan.” 　　“Waduh, wajar saja marah. Putra Kediaman Adipati Anguo yang sebentar lagi menikah malah bunuh diri dengan wanita lain, mempermalukan tunangannya!” 　　“Benar! Keluarga yang punya harga diri pasti membatalkan pertunangan ini. Bu Niu, apa kubilang? Pertunangan ini pasti batal. Tadi Bu masih bersikeras bahwa keluarga pria bangsawan pasti takkan batal.” 　　…… 　　Jiang Ancheng yang baru tiba mendengar komentar ini, memaksakan wajah dinginnya dan membentak Jiang Zhan: “Berhenti membuat ulah! Pulang sekarang dan terima hukuman!” 　　Saat pintu gerbang Dongping Bupati Mansion perlahan tertutup, Nyonya Guo merasa malu tak karuan. Ingin secepatnya kembali ke Kediaman Adipati, tapi kereta kudanya sudah hancur dan harus menunggu kusir menyewa kereta baru. 　　Di bawah tatapan ratusan mata, Nyonya Guo pertama kali merasakan arti "sehari terasa setahun". 　　Begitu tiba di halaman, Jiang Zhan langsung bersujud: “Ayah boleh hukum atau pukul saya, terserah.” 　　“Pakai hukum keluarga! Harus pakai hukum keluarga!” Nenek Feng gemetar marah. 　　Keributan ini sudah menggemparkan seluruh penghuni kompleks. 　　Jiang Si maju dari kerumunan: “Nenek, menurutku Kakak Kedua tidak hanya pantas dihukum, tapi malah layak diberi penghargaan.” 　　Terima kasih kepada teman-teman yang mau mengoleksi dan merekomendasikan buku ini ketika masih sangat tipis. Terima kasih untuk Kipas Persik dari 1456、, kantong wewangian dari 、、、、、honeylion, serta jimat perlindungan dari de、mcj221、20170131065701572、、、、㈤VIVI、mcj221、kikyo、の、、000. 10. BAB 10 Sudah Terbiasa 　　BAB 10 Sudah Terbiasa 　　Nyonya Feng merasa ucapan Jiang Si sangat menggelikan, matanya menyorot tajam padanya. 　　Jiang Zhan mengedip panik ke Jiang Si, berbisik: "Adik keempat, jangan ikut campur, pergilah ke ayah!" 　　Jiang Si tetap tenang dan menatap tajam Nyonya Feng yang murung: "Nenek, apa alasan nenek ingin menghukum kakak kedua?" 　　"Bajingan ini hampir membunuh istri Pangeran Anguo, bahkan mengejarnya sampai pintu gerbang sampai dilihat banyak orang! Apakah Keluarga Anguo mau berdamai dengan Keluarga Bo?" Nyonya Feng gemetar marah. 　　Awalnya ingin mendapat banyak keuntungan dari Keluarga Anguo, tapi gara-gara ulah Jiang Zhan, mungkin semuanya jadi batal. 　　Bukan hanya marah, Nyonya Feng lebih merasa sakit hati. 　　Jiang Si terkecil: "Nenek lupa? Masalah ini awalnya memang kesalahan Keluarga Anguo." 　　“Karena ulah si brengsek ini, kebenaran Keluarga Bo tiba-tiba jadi terlihat salah.” Nyonya Tua Feng berkata dengan marah. 　　“Menurut cucu, benar tetaplah benar dan salah tetaplah salah. Justru karena Keluarga An Guo bersikap tidak pantas, Kakak Kedua baru membelaku. Bukankah tindakan Kakak Kedua yang melindungi keluarga merupakan hal yang tepat? Apakah kita harus menawarkan pipi sebelahnya juga saat ditampar hanya untuk menunjukkan kedewasaan?” 　　Keterusterangan Jiang Si membuat Nyonya Tua Feng merasa canggung. 　　“Jika kita benar-benar melakukan itu, orang-orang justru akan menganggap Keluarga Bo sebagai penjilat yang merunduk untuk mencari keuntungan, bukan sebagai pihak yang bijaksana!” Begitu Jiang Si mengucapkan kata-kata ini, wajah semua orang di ruangan itu berubah pucat. 　　“Omong kosong!” Nyonya Tua Feng membentak sambil merasakan panas menyambar wajahnya. 　　Ekspresi Jiang Si semakin tegas: “Nenek, keluarga Bo adalah keluarga terhormat. Masak kita mau dicemooh sebagai keluarga tak punya harga diri? Kalau sampai begitu, baru benar-benar tak bisa mengangkat kepala di luar sana.” 　　Tatapan Jiang Si beralih sejenak ke Jiang Zhan: “Untung Kakak Kedua cepat bertindak, menunjukkan sikap keluarga kita sebelum desas-desus berkembang. Jika Nenek tidak percaya, silakan periksa pendapat tetangga sekitar – pasti mereka semua mendukung tindakan kita. Karena itu, menurut cucu, Kakak Kedua bukan hanya tidak pantas dihukum, tapi layak diberi hadiah.” 　　“Ucapan Jiang Si sangat beralasan dan berdasar!” Nyonya Feng ingin membantah tapi tak menemukan alasan, di depan seluruh anggota keluarga ia tak bisa memaksakan wibawa sebagai nenek, hingga wajahnya pucat karena panik. 　　“Bagus sekali kata-katanya!” Jiang Ancheng menepuk paha, melihat ekspresi Nyonya Feng buruk ia segera menghibur, “Ibu jangan khawatir, anak akan segera membawa surat pembatalan pertunangan dan mas kawin ke Istana An untuk membatalkan perjodohan!” 　　Nafas Nyonya Feng tersekat di tenggorokan, membuatnya tak bisa bicara. 　　Jiang Ancheng menyepak Jiang Zhan: “Dasar brengsek! Masih berlutut buat apa? Cepat bangun bantu ayahmu!” 　　“Ya!” Jiang Zhan menjawab lantang, mengedipkan mata ke Jiang Si, lalu mengejar Jiang Ancheng yang sudah pergi. 　　“Ini--” Akhirnya Nyonya Feng bisa bernafas lega, tapi menyadari putra sulung dan cucu keduanya sudah kabur, lalu bersiap marah ke Jiang Si. 　　Jiang Si berkedip, matanya berkaca-kaca, lalu membungkuk hormat: “Nenek, meski cucu merasa lega bisa membatalkan pertunangan dengan keluarga tak bermoral itu, tapi pembatalan tunangan bagi perempuan tetap memalukan. Cucu tak enak hati, izin kembali ke kamar.” 　　Sekejap, Jiang Si pun menghilang, meninggalkan Nyonya Feng tercengang sendirian. 　　“Nyonya, benar pertunangannya dibatalkan?” Yang bertanya adalah istri kedua paman Jiang Si, Nyonya Xiao. 　　Ibu Jiang Si sudah lama meninggal, Jiang Ancheng tidak pernah menikah lagi, sehingga hak pengelolaan rumah Marquis jatuh ke tangan Nyonya Xiao. 　　Nyonya Xiao sendiri juga tangguh. Meski keluarganya biasa-biasa saja, Suami Kedua Jiang sangat berprestasi, langka di kalangan bangsawan karena menempuh jalan ujian kekaisaran, lulus sebagai Jinshi resmi, sekarang menjabat sebagai Wakil Menteri Kementerian Pengawasan. Putra sulung Jiang Cang mewarisi bakat ayahnya dalam akademik, sudah mulai terkenal di kalangan remaja seumuran di ibukota. 　　Sebaliknya, keluarga cabang utama lebih lemah, satu-satunya keunggulan adalah perjodohan Jiang Si. 　　Tentu sekarang keunggulan itu pun sudah hilang. 　　Nyonya Xiao senang melihat ini, kalau tidak keluarga mertua Jiang Si akan mengalahkan keluarga mertua putrinya. Tapi dia juga mengerti betapa pentingnya perjodohan ini bagi Suami Kedua Jiang, makanya bertanya. 　　Nenek Feng tersadar dari lamunannya, memerintahkan pelayan: "Cepat panggil Tuan Kedua kembali dari kantor!" 　　Di Paviliun Haitang, Jiang Si baru saja mendapat ketenangan sejenak ketika Aqiao masuk melapor: "Nona, Nenek mengutus orang untuk memanggil Tuan Kedua." 　　Jiang Si tidak terkejut, menyuruh Aman: "Panggil Tuan Muda Kedua kemari." 　　Tak lama kemudian Jiang Zhe menyelinap masuk dengan hati-hati. 　　Jiang Si tidak bisa menahan kerutan di dahinya: "Kakak Kedua kenapa seperti pencuri?" 　　Menatap mata saudari perempuannya yang jernih bagai air musim gugur, Jiang Zhe tiba-tiba merasa canggung, telinganya memerah: "Nenek sedang membenciku, kalau tahu aku menemuimu, mungkin akan menyusahkan adik..." 　　“Tidak mungkin, Nenek sangat adil dalam memberi penghargaan dan hukuman, juga berhati lapang.” 　　“Kamu serius?” Ekspresi Jiang Zhan terlihat aneh. 　　Jiang Si tersenyum manis: “Kakak kedua cukup dengar saja sebagai lelucon.” 　　“Sudah kuduga! Nenek mana mungkin orang seperti itu!” Jiang Zhan menghela napas lega, matanya berbinar-binar memandang Jiang Si. 　　Biasanya dia ingin dekat dengan adik perempuannya, tapi selalu merasa sang adik bagai bunga di puncak gunung yang jauh di awan. Sekarang justru merasa adiknya semakin menggemaskan. 　　“Lebih baik kakak kedua jangan mengomentari Nenek, nanti terdengar orang akan jadi bahan gunjingan.” 　　Wajah tampan Jiang Zhan menyungging senyum konyol: “Aku hanya bicara di depan adikku. Ngomong-ngomong, adik mencari kakak ada perlu apa?” 　　“Kakak kedua silakan duduk dulu.” Jiang Si menunjuk kursi di samping, lalu duduk di seberangnya. 　　A Qiao mengantarkan teh dan meletakkannya di depan Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan mengambil cangkir dan menyesap tehnya. 　　Meski tidak suka aktivitas minum teh dan membaca puisi, tapi dia tetap menghormati adiknya. 　　“Kakak kedua sering ke Paviliun Biru Musim Semi kan?” Ujung jari Jiang Si masih dingin akibat menyelam semalam, kini memegang cangkir teh hangat sambil bertanya dengan senyum. 　　“Haa——” Jiang Zhan menyemburkan seluruh teh di mulutnya. 　　Jiang Si tidak buru-buru, menopang dagu sambil menunggu kakaknya tenang. 　　Jiang Zhan menahan dorongan untuk kabur, menegangkan wajah tampannya: "Tidak ada urusan seperti itu, aku bahkan tidak tahu pintu Gerbang Paviliun Hijau menghadap ke mana! Siapa yang menghasut adik keempat? Akan kukulit dia hidup-hidup!" 　　A Man dan A Qiao yang berdiri di samping tiba-tiba merasa kulit kepala mereka merinding. 　　Ada perasaan bahwa Putra Kedua akan melompat untuk membungkam mulut orang. 　　Jiang Si menaruh cangkir teh di meja, mendesah: "Awalnya kupikir Kakak Kedua yang sudah ahli bisa membantuku. Kalau begitu, aku harus cari cara lain." 　　Mata Jiang Zhan tiba-tiba membelalak lebar. 　　Apa maksud Adik Keempat ini? Astaga, jangan-jangan dia ingin menyamar sebagai pria untuk masuk ke rumah bordil? 　　Seolah membaca pikirannya, Jiang Si berkata dengan ragu: "Jika benar tidak bisa, hanya ada satu cara aku harus pergi sendiri—" 　　"Jangan! Aku yang pergi!" 　　"Bukannya Kakak Kedua tidak tahu letak pintu Paviliun Hijau?" 　　"Tidak, tidak! Aku sudah ahli. Ehm, maksudku walau tidak benar-benar ahli, tapi kadang lewat—" Jiang Zhan tiba-tiba merasa semakin kacau bicaranya, pipinya memerah. 　　"Kalau begitu, tolong Kakak Kedua pergi ke Paviliun Hijau." Jiang Si mengeluarkan sesuatu dari lengan bajunya dan menyerahkannya. 　　Merampas tiket rekomendasi, untuk ini aku benar-benar ahli! 11.BAB 11 Gang Gelap 　　BAB 11 Gang Gelap 　　“Apa ini?” Jiang Zhan meraih benda yang diberikan Jiang Si, mengamatinya dengan saksama. 　　Itu adalah potongan bambu kecil yang ujungnya disumbat. Berdasarkan instingnya, Jiang Zhan menduga ada sesuatu di dalamnya. 　　Ia tak bisa menahan diri menarik napas tajam, memandangi Jiang Si dengan ekspresi tegang. 　　Jangan-jangan adikku tertarik pada bajingan yang suka nongkrong di rumah bordil? Ini tidak boleh! 　　Jiang Si menjelaskan dengan suara lembut: "Di belakang Bichun Lou ada sebuah gang gelap, pernahkah Kakak Kedua memperhatikannya?" 　　Sss—— Bahkan gang gelap sudah diketahui Adik Keempat? Mungkin dia sudah berkencan dengan bajingan itu? 　　Ekspresi Jiang Zhan semakin suram. 　　Gang itu jarang diinjak orang, konkat perempuan tua dari Bichun Lou yang mati sakit akan dibungkus tikar dan diam-diam diangkut lewat situ. 　　Dia baru menyadari keberadaan gang itu setelah tak sengaja melihat orang menyeret pemabuk keluar dari Bichun Lou ke gang gelap untuk dipukuli. 　　“Kakak Kedua tidak tahu? Kalau begitu, saya——” 　　“Tahu, tahu!” 　　“Kalau begitu tolong Kakak Kedua bawa tabung bambu ini ke gang gelap itu dan cari dengan teliti, pasti ada 'Bizhu' di sana.” 　　Bizhu adalah tabung bundar sepanjang sekitar 30 cm, biasanya dipasang di gang sepi. Jika ingin melaporkan kejahatan pejabat, orang bisa menyelipkan surat ke dalamnya, dan censor yang memasang Bizhu akan mengambilnya secara berkala. 　　Di kehidupan sebelumnya, Keluarga An Guo Gong berhasil menutupi masalah ini dengan ketat. Berkat tekanan dari nenek di Keluarga Bo, kabar ini tidak tersebar, sehingga tidak ada yushi yang mencari masalah pada Keluarga An Guo Gong. 　　Meski drama Keluarga An Guo Gong kini telah tersebar, para yushi dari Dewan Pengawas masih pergi menghadiri sidang pagi sebelum fajar. Berita ini belum sampai ke telinga mereka. Dalam beberapa hari ke depan ketika isu mereda, bahkan jika ada yushi yang mendengarnya, mereka mungkin enggan mengganggu Keluarga An Guo Gong. 　　Kali ini, Jiang Si sama sekali tidak ingin membiarkan Keluarga An Guo Gong lolos dengan mudah. 　　Di Dewan Pengawas terdapat Yushi Niu yang terkenal tak bisa dibujuk maupun diancam. Setelah sidang hari ini, dia akan mengirim orang kepercayaannya untuk mengambil "Bi Zhu" yang disembunyikan di gang gelap Bi Chun Lou. Jiang Si meminta bantuan kakaknya agar Yushi Niu bisa segera menggigit keras Keluarga An Guo Gong. 　　Pengetahuannya ini wajar, karena di kehidupan sebelumnya Yushi Niu langsung menulis memorial kecaman kepada Menteri Ritus setelah mendapatkan Bi Zhu. 　　Menteri Ritus adalah kakek dari Permaisuri Putra Mahkota. Namun kemudian terbukti tuduhan itu fitnah, sehingga Yushi Niu dipecat dari jabatannya. 　　Sayangnya Yushi Niu adalah pemberani, dia malah menghantamkan kepalanya ke pilar hingga tewas. Setelah kematiannya, keluarga yatim piatunya yang ditinggalkan pasti menderita karena banyak musuh yang pernah dibuatnya. 　　Baru setelah Putra Mahkota melakukan kesalahan dan dipecat, konspirasi terhadap Yushi Niu terungkap. Namun tragedi itu sudah tak bisa diperbaiki. 　　“Jiang Si berpikir, dengan sifat impulsif Niu Yushi, pasti ia dengan senang hati menceritakan drama keluarga An Guo Gong kepada Kaisar.” 　　“Asalkan kisah Ji Chongyi yang bunuh diri demi cinta dengan seorang wanita sampai ke telinga Kaisar, impian Tuan Ketiga Ji untuk menikahi gadis bangsawan akan pupus. Akhirnya mungkin dia akan bersatu dengan Qiao Niang, daripada merusak kehidupan gadis lain.” 　　“Dengan menyelamatkan nyawa Niu Yushi sekaligus mempersatukan sepasang kekasih, Jiang Si merasa dirinya sangat pengertian.” 　　“Apa itu 'Bambu Penutup'?” Jiang Zhan mengernyit bingung. 　　Jiang Si menatap kakaknya sambil menghela napas. 　　Resep yang sama, rasa yang familiar - kakaknya tetap sama: tak mau belajar! 　　Setelah penjelasan tentang "Bambu Penutup", Jiang Zhan bersemangat: “Ada benda seru begini? Andai saja aku juga menulis surat!” 　　“Kakak jangan sembarangan. Surat yang membongkar kejahatan orang dianggap momok. Kalau tulisan tanganmu ketahuan, bisa bahaya.” 　　“Oh begitu...” Jiang Zhan menggeleng kecewa. 　　“Cepatlah, Kakak. Sebelum Niu Yushi melapor ke Kaisar, Nenek pasti sudah memanggil Paman. Urusan keluarga selalu diputuskan Nenek dan Paman. Aku yakin Paman tak setuju pembatalan tunangan ini.” 　　“Tenang, Adik. Aku segera berangkat! Pasti takkan gagalkan rencanamu!” 　　“Kak, bawa sumpit kayu ini. Jangan lupa ambil tabung bambu paling atas dari Bi Zhu.” 　　Di tabung bambu paling atas itu tersimpan surat laporan untuk Menteri Ritual. 　　“Kenapa?” 　　“Nanti aku jelasin ke Kakak. Sekarang sudah tidak ada waktu.” 　　Dipercepat oleh Jiang Si, Jiang Zhan langsung melupakan rasa ingin tahunya. Dia menyelipkan tabung bambu ke dalam bajunya dan bergegas pergi. 　　Jiang Si tak bisa menahan tawa. 　　Kakaknya memang selalu begitu. Sebesar apapun rasa penasarannya, langsung hilang sekejap. 　　Jiang Zhan membawa tabung bambu itu dan bergegas menuju Paviliun Bichun tanpa menunda sedetik pun. 　　Mau bagaimana lagi? Dia memang sudah mahir melintasi jalan ini. 　　Paviliun Bichun di pagi hari sunyi senyap. Pintu gerbang terkunci rapat. Lentera merah besar di bawah atap sudah padam, bergoyang lesu tertiup angin. 　　Siang hari adalah waktu para penghuni paviliun ini tidur. Baru saat lentera-lentera dinyalakan, Paviliun Bichun akan kembali hidup dengan gemerlap cahaya. 　　Mengikuti petunjuk Jiang Si, Jiang Zhan menyusuri gang gelap dan menemukan Bi Zhu di tembok bata yang sudah mengelupas. 　　Setelah mengeluarkan tabung bambu dengan sumpit dan menggantinya dengan yang baru, tugasnya seharusnya selesai. Tapi matanya berkedip licik sebelum memanjat pohon besar di pinggir tembok. 　　Musim panas membuat dedaunan pohon itu rimbun, menyembunyikan tubuhnya dengan sempurna. 　　Jiang Zhan duduk di dahan pohon sambil menunggu hingga hampir tertidur, tiba-tiba mendengar suara langkah kaki samar. 　　Kantuknya langsung hilang, diam-diam menggeser dedaunan untuk mengintip ke bawah. 　　Seorang pemuda bermuka tampan melirik ke sekeliling, menyusuri tembok dan menyelinap masuk. Setiba di dekat Bi Zhu, sambil mengambilnya ia masih sempat menengok ke belakang. Begitu Bi Zhu berada di pelukannya, langsung berlari kencang. 　　Jiang Zhan mengusap dagunya sambil bergumam, "Benar-benar ada yang mengambil Bi Zhu di waktu seperti ini." 　　Bagaimana adik keempat bisa tahu? 　　Tapi sejak kecil adik memang pintar, tak aneh jika tahu lebih banyak dariku. Ya, memang begitu. 　　Jiang Zhan hendak melompat turun, tiba-tiba suara langkah kaki lain terdengar. 　　Kaget, ia segera merapatkan tubuh ke batang pohon. 　　Langkah kaki ini lebih ringan dari sebelumnya, gerakannya lebih lincah. Dengan cepat seperti naga berenang, sampai ke tempat Bi Zhu semula. Matanya berkilat memandangi lubang bekas Bi Zhu. 　　Kenapa ada orang lagi? Ini kelompok mana lagi? 　　Jiang Zhan berpikir dalam hati. 　　Tiba-tiba orang itu menengadah tajam, sorot matanya seperti pisau menembus dedaunan, bertemu pandang dengan Jiang Zhan. 　　Aura pembunuhan menyelimuti sekujur tubuhnya. Secara naluri, kulit kepalanya bergidik. 　　"Dia tidak bisa melihatku, dia tidak bisa melihatku." 　　Jiang Zhan membujuk diri sendiri. Saat mengulang mantra ketiga kalinya, tiba-tiba melompat dari pohon dan kabur berlari. 　　Saat seperti ini lebih baik jangan membohongi diri sendiri, kabur adalah taktik terbaik! 　　Pria itu bergerak secepat kilat, meraih bahu Jiang Zhan dan menariknya kembali. 　　Melihat pelarian sia-sia, Jiang Zhan tak sempat menyesal, langsung berbalik melawan. 　　Sebagai anak borjuis yang sering membuat masalah, menguasai beberapa jurus bela diri adalah keharusan. 　　Tapi saat berhadapan dengan ahli sungguhan, Jiang Zhan baru menyadari jurang pemisah antara ahli sejati dan teman-teman sembarangan. 　　Itu seperti jarak Bimasakti! 　　Hampir seketika ia dibelenggu tangan kakinya, lalu kilatan dingin menyambar di depan matanya. 　　Ya ampun, utangnya di Paviliun Mabuk belum dilunasi! 　　Terima kasih untuk hadiah He Shi Bi dari adulanxing, kipas persik dari , kantong wewangian dari 、、1456、, jimat perdamaian dari KA、、、、99s、、、mcj221, serta koin buku dari &、、、、Van、. 12. Bab 12 Pemuda dan Anjing 　　Bab 12 Pemuda dan Anjing 　　Saat Jiang Zhan menutup mata menunggu ajal, tiba-tiba terdengar suara "dor!", disusul suara pisau menembus sesuatu. 　　Ia menjerit sambil memegangi perut dan bersandar di dinding. 　　Dinding di gang gelap yang tak pernah tersentuh sinar matahari ini tetap dingin dan lembap meski di musim panas. 　　"Jiang Zhan menutup mata sambil meraba dinding, sensasi licin yang dirasakannya membuat wajahnya pucat." 　　"Hancur, darahnya sudah mengalir di seluruh dinding, apakah dia sudah mati?" 　　"Ada sesuatu yang menarik-narik ujung baju Jiang Zhan." 　　"Kepala Jiang Zhan berdengung keras." 　　"Apa begitu cepat Dewa Kerbau dan Kuda Penjemput Nyawa datang menagih nyawa?" 　　"Tidak, dia tidak boleh mati, adik perempuannya masih menunggu kabarnya di rumah!" 　　"Dengan tiba-tiba Jiang Zhan membuka mata, berhadapan langsung dengan 'Dewa Kerbau dan Kuda Penjemput Nyawa' yang menarik bajunya." 　　"Telinga tegak, wajah panjang, hidung menonjol, dan bulu abu-abu kekuningan yang lebat..." 　　"Hmm, penampilan ini jauh berbeda dengan 'Kepala Kerbau', sepertinya ini Wajah Kuda!" 　　"Setelah mengamati lama, Jiang Zhan menarik kesimpulan hati-hati." 　　"'Kakak Kuda, aku belum bisa mati. Masih ada ayah tua cacat di atas dan adik kecil lemah di bawah. Mereka masih bergantung padaku. Kumohon kasihanilah, kembalikan aku ke dunia orang hidup-'" 　　"'Wajah Kuda' itu memperlihatkan giginya: 'Guk-'" 　　"Jiang Zhan seolah dicekik lehernya, tak bisa berkata-kata sambil memandang 'Wajah Kuda' yang menggonggong padanya." 　　"Sepertinya ada yang tidak beres di sini." 　　"'Er Niu, kembali!' Suara datar terdengar." 　　"Jiang Zhan terkejut, menoleh keras dan melihat seorang remaja berdiri sejarak tiga meter." 　　“Pemuda itu kira-kira berusia 17-18 tahun, bahkan lebih tinggi dua inci darinya, alisnya tegak, mata hitamnya berkilau, wajah seperti patung es yang hampir tak berekspresi, bagai pisau termasyhur dalam sarungnya, membuat orang tak bisa meremehkannya.” 　　“Siapa kau?” Jiang Zhan terkejut. 　　“Manusia.” Jawab pemuda itu. 　　“Lalu ini——” Jiang Zhan menunduk susah payah, menunjuk “wajah kuda” yang pincang berlari ke sisi pemuda itu dengan ekspresi kompleks. 　　Pemuda itu menatap Jiang Zhan dalam-dalam, melontarkan satu kata: “Anjing.” 　　Saat itu juga, Jiang Zhan tiba-tiba melihat secercah senyum dalam sorot mata dalam pemuda itu. 　　“Ehem-ehem.” Jiang Zhan hanya bisa menyembunyikan rasa malu dengan batuk. 　　Pemuda itu mengusap kepala anjing besar itu, mengingatkan: “Kalau tidak pergi sekarang, orang ini akan bangun.” 　　Jiang Zhan menunduk, baru menyadari orang yang menyerangnya tadi tergeletak di dekat kakinya. 　　“Dia mati?” 　　“Tidak, hanya pingsan.” 　　Jiang Zhan melihat tangannya sendiri, ujung jari yang ternoda zat kehijauan, bergumam: “Ini apa?” 　　“Lumut.” Suara datar pemuda itu terdengar, sambil menunjuk penuh perhatian, “Di tembok.” 　　Jiang Zhan mengikuti arah tunjuknya, baru paham dari mana datangnya rasa licin itu tadi. 　　Ternyata bukan darahnya, tapi lumut! 　　Kesadaran ini membuat wajah Jiang Zhan memerah seketika, tersipu: “Ayo kita buruan kabur.” 　　“Hm, kabur bersama.” Pemuda itu mengangguk serius. 　　Sebuah pikiran aneh muncul di benak Jiang Zhan. 　　Entah mengapa, meski aura pemuda ini terkesan sulit didekati, tapi sikapnya padanya justru sangat ramah. 　　Apakah menjadi tampan punya keuntungan seperti ini? 　　Tapi tidak, pemuda ini jelas-jelas sedikit lebih tampan darinya. 　　Mungkin ini yang disebut saling menghargai di antara sesama. 　　Dua manusia dan seekor anjing berlari keluar dari gang sempit yang gelap, terus melaju sampai ke jalanan ramai yang penuh keramaian. 　　Di bawah terik matahari, Jiang Zhan merasakan perasaan lega setelah selamat dari bahaya. Ia menghela napas panjang lalu mengepalkan tangan sambil tersenyum, "Terima kasih atas pertolonganmu, Kak. Boleh tahu nama Kakak?" 　　Pemuda itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Kau bisa memanggilku Yu Qi." 　　Tak lupa ia memperkenalkan anjing besar di sampingnya, "Dia bernama Er Niu." 　　Melihat pemuda itu lebih tua 1-2 tahun darinya, Jiang Zhan memanggil, "Kak Yu Qi", lalu melambaikan tangan ke anjing besar, "Halo, Er Niu." 　　Anjing besar itu melirik Jiang Zhan dengan pandangan merendahkan, lalu memalingkan kepala. 　　Diremehkan oleh anjing?! Hanya karena salah menyebutnya "Kuda Tanduk", dasar binatang kecil pendendam! 　　Jiang Zhan mendengus, lalu bertanya pada Yu Qi, "Kak Yu Qi tinggal di mana? Nanti pasti akan kudatangi untuk membalas budi." 　　Jika Yu Qi bersikeras tidak mau memberitahu alamatnya, ia siap memaksa dengan segala cara. 　　Dirinya bukanlah tipe orang yang tidak tahu balas budi. 　　"Rumahku di Gang Quezi, yang ada pohon kurma bengkok di depan pintu." 　　Sekali lagi hati Jiang Zhan merasa tersumbat. 　　"Mengapa penyelamatnya tidak mengikuti skrip yang seharusnya?" 　　"Kebetulan sekali, Gang Quezi tidak jauh dari rumahku. Aku Jiang Zhan, tinggal di Gang Yuqian dekat Gang Quezi, cucu kedua dari Keluarga Dongping Bo." 　　"Jiang Zhan." Yu Qi mengulang sambil tersenyum. 　　"Ya, betul, Jiang Zhan." Jiang Zhan merasa bulu kuduknya merinding mendengar suara merdu pria itu menyebut namanya. 　　Sialan, dari mana munculnya siluman ini? Suaranya terlalu memikat, sampai pria sepertiku pun jantungnya berdebar. 　　"Guk--" 　　Jiang Zhan menatap tajam anjing besar itu dengan muka masam, sudut bibirnya berkedut. 　　Binatang kecil yang merusak suasana. 　　Anjing besar itu memalingkan kepala dengan sikap meremehkan. 　　"Kakak Yu Qi, aku harus segera pulang. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan langsung mencarimu." 　　"Baik." Yu Qi mengangguk singkat. 　　"Kakak Yu Qi biasanya ada di rumah jam berapa?" 　　Bibir Yu Qi melengkung: "Kapan saja siap menerima tamu." 　　Tidak bisa, jika terus mengobrol dia akan mulai meragukan arti kehidupan. Jiang Zhan berterima kasih lagi dan bergegas kembali ke Kediaman Dongping Bo. 　　Di Haijiaju, pepohonan rindang meneduhi, suara jangkrik yang tak jelas sumbernya terus berbunyi. 　　Jiang Si bersandar di pohon haitang sambil membuka-buka buku dengan tidak fokus. 　　Kenapa kakak kedua belum kembali? Jangan-jangan ada masalah? 　　"Nona, Tuan Muda Kedua sudah datang." Aqiao membuka pintu halaman dan membimbing Jiang Zhan masuk. 　　"Adik Keempat--" 　　Jiang Si menggelengkan kepala, menghentikan ucapan Jiang Zhan yang belum selesai: "Masuk dulu ke dalam, baru bicara." 　　Begitu masuk ke dalam, Jiang Zhan langsung duduk sembarangan, tanpa sungkan berkata pada A Qiao: "Cepat bawakan aku secangkir teh untuk menenangkan diri." 　　A Qiao melirik ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si sedikit mengangguk, barulah A Qiao pergi dan segera kembali membawa teh. 　　Jiang Si memberi isyarat pada A Qiao untuk menunggu di luar, sabar menunggu Jiang Zhan menghabiskan setengah cangkir teh, baru bertanya: "Kakak kedua mengalami apa?" 　　Jiang Zhan menaruh cangkir teh di meja, mengeluarkan sapu tangan dan sembarangan mengusap sudut mulutnya, mendesah: "Adik keempat, benar seperti dugaannya, ternyata ada yang mengambil bambu persembunyian di gang gelap." 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Kakak tidak langsung pergi setelah menaruh barang?" 　　Benar-benar kakak yang tidak bisa diandalkan. 　　Jiang Zhan tersenyum kecut: "Aku penasaran apakah benar ada yang datang." 　　"Lalu bagaimana?" 　　"Orang itu mengambil bambu persembunyian. Tapi sebelum sempat pergi, datang lagi orang lain!" 　　"Datang lagi orang? Apa dia melihat kakak?" 　　"Mana mungkin!" Jiang Zhan langsung menyangkal, tapi di bawah tatapan penasaran Jiang Si, akhirnya mengaku: "Dia melihat. Tidak hanya melihat, orang itu bahkan ingin membunuhku." 　　"Bagaimana kakak bisa kabur?" Jiang Si merasa ngeri mendengarnya. 　　Jiang Zhan menghabiskan sisa tehnya, menahan keinginan untuk membual: "Begitu cepatnya, datang lagi orang lain!" 　　Jiang Si: "……" 　　Kakak yang tidak bisa diandalkan seperti ini juga membuatnya pusing. 　　Hm, Er Niu yang tampil hari ini juga cameo. Terus panggil rekomendasi vote. 13. Bab 13 Yu Qi 　　Bab 13 Yu Qi 　　Jiang Zhan memainkan cangkir teh kosong, menunggu Jiang Si bertanya lebih lanjut. 　　Jiang Si marah sekaligus geli, tapi yang lebih dominan adalah rasa ngeri belakangan. 　　"Kalau begitu, orang ketiga yang menyelamatkan kakak kedua?" 　　"Iya, dia itu penyelamatku! Seharusnya aku mengajaknya makan di restoran terbaik ibu kota, tapi karena memikirkan adik masih menunggu di rumah, terpaksa ditunda dulu." Jiang Zhan meletakkan cangkir dengan wajah menyesal, "Sungguh tidak sopan." 　　Setelah mendengar detail kejadiannya, Jiang Si mulai khawatir pada Jiang Zhan. 　　Pembunuh kakaknya kemungkinan besar adalah orang yang memfitnah Niu Yushi. Apakah mereka akan membahayakan kakak setelah melihat wajahnya? 　　"Kakak bilang akan mengunjungi rumahnya, berarti kakak tahu nama dan alamat sang penyelamat?" 　　"Ya, namanya Yu Qi, kebetulan tinggal di Gang Quezi dekat rumah kita--" 　　Kata-kata selanjutnya tak terdengar oleh Jiang Si. Tangannya mencengkeram lengan Jiang Zhan hingga urat menonjol: "Benarkah namanya Yu Qi?" 　　Jiang Zhan terkejut melihat perubahan ekspresi adiknya: "Ada apa dengan Si Mei?" 　　Jiang Si tiba-tiba tersadar, melepaskan lengan baju Jiang Zhan. Ia menyembunyikan kekikukannya dengan merapikan rambut yang terurai ke belakang telinga, namun wajahnya tetap pucat dan sulit pulih seketika. 　　Jiang Zhan memandangi Jiang Si dengan curiga: "Jangan-jangan adik kenal Yu Qi?" 　　Jiang Si tersenyum paksa. Namun dua kata "Yu Qi" terus bergelayut di hatinya, membuatnya gelisah. 　　"Apa ciri-ciri Yu Qi itu?" 　　"Hah?" Jiang Zhan mengedipkan matanya. 　　Aneh, buat apa adiknya menanyakan rupa seorang pria? 　　Melihat Jiang Zhan diam, Jiang Si bertanya lagi: "Apakah wajahnya sangat tampan, tergolong pria langka?" 　　Jiang Zhan semakin enggan bicara. 　　Pantas saja adik penasaran dengan Kakak Yu Qi, rupanya pernah bertemu. Dengan wajah setampan iblis itu, wajar jika adik tak bisa melupakannya. 　　Bagaimana jika adik tahu Yu Qi yang ini adalah Yu Qi yang itu? Bisa jadi ada kesempatan untuk berinteraksi. 　　Ini tidak boleh. Kakak Yu Qi bisa muncul di dekat rumah bordil, berarti dia playboy. Tipe seperti ini cocok jadi teman, tapi sebagai ipar? Tidak memuaskan. 　　"Nggak kok, Kakak Yu Qi itu bertubuh kekar. Kalau tidak, mana mungkin bisa menyelamatkan kakakmu dari bahaya?" Jiang Zhan dalam hati memberi jempol untuk kecerdikannya sendiri. 　　Jiang Si menghela napas lega, senyumnya lebih rileks: "Kakak harus ingat mentraktirnya minum. Sedikit kebaikan harus dibalas berlipat, apalagi ini nyawa kakak yang diselamatkan." 　　“Tampaknya dia terlalu sensitif. Di dunia ini, ada banyak pria bermarga Yu yang merupakan anak ketujuh. Apalagi, Yu Qi yang dia kenal hanyalah nama samaran.” 　　“Adik Keempat juga kenal seseorang bernama Yu Qi?” Jiang Zhan bertanya lagi dengan waspada. 　　“Pernah tidak sengaja bertemu seseorang bernama Yu Qi saat keluar, waktu itu sempat terjadi ketidaknyamanan, jadi agak berkesan.” 　　“Apakah orang itu secantik Pan An?” 　　Secantik Pan An? Jiang Si tak sengaja teringat kembali. 　　Orang itu memang sangat tampan, bersinar seperti mutiara. Rupa Pan An hanya pernah dia baca di buku. Jika harus dibandingkan... sejujurnya, dia mungkin lebih maskulin dan kurang kemayu dibanding Pan An. 　　Tapi apa artinya ketampanan? "Yu Qi" yang dia kenal adalah seorang bajingan. 　　“Tidak, wajahnya penuh bekas luka, terlihat jahat, jelas bukan orang baik.” Serentetan kata negatif meluncur dari mulut Jiang Si. 　　“Pasti bukan orang yang sama. Kak Yu Qi meski bertubuh besar, tapi jelas terlihat baik.” 　　“Lupakan dulu ini. Kakak Kedua jangan membuat masalah lagi kedepannya. Kali ini wajahmu terlihat orang, mungkin ada masalah.” Kekhawatiran Jiang Si belum hilang. 　　“Setelah tahu aku adalah Putra Kedua Dongping Bo Mansion, dia pasti tidak berani macam-macam.” Jiang Zhan menjawab santai. 　　Dia bukan orang penakut, tidak mungkin terus mengurung diri di rumah karena hal ini. 　　“Selain itu, terlepas dari posisi Keluarga Dongping di antara bangsawan, kematian seorang pangeran muda secara tiba-tiba pasti akan menimbulkan kepanikan, berbeda dengan kematian diam-diam rakyat biasa.” 　　“Pokoknya Kakak Kedua kurangi keluar rumah ke depannya, kalau terpaksa keluar harus berhati-hati ekstra.” 　　Jiang Si tiba-tiba teringat kematian Jiang Zhan di kehidupan sebelumnya yang disebabkan oleh anak bermoral buruk bernama Yang Shengcai, cucu Menteri Ritus... 　　Apakah ada hubungan di balik semua ini? 　　Tapi tidak juga, di kehidupan sebelumnya aku tidak menyuruh Kakak Kedua pergi ke gang belakang Paviliun Bichun. 　　“Nona——” Suara Aman memanggil dari luar pintu. 　　Jiang Si mengumpulkan kembali pikirannya dan mempersilakan Aman masuk. 　　Aman bergegas mendekati Jiang Si: “Nona, Tuan Kedua sudah pulang, sekarang sedang menghalangi Tuan Utama memeriksa mas kawin.” 　　“Paman Kedua benar-benar mau mengacau!” Jiang Zhan bergumam kesal. 　　Paman keduanya ini biasanya baik hati, tapi paling patuh pada nenek, dalam hal ini pasti akan menuruti nenek. 　　“Mari kita lihat.” Jiang Si berdiri dan berjalan keluar. 　　Jiang Zhan segera menyusul. 　　Mas kawin dari Kediaman Anggukota An diletakkan di gudang kecil Huamingtang. Di depan gudang, Jiang Ancheng sedang marah: “Adik, minggirlah! Jangan halangi aku mengembalikan lamaran ke Kediaman Anggukota An!” 　　Suara lembut terdengar: “Kakak, dengarkan dulu penjelasanku. Aku sudah tahu masalahnya, kan cuma anak Anggukota An itu muda dan bodoh berbuat kesalahan, kita selesaikan baik-baik saja.” 　　“Bagaimana menyelesaikannya?” 　　“Keluarga Guogong ingin menjadikan wanita itu sebagai selir yang baik. Jangankan kakak sulung yang marah, saya sebagai paman kedua pun tidak setuju. Seorang wanita biasa, beri saja uang untuk diusir. Setelah Si'er menikah ke sana, bukankah bakat Si'er bisa membuat si bocah nakal itu menjadi patuh? Kakak, membatalkan pertunangan benar-benar bukan keputusan bijak. Jika kita menuruti emosi sesaat, bagaimana masa depan Si'er nanti?” 　　Jiang Si berdiri diam tidak jauh dari situ. Mendengar perkataan Tuan Jiang Kedua, dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak bertepuk tangan. 　　Paman Kedua benar-benar pandai bersilat lidah! 　　Jiang Zhan baru saja ingin berbicara ketika Jiang Si menarik lengannya perlahan dan melangkah maju. 　　"Si'er datang." Tuan Jiang Kedua tersenyum ramah melihat Jiang Si mendekat. 　　Jiang Si sedikit menekuk lututnya dan berkata langsung: "Paman tidak perlu repot memikirkan keponakan. Menurutku, menjauhi pria seperti Tuan Ji San, bahkan jika harus menjadi perawan tua seumur hidup pun sudah patut disyukuri." 　　"Si'er, kamu masih muda, mana mengerti kesulitan menjadi perawan tua—" 　　Jiang Si tersenyum manis kepada Jiang Ancheng: "Ayah, jika anakmu ingin menjadi perawan tua seumur hidup, Ayah mau menafkahi tidak?" 　　"Tentu saja mau!" Jiang Ancheng menjawab tanpa ragu. 　　Jiang Zhan segera menepuk dadanya: "Adik keempat tenang saja, jika benar-benar tidak mau menikah, masih ada kakak. Siapa yang berani bergosip akan kuhajar!" 　　Senyum di bibir Jiang Si semakin tulus. 　　“Ayah dan kakak laki-lakinya bukanlah orang yang cerdik, bahkan bisa membuat penilaian salah karena bujukan orang lain, tapi kasih sayang mereka padanya tulus tanpa pamrih.” 　　“Paman Lihat, ayah dan kakak kedua tidak menganggapku merepotkan. Atau mungkin Paman merasa memalukan jika keponakan perempuan tidak laku?” 　　Jiang Ancheng memandangi Paman Kedua Jiang dengan ekspresi tidak senang. 　　Anak perempuannya sendiri saja belum dianggap merepotkan, orang lain berani-berainya ikut mencela? 　　“Ah Lihat kok bicara seperti itu? Paman tidak bermaksud begitu——” 　　Jiang Ancheng menendang Jiang Zhan: “Suruh bantu malah kabur ke mana? Cepat kerja!” 　　Paman Kedua Jiang terdiam karena dicemooh Jiang Ah Lihat, berdiri kaku sambil menyaksikan Jiang Ancheng dan putranya mengawal pengangkutan mas kawin. 　　“Paman minggir, nanti takutnya terinjak.” Jiang Ah Lihat tersenyum manis. 　　Paman Kedua Jiang menatapnya lama sebelum pergi sambil terkekeh. 　　Paman benar-benar sabar, sampai begini pun tidak marah. 　　Senyum tipis mengambang di sudut bibir Jiang Ah Lihat. 　　Di sisi lain, Guo Shi kembali ke Kediaman Adipati An, tapi keretanya dihadang penjaga gerbang: “Hari ini istana tidak menerima tamu. Silakan kembali lain hari.” 　　Kereta sewaan biasa tentu tidak dikenali penjaga Kediaman Adipati An. 　　“Lihat baik-baik! Ini nyonya muda!” teriak dayang Guo Shi sambil membuka tirai kereta. 　　Pelayan terkejut dan segera membuka pintu. 　　Nyonya Guo langsung menuju ke tempat Nyonya Wei, istri Adipati An Guo. 　　"Bagaimana, sudah selesai dibicarakan?" tanya Nyonya Wei dengan wajah lelah. 14. Bab 14: Pembatalan Pertunangan 　　Bab 14: Pembatalan Pertunangan 　　Mendengar pertanyaan Nyonya Wei, Nyonya Guo hampir menangis: "Ibu mertua mungkin belum tahu, putra kedua Keluarga Dongping Bo itu sembrono dan tidak tahu diri. Begitu tiba di kediaman, dia langsung menghancurkan kereta kuda kita. Menantu harus menyewa kereta lain untuk pulang..." 　　"Masih ada keturunan seperti itu?" Nyonya Wei terkejut bukan main. 　　"Benar, menantu juga sama sekali tidak menyangka." 　　"Sebenarnya apa sikap Keluarga Dongping Bo?" 　　Nyonya Guo tersenyum pahit: "Dongping Bo ingin membatalkan pertunangan, sementara sang nenek menunjukkan niat berdamai. Menantu menunggu di ruang penerimaan agar sang nenek bisa membujuk Dongping Bo. Tapi sebelum ada kepastian, putra kedua itu sudah bergegas masuk hendak membunuh menantu. Andai tidak kabur cepat, mungkin tangan kaki menantu sudah putus..." 　　"Tidak masuk akal!" Nyonya Wei membanting meja keras-keras, "Keluarga rendahan seperti Dongping Bo biasanya tidak pantas mengangkat sepatu keluarga adipati! Kedatanganmu untuk meminta maaf sudah menghormati mereka setinggi langit. Dongping Bo malah berani bicara tentang pembatalan? Sungguh tidak tahu diri!" 　　"Menantu perempuan juga berpikir demikian. Keluarga seperti ini memang tidak sepadan dengan keluarga kita, kalau tidak bagaimana bisa membesarkan keturunan yang begitu kurang ajar." Nyonya Guo menggigit bibir sambil mengingat kembali kejadian memalukan saat mereka kabur dari Kediaman Dongping Bo. 　　Nyonya Wei tiba-tiba tersenyum: "Ini justru baik." 　　"Ibu Mertua?" Nyonya Guo terkejut. 　　Keriput di sudut mata Nyonya Wei mengembang: "Pendapat Dongping Bo tidak relevan. Semua orang tahu dia tidak mengurus apapun. Yang mengurus urusan dalam rumah tangga mereka adalah Nyonya Feng, sedangkan urusan luar ditangani oleh Jiang Shaoqing. Selama Nyonya Feng tidak rela membatalkan pertunangan, pernikahan ini tidak bisa dibatalkan. Tunggu saja, tidak lama lagi Kediaman Dongping Bo akan mengirim utusan untuk berunding." 　　"Dari mana asalnya 'kebaikan' yang Ibu Mertua maksud?" 　　Nyonya Wei mendengus: "Kau adalah istri putra mahkota An Guogong, mana mungkin bisa dipukuli sembarangan oleh si brengsek itu? Awalnya aku ingin memberi kompensasi pada mereka untuk menenangkan situasi. Sekarang dengan memegang bukti ini, kita bisa saling meniadakan. Menurutku sekarang Nyonya Feng sedang kebingungan." 　　Hati Nyonya Guo menjadi tidak enak mendengar ini. 　　Martabatnya yang tercabik-cabik di Kediaman Dongping Bo digunakan untuk menutupi kesalahan adik iparnya yang keterlaluan. Sungguh berat sebelah sikap ibu mertuanya. 　　Namun ia tidak berani menunjukkan ketidakpuasannya di hadapan ibu mertua, hanya menyambung: "Ibu Mertua memang bijaksana." 　　Kedua menantu dan ibu mertua itu saling bertatapan, tersenyum penuh arti. 　　Dayahuan Hanfang bergegas masuk: "Nyonya, Dongping Bo datang!" 　　“Mertua memang tidak salah, orang dari Keluarga Dongping Bo datang sangat cepat.” Nyonya Guo menyanjung. 　　Wajah Nyonya Wei menampakkan senyuman lega: “Bilang saja Tuan sedang tidak di kediaman saat ini, saya sedang menerima tamu. Mohon Dongping Bo menunggu di ruang depan dulu.” 　　“Nyonya, Dongping Bo datang untuk membatalkan pertunangan——” 　　Nyonya Wei tertegun, senyumnya membeku di ujung bibir: “Apa yang kau katakan barusan?” 　　Dayang utama Han Fang menundukkan kepala setengah, merasakan tekanan besar: “Dongping Bo... datang untuk membatalkan pertunangan...” 　　“Cepat undang mereka masuk!” Nyonya Wei langsung panik. 　　Han Fang tampak gelisah: “Nyonya, Dongping Bo juga membawa langsung mas kawin. Sekarang semua barang itu dipajang di depan gerbang kita, sudah menarik banyak penonton.” 　　Kepala Nyonya Wei mendengung, tubuhnya limbung. 　　Nyonya Guo yang sedang terkejut buru-buru menyangga: “Mertua, Anda baik-baik saja?” 　　“Mungkin baik-baik? Cepat periksa apakah Tuan sudah pulang!” Nyonya Wei mencubit Nyonya Guo, “Suruh orang memberitahu Chongli, segera undang Dongping Bo masuk untuk berbicara.” 　　Putra Mahkota An Guo Gong, Ji Chongli, hampir berlari ke gerbang utama. Kakinya yang melangkah melewati ambang pintu nyaris tertahan oleh kerumunan penonton di luar. 　　Kenapa banyak sekali orang yang menonton? 　　Sebelum sempat berbicara dengan Jiang Ancheng, wajah Ji Chongli sudah sangat pucat. 　　“Kedatangan Boberg, hamba mohon maaf belum menyambut. Silakan Boberg masuk ke dalam untuk berbicara.” 　　Jiang Ancheng memandangi Ji Chongli yang sopan memberi salam, ekspresinya tidak melunak sama sekali. Ia melambaikan tangannya dan berteriak, "Apa masih bengong? Bawa kembali mas kawin ini ke Istana Adipati An!" 　　Melihat orang-orang Jiang Ancheng hendak mengangkut mas kawin masuk, Ji Chongli buru-buru menghalangi: "Apa maksud Tuan Marquis? Mari kita masuk dulu untuk berdiskusi baik-baik." 　　"Tidak ada ruang negosiasi! Aku datang untuk membatalkan pertunangan, bukan bersilaturahmi tahun baru. Ini daftar hadiah, Pangeran Muda harap periksa dengan teliti. Keluarga Marquis tidak akan mengambil sehelai benang pun darimu!" Jiang Ancheng melemparkan gulungan daftar hadiah ke pelukan Ji Chongli. 　　Ji Chongli panik berusaha mengembalikan gulungan itu, tak berani membiarkan mereka membawa mas kawin masuk. 　　"Jangan dikembalikan, aku masih punya setumpuk di sini!" Jiang Ancheng mengeluarkan segenggam gulungan daftar dari bajunya. 　　Ji Chongli: "..." Lawan benar-benar datang dengan persiapan matang! 　　"Surat pemutusan pertunangan sudah ditulis. Panggil ayahmu keluar untuk cap jempol, maka pertunangan kedua keluarga ini batal!" 　　Ji Chongli akhirnya menemukan alasan mengulur waktu: "Tuan Marquis, ayah sedang keluar urusan penting hari ini. Urusan pernikahan bukan wewenang kami anak muda. Jika Tuan buru-buru, silakan masuk menunggu atau pulang dulu untuk meredam amarah--" 　　"Saudara Jiang, ini--" Suara familiar terdengar. 　　Ji Chongli menoleh dan melihat Adipati An, langsung mengerenyitkan bibir. 　　Apakah ayahku ini mata-mata pihak lawan? Sungguh tepat waktu kepulangannya! 　　“Duke An berjalan mendekat dengan langkah lebar, melihat hadiah pertunangan yang memenuhi lantai, alisnya berkerut seperti karakter ''.” 　　Karena urusan putra bungsunya, ia tak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Sepanjang hari di luar, hatinya terus merasa cemas. Begitu urusan selesai, ia langsung pulang. Ternyata sang istri gagal menangani masalah ini – Keluarga Dongping malah mengirimkan hadiah pertunangan. 　　“Yang Mulia, kita orang-orang berkarakter lurus. Langsung saja ke intinya – saya datang untuk membatalkan pertunangan!” 　　Duke An membungkuk panjang: “Saudara Jiang, semua kesalahan ada di pundakku. Jika hatimu masih geram, tampar saja kakakmu ini dua kali. Tapi pembatalan pertunangan benar-benar tak bisa diterima.” 　　Sikap rendah hati Duke An memicu perbincangan di antara orang-orang yang menonton. 　　“Tampaknya Duke An sangat menghargai perjodohan ini. Sikap mengaku salahnya patut diacungi jempol. Menurutku, membatalkan pertunangan merugikan kedua belah pihak. Sikap Keluarga Duke An seperti ini sudah cukup.” 　　“Benar. Dengan pernyataan Duke An, pasti ia akan mendidik putranya dengan baik.” 　　Berbagai komentar terdengar, namun Jiang Ancheng tetap tak tergoyahkan. Ia tak melunak melihat kerendahan hati Duke An: “Yang Mulia masih ingat alasan perjodohan kita?” 　　“Tentu. Karena kedua saudaramu, Jiang Ancheng dan Jiang San, menyelamatkan nyawaku saat longsor –” 　　Peristiwa longsor yang menyelamatkan Duke An saat itu juga melibatkan kontribasi Tuan Jiang Ketiga. 　　“Kalau begitu, mengapa Yang Mulia tak mau membatalkan pertunangan dengan lapang? Ingin membalas budi dengan kejahatan?” 　　Duke An tersenyum kecut: “Saudara Jiang, maksudmu bagaimana –” 　　Jiang Ancheng mendengus: "Tuan Duke memaksa anak bajinganmu menikahi putriku, menurutku ini balas budi dengan kejahatan!" 　　Duke An menatap Jiang Ancheng lama-lama, melihat ketegasannya, akhirnya menghela nafas: "Baiklah, ikuti saran Adik Jiang." 　　Setelah Duke An membubuhkan cap jempol pada dua salinan surat pembatalan pertunangan, Jiang Ancheng menyimpan satu salinan sambil menganggum puas. 　　"Tak kusangka berakhir seperti ini. Mengingat bantuan Adik Jiang dulu, hatiku sungguh malu." Duke An berkata canggung. 　　Jiang Ancheng melambaikan tangan tak memperdulikan: "Jangan dipikirkan, Tuan Duke. Anggap saja hujan hari itu terlalu deras sampai otakku kemasukan air." 　　Duke An: "..." 　　Merampok! Serahkan tiket kalian! 15. BAB 15 ANAK PEMBOROS 　　BAB 15 ANAK PEMBOROS 　　Jiang Ancheng tak lagi memandang Duke An, menepuk bahu Jiang Zhan: "Berdiri kaku apa? Ayo pergi!" 　　Jiang Zhan terhuyung tapi tersenyum lebar: "Ayo, ayo! Hari ini kalian bekerja keras, aku yang traktir minum!" 　　Para pelayan yang ikut bersorak kompak. 　　Jiang Ancheng melirik Jiang Zhan, berbisik: "Dapat uang dari mana?" 　　Si bocah nakal ini beli bakpao berkuah untuk Si'er saja masih minta uang darinya. 　　Jiang Zhan cengengesan: "Seperti biasa, minjam dulu dari Ayah." 　　"Enyah kau dengan 'biasa'-mu itu!" Jiang Ancheng marah sampai menendang pantat Jiang Zhan. 　　“Berhasil membatalkan pertunangan, ayah dan anak sama-sama merasa lega. Jiang Zhan benar-benar meminta uang dari Jiang Ancheng, lalu mengajak beberapa pelayan yang membantu ke warung minum.” 　　“Hari ini minum sepuasnya! Selama ikut Pangeran Muda ini, kalian takkan kekurangan minum!” Jiang Zhan mengangkat gelas, penuh semangat. 　　“Terima kasih Pangeran Muda Kedua! Mulai sekarang kami ikut Pangeran!” Para pelayan serempak mengangkat gelas. 　　Tuan dan pelayan sedang asyik minum, tiba-tiba terdengar suara dari seberang. 　　“Dengar kabar? Keluarga Dongping Bo benar-benar membatalkan pertunangan dengan Keluarga Anguo Gong!” 　　“Masa tidak dengar? Dongping Bo menaruh mas kawin di depan gerbang Anguo Gong, banyak yang lihat. Hebat juga, ternyata Keluarga Dongping Bo punya harga diri.” 　　“Huh, menurutku Dongping Bo bodoh. Sekarang puas membatalkan tunangan, nanti Putri Keempat mereka mau cari keluarga mertua lebih baik dari Anguo Gong?” 　　“Masalahnya Putra Ketiga Anguo Gong keterlaluan.” 　　“Keterlaluan?” Orang itu mengejek, “Laki-laki biasa main ke rumah bordil, punya banyak selir. Sementara tergila-gila pada perempuan biasa saja. Kalau Dongping Bo tidak bisa toleransi seperti ini, Putri Jiang Keempat pasti jadi perawan tua!” 　　Jiang Zhan langsung naik darah. Dilemparnya gelas ke lantai, berlari ke seberang dan mengguncang kerah seorang pria: “Lanjut ngomong sembarangan, kubelah mulutmu!” 　　“Orang itu terkejut dengan kejadian yang tiba-tiba ini, menatap Jiang Zan lama dengan mata membelalak, baru gemetar berkata: "Kau... kau ini siapa?" 　　Jiang Zan tertegun. 　　Aneh, suaranya terdengar tidak seperti biasanya. 　　Pria lain yang duduk berhadapan dengan lelaki itu sudah diam-diam berdiri hendak kabur. 　　Jiang Zan tiba-tiba tersadar: "Berdiri! Rupanya yang menggosip itu kau!" 　　Ia menyambar piring dari meja dan melemparkannya. 　　Kuah dari piring itu menggenangi punggung pria itu. 　　Pria itu pun marah, menoleh dan menantang: "Kau ini siapa? Ngapain mabuk-mabukan seenaknya?" 　　"Buka matamu lebar-lebar! Aku ini Putra Kedua Keluarga Dongping Bo! Berani-beraninya kau menghina adikku, hari ini kubuat mukamu babak belur!" 　　Pria itu sudah setengah kaki di luar pintu, jengkel karena bajunya basah kuah, memperkirakan remaja bermuka manis ini takkan bisa mengejarnya, menyindir balik: "Oh, rupanya kakak dari Nona Jiang Keempat yang akan jadi perawan tua seumur hidup itu? Senang bertemu." 　　"Bajingan! Siapa yang kau bilang tidak laku? Tanpa Keluarga Anguo Gong, adikku akan menikah lebih baik!" Mata indah Jiang Zan menyemburkan api. 　　"Jangan bermimpi! Putra Ketiga Keluarga Anguo Gong memang akan dapat pengantin lebih tinggi, tapi Nona Jiang Keempat... mending kau cepat pulang menghibur adikmu." 　　“Jiang Zhan tidak tahan lagi mendengar, melangkah cepat ke depan dan menendang orang itu hingga terjatuh, lalu mengayunkan tinju seperti hujan yang menghujam.” 　　“Ada yang tewas, ada yang tewas—” teriak orang yang tertindih di bawah seperti babi disembelih. 　　Pelayan kedai minum menyadari situasi tak beres, buru-buru lari ke jalan mencari petugas patroli. Saat petugas tiba, orang itu sudah dipukuli Jiang Zhan sampai tidak bisa dikenali ibunya sendiri. 　　Akhirnya, Jiang Ancheng mengganti rugi 20 kati perak untuk biaya pengobatan orang itu, plus 10 kati perak untuk upah petugas, baru bisa menebus putra pemborosnya pulang. 　　Begitu tiba di kediaman, Jiang Ancheng langsung menendang Jiang Zhan hingga terjatuh: “Dasar anak kurang ajar, tidak ada hari yang membuatku tenang!” 　　Jiang Zhan mengusap pantatnya dengan wajah memelas: “Ayah, ini bukan salahku. Si brengsek itu menghina adik perempuan dengan kata-kata kotor.” 　　“Menghina adikmu?” 　　“Ya!” Jiang Zhan buru-buru menjelaskan kronologi kejadian, wajahnya merah marah: “Kalau menghina aku saja tidak apa, tapi dia berani menyebut-nyebut nama adik. Aku hampir meledak emosinya, memukulinya sudah terlalu ringan!” 　　Jiang Ancheng terdiam mendengar penuturan itu. 　　Meski tidak menyesali sedikit pun pemutusan tunangan, tapi masa depan putrinya bagai batu berat yang menindih hatinya. 　　Jiang Zhan bangkit sambil bertanya: “Apa ayah berpikir aku tidak seharusnya membela adik ketika didiskreditkan orang?” 　　“Jiang Ancheng menendang Jiang Zhan hingga terjatuh lagi, geram seraya berkata: ‘Bapak bukan melarangmu bertindak, tapi kesal karena kebodohanmu! Tidak bisanya kau lari sebelum petugas datang?’” 　　“Si pemboros ini, tiga puluh tael perak langsung lenyap!” 　　Jiang Zhan mengedipkan matanya. 　　Ah, nasihat ayah masuk akal! 　　“Ayah tenang, mulai sekarang anak tahu, setelah memukul orang akan segera lari!” 　　“Masih ada kesempatan lain? Kubunuh kau anak sialan yang merepotkan ini!” 　　Jiang Zhan langsung berlari: “Ayah istirahatlah dulu, kaki Ayah pasti sakit. Anak akan menjenguk adik.” 　　“Kakak kedua ini——” Melihat Jiang Zhan datang dengan keadaan compang-camping, Jiang Si bangkit menyambut. 　　Jiang Zhan baru sadar setelah minum dan berkelahi lupa ganti baju, langsung berbalik: “Adik keempat tunggu sebentar, aku ganti baju dulu!” 　　“Tidak perlu.” Jiang Si menarik lengan Jiang Zhan, tersenyum: “Kakak kedua ceritakan apa yang terjadi, aku khawatir.” 　　Jiang Zhan terkekeh-kekeh bodoh. 　　Apa pendengarannya tidak salah? Adik bilang khawatir padanya. 　　“Kakak kedua?” 　　Jiang Zhan berusaha menahan tawa, kembali ke wujudnya yang tampan, tapi begitu mengingat kejadian di kedai, amarahnya langsung meluap. 　　“Mengapa Kakak marah pada orang seperti itu. Kedai kecil memang tempat berkumpulnya orang-orang sembarangan, apalagi setelah minum, pasti ngawur bicaranya.” 　　“Tapi dia bilang adik keempat... Adik benar-benar tidak marah?” 　　“Jangan marah.” Jiang Si menyapu tulang ayam yang menempel di bahu Jiang Zhan, “Menikah mana bisa seenak sekarang? Asalkan Ayah dan Kakak Kedua tidak keberatan aku numpang makan di rumah—” 　　“Tidak, tidak, aku tidak akan pernah membencimu! Lagipula, ini jelas bukan salah adik keempat, tapi karena kebodohan orang-orang itu!” 　　“Lalu kenapa Kakak Kedua masih marah?” Jiang Si tersenyum manis. 　　“Aku kesal mendengar orang bilang Ji San akan menikahi gadis berstatus lebih tinggi. Kenapa orang tak bersalah harus kena imbas, sedangkan pelaku malah bebas berkeliaran?” 　　Mendengar perkataan Jiang Zhan, Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Di dunia ini, seringkali memang demikian keadaannya. 　　Tapi dia yakin, langit selalu mengawasi. Hidup dengan jujur baru bisa tidur nyenyak. 　　“Kakak tidak perlu marah karena ini. Aku jamin, Ji San mustahil bisa menikahi gadis bangsawan seumur hidupnya!” 　　“Benarkah?” 　　“Besok Kakak akan tahu.” 　　Suasana di Kediaman An Guogong muram. An Guogong yang menyalahkan Nyonya Wei gagal menangani urusan, marah-marah lalu pergi ke perpustakaan untuk istirahat. 　　Nyonya Wei sakit hati dibuatnya, memanggil menantu perempuannya Nyonya Guo untuk melampiaskan kekesalan. 　　"Ibu mertua, mengapa harus marah pada keluarga yang berpikiran sempit seperti itu? Menurut menantu, lebih baik pertunangan ini dibatalkan. Di ibu kota banyak putri bangsawan tinggi, setelah badai ini berlalu, Ibu bisa memilih calon yang baik untuk Sanlang. Nanti Keluarga Dongping Baru akan sakit hati." 　　"Kau benar, kali ini aku akan memilih dengan hati-hati untuk Sanlang, pasti akan merebut kembali harga diri kita!" 16. Bab 16 Kekasih Akhirnya Bersatu 　　Bab 16 Kekasih Akhirnya Bersatu 　　Ibu kota terletak di utara, awal musim panas yang sejuk memang paling nyaman. Tapi bagi pejabat yang menghadiri sidang pagi, udara masih terasa dingin. Ketika mereka tiba di Gerakan Qianqing sebelum fajar, ujung jubah dan lengan baju sudah basah oleh embun. 　　Sidang pagi rutin segera dimulai. 　　"Ada yang ingin melapor? Jika tidak, sidang ditutup--" 　　Kaisar Jingming memandang para menteri dengan tenang, berharap bisa segera kembali menyelesaikan buku ceritanya. Namun Niu Yushi maju selangkah: "Hamba memiliki laporan." 　　"Oh? Ada urusan apa, Menteri Niu?" Suasana hati Kaisar Jingming langsung berubah halus. 　　Pejabat mana lagi yang akan kena masalah! 　　"Hamba menuduh An Guogong lalai mengurus keluarga!" Niu Yushi yang berpengalaman langsung menjelaskan kasusnya dalam beberapa kalimat. 　　Kaisar Jingming mulai tertarik: "Kalau begitu, Ji San dari Keluarga An Guogong dan gadis itu saling mencinta?" 　　Seorang pria rela bunuh diri untuk gadis biasa, ini lebih menarik dari cerita buku! 　　Wajah Niu Yushi langsung berubah hitam. 　　“Apakah Yang Mulia benar-benar tidak bisa menangkap inti masalah? Apakah ini poin kritisnya?” 　　“Apakah Ji San terlibat hubungan dengan gadis itu?” Kaisar Jingming bertanya lagi. 　　Sepertinya belum ada kabar duka tentang An Guogong yang kehilangan anaknya. 　　“Keduanya berhasil diselamatkan.” Niu Yushi menjawab dengan kesal. 　　“Begitu ya——” 　　Jika mati karena cinta, mungkin akan menjadi kisah tragis yang indah dalam cerita. 　　Para menteri: “...” Mengapa nada suara Kaisar terdengar menyesal? Pasti halusinasi! 　　Niu Yushi melototi Kaisar Jingming, hampir saja menggulung lengan baju untuk memarahi kaisar. 　　Kaisar Jingming buru-buru berkata: “Namanya masih muda, memang masih spontan. Tapi keluarga An Guogong dan Dongping Bo sudah bertunangan, ini pasti menyakiti pihak perempuan. Niu Yushi boleh mundur dulu, nanti akan kupanggil An Guogong ke istana untuk kuhukum tegas!” 　　Niu Yushi tetap kukuh: “Hukuman biasa tidak cukup untuk memberi efek jera! Bagaimana jika orang-orang meniru putra ketiga An Guogong? Tatanan negara akan kacau balau...” 　　Niu Yushi berpidato panjang, membuat kepala Kaisar Jingming pusing. Ia berusaha menenangkan: “Pendapatmu benar, An Guogong yang lalai mengurus keluarga pantas mendapat hukuman lebih berat!” 　　Barulah Niu Yushi setengah hati menerima. 　　Para bangsawan muda yang malas hanya bisa memelihara burung dan anjing, merusak moral pemuda ibukota. Memang perlu diberi pelajaran. 　　"Begitu Niu Yushi mengajukan tuduhan ini, terlepas dari bagaimana Kaisar akan menghukum Adipati An, para menteri yang hadir sudah paham. Begitu kembali ke kediaman, mereka langsung memanggil istri dan berpesan: 'Pernikahan putri (cucu perempuan) bisa dipilih perlahan-lahan, bagaimanapun juga jangan pertimbangkan Putra Ketiga Keluarga Adipati An.'" 　　"Apa? Keluarga Adipati An berpangkat tinggi?" 　　"Pangkat setinggi apapun tak berguna! Hubungan Putra Ketiga Ji dan gadis rakyat jelata sudah mendapat pengakuan resmi dari Kaisar. Menikahkan putri (cucu perempuan) ke sana bukan hanya menyakiti anak, tapi juga merugikan keluarga kita!" 　　Adipati An dipanggil ke istana, mendapat teguran keras, lalu kembali ke kediaman dengan muka masam, langsung menuju tempat Nyonya Wei. 　　Kemarin pasangan ini bertengkar. Nyonya Wei mengira Adipati An datang untuk mengalah, hendak bersikap angkuh, tapi tiba-tiba menyadari raut muka suaminya tidak biasa, segera urungkan niat. 　　"Apa yang terjadi, Tuan?" 　　"Bersiaplah, segerakan pernikahan Sanlang dan Qiaoniang." 　　"Apa yang Tuan katakan?" Wajah Nyonya Wei berubah pucat. 　　"Aku bilang, segerakan pernikahan Sanlang dan Qiaoniang!" 　　"Tuan, apakah pendengaranku salah?" 　　Wajah Adipati An menjadi hitam: "Kau tidak salah dengar! Aku menyuruh Sanlang menikahi Qiaoniang!" 　　"Tuan, apa kau sudah gila—" 　　"Aku gila? Nyonya tahu pagi ini aku kemana?" Meski malu, Adipati An terpaksa menjelaskan. Saat ini pasti sudah banyak orang menertawakannya. 　　"Niu Yushi menuduhku di sidang istana karena gagal mengatur keluarga! Pagi-pagi sudah dipanggil Kaisar ke istana untuk dimarahi!" 　　Nyonya Wei langsung gemetar seluruh tubuhnya karena marah: "Tidak masuk akal! Ini urusan keluarga kita. Seorang pejabat pengawas kecil bukannya mengurus urusan negara, malah sibuk mengurusi hal remeh seperti ini? Apa dia tidak ada kerjaan lain--" 　　"Diam!" Pangeran Anguo semakin kesal, "Hak melapor berdasarkan kabar angin dari pejabat pengawas adalah wewenang yang diberikan Kaisar. Bahkan Kaisar pun mendengarkan laporan mereka dengan serius! Kau tidak sadar kalau ucapanmu bisa mendatangkan bencana bagi keluarga marquis?" 　　"Meski begitu, kita tidak boleh membiarkan Sanlang menikahi Qiaoniang. Perempuan rakyat biasa yang berani lari bersama dan bunuh diri karena cinta, menjadi selir saja sudah merupakan bentuk toleransi untuk perasaan Sanlang--" 　　"Toleransi untuk perasaan Sanlang? Sanlang jadi berani berbuat hal memalukan seperti ini karena kau memanjakannya sejak kecil! Kau pikir aku senang punya menantu perempuan yang lari bersama dan bunuh diri?" Pangeran Anguo menarik napas panjang, menyadari kemarahan saja tak menyelesaikan masalah, "Tahukah kau bagaimana penilaian Kaisar terhadap Sanlang?" 　　"Kaisar menilai Sanlang?" Nyonya Wei meski bodoh sekalipun sadar penilaian Kaisar di saat seperti ini pasti bukan hal baik. 　　"Kaisar berkata, Sanlang memang punya sifat asli yang..." Pangeran Anguo menghela napas berat, "Semua menteri yang hadir di sidang pagi ini mendengarnya. Setelah ucapan ini, siapa lagi yang mau menikahkan putri mereka dengan Sanlang?" 　　“Nyonya Wei tertegun, mencubit tangannya sendiri dengan keras untuk mengembalikan suaranya, lalu menggenggam lengan baju An Guogong sambil menangis: 'Tuan, apakah harus menikahi Qiaoniang? Tunggu lagi, bisakah kita menunggu lebih lama? Satu tahun tidak berhasil ya dua tahun, bahkan sampai tiga lima tahun! Pada saat itu Sanlang baru awal dua puluhan, masih belum terlambat untuk menikah!'” 　　“Nyonya, jangan naif. Dengan resmi mengangkat Qiaoniang ke keluarga kita sekarang, kita membuktikan penilaian Kaisar tentang sifat asli Sanlang. Badai ini akan berlalu. Jika tidak, Keluarga An Guogong akan menjadi bahan tertawaan diam-diam selama bertahun-tahun. Apa Nyonya sanggup menerima cibiran orang lain saat bepergian nanti?” 　　Nyonya Wei menutupi mulutnya dengan saputangan sambil tersedu-sedan: “Bahkan jika dicibir orang aku rela. Dua tahun lagi kita bisa cari menantu dari keluarga terhormat di daerah lain.” 　　An Guogong mendengus dingin: “Keluarga bangsawan di daerah lain juga tidak tuli!” 　　“Tetapi aku benar-benar tidak bisa menerima Qiaoniang sebagai menantuku!” 　　“Tidak menerima pun harus menerima! Sanlang sendiri yang bersalah! Sebenarnya dengan status keluarga kita sekarang, tidak perlu menantu dari keluarga tinggi untuk memperindah. Kaisar justru senang dengan pernikahan Sanlang dan Qiaoniang ini.” An Guogong menatap dalam-dalam ke Nyonya Wei, menekankan, “Ini kehendak Kaisar!” 　　Nyonya Wei mengangguk lesu. 　　Kabar tentang tuduhan terhadap An Guogong oleh pejabat pengawas cepat menyebar ke berbagai istana. Orang-orang yang sedang bosan pun bersemangat, menanti kapan drama ini akan berakhir. 　　Tapi tak lama kemudian, kabar mengejutkan lagi tersiar: Putra ketiga Keluarga An Guo Gong akan menikahi perempuan yang sebelumnya hendak bunuh diri bersamanya! 　　Jiang Zhan hampir berlari menuju Paviliun Haitang, matanya berbinar menatap Jiang Si: "Adik keempat, Ji San akan menikahi perempuan yang melompat ke danau bersamanya! Hahaha, lucu sekali, mereka yang menjilat pantat bilang Ji San akan menikahi putri bangsawan—" 　　Jiang Si menunggu Jiang Zhan selesai tertawa, lalu berkata lembut: "Benar-benar bukti cinta sejati bersatu selamanya." 　　Baiklah, serahkan tiket kalian! Jika tidak, aku akan merampok kehormatan kalian! 17. Bab 17 Sepupu Kedua 　　Bab 17 Sepupu Kedua 　　"Omong kosong cinta sejati! Menurutku ini bajingan jodoh bajingan, langgeng selamanya." 　　Jiang Si terkekeh: "Maknanya sama saja." 　　Jiang Zhan tertawa terbahak-bahak. 　　Adik perempuannya semakin cocok dengan selera humornya. 　　Jiang Zhan berhenti tertawa, penasaran bertanya: "Bagaimana adik tahu Ji San tidak akan dapat istri dari keluarga terhormat?" 　　Jiang Si balik bertanya sambil tersenyum: "Apa kerja keras kakak kemarin sia-sia?" 　　"Adik benar-benar hebat..." Mata Jiang Zhan berbinar. 　　Jiang Si tersenyum manis: "Bukan aku yang hebat, semua berkat bantuan kakak." 　　Jiang Zhan terkekeh: "Ya, memang iya." 　　Aqiao menunduk menahan tawa. A Man mengangkat tirai masuk: "Nona, dayang dari Cixin Tang menyampaikan, Nenek memanggil nona. Kata beliau, Er Guniang sudah pulang." 　　"Keluarga Dongping Bo memiliki tiga cabang, ayah Jiang Si, Jiang Ancheng adalah anak sulung, sementara putri kedua adalah anak dari Paman Kedua Jiang." 　　Saat ini, ada dua putri keluarga bangsawan yang sudah menikah: Putri Sulung Jiang Yi menikah ke keluarga Wakil Menteri Pengadilan Dali Zhu, dan Putri Kedua Jiang Qian menikah dengan Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Dalam pandangan seluruh keluarga bangsawan, jika tanpa perbandingan dengan pernikahan Jiang Si kemudian, pernikahan Putri Kedua dianggap sangat baik. 　　Putri Kedua Jiang Qian yang cantik dan cerdas adalah yang paling dicintai Nyonya Feng di antara enam putri keluarga ini. Jiang Si sebelumnya juga senang mendekati sepupu yang sempurna ini, tapi saat mendengar laporan Ah Man, hatinya mendadak merasa muak. 　　Jika bisa, dia tidak ingin melihat wajah Jiang Qian seumur hidupnya! 　　Tapi sekarang bukan waktunya untuk bersikap manja. Nenek sudah memanggil, mana mungkin cucu perempuan berani menolak tanpa alasan sah. 　　Apalagi nenek sedang kesal karena masalah pembatalan pertunangannya, siap mencari-cari kesalahan cabang keluarga sulung. 　　Jiang Si tidak takut dengan sikap dingin Nyonya Feng, tapi tidak ingin ayahnya yang rambutnya mulai memutih masih terus dimarahi nenek. 　　"Kak kedua, mau ikut aku ke sana?" Jiang Si berdiri. 　　Jiang Zhan cepat menggeleng: "Aku tidak ikut meramaikan saja, ini urusan perempuan-perempuan, ribet." 　　Dia sama sekali tidak suka sepupu keduanya yang manja itu! 　　Apa? Adik keempatnya juga manja-manja? 　　“Haha, adik memang seharusnya manja dan dilindungi oleh kakak laki-laki, mana bisa kakak perempuan sama seperti itu!” 　　Jiang Zhan pergi sambil mengibaskan tangan dengan wajah tampan yang terlihat tak sabar. 　　Kebetulan dia mau cari Qi Ge minum arak! 　　Jiang Si membawa A Man ke Cixin Tang. Baru mendekati pintu, sudah terdengar tawa Nenek Feng. 　　"Nenek harus lebih sering tertawa, tidak ada yang lebih penting dari kesehatanmu." Suara perempuan muda terdengar. 　　"Dasar mulutmu manis." Ucapan Nenek Feng bernada marah tapi penuh kasih sayang. 　　"Nona Kedua harus sering pulang ya, setiap bertemu kamu mood Nenek langsung membaik." 　　Tanpa perlu melihat, Jiang Si tahu yang berbicara adalah Mama Feng, tangan kanan Nenek. 　　"Nona Keempat datang." Teriakan A Fu membuat ruangan mendadak hening, beberapa pasang mata menatap. 　　"Cucu memberi salam pada Nenek." Jiang Si memberi hormat pada Nyonya Feng. 　　Nyonya Feng mengangkat kelopak matanya, nada datar: "Duduklah. Kakak keduamu sengaja pulang untuk menemuimu." 　　Jiang Si menguatkan hati, memandang perempuan yang duduk merapat ke Nyonya Feng. 　　Jiang Qian mengenakan sanggul longgar gaya Duo Ma Ji, alis seperti daun willow, wajah oval, aura ramah. Anting batu rubi dan tusuk rambut emas berhiaskan rubi saling berkilauan, menegaskan kecantikan istri muda bangsawan. 　　Jiang Si awalnya mengira dirinya sudah siap mental setelah berjalan dari Paviliun Haitang ke Ruang Cixin, namun saat bertatapan dengan mata penuh senyum Jiang Qian, hatinya langsung terasa diremas, dendam tak terkendali membanjiri jiwanya. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia telah mengecewakan banyak orang, begitu pula banyak yang mengkhianatinya. Tapi kebencian terbesar justru datang dari perasaan jijik tak tertahankan saat berhadapan dengan Jiang Qian. 　　Dulu, dia selalu meremehkan ketidakmampuan ayah dan kakak laki-lakinya, menganggap kakak perempuannya pengecut. Justru dia lebih dekat dengan sepupu keduanya yang lembut dan baik hati ini, sampai-sampai setahun setelah menjanda, ketika Jiang Qian mengirim utusan mengatakan ingin menemuinya karena sakit, dia langsung pergi tanpa ragu. 　　Hasilnya? Di ruang samping tempat pertemuan dengan Jiang Qian, Pangeran Muda Changxing yang sudah menunggu lama - sang kakak ipar keduanya - langsung menerkam seperti serigala lapar yang melihat mangsa. 　　Saat itu, "kakak kedua" baiknya itu dengan licik menghalangi jalan keluarnya. 　　Setiap mengingat kejadian hari itu, rasa muak langsung menyergap Jiang Si bagai gelombang tsunami. 　　Dia hampir tak bisa mengingat lagi bagaimana bisa melarikan diri. Meski keperawanannya selamat, rasa hina dan trauma itu terus menghantuinya, membuatnya tak terhitung kali terbangun menangis dari mimpi buruk. 　　Jiang Si menatap wajah berseri Jiang Qian yang bagai bunga mekar, hampir saja melontarkan pertanyaan yang menghantuinya selama bertahun-tahun. 　　Mengapa? Demi apa seorang wanita tega membantu suaminya memperkosa adiknya sendiri? 　　“Jiang Si, tata kramamu mana? Melihat kakak keduamu tidak menyapa?” Nenek Feng tidak puas. 　　Jiang Qian mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Jiang Si. 　　Dinginnya ujung jari gadis itu membuat alis Jiang Qian terangkat: "Adik Keempat, kau telah menderita." 　　Jiang Si tiba-tiba menarik kembali tangannya. 　　"Adik Keempat?" Jiang Qian terkejut. 　　Ekspresi Nenek Feng semakin tidak senang. 　　"Aku tidak merasa menderita, Kakak Kedua tidak perlu mengasihaniku." Jiang Si berkata datar. 　　Sebenarnya dia memang berkarakter kompetitif, hanya sebelumnya tidak pernah diperlihatkan pada Jiang Qian. Saat diucapkan sekarang, selain membuat tidak nyaman, juga tidak terasa aneh. 　　"Jiang Si, minta maaf pada kakakmu!" Nenek Feng membentak. 　　Jiang Qian segera kembali dengan senyum lembut: "Nenek jangan marah pada Adik Keempat, Adik Keempat baru saja diputuskan tunangannya, hatinya sedang sedih——" 　　"Tidak juga, justru aku merasa lega." Jiang Si tanpa basa-basi memotong ucapan Jiang Qian. 　　Meski tidak bisa langsung menampar Jiang Qian, dia juga tak ingin melanjutkan sandiwara persaudaraan ini. 　　Jiang Si menatap wajah pucat Jiang Qian, menyunggingkan senyum: "Justru Kakak Kedua yang terus-menerus mengungkitnya, baru membuatku tidak nyaman." 　　Tubuh Jiang Qian gemetar halus, senyum di wajahnya hampir tak bisa dipertahankan. 　　“Jiang Si, apa kamu sudah gila? Kakak keduamu langsung pulang menjengukmu setelah mendengar kabarmu, tapi bagaimana sikapmu? Bahkan sedikit rasa terima kasih pun tak ada! Segera minta maaf pada kakak keduamu!” Nyonya Feng menampar meja teh dengan keras, membuat cangkir di atasnya bergoyang dan tumpah. 　　Jiang Si dengan wajah polos: “Nenek kenapa begini? Aku dan Kakak kedua tidak berkelahi atau bertengkar, hanya bicara dari hati ke hati. Kenapa harus minta maaf?” 　　Setelah berkata demikian, ia menoleh ke Jiang Qian: “Kakak kedua, adik sudah menyinggungmu?” 　　“Tidak...” Jiang Qian tersenyum dipaksa, matanya menerawang melihat profil wajah Jiang Si. 　　Sungguh kecantikan adikku ini pemberian alam yang sempurna! 　　Kemarin setelah mendengar kabar pemutusan pertunangan antara Keluarga An Guogong dan Dongping, suaminya - Putra Mahkota Marquis Changxing - menghela nafas: “Kecantikan selevel ini, sayang Ji San tak beruntung!” 　　“Apa adik merasa tidak nyaman karena melihatku jadi teringat kakak pertama?” Jiang Qian tidak ingin berkonfrontasi terbuka, segera tersenyum manis. “Sabarlah, mungkin kakak pertama akan segera datang.” 　　Huh, kalau Jiang Yi bisa datang menjenguk Jiang Si, namanya “Qian” akan kubalik tulisannya! 　　Jiang Si mencemooh dalam hati. 　　Kasihan dulu mataku tertutup kotoran, sampai tak menyadari Jiang Qian sudah ahli dalam memecah belah hubungan. 　　“Kakak sulung sifatnya lemah, setelah menikah beberapa tahun hanya punya satu anak perempuan, hidup di keluarga suami tidaklah mudah. Membatalkan pertunangan bukanlah hal yang terhormat, dalam situasi ini, kakak sulung ingin menjenguknya tapi tak punya kemampuan.” 　　“Aku akan menjenguk kakak sulung jika rindu, kakak kedua terlalu banyak pikiran.” 　　“Adik keempat——” Kali ini, Jiang Qian tidak bisa lagi tersenyum. 　　Nyonya Feng marah besar: “Jiang Si, kau hari ini kemasukan setan? Terus-terusan bertentangan dengan kakak keduamu!” 　　“Nenek, apakah nenek mengalami mimpi buruk tadi malam?” Jiang Si mengabaikan kemarahan Nyonya Feng, tiba-tiba bertanya. 　　Nyonya Feng tertegun. 　　Dia mimpi buruk, bagaimana mungkin adik keempat mengetahuinya? 　　Terima kasih untuk Gu Ling Piaoluo Yan, Juzi Xiyan yang menyumbang Guci Dewa Kekayaan; Fengshu Xia De Xue, Ji Xi, Moyu Moyi, Shandong Huagu yang menyumbang Kipas Persik; Jin Xiang, Tingting Yiliu, Lu Chuchu, Lanmei Miaomiao, Jianglanse De Hai yang menyumbang Kantong Wangi; Yezi Jingqiaoqiao, Shu You 20180124174229875, honeylion, kycnsh, Hongcha Kafei, Wo Nai Da Luo Jinxian, №Xiao Maoer, Ye Liuli, mcj221, Wanzhao Qingkong, A Yunbo yang menyumbang Jimat Keselamatan. 18.Bab 18 Mimpi 　　Bab 18 Mimpi 　　Nyonya Feng segera menutupi keanehannya, kesal berkata: “Apa yang kau omongkan?” 　　Semalam dia bermimpi aneh, sepasang ayam hias tiba-tiba menyerangnya. Dia buru-buru menghindar, tapi tetap dicakar sampai mati sebelah mata oleh salah satu ayam itu... 　　Nyonya Feng menekan rasa tak nyaman di hati, pandangannya pada Jiang Si semakin penuh kebencian. 　　Dia sama sekali tidak menyukai cucu perempuan ini! 　　Sejak masih gadis, menantu pertamanya Nyonya Su sudah beroleh reputasi buruk. Tapi karena parasnya yang memikat, putra sulungnya nekat menikahinya. 　　Atas pertimbangan latar belakang Nyonya Su dari Keluarga Marquis Yining yang turun-temurun, dia terpaksa mengalah. Tapi setelah melahirkan cucu pertama Jiang Yi, Nyonya Su jadi mandul. Saat mau menjodohkan selir untuk putra sulung, sang putra malah membangkang karena hasutan perempuan itu. 　　Dia mengalah lagi, hanya meminta dua selir tingkat rendah untuk melanjutkan keturunan. Tapi Nyonya Su bahkan tak bisa menerima ini. 　　Niat baiknya justru membuat hubungan dengan putra sulung semakin renggang, baru membaik setelah Nyonya Su melahirkan Jiang Zhan. 　　Kasihan almarhum suaminya baru beberapa tahun meninggal, tapi anak kandungnya sendiri memperlakukannya seperti ini! 　　Syukur langit adil, Nyonya Su meninggal setahun setelah melahirkan Jiang Si, membuatnya lega. 　　Karena itu, dia sempat menyimpan rasa sayang pada cucu keempat yang masih kecil. Tapi semakin dewasa, Jiang Si semakin mirip almarhum Nyonya Su. Memandangi wajah itu setiap hari, rasa sayangnya pun memudar. 　　Tentu saja, dia sangat paham bahwa cucu perempuan berbeda dengan menantu. Dengan kecantikan yang luar biasa ini, cucu keempatnya mungkin akan meraih masa depan gemilang. Tidak perlu baginya untuk kehilangan kartu as hanya karena masalah lama yang tidak penting. 　　Sayangnya, anak perempuan dari orang yang berumur pendek memang kurang beruntung. Pernikahan yang begitu baik itu akhirnya gagal dipertahankan. 　　Jiang Si telah memperhatikan perubahan ekspresi Nyonya Feng yang hanya sesaat. Dengan senyum manis dia berkata: "Kulihat mata nenek agak hitam, kukira nenek juga kurang tidur seperti diriku semalam. Aku bermimpi buruk yang sangat menakutkan, dua ayam hutan mencakar-cakar ingin mencungkil mataku..." 　　Wajah Nyonya Feng berubah pucat, tangannya dalam lengan baju gemetar tak terkendali. 　　Jiang Si juga bermimpi tentang ayam hutan? Kebetulan yang aneh! 　　Perasaan tidak enak mulai menyelinap dalam hati Nyonya Feng. 　　"Apakah nenek kurang tidur semalam?" Jiang Qian bertanya penuh perhatian. 　　Sebagai orang yang sangat menjaga gengsi, Nyonya Feng pasti tidak akan mengakui di depan cucu-cucunya. Dengan wajah tenang dia menjawab: "Sudah tua, wajar kalau tidur tidak nyenyak." 　　Meski begitu, kegembiraannya karena kedatangan cucu kesayangan perlahan pudar, digantikan kegelisahan yang menggerogoti. 　　Jiang Si tersenyum dalam hati. 　　Di kediaman keluarga besar, paman kedua berada di urutan kedua dalam hati nenek, sepupu tertua di urutan ketiga, sepupu perempuan kedua mungkin di urutan keempat. Tapi yang pasti menduduki posisi pertama adalah nenek sendiri, tak seorang pun bisa merebutnya. 　　Nenek memang orang yang egois dan dingin. Hal ini sudah kurasakan sejak kematian Ji Chongyi, ketika aku mencari kesempatan menangis mengeluhkan masih perawan kepada nenek. 　　Aku tak punya ibu, untuk urusan seperti ini tak tahu harus bicara pada siapa selain nenek. 　　Tapi nenek langsung menamparku, memperingatkan dengan suara keras agar kubawa rahasia ini ke liang kubur. 　　Tak ada penghiburan, tak ada pembelaan, apalagi tindakan membelaku. 　　Nenek menertawakan dingin: "Apakah gosip bahwa suamimu sampai mati tak pernah menyentuhmu terdengar baik? Kau mau mempermalukan keluarga besar ini seumur hidup?" 　　Dengan menggunakan kata "mimpi buruk", ia berhasil mengalihkan perhatian nenek. Tentu saja nenek tak sabar melihat Jiang Qian masih berdiri di situ. 　　Seperti yang diduga Jiang Si, Nyonya Feng segera menopang dahinya: "Tua memang, sebentar saja sudah lelah. Qian'er, jarang-jarang pulang, ajak adik ketiga dan kelima mengobrol. Nenek mau istirahat." 　　Bibir Jiang Qian bergetar. 　　Apakah ini pertanda dia diusir nenek? 　　Hari ini benar-benar aneh! Pertama dihina berulang kali oleh Jiang Si, sekarang diusir nenek. Padahal aku sama sekali tak berbuat salah! 　　“Kalau begitu, nenek bisa beristirahat dengan tenang. Urusan di kediaman Marquis juga banyak, cucu akan pulang dulu. Lain kali baru ngobrol lagi dengan adik-adik.” 　　“Baiklah, kamu pulang saja dulu. Setelah menikah, memang tidak bisa sesantai saat masih gadis.” 　　Jiang Qian merasa kecewa di hati, namun hanya menunjukkan tiga persen kesedihan di wajah agar Nyonya Tua Feng merasa kasihan, sementara tujuh persen lainnya disembunyikan rapi. 　　Prinsip "kelebihan sama buruknya dengan kekurangan" itu sangat ia pahami. 　　"Adik keempat, antarkan kakak sebentar." Jiang Qian tersenyum memandang Jiang Si, seolah tak tersinggung sedikitpun atas kejadian tadi. 　　Kali ini Jiang Si langsung mengangguk: "Baik." 　　Jiang Qian diam-diam lega. 　　Jika permintaan kecil ini ditolak, meski Jiang Si akan terlihat tak sopan, tapi dirinya juga tidak mendapat keuntungan. 　　Kunjungannya kali ini ke rumah orang tua membawa "misi", mustahil pulang begitu saja. 　　Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak yang familiar, dayang dan pelayan mengikuti dari jarak yang tak terlalu dekat. 　　Saat hampir tiba di gerbang, langkah Jiang Qian terhenti sebentar. Dengan suara lembut ia berkata: "Baru beberapa hari tidak bertemu, kenapa rasanya adik semakin menjauh dariku?" 　　Jiang Si bahkan tidak mengangkat kelopak matanya, menjawab datar: "Pasti khayalan kakak kedua." 　　"Syukurlah." Jiang Qian menggenggam tangan Jiang Si. "Asal adik tidak menjauh dariku. Kakak tahu akhir-akhir ini adik sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana kalau kakak mengirim undangan, adik datang menginap di rumah kakak beberapa hari?" 　　Jiang Si menatap Jiang Qian dengan pandangan penuh makna. 　　“Mengapa Adik Keempat memandangku seperti ini? Apa ada sesuatu di wajahku?” Jiang Qian tak sengaja mengangkat tangan menyentuh pipinya, lengan baju berhias sulaman bunga-bunga indah melorot hingga siku, memperlihatkan sepotong kulit putih yang mulus. 　　Jiang Qian buru-buru menurunkan tangannya. 　　Mata tajam Jiang Si jelas melihat ada lebam keunguan di bagian dalam lengan Jiang Qian. 　　“Baik.” 　　“Apa yang Adik Keempat katakan?” Sepertinya Jiang Qian belum menyadari. 　　“Kubolehkan, hanya merepotkan Kakak Kedua saja.” 　　Jiang Qian tak menyangka Jiang Si langsung menyetujui, buru-buru berkata: “Tidak merepotkan, Kakak justru sangat senang jika Adik mau datang.” 　　Seolah beban hati telah terlepas, langkah Jiang Qian menjadi ringan. 　　Jiang Si berhenti berjalan: “Kakak, hati-hati di jalan.” 　　Dengan wajah tenang ia menatap Jiang Qian, mengucap perlahan: “Aku tunggu undangan Kakak.” 　　Tempat yang lebih menakutkan dari mimpi buruk itu, sekalipun sarang naga dan gua harimau, takkan kuhindari. 　　Kali ini, biar kusaksikan bagaimana penjahat akhirnya mendapat balasan setimpal. 　　Berdiri di anak tangga, dengan dingin menyaksikan Jiang Qian naik kereta kuda, barulah Jiang Si berbalik masuk. 　　Kereta kuda perlahan bergerak, Jiang Qian mengangkat tirai jendela menoleh ke belakang, tatapannya rumit mengikuti siluet gadis yang anggun itu. 　　Tiba-tiba gadis itu menoleh, wajahnya yang memesona bagai lukisan bersinar di bawah mentari. 　　Tangan Jiang Qian gemetar, tirai sutra tipis warna langit setelah hujan terlepas tergesa-gesa, kereta kuda melesat pergi. 　　Jiang Si tersenyum simpul, mengangkat helaian gaunnya lalu berjalan anggun ke dalam. Dari kejauhan terlihat dayang utama Cixintang, Ah Fu, bergegas mendekat. 　　Ah Fu memberi hormat kepada Jiang Si saat tiba: "Nona Keempat, Nyonya Tua memanggilmu." 　　Jiang Si mengangguk, mengikuti Ah Fu kembali ke Cixintang. 　　Nyonya Feng mempersilakan dayang-dayang mundur, hanya menyisakan pengawal kepercayaannya Ibu Feng, lalu bertanya tak sabar: "Apa sebenarnya mimpimu tadi malam, Anak Keempat?" 　　Mulai hari ini akan kembali ke update tunggal. Masa buku baru memiliki perbedaan jumlah update karena waktu rilis dll. Tapi tenang, saat rilis resmi akan ada minimal dua update, kadang ditambah. Rilis resmi tanggal 1 Maret. 19.Bab 19 Rumah Teh 　　Bab 19 Rumah Teh 　　"Aku bermimpi--" Mata Jiang Si berkedip cepat, menunjukkan secara ketakutan. 　　Nyonya Feng tak sadar menahan napas. 　　Pedupaan berkaki tiga di dekat jendela mengeluarkan asap wangi, aroma dupa yang biasa digunakan Nyonya Feng. 　　Nyonya Feng sangat memperhatikan hal ini. Sepanjang tahun, waktu membakar dupa apa sudah ada aturannya. 　　Tapi kapan pun Jiang Si tidak pernah menyukai aroma dupa ini. 　　Terlalu menyengat, hidungnya tidak nyaman. 　　“Aku bermimpi dua ayam hias itu ingin mencakar mataku, aku buru-buru menghindar, tapi ternyata dua ayam hias itu terbang menuju nenek...” 　　“Lalu?” Mata Nyonya Feng menyempit. 　　“Lalu——” Jiang Xi berhenti sejenak, melirik cepat ke arah Nyonya Feng, “Aku melihat nenek tidak sempat menghindar, satu ayam hias mencakar matanya.” 　　Tangan Nyonya Feng yang memegang cangkir teh tiba-tiba mengeras. 　　Di usianya yang semakin senja, ia semakin percaya hal-hal mistis. Mimpi aneh semalam yang membuatnya terbangun ketakutan sudah mengganggu pikirannya, tak disangka cucu perempuannya juga mengalami mimpi yang sama. 　　“Kamu ingat ayam itu mencakar mata nenak sebelah mana?” 　　“Mata kiri.” Jiang Xi menjawab tanpa ragu. 　　Nyonya Feng terguncang hebat. 　　Jika sebelumnya masih ada keraguan, sekarang ia harus percaya. Dalam mimpinya, ayam hias itu memang mencakar mata kirinya! 　　Mimpi ini jelas pertanda buruk, dan hampir pasti akan menjadi kenyataan. Tidak mungkin nenek dan cucu mengalami mimpi yang sama tanpa alasan. 　　“Bagaimana kelanjutannya?” Nyonya Feng berusaha tenang. 　　“Setelah melihat nenek terluka, aku langsung terbangun ketakutan. Tidak ada kelanjutannya.” 　　Nyonya Feng terdiam lama, akhirnya bergumam pelan: “Apa makna mimpi ini?” 　　Gumamannya yang spontan itu ternyata langsung ditanggapi Jiang Xi: “Maknanya cukup jelas.” 　　Nyonya Feng tertegun, menatap cucu perempuannya dengan tatapan seolah tidak mengenalnya sama sekali. 　　Jiang Si tersenyum sambil menekan bibirnya: "Begitu melihat Erjie hari ini, saya langsung teringat. Erjie urutan kedua di antara putri keluarga Bo, dan dia juga shio ayam. Dua burung pegar itu pasti dia." 　　"Omong kosong!" Wajah Nyonya Feng langsung berubah masam. 　　Jiang Si mengangkat tangan: "Awalnya saya juga tidak menyangka, tapi baru semalam bermimpi aneh, hari ini Erjie langsung datang." 　　"Cukup!" Nyonya Feng menaruh cangkir tehnya dengan keras di meja, tidak ingin melanjutkan percakapan, "Pulanglah." 　　"Cucu mohon diri." Jiang Si berdiri dan memberi hormat singkat, tanpa berniat meyakinkan neneknya lagi, langsung berbalik pergi. 　　"Tunggu!" Nyonya Feng memanggil dari belakang. 　　"Ada perintah lagi dari Nenek?" 　　"Aku tidak ingin mendengar omong kosong ini dari mulut siapa pun!" 　　Jiang Si tersenyum: "Nenek tenang saja, cucu mengerti." 　　Di kehidupan sebelumnya, yang "beromong kosong" justru sang nenek sendiri. 　　Persis di masa ini, mata kiri Nyonya Feng mulai sakit tanpa sebab, dan dalam dua hari menjadi buta. 　　Nyonya Feng yang tak tahan menderita buta sebelah, setelah beberapa tabib gagal, akhirnya memanggil dukun. 　　Dukun itu melakukan ritual, dan akhirnya menunjuk Jiang Zhan sebagai kambing hitam. 　　“Jiang Zhan, anak kedua yang suka memelihara burung dan bermain dengan anjing, kebetulan baru membeli sepasang burung beo. Segala tanda sepertinya cocok dengan mimpi aneh Nyonya Feng.” 　　“Nyonya Feng sangat yakin akan hal ini. Di hadapan Jiang Zhan, ia memerintahkan orang untuk memuntir leher sepasang burung beo itu.” 　　“Anehnya, tak lama setelah burung-burung itu dihukum mati, mata kiri Nyonya Feng sembuh. Sejak itu, ia semakin menjauhi Jiang Zhan.” 　　“Jiang Si masih ingat ketika ia pulang untuk pemakaman Jiang Zhan. Ayahnya yang biasa sering memukul atau memarahi kakak keduanya itu, rambutnya sudah memutih separuh. Sedangkan neneknya tetap tenang seperti biasa.” 　　“Saat itu ia mengira ketenangan neneknya mencerminkan kematangan bangsawan yang tak goyah meski gunung runtuh. Belakangan baru ia sadar, itu bukan ketenangan, melainkan kedinginan hati.” 　　“Bagaimana mungkin ada kesedihan jika ikatan emosionalnya sendiri sudah tipis?” 　　“Setelah Jiang Si pergi, ketenangan di wajah Nyonya Feng mulai goyah.” 　　“Perkataan Si Nona tadi sepertinya bukan tanpa alasan——” 　　“Mama Feng, bagaimana pendapatmu?” 　　“Di rumah ini, Istri Kedua Xiao yang mengurus rumah tangga. Ia sering memberi keuntungan pada orang-orang dekat Nyonya Feng. Tentu saja Mama Feng akan membela keluarga kedua.” 　　“Ini sulit untuk dikatakan——” 　　“Katakan saja terus terang! Sudah bertahun-tahun kau melayaniku, masih belum paham sifatku?” 　　“Nyonya Feng segera menjawab 'Baik', lalu berkata dengan hati-hati: 'Dari pengamatan hamba, Nona Keempat hari ini terlihat tidak akrab dengan Nona Kedua. Mungkin ada sedikit perselisihan antar saudari sehingga berbicara seperti itu.'” 　　“Lalu bagaimana menafsirkan mimpi Nona Keempat itu?” 　　“Nona Keempat dan Nyonya Tua sama-sama mengalami mimpi terkait, ini membuktikan mimpi itu benar-benar pertanda sesuatu. Tapi tentang detailnya, hamba tidak bisa menebak.” 　　“Semoga ini hanya kebetulan.” Gumam Nyonya Feng Tua. 　　Saat Nyonya Feng Tua dan Nyonya Feng sedang berbincang, seorang pelayan berbaju hijau muda dari Yaxin Yuan datang mencari Axi secara diam-diam. Setelah bertanya beberapa hal, ia segera kembali melapor ke Istri Kedua Nyonya Xiao. 　　“Nyonya, Kakak Axi bilang hari ini Nona Kedua berkali-kali mendapat teguran dari Nona Keempat. Nyonya Tua yang kesal akhirnya tidak melanjutkan percakapan. Nona Kedua mungkin merasa tidak nyaman, langsung pulang ke rumah mertua...” 　　Wajah Nyonya Xiao langsung berubah masam. 　　Tidak masuk akal! Selama bertahun-tahun mengurus rumah tangga, ia yakin tidak pernah memperlakukan keluarga besar dengan tidak adil. Qian'er juga selalu bersikap seperti kakak terhadap Jiang Si. Bagaimana Jiang Si bisa begitu tak tahu terima kasih, berani menyakiti hati putrinya? 　　Semakin dipikir, Nyonya Xiao semakin geram. Dengan wajah muram ia memerintah: “Panggil Nyonya Liu dari dapur ke sini.” 　　Jiang Si tidak tahu bahwa kepergian tergesa-gesa Jiang Qian telah membuat Nyonya Xiao sangat memperhatikan kejadian di Cixin Tang. Andai pun tahu, ia tak akan peduli. 　　Setelah meninggalkan Ci Xin Tang, dia menyuruh A Qiao untuk melapor ke Jiang Ancheng, lalu pergi keluar bersama A Man. 　　Dari lantai dua rumah teh di dekat jendela, pemandangan jalan yang ramai terlihat jelas. Jiang Si menyeruput tehnya perlahan. 　　A Man meneguk tehnya dan berkomentar, "Rasanya tidak seenak teh kita di rumah." 　　"Minum teh bukan cuma untuk rasanya saja." Jiang Si tetap memandang keluar jendela sambil berkata. 　　"Lalu untuk apa lagi?" A Man bertanya penasaran. 　　Jiang Si sudah melihat Jiang Zhan berjalan mendekat dari kejauhan. 　　Usia Jiang Zhan belum genap tujuh belas tahun. Tinggi badannya tidak mencolok di kerumunan orang, tapi selalu mudah terlihat. 　　Pemuda tampan seperti mutiara dan giok, bagai permata di antara pasir, secara alami menarik perhatian. 　　Namun yang menarik perhatian Jiang Si kali ini bukanlah kakaknya yang sangat tampan, melainkan sangkar burung yang dipegangnya. 　　Sangkar anyaman bambu yang indah itu berisi sepasang nuri berwarna-warni. 　　"Tentu saja untuk menghadang orang!" Jiang Si menjelaskan sambil mengikuti pergerakan Jiang Zhan yang semakin dekat. 　　Jiang Zhan bersiul riang dengan langkah cepat, sementara pelayannya A Ji harus berlari kecil untuk menyusul. 　　Saat Jiang Zhan hampir melewati rumah teh, Jiang Si memecahkan kue teh dan melemparkannya ke bawah, tepat mengenai bahu Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan mengusap bahunya, telapak tangan putihnya kini penuh remahan kue. 　　Jiang Zhan marah besar, menengadah dan memaki: "Siapa yang berani--" 　　Wajah cerah gadis itu menghilang dari balik jendela. 　　"--Cerdik sekali!" Jiang Zhan menarik napas panjang menyambung ucapannya. 　　Terima kasih untuk hadiah Guci Dewa Kekayaan dari 1 Yè Zhī Qiū456, Kipas Persik dari Mò Yǔ Mó Yì, Kantung Wangian dari Wǎn Zhào Qīng Kōng, serta Jimat Perlindungan dari Yán Zhī Hǔ1, Qīng Líng Yǔ, Hóng Chá Kāfēi, Wǒ Shì Xiǎo Cài Cài Niǎo, №Xiǎo Māo Er, Wǒ Nǎi Dà Luó Jīn Xiān, Shū Yǒu160607225447373, Hóng Chén Xiǎo Ài, Líng Ér Fēi Fēi. Terima kasih juga untuk teman-teman yang memberikan rekomendasi. 20. Bab 20 Burung Cinta 　　Bab 20 Burung Cinta 　　Jiang Zhan bergegas memasuki kedai teh sambil membawa sangkar burung, menaiki tangkai ke lantai dua dengan langkah cepat. 　　"Tuan, bukankah kita seharusnya pulang?" A Ji mengejar dari belakang. 　　Saat tiba di lantai dua, Jiang Zhan melirik sekeliling dan melihat A Man berdiri di depan ruang VIP ketiga sambil memberi hormat. 　　Jiang Zhan berjalan mendekat, menunjuk pintu: "Nona ada di dalam?" 　　"Benar." 　　Wajah Jiang Zhan merekah senyum saat membuka pintu dengan gegas: "Adik Keempat, lihat apa yang kubawa!" 　　Ia menghampiri Jiang Si, meletakkan sangkar burung di meja: "Adik tahu ini burung apa?" 　　Jiang Si memandangi sepasang burung berbulu indah dalam sangkar bambu, matanya berkaca-kaca. 　　Orang yang sama, sepasang burung nuri yang sama, mengucapkan kata-kata yang sama dengan penuh harap: "Mei Si, lihat apa yang kubawa untukmu!" 　　Saat itu bagaimana jawabannya? 　　Ia melirik burung nuri itu dan berkata dingin: "Kakak kedua dapat nuri dari mana? Menurutku kakak tertipu, nuri jenis ini tidak bisa meniru ucapan manusia." 　　Jiang Zhan pergi dengan wajah kecewa sambil membawa sangkar burung, tapi tak disangka diam-diam ia merawat nuri itu. 　　Saat nenek memerintahkan orang untuk mencekik leher nuri, kakak kedua mati-matian melindungi. Ketika bangkai burung itu disapu seperti sampah, ia duduk lesu di lantai bergumam: "Mereka sudah bisa ucapkan selamat..." 　　Saat itu, untuk pertama kalinya ia merasa menyesal, ingin meminta maaf pada kakak kedua tapi gengsi menghalangi. 　　Penundaan ini berlanjut hingga tiba waktunya ia menikah... 　　Jiang Si tak mau meneruskan ingatan itu. 　　Kenangan itu seperti duri tertanam di hatinya, setiap disentuh terasa perih menusuk. 　　"Kenapa Mei Si menangis?" Kilau air mata Jiang Si membuat Jiang Zhan kaget, buru-baru mengangkat sangkar burung. "Apa kau ketakutan?" 　　Jiang Si mengusap sudut matanya dengan saputangan, tersenyum: "Tiba-tiba teringat asal-usul nama burung ini, tak tahan terharu." 　　"Nama?" Jiang Zhan justru jadi bingung mendengar ini. 　　Jiang Si menunjuk ke burung beo Jin Yu dan menjelaskan: “Burung beo jenis ini juga disebut burung cinta, hanya bisa dipelihara berpasangan. Ketika salah satu dari dua burung beo mati, pasangannya akan segera menyusul...” 　　“Wah, penjelasan Adik Keempat ini sama persis dengan Kakak Yu Qi.” 　　Ekspresi Jiang Si terlihat terkejut. 　　“Kakak Yu Qi juga bilang sedikit orang yang tahu asal-usul nama panggilan burung beo ini, ternyata cuma bohong saja.” 　　“Apa hubungan burung beo yang dibawa Kakak Kedua ini dengan Kakak Yu Qi?” Tanya Jiang Si. Meski tahu itu orang berbeda, hatinya tetap merasa tak nyaman. 　　“Hari ini aku minum bersama Kakak Yu Qi. Ternyata di rumahnya banyak memelihara burung. Sambil minum kami mengamati burung-burung itu, lalu Kakak Yu Qi menjelaskan kebiasaan dan cerita unik setiap burung. Akhirnya dia menawarkanku sepasang untuk dipelihara. Aku berpikir, meski tak suka memelihara burung, bisa kuberikan ke Adik Keempat.” 　　Jiang Zhao memandang bangga ke sepasang burung beo Jin Yu: “Adik, burung beo ini cantik kan?” 　　“Cantik memang, tapi setiap melihat mereka aku langsung teringat asal-usul namanya. Begitu teringat, ingin menangis.” Suara Jiang Si terdengar sendu. 　　“Lalu bagaimana?” Jiang Zhao mengerutkan dahi dengan gelisah. 　　Dia lupa bahwa perempuan memang mudah tersentuh. 　　Jiang Si mengelus pelan sangkar bambu dengan jemarinya. 　　“Sepasang burung beo di dalam sangkar terkejut, memandanginya dengan penasaran.” 　　“Aku tidak tega melihatnya, Kakak Kedua juga tidak sabar merawat, lebih baik dikembalikan saja.” 　　“Dikembalikan?” 　　“Iya, bulu mereka yang cerah dan terawat baik ini jelas menunjukkan dirawat dengan teliti. Tinggal di rumah kita tidak baik untuk mereka, lebih baik kembali ke pemilik aslinya.” 　　Jiang Zhan mengangguk: “Adik Keempat benar, besok akan kukembalikan kedua burung beo ini ke Kakak Yu Ketujuh.” 　　Jiang Si berdiri: “Kalau mau dikembalikan, mengapa ditahan sehari? Mereka pasti tidak nyaman di tempat baru.” 　　Masalah dukun yang menyebut Kakak Kedua meski belum terbongkar sekarang, dia tidak berani mengambil risiko. 　　Hidup Ji Chongyi dan Qiao Niang sudah berubah, siapa tahu hal lain tidak bisa? 　　“Baiklah, sekarang juga akan kukembalikan.” Jiang Zhan memandang sangkar dengan sedih, tiba-tiba tersenyum, “Kakak Yu Ketujuh punya burung lain, mau kutukar dengan yang Adik Keempat suka?” 　　Jiang Si cepat melambaikan tangan: “Jangan, aku tidak suka burung.” 　　“Bukannya perempuan suka binatang kecil?” 　　“Kucing/anjing masih lebih peka daripada burung, tapi merawatnya merepotkan.” Jiang Si sama sekali tidak berani menunjukkan kesukaan pada binatang tertentu. 　　Saat ini dia sendiri masih kewalahan, mana ada tenaga merawat makhluk hidup. 　　“Kucing kecil memang lucu, anjing tidak usah dibahas.” Jiang Zhan tiba-tiba teringat anjing besar yang selalu menemani Yu Qi, giginya gemeretak karena kesal. 　　Anjing sialan itu selalu memandangnya dengan sinis, suatu hari nanti dia akan menyembelihnya untuk dimakan! 　　Kakak beradik itu berjalan berdampingan keluar dari rumah teh, Jiang Zhan berhenti: "Adik Keempat pulang dulu, aku akan mengembalikan burung ini lalu pulang." 　　Jiang Si mengangguk setuju, Jiang Zhan menendang ringan pelayan Ah Ji: "Ah Ji, antar Nona Keempat pulang. Jika ada satu helai rambutnya yang hilang, kau akan kuhajar!" 　　"Kakak Kedua cepat pergi dan kembali." Jiang Si mendesak. 　　Jiang Zhan melambai pada Jiang Si, mengangkat sangkar burung dan berjalan cepat ke depan. 　　Gang Quezi tidak jauh dari sini, Jiang Zhan berjalan kaki sekitar dua jam kayu tiba di depan sebuah rumah. 　　Di depan rumah itu ada pohon kurma bengkok, saat ini bunga kurma bermekaran memenuhi pepohonan, pemandangan hijau memenuhi mata. 　　Jiang Zhan mendekat dan mengetuk pintu: "Kakak Yu Qi, aku kembali lagi." 　　Pintu tiba-tiba terbuka, seekor anjing besar menyergap keluar. 　　"Kau mau apa?" Jiang Zhan menyilangkan sangkar burung di depan dada, berteriak keras. 　　Burung beo dalam sangkar seolah merasakan ancaman, mulai gelisah. 　　Anjing besar itu sama sekali mengabaikan burung beo, berdiri menghalangi pintu sambil memandangi Jiang Zhan dengan wajah jijik. 　　"Tamu yang datang harus dihormati, bangsat kecil minggir cepat!" 　　"Guk!" Anjing besar itu tiba-tiba menunjukkan gigi dan menerjang. 　　“Jiang Zhan terkejut, lalu melompat dan memeluk pohon kurma dengan tangan dan kakinya.” 　　“Anjing besar itu memandangnya dengan hina, mengibaskan ekor lalu berbalik masuk ke dalam rumah.” 　　“Jiang Zhan turun dari pohon dengan muka masam. Ia berjalan masuk dengan tenang di bawah tatapan anak buah pintu, tapi dalam hati mengumpat: "Bangsat kecil terkutuk, kau menipuku!"” 　　“Di bawah pohon, Yu Qi berdiri bersandar dengan jubah hijau. Anjing besar itu mendekat dan menggesek-gesekkan badannya ke ujung jubahnya.” 　　“"Kak Yu Qi, aku datang lagi."” 　　“Pandangan Yu Qi tertuju pada sangkar burung di tangan Jiang Zhan, mengernyitkan alisnya perlahan.” 　　“Jiang Zhan meletakkan sangkar burung di atas meja batu sambil berkata penuh penyesalan: "Keluargaku tidak sabar merawatnya, lebih baik dikembalikan pada Kak Yu Qi."” 　　“"Tidak suka?"” 　　“"Hm." Jiang Zhan menjawab samar.” 　　“"Masih banyak burung lain, Adik Kedua Jiang bisa pilih yang disukai."” 　　“"Tidak perlu, keluargaku memang tidak tertarik memelihara burung." Jiang Zhan semakin merasa cocok dengan Yu Qi.” 　　“Kakak Yu Qi tidak hanya menyelamatkannya, tapi juga begitu dermawan. Teman seperti ini sulit ditemukan bahkan dengan lentera.” 　　“Yu Qi memandang burung beo dalam sangkar, wajah tampannya yang seperti giok dingin terlihat bingung.” 　　“Burung secantik ini masih tidak disukai?” 　　“Tanpa sadar ia menunduk, memandang anjing besar di sampingnya.” 　　“Jiang Zhan hampir melompat: "Anjing galak dan jelek seperti ini jelas tidak bisa!"” 　　“Anjing besar: "Guk--"” 　　Aji cameo dari grup pembaca buku Jiduo Ke. Terima kasih untuk kipas persik dari Mo Yu Moyo, kantong wewangian dari Jia Kui, jimat perlindungan dari Yezi Jingqiaoqiao, Feng Zhi Dian, Qianqian Ruyi, pembaca buku 20180121200939815, pembaca buku 20180124174229875, pembaca buku 160607225447373, Dige Ya, Gajah Gila, dan Immortal Luojin. Terima kasih untuk rekomendasi para pembaca. 21. Bab 21 Memetik Obat 　　Bab 21 Memetik Obat 　　Jiang Si tidak pulang, tapi memutuskan untuk jalan-jalan di tanggul willow. 　　Pelayan Aji gelisah: "Nona Keempat, lebih baik hamba antar Nyonya pulang. Tuan muda pasti akan marah." 　　Aman mencemooh: "Nona kita cuma jalan di tanggul willow, bukan masuk sarang naga. Daripada gugup?" 　　Malam itu dia dan nona bahkan menyelamatkan orang dan membakar Danau Moyou. Siang bolong malah diganggu pelayan, mana ada logika begitu. 　　"Aduh, Kakak Aman yang baik, kenapa malah mendorong?" Aji membuat gerakan merengek. 　　Aman melotot: "Kau salah. Bukan mendorong, tapi kemana pun nona pergi bahkan ke sarang naga, aku pasti ikut. Sesederhana itu." 　　Aji tidak bisa mengalahkan Aman, kesal menendang kerikil kecil di kakinya, membujuk dengan harapan terakhir: "Nona Keempat, sebentar lagi waktu makan tiba, bagaimana kalau kita pulang dulu ke kediaman, setelah makan biar Tuan Gong menemani Nona keluar..." 　　Jiang Si akhirnya bicara: "Kalau Kakak Kedua marah padamu, aku akan menjelaskan padanya." 　　Aji membuka mulut, akhirnya tak berkata apa-apa lagi. 　　Sudahlah, tuan dan nyonya berhak pergi ke mana saja, mana mungkin pelayan seperti dirinya berani menghalangi. Ia hanya berharap cambukan Tuannya tak terlalu keras. 　　Keinginan Jiang Si berjalan-jalan di tepi tanggul willow tentu bukan sekadar jalan-jalan biasa. 　　Ia hendak memetik "obat". 　　Meski tak menguasai ilmu pengobatan, ia pernah belajar formula aneh dari tetua suku Wu Miao. Resep-resep itu memiliki khasiat ajaib dengan bahan "obat" yang sangat eksentrik. 　　"Obat" yang hendak dipetiknya kali ini adalah sejenis rumput bernama Bai Jiao yang tumbuh di bawah pohon willow berusia ratusan tahun. Secara visual, rumput Bai Jiao tak berbeda dengan rumput biasa. Jika dikonsumsi langsung oleh manusia atau hewan pun tak berpengaruh. Namun setelah diracik, rumput ini memiliki khasiat luar biasa. Ciri khasnya hanya bisa dikenali melalui aroma. 　　Sepanjang Sungai Jinshui, rimbunnya pepohonan willow berusia ratusan tahun mudah ditemui. 　　Di awal musim panas ini, banyak orang berjalan-jalan menikmati pemandangan di tanggul willow. Laki-laki, perempuan, tua, muda, kadang diselingi tawa riang anak-anak yang berlarian seperti angin menerpa melewati trio Jiang Si. 　　"Anak-anak nakal, lihat baik-baik! Kalau sampai menabrak orang, pasti tidak akan kubiar!" A Ji membelalakkan matanya sambil berteriak. 　　"Sudah, buat apa ribut dengan Xiao Tong." A Man menggerutu, pemandangan indah di tanggul dengan dedaunan hijau yang berkabut itu rusak karena teriakan A Ji. 　　A Ji masih ngotot, "Aku cuma khawatir mereka mengganggu nona." 　　"Nona ada aku yang jaga." 　　"Iya iya, Kak A Man yang paling hebat." 　　Saat pelayan pria dan pelayan wanita ini saling cekcok, Jiang Si sudah berjalan lebih dulu. 　　"Nona, tunggu hamba——" A Man buru-buru mengejar. 　　Jiang Si berhenti di bawah pohon willow, jari-jari putihnya memilin ranting sambil bertanya, "Bisa menganyam keranjang bunga?" 　　A Man terkekeh, "Hamba bisa memetik bunga." 　　"Aku bisa! Aku bisa menganyam keranjang bunga!" A Ji menyahut cepat. 　　A Man mencemooh. 　　Sok pamer! Mau bisa berbunga sekalipun, tetap takkan bisa jadi dayang andalan nona! 　　"Maka A Ji buat keranjang dari ranting willow, A Man kumpulkan bunga-bunga segar. Bagus juga dibawa pulang untuk hiasan kamar." 　　Keduanya segera bergerak menjalankan tugas. 　　Sambil mengawasi mereka bekerja, Jiang Si perlahan berjalan memutar ke belakang pohon willow. Ia berjongkok, menarik napas dalam-dalam, lalu membungkus rumput Bai Jiao dengan saputangan setelah menemukannya. 　　"Begitu keranjang bunga selesai dianyam dan dipenuhi bunga, jumlah rumput putih yang dia butuhkan juga sudah cukup terkumpul." 　　"Kembali ke rumah." 　　Tiba-tiba kerumunan orang di tanggul willow berhamburan ke satu arah, teriakan panik bersahutan: "Bahaya! Ada orang bunuh diri di sungai--" 　　"Nona?" Ah Man menoleh ke Jiang Si. 　　"Mari kita lihat." 　　A Ji buru-buru menghalangi: "Nona Keempat, tepian sungai ramai dan licin, lebih baik kita tidak mendekat. Tidak ada yang istimewa dari orang bunuh diri." 　　Ya ampun, andaikan ini bukan nona muda tapi tuan muda, pasti dia sudah lari lebih cepat dari tuannya! 　　Jiang Si tersenyum: "Suruh saja kamu yang pergi melihat situasi." 　　Prinsip menakar kemampuan diri sendiri masih dia pahami. 　　Di keramaian umum, di bawah sorotan mata semua orang, apa dia harus membuka baju dan terjun ke sungai untuk menyelamatkan orang? 　　Mendengar ada keramaian yang bisa ditonton tanpa perlu khawatirkan keselamatan Jiang Si, A Ji girang dan langsung lari secepat kilat. 　　Tepian sungai sudah penuh sesak. Dengan muka setebal tembok benteng dan kelincahannya, A Ji menyusup masuk kerumunan. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil menghindari makian orang-orang untuk melapor ke Jiang Si. 　　"Nona Keempat, yang melompat itu seorang ibu. Baru saja diselamatkan, sekarang sedang duduk menangis di tepi sungai." 　　Ratapan perempuan itu menerobos kerumunan dan masuk ke telinga Jiang Si: "Kalau tidak bisa menemukan anak perempuanku, lebih baik aku mati saja--" 　　“Dengar orang sebelah bilang, perempuan yang bunuh diri di sungai itu penjual tahu. Orang-orang memanggilnya Ratu Tahu, sejak muda menjanda dan membesarkan seorang anak perempuan. Tapi tahu-tahu anaknya hilang dua hari lalu, kasihan sekali…” Aji menceritakan kabar yang didengarnya kepada Jiang Si. 　　“Tidak dilaporkan ke pihak berwajib?” Aman bertanya spontan. 　　“Sudah, mana mungkin tidak. Tapi setiap tahun banyak sekali perempuan dan anak yang hilang, mana mungkin pemerintah bisa mengurus semuanya!” Aji menghela napas, sambil mencoba membujuk Jiang Si, "Nona Keempat, makanya katanya luar itu berbahaya, lebih baik kita cepat kembali ke kediaman keluarga." 　　Tangisan perempuan itu semakin keras: "Kasihan anakku baru 14 tahun. Saat anak-anak lain bermain, dia tak pernah keluar, seharian membantu aku menggiling kedelai. Satu hari pun tak pernah menikmati hidup ringan. Niu Niu, kamu di mana? Pulanglah——" 　　"Nona Keempat, mari kita pulang." Aman merasa dadanya seperti tertindih batu mendengar tangisan itu. 　　Perempuan itu dibopong keluar dari kerumunan, lebih tepatnya diseret dengan kaki terseret-seret. 　　Seluruh tubuhnya lunglai, kedua kakinya meninggalkan jejak panjang di tanah. Meski dalam keadaan begitu memprihatinkan, wajah putus asanya masih menyisakan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. 　　Tiba-tiba, mata kosong perempuan itu berkilauan dengan cahaya ganas. Dia melepaskan diri dari orang yang menahannya dan berlari ke arah Jiang Si. 　　"Aman bereaksi cepat, langsung melangkah maju menghalangi di depan Jiang Si." 　　Perempuan itu berlari seperti angin melewati tuan dan pelayan, Jiang Si mencium bau asam samar. 　　"Niuniu, Niuniu--" Perempuan itu berlari sangat cepat, menarik lengan baju gadis berbaju biru. 　　Terdengar teriakan dayang dan ibu-ibu: "Istri gila, lepaskan nona kami!" 　　"Minggir! Kembalikan Niuniu padaku!" Perempuan itu seperti kesurupan membiarkan dayang-dayang memukulinya, tetap mencengkeram lengan gadis itu. "Niuniu, ini ibu, lihatlah ibu--" 　　Gadis itu menoleh, mengerutkan alis: "Ibu silakan lepaskan, salah orang." 　　Perempuan itu melihat wajah gadis itu, tertegun melepaskan genggaman. 　　Jiang Si melihat jelas cahaya di mata perempuan itu padam seketika, berubah menjadi abu dingin. 　　"Xiuniangzi, lebih baik pulang, mungkin Niuniu sudah kembali." Orang di sampingnya menasihati baik hati. 　　"Niuniu! Aku mau pulang cari Niuniu!" Perempuan itu berlari tak karuan ke depan. 　　Gadis itu mengatupkan bibir, menoleh dan bertemu pandangan Jiang Si. 　　"Kau... Nona Jiang Keempat?" 　　Jiang Si mengangkat alis. 　　Kebetulan sekali, baru mau mengambil 'obat' sudah bertemu nona dari Keluarga Adipati An! 　　Terima kasih kepada 1 Yezhiqiu456 yang memberi hadiah Guci Dewa Kekayaan, Pingzi Jin Xiongxiong dan Moyu Moyo yang memberi hadiah Kipas Persik, Jia Kui dan Lu Chuchu yang memberi hadiah Kantong Wangi, serta teman buku 20180124174229875, Wo Nai Da Luo Jinxian, Ye Liuli, Qianmo Xiangyu, mcj221, Zhuxia Ying717, Xiaoshu Chong2015, Tao Datao, Mocheng de Tian Shi, Xiao Xianer, Fan Qiu Zhuji, Wu Ai Xiarichang9, Qing Lingyu yang memberi hadiah Jimat Kedamaian. 22. Bab 22 Pertemuan Tak Terduga 　　Bab 22 Pertemuan Tak Terduga 　　Gadis itu adalah putri dari cabang kedua keluarga An Guo Gong, bernama Fanghua. Karena hanya ada satu putri di keluarga An Guo Gong, Ji Fanghua sangat disayangi para sesepuh keluarga, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang ceria dan periang. 　　Waktu Jiang Si tinggal di keluarga An Guo Gong terasa seperti di dalam sangkar. Ji Chongyi mengabaikannya, Nyonya An Guo Gong pun tak ramah padanya. Setiap hari dilalui dalam tekanan yang mencekik. 　　Sekarang teringat, saat-saat langka dia banyak bicara adalah ketika Ji Fanghua sesekali mengunjunginya. 　　Meski membenci keluarga An Guo Gong sampai ke tulang sumsum, Jiang Si tidak punya prasangka buruk pada Ji Fanghua. Dengan senyum dia menjawab: "Benar." 　　Ji Fanghua gelisah: "Apa Kakak Jiang masih ingat aku? Kita pernah bertemu di Pesta Teratai musim panas tahun lalu." 　　"Tentu saja aku ingat." 　　Ji Fanghua melirik sekeliling: "Di sini sulit untuk berbicara, maukah Kakak Jiang menemaniku jalan-jalan ke sana?" 　　Jiang Si agak terkejut, tapi menyembunyikan ekspresi dan menyetujui. 　　Kedua orang itu berjalan menyusuri tanggul pohon liuk ke depan. 　　"Kalian tunggu di sini saja, aku dan Nona Jiang akan jalan-jalan santai." Ji Fanghua menghentikan para dayang dan pelayan yang ingin mengikuti. 　　Jiang Si memberi isyarat pada A-Man dan A-Ji untuk tetap di tempat, lalu mengikuti Ji Fanghua berjalan ke depan. 　　Pohon liuk hijau di tepi sungai bergoyang lembut, kabut pagi menyelimuti kelam. Ji Fanghua berhenti di dekat sebatang pohon liuk, Jiang Si pun ikut menghentikan langkah. 　　Ia tak mengerti, setelah perjodohan kedua keluarga dibatalkan, masih ada apa yang ingin dibicarakan Ji Fanghua. 　　Ji Fanghua meremas-remas saputangannya, tiba-tiba memberi hormat pada Jiang Si. 　　"Mengapa Nona Ji melakukan ini?" Jiang Si menghindar dengan menggeser tubuhnya. 　　"Masalah kakak ketiga... Aku merasa harus meminta maaf pada Kakak Jiang." Pipi Ji Fanghua memerah, khawatir menyebut Ji Chongyi akan membuat Jiang Si marah, matanya menatap penuh kecemasan. 　　Jiang Si tersenyum anggun: "Nona Ji tak perlu meminta maaf padaku, aku sama sekali tidak keberatan." 　　Sekalipun ia kecewa, tak mungkin menyalahkan Ji Fanghua. 　　Ia bahkan malas mendengar permintaan maaf Ji Chongyi. Baginya, menjaga jarak dengan sepasang kekasih itu jauh lebih baik. 　　"Aku tahu permintaan maaf ini tak berarti apa-apa, hanya... ingin mengatakannya pada Kakak Jiang. Sebenarnya kakak ketigaku orang yang baik—" 　　Jiang Si memotong dengan senyuman: "Permintaan maaf Nona Ji kuterima. Mengenai orang lain, tak perlu disebutkan lagi. Aku benar-benar tak memendam apa-apa." 　　Jawaban Jiang Shi sungguh di luar dugaan Ji Fanghua. 　　Awalnya dia mengira Jiang Shi penuh dendam dan sudah siap menerima tuduhan, namun reaksi lawannya justru tak terduga. 　　Memandangi wajah ayu gadis itu yang tenang dan santai, Ji Fanghua tiba-tiba menghela napas dalam hati. 　　Kakak ketiga... benar-benar dungu. 　　"Nona Ji, aku sudah lama di sini. Jika tidak segera pulang, keluarga pasti marah. Maafkan ketidaksopanan ini, aku pamit duluan." 　　"Kakak Jiang, hati-hati di jalan." Ji Fanghua menyaksikan Jiang Shi menjauh, tetap berdiri di bawah pohon willow. 　　Sebenarnya hari ini dia keluar untuk menyegarkan pikiran. 　　Keluarga Marquis yang biasanya penuh keharmonisan, tiba-tiba berubah sejak skandal kakak ketiga merebak. 　　Bahkan di paviliun sayap timur tempatnya tinggal, dia masih mendengar pertengkaran Paman dan Bibi, membuat suasana rumah terasa pengap. 　　Tak disangka dia justru bertemu Nona Keempat Jiang di tengah pelariannya. 　　Pertemuan dengan Jiang Shi malah membuat hatinya semakin sesak. 　　Semakin dia bandingkan, semakin yakin kakak ketiganya telah dibutakan tahi. 　　"Nona, sudah waktunya kita pulang," bibir nenek pelayan bergetar mengingatkan. 　　"Ya." Ji Fanghua mengangguk, dikelilingi dayang-dayang menuju kereta kuda berkelambu hijau yang parkir tak jauh. 　　“Di tepi tanggul willow, ketenangan segera pulih, ribuan helai dedaunan menyentuh permukaan air dengan lembut, mengganggu bayangan indah yang terpantul di atas air.” 　　Ji Fanghua kembali ke kediaman Guogong Fu, namun hatinya masih gelisah untuk waktu yang lama. 　　Setelah berpikir panjang, dia berjalan menuju tempat Ji Chongyi. 　　Ji Chongyi mengalami demam setelah jatuh ke air, kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Begitu masuk ke dalam ruangan, aroma obat yang kuat langsung tercium. 　　"Meimei datang." Begitu melihat Ji Fanghua masuk, Ji Chongyi langsung tersenyum. 　　Di keluarga besar Guogong Fu, hanya ada Ji Fanghua satu-satunya anak perempuan dari dua cabang keluarga. Meskipun mereka sepupu, Ji Chongyi memperlakukan Ji Fanghua seperti adik kandungnya sendiri. 　　"Kak, kondisimu sudah membaik?" Di hadapan Ji Chongyi, Ji Fanghua tidak merasa canggung, duduk dengan anggun di seberangnya. 　　"Sudah jauh lebih baik." Ji Chongyi mendorong piring berisi kudapan biji bunga matahari ke arah Ji Fanghua. "Coba manisan ini, buah prem di dalamnya rasanya enak." 　　Ji Fanghua mengambil sebuah buah prem dan memakannya dengan ekspresi yang agak tidak fokus. 　　"Apakah meimei sedang ada beban pikiran?" Ji Chongyi merasakan keanehan pada diri Ji Fanghua dan bertanya penuh perhatian. 　　Ji Fanghua melirik Ji Chongyi, berjuang dalam hatinya sebentar, akhirnya tak tahan bertanya: "Benarkah Kakak akan menikahi Qiaoniang?" 　　Ji Chongyi terkejut sejenak, lalu alisnya berkerut: "Aku dan Qiaoniang saling mencinta. Sekarang orang tua juga sudah menyetujui. Mengapa meimei bertanya seperti ini?" 　　“Tapi Sang Kakak Ketiga tidak merasa bahwa Qiao Niang tidak sepadan status sosial dengan keluarga kita——” 　　“Adik, Qiao Niang adalah gadis baik. Berasal dari kalangan rendah bukanlah kesalahannya. Dia sebentar lagi akan menjadi kakak iparmu yang ketiga, Sang Kakak berharap kau bisa rukun dengannya, bukan memandang rendah asal usulnya.” 　　Ji Fanghua merapatkan bibir dengan perasaan tersinggung: “Sang Kakak, kenapa kau berkata seperti itu? Ketidaksepadanan status sosial adalah fakta yang tak bisa diubah. Apakah masalah ini akan hilang hanya karena aku tidak mengatakannya? Apa hubungannya dengan apakah aku memandang rendah orang atau tidak?” 　　“Sudahlah, Adik. Aku tidak ingin membahas ini lagi.” Ji Chongyi merasa kesal di hati. 　　Untuk memperjuangkan hubungannya dengan Qiao Niang, dia sudah menerima terlalu banyak tekanan dari orang tua. Benar-benar tidak ada tenaga lagi untuk menghadapi orang lain. 　　“Tapi hari ini aku bertemu dengan Nona Jiang Si——” 　　Alis Ji Chongyi semakin berkerut: “Adik mendengar desas-desus dari Nona Jiang Si?” 　　Ji Fanghua melemparkan buah plum yang dipegangnya kembali ke kotak makanan, lalu berdiri: “Sang Kakak jangan sembarangan berprasangka! Nona Jiang Si sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya merasa dia orang yang sangat baik——” 　　“Di mana Adik bertemu Nona Jiang Si?” tanya Ji Chongyi dengan tidak senang. 　　“Ketika sedang jalan-jalan di tanggul sungai Liu, bertemu secara kebetulan.” 　　Ji Chongyi tertawa sinis: “Adik benar-benar naif! Coba pikir baik-baik, mana ada kebetulan seperti ini di dunia!” 　　Ji Fanghua juga marah, berkata dengan nada sinis: “Kakak ketiga, apakah kau sedang sakit hingga bicara ngawur? Kau sudah memutuskan pertunangan dengan Nona Jiang Si, apakah keluarga kita punya tahta kekaisaran sehingga membuat orang lain berusaha keras untuk ‘kebetulan’ bertemu dengan sepupumu!” 　　“Fanghua, kau gila! Berani-berannya bicara seperti itu!” Ji Chongyi panik hingga batuk-batuk. 　　Melihat ini, Ji Fanghua mengurungkan niatnya untuk berdebat, menghentakkan kaki: “Sudahlah! Kakak ketiga sudah dibutakan hatinya, tak akan sadar dalam waktu dekat. Kuharap kakak tidak menyesal nanti!” 　　Setelah berkata demikian, dia mengangkat gaunnya dan berlari pergi. Ji Chongyi memukul meja keras sambil terus batuk. 　　Dia hanya ingin bersama orang yang dicintai, mengapa begitu sulit! 　　Jiang Si kembali ke kediaman, menyadari ekspresi Aqiao yang aneh. 　　“Aqiao, apa yang terjadi di rumah selama aku pergi?” 　　(Catatan: Karakter Ji Fanghua diisi tamu khusus ‘Tingting Yiliu’ dari grup pembaca. Mohon dukungan vote rekomendasi. Masa rilis buku baru selalu penuh kecemasan, dukungan kalian adalah sumber kepercayaan diri saya.) 23. Bab 23: ‘Warna’ dari Nyonya Kedua 　　Bab 23: ‘Warna’ dari Nyonya Kedua 　　Mata Aqiao berkilat marah, menaruh kotak makanan di depan Jiang Si: “Nona, lihatlah! Ini makanan yang Hongxian baru ambil dari dapur utama.” 　　Di Keluarga Bo, aturan makan sudah tetap. Makan siang para nyonya muda terdiri dari empat lauk, satu sup, plus satu penganan. 　　A Qiao mengeluarkan satu per satu hidangan dari kotak makanan: ayam tumis jamur, daging kelinci gongbao, sawi hijau tumis, salad irisan jamur hitam, sup tiga rasa, dan kue ruyi sebagai camilan. 　　"Apa ini? Kenapa ayam tumis jamur cuma ada dua kepala ayam?" A Man langsung marah, menunjuk hidangan ayam tumis jamur dengan wajah merah padam. 　　Jiang Si membersihkan tangan, mengambil sumpit dan berhenti sejenak sebelum menjepit kue ruyi untuk dimakan. Empat hidangan dan sup sama sekali tidak disentuhnya. 　　"Nona, meski ayam tumis jamur ini tidak bisa dimakan, tapi tiga hidangan lainnya terlihat lumayan. Tolong cicipi sedikit," bujuk A Qiao. 　　"Sup tiga rasa terlalu asin, daging kelinci gongbao manis berlebihan, sawi hijau tumis masih mentah. Soal salad jamur hitam..." Jiang Si mengaduk-aduk irisan jamur yang rapi dengan sumpit, "Terlalu banyak wasabi, sekali gigit pasti matamu akan berlinang." 　　"Nona, bagaimana Anda tahu..." A Qiao memandang takjuk pada hidangan yang tampak lezat itu. 　　A Man yang tempramental segera mencicipi satu per satu dengan sumpit. Saat menyentuh salad jamur hitam, ia langsung meludahkannya sambil berkata dengan mata berair: "Benar seperti kata nona! Apa dapur mengganti juru masak hari ini?" 　　Jiang Si meletakkan sumpit sambil tersenyum: "Bukan juru masaknya yang diganti, tapi Paviliun Haitang mendapat 'perhatian khusus' dari juru masak." 　　“Nona maksudnya mereka sengaja?” 　　Jiang Si tersenyum. 　　Baru saja dia menyinggung Jiang Qian, hidangan sudah bermasalah. Taktik seperti ini benar-benar tidak menarik. 　　“Keterlaluan! Hamba akan cari tukang masaknya!” Ah Man bergegas keluar dengan wajah penuh amarah. 　　Ah Qiao menarik lengannya: “Jangan gegabah, tukang masaknya mungkin tidak berani melakukan ini.” 　　Sambil berkata, dia melirik Jiang Si dengan khawatir: “Nona, apakah ini karena Nona Kedua pulang, lalu Istri Kedua mendengar desas-desus——” 　　Jiang Si mengangguk puas: “Ah Qiao kita memang pintar.” 　　Mata Ah Qiao langsung memerah: “Nona, sudah seperti ini mengapa Nona masih bercanda! Istri Kedua sudah mengurus rumah tangga bertahun-tahun, semua pelayan pasti ingin menjilat ke sana. Jika dia sengaja menyulitkan Nona, masa depan Nona akan susah.” 　　Ah Man sudah mengamuk: “Hamba akan laporkan ke Tuan Besar! Tuan Besar paling sayang Nona, pasti akan membela Nona! Orang-orang berhati hitam itu—— andai Nyonya Besar masih ada mana mungkin Istri Kedua yang berkuasa, sekarang mereka berani menindas Nona karena Nona sudah tidak punya ibu——” 　　Ah Qiao menarik keras lengan Ah Man: “Ah Man, jangan banyak bicara!” 　　“Sudah, masalah kecil begini tidak perlu diperpanjang.” Suara Jiang Si tetap riang tanpa sedikitpun kemarahan. 　　“Nona, apa kita harus menerima ini begitu saja?” Ah Man menghentakkan kakinya dengan geram, “Ayahku pernah berkata, kuda jinak akan ditunggangi, orang baik akan ditindas. Kalau kita mengalah sekali, selamanya harus mengalah, bahkan jadi cucu yang terhina pun tak ada yang peduli.” 　　Jiang Si terkikik, “Ucapan Paman Jiang memang kasar tapi benar.” 　　Melihat sikap Jiang Si yang tak menggubris, Ah Man melirik sekeliling lalu berbisik, “Bagaimana kalau hamba bungkus kepala juru masak dengan karung dan pukuli? Hamba janji tak akan meninggalkan jejak.” 　　Ayah Ah Man adalah pengawal Jiang Ancheng, ahli bela diri. Sejak kecil Ah Man belajar ilmu silat dari ayahnya. Kemampuannya sekarang cukup untuk mengalahkan dua tiga pria biasa. 　　“Itu hanya solusi sementara.” Jiang Si menepuk lengan Ah Man sambil tersenyum, “A Qiao, simpan makanan yang belum disentuh ini dalam kotak, jangan dibuang dulu. Ah Man, nanti sore kau harus beli beberapa barang, akan kuberi daftarnya.” 　　Ah Man masih ingin protes tapi diseret keluar oleh A Qiao. 　　Di bawah atap koridor, Ah Man menggerutu, “Apa kita benar-benar akan diam saja?” 　　A Qiao melirik ke pintu, berbisik, “Tenang, pasti Nona sudah punya rencana.” 　　Ah Man tertegun. 　　Ia masih ingat hari itu, ketika sang nona yang murung tiba-tiba bersinar matanya, berkata tegas, “Aku akan membatalkan pertunangan, bantu aku Ah Man.” 　　"Dia mengangguk cepat-cepat, namun hati dipenuhi kegelisahan. Tapi sekarang Nona benar-benar berhasil membatalkan pertunangan, bahkan membuat Keluarga An Guogong tidak bisa berbuat macam-macam." 　　"Kau benar, Pasti Nona punya cara." Akhirnya A Man tersenyum. 　　Jiang Si pergi ke ruang belajar, mulai menulis daftar barang dengan kuas. 　　Begitu semua barang di daftar terkumpul, dia bisa meracik 'obat' sesuai resep-resep itu. 'Obat'-obat inilah yang akan menjadi tumpuan hidupnya kelak. Adapun tipu muslihat Nyonya Kedua, tak perlu diambil hati, bahkan mengernyitkan alis pun dianggapnya buang-buang waktu. 　　Tentu, meski menganggap buang waktu, dia tak berniat diam saja jika ada yang berani menindasnya. 　　Sepanjang sore Jiang Si asyik mengolah rumput putih yang dipetiknya. Tanpa terasa cahaya jingga kemerahan mulai menyelinap dari celah jendela. 　　A Qiao membawa makan malam dari dapur utama. Seperti biasa ada empat lauk, sup, dan kudapan. Kali ini bahkan penampilannya saja sudah tidak menarik. Sebagian besar bakso lotus goreng terlihat hangus. Hidung Jiang Si yang sensitif langsung mencium aroma gosong yang menyengat. 　　"Dasar brengsek! Besok apa mau memberi Nona sisa-sisa makanan?!" A Man mengamuk ingin membalik meja, mondar-mandir saking marahnya. 　　"Taruh semua ke kotak makanan, bawa juga yang siang tadi. Ikut aku ke Aula Cixin untuk memberi salam kepada Ibu Suri." Jiang Si tak mau perutnya kembali disiksa besok, harus diselesaikan secepatnya. 　　“Nyonya Feng sangat menikmati perasaan ketika cucu-cucunya memberi salam, namun karena usia yang sudah lanjut, melayani salam dua kali sehari agak melelahkan. Akhirnya beliau membebaskan salam malam hari.” 　　“Mendengar laporan dayang bahwa Si Nona Keempat datang memberi salam, awalnya Nyonya Feng tak berniat menemui. Namun tiba-tiba teringat mimpi yang sama dengan Jiang Si, akhirnya mengangguk mengizinkannya masuk.” 　　“Cucu memberi salam pada nenek, apakah nenek sudah makan malam dengan baik?” Jiang Si memberi hormat dengan sempurna, sikapnya tak bisa dicela sedikitpun. 　　“Di usiaku ini, makanan enak pun tak menggugah selera. Tidak seperti kalian anak muda.” Nyonya Feng menghela napas, mengusap lembut mata kirinya. 　　“Entah mengapa, setiap melihat Jiang Si mimpi itu muncul lagi. Begitu teringat mimpi itu, mata kiri seakan berdenyut sakit.” 　　“Lewat kesempatan memberi salam ini, cucu ingin berdiskusi dengan nenek tentang sesuatu.” 　　“Apa yang tidak bisa dibicarakan besok pagi?” 　　“Jiang Si tersenyum: ‘Cucu tak bisa menunggu sampai besok pagi.’” 　　“Oh?” Mata Nyonya Feng menyipit, mulai serius. 　　“Cucu ingat setelah ibu meninggal, separuh mas kawinnya dibawa kakak saat menikah, bukan?” 　　“Sorot mata Nyonya Feng mengerucut tajam menatap Jiang Si.” 　　“Tiga anak dari keluarga utama, sesuai keinginannya, mahar Nyonya Su dibagi setengah untuk Jiang Zhan, separuhnya lagi dibagi rata untuk dua cucu perempuan.” Tapi anak sulung tidak setuju, bersikeras bahwa pria sejati tidak pantas mengambil mahar ibunya, dan memaksa membagi mahar tersebut untuk kedua putrinya. 　　Karena hal ini, dia menyimpan kesal selama beberapa hari. 　　Apa maksud Si Empat membahas ini tiba-tiba? 　　“Cucu sudah dewasa, ingin belajar mengelola mahar sendiri.” Jiang Si mengabaikan tatapan tajam Nyonya Feng, berkata dengan tegas. 　　Biasanya hari Jumat mood selalu baik, selamat pagi semuanya. 24.Bab 24 Tawar Harga Selangit 　　Bab 24 Tawar Harga Selangit 　　Meski Nyonya Feng menyembunyikannya dengan baik, Jiang Si tetap menangkap kekakuan sesaat di raut wajahnya setelah permintaan mahar tersebut. 　　Ibu Jiang Si, Nyonya Su, telah meninggal bertahun-tahun. Kunci penyimpanan mahar tetap dipegang Nyonya Feng. Meski Nyonya Feng berjanji akan mengeluarkannya saat anak-anak utama menikah, Jiang Si tahu meminta lebih awal sama seperti menyayat daging Nyonya Feng. 　　Nyonya Su adalah putri sulung Marquis Yi Ning, jumlah maharnya sangat besar. Pendapatan dari toko dan perkebunan tercatat rapi, tapi uang tunai mudah sekali diperdagangkan. 　　Keuntungan itu tentu tidak masuk ke dalam mahar Nyonya Su, dan tujuannya sudah jelas. 　　“Meski sudah menjadi dewasa, kau belum pernah belajar mengelola rumah tangga. Apakah mudah mengurus mas kawin?” Perkataan Jiang Si membuat Nyonya Feng terkejut, nada bicaranya semakin dingin. 　　Jiang Si masih tersenyum manis: "Justru karena mengurus mas kawin tidak mudah, cucu ingin mulai belajar sekarang. Sebelumnya cucu bertunangan dengan Putra Ketiga Keluarga An Guo Gong. Sebagai anak bungsu, kemampuan istri dalam mengelola rumah tangga tidak terlalu penting. Tapi sekarang pertunangan itu sudah batal, entah nanti cucu akan menikah dengan keluarga seperti apa." 　　Membicarakan urusan pernikahan, Jiang Si sama sekali tidak malu. Ia mengamati ekspresi Nyonya Feng lalu melanjutkan: "Bagaimana jika cucu menikah dengan anak sulung suatu keluarga, tapi sama sekali tidak bisa mengatur rumah tangga? Pasti akan jadi bahan tertawaan. Cucu dipermalukan tidak masalah, tapi jika orang menganggap Keluarga Bo tidak bisa mendidik perempuan, itu baru dosa cucu." 　　Setelah mendengar penuturan Jiang Si, ekspresi Nyonya Feng berubah-ubah. 　　Untuk pertama kalinya ia menyadari cucunya ini begitu pandai berargumentasi, namun logikanya cukup masuk akal. 　　Tapi pertunangan antara Keluarga Bo dengan An Guo Gong sudah batal. Dalam satu atau dua tahun, harapan Jiang Si untuk menikah sangat kecil. 　　Dengan waktu yang panjang seperti itu, menyerahkan mas kawin sebesar itu kepada Jiang Si membuat Nyonya Feng enggan melepasnya. 　　“Nenek Feng merenung sejenak: ‘Bagus kalau kamu bisa berpikir seperti itu, tapi segala sesuatu harus dilakukan bertahap, tidak bisa langsung sekaligus. Mulai besok, ikutilah bibimu yang kedua untuk melihat cara dia mengurus urusan rumah tangga. Setelah belajar 10-15 hari, baru bibimu akan memberikan satu tugas kepadamu. Mengenai mengurus mas kawin, setidaknya kamu harus mengenal semua ini dulu.’” 　　“Setelah menguasai kamar jahit, masih ada pengadaan barang. Setelah menguasai pengadaan, masih ada urusan pergaulan sosial. Selama Jiang Si mau belajar, masih banyak yang harus dipelajari. Jika semua ini dipelajari satu per satu, satu dua tahun akan berlalu.” 　　“Jika setelah satu dua tahun Jiang Si menikah dengan lancar, tentu Nenek tidak mau mendapat reputasi buruk menilep mas kawin menantu. Mas kawin itu tentu akan diserahkan utuh kepada Jiang Si.” 　　“Mendengar perkataan Nenek Feng, wajah Jiang Si menunjukkan pergulatan batin, tapi akhirnya menggeleng: ‘Cucu ingin mengurus sendiri mas kawin peninggalan ibu!’” 　　“Wajah Nenek Feng berubah muram: ‘Cucu keempat, bukankah nenek sudah menjelaskan dengan jelas? Apakah kamu tidak mendengarkan? Apa kamu pikir nenek akan menilep barang peninggalan ibumu?’” 　　“‘Tentu saja cucu tidak berpikir begitu.’” 　　“Ekspresi Nenek Feng sedikit melunak: ‘Nah, ikuti saja apa yang nenek katakan. Nenek tidak akan mencelakaimu.’” 　　“‘Tapi cucu butuh uang.’” 　　“‘Bedak, pakaian musiman semuanya disediakan keluarga. Kamu juga mendapat uang saku bulanan, masih kurang?’” 　　“‘Cucu ingin membuat dapur kecil untuk masak sendiri.’” 　　“Tidak masuk akal!” Nyonya Feng langsung marah mendengar, rupanya gadis ini ribut setengah mati karena pilih-pilih makanan. 　　Ibu Feng yang berdiri di samping Nyonya Feng diam-diam mencibir. 　　Seluruh kediaman bangsawan hanya Cixintang yang punya dapur kecil, bahkan Nyonya Kedua pun tidak. Tapi Si Nona Keempat malah merengek minta dapur kecil, benar-benar anak tak terdidik tanpa bimbingan ibu. 　　Dayang Axi mengedikkan bibir ke arah Afu. 　　Sepertinya Nona Keempat akan celaka. 　　Jiang Si sama sekali tidak peduli dengan kemarahan Nyonya Feng, berkata datar: "Cucu tidak berani membuat ulah, hanya jika tidak ada dapur kecil akan mati kelaparan. Demi bertahan hidup, terpaksa memohon pada nenek." 　　"Apa maksudmu ini? Mengancam hidup-mati hanya demi dapur kecil, mau jadi bahan gunjingan orang luar?" Nyonya Feng membentak. 　　"Aman, Aqiao, bawa kotak makanan masuk." 　　Tirai mutiara segera dibuka, Aman dan Aqiao masuk berurutan. 　　Dua dayang itu masing-masing membawa kotak makanan, lalu memberi hormat dengan menekuk lutut di depan Nyonya Feng. 　　Nyonya Feng malas berbicara dengan dayang-dayang itu, hanya memandang dingin ke arah Jiang Si. 　　"Keluarkan semua makanan itu, tunjukkan pada Nyonya Tua." 　　Aman dan Aqiao segera mengeluarkan makanan dari kotak, memenuhi seluruh meja. 　　“Ini untuk makan siang, ini untuk makan malam. Nenek bisa menyuruh orang mencicipi, lihat apakah makanan ini bisa ditelan.” Jiang Si akhirnya menghilangkan senyum di bibirnya, berkata dingin. 　　Nyonya Feng melirik sekilas, pandangannya tertahan lebih lama pada makanan malam itu, berkata sambil mengerutkan kening: “Meski penampilannya kurang menarik, bagaimana mungkin tidak bisa ditelan? Aku lihat semua masakan ini belum disentuh.” 　　Kalau memang belum disentuh, bagaimana Jiang Si tahu rasanya tidak bisa ditelan? 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Justru karena tidak bisa ditelan, sumpit pun berhenti bergerak. Kalau Nenek tidak percaya, suruh saja orang mencicipi.” 　　“Axi—” Nyonya Feng memberi isyarat pada Axi. 　　Axi sangat enggan. 　　Sebagai dayang utama Nyonya Tua, standar makanannya tidak kalah dari para nona muda, mana ada yang mau makan makanan dingin seperti ini. 　　Tapi semua pikiran ini harus disimpan dalam hati, dia segera menjawab “ya”, mengambil sepasang sumpit bersih dan mengincar makanan di meja. 　　Lebih baik mencicipi hidangan dingin, setidaknya ini memang sudah dingin, rasanya tidak akan berubah banyak. 　　Axi menjepit sejumput tumis jamur hitam dengan sumpitnya, baru saja merasakan rasanya langsung buru-buru meludahkannya ke saputangan, menutup mulut sambil batuk-batuk. 　　“Ada apa?” tanya Nyonya Feng dengan suara berat. 　　Axi tersedak sampai matanya berkaca-kaca: “Sepertinya kebanyakan wasabi...” 　　“Afu, kau cicipi yang lain.” Sampai di sini, Nyonya Feng sudah mulai menyadari sesuatu. 　　A Fu mencicipi beberapa hidangan, meski reaksinya tidak sebesar A Xi, wajahnya juga terlihat tidak enak, berkata kepada Nyonya Feng: "Rasanya... memang kurang enak..." 　　"Para pelayan di dapur semakin malas dan curang!" 　　Jiang Si tersenyum: "Sebelumnya biasa-baik saja, tapi hari ini dua kali makan berturut-turut seperti ini. Nenek, lebih baik panggil bibi kedua untuk ditanyakan, jangan-jangan dia mengganti koki tanpa memberitahu nenek?" 　　Nyonya Feng tidak langsung merespons perkataan Jiang Si, menatapnya dalam-dalam. 　　Dagu gadis itu yang halus terangkat, membiarkan Nyonya Feng mengamat-amatinya. 　　Pandangan kedua orang itu bertabrakan, Nyonya Feng tidak melihat secercah rasa mundur dari mata berkilauan itu. 　　Nyonya Feng menyembunyikan tatapan pengamatannya, berkata kepada A Fu: "Panggil Nyonya Kedua ke sini." 　　Jiang Si tidak bisa menahan senyum di bibirnya. 　　Dulu ada seorang bajingan yang mengajarinya: jika ingin orang lain menyetujui syarat kecil, ajukan dulu syarat besar yang pasti tidak akan mereka terima. 　　Dengan begitu, syarat kecil itu akan mudah dikabulkan. 　　Inilah yang disebut meminta harga selangit, menawar harga di tempat. 　　Ternyata, dia benar. 25. Bab 25 Menggali Lubang Tanpa Mengubur 　　Bab 25 Menggali Lubang Tanpa Mengubur 　　Nyonya Kedua Xiao Shi datang tergesa-gesa dari Yaxin Yuan dengan wajah penuh tanya, matanya langsung menangkap kehadiran Jiang Si. 　　Saat itu hari belum sepenuhnya gelap, meski lampu di dalam ruangan sudah dinyalakan, cahayanya masih remang-remang. 　　Gadis itu menolehkan kepala, senyum tipis mengembang di bibirnya, tiba-tiba seluruh ruangan seakan disinari cahaya. 　　“Hati Nyonya Xiao mulai terasa asam.” 　　Suami beliau menjabat sebagai Wakil Menteri Kekaisaran Taipusi, pejabat ibukota resmi pangkat 4 utama. Ini jauh lebih baik daripada para bangsawan muda yang hanya menerima gaji tanpa kekuasaan nyata. Inilah alasan putrinya bisa menikah ke Kediaman Marquis. 　　Keluarga Marquis Changxing tidak pernah memperhatikan status putri sebagai gadis Keluarga Bó, melainkan kemampuan suami beliau sendiri dan potensi masa depannya. 　　Namun Nyonya Xiao masih menyimpan sedikit penyesalan. 　　Dua tahun lalu saat Pangeran Lu - putra kelima Kaisar - memilih permaisuri, calon yang terpilih ternyata berasal dari keluarga biasa namun memiliki kecantikan luar biasa. 　　Saat itu Qian'er juga menghadiri pesta pemilihan itu. Seandainya Qian'er memiliki wajah secantik Jiang Si, mungkin Permaisuri Lu sudah menjadi milik Qian'er. 　　Sehebat apapun Kediaman Marquis Changxing, tetap tak ada bandingannya dengan posisi Permaisuri. 　　Tentu saja, Nyonya Xiao hanya berani memikirkannya dalam hati. 　　Pernikahan Jiang Qian adalah prestasi yang membanggakan. Jika orang luar tahu beliau masih menyesali pernikahan putrinya ke Kediaman Marquis, tentu akan menuai cemoohan. 　　“Ibu Suri belum istirahat?” Nyonya Xiao menyapa Nyonya Feng dengan senyuman. 　　Jiang Si berdiri dan sedikit membungkuk: “Bibi Kedua.” 　　“Nona Keempat datang memberi salam pada Ibu Suri?” Nyonya Xiao berpura-pura ramah, “Sebaiknya Li'er dan Pei'er mencontoh Nona Keempat. Dua gadis itu terlalu dimanja sampai tak tahu tata krama.” 　　Di sudut bibir Jiang Si, senyuman mengejek yang singkat muncul dan menghilang. 　　"Li'er" dan "Pei'er" yang disebut Nyonya Xiao adalah Putri Kelima Jiang Li dan Putri Keenam Jiang Pei. 　　Jiang Li dan Jiang Pei adalah putri dari keluarga cabang kedua, namun sebagai anak selir. Wajar jika Nyonya Xiao bisa seenaknya mengkritik mereka sambil menunjukkan kasih sayang ibu tiri. 　　Nenek Feng membersihkan tenggorokannya ringan, matanya menyapu makanan di meja. 　　Nyonya Xiao tertegun, menahan keheranannya sambil bertanya: "Ini--" 　　Baru pagi tadi dia memberi isyarat pada Nyonya Liu sang pengurus dapur, malamnya Jiang Si sudah datang mengadukan hal ini ke nenek? 　　Nyonya Xiao tak bisa menahan diri untuk melirik ke arah Jiang Si. 　　Gadis itu tetap tenang, sudut bibirnya sedikit terangkat. 　　Nyonya Xiao sulit mempercayai hal ini. 　　Selama ini dialah yang mengurus rumah tangga. Bagaimana mungkin Jiang Si, gadis yatim yang baru saja putus tunangan, berani bertindak seperti ini! 　　Bukankah seharusnya gadis kecil seperti itu merunduk dan bersikap rendah hati? 　　Setelah menderita beberapa hari dan menyadari posisinya, barulah dia akan memberi isyarat pada Nyonya Liu untuk menghentikan trik kotor ini. 　　Ekspresi Nyonya Xiao yang tergagap jelas membuat Jiang Si senang, senyumnya semakin lebar. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia memang berwatak suka unjuk gigi dan sangat menjaga reputasi. Jika Nyonya Xiao bertindak seperti ini dulu, dia pasti akan memendamnya sambil mencari solusi yang tepat tanpa melibatkan ayah, kakak, atau membuat nenek meremehkannya. 　　Tapi sekarang, jika reputasi tidak bisa membuat hidupnya lebih nyaman, itu omong kosong. Tidak ada yang boleh membuatnya tidak nyaman. 　　"Biar Bibi Er tahu, ini makan siang dan makan malam yang dikirim ke Haitangju." Jiang Si berkata dengan wajah dingin. 　　"Ada apa dengan makanan ini?" Xiao Shi pura-pura tidak mengerti. 　　"Tidak bisa ditelan." Jiang Si langsung terang-terangan, "A Fu dan A Xi sudah mencoba. Jika Bibi tidak percaya, silakan cicip sendiri." 　　Wajah Xiao Shi berubah: "Perkataan Nona Keempat ini menyakiti hati bibimu. Kalau makanan tidak enak, bilang saja. Pasti bibimu akan menghukum keras koki itu untukmu." 　　"Bibi mau menghukum koki bagaimana?" Jiang Si tersenyum manis, "Aku ingat yang mengurus dapur adalah Nenek Liu kan?" 　　Ekspresi Xiao Shi sebelumnya hanya pura-pura, sekarang benar-benar berubah. Dengan senyum ramah ia balik bertanya: "Nona Keempat ingin bibimu menghukum koki seperti apa?" 　　Sebagai senior yang merendahkan diri, jika Jiang Si terus memojokkan, tidak akan mendapat simpati dari Nyonya Tua. Kalau tersebar, para pelayan juga akan menganggap Nona Keempat kejam dan suka menyusahkan bawahan. 　　Jiang Si menunjuk ke meja penuh hidangan sambil mencibir: "Kalau satu masakan gagal, mungkin kecelakaan. Tapi empat lauk satu sup semua tidak bisa dimakan. Kalau sekali gagal, mungkin koki mengantuk. Tapi dua kali makan berturut-turut tetap begini." 　　“Jiang Si tersenyum sinis melihat Nyonya Xiao: 'Kalau sampai ada yang tidak bisa membedakan benar salah, mungkin mengira Bibi kedua sudah bicara sesuatu pada pengurus dapur, sehingga dapur sengaja menyajikan makanan seperti ini untuk mempermalukan keponakan.'” 　　Wajah Nyonya Xiao memerah: “Nona Keempat, kata-katamu sungguh menyakiti hati bibi ini. Sudah bertahun-tahun bibi mengurus rumah tangga, apa bibi orang seperti itu?” 　　“Bibi Xiao kenapa buru-buru? Bukankah tadi kukatakan, hanya orang yang tidak bisa membedakan benar salah yang akan salah paham seperti ini? Apa bibi mengira keponakanmu ini orang yang tidak adil?” 　　“Tentu saja tidak...” Nyonya Xiao memaksakan diri tersenyum. 　　Pertanyaan Jiang Si yang terus menerus, lugas tanpa tedeng aling-aling, membuat Nyonya Xiao yang terbiasa bicara secara halus kewalahan. 　　Wajah Jiang Si berubah serius: “Kalau urusan dapur ini Bibi tidak tahu, berarti Nenek Liu sengaja menipu atasan dan menindas majikan muda yang sudah yatim seperti aku. Menurut Bibi, hukuman apa yang pantas untuknya agar bisa menjadi pelajaran bagi pelayan lain?” 　　“Ini...” Nyonya Xiao ragu, “Karena Nenek Liu lalai, lebih baik dia dialihkan dari tugas di dapur ke bagian jahit-menjahit.” 　　Nenek Liu hanya menjalankan perintahnya. Dipindahkan ke bagian jahit jelas lebih merugikan daripada mengurus dapur. Jika dihukum lebih berat, bisa membuat kecewa para pelayan yang bekerja untuknya. 　　“Seorang pelayan yang menganiaya tuannya, Bibi kedua hanya mengirimnya ke ruang jahit, benar-benar baik hati. Tapi saya penasaran, kalau Nenek Liu menganiaya Erjie, apa yang akan Bibi kedua lakukan?” Jiang Si bertanya tanpa basa-basi. 　　Xiao Shi tidak menyangka Jiang Si berani bicara terbuka, membela diri: “Nenek Liu sudah bekerja di dapur besar bertahun-tahun tanpa masalah. Bahkan jika ini terjadi pada Erjie, kita tak bisa menghabisi hidup pelayan tua, nanti bikin kecewa orang-orang.” 　　Hmph, lagian Qian'er sudah lama menikah, pasti takkan mengalami hal seperti ini. 　　Jiang Si mengerutkan kening: “Bibi kedua benar. Orang yang bertugas di dapur bertahun-tahun tanpa masalah, kenapa tiba-tiba jadi bodoh? Sepertinya ini bukan sekadar pelayan sombong menindas majikan.” 　　Wajah Xiao Shi langsung berubah pucat. 　　Lebih baik tetap tuduh pelayan sombong, kalau tidak berarti dia yang menyuruh? 　　Saat wajah Xiao Shi berubah-ubah, Jiang Si membungkuk ke Nenek Feng: “Nenek, Anda yang paling bijaksana. Tolong beri petunjuk, kenapa Nenek Liu tiba-tiba berbuat seperti ini?” 　　“Sudah pasti si pelayan tua itu tidak waras!” Xiao Shi buru-buru menyela, memutuskan mengorbankan Nenek Liu: “Nona Keempat benar. Pelayan sombong tak boleh dimaafkan. Suruh dia sekeluarga menggarap tanah di perkebunan pinggir ibukota. Bagaimana pendapat Nona Keempat?” 　　Jiang Si mengangguk dengan enggan: "Kalau Bibi Kedua berkata seperti itu, aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Lagipula, Nenek Liu masih punya keluarga yang harus dihidupi." 　　Xiao Shi hanya bisa terkekeh kaku. 　　Bukankah kau sendiri yang tidak memberi orang jalan hidup, dasar gadis lancang! 　　Jiang Si memberi hormat kepada Nyonya Tua Feng dengan anggun: "Nenek, cucu tidak akan mengganggu istirahatmu lagi." 　　Ia mengangguk ringan, seketika A Man dan A Qiao merapikan makanan di meja. 　　Nyonya Tua Feng yang melihat Jiang Si tak lagi membahas masalah mas kawin, buru-buru mengiyakan: "Pergilah." 　　Di ambang pintu, Jiang Si tiba-tiba berbalik: "Hari ini Erjie pulang tapi katanya tidak mengunjungi Bibi Kedua. Jangan sedih, mungkin dalam beberapa hari ia akan datang." 　　Setelah berkata demikian, ia pergi dengan langkah mantap. 　　Nyonya Tua Feng melirik Xiao Shi dengan tatapan dingin. 　　Jantung Xiao Shi berdebar kencang. 　　Dasar Jiang Si, pergi pun masih menyisakan jebakan! 　　Terima kasih untuk hadiah dan rekomendasinya. Setelah terbit akan berusaha update lebih banyak. 26. Bab 26: Memalukan 　　Bab 26: Memalukan 　　Nyonya Tua Feng menatap Xiao Shi dengan raut wajah berubah-ubah. 　　Apakah menantunya ini sudah lupa siapa pemilik sesungguhnya Markas Boleh setelah terlalu lama mengurus rumah tangga, sampai berani mengintervensi Paviliun Cixin! 　　Kalimat terakhir Jiang Si sebelum pergi membuat Nyonya Tua Feng tak bisa tidak murka. 　　“Mengapa dapur besar tiba-tiba menyusahkan Jiang Si? Apalagi kebetulan di hari Jiang Qian pulang?” 　　Jelas kejadian Jiang Si mempermalukan Jiang Qian di Balai Cixin sudah sampai ke telinga Nyonya Xiao, makanya dia memberi pelajaran kecil pada Jiang Si. 　　Nyonya Feng sebagai orang lama tidak terlalu mempedulikan taktik rumah tangga seperti ini, tapi bila dipakai terhadap dirinya sendiri tentu tak bisa ditolerir. 　　Jiang Qian saja belum mengunjungi Paviliun Yaxin, tapi Nyonya Xiao malah menarget Jiang Si. Bukankah ini membuktikan Nyonya Xiao tahu persis semua kejadian di Balai Cixin! 　　Bagaimana mungkin membiarkan orang lain tidur nyenyak di samping ranjangnya? Bagi Nyonya Feng yang haus kontrol, ini benar-benar tak tertahankan. 　　Semakin dipikir Nyonya Feng semakin marah, tangannya melemparkan air teh ke muka Nyonya Xiao sambil menggeretak gigi: “Aku belum mati!” 　　Air teh yang sudah setengah dingin itu tidak membakar kulit, tapi Nyonya Xiao yang sudah berumur dan berpengalaman mengurus rumah tangga ini merasa muka seperti terbakar. Air teh mengalir di pipi, daun teh menempel di pelipis, rasanya ingin masuk ke lubang tanah. 　　“Ibu, perkataan Ibu membuat menantu benar-benar malu. Entah kesalahan apa yang telah kulakukan sampai Ibu murka sebesar ini...” 　　Nyonya Feng yang sudah sadar melihat keadaan memalukan Nyonya Xiao. Meski kemarahannya sudah reda separuh, timbul sedikit penyesalan. 　　“Barusan memang agak berlebihan, Nyonya Xiao toh yang mengurus rumah tangga. Meski tidak melihat Nyonya Xiao, setidaknya harus memberi muka untuk kedua cucu.” 　　"Sudahlah, kau boleh pulang. Besok pagi-pagi surat keluarga Liu pergi dari kediaman, jangan tambah kesalku lagi." Nyonya Tua Feng melunakkan nada bicaranya. 　　"Nyonya Tua silakan beristirahat, menantu pamit dulu." 　　Setelah Nyonya Xiao pergi, aula Cixin Tang yang luas menjadi sunyi senyap, bahkan jarum jatuh pun terdengar. 　　Nyonya Tua Feng menyapu pandangannya ke arah Mak Feng dan yang lain, tanpa sepatah kata. 　　Suasana mencekam membuat Mak Feng dkk tak sanggup mengangkat kepala, keringat membasahi baju belakang mereka diam-diam. 　　Mak Feng memimpin berlutut, disusul Ah Fu dan Ah Xi yang ikut berjongkok. 　　Adapun pelayan dan babu lainnya semuanya berlutut di luar, tak berhak masuk. 　　"Katakan, siapa yang mulut panjang?" Nyonya Tua Feng mengulurkan tangan hendak mengambil teh, baru teringat cangkir itu sudah ditumpahkan ke muka Nyonya Xiao. Mukanya semakin muram. 　　Ah Fu memberanikan diri bangkit, gesar mengganti teh baru untuk Nyonya Tua Feng, lalu kembali berlutut di tempat semula. 　　Nyonya Tua Feng menyeruput tehnya. Meski marah membara, ia puas dengan kewaspadaan Ah Fu. 　　"Tak ada yang mau mengaku?" Nyonya Tua Feng meneguk lagi, nadanya sudah tak terdengar emosi. 　　Justru karena sikap Nyonya Tua seperti ini, para pelayan yang berlutut semakin merasakan dingin menyusup ke tulang sumsum. 　　A Xi akhirnya tidak tahan menahan tekanan, membenturkan kepala ke lantai berkali-kali sambil berkata: "Ini pelayan... pelayan yang terlalu banyak bicara..." 　　Melihat salah satu dayang utamanya, Nyonya Feng mengencangkan bibir, memandang tajam ke arah A Xi yang terus membenturkan kepala ke lantai tanpa berkata sepatah kata pun. 　　Dalam waktu singkat, rambut A Xi sudah berantakan karena benturan kepala yang terus-menerus: "Setelah Nyonya Kedua pergi, pelayan kecil dari Yaxin Yuan datang mengajak pelayan bicara. Pelayan berpikir Nyonya Kedua sangat menyayangi putrinya, jadi tidak tahan untuk membocorkan beberapa hal. Nyonya, pelayan benar-benar tahu salah, andai tahu ini akan menyebabkan masalah sebesar ini, pelayan lebih baik mati daripada bicara sembarangan..." 　　A Xi kembali membenturkan dahinya beberapa kali ke lantai sampai kulit putih lembut di dahinya membiru keunguan: "Pelayan benar-benar insaf, mohon Nyonya mengampuni pelayan, pelayan tidak akan berani lagi..." 　　"Cukup." 　　Dua kata dari Nyonya Feng membuat tubuh A Xi kaku seketika, matanya dipenuhi ketakutan saat menatap sang nyonya. 　　"Mulai besok, kamu akan bekerja di ruang jahit." Melihat dahi A Xi yang sudah terluka parah, hati Nyonya Feng sedikit luluh dan membatalkan niat untuk mengusirnya. 　　"Terima... kasih Nyonya..." A Xi roboh di lantai, seluruh harapannya telah pupus. 　　Dari dayang utama Cixintang yang terhormat jatuh menjadi dayang di ruang jahit, pukulan ini membuatnya hampir ingin mati seketika. 　　Ah Fu melihat ekspresi Ah Xi agak aneh, mengingat persahabatan mereka sejak kecil, segera menariknya dan berkata: "Nyonya tua, hamba akan membawa Ah Xi untuk bersiap-siap." 　　"Pergilah." Nyonya Feng yang lelah setelah keributan tadi berkata dingin, "Ibu Feng, serahkan orang-orang ini padamu untuk diberi peringatan! Kedepannya siapa yang lancang mulut langsung usir dari kediaman!" 　　Malam itu, para pelayan Cixintang seolah dikunci mulutnya, tak ada yang berani bersuara. 　　Situasi di Yaxinyuan tak kalah buruknya. 　　Nyonya Xiao yang compang-camping kembali dari Cixintang langsung menjungkir meja begitu masuk kamar. Teko dan cangkir jatuh berhamburan, pecahan keramik beterbangan. 　　"Apa yang terjadi?" Tuan Jiang Kedua yang kebetulan masuk mengerutkan kening melihat tak ada tempat berpijak. 　　Nyonya Xiao yang malu dan kesal mengusir pelayan lalu menjelaskan situasinya. 　　"Bodoh!" Tuan Jiang Kedua langsung memarahi setelah mendengar, "Kau sebagai bibi malah menyusahkan keponakan dalam hal sepele? Mau malu jika tersebar?" 　　Wajah Nyonya Xiao terbakar malu, bergumam kesal: "Siapa sangka Jiang Si tak peduli muka, berani berkonfrontasi terbuka denganku." 　　“Di rumah-rumah lain, ibu tiri yang menyusahkan anak tiri atau ibu tiri yang mengganggu anak kandung dari istri pertama, bukankah semua menggunakan hal-hal sepele seperti ini untuk mengontrol orang?” 　　“Adakah gadis-gadis yang dikontrol itu berani bersuara? Mengapa giliran dia tidak bisa?” 　　“Jangan merasa tidak puas, kau pikir Si Yatou itu mudah dihadapi? Dulu dia punya perjodohan bagus, pasti menjaga reputasi. Sekarang sudah berbeda.” 　　“Apa bedanya?” 　　“Seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki.” Bicara tentang Jiang Si, Tuan Jiang Kedua juga tidak dalam mood baik. 　　Peristiwa di gudang beberapa hari lalu ketika keponakan perempuannya membuatnya tak bisa berkata-kata masih belum ia lupakan. 　　Nyonya Xiao menggigilkan bibir hendak melanjutkan, tapi Tuan Jiang Kedua berkata dingin: “Pokoknya, si gadis itu sekarang seperti orang tak beralas kaki yang tak takut sepatu. Jauhi dia!” 　　Setelah berbicara, Tuan Jiang Kedua memandang wajah tua istrinya di bawah lampu yang lebih kuning dari daun teh yang menempel di pelipisnya. Benar-benar wanita tua yang tak menarik lagi. Mana mungkin ia mau berlama-lama? Langsung berjalan menuju halaman barat. 　　Nyonya Xiao yang tidak mendapat penghiburan malah dimarahi, sambil melihat suaminya pergi ke selir, menggigil marah. Matanya berputar lalu memanggil pelayan kepercayaan untuk berbisik beberapa hal. 　　Pelayan kepercayaan mengangguk dan diam-diam pergi. 　　Jiang Si dan pelayannya kembali ke Paviliun Haitang. Aman tak sabar bertanya: “Nona, bagaimana Nona tahu Nyonya Tua dan Nyonya Kedua tidak berani menyusahkan Nona?” 　　“Tidak ada yang lain, hanya keteguhan karena tanpa keinginan.” Jiang Si tersenyum tipis. 　　Karena dia tidak mengharapkan apa-apa, secara alami bisa menggunakan mas kawin peninggalan ibunya untuk menawar tinggi dengan nenek. Nenek tidak tega melepas keuntungan dari mas kawin ibunya, jadi ketika dia menyerang bibi kedua, nenek hanya bisa menjadi penonton. 　　Adapun bibi kedua, hanya mengira dia seorang gadis tanpa perlindungan ibu, yakin bahwa dia akan menyelesaikan dengan cara halus. Jika demikian, mungkin dapur akan berhenti sebelum dia bertindak, sehingga dia harus menelan ludah. 　　Sayangnya bibi kedua tidak tahu, sejak lama dia sudah paham: di dunia ini, gengsi dan martabat adalah dua hal berbeda. 　　Gengsi tidak sepenting hidup nyaman, tapi hidup nyaman tidak boleh mengorbankan martabat! 　　"Tidurlah, besok akan ada keramaian." Jiang Si memberi isyarat pada A Man dan A Qiao untuk mempersiapkannya. 　　A Man dan A Qiao saling pandang, sama-sama berpikir: Keramaian apa yang akan terjadi besok? 　　Terima kasih untuk voting dan hadiahnya! Ini adalah bab cadangan, pemiliknya sedang pulang ke rumah orang tua bersama dua anak kecil! 27. Bab 27: Komedi Absurd 　　Bab 27: Komedi Absurd 　　A Man dan A Qiao terus memikirkan keramaian besok, semalaman tidur tidak nyenyak, paginya mata berkantung hitam. 　　Tapi Jiang Si segar bugar, berpenampilan rapi menuju Balai Cixin untuk memberi salam. 　　Nyonya Feng juga kurang tidur. 　　“Orang yang sudah lanjut usia memang tidurnya sudah tidak nyenyak, apalagi jika ada beban pikiran. Belum lagi sejak bermimpi itu, dia terus merasa nyeri samar di mata kirinya.” 　　Begitu melihat Jiang Si dengan pipi kemerahan bagai bunga mawar yang baru disiram embun, hati Nenek Feng langsung tidak enak. 　　Kalau saja gadis ini tidak berulah semalam, tentu dia tidak akan bolak-balik di kasur sepanjang malam seperti kue yang digoreng. 　　Seorang gadis kecil sudah berani memakai mas kawin sebagai syarat, nanti bisa-bisa semena-mena! 　　Nenek Feng diam-diam berniat memberi pelajaran pada Jiang Si kelak, tapi raut wajahnya sama sekali tidak menampakkannya. 　　Nyonya Kedua Xiao Shi yang datang lebih dulu dengan dua anak perempuan dari selirnya semakin kesal melihat kecantikan Jiang Si. Tapi saat teringat pesan yang dikirimkan pelayannya ke Nyonya Liu semalam, sudut bibirnya kembali naik. 　　Sebentar lagi akan ada keributan, dia ingin melihat bagaimana Jiang Si akan keluar dari panggung! 　　"Cukup, kalian boleh bubar." Nenek Feng meneguk tehnya. 　　Xiao Shi membawa putri kelima Jiang Li dan putri keenam Jiang Pei pamit undur diri, disusul Nyonya Ketiga Guo Shi dengan putri ketiga Jiang Qiao. 　　Rombongan berjalan keluar satu per satu. Meski Jiang Si adalah putri keluarga utama, sebagai yang termuda, tentu berada di posisi paling belakang. 　　Gadis yang berjalan di samping Nyonya Ketiga Guo tiba-tiba menoleh, mengangkat alis ke arah Jiang Si dengan ekspresi menantang. 　　Jiang Si memandang Jiang Qiao sambil menghela nafas dalam hati. 　　Keluarga Dongping Bo terbagi menjadi tiga cabang, Tuan Jiang San adalah anak haram yang rendah hati dalam keseharian. Sebagai menantu haram, Nyonya Guo juga jarang bicara di luar, namun putri mereka Jiang Qiao justru periang dan cerewet. 　　Ini tak aneh, meski Tuan Jiang San anak haram, dia hanya punya satu putra dan putri. Jiang Qiao tumbuh besar dalam kemewahan. 　　Tapi Jiang Qiao yang dimanja ini selalu berselisih dengan Jiang Si. 　　Dari enam putri keluarga Bo, mereka sebaya. Jiang Qiao beberapa bulan lebih tua dari Jiang Si. Persaingan karena usia sebaya memang biasa, tapi perseteruan mereka memanas karena masalah perjodohan dengan Keluarga Anguo Gong. 　　Saat terjadi longsor, Adipati Anguo diselamatkan bersama oleh Jiang Ancheng dan Tuan Jiang San. Namun ketika Keluarga Anguo Gong melamar putri Dongping Bo, Jiang Si-lah yang terpilih. 　　Jiang Qiao yang lebih tua beberapa bulan tentu tak rela. Jiang Si saat itu keras kepala, tak pernah mau mengalah. Saat bertengkar, dia pernah melontarkan: "Siapa suruh ayahmu bukan Adipati Bo?" 　　Kalimat inilah yang membuat Jiang Qiao murka, sejak itu bahkan tak mau menjaga kesopanan permukaan di depan Jiang Si. 　　Tapi Jiang Si selalu ingat, ketika dia menikah ke Kediaman Adipati An Guo kurang dari setahun dan langsung menjanda, dia mendengar begitu banyak gunjingan, dan sudah siap menjadi bahan tertawaan Jiang Qiao. 　　Jiang Qiao yang biasanya selalu bermuka masam justru memberinya pelukan. 　　Mengingat ini, Jiang Si tersenyum cerah pada Jiang Qiao. 　　Jiang Qiao langsung membeku. 　　Jiang Si yang sehari-hari matanya selalu melihat ke atas ini tersenyum padanya? Bukan senyum sinis, bukan ejekan, tapi senyum normal manusia? 　　Pasti ada konspirasi! 　　Wajah Jiang Qiao berubah serius, buru-buru menarik pandangannya, tapi tak mau kalah wibawa, berjalan membusungkan dada di belakang Nyonya Guo, istri ketiga. 　　Kerumunan orang keluar dari gerbang kompleks Cixin Hall, tiba-tiba bayangan manusia menyergap. 　　Kejadian ini terlalu mendadak, semua orang kaget terpaku di tempat. 　　Bayangan itu menyerang Jiang Si. A Man di belakang Jiang Si menghentakkan kaki ke udara dan mendarat ringan. 　　Bayangan itu terjengkang di kaki Jiang Si, wajah penuh cap sepatu merengek: "Nona Keempat, kasihanilah hamba, beri jalan hidup untuk keluarga hamba—" 　　Barulah semua menyadari bayangan itu adalah Nenek Liu. 　　Di hadapan seluruh anggota tiga keluarga, pandangan mereka ke Jiang Si tiba-tiba menjadi penuh makna. 　　Tiada tembok yang tak bocor, keributan Jiang Si semalam sudah menggema ke seluruh kediaman. 　　Jiang Si memandang dingin Liu Popo yang bersujud di kakinya memohon, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 　　"Nona Keempat, hamba ini sudah dibutakan lemak babi, sesaat linglung menghina Paduka. Mohon Paduka yang maha pengampun, anggap hamba seperti kentut dan lepaskan saja. Hamba tahu salah, tidak akan berani lagi di kemudian hari——" Liu Popo mengayunkan kedua tangannya menampar pipinya sendiri, wajah keriputnya segera menjadi seperti adonan roti yang mengembang. 　　Selain orang-orang yang baru keluar dari Ruang Cixin, para pelayan yang lewat diam-diam berhenti menyaksikan keributan ini, bisikan-bisikan mulai terdengar. 　　"Liu Popo sungguh patut dikasihani." 　　"Benar, meski Liu Popo bersalah, tapi seluruh keluarganya diusir ke perkebunan, tetap saja terlalu menyedihkan." 　　…… 　　Para pelayan secara alami merupakan satu kelompok, tak peduli bagaimana sikap Liu Popo sehari-hari, melihat seluruh keluarganya diusir seperti ini, mereka tak bisa tidak merasa senasib. 　　"Kalau masih berani bergosip, aku akan mencabik mulut kalian!" Aman menggeram. 　　Di sudut mata Nyonya Kedua Xiao kilatan senyum muncul, amarah yang tertahan semalaman akhirnya sedikit terlampiaskan. 　　Keributan yang dibuat Liu Popo ini, apapun alasannya, akan meninggalkan kesan kejam pada citra Jiang Si di mata para pelayan. Setelah reputasi ini tersebar, jangan harap bisa mendapatkan perjodohan baik lagi. 　　Adakah balasan yang lebih baik daripada memutuskan perjodohan baik seorang gadis? 　　Tangisan Liu Popo menggema ke langit, bahkan dayang-dayang dari Ruang Cixin mengintip keluar untuk melihat. 　　"Ada apa?" Nyonya Feng yang sedang bersantai dengan mata terpejam tiba-tiba membuka matanya, bertanya pada A Fu, "Kegaduhan apa yang terjadi di luar?" 　　A Fu buru-buru keluar untuk menyelidiki, tak lama kemudian kembali dengan langkah cepat melapor: "Entah kenapa Nenek Liu datang ke sini, sedang menangis memohon ampun pada Si Nona Keempat." 　　Nyonya Feng merenung sejenak, lalu mengulurkan tangan: "Bantu aku pergi melihat." 　　"Nyonya, Nyonya Tua sudah keluar." Pelayan yang berdiri di samping Nyonya Kedua Xiao Shi berbisik. 　　Xiao Shi menggerakkan alisnya tipis. 　　Justru bagus Nyonya Tua keluar, melihat kejadian kacau ini pasti semakin jengkel pada si bocah kurang ajar Jiang Si itu. 　　Nenek Liu yang menyadari kehadiran Nyonya Feng, melirik cepat ke arah Xiao Shi. 　　Xiao Shi mengangguk nyaris tak terlihat. 　　Nenek Liu tiba-tiba berdiri sambil berteriak: "Kalau Nona Keempat tak mau mengampuni hamba, hamba hanya bisa mati untuk menebus dosa, semoga Nona mau mengampuni keluarga hamba--" 　　Sambil berkata demikian, Nenek Liu menundukkan kepala dan berlari menghantam tembok halaman. 　　"Ah--" Banyak orang menutup mata ketakutan, tapi teriakan menyakitkan yang diantisipasi tak terdengar, malah suasana menjadi sunyi mencekam. 　　Saat membuka mata, mereka melihat A Man menginjak ujung rok Nenek Liu. Nenek Liu terjatuh dengan posisi tidak sopan, memperlihatkan celana dalamnya yang sudah bolong. 　　Setelah keheningan yang menegangkan, pecah tawa riuh. Seseorang berkomentar: "Nenek Liu sangat hemat ya." 　　Tawa hadirin semakin menggema. 　　A Man masih belum mengangkat kaki, memandangi Nenek Liu dari atas dengan tatapan sinis: "Mau mati kok tidak cari pohon bengkok diam-diam? Berani-beraninya menakuti nona kami, berani tanggung jawab?" 　　Dasar si brengsek tua, pantas saja nona meminta untuk mengawasinya ketat kalau muncul, ternyata benar-benar mau berulah. 　　Memohon dukungan rekomendasi. Tentu kalian semua tahu betapa pentingnya rekomendasi untuk buku baru ini. Liu Ye dengan muka tebal memohon suara. Jika kalian menyukai "Si Rupa", tolong berikan beberapa suara. 28. BAB 28 Jangan Sampai Aku Mendengarnya 　　BAB 28 Jangan Sampai Aku Mendengarnya 　　Di depan umum roknya ditarik paksa, memperlihatkan celana dalam yang bolong. Sekuat-kuatnya muka Nenek Liu setebal tembok, ia tak tahan. Ia panik menarik roknya dari bawah kaki A Man. 　　A Man tetap kaku tak mau mengangkat kaki. "Criiit!" Rok coklat kusam itu pun terbelah dua. 　　Gelak tawa pecah seketika. 　　"Sungguh tidak pantas! Tidak pantas!" Nenek Feng gemetar marah. 　　Jiang Si bahkan tak melirik Nenek Liu. Ia melangkahi si nenek dan menghadap Istri Kedua Xiao, berkata tegas: "Bibi kalau tak bisa mengendalikan budak licik macam ini, lebih baik jangan mengurus rumah tangga." 　　"Apa katamu?" Nyonya Xiao terkejut dengan kelancangan Jiang Si. 　　Segala tawa langsung tercekat. Semua mata tertuju pada Jiang Si. 　　“Perintah mengusir keluarga Nenek Liu ke perkebunan adalah keputusan Bibi Kedua di hadapan nenek. Tak disangka sampai saat ini mereka masih tinggal di kediaman utama, bahkan Nenek Liu berani menerobos ke sini untuk berulah. Untungnya kami sudah memberi salam pada nenek dan keluar dari Ruang Cixin. Andai ini terjadi lebih awal, apakah Nenek Liu akan berani menerobos masuk ke Ruang Cixin?” 　　Jiang Si melirik Nyonya Tua Feng, sudut bibirnya menyunggingkan kecut: "Baru saja Nenek Liu mengancam bunuh diri. Andai dia berhasil masuk ke Ruang Cixin sementara dayangku tak sempat menghalangi, apakah sekarang Ruang Cixin sudah berlumuran darah? Masihkah nenek sanggup tinggal di sana setelahnya?" 　　Mendengar ini, wajah Nyonya Tua Feng semakin berubah pucat. 　　Nyonya Xiao hampir pingsan. 　　Jiang Si ini ternyata begitu lihai berdebat, di depan banyak orang sama sekali tidak memberi muka! 　　"Bibi Kedua, selama bertahun-tahun Ibu mengelola rumah tangga, tapi sekarang mengusir seorang budak saja sampai ricuh begini. Anakmu ini terpaksa menyimpulkan bahwa Ibu terlalu memanjakan para budak durjana, sampai-sampai mereka menganggap perintah Ibu sebagai angin lalu!" 　　"Bukan begitu--" 　　“Nyonya Xiao mulai menjelaskan, namun Jiang Si tidak memberinya kesempatan. Ia membungkuk di depan Nyonya Feng: ‘Nenek, jika kelak para pelayan mencontoh perilaku ini—setiap tidak puas dengan hukuman majikan langsung mengancam bunuh diri—bukankah kekacauan akan terjadi di Kediaman Bofu? Hari ini Liu Pozi berani memaksaku dengan ancaman mati, besok bisa jadi Zhang Pozi, Wang Pozi mengancam saudari-saudariku, bahkan bibi kedua, bibi ketiga, hingga Nenek sendiri. Masakan nama baik keluarga kita masih bisa diselamatkan?’” 　　Suara gadis itu jernih bagai mutiara jatuh ke piring giok. Ucapannya membuat wajah Nyonya Feng memucat, sorot matanya semakin sinis memandang Nyonya Xiao. 　　“Nyonya Tua——” 　　“Apa yang kukatakan kemarin? Xiao Shi, kamu bahkan tidak bisa menangani urusan sepele ini? Haruskah kusuruh dia pergi?” Nyonya Feng menunjuk Liu Pozi. 　　Jantung Nyonya Xiao berdebar. Ia tahu Jiang Si telah memenangkan simpati dengan serangan mendahului ini. “Dasar pelayan tua! Masih berdiri di sini? Cepat minggat ke perkebunan!” hardiknya pada Liu Pozi. 　　Liu Pozi yang sudah ketakutan setengah mati segera bersujud pada Nyonya Feng sebelum bergegas kabur sambil menyingkap roknya. 　　“Tunggu.” Suara dingin Jiang Si mengguntur. 　　“Nona Keempat masih ada urusan?” Telinga Nyonya Xiao langsung panas setiap mendengar suara Jiang Si. 　　“Mengancam nyawa majikan namun tidak perlu menanggung konsekuensi setelahnya, Bibi Kedua yang baik hati seperti ini pantas saja tidak bisa mengendalikan pelayan licik seperti ini. Keponakan sudah bisa memprediksi, saat pelayan jahat ini keluar dari Gerbang Keluarga Bo dan menginjak-injak nama baik keponakan dengan semena-mena, pasti tidak akan ada sedikit pun rasa takut.” 　　“Aku lihat siapa yang berani!” Nyonya Tua Feng membentak dingin, sorot matanya tajam seperti pisau menyapu kerumunan. 　　Semua yang terkena pandangan Nyonya Tua Feng spontan menundukkan kepala. 　　“Nenek Liu, dengarkan baik-baik. Jika kau menyebarkan sepatah kata pun tentang urusan keluarga ini saat di perkebunan, seluruh keluargamu tak perlu tinggal di sana lagi.” 　　Nenek Liu bersujud gemetar: “Hamba tidak berani, hamba tidak berani.” 　　Ia terus menunduk memohon ampun, dalam hati menyimpan dendam terselubung terhadap Nyonya Kedua Xiao. 　　Nyonya Kedua sudah menjamin, keributan hari ini pasti akan menghancurkan reputasi Si Nona Keempat, dan setelah ke perkebunan akan memberi imbalan besar. 　　Tapi perintah Nyonya Tua membuatnya tak hanya harus tutup mulut tentang Si Nona Keempat, tapi juga terus waspada. Jika ada yang bocor, malapetaka akan datang. 　　Andai tahu begini, lebih baik diam-diam pergi ke perkebunan saja. 　　“Dan kalian semua! Siapa yang berani membicarakan hal ini lagi, langsung serahkan ke makelar budak!” bentak Nyonya Tua Feng. 　　“Hamba tidak berani.” 　　“Bubar semua! Jiang Si, kau tetap di sini.” 　　Kerumunan bagai mendapat pengampunan, buru-buru keluar. 　　Jiang Qiao menoleh, penasaran melirik Jiang Si. 　　Harus diakui, dibandingkan dengan pertengkaran sebelumnya antara Jiang Si dan dirinya, hari ini keberaniannya menekan Er Boniang justru membuatnya terkesan. 　　"Qiao'er, ayo pergi." Nyonya Guo, istri ketiga, menarik tangan Jiang Qiao diam-diam. 　　"Apa yang ingin Nenek perintahkan?" Ekspresi Jiang Si tenang saat bertanya. 　　Nenek Feng mengamati Jiang Si dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan wajah dingin: "Jiang Si, ingatlah, gadis yang terlalu pandai berbicara itu tidak baik." 　　Dia tidak tuli maupun buta, mana mungkin tidak melihat cucu perempuannya ini sedang bersitegang dengan Nyonya Xiao. 　　Dia tidak peduli dengan keributan Jiang Si. Seorang gadis yang pertunangannya dibatalkan memang masa depannya terbatas, tapi jika merusak reputasi cucu-cucu lainnya, itu tidak bisa ditolerir! 　　"Nenek tenang saja, cucu sudah mengingat." Seolah tak merasakan ketidaksukaan Nenek Feng, Jiang Si tersenyum manis padanya. 　　"Pergilah." Senyum Jiang Si membuat Nenek Feng tidak nyaman, tangannya mengibas geram. 　　Seorang cucu yang sudah menjadi bidak tak berguna, selama tidak membuat keonaran, tentu tak layak disia-siakan. 　　Adapun Nyonya Xiao... Sudah terlalu lama mengurus rumah tangga, memang perlu ada yang memberinya pelajaran. 　　"Cucu mohon diri." 　　Jiang Si berjalan perlahan meninggalkan tempat, di tengah jalan menuju Paviliun Haitang dia bertemu Nyonya Xiao yang sedang menunggu di pinggir jalan. 　　"Bibi kedua." Jiang Si menyapa Nyonya Xiao dengan ramah, seolah sikap konfrontatif sebelumnya tak pernah ada. 　　Nyonya Xiao menggigit gigi dalam-dalam. 　　Sungguh, dia benar-benar kagum dengan kelancangan si gadis brengsek ini! 　　“Apakah Si Guniang punya keberatan terhadap Bibi Kedua?” 　　“Bibi terlalu berpikir banyak, keponakan selalu membahas berdasarkan fakta, bagaimana mungkin punya keberatan terhadap sesepuh?” 　　“Sungguh 'membahas berdasarkan fakta'!” Berdiri di luar, Nyonya Xiao tetap tersenyum lembut, tapi ucapannya pedas, “Kakak ipar meninggal muda, sebagai bibi aku tidak bisa hanya diam melihat Si Guniang menyimpang. Bibi ingatkan baik-baik, ucapan orang bisa menakutkan, yang paling sulit dihentikan di dunia ini adalah mulut orang.” 　　Meski Nenek sudah melarang pelayan bergosip, tapi mana ada tembok yang tidak bocor di dunia? Nanti apakah Nenek akan mengusir semua pelayan di rumah? Jelas itu mustahil. 　　Jiang Si tersenyum manis ke Nyonya Xiao: “Prinsip 'hukum tidak menghukum massa', keponakan paham. Tapi ini tidak masalah, keponakan hanya berpegang pada satu hal, nanti tetap akan mencari Bibi Kedua.” 　　Setelah berkata, ia membungkuk anggun: “Bibi bisa menikmati pemandangan, keponakan permisi duluan.” 　　Nyonya Xiao berdiri di samping pohon bunga, menatap punggung gadis yang ramping itu sambil menahan sakit dada karena marah. 　　Dasar si gadis brengsek! Akan kuhajar dia habis-habisan suatu hari nanti! 　　“Nona, pasti Nyonya Kedua sedang memaki Anda dalam hati.” A Man menoleh sembari melapor diam-diam. 　　“Tidak masalah, asal jangan sampai kudengar.” Jiang Si berkata datar. 29. Bab 29 Ayunan 　　Bab 29 Ayunan 　　Jiang Si kembali ke Paviliun Haitang, langsung menyibukkan diri dengan berbagai obat-obatan. 　　"Rumput Bai Jiao yang dipetik dari Tanggul Willow perlu dikeringkan dan digiling menjadi bubuk halus. Memanfaatkan sinar matahari yang cerah, A Qiao dan A Man dengan cermat menjemurnya di halaman. 　　Jiang Zhan masuk sambil menggendong setumpuk barang. Melihat A Man dan yang lain di halaman, ia bertanya sambil tersenyum, "Di mana nona kalian?" 　　A Qiao segera meletakkan pekerjaannya: "Nona sedang di dalam kamar, hamba akan segera melapor." 　　Jiang Zhan melirik barang di tangannya, buru-buru mencegah: "Tidak perlu. Tunggu sampai aku selesai merakit ini baru panggil nona kalian keluar." 　　A Man dan A Qiao penasaran mengerumuni. 　　"Wah, ayunan!" wajah A Qiao berseri-seri. 　　Jiang Zhan memandang sekeliling, memilih dua pohon yang jaraknya pas. Hanya dalam waktu semenyan teh, sebuah ayunan terpasang. Ia melilitkan pita warna-warni di tali sambil tertawa: "Pita ini tidak hanya mempercantik, tapi juga melindungi tangan. Ayo, siapa yang mau mencoba dulu?" 　　A Man dan A Qiao terkejut, menahan gejolak hati menolak: "Nona belum mencoba, mana boleh hamba mendahului?" 　　"Suruh mencoba ya mencoba! Banyak tingkah!" Jiang Zhan kesal. Dalam hati berpikir: Tentu harus kalian uji kekuatannya dulu sebelum adikku bermain. 　　Hmm, A Man lebih lincah. Dialah yang tepat. 　　"A Man, ayo." Jiang Zhan menepuk-nepuk kursi ayunan sambil tersenyum. 　　“Kalau begitu hamba akan mencoba dulu untuk Nona.” A Man menginjak papan ayunan, menggerakkan kakinya perlahan, dan segera berayun tinggi. 　　“A Man, hati-hati!” A Qiao menatap A Man yang berayun semakin tinggi, hingga melebihi tinggi tembok, membuatnya gemetar ketakutan. 　　A Man mengabaikan perkataannya. Saat mencapai titik tertinggi, tiba-tiba ia melakukan salto ke belakang, berjungkir balik di udara lalu mendarap mantap di ayunan. 　　A Qiao menutup mata dan berteriak kaget. 　　Jiang Si mendengar keributan dan keluar, berdiri di bawah koridor sambil mengamati halaman. 　　“Nona, bermain ayunan sangat menyenangkan!” A Man melompat turun dari ayunan dengan wajah kecilnya memerah karena bersemangat. 　　Wajah Jiang Zhan agak pucat. Ia berjinjit untuk melepaskan tali yang baru diikat: “Tiba-tiba aku ingat ayunan ini pinjaman, lebih baik aku kembalikan.” 　　Jiang Si menyingsingkan roknya dan bergegas mendekat: “Kakak kedua membohongiku, mana ada orang meminjamkan ayunan?” 　　“Adik keempat fisikmu lemah. Bagaimana jika terkena angin dan masuk angin saat bermain ayunan? Lebih baik dilepas saja.” 　　Ya ampun, dayang Adik keempat terlalu liar! Bermain ayunan sampai mau terbang ke langit, bagaimana jika merusak akhlak adik? 　　Membayangkan Jiang Si jatuh dari ayunan, Jiang Zhan mempercepat gerakan tangannya. 　　Jiang Si menarik pita warna-warni di tali ayunan sambil tersenyum: “Kakak kedua, aku suka ayunan ini.” 　　“Jiang Zhan berhenti sejenak, menatap mata gadis itu yang penuh senyum, hanya ragu sebentar lalu cepat menyerah: “Kalau Adik Keempat suka, biarkan saja. Tapi kita janji dulu, jangan main ayunan seperti Aman, nanti jatuh bahaya.” 　　Adik Keempat baru saja putus tunangan, pasti hatinya sedih, punya ayunan untuk hiburan juga baik. 　　“Sudah tahu, Kakak Kedua jangan khawatir.” 　　“Kalau begitu aku pergi dulu, nanti masih harus keluar.” 　　“Kakak Kedua mau keluar? Kebetulan aku juga perlu beli sesuatu, kita pergi bersama saja.” Jiang Si teringat masih kurang satu bahan obat, mengusulkan sekadar. 　　Jiang Zhan tentu tidak menolak, sabar menunggu Jiang Si berganti pakaian luar, kakak-beradik itu berjalan keluar bersama. 　　“Er-gongzi, Si-guniang.” Di jalan mereka bertemu seorang dayang yang buru-buru memberi salam. 　　“Si-guniang— eh, Er-gongzi.” Belum beberapa langkah, seorang nenek pelayan terburu-buru menyembah. 　　Jiang Zhan perlahan merasa ada yang aneh, berbisik pada Jiang Si: “Adik, tidakkah kau perhatikan, hari ini para pelayan ini luar biasa bersemangat.” 　　Tadinya dia mengira setelah Adik Keempat putus tunangan, para pelayan ini akan meremehkannya, ternyata kesadaran mereka cukup tinggi. 　　“Benarkah? Aku tidak merasa.” Wajah Jiang Si polos tak berdosa. 　　Kebetulan ucapan ini terdengar oleh nenek pelayan yang baru saja datang memberi salam. 　　Nenek itu dalam hati memutar matanya, berpikir: Kami kenapa begitu bersemangat, Yang Mulia sendiri tidak sadar alasannya? 　　“Sudah memberi salam, minggirlah! Masih menghalangi jalan buat apa? Menunggu angpao?” Jiang Zhan mengerutkan kening melihat nenek itu berdiri di tengah jalan. 　　Nenek itu gemetar, lalu buru-buru kabur. 　　Mana berani dia minta angpao dari Si Guniang? Itu kan nona yang berani membungkam Nyonya Kedua sampai tak bisa bicara. 　　Jiang Zhan mengusap dagunya yang berbentuk sempurna, heran: "Biasanya tidak terlihat mereka begitu takut padaku. Lihat wajah nenek tadi, seolah aku kan memakannya." 　　"Kakak kedua terlalu banyak berpikir, ayo cepat keluar dari kediaman." 　　Keluar dari Gang Yüqian langsung menuju jalan raya, keramaian lalu lalang dan teriakan pedagang asongan tak henti terdengar. 　　"Adik keempat mau beli apa?" Jiang Zhan memanggil pedagang dan membeli beberapa tanghulu, memilih yang buahnya paling bagus untuk Jiang Si, sisanya disodorkan ke pelayan Aji. 　　Aji yang lihai langsung membagikan satu tusuk ke A Man, menjilat: "Tuan muda, tidak mau makan?" 　　"Laki-laki dewasa makan tanghulu buat apa?" Jiang Zhan melototi Aji, lalu bertanya pada Jiang Si yang hanya memegang, "Adik tidak suka?" 　　Jiang Si menunjuk tudung wajahnya: "Tidak praktis." 　　"Oh iya juga." Jiang Zhan menghela napas kecewa, lalu berganti nada, "Tetaplah pakai." 　　Adikku secantik ini, jangan sampai dilihat para playboy itu. 　　"Lihat, apotek terbesar di ibu kota sudah sampai!" Jiang Si langsung membawa Aman masuk untuk membeli obat. Jiang Zhan yang tidak tahan bau obat memilih menunggu di luar. 　　"Kasih aku satu tusuk!" Jiang Zhan mengulurkan tangannya. 　　"Tuan, tadi kan bilang lelaki dewasa tidak makan tanghulu?" 　　Jiang Zhan menepuk bahu Aji: "Di depan adikku aku lelaki dewasa, di depanmu aku lao ye! Lao ye mau makan tanghulu ada masalah?" 　　Aji menjulurkan lidah, buru-buru menyerahkan sebatang tanghulu pada Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan menggigit buah merah, matanya menyipit memandang kerumunan orang. 　　Pemuda tampan ini bahkan saat bersandar sembarangan di sudut tembok tetap menarik perhatian pejalan kaki. Beberapa orang yang datang dari depan langsung melihat Jiang Zhan sedang mengunyah tanghulu. 　　"Wah, ini bukan Jiang Er?" Orang paling depan berbaju brokat bermahkota giok, memegang kipas lipat, senyum kejam merekah. "Terakhir kali kau lari cepat, kali ini tidak akan semudah itu." 　　Wajah Jiang Zhan berubah pucat. 　　Orang yang berpakaian seperti ayam hutan ini adalah Cui Yi, putra Putri Rongyang dan Jenderal Cui Xu. Sejak pertemuan pertama, si ayam hutan ini terus menyulitkannya. 　　Dengan tabiat Jiang Zhan yang tidak tahan terus-terusan diprovokasi, akhirnya dia melawan dan benar-benar membuat Cui Yi tersinggung. 　　Dia tidak takut berkelahi, tapi Si Mei masih di apotek, kalau ketahuan orang-orang ini bisa bahaya. 　　Melihat orang-orang yang mendekat, Jiang Zhan mengejek: "Tuan Cui, di sini ramai orang, kalau berkelahi sebentar lagi petugas pasti datang. Kurasa kau juga tidak akan puas berkelahi di sini? Mau bertarung aku temani, pilihlah tempat!" 　　Cui Yi mengacungkan jempol ke Jiang Zhan: "Kau memang berani, ikutlah aku." 　　Jiang Zhan diam-diam lega: "Ayo." 　　Suara lembut gadis di belakang terdengar: "Kak kedua mau ke mana?" 　　Terima kasih untuk hadiah dan rekomendasi, Tahun Baru Imlek segera tiba. 30. Bab 30 Masih Mau Bertaruk? 　　Bab 30 Masih Mau Bertaruk? 　　Mendengar suara Jiang Si, wajah tampan Jiang Zhan langsung menghitam, bergegas kembali menghalanginya sambil berbisik kesal: "Kenapa kau keluar?" 　　"Aku sudah selesai belanja." Jiang Si berpura-pura tidak tahu kejadian luar, menjawab polos. 　　"Wah, siapa ini? Pacarmu?" Suara mengejek terdengar. 　　Di balik kerudung, Jiang Si memandang tajam ke arah suara itu. 　　Dalam kehidupan sebelumnya, kematian kakak kedua, semua orang ini adalah komplotannya! 　　Waktu itu hubungannya dengan kakak renggang, tak peduli dengan teman atau musuhnya, hanya sekali saat ayah memukulinya keras, sedikit bisik-bisik sampai ke telinganya. 　　"Ayah marah karena Er Ge bergaul dengan Yang Shengcai, cucu Menteri Ritus, dan lainnya. Namun Er Ge membantah dengan keras, mengatakan Yang Shengcai pernah membantunya, ia tidak bisa mengecewakan hati teman." 　　Ini juga yang tidak dipahami Jiang Si. 　　Cui Yi, putra Putri Rongyang, memiliki hubungan baik dengan Yang Shengcai. Saat ini Er Ge jelas berseteru dengan Cui Yi, tapi bagaimana mereka bisa bermain bersama di kemudian hari? 　　Er Ge tidak mau mengecewakan temannya, tapi tidak tahu bahwa teman yang dianggapnya justru mengambil nyawanya. 　　"Jangan asal bicara!" Jiang Zhan menarik Jiang Si ke belakangnya, matanya menyala seperti kucing marah menatap Cui Yi yang mendekat, "Kalau mau berkelahi bicarakan lain hari, kapanpun selain sekarang aku siap!" 　　Cui Yi mengibaskan kipas lipat berhias emas sambil tertawa: "Kenapa? Takut menakuti si cantik ini? Tak kusangka Tuan Jiang Kedua juga lembut terhadap wanita." 　　"Jaga mulutmu!" Jiang Zhan sampai urat lehernya menegang, mengingat keberadaan Jiang Si di sampingnya, ia menahan amarah. 　　Ia terlalu tahu kelakuan bejat mereka - mengganggu gadis baik-baik benar-benar bisa mereka lakukan. 　　Meski adik keempatnya adalah putri bangsawan, mereka mungkin tidak berani menculik di jalanan, tapi kata-kata kasar atau saling dorong saat berkelahi bisa membuat adiknya dirugikan. 　　Jiang Zhan belum pernah merasa menyesal sebesar ini. 　　Andai ia memiliki kemampuan Kakak Ketujuh Yu. 　　Tidak, bahkan kemampuan anjing kampungan itu pun cukup! 　　“Bukannya katanya mau berkelahi?” Suara lembut gadis itu kembali terdengar. 　　Begitu kata-katanya berhenti, kedua pihak membeku. Banyak yang bahkan mulai mengorek telinga. 　　Apa mereka salah dengar? Apa yang barusan dikatakan nona kecil ini? 　　"Si Mei, kau diam saja!" Jiang Zhan jarang bersikap kasar pada Jiang Si. 　　Dia hampir tidak percaya, adik perempuannya tega menjerumuskan kakaknya! 　　"Ha-ha, Jiang Er, kau dengar? Adikmu ini masih menunggu tontonan berkelahi!" Cui Yi tak mengalihkan pandangan dari sosok gadis yang anggun itu, sambil mengetuk gagang kipasnya dan tertawa terbahak. 　　Para bawahan pun ikut tertawa. 　　"Jiang Er, jadi mau berkelahi atau tidak? Kok jadi cengeng seperti perempuan!" 　　"Jangan begitu, nona kecil di sampingnya masih menunggu lho." 　　"Benar, benar! Jiang Er bahkan kalah dari perempuan. Kapan belajar jadi pengecut, ha-ha-ha——" 　　Jiang Zhan mengepal tangan dengan kencang, menahan dorongan untuk menghajar mulut-mulut busuk itu. Ia menarik napas dalam: "Terserah kalian! Hari ini aku tidak mau berkelahi. Minggir!" 　　"Jangan dong, Jiang Er. Kau mau pergi, tapi adikmu ini belum mau pergi." Cui Yi mengibaskan kipas lipatnya sambil tersenyum genit ke Jiang Si. "Nona, setuju kan?" 　　"Tentu tidak." Jawab Jiang Si dengan nada dingin. 　　Senyum Cui Yi membeku. Bahkan kipasnya terlupa dikibaskannya. 　　Ada apa ini? Gadis ini berubah terlalu cepat! 　　A Man melirik Cui Yi dengan sinis, menyeringai menghina. 　　Apa orang ini bodoh? Tentu saja nona kita memihak Pangda Er. 　　Pelayan kecil itu mengamati sekeliling, menghitung jumlah orang dalam hati. 　　Hmm, lawan ada lima orang. Dia bisa mengatasi tiga atau empat sendiri. Sisanya biar Pangda Er yang tangani. Adapun A Ji - asal tidak merepotkan saja. 　　"Kami sedang buru-buru pulang. Jika kalian tidak mau berkelahi lagi dengan kakak kedua saya, kami akan pergi sekarang." Jiang Si menarik lengan Jiang Zhao pelan. 　　Jiang Zhao seakan tersadar: "Ya, kami duluan pergi." 　　Cui Yi mengusap dagunya sambil berpikir. 　　Sepertinya ada yang tidak beres! 　　"Tunggu!" Dia mengulurkan kipas tertutupnya, menghalangi saudara kakak-beradik itu. "Hampir saja aku tertipu. Kapan aku bilang kalian boleh pergi sesuka hati?" 　　Siapa yang memberi mereka hak memilih? Sungguh keterlaluan! 　　"Kalau begitu bisakah kita cepat berkelahi? Kami benar-benar buru-buru." Jiang Si melepas lengan Jiang Zhao, mendesak. 　　"Hei, hari ini aku benar-benar mendapat pelajaran!" Cui Yi menatap Jiang Si, tiba-tiba tersenyum sinis. "Apa masih bengong? Gasak habis Jiang Er! Habis ini, gadis ini jadi milik kita!" 　　"A Ji, A Man! Lindungi nona dan pergi cepat!" Jiang Zhao mendorong Jiang Si ke belakang, lalu mengayunkan tinju menghadapi lawan. 　　“Ayo, Putri Keempat.” A Ji berkata dengan wajah pucat sambil melirik Jiang Zhan yang dikepung beberapa orang, mendesak Jiang Si dengan suara terisak. 　　A Man sangat tenang: "Nona, apa yang harus kita lakukan?" 　　Jiang Si tidak menjawab A Man, malah bertanya pada A Ji: "Dengan kemampuan bela diri Er Gongzi, menurutmu berapa lama dia bisa bertahan?" 　　A Ji hampir menangis histeris: "Seperempat jam, paling lama." 　　Kalau ditambah dirinya mungkin bisa bertahan lebih lama, tapi dia harus segera mengawal Putri Keempat pergi. 　　Er Gongzi yang dipukuli sampai kepalanya babi paling hanya luka luar, tapi kalau Putri Keempat diganggu bajingan-bajingan ini, itu baru bencana. 　　"Bertahan sampai hitungan sepuluh sudah cukup." Jiang Si bergumam pelan. 　　"Apa?" A Ji tidak mengerti perkataan Jiang Si. 　　Jiang Si menatap tak berkedip sosok familiar di tengah keributan, dalam hati mulai menghitung: satu, dua, tiga... 　　Saat angka "sepuluh" terucap dalam hati, tiba-tiba suara gonggongan anjing bergema dari segala penjuru. 　　Kerumunan penonton mulai melihat ke sekeliling, seseorang berteriak: "Kenapa ada banyak anjing datang?" 　　Tujuh atau delapan anjing besar dan kecil tiba-tiba berlarian dari berbagai arah, memicu teriakan panik. 　　Cui Yi yang sedang bersandar di tepi jalan menikmati pertunjukan, tiba-tiba dikejar anjing besar yang menggigit pantatnya. 　　“Aaa——” Cui Yi menjerit kesakitan, refleks memukul kepala anjing besar itu dengan gagang kipas. 　　Anjing besar itu menatapnya, Auuu—— menggigit lebih keras. 　　Anehnya, beberapa anjing itu mengabaikan kerumunan orang dan langsung mengejar Cui Yi. Hanya sekejap, Cui Yi sudah dikepung di tengah. 　　Saat ini, situasi Cui Yi dan Jiang Zhan ternyata mirip. Bedanya, Jiang Zhan dikelilingi manusia sedangkan Cui Yi dikepung anjing. 　　Cui Yi nyaris menangis. 　　Situasinya jauh lebih sulit daripada Jiang Er! Manusia bisa diajak bernegosiasi, anjing tidak! 　　“Kalian masih berkelahi apa? Cepat usir binatang-binatang ini!” teriak Cui Yi sekuat tenaga. 　　Tendangan Jiang Zhan meleset, nyaris membuatnya nyeri pinggang. Melihat sekelilingnya tiba-tiba kosong, ia kebingungan. 　　"Kak, kalau sudah selesai bertarung, kita pulang saja yuk." 　　"Ini bagaimana bisa?" Jiang Zhan terdiam memandangi Cui Yi yang dikejar-kejar anjing. 　　"Aku juga tidak tahu. Tak menyangka ada begitu banyak anjing liar di jalanan." 　　Jiang Zhan tertawa: "Sepertinya bahkan anjing tidak tahan dengan kesombongannya. Tunggu, salah satu anjing itu terlihat familiar——" 　　Selamat Tahun Baru untuk semuanya! Semoga para sahabat senantiasa damai dan sejahtera, berkelimpahan rezeki. 31.Bab 31 Ini Adik Perempuanku 　　Bab 31 Ini Adik Perempuanku 　　“Jiang Zhan berkata begitu, Jiang Si tidak bisa tidak memusatkan perhatian pada beberapa anjing yang mengepung Cui Yi.” 　　“Anjing-anjing ini sebenarnya memang sengaja ditarik kemari dengan serbuk obat olehnya.” 　　“Tadi, sambil berbicara dengan Cui Yi, diam-diam ia menyemburkan serbuk obat ke tubuh Cui Yi. Serbuk ini bisa membuat anjing menjadi gila dan akan menarik semua anjing dalam radius tertentu dengan cepat.” 　　“Dia menggunakan anjing yang mengamuk sebagai senjata melawan Cui Yi, jadi tentu saja tidak perlu memperhatikan penampilan anjing yang datang.” 　　“Tapi setelah diingatkan oleh Jiang Zhan, kelopak mata Jiang Si berkedut keras. Matanya menatap seekor anjing besar berwarna abu-kekuningan, bibirnya langsung pucat.” 　　“Anjing itu juga terlihat familiar baginya!” 　　“Hati Jiang Si serasa tertimpa batu berat. Dia langsung menoleh tajam ke arah Jiang Zhan.” 　　“Itu anjing Kakak Yu Qi!” Jiang Zhan tersadar, buru-buru menarik lengan Jiang Si. “Adik Keempat, ayo kita pergi dari sini dulu.” 　　“Pikiran Jiang Si sedang bergejolak hebat, tapi jelas ini bukan saatnya untuk bertanya. Dia pun mengikuti Jiang Zhan pergi tergesa-gesa.” 　　“Saat hampir tiba di Dongping Bo Mansion, Jiang Zhan berhenti di bawah pohon dan menghela napas lega.” 　　“Jiang Si memandangnya dengan wajah dingin, sorot matanya menusuk.” 　　“Jiang Zhan mengira adiknya marah karena masalah tadi, buru-buru membujuk: “Ini semua salah Kakak, sampai membuat adik kena masalah. Lain kali jangan pergi bersama Kakak lagi.”” 　　“Kakak Kedua kenal Kakak Ketujuh Yu, sebenarnya seperti apa rupanya?” Jiang Si tiba-tiba bertanya. 　　Jiang Zhan terkejut oleh pertanyaannya, gagap menjawab: "Ya, ya begitu saja, dua mata satu mulut, posturnya tinggi, terlihat seperti bambu..." 　　Perkataan tidak tulus ini tak bisa dilanjutkan Jiang Zhan, ia tertawa kering: "Kenapa Adik Keempat tiba-tiba bertanya ini?" 　　Jiang Si hampir tertawa geli oleh kebodohan kakaknya: "Bukankah waktu itu Kakak Kedua bilang Kakak Ketujuh Yu bertubuh besar? Perbedaan tubuh besar dengan bambu cukup signifikan." 　　"Ada?" Jiang Zhan pura-pura bingung, tiba-tiba menepuk kepala, "Hampir lupa, hari ini ada janji minum dengan Kakak Ketujuh Yu, Adik Keempat pulang dulu saja." 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Sebenarnya aku juga ingin bertemu Kakak Ketujuh Yu, berterima kasih atas pertolongan nyawanya pada Kakak Kedua." 　　"Tidak perlu, terima kasih sudah kukatakan, Adik perempuan tidak pantas, tidak pantas." Jiang Zhan buru-buru menolak. 　　Untung keluarga Kakak Ketujuh Yu tidak memiliki hubungan persahabatan atau kekerabatan dengan Keluarga Bo, alasan untuk mencegah pertemuan mereka cukup kuat. 　　"Kalau begitu, Kakak Kedua pergilah, aku pulang dulu." Jiang Si menjawab tanpa ekspresi, dalam hati sudah memutuskan untuk menyelinap mengikuti nanti, harus memastikannya. 　　Jiang Zhan diam-diam menghela napas lega. 　　Adik perempuannya masih sangat penurut. 　　Tiba-tiba seekor anjing besar berlari mendekat, mulutnya menggigit dompet biru permata yang dibuat dengan teliti. 　　“Er Niu, terima kasih untuk hari ini!” Jiang Zhan melihat anjing pincang milik Yu Qi itu, lalu mengatupkan tangan berterima kasih. 　　Meski anjing ini sering berselisih dengannya, di saat genting tetap menunjukkan kesetiaan. 　　Anjing besar itu melirik Jiang Zhan, lalu melewatinya seolah tak ada apa-apa menuju Jiang Si. Ekornya yang besar bergoyang riang sambil menyodorkan kantung uang ke tangan Jiang Si. 　　Jiang Si memegang kantung uang itu, menatap anjing yang memandangnya penuh harap, perasaannya bergolak. 　　Ia tahu anjing ini bernama "Er Niu", dan kakinya pincang karena menyelamatkan nyawa si bajingan itu di medan perang. 　　Anjing ini bahkan pernah lama menemaninya, bisa dibilang Jiang Si adalah setengah majikan Er Niu. 　　Tak pernah ia temukan anjing sepintar Er Niu yang suka memberinya hadiah untuk cari muka. 　　Tapi— 　　Jiang Si menunduk, kebingungan memandangi Er Niu yang sedang cari muka, seolah waktu berputar kembali. 　　Di kehidupan ini, mereka belum pernah berinteraksi. Mengapa tatapan mesra Er Niu sama persis seperti kehidupan sebelumnya? 　　"Wu—" Er Niu menggeram dari tenggorokan, jelas-jelas mendesak. 　　Jiang Si refleks tersenyum, tapi tiba-tiba ditarik Jiang Zhan ke belakang. 　　"Jangan nakuti adikku!" Jiang Zhan melototi Er Niu dengan gugup. 　　Er Niu menyingkap gigi: "Guk!" Lalu memiringkan kepala, menggeram lembut pada Jiang Si untuk merayu. 　　Jiang Zhan hampir ingin memaki. 　　Ini bukan anjing, tapi serigala cabul, diskriminasi yang terlalu mencolok. 　　Di bawah tatapan penuh harap anjing besar itu, Jiang Si membuka kantong sutra biru permata. 　　Di dalam kantong terdapat beberapa lempeng emas dan belasan mutiara bulat sempurna. 　　Suara Jiang Zhan tak bisa menyembunyikan keirihatian: "Cui Yi bajingan itu, dompetnya tebal sekali!" 　　Lihatlah, kantong orang lain berisi lempeng emas dan mutiara, sementara dirinya harus ngutang ke ayah hanya untuk membeli bakpao untuk adiknya. 　　Jiang Si menyerahkan semua lempeng emas dan mutiara itu ke Jiang Zhan: "Kakak simpan saja untuk keperluanmu." 　　Jiang Zhan tentu tak punya pikiran kolot, ia mengangguk sambil tersenyum: "Kebetulan lagi kere akhir-akhir ini, tapi lempeng emas ini cukup. Mutiara simpan saja untuk adik main-main." 　　Jiang Si menolak dengan ramah: "Ini kan milik orang lain, aku tak mau menyimpannya." 　　Jiang Zhan merasa itu masuk akal, lalu memasukkan lempeng emas dan mutiara ke kantongnya. 　　Jiang Si melemparkan kantong biru permata itu ke Ah Man: "Bawa pulang dan bakar di tungku." 　　Anjing besar itu menggonggong dua kali setelah melihat Jiang Si mengurus kantongnya, lalu menggigit lembaran roknya dengan pelan dan menariknya ke luar. 　　Jiang Zhan langsung meledak: "Dasar binatang! Lepaskan sekarang!" 　　Anjing besar itu melirik Jiang Zhan dengan pandangan merendahkan, kemudian menjulurkan lidahnya. 　　Hati Jiang Zhan bergetar ketakutan. 　　"Mulut yang begitu besar, gigi putih yang begitu tajam! Jika binatang ini menjadi gila, bukankah kaki Simei bisa putus digigitnya!" 　　"Kamu, kamu tenang dulu." Keringat mulai mengucur di dahi Jiang Zhan. 　　Jiang Si justru terlihat santai: "Apakah kamu ingin membawaku ke suatu tempat?" 　　Anjing besar itu menggerakkan kepalanya, kedua kaki depan mencengkeram tanah sambil menarik Jiang Si ke luar. 　　"Aku harus pulang." Jiang Si menghela napas ringan. 　　Sinar matahari menerobos dedaunan rimbun, seperti serpihan emas yang bertebaran di tubuh anjing besar, mengubah bulu abu-abu kekuningannya menjadi benang emas. 　　Jiang Si menunduk memandangi anjing itu, matanya dipenuhi kelembutan, namun dengan tegas menarik kembali ujung roknya. 　　Dalam hatinya, tak perlu dikonfirmasi lagi. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menjauh dari bajingan itu, jangan pernah lagi berinteraksi dalam hidup ini. 　　Anjing itu memandang Jiang Si dengan bingung, tiba-tiba berbalik dan lari. 　　Suara terkejut Jiang Zhan terdengar: "Kakak Qi Yu, bagaimana bisa kamu datang ke sini?" 　　Tak jauh, di bawah pohon magnolia, pemuda berbaju hijau sedang mengelus kepala anjing besar. Pandangannya yang dalam menerobos Jiang Zhan, tertuju pada gadis berbaju putih dan rok merah. 　　Jiang Si seolah dikenai mantra pengunci oleh dewa, tak bisa bergerak sedikit pun. 　　"Er Niu tiba-tiba mengamuk, aku datang mencari dia." Yu Qi tersenyum pada Jiang Zhan, lalu memandang Jiang Si, "Ini--" 　　“Saat itu, Jiang Zhan tak bisa lagi pura-pura tak tahu. Ia memperkenalkan, "Ini adik perempuanku. Si Empat, ini adalah Yu Qi Ge, penyelamat nyawa kakak kedua." 　　Melihat Jiang Si yang mengenakan tudung wajah, Jiang Zhan diam-diam merasa lega: Untung Si Empat memakai tudung, tak perlu khawatir. 　　Anjing besar itu menggelengkan kepala, tiba-tiba melompat dan menyambar tudung Jiang Si. 　　Jiang Si merasa wajahnya dingin tersentuh angin. Cahaya yang tiba-tiba menerpa membuat matanya berkedip tak berdaya, sesaat tak bisa melihat jelas wajah pemuda di depannya. 　　“Wu——” Anjing itu mengibaskan ekor sambil memamerkan jasanya pada Yu Qi. 　　Jiang Zhan: "..." Dia ingin membunuh anjing sialan ini! 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya. 32.Bab 32 Si Bajingan Penipu Pernikahan 　　Bab 32 Si Bajingan Penipu Pernikahan 　　Gadis berbaju putih dan rok merah berdiri di bawah pohon rindang. Sinar matahari berkilauan yang tersaring dedaunan tetap menyelubungi tubuhnya dengan aura keemasan. 　　Kecantikannya bagai mimpi, tak tertandingi keindahannya. 　　Pemuda di seberang lupa berkedip, seolah gadis di depan mata ini akan lenyap dalam sekejap. 　　Jiang Zhan batuk keras. 　　Dia masih hidup disini, apa yang dilakukan berdua ini? 　　Yu Qi melirik Jiang Zhan. Api dalam matanya terkubur dalam kegelapan pupil, membuat matanya berkilau seperti giok hitam. 　　Jiang Zhan tak kuasa menghela nafas. 　　“Penampilannya begitu tampan, mudah sekali menggoda gadis-gadis polos!” 　　Yu Qi mengangguk hormat pada Jiang Si: "Nona Jiang, salam kenal." 　　Jiang Si menundukkan pandangan menyembunyikan emosi, sedikit membungkuk sebagai salam, lalu berkata datang pada Jiang Zhan: "Karena teman Kakak sudah datang, adik tidak akan mengganggu pertemuan kalian. Saya pamit duluan." 　　"Baik, adik boleh pulang dulu." Melihat sikap dingin Jiang Si, Jiang Zhan merasa agak malu. Memandang Jiang Si berjalan ke arah Dongping Bo Residence, ia berpaling ke Yu Qi: "Kakak Yu Qi jangan tersinggung, adikku memang lebih pendiam di depan orang asing..." 　　"Memang seharusnya begitu bagi perempuan—" 　　Sebelum Yu Qi selesai bicara, anjing besar itu sudah melesat seperti angin menyambar sisi Jiang Si, menggigit ujung roknya tak mau lepas. 　　Jiang Si menarik-narik roknya dengan frustasi, membentak: "Lepaskan!" 　　Anjing itu melepaskan gigitan dengan wajah memelas, menoleh dan menggonggong ke arah Yu Qi. 　　"Er Niu, kembali!" Yu Qi berkerut dahinya terkejut melihat tingkah anjingnya, berteriak keras. 　　Jiang Si melirik Yu Qi, wajahnya tiba-tiba berubah dingin. 　　"Nona Jiang, maafkan saya. Ini kesalahan didikan saya." Suara Yu Qi penuh penyesalan lalu mengeras: "Er Niu, cepat kembali!" 　　"Guk——" Anjing itu menggonggong panjang ke arah Yu Qi, matanya memancarkan ekspresi seperti mengecam ketidaktegasan majikannya. 　　"Jiang Zhan hampir tak tahan ingin memukul mati anjing hina ini!" giginya berderik, "Jangan menggonggong lagi! Kalau tidak diam, Aku akan minta Kak Qi Yu merebusmu untuk dimakan!" 　　Anjing besar itu melirik sinis ke Jiang Zhan, seolah menantang: "Apa yang bisa kau lakukan padaku?" 　　Jiang Zhan segera mengadu pada Qi Yu: "Kak Qi Yu, tolong kendalikan Niu'er-mu. Jangan sampai dia menakuti adik perempuanku." 　　"Niu'er!" Wajah Qi Yu mendadak dingin membeku. 　　Anjing besar itu segera menyadari kemarahan sejati majikannya. Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba melompat menggigit kantong uang yang tergantung di pinggang Jiang Si lalu kabur sambil membawanya. 　　Untuk sesaat, semua terpaku. 　　Beberapa saat kemudian, angin berhembus membawa kelopak bunga magnolia yang jatuh ke wajah Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan seperti terbangun dari mimpi, bergegas mendekati Jiang Si: "Kau tidak digigit, kan?" 　　Jiang Si menggeleng, melirik dingin ke Qi Yu: "Anjing yang dibesarkan seenaknya, tentu majikannya juga tak lebih baik. Kakak sebaiknya lebih berhati-hati memilih teman di masa depan." 　　Setelah berkata demikian, ia berbalik pergi sambil menghela napas dalam-dalam. 　　Meski sangat menyukai Niu'er, ia tak ingin lagi berurusan dengan Qi Yu. 　　Di kehidupan sebelumnya, meski berhasil lolos dari cengkeraman suami-istri Jiang Qian, ia tak bisa kembali ke Istana An Guo. Nasib malang membuatnya terdampar di perbatasan selatan, hidup sebagai cucu tetua Suku Wu Miao dengan menyamar sebagai A Sang - sang imam suci yang telah tiada. 　　Diam-diam ia merasa bersyukur mendapat kehidupan baru. Di tempat asing yang adatnya sangat berbeda dengan ibukota itu, tak ada yang tahu masa lalunya. Bahkan jika ia ingin memilih pria idaman untuk dinikahi pun bisa. 　　Yu Qi muncul di masa itu. 　　Dia punya hubungan lama dengan tetua suku Wu Miao, muncul berulang kali di hadapannya. 　　Tanpa disadari, hatinya mulai tergerak. 　　Setelah mengalami pernikahan dengan putra ketiga Adipati Anguo, ia sudah paham bahwa kekuasaan, status, gengsi dan kebahagiaan tak seimbang. Perempuan yang menyerahkan diri untuk hal-hal seperti ini biasanya menuai akibat pahit. 　　Bukan soal latar belakang atau kekayaan. Siapa yang tak akan menyukai pemuda tampan nan lembut seperti giok yang hanya baik padanya? 　　Di hari itu mentari bersinar terang, hamparan bunga matahari mengubah langit dan bumi menjadi keemasan. Pemuda itu bertanya, "Maukah kau menikahiku?" 　　Ia pun mengangguk. 　　Tapi siapa sangka, bajingan ini ternyata menipu pernikahan! 　　Bukan Yu Qi biasa, melainkan Pangeran Ketujuh Kaisar, Yu Qi! 　　Saat tahu identitas aslinya, bagai disiram air dingin. Refleks pertama yang dilakukannya adalah menampar keras si bajingan itu. 　　Dulu ia janda baru yang dianggap pembawa sial di Adipati Anguo, kini perempuan Wu Miao ribuan li dari ibukota. Identitas mana yang layak untuk menikahi pangeran ketujuh? 　　Yang ia rasakan saat itu bukanlah sukacita, melainkan kemarahan karena dipermainkan. 　　Karena perasaan yang begitu tulus, kemarahannya justru semakin meluap-luap. Ia terus memukul sampai tangannya sendiri kesakitan baru berhenti. 　　Si pria yang wajahnya babak belur itu bersikeras, begitu dia mengangguk setuju maka tak boleh mundur lagi. Ia akan menikahinya secara resmi sebagai istri sah. 　　Perempuan itu hanya tersenyum sinis, menyuruhnya membawa maklumat kekaisaran yang merestui pernikahan. Jika tidak, jangan pernah muncul lagi di hadapannya. 　　Dirinya sudah kehilangan segalanya, setidaknya jangan sampai kehilangan harga diri terakhir dengan menjadi selir! 　　Hingga kini, Jiang Si masih terkesima oleh keanehan takdir saat mengenang masa lalu. Atas jasa Suku Wu Miao membantu pasukan Zhou melawan Nanlan, Kaisar menganugerahkan pernikahan Pangeran Ketujuh dengan Sang Dewi Suku. 　　Dalam kebingungannya, jubah pengantin kekaisaran telah menyelimuti tubuhnya, mengubahnya menjadi permaisuri Pangeran Ketujuh. 　　Baru belakangan ia tahu, Yu Qi sejatinya selalu mencintai Dewi Suku Wu Miao bernama A Sang, bukan Jiang Si. 　　Wajah mereka yang mirip menjadi alasan segala rekayasa pertemuan itu. 　　Dua pernikahan, pertama diabaikan mentah-mentah, kedua hanya menjadi pengganti. Pikiran ini saja membuat Jiang Si ingin muntah darah. 　　Namun segalanya telah terlambat. Saat itu, ia sudah benar-benar menjadi istri Yu Qi, tak ada jalan kabur. 　　Meski Yu Qi memperlakukannya cukup baik di hari-hari itu, Jiang Si yang kembali ke usia 15 tahun hanya ingin berteriak: 　　Jauhi Ji Chongyi, jauhi sampah masyarakat! 　　Jauhi Yu Qi, jauhi bajingan! 　　"Melihat gadis itu pergi sambil marah besar, pemuda berbaju hijau itu bingung memandang Jiang Zhan." 　　Jiang Zhan tersenyum malu pada Yu Qi: "Maaf, Kakak Yu Qi, adikku mungkin sedang bad mood. Biasanya dia tidak seperti ini. Aku akan mengejarnya dulu, lain kali kita berkumpul lagi ya." 　　Yu Qi mengangguk lembut pada Jiang Zhan yang sedang melambaikan tangan tergesa-gesa, namun matanya tak berkedip mengikuti bayangan gadis yang menjauh. 　　Sepertinya dia marah... 　　Jiang Zhan menyusul Jiang Si dengan langkah lebar: "Adik, ada apa?" 　　"Tidak ada." Jiang Si mendongak sedikit, menyembunyikan kilau air di sudut matanya. 　　"Kamu salah paham dengan Kakak Yu Qi. Meski kami bertemu di dekat rumah bordil--" 　　Jiang Si tiba-tiba berhenti berjalan. 　　Jiang Zhan sadar telah salah bicara, buru-buru menjelaskan: "Kakak Yu Qi bukan mau ke rumah bordil--" 　　"Jangan dijelaskan!" 　　"Tapi--" 　　"Penjelasan hanya akan jadi pembenaran. Intinya aku rasa dia bukan teman baik, Kakak sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya." 　　Si brengsek itu paling sabar. Siapa tahu apa maksudnya mendekati kakak? Aku tidak percaya ini kebetulan. 　　"Tapi dia menyelamatkan nyawa Kakak. Adik mau Kakak jadi orang tak tahu terima kasih?" Jiang Zhan akhirnya mengeluarkan kalimat itu di bawah tekanan. 　　Bersiap melepaskan Er Niu untuk merebut tiket: Wuf-- 33. Bab 33 Kantung Uang 　　Bab 33 Kantung Uang 　　Jiang Si langsung kehilangan semangat. 　　Kelebihan terbesar kakaknya adalah kesetiaannya. Meski dia larang, mungkin tetap tidak bisa dihentikan. 　　"Sudahlah, Kakak Kedua adalah pria. Meski si brengsek itu berniat mendekat, mana mungkin dia bisa membujuk Kakak Kedua jadi istrinya." 　　Adapun dia— 　　Jiang Si mengingat-ingat kembali kejadian tadi dengan seksama. 　　Saat Yu Qi melihatnya, meski dia melirik beberapa kali, tidak ada yang istimewa. Hari ini dia sengaja mengatakan kata-kata kasar, semoga dengan status mulianya, tidak akan ada interaksi lagi di masa depan. 　　Jiang Si menarik napas panjang dan tersenyum pada Jiang Zhan: "Adik terlalu emosional. Tas kecilku direbut anjingnya, jadi tak bisa menahan diri untuk marah pada majikannya." 　　Jiang Zhan menunjukkan ekspresi bersekutu: "Kau tidak tahu, adik. Anjing itu benar-benar pantas dipukuli. Aku sudah lama ingin menghajarnya." 　　Hanya karena sekali keliru mengira anjing itu sebagai "Muka Kuda", setiap ketemu selalu memandangku dengan tatapan merendahkan. Benar-benar tak tertahankan! 　　Jiang Si mengingat-ingat kemampuan bertarung anjing besar itu, bertanya sambil tersenyum: "Kakak yakin bisa mengalahkannya?" 　　Pikiran Jiang Zhan langsung melayang ke bayangan anjing besar menerkamnya. 　　"Hehe." Jawaban Kakak Kedua Jiang hanya dengan tawa kering. 　　Mereka sudah sampai di gerbang Dongping Bo Mansion. 　　Jiang Si berhenti: "Tolong ambilkan kembali tas kecil itu, Kakak. Tak baik jika ditemukan orang lain." 　　"Baik, aku akan cari Kakak Yu Qi sekarang. Tenang, Kakak pasti akan mengembalikan tasmu." 　　Jiang Si mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah bersama Ah Man. 　　Kediaman Dongping Bo di Gang Yuqian letaknya sangat dekat dengan Gang Quezi. Saat saudara kandung Jiang Si berpisah setelah berbincang, Yu Qi sudah kembali ke rumahnya yang memiliki pohon kurma bengkok di depan gerbang. 　　“Er Niu, keluar!” Yu Qi berdiri di pekarangan yang kosong sambil berteriak. 　　Di tengah pekarangan, pohon sutra yang tinggi menjulang diterpa angin sepoi-sepoi, dedaunan mengeluarkan gemerisik. 　　Yu Qi mengangkat ujung alisnya dengan wajah datar, lalu mengucapkan dua kata: “Leng Ying.” 　　Seketika seseorang melompat keluar entah dari mana, seolah muncul tiba-tiba. 　　Orang itu berlutut satu kaki: “Tuanku ada perintah apa?” 　　“Berdiri bicara.” 　　Orang itu segera berdiri. 　　Tampak seorang pemuda sekitar 20 tahun dengan fitur wajah proporsional dan ekspresi hormat. 　　“Er Niu belum kembali?” 　　“Belum.” 　　Sorot mata Yu Qi semakin mengerut. 　　“Tuanku, hamba akan mencari Er Niu!” Seorang lagi melompat dari pohon. 　　Pemuda ini berwajah kekanak-kanakan, usianya seumuran Yu Qi. Berbeda dengan Long Ying yang tegas dan hormat, dia tetap tersenyum meski di hadapan majikannya. 　　Yu Qi mengangguk: “Pergilah, Long Dan.” 　　Pemuda berwajah bayi itu nyaris terjatuh karena kaget. 　　Sambil menatap Leng Ying dengan wajah datar, dia melotot penuh kekesalan. 　　Kenapa? Kenapa bisa begini! Kami sama-sama pengawal bayangan Tuanku, kenapa dia dipanggil Leng Ying, sementara aku disebut Long Dan! 　　Long Dan melompat keluar dari tembok dengan wajah muram, tak lama kemudian seorang pria dan seekor anjing berlari masuk melalui pintu. 　　Begitu melihat anjing besar itu, Yu Qi langsung bermuka masam: "Kemari!" 　　Er Niu menatap Long Dan dengan wajah polos. 　　Long Dan mengedipkan mata: "Jangan pura-pura bodoh, tuan memanggilmu!" 　　Anjing ini seperti siluman, bahkan tahu cara berpura-pura bodoh. 　　Telinga Er Niu terkulai lesu sambil bergerak lambat mendekati Yu Qi. 　　Yu Qi mengulurkan tangan: "Barangnya mana?" 　　Anjing besar itu langsung bersemangat, berbalik dan berlari keluar, tak lama kemudian kembali sambil menggigit kantung kecil dan mengibaskan ekornya dengan bangga. 　　Yu Qi menerima kantung berwarna ungu lembayung yang basah di sudutnya karena air liur Er Niu, lalu mengetuk pelan kepala anjing itu dengan jarinya. 　　Anjing itu merintih sedih, lalu mulai mengibaskan ekornya lagi sambil mendengus rendah ke arah kantong. 　　"Jangan lakukan ini lagi, bagaimana kalau membuat gadis itu ketakutan?" Yu Qi menghardik dengan wajah kaku. 　　Seolah mengerti perkataan manusia, ekor besar anjing itu menyapu lantai lesu setelah dimarahi alih-alih dipuji. 　　"Perhatikan caranya." Yu Qi membelai kepala anjing itu dan menyelipkan kantong ke dalam bajunya. 　　Anjing besar: "......" 　　Long Dan: "......" 　　Leng Ying: \"...\" 　　\"Kakak Yu Qi, apakah kau ada di rumah?\" Teriakan Jiang Zhan terdengar dari pintu. 　　Baru saja suara itu berhenti, Leng Ying dan Long Dan serentak melompat bangkit, melompat ke pohon tanpa suara. 　　Er Niu ikut melompat, namun di tengah lompatan baru teringat tak perlu bersembunyi, lalu kembali berbaring tenang di tanah. 　　\"Pergilah antar tamu masuk,\" Yu Qi menepuk punggung Er Niu. 　　Tak lama kemudian Er Niu membawa Jiang Zhan datang. 　　Melihat Yu Qi, wajah Jiang Zhan terlihat canggung: \"Kakak Yu Qi, saudara datang untuk meminta maaf padamu. Hari ini adik perempuanku bicara agak keterlaluan--\" 　　Yu Qi tersenyum memotong ucapan Jiang Zhan: \"Adik Jiang jangan bicara begitu. Seharusnya aku yang minta maaf. Er Niu biasa terlalu dimanjakanku, semakin menjadi-jadi.\" 　　Jiang Zhan melirik anjing besar itu dengan kesal, mengangguk berkali-kali: \"Kakak Yu Qi memang harus mendisiplinkan Er Niu. Tas kecil perempuan bukan tulang daging, mana bisa direbut lalu kabur?\" 　　Er Niu menarik bibirnya dengan sikap meremehkan, memperlihatkan gigi putihnya. 　　Bodoh! 　　\"Kata Adik Jiang benar, memang harus didisiplinkan.\" 　　Setelah melototi Er Niu, Jiang Zhan mulai bicara urusan resmi: \"Kakak Yu Qi, ke mana Er Niu menyembunyikan tas kecil adikku? Kau tahu, tas perempuan tak boleh tertinggal di luar...\" 　　\"Memang seharusnya tidak. Semua ini kesalahan Er Niu.\" Wajah Yu Qi penuh penyesalan. 　　\"Tas itu--\" 　　\"Er Niu, kau sembunyikan di mana tas itu?\" 　　\"Wu~~\" Er Niu mengeluarkan suara panjang. 　　"Dompet ke mana, Tuan sendiri pasti sudah tahu jawabannya." 　　Long Dan di atas pohon tak bisa menahan diri mengusap dagunya. 　　"Jangan-jangan majikan hari ini adalah orang lain yang menyamar?" 　　Ia menarik lengan Leng Ying tak tertahan. 　　Leng Ying memberinya tatapan merendahkan, suaranya direndahkan: "Majikan pasti punya maksud tertentu melakukan ini!" 　　"Kenapa, hilang?" Suara Yu Qi terdengar meninggi. 　　Er Niu menggeram lagi, menepuk-nepuk tanah dengan ekornya hingga debu beterbangan mengenai Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan menggemeratakkan gigi menahan emosi. 　　Yu Qi berkata penuh penyesalan: "Adik Jiang, sepertinya dompet benar-benar hilang karena Er Niu. Kalau mau, pukullah dia sepuasmu untuk melampiaskan amarah, aku tak akan menghalangi." 　　Jiang Zhan melototi Er Niu yang tak kalah garang memperlihatkan gigi putih tajamnya. 　　Jiang Zhan mengepal dan membuka tangannya, menghela nafas: "Sudahlah, tak ada gunanya berdebat dengan binatang. Kakak Yu, aku pulang dulu, adik perempuanku sedang menunggu jawaban." 　　Yu Qi mengantar Jiang Zhan keluar, suaranya jernih bagai aliran sungai: "Tolong jelaskan baik-baik pada adikmu. Jika perlu, lain hari aku akan datang meminta maaf langsung padanya." 　　"Tak perlu. Adikku bukan orang yang picik, nanti aku akan jelaskan dengan baik." 　　Yu Qi mengantar Jiang Zhan sampai di bawah pohon kurma bengkok baru berbalik pulang. 　　Saat pintu halaman tertutup, Long Dan dan Leng Ying melompat turun. 　　“Tuan, pasti ada peta harta karun di dalam kantong hias itu ya?” Long Dan bertanya dengan muka tak tahu malu. 34. BAB 34: SAUDARI PEREMPUAN 　　BAB 34: SAUDARI PEREMPUAN 　　Jiang Si kembali ke Paviliun Haitang, Aqiao segera menyerahkan dua barang padanya. 　　“Nona, ini kiriman dari Nona Besar.” Aqiao pertama-tama memberikan bungkusan kain biru kepada Jiang Si. 　　Bungkusan itu biasa saja, namun diikat dengan simpul yang indah. Jiang Si langsung tahu ini dirapikan sendiri oleh kakak sulungnya Jiang Yi. 　　Di dalamnya terdapat sepasang sepatu bordir cantik, dua pasang sol sepatu, beberapa pasang kaus kaki sutra, dan sepasang simpul keberuntungan. Selain kerajinan tangan itu, ada juga sebuah kotak kayu merah. 　　Pandangan Jiang Si tertahan pada kotak kayu merah itu. Ia membukanya dan menemukan sebuah tusuk konde berhiaskan bulu burung, sebuah jade hairpin dengan mutiara dan delapan permata, serta beberapa bunga sutra indah. 　　Di bawah perhiasan-perhiasan itu terselip selembar kertas halus. 　　Jiang Si mengambil kertas itu. Tulisan anggun segera memenuhi pandangannya. 　　Ia seolah melihat senyum lembut kakak sulungnya yang menasihatinya untuk membuka hati, tak perlu sedih karena orang tak berharga, dan kelak pasti akan menikah dengan yang lebih baik. Di akhir surat, dengan nada hati-hati dan rasa bersalah, kakaknya menjelaskan ketidakmampuan datang serta memohon pengertiannya. 　　Air mata Jiang Si berderai-derai. 　　Kakak sulungnya yang ahli bordir, kakak sulungnya yang lembut dan baik hati, kakak sulungnya yang rendah hati dan penurut itu, meninggal dunia di usia dua puluh tahun. 　　Semua saudara kandungnya termasuk dirinya sendiri, tak ada yang melewati usia dua puluh tahun. 　　“Di kehidupan sebelumnya, Kakak tertua dicerai karena berzinah, tak lama setelah kembali ke rumah orang tua, dia menggantung diri.” 　　“Ketika kabar itu sampai ke Kediaman Adipati An Guo, reaksi pertamanya adalah tidak percaya.” 　　“Kakak tertua berwatak penakut dan lemah lembut seperti bunga yingchun di awal musim semi. Dia lebih percaya dirinya sendiri yang mungkin berzinah daripada Kakaknya melakukan hal seperti itu.” 　　“Dia ingin menuntut penjelasan ke Keluarga Zhu, tapi dihalangi neneknya. Akhirnya dia hanya bisa menangis histeris tanpa daya.” 　　“Nona——” Reaksi Jiang Si membuat Ah Man dan Ah Qiao bingung. Ah Man memanggil dengan hati-hati, sementara Ah Qiao mengambilkan kain lap hangat. 　　“Jiang Si menerima kain lap basah dan mengusap matanya. Dia menyuruh Ah Qiao merapikan hadiah dari kakaknya, lalu mengambil undangan lainnya.” 　　“Undangan ini dari Jiang Qian, Putri Kedua, mengajaknya menginap dua hari di Kediaman Marquis Changxing untuk melepas penat, serta mengajak saudari-saudari lain dari Keluarga Bo.” 　　“Jari Jiang Si tanpa sadar menekan kuat, membuat sudut undangan mengkerut.” 　　“Undangan Jiang Qian memang datang dengan sangat cepat.” 　　“Jiang Si berpikir sejenak, lalu berjalan ke Ruang Barat.” 　　“Ruang Barat diatur menjadi perpustakaan dengan meja tulis dan meja guzheng. Sejak dilahirkan kembali, Jiang Si kehilangan minat akan kesenangan, sehingga senar guzhengnya berdebu.” 　　“Melihat Jiang Si mendekati meja tulis, Ah Qiao segera mulai mengasah tinta.” 　　“Jiang Si cepat-cepat menulis di kertas polos, memasukkan ke amplop dan memberikannya ke Ah Qiao: "Antarkan ini ke Kediaman Marquis Changxing."” 　　“Nona mau berkunjung ke Kediaman Marquis Changxing?” A Qiao bertanya. 　　Jiang Si menggelengkan kepala dan tersenyum: "Nenek tidak enak badan, mana boleh cucu perempuan bersenang-senang keluar rumah." 　　Surat yang ditulisnya ini adalah untuk menolak Jiang Qian. 　　Kediaman Marquis Changxing bagai duri beracun yang tertancap di hatinya. Tanpa mencabut duri beracun ini, hatinya lambat laun akan dipenuhi borok racun. 　　Kediaman Marquis Changxing pasti akan diselidikinya, tapi bukan sekarang. 　　Seperti tertulis dalam suratnya: nenek sedang tidak enak badan. 　　Jiang Si yakin, Jiang Qian yang sebelumnya dipermalukan di Cuitang pasti akan pulang besok pagi untuk menjenguk nenek demi memperkuat posisinya. 　　Padahal kenyataannya, mata nenek mulai terasa perih saat ini, dan besok mata kirinya akan buta total. 　　Mimpi yang diceritakannya sebelumnya dengan menyamarkan situasi mimpi itu pada Jiang Qian, meski ditegur nenek, telah menancapkan bibit kecurigaan. 　　Ketika Jiang Qian menjenguk nenek besok dan mata nenek langsung buta, yakinlah nenek akan menghubungkannya dengan Jiang Qian. 　　Neneknya bukan tipe yang mengutamakan kasih sayang pada cucu. 　　Jiang Si sama sekali tidak merasa bersalah telah menjebak Jiang Qian. Belum lagi perbuatan Jiang Qian di kehidupan sebelumnya yang dibenci oleh manusia dan dewa, saat mata nenek bermasalah dan dukun menyebut nama kakak kedua Jiang Zhan, pasti ada campur tangan keluarga paman kedua. 　　“Di kehidupan sebelumnya, Paman Kedua berjasa menyelamatkan kaisar. Tepat pada saat itu, ayah justru terlibat skandal menginap di rumah bordil dalam keadaan mabuk dan kasus pembunuhan.” 　　Ayah dicabut gelar kebangsawanannya dan diusir dari keluarga. Paman Kedua dengan mulus mewarisi gelar tersebut. Berkat jasanya menyelamatkan kaisar, gelar kebangsawanan itu diwariskan secara turun-temurun tanpa batas. 　　Keinginan terbesar nenek akhirnya terwujud, mana sempat memikirkan hidup mati anak sulungnya. 　　Ketika Jiang Si kembali ke ibukota sebagai selir Pangeran Ketujuh, peristiwa itu sudah berlalu lebih setahun. Ia tak percaya ini kebetulan belaka, lalu memohon Yu Qi menyelidikinya secara diam-diam. 　　Sayangnya, baru mulai menemukan petunjuk, ia sudah tewas tragis dan terlahir kembali. 　　Jiang Si tak peduli ada bukti atau tidak. Bagaimanapun, bersikap seperti angin musim gugur menyapu daun terhadap keluarga Paman Kedua pasti tak akan salah. 　　"Surat ini antarkan ke kakak sulungku." Jiang Si menulis surat lagi lalu menyerahkannya pada A Qiao. Ia keluar dari ruang belajar dan duduk termenung di ayunan halaman. 　　Ayunan tiba-tiba didorong. Rok merah gadis itu berkibar tertiup angin. 　　Jiang Si menoleh mendadak. Wajahnya yang cantik mempesona namun datar tersungging senyum tipis: "Kakak kedua pulang." 　　Ia menghentikan ayunan dengan ujung kaki, lalu mengulurkan tangan: "Dompet kecilku mana?" 　　Jiang Zhan terkekek-kekek kaku. 　　"Tak berhasil mengambilnya?" Alis Jiang Si berkerut halus, terlihat agak terkejut. 　　Di kehidupan ini, dia sama sekali tidak mengenal Yu Qi. Dia tidak merasa Yu Qi adalah tipe pria sembrono yang akan mencuri dan menyembunyikan kantong uang gadis tak dikenal. Kemarahannya sebelumnya hanya untuk mencegah kemungkinan hubungan lebih lanjut antara Yu Qi dan dirinya karena hubungan dengan kakak kedua. 　　"Anjing itu terlalu jahat! Mungkin menyembunyikan kantong uang adik keempat seperti tulang!" Jiang Zhan menggerutu. 　　Alis Jiang Si semakin berkerut. 　　Dulu Er Niu tidak pernah seceroboh ini. 　　"Apakah ada barang penting di dalam kantong uang adik keempat?" Tanya Jiang Zhan dengan rasa bersalah karena tidak bisa menemukan kantong itu. 　　"Tidak ada barang penting." 　　"Apakah ada tanda khusus di kantong itu?" 　　Jiang Si menggelengkan kepala: "Juga tidak." 　　Jiang Zhan menghela napas lega: "Kalau begitu tidak masalah. Kantong uang yang sudah digigit anjing pasti tidak ada yang mau mengambil, bahkan jika ada yang menemukan, tidak akan tahu itu milikmu." 　　Dalam situasi ini, Jiang Si hanya bisa menerima nasib. Setelah Jiang Zhan pergi, dia membuka peti di kamarnya dan mengeluarkan sepasang gelang emas. 　　Sepasang gelang emas ini adalah peninggalan Nyonya Su. Jiang Yi memberikannya kepada Jiang Si sebelum menikah. 　　Saat itu Jiang Si baru berusia sepuluh tahun lebih, di usia yang masih suka berlagak. Dia menganggap gelang emas terlalu norak, lalu langsung menyimpannya di dasar peti. 　　Gelang ini sekarang sangat berguna bagi Jiang Si. 　　Gelang tersebut berongga dengan manikam giok sebagai penyekat rahasia, cocok untuk menyimpan berbagai serbuk obat yang baru saja dibuat Jiang Si dengan berbagai kegunaan. 　　Jiang Si yang telah hidup dua kali ini sangat paham, identitas sebagai putri Kekaisaran Bo atau perlindungan dayang dan pelayan hanya akan tampak tak berdaya di saat-saat tertentu. Hanya kemampuan yang tak bisa direbut orang lainlah yang menjadi pondasinya. 　　Hari itu berlalu dengan biasa-biasa saja. Keesokan harinya, seperti yang diduga Jiang Si, Jiang Qian datang mengunjungi Nyonya Feng dengan membawa berbagai macam hadiah. 　　Di Balai Cixin, Nyonya Feng memandang cucu perempuannya Jiang Qian yang tersenyum tipis, merasa kelopak mata kirinya berkedut semakin kencang. 　　Burung pegar itu datang lagi! 　　Terima kasih atas hadiah dan votingnya. 35. Bab 35 Terwujud 　　Bab 35 Terwujud 　　Tiba-tiba muncul pikiran ini dalam benak Nyonya Feng, lalu ia tersenyum geli merasa dirinya terlalu sensitif. Tatapannya pada Jiang Qian kembali penuh kasih sayang. 　　Namun Jiang Qian merasa ada yang tak beres dalam hatinya. 　　Ia sangat paham, kasih sayang neneknya selalu bersyarat. 　　Ayahnya lebih sukses daripada pamannya. Sebagai satu-satunya putri sah ayahnya, sejak kecil ia mendapat lebih banyak kasih sayang dibanding saudari-saudarinya. Setelah menikah dengan Keluarga Marquis Changxing, nenek semakin menghormatinya, terlihat dari sikap nenek setiap kali ia pulang. 　　Tapi dua kali terakhir ini, sikap nenek jelas-jelas aneh. 　　Jiang Qian melirik diam-diam ke Nyonya Kedua Xiao. Senyum di wajah Nyonya Xiao tetap sempurna, tak terlihat sedikitpun keanehan. 　　Pandangannya kemudian menerobos beberapa orang, tertuju pada Jiang Si. 　　Gadis yang duduk tenang di sudut itu mengenakan baju hijau bawang yang setengah baru setengah tua, dengan sanggul ganda biasa yang rapi dihiasi dua bunga mutiara biasa, alis dan matanya yang indah menyelimuti sikap acuh tak acuh. 　　Meski begitu, kecantikannya tetap bersinar terang, membuat orang yang melihatnya mengeluh tentang ketidakadilan Sang Pencipta. 　　Keraguan dalam hati Jiang Qian semakin menguat. 　　Ada enam gadis di Keluarga Bo, kakak pertama berwatak penakut, adik ketiga putri anak selir, adik kelima dan keenam adalah anak selir, yang paling suka menonjolkan diri adalah Jiang Si. 　　Jiang Si sangat menyadari keunggulan penampilannya, bahkan di rumah sekalipun, setiap muncul selalu berdandan dengan sangat rapi. 　　Kapan semua ini mulai berubah? 　　Jiang Qian teringat, dua hari lalu saat pulang ke rumah orang tua, pakaian Jiang Si sudah terlihat sembarangan, hanya saja saat itu ia terlalu kesal dengan provokasi aneh Jiang Si sehingga mengabaikan hal ini. 　　Jiang Qian bukan orang bodoh, meski tak ada bukti, ia yakin perubahan sikap halus Nenek Feng pasti ada hubungannya dengan Jiang Si. 　　"Qian'er, sudah menjadi istri orang, jangan terlalu sering pulang ke rumah orang tua, khawatir Keluarga Hou tidak suka." Nenek Feng mengusap pelipis kirinya. 　　Jiang Qian mengangguk patuh: "Cucu mengerti, hanya dua hari lalu melihat nenek kurang sehat, jadi tidak tenang dan kembali mengunjungi." 　　Jiang Si mengangkat sudut bibirnya dengan samar. 　　“Jiang Qian, untuk menunjukkan bakti, memang tidak menyebut suratnya, malah mengalihkan ke ketelitian dan perhatiannya sendiri.” 　　“Kau ini sungguh berbudi, nak. Di usianya nenek ini, apa lagi yang perlu dipedulikan soal penampilan, separuh badan sudah masuk liang kubur.” Perkataan Jiang Qian membuat Nyonya Feng merasa terhibur, keriput di sudut matanya meregang karena senyum. 　　Jiang Qian menutupi mulutnya sambil tertawa: “Nenek salah bicara, dengan kesehatan dan berkah nenek, pasti akan hidup sampai seratus tahun.” 　　“Benar, ketika Cang Ge-er menikah dan punya anak, cicit nenak akan tumbuh besar dan menunggu nenak memilihkan menantu.” Nyonya Xiao, istri kedua, menyambung. 　　Jiang Cang adalah cucu tertua, lahir kembar dengan Jiang Qian, hingga kini belum menikah. 　　Berbeda dengan keluarga bangsawan yang menikahkan anak sejak dini, pelajar yang meniti jalan ujian negara umumnya menikah terlambat. Begitu meraih jabatan, status keluarga mempelai wanita bisa melonjak drastis. 　　Banyak pelajar Dinasti Zhou yang menunda pernikahan hingga awal usia 30-an demi meraih gelar Jinshi, apalagi Jiang Cang yang belum genap 20 tahun. 　　Nyonya Feng juga tampak tidak khawatir dengan status perjaka Jiang Cang, ia tersenyum mendengar perkataan itu. 　　Tiba-tiba matanya yang kiri terasa nyeri tajam, seolah ditusuk jarum. 　　Nyonya Feng segera menutup mata, wajahnya pucat mendadak. 　　Suasana harmonis di ruangan itu tiba-tiba beku. 　　Nyonya Xiao dan Jiang Qian saling pandang, sama-sama bingung. 　　Beberapa detik kemudian, Nyonya Feng perlahan membuka mata. 　　“Nyonya Tua——” 　　“Nyonya Feng mengangkat tangan, menghentikan ucapan Nyonya Xiao, lalu berkata dengan tenang: "Aku agak lelah, kalian semua boleh bubar.” 　　“Nenek——” Perubahan suasana yang tiba-tiba membuat Jiang Qian merasa tidak puas. 　　Nyonya Feng menatap Jiang Qian dalam-dalam, menekan perasaan rumit: "Kalau sudah pulang, temani ibumu makan dulu sebelum kembali.” 　　Mendengar ini, wajah Nyonya Xiao langsung memerah. 　　Dia mana mungkin tidak mengerti, Nyonya Feng masih marah karena urusan dia menyelidik hal-hal di Cixin Tang. 　　Jiang Qian tidak tahu lika-liku ini, melihat sikap Nyonya Feng, terpaksa ikut orang lain keluar. 　　Memandang siluet Jiang Si yang pergi dengan santai, bibir Jiang Qian bergetar ingin memanggil, tapi Nyonya Xiao batuk pelan. 　　Jiang Qian menoleh ke Nyonya Xiao. 　　“Pergi ke Yaxin Yuan.” 　　Ibu-anak ini kembali ke Yaxin Yuan, menyuruh pelayan mundur, Jiang Qian tak sabar bertanya: "Apa ada kejadian di rumah? Aku rasa sikap nenek agak aneh.” 　　Nyonya Xiao menahan malu menjelaskan situasi pada Jiang Qian. 　　“Ibu memang terlalu terburu-buru. Dengan sifat keras nenek seperti itu, mana mungkin membiarkan orang menyelidik urusan Cixin Tang. Seandainya Ibu sabar beberapa hari lagi baru bertindak, Jiang Si tidak bisa mengaitkan nenek, maka sebagai junior yang berani melawan Ibu seperti itu, nenek pasti tidak akan membiarkan.” 　　“Awalnya aku berpikir memberi pelajaran saat itu akan membuat si gadis itu jadi lebih patuh, tapi siapa sangka dia ternyata berkarakter tak tahu malu seperti preman!” Xiao Shi merasa geram saat teringat dipermalukan oleh junior. 　　“Tidak benar——” Alis indah Jiang Qian berkerut. 　　“Ada apa, Qian'er?” 　　“Sikap nenek mulai tidak normal bukan sejak Ibu menyuruh orang menyelidiki urusan Cixintang.” Rupanya Jiang Qian bukan tipe yang ceroboh, dia mengernyit sambil berpikir keras. 　　Beberapa saat kemudian, kerut di dahinya menghilang. Dengan suara tegas dia berkata: “Itu karena mimpi! Sejak Jiang Si tiba-tiba menyebutkan mimpinya hari itu, sikap nenek mulai berubah!” 　　“Jiang Si bermimpi dua ekor burung merak mencakar matanya?” Xiao Shi yang cukup tajam dalam hal ini langsung pucat setelah merenung sejenak, “Aku mengerti! Pasti nenekmu mengasosiasikan dua burung merak itu dengan dirimu!” 　　Jiang Qian tampak bingung: “Apa hubungannya dengan aku?” 　　Kilatan tajam muncul di mata Xiao Shi: “Bukankah Jiang Si bertanya apakah nenekmu mengalami mimpi buruk? Bisa jadi mimpinya itu bohong, justru nenekmulah yang benar-benar mengalaminya. Si jalang itu entah bagaimana mendengar kabar angin! Qian'er, ingat, di antara cucu perempuan Keluarga Bo, kamu yang nomor dua dan kebetulan shio ayam...” 　　“Apa nenek percaya takhayul seperti itu?” Wajah Jiang Qian berubah muram. 　　“Jiang Si yang selalu sombong, bersikap dingin terhadap saudari-saudari Klan Bo, tapi hanya akrab denganku. Kenapa tiba-tiba berubah begini?” 　　Nenek yang telah menyayanginya bertahun-tahun, apakah benar akan membencinya hanya karena mimpi tak masuk akal? 　　“Qian'er, kamu masih muda. Saat mencapai usianya ibu, baru akan mengerti—semakin tua manusia, semakin takut mati. Makanya semakin percaya hal-hal seperti ini.” 　　Jiang Qian mengangguk perlahan, wajahnya tiba-tiba membeku seperti es, bergumam: “Awalnya aku masih agak tidak tega——” 　　“Qian'er, kau bilang apa?” 　　Jiang Qian tersadar: “Tidak ada.” 　　Tiba-tiba terdengar langkah tergesa dari luar, disusul suara dayang: “Nyonya, ada masalah di Paviliun Cixin!” 　　Nyonya Xiao segera memanggil dayang masuk: “Masalah apa?” 　　“Salah satu mata Nenek buyut tiba-tiba buta!” 　　“Apa?” Nyonya Xiao mundur setengah langkah, mengingat dugaan mereka tadi, wajahnya pucat memandang Jiang Qian. 36. Bab 36 Trik Lama 　　Bab 36 Trik Lama 　　Wajah Jiang Qian juga tak kalah buruk, membeku di tempat lama tak bereaksi. 　　“Qian'er——” Nyonya Xiao mulai panik. 　　Nenek masih marah padanya. Dengan masalah mata ini, amarahnya pasti lebih besar. Hidupnya susah tidak masalah, tapi kalau Nenek menyimpan dendam pada Qian'er, itu baru bahaya. 　　“Anak perempuan yang sudah menikah baru akan memiliki keyakinan diri jika mendapat dukungan dari keluarga asal, terlebih bagi menantu seperti Qian'er yang menikah ke keluarga lebih tinggi.” 　　Jiang Qian saat itu sudah tenang, berkata tegas pada pelayan: “Kamu turun dulu!” 　　Pelayan mundur dengan cemas, Jiang Qian menarik napas dalam-dalam dan menggenggam tangan Nyonya Xiao: “Ibu, jangan panik. Kita harus cari cara sebelum pergi ke Aula Cixin.” 　　“Benar, harus ada strategi.” Nyonya Xiao sebenarnya bukan orang yang mudah panik, hanya di depan putrinya dia menunjukkan keprihatinan. Matanya berkilat dingin: “Kalau ada yang memanfaatkan mimpi, kita balas dengan cara yang sama!” 　　“Ibu punya rencana apa?” 　　Nyonya Xiao membisikkan sesuatu di telinga Jiang Qian. 　　Jiang Qian ragu: “Apa ini bisa?” 　　Nyonya Xiao menyeringai: “Kenapa tidak? Nenekmu percaya takhayul, kita ikuti saja polanya. Cuma dua ayam hias, yang ranking kedua di keluarga Marquis bukan hanya kamu!” 　　Saudara kandung Jiang Si, Jiang Zhan, juga ranking kedua. 　　“Tapi Jiang Zhan bukan shio ayam——” 　　“Siapa bilang ayam emas pasti merujuk pada shio? Asal ada alasan saja yang penting adalah apakah dukun yang diundang bisa mendapatkan kepercayaan nenekmu.” Xiao Shi yang menemukan ide ini tiba-tiba berubah dari panik menjadi percaya diri, “Jangan khawatir, Ibu kenal seorang dukun terkenal. Keluarga kakekmu dulu punya hubungan baik dengannya. Jika Ibu yang mengundangnya, pasti berhasil.” 　　“Ibu sudah bersusah payah.” Ekspresi tegang Jiang Qian mulai melunak mendengar perkataan Xiao Shi. 　　“Bicara apa itu? Kau lahir dari rahimku, mana mungkin Ibu tidak memikirkanmu.” Xiao Shi memegang tangan putrinya dengan penuh kasih. 　　Bibir Jiang Qian bergetar sejenak, lalu tiba-tiba ia menarik tangannya dengan halus sambil menggandeng lengan Xiao Shi: “Ibu, ayo kita segera ke sana.” 　　Kabar tentang mata sebelah Nyonya Feng yang buta bagai petir menyambar Istana Dongping. Para anggota keluarga dari berbagai sayap berdatangan setelah mendengar kejadian. 　　Ketika Jiang Shi tiba di Aula Cixin, sudah banyak orang berkumpul. Ia menyelinap di antara saudari-saudarinya sambil mengamati diam-diam. 　　Istri pamang kedua dan Jiang Qian belum datang. 　　Menyadari hal ini, Jiang Shi menyeringai sinis. 　　Ia tak pernah menganggap Jiang Qian yang dulu berhasil menipunya dengan permainan persaudaraan sebagai orang bodoh. 　　Pasti setelah berdiskusi, mereka sudah membuat beberapa dugaan. Keterlambatan mereka pasti karena sedang menyusun strategi. 　　Memikirkan ini, senyuman Jiang Shi semakin dalam. 　　“Dia tidak takut mereka tidak bertindak, hanya khawatir mereka diam saja, tidak bisa menemukan kesempatan untuk memukul anjing yang sudah jatuh ke air.” 　　Jiang Si berpikir dalam hati, tiba-tiba menyadari ada tatapan mengarah padanya. Saat mengangkat pandangan, dia melihat San Guniang Jiang Qiao meliriknya dengan memutar mata. 　　Jiang Qiao sesuai namanya, adalah gadis cantik dan menggemaskan. Dari sudut pandang orang ketiga, gerakan memutar matanya tetap terlihat lucu dan menggemaskan. 　　Jiang Si pun tersenyum. 　　Jiang Qiao terkejut, lalu berbisik dengan suara rendah yang garang: "Nenek sakit, kamu masih berani tertawa!" 　　"Aku merasa Sanjie hari ini luar biasa cantik, jadi tidak tahan untuk tersenyum." Jiang Si berkata dengan muka tebal. 　　Muka Jiang Qiao memerah, dia membentak: "Apa yang kamu omongkan! Nanti kalau nenek lihat kamu tertawa, kamu akan kena marah!" 　　Jiang Si menunjukkan ekspresi tersadar: "Ternyata Sanjie khawatir padaku." 　　"Jangan berlagak penting!" Jiang Qiao kembali memutar matanya, lalu memalingkan wajah dan tidak mau lagi merespons Jiang Si. 　　Saat itu Nyonya Xiao datang tergesa-gesa bersama Jiang Qian. 　　Begitu melihat Nyonya Xiao muncul, Nenek Feng langsung melempar cangkir ke arahnya: "Kenapa tidak menunggu sampai aku mati baru datang?!" 　　Nyonya Xiao yang selama ini mengurus rumah tangga, terlambat datang saat nenek sakit memang terlihat tidak pantas. 　　Di mata Istri Ketiga Guo terlihat kilatan rasa senang melihat kesulitan orang lain. 　　"Sebagai menantu dari selir, dia tidak pernah berpikir untuk bersaing dengan Nyonya Xiao. Tapi keseharian Nyonya Xiao terlalu dominan, beberapa perkataan tidak pantas saja bisa disimpan dendam, membuatnya tidak nyaman dalam hal sandang-pangan dan urusan pergaulan." 　　Nyonya Guo yang bijak tahu mengadu ke nenek tua tak akan membawa keuntungan, hanya bisa menelan pil pahit dalam diam. 　　Pil pahit yang ditelan terlalu lama, bahkan Bodhisattva pun bisa berubah menjadi raksasa. Nyonya Guo tentu tak luput dari hal ini. 　　Jiang Qian menghalangi tubuh Nyonya Xiao, membiarkan cangkir terbang menghantam tubuhnya sendiri. 　　"Qian'er, kau tidak apa-apa?" Nyonya Xiao bersedih hati. 　　Jiang Qian menggeleng, bergegas menghadap Nenek Feng dengan suara lembut: "Nenek, saya yang mengajak ibu mengobrol di taman sampai pelayan tak bisa menemukannya. Semua ini salah cucu, janganlah nenek marah sampai sakit—" 　　"Kau belum pulang?" Ucapan Nenek Feng ini membuat semua mata tertuju pada wajah Jiang Qian. 　　Sorotan mata itu bagai belati tak kasat mata, menyayat wajahnya hingga terasa perih. 　　Malu seperti ini belum pernah dialami Jiang Qian di kediaman Paman. 　　Saat ini, hati Jiang Qian justru dipenuhi rasa syukur: Untung setelah berbincang dengan ibu, dia menemukan simpul masalah di hati nenek. Tanpa itu, rasa malu ini hanya akan membuatnya bingung tanpa sebab. 　　Kini Jiang Qian tak lagi mempedulikannya. 　　“Asalkan seperti yang dikatakan ibu, bisa melimpahkan kesalahan ini pada Jiang Zhan dengan lancar, semakin buruk sikap nenek sekarang, semakin besar penyesalannya di masa depan, maka kompensasinya akan semakin banyak.” 　　“Asalkan bisa tertawa di akhir, apa artinya menderita sekarang?” 　　“Cucu khawatir pada nenek.” Ekspresi sedih yang pas terpancar di wajiang Jiang Qian. 　　“Kamu bukan tabib, tinggal di sini juga tidak berguna, lebih baik segera pulang.” Salah satu mata Nyonya Feng tiba-tiba tidak bisa melihat, emosinya seperti kuda liar yang lepas kendali, dengan susah payah menahan diri untuk tidak mengusir Jiang Qian. 　　“Dalam keadaan nenek seperti ini, bagaimana cucu bisa tenang pergi? Biarkan cucu tinggal, setidaknya sampai ada kesimpulan dari tabib.” 　　“Tabib sudah datang!” Pelayan utama Afu berlari masuk sambil terengah-engah. 　　“Kalian semua keluar!” Nyonya Feng yang tidak bisa marah pada Jiang Qian akhirnya mengusir semua orang. 　　Halaman Cixintang seketika dipenuhi orang. 　　Meski nyonya tua menyuruh pergi, mereka tidak bisa meninggalkan tempat dalam situasi seperti ini. 　　Pohon Toona sinensis yang tinggi dan tegak di halaman tak mampu menaungi begitu banyak orang, aroma harumnya yang lembut tertiup angin sampai ke hidung Jiang Si, terasa begitu pekat. 　　Seketika, nuansa musim panas terasa menyergap. 　　Jam pasir telah berjalan selama dua shichen dalam kecemasan orang-orang, keringat halus mulai membasahi ujung hidung mereka. 　　Jiang Qian dan Nyonya Xiao saling bertukar pandang diam-diam beberapa kali. 　　Akhirnya, tabib yang dipanggil keluar membawa kotak obat ditemani A Fu. Nyonya Xiao bergegas menyambut, "Tabib, bagaimana kondisi nyonya tua?" 　　Tabib menggelengkan kepala, "Mata nyonya tua tidak menunjukkan kelainan yang jelas, mungkin akibat panas dalam. Saya sudah beri resep detoksifikasi dan pendinginan. Jika tidak membaik setelah dua takaran, silakan undang tabib lain." 　　Begitu tabib pergi, Nyonya Xiao langsung bertekad akan mengundang semua tabib terkenal untuk menyembuhkan mata nyonya tua. 　　Jiang Si mengamati kekacauan di kediaman dengan tatapan dingin tanpa bereaksi, namun dalam hatinya telah matang rencana. 37. BAB 37: DEWI 　　BAB 37: DEWI 　　Gang Magu di Dongcheng meski berada di kawasan kumuh, dihormati oleh berbagai kalangan. 　　Di sana tinggal seorang dewi termasyhur yang konon bisa berkomunikasi dengan arwah, bahkan keluarga bangsawan pun diam-diam memanggilnya untuk ritual saat kesulitan. 　　Seorang pemuda berparas tampam memandang sekeliling dengan penasaran. 　　Rumah-rumah rendah reyot, tumpukan barang di sudut-sudut, genangan air kotor, dan suara riuh anak-anak yang sesekali terdengar - semua terasa asing baginya. 　　Rasa penasaran ini tersembunyi di balik kewaspadaan. 　　Pandangan para pengangguran yang duduk lesehan di pinggir jalan yang mengamat-amatinya memaksanya lebih berhati-hati. 　　Ini tempat yang belum pernah diinjaknya, pemandangan yang sama sekali asing baginya. 　　Namun saat tiba di persimpangan jalan, remaja itu kembali berhenti, matanya memancarkan kebingungan. 　　Setelah berdiam sejenak, remaja itu terpaksa mendekati seorang wanita yang membawa baskom cucian di pinggir jalan: "Bibi, boleh tanya Gang Magu arahnya lewat mana ya?" 　　Wanita itu mengamati remaja tersebut. Melihat wajahnya yang bersih dan tampan tapi berpakaian sangat biasa, matanya langsung berbinar aneh. Ia menyeringai sambil menunjuk: "Lewat situ saja." 　　Remaja itu mengucapkan terima kasih lalu berjalan ke arah yang ditunjuk. 　　Tangan wanita itu menggenggam baskom lebih erat. Ia menatap punggung remaja seolah ingin bicara sesuatu, tapi akhirnya menggeleng dan bergegas pulang. 　　Baru berjalan sekitar 30 meter, seorang pemuda berusia awal 20-an meludahkan batang rumput dari mulutnya. Dengan senyum palsu, ia menghadang: "Hei adik, mau ke mana? Main dulu sama kakak yuk." 　　Alis remaja itu langsung berkerut. 　　Nona itu pernah berpesan agar memakai pakaian pria di daerah ini untuk menghindari masalah. Apa orang ini buta? Mengajak "anak nakal" seperti dirinya untuk main apa? 　　Remaja itu tak lain adalah Aman yang menyamar sebagai pria. 　　Postur Aman yang tinggi dan langsing di usia belasan tahun sangat cocok dengan pakaian pria. 　　Hmm, nona itu juga bilang: jika masih ada yang mengganggu meski sudah berpenampilan pria, gunakan uang untuk menyelesaikan masalah. 　　A Man mengingat baik-baik pesan nonanya, mengeluarkan beberapa koin tembaga dari kantongnya dan menyodorkannya ke tangan pemuda itu. 　　Pemuda itu terkejut, lalu mengambil satu koin dan meniupnya sambil tersenyum: "Adik kecil cukup tahu diri, tapi kakak mencarimu bukan untuk uang." 　　Kalau begitu uangnya kurang! 　　A Man mengeluarkan lagi untaian koin dan meletakkannya di tangan pemuda itu, tapi dalam hati merasa agak kesal. 　　Sayangnya nona sudah berulang kali berpesan, sebisa mungkin hindari masalah. Andai bukan karena itu, pemuda lemah ini bisa diangkatnya dengan satu tangan dan dilempar ke tembok. 　　Pemuda itu jelas tidak menyangka bocah berpakaian sederhana ini bisa mengeluarkan banyak uang. 　　Meski yang diberikan A Man hanya koin tembaga, perlu diketahui ini kawasan kumuh tempat berkumpulnya rakyat miskin. Bagi kebanyakan orang yang hidup serba kekurangan, koin-koin ini cukup untuk makan roti daging selama beberapa hari. 　　Pandangan pemuda itu tertuju pada kantong pinggang A Man, dengan kasar ia menyentak dan mengambilnya. 　　A Man mengepal tinju, menahan amarah: "Semua uang sudah kuberikan, bolehkah aku lewat sekarang?" 　　Pemuda itu kembali tertawa: "Jangan buru-buru, adik. Kakak benar-benar bukan demi uang." 　　Hanya saja... uangnya tetap diambil. 　　"Lalu untuk apa?" A Man bertanya sambil menyadari beberapa preman di kejauhan yang sedang mengintai. 　　“Ini demi adik kecilmu, kakak langsung suka begitu melihatmu.” Pemuda itu semakin lancang melihat A Man terus mengalah. 　　A Man memandang dingin ke arah pemuda itu, mengacungkan tiga jarinya. 　　“Apa maksudnya?” 　　“Tuanku berkata, jangan melebihi tiga kali.” A Man melangkah mendekat tanpa ekspresi, mempersempit jarak antara mereka. 　　Pemuda itu merasakan sesuatu menusuk tubuhnya. 　　Sensasinya aneh, dia bisa merasakan perlawanan daging terhadap benda itu, tapi sama sekali tidak merasakan sakit. 　　Pemuda itu menunduk, melihat tusuk konde emas menancap di perutnya. Sebagian besar hiasan berbentuk bunga magnolia masih menyembul keluar, seolah-olah wangiannya bisa tercium. 　　Saat itu, sebuah pikiran melintas di benaknya: Jika dia lari sekarang, apakah tusuk konde ini akan menjadi miliknya? 　　Tapi entah mengapa, kakinya seperti tertanam di tanah, tak bergerak sedikitpun. 　　“Tidak sakit kan?” Suara A Man yang menusuk terdengar sangat menyeramkan di telinga pemuda itu. 　　Kepala pemuda itu berdengung, keringat dingin langsung membasahi punggungnya. 　　Tidak sakit. Benar-benar tidak ada rasa sakit. 　　Mengapa tidak sakit? Bagaimana mungkin tidak sakit? 　　"Bagian kecil tusuk konde emas yang tertinggal di perut bawah tidak membuat si pemuda takut. Orang seperti dia yang merupakan preman jalanan, luka seperti ini sebenarnya bukan masalah. Tapi meski melihat darah, sama sekali tidak merasakan sakit, membuat hatinya merinding. 　　Di siang bolong begini, jangan-jangan dia ketemu hantu? 　　Tempat ini tidak jauh dari Gang Magu. Di Gang Magu tinggal seorang dewi yang bisa berkomunikasi dengan roh, jadi mungkin saja sesekali bertemu hantu? 　　"Tidak sakit kan?" Suara A Man yang datar kembali terdengar. 　　"T-tidak..." Lidah pemuda itu seperti terpaku. 　　"Kalau tidak sakit, itu benar. Menjelang tengah malam nanti baru akan terasa sakit. Setiap hari di jam itu, rasa sakitnya akan semakin menjadi." Suara A Man semakin melemah seperti benang tak kasat mata yang mencekik leher pemuda, membuatnya sesak napas. 　　Ternyata cuma pecundang. Tidak tahu kenapa nona memakai orang seperti ini. 　　Sorot menghina muncul di mata A Man, suaranya sekecil nyamuk: "Jika tidak ingin mati kesakitan, ingat bawa tusuk konde ini ke bilik kedua lantai dua Teahouse Wufu tepat tengah hari tiga hari lagi." 　　Baru setelah A Man membelok ke gang depan, pemuda itu tersadar dari lamunannya. 　　"A Fei, ngapain kamu melongo begitu?" Teman-temannya yang biasa nongkrong bersama berkerumun mendekat. 　　“Tidak apa-apa——” Pemuda itu dengan cepat mendorong orang yang menepuk bahunya, lalu lari terbirit-birit. 　　Entah ucapan remaja aneh itu benar atau tidak, yang pasti jangan sampai orang lain melihat tusuk emas ini! 　　“Apa A Fei gila?” bentak orang yang didorongnya dengan kesal. 　　“Lihat!” Salah seorang menunjuk ke tanah dengan suara bergetar. 　　Beberapa orang menunduk melihat bercak-bercak darah di tanah, wajah mereka langsung berubah pucat. 　　“Astaga, jangan-jangan A Fei nabrak orang berbahaya?” 　　“Dari dulu sudah curiga sifat buru-buru A Fei akan celaka, lebih baik kita bubar saja.” 　　Mereka kembali ke pinggir tembok, kembali berpose santai seperti biasa. 　　A Man masuk ke Gang Magu, berhenti di depan rumah bergantung lentera Kelinci Giok. 　　Rumah itu sudah tua, meski terlihat utuh namun pintu kayunya penuh bekas keropos dimakan zaman. 　　A Man mengetuk pintu. Seorang gadis kecil membukakan. 　　“Saya mencari Xian Gu.” 　　Gadis kecil itu sudah terbiasa, langsung membuka pintu lebar: “Masuklah.” 　　A Man masuk mengikuti si gadis. 　　Di dalam ruangan penuh asap dupa mengepul, seorang wanita setengah baya berkonde Tao duduk bersila, matanya setengah terpejam bagai pertapa. 　　Mendengar suara, wanita itu membuka mata: “Apa yang kau cari?” 　　“Apakah Anda Liu Xian Gu?” A Man mendekat dengan tenang. 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya. 38.Bab 38 Umpan 　　Bab 38 Umpan 　　Nyonya Peramal Liu mengangguk dengan anggun. 　　"Majikan kami membutuhkan bantuan Nyonya Peramal. Ini untuk minum teh Nyonya." Aman mengeluarkan lembaran uang kertas dari lengan bajunya dan meletakkannya di depan Nyonya Peramal Liu. 　　Nyonya Peramal Liu melirik cepat nilai nominal lima puluh tael pada uang kertas itu, hatinya dipenuhi kepuasan. 　　"Undangan minum teh" jelaslah kiasan untuk uang muka. Dengan uang muka lima puluh tael, bayaran setelah penyelesaian pasti lebih besar. 　　Meski terkenal, Nyonya Peramal Liu jarang mendapat pekerjaan dari keluarga kaya. Kebanyakan kliennya rakyat biasa yang membutuhkan jasa pengusir roh jahat. 　　"Ada masalah apa yang dihadapi majikan nona?" Suaranya lebih ramah setelah menyadari status tamu ini tidak biasa. 　　Aman terkejut menatapnya, "Nyonya bisa melihat melalui penyamaranku?" 　　Sejak kecil belajar bela diri, posturnya lebih tinggi dari perempuan biasa. Bahkan majikannya pun mengaku tak bisa membedakan saat ia berpakaian pria. Tapi peramal ini langsung tahu. 　　Aman berpikir: Ternyata benar-benar punya kemampuan. Pantasan majikanku mengutusku menjemputnya. 　　Keahlian membaca situasi adalah syarat utama bertahan di profesi ini. Senyum misterius mengembang di wajah Nyonya Peramal Liu yang sudah membaca pikiran Aman. 　　Lubang anting di daun telinga gadis ini jelas terlihat olehnya. 　　"Majikan tidak memberitahu detailnya. Beliau menunggu di Gedung Teh Tianxiang untuk berdiskusi langsung dengan Nyonya." 　　"Liu Xiangu termenung sejenak, lalu mengangguk setuju." 　　Di hadapan rakyat biasa, dia adalah dukun sakti nan terpandang. Namun di depan keluarga bangsawan, dia tidak berani bersikap angkuh. 　　Semakin kaya suatu keluarga, semakin banyak orang berilmu sejati yang bisa mereka akses. Dirinya hanyalah salah satu yang biasa-biasa saja. 　　Melihat Liu Xiangu hendak berdiri, Aman menghentikannya: "Jangan buru-buru pergi sekarang. Tuan akan menanti Nyonya di rumah teh pada pukul tiga sore." 　　"Baik, aku akan datang." Liu Xiangu semakin yakin ini adalah klien besar. 　　Dia terlalu paham kebiasaan keluarga kaya: di satu sisi memanggil orang sepertinya untuk ritual, di sisi lain ingin menjaga reputasi dengan merahasiakannya. 　　Dibandingkan mereka, rasa hormat orang biasa memang tulus. Sayangnya ada kekurangan terbesar: miskin! 　　"Kalau begitu saya permisi dulu." 　　Aman berjalan keluar dari Gang Magu. Perbedaan mencolok penampilannya dengan lingkungan sekitar membuatnya mempercepat langkah. Saat membelok ke sebuah gang, tiba-tiba ada tangan menjambret. 　　"Dasar anak setan, berani-beraninya mengakali kakekmu!" 　　Dengan lincah Aman menghindar. Matanya membelalak saat mengenali penyerang: "Kamu?!" 　　Penyerang itu tak lain adalah A Fei, pemuda yang sebelumnya ditusuknya dengan tusuk konde emas. 　　A Fei sudah terbebas dari pengaruh suasana mistis tadi. Sorot matanya kini seperti serigala kelaparan, garang dan kejam. 　　Saat itu, jepit rambut emas itu berada di tangannya, ujungnya berwarna merah gelap. 　　Itu adalah darah kering A Fei. 　　"Dasar anak kecil, tadi bukan sok jago mau menusukku dengan benda ini? Sekarang kakek akan pakai ini untuk mencakar wajah imutmu, lihat kau——" 　　Suara terakhir A Fei berubah menjadi jeritan menyayat. 　　A Man menarik kembali tinjunya dari perut A Fei, lalu kedua tinjunya berayun silih berganti seperti hujan menghujam perut A Fei. 　　A Fei merosot ke bawah sambil mengerang kesakitan. 　　A Man mengangkat kaki dan menginjak A Fei hingga terjungkal, menendangnya belasan kali sebelum berhenti. Ia mengibaskan tangan sambil memandang A Fei yang mengerut di tanah: "Banyak bicara!" 　　"Kau... kau tunggu saja!" 　　"Aku tidak mau nunggu!" A Man kembali menendang dengan keras. 　　"Jangan... jangan tendang lagi..." A Fei terguling-guling di tanah akhirnya merintih minta ampun. 　　"Dari awal begitu kan enak." A Man melirik jijik ke A Fei, lalu melangkah melewatinya seolah tak terjadi apa-apa. 　　A Fei bersandar ke dinding sambil bangun susah payah, bibirnya bergetar memandang punggung A Man yang menjauh. 　　Selain terkejut dengan situasi aneh tadi, alasan utamanya adalah tidak ingin orang lain tahu ia mendapat jepit emas. 　　Itu kan terbuat dari emas, orang seperti kami bahkan tidak pernah menyentuhnya! 　　"Pelarian A Fei saat itu didasari kepentingan pribadi, tapi dendamnya tak tertelan, sehingga muncul serangan mendadak ini." 　　Sayangnya serangan itu gagal. A Fei yang sejak kecil berkeliaran di jalanan tiba-tiba diliputi ketakutan mendalam. 　　Kali ini dia benar-benar terjebak. Ucapan si bocah mungkin bukan sekadar gertakan. 　　Kedatangan A Man bagi warga Hutong Magu bagai batu dilempar ke danau, tak menimbulkan riak. Hanya seorang pemuda bernama A Fei yang menunggu tengah malam dengan gelisah. 　　Mentari mulai condong ke barat. Sinar keemasan menembus kanopi pohon rindang di depan Gedung Teh Tianxiang, menyirami bendera biru langit, menambah kesan teduh di gedung teh itu. 　　"Nona, takutkah jika dukun perempuan itu menerima uang muka kita tapi tak datang?" A Man yang kembali berbusana dayang menatap ke luar jendela. 　　Jiang Si tersenyum: "Dia akan datang." 　　"Tapi dia tak tahu identitas Nona." 　　"Justru karena itu, dia pasti datang." 　　Berapapun ketenaran Dukun Liu, pada dasarnya dia hanyalah dukun biasa. Orang seperti ini motifnya tak lepas dari kata "uang". 　　Semakin misterius pihak kami, semakin dia merasa ada keuntungan yang bisa diraup. 　　Cek 50 tael itu adalah umpan. Ikan besar yang rakus pasti takkan melewatkannya. 　　“Sebentar lagi akan memasuki Shenchu, hamba akan pergi melihat ke luar.” Aman tidak bisa sesantai nona majikannya. Di mata pelayan kecil itu, uang 50 tael itu jumlah yang tidak sedikit. Jika benar-benar hilang, dia pasti akan menuntut kembali. 　　Jiang Si tidak menghalangi, hanya mengangguk ringan. 　　Aman bergegas menuju pintu. Baru saja membuka pintu, dia melihat Liu Xiangu berdiri di luar bersama seorang anak perempuan. 　　“Bertemu lagi.” Liu Xiangu tersenyum memandang Aman. 　　Aman berusaha menunjukkan ekspresi yang sudah diduga: “Nona menyuruhku membukakan pintu untuk Xiangu.” 　　Nona benar-benar bisa meramal segalanya. Dia tidak boleh mempermalukan wibawa nonanya. 　　Mendengar perkataan Aman, mata Liu Xiangu benar-benar menunjukkan perubahan halus. Dia memberi isyarat agar anak perempuan itu tetap di luar, lalu masuk bersama Aman. 　　“Nona, Xiangu sudah datang.” 　　Gadis itu duduk tegak di depan meja dekat jendela, mengangguk memberi salam pada Liu Xiangu. 　　Hati Liu Xiangu agak kesal. 　　Melihat kedatangannya, lawan bicaranya bahkan tidak berdiri. Ini jelas tidak menghargainya. 　　Semakin seperti ini, rasa penasarannya terhadap identitas gadis itu semakin besar. Dia pun tidak berani langsung pergi. 　　Dia hanya seorang dukun yang menguasai ilmu sesat. Jika sampai menyinggung orang terhormat, akan sulit baginya bertahan di ibu kota. 　　“Silakan duduk.” Jiang Si membuka mulut. 　　Liu Xiangu duduk di hadapan Jiang Si, diam-diam mengamati lawan bicaranya sambil minum teh. 　　“Usia dan penampilan gadis ini membuat Liu Xiangu terkejut, semakin tidak bisa menebak identitas dan maksud sang gadis.” 　　“Apa yang bisa saya bantu, nona?” Berbagai pikiran kacau tidak terlihat dari raut wajah Liu Xiangu. 　　Dia yakin satu hal: selama orang ini datang mencarinya, pasti ada keperluan. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh menunjukkan kelemahan. 　　Ini adalah modal hidupnya. 　　“Bukankah Xiangu menerima permintaan dari Istri Kedua Keluarga Dongping Bofu?” Jiang Si langsung membuka topik. 　　“Saya tidak tahu apa yang nona bicarakan!” Wajah Liu Xiangu berubah, langsung berdiri untuk pergi. 　　Terima kasih untuk hadian Heshibi dari Niu Niu1, dan para pembaca yang memberikan hadian serta voting. 39. Bab 39 Bukti 　　Bab 39 Bukti 　　Liu Xiangu yang sampai di pintu kamar dihadang oleh Aman. 　　“Apa maksud nona?” Liu Xiangu berbalik badan, memandang Jiang Si dengan wajah muram. 　　Mendengar sebutan Keluarga Dongping Bofu dari Jiang Si, hati Liu Xiangu justru menjadi tenang. 　　Selama pihak ini terkait dengan Dongping Bofu, latar belakangnya kemungkinan besar tidak jauh melebihi tingkat keluarga tersebut. 　　Meski tinggal di daerah kumuh, pengalaman bertahun-tahun bergaul dengan keluarga kaya telah memberinya jaringan dan reputasi. Sekalipun gadis ini bangsawan, masih terlalu muda untuk mengancamnya. 　　Jiang Si masih tersenyum tipis: “Bukankah Xiangu sudah datang? Tidakkah mau menikmati secangkir teh?” 　　“Teh di sini tidak cocok dengan selera saya.” Suara Liu Xiangu terdatar. 　　“Jiang Si menarik kembali senyumnya, pandangannya yang dalam bertemu dengan tatapan Nyonya Peramal Liu: ‘Kalau begitu Nyonya Peramal bersikeras membantu Istri Kedua Keluarga Dongping Bo melakukan perbuatan keji?’” 　　“Saudari ini sebenarnya siapa? Mengapa tiba-tiba mencari saya dan mengatakan hal-hal seperti ini?” 　　“Saya? Saya adalah Putri Keempat Keluarga Dongping Bo. Istri Kedua adalah bibi kedua saya. Orang yang dia minta Nyonya Peramal untuk jebak adalah kakak kandung saya sendiri.” Jiang Si tidak menyembunyikan apapun, terus terang mengungkapkan identitasnya. 　　Seiring dengan perkataannya, ekspresi Nyonya Peramal Liu berubah dari aneh menjadi memandangnya seperti orang bodoh. 　　Putri Keempat Keluarga Dongping Bo ini ada masalah di otaknya? Tanpa bukti langsung datang mengatakan omong kosong seperti ini? 　　Belum lagi jika dia menyinggung perasaanku, dengan reputasiku sekarang, sedikit saja ucapan dari saya bisa membuat Putri Keempat ini terpuruk ke jurang penderitaan. Bahkan jika saya diam saja dan melaporkan hal ini ke Istri Kedua Keluarga Dongping Bo, kehidupan gadis kecil ini kedepannya pasti akan sulit. 　　“Dari mana nona mendengar desas-desus ini? Walau saya bukan pertapa sejati, tapi sudah banyak keluarga yang saya bantu atasi masalahnya. Tuduhan seperti ini tidak bisa saya terima.” Pandangan Nyonya Peramal Liu pada Jiang Si penuh dengan celaan tersamar. 　　Gadis seperti ini polos tak berpengalaman, saat ada masalah hanya bisa berteriak-teriak tak karuan, sebenarnya tak punya kemampuan sama sekali. Sudah banyak yang seperti ini dia lihat. 　　“Sebaiknya nona juga pulang lebih awal, jangan sampai keluarga khawatir.” Nyonya Peramal Liu menghindari A Man dan mendorong pintu untuk membukanya. 　　A Man menghalangi pintu, berkata dengan suara jernih: "Nona kami belum mengizikan Nyonya Peramal pergi." 　　Nyonya Peramal Liu berbalik dengan tenang, suaranya sedikit meninggi: "Nona ingin menahanku secara paksa?" 　　Suara gadis kecil terdengar dari luar pintu: "Nyonya Peramal, apakah Anda baik-baik saja?" 　　Sebelum Nyonya Peramal Liu sempat menjawab, Jiang Si sudah bicara lebih dulu: "Sebaiknya Nyonya duduk. Jika tidak tertarik membahas urusan Keluarga Dongping Bo, mari kita bicara tentang keluarga Yan di pinggiran ibu kota?" 　　Wajah Nyonya Peramal Liu berubah pucat, matanya menyiratkan kepanikan yang tak tersembunyikan. 　　"Nyonya Peramal, apakah Anda baik-baik saja?" Suara gadis kecil kembali terdengar dari luar. 　　Nyonya Peramal Liu merasa seperti dipukul palu berat yang membuat nyaris terlepas rohnya, kepala berkunang-kunang. 　　Bagaimana mungkin ada yang tahu urusan keluarga Yan! 　　Memandang Nyonya Peramal Liu yang kehilangan kendali diri, Jiang Si sama sekali tidak terkejut. 　　Di kota kecil Bailu di pinggiran ibu kota, hiduplah seorang saudagar kaya bernama Yan. Tuan Yan memiliki seorang putri tunggal yang cantik jelita, lembut dan anggun, belum genap lima belas tahun sudah dibanjiri lamaran. 　　Namun takdir tak terduga, saat putri Yan berusia lima belas tahun, ia terserang penyakit aneh. Mulai dari sering mengantuk hingga akhirnya jarang sadar sepanjang hari. 　　Tuan Yan yang hanya punya satu putri kesayangan itu sampai beruban karena cemas. Ia mengundang tabib terkenal dari ibu kota namun tak kunjung sembuh, sampai ada yang bilang putrinya mungkin kehilangan roh sehingga tak bisa bangun. 　　Dengan demikian, para pendeta dan dukun pun mulai bermunculan, termasuk Nyai Liu yang baru saja datang ke Kota Bai Lu. 　　Saat itu Nyai Liu belum disebut Nyai Liu, melainkan menyebut diri sendiri sebagai Nenek Liu. 　　Menurut penuturannya kepada orang luar, suaminya telah lama meninggal, hanya menyisakan seorang putra dan putri. Kemudian putranya juga meninggal, sehingga ia membawa putrinya mengais rezeki dengan mengusir roh jahat dan memulangkan arwah orang. 　　Nyai Liu memberitahu Tuan Yan bahwa putrinya kehilangan arwah saat bersantai di alam, perlu ditemani gadis perawan yang masih memiliki aura murni di malam hari untuk membantu mencari kembali arwahnya dalam mimpi. 　　Dan putrinya sendirilah gadis perawan yang masih memiliki aura murni itu. 　　Saat itu Tuan Yan sudah sangat putus asa sehingga langsung menyetujui tanpa ragu. 　　Demikianlah, putri Nyai Liu menemani Nona Yan selama tujuh hari tujuh malam, dan ajaibnya kondisi Nona Yan benar-benar membaik. 　　Tuan Yan sangat gembira dan memberi hadiah berlimpah pada Nyai Liu. Reputasi Nyai Liu pun melejit di Kota Bai Lu, membuat orang-orang berduyun-duyun datang meminta pengobatan untuk penyakit aneh. 　　Setelah Nona Yan sembuh, Tuan Yan mulai menjodohkan putrinya. Tak disangka sesuatu yang mengejutkan terjadi. 　　Nona Yan mati-matian menolak dijodohkan. Saat dipaksa, barulah dia mengaku sudah berjanji dengan seorang pria bernama Qian Lang dalam mimpinya, bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun selain Qian Lang. 　　“Tuan Yan saat itu sangat ketakutan, mengira roh putrinya yang hilang diikuti oleh hantu-hantu pengembara, lalu segera memanggil Nyonya Peramal Liu kembali. 　　Nyonya Peramal Liu menghitung dengan jari-jarinya, lalu tersenyum dan berkata bahwa Qian Lang dalam mimpi Nona Yan bukanlah hantu pengembara, melainkan benar-benar ada orangnya. Nona Yan dan pria ini adalah jodoh yang ditakdirkan oleh surga. Jika mereka tidak menikah, Nona Yan akan menghadapi lebih banyak cobaan aneh. 　　Saat itu Nona Yan menyebutkan tempat tinggal Qian Lang. Tuan Yan segera mengirim orang untuk mencari, dan benar menemukan orang tersebut. 　　Hanya saja Qian Lang adalah pemuda yatim piatu yang mengungsi ke kerabat jauh, tidak memiliki harta warisan maupun keahlian khusus. Tuan Yan sama sekali tidak tertarik, reaksi pertamanya adalah menolak tegas. 　　Nona Yan merengek dan meronta selama lebih dari sebulan. Kemudian kejadian aneh terjadi lagi; Nona Yan ternyata hamil! 　　Kali ini Tuan Yan benar-benar tak punya cara lagi. Setelah memastikan Qian Lang bersedia menikahi putrinya, ia segera menggelar pernikahan untuk mereka berdua. 　　"Peramal--" suara gadis kecil di luar pintu mulai mengetuk. 　　"Tidak apa!" Nyonya Peramal Liu tersentak, matanya menatap tajam gadis yang duduk di dekat jendela. 　　Gadis itu duduk tegak, cahaya matahari yang masuk melalui kisi-kisi jendela berukir menyinari tubuhnya, membentuk lukisan yang lembut dan tenang. 　　Namun ketenangan ini justru membuat bulu kuduk Nyonya Peramal Liu merinding. 　　"Perkara keluarga Yuanwai Yan sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu, dan letaknya jauh di pinggiran ibu kota. Dengan status dan usia gadis muda di hadapanku ini, sebenarnya mustahil baginya mengetahui rahasia itu." 　　Dewi Liu mengusap rambutnya, berusaha tenang: "Yuanwai Yan atau Wang? Aku sudah melayani banyak keluarga selama bertahun-tahun, tidak ingat lagi." 　　Jiang Si menatapnya beberapa saat, tiba-tiba tersenyum: "Jangan bercanda, Dewi. Keluarga lain mungkin bisa kau lupakan, tapi bagaimana mungkin melupakan keluarga besanmu sendiri?" 　　Pupil mata Dewi Liu menyempit tajam, pandangannya penuh kengerian menatap Jiang Si. 　　A Man yang menjaga pintu terlihat penasaran. 　　"A Man, tunggu di luar. Biarkan gadis kecil di pintu merasa tenang." 　　Meski penuh rasa ingin tahu, A Man menurut dan mundur, meninggalkan hanya Jiang Si dan Dewi Liu di dalam ruangan. 　　Dewi Liu menatap kosong ke arah Jiang Si dalam keheningan yang mencekam. 　　Senyum Jiang Si tetap tenang: "Tuan Qian itu... adalah putrimu, bukan?" 　　Dewi Liu mundur dua langkah hingga punggungnya menabrak pintu. 　　Pintu bergema berat. 　　Gadis cantik dihadapannya tersenyum manis: "Atau seharusnya kukatakan... putramu!" 　　Terima kasih untuk hadiah dan rekomendasinya. Beberapa hari lagi karya ini akan dirilis resmi. 40.Bab 40 Keburukan Hati Manusia 　　Bab 40 Keburukan Hati Manusia 　　Seluruh tubuh Dewi Liu bergetar. 　　Ucapan gadis itu bagai tangan tak kasat mata yang tanpa ampun merobek rahasia terdalamnya, membuatnya berdarah-darah dan hampir tak bisa berdiri. 　　Saat itu, Liu Xiangu yakin gadis di hadapannya telah mengetahui rahasia gelapnya. Yang lebih membuatnya panik adalah bagaimana seorang gadis kecil bisa mengetahui hal ini! 　　Suara gadis itu terdengar santai namun jelas di telinga Liu Xiangu: "Memang benar suamimu telah lama meninggal, tapi yang mati kemudian bukan anak laki-lakimu, melainkan anak perempuan. Saat itu kamu sudah punya akses ke rumah-rumah mewah orang kaya, lalu melihat peluang untuk mengubah nasib kemiskinanmu dengan cara menukar identitas anak laki-laki dan perempuan!" 　　Jiang Si menatap Liu Xiangu tanpa berkedip, menangkap setiap detil kepanikan dan keterkejutan di wajahnya. 　　Tiba-tiba perutnya mual. 　　Seberapa jahatnya hati manusia, dia sudah mengalami sendiri di kehidupan sebelumnya. Tapi tetap saja dingin menyelinap di hatinya. 　　Perempuan ini, demi memastikan masa depan anak laki-lakinya, berani menukar identitas anaknya agar si anak bisa memperdaya gadis-gadis borjuis yang terkurung di rumah mewah. 　　Kejahatan dan keserakahan hatinya pantas dihancurkan oleh langit dan bumi. 　　Setelah sekian tahun menipu, Liu Xiangu yang awalnya panik mulai tenang kembali mendengar suara lembut gadis itu: "Cerita nona sungguh menarik, aku ingin mendengar kelanjutannya." 　　Jiang Si menatap Nyonya Peramal Liu dengan senyum samar: "Tidak usah buru-buru, aku akan lanjutkan ceritanya. Setelah putrimu meninggal, kau umumkan yang meninggal adalah putramu, lalu membawa anak lelakimu yang menyamar sebagai perempuan meninggalkan kampung halaman. Sejak itu, semua orang yang berurusan denganmu hanya tahu kalian berdua ibu dan anak perempuan hidup sebatang kara. Penyakit tidur tak wajar putri Tuan Yan adalah ulahmu, tujuannya agar Tuan Yan dengan rela membiarkan serigala masuk ke rumah, memudahkan anak lelakimu memperkosa gadis itu. Yang mengejutkan, dalam tujuh malam anakmu tidur bersama Nona Yan, gadis itu bukan hanya jatuh cinta pada kekasih dalam mimpinya, tapi juga hamil..." 　　Mendengar ini, sudut bibir Nyonya Peramal Liu tak terkecat lagi melengkung ke atas. 　　Benar, bahkan dirinya tak menyangka keberuntungan mereka begitu besar, Nona Yan bisa hamil hanya dalam tujuh malam. 　　Saat itu ia merasa ini pertolongan langit, dan memang semuanya berjalan mulus setelahnya. 　　Kesombongan Nyonya Peramal Liu membuat hati Jiang Si mendidih. 　　Perempuan ini, sampai detik ini masih sama sekali tak menyesal, hanya berbangga diri atas keberhasilan rencana kotornya. 　　Ia tak meragukan sedikitpun, di masa depan asal ada celah sekecil apapun, perempuan ini akan melakukan hal yang lebih biadab. 　　Memikirkan ini, Jiang Si tersenyum getir pada dirinya sendiri. 　　Untuk apa menunggu masa depan? Perempuan ini sebentar lagi akan menghancurkan kakak keduanya. 　　“Xian Gu benar-benar beruntung. Dengan begini, mana mungkin Tuan Yan masih meremehkan menantu laki-lakinya yang yatim piatu dan miskin yang tinggal di rumah kerabat jauh. Dia pasti buru-buru menikahkan mereka untuk menutupi aib putrinya yang hamil sebelum nikah. Bahkan mungkin dalam waktu lama, Tuan Yan merasa bersalah pada menantu miskin yang mau jadi ayah 'gratisan' ini.” 　　Liu Xian Gu mendengar ini malah tertawa: "Cerita Nona memang menarik, tapi terlalu aneh." 　　Ia harus mengakui, ucapan gadis muda di hadapannya ini persis sesuai fakta. 　　Memang ada masa dimana Tuan Yan selalu bersikap hati-hati terhadap putranya, khawatir putranya tahu keanehan putrinya dan memicu skandal. Sampai— 　　Jiang Si tak menghiraukan reaksi Liu Xian Gu, memainkan cangkir teh sehalus giok sambil tersenyum: "Tapi Tuan Yan kan bukan orang bodoh. Pasti akhirnya dia sadar, bukan?" 　　"Apa bedanya sadar atau tidak?" Liu Xian Gu juga kehilangan kesabaran, bertanya dengan suara dingin. 　　Jiang Si menatapnya dengan sorot mata dingin: "Xian Gu, kalau sampai sekarang masih tidak mau mengakui, itu jadi tidak berkelas." 　　Liu Xian Gu tertawa, nadanya mulai mengancam: "Buktinya mana? Sudah bicara banyak, Nona punya bukti apa?" 　　Jiang Si menaruh cangkir teh di meja dengan suara berdetak halus. 　　"Dia bersandar malas di sandaran kursi, mata yang sedikit menyipit tampak transparan seperti kaca di bawah sinar matahari, sementara orang yang dia tatap terlihat seperti badut yang konyol." 　　Liu Xiangu tak bisa menahan tawanya. 　　"Daun gugur kembali ke akar, manusia mati masuk ke tanah. Setelah putri Anda meninggal, dia dimakamkan di pemakaman leluhur dengan status putra. Jadi, jika kita membuka peti mati untuk pemeriksaan, jenis kelaminnya akan langsung jelas." 　　"Perkataan Nona ini sungguh menggelikan. Orang yang sudah dimakamkan haruslah dibiarkan tenang. Masak hanya karena omongan orang luar, kita bisa setuju menggali kuburan sendiri?" 　　Liu Xiangu yakin dengan hal ini, justru merasa lebih percaya diri dan tak ingin bertele-tele lagi dengan gadis di depannya: "Mengenai Yuanwai Yan, biar dia sadar kebenarannya, apa dia mau menyebarkan aib keluarganya? Nona masih muda mungkin belum paham, dalam hal seperti ini yang bersangkutan justru akan berusaha menutupi." 　　Setelah berkata demikian, dia tersenyum memandang Jiang Si, menanti reaksi panik lawannya. 　　Jiang Si tersenyum manis: "Kalau begitu, Ibu Suci masih mengakui?" 　　Liu Xiangu menutup matanya rapat-rapat, tak lagi merespons. 　　"Ibu Suci yang biasa berurusan dengan roh-roh, masak tidak tahu bahwa perempuan belum menikah tak boleh dimakamkan di pemakaman leluhur? Oh, menurut kalian ini bisa merusak fengshui. Jika saya mengundang pendeta keliling untuk mengatakan pada Keluarga Qian bahwa kemakmuran mereka terhambat karena ada ketidaksesuaian yin-yang di makam leluhur - tepatnya di makam anggota muda - kira-kira apakah mereka akan membongkarnya?" 　　“Ibu Xian Gu tiba-tiba membuka matanya, pandangan penuh kemarahan tertuju pada Jiang Si.” 　　“Tentu saja dia tak bisa menerima orang lain menggali tulang putrinya dan memamerkan pada umumnya!” 　　“Apalagi jika keluarga Qian mengetahui dia menguburkan putrinya di makam leluhur, suaminya pun mungkin akan digali dan diusir dari makam leluhur.” 　　“Perkataan Ibu Xian Gu benar, meski Tuan Yan mengetahui kebenaran, saat itu dia hanya bisa menelan ludah. Tapi Ibu lupa, desas-desus itu berbahaya. Penduduk kota kecil yang hidup membosankan pasti sangat antusias dengan gosip semacam ini. Saya tak perlu mengirim pendeta pengembara, cukup bayar beberapa penganggur untuk menyebarkan desas-desus. Tetangga-tetangga itu tak butuh bukti. Tatapan penasaran mereka saja sudah cukup membuat keluarga Tuan Yan termasuk putramu tak berani keluar rumah.” 　　“Kau... kau...” Ibu Xian Gu gemetar hebat, wajahnya pucat pasi. 　　“Apakah ini benar-benar hanya gadis remaja belasan tahun?” 　　“Biar Nona tahu, Nona Yan sekarang memiliki dua putra satu putri, rumah tangganya harmonis. Nona sedang mendorong keluarga Nona Yan ke jurang, tidak takut karma?” 　　Jiang Si menyeringai dingin: “Menegakkan keadilan Surgawi, jika benar ada karma, pasti bukan saya yang pertama kena!” 　　Dunia ini memang menggelikan. Korban dan pelaku kejahatan malah jadi satu keluarga, nanah luka tersembunyi di balik jubah mewah. 　　“Xian Gu，，，！”，“Xian Gu？” 　　Nyonya Peramal Liu，。 　　，，。 　　Terima kasih atas hadiah dan rekomendasi, tiga hari lagi akan rilis resmi. 41. Bab 41 Reputasi Bakti 　　Bab 41 Reputasi Bakti 　　Keuntungan dan risiko selalu berdampingan, ketika risiko jauh melebihi keuntungan yang didapat, maka menyerah menjadi pilihan wajib. 　　“Nanti saya akan mengembalikan uang yang diterima, tidak ikut campur urusan keluarga bangsawan ini.” Nyonya Peramal Liu menahan amarahnya dan berjanji pada gadis di hadapannya. 　　Nona kecil ini kalau bukan keturunan bangsawan, pasti bisa merebut mata pencahariannya, dia tidak berani melawan. 　　Jiang Si menggelengkan kepala. 　　Kalau hanya seperti ini, untuk apa dia menghabiskan banyak waktu berdebat dengan orang ini. 　　“Maksud nona adalah——” 　　Gadis bermuka elok tersenyum cerah pada Nyonya Peramal Liu: “Xian Gu，。” 　　Nyonya Peramal Liu tertegun sebentar, buru-buru mengeluarkan lembaran uang kertas yang dilipat rapi dari bajunya dan menyerahkannya. 　　Jiang Si：“Xian Gu mungkin tidak mengenal saya, barang yang saya berikan tidak pernah saya tarik kembali.” 　　Tangan Nyonya Peramal Liu menggenggam uang kertas itu semakin erat. 　　“Tentu saja, uang ini adalah tabungan dari uang bulananku sedikit demi sedikit. Kalau diberikan tapi tidak ada hasilnya, pasti aku sakit hati.” Gadis itu menghela napas. 　　Perkataan Jiang Si ini memang benar. Mas kawin ibunya masih dipegang nenek, gaji tahunan ayahnya masuk ke kas umum. Tabungannya memang sebagian besar berasal dari uang bulanan. 　　Lima puluh tael ini diambilnya tanpa ragu, membuat dua dayang patah hati. 　　“Apa yang ingin Nona lakukan?” Liu Xiangu tiba-tiba merasa firasat buruk. 　　“Sederhana saja. Uang dari bibik tak perlu dikembalikan, Tante tetap datang melakukan ritual ke Istana Bako seperti biasa.” Jiang Si menegakkan postur tubuhnya, “Hanya saja, nama buruk yang seharusnya ditanggung kakak keduaku, aku ingin orang lain yang menanggungnya!” 　　“Ini tidak mungkin!” Liu Xiangu langsung menolak, “Ini akan merusak reputasiku!” 　　Jiang Si bahkan tidak mengangkat kelopak matanya, mengingatkan dengan dingin: “Menggali kuburan, menyebar gosip!” 　　Bibir Liu Xiangu bergetar. 　　Ancaman, ini jelas-jelas ancaman telanjang! 　　Jiang Si melirik Liu Xiangu dengan tatapan dingin, mengambil teko teh untuk mengisi ulang, lalu menyeruputnya perlahan. 　　Aroma teh menyegarkan hati. 　　Ia justru menyukai ekspresi lawan yang terancam tapi tak berdaya. 　　“Mengapa Tante begitu bimbang? Apakah di mata bibik, Tante hanya dianggap dukun gadungan?” 　　"Apakah itu provokasi atau bukan, kata-kata Jiang Si tetap membuat Ibu Peramal Liu naik pitam: 'Tentu saja tidak! Sudah bertahun-tahun saya berkecimpung di bidang ini, bergantung pada kemampuan asli!'" 　　Jiang Si tersenyum tipis. 　　Perkataan ini ia percayai. 　　Seseorang yang bisa membodohi banyak nyonya terhormat, pasti punya beberapa keahlian. 　　"Nah, kalau Ibu di mata bibi kedua saya adalah dewa sakti yang mumpuni, apakah sedikit penyimpangan dalam ritual bisa membuatnya memakan Ibu?" 　　Menatap ekspresi gadis itu yang setengah mengejek, Ibu Peramal Liu langsung pusing. 　　Kenapa ia harus berurusan dengan iblis kecil ini! 　　"Bagaimanapun, saya yakin Ibu bisa keluar dengan selamat. Ibu juga harus percaya diri." Suara Jiang Si terdengar tulus. 　　Ibu Peramal Liu membuka mulut. 　　Apa lagi yang bisa dikatakannya? Hanya bisa mengandalkan diri sendiri! 　　Jiang Si mendorong cangkir tehnya, mengangkat cangkir di tangannya: "Mari kita bersulang dengan teh untuk merayakan kerjasama ini." 　　Setelah terdiam sejenak, Ibu Peramal Liu mengambil cangkirnya dan menyentuhkannya pelan ke cangkir gadis itu. 　　Kabar tentang gangguan mata Nyonya Tua Dongping Bo cepat menyebar di kalangan kenalan, berkat usaha Nyonya Xiao, istri putra kedua keluarga itu. 　　Dalam beberapa hari, Nyonya Xiao telah memanggil banyak tabib terkenal untuk Nyonya Feng, bahkan sampai memanggil dua tiga tabib dari Kantor Tabib Kekaisaran. 　　Kegaduhan seperti ini tentu terdengar oleh keluarga-keluarga yang dekat dengan Keluarga Bupati. 　　“Sekarang, setiap kali Keluarga Dongping Bo disebut, orang-orang pasti memuji kebaktian menantu kedua Nyonya Tua Dongping Bo.” 　　Pagi itu, Jiang Shi yang telah berpakaian rapi berangkat ke Cixintang untuk memberi salam pada Nyonya Feng. Baru saja keluar dari Haidiangju, dia bertemu Jiang Ancheng. 　　“Ayah hari ini tidak pergi keluar?” Jiang Shi memberikan salam dengan anggun. 　　“Baru kembali dari nenekmu. Sebentar lagi ayah akan pergi.” Jiang Ancheng menjawab sambil mengamati putrinya. 　　Hari itu Jiang Shi mengenakan blus pendek bermotif bunga berwarna merah muda di atas dasar putih, dengan rok panjang merah menyala. Penampilannya bagaikan pohon haitang yang mekar penuh, memancarkan kecantikan yang memesona. 　　Jiang Ancheng menghela napas lega, memuji: “Hari ini Shier terlihat bersemangat.” 　　Sudut mulut Jiang Shi berkedut halus. 　　Apakah Ayah benar-benar tidak bisa memuji penampilan putrinya? Mengapa tidak sekadar bilang "cantik"? 　　Merasa ucapan tadi kikuk, Jiang Ancheng menambahkan: “Nenekmu hari ini sedang tidak mood. Pakaian cerah akan terlihat lebih meriah.” 　　Sabuk polos yang dia kenakan hari ini sudah membuat ibunya marah besar. Dia tidak ingin putrinya mendapat omelan yang sama. 　　“Terima kasih atas sarannya, Ayah.” Senyum manis merekah di bibir Jiang Shi. 　　Jiang Ancheng menggaruk hidungnya yang gatal karena malu, berpura-pura santai: “Cepatlah ke Cixintang. Ayah mau berangkat dulu.” 　　Tatapan Jiang Shi mengikuti punggung tegak yang menjauh tergesa, aliran hangat mengalir di hatinya. 　　"Ayah, seorang lelaki dewasa datang ke sini, hanya karena takut pakaiannya tidak pantas sampai membentur senapan nenek..." 　　Jiang Si menengadahkan kepala, tepat melihat matahari pagi yang bersembunyi di balik awan muncul kembali, menyinari langit sekitarnya menjadi jingga kemerahan yang penuh semangat, persis seperti perasaannya saat ini. 　　"Kakak Keempat sedang melihat apa?" Suara bernada aneh terdengar. 　　Jiang Si menoleh ke arah suara. 　　Di jalan batu hijau, dua gadis berjalan berurutan. Di depan adalah Putri Keenam Jiang Pei, di belakangnya Putri Kelima Jiang Li. 　　Meski sama-sama anak selir, ibu kandung Jiang Pei adalah dayang pendamping Nyonya Xiao (istri kedua), sedangkan ibu Jiang Li adalah selir Tuan Jiang Kedua di masa muda. Maka Jiang Pei lebih dihargai ibu suri dibanding Jiang Li. 　　Yang berbicara tadi adalah Putri Keenam Jiang Pei. 　　Hanya sekejap, Jiang Pei dan Jiang Li sudah berada di depan Jiang Si. 　　Jiang Pei mengamat-amati Jiang Si dari ujung kepala ke kaki, tersenyum: "Kakak Keempat hari ini bajunya sangat mencolok." 　　"Muda dan cantik, wajar memakai warna cerah." Jawab Jiang Si datar. 　　Setelah gelar bangsawan jatuh ke keluarga kedua, Jiang Pei yang pandai menjilat Nyonya Xiao mendapat jodoh baik. Kemewahan mereka dibangun di atas penderitaan keluarga utama. Jiang Si tak mungkin ramah pada mereka. 　　Mendengar itu, wajah Jiang Pei memerah karena marah. 　　“Dia dua tahun lebih muda dari Jiang Si. Karena nenek matanya sakit seharusnya tidak pakai baju mencolok, hari ini sengaja pakai gaun polos untuk memberi salam. Apa perkataan Jiang Si ini jelas-jelas menyindir aku jelek?” 　　“Nenek sedang sakit, Kakak Keempat masih sempat berdandan, di mana letak bakti Kakak?” 　　“Bakti saya tidak perlu diurusi Adik Keenam. Tapi cara Adik bicara pada kakak, di mana sopan santunmu?” 　　“Kau—!” Jiang Pei tercekat hampir menjatuhkan kotak makanan di tangannya. 　　Jiang Si berbalik pergi. 　　Jiang Pei berbisik mencibir: “Sekarang tahu sopan santun, kenapa waktu itu berani bertengkar dengan Ibu?” 　　Jiang Li menarik ujung baju Jiang Pei: “Adik Keenam, jangan banyak bicara.” 　　“Jangan ikut campur!” Jiang Pei melirik sinis ke Jiang Li lalu bergegas ke Ruang Cixin. 　　Aroma obat menyengat memenuhi Ruang Cixin. Ah Fu melapor: “Nyonya Tua, Nona Keempat, Nona Kelima dan Nona Keenam datang.” 　　“Suruh masuk.” 　　Ketiga bersaudari masuk berurutan. 　　Nyonya Feng yang mata kirinya sudah buta membuka lebar mata kanannya, langsung menatap Jiang Pei yang berbalut gaun polos. 　　“Keluar!” Teriak Nyonya Feng dengan mata yang masih berfungsi seakan tertusuk jarum. 　　Jiang Pei melirik puas ke Jiang Si. 　　Sudah tahu Jiang Si pakai baju warna-warni pasti akan kena marah! 　　Terima kasih kepada Tianyu Tianyue yang menjadi pendukung pertama Sijin, akan ada bab tambahan sebagai ucapan terima kasih setelah terbit. Terima kasih atas hadiah dan rekomendasi dari teman-teman pembaca. 42. Muncul di Bab 42 　　Muncul di Bab 42 　　Kebutaan mendadak pada mata membuat Nyonya Feng semakin hari semakin pemarah, terutama setelah pemeriksaan tabib istana tidak membuahkan hasil, kendali diri Nyonya Feng mulai tak mampu menahan amukannya. 　　Membuat seorang yang haus kontrol tiba-tiba kehilangan satu mata, kepanikan akan masa depan yang gelap gulita tak terucapkan. Ia harus melakukan sesuatu untuk membuktikan otoritasnya yang tak tergoyahkan. 　　Menghadapi serangan mendadak Nyonya Feng, Jiang Si tetap tenang dan terkendali. 　　Dengan peringatan ayah hari ini dan pembuktian berulang di kehidupan sebelumnya, ia yakin pemahamannya akan pikiran nenek lebih baik daripada orang lain, setidaknya lebih baik daripada adik keenamnya Jiang Pei. 　　Tatapan Jiang Si yang penuh makna membuat Jiang Pei tak nyaman. Dengan suara direndahkan dan wajah penuh iba: "Kakak keempat, nenek tidak enak badan, lebih baik kakak segera keluar sesuai permintaannya." 　　Jiang Si menyunggingkan senyum samar sambil membungkuk elegan: "Cucu mohon pamit, nenek." 　　Setelah berkata demikian, ia berjalan mundur ke pintu tanpa melirik. Sudut bibir Jiang Pei sudah tak bisa menahan senyum kecut. 　　"Cucu keenam, apakah tuli?" suara tak sabar Nyonya Feng bergema. 　　“Cekikikan.” Jiang Qiao, putri ketiga yang datang bersama Nyonya Guo untuk menyampaikan salam, tiba lebih awal dari Jiang Si dan yang lain. Saat ini dia berdiri di belakang Nyonya Guo, tak bisa menahan tawanya mendengar perkataan itu. 　　Tatapan dingin Nyonya Feng Lao menyapu ke arahnya. Jiang Qiao langsung menunduk patuh, tak berani lagi bernapas keras. 　　Jiang Pei membeku sepenuhnya. 　　Apa yang baru saja dikatakan nenek? Apakah pendengarannya salah? 　　Melihat Jiang Pei tak bereaksi, Jiang Li baik hati menarik lengannya: "Adik keenam, nenek sedang membicarakanmu." 　　Mata Jiang Pei berkedip-kedip. Wajahnya yang cantik memucat seketika, lalu tiba-tiba memerah membara bagai bara yang disiram minyak. 　　Bagi Jiang Pei yang biasa menjilat para sesepuh, hardikan publik dari Nyonya Feng Lao hari ini membuatnya ingin menghilang. 　　Yang lebih menyebalkan, dia bahkan tak tahu penyebabnya! 　　"Cucu mohon pamit." Jiang Pei buru-buru memberi hormat kepada Nyonya Feng Lao sebelum kabur sambil menutupi wajahnya. 　　Jiang Si hanya merasakan angin puyuh melintas di sampingnya. Dalam sekejap bayangan Jiang Pei sudah lenyap. 　　Dia hanya tersenyum, lalu berjalan keluar dengan tenang. 　　Di depan, beberapa orang mendekat. Yang paling depan adalah Nyonya Xiao dan Jiang Qian. Nyonya Xiao sedang berbicara sesuatu kepada orang di sebelahnya sambil berjalan. 　　Sorot mata Jiang Si mulai dipenuhi senyuman. 　　Orang yang dibawa langsung oleh Nyonya Xiao dan putrinya itu tak lain adalah Nenek Peramal Liu. 　　Tentu saja Jiang Si ingin tertawa. 　　"Apa yang lebih menarik dari pertunjukan ini? Aku yakin ketika tirai turun, Istri Kedua dan sepupu kedua akan mengingatnya seumur hidup." 　　"Adik keempat datang memberi salam kepada nenek." Kedua pihak semakin mendekat, Jiang Qian yang pertama membuka pembicaraan. 　　Nyonya Xiao melirik Jiang Qian dengan ekspresi terkejut. 　　Bagaimana mungkin Qian yang tahu betul tentang ketidakhormatan Jiang Si terhadapnya, bahkan Qian sendiri sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari gadis brengsek ini, tapi sekarang masih bisa bersikap begitu sopan? 　　Seolah tidak memperhatikan pandangan Nyonya Xiao, senyum lembut tetap mengembang di bibir Jiang Qian. 　　Jiang Si sedikit menekuk lutut memberi salam, lalu menatap Jiang Qian dengan tatapan bermakna: "Kakak kedua akhir-akhir ini sering pulang. Bukankah nenek bilang kakak harus fokus melayani mertua di Marquis Manor?" 　　Tanpa sadar Jiang Qian menggigit bibirnya, tangan dalam lengan baju terkepal erat. 　　Mana mungkin dia tidak mendengar sindiran dalam perkataan Jiang Si. Sampai sekarang dia masih tidak tahu kenapa Jiang Si tiba-tiba berubah, setiap bertemu selalu penuh duri. Kalau bukan karena belum saatnya berkonfrontasi, dengan statusnya sebagai istri putra Marquis Changxing, untuk apa harus bersikap manis pada sepupu yang pernah putus tunangan ini? 　　"Perkataan nenek itu demi kebaikanku, tapi sebagai cucu kita tidak boleh egois. Penyakit mata nenek tak kunjung membaik, hatiku selalu gelisah. Mendengar ibu berhasil mengundang dewi immortal, aku tak tahan untuk datang." Jiang Qian menjelaskan dengan suara lembut. 　　"Bagaimana mungkin dia melewatkan pertunjukan yang bagus? Dia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri orang-orang dari keluarga utama celaka untuk meluapkan amarah yang terpendam sejak dari Jiang Si ini." 　　Di satu sisi ada Jiang Qian yang lembut dan sopan, di sisi lain Jiang Si yang tak bisa menyembunyikan aura tajamnya. Pelayan dan ibu-ibu pengasuh di belakang Nyonya Xiao tak bisa menahan diri untuk membela Jiang Qian. 　　Tapi tak seorang pun berani menunjukkan pikiran seperti itu saat ini. Mereka masih segar ingatan akan akibat mengganggu Si Nona Keempat. 　　"Bibi kedua, apakah ini yang disebut Sianhu?" Jiang Si menatap Liu Sianhu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. 　　Sudut mulut Liu Sianhu berkedut. 　　Gadis kecil ini pasti siluman! 　　"Hm." Nyonya Xiao menjawab dingin, lalu menoleh dan berkata sopan kepada Liu Sianhu, "Silakan masuk, Sianhu. Ibu mertua kami sudah menunggu lama." 　　Liu Sianhu mengangguk halus, melangkah masuk dengan tenang, bayangannya meninggalkan kesan seperti pertapa suci. 　　Jiang Si berbalik dan berhenti sejenak. Tak lama kemudian, Nyonya Guo sang istri ketiga muncul membawa Jiang Qiao, diikuti Jiang Qian dan Jiang Li. 　　Jelas bahwa Nyonya Feng telah mengusir semua orang keluar, hanya menyisakan Nyonya Xiao dan Liu Sianhu untuk berdiskusi. 　　Halaman Cixin Hall luas. Dengan diam-diam semua orang berdiri di pelataran, bahkan Jiang Pei si Nona Keenam yang baru saja kabur karena malu pun diam-diam kembali. 　　Rasa ingin tahu mereka tak bisa disembunyikan - mampukah Sianhu yang diundang Nyonya Kedua menyembuhkan penyakit mata Nyonya Tua? 　　“Jiang Si secara alami tetap tinggal.” 　　Setelah sekitar dua jam, A Fu keluar dari Ruang Cixin, menyuruh seorang dayang kecil menyampaikan pesan ke halaman depan. Jiang Qian memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan situasi. 　　A Fu menjelaskan, "Nyonya Tua memerintahkan untuk memanggil kembali tiga Tuan Muda dan para pangeran. Ritual sang Xian Gu memerlukan kehadiran semua anggota keluarga utama." 　　Mendengar ini, Jiang Qian tak sengaja melirik Jiang Si, sorot mata berbinar menyiratkan senyuman. 　　Ini bagus sekali! Di hadapan semua orang, api akan menjilat Jiang Zhanshen. Keluarga besar takkan bisa angkat kepala dalam waktu lama, dan ganjalan di hati Nenek terhadapnya pun terurai. 　　Adapun Jiang Zhan, meski cucu tertua keluarga utama, tapi tak punya prestasi. Kehilangan kasih sayang nenek, mana bisa menyaingi prospek gemilang kakaknya? 　　Saat itu, Tuan Kedua Jiang sedang di kantor. Jiang Ancheng dan Tuan Ketiga Jiang pergi mengurus aset keluarga. Jiang Zhan dan cucu-cucu lain belajar di sekolah berbeda. Satu per satu mereka kembali. 　　Ketika Jiang Ancheng dan Tuan Ketiga Jiang tiba di Ruang Cixin, altar dupa sudah disiapkan di halaman, lengkap dengan perapian dan teh persembahan. 　　"Ini untuk apa?" Jiang Ancheng langsung pusing melihat pemandangan ini. 　　"Ritual." Nyonya Feng melirik anak sulungnya. "Xian Gu bilang, kebutaan mata kiriku bukan penyakit, tapi akibat roh jahat. Hanya dengan mengusirnya, penglihatanku pulih." 　　"Ibu, kenapa percaya omong kosong ini——" 　　“Nyonya Tua Feng wajahnya berubah masam: "Kalau tidak, kau bisa undang tabib untuk menyembuhkan mataku?"" 　　Terhadap dukun perempuan yang diundang menantu keduanya, Nyonya Feng awalnya setengah percaya. Namun beberapa kalimat sang dukun ternyata sesuai persis dengan mimpi yang dialaminya, membuatnya tak bisa tidak percaya. 　　Dari lubuk hati, Nyonya Feng juga ingin percaya, karena hanya dengan begitu matanya punya harapan sembuh. 　　Jiang Ancheng tertegun oleh pertanyaan itu, lama kelamaan mengeluarkan kalimat: "Ibu senang saja sudah cukup." 　　Cepat suruh dukun ini beraksi, biar pertunjukan konyol ini cepat selesai. 　　Tiba-tiba Peramal Liu bersuara: "Nyonya Tua, apakah semua tuan rumah sudah berkumpul?" 　　Nyonya Feng menatap Ah Fu. 　　Ah Fu segera menjawab: "Putra kedua belum datang." 　　"Dia dimana?" 　　"Kakak kedua kabur lagi dari kelas, kurir yang dikirim tidak menemukannya," Putra ketiga Jiang Yuan menyela. 　　Peramal Liu dengan wajah serius: "Jika terlewat waktu baik hari ini, ritual berikutnya harus menunggu tujuh hari lagi." 　　"Dasar anak durhaka!" 　　Nyonya Feng mengumpat geram, ketika "si durhaka" itu berlari masuk. 　　"Loh, hari ini bukan hari persembahyangan leluhur kan? Tempatnya juga salah." Jiang Zhan bingung melihat meja dupa di tengah halaman. 　　Semua orang: "......" 　　Terima kasih untuk hadiah dan rekomendasi, besok buku ini akan dirilis resmi dan akan ada update tambahan, mohon dukungannya. 43.Bab 43 Beberapa Kata Sebelum Peluncuran Resmi 　　Bab 43 Beberapa Kata Sebelum Peluncuran Resmi 　　Besok buku baru akan dirilis. Sejujurnya, tidak peduli berapa buku yang pernah ditulis atau prestasi apa yang diraih, setiap karya baru bagi Liu Ye adalah seperti memulai perjalanan baru. Dari bab pertama yang dirilis hingga jumlah langganan pertama di hari rilis, rasa gelisah dan cemas selalu menyertai. 　　Besok adalah momen penentuan hasil. Di sini, Liu Ye memohon kepada semua pembaca yang menyukai karyanya: meski "Seperti Kembang" akan berbayar dan mungkin banyak yang beralih ke cara lain, atau menunggu hingga bab lebih banyak, harap berlangganan bab pertama. Langganan pertama menentukan potensi buku ini, yang berpengaruh pada rekomendasi berikutnya. Ini sangat penting bagi Liu Ye. 　　Buku baru hanya punya satu kesempatan masuk chart bulanan buku baru. Liu Ye ingin meraih peringkat baik di chart ini, dan sekali lagi memohon dukungan kalian di bulan Maret. Saya tahu banyak buku bagus dan penulis favorit kalian. Suara bulanan ini berharga bagi kalian maupun penulis. Bagi saya, setiap suara bukan sekadar angka, tapi bukti dukungan dan kasih yang tulus. Semua ini akan saya jadikan motivasi untuk bekerja lebih keras. 　　Selain itu, ada aktivitas khusus untuk buku baru yang membutuhkan syarat jumlah suara bulanan, hadiah, dan daftar bacaan. Meski hadiah bersifat opsional, Liu Ye tetap memohon - jika berkenan memberi hadiah, harap lakukan selama periode aktivitas. Tentu ini bukan paksaan, sesuaikan dengan kemampuan saja. 　　Sekali lagi, terima kasih sepenuh hati. 　　PS: Pembaca yang ingin bergabung ke grup bisa menambahkan nomor grup: 182575915. Syarat masuk adalah berlangganan salah satu buku karya Liu Ye, atau nilai fans di "Si Jin" minimal 2000. 44. Bab 44 Lonceng Suara (Minta Langganan Pertama) 　　Bab 44 Lonceng Suara (Minta Langganan Pertama) 　　Perkataan Jiang Zhan membuat Nyonya Feng marah tujuh keliling, namun karena ada Xian Gu di tempat, ia menahan amarahnya sambil melotot tajam ke Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng mengusap hidungnya. 　　Bukan urusannya, dia tak kenal anak sialan itu. 　　"Xian Gu, silakan mulai." Nyonya Feng berkata dengan suara berat. 　　Xian Gu mengangguk, melirik klepsidra lalu mulai berjalan mengelilingi altar sambil memejamkan mata. 　　Semua orang menahan napas, hanya mendengar gumaman Xian Gu dan desau angin menerpa daun salam di sudut tembok. 　　Xian Gu terus berputar mengelilingi altar. 　　Jubah lebar yang dikenakannya hari ini berkibar-kibar saat berjalan, langkahnya yang tampak acak namun berirama membuat suasana menjadi khidmat. 　　Jiang Zhan menyentil lengan Jiang Si: "Dukun ini muter-muter bikin pusing. Kakak keempat baik-baik saja?" 　　Karena para junior berkumpul bersama, tatapan Jiang Cang dan lainnya langsung mengarah ke mereka setelah Jiang Zhan bicara. 　　"Aku baik-baik saja." Jiang Si menyeringai, dadanya mendadak ingin memukuli kakaknya itu. 　　“Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul bunyi lonceng yang nyaring, menarik perhatian semua orang.” 　　Jiang Si mengambil kesempatan menginjak kaki Jiang Zhan sambil memarahi, “Kakak kedua, tidak bisakah kau diam?” 　　“Diam-diam saja tidak boleh?” gumam Jiang Zhan. 　　“Karena pemuda tampan yang pendiam lebih disukai.” 　　“Ahem.” Jiang Zhan menutupi mulutnya dengan kepalan sambil berkata berat, “Adik keempat tidak tahu, sebenarnya aku orang yang hemat kata.” 　　“Aduh——” Tiba-tiba teriakan panik terdengar. 　　Jiang Si tidak lagi menghiraukan Jiang Zhan, memandang ke arah Dewi Liu yang sedang melakukan ritual. 　　Asap putih dari dupa di altar tiba-tiba berubah menjadi hitam, mengikuti ritme lonceng yang kadang cepat kadang lambat. 　　Mengapa asap putih yang tadinya normal tiba-tiba berubah warna? 　　Lonceng di tangan Dewi Liu berdering semakin cepat, suaranya mencekam bersama asap hitam yang membuat semua orang tegang. 　　Tiba-tiba bunyi lonceng berhenti mendadak. 　　Jantung semua orang serasa berhenti berdetak dua kali. 　　“Lihat——” Jiang Qiao menunjuk ke depan dengan suara tercekat. 　　Asap hitam di atas altar perlahan membentuk aliran yang condong ke satu arah tertentu. 　　Arah yang ditunjuk asap itu tepat ke tempat Jiang Si dan rombongannya berdiri. 　　Bayangan kegelisahan menyelimuti hati para pemuda di tempat itu. 　　Mereka semua paham, asap hitam yang menunjuk ke arah mereka pasti pertanda buruk. 　　Jiang Si mengangguk pelan dalam hati. 　　Harus diakui, Nyonya Peramal Liu memang punya keahlian. 　　Nyonya Peramal Liu memutar-mutar lonceng sambil menatap Nyonya Feng. 　　Nyonya Feng memahami isyarat itu, lalu berkata dengan suara berat: “Tak ada orang asing di sini, Nyonya bisa bicara terus terang.” 　　Nyonya Peramal Liu menggigilkan bibirnya: "Ibu Suri, roh jahat yang berbuat jahat itu sedang merasuki salah satu dari mereka!" 　　Kecuali Jiang Si yang ekspresinya datar, yang lain terlihat kaget. Jiang Zhan bahkan tidak bisa menahan diri berteriak: "Jangan bicara sembarangan!" 　　Di antara semua cucu, Jiang Zhan memiliki sifat paling blak-blakan, karena itu Nyonya Feng tidak pernah menyukainya. 　　"Diam!" Nyonya Feng hampir-hampir ingin mengusir Jiang Zhan keluar. 　　"Diam ya diam, benar-benar konyol." Merasa Jiang Si menarik lengannya perlahan, Jiang Zhan bergumam pelan dan tidak lagi mencari masalah. 　　Tatapan tajam Nyonya Feng menyapu Jiang Si dan lainnya, berhenti lebih lama pada Jiang Qian. 　　Di saat sensitif seperti ini, wajah Jiang Qian langsung memerah, bahkan merasa tatapan orang-orang padanya sudah berubah. 　　Jangan panik! 　　Jiang Qian menarik napas dalam-dalam diam-diam. 　　Dengan mimpi itu sebelumnya, wajar jika nenek curiga padanya. 　　Jiang Qian menoleh sedikit ke arah Xiao Shi yang mengangguk pelan padanya. 　　Jiang Qian merasa lega, ekspresinya kembali tenang. 　　Nyonya Peramal Liu adalah orang yang diundang ibuku. Semua sudah diatur ibu, tinggal menunggu Nyonya Peramal Liu menunjuk Jiang Zhan maka urusanku selesai. 　　“Pandangan Jiang Qian berputar menatap Jiang Zhan, sikap meremehkan di wajahnya membuatnya dalam hati merasa lucu.” 　　Ia sudah tak sabar ingin melihat ekspresi Jiang Zhan ketika mengetahui dialah biang keladi sebenarnya. 　　Pasti akan sangat dramatis. 　　“Bisakah Xian Gu menunjukkan pada siapa roh jahat itu merasuki?” Nyonya Tua Feng bertanya dengan suara terkekang. 　　Siapapun orangnya, bahkan cucu kesayangannya Jiang Qian sekalipun, tak akan ia toleransi! 　　Liu Xian Gu berjalan perlahan mendekati Jiang Si dan yang lain, matanya menyapu wajah satu per satu. Setiap orang yang ditatapnya merasa tegang, terutama Nona Kelima Jiang Li yang penakut, tubuhnya gemetar tak terkendali bagai daun kering di ranting diterpa angin musim gugur. 　　“Untuk memastikan siapa yang dirasuki roh jahat, perlu memisahkan tuan-tuan dan nyonya-nyonya muda untuk verifikasi lewat ritual satu per satu.” Liu Xian Gu bersikap layaknya ahli supranatural. 　　“Lakukan ritualnya! Bagaimanapun juga roh jahat itu harus ditemukan dan diusir!” Perintah Nyonya Feng tak terbantahkan. 　　“Mohon maaf sebelumnya.” Liu Xian Gu memberi hormat pada Jiang Si dan yang lain. 　　Hormatnya kebetulan tertuju pada Jiang Si, namun tak ada yang menyadarinya saat itu. 　　Jiang Si mengamati Liu Xian Gu dengan rasa penasaran. 　　Saat itu aku hanya membuat perjanjian dengan Nyonya Peramal Liu. Tujuanku agar Jiang Qian celaka, soal prosesnya aku tidak paham ritual mistis jadi serahkan saja pada dukun profesional. 　　Bagaimana caranya Nyonya Peramal Liu akan menunjukkan Jiang Qian sekarang? 　　Saat Jiang Si sedang merenung, Nyonya Peramal Liu mengangkat gentanya. 　　Genta kuningan itu tampak usang dengan corak kuno di permukaannya yang memancarkan aura mistis. 　　Nyonya Peramal Liu menggoyangkan gentanya, suara nyaring langsung bergema. 　　Di halaman luas yang sunyi, hanya denting genta dan desau angin menggerakkan daun yang terdengar. 　　Nyonya Peramal Liu menarik kembali tangannya, memandang genta dengan penuh kasih: "Apakah Ibu Suri pernah dengar tentang genta yang hanya berbunyi untuk orang hidup? Bila bertemu arwah penasaran atau roh jahat, ia akan bisu." 　　Nyonya Feng mengangguk perlahan: "Memang ada cerita seperti itu dalam dongeng kuno." 　　Nyonya Peramal Liu tersenyum: "Genta ini bernama Genta Penenang Jiwa." 　　Begitu kata "Genta Penenang Jiwa" terucap, angin berhembus tiba-tiba membuat kulit semua orang merinding. 　　"Mari kita mulai." Nyonya Peramal Liu menunjuk Nona Kelima Jiang Li yang berdiri paling pinggir, "Dari nona ini dulu." 　　Wajah Jiang Li langsung pucat pasi. Di hadapan semua orang, ia tak berani berkata sepatah kata pun, melangkah gontai mendekati sang dukun. 　　Liu Xiangu mengangkat tangan, menggoyangkan lonceng di depan kening Jiang Li. Suara lonceng yang nyaring seketika berbunyi. 　　Jiang Li menarik napas lega, mundur dua langkah seperti kehabisan tenaga. 　　Liu Xiangu berjalan melewati Jiang Li, menuju orang berikutnya. 　　Bunyi lonceng sesekali terdengar, tak lama kemudian giliran Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan kesal: "Tolong cepatlah." 　　Lonceng digoyangkan. 　　Ding ling ling—— 　　Wajah Liu Xiangu tetap tenang saat melewati Jiang Zhan. 　　Jiang Qian tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, menatap Nyonya Xiao. 　　Nyonya Xiao menunjukkan ekspresi yang sama. 　　Ibu dan anak ini saling pandang sebentar, belum sempat berpikir lebih jauh, Liu Xiangu sudah berdiri di depan Jiang Qian dan menggoyangkan loncengnya. 　　Pada detik itu, seluruh dunia seakan membisu. Lonceng itu tidak berbunyi. 　　Bagian pertama. 45. Bab 45 Seperti Orang Bisu Menelan Kumis Kucing 　　Bab 45 Seperti Orang Bisu Menelan Kumis Kucing 　　Halaman sunyi senyap, semua pandangan tertuju pada Jiang Qian. 　　Nyonya Feng justru merasa lega di hatinya. 　　Ternyata benar! Ayam hutan dalam mimpi itu merujuk pada si anak kedua! 　　Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut depan Jiang Qian, memperlihatkan wajah pucatnya. 　　"Bagaimana bisa..." Jiang Qian bergumam, bingung menatap Nyonya Xiao. 　　Saat ini pikirannya kosong, indranya mati rasa, hanya bergema satu pertanyaan: Bukankah Nyonya Peramal Liu sudah disuap oleh ibunya? Mengapa justru dirinya yang menjadi orang kerasukan roh jahat? 　　"Apakah Nyonya Peramal keliru?" Nyonya Xiao maju selangkah dengan wajah pucat pasi, menekankan kata "keliru" dengan sengaja. 　　Nyonya Peramal Liu tetap tenang: "Nyonya bercanda. Manusia bisa salah, tapi Genta Penenang Jiwa tak mungkin keliru." 　　"Tapi ini seharusnya tidak—" Pandangan Nyonya Xiao tertuju pada genta di tangan peramal, keningnya berkerut, "Apakah gentanya rusak?" 　　Nyonya Peramal Liu tersenyum, melangkah santai ke depan dan mengayunkan gentanya di depan Putri Keenam Jiang Pei. 　　Bunyi gentang yang jernih kembali bergema. 　　Dia mundur, lalu mengayunkan genta lagi di depan Jiang Qian. 　　Genta itu bagai bisu, sama sekali tak bersuara. 　　Suasana kembali hening, di tengah keheningan terasa ganjilnya rasa malu dan takzim akan hal yang tak terduga. 　　"Tidak mungkin Qian'er, Nyonya Peramal—" Nyonya Xiao mengepal tangan hingga urat menonjol, "Nyonya Peramal" diucapkannya dengan tekanan berat. 　　Nyonya Peramal Liu membungkuk hormat: "Nyonya, takdir tak bisa dilawan. Ini bukan kuasa hamba." 　　Ini ucapan jujurnya. Andai bisa memilih, untuk apa dia membuat keributan ini. 　　"Sudah ketemu roh jahatnya, silakan mulai ritual pengusiran." Nenek Feng mendesak. 　　"Nenek—" 　　“Cukup!” Nyonya Feng tak segan memotong ucapan Nyonya Xiao, berkata dingin, “Xian Gu adalah yang kamu undang, apa kamu tidak menerima hasil ini?” 　　Bibir Nyonya Xiao bergetar, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. 　　Pada saat ini barulah ia menyadari dengan panik, kali ini benar-benar seperti mengangkat batu lalu menginjak kaki sendiri. 　　Orang ini memang dia yang undang, sekarang terbukti yang merugikan nyonya tua adalah putrinya sendiri, mana mungkin dia bisa bilang Liu Xian Gu pernah menerima uangnya diam-diam? 　　Untuk pertama kalinya Nyonya Xiao merasakan perasaan seperti orang bisu yang makan buah kunyit, memandangi Liu Xian Gu dengan wajah datar: “Kalau begitu segera lakukan ritual, agar nyonya tua cepat pulih.” 　　Memang Liu Xian Gu punya kemampuan supranatural, tapi dia tidak percaya mata nyonya tua benar-benar bisa sembuh hanya dengan ritual. Nanti dia akan bilang Liu Xian Gu tidak punya keahlian sejati, dan mengundang orang lain lagi. 　　Tentu saja, jika Liu Xian Gu menuduh Jiang Zhan sesuai kesepakatan sebelumnya, maka tidak membaiknya mata nyonya tua setelah ritual akan menjadi alasan berbeda. 　　“Kalau begitu saya mulai.” Liu Xian Gu menyimpan loncengnya, kedua tangan terus membuat gerakan ritual sambil mengelilingi Jiang Qian. 　　Orang-orang lain tanpa sadar minggir ke samping. 　　Jiang Qian berdiri sendirian, mendengar mantra Liu Xian Gu, wajah cantiknya pucat kemerahan silih berganti seperti palet cat. 　　“Pergi!” Tak terasa sudah berputar berapa lama, tiba-tiba Liu Xian Gu mengangkat tangan, api menyala-nyala di tangannya. 　　Teriakan panik bersahut-sahutan. 　　Tangan yang menyala api mendarat di pundak Jiang Qian. 　　"Ah——" Jiang Qian menjerit tak terkendali. 　　Yang mengejutkan, api itu padam begitu saja tanpa membakar pakaian Jiang Qian. 　　"Apa itu?" 　　Mata Nyonya Feng menyempit. 　　Di pundak Jiang Qian muncul warna merah yang semakin cerah, mengingatkan pada darah segar. 　　Beberapa saat kemudian, warna merah itu memudar dan hilang tanpa bekas seolah tak pernah ada. 　　"Sudah, roh jahat telah disingkirkan. Penyakit mata Nyonya akan sembuh dalam tiga hari." Nyonya Peramal Liu tersengal-sengal sambil tersenyum pada Nyonya Feng. 　　"Benarkah?" Nyonya Feng bertanya tak sabar. 　　Nyonya Peramal Liu mengangguk dengan senyum misterius, sambil melirik sekilas Jiang Si di tengah kerumunan orang. 　　Dia tidak tahu apakah penyakitnya akan membaik, itu semua menurut perkataan nona kecil itu. 　　Saat itu di Teahouse Tianxiang, nona kecil itu berjanji jika dia menuruti perintah, penyakit mata Nyonya Feng akan sembuh dalam tiga hari, menjanjikan ketenaran dan kekayaan. 　　Ancaman dan iming-iming membuatnya tak bisa menolak. 　　"Ibu Peramal sudah bekerja keras." Nyonya Feng tersenyum tulus, memberi isyarat pada A Fu. 　　A Fu segera menghadiahkan dompet yang menggembung berisi uang. 　　"Aku lelah. Nyonya Xiao, selama dua hari ini rawat Dewi Liu dengan baik, jangan sampai melalaikan tata krama." Nenek Feng berpesan. 　　Karena Dewi Liu berani mengatakan di depan umum bahwa penyakit matanya akan sembuh dalam tiga hari, Nenek Feng sudah mempercayai lima puluh persen. Tapi mengingat ini menyangkut dirinya sendiri, menahan Dewi Liu di kediaman keluarga selama tiga hari adalah pilihan paling aman. 　　Masih harus tinggal? 　　Mendengar ini, Dewi Liu langsung kebingungan. Andai bukan karena pengalaman bertahun-tahun menumpulkan rasa malu, pasti raut mukanya sudah menampakkan keanehan. 　　Matanya melirik sekilas ke arah Jiang Si. 　　Gadis yang berdiri di antara saudari-saudarinya itu cantik bak bunga haitang mekar, dengan ekspresi datar membuat gerakan tangan membentuk angka "enam". 　　Gali kuburan leluhur! Sebarkan gosip! 　　Dewi Liu: "......" 　　"Kalau begitu kami merepotkan." Dewi Liu memberi hormat ke Nyonya Xiao. 　　"Dewi terlalu sopan. Jika ada ketidaknyamanan, mohon dimaafkan." Nyonya Xiao nyaris menggeretakkan gigi, tatapannya ke Dewi Liu penuh kedinginan. 　　Nenek Feng bersungut: "Kalau begitu layani dengan baik!" 　　Nyonya Xiao langsung tersipu malu. 　　Nyonya Guo, istri ketiga yang berdiri di samping, nyaris tertawa terbahak. 　　Sudah lama ia tidak melihat kakak iparnya dipermalukan seperti ini. Kejadian terakhir masih karena Si Guniang, apakah ini akan menjadi hal biasa? 　　Hmm, memikirkannya saja sudah menyenangkan. 　　"Menantu paham." 　　Nenek Feng mengangguk, lalu menatap Jiang Qian. 　　Jiang Qian yang masih belum pulih dari keterkejutannya, berbisik pelan: "Nenek--" 　　“Ekspresi jijik di wajah Nyonya Feng tidak ditutupi, ia berkata dengan datar: 'Er Yatou, Aku sudah bilang sebelumnya, kamu sudah menikah, tak perlu pulang ke rumah orang tua jika tidak ada keperluan. Khawatir Keluarga Hou akan menganggapmu tidak menjalankan kewajiban sebagai menantu.'” 　　Jiang Qian tubuhnya goyah sedikit, menggigit bibir: "Cucu sudah mengerti." 　　Apa yang salah antara ibu dan Liu Xiangu? Rasa penghinaan ini akan selalu diingatnya seumur hidup. 　　"Mama Feng, bantu aku masuk ke dalam. Di sini suruh orang membereskan dengan baik." 　　Setelah Nyonya Feng masuk ke dalam, orang-orang yang berdiri di halaman diam-diam bubar. Sebelum pergi, mereka tak bisa menahan diri untuk melirik Jiang Qian beberapa kali. 　　Sejak itu, Jiang Qian kehilangan kasih sayang nenek. 　　Jiang Zhen menemani Jiang Si berjalan keluar, samar-samar mendengar suara dari belakang: "Adik Kedua, kamu tidak apa-apa?" 　　Ini adalah putra sulung Jiang Cang, kakak kembar Jiang Qian. 　　Jiang Qian berbisik sesuatu, kata-kata selanjutnya tidak terdengar jelas. 　　"Pintar setelah kejadian." 　　Melihat Jiang Si menatapnya, Jiang Zhen mencibir: "Kalau dukun sialan itu berani menyebut namamu, pasti akan kuhajar sampai ibunya sendiri tidak mengenalinya! Biar dia tidak bisa lagi menipu orang dengan ilmu sihir!" 　　Jiang Si tersenyum manis: "Aku tahu Kakak Kedua yang paling hebat." 　　Jiang Zhen tidak menyangka pujian adiknya begitu langsung. Telinganya memerah, buru-buru mengalihkan topik: "Adik Keempat juga tidak percaya omong kosong dukun itu kan?" 　　Gadis itu menunjukkan wajah polos: "Aku percaya lho." 　　“Apa?” Jiang Zhan hampir terjatuh karena tergelincir. 　　Update kedua. 46.Bab 46 Lanjutan (Telur Binatang Roh Tianyu & Tianyue) 　　Bab 46 Lanjutan (Telur Binatang Roh Tianyu & Tianyue) 　　Di bawah pandangan aneh seluruh anggota keluarga, Jiang Qian yang dipenuhi pertanyaan dan kekesalan terpaksa meninggalkan Kediaman Bofu setelah bertukar pandang dengan Nyonya Xiao. 　　Nyonya Xiao yang bertugas menjamu Nenek Peramal Liu segera mendapat kesempatan berduaan. 　　Sampai saat ini, dia tak bisa menahan diri lagi dan langsung menuntut: "Nenek Peramal, apa yang sebenarnya terjadi?" 　　Nenek Peramal Liu tetap tenang bagai Gunung Tai: "Hasil seperti ini juga di luar perkiraanku." 　　"Apa maksud Nenek? Ini tidak sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya!" Nyonya Xiao yang melihat Nenek Peramal masih berbasa-basi semakin murka, "Apakah Nenek merasa imbalannya kurang?" 　　"Nyonya salah paham." Nenek Peramal Liu menghela napas panjang, "Ini benar-benar takdir yang tak terelakkan." 　　"Takdir apa yang tak terelakkan?" 　　Nenek Peramal Liu memasang ekspresi misterius: "Awalnya aku ingin membantu Nyonya karena melihat ketulusanmu. Tapi Nyonya juga tahu, rezekiku ini bergantung pada kemampuan berkomunikasi dengan makhluk gaib. Kini takdir telah berbicara, aku harus tunduk." 　　"Roh apa? Hantu apa? Bukankah cerita tentang roh jahat yang mengganggu Nyonya Tua itu kita karang bersama sebelumnya?" Wajah Nyonya Xiao memucat penuh amarah. 　　"Ibu Peramal Liu tiba-tiba meraih tangan Nyonya Xiao, ekspresinya sangat serius: "Benar ada roh jahat yang merasuki istri Pangeran Muda!"" 　　Nyonya Xiao gemetar ketakutan, melepas genggaman tangan Ibu Peramal Liu dengan kasar, wajahnya pucat membiru: "Apa yang Ibu bicarakan ini?!" 　　Ibu Peramal Liu menyeringai dingin: "Apakah Nyonya mengira saya hanya dukun gadungan?" 　　Saat senyum menghilang dari wajah Ibu Peramal Liu, aura kebijaksanaannya lenyap seketika. 　　Tulang pipinya yang menonjol, dagu runcing, ditambah sorot mata dingin yang menusuk, membuat penampilannya terasa mengerikan. 　　Nyonya Xiao merasa merinding. 　　Bagaimana bisa ia lupa, alasan kakak iparnya mengenal Ibu Peramal Liu adalah karena ritual pengembalian roh yang pernah dilakukan untuk keponakannya bertahun-tahun silam. 　　Ibu Peramal Liu ini memang memiliki kemampuan sejati! 　　Tapi tuduhan tentang roh jahat yang mengganggu Ibu Suri awalnya hanya dalih untuk mengalihkan kesalahan, bagaimana mungkin Ben'er benar-benar kerasukan? 　　Nyonya Xiao semakin merenung semakin ngeri, matanya beralih ke Ibu Peramal Liu. 　　Ibu Peramal Liu menghela napas: "Segalanya sudah ditakdirkan, mana berani hamba melawan kehendak langit hanya demi imbalan duniawi?"" 　　"Benarkah penyakit mata Ibu Suri bisa sembuh dalam tiga hari?" 　　Ibu Peramal Liu ragu sebentar. 　　Nyonya Xiao menangkap keraguannya itu, menyeringai: "Kalau begitu hamba tunggu keajaiban Ibu tiga hari lagi!" 　　Setelah berkata demikian, ia pergi dengan marah sambil mengibaskan lengannya. 　　Liu Xiangu terjatuh di kursi berlapis bantalan lembut, menuangkan secangkir teh dan meneguknya beberapa kali, hatinya dipenuhi rasa takut. 　　Dia benar-benar hampir mati karena diganggu gadis itu! 　　"Xiangu, apakah barang-barang kita perlu disimpan?" tanya gadis kecil di pintu sambil membawa bungkusan kecil. 　　"Simpan apa? Biarkan saja di situ." Liu Xiangu menunjuk sembarangan. 　　Dia harus bersiap-siap diusir kapan saja, tidak perlu repat membereskan barang. 　　Tiga hari ini benar-benar terasa seperti satu tahun. 　　Nyonya Xiao setengah percaya pada ucapan Liu Xiangu, akhirnya menulis dua surat: satu untuk Jiang Qian sebagai penenang, satunya lagi untuk kakak iparnya. 　　Kakak ipar Nyonya Xiao segera datang dengan alasan menjenguk Nyonya Lian Feng, memberi kesempatan pada kedua wanita itu untuk berbincang rahasia. 　　"Kakak, katakan sejujurnya, sehebat apa sebenarnya kemampuan Liu Xiangu?" 　　Kakak ipar itu sudah tahu kejadian di Kediaman Marquis, agak canggung menjawab: "Untuk menyembuhkan anak yang ketakutan, dia cukup handal." 　　"Apakah ritual pengusiran roh jahatnya benar-benar bisa menyembuhkan penyakit mata Nyonya Lian?" 　　Kakak ipar itu terkekeh kaku: "Itu belum pasti, penyakit mata Nyonya Lian memang tiba-tiba, penyebab pastinya sulit ditentukan." 　　Nyonya Xiao menutup mata, semakin dipikir semakin marah: "Aku merasa dipermainkan oleh Liu Xiangu!" 　　Tapi masih ada hal yang belum bisa dia pahami. 　　“Dia sudah berjanji sebelumnya, setelah urusan selesai akan memberikan sejumlah uang yang besar kepada Liu Xiangu, mengapa Liu Xiangu harus menolak uang?” 　　Xiao Shi membuka matanya, kilatan kecerdikan terlihat di sudut matanya. 　　Yang berurusan dengan roh-roh adalah Liu Xiangu, bukan dirinya. 　　Entah itu takdir surga atau rekayasa manusia, dia yang mengundang orang malah dicap sebagai penjahat. Masalah ini pasti akan diselesaikan setelah badai ini berlalu. 　　"Sebenarnya masih ada kesempatan untuk memulihkan kasih sayang Nyonya Tua bagi Qian'er." 　　Xiao Shi menatap kakak iparnya dari keluarga Xiao. 　　Kakak ipar Keluarga Xiao secara refleks melirik ke pintu, lalu menurunkan volume suaranya: "Bagaimana jika mata Nyonya Tua tidak membaik dalam tiga hari?" 　　"Maksudmu--" 　　"Jika mata Nyonya Tua tidak kunjung sembuh, berarti Liu Xiangu hanya penipu. Maka pernyataan bahwa Qian'er kerasukan roh jahat otomatis tidak berdasar." 　　Xiao Shi terdiam sejenak. 　　Memang benar dia yang mengurus rumah tangga Keluarga Bo sekarang, tapi urusan makan-minum dan kebutuhan Nyonya Tua diatur terpisah. Beberapa hari lalu saat mencoba menyelidiki berita dari Cixin Tang, dia malah disiram teh oleh Nyonya Tua Feng - kejadian itu masih jelas terbayang. 　　"Nyonya, Tuan sudah datang." Laporan pelayan terdengar dari luar pintu. 　　Tak lama kemudian pintu terbuka, Tuan Jiang Kedua masuk dengan wajah muram. 　　"Kakak ipar datang." Begitu melihat kakak iparnya, Tuan Jiang Kedua sekadar menyapa basa-basi. 　　Kakak ipar Keluarga Xiao buru-buru berdiri: "Masih banyak urusan di rumah, saya pamit duluan." 　　"Mengenai sikap bijak kakak ipar keluarga Xiao, Tuan Jiang Kedua tetap tidak menunjukkan antusiasme. Setelah orang pergi, wajahnya semakin dingin seperti embun beku: 'Lihat apa yang kau lakukan! Sejak kapan keluarga terhormat seperti kita perlu mengundang dukun perempuan untuk menipu? Sekarang, noda yang dituangkan pada Qian'er tidak bisa dibersihkan. Jika kabar ini tersebar, bagaimana Qian'er bisa menghadapi keluarga suaminya?'" 　　"Aku... aku juga tidak menyangka akan seperti ini——" 　　Tuan Jiang Kedua mengabaikan rasa malu Xiao Shi, berkata dingin: "Dukun Liu itu direkomendasikan kakak iparmu dari keluarga asalmu ya? Jangan berhubungan lagi dengannya!" 　　Wajah Xiao Shi tiba-tiba memerah. 　　Latar belakangnya biasa saja, martabatnya semata berasal dari suami dan anak-anak. Perkataan Tuan Jiang kali ini bagai tamparan di wajahnya. 　　"Kita harus menertibkan para pelayan di rumah. Pastikan kabar ini tidak bocor. Untuk Qian'er, segera suruh dia berhati-hati di Marquis Residence. Ibu adalah orang yang bijaksana, meski mungkin punya prasangka pada Qian'er, pasti akan pertimbangkan posisinya di sana." 　　Xiao Shi mengangguk terus-menerus. 　　Memang menyakitkan dan memalukan seperti mengangkat batu jatuh ke kaki sendiri, tapi prioritasnya adalah meminimalisir dampak kejadian ini agar tidak mengganggu kedudukan Qian'er di Marquis Residence. 　　Keesokan harinya, ketika Xiao Shi dan yang lain datang memberi salam ke Cixintang, mereka tidak bertemu dengan Nyonya Janda Feng. 　　"Nyonya Xiao pergi ke Balai Urusan Rumah Tangga untuk mengurus pekerjaan rumah, tiba-tiba seorang pelayan buru-buru masuk: "Nyonya Kedua, ada masalah!"" 　　"Apa yang terjadi?" Nyonya Xiao yang saat ini paling takut mendengar kabar buruk langsung merasa jantungnya serasa naik ke tenggorokan. 　　"Kemarin ritual Dukun Perempuan sudah tersebar, sekarang beberapa arena judi sudah membuka taruhan apakah mata nenek tua bisa sembuh dalam tiga hari!"" 　　"Apa?!" Nyonya Xiao langsung gelap pandangan dan pingsan. 　　[Tambahan chapter] Terima kasih untuk hadiah Teluk Makhluk Suci dari Tianyu Tianyue. Semua hadiah yang mencapai level Pemimpin Aliansi akan mendapat chapter tambahan. Akumulasi 10 He Shi Bi juga akan mendapat chapter ekstra. Karena butuh beberapa jam untuk menulis satu chapter, mohon bersabar. Ada acara pembukaan setelah publikasi, butuh capai jumlah tertentu untuk vote bulanan dan daftar buku. Mohon bantu tambahkan "Si Jin" ke daftar buku kalian bagi yang punya, dan kirim vote bulanan jika mampu. Terima kasih banyak, hari ini cuma 3 chapter, sampai jumpa besok. 47. BAB 47 BISNIS 　　BAB 47 BISNIS 　　"Apa?!" Dukun Liu juga tidak tahan menerima pukulan ini. 　　Saat ini Dukun Liu sedang duduk terpaku di tempat tidur sambil memegangi dadanya, wajahnya pucat pasi. 　　Awalnya dia berencana jika penyakit mata Nenek Dongping Bo tidak membaik dalam 3 hari, dia akan cari alasan lagi. Sekarang malah arena judi ibu kota sudah pakai ini sebagai bahan taruhan, di bawah sorotan publik seperti ini bukan cuma sulit melewati krisis, bahkan kecurangan-kecurangannya selama ini mungkin akan terbongkar. 　　Orang-orang Dinasti Zhou sangat gandrung judi taruhan, mulai dari jarum-benang kecil sampai kereta-kuda dan rumah mewah, semua bisa dijadikan taruhan asal mau. 　　"Nona Peramal Liu benar-benar bisa membayangkan keramaian yang terjadi selama dua hari ini akibat ritualnya." 　　Tidak, dia tidak bisa tinggal di Istana Bobert lagi. Jika tetap di sini, dia akan binasa. 　　Nona Peramal Liu mulai berniat meninggalkan ibu kota dan melarikan diri jauh-jauh. Dia menyuruh gadis pembantunya menyampaikan ke Nyonya Xiao bahwa dia perlu pergi keluar. 　　Nyonya Xiao yang masih belum pulih dari pukulan itu, langsung menolak permintaan itu tanpa pikir panjang. 　　Gadis pembantu kembali melapor ke Nona Peramal Liu. Akhirnya, sang peramal memutuskan menemui Nyonya Xiao sendiri. 　　"Nyonya baru saja pingsan, kepalanya masih sangat pusing dan baru saja berbaring. Jika Nona Peramal ada keperluan, silakan kembali nanti." Dayang utama Nyonya Xiao menghadangnya. 　　"Kalau begitu, harap Nyonya beristirahat baik-baik. Saya akan menemui Nyonya Tua." Wajah Nona Peramal Liu tetap tenang, dua kali ditolak bertemu tanpa menunjukkan emosi. 　　"Hmm—" Batuk Nyonya Xiao terdengar dari dalam. "Persilakan Nona Peramal masuk." 　　Nona Peramal Liu berjalan masuk dengan mantap. 　　Nyonya Xiao dibopong dayangnya, setengah berbaring bersandar pada bantal bordir. 　　"Ada hal apa yang ingin Nona sampaikan ke Nyonya Tua?" Berhadapan dengan sang peramal, Nyonya Xiao sama sekali tidak bisa bersikap ramah. 　　Seandainya bisa, dia ingin melemparkan dukun ini ke lubang api dan membakarnya hidup-hidup! 　　Tentu saja, dia baru saja mengutus orang ke keluarga besarnya untuk menghubungi kakak iparnya. Dia tidak percaya dukun ini benar-benar punya kekuatan gaib, mengingat selama ini ritual pengusir roh jahatnya tak pernah gagal. 　　“Aku akan membeli kertas jimat, setelah merapal mantra akan dibakar menjadi air jimat untuk diminum Nyonya Tua.” Liu Xiangu berkata dengan tenang. 　　Lagipula hubungan sudah retak, tentu dia harus tetap mempertahankan image sebagai orang suci. 　　“Membeli kertas jimat saja, murid Xiangu saja yang bisa disuruh.” 　　“Tidak boleh. Tekstur kertas jimat dan warna cinabar memiliki perbedaan halus, sedikit saja beda akan mengurangi efek air jimat. Itu bisa menghambat pemulihan mata Nyonya Tua. Jadi bahan-bahan ini harus kupilih sendiri.” Liu Xiangu berbohong dengan wajah serius, lalu melirik bermakna ke arah Xiao Shi, “Ibu tentu ingin mata Nyonya Tua cepat sembuh, bukan?” 　　“Tentu saja.” Xiao Shi tersedak, setelah berpikir sejenak mengangguk pada pelayan di sampingnya, “Kalau begitu, suruh dua orang menemani Xiangu pergi.” 　　“Baik.” 　　Liu Xiangu mengutuk dalam hati, tapi tersenyum: “Kertas jimat dan cinabar itu barang ringan, tidak perlu banyak orang.” 　　Xiao Shi tersenyum palsu: “Kesembuhan mata Nyonya Tua bergantung pada Xiangu. Keselamatan Xiangu harus kuperhatikan.” 　　Liu Xiangu menyeringai, tak melanjutkan bicara. 　　Dulu saat ritual pengusir roh jahatnya ketahuan, dia bukan tidak pernah kabur. Sudah mahir dengan taktik 'kulit cicak lepas'. 　　Liu Xiangu membawa anak perempuannya keluar dari Kediaman Bofu, mengabaikan dua pelayan kasar yang mengikuti, langsung menuju tolang langganannya. 　　Toko itu adalah bangunan dua lantai di tepi jalan, bendera putih berkibar tertulis karakter "Dan" besar. 　　"Aduh, ini Xiangu ya." Pelayan toko menyapa dengan akrab. 　　"Seperti biasa." Liu Xiangu berkata tanpa ekspresi. 　　"Baik, Xiangu silakan naik ke lantai atas." Pelayan mengantar Liu Xiangu dan rombongannya naik, melirik penasaran dua wanita tua yang mengikuti di belakang. 　　Liu Xiangu adalah pelanggan tetap toko mereka, biasanya selalu membawa murid perempuan, dua wanita tua ini terlihat asing. 　　Oh iya, dua wanita tua ini pasti dari Keluarga Dongping Bo! 　　Kini kabar tentang Istri Kedua Dongping Bo yang meminta Liu Xiangu melakukan ritual pengusiran roh malah membuat putrinya sendiri kesurupan sudah jadi bahan tertawaan umum. 　　"Xiangu, apakah mata Nyonya Tua Dongping Bo bisa sembuh?" Pelayan melirik ke belakang dan berbisik. 　　Liu Xiangu menyampingkan pandangannya, angkuh menjawab: "Kau meragukan kemampuan Xiangu ini?" 　　Pelayan segera tersenyum lebar: "Ah mana berani, dengan kata-kata Xiangu saja sudah cukup. Sejujurnya, hamba taruh 10 koin tembaga di Kasino Tianlong untuk kemenangan Xiangu." 　　"Sepuluh koin tembaga?" Alis Liu Xiangu berkerut. 　　Apakah nama besar Liu Xiangu hanya bernilai 10 koin tembaga? 　　"Hehe, nanti hamba akan memaksakan diri bertaruh 1 liang perak. Asal mata Nyonya Tua Dongping Bo sembuh, langsung balik modal lima kali lipat!" 　　"Odds-nya--" 　　“Taruhan satu lawan lima.” Pelayan baru menyadari ucapan yang terlanjur keluar, tersenyum kecut, "Silakan masuk, Nyonya Siantu." 　　Nyonya Siantu Liu masuk dengan wajah masam. 　　Satu lawan lima? Sungguh penghinaan! 　　Untungnya dia segera akan meninggalkan ibu kota. Biarlah sesuka mereka. 　　Pelayan buru-buru mengeluarkan berbagai kertas jimat dan peralatan tinta merah: "Silakan pilih perlahan-lahan, Nyonya. Jika ada permintaan, suruh muridmu memanggil hamba." 　　Saat pintu menutup, suhu ruangan tiba-tiba terasa naik beberapa derajat. 　　Nyonya Siantu Liu sama sekali tidak menghiraukan dua wanita tua itu, fokus memilih kertas jimat. 　　Dua wanita tua yang mendapat pesan dari Xiao Shi mengawasi gerak-gerik Nyonya Siantu Liu tanpa berkedip, namun perlahan kelopak mata mereka mulai berat, dan sekitar seperempat jam kemudian tertidur. 　　Nyonya Siantu Liu meletakkan barang-barang di meja lalu berdiri, berbisik pada gadis kecil: "Aku akan pergi lewat sisi timur kamar mandi. Kau tunggu di sini selama seperempat jam lalu turun lewat tangga untuk bertemu di tempat biasa. Mengerti?" 　　Gadis kecil itu mengangguk cepat. 　　Nyonya Siantu Liu menyeringai dingin memandangi dua wanita tua yang tertidur itu, lalu membuka pintu dengan santainya. 　　Di ujung koridor terletak kamar mandi. 　　Saat Nyonya Siantu Liu bergegas ke sana, pintu kamar sebelah tiba-tiba terbuka. Seorang pemuda tampan tersenyum manis: "Nyonya Siantu mau ke mana?" 　　Wajah Nyonya Siantu Liu berubah pucat saat mengenali sosok pemuda itu. 　　"Ternyata itu dayang si iblis Ah Man!" 　　Xian Gu bukannya berhenti, malah mempercepat langkah. 　　Ah Man melepas sepatu dan melemparkannya. 　　Sepatu ber-sol lembut menghantam tengkuk Xian Gu. Badannya oleng, saat sadar Ah Man sudah berdiri di depannya. 　　"Xian Gu mau ke kamar kecil? Tahan dulu, nona kami sedang menunggu di dalam." Ah Man memakai sepatunya sambil menunjuk pintu kamar. 　　Xian Gu pasrah masuk. Di balik jendela, gadis cantik itu tersenyum padanya persis seperti pertemuan pertama di Tianxiang Teahouse. 　　Xian Gu gemetar tak tertahankan. 　　Pertemuan pertama sudah dibodohi iblis ini, sekarang mau apa lagi? 　　"Xian Gu mau kabur dari ibukota?" Mata hitam gadis itu berbinar-binar, seolah mengobrol dengan sahabat lama. 　　Xian Gu duduk kasar di depan Jiang Si: "Nona masih mau apa?" 　　"Ada bisnis yang bisa kita kerjakan bersama." 　　Xian Gu langsung waspada, matanya tak lepas dari Jiang Si. 　　"Jangan tegang, bisnis ini justru sangat terkait dengan Xian Gu." 　　Xian Gu: "..." 　　Celaka, semakin dia bilang gini malah bikin tambah deg-degan! 　　Pembaruan Pertama. Melihat ada pembaca yang mengatakan postingannya dihapus, saya ingin menjelaskan di sini, kecuali postingan yang mengandung ucapan ekstrem, saya dan moderator umumnya tidak akan menghapus postingan. Namun sistem seringkali "menelan" postingan secara agresif, jangan terlalu khawatir jika mengalami hal ini. Terima kasih atas dukungan suara dan hadiahnya, saya membungkuk hormat. 48. BAB 48 Meminjam Uang 　　BAB 48 Meminjam Uang 　　"Xian Gu tidak perlu gugup. Dua ekor itu mungkin akan segera sadar, mari kita percepat pembicaraan." 　　"Bagaimana kau tahu..." Tatapan Liu Xiangu pada Nona Keempat sudah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 　　Ketika setiap langkah seseorang selalu terbaca oleh orang lain, meski itu hanya gadis lemah, di mata orang tersebut ia akan terlihat seperti monster yang menggeram dan mencakar. 　　Saat ini, Nona Keempat adalah sosok seperti itu di mata Liu Xiangu. 　　"Mari kita bahas bisnis saja," ujar gadis itu sambil tersenyum. 　　"Aku tidak bisa berbisnis!" Dia hanya ingin melarikan diri, jangan ada yang menghalangi! 　　Nona Keempat tertawa pendek: "Pernahkah Xian Gu berpikir, bahwa ritual besar-besaranmu ini sebenarnya memberikan setidaknya dua keuntungan?" 　　"Keuntungan apa?" 　　Nona Keempat mengulurkan jarinya. 　　Melihat gerakan ini, jantung Liu Xiangu berdebar tak karuan. 　　Jangan-jangan dia menunjukkan angka 'enam' lagi? 　　Selain menggali kuburan leluhur dan menyebar gosip, tidak bisakah mengancam dengan cara lain? 　　Kali ini, Nona Keempat mengacungkan dua jarinya, berbicara dengan tenang: "Pertama, Xian Gu kini menjadi pusat perhatian di ibu kota, sehingga keamananmu lebih terjamin." 　　"Mengenai ini, Jiang Si melirik Nyonya Immortal Liu dan bertanya sambil tersenyum: 'Nyonya tentu tidak mengira bahwa Bibi Er saya berwatak lembek seperti patung tanah liat, yang akan membiarkan Nyonya pergi dari ibu kota dengan mudah?'" 　　Nyonya Immortal Liu mengernyitkan bibirnya. 　　Karena itulah dia mempersiapkan diri untuk kabur diam-diam. 　　"Agar Nyonya tahu, kakak laki-laki Bibi Er saya bekerja di Kantor Pengawas Lima Kota. Meski jabatannya tidak tinggi, menghalangi seseorang secara sengaja bukanlah hal sulit." 　　Bibir Nyonya Immortal Liu bergetar beberapa kali. 　　Dia benar-benar telah naik ke kapal bajak laut dan tak bisa turun lagi! 　　"Sekarang situasinya berbeda. Seluruh ibu kota mengawasi, Bibi Er pasti tidak berani menyerang Nyonya secara terbuka, paling-paling hanya menyebarkan rumor untuk merusak reputasi Nyonya." 　　"Jika reputasi hancur, semuanya akan berakhir." Nyonya Immortal Liu berkata dengan wajah kosong. 　　Jika mata Nenek Dongping Bo tidak sembuh, Nyonya Kedua yang menuduhnya sebagai penipu, mungkin malah akan membuatnya masuk penjara - tak jauh lebih baik dari disiksa. 　　"Mengapa reputasi Nyonya bisa hancur? Mata nenek saya pasti akan sembuh." 　　Nyonya Immortal Liu menarik napas dalam-dalam, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kegelisahan: "Non benar-benar yakin mata sang nenek bisa sembuh?" 　　"Saya tidak pernah bicara kosong. Inilah manfaat kedua dari menyebarkan kabar ini. Semakin orang meragukan kesaktian Nyonya, semakin mereka akan memuja Nyonya saat nenek saya sembuh. Saat itulah nama dan keuntungan akan Nyonya raih." 　　“Jika benar bisa demikian, saya harus berterima kasih pada nona.” 　　“Sekarang jangan bahas itu, yang kita bicarakan adalah bisnis.” 　　“Bisnis apa?” 　　“Bukankah rumah judi besar sedang membuat taruhan tentang ini? Mari kita ikut meramaikan.” 　　Wajah Liu Xiangu berkerut, tidak yakin dengan maksud Jiang Si. 　　“Kudengar odds di rumah judi besar sekitar 1 banding 5. Jika kita bertaruh bahwa Xiangu bisa menyembuhkan mata nenekku, satu tael perak bisa menjadi lima tael. Bukankah ini bisnis yang menguntungkan?” 　　“Perhitungannya begitu, tapi bagaimana jika kalah?” Liu Xiangu mulai terbawa pemikiran orang biasa setelah dibujuk Jiang Si. 　　“Tidak akan kalah.” Suara Jiang Si tegas. 　　Liu Xiangu membuka mulut ingin membantah, tapi menghadapi makhluk yang mudah mengancam akan menggali kuburan leluhurnya, keberaniannya sudah hilang. Setelah ragu, dia bertanya: “Mengapa harus kita?” 　　Jiang Si mengangkat tangan, dengan yakin berkata: “Aku tidak punya uang.” 　　Liu Xiangu mengernyit, menggesekkan uang kertas yang disembunyikan di bajunya: “Ini yang nona berikan sebelumnya. Kalau nona tidak punya uang, ambil saja. Soal taruhan... aku tidak ikut.” 　　Jika mata Nyonya Dongping Bo tidak sembuh, setidaknya dia masih punya tabungan setelah reputasinya hancur. 　　“Kalau begitu, aku tidak memaksa Xiangu. Pinjamkan lagi 200 tael padaku.” 　　“Apa?” Liu Xiangu terdiam cukup lama. 　　“Sorot mata gadis itu yang dalam bagai jurang akhirnya membuatnya menyerah. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan bungkusan kain yang dilapisi berlapis-lapis, lalu menyerahkan dua lembar uang perak.” 　　Jiang Si menerimanya tanpa basa-basi, tersenyum tipis. 　　Ia sudah tahu tipe orang seperti Dewi Liu ini selalu gelisah. Ke mana pun pergi pasti membawa harta cadangan. 　　“Jangan khawatir, Dewi. Setelah aku menang taruhan, modal ini akan kukembalikan.” 　　Dewi Liu memejamkan mata, tak sampai hati mengatakan ‘tak perlu dikembalikan’, lalu mengangguk kasar dengan suara parau: “Aku pulang dulu. Dua pelayan itu sebentar lagi bangun.” 　　“Hati-hati di jalan, Dewi.” 　　Tak lama kemudian Ah Man masuk, membisik di telinga Jiang Si: “Dewi Liu sudah pulang.” 　　Jiang Si mengangguk halus: “Aku tahu.” 　　Aroma khas dupa milik Dewi Liu belum menjauh – jelas ia patuh kembali ke rumah sebelah. 　　“Tuan putri, Dewi Liu sudah berbuat kejahatan tak terampuni. Benarkah Tuan akan memberinya kemasyhuran dan kekayaan?” 　　Jiang Si tersenyum bangkit menatap jendela: “Bahkan jika dapat keduanya, apa gunanya? Orang jahat pasti dihukum langit. Tunggu saja.” 　　Ah Man menggaruk kepalanya. 　　Ia tak percaya dewa di langit begitu teliti mengawasi setiap penjahat. Tapi ia percaya pada tuan putrinya. 　　“Ayo, ke Gedung Teh Tianxiang.” 　　Ruang VIP Gedung Teh Tianxiang sudah dipesan sebelumnya. Orang yang ingin ditemui Jiang Si telah menunggu lama di sana. 　　Jiang Si memasuki ruangan ditemani Ah Man. Orang itu segera berdiri. 　　“Jiang Si melepas topi tudung, lalu meletakkannya di atas meja. 　　Orang itu buru-buru menundukkan kepala: "Nona mencari hamba ada keperluan apa?" 　　Ia takkan lupa pertama kali melihat gadis secantik bidadari ini, ketika karena terlalu lama memandang sampai lupa mengalihkan pandangan, hampir pingsan dipukuli gadis brengsek yang menyamar sebagai pria di sampingnya. 　　Pemuda ini tak lain adalah A Fei, preman jalanan yang pernah ditusuk tusuk konde oleh Ah Man. 　　"Urusan sebelumnya, kau kerjakan dengan baik." Jiang Si berbicara datar. 　　Keluarga paman kedua ingin menyembunyikan daging busuk dalam panci, tentu ia takkan membiarkan rencana mereka berhasil. Kali ini rumor menyebar cepat berkat jasa A Fei. 　　Penduduk ibu kota relatif makmur, tempat ini adalah tanah subur paling subur untuk menyebarkan gosip, percikan api kecil pun bisa membakar padang rumput. 　　"Hamba tidak pantas dipuji nona." A Fei melirik cepat ke arah Jiang Si, lalu buru-buru menunduk lagi. 　　Dibandingkan kecantikan yang tiada duanya, nyawa tentu lebih berharga. 　　Bukankah dia hanya iseng ingin menggoda pemuda tampan, bagaimana bisa terlibat dengan majikan dan pelayan ini? 　　"Ada satu hal lagi yang harus kau kerjakan." Jiang Si mengangguk halus ke arah Ah Man. 　　Ah Man ragu sejenak, lalu mengulurkan kantong kain polos: "Nih." 　　A Fei mengulurkan tangan untuk menerima, tapi Ah Man tetap tak mau melepaskan. 　　A Fei melirik ke Jiang Si, lalu menambah kekuatan genggamannya. 　　Ada masalah apa ini? Bukankah kantong ini atas perintah nona? Jangan-jangan dia salah paham? 　　“Ah Man——” Jiang Si mengingatkan dengan nada kesal. 　　Ah Man baru melepaskan genggamannya, memperingatkan: "Kalau hilang, kubunuh kau!" 　　Nona ini terlalu percaya, bagaimana bisa memberikan uang sebanyak ini pada preman ini. 　　“Buka dan lihatlah.” 　　A Fei menunduk membuka kantong uang, wajahnya langsung berubah pucat saat melihat uang kertas di dalamnya: "Nona, ini——" 　　“Gunakan ini untuk bertaruh, tebaklah bahwa mata Nyonya Tua Dongping Bo bisa sembuh.” 　　Bibir A Fei bergetar pucat: "Ini, ini——" 　　Nona ini terlalu nekat, memberi uang sebanyak ini tak takut aku kabur? 　　Update kedua. Sayangku, situs sedang ada acara pembukaan blokir. Sebelum tanggal 6 bulan ini perlu 100 daftar buku dan 2000 tiket bulanan. Saat ini daftar buku baru 79, tiket bulanan kurang dari 500. Mohon bantuan teman-teman yang punya daftar buku untuk tambahkan "Si Jin", yang punya tiket bulanan mohon dukungannya. Jika tidak bisa dibuka blokirnya, dua rekomendasi akan dibatalkan. Terima kasih banyak. 49.Bab 49 Bertemu Er Niu Kembali (Update Tambahan He Shibi) 　　Bab 49 Bertemu Er Niu Kembali (Update Tambahan He Shibi) 　　Jiang Si menyilangkan tangan di depan tubuh, duduk santun namun elegan, suaranya lembut: "Uang baru disebut uang jika nyawa cukup panjang untuk menikmatinya." 　　A Fei menggigil, langsung teringat siksaan mengerikan di tengah malam yang membuatnya lebih baik mati. 　　Meski rasa sakit itu kini telah hilang, punggungnya langsung basah kuyup oleh keringat dingin, hati dipenuhi penyesalan tak berkesudahan. 　　Siksaan seperti itu, sekali lagi tak ingin ia alami. 　　“Nanti kantong uangmu remuk semua!” Ah Man mengingatkan dengan perasaan khawatir. 　　Ini uang yang Nona korbankan muka untuk pinjam dari Nyonya Liu Xian, susah payah Nona mendapatkannya. 　　“Di ibu kota ada tak terhitung rumah judi besar kecil. Jumlah ini tidak terlalu besar di sana. Pilihlah 3-4 kasino terpercaya untuk taruhan terpisah. Setelah berhasil, akan kuberikan 100 tael perak sebagai imbalan.” 　　“Tidak perlu imbalan, tidak perlu imbalan.” A Fei berkata berulang kali. 　　Jiang Si tersenyum: “Bekerja dapat upah, sudah sewajarnya. Meski kau berasal dari rakyat biasa, tapi kau warganegara baik. Hubungan kita bukan tuan dan hamba, sekarang kita mitra kerjasama. Sebagai mitra, tentu kau berhak dapat bagianmu setelah berhasil.” 　　“Kalau... kalau begitu terima kasih banyak, Nona.” 　　“Silakan pergi.” 　　A Fei menyimpan kantong uang dengan hati-hati di dada, berpikir sebentar merasa tidak aman, lalu mengeluarkannya lagi. Ia bersembunyi di sudut tembok, melepas sepatu dan menyelipkan kantong uang ke dalam lapisan sepatu. 　　Ah Man memutar mata dengan jijik: “Berani-beranginya lepas sepatu di depan Nona, tidak punya malu lagi?” 　　“Lebih aman seperti ini.” A Fei terkekeh. 　　Pengalaman hidupnya selama ini mengajarkan, di dunia ini banyak hal lebih penting daripada muka. Setidaknya uang ini salah satunya. 　　Saat A Fei sampai di pintu, Jiang Si memanggil dari belakang: “A Fei——” 　　Panggilan itu terdengar jernih dan tenang, bagaikan air jernih untuk menyeduh teh di ruang minum awal musim panas ini, meratakan kegelisahan di hati. 　　“A Fei tak sengaja menghentikan langkah, menunduk dan berbalik: ‘Nona masih ada perintah apa?’” 　　“‘Hanya ingin memberitahumu, jika tidak ingin menjadi lumpur busuk seumur hidup yang terlempar di sudut jalan, bekerjalah dengan baik.’” 　　A Fei menggigil kaget, tak kuasa menahan diri untuk mengangkat kepala memandang Jiang Si. 　　Gadis itu masih duduk tegak di depan meja dekat jendela, bola mata hitamnya jernih hingga dasar, membuat orang merasakan ketulusan dalam ucapannya. 　　Hati A Fei mendadak hangat, ia mengangguk sembarangan lalu buru-buru keluar. 　　Jiang Si mengangkat cangkir teh dan menyesapnya. 　　“‘Nona, begitu saja mempercayai A Fei? Bagaimana jika dia lari membawa uang?’” 　　“‘Dia tidak akan.’” 　　Daripada mengatakan tidak berani, lebih tepat dikatakan tidak punya nyali. 　　Jiang Si tidak percaya orang yang pernah merasakan siksaan Duanhun San punya keberanian mengalaminya lagi. 　　Seperti yang baru dikatakannya pada A Fei: Uang sebanyak apapun harus ada nyawa untuk menikmatinya. 　　Duanhun San terlalu ganas, belakangan ini dia hanya berhasil membuat sedikit, semuanya diberikan ke A Fei. 　　Setelah terlahir kembali, banyak hal yang harus dikerjakan, banyak orang yang dibutuhkan, tapi dia takkan menggunakan ilmunya untuk mengontrol orang tak bersalah. 　　Ini batasannya saat membalas kejahatan orang-orang dari kehidupan sebelumnya, karena kapanpun dia tak ingin menjadi seperti mereka. 　　A Fei yang waktu itu berani menggoda Ah Man dengan sengaja, jelas bukan orang tak bersalah, sementara ditugaskan sebagai kurir cukup tepat. 　　Jiang Si tetap di ruang VIP sambil meminum teh, sementara A Fei sudah buru-buru keluar dari rumah teh. 　　“Seumur hidup, total uang yang dimiliki tidak sampai sepersekian dari isi dompet di kakinya sekarang. A Fei merasa langkahnya jadi kaku, bahkan bingung harus melangkah dengan kaki mana dulu.” 　　“Jangan tegang, jangan tegang...” 　　A Fei tegang sekali, mulutnya komat-kamit mengulang mantra. Baru beberapa langkah keluar dari gerai teh, seekor anjing besar tiba-tiba melompat ke hadapannya. 　　“Wang——” Anjing itu menggonggong pada A Fei dengan nada peringatan. 　　A Fei nyaris terlonjak, matanya melotot penuh waspada pada anjing itu: “Aku peringatkan, aku pemakan daging anjing! Kalau berani mendekat lagi, jangan harap aku segan——” 　　Anjing besar itu menerjang, menggigit pantat A Fei tepat di tempat duduknya. 　　“Auuuu——” Teriakan menyakitkan melengking dari A Fei. 　　Dari balik jendela kedai teh, Ah Man menutup mulut menahan tawa: “Nona, A Fei digigit anjing.” 　　Jiang Si melirik ke luar, raut wajahnya berubah aneh. 　　Anjing besar itu mirip Er Niu... 　　“Lho nona, anjing ini persis seperti anjing yang mengantarkan uang untuk nona waktu itu,” Ah Man jelas sangat berkesan dengan anjing pengantar uang itu. 　　“Nona, lihat! Ia sedang apa?” 　　Anjing itu melepas pantat A Fei, mengendus-endus perlahan ke bawah, lalu menggigit sepatu A Fei dengan kencang. 　　A Fei langsung panik, menendang dan memukul sekuat tenaga: “Dasar binatang! Lepas sekarang!” 　　“Nona, jangan-jangan anjing itu akan menemukan kantong uang yang kita siapkan untuk A Fei, lalu membawanya ke hadapanmu?” Ah Man yang sedang asyik menonton keributan tiba-tiba tersadar. 　　Waktu itu anjing besar ini juga pernah membawa kantong uang milik orang yang ingin memukul Tuan Kedua kepada Nona, di dalamnya ada daun emas dan mutiara. 　　Tapi ketika memikirkan anjing besar itu akan mengulangi hal yang sama sekarang, perasaan Ah Man langsung tidak karuan. 　　“Nona, bagaimana ini?” 　　Saat ini sudah banyak orang berkerumun di depan rumah teh menyaksikan keributan. Jika di depan banyak orang yang menyaksikan, anjing besar itu mengeluarkan kantong uang dari sepatu A Fei dan membawanya kepada Nona, pasti akan jadi bahan gunjingan. 　　Jiang Si juga kebingungan saat ini. 　　Menghadapi manusia dia punya banyak cara, tapi menghadapi Er Niu, meski ada cara pun dia tidak tega melakukannya. 　　Dalam kepanikan, Jiang Si berteriak lemah: "Er Niu——" 　　Setelah berteriak, Jiang Si menggelengkan kepala. 　　Mungkin karena kejadian waktu itu dimana Er Niu bersikap istimewa padanya, membuatnya tanpa sadar mengira Er Niu masih anjing yang selalu patuh padanya. Tapi kenyataannya tentu tidak demikian. 　　Antara dirinya dengan Er Niu, bahkan pemilik Er Niu, telah terpisah oleh kehidupan masa lalu dan kini. 　　Bagi Er Niu, dia hanyalah orang asing yang menarik perhatiannya karena suatu hal. 　　Er Niu yang sedang menggigit-gigit A Fei di lantai bawah tiba-tiba berhenti, mengangkat kepala dengan bingung memandang ke arah jendela. 　　Memanfaatkan kesempatan ini, A Fei menutupi pantatnya dan lari sekencang-kencangnya, setelah lari beberapa zhang dia memberanikan diri menoleh ke belakang dengan gemetaran. 　　“Apakah anjing mati itu sudah mengejar kemari?” 　　Melihat anjing besar itu duduk di tempat dengan kaki depan menyangga, A Fei menghela napas lega lalu langsung menghilang dari pandangan. 　　“Guk——” Anjing besar itu menyalak merana ke arah kepergian A Fei, lalu menengadah ke arah rumah teh. 　　Di jendela rumah teh, sosok Jiang Si sudah tak terlihat lagi. 　　Ah Man khawatir melirik ke luar: “Nona, jangan-jangan anjing itu naik mencari Tuan?” 　　Jiang Si menggeleng. 　　Sekarang dia benar-benar tak paham apa yang terjadi, apakah Er Niu benar berhenti karena mendengar teriakannya tadi? 　　“Guk——” Anjing besar itu menengadah, menyalak merana lagi. 　　Hati Jiang Si langsung meleleh. 　　Haruskah turun untuk melihat? 　　Tapi kalau dia sering berinteraksi dengan Er Niu, pasti tak bisa menghindar dari si brengsek itu. 　　Hingga kini, Jiang Si masih kesal mengingat hubungannya dengan Yu Qi. 　　Dengan santainya dia menyusup ke hidupnya, tapi menyembunyikan status sebagai Pangeran Ketujuh. Hanya bilang sebagai rakyat Zhou yang tinggal di perbatasan, kenal tetua Suku Wu Miao karena urusan dagang keluarga. 　　Baru setelah dia mengangguk setuju menikah, barulah dia buka identitas asli, dan melarangnya mundur! 　　Andai tahu dia Pangeran Ketujuh, pasti akan menjaga hati dan menjauh, takkan mati mengenaskan kemudian. 　　“Ini binatang yang menggigitku hari itu! Bunuh segera!” Terdengar teriakan menggelegar dari luar jendela. 　　Tambahan terima kasih untuk adulanxing、Dongcao1125、Wanzhao Qingkong、Nuniu Niu1、Moyu Monyi、Tingshui Luoye?、Jingmi Jingmi、Hanxiang Linxue、Yueguang Guangzhao Dajiang、Guling Piaoluo Yan atas hadiah He Shibi, sisanya akan dilanjutkan besok. Ding, Er Niu si anjing pembawa rezeki muncul, minta bulanan untuk diberi makan. 50. BAB 50 Anjing Milik Orang Lain 　　BAB 50 Anjing Milik Orang Lain 　　Keriuhan terdengar di jalanan. 　　Jiang Si bergegas mendekati jendela dan melihat ke bawah. 　　Beberapa preman mengerubungi Er Niu, mendekatinya dengan hati-hati sambil memegang tongkat kayu tebal. 　　Tak jauh dari situ berdiri dua orang berdampingan, satu mengenakan jubah brokat dengan kipas lipat, satunya lagi memakai jubah lurus warna putih bulan. 　　Keduanya dikenal oleh Jiang Si. 　　Yang berjubah brokat adalah Cui Yi, putra Putri Rongyang dan Jenderal Cui Xu, yang baru-baru ini digigit Er Niu di jalanan. Satunya lagi adalah Yang Shengcai, cucu Menteri Ritus. 　　Pandangan Jiang Si tertahan sejenak di wajah Yang Shengcai. 　　Pemuda yang tampak tak lebih tua dari kakaknya ini, meski bermuka manusia, adalah dalang kematian kakaknya. 　　Tapi dia hanya tahu kematian Kakak Kedua terkait dengan Yang Shengcai, tanpa detail pasti. 　　"Nona, anjing itu bisa mati dipukuli mereka. Haruskah hamba turun membantu?" Ah Man menjulurkan kepala, wajahnya penuh kekhawatiran. 　　Jiang Si menatap ke bawah sambil menggigit bibirnya: "Untuk sementara kita lihat dulu." 　　Menurut pengetahuannya tentang Er Niu, para algojo itu belum tentu bisa mengalahkan Er Niu. 　　"Nona, hamba jadi tegang melihat anjing itu dikepung mereka." Ah Man tak sadar mencengkeram tepi jendela. 　　"Namanya Er Niu." 　　Ah Man menoleh ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum: "Anjing itu bernama Er Niu, sudah punya nama." 　　"Bagaimana Nona tahu?" Ah Man bertanya heran. 　　Jiang Si terdiam sejenak, batuk kecil lalu berkata: "Dengar pemiliknya memanggil begitu." 　　Mata Ah Man berkedip-kedip mengingat pemuda yang lebih tampan dari Jiang Zhan, spontan berkomentar: "Itu si pencopet ganteng itu ya!" 　　Wajah Jiang Si memerah lalu berubah gelap: "Ini sebutan macam apa?!" 　　Apa karena tampan lalu jadi bisa dimaafkan jadi pencopet? 　　Ah Man mengedipkan mata dengan wajah polos: "Menurut hamba sebutannya pas sekali." 　　"Cukup!" Jiang Si membentak singkat, perhatiannya tertarik keributan di bawah. 　　Seorang algojo meneriakkan pekikan sambil mengayunkan tongkat ke arah Er Niu. 　　Er Niu lincah menghindar, lalu melompat dan menggigit pergelangan tangan orang itu. 　　Orang itu menjerit kesakitan, tongkatnya terjatuh ke tanah. 　　Yang lain langsung menghujani dengan tongkat secara membabi-buta. 　　"Er Niu menggigit orang itu tidak melepaskan gigitan, kedua kaki belakangnya menendang keras ke wajah seseorang yang mendekatinya, lalu melompat beberapa kali dengan lincah di antara para preman." 　　"Saat penonton sadar, beberapa preman sudah tergeletak di tanah, memegang luka sambil menjerit kesakitan." 　　"Orang-orang tak kuasa menggosok mata mereka." 　　"Anjing ini benar-benar sakti!" 　　"Anjing besar itu menengadahkan kepala dan melangkah mendekati Cui Yi dengan Yang Shengcai, menginjak wajah seorang preman yang tergeletak tanpa sekalipun melirik." 　　"Para penonton merasa ngeri," 　　"Anjing ini bukan hanya sakti, tapi juga sangat angkuh. Anjing siapa ini sebenarnya?" 　　"Nona, hamba merasa tadi Er Niu menggonggong ke arah Paduka?" 　　"Jiang Si tidak menjawab, matanya mengikuti gerakan anjing besar itu." 　　"Dari gonggongan Er Niu tadi, dia mendengar nuansa menenangkan." 　　"Apakah Er Niu takut dia khawatir?" 　　"Jangan mendekat! Jangan--" Menghadapi Er Niu yang terus melangkah mendekat, Cui Yi jelas mengalami trauma psikologis berat, wajah pucat mundur perlahan. 　　"Cui Yi, anak buahmu payah sekali. Beberapa orang tak bisa mengalahkan seekor anjing." Yang Shengcai mengusap dagunya mengejek. 　　"Cui Cheng, Cui Gong! Kalian ini mayat hidup? Cepat muncul!" teriak Cui Yi. 　　"Dua bayangan manusia nyaris bersamaan mendarat di depan Cui Yi." 　　"Ekspresi Cui Yi mulai rileks, tangannya mengibas-ngibaskan kipas lipat." 　　“Untung dia punya pandangan jauh ke depan. Setelah dikepung gerombolan anjing waktu itu, dia tahu para pengawal ini tidak bisa diandalkan. Akhirnya, dia merengek-rengek pada ayahnya hingga mendapat dua mantan prajurit tua yang pensiun dari medan perang.” 　　“Dua prajurit tua ini sudah mengalami ratusan pertempuran dan membunuh tanpa berkedip. Menangani anjing pincang ini bagaikan mencabut rumput bagi mereka.” 　　Ekspresi Jiang Si yang selama ini hanya menonton seperti melihat pertunjukan tiba-tiba menjadi serius. 　　Dia mencium aroma medan perang yang melekat pada kedua pria ini. 　　“Nona, apakah kita harus turun? Hamba merasa kedua orang ini tidak biasa.” Ah Man mulai ikut tegang. 　　“Tidak. Turun justru tidak membantu. Dari sini kita bisa mengawasi situasi dengan lebih baik.” Jiang Si berpikir sejenak lalu mengurungkan niat impulsifnya. 　　“Dulu dia pernah belajar beberapa jurus licik dari Yu Qi. Meski bisa mengejutkan orang biasa, jelas tidak cukup untuk menghadapi lawan sebenarnya. Sedangkan Ah Man, ilmu beladirinya di hadapan dua pria biasa ini mungkin hanya gerakan kosong belaka.” 　　Er Niu sangat sensitif terhadap aura kedua pria paruh baya ini. Bulunya langsung berdiri sambil mengeluarkan suara geram rendah. 　　Dua manusia dan seekor anjing segera bertarung. 　　Penonton yang mengerumun menahan napas. Dari kekacauan pertarungan ini, mereka seolah melihat kekerasan medan perang bersenjata. 　　“Salah satu orang itu kakinya digigit Er Niu hingga terkoyak daging, darah mengalir deras. Sementara Er Niu yang sebelumnya begitu gesit menghadapi para preman, kini terengah-engah dengan mulut menganga dan lidah terjulur.” 　　“Kaki pincang itu akhirnya memperlambat gerakan anjing besar di saat-saat kritis.” 　　“Nona, sepertinya Er Niu akan kewalahan.” Situasi di bawah semakin memanas, membuat Ah Man tak bisa diam lagi. 　　Jiang Si menyodorkan cangkir teh ke tangan Ah Man: “Pegang ini baik-baik. Jika Er Niu terdesak, lemparkan benda ini ke orang berbaju brokat itu.” 　　Yang dimaksud Jiang Si adalah Cui Yi. 　　“Sebenarnya di antara kedua orang itu, kebenciannya lebih tertuju pada Yang Shengcai. Tapi dua pria paruh baya itu adalah kaki tangan Cui Yi, tentu lebih memperhatikan keselamatan Cui Yi.” 　　“Dasar binatang! Lihat kau masih berani sok jago!” Kesal dipermalukan oleh anjing pincang, salah seorang pria tiba-tiba mengeluarkan pisau berkilat dari ikatan kakinya dan menusukkannya ke Er Niu. 　　“Sembelih dia! Hari ini kita makan daging anjing!” teriak Cui Yi penuh semangat. 　　“Seharusnya dari tadi pakai pisau untuk menguliti binatang ini! Dua orang tua kolot ini terlalu kaku.” 　　“Menurut hukum Dinasti Zhou, rakyat biasa dilarang membawa senjata tajam. Tapi kalangan istimewa seperti Cui Yi jelas tidak terikat aturan ini.” 　　Kilau pisau yang menusuk mata memantulkan cahaya dingin di bawah terik matahari, membuat kerumunan penonton spontan mundur. 　　Ah tidak lagi ragu, melemparkan cangkir teh sekuat tenaga. 　　Cangkir berwarna langit melengkung di udara, tepat menghantam dahi Cui Yi. 　　Cui Yi menjerit kesakitan, rubuh terjengkang ke belakang. 　　Dua orang yang sedang berkelahi dengan Er Niu segera bergegas ke arah Cui Yi. 　　Tiba-tiba bayangan hitam-kuning menyambar lebih dulu ke tempat itu. 　　Anjing besar setinggi pinggang menindih Cui Yi yang berdarah di dahi dengan cakar depannya, mengibaskan ekor dengan santai sambil menatap dua orang yang mendekat. 　　Cui Yi yang ketakutan sampai tak merasakan sakit di dahinya, gagap berteriak: "Cepat... cepat selamatkan aku--" 　　"Hewan busuk! Minggir sekarang!" teriak seorang pria paruh baya. 　　Er Niu meliriknya. 　　Pria itu tertegun, seolah matanya berkunang-kunang. 　　Mengapa dia bisa melihat tatapan merendahkan dari mata anjing ini? 　　Pasti salah lihat. 　　Tiba-tiba anjing besar itu mengangkat cakarnya, lalu dengan santai menekan tenggorokan Cui Yi. 　　Seluruh ruangan langsung hening. 　　Anjing ini pasti sudah jadi siluman! 　　Update pertama. Saat ini Daftar bacaan sudah mencapai 86, masih kurang 14. Mohon bantuan teman-teman pembaca yang punya Daftar bacaan untuk menambahkan, bantu Liu Ye menyelesaikan target acara. Selain itu mohon dukungan Suara bulanan, jumlahnya masih jauh dari target. 51.Bab 51 Petugas Resmi Datang 　　Bab 51 Petugas Resmi Datang 　　"J-jangan gegabah, tolong jangan gegabah," kata Cui Yi yang tertindih anjing besar sambil gemetar tak berdaya. 　　“Anjing lebih menakutkan daripada manusia. Paling tidak manusia bisa diancam atau disuap, tapi anjing sama sekali tidak bisa diajak berunding! Begitu cakar mendarat di tenggorokannya, dia bisa mati muda!” 　　Cui Yi semakin berpikir semakin ketakutan. Dia bisa merasakan jelas hembusan napas anjing besar itu di wajahnya, bahkan beberapa tetes air liur sesekali menetes. 　　"Huu... huu..." Anak laki-laki manja yang tumbuh dalam kemewahan ini tak tahan lagi menahan tekanan, meledak dalam tangisan. 　　Suasana tegang yang awalnya mencekam tiba-tiba menjadi canggung karena tangisannya ini. 　　Banyak warga yang menyaksikan berpikir dalam hati: Si culun bermuka minyak ini biasanya sombong saat mengganggu orang, ternyata seekor anjing saja sudah membuatnya ciut nyali. Lebih baik anjing itu membereskan dia sekalian. 　　Dua pria paruh baya menyembunyikan pandangan hina di mata mereka. 　　Ternyata mereka mengabdi pada sampah seperti ini. 　　Tapi apapun yang mereka pikirkan, jika terjadi sesuatu pada Cui Yi di depan mata mereka, konsekuensinya akan berat. Salah satu dari mereka diam-diam mengeluarkan busur lengan dari balik lengan baju. 　　Ini adalah barang terlarang. Jika ketahuan, masalahnya bisa besar atau kecil, tergantung apakah ada yang sengaja mempermasalahkannya. 　　"Bahaya!" Jiang Si yang berada di posisi tinggi memiliki pandangan yang lebih luas daripada kerumunan di jalanan. Sekilas dia melihat bayangan busur panah yang setengah tertutup lengan baju pria itu. 　　Senjata jarak jauh seperti ini sangat mengancam Er Niu. 　　"Jiang Si tidak bisa tetap tenang lagi!" Ia berbalik dan bergegas turun, namun tiba-tiba mendengar suara familiar: "Apa yang kalian lakukan pada anjingku?" 　　Suara itu jernih bagai aliran sungai di pegunungan, tanpa sedikit pun nuansa duniawi, seketika menyedot perhatian orang-orang. Bahkan Cui Yi secara refleks menengadahkan kepala mencari sumber suara. 　　Er Niu menjejakkan cakarnya di wajah Cui Yi, lalu menyalak dengan manja ke arah pendatang. 　　Yu Qi berjalan mendekat dengan langkah tegas, sorot matanya dingin: "Apa yang kalian lakukan pada anjingku?" 　　Cui Yi yang terimpit cakar anjing hampir meronta-ronta, menggigit gigi: "Lihat baik-baik, siapa yang sedang melakukan apa pada siapa!" 　　"Guk!" Er Niu memberi peringatan dengan salakan ke arah Cui Yi. 　　Cui Yi langsung membeku ketakutan, matanya berkedip-kedip panik mencari bantuan ke temannya Yang Shengcai. 　　Ekspresi Yang Shengcai saat ini juga cukup kompleks. 　　Anjing ini benar-benar galak. Baru kali ini dia melihat anjing seganas ini. Kenapa anjing peliharaannya sendiri jinak seperti anak domba? 　　Anjing orang lain... 　　Mata Yang Shengcai yang penuh iri beralih ke pemilik anjing, lalu berbinar saat melihat wajahnya. 　　Orang ini tampan sekali! 　　"Ini anjingmu?" Ucapan yang seharusnya penuh kesombongan itu kini tanpa sadar melunak. 　　Cui Yi yang masih terinjak cakar ingin sekali melompat dan menendang Yang Shengcai. 　　Dasar bajingan, kebiasaan lamanya kambuh lagi saat melihat wajah tampan. 　　“Kau… Cepat suruh anjingmu pergi!” Cui Yi sadar tak bisa mengandalkan teman-temannya, sambil berusaha tidak memprovokasi anjing besar itu, ia merendahkan suaranya. 　　Yu Qi sudah berdiri di hadapan Cui Yi, memandangnya dari posisi yang lebih tinggi. 　　Dari sudut pandang Cui Yi, ia bisa melihat jelas kilau dingin dan sikap acuh tak acuh di mata hitam pekat seperti giok milik lawannya. 　　Sorotan mata seperti itu tiba-tiba membangkitkan rasa malu yang mendalam dalam diri anak orang kaya yang dimanja sejak kecil ini. 　　Asalkan bisa melewati krisis ini, pasti akan dibalasnya perbuatan si anak ini! 　　“Minta maaf ke anjingku.” 　　“Apa?” Cui Yi mengira dirinya salah dengar. 　　Yang Shengcai yang berdiri di sampingnya juga sudah sadar dari kekaguman awal, ikut nimbrung: “Kakak salah tangkap ya? Anjing kecil kurang ajar ini yang menyerang temanku. Lihat, temanku masih tertekan di bawahnya. Kok malah suruh minta maaf?” 　　Yu Qi memandang Yang Shengcai dengan heran: “Bukannya urusan didik-mendidik itu tanggung jawab ayahmu? Apa hubungannya denganku?” 　　“Didik mendidik aku? Omonganmu kok nggak nyambung--” 　　Beberapa penonton yang paham maksudnya tak bisa menahan tawa. 　　Begitu tawa itu terdengar, Yang Shengcai baru tersadar. 　　Anak ini menyindirnya sebagai binatang! 　　“Brengsek! Berani-beraninya menghina aku!” Muka Yang Shengcai langsung memerah karena malu dan marah. 　　“Siapakah Yang Shengcai itu? Kakeknya adalah Menteri Ritus kekaisaran, kakak perempuannya adalah permaisuri putra mahkota, dia adalah anak emas borjuis ibu kota yang disepuh emas, sekarang malah dihina di jalanan sebagai anak kurang ajar?” 　　Ini sudah melampaui batas kesabaran! 　　Yang Shengcai mencabut cambuk baja yang melingkar di pinggangnya dan menghujamkannya ke arah Yu Qi. 　　Er Niu melihat tuannya diserang justru tenang-tenang saja, menunduk dan menjilati wajah Cui Yi beberapa kali. 　　Di depan mata Cui Yi berkunang-kunang, yang justru dibencinya saat ini bukan Yu Qi dan anjing besar itu, melainkan Yang Shengcai. 　　Dasar bajingan! Dia ingin menguburku hidup-hidup! 　　Cambuk itu menyambar tubuh Yu Qi dengan momentum yang ganas. 　　Yu Qi tersenyum, dengan tangkap balik menangkap cambuk panjang itu. 　　“Lepaskan sekarang!” teriak Yang Shengcai dengan wajah merah padam. 　　“Apa yang terjadi di sini?” Sekelompok petugas akhirnya datang terlambat. 　　Penonton secara spontan membuka jalan, diam-diam bersimpati pada Yu Qi. 　　Sayang sekali kalau pemuda tampan ini ditangkap dan dijebloskan ke penjara. 　　Yang Shengcai langsung merasa punya sandaran, marah-marah: “Apa Pasukan Kota Lima ini cuma makan gaji buta? Anjing galak melukai orang, penjahat mengamuk di jalanan, begini caranya kalau mengurus keamanan ibu kota?” 　　Pemimpin petugas mengacungkan pedang ke arah Yu Qi: “Lepaskan!” 　　Yu Qi menyunggingkan senyum menghina ke arah Yang Shengcai, tangannya menambah tenaga. 　　Yang Shengcai langsung meledak amarahnya. 　　"Bajingan ini berani menantang di depan petugas!" 　　Tanpa sadar dia menarik cambuk ke belakang, tak menyangka lawan malah melepaskan pegangan. 　　Karena momentum, Yang Shengcai terhuyung mundur beberapa langkah persis menghantam veteran tua yang memegang busur lengan. 　　Veteran tua itu dalam hati berteriak "celaka", namun belum sempat menyembunyikan busur lengan, badai kuning-hitam sudah menerjang, menggigit pergelangan tangannya. 　　Kesakitan, tangan veteran tua itu melepaskan busur lengan yang jatuh ke tanah. 　　Er Niu menyambar busur lengan dan berlari kencang ke depan Yu Qi. Melihat sang tuan melirik petugas kepala dengan santai, anjing itu seolah mengerti maksud tuannya. Ia membawa busur lengan ke depan petugas kepala dan meletakkannya di kaki mereka. 　　Petugas kepala langsung membeku. 　　Menyimpan panah busur secara ilegal - ini bukan tuduhan sepele! 　　"Apa yang kalian tunggu? Cepat tangkap orang dan anjing ini!" teriak Cui Yi sambil bangkit. 　　Bibir petugas kepala berkedut, matanya tertuju pada busur lengan yang menusuk pandang. 　　Dengan banyak saksi mata, sulit baginya untuk main belakang. 　　Cui Yi mengikuti pandangan petugas kepala, berkata enteng: "Ini senjata pengawal untuk melindungiku. Ada apa? Kenapa belum menangkap mereka?" 　　"Benar, mengapa Tuan Petugas belum bertindak?" Yu Qi menatap busur lengan di tanah dengan tenang, "Apakah ada undang-undang Zhou yang memperbolehkan pengawal pejabat sipil menyimpan busur lengan secara ilegal?" 　　Setetes keringat dingin mengalir dari dahi kepala petugas. 　　Kalau ini belati mungkin masih bisa dimaklumi, tapi ini anak panah mematikan! 　　Di hadapan semua orang, kepala petugas memberi isyarat menenangkan pada Cui Yi: "Tuan Cui, maaf, dua orang ini harus saya bawa." 　　Ia menoleh ke Yu Qi dengan dingin: "Menggunakan anjing untuk melukai orang adalah kejahatan mengganggu ketertiban. Bawa orang ini! Anjingnya tembak mati di tempat!" 　　Update kedua. Terus mohon dukungan suara bulanan. 52.Bab 52 Anjing Pembawa Rezeki (Update Tambahan He Shibi) 　　Bab 52 Anjing Pembawa Rezeki (Update Tambahan He Shibi) 　　Ah Man di depan jendela lantai dua menarik lengan baju Jiang Si: "Nona, dengar tidak? Petugas mau membunuh Er Niu. Apa majikannya bisa berbuat sesuatu?" 　　Sejak kemunculan Yu Qi, ketenangan Jiang Si mulai menghilang, buku-buku jarinya memutih karena genggaman terlalu kencang. 　　"Apa?" 　　Ah Menepuk dahinya: "Nona, kenapa malah melamun? Er Niu mau dipukuli sampai mati oleh petugas!" 　　"Tidak mungkin." Gumam Jiang Si. 　　Ah Man membelalak: "Kenapa tidak mungkin? Satu orang tak bisa lawan banyak, apalagi Er Niu cuma anjing. Pasti tidak bisa kabur dari banyak petugas." 　　Jiang Si perlahan tenang: "Lihat saja. Pasti majikannya punya cara." 　　Pangeran Ketujuh Yu Qi berbeda dengan pangeran lain. Karena alasan khusus, ia tinggal di luar istid sejak kecil, kemudian pergi ke wilayah selatan. Tahun ini seharusnya adalah waktu ia kembali ke ibukota dari selatan, namun tak lama kemudian pangeran ketujuh yang tak dikenal ini menghilang dari ibukota bagai bunga sepatu yang mekar semalam. 　　Pada waktu yang sama di kehidupan sebelumnya, tentu saja Jiang Si belum mengenal Yu Qi. Informasi ini baru ia ketahui setelah pernikahan besar. 　　Ibu kandung Yu Qi, Ibu Suri Xian, berasal dari Keluarga An Guogong. Ia adalah bibi kandung Ji Chongyi. Dengan perhitungan ini, Jiang Si harus memanggil Yu Qi sebagai "sepupu" mengikuti sebutan Ji Chongyi. 　　Meski pada hari pernikahan itu kepalanya tertutup kain dan tak tahu situasi luar, ia kemudian mendengar kabar tentang kehadiran Yu Qi di pernikahan dari gossip dayang-dayang dan pelayan. 　　Ibu Suri Xian memiliki dua putra, yaitu Pangeran Keempat dan Pangeran Ketujuh. 　　Meski tak bisa hadir di pernikahan keponakannya, Pangeran Keempat pasti hadir. Namun Yu Qi yang baru kembali dari selatan jarang terlihat di depan umum, apalagi menghadiri pesta. Orang-orang diam-diam menyebut pangeran ini berwatak dingin dan aneh, sehingga kehadirannya di pesta pernikahan An Guogong memuaskan rasa ingin tahu banyak orang. 　　Konon pada hari itu Pangeran Ketujuh sedang gembira dan terlalu banyak minum. 　　Jiang Si mengingat-ingat masa lalu sambil bersembunyi di balik jendela, mengamati pemuda bangsawan di jalanan bawah. 　　“Baru kembali ke ibu kota, petugas Wucheng Bingmasi pasti tidak tahu identitas aslinya. Tapi dia bukan orang yang mau dirugikan, tidak mudah bagi orang lain untuk menyakiti Er Niu di hadapannya.” 　　“Mengingat hal ini, Jiang Si semakin tenang, malah tertarik melihat bagaimana Yu Qi akan keluar dari masalah.” 　　“Dia bersandar pada kisi-kisi jendela berukir, wajahnya sedikit mencuat ke luar.” 　　“Di bawah, pemuda seteguh pohon pinus itu seolah merasakan sesuatu, menoleh ke arah jendela.” 　　“Dalam sekilas pandang, pemuda itu merasakan debaran jantungnya seperti genderang, wajah pucat bagai giok membara dipenuhi semburat merah.” 　　““Bawa pergi!” Tak merasakan ketegangan tersembunyi, petugas kepala mengangkat tangan. Segera banyak petugas bersenjata mengerumuni Yu Qi dan anjing besar itu.” 　　““Anjing buas mengamuk?” Ekspresi Yu Qi kembali normal, mata phoenix-nya menyipit dengan senyum santai, “Tuan petugas baru datang, mata mana yang melihat anjing saya mengamuk?”” 　　“Petugas kepala mendesis: “Kami tidak buta! Baru saja melihat anjingmu menerjang Tuan Cui sampai terjatuh. Ini jelas anjing berbahaya yang harus dimusnahkan untuk keamanan warga!”” 　　“Penonton sekitar mengangguk pelan.” 　　“Anjing besar itu memang menakutkan. Meski seru melihatnya menggertak para playboy, bagaimana jika nanti mengigit orang lain...” 　　Yu Qi mengelus kepala Anjing Besarnya sambil berkata dingin: "Petugas keliru. Anjingku takkan menggigit tanpa alasan. Ia hanya membela diri." 　　"Sampai di sini," ekspresi Yu Qi (Pangeran Ketujuh) mendadak tegas, suaranya dingin, "Dua pelayan jahat ini berniat mencelakai pejabat istana, menurut petugas ini termasuk pasal apa?" 　　"Pejabat istana?" Petugas keamanan pemimpin tak bisa menahan diri merapikan sikap, nadanya mulai berhati-hati, "Berani bertanya, Yang Mulia ini——" 　　Di ibu kota ini, pejabat adalah hal yang paling mudah ditemui. Genting yang jatuh sembarangan di jalanan bisa saja menghantam seorang pejabat kelas lima. Untuk bertahan hidup di wilayah ini, harus cerdik dan lincah. 　　Yu Qi tidak menghiraukan petugas pemimpin, tangannya memijat-mijat bulu tebal di tengkuk Er Niu. 　　Er Niu bangun sambil mengibas-ngibaskan debu di bulunya, tiba-tiba kedua kaki depannya terangkat dan menyandar di bahu petugas pemimpin. 　　Petugas pemimpin itu terkejut setengah mati. 　　"Jangan panik, Tuan. Lihatlah lempengan tembaga di lehernya." Yu Qi mengingatkan dengan suara lembut. 　　Dengan wajah pucat, pandangan petugas pemimpin turun ke leher Anjing Besar. Baru sekarang ia menyadari ada kalung di sana. Karena bulu anjing itu terlalu lebat, kalung berwarna serupa itu mudah terlewatkan. 　　Melihat petugas tak bereaksi, Er Niu tak sabar menggoyang-goyangkan kepala. Seketika bulu anjing beterbangan, lempengan tembaga kecil yang tergantung di kalung jatuh entah dari mana. 　　"Petugas kepala mengulurkan tangan dan membalikkan plakat tembaga, terlihat tulisan: Kaisar menganugerahkan Panglima Xiao Tian kelas lima..." 　　Tangan petugas kepala gemetar, plakat tembaga jatuh kembali. 　　Er Niu mengejek dengan suara "Guk!". 　　Pandangan petugas kepala pada anjing besar itu tak terucapkan, lama tak bisa berkata-kata. 　　Sialan, anjing hina ini pangkatnya lebih tinggi darinya! 　　Cui Yi yang wajahnya berlumuran darah hampir meledak marah: "Apa yang sebenarnya terjadi? Masih mau menangkap orang tidak?" 　　Petugas kepala tersadar dari keterkejutannya, melambaikan tangan besar: "Tangkap, bawa kedua orang yang menyimpan senjata ilegal ini!" 　　"Apa?" Cui Yi membeku. 　　Naskahnya agak melenceng! 　　Melihat petugas benar-benar mulai menangkap, Cui Yi menarik lengan petugas kepala dan berbisik marah: "Kau gila hari ini? Orangku juga kau tangkap?" 　　Bagi Cui Yi dan Yang Shengcai - puncak golongan playboy - mereka sudah akrab dengan petugas. Biasanya tak pernah dipermalukan seperti ini. 　　Petugas kepala tersenyum pahit: "Tuan Cui, banyak warga yang menyaksikan. Harus ada proses formal, kalau tidak tugasku terancam dan para censor mungkin akan menyusahkan Jenderal." 　　Kalau anak sialan seperti ini anakku, sudah kubuang ke toilet. 　　"Baik, orangku boleh kau bawa, tapi anjing ini harus dibunuh!" 　　"Ini tidak mungkin--" 　　“Kenapa tidak bisa? Meskipun bocah ini adalah pejabat istana, anjingnya bisa ikut naik pangkat sampai kau mau merendahkan diri seperti ini?” 　　Petugas kepala juga mulai kesal, berkata dengan dingin: “Tuan Cui, jangan menyulitkan bawahan ini. Pejabat istana yang dimaksud adalah sang anjing mulia ini.” 　　“Apa?” Ekspresi Cui Yi terlihat kebingungan. 　　Untuk menghindari komplikasi, petugas kepala mendekat dan berbisik di telinga Cui Yi. 　　Mata Cui Yi tiba-tiba membelalak, tapi yang ditatap bukan anjing besar itu melainkan Yu Qi. 　　Hanya ada satu orang di seluruh negeri yang memiliki anjing berpangkat pejabat kelas lima. Identitas orang di hadapannya sudah jelas tertebak. 　　Sebagai anak pejabat nakal yang bisa hidup enak sampai sekarang, apa yang paling penting? Tentu informasi yang akurat! 　　Bibir Cui Yi bergetar, tiba-tiba ia menyunggingkan senyum palsu ke arah anjing: “Err... hari ini ada kesalahpahaman, maaf ya.” 　　“Cui Yi, kau idiot ya?” Yang Shengcai hampir terkejut sampai rahangnya copot. 　　Cui Yi mengusap darah kering di wajahnya, menarik Yang Shengcai pergi: “Silakan lanjutkan urusan, aku bawa si idiot ini dulu.” 　　“Kau cari masalah ya?” 　　…… 　　Keduanya segera menjauh, para preman pun bubar meninggalkan dua prajurit tua yang hampir menangis. 　　Melayani tuan idiot seperti ini, benar-benar sial tujuh turunan! 　　“Anda—” petugas kepala membuka mulut. 　　Yu Qi menggeleng hampir tak terlihat, menepuk kepala anjingnya: “Er Niu, ayo pergi.” 　　"Nona, Er Niu baik-baik saja, orang-orang sudah pergi." Ah Man mengusap dadanya, rasa ingin tahu muncul, "Apakah pemilik Er Niu yang masih muda ini sudah menjadi pejabat istana?" 　　Beberapa orang di lantai bawah tadi sengaja menurunkan suara saat berbicara, orang lain sulit mendengar jelas. 　　Memikirkan suatu kemungkinan, Jiang Si tersenyum: "Mungkin, mari kita pergi juga." 　　Setelah kerumunan penonton perlahan bubar, tuan dan pelayan baru turun, berjalan santai menuju Dongping Bo Residence. 　　Dari Tianxiang Teahouse ke Dongping Bo Residence harus melewati beberapa jalan, saat tuan dan pelayan mendekati Gang Quezi tiba-tiba mendengar suara "guk" yang familiar. 　　Langkah Jiang Si terhenti. 　　Ah Man melihat anjing besar menggigit kantung berwarna biru safir berlari ke arah mereka, girang: "Nona, Er Niu mengantar uang lagi untuk Anda." 　　Update tambahan terima kasih untuk hadiah He Shi Bi dari: Li Hai Le Wo De Ken, Chana Yi Guo Qian Nian, Gu Ling Piao Luo Yan, Lv Luo Yu, Yuan Xiao Qin, Yao Yi, Ye Zi Jing Qiao Qiao, Xiu Gu Qing Song, Mo Yu Mo Yi, Wo Nai Da Luo Jin Xian. Empat update untuk hadiah telur roh tersisa akan segera dilunasi, hore. Tidak ada update setelah tengah malam nanti, silakan tidur lebih awal, tunggu besok jam 10. Lanjut minta suara bulanan. 53. Bab 53 Menjual Diri untuk Bayar Utang 　　Bab 53 Menjual Diri untuk Bayar Utang 　　Er Niu segera berlari ke sisi Jiang Si, mengibaskan ekor dan menggosokkan moncongnya ke tangan Jiang Si. 　　Melihat ekspektasi di mata anjing besar itu, Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Ini untukku?" 　　Er Niu mengeluarkan suara merengek dari tenggorokannya, menyodokkan kantong uang ke tangan Jiang Si. 　　Jiang Si tak tegas menolak niat baik si anjing. Setelah membuka kantong dan melihat isinya, ia tersenyum memberikan pada Ah Man: "Bawa pulang keping emas dan perak ini, bakar kantongnya di tungku perapian." 　　Ah Man menjawab riang, membuka kantong dan matanya langsung berbinar: "Nona, kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Kita simpan sendiri?" 　　Ia masih ingat harta dalam kantong terakhir ditolak mentah-mentah oleh nona, semua diberikan pada Tuan Kedua sampai ia diam-diam sakit hati. 　　"Simpan saja." Pengalaman pertama canggung, kedua kali sudah terbiasa. Tak perlu menolak uang. 　　Langkah kaki pelan terdengar, Er Niu tiba-tiba memutar kepala dan menggonggong dua kali seolah mendesak. 　　Melihat sosok yang muncul, alis Jiang Si berkerut. 　　Seharusnya ia sadar, di mana ada Er Niu, pasti dia juga tak jauh. 　　"Ah Man, kita pergi." Sebelum Yu Qi (Pangeran Ketujuh) mendekat, Jiang Si berbalik hendak pergi tapi merasa ujung bajunya tertahan. 　　Jiang Si menunduk. Mata besar Er Niu yang berkilauan membulat, mengibaskan ekor dengan wajah polos. 　　"Er Niu, lepaskan." Jiang Si menghela napas. 　　Kini ia mulai curiga Er Niu ikut terlahir kembali bersamanya. Bagaimana lagi menjelaskan keakraban aneh si anjing ini? 　　"Perlu diketahui, Er Niu adalah anjing yang pernah mengalami perang, bukan hewan peliharaan yang hanya mencari perhatian manusia." 　　Er Niu mengibaskan ekornya, berpura-pura tidak mengerti. 　　Silakan bicara semaumu, yang penting dia tidak melepas gigitannya. 　　Bahkan Ah Man di samping tak bisa menahan diri untuk melirik, dalam hati bergumam: Kenapa ada perasaan palsu seolah anjing ini lebih licik darinya? 　　Selama tarik-ulur ini, Yu Qi sudah sampai di depan Jiang Si, jarak antara mereka hanya sekitar tiga meter. 　　Pada titik ini, Jiang Si malah menjadi tenang, dengan senyum menjaga jarak dia mengangguk ringan: "Tuan Yu, kebetulan sekali." 　　Yu Qi memandangi gadis yang sudah berada di depan matanya, tersenyum lebar: "Aku sengaja datang mencari Nona Jiang." 　　Senyum Jiang Si langsung menghilang: "Apa maksud Tuan Yu?" 　　Yu Qi tiba-tiba membungkuk dalam-dalam kepada Jiang Si: "Hari ini terima kasih atas pertolongan Nona Jiang kepada Er Niu." 　　Jiang Si menghindar dari sikap hormat Yu Qi, berkata dingin: "Tuan Yu bercanda, aku tidak melakukan apa-apa." 　　"Guk guk--" Er Niu tiba-tiba menggonggong ke arah Jiang Si. 　　Bohong, dia memang ditolong oleh Si Si, cepatlah majikan membalas budi untukku. 　　Yu Qi tersenyum dengan sudut mulut terangkat: "Lihatlah Nona Jiang, Er Niu sendiri mengakuinya." 　　Anjing besar itu segera mengangguk-angguk sambil mendengus. 　　Jiang Si tidak peduli dengan permainan akting antara seorang dan seekor anjing ini, tetap bersikeras menyangkal: "Aku benar-benar tidak mengerti maksud Tuan Yu. Sudah larut, aku harus pulang." 　　"Guk!" Er Niu menggonggong sekali menarik perhatian, lalu berlari ke pangkal tembok mulai menggaruk tanah. 　　Ah Man menutup mulutnya bergumam: "Jangan-jangan Er Niu menyimpan kantong uang di sini?" 　　Jiang Si melototi Ah Man. 　　Kapan dayangku menjadi begitu matre? 　　Ah Man menghela napas lalu diam. 　　Tak lama Er Niu kembali membawa sesuatu di mulutnya, meletakkannya di hadapan Jiang Si. 　　"Wah, cangkir itu!" seru Ah Man spontan setelah melihatnya. 　　Cangkir ini memang kokoh, setelah menghantam Cui Yi lalu terlempar ke tepi jalan, hanya ada retakan kecil tanpa kerusakan berarti. 　　Er Niu menggonggong ke arah Jiang Si, maksudnya jelas: Bukti anjing dan barang bukti lengkap, masih mau menyangkal? 　　Sudut mulut Jiang Si berkedut. 　　Kebiasaan Er Niu suka menyembunyikan barang tetap tak bisa diubah! 　　"Nona Jiang menggunakan cangkir ini untuk taktik 'mengelilingi Wei untuk menyelamatkan Zhao' saat Er Niu dalam bahaya." Yu Qi tersenyum memandang gadis yang tampak kesal itu, pandangannya lembut. 　　Gadis kecilnya telah tumbuh menjadi remaja yang memesona, sayangnya sudah lupa pertemuan singkat dulu, bahkan tak menyukainya. 　　Yu Qi berpikir demikian, matanya dipenuhi kesedihan. 　　“Bagaimana cara menyenangkan hati seorang gadis,” dia tidak punya pengalaman. 　　“Bagaimana cara menyenangkan hati seorang gadis yang tidak menyukainya,” dia bahkan lebih tidak punya pengalaman. 　　Sudahlah, lebih baik memaksakan diri untuk mendekatinya dulu. 　　Jiang Si memalingkan wajah, berkata datar: "Meski begitu, Tuan Yu tidak perlu terlalu sopan. Mungkin aku dan Er Niu memang cocok, ini hanya bantuan kecil saja." 　　Yu Qi (Pangeran Ketujuh) dengan serius menjawab: "Nona Jiang tidak mengerti hubunganku dengan Er Niu. Bagi Anda ini bantuan kecil, tapi bagiku ini adalah jasa penyelamatan nyawa." 　　Alis Jiang Si berkerut. 　　Tiba-tiba dia merasa si brengsek ini akan mengucapkan kata-kata memalukan. 　　"Ehem." Pemuda tampan bak pohon anggrek itu pipinya memerah, seolah tak berani menatap mata gadis itu. "Katanya jasa penyelamatan tak bisa dibalas. Apa pun permintaan Nona Jiang, Yu Jin pasti akan memenuhi dengan segenap tenaga." 　　Hati Jiang Si berdebar kencang. 　　Nama asli Yu Qi sebenarnya adalah "Jin", tak disangka di kehidupan ini dia sudah memberitahu nama aslinya lebih awal. 　　Tunggu, di hadapanku dia masih menggunakan marga "Yu". 　　Begitu teringat ini, riak di hati Jiang Si yang baru saja muncul pun kembali tenang. 　　Saat ini, Imam Suci Suku Wu Miao, A Sang, sudah tiada. Dan di ibukota dia bertemu denganku. 　　Bertemu dengan diriku yang sangat mirip dengan Imam Suci A Sang. 　　Sama seperti kehidupan sebelumnya, dia masih mendekatiku dengan identitas Yu Qi, untuk membujukku jatuh cinta dan dengan rela menjadi pengganti wanita yang dicintainya. 　　Untung ada pelajaran dari kehidupan sebelumnya, aku tak akan lagi melakukan kebodohan. 　　“Untunglah, aku masih menjadi Nona Keempat Jiang dari Dongping Bo Residence yang diceraikan tunangannya, bukan seorang Pendeta Wanita Suku Wu Miao yang hidup dengan identitas orang lain. Meski Yu Qi (Pangeran Ketujuh) berencana licik, kami tak mungkin lagi menjadi suami-istri.” 　　“Setelah memahami hal ini, tubuh Jiang Si yang tegang mulai mengendur. Senyum di sudut bibirnya semakin tenang: "Aku tak punya permintaan lain, Tuan Yu lupakan saja kejadian hari ini."” 　　Hati Yu Qi terasa getir. 　　Gadis ini tampak lemah seperti ranting willow, namun di hadapannya bagai tembok baja terpancang. Bagaimanapun ia berusaha keras, tak bisa membuat celah di benteng hatinya. 　　“Wu——” Er Niu mengibaskan ekornya menyapu sepatu Yu Qi, mengeluarkan suara kesal. 　　Mas kawin saja sudah diberikannya dua kali, sungguh menyebalkan melihat tuan seceroboh ini. 　　Bodohnya si tuan, tak sadarkah kalau anjing yang kebanyakan khawatir akan rontok bulunya? 　　“Setetes kebaikan harus dibalas dengan mata air berlimpah, apalagi kebaikan yang menyelamatkan nyawa. Jika aku melupakannya, bukankah aku menjadi pengkhianat?” Yu Qi tersenyum tenang di permukaan, namun hatinya berdebar-debar. 　　Sudah sejauh ini perkataannya, hampir-hampir menyatakan ingin menyerahkan diri. Masihkah ia akan ditolaknya? 　　Menurut pengawal, rupanya masih dianggap tampan di mata para nona. Mungkin... bisa sedikit menarik hatinya? 　　Jiang Si menarik napas halus, tersenyum datar: "Kalau begitu, berikan uang saja." 　　“Hah?” Ekspresi Yu Qi berubah seketika, tangannya refleks mengusap ujung hidung. 　　Dia sepertinya mengalami halusinasi pendengaran. 　　"No-nona, apa yang nona bicarakan?" Ah Man menahan dahi, hampir menangis. 　　Si pezinah ini tampan, punya status, dan punya anjing besar yang bisa mengumpulkan uang. Setidaknya nona harus menjaga image! 　　Dompet dan semacamnya, lebih baik dikelola pelan-pelan... 　　"Kalau Tuan Yu merasa tidak enak hati dan ingin membalas budi, berikan saja uang. Dengan begitu Tuan Yu bisa tenang." Jiang Si berkata datar. 　　Dengan sikap rakus dan malasnya ini, harapannya si pria akan menjauh? 　　"Menurut Nona Jiang, berapa yang pantas?" Yu Qi cepat pulih, tersenyum ringan bertanya. 　　Tawa itu seperti anggur tua yang baru dibuka setelah bertahun-tahun tersimpan, memancarkan aroma yang menggoda. 　　Wajah Jiang Si tiba-tiba memanas, dalam hati ia memaki diri sendiri, lalu mencari pembenaran. 　　Bukan karena keteguhannya kurang, tapi si bajingan ini memang terlalu dikaruniai rupa. 　　Kecintaan pada keindahan memang sudah kodrat manusia. 　　Jiang Si mengacungkan satu jari: "Mengingat Tuan Yu sangat menghargai Er Niu, mungkin 1000 tael akan membuat Tuan Yu lega." 　　"Seribu tael, tidak banyak." Pangeran Ketujuh tertawa. 　　"Hmm." Jiang Si menunggu pria itu mengeluarkan uang. 　　"Tapi aku tak punya uang. Sepertinya harus menjual diri untuk melunasi hutang." 　　"Apa?!" 　　Update pertama. 54.Bab 54 Keriuhan di Depan Pintu 　　Bab 54 Keriuhan di Depan Pintu 　　Jiang Si tahu dirinya bukan orang paling pintar, tapi tidak pernah sebekuk ini sebelumnya. 　　Bagaimana urusannya bisa berubah menjadi dia menjual diri untuk melunasi utang? Bukankah sebelumnya hanya membahas tentang membalas budi? 　　Keraguan gadis itu membuat sudut bibir Yu Jin sedikit terangkat, senyum tipis melintas, tapi ekspresinya tetap serius: "Sungguh memalukan, Jin tidak memiliki harta berharga, hanya tenaga kasar. Lebih baik mulai sekarang saya menjadi kurir Nona Jiang. Nona bisa memberikan upah kurir secukupnya yang dicatat di buku hutang. Ketika catatan hutang mencapai 1.000 tāel perak, berarti hutang sudah lunas." 　　Saat mengatakan ini, nada Yu Jin sangat sungguh-sungguh: "Mohon Nona Jiang jangan memberi upah kurir lebih karena mempertimbangkan adik kedua Jiang. Jika demikian, Jin akan kehilangan niat awal membalas budi, dan merasa lebih bersalah." 　　Sepasang mata indah Jiang Si membelalak lebar. 　　Menjual diri untuk melunasi utang, itu pun bukan seperti gadis penghibur kelas atas di rumah bordil, hanya menjadi kurir, malah meminta tarif pasar? Apakah dia berencana menempelinya seumur hidup? 　　Pangeran berdarah bangsawan ini membohonginya tentang kemiskinan dan bersikeras menjadi kurirnya – sudah pasti niatnya tidak baik. 　　Dulu, dengan cara membandel seperti inilah dia memperdayainya sampai jatuh ke pelukannya. 　　Bajingan tak tahu malu ini! 　　"Laki-laki dan perempuan berbeda, saya tidak perlu kurir." Jiang Si berkata dengan wajah dingin. 　　"Tapi bukankah pria yang keluar dari Tianxiang Teahouse tadi adalah kurir Nona Jiang?" Nada Yu Jin terdengar sedikit tersinggung. 　　Pria? 　　Jiang Si merenung sejenak lalu tersadar, wajahnya memerah marah: "Tuan Yu jangan-jangan memata-matai saya?" 　　Dia bertanya-tanya bagaimana mungkin begitu kebetulan, A Fei baru saja keluar dari rumah teh langsung digigit pantatnya oleh Er Niu. 　　Memikirkan hal itu, Jiang Si menurunkan pandangannya ke Er Niu dengan ekspresi rumit. 　　Dua kali bertemu Er Niu, dua kali juga melihatnya menggigit pantat orang - sebelumnya tidak tahu anjing ini punya kebiasaan begitu. 　　Teringat Er Niu di kehidupan sebelumnya yang sering menjulurkan lidah menjilati telapak tangannya dengan manja, sudut mulut Jiang Si berkedut. 　　Ini kebiasaan buruk, harus diubah! 　　Meski tak tahu isi hati Jiang Si, Er Niu seolah bisa merasakan penolakan dari nyonyanya, merintih sambil mengibas-ngibaskan ekornya dengan kencang. 　　Yu Jing mengelus bagian atas kepala berbulu anjing besar itu sambil tersenyum: "Nona salah paham, saya cuma jalan-jalan biasa dengan Er Niu, tapi..." 　　Yu Jing ragu-ragu, tak yakin apakah harus melanjutkan perkataannya. 　　Berkaitan dengan Er Niu, Jiang Si tak tahan bertanya: "Ada apa dengan Er Niu?" 　　Begitu ditanya, Yu Jing dengan percaya diri melanjutkan: "Er Niu mencium aroma Nona di tubuh pria itu, makanya tidak mau melepasnya pergi." 　　Kesal! Atas dasar apa aroma tubuhnya ada di pria itu?! 　　Akal sehatnya mengatakan bahwa dilihat dari pakaian dan sikapnya, pria itu pasti preman jalanan - mustahil Jiang Si berhubungan terlalu dalam, paling hanya tukang pesan. 　　Tapi tetap saja... bagaimana cara menghilangkan rasa kesal ini? 　　Wajah Pangeran Ketujuh yang hampir meledak amarah justru terlihat tenang tersenyum, sama sekali tak berani menunjukkan tanda-tanda di hadapan gadis itu. 　　"Omong kosong apa lagi?" Pipi Jiang Si memerah, ingin sekali menendang Yu Jin. 　　“Guk guk!” Kali ini Er Niu menggonggong, seolah menyetujui ucapan majikannya. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Jadi saya menduga orang itu seharusnya adalah kurir Nona Jiang. Kalian baru saja bertemu di Gedung Teh Tianxiang." 　　"Terus kenapa?" Jiang Si meliriknya dengan sinis. 　　Wajah Yu Jin menjadi serius: "Menurut saya kemampuan saya sebagai kurir lebih baik dari dia. Lagi pula Nona harus membayar orang itu, sedangkan saya Menjual Diri untuk Melunasi Utang, tidak perlu uang." 　　Jiang Si terkekeh sinis: "Tapi saya merasa lebih nyaman menyuruh dia. Apalagi Tuan Yu adalah sahabat kakak laki-laki saya. Jika benar-benar memperlakukanmu sebagai kurir, pasti kakak saya yang pertama tidak setuju." 　　Dia mundur selangkah, ekspresinya kembali tenang: "Tuan Yu jangan bicara omong kosong. 1.000 tāel perak ini, kalau punya uang kembalikanlah. Jika tidak, tidak apa. Kita bukan keluarga, berbeda gender, lebih baik jaga jarak mulai sekarang." 　　"Penjelasan Nona Jiang logis." Yu Jin menunduk, bayangan bulu mata panjangnya jatuh di pipi, menampakkan kesepian yang tak bertepi. 　　Orang tampan selalu mendapat kemudahan. Melihat keadaannya, Ah Man yang diam sejak tadi tak bisa menahan rasa iba. 　　Sepertinya nona ini agak kejam. 　　“Kalau begitu, aku akan berusaha menabung. Begitu ada uang, segera akan kukembalikan pada Nona Jiang.” Yu Jin tersenyum lagi. 　　Tanpa menunggu jawaban Jiang Si, Yu Jin menyatukan tangan memberi hormat, lalu menepuk Er Niu: “Er Niu, ayo pergi.” 　　Segera berhenti saat sudah cukup, lain kali datang lagi, ini prinsip utama. 　　Yu Jin pergi dengan anjingnya tanpa ragu, meninggalkan Jiang Si yang baru tersadar setelah lama terdiam. 　　Sepertinya aku ditipu lagi oleh si brengsek itu. Apa maksudnya 'begitu ada uang'? 　　“Nona, dia sudah pergi.” 　　“Hmm?” 　　“Kita tidak pergi juga?” 　　Sepertinya nona agak enggan untuk pergi. 　　“Pergi.” 　　Setelah berjalan sekitar seperempat jam, gerbang Kediaman Dongping Bo sudah terlihat. Biasanya sepi, kini ramai dikerumuni orang. 　　“Nona, apa ada masalah di kediaman kita?” 　　Jiang Si berhenti melangkah. 　　Diam-diam dia telah memancing perseteruan antara Nyonya Peramal Liu dan Bibi Er di depan mata seluruh ibukota. Pasti Bibi Er tidak akan tinggal diam. 　　Masalah untuk Nyonya Peramal Liu seharusnya sudah datang. 　　“Adik Keempat, ternyata kamu di sini.” Jiang Zhan bergegas mendekat dengan senyum mengejek, “Tukang tipu itu sedang dihujat orang.” 　　Jiang Si mengusap pelipisnya, bertanya putus asa: “Kakanda Kedua sangat ingin melihat Nyonya Liu celaka?” 　　“Tentu saja, meskipun aku tidak cocok dengan Kakak Kedua, tapi kita tetap satu keluarga. Dukun ini langsung bilang Kakak Kedua kerasukan roh jahat, membuatnya kehilangan muka. Mana mungkin aku bisa memandangnya baik?” 　　Coba bayangkan saja sudah membuat merinding. Kakak Kedua sudah menikah dan paling disayang nenek, tapi masih kena masalah seperti ini. Bagaimana kalau waktu itu dukunnya menunjuk Adik Keempat? 　　Adik Keempat tidak ada ibu yang melindungi, juga sudah putus tunangan. Nanti mungkin bahkan tidak bisa tinggal di Keluarga Bo lagi. 　　Jiang Si memandang kakak laki-lakinya dalam diam. 　　“Ada apa? Apa yang kukatakan salah?” Jiang Zhan menyentuh hidungnya saat menyadari keanehan pada Jiang Si. 　　“Tidak, ucapan Kakak Kedua sangat tepat.” Jiang Si berjinjit mengambil daun kering yang menempel di bahu Jiang Zhan. 　　Meski kakaknya tidak memiliki bakat luar biasa atau kepekaan halus, tapi ketulusan hatinya tak tertandingi. 　　Jiang Zhan tersenyum sambil menarik lengan Jiang Si: “Ayo, Kakak Kedua ajak kamu lihat keramaian.” 　　Jiang Si ditarik Jiang Zhan ke bawah pohon besar di depan Dongping Bo Residence. 　　“Lihat perempuan berbaju biru itu. Anaknya meninggal diare setelah minum air jimat Nyonya Peramal Liu...” Jiang Zhan menyodorkan sesuatu ke tangan Jiang Si. 　　Jiang Si melihat ke bawah – ternyata sekotak kembang beras ketan. 　　“Cicipilah, kembang ketan dari Zhang Si Pincang di Jalan Utara ini paling manis dan harum.” 　　Jiang Si memegang kotak berisi kembang ketan sambil tersenyum kecut. 　　Menonton keramaian sambil makan kembang ketan, ini adalah kebiasaan wajib warga ibu kota. 　　Di tangga batu depan Kediaman Dongping Bo, sang mandor memberi hormat kepada wanita berbaju biru: "Keluarga kami hanya mengundang Nyonya Peramal Liu untuk mengadakan upacara, tak menyangka beliau pernah menyebabkan kematian. Ibu sabar menunggu sebentar, jika Nyonya Liu memang membunuh anak ibu, keluarga kami pasti tidak akan melindungi..." 　　Berondong jagung konon berasal dari Dinasti Song. 55.Bab 55 Saling Memahami 　　Bab 55 Saling Memahami 　　Jiang Si menyerahkan kembang ketan ke tangan Ah Man: "Kakak Kedua, mari kita masuk ke dalam." 　　Jiang Zhan menarik lengan Jiang Si: "Jangan lewat pintu depan, nanti terjepit kerumunan." 　　Jiang Si menggeleng: "Tidak, lewat pintu depan saja." 　　"Eh--" Melihat Jiang Si sudah melangkah maju, Jiang Zhan terpaksa buru-buru menyusul. 　　Kalau sampai ada orang tak tahu diri mengganggu adik perempuannya di tengah kerumunan ini, bahaya. 　　"Minggir, semua minggir." 　　Saat Jiang Zhan membuka jalan, Jiang Si sudah bergegas sampai di depan gerbang merah menyala. 　　Sang mandor terkejut melihat kedatangan Jiang Si, lalu menyapa: "Nona Keempat sudah pulang." 　　"Hmm." Jiang Si mengangguk anggun, langkahnya sesaat terhenti. 　　Tiba-tiba terjadi insiden tak terduga - wanita berbaju biru yang tak jauh dari mandor itu tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan Jiang Si: "Kau pemilik kediaman ini?" 　　"Lepaskan!" Jiang Zhan melangkah besar menghampiri, tangannya siap menampar si wanita. 　　“Kakak Kedua, jangan terburu nafsu.” 　　Meski Jiang Si hanya berkata lembut, Jiang Zhan langsung berhenti dan membentak perempuan itu: "Masalahmu dengan Nyonya Peramal Liu sudah melibatkan Keluarga Bo kami, kenapa masih memaksa adikku?" 　　Dari pakaian Jiang Si dan ucapan pengurus tadi, orang yang cerdik tentu tahu ini adalah seorang nona dari Keluarga Bo, identitas ini tak bisa disembunyikan. 　　Orang-orang yang berkumpul langsung ramai berbisik-bisik. 　　Meski kasihan melihat anak perempuan itu meninggal, tak pantas memaksa seorang nona bangsawan. Tak peduli keluarga kaya atau miskin, pasti ayah dan kakaknya akan marah. 　　"Ibu cepat lepaskan, kalau nona kami trauma, tuan rumah akan marah--" Pengurus itu menasihati dengan sabar, dalam hati menyalahkan Jiang Si diam-diam. 　　Nona Keempat ini juga, sudah lihat kerumunan orang tapi tak mau lewat pintu belakang, malah nekat datang ke sini. 　　Perempuan itu malah menarik lengan Jiang Si lebih kencang: "Aku tak peduli! Kalau tak bisa temui majikan lain di sini, aku pegang dia saja!" 　　Jiang Zhan murka, tapi melihat Jiang Si menggeleng halus padanya. 　　Sejak Jiang Si meramal Ji Chongyi tak akan bisa menikahi putri bangsawan setelah memutuskan pertunangan, Jiang Zhan sangat mengagumi kecerdasan adiknya. Kini dia perlahan tenang, hanya menatap perempuan itu dengan tajam. 　　"Jiang Si" mengalihkan pandangan sampingnya dari wajah sang mandor, ujung bibirnya di balik kerudung hitam sedikit terangkat. 　　Wanita ini benar-benar tidak mengecewakannya. Saat ia berjalan keluar gerbang utama, benar saja dihadang. 　　Meskipun adat istiadat Dinasti Zhou agak terbuka, belenggu terhadap perempuan semakin longgar. Keluarga biasa membesarkan putri yang berani mengejar pria di jalanan bukan hal aneh lagi. Namun gadis dari keluarga bangsawan yang terburu-buru berdebat dengan orang yang mencari masalah tetap akan meninggalkan kesan buruk. 　　Jiang Si tidak peduli dengan pandangan dunia, tapi tentu lebih baik menghindari jika memungkinkan. 　　"Kakak ipar menarikku, apakah ingin minta penjelasan?" tanya gadis berkurudung itu dengan suara lembut. 　　Sang wanita tertegun, seolah tak menyangka sang lawan yang dihina ini tidak marah dan justru sangat kooperatif. 　　Tiba-tiba, tindakannya di mata orang lain terlihat semakin kasar dan tak sopan. 　　"Aku mau bertemu Nyonya Peramal Liu, seret dia ke pengadilan!" 　　"Mengapa kakak ipar ingin menyeret Nyonya Peramal Liu ke pengadilan?" 　　Mendengar pertanyaan Jiang Si, sang wanita langsung meraung: "Dia membunuh anakku..." 　　Jiang Si sabar menunggu sang wanita mengulang penyebab kematian anaknya, baru berkata: "Aku turut berduka atas musibah kakak, tapi boleh tahu anakmu meninggal kapan?" 　　Sang wanita tersentak, menutupi kepanikannya dengan nada tinggi: "Tahun lalu, kenapa?" 　　Jiang Si menghela napas. 　　"Warga ibu kota sangat menjaga etika saat menonton keramaian. Begitu kedua pihak mulai membahas hal penting, mereka langsung menyimak dengan seksama tanpa bersuara, sehingga desahan lembut ini terdengar jelas oleh orang-orang yang berada di dekat." 　　"Mengapa putri bangsawan Keluarga Bo ini menghela nafas?" 　　Rasa ingin tahu orang-orang seketika terbangun. 　　Jiang Si kemudian melanjutkan: "Biar saya jelaskan, Nyonya. Nenek saya mengalami kebutaan beberapa hari lalu, karena itu Bibi Er mengundang Nyonya Peramal Liu untuk melakukan ritual. Nyonya Liu telah mengusir roh jahat dan mengatakan mata nenek saya akan pulih dalam tiga hari." 　　Saat mengatakan ini, Jiang Si menatap kerumunan: "Bukankah semua sudah mendengar kabar ini?" 　　"Tentu, siapa yang tidak tahu?" jawab orang-orang sambil tertawa. 　　Jiang Si menatap tajam wanita itu dan bersuara tegas: "Jika anak Nyonya meninggal tahun lalu, mengapa tidak melaporkan Nyonya Liu ke pemerintah saat itu, malah menunggu sampai sekarang?" 　　Wanita itu menggerakkan bola matanya lalu merintih: "Nona mana pahit susahnya rakyat kecil. Nyonya Peramal Liu yang mudah diundang olehmu, bagi kami adalah orang penting yang tak bisa dilawan. Setelah membunuh anakku, dia malah mengusir keluargaku dari ibu kota dengan preman. Saat itu keluarga kami terdiri dari orang tua, anak kecil, dan yang sakit-sakitan. Baru sekarang kami berani kembali..." 　　Tangisan wanita ini segera membangkitkan simpati kerumunan. 　　"Begitu rupanya," Jiang Si mengangguk. "Kalau begitu mohon Nyonya menunggu satu hari lagi. Nyonya Liu mengatakan penyakit mata nenek saya akan sembuh dalam tiga hari, besok adalah hari terakhir." 　　“Tapi manajer rumah tangga keluarga Anda baru saja mengatakan tidak akan melindungi Nyonya Peramal Liu!” 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Benar, setelah besok, Nyonya Peramal Liu pasti akan meninggalkan Keluarga Bo. Saat itu, Kakak ipar bisa membawanya ke pengadilan atau menyelesaikan secara pribadi, Keluarga Bo tidak akan ikut campur." 　　“Tidak boleh!” Perempuan itu bersemangat, “Bagaimana jika setelah besok Nyonya Peramal Liu kabur diam-diam? Kemana saya harus mencarinya? Saya harus membawanya ke pengadilan sekarang juga!” 　　Jiang Si perlahan menarik tangannya dari genggaman perempuan itu: "Kakak ipar tidak bisa menunggu satu hari pun, ini membuat saya curiga. Mungkin Kakak sengaja datang saat ini untuk mengganggu pengobatan nenek saya?" 　　“Nona bagaimana bisa menuduh orang sembarangan? Saya hanya takut Nyonya Peramal Liu kabur.” 　　Jiang Si tersenyum dan berseru: “Mari tanya semua orang, apakah Nyonya Peramal Liu bisa kabur diam-diam dari Keluarga Bo setelah besok?” 　　Orang-orang tertawa riuh: “Tentu tidak bisa!” 　　Perempuan itu memandang kerumunan dengan wajah pucat dan bingung. 　　Seorang baik hati menjelaskan: “Kakak tidak tahu? Kami semua ikut pembelian spekulatif. Jika penyakit mata Ibu Suri sembuh, menang atau kalah kami ingin lihat wujud dukun sakti ini. Jika tidak sembuh... hehe, kami malah lebih ingin melihatnya!” 　　Jika Nyonya Peramal Liu jadi dewa hidup, yang menang/kalah takkan berbuat apa. Tapi jika terbukti penipu, yang kalah pasti ingin memukulinya untuk pelampiasan. 　　“Jadi Kakak tenang saja, seluruh tembok besar Keluarga Bo dari depan sampai belakang sudah kami awasi. Kecuali Nyonya Peramal Liu bisa terbang, pasti tidak akan kabur.” 　　Perempuan itu seketika terdiam bingung. 　　Waktu diberi tugas, tidak diberitahu akan serumit ini. 　　“Kakak sudah paham kan? Dengan banyaknya tetangga yang bersedia mengawasi, Nyonya Peramal Liu tidak akan kabur. Bila Kakak bersedia menunggu satu hari lagi, pengobatan nenek saya tidak akan terganggu, dan Keluarga Bo akan menghargai pengertian Kakak.” Sambil berkata demikian, Jiang Si memberi hormat ringan pada perempuan itu. 　　“Kata Nona Jiang benar, kami jamin Nyonya Peramal Liu pasti tidak akan kabur.” Seru orang-orang beramai-ramai. 　　Perempuan itu spontan menoleh ke manajer. 　　Melihat situasi memburuk, si manajer diam-diam mundur untuk masuk memberi laporan. 　　“Manajer Wang, cepat siapkan makanan untuk kakak ini. Kalau dia mau memahami kita, kita juga harus memahami dia.” Ujar Jiang Si dengan datar. 　　Terima kasih untuk voting dan hadiahnya. 56.Bab 56 akan segera terungkap 　　Bab 56 akan segera terungkap 　　Dengan satu kalimat, Jiang Si menahan langkah si manajer, lalu bergegas masuk ke dalam kediaman. 　　Manajer itu buru-buru menyuruh penjaga pintu menyiapkan makanan, lalu menyusul dengan cepat. 　　Jiang Zhan meletakkan tangan di bahu manajer: “Lari cepat-cepat mau kemana?” 　　"Dulu pengurus ini sangat meremehkan Tuan Kedua yang dianggap tidak punya masa depan, namun sisa wibawa Jiang Si yang beberapa waktu lalu menghukum Nenek Liu dapur masih terasa, sehingga kali ini dia lebih berhati-hati: 'Tuan Kedua sudah memerintahkan untuk mengusir Nyonya Peramal Liu, tapi baru saja Nona Keempat menahannya. Hamba harus melaporkan ini kepada Tuan Kedua.'" 　　Jiang Zhan melototi si pengurus dan memperingatkan: "Perhatikan ucapanmu!" 　　Tak lama setelah Jiang Si masuk ke dalam, dia melihat Nyonya Peramal Liu datang diantar seorang nenek, di belakangnya ada anak perempuan membawa bungkusan kecil. 　　"Nyonya Peramal hendak pergi?" 　　"Nona Keempat, saya harus meninggalkan Keluarga Bo." Di depan orang, Nyonya Peramal Liu berpura-pura menjaga jarak. 　　Jiang Si mengerutkan kening: "Jika ingatanku tidak salah, Nenek meminta Bibi Er untuk menjamu Nyonya Peramal selama tiga hari. Ini baru hari kedua, mengapa Nyonya sudah mau pergi?" 　　"Nona Keempat mungkin belum tahu, nyonya peramal ini terlibat kasus pembunuhan. Orang seperti ini mana berani kami tampung di kediaman ini, Tuan Kedua berkata--" 　　"Saya sedang berbicara dengan Nyonya Peramal, perlu apa Nenek Xiao ikut campur?" 　　Muka Nenek Xiao memerah, dia membela diri: "Ini perintah Tuan Kedua." 　　Jiang Si memandangnya dingin: "Maksud Nenek Xiao, di kediaman ini paman keduaku yang berkuasa?" 　　"Ini--" Nenek Xiao tersipu tak menjawab, dalam hati mencemooh. 　　“Siapa yang tidak tahu bahwa Keluarga Bo pada generasi Tuan Kedua ini sudah tidak bisa disebut Keluarga Bo lagi? Tuan Pertama begitu berbakat, di masa depan dengan Tuan Kedua yang membuka jalan di dunia birokrasi, masa depannya pasti cerah.” 　　Saat itu tiba, keluarga Jiang pasti akan menjadi wilayah cabang kedua. 　　“Hehe, aku tidak bisa mengambil keputusan, apakah Si'er ingin memutuskan?” Suara datar terdengar, Tuan Jiang Kedua tiba-tiba muncul di hadapan Jiang Si. 　　Pengurus rumah tangga berdiri di belakang Tuan Jiang Kedua, jelas memanfaatkan waktu ketika Jiang Si berbicara dengan Nyonya Peramal Liu untuk melapor padanya. 　　Jiang Si sedikit membungkuk pada Tuan Jiang Kedua: “Paman mengatakan hal ini untuk merendahkan keponakan. Maksud keponakan adalah masalah besar seperti penyakit mata Nenek, tentu harus Nenek yang memutuskan.” 　　Ekspresi Tuan Jiang Kedua tidak menunjukkan emosi: “Mengusir Nyonya Peramal Liu dari Keluarga Bo adalah keputusan Nenekmu sendiri.” 　　Wajah Jiang Si langsung menunjukkan kesulitan: “Benarkah ini persetujuan Nenek? Kalau begitu keponakan terlalu gegabah, karena panik melihat Nyonya Peramal Liu pergi lebih awal langsung menahannya.” 　　“Kau tidak tahu sebelumnya tidak apa, tapi ke depan seringlah bermain dengan Li Er dan teman-temannya, jangan ikut campur urusan orang dewasa.” Tuan Jiang Kedua melirik Nenek Xiao, “Cepat bawa orang ini pergi!” 　　Jiang Si melangkah maju menghalangi jalan Nenek Xiao: “Tetap tidak boleh membiarkan Nyonya Peramal Liu pergi sekarang.” 　　“Si'er, jangan bertingkah nakal!” 　　Jiang Si tersenyum: "Keponakan mana berani bersikap semaunya di hadapan Paman Kedua, sebenarnya karena tadi sudah berjanji di depan tetangga untuk menahan Nyonya Peramal Liu agar tinggal sampai besok. Kalau sekarang kita usir dia, bukankah Keluarga Bo akan dianggap plin-plan?" 　　Wajah Tuan Jiang Kedua berubah muram. 　　Jiang Si pura-pura tidak melihat, melanjutkan: "Lagipula kalau kita menuruti permintaan seorang wanita biasa begitu saja, orang pasti akan menganggap Keluarga Bo lemah dan mudah ditindak. Nanti masalah akan semakin banyak..." 　　"Bagus!" Jiang Ancheng berjalan mendekat dengan langkah lebar, "Adikku, Si'er sudah menahan orangnya, biarkan tinggal satu hari lagi." 　　Wajah Tuan Jiang Kedua menghitam: "Kakak, di Cixintang kau setuju untuk mengusir Nyonya Peramal Liu." 　　"Situasinya sudah berubah. Menurutku perkataan Si'er sangat masuk akal." 　　"Kakak!" Tuan Jiang Kedua terlihat terkejut. 　　Masakan ucapan tak tahu malu seperti itu bisa keluar dari mulutnya? 　　Jiang Ancheng tampak kesal: "Masalah kecil saja. Si'er sudah bicara, masak kita mempermalukannya di depan orang lain? Anak perempuan tidak seperti anak laki-laki yang tebal muka. Lagipula, ide mengundang Nyonya Peramal Liu kan dari kalian, sekarang mau mengusir juga dari kalian. Kalian ini sedang main apa?" 　　Bibir Tuan Jiang Kedua berkedut keras. 　　Gagasan bodoh mengundang dukun ini mana ideku? Itu semua ulah si perempuan tolol sialan itu! 　　“Sudahlah, biarkan dia tinggal. Setelah besok, mau pergi ke mana terserah. Aku akan memberitahu Ibu sekarang.” 　　“Ayah, aku ikut dengan Ayah.” Jiang Si tersenyum sambil menyusul. 　　Jiang Zhan mengedipkan mata ke arah Jiang Si, berbisik: “Haruskah kakakmu yang kedua ini berterima kasih karena sudah buru-buru memanggil bala bantuan?” 　　“Nanti aku akan membuatkan kantung aroma untuk Kakak Kedua.” Jawab Jiang Si dengan riang. 　　Tuan Jiang Kedua memandang dingin keluarga kakak sulungnya yang berbahagia menuju Cixintang. Ia menyuruh pelayan membawa Nyonya Peramal Liu kembali ke kamar tamu, lalu bergegas menyusul. 　　“Ini pil penglihatan rahasia turun-temurun keluarga kami. Ibu Suri minum satu butir pagi dan sore selama tujuh hari, penyakit mata pasti membaik.” Di Cixintang, pria berjanggut kambing mengeluarkan guci putih kecil sebesar telapak tangan. 　　Dayang utama A Fu menerima guci kecil itu. 　　“Ibu Suri tenang saja, Tuan Zhang sangat terkenal mengobati penyakit mata di daerah kami. Andai menantu tahu lebih awal, pasti sudah diundang, tidak sampai tertipu dukun.” Nyonya Kedua Xiao Shi wajahnya penuh penyesalan. 　　Nyonya Feng mengangguk dengan wajah kaku. 　　Karena air jimat Nyonya Peramal Liu pernah membunuh orang, benar atau tidak, air itu tak boleh diminum lagi. Tentang tabib ahli penyakit mata, coba saja dulu. 　　“A Fu, ambilkan air dan bantu Ibu Suri minum obat.” Perintah Xiao Shi. 　　“Tunggu sebentar.” Jiang Si melangkah masuk. 　　Xiao Shi langsung mengerutkan kening begitu melihat Jiang Si. 　　Kenapa gadis menyebalkan ini ikut campur lagi sekarang? 　　Asalkan Ibu Suri memakan pil mata, urusan Nyonya Peramal Liu akan benar-benar selesai. 　　Jika mata Ibu Suri membaik, itu akan disebut sebagai hasil kerja pil mata. Jika tidak membaik juga tak masalah, karena memulihkan penglihatan yang sudah buta memang hal yang mustahil. 　　Jiang Si mendekati Nyonya Feng: "Nenek, pil mata ini tidak boleh diminum sekarang." 　　"Kenapa?" Setelah satu matanya rusak, Nyonya Feng telah berubah dari kemarahan menjadi ketenangan yang tertekan. 　　"Nyonya Peramal Liu pernah berkata mata Nenek akan sembuh dalam tiga hari. Bagaimana jika minum pil ini malah bertentangan dan mempengaruhi pemulihan mata?" 　　"Nona Keempat, Nyonya Liu itu penipu. Jangan sampai perkataannya menunda pengobatan Ibu Suri." 　　Jiang Si tiba-tiba tersenyum: "Bibi Er, bukankah Nyonya Liu ini yang Bibi sendiri yang undang?" 　　Xiao Shi tersendat, menahan malu: "Waktu itu saya hanya dengar reputasinya, tidak tahu dia pernah menyebabkan kematian pasien." 　　"Lalu bisakah Bibi menjamin Tuan Zhang ini tidak punya masalah lain?" 　　"Keterlaluan! Kalau nona berkata seperti ini, saya pamit undur diri!" 　　“Tuan Zhang, tolong berhenti sebentar.” Xiao Shi segera menahan orang itu, dengan wajah dingin berkata, "Nona Keempat, Tuan Zhang adalah dokter terkenal di daerah ini." 　　Jiang Si tak sungkan-sungkan: "Nyonya Peramal Liu juga peramal spiritual yang sangat dihormati." 　　"Sudah cukup! Jika kalian mau bertengkar, keluarlah semua dari sini!" 　　Jiang Si segera kembali berperilaku manis: "Nenek, Nyonya Peramal Liu dan Tuan Zhang sama-sama diundang oleh Bibi Er. Meskipun Nyonya Peramal Liu sedang diincar orang, cucu yakin baik Nyonya Liu maupun Tuan Zhang pasti memiliki keahlian khusus. Untuk keamanan, tunggulah satu hari lagi. Jika ritual Nyonya Liu tidak membuahkan hasil, baru konsumsi pil mata Tuan Zhang juga tidak terlambat." 　　Nyonya Feng terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. 　　Hanya satu hari, beliau masih bisa menunggu. 　　Bibi Er menggerakkan bibirnya, hati dipenuhi kemarahan. 　　Kapan Jiang Si menjadi begitu pandai berbicara, sampai bisa membujuk ibu suri mengubah keputusan? Untungnya menurut informasi dari kakak iparnya, Nyonya Peramal Liu itu cuma penipu. Satu hari tambahan ini tidak mungkin menghasilkan keajaiban. 　　Keesokan harinya, setelah kabar kematian pasien Nyonya Peramal Liu tersebar, bandar judi menurunkan odds kesembuhan Nyonya Feng menjadi 1 banding 10. 　　A Fei berpikir panjang, lalu diam-diam mempertaruhkan beberapa untaian koin tembaga pada kemungkinan Nyonya Feng tidak sembuh. 　　Ini tabungan nikahnya selama bertahun-tahun. Meski untungnya sedikit, lebih baik daripada nona itu kehilangan semua modal. 　　Seiring matahari condong ke barat hampir terbenam, di luar gerbang Kediaman Dongping Bo, banyak pasang mata menanti dengan penuh harap. 　　Hari hampir gelap, bukankah sudah waktunya hasilnya keluar? 　　Terima kasih atas Hadiah dan pemilihan suara, sampai jumpa besok. 57. Bab 57: Pemulihan Penglihatan (Telur Makhluk Suci Winter Grass1125) 　　Bab 57: Pemulihan Penglihatan (Telur Makhluk Suci Winter Grass1125) 　　Hari semakin gelap, sudah waktunya "mengundang" Nyonya Peramal Liu pergi sendiri! 　　Karena Cixintang tetap sunyi, Nyonya Kedua Xiao Shi yang hampir lega membawa dayang-dayang menuju tempat Nyonya Peramal Liu. 　　"Xian Gu, silakan." 　　Gadis kecil itu melirik Nyonya Peramal Liu, diam-diam mengambil bungkusan kecil yang sudah dipersiapkan sejak kemarin. 　　Nyonya Peramal Liu menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang hampir meledak. 　　Ia benar-benar telah naik ke kapal bajak laut Nona Keempat Jiang dan tak bisa turun lagi. 　　Sekarang, kapalnya karam. Ia terjatuh ke selokan dan hampir tenggelam, tapi... ternyata teman satu kapal pandai berenang! 　　Melihat ekspresi tegang Nyonya Peramal Liu, Nyonya Xiao tertawa puas: "Jika Xian Gu ingin makan malam dulu sebelum pergi, tidak apa-apa." 　　"Tidak, tidak perlu..." Nyonya Peramal Liu memejamkan mata, dengan wajah beku berjalan keluar. 　　Belum lagi pertanyaan apakah ibu yang kehilangan anak itu akan menyeretnya ke pengadilan, ia yakin begitu keluar dari gerbang Keluarga Bo hari ini, kerumunan penonton akan memangsanya hidup-hidup. 　　Reputasi, masa depan, semuanya telah lenyap. 　　“Nyonya Peramal Liu melangkah keluar perlahan, kedua kakinya terasa seperti ditindih beban seribu kilogram.” 　　“Xiao Shi berhenti, memandang dingin ke arah punggung Nyonya Peramal Liu yang tertunduk lesu menuju pintu gerbang.” 　　“Pintu samping di sebelah gerbang utama telah terbuka, penjaga pintu memandang sinis ke arah Nyonya Peramal Liu yang mendekat.” 　　“Xian Gu harap perhatikan anak tangga, jangan sampai terjatuh.” 　　“Langkah Nyonya Peramal Liu terhenti, perkataan penjaga pintu membuat wajahnya semakin pucat.” 　　“Keluar, keluar!” Suara riuh penuh semangat terdengar dari kerumunan gelap di luar gerbang saat melihat sosok Nyonya Peramal Liu akhirnya muncul.” 　　“Apakah mata Ibu Suri Dongping Bo akhirnya sembuh?” 　　“Jelas tidak! Tidak lihat wajah Nyonya Peramal Liu yang seperti kehilangan orang tua sendiri?” 　　“Ya, sudah duga hasilnya begini. Tidak seru, menang taruhan pun untungnya sedikit.” 　　“Sudahlah, anggap saja dapat gratis. Paling tidak cukup untuk makan daging.” 　　“Iya juga, dapat cuma-cuma.” 　　“Matahari senja menggantung di ufuk barat, menyapu langit dengan warna oranye lembut. Nyonya Peramal Liu memandang keluar gerbang dengan pandangan berkunang-kunang, tak memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh.” 　　“Dia hancur, benar-benar hancur!” 　　“Brengsek, penipu!” Seorang ibu yang menggendong anak meludah ke arahnya.” 　　“Makian itu seperti memicu amuk massa, telur busuk dan sayuran busuk beterbangan menghujani tubuh Nyonya Peramal Liu.” 　　Dengan suara "plak!", Nyonya Peramal Liu terkena telur busuk. Cairan berbau amis mengalir di pipinya, tapi ia sama sekali tidak bereaksi karena sudah putus asa. 　　Malah penjaga pintu yang panik: "Jangan lempar, jangan lempar!" 　　Area depan kediaman Keluarga Bo jadi kotor dan harus dia bersihkan. 　　"Cepat pergi!" Wajah penjaga pintu menjadi masam melihat sampah bertebaran di depan gerbang, mulai mengusir orang. 　　"Xian Gu, ayo kita pergi." Gadis kecil yang memanggul bungkusan hampir menangis. 　　Saat ini baju gadis kecil itu juga sudah dipenuhi daun sayuran busuk. 　　"Pergi." Nyonya Peramal Liu mengeluarkan satu kata dengan getir, lalu berjalan menjauh. 　　Wanita berbaju biru itu berlari menghampiri dan menarik Nyonya Peramal Liu: "Penipu! Kembalikan nyawa anakku!" 　　Ekspresi Nyonya Peramal Liu tetap datar, membiarkan wanita itu mengguncang-guncangnya. 　　Dayang senior A Fu terburu-buru mengejar sambil berteriak: "Cegat mereka!" 　　Teriakan ini tiba-tiba membuat penonton yang ingin tahu jadi bersemangat, seperti disuntik adrenalin. 　　"Ada apa? Apakah mata Ibu Suri sudah sembuh?" 　　"Tidak mungkin, ada plot twist seperti ini?" 　　Dalam sekejap, A Fu sudah menyusul dan berteriak ke penjaga pintu: "Jangan biarkan Nyonya Peramal Liu pergi! Mata Ibu Suri berdarah!" 　　Penjaga pintu langsung menghadang: "Anda tidak boleh pergi. Mata Ibu Suri kami berdarah." 　　“Apa?” Mata Nyonya Peramal Liu berkedip-kedip. 　　Bagaimana ini bisa terjadi? Air jampi yang diminumkan ke Ibu Suri paling-paling hanya membersihkan pencernaan, mengapa akibatnya bisa separah ini? 　　“Tangkap dia, bawa ke Cixintang untuk menunggu keputusan majikan!” A Fu melirik Nyonya Peramal Liu dengan tatapan dingin bak memandangi mayat. 　　Segera dua wanita pengawal mengapit Nyonya Peramal Liu dan menyeretnya ke dalam. 　　Terseret-seret, Nyonya Peramal Liu bersimpuh dengan Jiang Si yang berdiri di pelataran Cixintang. 　　Merasa ajal menjemput, Nyonya Peramal Liu refleks menatap Jiang Si. 　　Bibir Jiang Si bergetar, mengucapkan satu kata tanpa suara. 　　Ekspresinya tetap tenang, ketenangan yang memberi kesan seolah dialah pemenang yang memegang kendali. 　　Pemenang? 　　Nyonya Peramal Liu yang putus asa tiba-tiba menggigil, matanya menyiratkan kilatan kesadaran. 　　Dia dan Nona Keempat Jiang diam-diam telah membuat kesepakatan. Jika dirinya hancur, rencana Nona Keempat Jiang juga akan gagal. 　　Lalu dari mana kepercayaan diri Nona Keempat Jiang itu berasal? 　　Saat berada di ujung tanduk, pikiran seseorang mungkin menjadi lebih jernih. Nyonya Peramal Liu teringat sesuatu dan mati-matian menganalisis gerak bibir Jiang Si. 　　Hanya satu kata. Apa sebenarnya yang diucapkan Nona Keempat Jiang padanya? 　　“Nyonya Peramal Liu, apa sebenarnya yang kau berikan pada Ibu Suri? Cepat akui yang sebenarnya!” 　　Di Cixintang sudah terjadi kekacauan, semua majikan dari berbagai kamar berkerumun di dalam. Begitu Nyonya Peramal Liu muncul, Tuan Jiang Kedua langsung membentak dengan keras. 　　Kalau mata ibu hanya rusak sebelah mungkin masih bisa ditolerir, tapi jika terjadi sesuatu yang lebih buruk, orang pertama yang akan celaka adalah dia. 　　Menurut aturan tidak tertulis Dinasti Zhou, seorang pejabat yang orang tuanya meninggal harus menjalani masa berkabung selama tiga tahun. 　　Di usia prime-nya yang sedang giat mengejar karir, meninggalkan dunia politik selama tiga tahun pasti akan menjadi pukulan berat bagi perkembangan kariernya. 　　"Tapi air jampi ini--" Di bawah tekanan Tuan Jiang Kedua, Nyonya Peramal Liu menjawab refleks, lalu tiba-tiba membeku di tengah kalimat. 　　Air! 　　Kata yang diucapkan Nona Keempat Jiang padanya tadi persis "air"! 　　Nyonya Peramal Liu cepat-cepat melirik ke Nyonya Feng. 　　Mata kiri Nyonya Feng sedang mengeluarkan darah yang bercampur air, pemandangan yang sangat mengerikan. 　　Pendarahan mata berbeda dengan bagian tubuh lain, beberapa dayang yang memegang handuk lembut bingung harus berbuat apa, sampai menangis karena panik. 　　"Air!" teriak Nyonya Peramal Liu spontan. 　　Semua orang di ruangan langsung menatapnya. 　　Di titik ini Nyonya Peramal Liu sudah nekat, berteriak cepat: "Cepat ambil air matang dingin untuk membasuh mata Nyonya!" 　　"Sudah cukup! Nyonya sudah kau celakakan sampai begini, masih mau terus merusak?" Xiao Shi berteriak keras. 　　"A Fu, ambilkan air untuk membasuh mata nenekku." Dalam ketegangan yang memuncak, Jiang Si tiba-tiba bersuara. 　　“Nona Keempat, sekarang bukan saatnya untuk memberi perintah sembarangan!” 　　“Bibi Er, meski tidak mendengarkan Nyonya Peramal Liu, mata nenek tetap perlu dibersihkan dengan air.” Jiang Si melirik A Fu, “A Fu, cepatlah, wajah nenek penuh darah pasti tidak nyaman.” 　　A Fu ragu sejenak, lalu mengangguk dan segera membersihkan wajah Nyonya Feng dengan handuk lembut yang dibasahi air. 　　Dengan perintah dari majikan, para dayang mulai tenang dan bekerja secara teratur. 　　Setelah beberapa baskom air keruh dibuang, akhirnya mata kiri Nyonya Feng berhenti mengeluarkan darah. 　　“Ibu, bagaimana keadaanmu?” tanya Jiang Ancheng dan yang lain. 　　Kelopak mata Nyonya Feng yang tertutup bergetar perlahan sebelum akhirnya terbuka. 　　Setelah hening sejenak, suara Nyonya Feng gemetar: “Sepertinya... mata kiriku bisa melihat lagi...” 　　[Tambahan] Terima kasih untuk Dongcao1125 yang menjadi pendukung setia Seperti Kembang. Melihat antusiasme kalian, hari ini saya tambahkan satu chapter sekalian minta dukungan vote. Benar-benar sampai jumpa besok! 58. BAB 58 JADI KAYA 　　BAB 58 JADI KAYA 　　Mata bisa melihat lagi? 　　Ruangan tiba-tiba senyap bagai jarum jatuh pun terdengar. 　　Nyonya Feng mengedipkan mata dengan susah payah: “Itu... Si'er?” 　　Posisi tempat Jiang Si berdiri langsung terlihat jelas oleh Nyonya Feng. 　　Gadis muda itu tersenyum manis dan membungkuk hormat pada Nyonya Feng: “Selamat atas kesembuhan Nenek.” 　　Dia awalnya berdiri di halaman, meski yakin mata Nyonya Feng akan sembuh, namun tak bisa tenang tanpa melihat langsung, sehingga memanfaatkan keributan untuk menyelinap masuk. 　　Memang sejak awal sudah cantik memesona, ditambah senyuman bak bunga musim semi yang baru mekar, pandangan Nyonya Feng yang masih sedikit buram langsung menjadi terang benderang. 　　Dia melihat, dia benar-benar melihat! 　　Seluruh orang di ruangan itu seperti tersadar dari mimpi, beramai-ramai mengucapkan selamat kepada Nyonya Feng. 　　Nyonya Kedua Xiao Shi yang berada di tengah kerumunan, meski wajahnya tersenyum gembira, dalam hati ingin sekali membenturkan kepala ke tembok. 　　Habis sudah, dengan begini nama Jiang Qian sebagai orang yang kerasukan roh jahat akan melekat selamanya! 　　Jiang Qian adalah Istri Putra Mahkota Marquis Changxing, wanita bangsawan kelas tinggi sejati. Memiliki reputasi seperti ini di masa depan pasti akan menimbulkan banyak masalah. 　　Sudut mata Nyonya Feng berkaca-kaca, terlihat sangat emosional. 　　Mereka yang tak pernah mengalami kegelapan, sulit memahami penderitaan menyiksa yang membuat orang ingin menggigit jari itu. 　　Xian Gu, oh iya, Xian Gu! 　　"Di mana Xian Gu?" Nyonya Feng melirik ke sekeliling dengan panik, akhirnya melihat Nyonya Peramal Liu di sudut ruangan. 　　Nyonya Peramal Liu kini dalam keadaan berantakan, wajahnya masih terdapat sisa-sisa jus telur bebek busuk yang mengering. 　　Nyonya Feng terkejut: "Kenapa Xian Gu bisa seperti ini? Xiao Shi, bagaimana caramu menjamu Xian Gu untukku?!" 　　Perkataan Nyonya Feng ini mengingatkan semua orang, beberapa pasang mata langsung tertuju pada Nyonya Peramal Liu. 　　“Kemampuan asli Nyonya Peramal Liu masih dipertanyakan, tapi soal berpura-pura kesurupan dan menipu orang, itu memang spesialisasinya.” Dalam waktu singkat, dia sudah bisa memulihkan diri dari keterkejutan, wajahnya kembali menunjukkan senyum anggun dengan aura ahli spiritual sejati. 　　Jiang Ancheng dan kedua saudaranya sebenarnya tidak terlalu percaya pada hal-hal mistis. Saat ini, perasaan dominan mereka adalah keheranan dan kebingungan. Tatapan Xiao Shi dan yang lain ke arah Nyonya Peramal Liu langsung berubah penuh hormat. 　　Benar saja, mata Nyonya Feng sembuh total dalam tiga hari! Bukankah ini membuktikan bahwa Nyonya Peramal Liu memiliki kemampuan setara dewa? 　　Pada titik ini, betapapun rumit perasaan Xiao Shi terhadap Nyonya Peramal Liu, dia tidak berani meremehkannya lagi. Dengan cepat dia menyunggingkan senyum dan menyambut: "Maafkan ketidaknyamanannya, Nyonya Peramal. Mohon dimaklumi." 　　Setelah berkata demikian, dia melototi dayangnya: "Apa kau masih belum segera antar Nyonya Peramal untuk mandi dan ganti baju?" 　　Nyonya Feng menambahkan: "Layani Nyonya Peramal dengan baik. Jangan sampai ada kelalaian lagi." 　　"Silakan, Nyonya Peramal." Beberapa dayang serentak membungkuk hormat kepada Nyonya Peramal Liu. 　　Nyonya Peramal Liu berjalan keluar bersama gadis kecil itu, kedua kakinya terasa seperti menginjak kapas. 　　Ya ampun, bagaimana mungkin Nona Keempat Jiang tahu bahwa mata Nyonya Feng akan sembuh dalam tiga hari? 　　Mengingat cara Jiang Si yang mendahului menemukannya, jelas sudah dia mengetahui rencana jahat Xiao Shi terhadap Tuan Kedua Jiang, bahkan juga rahasianya. Di mata Nyonya Peramal Liu, Jiang Si semakin tampak misterius dan tak terduga. 　　Jangan-jangan Nona Keempat Jiang inilah orang yang benar-benar bisa berkomunikasi dengan arwah dan dewa? 　　“Nyonya Peramal Liu tidak bisa tidak melihat ke arah tempat Jiang Si berada. 　　Gadis dengan postur tegak itu menundukkan mata, menunjukkan sikap yang patuh. 　　Nyonya Peramal Liu gemetar dan buru-buru menarik pandangannya. 　　Tidak perlu dipikirkan lagi, di masa depan sebisa mungkin jauhi siluman ini saja. 　　Masa depan——Mengingat dua kata ini, sudut bibir Nyonya Peramal Liu tak bisa menahan senyuman. 　　Setelah kejadian ini, namanya akan menggemparkan ibu kota, benar-benar meraih ketenaran dan kekayaan. Di masa depan siapa pun yang bertemu pasti akan memanggilnya dengan hormat "Xian Gu"! 　　Nyonya Peramal Liu berjalan keluar dengan langkah ringan, ruangan kembali sunyi sejenak. 　　Mata Nyonya Feng yang sembuh total masih membuat orang-orang merasa tidak nyata. 　　"Apa kalian masih bengong? Bantu aku mandi dan ganti baju! Oh ya, pasang dua gulung petasan di depan gerbang untuk mengusir sial!" seru Nyonya Feng tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. 　　Kerumunan orang di depan Kediaman Dongping Bo masih belum bubar, mereka mulai berdebat apakah Nyonya Feng bisa selamat. 　　Tiba-tiba beberapa pelayan keluar, memasang beberapa gulung petasan terbungkus kertas merah lalu menyalakannya dengan suara gemeretak. 　　Anak-anak di antara penonton berteriak sambil tertawa, menutupi telinga dengan kedua tangan. 　　Orang-orang saling pandang, yang berada di depan berteriak: "Mengapa keluarga bangsawan ini menyalakan petasan?" 　　Pelayan keluarga Bo menjawab sambil tersenyum: "Ibu Suri kami sudah sembuh!" 　　Apa? Mata Nyonya Feng dari Dongping Bo sudah sembuh? 　　"Teriakan kaget penonton seketika memekakkan telinga melebihi suara petasan, disusul lolongan histeris: 'Hancur, hancur! Uang nikahku habis melayang!'" 　　Teriakan itu bagai pemicu, seisi lokasi langsung bergema dengan ratapan pilu. 　　Suara gaduh itu sampai terdengar oleh Nyonya Feng yang sedang mandi, membuatnya geram: "Lolong-lolong apa di luar?" 　　A Fu tersenyum: "Mungkin para penjudi itu kalah telak." 　　Nyonya Feng merenung sejenak lalu cibir: "Sah-sah saja!" 　　Sepanjang hari itu seluruh ibukota dilanda nestapa. Di depan arena judi, orang berlari telanjang histeris, membentur pohon, bahkan ada yang negan makan kue kukus sampai mati lemas. 　　A Fei memegang koin judi terakhir, dadanya berdebar ingin ikut berlari telanjang. 　　Dua ratus lima puluh tael, odds 1:10. Ya Tuhan, berapa ini? 　　Seorang gelandangan kumuh yang hidup seperti tikus, kini menyimpan uang kertas senilai 2000 tael di dada? 　　Tenang, uang sebanyak ini bukan miliknya. Nyatanya, tabungan nikahnya pun sudah habis. 　　A Fei terhuyung-huyung keluar arena seperti mabuk, tak ada yang curiga dengan penampilannya yang mirip penjudi bangkrut. 　　Malam yang panjang akhirnya berlalu. Gedung teh Tianxiang lebih ramai dari biasanya. 　　"Nona, jangan-jangan A Fei kabur membawa uang itu?" Ah Man menutupi dada dengan gemetar. 　　“Dia sama sekali tidak bisa memikirkan kemungkinan ini, hanya memikirkannya saja sudah membuat dadanya sakit seperti ditusuk.” 　　Jiang Si menghela napas pasrah: “Ah Man, ini sudah pertanyaanmu yang keenam.” 　　“Hamba ini hanya khawatir, Nona.” 　　Itu kan lebih dari dua ribu tael perak, apakah Nona sudah menghitung dengan pasti? 　　Majikan dan dayang masuk ke ruang VIP, A Fei langsung menyambut mereka yang sudah jelas menunggu lama. 　　Ah Man menarik napas panjang lega. 　　Anak ini masih tahu diri. 　　“Nona, ini uang Anda——” A Fei dengan tangan gemetar mengeluarkan bungkusan kertas minyak dari dalam bajunya dekat dada. 　　Ah Man menerimanya dan membuka, menghitung sampai tiga kali baru tersenyum puas: “Nona, jumlahnya tepat.” 　　Jiang Si sedikit menaikkan dagunya. 　　Ah Man paham, mengambil kertas perak seratus tael dan memberikannya dengan enggan: “Ini, seperti janji.” 　　“Ini sungguh memalukan——” A Fei buru-buru menyambar kertas perak itu. 　　“Beri A Fei seratus tael lagi.” 　　“Nona!” 　　Jiang Si menaikkan alis. 　　Ah Man mengeluarkan napas kecewa, mengambil lagi seratus tael perak. 　　Kali ini A Fei tidak menerima: “Nona, waktu itu janjinya cuma seratus tael...” 　　“Waktu itu odds-nya 1:5, timing taruhanmu bagus membuatku untung banyak. Seratus tael ini hadiah.” 　　“Kalau begitu hamba tidak sungkan lagi.” A Fei yang biasa hidup di pasar ini berwajah tebal, langsung gembira menerima kertas perak itu. 　　Ditariknya lagi, tetap tidak bisa ditarik. 　　A Fei melirik Ah Man dan mengingatkan: "Kak Ah Man, uang kertasnya bisa sobek kalau ditarik terus..." 　　Agak terlambat, hari ini masih ada satu update lagi. Semoga semua mendapat kekayaan besar di Tahun Anjing. 59. Bab 59 Siklus Hukum Langit 　　Bab 59 Siklus Hukum Langit 　　Setelah A Fei pergi, Ah Man masih kesal: "Katanya cuma seratus tael, eh malah memberi dua ratus tael. Ayam betina bertelur pun tidak secepat ini." 　　Jiang Si menunjuk dahi Ah Man: "Dulu tak kusadari kau ini anak perempuan yang gila harta." 　　Ah Man menutupi dahinya sambil mencibir, dalam hati berpikir Nona juga dulu tak punya uang, mana mungkin dia bisa pelit. 　　"Jangan selalu fokus pada ini. Uang memang penting, tapi bukan yang terpenting bagi kita." 　　Dia butuh uang untuk urusan bisnis, tapi yang lebih dibutuhkan adalah sumber daya manusia. Kalau ada pilihan lain, mana mungkin dia menggunakan preman jalanan seperti A Fei yang tak pernah berinteraksi sebelumnya. 　　Untungnya dia beruntung, A Fei cukup cerdik dan tidak berpikiran sempit, bisa diandalkan. 　　"Serahkan dua ratus tael ini ke Nyonya Peramal Liu, untuk melunasi hutangnya." 　　"Nona tidak mau menemui Nyonya Peramal Liu lagi?" 　　"Tidak perlu. Sudah tak ada urusan lagi." Hutang harus dibayar, sekarang semua sudah selesai. Saatnya Nyonya Peramal Liu menerima ganjaran perbuatan jahatnya. 　　Di kehidupan sebelumnya, Nyonya Peramal Liu menikmati kemewahan cukup lama. Bahkan setelah Jiang Si menikah dengan Yu Jing dan kembali ke ibukota, si dukun tetap makmur. 　　Namun suatu hari, Nyonya Peramal Liu yang sedang di puncak kejayaannya tewas dibunuh di rumahnya sendiri, pelakunya tak kunjung tertangkap. 　　Kebetulan dia tahu siapa pembunuhnya. 　　Sejak gelar bangsawan jatuh ke tangan keluarga paman kedua, dia mulai mencurigai peristiwa ketika Bibi Er mengundang Nyonya Peramal Liu untuk mengusir roh jahat di rumah mereka. Sambil meminta Yujin menyelidiki paman kedua, dia juga menyelidiki Nyonya Peramal Liu. 　　Banyak hal, asalkan tidak menghitung biaya dan waktu, serta mengerahkan upaya maksimal untuk menyelidiki, pasti akan mengungkap banyak kejutan. 　　Perbuatan Nyonya Peramal Liu yang menyuruh anak lelakinya menyamar sebagai perempuan untuk merugikan nona-nona dari keluarga kaya adalah yang paling memuakkan, dan inilah yang mendatangkan petaka bagi nyawanya. 　　Tentu saja, pembunuh ini tidak ada hubungannya dengan keluarga Yuanwai Yan. 　　Nyonya Peramal Liu yang bisa merancang skema biadab seperti itu tentu tidak hanya merugikan keluarga Yuanwai Yan. Beberapa gadis memiliki ketabahan hati sehingga tidak sampai nekat menikahi pemuda miskin hanya karena mimpi tujuh malam, ada juga orangtua yang sungguh menyayangi anaknya sehingga mencegah putri mereka berbuat bodoh. 　　Menurut hasil investigasi tim Yujin, setidaknya ada empat atau lima nona yang menderita penyakit aneh seperti Nona Yan. 　　Nyonya Peramal Liu memang bekerja rapi: Semua gadis ini adalah anak tunggal, tinggal di kota berbeda yang berjarak setidaknya seratus li, sedangkan "kerabat jauh" tempat si pemuda miskin dalam mimpi mereka menginap selalu berbeda setiap kasus. 　　Taktik "menebar jaring luas" Nyonya Peramal Liu benar-benar menginvestasikan modal besar. 　　Di antara mereka ada seorang gadis bermarga Dou yang berparas cantik seperti bunga dan bulan, sangat dimanasi orangtuanya, namun berwatak keras. Setelah menjadi korban anak laki-laki Nyonya Peramal Liu, ia segera menyadari kebenaran dan akhirnya gantung diri, tanpa meninggalkan sepatah kata pun untuk orangtuanya. 　　Anak laki-laki Nyonya Peramal Liu yang menyamar sebagai perempuan tanpa cela, mana mungkin orangtua Nona Dou tahu bahwa yang menemani putri mereka tidur setiap malam adalah seorang pria? Mereka benar-benar terkejut menghadapi kematian putrinya tanpa tahu penyebabnya. 　　Melihat urusannya sudah menelan korban jiwa, Nyonya Peramal Liu segera melarikan diri. 　　Nona Dou memiliki tunangan yang sudah bersama sejak kecil. Setelah dewasa, pria ini menjadi perwira yang bertugas di Kota Lin. Karena terjadi kerusuhan rakyat saat itu, ia pergi memadamkan pemberontakan bersama atasannya. Ketika kembali dan mengetahui tunangannya telah meninggal, nyaris ia menjadi gila. 　　Di hadapan pertanyaan tunangan putrinya, orangtua Nona Dou hanya bisa menangis pilu. 　　Kematian tunangannya menjadi luka yang tak terhapuskan bagi pria ini. Ia tak percaya tunangannya akan mengakhiri hidup hanya karena masalah sepele, pasti ada sesuatu yang tak tertahankan terjadi. 　　Pria itu mulai mengarahkan pandangannya pada Nyonya Peramal Liu yang pernah muncul di keluarga Dou. 　　Sayangnya di masa itu informasi sangat terbatas. Begitu Nyonya Peramal Liu pergi bagai tetes air masuk ke laut, mustahil menemukan jejaknya lagi. 　　Sedangkan beberapa keluarga yang tersebar di kota berbeda dan menjadi korban Nyonya Peramal Liu, meski menyadari kebenaran, mereka memilih untuk menutup rapat-rapat masalah ini. Mereka tidak hanya tidak berani menyebut setengah kata pun keburukan Nyonya Peramal Liu ke luar, malah harus menahan kesal dan memuji kemampuan hebat Nyonya Peramal Liu. 　　Ketika korban secara aktif menutupi pelaku kejahatan, pihak luar yang ingin mengungkap kebenaran akan menghadapi kesulitan setara menggapai langit. 　　Penantian ini berlangsung selama belasan tahun. 　　Pria itu akhirnya berhasil mengungkap kebenaran melalui tebakan dan penyelidikan, lalu mengamuk dengan memotong alat kelamin anak Nyonya Peramal Liu. Kemudian ia langsung menyelinap ke kediaman Nyonya Peramal Liu di ibu kota dan membunuhnya dengan tusukan bertubi-tubi di malam hari. 　　Ketika keluarga yang pernah meminta jasa Nyonya Peramal Liu mengirim orang untuk mencari ke rumahnya, pria itu sudah lama meninggalkan ibu kota dan kembali ke kota tempat keluarga tunangan perempuannya tinggal. 　　Kasus seperti ini paling sulit diselidiki karena pihak berwenang sekalipun tidak akan menyangka untuk menelusuri konflik dengan Nyonya Peramal Liu yang terjadi belasan tahun silam. 　　Apalagi Nyonya Peramal Liu bukan berasal dari keluarga terpandang, hanya seorang wanita desa biasa. Keberhasilannya bergaul dengan para bangsawan semata-mata karena reputasinya. Setelah kematiannya, pengaruhnya pun memudar dan kasus ini perlahan menjadi kasus tak terpecahkan. 　　Yu Jin yang ditugaskan Jiang Si untuk menyelidiki kasus Nyonya Peramal Liu sejak awal, baru bisa melacak pria tersebut dan mengungkap berbagai fakta ini. 　　Akhir hidup pria itu membuat Jiang Si menghela nafas sedih berkepanjangan. 　　Setelah menitipkan orangtuanya kepada saudara-saudaranya untuk dirawat, pria tersebut bunuh diri di depan makam tunangan perempuannya. 　　Peristiwa ini juga menimbulkan sensasi besar di daerah setempat. 　　“Orang-orang lokal mengatakan pria itu terlalu setia, merindukan tunangannya selama belasan tahun hingga akhirnya tak tahan dan menyusul tunangannya.” 　　“Tak seorang pun menghubungkan kematian pria ini dengan kematian seorang dukun di ibu kota yang jauh, atau bisa dikatakan Nyonya Peramal Liu yang pernah muncul di sini belasan tahun lalu telah benar-benar dilupakan orang, sementara peristiwa yang terjadi di ibu kota nan jauh juga mustahil sampai ke sini.” 　　“Jiang Si masih ingat ekspresi tidak suka Yu Jin yang ditunjukkan ketika dia mengungkapkan kekagumannya pada kesetiaan pria tersebut terhadap tunangannya sampai mati.” 　　“Dia meliriknya sinis, berkata pria seperti itu sangat langka di dunia.” 　　“Yu Jin lalu berkomentar: 'Butuh belasan tahun baru bisa balas dendam lalu mencari tunangannya, mungkin tunangannya sudah menunggu sampai bunga layu, mungkin sudah bereinkarnasi. Pria bodoh seperti ini tidak layak dikagumi.'” 　　“Mereka bertengkar ringan sambil tertawa, lalu melupakan masalah ini.” 　　“Sebelum waktu yang disepakati dengan Nyonya Peramal Liu, Jiang Si meninggalkan Ah Man terlebih dahulu.” 　　“Nyonya Peramal Liu yang datang tepat waktu merasa lega melihat Jiang Si tidak ada di tempat: 'Uangnya tidak usah, saya malah ingin berterima kasih pada bantuan Nona Keempat.'” 　　“'Tidak boleh begitu, nona kami bilang, hutang harus dibayar itu kodrat. Ibu cepat terima ini. Dan lain kali, perlakukan nona kami seperti orang asing saja.'” 　　“Nyonya Peramal Liu senang bukan main, mengambil kembali 200 tael perak itu lalu pergi dengan gembira.” 　　“Beberapa hari kemudian, seorang pria muda tiba di kota kecil yang berjarak ratusan li dari ibu kota.” 　　“Pria berusia awal dua puluhan, terlihat cukup tampan, hanya dari cara berjalannya terlihat sedikit sembrono.” 　　“Kehadiran pria seperti ini di kota kecil sama sekali tidak mencolok.” 　　“Pria muda itu berhenti di depan sebuah kedai minum, mengusap dagunya sambil bergumam: ‘Laki-laki yang disebut Nona itu sering minum di kedai ini, kan?’” 　　“Kebetulan ada seorang pelanggan keluar, pria muda itu langsung menariknya dan menyelipkan beberapa keping uang tembaga: ‘Bang, apakah Jenderal Qin sudah datang minum?’” 　　“Pelanggan itu menunjuk ke dalam kedai: ‘Sedang minum di dalam.’” 　　“‘Terima kasih.’ Pria muda itu masuk ke dalam kedai.” 　　“Terima kasih untuk vote dan Hadiah, sampai jumpa besok.” “60.Bab 60 Hukuman yang Pantas” 　　“Bab 60 Hukuman yang Pantas” 　　“Kedai minum di kota kecil tentu tidak seelok di ibukota, tapi keramaiannya tak kalah.” 　　“Pria muda ini tak lain adalah A Fei.” 　　“A Fei masuk ke kedai, memesan minuman dan makanan lalu duduk di sudut sambil mencari targetnya.” 　　“Di bangku panjang dekat jendela duduk seorang pria kekar yang sedang menenggak minuman, di depannya hanya ada sepiring kacang tanah.” 　　“Minuman yang dihabiskannya pun jenis anggur murahan.” 　　“A Fei membawa anggur bagus dan semangkuk daging keledai kecap ke hadapan pria itu, meletakkannya di meja sambil tersenyum: ‘Minum sendirian membosankan, aku rasa kita cocok, minum bareng yuk?’” 　　“Pria itu melirik A Fei.” 　　Melalui urat merah di matanya dan pandangan yang buram, A Fei bisa menyimpulkan pria ini sudah minum banyak. 　　"Minum satu ya minum satu." Pria itu orang yang blak-blakan, tanpa ragu mengangkat gelasnya membenturkan gelas A Fei, meneguk habis lalu menyuap daging keledai saus dengan sumpit. 　　Pria itu mengunyah daging keledai saus wangi dengan lahap, menepuk meja: "Ngasih! Sudah lama tak makan daging keledai saus warung ini." 　　Mantan perwira militer berpangkat, tapi karena tunangannya tiba-tiba bunuh diri terjerembab dalam kesedihan, akhirnya kehilangan jabatan. Kini orang memanggilnya Jenderal Qin hanya karena kebiasaan, bahkan ada yang menyelipkan ejekan. 　　Tidak semua orang mengagumi kesetiaan pria pada tunangannya sampai mati. Perilaku seperti ini biasanya menyentuh wanita, sedangkan kebanyakan pria akan mengejek. 　　Demi seorang calon istri yang belum dinikahi sampai terpuruk begini, sungguh tidak berguna. 　　Pria itu terus menerus bersulang dengan A Fei, melahap habis piring daging keledai saus setumpuk, lalu beranjak sambil mengelap mulut: "Kenyang, makasih." 　　Melihat pria itu sempoyongan pergi, A Fei diam saja. Setelah duduk sebentar, membayar tagihan lalu menyusul. 　　"Ngapain ngejar-ngejar aku!" Tiba-tiba pria itu memelintir lengan A Fei, mendorongnya ke tembok. 　　A Fei mengerang kesakitan tapi tak bersuara. 　　"Rasa sakit setelah ditusuk jepit rambut oleh Ah Man, sekarang sepertinya membuat rasa sakit biasa tidak berarti lagi." 　　"Siapa kau?" Pria itu menatap tajam A Fei, sorot matanya kembali jernih. 　　"Anak muda ini tidak seperti preman pengecut tak bertulang." 　　Ada orang yang mabuk bukan karena minum melebihi kapasitas, tapi karena ingin mabuk. Pria inilah contohnya. 　　A Fei menatap lurus ke pria itu, tiba-tiba tersenyum dan mengajukan pertanyaan aneh: "Bang, bisa baca tulisan?" 　　Pria itu tertegun sebentar, lalu mengangguk. 　　Seorang pemuda aneh dengan pertanyaan aneh. Pria itu samar-samar merasa kehidupan menyakitkan dan mati rasa selama belasan tahun ini akan berubah. 　　"Bisa baca tulisan sudah bagus." A Fei mengeluarkan surat dari dalam bajunya dan menyodorkannya. 　　Pria itu melirik A Fei, menerima surat dan menarik isinya untuk dibaca di bawah cahaya. 　　Baru melihat sepintas, ekspresi wajah pria itu berubah drastis. 　　Tangannya gemetar menyelesaikan surat itu, lalu menyambar kerah baju A Fei: "Kau ini siapa sebenarnya?!" 　　A Fei batuk beberapa kali: "Bang, leherku hampir tercekik." 　　Pria itu sedikit mengendurkan cengkeraman, bibirnya masih terus bergetar. 　　Melihat ekspresi pria itu, A Fei tiba-tiba dilanda ketakutan besar dari dasar hati. 　　Ia sama sekali tidak meragukan bahwa pria ini benar-benar berani membunuh! 　　Uang Nona Jiang ternyata tidak mudah didapat. 　　“A Fei ingin menangis tapi tak ada air mata, dalam hati ia menghibur diri: Modal untuk menikahi istri sudah habis kalah judi, kalau tidak bekerja keras mencari uang, bagaimana masa depanku?” 　　“Katakan, kamu ini siapa sebenarnya!” 　　A Fei menempel di dinding, punggungnya terasa dingin dan keras. 　　“Saya cuma kurir.” 　　“Lalu surat ini? Siapa yang menulisnya?” 　　A Fei menggeleng: “Ini tidak bisa saya katakan. Lagipula selain menghitung uang, saya buta huruf. Tapi si pengirim surat punya pesan untukmu.” 　　“Dia bilang apa?” Lelaki itu mulai kesal, “Dia bilang apa?!” 　　Kebenaran yang terungkap dalam surat itu cukup membuat gila seorang lelaki yang telah mencari kebenaran selama belasan tahun. 　　“Batuk-batuk... Dia bilang... Percaya atau tidak, kejadian ini sudah bertahun-tahun lalu, dia tidak punya bukti. Kalau mau bukti, kau harus memaksa orang kunci untuk bicara...” Setelah mengatakannya, A Fei hampir menangis. 　　Ia merasa membawa pesan seperti ini sama saja dengan mencari mati. 　　Tapi memang dia benar-benar buta huruf. Jangankan berani membuka surat, bahkan jika dibaca pun tak akan mengerti isinya, apalagi tahu detail peristiwanya. 　　“Lalu bagaimana dia bisa tahu?” 　　A Fei memutar matanya: “Entahlah! Kalau saya sepintar itu, pasti bukan saya yang jadi kurir. Benar kan, Bang? Dia cuma bilang, dia tidak terlibat, kebetulan saja tahu.” 　　Lelaki itu menunduk membaca surat itu kata demi kata berulang kali, tiba-tiba menyobek surat itu dan memasukkannya ke mulut untuk dikunyah lalu ditelan. 　　A Fei mulutnya terbuka lebar. 　　“Ikut aku!” Pria itu langsung menangkap A Fei dan menariknya masuk ke dalam gang. 　　Rumah pria itu meskipun sederhana, tak disangka sangat rapi. 　　“Apapun niat orang di belakangmu, karena kau sudah dikirim ke sini, aku yakin kau harus menunggu hasil tertentu baru mau pergi?” 　　“Tentu saja.” A Fei menjawab tanpa ragu. 　　Pria itu menutup mata sejenak: “Silakan sesukamu, aku tidak menyediakan makanan.” 　　Setelah berkata demikian, dia mendorong A Fei dan berlari terhuyung-huyung keluar, bahkan pintu gerbang pun tidak ditutup. 　　A Fei duduk sebentar, lalu menepuk pantatnya dan berdiri. 　　Orang ini terlalu polos, tentu saja dia akan pergi, masih ada tugas dari Nona Jiang yang harus diselesaikan. 　　Tapi bagaimana Nona Jiang tahu kalau pria ini tidak akan menyakitinya? 　　Mana A Fei tahu, seseorang yang sudah belasan tahun memburu penyebab kematian tunangannya, begitu mengetahui kebenaran takkan peduli orang lain, yang dia buru adalah memverifikasi isi surat itu. 　　Bahkan jika akhirnya dia gagal membuat korban atau pelaku bicara, deskripsi detail dalam surat sudah meyakinkannya. 　　Nasib Nyonya Peramal Liu sebenarnya sudah ditentukan sejak saat ini. 　　Dalam dua minggu terakhir, jika ditanya siapa orang paling tersohor di ibu kota, 8 dari 10 penduduk akan menyebut Nyonya Peramal Liu yang menyembuhkan penyakit mata Nyonya Tua Dongping Bo. 　　Undangan dari keluarga-keluarga bangsawan untuk Nyonya Peramal Liu sudah mengantri sampai sebulan ke depan, sungguh sedang di puncak kejayaan. 　　Hari ini, tibalah giliran mengunjungi Kediaman Yongchang Bo. 　　“Kediaman Yongchang Bo berada tepat di sebelah Kediaman Dongping Bo. Kedua keluarga ini sering berinteraksi. Xie Qingyao, putri sulung Kediaman Yongchang Bo yang sebaya dengan Jiang Si, bisa dibilang adalah sahabat karibnya.” 　　“Saat seorang pelayan wanita dari Kediaman Yongchang Bo pergi memanggil Nyonya Peramal Liu, bahkan penjaga gerbang Kediaman Dongping Bo bisa melihat jelas jenis bunga yang dipakai di rambut pelayan itu.” 　　“Karena letaknya berdekatan, sedikit saja kejadian di satu rumah akan cepat diketahui tetangganya. Maka ketika pelayan yang dikirim Kediaman Yongchang Bo lari ketakutan sampai mengompol, keluarga Bo Dongping pun segera mengetahui kabar mengejutkan ini.” 　　“Nyonya Peramal Liu yang seperti dewi ternyata tewas dibunuh di ranjangnya! Darah menggenangi seluruh tempat tidur dan lantai, mayatnya sudah dingin lama!” 　　“Nyonya Peramal Liu yang baru terkenal selama setengah bulan ini akhirnya mati secara tragis!” 　　“Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar di Haitangju. Ah Man berlari masuk ke kamar dengan panik: 'Nona, ada kejadian mengerikan!'” 　　“Jiang Si memandang Ah Man dengan tenang, tiba-tiba tersenyum: 'Kejadian mengerikan apa? Coba ceritakan.'” 　　“'Nyonya Peramal Liu dibunuh orang!'” 　　“'Begitu ya--' Jiang Si menghela napas pelan, 'Benar-benar menakutkan.'” 　　“Xie Qingyao diperankan oleh Victoria_lmy dari grup pembaca.” 61.Bab 61 Masalah Tetangga 　　Bab 61 Masalah Tetangga 　　“Ah Man mengangguk setuju: 'Benar, katanya ususnya berceceran di mana-mana. Pelayan dari Kediaman Yongchang Bo yang dikirim menjemputnya sampai ngompol ketakutan. Tapi menurutku ini balasan yang pantas--'” 　　"Di sini, Ah Man tiba-tiba berhenti bicara, matanya yang seperti buah aprikot membelalak lebar." 　　"Kenapa?" Jiang Si mengangkat alis. 　　Ah Man mulai gagap: "No-nona, waktu itu nona bilang orang jahat pasti akan dihukum langit, apakah——" 　　"Hm?" 　　Ah Man menarik napas panjang: "Apakah nona sudah melihat sejak awal kening Nyonya Peramal Liu menghitam, pertanda ajalnya dekat?" 　　"Ehem." Jiang Si tak kuasa menahan batuk. 　　A Qiao segera menepuk-nepuk punggung Jiang Si, melirik ke arah Ah Man: "Ngomong apa sembarangan? Nona kan bukan tukang ramal." 　　Jiang Si tak mempermasalahkannya, tersenyum: "Tidak perlu meramal. Orang yang sering berjalan di tepi sungai pasti suatu saat kakinya basah. Kejahatan yang menumpuk, biarpun langit tidak menghukum, pasti ada orang yang akan menindaknya." 　　Ah Man duduk di bangku kecil menopang pipi: "Pahlawan mana yang melakukan perbuatan baik ini ya?" 　　"Sudah, cepat pergi kerja! Ngapain cerita hal seram ke nona?" A Qiao menarik lengan Ah Man keluar. 　　Tak lama kemudian A Qiao kembali membawa kartu kunjungan: "Nona, ini undangan dari Xie Dayuanyuan dari Keluarga Yongchang Bo." 　　Sejak Jiang Si jatuh sakit karena dipermalukan di pesta sebulan lalu hingga membatalkan pertunangan dengan Keluarga An Guogong, Xie Qingyao sudah dua kali berkunjung, termasuk tempaan dekat yang jarang dimiliki Jiang Si. 　　Jiang Si memegang kartu itu sambil tersenyum. 　　Xie Qingyao berwatak periang, kali ini datang untuk berbagi gosip dengannya. 　　“Jiang Si mengangkat kuas dan menulis surat balasan, lalu memberikannya kepada A Qiao untuk dikirim.” 　　Kediaman Yongchang Bo bersebelahan dengan Kediaman Dongping Bo. Tak lama kemudian, Xie Qingyao tiba. 　　Xie Qingyao yang seusia Jiang Si memiliki wajah bulat seperti apel dengan lesung pipi, tersenyum sebelum bicara: "A Si, aku datang." 　　Jiang Si yang duduk tegak di depan meja teh telah menyeduh secangkir teh harum, di atas meja juga tersaji beberapa piring kue tradisional. 　　Xie Qingyao tanpa sungkan langsung duduk berseberangan. 　　Pipi gadis itu memerah, matanya berkilau. Jiang Si tahu ini pertanda sahabatnya sedang menahan segudang cerita. 　　"Minum teh dulu untuk melembapkan tenggorokan." Secangkir teh didorongkan ke hadapan Xie Qingyao. 　　Xie Qingyao meneguk dua kali, lalu berbisik penuh misteri: "Hari ini terjadi sesuatu yang mengerikan." 　　"Hah!" Ah Man yang berdiri di samping tak tahan tertawa. 　　Xie Qingyao heran melirik Ah Man. 　　Ah Man segera menunduk, berpura-pura polos. 　　Xie Qingyao tahu dayang Jiang Si ini kurang lihai, tak dipedulikannya. Ia menekan kedua tangan di meja sambil condong ke depan: "Nyonya Peramal Liu yang kemarin mengusir roh jahat di rumahmu, dibunuh tadi malam!" 　　Melihat Jiang Si tak bereaksi, Xie Qingyao mendorongnya: "Tak terduga? Menyeramkan? Beri reaksi dong!" 　　"Tak terduga! Menyeramkan!" Jiang Si mengangguk dengan wajah serius. 　　Xie Qingyao melotot memandangi Jiang Si lama sekali, lalu menyerah: "Kamu memang selalu begitu, meski ketakutan setengah mati tetap dipendam sendiri." 　　Sejak kecil dia tidak menyukai Jiang Si, selalu merasa tidak cocok dengan gadis yang selalu berpakaian indah bahkan senyumnya pun terukur sempurna itu. 　　Sampai suatu ketika, saat dia merengek ikut kakak laki-lakinya main keluar, diam-diam menyelinap pergi tapi malah ditinggal kakaknya yang sedang dalam usia nakal. 　　Berduduk bodoh di pinggir jalan sambil memegang tanghulu, dia dikerubungi anak-anak nakal yang menarik-narik rok dan mencabut kepangnya, sampai Jiang Si menyuruh Ah Man yang lebih tinggi setengah kepala dari anak seumurannya datang menyelamatkannya. 　　Sejak saat itulah dia mulai nempel terus pada Jiang Si. 　　Jiang Si-nya cantik bak bunga, dingin di luar tapi hangat di dalam, kelebihannya terlalu banyak untuk dihitung, jauh lebih bisa diandalkan daripada kakak brengsek itu. 　　Jiang Si tersenyum kecut. 　　Kalau dulu, memang dirinya terlalu menjaga gengsi. 　　Kehilangan ibu sejak kecil dan gelar ayahnya yang tidak bisa diwariskan, membuatnya sering mendapat pandangan aneh di lingkaran ini. Baik itu belas kasihan maupun penghinaan, sama-sama tidak diinginkannya. 　　Hanya dengan berpura-pura acuh dan angkuh, barulah dia merasa tidak diremehkan orang. 　　Tapi setelah mengalami berbagai hal hidup-mati, dirinya telah tumbuh dan sadar dalam waktu singkat. 　　“Karena tidak melihat langsung, tidak bisa dibilang takut.” Jiang Si mengambil sepotong kue mawar dan menyodorkannya. 　　Kue berbentuk bunga mawar itu terlihat sangat indah. Xie Qingya mencicipi sesuap lalu mengeluh: “A Qiao benar-benar harta berharga, kuenya semakin lezat.” 　　Setelah menghabiskan kue mawar, Xie Qingya menyeka sudut mulutnya sambil berkata pilu: “Nyonya Peramal Liu yang begitu hebat, bahkan ibuku menganggapnya dewa hidup, siapa sangka dia tewas begitu saja.” 　　“Yang ingin mengundang Nyonya Peramal Liu ke kediamanmu adalah bibimu?” 　　Xie Qingya yang tak pernah menyembunyikan apapun dari Jiang Si menjawab: “Iya. Ibu sama sekali tidak mau memberitahu tujuan mengundangnya. Hari ini mendengar kematiannya, ibu hanya duduk diam lama-lama sampai meneteskan air mata. Aku jadi penasaran, benarkah Nyonya Peramal Liu begitu sakti?” 　　“Mampu menyembuhkan penyakit mata nenekku, Nyonya Peramal Liu tentu punya kemampuan nyata.” Jawab Jiang Si datar. 　　Janjinya untuk memberi kemasyhuran dan kekayaan pada Nyonya Peramal Liu telah ditepati, sayang sang dukun tak berumur panjang menikmatinya. 　　Perbuatan keji Nyonya Peramal Liu terhadap para gadis tak bersalah dan kakaknya pantas dihukum mati, tak ada secuil pun rasa iba di hatinya. 　　Terlebih dengan reputasinya sekarang, kejahatan yang bisa dilakukan Nyonya Peramal Liu akan semakin besar. Maka mendorong sang dukun ke puncak popularitas menjadi kesalahan fatal baginya. 　　"Bisa dikatakan, sejak awal mengutus Ah Man menemui Nyonya Peramal Liu, dia sudah secara tak langsung mendorong Nyonya Peramal Liu ke liang kubur." 　　"Kalau begitu aku semakin khawatir." Xie Qingyao mengerutkan kening gelisah, "Ibuku menangis mendengar kematian tragis Nyonya Peramal Liu, itu membuktikan dia sangat berharap pada hal yang ingin dicari melalui Nyonya Peramal Liu. Masalah apa sebenarnya yang dihadapi ibuku?" 　　Kesulitan yang dihadapi Istri Yongchang Bo belakangan ini? 　　Jiang Si mulai merenung dengan seksama. 　　Pada masa kehidupan sebelumnya, pernikahannya dipercepat sehingga dia benar-benar tidak sempat memperhatikan urusan luar. Jika berbicara tentang peristiwa di Keluarga Yongchang Bo yang menjadi buah bibir masyarakat, memang ada satu hal. 　　Entah mengapa, Yongchang Bo tertidur di kandang babi milik sebuah keluarga di pinggir jalan, yang baru diketahui pemilik rumah ketika mendengar jeritan babi yang gelisah di pagi hari. 　　Sudah pasti, peristiwa tidur di kandang babi ini langsung melesat ke peringkat teratas gosip tahunan ibu kota, menjadi hiburan besar bagi para penggemar gosip. 　　Selain mempermalukan keluarga, dampak langsungnya adalah pembatalan perjodohan antara Putra Mahkota Xie Yinlou dari Yongchang Bo dengan calon mempelai perempuan. 　　Dengan ayah yang tidak waras, siapa yang bisa menjamin sang anak tidak akan tiba-tiba ingin tidur di kandang babi juga? 　　Jiang Si ingat, Xie Yinlou yang bisa dibilang teman masa kecilnya itu tetap melajang sampai tahun dia meninggal di kehidupan sebelumnya. 　　"Secara umum, jika seorang perempuan menghadapi masalah yang sulit dipecahkan, delapan atau sembilan dari sepuluh kasus pasti berkaitan dengan suami." Jiang Si berhati-hati memberi petunjuk. 　　Lagi pula itu adalah senior teman baiknya, dia tidak mungkin langsung mengatakan bahwa sebentar lagi ayahmu akan tidur dengan babi, lalu pertunangan kakakmu yang hampir jadi akhirnya batal. 　　Xie Qingyao menepuk meja keras: "Apa maksudmu ayahku punya selir di luar?" 　　Terima kasih atas voting dan hadiahnya, sampai jumpa besok. 62. Bab 62 Orang yang Terlalu Berharap 　　Bab 62 Orang yang Terlalu Berharap 　　Setelah berkata, melihat ekspresi terkejut Jiang Si, Xie Qingyao langsung memerah mukanya. 　　Celaka, tanpa sadar aku menjual ayah sendiri karena terlalu emosi. 　　Meskipun ibu tidak pernah menyebutkan apa-apa, tapi beliau selalu terlihat gelisah belakangan ini. Aku bukan lagi gadis kecil yang tidak peka, sudah lama memikirkan penyebabnya. 　　Setelah dipikir-pikir, kemungkinan besar ayah punya selir di luar. 　　Tidak, ayah pasti punya selir di luar! 　　Xie Qingyao berdiri: "A Si, karena kita sepikiran, aku akan pulang untuk mengingatkan ibu--" 　　"Tunggu, kapan aku sepikiran denganmu?" Jiang Si bingung. 　　"Bukannya barusan kamu bilang kemungkinan besar ini berkaitan dengan ayahku?" 　　Jiang Si geli sekaligus kesal, buru-buru menarik Xie Qingyao untuk duduk: "Kenapa langsung percaya begitu? Maksudku, mungkin Paman sedang tidak sehat, jadi Bibi khawatir dengan kesehatannya." 　　Kasus Yongchang Bo tidur dengan babi menjadi bahan olok-olok warga ibu kota bertahun-tahun, bahkan masih disebut-sebut beberapa tahun kemudian, padahal faktanya sederhana. 　　“Setelah Keluarga Yongchang Bo memanggil tabib ternama, akhirnya terungkap alasan perilaku aneh Yongchang Bo. Yongchang Bo menderita sindrom linglung, yaitu gangguan tidur berjalan (somnambulisme).” 　　“Sayangnya, lelucon itu sudah terlanjur tersebar.” 　　“Yang sekarang membuat Jiang Si dibuat bingung adalah, bagaimana cara dia mengingatkan sahabatnya?” 　　““Tidak enak badan?” Xie Qingyao langsung menggeleng tanpa berpikir, “Pasti bukan itu masalahnya. Kalau ayahku sakit, ibuku pasti sudah lama memanggil tabib. Untuk apa memanggil Nyonya Peramal Liu?”” 　　““Jika Paman benar-benar punya selir, apa gunanya Bibi memanggil Nyonya Peramal Liu?” Jiang Si balik bertanya.” 　　“Xie Qingyao menurunkan suaranya: “Aku pernah membaca catatan-catatan tentang Nanlan, beberapa wanita menggunakan sihir rahasia untuk membuat pria penghianat kembali.”” 　　“Jiang Si: “……”” 　　“Xie Qingyao meraih dahinya dengan kesal.” 　　“Secara tidak sengaja membocorkan rahasia ibu lagi.” 　　““Qingyao, kurasa kau terlalu berandai-andai. Apa status Bibi? Meskipun Paman punya selir bahkan anak di luar nikah, mungkinkah Bibi melakukan hal seperti itu?”” 　　““Lalu apa sebenarnya masalahnya? Ah, kenapa Nyonya Peramal Liu mati tepat di saat seperti ini.” Xie Qingyao menghela napas resah.” 　　““Jangan cemberut terus. Karena Bibi tidak mau bicara, jangan tanya langsung. Cobalah bertanya secara tidak langsung atau tanya pada dayang-dayang di sekitar Bibi, lalu perhatikan gerak-gerik Paman, mungkin kebenaran bisa terungkap.”” 　　Gangguan tidur Yongchang Bo sudah berkembang sampai tidur di kandang babi, pasti serangannya bukan hanya sekali dua kali. Pasti Nyonya Yongchang Bo menyadari keanehan suaminya sehingga mengaitkannya dengan hal gaib, lalu timbul keinginan untuk mengundang Nyonya Peramal Liu mengusir roh jahat. 　　Kematian Nyonya Peramal Liu yang mendadak membuat Nyonya Yongchang Bo sedang dalam keadaan panik. Jika Xie Qingyao lebih teliti, tidak sulit baginya menemukan akar kegelisahan ibunya. 　　"Hmm, aku akan menyelidiki ini. Ngomong-ngomong, Ah Si, apa kamu pernah berbicara langsung dengan Nyonya Peramal Liu?" Terhadap sosok Nyonya Peramal Liu yang dikabarkan mistis namun tewas secara tragis di puncak ketenarannya, gadis seusia Xie Qingyao selalu dipenuhi rasa ingin tahu. 　　Jiang Si tersenyum lembut sambil mengerlingkan matanya: "Pernah menyapa, soalnya dia menginap dua hari di rumah kami." 　　"Katanya kasus pembunuhan Nyonya Peramal Liu sampai menggemparkan tiga lembaga hukum, para petugas Shuntianfu juga sibuk berjaga-jaga. Ah Si, menurutmu apakah pelaku pembunuhan Nyonya Peramal Liu akan tertangkap?" 　　"Menurutku sulit." 　　"Kenapa?" 　　Jiang Si menyeruput tehnya perlahan, dalam hati berkata: Karena orang baik akan mendapat balasan yang baik. 　　"Sok misterius lagi." 　　Jiang Si tersenyum manis: "Bukan sok misterius. Orang seperti Nyonya Peramal Liu terlalu banyak bergaul dengan kalangan bawah sampai pejabat, hubungannya rumit dan kacau. Mencari pembunuhnya ibarat mencari jarum di tumpukan jerami." 　　Saat ini pembicaraan tentang pelaku sebenarnya pembunuhan Nyonya Peramal Liu tidak hanya terjadi di antara sahabat karib Jiang Si ini, tapi telah menjadi topik hangat seisi kota. 　　Si pembunuh itu sudah lama meninggalkan ibu kota, kembali ke kota kecil ratusan li jauhnya. 　　Seorang pria yang wajahnya tenang berjalan dengan langkah santai menuju rumahnya. 　　"Jenderal Qin, sudah lama tak melihatmu di kedai minum." Orang yang lewat menyapanya. 　　"Nanti saya akan pergi." Pria itu tersenyum, berbeda dengan kesuraman masa lalu, seluruh dirinya terlihat lebih ringan seolah disuntik semangat baru. 　　Tapi jika diperhatikan lebih seksama, perasaan ini justru membuat merinding. 　　Pria di depan mata bagai nyala api, terang benderang namun bisa membakar dirinya sendiri hingga menjadi abu. 　　Rumah rendah yang sederhana sudah di depan mata. Pria itu mendorong pintu dan memandang sekeliling, tak menemukan bayangan pemuda itu. 　　Ia kembali ke halaman, membuka tutup tong air di depan pintu, menciduk seember air dan meminumnya beberapa teguk. Lalu seluruh tubuhnya mencebur ke dalam untuk mandi puas, berganti baju baru. 　　Pakaian ini dijahit sendiri oleh tunangannya lebih dari sepuluh tahun silam. Bahan yang bagus hingga kini warnanya masih seperti baru. 　　Tapi setelah bertahun-tahun, perwira muda yang penuh semangat itu telah menjadi pemalas pemabuk, pakaian bagus di tubuhnya terasa tak lagi pantas. 　　Pria itu tetap membetulkan ujung bajunya penuh kasih sayang, lalu melangkah cepat meninggalkan rumah. 　　Jalan setapak di pedesaan terasa lembap di bawah kaki. Di antara tanaman hijau di sawah, kadang terlihat gundukan tanah menonjol. 　　Itu adalah kuburan. 　　"Tunangannya tinggal di tempat seperti ini, sudah menunggunya lama." 　　Di kejauhan muncul gundukan makam, yang berbeda dari lainnya adalah ada sebuah gubuk jerami tidak jauh dari makam itu. 　　Gubuk itu dibangun oleh pria tersebut. Kadang ketika merasa hidup tak tertahankan, ia akan tinggal di sini beberapa hari. 　　Kali ini pria itu tidak masuk ke gubuk, melainkan duduk langsung di depan makam, membelai rerumputan di gundukan makam dengan penuh kasih. 　　Makam hijau yang mengubur tulang harum, hanya dengan membayangkannya saja hatinya seperti terkoyak. 　　Tak tahu berapa lama pria itu duduk membeku, bahkan burung di ranting pohon pun bosan dan terbang pergi. 　　Ia menunduk, mengeluarkan tusuk konde dari dalam bajunya. 　　Tusuk konde ini juga sudah tua, ujungnya runcing, hadiah yang belum sempat ia berikan dulu. 　　Pria itu memegang tusuk konde dan mengukur posisi di dadanya, berpikir serius. 　　Dengan sedikit tenaga, mungkin akan cepat selesai. 　　Terdengar suara "plak", pria itu melompat sambil menggenggam tusuk konde emas, waspada melihat arah suara. 　　Pemuda yang pernah mengubah hidupnya secara drastis itu berdiam dengan ekspresi aneh tak jauh darinya, dua ekor ikan sedang melompat-lompat di kakinya. 　　"Kenapa kau di sini?" Pria itu menghampiri sambil menggenggam tusuk konde emas. 　　A Fei menjilat bibirnya: "Jangan terburu emosi, aku menunggumu." 　　Apa zaman sekarang emas tidak berharga lagi? Sampai mulai populer pakai tusuk konde emas untuk membunuh! 　　Pria itu menunduk memandangi ikan mas yang masih melompat-lompat. 　　“A Fei segera mengangkat kedua tangannya: ‘Jangan terburu nafsu, ikan tidak bersalah!’” 　　“Dia sudah menunggu begitu lama di gubuk reot ini, apa salahnya ingin makan ikan bakar?” 　　“‘Pergilah kau.’ Pria itu berkata dengan tenang.” 　　“A Fei menggigit ujung lidahnya.” 　　“Dia benar-benar ketakutan. Pria tadi berniat bunuh diri. Jika seseorang tak peduli nyawanya sendiri, bagaimana jika di perjalanan dia ingin cari teman minum?” 　　“‘Kalau takut, kenapa tidak segera pergi?’” 　　“‘Sebenarnya, orang yang mengirim surat padamu punya pesan tambahan untukku sampaikan.’” 　　“‘Tidak perlu.’ Pria itu mengabaikan A Fei dan kembali ke depan makam.” 　　“A Fei memberanikan diri, berseru: ‘Dia bilang, tunanganmu sudah meninggal lebih dari 10 tahun, mungkin sudah reinkarnasi. Sekalipun kau mencarinya sekarang, tak akan ketemu!’” 63.Bab 63 Penyimpangan 　　Bab 63 Penyimpangan 　　“Pria itu melesat ke depan A Fei, mencengkeram kerah bajunya sambil berteriak sekuat tenaga: ‘Dia bohong, dia bohong!’” 　　“A Fei terguncang seperti mi yang diremas, hampir memuntahkan semua makanannya.” 　　“Pria itu perlahan berhenti, berjongkok sambil meremas rambutnya, wajah penuh penderitaan.” 　　“A Fei melirik pria itu, lalu berbalik pergi.” 　　“Saat A Fei sampai di ujung ladang, pria itu tiba-tiba melompat mengejar dan menghadangnya.” 　　“Jantung A Fei langsung berdebar kencang.” 　　“‘Apa lagi yang dia katakan?’” 　　“‘Tidak ada.’” 　　“‘Tidak ada?’ Pria itu jelas tidak bisa menerima jawaban ini.” 　　“Benar-benar tidak ada lagi, dia berpesan padaku untuk menunggu di sini. Setelah bertemu denganmu dan menyampaikan kalimat itu, aku boleh pergi.” A Fei menjawab dengan jujur. 　　Sebenarnya dia juga sangat penasaran, bagaimana Nona Jiang bisa mengenal seorang pengangguran di kota kecil yang terpencil ratusan li ini? Bahkan menyuruhnya menunggu di pusara ini setelah memberikan surat pada orang itu, jika si penerima kabur. 　　A Fei tidak bodoh, bahkan karena tumbuh di lingkungan pasar yang keras, dia memiliki kecerdikan. Semakin dia merenungkan urusan ini, semakin ngeri hatinya. 　　Apakah Nona Jiang menyuruhnya berjaga di sini karena sudah memperkirakan orang ini akan datang untuk bunuh diri? 　　Hatinya merasakan kedinginan samar. 　　Bagaimana Nona Jiang bisa mengetahuinya? Apakah dia bisa meramal masa depan? 　　Mengingat rasa sakit yang tak tertahankan setiap tengah malam beberapa waktu lalu, ditambah berbagai peristiwa belakangan ini, tiba-tiba A Fei merasakan ketakutan yang mendalam. 　　Ketakutan itu bukan hanya berasal dari pria tak stabil di hadapannya yang bisa tiba-tiba mengamuk dan membunuh, tetapi lebih pada gadis cantik bermuka bunga di ibu kota yang jauh itu. 　　Namun selain ketakutan, entah mengapa A Fei juga merasa bersemangat. 　　Bagaimanapun dia adalah pria, meski berasal dari kalangan rendah dan buta huruf, mana ada pria yang rela menjalani hidup biasa-biasa saja? 　　Orang seperti dia di mata para bangsawan hanyalah sampah jalanan. Mimpi mendapatkan perhatian pejabat tinggi berkuasa hanyalah khayalan belaka. 　　"Nona Jiang begitu misterius, dan tanpa sengaja dia bersinggungan dengan gadis penuh teka-teki ini, mungkin ini adalah takdir A Fei dalam hidupnya?" 　　"Raih kesempatan ini!" 　　Suara ini tiba-tiba muncul dalam hati A Fei. 　　Mengingat Nona Jiang bisa memberi tambahan seratus tael setelah sepakat memberi imbalan seratus tael, cukup membuktikan selama dia melayani Nona Jiang dengan baik, keuntungan di masa depan pasti tidak akan sedikit. 　　Jiang Si yang berada di ibu kota jauh di seberang sama sekali tidak tahu bahwa setelah menyaksikan "kemampuan meramalnya" secara langsung, ambisi yang dimiliki sebagian besar pria telah bangkit dalam diri A Fei, dan seratus tael tambahan itu menjadi dasar untuk menyokong ambisinya. 　　Tidak ada orang yang mau mengabdi pada tuanku yang kejam sekaligus pelit. 　　"Lao Ge, aku pergi dulu." A Fei terkekeh kaku, dengan hati-hati menggeser tubuhnya ke samping, bersiap menghindari pria besar yang menghalangi jalan. 　　Di masa depan dia harus menjadi orang sukses, tidak boleh mati sia-sia seperti ini. 　　Melihat pria itu tidak bereaksi, A Fei diam-diam lega, buru-buru berjalan maju. 　　Bunyi langkah kaki terdengar dari belakang, A Fei berhenti mendadak, menoleh ke belakang. 　　Pria itu dengan wajah datar mengikuti dari belakang. 　　"Lao Ge, kenapa Anda mengikutiku?" A Fei hampir menangis. 　　"Aku ingin menemuinya." Pria itu menyelipkan tusuk konde emas ke dalam bajunya, tidak berniat bunuh diri lagi. 　　Jika sampai ke ujung dunia pun masih tidak bisa bersama tunangannya, maka kematian menjadi tidak menarik baginya. 　　Ekspresi A Fei ruwet. 　　"Tidak boleh bertemu?" 　　“Dia tidak bilang…” Sebenarnya A Fei juga tidak mengerti rencana Jiang Si. 　　Kalau Nona Jiang tidak peduli dengan nyawa pria di depannya, mengapa menyuruhnya menjaga kuburan selama beberapa hari? 　　Tapi kalau peduli dengan nyawa pria ini, mengapa hanya meninggalkan sepatah kata lalu pergi? Setidaknya harus memberi instruksi agar dia bersiap untuk membujuk. 　　Sebenarnya ini A Fei yang berpikir terlalu rumit. 　　Bagi Jiang Si, dia tahu kisah pria yang ingin bunuh diri karena cinta, tersentuh oleh kesetiaannya sebagai pihak ketiga yang ingin membantu. Tapi jika seseorang sudah bulat tekad untuk mati, mana mungkin mengandalkan postur tubuh kecil A Fei untuk menghalanginya? 　　Hal seperti ini hanya tentang berusaha maksimal dan menyerahkan pada takdir. 　　Nyawa adalah milik si pria sendiri, yang akhirnya menentukan tetap dirinya sendiri. 　　Melihat pria itu mengikuti langkahnya, A Fei menghela napas: “Sudahlah, ikut saja jika mau. Tapi ingat, dia ada di Ibu Kota——” 　　Mata pria itu menyipit, memotong ucapan A Fei: “Ibu Kota?” 　　“Ya, jauh sekali. Kau benar-benar mau ikut aku ke sana?” 　　Ekspresi pria itu justru semakin tegas: “Pergi.” 　　Baru saja dia membunuh seseorang di Ibu Kota, kini kembali ke sana tidak membuatnya gentar. 　　Meski sekarang niat bunuh dirinya sudah hilang, nyawanya tidak lagi berarti. Dia hanya ingin bertemu orang yang membantunya melihat jalan. 　　Tentang apa yang akan dilakukan setelah bertemu, pria itu tidak memikirkannya. 　　“Bahkan jika kau sampai di Ibu Kota, dia belum tentu mau menemuimu.” A Fei mengingatkan sekali lagi. 　　“Dia adalah putri bangsawan terhormat, bisa berinteraksi dengannya saja sudah suatu kejutan, belum tentu mau menemui orang di hadapannya ini.” 　　Pria itu tidak bicara lagi, berdiri di samping A Fei. 　　“Sudahlah, aku sudah bicara sebelumnya, terserah kamu.” 　　Seorang pemuda yang agak sembrono dan pria pendiam berhati dingin, akhirnya berangkat bersama. 　　Ibukota telah memasuki bulan Mei, cuaca mulai panas meski belum sepanas suhu tinggi bulan Juni-Juli, saat yang tepat untuk berbagai acara jamuan sering diadakan. 　　Namun para nyonya dan putri bangsawan di lingkaran ini mulai menyadari Istri Putra Mahkota Marquis Changxing telah absen dari banyak acara. 　　Ini wajar saja, dirasuki roh jahat sampai membahayakan nenek dari keluarga sendiri, siapapun yang mengalami hal seperti ini pasti akan malu lama keluar rumah. 　　Namun kehidupan Jiang Qian jauh lebih sulit dari yang dibayangkan orang. 　　Di kamar tidur pasangan Putra Mahkota Marquis Changxing, tercium aroma mesum yang membuat muka memerah. 　　Cao Xingyu, Putra Mahkota Marquis Changxing, sambil mengikat sabuk setelah berpakaian, menginjak dada Jiang Qian dengan satu kaki dan bertanya tanpa ekspresi: "Urusan yang kusuruh kamu selesaikan, kapan bisa beres?" 　　Jiang Qian yang tak sehelai benang pun menutupi tubuhnya, bulu matanya bergetar: "Aku... akhir-akhir ini sulit kembali ke Keluarga Bo..." 　　“Siapa Nenek itu, dia sangat paham. Saat ini seluruh keluarga Marquis masih mengamati sikapnya yang tidak dihargai di keluarga asal. Jika dia kembali dan diusir, maka benar-benar tak ada lagi penutup aib.” 　　Saat itu, seorang wanita tanpa dukungan keluarga asal dan belum melahirkan, siapa di keluarga suami yang masih menghargainya? 　　“Siapa yang menyuruhmu pulang? Kamu undang dia ke sini!” Cao Xingyu menarik kakinya, mencubit dagu Jiang Qian. 　　“Dia…” Jiang Qian teringat sorot mata dingin Jiang Si, ragu sejenak. 　　“Kenapa? Tidak bisa diundang?” 　　Hati Jiang Qian bergetar, menggigit gigi: “Aku akan undang, tunggu sebentar lagi…” 　　“Cukup, jangan terlihat seperti mau mati. Aku hanya ingin melihat lebih dekat, tidak berniat melakukan apa-apa pada adikmu.” Cao Xingyu puas mengangguk, merapikan ujung baju lalu pergi. 　　Jiang Qian menatap punggung Cao Xingyu yang pergi, ekspresinya kompleks. 　　Lelaki ini seorang maniak, dan dia telah menjadi istri maniak itu. Sepertinya tidak ada jalan lain. 　　Periode buku baru butuh dukungan Suara bulanan (mekanisme voting di platform). Mohon suaranya. Selamat Hari Perempuan, sampai jumpa besok. 64.Bab 64 Undangan 　　Bab 64 Undangan 　　Sebelum dayang masuk melayani, Jiang Qian menahan pegal di tubuhnya, mengenakan baju lalu membuka jendela. 　　Angin berhembus membawa kehangatan yang memabukkan, bercampur bau mesum dalam ruangan, menciptakan rasa mual yang berminyak. 　　Jiang Qian sudah lama terbiasa dengan hal ini, berdiri di tepi jendela sambil termenung menatap rumpun pisang hijau di luar. 　　Setelah mempermalukan Keluarga Bo, selama beberapa hari ini ia terus melihat tatapan mengejek dari orang-orang di Kediaman Marquis. Awalnya ia ingin menunda undangan kepada Jiang Si, namun Cao Xingyu tidak sabar menunggu. 　　Ia tidak berani menunda lagi, karena ia lebih paham daripada siapa pun bagaimana sifat Cao Xingyu - begitu orang itu mulai mengamuk, sama sekali tidak punya pertimbangan. 　　Daripada membendung lebih baik dialirkan. Daripada membiarkannya membuat masalah besar yang akan menyeretnya ke dalam kesulitan, lebih baik memenuhi keinginannya dengan mengundang Jiang Si untuk ditatapnya sampai puas. 　　Jiang Si adalah sepupunya, putri resmi Keluarga Bo. Untuk sementara Cao Xingyu belum akan berani bertindak nekat, paling-paling hanya memuaskan pandangan saja. 　　Suara dayang meminta izin terdengar dari luar pintu. Jiang Qian membalas, lalu mengabaikan para dayang yang berbaris masuk, dan bergegas menuju ruang studi. 　　Dalam kondisinya sekarang, mengundang Jiang Si ke kediamannya bukan hal mudah. 　　Di mata nenek, ia adalah pembawa sial. Sekalipun Jiang Si bersedia datang, sang nenek kemungkinan besar akan menolak. 　　Dengan hati-hati Jiang Qian menulis dua surat, lalu menyuruh orang mengantarkannya ke Dongping Bo Residence. 　　Begitu menerima surat Jiang Qian, Nyonya Xiao Istri Kedua langsung menitikkan air mata. Dengan mata kemerahan, ia bergegas menuju Cixintang. 　　Dari dalam Cixintang terdengar alunan nyanyian operatik yang mendayu-dayu. 　　"Setelah mata Nyonya Feng membaik, beliau mengembangkan hobi baru menonton opera. Mengingat kemampuan finansial Keluarga Bo, memelihara rombongan opera di kediaman sepanjang tahun terasa kurang efisien. Beruntung Tuan Jiang Kedua yang berbakti, membeli dua gadis berusia sekitar sepuluh tahun dari rombongan opera khusus untuk menghibur sang nenek." 　　"Ibu Suri, Nyonya Kedua datang." 　　Bukan waktu untuk memberi salam, alis Nyonya Feng bahkan tidak berkedut. Beliau masih memejamkan mata sambil mengetuk-ngetuk irama, mendengarkan dua gadis kecil berbaju opera menyanyikan lagu. 　　Sikap dingin Nyonya Feng terhadap Xiao Shi jelas-jelas terlihat. 　　Seluruh penghuni Cixintang sebenarnya paham, ini karena sang nenek masih marah mengenai urusan Nona Kedua. 　　Wajar Nyonya Feng kesal. Upacara ritual Nyonya Peramal Liu tiba-tiba menjadi sorotan ibu kota. Belum lagi Nyonya Peramal Liu dibunuh, membuat petugas Shuntianfu kalang kabut berhari-hari tanpa jejak pelaku. 　　Apa yang paling digemari orang untuk diperbincangkan? Bukan hal yang sudah lewat, melainkan misteri yang belum terpecahkan. 　　Selama pembunuh Nyonya Peramal Liu belum tertangkap, minat orang ibu kota terhadap kasus ini tidak akan surut. Keterkaitan Nyonya Peramal Liu dengan Dongping Bo Residence akan terus dikunyah-kunyah masyarakat. 　　Bahkan mulai beredar kabar bahwa karena Nyonya Peramal Liu mengungkapkan Istri Putra Mahkota Marquis Changxing dirasuki roh jahat, menyebabkan Keluarga Marquis Changxing kehilangan muka, maka beliau dibunuh. 　　"Tentu saja, rumor semacam ini sangat tidak masuk akal. Orang-orang dari keluarga terhormat mungkin hanya tertawa mendengarnya, tapi rakyat biasa yang mudah percaya gosip justru senang menyebarkan desas-desus ini, dan semakin lama semakin detail ceritanya." 　　Nyonya Feng merasa dadanya sakit karena marah setiap mengingat hal ini. Tidak heran sikapnya terhadap Xiao Shi menjadi tidak baik. 　　Xiao Shi harus berdiri di luar selama dua jam penuh sebelum akhirnya diizinkan masuk. 　　"Ada keperluan?" 　　Xiao Shi tersenyum sambil memegang kotak kecil: "Ini kalung tasbih kayu cendana yang tidak sengaja didapatkan oleh Cang Ge'er. Karena tahu Anda menyukainya, dia segera menyuruh orang mengirimkannya kembali." 　　Mendengar Xiao Shi menyebut cucu tertuanya, raut wajah Nyonya Feng sedikit melunak. Ia memberi isyarat pada A Fu untuk menerima kotak itu, lalu berkata datar: "Dia tidak fokus belajar, buang-buang waktu untuk hal seperti ini." 　　Xiao Sigera menyahut: "Berbakti pada Ibu Suri adalah kewajiban suci, mana bisa disebut buang-buang waktu." 　　Nyonya Feng menutup matanya, jari-jarinya membelai kotak kayu merah sebesar telapak tangan. 　　Kekesalannya memang nyata, tapi seberapa pun ia tidak menyukai menantu perempuan kedua, mustahil menyerahkan urusan rumah tangga pada menantu ketiga. 　　Akhirnya ia harus tetap menjaga muka menantu kedua ini. 　　Nyonya Feng membuka matanya, berkata datar: "Niat baik kalian, saya tahu." 　　Xiao Shi diam-diam lega. Senyumnya semakin lebar saat ia hati-hati berkata: "Hari ini Qian'er mengirim surat untuk Ibu Suri..." 　　Sambil berkata demikian, ia mengeluarkan surat tersebut. 　　Nyonya Feng seketika berubah muram: "Bukannya kabur ke rumah orang tua setiap beberapa hari, ya mengirim surat ke rumah orang tua terus-menerus. Apakah hidupnya di Keluarga Marquis sudah tidak tertahankan?" 　　Xiao Shi mengusap sudut matanya: "Ibu Suri, hidup Qian'er di Keluarga Marquis benar-benar sudah tidak tertahankan. Sejak awal pernikahannya yang lebih tinggi itu, selama dua tahun perutnya tak kunjung membesar. Satu-satunya andalannya di Keluarga Marquis adalah kasih sayangmu. Tapi sekarang—" 　　Nyonya Feng tetap tidak bergeming. 　　Xiao Shi menggigit giginya dalam-dalam, mengorbankan harga diri untuk merengek: "Ibu Suri, Anda tahu sendiri Qian'er sejak kecil selalu patuh. Dia sama sekali tidak berani mengganggu ketenanganmu. Dia hanya ingin mengundang adik-adiknya untuk menginap beberapa hari di Keluarga Marquis, agar orang-orang yang menjilat yang berkuasa dan menginjak yang lemah di sana tidak menertawakan dia dan keluarga kita..." 　　Maksud perkataan Xiao Shi jelas: Karena kasus Nyonya Peramal Liu, Keluarga Marquis mengira Keluarga Bo sama sekali tidak peduli dengan mantan putri mereka. Jika para gadis Keluarga Bo bersedia berkunjung beberapa hari, desas-desus itu akan pupus dengan sendirinya, sekaligus menyelesaikan masalah Jiang Qian. 　　Nyonya Feng menyimak tanpa ekspresi, pandangannya tertuju pada surat di hadapannya. 　　Di atas surat tertera tulisan kecil yang anggun: Cucumu Qian'er dengan hormat memohon Nenek membuka surat ini. 　　Melihat goresan tulisan yang familiar itu, hati Nyonya Feng sedikit luluh. 　　Sejak awal, Nyonya Feng tidak menyukai menantu perempuan sulungnya. Cucu perempuannya yang merupakan anak menantu sulung itu juga bodoh dan kaku, sehingga tentu tidak disayangi. Sedangkan cucu kedua yang sebaya dengan sang cucu sulung, sejak kecil cerdas dan menyenangkan, sangat disayanginya. Pendidikan baca-tulis cucu kedua bahkan dimulai di lemari kasa sutra di Cixintang. 　　Nyonya Feng berpikir sejenak, lalu membuka surat itu dan mulai membacanya. 　　Kefasihan Jiang Qian dalam berkomunikasi tercermin jelas dalam surat tersebut. Setelah selesai membaca, raut wajah Nyonya Feng sedikit melunak. 　　Xiao Shi mengambil kesempatan untuk memohon: "Ibu Suri, kasihanilah Qian'er. Menurut nenek yang mengantarkan surat ini, tubuh Qian'er kini tinggal tulang terbungkus kulit..." 　　"Sudahlah. Musim ini memang tepat. Biarkan para gadis itu pergi menghirup udara segar." Akhirnya Nyonya Feng memberi izin. 　　Wajah Xiao Shi berseri-seri. 　　Namun Nyonya Feng segera menambahkan dengan nada tegas: "Tapi ingat! Jika mereka membuat masalah dan mempermalukan keluarga Marquis, Qian'er sebagai kakak pasti akan dimintai pertanggungjawaban!" 　　"Ibu Suri tak perlu khawatir. Qian'er sangat menyayangi saudari-saudarinya, pasti akan menemani mereka dengan baik." 　　Di Haitangju, Jiang Si memeriksa undangan dari Jiang Qian sejenak lalu melemparnya ke meja tulis. "A Qiao, pergilah cari tahu apakah nona-nona lain menerima undangan juga." 　　Tak lama kemudian A Qiao melapor: "Nona Ketiga, Nona Kelima, dan Nona Keenam semuanya menerima." 　　Hasil ini tidak mengejutkan Jiang Si, tapi membuatnya menghela napas. 　　Dua hari kemudian, keempat putri Keluarga Bo duduk bersama dalam satu kereta kuda menuju Kediaman Marquis Changxing. 65. Bab 65 Taruhan di Dalam Kereta Kuda 　　Bab 65 Taruhan di Dalam Kereta Kuda 　　Beberapa kejadian baru-baru ini terjadi di Dongping Bo Residence, ditambah Jiang Si sebelumnya mengaku sakit untuk sementara waktu, membuat jarang ada kesempatan bagi keempat saudari ini untuk berkumpul. 　　Namun suasana dalam kabin kereta yang tidak terlalu luas ini tidak begitu harmonis. 　　"Ada orang yang benar-benar tebal muka, baru saja melawan orang tua, langsung pergi main-main." Nona Keenam Jiang Pei yang duduk di pintu kabin sedang mengamati diri sendiri di cermin sebesar telapak tangan. 　　Ucapannya jelas mengarah pada Jiang Si. 　　Dalam pandangan gadis muda ini, Jiang Si yang baru saja bersitegang dengan Nyonya Xiao Istri Kedua malah langsung pergi bersenang-senang ke Kediaman Marquis Changxing, benar-benar tidak tahu malu. 　　Jiang Si tersenyum sinis melihat Jiang Pei. 　　Jiang Pei merasa tidak nyaman dengan pandangan itu, menarik lengan Nona Kelima Jiang Li: "Kakak Kelima, menurutmu benar kan?" 　　Menurutnya, sebagai putri dari keluarga cabang yang sama, meski biasanya tidak akur, harusnya bersatu menghadapi pihak luar. 　　Nona Kelima Jiang Li jelas tidak ingin menyinggung siapapun, hanya tersenyum tanpa bersuara. 　　Jiang Pei mencibir sinis, lalu tersenyum pada Nona Ketiga Jiang Qiao: "Kakak Ketiga, masih ingatkah kita bermain di kediaman marquis tahun itu? Sepertinya lebih awal dari musim sekarang, bunga peony di taman marquis bermekaran sangat indah." 　　“Aku tidak memperhatikan.” Jiang Qiao dengan bosan memainkan untaian manik giok di tangannya. 　　Dia sama sekali tidak tertarik menikmati bunga atau pemandangan, tujuan keluar rumah ini hanyalah untuk menghindari tekanan dari ibu tirinya, sekadar menjalankan kewajiban. 　　Dalam hubungan persaudaraan, jika kebenciannya pada Jiang Si berasal dari persaingan diam-diam sejak kecil, maka terhadap Jiang Pei dia benar-benar merendahkan. 　　Belum pernah ada orang yang mulutnya seberacun ini. 　　Sambil berpikir demikian, Jiang Qiao tak sengaja menatap wajah tenang Jiang Si, bergumam dalam hati: Ini juga cuma harimau kertas, andai aku yang di posisinya, pasti sudah memukul Jiang Pei beberapa kali. 　　Entah karena kereta yang sempit dengan empat penumpang, atau suara roda berderit yang membosankan, Jiang Pei tak tahan lama-lama dan kembali menyerang Jiang Si: “Kakak keempat, kau benar-benar tidak takut memalukan keluarga di kediaman Marquis nanti?” 　　Jiang Si yang bersandar di dinding kereta tetap memejamkan mata, pura-pura tidak mendengar. 　　Sikap acuh Jiang Si justru membuat Jiang Pei semakin menjadi-jadi, menyimpan cermin kecil sambil berkata dengan sinis: “Yah, kalau takut malu memang seharusnya tidak usah datang. Ketebalan muka ini katanya turunan juga——” 　　Jiang Si membuka matanya, memandang dingin ke arah Jiang Pei. 　　Ucapan "turunan" yang dilontarkan Jiang Pei mengandung sindiran tajam. 　　Ibu kandung Jiang Si, Nyonya Su, berasal dari Keluarga Marquis Yining, terkenal sebagai kecantikan ibukota di masanya, namun sejak kecil telah dijodohkan. 　　Nyonya Su dan tunangannya tumbuh bersama sejak kecil, hubungan mereka sangat erat. Awalnya tidak mungkin Nyonya Su menikah dengan Jiang Ancheng. Namun mendekati tahun pernikahan, tunangan Nyonya Su, Cui Xu, tiba-tiba menarik perhatian Putri Rongyang. 　　Setelah serangkaian lika-liku, Cui Xu akhirnya menjadi suami Putri Rongyang. 　　Pembatalan perjodohan antara keluarga Cui dan Su seharusnya tidak banyak berpengaruh pada Nyonya Su. 　　Keluarga Cui saat itu merupakan pemimpin di kalangan keluarga militer. Orang-orang berpenglihatan tajam tahu bahwa naiknya Cui Xu sebagai suami putri tak lepas dari campur tangan pihak istana. Nyonya Su hanya korban nasib malang. 　　Keluarga Marquis Yining awalnya berpikir demikian. Mereka berencana menunda satu dua tahun sebelum menjodohkan Nyonya Su lagi. Namun tak lama kemudian, desas-desus muncul bahwa Nyonya Su dan Cui Xu yang selalu bersama sejak kecil telah melanggar batas kesucian. 　　Gosip ini menghancurkan reputasi Nyonya Su. 　　Betapapun orang tua Nyonya Su menyayangi putrinya, tak ada lagi keluarga setara Keluarga Marquis Changxing yang mau menerimanya sebagai menantu. 　　Nyonya Su tetap lajang selama dua tahun lagi, hingga suatu hari saat berziarah ke kuil ia bertemu Jiang Ancheng. Terpesona oleh kecantikannya, Jiang Ancheng nekat melamar ke Keluarga Marquis Yining meski ditentang Nyonya Feng. 　　Saat itu, Pasangan Marquis Yining sudah sangat pusing memikirkan pernikahan Nyonya Su. Ketika Kediaman Dongping Bo mengirimkan juru lamaran, mereka segera diam-diam menyelidiki calon mempelai pria. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa Jiang Ancheng memenuhi syarat sebagai menantu baik dari segi karakter maupun penampilan, namun gelar bangsawan Dongping Bo yang hanya bisa diwariskan tiga generasi merupakan kekurangan besar. Tapi karena reputasi putri mereka sudah ternoda, keluarga Marquis tidak punya hak pilih lagi. 　　Pasangan Marquis Yining khawatir putri mereka akan diperlakukan buruk, sehingga menyiapkan mas kawin yang sangat mewah untuk Nyonya Su. 　　Mas kawin mewah ini membuat Nyonya Feng menghela nafas dan berhenti protes, namun dalam hati yakin bahwa desas-desus itu ada benarnya. Keluarga Marquis Yining pasti merasa bersalah sehingga memberi mas kawin sebanyak itu. 　　Dengan keadaan seperti ini, mustahil Nyonya Feng bisa punya kesan baik pada Nyonya Su. 　　Meski kemudian Jiang Ancheng berkali-kali terang-terangan maupun diam-diam memuji Nyonya Su sebagai gadis baik, Nyonya Feng malah semakin antipati. Ia yakin Nyonya Su telah memabukkan putranya dengan kecantikannya sehingga putranya terus membelanya. 　　"Pohon yang menjulang tinggi pasti diterpa angin kencang." Semakin gemilang reputasi Nyonya Su di kalangan perempuan bangsawan dulu, semakin banyak orang yang menertawakannya kemudian. 　　Fakta bahwa Jiang Pei bisa mengetahui kisah generasi sebelumnya jelas bukan sekadar imajinasi belaka. 　　Awalnya Jiang Si tidak ingin berdebat dengan gadis kecil yang mulut tajam ini, tapi ketika ibunya yang sudah almarhumah dihina, ia tak bisa diam lagi. 　　"Ada yang merasa bersalah, ya?" Jiang Pei menutup mulutnya sambil tertawa. 　　“Aku tidak percaya di depan begitu banyak orang Jiang Si berani memukulku?” Soal debat mulut, dia tidak mau kalah. 　　Jiang Pei berpikir demikian sambil memutar gelang giok di pergelangan tangannya. 　　Sepasang gelang giok ini hadiah dari ibu kandung setelah mendengar perselisihannya dengan Jiang Si, jelas sebagai bentuk persetujuan. 　　Jiang Si memandang dingin ke arah Jiang Pei, tanpa niatan menggulung lengan baju untuk berkelahi. 　　Beberapa orang hanya ingat makan tapi lupa dipukul, buang-buang tenaga berdebat dengan tipe begini. 　　Jiang Qiao melihat Jiang Si diam seribu bahasa, diam-diam menggerakkan bola mata. 　　Biasanya sok jagoan, sekarang pura-pura jadi kelinci putih? Ayo, pukul dia! 　　Bukan Jiang Qiao memihak Jiang Si, tapi mulut usil Jiang Pei sudah keterlaluan. 　　Seberat apapun perselisihan saudari, menghina orangtua pihak lain sudah kelewatan. 　　Ini prinsip hidup, berlaku juga di luar sana. 　　Nona Kelima Jiang Li merasakan aliran tersembunyi di balik ketenangan, diam-diam menggeser diri ke sudut. 　　“Memalukan? Takut?” Jiang Si malah tertawa, “Adik keenam tahu tidak? Yang sebenarnya takut adalah kakak kedua. Jika aku tidak pergi, yang memalukan juga kakak kedua.” 　　“Kamu ngomong apa?” 　　Jiang Si mengulurkan jari-jari putih bak bawang prei, menunjuk pipi Jiang Pei: “Percaya tidak? Jika aku turun dari kereta sekarang, bibi kedua akan mencabut gelang barumu ini?” 　　Jiang Pei refleks mundur. 　　“Tentu saja dia tidak bodoh, tahu bahwa kali ini pergi ke Keluarga Marquis Changxing adalah untuk mendukung Kakak Kedua. Jika Jiang Si benar-benar menghentikan kereta sekarang, ibu tiri pasti akan menguliti dirinya.” 　　“Kau percaya tidak bahwa saat bertemu Kakak Kedua, jika aku bilang kau terlalu berisik dan menyuruhmu kembali ke Keluarga Bo, Kakak Kedua tidak akan berkata ‘tidak’?” 　　“Aku tidak percaya!” Kali ini Jiang Pei sangat yakin. 　　Ini tidak mungkin. 　　Kakak Kedua mengundang kami berempat. Aku dan Kakak Kedua berasal dari ayah yang sama, sejak kecil selalu patuh pada Kakak Kedua. Bagaimana mungkin Kakak Kedua mengusirku hanya karena sepatah kata Jiang Si? 　　“Kalau begitu, ayo bertaruh.” 　　“Bertaruh apa?” 　　“Bertaruh apakah Kakak Kedua akan melakukannya. Jika Kakak Kedua tidak mendengarkanku, maka kau menang. Sebaliknya, kau kalah.” 　　“Lalu bagaimana dengan hadiah dan hukuman?” 　　Jiang Si tersenyum acuh: “Jika kau menang, syaratnya terserah kau. Jika kau kalah... sederhana saja, tampar sendiri sepuluh kali di depan kami bertiga dan katakan mulutmu terlalu bau karena kebanyakan makan kotoran. Berani bertaruh?” 　　Terima kasih untuk vote dan hadiah, sampai jumpa besok. 66. Bab 66 Memasuki Kediaman Marquis 　　Bab 66 Memasuki Kediaman Marquis 　　“Benarkah syaratnya terserah aku jika menang?” Mata Jiang Pei berbinar, langsung mengabaikan konsekuensi kekalahan. 　　Kakak Kedua paling pandai menjaga perasaan semua orang. Bagaimana mungkin mengusir adik yang sudah diundang? 　　Menurut Jiang Pei, ini benar-benar mustahil, jadi konsekuensi kekalahan sama sekali tidak perlu dipikirkan. 　　“Terserah kau.” 　　“Aku mau perhiasan emas merahmu yang bertatahkan rubi itu!” 　　Jiang Si menatap Jiang Pei beberapa saat, tiba-tiba tertawa. 　　"Pada dasarnya hanya seorang gadis kecil, yang hanya membandingkan makanan dan pakaian, tak ada hal lain dalam pikirannya." 　　"Tidak tega? Barusan kamu bilang syaratnya terserah aku——" 　　"Baik." Jiang Si mengangguk lepas. 　　Jiang Pei bersemangat: "Kamu tidak boleh mengingkari janji." 　　"Aku pasti tidak akan ingkar, bagaimana denganmu?" Jiang Si bertanya sambil tersenyum. 　　Baik itu gadis kecil atau bukan, semua pantas mendapatkan hukuman atas ucapan sembarangan mereka. 　　Kakak laki-lakinya sendiri masih pemuda belum genap 17 tahun, tapi Paman Er dan Bibi Er pernahkah berbelas kasihan padanya? 　　Apalagi, Kakak Kedua tidak bersalah, sedangkan Jiang Pei benar-benar mulut usil pantas dipukul. 　　"Aku juga tidak akan ingkar." Jiang Pei menjawab tanpa ragu. 　　Mengapa dia harus menyesal? Itu adalah satu set perhiasan emas dengan rubi! 　　Selama bertahun-tahun merendahkan diri di depan istri utama, bahkan saat menikah pun dia tidak mungkin mendapatkan perhiasan sebaik itu. 　　Semakin Jiang Pei memikirkannya, semakin bersemangat, seolah set perhiasan emas rubi itu sudah berada di tangannya. 　　"Adik keenam, lebih baik batalkan taruhan ini..." Jiang Li merasa tidak enak, mencoba menasihati. 　　"Jauh-jauh saja!" Jiang Pei melototi Jiang Li. 　　Terhadap kakak kelima yang lebih tua tapi penakut ini, dia sama sekali tidak menghargai. 　　"Kalau begitu sudah disepakati." 　　"Hehe, Kakak keempat siapkan saja perhiasan emas rubimu, jangan sampai nanti menyesal." Jiang Pei mengulurkan tangannya. 　　Jiang Si melengkungkan bibirnya, lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Jiang Pei. 　　Suara tepuk tangan yang nyaring menggema, memecah kesunyian dalam perjalanan kereta kuda. 　　Jiang Li mengangkat tirai jendela kereta sedikit, berbisik, "Keluarga Marquis Changxing sudah sampai." 　　Kereta kuda segera berhenti, keempat saudari perempuan turun secara berurutan. 　　Jiang Qiao menyentak lengan Jiang Si sambil mengejek, "Barang berhargamu terlalu banyak sampai tidak ada tempat menyimpannya?" 　　"Tidak, aku hanya merasa seseorang perlu berkumur." 　　Jiang Qiao melepaskan genggamannya. Memandang profil Jiang Si yang tenang dan sempurna, tiba-tiba ia merasa adik perempuan yang hanya beberapa bulan lebih muda ini semakin sulit dimengerti. 　　"Nona-nona sudah sampai, Istri Putra Mahkota sudah memerintahkan hamba menunggu sejak pagi." Seorang pelayan berbaju hijau berdiri di gerbang berpahatan bunga, memberi hormat kepada Jiang Si dan rombongan. 　　Jiang Pei yang sebelumnya masih bersikap berani di dalam kereta langsung berubah sopan, menundukkan pandangan dengan sikap gadis bangsawan sempurna. 　　Pelayan hijau itu melirik Jiang Pei dengan heran. 　　Tata krama gadis ini cukup baik, tapi jelas terlihat yang termuda, kenapa bisa berada di posisi depan? 　　Sejak turun dari kereta, Jiang Pei terus tegang khawatir mempermalukan diri. Merasakan pandangan aneh pelayan itu, ia melirik sekeliling lalu teringat sesuatu. 　　Tadi posisinya paling dekat dengan pintu kereta, karena gugup saat turun langsung lupa protokol! 　　Jiang Pei terdiam sejenak, wajahnya langsung memerah. 　　Nona Kelima Jiang Li dengan natural menggandeng tangan Jiang Pei: "Takut Kakak Kedua menunggu lama, Adik Keenam lebih tidak sabar dariku." 　　Sebuah kalimat menghapus kekikukan Jiang Pei. 　　Jiang Si melirik Jiang Li lebih lama. 　　Adik Kelima sejak kecil pendiam, penakut dan rendah hati, tapi tak disangka adalah orang yang bijak. Sayangnya di kehidupan sebelumnya terlalu tak menonjol, aku bahkan tidak ingat bagaimana akhirnya. 　　Tata letak Kediaman Marquis Changxing mirip dengan Dongping Bo Residence, hanya lebih luas dan bangunannya lebih megah. Semua ini biasa saja, hanya taman yang jauh mengungguli Dongping Bo Residence. 　　Di taman Kediaman Marquis Changxing terdapat bukit buatan setinggi tiga lantai, di atasnya ada paviliun. Dari kaki bukit bisa naik melalui tangga batu, menikmati kesejukan ketinggian di paviliun puncak sambil memandang pemandangan taman. 　　Selain itu terdapat hamparan bunga dan pepohonan subur, terutama peoni di sudut timur yang mekar paling cantik. 　　Keempat saudari perempuan tak bisa menahan diri untuk memandangi hamparan peoni itu beberapa saat. 　　Di musim ini peoni sudah memasuki fase akhir mekar. Peoni di tempat lain biasanya terlihat layu, tapi bunga-bunga di sini yang mekar seperti awan senja benar-benar pemandangan langka. 　　Pelayan berbaju hijau tampak bangga dengan hamparan peoni ini. Sambil menuntun Jiang Si dan rombongan, ia tersenyum: "Nona-nona datang di waktu yang tepat. Jika terlambat beberapa hari lagi, peoninya sudah akan layu." 　　“Pelayan perempuan berbaju hijau membawa keempat orang dengan cepat sampai di tempat tinggal Jiang Qian. 　　Jiang Qian berdiri di pintu gerbang halaman, begitu melihat Jiang Si dan yang lain tiba, segera menyambut: "Akhirnya adik-adik datang juga." 　　Pandangannya tertahan lebih lama di tubuh Jiang Si, senyum bahagia mengembang seolah melepas beban pikiran. 　　"Maaf membuat Kakak Kedua menunggu lama." Jiang Pei dengan mesra menggandeng lengan Jiang Qian. 　　Jiang Qian tak sadar mengerutkan alis, lalu segera melonggarkan ekspresi, membawa beberapa adik perempuannya masuk ke dalam rumah. 　　Tempat tinggal Jiang Qian adalah kediaman Putra Mahkota, selain tempat tinggal Pasangan Marquis Changxing, inilah area terluas dan tercerah. Perabotan dalam ruangan megah namun bernuansa elegan, jelas telah diatur dengan teliti oleh nyonya rumah. 　　"Adik-adik pasti lelah setelah perjalanan, silakan minum teh dulu. Jangan sungkan di tempat Kakak Kedua, anggap saja seperti di rumah sendiri." 　　Keramahan Jiang Qian membuat Jiang Pei semakin rileks, matanya berkaca-kaca memandang sang kakak: "Kakak Kedua kurus." 　　Ketidaksenangan sekelebat di mata Jiang Qian, diiringi suara datar: "Khawatir dengan kondisi Nenek, ditambah cuaca semakin panas, nafsu makan agak berkurang." 　　Jiang Si menggeleng halus dalam hati. 　　Jiang Pei masih terlalu muda, mana paham bahwa dengan gengsi tinggi Jiang Qian, seberat apapun keadaannya tak sudi mendengar kata-kata iba dari adik selir. 　　Jiang Pei mendapat respons dingin yang halus, tersipu malu lalu diam. 　　“Ini di antara mereka, Jiang Pei adalah yang paling cerewet, Jiang Li biasanya jarang bicara, sementara Jiang Si dan Jiang Qiao berasal dari cabang keluarga berbeda. Begitu Jiang Pei berhenti bicara, suasana pun tiba-tiba menjadi canggung.” 　　“Jiang Qian menyadari ini bukan saatnya untuk bersikap angkuh. Saat hendak mencairkan suasana, Jiang Si berkata dengan datar: "Bisakah Kakak Kedua memerintahkan dayang-dayang untuk mundur? Aku ada beberapa hal yang ingin dibicarakan."” 　　“Jiang Qian terkejut sebentar, lalu segera memberi isyarat pada para dayang untuk pergi. Dengan suara lembut dia bertanya: "Apa yang ingin Adik Keempat bicarakan?"” 　　“Jiang Si melirik Jiang Pei, lalu berkata terus terang: "Selama tinggal sementara di Marquis Residence, aku tidak ingin bersama Adik Keenam. Suruh dia pulang, Kakak Kedua."” 　　“Kali ini keheranan Jiang Qian tidak bisa disembunyikan. Dia segera menatap Jiang Pei: "Apakah Adik Keempat dan Adik Keenam sedang bertengkar?"” 　　“Jiang Si benar-benar keterlaluan! Pertama-tama tanpa alasan merendahkan dirinya, sekarang malah berkonflik dengan Adik Keenam. Apa dia ingin membuat semua saudari perempuan marah sampai puas?” 　　“Jiang Pei bahkan terkejut sampai mulutnya menganga.” 　　“Dia mengira Jiang Si akan menggunakan retorika yang meyakinkan untuk membuat Kakak Kedua mengusirnya. Ternyata caranya begitu kasar dan langsung!” 　　“Astaga, apakah Jiang Si sedang kerasukan, atau dia pikir Kakak Kedua yang kerasukan?” 　　“Jiang Qiao diam-diam menopang dahinya.” 　　“Dulu hanya mengira Adik Keempat sombong, tapi tidak menyangka dia bodoh.” 　　“"Adik Keempat, jika ada ketidaknyamanan, ceritakan pada Kakak Kedua. Kita semua saudari sekeluarga——"” 　　Jiang Si meletakkan cangkir teh di atas meja lalu berdiri: "Kalau Adik Keenam tidak mau pergi, maka aku yang akan pergi." 　　Melihat Jiang Si berbalik pergi tanpa ragu, Jiang Qian panik dan segera berkata: "Adik Keempat tunggu sebentar, aku akan segera menyuruh orang mengantar Adik Keenam pulang." 67.Bab 67 Menikmati Bunga 　　Bab 67 Menikmati Bunga 　　Jiang Si menghentikan langkahnya, memandang Jiang Pei dengan tenang. 　　Jiang Pei merasa seperti ditampar ratusan kali di wajah, benar-benar linglung. 　　"Aku memang berpikir Adik Keenam masih terlalu muda, mungkin tidak bisa menyesuaikan diri jauh dari rumah..." 　　"Kakak Kedua—" Jiang Pei bergumam pelan, pikirannya kosong. 　　Mengapa tiba-tiba dia dianggap terlalu muda? Padahal sebelumnya pernah— 　　"Sudahlah, Adik Keenam, biar kakak menyuruh orang mengantarmu pulang dulu. Nanti kakak undangmu lagi main." Setelah memberi alasan seadanya, Jiang Qian tak peduli dengan perasaan Jiang Pei. 　　Satu adalah putri sah yang sudah menikah dengan status Istri Putra Mahkota, satunya lagi putri selir yang harus merayu ibu sah demi mendapat perjodohan layak. Jiang Qian tak pernah benar-benar menganggap saudari selir ini penting. 　　Dari enam saudari perempuan Keluarga Bo, hanya Jiang Si yang benar-benar diperhatikannya. 　　Kecantikan semacam itu, meski tahu prospeknya terbatas, tetap membuat perempuan lain waspasi. 　　Jiang Pei memandang Jiang Qian dengan wajah pucat. 　　Dia sama sekali tak memahami apa yang sebenarnya terjadi. 　　“Dia memang anak selir, tapi toh dia dan Jiang Qian sama-sama anak dari keluarga cabang kedua. Jiang Qian yang mengundangnya duluan, tapi kemudian mengusirnya pulang. Apa ini tidak memalukan sama sekali?” 　　Jiang Pei menatap tajam ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si tetap terlihat tenang dan santai. 　　Hati Jiang Pei langsung ciut. 　　Dia samar-samar merasa telah terjebak, tapi sayangnya lubang besar ini dia masuki sendiri. Kini yang tersisa hanya penyesalan tak terucapkan. 　　Melihat Jiang Qian hendak memanggil orang masuk, Jiang Pei tersentak sadar. 　　Alih-alih memohon pada Jiang Qian, dia malah menarik lengan baju Jiang Si sambil merengek: "Kakak Keempat, aku salah." 　　Bisa tunduk bisa bangkit - bagi seorang anak selir yang dibesarkan di bawah asuhan Nyonya Xiao Istri Kedua, ini sama sekali bukan masalah. 　　Melihat Jiang Si tidak bereaksi, Jiang Pei menampar pipinya sendiri: "Aku yang kebanyakan makan kotoran, mulutku terlalu bau. Tidak pantas membuat Kakak Keempat marah. Maafkan aku." 　　Waktu itu dia sudah sangat malu diusir Nenek dari Cixintang. Kalau kali ini dikembalikan oleh Kakak Kedua, mungkin dia takkan bisa keluar rumah lagi. 　　Bunyi tamparan terus bergema. Jiang Si memandang dingin kejadian ini, tak tahu harus berkata apa. 　　Pantas saja anak selir ini bisa menikah dengan suami baik, sementara dia menikah dua kali - sekali janda muda, sekali mati dikibuli. 　　Manusia memang berbeda-beda. 　　“Adik Keempat, bagaimana...” Jiang Qian senang melihat Jiang Pei berkonfrontasi dengan Jiang Si. 　　"Orang itu memang dia yang undang, dipaksa Jiang Si untuk mengusir Jiang Pei sama saja dengan menampar wajahnya, tapi dia hanya bisa menerima." 　　Semakin Jiang Pei merendahkan diri, semakin terlihat kelakuan Jiang Si yang semena-mena tanpa alasan. 　　"Benarkah Nona Keenam tidak ingin pulang?" tiba-tiba Jiang Si bertanya. 　　Jiang Pei refleks menggeleng: "Aku ingin pulang bersama kakak-kakak." 　　"Karena Nona Keenam sudah menepati janji, terserah kamu." 　　Melihat Jiang Si melunak, Jiang Qian menyambut baik: "Sudahlah, kita saudara, pasti bisa berdamai. Lebih baik pergi dan pulang bersama. Aku sudah siapkan makanan di aula, temani aku makan yuk." 　　"Kak, apa kita harus memberi salam ke Nyonya Marquis?" Jiang Li, Nona Kelima, bertanya gemetar. 　　"Tidak perlu. Nyonya Marquis sibuk. Sudah kusampaikan rencana menginap kalian, dia bilang kalian boleh bebas." 　　Jiang Li tampak lega, menunduk tanpa bicara. 　　Pipi Jiang Pei masih merah bekas tamparan, ikut menunduk menuju aula. 　　Di aula, meja makan sudah teratur. Para dayang segera mengantarkan buah-buahan dan kue. 　　"Silakan duduk." Jiang Qian bersikap seolah tak terjadi apa-apa, menyambut ramah. 　　Namun suasana tetap canggung. Buah segar terasa hambar di mulut. 　　Jiang Qian tampak tak peduli. 　　Baginya, kedatangan Jiang Si sudah mencapai tujuannya, urusan lain tidak dipedulikannya. 　　Suara langkah kaki terdengar, seorang pemuda masuk sambil tertawa: "Makanan sudah siap belum? Lapar sekali——" 　　Di tengah kalimat, ia seolah baru melihat Jiang Si dan yang lain, kata-katanya terhenti mendadak. 　　Jiang Pei pertama berdiri: "Kakak ipar." 　　Jiang Si bersama Jiang Qiao dan lainnya menyapa pria itu. 　　Pemuda bertubuh kurus dengan wajah pucat ini adalah Putra Mahkota Marquis Changxing, Cao Xingyu. 　　Jiang Si dan yang lain menunduk memberi salam, namun Cao Xingyu diam seribu bahasa, matanya terpaku pada Jiang Si. 　　Sejak pernikahan pertamanya dengan Jiang Qian, adik ipar yang luar biasa cantik ini selalu menjadi bayang-bayang dalam pikirannya. 　　Saat itu gadis kecil itu baru berusia belia, berdiri kaku bersama saudari-saudarinya memandangnya dengan ekspresi datar seperti kuncup bunga di pegunungan salju – keindahan dingin yang menggelitik hatinya. 　　Saat itu ia berpikir: Gadis kecil ini pasti akan direbutnya, baru pantas disebut lelaki sejati. 　　Jiang Qian memandang tingkah Cao Xingyu, amarahnya menyala-nyala. 　　Dengan pengalaman yang lalu, ia tak peduli lagi wanita macam apa yang diinginkan pria ini, tapi bukan berarti bisa menerima kebodohan Cao Xingyu di depan umum. 　　Jika sesuatu terjadi pada saudari-saudari yang diundangnya ini, nenek pasti akan memangsanya hidup-hidup. 　　“Lupa mengirim orang untuk memberi kabar padamu, adik-adik sudah datang.” Jiang Qian bergegas menghampiri Cao Xingyu, diam-diam mencubitnya di balik lengan baju. 　　Cao Xingyu baru tersadar, wajahnya segar dan riang: "Tidak tahu adik-adik datang di waktu ini, aku yang kurang sopan. Qian'er, layani adik-adikmu baik-baik, aku akan makan di ruang belajar." 　　Jiang Qian menarik napas lega: "Putra Mahkota, hati-hati di jalan." 　　Dengan kedatangan dan kepergian Cao Xingyu, suasana justru menjadi lebih cair. 　　"Kakak Kedua, setiap hari kakak makan bersama suami ya?" 　　"Ya." Jiang Qian tersenyum mengangkat sudut bibir. 　　"Kakak dan suami benar-benar mesra." Jiang Pei tertawa. 　　Tangan Jiang Qian yang memegang sumpel mengeras, ruas jari memutih samar, namun wajahnya tetap tersenyum: "Jangan mengolok-olok kakak." 　　Makan siang berakhir dalam suasana yang cukup harmonis. Jiang Qian meneguk beberapa teguk teh dari cangkirnya lalu mengusulkan: "Taman kediaman Marquis sangat indah, adik-adik jangan sungkan untuk bermain." 　　"Kakak Kedua tidak ikut?" tanya Jiang Li. 　　Jiang Qian tersenyum tipis: "Ikut, tentu saja aku akan menemani adik-adik jalan-jalan." 　　Mendengar Jiang Qian ikut, Jiang Li menghela napas lega. 　　Mungkin karena sudah terbiasa berhati-hati, di tempat asing selalu merasa gelisah. 　　“Batu bukit buatan ini diangkut dari Danau Selatan. Paviliun di atas bukit dinamakan Paviliun Bayin. Musim ini paling cocok untuk naik ke sana…” ujar Jiang Qian dengan suara lembut, menampilkan citra kakak yang baik. 　　Jiang Qiao menunjuk: "Kakak Kedua, peony di sana mekar dengan indah. Mari kita menikmati bunga dulu." 　　Jiang Qian tertegun sejenak lalu tersenyum: "Aku kurang terbiasa dengan aroma peony. Baiklah, aku akan beristirahat di paviliun. Kalian silakan bersantai." 　　"Kakak Kedua, aku juga ingin duduk di paviliun," seru Jiang Pei segera. 　　Jiang Li mengangguk setuju, berpegang pada prinsip "lebih baik menghindari masalah". 　　Jiang Qiao yang terpikat keindahan peony itu menarik lengan Jiang Si: "Mau menikmati bunga?" 　　"Mau." Jiang Si mengangguk mantap. 　　Jiang Qian menyaksikan Jiang Si dan Jiang Qiao berjalan ke hamparan peony dengan tatapan yang semakin dingin. 　　"Aneh juga, peony Marquis Estate masih mekar subur di musim ini." Berdiri di antara bunga-bunga, Jiang Qiao menarik napas dalam-dalam lalu menghela, "Meski indah, aroma peony ini terlalu menyengat." 　　Di antara rona merah tua dan hijau muda, wajah Jiang Si tiba-tiba pucat membiru. 　　Di balik aroma manis yang menyengat, ia mencium bau kematian. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 68.BAB 68 Tulang di Bawah Bunga 　　BAB 68 Tulang di Bawah Bunga 　　Indera penciuman Jiang Si secara alami sensitif. Setelah mempelajari ilmu rahasia dari Tetua Wu Miao, kemampuannya ini di mata orang biasa nyaris bisa disebut "ajaib". 　　Meskipun bunga peony merah menyala seperti api dan harum semerbak, bau busuk yang menjalar tetap menyusup ke hidungnya. 　　Bau itu pernah dia cium sebelumnya - bau mayat membusuk. 　　Alasan Jiang Si datang ke Keluarga Marquis Changxing, sengaja menghadapi bahaya seperti harimau di gunung, adalah untuk menyelidiki alasan Putra Mahkota Marquis Changxing Cao Xingyu dan Jiang Qian melakukan hal tak terbayangkan padanya. 　　Itu menjadi simpul di hatinya. Tanpa mengungkap kebenaran dan menghukum pelakunya, dia takkan pernah bisa melupakannya. 　　Beberapa hal bisa berlalu dan dimaafkan, tapi beberapa hal harus dihadapi dan diselesaikan agar bisa terbebas dari mimpi buruk. 　　Karena itulah dia datang dengan sukarela, mendekati tempat ini, mendekati pasangan suami-istri itu. 　　Tapi meski sudah mempersiapkan diri, dia tak menyangka di bawah hamparan peony yang mekar indah ini tersimpan tulang-belulang. 　　Jiang Si secara refleks menggesekkan ujung sepatunya ke tanah. 　　Bau busuk mayat telah meresap ke dalam tanah, bahkan merembes hingga kelopak bunga peony yang berlapis-lapis. 　　Bau semacam ini tak terbentuk dalam dua tiga hari, tapi terasa anehnya seperti baru, seolah mayat yang baru saja dikuburkan ini tumbuh menjadi peony mekar. 　　Wajah Jiang Si semakin pucat. 　　Pada saat ini, dia tidak merasa takut, namun bau busuk mayat yang menyapu seperti gelombang membuatnya mual, hampir tak bisa menahan rasa ingin muntah. 　　"Adik Keempat, kau tidak enak badan?" Jiang Qiao menyadari keanehan Jiang Si, mengalihkan pandangan dari bunga peony yang indah namun terkesam mistis. 　　Jiang Si menarik napas panjang, memaksakan senyum tipis: "Aku baik-baik saja." 　　Jiang Qiao mengerutkan alis sambil memetik helai kelopak peony dan menggosok-gosokkannya di ujung jari. 　　Cairan kemerahan menodai jari-jari putih porselen Jiang Qiao. 　　Pandangan Jiang Si tak terhindarkan tertuju pada jari-jari saudarinya itu. 　　Jiang Qiao melemparkan remukan kelopak bunga ke angin, mencium ujung jarinya sambil berkata: "Anehnya, meski suka peony, aku tak menyukai aromanya. Adik Keempat, apakah kau juga tak tahan baunya hingga merasa tak enak badan?" 　　Jiang Si mengingat bau mayat yang menyusup ke mana-mana, lalu melihat noda kemerahan di jari Jiang Qiao. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat sambil memaksakan senyum: "Banyak aroma yang tak kusukai." 　　"Kalau begitu mari kita pergi. Seandainya kau bilang sejak awal, aku tak akan memaksamu datang." Meski di Keluarga Bo Jiang Qiao kerap bertengkar dengan Jiang Si tak sampai tiga kalimat, di luar mereka secara alami menjadi lebih akrab. 　　Sudah seharusnya saudari sekeluarga saling mendukung ketika berada di luar rumah. 　　Jiang Qiao yang ceria dan lugas ini sebenarnya tidak bodoh. Dia sudah lama mencium keanehan dari sikap Jiang Qian terhadap Jiang Si yang tidak biasa. 　　Jiang Si tetap berdiri di tempatnya, lalu mengubah nada bicaranya: "Meski banyak aroma yang tidak kusukai, tapi bau bunga peony masih bisa kuterima." 　　Apakah yang terkubur di bawah hamparan peony ini adalah tulang manusia atau mayat hewan seperti kucing dan anjing? Dia harus mencari tahu kebenarannya. 　　Karena berniat menyelidiki, dia pasti akan mendekati area ini lagi. Karena itu, saat ini dia tidak bisa mengatakan pada Jiang Qiao bahwa baunya tidak disukainya. 　　Jika dia melakukan itu, kedatangannya kembali ke sini akan dianggap sebagai perilaku yang mencurigakan. 　　"Adik Keempat, kutunggu jawabanmu. Sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan Kakak Kedua?" Jiang Qiao melirik ke arah tiga sosok yang sedang naik ke bukit buatan, lalu bertanya dengan suara rendah. 　　Melihat Jiang Si diam, Jiang Qiao menyeringai dingin: "Kau menyuruhnya mengusir Adik Keenam, tapi dia sama sekali tidak berani membantah. Ini sangat aneh. Jangan bilang Kakak Kedua lebih sayang padamu daripada saudara kandungnya sendiri. Aku bukan orang bodoh." 　　Setelah lama terdiam, Jiang Si menatap bunga peony yang mekar subur sambil berbisik lirih: "Benar, aku juga heran. Kakak Ketiga tahukah, sejak sebelum nenek sakit mata, Kakak Kedua sudah mengundangku ke kediaman Keluarga Bo?" 　　Jiang Qiao terkejut, rasa penasarannya semakin menjadi. 　　Mereka semua menerima undangan yang sama, tapi tak ada yang tahu Jiang Qian sudah lebih dulu mengundang Jiang Si. 　　Apakah ini berarti yang ingin diundang Kakak Kedua sejak awal memang Jiang Si? 　　Pikiran ini berputar di benak Jiang Qiao, dia menatap Jiang Si dengan tatapan penuh selidik. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Jadi aku ingin mencoba, seberapa tulus kesungguhan Kakak Kedua terhadapku? Tak disangka——" 　　"Tak disangka Kakak Kedua sangat tulus." Jiang Qiao menyambung kalimat. 　　"Ya, sangat tulus." Senyum sinis mengembang di bibir Jiang Si. 　　Perbuatan memalukan pasangan Jiang Qian pasti akan diungkapnya, jadi dia tak keberatan membiarkan Jiang Qiao mengintip sedikit kebenaran. 　　"Tapi sebenarnya kenapa?" Jiang Qiao menyepak kelopak bunga dan dedaunan di kakinya dengan gerakan tak menentu, ekspresinya semakin serius. "Aku merasa ini bukan hal baik. Adik Keempat, di rumah Marquis kau tetap bersamaku ya? Setelah dua hari kita cepat-cepat pulang." 　　Meski tahu Jiang Qiao berkarakter "mulut tajam tapi hati lembut", Jiang Si tak menyangka dia bisa melupakan perselisihan dan merencanakan untuknya secepat ini. Terharu, dia menolak: "Tak perlu. Aku datang ke rumah Marquis sebagai tamu terhormat. Apa Kakak Kedua berani menyusahkanku?" 　　Yang akan dilakukannya terlalu berbahaya. Membiarkan Jiang Qiao mencurigai keanehan adalah untuk mendapat pembelaan setelah kebenaran terungkap, tapi dia tak ingin menarik Jiang Qiao ke dalam bahaya sekarang. 　　Jiang Qiao jelas kesal dengan ucapan ini. Dia menunjuk dahi Jiang Si dan marah: "Apa kau bodoh?" 　　Kulit gadis itu sangat halus. Bekas jari Jiang Qiao langsung meninggalkan garis merah di dahinya yang mulus. 　　Jiang Qiao membuka mulutnya, kesal menendang helai rumput di dekat kakinya. 　　Dulu tak pernah kusadari Jiang Si sebodoh boneka kaca ini, hanya disentuh sedikit langsung muncul bekas merah, seolah aku yang mengganggunya. 　　"Hah--" Jiang Qiao membungkuk mengambil sesuatu dari tanah, "Apa ini?" 　　Di tangan Jiang Qiao tergenggam sebuah tusuk konde yang memantulkan kilau kuno di bawah sinar matahari. 　　"Bahan apa tusuk konde ini, bukan emas juga bukan perak..." Jiang Qiao mengamati tusuk konde di tangannya dengan bingung. 　　Sorot mata Jiang Si tiba-tiba menjadi dingin dan tajam. 　　Ini adalah tusuk konde tembaga! 　　Tusuk konde tembaga memang umum ditemui. 　　Wanita-wanita dari keluarga biasa juga mencintai kecantikan, tapi tak semua mampu membeli tusuk konde emas atau perak, sehingga tusuk konde tembaga, kayu, bahkan bambu menjadi pilihan alternatif. 　　Tapi di mana lokasi kita sekarang? 　　Ini adalah Keluarga Marquis Changxing, bahkan dayang-dayang terhormat pun memakai tusuk konde emas pemberian majikan, yang lebih rendah statusnya memakai tusuk konde perak. 　　Para pelayan yang melakukan pekerjaan kasar sekalipun tak sudi memakai tusuk konde tembaga, lebih memilih hiasan rambut dari mutiara atau sutra yang lebih cantik. 　　Jantung Jiang Si berdebar kencang, muncul dugaan berani: Jika di bawah rumpun peoni ini terkubur kerangka manusia, mungkinkah tusuk konde tembaga ini milik korban? 　　"Sepertinya ini tusuk konde tembaga." Setelah mengamati sejenak, akhirnya Jiang Qiao menyadarinya. 　　Saat itu, suara bernada dingin dan penuh ejekan terdengar: "Apa yang sedang kalian lakukan, adik-adik?" 　　Jiang Si terkejut, dengan gesit merebut tusuk tembaga dari tangan Jiang Qiao dan menyelipkannya ke dalam lengan baju. 　　Tidak jauh dari sana, Cao Xingyu—Putra Mahkota Marquis Changxing—berdiri dengan jubah panjang warna bulan purnama, memandangi mereka berdua dengan senyuman. 69. Bab 69 Malam Tiba 　　Bab 69 Malam Tiba 　　Putra Mahkota Marquis Changxing Cao Xingyu berdiri tak jauh, senyum tipis mengembang di bibirnya dengan sorot mata yang gelap. 　　Peony bermekaran dengan warna menyala-nyala, aroma harumnya memenuhi udara. Jiang Si yang berdiri di tengah hamparan bunga justru merasakan hawa dingin merayap dari dalam hatinya. 　　Hampir secara reflek, Jiang Qiao melangkah setengah maju melindungi Jiang Si: "Oh, Kakak Ipar. Kami sedang menikmati bunga." 　　Cao Xingyu tertawa ringan, kilauan emas di matanya berkerlip ramah di bawah sinar matahari: "Memang peony di sini lebih indah daripada yang lain. Nikmatilah perlahan-lahan." 　　Ia melangkah mendekat selangkah demi selangkah. 　　Tusuk tembaga di lengan baju terasa keras dan dingin, menusuk kulit lembut sang gadis. 　　Tangan Jiang Si menggenggam erat tusuk tembaga itu, matanya dingin menyaksikan Cao Xingyu mendekat. 　　Postur Cao Xingyu yang kurus dengan jubah bulan purnama menciptakan kesan lemah lembut yang menyentuh hati. 　　Siapa sangka sosok seperti ini mampu melakukan perbuatan terkutuk yang melanggar hukum langit? 　　Binatang berbusana manusia. 　　Kata ini tiba-tiba melintas di benak Jiang Si. Rasa takut yang muncul tak terkendali karena bayang-bayang kehidupan sebelumnya langsung lenyap, hanya menyisakan keteguhan. 　　Dia harus menguliti binatang itu, mencegahnya kembali merusak gadis-gadis tak bersalah! 　　Cao Xingyu mendekat, tapi tidak sampai di depan mereka. Masih berjarak beberapa langkah dari rumpun bunga peony, ia berbelok ke arah lain. 　　Tidak ada yang aneh, seolah pertemuan biasa saja. 　　Cao Xingyu perlahan menjauh tanpa menoleh. 　　Jiang Qiao menatap latar belakang warna bulan itu sejenak, menyeringai lalu menoleh ke Jiang Si: "Tadi kenapa kau rebut tusuk kondenya?" 　　Ekspresi Jiang Si sudah kembali normal, berkata sambil tersenyum: "Putra Mahkota tiba-tiba muncul membuatku kaget, reflek langsung melempar tusuk konde." 　　"Kau lempar?" Jiang Qiao memandang sekeliling, "Ke mana?" 　　Jiang Si asal tunjuk: "Sepertinya ke arah sana." 　　Dia menunjuk semak belukar. Jiang Qiao langsung kehilangan minat: "Sudahlah, meskipun ini tusuk konde tembaga, bahkan kalau emas atau perak sekalipun, barang temuan tidak boleh diambil." 　　Kemunculan mendadak Cao Xingyu jelas mengurangi semangat Jiang Qiao menikmati bunga: "Ayo, cari Kakak Kedua mereka di paviliun bukit buatan itu." 　　"Baik." Saat ini Jiang Si juga tidak bisa menggali tanah di bawah bunga peony, terpaksa menahan keinginan untuk menyelidiki sambil mengangguk. 　　Jiang Qiao berjalan maju dua langkah lalu tiba-tiba berhenti, seolah berbicara pada diri sendiri: "Ada jepit rambut tembaga jatuh di samping bunga peony ini, sungguh aneh." 　　Jiang Si yang mengikuti di belakang tersenyum kecut. 　　Jiang Qiao yang terlihat kasar di luar tapi cermat di dalam, membuktikan tak ada orang yang benar-benar bodoh. 　　Di atas bukit batu tiruan terdapat Paviliun Bayin dengan meja dan bangku batu, tempat yang nyaman untuk bersantai di musim panas. Dari ketinggian ini, pemandangan indah taman kediaman Marquis bisa dinikmati sepenuhnya. 　　Pemandangan ketika Cao Xingyu bertemu Jiang Si di taman tadi juga terlihat jelas dari sini. 　　Jiang Qian bahkan tidak mengangkat kelopak matanya, tetap menikmati seduhan teh jernih di tangannya. 　　Jiang Pei yang ingin mengambil hati Jiang Qian, menyandarkan tangan di pagar sambil berkata sindiran: "Kakak Keempat memang cantik, berdiri di antara hamparan peony, sungguh manusia lebih indah dari bunga." 　　Kakak ipar kedua yang lemah lembut dan berstatus Putra Mahkota Marquis Changxing adalah calon suami ideal. Ia yakin Kakak Kedua pasti merasa cemas. 　　Mengingat kecantikan Jiang Si bukan hanya memikat pria, bahkan wanita pun tak kuasa menahan diri untuk tidak memandanginya. 　　Jiang Qian meletakkan cangkir teh di meja batu. Alih-alih melihat ke arah Jiang Si di hamparan bunga bawah, ia justru menatap langsung ke arah Jiang Pei. 　　Jiang Pei mulai merasa tidak nyaman, tidak tahu di mana salahnya. 　　Tiba-tiba Jiang Qian tersenyum: "Benar, tak hanya di antara saudari-saudari kita, bahkan di seluruh ibukota, yang bisa menyaingi kecantikan Adik Keempat mungkin sulit ditemukan." 　　"Dengan adik secantik Dewi Luo seperti ini, sebagai kakak tentu merasa bangga." Dia melirik Jiang Si yang sedang berjalan mendekat dengan pandangan santai. 　　Tidak ada yang perlu disesali. Cao Xingyu memang orang jahat, begitu mengincar seorang wanita pasti akan berusaha merebutnya. Salahkan saja kecantikan Jiang Si yang terlalu mencolok, apalagi sudah tidak punya perlindungan dari pernikahan dengan Keluarga An Guogong. 　　Melihat Jiang Si dan temannya mulai menaiki tangga mendekati paviliun, Jiang Pei tersenyum kikuk. Dia tak berani lagi bicara sembarangan, namun rasa tidak suka pada Jiang Qian dalam hatinya semakin membara. 　　Kakak Kedua yang lahir dari keluarga terpandang dan menikah dengan baik, benar-benar bisa berbicara tanpa merasakan susahnya. 　　Semua orang menyukai kecantikan. Jiang Pei yakin kakak iparnya pasti akan tergoda jika terlalu sering berinteraksi dengan Jiang Si. Nantikan saja tangisan Kakak Kedua. 　　Pikiran jahat itu membuat Jiang Pei seolah sudah menyaksikan kejadian tersebut, merasa sangat puas. 　　"Mengapa kalian tidak bermain lebih lama lagi?" 　　Jiang Qiao yang pertama masuk langsung duduk di bangku batu, menikmati sejuknya udara di ketinggian. "Bunga peony memang indah, tapi baunya terlalu menyengat jika terlalu lama. Pas untuk istirahat di sini." 　　Jiang Qian memandang hamparan peony yang megah dari kejauhan, senyum penuh makna mengembang di bibirnya. "Benar. Pemandangan secantik apa pun akan membosankan kalau dilihat terus. Tapi peony di sini memang layak dinikmati." 　　Beberapa saudari perempuan duduk sebentar di Paviliun Bayin. Jiang Qian kemudian mengajak mereka kembali ke tempat tinggal, menyuruh dayang mengantar Jiang Si dan saudari perempuannya beristirahat. 　　“Kediaman Putra Mahkota di paviliun timur dan sayap barat memang sudah lama kosong. Sebelum adik-adik datang, saya sudah menyuruh orang merapikan kedua pekarangan. Sanmei dan Simei tinggal di paviliun timur, Wumei dan Liu Mei di sayap barat. Bagaimana menurut kalian?” 　　Sebelum yang lain sempat membuka mulut, Jiang Pei buru-buru menyahut: “Kami semua patuh pada pengaturan Kakak Kedua. Kakak benar-benar beruntung, sudah menikah beberapa tahun dengan Kakak Ipar tapi bahkan tak ada selir sekalipun.” 　　Jiang Qian melirik Jiang Pei sekilas, hanya tersenyum lalu menyuruh dayang mengantar keempat orang itu beristirahat. 　　Wajah Jiang Pei memerah, semakin merasa tidak enak. 　　Anehnya, di hadapan selir utama ia selalu mendapat banyak imbalan berkat kata-kata manisnya. Tapi mengapa di hadapan Kakak Kedua justru selalu menemui halangan? 　　Padahal yang diucapkannya jelas-jelas adalah hal yang membanggakan bagi seorang wanita. 　　Jiang Si mengamati kebingungan Jiang Pei dengan saksama, hampir tertawa terbahak. 　　Kasihan Jiang Pei yang tak tahu situasi sebenarnya. Ia terus-menerus memuji kemesraan Jiang Qian dengan Putra Mahkota Marquis Changxing, tanpa sadar setiap patah katanya bagai tamparan di wajah sang kakak. 　　Paviliun timur di Kediaman Putra Mahkota memang tidak terlalu luas, tetapi memiliki keindahan yang tenang. Di sudut pekarangan, pohon sudah melewati musim bunga, mulai berbuah hijau. 　　“Sprei dan kelambu di kamar timur dan barat sudah diganti yang baru. Nona mana yang akan menempati kamar timur, mana yang di kamar barat?” Pelayan wanita berpakaian hijau yang mengantar mereka bertanya sambil tersenyum. 　　“Kak ketiga mau pilih yang mana?” Bagi Jiang Si, tidak ada perbedaan antara kamar timur dan barat. 　　Jawaban Jiang Qiao di luar dugaan Jiang Si: “Untuk apa repot-repot? Aku tidur bersama adik keempat saja.” 　　Pelayan wanita berpakaian hijau juga terkejut, spontan menatap Jiang Si. 　　“Aku terbiasa tidur sendiri...” 　　Jiang Qiao menggandeng tangan Jiang Si, dengan wajah memelas: “Aku belum terbiasa dengan tempat baru ini. Hanya dengan orang yang kukenal aku bisa tidur nyenyak. Adik keempat, izinkan aku tidur bersamamu.” 　　Jiang Si teringat perlindungan tak sengaja dari Jiang Qiao di taman, hampir saja mengangguk. Tapi begitu teringat pasangan Jiang Qian, hatinya langsung membeku. Ia menggeleng: “Aku tetap lebih nyaman tidur sendiri.” 　　“Kalau begitu, aku ambil kamar timur saja.” 　　Siang hari berlangsung tanpa gangguan. Tak terasa sudah masuk waktu menyalakan lentera. Setelah membersihkan diri, Jiang Si yang sudah rapi berpakaian bersandar di dipan sambil membaca. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat, lalu berhenti di balik tirai pintu. 　　Terima kasih untuk hadiah dan votingnya. Sampai jumpa besok. 70. BAB 70 Kedatangan Orang 　　BAB 70 Kedatangan Orang 　　Setelah sesaat tegang, raut wajah Jiang Si kembali rileks. 　　Meski terhalang tirai bordir bunga peony yang sedang mekar dan ada jarak tertentu, aroma familiar itu memberitahunya bahwa orang di balik tirai itu adalah Jiang Qiao. 　　Tirai segera disibak. Jiang Qiao masuk sambil memeluk selimut tipis, diikuti dua dayang yang terlihat canggung. 　　"Adik Keempat, aku benar-benar tidak bisa tidur. Biarkan aku menginap semalam bersamamu." Jiang Qiao menghampiri Jiang Si dalam beberapa langkah, berkata dengan suara lembut. 　　Jiang Si mengerutkan alisnya. 　　"Adik Keempat, tega melihatku terjaga sepanjang malam?" 　　Saat Jiang Si masih ragu, Jiang Qiao sudah melepas sepatu dan duduk di pinggir ranjang, menunjukkan tekad untuk tidak pergi. 　　Jiang Si menghela napas. "Hanya semalam. Besok Kakak Ketiga harus kembali ke kamarmu." 　　"Bicarakan besok saja." Senyum kemenangan merekah di wajah Jiang Qiao sebelum ia melirik dua dayang yang mengikutinya. "Pergilah beristirahat di luar." 　　Karena ini hanya tinggal sementara, Jiang Qian secara khusus menyebutkan dalam undangannya bahwa cukup adik-adiknya yang datang. Semua kebutuhan sudah disiapkan, sehingga keempat saudari ini tidak membawa dayang pribadi. Dua dayang ini adalah yang ditugaskan Jiang Qian. 　　Baik Jiang Qiao maupun Jiang Si tidak memiliki kebiasaan tidur sekamar dengan dayang asing. 　　Kedua dayang saling pandang, ragu untuk bergerak. 　　"Ada masalah?" Wajah Jiang Qiao berubah muram. 　　Barulah kedua dayang itu buru-buru berlutut dan mundur. 　　Jiang Qiao berbaring sambil mengeluh, “Ternyata dayang sendiri lebih nyaman digunakan.” 　　Jiang Si tersenyum, “Terserah saja, walau kita merasa tidak nyaman, dayang-dayang ini sudah dipilih dengan teliti oleh Kakak Kedua. Sanjie, tidurlah di bagian dalam.” 　　Jiang Qiao menarik selimut sutra sambil menggeleng, “Aku terbiasa tidur di luar.” 　　“Tak kusangka Sanjie punya banyak syarat untuk tidur.” 　　“Ya, aku tahu kebiasaan buruk ini sulit diubah. Simie, kenapa kau masih memakai baju luar?” 　　“Aku tidak terbiasa tidur hanya dengan pakaian dalam di tempat asing.” 　　“Ternyata semua orang punya kebiasaan sendiri. Sudah larut, mari tidur.” Jiang Qiao terkekeh, lalu meniup lampu di tepi tempat tidur. 　　Ruangan gelap gulita sesaat, lalu perlahan terang kembali oleh sinar bulan dari jendela yang menyepuh segala sesuatu dengan kilau perak samar. 　　“Simie.” 　　“Hm?” 　　Dalam gelap, keheningan menyergap. Jiang Qiao membalikkan badan menghadap luar: “Tidak apa-apa, tidurlah.” 　　Tak lama kemudian, suara napas teratur terdengar jelas dalam kegelapan samar yang asing ini. 　　Jiang Si menatap kait perak di langit-langit kelambu, menghela napas pelan. 　　Meski berani mengambil risiko, dia sebenarnya punya kemampuan melindungi diri. Tapi tak disangka Jiang Qiao yang biasanya tidak akrab dengannya tiba-tiba menjadi lengket. 　　Target pasangan suami-istri Jiang Qian adalah dirinya. Kehadiran Jiang Qiao yang tak pernah lepas darinya jelas akan menambah banyak bahaya. 　　Dia sama sekali tidak meragukan tingkat kebejatan pasangan suami istri itu. Jika mereka berani bertindak terhadapnya, tentu tidak akan segan-segan pada Jiang Qiao. 　　Hanya untuk malam ini. Besok malam dia pasti tidak akan mengizinkan Jiang Qiao tidur bersamanya lagi. 　　Adapun malam ini— 　　Sorot dingin terpancar dari mata Jiang Si. 　　Jika malam ini tenang saja, tidak apa-apa. Tapi jika pasangan itu punya rencana jahat, dia takkan membiarkan mereka menyakiti orang tak bersalah. 　　Malam semakin larut. Jiang Si menutup matanya, perlahan tertidur. 　　Bunyi langkah kaki samar terdengar. Mata Jiang Si terbuka lebar, lalu segera terpejam lagi. 　　Dia benar-benar meremehkan kebejatan dan keberanian Putra Mahkota Marquis Changxing. Baru malam pertama, dia sudah tidak sabar datang! 　　Apakah dia berencana bertindak kasar tanpa sungkan? 　　Pikiran itu melintas sekejap, lalu Jiang Si membuangnya dalam hati. 　　Lagipula Putra Mahkota Marquis Changxing bukan orang gila. Menyusup ke kamar ipar perempuan di tengah malam untuk pelecehan setidaknya bisa dihukum pengasingan. 　　Tentu Jiang Si tidak akan berteriak untuk membuktikan kesalahannya. Jika demikian, reputasinya dan Jiang Qiao akan hancur total. 　　Adapun kehidupan sebelumnya— 　　Jiang Si tersenyum tipis. 　　Di kehidupan sebelumnya, mereka hanya menindasnya karena statusnya sebagai janda baru, yakin dia tidak berani membongkar aib setelah dipermalukan. 　　Ingin menjaga gengsi sekaligus memuaskan nafsu kotor. Putra Mahkota Marquis Changxing benar-benar ahli berhitung. 　　Langkah kaki semakin dekat, lalu berhenti. Sudut kelambu yang tergantung perlahan dibuka. 　　Jiang Si masih memejamkan mata, tangannya yang tersembunyi di bawah selimut beludru perlahan mengusap gelang emas di pergelangan tangannya. 　　Meski secara logis Putra Mahkota Marquis Changxing mungkin tidak akan berbuat apa-apa malam ini, dia tetap harus waspada terhadap kemungkinan sang pangeran tiba-tiba bertindak gila. 　　Setelah hidup kedua kali, dia telah memahami satu kebenaran: Gunung yang diandalkan bisa runtuh, sungai yang diandalkan bisa kering, hanya diri sendirilah sandaran terbesar. 　　Ruang kecil ini terasa pengap dan menjijikkan bagai udara tak mengalir, sejak kehadiran lelaki yang paling dibencinya. 　　Jiang Si tetap tenang, menunggu diam-diam langkah berikutnya dari pria itu. 　　Tak ada gerakan lanjutan, Putra Mahkota Marquis Changxing hanya berdiri kaku di tempatnya, napasnya semakin memburu. 　　Dengus napas ini bagi Jiang Si bagai guntur menggelegar, meski sebenarnya tak cukup keras untuk membangunkan orang yang tertidur lelap. 　　Desah napas teratur Jiang Qiao di sebelahnya sedikit menenangkan hati Jiang Si. 　　Dia tak bisa membayangkan reaksi Jiang Qiao jika tiba-tiba membuka mata dan menemukan lelaki berdiri di tepi ranjang. 　　Jika kebetulan seperti itu terjadi, dia harus melumpuhkan Putra Mahkota Marquis Changxing terlebih dahulu. 　　Jiang Si sungguh tak menginginkan skenario semacam itu. 　　Membunuh seseorang terlalu mudah, tapi akan menjerat mereka yang tinggal di Keluarga Marquis Changxing. Yang dia inginkan adalah kehancuran reputasi Putra Mahkota itu, bahkan jika harus mati pun harus mati dalam kehinaan. 　　Cao Xingyu telah berdiri cukup lama, matanya telah beradaptasi dengan kegelapan, hampir-hambaran menatap wajah gadis yang sedang tertidur. 　　Dia telah menunggu hari ini terlalu lama, hingga hal-hal yang dulu membuatnya bersemangat tak lagi mampu membangkitkan impulsnya. 　　Cao Xingyu menelan ludah, menggenggam erat-erat kepalan tangan untuk menahan keinginan menyentuh. 　　Pandangannya beralih, tertuju pada Jiang Qiao. 　　Andai saja gadis pengganggu ini tidak tidur di sini, mungkin malam ini dia bisa menyentuh wajah itu. 　　Benar, mereka tidur sangat lelap, menyentuh sebentar mungkin tidak masalah. 　　Begitu pikiran ini muncul, sorot mata Cao Xingyu tiba-tiba membara, bahkan dengan mata tertutup pun Jiang Si bisa merasakan pandangan membara itu. 　　Jiang Si dengan lembut mengetuk gelang emas di pergelangan tangannya. 　　Cao Xingyu menjilat bibirnya, mengulurkan tangan. 　　Ketegangan ini justru membuat seluruh tubuhnya bersemangat. 　　Jiang Qiao yang tidur di luar tiba-tiba berguling, bergumam beberapa kata dalam tidurnya. 　　Tangan Cao Xingyu ditarik kembali, kegembiraan di matanya perlahan tertutup kabut tebal. 　　Sekarang belum saatnya! 　　Dia akan menunggu dengan sabar, sampai Jiang Si menikah bahkan punya anak, tidak akan bunuh diri karena kehilangan kesucian seperti gadis muda, baru saatnya bertindak. 　　Gadis dari keluarga bangsawan tinggi memang merepotkan, tidak seperti gadis rakyat biasa yang bisa diam-diam dibawa ke kediaman Marquis jika tertarik. 　　Cao Xingyu mengernyitkan alis dengan gelisah, melirik wajah gadis itu yang sempurna tanpa cela sekali lagi sebelum mundur perlahan. 　　Jiang Si membuka matanya perlahan, memandang tirai pintu yang bergoyang lembut dengan tatapan dingin. 　　Karena pihak lain begitu tergesa-gesa, dia pun memutuskan untuk tidak menunggu lagi. Malam ini juga akan menyelidiki taman. 　　Tiba-tiba, Jiang Qiao yang tadinya tertidur lelap bangkit duduk. 71.Bab 71 Pengintaian Malam di Taman 　　Bab 71 Pengintaian Malam di Taman 　　Jiang Qiao sepertinya berusaha keras menahan gerakannya. Meski bangun tiba-tiba, hampir tidak ada suara yang keluar kecuali napasnya yang terengah-engah seperti kehabisan tenaga. 　　Hati Jiang Si berdesir. 　　Sekarang dia sudah paham - Jiang Qiao ternyata sudah lama terbangun! 　　Keadaan Jiang Qiao seperti ini jelas karena melihat kedatangan Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Jiang Si refleks menutup mata, mendengar suara isakan tertekan mulai terdengar. 　　Dalam hati ia menghela napas: Tampaknya Jiang Qiao sangat ketakutan. 　　Bisa dikatakan Jiang Qiao sudah cukup baik. Seorang pria menyusup ke kamar wanita di tengah malam, gadis lain mungkin sudah menjerit histeris. 　　Isakan itu sangat pelan. Andai Jiang Si tidak sedang terjaga, mustahil bisa mendengarnya. 　　Setelah beberapa saat, isakan berhenti. Jiang Si bisa merasakan Jiang Qiao menolehkan kepala, pandangannya tertuju padanya. 　　Pada detik ini, Jiang Si ragu. Haruskah terus pura-pura tidur, atau berterus terang dengan Jiang Qiao? 　　Saat dia sedang ragu-ragu, Jiang Qiao berbisik: "Adik Keempat, Putra Mahkota Marquis Changxing benar-benar mengincarmu!" 　　Begitu mendengar ini, Jiang Si langsung membuka matanya. 　　Jiang Qiao terkejut, menatap Jiang Si dengan bengong. 　　Jiang Si langsung duduk tegak. 　　Setelah beberapa saat, Jiang Qiao sadar kembali dan bergumam: "Adik Keempat, kenapa kau terbangun?" 　　Di bawah sinar bulan redup yang menyusup melalui kisi-kisi jendela, Jiang Si bisa melihat jelas wajah pucat gadis di hadapannya, dan tangan yang tanpa sadar terangkat karena gugup. 　　Tangan Jiang Qiao terus gemetar, masih menggenggam erat tusuk konde emas, jelas masih trauma dengan kedatangan Putra Mahkota Marquis Changxing tadi. 　　Meski begitu, dia berusaha menahan reaksi alami tubuhnya, seolah tak ingin menularkan ketakutan ini pada Jiang Si. 　　"Kakak Ketiga, aku sudah lama terbangun." Jiang Si merasa haru, tak ingin lagi membiarkan Jiang Qiao dalam kebodohan. 　　Dia tak bisa melakukan segalanya dengan sempurna, setidaknya bisa saling memahami. 　　Mendengar perkataan Jiang Si, tusuk konde di tangan Jiang Qiao terlepas, lalu dia memeluk erat adiknya. Seluruh tubuhnya gemetar seperti daun kering di ranting yang diterpa angin musim gugur: "Adik Keempat, Putra Mahkota Marquis Changxing itu binatang!" 　　Tapi Jiang Si tidak menanggapi, malah balik bertanya: "Apa Kakak Ketiga sudah lama menduganya?" 　　Jiang Qiao melepaskan tangannya, mengusap bekas air mata di sudut mata, setelah diam sejenak lalu mengangguk: "Aku tidak yakin, tapi terpaksa curiga. Sebelumnya ketika kita makan di ruang bunga, Putra Mahkota Marquis Changxing datang makan, Kakak Kedua bilang lupa memberitahunya. Saat itu aku sudah merasa ada yang tidak beres. Orang seperti apa Kakak Kedua, empat adik datang, mana mungkin melakukan kesalahan seperti ini?" 　　Jiang Si terkejut. 　　Tak disangka Kakak Ketiga sudah merasa aneh sejak saat itu, ini sangat berbeda dengan kesan yang biasa ditampilkannya. 　　Dari kehidupan sebelumnya sampai sekarang, Jiang Qiao selalu ia anggap sebagai orang yang tajam mulutnya tapi tetap baik hati, secara keseluruhan merupakan gadis kecil yang polos dan tidak banyak pikiran. 　　Dia memang tidak cukup memahami Jiang Qiao. 　　"Kemudian di taman. Meskipun Putra Mahkota Marquis Changxing terlihat seperti tidak sengaja bertemu kita, bahkan hanya menyapa dari jauh lalu pergi, sangat sopan—" Saat mengatakan ini, Jiang Qiao menyeringai dingin, "Bunga peony di taman Marquis Changxing begitu mencolok. Jika benar sopan, sebagai tuan rumah bukankah seharusnya dia tahu kemungkinan besar kita akan menikmati bunga saat itu? Tapi dia sengaja muncul, saat itulah aku yakin ini disengaja..." 　　"Kakak Ketiga bersikeras tidur bersamaku, adalah untuk melindungiku, ya?" Jiang Si bertanya perlahan. 　　Jiang Qiao memerah wajahnya, berkata dengan malu: "Adik Keempat memang cantik, aku menduga jika Putra Mahkota Marquis Changxing punya niat jahat pasti akan mengincarmu. Aku pikir selama kita selalu bersama dia tidak mungkin berani bertindak. Tapi ternyata binatang tetap binatang, dia berani--" 　　Di sini, Jiang Qiao tidak bisa melanjutkan ucapannya, seluruh tubuhnya gemetar halus, jelas masih trauma. 　　"Adik Keempat, besok kita pulang!" Jiang Qiao menggenggam tangan Jiang Si. 　　Jiang Si menghela nafas: "Kakak Kedua pasti akan berusaha mati-matian menahan kita." 　　"Masa dia berani melarang kita pulang?" Setelah berkata demikian, Jiang Qiao tiba-tiba tertegun, seolah teringat sesuatu, wajahnya berubah pucat, bibirnya gemetar, "Adik... Adik Keempat, Kakak Kedua dia--" 　　Apakah seperti yang dia duga? Jika benar, itu terlalu mengerikan dan absurd. 　　Jiang Qiao tak sadar memegangi dadanya yang berdebar kencang, sama sekali tidak berani melanjutkan pikiran itu. 　　Ekspresi Jiang Si tenang bagai air: "Kakak Kedua mengundangku kemari dengan sangat tulus." 　　Jiang Qiao kembali terkejut, memandang Jiang Si tak percaya: "Adik Keempat, kamu sudah menebaknya sejak awal?" 　　Melihat Jiang Si mengangguk lembut, Jiang Qiao mengangkat tangannya lalu menjatuhkannya lemas, kesal: "Kamu bodoh ya? Kalau sudah tahu kenapa masih datang, bukankah ini masuk ke dalam perangkap sendiri?" 　　Jiang Si menundukkan mata, diam. 　　Dia tak punya kata-kata lagi. 　　Bagi orang lain ini seperti masuk perangkap, tapi baginya, sarang naga dan gua harimau ini harus dia terjangi. 　　“Sekarang Putra Mahkota Marquis Changxing masih menahan diri karena statusnya yang belum menikah, tapi bagaimana nanti? Apakah aku harus menggantungkan harapan pada belas kasihannya untuk melepaskanku?” 　　Daripada menunggu untuk menyelamatkan diri secara pasif di masa depan, lebih baik aku mengambil inisiatif menyelesaikan masalah binatang berjas ini sekarang. 　　“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu!” Jiang Qiao mencolek dahi Jiang Si, berkata dengan kesal. 　　“Jangan marah, Sanjie. Aku hanya berpikir: lebih baik menghadapi langsung untuk melihat apa yang mereka rencanakan, daripada terus-menerus waspada seperti pencuri yang mengincar selama seribu hari.” 　　“Tapi yang dirugikan tetap kamu!” 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Erjie yang mengundang kita datang. Setidaknya untuk sekarang, dia tidak akan membiarkanku benar-benar dirugikan.” 　　“Lalu apa rencanamu? Jika si bajingan itu berani menyusup masuk malam ini, besok malam dia akan berani melangkah lebih jauh. Saat itu terjadi, kamu hanya bisa menelan ludah. Apa mungkin kamu akan berteriak memberitahu orang?” Jiang Qiao menggenggam tangan Jiang Si erat, “Simei, besok kita pergi, ya?” 　　Jiang Si menggeleng dengan tegas: “Tidak boleh.” 　　Saat ini Jiang Qiao dianggap orang luar di mata pasangan Jiang Qian. Tapi jika besok Jiang Qiao ngotot ingin pergi, karena malam ini mereka menginap bersama dan Putra Mahkota Marquis Changxing pernah datang, mereka mungkin akan curiga Jiang Qiao menemukan sesuatu. 　　Jika sampai demikian, nyawa Jiang Qiao akan terancam dibungkam. 　　"Dia masih punya kemampuan melindungi diri, tapi Jiang Qiao meski cermat hanyalah seorang gadis muda yang lemah tak berdaya. Keberaniannya memasuki kediaman Keluarga Marquis Changxing didasari tekad untuk menyelesaikan masalah sampai tuntas, bukan meninggalkan masalah berkepanjangan." 　　"Lalu apa yang kau inginkan?" Jiang Qiao marah sekali. 　　"Kakak ketiga, beri aku sedikit waktu, aku akan menyelesaikannya." 　　"Jangan kau bertindak sembarangan!" 　　Jiang Si tersenyum menenangkan: "Kakak ketiga tenang saja, prinsip 'tidak mengambil pekerjaan keramik tanpa bor intan' masih kupahami. Sudah larut, mari kita tidur." 　　Jiang Qiao tiba-tiba merasa kelopak matanya berat, mengangguk lemah, tak lama kemudian tertidur pulas. 　　Jiang Si memandang dalam-dalam ke arah Jiang Qiao, melangkah melewatinya turun ke lantai, mengenakan sepatu bordir empuk lalu berjalan keluar. 　　Di ruang luar tidur dayang yang dikirim Jiang Qian untuk melayani Jiang Si. Langkah Jiang Si sangat halus melewatinya, kukunya bergerak halus menebarkan bubuk yang tersamar dalam gelap. 　　Gerbang bulan di kompleks Putra Mahkota langsung menuju taman belakang. Jiang Si melangkah lincah melewatinya, sampai di depan hamparan bunga peony. 　　Memohon suara, baik suara bulanan maupun rekomendasi. Sampai jumpa besok. 72.BAB 72 Mayat Baru 　　BAB 72 Mayat Baru 　　Bulan purnama bersinar, cahaya bulan bagai embun beku. 　　Kelopak bunga peony sedikit mengatup, bagai gadis cantik berseri di siang hari yang melepas riasan dan terlelap. 　　Jiang Si menghirup perlahan, wajahnya langsung berubah pucat. 　　Dia tidak lagi ragu, pertama-tama pergi ke pangkal tembok untuk mengambil sekop bunga yang sudah lama ditinggalkan tukang kebun di sana, lalu berjalan perlahan mengelilingi rumpun bunga peony. 　　Dia harus menemukan titik dimana bau mayat paling menyengat. 　　Tak lama kemudian Jiang Si berhenti di suatu titik, berjongkok di bawah sinar bulan untuk mengamati area tersebut. 　　Tanah di situ terlihat lebih gembur, sepertinya baru saja dibalik tidak lama sebelumnya. 　　Genggaman Jiang Si pada gagang sekop semakin erat. 　　Dia sudah menduga samar-samar apa yang akan ditemukan di bawah rumpun peony ini, klaim tidak grogi hanyalah kebohongan. 　　Namun bagaimanapun juga dia harus melihat dengan mata kepala sendiri agar tenang. 　　Sekop Jiang Si menancap ke tanah, mengangkat gumpalan tanah pertama. 　　Tanpa penerangan lampu, hanya mengandalkan sinar bulan yang tak cukup untuk melihat warna tanah, Jiang Si mengeratkan gigi dan terus menggali sekuat tenaga sementara bau busuk di hidungnya semakin menusuk. 　　Tumpukan tanah di kedua sisi semakin tinggi, hingga suatu saat mata sekopnya menyentuh sesuatu. 　　Jantung Jiang Si berdebar kencang, dia segera berhenti dan menatap tajam ke arah itu. 　　Di antara lumpur kecoklatan yang gelap, terlihat samar-samar suatu benda, namun belum bisa diidentifikasi. 　　Jiang Si menarik napas dalam, mendekatkan wajahnya untuk mengamati lebih seksama, dan akhirnya menyadari apa itu. 　　Itu adalah tangan manusia! 　　Jiang Si langsung mundur terburu-buru, jantungnya berdetak seperti genderang perang. 　　Dia yakin itu benar-benar tangan manusia - yang terkubur di bawah rumpun peony yang berkembang subur ini bukanlah bangkai kucing atau anjing, melainkan mayat manusia! 　　Tapi ini belum cukup. 　　Ini adalah taman belakang Keluarga Marquis Changxing. Bahkan jika mayat yang terkubur di sini terungkap, keluarga ini tetap bisa mencari kambing hitam. 　　Siapa yang bisa membuktikan bahwa korban di bawah bunga peony dibunuh oleh Putra Mahkota Marquis Changxing? 　　Selama Keluarga Marquis Changxing bersikukuh menyatakan bahwa pelakunya adalah pelayan mereka, mereka punya seribu cara untuk membebaskan Putra Mahkota. Paling-paling keluarga ini hanya akan dicap lalai dalam pengawasan. 　　Untuk sementara kita tidak boleh bertindak gegabah! 　　Pikiran ini melintas di benak Jiang Si. Tanpa peduli rasa jijik dan takut, ia segera mengisi kembali tanah yang digali dengan sekop taman. 　　Bulan bersembunyi di balik awan, kegelapan malam semakin pekat. 　　Tepat saat tanah terakhir selesai ditimbun, tiba-tiba seluruh tubuh Jiang Si kaku membeku. 　　Ia mencium bau darah segar! 　　Meski sekarang tidak mendengar suara mencurigakan, bau ini tak bisa dikelabui hidungnya. 　　Yang lebih mengejutkan, bau darah semakin menyengat - artinya sumber bau semakin mendekat. 　　Jiang Si meraih sekop erat-erat lalu merunduk, bersembunyi di balik rumpun peony sambil mengintai ke arah datangnya bau. 　　Tiba-tiba matanya membelalak. 　　Ada orang datang! 　　Dua orang membawa sesuatu sambil berjalan mendekati arahnya, yang satu di depan dan satu di belakang. 　　Saat itu bulan kebetulan muncul dari balik awan, di bawah sinar bulan Jiang Si melihat jelas dua pria muda yang berpakaian seperti pelayan. 　　Yang dibawa oleh dua pelayan itu—— 　　Jiang Si menatap tajam benda yang terbaring di antara kedua orang itu. Aroma darah menyengat terus menerus merangsang setiap sarafnya, dan dia sudah yakin apa itu sebenarnya. 　　Itu adalah mayat yang dibungkus dengan seprai dan kain lainnya! 　　Dalam situasi dan lokasi seperti ini, ditambah bau darah yang menusuk, tentu saja dia tidak naif mengira orang dalam bungkusan itu masih hidup. 　　Apakah mereka datang untuk menguburkan mayat? 　　Pikiran Jiang Si berputar cepat. Matanya tak berkedip mengikuti pergerakan dua pelayan yang semakin mendekat. Meski terkejut, dia tetap tenang. 　　Dua pelayan biasa, jika benar-benar terpaksa, masih bisa dia hadapi. 　　Tentu saja, bagi Jiang Si saat ini, tidak ketahuan adalah yang terbaik. 　　Saat dua pelayan itu semakin mendekat, justru Jiang Si menjadi tenang. Detak jantungnya yang sebelumnya berdegup kencang pun kembali normal. 　　Bahaya selalu berjalan beriringan dengan kesempatan. Kehadiran mendadak kedua orang ini memang membawa risiko ketahuan, tapi juga memberi kemungkinan untuk mendapatkan informasi lebih banyak. 　　Kedua pelayan berhenti tidak jauh dari hamparan bunga peony. Mereka meletakkan mayat di tanah. Salah satu berbisik, "Ayo bekerja, cepat selesai cepat pulang." 　　Yang lain bergumam, "Kukira nona kecil ini bisa bertahan beberapa hari lagi, siapa sangka hari ini langsung tewas karena ulah Putra Mahkota. Sungguh sial, padahal aku sudah tidur awal..." 　　“Jiang Si mengamati dua pelayan pria melalui celah tanaman, menemukan kaki mereka dibalut kain lembut, wajah mereka sama sekali tidak terlihat tegang saat berbicara.” 　　Dingin merambat dari dasar hati Jiang Si. 　　Membungkus kaki dengan kain lembut untuk mengurangi suara, serta ketidaktegangannya, membuktikan mereka sudah sangat terlatih mengubur mayat di tengah malam. 　　Kelancaran ini berarti tak terhitung mayat telah dikuburkan dengan cara demikian. 　　“Jangan terlalu banyak menggerutu. Putra Mahkota pergi malam tadi, pulang dengan wajah muram. Mungkin ada hal yang mengganggu hingga menarget nona kecil ini. Nasibnya memang harus mati hari ini.” 　　“Kak Lu Zi, hatiku terus gelisah. Menurutmu, apakah kita akan dapat karma karena sering melakukan ini?” 　　Jiang Si yang bersembunyi di balik semak bunga menggigit bibir dengan tatapan sinis. 　　Dia bersumpah: Pasti akan membuat mereka mendapat karma! 　　Kini jelas terlihat: Putra Mahkota Marquis Changxing yang gagal melampiaskan niat jahat setelah meninggalkannya, mencari gadis malang yang sudah menjadi mayat ini. 　　Dari percakapan dua pelayan, bisa dipastikan korban bukan dayang istana, melainkan gadis baik-baik dari luar. 　　“Karma? Kau benar-benar percaya itu? Dalam dua tahun ini, kita sudah menguburkan mayat atas perintah Putra Mahkota tidak kurang dari sepuluh jenazah. Lihatlah, ada yang berubah menjadi hantu dendam menuntut balas?" Pelayan lainnya menyeringai, "Lagipula, yang membunuh kan Putra Mahkota. Kita cuma membantu menguburkan, ini memberi mereka tempat peristirahatan. Malah bisa disebut berbuat kebajikan, mana mungkin dapat karma buruk?" 　　Ada satu kalimat yang tak diucapkan pelayan itu: Jika karma itu ada, yang pertama kena kan Putra Mahkota. 　　Ekspresi Jiang Si semakin muram mendengar percakapan itu. 　　Memang keputusannya untuk segera menyingkirkan Putra Mahkota Marquis Changxing itu benar. Jika tidak, berapa banyak lagi gadis yang akan jadi korbannya. 　　"Bener juga. Ayo, kita kerja." Pelayan yang tadi khawatir mulai berjalan ke arah tempat Jiang Si bersembunyi. 　　Jiang Si memutar-mutar gelang emasnya, berpikir cepat obat apa yang paling tepat untuk melumpuhkan kedua pria ini. 　　Tiba-tiba pelayan bernama Lu Zi berteriak: "Ganti tempat, daerah sana kan baru-baru ini dikuburin satu mayat. Oh iya, keluarga nona kecil itu kayaknya pedagang tahu." 　　Pelayan lain menghela napas: "Sebenarnya nona kecil itu kasihan, aku pernah liat dia jualan tahu sama ibunya..." 　　Lu Zi mencemooh: "Kalau bukan karena ketahuan Putra Mahkota, mana mungkin nona kecil itu ada di sini. An Zi, kenapa hari ini kau jadi cerewet seperti mertua?" 　　"Ah, hari ini Zi Ying mau dekat-dekat denganku." 　　“Wah, sudah merasakan kenikmatan perempuan, jadi tahu menghargai kecantikan. Tapi kalau kau berlama-lama lagi, langit pasti akan segera terang.” 　　“Kerja, kerja.” Kedua orang itu membiarkan mayat terbungkus sprei terbaring sepi di lantai, berjalan menuju sudut tembok. 　　“Lho, kok cangkul bunga berkurang satu?” 　　Melihat ada pembaca yang memberi rating Seperti Kembang hanya satu bintang, aku terus menulis dan tidak memperhatikan hal ini. Mohon teman-teman pembaca yang bisa mengakses tolong beri rating bintang lima di versi web untuk menaikkan penilaian. Terima kasih. 73. Bab 73: Kuntilanak Cahaya 　　Bab 73: Kuntilanak Cahaya 　　Jiang Si menunduk melihat sekop bunga di tangannya, barulah tersadar. 　　Ternyata ini bukan sekop bunga yang malas ditinggalkan tukang kebun di kaki tembok, melainkan alat untuk memudahkan dua pelayan mengubur mayat kapan saja! 　　Pantas saja sekop ini begitu kokoh... 　　Pikiran ini melintas di benak Jiang Si, dia tahu tak bisa terus menunggu. 　　Tak ada orang bodoh, dua pelayan ini melakukan perbuatan keji. Bagaimanapun juga saraf mereka akan tegang, hilangnya sekop secara tiba-tiba pasti akan membuat mereka curiga. 　　Tempat persembunyiannya bukan saja tidak rahasia, bahkan tidak bisa sepenuhnya menutupi tubuhnya, hanya mengandalkan kegelapan malam. 　　Jika dua pelayan itu kembali dan mencari sedikit saja, pasti akan menemukannya. Saat itu melarikan diri pasti akan menimbulkan kecurigaan. 　　Hasil temuan malam ini sangat berharga, Jiang Si sama sekali tidak ingin melihat situasi seperti itu terjadi. 　　Pada saat genting, Jiang Si memutar telapak tangan kanannya ke atas, menenangkan pikiran, lalu cahaya samar muncul di telapak tangannya. Cahaya yang terkumpul itu segera terlepas dari telapak tangan dan melesat cepat ke arah dua pelayan muda. 　　Sekilas, cahaya samar yang melesat itu mirip kunang-kunang biasa, tapi lebih redup dari cahaya kunang-kunang. 　　Jiang Si tidak menyangka akan menggunakan ini begitu cepat. 　　Benda ini bernama Huan Ying, dibuat dari bubuk Bai Jiao Cao yang dicampur dengan berbagai bubuk herbal dengan proporsi sangat presisi, lalu dinyalakan dengan lemak sapi untuk menarik serangga. Setelah diberi makan darah manusia, serangga ini akan dorman di tubuh orang tersebut dan bisa dikendalikan. 　　Huan Ying tidak memiliki daya rusak, tapi bisa membuat orang berhalusinasi. Tentu saja, tidak selalu berhasil memicu halusinasi dalam segala situasi. 　　Misalnya saat seseorang dalam keadaan tenang, Huan Ying sulit menyusup. 　　Dalam situasi seperti sekarang, Jiang Si sama sekali tidak khawatir. Jika mental seseorang tidak memiliki celah saat membunuh dan membakar, maka itu bukan manusia lagi, tapi iblis. 　　Meski unik, Huan Ying sebenarnya termasuk jenis serangga. Suku Wu Miao menyebutnya Gu. 　　Jiang Si tidak suka menyebut Huan Ying sebagai Gu. Gu selalu terkesan mistis bahkan jahat, padahal ini jelas serangga kecil yang cantik dan menggemaskan. Merawat serangga kecil ini sama saja dengan orang lain yang memelihara kucing atau anjing. 　　"Kunang-kunang ajaib terbang menuju dua pelayan, masuk melalui telinga kiri dan keluar dari telinga kanan mereka, akhirnya kembali ke telapak tangan Jiang Si, cahaya redupnya menghilang tanpa bekas." 　　Proses ini terjadi sangat cepat, bisa dikatakan selesai diam-dalam dalam sekejap mata. 　　"Apa kemarin saat digunakan lupa dikembalikan, jatuh di semak bunga?" Anzi bertanya bingung. 　　Luzi memegang sekop bunga sambil mengernyitkan kening: "Tidak mungkin, aku ingat jelas sudah menyimpannya dengan baik, tidak mungkin tertinggal di semak." 　　"Lalu bagaimana ini?" 　　"Jangan-jangan ada yang mengutak-atik?" Suara Luzi tiba-tiba menjadi tegang. 　　"Tidak mungkin, awalnya tukang kebun pernah membereskan dan kita marahi, sejak itu dia tidak berani lagi menyentuh." 　　"Bagaimana jika orang lain?" Luzi berbisik muram. 　　Anzi terkejut: "Kakak Luzi, jangan nakut-nakuti aku." 　　Alasan mereka tidak gugup saat mengubur mayat di tengah malam yang gelap karena semakin terbiasa, tapi bukan berarti tidak panik kalau ketahuan. 　　Luzi tiba-tiba berbalik badan, seolah teringat sesuatu. 　　Anzi refleks mengikuti gerakannya. 　　Di hadapan mereka berdiri seorang perempuan. 　　Perempuan itu berambut terurai berantakan, wajahnya kebiruan. Di bawah sinar bulan terlihat jelas pakaiannya yang compang-camping dengan goresan darah, tangan kanannya menggenggam sekop bunga. 　　Kedua leher mereka kaku perlahan menoleh saling pandang, melihat bayangan ketakutan mencekam di mata masing-masing. 　　“Hantu, hantu——” An Zi menjerit histeris, namun suaranya tertahan di tenggorokan karena ketakutan, hanya mengeluarkan suara erangan sebelum berlari pontang-panting. 　　Lu Zi tak kalah panik. Baru beberapa langkah berlari, ia terjatuh keras. Bangkit terburu-buru, ia bahkan tak berani menoleh sambil berlari memburu An Zi. 　　Saat dua bayangan itu menghilang di kejauhan, Jiang Si pun muncul. 　　Ia tak tahu apa yang mereka lihat, tapi bisa menebak: mayat perempuan inilah yang mereka saksikan. 　　Sebenarnya mudah ditebak. Kumbang Huan Ying memang memicu halusinasi, namun ilusi tersebut bukanlah sesuatu yang acak. Hal itu muncul dari emosi paling intens yang sedang dirasakan seseorang - entah kegembiraan, kesedihan, atau ketakutan mencekam. 　　Saat dua pelayan itu membicarakan hilangnya sekop bunga, sebenarnya alam bawah sadar mereka telah menyelipkan kecurigaan terhadap mayat ini. Peran Kumbang Huan Ying hanyalah memperbesar dugaan paling absurd itu dalam situasi tertentu. 　　Maka ketika mereka menoleh, terlihatlah sosok mayat perempuan menggenggam sekop bunga. 　　Jiang Si berjalan mendekati mayat sambil membawa sekop, lalu berjongkok di sampingnya. 　　Meski malam pekat, bau anyir darah yang menusuk hidung tak bisa disembunyikan. 　　Jiang Si menarik napas dalam sebelum membuka seprai yang menutupi tubuh mayat. 　　Ia ingin melihat wajah almarhumah. 　　Orang terakhir yang dikubur di sini seharusnya adalah putri wanita yang bunuh diri yang Jiang Si temui secara kebetulan di Tanggul Willow. Mengetahui identitas gadis malang itu, Jiang Si tidak percaya ini kebetulan semata. 　　Ia lebih memilih percaya ini adalah takdir ilahi, bahwa jaring langit meski longgar takkan meloloskan yang bersalah. 　　Mungkin dari mayat perempuan ini ia juga bisa menemukan petunjuk terkait identitasnya. 　　Jiang Si tahu harus bergerak cepat. Dua orang tadi yang kabur ketakutan karena ilusi, pasti akan kembali setelah sadar. 　　Di sini masih ada mayat perempuan terbaring. Seberapa pun takutnya, mereka pasti kembali untuk menguburkannya. Jika tidak, saat fajar tiba dan mayat ditemukan, mereka akan kena masalah besar. 　　Sprei bernoda darah disingkapkan, memperlihatkan wajah mayat perempuan itu. 　　Wajah mayat itu bersih, hanya matanya terbuka lebar, tak mau terpejam dalam kematian. 　　Itu wajah yang sangat anggun dan cantik, terlalu muda, terlihat paling tua 13-14 tahun. 　　Jiang Si merasakan sakit di hatinya, hampir menggigit bibir bawahnya sampai berdarah. 　　Ini masih jelas-jelas seorang anak, bagaimana bisa binatang itu tega melakukannya! 　　Ia mengabaikan amarah membara yang menghantam dadanya, segera mencari petunjuk di tubuh mayat. 　　Di leher mayat yang memperlihatkan tulang selangka, tergantung kantong kecil bersulam. 　　Tanpa ragu Jiang Si merobek kantong itu dan menyimpannya di dompetnya, terus memeriksa. 　　Baju atas mayat wanita itu compang-camping, bagian bawah hanya ada rok yang terlihat tergesa-gesa dipakaikan - mungkin awalnya—— 　　 tak tega melanjutkan imajinasinya. Setelah tak menemukan petunjuk lain, dia menyelipkan sekop bunga ke telapak tangan kanan mayat yang terbuka. 　　Mengingat dua pelayan itu pasti akan kembali, biarkan mereka ketakutan lagi. Saat melihat mayat itu memegang sekop bunga, mereka tak bisa lagi membohongi diri itu hanya halusinasi. 　　Prasangka akan melahirkan hantu. Setelah malam ini, dua pelayan itu mungkin takkan bisa tidur nyenyak selamanya. 　　 menarik sprei untuk menutupi mayat. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada tangan kiri mayat, gerakannya terhenti. 　　Tangan kanan mayat itu terbuka lemas, tapi tangan kiri terkepal erat seolah menggenggam sesuatu. 　　Hati berdebar. Ia segera mengangkat tangan kiri mayat. 　　Gadis malang ini jelas baru saja tewas. Tangan mayat masih lunak. Tanpa kesulitan, membuka kepalan tangan itu dan melihat benda yang digenggamnya. 　　Terima kasih untuk vote dan . Mohon bantu beri rating 5 bintang untuk di halaman web agar tak hanya stuck di 1 bintang. Sampai jumpa besok! 74. BAB 74 Bukti Material 　　BAB 74 Bukti Material 　　Itu adalah sebuah kancing giok bermotif kelelawar. 　　Kecil namun elegan, jelas bernilai tinggi. 　　Jiang Si tentu tidak mengira kancing ini berasal dari dua pelayan pria, maka jawabannya jelas: kancing ini adalah bukti gadis malang itu merobeknya dari pakaian si pembunuh, yaitu Putra Mahkota Marquis Changxing! 　　Pakaian yang menggunakan giok sebagai kancing pasti berbahan sangat mewah. Kemungkinan membuang pakaian hanya karena kehilangan satu kancing pastilah kecil. 　　Apa yang akan dilakukan pada baju tersebut? 　　Kemungkinan besar akan disimpan di peti, menunggu kancing giok baru yang sepadan. 　　Tentu ini berdasarkan asumsi umum, namun segala kemungkinan tetap ada. Jika pakaian itu rusak, mungkin akan dibuang. 　　Tapi tidak masalah. Meski bajunya dibuang, sisa kancing giok pasti tetap disimpan. 　　Artinya, kancing giok bermotif kelelawar itu pasti masih tersimpan di kediaman Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Dan inilah bukti langsung yang akan menunjuk Putra Mahkota Marquis Changxing sebagai si pembunuh! 　　Jiang Si menahan gejolak hatinya sambil menutup kembali telapak tangan kiri mayat. 　　Ia tahu mayat akan segera kaku setelah kematian. Saat itu tiba, mustahil membuka tangan mayat tanpa merusaknya. 　　Kancing giok bermotif kelelawar yang sangat penting ini harus tetap di genggaman mayat, sebagai bukti untuk mengungkap si pembunuh nanti. 　　“Setelah melakukan semua ini, Jiang Si menarik seprai ke atas. Saat seprai bernoda darah hampir menutupi wajah cantik namun pucat kehijauan gadis itu, Jiang Si menghela napas pelan, merentangkan tangan ke mata gadis itu, berbisik, “Adik, pergilah dengan tenang. Aku akan membalaskan dendammu. Nanti saat kau membuka matamu lagi, keadilan pasti ada di dunia ini.” 　　Jika tidak ada, dia akan merebut keadilan itu dari langit dengan paksa! 　　Jiang Si menarik kembali tangannya. Mata gadis yang membelalak itu akhirnya terkatup. 　　Saat ini, hidung Jiang Si terasa pedih, hatinya seperti terbakar api berkobar, ada dorongan untuk menangis. 　　Sekarang belum waktunya untuk menangis sepuasnya. 　　Jiang Si menutupi mayat perempuan itu dengan rapi, berdiri tegak lalu memandang terakhir kali ke mayat yang terbaring sepi di lantai, berjalan tenang kembali di bawah sinar bulan. 　　Tak lama kemudian, dua pelayan pria berjalan bergandengan tangan, melangkah pelan-pelan menuju rumpun bunga peony. 　　Bergandengan tangan bukan karena akur, melainkan karena nyaris ketakutan setengah mati tadi. Setelah tenang, mereka tahu harus kembali mengurus mayat tapi tak ada yang mau jalan di depan. Akhirnya berjalan bergandengan, prinsipnya susah ditanggung bersama, tak ada yang dirugikan. 　　“Lu... Lu Zi-ge, menurutmu tadi aku benar-benar salah lihat?” An Zi bertanya gemetar, betisnya bergetar lebih kencang daripada suaranya. 　　Lu Zi terlihat sedikit lebih tegar dari An Zi, pura-pura tenang: “Kalau bukan salah lihat, apalagi? Di dunia ini mustahil ada hantu!” 　　“Mayat nona kecil yang dihina sampai mati oleh Putra Mahkota jelas tidak boleh dibiarkan di taman begini. Kalau dia tidak membohongi Anzi, bagaimana jika Anzi benar-benar ketakutan sampai tidak mau datang lagi? Bukankah pekerjaan mengubur mayat akan jatuh ke pundaknya sendiri?” 　　“Ta-tapi aku benar-benar melihat hantu perempuan tadi, Luzi-ge benar tidak melihat?” Anzi masih tidak percaya, bergerak lamban enggan maju. 　　Luzi mengerlingkan matanya keras-keras: “Nggak lihat! Kalau bukan karena teriakanmu tadi lalu kabur seperti orang gila, mana mungkin aku ikut-ikutan lari?” 　　Sebenarnya dia melihat, tapi bisakah dia memberitahu Anzi? Tentu tidak boleh! 　　“Kalau... benar-benar mataku yang salah lihat?” 　　“Memangnya apa lagi? Coba pikir, kalau benar ada hantu gentayangan yang menuntut nyawa, kenapa tidak ada sedikit pun gerakan dari nona-nona yang dikubur di bawah bunga peony ini? Ayo cepat kubur mayatnya lalu pulang tidur, nanti matahari terbit kalau masih berlama-lama.” 　　Anzi mengangguk ragu-ragu, setengah terbujuk. 　　Keduanya tiba di rumpun bunga peony. Melihat mayat perempuan masih terbaring di tempat semula, mereka sama-sama menghela napas lega. 　　“Ayo bekerja.” Luzi mengambil sekop bunga yang tadi terlempar saat kabur, meludahi telapak tangannya. 　　Anzi terjatuh terduduk, jarinya menunjuk ke arah mayat sambil gemetar hebat tak bisa bicara. 　　“Ada apa?” Luzi tak sadar menggenggam erat sekopnya, mengikuti arah tunjuk Anzi. 　　“Tangan, tangan…” An Zi menggigil ketakutan, jelas terlihat sangat ketakutan. 　　Lu Zi tiba-tiba mencium bau anyir urin. 　　Apa sebenarnya yang dilihat An Zi sampai mengompol ketakutan? 　　Cahaya terlalu gelap, Lu Zi tak bisa melihat jelas. Ia maju selangkah untuk melihat posisi tangan mayat perempuan itu. 　　Sebuah tangan ramping muncul dari seprai, menggenggam sekop bunga dengan erat! 　　Lu Zi merasa kepalanya berdengung, darah berdesir ke ubun-ubun. 　　Saat ini ia tak bisa lagi membohongi diri sendiri – mereka benar-benar melihat hantu! 　　Lu Zi limbung mundur dan terjatuh, pantatnya mendarat di paha An Zi. 　　Kelakukan Lu Zi menjadi pemicu terakhir yang meruntuhkan kewarasan An Zi. Ia mendorong Lu Zi ke depan lalu lari terbirit-birit. 　　Sudah cukup! Lebih baik mati di tangan Putra Mahkota daripada diteror hantu perempuan. 　　Benar-benar ada hantu! 　　Lu Zi yang malas tak sempat menghindar, terjengkang jatuh dengan dagu menghantam kaki mayat. 　　Lu Zi: “…” 　　An Zi yang sudah berlari cukup jauh menengok ke belakang saat tak mendengar suara apa-apa. 　　Hantu perempuannya tidak bergerak? 　　An Zi berhenti berlari. 　　“Kembali sekarang!” teriak Lu Zi yang sudah mulai pulih, berusaha mengontrol volume suara. 　　An Zi tetap diam di tempat, kaki terasa dingin diterpa angin. 　　“Dasar bajingan, kau benar-benar mau menyeretku mati bersama?” Lu Zi membentak, “Tidak lihat mayat perempuan itu tidak bereaksi? Cepat ke sini bantu gali lubang!” 　　“Kak Lu Zi, jangan-jangan hantu perempuan ini sengaja memancingku agar kita berdua terjebak!” An Zi berakar di tempatnya, tak mau bergerak sedikitpun. 　　Lu Zi justru menjadi nekat. 　　Siapa yang sial seperti dia? Dagunya menindih kaki mayat, pantatnya duduk di atas bekas kencing orang, lebih baik hantu itu langsung mencekiknya saja! 　　Semangat "seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki" muncul dalam diri Lu Zi. Ia bangkit dan mulai menggali dengan sekop bunga. 　　An Zi tetap berdiri gemetaran dari kejauhan, siap lari kapan saja. Setelah mengamati mayat yang tak bergerak, perlahan ia mulai tenang. 　　“Kau mau berdiri di sana sampai subuh?” teriak Lu Zi. 　　Setelah berdebat dalam hati, An Zi perlahan mendekat. 　　Dua pekerja berpengalaman ini menggali bersama, kecepatannya meningkat drastis. Tak lama lubang pun terbentuk. 　　Masih trauma dengan penampakan hantu, mereka buru-buru mengubur mayat itu dan meninggalkan tempat angker tersebut. 　　Kembali ke kamar, dua pelayan pria itu langsung terjatuh di tempat tidur tanpa sempat cuci tangan, terengah-engah. 　　Seringkali ketakutan pasca peristiwa justru lebih mengerikan daripada saat kejadian, berkembang menjadi mimpi buruk yang terus menghantui seiring waktu. 　　“Kak Lu Zi, apa kita laporkan ini pada Tuan Putra Mahkota?” 　　“Ngomong apa? Bilang ke Putra Mahkota kalau kita lihat hantu? Apa Putra Mahkota bakal percaya? Nanti dikira kita punya niat lain, kita bisa ketemu temenin hantu perempuan.” 　　“Jangan bilang, jangan bilang.” 　　Dua pelayan pria sepakat, matanya terbelalak menatang balok langit-langit sampai subuh. 　　Di sisi lain, Jiang Si menyusuri taman yang dipenuhi bayangan gelap. Saat hendak mendekati sebuah pohon, bayangan hitam menyergap. 　　Tolong dukung dengan vote! 75. BAB 75 Pengawal 　　BAB 75 Pengawal 　　Bayangan itu bergerak gesit, cakarnya meraih lengan Jiang Si. 　　Jiang Si mengusap kepala bayangan itu sambil berdesah: "Er Niu, kenapa kamu datang?" 　　Bayangan hitam itu tak lain adalah Er Niu yang sudah lama tak terlihat. 　　Melihat Er Niu mengendus-endus dengan manja, Jiang Si geli sekaligus kesal. 　　Untungnya dia sudah mencium bau familiar sebelumnya. Kalau gadis lain yang jalan di taman tengah malam tiba-tiba disergap bayangan hitam, pasti sudah pingsan ketakutan. 　　“Wu wu——” Er Niu mengeong manja. 　　“Ikut aku dulu.” Jiang Si membelai kepala Er Niu, menyadari ini bukan tempat aman, lalu melanjutkan perjalanan. 　　Melewati gerbang bulan, kompleks Putra Mahkota sunyi senyap. Hanya lentera-lentera merah di koridor yang masih menyala, memancarkan cahaya jingga pucat. 　　Seluruh area kediaman Putra Mahkota bermandikan cahaya jingga, kontras dengan horor di taman tadi, bagaikan dunia berbeda. 　　"Satu orang dan satu anjing segera memasuki kompleks timur." 　　Berkat obat bius rahasia itu, Jiang Si tidak khawatir dua dayang dan Jiang Qiao akan tiba-tiba terbangun. Setelah masuk kamar, ia langsung membersihkan tangan lalu membawa Er Niu ke ruang timur yang kosong. 　　Ruang timur sedikit lebih luas dan tinggi dibanding ruang barat, meski tata letaknya sama persis. 　　Jiang Si duduk tanpa menyalakan lampu, mengamati Er Niu dalam sorotan cahaya jendela. 　　"Guk--" Er Niu menggonggong sekali. 　　Anjing besar itu tampak sangat memahami situasi, bahkan menahan volume suaranya saat merengek minta perhatian. 　　"Er Niu, kenapa kamu ada di sini?" 　　Er Niu melangkah maju, kedua kaki depannya tiba-tiba terangkat hingga berdiri tegak. 　　Di leher Er Niu, selain kalung resmi yang biasa, kini tergantung kantong kecil berhias. 　　Mustahil Er Niu bisa memasang kantong itu sendiri. Artinya, benda ini milik... Yu Qi. 　　Jiang Si terdiam sejenak memikirkan hal ini. 　　"Guk! Guk!" Er Niu mengibas-ngibaskan ekor sambil mendorongkan moncongnya, jelas mendesak Jiang Si segera mengambil kantong itu. 　　Jiang Si ragu sebentar sebelum mengambilnya. Dalam hati ia mengejek diri: Malam ini aneh, dapat dua kantong - satu dari mayat perempuan, satu dari anjing. Tidak ada yang normal. 　　Di dalam kantong terdapat secarik kertas terlipat rapi dengan tulisan singkat: "Putra Mahkota Marquis Changxing bukan orang baik. Segera pergi." 　　“Tanda tangan terakhir adalah karakter ‘Jin’.” 　　Seperti yang diduga, ini memang pesan rahasia yang Yu Qi kirimkan melalui Er Niu untuknya. 　　Awalnya Jiang Si bertekad menjauhi Yu Jin, namun melihat kalimat di kertas itu, tiba-tiba rasa ingin tahunya muncul. 　　Bagaimana Yu Qi tahu Putra Mahkota Marquis Changxing bukan orang baik? Mungkinkah dia pernah melihat Putra Mahkota itu menculik gadis rakyat? 　　Memikirkan ini, Jiang Si tiba-tiba ingin menemui Yu Jin. 　　Jika Yu Qi memiliki bukti kejahatan Putra Mahkota Marquis Changxing, akan lebih mudah baginya untuk menyeretnya ke pengadilan. 　　Setelah meninggalkan Keluarga Marquis Changxing, aku akan menemui Yu Qi. 　　Jiang Si menetapkan hatinya, mengusap bulu lebat Er Niu: "Aku terima kantong sutra ini, pulanglah." 　　Er Niu melirik Jiang Si, lalu duduk membanting pantat. 　　Jiang Si tertegun sejenak, lalu tersenyum: "Tenang, tuanmu akan tahu aku sudah menerimanya saat melihat kantong sutra ini hilang." 　　Er Niu malah merebahkan diri, malas-malasan mengibaskan ekor. 　　"Apa harus membalas surat?" Jiang Si heran. 　　Surat Yu Qi hanya berisi satu kalimat peringatan, cukup diterima saja tanpa perlu dibalas. 　　Anjing besar itu lagi-lagi melirik Jiang Si, menempelkan moncongnya ke tanah. 　　Berarti bukan minta surat balasan. 　　Jiang Si mengamati Er Niu, mencoba memahami maksudnya. 　　Er Niu sepertinya tidak puas karena Jiang Si tidak langsung menebak, mengibaskan ekornya dengan kesal lalu meletakkan wajahnya di atas kaki depan dan menutup mata. 　　Jiang Si: “……” 　　“Er Niu, kamu mau tinggal di sini?” 　　Er Niu menggonggong dua kali. “Guk! Guk!” 　　“Ini tidak boleh. Kalau kau tetap di sini, cepat ketahuan.” Alis Jiang Si berkerut, rasa kesalnya pada Yu Qi bertambah. 　　Pasti itu perintah bajingan itu! 　　Er Niu berjalan santai ke tepi jendela, lalu melompat keluar dengan lincah. 　　Beberapa saat kemudian, Anjing Besar menyandarkan dua kaki depannya di ambang jendela luar, kepala berbulunya menyembul. 　　Artinya sudah jelas: Ia akan bermukim di bawah jendela, baru pergi ketika Jiang Si pergi. 　　“Er Niu, cepat pulang!” desak Jiang Si putus asa. 　　Er Niu melirik Jiang Si, menyelipkan diri di bawah semak dekat jendela, menempelkan kepala ke tanah dengan dua cakar depan menutupi mata. 　　Tutup telinga! Tutup telinga! 　　Jiang Si: “……” 　　Nanti dia harus mengajak Yu Qi ngobrol serius tentang arti kehidupan! 　　Menyerah membujuk Er Niu, Jiang Si menutup jendela dan kembali ke kamar barat. 　　Di atas ranjang, Jiang Qiao masih terlelap. Efek obat bius diperkirakan bertahan hingga subuh. 　　Jiang Si duduk di kursi, mengeluarkan kantung brokat yang diambil dari mayat perempuan itu. 　　Bahan kantung itu tergolong lumayan. Gadis yang memakai kantung seperti ini pastilah bukan dari keluarga miskin. 　　Jiang Si membuka kantong brokat, di dalamnya jatuh sebuah jimat perlindungan kecil. 　　Jiang Si mengambil jimat tersebut dan membolak-balikkannya. 　　Di sisi depan jimat tertulis "Keselamatan dan Keberuntungan", sementara di bagian belakang terdapat tulisan kecil "Kuil Lingwu". 　　Jiang Si belum pernah mendengar tentang Kuil Lingwu. 　　Justru karena tidak pernah mendengarnya, muncul secercah harapan dalam hatinya. 　　Kuil yang kecil dan tidak terkenal biasanya dikunjungi penduduk sekitar untuk mencari jimat, sehingga mempersempit lingkup pencarian. 　　Seperti kasus Ratu Tahu Xiuniangzi, mustahil keluarga tidak bereaksi ketika putri mereka hilang secara misterius. 　　Dari percakapan dua pelayan pria, selama dua tahun terakhir setidaknya 7-8 gadis dikubur di bawah bunga peony. Namun seiring waktu, kecantikan mereka berubah menjadi tulang belulang yang sulit dilacak. Putri Xiuniangzi dan gadis yang meninggal malam ini menjadi kunci untuk mengungkap Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Ia perlu segera mengidentifikasi gadis yang meninggal malam ini dan menemukan alamat Ratu Tahu Xiuniangzi. 　　Dengan demikian, tidak perlu lagi tinggal di Keluarga Marquis Changxing. Sebelumnya ia ragu kapan bisa menyeret Putra Mahkota ke pengadilan, khawatir Jiang Qiao yang ingin pergi akan terbawa masalah. Kini, cukup dengan waktu untuk menghubungi keluarga kedua gadis tersebut, ia bisa membongkar wajah asli Putra Mahkota Marquis Changxing. Saat itu tiba, Jiang Qiao tak akan terkena imbas. 　　Setelah merencanakan semua ini, Jiang Si berganti pakaian dan berbaring di sebelah Jiang Qiao. Tak lama kemudian, ia tertidur lelap. 　　Bulan tersembunyi di balik awan. Di rumah dengan pohon jujuber yang bengkok di depan Gang Quezi, Yu Jing duduk di meja batu di bawah pohon di halaman, memegang cawan giok putih sambil termenung. 　　Kenapa tiba-tiba dia pergi ke keluarga Marquis Changxing? 　　Entah apakah dia akan mematuhi nasihat dan segera pergi dari sana setelah melihat kantung brokat yang dibawa Er Niu... 　　Mengingat kewaspadaan dan jarak yang selalu terlihat di mata gadis itu saat bertemu dengannya, Yu Jing menghela napas panjang. 　　Mungkin tidak akan mau mendengarkan. 　　Untungnya dia sudah mengantisipasi hal ini dengan menyuruh Er Niu tetap tinggal di sana. 　　Er Niu memang punya kelebihan ini, kulit wajahnya lebih tebal darinya. 　　Memikirkan hal ini, akhirnya senyum muncul di sudut bibir Yu Jing. 　　Terima kasih untuk hadiah dan voting dari kalian semua. Pengawal Er Niu datang lagi meminta vote. 76.Bab 76 Nyonya Marquis 　　Bab 76 Nyonya Marquis 　　Jiang Qiao terbangun oleh kicauan serangga yang merdu. 　　Ia duduk sambil menggosok mata, tiba-tiba wajahnya membeku. 　　Setelah kejadian semalam, kok bisa dia tidur begitu lelap? 　　"Adik Keempat--" Jiang Qiao buru-buru melihat ke samping. Melihat Jiang Si masih tidur, dia menghela napas lega. Setelah berpikir sejenak, ia menyentuh Jiang Si, "Adik Keempat, bangun." 　　Jiang Si perlahan membuka mata, sorot matanya berkilau: "Kakak Ketiga?" 　　"Lihat cuacanya sudah siang, ayo bangun." 　　Jiang Si bangkit sambil merapikan pakaiannya: "Aku baru tertidur lelap menjelang subuh, jadi bangun terlambat." 　　Jiang Qiao terdengar canggung: "Entah mengapa aku tidur sangat pulas..." 　　"Itu wajar. Setelah mengalami keterkejutan dan ketakutan, sebagian orang sulit tidur sementara yang lain justru tidur lebih nyenyak karena kelelahan mental." 　　Benarkah begitu? 　　Jiang Qiao merasa dirinya bukan tipe yang berhati lega. Bayangan mengerikan tentang kejadian semalam masih membayanginya: "Adik Keempat, apa kita benar-benar akan terus tinggal di sini?" 　　"Tidak, hari ini kita pulang." 　　"Tapi tadi malam kau bilang--" 　　"Situasinya sudah berubah." Jiang Si mendekat dan berbisik di telinga Jiang Qiao: "Aku sudah menemukan cara untuk mengatasi binatang itu. Tak perlu lagi tinggal di kediaman Marquis." 　　Mata Jiang Qiao berbinar. Ia ingin berkata sesuatu namun menahan diri setelah melirik pintu kamar. Ia menggenggam tangan Jiang Si erat-erat: "Bagus! Nanti saat bertemu Jiang Qian, kita akan pamit!" 　　Jiang Si segera menangkap perubahan sikap halus Jiang Qiao terhadap Jiang Qian. 　　Dulu meski tidak akrab, Jiang Qiao takkan menyebut namanya langsung seperti sekarang. 　　"Tenang, serahkan padaku. Kalau dia berani menghalang, aku yang akan berulah." Jiang Qiao mengedipkan mata pada Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum manis: "Baik." 　　Kedua saudari sedang berbisik-bisik ketika tirai bordir bunga peony tiba-tiba disibak. Dua pelayan berbaju hijau masuk terburu-buru, membawa handuk lembut dan baskom sambil membungkuk: "Para nona, hamba mohon maaf karena terlambat." 　　Setelah beberapa saat, Jiang Si berkata datar: "Tidak apa, bantu kami bersiap-siap." 　　Setelah selesai bersiap beberapa saat, salah satu pelayan berkata: "Mohon kedua nona mengikuti hamba ke tempat Istri Putra Mahkota untuk sarapan." 　　Jiang Si dan Jiang Qiao saling pandang, lalu berpegangan tangan mengikuti pelayan menuju tempat Jiang Qian. 　　Nona Kelima Jiang Li dan Nona Keenam Jiang Pei sudah tiba lebih dulu. 　　Melihat mereka masuk berdampingan, Jiang Pei langsung berseru: "Kalian datang terlambat sekali, aku hampir saja mencari kalian." 　　Setelah dipermalukan Jiang Si kemarin, Jiang Pei jelas-jelas lebih menahan diri. 　　Jiang Qiao tersenyum manis: "Penginapan yang disiapkan Kakak Kedua terlalu nyaman, sampai malas bangun." 　　Jiang Pei tak bisa menahan diri menyeringai. 　　Kakak Ketiga ini benar-benar tak tahu malu, bisa-bisanya membenarkan kemalasan bangun pagi dengan alasan begitu. 　　Jiang Qian justru tertawa ringan: "Aku lega kalau adik-adik merasa nyaman. Kalian jarang berkunjung, kali ini harus tinggal lebih lama menemani Kakak Kedua." 　　"Tentu saja, biasanya Kakak Kedua jarang pulang. Kehadiran kami pasti bisa menghibur." Jiang Pei menjilat dengan manis. 　　"Jiang Qian tidak menyapu pandangannya ke arah Jiang Pei, seolah tanpa sengaja melihat ke Jiang Si." 　　Jiang Qiao baru saja hendak membuka mulut, diganggu dengan sentuhan lembut Jiang Si di tangannya. 　　Jiang Qiao mengatupkan bibirnya, untuk sementara mengurungkan niatnya berbicara. 　　"Kakak Kedua, haruskah kita menyapa Nyonya Marquis hari ini?" 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Jiang Qiao menyambung, "Benar, kemarin kita baru tiba mungkin dimaklumi. Tapi jika pagi ini kita belum juga muncul, Nyonya Marquis pasti akan menyangka nona dari Keluarga Bo tidak tahu sopan santun." 　　Melihat Jiang Si dan Jiang Qiao bersikap demikian, Jiang Qian tersenyum, "Aku sengaja menunggu kalian berkumpul dulu sebelum pergi bersama." 　　"Ah, apakah kita terlambat?" Jiang Qiao mengerutkan kening. 　　Nona Kelima Jiang Li melirik Jiang Qian dengan ekspresi gelisah. 　　"Tidak terlambat. Nyonya Marquis sangat pengertian, aturan di kediaman Marquis selalu membolehkan setiap kamar sarapan terlebih dahulu sebelum menghadap." 　　"Syukurlah." Jiang Qiao terlihat lega. 　　Jiang Qian mengamati keempat saudarinya sejenak lalu berkata, "Mari kita makan." 　　Segera para dayang berbaris masuk mengatur sarapan. 　　Kue gulung benang perak, bubur udang, bakpao kecil, ikan asin rebus, jamur kuping dengan cuka, dan berbagai hidangan lain terpajang di meja. Meski porsinya sedikit, semua disajikan dengan apik. 　　Setelah makan dalam diam, Jiang Qian memimpin Jiang Si dan ketiga saudarinya menuju tempat Nyonya Marquis Changxing. 　　Saat itu Nyonya Marquis Changxing baru saja selesai sarapan. Mendengar laporan dayang, ia mempersilakan mereka masuk. 　　Jiang Qian memberi salam dengan sopan: "Kemarin adik-adik baru tiba, kami tidak berani mengganggu ketenangan ibu mertua. Pagi ini menantu datang memberi salam sekalian membawa mereka." 　　Suara lembut terdengar: "Sudah kukatakan tidak perlu formalitas berlebihan, santai saja." 　　Jiang Pei tak tahan mengintip diam-diam. 　　Nyonya Marquis Changxing adalah wanita cantik berusia lebih dari empat puluh tahun. Di usianya yang hidup berkecukupan, banyak bangsawan gemuk, tapi wajahnya tetap berbentuk oval runcing, tubuh ramping seperti gadis muda, dengan aura lembut yang memberi kesan rapuh. 　　Jiang Pei menunduk, perasaan iri menyergap hatinya. 　　Nyonya Marquis jelas berperangai baik. Punya mertua seperti ini dan suami Putra Mahkota Marquis Changxing, sungguh Kakak Kedua diberkati nasib. 　　Mengingat sikap meremehkan Jiang Qian padanya, keiri-an Jiang Pei berubah menjadi dengki. Dalam hati bergumam: Cuma kebetulan lahir di keluarga tepat. Andai aku anak selir utama, sebagai putri Keluarga Bo dengan ayah pejabat ibu kota pangkat 4 utama, mungkin nasib pernikahanku lebih baik dari Jiang Qian. 　　Nyonya Marquis memang terlihat ramah. Matanya menyapu sekilas Jiang Si dan saudarinya, tersenyum: "Benar-benar secantik bunga, melihat kalian saja sudah membuat senang." 　　Selanjutnya, Nyonya Marquis Changxing bertanya dengan suara lembut kepada keempat saudari tentang nama dan usia mereka, lalu pandangannya tertuju pada Jiang Si: "Sudah lama mendengar Nona Keempat Jiang adalah seorang kecantikan langka, baru sekarang tahu bahwa rumor tidak cukup menggambarkan seperseribu dari Nona Keempat Jiang." 　　Jiang Si tersenyum lapang: "Pujian Nyonya Marquis terlalu berlebihan. Rupa adalah anugerah orang tua, tidak ada hubungannya dengan usaha diri. Sebagai yang lebih muda, saya merasa ini tidak layak disebut." 　　Nyonya Marquis Changxing tertegun sejenak, lalu tertawa: "Tidak menyangka Nona Keempat Jiang di usia muda sudah begitu bijaksana. Saya benar-benar menyukainya dari lubuk hati." 　　Jiang Qian mengangkat alisnya, lalu tersenyum manis: "Jika Ibu Mertua tidak keberatan adik-adik mengganggu ketenanganmu, biarkan mereka menemanimu beberapa hari lagi." 　　Nyonya Marquis Changxing tertawa: "Bagus sekali. Apakah kalian para gadis sudah merasa nyaman tinggal di sini?" 　　"Kakak Kedua paling menyayangi kami. Dengan kebaikan Nyonya, saya merasa lebih nyaman daripada di rumah sendiri," kata Jiang Pei sambil tersenyum menutup mulut. 　　Jiang Li yang selalu menghindari sorotan hanya diam patuh dalam situasi seperti ini. 　　Jiang Qiao tiba-tiba berkata: "Kesukaan Nyonya pada kami adalah berkah, tapi sayangnya kami mungkin tidak bisa tinggal lebih lama di kediamanmu." 　　Begitu kata-kata ini terucap, ruangan langsung hening. 　　Nyonya Marquis Changxing yang sebagian besar perhatiannya tertuju pada Jiang Si memandang takjub ke Jiang Qiao, sementara Jiang Qian memancarkan pandangan peringatan. 　　Jiang Qiao seolah tidak merasakan tekanan apapun, dengan lembut menggulung lengan bajunya ke atas. 　　Selamat pagi. 77. Bab 77 Melepaskan Diri 　　Bab 77 Melepaskan Diri 　　Menggulung lengan di depan umum, meskipun yang hadir semuanya perempuan, tindakan ini tetap terkesan tidak sopan. 　　Namun Jiang Qiao tidak menghiraukannya, dengan santai memperlihatkan lengan yang terbuka kepada semua orang. 　　Pergelangan tangan gadis itu putih bak salju, tapi terdapat belasan bintik merah. 　　Nyonya Marquis Changxing tersenyum kaku. 　　"Agar Nyonya tahu, kulit saya memang sensitif sejak lahir. Perubahan lingkungan mendadak mudah memicu ruam. Semalam sebelum tidur saya sudah khawatir, ternyata pagi ini benar-benar menjadi begini." Jiang Qiao mengerutkan alis cemas, "Jadi meskipun kediaman Marquis sangat baik, saya terpaksa tidak bisa tinggal lagi. Jika tidak, sebentar lagi seluruh tubuh akan gatal dan tidak bisa tidur." 　　Nyonya Marquis Changxing tersadar, tetap berbicara lembut: "Kalau memang begitu, tentu tidak bisa dipaksakan." 　　Ia melirik ke arah Jiang Qian. 　　Jiang Qian segera paham, berkata: "Kenapa tidak bilang dari tadi, Adik Ketiga? Nanti Kakak Kedua akan siapkan kereta untuk mengantarmu pulang." 　　"Terima kasih Kakak Kedua." Jiang Qiao tersenyum lebar, merangkul lengan Jiang Si, "Nanti saya pulang bersama Adik Keempat." 　　Ekspresi Jiang Qian menjadi kaku, setelah beberapa saat berkata: "Kalian baru datang kemarin. Adik Ketiga terpaksa pulang karena tidak adaptasi, tapi Adik Keempat baru satu hari di sini. Saya ingin menahannya tinggal beberapa hari lagi untuk menemani saya." 　　“Bukankah masih ada Adik Kelima dan Adik Keenam yang menemani Kakak Kedua.” Jiang Qiao tersenyum manis sambil menggenggam lengan Jiang Si lebih erat, menunjukkan sikap tak ingin melepaskannya, “Kami baru datang sehari lalu aku sudah pulang, yang tahu akan mengira kulitku terkena ruam, yang tidak tahu mungkin mengira aku membuat Kakak Kedua tidak senang. Jadi biarkan Adik Keempat menemaniku pulang, agar tak ada yang menggosip sembarangan.” 　　Perkataan Jiang Qiao yang ceplas-ceplos ternyata mengandung logika. 　　Jiang Qian tak bisa membantah, melirik ke arah Jiang Pei. 　　Jiang Pei hampir langsung memahami maksud Jiang Qian. 　　Kakak Kedua ingin dirinya menemani Kakak Ketiga pulang. 　　Mengapa harus dirinya? Hanya karena dia anak selir? Jiang Si jelas-jelas bersikap dingin pada Kakak Kedua, tapi kenapa Kakak Kedua masih berusaha merayunya? 　　Jiang Pei termenung memikirkan hal ini, tak segera merespons. 　　Jiang Qian menahan rasa tak suka, terpaksa berkata, “Kalau begitu, lebih baik Adik Keenam yang menemanimu pulang.” 　　Jiang Qiao menggeleng sambil tertawa, “Satu urusan tak perlu melibatkan dua pihak. Aku sudah berjanji dengan Adik Keempat, dan Adik Keenam sangat menyukai Kediaman Marquis. Tak enak rasanya menyuruh Adik Keenam menemaniku.” 　　“Adik Keempat jarang berkunjung, sedangkan Adik Keenam bisa datang kapan saja——” Jiang Qian hampir ingin menyumpal mulut Jiang Qiao dengan kain lap. 　　Paman Ketiga adalah anak selir, meski Jiang Qiao cerewet dan pandai bicara, sebelumnya tak pernah dihiraukan. Tak disangka kini malah mau merusak rencananya! 　　"Jiang Qian tak perlu berpikir pun tahu betapa murkanya Cao Xingyu jika Jiang Si pergi begitu saja." 　　Jiang Qiao tak segan memotong ucapan Jiang Qian: "Aku tak suka mendengar kata-kata Erjie. Apakah Erjie merasa karena kami sepupu, sedangkan Liumei adalah saudari kandungmu, maka kau bersikap begitu menjaga jarak denganku dan Simei?" 　　Orang sering kali tak sungkan dengan kerabat dekat, namun sangat sopan pada orang asing. Perkataan Jiang Qiao ini membuat Jiang Qian tercekat. 　　Jiang Qiao melanjutkan serangannya dengan membungkuk hormat pada Nyonya Marquis Changxing: "Nyonya, kami Simei dan hamba mohon pamit. Semoga ada kesempatan lain untuk menjenguk Nyonya." 　　"Baiklah, hati-hati di jalan. Nyonya Jiang, segera atur persiapannya." Nyonya Marquis Changxing berkata lembut sebelum memberi perintah pada dayangnya. 　　Tak lama kemudian dayang yang keluar tadi kembali membawa dua kotak hadiah. 　　Nyonya Marquis Changxing tersenyum: "Ini cuma mainan tak berharga, ambil masing-masing satu kotak untuk kalian berdua." 　　Jiang Si dan Jiang Qiao serentak membungkuk: "Terima kasih atas kemurahan hati Nyonya." 　　Jiang Qian memaksakan senyuman sambil memimpin rombongan keluar. Nyonya Marquis menatap tirai mutiara yang masih bergoyang sambil menghela napas. 　　Begitu jauh dari kediaman Nyonya Marquis, raut Jiang Qian menjadi muram: "Sanmei, tak seharusnya kau terlalu banyak bicara di hadapan Nyonya Marquis." 　　Jiang Qiao mengedipkan mata, dengan wajah polos: “Aku tidak bilang banyak kok, cuma bilang pada Nyonya Hou aku mau pulang. Ah, apakah Kakak Kedua menyalahkanku karena mengajak Adik Keempat ikut pulang bersamaku?” 　　Jiang Qian mengatupkan bibir menatap Jiang Qiao. 　　Jiang Qiao terkikik: “Kakak Kedua, aneh sekali kamu, Adik Keempat temanku pulang sama Putri Keenam kan sama saja? Sama-sama adik, jangan-jangan karena Adik Keempat lebih cantik lalu kamu pilih kasih?” 　　Jiang Qian tercekik marah, sementara Jiang Pei yang kena getir juga mengeluarkan asap dari tujuh lubang. 　　Dia tidak berbuat apa-apa, kenapa disebut jelek! 　　Menatap mata Jiang Qiao yang berbinar-binar, hati Jiang Qian mendadak dingin. 　　Jangan-jangan Jiang Qiao mengetahui sesuatu tadi malam? 　　Suami sendiri mengincar adik kandung bukanlah hal menyenangkan. Untuk menghindari rasa kesal, tadi malam dia sengaja mengabaikan keributan di sayap timur, bahkan menyuruh dayang-dayangnya tidur lebih awal. 　　Tapi meski diabaikan, dari pemahamannya terhadap Cao Xingyu, si sadis itu pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan mengendap ke kamar gadis. 　　Jiang Qian menatap tajam Jiang Qiao, ribuan pikiran bergejolak dalam hati. 　　“Kakak Kedua?” 　　Jiang Qian tersadar, memaksakan senyum: “Kakak Ketiga bercanda, kalian semua adikku, perasaanku sama terhadap kalian.” 　　Niatnya menahan Jiang Si untuk menginap tidak boleh terlalu kentara. Beberapa adik sudah mulai punya akal. 　　“Baguslah, sepertinya aku yang overthinking. Aku minta maaf pada Kakak Kedua. Ngomong-ngomong, kapan kereta kuda akan siap?” 　　Dengan perasaan berat, Jiang Qian mengantar Jiang Si dan Jiang Qiao naik kereta kuda. Melihat Jiang Pei yang ceria dan Jiang Li yang menunduk patuh, hatinya semakin kesal. 　　Yang seharusnya pergi malah tetap, yang harus tinggal malah pergi. Benar-benar menyebalkan! 　　“Mau ke mana ini?” Putra Mahkota Marquis Changxing Cao Xingyu yang baru kembali dari luar bertanya lembut melihat kereta kuda yang parkir di depan gerbang. 　　Sebelum Jiang Qian sempat menjawab, tirai kereta tiba-tiba disingkap, memperlihatkan wajah cantik Jiang Qiao yang tersenyum manis: “Adikku agak kurang sehat, jadi kami pulang ke Keluarga Bo dulu.” 　　Melihat itu Jiang Qiao, Cao Xingyu mengerutkan bibir hampir tak kasat mata: “Kalau begitu, setelah Pulang, Sanmei segera periksa dokter dan beri kabar pada Kakak Kedua-mu, agar kami tidak khawatir.” 　　“Kakak ipar tenang saja, begitu sampai di Keluarga Bo pasti langsung sembuh.” Jiang Qiao tersenyum sambil mengutuk dalam hati 'manusia berwajah binatang'. 　　Senyum Cao Xingyu tiba-tiba kaku. 　　Kenapa kalimat tadi terdengar begitu aneh? 　　“Kakak ipar sebaiknya temani Kakak Kedua saja. Sampai jumpa lagi.” Jiang Qiao menutup tirai kereta. 　　Kusir mengibaskan cambuk, kereta kuda perlahan mulai bergerak. 　　Cao Xingyu menarik pandangannya, kembali menampilkan wajah lembut bak giok di depan umum. Ia menggenggam tangan Jiang Qian: “Ada apa dengan Sanmei?” 　　“Tidak ada masalah serius.” Jiang Qian menjawab samar. 　　“Hm.” Cao Xingyu melirik Jiang Li dan Jiang Pei di sebelah Jiang Qian, matanya berkedip dalam, "Mengapa Adik Keempat tidak terlihat?" 　　Di bawah tatapan itu, Jiang Qian tersenyum paksa: "Adik Keempat menemani Sanjie pulang bersama." 　　Cao Xingyu langsung menoleh tajam ke arah kereta kuda yang menjauh. 　　Kereta kuda bermarkah Keluarga Marquis Changxing tepat berbelok di sudut tembok, menghilang dari pandangan. 　　Cao Xingyu memutar kepala, menatap Jiang Qian dengan intens, lama-kelamaan tersenyum lembut: "Mari kembali ke dalam." 　　Seluruh tubuh Jiang Qian bergetar, ia mengangguk perlahan. 　　Di dalam kereta kuda, Jiang Qiao menghela napas lega: "Akhirnya kita meninggalkan tempat kotor itu." 　　Jiang Si tiba-tiba memegang dahinya. 　　Sial, dia meninggalkan Er Niu. 　　Terima kasih untuk hadiah dan voting. Menemukan masalah serius: Meskipun buku baru kita "Seperti Kembang" sering menempati posisi pertama di chart penjualan, tapi suara bulanan dan rekomendasi sangat sedikit. Apakah kalian... sudah tidak menyayangi Er Niu dari tepi Danau Daming lagi? 78. Bab 78 Menjemut Pengantin 　　Bab 78 Menjemut Pengantin 　　Melihat ekspresi Jiang Si berubah, Jiang Qiao buru-buru bertanya: "Ada apa?" 　　Jiang Si kembali tenang: "Tidak apa-apa." 　　Er Niu begitu lincah, kalau bisa menyelinap masuk ke Keluarga Marquis Changxing, pasti bisa keluar dengan selamat. 　　"Sanjie, ruam merah di lenganmu itu bagaimana?" 　　Dia sama sekali tidak percaya itu kebetulan belaka. 　　Jiang Qiao mengangkat tangan membiarkan lengan bajunya tergelincir hingga ke siku, berkata sambil tertawa: "Kamu bilang ini? Pagi ini kan ada bubur udang, aku makan beberapa suap lebih banyak. Setiap kali makan udang, pasti timbul bercak-bercak di lenganku." 　　Jiang Si teringat pagi tadi, mangkuk bubur udang di depan Jiang Qiao telah dihabiskan sampai bersih, bahkan ditambah satu mangkuk lagi. 　　Jiang Si spontan menggenggam tangan Jiang Qiao: "Kakak Ketiga, terima kasih banyak." 　　Dia pernah mendengar, sebagian orang akan timbul ruam jika makan makanan tertentu, tidak hanya gatal-gatal seluruh tubuh, yang parah bahkan bisa pingsan. 　　Niatnya untuk meninggalkan Keluarga Marquis Changxing memang bisa dilakukan dengan cara memaksa, tapi tidak menyangka Jiang Qiao sampai melakukan hal seperti ini. 　　"Ngapain terima kasih." Jiang Qiao menurunkan lengan bajunya, "Tidak parah, besok sudah hilang. Mengingat kejadian semalam, setiap detik tinggal di sana membuatku tak tahan. Lebih baik segera pergi." 　　Setelah berkata demikian, dia mengambil kotak hadiah dari Nyonya Marquis Changxing dan membukanya. Melihat hiasan rambut dan perhiasan di dalamnya, dia menghela nafas: "Nyonya Marquis Changxing memang baik, sayangnya--" 　　Jiang Si mendengarnya dengan senyum sinis di hati. 　　Apakah Nyonya Marquis Changxing benar-benar orang baik? 　　Di kehidupan sebelumnya, setelah melarikan diri dari Keluarga Marquis Changxing dan mengembara ke Perbatasan Selatan, baru setelah menjadi permaisuri Pangeran Ketujuh Yu Qi dan kembali ke ibukota, dia mengetahui bahwa Putra Mahkota Marquis Changxing sudah lama meninggal. 　　Kondisi mayat sangat mengerikan, tubuhnya dipotong-potong dan bagian bawahnya telanjang dibuang di pasar ramai. 　　Kasus kematian misterius Putra Mahkota Marquis Changxing dan Nyonya Peramal Liu menjadi kasus tak terpecahkan yang termasyhur, pelakunya tak pernah ditemukan motif pembunuhannya pun tak jelas. 　　Jiang Si sebenarnya bisa menunggu dua tahun dengan sabar, hingga datang pahlawan tak dikenal yang akan menghabisi binatang itu - Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Tapi dia tak rela, juga tak tega. 　　Tak rela melihat kejahatan Cao Xingyu yang membuat langit murka terkubur bersama kematiannya, sementara orang-orang masih menghela nafas menyayangkan kepergiannya. Lebih tak tega membayangkan berapa banyak gadis tak bersalah akan menjadi korban dalam dua tahun ini. 　　Adapun Istri Marquis Changxing—— 　　Memikirkannya, Jiang Si tak tahu apakah lebih marah atau jijik, mungkin hanya bisa menghela nafas: "Bukan satu keluarga takkan masuk satu pintu." 　　Setelah menikah selama beberapa tahun di Keluarga Marquis Changxing tanpa anak, Jiang Qian tiba-tiba dinyatakan hamil setelah kematian suaminya. Tahun berikutnya dia melahirkan prematur seorang anak yatim. 　　Kelahiran prematur karena kesedihan mendalam bagi janda baru bukan hal aneh, dunia tak akan curiga. Tapi investigasi diam-diamnya terhadap keluarga paman menemukan rahasia mengejutkan: Anak Jiang Qian bukan darah Putra Mahkota Marquis Changxing, melainkan Marquis Changxing sendiri! 　　"Kenyataannya bahkan lebih buruk dari yang dibayangkan. Jiang Qian melahirkan anak Marquis Changxing bukan karena hubungan terlarang, melainkan karena pasangan Marquis tidak tega melihat garis keturunan putra mereka terputus. Mereka juga tidak ingin kekayaan besar diwarisi oleh anak selir, maka mereka menggunakan rahim menantu perempuan untuk menghasilkan 'cucu laki-laki sah'." 　　Dan semua ini, Nyonya Marquis Changxing yang lemah lembut itu sama sekali tidak dibiarkan dalam kegelapan. 　　Dia adalah peserta aktif. 　　Mungkin bagi wanita itu, lebih baik seperti ini daripada menyaksikan Marquis Changxing dan selirnya melahirkan anak haram yang akan mewarisi segala milik putranya. 　　Jiang Si merasa mual saat memikirkan semua ini. 　　Tanpa ragu dia bisa berkata: "Seluruh keluarga Marquis Changxing bahkan tidak lebih bersih dari patung singa batu di depan gerbang mereka." 　　"Mengenal wajah tapi tak tahu hati, hanya dengan sekotak mainan kecil kau bisa menyuami Third Sister?" Jiang Si menyindir. 　　Jiang Qiao tertegun, lalu segera menyadari: "Adik Keempat berpikir Nyonya Marquis juga bermasalah?" 　　Jiang Si berkata datar: "Menurutku watak seseorang tak bisa lepas dari latar belakangnya. Dengan memiliki anak seperti itu, mungkinkah sang ibu benar-benar suci seperti Bodhisattva?" 　　Jiang Qiao merenung sebentar, lalu mengangguk: "Pendapatmu masuk akal. Tapi seberapa menjijikkan pun mereka, itu bukan urusan kita. Ke depannya kita jauhi saja tempat itu." 　　Tentu saja Jiang Si tidak ingin Jiang Qiao terlalu terlibat, dia pun menyetujuinya dengan senyuman. 　　"Adik Keempat, bagaimana rencanamu menghadapi binatang itu?" 　　Jiang Si berkata samar: "Sebenarnya aku belum memikirkan dengan matang, saat itu hatiku takut, buru-buru meninggalkan Kediaman Marquis sehingga berbicara begitu. Biarkan aku pulang dan merenungkan baik-baik." 　　Jiang Qiao melirik Jiang Si: "Jangan anggap aku anak kecil yang bisa kau bohongi." 　　Jika bicara soal ketakutan, penampilanku jauh lebih takut daripada Adik Keempat, sedangkan Adik Keempat dari awal hingga akhir tetap tenang, seolah sama sekali tidak tahu kejadian semalam. 　　Melihat tak bisa dibohongi, Jiang Si terpaksa berkata: "Metode itu sementara, jika berhasil nanti akan kujelaskan detail pada Samjie, jika tidak——" 　　Menatap Jiang Qiao yang menyampingkan pandangan, Jiang Si tersenyum: "Jika tidak berhasil, aku akan mencari Samjie untuk cari cara bersama." 　　"Nah ini baru benar." Jiang Qiao bijak tidak mengejar lebih lanjut. 　　Sampai di sini, keduanya sepakat tanpa perlu diucapkan, mulai mengobrol santai. 　　Kereta kuda tiba-tiba berhenti. 　　"Ada apa?" Jiang Qiao bertanya keras. 　　Dari luar tirait terdengar jawaban kusir: "Sedang ada prosesi pengantin, penonton terlalu banyak, depan macet." 　　"Prosesi pengantin?" Jiang Qiao yang suka keramaian langsung membuka tirai jendela kereta. 　　Angin berhembus dari jendela, seketika menghilangkan kejenuhan dalam gerbong. 　　Di luar kerumunan orang ramai, sangat meriah. 　　Tak lama suara petasan terdengar dari kejauhan, teriakan gembira anak-anak pecah di kerumunan. 　　Dari situasinya, sepertinya Tuan Gong dari keluarga bangsawan besar yang sedang menikah. 　　Karena jalan di depan macet dan kereta kuda sulit berbalik arah, kusir akhirnya mengarahkan kereta ke tepi jalan menunggu rombongan dan kerumunan penonton lewat. 　　Jiang Qiao menopang dagu di tepi jendela kereta, penasaran bertanya: "Acara pernikahan siapa ya ini?" 　　Jiang Si menyapu pandangannya sekilas ke luar jendela dengan acuh tak acuh. 　　Rombongan pengantin perlahan mendekat dari kejauhan, suara seruling suona yang riang semakin memanaskan suasana. 　　Di depan rombongan, pengantin pria duduk tegak di atas kuda berhias pita merah. Semakin dekat rombongan, kedua saudari ini mendengar gemuruh decak kagum di sekeliling. 　　"Wah, tak disangka Putra Ketiga Keluarga Anguo Gong begitu tampan!" 　　"Apa anehnya? Kalau tidak tampan, mana mungkin gadis perawan mau ikut bunuh diri..." 　　"Kau salah. Meski wajahnya berbintik seperti permukaan bulan, gadis biasa saja pasti mau bunuh diri bersama kalau bisa menjalin hubungan rahasia dengan putra bangsawan." 　　Nada bicara orang-orang penuh semangat dan sindiran, membahas kasus bunuh diri Putra Ketiga An Guogong dengan gadis biasa yang baru-baru ini menghebohkan. 　　Ini gosip besar, katanya sampai mengganggu Kaisar. 　　Di dalam kereta, kedua saudari ini sudah bisa merasakan api gosip warga ibu kota yang membara hampir membakar kabin. 　　Wajah Jiang Qiao berubah, ia menoleh ke Jiang Si. Melihat saudarinya itu tetap dingin bahkan menarik kembali pandangannya, barulah ia lega. 　　Nona Ketiga Jiang Qiao yang sudah lega langsung menjulurkan kepalanya keluar, memanjangkan leher untuk melihat. 　　"Kakak Ketiga, apa yang menarik untuk dilihat?" Jiang Si bertanya dengan lesu. 　　"Jangan ganggu, aku mau lihat bagaimana rupa pria buta itu." 　　Selamat pagi, semoga hari kalian menyenangkan. 79.Bab 79 Penculikan Pengantin? 　　Bab 79 Penculikan Pengantin? 　　Pria "buta" yang disebut Jiang Qiao itu mengenakan hiasan bunga dan selendang merah, duduk tegak di atas kuda dengan senyum mengembang. Postur tubuhnya yang ramping namun tegap, disertai wajah pucat, sesuai standar kecantikan Dinasti Zhou yang dianggap sebagai pria tampak satu dari seratus. 　　Jiang Qiao memiringkan kepala mengamati lama-lama, akhirnya menggerutu kesal: "Sudah kuduga ini cuma bantal sulam tanpa tanggung jawab." 　　Jiang Si tertawa terhibur: "Kakak salah, banyak orang sekarang memuji kisah cinta heroik Tuan Ji Ketiga dengan gadis biasa. Kabarnya bahkan ada yang membuat naskah opera berdasarkan cerita ini yang sangat laris." 　　Wajah Jiang Qiao berkerut aneh, menahan diri berkata: "Aku sudah baca. Penulis naskah itu pasti otaknya kemasukan air, jangan dihiraukan." 　　Entah penulis miskin mana yang mengarang sembarangan, sampai-sampai menggambarkan Keluarga Dongping Bo sebagai kekuatan jahat yang menghalangi kekasih. Bahkan menulis bahwa Nona Keempat masih merindukan Putra Ketiga An Guogong itu meski sudah memutuskan pertunangan. 　　Meski nama karakter dalam naskah sudah diubah, tapi siapa pun langsung tahu mengacu pada siapa. 　　Benar-benar bikin naik darah! 　　“Sejujurnya, aku juga merasa kasihan melihat Adik Keempat tertimpa masalah buruk ini. Setiap bertemu, tak lagi ada semangat untuk bersitegang seperti dulu.” 　　“Aku sudah baca buku itu, plotnya cukup rumit.” Suara Jiang Si terdengar datang, tak ada lagi gejolak saat menyebut nama Ji Chongyi. 　　Terhadap pria itu, bahkan di kehidupan sebelumnya pun hatinya tak pernah tergetar. Kerinduan sebelum menikah hanyalah ilusi akibat gengsi semata. 　　Kini dia telah merelakan mereka. Semoga cinta mereka abadi, menjadi legenda indah bagi generasi mendatang. 　　“Adik Keempat, kau benar-benar tak merasa tersinggung?” Sorot mata Jiang Qiao mengikuti pergerakan iring-iringan pengantin. 　　“Bagi yang tak ada hubungannya, buat apa kuambil hati.” Melihat Jiang Qiao antusias, Jiang Si pun mendekat menyandar di jendela kereta. 　　Jiang Qiao bukan tipe pendendam. Melihat sikap adiknya, dia malah berkomentar: “Adik, menurutmu pria tampan seperti Putra Ketiga Adipati Anguo ini, apakah semuanya munafik?” 　　“Mengapa kau berkata begitu?” 　　Jiang Qiao menyeringai: “Bukankah Putra Mahkota Marquis Changxing juga bergaya sama?” 　　Jiang Si mengamati sosok Ji Chongyi yang semakin dekat dengan jubah pengantin merahnya. “Putra Marquis Changxing terlalu feminim. Sorot mata Tuan Ji Ketiga jauh lebih jernih.” 　　Jiang Qiao memandangnya heran, bergumam: “Adik, kau benar-benar--” 　　Sejenak, Jiang Qiao tidak tahu harus berkata apa. 　　Mungkin kebetulan, Ji Chongyi yang duduk di atas kuda besar itu pandangannya kebetulan menyapu ke arah sini. 　　Orang-orang berjejalan di kedua sisi jalan menyaksikan keramaian, banyak kereta kuda yang tertahan di pinggir jalan karena jalanan macet. Namun, pandangan Ji Chongyi yang tak sengaja justru jatuh pada kereta kuda berkelambu hijau ini. 　　Tirai kereta kuda disingkap oleh tangan halus, gadis di dalam kereta sedang memandang ke luar jendela dengan acuh tak acuh, sorot matanya dingin, wajahnya bagai lukisan indah dari zaman keemasan. 　　Ji Chongyi yang mengenakan baju pengantin merah menyala tertegun sejenak, kuda gagah membawanya melangkah maju. 　　Gadis tadi sungguh cantik, bahkan yang tercantik yang pernah dilihatnya seumur hidupnya. 　　Sebagai pria normal, Ji Chongyi tidak bisa menghindari pemikiran umum ini di benaknya. Tentu selain kekaguman ini tak ada hal lain, hatinya segera dipenuhi sukacita akan segera melangsungkan pernikahan dengan sang kekasih. 　　Ini seperti pikiran kebanyakan orang, pemandangan indah di pinggir jalan toh bukan milik sendiri, dilihat pun hanya sekilas. 　　Namun tiba-tiba, situasi berubah drastis. 　　Pusaran angin hitam-kuning menerjang dari kerumunan orang, sebelum sempat bereaksi, menggigit pantat kuda besar itu... 　　Kuda untuk arak-arakan pengantin tentu dipilih yang berwatak lembut. Tapi kuda selembut apa pun takkan tahan digigit di pantat seperti ini. Kuda gagah itu segera mengangkat kaki belakangnya dengan keras ke atas. 　　Malangnya Ji Chongyi yang sedang bersemangat, terkejut oleh perubahan situasi hingga terbang seperti meteor yang menyilaukan. 　　Teriakan panik seketika bergema di mana-mana. 　　Untungnya rombongan pengantin banyak, penonton lebih banyak lagi. Ji Chongyi yang terbang itu langsung ditangkap oleh kerumunan penonton. 　　Jiang Qiao terpaku: "Adik Keempat, ada yang mencuri pengantin!" 　　Jiang Si sama terpaku, perlahan berkata: "Bukan mencuri pengantin, mungkin... pengacau..." 　　Apa yang dilakukan Er Niu ini? 　　Anjing Besar yang sedang ditebak motifnya oleh Jiang Si seolah merasakan pikirannya, bahkan melirik ke arah kereta kuda sambil menggoyangkan bulunya dengan bangga. 　　Orang-orang baru menyadari, biang keladi keributan ini ternyata seekor anjing besar. 　　"Cepat bunuh anjing gila ini!" teriak pengawal rombongan pengantin. 　　Yang paham adat berteriak: "Jangan dibunuh! Hari bahagia jangan sampai ada darah, usir saja binatang ini!" 　　Kuda besar yang kesakitan menghentakkan kaki: "..." Bukankah darah mengalir di pantatku? 　　Beberapa pengawal segera mengepung Anjing Besar. 　　Jiang Qiao menarik lengan Jiang Si panik: "Bahaya, Anjing Besar akan celaka!" 　　Jiang Si: "..." 　　Mengapa nada kepedulian kakak ketiga pada Er Niu seperti ini? 　　"Cu-cukup..." kata Ji Chongyi sambil berdiri tegak dengan muka masam. 　　Jatuh dari kuda karena seekor anjing saat menjemut pengantin? Sungguh memalukan! Dalam situasi seperti ini tentu lebih baik segera pergi. Masakan harus berkelahi dengan anjing itu? 　　Sayangnya, niat pengantin pria untuk meredakan situasi tidak sejalan dengan pikiran Anjing Besar. 　　Terlihat Anjing Besar dalam terkepung melompat jauh dari celah, lalu menggigit topi pengantin pria, lalu lari secepat mungkin. 　　Orang-orang yang menonton keributan terkejut melihat keberanian anjing ini, tak seorang pun mencoba menghalangi, lama setelah melihat ubun-ubun pengantin yang botak, mereka tertawa terbahak-bahak. 　　Wajah Ji Chongyi sudah menghitam seperti dasar wajan bekas kuah, selain kemarahan di hatinya muncul kebingungan. 　　Belakangan ini, di telinganya hanya ada bentakan ayah dan desahan ibu, juga tatapan tidak puas saudara-saudaranya meski tak diucapkan. 　　Keluarga yang jelas masih keluarganya sendiri, perlahan berubah asing di matanya, tekanan akibat keasingan itu hampir membuatnya gila. 　　Di hati ia terus menghibur diri: asal bertahan sampai menikah nanti, jika bisa belajar dan bekerja hingga sukses, siapa lagi yang akan menunjuk-nunjuk pernikahannya dengan gadis desa? 　　Tapi sama sekali tak disangka, kebahagiaan yang dinantikannya ternoda karena seekor anjing. 　　Pasti ia pengantin pria paling memalukan! 　　"Putra Ketiga, lebih baik naik kuda." Mandor membawa kuda baru sambil berbisik membujuk. 　　Ji Chongyi mengangguk dengan enggan, diam-diam naik ke kuda. Saat rombongan kembali ramai, koin keberuntungan dan permen keberuntungan bertebaran di udara, namun suara suling pernikahan yang meriah di telinganya terasa kehilangan semangat. 　　Jiang Qiao menempelkan wajahnya di jendela, setelah sadar dia menghela napas: "Anjing siapa yang bertingkah semaunya seperti ini?" 　　Kerja yang sangat bagus! 　　Jiang Si tidak menjawab, pandangannya melintasi kerumunan dan tertuju pada seseorang, hatinya dipenuhi kebingungan. 　　Bagaimana mungkin Yu Qi (Pangeran Ketujuh) bisa berdiri di tengah kerumunan seolah tidak peduli? 　　Di kehidupan sebelumnya, dia jelas-jelas menghadiri pernikahan Ji Chongyi. 　　Terima kasih kepada pembaca yang membantu menemukan kesalahan. Terima kasih untuk Hadiah dan suara. Sampai jumpa besok. 80. Bab 80: Pertanyaan dari Istana 　　Bab 80: Pertanyaan dari Istana 　　Yu Jin adalah putra Xianfei, sementara Xianfei adalah bibi kandung Ji Chongyi. 　　Pada hari pernikahan Ji Chongyi ini, secara logis maupun emosional Yu Jin seharusnya hadir di acara pernikahan Keluarga An Guogong. 　　Di kehidupan sebelumnya, memang begitulah yang terjadi. 　　Jadi ketika situasi berbeda dengan kehidupan sebelumnya, Jiang Si sangat terkejut. 　　Sejak dia terlahir kembali, banyak hal memang berubah. Hal-hal yang sengaja diubahnya, sementara hal yang tidak disentuhnya seharusnya mengikuti alur kehidupan sebelumnya. 　　Apa yang menyebabkan perubahan pada Yu Qi (Pangeran Ketujuh)? 　　Pikiran Jiang Si kacau balau, tidak bisa menemukan ujung pangkal. 　　Di seberang kerumunan, Yu Jin menatap balik Jiang Si dan tersenyum tipis padanya. 　　Secara refleks, Jiang Si segera menutup tirai jendela kereta. 　　"Tirai tipis dengan sulaman motif bambu elegan masih bergoyang perlahan, bagaikan pikiran gadis yang bergejolak." 　　Yu Jin tertegun melihat reaksi Jiang Si, mata yang teduh memancarkan kekecewaan sebelum akhirnya tersenyum pasrah, lalu berbalik diam-diam menghilang dalam kerumunan. 　　Jiang Si menggigit bibirnya, tanpa sadar kembali membuka tirai jendela. 　　Di luar jendela masih ramai orang berkerumun, namun bayangan pria itu telah lenyap. 　　Jiang Si menurunkan tirai, menyandar pada dinding kereta dalam keheningan. 　　"Adik Keempat, kau ketakutan oleh Anjing Besar tadi?" Jiang Qiao menepuk pundak Jiang Si yang terlihat tak biasa. 　　Hanya dengan sekali kunjungan ke Keluarga Marquis Changxing, hubungan kakak-beradik ini pun menjadi akrab secara alami. 　　"Tidak," jawab Jiang Si sambil tersenyum. 　　Er Niu memang anjing yang tak suka kesepian. Mengganggu pengantin pria bukanlah hal istimewa. Jiang Si malah harus bersyukur si anjing tidak menyeret mayat dari taman Keluarga Marquis Changxing lalu jalan-jalan di jalanan. 　　Tiba-tiba Jiang Si merasa kasihan pada Yu Jin. 　　Sebagai majikan, pasti ia sering membereskan kekacauan seperti ini? 　　Yu Jin yang sedang dikasihani itu tiba di kediamannya di Gang Quezi, berteriak ke halaman kosong: "Er Niu, keluar!" 　　Tak lama kemudian, Er Niu muncul sambil mengibas-ngibaskan ekor, menjatuhkan topi pengantin pria di depan Yu Jin. 　　Yu Jin termenung memandang hiasan bulu pada topi itu. 　　Mungkin ia memelihara siluman anjing... 　　Pengawal rahasia Long Dan tiba-tiba muncul dari suatu tempat, mengadu: "Tuanku, Er Niu benar-benar keterlaluan! Bagaimana bisa dia mengganggu acara pernikahan Tuan Gong sepupu kita!" 　　Anjing sialan ini bahkan lebih disayangi tuanku daripada aku! Sudah lama aku menunggu kesempatan untuk menjatuhkannya! 　　"Mengganggu?" Yu Jin mengangkat alis lalu mengelus kepala Er Niu, "Tidak, menurutku Er Niu justru sesuai dengan keinginanku." 　　Long Dan berkedip, wajahnya penuh keseriusan: "Tuanku, pasti tuanku sedang membohongiku kan?" 　　Yu Jin melirik Long Dan. 　　Long Dan menggaruk-garuk kepala. 　　Tidak masuk akal, mempelai pria adalah sepupu tuanku. Kenapa Er Niu yang mengganggu malah dipuji? 　　Jangan-jangan—Tuan Gong itu sudah menyinggung tuanku? 　　Pikiran Long Dan berputar kencang, tapi tak bisa menemukan alasan bagaimana Putra Ketiga Keluarga Anguo Gong bisa menyinggung majikannya. 　　Tuanku baru saja kembali dari selatan. Meski tidak dekat dengan sepupu-sepupunya, seharusnya tidak sampai begini. 　　Er Niu menyalak bangga ke arah Long Dan. 　　Long Dan gemetar menahan amarah. 　　Hati ini sakit, pasti ada rahasia antara tuanku dan Er Niu yang tidak kuketahui! 　　Saat Long Dan sedang meratapi nasib, penjaga pintu datang melapor: "Ada utusan dari istana." 　　"Persilakan masuk," kata Yu Jing dengan datar. 　　Er Niu langsung menggigit topi upacara dan bersembunyi. 　　Tak lama kemudian penjaga pintu membawa seorang kasim bermuka pucat tanpa janggut. 　　"Hormat untuk Yang Mulia." 　　"Ada keperluan apa Tuan Kasim datang?" Yu Jin tetap duduk di bangku batu, tak bangkit berdiri. 　　Kasim yang datang tidak berani menunjukkan ketidakpuasan, tersenyum dan berkata, "Yang Mulia mengutus hamba untuk bertanya, mengapa Yang Mulia tidak menemani Pangeran ke Keluarga An Guogong untuk memberikan ucapan selamat hari ini?" 　　Pangeran yang disebut oleh kasim tersebut adalah kakak kandung Yu Jin, putra keempat Kaisar yang sekarang, yang telah dianugerahi gelar Pangeran Qi. 　　Sebenarnya, situasi Pangeran Ketujuh Yu Jin ini agak canggung. 　　Pada hari kelahirannya, Kaisar Jingming yang baru saja naik takhta tiba-tiba jatuh sakit parah. Para tabib istana tidak berdaya. Janda Permaisuri terpaksa menyuruh orang memasang pengumuman kerajaan mencari tabib, dan yang akhirnya membuka pengumuman itu adalah seorang biksu Tao. 　　Biksu Tao itu menyatakan bahwa sakitnya Kaisar Jingming berkaitan dengan Pangeran Ketujuh yang baru lahir. Shio dan elemen mereka saling bertentangan, sehingga tidak bisa hidup berdampingan dengan damai. Agar Kaisar sembuh, Pangeran Ketujuh harus tinggal di luar istana sampai berusia 18 tahun sebelum bisa bertemu ayahnya. 　　Janda Permaisuri setengah percaya. Melihat kondisi Kaisar Jingming yang tak kunjung membaik, akhirnya ia mencoba mengeluarkan Pangeran Ketujuh dari istana. Tak disangka, kondisi Kaisar Jingming perlahan membaik. 　　Sejak itu, Yu Jin tidak pernah kembali ke istana. 　　Menurut protokol Dinasti Zhou, pangeran harus meninggalkan istana dan dianugerahi gelar pangeran pada usia 16 tahun. Namun ketika Yu Jin berusia 16 tahun, ia sedang berada di selatan. Tanpa ada yang mengurus, masalah ini dibiarkan mengambang. 　　Kini Yu Jin kembali ke ibu kota. Karena belum genap 18 tahun dan tidak bisa bertemu Kaisar Jingming, Kepala Kantor Urusan Kerajaan tidak bisa menebak sikap Kaisar terhadap pangeran ini, sehingga sengaja tidak mengangkat masalah penggelaran pangeran. 　　Dengan demikian terciptalah situasi canggung, Pangeran Kedelapan yang bahkan lebih muda dari Yu Jin sudah dinobatkan sebagai Raja Xiang, sementara Pangeran Ketujuh tetap hanya Pangeran Ketujuh... 　　Yu Jin sama sekali tidak mempermasalahkan hal ini. 　　Dia hanyalah pangeran yang tidak penting, justru lebih mudah untuk mendapatkan apa yang diinginkan hatinya. 　　Contohnya, jika Putra Mahkota ingin menikahi seorang nona yang pernah membatalkan pertunangan, itu mustahil bagaikan memanjat langit. 　　Memikirkan ini, sudut bibir Yu Jin naik perlahan, dia tersenyum dungu. 　　Kasim yang datang tertegun. 　　Meskipun senyum Pangeran Ketujuh ini lebih indah daripada para selir di istana, tapi apa sebenarnya yang membuat Paduka tertawa? 　　Jangan-jangan karena sejak kecil menerima perlakuan tidak adil, kepribadiannya menjadi cacat? 　　Seolah membenarkan pikiran sang kasim, Yu Jin menarik kembali pikirannya dan berkata datar: "Hmm, aku malas pergi." 　　Kasim: "..." 　　Setelah menunggu sebentar, Yu Jin bertanya: "Masih ada urusan lain, Kasim?" 　　Kasim itu hampir menangis. 　　Alasan yang Paduka berikan begitu blak-blakan, bagaimana dia harus melapor nanti? 　　Jika setelah kembali ke istana Ibu Suri Xian menanyakan hal ini, dan dia menjawab "Paduka Pangeran Ketujuh malas pergi", bayangan reaksi Ibu Suri Xian saja sudah membuat bulu kuduknya merinding. 　　"Ha... hanya itu? Keluarga An Guogong adalah keluarga ibu Paduka..." 　　Yu Jin melirik dingin ke arah kasim, seakan menganggapnya terlalu banyak bicara: "Tidak akrab." 　　Saat mengucapkan ini, Yu Jin menyimpan tawa sinis dalam hati. 　　Bukan hanya tidak akrab dengan keluarga kakeknya, bahkan orang-orang yang terikat darah dengannya di istana ini, apa bedanya dengan orang asing baginya? 　　"Ayah adalah penguasa negara, tubuh yang sangat berharga. Bisa dimaklumi jika Beliau mempercayai perkataan Taois dan takut dia menghalangi. Namun selama bertahun-tahun setelah aku diusir dari istana, ibuku bahkan tidak mencoba menemuiku sekali pun, tidak mengirimkan sehelai baju atau sepasang sepatu." 　　Di masa kecil, Yu Qi pernah merasa tersakiti dan membenci. Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah sikap acuh tak acuh. 　　Memang tidak akrab. 　　"Apakah Tuan bermaksud tinggal untuk makan malam?" 　　"Hamba berterima kasih pada Paduka, tapi Nyonya masih menunggu hamba kembali untuk melapor." Si kasim sengaja menekankan kata "melapor", memberi kesempatan pada Yu Qi untuk mengubah keputusan. 　　Yu Qi mengangkat alisnya yang tajam: "Antar tamu keluar." 　　Seekor anjing besar yang gagah dan angkuh berlari mendekat sambil mengibaskan ekor. 　　Kasim itu hampir berlari kabur. 　　Yu Qi melihat Er Niu lalu menghela napas: "Aku menyuruh Long Dan mengantar tamu." 　　Er Niu menengadah ke langit. 　　Apa? Dia tidak mengerti sepatah kata pun. 　　Selamat pagi. 81.Bab 81 Menemui Yu Qi 　　Bab 81 Menemui Yu Qi 　　Jiang Si dan Jiang Qiao akhirnya kembali ke Dongping Bo Residence, tentu harus pergi ke Cixintang untuk menjelaskan alasan kepulangan mereka yang cepat. 　　Nyonya Guo langsung panik mendengar putrinya terkena ruam, menarik Jiang Qiao sambil berjalan dan mengomel pelan. 　　Jiang Si berdiri di jalan setapak batu hijau, memandangi sosok ibu-anak yang semakin menjauh dengan perasaan iri samar. 　　Dia tidak memiliki ibu, juga tidak tahu bagaimana rasanya dimarahi ibu. 　　"Pada saat itu, Jiang Qiao tiba-tiba menoleh dan melambaikan tangan ke arah Jiang Si." 　　"Jiang Si tertegun sejenak, lalu tersenyum sambil menekan bibirnya." 　　"Meski iri, dia tak punya waktu untuk merenungkan perasaannya." 　　"Jiang Si bahkan tidak pulang ke Haitangju, langsung menuju ruang studi mencari Jiang Ancheng." 　　"Jiang Ancheng bersama Tuan Jiang Ketiga mengelola aset Keluarga Bo. Biasanya Tuan Jiang Ketiga lebih banyak keluar, sementara Jiang Ancheng lebih sering tinggal di kediaman." 　　"Saat itu dia sedang tertidur di ruang studi, langsung bersemangat begitu melihat Jiang Si datang." 　　"'Apa aku mengganggu Ayah?'" 　　"'Tidak, tadi Ayah baru saja lelah membaca buku.'" 　　"Jiang Si melirik bekas tekanan di pipi kiri Jiang Ancheng, berkata serius: 'Ayah harus istirahat saat membaca, jangan sampai merusak mata.'" 　　"Jiang Ancheng batuk ringan sambil menutupi mulut dengan kepalan tangan: 'Ayah akan perhatikan keseimbangan kerja dan istirahat. Si'er kan pergi ke Keluarga Marquis Changxing, kenapa sudah pulang hari ini?'" 　　"'Kakak ketiga agak kurang sehat, jadi aku menemani dia pulang.'" 　　"Jiang Ancheng menanyakan kondisi Jiang Qiao lagi. Mendengar tak ada masalah serius, dia lega sambil berpikir senang: Anak perempuan memang lebih perhatian, baru pulang sudah langsung menemui aku, tidak seperti Jiang Zhan si brengsek itu yang setiap hari menganggur dan berkeliaran di luar." 　　"'Ayah, anak ingin bertanya tentang sesuatu.'" 　　"Di dalam kantong brokat yang diambil dari mayat perempuan terdapat jimat Kedamaian bertuliskan 'Lingwu Si'. Namun Jiang Si belum pernah mendengar tentang kuil ini. Saat ini A Fei belum kembali dan tidak ada orang yang bisa diandalkan, setelah berpikir panjang, lebih baik langsung bertanya pada Ayah." 　　“Si'er mau menanyakan apa?” 　　“Ayah pernah dengar tentang Lingwu Si?” 　　“Lingwu Si?” Jiang Ancheng mengerutkan kening berpikir, beberapa saat kemudian menggelengkan kepala, “Ayah memang tidak pernah percaya hal-hal seperti ini, jadi kurang tahu. Si'er menanyakan ini, apakah ingin pergi bersembahyang?” 　　Jiang Si merasa sedikit kecewa, tapi ini sudah dalam perkiraannya. 　　Jika Ayah benar-benar tahu, itu baru keberuntungan. 　　“Dalam perjalanan pulang, tidak sengaja mendengar seorang nona kecil di pinggir jalan mengatakan bahwa dupa di Lingwu Si sangat mujarab. Jika bersembahyang di sana, permohonan akan terkabul. Anak penasaran ingin bertanya.” 　　Jiang Ancheng tertawa: “Paman Ketigamu sering bepergian, nanti Ayah tanya saat dia kembali. Mungkin dia tahu. Kalau tidak tahu juga, Ayah akan menyuruh orang untuk menyelidiki.” 　　Tidak peduli mujarab atau tidak, yang penting putriku senang. 　　“Kalau Ayah menyuruh orang menyelidiki, jangan sampai banyak orang yang tahu.” 　　Jiang Ancheng terkejut sejenak, kemudian tertawa terbahak: “Si'er tenang, Ayah akan diam-diam menyuruh orang menyelidiki.” 　　Putriku ini malu-malu, jangan-jangan ingin memohon jodoh? 　　Melihat Jiang Ancheng tertawa seperti itu, Jiang Si tahu ayahnya salah paham, tapi tidak berusaha menjelaskan. 　　Dia ingin membongkar wajah asli Putra Mahkota Marquis Changxing, sekaligus berusaha keras mencegah Keluarga Bo terseret dalam masalah ini. 　　Pada dasarnya, karena tidak memiliki orang yang bisa diandalkan, dan sebagai gadis yang belum menikah, tindakannya juga tidak mudah. 　　"Kalau begitu anak tidak akan mengganggu Ayah membaca lagi." Jiang Si membungkuk memberi hormat, kemudian meninggalkan ruang belajar menuju Haitangju. 　　Ah Man dan A Qiao langsung menyambut dengan gembira saat melihat Jiang Si kembali. 　　"Hamba khawatir Nona tidak terbiasa tinggal sendirian di kediaman Marquis." Ah Man memandangi Jiang Si dengan cemas, berkata prihatin, "Nona sampai kurus." 　　A Qiao mengernyitkan bibir. 　　Baru satu hari! 　　"Sudah, ambilkan secangkir es madu dingin untukku." 　　Dari kediaman Marquis Changxing hingga Keluarga Bo, perjalanannya macet sepanjang jalan. Jiang Si sementara tidak mau masuk ke dalam rumah, memilih duduk di ayunan di bawah pohon. 　　A Qiao segera masuk ke dalam rumah mengambilkan madu. Jiang Si menyesapnya perlahan. 　　"Adik Keempat, katanya kamu sudah kembali." Jiang Zhan berlari masuk dengan semangat. 　　Cuaca panas membuat wajah Jiang Zhan memerah, keringat mengkilat di dahinya. Namun karena ketampanannya, penampilannya sama sekali tidak terlihat kusut, justru memancarkan semangat penuh vitalitas. 　　Semangat itu seolah mampu mengusir kegelapan dalam hati. 　　Jiang Si tak bisa menahan senyum: "Kakak Kedua baru pulang dari luar? A Qiao, ambilkan secangkir madu untuk Tuan Kedua." 　　“Jiang Zhan berjalan mendekat dengan langkah lebar, mendorong ayunan perlahan lalu duduk di bangku batu tak jauh. Matanya yang hitam berbinar-binar: "Ada kabar baik untuk adik."” 　　“Oh, kabar baik apa?” 　　“Kuda tinggi yang ditunggangi si Ji itu saat menjemput pengantin digigit Er Niu!” 　　“Dia selalu memandang Er Niu dengan sebelah mata, tak menyangka anjing itu ternyata sekutu seperjuangannya!” 　　“Tidak, sekutu seperjuangan dalam hal ini adalah anjing!” 　　“Ah, tidak juga...” 　　“Jiang Zhan agak bingung, akhirnya memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Pokoknya nanti beli dua kati daging sapi matang untuk Er Niu.” 　　“Adik tidak senang?” Melihat Jiang Si tak terlihat gembira, Jiang Zhan bertanya heran. 　　“Jiang Si berpikir sejenak, tiba-tiba tersenyum.” 　　“Jujur saja, ada kepuasan tersembunyi di hatinya.” 　　“Meski ia mengakui Ji Chongyi berhak untuk tidak menyukainya, tapi perjodohan ini bukanlah inisiatif sepihak dari Keluarga Dongping Bo.” 　　“Dulu yang aktif melamar ke Dongping Bo Residence adalah Keluarga An Guogong. Saat Ayah masih ragu-ragu, An Guogonglah yang menepuk dada menjamin putrinya tidak akan dirugikan.” 　　“Di kehidupan sebelumnya, setelah kekasih hati Ji Chongyi meninggal, dengan putus asa dia menikahi Jiang Si tapi mengabaikannya sepenuhnya.” 　　“Jiang Si bisa merasakan, Ji Chongyi tak bisa menyalahkan orangtuanya, lalu melampiaskan duka kehilangan kekasihnya padanya. Seolah tanpa pernikahan ini, dia bisa mengantar kekasihnya dengan tandu delapan pengusung.” 　　“Atau mungkin, setelah kehilangan sang kekasih, hanya dengan membencinya Ji Chongyi bisa menemukan semangat hidup.” 　　“Tapi sikap dingin yang mencekik seperti itu, hampir bisa membuat semua wanita normal menjadi gila.” 　　“Bahkan dengan pengalaman di kemudian hari, dia masih bertanya-tanya: Jika benar-benar putus asa, mengapa tidak memilih menjadi biksuni saja? An Guogong memiliki tiga putra, tidak perlu Ji Chongyi meneruskan garis keturunan.” 　　“Atau memprotes sampai mati, apakah pasangan An Guogong benar-benar akan memaksa bebek naik rak?” 　　“Dengan menikatinya, Tuan Ji Ketiga telah memenuhi tanggung jawab kepada orangtuanya, mempertahankan reputasi Keluarga An Guogong, tapi hanya dirinya yang menjadi tumbal pengorbanan cinta mereka.” 　　“Melihat senyuman tulus Jiang Si, Jiang Zhan ikut tersenyum. Ia menghabiskan minuman madu dingin yang diantarkan A Qiao, lalu berdiri dan mendorong ayunan di belakang adiknya.” 　　“Adik Keempat.” 　　“Hmm?” 　　“Si Ji itu memang tidak ada apa-apanya, di masa depan kamu pasti akan menemukan yang lebih baik.” Jiang Zhan menjadi penasaran, “Adik menyukai tipe seperti apa? Kakak Kedua punya banyak teman, bisa membantu mencari.” 　　“Jiang Si tersenyum manis: ‘Kalau bisa sebaik Kakak Kedua, aku sudah puas.’” 　　“Tentang teman-teman nakal kakak itu... lupakan saja.” 　　“Wajah Jiang Zhan tiba-tiba memerah seperti kain merah, buru-buru cari alasan dan kabur pontang-panting.” 　　“Jiang Si tak menyangka kakaknya begitu pemalu. Tertawa kecil, ia turun dari ayunan, berganti pakaian lalu pergi dengan Ah Man.” 　　“Karena Yu Qi sudah mengirim pesan melalui Er Niu, lebih baik ia pergi menanyakan langsung.” 　　Terima kasih kepada guiyue08 atas hadiah He Shibi, hadiah dari teman pembaca sebelumnya masih diingat, akan ada update tambahan ketika sudah terkumpul. Rekomendasikan "Bunga di Atas Kain Brokat" oleh Feiyan, cerita yang sangat menarik, silakan baca: 　　Nona Kelima dari Keluarga An Guogong berpendidikan tinggi, cantik bak bunga, juga mahir membuat masakan obat yang luar biasa, 　　Tak hanya berhasil menggemukkan saudara laki-laki yang sakit-sakitan, tapi juga menyembuhkan penyakit kronis Kaisar tua. 　　Semua orang bilang, masa depan Nona Kelima cerah seperti kembang sutra, pasti akan meraih keberuntungan besar. Para pelamar nikah hampir menghancurkan ambang pintu kediaman bangsawan, 　　Tapi siapa sangka, dengan jari mungilnya menunjuk, dia malah menikahi preman paling terkenal kejam di ibukota. 　　Preman Ibukota: Aku sudah punya orang yang kucintai! Meski kau menikahiku, jangan harap aku akan mencintaimu! 　　Mu Yan: Aku juga punya orang yang kucintai. Aku menikahimu justru karena kau takkan mencintaiku! 　　Ini adalah kisah lucu sepasang musuh yang saling membenci, dari bermusuhan hingga jatuh cinta~ 82. Bab 82: Membuktikan Kebenaran 　　Bab 82: Membuktikan Kebenaran 　　Tuan dan pelayan meninggalkan Kediaman Dongping Bo, tidak langsung menuju Gang Quezi, malah berjalan ke arah sebaliknya. 　　Tidak jauh dari Gang Yuqian terdapat permukiman penduduk, di sana ada rumah sederhana yang kebetulan kosong dan disewakan. Jiang Si sudah menyewanya melalui makelar beberapa hari lalu. 　　Tanah di ibukota sangat mahal. Membeli rumah di kawasan orang kaya ini sulit sekali, tapi menyewa tidak menjadi masalah. 　　Jiang Si yang telah menerima lebih dari dua ribu tael perak dari lelang, melakukan persiapan ini karena setiap kali bertemu dengan A Fei di rumah teh, semakin lama semakin tidak nyaman. 　　Setelah masuk sebentar, tuan dan dayang itu keluar berubah menjadi pemuda tampan dengan pelayan pria yang bersih wajahnya. 　　Ah Man tertawa melihat Jiang Si yang memakai pakaian pria: "Nona, Anda sebaiknya menggosok wajah sedikit lebih gelap." 　　"Lain kali saja, kedepannya perlu menyiapkan lebih banyak barang di sini." Jiang Si berjalan keluar sambil menghitung kapan A Fei akan kembali. 　　Hari ini harus mencari informasi dari Yu Qi (Pangeran Ketujuh) tentang bukti kejahatan Putra Mahkota Marquis Changxing, juga tidak boleh menunda kunjungan ke Ratu Tahu Xiuniangzi. Jika ada kabar tentang Kuil Lingwu dari Ayah, harus segera diselidiki. Banyak sekali hal yang harus dilakukan. 　　Gang Quezi tidak jauh dari Gang Yuqian tempat Kediaman Dongping Bo berada. Setelah berjalan beberapa saat, tuan dan dayang itu menemukan rumah dengan pohon kurma bengkok di depan pintu sesuai informasi dari Jiang Zhan. 　　"Nona, apakah ini tempatnya?" 　　"Sepertinya iya. Tolong ketuk pintu dan katakan Tuan Kedua Jiang yang datang berkunjung." 　　"Kita mau menemui siapa ini?" Ah Man ragu-ragu. 　　Nona ini memakai pakaian pria dan menyamar sebagai Tuan Kedua, mungkin yang akan ditemui adalah laki-laki? 　　Ah Man mendekati pintu dan mengetuk dengan ragu. 　　"Siapa?" Tanya suara dari dalam sebelum pintu terbuka setengah, memperlihatkan wajah yang penuh kerutan. 　　Pelayan itu terlihat sekitar empat puluh tahun, satu matanya ternyata buta, mata yang tersisa terlihat agak garang. 　　Ah Man tak bisa menahan ketegangan di wajahnya: "Tuan Kedua Jiang datang mengunjungi tuan rumah di sini." 　　Pelayan melirik ke belakang, mata tunggalnya tiba-tiba memancarkan kilatan tajam. 　　"Ada apa?" Kulit kepala Ah Man merinding, secara refleks mundur setengah langkah. 　　"Di mana Tuan Kedua Jiang?" 　　Ah Man bergeser ke samping, memperlihatkan Jiang Si: "Ini tuan kami." 　　Pelayan menyapu pandangannya ke Jiang Si, tersenyum tipis tanpa kehangatan: "Tunggu sebentar." 　　Begitu ucapannya selesai, pintu dibanting tertutup keras. 　　Ah Man mengusap hidungnya, bergumam kesal: "Pelayan di rumah ini cukup kasar sikapnya." 　　Pelayan itu langsung berlari ke dalam setelah menutup pintu: "Tuanku, ada orang mengaku sebagai Tuan Kedua Jiang datang minta-minta ke sini." 　　Sebelum Yu Ji sempat bereaksi, Long Dan sudah mencemoh: "Berani-beraninya menipu tuanku? Buka pintu, lepas Er Niu!" 　　Er Niu melirik Long Dan, duduk tegak tanpa bergerak. 　　Maknanya jelas: Kenapa aku yang dilepas bukan kamu? 　　Yang tak disangka oleh manusia dan anjing itu, tuannya tiba-tiba berjalan cepat menuju pintu gerbang. 　　Ada apa ini? 　　Manusia dan anjing itu saling pandang, buru-buru mengejarnya. 　　Yu Ji bergegas sampai di depan pintu, berhenti menatap pintu kayu berwarna hijau. Setelah wajahnya kembali tenang, dia membuka pintu dengan keras. 　　Er Niu langsung menerobos keluar dari samping Yu Ji. 　　"Ya ampun!" Ah Man terkejut, tak tahan menjerit histeris. 　　Anjing Besar mendatangi Jiang Si, menggigit ujung bajunya dengan mulut besar sambil menarik ke dalam, ekor berbulu lebatnya bergoyang riang. 　　Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　“Anjing jauh lebih langsung daripada manusia. Tak peduli bagaimana seseorang berubah, selama aura khasnya tidak berubah, anjing akan langsung mengenalinya.” 　　“Lepaskan cepat! Kalau tidak, pakaian ini akan kau gigit sampai robek.” 　　Begitu dia membuka mulut, suara gadisnya yang lembut langsung mustahil disembunyikan, berbeda dengan suara Ah Man yang cenderung jernih dan tegas. 　　Er Niu mengigit ujung pakaian sambil berpikir, lalu menoleh memandang Yu Jin. 　　“Tuan Jiang... Silakan masuk.” 　　Jiang Si enggan berlama-lama di depan pintu. Dia mengangguk ringan pada Yu Jin sebelum melangkah masuk. 　　Pelayan itu menarik lengan Long Dan diam-diam: “Ini jelas-jelas bukan Kakak Kedua Jiang...” 　　Long Dan yang bersemangat langsung menepis tangan pelayan itu: “Jangan mengganggu!” 　　Astaga! Ada nona kecil yang datang mencarituannya. Dia buru-buru mengambil bangku lipat untuk menyaksikan. 　　Jiang Si mengikuti Yu Jin masuk hingga berhenti di tengah halaman. 　　“Kedatangan saya hari ini adalah untuk menanyakan sesuatu pada Tuan Yu.” 　　“Ada keperluan apa Nona Jiang mencariku?” 　　Long Dan di samping mereka tiba-tiba membelalakkan mata. 　　Rupanya tuanku sudah tahu ini adalah Nona Jiang! 　　Tunggu, apa hubungan Nona Jiang dengan Kakak Kedua Jiang? 　　“Di kehidupan sebelumnya, Jiang Si cukup akrab dengan dua pengawal rahasia Long Dan dan Leng Ying. Ia tahu mereka setia pada Yu Jin, jadi tak mempermasalahkan kehadiran Long Dan. Ia membalikkan tangan memperlihatkan kantong brokat: 'Mengapa Tuan Yu mengirimkan ini padaku?'” 　　Long Dan hampir menjatuhkan dagunya. 　　Tuanku sudah memberikan barang bukti cinta? 　　Ah Man juga terkejut, menatap Yu Jin dengan mata melotot penuh kemarahan. 　　Kapan si tukang genit ini menyelinap memberikan barang sembarangan pada nona tanpa sepengetahuanku? Sungguh tak tahu malu! 　　“Aku sangat terkejut menerima benda ini, jadi tak tahan datang menemui Tuan Yu untuk memastikan. Kuharap Tuan Yu tak marah atas kelancanganku.” 　　“Tidak marah——” Yu Jin tiba-tiba tersadar, berdehem ringan lalu bertanya dengan wajah serius, “Apa yang ingin Nona Jiang ketahui?” 　　“Aku ingin tahu alasan Tuan Yu menulis catatan itu.” 　　“Khawatir kau dirugikan, tak tahan ingin mengingatkan.” 　　Long Dan menggigit tangannya keras-keras. 　　Pasti ini mimpinya! 　　Er Niu mengibaskan ekornya dengan santai sambil berbaring di antara Yu Jin dan Jiang Si, merasa nyaman seperti belum pernah sebelumnya. 　　Di satu sisi ada tuan, di sisi lain ada nyonya. Sebagai anjing yang penuh perasaan, hidup ini sungguh sempurna. 　　Pipi Jiang Si memanas. Ia menggigit bibir: “Maksudku, mengapa Tuan berkata begitu tentang Putra Mahkota Marquis Changxing? Apakah Tuan merasa ada yang tidak beres dengannya?” 　　Siapa yang bertanya tentang perasaannya? Tapi orang ini malah mengatakannya dengan santai. Benar-benar ahli merayu. 　　“Putra Mahkota Marquis Changxing matanya kosong, bibir pucat, langkahnya goyah saat berjalan...” 　　Mendengar deskripsi Yu Jin, Long Dan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. 　　Menurut deskripsi tuanku, Putra Mahkota Marquis Changxing ini jelas orang yang terlalu bernafsu. Mengapa tuanku membicarakan hal seperti ini pada seorang nona? 　　“Jadi kusimpulkan Putra Mahkota Marquis Changxing adalah pemuja nafsu. Orang bijak tak akan mendekati bahaya, Nona Jiang harus menjauhi tipe orang seperti ini.” 　　Jiang Si mengernyit: “Tuan Yu hanya melihat dari(wajah)?” 　　Yu Jin mengangguk serius: “Watak tercermin dari wajah!” 　　Lima tahun lalu saat akan berangkat ke selatan, kebetulan ada pernikahan di Dongping Bo Residence. Demi melihatnya, aku menyelinap masuk. 　　Saat itu meski belum paham, aku sangat jijik dengan cara Putra Mahkota Marquis Changxing memandangnya. Sampai ingin mencungkil mata itu. 　　Tapi semua ini tak bisa diungkapkannya padanya. 　　Masakan harus kuakui sudah marah sejak lima tahun lalu melihat tatapan itu, dan masih marah sampai sekarang? 　　Apa aku terlihat seperti orang posesif? 　　“Kukira ada masalah dengan Putra Mahkota Marquis Changxing, ingin kuingatkan Kakak Keduaku. Kalau hanya soal(wajah), tak perlu dibahas lagi. Hari ini mengganggu, permisi.” Jiang Si membungkuk anggun. 　　Tiba-tiba pelayan bergegas lapor: “Kakak Kedua Jiang datang!” 　　Selamat pagi. 83.BAB 83 KEKASIH 　　BAB 83 KEKASIH 　　Kakak Kedua datang? 　　Jiang Si tertegun, menatap Yu Jin. 　　“Yu Jing ternyata juga tidak menyangka akan terjadi insiden tak terduga ini. Setelah sejenak tertegun, dia langsung menunjuk ke gudang kayu: “Cepat sembunyi di sana!” 　　Sebelum Jiang Si sempat bereaksi, Ah Man sudah menariknya dengan gesit masuk ke dalam gudang kayu. 　　“Aman akhirnya.” Ah Menepuk-nepuk dadanya yang masih berdebar kencang. 　　Jiang Si akhirnya tersadar, memandang gudang kayu yang gelap dan pengap dengan perasaan setengah kesal: “Ngapain kita ke sini?” 　　Tapi sekarang sudah tidak bisa keluar lagi karena Jiang Zhan sudah masuk membawa daging sapi matang. Kalau tadi di tengah halaman masih bisa dijelaskan, sekarang kalau ketahuan keluar dari gudang pasti malu setengah mati. 　　“Kakak Yu Qi, hari ini aku sengaja datang untuk menghadiahi Er Niu!” Jiang Zhan mengangkat daging sapi di tangannya sambil tersenyum cerah. 　　“Menghadiahi Er Niu?” 　　Jiang Zhan langsung melempar daging itu. Er Niu melompat dan menangkap bungkusan kertas minyak berisi daging dengan mulutnya, lalu berbaring di bawah pohon untuk menyantapnya. 　　Aroma harum daging sapi langsung menyebar. 　　Long Dan tak bisa menahan diri menjilat-jilat bibirnya. 　　Waduh, ini daging sapi kecap dari Paviliun Mabuk! Mahal sekali tapi rasanya benar-benar istimewa. Bahkan dia sendiri biasanya tidak tega membelinya! 　　Dinasti Zhou melarang penyembelihan sapi pekerja. Sapi yang sehat jika disembelih akan kena hukuman cambuk, kecuali sapi yang mati tua, sakit, atau kecelakaan. 　　Karena pasokan daging langka, harga daging sapi di rumah makan biasa tidak terjangkau orang kebanyakan. 　　“Long Dan menatap Er Niu yang sedang menikmati hidangan enak dengan mata membelalak, hanya satu pikiran di kepalanya: Manusia tak sebaik anjing, manusia tak sebaik anjing!” 　　Jiang Zhan duduk dengan sikap gagah: “Hari ini Er Niu telah melakukan perbuatan besar, tentu pantas diberi hadiah!” 　　Long Dan berkedip-kedip. 　　Tunggu, apakah yang dimaksud Tuan Kedua Jiang dengan perbuatan baik itu adalah ketika Er Niu mengacau acara pernikahan orang? 　　“Lho, Kakak Yu Qi, apakah perbuatan Er Niu hari ini bukan perintahmu?” 　　Yu Qi melirik pintu kayu yang setengah terbuka, berkata dengan wajah serius: “Masa mungkin? Tuan Ji Ketiga itu sepupuku.” 　　“Oh, ternyata dia sepupumu—” Jiang Zhan tiba-tiba membelalakkan mata, “Tunggu, Kakak Yu Qi, kamu punya hubungan darah dengan Keluarga An Guogong?” 　　Ekspresi Yu Qi berubah kaku. 　　Bahaya, karena lengah di hadapannya, tanpa sengaja terkuak rahasia. 　　Jiang Si di gudang kayu mendengarnya dengan perasaan senang melihat orang lain kesusahan. 　　Pria ini paling suka menipu, di kehidupan sebelumnya dengan identitas pedagang Yu Qi telah membodohi dirinya, sekarang malah membuat Kakak Kedua Jiang terbuai. Mari lihat bagaimana dia menjelaskan sekarang. 　　Tapi seseorang itu segera tenang kembali, menghela nafas: “Ya, mana ada keluarga bangsawan tinggi yang tidak punya beberapa kerabat miskin.” 　　Jiang Zhan langsung menunjukkan wajah simpati: “Kakak Yu Qi, berat sekali hidupmu. Jauhi saja keluarga yang memandang rendah orang seperti itu. Jika butuh bantuan, cari saja aku Jiang Zhan.” 　　Er Niu yang sedang makan daging sapi protes dengan menggonggong dua kali ke arah Jiang Zhan. 　　“Dia paling benci pada orang bodoh yang diskriminasi terhadap anjing seperti ini!” 　　Yu Jin terkesan, namun senyumnya mengandung makna tersirat: “Di masa depan pasti ada saatnya saya membutuhkan bantuan Adik Kedua Jiang, saya ucapkan terima kasih terlebih dahulu.” 　　“Ngapain berterima kasih, kita kan saudara. Siapa lagi yang akan saling membantu kalau bukan kita?” Jiang Zhan mengibaskan tangan dengan santai, tampak tidak mempermasalahkan. 　　Kakak Yu Qi adalah penyelamat nyawanya. Jika dia perempuan, menurut aturan dalam cerita-cerita, seharusnya dia menikah sebagai balas budi. Sekarang cuma membantu sedikit saat dibutuhkan, itu bukan apa-apa. 　　Saat Jiang Zhan sedang merenung bahwa balas budinya belum cukup, tiba-tiba terdengar teriakan perempuan dari gudang kayu. Pintu kayu terbuka, Ah Man berlari keluar sambil memeluk kepalanya: “Ada tikus!!!” 　　Jiang Si yang tetap di gudang kayu tertegun tak percaya. 　　Tak disangka, Ah Man yang bisa mengalahkan beberapa pria kekar ternyata takut pada tikus! 　　Pada detik itu, bahkan "penipu ulung" Yu Jin pun lupa bereaksi, hanya ada satu pikiran: Pasti Jiang Er akan membalas budi dengan kejahatan? 　　Tepat pada momen genting itu, Anjing Besar yang sedang makan daging sapi di bawah pohon mundur dua langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu melompat tinggi ke udara. 　　Jiang Zhan baru hendak melihat situasi, tiba-tiba pandangannya gelap dan langsung ditubruk Anjing Besar hingga terjatuh. 　　Dua kaki depan Anjing Besar menginjak tubuh Jiang Zhan, lidahnya terjulur di atas wajahnya. Jiang Zhan tak berani bergerak, dalam hati mengumpat: Bau daging sapi ini menyengat hidung, bikin mabok! 　　Ah Man berdiri kaku di halaman, setelah tenang tiba-tiba menutup mulutnya. 　　Celaka, aku membuat masalah. 　　Yu Jing batuk kecil, menunjuk ke pintu gerbang. 　　Ah Man yang cukup cerdik segera paham maksud Yu Jing, lalu lari terbirit-birit. 　　Jiang Si yang tertinggal di gudang kayu: "......" 　　Melihat Ah Man sudah menghilang, Er Niu akhirnya berbaik hati melepas cakarnya, berjalan santai ke pangkal pohon melanjutkan makan daging sapi. 　　Jiang Zhan bangkit cepat seperti ikan lepas dari pancing, berlari penuh amarah ke pangkal pohon: "Er Niu, akan kubanteng dan kumakan daging anjingmu!" 　　Yu Jing segera menahan Jiang Zhan, berkata dengan wajah tulus: "Adik Jiang Er, kau salah paham." 　　"Salah paham apa?" 　　"Er Niu sedang senang makan, barusan itu cara dia menunjukkan rasa terima kasih." 　　"Apa? Cara begini menunjukkan terima kasih?" 　　Yu Jing tersenyum getir: "Pikiran anjing dan manusia mana bisa sama. Aku yang pelihara Er Niu tahu, dia kalau senang suka menunjukkan keakraban seperti itu." 　　Jiang Zhan curiga menatap Er Niu, akhirnya bergumam: "Kalau aku pelihara anjing seperti ini, sudah kutebas mati." 　　"Guk!" 　　Yu Jing menenangkan dengan pandangan ke Er Niu, baru kemudian anjing itu diam. 　　"Ngomong-ngomong, Kakak Yu Qi, siapa wanita yang lari dari gudang kayu tadi?" 　　“Jiang Zhan baru saja tidak melihat apa-apa sebelum ditubruk Er Niu. Justru karena itu, meski Ah Man berpakaian laki-laki, teriakan itu membuatnya yakin itu perempuan.” 　　“Tempat Kakak Yu Qi ini sudah sering ia datangi, tapi tak pernah melihat dayang-dayang. Jangan-jangan perempuan itu pacar Kakak Yu Qi?” 　　“Yu Jing tertegun sejenak, lalu dengan muka masam membentak Long Dan yang sedang menonton kejadian: 「Ke depannya jangan bawa perempuan pulang untuk main-main!」” 　　“Long Dan: 「……」 Dorongan untuk melakukan pemberontakan dari bawahan ke atasan menggelora dalam hatinya.” 　　“Jiang Zhan memandang Long Dan dengan pandangan merendahkan.” 　　“Long Dan: 「……」 Kali ini benar-benar ingin memberontak!” 　　“Setelah berhasil mengusir Jiang Zhan, Yu Jing mengusap pelipisnya sambil menghela napas lega.” 　　“Jiang Si keluar dari gudang kayu.” 　　“「Aku akan mengantarmu pulang.」” 　　“「Tidak perlu merepotkan Tuan Yu.」 Jiang Si menolak tegas. Melihat ekspresi terluka di wajah Yu Jing, ia sama sekali tidak terpikat oleh ketampanan itu: 「Kalau dilihat orang juga tidak baik.」” 　　“Yu Jing memandangi gadis yang menjaga jarak itu, tiba-tiba tersenyum: 「Orang sering melihatku minum bersama Kakak Kedua Jiang. Tidak masalah.」” 　　“Postur Jiang Si tinggi, wajah kedua kakak beradik ini mewarisi almarhumah ibu mereka. Dari kejauhan, orang yang tidak familiar memang sulit membedakan.” 　　“「Kalau bertemu kakak keduaku?」 Jiang Si membalas bertanya.” 　　Yu Jing mengelus hidungnya, melunakkan nada suara: "Kalau begitu, biar Er Niu mengantarmu pulang. Kamu datang mencariku, sekarang pulang sendirian. Jika terjadi sesuatu di jalan, aku tak bisa mempertanggungjawabkannya pada Jiang Erdi." 　　Jiang Si tak ingin berdebat lebih lanjut, mengangguk setuju. 　　Yu Jing berdiri di depan pintu, bayangan gadis dan anjing besar itu sudah tak terlihat, namun ia tetap tak bergerak. 　　Long Dan mendekat dengan wajah penasaran: "Tuanku, nona yang datang tadi adalah kekasih Tuanku?" 　　Yu Jing menepuk kepala Long Dan, mengerutkan alis: "Jangan bicara sembarangan!" 　　Nanti pasti akan menjadi kekasih. 　　Terima kasih untuk He Shibi dari honeylion, terima kasih atas dukungan suara dan hadiah dari semua. 84. Bab 84 Kesalahan (Tambahan Telur Rohmat Tianyu Tianyue) 　　Bab 84 Kesalahan (Tambahan Telur Rohmat Tianyu Tianyue) 　　Jiang Si tidak mendapatkan informasi berguna dari Yu Jing, mencari Kuil Lingwu dan Ratu Tahu Xiuniangzi menjadi prioritas utama. 　　Untuk Kuil Lingwu sementara menunggu kabar dari Jiang Ancheng. Sedangkan Ratu Tahu, saat pertemuan kebetulan di Tanggul Willow banyak yang mengenalnya, seharusnya mudah mencari informasi. 　　Karena A Fei belum kembali, Jiang Si menyerahkan tugas ini pada Ah Man. 　　Kemampuan bertarung Ah Man bagus, setelah berganti pakaian pria hampir tak ada celah, merupakan kandidat paling tepat. 　　Awalnya Jiang Si berpikir meminta bantuan Jiang Zhan, tapi urungkan niat setelah dipikir-pikir. 　　Meski enggan mengakuinya, kemungkinan Kakak Kedua justru membuat masalah lebih besar. 　　Belum tiba waktu makan malam, Ah Man sudah membawa kabar tentang Ratu Tahu Xiuniangzi. 　　"Mudah sekali menanyakannya, hamba hanya bertanya pada seorang anak kecil dan langsung dapat informasi. Ratu Tahu tinggal di Desa Wangjia tak jauh dari Tanggul Willow, rumah paling ujung dekat sungai itu..." Ah Man berkicau panjang lebar, seolah ingin menebus kesalahan sebelumnya. 　　Hampir saja membuat Nona ketahuan oleh Tuan Kedua, sungguh memalukan. 　　"Tapi kata anak itu, Ratu Tahu kini jadi nenek gila, berhenti jual tahu dan terus-terusan menangis di rumah." Di akhir cerita, Ah Man menghela napas penuh simpati. 　　"Bersiap-siaplah, malam ini kita ke Desa Wangjia." 　　"Nona?" Ah Man terkejut, menatap mata tenang Jiang Si lalu mengangguk tanpa bertanya lagi, justru merasa sedikit bersemangat. 　　Dulu Nona mengajaknya menyelinap ke Danau Moyou malam hari, sekarang ke Desa Wangjia. Sungguh kehidupan yang menarik bagi seorang dayang besar. 　　Saat makan malam, Jiang Ancheng juga membawa kabar baik: "Kebetulan sekali, paman ketigamu memang pernah dengar tentang Kuil Lingwu." 　　Jiang Si sudah menduga akan dapat informasi tentang Ratu Tahu Xiuniangzi, tapi kabar tentang Kuil Lingwu adalah kejutan yang menyenangkan. 　　"Di mana letak Kuil Lingwu?" 　　“Di Kota Qingniu di pinggiran ibu kota, meski tak sebanding dengan kuil terkenal di pusat kota, tapi pemujaan di sini cukup ramai.” Sampai di sini, Jiang Ancheng tersenyum kecut, “Terutama untuk memohon jodoh dan keturunan, dianggap paling manjur.” 　　“Begitu ya.” Jiang Si merenung sejenak, lalu memanfaatkan kesempatan untuk memohon pada Jiang Ancheng, “Anak ingin pergi bersembahyang ke Kuil Lingwu dan menginap beberapa hari.” 　　Daerah pinggiran ibu kota tak seperti dalam kota, pulang-pergi ditambah waktu penyelidikan, tiga hari termasuk lancar. Tanpa izin sesepuh, pasti tak bisa berangkat.” 　　Jiang Ancheng langsung mengangguk setuju tanpa ragu sedikitpun atas permintaan kecil putrinya: “Pergilah, sekarang cuaca belum terlalu panas, pinggiran kota juga lebih luas daripada dalam kota, pasti lebih nyaman tinggal. Nanti Ayah beri tahu Kakak Kedua-mu, suruh temani kamu.” 　　Jalan-jalan tak masalah, tapi keamanan tetap harus diperhatikan. Andai bukan takut putrinya jengkel, dia sendiri ingin ikut. 　　Ah sudahlah, anak muda main keluar ditemani orang tua seperti dirinya pasti akan kesal. 　　Paman tampan Tuan Besar Jiang diam-diam berpikir. 　　“Kapan Si'er rencananya berangkat?” 　　“Dua hari ini juga, perlu mengatur barang bawaan dulu.” Jiang Si tidak memberi waktu pasti. 　　Kalau urusan dengan Ratu Tahu lancar, paling lambat besok bisa menyelidiki Kuil Lingwu. Kalau tidak lancar harus cari waktu lain. 　　Malam segera tiba. 　　Di tengah musim panas, bulan bersinar terang dengan bintang-bintang jarang, bayangan bunga bergoyang pelan. A Qiao mengantar Jiang Si dan Ah Man sampai pintu, berbisik: “Nona hati-hati.” 　　“Tenang saja, ada saya di sini.” Ah Man menepuk dada memberi jaminan. 　　Pada malam kedua bertindak, tuan dan dayang dengan lancar meninggalkan Dongping Bo Residence, menuju ke arah Sungai Jinshui. 　　Saat itu, Sungai Jinshui sedang ramai. 　　Permukaan sungai yang luas dipenuhi kapal-kapal berlabuh. 　　Ada kapal hias bertingkat tiga yang dihiasi lentera dan ornamen megah, juga perahu kecil lincah yang membawa lentera merah besar melintasi sungai. 　　Di dalam kapal-kapal hias ini tinggal para gadis penghibur terkenal dari ibu kota. Saat ini adalah waktu terbaik untuk menerima tamu istimewa. 　　"Malam tak pernah tidur di tepi Sungai Jinshui" menggambarkan pemandangan megah seperti ini. 　　Ah Man melirik ke kejauhan: pohon willow hijau berayun di kedua tepian, bayangan kapal berlapis di sungai, cahaya gemerlap di permukaan air bagai taburan serpihan emas, alunan musik samar terbawa angin seolah surga dunia. 　　"Tak kusangka Sungai Jinshui yang tenang di siang hari, begitu ramai di malam hari," Ah Man berkomentar, lalu menyadari Jiang Si berhenti, "Nona, kenapa tidak jalan?" 　　Desa Wangjia hanya tidak jauh dari Tanggul Willow, tapi mereka tak perlu mendekati Sungai Jinshui. 　　Jiang Si memandang jauh ke Tanggul Willow dan sungai emas, hati nya terasa pedih. 　　Kakak Kedua tenggelam di Sungai Jinshui ini. 　　Menarik napas dalam, Jiang Si tersenyum pada Ah Man: "Ayo pergi." 　　Dipandu Ah Man, tuan dan dayang tiba di Desa Wangjia. 　　"Nona, rumah Ratu Tahu ada di ujung sana. Kita lewat desa atau mutar lewat sana?" 　　“Melihat desa yang gelap gulita tanpa cahaya lampu, Jiang Si mengambil keputusan: "Kita memutar jalan."” 　　“Rumah rakyat biasa yang hemat minyak lampu biasanya akan mematikan lampu dan tidur lebih awal, namun melewati tengah desa tetap akan menambah banyak risiko tak terduga.” 　　“Angin malam berhembus sepoi-sepoi, suara katak dan serangga tak henti terdengar, tuan dan dayang tidak membawa lentera, hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang berjalan di jalan lumpur tepi desa yang tak dikenal.” 　　“Nona, rumah di lereng bukit itu adalah rumah Ratu Tahu.” 　　“Berbeda dengan kebanyakan rumah yang berkelompok, rumah Ratu Tahu dibangun di pinggir bukit, tanpa tetangga di sekitarnya.” 　　“Jiang Si berhenti sebentar di depan pintu pekarangan yang reyot.” 　　“Dia tidak mencium bau asam khas yang biasa tercium di pekarangan keluarga penggiling tahu sepanjang tahun.” 　　“Tersembunyi dalam gulita malam, wajah Jiang Si berubah pucat.” 　　“Jika tebakannya benar, ini pasti bukan rumah Ratu Tahu!” 　　“Nona, apakah kita masuk?” Ah Man bertanya berbisik, tak mengerti mengapa Jiang Si ragu-ragu. 　　“Jiang Si menggeleng, berbisik: "Ah Man, kau ditipu anak itu, ini bukan rumah Ratu Tahu."” 　　“Ah? Mengapa Nona berkata begitu?” 　　“Jiang Si terdiam, merenungkan apakah akan mencari rumah Ratu Tahu dalam kegelapan di desa asing ini, atau pulang dulu dan menanyakan besok.” 　　Secara rasional, kembali sekarang adalah pilihan bijak. Namun secara emosional, sudah sampai di sini lalu pulang dengan tangan hampa sungguh tidak memuaskan. 　　Apalagi keterlambatan sehari di sini akan mempengaruhi jadwal di Kuil Lingwu. Setiap hari yang terbuang bisa berarti ada gadis baru menjadi korban kekejaman. 　　Jiang Si memiliki firasat buruk tentang Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Dari percakapan dua pelayan pria itu, diketahui dalam dua tahun terakhir ada 7-8 gadis yang menjadi korban Putra Mahkota Marquis Changxing. Namun waktu hilangnya putri Ratu Tahu sangat berdekatan dengan gadis yang baru saja menjadi korban. 　　Ini menunjukkan bahwa Putra Mahkota Marquis Changxing semakin menyimpang, selang waktu antara kejahatannya mungkin akan semakin pendek. 　　Tentu saja, mungkin ada faktor kehadirannya di Kediaman Marquis Changxing yang memicu sang Putra Mahkota. 　　Justru karena itulah Jiang Si semakin merasa waktu sangat mendesak. 　　Saat Jiang Si masih berjuang dalam batinnya, pintu gerbang rusak di kejauhan tiba-tiba terbuka. 　　Ah Man kaget setengah mati, segera menarik Jiang Si untuk bersembunyi di samping. 　　Seorang pria keluar dari pekarangan, berhenti sebentar di depan pintu. 　　Mata Jiang Si tiba-tiba menyempit. 　　Di tangan pria itu tergenggam sebuah pisau dapur! 　　Tak terduga? Mengejutkan? Update tambahan sebagai terima kasih untuk Tianyu dan Tianyue yang beberapa hari lalu memberi hadiah telur roh, juga rasa terima kasih sebesar-besarnya untuk semua pembaca yang memberi hadiah, voting, dan berlangganan. 85. Bab 85 Pelaku Kejahatan 　　Bab 85 Pelaku Kejahatan 　　Di bawah sinar bulan purnama yang terang, terlihat pria itu berusia sekitar 40 tahun, bertubuh pendek namun kekar. 　　“Pria itu berhenti sejenak di depan pintu, menyelipkan pisau dapur ke dalam bajunya, lalu melangkah besar ke dalam kegelapan malam.” 　　“Nona, nona, apakah orang itu hendak membunuh?” Ah Man menurunkan suaranya hingga hampir tak terdengar, tak bisa menyembunyikan kegugupannya, “Atau… apakah dia baru saja membunuh penghuni rumah ini…” 　　“Tidak ada bau darah.” Jiang Si menatap pria yang hampir menyatu dengan kegelapan, berbisik pelan. 　　Ah Man menggigit bibirnya keras-keras: “Kalau begitu… orang ini benar-benar hendak pergi membunuh!” 　　Sampai di sini, Ah Man mulai panik, tanpa sadar mencengkeram erat lengan baju Jiang Si; “Nona, apa yang harus kita lakukan?” 　　Kejadian tak terduga seperti ini juga tidak diprediksi oleh Jiang Si. 　　Saat menyusup ke Desa Wang di malam hari, dia telah memikirkan berbagai kemungkinan, tapi sama sekali tidak menyangka akan menemukan kasus pembunuhan yang sedang berlangsung. 　　“Ah Man, apakah kamu bisa mengatasi orang itu?” 　　“Hamba bisa mengatasinya. Meskipun terlihat kekar, dari cara berjalannya sudah kelihatan bahwa dia tidak pernah belajar bela diri. Untuk orang seperti ini, hamba bisa menangani dua tiga sekaligus.” 　　Jiang Si merenung sejenak, melihat bayangan pria itu sudah tak terlihat sama sekali, akhirnya memutuskan: “Kita ikuti dan lihat.” 　　Menghadapi hal seperti ini, jika pura-pura tidak melihat akan membuat hati nurani tidak tenang, tapi semua ini harus dengan prinsip bisa menjamin keselamatan diri sendiri. 　　Jiang Si berpikir jernih: Niat baik yang melampaui kemampuan sendiri bukanlah kebaikan, tapi kebodohan, apalagi jika membahayakan orang-orang di sekitar, itu semakin bodoh. 　　“Baik!” Mendengar keputusan Jiang Si, mata Ah Man berkilau penuh semangat. 　　“Ah Man toh masih seorang gadis kecil, belum pernah mengalami badai kehidupan. Meski punya ilmu bela diri, tetap saja gugup menghadapi hal seperti ini. Tapi kegugupan ini bukan berarti takut.” 　　Bagi dayang kecil yang pemberani dan terampil, dibandingkan mencari Ratu Tahu di kegelapan, manakah yang lebih seru daripada mengikuti seseorang yang hendak berbuat jahat? 　　“Nona, tidak tahu ke mana orang itu pergi.” Baru berjalan beberapa langkah, wajah Ah Man dipenuhi kebingungan. 　　“Arah sana.” Jiang Si berjalan menuju suatu arah. 　　Ah Man melirik ke sekeliling, bertanya pelan: “Bagaimana Nona tahu?” 　　Jiang Si menjawab lembut: “Orang itu minum arak.” 　　Aroma tajam arak murahan itu, meski terhalang jarak dan pekatnya malam, tetap tak membuatnya kehilangan arah. 　　Jawaban Jiang Si membuat dayang kecil itu semakin bingung. 　　Bagaimana Nona bisa tahu kalau orang itu minum arak? 　　Sudahlah, yang penting ikuti Nona pasti tidak salah. 　　Tuan dan dayang berjalan berpegangan tangan tak lama, Jiang Si tiba-tiba berhenti duluan. 　　Ah Man langsung ikut berhenti, menunjuk: “Nona, lihat! Orang itu di sana!” 　　Pria itu berjarak sekitar tiga puluh meter dari mereka, sedang mondar-mandir di luar tembok rumah seseorang. 　　Ah Man menarik Jiang Si bersembunyi di balik pohon besar depan rumah, mengawasi gerak-gerik pria itu. 　　Orang itu akhirnya bergerak, menyusun beberapa batu bata tanah sebagai pijakan lalu memanjat tembok yang berlubang. 　　Majikan dan dayang saling pandang, lalu mengikuti dengan langkah ringan. 　　"Nona, rumah ini terlihat lebih compang-camping daripada milik orang tadi." Berdiri di bawah tembok yang berlubang, Ah Man bergumam. 　　Ekspresi Jiang Si tiba-tiba menjadi kompleks. 　　Dari balik tembok, aromanya sudah tercium - bau langu kedelai yang seolah meresap ke setiap bata rumah ini, mustahil terbentuk dalam waktu singkat. 　　Jika di Desa Wangjia tak ada penjual tahu lain, maka keluarga ini pasti rumah Ratu Tahu Xiuniangzi. 　　Saat ini, Jiang Si tiba-tiba merasa terharu. 　　Kebaikan membuahkan hasil, mungkin itu benar adanya. 　　Andai tadi ia tak mau ikut campur, mungkin saat tiba di sini Ratu Tahu sudah jadi korban, dan urusannya akan jauh lebih sulit. 　　"Ah Man, masuk dulu! Buka pintu dari dalam, cepat!" Jiang Si mendesak. 　　Ah Man mengangguk, menginjak batu bata yang ditinggalkan pelaku di kaki tembok. Tangannya mencengkeram puncak tembok, tubuhnya melayang lalu mendarat senyap di seberang. 　　Tak lama pintu terbuka pelan. Jiang Si yang sudah menunggu segera menyelinap masuk. 　　"Nona, dia sudah masuk rumah!" Bisik Ah Man. 　　Jiang Si berjalan cepat ke dalam, Ah Man segera menyusul dan berjalan di depan. 　　Di dalam ruangan tidak ada cahaya lampu, bahkan bulan di langit pun bersembunyi di balik awan, bintang-bintang juga redup. Kegelapan di antara langit dan bumi seolah tiba-tiba menjadi lebih pekat, mencerminkan perasaan tuan dan pelayan saat ini. 　　Tiba-tiba sebuah suara terdengar, keduanya secara refleks berhenti dan saling bertatapan. 　　"Sialan, gelap gulita sama sekali tidak bisa melihat apa-apa!" Suara menggerutu itu meski tidak keras, tapi jelas terdengar oleh mereka. 　　Rupanya suara tadi berasal dari pria yang tidak sengaja menabrak sesuatu. 　　Pintu ruang utama terbuka lebar, dari ruang utama ke kamar dalam hanya tergantung tirai setengah panjang. Pria itu sudah masuk ke dalam, dan suasana menjadi hening sejenak. 　　Pada saat seperti ini Ah Man tidak berani berbicara, ia bertanya pada Jiang Si dengan pandangan mata. 　　Jiang Si justru tidak tampak gugup, dengan tenang mengangkat tirai dan mengintip ke dalam. 　　Di dalam ruangan rendah yang remang-remang, pria itu berdiri di sisi ranjang tanah, menatap tak bergerak ke arah orang di atas ranjang. 　　Orang di atas ranjang kebetulan membalikkan badan, suara parau dengan nada menangis terdengar samar: "Niuniu——" 　　Ah Man langsung membelalakkan matanya, di kegelapan kedua bola matanya berkilau seperti bintang. 　　Ternyata ini adalah rumah Ratu Tahu! 　　Ia tak tahan menarik lengan baju Jiang Si, menunjukkan kegembiraan atas kejutan tak terduga ini. 　　Jiang Si menggelengkan kepala perlahan, memberi isyarat agar jangan bersuara. 　　Ah Man segera mengangguk. 　　Pada saat ini, jika ada yang melihat pemandangan di sini pasti akan merinding. 　　Di atas kang (tempat tidur bata) terbaring seorang wanita yang mengigau dalam mimpi, di tepinya berdiri seorang pria yang menyembunyikan pisau dapur di balik bajunya, sementara di balik tirai pintu yang berjarak setengah zhang, dua gadis muda berdiri diam-diam. 　　Situasi absurd dan aneh seperti ini cukup membuat siapapun yang melihatnya merasa ngeri. 　　Pria itu seolah-olah sarafnya sudah mati rasa oleh alkohol, sama sekali tidak menyadari keberadaan Jiang Si dan dayangnya. 　　Di bawah cahaya yang masuk dari jendela, wajahnya terlihat terpesona, memandangi wanita di atas kang dengan tatapan hampir serakah. 　　Setelah beberapa saat, pria itu mengeluarkan pisau dapur dari balik bajunya dan meletakkannya di tepi kang, lalu menggosok-gosokkan tangannya. 　　Ah Man memiringkan kepalanya sambil menatap pisau dapur itu dengan bingung. 　　Bukannya orang ini ingin membunuh? Kenapa malah meletakkan pisaunya? 　　Ah Man segera mengetahui jawabannya. 　　Tiba-tiba pria itu membuka selimut tipis yang menutupi tubuh wanita itu, lalu menyelinap naik ke atas kang. 　　Jiang Si segera menarik lengan Ah Man sambil membuat gerakan tangan seperti menebas. 　　Ah Man mengerti, satu tangan mencengkeram pakaian di punggung pria itu sementara tangan lainnya mengayun keras ke tengkuknya. 　　Pria itu mendengus pelan sebelum pingsan, lalu diseret turun dari kang oleh Ah Man dengan satu tangan. 　　Jiang Si menunjuk ke arah pintu luar. Ah Man langsung paham, melemparkan pria yang sudah seperti babi mati itu ke ruang tengah. 　　Jiang Si mengikuti keluar, kukunya menyentak lembut, serbuk halus yang sulit terlihat mata manusia beterbangan masuk ke hidung pria itu. 　　Menghisap Mihun San ini cukup memastikan pria itu tidur seperti babi mati hingga subuh. 　　Tiba-tiba, wanita di kang langsung duduk tegak, berteriak dengan suara parau: "Niuniu, Niuniuku——" 　　Selamat pagi semuanya. 86. Bab 86 Roh Indah Kembali 　　Bab 86 Roh Indah Kembali 　　Hanya selembar tirai yang memisahkan, suara wanita yang turun dari kang bisa terdengar jelas. 　　Ah Man tertegun. 　　Jiang Si menunjuk ke kamar barat. 　　Ah Man mengangkat pria tak sadarkan diri itu dan langsung lari terbirit-birit. 　　Kamar barat tidak seperti kamar timur, bahkan tirai setengah sobek pun tidak ada. Untungnya ada kang tanah di dekat jendela yang bisa dijadikan tempat bersembunyi darurat. 　　Baru setelah menggotong pria itu naik ke kang, Ah Man sadar: Sial, nona tertinggal! 　　Jiang Si jauh lebih tenang. Mendengar langkah kaki wanita itu, dia mengeluarkan sesuatu dan meletakkannya di lantai, lalu berdiri menempel di pinggir dinding. 　　Wanita itu berjalan keluar dengan tatapan kosong, terus memanggil: "Niuniu, Niuniu apakah kamu sudah pulang?" 　　Setelah beberapa hari tidak bertemu, Ratu Tahu yang dulunya masih memesahkan kini menjadi kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. 　　Dia tampak berada di antara setengah tidur dan setengah sadar, sama sekali tidak memperhatikan Jiang Si yang berada sangat dekat, berjalan langsung melewatinya dan menginjak benda yang baru saja diletakkan Jiang Si di lantai. 　　Suara ringan terdengar. 　　Xiuniangzi berhenti, membungkuk dan mengambil benda itu. 　　Dalam cahaya remang-remang, benda di tangan Xiuniangzi tampak hitam pekat, samar-samar terlihat konturnya. 　　Itu adalah sebuah tusuk konde. 　　Jiang Si tidak yakin apakah tusuk konde itu milik putri Xiuniangzi yang tercecer, hanya bisa mengatakan ada kemungkinan. 　　Tusuk konde tembaga jatuh di antara semak peony, mungkin tusuk konde putri Xiuniangzi, mungkin juga milik gadis korban sebelumnya. 　　Jiang Si menggunakan tusuk konde tembaga ini untuk menguji reaksi Xiuniangzi. 　　Jika tusuk konde itu benar-benar milik putrinya, akan lebih memudahkan penerapan ilusi selanjutnya. 　　Xiuniangzi menatap tusuk konde tembaga di tangannya beberapa saat, tiba-tiba menjerit kencang: "Niuniu, Niuniu kamu pulang!" 　　Xiuniangzi seketika menjadi sadar, berlari seperti angin puting beliung keluar, matanya menjelajah halaman kosong. 　　"Niuniu, cepat keluar! Niuniuku, ibu sangat merindukanmu, sungguh merindukanmu... Ibu tahu, kamu pasti akan kembali..." 　　Ah Man berjingkat mendekati Jiang Si, memandang Xiuniangzi yang seperti orang gila dengan tatapan penuh simpati. 　　Jiang Si menghela napas pelan. 　　Kasihan hati orang tua di dunia, putri Xiuniangzi terbaring abadi di bawah bunga peony, tak akan kembali lagi. 　　Ia tak bisa mengembalikan putri yang hidup-hidup kepada Xiuniangzi, setidaknya bisa membantu membalaskan dendamnya! 　　Xiuniangzi menjerit-jerit di halaman sebentar, tiba-tiba membuka pintu pagar dan berlari keluar, dari kejauhan terdengar teriakannya yang menyayat hati: "Niuniu, kamu di mana? Kenapa sembunyi dari ibu? Asal kamu muncul, apa pun yang kamu mau ibu akan penuhi——" 　　Tengah malam, jeritan Xiuniangzi nyaris menggema ke separuh desa, segera tetangga berteriak kesal: "Xiuniangzi, sudahlah, putrimu takkan kembali, berisik terus setiap hari!" 　　"Kamu bohong, atas dasar apa bilang putriku tak kembali? Dia sudah pulang, dia jelas-jelas sudah pulang!" 　　Riuh rendah di luar, ada yang menengahi: "Sudahlah, Xiuniangzi juga kasihan, buat apa dihiraukan. Biarkan dia meronta, habis tenang sendiri nanti." 　　Desahan berat terdengar menggemuruh. 　　Ah Man yang bersembunyi di pintu pagar berbisik: "Nona, hamba lihat Xiuniangzi benar-benar gila, untuk apa Nona mencarinya?" 　　"Sebentar lagi jangan bicara, lihat saja." Dalam gelap, suara gadis itu terdengar sangat tenang, di balik ketenangannya tersembunyi tekad membatu yang tak terpahami. 　　Xiuniangzi berlari telanjang kaki mengelilingi halaman, terhuyung-huyung kembali sambil berteriak: "Niuniu pasti sedang menungguku di dalam rumah, Niuniu bilang akan membelikanku kue guihua di pasar..." 　　Meski Ah Man mampu mengalahkan beberapa lelaki, hatinya sangat lembut. Mendengar itu, air matanya jatuh berderai. 　　Ternyata putri Xiuniangzi hilang saat pergi membelikan kue guihua untuknya. Kasihan sekali Xiuniangzi... 　　Melihat Xiuniangzi hendak memasuki pekarangan, Jiang Si bersama Ah Man bergegas kembali ke kamar barat. 　　Ah Man gugup bertanya: "Nona, bagaimana jika Xiuniangzi datang ke kamar barat?" 　　Dia bisa saja menumbangkan lelaki brengsek itu dengan satu pukulan, tapi menghadapi Xiuniangzi yang malang membuatnya ragu. 　　Jiang Si tidak menjawab, justru mencabut tusuk konde yang menahan rambut hitamnya, membiarkan helaian rambutnya terjurai seperti air terjun. 　　"Nona?" 　　Jiang Si menyandar pada ambang pintu, memandang tenang ke luar. 　　Xiuniangzi berlari masuk dengan rambut awut-awutan. Terlalu tergesa-gesa, setelah naik undakan tubuhnya terjungkal ke depan dan jatuh di depan pintu ruang utama. 　　Tusuk konde tembaga di tangannya terlepas dan jatuh tak jauh darinya. 　　"Tusuk konde... Tusuk konde Niuniu..." Xiuniangzi merangkak ke depan dengan wajah pucat dan tatapan liar, bagaikan hantu gentayangan yang merayap keluar dari neraka dengan keputusasaan dan harapan. 　　Ah Man secara refleks mundur setengah langkah. 　　Telapak tangan Jiang Si terbalik, titik-titik cahaya kunang-kunang merayap keluar dari telapak tangannya, terbang menyusur tanah menuju Xiuniangzi dengan cahaya redup. 　　Kunang-kunang ilusi masuk melalui telinga kiri Xiuniangzi, keluar dari telinga kanan, lalu kembali ke telapak tangan Jiang Si. 　　Seluruh proses ini hanya disadari oleh pemilik kunang-kunang ilusi, tak ada yang lain yang menyadari. 　　Xiuniangzi masih merangkak berusaha meraih jepit rambut tembaga, sementara Ah Man masih membuka mulutnya kecil-kecil seperti orang kaget. 　　Tiba-tiba, suara lembut menggema: "Ibu—" 　　Ah Man buru-buru menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca melihat Jiang Si yang berjalan perlahan mendekati Xiuniangzi. 　　Nona, jangan menakut-nakuti seperti ini! 　　Reaksi Xiuniangzi bahkan lebih keras daripada Ah Man. 　　Dia sampai lupa meraih jepit rambut, kepalanya terangkat kaget, menatap gadis yang berdiri tak jauh darinya. 　　Rambut gadis itu menjuntai sampai pinggang, dalam kegelapan tanpa lentera, wajah putihnya tampak samar-samar. 　　"Niuniu—" Xiuniangzi bangkit dengan getaran emosi. 　　Suara gadis itu datar tanpa gelombang: "Ibu, jangan mendekat. Kalau tidak, saya harus pergi." 　　Xiuniangzi membeku saat hendak menyambar, bicaranya kacau: "Tidak mendekat, ibu tidak mendekat, Niuniu jangan pergi..." 　　Setelah beberapa saat, Xiuniangzi memandangi putrinya dengan tatapan hanyut: "Niuniu, kemana saja kau selama ini? Ibu sangat merindukanmu..." 　　Gadis itu menghela napas sedih: "Ibu, putri sebenarnya sudah mati." 　　Ah Man yang bersembunyi di kamar barat: "......" 　　Xiuniangzi tiba-tiba menutup mulutnya, seluruh tubuhnya gemetar seperti ayakan. 　　Dia tampak sangat ingin memeluk putri yang dirindukannya, tapi mengingat pesan putrinya tak berani bergerak. 　　"Ibu, dengarkan baik-baik." 　　Xiuniangzi mengangguk sambil menangis. 　　Jiang Si merasa tak tega memandangnya, tapi tahu sandiwara ini harus diteruskan. 　　Dia yakin, ini juga pesan yang ingin disampaikan putri Xiuniangzi kepada ibunya. 　　"Ibu, putri dibunuh oleh Putra Mahkota Marquis Changxing. Putra Mahkota itu melihat kecantikan putri, menculik putri ke Kediaman Marquis Changxing, memperkosa lalu membunuh dan mengubur putri di bawah bunga peoni di taman mereka. Putri terbaring di bawah tanah, setiap malam mendengar teriakan rindu Ibu, sehingga bisa datang menemui Ibu untuk terakhir kalinya..." 　　Xiuniangzi menggigit bibirnya, mengeluarkan suara terisak. 　　Sebutir air mata menggelinding dari sudut mata gadis itu: "Ibu, putri mati mengenaskan, Ibu harus membalas dendam untuk putri——" 　　"BALAS DENDAM?" Mata Xiuniangzi berputar perlahan, tiba-tiba memancarkan kilau dingin yang menusuk, "Ibu pasti akan membunuh binatang itu, membunuh binatang itu untuk membalas dendam anakku!" 　　Suara desahan terdengar: "Ibu, Ibu tidak boleh langsung mencari Putra Mahkota Marquis Changxing untuk balas dendam. Keluarga Marquis Changxing bukanlah keluarga biasa yang bisa kita lawan. Jika Ibu dibunuh oleh Putra Mahkota Marquis Changxing, putri ini tidak akan bisa mati dengan tenang..." 　　Xiuniangzi tertegun, bergumam pelan: "Bagaimana ibu harus membalas dendam?" 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya. Sampai jumpa besok. 87. Bab 87: Ada Orang di Belakang Orang 　　Bab 87: Ada Orang di Belakang Orang 　　Pertanyaan tentang cara membalas dendam ini memang perlu diperdebatkan. 　　Jika balas dendam ini dilakukan dengan mengorbankan korban dan pelaku bersama-sama, Jiang Si menganggap ini sebagai kegagalan, terutama ketika balas dendam ini dipimpin olehnya, tidak boleh membahayakan keselamatan korban lain. 　　Ini adalah batas bawah. 　　Balas dendam bertujuan membuat hidupnya lebih bahagia di dunia ini, bukan mengubah dirinya menjadi tak berperikemanusiaan demi dendam. 　　"Tanggal 19 Mei, Tuan Besar Zhen yang akan menjabat sebagai Magistrat Shuntian akan beristirahat di pos perbatasan 30 li di luar pinggiran ibu kota. Jika Ibu bisa menemui Tuan Zhen dan menceritakan penderitaan putri ini, beliau akan membela Ibu." 　　Posisi Magistrat Shuntian dua-tiga tingkat lebih tinggi dari bupati biasa, terdengar megah tapi sebenarnya sangat berisiko. Banyak magistrat sebelumnya tidak bisa bertahan beberapa tahun, bahkan ada yang hanya dua-tiga bulan. 　　Magistrat Shuntian silih berganti seperti air mengalir. Baru pada musim panas tahun ke-18 Jingming, Komisioner Pengawasan Zhen Shicheng yang dipindahkan ke ibu kota untuk menjabat sebagai Magistrat Shuntian, posisi ini akhirnya stabil. 　　Zhen Shicheng terkenal sebagai hakim bijaksana saat bertugas di daerah. Saat pergi, rakyat memberinya payung rakyat. Orang ini termasyhur di Dinasti Zhou karena kejujuran dan keberpihakannya pada rakyat. 　　Yu Qi (Pangeran Ketujuh) pernah mengeluh padanya bahwa Zhen Shicheng adalah sosok yang benar-benar patut dikagumi. 　　Orang seperti ini mungkin tak mampu menyelamatkan naik-turunnya suatu dinasti, tapi menjadi sandaran bagi rakyat jelata. 　　Alasan Jiang Si mengingat tanggal kedatangan Tuan Zhen ke ibu kota begitu jelas adalah karena terjadi peristiwa besar di hari itu. 　　Di pos peristirahatan sementara tempat Tuan Zhen menginap, ada orang yang tewas mendadak - kakak laki-laki Selir Yang yang baru diangkat sebagai selir favorit. 　　Meski Kaisar Jingming menguasai seluruh urusan istana, dia memiliki kelemahan: lembut hati dan tak tahan dibujuk rayu selir-selir istana. 　　Perhatikan, ada poin kunci di sini: seni merayu ini hanya efektif jika dilakukan oleh "selir favorit", dengan penekanan pada kata "favorit". 　　Dengan kata lain, jika selir yang tidak disukai Kaisar mencoba trik yang sama, hadiahkan dua kata untuknya: hē hē (ejekan). 　　Aksi Selir Yang ini membuat kematian "Paman Selir Yang" menjadi sorotan seluruh ibu kota. 　　Kasus pertama yang ditangani Tuan Zhen setelah tiba di ibu kota adalah kasus kematian misterius "Paman Selir Yang". Setelah kasus terungkap, posisinya sebagai Prefect Shuntian pun mapan. 　　Namun sebelum kasus terpecahkan, Tuan Zhen benar-benar kebingungan. 　　Saat "Paman Selir Yang" tewas, mereka berada di pos yang sama. Selir Yang menyalahkan Tuan Zhen sehingga menghambat penyelidikan. Awalnya bahkan Tuan Zhen sempat dicurigai karena fitnah pihak tertentu. 　　"Ibu harus ingat, jika ingin menemui Tuan Zhen pada hari itu, Ibu harus menunggu di jalan sebelum Tuan Zhen tiba di pos perhentian. Kalau Tuan Zhen sudah masuk ke pos yang dijaga petugas, Ibu tidak bisa menemuinya lagi..." Suara gadis itu terdengar sayup, menjelaskan detail rencana dengan teliti. 　　Jika Nyonya Xiu bisa menghentikan Tuan Zhen lebih awal, maka Tuan Zhen akan terhindar dari insiden kematian mendadak "Paman Negara Yang", sehingga terlepas dari masalah besar. 　　"Ibu sudah ingat?" 　　Nyonya Xiu mengangguk berulang kali: "Ibu sudah hafal." 　　Jiang Si masih merasa khawatir, mengingatkan lagi: "Ibu jangan bertindak gegabah. Kalau Ibu sampai celaka, tidak akan ada lagi yang membela keadilan untuk anakmu." 　　"Ibu mengerti, Niuniu jangan khawatir. Ibu pasti akan menuntut keadilan untukmu." 　　Angin menerpa ruang tengah, menggerakkan tirai kain lapuk yang bergoyang-goyang, membuat cahaya dalam ruangan semakin redup. 　　Gadis itu perlahan mundur selangkah. 　　Nyonya Xiu terkejut: "Niuniu--" 　　"Ibu, anakmu harus pergi. Ibu tidurlah yang nyenyak, jangan lupa jaga kesehatan..." 　　"Niuniu, Niuniu apa kamu akan kembali?" Suara Nyonya Xiu gemetar nyaris menangis, bibirnya digigit kuat-kuat sementara matanya tak berkedip, takut putrinya lenyap. 　　Namun rasa kantuk yang tak tertahankan menyergap, kelopak matanya terasa seribu pon beratnya, hingga akhirnya tak bisa lagi menahan dan terpejam. 　　"Jiang Si dengan sigap menyangga Xiuniangzi yang sudah pingsan." 　　"Ah Man, bantu dia masuk." 　　Ah Man masih terpaku seperti patung kayu. 　　"Ah Man." Jiang Si menghela nafas, mempertegas nada bicaranya. 　　"Ya!" Ah Man baru tersadar, berjalan limbung sambil menjepit tubuh Xiuniangzi di ketiaknya. 　　Setelah menidurkan Xiuniangzi, Jiang Si meletakkan tusuk konde tembaga yang dipungutnya di samping bantal. 　　Memandangi wanita yang terlelap itu sejenak, Jiang Si menghela nafas nyaris tak terdengar lalu menuju kamar barat. 　　Di atas kang kamar barat, terbaring lelaki yang semalam mencoba memperkosa Xiuniangzi. 　　"Nona, bagaimana dengan orang ini?" Ah Man berbisik. 　　"Goloknya mana?" 　　Ah Man segera mengambil golok dari kamar timur. 　　Jiang Si mengayunkan golok di sekitar selangkangan lelaki itu, "Potong saja." 　　"Apa?!" Ah Menyembunyikan tangan di dagu, suaranya melengking. 　　Hari ini terlalu banyak kejutan. Demi langit, dia hanyalah dayang lemah tak berdaya! 　　Yu Jin yang bersembunyi siap menyelamatkan sang pujaan hati, refleks meraba bagian bawah tubuhnya. Angin dingin menyelinap di celana dalamnya. 　　Pasti salah dengar. 　　"Mengapa masih diam?" 　　"No... nona, maksud nona memotong apa?" 　　Gadis itu dengan ekspresi tenang berkata dengan nada datar seperti "Hari ini makan apa": "Tentu saja itu alatnya untuk merusak perempuan." 　　Yu Jin: "......" 　　Sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan A Si. 　　"Nona, biar hamba saja." Melihat nonanya bersiap bertindak, Ah Man dengan jari gemetar mengambil pisau dapur. 　　Memandangi pria yang terlihat polos dalam tidurnya, Ah Man malah merasa iri, lalu mengangkat pisau dapur dengan tegas. 　　Yu Jin tak bisa menahan napas. 　　"Tunggu." 　　Ah Man menghela napas lega. 　　"Mengolah di sini akan meninggalkan noda darah, bawa dulu orangnya." 　　Ah Man buru-buru menyimpan pisau dapur dan mengangkat pria itu. 　　Jiang Si memeriksa seluruh rumah Xiuniangzi, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal sebelum pergi. 　　Seluruh desa masih diselimuti kegelapan, di kejauhan terlihat lampu-lampu berkelap-kelip di tepi Sungai Jinshui. 　　Jiang Si berjalan diam-diam ke depan, Ah Man menggendong pria lemas seperti babi mati mengikuti dari belakang. 　　Setelah berjalan tak tentu lamanya, Jiang Si akhirnya berhenti. 　　Dia berhenti di depan sebuah rumah besar, dalam cahaya bintang samar terlihat tembok halaman lebih tinggi dari rumah lain, genteng hijau dan tembok putih menunjukkan bangunan ini baru dibangun dua tahun lalu. 　　Jiang Si menunjuk pintu rumah ini, memberi isyarat pada Ah Man untuk menurunkan pria itu. 　　"Lepaskan celananya." 　　Ah Man berkedip-kedip, melihat Jiang Si benar-benar tidak bercanda. Ia menutup mata dan menarik celana pria itu hingga bokong putihnya terlihat. 　　Yu Jin yang mengikuti di belakang majikan dan dayangnya menatap langit sambil menghela napas pelan. 　　Hanya Tuhan yang tahu betapa besar pengendalian diri yang dibutuhkannya untuk menahan dorongan mencegah tindakan itu. 　　Apa si bodoh itu tahu, kalau sembarangan melihat bokong pria lain bisa bintitan! 　　"Berikan pisau daging padaku." 　　Ah Man hampir menangis: "Nona, biar hamba saja yang melakukannya. Jangan kotorkan tangan nona." 　　"Beri satu tusukan di bokongnya, asal jangan sampai tewas." 　　Karena belum berpengalaman, memotong 'bagian itu' hingga menyebabkan kematian akan jadi masalah baru. Nona Keempat Jiang berpikir dengan sedikit penyesalan. 　　"Ayo pergi." Setelah memandang dingin pekerjaan Ah Man yang selesai, Jiang Si mengeluarkan saputangan dan membersihkan tangannya. 　　Majikan dan dayangnya perlahan meninggalkan Desa Wang, tapi tiba-tiba Jiang Si berhenti. 　　"Sampai kapan kau mau mengikuti?" 　　Selamat pagi semuanya. 88. BAB 88 Ancaman 　　BAB 88 Ancaman 　　"Siapa?" Mendengar perkataan Jiang Si, Ah Man kaget dan langsung waspada melihat ke sekeliling. 　　Jiang Si menatap tajam ke satu arah, bibir merahlnya terkunci rapat. 　　Siluet jangkung dan tegap perlahan muncul dari kegelapan. 　　"Kenapa kamu?" Ah Man terkejut bukan main. 　　Namun Jiang Si sama sekali tidak tampak terkejut. 　　"Aromanya terlalu familiar baginya, baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang. Bagaimana mungkin tidak terdeteksi begitu dia mendekat?" 　　"Ah Man, tunggu di sini. Tuan Gong Yu, silakan ikut saya." Jiang Si berjalan menuju depan. 　　Yu Jin terpaksa mengikuti dengan perasaan bingung meski raut wajahnya tetap tenang. 　　Padahal dia sudah bersembunyi sangat baik, bagaimana bisa ketahuan? Jangan-jangan nanti dia dikira penguntit psikopat? 　　Mereka berjalan sekitar belasan meter sebelum berhenti. 　　Jiang Si berbalik tajam, bertanya dengan wajah muram: "Mengapa Tuan Gong Yu menguntut saya?" 　　Yu Jin menyentuh hidungnya ringan. 　　Karena pertanyaannya langsung ke inti, tidak ada pilihan selain mengandalkan ketebalan muka warisannya. 　　"Ada salah paham, Nona Jiang. Saya bukan menguntut, tapi melindungi Anda." 　　"Melindungi saya?" Jiang Si menaikkan alis. "Apakah Tuan Gong menganggap saya anak kecil? Kita bukan saudara, saya pun tidak pernah meminta bantuan. Masuk akalkah klaim perlindungan Anda di sini?" 　　Yu Jin menghela napas pelan. 　　Suaranya yang masih memiliki kecerahan remaja namun sudah berbalut kedalaman pria dewasa, membuat helaan itu terasa seperti angin pagi yang menyapu relung hati. 　　Tiba-tiba Jiang Si teringat masa awal pernikahan mereka, saat dia berulang kali berbisik di telinganya. 　　“Saat itu dia tak bisa menahan diri untuk berpikir, dari mana seorang pria bisa memiliki begitu banyak hal untuk dibicarakan? Bahkan saat dia ingin memilih warna lipstik, pria itu antusias membantu memilih. Pada akhirnya, lipstik yang terbuat dari sari bunga itu malah jatuh ke tangan si brengsek...” 　　Yu Jing menyadari gadis di hadapannya tampak melamun. 　　Padahal dia, seorang lelaki hidup, berdiri tepat di depannya. Masih ada saja kesempatan baginya untuk melamun? 　　Yu Jing membersihkan kerongkongannya untuk menarik perhatian gadis itu, lalu mengingatkan dengan ramah: "Nona Jiang rupanya lupa, kamu sudah membayar uang perlindungan." 　　"Uang perlindungan apa?" 　　"Bukankah aku masih berhutang seribu tael pada Nona Jiang? Nona juga melarangku menjual diri untuk melunasi hutang..." Ekspresi Yu Jing penuh keluhan, "Tapi aku ini orang yang tak tenang jika berhutang. Anggap saja seribu tael itu sebagai biaya perlindungan. Mulai sekarang, keselamatan Nona Jiang menjadi tanggung jawabku." 　　Mata Jiang Si semakin membesar mendengar penjelasan itu. 　　Masih bisa dihitung seperti ini? 　　"Seperti yang Tuan Gong lihat, dayangku cukup terampil bela diri. Tak perlu Tuan Gong melindungiku. Seribu tael itu tuan boleh hutang dulu." Setelah berkata demikian, Jiang Si melontarkan pandangan dingin, "Aku tak ingin kejadian diikuti Tuan Gong terulang lagi. Jika tidak, aku akan menganggap Tuan Gong sebagai seorang pencabul." 　　Yu Jing menatap Jiang Si dengan terkejut. 　　Rupanya selama ini dia belum mulai menganggapnya sebagai pencabul? 　　Benar-benar nona baik yang berhati lembut. 　　“Apa? Baru saja wanita baik dalam ucapannya itu berniat memotong kemaluan seorang pria?” 　　Heh, pria yang mabuk lalu memanjat tembok untuk mengganggu janda di tengah malam, untuk apa menyimpan kemaluannya? Menunggu tahun baru menyembelih babi? 　　“Tuan Yu, saya pamit.” Jiang Si membungkuk sedikit ke arah Yu Qi, lalu memberi isyarat pada Ah Man untuk mengikutinya. 　　Harus diakui dia cukup beruntung, kali ini yang mengikutinya adalah Yu Qi. Berdasarkan pemahamannya terhadap Yu Qi, meski melihat perbuatan aneh yang dilakukannya bersama Ah Man, pria itu akan menjaga kerahasiaan. 　　Seandainya orang lain—Jiang Si langsung mengerutkan kening hanya dengan membayangkan kemungkinan itu. 　　Seandainya orang lain, mungkin dia harus melakukan lebih banyak usaha. 　　Ilmu gaibnya dipelajari dari Tetua Suku Wu Miao, sementara Tetua Suku Wu Miao memimpin seluruh suku mereka dengan mengandalkan kekuatan mistis ini. 　　Dibandingkan jurus bela diri nyata, ilmu gaib bisa membunuh secara tak kasat mata, merupakan sesuatu yang lebih mengerikan dan misterius. 　　Di seluruh Suku Wu Miao, anak perempuan berbakat ilmu gaib sangat langka. Yang terbaik akan ditetapkan sebagai Santo Perempuan, sebagai penerus Tetua Suku. Tetua dan Santo Perempuan adalah pilar spiritual suku mereka. 　　Santo Perempuan A Sang adalah cucu Tetua Suku Wu Miao, tapi bukan karena statusnya sebagai cucu tetua lalu diangkat menjadi santo. 　　A Sang menjadi Santo Perempuan karena bakat luar biasanya, sehingga setelah wafat, demi stabilitas suku, kabar kematiannya sengaja ditunda sampai dia terdampar di Perbatasan Selatan dan kebetulan hidup menggunakan identitas A Sang. 　　“Meskipun telah mempelajari beberapa teknik gaib, di kehidupan sebelumnya dia tidak punya kesempatan untuk menggunakannya, apalagi melakukan hal seperti membunuh saksi.” 　　“Orang yang menguntitnya malam ini adalah Yu Qi (Pangeran Ketujuh), bukan orang asal yang tidak jelas asal-usulnya, ini menghindarkan masalah besar.” 　　“Nona Jiang sudah mau pergi?” Yu Jin tersenyum bertanya. 　　Jiang Si berhenti melangkah, menatap Yu Jin dengan serius: “Apa maksud Tuan Gong ini?” 　　Yu Jin maju selangkah, aroma khas pria langsung menyelimutinya: “Aku akan memberitahu adik Jiang Er.” 　　Jiang Si yang tadi masih sangat percaya diri: “...” Dia ingin membunuh saksi! 　　“Aku akan beri tahu adik Jiang Er bahwa adik perempuannya yang dianggap lemah lunglai ini pergi ke desa tepi Sungai Jinshui di tengah malam gelap untuk menguntit pemabuk, memukulnya sampai pingsan dan hendak memotong 'akar'-nya, oh iya, juga berpura-pura jadi hantu perempuan...” Di akhir kalimat, Yu Jin hampir tak bisa menahan tawa. 　　“Selama bertahun-tahun, gadis yang kusukai selalu begitu istimewa.” 　　“Sebenarnya kau ingin apa?” Jiang Si benar-benar naik pitam. 　　“Dulu kenapa tak kusadari bajingan ini begitu tak tahu malu, sampai berani mengancam perempuan dengan cara hina seperti ini.” 　　Yu Jin tertawa rendah: “Nona Jiang masih belum mengerti? Aku sedang mengancammu.” 　　“Kalau berpura-pura jadi pria bijak tak bisa mendapat simpatinya, lebih baik jujur saja pada diri sendiri.” 　　“Terserahlah disebut memaksa atau tak tahu malu, seumur hidup ini aku hanya mau Jiang Si.” 　　Jiang Si menggigit bibirnya kesal. 　　“Dia benar-benar berani mengancamku secara terang-terangan!” 　　“Tuan Gong Yu, jangan kira karena kau teman Kakak Keduaku, aku tidak berani berbuat apa-apa.” Saat ini, Jiang Si benar-benar terlintas keinginan untuk memberi pelajaran pada bajingan ini. 　　“Nona Jiang ingin membungkam saksi?” Yu Jin mengeluarkan belati dan menyodorkannya ke tangan Jiang Si, matanya berbinar penuh canda dalam gelapnya malam, “Aku janji tidak akan melawan.” 　　Jiang Si menggenggam erat belati itu. 　　Sensasi dingin gagang belati menyadarkannya, membuatnya tertegun memegang senjata itu tanpa gerakan. 　　“Jika Nona Jiang tidak tega melakukannya——” 　　Jiang Si menatap lelaki yang tetap santai berkelakar dihadapannya, dalam hati bertanya-tanya apakah dia akan mengucapkan kalimat munafik seperti “jika kau tidak tega maka aku yang akan melakukannya sendiri”? 　　Tiba-tiba lelaki itu tersenyum manis: “Kalau begitu aku akan terus mengancammu.” 　　Jiang Si: “……” 　　Memejamkan mata, menarik napas dalam, menekan dorongan untuk membungkam saksi. 　　“Mari kita bicara baik-baik.” 　　Yu Jin tertawa rendah: “Sangat kudambakan. Ikutlah denganku, Nona Jiang.” 　　Menyusuri jalan ke barat, melewati gang-gang sepi tak berpenghuni, Yu Jin akhirnya berhenti. 　　“Nona, kenapa dia membawa kita ke sini?” 　　Tempat ketiganya berhenti persis di mulut Gang Quezi. 　　“Kalau mau bicara baik-baik, rumahku paling nyaman. Jika Nona Jiang merasa tidak pantas, ke rumahmu juga boleh.” Yu Jin menawarkan dengan penuh perhatian. 　　“Kau... kau bangsat ini——!” Ah Man menuding Yu Jin dengan gemetar. 　　Apakah Nona kami ini tipe orang yang langsung pingsan begitu melihat pria tampan? 　　Jiang Si melirik Yu Jin, lalu berjalan lebih dulu ke dalam gang: "Ayo ke rumahmu." 　　Ah Man: "……" 　　Jangan ajak dia bicara, suasana hatinya agak rumit! 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya, sampai jumpa besok. 89.Bab 89 Percakapan Malam di Ruang Baca 　　Bab 89 Percakapan Malam di Ruang Baca 　　Gang yang remang-remang pecah kesunyiannya oleh derap kaki halus. 　　Yu Jin mendekat, mengetuk pintu dengan ritme tertentu. 　　Pintu segera terbuka, Pelayan minggip dengan hormat ke samping. 　　Tapi Yu Jin tidak langsung masuk, malah menoleh dan mengulurkan tangan memberi isyarat silakan. 　　Jiang Si berhenti sebentar, mengabaikan tatapan kaget Pelayan lalu melayang lewat. 　　Bahkan saat pintu cepat ditutup, Pelayan masih terlihat seperti orang sedang berjalan dalam mimpi. 　　Di kamar sayap, Long Dan sedang menempelkan wajah di jendela mengintip keluar. 　　Leng Ying terbaring telentang, napasnya halus. 　　"Jangan pura-pura tidur, cepat lihat! Tuanku bawa seorang Nona pulang!" Long Dan bersemangat memanggil kawannya. 　　Leng Ying menggerakkan kelopak matanya. 　　Long Dan bergumam girang: "Aku heran kenapa hari ini tuanku pergi tidak mengajakku, ternyata ada urusan. Tunggu, Nona yang dibawa tuanku ini ternyata Nona yang siang tani datang!" 　　Leng Ying membuka mata tanpa ekspresi, lalu menutupnya lagi sambil membalik badan. 　　Tidur sekamar dengan orang yang suka gosip begini, benar-benar menjengkelkan. 　　Tapi—apakah tuanku sudah punya kekasih? 　　“Aneh, Er Niu kok tidak ada reaksi?” Long Dan mengerutkan kening. 　　Menurut logika, Er Niu seharusnya lebih antusias daripada dia dalam situasi ramai seperti ini. 　　Er Niu yang berbaring di bayangan perlahan mengibas-ngibaskan ekornya dengan santai, moncongnya menghadap langit. 　　Manusia bodoh, inikah saat yang tepat untuk mengganggu? 　　Yu Jin membawa Jiang Si masuk ke dalam rumah, berdiri di ruang tengah sambil ragu-ragu. 　　Meski sangat ingin membawanya ke kamar tidur... ehem, masih ada waktu panjang ke depan. Jika sampai membuatnya kabur, itu akan menjadi kerugian besar. 　　"Mari kita ke ruang belajar." 　　Jiang Si mengangguk. 　　Ah Man buru-buru menyusul. 　　Dia harus mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kesucian nona! 　　"Ah Man, tunggu saja di luar," kata Jiang Si dengan datar. 　　Ah Man: "......" 　　Yu Jin tertawa gelak, hatinya berbunga-bunga. 　　Meski tak tahu dari mana datangnya sikap jijik dan kewaspadaan gadis ini setiap kali bertemu, si gadis bodoh ini mungkin tak sadar: kerelaannya berduaan dengan seorang pria di tengah malam sudah membuktikan pengakuannya terhadap karakter pria tersebut. 　　Rupanya penilaiannya di hati sang nona cukup tinggi. 　　Yu Jin tiba-tiba merasa sangat percaya diri akan masa depan. 　　Jiang Si yang tak pernah tahu tentang tempat persinggahan rahasia Yu Jin di kehidupan sebelumnya, matanya menjelajahi ruang belajar dengan penuh rasa ingin tahu. 　　Ruang belajar itu sederhana: di sebelah kanan berdiri rak buku tinggi menempel dinding, dekat jendela terdapat meja tulis panjang dengan tinta, tempat cuci kuas, dan pemberat kertas berserakan. Di sisi lain terdapat dipan rendah menempel dinding. 　　"Barang-barang seperti tempat dupa dan vas bunga tidak ada, rak buku juga hanya berisi beberapa jilid buku. Namun lilin di dalam kandil menjilat-jilat, menerangi seluruh ruangan, sangat... sesuai dengan gaya Yu Qi (Pangeran Ketujuh)." 　　Setelah melihat semua ini, Jiang Si tak bisa menahan pikiran yang melintas di benaknya. 　　"Silakan duduk dulu, saya akan mengambil air." 　　"Tidak perlu——" 　　Yu Jing sudah berjalan keluar. 　　Jiang Si menggigit bibirnya, lalu memilih sebuah kursi baca secara acak untuk duduk. 　　Tak lama kemudian Yu Jing kembali, meletakkan teko dan cangkir di atas meja, namun yang dituangkannya hanya air putih. 　　"Saat ini tidak tepat untuk minum teh, lebih baik minum air hangat." 　　Jiang Si menerima cangkir itu sambil mengucapkan terima kasih. 　　"Nona Jiang suka minuman apa? Lain kali saya akan siapkan." 　　Dua kata "air madu" hampir terucap, namun Jiang Si berhasil menahannya. 　　"Tidak perlu repot-repot. Saya rasa tidak akan mengganggu Tuan Gong Yu lagi di masa depan. Mari kita bahas masalah hari ini saja." 　　"Bagaimana Nona Jiang ingin membahasnya?" Tubuh Yu Jing sedikit condong ke depan, menunjukkan sikap kooperatif. 　　Matanya yang berbentuk mata phoenix sangat indah, pupil hitamnya berkilau seperti permata, memancarkan pesona memikat seiring gerakan bola matanya. 　　Jiang Si menarik jarak sedikit ke belakang, mengerutkan alis dengan tidak puas. 　　Bersikap sembrono seperti ini di depan gadis yang hanya beberapa kali bertemu, sungguh tidak pantas. 　　"Sejak kapan Tuan Yu mulai mengikuti saya?" 　　Yu Jing sedikit mengangkat alisnya, namun tidak menjawab. 　　“Tuan Gong Yu tidak ingin menjawab?” 　　Yu Jin tiba-tiba tersenyum: "Nona Jiang, ini bukan sikap yang baik untuk bernegosiasi. Jangan lupa, sekarang sayalah yang mengancammu, bukan sebaliknya." 　　Si gadis ini, kalau sejak sekarang sudah berani mendominasi, bagaimana nanti? Harus menunggu sampai dia menikah barulah aku rela. 　　Menutup mata, menarik napas dalam, menekan dorongan untuk membungkamnya selamanya. 　　“Menurut Tuan Gong Yu, bagaimana caranya bernegosiasi?” 　　Yu Jin tertawa pendek, seolah yakin gadis dihadapannya tidak akan menolak: "Nona Jiang mengajukan pertanyaan dulu, saya jawab. Kemudian saya yang bertanya, anda jawab. Begitu seterusnya baru adil. Bagaimana menurut Nona Jiang?" 　　Jiang Si menggigit bibirnya perlahan. 　　Bajingan ini memang benar-benar tidak mau rugi sedikitpun. 　　Di kehidupan sebelumnya dia membujukku menjadi pengganti orang yang dicintainya. Saat aku sadar sudah terlambat, setiap kali mengingat kelakuan bajingan itu hati menjadi lembek - tidak tegas menggunakan cara pura-pura mati atau menjadi biksuni, hanya bisa terus terlibat dan menderita. Rasanya sungguh sulit diungkapkan. 　　“Baiklah, begitu saja.” 　　“Kalau begitu Nona Jiang bertanya dulu.” Yu Jin memainkan cangkir teh, pandangannya menyapu wajah gadis itu yang cantik dan bersih. 　　Sepertinya dia marah. 　　Marah pun tetap menggemaskan, ingin sekali menciumnya. 　　Sorot mata pemuda itu tiba-tiba menjadi gelap, tertuju pada bibir gadis yang berbentuk sempurna. 　　“Harus diakui, gadis ini sungguh dikaruniai keindahan alami. Bibirnya merah merona tanpa perlu polesan, berwarna merah muda yang paling memikat, lembap sempurna tanpa satu garis keriput pun.” 　　Tatapan Yu Jin menjadi lebih gelap. 　　Jiang Si tiba-tiba merasa udara di dalam ruangan terasa pengap. 　　Bayangan siluet mereka terpantul di kertas jendela, sejenak waktu seolah terhenti. 　　Long Dan yang berjongkok di halaman menatap tajam ke arah jendela, perasaan tegang membara di dadanya. 　　"Tuanku membawa nona ini pulang di tengah malam hanya untuk mengobrol biasa?" 　　"Ungkapan 'marah melihat besi tak menjadi baja' sempurna menggambarkan perasaan pengawal muda ini saat ini." 　　"Baik, kembali ke pertanyaan tadi. Sejak kapan Tuan Gong Yu mulai menguntitku?" 　　"Bukan menguntit, melindungi." Yu Jin menegaskan, melihat gadis di hadapannya hendak marah, baru melanjutkan santai, "Sejak Nona Jiang pergi dari tempatku." 　　"Mengapa?" 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Itu pertanyaan kedua." 　　Jiang Si menarik napas pelan, berkata dingin: "Silakan tanya." 　　"Bagaimana Nona Jiang menemukan Putra Mahkota Marquis Changxing meresahkan perempuan?" 　　Kata-kata Jiang Si yang menyamar sebagai arwah putri Xiuniangzi, semuanya terdengar jelas oleh Yu Jin yang bersembunyi di balik layar. 　　Saat itu, begitu terpikir Jiang Si menginap di Keluarga Marquis Changxing satu malam langsung menemukan rawa mengerikan Putra Mahkota, Yu Jin ingin segera mencincang tubuh sang Putra Mahkota berkeping-keping. 　　“Apakah binatang itu melakukan sesuatu pada Jiang Si? Kalau tidak, bagaimana mungkin seorang nona kecil seperti dia tahu hal-hal ini?” 　　Jiang Si menghela nafas dalam hati. 　　Sudah tahu dia akan menanyakan ini. 　　Cara menghabisi Putra Mahkota Marquis Changxing hingga hancur reputasinya, sebenarnya sudah direncanakannya tanpa melibatkan orang lain untuk menghindari komplikasi. 　　Tapi dia mengenal Yu Qi. Jika hari ini dia mengelak, besok pagi Putra Mahkota itu sudah akan dipotong-potongnya untuk pakan anjing - sederhana, cepat, dan semau gue. 　　Dia tidak mau membuat Putra Mahkota Marquis Changxing terlalu mudah terlepas! 　　“Pergi ke taman Kediaman Marquis di malam hari, tak sengaja melihat pelayan pria Putra Mahkota mengubur mayat, mendengar percakapan mereka.” 　　Yu Qi tiba-tiba berdiri tegak. 　　Jiang Si panik, langsung menghadang di depannya: “Kau mau ke mana?” 　　Rekomendasi novel Yun Ni 《Mahkota Pengantin》: Ia dicekik sampai mati di ranjang pengantin oleh suami barunya. Suaminya pun terjerumus dalam penjara. Di balik tembok istana, pertarungan terselubung terus bergulir. Awalnya ingin bersikap masa bodoh, tapi nasib berkata lain - peran pasangan palsu ini tetap harus ia mainkan. 90. Bab 90 Kompensasi 　　Bab 90 Kompensasi 　　Keduanya tiba-tiba berjarak sangat dekat. 　　Nafasnya yang mendadak tersengal bisa didengarnya, sementara pandangannya menyapu leher gadis itu yang putih bak salju. 　　Di jendela, bayangan dua manusia itu menyatu. 　　Long Dan ternganga kaget. 　　Di dalam ruangan, Jiang Si menyadari kekeliruannya dan mundur selangkah, namun tetap menghalangi jalan lawan. 　　Yu Jing tak bisa menahan tawa: "Nona Jiang mengira aku mau ke mana? Aku hanya ingin ke kamar kecil." 　　Wajah Jiang Si memerah. 　　Bagaimana mungkin pria dewasa berbicara langsung tentang ke kamar kecil di depan nona? Kenapa dia tidak punya rasa malu? 　　Tunggu, Yu Qi sekarang masih dihitung sebagai pemuda, mungkin belum memiliki kesadaran sebagai pria dewasa. 　　Hmm, pasti karena inilah dia membuatku merasa tidak nyaman setelah pertemuan kembali kami. 　　Perubahan ekspresi halus sang gadis terlihat oleh Yu Jing, membuatnya tanpa alasan merasa kesal. 　　Seolah gadis ini sedang memikirkan sesuatu yang tidak menyenangkan baginya. 　　Yu Jing duduk kembali. 　　"Bukankah Tuan ingin ke kamar kecil?" Jiang Si sudah kembali tenang, mengerutkan alis bertanya. 　　"Karena Nona Jiang tidak tega melepas kepergianku, maka aku tidak jadi pergi." Yu Jing berkata dengan serius, "Aku bisa menahan." 　　Urat di pelipis Jiang Si berdenyut-denyut. 　　Dia ingin membunuh bajingan ini! 　　Tiba-tiba Yu Jing menyandar ke depan, wajah tampannya tiba-tiba membesar: "Masih maukah kita melanjutkan percakapan?" 　　Tutup mata, tarik napas dalam, tekan dorongan untuk membungkamnya selamanya. 　　Senyum kaku terpampang di bibir Jiang Si: "Lanjutkan!" 　　"Sekarang giliranku bertanya." Yu Jing duduk tegak sambil tersenyum. 　　Jiang Si mengangkat alis: "Tuan Yu baru saja menanyakan bagaimana aku menemukan kasus Putra Mahkota Marquis Changxing merusak perempuan, sekarang giliranku bertanya." 　　Pemuda di seberang mengedipkan mata tak bersalah: "Nona Jiang sudah bertanya." 　　Jiang Si tertegun sejenak. 　　Yu Qi tersenyum: "Barusan Nona Jiang bertanya kemana aku akan pergi." 　　Jiang Si: "..." 　　Melihat gadis itu benar-benar hendak meledak, Yu Qi mengusap kepala gadis itu dengan lembut, nada bicaranya penuh kelunakan: "Sudah, tanyakan saja apa yang ingin kau tanya. Aku akan jujur menjawab semua pertanyaanmu, bagaimana?" 　　Dasar gadis bodoh, dia bahkan rela menjual diri untuk melunasi utang. Seluruh dirinya bisa menjadi miliknya, tapi dia masih mempermasalahkan hal sepele seperti siapa yang lebih banyak bertanya. 　　Jiang Si memalingkan kepala: "Tuan Gong Yu, harap jaga sopan santun!" 　　Tangan yang sedang mengusap kepalanya terhenti. Yu Qi menunduk dan menghela napas: "Kurasa aku harus keluar sebentar. Mungkin Nona Jiang tidak tahu, aku punya kebiasaan buruk." 　　"Kebiasaan buruk apa?" 　　"Kalau suasana hati sedang buruk, aku ingin membunuh orang. Kebetulan Putra Mahkota Marquis Changxing bukan orang baik. Malam ini aku akan membunuhnya, maka makanan anjing Er Niu beberapa hari ini tak perlu khawatir." 　　Anjing besar yang sedang berbaring di sebelang Long Dan mengibaskan ekor dengan angkuh. 　　Aku pemilih soal makanan! 　　Jiang Si menatap Yu Qi tak berkedip, lama kemudian bertanya: "Bisakah aku menganggap ini sebagai ancamanmu lagi?" 　　Yu Qi tertawa terbahak-bahak, suara tawanya yang jernih menerobos jendela. 　　Long Dan menggaruk kepala, penasaran sampai gelisah. 　　"Perbuatan Tuan Gong seperti ini tidak pantas seorang pria terhormat." 　　Yu Qi mengangguk: "Aku tahu." 　　Bisakah menjadi pria terhormat mempersunting nona yang dicintai? 　　“Hēhē, sebelumnya berpura-pura menjadi pria terpelajar sampai tidak bisa banyak bicara dengannya, setelah sekali berulah kurang ajar langsung membawanya pulang di tengah malam.” 　　Mana yang lebih baik, tidak perlu dipikirkan pun sudah tahu. 　　“Kau seperti ini——” Jiang Si hendak berkata akan sulit mendapat istri, tapi mengingat statusnya, diam-diam menelan kembali kata-katanya. 　　Pangeran Ketujuh yang terhormat, mana mungkin khawatir akan hal ini. 　　“Nona Jiang jangan-jangan masih merasa kasihan pada nyawa Putra Mahkota Marquis Changxing?” 　　Jiang Si menyeringai dingin: “Ada orang yang nyawa saja tidak cukup untuk menebus dosa-dosanya!” 　　Nyawa satu bagaimana bisa cukup? 　　Bagaimana dengan gadis-gadis yang dibunuh binatang itu di usia muda? Bagaimana dengan keluarga yang kehilangan putri tercinta? 　　Bisakah membesarkan anak seperti Putra Mahkota Marquis Changxing tanpa sedikit pun tanggung jawab dari pasangan Marquis? 　　Ia tidak bisa membiarkan keluarga Marquis Changxing tetap makmur seperti kehidupan sebelumnya setelah kematian mendadak Putra Mahkota mereka. 　　Kemewahan yang mereka pamerkan itu tidak pantas mereka dapatkan! 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Yu Jin tertegun, lalu tersenyum. 　　Sudah kuduga, nona yang bisa tanpa ragu memotong kemaluan laki-laki mana mungkin mengasihani seekor binatang. 　　Menurutnya, itu bukan kebaikan, tapi kebodohan. 　　“Jadi tolong Tuan Gong Yu jangan ikut campur dan merusak rencanaku.” 　　Yu Jin terlihat bimbang: "Tapi kalau tidak membunuh, aku tidak bisa memulihkan suasana hatiku. Mungkin beberapa hari ini aku tidak bisa tidur nyenyak. Nona Jiang memintaku melakukan pengorbanan sebesar ini, tidakkah kau bersedia memberikan kompensasi?" 　　Jiang Si terkejut. 　　Pengorbanan apa sebenarnya yang dia lakukan? 　　Tapi di kehidupan sebelumnya, bajingan ini memang bukan tipe yang patuh pada aturan. Selama dia mau, tidak ada yang tidak bisa dia lakukan. 　　Yu Qi yang lahir di keluarga kerajaan benar-benar berbeda dengan saudara-saudaranya yang berperilaku baik demi tahta. 　　"Kompensasi apa yang kau mau?" tanya Jiang Si dengan nada dingin. 　　Untuk sementara Xiuniangzi si Ratu Tahu sudah diatur, masih ada urusan Kuil Lingwu yang harus diselesaikan. Dia tidak punya waktu untuk berlama-lama di sini. 　　Yu Jin tiba-tiba condong ke depan dan mengecup lembut dahi gadis itu yang putih mulus. 　　Jiang Si seperti tersambar petir, terdiam cukup lama. 　　"Sudah." Yu Jin tersenyum puas. 　　Ajaibnya tidak kena tusuk pisau. Benar-benar kejutan, memang yang berani bisa kenyang, yang penakut bisa kelaparan. 　　Baru sekarang Jiang Si bereaksi, menampar Yu Jin. 　　Ah Man yang berjaga di ruang utama menatap langit. 　　Yang penting nona tidak dirugikan. 　　Suara tamparan nyaring itu bahkan terdengar jelas oleh seorang manusia dan seekor anjing di halaman. 　　Er Niu mengangkat satu kaki menutupi matanya. 　　Majikan kena pukul? Sungguh memalukan untuk dilihat. 　　Long Dan tak sadar menelan ludah. 　　"Sama sekali tak disangka, Tuanku malah ingin memaksakan diri! Tapi kenapa malah dipukul balik oleh nona itu?" 　　"Tak disangka nona yang dibawa Tuanku jurusnya sehebat ini!" 　　"Itu karena Tuanku tidak menghindar." Leng Ying tiba-tiba muncul dan berkata dingin. 　　"Kenapa kau datang?" 　　"Jika kau terus berjongkok seperti ini, besok kau akan dipukuli sampai mati oleh Tuanku." 　　Long Dan bangkit dengan lesu, melangkah ke kamar sambil menoleh-noleh berkali-kali. 　　Er Niu mengibaskan bulunya. 　　Di saat seperti ini keunggulan anjing terlihat, ia bisa memandang semaunya sambil terus mengibas-ngibaskan badan. 　　Melihat senyum santai pemuda di depannya, Jiang Si gemetar karena marah. 　　Dia berani menyentuhku seenaknya, bahkan dengan sikap tak bersalah seolah tak melakukan kesalahan! 　　Yu Jin bersandar di kursi dengan bekas tamparan merah di pipi: "Nona Jiang, mari kita bahas urusan resmi. Sekarang moodku sudah pulih." 　　"Tidakkah kau merasa tindakanmu tadi sangat tak tahu malu?" 　　Yu Jin mengangkat kedua tangan, berkata tak acuh: "Tapi inilah kompensasi yang kuinginkan. Jika tidak, aku akan membunuh orang." 　　Matanya berkilat licik, senyumnya menggoda: "Nona Jiang, kita bukan saudara. Masak hanya karena kau mengajukan syarat sembarangan, aku harus setuju? Logikanya bukan begitu. Jika tak bisa menekan dengan kekuasaan, pertukaran setara adalah prinsip yang benar." 　　Jiang Si merasa sesak dada. 　　Dari mana dia dapat teori ngawur seperti ini? 　　Yu Jin mengubah nada bicaranya: "Tentu saja, meskipun aku bukan pria bijak, aku tetap seorang lelaki. Aku bersedia bertanggung jawab setelah mencium Nona Jiang. Maukah kau menikah denganku?" 　　Ucapannya terdengar santai, namun tangan yang tergantung di samping tubuhnya mengepal erat, mengungkapkan kegelisahan dalam hatinya. 　　Terima kasih untuk hadiah dan votingnya, sampai jumpa besok. 91. Bab 91 Penolakan 　　Bab 91 Penolakan 　　Yu Jin menunggu jawaban itu dengan perasaan bak menyambut ritual suci. 　　Dengan strategi matang dan kehati-hatian, dia telah lama ingin mengajukan pertanyaan ini selama pendekatannya. 　　Jika dia bersedia, dia akan menerobos segala rintangan yang menghalangi jalan pernikahan mereka. 　　Jika dia menolak - dia tentu akan menunggu sampai dia bersedia. 　　Pertanyaan yang dilontarkan Yu Jin dengan santai ini membuat Jiang Si pucat pasi setelah keterkejutan awalnya. 　　Ternyata dia kembali mencoba membujuknya untuk mengangguk setengah sadar seperti di kehidupan sebelumnya, meski dulu statusnya masih Putri Wu Miao, sedangkan sekarang hanya gadis Keluarga Bo yang baru memutuskan tunangan. 　　Andai dia benar-benar mengangguk, mungkinkah dia akan menggelar upacara pernikahan megah untuk menjadikannya Permaisuri? 　　Pikiran ini sekilas melintas di benak Jiang Si sebelum kesadarannya semakin jernih. 　　Di kehidupan ini, dia takkan lagi memberi kesempatan untuknya mendekat seperti ular memanjat tongkat. 　　"Aku tak mau. Jangan lagi Tuan Yu membuat lelucon seperti ini." Jiang Si mengangkat tangan, mengusap dahi yang baru saja dicium dengan punggung tangannya. 　　“Pada saat itu, dia seolah melihat cahaya di mata pemuda di seberang tiba-tiba meredup, tapi mungkin itu hanya ilusi. Saat dipastikan kembali, sosok itu tetap terlihat tenang bagai awan tipis.” 　　“Buah yang dipaksa dipetik takkan manis. Karena Nona Jiang tidak mau aku bertanggung jawab, biarlah. Mari lanjutkan topik kita tadi.” Yu Jin berkasa dengan santai. 　　“Katakan terus terang, Tuan Yu yang melihat kejadian malam ini, sebenarnya ingin apa?” Ciuman tiba-tiba tadi membuat hati Jiang Si kacau, dia merasa setiap helai rambut hingga ujung kaki pria ini memancarkan bahaya. 　　“Aku ingin tahu rencana Nona Jiang selanjutnya.” 　　Gadis ini nekat sekali, berani menyamar sebagai hantu di tempat asing di tengah malam. Siapa tahu apa lagi yang akan dilakukannya. 　　“Aku akan pergi bersembahyang di kuil, mendoakan para perempuan tak bersalah yang tewas mengenaskan.” 　　“Hanya itu?” 　　“Hanya itu. Kakanda Kedua akan menemaniku, jadi Tuan Yu tak perlu repot.” 　　Jiang Si sama sekali tidak berniat meminta bantuan Yu Jin. 　　Karena sudah bertekad menjauh darinya di kehidupan ini, tak pantas lagi meminta pertolongan saat ada masalah. 　　“Nona Jiang yakin Bapak Zhen akan membela keadilan untuk Xiuniangzi?” 　　Jiang Si tersenyum: “Ada pepatah 'lakukan yang terbaik dan serahkan pada takdir'. Aku sudah melakukan bagianku.” 　　“Bapak Zhen adalah orang yang mempelajari kitab suci, mungkin tidak percaya pada hal-hal gaib.” 　　“Pejabat baik yang benar-benar membela rakyat, dalam hal seperti ini lebih baik percaya meskipun belum pasti.” 　　Karena itulah dia harus pergi ke Kuil Lingwu untuk menemui keluarga korban perempuan lainnya. 　　Berturut-turut ada yang melapor ke Putra Mahkota Marquis Changxing, dengan kasus yang sama. Sekalipun yang tak percaya takhayul pun mulai goyah. 　　“Tampaknya Nona Jiang punya keyakinan besar pada Tuan Zhen.” 　　Jiang Si mendengar ini, hati penuh perenungan. 　　Sebenarnya, keyakinannya pada Tuan Zhen berasal dari orang di hadapannya ini. 　　Dia mengakui, meski orang ini pernah mempermainkan perasaannya, namun aspek lain darinya memberinya ketenangan. 　　Kalau tidak, dia takkan tergoda... 　　“Saya harus pulang. Harap Tuan Gong Yu menepati janji malam ini, jangan beri tahu Kakak Kedua saya.” 　　Yu Jin mengikuti keluar. 　　Langkah Jiang Si terhenti sebentar: “Tuan Gong Yu tak perlu mengantar.” 　　Yu Jin tersenyum menunjuk anjing besar yang berbaring di halaman: “Biarkan Er Niu mengantarmu pulang.” 　　Er Niu mendekat, mengendus-endus tangan Jiang Si dengan manja. 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu mengangguk. 　　Memandangi Jiang Si yang pergi ditemani Er Niu hingga jauh, Yu Jin tetap berdiri kaku di halaman. 　　Dia menunduk melihat tangannya, bayangan gadis itu mengusap keringat dahinya terlintas. 　　Tampaknya sang gadis lebih membencinya dari yang dia duga. 　　Rasanya sungguh tak enak. 　　Yu Jin mengeluarkan saputangan, menekan luka bekas kuku di telapak tangan. Kain putih segera ternoda darah. 　　Malam semakin larut. 　　“Er Niu kembali, melihat Yu Jin masih berdiri di halaman, dengan penuh kegirangan mendekat dan berputar-putar mengelilinginya.” 　　Yu Jin menarik-narik kedua telinga Er Niu sambil mengeluh: "Mengapa bahkan tidak bisa seimut dirimu?" 　　Benar-benar manusia tidak seperti anjing! 　　Er Niu merintih dua kali sambil menekuk ekornya. 　　Apakah menjadi imut itu dosa? Dia tidak bersalah! 　　Di Haitangju, A Qiao terus-menerus melirak clepsydra sambil gelisah berputar-putar. 　　Sudah larut begini, mengapa nona belum kembali juga? Jangan-jangan terjadi sesuatu? 　　Seharusnya tidak membiarkan nona bermain-main dengan Ah Man! 　　Saat A Qiao sedang menyesali keputusannya untuk keseratus kalinya, akhirnya terdengar suara dari pintu. 　　A Qiao hampir berlari keluar, menyambut Jiang Si dan Ah Man masuk. 　　"Nona, hamba hampir mati ketakutan." A Qiao memandangi Jiang Si dari atas ke bawah, melihatnya selamat langsung menangis. 　　Jiang Si menepuk-nepuk lengan A Qiao untuk menenangkan: "Sudah, tidak ada masalah. Air panas sudah siap?" 　　A Qiao mengangguk cepat-cepat. 　　Terakhir kali nona pulang tengah malam juga langsung mandi, dia sudah berpengalaman. 　　Semoga Tuhan melindungi, pengalaman seperti ini jangan sampai terpakai lagi. 　　Seluruh tubuh terendam dalam bak mandi beruap, Jiang Si merasa lelah sampai ujung jari pun malas digerakkan. 　　Kelelahan ini bukan karena urusan Xiuniangzi, melainkan berasal dari pria itu. 　　“Bagi Yu Qi (Pangeran Ketujuh), dia hanyalah pengganti sang kekasih yang telah tiada. Setelah mengetahui keberadaannya secara kebetulan, dia berusaha mati-matian untuk mendapatkannya demi mengisi kekosongan di hatinya.” 　　“Sedangkan baginya, dialah satu-satunya pria yang pernah membuatnya jatuh hati. Mereka hidup bersama mesra layaknya suami-istri selama setahun penuh.” 　　“Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa unggul dalam setiap pertarungan melawannya?” 　　“Sungguh tidak berguna!” 　　“Jiang Si (Nona Keempat) menutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu perlahan-lahan membenamkan diri ke dalam air, berpikir dengan perasaan kesal.” 　　“Keesokan harinya, teriakan memekakkan telinga mengoyak kedamaian Desa Wang.” 　　“Mayoritas penduduk Desa Wang bermarga Wang, semuanya berasal dari satu leluhur. Kepala desa Wang tentu saja juga bermarga Wang.” 　　“Rumah Kepala Desa Wang satu-satunya di desa yang memiliki bangunan bata biru beratap genteng. Tahun lalu setelah istri tuanya meninggal, dia menikahi janda muda cantik dari desa sebelah yang baru berusia 18-19 tahun.” 　　“Pagi ini, si janda muda keluar untuk membuang air. Begitu membuka pintu, matanya langsung disambut pantat putih berkilauan.” 　　“Ember berisi air itu langsung tumpah ke pantat putih itu, diikuti teriakan nyaring yang menarik perhatian seluruh tetangga untuk berkerumun.” 　　“Aduh, ini kan si bujangan tua Gou Sheng dari ujung barat desa!” 　　“Masa iya tidak dikenali hanya karena telanjang? Kan semua orang satu desa!” 　　“Astaga, kenapa pantat Gou Sheng ada bekas luka tebasan? Jangan-jangan dia mengincar istri muda kepala desa sampai ditebas seperti ini?” 　　Kepala Desa Wang mendengar diskusi warga dengan wajah pucat pasi. Di hari-hari panjang yang akan datang, dia berulang kali menghajar bujangan tua yang berulah tak senonoh di depan pintu rumahnya. 　　Pagi yang ramai ini tak ada yang menyadari Ratu Tahu, yang pernah dijuluki bunga desa, telah meninggalkan kampung diam-diam dengan membawa bungkusan kecil. Baru beberapa hari kemudian orang-orang sadar bahwa wanita gila yang kehilangan putrinya itu sudah lama tak terlihat. 　　Jiang Si bangun pagi-pagi untuk memberi salam pada Nyonya Feng. Kembali ke Haitangju, dia tidur lagi dan baru membuka mata menjelang tengah hari. 　　Ah Man membawa kabar baik: "Nona, A Fei sudah kembali." 　　Selamat pagi. 92. Bab 92: Aku Bisa Membunuh 　　Bab 92: Aku Bisa Membunuh 　　Jiang Si menemui A Fei di tempat sewaan barunya. 　　"Sudah merepotkanmu." 　　Setelah melakukan perjalanan panjang, A Fei terlihat lebih gelap tapi tetap bersemangat. 　　"Nona, melayani Anda sama sekali tidak berat," kata A Fei sambil melambaikan tangan sambil tersenyum. 　　Dengan uang dan harapan yang didapat, mana mungkin merasa lelah? 　　"Akhirnya bagaimana dengan orang itu?" 　　A Fei menggaruk kepala, memandangi Jiang Si dengan ragu-ragu. 　　Jiang Si tidak mendesak, menunggu dengan sabar jawaban A Fei. 　　Dia sudah berusaha maksimal. Pilihan selanjutnya adalah kebebasan orang lain. 　　A Fei mengamati ekspresi Jiang Si sambil tertawa kaku: "Orang tua itu ikut saya ke ibukota." 　　“Jiang Si meletakkan cangkir teh di tangannya: ‘Dia benar-benar ingin menemuiku?’” 　　“Selain itu, dia tidak bisa memikirkan alasan lain orang itu kembali ke ibukota.” 　　“A Fei tampak terkejut: ‘Ya, dia bersikeras ingin bertemu Nona, aku tidak bisa menghindarinya, terpaksa membiarkannya ikut.’” 　　“‘Dia di mana?’” 　　“‘Sementara kutantapkan di penginapan, apakah Nona bersedia menemuinya?’” 　　“Jiang Si berpikir sejenak lalu mengangguk: ‘Aturlah, aku akan menemuinya.’” 　　“Selama belasan tahun menyelidiki penyebab kematian tunangannya dengan susah payah, setelah membunuh musuhnya bunuh diri di makam sang tunangan, kesetiaannya tak perlu diragukan lagi, ketekunannya pun membuat orang merinding.” 　　“Perkara Nyonya Peramal Liu baru saja berakhir baik, jika karena penolakan ini si kakak di ibukota membuat keonaran, nanti pasti akan merepotkan.” 　　“‘Di mana Nona ingin menemuinya? Bagaimana dengan Gedung Teh Tianxiang?’” 　　“‘Tempat itu tidak cocok.’ Jiang Si menggeleng.” 　　“Orang itu berbeda dengan A Fei.” 　　“Meski A Fei preman jalanan, tapi asli orang ibukota, kemana-mana tidak menarik perhatian, sementara orang seperti itu jika bertemu di gedung teh akan terlalu mencolok.” 　　“Setelah berpikir panjang, Jiang Si memutuskan: ‘Bawa saja dia ke sini.’” 　　“A Fei ragu-ragu: ‘Nona, benar-benar di sini?’” 　　“Jiang Si tersenyum manis: ‘Lagipula ini rumah sewaan, tidak apa-apa.’” 　　“‘Baiklah, aku akan segera membawanya ke sini.’” 　　Jiang Si duduk di kursi rotan di tengah pekarangan dengan sabar menunggu seseorang. Ah Man memegang kipas sutra halus berdiri di sampingnya mengipasi. 　　Suara jangkrik di pohon terdengar nyaring berulang kali. 　　Ah Man akhirnya tidak tahan lagi, menyelipkan kipasnya di pinggang lalu menggoyang-goyangkan lengan baju Jiang Si: "Nona, semalam apakah Anda benar-benar diganggu oleh si bejat itu?" 　　Saat mendengar suara tamparan waktu itu, dia belum berpikir panjang. Tapi setelah direnungkan, ada yang tidak beres. 　　Kalau Nona tidak diganggu si brengsek itu, mengapa harus menamparnya? 　　Jiang Si menatap Ah Man, wajahnya mendung: "Peristiwa semalam jangan pernah disebut lagi." 　　Ah Man segera menutup mulutnya: "Berarti...berarti memang terjadi. Aduh, hamba benar-benar pantas mati, waktu itu harusnya langsung menerjang masuk!" 　　"Ah Man!" Suara Jiang Si rendah, pipi putihnya memerah. 　　Ini bukan karena malu, melainkan geram. 　　Mengingat kelancangan si bajingan itu, apalagi dirinya sendiri waktu itu tidak tegas menghukum, Jiang Si marah pada si brengsek sekaligus pada dirinya sendiri. 　　Pelayan ini sengaja mengungkit hal yang tidak ingin dibicarakan. 　　"Aduh, sepertinya A Fei sudah kembali." Melihat nonanya benar-benar marah, Ah Man buru-buru minggir. 　　A Fei masuk ditemani pria tinggi besar di sampingnya. 　　"Nona, ini adalah Jenderal Qin." A Fei segera memperkenalkan pada Jiang Si. 　　"Jiang Si mengalihkan pandangannya ke arah pria itu, mengangguk dengan sopan namun menjaga jarak." 　　"Saat itu dia tidak punya orang yang bisa diandalkan, A Fei kebetulan muncul. Orang seperti ini yang takut mati dan pandai mencari peluang, sebenarnya mudah dikendalikan." 　　"Tapi pria di hadapannya berbeda. Seseorang yang tidak takut mati dan tidak punya ikatan di dunia ini, dia tidak bisa menguasainya." 　　"Terhadap orang seperti ini, tentu harus bersikap sopan, mengantarnya pergi dengan damai adalah yang terbaik." 　　""Apakah kau yang menulis surat itu?" Pria itu melangkah mendekat, bertanya tak sabar." 　　"Ah Man segera menghalangi di depan Jiang Si, alisnya berkerut marah: "Orang macam apa yang tidak tahu sopan santun ini? Kau membuat Nona kami ketakutan!"" 　　""Ah Man, mundurlah." Jiang Si menyuruh Ah Man mundur, lalu mengangguk halus ke arah pria itu. "Benar, aku."" 　　""Bagaimana kau bisa tahu?" Pria itu wajahnya penuh semangat." 　　""Ini tidak bisa kukatakan padamu." Jiang Si tersenyum. "Sebenarnya bagi Jenderal Qin, apa pentingnya ini? Bukankah keinginanmu sudah tercapai?"" 　　""Aku--" Pria itu mengepal tangan hingga berderak, menatap Jiang Si tanpa berkedip." 　　"Ah Man mulai tegang." 　　"Dia bisa merasakan bahwa pria ini bukan orang sembarangan, sulit baginya menghadapinya." 　　"A Fei juga mulai gugup." 　　"Sepanjang perjalanan dia sudah punya sedikit ikatan dengan kakak ini. Nanti kalau dihabisi Nona, haruskah dia memohon ampun atau tidak?" 　　""Aku masih punya satu pertanyaan." Pria itu menatap tajam Jiang Si, takut orang di depannya kabur. "Hanya satu pertanyaan."" 　　“Jiang Si tersenyum dengan natural dan lembut: ‘Jenderal Qin, silakan bertanya.’” 　　“‘Apakah istriku benar-benar tidak menungguku dan sudah bereinkarnasi?’” 　　“Melihat pria itu gugup, A Fei mengerlingkan matanya.” 　　“Apa pria ini menempuh ratusan li mengikutinya ke ibukota hanya untuk menanyakan ini?” 　　“Pertanyaan ini bahkan bisa dijawabnya, jelas-jalemar ini adalah kebohongan yang dibuat Nona.” 　　“Jiang Si diam membisu.” 　　“Sebenarnya dia memahami tindakan pria ini.” 　　“Di mata siapapun, pertanyaan ini tak masuk akal, tapi bagi pria yang merindukan istrinya puluhan tahun, ini adalah motivasi hidup atau matinya.” 　　“Maka dia rela menempuh ratusan li hanya untuk berdiri di hadapannya dan mengajukan pertanyaan ini kepada sang pemecah misteri.” 　　“Bila orang lain mengajukan pertanyaan ini, itu konyol; bila orang lain menjawabnya, itu menggelikan.” 　　“Tapi dalam situasi ini, si penanya begitu serius dan religius, dan dia hanya ingin mendengar jawaban dari orang di hadapannya.” 　　“‘Menurut Jenderal Qin, seperti apakah istri Anda?’” 　　“‘Dia adalah Nona terbaik, baik hati, kuat, menggemaskan...’ Rangkaian pujian meluncur dari mulut pria kasar itu.” 　　“Jiang Si tersenyum: ‘Istri Jenderal Qin yang begitu baik pasti tidak akan tinggal di neraka menderita. Saya yakin dia sudah lama bereinkarnasi.’” 　　“Tubuh pria itu bergetar, terhuyung mundur beberapa langkah, tiba-tiba menutupi wajahnya.” 　　“Di bawah terik matahari, pria besar berperawakan kekar itu berdiri di halaman sambil menangis sunyi. Jangkrik yang bersembunyi di pohon tiba-tiba diam, menghentikan riuhnya.” 　　“Aduh, istri kakak kalau reinkarnasi, sekarang pasti sudah jadi nona dewasa.” A Fei tidak tahan dengan suasana mencekam ini, bercanda. 　　Pria itu berhenti, tiba-tiba menurunkan tangannya, matanya berkilau. 　　A Fei tidak berani bicara lagi. 　　Selalu merasa telah membuat masalah. 　　“Hehe, kakak, kita sudah bertanya yang perlu ditanyakan, aku antar kakak kembali ke penginapan untuk makan.” 　　Pria itu menggelengkan kepala: “Aku tidak punya uang untuk makan.” 　　Uang terakhirnya sudah habis digunakan saat datang ke ibukota untuk membunuh orang. 　　“Aku yang traktir. Kakak datang ke ibukota, sekali makan masih bisa kutanggung.” 　　“Aku juga tidak punya uang untuk pulang.” 　　“Ongkosnya aku yang bayar!” A Fei mengatupkan gigi. 　　Pria itu melirik A Fei, tiba-tiba mengepalkan tangan ke arah Jiang Si: “Aku ingin minta kerja di bawah Nona.” 　　Adik Ximei selalu bilang ingin melihat bagaimana rupa ibukota, kalau dia reinkarnasi, pasti akan suka di sini. 　　Dia ingin tinggal di tempat yang disukai adiknya. 　　Jiang Si tidak menyangka ada alur cerita seperti ini, ragu sejenak lalu berkata: “Aku tidak menerima orang yang tidak berguna.” 　　Pria itu tersenyum penuh keyakinan: “Aku bisa membunuh orang.” 　　Terima kasih untuk He Shibi dari donatur Feng Zhi Dian, terima kasih untuk teman-teman yang memberikan vote dan hadiah, sampai jumpa besok. 93. Bab 93 Kuil Lingwu 　　Bab 93 Kuil Lingwu 　　Perkataan pria ini membuat angin yang masuk ke halaman terasa semakin dingin. 　　A Fei refleks mengusap dagunya, tiba-tiba merasa bisa selamat sampai ibukota adalah keberuntungan besar. 　　"Bagaimana mungkin seseorang bisa menyebut keahlian 'membunuh' dengan begitu santai?" 　　"Aku sangat ahli membunuh." Pria itu menatap Jiang Si, menekankan lagi. 　　Ah Man maju selangkah, memarahi: "Kau aneh sekali, di hadapan nona kami berulang kali menyebut-nyebut pembunuhan, pantaskah?" 　　Meski nona kami berani menusuk pantat pria dengan pisau tanpa mengubah ekspresi, hal ini tak boleh diketahui orang luar. 　　Pria itu mengabaikan perkataan Ah Man, tetap menatap tajam ke arah Jiang Si. 　　Kebiasaan minum bertahun-tahun tak membuatnya benar-benar linglung, dia percaya gadis yang mengirim surat dari ratusan li jauhnya ini berbeda dengan perempuan biasa. 　　"Baik, mulai sekarang akan merepotkan Jenderal Qin." Jiang Si sedikit menekuk lutut. 　　Pria itu seolah lega: "Nona bisa panggil aku Lao Qin saja, 'Jenderal Qin' hanyalah ejekan orang." 　　"Lao Qin, mulai sekarang tinggallah di sini. A Fei, apa rencanamu?" 　　A Fei melirik ke sekeliling. 　　Pekarangan kecil yang bersih, kanopi pohon rindang menaungi panas musim panas, pot teratai di depan pintu - tempat tinggal terbaik yang tak pernah dialaminya seumur hidup. 　　Keraguan sesaat melintas di mata A Fei sebelum ia melambaikan tangan sambil tersenyum: "Aku tetap tinggal di tempat lama. Sejujurnya, sekarang ada beberapa saudara mengikutiku, memudahkan mereka melakukan tugas kecil atau mencari informasi. Aku akan datang ke sini setiap hari saja." 　　“Baik, besok aku akan pergi keluar. Kamu dan Lao Qin siapkan persiapan.” 　　Sekejap mata, hari pun berganti keesokan harinya. 　　Sinar matahari cerah menyepuh segala benda dengan lapisan emas, langit biru bersih tanpa setitik awan—cuaca sempurna untuk bepergian. 　　Jiang Zhan duduk tegak di atas kuda, jubah sutra putih bulan membuatnya tampak semakin gagah, memikat sorotan banyak nona kecil. 　　Ia sudah terbiasa dengan tatapan itu, tak merasa cangguh sedikitpun. Menoleh ke gadis dalam kereta, ia tersenyum memperlihatkan gigi putih rapi: "Adik Keempat, cuaca hari ini bagus. Nanti di pinggir kota tak ada yang lihat, Kakak Kedua ajakmu naik kuda ya." 　　Ah Man menyembulkan kepala, protes: "Tuan Kedua, nona tidak bisa naik kuda. Lagi pula tidak pantas naik satu kuda dengan Tuan, janganlah menghasut." 　　Jiang Zhan mencibir. 　　Aturan konyol ini entah dibuat oleh orang yang terlalu kenyang—semua dirancang untuk menyusahkan kaum perempuan. 　　"Adik Keempat, cepat tegur dayangmu ini. Berani sekali bicara seperti ini padaku." Gagal mengajak adiknya jalan-jalan, Tuan Kedua Jiang kesal, langsung menyeret si dayang menyebalkan ke dalam masalah. 　　"Hamba hanya bicara jujur——" 　　Jiang Si mengetuk kening Ah Man dengan jarinya, memarahi: "Jangan berani membantah Tuan Kedua." 　　Jiang Zhan melirik Ah Man dengan pandangan ringan, wajah penuh kemenangan. 　　“Di saat kritis, Adik Keempat masih berpihak padanya.” 　　Ah Man menutupi dahinya sambil melirik. 　　Tuan Kedua malah berebut perhatian dengan seorang dayang, sungguh memalukan. 　　Kusir yang mengemudi kereta mengenakan topi bambu peneduh, dari kota hingga pinggiran kota mengendarai kereta dengan stabil sepanjang jalan. 　　Di samping kusir duduk pelayan pria Jiang Zhan bernama Ah Ji. 　　Ah Ji sudah lama mengamati kusir di sebelahnya diam-diam, hatinya terus bertanya-tanya: Kapan kusir Keluarga Bo diganti orang? 　　Kusir itu tetap tenang menatap ke depan, sama sekali tidak menghiraukan tatapan penasaran Ah Ji. 　　Kusir itu ternyata Lao Qin. 　　“Adik Keempat, kenapa kamu ingin pergi ke kuil kecil di kota kecamatan? Di ibukota kan ada banyak kuil besar kecil.” Jiang Zhan cerewet di hadapan adiknya, tak lama diam mulai mengajak bicara lagi. 　　“Katanya kuil itu sangat mustajab.” Jiang Si mengeluarkan sapu tangan, “Kakak Kedua, usap keringatmu.” 　　Jiang Zhan tidak menerima: “Tak perlu, lagian nanti akan berkeringat lagi. Adik Keempat ambilkan aku pir saja.” 　　Menggigit pir bulat yang berair, Jiang Zhan menghela napas lega. 　　Punya adik perempuan memang enak, sekadar teman beribadah ke kuil, dia bisa kabur dari sekolah beberapa hari dengan alasan sah. 　　Kota Qingniu tidak terlalu jauh dari ibukota, menjelang malam rombongan itu tiba di kota kecamatan. 　　Hanya ada dua penginapan di kota kecil itu, di mata Kakak Kedua Jiang yang terbiasa dengan kemewahan ibukota, tempat ini tidak layak ditinggali. 　　“Adik Keempat, kita langsung pergi ke Kuil Lingwu saja.” 　　“Sudah larut begini, mungkin kuil tidak menerima peziarah lagi. Lebih baik kita pergi besok pagi.” 　　“Baiklah, maaf memaksamu.” Jiang Zhan memilih penginapan yang lebih besar, sibuk mengurus segala keperluan sebelum akhirnya beristirahat. 　　Penginapan seperti ini memiliki banyak celah keamanan. Di tengah malam yang sunyi, seorang pemuda menyelinap masuk dan bertemu dengan Jiang Si yang sudah menunggu. 　　“Nona, saya sudah bertanya sekilas tapi tidak mendengar ada keluarga yang kehilangan anak perempuan di kota kecil ini.” 　　Pemuda itu adalah A Fei yang datang sehari sebelumnya sesuai perintah Jiang Si dan menginap di penginapan lain. 　　Ketidakberhasilan A Fei membuat suasana hati Jiang Si sedikit murung. 　　Di kota kecil seperti ini, kehilangan dua ekor ayam pun pasti jadi bahan perbincangan, apalagi kehilangan anak perempuan. 　　Kegagalan A Fei mencari informasi hanya membuktikan satu hal: gadis itu bukan penduduk asli Qingniu Zhen. 　　Kuil Lingwu terletak di Qingniu Zhen. Jika gadis itu bukan penduduk sini, berarti cakupan pencarian jadi lebih luas. 　　“Begini saja. Besok kamu terus mencari informasi di kota. Setelah saya ke Kuil Lingwu, akan saya sampaikan kabar lelao Qin jika ada perkembangan.” 　　A Fei mengangguk patuh, tidak banyak bertanya lalu pergi diam-diam. 　　Jiang Si duduk sendirian beberapa saat sebelum akhirnya tertidur karena kelelahan perjalanan. 　　Keesokan harinya cuaca masih cerah. 　　"Sekelompok orang tiba di Kuil Lingwu, terkejut menemukan kuil kecil ini ternyata ramai dikunjungi peziarah, banyak yang mengantre untuk masuk." 　　"Jiang Si mengamati para peziarah dengan saksama." 　　"Dari pakaiannya terlihat, sebagian besar peziarah berasal dari rakyat biasa. Ada juga yang mengenakan kain sutera datang dengan kereta kuda atau sapi, kemungkinan besar berasal dari daerah lain." 　　"Jiang Zhan menambah banyak sumbangan dupa. Biksu penerima tamu langsung mengatur tiga kamar tamu." 　　"Pemandu mereka adalah biksu kecil berusia 7-8 tahun. Jiang Si bertanya: 'Xiao Shifu, peziarah biasanya datang dari mana?'" 　　"Biksu kecil yang mendapat permen gula itu tersenyum manis: 'Banyak! Selain dari Desa Qingniu, juga dari desa-desa sekitarnya.'" 　　"Ada wanita dari keluarga kaya yang sering datang? Biar bisa ditemani kalau ketemu.'" 　　"Ada! Putri Tuan Yan dari Desa Yanzhuang, keluarga Suami beliau Li dari Desa Dayang...' Biksu kecil menghitung jari lalu tersenyum, 'Mereka sering datang beberapa kali setahun.'" 　　"Jiang Si diam-diam menghafal nama-nama itu." 　　"Biksu kecil berhenti: 'Para tamu, kamar tamu sudah sampai.'" 　　"Jiang Zhan menunjuk kamar paling dalam: 'Kamar itu pemandangannya bagus dan sepi, bolehkah adikku tinggal di sana?'" 　　"Biksu kecil menggeleng: 'Sudah ada tamu yang menginap.'" 　　"Alis Jiang Zhan berkerut." 　　Biarawati kecil ini, tidak hanya memiliki sedikit kamar tamu, tapi juga cukup diminati. 　　Siapa yang tidak punya mata merebut kamar terbaik? 　　Saat Tuan Kedua Jiang sedang berpikir, pintu kamar itu tiba-tiba terbuka. 94. Bab 94 Jimat Kedamaian 　　Bab 94 Jimat Kedamaian 　　Orang yang keluar sangat familiar. 　　Jiang Zhan terkejut berteriak: "Kakak Yu Qi!" 　　Yu Jin berpura-pura baru menyadari kehadiran Jiang Zhan dkk, menunjukkan ekspresi terkejut: "Kenapa Adik Kedua Jiang datang ke sini?" 　　Jiang Zhan menunjuk Jiang Si di sampingnya: "Aku menemani adikku untuk berdoa. Kenapa Kakak Yu Qi ada di sini?" 　　"Eh, aku juga datang untuk berdoa." Yu Jin tersenyum melirik Jiang Si, tidak lama memandang lalu menunduk, bersikap sopan. 　　"Kenapa Kakak Yu Qi sampai datang ke sini untuk berdoa?" Jiang Zhan melirik ke arah biksu kecil, tidak merasa biksu di sini lebih lihai dari biksu di kuil ibu kota, kenapa semua orang berduyun ke Kuil Lingwu? 　　Yu Jin tersenyum: "Katanya di sini sangat sakti, jadi datang untuk memohon." 　　"Xiao Shifu, permohonan apa yang paling sakti di sini?" Jiang Zhan baru sadar bertanya. 　　Biksu kecil tersenyum manis, lubang gigi depan yang hilang berdesir: "Jodoh, tentu saja jodoh." 　　Kenapa orang tampan ini selalu bertanya bodoh seperti ini? 　　Jiang Zhan tertegun, tiba-tiba melihat ke arah Jiang Si, lalu ke Yu Jin. 　　Memohon jodoh? 　　Adik Keempat menyuruhku menemaninya berdoa ternyata untuk memohon jodoh? 　　Pada saat ini, Kakak Kedua Jiang tidak merasa lucu sama sekali, malah sedikit kesal. 　　Padahal dia sudah bersusah payah mengikutinya keluar, siapa tahu malah menguntungkan si bajingan itu. 　　"Kakak Yu Qi ternyata masih percaya hal seperti ini." Tidak tegas memarahi adiknya, Jiang Zhan mengejek Yu Jin, "Kau tidak jauh lebih tua dariku, sudah buru-buru ingin menikah?" 　　Yu Jin tersenyum memandang Jiang Si, senyumannya penuh makna: "Memang buru-buru. Kalau terlambat, gadis baik sudah direbut orang. Jadi aku datang memohon, ketulusan pasti terkabul." 　　Bertahun-tahun dia mengabdi di Perbatasan Selatan, baru bisa merintis nama dan memenuhi syarat kembali ke ibukota untuk memperjuangkan yang diinginkan, tapi malah mendengar kabar tunangannya sudah dipinang orang. 　　Saat itu, nyaris saja dia menghunus pedang untuk menebas si sepupu tak berguna itu, tapi orang bilang Nona Keempat Jiang sangat puas dengan perjodohan ini. 　　Untuk sementara, dia biarkan kepala anjing si sepupu tetap melekat. 　　Untung akhirnya pernikahan itu batal. Ketika mendengar kabar Pembatalan Pertunangan, rasanya seperti terlahir kembali. 　　Sejak saat itu dia bersumpah takkan pernah melepaskannya lagi. Apapun caranya, Jiang Si harus menjadi miliknya. 　　Dia tak percaya ada pria lain yang memikirkan gadis itu dengan segenap nyawa seperti dirinya. 　　Jika pernikahan hanya tentang perintah orangtua dan perantara, dia pun tak punya kesempatan mengenal calon suaminya, apalagi mencintai, lalu kenapa dia tak bisa menjadi orang itu? 　　“Dia akan menunggu dengan sabar sampai ia mengangguk, lalu meminta Kaisar untuk menganugerahkan pernikahan, bukan memaksa dengan dekrit kerajaan untuk menikahinya.” 　　Di momen terpenting hidup seorang wanita, dia ingin ia merelakan diri dengan sukacita dan penuh harap. 　　Jiang Zhan mulai tertarik: “Kalau begitu, Kakak Yu Qi sudah punya orang yang dicintai?” 　　“Mm.” Yu Jing mengangguk pelan. 　　“Bukankah Kakak Yu Qi baru datang ke ibu kota? Kok sudah punya kekasih? Cepat beri tahu siapa keluarga nona itu, mungkin aku bisa bantu.” Jiang Zhan terus mendesak. 　　Ada perasaan aneh, kehadiran Yu Qi di sini terlalu kebetulan. Jangan-jangan dia mengincar Adik Keempat? 　　Yu Jing tersenyum: “Kami sudah lama kenal.” 　　Jiang Zhan lega: “Oh, jadi teman masa kecil. Kalau begitu aku tak bisa bantu. Kakak Yu Qi harus berusaha keras!” 　　Yu Jing mengangguk serius: “Ya, aku akan berusaha.” 　　Jiang Si mendengarkan dalam diam, hati terasa getir. 　　Pangeran Ketujuh yang pergi ke Perbatasan Selatan sebelum usia 12 tahun, selain Imam suci A Sang, siapa lagi teman masa kecilnya? 　　Setelah A Sang meninggal, dia malah mengganggu dirinya yang mirip wajahnya. Sama saja keji seperti Ji Chongyi. 　　Sungguh nasib sial bertemu dua orang 'setia' secara beruntun. 　　“Kakak Kedua, Tuan Yu, silakan lanjutkan obrolan. Aku mau jalan-jalan dulu.” 　　Yu Jing hendak berkata sesuatu, tapi diremas oleh Jiang Zhan: “Kebetulan langka ini. Kakak Yu Qi, ayo kita minum teh.” 　　Jiang Si berjalan melewati Yu Jing tanpa menoleh sedikitpun. 　　“Abaikan dia?” Yu Jin tidak menunjukkan malu atau terengah-engah, ujung jarinya bergerak ringan. 　　Jiang Si terhuyung-huyung. 　　“Nona——” 　　Ah Man belum sempat bereaksi, Yu Jin sudah lebih cepat menyangga Jiang Si, kemudian segera melepaskan dan mundur selangkah dengan sikap gentleman: “Nona Jiang berhati-hatilah.” 　　Jiang Si: “……” 　　“Adik Keempat, apa kau lelah? Bagaimana kalau istirahat dulu di kamar sebelum lanjut jalan-jalan.” 　　“Tidak perlu, Kakak Kedua lebih baik temani Tuan Yu minum teh saja.” Jiang Si bahkan tidak melirik Yu Jin, bergegas pergi. 　　Bajingan ini di kehidupan sebelumnya tidak sebejat ini, mungkin dulu aku terlalu mudah ditipu sehingga tidak sempat menunjukkan sisi aslinya? 　　Wajah Jiang Si semakin gelap semakin dipikirkannya. 　　“Apakah Nona Jiang ada salah paham terhadapku?” Yu Jin menghela napas halus, “Adik Kedua Jiang dari Keluarga Bo, mungkin Nona Jiang merasa tidak pantas Adik Kedua berteman dengan orang sepertiku.” 　　Jiang Zhan buru-buru membela: “Adik Keempatku bukan orang seperti itu, dia hanya pendiam, Kakak Yu Qi jangan dihiraukan.” 　　Sepertinya nanti harus aku nasihati Adik Keempat, setidaknya beri sedikit muka dan bersikap sopan pada penyelamat nyawaku. 　　Biksu kecil yang mendapat sekantong permen salju lagi berjalan gesit di samping Jiang Si, menjelaskan situasi kuil. 　　“Biksu Kecil, di mana bisa meminta Jimat Kedamaian?” 　　“Nyonya silakan ikuti hamba.” 　　Biksu kecil segera membawa Jiang Si ke sebuah aula samping. 　　Di aula utama, peziarah keluar-masuk tanpa henti. Di rak paling belakang tergantung berbagai Jimat Kedamaian bentuk unik, sementara seorang biksu sedang melepas satu jimat untuk diberikan ke peziarah terdepan. 　　“Biasanya juga seramai ini?” Jiang Si tidak buru-buru maju, diam-diam mencari informasi dari biksu kecil itu. 　　“Biasanya tidak sebanyak ini. Jimat Kedamaian hanya tersedia setiap tanggal lima. Nyonya kebetulan datang tepat waktu.” Biksu kecil yang telah menyantap gula itu tersenyum manis, “Apa jenis Jimat Kedamaian yang nyonya inginkan? Hamba bisa mengantrikan untuk nyonya.” 　　“Eh, jimat-jimat itu ada jenisnya?” 　　“Tentu saja. Ada yang untuk keselamatan tubuh, ada juga untuk kelancaran jodoh. Beberapa jenis.” 　　“Bolehkah saya memohon semuanya?” 　　Biksu kecil itu ragu sejenak, lalu mengangguk setelah melihat dua bungkus gula: “Nyonya perlu menyumbang lebih banyak Minyak lampu Buddha. Buddha pasti tak mempermasalahkan keserakahanmu.” 　　Tak lama kemudian beberapa jimat telah di tangan. Tatapan Jiang Si tertambat pada Jimat Kedamaian bertuliskan “Keselamatan dan Keberuntungan”, tak kunjung berpaling. 　　Jimat Kedamaian yang didapat dari mayat perempuan itu jenis inilah! 　　“Jimat jenis ini, untuk perlindungan apa utamanya?” 　　Biksu kecil melirik sebentar: “Pemohon jimat jenis ini jarang. Nyonya lihat tulisan Sanskerta di bawah kata ‘Keselamatan dan Keberuntungan’ ini? Ini mantra pengusir roh jahat aliran Buddha kami. Biasanya hanya mereka yang pernah mengalami kecelakaan yang memohon jimat ini.” 　　Jantung Jiang Si berdebar kencang. 　　"Anak perempuan berusia 13-14 tahun dari keluarga kaya pengusaha desa yang pernah mengalami kecelakaan, lingkup ini semakin menyempit." 　　Jiang Si memberikan isyarat mata kepada Ah Man. 　　Ah Man berkata sambil tersenyum: "Bukankah Biksu kecil bilang tempat ini paling ampuh untuk mencari jodoh? Menurutku jimat kedamaian seperti ini tidak ada yang diminta oleh nona kecil seperti nyonya kita." 　　"Tidak juga, bulan lalu putri Tuan Li dari Desa Dayang baru saja memintanya, tapi sang nyonya itu sudah lama tidak datang lagi." 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 95.Bab 95 Sup Sayur 　　Bab 95 Sup Sayur 　　Keluarga Tuan Li dari Desa Dayang - Dengan insting alaminya, Jiang Si merasa identitas mayat perempuan itu kemungkinan besar terkait keluarga ini. 　　Setelah mengorek informasi lebih lanjut dari biksu muda dan tidak mendapat keterangan berguna lagi, Jiang Si menyuruh Ah Man memanggil Lao Qin. 　　"Ada perintah apa, Nona?" Lao Qin yang sudah rapi berpenampilan memiliki kerutan dalam di sudut mata akibat kesedihan bertahun-tahun, terlihat sebagai orang yang penuh kisah hidup, tapi posturnya lebih tegap daripada pemuda 20-an tahun, memberikan rasa aman sekuat gunung. 　　Jiang Si percaya, pria dengan pengalaman dan karakter seperti ini memang seperti katanya - sangat ahli membunuh. 　　Dengan keberadaan Lao Qin dan A Fei, banyak hal menjadi lebih mudah. Seperti saat ini, Ah Man yang lari keluar untuk menghubungi A Fei jauh lebih merepotkan daripada Lao Qin. 　　“Lao Qin, beri tahu A Fei, beberapa tempat ini harus dia datangi, cari informasi baik-baik…” Jiang Si menyebutkan nama-nama desa dan kota tempat keluarga kaya dan pejabat lokal yang sering dikunjungi para wanita seperti yang disebut biksu kecil, lalu menekankan, “Pergilah ke Desa Dayang dulu untuk melihat.” 　　Lao Qin mengepalkan tangan tanda hormat, lalu berbalik pergi. 　　“Nona, benarkah masih banyak gadis lain yang hilang?” tanya Ah Man berbisak saat menemani Jiang Si kembali ke kamar tamu. 　　Putri Xiuniangzi ternyata dibunuh oleh Putra Mahkota Marquis Changxing, tapi tak disangka masih ada korban perempuan lain, sungguh gila dan kejam! 　　“Kembali dulu, baru bicara.” jawab Jiang Si datar. 　　Saat tengah hari tiba, Jiang Zhan datang memanggil. 　　“Adik Keempat, ada biksu yang mengantar makanan vegetarian, mari makan bersama.” 　　Jiang Si mengikuti Jiang Zhan ke kamar sebelah, tapi terkejut melihat Yu Qi juga ada di sana. 　　Matanya langsung menatap Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan tersenyum: “Di perjalanan tak perlu banyak protokoler. Makanan ini dipesan Kakak Yu Qi. Katanya masakan vegetarian kelas satu di Kuil Lingwu sangat terkenal, ayo kita cicipi.” 　　“Aku sebenarnya belum terlalu lapar, Kakak Kedua dan Tuan Yu silakan makan dulu.” 　　Jiang Si berbalik hendak pergi, tapi lengan bajunya ditarik Jiang Zhan. 　　“Adik Keempat, kalau tidak makan teratur nanti sakit perut.” 　　Melihat ekspresi memelas Jiang Zhan yang mengernyitkan dagu, akhirnya Jiang Si luluh dan mengangguk. 　　“Jiang Zhan，menarik Jiang Si duduk di sampingnya，dengan ramah menyodorkan mangkuk dan sumpit，juga meletakkan semangkuk kecil sup sayur di depannya：”Adik Keempat，cicipi sup sayur ini. Konon sayur ini awalnya adalah sayuran liar，karena rasanya sangat enak saat diolah jadi sup，kuil sengaja membuka area di belakang gunung untuk menanamnya. Para peziarah yang menginap di Kuil Lingwu biasanya wajib mencicipi sup ini.” 　　Yu Jing meletakkan satu tangan di atas meja makan，alisnya sedikit berkerut. 　　Semua keramahan sudah ditunjukkan Jiang Zhan，lalu dia harus ngapain lagi? 　　Kakak laki-laki yang terlalu menyayangi adiknya seperti ini，sungguh menambah kesulitannya. 　　“Kakak Kedua，saya sudah bukan anak kecil lagi.” Jiang Si membersihkan tangan，menerima sumpit. 　　“Ayo ayo，kita minum teh sebagai pengganti anggur dulu.” Jiang Zhan melihat Jiang Si memberi muka dengan bersedia memperbaiki hubungan dengan Yu Jing，hatinya senang，mengedipkan mata ke Yu Jing. 　　Dia selalu bilang Adik Keempat hanya berwatak dingin，pasti akan cinta rumah sekaligus burung gagaknya（）terhadap orang yang menyelamatkan nyawanya. 　　Yu Jing mengangkat cangkir teh，tersenyum memberi isyarat ke Jiang Zhan. 　　“Air untuk menyeduh teh ini adalah air mata pegunungan，konon juga termasuk hal terkenal yang disuguhkan Kuil Lingwu. Nona Jiang silakan cicipi.” 　　Jiang Si menyesap teh pelan-pelan lalu meletakkannya，demi menjaga muka Jiang Zhan yang ada di sampingnya berkata datar：”Rasanya cukup enak.” 　　“Ternyata memilih Kuil Lingwu tepat. Tapi tempat ini agak kecil，besok kita jalan-jalan keliling ya.” Jiang Zhan mengusulkan. 　　Yu Jing mengangguk sambil tersenyum：”Baik.” 　　Jiang Si yang kakinya di bawah meja menendang keras Jiang Zhan. 　　Apakah ini kakak kandung sebenarnya? Apa dia bahkan mau menghitung uang sambil menjual adiknya? 　　Jiang Zhan menyeringai, malu ketahuan ditendang oleh Yu Jin, lalu pura-pura tertawa: "Tehnya masih panas di mulut." 　　Yu Jin tersenyum ringan: "Benar, agak panas. Nona Jiang, lebih baik minum sup sayur dulu untuk menghangatkan perut. Di luar rumah tidak senyaman di rumah, harus lebih hati-hati dengan makanan." 　　"Terima kasih atas perhatian Tuan Yu." Jiang Si menjawab dengan acuh, mengaduk sup sayur dengan sendok, mengangkat sesuap ke bibirnya tapi tiba-tiba berhenti. 　　Jiang Zhan sudah menghabiskan beberapa suap, melihat Jiang Si tak kunjung makan, bertanya bingung: "Kenapa Adik Keempat tidak makan? Sup ini rasanya sungguh enak." 　　Jiang Si langsung meletakkan sendoknya. 　　"Ada apa?" Jiang Zhan semakin bingung, menyendok lagi sesuap ke mulutnya, "Ini enak, harum dan segar, teksturnya lembut dan licin." 　　Adik Keempat belum mencoba, sudah tidak suka? 　　Jiang Si kembali menyendok sup ke bibirnya, tetap tak bergerak. 　　Kali ini Jiang Zhan juga berhenti makan: "Adik Keempat, kalau tidak suka makanlah yang lain, jangan dipaksakan." 　　Jiang Si menatap sup hijau zamrud itu, alisnya semakin berkerut, meletakkan sendok kembali ke mangkuk: "Ada yang tidak beres dengan rasa ini." 　　“Apa yang tidak beres? Adik Keempat kamu belum mencicipinya.” Jiang Zhan kebingungan mendengar perkataan Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum: “Cukup dicium aromanya, tidak perlu dicicipi.” 　　“Sebenarnya apa yang tidak beres?” Jiang Zhan meletakkan sumpit, kehilangan selera terhadap hidangan di depannya. 　　Ia merasa adik perempuannya tidak sedang bercanda. Jangan-jangan ada yang menaruh obat di makanan? 　　Kalau begitu, apa yang dimakannya itu obat bius, racun, atau—sial—obat perangsang? 　　Melihat ekspresi Kakak Kedua Jiang yang berubah-ubah, Yu Jin menepuk bahunya: “Adik kedua Jiang lebih baik mendengarkan penjelasan Nona Jiang.” 　　“Adik Keempat, benar ada obatnya?” 　　Jiang Si terkekeh tanpa suara: “Kakak Kedua ini mikirnya kemana saja.” 　　“Kalau tidak ada, syukurlah.” Jiang Zhan menghela napas lega. 　　Tadi dialah yang paling banyak makan, sementara Kakak Yu Qi dan Adik Keempat sama sekali tidak menyentuh sup sayur. 　　“Tapi sup sayur ini berbau busuk—” Jiang Si memandang Jiang Zhan dengan iba, melanjutkan perkataannya, “Seperti aroma bangkai binatang yang membusuk tercampur air...” 　　Wajah Jiang Zhan langsung pucat. Melihat ekspresi Jiang Si yang serius, ia berlari keluar. Tak lama terdengar suara muntah kering dari luar. 　　Ruangan kini hanya ditempati Yu Jin dan Jiang Si. 　　“Benarkah berbau busuk?” Yu Jin menyendok sup, mengendusnya, tapi tidak mencium bau aneh sama sekali. 　　“Jangan-jangan Nona Jiang sedang menggoda Adik kedua Jiang?” Tiba-tiba terlintas kemungkinan ini di benak Yu Jin. 　　“Jiang Zhan hanya tak sengaja membantunya sekali, langsung jadi sasaran kemarahan si nona ini?” 　　Pandangan Jiang Si jatuh pada sendok sup di bibir Yu Jin, lalu mengangguk: “Iya, aku memang sedang menggoda Kakak Kedua.” 　　Yu Jin tersenyum, bibirnya sedikit terbuka hendak menyantap bubur sayur itu. 　　Jiang Si memicingkan mata mengamati, tapi tiba-tiba dia meletakkan sendok kembali. 　　Menatap gadis itu yang terlihat bingung, sang pemuda tersenyum tipis: “Kurasa kau sedang membohongiku.” 　　Jiang Si tak bisa menahan diri menggigit bibirnya. 　　Musuh ini sangat licik, jauh lebih cerdik daripada Kakak Kedua. 　　Jiang Zhan kembali, berpegangan pada ambang pintu sambil terengah-engah. Butuh waktu lama sebelum napasnya tenang dan mendekat. 　　“Adik Keempat, jangan-jangan kau cuma bercanda? Kalau ini main-main, Kakak Kedua akan marah.” 　　Memandang kakaknya yang terlihat memelas, Jiang Si mengerutkan alis gelisah. 　　Dia juga ingin bilang ini hanya gurauan, tapi aroma itu terlalu familiar—baru saja menciumnya beberapa waktu lalu. 　　Seperti yang bisa dilihat semua, tokoh pria utama di "Seperti Kembang" agak berbeda, karena penulis tidak ingin menciptakan tokoh pria utama yang sempurna secara moral dan klise. Yu Jin adalah seorang pangeran dengan masa tumbuh kembang yang penuh tekanan, sehingga sifatnya pasti tidak konvensional. Dia licik, tegas, dan sedikit menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan—eh, nanti akan ada lebih banyak kelakuan tak pantas lagi. Selamat menambahkan kritik. Intinya karakter bejat ini sudah fix, kalau tidak suka ya mau gimana lagi. Yang tidak suka tipe ini bisa baca buku lama Liu Ye, banyak pilihan tokoh pria bijaksana dan idealis. 96. BAB 96 Hati 　　BAB 96 Hati 　　Melihat reaksi Jiang Si, Jiang Zhan langsung pucat. Tinjunya menghantam meja makan: "Masak makanan vegetarian kelas premium bisa begini? Aku mau cari biarawati botak itu minta pertanggungjawaban!" 　　"Adik kedua Jiang, tenang dulu." 　　Urat leher Jiang Zhan berdenyut-denyut: "Kenapa Kakak Yu Qi menghalangi? Makanan mereka berbau busuk! Harus kugebrak habis-habisan biarawati botak itu!" 　　Begitu membayangkannya lagi, perutnya langsung mual. 　　Yu Jin melirik Jiang Si, lalu bertanya sambil menyunggingkan senyum sinis: "Bisa dipastikan nggak, bau busuk itu dari bangkai hewan atau... mayat manusia?" 　　Seluruh tubuh Jiang Zhan kaku. Lama-kelamaan wajah tampannya memucat: "Kakak Yu Qi, becanda ginian bisa bikin orang mati kaget tahu!" 　　“Ya, mungkin benar-benar ada orang mati.” Yu Jin bersandar ke belakang, berkata dengan malas. 　　“Tunggu, biarkan aku tenang dulu.” Jiang Zhan menutup matanya sejenak, tiba-tiba bangkit dan bergegas menutup pintu kamar yang terbuka, bersandar di pintu kayu dengan keringat dingin. 　　“Adik Keempat, aku benar-benar tidak mencium bau apa pun.” Jiang Zhan mengusap hidungnya, memandang Yu Jin, “Kakak Yu Qi, bagaimana denganmu?” 　　Yu Jin menggeleng: “Aku juga tidak bisa menciumnya.” 　　Setelah berkata demikian, dia menatap Jiang Si dalam-dalam, tanpa ragu berkata: “Tapi aku percaya perkataan Nona Jiang.” 　　Jiang Zhan berkedip, hampir menangis tersedu-sedu. 　　Sial, dia juga percaya! 　　“Berarti, aku sudah makan makanan yang dimasak dengan air rendaman mayat manusia?” Jiang Zhan memandangi adik perempuannya yang tetap tenang dengan ekspresi hampir kolaps. 　　“Hanya ada kemungkinan seperti itu.” Jiang Si tidak tega menjawab. 　　Mata Jiang Zhan berbinar, penuh harapan: “Ada kemungkinan lain?” 　　“Mungkin mayat kucing atau anjing...” 　　Jiang Zhan menutup mulut dan jongkok di lantai. 　　Biarkan aku mati saja! 　　“Bagaimana dengan makanan lain?” Yu Jin tiba-tiba bertanya. 　　Dibandingkan memikirkan rasa jijik karena memakan makanan itu, dia lebih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 　　Tentu saja, kuncinya adalah dia tidak memakannya – *ehem*, pemikiran tidak sopan seperti ini tentu tidak boleh ditunjukkan. 　　“Jiang Si menjepit sepotong tahu bakar yang terdekat dan menciumnya, lalu meletakkannya kembali dan mencium semua hidangan satu per satu. Akhirnya dia memastikan, "Makanan lain tidak ada masalah, hanya sup sayur yang berbau aneh."” 　　Yu Jin menghela nafas lega: "Kalau begitu mari kita makan dulu, bicara setelah kenyang."” 　　Wajah Jiang Zhan berkerut seperti pare pahit: "Jangan sebut kata 'makan', aku ingin muntah saja."” 　　Namun Jiang Si mengangguk: "Ya, makan dulu."” 　　Baru ada tenaga untuk membicarakan hal lain setelah kenyang. 　　Keduanya serentak mengambil sumpit dan mulai makan dalam keheningan. 　　Jiang Zhan bangkit dengan wajah putus asa: "Kalian makanlah pelan-pelan, aku mau keluar cari ketenangan."” 　　Dalam sekejap ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua lagi. 　　Yu Jin meletakkan sumpitnya: "Berencana tinggal berapa lama di Kuil Lingwu?"” 　　"Belum pasti."” 　　"Lebih baik menginap di penginapan."” 　　Jiang Si melirik Yu Jin dengan tatapan dingin: "Ucapan Tuan Yu ini terlalu lancang untuk tingkat keakraban kita."” 　　"Terlalu lancang?" Yu Jin tiba-tiba condong ke depan dan berbisik, "Malam itu—"” 　　"Diam!" Jiang Si memerah wajahnya marah, "Tuan Yu, apa bedamu dengan playboy? Bertindak semaunya tanpa mempedulikan perasaan nona, bagaimana perasaanmu jika adik perempuanmu diperlakukan sembarangan seperti ini?"” 　　Yu Jin menatap Jiang Si dengan intens, tiba-tiba meraih tangannya dan bertanya serius: "Lalu apa perasaanmu sebenarnya?"” 　　Karena keseriusannya, pikiran Jiang Si menjadi buyar sesaat. 　　Jiang Zhan membuka pintu: "Sudah selesai makan?"” 　　“Sudah selesai makan.” Tubuh Jiang Si menegang saat buru-buru menjawab. Baru setelah mengucapkan itu ia sadar lupa menarik kembali tangannya. 　　Di bawah meja, gadis itu menarik kembali tangannya dengan kuat, namun tangan besar itu justru menggenggam lebih erat. 　　“Belum selesai.” Yu Jin bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. 　　Tapi di dalam hatinya, ia dipenuhi kebahagiaan. 　　Perasaan hatinya sudah sedikit ia pahami sejak malam itu ketika ia berlaku kurang ajar. 　　Ia tidak percaya gadis berpendirian kuat seperti ini akan diam saja jika ada pria yang tak disukainya berani macam-macam. 　　Gadis ini tidak jujur dengan perasaannya. Apa susahnya mengakui punya perasaan padanya? 　　Jiang Si melototi Yu Jin, seolah menebak pikirannya. Dalam hati ia berkata dingin: "Bisa mati." 　　Bukan hanya mati karena patah hati akibat kebodohan sendiri, tapi juga mati mengenaskan karena status sebagai istri Pangeran Ketujuh yang menyebalkan itu. 　　“Kakak Yu Qi, aku benar-benar kagum. Dalam situasi begini pun kamu masih bisa makan.” 　　Yu Jin baru melepas tangan Jiang Si. Ia tersenyum cerah pada Jiang Zhan: “Kalau begitu tidak usah makan.” 　　Jiang Zhan tertegun. 　　Ngapain senyum menggoda begitu? Adik perempuannya masih di sini! 　　“Tadi aku berpikir, kalau makanan lain tidak bermasalah hanya bubur sayur yang berbau aneh, kemungkinan air untuk memasak bubur bermasalah atau air penyiram tanaman liar yang bermasalah.” Jiang Zhan menganalisis dengan serius, “Bagaimana menurut kalian?” 　　Yu Jin mengangguk: "Adik kedua Jiang memang benar, tapi—apa urusan kita dengan ini? Menurutku, kalau makanan tidak sesuai selera, lebih baik kita cepat-cepat pergi dari sini." 　　Jiang Si yang jarang setuju dengan Yu Jin ikut berkomentar: "Benar, Kakak Kedua, kalau air di sini tidak bersih, lebih baik kita menginap di penginapan saja." 　　Tujuan datangnya ke sini sangat jelas, dia tidak ingin mencari masalah. 　　Jiang Zhan mengerutkan kening: "Kalian tidak penasaran? Bagaimana jika benar ada orang mati?" 　　Keduanya serentak menggelengkan kepala. 　　"Baiklah, Adik Keempat tidur siang dulu, nanti sore kita berangkat." Tanpa dukungan siapa pun, Jiang Zhan terpaksa menyerah. 　　Jiang Si berdiri: "Kalau begitu aku akan istirahat." 　　Yu Jin juga berdiri: "Aku tidak akan mengganggu Adik kedua Jiang lagi. Tadi kamu muntah begitu parah, minumlah air hangat dan beristirahatlah." 　　"Jangan sebut air..." 　　Jiang Zhan tak punya mood memanggil pelayan pria Ah Ji untuk merapikan meja berantakan. Begitu mereka pergi, dia langsung merebahkan diri di ranjang sambil menutup mata kesal. 　　Suara gemerisik terdengar, Jiang Zhan membuka mata. 　　Seorang wanita berambut kusut basah kuyup berdiri di depannya, air terus menetes dari tubuhnya. 　　"Siapa kau?" Jiang Zhan kaget. 　　Wanita itu mengangkat tangan pucatnya menyibak rambut yang menutupi wajah, memperlihatkan wajah bengkak pucat yang tersenyum dengan menyeramkan: "Kamu sudah minum air mandiku, harus bertanggung jawab..." 　　Jiang Zhan langsung terduduk, terengah-engah. 　　Di luar jendela, sinar matahari cerah, saat yang paling terik dalam sehari. Tapi dia seolah terjatuh ke dalam lubang es di bulan Desember, dingin menggigil dari dalam hingga luar. 　　Setelah lama bergulat batin, Jiang Zhan turun dari tempat tidur. 　　Tidak boleh, dia harus pergi menyelidiki. Kalau tidak, jangan harap bisa tidur nyenyak lagi. 　　Keluar dari kamar, memandangi pintu-pintu kamar lain yang masih tertutup rapat, Kakak Kedua Jiang mengusap air matanya. 　　"Mereka kan tidak minum air mandi hantu perempuan, tentu bisa pergi dengan tenang!" 　　Kuil masih ramai saat ini. Jiang Zhan yang sedang berjalan keluar melihat biksu mengantarkan makanan vegetarian ke jemaat lain dengan kotak makanan. 　　Jiang Zhan mendekat, memuji-muji sup sayur sampai sang biksu tersenyum lebar, sambil bertanya: "Selain sayuran liar yang enak, apakah air untuk merebusnya juga khusus?" 　　Biksu itu tersenyum sopan: "Seperti air mata air pegunungan yang kami gunakan untuk menyajikan teh tamu penting, sayuran liar ini disiram dengan air dari sumur di belakang bukit. Makanya rasanya begitu istimewa." 　　Dalam hati Jiang Zhan mengutuk: "Sial, pasti sayuran hari ini tidak dicuci!" 　　Begitu keluar pintu, dia langsung limbung. 97. BAB 97 Air Sumur 　　BAB 97 Air Sumur 　　Siang bolong, area belakang Kuil Lingwu sepi dari aktivitas biksu. Hanya hamparan sayuran hijau yang lesu berjemur di terik matahari. 　　Jiang Zhan berdiri di tengah lapangan terbuka sambil memandang sekeliling, dan segera melihat sumur tua tak jauh dari kebun sayur. 　　Dia berjalan cepat mendekat, memegang dinding sumur yang dingin sambil mengumpulkan keberanian, lalu menjulurkan kepala untuk melihat ke dalam. 　　Di dalam sumur gelap dan dalam, tidak terlihat jelas kondisi di dalamnya. 　　Jiang Zhan mengendus-endus kuat dengan hidungnya. 　　Tidak mencium bau apa pun. 　　Pandangannya jatuh pada rangka sumur. 　　Jangan-jangan harus menimba air untuk melihat? 　　Jiang Zhan mengulurkan tangan memegang tuas, tiba-tiba melompat sambil berbalik badan. 　　Di belakangnya tidak jauh berdiri seorang biksu muda. 　　Tulang punggung Jiang Zhan merinding, tapi wajahnya menyungging senyum manis: "Shifu berdiri di belakangku, membuatku kaget setengah mati." 　　Biksu muda itu menyatukan telapak tangan memberi hormat: "Mengapa Tuan berada di sini? Bukit belakang kami tidak terbuka untuk peziarah." 　　"Eh, benarkah?" Jiang Zhan melangkah ke samping tak kasat mata, menjauh dari biksu muda itu. "Siang tadi saya makan sayur kuah terkenal dari vihara ini, benar-benar lezat. Seorang shifu bilang sayuran itu hanya bisa ditanam di bukit belakang vihara dengan air sumur khusus." 　　Wajah Jiang Zhan tetap natural meski hati waspada: "Shifu tidak tahu, saya punya hobi makan. Penasaran ingin melihat bentuk sayuran dan mencicipi air sumurnya. Siapa tahu bisa saya beli nanti." 　　Biksu muda itu tersenyum: "Sayuran liar ini ditemukan oleh shishu kami bertahun-tahun lalu di pegunungan dalam lalu dipindahkan ke sini, tidak dijual di tempat lain. Penderma mungkin akan kecewa." 　　Jiang Zhan memang terlihat sangat kecewa: "Begitu ya, sepertinya jika ingin makan ini lagi harus datang ke vihara ini." 　　Biksu muda itu semakin bangga: "Banyak penderma yang rutin datang beribadah, selain karena khasiat dupa di vihara kami, juga untuk hidangan bubur sayur ini." 　　Hati Jiang Zhan yang was-was perlahan mulai tenang separuh. 　　Jika benar ada sesuatu yang memalukan di dalam sumur dan terkait dengan biksu di depan mata ini, seharusnya dia tidak sempat untuk berbangga diri. 　　Bagus, setidaknya saat ini tidak ada kekhawatiran saling ingin membungkam lawan. 　　Setelah memikirkan ini, Jiang Zhan semakin santai dan mulai mengobrol: "Ini kan tengah hari, mengapa Bhante tidak beristirahat malah datang ke sini?" 　　Wajah tampan luar biasa pemuda itu dengan senyum manisnya sangat memikat, membuat biksu muda itu tak kuasa mengeluh: "Sayuran liar ini sangat rewel, saat-saat seperti ini harus disiram..." 　　Jiang Zhan langsung tertawa mendengarnya. 　　Rupanya biksu muda ini juga sering diasingkan, dikerjakan tugas-tugas berat saja. 　　"Penderma sebaiknya pergi dulu, hamba harus bekerja." Biksu muda itu mendekati sumur, dengan mahir memutar tuas. 　　Suara berderit terdengar, tak lama kemudian seember air terangkat. 　　Jiang Zhan tak kuasa menjulurkan lehernya melihat. 　　"Penderma?" 　　“Shifu, cuaca panas begini sendirian menimba air pasti melelahkan, saya juga sedang tidak sibuk, biar bantu menyiram bersama.” 　　“Bagaimana bisa begitu?” Biksu muda itu mengangkat ember menuju kebun sayur. 　　Jiang Zhan pantang menyerah mengejar: “Shifu jangan menolak, ini adalah ketulusan hatiku kepada Buddha. Mungkin Buddha akan melihat kesungguhanku dan segera mengabulkan permohonanku hari ini.” 　　Mendengar ini, biksu muda itu tak bisa menghalangi lagi lalu mengangguk. 　　Amitabha Buddha, semoga Yang Mulia Buddha menjadi sakkal, ini bukan karena dia malas. 　　Air dari sumur yang terlihat gelap ternyata jernih, sama sekali tidak tercium bau aneh. 　　Setelah menyiram 80-90% lahan sayur, Kakak Kedua Jiang yang lelah seperti anjing duduk tak karuan sambil terengah-engah. 　　Ia ingin berdiskusi serius dengan Adik Keempat tentang kehidupan. 　　“Hari ini terima kasih banyak Donatur, silakan cepat kembali beristirahat.” 　　Melihat Jiang Zhan masih ingin memaksakan diri, biksu muda itu tersenyum: “Wajah Donatur hampir terkelupas karena terik.” 　　Jiang Zhan: “……” 　　Setelah memastikan tak ada keanehan, Jiang Zhan mengibaskan debu di bajunya lalu berdiri: “Kalau begitu saya pulang. Ngomong-ngomong, belum tahu bagaimana panggilan Shifu?” 　　Biksu muda itu menyatukan telapak tangan ke arah Jiang Zhan: “Amitabha, hamba kecil bernama Sikong.” 　　“Shifu Sikong, semoga kita bertemu lagi.” Jiang Zhan yang berkesan baik pada biksu muda itu melambaikan tangan sambil tersenyum, namun dalam hatinya tahu ucapan sopan ini hanya formalitas belaka. Setelah meninggalkan Kuil Lingwu, mustahil akan ada interaksi lagi dengan orang-orang kuil ini. 　　“Sampai jumpa.” Biksu muda itu melihat kepergian Jiang Zhan, lalu duduk beristirahat di tepi ladang sejenak sebelum berjalan menuju sumur. 　　Hari ini dia datang jauh lebih awal dari biasanya, ditambah ada donatur yang membantu dengan antusias. Tampaknya dia bisa cepat pulang untuk beristirahat. 　　Setelah beristirahat dan memulihkan tenaga, biksu muda itu segera menimba seember air. Namun kali ini dia tidak langsung membawa air itu kembali, malah menatap ember dengan ekspresi terkejut. 　　Di dalam ember yang terisi 70-80%, air sumur masih jernih, tapi ada benda tambahan. 　　Itu adalah sebuah sepatu. 　　Bagaimana bisa sepatu muncul dari sumur? 　　Ekspresi biksu muda itu dipenuhi keraguan dan kekhawatiran. Pikirannya melayang ke satu kemungkinan yang membuatnya ngeri. 　　Jangan-jangan ada sesama biksu yang terjatuh ke dalam sumur? 　　Tapi tidak, saat sembahyang pagi tadi tidak ada kabar ada biksu yang absen—— 　　Biksu muda itu meletakkan ember, langkahnya berat saat mendekat dan bersandar di bibir sumur untuk melihat ke bawah. 　　"Sikong, apa yang kau lihat?" Suara familiar dari belakang membuat bulu kuduknya berdiri. 　　…… 　　Setelah diam-diam meninggalkan kaki bukit, Jiang Zhan menemukan Jiang Si menunggu di kejauhan dengan Yu Jin di sampingnya. 　　Jiang Zhan menyambut mereka dengan senyum: "Loh, Adik Keempat sudah selesai istirahat siang?" 　　"Kakak Kedua tadi ke mana?" Jiang Si bertanya dengan wajah masam. 　　"Cuma jalan-jalan." Jiang Zhan menatap langit sambil mengalihkan topik, "Kalian kok bisa bersama?" 　　“Kebetulan bertemu, menemukan Adik kedua Jiang sedang berbuat kebaikan, jadi tidak mengganggu.” 　　Jiang Zhan sangat malu: "Kalian semua sudah melihat?" 　　"Mari kita pergi dari sini dulu. Sudah lewat tengah hari, sebentar lagi akan banyak orang yang datang ke sini." Wajah Jiang Si berkerut. 　　Ketiganya kembali ke kamar tamu. Jiang Zhan meneguk seteko air baru berhenti: "Adik Keempat, kenapa kamu marah?" 　　Jiang Si mengangkat alis: "Kakak Kedua masih berani bertanya. Pergi sembarangan ke gunung belakang orang sendirian, tidak takut terjadi sesuatu?" 　　Jiang Zhan belum sempat berkata, Yu Jin tiba-tiba tertawa kecil. 　　Gadis ini benar-benar menertawakan kesalahan sendiri. Bukankah dia juga yang mengikuti pemabuk di tengah malam itu? 　　Tapi - mungkin ini membuktikan Jiang Zhan sangat penting di hatinya? 　　Kekhawatiran membuat pikiran kacau. 　　Yu Jin melirik Jiang Zhan yang terlihat kesal, tiba-tiba hatinya terasa asam. 　　"Adik Keempat tidak tahu, setelah kalian pergi hantu perempuan itu datang dalam mimpiku! Tapi di gunung belakang sama sekali tidak ada yang aneh. Aku dan biksu itu bergantian menimba puluhan kali, bahkan sehelai bulu burung pun tidak ada." 　　"Jadi Kakak Kedua jangan repot-repot memikirkan ini. Kita berangkat saja ketika cuaca lebih sejuk nanti." 　　Jiang Zhan hanya bisa mengangguk. 　　Tapi matahari di luar masih menyilaukan, tiba-tiba suara lonceng kuil bergema. 98.BAB 98 INSIDEN BERULANG 　　BAB 98 INSIDEN BERULANG 　　Lantunan lonceng bergema di Kuil Lingwu, membuat burung-burung tercengang dan terbang dari dahan. 　　Para peziarah gelisah, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. 　　“Syukurlah pada sore hari peziarah sudah tidak banyak, segera ada biksu yang datang mengatur para peziarah untuk pergi.” 　　Yu Jin langsung membuka pintu. 　　Bunyi lonceng pagi dan genderang senja, bunyi lonceng di waktu ini biasanya menandakan keadaan darurat. 　　Tak lama kemudian Jiang Si dan Jiang Zhan keluar dari kamar masing-masing. 　　Ketiganya berdiri di bawah koridor, memandang ke luar. 　　Seorang biksu berjalan cepat mendekat, menyatukan telapak tangan memberi hormat: “Amitabha, ada keadaan darurat di kuil, mohon para donatur sementara jangan berkeliling.” 　　Yu Jin mengangkat alis sambil tersenyum: “Biksu, perkataanmu ini memaksa. Kami peziarah, datang ke kuilmu bukan untuk dipenjara, mengapa kebebasan kami dibatasi?” 　　Biksu itu tertegun. 　　Ada masalah di kuil, dia ditugaskan mengingatkan peziarah yang menginap, kok ada yang susah diajak bicara seperti ini? 　　Meskipun Kuil Lingwu kecil, namun terkenal dan ramai peziarah. Biksu itu tidak ingin merusak reputasi kuil, setelah terkejut sebentar menjelaskan dengan sabar: “Tuan salah paham, hamba memberitahu ini karena kuil sedang kacau, takut mengganggu para tuan.” 　　“Oh, begitu rupanya.” 　　Jiang Zhan menyela bertanya: “Boleh tahu apa yang terjadi di kuil?” 　　Biksu itu kembali terkejut, melihat usia ketiganya baru mengerti. 　　Remaja belasan tahun memang sedang penuh rasa ingin tahu, wajar bertanya begitu. 　　Saat biksu itu ragu-ragu, Jiang Zhan berteriak kaget: “Jangan-jangan ini rahasia?” 　　Biksu: “……” Tahu saja masih bertanya! 　　Namun karena sudah ditanya sampai di sini, jika tidak dijelaskan justru mudah menimbulkan spekulasi liar. Mengingat kuil mereka yang menerima banyak umat wanita paling menghindari hal seperti ini, biksu itu pun berkata: "Ada seorang adik seperguruan yang telah mencapai parinirvana." 　　Jiang Si dan Yu Jin saling bertukar pandang. 　　Saat pandangan mereka bertemu, dia buru-buru mengalihkan muka, dalam hati bergumam kesal: Apakah karena kakakku terlalu tidak bisa diandalkan, sampai saat ada masalah malah refleks ingin melihat pendapatnya? 　　Jiang Zhan mengeluarkan suara "Hah?": "Parinirvana? Guru terlihat masih sangat muda, adikmu seharusnya lebih muda darimu kan? Sudah mencapai kesempurnaan kebajikan di usia semuda itu?" 　　Mulut biksu itu berkedut, diam-diam mengucap Amitabha untuk meredam dorongan sesaat yang hampir membuatnya berubah menjadi Buddha Kemenangan, lalu menjelaskan: "Adikku meninggal karena kecelakaan—" 　　"Kecelakaan? Kecelakaan apa?" Jiang Zhan berpura-pura ketakutan, "Kuil ini terlihat begitu damai, masak ada bahaya? Kalau begitu para guru seharusnya memberi peringatan dulu pada kami umat yang bersembahyang." 　　"Amitabha, Penderma terlalu berprasangka, di kuil sama sekali tidak ada bahaya, adikku mengalami kecelakaan saat mengambil air—" 　　Jiang Zhan menyembunyikan ekspresi berlebihan tadi, setelah terdiam sejenak bertanya: "Boleh tahu apa nama dharma guru tersebut?" 　　Meski merasa heran, biksu itu tetap menjawab pertanyaan Jiang Zhan: "Nama dharma adikku adalah Si Kong." 　　Jiang Zhan mundur setengah langkah. 　　Akhirnya biksu itu mendapat kesempatan untuk pergi, kembali mengucap Amitabha lalu bergegas menuju deretan kamar tamu lainnya. 　　Jiang Zhan berdiri terpaku, Yu Jin mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk bahunya. 　　Jiang Zhan tersentak sadar, melirik ke arah biksu yang menjauh, lalu berbisik: "Nona Keempat, Kakak Yu Qi, kalian tahu tidak? Biksu yang menyirami ladang di gunung belakang siang tadi, nama dharma-nya adalah Sikong!" 　　"Kakak Kedua curiga biksu itu tidak meninggal karena kecelakaan?" 　　"Tentu saja! Mana mungkin ada kebetulan seperti ini!" Jiang Zhan mengerutkan kening. "Tapi siang tadi jelas-jelas tidak ada temuan mencurigakan, bagaimana dia bisa tewas?" 　　"Ini bisa ditebak. Artinya di dalam sumur itu memang ada sesuatu. Setelah Adik kedua Jiang pergi, biksu itu menemukannya, maka—" Yu Jin tersenyum tipis, "—dibungkam." 　　Jiang Zhan menepuk dahinya dengan menyesal: "Andai saja aku bertahan sampai akhir." 　　Yu Jin tertawa: "Kalau begitu, mungkin korban akan bertambah satu orang lagi." 　　Jiang Zhan tertegun sejenak, lalu menggerutu: "Kakak Yu Qi mengutukku ya? Kalau aku benar-benar tinggal di sana, pasti tidak akan terjadi apa-apa." 　　"Mengapa?" 　　"Kakak Yu Qi pasti akan menyelamatkanku." Jiang Zhan berkata dengan yakin. 　　Bahkan Yu Jin yang berperangai tebal muka pun tak kuasa menahan ekspresi wajah yang berkerut. 　　Melihat langit, Yu Jin berkata pada Jiang Si dengan nada konsultatif: "Sudah larut, lebih baik kita pergi." 　　"Tunggu—!" Jiang Zhan menggenggam lengan Yu Jin. "Kita tidak bisa pergi begitu saja!" 　　"Hmm?" Yu Jin menatap tajam tangan yang menggenggam lengannya, menunjukkan ketidaksenangan. 　　“Berkelakuan tidak pantas di hadapan Jiang Si, seperti apa ini!” 　　“Ada orang mati, dan mungkin yang tewas tidak hanya satu!” 　　“Lalu?” 　　“Jadi kita tidak akan mencari pembunuhnya?” Jiang Zhan terkejut melihat kedua orang itu tidak berminat. 　　Yu Jin berkata datar: "Bukan kita yang membunuh, juga bukan saudara kita." 　　Mencari pembunuh di wilayah orang lain, jika pelakunya adalah anggota biarawan, sedikit provokasi saja, menghadapi seluruh biara bukan hanya sulit menemukan pembunuh, bahkan meloloskan diri pun akan merepotkan. 　　Dengan kehadiran Jiang Si, Yu Jin sama sekali tidak ingin melakukan hal yang sia-sia yang bisa menjerat ketiganya dalam masalah. 　　"Tapi menghadapi hal seperti ini dengan berpura-pura tidak tahu, bisakah hati nurani kita tenang?" Jiang Zhan masih belum menyerah. 　　Ada orang mati lagi, mungkin nanti saat dia menutup mata, akan ada dua hantu datang mengajaknya mengobrol. 　　Yu Jin memandang Jiang Zhan dengan lucu: "Hati nurani? Aku tidak punya." 　　"Kakak Yu Qi, ternyata kau orang seperti ini!" Jiang Zhan menutupi dadanya dengan sedih. 　　Dia mengira ini lelucon Yu Jin, maka merespons dengan nada berlebihan yang bercanda. 　　Kakak Yu Qi sebenarnya baik hati, bahkan menyelamatkannya meski tidak saling kenal. 　　Memiliki jiwa kesatria yang membela kebenaran tapi tidak ditunjukkan, Kakak Yu Qi sungguh orang baik yang langka. 　　"Benar-benar tidak punya, hatiku--" Yu Jin melirik Jiang Si, berkata santai, "sudah hilang." 　　Jiang Si menundukkan pandangan. 　　"Di saat seperti ini masih sempat menggoda dia, benar-benar keterlaluan!" 　　"Kakak Kedua, lebih baik kita pergi, aku agak takut." Melihat jamaah lain mulai keluar dari kamar-kamar penginapan, Jiang Si berbisik pelan. 　　Jiang Zhan menepuk dahinya: "Aku benar-benar linglung, bagaimana bisa lupa Adik Keempat adalah seorang gadis, pasti takut menghadapi hal seperti ini. Adik Keempat, ini salah Kakak Kedua, mari kita segera pergi." 　　Sudahlah, jika hantu ingin mengobrol dengannya biarlah, mungkin dua hantu itu akan akrab dan urusannya selesai. 　　Dayang kecil Ah Man yang selama ini diam seperti patung melirik Jiang Zhan dengan penuh simpati. 　　Tuan Kedua ini benar-benar naif, Nona kami takut? Heh. 　　Mendengar mereka ingin pergi, biarawan itu langsung buru-buru mengantar tamunya pergi. 　　Sekelompok orang kembali ke penginapan, di bawah pohon besar luar penginapan sudah banyak orang berkumpul berdiskusi tentang kejadian di Kuil Lingwu. 　　"Katanya waktu mengambil air, biarawan itu tidak sengaja terpeleset dan kepalanya terbentur tepi sumur, langsung berdarah-darah, kasihan sekali." 　　"Memang nasib manusia ditentukan surga..." 　　Saat matahari hampir terbenam, Ah Man mencari kesempatan melapor: "Nona, A Fei mengirim kabar melalui Lao Qin. Tentang Keluarga Li dari Desa Dayang yang pertama kali Nona suruh selidiki, putri mereka hari ini sedang beribadah di Kuil Lingwu dan sampai sekarang belum pulang..." 　　Terima kasih atas He Shibi dari honeylion, terima kasih kepada teman-teman pembaca yang memberikan suara dan hadiah. Saat ini masih ada dua tambahan update untuk telur roh yang belum terpenuhi, akan berusaha menyelesaikannya segera. Sampai jumpa besok. 99. Bab 99 Urusan Kita 　　Bab 99 Urusan Kita 　　Jiang Si mendengarkan, hatinya tiba-tiba merasa gelisah. 　　Dari informasi yang didapatkan dari biksu kecil, dia menduga orang yang paling terkait dengan mayat perempuan di taman Keluarga Marquis Changxing kemungkinan besar adalah Nona dari keluarga Pejabat Li di Desa Dayang. 　　A Fei mendapatkan kabar bahwa Nona Li datang ke Kuil Lingwu untuk bersembahyang hari ini, tapi biksu kecil mengatakan Nona Li sudah lama tidak datang. 　　Apakah biksu kecil tidak memperhatikan kedatangan Nona Li ke Kuil Lingwu, atau sengaja menyembunyikan - mengingat senyum polos biksu kecil itu, Jiang Si menggelengkan kepala pelan. 　　Peziarah yang datang ke Kuil Lingwu sangat banyak, mungkin biksu kecil memang tidak menyadarinya. 　　Tapi orang yang paling dia duga terkait justru berhubungan dengan Kuil Lingwu - dan kebetulan di Kuil Lingwu juga terjadi pembunuhan - 　　Jiang Si merenung sejenak, lalu menyuruh Ah Man memanggil A Fei. 　　"Nona, ada yang perlu Anda perintah?" A Fei menyelinap masuk ke penginapan. 　　"Hari ini kamu pergi ke beberapa tempat untuk mencari informasi?" 　　"Total dua kota kecil dan lima desa..." A Fei melaporkan tempat-tempat yang sudah dikunjungi kepada Jiang Si, "Tidak ada yang mendengar tentang kejadian besar di keluarga mana pun." 　　"Apakah Desa Dayang jauh dari sini?" 　　"Tidak jauh, hanya beberapa li perjalanan." 　　Jiang Si menengok melihat kondisi langit. 　　“Matahari hampir terbenam, menyapu langit barat dengan warna oranye kemerahan yang hangat. Seluruh langit masih terang, jauh dari waktu menyalakan lentera.” 　　“Apa pekerjaan Keluarga Tuan Li?” 　　“Tuan Li adalah keluarga kaya terkenal di Desa Dayang, katanya beliau juga seorang Xiucai...” A Fei dengan lincah menceritakan informasi yang telah dikumpulkannya. 　　“Di Dinasti Zhou, gelar Xiucai tidak mudah diraih. Banyak pelajar belajar seumur hidup tapi tetap bergelar Tongsheng, apalagi di desa kecil seperti ini. Memiliki seorang Xiucai adalah kebanggaan seluruh desa.” 　　“Mendengar penjelasan A Fei, Jiang Si pun paham bahwa Tuan Li memiliki reputasi terpandang di Desa Dayang.” 　　“Apakah kabar kematian tak terduga biksu Kuil Lingwu sudah tersebar ke Desa Dayang?” 　　“Saat aku kembali, sudah kudengar orang-orang membicarakannya di jalan.” 　　“Para peziarah Kuil Lingwu berasal dari berbagai desa sekitar, penyebaran kabar akan terjadi dengan kecepatan luar biasa.” 　　“Jiang Si mengerutkan alisnya merenung.” 　　“A Fei mengamati ekspresi Jiang Si, dengan sigap memilih untuk diam.” 　　“Sekitar waktu satu cangkir teh kemudian, Jiang Si akhirnya mengambil keputusan: 'A Fei, sewa beberapa preman untuk mengirim kabar ke keluarga Tuan Li di Desa Dayang. Katakan putri mereka didorong ke sumur di bukit belakang Kuil Lingwu hingga tewas. Jika tidak segera mengangkat jenazah, jangan harap bisa menuntut keadilan untuk Nona Li...'” 　　“A Fei tertegun: 'Nona, apa buktinya?'” 　　“Pada saat orang-orang diliputi kecemasan seperti ini, seandainya Ayah Li benar-benar menyayangi putrinya, desas-desus semacam ini sudah cukup.” 　　Ia tak yakin apakah Nona Li mengalami musibah. Jika tebakannya benar, setidaknya tidak akan ada orang yang meninggal tanpa sebab jelas. Jika salah, reputasi Keluarga Li paling hanya akan jadi bahan tertawaan sebentar, tanpa kerugian nyata. 　　Yang terpenting, ia punya firasat bahwa Nona Li kemungkinan besar adalah kunci untuk mengungkap kabut misteri ini. 　　“A Fei, pergilah. Jangan cuma berdiri termenung.” 　　A Fei langka menunjukkan keraguan: “Nona, kita kan orang pendatang, siapa tahu para preman itu bisa dipercaya——” 　　Jiang Si tersenyum: “Kalau uangnya cukup, pasti bisa dipercaya. Kalau masih ragu, berarti uangnya kurang...” 　　A Fei menepuk dahinya: “Nona benar juga!” 　　Dulu dirinya sendiri kan juga preman macam itu. Asal dibayar, bukan cuma menyampaikan pesan, disuruh telanjang lari pun mau! 　　A Fei melipat tangan lalu pergi. Jiang Si hendak kembali ke kamar, tiba-tiba melihat Yu Jin mendekat. 　　“Menurutmu Nona Li itu ada di dalam sumur?” 　　Jiang Si memandangnya dengan wajah muram: “Kau suka sekali menguping pembicaraan orang ya?” 　　“Aku tidak menguping, cuma pendengaranku tajam.” Yu Jin tersenyum masygul. “Nona Jiang, saat seperti ini jangan berdebat lagi. Mari bahas hal penting.” 　　“Tuan Yu, ini urusanku.” Jawab Jiang Si dengan ekspresi datar. 　　Bagaimana caranya melepaskan plester anjing ini? 　　Yu Jin menatap Jiang Si tanpa berkedip, tiba-tiba tersenyum: "Kau tidak bisa memutuskan, ini urusan kita. Jangan lupa malam itu——" 　　Jiang Si menarik napas dalam-dalam, memutuskan untuk tidak berdebat mulut, mengalihkan topik ke urusan resmi: "Waktunya tidak sesuai." 　　Yu Jin merenung sejenak lalu paham: "Nona Li datang berziarah hari ini, sedangkan bau aneh di sumur tidak mungkin muncul secepat ini. Artinya meski ada mayat di sumur, kecil kemungkinan itu Nona Li. Lalu mengapa kau menyuruh bocah itu menyampaikan pesan——" 　　"Aku hanya berpikir penyebab bau sumur mungkin tidak terkait Nona Li, tapi bukan berarti Nona Li yang belum pulang ini tidak mengalami masalah." 　　Yu Jin mengangguk sambil tersenyum: "Benar juga." 　　Jiang Si menatap mega senja yang berwarna-warni, suaranya pelan: "Lagipula, bukankah Kakak Kedua sangat ingin tahu apakah ada mayat di sumur? Biarlah hatinya tenang." 　　Yu Jin mengusap hidungnya. 　　Dia paling benci melihat ikatan persaudaraan yang mesra! 　　"Ini untukmu." Yu Jin menyodorkan kertas lipat berbentuk persegi kepada Jiang Si. 　　Jiang Si melihat kertas itu tanpa segera menerima: "Apa ini?" 　　Jangan-jangan berisi tulisan sembarangan? 　　"Kalau takut melihat, aku tarik lagi." 　　Jiang Si meliriknya, berkata datar: "Benar tidak ingin melihat. Aku pergi." 　　“Yu Jin menarik pergelangan tangannya, menghela nafas: "Kenapa selalu siap menusuk seperti landak, tidak mau bekerja sama sama sekali?"” 　　“Lepaskan!” 　　“Baiklah, kalau kau tidak tertarik memeriksa apakah ada gadis hilang di desa-desa sekitar, aku akan bakar kertas ini.” 　　“Jiang Si berbalik mendadak, menatap kertas terlipat rapi itu, wajahnya memerah tapi enggan menunjukkannya.” 　　“Yu Jin tersenyum menyelipkan kertas itu ke tangannya: "Ini, aku yang memintamu melihatnya, cepatlah baca."” 　　“Dalam tawa lembut dan manja itu, Jiang Si tiba-tiba merasa pipinya panas, tidak berani menatap matanya, buru-buru membuka kertas itu.” 　　“Di atas kertas tercatat rapat berbagai informasi, beberapa nama desa pernah didengar Jiang Si dari mulut biksu kecil.” 　　“Dia tak bisa tidak menatap pemuda di hadapannya.” 　　“Yu Jin tak bertele-tele, tersenyum cerah: "Aku datang lebih dulu, meminjam buku daftar penyumbang saat menyumbang uang dupa, lalu menyuruh orang menyelidiki nama-nama yang sering muncul. Tapi hasilnya, dalam radius 30 li tidak ada informasi yang Nona Jiang cari."” 　　“Buku catatan itu menuliskan jumlah sumbangan, tentu bukan hanya nama, tapi juga asal peziarah seperti 'Putri Keluarga Li dari Desa Dayang' dll.” 　　“Setelah lama memegang kertas itu, Jiang Si akhirnya berkata: "Terima kasih."” 　　“Pemuda itu tersenyum secerah angin dan bulan: "Untuk apa? Sudah kukatakan, ini urusan kita berdua."” 　　“Aku akan mempelajari lagi informasi di kertas ini terlebih dahulu.” Jiang Si memegang kertas surat itu dan bergegas pergi. 　　Yu Jin berdiri sendiri sejenak, senyuman di matanya semakin dalam. 　　Penduduk Qingniu Zhen masih berkerumun di luar membicarakan kecelakaan di Kuil Lingwu, sementara rombongan dari Dayang Zhen berjalan besar-besaran menuju kuil tersebut. 100.Bab 100 Mencari Orang 　　Bab 100 Mencari Orang 　　Qingniu Zhen yang sering dikunjungi peziarah dari berbagai daerah ke Kuil Lingwu sudah sangat terbiasa dengan orang asing, tetapi rombongan Dayang Zhen yang terlihat garang ini langsung menarik perhatian penduduk setempat. 　　“Lihat, dari mana orang-orang itu datang? Kok seperti mau cari masalah?” 　　“Aduh, yang di depan itu kan putra sulung Tuan Li dari Dayang Zhen! Ini rombongan Keluarga Li dari Dayang Zhen!” 　　Keluarga Li di Dayang Zhen sangat kaya raya, bahkan Tuan Li sendiri adalah seorang terpelajar yang tidak perlu bersujud di hadapan pejabat kabupaten - hal ini sangat mengesankan bagi rakyat biasa. 　　“Mau apa sih keluarga Li ini?” 　　“Siapa tahu? Ikutin saja.” Hobi menonton keributan sudah menjadi sifat alami orang Dinasti Zhou. Penduduk Qingniu Zhen bahkan para pendatang sementara langsung penasaran dan mengikuti rombongan tersebut. 　　Jiang Zhan datang dengan bersemangat mencari Jiang Si: “Adik Keempat, ada kejadian di luar, cepat kita lihat!” 　　“Kejadian apa?” 　　“Belum tahu pasti, ada sekelompok orang dari luar kota datang. Aku punya firasat, tujuan kedatangan mereka mungkin terkait dengan Kuil Lingwu!” 　　Jiang Si menahan tawa: “Kakak Kedua benar, mari kita pergi melihat.” 　　Beberapa orang itu menyelinap di antara kerumunan, mengikuti kelompok tersebut langsung menuju Kuil Lingwu. 　　Kuil Lingwu terletak di pinggiran kota, sehingga semakin banyak orang penasaran yang bergabung sepanjang perjalanan. Saat tiba di gerbang kuil, rombongan sudah cukup besar. 　　Biksu penjaga terkejut: “Amitabha, hari ini kuil tidak menerima tamu lagi. Para dermawan mohon pulang.” 　　Pria pemimpin berusia dua puluhan, tampan dan berpakaian rapi, namun matanya memancarkan kilatan kejam, berseru: “Kami datang mencari orang. Adik saya berziarah ke Kuil Lingwu dan belum pulang. Ayah khawatir, menyuruh saya menjemputnya.” 　　“Amitabha, hari ini terjadi insiden di kuil. Semua peziarah yang menginap dua hari ini telah pergi berturut-turut. Saudari dermawan tidak ada di sini——” 　　“Adik saya jelas-jelas berziarah ke Kuil Lingwu. Sekarang dia hilang, bukankah kami berhak mencari di sini? Biasanya menyumbang minyak lampu Buddha dibolehkan, sekarang orang hilang malah dilarang masuk. Apa maksudnya? Jangan-jangan adik saya benar-benar celaka di tempat kalian?” 　　Biksu penjaga terpaku oleh pertanyaan pria pemimpin. 　　Pria pemimpin menyelinap melewati biksu penjaga sambil teriak: “Cepat ikuti!” 　　“Baru sekejap mata, biksu penjaga pintu sudah terseret ke samping, sekelompok orang berhamburan masuk.” 　　“Pada akhirnya hanya tersisa para penonton yang saling memandang bingung.” 　　“Setelah beberapa lama, seseorang akhirnya berkata: "Menurutku, orang-orang Desa Domba Besar datang ke Desa Kerbau kita untuk membuat masalah kan? Kita hanya diam saja seperti ini benar-benar terlalu memalukan!" 　　“"Benar! Kita tidak boleh membiarkan mereka berbuat onar di wilayah kita. Menghina para biksu suci Kuil Lingwu ini sungguh keterlaluan!"” 　　“Biksu penjaga pintu belum sempat berdiri tegak, sekelompok orang lain sudah berdesakan masuk.” 　　“Melihat ambang pintu yang sudah terinjak-injak hancur, biksu itu hanya bisa menahan tangis tanpa air mata.” 　　“"Kalian penjahat dari mana ini? Ini adalah tanah suci Buddha——" Seorang biksu yang mencoba menghalang belum selesai bicara sudah tersuduk ke samping. Kelompok ini punya tujuan jelas: langsung menuju bukit belakang.” 　　“Kuil Lingwu bersandar di gunung hijau. Meski area bukit belakang tidak terbuka untuk peziarah, tata letaknya sederhana. Orang-orang Desa Domba Besar memanfaatkan ketidakpatuhan pada aturan dan kecepatan gerak mereka, menyusup ke bukit belakang sebelum para biksu menyadarinya.” 　　“Saat lonceng peringatan berbunyi, para biksu yang berlarian keluar sudah terlambat——bahkan para penonton pun ikut pergi ke sana.” 　　“Seketika itu juga, bukit belakang yang semula sunyi dipenuhi oleh kerumunan orang bagai awan hitam.” 　　“"Di sinilah!" Pria pemimpin langsung menuju sumur di samping kebun sayur.” 　　“Tanah di sekitar sumur masih terlihat bernoda merah gelap——jelas bekas darah biksu yang mati kecelakaan belum dibersihkan sepenuhnya.” 　　“Beri aku jaring!” Pria pemimpin menunjuk mulut sumur, segera ada yang memutar tuas di atas kerek. 　　Seorang biarawan paruh baya melangkah keluar dari kerumunan: “Tuan berani bertindak semena-mena di tempat suci Buddha, tidak takkut dihukum oleh Sang Buddha?” 　　Orang yang sedang menimba air terhenti sejenak. 　　Pria pemimpin tertawa dingin: “Adik perempuanku hilang, Sang Buddha dan Bodhisattva yang maha pengasih pasti tidak akan menghukumku karena mencari saudariku. Adikku juga sering menyumbang uang dupa di Kuil Lingwu, sekarang dia hilang di sini. Para Bhante malah menghalangi daripada membantu, apa kalian merasa bersalah?” 　　“Amitabha, ucapan Tuan keterlaluan——” 　　“Kami ke sini tidak merusak sehelai rumput pun, hanya ingin memeriksa isi sumur ini. Mohon para Bhante memberi izin.” Pria pemimpin yang pandai bicara mengibaskan tangannya setelah berpidato, “Apa masih bengong? Cepat kerjakan!” 　　Di tengah kerumunan, Jiang Zhan menarik lengan Jiang Si, suara berbisiknya tak bisa menyembunyikan kegembiraan: “Sudah kubilang ada hantu perempuan di sumur ini, kalian selalu tidak percaya!” 　　Hantu perempuan sampai datang mengajakku ngobrol, sangat menakutkan! 　　Kerumunan penonton bergemuruh dengan desas-desus. 　　“Apa maksud keluarga Li ini? Jangan-jangan Nona Li tenggelam di sumur?” 　　“Menurutku Nona Li jadi korban pembunuhan, masa mungkin dia ada di sumur belakang gunung begini?” 　　Ada orang yang tiba-tiba tersadar: "Pantasan ada biksu yang mengalami kecelakaan, mungkin itu bukan kecelakaan biasa, tapi karena melihat Nona Li sedang dirugikan..." 　　Jiang Si mengangguk diam-diam. 　　Bagus, memang mata orang-orang yang suka menonton keramaian selalu tajam. 　　Kerumunan yang dipenuhi api gosip, bahkan sehelai saputangan jatuh di depan rumah seseorang bisa mereka imajinasikan menjadi drama besar, apalagi situasi seperti ini. 　　Seember air diangkat ke atas, orang-orang spontan menjulurkan leher untuk melihat. 　　Tidak ada apa-apa! 　　Satu ember air lagi diangkat. 　　…… 　　Bunyi gesekan tali yang creak-creak terdengar membosankan di telinga orang-orang. 　　Beberapa sudah mulai melirik rombongan Desa Dayang dengan pandangan tidak bersahabat. 　　Kuil Lingwu adalah kebanggaan Desa Qingniu. Jika benar ada orang hilang di sini, wajar mencari. Tapi kalau mau buat onar, harus tanya dulu izin kami. 　　Pemimpin pemuda itu melihat situasi memburuk, segera memerintahkan salah satu pengikutnya: "Coba turun ke bawah lihat." 　　Saat ini dia mulai menyesal. 　　Tapi harus datang, adik perempuannya adalah buah hati orang tua. Beberapa waktu lalu sakit parah sampai membuat orang tua hampir mati kecemasan. 　　Pengikut itu segera melepas mantelnya, memperlihatkan torso kekar. 　　Dinasti Zhou memiliki adat yang terbuka. Di pedesaan seperti ini bahkan di kota besar sekalipun, melihat orang bertingkah aneh bukan hal langka. Melepas baju tidak mengejutkan, beberapa wanita malah tertawa kecil. 　　Jiang Zhan segera menutupi pandangan Jiang Si dengan tangannya. 　　Jiang Si dengan tenang mengibaskan tangan saudaranya: "Kakak Kedua, jangan usil." 　　Jiang Zhan tak sengaja melirik ke arah Yu Jin, namun mendapatinya terus memandangi pria itu, seolah tak menganggap aneh tatapan Jiang Si yang menatap pria yang sedang melepas baju. 　　Yu Jin: Heh, setelah melihat A Si mengacungkan pisau dapur ke pantat seorang pria, ini bukan apa-apa. 　　Pria yang telah melepas mantel itu membalut tali di tubuhnya lalu perlahan masuk ke dalam sumur. Setelah waktu yang lama, tali yang dipegang erat oleh orang-orang tiba-tiba bergerak. 101. Bab 101: Mayat dalam Sumur (Telur Binatang Roh Tianyu Tianyue) 　　Bab 101: Mayat dalam Sumur (Telur Binatang Roh Tianyu Tianyue) 　　Pemuda pemimpin segera menyuruh orang-orang menarik tali ke atas. 　　Seiring tali yang tertarik perlahan, kepala pria yang turun tadi muncul, lalu tangannya meraih tepi sumur dan tubuhnya terjungkal ke tanah sambil terengah-engah. 　　Tubuh atas pria itu yang telanjang dipenuhi otot berkilat oleh tetesan air, namun tangannya kosong - jelas tak membawa apa-apa. 　　Biksu paruh baya yang sebelumnya menghalangi mereka mengucapkan sembahyang Buddha dengan tegas: "Jika para dermawan tak segera pergi dan terus mengganggu kesucian kuil, kami akan menyerahkan kalian ke pihak berwajib!" 　　Lebih dari sepuluh biksu muda telah berkumpul diam-diam, masing-masing memegang tongkat. 　　Dari pakaiannya, mereka adalah para biksu bela diri. 　　Kuil yang ramai dikunjungi seperti ini, meskipun berada di daerah pedesaan, sumbangan dana minyak lampu yang diperoleh merupakan jumlah yang fantastis, secara alami akan memelihara biksu bela diri untuk menjaga keamanan kuil. 　　Pemuda pemimpin itu wajahnya pucat, berkata dengan malu: "Kalau tidak bisa menemukan adikku, aku akan mencari di tempat lain--" 　　"Ada, ada orang--" Pria yang baru saja naik itu akhirnya pulih, begitu membuka mulut langsung membuat ketegangan yang sudah memuncak semakin memanas. 　　"Ada orang apa?" Pemuda pemimpin itu berubah raut wajahnya, rasa takut sebelumnya lenyap seketika. 　　Pria itu menunjuk ke dalam sumur, suaranya masih cukup tenang: "Ada orang di dalam sumur!" 　　Orang yang dibawa pemuda pemimpin untuk turun ke sumur mencari jenazah pastinya memiliki nyali tertentu. 　　Begitu pria itu mengucapkan ini, wajah biksu paruh baya langsung berubah, kerumunan penonton tiba-tiba meledak dengan diskusi yang riuh. 　　Wajah pemuda pemimpin juga tak kalah buruk, berteriak: "Ada orang mengapa tidak kau bawa naik!" 　　Ya Tuhan, adiknya benar-benar tenggelam di sumur, bagaimana kabar ini akan disampaikan pada ayah dan ibu! 　　Di bawah tekanan pemuda pemimpin, pria itu tersenyum pahit: "Tidak kuat membawa, juga takut talinya tidak kuat--" 　　Orang-orang melirik tali yang melilit pinggang pria itu, sejenak hening. 　　Tali ini terlihat kokoh, tapi siapa tahu apakah bisa menahan dua orang? Jika putus di tengah jalan, itu bisa mematikan. 　　“Pemuda pemimpin itu memang punya kecerdasan cepat. Setelah berpikir sejenak, dia segera menyuruh orang menyiapkan tali lainnya: "Kalian tarik tali ini, kamu turun dan ikat... orang di dalam sumur dengan tali ini, lalu goyangkan tali di pinggangmu. Nanti kami akan menarikmu dulu, baru menarik orang di bawah.” 　　Rencana ini terbilang masuk akal. Pria itu segera turun kembali ke sumur. Di bawah tatapan semua orang, tali bergerak. 　　“Tarik orangnya naik!” 　　Sesuai perintah pemuda pemimpin, dua pelayan yang sudah berpengalaman segera mulai menarik tali. Sementara itu, dua pelayan lain yang memegang tali satunya terlihat tegang. 　　Tak lama, pria itu berhasil ditarik ke atas. Dia duduk di tanah basah dengan wajah pucat, terlihat kehabisan tenaga. 　　Tali satunya mulai ditarik ke atas. 　　Kali ini, semua orang merasa waktu berjalan sangat lambat. 　　Jiang Zhan menahan napas gugup, matanya tak berkedip menatap mulut sumur. 　　Hantu wanita itu akan keluar, entah apakah sama seramnya dengan dalam mimpinya... 　　Akhirnya, di bawah tatapan hening kerumunan, bayangan hitam muncul. 　　“Ya ampun, itu apa?” teriak seseorang tak terkendali. 　　Tangan dua pelayan penarik tali gemetar, membuat tali turun lagi sedikit. 　　Jantung semua orang sudah nyaris melompat ke tenggorokan, hampir bisa melihat jelas apa yang ditarik itu. Kejadian ini membuat mereka seperti tercekik, tidak bisa naik maupun turun. 　　Perasaan tertekan ini justru membuat orang-orang lupa akan rasa takut. Seseorang berteriak, "Takut apa? Ada banyak orang di sini, ini juga tempat suci Buddha. Sekalipun jadi hantu, pasti tidak berani membuat onar..." 　　"Benar, aku baru saja melihat jelas. Itu cuma segumpal rambut saja." 　　Karena jumlah mereka banyak, situasi yang seharusnya menyeramkan justru menimbulkan antisipasi penuh semangat di antara kerumunan. 　　"Kalian tidak makan nasi ya?" teriak pemuda pemimpin. 　　Dua pengawal saling pandang, lalu bersama-sama mengerahkan tenaga. 　　Waktu seolah melambat lagi. Akhirnya bayangan hitam itu muncul kembali, diikuti oleh tubuh... 　　Dengan suara gedebuk, mayat yang ditarik itu jatuh ke tanah. Suara itu seperti menghantam jantung orang-orang. Suasana seketika hening. 　　Pemuda pemimpin terhuyung beberapa langkah ke depan. Ia menutup mata dan menjerit menangis, "Adik, kau mati dengan sangat mengenaskan--" 　　Orang-orang memandang si pemuda, lalu memberanikan diri melihat mayat yang terbaring di tanah. Keheningan aneh menyelimuti. 　　Akhirnya pengawal yang ikut tidak tahan berkata, "Tuan muda, ini mayat laki-laki--" 　　"Hik hik-- Hah?" Tangisan pemuda pemimpin terhenti mendadak, hampir tersedak. 　　Ia membuka mata lebar-lebar memandang mayat itu. Meski rambutnya yang acak-acakan menutupi wajah, dari postur tubuh dan pakaiannya jelas terlihat ini laki-laki. 　　Mengapa laki-laki? 　　Di saat yang sama, pertanyaan yang sama muncul di benak Jiang Zhan. 　　Tanpa sadar ia maju dua langkah, menggosok matanya kuat-kuat. 　　Kemana perginya hantu wanita? Kok bisa berubah jadi laki-laki? 　　Jiang Si menarik sang kakak masuk ke kerumunan orang. 　　Sekarang bukan saatnya untuk menonjolkan diri, lebih aman bersembunyi di tengah kerumunan. 　　Tapi situasi ini memang agak di luar dugaan. 　　Ia tak bisa menahan diri untuk melihat ke arah Yu Jin. 　　Sang pemuda dengan wajah tenang memandang ke depan, menunjukkan sikap acuh tak acuh seolah ini bukan urusannya. 　　Seolah merasakan pandangan Jiang Si, ia menoleh dan bertatapan dengannya, baru kemudian mencairkan sikap acuhnya seperti embusan angin semi yang menghangatkan, menampilkan senyuman tipis. 　　Jiang Si menarik kembali pandangannya dan kembali melihat ke depan. 　　Tiba-tiba kerumunan menjadi gempar, seseorang berteriak ketakutan: "Lihat! Ada batu diikat di tubuh mayat itu!" 　　Meski matahari telah terbenam, langit masih cukup terang di area perbukitan belakang yang lapang ini, sehingga orang-orang bisa jelas melihat batu besar yang diikatkan pada mayat pria yang baru saja ditarik dari sumur tanpa perlu penerangan tambahan. 　　Wajah pria yang turun ke sumur terlihat tersadar. 　　Pantas saja di dalam sumur ia tidak bisa menggerakkan mayat itu meski sudah mengerahkan seluruh tenaga, ternyata ada beban batu ini. Saat mengikat tali ke mayat di kegelapan sumur, karena panik dan gelap, ia tidak menyadarinya. 　　"Ini... ini pembunuhan!" teriak seseorang lagi dari kerumunan. 　　Wajah para biksu kuil kini sudah sangat pucat. 　　Jika sebelumnya mayat di sumur masih bisa dianggap kecelakaan tenggelam dengan konsekuensi kelalaian pengamanan, maka mayat dengan batu pemberat ini hanya punya satu makna: ini jelas-jelas pembunuhan! 　　"Kuil Lingwu yang ramai dikunjungi ini ternyata ada peziarah yang dibunuh, yang terpenting mayatnya ditemukan di depan umum, ini merupakan pukulan berat bagi kuil!" 　　Pada saat ini, ekspresi orang-orang yang menonton mulai berubah. 　　Awalnya memandang penduduk Desa Dayang dengan penuh kecurigaan dan siap berkelahi, kini mereka serentak memandang para biksu kuil dengan kewaspadaan. 　　"Ini kasus pembunuhan, harus dilaporkan ke pemerintah kan?" 　　"Pasti harus dilaporin, aduh, benar-benar mengerikan!" 　　Orang-orang berkomentar silih berganti, namun tak ada yang mau pergi saat ini. 　　Akhirnya seseorang mengusulkan: "Ini sepertinya pemuda muda, coba kita lihat apakah ada yang mengenalinya--" 　　Pemimpin pemuda itu memutuskan untuk ikut campur sampai tuntas, memberikan isyarat mata pada pria yang turun ke sumur. 　　Pria itu berjongkok di samping mayat, perlahan menyibakkan rambut yang menutupi wajah jenazah pria tersebut. 　　[Tambahan bab] Terima kasih untuk Hadiah Telur Makhluk Spiritual dari Tianyu dan Tianyue awal bulan, sekarang hanya tinggal satu tambahan bab lagi, sebentar lagi bebas hutang, hore. 102. Bab 102 Masalah 　　Bab 102 Masalah 　　Rambut yang menutupi wajah jenazah pria itu tersibak, memperlihatkan wajah bengkak yang mengerikan. 　　Orang-orang tak kuasa menahan diri untuk tidak menjulurkan leher melihat. 　　Meskipun wajah itu terlihat mengerikan karena bengkak terendam air sumur, tetap terlihat masih sangat muda, paling sekitar 20-an tahun. 　　Di kerumunan penonton, tiba-tiba seseorang berteriak "Hah?": "Lihat, ini seperti anak laki-laki toko kain Keluarga Liu di ujung timur kota ya?" 　　Kerumunan mendadak hening, para penonton membuka mata lebar-lebar mencoba mengidentifikasi mayat pria itu. 　　Tiba-tiba teriakan histeris terdengar di tengah keheningan, membuat orang-orang berpaling mencari sumber suara. 　　Yang berteriak adalah seorang perempuan. 　　Perempuan berusia 16-17 tahun itu membelalakkan mata sambil menutup mulutnya dengan tangan, air mata mengalir deras di wajahnya yang masih terlihat anggun. 　　Pemuda pemimpin dari Desa Dayang langsung tersenyum lega. Ia buru-buru mendekat dan menarik lengan perempuan itu: "Adik, syukurlah kau baik-baik saja!" 　　Perempuan itu masih gemetar ketakutan, membiarkan sang pemuda memeluk bahunya, tapi matanya terus menatap tajam ke arah mayat. 　　Kebetulan, perempuan itu berdiri tak jauh dari Jiang Si. 　　Jiang Si mengamati reaksi perempuan itu dengan dingin, lalu memandang wajah mayat yang muda dan bengkak itu dengan tatapan penuh pertimbangan. 　　Perempuan ini sudah lama berdiri di kerumunan. Jika benar ketakutan sampai berteriak, seharusnya bukan di saat seperti ini. 　　Reaksinya setelah mendengar identitas mayat terungkap hanya menunjukkan satu hal: dia mengenal almarhum! 　　Lebih tepatnya, hubungan mereka pasti lebih dari sekadar kenal. Banyak penonton yang mengenal almarhum, tapi tak ada yang bereaksi seperti ini. 　　"Jangan takut, Kakak akan segera membawamu pulang," kata sang pemuda menenangkan adiknya. 　　"Wanita itu jelas belum pulih ketenangannya, membiarkan pemuda itu menariknya tapi tidak bergerak." 　　"Dia, bagaimana mungkin dia mati?" gumam wanita itu. 　　Pemuda itu sepertinya menyadari sesuatu yang tidak biasa dari reaksi adik perempuannya, menarik wanita itu ke pelukannya untuk menutupi pandangan orang sekitar: "Adikku mengalami syok, kami tidak akan mengganggu penyelidikan di sini, ayo pergi!" 　　"Donatur tunggu sebentar." Biksu paruh baya itu berseru, menghentikan langkah pemuda. 　　"Apa maksud Biksu?" 　　Biksu itu mengucapkan mantra Buddha: "Amitabha, saat ini terjadi kasus pembunuhan di kuil, Donatur sebagai pihak kunci malah buru-buru pergi, ini tidak pantas." 　　"Apa Biksu tidak masuk akal? Mayat itu kubuat orang angkat, jika aku terlibat kenapa repot-repot begini? Aku datang cari adik, sekarang sudah ketemu ya harus pulang, masa harus ikut cari pembunuh?" 　　"Jika tak ada hubungannya, mengapa Donatur bawa orang ke sumur di belakang kuil untuk mengangkat mayat?" Biksu itu semakin agresif, jelas tidak mau melepas pemuda. 　　"Ini kan salah ambil!" Pemuda itu kesal, melihat ekspresi anak orang sekitar, buru-buru jelaskan: "Ada yang kasih kabar ke keluarga, bilang adikku dibunuh dan dibuang ke sumur belakang Lingwu Si." 　　"Nyatanya adik Donatur masih hidup." 　　"Makanya dibilang salah informasi! Apa permintaan maafku tidak cukup?" 　　“Siapa yang memberi kabar kepada Tuan Gong?” Tiba-tiba seseorang melangkah ke depan dari kerumunan, bertanya dengan lembut pada pemuda itu. 　　Yang bertanya adalah pria paruh baya berkulit kekuningan dengan janggut panjang, diikuti dua tiga pelayan di belakangnya. 　　Pemuda itu mengerutkan kening memandangi pria paruh baya yang ikut campur, sorot mata penonton juga tertuju pada orang ini. 　　Pria paruh baya tersenyum tipis: "Saya adalah Bupati Kabupaten Fuxing, kebetulan melewati Kota Qingniu. Mendengar ada kematian tak terduga, jadi mampir melihat." 　　Di antara kerumunan, perasaan Jiang Si tiba-tiba menjadi agak rumit. 　　Keterlibatan pejabat pemerintah sangat mengejutkan, apalagi kebetulan adalah Bupati yang bertugas menjaga keamanan kabupaten. Sungguh kebetulan yang aneh. 　　Begitu tahu yang berdiri di depan adalah Bupati, kerumunan menjadi gugup. 　　Mengapa Bupati ada di sini? Benarkah ini? 　　Pria paruh baya itu menunjukkan kartu identitasnya pada pemuda dan biksu kuil. 　　"Hormat pada Bupati." Pemuda itu jelas berpengalaman, langsung memberi salam setelah melihat kartu. 　　Pria paruh baya tersenyum: "Tak perlu formal. Bisakah Tuan ceritakan siapa yang memberi kabar?" 　　"Mereka mengaku dari Kota Qingniu, kami tidak kenal. Tapi--" Pemuda itu berpikir sejenak, "--penampilan mereka jelas-jelas preman." 　　"Kalau mereka preman, mengapa Tuan percaya begitu saja?" 　　Pemuda itu tersenyum pasrah: "Awalnya aku tidak terlalu percaya, tapi ibu langsung panik begitu mendengar adikku bermasalah, menyuruhku buru-buru datang memastikan. Ayah juga bilang asap pasti ada apinya, para preman itu tak mungkin mengarang cerita tanpa alasan. Jika benar adikku celaka di sini, kami tak bisa biarkan dia jadi korban tak jelas. Kalau ternyata salah, kami siap minta maaf." 　　Sambil berkata demikian, pemuda itu melirik ke arah para biksu: "Tak disangka meski adikku selamat, ternyata benar-benar ada mayat yang diangkat dari sumur." 　　Maknanya jelas - ini cuma kesalahpahaman, dan mengangkat mayat itu justru perbuatan mulia. Baik Kuil Lingwu maupun pemerintah seharusnya tidak mempermasalahkan. 　　Pria paruh baya itu menengadah ke langit, sopan berkata: "Bagaimanapun mayat ditemukan oleh orang Tuan Gong. Masalah nyawa manusia tak boleh dianggap remeh. Karena hari sudah sore, Tuan dan adik serta rombongan silakan menginap di Kuil Lingwu dulu. Saya akan menyelidiki lebih lanjut. Setelah petugas kedokteran forensik tiba dan memeriksa detail, kebenaran pasti terungkap." 　　Pemuda itu tampak sangat tidak puas, hendak membantah lagi ketika pria paruh baya itu tiba-tiba berbisik: "Adikmu kenal dengan almarhum, ya?" 　　Tangan pemuda yang memeluk gadis itu mengencang, wajahnya berubah pucat. 　　Jika adiknya diinterogasi Jenderal Kabupaten di depan umum, itu akan sangat memalukan. Dengan banyaknya mulut usil di sini, rumor apa lagi yang akan tersebar nanti. 　　Melihat pemuda itu menyerah, pria paruh baya mengatupkan tangan ke arah kerumunan penonton: "Warga sekalian, yang mengenal almarhum bisa tetap tinggal sementara, yang lain harap pulang dulu. Jika tertarik dengan kasus ini, bisa datang kembali besok." 　　Begitu suara Pejabat Kabupaten berhenti, kerumunan gelap manusia langsung mundur selangkah besar, seolah semua bersiap untuk kabur. 　　Bercanda, apa yang terpenting dalam menonton keributan? Tentu saja jangan sampai kena masalah! Kalau ditahan untuk interogasi dan akhirnya dicurigai sebagai tersangka, nanti makan biji kuaci pun jadi tak enak. 　　Saat ini semua penonton berpikiran sama: Sekarang melon sudah matang, lebih baik buru-buru pulang cuci melon dan nonton keributan lagi besok. Siapa yang tetap tinggal sekarang pasti bodoh! 　　Akibatnya, rombongan Jiang Si justru mencolok tetap di tempat, langsung menarik banyak pandangan. 　　Melihat pria paruh baya itu memandang, Jiang Zhan segera menghalangi Jiang Si sambil tersenyum: "Kami peziarah dari luar kota, tidak kenal almarhum." 　　Tiba-tiba seorang biksu mengucapkan mantra Buddha keras-keras: "Biksu ini mengenal orang ini, dia pernah datang ke belakang gunung siang tadi!" 　　Selamat pagi. 103. BAB 103 KECURIGAAN 　　BAB 103 KECURIGAAN 　　Di bawah tatapan ratusan mata, sang biksu dengan jelas menunjuk seseorang yang belum sempat mengundurkan diri - Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan langsung bengong. 　　Ada apa ini? Apa hubungannya dengan dirinya? 　　"Seandainya itu mayat perempuan, dia mungkin masih merasa bersalah karena hantu wanita pernah memberikan mimpi kepadanya, bisa dibilang masih ada hubungan kekerabatan. Tapi ini mayat laki-laki, sama sekali tidak ada hubungan dengannya." 　　"Paman Guru, siang tadi murid melihat orang ini menyelinap ke bukit belakang dengan mencurigakan!" Biksu yang menunjuk Jiang Zhan melapor kepada biksu paruh baya. 　　Biksu paruh baya itu bernama Dharma Xuan Ci. Karena kepala biara Lingwu Temple sudah berusia lanjut, dia bertindak sebagai pelaksana tugas kepala biara. 　　Xuan Ci langsung membentak, "Bukit belakang bukan area publik. Kalau sudah menemukan peziwah menyusup sejak tadi, mengapa tidak segera menghentikannya?" 　　Biksu yang dimarahi itu menunduk malu, "Murid melihat tamu ini sukarela membantu Biksu Sikong mengambil air, jadi tidak mengusirnya. Saat Biksu Sikong ditemukan tewas, murid kira itu kecelakaan biasa. Siapa sangka sekarang mayat dengan batu pengikat ditemukan dari sumur-" 　　Biksu itu menatap Jiang Zhan seperti patung Dewa Maritim, "Begitu melihat orang ini, murid langsung teringat kejadian siang tadi. Paman Guru, murid yakin dialah pembunuhnya! Pertama dia membunuh tamu muda ini, lalu takut Biksu Sikong menemukan keanehan saat mengambil air, jadi berpura-pura membantu menyirami tanaman untuk membunuh Biksu Sikong dan menyamar sebagai kecelakaan!" 　　Seiring tuduhan itu, para biksu mulai mengepung rombongan Jiang Si dalam formasi lingkaran. 　　Dari balik barikade manusia para biksu, terdengar suara diskusi yang ramai. 　　"Cepat sekali menangkap pelakunya, orang mana ini?" 　　“Sepertinya bukan penduduk sekitar, pemuda tampan seperti itu kalau dari sini pasti semua orang tahu.” Seorang wanita berkata dengan penuh penyesalan. 　　Orang-orang di sekitarnya mengangguk setuju. 　　Perkataan ini memang masuk akal. 　　“Tapi untuk apa pemuda tampan itu membunuh?” Lebih banyak gadis dan ibu-ibu muda yang bercampur dalam kerumunan merasa kebingungan, membuat para pria di sekitarnya menggelengkan kepala. 　　Masuk akalkah perkataan ini? Apakah orang tampan tidak punya alasan membunuh? Apa hanya orang jelek yang akan balas dendam pada tetangga? 　　“Tuan, orang-orang ini adalah peziarah yang menginap pagi ini, pelakunya pasti ada di antara mereka!” Biksu yang dimarahi berkata pada Xuan Ci, lalu buru-buru memperingatkan petugas county karena takut Jiang Si dan yang lain kabur. 　　Jiang Zhan menyeringai dingin: “Omong kosong! Jika aku pelakunya, setelah dengar orang-orang datang ke mata air Lingwu Temple untuk mengangkat mayat, mana mungkin aku tidak kabur malah ikut menonton?” 　　Begitu orang-orang mendengar ini, suara diskusi tiba-tiba terhenti. 　　Tampaknya perkataan pemuda tampan ini juga ada benarnya. 　　Tiba-tiba seseorang di samping petugas county berkata: “Belum tentu! Katanya banyak pembunuh yang suka kembali ke TKP untuk melihat keributan setelah beraksi.” 　　"Xian Wei memperhatikan Jiang Zhan sejenak, wajahnya tidak menunjukkan petunjuk apa pun: \"Begini saja, karena Tuan Gong ini dicurigai, malam ini juga menginap di Kuil Lingwu. Oh ya, termasuk peziarah yang menginap dua hari terakhir, harap kuil menyediakan daftar nama. Jika peziarah tersebut ada di kerumunan, silakan maju. Tenang saja, hanya bertanya. Saya jamin tidak akan menuduh orang tak bersalah.\"" 　　Setelah Xian Wei berkata demikian, kerumunan sunyi senyap. Tak seorang pun maju. 　　Xian Wei mengelus jenggot dengan wajah serius: \"Tidak masalah jika peziarah yang menginap di Kuil Lingwu sudah pergi. Dengan daftar nama, besok petugas keamanan kantor kabupaten bisa memanggil mereka.\"" 　　Perkataan ini membuat peziarah yang bersembunyi di kerumunan ingin cuci tangan menghela napas. Beberapa orang maju dari kerumunan. 　　\"Apabila Kepala Desa Qingniu Zhen ada di sini?\"" 　　Seorang tua berambut putih segera maju, membungkuk dalam-dalam: \"Hormat pada Tuan, hamba hadir.\"" 　　Xian Wei menyeringai halus. 　　Rupanya sifat suka melihat keributan rakyat sama saja. Mungkin semua warga gesit di kota sudah berkumpul di sini. 　　Ini bagus, mempermudah penyelidikan kasus. 　　\"Kepala Desa tetap di sini. Bawa dua pemuda cerdas.\" Xian Wei berkata datar. 　　Untuk pejabat seperti Kepala Desa dan Kepala Ting yang sudah mengabdi pada kantor kabupaten, tentu tidak perlu terlalu banyak basa-basi. 　　\"Baik, warga sekalian boleh pulang dulu. Malam ini saya akan menyelidiki kasus sepanjang malam. Jika diperlukan akan memanggil kalian untuk memberikan kesaksian.\"" 　　Setelah Bupati berbicara, orang-orang yang menonton kejadian tersebut pergi dengan enggan, membuat area belakang Kuil Lingwu tiba-tiba menjadi sepi. 　　Saat itu matahari telah terbenam, bahkan sisa-sisa cahaya senja pun telah menghilang, seluruh langit tampak berwarna kuning keabuan. 　　Pandangan Bupati menyapu wajah semua orang yang tersisa satu per satu, akhirnya berhenti pada Xuan Ci. 　　Xuan Ci mengucapkan mantra Buddha: "Mohon Tuan berpindah ke ruang tamu." 　　Bupati tidak menolak, menunjuk beberapa orang: "Kalian semua ikutlah dengan pejabat ini." 　　Di antara mereka ada rombongan Jiang Si, saudara Li dari Desa Dayang, peziarah yang menginap, kepala desa Qingniu, tentu juga ada biksu Kuil Lingwu. Mayat pria itu dijaga ketat atas perintah Bupati menunggu kedatangan koroner. 　　Suasana menjadi agak tegang saat berpindah dari kegelapan belakang kuil ke ruangan yang terang benderang. 　　Bupati pertama memecahkan keheningan: "Boleh tahu bagaimana panggilan Biksu ini?" 　　Biksu yang dimarahi buru-buru menjawab: "Hamba Sihai." 　　"Bagaimana dengan Tuan Gong ini?" 　　Jiang Zhan melirik Jiang Si, berkata dengan perasaan sedih: "Panggil saja hamba Jiang Er, Tuan." 　　Ia sengaja mengubah nada pengucapan karakter "Jiang", sehingga terdengar seperti "Jiang" di telinga orang lain. 　　Bupati mengangguk, bertanya pada Sihai: "Kapan Biksu Sihai melihat Jiang Er pergi ke belakang kuil? Kapan melihatnya pergi?" 　　“Sihai berpikir sejenak lalu berkata: “Makan siang di kuil sudah terjadwal, hamba ingat tidak lama setelah makan siang, sekitar tengah hari. Tentang waktu kepergiannya... hamba melihat Jiang Er bolak-balik mengangkut air untuk Shikong beberapa kali lalu pergi bekerja, tidak memperhatikan kapan ia pergi.” 　　Saat mengatakan ini, matanya melotot tajam ke Jiang Zhan: “Tapi dialah satu-satunya orang luar yang pernah masuk ke belakang gunung! Pasti Shikong dibunuhnya! Dialah pembunuh mayat pria di sumur itu!” 　　Jiang Zhan melompat marah: “Omong kosong! Biksu botak ini lihat aku membunuh pakai mata sebelah mana?” 　　Yu Jin menepuk bahu Jiang Zhan perlahan, menyuruhnya tenang. Setelah Jiang Zhan reda, ia tersenyum dingin: “Biksu Sihai, pernyataanmu tidak adil. Apakah satu-satunya orang luar yang masuk ke belakang gunung pasti pembunuh? Bandingkan dengan orang kuil yang bisa berkeliaran di mana-mana, bukankah lebih mudah mereka yang membunuh? Tuan Xianwei, setuju bukan?” 　　“Amitabha, jangan nodai umat Buddha. Murid Buddha menjunjung kesetaraan semua makhluk, bahkan hewan dan serangga pun takkan disakiti, apalagi membunuh manusia?” Sihai membela diri dengan emosi. 　　Jiang Si menyela tepat waktu: “Sebenarnya ada atau tidaknya kakakku di belakang Gunung Lingwu sama sekali tidak relevan.” 　　Semua orang segera menatap Jiang Si dengan ekspresi beragam. 　　Meski biksu, Sihai berwatak keras. Mendengar nada meremehkan Jiang Si, ia langsung protes: “Ini membahas kasus pembunuhan, nona harap berhati-hati dengan ucapan!” 　　Jiang Si mengangkat alis: "Apakah Guru bermaksud menyuruhku diam?" 　　Sihai diam seribu bahasa, jelas membenarkan pertanyaan retoris Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Ini menarik, tadi Guru masih berpidato tentang kesetaraan semua makhluk, sekarang karena aku perempuan langsung menyuruh diam. Tampaknya Guru belum sepenuhnya memahami hati sendiri." 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 104.Bab 104 Interogasi (Telur Makhluk Gaib Mo Mo Mo Yan) 　　Bab 104 Interogasi (Telur Makhluk Gaib Mo Mo Mo Yan) 　　Ucapan Jiang Si membuat biksu Sihai memerah muka, bahkan biksu Xuanci yang menjabat sementara sebagai kepala biara meliriknya dalam-dalam. 　　Jiang Si tak peduli dengan berbagai tatapan, berkata serius kepada Letnan: "Kami baru tiba di Kuil Lingwu pagi ini, ada biksu penerima tamu sebagai saksi. Mayat pria di sumur dari tingkat pembengkakan, paling lambat tenggelam kemarin. Jadi tuduhan Biksu Sihai bahwa kakakku membunuh Biksu Sikong untuk tutupi mulut sama sekali tak berdasar. Jika mayat itu bukan dibunuh kakakku, bagaimana mungkin dia bunuh orang lagi untuk tutupi mulut?" 　　"Lalu kenapa dia muncul di gunung belakang membantu Biksu Sikong menyiram? Kematian Biksu Sikong pasti bukan kecelakaan!" Sihai berteriak marah. 　　Jiang Si terkekeh: "Biksu kan harus mengutamakan welas asih dan kebaikan. Bantu menyiram tidak bisa dianggap sebagai ketulusan? Katanya hati yang penuh Buddha akan melihat Buddha dalam diri orang. Biksu Sihai selalu mencurigai niat buruk orang, entah bagaimana cara bertapanya!" 　　“Nona benar-benar tajam mulutnya!” Sihai marah hingga wajahnya pucat. 　　Jiang Si membalas tanpa sungkan: “Biksu Agung benar-benar cari gara-gara!” 　　“Apakah beberapa sumbangsih ini pernah datang ke Kuil Lingwu sebelumnya?” Tanya Wakil Bupati tiba-tiba. 　　Xuan Ci menatap biksu penerima tamu. 　　Biksu penerima tamu adalah biksu khusus yang melayani peziarah di kuil. Mereka yang ditugaskan biasanya lihai bergaul dan pandai menangani urusan. Orang seperti ini pasti punya ingatan tajam, terutama terhadap peziarah seperti Jiang Si dan rombongan yang jelas berasal dari keluarga terpandang - sekali melayani pasti akan berkesan. 　　Biksu penerima tamu menjawab: “Para sumbangsih ini baru pertama kali datang.” 　　Wakil Bupati memandang Jiang Zhan dengan seksama, lalu berkata tenang: “Mengingat ini kunjungan pertama, Jiang Er dan Biksu Sikong tidak punya permusuhan lama. Lagipula Biksu Sihai benar melihat Jiang Er membantu Biksu Sikong menimba air. Secara logika, tidak ada alasan Jiang Er membunuh Biksu Sikong.” 　　Di sini nada bicaranya berhenti sejenak, lalu melanjutkan: “Tentu saja, asumsi ini berlaku jika mayat pria di sumur bukan dibunuh Jiang Er.” 　　Asumsi semacam ini meski sederhana tapi paling masuk akal. 　　Jika Jiang Zhan tidak membunuh mayat pria di sumur, maka tidak ada motif membunuh Sikong. Jadi masalah kembali ke titik awal: Siapa pembunuh mayat pria di sumur? 　　Temukan pembunuh mayat pria di sumur, maka jika Sikong bukan meninggal karena kecelakaan, otomatis kita temukan pembunuhnya. 　　Ini sebenarnya satu rangkaian peristiwa. 　　“Lalu, bagaimana Nona tahu mayat pria di sumur bukan meninggal pagi ini?” Wakil Bupati menatap langsung ke Jiang Si. 　　“Saat ini belum musim panas puncak, air sumur di pegunungan masih sangat dingin. Jika sepotong daging babi direndam dalam air sumur selama sehari, efek pendinginannya masih ada. Menurutku, jika mayat pria ini baru masuk ke sumur hari ini, kondisinya saat diangkat tidak akan seperti ini. Tentu ini hanya perkiraanku, Yang Mulia bisa menunggu hasil otopsi dari juru bedah mayat.” Jiang Si berkata dengan tenang. 　　Xian Wei tak sadar mengangguk, lalu menoleh ke pengikutnya, “Pergi lihat apakah juru bedah mayat sudah datang.” 　　Kasus pembunuhan merupakan peristiwa besar di wilayah kabupaten. Sejak tadi saat kerumunan penonton, Xian Wei sudah mengirim orang ke kantor pemerintahan kabupaten untuk memanggil petugas. 　　“Karena harus menunggu hasil otopsi, kecurigaan pada Jiang Er untuk sementara ditunda.” Xian Wei menatap Lizheng Desa Qingniu, “Tadi hamba dengar ada yang mengenali identitas mayat pria di sumur, apakah Lizheng mengetahuinya?” 　　Lizheng mengangguk terus-menerus. 　　“Kalau begitu silakan Lizheng jelaskan secara detail.” 　　“Almarhum adalah putra Toko Kain Liu di ujung timur kota, bernama Liu Sheng, baru berusia 19 tahun. Ayah Liu Sheng sudah lama meninggal, hanya tinggal Liu Sheng sebagai satu-satunya anak yang dibesarkan oleh ibunya. Sekarang ibu Liu Sheng belum tahu anaknya sudah tiada, Ah, sungguh menyedihkan.” 　　“Disebut sebagai tuan muda, apakah bisnis Toko Kain Liu cukup baik?” 　　"Tidak juga. Kota ini kecil, jaraknya dekat dengan kabupaten. Banyak keluarga kaya lebih suka beli kain di kabupaten. Kalau rakyat biasa jarang beli baju bagus, cuma beli beberapa potong kain saat tahun baru." Lurah menggaruk-garuk kepala, "Meski bisnis toko kain Keluarga Liu biasa saja, Liu Sheng selalu berpakaian necis dan dermawan, makanya dipanggil Tuan Muda Liu." 　　"Seorang wanita harus membesarkan anak sendirian sambil mengurus toko kain, pasti sangat berat?" 　　Lurah mengangguk-angguk: "Memang berat. Tapi untungnya paman Liu Sheng sangat menyayangi keponakannya, selalu membantu ibu dan anak itu." 　　"Kalau pamannya sayang keponakan, panggil dulu si paman ini ke sini." 　　"Yang Mulia, paman Liu Sheng sudah meninggal dua tahun lalu." 　　Xianwei terkejut sejenak, lalu bertanya: "Masih ada anggota keluarga lain dari paman Liu Sheng?" 　　"Tidak ada. Pamannya tidak pernah menikah seumur hidup. Sekarang keluarga Liu cuma tinggal ibu Liu Sheng dan sanak jauh." 　　"Menurut pengetahuan pejabat ini, pria tidak menikah biasanya karena miskin. Keluarga Liu punya toko kain, kenapa pamannya hidup membujang?" 　　Lurah menjawab: "Toko kain Liu bukan warisan. Dibuka tahun Liu Sheng lahir. Saat itu pamannya sudah umur 30-an." 　　"Lalu bagaimana kondisi ekonomi keluarga Liu sebelumnya?" 　　Lurah menggeleng: "Sangat miskin." 　　Xianwei termenung. 　　"Ayah Liu Sheng juga menikah di usia tua?" tiba-tiba Yu Jin bertanya. 　　Melihat Kepala Desa menatapnya, ia tersenyum: "Tadi dengar Liu Sheng lahir saat pamannya sudah berusia 30-an. Kalau Liu Sheng anak tunggal tanpa kakak, berarti ayahnya sudah sangat tua saat punya anak? Apa karena sulit mendapat jodoh juga?" 　　Rakyat biasa di Dinasti Zhou umumnya menikah dan punya anak di usia 17-18 tahun. Usia ayah Liu Sheng saat kelahirannya terbilang sangat lanjut. 　　"Tidak juga. Ayah Liu Sheng menikah di usia 20-an, tapi--" Kepala Desa terdiam sejenak, ragu membicarakan urusan keluarga orang. 　　Petugas County berkata lembut: "Silakan lanjutkan, Kepala Desa. Saya perlu memahami kondisi keluarga almarhum selengkap mungkin." 　　Kepala Desa mengangguk: "Orang tua Liu Sheng tidak dikaruniai anak selama 10 tahun setelah menikah. Makanya usianya sudah cukup tua saat Liu Sheng lahir." 　　"Begitu rupanya." Petugas County mengusap janggutnya yang panjang. 　　Seorang pemuda di samping Kepala Desa tiba-tiba berseru: "Ah, aku ingat sesuatu yang pernah diceritakan ibuku!" 　　Di bawah tatapan semua orang, pemuda itu mulai gugup meski awalnya antusias. 　　"Silakan, nak." Petugas County menyemangati. 　　Pemuda itu melirik Kepala Desa. 　　Kepala Desa melotot: "Bilang saja kalau Tuan Petugas menyuruh!" 　　"Ibuku pernah bilang, Nyonya Liu bisa hamil setelah 10 tahun mandul karena datang bersembahyang di Kuil Lingwu untuk memohon keturunan!" 　　"Tiba-tiba membahas kondisi almarhum lalu menyangkut Vihara Lingwu, meski maksudnya baik, ekspresi Xuan Ci dan para biksu lainnya agak berubah." 　　Di bawah pandangan mendukung Xianwei, si pemuda merasa bersemangat karena dihargai: "Ibuku melihat Nyonya Liu melahirkan Liu Sheng, lalu datang ke Vihara Lingwu menghadap Buddha memohon anak. Tak lama kemudian, beliau mengandungku. Hehe, dupa Vihara Lingwu memang sangat mujarab." 　　"Kalau begitu, Vihara Lingwu sudah ramai dikunjungi peziarah sejak 20 tahun lalu?" 　　Xuan Ci mengucapkan mantra Buddha kepada Xianwei, mengiyakan secara implisit. 　　Tiba-tiba bawahan Xianwei masuk: "Yang Mulia, juru bedah mayat sudah datang. Bawahan langsung mengantarnya ke tempat jenazah disimpan." 　　Xianwei mengangguk, lalu menatap Nona Li. 　　[Tambahan chapter] Terima kasih untuk Telur roh yang dihadiahkan Mo Mo Mo Yan. Sekalian melunasi semua tungguhan chapter. He Shibi belum mencapai jumlah untuk tambahan chapter. Akhirnya bisa lega, bebas utang rasanya senang! 105. Chapter 105: Hati Nurani yang Jernih 　　Chapter 105: Hati Nurani yang Jernih 　　Di bawah tatapan semua orang, Nona Li tak sengaja bersembunyi di belakang Tuan Gong Li. 　　Tuan Gong Li tak senang: "Yang Mulia, siapapun pembunuhnya, pasti tidak ada hubungannya dengan kami saudara. Adikku penakut, jangan sampai ditakut-takuti." 　　Xianwei menatap tajam Tuan Gong Li, tiba-tiba tersenyum: "Dengan pengalaman bertahun-tahun menangani kasus, pejabat ini punya kesimpulan. Dalam kasus pembunuhan, semua yang terlibat pasti punya kaitan. Harap Tuan Gong dan Nona Li bisa bekerjasama." 　　"Sudah kukatakan ini karena ada yang menyebar kabar palsu! Kalau tidak, bagaimana mungkin kami terlibat!" 　　“Tapi ada begitu banyak peziarah yang datang ke Kuil Lingwu untuk bersembahyang, mengapa surat palsu justru dikirim ke keluarga Li?” Xianwei tidak lagi menghiraukan Tuan Gong Li, malah menatap tajam Nona Li yang bersembembunyi di belakang, “Nona Li, kau kenal almarhum Liu Sheng, bukan?” 　　Nona Li menggigil ketakutan, wajahnya pucat pasi. 　　“Yang Mulia, apa maksud perkataan ini? Adikku mana mungkin mengenal almarhum!” Suara Tuan Gong Li mengeras mengekspresikan ketidaksenangan. 　　Meski adat istiadat cukup terbuka, di kota-kota kecil seperti Qingniu Zhen dan Dayang Zhen, gadis yang belum menikah yang berkencan dengan pria pujaan hatinya bukanlah hal aneh. Bahkan tindakan yang lebih keterlaluan pun akan ditoleransi. Tapi begitu terkait kasus pembunuhan, apalagi dipertanyakan secara terbuka oleh pejabat di depan banyak orang, tentu menjadi aib. 　　Xianwei tidak menghiraukan sikap Tuan Gong Li, tersenyum tipis: “Nona Li, aku ingin mendengar penjelasanmu.” 　　Nona Li menggigit bibirnya hingga keputihan, bibir keringnya bergetar hebat, seolah sedang berjuang keras. 　　“Yang Mulia, adikku hanyalah seorang gadis. Mengalami kejadian mengerikan ini sudah cukup membuatnya trauma, jangan terus dipaksa menjawab!” 　　Wajah Xianwei akhirnya berubah dingin, menunjuk ke arah Jiang Si: “Nona kecil ini juga seorang gadis, mengapa bisa tetap tenang?” 　　“Ucapan ini sebenarnya adalah pertanyaan retoris untuk menyumbat mulut Tuan Gong Li, tapi tak disangka gadis yang ditunjuk itu tersenyum lembut dan berkata dengan tenang: ‘Karena hati nurani bersih. Siang tak berbuat dosa, malam tak takut ketukan pintu. Seorang gadis kecil seperti diriku tak merasa takut, hanya merasa kasihan pada korban saat menghadapi hal seperti ini, mana mungkin merasa takut?’” 　　“Bagus sekali ucapannya!” Jiang Zhan merasa adik perempuannya berbicara dengan lancar, sambil menepuk tangan berkata. 　　Yu Jin mengerutkan bibir menahan tawa, pandangannya tertambat lama di wajah gadis itu tak mau berpaling. 　　Petugas kabupaten malah tertegun, memandang Jiang Si dengan serius lalu memuji: “Nona memang berbicara sangat baik.” 　　Ehem, tak disangka hari ini cukup beruntung bertemu gadis kecil seberani ini, berhasil menyumpal mulut anak keluarga Li sampai tak bisa bicara. 　　Kalau gadis kecil itu sudah berkata begitu, anak keluarga Li yang masih menghalangi interogasi berarti menunjukkan putri Li memang punya rasa bersalah. 　　Benar saja, setelah Jiang Si berbicara, Tuan Gong Li membuka mulut lama tapi tak bisa mengeluarkan kata, sementara wajah Nona Li berubah beberapa kali akhirnya berbicara: “Diriku... memang mengenal Tuan Liu...” 　　Melihat petugas kabupaten mendengarkan dengan saksama, dia menggigit bibir menjelaskan: “Hanya sekedar kenal...” 　　“Bagaimana Nona Li mengenalnya?” Petugas kabupaten paham betul tak boleh terburu-buru, nada bicaranya tetap tenang. 　　“Aku sering menginap di Kuil Lingwu, kadang bertemu Tuan Liu di kuil, perlahan-lahan jadi kenal...” Nona Li panik melihat petugas kabupaten, buru-buru menambahkan, “Kami tidak akrab!” 　　“Apakah Liu Sheng sering datang ke Kuil Lingwu?” Pejabat Kabupaten menatap Biksu Xuan Ci dan para bhikkhu lainnya. 　　Biksu Penjaga Tamu menjawab, “Dia kadang menginap beberapa hari di sini.” 　　“Mengingat Liu Sheng adalah penduduk Kota Qingniu, mengapa dia perlu menginap di kuil?” 　　Biksu Penjaga Tamu tidak sengaja menoleh ke arah Xuan Ci. 　　Xuan Ci menjelaskan, “Beberapa peziarah menyukai ketenangan kuil, ada juga yang ingin mencicipi sup sayur khas kuil. Jadi penduduk lokal pun terkadang menginap.” 　　Mendengar kata “sup sayur”, bukan hanya wajah Jiang Zhan yang memucat, beberapa peziarah yang menginap juga terlihat semakin pucat. 　　“Tuan, juru bedah mayat sudah melakukan pemeriksaan awal.” 　　“Panggil dia masuk.” 　　Tak lama kemudian juru bedah mayat masuk: “Hormat pada Tuan.” 　　Pejabat Kabupaten mengangguk, memberi isyarat agar juru bedah mayat bisa mulai berbicara. 　　Juru bedah mayat yang sudah terbiasa dengan situasi ini langsung intonasi lugas: “Mata korban menonjol, bekas cekikan yang jelas di leher, batu diikat di punggung. Dugaan sementara korban dicekik sampai mati lalu diikat batu untuk ditenggelamkan. Pelaku kemungkinan laki-laki.” 　　“Bagaimana memastikan pelakunya laki-laki?” 　　Juru bedah mayat menjawab: “Kuku korban patah, menunjukkan perlawanan sengit. Mencekik sampai mati pria muda berpostur sedang seperti korban lalu membawa batu untuk menenggelamkannya – perempuan sulit memiliki tenaga sekuat itu.” 　　“Waktu kematian?” 　　“Kira-kira antara kemarin siang sampai jam malam (antara jam 5 hingga 7 sore).” 　　Jiang Zhan yang tegang mendengar pertanyaan tentang waktu kematian, tak sengaja tersenyum lega mendengar jawaban ini. 　　Syukurlah Pejabat Kabupaten dan juru bedah mayat ini bukan orang tidak kompeten. 　　"Baik, kamu periksa lagi dengan teliti." 　　Petugas koroner mundur keluar ruangan. 　　Panduan County mengamati satu per satu orang di ruangan, ekspresinya tidak menunjukkan petunjuk apapun: "Karena waktu kematian sudah bisa diperkirakan, maka Jiang Er untuk sementara bisa disingkirkan dari daftar tersangka——" 　　Sihai tak tahan menyela: "Mungkin Jiang Er sudah datang kemarin. Peziarah yang datang ke Kuil Lingwu setiap hari sangat banyak, dia bisa menyamar di antara mereka tanpa ketahuan." 　　Jiang Zhan menyeringai dingin: "Omong kosong! Kami baru tiba di Kota Qingniu kemarin, ada bukti dari pemilik penginapan dan pelayannya. Ngomong-ngomong, dalam perjalanan ke Qingniu kemarin, sekitar 5 kilometer sebelum kota ada gubuk semangka. Kami membeli beberapa semangka dari petaninya. Jika Tuan masih ragu, semua ini bisa diverifikasi." 　　Petugas County mengangguk, memandang para biksu: "Mereka bepergian bersama, pasti meninggalkan jejak sepanjang perjalanan. Semua ini mudah diverifikasi. Sementara ini aku mengesampingkan Jiang Er karena tidak ditemukan motif. Motiflah kunci pembunuhan ini. Selain itu, dari pengamatanku, jalur dari kamar tamu kuil ke gunung belakang cukup tersembunyi. Peziarah yang tidak menginap akan sangat sulit pergi ke gunung belakang tanpa diketahui." 　　"Lalu siapa pelakunya?" Xuan Ci bertanya dengan wajah muram. 　　"Berdasarkan petunjuk yang ada, pelaku pasti familiar dengan gunung belakang. Jadi——" Petugas County berhenti sebentar, "Kemungkinan terbesar adalah biksu kuil atau peziarah yang menginap." 　　“Amitabha Buddha, harap Tuan menyelidiki dengan teliti untuk membersihkan nama baik biksu kami.” Xuan Ci merangkapkan tangan dan berkata. 　　“Tentu saja. Sekarang pejabat ini ingin melakukan interogasi terpisah. Tolong Biksu Xuan Ci menyediakan ruangan.” Setelah berkata demikian, Pejabat Kabupaten tersenyum pada Jiang Zhan dan lainnya, "Beberapa tuan bisa beristirahat dulu. Jika diperlukan, pejabat akan mengirim orang untuk memanggil kalian." 　　Ruangan terpisah segera disiapkan. Jiang Si dan rombongan berdiri di koridor panjang, tak seorang pun mengantuk saat ini. 　　"Adik Keempat, Kakak Yu Qi, lihatlah, yang pertama dipanggil ternyata peziarah yang menginap." Jiang Zhan yang sudah bebas dari kecurigaan terlihat santai menikmati keramaian. 　　Yu Jin tersenyum: "Kami semua sudah diinterogasi, sekarang giliran para peziarah. Tapi pejabat ini memang menarik, pertama memberi pemahaman dasar, lalu interogasi detail terpisah. Mungkin akan ada temuan." 　　Sambil mengusap dagunya dengan lembut, ia menatap Jiang Si: "Aku punya pertanyaan untuk ditanyakan pada pemuda yang ditinggal Lǐzhèng. Ikut?" 　　Terima kasih untuk He Shibi dari hadiah Feng Yunuo, terima kasih untuk teman-teman yang memberikan suara dan hadiah. 106.Bab 106 Petunjuk 　　Bab 106 Petunjuk 　　Jiang Si menggelengkan kepala dengan sopan: "Tidak, aku ingin jalan-jalan cari udara segar. Kalau kamu mau bertanya, aku ikut tidak nyaman." 　　"Baiklah, jangan pergi terlalu jauh, hati-hati." 　　Keduanya mengangguk, lalu berjalan menuju arah berlawanan. 　　“Jiang Zhan baru tersadar setelah beberapa saat, lalu mengejar Yu Jin dan menepuk bahunya keras: \”Kakak Yu Qi, tadi kamu mengajak adik keempatku jalan bersama?\”" 　　Di hadapanku? 　　Yu Jin mengusap ujung hidungnya. 　　Sial, aku lupa Jiang Zhan tadi. 　　“Iya, menurutku Nona Jiang pikirannya jernih, kita bisa berdiskusi jika ada masalah.” 　　Jiang Zhan wajahnya gelap: \”Maksudmu aku bodoh?\”" 　　Yu Jin tertawa ringan: \”Adik kedua Jiang, mari ikut bersama.\”" 　　“Nah baru pantas.” 　　Jiang Si menoleh melihat dua orang yang berjalan berdampingan ke ujung koridor, lalu melangkah menuju pintu gerbang. Ah Man mengikuti langkahnya. 　　“Nona, hendak ke mana?” 　　Gelap gulita plus ada kasus pembunuhan, berani sekali nona ini! 　　“Aku dengar ada yang menangis.” 　　“Ada yang menangis?” Ah Man menyimak, “Tidak ada suara.” 　　Jiang Si tak menghiraukannya, mempercepat langkah melewati gerbang bulan, lalu berhenti sebentar. 　　“Nona, benar ada tangisan!” 　　Jiang Si melihat sekeliling, lalu mengangkat roknya menuju satu arah. 　　Di bawah pohon tak jauh dari gerbang bulan, ada biksu kecil berjongkok. Kepala gundulnya berkilau di bawah sinar bulan. 　　Sumber tangisan itu adalah biksu kecil itu, tapi tangisannya sangat pelan sambil menutup mulut. 　　Jiang Si berjongkok di sampingnya: \”Ada apa, Biksu Kecil?\”" 　　Biksu kecil itu melepas tangannya, wajahnya pucat ketakutan. 　　Jiang Si tersenyum halus: "Ini aku, Shifu kecil tidak ingat lagi?" 　　Biksu kecil mengangguk dengan mata berkaca-kaca: "Ingat, permen sarang lebah." 　　Jiang Si memberi isyarat pada Ah Man untuk mengambil dompet, lalu mengeluarkan sebungkus permen sarang lebah dari dalamnya dan menyerahkannya kepada biksu kecil: "Masih ada permen, bisakah Shifu kecil cerita kenapa menangis?" 　　Biksu kecil yang masih polos dan murni hatinya ini, ditambah penampilan Jiang Si yang memesona membuatnya lupa berjaga-jaga. Ia menunduk: "Shixiong Sikong sangat baik, hamba sedih sekali--" 　　Jiang Si menghela napas, tangan terangkat hendak mengelus kepala biksu kecil namun ragu melihat botaknya. Alih-alih, ia menepuk punggungnya: "Jangan terlalu bersedih, Pasti Shifu Sikong sudah mencapai surga." 　　"Benarkah?" Biksu kecil mengangkat kepala, matanya berbinar. 　　"Tentu. Shifu Sikong telah melewati ujian dan meraih kesempurnaan kebajikan." Melihat ekspresi sedihnya berkurang, nada bicaranya berubah: "Tapi mayat di sumur itu kasihan. Katanya arwah orang mati tak wajar akan gentayangan." 　　Biksu kecil menutup mulutnya dengan tangan. 　　"Shifu kecil mau menolongnya?" 　　Biksu kecil mengangguk cepat, lalu mengernyit: "Bagaimana hamba bisa membantu?" 　　"Pertama, kenalkah Shifu kecil dengan orang itu?" 　　"Kenal, dia sering menginap di vihara." 　　"Apakah dia punya kenalan dekat di sini?" 　　“Calon biksu kecil memiringkan kepalanya sambil berpikir, lalu bertanya pada Jiang Si: ‘Orang di kuil atau peziarah?’” 　　Jiang Si tersenyum: “Asalkan yang dikenal, Biksu Kecil boleh ceritakan semuanya.” 　　“Hmm, kalau di kuil—itu dermawan karena sering datang, jadi kenal banyak paman dan kakak senior.” 　　“Dia bahkan kenal paman-paman guru Biksu Kecil?” 　　“Iya, karena sering datang. Suatu kali hamba pernah lihat dia bicara dengan Guru Xuan Ci.” 　　“Sejak kapan dia mulai sering ke Kuil Lingwu?” 　　Calon biksu kecil berpikir sejenak: “Dua tahun lalu.” 　　Di hati Jiang Si tersentak, seolah menangkap sesuatu, tapi seperti melihat bunga dalam kabut, belum tahu bagaimana mengusap kabut untuk melihat intinya. 　　“Dengan peziarah mana saja dia akrab?” Jiang Si menyimpan keanehan ini sementara, lalu bertanya lagi. 　　“Peziarah datang-pergi, hamba tidak perhatikan. Tapi hamba pernah lihat dia bersama Nona Li...” 　　Jiang Si tak menyangka calon biksu kecil tahu ini, bertanya dengan wajah datar: “Mereka sedang apa?” 　　“Waktu itu sudah agak malam, sepertinya dia memberi sesuatu ke Nona Li. Karena jauh, hamba tidak lihat jelas.” 　　Saat ini, hubungan antara Liu Sheng dan Nona Li di mata Jiang Si hampir pasti. 　　Ekspresi Nona Li ketika menemukan mayat Liu Sheng di gunung belakang, sebagai perempuan yang peka, dia sudah merasa hubungan mereka tidak biasa. 　　“Kapan terakhir kali Nona Li menginap di kuil?” 　　“Hmm... Kira-kira dua minggu yang lalu.” Biksu kecil itu berpikir sejenak. 　　“Bagaimana dengan Almarhum Tuan Liu? Kapan terakhir kali menginap di kuil?” 　　Kali ini biksu kecil langsung menjawab: “Juga dua minggu lalu, waktu itu hamba melihat dia memberikan sesuatu ke Nona Li.” 　　Jiang Si merenung sebentar, lalu bertanya lebih detail: “Dua minggu lalu mereka semua menginap di kuil, apakah ada kejadian khusus?” 　　Wajah biksu kecil terlihat bingung. 　　Jiang Si mengubah cara bertanya: “Atau hal apa yang meninggalkan kesan mendalam bagi Shifu?” 　　Biksu kecil akhirnya mengangguk: “Ada, waktu itu ada seorang tamu yang menginap, dia menyamar sebagai pria, shixiong yang mengatur penginapan langsung mengenalinya, lalu menempatkannya di sebelah kamar Nona Li.” 　　Biksu kecil tiba-tiba teringat sesuatu: “Oh iya, tamu perempuan itu bersama Nona Li sama-sama mendapatkan Jimat Kedamaian, jenisnya juga sama.” 　　Jiang Si jantungnya berdebar, buru-buru bertanya: “Shifu masih ingat berapa usia tamu itu, dan bagaimana penampilannya?” 　　Biksu kecil jelas sangat berkesan dengan wanita itu: “Kelihatannya lebih muda dari nyonya, cantik sekali.” 　　“Apa panggilannya? Apakah orang sini?” 　　“Dia mengaku marga Chi, hamba belum pernah melihatnya sebelumnya.” 　　“Kapan tamu itu pergi?” 　　Biksu kecil menggeleng: “Tidak ingat.” 　　Setelah mengobrol sebentar dan menyadari tak ada informasi baru, Jiang Si tersenyum: “Terima kasih banyak, Xiao Shifu. Sudah larut, Xiao Shifu harus cepat tidur agar cepat tinggi. Biar Ah Man mengantarmu pulang?” 　　Biksu kecil melambaikan tangan: “Hamba bisa pulang sendiri. Nanti nyonya ketahuan berkeliaran akan dimarahi kakak senior.” 　　Melihat Biksu Kecil sudah lari jauh, Jiang Si baru kembali, tepat berpapasan dengan Yu Jin dan Jiang Zhan yang sedang mendekat. 　　Ketiga orang ini berkumpul, saling bertukar informasi dengan suara rendah. 　　"Aku bertanya pada pemuda itu. Katanya menurut ibunya, dulu Kuil Lingwu adalah kuil gunung yang rusak. Sejak ibu Liu Sheng melahirkan Liu Sheng, orang-orang melihat khasiatnya lalu berbondong-bondong datang sembahyang. Dupa di Kuil Lingwu perlahan menjadi ramai..." Yu Jin berhenti sejenak, "Artinya, kemakmuran dupa kuil ini dimulai setelah ibu Liu Sheng melahirkan anak." 　　"Dari Biksu Kecil, kudengar satu hal. Liu Sheng mulai sering datang ke Kuil Lingwu sejak dua tahun lalu." 　　Jiang Zhan menyela: "Aku juga bertanya pada pemuda lain. Katanya dulu Liu Sheng hanya pemalas, sering berjudi. Toko kain keluarganya sempat tutup karena ini. Dua tahun lalu entah bagaimana dia mendapat dana lalu buka lagi." 　　"Dua tahun lalu..." Jiang Si mengulang pelan. 　　Pasti ada masalah kunci yang terlewat di titik waktu itu! 　　Kasus ini melibatkan biksu dan permohonan keturunan. Mungkin karena plot biksu merugikan jemaah yang ingin punya anak sudah sering terlihat, wajar jika orang menebak ke arah itu. Tapi apakah tidak terlalu tidak sabar jika langsung menganggap ini sebagai hasil akhir dan mengkritik lalu meninggalkan cerita sebelum kebenaran terungkap? Dengan banyak petunjuk yang diberikan, seharusnya kalian bisa menebak jawabannya. Jawaban akan terungkap besok. 107. Bab 107 Kunci 　　Bab 107 Kunci 　　Yu Jin tiba-tiba menatap Jiang Si: "Saat xianwei menginterogasi, apakah lizheng mengatakan paman Liu Sheng meninggal dua tahun lalu?" 　　"Benar, lizheng memang berkata begitu. Aku ingat jelas," kata Jiang Zhan. 　　"Ini menarik," Yu Jin tersenyum. 　　Pikiran Jiang Si melayang lebih jauh. 　　Biksu kecil mengatakan dua minggu lalu ada orang yang menyamar sebagai pria menginap di Kuil Lingwu, wajahnya asing. Perempuan itu sesuai usia mayat perempuan di taman Keluarga Marquis Changxing, dan juga meminta Jimat Kedamaian serupa - apakah bisa diduga bahwa perempuan bermarga Chi itu adalah mayat taman? 　　Tapi untuk hal ini perlu dikonfirmasi dengan Nona Li. 　　Saat ketiganya berdiskusi pelan, xianwei telah menginterogasi beberapa jemaah secara terpisah, lalu memanggil lizheng dan dua pemuda dari Qingniu Zhen secara bergiliran. 　　Tuan Gong Li sedang mencela Nona Li: "Kalau kamu baik-baik saja, kenapa tidak bersuara saat aku menyuruh orang mengevakuasi sumur? Malah nonton saja! Sekarang memalukan sekali, keluarga kita akan jadi bahan tertawaan lama." 　　“Nona Li merasa sedih dan tersakiti: \”Saya datang setelah mendengar kabar, saat itu Kakak sudah menyuruh orang menyelam ke dalam sumur. Dalam situasi seperti itu, bagaimana mungkin saya muncul?\”” 　　“Kalau begitu, mengapa kemudian kamu malah kabur?” Tuan Gong Li jelas tidak mudah dibohongi. 　　“Saya——” Nona Li menggigit bibirnya, “Saya mengenal orang itu, saat itu sangat ketakutan...” 　　Tuan Gong Li menatap curiga ke arah Nona Li: \”Adik, apakah hubunganmu dengan orang itu benar-benar sekadar kenal?\” 　　Nona Li panik melirik ke sekeliling, marah: \”Kakak, jangan bicara sembarangan, bagaimana kalau didengar orang?\”” 　　Tuan Gong Li merengut: \”Baik, kita bicara di rumah nanti.\”” 　　Nona Li sedikit lega. 　　Tiba-tiba seseorang datang memanggil Nona Li untuk dimintai keterangan. Tuan Gong Li hendak menghalangi, tapi melihat ekspresi Xianwei yang duduk tegap di dalam ruangan, diam-diam minggir. 　　Nona Li masuk dengan gemetar. Begitu masuk, pintu langsung ditutup membuatnya pucat pasi. 　　\”Nona Li tidak perlu gugup. Sekarang pejabat ini akan mengajukan beberapa pertanyaan. Tenang saja, perkataanmu di sini tidak akan diketahui orang lain.\”” 　　Nona Li sedikit menekuk lutut: \”Silakan Tuan Bertanya.\”” 　　Xianwei diam sejenak, lalu langsung ke inti: \”Apa hubungan Nona Li dengan almarhum Liu Sheng?\”” 　　\”Ha-hanya sekadar kenal——\”” 　　Xianwei menyeringai dingin: \”Baru saja pejabat ini sudah menginterogasi beberapa orang, mereka tidak berkata seperti itu.\”” 　　"Nona Li memandang Xianwei dengan wajah penuh ketakutan." 　　"Jika ingin tak ada yang tahu, janganlah berbuat sesuatu. Nona Li sering menginap di Kuil Lingwu, pikir tak akan pernah ketahuan orang?" 　　"Apa yang Bapak maksud, hamba tak mengerti--" 　　"Nona Li, jujur saja, ada saksi yang melihat kau berselingkuh dengan Liu Sheng di malam hari..." Melihat wajah Nona Li pucat pasi seperti hendak pingsan, nada suara Xianwei berubah lembut, "Seperti yang kukatakan, pembicaraan kita tak akan bocor ke orang ketiga. Yang sedang kuselidiki adalah kematian Liu Sheng, bukan urusan asmaramu. Tapi jika Nona tidak kooperatif, terpaksa kuanggap kau terlibat dalam kasus ini, dan besok akan kuperiksa lebih banyak orang." 　　Tubuh Nona Li limbung. Secara refleks tangannya menyangga dinding. Dinginnya tembok mengembalikan kesadarannya, sementara kata-kata Xianwei terus berputar liar di kepalanya. 　　Tak tahu berapa lama, akhirnya ia tak sanggup menahan diri lagi. Menutupi wajahnya dengan tangan, ia menangis tersedu-sedu: "Benar... aku dan Liu Sheng sudah berjanji untuk menjalin hubungan seumur hidup secara diam-diam!" 　　Sudut mulut Xianwei mengendur. 　　Akhirnya mulut gadis ini terbuka juga. 　　"Kami bertemu di Kuil Lingwu. Karena sering berpapasan, lama-kelamaan... timbul perasaan..." 　　"Tak perlu detail menceritakan itu. Katakan saja, apakah kali ini kau membuat janji dengan Liu Sheng saat berziarah?" 　　Pemuda-pemudi yang sedang dimabuk cinta, jarang bebas dari pengawasan keluarga, mana mungkin tidak mencari kesempatan bertemu diam-diam. 　　Nona Li mengakui dan jelas tidak berniat menyembunyikan lagi, mengangguk dengan mata berkaca-kaca: “Kami sepakat bertemu hari ini. Karena takut selalu datang di hari yang sama hingga ketahuan, dia biasanya datang sehari sebelumnya. Tapi setelah aku datang, aku menunggu lama tak kunjung bertemu, lalu pergi ke tempat-tempat di kota yang mungkin dia datangi. Tak disangka, aku mendengar kabar bahwa kakakku membawa orang ke Kuil Lingwu mencari aku. Ketika aku buru-buru ke sana——” 　　Xianwei menunggu Nona Li tenang sejenak sebelum bertanya: “Apakah Nona Li pernah memperhatikan keanehan pada Liu Sheng?” 　　Nona Li ragu-ragu menggelengkan kepala. 　　“Ayahmu adalah orang terpelajar, keluarga Li di Desa Dayang sangat terpandang. Meski keluarga Liu Sheng punya toko kain, tentu sulit bagi Liu Sheng untuk mendapatkan pengakuan dari ayah dan ibumu?” 　　Nona Li terdiam sejenak, lalu mengangguk. 　　“Kalau kalian berdua saling mencintai, tidakkah merencanakan masa depan?” 　　Mendengar perkataan Xianwei, Nona Li tiba-tiba tersadar akan sesuatu, matanya membelalak lama tak bisa berkata-kata. 　　Xianwei menghela napas: “Pejabat ini bisa menjaga rahasia Nona, tapi tidakkah Nona ingin mencari pembunuh orang yang dicintai?” 　　Nona Li menggigit punggung tangannya keras-keras, lama kemudian melepaskannya: “Dia baru-baru ini bilang akan menyiapkan uang banyak sebagai mas kawin.” 　　“Ayahmu juga takkan langsung luluh hanya melihat daftar mas kawin, bukan?” 　　Wajah Nona Li agak memerah: “Katanya jumlah uang itu sangat besar, bisa membuat ayahku luluh.” 　　“Lalu kencan kalian kali ini——” 　　“Persiapan sudah selesai, pasti akan bertemu lagi untuk berdiskusi. Tuan, sekarang saya pikir, uang yang bisa membuat ayah saya luluh pasti jumlahnya sangat besar. Apakah kematiannya terkait dengan uang itu——” 　　“Baiklah, pejabat sudah memahami garis besar. Nona Li bisa keluar dulu.” 　　Nona Li malah berdiri diam tak bergerak. 　　Xian Wei tersenyum lembut: “Nona Li tenang saja, pejabat tidak akan membiarkan korban tidak bisa meninggal dengan tenang.” 　　Nona Li bersujud, suaranya gemetar: “Hamba berterima kasih pada Tuan, tolong pastikan menemukan pelaku dan membalas dendamnya!” 　　Nona Li mundur keluar. Xian Wei menepuk-nepuk sandaran kursi sambil bergumam: “Sekarang sepertinya hanya tersisa sosok kunci terpenting...” 　　Pada saat yang sama, Yu Jin berbisik pelan: “Sekarang sepertinya hanya tersisa sosok kunci terpenting...” 　　Ia berpandangan dengan Jiang Si, serentak berkata: “Ibu Liu Sheng!” 　　Jiang Zhan menatap langit. 　　Dia paling benci ketika mereka saling memahami tanpa bicara, membuatnya terlihat bodoh. 　　Gerbang depan ramai oleh keributan, beberapa petugas berlari masuk diikuti para biksu yang tampak kesal dengan masuknya mereka secara tiba-tiba. 　　“Tuan, bawahan sudah sampai.” 　　Xian Wei keluar dari rumah. Cahaya lentera malam menyinari wajahnya yang tegang: “Apakah orangnya sudah dibawa?” 　　Kepala polisi menyembah: “Bawahan pergi ke rumah Liu Sheng, tidak menemukan ibunya tapi menemukan seseorang terikat di kursi. Bawahan sudah bawa orang itu.” 　　Komandan polisi mengangkat tangan, seketika seorang bawahan menyeret seseorang yang kepalanya ditutupi kantong hitam ke depan. 　　"Lepaskan kantong itu." 　　Bawahan itu segera melepas kantong hitam. 　　Semua orang menahan napas, wajah mereka berubah pucat setelah melihat wajah orang tersebut. 108. Bab 108 Pembunuh 　　Bab 108 Pembunuh 　　Pakaian orang itu sangat biasa, namun kepala botaknya yang mengkilap seakan memancarkan cahaya, membuat semua orang tertegun. 　　Sihai berteriak kaget: "Shijie shixiong!" 　　Orang yang dibawa komandan polisi ternyata seorang biksu! 　　Suasana tiba-tiba menjadi sangat aneh. 　　Sihai bergegas mendekat hendak membantu orang itu bangun: "Shijie shixiong, bagaimana mungkin ini kamu? Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　Biksu yang dipanggil "Shijie" itu membiarkan dirinya diseret dan duduk di tanah, sama sekali tidak bicara. 　　"Lepaskan dia sekarang, pasti ada kesalahpahaman!" teriak Sihai keras-keras. 　　Komandan polisi mengabaikan Sihai, melapor kepada magistrat: "Yang Mulia, saat kami tiba di rumah Liu Sheng, ada bekas perkelahian ringan dan noda darah." 　　"Tidak ada orang lain selain ini?" 　　"Benar." 　　Seorang pemuda yang tinggal bersama kepala desa menyela: "Seharusnya ada dayang di rumah Liu Sheng." 　　Di kota kecil seperti ini, keluarga yang memiliki dayang adalah hal luar biasa, jadi pemuda itu ingat betul. 　　"Saya tidak menemukan dayang, tapi sudah menyisakan dua orang untuk mencari ibu Liu Sheng di kota. Saya membawa tahanan ini kembali untuk melapor." 　　Bupati menatap biksu: "Mengapa Master Sijie muncul di rumah almarhum?" 　　"Amitabha." Sebelum Sijie sempat menjawab, Xuanci mengucapkan mantra Buddha dengan lantang menarik perhatian semua orang, "Sijie adalah utusan hamba." 　　"Shishu--" Para biksu serentak berubah wajah. 　　Xuanci tetap tenang: "Hamba melihat Tuan Liu tewas mengenaskan di kuil, khawatir ibunya akan menjadi korban kejahatan, maka mengutus Sijie untuk menjemputnya. Amitabha, ternyata benar-benar terjadi masalah. Kalau bukan karena kedatangan para petugas, bahkan Sijie nyaris menjadi korban." 　　Sihai yang paling emosional jelas-jelas menghela nafas lega. 　　Seluruh kuil tahu Sijie adalah murid terdekat Shishu Xuanci. Barusan semua orang benar-benar terkejut. 　　"Benarkah demikian?" Mendengar penjelasan Xuanci, Bupati bertanya datar kepada Sijie. 　　Sijie akhirnya mengangkat kepala, wajahnya basah oleh air mata: "Shifu, murid ini telah mengecewakan kepercayaan Anda--" 　　Jiang Si mengamati semua ini dengan tenang, alisnya sedikit berkerut. 　　Sementara Bupati jelas terjebak dalam dilema karena ketidakhadiran ibu Liu Sheng, berdiri membungkuk tanpa sepatah kata. 　　Suasana tiba-tiba hening. 　　"Kepala Zhao, bawa semua petugas untuk mencari orang. Baik ibu Liu Sheng maupun dayang pelayan, begitu menemukan langsung bawa kemari." 　　"Siap!" Kepala Zhao segera berangkat dengan beberapa orang. Tak lama kemudian mereka kembali, suaranya terdengar bersemangat sebelum sampai: "Yang Mulia, orangnya ditemukan!" 　　Xianwei tak tahan maju beberapa langkah, suaranya gemetar penuh semangat: "Cepat bawa kemari!" 　　Kepala Polisi Zhao berjalan di depan, di belakangnya dua bawahan mengusung tandu yang membawa seorang wanita berambut putih terbaring. Di sampingnya ada dayang kecil yang wajahnya pucat ketakutan. 　　"Terluka?" Xianwei bergegas mendekati wanita itu. 　　Wanita itu menutup mata rapat, wajahnya pucat keemasan, napasnya tersengal-sengal. 　　“Sijie tidak berkedip terus menatap wanita itu, sudut bibirnya naik perlahan.” 　　“Lukanya di mana? Bagaimana bisa menemukan orangnya secepat ini?” tanya Xianwei. 　　Kepala Polisi Zhao menjawab: “Luka berada di sebelah kiri dada, kurang dari 　　satu inci. Baru saja anak buah keluar dari pintu kuil, melihat warga kota menggotong ibu ini ke sini. Menurut mereka, ibu ini dibawa ke klinik oleh orang tak dikenal yang meninggalkan banyak uang perak dan meminta mereka membawanya ke sini.” 　　Xianwei mengamati wanita itu. 　　Melihat lukanya, nyawa wanita ini jelas sudah tipis. Sekalipun tidak dibawa ke sini dan tetap di klinik kota, kecil harapan untuk bertahan. 　　Tapi kalau saksi kunci tidak bisa bicara, bagaimana kelanjutan kasus ini? 　　Yu Jin tiba-tiba mendekat. Kepala Polisi Zhao mengangkat tangan untuk menghalangi. 　　Dia berhenti, menyerahkan botol porselen putih kepada Xianwei. 　　“Ini——” 　　Perawakan Yu Jin dan kawan-kawan begitu mencolok, jelas bukan orang biasa. Meski Xianwei sudah menduga, karena kasus genting ia tidak banyak bertanya. 　　"Apalagi di usia Xianwei yang merupakan pejabat penanggung jawab keamanan, sudah terlalu banyak peristiwa yang ia alami. Ia paham bahwa menanyakan latar belakang beberapa orang dalam situasi seperti ini justru merugikan penyelidikan kasus, jadi lebih baik pura-pura tidak tahu." 　　"Tapi ini tidak berarti ia tidak memperhatikan perkataan Yu Jin dan kawan-kawannya." 　　"Sebuah obat penunda ajal, bisa membuat orang yang terluka parah sadar sebentar." 　　"Setelah itu——" 　　"Tidak ada efek samping, kalau korban memang sudah hampir meninggal, tetap akan mati juga." 　　Xianwei: "..." Ini anak siapa? Masih belum pernah dipukul karena bicara seperti ini? 　　Yu Jin menghadapi wanita yang sekarat dengan ekspresi datar, sambil memainkan botol keramik di tangannya bertanya pada Xianwei: "Bapak membutuhkan ini? Kalau tidak, saya simpan kembali." 　　Kasus ini sejak awal melibatkan Jiang Zhan. Kalau bisa terungkap jelas memang bagus, tapi kalau sampai tidak jelas, tidak ada hubungannya dengan mereka. 　　Yu Jin berpikir terbuka, sikapnya semakin santai. 　　Justru Xianwei yang lama berkecamuk dalam keraguan, akhirnya nekat: "Baik, berikan saja padanya." 　　"Bapak, kalau obat tidak jelas asal-usulnya ini menyebabkan masalah saat dikonsumsi, itu akan menjadi dosa." Xuan Ci mengatupkan tangan mengingatkan. 　　Yu Jin langsung menyimpan kembali botolnya: "Bapak harus pertimbangkan matang-matang. Ini urusan yang tidak ada hubungannya dengan saya. Saya tidak akan bertanggung jawab apapun." 　　Xianwei mengerutkan alis beberapa saat, akhirnya mengangguk tegas: "Berikan obatnya! Luka seberat ini memang sudah tidak bisa disembuhkan. Aku tidak bisa menyelamatkannya, setidaknya jangan biarkan dia pergi tanpa tahu siapa yang membunuh anaknya." 　　Seorang anak buah mengambil botol keramik, mengeluarkan pil dan memberikannya kepada wanita itu untuk diminum. 　　Xianwei memanfaatkan kesempatan bertanya pada dayang yang ikut: "Bagaimana tuanmu bisa terluka?" 　　Dayang kecil yang masih ketakutan menjawab: "Hamba sedang merebus air di kamar kecil dalam tiba-tiba ada yang menerobos masuk dan menikam ibu dengan pisau, lalu muncul orang lain yang menjatuhkan si penyerang dan mengikatnya di kursi. Saat itu hamba bersembunyi tak berani bernapas. Orang yang datang belakangan tetap menemukan hamba, menyuruh hamba memandu mereka membawa ibu ke klinik..." 　　Pandangan semua orang segera tertuju pada Sijie. 　　Wajah Sijie sangat pucat. 　　Setelah dipukul hingga pingsan, dia sama sekali tidak tahu bahwa semua kejadian itu disaksikan oleh dayang kecil. 　　"Ibu sudah sadar!" 　　Xianwei melangkah maju dan berseru: "Kakak Ipar, bangunlah." 　　Perlahan-lahan wanita itu membuka matanya. 　　Dia tidak bicara, bola matanya berputar pelihat sekeliling dengan kebingungan. 　　Xianwei merenung sejenak, khawatir wanita itu akan segera meninggal, akhirnya memutuskan untuk jujur: "Kakak Ipar, saya Xianwei Kabupaten Fuxing. Ini adalah Kuil Lingwu—" 　　Tiba-tiba wanita itu menjadi gelisah: "Apakah Shengzi membuat masalah?" 　　Reaksi spontan menyebut Kuil Lingwu langsung dikaitkan dengan kenakalan anaknya, semakin menguatkan dugaan Xianwei. 　　"Liu Sheng... hari ini ditemukan dari sumur di belakang Kuil Lingwu, dia dibunuh!" Suara Xianwei terdengar terburu-buru, khawatir wanita ini pingsan sebelum selesai mendengar, "Kakak Ipar, Anda harus tetap kuat, sekarang hanya Anda yang bisa menunjukkan siapa pembunuh putramu!" 　　Wanita itu seperti tersambar petir mendengar perkataan Xianwei, bola matanya berputar cepat, berhenti sebentar di satu arah lalu berpindah, kebingungan, keterkejutan, dan kesakitan berganti-ganti di wajahnya sebelum akhirnya terpaku pada satu titik. 　　Orang-orang mengikuti arah pandangannya. 　　Xuan Ci berdiri di sana dengan wajah tanpa ekspresi. 　　Sampai jumpa besok. 109. Bab 109 Motivasi 　　Bab 109 Motivasi 　　Kabar buruk tentang putranya membuat wanita itu histeris, namun suaranya tertahan di tenggorokan, wajah pucatnya tiba-tiba memerah seolah dicekik. 　　"Kakak Ipar, bagaimana keadaanmu?" Xianwei menghela napas, menyadari mustahil menenangkannya secara bertahap dalam kondisi ini, hanya bisa merasa bersalah. 　　Wanita itu membelalakkan mata, wajahnya kaku bergetar, dengan susah payah mengangkat tangan menunjuk Xuan Ci. 　　Pandangan orang-orang terhadap Xuan Ci semakin bernuansa aneh. 　　"Dalam situasi ini, Xuan Ci masih mempertahankan wibawa sebagai biksu senior. Ia bahkan melangkah maju dan menyatukan tangan sambil mengucapkan mantra Buddha kepada wanita itu, 'Amitabha, apakah nyonya ingin menyampaikan sesuatu kepada hamba? Tenang saja, selama pelaku pembunuh putra nyonya adalah anggota kuil ini, sebagai kepala biara sementara, hamba pasti akan memberikan hukuman tegas!'" 　　Bibir wanita itu bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba seluruh tubuhnya kaku. Tangan yang terulur itu lunglai jatuh. 　　"Kakak Ipar!" 　　Wanita itu terbaring di tempat tidur dengan mata terbuka, sudah tak bernyawa. 　　Petugas kabupaten dan yang lain diam memandangi jasad wanita itu, sementara para biksu melanjutkan mantra mereka: "Amitabha." 　　"Ibu, ibu, bangunlah—" Dayang kecil merangkul jasad wanita itu sambil menangis tersedu-sedu. 　　Ketidakhadiran kesaksian langsung dari wanita tentang informasi terkait pelaku seolah membuat kasus ini masuk ke jalan buntu. 　　Pandangan tajam petugas kabupaten tertuju pada Xuan Ci. 　　"Amitabha, bila ada yang perlu bantuan, hamba akan memimpin seluruh biksu di kuil untuk bekerja sama," kata Xuan Ci dengan tenang, menunjukkan ketidakterpengaruhannya meski sebelumnya wanita itu menunjuk ke arahnya. 　　Hal ini wajar. Sebagai kepala biara sementara, mustahil petugas kabupaten bisa menuduhnya sebagai pelaku tanpa bukti kuat, apalagi mencoba keluar dari Gerbang Kuil Kabut Suci. 　　Kuil Kabut Suci yang telah makmur selama dua puluh tahun ini ibarat macan yang menguasai wilayah ini, bukan sembarang pemburu bisa menggoyahkan. 　　“Panggil warga di luar gerbang kuil masuk, pejabat ini masih perlu bertanya lagi.” Xian Wei terlihat sangat tenang, memerintahkan Kepala Polisi Zhao. 　　Segera sekelompok warga berduyun masuk, dalam sekejap memenuhi halaman pengadilan. 　　Kegelapan malam tak pernah meredakan semangat warga menonton keributan, apalagi kali ini kejadiannya berliku-liku: keluarga Li dari kota sebelas datang mengangkat mayat, lalu menemukan janda toko kain Liu di kota ini, dan sekarang ibu Liu Sheng malah tewas dibacok. 　　Melewatkan tontonan seperti ini, pasti menyesal tiga puluh tahun! 　　“Warga dipanggil masuk karena ibu Liu Sheng juga tewas akibat luka parah. Dua nyawa ini sangat penting, pejabat ini perlu menanyakan beberapa hal lagi.” Setelah berkata demikian, Xian Wei membisik sesuatu pada bawahannya lalu masuk ke kamar dengan tangan terkait punggung. 　　Tak lama kemudian bawahannya menunjuk seseorang dari kerumunan untuk masuk. 　　Orang itu kebingungan: “Tuan petugas, hamba tinggal di ujung barat kota, hubungan dengan Liu Sheng cuma sekadar anggukan, benar-benar tak tahu apa-apa.” 　　“Suruh masuk ya masuk, banyak tingkah!” 　　Begitu petugas mulai kasar, rakyat kecil langsung patuh, masuk ke kamar dengan cemas. 　　Beberapa orang masuk bergantian, Jiang Zhan heran: “Kenapa rasanya mereka memanggil orang sembarangan?” 　　“Justru itu tujuannya.” Jiang Si menatap pintu kamar, berbisik pelan. 　　“Saat wanita itu menunjuk ke arah Xuan Ci, kecurigaan langsung tertuju padanya. Namun mengingat statusnya sebagai pelaksana tugas pimpinan kuil, tuduhan semata-mata berdasarkan petunjuk wanita itu belum cukup. Petugas county membutuhkan lebih banyak informasi untuk menjatuhkan pukulan mematikan.” 　　“Menghadapi sosok berpengaruh seperti Xuan Ci di Kota Qingniu, sulit mendapatkan informasi dari warga. Metode interogasi acak ini sengaja digunakan agar masyarakat yang diwawancarai merasa nyaman.” 　　“Malam semakin larut, lentera-lentera di bawah atap koridor memancarkan cahaya lembut. Udara sejuk malam musim panas lebih nyaman daripada siang hari, meski nyamuk mengganggu dengan suara 'prak prak' sesekali dari kerumunan orang.” 　　“Pintu kamar akhirnya terbuka, Petugas County melangkah keluar dengan tegas.” 　　“Di balik kelelahan yang terpancar di wajahnya, sorot matanya tetap jernih.” 　　“Seorang petugas segera menggeser kursi ke tengah halaman. Petugas County duduk sambil menatap sekeliling, lalu menggertak: 'Xuan Ci, kau masih belum mengaku?'” 　　“Xuan Ci tetap tenang: 'Amitabha, dosa apa yang telah hamba lakukan?'” 　　“Para biksu menatap tajam ke arah Petugas County, kerumunan massa mulai gempar.” 　　“Warga yang baru masuk ini tidak mengetahui insil wanita menunjuk Xuan Ci sebelumnya.” 　　“Petugas County berseru: 'Sebelum meninggal, ibu Liu Sheng menunjuk ke arahmu. Maukah Biksu Xuan Ci menyangkal hal ini?'” 　　“'Hamba tidak menyangkal.'” 　　“Apa Anda lupa, pejabat ini meminta ibu Liu Sheng menunjukkan pelaku yang membunuh anaknya, lalu dia menunjuk Anda. Semua orang di sini melihatnya tadi.” 　　Xuan Ci tersenyum tipis: “Dia menunjuk biku hina ini karena tidak tahu siapa pembunuhnya, wajar jika meminta penjelasan dari biku yang sedang menjabat sebagai pelaksana tugas sementara kepala biara.” 　　“Lalu mengapa biksu yang Anda kirim untuk melindungi ibu Liu Sheng justru mencelakakannya?” 　　Xuan Ci menatap Si Jie. 　　Karena kesaksian dayang kecil yang merawat ibu Liu Sheng sebelumnya, Si Jie sudah dikepung diam-diam oleh beberapa petugas. Wajahnya pucat pasi menatap Xuan Ci. 　　Xuan Ci menghela napas panjang: “Si Jie, kau sangat mengecewakan gurumu! Aku memerintahkanmu menjemput ibu Liu Sheng, mengapa kau malah melukainya?” 　　Seluruh tubuh Si Jie bergetar. Bibirnya gemetar lama sebelum akhirnya bersujud: “Liu Sheng... Liu Sheng dibunuh murid. Guru menyuruh murid menjemput ibunya, murid khawatir kebocoran rahasia, lalu... lalu bertindak nekat--” 　　Kerumunan orang pun bergemuruh terkejut. Tampaknya mendengar langsung biksu kuil menjadi pembunuh melampaui imajinasi mereka. 　　“Mengapa kau membunuh Liu Sheng?” 　　“Aku--” Mata Si Jie melirik tak tentu, tangan kiri memutar tasbih dengan cepat, “Dia menyelinap ke gunung belakang dengan mencurigakan. Biku mengira dia mencuri lalu mengusirnya. Tak disangka dia malah memukuli biku. Biku hilang kesabaran dan tak sengaja membunuhnya. Melihat kesalahan besar sudah terjadi, biku pun mendorongnya ke dalam sumur--” 　　“Plok-plok-plok.” Suara tepuk tangan nyaring terdengar, wajah Bupati tampak muram, "Tak kusangka seorang biksu bisa berbohong dengan begitu lancar." 　　Tiba-tiba ia menatap Sihai: "Dengan tangan mana Sijie makan?" 　　"Tangan kiri." Dalam ketegangan, Sihai spontan menjawab, lalu menepuk kepala gundulnya dengan penyesalan. 　　"Pejabat ini melihat Sijie selalu memutar tasbih dengan tangan kiri, ditambah pernyataan Sihai, cukup membuktikan Sijie kidal bukan?" 　　"Benar, lalu apa?" Sijie memandang Xuanci minta bantuan, namun Xuanci tetap diam. 　　"Ahli autopsi!" 　　Juru bedah mayat segera maju dan membungkuk: "Pembunuh mencekik korban dari belakang, bekas jari di leher korban dalam di sebelah kanan dan dangkal di kiri, membuktikan pembunuh dominan tangan kanan." 　　"Pembunuh dominan tangan kanan, sedangkan Sijie kidal. Ini membuktikan ada pelaku lain. Dan siapa yang rela Sijie akui sebagai pembunuh untuk dilindungi, tentu sudah jelas bukan?" Bupati menatap Xuanci, bertanya kata demi kata. 　　Seperti kebiasaan biksu, Xuanci juga memutar tasbihnya, bertanya dengan tenang: "Motifnya? Seperti kata Tuan sebelumnya bahwa Jiang II tidak punya motif sehingga dicoret dari tersangka, bolehkah hamba bertanya motif apa yang dimiliki biksu sementara pengurus kuil ini untuk membunuh seorang peziarah biasa?" 　　"Motif? Kau punya!" 　　Selamat pagi. 110.Bab 110 Bukti 　　Bab 110 Bukti 　　Bupati berkata dengan tegas, semua orang menarik napas tajam, namun Xuanci tetap tersenyum: "Hamba siap mendengar penjelasan Tuan." 　　“Banyak orang telah saya wawancarai, dua puluh tahun lalu Kuil Lingwu tidak seperti sekarang. Saat itu Kuil Lingwu hanyalah kuil biasa di gunung, beberapa bikini hidup dari sedekah. Master Xuan Ci memulai kehidupan kebiaraan di usia hampir 30 tahun, tidak memiliki posisi di hati kepala kuil dibandingkan bikini yang berlatih sejak kecil..." Suara pejabat county bergema di malam berbintang, terdengar jelas oleh semua yang hadir. 　　Dalam remang senja, wajah Xuan Ci terlihat suram. Lentera yang menyala sepanjang malam bergoyang tertiup angin, membuat wajahnya terang-gelap tak menentu. 　　Jiang Si menutup mata perlahan, menghirup lembut. 　　Angin membawa bau lembap, besok mungkin akan hujan. 　　Mungkin hujan lebat. 　　Pandangan pejabat county tak lepas dari Xuan Ci: "Berdasarkan pengalaman saya, sebagian besar korban pembunuhan pasti memiliki hubungan tertentu dengan pelaku. Jika belum terlihat, kemungkinan besar karena tersamarkan dengan baik. Saat diketahui Anda adalah penduduk asli kota ini sebelum jadi bikini, semua mulai jelas - Anda pernah berteman cukup baik dengan paman korban Liu Sheng!" 　　"Amitabha, semua pemuda seumuran di Qingniu Zhen bisa disebut teman cukup baik. Inikah hubungan yang Tuan maksud?" 　　"Cukup." Petugas County menyeringai dingin, "Anda telah menjalani kehidupan monastik selama beberapa tahun, tetap menjadi yang terbawah. Pekerjaan kotor dan berat selalu dibebankan padamu oleh senior-senior, sementara Abbas hanya diam memperhatikan. Ini hal yang wajar - untuk mendapatkan perhatian khusus, seseorang harus memiliki kedekatan atau kemampuan. Jadi ketika Anda akhirnya memberitahu Abbas bahwa Anda punya kemampuan membuat Kuil Lingwu menjadi kuil termasyhur dengan pengunjung berduyun-duyun--" 　　Xuan Ci akhirnya berubah wajah, berseru keras: "Amitabha! Tuan boleh mencela hamba sekeras apapun, tapi jangan nodai nama Abbas kami!" 　　Ucapan Xuan Ci membuat para biksu lain memandang penuh amarah ke arah Petugas County. 　　Petugas County tersenyum tipis: "Mengapa Biksu Xuan Ci panik? Aku hanya bilang kau memberitahu Abbas tentang cara memakmurkan Kuil Lingwu, bukan menyebut keterlibatan Abbas." 　　"Apakah Tuan ini dewa? Bagaimana bisa tahu ucapan hamba 20 tahun lalu?" 　　"Tak perlu kekuatan dewa. Cukup dengan banyak bertanya." Petugas County menoleh ke suatu arah, "Biksu Xuan An, apakah pernyataanku salah?" 　　Seorang biksu tua maju: "Amitabha. Saat itu Xuan Ci memang berkata demikian pada Abbas. Hamba dan beberapa senior lain mendengarnya." 　　"Xuan An--" 　　Biksu tua itu menyatukan tangan menghadap Xuan Ci, suaranya datar: "Tak kusangka adik masih mengenali kakak seperguruan yang telah 10 tahun menyapu lantai ini." 　　“Kemunculan biksu tua itu membuat warga yang menonton keramaian membelalakkan mata penuh rasa ingin tahu, sementara para biksu di kuil mulai gelisah. Sebagian dari mereka melirik Xuan Ci dengan pandangan aneh.” 　　“Tidak sampai setahun, reputasi Kuil Lingwu sebagai tempat keramat tersebar luas. Awalnya yang membuat warga dari berbagai desa berduyun-duyun datang adalah kabar bahwa orang tua Liu Sheng yang bertahun-tahun tak punya keturunan tiba-tiba melahirkan Liu Sheng - seorang bayi laki-laki gemuk yang disukai semua orang!” 　　“Saat petugas kabupaten membongkar fakta, desas-desus pun bergemuruh. Jiang Zhan tiba-tiba menopang dahinya, berpura-pana terkejut: 'Astaga, jangan-jangan Liu Sheng adalah anak Xuan Ci?'” 　　“Begitu kata-kata itu meluncur, tatapan penuh amarah dari para biksu langsung tertuju padanya. Sihai yang berwatak keras tidak bisa menahan diri lagi, menerjang ke arah Jiang Zhan sambil berteriak.” 　　“Jiang Zhan dengan gesit bersembunyi di belakang Yu Jin. Melihat Sihai dihadang, ia memandang Jiang Si dengan sedih.” 　　“Jiang Si menghela napas: 'Kakak Kedua, coba gunakan otak saat bicara.'” 　　“Ahem.” Bupati membersihkan tenggorokannya untuk menarik kembali perhatian orang-orang, "Mengapa orang tua Liu Sheng tidak memiliki anak selama lebih dari sepuluh tahun setelah menikah? Karena ayah Liu Sheng mandul! Xuan Ci mungkin mengetahui hal ini secara kebetulan, atau hubungannya dengan paman Liu Sheng sebenarnya lebih dekat dari yang terlihat oleh orang luar, sulit dipastikan karena sudah lama terjadi. Intinya, metode yang katanya akan membuat Kuil Lingwu terkenal itu diarahkan pada orang tua Liu Sheng. Saat itu keluarga Liu sangat miskin, paman Liu Sheng bahkan tidak bisa menikah. Kamu mendekati paman Liu Sheng, menghasutnya untuk mengganggu kakak iparnya. Setelah berhasil, pihak perempuan akhirnya memilih diam. Pasangan sehat yang beberapa kali berhubungan intim, ibu Liu Sheng segera hamil, lalu atas perintah pamannya datang mempersembahkan dupa di Kuil Lingwu." 　　Bupati menghela napas: "Ibu Liu Sheng hamil sebelum mempersembahkan dupa, mana mungkin tidak 'manjur'?" 　　Begitu kata-kata ini keluar, kerumunan sempat hening, tiba-tiba seseorang berseru: "Aku ingat! Waktu itu di kota ramai dibicarakan, dupa Kuil Lingwu terlalu manjur. Menurut hitungan tanggal, keluarga Liu langsung mendapat Liu Sheng setelah mempersembahkan dupa minta anak." 　　Seseorang menambahkan: "Ya, karena sangat manjur inilah para pengantin perempuan dari seluruh penjuru berbondong-bondong datang." 　　Xuan Ci memandangi Bupati tanpa sepatah kata. 　　Bupati melanjutkan: "Ini juga menjelaskan mengapa keluarga Liu tiba-tiba punya uang untuk membuka toko kain. Paman Liu Sheng yang membantumu pasti mendapat banyak keuntungan. Lagipula setelah kaya, dia tidak menikah. Apa alasannya?" 　　"Xiàn Wèi melemparkan pertanyaan ini, sambil mengusap jenggotnya perlahan." 　　Seseorang dari kerumunan tiba-tiba berteriak: "Pasti karena sudah punya anak lelaki gemuk dan bisa tidur dengan kakak ipar kapan saja, jadi tidak butuh istri lagi." 　　Ucapan kasar namun logis. Semua yang hadir serasa tersadar. 　　Laki-laki berusia tiga puluhan yang sudah punya wanita dan anak, buat apa menikah resmi hanya untuk dikontrol istri? 　　Apa tidak bodoh? 　　Xiàn Wèi mendengarkan dalam diam, berdecak kagum: Jangan pernah meremehkan kebijaksanaan rakyat! 　　"Apa hubungannya dengan Liu Sheng?" Xuan Ci bertanya datar. 　　"Tentu ada! Liu Sheng adalah anak tunggal keluarga Liu yang dimanja hingga menjadi pemuda boros. Dua tahun lalu, paman Liu Sheng sakit parah. Menyadari ajalnya, dia khawatir Liu Sheng akan menghabiskan harta keluarga. Maka diungkapkanlah rahasia ini." Xiàn Wèi menatap tajam Xuan Ci, "Sang paman mengira telah memberi sumber uang tak ada habisnya, tapi malah menjerumuskan Liu Sheng ke jurang maut!" 　　Xuan Ci memutar tasbihnya cepat-cepat, wajah tanpa ekspresi. 　　"Berbeda dengan paman yang puas dengan keuntungan kecil, Liu Sheng gemar judi - lubang tanpa dasar. Setiap kali dia datang ke Kuil Lingwu memeras uang untuk merahasiakan hal ini, pasti Anda sudah berniat membunuhnya! Hingga kali ini, jumlah yang dimintanya melebihi kemampuan Anda, akhirnya memaksa Anda membungkamnya selamanya!" 　　"Mendengar ini, Nona Li tak bisa menahan diri menggoyangkan tubuhnya, wajahnya sangat pucat." 　　"Setelah Liu Sheng tenggelam di sumur, yang paling kau khawatirkan adalah Si Kong yang bertugas menyiram. Jika Si Kong tidak menemukan sesuatu, pasti petugas penyiram akan segera diganti dengan orang kepercayaanmu? Sayangnya penggantian butuh alasan logis, dan Si Kong terlalu sial. Kau terpaksa membunuhnya dan memalsukannya sebagai kecelakaan jatuh hingga kepalanya pecah..." 　　"Amitabha, ini semua hanya kesimpulan Tuan berdasarkan interogasi. Mana buktinya?" 　　Bagian kedua. Langsung kuselesaikan sekaligus supaya kalian tidak mengirimkan pisau. Sampai jumpa besok. 111. Bab 111 Pengakuan 　　Bab 111 Pengakuan 　　"Ketenangan Xuan Ci di mata Bupati hanyalah pura-pura. Ia tersenyum tipis: 'Jangan buru-buru, Biksu Xuan Ci. Sekarang aku akan panggil saksi.'" 　　Setelah mengangguk pada bawahannya, seorang nenek segera diantar masuk. 　　Kerumunan orang berteriak: "Ini kan Nenek Wang!" 　　"Kakak Ipar, ceritakan hubunganmu dengan keluarga Liu dan apa yang kau tahu." 　　Nenek itu gugup diperhatikan banyak orang, matanya beralih ke Bupati. 　　Bupati memberinya senyum penyemangat. 　　Di hati rakyat, adanya pejabat yang menangani kasus memberi ketenangan. Nenek itu mulai bercerita: "Nenek ini sudah puluhan tahun jadi tetangga keluarga Liu, menyaksikan ibu Liu Sheng masuk ke keluarga mereka. Orang tuanya menikah belasan tahun tak punya anak, pertengkaran mereka sering kulihat..." 　　Nenek tua itu tenggelam dalam kenangan: “Tak disangka ibu Liu Sheng yang sudah lebih dari 30 tahun ternyata melahirkan Liu Sheng, waktu itu nenek ikut senang untuk mereka, tapi kemudian baru menyadari ada yang tidak beres--” 　　“Apa yang tidak beres?” Petugas county bertanya tepat pada waktunya. 　　Nenek itu menghela napas: “Selama setengah tahun pertama setelah melahirkan Liu Sheng, pasangan suami istri itu mesra seperti madu, tapi suatu hari ayah Liu Sheng memukuli istrinya dengan sangat keras. Sejak itu ibu Liu Sheng sering dipukuli. Sampai suatu kali nenek melihat ibu Liu Sheng dan pamannya...” 　　Nenek menggelengkan kepala: “Menurut kalian, pantaskah dia tidak dipukuli? Kemudian ayah Liu Sheng meninggal, ibunya tidak lagi dipukuli dan mulai tersenyum. Nenek paham melihat paman Liu Sheng begitu baik padanya, tapi takut ibunya tidak bisa hidup jika hal ini terbongkar, jadi tak pernah kusebutkan pada siapa pun.” 　　Nenek itu menghela napas: “Sekarang mereka sudah tiada dan tidak mendapat akhir yang baik, nenek rasa tak boleh menyembunyikan lagi. Tidak boleh ada yang mati dalam kebodohan, bukan?” 　　“Ternyata Liu Sheng benar-benar anak pamannya!” para penonton berkomentar sambil menggeleng-gelengkan kepala. 　　Wajah petugas county menjadi gelap menatap Xuan Ci. 　　Xuan Ci tetap menjaga ketenangannya: “Bahkan jika Liu Sheng adalah anak pamannya, hamba memang punya hubungan lama dengan pamannya dan pernah berjanji akan menghidupkan kembali Kuil Lingwu, Tuan tetap tidak bisa membuktikan hamba yang membunuh Liu Sheng.” 　　“Hehe, Guru Xuan Ci benar-benar tidak mau menyerah sebelum melihat peti mati.” Xian Wei tiba-tiba melangkah mendekat ke Xuan Ci. 　　Ekspresi Xuan Ci akhirnya menunjukkan sedikit kewaspadaan. 　　Dengan gerakan secepat kilat, Xian Wei mengulurkan tangan dan menyingsingkan lengan kanan jubah Xuan Ci. 　　"Apa yang kau lakukan!" Sihai berteriak, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada lengan Xuan Ci dan tertegun. 　　Di bawah sorotan lampu yang terang, beberapa bekas cakaran dalam di lengan Xuan Ci terlihat jelas. 　　"Ada apa?" Penonton yang penasaran mencoba mengintip, namun jarak yang terlalu jauh membuat mereka tidak bisa melihat jelas. 　　"Pejabat ini memperhatikan Guru Xuan Ci selalu memutar tasbih dengan tangan kiri." Suara Xian Wei terdengar dingin di kegelapan malam, "Si Jie kidal, Guru Xuan Ci juga kidal. Kebetulan seperti ini memang ada, tapi sangat jarang. Dibandingkan itu, pejabat ini lebih percaya pada dugaan sendiri - Liu Sheng yang sedang berjuang mati-matian mencakar tangan kananmu!" 　　"Amitabha Buddha, Tuan salah paham. Tangan hamba dicakar kucing liar." 　　"Guru Xuan Ci benar-benar bisa menjaga ketenangan!" Xian Wei mengulurkan tangan, tersenyum sinis bertanya, "Kalau yang ini bagaimana?" 　　Di tangannya terdapat sebuah tasbih. Biji tasbih kecil itu membuat wajah Xuan Ci berubah pucat dalam sekejap. 　　Xian Wei tersenyum tipis, "Tasbih kayu cendana ungu ini bukanlah barang biasa yang digunakan biksu. Setelah lama mengamati, di antara semua biksu yang hadir, hanya tasbih Guru Xuan Ci yang terbuat dari kayu cendana ungu." 　　“Setelah mendengar perkataan Bupati, semua orang spontan melihat ke tasbih kayu cendana ungu bermutu tinggi yang tergantung di leher Xuanci.” 　　Bupati mengangkat tasbih di tangannya tinggi-tinggi, berseru: "Butiran tasbih ini ditemukan petugas di dekat sumur, pasti bukan milik biksu biasa yang mengambil air. Master Xuanci, jumlah tasbihmu seharusnya 108 butir menurut perhitungan!" 　　Wajah Xuanci menjadi gelap, jari kirinya memutar tasbih semakin cepat. 　　“Pengawal! Ambil tasbih Master Xuanci dan hitung jumlahnya!” 　　“Amitabha, hamba hanya pejabat sementara. Atas dasar apa Tuan menghina hamba hanya dengan sebutir tasbih? Apakah Tuan berprasangka terhadap Kuil Lingwu? Mengapa Tuan kebetulan berada di sini?” 　　“Jangan menghina Paman Master Xuanci!” Teriak beberapa biksu, terutama Sihai yang paling nyaring, sementara sebagian lain diam. 　　“Aku tidak punya permusuhan dengan kuil ini, bahkan pernah sembahyang di sini. Semua bukti mengarah pada Master Xuanci. Jika Master tak bersalah, ini kesempatan membuktikannya. Ambil tasbihnya!” 　　Seorang pengawal bertulang pelipis menonjol merampas tasbih Xuanci dan menyerahkannya ke Bupati. Kali ini para biksu tak ada yang protes. 　　Bupati memeriksa dan menggosok-gosok tasbih sejenak, lalu menyerahkannya kepada Lurah: "Lurah, engkau yang menghitung jumlah butir tasbih ini." 　　Wajah Lurah memerah: "Orang tua sepertiku tak pandai berhitung..." 　　"Ahem..." Bupati yang tenang itu tersedak mendadak. 　　"Tuan, serahkan pada Erdazi. Pemuda ini cukup lihai." Lurah menunjuk seorang pemuda di sampingnya. 　　Bupati hanya bisa mengangguk setuju. 　　Pemuda yang diberi tugas penting itu bersemangat, dengan hati-hati menerima tasbih. Setiap menghitung satu butir ia berseru keras: "Satu, dua... seratus tujuh." 　　Saat hitungan "seratus tujuh" terdengar, seisi halaman hening bagai jarum jatuh. 　　"Ada yang bisa berhitung? Ganti orang dan hitung ulang." 　　Segera seseorang maju sukarela, namun hasil akhir tetap seratus tujuh butir. 　　"Master Xuan Ci masih ada alasan?" 　　"Tasbih ini hilang sejak lama. Hamba tak tahu kenapa muncul di dekat sumur." Xuan Ci melirik biksu penyapu daun, bermaksud menyindir, "Mungkin ada sesama biksu yang menjebak? Sejak menjadi pejabat sementara kepala biara, wajar jika ada saudara seperguruan yang iri." 　　Lebih dari sepuluh tahun menyapu membuat Xuan An tenang. Ia hanya mengucapkan "Amitabha". 　　Bupati tertawa keras: "Hamba benar-benar tercengang! Sampai sekarang kau masih tak mengaku! Lalu bagaimana kau jelaskan noda darah di tali tasbih ini?" 　　Petugas kabupaten menggeser tasbih untuk memperlihatkan tali polos: "Noda darah ini masih merah gelap, menunjukkan baru terkena darah belum lama. Ada tasbih yang tertinggal di TKP, ada perbuatan memalukan di masa lalu, ada murid kepercayaan yang muncul di rumah Liu Sheng dan membunuh ibu Liu Sheng... Xuan Ci, akui kejahatanmu, jangan anggap orang lain bodoh!" 　　Xuan Ci terhuyung mundur, akhirnya mengakui kejahatannya. 　　Yang membuat orang kagum, dugaan petugas kabupaten ternyata sama persis dengan pengakuan Xuan Ci. 　　Malam sudah larut, Xuan Ci digiring ke gudang kayu untuk dijaga. Penonton pun bubar dengan gempar dan kemarahan, besok pasti berita ini akan menjadi badai. 　　Biksu-biksu tahu hari-hari mendatang akan sulit, bubar dengan lesu. 　　Sebelum masuk beristirahat, petugas kabupaten menemui Jiang Si dan memberi hormat: "Terima kasih atas bantuan Nona." 　　Jiang Zhan terkejut. 　　Apa yang dilakukan Adik Keempat? Kok dia tidak tahu? 112. Bab 112 Bermasalah 　　Bab 112 Bermasalah 　　Jiang Si sedikit membalikkan badan membalas hormat: "Yang Mulia terlalu sungkan. Kebetulan saya terjebak dalam kasus pembunuhan ini, hanya membantu sedikit untuk mengungkap kebenaran." 　　"Bagaimanapun, berkat Nona kami bisa menemukan bukti kunci untuk menjerat Xuan Ci." Petugas kaburu tersenyum, "Sudah larut, silahkan istirahat. Besok saya ingin mengundang kalian bertiga di restoran kabupaten, apakah ada waktu?" 　　Yu Jin menatap Jiang Si. 　　Jiang Si menggeleng halus yang nyaris tak terlihat. 　　"Yang Mulia tidak perlu repot-repot, kami masih ada urusan lain dan besok akan meninggalkan tempat ini." 　　"Kalau begitu, saya doakan kalian bertiga perjalanan lancar." Bupati seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tidak melanjutkan. 　　Begitu Bupati pergi, Jiang Zhan langsung tak sabar bertanya, "Adik Keempat, sebenarnya kau bantu apa pada Bupati?" 　　"Tasbih." Jiang Si mengucapkan dua kata ini, lalu menjelaskan melihat kebingungan Jiang Zhan, "Tasbih Xuan Ci berbau darah." 　　"Oh begitu rupanya." Jiang Zhan tersadar, lalu menyipitkan matanya yang indah, "Adik, hidungmu ini bagaimana? Kok lebih tajam daripada Er Niu—" 　　Yu Jin menekan bahu Jiang Zhan sambil tersenyum pada Jiang Si, "Sudah larut, tidurlah cepat. Jangan bangun terlalu pagi besok, kami juga mau istirahat." 　　Jiang Si mengangguk dan berjalan menuju kamar tamu. 　　Baru setelah masuk kamar, Jiang Zhan tersadar: "Sapaan apa itu dari Kakak Yu Qi? Kok rasanya mereka berdua akrab sekali, aku sebagai kakak malah jadi orang luar?" 　　Penemuan ini membuat Tuan Kedua Jiang langsung tak bisa tidur. 　　Ada yang tidak beres, pasti ada masalah! 　　Jiang Zhan berguling-guling di tempat tidur seperti kue yang dibolak-balik di atas wajan. Setelah lama tak tentu, ia melompat bangun dan berlari ke kamar Yu Jin. 　　Suara ketukan pintu yang mendesak, pintu berderit terbuka. 　　“Ada urusan?” Yu Jin berdiri di depan pintu, hanya mengenakan mantel luar. Baju dalam putihnya terbuka di bagian leher, memperlihatkan tulang selangka yang jelas. 　　Dia jelas-jelas buru-buru mandi, kulit yang terlihat masih lembap. Suaranya lebih berat dari biasanya karena tidur terlalu larut. 　　Jiang Zhan menatap langit-langit. 　　Ehem, seorang pria berpenampilan seperti ini sungguh tidak pantas! 　　"Kalau tidak ada urusan, aku tutup pintu." Yu Jin memang mengantuk, bersungut kesal. 　　"Ada urusan, masuk dulu bicara." Jiang Zhan menahan pintu dan menyelusup masuk. 　　Yu Jin mengerutkan alis, menutup pintu lalu kembali duduk sambil menunggu Jiang Zhan berbicara. 　　Jiang Zhan menempelkan kedua tangan di meja: "Kakak Yu Qi, kurasa kakak agak aneh!" 　　"Hmm?" 　　"Nada bicara kakak ke Adik Keempatku terlalu akrab." 　　"Apa iya?" Yu Jin diam-diam kaget mengapa Jiang Zhan tiba-tiba melek, wajahnya pura-pura polos. 　　"Tentu iya!" Jiang Zhan tiba-tiba membungkuk ke depan, mengamati perubahan ekspresi lawannya. Setelah lama menatap, tetap tidak melihat keanehan. 　　Jangan-jangan dia yang overthinking? 　　Tidak, lebih mungkin sih muka tembok ini terlalu tebal, bisa menyembunyikan dengan baik! 　　"Kakak Yu Qi, jangan-jangan kakak naksir Adik Keempatku?" 　　Yu Jin hampir tak bisa menyembunyikan perubahan raut wajah. 　　Kok Jiang Zhan tiba-tiba bisa sejitu ini? 　　Setelah berpikir kilat, dia mengangguk singkat: "Iya." 　　Manfaatkan setiap peluang yang bisa diraih, kemenangan sudah di depan mata. 　　Jiang Zhan sama sekali tidak percaya dengan apa yang didengarnya, menunjuk Yu Jin dengan jarinya: "Kamu, ulangi lagi!" 　　Yu Jin tertawa ringan: "Gadis jelita, idaman pria terhormat. Adikmu cerdas, baik hati, anggun, dan cantik..." 　　Segudang pujian itu membuat Jiang Zhan terus mengangguk-angguk. 　　Tak disangka Kakak Yu Qi bisa melihat orang dengan begitu akurat... 　　"Adik kedua Jiang, bukankah wajar jika hatiku tergerak kagum menghadapi nona seperti ini?" 　　"Wajar kok." Jiang Zhan spontan menjawab. 　　Siapa dia? Apa yang baru saja dia katakan? 　　Tunggu, kepalanya pusing, sepertinya terjerat dalam permainan kata! 　　Yu Jin menunjukkan senyum lega, menepuk bahu Jiang Zhan keras-keras: "Aku tahu Adik kedua Jiang pasti akan mengerti dan mendukungku!" 　　"Aku--" Jiang Zhan membuka mulut, tiba-tiba memukul meja, "Tidak benar! Wajar saja kau punya perasaan seperti itu, memang adik keempatku sangat baik, tapi tanpa restu orang tua maupun perantara pernikahan, ini namanya tidak bertanggung jawab pada adikku!" 　　"Rupanya Adik kedua Jiang khawatir tentang formalitas ini. Tenang saja, nanti aku akan bicara pada keluarga untuk mengirim lamaran." 　　"Tunggu dulu." Jiang Zhan berteriak, mengusap pelipisnya, "Aku tidak memintamu mengirim perantara--" 　　"Lalu maksud Adik kedua Jiang apa?" 　　"Pokoknya mendekati adik keempatku sekarang ini salah!" 　　Yu Jin menghela napas berat: "Adik kedua Jiang melarangku mengirim perantara, juga tak senang aku menunjukkan perasaan pada adikmu, sebenarnya mau bagaimana?" 　　Jiang Zhan membuka mulutnya. 　　"Kenapa dia seolah-olah menjadi orang yang mencari gara-gara?" 　　"Adik kedua Jiang, coba pikirkan: bukankah adik perempuanmu harus menikah suatu hari nanti? Apakah kau rela dia dinikahkan dengan orang asing yang tidak diketahui rupa, karakter, maupun kemampuannya? Hanya karena perintah orangtua dan perantaraan mak comblang?" 　　"Tentu tidak bisa!" 　　"Nah, sekarang saya menunjukkan perhatian pada adikmu. Jika dia berminat, saya akan segera mengundang mak comblang. Jika dia tidak berminat..." Begitu pikiran ini muncul, Yu Jin merasa dadanya seperti ditusuk pisau, namun tetap menjaga ekspresi wajah sambil melanjutkan bujukannya, "...saya tentu akan mengerti dan tidak mengganggu lagi. Saya selalu merasa tidak adil bagi perempuan jika pernikahan hanya ditentukan melalui musyawarah orangtua tanpa mempertimbangkan perasaan sang perempuan. Lagi pula, pria yang tidak puas dengan istrinya masih bisa mengambil selir atau main ke rumah pelacuran, sedangkan perempuan yang menikah dengan suami yang tidak cocok akan hancur seumur hidupnya." 　　Jiang Zhan tak sadar mengusap dagunya. 　　Kedengarannya cukup masuk akal. 　　"Selain itu, Adik kedua Jiang sudah mengenal saya dengan baik. Jika ada kekurangan pada diri saya, bukankah kau bisa melihatnya jelas? Dengan adanya kakak sepertimu, adik perempuanmu pasti tidak akan dirugikan." 　　"Benar juga." Mendengar penjelasan Yu Jin, Jiang Zhan tiba-tiba merasa pria dihadapannya ini calon yang cukup cocok. 　　Dalam sekejap perubahan sikap ini, dia segera mulai menghitung untung-rugi Yu Jin sebagai calon ipar. 　　“Dari segi kemampuan bela diri, Kakak Yu Qi tidak perlu diragukan, pasti bisa melindungi Adik Keempat dengan baik. Tapi ada juga kekurangannya, kemampuannya terlalu tinggi, dia tidak bisa dikalahkan, jika suatu saat berani menyakiti Adik Keempat harus minta bantuan orang lain.” 　　“Dari segi penampilan, Kakak Yu Qi setara dengan Adik Keempat, anak cucu mereka nanti pasti akan lebih tampan/cantik—Ah, kemana pikirannya melayang!” 　　“Hmm, kekurangannya juga jelas, Kakak Yu Qi yang tampan begini mudah menarik perhatian kupu-kupu.” 　　“Dari segi karakter, Kakak Yu Qi pernah menyelamatkan nyawaku, orang yang berani bertindak dalam situasi seperti itu pasti punya karakter yang baik.” 　　“Kekurangan—kali ini Jiang Zhan berpikir lebih teliti.” 　　“Terlalu tebal muka, diam-diam sudah mengincar Adik Keempat, untung aku punya mata elang yang melihat.” 　　“Dari segi latar belakang keluarga——” 　　Jiang Zhan tiba-tiba menatap Yu Jin. 　　“Kami sudah kenal lama, tapi aku belum pernah menanyakan pekerjaan keluarga Kakak Yu Qi!” 　　Tuan Kedua Jiang terkenal luas pergaulannya, hanya memilih yang cocok sifatnya, tak pernah peduli asal-usul. Tapi tiba-tiba sebagai kakak ipar dia merasa cemas. 　　“Latar belakang keluarga juga penting.” 　　“Bisa ceritakan kondisi keluarga Kakak Yu Qi?” 　　Yu Jin melengkungkan sudut bibirnya. 　　Kakak ipar ini cepat sekali masuk peran. 　　Bulan ini akan segera berlalu, dan "Seperti Kembang" juga telah melewati masa rilis baru dengan lancar. Terima kasih banyak kepada teman-teman pembaca yang telah berlangganan, memberikan suara, dan memberikan hadiah. Meskipun tidak bisa menyebutkan semua nama satu per satu, setiap kali melihat daftar pemilih atau pemberi hadiah, hati selalu dipenuhi rasa syukur karena ini adalah bentuk dukungan ekstra yang kalian berikan untuk "Seperti Kembang". Di hari terakhir masa rilis buku baru ini, dengan muka tebal saya mohon kepada teman-teman yang masih memiliki kemampuan ekstra untuk memberikan satu "Suara bulanan", tentu "Rekomendasi" juga diterima, kami membungkuk hormat. 113.Bab 113 Hujan Deras Mengurungkan Keberangkatan 　　Bab 113 Hujan Deras Mengurungkan Keberangkatan 　　Yu Jin meletakkan kedua tangan di lutut, terlihat sangat tulus. 　　Sebenarnya dia ingin berpura-pura menjadi orang yang jujur dan setia, tapi wajahnya tidak mendukung, terlalu sulit untuk berpura-pura. 　　"Keluargaku bisa dibilang keluarga terpandang, tapi di generasiku ada banyak saudara kandung. Saya anak ketujuh, tidak terlalu diperhatikan." Yu Jin tersenyum polos, "Artinya, masa depan baik atau buruknya tergantung usaha sendiri. Tentu saja pengawasan orang tua padaku juga jauh lebih longgar dibanding saudara-saudara yang lebih dihargai, ada untung ruginya." 　　Jiang Zhan mengangguk-angguk. 　　Tidak terlalu diperhatikan orang tua itu justru keuntungan! 　　Dirinya sendiri terlalu diperhatikan ayahnya, sampai sudah dewasa masih diawasi ketat, sedikit salah langsung dipukul. 　　"Jadi Kakak Yu Qi datang ke ibu kota untuk merantau?" 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu cepat-cepat menyambut tawaran itu: "Benar, berencana menetap di ibu kota. Dengan begitu setelah menikah tidak perlu tinggal bersama orang tua." 　　Ehem, kalau pangeran kerajaan tinggal di istana setelah menikah, masalahnya akan besar. Pejabat pengawas pasti akan membanjiri istana dengan kritikan tajam. 　　"Mata Jiang Zhan berbinar." 　　"Adik Keempat berwatak dingin, tidak pandai merayu. Akan lebih baik jika setelah menikah tidak tinggal bersama mertua." 　　"Adik kedua Jiang, masih ada yang ingin kau tanyakan?" 　　Jiang Zhan membersihkan tenggorokannya: "Barusan hanya obrolan biasa, aku tidak punya maksud apa-apa." 　　"Bertanya terlalu banyak, malah terlihat dia terlalu peduli——" 　　"Bagaimanapun juga, adikku masih terlalu muda." Jiang Zhan berdiri dengan wajah kaku, "Aku pulang tidur." 　　Setelah kembali ke kamar, Jiang Zhan yang terjatuh di ranjang menatap langit-langit sambil menghela napas. 　　Menyebalkan, memikirkan Adik Keempat akan menikah dengan pria asing membuatnya panik, tapi memikirkan dia menikah dengan Kakak Yu Qi, rasanya ingin menendang Kakak Yu Qi beberapa kali. 　　Menjadi kakak laki-laki benar-benar menyiksa! 　　Jiang Si saat ini juga belum tidur. 　　Sudah lelah setelah beraktivitas sampai larut malam, tapi dia tak sabar menunggu fajar untuk menemui Nona Li. 　　Petunjuk mayat perempuan di taman Kediaman Marquis Changxing, hampir pasti terletak pada Nona Li. 　　Mendengar suara Jiang Si yang bolak-balik di tempat tidur, Ah Man yang tidur di dipan rendah dekat pintu bertanya: "Nona, tidak bisa tidur?" 　　Begitu ucapannya selesai, tiba-tiba suara guntur menggema, diikuti kilatan cahaya yang menerobos langit malam, menerangi jendela hingga seputih salju. 　　Pada detik itu, seolah bumi bergetar beberapa kali, sangat mengerikan. 　　“Ah Man kaget, langsung turun dari tempat tidur, bahkan tak sempat memakai sepatu sebelum berlari ke sisi Jiang Si, bertanya khawatir: “Nona, Anda tidak apa-apa?” 　　Jiang Si duduk tegak, ekspresinya tenang: “Tidak apa-apa.” 　　“Wah, Nona, Anda tidak takut guntur lagi?” 　　Jiang Si langsung bangun sambil menyandalkan sepatunya ke jendela, membuka jendela perlahan sambil berbisik: “Sudah tidak takut.” 　　Sejak kecil dia takut guntur, kebiasaan ini diketahui Ah Man dan A Qiao. Namun setelah mengalami berbagai peristiwa, rasa takut itu sudah lama hilang. 　　Guntur mana bisa menandingi kejamnya hati manusia. 　　Angin berdesir masuk, menerbangkan rambut panjang dan gaunnya yang berkibar-kibar. 　　Langit menjulang tinggi, hamparan tinta hitam yang dipenuhi kilatan cahaya tampak transparan, pemandangan di luar jendela terlihat jelas dalam sorotan cahaya ini. 　　Tak lama kemudian hujan pun mulai turun. 　　Awalnya setetes demi setetes, bukan seperti hujan musim semi yang malu-malu, melainkan membawa keganasan khas musim panas. Butiran hujan sebesar kacang segera membentuk garis-garis panjang. 　　Guntur kembali menggelegar, hujan semakin deras. Di luar jendela putih kabur tak terlihat apapun, hanya suara hujan bagai pasukan berkuda yang mengganggu mimpi banyak orang. 　　Ini benar-benar hujan lebat yang mengguyur. 　　Dengan bantuan angin, air hujan mulai masuk melalui jendela. 　　Ah Man buru-buru menutup jendela. 　　“Nona, hati-hati masuk angin. Lebih baik berbaring lagi.” 　　Jiang Si berdiri di tempatnya tanpa bergerak, meski jendela telah ditutup, pandangannya masih menatap ke luar. 　　Ah Man melihat situasi ini lalu menyalakan lampu, ruangan pun langsung terang. 　　"Hujan datang cukup cepat." Ada bayangan senyum di mata Jiang Si, tapi tak ada yang menyadarinya. 　　Ah Man mengambil mantel dan menghampirinya untuk menyelimutkannya, tampak khawatir: "Nona, hujan deras seperti ini, apakah besok kita tidak bisa berangkat?" 　　Jiang Si melirik Ah Man dan tersenyum: "Terburu-buru apa?" 　　Ah Man membelalakkan matanya: "Ada orang mati! Meski kasusnya sudah terungkap, tapi membayangkan pembunuhnya ternyata adalah pejabat sementara Kuil Lingwu, sungguh menjijikkan!" 　　Sambil mencibir, Ah Man menunjukkan ekspresi meremehkan: "Karena Kuil Lingwu sejak dulu sudah penipu, jelas kemenarannya tidak manjur. Lalu apa gunanya tetap di kuil kumuh seperti ini? Ibu kota penuh dengan tempat seperti ini." 　　Melihat Jiang Si hanya tersenyum, dayang kecil itu berkedip: "Nona, apakah hamba salah bicara?" 　　"Apa yang kau katakan masuk akal." Mendengar gemuruh hujan di luar, Jiang Si sedang dalam mood baik, "Pergilah tidur." 　　Dia berjalan mendahului ke tempat tidur, melepas mantel dan berbaring. 　　Hujan turun, lebih deras dari yang diperkirakannya. Dia akhirnya bisa tidur dengan tenang. 　　Ah Man melihat Jiang Si sudah berbaring, segera mematikan lampu, lalu naik ke tempat tidur dengan hati-hati. 　　"Hujan deras membanting-banting jendela dengan ganas, angin kencang menggoyang pepohonan hingga berdesir, namun di dalam ruangan segera terdengar napas teratur dari majikan dan pelayannya." 　　"Saat Jiang Si membuka matanya, hal pertama yang dilakukannya adalah menyimak suara di sekitarnya." 　　"Dia membutuhkan hujan lebat ini untuk menahan Nona Li yang tinggal di Kuil Lingwu agar tetap tinggal secara alami, sehingga bisa menghindari banyak masalah." 　　"Syukurlah cuaca memenuhi harapannya, di luar masih terdengar gemuruh hujan dan angin, akhirnya hati Jiang Si merasa tenang." 　　"Rutinitas mandi dan berdandan tak perlu dijelaskan panjang lebar. Baru saja Jiang Si keluar pintu, dia melihat sesosok figur berdiri di ujung koridor melingkar." 　　"Mendengar suara langkah, orang itu menoleh dan tersenyum lembut pada Jiang Si." 　　"Wajah pemuda itu tampan dengan senyuman tulus, tak lain adalah Yu Jin." 　　"Sebelum Jiang Si sempat bereaksi, Jiang Zhan tiba-tiba muncul entah dari mana, persis menghalangi pandangan antara Yu Jin dan adiknya." 　　"Jiang Si terkejut, matanya beralih ke tirai hujan di luar." 　　"Kakak Kedua ini kenapa-kenapa? Jangan-jangan tadi lari-lari kehujanan?" 　　"Ekspresi Yu Jin tetap tenang tanpa perubahan." 　　"Keputusan untuk berterus terang pada Jiang Zhan semalam memang tepat. Fakta bahwa Jiang Zhan tidak memukulinya saat itu membuktikan dia cukup puas dengan calon ipar ini. Adapun sikapnya sekarang, hah, cuma usaha terakhir yang sia-sia, sudah biasa kulihat." 　　"Jiang Zhan melontarkan pandangan peringatan ke Yu Jin sebelum menghampiri Jiang Si: 'Adik Keempat, tidurmu tadi malam baik-baik saja, kan?'" 　　"'Lumayan, Kakak Kedua gimana?'" 　　“Ah, aku juga baik-baik saja.” Mata Jiang Zhan berkedip-kedip, lingkaran hitam besar di bawah matanya membuatnya terlihat seperti belum pulang semalaman dari tempat-tempat ‘bagus’. 　　Jiang Si mengerutkan kening: “Sepertinya Kakak Kedua tidak tidur nyenyak——” 　　Jiang Zhan buru-buru mengalihkan topik: “Ayo kita makan, perut sudah keroncongan. Hujan ini benar-benar menyebalkan, turun dari malam sampai sekarang belum berhenti, kayaknya tidak bisa berangkat dalam waktu dekat.” 　　Setelah selesai makan, petugas kabupaten mengundang mereka untuk minum teh. Yu Jin dan Jiang Zhan yang berkesan baik dengan petugas yang jeli itu, mengingat cuaca hujan yang membosankan, akhirnya menerima undangan tersebut. 　　Jiang Si mencari alasan untuk tetap tinggal. Begitu kedua pria itu pergi, dia mendatangi pintu kamar Nona Li dan mengetuk pelan. 　　“Siapa?” Suara Nona Li dari dalam terdengar serak dan tegang. 　　“Saya adik perempuan Jiang Er.” Jawab Jiang Si singkat. 　　Dia bukan orang yang pandai mencari-cari alasan, tapi tidak masalah. Semakin sedikit kata, mungkin semakin membuat penasaran. 　　Tak lama kemudian, pintu benar-benar berderit terbuka. 　　Selamat pagi, hari pertama bulan April. 114. Bab 114 Mencari Mati 　　Bab 114 Mencari Mati 　　Gadis di luar pintu terlihat tenang, senyum tipis mengembang di bibirnya. 　　Nona Li memegang erat pintu, wajahnya waspada: “Ada perlu apa?” 　　Jiang Si berusaha terlihat ramah dan tidak berbahaya: "Kakak laki-laki saya pergi minum teh dengan teman. Saya pikir di kuil ini hanya ada kita dua nona, jadi saya datang untuk mengobrol dengan Nona Li." 　　"Maaf, saya tidak enak badan." Wajah Nona Li sama sekali tidak tersenyum, hendak menutup pintu. 　　Gadis di luar pintu mendorong dengan tangan, masuk dengan santai, meninggalkan Nona Li terpaku beberapa saat sebelum buru-buru menutup pintu. 　　"Apa maksudmu?" 　　Jiang Si langsung duduk di tepi meja, mengambil teko teh dan menuangkan secangkir untuk dirinya sendiri. 　　Cangkir porselen putih tergenggam di tangannya, jari-jari putih seperti giok yang lebih halus dari porselen itu sendiri. 　　"Kalau tidak segera pergi, saya akan teriak!" Usia Jiang Si membuat Nona Li kurang takut, terlihat kesal. 　　"Mengapa Nona Li marah-marah? Saya hanya ingin mengobrol saja." 　　"Saya tidak mengenalmu!" 　　Ekspresi Jiang Si tetap tenang, melirik Nona Li sejenak: "Kalau begitu, apakah kau mengenal Nona Chi?" 　　Pupil Nona Li tiba-tiba menyempit, cepat-cepat menyangkal: "Tidak kenal! Segera pergi!" 　　Jiang Si tersenyum tipis, memutar cangkir di tangannya: "Nona Li yang berasal dari keluarga terpelajar, memperlakukan tamu seperti ini hanya membuat saya berpikir kau sedang menyembunyikan sesuatu—" 　　“Nona Li wajahnya pucat, tubuhnya gemetar karena marah: 'Jangan asal bicara! Kita hanya kebetulan bertemu, sama sekali tidak akrab, kau masuk sembarangan lalu melarangku marah?'” 　　“Memang pantas marah, tapi jika Nona Li tidak ingin membahas Nona Chi, mungkin kita bisa bicara tentang Liu Sheng?” 　　Nona Li terlihat panik, mundur beberapa langkah, semangatnya mulai melemah: “Pergilah kau!” 　　Jiang Si menopang dagu, tenang dan santai: “Nona Li jangan kira hanya Bupati yang tahu hubunganmu dengan Liu Sheng?” 　　“Kau... mengapa kau menyebarkan gosip seperti ini? Apa maksudmu sebenarnya?” Nona Li gemetar seperti bunga tertiup angin, tiba-tiba mencabut gelang emas di tangannya, “Apa kau mau uang? Katakan, berapa?” 　　Jiang Si tersenyum: “Nona Li, kau terlalu tegang. Aku bukan penduduk sini, setelah hujan reda akan pergi, tidak tertarik bergosip. Aku hanya ingin tahu beberapa hal yang kau ketahui, setelah itu tak akan mengganggumu lagi.” 　　Jiang Si tahu caranya ini menyebalkan, tapi jika Nona Li tetap bersikap seperti putri bangsawan yang lemah lembut, mustahil bisa mendapatkan informasi tentang Nona Chi darinya. 　　Dibandingkan mengekspos Putra Mahkota Marquis Changxing yang brengsek itu, rasa jijik orang lain apa artinya? 　　Nona Li menatap tajam Jiang Si, ekspresinya terus berubah, lama akhirnya menggigit bibir bertanya: “Benarkah tak akan menggangguku lagi?” 　　“Nona Jiang Si menghela napas lega, menunjukkan senyum tulus: \"Saya akan menjaga rapat-rapat urusan Nona Li.\"" 　　“Baik, tanyakanlah.” Nona Li duduk agak menjauh dari Jiang Si, menuangkan secangkir teh untuk dirinya sendiri, tangannya masih gemetaran halus. 　　“Saya ingin tahu apakah saat kunjungan terakhirmu ke Kuil Lingwu, kamu bertemu dengan seorang gadis bermarga Chi?” 　　“Hm.” Nona Li menggenggam cangkir teh lebih erat. 　　“Tolong ceritakan secara detail tentang Nona Chi, semua yang kamu ketahui.” 　　Nona Li mengerutkan kening sejenak lalu mulai bercerita: \"Saat itu Nona Chi datang ke kuil dengan menyamar sebagai pria, saya langsung tahu, begitu juga biksu pengatur akomodasi. Akhirnya dia ditempatkan di kamar sebelah saya. Nona Chi sangat periang dan masih muda, saya cukup menyukainya. Tak lama kami pun akrab. Dia bilang ayahnya pedagang yang sering bepergian jauh, jadi dia diam-diam kabur main...\"" 　　“Gadis muda kabur main sendirian tanpa pengawal? Keluarganya tidak mencari?” 　　“Saat itu saya juga menanyakan hal itu. Nona Chi bilang dia punya ilmu bela diri, orang biasa tak bisa mengganggunya. Ayahnya sedang pergi, ibunya sudah meninggal. Dia sudah biasa kabur main beberapa hari lalu pulang, sampai para pelayan di rumahnya pun sudah terbiasa tak bisa menemukannya.” 　　“Apakah Nona Chi pernah menyebut alamat rumahnya?” Jiang Si tak bisa menahan ketegangan saat mengajukan pertanyaan ini. 　　Ini kunci untuk menemukan keluarga Nona Chi. 　　“Nona Li segera memberiku kejutan: ‘Sudah. Saat itu kami sedang asyik mengobrol, lalu sepakat untuk bertemu lagi jika ada kesempatan, jadi dia memberitahuku alamatnya. Nona Chi berasal dari Kota Baoquan, Hebei, tinggal di Kota Xia Yanzi, Kabupaten Baoquan. Setiap musim semi dan panas ayahnya akan pergi jauh untuk berdagang, dan pulang saat musim dingin untuk berkumpul. Aku ingat jelas, dia bilang sepanjang musim dingin dia akan diam di rumah, suruhku datang mengunjungi di musim itu jika mau.’” 　　“Kota Baoquan, Hebei——” Jiang Si bergumam pelan, tampak belum paham betul. 　　“Di kehidupan sebelumnya, baru setelah terdampar di selatan aku keluar dari ibu kota. Setelah kembali ke ibu kota dengan status yang berbeda, semakin tidak mungkin untuk jalan-jalan.” 　　Tapi informasi yang didapat sudah cukup banyak. Jiang Si tidak ingin menekan perempuan di depannya terlalu keras, lalu berdiri sambil tersenyum: “Terima kasih, Nona Li.” 　　“Tidak usah.” Nona Li menatap Jiang Si dengan ragu-ragu. 　　Maknanya jelas: Sudah mengatakan semuanya, silakan cepat pergi. 　　Jiang Si berjalan ke pintu tiba-tiba berbalik, membuat Nona Li gemetar ketakutan: “Masih ada urusan?” 　　Jiang Si memberi hormat sungguh-sungguh: “Barusan banyak kesalahan, aku minta maaf. Harap Nona Li jangan disimpan di hati. Masalah Kuil Lingwu——” 　　Memandangi gadis yang wajahnya lesu itu, ia berkata tulus: “Lupakan semuanya.” 　　Ekspresi Nona Li bergetar, sudut matanya tak sengaja basah. 　　“Dia buru-buru mengusap matanya, tak tahu harus berkata apa pada Nona Keempat Jiang Si.” 　　“Nona Keempat Jiang Si membungkuk lagi, lalu mendorong pintu dan keluar.” 　　“Adik——” 　　“Suara di luar pintu tiba-tiba terhenti. Nona Keempat Jiang Si menatap Tuan Gong Li yang tertegun di hadapannya, mengangguk ringan dan melangkah menyamping.” 　　“Tuan Gong Li tak kuasa menoleh, baru berani masuk setelah Jiang Si masuk ke kamarnya. "Adik, bagaimana kau bisa akrab dengan nona itu?" tanyanya dengan penuh semangat.” 　　“Nona Li mengerutkan alis, "Tidak akrab."” 　　“Tentu saja dia tidak puas dengan tindakan memaksa Jiang Si tadi.” 　　“Hati Tuan Gong Li gatal seperti dicakar kucing: "Hujan deras seperti ini toh tak bisa pergi, lebih baik kau sering-sering bergaul dengannya sebagai teman."” 　　““Nona itu berparas cantik dan beraura luar biasa, dari logatnya sepertinya orang ibu kota. Kakak jangan terlalu banyak berkhayal."” 　　““Adik ini salah paham." Tuan Gong Li tentu tidak mengaku tertarik pada kecantikan Jiang Si, meski hatinya benar-benar berdebar karena pertemuan tak terduga ini.” 　　“Setelah meninggalkan Nona Li, dia langsung menuju tempat Jiang Zhan. Kebetulan Jiang Zhan baru pulang bersama Yu Jin/Jin, hendak masuk ke kamar masing-masing.” 　　““Saudara Jiang." Tuan Gong Li menyatukan tinju dengan antusias, "Kita semua berkumpul di sini adalah takdir yang langka. Izinkan hamba mengajak Saudara Jiang minum teh."” 　　Jiang Zhan adalah orang yang suka berteman. Meski baru minum banyak teh di rumah Kepala Distrik, dia tidak menolak: \"Baiklah, hari hujan deras seperti ini memang membosankan. Silakan masuk, Saudara Li.\" 　　Tangan Yu Jin yang sedang mendorong pintu tiba-tiba berhenti. 　　Mencari Jiang Zhan untuk minum teh? Dasar bajingan, apakah dia sedang mengincar A Si? 　　Hmph, benar-benar mencari mati! 　　Yu Jin berjalan cepat mendekati keduanya. 　　Terima kasih atas Hadiah dan pemungutan suara. Terkadang melihat nama-nama pembaca lama di sini, terutama yang sudah ada sejak beberapa tahun lalu, sungguh mengejutkan. Secara artistik bisa dikatakan, saya masih menulis, kalian masih membaca, masing-masing menikmati kedamaian waktu, saling menemani melalui buku. 115. Bab 115 Sampai Jumpa Kembali 　　Bab 115 Sampai Jumpa Kembali 　　Yu Jin berjalan mendekat dengan wajah datar, Jiang Zhan tiba-tiba merasakan tengkuknya mengeras. 　　Kenapa Kakak Yu Qi terlihat penuh aura pembunuh? Apa karena kebanyakan minum teh sampai ingin buang air? 　　Hujan deras berbunyi gemuruh, menyambung seperti benang yang mengalir dari tepi atap. 　　Begitu pikiran ini muncul di benak Jiang Zhan, dia mendengar gemericik hujan yang riang dan tanpa sadar mengencangkan kaki, tiba-tiba merasa sangat perlu ke toilet. 　　\"Kakak Yu Qi, temani dulu Saudara Li, saya ke kamar kecil sebentar.\" 　　Setelah Jiang Zhan pergi, Yu Jin menyipitkan mata mengamati Tuan Gong Li. 　　Pada detik itu, Tuan Gong Li merasa seperti binatang buruan yang diawasi pemburu. 　　\"Masuk minum teh?\" Yu Jin tanpa basa-basi mendorong pintu kamar Jiang Zhan, senyum tipis mengembang di bibirnya. 　　"Tuan Gong mengedipkan mata, merasa tadi berpikir terlalu banyak, lalu mengikuti Yu Jin masuk ke dalam." 　　Pintu menutup dengan bunyi 'kreek' yang terdengar menusuk di telinga Tuan Gong. 　　Tanpa sengaja ia menoleh, melihat pemuda tampan luar biasa itu tiba-tiba berada di belakang, dengan gesit memasang palang pintu. 　　"Apa yang kau lakukan?" Saat ini Tuan Gong mulai menyadari keanehan situasi. 　　Yu Jin bersandar malas di pintu, tangan bersilang di dada: "Peribahasa mengatakan 'berbuat baik tanpa alasan pasti ada maksud jahat', jelaskan tujuanmu datang minum teh." 　　Wajah Tuan Gong berubah, antara marah dan gelisah: "Tujuan? Saudara bercanda, pertemuan tak disengaja pun adalah takdir, apa tujuan minum teh?" 　　"Hehe." Suara tertawa pendek keluar dari tenggorokan Yu Jin, penuh ejekan: "Kalau memang tak ada tujuan, kenapa mencari Jiang Er minum teh, bukan aku?" 　　Tuan Gong membuka mulut. 　　Ini dianggap pertanyaan? 　　Yu Jin menaikkan alis: "Aku berpikir keras, tapi tak menemukan alasan kau membuat pilihan salah ini." 　　Tuan Gong tertawa getir, spontan berseru: "Tentu karena Saudara Jiang punya sesuatu yang tak kau miliki--" 　　Ekspresi dingin yang tiba-tiba dari lawannya memutus kesombongannya. 　　"Aku mengerti." Yu Jin mengangguk ringan, berjalan ke dalam. 　　"Apa yang kau mengerti?" 　　Yu Jin berhenti, meletakkan tangan di meja dan menekan. Dengan bunyi 'krak', sudut meja terlepas. 　　"Dia mengangkat kaki dan menginjak-injak, sudut meja langsung berubah menjadi serbuk kayu, tersisa di lantai seperti tumpukan abu kecil." 　　Wajah Tuan Li berubah pucat, memandang sosok pemuda yang dingin itu seolah melihat monster pemakan manusia, lalu berlari ke arah pintu. 　　"Kau, kau mau apa? Aku akan teriak panggil orang!" 　　Sebuah pisau berkilau dingin muncul di tangan Yu Jin: "Silakan coba, lihat apakah mereka datang lebih cepat atau pisauku lebih cepat." 　　"Kau berani membunuh? Xianwei masih ada di sini!" Mengingat kemampuan Xianwei dalam menyelesaikan kasus, Tuan Li berusaha tetap berani. 　　Yu Jin memandangnya dingin: "Setelah membunuhmu aku bisa kabur, tak perlu seperti Xuan Ci yang berpura-pura jadi orang suci di kuil!" 　　Tuan Li terkejut. 　　Orang ini jelas terlihat berwibawa, tapi bicaranya seperti preman? 　　"Aku, salah apa sampai membuat Tuan murka?" 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Akhirnya kau tanya hal penting. Kau mengingini milik Jiang Er yang belum kumiliki, itu sudah sangat menghina ku." 　　Tuan Li tertegun, lalu menuding Yu Jin: "Kau, kau--" 　　Orang ini ternyata menyukai adik perempuan Jiang Er? 　　Hmm, wajar saja, adik Jiang Er secantik bidadari, mana ada pria tak tergoda. 　　Tapi tak pernah dengar ada yang sebegitu posesif. 　　Yu Jin memainkan pisaunya dengan malas: "Kau lebih pendek dariku, lebih jelek, kemampuan bertarung lebih buruk, keluarga pun lebih miskin. Siapa yang beri nyali untuk minum teh dengan Jiang Er?" 　　"Saat itu Jiang Zhan kembali, sampai di depan pintu mendengar perkataan Yu Jin ini, ekspresinya aneh." 　　Ternyata mengajaknya minum teh punya syarat setinggi ini? Bagaimana dia tidak tahu? 　　Jiang Zhan mendorong pintu namun tidak bisa terbuka, menepuk-nepuk keras: "Kakak Yu Qi, kenapa pintunya dikunci?" 　　Yu Jin melecutkan pergelangan tangan, belati terlepas dari genggamannya. 　　Karena terlalu mendadak, ketika belati menyapu pipi Tuan Li lalu menancap di pintu, baru kemudian Tuan Li menjerit histeris sambil celananya sudah basah. 　　Yu Jin mendekat, menunduk sedikit di dekat telinga Tuan Li, berbisik: "Awas kau kalau masih sembarangan mengincar, kubelati bagian bawahmu!" 　　Tuan Li: "..." Hik hik, terlalu menyeramkan, dia mau pulang! 　　Yu Jin menyibak Tuan Li ke samping, mengambil belati, lalu membuka pintu. 　　"Bau apa ini?" Jiang Zhan mengendus-endus, melihat genangan kuning di lantai, memandangi Tuan Li yang pucat pasi seperti melihat hantu. 　　Tuan Li melirik pemuda berwajah datar itu, memaksakan senyum lebih buruk dari tangisan: "Kebelet pipis--" 　　Baru dua kata dia sudah tak bisa lanjut, menutupi celana lalu kabur pontang-panting. 　　"Ini--" Jiang Zhan mengamat-amati lantai lagi, berseru, "Daripada begitu, mending tadi ikut ke kamar kecil bersamaku." 　　Yu Jin menyipitkan mata memandang punggung yang berlari, tersenyum: "Ya, jangan menahan diri saat sudah tak perlu." 　　“Jiang Zhan si bodoh ini juga tidak bisa melindungi adik perempuannya dari gangguan pezinah, sungguh menyebalkan! 　　Sampai sore, hujan deras akhirnya berhenti. Matahari menyibak lapisan awan, menyiramkan sinar terang bak balas dendam, membuat genangan air di tanah cepat surut. 　　Meski jalan masih becek saat ini, Jiang Si tidak mau menunggu lebih lama lagi. 　　Mungkin karena kasus pembunuhan di kuil, setelah hujan reda bukan hanya rombongan mereka, semua penginap pun berkemas dan pergi berturut-turut. Yang paling cepat berangkat adalah saudara Li. 　　Kepala Kuil Lingwu yang tak pernah terlihat akhirnya muncul untuk melepas Pejabat Kabupaten. 　　"Amitabha, terima kasih Tuan yang teliti menemukan penjahat di kuil kami." Kepala Kuil Lingwu sudah sangat tua, bahkan alisnya putih seperti salju, berwajah ramah. 　　"Menemukan pelaku sejati dan mengungkap kebenaran adalah kewajiban pejabat. Hanya saja ini mengganggu kuil Anda—" 　　Kepala kuil merapatkan tangan: "Amitabha, Tuan terlalu sopan. Biarawan seharusnya berada di luar urusan duniawi. Saya akan lebih mengawasi murid-murid untuk tekun bermeditasi di kuil." 　　"Terima kasih atas pengertian Kepala Kuil." Pejabat Kabupaten membalas hormat. 　　Biksu kecil menyelinap ke dekat Jiang Si saat kerumunan ramai, membuka telapak tangan: "Nyonya, ini hadiah perpisahan dari hamba." 　　Di telapak tangan gemuknya terbaring sebuah Jimat Kedamaian. Ekspresinya tegang, seolah khawatir hadiah ini akan ditolak. 　　“Jiang Si menerimanya, mengeluarkan sekantong buah aprikot kering dari dompetnya dan meletakkannya di tangan biksu kecil itu sambil tersenyum: ‘Xiao Shifu, ini hadiah dari nyonya untukmu.’” 　　Biksu kecil itu meski masih muda, menyadari bahwa Jiang Si sedang menggoda dirinya. Seketika wajahnya memerah. Ia menggenggam buah aprikot itu dan lari secepatnya. Setelah berlari beberapa zhang, ia bersembunyi di belakang seorang biksu dan mengintipkan kepala gundulnya. 　　Jiang Si tersenyum dan melambaikan tangan ke arah biksu kecil itu. 　　Setelah meninggalkan Kuil Lingwu, rombongan Jiang Si sempat berjalan bersama Xianwei untuk beberapa saat. 　　“Tiga orang muda, ke mana kalian hendak pergi? Jika ada waktu, mari berkunjung ke kota kabupaten hari ini.” 　　Jiang Zhan sangat mengagumi Xianwei yang ahli menyelesaikan kasus ini. Ia hampir saja menyetujui undangan itu, namun Jiang Si yang sangat memahami sifat kakaknya segera menyentilnya diam-diam sebelum ia sempat menjawab. 　　Jiang Zhan mengernyit: “Biarlah kami menyelesaikan urusan terlebih dahulu sebelum mengunjungi Tuan. Lagipula Tuan berada di Kabupaten Fuxing, kami akan melewati sana dalam perjalanan pulang.” 　　Ekspresi Xianwei berubah sejenak, namun akhirnya ia hanya mengatupkan tangan dan tersenyum: “Tiga orang muda, sampai jumpa di lain waktu.” 　　Selamat pagi. 116. Bab 116 Gambar Potret 　　Bab 116 Gambar Potret 　　Setelah berpamitan dengan Xianwei, rombongan Jiang Si segera meninggalkan Kota Qingniu. 　　Cuaca cerah setelah hujan. Pepohonan di tepi jalan terlihat segar, warna hijaunya yang pekat bagikan cat air yang mengalir. 　　Aroma tanah basah menyergap. Suara derap kuda yang menginjak jalan berlumpur memperlambat laju kereta kuda. 　　"Hah, bukankah itu Saudara Li?" Jiang Zhan menarik tali kekang, menunjuk ke arah itu. 　　Di bawah pohon besar tidak jauh dari sana terdapat sekelompok orang, yang mengepalai adalah Saudara Li. 　　Kedua saudara ini tinggal di Desa Dayang, tidak jauh dari Desa Qingniu. Anak-anak keluarga kaya di desa jelas tidak semanja putri bangsawan atau tuan muda ibu kota, termasuk Nona Li, seluruh kelompok ini berjalan kaki. 　　Yu Jin melirik ke arah itu dengan dingin. 　　"Bocah ini sampai mengompol ketakutan, masih berani berniat jahat?" 　　Melirik ke arah kereta kuda, jantung Yu Jin berdebar kencang. 　　"Jangan-jangan dia mau mengadu ke A Si?" 　　Tuan Li sama sekali tidak berani menatap Yu Jin, hanya melambaikan tangan tergesa-gesa ke Jiang Zhan: "Saudara Jiang, adik perempuan saya ingin berpamitan dengan adik perempuanmu." 　　Wajah Yu Jin langsung berubah masam, senyum sinis mengembang di bibirnya. 　　"Bajingan kecil ini jadi lebih lihai ya, tahu mendekati lewat adik perempuan. Tapi A Si pasti tidak mau menghiraukan orang asing yang tiba-tiba berbaik-baik." 　　"Hentikan kereta--" 　　Yang mengemudikan adalah Lao Qin, mendengar perintah Jiang Si langsung menarik tali kekang menghentikan kereta. 　　Ah Man membuka tirai kereta, membantu Jiang Si turun. 　　"Kakak Kedua, tunggu sebentar. Tidak sopan jika tidak membalas kebaikan, mereka menunggu di sini untuk berpamitan, aku akan menemui Nona Li sebentar." 　　Jiang Zhan tentu tidak melarang, hanya mengingatkan Ah Man: "Pegangi baik-baik nonamu, hati-hati jalan licin." 　　“Yu Jin wajahnya muram sambil mengusap hidungnya.” 　　Saat Jiang Si mendekat, Nona Li mengangkat ujung roknya menyambut, lebih dulu berbicara: “Nona Jiang, mari kita ke sana untuk berbincang.” 　　Jiang Si mengamati Nona Li dengan seksama. 　　Wajahnya masih terlihat lesu, lingkaran hitam di bawah mata, bibir pucat, seperti orang yang baru sembuh dari sakit, namun ada sesuatu yang samar dalam pandangannya. 　　Hati Jiang Si dipenuhi keraguan. 　　Mengingat sikap Nona Li yang berusaha menghindarinya di Kuil Lingwu, apa tujuan menunggunya di sini? 　　Keduanya berjalan ke pinggir jalan dengan pikiran masing-masing, perlahan menjauh dari Jiang Zhan dan lainnya, sementara Ah Man mengikuti dari jarak sedang. 　　Nona Li berhenti di samping pohon willow, pandangan sampingnya menyapu Ah Man. 　　“Ah Man adalah orang kepercayaanku, Nona Li silakan bicara tanpa ragu.” 　　Melihat Nona Li masih ragu, Jiang Si mengingatkan: “Jika kita berdua mengobrol lalu menyuruh dayang pergi, orang lain mungkin akan curiga.” 　　Kalimat itu menghapus niat Nona Li untuk menyuruh Ah Man pergi, ia pun ragu-ragu berkata: “Aku baru teringat sesuatu tentang Nona Chi——” 　　“Apa itu?” Wajah Jiang Si tetap tenang, tapi hatinya berdebar. 　　Informasi tentang Nona Chi tentu semakin detail semakin baik. 　　Meski secara intuisi yakin Nona Chi adalah korban terakhir, bagaimana jika ada kesalahan? 　　“Zhen Daren tiba di ibu kota dan menginap di pos peristirahatan pada tanggal 19 Mei. Waktu yang tersisa baginya sudah tidak banyak.” 　　“Saya ingin bertanya sesuatu pada Nona Jiang terlebih dahulu.” 　　“Silakan, Nona Li.” 　　Bibir Nona Li bergetar, tangannya menggenggam lalu melepaskan, jelas terlihat gugup. 　　Jiang Si menunggu dengan sabar. 　　“Apakah Nona Chi mengalami sesuatu?” Akhirnya Nona Li memberanikan diri mengutarakan pertanyaan yang menggelayut di hatinya. 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. 　　Wajah Nona Li semakin pucat: “Dia——” 　　Nasib seperti apa yang menimpanya, pertanyaan itu tetap tak terucapkan. 　　Setelah menyaksikan kematian tragis kekasihnya, gadis ini menjadi sangat sensitif terhadap kata "kematian", semakin takut kemalangan itu menimpa orang yang dikenalnya meski hanya sekedar kenalan sambil lalu. 　　“Saya datang untuk membantunya.” Akhirnya Jiang Si hanya bisa berkata demikian, percaya atau tidak sepenuhnya tergantung lawan bicaranya. 　　Nona Li terdiam cukup lama. 　　“Ada yang ingin Nona Li sampaikan?” Jiang Si yang akhirnya memecah kebekuan. 　　Nona Li menatap mata Jiang Si, memilih kata-kata dengan hati-hati: “Mungkin ingatanku keliru, mengingat pergaulanku dengan Nona Chi tidak lama. Tapi kurasa dia... ada kemiripan tertentu dengan Nona Jiang...” 　　“Apa?” Jantung Jiang Si berdebar kencang, tanpa sadar mengingat-ingat wajah mayat perempuan itu. 　　Malam itu terlalu gelap, ditambah sibuk mencari petunjuk, ia tidak sempat mengamati wajah kekanak-kanakan itu lebih detail. 　　"Pemandangan mengerikan seperti itu, siapa yang tega melihatnya lama-lama?" 　　Apakah mereka mirip? Jiang Si menggantungkan tanya dalam hatinya. 　　"Bukan berarti wajahnya sangat mirip, bagaimana ya—kurang lebih alis dan matanya agak serupa. Begini saja, aku akan lukiskan wajah Nona Chi untukmu." 　　Hati Jiang Si berdebar senang: "Nona Li bisa melukis potret Nona Chi?" 　　Malam penuh bahaya itu meski ia tak melihat kesamaan antara mayat perempuan dengan dirinya, tapi garis besar wajah mayat masih diingatnya. Jika Nona Li benar-benar bisa melukis Nona Chi, ia bisa memastikan apakah itu orang yang sama. 　　Nona Li tampak sedikit bangga: "Sejak kecil keluarga menyediakan guru privat, pelajaran lain tidak dikuasai, tapi lukisan masih lumayan. Hanya saja sekarang tidak ada kertas dan kuas—" 　　"Di keretaku ada." 　　Jiang Si langsung mengundang Nona Li naik ke kereta kuda. 　　"Adik Keempat——" 　　Jiang Si menyembulkan kepala dari kereta, merajuk manis: "Kakak Kedua, aku dan Nona Li langsung akrab, biarkan kami mengobrol lagi. Jika Kakak bosan, bisa beristirahat di pinggir jalan bersama Tuan Yu." 　　"Tidak bosan, kalian ngobrol saja, semau kalian." Diremas adiknya, Jiang Zhan tersenyum memperlihatkan gigi putih, menarik lengan Yu Jin pergi. 　　Yu Jin memandangi Jiang Zhan dengan pandangan kesal. 　　Apa orang ini tidak punya prinsip sama sekali? 　　Meski Jiang Zhan tidak memahami pemikiran sebenarnya Yu Jin, dia bisa melihat ketidakpuasannya. Dia tertawa ringan, "Adik Keempat sudah bicara, buat apa tidak menuruti hatinya dalam hal kecil seperti ini? Ah, Kakak Yu Qi, kamu tidak punya adik perempuan, jadi tidak mengerti." 　　Yu Jin diam-diam mengedipkan mata ke atas. 　　Tidak punya adik perempuan? Rombongan saudari perempuannya yang segudang itu bisa membuat orang terkejut. 　　Justru karena memiliki saudari perempuan, dia sulit memahami pemikiran Jiang Zhan. 　　Sebagai kakak laki-laki, bagaimana bisa tidak punya wibawa sama sekali? Saat seperti ini seharusnya bermuka masam dan membawa adik pergi. 　　Di dalam kereta kuda, Jiang Si sudah menyiapkan tinta dan kuas. 　　Nona Li memang cukup berbakat dalam melukis, tidak butuh waktu lama untuk menggambar sketsa gadis remaja berusia belasan tahun. 　　Jiang Si tak sadar menggigit bibirnya. 　　Melihat lukisan ini, dia sudah bisa memastikan bahwa orang dalam gambar adalah mayat perempuan di taman itu! 　　Berbeda dengan mayat yang memiliki sepasang mata putus asa yang terbuka lebar, gadis dalam lukisan ini memiliki alis dan mata yang indah berkilauan, ternyata benar-benar memiliki kemiripan samar dengannya. 　　Dingin yang mengerikan merambat dari dasar hati Jiang Si, disertai amarah yang mengguncang langit. 　　Dia pasti akan membuat Putra Mahkota Marquis Changxing mendapat balasan setimpal. 　　Jiang Si menyimpan lukisan itu dan mengantar Nona Li pergi. 　　Kereta kuda melaju di jalan raya yang lebih mulus. Saat hampir tiba di persimpangan, Jiang Zhan menoleh ke Yu Jin yang berkuda di sampingnya: "Kakak Yu Qi, jarang-jarang keluar, aku ingin mengajak Adik Keempat jalan-jalan ke tempat lain. Apa Kakak bermaksud pulang ke ibu kota?" 　　Di bawah sinar matahari, pemuda itu tersenyum polos: "Di ibu kota juga tidak ada urusan. Aku ingin jalan-jalan bersama Adik kedua Jiang." 117. BAB 117 Ganti Wajah 　　BAB 117 Ganti Wajah 　　Tirai kereta tiba-tiba tersibak, memperlihatkan wajah cantik seorang gadis. 　　Yu Jin dan Jiang Zhan serentak menoleh. 　　Yu Jin gelisah dalam hati: Jangan-jangan Ah Si langsung menolak? 　　Jiang Zhan juga cemas: Kalau Adik Keempat tidak mau ditemani Kakak Yu Qi, bagaimana caranya menyingkirkan dia tanpa membuatnya malu? 　　"Aku penasaran, siapa yang menyelamatkan ibu Liu Sheng." 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Jiang Zhan mengangguk keras: "Benar! Siapa pahlawan yang melakukan ini? Kalau bukan karena ibu Liu Sheng menunjuk sebelum meninggal, mungkin xianwei juga tidak akan curiga pada Xuan Ci." 　　Yu Jin hanya tersenyum tipis di samping. 　　Jiang Si menatapnya. 　　Pandangan mereka bertabrakan, masing-masing menyimpan pikiran. Sejenak tak ada yang memperhatikan ucapan Jiang Zhan. 　　Dalam senyuman tipis pemuda itu, Jiang Si membenarkan tebakannya, lalu menutup kembali tirai kereta. 　　Tirai sutra tipis warna biru langit pasca hujan berkibar ditiup angin, sesekali memperlihatkan secuil pemandangan dalam kereta. 　　Jiang Zhan, melihat adiknya tidak protes, dengan senang hati berpura-pura bodoh dan mengalihkan pembicaraan ke kepala biara Kuil Lingwu: “Kepala biara Kuil Lingwu terlihat seperti biksu yang tercerahkan, sayang agak linglung. Kalau saja dia bisa melihat sifat asli Xuanci lebih awal, dua nyawa tidak akan hilang.” 　　“Linglung?” Sudut bibir Yu Jin menyunggingkan senyum sinis, “Biksu sejati takkan linglung. Yang linglung bukanlah biksu sejati.” 　　Jiang Zhan membantah: "Tidak bisa dikatakan begitu, siapa yang tidak pernah salah menilai. Setelah ulah Xuanci ini, Kuil Lingwu pasti akan hancur di masa depan. Tapi saya lihat kepala biara Kuil Lingwu sangat menerima hal ini, bahkan berjanji akan mengendalikan murid-muridnya——" 　　"Menurut Adik Kedua Jiang, apa yang paling penting bagi kuil di pedesaan seperti ini?" 　　Jiang Zhan tertegun, lalu menjawab spontan: "Reputasi! Dengan reputasi baik, umat dari desa-desa sekitar akan datang berziarah, sehingga kuil punya minyak lampu Buddha..." 　　Meski membahas uang terkesan norak, tapi biksu juga perlu menyantap makanan. 　　Yu Jin menggelengkan kepala: "Kuil yang tidak diketahui publik memang membutuhkan reputasi. Tapi bagi Kuil Lingwu saat ini, meski hal itu penting, kehilangannya tidak segawat yang dibayangkan orang." 　　"Mengapa?" 　　Di dalam kereta, Jiang Si menyimak dengan saksama. 　　Yu Qi sering mengeluarkan teori nyeleneh. Kali ini tak tahu apa yang akan diobralnya untuk membius Kakak Kedua. 　　“Dalam dua puluh tahun terakhir, Kuil Lingwu telah mengumpulkan kekayaan yang cukup, memiliki lahan luas. Meskipun kehilangan reputasi, tanah itu tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup para biksu. Sikap kepala kuil terhadap komandan county hanyalah taktik menghentikan kesuksesan pada puncaknya - murid yang menggunakan cara curang untuk memperkaya kuil telah dihukum, digantikan oleh murid yang lebih patut mewarisi tradisi. Adakah yang lebih sempurna dari ini?” 　　Jiang Zhan terdiam tercengang, mencibir: “Kakak Yu Qi, kau terlalu sinis memandang hati manusia!” 　　Jiang Si mengangkat sudut bibirnya. 　　Beberapa hati manusia tak pernah bisa diduga seberapa busuknya. Dalam hal ini, pemikirannya sama dengan Yu Qi. 　　Yu Jin tidak berdebat, berkata datar: “Ini memang hanya pendapat pribadi. Kalian mau ke mana selanjutnya?” 　　Jiang Zhan menoleh ke jendela kereta: “Iya, Adik Keempat, tadi kau bilang mau jalan-jalan. Kita mau ke mana sekarang?” 　　Yu Jin hampir terjatuh dari kudanya. 　　Bisa seperti itu? 　　“Kabupaten Baoquan, Kota Beihe.” Jiang Si tersenyum manis. 　　“Kabupaten Baoquan, Kota Beihe?” Jiang Zhan terkejut, “Tempat itu cukup jauh! Aku punya teman dari sana.” 　　“Seberapa jauh?” Jiang Si terkejut sekaligus girang, tak menyangka kakaknya tahu tempat itu. 　　Memang, citra kakaknya yang tak berpendidikan sudah melekat kuat. 　　“Kira-kira lebih dari seratus li jaraknya. Dengan kecepatan kita ini, butuh dua tiga hari perjalanan.” Jiang Zhan tampak bimbang, “Adik Keempat, menurutku kota-kota kecil ini hampir sama saja. Bagaimana kalau jalan-jalan di sekitar sini saja?” 　　Jiang Si secara refleks mengerutkan kening. Sebelum sempat mencari alasan, Jiang Zhan sudah menghela nafas: “Baiklah, kalau Adik Keempat ingin pergi, mari kita pergi. Lagipula kita memang sedang menganggur.” 　　“Terima kasih, Kakak Kedua.” Senyum manis merekah di wajah Jiang Si. 　　Yu Jin menyoroti Jiang Zhan dengan pandangan merendah dari sudut matanya. 　　Begitu cepat berganti sikap, beranikah bertahan lebih lama? 　　Perjalanan berlangsung tanpa hambatan. Kabupaten Baoquan, Kota Beihe sudah di depan mata. 　　Di jalan raya, sebuah kereta kuda berkelambu hijau melintas tanpa menarik perhatian. Namun dua pemuda yang menunggang kuda berdampingan di samping kereta itu terus-menerus memikat pandangan pejalan kaki. 　　Pakaian indah, kuda gagah, kefasihan masa muda. Sungguh sulit bagi dua pemuda tampan nan anggun ini untuk tetap low-profile. 　　Tiba-tiba teriakan Ah Man terdengar dari dalam kereta. 　　“Ada apa?” Yu Jin dan Jiang Zhan bertanya serempak. 　　Kereta itu kecil, namun kabinnya diatur dengan nyaman. Saat ini Ah Man menutup mulutnya rapat-rapat, memandang Jiang Si dengan mata terbelalak. 　　Jiang Si memegang cermin di satu tangan, sedang tangan lain menata alis. Setelah menyelesaikan goresan terakhir, matanya yang berbinar melirik tajam ke Ah Man, “Apa yang heboh sekali?” 　　Ah Man masih membelalakkan matanya, menunjuk ke arah Jiang Si, “Nona, Anda... Anda...” 　　“Dinding kereta diketuk, suara Jiang Zhan yang penuh perhatian terdengar: "Adik Keempat, kamu tidak apa-apa?"” 　　Suara gadis itu tenang: "Tidak apa-apa, hanya bercanda dengan Ah Man." 　　Yu Jin menggenggam tali kekang, bibir tipisnya mengeras, matanya menatap tak berkedip ke jendela kereta. 　　Sangat ingin melihat apa yang terjadi pada A Si, tapi jika benar-benar melakukannya, mungkin akan dipukul sampai cacat? 　　Di dalam kereta, Jiang Si bersandar malas di dinding kereta sambil tersenyum pada Ah Man: "Bagaimana?" 　　Ah Man akhirnya mulai pulih, tubuhnya condong ke depan hampir menempel ke wajah Jiang Si: "Nona, bagaimana caranya?" 　　Jiang Si mengangkat cermin berbentuk bunga kana, bercermin. 　　Di cermin, gadis itu tersenyum manis, almat seperti lukisan, kehilangan sedikit pesona memikat, bertambah kecantikan ala gadis biasa yang segar dan lincah. 　　Tiba-tiba wajah orang di cermin telah berganti! 　　Ah Man tak sengaja melihat ke bawah, di atas meja kecil samping Jiang Si tergeletak sebuah lukisan, orang dalam lukisan itu ternyata mirip 70-80% dengan gadis di depan mata. 　　"Nona, ini sangat ajaib, sebenarnya bagaimana caranya?" Ah Man penasaran sekali. 　　Padahal tidak melihat Nona melakukan apa-apa, hanya coret-coret, kok bisa berganti wajah? 　　"Cuma trik sederhana." Jiang Si tidak ingin banyak bercerita tentang ilmu rahasia yang dipelajari dari Tetua Wu Miao, mengetuk lukisan dengan lembut, "Menurutmu seberapa mirip kita?" 　　"Setidaknya 70-80%." 　　Jiang Si tersenyum. 　　“Tujuh atau delapan persen sudah cukup. Satu-satunya masalah sekarang adalah apakah ayah Nona Chi yang sedang berdagang di luar kota sudah pulang, dan apakah dia tahu putrinya hilang.” 　　Masalah yang membebani Jiang Si ini segera terselesaikan. 　　Rombongan yang tiba di Kabupaten Baoquan beristirahat di kedai minum yang ramai. Tiba-tiba terdengar seseorang bercerita dengan bersemangat: “Kalian dengar belum? Di Kota Yanzi ada Tuan Chi yang kehilangan putrinya.” 　　“Wah, Bang, informasi kamu cepat sekali. Urusan Kota Yanzi saja kamu tahu.” 　　“Saudara ipar istriku berasal dari Kota Yanzi. Istriku dengar ini saat pulang kampung. Katanya Tuan Chi itu sangat kaya, sudah mengumumkan hadiah besar bagi yang bisa menemukan Nona Chi.” 　　Mendengar ini, orang-orang yang sedang mengobrol langsung tertarik: “Hadiah besar? Berapa?” 　　“Sebanyak ini, seratus tael perak!” 　　“Kak Kedua, setelah makan kita pergi ke Kota Yanzi.” 　　Jiang Zhan terkejut: “Adik Keempat juga mau cari seratus tael perak itu?” 118.Bab 118 Kota Yanzi 　　Bab 118 Kota Yanzi 　　Kota Yanzi tidak jauh dari Kabupaten Baoquan. Rombongan Jiang Si hanya membutuhkan beberapa jam untuk sampai. 　　Kota kecil itu ramai dengan lalu lalang orang. 　　Yu Jin mengamati kerumunan orang sambil tersenyum: “Sepertinya banyak yang mengincar seratus tael perak itu.” 　　“Melihat kota kecil ini lebih ramai dan meriah dari yang dibayangkan, Jiang Zhan menjadi bersemangat: "Aku akan menanyakan apa produk unggulan di sini."” 　　“Mengumpulkan makanan khas dan mainan unik lokal untuk adik perempuannya di setiap tempat yang dikunjungi merupakan salah satu kesenangan terbesar Jiang Zhan.” 　　“Saat Jiang Zhan pergi, Yu Jin mendekat selangkah ke arah Jiang Si.” 　　“Ah Man yang tajam matanya segera menyadari, berdiri dengan tangan di pinggang dan melotot, berharap si pezinah yang mengincar nonanya itu mundur.” 　　“Yu Jin sepenuhnya mengabaikan kehadiran Ah Man, bertanya dengan suara rendah: "Putri Pak Wakil Menteri Chi yang hilang di kota ini, apakah itu korban lainnya?"” 　　“Jiang Si tahu tak bisa menyembunyikannya, mengangguk.” 　　“"Masih berencana berpura-pura jadi hantu?"” 　　“Jiang Si mengangguk lagi.” 　　“Untuk membuat Pak Wakil Menteri Chi melapor ke pihak berwajib, mustahil baginya mengungkap kasus ini dengan identitas biasa.” 　　“Orang asli datang tiba-tiba mengatakan putrimu dibunuh pejabat ibu kota, cepat lapor polisi untuk minta keadilan.” 　　“Apa? Bukti? Tidak ada bukti. Bagaimana aku tahu? Hmm, ini juga tidak bisa dijelaskan.” 　　“Kecuali otaknya kemasukan air, baru mau menurut.” 　　“Memang putri Pak Wakil Menteri Chi benar hilang, mungkin akan setengah percaya, tapi menghadapi bangsawan ibu kota hanya dengan kata-kata orang asing, sebagai rakyat biasa sulit punya nyali.” 　　“Cara paling aman tetap menggunakan Huan Ying yang muncul dalam mimpi putri keluarga Chi.” 　　"Dari perkataan Nona Li dapat diketahui, Nona Chi memiliki sifat periang dan spontan. Gadis seperti ini pasti tumbuh dengan dimanja. Dia seharusnya memiliki ayah yang sangat menyayanginya." 　　"Tengah malam?" 　　Jiang Si melirik Yu Jin. 　　Kalau tidak? Pergi di siang hari kan sama saja cari masalah. 　　"Bawa aku." Pria itu bersikap sok benar. 　　Wajah Jiang Si berubah muram. 　　Yu Jin tersenyum: "Bawa aku, aku janji tidak akan bicara omong kosong. Jika kau ingin membunuh, aku yang akan menyerahkan pisau. Jika kau ingin pura-pura hantu, aku bisa mengipasi angin dingin dengan kipas. Pasti lebih berguna daripada dayangmu." 　　Wajah dayang kecil itu berkerut seketika, merasakan ancaman yang mendalam. 　　Menjadi dayang utama yang disayangi tuanku saja sudah sulit, masih ada yang mau merebut kasih sayang! 　　"Bagaimana jika tidak membawa?" 　　Yu Jin melambaikan tangan ke Jiang Zhan yang sedang membeli kue dingin tak jauh dari sana, tersenyum: "Aku akan beri tahu Kakak Keduamu." 　　Jiang Si: "..." Dia ingin membunuh brengsek tak tahu malu ini! 　　"Gimana? Bawa aku atau kuberi tahu Kakak Keduamu?" 　　"Tuan Yu—" Jiang Si menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang. 　　"Ya, katakan." 　　"Kau seperti ini, malah akan membuatku semakin membencimu." 　　Yu Jin tetap tenang: "Lebih baik kau membenciku daripada membiarkanmu berpetualang sendirian." 　　"Yang disebut petualangan itu kalau tidak ada kepastian—" 　　“Yu Jin langsung memotong ucapan Jiang Si: "Tidak ada yang mutlak. Lagipula, meskipun kau merasa sama sekali tidak berbahaya, kalau menurutku ada bahaya maka tidak boleh." 　　Jiang Si membuka mulut lalu menutupnya lagi, terlalu marah untuk bicara, akhirnya memalingkan kepala dan tidak mau menghiraukan lagi. 　　"Adik kedua Jiang sudah kembali." Yu Jin mengingatkan dengan senyuman. 　　"Kalau mau ikut ya ikut saja." 　　Yu Jin tidak bisa menahan tawa. 　　"Membicarakan apa sampai segembira ini?" 　　"Baru saja menceritakan lelucon untuk Nona Jiang." 　　Wajah Jiang Zhan yang sedang membawa kue dingin langsung berkerut. 　　Dia berani menghibur adik keempat saat aku membelikan kue dingin untuknya, benar-benar tak bisa diantisipasi! 　　"Aku punya lelucon yang lebih menarik, Adik kedua Jiang juga boleh dengar..." Yu Jin yang sedang memeras otak mencari lelucon menghela napas pelan. 　　Harus membahagiakan A Si sekaligus menyenangkan kakak ipar calonnya, sungguh tidak mudah. 　　Kota Yanzi adalah kota berukuran sedang yang terletak di lokasi strategis, sering menjadi persinggahan pelancong utara-selatan. Berbagai toko seperti rumah makan, kedai teh, penginapan lengkap tersedia. Di pinggir kota terdapat kolam lotus luas yang saat ini sedang bermekaran hijau. 　　Jiang Zhan yang mendengar tempat bagus ini langsung mengajak Jiang Si dan Yu Jin pergi bersama. 　　Jiang Si dengan terpaksa menyetujui Yu Jin ikut serta. Setelah berdiskusi, diputuskan Yu Jin akan mendatangi keluarga Pejabat Chi terlebih dahulu. Maka Yu Jin mencari alasan seadanya untuk menolak ajakan Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan senang melihat Yu Jin menjauh dari adik perempuannya, dengan antusias membawa Jiang Si naik perahu menikmati bunga teratai. Mereka pergi dengan gembira dan pulang dengan riang, tiba di penginapan saat senja. 　　Di atas meja persegi dekat jendela tersaji berbagai hidangan. Yu Jin memanggil mereka sambil tersenyum: "Kuduga kalian akan segera kembali. Makanan baru saja dihidangkan, masih hangat." 　　Jiang Zhan langsung berseri matanya melihat semur daging di meja: "Kakak Yu Qi memang selalu paham keinginanku." 　　Yu Jin menyerahkan sumpit sambil tersenyum: "Hari ini pasti lelah, habiskan makanannya lalu istirahatlah. Tempat menarik lainnya bisa kita bahas besok." 　　Setelah berkata demikian, ia menjepit potongan ayam putih ke piring Jiang Si: "Cobalah hidangan ini, Nona Jiang." 　　Jiang Si mengangkat pandangannya, melihat lelaki itu mengedipkan mata. 　　Jiang Si mengunyah ayam putih perlahan-lahan, hatinya bertanya-tanya: Apakah ada maksud tersembunyi dari menyuruhku makan ayam ini? 　　Usai makan, mereka kembali ke kamar masing-masing. Ah Man hendak menyiapkan perlengkapan mandi tapi dihentikan Jiang Si: "Tidak perlu buru-buru." 　　Ia berpikir panjang, yakin bahwa Yu Qi sengaja memberinya ayam putih sebagai isyarat waktu kedatangannya. 　　You Ji (Ayam You) - artinya ia akan segera tiba. 　　Baru saja berpikir demikian, ketukan lembut terdengar di pintu. 　　Ah Man menatap Jiang Si. 　　"Buka pintu dan persilakan dia masuk." 　　"Baik." Ah Man bergegas membuka pintu. 　　Yu Jin dengan gesit masuk ke dalam. 　　"Kau——" 　　Ah Man hendak berkata-kata, suara Jiang Si terdengar: "Ah Man, tutup pintunya baik-baik." 　　Ah Man terpaksa menutup pintu dengan baik, tak berkedip memantau setiap gerak-gerik Yu Jin. 　　Yu Jin melangkah besar duduk di samping Jiang Si, mulai menceritakan hasil penyelidikannya: "Sudah tahu alamat rumah Tuan Chi. Ada juga hal menarik yang mungkin membantu rencana kita." 　　"Apa itu?" Jiang Si sudah tak berdaya menanggapi sikap lancangnya. 　　"Tuan Chi setiap tahun pada masa ini pergi berdagang, baru pulang akhir musim panas. Kali ini pulang lebih awal bukan karena kabar kehilangan putrinya, tapi karena mimpi buruk berulang tentang putrinya menangis minta tolong. Gelisah, akhirnya ia memutuskan pulang lebih cepat – ternyata putrinya benar-benar hilang. Kisah aneh ini sudah tersebar melalui mulut pelayan Keluarga Chi." 　　Jiang Si mendengarkan dalam diam, teringat ayahnya. 　　Sebelum keberangkatan, ayahnya mencubit telinga Kakak Kedua sambil berpesan panjang lebar. Buah persik dan aprikot kering untuk menyuap biksu kecil di Kuil Lingwu semuanya disiapkan ayahnya. 　　"Mungkin ini ikatan batin antara ayah dan anak." Dadanya terasa sesak. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Kalau Tuan Chi bisa pulang karena mimpi buruk, urusanmu pasti lebih mudah. Kapan kita bertindak?" 　　"Tengah malam." 　　“Baik, nanti aku akan mencarimu.” 　　Melihat Yu Jin hendak pergi, Jiang Si bertanya untuk mengonfirmasi dugaan hatinya: "Saat makan kamu menyuapkan sepotong ayam untukku, apakah itu artinya kita bertemu pada Waktu You (pukul 17-19)?" 　　Yu Jin tertegun sebentar lalu tertawa: "Aku hanya merasa ayam rebus itu enak." 　　Jiang Si: "......" 　　Terima kasih untuk hadiah dan votingnya, sampai jumpa besok. 119.BAB 119: Keluarga Chi 　　BAB 119: Keluarga Chi 　　Yu Jin tersenyum sambil mendorong pintu keluar. Jiang Si duduk di tempat tidur sambil mengusap wajahnya. 　　Memalukan! 　　Semua salah si bajingan itu! Memberi lauk saja kok sambil mengedip-ngedipkan mata? Bikin aku salah paham. 　　Malam tiba. Setelah bersiap-siap, Jiang Si menengadah bertanya pada Ah Man: "Bagaimana?" 　　"Lebih mirip daripada saat Ibu di dalam kereta kuda itu!" Ah Man membawa tudung wajah sambil bersemangat bertanya, "Nona, kapan kita berangkat?" 　　Jiang Si melirik jam air lalu menggenggam tudung: "Kamu tinggal saja. Berdua sudah cukup." 　　Ah Man merasa dadanya sesak. 　　Benar-benar ditinggalkan! 　　Pintu diketuk pelan. Ah Man tetap diam tak bergerak. 　　"Buka pintunya." 　　Dayang kecil itu berjalan kesal sambil membuka pintu, melirik tajam ke arah orang di luar, lalu berbalik pergi. 　　Jiang Si mengenakan tudung wajah dengan rapi lalu keluar. 　　Yu Jin menunjuk tudung: "Mengganggu dan mencolok. Lebih baik tidak usah pakai." 　　Jiang Si menggeleng: "Kalau tidak pakai, mungkin ada orang yang mau menukarku dengan tael perak." 　　Yu Jin jarang menunjukkan ekspresi bingung. 　　Jiang Si mengangkat tangan dan membuka cadarnya, memperlihatkan wajah yang familiar namun asing. 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Kenapa dibuat jelek begini?" 　　Sudut bibir Jiang Si berkedut: "Dengan begini aku mirip 70-80% dengan Nona Chi." 　　Yu Jin mengusap hidungnya, lalu menurunkan cadar Jiang Si: "Ayo pergi." 　　Di malam yang gelap, Yu Jin yang hapal jalan membawa Jiang Si langsung menuju Kediaman Keluarga Chi. 　　Di kota kecil ini kediaman Chi terlihat megah dengan genting hijau dan tembok abu-abu, lentera merah besar bertuliskan karakter "Chi" bergoyang tertiup angin. 　　Rumah mewah seperti ini tidak semudah rumah Ratu Tahu untuk dimasuki. 　　Jiang Si melirik Yu Jin. 　　"Jangan buru-buru, ikuti aku." 　　Yu Jin membawa Jiang Si memutari tembok belakang, memasuki gang sepi yang terasa angker tanpa cahaya bulan. 　　Yu Jin mundur beberapa langkah, berlari cepat, lalu melompat ke atas tembok sebelum membungkuk mengulurkan tangan. 　　Jiang Si ragu sejenak, lalu mengulurkan tangannya. 　　Tangan besar yang hangat dan kering menggenggamnya, dengan tarikan mantap membuatnya tiba-tiba sudah berdiri di atas tembok. 　　Sebelum sempat mantap, Yu Jin sudah merangkul pinggangnya. Suaranya yang dekat terasa menggema di hati: "Jangan bersuara, kubawa kau turun." 　　“Dari atas tembok tinggi melompat turun, saat itu Jiang Si sama sekali tidak merasakan panik, hanya aroma familiar sang lawan yang menguar di hidungnya.” 　　“Itulah aroma yang sudah dikenalnya sejak kehidupan sebelumnya dan dicintainya.” 　　“Tiba-tiba hati Jiang Si menjadi kalut, pikirannya kosong membingungkan.” 　　“Bisakah dia benar-benar melepaskan diri dari plester kulit anjing ini di kehidupan sekarang?” 　　“Sedang memikirkan apa?” Yu Jin bertanya pelan. 　　“Jiang Si tersadar: "Tidak ada. Sudah dapat kabar di mana Suami beliau beristirahat?"” 　　“"Beristirahat di ruang belajar depan." Yu Jin menarik tangan Jiang Si menuju ruang belajar, tiba-tiba gonggongan anjing menggema disusul teriakan makian.” 　　“"Sialan! Sejak Tuan bilang akan memberi imbalan besar bagi yang menemukan Nona, yang datang cuma penipu atau maling, belum bisa tidur nyenyak sama sekali!"” 　　“"Sudahlah, berhenti mengeluh. Usir dulu si maling dengan pentungan!"” 　　“Jiang Si menatap Yu Jin.” 　　“Tertangkap basah?” 　　“Yu Jin menggeleng, memberi isyarat untuk tetap tenang.” 　　“Keduanya bersembunyi di balik pepohonan, tak lama kemudian melihat beberapa pelayan mengejar beberapa anjing galak ke satu arah.” 　　“Persis di saat itu, anjing terakhir yang berlari tiba-tiba belok menuju tempat persembunyian Jiang Si dan Yu Jin.” 　　“Sebelum Jiang Si sempat bereaksi, Yu Jin menjentikkan jarinya. Kerikil kecil yang tak diketahui kapan diambilnya melesat tepat mengenai titik di antara kedua mata anjing.” 　　“Anjing itu terhuyung, lalu terjatuh dengan suara 'plok'.” 　　Para pengawal sibuk mengejar pencuri, tidak menyadari keberadaan mereka di sini. 　　"Ayo pergi." Yu Jin menggenggam pergelangan tangan Jiang Si erat-erat, menariknya untuk berjalan memutar ke jendela ruang studi. 　　Jendela terbuka lebar, ruangan gelap gulita tanpa lampu malam, sulit melihat kondisi di dalam. 　　Yu Jin melompat masuk tanpa suara terlebih dahulu, kemudian membantu Jiang Si masuk. Setelah mata menyesuaikan kegelapan, terlihat tempat tidur pendek di dekat dinding kanan dengan seseorang terbaring di atasnya. 　　Orang itu berbaring miring tanpa bergerak, seolah tertidur pulas. 　　Yu Jin menyandarkan telinga ke arah suara, raut wajahnya berubah, lalu menarik Jiang Si bersembunyi di balik deretan rak buku. 　　Rak buku itu sangat tinggi, berisi buku-buku yang tertata rapi di ceruk-ceruknya, terlihat lebih megah daripada ruang studi banyak cendekiawan. 　　Konon ini juga menjadi kebiasaan banyak keluarga pedagang - meski tidak terpelajar, harus memiliki ruang studi besar penuh dengan kaligrafi dan kitab-kitab kuno. 　　Jiang Si yang bingung dengan tindakan tiba-tiba Yu Jin, melepas tudung wajahnya dan bertanya tanpa suara: "Ada apa?" 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, menulis dua karakter di telapak tangannya: Belum tidur. 　　Jiang Si mengintip melalui celah-celah buku. 　　Tak lama kemudian orang di tempat tidur itu membalikkan badan dan tiba-tiba duduk tegak. 　　Mata yang telah beradaptasi dengan cahaya redup memungkinkan Jiang Si melihat samar-samar wajah orang itu. 　　Lelaki paruh baya sekitar 40 tahun dengan tubuh gemuk, wajahnya yang biasanya ramah kini tampak lesu dan berlinang air mata, jelas sedang menderita. 　　Pria paruh baya menyeret sepatunya menuju meja tulis, tanpa menyalakan lampu, hanya duduk termenung. Setelah lama, dia menghela napas panjang: "Jiao Jiao, di mana kau? Ayah sangat khawatir..." 　　Mungkin karena larut malam dan sepi, pria yang tersiksa oleh hilangnya putri tercinta ini akhirnya tak bisa menahan diri lagi. Air mata mulai menetes di pipinya. 　　Suara isak tangis tertahan menggema di dalam ruang studi yang gelap dan sunyi. 　　Jiang Si dan Yu Jin saling bertatapan. 　　Yu Jin menulis dengan cepat di telapak tangannya: "Mulai aksi?" 　　Jiang Si tidak menjawab. Tangannya yang tergantung di samping tubuh perlahan membuka, cahaya fluoresen samar-samar melayang di atas lantai menuju arah Tuan Chi. 　　Baru kemudian dia mengangguk perlahan. 　　"Tunggu." Yu Jin menulis dua karakter cepat-cepat di telapak tangannya sebelum merayap menuju ambang jendela. 　　Di ambang jendela terdapat tempat lilin. Lilin yang telah terbakar hingga separuh itu dikelilingi tetesan lilin yang mengeras. 　　Tuan Chi duduk membelakangi jendela, terhipnotis Huan Ying namun belum menunjukkan gejala aneh. 　　Tiba-tiba, ruangan menjadi terang benderang. 　　Tuan Chi yang masih larut dalam kesedihan bereaksi lambat. Beberapa detik kemudian dia baru tersadar dan berbalik tajam. 　　Di belakangnya kosong melompong, hanya nyala lilin di tempat lilin yang berkedip-kedip. 　　Cahaya lilin yang redup itu menerangi ekspresi terkejut Tuan Chi dengan jelas. 　　“Kriiik—” Pintu terbuka perlahan, suaranya terdengar sangat jelas di tengah keheningan malam. Bagi Suami beliau, suara itu terasa menusuk telinga. 　　“Siapa di luar?” Suami beliau melangkah cepat ke pintu, matanya menyapu pandang ke luar. 　　Area luar tampak sepi, daun-daun pisang bergoyang lembut diterpa angin malam. 　　Di kejauhan, cahaya lentera bergerak-gerak. Suami beliau tahu itu para pelayan rumah yang sedang berburu pencuri. 　　Area ini aman, dijaga oleh pengawal malam dan beberapa anjing penjaga. Pencuri kacangan yang nekat demi seratus tael perak takkan mungkin bisa masuk ke sini. 　　“Bagaimana?” Yu Jin yang baru saja keluar lewat pintu setelah menyalakan lentera, lalu masuk kembali lewat jendela dengan gesit, memamerkan hasil kerjanya pada Jiang Si. 　　Jiang Si menggigit bibirnya. Ia tak mau berbohong, tapi juga takut pria di depannya yang terlihat seperti sedang mengibaskan ekor ini menjadi overconfident. Dengan cepat ia menulis dua karakter di telapak tangan Yu Jin: “Lumayan.” 　　Suami beliau yang tak menemukan sesuatu pun berbalik untuk kembali ke dalam, tiba-tiba membeku. 　　Di sebelah meja tulis tempatnya duduk tadi, ternyata ada seorang gadis sedang duduk membelakangi. Siluet rampingnya terpantul cahaya lilin. 　　Selamat pagi. 120. BAB 120: Kembali ke Ibu Kota 　　BAB 120: Kembali ke Ibu Kota 　　Seluruh tubuh Suami beliau bergetar. Matanya terpaku pada sosok yang muncul tiba-tiba itu. 　　Pintu berderit tertiup angin, tapi kali ini suaranya tak lagi terasa menusuk. Seluruh perhatiannya tertuju pada gadis di samping meja tulis itu. 　　“Jiaojiao, apakah itu kamu?” Suami beliau bergegas masuk ke dalam, namun setelah beberapa langkah tiba-tiba kepalanya pusing, tak mampu maju lagi. 　　Gadis yang duduk sembarangan di samping meja tulis itu berdiri dan berbalik perlahan. 　　“Jiaojiao, ke mana saja kau minggat? Ayah sangat khawatir!” Setelah kegembiraan awal, wajah Suami beliau berubah pucat pasi. 　　Gadis itu berkedip perlahan, air mata mengalir deras di pipinya. 　　“Jiaojiao, ada apa denganmu?” Suami beliau panik. 　　Di matanya, putrinya yang biasanya bandel seperti anak laki-laki ini jarang menangis. 　　“Ayah, putrimu sudah mati...” 　　Suami beliau tertegun sejenak lalu marah: “Omong kosong! Dasar anak kurang ajar, kira dengan berbohong begini bisa terhindar dari hukuman?” 　　Tangannya meraba-raba mencari sesuatu, mengambil kemoceng bulu ayam dari meja tinggi dan berjalan ke arah gadis itu, namun baru dua langkah kakinya membeku. 　　Air mata darah mengalir dari sudut mata gadis itu, membasahi pipinya yang anggun. 　　Klak! Kemoceng bulu ayam terjatuh dari tangan Suami beliau. 　　“Ayah, dengarkan...” Gadis itu menggantungkan air mata darah di sudut matanya, mulai bercerita perlahan. 　　Tak terasa berapa lama, angin kencang tiba-tiba menerpa, menggoyangkan jubah tipis Suami beliau. 　　Anginnya hangat, namun keringat dingin di punggung Suami beliau membuatnya menggigil kedinginan. 　　Saat sadar, gadis itu sudah menghilang tanpa jejak. 　　“Jiaojiao——” Pejabat Chi bergegas mendekati meja tulis, tapi tak ditemukannya apapun di sana, hanya aroma samar yang tertinggal. 　　Itu aroma parfum yang biasa digunakan putrinya. 　　Pejabat Chi tiba-tiba berbalik ke pintu seolah teringat sesuatu, namun mendapati pintu terkunci rapat. 　　“Jiaojiao, Jiaojiao!” Teriak Pejabat Chi dengan suara serak penuh kepedihan. 　　Pelayan yang beristirahat di dekatnya segera datang: “Tuan, ada apa?” 　　“Kau lihat Nona?” Pejabat Chi menggenggam lengan baju pelayan itu sambil bertanya keras. 　　Pelayan tampak bingung: “Tuan, maksud Tuan? Bukankah Nona sedang tidak di rumah?” 　　Pejabat Chi melepaskan genggamannya, limbung mundur, akhirnya terjatuh duduk di lantai sambil bergumam: “Tidak mungkin, tidak mungkin, Jiaojiao pasti baik-baik saja.” 　　Ia tak sanggup menerima kenyataan putrinya telah tiada, namun mimpi buruk berturut-turut sebelum berangkat membuatnya dihantui firasat buruk. 　　Seolah teringat sesuatu, Pejabat Chi kembali menyisir meja tulis dengan cermat. 　　Kali ini ia menemukan sehelai rambut hitam legam di samping batu tinta. 　　Menggenggam rambut itu, tubuh Pejabat Chi mulai menggigil tak terkendali. 　　Dua sosok itu berjalan di jalanan gelap usai misi mereka. Yu Jin tersenyum genit: “Bagaimana? Aku lebih berguna daripada dayangmu, bukan?” 　　Jiang Si mengernyitkan alisnya. 　　Membandingkan diri dengan pelayan, sungguh ia tak tahu malu. 　　“Mengakui secara diam-diam?” Melihat Jiang Si diam, Yu Jin sengaja menggoda. 　　Urusan sudah selesai, mereka segera kembali ke ibu kota. Kesempatan berdekatan seperti ini tak akan mudah didapat lagi, tentu dia harus memanfaatkannya. 　　"Jangan sok tahu. Ah Man bisa merapikan tempat tidur, menyajikan teh, menyisir rambut, merias alis... Dayang kecil ini banyak kemampuannya." Di bawah sinar bintang redup, Jiang Si melihat mata lelaki itu berkerling indah, berkilau seperti kepingan bintang. 　　Pemuda itu tersenyum manis: "Aku juga bisa. Bahkan lebih banyak lagi, hal-hal yang dayangmu takkan pernah kuasai." 　　Mendengar ini, pipi Jiang Si memanas tanpa alasan: "Tidak tahu malu!" 　　Pernah dia mengucapkan kata-kata serupa, tapi itu terjadi di balik kelambu ranjang... 　　Yu Jin berpura-pura polos: "Mengapa disebut tak tahu malu? Aku ini ahli sastra dan bela diri, jelas lebih unggul dari dayang kecil itu." 　　Tiba-tiba menyadari leher gadis itu memerah bagai awan senja, Yu Jin mengedipkan mata: "Hei, ke mana arah pikiranmu?" 　　Jiang Si sangat malu, melotot ke arah Yu Jin lalu bergegas pergi. 　　Yu Jin segera menyusul, tangannya hendak menggenggam tangan gadis itu. Tapi suasana sedang mesra, khawatir merusak momentum, dia menahan diri sambil tersenyum diam-diam dalam gelap. 　　Rupanya Ah Si tak lagi sedingin dulu padanya. 　　Tapi sebenarnya, ke mana arah pikiran Ah Si tadi? 　　Keesokan harinya, rombongan bermalam setengah hari lagi di Kota Yanzi. 　　"Jiang Si mendengar bahwa Tuan Chi pergi pagi-pagi dengan beberapa pelayan, hatinya sedikit lega dan mengajukan permintaan pulang pada Jiang Zhan." 　　"Jiang Zhan yang terbebas dari papan bambu dan cambuk Jiang Ancheng bagai burung lepas sangkar, meski sedang asyik bermain, langsung menyetujui keinginan Jiang Si untuk pulang." 　　"Perjalanan ini sebenarnya berkat Adik Keempat, tentu harus menuruti keinginannya." 　　"Perjalanan pulang lebih cepat daripada saat berangkat, dalam beberapa hari mereka sudah tiba di ibu kota." 　　"Berdiri di jalanan ramai, Jiang Zhan berkomentar: 'Meski senang jalan-jalan, ternyata pulang ke rumah juga menyenangkan.'" 　　"Jiang Si bersandar di jendela kereta, tersenyum: 'Pasti Kakak Kedua rindu pada Ayah.'" 　　"Wajah Jiang Zhan mengkerut: 'Omong kosong.'" 　　"Pertemuan dengan ayah biasanya hanya dua pilihan: pukulan papan bambu atau cambuk air garam, mana mungkin dirindukan." 　　"'Adik kedua Jiang, aku duluan. Nanti minum di tempatku.' Yu Jin mengatupkan tinju lalu tersenyum pada Jiang Si sebelum pergi menunggang kuda." 　　"Jiang Zhan menyeringai diam-diam." 　　"Apa maksudnya? Senyum manis ke Adik Keempat, jelas-jelas ingin merayu dengan ketampanannya!" 　　"Untung Adik Keempat bukan orang yang sembrono!" 　　"Jiang Zhan melirik khawatir, tapi melihat sang adik yang 'tidak sembrono' itu matanya mengikuti jejak pemuda tampan yang menjauh." 　　“Adik Keempat, lihat apa?” Jiang Zhan batuk keras. 　　Jiang Si dengan tenang menarik kembali pandangannya: “Selalu merasa Tuan Yu misterius, Kakak Kedua jangan sampai tertipu olehnya.” 　　Mendengar ucapan Jiang Si, Jiang Zhan langsung lega, tapi tak tahan membela Yu Jin: “Adik Keempat tenang saja, Kakak Yu Qi pasti orang baik.” 　　Jiang Si tersenyum, menutup tirai kereta. 　　Lebih baik hemat uang saja, siapa tahu nanti Yu Qi menjual Kakak Kedua, harus tebus lagi. 　　Kembali ke Dongping Bo Residence, kakak-beradik Jiang Si langsung ke Cixintang untuk memberi salam. Ah Man, sesuai perintah Jiang Si, diam-diam menyuruh Lao Qin mencari A Fei. 　　Dalam perjalanan kali ini A Fei tidak pernah muncul terang-terangan di depan Jiang Zhan dkk. Setelah mendapat kabar Nona Chi di Kuil Lingwu, Jiang Si langsung menyuruhnya pulang lebih dulu ke ibukota. 　　Tanggal 19 Mei semakin dekat. Jiang Si perlu A Fei dan Lao Qin masing-masing mengawasi gerak-gerik Ratu Tahu dan stasiun pos. Semua ini harus dipersiapkan matang. 　　Di jalan menuju Cixintang, mereka berpapasan dengan Nona Kelima Jiang Li dan Nona Keenam Jiang Pei. 　　“Kakak Kedua, Kakak keempat.” Jiang Li memberi hormat dengan menekuk lutut. 　　Jiang Pei ikut menyapa, tersenyum: “Kakak keempat sudah pulang? Kukira setelah menemani Sanjie pulang, Kakak akan main ke tempat kami lagi. Ternyata malah pergi sendiri.” 　　“Kenapa Adik Keempat pergi sendirian? Bukannya Kakak Kedua juga manusia?” Jiang Zhan tidak menyukai adiknya yang bicaranya sarkastik ini, bersungut kesal. 　　Meski dalam hati memandang rendah Jiang Zhan, Jiang Pei tidak berani membantah. Matanya berkilat licik: "Saat pulang, Kakak Kedua dan Nyonya Marquis memberi banyak hadiah. Sayangnya Kakak keempat melewatkannya. Kakak, bagaimana kalau nanti datang ke kamarku, ambil saja yang kau suka." 　　Jiang Si tersenyum manis: "Tidak perlu, Adik Keenam senang saja sudah cukup." 　　Para pembaca tercinta, novel "Seperti Kembang" mengikuti program Bintang Komunitas Tencent Reading. Liu Ye telah memposting ulasan buku di platform, mohon dukungannya dengan banyak berkomentar dan memberi like di postingan pinned. Penulis senior juga membuka sesi tanya jawab, Liu Ye akan membalas secepatnya. Terima kasih atas dukungannya, sampai jumpa besok! 121.BAB 121 Ejekan dari Er Niu 　　BAB 121 Ejekan dari Er Niu 　　Jika berjalan lancar, kejahatan Putra Mahkota Marquis Changxing akan segera menjadi gunjingan ibu kota. Jiang Li dan Jiang Pei yang lama menginap di Keluarga Marquis Changxing pasti akan terkena imbasnya. 　　Lagipula dengan adanya kakak ipar laki-laki seperti itu, orang-orang pasti mudah berprasangka. 　　Sayangnya Jiang Pei tak paham makna tersirat perkataan Jiang Si, masih saja pamer: "Kakak Kedua memberiku hiasan rambut giok dan emas, lihatlah indah bukan?" 　　"Indah, aku sampai iri menangis. Sudah puas, Adik Keenam?" jawab Jiang Si dengan putus asa. 　　Jiang Pei akhirnya menyadari ejekan Jiang Si, wajahnya langsung masam: "Kakak Keempat, kenapa kau bicara seperti itu? Meskipun kau iri karena Kakak Kedua memberi kami banyak barang bagus, jangan bicara dengan nada sarkastik. Ini bukan Kediaman Marquis Changxing, aku tidak takut padamu——" 　　Jiang Zhan tidak tahan lagi, mengangkat tangan dan mengetuk dahi Jiang Pei. 　　Jiang Pei kesakitan, memegang keningnya sambil melihat Jiang Zhan: "Kakak Kedua, kenapa kau melakukan ini?" 　　Jiang Zhan melirik: "Adik Keenam, kau gila ya? Pakai satu tusuk konde langsung jadi burung phoenix berbulu? Sungguh tidak masuk akal. Adik Keempat, ayo kita pergi." 　　Jiang Si menahan tawa sambil ditarik Jiang Zhan maju, Jiang Zhan bergumam: "Kau masih tertawa? Ngapain bicara dengan orang yang otaknya bermasalah?" 　　"Ya, aku salah." Senyum Jiang Si semakin lebar. 　　Kakak Kedua selalu begitu kasar tapi membuat orang tidak bisa berbuat apa-apa. 　　Jiang Pei memegang keningnya sambil menghentakkan kaki: "Kakak Kedua keterlaluan! Aku akan laporkan ke Paman!" 　　Anak perempuan selir yang selalu berusaha mengambil hati selir utama tahu bahwa selir utama tidak akan membelanya, untuk menghadapi Jiang Zhan harus lewat Jiang Ancheng. 　　Jiang Li segera menarik Jiang Pei: "Adik Keenam, lebih baik hindari masalah, lupakan saja." 　　"Kenapa harus dilupakan? Aku tidak berkata apa-apa, tapi Kakak Kedua begitu membela Kakak Keempat, ini benar-benar keterlaluan." 　　Melihat Jiang Pei terus mendesak, Jiang Li yang tak ingin mencari masalah menasihati: "Adik Keenam lupa? Kakak Kedua bilang beberapa hari lagi akan mengajak kita main ke Kediaman Marquis, saat itu Kakak Keempat juga akan ikut." 　　Jiang Pei langsung kehilangan semangat. 　　Kakak Kedua entah kena guna-guna apa, sebagai saudari seperguruan malah selalu memanjakan Jiang Si. 　　Kakak Kedua berkata saat kunjungan berikutnya dia akan mengadakan pertemuan bunga, akan mengundang para putri bangsawan untuk bermain. Ini kesempatan langka untuk menjalin hubungan dengan mereka, dia tak bisa gagal hanya karena perkataan Jiang Si. 　　Memikirkan ini, Jiang Pei terpaksa menelan amarah, bergumam dalam hati: Suatu hari nanti aku akan membuat Jiang Si malu! 　　Saudara kandung Jiang Si memasuki Cixintang, Nyonya Feng sedang mendengarkan opera dengan mata terpejam. 　　Nyonya Xiao Istri Kedua yang datang melapor urusan rumah tangga pun harus menunggu di samping, keduanya hanya bisa berdiri diam. 　　Dua gadis kecil penyanyi opera tubuhnya lentur, suaranya merdu seperti kicau burung, setiap putaran badan dan kibasan lengan sangat memesona. 　　Tapi Jiang Zhan tampak tak sabar. 　　Nyanyian cengeng itu membuatnya pusing, kapan ini berakhir? 　　Beberapa saat kemudian, setelah dua gadis kecil itu menyanyikan kata terakhir, Nyonya Feng baru membuka mata dan menyuruh mereka mundur. 　　"Memberi salam pada Nenek." 　　"Pulang saja sudah baik. Cuaca akan semakin panas, Si'er, terutama kau sebagai nona, jangan sering keluar rumah." 　　"Cucu mengerti." Saat ini Jiang Si tentu tidak akan membantah Nyonya Feng. 　　"Bibi Xiao kesal karena Jiang Si hanya mampir sebentar di Kediaman Marquis Changxing lalu pulang, membuat putrinya kehilangan muka. Ia menyela: "Nona Keempat sangat dirindukan Ibu Suri selama kepergianmu. 'Kekhawatiran ibu saat anak merantau ribuan li' - peribahasa ini juga berlaku untuk nenekmu. Nona Keempat sebaiknya jangan berkeliaran lagi. Jika ingin bersenang-senang, kunjungi saja Kakak Kedua-mu. Kakak Kedua berpesan akan mengadakan pesta bunga di Kediaman Marquis setelah kamu pulang, agar kalian bersaudara bisa berkumpul meriah." 　　"Haruskah Kakak Kedua khusus menungguku untuk mengadakan pesta bunga?" 　　Bibi Er terdiam sejenak oleh pertanyaan Jiang Si: "Tentu. Dari semua saudari, Kakak Kedua yang paling menyayangimu. Bukankah kalian sudah akrab sejak kecil?" 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Bibi Er keliru. Aku memperlakukan semua saudari sama rata, tak ada yang diistimewakan." 　　Bibi Er mendongkol, namun teringat surat permohonan Jiang Qian, terpaksa menahan diri dengan tawa kaku: "Ha...ha..." 　　Mengapa Qian'er begitu istimewa terhadap Si'er? Nanti harus cari kesempatan tanyakan langsung pada Qian'er. 　　"Cukup! Kalian boleh pergi. Xiao Shi, sampaikan urusanmu." Nyonya Feng yang tak sabar mengusir kakak-beradik Jiang itu. 　　Setelah keluar, Jiang Zhan menepuk dada: "Nyaman sekali di luar. Andai saja kita menginap beberapa hari lagi." 　　"Hmm? Menginap beberapa hari lagi?" Suara dingin menggema dari belakang. 　　Jiang Zhan berbalik pelan seperti robot, memaksakan senyum yang lebih buruk dari tangisan: "Ayah--" 　　Jiang Ancheng berwajah muram, hatinya dipenuhi amarah. 　　Selama anak-anaknya pergi, meski tak diucapkan, kerinduannya membuatnya tak berselera makan. Begitu mendengar kabar kepulangan mereka, ia langsung bergegas ke Cixintang tanpa menunggu mereka datang memberi salam. Tak disangka si bajingan kecil ini malah bicara seperti ini. 　　Benar saja, tiga hari tidak dipukul kulitnya langsung gatal! 　　Jiang Si menyingsingkan ujung roknya menyambut, tersenyum manis memberi salam pada Jiang Ancheng: "Ayah, kami membawakan banyak oleh-oleh khas. Semua sudah saya cicipi, benar-benar lezat." 　　Jiang Ancheng berbunga-bunga hatinya, tapi wajahnya tetap dipaksa tegas: "Pulang saja sudah cukup, buat apa bawa-bawa oleh-oleh?" 　　"Saya dan Kakak Kedua merasa enak, tentu harus menghadiahi Ayah. Semua barang itu dibeli Kakak Kedua." 　　Jiang Ancheng melirik Jiang Zhan, sementara menunda hukumannya: "Karena ini niat baik kalian, nanti akan Ayah cicipi." 　　Jiang Si menemani Jiang Ancheng berjalan pulang. Jiang Zhan sengaja melambatkan langkah, saat adiknya menengok, ia sembunyi-sembunyi mengacungkan jempol. 　　Dibandingkan adik perempuannya, ia merasa diri seperti anak angin yang tertiup begitu saja. 　　Di sisi lain kebahagiaan keluarga yang harmonis, Yu Jin yang kembali ke rumah di Gang Quezi justru menemukan rumah sunyi sepi. Ia duduk di bangku batu bawah pohon di halaman, termenung. 　　Baru saja berpisah, mengapa hatinya terasa kosong begini? 　　“Wu wu——”Er Niu mengibaskan ekornya dan mendekat, melihat tuannya tidak menghiraukannya, kedua kaki depannya menempel di bahu Yu Jin, menjulurkan lidah menjilat wajah tampannya. 　　Yu Jin mengusap wajahnya, meraih telinga Anjing Besar itu dan memarahi: "Brengsek, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?" 　　Er Niu dengan wajah acuh tak acuh, mengibaskan ekor lalu menoleh dan menggonggong ke arah pintu. 　　"Ada apa?" Yu Jin belum menyadari maksudnya. 　　Er Niu memandang Yu Jin dengan pandangan merendahkan, ekor besarnya hampir menyapu wajahnya, lalu lari cepat ke luar pintu dan kembali, menggelengkan kepala dan seluruh tubuhnya ke arahnya. 　　Yu Jin tak bisa menahan diri untuk tidak memicingkan mata, merenungkan maksud Er Niu. 　　Beberapa hari ini pergi tanpa membawa Er Niu, apakah dia mengalami trauma? 　　"Guk guk!" Melihat tuannya tak mengerti, Er Niu memukulkan ekor besarnya ke tanah sehingga debu beterbangan. 　　Long Dan yang tak tega melihat, memberanikan diri menebak: "Tuanku, apakah Er Niu kesal karena Tuan tidak membawa pulang nona itu?" 　　Senyum Yu Jin mendadak kaku, menatap Er Niu. 　　Er Niu menggonggong riang ke arah Long Dan, memberi isyarat dia menjawab benar. 　　Dada Yu Jin terasa sakit. 　　Sudah pergi lama tapi belum bisa membawa pulang istri, apakah dia baru saja dihina oleh seekor anjing? 　　Selamat pagi. 122.Bab 122 Menteri Zhen Tiba di Ibukota 　　Bab 122 Menteri Zhen Tiba di Ibukota 　　Pada tanggal 19 bulan lima, matahari terasa sangat terik. Pepohonan tinggi di sisi jalan raya resmi memberikan keteduhan bagi para pejalan, namun daun-daunnya tampak mengilap kepanasan dan layu tak bergairah. 　　Di jalan raya tersebut, seorang wanita berpakaian sederhana namun rapi berjalan lesu ke depan dengan wajah tak beremosi. 　　Tiba-tiba kakinya tersandung batu, tubuhnya oleng hampir terjatuh, tapi tanpa berhenti sebentar pun ia terus melangkah. 　　Hanya satu pikiran di benak wanita itu: Hari ini ia bisa menemui Tuan Besar yang Adil untuk membela Niuniu. Ia harus tampil pantas agar tidak mempermalukan Niuniu di hadapan sang hakim. 　　Niuniu-nya masih terkubur di taman milik keluarga orang - 　　Memikirkan ini, matanya berkaca-kaca. Ia menegakkan kepala berusaha menahan air mata. 　　A Fei yang mengikuti dari jauh merasa sesak di hati. 　　Seorang ibu yang kehilangan anaknya selalu membangkitkan rasa iba. 　　A Fei berjalan ke tempat Xiuniangzi hampir tersandung tadi. Ia menyentuh batu itu dengan ujung kaki, lalu menggunakan tenaga untuk menendang batu ke parit di tepi jalan. 　　Pos peristirahatan sudah jauh tertinggal. A Fei tidak tahu berapa lama lagi wanita ini akan berjalan, tapi ia juga tak peduli. Baginya yang penting menyelesaikan tugas nona dan mendapat bayaran. 　　Tugasnya hari ini hanya mengikuti wanita ini dan bertemu dengan Lao Qin sesuai rencana. 　　Akhirnya wanita itu berhenti di dekat batu besar setinggi pinggang orang di tepi jalan. 　　Ini adalah tempat di mana Niuniu menyuruhnya menunggu. 　　Perkataan Niuniu harus didengarkan. 　　Wanita itu bersandar pada batu besar yang hangat, barulah air matanya jatuh berderai-derai. 　　A Fei tidak berani terlalu dekat, memilih bersandar di pohon besar untuk beristirahat. 　　Untungnya pejalan yang lewat kadang berhenti istirahat, sehingga dirinya tidak mencolok. 　　Matahari cepat melintasi puncak langit, perlahan bergerak ke barat. 　　Wanita itu menengadah ke depan dengan ekspresi cemas. 　　Mengapa Tuan Besar yang bijaksana itu belum juga datang? 　　Akhirnya dari depan datang sekelompok orang, pria paruh baya di depan mengendarai keledai, wajahnya kekuningan, berjanggut panjang, diikuti beberapa pelayan di belakang. 　　A Fei awalnya tidak terlalu memperhatikan, tapi tiba-tiba melihat Lao Qin yang mengikuti di belakang. 　　Lao Qin memakai topi bambu yang menutupi wajahnya, tapi A Fei sudah hafal penampilannya. Apalagi saat Lao Qin melihat A Fei, dia mengangkat topinya sedikit memperlihatkan wajah penuh kerutan. 　　A Fei segera memandang pria paruh baya yang naik keledai. 　　Inikah orang yang ingin ditemui Xiuniangzi? 　　Xiuniangzi tidak mengenal Tuan Besar manapun, tapi mengingat pesan putrinya: "Tuan Besar itu masuk ibukota dengan mengendarai keledai." 　　Melihat rombongan ini, mata Xiuniangzi terpaku pada penunggang keledai. 　　Tepat saat itu, seseorang yang berjalan di samping keledai bertanya: "Paduka, apakah perlu berhenti untuk beristirahat?" 　　Laki-laki paruh baya di atas keledai menggelengkan kepala: "Tidak perlu, kita beristirahat di pos perhentian nanti." 　　Inilah orang yang dicarinya! 　　Mata Xiuniangzi berbinar sambil berlari tergopoh: "Tuan, wanita biasa ini difitnah——" 　　Orang yang berjalan di samping keledai segera menghunus pedang, berteriak keras: "Perempuan gila dari mana ini!" 　　Xiuniangzi sudah bersujud di depan keledai, menundukkan kepala berkali-kali: "Wanita ini difitnah, mohon keadilan Tuan Hakim Agung, mohon keadilan Tuan Hakim Agung!" 　　Orang yang membawa pedang hendak mengusirnya, laki-laki di atas keledai berkata tenang: "Jangan kasar." 　　Dia turun dari keledai sambil berkata ramah pada Xiuniangzi: "Kakak Ipar, mari bicara di sebelah sana." 　　Mereka berjalan ke bawah pohon besar, laki-laki itu berdiri dengan tangan di belakang: "Mengapa Kakak Ipar menghadang di jalan?" 　　Xiuniangzi hendak bersujud lagi, dihalangi: "Lebih baik bicara sambil berdiri, orang lalu lalang akan curiga." 　　"Baik." Xiuniangzi gemetar karena emosi. 　　Benar kata Niuniu, benar ada Tuan Hakim Agung lewat dengan keledai! Dendam Niuniu bisa terbalaskan! 　　"Mengapa Kakak Ipar memanggilku Tuan Hakim Agung?" tanya laki-laki itu dengan wajah datar. 　　Penampilan wanita ini terlalu mencurigakan. Dia baru ditugaskan sebagai Prefek Shuntian, selama perjalanan tidak pernah membuka identitas. Bagaimana wanita ini tahu dan menunggu di sini? 　　Jangan-jangan wanita ini tidak waras, kebetulan saja tebakannya benar? 　　"Penampilan Xiuniangzi yang sopan menghilangkan dugaan pria paruh baya itu." 　　"Anda adalah Tuan Zhen yang Adil!" 　　Pria paruh baya itu terkejut: "Bagaimana Kakak Ipar mengetahui hal ini?" 　　"Niuniu yang memberitahu saya, Niuniu adalah putri saya." 　　Pria itu semakin heran: "Di mana putri Kakak Ipar sekarang? Bagaimana dia tahu saya melewati sini?" 　　Wanita ini bahkan tahu nama marga saya, jelas sudah mempersiapkan diri. 　　Berdasarkan pengalaman, wanita ini mungkin memiliki keluhan besar yang ingin disampaikan. 　　Pria itu sudah mempersiapkan mental, namun ucapan berikutnya sang wanita membuatnya terperanjat. 　　Air mata Xiuniangzi mengalir deras: "Niuniu sekarang terkubur di taman rumah orang lain, dia datang dalam mimpi memberitahu saya!" 　　"Apa?" Jawaban yang terlalu aneh ini membuat pria itu terdiam sejenak. 　　Beberapa anak buahnya juga menunjukkan ekspresi tak percaya. 　　Apakah wanita ini gila? 　　"Wanita gila ini berani mengigau di hadapan Tuan kami, cepat pergi!" 　　Xiuniangzi sudah lupa rasa takut, malah maju selangkah: "Tuan Besar yang Adil, saya tidak berani membohongi Anda, apalagi mengutuk anak sendiri. Niuniu saya dibunuh orang, saya terus mencari sampai dia datang dalam mimpi-" 　　"Kakak Ipar tenang, ceritakan perlahan." Pria itu melirik anak buahnya dan menghibur dengan lembut. 　　Xiuniangzi mengusap air matanya, menceritakan kronologi kejadian. 　　Pria paruh baya itu mendengarkan diam-diam sampai Xiuniangzi selesai berbicara, namun belum memberikan tanggapan. 　　Xiuniangzi langsung panik melihat reaksinya, hendak bersujud: "Tuan, jika kata-kata hamba ada dusta biarlah petir menghujam! Putri hamba benar-benar dibunuh Putra Mahkota Marquis Changxing, jenazahnya dikubur di bawah rumpun bunga peoni di taman kediaman mereka. Tolong periksa, Tuan pasti akan tahu hamba tidak berbohong..." 　　"Kau ini wanita tak tahu diri! Hanya dengan omong kosongmu mau menyuruh Tuan kami menggali taman kediaman Marquis?" 　　"Tuan, hamba memohon... Hanya Tuan yang bisa menegakkan keadilan untuk hamba—" 　　Pria paruh baya itu mengelus jenggot sambil berpikir, lalu memerintah anak buah: "Cepat sewa kereta kuda di pos peristirahatan depan." 　　Anak buah segera berangkat. Pria itu berkata lembut: "Begini saja, Kakak Ipar. Ikutlah aku ke ibu kota. Akan kuselidiki kasus ini. Jika terbukti benar, keadilan pasti ditegakkan." 　　"Terima kasih Tuan yang Adil!" 　　Anak buahnya bekerja cepat. Kereta kuda segera tiba. Pria paruh baya itu mengajak Xiuniangzi naik kereta. Rombongan langsung meneruskan perjalanan ke ibu kota tanpa singgah. 　　Yang tidak mereka tahu, tak lama setelah mereka melewati pos peristirahatan, kakak ipar Kaisar Jingming dari Selir Yang tewas mendadak di sana. Tanpa disadari, mereka telah menghindari masalah besar. 　　A Fei terus mengikuti rombongan, sementara Lao Qin kembali untuk melaporkan situasi kepada Jiang Si. 　　Mendengar bahwa Pejabat Zhen membawa pergi Xiuniangzi, Jiang Si merasa sedikit lega. 　　Namun Lao Qin mengungkapkan sesuatu yang mengejutkannya: "Nona, Pejabat Zhen itu adalah kepala kabupaten dari Kuil Lingwu." 　　Terima kasih atas Hadiah dan pemilihan suaranya, sampai jumpa besok. 123.Bab 123 Korban Kedua 　　Bab 123 Korban Kedua 　　Apakah Pejabat Zhen itu kepala kabupaten dari Kuil Lingwu yang ahli memecahkan kasus? 　　Jiang Si benar-benar terkejut, tapi segera menyadari kebenarannya. 　　Sejak awal dia heran bagaimana seorang kepala kabupaten kota kecil bisa memiliki kemampuan seperti itu. Jika dia adalah Zhen Qingtian, semuanya masuk akal. 　　Pejabat Zhen mungkin kebetulan lewat di sana, lalu muncul sebagai kepala kabupaten setempat setelah terjadi kasus. 　　Bagi rakyat jelata, Tuan Besar yang tak terjangkau jauh tidak berguna dibanding kepala kabupaten yang menangani hukum di wilayahnya. 　　Sekarang teringat, salah satu bawahan kepala kabupaten itu pernah berkata bahwa pelaku sering kembali ke TKP. Pengetahuan seperti itu bukanlah milik seorang penjaga biasa. 　　Ternyata saat ini Yu Qi (Pangeran Ketujuh) belum mengenal Pejabat Zhen. 　　"Pejabat Zhen dikelilingi banyak orang berbakat. Sampaikan padanya untuk tidak ketahuan." 　　"Tenang saja, Nona." Setelah menerima instruksi Jiang Si, Lao Qin mengangkat tinju hormat dan pergi. 　　Zhen Shicheng baru tiba di ibu kota dan langsung mendapat kasus besar saat melapor ke Shuntianfu: Kakak selir favorit Kaisar tewas mendadak di pos peristirahatan. Kaisar murka dan memerintahkan para kepala tiga lembaga hukum serta Prefek Shuntianfu untuk menyelidiki kasus ini. 　　"Zhen Shicheng memang pantas disebut Tuan Besar yang dicintai rakyat. Baru saja menjabat, dia langsung menghadapi kasus rumit ini. Di tengah kesibukan penyelidikan, dia masih menyempatkan menenangkan Ratu Tahu Xiuniangzi dan menanyai detail soal hilangnya putrinya di sela-sela penyelidikan." 　　"Kakak Ipar mengatakan anaknya mengirim mimpi, hal ini terlalu aneh—" Zhen Shicheng berhati-hati memilih kata. 　　Meski berani membela rakyat, dia bukan orang sembrono. Jika tidak, mustahil karirnya bisa mulus sampai sekarang. 　　Jabatan Gubernur Shuntianfu sudah setingkat pejabat kelas tiga resmi. 　　Melalui pengamatan perilaku, ucapan, dan pengalaman bertahun-tahun, Zhen Shicheng merasa meski cerita Xiuniangzi terdengar ganjil, tapi ada beberapa hal yang masuk akal. 　　Hanya beberapa hal yang masuk akal tidak boleh ditangani secara gegabah. 　　Xiuniangzi menuduh Putra Mahkota Marquis Changxing. Tanpa bukti jelas, menggali tanah mencari mayat di Kediaman Marquis Changxing bisa membuat dia dijatuhkan oleh pejabat pengawas sampai celana dalamnya copot. 　　"Yang Mulia, hamba punya bukti!" 　　Mata Zhen Shicheng berkilat: "Oh? Bukti apa yang dimiliki Kakak Ipar?" 　　Xiuniangzi membuka telapak tangan, di situ tergeletak tusuk konde tembaga. 　　"Lihatlah Yang Mulia, tusuk konde tembaga ini selalu dipakai Niuniu. Setelah Niuniu mengirim mimpi, benda ini muncul di lantai rumah. Yang Mulia, hamba tidak gila, Niuniu benar-benar dibunuh dan mengirim mimpi. Mohon percayai hamba!" Xiuniangzi nekat berlutut dan membenturkan kepalanya ke lantai berkali-kali di hadapan Zhen Shicheng. 　　"Dia terus membenturkan kepalanya ke lantai, dahi menyentuh papan kayu menimbulkan dentuman suram, memperlihatkan dengan jelas keputusasaan dan ketidakberdayaan seorang ibu." 　　Zhen Shicheng menghela napas, membantu Xiuniangzi berdiri dengan tangannya sendiri: "Kakak Ipar, situasinya sudah hamba pahami. Sementara tinggallah di sini dengan tenang, setelah hamba dapatkan bukti pasti akan membantumu." 　　Setelah Xiuniangzi dibawa pergi, bawahan itu tak tahan berkata: "Mohon Tuan pertimbangkan matang-matang. Kasus ini tak ada bukti. Jika hanya berdasarkan omong kosong seorang wanita biasa berhadapan dengan Keluarga Bo yang terhormat, Tuan akan mengundang bencana." 　　Zhen Shicheng mengerutkan kening, suaranya berat: "Pernahkah hamba takut mengundang bencana?" 　　Jika benar-benar yakin, dia lebih suka sendiri yang mengundang api. 　　Hanya saja kasus Xiuniangzi ini memang tak bisa gegabah. Menghadapi raksasa seperti Keluarga Marquis Changxing, prinsipnya jangan bertindak, atau bertindak dengan pukulan mematikan. Saat ini dia masih belum bisa memastikan apakah Xiuniangzi hanya berhalusinasi karena rindu anak, atau benar terjadi. 　　Benarkah di dunia ini ada hantu yang menitipkan mimpi? 　　"Kerahkan dua orang untuk menyelidiki reputasi Putra Mahkota Marquis Changxing." 　　"Perintah dilaksanakan." 　　Keesokan harinya, bawahan melapor pada Zhen Shicheng: "Orang-orang bilang Putra Mahkota Marquis Changxing lembut seperti giok, Tuan Gong ber reputasi baik. Marquis Changxing dan istrinya dermawan pada bawahan, tak ada reputasi buruk. Tapi Istri Putra Mahkota—" 　　"Istri Putra Mahkota bagaimana?" 　　“Bawahan segera menceritakan tentang istri putra Marquis Changxing yang kemasukan roh jahat hingga menjadi bahan ejekan warga ibu kota.” 　　“Bagaimana hubungan suami-istri putra Marquis Changxing?” 　　“Sangat harmonis. Meski istri putra Marquis Changxing mengalami kejadian seperti ini, tidak ada kabar tentang ketidakpuasan dari sang putra.” 　　Zhen Shicheng menggelengkan kepala diam-diam. 　　Tampaknya investigasi permukaan sulit menemukan terobosan. 　　Namun saat ini sebagian besar energinya tersita oleh kasus kematian mendadak "Paman Kaisar Yang", membuat kasus Xiuniangzi sulit menemukan titik terang untuk sementara. 　　“Lanjutkan penyelidikan. Segera laporkan jika ada keanehan.” 　　Sore itu, sebelum bawahan sempat memberi kabar, terdengar lagi suara genderang pengaduan. 　　Setelah melihat surat pengaduan, Zhen Shicheng langsung melompat berdiri. 　　Tertuduhnya ternyata adalah putra Marquis Changxing! 　　Zhen Shicheng segera memerintahkan pengadu untuk masuk. 　　Pengadu adalah pria paruh baya yang agak gemuk. Berbeda dengan Xiuniangzi, pria ini berpakaian rapi dan jelas berasal dari keluarga kaya. 　　“Yang Mulia, hamba berasal dari Yanzi Zhen, Baoquan Xian, Behe Cheng. Putri hamba yang pergi bermain 20 hari lebih lalu tak kunjung pulang. Setelah mencari ke mana-mana, dua hari lalu hamba baru tahu putri hamba telah tewas mengenaskan!” 　　Surat pengaduan hanya menyebut tuduhan bahwa putra Marquis Changxing membunuh putrinya, tanpa rincian penyebab. Zhen Shicheng bertanya: “Bagaimana Anda tahu putri Anda dibunuh oleh putra Marquis Changxing?” 　　Tuan Chi mengangkat lengan bajunya menyeka air mata: "Hamba awalnya pergi berdagang, tapi tiba-tiba terus-menerus mimpi buruk, bermimpi putri hamba meminta tolong. Setelah berpikir panjang, hamba memutuskan pulang lebih awal. Tak disangka putri hamba benar-benar hilang..." 　　"Jika putri Tuan sering keluar bermain, bagaimana bisa memastikan dia hilang?" 　　"Meski putri hamba sering main keluar, tak pernah sekalipun absen selama ini. Lebih dari lima hari pasti akan mengirim kabar, tapi kali ini tak ada sepatah kata pun. Tak ada yang lebih mengenal anak daripada ayahnya, hamba yakin putri hamba pasti terjebak dalam masalah." 　　"Lalu bagaimana Tuan tahu dia tewas, bahkan mengetahui pelakunya?" 　　Bibir kering Tuan Chi bergetar: "Karena putri hamba menampakkan diri dalam mimpi, dialah yang memberitahu nama pembunuhnya!" 　　Di detik ini, perasaan Zhen Shicheng sangatlah kompleks. 　　Ternyata lagi-lagi ada pengaduan arwah lewat mimpi! 　　Melihat Zhen Shicheng diam, Tuan Chi panik: "Yang Mulia, hamba tidak gila! Semua yang hamba katakan benar! Putri hamba yang menyuruh menghadap Prefek Shuntianfu baru untuk mengadili kasusnya!" 　　"Tuan yang sudah berpengalaman keliling negeri, percayakah pada hal mimpi dari arwah seperti ini?" 　　“Itu, itu adalah putri hamba!” Chi Laoye merasa hatinya seperti ditusuk belati, air mata mengalir deras, “Ayah dan anak pasti terhubung. Jika putriku selamat dan sehat, mengapa hamba terus bermimpi dia minta tolong? Lagipula dalam mimpi kali ini, aroma harum memenuhi ruangan, persis seperti wewangian yang biasa dipakai putriku. Hamba pasti tidak salah! Yang Mulia, mohon percayai hamba. Meski putriku bukan gadis bangsawan, dia adalah mutiara yang selalu hamba rawat dengan penuh kasih. Tidak mungkin jenazahnya tidak ditemukan——” 　　Zhen Shicheng tak sadar menggenggam kuat surat pengaduan itu. 　　Benar tidaknya arwah menampakkan diri lewat mimpi, Xiuniangzi dan Chi Yuanwai yang tidak saling kenal sama-sama melapor ke Putra Mahkota Marquis Changxing. Jika dikatakan Putra Mahkota itu benar-benar tak bersalah, dia tidak percaya. 　　Bagaimana cara menyelidiki Kediaman Marquis Changxing? 　　Zhen Shicheng berpikir sejenak, lalu muncul ide. 　　Selamat pagi. Mohon dukungan votenya. Meski sedang libur, jangan tidur terlalu lama. Jangan lupa vote ya. 124.BAB 124 Kembali ke Kediaman Marquis Changxing 　　BAB 124 Kembali ke Kediaman Marquis Changxing 　　Jiang Si menyuruh A Fei mengawasi pergerakan di Shuntianfu, dan segera dapat kabar: Chi Laoye datang memukul genderang pengaduan. 　　Keesokan harinya, A Fei kembali melapor: “Tuan Zhen pergi ke Kediaman Marquis Changxing.” 　　Jiang Si terkejut. 　　Dari interaksi di Kuil Lingwu, bisa dilihat Tuan Zhen bukan orang gegabah. Mengapa dia nekat mendatangi langsung? Tidak takut membuat ular berbisa kabur? 　　Tidak, pasti ada alasan logis di balik kunjungan Tuan Zhen kali ini. 　　Jiang Si merenung dengan alis berkerut, secara tak sadar memutar cangkir teh di tangannya. 　　A Fei tidak berani mengganggu, berdiri tegak dengan patuh di samping. 　　Setelah membantu Jiang Si beberapa kali, dia semakin merasa gadis yang jelas lebih muda beberapa tahun ini penuh misteri, sehingga tanpa sadar menahan sikap sembrononya di hadapannya. 　　"Apakah ada keanehan lain di Shuntianfu?" Jiang Si yang belum memahami maksud Zhen Shicheng bertanya sambil lalu. 　　"Tidak ada yang aneh, suasana di sana ramai, semua sibuk dengan kasus 'Paman Negara Yang'." Pertanyaan Jiang Si yang santai dijawab dengan sama santainya oleh A Fei. 　　Tiba-tiba Jiang Si tertegun, akhirnya memahami situasi. 　　Dia menyadari, Tuan Zhen pasti menggunakan alasan penyelidikan kasus kematian mendadak "Paman Negara Yang" untuk mengunjungi Kediaman Marquis Changxing. 　　Pada titik ini, Jiang Si tak bisa tidak mengagumi Tuan Zhen. 　　Dua kasus yang berbarengan seharusnya merepotkan, tapi dia justru memanfaatkan satu kasus sebagai alasan kunjungan untuk menyamarkan tujuan sebenarnya! 　　Tuan Zhen benar-benar ahli strategi. 　　Kembali ke Haitangju, Jiang Si mengeluarkan undangan yang tersimpan. 　　Ini adalah undangan yang dikirim Jiang Qian pada hari kedua setelah kepulangannya ke ibu kota, acara pesta bunga di Kediaman Marquis Changxing memang dijadwalkan hari ini. 　　Setelah direncanakan sekian lama, Jiang Si tentu ingin memantau langsung. Jika Tuan Zhen tidak menemukan kejanggalan, dia masih bisa mencari cara untuk memberi petunjuk. 　　Yang menerima undangan juga ada Nona Ketiga Jiang Qiao, Nona Kelima Jiang Li, serta Putri Keenam dari Selir Jiang Pei. 　　Jiang Pei berdandan dengan semangat tinggi, melihat Jiang Si muncul, mencibir mengejek: "Aku kira Kakak Keempat tidak mau pergi." 　　Hmph, pura-pura suci, tapi akhirnya tetap datang juga. 　　Jiang Qiao muncul tak lama kemudian, kesal berkata: "Kenapa ucapan Adik Keenam selalu menusuk? Tidak tahu sopan santun?" 　　"Kenapa kalian semua membelanya?" Jiang Pei marah dan kesal. 　　Kakak Ketiga juga tidak baik, sudah menyuruh Dayang bilang tidak pergi, tapi malah datang dan satu suara dengan Kakak Keempat, benar-benar bikin kesal. 　　Memikirkan itu, dia melotot tajam ke arah Jiang Li. 　　Kakak Kelima yang satu keluarga cabang dengannya malah diam seribu bahasa, terus-terusan jadi orang baik. 　　Jiang Si tidak menganggap Jiang Pei remaja ini berarti, tapi kicauan burung gereja tetap mengganggu, lalu bertanya dingin: "Apa aku pernah menyinggung Adik Keenam?" 　　Jiang Pei tercekat. 　　Hubungannya dengan Jiang Si sebenarnya netral, tidak bisa dibilang tersinggung, tapi Jiang Si telah menyinggung selir utama. 　　Dia tahu betul, selir utama sebagai sesepuh tidak pantas bertengkar dengan keponakan, tapi pasti menyimpan kemarahan. 　　Dengan mengganggu Jiang Si, dia bisa mendapat pujian dari selir utama. 　　Jiang Pei teringat senyuman selir utama akhir-akhir ini dan peti perhiasannya yang semakin mewah, mana peduli perasaan Jiang Si. 　　Melihat Jiang Pei diam, Jiang Si tersenyum sinis: "Tidak ada kan?" 　　Tiba-tiba dia mengulurkan tangan, jari-jari ramping yang indah mengangkat dagu Jiang Pei, berkata dingin: "Walau aku tidak pernah menyinggung Adik Keenam, tapi pernah menyinggung Bibi Er. Adik Keenam yang bersikap tidak sopan padaku, tentu akan menyenangkan hati Bibi Er. Apa yang kukatakan benar, bukan?" 　　Jiang Pei sama sekali tidak menyangka Jiang Si langsung menyinggung hal itu, memalingkan wajah dengan marah: "Kakak keempat, bagaimana bisa kau berkata begitu tentang ibuku? Apa kau pikir ibuku orang yang picik dan suka menyulitkan junior? Banyak orang yang mendengarkan!" 　　Keempat saudari berkumpul di paviliun, dikelilingi dayang dan pejalan yang lalu lalang. Teriakan Jiang Pei membuat semua mata tertuju pada Jiang Si. 　　Jiang Si tetap tenang, berkata santai: "Aku berkata begitu karena sikapmu memberiku kesan demikian. Kau putri Keluarga Kedua, Bibi Er sebagai selir utama bertanggung jawab mendidikmu. Tak mungkin setelah bertahun-tahun makan nasi kau tak paham tata krama. Jadi—" 　　Jiang Si melayangkan pandangan ke pelayan yang menyimak gosip, membuat mereka segera menunduk. 　　"Jadi, kalau kau masih lancang seperti ini, itu berarti Bibi Er sengaja memanjakanmu, menunjukkan dia picik dan suka menyulitkan junior seperti aku!" 　　Suara gadis itu lantang namun tetap merdu, bagai mutiara jatuh ke piring giok yang jernih. 　　Jiang Pei terpana. 　　Berani-beraninya dia bersikap semena-mena di depan banyak orang? Tidak takkah reputasinya tercela? 　　Jiang Si menepuk pipi Jiang Pei dengan nada merendahkan dan memperingatkan: "Ingat, jika kau membuatku tidak senang lagi, aku akan membawamu ke Bibi Er untuk berdiskusi. Lihat apakah Bibi Er mau membelamu nanti." 　　Jiang Pei langsung kehilangan kata-kata. 　　Jika Jiang Si benar-benar melaporkan ke selir utama sampai membuatnya malu, mana mungkin anak perempuan dari selir seperti Jiang Pei bisa lolos tanpa hukuman. 　　Sepanjang perjalanan, Jiang Si akhirnya menikmati ketenangan. Saat turun dari kereta, Jiang Qiao menariknya dan berbisik: "Adik Keempat, awalnya kupikir kau tidak akan datang. Kenapa kau masih mau masuk ke dalam perangkap sendiri meski tahu Putra Mahkota Marquis Changxing punya niat jahat?" 　　Hati Jiang Si terasa hangat. 　　Jiang Qiao sebenarnya tidak mau datang, tapi setelah mendengar kedatangannya, dia pun ikut. 　　Dia menggenggam erat tangan Jiang Qiao dan berbisik: "Sanjie tenang saja, siapa yang memasang perangkap itulah kuncinya." 　　Jiang Qiao tampak setengah mengerti. Melihat semakin banyak orang di sekitar, dia memilih diam. 　　Cuaca mulai panas. Pesta menikmati bunga diadakan di taman Kediaman Marquis. Saat saudari Jiang tiba, sudah banyak perempuan bangsawan berkumpul berkelompok menikmati bunga. 　　Tentu saja mereka sedang mengagumi hamparan peoni. 　　Musim peoni sebenarnya sudah lewat. Di tempat lain bunga-bunga itu sudah layu, tapi peoni di Kediaman Marquis Changxing masih mekar subur, seolah ingin mengumpulkan sisa tenaga untuk menunjukkan keindahan terakhirnya. 　　Jiang Si berdiam di tempatnya. Dingin merambat dari telapak kakinya naik ke seluruh tubuh, sampai-sampai dia tidak menyadari sapaan ramah Jiang Qian yang tersenyum lembut. 　　Rumpun peoni itu telah berpindah tempat! 　　Ia ingat dengan jelas, sebelumnya lokasi peoni tersebut sekitar satu zhang lebih ke timur dari posisi sekarang, namun kini area itu telah dipenuhi tanaman lain. 　　Jangan meremehkan jarak satu zhang ini. 　　Selisih seujung rambut bisa membuat perbedaan ribuan mil. Jika Pejabat Zhen menggali tanah dari lokasi sekarang, mayat tidak akan ditemukan. 　　Yang lebih membuat Jiang Si ngeri adalah alasan perpindahan mendadak rumpun peoni - mungkinkah Putra Mahkota Marquis Changxing menyadari bahwa ia mengetahui kebenaran? 　　Pikiran Jiang Si berputar cepat, segera menepis dugaan itu. 　　Tidak mungkin. Andai Putra Mahkota Marquis Changxing tahu rahasianya terbongkar, meski punya nyali sebesar apapun, tak mungkin ia mengadakan pesta bunga ini hanya untuk memancingku ke Kediaman Marquis. 　　Benar, pesta bunga! 　　Jiang Si tiba-tiba tersadar. 　　Taman Kediaman Marquis paling terkenal karena rumpun peoni ini. Saat pesta bunga digelar, para perempuan bangsawan pasti memadati area ini. 　　Penjahat selalu was-was. Putra Mahkota Marquis Changxing khawatir kerumunan orang mungkin menemukan sesuatu yang mencurigakan, maka diam-diam memindahkan lokasi peoni. 　　Tidak boleh! Ia harus mencari cara untuk memberi tahu Pejabat Zhen! 　　Sementara itu, Marquis Changxing sedang menjamu Pejabat Zhen di ruang depan. 　　Terima kasih atas hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 125. Bab 125 Kesempatan Bagus 　　Bab 125 Kesempatan Bagus 　　"Kehadiran Pejabat Zhen mengharumkan kediaman sederhana kami," ujar Marquis Changxing dengan ramah, meski hatinya tak nyaman. 　　“Zhen Shicheng adalah Prefek Shuntianfu, pejabat penting pemerintahan. Tentu saya harus memberikan muka, tapi kami tak pernah berhubungan. Urusan apa seorang penyidik sampai datang ke kediamanku?” 　　“Orang-orang itu suka sekali membuat rumor tak berdasar. Kunjungan Zhen Shicheng ini pasti akan memicu desas-desus yang semakin liar.” 　　Zhen Shicheng tersenyum: "Marquis terlalu sopan. Saya baru tiba di ibu kota dan langsung menangani kasus kematian mendadak kakak ipar Selir Yang. Untuk memperoleh beberapa informasi, saya negan mengganggu Marquis." 　　Marquis Changxing semakin kesal. 　　Apa hubungan antara kasus kematian "Paman Kaisar Yang" dengan Keluarga Marquis Changxing mereka? Sungguh sial! 　　“Boleh tahu informasi apa yang ingin Didapatkan Tuan Zhen?” Bibir Marquis Changxing tak lagi tersenyum. 　　Zhen Shicheng meletakkan cangkir teh di meja lalu berdiri: “Ruang ini pengap. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar di luar sambil berbincang, Marquis?” 　　Rasa penasaran Marquis Changxing telah terbangun. Ia ikut berdiri: “Silakan, Tuan Zhen.” 　　Saat melangkah keluar, sinar matahari menyilaukan membuat Zhen Shicheng menaungi matanya sambil berkata: “Cuaca hari ini indah. Kabarnya peoni di kediamanmu paling termasyhur, bahkan masih mekar sampai saat ini. Bolehkah saya melihatnya?” 　　Marquis Changxing bingung bukan main. 　　Apa maksud Prefek Shuntianfu datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menikmati bunga? 　　Melihat Marquis Changxing diam, Zhen Shicheng menurunkan suaranya: "Paduka tentu tahu, kasus kematian mendadak kakak ipar Kaisar Yang yang heboh di ibu kota beberapa hari ini membuat para pejabat tiga lembaga hukum dan Shuntianfu bahkan tak sempat tidur. Alasan hamba datang ke sini adalah karena mendapatkan informasi tertentu." 　　"Informasi apa?" Pikiran Marquis Changxing tak sadar mulai terbawa alur Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng semakin merendahkan suara: "Ada yang mengatakan, sehari sebelum kematian kakak ipar Kaisar Yang, ia pernah bertemu dengan Putra Mahkota Marquis Changxing." 　　"Apa?!" Ekspresi Marquis Changxing berubah drastis. 　　Zhen Shicheng tak melanjutkan bicara, berpura-pura misterius sambil mengelus janggutnya. 　　Dua kasus yang beruntun ini memang membuatnya tak bisa tidur seperti katanya, bahkan untuk makan pun terburu-buru. Tanpa sengaja, jarinya menyentuh butiran nasi yang menempel di janggutnya. 　　Dengan wajah tak berubah, Zhen Shicheng diam-diam melepas butiran nasi itu, tetap mempertahankan ekspresi penuh teka-teki. 　　"Tuan Zhen, anak hamba ini berwatak lembut, mustahil terlibat dalam kasus kakak ipar Kaisar Yang!" 　　Zhen Shicheng tersenyum: "Paduka tak perlu panik. Hamba dengar Putra Paduka tampan dan berbudi, pasti bukan penjahat keji. Hanya saja karena ada petunjuk seperti ini, hamba tak ingin repot-repot memanggil Tuan Gong ke kantor pemerintah. Makanya hamba datang ke kediamanmu untuk meminta penjelasan dari Paduka dan Putramu." 　　"Benar, benar. Terima kasih banyak, Tuan Zhen." Marquis Changxing menunjukkan wajah lega. 　　Zhen Shicheng diam-diam mengerutkan kening. 　　"Dari ekspresi Marquis Changxing, apakah Beliau tidak mengetahui perihal putranya? Atau jangan-jangan Putra Mahkota Marquis Changxing tidak terlibat dalam kasus penculikan dan pembunuhan perempuan, melainkan ada pihak yang sengaja menargetkan Keluarga Marquis Changxing?" 　　Terkait kemungkinan kedua, Zhen Shicheng tidak terlalu optimis. 　　Ia telah mengirim orang untuk menyelidiki, putri Xiuniangzi memang sudah hilang beberapa hari, sementara pihak Tuan Chi juga menerima kabar merpati pos dari bawahannya di Kota Yanzi. 　　Putra Mahkota Marquis Changxing tidak bisa lepas dari hilangnya dua gadis muda itu. 　　"Marquis, mari kita berbincang sambil berjalan." 　　Melihat Zhen Shicheng berjalan ke arah taman, Marquis Changxing segera mencegah: "Tuan Zhen, hari ini kebetulan sedang ada pesta menikmati bunga di rumah, banyak gadis muda yang diundang sedang berkumpul di taman..." 　　Zhen Shicheng terkejut, lalu menunjukkan raut menyesal: "Oh, itu memang kurang beruntung. Tidak apa, mari kita jalan-jalan di sini saja. Mohon Marquis memanggil putra Anda kemari." 　　"Tuan Zhen mohon menunggu sebentar, hamba akan segera menyuruh orang memanggil putra hamba. Hanya saja anak ini penakut, harap Tuan Zhen bisa berbesar hati." 　　"Tentu saja, Marquis tidak perlu khawatir." Zhen Shicheng tertawa lebar, namun dalam hati merasa kesal. 　　Untungnya selama bertahun-tahun menangani kasus, berbagai hambatan sudah sering dihadapi, kemampuannya mengendalikan emosi telah terlatih, rintangan kecil seperti ini sungguh bukan masalah. 　　Hari ini setidaknya bisa bertemu dengan Putra Mahkota Marquis Changxing, tidak sia-sia datang ke sini. 　　Di taman, Jiang Si justru dijegal oleh Jiang Qian. 　　“Saudari Ketiga、Saudari Keempat kemarin hanya datang sehari lalu langsung pergi, hatiku terus merindukan. Setelah pesta menikmati bunga ini selesai, kalian tinggal beberapa hari saja di sini.” 　　“Kakak Kedua begitu merindukan kami?” Jiang Qiao tak sadar menggenggam tangan Jiang Si, dalam hati menyeringai dingin. 　　Orang luar melihatnya sebagai persaudaraan mesra, mana tahu pasangan ini adalah anjing jahat yang mengincar bakpao! 　　Jiang Qian mengalihkan pandang ke tangan bersentuhan kedua saudari itu, menjawab di luar pertanyaan: “Aku masih ingat waktu kecil Saudari Ketiga dan Keempat suka bertengkar, ternyata sekarang sudah dewasa, jadi begitu akrab.” 　　“Orang pasti akan bertumbuh.” Jiang Qiao tersenyum manis memeluk lengan Jiang Si, wajah polos dan lugu, “Kakak Kedua tahu, aku mudah terkena ruam jika ganti tempat, jadi tidak bisa menginap.” 　　“Tidak apa, Saudari Keempat bisa——” 　　Jiang Qiao langsung memotong ucapan Jiang Qian: “Aku sendirian di Keluarga Bo kesepian, Saudari Keempat juga harus menemaniku pulang. Xixi, bukankah Kakak Kedua juga melihat aku dan Saudari Keempat paling akrab? Kasihanilah kami jangan dipisahkan. Kalau Kakak ingin teman menginap, suruh saja Saudari Kelima dan Keenam menemanimu.” 　　Batuk, bukan dia tega mendorong Saudari Kelima dan Keenam ke sarang serigala, toh waktu lalu mereka bisa selamat tanpa cedera, buktinya Putra Mahkota Marquis Changxing tidak tertarik. 　　Jiang Qiao tak sengaja melirik Jiang Si, dalam hati berdesah: Ternyata lebih aman kalau wajahnya kurang cantik. 　　Ekspresi Jiang Qian sedikit kaku. Jika bukan karena harus berpura-pura rukun, dia ingin sekali menyobek mulut Jiang Qiao. 　　Si pengacau sialan ini! 　　Setelah menarik napas panjang, Jiang Qian tersenyum: "Sanjie juga harus memahami kakak. Dulu Simo paling suka bermain denganku. Sejak aku menikah, kami jarang bertemu. Kali ini, Kakak Kedua benar-benar ingin menahan Simo tinggal lebih lama." 　　Tidak tahu malu! 　　Jiang Qiao mengutuk dalam hati, menyadari Jiang Si diam seribu bahasa, lalu menarik lengan bajunya dengan gelisah. 　　Kalau tidak bicara sekarang, kita seperti kelinci kecil masuk sarigala! Setidaknya bersuara dong! 　　Pikiran Jiang Si sama sekali tidak terfokus pada pertikaian ini. Seluruh perhatiannya tertuju pada cara membimbing Tuan Zhen menemukan mayat perempuan di taman secara alami. 　　Tidak ada kesempatan lebih baik dari sekarang. Dengan begitu banyak perempuan bangsawan hadir, mustahil Keluarga Marquis Changxing bisa menutupi penemuan mayat. 　　Jiang Si mengepal tangan, telapaknya berkeringat. 　　Huan Ying-nya belum cukup kuat untuk membuat banyak orang berhalusinasi di siang hari. Apakah harus menggunakan benda lain- 　　Jiang Si tiba-tiba merasakan tarikan Jiang Qiao terlalu kencang, mengerutkan alis: "Sanjie-" 　　Dia melihat mulut Jiang Qiao menganga takjub, diikuti teriakan histeris para perempuan bangsawan yang sambung-menyambung. 　　Jiang Si menoleh, melihat seekor anjing besar setinggi setengah orang sedang menggoyangkan ekor dengan riang. 　　Kenapa Er Niu datang? 　　"Cepat panggil orang, bunuh anjing gila ini dan seret keluar!" Teriakan Jiang Qian yang mendadak berubah nada karena kejadian tak terduga. 　　Er Niu tak puas mengais tanah dengan cakar depannya. 　　Siapa yang mau dibunuh dan diseret keluar? 　　Perempuan gila ini, makanlah mulutmu! 　　Anjing besar melompat ke udara dan menerjang Jiang Qian. 　　Selamat pagi. 126.Bab 126 Mencari Tulang 　　Bab 126 Mencari Tulang 　　Jiang Qian yang sedang murka tiba-tiba melihat benda raksasa menerkamnya, tanpa peduli lagi pada kesopanan, ia menjerit dan lari pontang-panting. 　　Anjing besar melompat dan menaruh cakarnya di ujung rok Jiang Qian. Suara sobekan terdengar, roknya menjadi lebih pendek. 　　Apa ini? Er Niu dengan kesal melemparkan potongan rok itu menggunakan cakarnya. 　　Potongan kecil rok brokat bermotif buah delima itu langsung mengenai wajah seorang putri bangsawan. 　　"Ah--" Putri itu tak sekuat mental Jiang Qian, ia menjerit dan langsung pingsan. 　　Er Niu yang pendendam terus mengejar Jiang Qian. 　　Jiang Qian berlari sambil menjerit-jerit, seekor anjing besar membuntutinya menginjak-injak bunga yang tertata rapi di taman. 　　Para putri bangsawan berlarian tercerai-berai seperti binatang ketakutan. 　　"Bahaya! Anjing buas menyerang orang--" 　　Saat itu, Putra Mahkota Marquis Changxing sedang bertemu dengan Zhen Shicheng. 　　"Ayah memberitahu bahwa Tuan ingin menemuiku, ada keperluan apa?" 　　Zhen Shicheng memandangi Putra Mahkota Marquis Changxing dengan tatapan dingin. 　　“Putra Mahkota Marquis Changxing hari ini mengenakan jubah Tian Shui Bi bermotif samar, dengan kancing giok bermotif kelelawar yang kontras sempurna dengan pakaiannya. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tak sehat, namun sorot matanya dalam dan memancarkan ketenangan langka.” 　　“Ini adalah pemuda yang licik, seringkali berbicara sedikit di depan orang asing sehingga memberi kesan rendah hati dan sopan.” 　　“Zhen Shicheng telah bertemu berbagai macam orang, jarang salah menilai. Dalam sekejap dia telah menarik kesimpulan.” 　　“Pemuda ini tampaknya sangat memperhatikan penampilan. Kain Tian Shui Bi bernilai sangat mahal, warnanya cerah – agak terlalu mencolok untuk dikenakan pria.” 　　“Atau mungkin...” Zhen Shicheng secara refleks mengalihkan pandangannya ke arah taman, menambahkan dalam hati: “Atau mungkin, dengan asumsi Putra Mahkota itu memang mendapat kesenangan dari menyiksa dan membunuh perempuan, ada target incarannya dalam pesta bunga itu sehingga dia berusaha tampil rapi.” 　　“Zhen Shicheng hampir langsung yakin dengan dugaan ini berdasarkan instingnya.” 　　“Yang dia butuhkan sekarang adalah pemuda di depannya ini menunjukkan celah.” 　　“Saya ingin berbicara dengan Putra Mahkota tentang kasus pembunuhan,” kata Zhen Shicheng sengaja menyesatkan. 　　“Seketika itu, pupil Putra Mahkota Marquis Changxing menyempit. Tangannya yang tergantung di samping badan tanpa sadar mencengkeram pakaiannya erat, lalu segera melepas.” 　　“Kain Tian Shui Bi itu tidak meninggalkan sedikitpun kerutan.” 　　"Saya tidak terlalu paham maksud Yang Mulia." Putra Mahkota Marquis Changxing berkata dengan datar. 　　Marquis Changxing tak tahan menyela, "Ini tentang kasus kematian mendadak 'Paman Kaisar Yang'! Yang Mulia Zhen kabarnya pernah bertemu dengan 'Paman Kaisar Yang'-" 　　Di titik ini, Marquis Changxing tiba-tiba tersadar. Ia tersenyum kecut pada Zhen Shicheng, "Yang Mulia Zhen jangan tersinggung, tanpa sengaja hamba salah sebut..." 　　Julukan 'Paman Kaisar Yang' hanyalah sebutan rakyat jelata. Saat saudara laki-laki Selir Yang masih hidup, panggilan itu bernada sanjungan dan ketakutan. Setelah kematiannya, berubah menjadi olok-olok. Bagaimanapun, sebutan itu sudah terlanjur melekat. Faktanya, seberapa pun disayangi seorang selir, saudara laki-lakinya tak pantas disebut paman kaisar. 　　Zhen Shicheng tersenyum, "Saya paham." 　　Sorot matanya tak lepas dari Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Tubuh Putra Mahkota Marquis Changxing yang semula tegang perlahan mengendur setelah mendengar perkataan Marquis Changxing. Dengan ekspresi terkejut ia berkata, "Saya tidak pernah bertemu dengannya." 　　Zhen Shicheng menyeringai tipis. 　　Meski Putra Mahkota Marquis Changxing berpura-pura kebingungan, seluruh sikapnya justru terlihat santai - bahkan terlalu santai. 　　Kondisi seperti ini biasanya muncul secara spontan setelah seseorang lolos dari peristiwa buruk. 　　Mengapa Putra Mahkota ingin menghindar saat kasus pembunuhan disebut? Mengapa justru tenang saat ditanya tentang kasus kematian 'Paman Kaisar Yang'? 　　Perlahan-lahan gambaran mulai terbentuk di benak Zhen Shicheng. 　　Tiba-tiba teriakan panik terdengar dari belakang. 　　Ketiganya sedang berada di luar ruangan sehingga suara itu terdengar jelas. 　　“Ini——” Zhen Shicheng menyadari keributan justru berasal dari arah taman, hatinya dipenuhi kecemasan sekaligus sukacita. 　　Cemas karena gadis-gadis muda itu mungkin menghadapi bahaya, gembira karena ini alasan sah untuk mendatangi tempat itu. 　　“Apa yang terjadi?” Wajah Marquis Changxing memerah marah, bertanya keras pada pelayan yang lewat terburu-buru. 　　Pelayan itu segera menjawab, “Tuan Marquis, bahaya! Seekor anjing galak masuk ke taman dan sedang mengejar para nona!” 　　“Apa?!” Wajah Marquis Changxing berubah pucat, langkahnya segera menuju taman. 　　Para nona itu berasal dari keluarga terhormat. Bila terjadi sesuatu, akan sulit mempertanggungjawabkannya. 　　Wajah Putra Mahkota Marquis Changxing bahkan lebih suram dari ayahnya, menyusul dengan tergesa. 　　Zhen Shicheng mengusap janggutnya, dalam hati bersyukur atas bantuan takdir, lalu memanggil anak buahnya yang mengikuti dari belakang: “Cepat ikut membantu!” 　　Kekacauan sungguh terjadi di taman. 　　Jiang Qian sudah kelelahan sampai baju basah keringat, tapi si Anjing Besar terus mengejarnya seperti kucing mempermainkan tikus. 　　Melihat anjing itu akan menyusul lagi, Jiang Qian hampir pingsan. 　　Mengapa binatang ini terus memburunya? Lebih baik menggigit sekalian daripada mempermalukannya dengan kejar-kejaran begini. 　　Er Niu memandang dengan ekspresi serius. 　　"Apakah ini mudah? Harus mendengarkan perintah nyonya rumah untuk membuat keributan, menahan suara menakutkan para wanita ini, sekaligus menghadapi orang-orang yang datang dengan tongkat." 　　Dalam kekacauan, Jiang Si bersembunyi di balik semak bunga yang tidak terlalu jauh, sudut bibirnya terkembang. 　　Dia benar-benar tidak menyangka Er Niu bisa menyelinap masuk ke Kediaman Marquis. 　　Dengan kehadiran Er Niu, akan mudah membuat keributan untuk menarik perhatian Tuan Zhen. 　　Seharusnya sudah ada keributan sekarang? 　　Jiang Si melirik ke suatu arah, melihat Marquis Changxing dan putranya bergegas datang, di belakangnya tak lain adalah "Xianwei" yang baru saja berpamitan. 　　"Er Niu—" panggil Jiang Si lembut. 　　Dalam keributan, panggilannya hanya terdengar oleh Jiang Qiao di sampingnya, tapi Er Niu langsung menoleh. 　　Pendengaran anjing jauh melebihi manusia. 　　Jiang Si memberi isyarat tersembunyi. 　　Er Niu menghentikan langkahnya mendadak dan tiba-tiba berubah arah. 　　Jiang Qian yang baru saja tenang, tersenyum lega sebelum ekspresinya berubah panik. 　　Arah lari anjing besar itu menuju rumpun bunga peoni yang semula. 　　Entah karena "pupuk" yang terlalu bagus, hamparan peoni ini tumbuh terlalu subur hingga masih mekar di musim ini. 　　Para wanita bangsawan ibu kota bahkan pria terpelajar suka berseni, sulit menolak jika keluarga terpandang atau teman dekat mengajak menikmati bunga. 　　"Area peoni tempat mayat dikubur ini terus-menerus diinjak-injak pengunjung, membuat pasangan suami istri ini deg-degan." 　　Kini area kecil peoni tempat mayat dikubur sudah sedikit dipindahkan, setelah pesta menikmati bunga ini usai, tanaman itu akan layu dan bisa dibersihkan seluruhnya untuk ketenangan. 　　Tapi kini binatang itu malah menuju ke lokasi semula peoni, membuat Jiang Qian pucat pasi. 　　Wajah Putra Mahkota Marquis Changxing juga berubah pucat. 　　"Cepat pukuli anjing itu sampai mati dengan tongkat!" teriak Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Er Niu melirik Putra Mahkota Marquis Changxing, tiba-tiba berhenti, dan mulai menggaruk tanah dengan cakar depannya. 　　Debu beterbangan, bahkan para gadis bangsawan yang ketakutan pun mengintip dari persembunyian. 　　Apa anjing besar ini sedang mencari tulang? 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 127. Bab 127: Kembali ke Dunia 　　Bab 127: Kembali ke Dunia 　　Melihat aksi Er Niu, Putra Mahkota Marquis Changxing nyaris pingsan dan berteriak: "Apa kalian hanya berdiri saja? Cepat bunuh binatang itu!" 　　Zhen Shicheng mengangkat alisnya. 　　Jika hanya takut mengganggu gadis-gadis ini, tak perlu Putra Mahkota sampai panik seperti ini. 　　Apakah ada sesuatu di bawah tanaman hias yang tercium oleh anjing besar tak dikenal ini? 　　Tapi area tanaman ini bukan peoni—— 　　Zhen Shicheng mengalihkan pandangannya ke samping, mengamati dengan cermat rumpun bunga peoni yang berada tepat di sebelah tanaman hias tersebut. 　　Hamparan luas bunga peoni mekar dengan indahnya, kuning keemasan dan merah muda pucat, terlihat sangat mempesona. 　　Tunggu sebentar-- 　　Mata Zhen Shicheng menyempit, tatapannya tertuju pada sudut dinding yang paling tidak mencolok, di mana sekumpulan kecil bunga peoni terlihat lesu dibandingkan yang lain, seolah-olah akan layu. 　　Bunga peoni yang layu di musim ini sebenarnya tidak aneh, namun mengingat Xiuniangzi dan almarhum Pejabat Chi sama-sama mengatakan bahwa mayat putri mereka dikubur di bawah rumpun peoni, Zhen Shicheng seketika memahami hubungannya berkat intuisi yang terasah selama bertahun-tahun menangani kasus. 　　Putra Mahkota Marquis Changxing ini sedang merasa bersalah karena melakukan kesalahan, bukan? 　　Hmm, dia sudah terlalu sering melihat pembunuh yang terperangkap oleh kepintarannya sendiri. 　　Beberapa pelayan bersenjatakan tongkat mengerubungi Er Niu yang sedang menggali tanah dengan giat. 　　Er Niu merasakan bahaya, cakar depannya masih terus menggaruk tanah, sedangkan kaki belakangnya menendang dengan kuat hingga menjatuhkan orang pertama yang mendekat, lalu ekornya yang besar menyapu debu dan membuat mata dua orang lainnya perih. 　　Kali ini akhirnya ia berhenti sejenak dari aktivitas menggali, memperlihatkan giginya yang tajam pada dua orang terakhir yang masih memegang tongkat sambil mengeluarkan suara geram dari tenggorokannya. 　　Di bawah sinar matahari, sosok anjing besar setinggi manusia itu terlihat garang dengan sepasang taring yang berkilauan. 　　Kedua orang itu saling memandang dengan bingung. 　　Namun Er Niu tidak memberi mereka banyak waktu untuk berpikir, langsung melompat ke depan. 　　“Ya ampun!” Dua pelayan rumah langsung melemparkan tongkat di tangan mereka, berbalik dan lari pontang-panting. 　　Anjing ini terlalu mengerikan, persis seperti serigala buangan! 　　Er Niu menggonggong puas, lalu kembali menggali lubang. 　　Berusaha menyelesaikan tugas sang nyonya, mungkin dia akan pulang bersamanya - pemikiran yang sangat sederhana melintas di benak Anjing Besar. 　　“Sampah!” Putra Mahkota Marquis Changxing menampar keras pelayan yang kabur itu, membuatnya berputar dan terjatuh ke tanah. 　　Pelayan lainnya berusaha tenang, menggigit gigi lalu berbalik mengambil tongkat untuk melanjutkan serangan pada Anjing Besar. 　　Tiba-tiba Zhen Shicheng berseru: “Tunggu sebentar!” 　　Semua orang serentak menoleh ke arahnya. 　　Wajah Marquis Changxing memerah karena malu dan marah, menunjukkan reaksi pantas seorang tuan rumah yang dipermalukan di depan tamu. Namun sang Putra Mahkota bersikap berbeda. 　　Ia sama sekali mengabaikan teriakan Zhen Shicheng, malah mengambil sebatang tongkat dan maju sendiri untuk mengusir Anjing Besar. 　　“Cepat kembali! Awas anjing galak itu menggigitmu!” Marquis Changxing panik. 　　Zhen Shicheng memberi isyarat pada bawahannya: “Apa kalian tidak segera melindungi Putra Mahkota?!” 　　Dua bawahan mengerti maksudnya. Mereka cepat-cepat berlari, masing-masing menarik satu lengan sang Putra Mahkota sambil berkata: “Jangan ambil risiko, Tuan Putra. Biar kami yang menanganinya.” 　　“Lepaskan!” Wajah Putra Mahkota memerah seperti hati sapi, entah karena panik atau marah. 　　Namun, bawahannya Zhen Shicheng jelas-jelas memiliki kemampuan bela diri. Bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri, tak bisa terlepas. Dalam kepanikan, kedua kakinya menghentak-hentak tak karuan, tampak sangat memalukan. 　　Para gadis bangsawan yang bersembunyi di berbagai sudut tak pergi membelalakkan mata menyaksikan. 　　Menonton keributan memang sifat alami manusia, tak peduli pria-wanita tua-muda. 　　Seorang gadis bangsawan tersentuh: "Tak kusangka Putra Mahkota Marquis Changxing begitu bertanggung jawab pada tamu, sampai rela mempertaruhkan diri mengusir anjing galak karena pelayannya tak becus." 　　Seorang gadis berwajah tenang tampak menangkap sesuatu: "Mungkin tak sesederhana itu. Sekalipun ada anjing liar masuk pesta, reaksi Putra Mahkota Marquis Changxing terlalu berlebihan..." 　　"Maksudmu apa?" 　　Gadis itu tersenyum: "Tonton saja. Kupasti akan ada drama menarik." 　　"Hehe, aku paling suka tontonan. Baru saja kaget setengah mati, kalau ada hiburan bisa jadi ganti rugi." 　　Melihat Anjing Besar menggali tanah dengan cepat, Putra Mahkota Marquis Changxing basah kuyup oleh keringat dingin, berteriak serak: "Kalian ini mayat hidup ya! Biarkan orang luar perlakukan aku begini! Cepat pisahkan kedua orang ini--" 　　Tiba-tiba dia berubah pikiran: "Tidak, usir dulu binatang ini! Siapa yang berhasil usir dapet hadiah seratus tael!" 　　Di bawah iming-iming hadiah besar, beberapa pelayan tiba-tiba bersemangat. 　　Tapi Anjing Besar tiba-tiba berhenti. 　　“Terkagum-kagum oleh kegeraman Anjing Besar tadi, saat ia berhenti, beberapa pelayan pria secara refleks juga berhenti.” 　　“Er Niu menggigit sebuah sepatu sambil menatap ke arah Jiang Si.” 　　“Sebagai anjing setia yang mengabdi pada nyonya, reaksi pertamanya adalah segera mempersembahkan harta karun yang digali kepada sang majikan.” 　　“Jiang Si diam-diam menunjuk ke arah Zhen Shicheng.” 　　“Er Niu mengibaskan ekornya, lalu berlari kecil ke depan Zhen Shicheng dan meletakkan sepatu itu.” 　　“Sepatu yang penuh lumpur itu sudah tidak bisa dikenali warnanya, tapi Zhen Shicheng langsung menyadari: ini adalah sepatu bordir!” 　　“Woof! Woof!” Er Niu menggonggong dua kali ke arah Zhen Shicheng. 　　“Harta karun yang kugali sudah kuberikan padamu, setidaknya berikan pujian untukku atau nyonyaku dong.” 　　“Bersamaan dengan itu, dua pelayan pria limbung dan terjatuh ke tanah.” 　　“Mereka adalah Lu Zi dan An Zi, pelayan yang bertugas mengubur mayat.” 　　“Wajah mereka pucat pasi, hanya ada satu pikiran: Habislah kita!” 　　“Malam itu mereka ketakutan karena bertemu hantu perempuan, makanya kuburannya dibuat lebih dangkal. Tak disangka anjing ini bisa menggali sepatunya!” 　　“Desas-desus mulai bermunculan dari kerumunan di sekitarnya.” 　　“Wah, kok bisa ada sepatu tergali dari dalam tanah ya?” 　　“Mungkin ada yang kehilangan.” 　　“Tidak mungkin! Di kediaman bangsawan mana ada yang berani sembarangan buang sepatu bordir?” 　　…… 　　“Rumor-rumor ini membuat Marquis Changxing merasa ada awan gelap menyelimuti hatinya, matanya tanpa sadar menatap ke arah putranya.” 　　Zhen Shicheng mengangkat sekop bunga yang diletakkan di kaki tembok, berjalan menuju lubang galian yang dalam. 　　“Tuan Zhen——” Marquis Changxing tak kuasa berseru. 　　Zhen Shicheng tersenyum sinis: “Yang Mulia, hamba juga penasaran mengapa sepatu sulam bisa terkubur di sini. Hamba memutuskan untuk menggali lebih lanjut.” 　　Pada titik ini, Putra Mahkota Marquis Changxing justru berhenti melawan. Matanya semakin gelap, perlahan menemukan kembali kewarasannya. 　　Jangan panik. Meski mayat ditemukan, siapa yang bisa membuktikan dialah pembunuhnya? Cukup kambinghitamkan pelayan, reputasi Keluarga Marquis Changxing paling hanya ternoda—pikiran ini melintas secepat kilat, membuatnya semakin tenang. 　　Zhen Shicheng terus menggali. Untungnya Anjing Besar yang luar biasa pintar itu telah menggali cukup dalam di satu titik. Hanya beberapa kali paculan, sekopnya menyentuh sesuatu. Ia segera memanggil anak buahnya untuk membantu. 　　Matahari semakin terik. Tanaman bunga yang tergali mulai layu dengan cepat. 　　Lapisan tanah atas yang gembur jelas baru digali. Saat memperluas area penggalian, prosesnya lancar. Tak lama kemudian, mayat terbungkus seprai berhasil dikeluarkan. 　　Bau busuk mulai menyebar. 　　Setelah hening sesaat, para gadis bangsawan yang penakut menjerit histeris. 　　Astaga! Ada mayat terkubur di taman Keluarga Marquis Changxing! 　　“Gali lagi!” bentak Zhen Shicheng keras. 　　Selamat pagi. 128. Bab 128: Jaring Surga Tak Terelakkan 　　Bab 128: Jaring Surga Tak Terelakkan 　　“Marquis Changxing seperti disambar petir, baru sadar setelah lama terdiam, lalu melangkah besar ke depan: “Tuan Zhen, ini, apa yang terjadi?” 　　Zhen Shicheng mengelap tangannya dengan saputangan, ekspresi serius: “Yang Mulia lebih baik menunggu sampai kami selesai bekerja dulu.” 　　“Ini, ini——” Marquis Changxing berkeringat deras, ribuan pikiran berkecamuk di hatinya. 　　Dia bukan orang bodoh, tadi reaksi putranya terlihat terlalu gugup, seolah sudah tahu akan ada mayat yang digali di sini—— 　　Mungkinkah orang ini dibunuh oleh putranya? 　　Nyonya Marquis Changxing yang sudah mendengar keributan segera datang, saat melihat mayat langsung pingsan. 　　Dayang yang ikut datang ketakutan hingga linglung, taman kembali kacau. 　　Jiang Qian bersembunyi di kerumunan, wajahnya pucat bagai hantu. 　　Dia sudah tahu pembunuh psikopat itu membunuh banyak orang, cepat atau lambat pasti ketahuan! 　　Secara refleks dia menatap Putra Mahkota Marquis Changxing, namun mendapati sang Putra Mahkota menatapnya dengan tenang, sorot mata dingin bagai kolam beku penuh peringatan. 　　Jiang Qian buru-buru mengalihkan pandangan. 　　Putra Mahkota Marquis Changxing sedikit mengangkat sudut bibir. 　　Perempuan bodoh ini sudah sering membantunya menutupi, kira-kira kalau dia celaka, si perempuan bisa lolos? 　　Di samping rumpun bunga, Jiang Qiao menyentuh lembut Jiang Si: “Adik Keempat——” 　　“Ada apa?” Jiang Si menatap Jiang Qiao. 　　Jiang Qiao bibirnya pucat: “Mayat itu——” 　　"Tidak pantas," dia menggelengkan kepala lagi, "Lupakan, tunggu sampai kita pergi dari tempat bermasalah ini dulu." 　　Saat ini meski banyak gadis bangsawan berpikir demikian, namun dalam kepanikan tak ada yang mengusulkan untuk pergi. 　　Sebuah peristiwa mengerikan yang dihadapi bersama di siang bolong, rasa terkejut itu seolah memberi jalan pada rasa ingin tahu. 　　Mayat lainnya berhasil digali. 　　Zhen Shicheng terdiam sejenak, lalu memerintahkan seorang bawahannya: "Panggil orang dari kantor yamen!" 　　Meski dikatakan memanggil orang dari yamen, sebenarnya Zhen Shicheng sudah menempatkan pengintai di luar Kediaman Marquis Changxing. Begitu mayat benar-benar ditemukan di kediaman marquis, pengintai akan segera memanggil bantuan begitu bawahannya keluar, untuk mengantisipasi keluarga Marquis Changxing menjadi putus asa dan melakukan tindakan nekat. 　　Untung hari ini bertepatan dengan pesta bunga di Kediaman Marquis Changxing, kecuali mereka membunuh semua gadis bangsawan ini, keluarga marquis pasti tidak berani menghalanginya. 　　"Tuan Zhen--" Menghadapi situasi ini, Marquis Changxing sudah kehilangan kata-kata. 　　Dia ingin menghalangi tapi tak punya alasan, tapi jika membiarkan masalah ini membesar, reputasi keluarga marquis akan hancur berantakan. 　　"Marquis, sekarang ada kasus pembunuhan, dua nyawa melayang. Lebih baik Marquis bekerja sama dengan pejabat untuk mengungkap kebenaran." Zhen Shicheng berdiri dengan tangan terkebelakang, berbicara datar. 　　Dua bawahan yang menggali memegang sekop bunga, menunggu perintah selanjutnya dari Zhen Shicheng. 　　Tiba-tiba, Anjing Besar muncul dan mulai menggali tanah lebih dalam di lubang yang sudah dibuat. 　　Hati Zhen Shicheng berdebar, segera perintah: "Lanjutkan penggalian!" 　　“Ya!” Dua orang bawahan mengayunkan sekop bunga dan melanjutkan penggalian, tak lama kemudian mereka sudah berkucuran keringat. 　　“Marquis menyuruh pelayan untuk mengambil beberapa cangkul bunga, cangkul lebih mudah digunakan daripada sekop.” 　　Ekspresi Marquis Changxing berubah beberapa kali, akhirnya mengangguk. 　　Penggali yang menggunakan cangkul ternyata mempercepat proses. 　　Tak lama kemudian, satu jenazah tergali. 　　Disebut jenazah, tapi sebenarnya sudah menjadi tulang belulang dengan sisa daging yang masih menempel. 　　Kemudian jenazah lain muncul lagi. 　　Suasana hening mencekam, semua orang bahkan lupa bernapas. Melihat jenazah demi jenazah tergali, tubuh mereka menggigil kedinginan. 　　Petugas Shuntianfu sudah tiba dan mengambil alih penggalian dari dua bawahan. 　　Hamparan bunga peoni sudah hancur berantakan, bau busuk memenuhi seluruh taman. 　　Para gadis bangsawan yang awalnya ingin menonton sudah pucat ketakutan. Beberapa pingsan dan dibawa pulang oleh dayang mereka, tapi ada juga yang nekat bertahan dengan wajah pucat menunggu hasil. 　　Siapa pembunuh di balik semua jenazah ini?! 　　Mungkin Putra Mahkota Marquis Changxing? 　　Selalu ada gadis cerdik di dunia ini. Gadis yang tenang tadi memandang tajam ke arah Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Meski tanpa bukti, dia yakin pria ini adalah pelakunya. 　　Tak lama kemudian hari menjelang tengah hari. Para penggali sudah berganti beberapa kelompok, tapi ayunan cangkul tak pernah berhenti. 　　Akhirnya ketika tanah sudah diolah bolak-balik dan tak ditemukan lagi apapun, beberapa petugas itu pun berdiri tegak. 　　“Satu mayat, dua mayat, tiga mayat……” 　　Sepuluh mayat terbaring di tanah, sementara yang digali belakangan sudah menjadi tulang-belulang yang hancur berkeping-keping. Hanya tengkorak dengan lubang mata yang dalam menunjukkan ini pernah menjadi manusia hidup, mungkin seorang perempuan cantik yang berseri. 　　Zhen Shicheng terdiam. 　　Ia tahu kejahatan hati manusia, tapi kenyataan sering melampaui imajinasi. 　　Sepuluh mayat, sepuluh korban. 　　Jika bukan karena mimpi aneh Xiuniangzi dan putri almarhumah Kakek Chi, jika bukan karena prinsipnya "lebih baik percaya ada daripada tidak", mungkin mayat-mayat ini selamanya takkan terungkap, hanya menjadi pupuk bagi bunga peoni. 　　Seluruh taman seolah hanya diisi suara sibuk juru sakit, semua orang terpaku dalam keheningan. 　　Marquis Changxing tak tahan lagi, akhirnya memecah kesunyian. 　　“Tuan Zhen, hamba benar-benar tak tahu! Harap Tuan percaya——” 　　Zhen Shicheng tersenyum: “Hamba percaya Yang Mulia tak tahu, tapi semua harus dibuktikan.” 　　“Pasti ini ulah pelayan nekat yang berani!” seru Marquis panik. 　　“Yang Mulia, sudah hamba katakan, pelakunya harus dibuktikan dengan bukti.” 　　“Bukti?” Marquis menyipitkan mata, “Mayat sudah begini bagaimana cari bukti? Kalau tak ada bukti, jangan-jangan Tuan Zhen mencurigai keluarga Marquis?” 　　“Marquis tak perlu buru-buru. Sebagai pejabat yang menangani kasus selama bertahun-tahun, saya belum pernah menangani kasus keliru.” Zhen Shicheng tersenyum tipis. “Saya selalu percaya bahwa setiap perbuatan pasti meninggalkan jejak. Sekalipun pembunuh berhati-hati, korban akan memberi kita petunjuk.” 　　“Apa? Mayat bisa berbicara?” Pernyataan unik Zhen Shicheng membuat banyak orang lupa akan ketakutan dan mulai berbisik-bisik. 　　“Tentu mayat bisa berbicara, tapi hanya mereka yang tulus ingin membela keadilan yang bisa memahaminya!” Zhen Shicheng berjalan cepat ke deretan mayat sambil mengingatkan dokter forensik, “Periksa dulu mayat yang paling baru ini!” 　　Dokter forensik segera menghentikan pemeriksaan seluruh penyebab kematian mayat dan bergegas memeriksa mayat pertama yang digali. 　　Bau yang dipancarkan mayat ini juga yang paling tak tertahankan. 　　Namun dokter forensik sama sekali tak terpengaruh, tetap menjalankan tugasnya dengan memeriksa dari rambut hingga ke bawah. 　　Jiang Si berdiri tak jauh dari situ mengamati dengan dingin, diam-diam mengepal tangannya. 　　Akankah kancing giok di tangan mayat perempuan itu ditemukan? 　　Dokter forensik akhirnya memeriksa tangan mayat perempuan. Melihat salah satu tangan terkepal erat, berdasarkan pengalaman ia segera membuka kepalan tersebut dengan hati-hati, lalu matanya berbinar. 　　“Tuan, ada temuan!” teriak dokter forensik dengan bersemangat. 　　“Menemukan apa?” 　　Dokter forensik membuka telapak tangannya, di sana jelas terlihat sebuah kancing. 　　Itu adalah kancing giok bermotif kelelawar yang memancarkan kilau mahal dan istimewa di bawah sinar matahari. 　　Kancing seperti ini seharusnya tidak dimiliki oleh pelayan Kediaman Marquis. 　　Zhen Shicheng menatap kancing itu, tiba-tiba sudut bibirnya tersentak. 　　Kancing seperti ini baru saja ia lihat! 　　Zhen Shicheng perlahan menoleh ke arah Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Putra Mahkota Marquis Changxing refleks menutupi kerah bajunya. 　　Terima kasih atas Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 129.BAB 129 Jaring Longgar Tapi Tak Ada yang Luput 　　BAB 129 Jaring Longgar Tapi Tak Ada yang Luput 　　"Pengawal, tangkap Putra Mahkota Marquis Changxing!" teriak Zhen Shicheng keras. 　　Seorang bawahannya yang sejak tadi berdiri di samping Putra Mahkota segera menahan orang tersebut. 　　Marquis Changxing terkejut: "Tuan Zhen, apa maksudmu ini?" 　　Zhen Shicheng menunjuk pakaian Putra Mahkota sambil berseru: "Apakah Yang Mulia masih mau pura-pura tidak melihat? Kancing giok di baju putramu persis sama dengan kancing yang ditemukan koroner di tangan mayat perempuan!" 　　Marquis Changxing sudah kalut. 　　Ia hanya punya satu putra ini. Meski sifatnya agak dingin, dibandingkan anak-anak bangsawan nakal di ibu kota yang sering merepotkan orangtua, ini sudah sangat baik. 　　Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa putranya bisa membunuh! 　　Tidak, tidak mungkin, putranya mana mungkin membunuh, pasti ada kesalahan! 　　"Tuan Zhen, terburu-buru menangkap saya seperti ini, bukankah terlalu gegabah?" Kali ini Putra Mahkota Marquis Changxing masih bisa tetap tenang. 　　Zhen Shicheng menyipitkan matanya memandang. 　　Ia menilai seseorang tidak hanya dari ekspresi wajah. Emosi sejati sering terpancar dari keseluruhan sikap. 　　Saat ini, Putra Mahkota Marquis Changxing meskipun terlihat tenang, di mata Zhen Shicheng hanyalah kepura-puraan. 　　Ia ingin melihat bagaimana pembunuh keji ini akan berkelit. 　　"Bukti sudah jelas, aku tidak gegabah," kata Zhen Shicheng dengan tenang. 　　Putra Mahkota mencibir, menunjuk kancing giok bermotif kelelawar di bajunya: "Kancing yang sama bisa membuktikan aku pembunuh? Tuan Zhen terlalu sembrono!" 　　"Apakah Putra Mahkota hendak mengatakan bahwa pelayan di kediamanmu juga menggunakan kancing giok?" 　　"Hmph, aku dermawan. Tak masalah memberi pakaian bekasku pada pelayan." 　　"Kalau begitu, pembunuhnya adalah pelayan yang pernah menerima hadiah pakaian dari Putra Mahkota?" Senyum mengejek mengembang di bibir Zhen Shicheng. 　　Banyak sudah ia lihat orang seperti Putra Mahkota yang mati-matian berkelit. 　　"An Zi, mana pakaian yang kuberi padamu?" teriak Putra Mahkota. 　　An Zi gemetar, hampir roboh: "Hamba... hamba--" 　　Sepatah kata pun tak bisa diucapkannya. 　　Pada titik ini, meski terbukti Putra Mahkota pelakunya, apa gunanya? Sebagai komplotan, nyawanya pasti takkan selamat. 　　Memandang sorot mata penuh arti dari Putra Mahkota, An Zi seketika mengambil keputusan. 　　Aku harus mengaku! 　　Toh akhirnya mati juga, dengan menanggung kesalahan sang Putra Mahkota, setidaknya keluarga bisa dijamin. 　　"Hamba... hamba membakarnya--" 　　"Mengapa kau bakar?" Putra Mahkota menahan gejolak sukacita, mendesak. 　　“Dia sudah tahu An Zi akan mengaku bersalah untuknya!” 　　An Zi sudah menangis tersedu-sedu: “Hamba ini terlalu serakah, sudah mencelakakan perempuan-perempuan baik ini. Saat menemukan kancing hijau hilang dari baju terakhir, karena takut ketahuan, hamba bakar bajunya. Tuan, hamba mengaku salah, mohon pengampunan!” 　　Zhen Shicheng sama sekali tidak menghiraukan An Zi, matanya menyapu para pelayan Kediaman Marquis: “Apakah ada yang pernah melihat orang ini memakai baju dengan kancing giok?” 　　Para pelayan diam seribu bahasa. 　　Mereka jelas tidak pernah melihat, tapi siapa berani bicara? 　　An Zi adalah pelayan pribadi Putra Mahkota. Pada titik ini, para pelayan sudah menyadari siapa pembunuh sebenarnya, lutut mereka gemetar ketakutan. 　　Sorot mata dingin Putra Mahkota Marquis Changxing beralih ke Lu Zi. 　　Lu Zi menggigil, dingin merayap dari tulang ekor sampai ubun-ubun, teriak spontan: “Hamba pernah lihat!” 　　Setelah mengucapkan itu, tubuhnya limbung seperti orang kehabisan tenaga. 　　Harusnya bersyukur, setidaknya yang jadi tumbal kali ini adalah An Zi. Mungkin masih ada kesempatan selamat! 　　Tatapan Zhen Shicheng yang seperti bisa menembus segala rahasia membuat Lu Zi limbung, langsung terjatuh berlutut. 　　“Hamba benar-benar pernah melihat An Zi pakai baju berkancing giok! Waktu itu iri hati, tak disangka dia bisa sejahat ini!” 　　Jiang Si menyimak omong kosong Lu Zi, senyum dingin mengembang di bibirnya. 　　“Putra Mahkota Marquis Changxing benar-benar baru menyesal setelah melihat peti mati！”Sampai saat ini masih ingin menjadikan bawahan sebagai kambing hitam。 　　Tangan kanannya dibalikkan，cahaya redup mengembang dari telapak tangan。Karena siang hari，hampir tak terlihat oleh mata orang lain。 　　Huan Ying menyusuri tanah yang berantakan hingga sampai di dekat Lu Zi，lalu merayap naik sepanjang pakaiannya sesuai keinginan Jiang Si，akhirnya masuk ke dalam telinganya。 　　Suara gadis tanpa emosi tiba-tiba terdengar：“Bohong akan membuatmu masuk neraka pencabut lidah, lho。” 　　Karena pernyataan ini terlalu mendadak，orang-orang terdiam sejenak，tepat saat mencari sumber suara，Lu Zi yang berlutut tiba-tiba berteriak keras dan melompat。 　　Teriakan ini seketika menyedot perhatian semua orang，kini tak ada yang peduli lagi asal suara tadi。 　　Lu Zi menunjukkan wajah panik，setelah melompat langsung menutup mulut dan hendak kabur。 　　“Tahan dia！”Teriak Zhen Shicheng。 　　Dua orang petugas segera menahan bahu Lu Zi。 　　Lu Zi berjuang mati-matian，matanya melotot seolah melihat pemandangan yang sangat mengerikan：“Lepaskan aku！Jangan cabut lidahku！Jangan cabut lidahku！” 　　Zhen Shicheng mengelus-elus jenggotnya。 　　Apa yang terjadi？ 　　“Siapa yang akan mencabut lidahmu？” 　　“Hantu jahat！Hantu jahat！”Lu Zi sudah kehilangan akal sehat，meronta-ronta ketakutan，“Aku pernah lihat，An Zi juga lihat。Ya，ya，mereka datang membalas dendam，mereka datang menuntut kita！” 　　“Kalian membunuh mereka？”Zhen Shicheng mendesak。 　　Pelayan pria di depannya tampak ketakutan hingga seperti gila, ekspresinya tidak terlihat berpura-pura, ini saat yang tepat untuk menginterogasi. 　　Lu Zi menggelengkan kepala seperti gendang berputar: "Bukan kami yang membunuhnya, itu Putra Mahkota! Nona-nona kecil itu semua dibunuh oleh Putra Mahkota, aku dan An Zi hanya bertugas mengubur mayat... Aku tidak berbohong, tidak berbohong, lepaskan aku..." 　　Tiba-tiba darah merah mengalir dari sudut mulut Lu Zi. 　　Zhen Shicheng segera berteriak: "Buka mulutnya! Awas dia menggigit lidahnya sendiri!" 　　Dua orang petugas kepolisian membuka paksa mulut Lu Zi, memperlihatkan lidah yang sudah hancur berdarah. 　　Untung belum putus. 　　Zhen Shicheng diam-diam lega, lalu menatap An Zi yang sudah linglung ketakutan, membentak: "Sampai sekarang kau masih mau menutupi tuammu? Ketahuilah langit punya mata, jaring keadilan takkan ada yang luput!" 　　Seluruh tubuh An Zi bergetar, celananya sudah basah, ia roboh seperti lumpur di lantai: "Kata Lu Zi-ge benar, nona-nona itu... dibunuh Putra Mahkota..." 　　Sekarang dia percaya, di dunia ini benar-benar ada hantu. 　　Kalau tidak, apa yang mereka lihat malam itu? Kalau tidak, kenapa Lu Zi jadi gila setelah berbohong? 　　Dia sudah membantu Putra Mahkota melakukan banyak kejahatan, meski mati jadi kambing hitam, apakah arwah korban Putra Mahkota akan mengampuni keluarganya? 　　Pasti tidak! 　　Setiap kejahatan ada yang bertanggung jawab, lebih baik jujur mengaku, setidaknya hantu-hantu perempuan itu takkan menyalahkan keluarganya. 　　“Kalian, kalian bajingan ini!” Putra Mahkota Marquis Changxing menyadari situasinya sudah tak terselamatkan, wajahnya pucat bagai salju. 　　Zhen Shicheng mengangkat sudut bibirnya, melambaikan tangan besar: "Bawa pergi!" 　　"Lepaskan aku, atas dasar apa kalian menangkapku? Aku Putra Mahkota Marquis Changxing!" Teriak Putra Mahkota Marquis Changxing dengan suara serak, sudah kehilangan citra bangsawan terhormat. 　　Nyonya Marquis Changxing yang tak diketahui kapan sadar, melihat anaknya ditangkap langsung berlari tanpa peduli citra. 　　Jiang Qian melihat situasi itu ikut berlari mendekat. 　　Hentikan dia, kita harus hentikan dia menarikku ke dalam masalah ini! 　　Selamat pagi, sayangku jangan lupa voting ya. Suara bulanan dan rekomendasi sangat dibutuhkan, kalau tidak Er Niu yang polos akan kelaparan. 130. Bab 130 Kebohongan 　　Bab 130 Kebohongan 　　"Jangan tangkap anakku, lepaskan dia!" Nyonya Marquis Changxing yang terlihat lemah tiba-tiba menunjukkan kekuatan luar biasa, menubruk petugas dengan keras hingga membuatnya oleng. 　　"Putra Mahkota, ini tidak benar kan? Katakan sesuatu--" Jiang Qian memeluk Putra Mahkota Marquis Changxing sambil berteriak, lalu berbisik saat tak ada yang melihat: "Aku hamil--" 　　Tatapan bingung Putra Mahkota Marquis Changxing langsung jernih, menatap Jiang Qian tajam. 　　Apa katanya? Hamil? 　　Jiang Qian mengangguk tak henti-hentinya. 　　Percayalah, selama dia percaya, dia tak mungkin tega mempermalukan ibu yang mengandung anaknya bersama dirinya. 　　"Bawa pergi!" 　　Bagaimana pun para wanita keluarga Marquis Changxing menjerit histeris, Zhen Shicheng tetap tak tergoyahkan, memerintahkan anak buahnya membawa pergi Putra Mahkota Marquis Changxing beserta dua pelayan pria. 　　Adapun tulang-belulang korban, tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Taman Kediaman Marquis yang semula indah bak kembang kini berubah menjadi tempat penampungan mayat sementara, membuat orang-orang menghindar ketakutan. 　　Nyonya Marquis Changxing berlari mengejar: "Yu'erku anak baik, tak mungkin membunuh! Pasti ada kesalahan—" 　　"Tuan Zhen, kumohon kebijaksanaanmu! Marquis hanya punya satu putra ini!" Marquis Changxing sudah kehilangan kewibawaannya, menggenggam tangan Zhen Shicheng erat-erat hampir bersujud. 　　"Keluarga lain mungkin juga hanya punya satu putri." Zhen Shicheng berbalas tangan dingin. "Nanti mungkin harus memanggil Tuan untuk pemeriksaan, harap kooperatif. Pamit!" 　　Marquis Changxing terhuyung mundur, wajahnya pucat bagai mayat. 　　Zhen Shicheng berbalik dengan gesit, melangkah dua langkah sebelum tiba-tiba berhenti dan menoleh kembali, pandangannya menembus Marquis menuju semak bunga di kejauhan. 　　Di sana berdiri dua gadis muda. Salah satunya berbaju putih dengan rok merah, kecantikannya menyamai kembang. 　　Gadis kecil itu mustahil diabaikannya. 　　Mengapa dia ada di sini? Apa hubungannya dengan kasus pembunuhan ini? 　　Berbagai pikiran berkelebat di benak Zhen Shicheng, tapi ini bukan tempat untuk berbincang. Hanya dengan melirik sekilas, dia ingin si gadis tahu bahwa ia telah melihatnya. 　　"Gadis kecil ini berani dan licik, kalau tidak memastikan pertemuan ini sekarang, mungkin nanti dia akan menyangkal jika ditanya." 　　Tapi gadis berbaju putih dan rok merah hanya tersenyum manis, lalu menunduk dengan anggun ke arahnya. 　　Zhen Shicheng terkejut sejenak, ujung bibirnya tak sadar melengkung naik sebelum membawa para petugas pergi. 　　Menyaksikan pemandangan mengerikan itu, bahkan Jiang Qiao yang pemberani pun wajahnya pucat. Baru saja mulai tenang, dia menggenggam tangan Jiang Si bertanya: "Adik Keempat, tadi... apakah Petugas Zhen itu melihatmu?" 　　Jiang Si pura-pura bodoh: "Tidak juga, pasti tidak sengaja melihatku. Kami tidak saling kenal." 　　Jiang Qiao mengedipkan mata: "Lalu kenapa kau memberi salam tadi?" 　　Jiang Si melanjutkan aktingnya: "Aku terpesona melihat Petugas Zhen yang ahli menyelesaikan kasus itu melihat ke sini." 　　Hmm, setelah berurusan dengan seseorang, sepertinya kulit wajahku menebal. 　　"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Suara tangisan dan bisikan di taman yang berantakan membuat tidak nyaman, Jiang Qiao bertanya. 　　Jiang Si melirik ke arah Jiang Li dan Jiang Pei: "Pergi cari Adik Kelima dulu." 　　Gerbang Kediaman Marquis terbuka lebar, dikerumuni orang-orang penasaran di luar. 　　Kabar ini sudah menyebar luas. Sekarang semua orang tahu Putra Mahkota Marquis Changxing terlibat pembunuhan, dan 10 mayat digali dari taman kediaman. 　　Sepuluh mayat! Apa artinya ini? Banyak orang seumur hidup belum pernah melihat begitu banyak jenazah, tentu tidak mau melewatkan tontonan ini. 　　"Para ibu-ibu yang sudah berpengalaman itu sudah menyiapkan sayuran busuk dan cangkang telur, menunggu si pembunuh kejam keluar untuk melemparkan barang-barang itu padanya." 　　"Apa? Kenapa tidak ada telur busuk? Jangan bercanda, telur itu terlalu berharga. Kalau busuk masih bisa diberikan ke babi, masa mau diberikan ke orang semacam ini?" 　　"Tanghulu, tanghulu——" 　　"Es serut manis, es serut manis enak, makan semangkuk biar tidak pingsan nonton keramaian——" 　　Tiba-tiba pintu Kediaman Marquis Changxing menjadi lebih ramai daripada pasar malam. 　　Di antara kerumunan berdiri seorang wanita dengan ekspresi hampa. Tapi jika diperhatikan lebih dekat, matanya seperti menyimpan badai yang siap meledak. 　　"Keluar, keluar!" Kerumunan mulai gempar. 　　Melihat Putra Mahkota Marquis Changxing diiringi petugas, seseorang berteriak: "Benar-benar Putra Mahkota Marquis Changxing!" 　　Rakyat jelata punya kebijaksanaan mereka sendiri. Menurut mereka, orang sepenting ini ditahan petugas pasti sudah pasti si pelaku. 　　Wanita itu tiba-tiba melompat ke depan, menampar wajah Putra Mahkota Marquis Changxing. Dengan tangan dan kaki, dia menyerang habis-habisan seolah setiap inci tubuhnya adalah senjata: "Binatang! Kembalikan nyawa putriku! Niuniu cuma pergi beli kue, bagaimana kau tega membunuhnya? Dia nyawaku——" 　　“Bibi, tenanglah——” serdadu yamen mencoba menenangkan. 　　Xiuniangzi sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi, hanya ada satu pikiran di benaknya: bahkan dengan gigi pun akan dia habisi binatang ini untuk membalas dendam putrinya. 　　Zhen Shicheng menghela nafas: “Kakak Ipar, hentikanlah. Di taman telah digali sepuluh mayat, sembilan keluarga lain juga kehilangan putri mereka seperti Anda. Aku akan memberikan keadilan bagi kalian.” 　　Xiuniangzi mundur terhuyung, menutupi wajahnya sambil menangis tersedu-sedu. 　　Meski keadilan telah datang, putrinya takkan pernah kembali—— 　　“Dasar binatang! Tak punya nurani!” teriak kerumunan massa yang tak tahan lagi, melemparkan sisa sayuran busuk dan cangkang telur ke arah Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　“Hentikan! Jangan hina putraku——” Nyonya Marquis Changxing mati-matian melindungi di depan Putra Mahkota. 　　Kerumunan sebentar terhenti, lalu lebih banyak sampah beterbangan: “Putramu berharga, putri orang lain dianggap angin lalu ya?” 　　Melihat situasi semakin memalukan, Marquis Changxing segera menyuruh orang menarik Nyonya Marquis pergi. 　　“Aku tak mau pergi, aku harus lindungi Yu'er——” Nyonya Marquis matanya berkaca-kaca sebelum limbung terjatuh. 　　Di taman, Putri keenam Jiang Pei sudah lunglai ketakutan, bersandar di pilar koridor merah tanpa bergerak. 　　Wajah Putri kelima Jiang Li sama pucatnya, tapi masih bisa menyapa saat melihat Jiang Si dan Jiang Qiao mendekat: “Kakak Ketiga, Kakak Keempat——” 　　“Di antara keempat saudari, Jiang Qiao adalah yang tertua. Saat ini dia menunjukkan kesadaran sebagai kakak, berusaha tetap tenang: "Ayo kembali ke kediaman, semua akan dibicarakan setelah sampai." 　　Pada titik ini, Jiang Pei sudah kehilangan kelincahannya saat mencela Jiang Si, hanya bisa mengangguk seperti ayam mematuk biji. 　　Dia ingin pulang, segera melarikan diri dari tempat mengerikan ini. 　　“Ka-Kakak Kedua——” Wajah Jiang Li semakin pucat, matanya menatap kosong ke depan. 　　Jiang Pei menoleh dan menemukan Jiang Qian telah mendekat tanpa terasa, berdiri dingin di belakang mereka seperti hantu gentayangan yang menunggu kesempatan menerkam. 　　Saat itu juga, Jiang Pei dilanda ketakutan tak terdefinisi yang membuatnya menjerit histeris. 　　Sorot mata dingin Jiang Qian jatuh di wajah Jiang Pei. 　　Makhluk hina yang selama ini hidup dengan menjilat ibu ini berani berteriak padanya? 　　“Adik Keenam takut padaku?” Jiang Qian bertanya dengan suara mengerikan. 　　Terima kasih atas voting dan Hadiah, sampai jumpa besok. 131.Bab 131 Ada Hadiah 　　Bab 131 Ada Hadiah 　　Panik besar menyergap, Jiang Pei mundur tanpa sadar. 　　Dia tak tahu apa yang ditakutinya, tapi kehadiran Jiang Qian membuatnya merasakan kedinginan hingga ke tulang sumsum. 　　“Kediaman sedang dalam kekacauan, kami tidak ingin mengganggu Kakak Kedua mengurus urusan keluarga. Akan saya antar adik-adik kembali dulu.” Jiang Qiao menyela tepat waktu. 　　Sorot mata mengerikan Jiang Qian perlahan kembali normal. 　　Langkah selanjutnya harus didiskusikan dengan orang tua, dia tak boleh panik sekarang. 　　“Hari ini membuat adik-adik ketakutan.” Jiang Qian perlahan matanya memerah, terlihat sangat terpukul namun berusaha bertahan, sama sekali tidak seperti kesan dinginnya tadi. 　　Melihat Jiang Qian tidak menghalangi, Jiang Qiao diam-diam lega, tangannya tetap menggenggam Jiang Si: "Kakak Kedua juga harus menjaga diri, tidak perlu mengantar kami." 　　Dia benar-benar takut Jiang Qian yang sudah terjepit akan melakukan hal nekat dan melampiaskan amarah pada Si Nona Keempat. 　　"Adik-adik pulanglah dengan hati-hati, nanti Kakak akan menenangkan kalian." 　　Jiang Pei tak bisa menahan diri menggigil. 　　Dia sama sekali tidak ingin ditenangkan, Kediaman Marquis itu terlalu mengerikan, dia tidak ingin kembali lagi! 　　Sepanjang perjalanan pulang, kereta kuda sunyi senyap, tak seorang pun ingin banyak bicara. Suasana muram ini terus berlanjut hingga tiba di kediaman. 　　"Sanjie, apakah kita harus melaporkan hal ini kepada Nenek?" Jiang Li yang biasanya tidak suka menonjol akhirnya memecahkan keheningan. 　　Dia belum pernah mengalami kejadian mengerikan seperti ini, sampai sekarang masih benar-benar bingung harus bagaimana. 　　"Tentu harus dilaporkan, hal seperti ini tidak mungkin disembunyikan." Jiang Qiao mengatupkan bibirnya. 　　Dia bisa membayangkan badai seperti apa yang akan melanda Keluarga Bo akibat perubahan di Keluarga Marquis Changxing, tapi— 　　Lalu apa? Binatang yang mengincar Si Nona Keempat itu sudah hancur, sungguh menyenangkan! 　　Lagipula ayahnya hanya anak selir, kejayaan atau kemalangan Keluarga Bo sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada keluarga mereka. 　　Di Cixintang, Nyonya Feng sejak pagi hari matanya berkedut tak henti. Mengalami kebutaan mendadak sebelumnya, sang nenek sangat khawatir dan segera meminta Nyonya Xiao Istri Kedua untuk memanggil Tabib istana. 　　Meski Tabib istana menyatakan tidak ada masalah serius, Nyonya Feng tetap murung. Nyonya Xiao Istri Kedua dan Nyonya Guo terpaksa menemani beliau berbincang dengan patuh. 　　"Nyonya, para Nona sudah kembali ke kediaman. Mereka datang memberi salam." 　　Nyonya Feng mengusap pelipisnya dengan kesal: "Suruh mereka beristirahat saja." 　　Gadis-gadis muda yang hari ini pergi ke pesta bunga marquis, besok main ke sana-sini, mana paham penderitaan orang tua. 　　Saat suasana hati buruk, Nyonya Feng semakin tak sabar melihat cucu-cucu perempuannya yang cantik jelita. 　　Dayang utama A Fu segera kembali: "Nyonya, para Nona bilang ada urusan penting untuk dilapor." 　　Sebelum Nyonya Feng bereaksi, Nyonya Xiao sudah mengangkat alisnya. 　　Hari ini para gadis pergi ke Kediaman Marquis untuk pesta bunga, pulang langsung ada urusan penting. Firasatku ini bukan kabar baik. 　　"Suruh mereka masuk." 　　Tak lama kemudian Jiang Si dan yang lain masuk. Nyonya Feng duduk tegak begitu melihat mereka. 　　Melihat wajah pucat mereka, pasti ada masalah lagi. 　　"Apa yang terjadi?" 　　Jiang Qiao langsung bersujud: "Nenek, terjadi musibah di Kediaman Marquis." 　　"Musibah apa?" Nyonya Xiao langsung berdiri, wajahnya gelap menatap Jiang Qiao. 　　"Gadis kecil ini berani membuat masalah, nanti pasti akan dihukum!" 　　Jiang Qiao saat ini tidak takut pada Xiao Shi, dengan cepat berkata: "Prefect Shuntian menggali sepuluh mayat perempuan dari taman Kediaman Marquis, lalu membawa Putra Mahkota Marquis Changxing..." 　　"Apa?!" Xiao Shi memegangi sandaran kursi agar tidak terjatuh. 　　Nyonya Feng secara tidak sengaja menumpahkan cangkir teh, airnya mengalir di sudut meja. Bahkan dayang-dayang pun tak berani mendekat, menunduk ketakutan. 　　"Ceritakan semuanya secara detail!" Nyonya Feng yang sudah sedikit pulih, memukul meja keras. 　　Jiang Qiao menceritakan kronologi kejadian dengan lancar: "Buktinya jelas. Saat kami pergi, mayat-mayat itu masih berada di taman Kediaman Marquis..." 　　Wajah Nyonya Feng gelap, tangannya mencengkeram kuat sandaran kursi sambil terengah-engah. 　　"Bagaimana dengan Qian'er? Bagaimana keadaan Kakak Kedua kalian?" Xiao Shi yang biasanya cakap mengurus rumah tangga kini panik. 　　"Kakak Kedua masih baik, mungkin sedang mengurus kekacauan. Nyonya Marquis Changxing pingsan." 　　"Ya Tuhan, kenapa ini bisa terjadi!" Xiao Shi terjatuh di kursinya, hanya satu pikiran: Putrinya dalam bahaya. 　　Meski wajahnya pucat, Nyonya Feng segera memulihkan diri dan memerintahkan pelayan untuk memanggil ketiga putra Jiang Ancheng berdiskusi. 　　"Ini sudah bukan urusan Jiang Si dan yang lainnya." Setelah keluar dari gerbang Cixintang, Jiang Si hendak kembali ke Haitangju ketika tiba-tiba ditarik lengan oleh Jiang Qiao: "Adik Keempat, aku ingin mampir ke tempatmu." 　　Jiang Si tentu tidak menolak, tersenyum berkata: "Kakak Ketiga, ikutlah denganku." 　　Jiang Pei membuka mulutnya. 　　Saat ini dia sedang diliputi kejutan dan ketakutan yang hampir membuatnya mati lemas, dia pun ingin ikut mampir. 　　Namun mengingat hubungannya dengan Jiang Si, Jiang Pei menghela nafas kesal, hanya bisa memandangi kedua orang itu pergi dengan tatapan penuh harap. 　　Kembali ke Haitangju, Jiang Qiao menuangkan secangkir teh dan meneguknya beberapa kali, sambil mengusap dada berkata: "Benar-benar sangat menegangkan, sampai sekarang jantungku masih berdebar kencang." 　　Jiang Si tersenyum: "Kupikir penampilan Kakak Ketiga hari ini sangat baik." 　　"Itu semua cuma pura-pura." Jiang Qiao melambaikan tangan, setelah diam sejenak bertanya, "Menurutmu apa yang akan dilakukan Jiang Qian?" 　　Saat ini, Jiang Qiao sudah tidak mau lagi menyebut Jiang Qian dengan sebutan "Kakak Kedua". 　　Dia tidak bodoh, mengingat Jiang Qian berani membantu Putra Mahkota Marquis Changxing menjebak sepupu sendiri, mungkin dia juga terlibat dalam kasus kematian para gadis itu? 　　Tentu demi nama baik Keluarga Bo, dia pasti tidak akan sembarangan bicara, namun hal ini tidak menghalanginya untuk menjaga jarak dari Jiang Qian sejak saat ini. 　　Jawaban Jiang Si justru membuat hati Jiang Qiao sesak: "Dia mungkin akan kembali ke Keluarga Bo." 　　"Maksudmu?" 　　"Untuk meminimalisir dampak insiden ini terhadap Keluarga Bo, coba tebak apa yang akan dilakukan nenek dan paman setelah berdiskusi?" 　　“Jiang Qiao segera menyadari: "Bercerai! Lagipula Jiang Qian belum punya anak, bertemu dengan orang seperti Putra Mahkota Marquis Changxing, bercerai sepenuhnya bisa dimaklumi, bahkan mungkin terjadi pemutusan hubungan secara moral."" 　　Sampai di sini, Jiang Qiao menghela napas: "Sungguh menyebalkan!" 　　Memikirkan saudari berhati jahat seperti itu tinggal satu atap, seluruh tubuhnya merinding tidak karuan. 　　"Tidak apa-apa. Saat dia menjadi Istri Putra Mahkota yang terhormat di Kediaman Marquis pun tidak bisa berbuat apa-apa pada kita, apalagi kalau kembali tinggal lama di Keluarga Bo?" kata Jiang Si dengan datar. 　　Jiang Qiao mengedipkan mata: "Adik Keempat, kau menyembunyikan sesuatu dariku." 　　"Apa?" 　　"Jujurlah, anjing besar itu bagaimana ceritanya?" 　　"Hah?" Jiang Si pura-pura tidak mengerti. 　　Suara Jiang Qiao penuh semangat: "Waktu itu saat pulang dari Kediaman Marquis Changxing, anjing besar itu mengacaukan prosesi pernikahan Ji Chongyi. Kali ini menggali mayat di taman kediaman marquis. Pasti dia mengenalmu!" 　　Jiang Si bersikeras menyangkal: "Tidak juga. Mungkin itu bukan anjing yang sama." 　　Jiang Qiao mencubit pipi Jiang Si: "Kau pikir aku bodoh? Anjing besar yang begitu cerdas dan gagah perkasa itu satu di antara sepuluh ribu, mana mungkin ada dua? Ah, entah siapa pemiliknya ya." 　　Sementara itu, di kedalaman Gang Quezi yang sunyi, Yu Jin mengusap kepala Er Niu sambil memuji: "Kerja bagus. Hadiahkan sepanci tulang berisi daging." 　　Andai bisa membawa A Si ke sini, tentu lebih baik lagi. 　　Selamat pagi. Terima kasih atas He Shibi yang diberikan oleh Masa Lalu Desa Pegunungan. Nanti akan dihitung, jika sudah terkumpul sepuluh akan ditambahkan update. 132. Bab 132 Langit Biru 　　Bab 132 Langit Biru 　　Kantor pemerintahan Shuntianfu dipastikan akan menjadi hari yang ramai. 　　Setelah membawa Putra Mahkota Marquis Changxing dan dua pelayan pria, Zhen Shicheng segera mengadakan sidang pengadilan. 　　Putra Mahkota Marquis Changxing menyadari situasinya sudah tidak bisa diselamatkan, dari awal hingga akhir tidak mengucapkan sepatah kata pun, dengan wajah lesu yang membuat orang jengkel namun tak berdaya. 　　Untungnya dua pelayan pria tidak tahan dengan tekanan ini, segera mengaku identitas korban perempuan. 　　Dari korban perempuan, enam orang berasal dari ibu kota, tiga dari kabupaten sekitar, dua orang pendatang. Salah satunya adalah putri Bapak Chi, sementara asal usul korban lainnya tidak jelas menurut pengakuan dua pelayan, hanya ingat logat daerah Lingnan, dibunuh tiga tahun lalu, sulit menemukan keluarganya. 　　Tindakan Putra Mahkota Marquis Changxing yang sangat terkutuk ini tidak seperti dugaan orang yang memburu perempuan cantik sembarangan. Nyatanya, dia sangat selektif, para korban dibunuh karena memiliki ciri khusus yang memikat hatinya. 　　Karena itu, latar belakang korban beragam, bahkan ada seorang nona dari keluarga pejabat. 　　Bagi Putra Mahkota Marquis Changxing, para nona ini adalah buruan yang ditargetkannya. Begitu mengincar sasaran, dia akan mengawasi dengan sabar, cepat atau lambat akan menemukan kesempatan untuk membawa mereka ke Kediaman Marquis. 　　Ini juga alasan mengapa dua pelayan pria ini dapat mengingat asal-usul para perempuan tersebut. Dua nona bahkan telah mereka intai di sekitar rumah masing-masing selama setengah bulan. 　　Dengan bukti yang jelas dan pengakuan tertandatangani, Zhen Shicheng langsung menjatuhkan hukuman pancung segera pada Putra Mahkota Marquis Changxing beserta dua pelayannya, membuat rakyat yang menyaksikan bersorak gembira. 　　Tentu saja, "hukuman pancung segera" bukan berarti dieksekusi langsung saat dijatuhkan, melainkan menunggu hingga setelah ekuinoks musim gugur tahun ini. 　　Marquis Changxing langsung muntah darah di ruang pengadilan, berteriak dengan suara parau: "Zhen Shicheng! Bagaimana kau berani menjatuhkan hukuman pancung segera pada putraku tanpa melalui persidangan istana? Putraku adalah Putra Mahkota!" 　　Secara umum, pejabat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman pancung segera. Untuk kasus yang masih meragukan atau melibatkan pihak berstatus sensitif, biasanya dijatuhi hukuman pancung yang ditangguhkan (hukuman mati yang dieksekusi setelah persidangan istana tahun depan). 　　Dengan status Putra Mahkota Marquis Changxing dan pengaruh Marquis yang aktif memburu koneksi, dalam setahun besar kemungkinan hukuman mati dapat dihindari. 　　Oleh karena itu, perbedaan antara hukuman pancung segera dan yang ditangguhkan sangatlah besar: satu memastikan kematian, satunya memberi harapan hidup. 　　Zhen Shicheng duduk tegak di bawah plakat bertuliskan "Cermin Kejernihan yang Terpancar Tinggi", bergemuruh lantang: "Pangeran yang melanggar hukum pun setara dengan rakyat jelata! Cao Xingyu Putra Mahkota Marquis Changxing telah menculik, memperkosa, dan membunuh sepuluh perempuan dengan bukti tak terbantahkan. Tak ada ampun! Hukuman pancung segera! Jika Marquis keberatan, silahkan ajukan banding ke Kaisar. Pejabat ini siap menemani!" 　　“Zhen Shicheng, kau tunggu saja——” Marquis Changxing seketika tampak menua 7-8 tahun, jarinya gemetar menunjuk Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng sudah terlalu sering menghadapi ancaman, ia hanya tersenyum tipis: "Pejabat ini akan menanti di Shuntianfu, Yang Mulia jangan lupa mempersiapkan uang di kediaman." 　　Marquis Changxing tertegun sejenak. 　　Apa maksudnya ini? Apakah sindiran halus bahwa ia akan menyuap Kaisar? Jangan mengada-ada, dirinya bukan orang bodoh. Paling-paling hanya membujuk orang-orang yang berpengaruh di hadapan Kaisar. 　　Tapi ucapan seperti ini tak pantas keluar dari mulut si Zhen. 　　Seketika, Marquis Changxing merasakan ilusi seolah melihat cahaya di ujung terowongan. 　　Meski sadar pikiran ini absurd, saat terjepit manusia akan berpegangan pada sehelai jerami sekalipun. 　　Zhen Shicheng mengerutkan alis: "Putramu telah mencelakakan 10 perempuan tak berdosa. Keluarga korban akan segera dipanggil pengadilan. Apakah Kediaman Marquis tidak berniat memberi ganti rugi?" 　　"Apa?!" Marquis Changxing tak menyangka jawaban ini, napasnya nyaris tercekat. 　　Rakyat yang menyaksikan bersorak riuh. 　　"Tuan Zhen hebat!" 　　"Benar-benar pejabat bijaksana! Kini hati kami tenang." 　　"Ya! Jika pejabat baik seperti Tuan Zhen yang Disinari Langit ini ditindas orang seperti Marquis Changxing, kami juga akan melapor ke Kaisar!" 　　Pikiran rakyat kecil paling polos: Ayah yang membiarkan Putra Mahkota-nya jadi pembantai, mana mungkin orang baik? 　　"Utang ayah dibayar anak, kesalahan ayah jika anak tidak terdidik. Saat ini bukan sekadar pepatah kosong, melainkan kebenaran yang diyakini semua orang." 　　Kata-kata itu seperti belati yang menancap di dada Marquis Changxing, membuatnya pingsan akibat tekanan hebat. 　　"Pengawal! Bawa Marquis Changxing pulang ke kediaman, tahan tahanan di penjara, sidang ditutup!" Zhen Shicheng menggebrak meja sidang lalu berdiri perlahan. 　　Banyak kulit buah dan sayuran busuk beterbangan ke arah Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Para bailiff mengernyitkan dahi. 　　Sudah bertahun-tahun, warga ibu kota masih mempertahankan tradisi ini. Membersihkannya nanti pasti merepotkan! 　　Mandor dari keluarga Marquis Changxing yang menghadiri persidangan di Shuntianfu bergegas pulang lebih dulu sebelum Marquis tiba. 　　"Bagaimana kabar Putra Mahkota?" tanya Nyonya Marquis Changxing tak sabar. 　　"Putra Mahkota... dijatuhi hukuman pancung segera!" 　　Nyonya Marquis limbung sebentar, namun tidak pingsan. 　　Selemah apa pun seorang wanita, saat anaknya menghadapi masalah besar, dia akan segera menguat. 　　"Bagaimana dengan Marquis? Tidakkah Marquis melakukan apa pun?" 　　"Prefect Shuntian berkata bahkan jika Marquis mengadukan ke Kaisar pun tidak masalah. Marquis pingsan akibat kemarahan..." 　　Mata Nyonya Marquis kosong membelalak, bergumam: "Hukuman pancung segera... Anakku yang baik, bagaimana bisa dipenggal..." 　　Tatapannya yang tak fokus tiba-tiba tertuju pada Jiang Qian. 　　Jiang Qian tetap berdiri dengan pandangan menunduk, sudah lama tak bersuara. 　　Pada saat seperti ini, dia sebenarnya juga tidak tahu harus berkata apa. 　　Semua yang bisa diperjuangkan sudah dia lakukan, mungkin orang tuanya juga sedang mencari cara, untuk saat ini dia hanya bisa menunggu dengan sabar. 　　Tiba-tiba Nyonya Marquis Changxing seperti binatang buas yang mengamuk menerjang Jiang Qian, menampar wajahnya bertubi-tubi. 　　"Nyonya——" Dayang-dayang di sekitarnya mana berani menasihati, hanya bisa berteriak lemah. 　　"Kubunuh kau perempuan sial! Bagaimana caramu menjadi istri? Putra Mahkota melakukan semua ini tapi kau sama sekali tidak menyadari, tidak bisa mencegahnya?" 　　Sejak kecil Jiang Qian tumbuh dimanja orang tua, tapi sejak menikahi Putra Mahkota Marquis Changxing tak terhitung sudah tamparan yang diterima. Kini pukulan bertubi dari Nyonya Marquis baginya sudah biasa. 　　Dia tidak melawan, bahkan tidak menghindar, membiarkan tamparan itu menghujani wajahnya. Pipi mungilnya segera membengkak parah. 　　Tiba-tiba seorang dayang bergegas melapor: "Nyonya, utusan dari Dongping Bo Residence sudah datang." 　　Menyikapi kejadian besar ini, Tuan Jiang Kedua dan istrinya datang bersama-sama. 　　Nyonya Marquis Changxing memaksakan diri menyambut: "Mertua sekalian sudah datang." 　　"Nyonya Marquis, kami mendengar kabar tentang Putra Mahkota. Bagaimana mungkin ini terjadi?" Xiao Shi mengusap air mata. 　　Nyonya Marquis Changxing menunduk diam dengan air mata berlinang. 　　Tiba-tiba seseorang menerobos masuk, menceburkan diri ke pelukan Xiao Shi sambil gemetar hebat: "Ibu, selamatkan putrimu——" 　　Nyonya Marquis Changxing tiba-tiba berubah pucat. 　　Bagaimana mungkin bintang sial ini berani keluar mengadu? Apakah dayangnya mati? 　　"Qian'er, ada apa denganmu?" 　　Begitu melihat pipi Jiang Qian yang bengkak parah, Xiao Shi menjerit kaget. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 133. Bab 133 Tak Punya Hati Nurani 　　Bab 133 Tak Punya Hati Nurani 　　Rambut Jiang Qian kini terurai berantakan, pipi bengkak tinggi dengan bekas cakaran darah yang terlihat sangat memilukan. 　　Xiao Shi merasa hatinya seperti diremas, memeluk putrinya berteriak: "Qian'er, apa yang terjadi?" 　　Jiang Qian menyembunyikan diri dalam pelukan ibunya sambil menangis: "Ibu, kalau anak tetap tinggal di Kediaman Marquis, pasti akan mati!" 　　Tuan Jiang Kedua akhirnya bersuara: "Nyonya Marquis, luka di wajah Qian'er ini bagaimana ceritanya?" 　　Nyonya Marquis Changxing masih terbenam dalam kesedihan musibah putranya. Memukuli Jiang Qian sebelumnya hanyalah pelampiasan amarah, kini pikirannya kacau tak bisa mencari alasan. 　　Diamnya membuat wajah Tuan Jiang Kedua memerah marah: "Nyonya Marquis tentu takkan bilang ini karena Qian'er terjatuh sendiri?" 　　Pada pipi bengkak Jiang Qian masih terlihat dua garis bekas cakaran kuku yang tajam. 　　"Putra Mahkota mengalami musibah sebesar ini, tapi dia sama sekali tak tahu. Mana tanggung jawabnya sebagai istri?" Nyonya Marquis Changxing berkata dingin. 　　“Bibi Xiao bukanlah orang yang bisa diam menerima penghinaan,” balasnya sambil menyeringai. “Nyonya Marquis sendiri juga seorang ibu, bukankah Anda pun tak tahu putra Anda ternyata seorang pembunuh?” 　　“Kau——!” Nyonya Marquis Changxing yang biasa dihormati ini gemetar menahan amarah, belum pernah mengalami perlawanan seperti ini. 　　Bibi Xiao mencibir, merasa sangat puas. 　　Sejak menjadi keluarga besan, wanita ini selalu bersikap sombong dihadapannya, merasa putrinya yang mengincar status keluarga mereka. 　　Lihat sekarang? Nama Keluarga Marquis Changxing sudah busuk. Suamiku bilang, setelah para pejabat pengawas menyadari dan melaporkan mereka, gelar bangsawan mereka mungkin saja dicabut. 　　Menurut suamiku, jika ingin bercerai harus segera. Sekarang memutus hubungan dengan Keluarga Marquis Changxing masih wajar. Jika menunggu sampai gelar mereka dicabut, akan dianggap menendang orang yang sudah jatuh. 　　Awalnya ia masih ragu, tapi melihat kondisi Qian'er ini, tak ada lagi keraguan. 　　“Ayah, Ibu, anakmu benar-benar sudah tak punya jalan lain...” Jiang Qian menggulung lengan bajunya, memperlihatkan lengan putih seperti giok yang penuh memar menyilang dan bekas luka pucat, luka baru dan lama yang mengerikan. 　　“Ini——” 　　Jiang Qian menunduk: “Putra Mahkota...” 　　Bibi Xiao mencengkeram tangan putrinya sambil menangis: “Dia memukulmu? Bagaimana bisa dia melakukan ini?” 　　Ya Tuhan, apakah putrinya yang dikira menikah ke dalam guci madu ternyata menjalani kehidupan seperti ini? 　　Tuan Jiang Kedua masih terlihat tenang: "Qian'er, jujurlah. Sejak kapan Putra Mahkota mulai memukulmu?" 　　Jiang Qian sudah menunggu pertanyaan ini, tersedu-sedu menjawab: "Dimulai setelah pulang bulan madu. Aku takut Ayah dan Ibu khawatir, jadi selalu menyembunyikannya. Kukira perlahan dia akan membaik, tapi... semakin hari pukulannya semakin kejam. Karena itu aku tidak berani mencampuri urusannya sama sekali... Putri hanya berharap dia tidak mencari-cari aku lagi, hik hik hik..." 　　"Benar-benar binatang!" Xiao Shi tidak lagi menahan diri, membentak keras. 　　Tuan Jiang Kedua memberi isyarat pada pelayan yang dibawanya: "Apa masih bengong di sini? Segera bawa Er Guniang kembali ke Keluarga Bo!" 　　"Apa maksud kalian? Jiang Shi adalah istri keluarga Cao! Sekarang saat suami dalam masalah malah mau kabur?" 　　Tuan Jiang Kedua mencibir: "Jika mereka rukun dan bahagia, tentu aku tidak akan melarang Qian'er menjanda untuk Putra Mahkota. Tapi Nyonya Marquis sendiri sudah lihat penderitaan putriku. Sebagai orang tua, kami tidak bisa tinggal diam melihat anak kami terjebak di neraka dunia. Pamit!" 　　"Tidak boleh membawanya pergi! Dia istri keluarga Cao!" 　　Xiao Shi meludah: "Nyonya Marquis bisa menunggu surat pemutusan hubungan resmi dari pemerintah." 　　“Tak lama kemudian, Tuan Jiang Kedua dan istrinya membawa Jiang Qian pergi tergesa-gesa. Melihat rumah yang kosong melompong, Nyonya Marquis Changxing tak lagi sanggup menahan diri dan ambruk di lantai.” 　　“Di taman kediaman Dongping Bo, Jiang Si duduk di bawah pergola bunga menanti kabar.” 　　“Meski percaya pada integritas dan kemampuan Tuan Zhen, namun tanpa kepastian resmi, hatinya tetap gelisah.” 　　“Ah Man bergegas mendekat, membisikkan di telinga Jiang Si: 'Nona, Lao Qin menyampaikan kabar bahwa kasusnya sudah diputus. Putra Mahkota Marquis Changxing dihukum penggal segera.'” 　　“Mata Jiang Si berbinar, senyumnya merekah perlahan.” 　　“Putra mahkota keluarga marquis terhormat dijatuhi hukuman penggal segera - nama Putra Mahkota Marquis Changxing akan tercatat dalam sejarah sebagai aib selama seratus tahun.” 　　“‘Cukup, kau sudah bekerja keras. Kembalilah beristirahat.’” 　　“Namun Ah Man tetap tak bergerak.” 　　“‘Ada apa?’” 　　“‘Nona, ada anjing besar berkeliaran di luar. Hamba lihat itu Er Niu.’” 　　“Jiang Si berdiri.” 　　“Apakah Er Niu mencari dirinya? Jika anjing ini berkeliaran seenaknya, bukankah akan menimbulkan masalah jika dilihat orang yang berniat jahat?” 　　“Belum lama berselang sejak insiden memalukan dimana Putra Ketiga Adipati Anguo kacau balau oleh seekor anjing besar saat prosesi pernikahan, kini rumor tentang ‘Anjing Sakti Membantu Tuan Zhen Qingtian Memecahkan Kasus 10 Gadis Hilang’ kembali menggemparkan. Kini Er Niu bukanlah anjing biasa.” 　　“Jiang Si merenung sejenak, lalu melangkah keluar.” 　　“‘Nona, Mau ke mana?’ Ah Man segera menyusul.” 　　Setelah keluar dari rumah keluarga, Jiang Si melirik sekeliling namun tak melihat bayangan Er Niu. 　　"Di mana kau melihat Er Niu?" 　　Ah Man menunjuk ke suatu arah: "Di sana tadi. Hamba awalnya tidak memperhatikan, tiba-tiba melihat kepala anjing menyembul dari balik tembok." 　　Jiang Si mengikuti arah jari Ah Man. 　　Tak lama kemudian, seekor anjing besar menyembulkan kepalanya. 　　Jiang Si hampir tertawa. 　　Rupanya kekhawatirannya sia-sia. Er Niu bahkan tahu cara menyembunyikan diri. Pasti sengaja membiarkan diri ditemukan Ah Man. 　　Jiang Si memberi isyarat pada Ah Man untuk tetap di tempat, lalu berjalan mendekat sendiri. 　　Begitu melihat Jiang Si mendekat, Er Niu segera menjulurkan lidah dan menjilati telapak tangannya dengan mesra. 　　Jiang Si mengelus kepala Er Niu sambil bergumam, "Er Niu, mengapa kau begitu akrab denganku?" 　　Ia sudah lupa bagaimana penampilan Er Niu saat pertama kali bertemu di kehidupan sebelumnya, saat itu Er Niu sepertinya tidak sepintar ini. 　　Tapi Er Niu yang sekarang jelas lebih muda usianya. Jika kecerdasannya meningkat seiring waktu, seharusnya di kehidupan sebelumnya saat pertama bertemu dia sudah lebih pintar. 　　Menatap mata polos Anjing Besar, sebuah pertanyaan berputar di hati Jiang Si: Jangan-jangan Er Niu sama sepertinya, mengalami dua kehidupan sebagai anjing? 　　Ini terlalu aneh. 　　Jiang Si menggelengkan kepala, mengusir pikiran absurd itu. 　　Er Niu tak sabar mendorong tangan Jiang Si dengan moncongnya, lalu menengadahkan kepala memperlihatkan lempengan tembaga yang tergantung di lehernya. 　　Jiang Si menatap lempengan tembaga beberapa saat, lalu membalikkannya. Tampak sebuah kantong bersulam kecil tersembunyi di baliknya. 　　Apa yang dikirim Yu Qi untuknya? 　　Jiang Si mengambil kantong itu, mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Tertulis tiga kata: "Tak punya hati nurani!" 　　Jiang Si terdiam. 　　Kenapa dia disebut tak punya hati nurani? 　　Memang, keberhasilan menyingkap Putra Mahkota Marquis Changxing tak lepas dari jasa Er Niu. Tapi mayat itu ditemukan oleh Er Niu, bukan olehnya. 　　Bayangan pria itu tersenyum tak tahu malu muncul di benak Jiang Si: "Bahkan Er Niu pun milikku, jasanya juga harus dianggap jasaku." 　　Jiang Si menunduk, kembali bertatapan dengan Anjing Besar. 　　"Guk--" Anjing Besar itu menggonggong merayu, ekornya bergoyang riang. 　　Sepertinya ada benarnya juga. Kehadiran Er Niu di Keluarga Marquis Changxing saat itu pasti atas perintahnya... 　　Di bab sebelumnya, waktu kematian mayat perempuan diubah dari delapan tahun lalu menjadi tiga tahun lalu. 134. BAB 134: ASAL MULA 　　BAB 134: ASAL MULA 　　"Guk--" Er Niu menggonggong lembut lagi, penuh rayuan. 　　Hati Jiang Si pun melunak. 　　Sudahlah, demi Er Niu--Dia menepuk punggung Er Niu, lalu kembali ke Ah Man: "Ah Man, berikan aku pensil alis." 　　Pelayan dekat seperti Ah Man di keluarga kaya selalu membawa pensil alis dan bedak kecil untuk darurat memperbaiki riasan nona mereka. 　　Ah Man buru-buru mengeluarkan Dailuo dari dompetnya dan memberikannya kepada Jiang Si. 　　Nona sudah cantik alami, buat apa pakai Dailuo? Sss—— Jangan-jangan mau menggambar alis untuk Er Niu? 　　Ah Man cepat menggelengkan kepala mengusir pikiran tidak masuk akal ini, tetap diam. 　　Sedikit bicara banyak bekerja, ikuti nona pasti tidak salah. 　　Jiang Si kembali ke tempat Er Niu, menulis karakter "Xie" sederhana dengan Dailuo di belakang kertas, memasukkan kembali ke kantong bersulam dan mengalungkannya ke leher Er Niu sambil mengelus bulunya yang lebat: "Pergilah." 　　Anjing Besar tidak rela, membuka mulut menggigit ugaun Jiang Si mencoba menarik ke belakang. 　　Tuan sudah bilang, kalau bisa bawa nyonya pulang akan diberi hadiah dua tael tulang berisi daging. 　　"Cepat pergi, sekarang aku tidak bisa ke sana." Sebuah karakter "Xie" sudah menunjukkan sikapnya, masak iya dia harus sering-sering mengunjungi tempat pria itu? 　　Er Niu melepaskan gigitannya memandang Jiang Si dengan tatapan polos, sepasang mata bulatnya hitam berkilau terlihat sangat memelas. 　　"Benar-benar tidak bisa." Jiang Si menghela napas, dalam hati mengingatkan diri sendiri agar tidak boleh lembek. 　　Er Niu langsung duduk, mengangkat satu kaki depan menutupi salah satu telinganya. 　　Jiang Si: "……" 　　"Guk guk." Er Niu memanfaatkan momentum. 　　Jiang Si akhirnya menyerah: "Baiklah, akan aku kunjungi ketika ada kesempatan." 　　Khawatir Er Niu tidak paham, ia melambaikan tangan menjelaskan: "Bukan sekarang——" 　　“Er Niu sudah berdiri segar bugar, mengibaskan bulunya lalu berlari kecil.” 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya. 　　Er Niu bahkan sudah belajar pura-pura menderita! Ini pantaskah dilakukan seekor anjing? 　　Pohon jujube bengkok di depan sebuah rumah di Gang Quezi masih dipenuhi bunga jujube, seekor Anjing Besar melintas sambil mengangkat kaki depan dengan cekatan mengetuk pintu. 　　Pintu terbuka sedikit, Anjing Besar itu gesit menyelinap masuk. 　　Yu Jin duduk di samping meja batu memegang cangkir teh, sudah tak sabar menunggu. 　　Kalau Er Niu tidak segera kembali, tulang dagingnya akan disita. 　　“Guk guk.” Er Niu meletakkan kedua kaki depannya di meja batu. 　　Yu Jin mencubit pipi anjing itu: “Melihatmu ingin minta pujian, apa yang kau bawa untukku?” 　　Er Niu sudah lama mengikutinya, dulu hanya pandai berkelahi di medan perang, sejak kembali ke ibu kota entah mengapa semakin pintar. 　　Er Niu-nya mungkin sudah jadi makhluk halus. 　　Yu Jin sama sekali tidak merasa khawatir atau excited sebagai majikan anjing ajaib, justru kantong bersulam di leher Er Niu yang membuatnya tegang. 　　Setidaknya dia akan memberinya sedikit jawaban? 　　Yu Jin membuka kantong bersulam itu dan mengambil secarik kertas, tersenyum melihat tulisan "Terima kasih" yang tergesa-gesa. 　　Sepertinya bukan tinta biasa, agak harum. 　　Melihat Yu Jin menunduk menghirup kertas itu, Long Dan menghela nafas memandang langit. 　　Memalukan! Dia memutuskan pura-pura tidak melihat! 　　Er Niu tak sabar menarik lengan baju Yu Jin. 　　“Yu Jin tersadar, segera memerintahkan Long Dan: "Bawakan Er Niu semangkuk tulang berisi daging."” 　　Er Niu menggeram kesal dua kali. 　　Hm? Yu Jin mengerutkan kening. 　　Er Niu menggeram lagi dua kali. 　　Yu Jin tertawa: "Kamu mau dua ember tulang berisi daging?" 　　Er Niu burung-burung mengangguk. 　　“Tidak boleh, kamu belum berhasil mengajak orangnya datang, hanya boleh dapat satu mangkuk.” 　　Meski kata-kata singkat darinya sudah membuatnya terkejut dan senang, tapi tidak boleh memanjakan Er Niu, nanti lain kali tidak bisa diperintah dengan mudah. 　　Er Niu menggeram kesal beberapa kali, lari ke pintu halaman lalu kembali, setelah bolak-balik beberapa kali, Yu Jin mulai menyadari sesuatu, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya: "Dia berjanji akan datang?" 　　“Wu——” Er Niu menggeram membenarkan. 　　Yu Jin berseri-seri: "Long Dan, bawakan Er Niu satu mangkuk lagi tulang berisi daging!" 　　Setelah sibuk melayani, Long Dan melihat Er Niu sedang asyik mengunyah tulang, sementara tuannya sambil mengusap dagu sesekali tersenyum kecut yang membuat orang tidak tega melihat, akhirnya berkomentar: "Tuanku, Anda baru bertemu Nona Jiang beberapa kali, tidak seharusnya..." 　　Tidak seharusnya begitu cepat terpikat oleh seorang gadis, lagipula tuanku bukan orang yang dangkal seperti itu! 　　“Tidak seharusnya bagaimana?” Yu Jin mengangkat alis. 　　Karena perbedaan latar belakang tumbuh kembang dengan pangeran lain, Yu Jin tidak bersikap angkuh terhadap Long Dan dan Leng Ying. 　　“Hamba hanya berpikir Tuanku belum mengenal Nona Jiang, bahkan kelebihan apa yang dimilikinya pun belum tahu, tidak sampai——” 　　Yu Jin melirik Long Dan dengan datar: "Keunggulan Nona Jiang tidak kamu ketahui?" 　　"Hamba benar-benar tidak tahu!" Long Dan menyeringai. 　　Pun tahu mana berani ngomong? Bagaimana kalau tuanku marah? 　　"Cantiknya." 　　"Apa?" Long Dan menggosok telinganya, ragu apakah dengarannya salah. 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Keunggulan seterang ini saja tidak bisa kau lihat?" 　　Long Dan terdiam sejenak, bertanya: "Jadi Tuanku hanya karena Nona Jiang cantik--" 　　"Bukankah itu sudah cukup?" Yu Jin membalas bertanya. 　　Maukah dia mengaku bahwa di masa remaja pernah tersasar dijual ke rumah bordil karena kecelakaan disangka perempuan, untung diselamatkan A Si sehingga sejak itu menaruh hatinya padanya? 　　Memalukan sekali! Jangan sampai bocor ke orang lain, bahkan pada A Si pun sampai mati takkan diaku. 　　Ia rela mengorbankan segalanya untuknya. Apa pentingnya alasan awal? 　　Angin berhembus menerbangkan bunga sutra berbentuk kipas. Yu Jin menyipitkan mata di kursi malas, merasa puas sepenuhnya. 　　Tak usah buru-buru. Perlahan-lahan, cepat atau lambat akan membuatnya menikah dengan sukacita. 　　Long Dan memandang langit dalam diam. 　　Ia salah. Tuanku belum genap 18 tahun, masih remaja. Apa salahnya jadi agak dangkal? 　　Lelaki mana di masa muda belum pernah dangkal! 　　Saat Jiang Si hendak pulang, kereta keluarga Bo terlihat mendekat dari kejauhan. 　　Ah Man berbisik, "Nona, itu Tuan Kedua dan Nyonya Kedua. Hamba dengar mereka baru kembali dari Kediaman Marquis Changxing." 　　Sementara mereka berbicara, kereta kuda telah berhenti. Pasangan Tuan Jiang Kedua turun terlebih dahulu, disusul Jiang Qian yang keluar terakhir. 　　Ah Man membelalakkan mata, menarik lengan baju Jiang Si dengan kasar sambil berbisik, "Nona, Er Guniang ternyata pulang!" 　　"Sudah kuduga." Jawab Jiang Si dengan tenang. 　　Sejauh mana keterlibatan Jiang Qian dalam kasus pembunuhan keji Putra Mahkota Marquis Changxing terhadap wanita itu, mungkin hanya dirinya sendiri yang tahu. Tapi satu hal pasti: Dia sama sekali tidak tak bersalah. 　　Ayah adalah Dongping Bo, mempertimbangkan reputasi seluruh Keluarga Bo, dia tidak akan banyak bicara di saat-saat genting ini. Tapi jika Jiang Qian berani kembali, kita lihat saja nanti. 　　"Paman, Bibi Er, Kakak Kedua." Ketika ketiganya lewat, Jiang Si menyapa dengan sopan. 　　Pasangan Tuan Jiang Kedua tidak berminat menanggapi, hanya mengangguk asal-asalan saat melintas. Tapi Jiang Qian berhenti, menatap Jiang Si tanpa berkedip. 　　Gadis berbaju putih dan gaun merah itu, bahkan hamparan bunga peoni di kediaman Marquis pun tak mampu menyaingi kecantikannya. 　　Jiang Qian menggenggam tangannya erat-erat. 　　Hanya sekejap mata, statusnya berubah dari Istri Putra Mahkota yang terhormat menjadi istri pembunuh berantai. Meski hubungannya sudah diputus secara moral, mustahil baginya untuk menegakkan kepala lagi. Tapi orang dihadapannya masih tetap bersih dan berprospek cerah. 　　Saat ini, Jiang Qian sudah lama melupakan rasa penghinaannya terhadap Jiang Si yang pernah membatalkan pertunangan, hatinya hanya dipenuhi satu pikiran: Mengapa bisa begitu? 　　"Qian'er——" panggil Xiao Shi. 　　Jiang Qian menunduk, mengangkat ujung roknya melewati ambang pintu Keluarga Bo, berbisik pelan: "Aku segera datang." 　　Terima kasih atas hadiah dan votingnya, sampai jumpa besok. 135. BAB 135 Keterkaitan 　　BAB 135 Keterkaitan 　　Pasangan Tuan Jiang Kedua membawa Jiang Qian ke Cixintang. Dayang utama A Fu berdiri di pintu memberi hormat: "Tuan Kedua, Nyonya Kedua, Ibu Suri sudah lelah dan beristirahat." 　　"Ibu Suri sudah tidur?" Tuan Jiang Kedua terlihat bingung. 　　Saat mereka pergi ke Kediaman Marquis Changxing, sang nenek masih terlihat segar bugar. 　　Xiao Shi yang terbiasa dengan taktik rumah tangga segera memahami maksud Nyonya Feng: Beliau tidak ingin menemui Qian'er. 　　"Kalau Ibu Suri sudah beristirahat, kami akan kembali memberi salam lain waktu." Xiao Shi diam-diam menarik lengan Tuan Jiang Kedua, kembali ke Yaxinyuan. 　　Yaxinyuan terlihat sama seperti biasa, hanya para pelayan yang berjalan dengan langkah ringan, menciptakan keheningan yang mencekam. 　　Begitu masuk kamar, Jiang Qian langsung menangis: "Aku mempermalukan Keluarga Bo. Pasti Nenek marah padaku sampai tidak mau bertemu——" 　　Dalam hal ini, Jiang Qian juga sangat sensitif. 　　Tuan Jiang Kedua kesal: "Menangis terus apa gunanya? Nenekmu hanya lelah, bagaimana bisa dikaitkan dengan tidak mau menemuimu?" 　　“Jiang Qian menitikkan air mata deras, mulutnya tidak membantah, namun dalam hati menyimpan cibir dingin. 　　Di masa lalu saat dia masih dihormati, pernahkah nenek bersikap seperti ini setiap kali dia pulang? Kini jelas-jelas menunjukkan ketidakpuasan dan sikap tegas. 　　Tapi mengatakan ini pada ayah hanya akan membuatnya jengkel. Pria dan wanita memang berbeda pandangan. 　　“Qian'er, aku bertanya padamu, apa rencanamu sebenarnya?” Tuan Jiang Kedua memang enggan memusingkan persaingan antar wanita, fokusnya tertuju pada urusan besar saat ini. 　　Jiang Qian berhenti menangis, menunduk berkata: “Putri akan patuh pada keputusan ayah dan ibu.” 　　“Maksud kami ingin kamu melakukan yijue dengan Putra Mahkota Marquis Changxing. Ini sudah dibicarakan di Kediaman Marquis.” 　　Sebagai orang tua pihak perempuan, tentu harus menunjukkan sikap tegas atas kelakuan pria seperti ini. Tapi untuk menghindari penyesalan di kemudian hari, pertanyaan ini perlu diajukan. 　　“Ayah yang tentukan, Putri akan patuh.” Jiang Qian menjawab penuh kepatuhan. 　　“Baik, ayah akan mengajukan gugatan ke pemerintah. Setelah dokumen yijue didapat, ibumu akan menjemput barang-barang maharmu dari Kediaman Marquis. Semua akan beres setelah ini.” Tuan Jiang Kedua tak ingin berlama-lama di ruangan, pergi dengan tangan terkunci di punggung. 　　Jiang Qian pun terjatuh ke pelukan Xiao Shi sambil terisak: “Ibu, hidup putri sungguh pahit! Ke mana putri harus berlabuh nanti?” 　　“Xiao Shi menepuk-nepuk punggung Jiang Qian dengan lembut, menghibur: "Nanti Ibu akan menyuruh beberapa nenek yang suka bergosip untuk menyebarkan kabar bahwa kamu diperlakukan semena-mena oleh Putra Mahkota Marquis Changxing. Nanti semua orang akan tahu penderitaanmu dan hanya akan bersimpati. Setelah waktu lama dan peristiwa ini mereda, Ibu akan mencarikanmu jodoh yang baik."” 　　“Di Dinasti Zhou, adat istiadat cukup terbuka dan sangat toleran terhadap wanita. Wanita yang menjanda atau bercerai bahkan menikah untuk ketiga kalinya bukanlah hal aneh.” 　　“Tentu saja sebagian besar wanita yang menikah lagi biasanya mendapatkan keluarga suami yang lebih rendah statusnya dibanding pernikahan pertama.” 　　“Jiang Qian bersandar di pelukan Xiao Shi sambil menggigil hebat: "Ibu, Putri ingin selalu tinggal di sisi Ibu, tidak ingin menikah lagi."” 　　“Jika bertemu orang sinting seperti Cao Xingyu lagi, mana bisa senyaman tinggal di Keluarga Bo. Sekarang dia harus banyak-banyak menarik simpati ibu agar hidupnya di Keluarga Bo lebih nyaman.” 　　“Xiao Shi berpikir wajar jika putrinya yang baru mengalami hal seperti ini tidak mau memikirkan pernikahan lagi, lalu buru-buru berkata: "Baik, tidak perlu memikirkan yang jauh-jauh. Kamu boleh tinggal bersama Ibu selama yang kamu mau."” 　　“Barulah Jiang Qian tersenyum melalui air mata.” 　　“Saat ini seluruh ibu kota memantau kasus pembunuhan oleh Putra Mahkota Marquis Changxing. Kabar bahwa Tuan Jiang Kedua melapor ke pemerintah untuk meminta perceraian resmi menyebar cepat bagai terbang ke seluruh penjuru kota.” 　　“"Dengar kabar? Keluarga Dongping Bo akan bercerai resmi dengan Keluarga Marquis Changxing."” 　　“Perceraian karena kekejaman itu bagus, lebih baik menjauhi keluarga semacam itu sejak awal. Kudengar putri Dongping Bo Residence yang menikah ke sana sering dipukuli. Kasihan sekali gadis bangsawan cantik jelita itu, tubuhnya penuh memar biru keunguan tak kunjung sembuh...” 　　“Dosa besar, mana ada keluarga yang mau menerima hal semacam ini? Tapi kalangan bangsawan tinggi banyak pantangan, nanti gadis ini pasti sulit menikah dengan keluarga sederajat.” 　　“Kudengar sebelum kejadian, dua putri keluarga Bo sempat menginap di Kediaman Marquis Changxing. Entah ada yang dirugikan atau tidak...” 　　“Hihihi, ini sulit dipastikan, siapa yang tahu.” 　　…… 　　Desas-desus ini sampai ke Dongping Bo Residence, membuat Nyonya Feng gemetar marah. Ia memanggil Xiao Shi dan menghujani dengan makian. 　　Menyaksikan putrinya yang dulu menikah megah kini terjatuh, Xiao Shi hanya bisa menahan diri. Setelah kembali, ia menggerutu: "Qian'er, kalau kau tahu kelakuan biadab binatang itu, kenapa masih mengajak adik-adikmu menginap di Kediaman Marquis?" 　　Jiang Qian tentu saja menyangkal tuduhan rekayasanya terhadap Jiang Si, dengan suara tertahan: "Aku mengajak adik-adik menginap untuk menunjukkan pamor keluarga kami, agar Cao Xingyu sedikit takut—" 　　Xiao Shi menghela napas panjang, kepalanya terasa mau pecah. 　　Semoga urusan Qian'er ini tidak mempengaruhi studi Cang'er. 　　Saat ini, Jiang Pei si Putri Keenam juga dilanda kegelisahan. 　　Dia tinggal di halaman yang sama dengan Nona Kelima Jiang Li. Mendengar kabar dari luar, dia langsung berlari ke kamar Jiang Li. 　　"Kakak Kelima, sudah dengar kabar dari luar?" 　　"Kabar apa?" 　　Jiang Pei menghentakkan kaki: "Keluarga Marquis Changxing mengalami masalah besar seperti ini, kenapa kau tidak menyuruh dayang memantau situasi di luar?" 　　Jiang Li mengatupkan bibir tanpa bicara. 　　Sekalipun ada masalah, bukanlah urusan seorang putri selir sepertinya untuk ikut campur. Lebih baik diam di tempat daripada membuat masalah. 　　Jiang Pei langsung menangis kesal: "Kakak Kelima, kau benar-benar keras kepala! Sekarang orang luar bilang kita yang lama tinggal di Kediaman Marquis sudah dinodai oleh kakak ipar - ah, oleh binatang itu! Sekarang kita benar-benar terjepit tak bisa membela diri!" 　　Jiang Li berkata perlahan: "Ibu kota selalu penuh gosip. Omongan ini akan reda dengan sendirinya. Waktu itu Kakak Kedua mengundang dengan tulus, bagaimana mungkin kita menolak?" 　　Jiang Pei tertegun, tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan Jiang Li: "Apa Kakak Kedua sengaja?" 　　"Sengaja apa?" 　　Jiang Pei menutup mata. Pikirannya berputar cepat, seolah-olah belum pernah sesadar ini. 　　Pantas saja Kakak Kedua berulang kali mengundang mereka menginap di Kediaman Marquis. Pantas saja sikapnya terhadap Kakak Keempat begitu aneh sampai mau menuruti segala permintaan. Jawabannya sederhana: Target berikut Putra Mahkota Marquis Changxing adalah Kakak Keempat! 　　Jiang Pei membuka mata lebar-lebar. 　　“Adik Keenam, ada apa?” Jiang Li bertanya heran. 　　“Tidak ada, Kakak Kelima. Aku akan kembali ke kamar.” Jiang Pei tersenyum paksa, gerakannya kaku saat berjalan mundur, seolah kakinya terasa sangat berat. 　　Dia akhirnya mengerti - Jiang Qian sama sekali tidak tak bersalah, melainkan komplotan! 　　Setelah kepergian Jiang Pei, tirai mutiara setengah tergulung masih bergoyang perlahan, gemerincing mutiara saling bertabrakan menciptakan suara merdu. 　　Jiang Li menatap tirai mutiara itu lama-lama, lalu menghela napas pelan. 　　Ternyata Adik Keenam juga sudah menyadarinya. 　　Ke depannya dengan kehadiran seseorang yang tinggal di Keluarga Bo ini, dia harus lebih waspada. 　　Di Shuntianfu, kasus pembunuhan sepuluh wanita oleh Putra Mahkota Marquis Changxing belum sepenuhnya ditutup. Mencari dan memberi tahu keluarga korban membutuhkan waktu lama, tidak bisa terburu-buru. Zhen Shicheng menggunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan Jiang Si. 　　Gadis kecil yang muncul di taman Kediaman Marquis Changxing itu, rasanya bukan kebetulan belaka. 　　Selamat pagi. 136. BAB 136: Pertemuan Kembali dengan Zhen Shicheng 　　BAB 136: Pertemuan Kembali dengan Zhen Shicheng 　　Dari Kuil Lingwu hingga Kediaman Marquis Changxing, selalu ada jejak gadis kecil itu. Insting tajam Zhen Shicheng yang terasah selama bertahun-tahun menangani kasus membuatnya tak bisa mengabaikan fakta ini. 　　Bawahan melapor: "Tuan, hamba sudah memeriksa. Di antara para gadis bangsawan yang menghadiri pesta di Kediaman Marquis Changxing hari itu, tidak ada nona bermarga Jiang." 　　Zhen Shicheng mengelus-elus janggutnya. 　　Apakah marga yang diberikan itu palsu? 　　“Ini sebenarnya tidak sulit dipahami. Saat itu, kakak laki-laki gadis itu terlibat dalam kasus pembunuhan di Kuil Lingwu. Wajar jika dia enggan menyebutkan nama aslinya.” 　　Zhen Shicheng memandang bawahannya dengan tatapan seperti melihat orang bodoh: "Untuk apa ribet? Langsung tanya saja asal-usul wanita bangsawan tercantik yang hadir dalam pesta hari itu." 　　Pandangan bawahan yang tertuju pada Zhen Shicheng tiba-tiba menjadi sangat bermakna. 　　Tak disangka Tuan masih punya sisi seperti ini! 　　Zhen Shicheng hampir mencabut sehelai janggutnya karena marah, lalu menendang bawahannya: "Cepat periksa!" 　　Bawahan segera melapor: "Wanita itu bermarga Jiang, berasal dari Dongping Bo Residence, putri keempat." 　　"Dongping Bo Residence?" Mata Zhen Shicheng berkilat sambil mengelus janggutnya. 　　Istri Putra Mahkota Marquis Changxing berasal dari Dongping Bo Residence. Jadi gadis kecil itu adalah adik ipar Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Kuil Lingwu, pesta bunga di Kediaman Marquis Changxing, Nona Keempat Jiang yang cantik jelita, Putra Mahkota Marquis Changxing yang sangat memperhatikan penampilan... 　　Informasi-informasi ini bagai mutiara-mutiara yang hanya perlu seutas benang untuk dirangkai. 　　Zhen Shicheng memejamkan mata sambil bersandar di kursi, jarinya mengetuk-ngetuk meja perlahan. 　　Kasus yang bertubi-tubi membuat pria paruh baya ini terlihat letih karena kesibukan, alis tegas dan kerutan vertikal di antara alisnya menunjukkan dia bukan tipe orang yang mudah menyerah saat menghadapi masalah. 　　“Bawahan tahu ini saat Bapak sedang berpikir, dengan patut menutup mulut tak berani mengganggu.” 　　Entah berapa lama, suara ketukan jari yang berirama tiba-tiba berhenti. Zhen Shicheng membuka matanya. 　　“Aku sudah mengerti garis besarnya!” 　　“Bapak——” 　　“Aturkan, aku ingin bertemu dengan Nona Keempat Jiang itu.” 　　“Apa?!” Bawahan itu membuka mulut lebar-lebar. 　　Bapak, ini sudah keterlaluan. 　　“Kenapa?” 　　Bawahan itu tampak bingung: “Bapak, dia kan putri bangsawan Keluarga Bo, dengan status apa kita bertemu?” 　　Secara pribadi maupun resmi, harus ada alasannya. 　　Zhen Shicheng langsung berdiri: “Ikut aku ke Keluarga Bo. Kebetulan kasus belum ditutup, dan Keluarga Bo punya hubungan kekerabatan dengan Keluarga Marquis Changxing. Aku perlu meminta keterangan dari beberapa nona.” 　　Keluarga Dongping Bo terkejut menerima kartu kunjungan dari Zhen Shicheng. 　　“Bukannya Putra Mahkota Marquis Changxing sudah dihukum pancung segera? Mengapa tiba-tiba mau memeriksa Qian'er lagi?” Xiao Shi meremas saputangannya, wajah masam. 　　Tuan Jiang Kedua mencibir: “Zhen Shicheng berani menghukum mati Putra Mahkota Marquis Changxing, bilang pangeran pun sama di mata hukum dengan rakyat jelata. Masak tidak boleh memeriksa Qian'er? Jangan lupa, Qian'er mantan istri sah Putra Mahkota Marquis Changxing. Sekalipun sudah bercerai, fakta itu tak berubah. Wajar jika Zhen Shicheng ingin menggali informasi darinya.” 　　“Tetap tidak boleh! Qian'er sudah terlalu menderita. Aku tak ingin dia terganggu lagi.” Xiao Shi bersikeras. 　　Meski tidak ingin berpikir lebih jauh, namun berdasarkan naluri seorang ibu, dia tidak ingin putrinya tampil di depan umum di saat seperti ini. 　　Apakah Qian'er benar-benar tidak tahu apa-apa tentang kejahatan Putra Mahkota Marquis Changxing seperti yang dia katakan, atau sudah lama mencurigai sesuatu——bagaimana jika Prefect Shuntian itu menjatuhkan tuduhan menyembunyikan informasi pada putri kami? 　　Dia sama sekali tidak boleh membiarkan Qian'er mengambil risiko ini! 　　Zhen Shicheng segera tiba di Keluarga Bo, yang menemani selain Tuan Jiang Kedua juga ada Jiang Ancheng. 　　Setelah basa-basi singkat, Zhen Shicheng langsung berkata: "Mengenai kasus pembunuhan kejam sepuluh perempuan oleh Putra Mahkota Marquis Changxing, pejabat ini masih ingin meminta informasi lebih lanjut dari Cao Jiang Shi." 　　"Tuan Zhen, putri saya sudah bercerai secara resmi dengan Putra Mahkota Marquis Changxing, bukan hubungan suami istri lagi." Tuan Jiang Kedua mengingatkan. 　　Zhen Shicheng tersenyum: "Ah, pejabat ini ingat sekarang. Kalau begitu mohon Tuan Kedua mempersilakan putri Anda untuk hadir." 　　"Tuan Zhen, sejujurnya putri saya berwatak lemah lembut, selalu menjadi korban kekerasan Putra Mahkota Marquis Changxing. Kini dengan munculnya kasus mengerikan ini, putri saya sudah tidak kuat menahan tekanan hingga jatuh sakit dan tidak bisa bangun. Saat ini benar-benar tidak bisa menemui siapa pun, mohon pengertian Tuan Zhen." 　　"Begitu ya——" Zhen Shicheng menggerakkan alisnya, situasi seperti ini sudah diantisipasinya. 　　Tidak hanya putri bangsawan Keluarga Bo, bahkan di keluarga biasa pun, wajar jika pihak perempuan merasa malu dan enggan muncul. 　　"Untungnya niat Zhen Shicheng datang hari ini bukan untuk minum, tidak bersikeras. Ia mengubah topik pembicaraan: 'Bagaimana dengan putri-putri lain di Keluarga Bo? Mereka semua ada di lokasi saat kejadian, tidak mungkin semua jatuh sakit karena ketakutan?'" 　　Tuan Jiang Kedua tak sengaja menatap Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng yang jujur merasa senang dengan Zhen Shicheng yang tegas menghukum Putra Mahkota Marquis Changxing. Ia tersenyum: "Mereka semua baik-baik saja." 　　Bahkan dia sendiri terkejut melihat Si'er menyaksikan kejadian itu, sampai-sampai membeli dua paha babi kecap untuk menenangkannya. 　　"Kalau begitu, pejabat ini akan mewawancarai beberapa nona untuk klarifikasi." 　　"Silakan Tuan Zhen bertanya, semoga bisa membantumu." Jawab Jiang Ancheng dengan santai. 　　Tuan Jiang Kedua diam-diam mencebik. 　　Kakak ini bodoh, menghadapi urusan seperti ini orang lain malah menghindar. 　　Zhen Shicheng tertawa lebar: "Terima kasih Sang Bangsawan! Nanti saya traktir minum." 　　"Saya tunggu jamuan Tuan Zhen." 　　Zhen Shicheng meminta Jiang Ancheng dan lainnya meninggalkan ruangan dengan alasan kerahasiaan investigasi. Orang pertama yang diwawancarai adalah Jiang Qiao. 　　Setelah sekitar seperempat jam, Jiang Qiao keluar sambil mengedipkan mata ke Jiang Si: "Adik Keempat jangan gugup, Tuan Zhen itu ramah." 　　Jiang Si mengangguk, lalu masuk ke dalam. 　　Zhen Shicheng duduk tegak memegang cangkir teh, tersenyum saat melihat Jiang Si masuk: "Nona Jiang, kita bertemu lagi." 　　“Saat ini tidak ada orang lain di ruangan, Jiang Si dengan anggun memberi hormat dengan menekuk lutut: ‘Setelah berpisah di Kuil Lingwu, Yang Mulia mengatakan kita akan bertemu lagi, tak disangka pertemuan berikutnya justru di kediaman saya.’” 　　Zhen Shicheng tertawa lebar, menunjuk kursi di seberang: “Nona kecil ini sangat blak-blakan, silakan duduk.” 　　Jiang Si duduk dengan ekspresi tenang. 　　Mengingat orang ini pernah melihat kecerdikan mulutnya di Kuil Lingwu, tak perlu lagi berpura-pura lemah lembut. 　　“Pejabat ini tidak menyangka nona kecil ini ternyata putri bangsawan Keluarga Bo.” 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Saya pun tidak menyangka Yang Mulia bukan seorang County Lieutenant, melainkan Prefect Shuntian.” 　　Andai saat itu tahu pria ini adalah Zhen Qingtian, mungkin dia akan diam-diam bersembunyi di kerumunan orang, dan pertemuan hari ini tidak akan terjadi. 　　Benar, Jiang Si yakin, kunjungan Zhen Shicheng ke Keluarga Bo untuk menemui Jiang Qian hanyalah kedok, tujuan sebenarnya adalah bertemu dengannya. 　　Zhen Qingtian yang memiliki mata elang ini mungkin telah menebak sesuatu. 　　Zhen Shicheng meneguk tehnya dengan nada lembut: “Apa pendapat Nona Jiang mengenai kasus Putra Mahkota Marquis Changxing?” 　　“Putra Mahkota Marquis Changxing layak menerima hukumannya, keputusan Yang Mulia sangat membahagiakan rakyat dan akan dikenang sepanjang masa.” 　　Zhen Shicheng tersenyum: “Jangan bicara basa-basi. Nona Jiang, bukankah engkaulah target berikutnya dari Putra Mahkota Marquis Changxing?” 　　Terima kasih untuk He Shibi dariの, terima kasih untuk hadiah dari teman pembaca 150802102440621, iampetty, mcj221, dan. Terima kasih kepada teman-teman pembaca yang telah memberikan suara. Sampai jumpa besok. 137.Bab 137 Belas Kasihan 　　Bab 137 Belas Kasihan 　　Tangan Jiang Si yang terletak di lutut bergerak perlahan. 　　Harus diakui, Tuan Zhen di hadapannya memiliki kepekaan yang luar biasa. 　　Bagi orang seperti ini, berbohong hanya akan mempermalukan diri sendiri. 　　Jiang Si langsung menjawab dengan tersenyum: "Mungkin saja." 　　Zhen Shicheng mengusap-usap janggutnya sambil merasa gadis kecil ini semakin menarik. 　　"Aku penasaran, mengapa Xiuniangzi dan Kakek Chi sama-sama bermimpi arah putri mereka yang meminta keadilan?" Ini adalah ujian dari Zhen Shicheng yang matanya tak lepas mengamati Jiang Si. 　　Gadis itu menjawab tenang: "Seperti kata pepatah, tiga kaki di atas kepala ada dewa. Perbuatan manusia selalu diawasi langit." 　　"Bagus! 'Manusia berbuat, langit mengawasi'!" Ekspresi Zhen Shicheng semakin serius. "Langit menghukum penjahat melalui tangan manusia. Bagaimana pendapatmu, Nona Jiang?" 　　Jiang Si tersenyum manis: "Bukankah Tuan adalah perwujudannya? Berkat Tuan Besar seperti Anda, Putra Mahkota Marquis Changxing dihukum, sehingga korban perempuan mendapat keadilan." 　　Zhen Shicheng menatap tajam ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si mengangkat dagunya yang anggun, membiarkan dirinya diamati. 　　Hatinya bersih, tak takut interogasi apapun. 　　Sekalipun terbukti dialah yang berpura-pura jadi hantu, Tuan Zhen tak mungkin menangkapnya karena alasan ini. 　　Tiba-tiba Zhen Shicheng tertawa dan mengedipkan mata padanya. 　　Jiang Si sesaat tertegun. 　　“Tuan Zhen yang sudah sepuh tiba-tiba membuat ekspresi seperti ini, sungguh mengerikan.” 　　“Nona kecil, jangan anggap saya sebagai Prefect Shuntian, anggap saja sebagai teman sejati. Katakanlah bagaimana caramu melakukannya?” 　　Perubahan sikap mendadak lawan bicara membuat Jiang Si mengernyitkan bibir, berpura-pura bodoh: “Apa maksuda Tuan? Sama sekali tidak mengerti.” 　　Zhen Shicheng: “...” Dengan susah payah melepas muka tua untuk berlagak bodoh, ternyata si nona ini begitu kejam! 　　Sorot mata Jiang Si berkilauan menahan tawa. 　　Apapun spekulasi lawan bicara, yang penting dia harus tetap berpura-pura tidak mengerti. 　　Untunglah Tuan Zhen ini bukan tipe pejabat yang akan memaksa seorang gadis demi mencapai tujuan. 　　Zhen Shicheng menghela napas panjang: “Sudahlah, mungkin ini hanya prasangka hamba.” 　　Berlagak bodoh gagal total. Mungkin setelah menjalin hubungan lebih dekat, si nona mau bicara jujur? 　　Bagi orang yang terbiasa mengendalikan seluruh investigasi kasus, menemukan teka-teki yang tak terpecahkan bagai gatal tak tergaruk. 　　Hmm, putra sulungku yang berparas lumayan akan segera tiba di ibukota. Mungkin bisa dikenalkan. 　　Beberapa ide melintas di kepala Zhen Shicheng, dan yang terakhir terasa sangat brilian. 　　Heh, kalau si gadis masuk ke keluarga kami, berani dia berbohong pada kepala rumah tangga? 　　Baiklah, nanti saat putra sulung datang harus diberi petunjuk khusus. 　　Di jalan utama, seorang pemuda menunggang kuda putih di samping kereta kuda tiba-tiba bersin tiga kali berturut-turut. 　　“Tirai kereta sedikit tersingkap, terdengar suara lembut seorang wanita: ‘A Yan, apakah kamu kedinginan?’” 　　Pemuda itu mengusap hidungnya sambil tersenyum: “Mungkin Ayah sedang merindukanku.” 　　Setiap kali Ayah memikirkannya, pasti ada masalah! Kali ini pergi ke ibukota, entah kesulitan apa yang menantinya. 　　Jiang Si melihat ekspresi Zhen Shicheng yang tak bisa menyembunyikan kegembiraan, agak kehabisan kata. 　　Tak menyangka Tuan Zhen yang jenius dalam memecahkan kasus ini ternyata... begitu mudah didekati? 　　“Tuan Zhen, bagaimana kabar Xiuniangzi sekarang?” 　　Zhen Shicheng mengumpulkan pikiran, kembali ke ekspresi serius: “Xiuniangzi saat ini ditempatkan di kamar tamu belakang kantor yamen. Nona Jiang sangat memperhatikan Xiuniangzi?” 　　“Kudengar Xiuniangzi sangat menyedihkan, menjanda sejak muda dan hidup berdua dengan putrinya. Susah payah membesarkan putrinya, tapi malah mengalami nasib buruk...” 　　“Benar.” Zhen Shicheng ikut menghela nafas. 　　Yang paling mengharukan setelah memecahkan kasus selalu para korban malang ini, terutama Xiuniangzi. 　　“Saya berencana membuka toko kosmetik yang membutuhkan pekerja wanita. Jika Tuan Zhen tidak punya tempat untuk Xiuniangzi, biarlah dia bekerja di tokoku.” 　　Mata Zhen Shicheng berbinar: “Jika begitu, itu akan sangat baik.” 　　“Saat ini kasus belum sepenuhnya selesai, Xiuniangzi tinggal di kantor yamen masih bisa diterima. Setelah kasus benar-benar ditutup, tidak pantas lagi tinggal di sana. Keluarganya belum masuk ke ibu kota, orang-orang banyak mulut. Lama-lama semua rumor bisa tersebar.” 　　“Menyediakan tempat yang layak bagi Xiuniangzi untuk menghidupi diri sendiri dengan tangan lebih baik daripada memberinya uang.” 　　Zhen Shicheng semakin mengagumi gadis di hadapannya. 　　Tak disangka kunjungannya kali ini membawa keuntungan tak terduga. 　　“Hahaha, pejabat ini mewakili Xiuniangzi mengucapkan terima kasih pada Nona Jiang.” 　　Jiang Si buru-buru menjawab: “Yang Mulia terlalu sopan. Hanya saja toko kosmetik saya tidak memungkinkan untuk terlibat langsung, jadi harap Yang Mulia merahasiakan ini. Kepada Xiuniangzi juga tak perlu ungkapkan detail pemilik toko.” 　　“Tentu saja, Nona Jiang tak perlu khawatir. Tapi——” 　　“Apakah Yang Mulia masih ada kesulitan?” 　　Setelah kegembiraan awal, Zhen Shicheng kembali memikirkan masalah praktis: “Xiuniangzi menderita kesedihan kehilangan anak, mungkin sulit baginya untuk bangkit dalam waktu dekat.” 　　Jiang Si teringat penampilan Xiuniangzi di malam itu. 　　Kondisi mental Xiuniangzi bisa dikatakan hanya selangkah lagi dari kegilaan. 　　Dia ingin membantu Xiuniangzi. 　　Setiap orang punya rasa belas kasihan, apalagi putri Xiuniangzi dan dirinya sama-sama menjadi korban Putra Mahkota Marquis Changxing. Ini mungkin bisa disebut sebagai takdir yang menyedihkan. 　　Kini putri Xiuniangzi telah tiada, sementara dirinya telah terbebas dari bayang-bayang kehidupan sebelumnya, maka biarlah dia menggantikan putri Xiuniangzi untuk membantu sang ibu menjalani hidup dengan baik. 　　"Xiuniangzi biasanya bangun jam berapa?" 　　Zhen Shicheng terkejut oleh pertanyaan itu, menjawab canggung: "Pejabat ini tidak memperhatikan." 　　Untuk apa dia memperhatikan hal itu! 　　Jiang Si menyadari ucapannya kurang pantas, tersenyum kecut: "Hamba memiliki suatu cara, mungkin bisa menyemangati Xiuniangzi." 　　"Oh, sudilah Nyonya berbagi ilmunya." Mata Zhen Shicheng berbinar. 　　Jiang Si berbisik beberapa patah kata. Zhen Shicheng awalnya terkejut, lalu manggut-manggut. 　　"Perjalanan ini tidak sia-sia. Nona Jiang, sampai jumpa di lain waktu." 　　"Hamba pamit undur diri." Jiang Si memberi hormat dengan menekuk lutut, lalu keluar ruangan. 　　Untuk menjaga konsistensi sandiwara, Zhen Shicheng dengan sabar menemui Jiang Li dan Jiang Pei sebelum akhirnya meninggalkan Kediaman Dongping Bo. 　　Nyonya Feng tidak muncul sama sekali, namun menyuruh dayang memantau situasi. Mendengar Zhen Shicheng telah pergi, bergumam kesal: "Aib keluarga! Kenapa harus berurusan dengan keluarga semacam itu, dapat masalah percuma! Beri tahu Nyonya Kedua, suruh Er Guniang tetap di paviliunnya, jangan sembarangan keluar!" 　　Sejak menikah langsung mendapat perlakuan buruk, seharusnya sejak awal melapor ke keluarga! Andai bercerai beberapa tahun lalu, mana mungkin terjadi begini! 　　Nyonya Feng kini membenci habis-habisan cucu perempuan yang dulu paling disayanginya ini. 　　Mendapatkan kabar, Jiang Qian menggigit bibirnya hingga berdarah karena kebencian. 　　Kasus pembunuhan Cao Xingyu terbongkar. Nenek bicara seperti itu, padahal dua tahun lalu jika aku minta cerai karena dipukul, yang pertama menentang pasti nenek! 　　Dia tidak rela, dia ingin balas dendam pada semua orang yang menjerumuskannya ke keadaan ini! 　　Jiang Qian mengusap darah di bibirnya, matanya memancarkan kegilaan. 　　Untuk menjelaskan, Putra Mahkota Marquis Changxing mencari para gadis itu bukan karena kemiripan dengan Jiang Si, tapi justru karena seleranya yang memang menyukai tipe seperti itu. 138. Bab 138 Sepiring Kue Guihua 　　Bab 138 Sepiring Kue Guihua 　　Shuntianfu di pagi hari diselimuti cahaya fajar samar, derap hari yang sibuk akan segera dimulai bersamaan dengan kokok ayam yang tak jelas asalnya. 　　Xiuniangzi kembali menderita insomnia. 　　Setiap malam tiba, dia tak bisa tidur, selalu merasa langkah kaki akan segera terdengar di luar pintu - Niuniu-nya pulang. 　　Bagaimana mungkin dia tidur? Jangan-jangan jika tertidur akan kehilangan kesempatan bertemu Niuniu? 　　Xiuniangzi terbaring menatap kosong dengan mata terbuka lebar, baru tertidur lelap saat fajar menyingsing. 　　Kokok ayam membangunkan Xiuniangzi yang baru tertidur sebentar. 　　Dia membalikkan badan dan bangun, mengenakan pakaian lalu berjalan keluar dengan wajah lesu. 　　Kehilangan putri, apa bedanya hari-hari baginya? Hanya siksaan yang berulang tiada henti. 　　Dia menunggu, menunggu sampai binatang terkutuk itu didorong ke alun-alun eksekusi dan dipenggal kepalanya. Menyaksikan darah kotor itu menyembur keluar, barulah dia bisa tenang pergi mencari Niuniu. 　　Niuniu-nya baru berusia empat belas tahun, mana bisa hidup tanpa ibu di sampingnya. 　　Xiuniangzi membuka pintu perlahan-lahan. 　　Kesedihan kehilangan anak dan insomnia berhari-hari hampir menghabiskan tenaga hidup wanita ini, membuat gerakannya seolah-olah nenek tua. 　　Di atas tanah di depan pintu tergeletak sebuah keranjang bambu usang. 　　Xiuniangzi tiba-tiba menggigil, matanya menatap keranjang itu dengan tajam. 　　Di rumahnya memang ada keranjang bambu seperti ini. Hari itu Niuniu pergi membelikan kue guihua untuknya, juga membawa keranjang bambu seperti ini— 　　Xiuniangzi teringat sesuatu, tiba-tiba meraih keranjang itu dan membuka tutupnya dengan kasar. 　　Delapan potong kue guihua berbentuk belah ketupat tersusun rapi, menggugah selera. 　　Tangan Xiuniangzi gemetar, keranjang itu jatuh ke tanah. Kue guihua berhamburan keluar dari piring. 　　Ia menatap kue di tanah beberapa saat, tiba-tiba seperti orang gila berlutut, menyambar kue-kue itu dan menyuapnya ke mulut dengan rakus. 　　Nenek yang mendengar keributan segera datang menariknya: "Aduh, Xiuniangzi, makanan jatuh ke tanah mana boleh dimakan?" 　　“Xiuniangzi menggigil hebat, tiba-tiba meraih pergelangan tangan nenek itu, suaranya serak bertanya, ‘Ini datang dari mana?’” 　　Nenek itu belum pernah melihat Xiuniangzi dalam kondisi gila seperti ini, seketika terkejut. 　　“Katakan, ini dari mana?” 　　Nenek itu menundukkan pandangannya: “Kau menanyakan kue guihua ini?” 　　Xiuniangzi mengangguk keras. 　　“Tidak tahu, di kantor yamen semuanya Tuan Besar, siapa yang makan kue guihua? Aneh, tadi aku lewat sini belum melihat, kok tiba-tiba ada keranjang kue guihua?” 　　Xiuniangzi memeluk keranjang bambu itu, air mata mengalir deras: “Niuniu, pasti Niuniu yang membawakan kue guihua untukku!” 　　Nenek itu bertanya hati-hati: “Xiuniangzi, maksudmu apa ini?” 　　Kehadiran piring kue guihua ini seolah mengembalikan kemampuan bicara Xiuniangzi, ia menarik lengan nenek itu bergumam terus: “Hari itu Niuniu mau membelikanku kue guihua di pasar...” 　　Di akhir cerita, Xiuniangzi terisak-isak, nenek itu pun ikut mengusap air mata. 　　“Menurutmu, apakah kue guihua ini dikirim Niuniu?” tanya Xiuniangzi penuh harap. 　　Nenek itu menepuk pahanya keras: “Pasti! Aku heran tadi, keranjang ini muncul tiba-tiba, tentu Niuniu tidak tega meninggalkanmu, membawa kue guihua kesukaanmu untuk menengokmu.” 　　“Niuniu tidak tega meninggalkan saya?” 　　“Tentu saja tidak tega. Aduh, Xiuniangzi, cepat lihat keadaanmu sekarang, kurus tinggal tulang terbungkus kulit, mana mungkin Niuniu bisa tenang?” 　　Xiuniangzi tertawa riang: “Aku sudah tahu Niuniu pasti akan mencariku. Niuniu, kamu harus menunggu ibu ya, tidak lama lagi ibu akan menyusulmu——” 　　Nenek terkejut, meremas tangan Xiuniangzi kuat-kuat: “Xiuniangzi, jangan sampai kau berniat buruk.” 　　Xiuniangzi hanya tersenyum: “Aku tidak berniat buruk, hanya ingin menemui Niuniuku.” 　　“Xiuniangzi, kau benar-benar tidak waras!” 　　Xiuniangzi terdiam. 　　Nenek kesal karena ingin yang terbaik: “Mengapa Niuniu datang menemuimu? Tentu karena khawatir kau menderita merindukannya! Jika kau benar-benar berniat bunuh diri, Niuniu mungkin tidak bisa bereinkarnasi!” 　　“Apa maksudmu?” Xiuniangzi langsung tegang. 　　Nenek menghela napas: “Orang beruban mengantar yang berambut hitam, ini ketidakbakatan besar si anak. Xiuniangzi, pasti pernah dengar peribahasa ini?” 　　Xiuniangzi mengangguk. 　　Ini sudah pepatah lama, tentu dia tahu. 　　"Xiuniangzi, Niuniu pergi lebih dulu darimu. Apapun alasannya, dia sudah menanggung hutang dosa pada ibunya. Jika kau bunuh diri karena dia, dosanya akan semakin besar. Nanti saat Raja Yan Luo melihat buku jasa, seharusnya Niuniu bisa terlahir di keluarga kaya di kehidupan berikutnya. Tapi karena ini, mungkin dia akan masuk ke alam binatang——" 　　"Omong kosong!" Xiuniangzi terkejut, wajahnya pucat pasi. 　　Dirinya sendiri tak apa, tapi Niuniu tidak boleh menderita lagi! 　　Sang nenek menepuk punggung Xiuniangzi: "Makanya, Xiuniangzi, kau harus hidup dengan baik. Semakin baik hidupmu, hutang Niuniu semakin ringan. Nanti di kehidupan berikutnya dia akan berbahagia. Ah, Niuniu memang anak baik, masih ingat mengirimkan kue guihua untuk ibunya..." 　　Mata Xiuniangzi berkedip-kedip, bergumam: "Niuniuku pasti akan jadi putri bangsawan, tidak perlu ikutku menggiling tahu, dihina, apalagi dibunuh, bukan?" 　　"Tentu, pasti begitu." Sang nenek mengamati sorot mata Xiuniangzi yang mulai bersemangat, lalu menghela napas pelan. 　　Sepertinya dia percaya. Urusan mendapat uang hadiah dari Tuan Besar nanti, yang penting nyawa sudah diselamatkan. Ini juga termasuk berbuat kebajikan. 　　Xiuniangzi memang sangat memprihatinkan. 　　Zhen Shicheng segera mendapat kabar dari sang nenek. Hari ini Xiuniangzi tidak hanya menghabiskan semangkuk nasi, tapi juga menyapu lantai sendiri. 　　Zhen Shicheng akhirnya bisa lega. 　　Bisa makan, bisa bekerja, Xiuniangzi tampaknya sudah mengurungkan niat untuk bunuh diri. 　　Gadis kecil itu benar-benar punya cara. 　　Memikirkan Jiang Si, Zhen Shicheng tak bisa menahan senyum. 　　Jiang Si memberitahu Zhen Shicheng tentang rencana mempekerjakan Xiuniangzi, lalu menyuruh A Fei secepatnya mencari lokasi toko yang cocok. 　　Tokonya tidak perlu besar, sebaiknya di depan menghadap jalan untuk toko, di belakang ada halaman untuk tempat tinggal. 　　Jiang Si tidak berharap toko kecil ini menghasilkan untung, cukup untuk operasional. Yang penting ada toko kosmetik ini agar dia bisa muncul di sana secara legal, memudahkan urusan di kemudian hari. 　　Bagi Jiang Si, menghancurkan reputasi Putra Mahkota Marquis Changxing baru menyelesaikan satu masalah, masih banyak masalah lain yang harus diatasi. 　　Untuk itu, semua persiapan dini diperlukan. 　　Akhir Mei berlalu dengan gemparnya kasus pembunuhan 10 perempuan oleh Putra Mahkota Marquis Changxing. 　　Selama ini, kecuali satu keluarga korban yang tidak ditemukan, keluarga korban lain berdatangan mengurus pemakaman. Zhen Shicheng membantu mereka mendapatkan ganti rugi besar dari Keluarga Marquis Changxing. 　　Orang-orang cepat lupa. Perhatian publik segera beralih ke kasus kematian mendadak Paman Selir Yang. Karena kasus ini tidak berkembang, ibu kota terasa tenang sementara. 　　Tapi Yu Jin belakangan ini hatinya tidak tenang. 　　Ulang tahunnya yang ke-18 tiba. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 139.Bab 139 Ulang Tahun ke-18 Yu Jin 　　Bab 139 Ulang Tahun ke-18 Yu Jin 　　Usia delapan belas tahun merupakan tonggak penting bagi Pangeran Ketujuh. 　　Sebelum berusia delapan belas tahun, Yu Jin bisa dibilang dibesarkan secara bebas. Meski memiliki guru untuk belajar literatur dan bela diri yang siap mengajarinya kapan saja, tidak ada yang memaksanya mempelajari hal-hal yang tidak diminatinya dengan standar pangeran. 　　Keluarga kerajaan dan pejabat pemerintahan bersikap masa bodoh terhadap Yu Jin, meski tetap menunjukkan rasa hormat dasar saat bertemu muka. 　　Mereka juga menanti genapnya usia delapan belas tahun sang pangeran. 　　Dahulu ahli fengshui pernah berkata, Pangeran Ketujuh memiliki zodiak yang bertabrakan dengan Kaisar sejak lahir sehingga ayah-anak dilarang bertemu. Segala halangan akan sirna setelah pangeran genap delapan belas tahun. 　　Mereka menanti apakah Kaisar akan mengingat putranya ini setelah usia delapan belas tahun. 　　Jika diingat, tentu tak perlu penjelasan. Namun jika sang Kaisar telah melupakan pangeran ini, mereka bisa terus mengabaikannya. 　　Kegelisahan Yu Jin bukan karena alasan itu. 　　Ulang tahunnya sudah tiba, tapi Ah Si belum juga datang! 　　Tidak senang. 　　Pangeran yang sedang kesal itu mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan. 　　Di sana seekor Anjing Besar sedang berbaring santai sambil menjulurkan lidahnya. 　　Suasana hati sang pangeran semakin buruk. 　　Jangan-jangan Er Niu hanya membohonginya? Dia bahkan sudah dikibuli si brengsek ini dengan semangkuk tulang berisi daging! 　　Er Niu seolah merasakan sesuatu dan menoleh, memandang tuannya yang sedang cemberut dengan wajah polos. 　　Yu Jin menahan kuat-kuat keinginannya untuk menendang Er Niu sampai terbang. 　　Sudahlah, toh dia yang membesarkannya. Tak pantas bertengkar dengan seekor anjing! 　　"Terdengar suara ketukan di pintu." Meski suaranya tidak keras sampai ke telinga orang di halaman, Yu Jin langsung bangkit berdiri dan bergegas menuju pintu gerbang. 　　Long Dan berteriak dari belakangnya: "Tuanku, biar hamba yang bukakan pintu." 　　Wong sudah ada penjaga pintu bernama Lao Wang, ngapain tuanku semangat banget? 　　Lho, jangan-jangan Nona Jiang yang datang? 　　"Tidak perlu." Jawab Yu Jin pada Long Dan dengan suara yang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. 　　Api gosip di mata Long Dan tiba-tiba menyala berkobar-kobar. 　　Ternyata tebakannya benar! 　　Wah, Nona Jiang sampai berinisiatif mengunjungi tuanku, lagi-lagi di hari ulang tahunnya. Jangan-jangan tuanku bakal segera punya kabar bahagia? 　　Yu Jin bergegas ke pintu, mendahului reaksi Lao Wang si penjaga dan membuka pintu dengan gembira. Senyum di bibirnya tiba-tiba membeku. 　　Di luar berdiri pria tampan berpostur tinggi, usia sekitar dua puluhan tahun, diikuti dua pelayan dengan aura luar biasa. 　　Setelah hening sejenak, Yu Jin menyapa datar: "Kakak Keempat." 　　Tamu itu tak lain adalah Pangeran Qi, putra keempat Kaisar Jingming, satu ibu dengan Yu Jin dari Ibu Suri Xian. 　　Dua saudara kandung ini saling berhadapan di pintu. Dari segi penampilan ada kemiripan, sama-sama tampan luar biasa. Namun Pangeran Qi memancarkan keanggunan bangsawan yang terlatih, sementara Yu Jin masih menyimpan kesombongan dingin khas remaja. 　　Pangeran Keempat tersenyum: "Adik Ketujuh kira yang datang orang lain ya?" 　　"Adik ketujuh ini, tidak pernah bersikap hangat padanya." 　　Ekspresi Yu Jin sudah kembali normal, berkata datar: "Kenapa Kakak Keempat datang?" 　　Pangeran Keempat menunjuk ke pintu: "Adik ketujuh tidak mau mengundangku masuk dulu?" 　　Yu Jin menyingkir memberi jalan untuk Pangeran Keempat masuk. 　　Pangeran Keempat memandang sekeliling halaman. 　　Halaman tidak terlalu luas, terawat rapi. Sebatang pohon sutra besar menutupi separuh langit, di sudut tergeletak seekor Anjing Besar. 　　Santai, tenang, tapi terlalu sederhana bagi Pangeran Keempat. 　　Pangeran Keempat menghela napas: "Adik ketujuh, kau menolak tawaranku tinggal di tempatku, malah memilih menyendiri di sini—" 　　"Tidak mau mengganggu keharmonisan Kakak Keempat dan kakak ipar." Jawab Yu Jin dengan nada dingin. 　　"Lihatlah dirimu, bicara apa ini?" Pangeran Keempat tersenyum sambil menepuk bahu Yu Jin, "Kalau sehari-hari tidak mau tinggal lama di tempatku, hari ini harus ikut." 　　Alis Yu Jin berkerisik, tidak mengerti maksud tersembunyi Pangeran Keempat. 　　Pangeran Keempat terkejut: "Adik ketujuh, jangan-jangan kau lupa hari ini ulang tahunmu?" 　　Yu Jin tertegun. 　　Tentu saja dia tidak lupa. Dia masih menunggu kejutan dari A Si. Tapi untuk apa Kakak Keempat memperhatikan ulang tahunnya? 　　Selama bertahun-tahun, ulang tahunnya selalu dirayakan sendirian. 　　Pangeran Keempat menggenggam pergelangan tangan Yu Jin: "Sudah kuundang saudara-saudara kita yang lain. Sekarang mereka semua ada di kediamananku, jamuan sudah siap. Tinggal menunggumu saja." 　　“Lihat Yu Jin belum bereaksi, Pangeran Keempat langsung menarik lengannya: ”Adik Ketujuh, tahun-tahun sebelumnya kamu tidak di ibu kota, saudara-saudara ingin merayakan ulang tahunmu tapi tidak bisa. Tahun ini jangan sampai terlewat lagi.” 　　Yu Jin berpikir sejenak, lalu berhenti menolak. 　　Karena sudah kembali dan memutuskan tinggal untuk menikahi Asu, lambat laun dia harus berbaur dengan lingkaran ini. 　　Kalau begitu, mulailah dari hari ulang tahunnya yang ke-18 ini. 　　Melihat Yu Jin tidak lagi menolak, Pangeran Keempat tersenyum tipis: ”Begitu dong, terus menyendiri bagaimana bisa.” 　　Hari ini Adik Ketujuh genap 18 tahun. Orang lain boleh mengabaikan, tapi sebagai kakak kandung seibu, jika aku pura-pura tidak tahu, pasti akan dicap tidak berbakti. 　　Mengurus perayaan ulang tahun Adik Ketujuh adalah hal yang menguntungkan tanpa risiko. 　　Jika Ayah Kaisar tiba-tiba ingat Adik Ketujuh, tindakanku ini seperti memberikan bantuan di saat dibutuhkan. Kelak jika Adik Ketujuh sukses, pasti akan mengingat kebaikanku ini. Siapa tahu dia bisa menjadi penopangku. 　　Jika Ayah Kaisar benar-benar melupakan Adik Ketujuh, setidaknya aku dapat reputasi baik sebagai saudara yang penyayang. Bagaimanapun tidak akan rugi. 　　Tapi Adik Ketujuh ini benar-benar punya sifat aneh. 　　Pangeran Keempat mendesah dalam hati, lalu melengkungkan sudut bibirnya. 　　Dari sekian banyak saudaranya yang sudah sangat hebat, sifat seperti Adik Ketujuh justru membuatnya merasa tenang. 　　”Adik Ketujuh, kenapa tidak jalan?” Melihat Yu Jin tiba-tiba berhenti di depan pintu, Pangeran Keempat menyemangatinya. 　　Yu Jin tersenyum: ”Tidak apa, ayo pergi.” 　　Mungkin Asu tidak akan datang... 　　Setelah Yu Jin dan Pangeran Keempat pergi sekitar satu jam, Jiang Si muncul di depan pohon kurma bengkok bersama Ah Man. 　　"Nona, apakah kita benar-benar akan masuk?" Ah Man bertanya sambil menopang dahinya. 　　Paduka sudah berdiri seperempat jam, sebenarnya ingin bagaimana? 　　"Panggil pintu." Jiang Si mengerutkan bibir halus, akhirnya mengambil keputusan. 　　Bukan karena hari ini ulang tahunnya dia datang, hanya karena janji. Beberapa hari lalu dia berjanji pada Er Niu akan datang, kebetulan hari ini ada waktu luang. 　　Bagaimana jika dia tidak datang dan orang itu mengganggu Er Niu? Apa? Yu Qi bukan tipe yang kekanak-kanakan sampai menghukum Er Niu? 　　Jiang Si menyeringai. Jangan bercanda, bajingan itu memang begitu kekanak-kanakan, dia sudah pernah mengalaminya. 　　Tapi, apakah dia akan salah paham bahwa kedatangannya hari ini adalah untuk merayakan ulang tahunnya? Bisa jadi mengira dia peduli, lalu semakin lancang—— 　　Nona Jiang masih bimbang ketika pintu pagar berderit terbuka. 　　Menghadapi pelayan bermata satu, Ah Man bersemangat: "Apakah Tuan Yu ada di rumah?" 　　"Tidak——" 　　"Ada!" 　　Pelayan dan Long Dan bersahutan serentak. Setelah itu mereka saling pandang bingung. 　　Ah Man bingung: "Sebenarnya ada atau tidak?" 　　"Guk——" Seekor Anjing Besar mendorong Long Dan dengan moncongnya lalu menyelinap keluar. 　　Ah Man refleks mundur selangkah. 　　Ya ampun, kemampuan anjing besar ini sudah dia alami sebelumnya, tidak boleh macam-macam! 　　Er Niu berjalan melewati Ah Man, menggigit ujung gaun Jiang Si dan menariknya ke dalam. 　　Manusia-manusia bodoh ini, ada tidaknya tuanku tidak penting, yang penting tarik dulu orangnya ke dalam. 　　Selamat pagi. 140. BAB 140 Terlalu Banyak Minum 　　BAB 140 Terlalu Banyak Minum 　　Long Dan melihat wanita idaman tuannya benar-benar ditarik masuk oleh Er Niu, segera kabur menghilang. 　　Hal seperti ini harus segera dilaporkan ke tuanku, kalau tidak nanti tuanku pulang tahu kehilangan kesempatan bertemu Nona Jiang, pasti akan menghukumku. 　　Soal tidak ada yang menemani Nona Jiang setelah dia pergi - he he, dengan Er Niu di sini lebih baik daripada siapa pun. 　　Yu Jin mengikuti Pangeran Keempat ke Istana Qi, jamuan makan diselenggarakan di taman istana. 　　Kaisar Jingming memiliki delapan pangeran yang bertahan hidup, Yu Jin menghitung jumlah tamu - kecuali Putra Mahkota, semua sudah hadir. 　　Melihat kedatangan Yu Jin, ekspresi para pangeran beragam, sebagian besar menunjukkan pandangan meremehkan. 　　Meski mereka datang untuk merayakan ulang tahun Yu Jin, yang dihormati bukanlah Yu Jin, bahkan bukan pula Pangeran Keempat. 　　Hanya ada satu saudara yang sejak kecil tinggal di luar istana dan pernah berperang melawan suku barbar di selatan. Sejak datang ke ibu kota dia tidak bergaul dengan mereka, ini kesempatan baik untuk mencari keramaian. 　　"Adik ketujuh, minum bersamamu ini sungguh langka," ujar Pangeran Pertama dengan ramah menyapa. 　　Pangeran Pertama bergelar Qin Wang, posisinya agak canggung. 　　“Ketika Kaisar Jingming masih menjadi pangeran biasa, setelah menikah bertahun-tahun tanpa keturunan, untuk mencari pertanda baik dia mengangkat anak angkat dari keluarga sepupunya. Tak disangka ini benar-benar membawa hasil, sejak itu Kaisar Jingming terus-menerus dikaruniai banyak anak. Ketika Kaisar Jingming secara tak terduga naik tahta, Putra Mahkota Pertama yang memegang status anak sulung harus terus merendahkan diri agar tidak mengganggu pandangan Permaisuri dan Putra Mahkota. 　　Bertahun-tahun kemudian, Putra Mahkota Pertama tumbuh menjadi pribadi yang terlalu baik hati. 　　Yu Jin mengamati Putra Mahkota Pertama dengan saksama, melihatnya yang paling tua, diam-diam mengkonfirmasi identitasnya lalu berkata: "Kakak." 　　Benar, sejak kembali ke ibu kota, Yu Jin jarang bertemu saudara-saudaranya ini, bahkan belum bisa mencocokkan wajah dan nama. Selain kakak kandungnya, yang paling diingatnya hanyalah Putra Mahkota. 　　Untungnya meskipun santai, begitu serius dia bisa berbeda. 　　Yang paling tua adalah kakak, yang wajahnya seperti sembelit adalah kakak ketiga, yang terlihat kurang waras adalah kakak kelima, yang matanya melirik-lirik mengira diri pintar adalah kakak keenam, yang bulu belum tumbuh lengkap adalah adik kedelapan. 　　Hmm, tetap cukup mudah dikenali. 　　"Kakak ketujuh, aku sudah lama ingin minum bersamamu, tapi kau belum punya kediaman pangeran, tidak ada tempat untuk minum." Putra Kedelapan mengangkat cangkir sambil tersenyum manis, wajahnya polos. 　　Yu Jin mengangkat alisnya. 　　Di usia 16 tahun dia sudah memenggal kepala pemimpin musuh di tengah ribuan prajurit, meletakkan kepala itu di sampingnya lalu makan daging dan minum arak bersama pasukan. Anak kecil ini berlagak polos di hadapannya? Memuakkan! 　　“Minum anggur bukan tergantung tempat, tapi orangnya.” Yu Jin berkata dengan tenang. 　　Pangeran Kedelapan tertegun, tak menyangka seorang pangeran yang sudah lama dilupakan oleh Ayah Kaisar masih bisa menyelipkan sindiran dalam ucapannya. 　　Dari mana kepercayaan diri orang ini? 　　Bahkan dirinya saja sudah diangkat sebagai Pangeran Xiang, Pangeran Ketujuh ini siapa lagi? 　　Seorang pangeran baru akan memiliki kediaman dan pasukan sendiri setelah mendapat gelar kepangeranan. Meski mereka tidak perlu pergi ke wilayah kekuasaannya, seluruh pendapatan wilayah itu menjadi hak mereka. Gaji tahunan saat masih menjadi pangeran biasa tidak ada artinya dibandingkan ini. 　　Bisa dikatakan, hanya setelah mendapat gelar kepangeranan seorang pangeran bisa membangun dan mengelola kekuatannya sendiri. Alasannya sederhana: memelihara pengikut butuh biaya besar. 　　Mendapat gelar kepangeranan adalah impian setiap pangeran, sekaligus tolok ukur penting bagi pejabat istana dalam menilai kekuatan seorang pangeran. Ini cukup menunjukkan perbedaan antara pangeran biasa dan pangeran bergelar. 　　Bisa dibilang bagai langit dan bumi. 　　Ibu Selir Pangeran Kedelapan hanyalah seorang penari rendahan. Sebagai putra termuda, ia selalu tertekan oleh kakak-kakaknya. Kini ketika akhirnya bisa unjuk gigi di hadapan Yu Jin, malah mendapat respons dingin yang membuatnya geram. 　　Pangeran Kedelapan bukanlah orang gegabah. Dengan status ibunya yang rendah, ia harus bisa mengendalikan diri agar bisa bertahan sampai sekarang. 　　Tapi manusia selalu bersikap berbeda terhadap mereka yang dianggap lebih rendah statusnya, seolah bisa bertindak semaunya. 　　“Pangeran Kedelapan tidak marah, meletakkan cangkir anggur di atas meja, mengambil kendi anggur dan menuangkannya penuh: "Kalau Kakak Ketujuh bilang begitu, hari ini kita saudara harus minum bersama-sama.”" 　　“Dia menyipitkan mata ke arah beberapa pangeran: "Kakak-kakak, Kakak Ketujuh sudah bilang, minum itu tergantung orang bukan tempatnya. Kalau hari ini kita tidak bisa melayani Kakak Ketujuh dengan baik, berarti kita yang salah, ya kan?"" 　　“Pangeran Kelima yang terbiasa impulsif karena ibunya selir favorit, tertawa: "Kata Adik Kedelapan benar, hari ini kita harus minum sepuasnya dengan Adik Ketujuh.”" 　　“Keributan mereka berdua membuat yang lain ikut-ikutan mengangkat cangkir, bahkan Pangeran Keempat tidak banyak bicara.” 　　“Dia sudah mengurus pesta ulang tahun Adik Ketujuh, reputasi baik sudah didapat. Tidak worth it kalau harus menyinggung saudara lain demi Adik Ketujuh.” 　　“Yu Jin meletakkan cangkir anggur di meja panjang dengan suara gemerincing.” 　　“"Kakak Ketujuh kenapa tidak minum?" Pangeran Kedelapan tersenyum tipis, "Kalau Kakak tidak kuat minum, kita bisa kurangi, tidak apa-apa—"” 　　“Yu Jin menggebrak kendi anggur hitam di depan meja: "Minum pakai cangkir itu kayak perempuan! Kita harus pakai ini!"” 　　“Senyum Pangeran Kedelapan membeku.” 　　“Ini mau menguji nyalinya?” 　　“Setelah diam sejenak, Pangeran Kedelapan tepuk tangan: "Kakak memang paling gagah! Pelayan, ambil semua cangkir, ganti kendi!"” 　　“Masa mereka yang segini banyak takut sama satu orang?” 　　Setelah satu guci anggur habis, Yu Jin tetap tenang tanpa perubahan ekspresi, sementara pipi Pangeran Kedelapan sudah memerah seperti api, dan yang lain juga tidak jauh lebih baik. 　　Pangeran Kelima yang memang berwatak ceplas-ceplos langsung menjadi cerewet setelah mabuk, memeluk guci anggur dan berkata dengan lidah kelu: "De... dengar ya, aku suka seorang nona." 　　"Siapa?" tanya pangeran lain sambil lalu. 　　Yu Jin dengan santai menepuk-nepuk guci anggur yang sudah kosong. 　　Baru minum satu guci sudah jadi seperti ini, berani-beraninya mengajakku minum. Daripada buang waktu di sini, lebih baik aku pulang menunggu A Si di rumah. 　　Kalau kebetulan dia datang, kan untung. 　　Memikirkan ini, Yu Jin sudah tidak sabar lagi dan bersiap untuk pamit. 　　Tapi ucapan Pangeran Kelima berikutnya membuatnya tertegun. 　　"Nona Keempat dari Dongping Bo Residence!" 　　"Nona Keempat dari Dongping Bo Residence? Hah, nona ini pernah kudengar. Bukannya Ji San dari Keluarga An Guogong membatalkan pertunangan karena jatuh cinta pada gadis biasa? Lima Ko, kenapa kamu tertarik?" tanya Pangeran Kedelapan penasaran. 　　Pangeran Kelima bersendawa alkohol: "Waktu Putra Mahkota Marquis Changxing ditangkap, aku pergi melihat keramaian. Tidak sengaja melihatnya, setelah tanya-tanya baru tahu itu Nona Keempat Dongping Bo. Waduh, ternyata Ji San dari An Guogong itu bodoh, ngacir dari kecantikan level dewi cuma buat nikahi gadis biasa. Tapi untunglah, jadi aku masih bisa naksir." 　　"Lima Ko, kamu kan sudah punya istri." 　　Pangeran Kelima tertawa terkekeh: "Lao Ba, kau benar-benar bicara seperti anak kecil. Ada lima saudara perempuan，Aku juga tidak bernikah menjadikannya permaisuri utama, cukup beri gelar selir pasti keluarga mereka akan tanpa ragu mengirimkan orangnya——" 　　Yu Jin tiba-tiba berdiri. 　　Semua orang terkejut. 　　"Adik ketujuh, ada apa?" Pangeran Keempat merasakan firasat buruk. 　　"Aku mabuk." 　　Semua berkedip: Lalu? 　　Yu Jin tersenyum, mengangkat tempayan anggur dan langsung menghantamkannya ke kepala Pangeran Kelima. 　　Terima kasih atas hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 141.Bab 141 Pangeran-Pangeran yang Bertempur 　　Bab 141 Pangeran-Pangeran yang Bertempur 　　Memukul tempayan anggur ke kepala seorang pangeran adalah pemandangan yang tak terbayangkan, baik oleh dayang-dayang yang melayani maupun para pangeran lainnya. 　　Namun saat ini hal itu benar-benar terjadi! 　　Sesaat itu, semua membeku seperti patung, bahkan Pangeran Kelima yang dipukul pun tidak bereaksi. 　　Tentu saja yang lain tidak bereaksi karena terkejut, sementara Pangeran Kelima tidak bereaksi karena pusing setelah dipukul. 　　Aliran darah mengalir dari dahi Pangeran Kelima, menetes masuk ke mulutnya yang menganga lebar karena terlalu terkejut. 　　Aroma darah yang menyengat menyadarkannya, Pangeran Kelima meloncat sambil berteriak: "Berani-beraninya kau memukulku?" 　　Ibu Selir Pangeran Kelima berasal dari keluarga jenderal, sejak kecil ia gemar bela diri, dan merupakan yang paling mahir di antara para pangeran. Setelah sadar, ia langsung membalas serangan. 　　Yu Jin tertawa sinis, meraih lengan Pangeran Kelima dan memelintirnya dengan keras hingga menindihnya di atas meja panjang, lalu menghunjamkan tinjunya. 　　"Orang yang mulutnya jahat harus dipukul dulu baru bicara!" 　　Para pangeran lainnya tertegun menyaksikan. 　　Ternyata hubungan antar saudara bisa langsung seperti ini? 　　Di antara mereka, wajah Pangeran Keempat paling pucat, hampir saja matanya terbalik. 　　Ia mengadakan pesta ulang tahun hanya untuk mendapat reputasi baik sebagai kakak yang baik, tapi kenapa malah terjadi perkelahian bak preman antara dua pangeran? 　　Jika Adik Kelima sampai terluka oleh Adik Ketujuh, Ayah Kaisar pasti tak akan memandang baik dirinya. 　　Memikirkan ini, Pangeran Keempat segera maju melerai: "Adik Ketujuh, hentikan tinjumu—" 　　Melihat hal ini, para pangeran lain baik sungguh maupun pura-pura segera ikut mencegah. 　　Yu Jin yang sudah lelah melepaskan tekanan pada Pangeran Kelima. 　　Begitu kedua tangan Pangeran Kelima bebas, ia langsung melepas pukulan. 　　Bruk! Tinjunya tepat menghantam wajah Pangeran Keenam yang langsung mengucurkan darah hidung. 　　Pangeran Keenam yang sudah mabuk itu mengusap hidungnya, melihat darah di tangan, langsung mengamuk dan menampar Pangeran Kelima. 　　Benang kewarasan di kepala Pangeran Kelima sudah putus, tinjunya menggebrak kencang, kakinya menyepak Pangeran Kedelapan hingga terpental sambil berteriak: "Semua memukulku, semua memukulku, kalian semua berani memukulku!" 　　Pangeran Kedelapan langsung menabrak Pangeran Ketiga, momentum besar membuat keduanya terjatuh bersama. 　　Secara refleks Pangeran Kedelapan meraih sesuatu yang lembut. 　　"Apa ini?" Pikirannya berkabut sambil tak sengaja meremas. 　　Pangeran Ketiga menjerit kesakitan sambil memegang bagian bawahnya berguling-guling. 　　Pangeran Keempat merasa seluruh tubuhnya tidak enak. 　　Jangan-jangan Adik Kedelapan telah menarik putus kemaluan Kakak Ketiga? 　　"Ah, ini sebenarnya kabar baik, tapi timingnya salah! Kalau ada insiden di pesta yang kuselenggarakan, Kakak Ketiga pasti akan membenciku seumur hidup!" 　　Pangeran Keempat buru-buru menghampiri dan berpura-pura menghibur: "Kakak, kenapa?" 　　Entah sengaja atau tidak, saat berguling tubuh Pangeran Ketiga tepat menindih ujung celana Pangeran Keempat. Saat menarik diri, tiba-tiba kakinya terasa dingin - ternyata celana dan pakaian dalamnya tertarik oleh Pangeran Ketiga! 　　Seketika para pangeran berkelahi kusut-masai. 　　Pelayan di samping sudah membeku ketakutan. 　　Pangeran Pertama yang berhasil lolos akhirnya memanggil pengawal. Melihat adik-adiknya berambur kusut dan berpakaian compang-camping, dadanya sakit seperti ditusuk. 　　Ini sudah keterlaluan! 　　Setengah jam kemudian, tujuh pangeran berjajar bersimpuh di aula. Kaisar Jingming berjalan mondar-mandir sambil menahan amarah. 　　“Putra Mahkota mendengar kabar burung datang melihat keramaian, belum sempat bicara, Kaisar Jingming sudah menunjuk dengan tangan: "Kau juga ikut berlutut di sana!"” 　　Putra Mahkota: "……" Dia belum mengatakan apa-apa, dia hanya ingin melihat keramaian saja! 　　Kaisar Jingming tidak peduli pikiran Putra Mahkota. Baginya, anak-anaknya yang berkelahi beramai-ramai, yang tidak terlibat malah tidak dihukum? Haruskah diberi bunga merah besar sebagai hadiah? 　　Kaisar Jingming semakin marah memikirkannya, menyapu pandangan dingin ke bawah tangga batu. 　　Inilah putra-putra yang selama ini dibanggakannya! 　　Keluarga kekaisaran Zhou selalu sedikit keturunan. Di masanya ada tujuh putra yang berhasil dibesarkan, selalu merasa bisa membanggakan diri di hadapan leluhur. Siapa sangka banyak anak justru membawa banyak masalah! 　　Tunggu! 　　Kaisar Jingming yang sedang mondar-mandir tiba-tiba tertegun. 　　Tadi dia bilang berapa putra? 　　Satu, dua... delapan. 　　Tidak benar! 　　Kaisar Jingming menghitung lagi dalam hati, tetap delapan. 　　Seharusnya tujuh putra, kok jadi bertambah satu? 　　Di bawah tangga berjajar yang berlutut, semua menundukkan kepala sampai hanya kelihatan ubun-ubun. 　　"Angkat kepala!" perintah Kaisar Jingming setelah menghitung untuk ketiga kalinya. 　　Sebagai kaisar, terutama kaisar yang mengklaim diri bijaksana, mustahil salah menghitung di bawah sepuluh! 　　Para pangeran patuh mengangkat kepala. Yu Jin di antara mereka tampak tenang. 　　Kaisar Jingming mulai mengamati dari paling kiri. 　　Putra Sulung, Putra Ketiga, Putra Keempat, Putra Kelima, Putra Keenam, Putra Keempat, Putra Kedelapan, Putra Mahkota…… 　　“Hm, kenapa ada dua Lao Si?” 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya****** terlalu banyak, agak pusing. 　　Ia turun dari tangga batu untuk melihat lebih jelas, tiba-tiba pandangannya tertuju pada Yu Jin. 　　“Kau——” 　　Setelihat lebih dekat, ternyata pemuda ini jauh lebih tampan dari Lao Si, fitur wajah lebih halus, aura lebih menonjol, postur lebih tegap, seolah cetakan kasar yang telah dihaluskan. 　　Memang masih mirip, orang bisa langsung melihat kemiripannya, tapi pemuda ini jelas lebih mencolok daripada Lao Si. 　　“Erchen Jin menghadap Ayah Kaisar.” Yu Jin membiarkan Kaisar Jingming mengamat-amatinya, lalu menundukkan mata. 　　“Jin?” Kaisar Jingming semakin bingung, melirik kasim kepercayaannya Pan Hai. 　　Pan Hai segera berbisik, “Kaisar, ini Pangeran Ketujuh.” 　　Kaisar Jingming tertegun, lama baru bereaksi, matanya menyala-nyala menatap Yu Jin: “Kau Lao Qi?” 　　“Benar Erchen.” 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak. 　　Ia hampir melupakan anak ini. 　　Bukan, sebut melupakan tidak tepat, karena anak ini sejak lahir sudah meninggalkan istana, justru yang paling spesial di hatinya. 　　Tapi kekhususan ini tak membuatnya bisa selalu ingat ada anak seperti ini. Seperti tadi saat melihat para pangeran berbaris bersujud, sama sekali tak terpikir Lao Qi termasuk di dalamnya. 　　Melihat ekspresi Kaisar Jingming berubah, Pan Hai diam-diam mengusap keringat, dalam hati sudah mengumpat habis-habisan para pengawal yang ceroboh. 　　Kaisar mendengar kabar bahwa beberapa pangeran bertengkar hebat, lalu memerintahkan untuk membawa semua pangeran ke hadapannya. Mereka benar-benar membawa semua pangeran, termasuk Pangeran Ketujuh, tanpa memberitahu terlebih dahulu. 　　Dasar sekelompok bodoh! 　　"Paduka, hari ini adalah ulang tahun Pangeran Ketujuh yang ke-18," Pan Hai yang paham pantangan Kaisar Jingming segera berbisik tambahan. 　　Mendengar ini, alis Kaisar Jingming berkedut, lalu setelah lama akhirnya menghela nafas: "Waktu berlalu begitu cepat." 　　Tiba-tiba muncul anak sulung berusia 18 tahun, seperti dapat gratisan. 　　Tak seorang pun memahami maksud ucapan Kaisar Jingming, aula menjadi sunyi senyap. 　　Memandang para putra yang berlutut berbaris, raut wajah Kaisar Jingming muram: "Coba jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi hari ini!" 　　Ingatan yang semakin memburuk, dikira sudah lebih parah. 142. Bab 142 Kaisar Sangat Marah 　　Bab 142 Kaisar Sangat Marah 　　Begitu Kaisar Jingming berbicara, beberapa pangeran langsung menundukkan kepala lebih dalam. 　　"Lao Si, mereka mulai berkelahi di kediamanmu, kau yang jelaskan!" 　　Pangeran Keempat menghela nafas dalam hati. 　　Memang benar, sebagai tuan rumah pesta, mustahil dia bisa menghindar. 　　Di bawah wibawa Kaisar, Pangeran Keempat terpaksa menjelaskan: "Hari ini adalah ulang tahun ke-18 Pangeran Ketujuh. Hamba berpikir karena tahun ini Pangeran Ketujuh jarang berada di ibu kota, hamba mengundang para saudara untuk merayakan. Karena Pangeran Ketujuh belum memiliki kediaman resmi, akhirnya hamba mengadakan acara di kediaman hamba..." 　　Penjelasan Pangeran Keempat membuat alis Kaisar Jingming berkerut. 　　Baru teringat olehnya, Pangeran Ketujuh sampai sekarang belum diberi gelar kerajaan sehingga belum memiliki tempat tinggal. 　　Memikirkan hal ini, Kaisar Jingming memandang Yu Jin dengan perasaan bersalah. 　　Meski merasa tidak nyaman bertemu anak ini karena pertentangan astrologi, pada akhirnya ini bukan kesalahan para gadis. Ini semua takdir ilahi. Hak Pangeran Ketujuh tetap harus diberikan. Anak-anak ini semua lahir darinya, bukan jatuh dari langit. 　　Kaisar Jingming diam-diam merenung, hati mulai mendidih. 　　Para pejabat militer-sipil, selir-selir istana - begitu banyak orang dari dalam dan luar istana, tak satu pun yang mengingatkannya! 　　Tentu Kaisar Jingming tidak akan mengakui sifat pelupanya. Rasa bersalah yang tiba-tiba muncul ini diubah menjadi kemarahan dan dilimpahkan ke orang lain. 　　"Kemudian kami mabuk dan mulai berkelahi--" Wajah Pangeran Keempat pucat, tak sanggup melanjutkan. 　　Proses perkelahian itu terlalu memalukan untuk diceritakan. 　　Wajah Kaisar Jingming mengeras: "Mabuk boleh jadi alasan untuk berkelahi? Siapa yang mulai?" 　　Pangeran Kelima tiba-tiba bersemangat, memegang kepala yang terluka berteriak: "Pangeran Ketujuh! Dia melempar guci anggur ke kepala hamba!" 　　"Benarkah?" Kaisar Jingming menatap Yu Jin. 　　Yu Jin mengangguk, jawabnya singkat: "Benar." 　　Kaisar Jingming naik darah: "Kenapa kau pukul kakak kelimamu?" 　　Saat ini, tak hanya Kaisar Jingming, bahkan para pangeran yang berlutut pun bertanya-tanya: Kenapa? Tadinya sedang asyik mendengar Lao Wu membual, kok tiba-tiba Lao Qi bisa menghantam kepala Lao Wu? 　　Yu Jin mengusap hidungnya: "Terlalu mabuk." 　　Para pangeran hampir pingsan. 　　"Kau berani!" Mata Kaisar Jingming menyipit, melihat anak-anaknya yang babak belur itu semakin geram, "Lalu kalian? Lao Wu dan Lao Qi berkelahi, kenapa kalian juga jadi begini!" 　　Merasa pandangan Kaisar tertuju padanya, Pangeran Keenam dengan wajah berdarah mengeluh: "Kakak kelima memukul hidung hamba sampai berdarah!" 　　Orang mabuk tentu tak ingat siapa yang mulai, Pangeran Kelima berseru keras: "Dia menamparku!" 　　Pangeran Keenam membentak: "Kau pukul hidungku dulu, baru aku tampar kau!" 　　Pangeran Kedelapan menimpali: "Kakak kelima yang mulai, dia juga menendang hamba sampai terpental, jadi hamba tak sengaja mencengkeram kemaluan kakak ketiga——" 　　"Hssst!" Beberapa pelayan istana yang menunduk dalam-dalam akhirnya tak tahan terseketawa, untungnya para bangsawan sedang emosi sehingga tak ada yang memperhatikan. 　　Wajah Pangeran Ketiga memucat bagai kertas. 　　Si Lao Ba bajingan itu, awalnya dia berniat menelan ludah dan tidak mau mengungkit hal memalukan ini. Tapi sekarang, dia jadi bahan tertawaan semua orang. Mimisan, kepala pecah, semua itu tidak ada apa-apanya dibanding kemaluannya yang hampir putus ditarik. 　　Kenapa mereka yang berkelahi tanpa otak malah membuatnya yang paling malu? 　　Pangeran Ketiga penuh amarah, matanya melirik Pangeran Keempat, langsung berkata: "Anakmu juga bersalah, seharusnya tidak sengaja menarik celana dan pakaian dalam adik keempat sampai telanjang bokong—" 　　Pangeran Keempat: "..." Dia salah apa?! 　　Kumis Kaisar Jingming bergetar marah: "Brengsek-brengsek kalian!" 　　Semua pangeran langsung menunduk: "Anakmu bersalah!" 　　"Tahu salah? Bagus!" Wajah Kaisar Jingming hitam seperti wajan: "Semua pergi ke Kantor Kekaisaran untuk bermenung merenungkan kesalahan! Tiga hari dilarang makan daging dan nasi! Kalian pasti kekenyangan sampai berani berkelahi!" 　　Sungguh hebat! Kenapa tidak main lumpur telanjang sekalian?! 　　Semakin dipikir Kaisar Jingming semakin geram. Matanya menatap Putra Mahkota yang acuh tak acuh, alisnya berkerut: "Putra Mahkota ikut bermenung satu hari di Istana Timur!" 　　Putra Mahkota terkejut. 　　Ikut berlutut saja sudah tidak masuk akal, kenapa harus ikut bermenung? 　　Benar-benar tidak adil! 　　Kaisar Jingming yang sedang emosi melihat ketidakpuasan di wajah Putra Mahkota, menyeringai dingin: "Kalian delapan bersaudara. Enam dari mereka berkumpul merayakan ulang tahun Lao Qi, hanya kamu yang tidak hadir. Mengapa?" 　　“Apakah Putra Mahkota merasa dirinya lebih unggul sehingga meremehkan interaksi dengan saudara-saudaranya, atau dia terlalu tidak populer sehingga ditinggalkan oleh mereka?” 　　Dalam pandangan Kaisar Jingming, alasan apapun itu bukanlah hal yang baik. 　　Penerus takhta negara seperti ini tidak akan mampu memikul tanggung jawab besar di masa depan. Harus dihukum bersama, permata tidak akan berkilau tanpa diasah. 　　“Anakmu... bersalah...” Wajah Putra Mahkota memerah dan pucat sambil menunduk lesu. 　　Pangeran Keempat memang mengundangnya, tapi apa statusnya? Mengapa harus menghadiri pesta untuk menghormati Pangeran Ketujuh yang bahkan Ayah Kaisar sendiri lupa akan keberadaannya? 　　Dan Pangeran Keempat itu, buat apa terus-terusan berpura-pura saleh dan berbudi? Ingin merebut posisi Putra Mahkota? Sungguh tak tahu malu! 　　Saat ini Putra Mahkota sama sekali tidak memahami maksud Kaisar Jingming, hanya dipenuhi rasa tidak puas dan kekesalan. 　　Ayah Kaisar benar-benar pilih kasih. Hanya karena ibunya wafat dini dan dia tidak dekat dengan permaisuri pengganti sekarang, tidak ada yang membelanya di istana. 　　“Pergi dari sini!” Kaisar Jingming mengibaskan lengannya. Para pengawal segera maju dan dalam sekejap membawa para pangeran keluar. 　　Aula istana langsung terasa lengang. 　　Kaisar Jingming duduk dengan muka masam. Pan Hai bahkan tidak berani menghibur, hanya diam membungkuk di samping. 　　Urusan keluarga Kaisar bukanlah wilayahnya untuk ikut campur. Lebih baik menunggu Sang Kaisar meredakan amarahnya sendiri. 　　Tak lama kemudian kabar ini sampai ke telinga selir-selir di istana belakang. 　　Ibu Suri Xian yang merupakan ibu kandung Pangeran Keempat dan Yu Jin, gemetar marah begitu mendengar Yu Jin membuat masalah besar di kediaman Pangeran Qi. 　　“Makhluk sialan ini, sejak lahir sudah menyusahkan diriku dan Zhang'er, tak disangka setelah besar pun masih terus membuat onar - kasihan Zhang'er yang masih ingin merayakan ulang tahunnya——” 　　Saat ini di dalam ruangan tidak ada orang lain, hanya ada seorang dayang kepercayaan Ibu Suri Xian. 　　Sang dayang menghibur: "Nyonya tenangkan hati, menurut hamba ini, ini justru bisa jadi hal yang baik." 　　"Hal baik?" 　　"Benar. Nyonya pikir, Pangeran Ketujuh sudah genap 18 tahun. Seharusnya sudah waktunya bertemu Kaisar, tapi tak ada yang berani mengangkat masalah ini kecuali Kaisar yang menyebutnya. Namun Kaisar sibuk mengurus negara, mana mungkin tiba-tiba ingat Pangeran Ketujuh? Sekarang, terlepas dari masalah yang dibuat, setidaknya Kaisar sudah mengingat keberadaan Pangeran Ketujuh." 　　Ibu Suri Xian menyeringai dingin: "Ingat pun lalu bagaimana? Tetap saja hanya pembuat onar!" 　　"Nyonya, niat Pangeran Qi itu baik, Kaisar pasti paham. Masalah yang dibuat Pangeran Ketujuh tidak akan berdampak pada Pangeran. Sekarang Kaisar sudah ingat Pangeran Ketujuh, sangat mungkin memberinya gelar pangeran sesuai aturan. Bukankah ini bisa membantu Pangeran di kemudian hari?" 　　Diingatkan oleh dayangnya, hati Ibu Suri Xian berdesir. 　　Apakah si ketujuh sengaja membuat masalah? 　　Terima kasih untuk Hadiah dan voting, sampai jumpa besok. 143.Bab 143 Kabar Gembira Turun dari Langit 　　Bab 143 Kabar Gembira Turun dari Langit 　　“Menduduki posisi salah satu dari Empat Selir, melahirkan dua pangeran. Meskipun Pangeran Ketujuh telah meninggalkan istana sejak lahir, Ibu Suri Xian tetap menjadi selir yang paling tegak punggungnya di harem. Jangan lupa, permaisuri sekarang bahkan tidak memiliki seorang pangeran pun, hanya Putri Fuqing sebagai satu-satunya putri.” 　　“Orang yang bisa mencapai posisi ini tentu bukan orang yang polos. Atau bisa dikatakan, tipe orang seperti ini paling suka mempersulit segala sesuatu.” 　　“Kini Ibu Suri Xian mulai merenung: Anak ketujuh bisa bertemu Kaisar karena membuat masalah, ini menunjukkan bahwa masalah tersebut mungkin sengaja dibuat. Lalu, apakah anaknya yang tidak pernah dilihatnya selama 18 tahun dan dibesarkan di masyarakat ini sebenarnya sangat licik?” 　　“Memiliki kelicikan di keluarga kerajaan adalah hal baik, tapi yang terpenting adalah melihat sikapnya.” 　　“Jika Pangeran Ketujuh masih menganggap Ibu Selir dan kakaknya dalam hatinya, tentu semuanya akan baik-baik saja. Tapi jika ada niatan lain, dia harus diawasi ketat agar Pangeran Keempat tidak dirugikan.” 　　“Berbagai pikiran berkelebat di benak Ibu Suri Xian, tiba-tiba muncul keinginan untuk menemui Yu Jin.” 　　“Dia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri baru bisa tenang.” 　　“Sementara Ibu Suri Xian berniat menemui anaknya, Ibu Suri Ning justru menghancurkan meja makan.” 　　“Ibu Suri Ning adalah ibu dari Pangeran Kelima, berasal dari keluarga jenderal, cantik tapi galak. Selama bertahun-tahun mendapat kasih sayang Kaisar Jingming, bahkan pernah menghancurkan meja di hadapannya, apalagi sekarang tanpa orang luar.” 　　“Sangat menjengkelkan! Anak liar berani memukul putraku!” 　　“Ketika Ibu Suri Ning marah, dayang-dayang istana semuanya menunduk diam, tidak ada yang berani menasihati. Hanya terdengar suara mangkuk sup yang berguling di lantai.” 　　“Kaisar belum datang?” Setelah menunggu sejenak, Ning Fei bertanya. 　　Begitu mendengar kabar putranya dipukuli, Ning Fei segera mengirim orang untuk memanggil Kaisar Jingming. Biasanya pada jam seperti ini Kaisar sudah lama datang, tapi sekarang belum ada tanda-tanda. 　　Pelayan istana gemetar menjawab: “Yang Mulia sedang meninjau laporan memorial, beliau akan datang setelah selesai.” 　　“Apa?” Ning Fei langsung berdiri dan bergegas keluar. 　　Meninjau laporan memorial? Itu cuma alasan, sebenarnya beliau takut aku akan menuntut Xian Fei dan anak liar itu. 　　Tentu saja aku tidak bisa diam saja, kalau tidak nanti semua orang berani menginjak-injak putraku. 　　Jika Kaisar tidak datang, aku yang akan mendatanginya! 　　Di ruang belajar kekaisaran, Kaisar Jingming dengan muka kesal sedang membalik-balik buku cerita. 　　Para pangeran merepotkan, selir-selir pun tidak bisa tenang. Baru sebentar saja sudah ada tiga empat pelayan yang datang memanggilku. 　　Untuk sementara dia tidak ingin berhadapan dengan selir-selir yang cengeng itu, lebih nyaman bersembunyi di ruang belajar sambil membaca buku cerita. 　　Pan Hai masuk dengan hati-hati, melihat Kaisar sedang asyik membaca, meski tidak tega tetap harus melapor: “Yang Mulia, Nyonya Ning Fei datang.” 　　Tangan Kaisar Jingming yang memegang buku cerita bergetar, ia cemberut: “Bilang aku sedang sibuk--” 　　Sebelum kalimatnya selesai, seorang perempuan cantik berbaju istana merah marun sudah menerobos masuk. 　　Kaisar Jingming buru-buru menyelipkan buku ceritanya di bawah tumpukan memorial, tersenyum kaku: “Kekasihku, kenapa datang ke sini?” 　　“Kaisar, kepala Jing'er sampai dibikin pecah, hamba mana bisa tidak datang!” 　　“Masih mending, tidak parah.” 　　Wajah Ning Fei menjadi muram: “Tidak parah? Kaisar, itu kan kepala, bukan bagian lain. Meski kelihatannya tidak parah, bagaimana jika ada bekas penyakit? Lagipula, kelihatannya juga parah! Hamba dengar wajah Jing'er berlumuran darah!” 　　“Emm, yang berlumuran darah itu Lao Liu. Hidungnya berdarah dipukul Lao Wu.” Kaisar Jingming menyela penjelasannya. 　　Suara Ning Fei tercekat, lalu melanjutkan: “Bagaimanapun juga, Yang Mulia harus menghukum biang keroknya! Baik Lao Wu, Lao Liu, atau pangeran-pangeran lain, luka mereka kan karena yang mulai duluan. Kaisar tidak berpikir, sebelumnya saat pangeran-pangeran berkumpul kecil-kecilan tak pernah ada kejadian seperti ini...” 　　Ning Fei berkata cepat-cepat, melihat Kaisar Jingming tidak bereaksi, tangannya meraih lengan baju kaisar: “Kaisar, katakan sesuatu dong!” 　　“Emm, benar kata Kekasih, harus dihukum!” 　　Bibir Ning Fei melengkung: “Kaisar mau menghukum bagaimana?” 　　Kaisar Jingming tersenyum: “Kekasih tenang, Zhen sudah menghukum berat.” 　　“Hamba tidak dengar kabar itu.” Ning Fei tampak bingung. 　　Jangan-jangan kabarnya salah? 　　“Zhen menyuruh Lao Qi merenungkan kesalahan di Kantor Urusan Istana.” 　　“Apa?” Permaisuri Ning langsung membelalakkan matanya. Melihat Kaisar Jingming dengan wajah serius, bibirnya yang merah pucat karena marah spontan berseru, “Ini namanya hukuman apa? Hamba dengar beberapa pangeran bahkan Putra Mahkota dihukum merenung dalam isolasi. Paduka menyuruh Pangeran Ketujuh dihukum bersama mereka, mana mungkin ini hukuman? Ini jelas-jelas mengangkat derajatnya. Dia pantaskah!” 　　Setelah selesai bicara, Permaisuri Ning tiba-tiba menyadari suasana ruangan membeku. Melihat ke arah Kaisar Jingming, wajahnya dingin membatu, alisnya berkerut dalam. 　　Sudah bertahun-tahun ia tidak melihat Kaisar menunjukkan ekspresi seperti ini. 　　Setelah hening sejenak, Kaisar Jingming bersabda: “Mengapa Selir menganggap hukuman ini sebagai pengangkatan derajat Pangeran Ketujuh?” 　　Permaisuri Ning yang sudah lama dimanjakan, mengandalkan sifat baik Kaisar Jingming, menyeringai: “Tidak usah bicara tentang Putra Mahkota, pangeran-pangeran itu siapa? Mereka semua pangeran kerajaan, selain beberapa orang di istana, merekalah yang paling mulia. Sedangkan Pangeran Ketujuh? Tumbuh di perkebunan, apa bedanya dengan petani kasar? Paduka menyuruhnya dihukum bersama para pangeran, bukankah ini mengangkat derajatnya!” 　　“Begitu rupanya.” Kaisar Jingming mengangguk perlahan. 　　Permaisuri Ning mengatupkan bibir: “Paduka, Pangeran Ketujuh telah melukai para pangeran, membuat masalah besar. Paduka tidak boleh membiarkannya begitu saja. Harus dihukum berat agar tidak membuat kekacauan lebih besar di kemudian hari.” 　　“Pan Hai—” Kaisar Jingming memanggil. 　　Pan Hai tepat waktu menyembulkan kepala: “Hamba hadir.” 　　“Sepertinya Pangeran Ketujuh akan bernasib sial. Kaisar baik dalam segala hal, hanya tidak tahan terhadap desakan dari selir, dan Ibu Suri Xian pasti tidak akan membantu membela Pangeran Ketujuh.” 　　Pan Hai berasal dari keluarga miskin dengan banyak saudara kandung, kebetulan menjadi yang paling tidak disayang. Saat ini, memikirkan Pangeran Ketujuh yang dibesarkan di luar istana sejak kecil dan baru bertemu ayahnya karena membuat masalah, timbul rasa simpati dalam hatinya. 　　“Sampaikan titah Kaisar: Angkat Pangeran Ketujuh Jin sebagai Raja Yan. Perintahkan Biro Urusan Kerajaan dan Biro Astronomi Kekaisaran untuk segera memilih hari baik mempersiapkan upacara pengangkatan...” 　　Begitu Kaisar Jingming mengucapkan ini, Ibu Suri Ning dan Pan Hai membeku seperti patung. 　　Setelah menunggu beberapa saat tanpa respon, Kaisar Jingming mendengus kesal: “Pan Hai, apakah kau tuli?” 　　Pan Hai tersentak sadar, buru-buru menjawab: “Hamba menerima titah.” 　　Astaga, situasi apa ini? Nasib Pangeran Ketujuh begitu luar biasa, apakah dia anak dewa langit? 　　Pan Hai berjalan keluar dengan kepala pusing, mengusap wajahnya. 　　Kaisar yang bertindak di luar kebiasaan ini benar-benar menguji kemampuan reaksi kasim kepala seperti dirinya. 　　Pan Hai belum jauh berjalan, teriakan menggelegar terdengar dari ruang studi kekaisaran: “Yang Mulia, apa maksud Anda?!” 　　Kaisar Jingming tetap tenang: “Jangan terburu-buru, Kekasihku. Bukankah kau bilang Lao Qi tidak pantas dihukum? Aku harus menyamakan statusnya dulu dengan pangeran lain sebelum menghukumnya.” 　　Ibu Suri Ning gemetar marah, tak bisa berkata-kata. 　　Begitu masuk akal, apa lagi yang bisa dia katakan? Jika terus melanjutkan, apakah bahkan akan mengangkat anak liar itu sebagai Putra Mahkota? 　　Ibu Suri Xian mendengar kabar bahwa Ibu Suri Ning pergi ke ruang studi kekaisaran untuk mengadu. Meski tak peduli dengan nasib Yu Jin, dia khawatir hal ini mempengaruhi Pangeran Keempat, sehingga bergegas menuju ruang studi. Di tengah jalan, dia bertemu Pan Hai. 　　Melihat Ibu Suri Xian, Pan Hai segera memberi ucapan selamat: "Selamat, Ibu Suri Xian." 　　Selamat pagi. 144. Bab 144 Pemenang 　　Bab 144 Pemenang 　　Ibu Suri Xian tertegun. 　　Sedang dalam kekalutan, dari mana datangnya kabar baik? Jangan-jangan Pan Hai sedang menyindirnya? 　　Meski yakin Pan Hai takkan berbuat sesumbar, Ibu Suri Xian tetap geram. Dengan nada dingin dia bertanya, "Kepala Kasim Pan, boleh tahu dari mana datangnya kabar gembira untukku?" 　　Pan Hai yang baru saja dibuat pusing oleh Kaisar Jingming, kini ingin membagi 'rasa' yang sama. Sambil tersenyum dia membungkuk, "Paduka belum tahu? Baru saja Kaisar mengeluarkan dekret, mengangkat Pangeran Ketujuh sebagai Pangeran Yan—" 　　Belum selesai bicara, Ibu Suri Xian sudah terkesiap, "Kepala Kasim Pan sedang bercanda denganku?" 　　"Aduh, Paduka, hamba mana berani? Apalagi memalsukan dekret kaisar—hamba takkan sanggup menanggung dosa itu." 　　"Benarkah Kaisar mengangkat Pangeran Ketujuh sebagai Pangeran Yan?" 　　"Bukan main benar." 　　Ibu Suri Xian mundur selangkah, tangan menopang dahi. 　　Agak bingung, dia perlu waktu untuk mencerna. 　　“Ibu Suri Xian, hamba akan pergi menyampaikan titah.” 　　Melihat Pan Hai hendak pergi, Ibu Suri Xian tak bisa menahan diri lagi, buru-buru berkata: "Paman Pan, tunggu sebentar!" 　　“Apakah Ibu Suri Xian masih ada perintah?” 　　Ibu Suri Xian segera menyelipkan cincin emas ke Pan Hai, berbisik: "Bisa ceritakan apa yang terjadi di ruang studi kekaisaran? Mengapa Kaisar menganugerahkan gelar Pangeran Yan (Raja Yan) kepada Pangeran Ketujuh?" 　　Pan Hai dengan lihai menyimpan cincin emas ke kantong tersembunyi di dalam lengan baju, tersenyum: "Jangan persulit hamba, Ibu Suri Xian. Hamba hanya bisa mengucapkan selamat. Mengenai urusan ruang studi kekaisaran, itu diluar wewenang hamba untuk membocorkan." 　　Sebagai orang kepercayaan Kaisar Jingming, Pan Hai sangat menjaga rahasia. Ibu Suri Xian hanya bisa memandang Pan Hai pergi sambil merasakan gelisah seperti dicakar kucing. 　　Mendapat kabar seperti ini, tentu tak perlu lagi ia mendatangi ruang studi kekaisaran. 　　Bagaimanapun juga Pangeran Ketujuh adalah putranya. Gelar pangeran ini tentu menjadi kebanggaan bagi Ibu Selir seperti dirinya. 　　Alasan Ibu Suri Xian tak menyukai Yu Jin: pertama karena tak pernah menjalin ikatan emosional, lebih penting lagi karena sejak Yu Jin lahir, Kaisar Jingming jatuh sakit parah. Semua orang mengira Kaisar membenci putra ini, membuatnya menjadi bahan olok-olok. 　　Bisik-bisik para selir yang sering terdengar: "Buat apa Ibu Suri Xian punya dua putra? Jika salah satunya malah membawa sial bagi Kaisar, lebih baik tak punya sama sekali." 　　"Sekarang sudah baik, anaknya yang dianggap membawa sial bagi Kaisar ini malah diangkat menjadi pangeran oleh Kaisar. Sedangkan para selir tak beranak hanya bisa menangis memandangi bulan." 　　"Tapi sebenarnya apa yang dipikirkan Kaisar? Bukankah Pangeran Ketujuh jelas-jelas membuat masalah, mengapa malah diangkat jadi pangeran?" 　　Selir Xian terus merenung sambil berjalan pulang, tiba-tiba kakinya terpeleset hampir terjatuh. Seketika itu juga ia berhenti melamun dan buru-buru kembali ke istananya. 　　Begitu maklumat Kaisar Jingming diumumkan, seluruh istana belakang gempar. 　　"Kaisar ternyata mengangkat Pangeran Ketujuh sebagai pangeran, ada apa sebenarnya?" 　　"Tidak tahu pasti. Hanya dengar Selir Ning pernah mengunjungi ruang studi kekaisaran, lalu Kaisar langsung mengeluarkan dekret pengangkatan itu." 　　"Sss— Tak disangka Selir Ning ternyata orang yang membalas kejahatan dengan kebajikan." 　　"Membalas kejahatan dengan kebajikan? Aku lebih percaya kalau Pangeran Ketujuh itu anak kandung Selir Ning!" 　　Dalam sekejap, rumor liar bertebaran di istana, semakin lama semakin ngawur. Selir Ning sampai hampir muntah darah karena marah. 　　Tak lama kemudian, pelayan istana datang membawa banyak sutera dan perhiasan, katanya hadiah dari Kaisar. 　　Begitu pelayan itu pergi, Selir Ning langsung menghancurkan semua hadiah itu, tapi tak berani menghadap Kaisar Jingming untuk minta keadilan. 　　Tindakan Kaisar terlalu tak terduga. Jangan-jangan kalau dia datang malah memberi keuntungan lagi pada si anak haram itu, habislah dia. 　　Beberapa selir yang awalnya ingin melapor ke Kaisar Jingming pun mengurungkan niat. 　　Situasinya terlalu rumit, diam dan mengamati perkembangan adalah yang paling aman. 　　Di ruang baca kekaisaran, Kaisar Jingming bersandar di kursi, dengan santai membuka-buka buku cerita. 　　Hmm, dunia akhirnya tenang. 　　Di dalam Biro Urusan Kekaisaran, beberapa pangeran dikurung di sebuah ruangan kosong, suasana tegang bagai pedang terhunus. 　　"Lao Qi, sekarang sadar dari mabukmu?" Pangeran Kelima melototi Yu Jin dengan wajah garang. 　　Yu Jin tersenyum: "Kakak Kelima salah paham, saya tidak mabuk." 　　Pangeran Kelima langsung menangkap kesalahan Yu Jin, tertawa terbahak: "Di hadapan Ayah Kaisar kau bilang minum terlalu banyak, sekarang bilang tidak mabuk. Lao Qi, ini namanya menipu kaisar!" 　　Yu Jin mengangkat alis, tampak semakin tenang dibanding kemarahan Pangeran Kelima: "Bukankah minum dua tempayan besar anggur itu sudah banyak? Saya bilang minum banyak, bukan bilang mabuk." 　　"Kau--!" Pangeran Kelima hampir mati marah, mengayunkan tinju hendak menyerang. 　　Beberapa pangeran segera menahan Pangeran Kelima. 　　"Adik Kelima, kita semua sudah dikurung di sini. Jika kau berkelahi lagi, bukan tiga hari bisa keluar." 　　Ruang kosong Biro Urusan Kekaisaran membuat bangsawan gemetar ketakutan. Jika bukan karena janji Ayah Kaisar bisa bebas setelah tiga hari, pasti mereka sudah menangis. 　　"Benar, Kakak Kelima, lebih baik kau tenang saja." Setelah menasihati Pangeran Kelima, Pangeran Kedelapan melirik Yu Jin dan berkata sinis: "Berdebat dengan orang seperti ini hanya akan merendahkan martabat!" 　　"Hmm, saya tidak tahu apa martabatmu, dan apa martabatku," kata Yu Jin dengan datar. 　　“Berkelahi mulut dengannya? Baik itu bertindak fisik atau verbal, kalau dia kalah maka namanya bukan Yu Jin!” 　　Pangeran Kedelapan tertawa kecut: “Kakak Kelima, kau perhatikan tidak? Ada orang yang tidak tahu diri, sudah tua masih jadi pangeran tanpa pengikut, tidak malukah dipermalukan di depan umum?” 　　Pangeran Kelima tertawa besar: “Kalau dia tahu malu, tidak akan datang mempermalukan diri di Kediaman Pangeran Qi.” 　　“Oh, aku mengerti.” Ekspresi Yu Jin berubah seperti tersadar akan sesuatu. 　　Semua orang spontan menoleh ke arahnya. 　　Yu Jin menyandar ke dinding dingin, tersenyum sinis: “Rupanya yang kalian banggakan cuma gelar pangeran. Tapi aku tak mengerti, gelar yang bisa didapat setiap laki-lambi malas berleha-leha sampai usia enam belas tahun ini, apa yang layak dibanggakan?” 　　Hadirin tercekat. 　　Mereka pernah dengar kabar Pangeran Ketujuh punya pengaruh besar di pasukan selatan, tapi apa artinya? 　　Sebagai pangeran, jika tak punya ambisi, jadi pangeran pun cukup untuk hidup nyaman. Jika punya ambisi, yang diperjuangkan pun takhta kekaisaran, siapa yang mau terjun ke medan perang? 　　Pengaruh di militer takkan mengalahkan posisi di hati Ayah Kaisar. 　　Tapi bagaimanapun, gelar pangeran yang didapat secara otomatis memang tak layak dibanggakan. 　　Pangeran Kedelapan tak mau kalah: “Masih lebih baik daripada kau yang bukan apa-apa. Kau bahkan belum punya kualifikasi untuk bermalas-malasan sampai mati sekalipun!” 　　“Lao Ba—” Pangeran Keenam mencoba menyela. 　　"Bahkan jika ingin menyudutkan Lao Qi, tidak seharusnya melibatkan mereka semua? Apa maksudnya 'mendapatkan kualifikasi dengan bermalas-malasan'? Terlalu kasar." 　　Pangeran Kedelapan menyadari ucapannya ceroboh, segera tersenyum pada Pangeran Keenam. 　　Yu Jin menundukkan pandangan, malas melihat mereka lagi. 　　Apa yang dia inginkan, akan diraihnya sendiri! 　　"Kenapa? Kehabisan kata?" Pangeran Kedelapan bertanya penuh kemenangan saat melihat Yu Jin diam. 　　Tiba-tiba pintu terbuka, beberapa orang masuk beriringan. Seorang pejabat berjalan di depan, memberi hormat pada para pangeran lalu mendatangi Yu Jin: "Paduka Ketujuh, mohon berdiri. Mereka akan mengambil ukuran baju untuk Paduka." 　　Yu Jin berdiri tanpa ekspresi, sementara yang lain bingung. 　　"Untuk apa mengambil ukuran baju?" Pangeran Kelima tak tahan bertanya. 　　Pejabat itu segera menjelaskan: "Kaisar telah mengeluarkan dekret, memerintahkan kami mempersiapkan upacara penobatan Paduka Ketujuh." 　　Terima kasih untuk hadiah dan votingnya, sampai jumpa besok. 145. BAB 145: KEKHAWATIRAN 　　BAB 145: KEKHAWATIRAN 　　Hingga rombongan itu pergi, para pangeran masih terpaku seperti patung. 　　Apakah hari ini mereka kerasukan roh jahat? 　　Di bawah tatapan penuh arti dari saudara-saudaranya, Yu Jin tanpa ekspresi meneguk tehnya. 　　Berkelahi bisa dapat manfaat seperti ini? 　　Tujuan utamanya awalnya hanya membalas dendam untuk A Si, menemui Kaisar hanya bonus. 　　Tentu, pertemuan dengan Kaisar memang sudah diperhitungkan. Di saat seorang pangeran seperti dirinya dilupakan, ini strategi 'mengorbankan nyawa untuk meraih kehidupan'. 　　Tapi gelar pangeran ini sama sekali tak terduga. 　　Berbagai pikiran berputar di benak Yu Jin, namun raut wajahnya tetap tenang, seolah sudah yakin akan kemenangan. 　　Para pangeran memandang Yu Jin dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah. 　　Mungkinkah Lao Qi sudah tahu akan diangkat menjadi pangeran? Apakah semua ini sudah dia prediksi sebelumnya? 　　Sss——Lao Qi benar-benar licik! 　　Yang paling canggung adalah Pangeran Kedelapan. 　　Baru saja dia mengejek Yu Jin sebagai pangeran tak berguna yang tidak pantas bergabung dengan mereka, sekarang orang itu malah diangkat jadi pangeran. Pipinya terasa panas seperti ditampar. 　　Yang lebih kesal dari Pangeran Kedelapan adalah Pangeran Kelima. 　　Pangeran Kelima yang terdiam sedang meragukan arti kehidupannya. 　　Dia dipukul, kepalanya pecah oleh Lao Qi, tapi hukuman untuk keduanya sama. Bahkan Ayah Kaisar malah menganugerahi Lao Qi gelar pangeran! 　　Apa dia anak pungut? Atau selama ini yang dibesarkan di luar istana bukan Lao Qi melainkan dirinya? 　　"Aku tidak percaya, aku tidak percaya!" Setelah diam sesaat, Pangeran Kelima meledak, melompat hendak berlari keluar. 　　Pangeran Kedelapan memeluknya: "Kakak Kelima, mau ke mana?" 　　"Aku mau minta keadilan dari Ayah Kaisar!" 　　Pangeran Keenam di samping mengernyit: "Kakak, jangan pergi. Aku baru dapat kabar dari pejabat tadi—Nyonya Ningfei yang mengunjungi ruang kerja kaisar, lalu keluarlah dekret pengangkatan Lao Qi." 　　Pangeran Kelima tertegun, bibirnya gemetar: "Aku... aku akan protes ke Ibu Selirku!" 　　Pangeran Pertama menghampiri dan menepuk bahunya: "Adik Kelima, tenanglah. Perselisihan antar saudara tidak baik." 　　“Pangeran Kelima hampir meledak marah setelah mendengar, menggerakkan bahu melepaskan genggaman Pangeran Pertama, dan berkata dengan geram: "Apakah aku yang ingin memperkeruh situasi? Aku jelas-jelas sudah sangat tenang dari tadi!" 　　Siapa yang tidak tenang sama sekali sampai melempar tempayan anggur ke arahnya? 　　Yu Jin meletakkan cangkir teh, memejamkan mata untuk menenangkan diri. 　　Dia juga sangat tenang, terutama saat melempar tempayan anggur, kekuatan dan sudut lemparannya terkontrol dengan presisi. 　　Satu-satunya penyesalan adalah tidak bisa pulang ke rumah, tidak tahu apakah A Si pernah mencarinya... 　　Di rumah rakyat depan Gang Quezi yang memiliki pohon kurma bengkok, Jiang Si tiba-tiba kelopak matanya berkedut tak henti, membuat hatinya gelisah. 　　"Er Niu, ke mana tuanku pergi?" Jiang Si mengeluh sambil membelai kepala Er Niu dengan gerakan tak menentu. 　　Er Niu yang berbaring di samping Jiang Si langsung berdiri setelah mendengar, mengibaskan bulunya yang mengilap, dengan mahir menggigit ujung rok Jiang Si dan bergegas hendak pergi. 　　Jiang Si buru-buru menarik roknya, tersenyum masygul: "Er Niu, kau selalu menggigit rokku, aku sudah tak punya uang untuk bikin baju baru." 　　Er Niu langsung melepas gigitannya, mengibaskan ekor lalu lari ke kamar samping, tak lama kemudian kembali dengan kantong uang di mulut dan menaruhnya di tangan Jiang Si. 　　Jiang Si antara ingin tertawa dan menangis: "Cepat kembalikan." 　　Dari mana kantong uang ini digali? Tali pengikatnya sudah berjamur, entah sudah berapa lama terpendam di dasar peti. 　　Melihat Jiang Si tidak mau menerima, Er Niu memiringkan kepala dengan pandangan bingung. 　　“Jiang Si menunjuk ke kantong uang, lalu menunjuk ke kamar samping.” 　　Er Niu berbalik dan berlari ke kamar samping, menggunakan mulut dan cakarnya untuk menutup pintu, kemudian kembali mengambil kantong uang dari tangan Jiang Si dan menyodokkannya ke tangan Ah Man. 　　“Untukku?” Wajah Ah Man penuh kejutan. 　　“Guk guk!” Er Niu menggonggong dua kali untuk menyemangati. 　　Anjing itu pernah melihat, setiap kali kantong uang diberikan ke nyonya, nyonya pasti akan memberikannya ke orang ini. 　　Ah Man menatap Jiang Si. 　　“Kembalikan ke Er Niu.” 　　Yu Qi tidak ada di sini. Jika dia datang lalu membawa pulang kantong uang, sungguh tidak pantas. 　　Ah Man dengan enggan menyerahkan kembali ke Er Niu: “Ini, Nona tidak mengizinkan untuk menerimanya.” 　　“Guk!” Er Niu menunjukkan giginya dengan ekspresi mengancam. 　　Ah Man berkedip-kedip. 　　Anjing besar ini ternyata bisa mengancam orang! 　　Pelayan Lao Wang akhirnya tak tahan bersuara: “Sebaiknya Nona menerimanya. Sifat Er Niu sangat keras. Jika barang yang diberikannya tidak diterima, dia pasti akan merobek-robeknya.” 　　Jiang Si akhirnya memberi isyarat pada Ah Man untuk menerima sementara, lalu berkata pada pelayan: “Kalau begitu saya terima dulu, nanti akan saya kembalikan ke Tuan Yu.” 　　Melihat Ah Man menyimpan kantong uang, Er Niu girang dan berputar-putar mengelilinginya. 　　“Er Niu, saya harus pergi.” Jiang Si menepuk-nepuk Er Niu lalu bersiap pergi. 　　Kedatangannya ke sini hanyalah impuls sesaat. Dia tidak mungkin terus menunggu. Bagaimanapun sudah datang dan memenuhi janjinya. 　　Er Niu melompat menghadang di depan Jiang Si. 　　“Er Niu, jangan macam-macam!” 　　“Er Niu memiringkan kepala dan menatap Jiang Si. Melihat wajah cantiknya yang muram dan tekadnya untuk pergi, anjing itu langsung terjatuh dan mulai berguling-guling dengan perut menghadap langit.” 　　Jiang Si: “……” Er Niu sedang bertingkah nakal? Benarlah pepatah: Siapa yang dekat dengan merah akan ikut merah, dekat dengan hitam akan ikut hitam. 　　“Hahaha!” Ah Man tak bisa menahan tawa, terkekeh-kekeh sampai air matanya keluar, “Nona, bagaimana kalau Tuan putri menunggu sebentar lagi. Hehehe, hamba belum pernah melihat anjing sepintar ini——” 　　Tiba-tiba Ah Man berhenti tertawa dan berbisik pelan, “Nona, hamba pernah dengar tentang rubah jadi-jadian, kelinci giok jadi-jadian... Jangan-jangan Er Niu ini anjing jadi-jadian!” 　　“Guk!” Er Niu menggonggong kesal. 　　Dia mengerti, tahu! Dia bukan anjing siluman! 　　“Jangan bicara omongan tak karuan. Saatnya pergi.” Jiang Si mengingatkan diri sendiri agar tak boleh lembek. 　　Er Niu pandai merayu dan manja. Kalau hatinya melunak, pasti dia tak bisa pergi. 　　Tiba-tiba pintu halaman terbanting. Long Dan masuk dengan wajah pucat: “Bahaya!” 　　Langkah Jiang Si terhenti. Hatinya langsung tenggelam: “Ada apa?” 　　Dari tadi dia merasa ada yang tak beres. 　　Hari ini ulang tahun Yu Qi (Pangeran Ketujuh). Dengan keluguan tebalnya, pasti dia mengira Jiang Si akan datang. Sekalipun ada urusan, tak mungkin pulang terlambat sampai begini. 　　Mendengar pertanyaan itu, Long Dan malah bingung menjawab: “Tuanku——” 　　"Bagaimana harus menjelaskan ini? Tuanku selalu menyembunyikan identitasnya di depan Nona Jiang, tidak mungkin memberitahunya bahwa tuanku dibawa pergi pengawal istana karena berkelahi dengan para pangeran, kan?" 　　"Sebenarnya bagaimana keadaannya?" Melihat reaksi Long Dan, Jiang Si semakin merasa situasinya tidak baik. 　　Long Dan menghela nafas berat: "Tuanku ditangkap dan dimasukkan ke penjara karena terlibat pertikaian dengan seseorang!" 　　Dia tidak berbohong, tuanku yang membuat masalah besar seperti ini pasti akan mendapat konsekuensi serius. 　　"Dimasukkan ke penjara?" Alis Jiang Si berkerut dalam-dalam, mencoba mengingat-ingat peristiwa kehidupan sebelumnya. 　　Di kehidupan lalu, tidak pernah terdengar kabar Yu Qi masuk penjara. 　　Benar, dia teringat, di kehidupan lalu tak lama setelah Yu Qi menghadiri pernikahannya dengan Ji Chongyi, dia langsung kembali ke selatan dan tidak pernah tinggal lama di ibu kota. 　　Mungkinkah karena dia mengubah beberapa peristiwa, Yu Qi harus mengalami musibah penjara ini? 　　Melihat kegelisahan di mata Long Dan, hati Jiang Si tergerak. 　　Tidak, Long Dan pasti sangat paham identitas asli Yu Qi. Jika hanya masalah pertikaian biasa, tidak perlu panik seperti ini. 　　Begitu memikirkan ini, suasana hati Jiang Si tiba-tiba menjadi berat. 　　Selamat pagi. 146. Bab 146 Modal Pernikahan Long Dan 　　Bab 146 Modal Pernikahan Long Dan 　　Meski Er Niu tidak mengerti perkataan Long Dan, ketiadaan majikannya membuat naluri anjing ini gelisah. Di saat seperti ini, sentuhan penenang dari nyonya muda sangat berarti. 　　Er Niu mengeluarkan suara "woo-woo" rendah ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si mengusap kepala Er Niu, bertanya pada Long Dan: "Apakah Tuan Yu dibawa pergi oleh petugas Shuntianfu?" 　　Long Dan menghindar: "Ah, hamba juga tidak tahu pasti dari yamen mana petugas itu. Di ibu kota terlalu banyak yamen yang berwenang mengurus hal ini." 　　"Kalau begitu, saya akan minta kakak laki-laki saya untuk mencari informasi." 　　Long Dan cepat-cepat melambaikan tangan: "Tidak perlu, hamba bisa minta tolong orang untuk mencari tahu." 　　Jiang Si terdiam sejenak. 　　Kalau begitu, untuk apa Long Dan memberitahunya segitu banyak? 　　Long Dan diam-diam mengamati ekspresi Jiang Si, lalu berkata dengan hati-hati: "Nona Jiang, majikan hamba tidak punya sanak keluarga di ibu kota. Hamba harus sibuk mengurus hubungan untuk membebaskan beliau, sementara tidak ada yang merawat Er Niu. Bagaimana kalau-" 　　Pelayan Lao Wang diam-diam bersembunyi di sudut tembok berpura-pura tidak ada. 　　"Kalau tidak ada yang memberi makan, Er Niu bisa mati kelaparan." 　　Er Niu seolah mengerti, langsung berbaring di lantai dengan ekspresi putus asa. 　　Urat di pelipis Jiang Si berdenyut-denyut. 　　Jadi tujuan Long Dan bicara panjang lebar tadi hanya agar dia merawat Er Niu? 　　Tunggu, apakah ini berarti Yu Qi (Pangeran Ketujuh) sebenarnya tidak mengalami masalah serius? 　　Jiang Si perlahan tenang kembali, menyesali kekhawatirannya yang tiba-tiba tadi. 　　Dia sama sekali tidak peduli dengan nyawa orang itu! 　　"Begini saja, biar Er Niu ikut kakak laki-laki saya beberapa hari." 　　"Tidak bisa, Er Niu tidak bisa tidur jika pindah tempat." 　　"Woof--" Er Niu menggonggong setuju. 　　Jiang Si melirik Er Niu. 　　“Dia tidak pernah tahu Er Niu punya kebiasaan buruk ini.” 　　Er Niu mengangkat wajah anjingnya, mengendus-endus ke arah Jiang Si sambil merayu, sepasang mata hitamnya berlinang seolah ingin menangis jika ditolak. 　　Jiang Si menghela napas diam-diam. 　　Sudahlah, bagaimanapun juga, Yu Qi (Pangeran Ketujuh) pasti sedang dalam masalah. Untuk sementara dia akan merawat Er Niu beberapa hari. 　　“Kalau begitu saya akan menyempatkan datang setiap hari. Kabar tentang kondisi Tuan Yu, laporkan ke saya setelah dapat informasi.” 　　Long Dan mengangguk cepat: “Nona Jiang tenang, hamba akan langsung melapor ke nona begitu dapat kabar, agar nona tidak khawatir.” 　　Jiang Si mengerucutkan bibir. 　　Dia sama sekali tidak khawatir... 　　“Ah Man, ayo pergi.” 　　Begitu Jiang Si dan Ah Man pergi, Long Dan langsung berlari ke kamar sayap. 　　Tuanku kan pangeran, setidaknya tidak akan sampai nyawa taruhannya. Tapi untuk mendapat kabar tentang tuanku harus pakai uang sogokan. Untung tabungan bawah petinya banyak, cukup untuk menyuap penjaga. 　　Long Dan berlari ke tempat persembunyian uang. Melihat pakaian berantakan, dia buru-buru membuka paksa tumpukan baju dan meraba dasar peti. 　　Tidak ada apa-apa di dasar peti. 　　Wajah Long Dan langsung pucat. Dia membalikkan peti hingga isinya berhamburan, tapi kantong uang tetap tidak ada. 　　“Lao Wang!” teriak Long Dan memekik. 　　Lao Wang berdiri di pintu dengan tangan terkebelakang: “Ada apa?” 　　“Rumah kemalingan?” 　　“Tidak juga.” 　　“Lalu kenapa kantong uang simpanan bawah peti saya hilang?” Suara Long Dan semakin meninggi. 　　Lao Wang mengorek telinga, menunjuk Er Niu: “Tanya saja ke Er Niu.” 　　Long Dan memaksa diri tenang, melototi Er Niu. 　　Ada firasat buruk menggelayut di hatinya! 　　“Er Niu, mana kantong uangku?” 　　“Guk guk.” Er Niu menengadah ke langit. 　　Ngomong apa? Dia tidak ngerti. 　　Lao Wang yang tak tega akhirnya membongkar: “Er Niu memberikannya ke Nona Jiang.” 　　Setelah hening sesaat, Long Dan berteriak histeris: “Itu uang buat nikah simpanan terakhirku, Er Niu, bajingan! Kulitmu akan kukupas--” 　　Er Niu melirik sinis ke Long Dan, lalu kabur sambil mengibas-ngibaskan ekor. 　　Jiang Si dan dayangnya kembali ke Haitangju, Ah Man berteriak: “Nona, ada banyak uang di dalam!” 　　Banyak uang? 　　Jiang Si mengangkat alis. 　　“Nona lihat, ada setumpuk kertas perak!” 　　“Simpan baik-baik, kembalikan ke Tuan Yu saat dia pulang.” 　　“Ya.” Ah Man menyimpan kantong uang, “Nona, menurutmu Tuan Yu melakukan kesalahan apa sampai bisa dipenjara?” 　　Jiang Si berkata dingin: “Sifatnya yang begitu, wajar saja.” 　　Meski seorang pangeran, tidak ada hal yang tidak berani dia lakukan. Dia sudah mengalaminya di kehidupan sebelumnya. 　　“Nona, jangan terlalu khawatir.” Ah Man menghibur dengan penuh perhatian. 　　"Nona Jiang seperti kucing yang terinjak ekor!" Nona Jiang berkata dengan nada tinggi, "Jangan bicara sembarangan!" 　　Ah Man diam-diam menggelengkan mata. 　　Zaman sekarang malah dilarang bicara jujur, memang susah jadi dayang utama. 　　Beberapa saat kemudian, Jiang Si memberi perintah: "Suruh Lao Qin memberi tahu A Fei, coba cari informasi tentang Tuan Yu." 　　Ah Man: "..." Nona, bisakah Nona bertahan lebih lama sebelum berbicara? 　　"Cepat pergi!" Jiang Si merasa sangat malu, melototi Ah Man. 　　"Baik, hamba segera pergi." Ah Man menahan tawa lalu keluar. 　　Jiang Si berdiri dan mondar-mandir beberapa langkah, kemudian duduk di pinggir ranjang, memeluk bantal sambil menghela napas dalam-dalam. 　　Mungkin dia masih butuh waktu untuk benar-benar melupakan bajingan itu. 　　Setelah menunggu lama, Ah Man kembali dengan kabar dari A Fei: tentu saja tidak berhasil mendapatkan informasi tentang Yu Jin. 　　Saat ini meskipun pengangkatan Yu Jin sebagai pangeran menimbulkan sensasi, kabarnya masih terbatas di lingkungan istana dan pejabat berpengaruh, belum menyebar ke luar. Bahkan jika kabar ini tersebar, takkan ada yang menyangka Pangeran Ketujuh adalah Yu Qi. A Fei yang fokus mencari info tentang Yu Qi pun takkan menyadarinya. 　　Maka Jiang Si pasti kecewa. 　　Saat Yu Qi pergi, dia ditemani Leng Ying. Setengah hari kemudian, Long Dan akhirnya bisa menghubungi Leng Ying. 　　"Tu-Tuanku diangkat jadi pangeran?" Long Dan terbelalak, hampir jatuh dagunya. 　　"Mn." Jawaban singkat Leng Ying. 　　Long Dan menyodok Leng Ying: "Coba ceritakan detailnya dong." 　　“Orang ini dipukul pakai tongkat pun tak bisa mengeluarkan suara, bikin kesal.” 　　“Aku tidak tahu detailnya. Awalnya mereka mengurungku, lalu melepaskanku dan memberi ucapan selamat. Baru kusadar tuanku diangkat jadi pangeran oleh Kaisar.” 　　Long Dan mengusap wajahnya: “Ini agak aneh. Apa kau sudah bertemu tuanku?” 　　“Belum. Tuanku langsung dibawa menghadap kaisar oleh pengawal istana, lalu ditahan di Kantor Urusan Kekaisaran. Semua ini kudengar dari mereka.” 　　Untuk pengawal pangeran seperti Leng Ying, penanganannya fleksibel tanpa instruksi jelas dari atas. 　　Karena perintah Kaisar Jingming hanya menyebut para pangeran, sama sekali tidak peduli pada pengawal yang ikut. Makanya Leng Ying awalnya dikurung, lalu langsung dibebaskan setelah mendengar Pangeran Ketujuh diangkat jadi pangeran. 　　Secara realistis, ini seperti pepatah: satu orang meraih kesuksesan, semua pengikutnya ikut naik daun. 　　“Lalu apa sebenarnya yang kau tahu?” bentak Long Dan kesal. 　　“Tuanku akan dibebaskan tiga hari lagi.” 　　Tiga hari kemudian, pengangkatan Pangeran Ketujuh menjadi pangeran akhirnya tersebar luas di istana maupun rakyat. 　　Jiang Si yang tak kunjung mendapat kabar Yu Jin, juga tak bisa sembarangan menyuruh A Fei menyelidiki urusan pangeran, akhirnya menemui Jiang Ancheng: “Ayah, ada kabar baru apa di luar akhir-akhir ini?” 　　“Kabar baru? Ibu kota setiap hari selalu ada kabar baru.” 　　“Yang terkait urusan istana?” 　　Jiang Anchengar berpikir sejenak: “Ada satu. Pangeran Ketujuh yang dibesarkan di luar istana sejak kecil diangkat jadi pangeran.” 　　Dengan ditemani Er Niu, semoga kalian semua makmur tahun ini. Minta dukungan suara nih, baik suara bulanan maupun rekomendasi semuanya diperlukan. Jangan karena tidak meminta, kalian jadi mengabaikan Er Niu ya. Sampai jumpa besok. 147. Bab 147 Tiga Hari Kemudian 　　Bab 147 Tiga Hari Kemudian 　　Jiang Si benar-benar terkejut. 　　Bagaimana ini bisa terjadi? Yu Qi di kehidupan sebelumnya belum dianugerahi gelar pangeran pada periode ini. 　　Masih teringat di kehidupan sebelumnya, dia bekerja sama dengan suku Wu Miao mengalahkan Nanlan secara telak. Maklumat pengangkatan pangeran langsung dikeluarkan di selatan. Kenapa sekarang dia sudah jadi pangeran? 　　Sejujurnya, perubahan yang dia lakukan hanya terkait hal-hal personal, seharusnya tidak mempengaruhi Yu Qi sama sekali. 　　Lalu, dari mana perbedaan ini berasal? 　　Jiang Si pikirannya kacau oleh kabar mengejutkan ini, sesaat termangu. 　　"Terkejut?" Jiang Ancheng tak menyadari gejolak dalam hati putrinya, tersenyum ramah. 　　Jiang Si tersadar, memaksakan senyuman: "Terkejut--" 　　Nasib Pangeran Ketujuh yang misterius ini hampir diketahui semua keluarga terpandang di ibu kota, bahkan para gadis dalam pingitan pun membicarakannya sebagai hiburan. 　　"Putri dengar Pangeran Ketujuh selalu di selatan. Tiba-tiba kok bisa dianugerahi gelar pangeran?" 　　"Pangeran Ketujuh sudah kembali ke ibu kota beberapa waktu lalu, tapi sangat rendah profil. Pengangkatannya sebagai pangeran benar-benar di luar dugaan." 　　"Ayah pernah dengar alasannya?" Jiang Si menyelipkan pertanyaan. 　　“Konon kabarnya ini dipicu oleh perkelahian antar pangeran...” Jiang Ancheng menceritakan kabar yang sudah terdistorsi kepada Jiang Si, lalu berkomentar, “Sungguh Kaisar yang welas asih, tidak melupakan putra yang sudah belasan tahun tak dijumpainya.” 　　Perasaan Jiang Si agak rumit. 　　Dua hari ini dia bahkan tak bisa tidur nyenyak, untuk apa sebenarnya? 　　“Si'er, kenapa kau menanyakan ini?” Jiang Ancheng baru tersadar dan bertanya. 　　“Eh... akhir-akhir ini ibu kota sedang ramai, anak juga penasaran apakah kasus kematian mendadak 'Paman Selir Yang' sudah terungkap.” 　　“Anak gadis kecil kenapa penasaran hal-hal seram? Nanti ketakutan bagaimana?” Jiang Ancheng menggeleng tidak setuju. 　　Begitu teringat banyak kerangka yang digali di taman belakang Kediaman Marquis Changxing, sementara putrinya menyaksikan langsung, hatinya gelisah sampai tak bisa tidur. Dua paha babi kecap untuk menenangkan saraf akhirnya dimakannya sendiri. 　　“Ayah benar.” Jiang Si tersenyum manis. 　　Semua perkataan Ayah pasti benar. 　　“Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang ingin Ayah ingatkan, baru sempat sekarang karena kesibukan akhir-akhir ini.” 　　“Silakan Ayah berikan petuah.” 　　Jiang Ancheng sangat puas. 　　Lihatlah, betapa manisnya putri ini, tutur katanya begitu menyenangkan. Bandingkan dengan si brengsek Jiang Zhan yang hanya bisa membuatnya kesal! 　　Jiang Zhan yang kabur sekolah untuk mengantri membeli liangpi Nyonya Wang Wu di Jalan Timur - hendak diberikan pada adiknya - bersin bertubi-tubi sambil bergumam, "Pasti Ayah sedang mencelaiku lagi. Sepertinya hari ini aku harus menghindarinya." 　　Di ruang belajar yang terang benderang, Jiang Ancheng memberi isyarat pada Jiang Si untuk duduk, lalu bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang masalah kakak keduamu?" 　　"Kakak Kedua?" Jiang Si tak menyangka ayahnya akan menanyakan Jiang Qian, menjawab datar, "Kakak Kedua salah memilih pasangan, nasibnya kurang beruntung saja." 　　Yang lebih ingin dia katakan adalah: orang yang malas pasti punya sisi yang patut dibenci. Tapi perkataan seperti ini tak pantas diucapkan di hadapan senior. 　　Seandainya Jiang Qian tidak membantu Putra Mahkota Marquis Changxing berbuat jahat, sebagai saudari se-keluarga yang mengalami hal seperti ini - baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang - dia pasti akan bersimpati mendalam dan berusaha sekuat tenaga membantu Jiang Qian keluar dari awan kegelisahan. 　　Tapi sekarang, dia hanya akan menunggu kesempatan untuk membuat Jiang Qian mendapatkan hukuman yang layak. 　　Dia tidak percaya Jiang Qian adalah tipe orang yang akan tersadar dan bertobat. 　　Jiang Ancheng menghela napas panjang: "Si'er, kita tidak bisa mengatur keberuntungan kita sendiri, tapi setidaknya bisa membuat pilihan yang benar setelah mengalami kemalangan. Bagaimana jika suatu hari nanti kau..." 　　Jiang Ancheng sama sekali tidak bisa membayangkan ada orang yang tega memukuli putrinya yang cantik dan patuh ini, tapi dia harus mengatakannya - ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang ayah: "Jika kau bertemu orang yang berani mengangkat tangan padamu, jangan pikirkan pengaruhnya terhadap keluarga suami atau keluarga kita, langsung pulang ke rumah!" 　　"Ayah--" 　　"Semua ada aku dan Kakak Kedua-mu yang menanggung. Seorang gadis kecil sepertimu tidak perlu memaksakan diri memikirkan 'kepentingan nasional'." 　　“Putri sudah ingat.” Jiang Si menundukkan pandangan, perasaan haru membanjiri hatinya. 　　Di kehidupan sebelumnya, andai dia tidak terlalu keras kepala dan lebih lembut di hadapan Ayah dan Kakak, apakah segalanya akan berbeda? 　　Dia membutuhkan satu siklus reinkarnasi untuk belajar kapan harus lembut dan kapan harus tegar. Akankah dia dan orang-orang terkasihnya mendapat akhir yang baik? 　　“Sebentar lagi ulang tahun nenekmu. Nanti saat bertemu kakakmu, ajaklah dia mengobrol panjang, lihat bagaimana keadaannya.” Jiang Ancheng menyebut nama putri sulung Jiang Yi, dadanya terasa sesak. 　　Saat putri sulungnya lahir, dirinya masih muda. Pikirannya hanya dipenuhi sosok ibu para gadis, sulit membagi perhatian untuk putrinya. Ketika kemudian memiliki anak laki-laki yang bandel, perhatiannya semakin berkurang. 　　Kemudian, putri kedua lahir, sementara sang istri meninggal dunia... 　　Sejak kecil, Jiang Yi selalu pendiam dan penurut, tak pernah merepotkan. Beruntung menantunya berwatak baik, tampak benar-benar menyayanginya. Hanya saja keluarga terpelajar banyak aturan, sehingga Jiang Yi jarang bisa pulang. 　　Sebagai pria dewasa, Jiang Ancheng selama ini menganggap rumah tangga Jiang Yi harmonis. Namun setelah kasus Jiang Qian, keraguan mulai menyelinap. 　　Bagaimana jika mertua memperlakukan Yi'er dengan semena-mena, sementara Yi'er hanya diam menerima? 　　“Ayah tenang saja, nanti putri akan mengobrol baik-baik dengan kakak.” 　　“Peraturan keluarga Zhu memang ketat, tapi saat ulang tahun nenek, tidak mungkin Kakak dilarang memberi ucapan. Apalagi keluarga nenek dari pihak ibu adalah Keluarga Marquis Yining, bukan keluarga miskin.” 　　Jiang Si meninggalkan ruang belajar, baru keluar dari kediaman marquis langsung bertemu Jiang Zhan. 　　"Adik Keempat, kamu mau pergi keluar ya?" Jiang Zhan terengah-engah dengan pipi kemerahan. 　　Jiang Si menengok ke langit: "Bukannya Kakak Kedua seharusnya sedang sekolah pada jam seperti ini?" 　　Jiang Zhan menyerahkan liangpi seperti mempersembahkan harta: "Adik Keempat, masih ingat Wang Wusao di Jalan Timur? Liangpi mereka paling terkenal! Beberapa hari lalu tutup karena urusan keluarga. Hari ini buka lagi, antriannya sampai..." 　　"Kakak Kedua membolos cuma untuk beli liangpi ya." 　　"Kamu kan suka. Liangpi mereka kenyal sekali, dipotong rapi lalu disiram saus wijen, diberi bawang putih cincang, cuka, ditambah irisan mentimun dan cabai. Enak banget dimakan saat panas!" Jiang Zhan menyodorkan liangpi ke tangan adiknya, "Makan dulu baru main. Aku harus cepat kembali sekolah, nanti ketahuan Ayah pasti dipukuli lagi." 　　Sebelum Jiang Si sempat bicara, Jiang Zhan sudah menyibak daun yang tersangkut di rambutnya, lalu berlari tergesa-gesa. 　　"Jangan lari terlalu kencang, nanti kepanasan!" Teriakan Jiang Si tertinggal saat bayangan kakaknya sudah menghilang di ujung jalan. 　　“Nona, liangpi ini——” Ah Man menelan ludah diam-diam. 　　Dia pernah mencoba liangpi dari keluarga Wang Wusao, benar-benar lezat! 　　Hiks, ingin sekali punya kakak seperti Tuan Kedua. 　　“Bawa dulu ke Gang Quezi.” 　　Sudah dibawa keluar, mengembalikan liangpi lagi terlalu merepotkan. Untung satu kotak liangpi tidak terlalu berat. 　　Di depan pintu Zongrenfu, Long Dan dan Leng Ying menunggu dengan gelisah. 　　“Keluar!” Mata Long Dan berbinar, tangannya menarik lengan baju Leng Ying keras-keras. 　　Beberapa orang keluar dari Zongrenfu. Semuanya beraura luar biasa, salah satunya berusia antara pemuda dan remaja, jelas terpisah dari yang lain——tak lain adalah Yu Jin. 　　Selamat pagi. 148. Bab 148: Siswa Yu Jin yang Cari Mati 　　Bab 148: Siswa Yu Jin yang Cari Mati 　　Kamar kosong Zongrenfu meski termasuk bentuk penjara, tapi yang ditahan adalah pangeran-pangeran, tentu berbeda dengan penjara sesungguhnya. 　　Bisa dikatakan selain kebebasan yang hilang, kehidupan sehari-hari para pangeran tidak jauh berbeda dengan di kediaman pangeran. Tentu karena hukuman Kaisar, tiga hari ini hanya boleh makan sayur dan buah. 　　Saat berjalan keluar, kaki semua pangeran gemetar, wajah mereka pucat. 　　Tidak makan daging bikin lemas! 　　Begitu keluar, sekelompok orang langsung mengerumuni mereka. 　　Yang sudah menikahi Permaisuri, dijemput istri masing-masing. Yang belum menikah seperti Pangeran Keenam dan Kedelapan, Ibu Selir mereka sudah mengirim orang kepercayaan untuk menunggu, khawatir putra mereka diperlakukan tidak adil. 　　Di depan Istana Zongren, tangisan dan rengekan bergema ramai seketika. 　　Long Dan menghela napas diam-diam, menarik lengan Leng Ying: "Ayo, kita juga menjemput tuanku!" 　　Seandainya dari tadi membawa Er Niu, pasti bisa mengalahkan semua perempuan-perempuan ini! 　　Baru beberapa langkah dilangkahi Long Dan dan Leng Ying, seseorang sudah mendahului mendekati Yu Jin, membungkuk lalu tersenyum: "Paduka, Nyonya mempersilakan Tuan menghadap." 　　Yu Jin tersenyum ringan, berkata santai: "Saat ini kurang nyaman. Saya harus pulang untuk mandi, ganti baju, makan dan tidur." 　　Pelayan istana yang menjemput Yu Jin berasal dari istana Ibu Suri Xian. 　　Yu Jin merasa ini sangat menggelikan. 　　Sudah sekian lama dia kembali ke ibu kota, sang Ibu Selir yang tak pernah dikenalnya bahkan tak sekalipun ingin bertemu, bahkan di hari ulang tahunnya yang ke-18 tak ada sepatah kata pun. Kini setelah diangkat menjadi pangeran langsung dipanggil ke istana, apakah tidak terlalu terburu-buru? 　　Memikirkan hal ini, Yu Jin bahkan malas untuk merasa marah. 　　Baginya, istana adalah tempat asing, dan sang Ibu Selir yang tinggal di dalamnya pun sama asingnya. 　　"Ibu Selir" hanyalah sebutan, tanpa makna khusus. 　　Melihat Yu Jin bergegas mendekati Long Dan dan kawannya, pelayan istana mengejar dari belakang: "Paduka, Nyonya masih menunggu Tuan—" 　　Teriakan ini membuat orang-orang di gerbang melirik ke arah mereka. 　　Si pelayan bertubuh pendek hanya bisa melihat Yu Jin pergi dengan gagah ditemani dua pengawal, lalu menghentakkan kaki sambil menghela napas, pulang dengan kepala tertunduk untuk melapor. 　　Di dalam kereta keluarga Pangeran Lu, Permaisuri Lu pertama-tama memeriksa kondisi Pangeran Kelima, kemudian marah: "Pangeran Ketujuh sialan itu, kenapa harus menghantam kepala Pangeran..." 　　Pangeran Kelima merasa bersalah dan kesal, berkata dingin: "Jangan sebut dia lagi, ingat saja sudah bikin kesal!" 　　Orang gila seperti Lao Qi yang menggigit sembarangan hanya bisa dianggap sial. Jika Permaisuri Lu tahu soal perhatiannya pada Nona Keempat dari Keluarga Bo Dongping, pasti akan ribut lagi. 　　Permaisuri Lu memikirkan kemalangan suaminya lalu mengalihkan topik: "Pangeran, mengapa Ayah Kaisar menganugerahi gelar pangeran pada Pangeran Ketujuh?" 　　"Aku mana tahu!" 　　Pertanyaan serupa tidak hanya muncul di kereta Pangeran Lu. Namun tak satu pun yang bisa menjawab. 　　"Tak perlu pikirkan alasan adik ketujuh diangkat jadi pangeran. Kehendak kaisar sulit ditebak. Aku dan dia saudara kandung seibu. Nanti saat dia punya kediaman sendiri, sebagai kakak ipar kau harus lebih perhatian. Setelah dia punya permaisuri resmi, jalinlah hubungan baik." Di dalam kereta sederhana namun mewah, Pangeran Keempat berkata pada Permaisuri Qi. 　　Permaisuri Qi yang berwajah biasa namun berwibawa tersenyum angguk: "Pangeran tenang saja. Nanti akan kusuruh orang mengirim tonik untuk adik ketujuh. Saat Kediaman Pangeran Yan selesai direnovasi, akan kuberikan dua batang karang merah setinggi setengah zhang dari gudangku sebagai hadiah." 　　Pangeran Keempat mendengar hingga hatinya terasa perih. 　　Dua batang koral merah setinggi setengah zhang itu memang benda bagus, bahkan dia sendiri sangat mengaguminya. Karena itu adalah mas kawin Permaisuri, dia tidak bisa berkomentar. Tak disangka Permaisurinya malah begitu dermawan. 　　Tapi ini justru sesuai dengan keinginan Pangeran Keempat. 　　Meskipun Yu Jin telah mengacaukan pesta ulang tahun yang diselenggarakannya, dia malah diberi gelar pangeran. Hal ini membuat seluruh istana bergosip tak karuan, tidak bisa menebak maksud Kaisar. 　　Menurut Pangeran Keempat, apapun yang dipikirkan Kaisar Jingming, keuntungan Yu Jin sudah nyata. Menunjukkan kasih sayang sebagai kakak pasti tidak salah. 　　"Maafkan kamu. Nanti... semua benda bagus akan kucarikan untukmu..." Pangeran Keempat menggenggam tangan Permaisuri Qi, berkata dengan maksud tersirat. 　　Permaisuri Qi tersenyum tipis, bersandar lembut di bahu Pangeran Keempat: "Aku tidak peduli benda bagus apa pun. Yang penting Pangeran punya niat ini sudah cukup." 　　Ambisi Pangeran tentu saja dia ketahui. Sebagai istri pangeran yang ambisius, tentu dia tahu harus berbuat apa. 　　Seandainya Pangeran hanya ingin menjadi pangeran santai seumur hidup, mas kawinnya tentu bisa dipakai sesuka hati. Tapi jika Pangeran mengincar posisi itu, tentu dia harus membantu mengurus hubungan baik. 　　Dari segi latar belakang keluarga, dia tidak kalah dari Permaisuri Putra Mahkota. Mengapa Permaisuri Putra Mahkota bisa duduk di posisi Permaisuri, sementara dia tidak? 　　Memandang profil wajah Permaisuri Qi yang biasa-biasa saja, Pangeran Keempat menghela napas halus dalam hati. 　　Permaisuri memang aset besar baginya, sayang penampilannya terlalu biasa... 　　“Bayangkan adik kelima yang tak tahu bersyukur, sudah memiliki permaisuri secantik bunga, masih berani mengincar Nona Keempat Dongping Bo Residence.” 　　“Apa gerangan keindahan Nona Keempat Dongping Bo Residence ini?” Pangeran Keempat mulai timbul rasa penasaran. 　　“Paduka, apakah Anda lelah?” Permaisuri Qi menyadari kelalaian Pangeran Keempat, bertanya. 　　Pangeran Keempat tersenyum: “Tak apa, mari kita masuk istirahat untuk memberi salam pada Ibu Selir, agar beliau tenang.” 　　Pasangan Pangeran Qi langsung menuju istana, utusan dari Istana Ibu Suri Xian sudah lebih dahulu kembali melapor. 　　Ibu Suri Xian wajahnya pucat marah: “Dia berani menolak masuk istirahat dengan alasan mandi dan tidur! Apa dia masih menganggap aku ini ibunya?!” 　　Dasar bajingan, cari alasan saja tak mau bersusah payah, jelas-jalis anak durhaka. 　　“Nyonya, tenanglah, Paduka Ketujuh belum pernah tinggal di istana, wajar jika kurang paham tata krama.” Pelayan kepercayaan menghibur. 　　Saat itu pelayan istirahat masuk melapor: “Nyonya, Pangeran Qi dan Permaisuri datang memberi salam.” 　　Mendengar kedatangan Pangeran Keempat, wajah Ibu Suri Xian berubah lembut: “Cepat persilahkan masuk.” 　　Ternyata tetap yang keempat yang paling berbakti, tak sia-sia kasih sayang ibu ini. 　　Dalam perjalanan kembali ke Gang Quezi, Yu Jin bertanya pada Long Dan: “Selama dua hari ku pergi, ada kejadian apa?” 　　“Tak ada apa-apa.” Merasa tuannya dalam suasana baik, Long Dan iseng menggoda. 　　“Hmm?” Wajah Yu Jin berubah muram. 　　Apa anak ini ingin dipukul? Sudah tahu pertanyaan majikannya masih bermain kata-kata. 　　Long Dan merinding, buru-buru menjawab: "Nona Jiang setiap hari datang memberi makan Er Niu." 　　Langkah Yu Jin terhenti. 　　"Tuanku, ada apa?" 　　"Setiap hari?" Yu Jin bertanya sambil menekankan setiap suku kata. 　　"Iya." Long Dan mengangguk. 　　Ada masalah apa? 　　"Bangsat!" Yu Jin mengumpat pelan, lalu bergegas pulang dengan langkah lebar. 　　Dia ternyata melewatkan beberapa kesempatan bertemu A Si, rasanya ingin membunuh seseorang! 　　Sampai di depan rumah, memandang pohon kurma bengkok yang sedang berjemur malas, Yu Jin berhenti: "Dia datang jam berapa setiap hari? Selama dua hari ini aku tidak ada, apa yang kau katakan padanya?" 　　"Sekarang ini Nona Jiang seharusnya sudah sampai." Long Dan terkekeh, "Hamba bilang ke Nona Jiang bahwa Tuan dipenjara karena menghina orang, menderita sekali." 　　Hah? 　　Yu Jin tiba-tiba dapat ide. Dicabutnya belati, disobeknya baju beberapa kali, lalu tanpa ragu melukai lengannya sendiri. Darah yang mengalir diusapkannya ke wajah dan badan, lalu bersandar pada Long Dan dengan lemah: "Dukung aku masuk--" 　　Sampai jumpa besok. Jangan lupa voting ya, kalau tidak ada suara bulanan, rekomendasi juga sangat dihargai. 149. Bab 149: Membongkar 　　Bab 149: Membongkar 　　Melihat tuannya yang tadi masih segar bugar tiba-tiba berubah menjadi bunga layu, mulut Long Dan menganga sampai bisa menelan telur: "Tu-Tuanku--" 　　"Apa yang Anda lakukan ini!" 　　"Jangan banyak bicara!" Yu Jin berbisik dengan nada peringatan. 　　Leng Ying adalah labu mulut gergaji, yang paling dikhawatirkannya adalah Long Dan yang terlalu banyak bicara sampai bocor rahasia. 　　Long Dan tidak berani bertanya lagi, menyangga Yu Jin sambil berteriak: "Lao Wang, buka pintu!" 　　Pintu kayu hitam biasa berderit terbuka, Er Niu menyikut Lao Wang dan menyelonong keluar, mengelilingi Yu Jin sambil menggonggong. 　　Yu Jin rindu pada Er Niu yang sudah tiga hari tidak bertemu, tapi anjing juga tidak lebih penting daripada calon istri. Diam-diam ia mencubit Long Dan, memberi isyarat agar segera membawanya masuk. 　　Long Dan masih bengong di tempat, tiba-tiba Leng Ying dengan wajah datar menyangga lengan Yu Jin yang satunya sambil berjalan masuk. 　　Lao Wang terkejut: "Anda kenapa ini?" 　　Jiang Si yang duduk di bawah pohon di halaman sudah lama berdiri. 　　Ia tidak menyangka akan bertemu Yu Jin secara langsung. 　　Saat ini perasaan Nona Jiang agak rumit, di satu sisi penasaran dengan nasib Yu Jin, di sisi lain merasa kedatangannya setiap hari yang kebetulan bertemu mungkin memicu pikiran macam-macam dari pria ini. 　　Seharusnya datang di waktu lain. 　　Begitu pikir Jiang Si, tiba-tiba melihat Yu Jin yang compang-camping penuh luka dan darah. 　　Pada detik itu, semua keraguan langsung terlupakan. Jiang Si tak kuasa melangkah cepat dan bertanya: "Kenapa bisa terluka?" 　　Sudut mulut Yu Jin sedikit melengkung ke atas. 　　Sepertinya ia melihat keperhatian di mata A Si! 　　“Haha, aku kan sudah bilang, rencana pura-pura terluka pasti berhasil.” 　　“Tidak, tidak apa-apa...” Yu Jin menjawab lemah dengan wajah pucat, menyuruh Long Dan, “Bantu aku duduk dulu...” 　　Long Dan yang sudah larut dalam aktingnya berkata tersedu-sedu, “Tuanku, pelan-pelan, jangan sampai lukanya terbuka...” 　　“Sebenarnya ada apa?” Jiang Si mengerutkan alis. 　　Bukankah Yu Qi sudah diangkat sebagai Pangeran Yan? Sedang dalam masa kejayaannya, kenapa bisa pulang dengan tubuh penuh luka? 　　Tanpa perintah Kaisar, siapa berani menyiksa pangeran secara ilegal? 　　Yu Jin mengangkat kepala dan tersenyum lemah pada Jiang Si, “Tidak ada masalah besar, cuma karena menyinggung orang berpengaruh yang menyuap petugas untuk menyiksaku. Tapi kulitku tebal, ini semua hanya luka luar, kamu jangan khawatir...” 　　Hmm? 　　Mata Jiang Si menyipit. 　　Kok rasanya ada yang tidak beres? 　　Bukankah Yu Qi ditahan di Kantor Keluarga Kekaisaran karena berkelahi? Mungkin petugas Kantor Keluarga Kekaisaran disuap untuk menyiksa pangeran yang sebentar lagi akan diangkat? 　　Awalnya dia memang tidak tahu masalah apa yang dihadapi Yu Qi, tapi selama tiga hari ini dia sudah bertanya pada Ayah. 　　Penjelasan Yu Qi sangat berbeda dengan versi Ayah, tapi luka-luka di tubuhnya jelas tidak masuk akal secara logika. 　　Jiang Si tentu tidak bodoh. Awalnya sempat panik melihat keadaan Yu Jin yang mengenaskan, tapi setelah tenang dan berpikir sebentar, dia langsung paham situasi sebenarnya. 　　"Bajingan ini berani memainkan siasat 'daging menderita' padanya!" 　　Nona Jiang tetap tenang di permukaan, namun dalam hati sudah mulai mencemooh: Sungguh keterlaluan, menggunakan siasat kecantikan padaku mungkin masih bisa dimaklumi jika lawan punya modal, tapi menggunakan siasat 'daging menderita' masih punya muka apa? 　　"Mereka menyiksamu?" 　　Yu Jin mengangguk dengan susah payah: "Cuma beberapa cambukan, bagi orang sepertiku yang terlatih bela diri bukan masalah, huhuk-huhuk——" 　　"Lalu kenapa terlihat sangat lemah?" Nona Jiang pura-pura menunjukkan ekspresi khawatir. 　　Yu Jin dalam hati bersorak: A Si berhati lembut, ternyata berpura-pura sakit itu strategi yang tepat. Untung aku bermental baja. 　　"Huhuk-huhuk, awalnya tidak parah, tapi hampir tiga hari tidak makan, ditambah kena angin, jadi agak tidak enak badan..." 　　"Masa sampai tidak dikasih makan?" Long Dan ikut nimbrung, "Terlalu keterlaluan! Padahal Tuanku sudah punya riwayat pusing-pusing kalau lapar, sekarang pasti sangat menderita!" 　　Jiang Si mengernyitkan bibir. 　　Ini benar-benar omongan nyata! Siapa yang tidak pusing kalau kelaparan? Tuan dan hamba ini sudah berkomplot main sandiwara di depanku. Aku ingin lihat bagaimana kelanjutan drama mereka. 　　"Long Dan, jangan banyak bicara." Yu Jin memarahi dengan ekspresi ingin melindungi Jiang Si dari kekhawatiran. 　　"Tapi Tuanku harus makan. Hamba akan membuatkan bubur." 　　Yu Jin mengerutkan kening. 　　Long Dan menepuk dahinya: "Ah iya, kemampuan masak hamba buruk. Dalam kondisi Tuanku yang sedang sakit, pasti tidak akan mau makan——" 　　“Sambil berbicara, dia melirik ke arah Jiang Si.” 　　Yu Jin cukup puas dengan reaksi Long Dan, meski sangat ingin A Si memasakkan bubur untuknya, tapi jika A Si pergi memasak berarti dia tak bisa mengobrol dengannya. 　　“Dibandingkan itu, lebih baik banyak berbicara dengan A Si.” 　　“Tidak apa, kau pergi saja memasak bubur. Aku akan makan sedikit untuk pulihkan tenaga. Leng Ying, kau ke apotek beli obat penghilang bengkak dan memar.” Setelah mengutus pergi Long Dan dan Leng Ying, Yu Jin mengusap dahinya, “Cuaca hari ini cukup terik. Bisakah Nona Jiang menuntunku masuk ke dalam untuk istirahat?” 　　“Baiklah.” Jiang Si tersenyum mengulurkan tangannya. 　　Pergelangan tangan gadis itu lebih putih dari salju, aroma wanginya langsung tercium saat mendekat. 　　Jantung Yu Jin berdebar kencang, langkahnya terasa ringan seperti bermimpi. 　　Berapa malam dia memimpikan adegan bersama A Si - kadang sedang bersujud pengantin, kadang sedang memasuki kamar pengantin— 　　Batuk-batuk, tak boleh teruskan pikiran ini. Seorang pria terhormat seperti dirinya tak pantas selalu membayangkan hal-hal indah seperti ini. 　　Di dalam ruangan yang terang benderang, Yu Jin perlahan duduk di kursi sambil tersenyum lemah, “Terima kasih Nona Jiang.” 　　“Tak perlu.” Meski ingin membongkar kepalsuan si bajingan ini, Jiang Si khawatir akan dirayu panjang lebar. “Istirahatlah baik-baik Tuan Yu. Saya sudah lama di sini, harus pulang sekarang.” 　　Yu Jin mana tega melepas Jiang Si langsung pergi, buru-buru batuk beberapa kali, dengan wajah memelas berkata: "Nona Jiang, bisakah tolong ambilkan segelas air?" 　　Pandangan Jiang Si jatuh di sekitar bibir Yu Jin. 　　Bibir tipis yang berlekuk indah memancarkan kilau lembab, dipadu dagu tajam seperti pahatan, tanpa sadar memberi kesan dingin dan acuh. Namun kedinginan ini justru membuat hati para gadis berdebar-debar. 　　Sama sekali tak terlihat tanda-tanda dia kehausan. 　　Meski begitu, Jiang Si diam-diam menuangkan secangkir air dan menghantarkannya. 　　Dia ingin melihat sampai kapan pria ini akan berpura-pura. 　　Yu Jin mengangkat tangan untuk menerima, tiba-tiba mendengus kesakitan, wajahnya menunjukkan ekspresi menderita. 　　Tangan Jiang Si yang memegang cangkir terhenti. 　　Yu Jin tersenyum pasrah: "Ada luka di lengan—" 　　Jiang Si menaikkan alis: "Apa harus kususui kamu?" 　　"Sungguh memalukan, kalau begitu merepotkan Nona Jiang." Daun telinga pemuda itu perlahan memerah, memandang Jiang Si dengan senyum lembut. 　　Jiang Si menaruh cangkir teh di meja, berkata sini: "Sampai kapan kamu mau berpura-pura?" 　　"Apa?" Ekspresi Yu Jin polos tak bersalah. 　　Bagaimana kondisi orang yang terluka dan lemah, dia paling paham. Mustahil ada celah. 　　Jiang Si mengatupkan bibir rapat-rapat menatap pria bebal yang tak mau mengaku ini. 　　Seperti apapun aktingnya, ada satu hal yang tak pernah terpikir: dia sudah tahu identitas aslinya. 　　Hanya dengan ini, akting sempurna pun pasti ketahuan. 　　Nona Jiang mengangkat lengan baju Yu Jin, berkata dingin: "Tuan Yu, luka di lenganmu ini baru saja tergores, bukan?" 　　Yu Jin menunduk melihat lengannya, lalu menatap gadis berwajah tegang itu, hanya satu pikiran di benaknya: Ini sudah tamat! 　　Selamat pagi. 150. Bab 150 Terbongkar Bersama 　　Bab 150 Terbongkar Bersama 　　Bagaimana persisnya rahasianya terbongkar, Yu Jin tetap tak mengerti. Tapi yang penting sekarang adalah bagaimana melewati momen kritis ini. 　　"Aku tak tahu Tuan Yu ternyata pandai berakting," kata Jiang Si sambil mencengkeram lengan baju Yu Jin dengan dingin. 　　Yu Jin berkedip: "Kalau begitu... apakah ini bisa dianggap kontak fisik langsung di antara kita?" 　　Wajah Jiang Si memerah, ia buru-buru melepas lengan baju Yu Jin. 　　Karena sandiwara iba sudah ketahuan, lebih baik kembali ke watak asli. Yu Jin tersenyum tipis, berkata tanpa malu: "Lagipula kau yang memulai duluan." 　　"Yu Qi!" Jiang Si geram. "Apa kau tidak punya muka sama sekali?" 　　"Tidak perlu," Yu Jin tersenyum manis mendekati Jiang Si, tiba-tiba suaranya merendah. "Aku hanya butuh dirimu." 　　Untuk mendapatkan A Si, buat apa punya muka? 　　Aku hanya butuh dirimu... 　　Mendengar bisikan ini, jantung Jiang Si berdebar tak karuan. Perasaan terpojok yang tak bisa kabur membuatnya lupa untuk mendorong pria yang semakin mendekat. 　　Memandang gadis yang sudah sedemikian dekat, Yu Jin menjilat bibirnya pelan, dorongan untuk mencium harum tubuhnya semakin menggebu. 　　“Tidak tahu jika mencium pipi merah A Si, apakah akan mendapat satu tamparan atau dua tamparan?” 　　Sudahlah, lebih baik dicium dulu... 　　Yu Jin semakin menundukkan kepala, tapi tiba-tiba berhenti. 　　Tidak bisa, wajahnya masih berlumuran darah, ini akan membuat A Si tidak nyaman. 　　Meski dia berhenti, Jiang Si secara refleks menyamperkan tamparan. 　　Dengan suara 'pak', Yu Jin menggenggam pergelangan tangan Jiang Si dengan lembut lalu merajuk: "Bahkan jika Nona Jiang mengira aku sedang berakting, janganlah memukul wajahku." 　　Seharusnya tadi aku tetap menciumnya, tamparannya jadi percuma. 　　“Jangan bahas soal akting, tadi kamu——” 　　“Tadi bagaimana?” Lagipula belum sempat mencium, dia takkan mengaku. 　　Jiang Si juga terdiam, menggigit bibir tak bisa berkata-kata. 　　Yu Jin berpura-pura tersadar: “Nona Jiang, jangan-jangan tadi nona mengira aku ingin menciummu?” 　　Wajah Jiang Si semakin muram karena rasa malu. 　　Bajingan ini, setiap ketemu pasti dirugikan, lebih baik pergi saja. 　　Jiang Si melepaskan genggaman Yu Jin, berbalik pergi tanpa bicara, tapi sebuah tarikan kuat menyergapnya kembali. 　　Tanpa persiapan, Jiang Si menabrak tubuh lawannya. 　　“Lepaskan!” 　　“Ssst——” Yu Jin tiba-tiba mengedipkan mata, sebelum Jiang Si sempat bereaksi, bibir tipisnya sudah mencap pipi bunga mekar itu. 　　Ciuman itu seperti capung menyentuh air, hanya sesaat menyentuh lalu menghilang, namun kedua orang itu serentak terguncang, bisa mendengar detak jantung masing-masing yang bergemuruh seperti guntur. 　　Setelah keheningan singkat yang samar, Yu Jin berkata lembut: "Sudahlah, sekarang kamu sudah tidak salah paham lagi, kalau ingin memukul silakan." 　　Di wajahnya terlihat biasa saja, namun di dalam hati ia sangat gembira, seolah bunga musim semi yang indah mekar satu demi satu. 　　Akhirnya ia bisa memastikan, di hati A Si ada dirinya. 　　Jiang Si mundur selangkah, melepaskan diri dari pelukan Yu Jin dengan kikuk, lalu berbalik dan berlari keluar. 　　Ah Man sedang memetik sekuntum bunga sutra di bawah pohon kesidang dan menempelkannya di telinga Er Niu. Melihat Jiang Si berlari tergesa-gesa, ia segera berdiri: "Nona, Anda--" 　　"Pulang!" Jiang Si tidak berani menoleh, merasa di belakangnya ada binatang buas mengerikan yang jika ia menoleh akan menyantapnya hidup-hidup, membuatnya binasa selamanya. 　　Seketika itu juga tuan dan dayangnya menghilang dari pandangan. Er Niu menggonggong dua kali, dengan bijak tidak mengejar. 　　Long Dan mendengar keributan dan berlari keluar dari dapur. Melihat pintu halaman terbuka lalu menatap Yu Jin yang berdiri di anak tangga depan rumah, wajahnya bingung: "Tuanku, kenapa Nona Jiang pergi?" 　　Yu Jin sama sekali tidak menghiraukan perkataan Long Dan. Ia tetap tersenyum bodoh sambil menatap jauh ke arah pintu halaman. 　　Sudah mencium A Si tapi tidak dipukul, sungguh menyenangkan. 　　Tapi dengan perginya A Si ini, apakah besok dia tidak akan datang lagi? 　　Memikirkan hal ini, Yu Jin menyembunyikan senyumannya dan hatinya merasa sesak. 　　"Pada akhirnya, yang terpenting adalah membuat A Si cepat-cepat setuju untuk menikah dengannya. Dia harus berusaha lebih keras lagi." 　　“Sudahkah Kakak Yu Qi kembali?” Jiang Zhan berdiri di pintu gerbang sambil melongok ke dalam, tiba-tiba wajahnya berseri-seri dan masuk ke dalam, “Kakak Yu Qi, kemana saja kakak selama dua hari ini?” 　　“Adik kedua Jiang datang.” Yu Jin mengumpulkan perasaannya lalu turun dari tangga batu. 　　Jiang Zhan justru terkejut: “Kakak Yu Qi, kenapa keadaanmu begini? Baru saja berkelahi dengan orang?” 　　Yu Jin baru teringat bahwa dirinya masih berpura-pura sebagai korban luka, terpaksa melanjutkan aktingnya: “Iya, tidak ada masalah serius.” 　　Jiang Zhan masih tetap heran: “Kakak Yu Qi, ilmu beladirimu begitu hebat, siapa yang bisa melukaimu? Mengapa Long Dan tidak memberi tahu saya tentang kejadian besar ini? Dia hanya bilang kakak pergi urusan lain.” 　　“Insiden kecil saja. Baru pulang jadi belum sempat ganti baju. Sebenarnya hanya luka ringan di kulit.” 　　“Luka di mana?” Jiang Zhan bertanya dengan khawatir. 　　Meski kadang kesal karena Kakak Yu Qi mengincar Adik Keempat, Jiang Zhan tetap sangat berterima kasih pada sang penyelamat yang juga sahabatnya ini. 　　Jujur saja, walau ilmu beladirinya biasa-biasa saja, jika Kakak Yu Qi benar-benar butuh bantuan, dia akan siap mengorbankan diri tanpa ragu. 　　Yu Jin yang tahu Jiang Zhan adalah orang yang tulus, mengangkat lengan bajunya untuk diperlihatkan: “Cuma luka kecil begini, cuma keluar sedikit darah.” 　　“Syukurlah.” Jiang Zhan menghela napas lega, tapi segera bertanya lagi dengan bingung, “Tapi kenapa wajahmu juga berlumuran darah?” 　　Yu Jin mengusap dagunya sambil tersenyum: “Darah lawan. Asal usap saja jadi begini.” 　　“Begitu ya, kalau gitu cepatlah mandi. Habis mandi kita pergi ke restoran terbaik untuk minum, aku yang traktir. Anggap saja buat menghilangkan sial Kakak Yu Qi.” 　　“Baik, Adik kedua Jiang tunggu sebentar.” Yu Jin yang akhirnya berhasil membohongi Jiang Zhan, diam-diam melepas napas lega. 　　Orang jujur juga tidak mudah dibohongi. 　　“Tunggu!” Jiang Zhan yang baru saja duduk di bangku batu tiba-tiba berteriak, matanya menatap tajam kotak makan sederhana di atas meja batu. 　　Kotak makan ini terlihat familiar. 　　Setelah menatap beberapa saat, sorot mata Jiang Zhan berubah. 　　Wah, pantas familiar! Ini kan liangpi dari Nyonya Wang Wu di Dongdajie! 　　“Ada apa, Adik kedua Jiang?” Yu Jin yang kembali mendekat mengikuti pandangan Jiang Zhan, matanya berkedip cepat. 　　Apakah ini barang yang dibawa A Si untuknya? 　　Tidak, A Si tidak tahu dia pulang hari ini. Ini pasti persiapan untuk Er Niu. 　　Memikirkan ini, rasa krisis memenuhi hati Yu Jin. 　　Hmm, setelah menikahi A Si lebih baik jual saja Er Niu. 　　“Kakak Yu Qi, dari mana asal liangpi ini?” 　　“Ada masalah apa?” Yu Jin merasa ada yang tidak beres, mencoba mengalihkan percakapan. 　　“Aku rasa liangpi ini mirip seperti yang kubeli tadi.” Jiang Zhan mengernyitkan alis. 　　Liangpi yang dibeli Adik kedua Jiang? 　　Pikiran Yu Jin berputar cepat, segera menyadari kemungkinan terbesar: Jiang Zhan yang sangat menyayangi A Si, mungkin ini dibelikan untuk A Si? 　　Jangan sampai Jiang Zhan tahu A Si pernah datang ke sini! 　　Yu Jin berpikir sejenak lalu tersenyum tanpa perubahan ekspresi: "Aku menyuruh Long Dan membelinya di pasar." 　　"Begitu rupanya, tak disangka Kakak Yu Qi juga suka makan kerupuk kulit dari Bibi Wang Wu, saya dan Adik Keempat juga suka." 　　Yu Jin mengangkat alisnya. 　　Ternyata tebakanku tepat, syukurlah berhasil disembunyikan. 　　Yu Jin paham betul, meski Jiang Zhan berwatak baik, seorang kakak yang menyayangi adik pasti takkan rela adiknya berkunjung sendirian ke rumah pria. 　　"Tuan Yu, nona kami meninggalkan barang--" Ah Man berlari terburu-buru masuk, suaranya terhenti mendadak. 　　Terima kasih atas voting dan Hadiahnya, sampai jumpa besok. 151.Bab 151 Ada Perasaan? 　　Bab 151 Ada Perasaan? 　　Ah Man dan Jiang Zhan saling tatap mata, sama-sama terpana. 　　Sesaat kemudian, Ah Man lebih dulu sadar, menutupi wajahnya lalu kabur berbalik badan. 　　Jiang Zhan melompat: "Ah Man, kau kembali! Kira tutup muka aku tak kenal?" 　　Long Dan bereaksi cepat, diam-diam menjulurkan satu kaki. 　　Jiang Zhan terhuyung hampir jatuh, saat bangun Ah Man sudah hilang. 　　Jiang Zhan kembali dengan muka masam ke hadapan Yu Jin, menatapnya tanpa bicara. 　　Yu Jin: "Hehe." 　　"Jangan ketawa!" Tuan Kedua Jiang langsung marah, menunjuk kerupuk kulit di meja batu: "Ini dibawa Adik Keempat?" 　　Yu Jin mengusap hidungnya, diam seribu bahasa. 　　“Mengapa Adik Keempat datang ke sini?” Jiang Zhan bertanya lagi. 　　Yu Jin tetap diam tak bersuara. 　　Jiang Zhan mulai panik, mendorong tubuh Yu Jin: “Kau bersuara lah!” 　　“Aduh.” Yu Jin mengerutkan kening sambil memegangi perutnya, keringat segera membasahi dahinya. Wajahnya pucat menakutkan. 　　“Ada apa?” Jiang Zhan tertegun. 　　Yu Jin menunjukkan ekspresi kesakitan: “Luka dalam ringan, tidak parah...” 　　Jiang Zhan tak percaya: “Tidak parah tapi sakit sampai begini?” 　　Yu Jin tersenyum lemah: “Benar-benar tak apa——” 　　“Kau——” Melihat keadaan Yu Jin, Jiang Zhan tak bisa melanjutkan perhitungan. Ia menahan amarahnya hingga sakit ulu hati, menghentakkan kaki: “Nanti kita lanjutkan!” 　　Menyaksikan Jiang Zhan berlari tergesa-gesa, Yu Jin segera berdiri tegak dengan wajah tenang. Ia berjalan santai ke meja batu, membuka kotak dan mulai menyantap mie dingin. 　　Hmm, mie dingin Bibi Wang Wu di Dongdajie memang lezat. Keberuntungannya kali ini berkat A Si. 　　Er Niu menatap majikannya sambil menggeram tak puas. 　　Majikan mencuri mie dinginnya, tak tahu malu! 　　Di bawah pohon sudut jalan, Jiang Si menunggu Ah Man. Hatinya berdebar saat melihat dayangnya berlari tergopoh-gopoh. 　　Baru sampai di sini ia teringat mie dingin tertinggal di rumah Yu Qi. Bukan masalah jika barang lain, tapi mie itu antrean khusus Kakak Kedua, melambangkan perhatian tulusnya. Tak tega menyia-nyiakannya, maka ia menyuruh Ah Man mengambil kembali. 　　“Kenapa Ah Man terlihat seperti ini? Seperti ada penjahat yang mengejar di belakang.” 　　“No-nona, tidak baik——” Ah Man berlari sampai di depan Jiang Si, menopang pinggangnya sambil terengah-engah. 　　“Ada apa?” 　　Ah Man tak sempat menjelaskan, langsung menarik Jiang Si untuk lari: “Cepat, cepat pergi! Kalau tertangkap Tuan Kedua habislah kita.” 　　Jiang Si menghentikan langkah: “Tuan Kedua? Kamu bertemu dengannya?” 　　“Hamba kembali tadi, kebetulan melihat Tuan Kedua sedang bicara dengan Tuan Yu. Tuan Kedua sudah melihat hamba! Kalau Nona tidak segera lari, pasti akan ketahuan!” Ah Man panik. 　　Bukankah Kakak Kedua sudah pulang untuk sekolah? Kenapa bisa datang ke rumah Yu Qi (Pangeran Ketujuh)? 　　Jiang Si pusing, tapi tidak berniat kabur: “Kalau Tuan Kedua sudah melihatmu, apa gunanya lari?” 　　Ah Man mengedipkan mata, menepuk dahinya: “Benar juga! Biar pendeta kabur, kuilnya tetap ada! Nona, ini bagaimana? Hamba lihat wajah Tuan Kedua sudah menghitam.” 　　Kakak Kedua Jiang dengan wajah hitam sudah berjalan cepat mendekat. 　　Jiang Zhan yang biasanya selalu tersenyum ramah pada pelayan, kini wajah tampannya pucat membara, jelas sedang sangat marah. 　　Ah Man yang biasanya pemberani pun gemetar ketakutan melihat penampilan Jiang Zhan, diam-diam menggeser posisi ke samping. 　　Lagipula Tuan Kedua tak mungkin tega memukul nona, tapi terhadap dayang kecil seperti dirinya? Lebih baik serahkan saja nonanya. 　　“Kakak Kedua——” Jiang Si melihat wajah marah Jiang Zhan, sejenak tak tahu harus mulai dari mana. 　　Jiang Zhan menggenggam pergelangan tangan Jiang Si, berkata dengan marah: “Ikut aku!” 　　Jiang Si belum pernah melihat kakak laki-lakinya marah seperti ini, terpaksa mengikuti dengan patuh. 　　Kakak-beradik ini berhenti di sudut sepi. 　　“Kakak Kedua, ada apa sih?” tanya Jiang Si dengan wajah polos. 　　Jiang Zhan melepaskan genggamannya, memandang wajah cantik adiknya, amarah yang terkumpul perlahan menghilang. 　　Meski sudah tidak terlalu marah, tapi jangan sampai dia tahu! 　　Jiang Zhan memasang muka masam: “Adik Keempat, kamu berani memberikan liangpi yang kubelikan untukmu kepada Kakak Yu Qi!” 　　Jiang Si terdiam. 　　Dia mengira kakaknya marah karena dia nekat pergi ke rumah pria, terlepas siapa pria itu, kemarahan kakak laki-laki sepenuhnya wajar. 　　Tak disangka kemarahan kakaknya ternyata karena ini. 　　“Kakak Kedua, kakak salah paham, aku tidak memberikan liangpi kakak ke orang lain, itu tidak sengaja tertinggal di sana, makanya aku menyuruh Ah Man mengambil kembali.” 　　Wajah Jiang Zhan sedikit melunak, tapi merasa malu kalau marahnya reda terlalu cepat, mendengus: “Benarkah?” 　　Dia antri begitu lama, gilirannya tinggal porsi terakhir, bahkan tak sempat mencicipi seporsi pun langsung dibawa untuk adiknya. 　　Cukup membayangkan liangpi yang dibelinya susah payah diberikan adiknya ke pria tak dikenal, amarahnya langsung meledak. 　　“Apakah Kakak Kedua tidak percaya padaku?” 　　“Percaya memang percaya, tapi——” Jiang Zhan baru menyadari inti permasalahan, “Kenapa kamu pergi ke rumah Kakak Yu Qi?” 　　Yu Qi sialan, berani menggoda Adik Keempat di depan matanya saja sudah keterlaluan, ini malah berani membujuk Adik Keempat pulang ke rumahnya diam-diam. 　　“Eh, saya cuma memberi makan Er Niu. Dua hari ini Tuan Yu tidak di rumah, Er Niu jadi malas makan——” Terpergok oleh kakak laki-laki, suara Jiang Si semakin lirih. 　　Meski memang tujuannya memberi makan Er Niu, alasan ini terdengar tidak meyakinkan bahkan bagi dirinya sendiri—— 　　Jiang Si melirik cepat ke arah Jiang Zhan. Kakak laki-laki yang tadi masih marah-marah itu kini terdiam, wajahnya terlihat serius seolah tengah merenungkan sesuatu. 　　Gadis itu tiba-tiba berhenti bicara, menunduk memandangi ujung sepatunya. 　　Tak disangka Kakak Kedua bisa seserius ini. Kira-kira apa yang sedang dipikirkannya? 　　Tiba-tiba Jiang Zhan bertanya dengan suara rendah: “Adik Keempat, apa kamu... menyukai Kakak Yu Qi?” 　　Bulu mata Jiang Si bergetar. 　　Sepatu bordir warna hijau danau itu memperlihatkan sedikit warna abu-abu di ujungnya, bunga melati putih yang tadinya terpampang indah kini kusam oleh debu akibat larian tadi, persis seperti perasaannya yang kacau balau. 　　Jiang Si tak pernah menyangka hati manusia begitu rumit, bahkan terkadang diri sendiri tak mampu memahami keinginan yang tersembunyi. 　　Gadis itu berdiri di depan kakak laki-laki yang lebih tinggi sebadannya, menundukkan kepala, ragu-ragu dan diam seribu bahasa. 　　Jiang Zhan menganggap diamnya Jiang Si sebagai rasa malu, lalu berkata dengan kesal: "Sudah kuduga, pencuri bisa bersembunyi ribuan hari tapi tak mungkin berjaga ribuan hari!" 　　Bagaimana mungkin Yu Qi si tak tahu malu itu berhasil merebut hati Adik Keempat? Aku benar-benar lengah! 　　"Kak, apa yang kau bicarakan?" Jiang Si tersadar lalu menyangkal, "Aku tidak begitu." 　　Jiang Zhan menghela napas: "Adik, jangan bohong padaku. Kalau kau tak tertarik pada Kakak Yu Qi, mana mungkin kau rajin ke rumahnya hanya untuk merawat anjing?" 　　Dulu aku pernah pelihara jangkrik juga. Saat dihajar Ayah sampai tak bisa bangun dari tempat tidur, mana ada nona cantik datang merawat jangkrikku? 　　Jiang Si membuka mulut tapi tak menemukan alasan untuk membantah. 　　Tapi Er Niu bukan sekadar anjing biasa baginya. 　　Tapi... hatiku memang masih terpaut pada bajingan itu. 　　Selamat pagi. 152. Bab 152 Pertemuan Kebetulan 　　Bab 152 Pertemuan Kebetulan 　　Jiang Si tak pernah menyangkal perasaannya pada Yu Jin. 　　Justru karena sangat memahami hal ini, ia semakin takut terlibat dengannya. 　　Ia tak ingin lagi menjadi pengganti wanita mana pun, atau mati muda secara misterius. Setidaknya sebelum Ayah, Kakak, dan Kakak tertua-nya selamat, ia harus tetap hidup. 　　Hatinya masih mencintainya, tapi tak ingin bersamanya lagi. 　　Ini pemikiran sebenarnya Jiang Si, tapi tak bisa dijelaskan pada kakaknya. 　　Bagaimana mungkin ia mengaku pernah menjadi suami-istri dengan Yu Qi? Semua baik tentangnya, kecuali hatinya yang telah ditempati orang lain. 　　“Ikut saya kembali ke kediaman.” Jiang Zhan menggenggam pergelangan tangan Jiang Si, berusaha menariknya pergi. 　　“Kakak Kedua?” 　　“Setelah pulang, saya akan melaporkan hal ini pada Ayah. Biar Ayah menguji Kakak Yu Qi dengan baik. Jika—” Jiang Zhan dengan enggan melanjutkan, mempertimbangkan perasaan adiknya, “Jika Ayah menyetujui, biar keluarga Kakak Yu Qi segera mengajukan lamaran.” 　　Semakin kesal, Jiang Zhan menambahkan: “Kita tidak boleh membiarkanmu yang masih muda dan naif suatu hari nanti dimanfaatkan oleh si bocah itu!” 　　Ini semua demi kebaikan Adik Keempat, meski itu menguntungkan si Yu Qi. 　　Jiang Si antara ingin tertawa dan menangis: “Kakak Kedua, kau benar-benar salah paham. Saya tidak ingin menikah secepat ini.” 　　Jiang Zhan mengerutkan kening, tampak serius: “Bertunangan dulu, tentu tidak bisa langsung menikah dan menanggung beban rumah tangga.” 　　“Kakak Kedua, maksud saya adalah saya tidak mau menikah dengan Tuan Yu.” 　　“Kau tidak menyukainya?” Jiang Zhan terkejut. 　　Jangan-jangan dia yang berlebihan? 　　Tidak mungkin! Dia bahkan pernah berkunjung ke rumah bordil, pengalamannya cukup! 　　Tanpa tahu asal pengalaman kakaknya, Jiang Si bersikukuh: “Pokoknya meski saya menikah, tidak akan dengan dia.” 　　Melihat ketulusan di wajah adiknya, Jiang Zhan ragu: “Benarkah?” 　　“Benar.” Jiang Si mengangguk. 　　Jiang Zhan merasa canggung. 　　Rupanya benar-benar salah sangka. Adik Keempat baru beberapa kali bertemu Yu Qi, mana mungkin mudah dibujuk. 　　“Kakak Yu Qi memang tampan, tapi dia juga tidak kalah. Adik Keempat setiap hari melihat kakak laki-laki yang begitu tampan, pasti tidak akan tertarik pada pria hanya karena penampilan.” 　　Benar, seperti ini. Adik perempuannya bukan wanita dangkal seperti itu. 　　Memikirkan serigala berekor besar yang masih mengincar adiknya, raut wajah Jiang Zhan menjadi serius: "Adik Keempat, kalau begitu, kau harus berjanji padaku untuk tidak pergi lagi ke tempat Kakak Yu Qi." 　　Hati Jiang Zhan bagai bulan purnama, jernih dan transparan, namun memiliki intuisi yang luar biasa tajam. 　　Dia samar-samar merasa Yu Jin adalah tipe orang yang pantang menyerah sampai tujuannya tercapai. Jika Adik Keempat menyukainya, tidak apa-apa. Tapi jika tidak, lebih baik menjauhi orang itu. 　　"Ya." Jiang Si mengangguk tanpa ragu. 　　Dua hari terakhir ini sikapnya memang kurang tepat. Sejujurnya, merawat Er Niu hanya alasan sampingan, ketidakmampuan mengendalikan hatinya lah masalah utamanya. 　　Tiba-tiba menghilang begitu saja, hatinya tak bisa menahan kekhawatiran... 　　Di keheningan malam, Jiang Si tak terhitung sudah berapa kali memaki dirinya sendiri yang tak berguna. 　　"Juga jangan bertemu lagi dengan Kakak Yu Qi." Jiang Zhan teringat pada kulit tahu dingin yang tertinggal di tempat Yu Jin, amarahnya berkobar-kobar. 　　Kalau Adik Keempat tidak suka, tentu harus dijaga ketat. Sekuat apapun persahabatan, tidak boleh mengorbankan adik perempuan. 　　Jiang Si ragu sejenak, lalu mengangguk: "Baik." 　　“Baiklah mendengarkan Kakak Kedua, selama bertemu dengan orang itu akan menimbulkan gejolak dalam hati, tidak seperti saat baru saja terlahir kembali ketika hanya memikirkan menyelesaikan masalah di depan mata, penderitaan dan belitan kehidupan sebelumnya bagaikan awan yang berlalu.” 　　“Kakak Kedua, mari kita pulang.” 　　Jiang Zhan berjalan di tengah jalan dengan raut wajah yang ragu-ragu. 　　“Kakak Kedua masih ada urusan?” 　　Jiang Zhan terkekeh kaku: “Adik Keempat punya uang?” 　　Jiang Si tersenyum manis, memberi isyarat pada Ah Man untuk memberikan dompet kepada Jiang Zhan. 　　“Cukupkah ini?” 　　Jiang Zhan membuka dan melirik isinya, telinganya memerah: “Sepertinya kurang cukup.” 　　Jiang Si mengamati ekspresi Jiang Zhan, mengerutkan alis: “Jangan-jangan Kakak Kedua mau menghamburkan uang di Paviliun Hijau?” 　　Dompet yang dibawa Ah Man berisi sekitar sepuluh tael perak, cukup untuk makan di restoran mewah. 　　Wajah Jiang Zhan memerah seketika, marah: “Apa yang Adik Keempat bicarakan? Aku orang seperti itu?!” 　　Kalau mau main ke rumah bordil mana mungkin berani meminjam uang adik, itu sungguh tak tahu malu. 　　“Kakak Kedua butuh berapa?” Awalnya Jiang Si tidak berniat menanyakan tujuan penggunaan uang, tapi teringat nasibnya di kehidupan sebelumnya yang tewas karena bergaul dengan para pemuda boros, hatinya mendadak dingin. 　　Tidak boleh, dia harus memastikan. Jika uang ini akan digunakan untuk bergaul dengan mereka, sama sekali tidak boleh disetujui. 　　“Mendengar Jiang Si menanyakan alasannya, Jiang Zhan justru jujur: "Aku ingin pergi ke He Qi Tang membeli akar ginseng gunung berkualitas tinggi untuk hadiah ke Kakak Yu Qi. Bukankah dia terluka?"" 　　"Cedera?" 　　"Iya, cedera internal yang sangat parah." 　　Jiang Si: "..." Pantas saja Kakak Kedua tidak berkelahi dengan Yu Qi malah datang menghadapku untuk minta pertanggungjawaban, rupanya bajingan itu lagi-lagi berbohong sejajar mata! 　　Sudah mengambil keuntungan dariku, masih mau menyalahkanku. Kok tebal muka sekali dia? 　　Wajah pria itu tiba-tiba muncul dalam ingatan Jiang Si. Kadang dia tampak lembut penuh perhatian di kehidupan sebelumnya, kadang licik tak tahu malu di kehidupan sekarang. Kedua bayangan itu akhirnya menyatu, membuat batas antara kehidupan lampau dan kini tiba-tiba kabur. Rasa sakit perlahan merambat dari relung hatinya. 　　Melepaskan seseorang yang telah mengakar dalam hatimu, ibarat mengorek paksa sudut tempatnya bersemayam dengan pisau. Sakitnya tetap terasa. 　　"Ada apa, Adik Keempat?" 　　Jiang Si tersenyum getir: "Tidak apa. Lagipula He Qi Tang tidak jauh dari sini. Aku temani Kakak Kedua pergi. Ngomong-ngomong, Ah Man masih menyimpan sekantong kertas perak." 　　Ah Man melirik Jiang Si dengan heran. 　　Bukankah nona bilang akan mengembalikan uang itu begitu bertemu Tuan Yu? Karena itu dia selalu membawanya. Entah apa yang terjadi hari ini sampai nona lupa. Sekarang nona mau pakai uang itu untuk beli ginseng? 　　Jiang Si sama sekali tidak merasa bersalah. 　　"Kalau si bajingan itu menipu Kakak Kedua, lebih baik kita pakai tael peraknya untuk membeli ginseng gunung." 　　"Kakak Kedua, apa ini cukup?" 　　Jiang Zhan membuka kantong itu dan matanya langsung terbelalak. 　　Tidak adil! Kami kan dilahirkan dari ayah yang sama, kenapa Adik Keempat sekaya ini, sementara aku masih punya utang menumpuk? 　　Kakak-beradik ini pergi ke He Qi Tang bersama, memilih sebatang ginseng gunung berkualitas tinggi lalu membungkusnya. Jiang Zhan mengembalikan kantong uang kepada Jiang Si: "Adik Keempat, nanti kalau aku sudah nabung cukup, akan kukembalikan." 　　Jiang Si tidak mengambil kantong itu: "Tidak usah, Kakak Kedua sekalian saja berikan ini kepada Tuan Yu." 　　Jiang Zhan tampak bingung. 　　"Kakak Yu Qi adalah penyelamat nyawa Kakak Kedua. Karena lukanya dalam parah, aku tidak bisa diam saja. Tapi hadiah lain kurang tepat, lebih baik berikan biaya pengobatan. Praktis dan tidak menimbulkan prasangka." 　　Jiang Zhan mengangguk setuju. 　　Adik Keempat memang selalu masuk akal. Perempuan memang lebih teliti. 　　Saat mereka berjalan pulang, tiba-tiba terdengar suara gembira: "A Si, kebetulan sekali!" 　　Jiang Si menoleh dan melihat sepasang remaja berdiri tak jauh. 　　Gadis itu seusianya dengan wajah bulat manis berlesung pipi, tak lain adalah Xie Qingyao, putri sulung Kediaman Yongchang Bo yang tinggal di sebelah. Di sampingnya berdiri Xie Yinlou, kakak kandungnya yang berwajah dingin. 　　Hari ini akan ada tambahan bab sebagai ucapan terima kasih untuk ketua grup, update sore hari. 153.Bab 153 Kesedihan (Ketua Grup Meng Tian daddy) 　　Bab 153 Kesedihan (Ketua Grup Meng Tian daddy) 　　Melihat saudara Xie, Jiang Zhan menyambut dengan hangat: "Yinlou, kalian dari mana?" 　　Ekspresi Xie Yinlou tidak terlalu ramah, namun tatapannya ke Jiang Zhan tidak dingin: "Baru saja mengajak adik belanja." 　　Dari awal hingga akhir, dia hanya melirik sekilas ke arah Jiang Si, mengangguk sedikit lalu memalingkan pandangan. 　　Dibandingkan dengannya, Jiang Zhan jauh lebih antusias, menyapa Xie Qingyao dengan santai: "Sudah lama tidak bertemu, Qingyao meimei semakin cantik." 　　Tentu saja, masih kalah dengan adikku sendiri. 　　Wajah Xie Qingyao memerah, namun tidak canggung, tersenyum manis ke Jiang Zhan: "Terima kasih pujian Kakak Kedua Jiang, aku juga merasa begitu." 　　Jiang Si yang berdiri di samping mendengarkan diam-diam, tak bisa menahan senyum. 　　Terkadang dia merasa kakak kedua dan Qingyao lebih mirip saudara kandung, sedangkan Xie Yinlou— 　　Jiang Si masih belum sepenuhnya memahami perubahan sikap pemuda yang tumbuh bersama mereka ini. 　　Samar-samar dia ingat di masa kecil Xie Yinlou sama nakalnya dengan kakak keduanya, sering mengganggu dirinya dan Xie Qingyao. Entah sejak kapan mulai berubah dingin dan serius. 　　Orang bilang perempuan berubah seiring usia, tapi menurutnya Xie Yinloulah yang paling dramatis perubahannya. 　　"Kalian mau pulang ke kediaman?" tanya Jiang Zhan. 　　Xie Yinlou menjawab singkat: "En." 　　"Kebetulan, biarkan adik keempatku ikut kalian. Aku masih ada urusan lain." 　　Xie Yinlou tidak bersuara, melirik Jiang Si sekali lagi. 　　Xie Qingyao mesra menggandeng lengan Jiang Si: "Bagus sekali, aku memang ingin bermain dengan A Si. A Si, kalau kamu tidak sibuk jangan pulang dulu, mari main ke tempatku." 　　Jiang Si ragu sebentar, Xie Qingyao langsung menggoyang-goyangkan lengannya: "Ayo lah, beberapa hari lalu aku sudah ingin mengajakmu main, tapi karena keadaan keluargamu... aku jadi tidak enak datang..." 　　Jiang Si tidak bisa menahan dan mengangguk: "Baiklah, tapi aku sudah keluar cukup lama, hanya bisa sebentar saja." 　　"Tidak apa-apa, rumah kita kan bertetangga. Suruh Ah Man pulang memberi kabar saja..." Xie Qingyao menggandeng lengan Jiang Si berjalan bersama ke depan. 　　Jiang Zhan mengusap hidungnya. 　　Dia belum pergi, tapi sudah diabaikan? 　　"Yinlou, tolong jaga adik keempatku." 　　"Tenang saja." Xie Yinlou berjalan di belakang Jiang Si dan Xie Qingyau, menjaga jarak yang pantas. 　　Jiang Zhan menghela napas panjang. 　　Lihatlah orang lain, membuatnya sebagai kakak merasa tenang. Bandingkan dengan Kakak Yu Qi— 　　Jiang Zhan membawa ginseng mahal menuju Gang Quezi. 　　Yu Jin menghabiskan seporsi liangpi sampai bersih, bahkan cabai kering pun tidak disisakan. Setelah mandi, dia mengenakan pakaian dalam putih bersih lalu merebahkan diri di ranjang. Mengenai ciuman hari ini, hatinya berbunga-bunga, sesekali berguling di tempat tidur. 　　Saat bertemu A Si nanti, dia akan langsung melamarnya. 　　“Tuanku，Tuan Gong Jiang datang.” Long Dan berlari masuk melapor. 　　Yu Jin dengan santai mengenakan jubah luar dan berjalan keluar. 　　Pohon kesemek di halaman bergoyang tertiup angin mengibarkan ribuan kipas kecil. Jiang Zhan membawa kotak hadiah berjalan cepat mendekat: “Kakak Yu Qi masih terluka, kenapa tidak menunggu di dalam saja?” 　　Keduanya masuk bersama ke dalam ruangan. Long Dan menghidangkan teh lalu mundur ke samping. 　　“Adik kedua Jiang ini—” Yu Jin menatap kotak kayu merah di atas meja, mengangkat alis bertanya. 　　“Membeli akar ginseng tua. Rebus ini untuk mengembalikan energi paling baik.” 　　“Adik kedua Jiang terlalu baik.” Yu Jin tahu harga ginseng tua itu, tersentuh hatinya. 　　Sejujurnya, selama hidupnya, selain A Si hanya Jiang Zhan yang baik padanya. 　　Nasibnya juga cukup beruntung. 　　“Ada ini juga.” Jiang Zhan mengeluarkan kantong uang. 　　Long Dan yang berdiri di sudut tak kuasa menggosok matanya. 　　Apa matanya berkunang-kunang? Kantong uang ini kenapa mirip sekali! 　　“Adik Keempat yang beri, bilang biar Kakak Yu Qi bisa beli apa saja yang diinginkan.” 　　Yu Jin menatap kantong uang: “Ini tidak bisa saya terima.” 　　Kantong ini sepertinya pernah dilihatnya di Long Dan. 　　“Kakak Yu Qi, terimalah. Kau penyelamat nyawaku, di hati Adik Keempat kau sama pentingnya dengan penyelamatnya.” 　　“Penyelamat...?” Yu Jin bergumam pelan, menatap Jiang Zhan. 　　Istilah ini sama sekali tidak disukainya. 　　“A Si jelas-jelas berminat padanya, bagaimana mungkin hanya menganggapnya sebagai penyelamat nyawa kakak laki-lakinya?” 　　Jiang Zhan menoleh ke Long Dan: "Long Dan, kamu keluar dulu, aku ada hal yang ingin dibicarakan dengan Kakak Yu Qi." 　　Long Dan melirik ke arah Yu Jin, yang membalas dengan anggukan halus. 　　Long Dan melirik tas uang di meja dengan raut penyesalan sambil menutupi dadanya sebelum mundur keluar. 　　Hanya tinggal berdua di dalam ruangan, Jiang Zhan memutuskan untuk bicara terbuka. 　　"Kakak Yu Qi, hari ini Adik Keempat datang ke tempatmu dan kebetulan kulihat. Di perjalanan pulang, aku sudah menanyakannya——" 　　Saat Jiang Zhan berhenti bicara, jantung Yu Jin ikut berdegup kencang. 　　A Si mungkin malu mengaku di hadapannya, tapi di depan kakak laki-lakinya mungkin akan jujur... 　　Keseriusan Yu Jin membuat Jiang Zhan agak canggung, ia menggaruk kepala: "Adik Keempat... tidak punya perasaan lain pada Kakak Yu Qi... Aku tahu perasaan Kakak Yu Qi padanya. Seandainya Adik Keempat mau, sebagai kakak aku tidak akan berkomentar. Tapi karena dia tidak berminat, aku tidak bisa membiarkan Kakak Yu Qi terus begini, ini tidak baik untuk kalian berdua..." 　　Perkataan yang sulit diungkapkan ini justru keluar karena keakraban mereka. 　　Kalau Adik Keempat memang tidak suka pada Kakak Yu Qi, melihat Kakak Yu Qi masih menggoda Adik Keempat akan membuat posisinya sebagai kakak menjadi canggung. 　　Daripada merusak persahabatan mereka nanti, lebih baik dijelaskan terbuka. 　　Kakak Yu Qi adalah orang yang bangga diri, seorang nona yang tidak berminat tentu tidak akan dipaksa. 　　"Jiang Zhan" berpikir dalam hati, tiba-tiba melihat wajah "Yu Jin" pucat seperti orang sakit parah, terkejut bertanya: "Kakak Yu Qi, lukamu dalam kambuh?" 　　"Yu Jin" tersenyum getir. 　　Bukan luka dalam yang kambuh, tapi hatinya seperti ditusuk tiba-tiba hingga belum bisa pulih. 　　"Benarkah Nona Jiang berpikir demikian?" 　　Melihat "Yu Jin" tak mau menyerah, "Jiang Zhan" memberanikan diri: "Aku jujur saja, Adik Keempat bilang lebih baik menikah dengan orang lain daripada denganmu, dia juga janji tak akan menemuimu lagi—" 　　Sebelum "Jiang Zhan" selesai bicara, "Yu Jin" sudah berdiri. 　　"Kakak Yu Qi?" 　　"Tak apa." "Yu Jin" memaksakan senyum tipis, "Adik kedua Jiang, lukaku belum sembuh, lain hari aku traktirmu minum." 　　"Lain hari boleh. Kakak Yu Qi, Adik Keempatku—" 　　"Kalau Nona Jiang sudah berkata begitu, aku paham. Tenanglah, Adik kedua Jiang." 　　Setelah "Jiang Zhan" pergi, "Yu Jin" duduk membeku lama, jarinya memain-mainkan tali hijau dompetnya. 　　"Tuanku—" "Long Dan" melirik dompetnya sendiri, menelan ludah diam-diam. 　　"Hm?" "Yu Jin" menatap "Long Dan". 　　Mata yang biasanya jernih kini gelap tanpa ekspresi, seperti mayat hidup. 　　"Long Dan" gemetar, pura-pura tertawa: "Tak apa." 　　"Yu Jin" melempar kotak akar ginseng dan dompet ke arah "Long Dan": "Pergi kau!" 　　Long Dan memeluk kotak dan kantong uang lalu buru-buru lari, setelah keluar ia menepuk punggung Er Niu: "Er Niu, tuanku sepertinya sedang kesakitan, masuklah kau lihat." 　　Tambahan bab terima kasih untuk Daddy Mengtian yang menjadi pemimpin aliansi Seperti Kembang, sampai jumpa besok. 154.BAB 154 Pemuda Secarik Giok 　　BAB 154 Pemuda Secarik Giok 　　Er Niu mengibaskan ekor masuk, melihat majikannya duduk tak bergerak, lalu berbaring di sisinya, moncongnya diletakkan di sepatu sang majikan sambil memejamkan mata nyaman. 　　Keheningan dan keluguan Er Niu membuat Yu Jin menoleh ke arahnya, mengusap kepala anjing itu sambil bergumam: "Dia benar-benar tak akan berhenti sebelum membuatku mati marah..." 　　Tak ada lagi yang kuminta selain menghabiskan sisa hidup bersama nona yang telah kusimpan di hati sejak muda. Mengapa mewujudkannya begitu sulit? 　　Yu Jin tak pernah terpikir untuk menyerah. 　　Sudah sekali ia memberinya pilihan. 　　Saat tahu dia bertunangan, meski ingin membunuh dan membakar, ia tetap berusaha memberi restu. Tapi pertunangan itu gagal, tak mungkin lagi ia hanya memandangi gadis ini menikahi orang lain. 　　Tapi mengapa dia begitu enggan? 　　Yu Jin sangat bingung. 　　Bukanlah seorang playboy yang mahir bergaul di antara wanita, tak pandai merayu. Setiap kali mendekati Jiang Si hanya mengandalkan ketekunan hati. 　　Kini ia merasakan sakit hati, ingin mencabut jantungnya dan menghadapkannya di depan sang kekasih. Biar dia lihat ketulusannya, lalu bertanya: Mengapa? 　　Bahkan jika menikah, tidak mau menikahinya? 　　Yu Jin hanya memikirkan kalimat itu keluar dari mulut Jiang Si, seluruh tubuhnya terasa seperti tenggelam dalam lubang es, selain dingin yang menusuk tulang juga ada rasa tercekik yang menyelimuti. 　　Tidak akan menemuinya lagi di masa depan? 　　Yu Jin mengambil cangkir teh dan meneguk beberapa kali teh dingin. Setelah menghabiskannya, dia melemparkan cangkir ke lantai. 　　Anehnya cangkir itu tidak pecah, berguling ke sudut ruangan, di tengah jalan dijegal oleh Er Niu yang mengulurkan cakapnya lalu menjilat sisa-sisa teh. 　　Anjing Besar itu menunjukkan ekspresi tidak nyaman. 　　Rasanya tidak enak, pantas saja tuannya tidak bahagia. 　　Yu Jin berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. 　　Sedih tetap sedih, marah tetap marah, dia masih menyayangi A Si! 　　Mendengar kata-kata ini dari mulut Jiang Zhan untuk apa? Sekalipun harus mendengar, dia ingin mendengarnya langsung dari mulut A Si baru sah. 　　Setelah beberapa kali berputar-putar, Yu Jin akhirnya bertekad: Jika A Si tidak datang menemuinya, maka dia yang akan menemui A Si, lebih baik daripada terus-terusan gelisah sampai benar-benar sakit hati. 　　Kalau benar-benar jatuh sakit, tak ada yang akan mengasihani. 　　Kediaman Yongchang Bo dan Dongping Bo hanya terpisah satu tembok, tata letak kedua kediaman bangsawan ini pun serupa. 　　Tapi Yongchang Bo pandai berbisnis, beberapa tahun lalu karena berjasa besar sehingga gelar bangsawan yang seharusnya hanya diwariskan 3 generasi bisa diperpanjang. Seluruh Kediaman Yongchang Bo direnovasi ulang, terlihat lebih bersemangat dibanding Kediaman Dongping Bo. 　　Kamar pribadi Xie Qingyao dipenuhi beberapa pot bunga yang memancarkan semangat hidup. 　　"A Si, kau mendengarku tidak?" Xie Qingyao mendorong bahu sahabatnya yang tampak melamun. 　　Jiang Si tersentak: "Apa?" 　　Saat ini seharusnya Kakak Kedua sudah berbicara dengannya. Entah bagaimana reaksinya— 　　"Lihat, melamun lagi." Xie Qingyao tiba-tiba mendekat, matanya berkelip-kelip, "A Si, jujurlah. Jangan-jangan kau sedang kasmaran?" 　　"Jangan ngawur." Jiang Si melototi sahabatnya sambil berusaha mengusir pikiran kacau. 　　Xie Qingyao menyuruh dayang pergi, lalu berbisik penuh gosip: "Tidakkah kau dengar, akhir-akhir ini ada Tuan Gong secantik giok di ibu kota." 　　"Tuan Gong secantik giok?" 　　"Katanya dia putra Prefect Shuntian. Tampan dan berbakat, baru saja tiba di ibu kota." 　　Putra Prefect Shuntian? 　　Bayangan pria berjanggut dengan tatapan bijaksana langsung muncul di benak Jiang Si. 　　Jangan-jangan Tuan Gong yang disebut Xie Qingyao ini putra Tuan Zhen? 　　"Kalau baru datang, bagaimana bisa langsung terkenal?" Jiang Si mengikuti alur pembicaraan. 　　Xie Qingyao membelalakkan mata tak percaya: "A Si, kau tidak memperhatikan kabar terkini?" 　　"Hanya dengar Pangeran Ketujuh diberi gelar Raja, selain itu tidak." 　　Beberapa hari ini ia hanya memikirkan kepergian tiba-tiba Yu Qi, mana ada waktu memperhatikan Tuan Gong rupawan macam apa. 　　Xie Qingyao menutupi mulutnya sambil tertawa: "Apa urusan kita dengan pangeran atau putra mahkota? Tentu cerita tentang Tuan Gong rupawan lebih menarik." 　　Dari penjelasan Xie Qingyao, Jiang Si baru tahu bahwa dua hari terakhir terjadi lagi kejadian menggemparkan di ibu kota. 　　Di ibu kota terdapat restoran bernama Zhuangyuan Lou (Menara Juara). Para pelajar sering datang minum untuk mencari keberuntungan. Pemilik restoran pun pandai memanfaatkan momentum, memberi diskon bagi pelajar yang menciptakan puisi luar biasa. Lambat laun, tempat ini menjadi pusat berkumpulnya kaum terpelajar. 　　Prefect Shuntian dulunya menjabat di ibu kota, sehingga anak-anaknya lahir di sana sebelum ikut ayahnya ke tempat tugas. Kembalinya Tuan Gong rupawan ke ibu kota disambut pesta penyambutan oleh teman masa kecilnya di Zhuangyuan Lou. 　　Kebetulan saat itu ada beberapa orang Xiliang berpenampilan pelajar yang sedang memprovokasi pelajar Dinasti Zhou di restoran. 　　Xiliang bertetangga dengan Dinasti Zhou, dulunya negara bawahan. Meski budaya dan ekonomi Zhou tetap makmur, kemampuan militer mereka merosot. Xiliang pun mulai berani melawan Zhou. 　　Kini Xiliang bahkan mengklaim sebagai sumber perkembangan filsafat ratusan aliran, berambisi menyaingi Zhou di bidang budaya. 　　Tentu saja ini membuat warga Zhou semakin membenci Xiliang, menggeser posisi Qi dan Nanlan dalam daftar kebencian. 　　"Kebetulan kedua negara hanya terpisah selembar air, budaya dan adat istiadatnya mirip, interaksi lebih banyak daripada negara mana pun. Misalnya, murid-murid Xiliang yang belajar ke Dinasti Zhou sudah menjadi hal biasa." 　　"Persaingan antar murid tentu tidak dan tidak mau menggunakan tinju, melainkan melalui pertandingan puisi, lagu, esai, musik, catur, kaligrafi, dan lukisan." 　　"Di antara beberapa orang Xiliang, ada satu yang berbakat luar biasa, sampai membuat semua murid Dinasti Zhou di gedung itu tak bisa angkat kepala. Saat itulah Tuan Gong Ruyu muncul, mulai dari berbalas pantun hingga menciptakan puisi, menghajar habis semangat orang Xiliang hingga mereka akhirnya mengakui kekalahan dan pergi malu-malu." 　　"Orang Dinasti Zhou paling suka melihat keramaian, apalagi hal elegan yang membanggakan. Segera kabar Tuan Gong Ruyu mengalahkan orang berbakat Xiliang tersebar luas." 　　"'Tuan Gong Zhen itu, katanya tidak lebih tua banyak dari kita sudah jadi Xiucai, akan ikut ujian musim gugur tahun ini. Katakan, hebat tidak?' Di depan sahabat karibnya, Xie Qingyao tidak malu-malu, matanya berbinar membicarakan topik yang disukai para nona kecil." 　　Jiang Si mengangguk: "Hebat." 　　Dengan ayah seperti Tuan Zhen, pastilah Tuan Gong Zhen itu orang yang sangat pintar. 　　Melihat Jiang Si tidak berminat, Xie Qingyao pun berhenti membahasnya. 　　Pemuda luar biasa yang menarik perhatian gadis remaja memang hal wajar, tapi kalau sampai hati tergelitik belum tentu. 　　"Nona, kue salju sudah siap." Seorang Pelayan Wanita Berpakaian Hijau setelah mendapat izin Xie Qingyao, masuk membawa piring keramik berbentuk daun teratai. 　　Piring daun teratai hijau, kue putih bersalut kelapa berbentuk bunga, terlihat segar dan menggugah selera. 　　Xie Qingyao tersenyum manis sambil mengambil sepotong kue salju dan menyuapkan ke mulut Jiang Si: "A Si, coba cicipi. Kue salju buatan tukang masak keluarga kami memang istimewa. Setiap hari aku makan dua potong, kalau tidak takut gemuk, sepiring pun habis!" 　　Setelah mencicipi, Jiang Si langsung memuji: "Benar-benar lezat!" 　　Melihat Jiang Si menyukainya, Xie Qingyao tersenyum puas. 　　Memandang senyum manis sahabatnya, Jiang Si berpikir masalah Nyonya Yongchang Bo pasti sudah teratasi. 　　Tapi siapa sangka keesokan harinya terjadi peristiwa besar di kediaman Yongchang Bo. 　　Selamat pagi. 155. BAB 155: PERUBAHAN MENGEJUTKAN 　　BAB 155: PERUBAHAN MENGEJUTKAN 　　Istri Yongchang Bo dibunuh oleh Yongchang Bo sendiri. 　　Saat mendengar kabar ini, Jiang Si sedang minum es madu. Gelas di tangannya langsung terjatuh dan pecah berantakan. Cairan madu yang tumpah mengotori kain roknya yang bermotif bunga teratai cerah menjadi warna gelap. 　　Reaksi Jiang Si membuat Ah Man kaget setengah mati: "Nona, jangan takut... jangan takut..." 　　Belakangan ini kenapa sering ada kematian! 　　Wajah Jiang Si pucat membeku. Tanpa peduli rok yang basah, ia bersandar di penyekat sambil bertanya gemetar: "Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　"Ini tidak mungkin, di kehidupan sebelumnya Istri Yongchang Bo selalu hidup dengan baik, setidaknya masih sehat walafiat sebelum kematianku." 　　Jiang Si meremas-remas sapu tangannya dengan erat, merasakan kepalanya kacau seperti tali tambang yang kusut. 　　"Katanya pagi tadi dayang utama masuk untuk melayani Yongchang Bo dan Nyonya bersiap-siap, tapi begitu membuka pintu melihat Yongchang Bo berlumuran darah memegang penyangga lilin, sementara di dada Istri Yongchang Bo ada lubang menganga yang sudah berhenti bernapas..." 　　"Benarkah Yongchang Bo yang membunuh istrinya?" Jiang Si secara intuitif tidak percaya. 　　Selain karena di kehidupan sebelumnya Nyonya Yongchang Bo masih hidup pada periode ini, bahkan jika mengabaikan keadaan masa lalu, hubungan antara Yongchang Bo dan istrinya selalu sangat harmonis. 　　Keluarga Yongchang Bo anggota keluarganya sederhana, generasi muda hanya ada Xie Yinlou dan Xie Qingyao yang bersaudara, keduanya anak kandung Istri Yongchang Bo. 　　Dia dan Xie Qingyao berteman sejak **kecil**, telah mendengar dari mulut Xie Qingyao tentang iri hati terhadap keharmonisan orang tuanya yang tak terhitung jumlahnya. Konon Yongchang Bo memiliki dua selir, tapi biasanya hanya hiasan belaka. 　　Justru karena keharmonisan orang tua inilah yang membentuk watak Xie Qingyao yang ceria dan lincah. 　　Sekarang tiba-tiba dikatakan Yongchang Bo membunuh istrinya, ini sungguh aneh. 　　Tidak bisa, dia harus pergi menjenguk Qingyao—— 　　Jiang Si menarik napas panjang, lalu melangkah keluar. 　　"Nona, hendak ke mana?" Ah Man bertanya. 　　"Ke Kediaman Yongchang Bo." 　　“A Qiao segera menygejar: "Nona, meskipun Nona ingin pergi, setidaknya ganti baju dulu." 　　Jiang Si menunduk, baru menyadari roknya sudah kotor. 　　Gaun sutra hijau bermutu tinggi terlihat compang-camping karena terkena es madu, mencerminkan perasaannya saat ini. 　　Sejak terlahir kembali, Jiang Si mengatasi satu per satu masalah dengan tekad pantang menyerah. Pengetahuan masa depan membuatnya mudah menghadapi segala hal, sehingga hatinya selalu tenang. Menurutnya, sekalipun masalah tak terselesaikan dengan baik, setidaknya takkan lebih buruk dari kehidupan sebelumnya. 　　Tapi kini terjadi suatu bencana yang sama sekali tak terduga, membuatnya kewalahan. 　　"Benar, harus ganti baju." Jiang Si membiarkan A Qiao mengambil gaun baru, merapikan rambutnya, lalu bergegas keluar. 　　Kediaman Dongping Bo bertetangga dengan Kediaman Yongchang Bo. Dengan musibah sebesar ini di Kediaman Yongchang Bo, sudah selayaknya Kediaman Dongping Bo tak tinggal diam. 　　Jiang Ancheng dan yang lain sudah berangkat ke sana. 　　Saat ini gerbang utama Kediaman Yongchang Bo dikepung penonton. Jiang Si bersama Ah Man langsung menuju pintu samping. 　　"Paman Wang, katanya ada musibah di sini. Saya ingin menjenguk nona pertama kalian." 　　Penjaga pintu samping yang melihat Jiang Si besar menghela nafas membuka pintu: "Masuklah, sekarang nona pertama sedang meratap pilu..." 　　Jiang Si mengucapkan terima kasih pada Pelayan, lalu bergegas masuk. Sepanjang jalan, tak terhitung pelayan berlarian bolak-balik. Dari kejauhan sudah terdengar suara tangisan membahana, diselingi teriakan putus asa seorang pria. 　　"Jiang Da, lepaskan aku! Kalau tidak, kita bukan teman lagi!" 　　Suara familiar bergema kemudian: "Lebih baik kehilangan teman daripada melepaskanmu dan membiarkanmu melakukan kebodohan!" 　　Ah Man berkedip: "Itu suara Tuan Besar." 　　Jiang Si mempercepat langkah. Setelah menerobos kerumunan, akhirnya ia melihat situasi di dalam. 　　Jiang Ancheng menekan Yongchang Bo ke kursi sambil berteriak: "Bawa tali!" 　　Para pelayan gemetar ketakutan. Xie Yinlou diam-diam menyodorkan seutas tali. 　　"Bantu tahan ayahmu!" Jiang Ancheng terlihat puas dengan tindakan Xie Yinlou, langsung memberi perintah. 　　Keduanya bekerja sama mengikat Yongchang Bo dengan erat. 　　Jiang Ancheng menggosok-gosok tangan kirinya. 　　Tangannya terluka saat menyelamatkan Adipati An dulu. Tangan ini sama sekali tak bertenaga, sangat merepotkan di saat genting. 　　"Anak kurang ajar! Lepaskan aku!" Yongchang Bo yang tak bisa melawan tetangga lamanya ini, membentak Xie Yinlou. 　　Xie Yinlou berdiam diri dengan tatapan menunduk, siap menerima segala makian dan pukulan. 　　Mata tajam Jiang Si menangkap pemuda angkuh itu yang kini sudut matanya kemerahan, jelas-jelas menahan kesedihan kehilangan ibu. 　　Xie Qingyao sudah menangis sampai suaranya serak: "Ayah, jangan marahi kakak lagi. Kalau Ayah sampai celaka, apa yang harus kami lakukan——" 　　Yongchang Bo sama sekali tidak mendengarkan permohonan putrinya, terus membenturkan punggungnya ke sandaran kursi. 　　"Bawa nona besar masuk ke dalam kamar." Xie Yinlou memerintahkan dayang di sampingnya dengan suara berat. 　　Saat itu Jiang Si keluar dan memanggil: "Qingyao." 　　Melalui air matanya, Xie Qingyao mengenali Jiang Si dan langsung memeluknya erat-erat sambil terisak. 　　Jiang Si menepuk-nepuk punggung Xie Qingyao pelan, lalu mengangguk ringan ke arah Xie Yinlou: "Aku akan temani Qingyao masuk dulu." 　　Xie Yinlou mengangguk dan berkata lembut: "Terima kasih." 　　Jiang Si membimbing Xie Qingyao masuk ke dalam kamar, mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap air matanya. 　　Xie Qingyao bersembunyi di pelukan Jiang Si, menangis pilu: "A Si, aku tidak punya ibu lagi, tidak punya ibu lagi——" 　　Jiang Si membuka mulutnya tapi tak bisa menemukan kata penghibur, sebutir air mata mengalir dari sudut matanya. 　　Sejak ingatannya terbentuk, dia sudah tidak punya ibu. Meski belum merasakan kehilangan ibu, di kehidupan sebelumnya dia sudah mengalami segala kesedihan kehilangan kakak laki-laki, kakak perempuan, mana mungkin tidak mengerti perasaan sahabatnya saat ini. 　　Yang lebih membuat Jiang Si cemas adalah situasi kehidupan sekarang yang sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Jika tidak bisa memahami penyebab sebenarnya kematian Istri Yongchang Bo, dia mungkin akan sulit tidur setiap malam. 　　Di luar masih kacau balau, Jiang Si meski cemas, tahu ini bukan saatnya bertanya. Ia membiarkan Xie Qingyao menangis sampai lelah, baru berkata: "Qingyao, bisakah kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin Paman—" 　　Xie Qingyao menutupi kepala sambil berteriak: "Aku tidak percaya, tidak percaya—" 　　Jiang Si segera menghibur: "Ya, aku juga tidak percaya Paman akan menyakiti Bibi. Paman dan Bibi selalu begitu mesra, pasti ada kesalahpahaman." 　　Xie Qingyao tiba-tiba menurunkan tangannya, menangis hampa: "Tidak... Ibu... benar-benar ditusuk pakai penyangga lilin oleh Ayah. Aku hanya tidak percaya ini terjadi. A Si, aku pasti sedang bermimpi, kan?" 　　Xie Qingyao tiba-tiba tersadar, mencengkeram pergelangan tangan Jiang Si: "Katakan padaku, aku sedang bermimpi kan? Saat mimpi buruk ini berlalu, Ibu akan baik-baik saja..." 　　Jiang Si memeluk Xie Qingyao, berbisik lembut: "Qingyao, sadarlah. Bibi sungguh sudah tiada." 　　"Ah—" Teriakan Xie Qingyao melengking, seolah hanya ini cara melepaskan nestapa yang memenuhi hatinya. 　　"Paman dan Bibi begitu mesra, mengapa kau yakin Paman membunuh Bibi? Pasti ada kesalahpahaman—" 　　"Tidak," Xie Qingyao mengeringkan air mata, tersenyum getir: "Aku malu mengatakuan, Ayahku menderita gangguan tidur berjalan. Dia membunuh Ibu tanpa sadar..." 　　Terima kasih atas hadiah dan suara, katanya suara bulanan akan berlipat ganda di akhir bulan, semoga teman-teman pembaca yang menyukai Seperti Kembang bisa memilih untuk buku ini. Terima kasih. Sampai jumpa besok. 156. Bab 156 Kematian Istri Yongchang Bo 　　Bab 156 Kematian Istri Yongchang Bo 　　"A Si, kamu masih ingat beberapa hari lalu aku ke rumahmu, bilang ibuku akhir-akhir ini bertingkah aneh?" 　　Jiang Si mengangguk. 　　Xie Qingyao mengusap air matanya: "Waktu itu aku menduga ayah punya selir di luar, tapi saat mengobrol kamu mengingatkanku. Pulang ke rumah baru tahu ibuku gelisah karena tingkah laku ayah yang aneh, sering melakukan gerakan-gerakan ganjil di malam hari. Ibuku mengira ayah kerasukan, makanya ingin memanggil Nyonya Peramal Liu untuk mengusir roh jahat. Setelah Nyonya Peramal Liu meninggal, ibuku sangat sedih. Aku menyarankannya untuk memanggil tabib bagus, baru tahu ayahku sebenarnya bukan kerasukan melainkan menderita sleepwalking..." 　　Jiang Si mendengarkan dalam diam sambil mengerutkan kening. 　　"Ini juga bukan hal baik, jadi aku tidak memberitahumu. Ayah sudah mulai minum obat dari tabib, tapi siapa sangka--" Xie Qingyao tak bisa melanjutkan, menutupi mulutnya sambil menangis. 　　"Tidak benar--" Kerutan di dahi Jiang Si semakin dalam. 　　Di kehidupan sebelumnya, Yongchang Bo juga menderita sleepwalking pada periode ini, bahkan pernah membuat kejadian memalukan tidur di kandang babi karena tidak berobat. Tapi meski pernah tidur dengan babi, Yongchang Bo tidak pernah membunuh istrinya dalam mimpi. 　　“Dalam kehidupan ini, Yongchang Bo sudah didiagnosis mengidap gangguan tidur berjalan sejak dini dan sedang mengonsumsi obat dari tabib. Bagaimanapun dipikir, seharusnya tidak terjadi insiden pembunuhan tidak sengaja terhadap istri.” 　　“Apa yang tidak benar?” Xie Qingyao berhenti menangis, mengangkat wajah pucatnya yang kecil memandang Jiang Si. 　　“Apakah dayang utama menyaksikan langsung Paman membunuh Bibi?” 　　Bulu mata Xie Qingyao bergetar, butiran air mata mengalir: “Ayah dan ibu selalu tidur bersama, biasanya beberapa dayang utama yang melayani mereka saat bersiap pagi. Pagi ini ketika mereka masuk, melihat Ayah duduk tak bereaksi di samping ibu, memegang penyangga lilin berdarah, sedangkan ibu sudah—” 　　Jiang Si menangkap poin penting: “Tapi mereka tidak melihat proses Paman menusuk penyangga lilin ke Bibi, benar?” 　　Xie Qingyao tertegun: “A Si, apa maksudmu ini?” 　　Jiang Si memencet tangan Xie Qingyao: “Qingyao, orang bilang pendengaran itu palsu, penglihatanlah yang nyata. Tapi terkadang mata juga bisa menipu. Dayang-dayang itu melihat Bibi terbunuh sementara Paman duduk bengong memegang penyangga lilin berdarah, langsung berasumsi Paman pelakunya. Sebenarnya jika dipikir matang, mereka tidak menyaksikan proses pembunuhannya.” 　　Xie Qingyao semakin bingung: “Tapi saat itu hanya ada Ayah dan Ibu, tidak mungkin orang lain bisa menyusup melewati pengawasan banyak orang—” 　　“Tentu saja dia tidak mau percaya kenyataan kejam bahwa ayah telah membunuh ibu dengan tangannya sendiri. Bukan hanya dia yang tidak bisa menerima, bahkan setelah ayah sadar, beliau terus berniat bunuh diri untuk menebus dosa. Jika tidak dicegah oleh sekelompok orang, mungkin sudah menyusul ibu ke alam baka...” 　　Xie Qingyao merasa ingin menangis karena putus asa ketika memikirkan hal ini. 　　Penderitaan dia dan kakak laki-lakinya bukan hanya kehilangan ibu, tapi juga luka tak tertahankan karena ayah sendiri yang membunuh ibu. 　　Sekarang A Si memberitahunya bahwa mungkin ibu tidak dibunuh oleh ayah? 　　Xie Qingyao sulit mempercayainya, namun di kedalaman hatinya tersimpan harapan. Harapan ini membuatnya semakin gelisah, matanya menatap tajam Jiang Si: "A Si, kenapa kamu berkata begitu?" 　　Jiang Si mulai tenang. 　　Menghadapi sahabatnya yang dalam kondisi seperti ini, dia harus tetap tenang. 　　"Aku pernah mendengar tentang sleepwalking. Orang yang menderita sleepwalking akan melakukan tindakan aneh saat tidur, seperti berjalan-jalan atau melakukan suatu aktivitas. Tapi pada dasarnya, meskipun dilakukan dalam keadaan tidur dan tampak tidak sadar, tindakan bawah sadar itu sebenarnya mencerminkan pikiran terdalamnya. Qingyao, apa kamu percaya Paman pernah punya niat membunuh Bibi?" 　　"Sama sekali tidak mungkin!" Xie Qingyao membantah dengan emosi, "Orangtuaku sangat mesra! Mana mungkin ayah punya pikiran seperti itu!" 　　“Ada akibat pasti ada sebab. Karena kita semua sepakat bahwa Paman sama sekali tidak mungkin punya niat membunuh Bibi, maka sebab dari kematian Bibi seharusnya tidak terletak pada Paman——” 　　Sebelum Jiang Si selesai menganalisis, Xie Qingyao sudah menggenggam erat kedua tangannya dengan semangat: “A Si, kau benar! Ayahku pasti bukan yang membunuh ibuku! Bagus sekali, bagus sekali——” 　　Jiang Si menghela napas pelan. 　　Analisisnya ini sebenarnya lebih mengandalkan perbedaan mencolok antara kehidupan sebelumnya dan sekarang. Namun tak ada yang mutlak, apakah Istri Yongchang Bo benar dibunuh oleh Yongchang Bo sendiri, akhirnya tetap harus dibuktikan dengan bukti nyata. 　　Xie Qingyao mengusap air mata lalu buru-buru berjalan keluar. 　　Jiang Si segera menghalanginya: “Qingyao, mau ke mana?” 　　“Aku akan memberitahu Ayah, Ibu bukanlah dibunuh olehnya karena tidak sengaja, pasti ada orang lain yang menjadi pelakunya!” 　　“Qingyao, kalau kau berkata begitu pada Paman, dia pasti mengira kau sedang menghiburnya.” 　　Xie Qingyao tampak bingung: “Bagaimana kalau Ayah tidak percaya? A Si, tolonglah aku. Aku takut Ayah juga akan celaka. Sudah kehilangan Ibu, aku tak boleh kehilangan Ayah lagi.” 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu berbisik pelan: “Qingyao, bawa aku melihat kamar tempat Bibi terbunuh.” 　　Xie Qingyao menggigil, akhirnya mengangguk: “Baik, ikutlah aku.” 　　Pasangan Yongchang Bo tinggal di halaman utama. Pada saat ini, Istri Yongchang Bo telah dipersiapkan oleh para pelayan dan dipindahkan ke aula pemakaman. Tempat peristirahatannya justru terlihat sepi, hanya dijaga oleh dua dayang. 　　"Nona Besar." Begitu Xie Qingyao mendekat, kedua dayang itu segera memberi salam. 　　Xie Qingyao yang biasanya ramah pada para dayang, kali ini tak berniat meladeni. Ia langsung mendorong pintu kamar. 　　Seorang dayang memberanikan diri berkata: "Nona Besar, Tuan Gong melarang siapa pun masuk--" 　　Xie Qingyao melirik sang dayang, berkata dingin: "Minggir!" 　　Melihat ketegasan Xie Qingyao, dayang itu pun menggeser diri ke samping, membiarkannya membuka pintu dan masuk bersama Jiang Si. 　　Sebelum masuk ke ruang dalam, bau amis darah yang menyengat langsung menerpa hidung. 　　Jiang Si mengernyitkan hidung tak nyaman. 　　Dengan bau darah sekuat ini, kemungkinan aroma lain akan tertutupi. 　　Di ruang dalam bau darah semakin pekat. Penyekat ruang terjatuh, kelambu sutra biru langit pasca hujan tergulung tak karuan dengan noda-noda darah berceceran. 　　Selimut brokat di ranjang terpelintir di sudut, sprei sudah berubah merah gelap. Jelas kejadian ini terlalu mendadak dan mengerikan sehingga belum sempat dibereskan. 　　"Ibuku seharusnya tidur di bagian luar." Xie Qingyao menunjuk genangan darah di tepi ranjang, air matanya meleleh. 　　"Biasanya, Paman akan memilih tidur di bagian luar, bukan?" Jiang Si spontan bertanya. 　　“Sejak menikah dengan Yu Qi, si bajingan itu tak pernah tidur di ruang belajar sehari pun. Begitu hari gelap, dia langsung menyelinap ke kamar dalam. Saat itu dia berkata padaku, dia ingin tidur di luar agar tidak menggangguku saat bangun tengah malam...” 　　“Aku tidak tahu.” Xie Qingyao menatap Jiang Si dengan bingung, “Ini harus ditanyakan pada dayang utama yang merawat ibu saat malam.” 　　Wajah Jiang Si memerah. 　　Sepertinya dia tahu terlalu banyak... 　　“Apakah masalah ini sangat penting?” Xie Qingyao yang panik buru-buru memanggil seorang dayang di pintu: “Chun Fang, biasanya ibu tidur di bagian dalam atau luar?” 　　“Nyonya—” Chun Fang refleks melirik ke ranjang, noda darah menyolok membuat bibirnya gemetar, “Nyonya awalnya tidur di dalam, kemudian—” 　　Dia melirik Jiang Si, ragu apakah harus melanjutkan. 　　Selamat pagi. 157.BAB 157 Jejak Kecil 　　BAB 157 Jejak Kecil 　　Keraguan Chun Fang membuat Xie Qingyao tak sabar, berkata dingin: “Katakan saja!” 　　Di saat seperti ini, masih adakah yang perlu disembunyikan? 　　“Kemudian Sang Bangsawan didiagnosa dokter menderita gangguan tidur berjalan. Nyonya khawatir jika Sang Bangsawan tak sadar di malam hari akan berbahaya, jadi tidur di luar. Dengan begitu begitu Sang Bangsawan mulai sleepwalking, nyonya bisa langsung mendengar dan membangunkannya...” Chun Fang yang telah melayani Istri Yongchang Bo bertahun-tahun tersedu-sedu. 　　Xie Qingyao bahkan sampai menangis tersedu-sedu, menutupi wajahnya dan meratap: "A Si, ayah dan ibu saya begitu baik, mengapa hal ini bisa terjadi——" 　　Jiang Si mengamati seprai yang berlumuran darah. 　　Jika ada orang lain yang membunuh Istri Yongchang Bo, karena sang istri tidur di bagian luar, sangat mungkin tidak membangunkan Yongchang Bo yang sedang tertidur lelap. Setelah si pembunuh menyelesaikan aksinya, meletakkan kandil di samping tangan Yongchang Bo, ketika bangun dan melihat istri yang tewas mengenaskan, reaksi pertama Yongchang Bo pastilah mengambil kandil di sampingnya... 　　Tentu saja, ini hanya spekulasi dengan asumsi Yongchang Bo bukan pelakunya. Tidak sepenuhnya menutup kemungkinan bahwa Yongchang Bo adalah pelaku, mengingat orang yang tidur berjalan memang bisa melakukan hal-hal tak terduga. 　　Jiang Si menutup mata dan menghirup perlahan. 　　Di tengah bau anyir darah yang memenuhi ruangan ini, ia berusaha menemukan jejak aroma tak biasa. 　　Istri Yongchang Bo dikenal sebagai pecinta wewangian. Dengan konsentrasi penuh, Jiang Si menangkap aroma anggrek samar yang melayang di udara, dan benar saja di rak bunga terlihat pot anggrek musim empat. 　　Adakah aroma khusus lainnya? 　　Jiang Si berusaha keras membedakan, akhirnya menangkap bau manis yang nyaris tak tercium. 　　Aroma ini sangat lemah, hampir tidak meninggalkan jejak. Jiang Si bahkan merasa bisa menciumnya hanyalah kebetulan beruntung. 　　Masih dengan mata terpejam, ia mengikuti jejak aroma tipis itu sambil melangkah. 　　Xie Qingyao menarik lengannya: "A Si, ada apa denganmu?" 　　“Jiang Si membuka matanya, aroma samar yang berhasil ditangkapnya tiba-tiba menghilang. Di sebelah kakinya tergeletak sebuah penyangga lilin berlumuran darah. 　　Sebelumnya, jika dia melangkah lebih maju sedikit saja, pasti akan menginjak penyangga lilin itu. 　　Selain penyangga lilin berdarah, di lantai juga terdapat jejak kaki berdarah yang berantakan, jelas ditinggalkan para pelayan saat kejadian kacau itu. 　　Jiang Si mengabaikan perkataan Xie Qingyao, berusaha keras menangkap kembali aroma samar itu. Perlahan dia kembali mencium bau yang nyaris tak terasa itu, lalu mulai berjalan mengikuti arah sumber bau. 　　Menghindari paravent yang roboh dan mengitari noda-noda darah di lantai, Jiang Si akhirnya berhenti di depan lemari pakaian. 　　Lemari itu terdiri dari kabinet atas dengan empat pintu dan laci bawah berjumlah delapan, simetris di kedua sisi. Permukaannya diukir dengan pola bunga, burung, ikan, dan serangga yang rumit. 　　Lemari semacam ini bisa ditemukan di rumah-rumah kaya manapun, bahkan bahan kayunya pun hampir serupa, sama sekali tidak istimewa. 　　“A Si, apa yang kau lihat?” tanya Xie Qingyao bingung. 　　Jiang Si menarik napas dalam-dalam, lalu membuka dua pintu lemari. 　　Di dalam lemari tersusun pakaian yang tidak memenuhi seluruh ruang, terlipat rapi di bagian paling dalam. 　　Xie Qingyao melirik isi lemari, alisnya berkerut. 　　Pakaian di lapisan teratas terlihat kusut, menunjukkan para dayang tidak merawatnya dengan baik. 　　Jiang Si terus mengendus-ngendus. 　　Sumber bau itu memang ada di sini. 　　“Aroma ini tidak bisa kuterangkan apa sebenarnya, tapi pasti bukan wewangian biasa untuk mengharumkan pakaian.” 　　“A Si, apa kau menemukan sesuatu?” Gerak-gerik aneh Jiang Si membuat Xie Qingyao semakin bingung. 　　Jiang Si memeriksa lemari dengan cermat, tiba-tiba melihat dua bekas jari di sudut tersembunyi. 　　Bekas jari itu tidak utuh, tapi terlihat jelas di permukaan lemari berpelitur yang halus. 　　Tanpa sadar Jiang Si menyempitkan matanya, mendekat untuk melihat lebih teliti. 　　Sudut dan posisi bekas jari ini kecil kemungkinan ditinggalkan dayang saat merapikan pakaian. 　　“Qingyao, kemarilah lihat.” 　　Di bawah panduan Jiang Si, Xie Qingyao akhirnya melihat dua bekas jari itu. 　　“Qingyao, tahukah kau apa arti ini?” 　　Xie Qingyao menggeleng bingung: “A Si, katakan saja langsung. Kepalaku sekarang kacau, tak bisa berpikir jernih.” 　　Perubahan drastis yang tiba-tiba membuat gadis ceria ini linglung, kehilangan kecerdasannya yang biasa. 　　“Seseorang pernah bersembunyi di lemari ini.” Jiang Si menyimpulkan. 　　Mata almond Xie Qingyao membelalak: “Apa katamu?” 　　Sebelum Jiang Si menjawab, ekspresinya sudah berubah panik: “Siapa yang mau bersembunyi di lemari?” 　　Kini dia sudah menemukan jawabannya: yang bersembunyi di lemari, tentulah pelaku kejahatan! 　　Xie Qingyao menggenggam pergelangan tangan Jiang Si: "A Si, ada pembunuhnya, berarti itu membuktikan ibuku tidak dibunuh oleh ayahku, benar kan?" 　　Jiang Si memeluk bahu Xie Qingyao dengan lembut: "Tentu saja." 　　Dengan temuan ini, dia sudah bisa memastikan bahwa pelaku pembunuhan Istri Yongchang Bo adalah orang lain. 　　Ini sebenarnya kemungkinan terbesar, tapi tetap membutuhkan bukti. Adanya orang yang bersembunyi di lemari adalah bukti terkuat. 　　Tapi, bau apa sebenarnya itu? 　　"Aku akan beri tahu ayah dan kakak!" Xie Qingyao tak tahan lagi, menarik Jiang Si keluar. 　　Tanpa disadari, gadis kecil ini sudah menganggap Jiang Si sebagai sandaran. 　　Jiang Si tidak ikut bergerak: "Qingyao, aku punya saran--" 　　Xie Qingyao berhenti melangkah: "Katakanlah." 　　"Lebih baik laporkan ke pihak berwajib. Prefect Shuntian saat ini, Tuan Zhen, terkenal jago memecahkan kasus. Dia berhasil mengungkap kasus pembunuhan 10 gadis oleh Putra Mahkota Marquis Changxing dan kasus kematian mendadak 'Paman Selir Yang'. Mintalah pamanmu mengundang beliau, pasti akan menemukan pelakunya dan mengembalikan keadilan untuk bibimu." 　　Saat ini Yongchang Bo sedang terpukul, Xie Qingyao masih gadis polos, sedangkan Xie Yinlou, Jiang Si tidak yakin dia bisa mengungkap kasus sendirian. 　　Setelah dipikir-pikir, melibatkan Tuan Zhen adalah cara paling tepat. 　　"Tentu saja, almarhum adalah Istri Yongchang Bo. Mana ada keluarga bangsawan yang mau melibatkan pihak pemerintah. Keluarga bangsawan sangat menjaga gengsi, mana mungkin mau menerima interogasi dari aparat, apalagi membiarkan juru bedah mayat memeriksa jenazah yang berstatus mulia." 　　Perkataan Jiang Si ini membuat Xie Qingyao tertegun, tak kunjung bereaksi. 　　Jiang Si membujuk: "Saat ini, apa yang lebih penting daripada membersihkan nama Paman, menghilangkan rasa bersalah Paman karena dituduh membunuh istri, serta menemukan pembunuh yang sebenarnya untuk membalaskan dendam Bibi?" 　　Xie Qingyao seperti tersadar dari mimpi: "Kau benar! Aku akan segera memberitahu Ayah dan Kakak!" 　　Melihat Xie Qingyao berlari keluar, Jiang Si melirik dua dayang yang berjaga di pintu, lalu berpesan pada Ah Man: "Kau tunggu di sini dulu." 　　Karena pembunuhnya orang lain, siapa tahu dayang-dayang yang melayani Istri Yongchang Bo ini juga terlibat? Untuk berjaga-jaga, lebih baik Ah Man tinggal mengawasi agar bukti yang mereka temukan tidak dirusak. 　　Saat itu Yongchang Bo yang terikat tak bisa bergerak perlahan berhenti memaki, diam membeku seperti mayat hidup. 　　Jiang Ancheng memandangi tetua yang tiba-tiba tampak sepuluh tahun lebih tua itu, menghela napas dalam-dalam. 　　Bagaimana mungkin ini terjadi? 　　"Ayah!" Xie Qingyao berlari sambil menyingkap roknya, tergelincir dan bersujud di lutut Yongchang Bo, "A Si menemukan bahwa ibu dibunuh oleh orang lain!" 　　Xie Yinlou yang selama ini diam tak bersuara tak bisa menahan diri untuk memandang Jiang Si. 　　"Seperti Kembang" bukanlah novel misteri tradisional, cerita lebih berfokus pada kisah sang tokoh utama. Sampai jumpa besok. 158. BAB 158 Pemuda, Kau Harus Punya Cita-cita 　　BAB 158 Pemuda, Kau Harus Punya Cita-cita 　　Sepatah kata Xie Qingyao membuat sorotan mata semua orang tertuju pada Jiang Si. 　　Jiang Si berdiri tegak di sana dengan raut wajah tenang. 　　Yongchang Bo menggerakkan bola matanya, suaranya parau: "Qingyao, jangan berbuat ulah!" 　　"Ayah, aku tidak berbuat ulah! A Si benar-benar menemukan bahwa ada orang lain yang membunuh ibu! Kematian ibu tidak ada hubungannya dengan Ayah!" 　　Tekad Yongchang Bo untuk menebus dosa dengan kematian membuat gadis kecil yang dimanja orang tuanya ini ketakutan. 　　Melihat ayahnya tak percaya, Xie Qingyao panik dan berteriak pada Jiang Si: "A Si, cepat jelaskan pada ayahku!" 　　Jiang Si menghampiri Yongchang Bo dan sedikit membungkuk, lalu berkata dengan lugas: "Paman, tadi saya bersama Qingyao pergi ke kamar Bibi. Kami menemukan dua bekas jari di bagian dalam lemari pakaian. Posisi dan sudut bekas jari itu kecil kemungkinan ditinggalkan oleh dayang saat menyimpan pakaian." 　　Di sini, nada suara Jiang Si berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan tegas: "Karena itu keponakan menyimpulkan, kemungkinan terbesar adalah ada seseorang yang pernah bersembunyi di dalam lemari itu, sehingga meninggalkan jejak seperti itu." 　　"Benarkah itu?" Mata Yongchang Bo tiba-tiba berbinar. 　　Kehilangan istri yang telah menemani selama bertahun-tahun tentu menyedihkan, tapi tidak sampai membuat seorang pria dewasa dengan anak-anak yang sudah besar ingin bunuh diri. Yang tak bisa diterimanya adalah fakta bahwa dialah yang membunuh istri sendiri. 　　Jika dia benar pelakunya, selain tak bisa menghadapi diri sendiri, dia juga tak akan sanggup menatap kedua anaknya. Inilah alasan mengapa dia memilih kematian untuk membebaskan diri. 　　Kini ketika ada yang mengatakan pelakunya orang lain, seketika itu pula Yongchang Bo kembali bersemangat. 　　"Keponakan hanya menyimpulkan. Tentu untuk mengungkap kebenaran, perlu orang yang berpengalaman." Jiang Si tidak berani bicara terlalu pasti, sekaligus mengingatkan Yongchang Bo secara implisit untuk mengundang Zhen Shicheng, Prefect Shuntian, guna menyelidiki kasus ini. 　　Xie Qingyao segera menimpali, "Ayah, mari kita laporkan ke pihak berwajib! Jangan biarkan ibu terbunuh lalu Ayah dituduh membunuhnya, sementara pelaku sebenarnya bebas berkeliaran!" 　　Yongchang Bo mengerutkan alis, ragu-ragu. 　　Mencari pelaku memang wajib, tapi jika melibatkan pemerintah, apakah boleh membiarkan mereka memeriksa jenazah istri? 　　Begitu memikirkannya, Yongchang Bo langsung merasa tak bisa menerima. 　　Jiang Ancheng memberikan kode mata kepada Jiang Si. 　　Melihat situasi ini, Jiang Si diam-diam mendekati sang ayah. 　　Yang bisa dilakukannya sudah dilakukan, nasihat pun sudah diberikan. Keputusan untuk melibatkan Tuan Zhen sekarang ada di tangan keluarga Yongchang Bo. 　　Jiang Ancheng menarik Jiang Si ke belakangnya. 　　Si'er memang baik hati, demi si gadis Xie berani masuk ke kamar berlumuran darah untuk menyelidiki. 　　“Ah, sepertinya nanti aku harus membeli dua paha babi kecap untuk menenangkan anak perempuanku.” 　　“Ayah——” Xie Qingyao melihat Yongchang Bo diam, memanggil dengan mata berkaca-kaca. 　　Yongchang Bo ragu-ragu, masih tidak bisa mengambil keputusan. 　　Xie Yinlou melihat ayah dan adiknya, lalu menatap Jiang Si dalam-dalam sebelum berbalik pergi. 　　“Yinlou, kau mau ke mana?” 　　“Ke kantor pemerintah Shuntianfu untuk melapor!” Langkah Xie Yinlou terhenti, menjawab pertanyaan ayahnya. 　　“Kembali!” Yongchang Bo berseru spontan. 　　Awalnya dia ragu-ragu, keputusan anaknya membuatnya panik dan secara refleks mencegah. 　　Xie Yinlou menoleh, bertatapan dengan Yongchang Bo. 　　“Yinlou, kembalilah! Sekarang rumah ini masih kuasa ayah!” bentak Yongchang Bo. 　　Dasar anak durhaka! Barusan ikut Jiang Da mengikatku, sekarang berani bertindak semaunya! 　　Xie Yinlou bersujud memberi hormat lalu bangkit dengan tenang: “Jaga baik-baik ayah, aku akan segera kembali.” 　　Setelah berkata demikian, Xie Yinlou pergi tanpa menoleh. 　　Ketenangan Xie Yinlou membuat Jiang Ancheng tertegun: Lihatlah anak orang lain, menghadapi masalah besar tetap tenang. Bandingkan dengan anakku pemalas brengsek itu, benar-benar bikin kesal! 　　Saat memandang Jiang Si, hatinya Jiang Ancheng sedikit merasa seimbang. 　　Untung putri tidak kalah dari anak orang lain. 　　"Xie Yinlou!" Yongchang Bo berteriak marah. 　　Xie Qingyao segera menghibur Ayah: "Jangan marah pada kakak, saya dan kakak sepikir - kita tidak boleh membiarkan Ibu tewas secara misterius. Dibandingkan menemukan pembunuhnya, malu sedikit apa artinya? Saya yakin arwah Ibu di surga tidak akan menyalahkan kita." 　　Apalagi jika kabar Ayah tidak sengaja membunuh Ibu tersebar, apakah itu lebih baik? 　　Meskipun hukum Dinasti Zhou sangat toleran dalam hal ini, Ayah karena membunuh Ibu secara tidak sengaja dalam mimpi sama sekali tidak akan dihukum, tapi keluarga nenek pasti akan memutus hubungan dengan Ayah, dan orang-orang akan menggunjingkan bertahun-tahun. 　　Karena sudah malu juga, tidak ada yang lebih penting daripada membuat Ibu bisa beristirahat dengan tenang. 　　Xie Qingyao yang polos tapi tidak bodoh ini tepat sasaran dalam membujuk Yongchang Bo. 　　Yongchang Bo terdiam lama, lalu menghela napas: "Lepaskan ikatanku." 　　Xie Qingyao spontan menoleh ke Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng waspada melihat tetangga tuanya, tidak bergerak. 　　Yongchang Bo tersenyum getir: "Lao Jiang, sekarang kau suruh aku mati pun aku tidak mau! Harus menemukan pelaku yang membunuh istriku dan membalaskan dendamnya!" 　　Jiang Ancheng maju membuka tali ikatan Yongchang Bo, menepuk bahunya keras-keras. 　　Shuntianfu hari ini cukup sepi. Baru menyelesaikan kasus 'kematian mendadak Paman Selir Yang', seluruh kantor pemerintahan terasa santai. 　　“Zhen Shicheng adalah pejabat kompeten yang ahli memecahkan kasus dan tak takut pada penguasa, tapi dia bukan tipe pejabat sok suci yang menganggap dirinya paling benar.” Menghadapi sikap santai bawahannya, dia cukup memahami. 　　Setelah bekerja non-stop menyelesaikan kasus kematian mendadak "Paman Selir Yang", wajar jika mereka ingin bersantai setelah kasus terpecahkan. Hal ini tidak hanya bisa dimengerti, tapi juga harus didukung. 　　Dia tidak sudi melakukan hal yang ingin kuda berlari kencang tapi tidak diberi makan. 　　Setelah menyelesaikan beberapa urusan yang tertunda, Zhen Shicheng merentangkan badan dan berjalan keluar kantor. 　　Menghirup udara segar pasti akan membuat pikiran lebih jernih, sehingga lebih mudah menangani urusan pemerintahan. 　　Dengan langkah tenang, Zhen Shicheng melihat putra sulungnya, Zhen Heng. 　　Pemuda 17-18 tahun itu mengenakan jubah panjang warna batu, tampak segar dan sebersih giok. 　　Melihat ayahnya, pemuda itu menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan diri. 　　“Zhen Heng!” Zhen Shicheng berseru dengan penuh wibawa. 　　Di depan umum dia harus menjaga image sebagai pejabat misterius, tapi tidak perlu berlaku demikian di depan anaknya sendiri. 　　Anak ini berani menghindarinya! 　　Sesuai aturan, keluarga Prefect Shuntian harus tinggal di kediaman resmi, keluarga Zhen Shicheng pun demikian. 　　Pemuda itu menghela napas dan mendekat dengan pasrah. 　　“Mau ke mana lagi?” 　　“Ada teman sekelas yang mengajak ke danau——” 　　Wajah Zhen Shicheng berubah masam: “Panas-panas begini main ke danau?” 　　"Ada waktu luang, tidak bisakah kau mencari cara untuk berkenalan dengan nona yang kau kagumi itu?" 　　Begitu melihat ekspresi Ayah, Zhen Heng langsung merasa pusing. 　　Andai tahu begitu cepat dikejar Ayah untuk mencari calon istri sejak tiba di ibu kota, lebih baik dia kembali ke kampung halaman untuk belajar. 　　"Kalau begitu anak pamit kembali belajar." Zhen Heng berusaha kabur. 　　"Selain jalan-jalan di danau dan membaca, tidak adakah hal lain yang kau kejar?" 　　Zhen Heng tetap tersenyum sopan: "Apa yang Ayah maksud dengan hal yang dikejar--" 　　Zhen Shicheng membersihkan tenggorokannya, berkata datar: "Ayah melihat ada seorang nona yang cocok, kau harus usahakan untuk menikahinya." 　　Selamat pagi. 159. BAB 159 Anak Lelaki Tidak Berkembang 　　BAB 159 Anak Lelaki Tidak Berkembang 　　Di tempat Zhen Heng berdiri tepat ada pohon kamper. Di musim ini bunganya belum mekar, angin berdesir melalui dedaunan yang bergemerisik, seolah menertawakan perasaannya saat ini. 　　Senyum masih terpampang di wajah Zhen Heng, namun dalam hati sudah bergulung-gulung mata putih. 　　Mengapa nona yang dipilih Ayah harus dia yang menikahinya! 　　Nasib anak lelaki memang menyebalkan, tidak bisa membantah "Kalau Ayah suka, kenapa tidak Ayah saja yang menikahinya?". Jika sampai terdengar oleh Ibu, tetap saja dia yang akan kena marah. 　　"Ayah, usia anak masih muda. Ingin fokus belajar dulu, belum mau memikirkan pernikahan." 　　Zhen Shicheng mengetukkan gagang kipas ke telapak tangan, alisnya berkerut dalam: "Kau terlalu banyak berpikir. Ayah hanya ingin mengikat janji nikah sementara. Upacara pernikahan tentu menunggu setelah kau lulus ujian negara." 　　“Bocah nakal, berpikir muluk! Masih makan minum pakai uang orang tua, sudah ingin menggendong istri?” 　　Zhen Heng mengusap hidungnya. 　　Ayah Paduka terlalu licik, sulit dihadapi. 　　“Ananda takut gagal ujian negara, malah menunda nasib nona itu.” 　　Zhen Shicheng membelalakkan mata: “Kalau begitu orang tanpa jabatan tak boleh menikah? Ayah dan ibumu menikah sebelum lulus ujian, sekarang bukan tetap jadi pejabat tingkat tiga?” 　　“Ayah, Ayah menikah sudah lebih dua puluh tahun! Ananda baru delapan belas tahun!” 　　Zhen Shicheng memukul kepala Zhen Heng dengan gagang kipas, bergumam ketus: “Berani membantah!” 　　Zhen Heng: “……” Tak bisa berargumen langsung main tangan, benar-benar ayah kandung. 　　“Paduka——” Seorang petugas berlari sambil terengah-engah. 　　Zhen Shicheng memunggungi sambil bertanya: “Ada apa?” 　　Tak perlu ditanya, pasti ada kasus baru. 　　Petugas buru-buru melapor: “Paduka, Putra Mahkota Yongchang Bo datang melapor, mengatakan Istri Yongchang Bo dibunuh dengan penyangga lilin...” 　　Meski Zhen Shicheng tenang, wajahnya berubah mendengar kabar ini. 　　Istri bangsawan terbunuh, ini bukan perkara sepele. 　　Kasus besar membuat Zhen Shicheng tak sempat mengomeli anaknya, hanya berpesan “Jangan keluyuran!” sebelum bergegas pergi dengan petugas. 　　Zhen Heng menghela napas lega. 　　Akhirnya lolos dari bahaya. 　　“Di usia muda yang penuh gairah, dia juga tidak berniat menjadi biksu, tentu sangat mengharapkan calon istri di masa depan. Tapi justru karena itu, dia tidak ingin membiarkan ayahnya sembarangan menentukan pernikahannya.” 　　“Ayah setiap hari bergumul dengan kasus dan mayat, orang yang bisa dia kagumi——” Zhen Heng berpikir, tak bisa menahan diri mengernyitkan bibir. 　　“Dia masih merasa wanita seperti ibu yang lembut, cantik, dan berbakat lebih baik, apalagi ibu adalah teman masa kecil ayah.” 　　Zhen Heng menggelengkan kepala, lalu berjalan keluar. 　　Zhen Shicheng segera bertemu dengan Putra Mahkota Yongchang Bo Xie Yinlou. Setelah mendengar laporan kasus dari Xie Yinlou, dia langsung membawa anak buahnya ke Kediaman Yongchang Bo. 　　Kediaman Yongchang Bo masih dalam keadaan kacau balau. 　　Nyonya rumah dibunuh, apakah pelakunya Sang Bangsawan atau orang lain, hal ini membuat para pelayan panik dan tidak bisa bekerja dengan tenang. 　　Jiang Ancheng melihat Yongchang Bo sudah tenang, berkata: “Lao Xie, karena petugas Shuntianfu akan datang, saya akan membawa putri saya pulang dulu.” 　　Membantu tetangga lama yang sedang kesusahan adalah tanda persahabatan. Tapi sekarang pihak berwajib sudah turun tangan, jika tetap tinggal malah tidak sopan seperti ingin melihat kejadian. 　　Meski Jiang Ancheng bukan orang yang banyak tata krama, prinsip ini masih dia pahami. 　　“Hari ini merepotkan adik.” Yongchang Bo mengangguk kaku. 　　Melihat Jiang Si hendak pergi, Xie Qingyao tak bisa menahan teriak: “A Si——” 　　Jiang Si berhenti, menatap Xie Qingyao. 　　“A Si, bisakah kau menemaniku?” Wajah bulat gadis itu basah oleh air mata, terlihat memilukan dan rapuh. 　　Jiang Si tak tega, menoleh ke Jiang Ancheng: "Ayah——" 　　Meski khawatir putrinya trauma, Jiang Ancheng yang berhati lembut langsung menyetujui melihat keadaan memilukan dayang muda Xie: "Baiklah kau boleh menginap. Jika ada keperluan, suruh Ah Man menyampaikan pesan." 　　Hmm, paling-paling beli dua paha babi kecap ekstra untuk menenangkan sang putri. 　　Jiang Si mendekati Xie Qingyao dan menggenggam tangannya: "Qingyao, jangan khawatir. Tuan Zhen ahli menyelesaikan kasus, pasti akan mengungkap kebenaran." 　　"A Si, kau kenal Prefect Shuntian?" 　　Jiang Si tersenyum getir: "Lupa? Tuan Zhen yang menangani kasus Putra Mahkota Marquis Changxing. Aku menyaksikan langsung keahlian beliau saat itu." 　　Xie Qingyao menggigit bibir lalu mengangguk, erat memegangi tangan Jiang Si. 　　"Paduka, utusan pemerintah datang." Seorang pelayan segera melapor. 　　Yongchang Bo menghela nafas panjang lalu bergegas menyambut. 　　Saat melihat Yongchang Bo, Zhen Shicheng dalam hati mengelus dada. 　　Meski sering melihat kesedihan keluarga korban, setiap berhadapan dengan mereka tetap membuatnya terenyuh. 　　Namun sebagai peneliti kasus, kesan subjektif awal tidak boleh diambil. Banyak korban justru berasal dari pihak yang mengaku dirugikan. Meskipun Kediaman Yongchang Bo melapor secara sukarela, tanpa penyelidikan mendalam, Sang Bangsawan tetap tidak bisa dianggap sepenuhnya bebas dari kecurigaan. 　　"Sang Bangsawan, turut berdukacita." Zhen Shicheng memberi hormat dengan tangan tergabung kepada Yongchang Bo. 　　Yongchang Bo membalas dengan senyum getir: "Berterima kasih atas jerih payah Tuan Zhen." 　　"Ini tanggung jawab jabatan, pasti akan kukerahkan sepenuh tenaga." Setelah basa-basi, Zhen Shicheng langsung ke pokok persoalan, "Saya sudah mendengar penjelasan umum dari Putra Mahkota. Apakah kediamanmu menentukan pelaku pernah bersembunyi di sana berdasarkan cap jari yang tertinggal di lemari?" 　　Semua orang tak bisa menahan diri untuk melirik ke arah Jiang Si. 　　Sebagai orang yang sangat tajam pengamatannya, Zhen Shicheng segera mengikuti arah pandangan mereka. 　　Dua gadis muda berdiri berdampingan, satu tinggi dan satu pendek. Dia langsung mengabaikan gadis yang lebih pendek, seluruh perhatiannya tertarik pada gadis jangkung itu. 　　Ternyata lagi-lagi nona kecil itu! 　　Pada momen ini, pejabat yang biasanya tak memperlihatkan emosi itu tak bisa menahan ekspresi terkejutnya. 　　Mengapa setiap TKP selalu bertemu dengan gadis ini? 　　Kuil Lingwu begitu, Keluarga Marquis Changxing begitu, sekarang Kediaman Yongchang Bo pun tetap begini. 　　Xie Qingyao memberi hormat dengan menekuk lutut kepada Zhen Shicheng: "Paduka, cap jari itu ditemukan oleh sahabatku. Hamba pun melihatnya." 　　Pandangan Zhen Shicheng ke arah Jiang Si semakin bernuansa kompleks. 　　“Dia sudah mendengar dari Putra Mahkota Yongchang Bo bahwa setelah Yongchang Bo sadar dan menemukan dirinya memegang penyala lilin, dia yakin telah membunuh istrinya dan hendak bunuh diri. Baru setelah menemukan petunjuk bahwa pelaku sebenarnya orang lain, dia tenang kembali.” 　　Sekarang tampaknya ini lagi-lagi jasa gadis kecil itu. 　　Zhen Shicheng secara refleks mengelus-elus janggut panjangnya. 　　Sejak Nyonya datang ke ibu kota, pakaian sudah ada yang melipat, makanan sesuai selera, bahkan janggut ini pun ada yang menyisirnya. Rasanya nyaman sekali. 　　Zhen Shicheng diam-diam berpikir, kalau gadis ini seorang pria, dia akan memberikan promosi luar biasa, setidaknya menjadikannya Kepala. 　　“Kalau begitu, mari kita lihat TKP dulu. Oh ya, ingatkan pelayan untuk tidak mengizinkan siapa pun meninggalkan kediaman.” 　　Xie Yinlou menyela, “Anak sudah memerintahkan pelayan.” 　　Zhen Shicheng mengangguk puas, mengikuti Yongchang Bo menuju halaman utama, diikuti oleh saudara-saudara Xie dan yang lain. 　　Ah Man yang sedang bosan-bosan menjaga pintu, melihat sekelompok orang mendekat, langsung tegas menghadang di depan pintu. 　　Zhen Shicheng mengenali dayang kecil ini, tak bisa tidak menoleh ke Jiang Si. 　　Jiang Si menjelaskan, “Hamba khawatir ada yang masuk sembarangan dan merusak bukti, jadi menyuruh dayang berjaga di sini.” 　　Zhen Shicheng menghela napas panjang dalam hati. 　　Pantas saja, anaknya tidak bisa diandalkan! 　　#4.23Catatan Penulis# Teman-teman, mari kita bahas siapa karakter favorit kalian di 'Seperti Kembang'? Haha, karakter populer akan dapat cerita sampingan nanti. 160.BAB 160 Dayang yang Hilang 　　“BAB 160 Dayang yang Hilang” 　　Zhen Shicheng mendorong pintu masuk, bau darah yang familiar langsung menyergap. 　　Ia memandang sekeliling terlebih dahulu, jejak kaki berdarah yang berantakan di lantai membuatnya mengerutkan kening. 　　Jejak kaki berbagai ukuran yang begitu banyak menunjukkan kekacauan saat kejadian berlangsung. 　　Kandelabra yang digunakan sebagai senjata pembunuh tergeletak di lantai, ujungnya berwarna merah gelap dengan kilau dingin. 　　Zhen Shicheng menoleh bertanya: "Lemari pakaian yang mana?" 　　Xie Qingyao melirik Jiang Si, lalu menunjuk lemari pakaian yang sebelumnya telah dibuka Jiang Si. 　　"Yang lain harap tidak masuk," kata Zhen Shicheng sebelum memasuki ruangan bersama anak buahnya yang terpercaya untuk memeriksa. 　　Pertama-tama ia memeriksa lemari pakaian tersebut. 　　Seperti yang ditemukan Jiang Si, di bagian dalam lemari yang tidak mencolok, terdapat cap jari dua buah yang tidak lengkap. Dari sudut cap jari, dapat dibayangkan posisi tangan seseorang yang bersembunyi dalam lemari dengan tubuh terlipat. 　　Cap jari seperti ini jelas bukan berasal dari Dayang-dayang yang mengambil atau menyimpan pakaian. 　　Zhen Shicheng menatap cap jari itu dengan penuh pertimbangan. 　　Selain keringat, mungkin ada zat lain di tangan pelaku yang membuat cap jari begitu jelas terlihat? 　　Zhen Shicheng memeriksa lemari dengan teliti, tiba-tiba matanya menyipit: "Ambil penjepit dan kertas minyak!" 　　Setelah menerima alat dari anak buahnya, Zhen Shicheng dengan hati-hati menjepit sesuatu dari tumpukan pakaian yang agak berantakan di bagian atas, lalu meletakkannya di atas kertas minyak. 　　Itu adalah dua helai rambut. 　　“Zhen Shicheng langsung bersemangat.” 　　Di dalam lemari pakaian tersimpan pakaian-pakaian yang telah dicuci bersih. Keluarga bangsawan sangat memperhatikan kerapian, bagaimana mungkin ada rambut di pakaian bersih nyonya rumah? 　　Kemungkinan ini sangat kecil. Kemungkinan terbesar adalah dua helai rambut ini ditinggalkan oleh si pembunuh! 　　Meskipun telah menemukan petunjuk, Zhen Shicheng tetap tenang. Ia menyerahkan barang bukti kepada bawahannya untuk disimpan, lalu memeriksa setiap sudut ruangan dengan cermat. Setelah sibuk hampir setengah shichen, barulah ia keluar. 　　Melihat Zhen Shicheng keluar, Yongchang Bo tak sabar bertanya: "Tuan Zhen, bagaimana hasilnya?" 　　“Saya ingin tahu kapan terakhir kali lemari ini dirapikan?” 　　Seorang dayang segera menjawab dengan gugup: "Kemarin saat matahari terbenam hamba mengambil pakaian, melipatnya dan menyimpannya di lemari. Lemari sebelah kanan sudah penuh, sebagian lagi ditaruh di lemari ini." 　　“Kalau begitu, pakaian ini diambil sebelum gelap kemarin?” 　　Dayang itu mengangguk cepat. 　　Zhen Shicheng mengusap janggutnya, lalu memberi jawaban pada Yongchang Bo: "Sepertinya ada orang bersembunyi di dalam lemari ini." 　　“Benarkah?” Yongchang Bo terkejut, lalu kemarahan membara menyala setelahnya. 　　Jika ada orang bersembunyi di lemari kamar tidurnya dengan sang nyonya, pasti itu adalah pembunuh istrinya! 　　Yongchang Bo menggenggam tangan Zhen Shicheng kuat-kuat: "Tuan Zhen, tolong temukan pembunuh istri hamba!" 　　“Sang Bangsawan tenang, hamba akan berusaha sebaik mungkin. Bolehkah hamba tahu di mana jenazah Nyonya Bo disemayamkan?” 　　Yongchang Bo tampak ragu sejenak. 　　"Bukti fisik dan spekulasi apa pun tidak lebih penting daripada memeriksa jenazah korban." Kata Zhen Shicheng dengan tenang. 　　Yongchang Bo masih ragu-ragu. 　　Meski setuju melibatkan pihak berwenang setelah dibujuk anak-anaknya, saat tiba saatnya, ia tetap sulit menerima jenazah istrinya diperiksa oleh juru bedah mayat. 　　Hal ini hampir tak terbayangkan. 　　"Sang Bangsawan, pejabat ini membawa juru bedah mayat wanita." Zhen Shicheng yang paham alasan keraguan Yongchang Bo, mulai berbicara. 　　Rakyat biasa mungkin masih bisa menerima, apalagi keluarga bangsawan seperti Keluarga Bo, bahkan keluarga kaya kecil pun jarang menerima pemeriksaan jenazah wanita korban oleh juru bedah mayat. 　　Zhen Shicheng bersikap teliti, tak tuan melihat kebenaran terkubur bersama korban karena kebodohan masyarakat, maka ia melatih juru bedah mayat wanita. 　　Juru bedah mayat wanita andalannya adalah putri juru bedah mayat senior yang telah mengabdi padanya bertahun-tahun, bisa dibilang seorang gadis langka. 　　"Ayah—" Melihat Yongchang Bo diam, Xie Qingyao tak tahan memanggil dengan mata penuh harap. 　　Akhirnya Yongchang Bo mengambil keputusan, menemani Zhen Shicheng pergi. 　　Zhen Shicheng melewati Jiang Si, matanya tertuju padanya sejenak. 　　Ia penasaran bagaimana gadis muda ini bisa terpikir memeriksa lemari pakaian, tapi sekarang bukan saatnya bertanya, mungkin harus mencari kesempatan lain. 　　Ruang duka berada di pekarangan sebelah. 　　Cuaca Juni yang panas, peti mati Istri Yongchang Bo dikelilingi basin es, udara sejuk langsung terasa saat mendekat. 　　Seorang gadis yang mengenakan kain biru di kepala menerima perintah dari Zhen Shicheng, lalu maju untuk memulai pemeriksaan jenazah. 　　"Sang Bangsawan, mari kita bicara di sana." Zhen Shicheng yang paham banyak keluarga korban sulit menerima pemandangan otopsi, meninggalkan petugas penjaga aula pemakaman, menemani Yongchang Bo dan yang lain pergi. 　　Sementara juru bedah mayat perempuan bekerja, Zhen Shicheng tentu tak diam saja. Ia segera mengubah aula menjadi ruang pengadilan dan mulai menginterogasi, pertama-tama menanyai dayang pribadi Istri Yongchang Bo. 　　Tiga dayang utama berlutut di hadapan Zhen Shicheng, wajah mereka pucat bagai mayat. 　　Zhen Shicheng tersenyum: "Bangunlah dulu untuk menjawab. Ini bukan kantor yamen. Hamba memanggil kalian bukan untuk menghakimi, tak perlu berlutut." 　　Sikap lembut Zhen Shicheng membuat tiga dayang utama sedikit tenang, ragu-ragu berdiri. 　　Zhen Shicheng mengamati ketiga dayang itu, perlahan berkata: "Biasanya, dayang seperti kalian berjumlah genap, dua, empat, atau enam orang bukan?" 　　Ketiga dayang tertegun, salah satu spontan berteriak: "Masih ada Qiu Lu!" 　　Chun Fang, Xia Yu, Qiu Lu, dan Dong Xue adalah empat dayang utama Istri Yongchang Bo. 　　"Mana Qiu Lu?" Xie Qingyao bertanya keras. 　　Kehilangan ibu, ditambah ayah yang dituduh membunuh ibunya, membuat gadis lugu ini menjadi sangat paranoid. 　　Jiang Si menepuk-nepuk lengannya pelan. 　　Di bawah hiburan teman baiknya, Xie Qingyao menjadi tenang. 　　Tiga dayang utama saling pandang, tak satu pun yang tahu keberadaan Qiu Lu. 　　Chunfang kembali berlutut, seluruh tubuhnya gemetar: "Paduka, kemarin... kemarin yang bertugas jaga malam adalah Qiulu!" 　　Dengan ini, Qiulu seketika menjadi tersangka utama. Zhen Shicheng segera memutuskan: "Sang Bangsawan, mohon segera perintahkan seluruh anggota keluarga untuk mencari Qiulu terlebih dahulu." 　　Belum pasti apakah Qiulu adalah pelakunya, namun menghilangnya dayang utama yang seharusnya bertugas jaga di saat seperti ini jelas merupakan petunjuk penting. 　　Segera seluruh istana bergerak mencari dayang utama Qiulu. 　　Bagi Kediaman Yongchang Bo, tentu hanya anggota keluarga yang familiar dengan tata letaknya. Zhen Shicheng hanya mengirim beberapa petugas untuk ikut mencari. 　　Waktu berlalu, kabar tentang penemuan dayang utama Qiulu tak kunjung datang. Justru juru bedah mayat perempuan yang telah selesai memeriksa jenazah Istri Yongchang Bo datang melapor. 　　"Luka fatal Nyonya Bo berada di area jantung, namun terdapat tiga luka lain di sekitarnya dengan kedalaman berbeda. Salah satu luka tersangkut di tulang rusuk..." Setelah menjelaskan, juru bedah mayat menyimpulkan, "Kasus seperti ini umumnya disebabkan pelaku yang kurang berpengalaman atau kurang tenaga. Hamba berpendiri pelakunya kemungkinan besar adalah wanita..." 　　Yongchang Bo berubah pucat: "Sudahkah kalian menemukan Qiulu?!" 　　Kesimpulan juru bedah mayat bahwa pelaku adalah wanita, ditambah hilangnya dayang utama Qiulu—nyaris pasti Qiulu-lah pelakunya. 　　Namun Zhen Shicheng tetap tenang, tak terlihat sedikitpun emosi di wajahnya. 　　Masih terlalu dini untuk menyimpulkan, semuanya harus menunggu kabar tentang keberadaan Qiulu. 　　Iri dengan teman-teman penulis yang punya skill kreatif minta vote. Aku cuma bisa teriak kering: Tolong vote! Suara bulanan bisa disimpan sampai akhir bulan, kalau mau kasih Rekomendasi juga boleh, sayang kalian semua. 161. BAB 161 Ditemukan 　　BAB 161 Ditemukan 　　Karena belum ada kabar tentang Qiu Lu, Zhen Shicheng memusatkan perhatian pada hasil autopsi. 　　Istri Yongchang Bo tidak tewas seketika, tapi punya beberapa luka. Dalam kondisi seperti ini, apakah tidak ada suara yang membangunkan Yongchang Bo yang tidur di sampingnya? 　　Zhen Shicheng merenungkan pertanyaan ini, pandangannya tak sengaja tertuju pada Jiang Si. 　　Apakah gadis muda yang langsung menuju lemari pakaian dan menemukan petunjuk penting ini tahu sesuatu? 　　Mungkin dia harus mendengar pemikirannya. 　　Memikirkan ini, Zhen Shicheng bergegas menghampiri Jiang Si. 　　Xie Qingyao mengira Zhen Shicheng akan memeriksanya, bibirnya gemetar: "Paduka-" 　　Zhen Shicheng tersenyum lembut: "Nona Xie tidak perlu gugup. Saya ada beberapa pertanyaan untuk Nona Jiang." 　　Jiang Si tersenyum: "Apa yang ingin Tuan Zhen tanyakan?" 　　"Nona Jiang, mari kita bicara di tempat yang lebih privat." 　　"A Si-" Rasa kehilangan ibu yang tiba-tiba membuat Xie Qingyao semakin bergantung pada Jiang Si. 　　Jiang Si menenangkan dengan menepuk punggung tangan Xie Qingyao, lalu mengikuti Zhen Shicheng menjauh. 　　Xie Qingyao menyaksikan mereka berhenti di bawah pohon jauh di sana sebelum menarik pandangannya dan mendatangi Xie Yinlou, cemas bertanya: "Kak, menurutmu apa yang ingin ditanyakan Paduka pada A Si?" 　　Pandangan Xie Yinlou masih mengikuti sosok ramping itu, bergumam rendah: "Mungkin bertanya bagaimana dia menemukan keanehan di lemari pakaian." 　　Zhen Shicheng memang ingin menanyakan hal ini. Jiang Si terdiam sejenak sebelum jujur mengaku: "Hamba mencium aroma aneh, dan sumbernya justru dari lemari itu." 　　"Aroma aneh?" Zhen Shicheng teringat bau amis darah yang memenuhi ruangan, menggeleng lalu memandang Jiang Si dengan takjub, "Bagaimana Nona Jiang bisa menciumnya? Hamba yang tadi berdiri lama di sana sama sekali tidak mencium apa-apa selain bau darah." 　　Setelah dipikir-pikir, memang ada aroma harum samar di lemari, dikiranya itu wewangian yang biasa dipakai kaum wanita. 　　Jiang Si berkedip, bersuara jenaka: "Mungkin hamba dikaruniai indra penciuman yang luar biasa." 　　Zhen Shicheng tersenyum. 　　Ia tidak menganggap Jiang Si sedang membohonginya. 　　Selama bertahun-tahun menjabat, telah banyak ia temui orang-orang unik - yang bisa mengingat segalanya, yang terlahir berpengetahuan. Dibandingkan itu, indra penciuman tajam gadis ini justru terkesan biasa. 　　Tapi bakat seperti ini sungguh sangat berguna untuk memecahkan kasus. 　　Mata Zhen Shicheng berbinar memandang Jiang Si, dalam hati mendesak anaknya segera "menipu" gadis ini pulang, eh, maksudnya menikahinya, agar kelak bisa dengan sah memanfaatkan kemampuannya. 　　“Nona Jiang, hamba memiliki sebuah pertanyaan yang ingin didiskusikan dengan Anda.” Keunikan Jiang Si tanpa disadari membuat pejabat tinggi berpangkat Sanpin yang sangat kompeten ini menempatkannya pada posisi setara. 　　“Silakan Paduka bicara.” Jiang Si tidak menunjukkan ekspresi tersanjung, tetap tenang dan wajar. 　　Dari kehidupan sebelumnya hingga kini, dia telah belajar banyak, berubah banyak, namun cara menjilat atau mencari muka tetap menjadi hal yang tidak dikuasainya. 　　Mungkin ini sifat alaminya, dia bukanlah wanita yang pandai bergaul, melainkan si gadis keras kepala dengan sedikit kesombongan yang suka membangkang. 　　“Dalam kondisi apa korban mengalami serangan berulang tanpa mengeluarkan suara yang membangunkan orang yang tidur di sebelahnya?” Zhen Shicheng sebenarnya sudah memiliki dugaan, tapi dia sangat menyukai pendapat orang lain untuk saling mengonfirmasi. 　　Jika dugaan mereka berdua sama, tentu itu akan menjadi hal yang sangat memuaskan. 　　Jiang Si tidak terkejut dengan pertanyaan Zhen Shicheng, dengan tenang mengungkapkan pemikirannya: “Menurut hamba, itu adalah sejenis dupa memabukkan. Pembunuh yang ingin tidak membangunkan orang di sebelah korban, hanya membuat korban tak bersuara saja tidak cukup, karena pola tidur setiap orang berbeda. Ada yang tetap tertidur lelap meski petir menggelegar, ada juga yang bisa terbangun karena bau tak sedap. Jadi kemungkinan terbesar adalah Yongchang Bo dan Nyonya saat itu menghirup sejenis dupa memabukkan, sehingga rencana pembunuhan dan fitnahan pembunuh bisa berjalan mulus.” 　　“Zhen Shicheng mengangguk berulang kali sambil menepuk tangan: "Kata-kata yang tepat, ini kemungkinan terbesar!" 　　Jiang Si mengerutkan kening dan berpikir sejenak: "Hamba masih memiliki dugaan lain." 　　“Silakan katakan.” Sikap Zhen Shicheng terhadap Jiang Si semakin serius. 　　“Mungkin pengharum itu dinyalakan pelaku di dalam lemari, sehingga aroma tertinggal paling kuat di sana.” 　　Sejak awal Jiang Si telah merenungkan aroma aneh itu. Jika itu wewangian dari tubuh pelaku, kecil kemungkinan bertahan lama di ruangan. 　　Mendengar laporan juru bedah mayat perempuan, dia langsung tersadar dan memahami sumber aroma tersebut. 　　“Hanya satu hal yang hamba tak pahami, jika pengharum dinyalakan di lemari, bagaimana pelaku melindungi diri dari efeknya?” 　　Zhen Shicheng mengusap janggut: “Ada berbagai jenis pengharum. Pasti pelaku sudah mempersiapkan penangkalnya.” 　　Tiba-tiba seorang petugas berlari tergesa-gesa: “Paduka, orangnya ditemukan!” 　　Zhen Shicheng langsung menghentikan pembicaraan: “Di mana?” 　　“Di kolam teratai taman Keluarga Bo.” 　　Zhen Shicheng segera menuju kolam teratai bersama bawahannya. 　　Kerumunan orang di tepi kolam langsung berteriak saat melihatnya: “Beri jalan! Paduka sudah datang!” 　　Kerumunan membuka jalan. 　　Jiang Si yang mengikuti di belakang langsung melihat wanita tak bernyawa yang tergeletak di tepi kolam. 　　"Mayat perempuan itu setengah tubuhnya tertelungkup di tepi kolam, wajah sampingnya yang sudah membengkak terendam air terlihat, bagian bawah tubuh masih terendam air, gaun dan daun teratai saling melilit, pemandangan yang sangat mengerikan." 　　Xie Qingyao menatap mayat perempuan di tepi kolam dengan kedua tangan terkepal erat. 　　Desas-desus para pelayan mulai terdengar berbisik-bisik. 　　"Benarkah ini Qiulu? Bagaimana mungkin dia tewas di sini?" 　　"Sangat menakutkan, mungkin Qiulu bunuh diri karena merasa berselah setelah membunuh Nyonya." 　　Xie Qingyao gemetar menggenggam tangan Jiang Si, di bulan Juni ini tangan gadis itu sedingin es: "A Si, ibuku selalu baik pada Qiulu, bagaimana mungkin dia—" 　　Jiang Si menggenggam balik tangan Xie Qingyao dengan lembut: "Semua masih perlu menunggu pemeriksaan resmi dari Tuan Zhen." 　　Saat juru bedah mayat perempuan sedang bekerja, Zhen Shicheng melanjutkan interogasinya. 　　"Sang Bangsawan, kemarin malam kan Qiulu yang berjaga, kalian tidak melihat kehadirannya?" 　　"Kami melihatnya. Meski Qiulu yang bertugas jaga malam, istriku menyuruhnya untuk istirahat." 　　"Kira-kira jam berapa?" 　　Yongchang Bo berpikir sejenak: "Seharusnya sekitar akhir jam Xu dan awal jam Hai." 　　Zhen Shicheng memandang sekeliling perlahan: "Setelah itu ada yang pernah melihat Qiulu?" 　　Dayang-dayang di rumah utama tidak sengaja melihat ke arah dayang utama Dongxue. 　　Semua orang tahu, empat dayang utama Nyonya Bangsawan tidur berdua dalam satu kamar, yang sekamar dengan Qiulu adalah Dongxue. 　　“Dongxue ketakutan sampai bersujud: ‘Hamba tidur nyenyak, bisa memastikan Qiulu tidak pernah kembali!’” 　　“Artinya, setelah jam Hai awal tidak ada yang melihat Qiulu lagi?” 　　Semua orang diam seribu bahasa. 　　“Bicara!” Yongchang Bo berteriak. 　　Tiba-tiba suara gemetar terdengar: “Ada satu hal, hamba tidak tahu pantaskah dikatakan——” 　　“Silakan katakan, semua akan hamba urusi.” Zhen Shicheng menatap dayang yang berbicara. 　　Ketiduran! Sampai jumpa besok. 162. BAB 162 Kematian Qiulu 　　BAB 162 Kematian Qiulu 　　Dayang yang berbicara adalah Xiayu, salah satu dari empat dayang utama. Sikap Zhen Shicheng memberinya keberanian: “Kemarin siang hamba masuk melayani Nyonya, tak sengaja melihat mata Qiulu merah seperti habis menangis...” 　　“Kalau begitu, mungkin Nyonya Bo pernah memarahi Qiulu?” Zhen Shicheng menduga. 　　“Tidak mungkin!” Xie Qingyao bersemangat, “Ibuku selalu baik pada mereka, hamba tak pernah melihat ibu marah pada mereka!” 　　Mendengar perkataan Xie Qingyao, Xiayu segera menunduk tak berani bersuara lagi. 　　Zhen Shicheng tampak kesal: “Nona Xie, lebih baik jangan menyela saat hamba bertanya. Emosimu akan mempengaruhi mereka. Saat ini tidak ada yang lebih penting daripada mencari kebenaran, setuju?” 　　Xie Qingyao menggigit bibirnya, pelan-pelan matanya memerah. 　　"Ibunya meninggal begitu tragis, bahkan mungkin dicap telah memperlakukan bawahan dengan kejam. Bagaimana mungkin dia tidak marah? Tapi seperti yang dikatakan Tuan Zhen, kebenaran adalah yang terpenting. Hanya kebenaran yang bisa menghentikan spekulasi sembarangan orang luar tentang ibu." 　　"Xia Yu, menurutmu apakah Nyonya Berkuasa akan memarahi Qiu Lu?" Zhen Shicheng bertanya lagi. 　　Xia Yu ragu-ragu. 　　Zhen Shicheng melirik Xie Qingyao. 　　Xie Qingyao mengerti maksudnya, lalu berkata lembut: "Xia Yu, selama yang kau katakan benar, takkan ada yang menyalahkanmu." 　　Xia Yu mengangkat kepala, wajahnya terlihat bingung: "Seperti yang dikatakan Nona, Nyonya selalu baik pada kami, hampir tak pernah meninggikan suara. Tapi kemarin lusa—" 　　Xia Yu ragu sejenak, lalu berkata: "Kemarin lusa, dari penampilan Qiu Lu, sepertinya dia benar-benar dimarahi—" 　　"Setelah kau masuk, apakah Nyonya Berkuasa mengatakan sesuatu pada Qiu Lu?" 　　"Nyonya menyuruh Qiu Lu pergi." 　　"Apakah nada bicaranya berbeda dari biasanya?" 　　"Saat itu Nyonya terkesan dingin. Qiu Lu langsung menunduk dan buru-buru keluar." 　　Zhen Shicheng mengusap-usap janggutnya. 　　Mungkinkah dayang utama yang dimarahi menyimpan dendam lalu membunuh nyonya rumah? Setelah membunuh, sadar tak bisa lolos dari hukuman mati, lalu bunuh diri dengan mencebur ke kolam teratai? 　　Juru bedah mayat perempuan datang melapor: "Paduka, di mulut dan hidung jenazah terdapat lumpur. Dugaan awal meninggal karena tenggelam, bukan dicelupkan setelah mati..." 　　Zhen Shicheng mengangguk, berkata pada Yongchang Bo: "Saat ini ada dua kemungkinan, Qiulu bunuh diri dengan menceburkan diri ke air, atau didorong ke dalam air. Saya perhatikan kolam teratai tidak terlalu jauh dari area permukiman. Jika Qiulu didorong, teriakan minta tolong seharusnya akan didengar orang." 　　"Apakah ada di antara kalian yang mendengar suara di taman tadi malam?" Yongchang Bo bertanya pada pelayan di bagian belakang rumah. 　　Pada malam hari, pintu penghubung halaman depan dan belakang akan dikunci. Yang mungkin mendengar suara hanya penghuni halaman belakang. 　　Tak ada yang menjawab pertanyaan Yongchang Bo. 　　Mungkin mereka memang tidak mendengar, atau mendengar tapi tidak mau cari masalah. Sekalipun sebagai tuan rumah, mustahil memaksa setiap orang untuk bicara. 　　"Tuan Zhen, jika Qiulu sudah tidak sadar saat jatuh ke air, tentu tidak bisa berteriak minta tolong, bukan?" Jiang Si menyela. 　　Zhen Shicheng melirik juru bedah mayat perempuan itu. 　　Juru bedah mayat itu berkata: "Di sela kuku jenazah juga ditemukan lumpur dan ganggang air. Ini membuktikan korban sempat bergulat di air. Saat itu dia pasti dalam keadaan sadar." 　　Jiang Si memperhatikan juru bedah mayat itu dengan saksama. 　　Juru bedah mayat itu usianya sebaya dengannya, rambut hitamnya diikat dengan kain polos, tampak sebagai gadis cantik yang rapi. 　　Melihat tatapan Jiang Si, juru bedah mayat itu tersenyum padanya. 　　Jiang Si langsung merasa simpati. 　　Dia mengagumi setiap perempuan yang hidup mandiri dengan kemampuan sendiri. Meskipun profesi juru bedah mayat dianggap hina, tapi seorang gadis bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik patut diacungi jempol. 　　Jiang Si membalas senyumannya. 　　"Juru bedah mayat perempuan tampak terkejut karena nona dari keluarga bangsawan tidak menunjukkan ekspresi jijik seperti biasa, setelah terdiam sejenak ia menundukkan malu-malu." 　　"Masih ada anggota keluarga apa di rumah Qiulu?" 　　"Ada ibu tua, kakak laki-laki dan istrinya, serta seorang adik perempuan," jawab sang mandor. 　　Seorang pelayan tiba-tiba menyela: "Kemarin siang adik perempuan Qiulu datang mencarinya, setelah itu Qiulu langsung pergi tergesa-gesa bersama adiknya." 　　"Hm, berapa lama mereka pergi?" 　　Pelayan itu berpikir sejenak: "Hanya sekitar sejam setengah. Qiulu adalah anak bawaan keluarga, keluarganya tinggal di perkampungan sebelah utara kediaman Keluarga Bo." 　　"Apakah ada yang aneh saat Qiulu kembali?" 　　"Wajahnya muram, terlihat sedang tidak baik mood-nya," kata pelayan itu. 　　"Mengingat Qiulu adalah anak bawaan keluarga, apakah kakak ipar dan adik perempuannya juga bekerja di sini?" tanya Zhen Shicheng lagi. 　　Sang mandor buru-buru menjelaskan: "Kakak laki-lakinya pemalas, dulu mengeluh pekerjaan di sini terlalu berat. Istrinya sibuk mengurus tiga anak. Adik perempuannya mantan dayang kelas dua yang kini cuti merawat ibu sakit. Keluarga ini sepenuhnya bergantung pada Qiulu..." 　　Zhen Shicheng akhirnya paham, seluruh keluarga besar Qiulu hidup dari hasil kerjanya. 　　"Sang Bangsawan, tolong panggil keluarga Qiulu kemari." 　　Sebelum Yongchang Bo sempat mengirim utusan, tangisan keras sudah terdengar mendekat dari kejauhan. 　　“Qiulu, kenapa kau tega pergi begitu saja——” Beberapa orang segera tiba di lokasi, tangisan paling keras berasal dari seorang wanita berusia tiga puluhan. 　　Mandor berbisik kepada Zhen Shicheng: "Itu kakak ipar Qiulu." 　　"Sang Bangsawan, Qiulu sudah lama melayani Nyonya, jangan biarkan dia pergi dalam kesedihan seperti ini." Wanita itu menangis menghadap Yongchang Bo. 　　Yongchang Bo langsung naik pitam, berteriak: "Diam!" 　　Para pelayan menggelengkan kepala diam-diam, salah seorang yang paling dekat dengan wanita itu berbisik: "Nyonya sudah tiada." 　　Wanita itu kaget setengah mati, memandang Yongchang Bo dengan wajah ketakutan. 　　Si bedebah sudah pergi berjudi sejak pagi membawa uang, aku sibuk mengurus tiga para gadis sampai tak sempat keluar rumah. Kalau bukan ada yang bilang adik iparku meninggal, aku sama sekali tidak tahu. 　　Nyonya yang sehat-sehat kok bisa tiba-tiba meninggal? 　　Sungguh sial, tadinya berpikir kalau Qiulu meninggal bisa minta uang dari Nyonya, sekarang semuanya hilang... 　　"Saudari Qiulu, apa yang dilakukan Qiulu kemarin saat pulang ke rumah?" Tanya Zhen Shicheng. 　　Wanita itu menatap Zhen Shicheng. 　　"Ini Prefect Shuntian, Tuan Zhen. Jawablah dengan jujur apa yang ditanyakan Paduka!" Kata Yongchang Bo. 　　"Wah, Paduka bertanya seperti itu? Bukankah Qiulu kami sudah——" 　　Zhen Shicheng sangat berpengalaman, tahu tak boleh bersikap sopan pada wanita seperti ini, dengan wajah masam berkata: "Nyonya Countess tewas dibunuh, sedangkan Qiulu yang seharusnya berjaga malam kemarin ditemukan tewas di kolam teratai. Jika kau tidak menjelaskan secara detail, sangat mungkin Qiulu adalah pelaku yang bunuh diri karena merasa berselah telah membunuh Nyonya Countess, saat itu—" 　　Wanita itu gemetar ketakutan: "Pa...Paduka, Qiulu tak mungkin membunuh nyonya. Kemarin...kemarin mertuaku sekarat, baru hamba menyuruh Caizhu mencari Qiulu untuk pulang." 　　Wanita itu langsung menarik remaja yang berdiri tak jauh, mendorongnya ke depan Zhen Shicheng: "Caizhu, cepat jelaskan pada Tuan Besar ini, benar kan seperti itu?" 　　Gadis bernama Caizhu terlihat baru 13-14 tahun, matanya merah bengkak dengan bekas air mata, terdorong jatuh ke tanah saat didorong sang wanita. 　　Gadis itu tidak merintih kesakitan, juga tidak buru-buru bangkit, hanya menatap Zhen Shicheng sambil menggigit bibir: "Kakakku takkan membunuh, dia...dia dipaksa bunuh diri oleh kakak iparku!" 　　Ingat sudah set waktu posting, kok bisa lupa lagi?! Untung teman mengingatkan.... Sayangku jangan lupa kasih Rekomendasi ya, TOP 10 baru bisa masuk daftar rekomendasi beranda, biar Seperti Kembang makin terkenal. Terima kasih untuk He Shibi dari honeylion, Hadiah He Shibi hampir memenuhi syarat Tambahan bab, buruan nulis deh. 163.BAB 163 Ada Pelaku Lain 　　BAB 163 Ada Pelaku Lain 　　Wanita itu awalnya tertegun, seolah tak menyangka Caizhu akan berkata demikian, kemudian baru bereaksi dan mencoba memukul Caizhu: "Kau ngomong apa, anak durhaka tak tahu balas budi!" 　　"Hentikan!" Zhen Shicheng mengerutkan kening dan berteriak, segera petugas menahan wanita itu. 　　Wanita itu masih mengamuk: "Kami memberimu makan dan minum, kau masih berani bicara begitu? Kau tidak punya hati nurani!" 　　Caizhu menangis sambil duduk di tanah: "Yang memberiku makan minum adalah kakakku, bukan kau!" 　　"Kau masih berani bicara! Dasar gadis tak tahu diri, lupa pada ibumu?" 　　Caizhu tercekat, menutupi wajah sambil terisak: "Lagipula Ibu sebentar lagi akan meninggal, aku... apa lagi yang harus kutakutkan--" 　　Dia terus menangis sambil bersujud kepada Zhen Shicheng: "Paduka, hamba pernah dengar tentang Tuan. Tuan yang menangkap Putra Mahkota Marquis Changxing, Tuan Besar yang bijaksana. Mohon tegakkan keadilan untuk kakakku, jangan biarkan kakakku mati dalam fitnah--" 　　Wanita itu semakin marah: "Dasar gadis kurang ajar! Nanti kita lihat di rumah, pasti kubikin kau kapok!" 　　"Bungkam mulutnya," perintah Zhen Shicheng dengan tenang. 　　Setelah mulut wanita itu disumpal kain, suasana langsung hening, hanya terdengar isak tangis gadis itu. 　　Zhen Shicheng menghela napas, membantu Caizhu berdiri: "Hamba takkan melepaskan penjahat, apalagi menuduh orang tak bersalah. Nona kecil, jangan menangis lagi. Ceritakan tentang kakakmu." 　　“Ya.” Caizhu mengusap air matanya, melirik wanita itu dengan tatapan tegas. 　　Wanita itu tak bisa bicara, matanya melotot penuh ancaman. 　　Caizhu tak lagi mempedulikannya, menghapus ingusnya dan berkata: “Sebenarnya semua orang di kediaman tahu, hanya kakak saya yang bekerja di sini. Biaya hidup dan pengobatan ibu semuanya dari kakak. Awalnya berencana kembali bekerja setelah kondisi ibu membaik, tapi kesehatannya malah semakin memburuh. Lima hari lalu sampai pingsan, dokter bilang butuh biaya besar untuk perawatan. Setelah tahu, tak lama kemudian kakak membawa uang itu——” 　　“Berapa jumlah uangnya?” Tanya Zhen Shicheng. 　　Umumnya motif pembunuhan hanya tiga: karena dendam, harta, atau cinta. Kasus pembunuhan acak sangat jarang dan tidak masuk akal. 　　“50 tael perak.” 　　“Berapa gaji bulanan Qiulu?” 　　Mandor segera menjawab: “Qiulu adalah dayang utama yang melayani Nyonya, gajinya termasuk tingkat dua untuk pelayan, 2,5 tael.” 　　“2,5 tael, cukup besar.” Kata Zhen Shicheng datar. 　　Untuk rakyat biasa, beberapa tael saja cukup untuk biaya hidup setengah tahun. 　　“Tapi jika Qiulu harus menghidupi keluarga, tentu tak ada tabungan. Dari mana 50 tael ini?” 　　Wajah Caizhu memerah, bibirnya gemetar: “Waktu itu kakak tidak menjelaskan, hanya menyuruh kami pakai untuk pengobatan ibu, tapi——” 　　"Di sini, Caizhu memandang wanita itu dengan penuh kebencian, lalu menangis: 'Tapi kemarin ibu tiba-tiba muntah darah, hamba buru-buru mencari kakak untuk pulang. Setelah kakak memaksa bertanya, barulah tahu kakak ipar sama sekali tidak menggunakan uang itu untuk membeli obat ibu. Obat yang hamba berikan ke ibu ternyata cuma barang palsu yang mereka sediakan.'" 　　"Wu wu wu——" Begitu mendengar ini, wanita itu mulai meronta-ronta sekuat tenaga. 　　"Lepaskan kain dari mulutnya," perintah Zhen Shicheng. 　　Begitu mulutnya bebas, wanita itu langsung menjerit histeris: "Ini fitnah, Paduka! Uang itu sama sekali tidak digunakan untuk hamba, semuanya dipakai si brengsek itu untuk bayar utang judi——" 　　Zhen Shicheng bersabar mendengar wanita itu mengumpat suaminya selama waktu minum secangkir teh, mulai memahami bagaimana karakter kakak laki-laki Qiu Lu. 　　Seonggok lumpur busuk yang kecanduan judi. 　　"Apa reaksi kakakmu setelah mengetahui hal ini?" 　　"Kakak memeluk ibu sambil menangis. Tapi... tapi ibu bilang dia sudah tahu dan dia yang mengizinkan kakak mengambil uang itu. Mendengar itu, kakak langsung semakin sedih lalu lari keluar sambil menangis——" Di sini suara Caizhu tersekat tak bisa melanjutkan. 　　"Sejak saat itu kamu tidak pernah bertemu kakakmu lagi?" 　　Caizhu tiba-tiba mengangkat kepala, menatap langsung ke Zhen Shicheng: "Tidak, hamba mengejarnya keluar." 　　Hati Zhen Shicheng berdesir. 　　Berdasarkan pengalaman, gadis kecil di depannya ini mungkin tahu sesuatu. 　　"Dia tidak mendesak, memandangi Caizhu dengan tatapan lembut." 　　Caizhu menggigit bibirnya: "Aku belum pernah melihat kakak sedemikian sedih. Kakak selalu menjadi tiang penopang keluarga. Dulu keputusan untuk meminta cuti panjang merawat ibu juga dari kakak. Aku masih ingat kakak bilang, selama dia ada, kesulitan keluarga pasti teratasi. Tapi kemarin kakak menangis putus asa. Mungkin karena terlalu sedih, akhirnya dia memberitahu alasannya saat aku terus bertanya." 　　Caizhu tak sengaja melirik ke arah Yongchang Bo. 　　Yongchang Bo menghela nafas: "Katakan saja. Nyonya dan saya selalu bisa membedakan benar salah." 　　"Kakak bilang 50 tael perak itu diambil diam-diam dari kotak perhiasan Nyonya. Rencananya akan dikembalikan perlahan setelah urusan darurat teratasi. Tapi Nyonya tiba-tiba mencari hiasan kepala giok dan bulu burung bertahun-tahun lalu, akhirnya ketahuanlah perbuatan kakak. Nyonya tidak menuntut uangnya setelah tahu alasan pencurian, tapi menyatakan tidak bisa mempertahankan kakak lagi. Berbelas kasih, Nyonya memberi waktu beberapa hari untuk mencari calon suami yang layak bagi kakak." 　　"Kalau begitu, mengapa kau bilang kakak iparmu yang menghabisi nyawa kakakmu?" 　　Caizhu tersenyum pahit: "Kakak selalu bangga melayani Nyonya, tapi diam-diam mengambil tael perak Nyonya untuk ibu. Andai uang itu digunakan ibu untuk memulihkan kesehatannya, tapi nyatanya uang itu dipakai kakak laki-laki untuk bayar utang judi. Kami berdua sama sekali tidak tahu. Ibu malah bilang itu keputusannya... Saat itu kakak berkata, andai tahu begini akhirnya, buat apa melakukan hal tak berhati nurani ini? Kehilangan pekerjaan, ibu juga tidak tertolong, yang paling parah mengkhianati kebaikan Nyonya. Lebih baik mati saja. Kupikir kakak hanya marah, tak disangka dia benar-benar nekat..." 　　Zhen Shicheng menatap Yongchang Bo: "Biasanya Nyonya Bo meninggalkan dayang untuk jaga malam?" 　　Yongchang Bo mengangguk. 　　"Berarti hanya tadi malam Nyonya Bo mengusir Qiulu keluar." Zhen Shicheng mengusap janggutnya, berdesah, "Uang curian Qiulu dihambur-hamburkan kakak laki-laki, ibu yang sakit parah muntah darah tetap memihak anak lelaki. Setelah itu Nyonya Bo jelas-jelas menjauhinya. Dengan begitu, keputusannya bunuh diri karena putus asa jadi masuk akal." 　　Semua terdiam, hanya satu pikiran di benak mereka: Kata Caizhu benar, Qiulu memang dipaksa mati oleh kakak iparnya. Lebih tepatnya, ibunya juga ikut memaksanya— 　　"Kalau Qiulu bunuh diri karena malu, lalu siapa yang membunuh ibuku?" Xie Qingyao bergumam pelan. 　　Zhen Shicheng tidak patah semangat. 　　Banyak kasus seperti ini, petunjuk yang muncul setelah diselidiki ternyata tidak berkaitan, tetapi ini bukan berarti usaha yang sia-sia. Dengan mengurai benang dan menguliti kepompong, kebenaran akhirnya akan terungkap. 　　"Tuan Zhen, mengingat lemari pakaian masih kosong saat matahari terbenam kemarin, apakah ini berarti pelakunya berada di antara orang-orang dalam Kediaman Yongchang Bo bagian dalam?" tiba-tiba Jiang Si bertanya. 　　Baru saja mengatur update kedua untuk besok, mengira sudah melakukan update ganda.... Ternyata benar pepatah 'kebodohan tiga tahun' tidak salah. 164.BAB 164 Selir Tua Yongchang Bo 　　BAB 164 Selir Tua Yongchang Bo 　　"Ini kemungkinan terbesar." Zhen Shicheng tidak memberikan pernyataan mutlak, fokus investigasi memang pada kelompok orang ini. 　　Keluarga bangsawan memiliki aturan ketat. Pelayan halaman depan tidak diperbolehkan masuk ke bagian belakang rumah kecuali dalam keadaan sangat khusus. Kamar ibu rumah tangga yang ramai dikunjungi, mustahil bagi seseorang bersembunyi disana setelah senja kecuali orang yang biasa terlihat di area utama. 　　Dengan demikian, lingkup investigasi sebenarnya bisa diperkecil lagi, orang-orang di area utama lebih mencurigakan. 　　"Mengapa Paduka tidak meminta mandor Keluarga Bo untuk mengeluarkan daftar nama bagian belakang rumah dan memverifikasi, memeriksa siapa yang tidak ada di kediaman saat ini, lalu mengumpulkan semua yang tersisa di halaman untuk menunggu interogasi kapan saja?" 　　Zhen Shicheng tersenyum tipis: "Memang itu yang saya rencanakan." 　　Penghuni bagian belakang Kediaman Yongchang Bo cukup banyak. Proses menghitung dan memverifikasi memakan waktu lama, tugas ini diserahkan kepada beberapa mandor keluarga Bo. Zhen Shicheng melihat salinan daftar nama dari atas ke bawah. 　　"Buku daftar ini mencatat jelas nama-nama penghuni bagian dalam rumah, tugas masing-masing, jumlah gaji bulanan, bahkan keahlian khusus seperti dayang bernama Hongxiu yang disebut pandai menata rambut." 　　"Dari daftar ini saja sudah terlihat betapa mumpuninya nyonya rumah dalam mengelola rumah tangga." 　　Zhen Shicheng membaca daftar nama itu dua kali, pandangannya tertuju pada dua nama di bagian paling atas. 　　Itu adalah dua selir Yongchang Bo. 　　Keluarga Kediaman Yongchang Bo tergolong sederhana, selain pasangan Yongchang Bo dan satu putra satu putri, yang bisa dianggap setengah tuanku hanyalah kedua selir ini. 　　Melirik Xie Yinlou dan saudarinya, Zhen Shicheng menunjuk pintu: "Sang Bangsawan, mari kita masuk sebentar untuk berdiskusi." 　　Yongchang Bo diam-diam mengikuti Zhen Shicheng masuk, memandang perabotan yang familiar membuat dadanya sesak, menghela napas: "Paduka Zhen silakan bertanya." 　　"Apakah kedua selir Sang Bangsawan memiliki keturunan?" 　　Karena daftar nama itu tidak mencantumkan para tuanku, Zhen Shicheng memutuskan untuk menanyakan langsung. 　　Yongchang Bo tersenyum pahit: "Tidak ada." 　　Zhen Shicheng melanjutkan: "Bisakah Paduka menjelaskan alasannya?" 　　"Alasan?" Yongchang Bo terkejut dengan pertanyaan itu. 　　"Kedua selir ini telah mendampingi Paduka bertahun-tahun. Tidak adanya keturunan tampak aneh." 　　"Saya mengerti maksud Paduka Zhen." Alis Yongchang Bo berkerut, wajahnya memancarkan kejengkelan dan rasa malu. 　　Kejengkelan ini bukan ditujukan pada Zhen Shicheng, melainkan kemarahan terhadap kecurigaannya sendiri pada kedua selir itu. 　　“Keduanya, satu diangkat sebagai selir saat melahirkan putra sulung, satu lagi saat melahirkan putri. Saya tidak ingin melahirkan anak selir yang akan membuat keluarga Bo menjadi kacau, jadi selalu menyuruh mereka meminum ramuan pencegah kehamilan.” 　　Zhen Shicheng berpikir sejenak lalu bertanya: “Lalu apakah kedua selir itu tidak pernah mengalami kehamilan tak terduga sama sekali?” 　　Yongchang Bo terdiam sejenak, berkata: “Chaoyun pernah hamil tiga tahun lalu, saya tidak setuju untuk mempertahankannya.” 　　Saat itu dia juga pernah ragu, toh sepasang anak sah sudah dewasa, satu adik tiri tidak akan berpengaruh banyak. Namun— 　　Zhen Shicheng yang tajam segera menangkap keanehan dari raut wajah Yongchang Bo, mengejar: “Bukankah itu darah daging Sang Bangsawan? Mengapa tidak dipertahankan?” 　　Yongchang Bo tampak ragu. 　　Zhen Shicheng menasihati: “Sang Bangsawan harus mengungkapkan semua informasi. Pembunuh masih berkeliaran, menyembunyikan informasi sama saja membantu pelaku.” 　　“Saat itu istri saya sakit.” 　　Begitu Yongchang Bo bicara, Zhen Shicheng langsung menunjukkan ekspresi paham. 　　Pasangan Yongchang Bo sangat harmonis. Setelah selir hamil lalu sang Nyonya jatuh sakit, tentu tidak akan mengizinkan kelahiran anak tersebut. 　　“Istri saya benar-benar sakit, bukan karena marah Chaoyun hamil lalu pura-pura sakit!” Yongchang Buru-buru menjelaskan. 　　Dia enggan mengungkapkan hal ini karena tidak ingin orang salah paham sang istri sebagai wanita yang tidak toleran. 　　Zhen Shicheng melihat Yongchang Bo menghela napas: “Sang Bangsawan memahami Nyonya Yongchang, tahu bahwa saat itu istri Anda memang sedang sakit. Lalu bagaimana dengan selir?” 　　Yongchang Bo tertegun, wajahnya berubah muram: “Tuan Zhen, maksud Anda Chaoyun mungkin menyimpan dendam pada istri saya karena keguguran, mengira istri saya pura-pura sakit sehingga membuatnya kehilangan anak?” 　　“Putra dan putri Tuan sudah dewasa. Mengingat Sang Bangsawan menerima dua selir berturut-turut saat kelahiran mereka, kemungkinan tiga tahun lalu usia kedua selir itu tidak terlalu muda lagi?” 　　“Hmm, saat itu mereka berdua sudah sekitar tiga puluh tahun.” 　　Zhen Shicheng tersenyum: “Jangan remehkan penderitaan perempuan yang bertahun-tahun tak punya anak, tiba-tiba hamil lalu digugurkan paksa. Kesakitan seperti itu cukup melahirkan kebencian yang luar biasa.” 　　“Apakah Chaoyun yang membunuh istriku?” Wajah Yongchang Bo membatu. 　　Saat memerintahkan aborsi Chaoyun dulu, meskipun merasa sedikit bersalah, dalam hatinya sangat mengerti: Bukankah ramuan pencegah kehamilan sudah rutin diminum? Pasti ada kecurangan tersembunyi. 　　Chaoyun sudah menemani bertahun-tahun. Apapun trik yang dilakukannya hingga hamil, karena janin sudah hilang, ia tak mau mempermasalahkan lagi. Malah memberinya banyak hadiah karena kasihan. 　　Jangan-jangan dia mengira istriku sengaja tak mengizinkan kelahiran anak itu, lalu menyimpan dendam sampai akhirnya mendapat kesempatan membunuh istriku? 　　Semakin dipikirkan, wajah Yongchang Bo semakin suram. 　　“Sang Bangsawan tak perlu terlalu emosional. Ini hanya membuktikan Chaoyun memiliki motif membunuh Nyonya, tapi belum membuktikan dirinya sebagai pelaku. Semuanya harus berdasarkan bukti. Tugas hamba adalah menemukan satu per satu tersangka, lalu mengeliminasi atau mencari bukti apakah mereka pelakunya.” 　　Yongchang Bo masih tak bisa tenang, meninju meja dengan keras. 　　“Setelah kehilangan para gadis, apakah Sang Bangsawan tidak melihat keanehan dalam sikap Chaoyun?” 　　Yongchang Bo menggeleng: "Membunuh darah daging sendiri sangat menyakitkan. Sejak saat itu aku hampir tidak pernah menginjakkan kaki di pekarangan kedua selir, jadi sulit mengetahui perubahan pada dirinya." 　　Zhen Shicheng berdiri: "Baiklah, mari panggil kedua selir untuk diinterogasi. Sang Bangsawan harap tetap tenang." 　　Yongchang Bo mengangguk dengan enggan. 　　Setelah mereka keluar, Yongchang Bo segera menyuruh orang memanggil kedua selir. 　　Tak lama kemudian dua wanita paruh baya berjalan berurutan. Wanita di depan bertubuh agak berisi, meski tampak gelisah, sudut matanya yang melengkung memberinya aura lembut. 　　Wanita di belakang sangat kurus, kelopak mata sedikit terkulai, kulitnya pucat tidak sehat, dan rambutnya sudah beruban. 　　Zhen Shicheng teringat dua helai rambut yang ditemukan di lemari. 　　"Yang depan adalah Chunmei, yang belakang Chaoyun." Yongchang Berbicara dengan suara seratenang mungkin. 　　Saat ini dia memandang dingin dua selir yang mendekat, merasa agak asing. Setelah merenung, memang sudah terlalu lama tidak mengunjungi mereka. 　　Orang-orang di halaman melihat dua selir tua Sang Bangsawan dipanggil, meski tak berani bersuara, mereka saling berkomunikasi dengan tatapan. 　　Ya Tuhan, apakah pelaku pembunuhan Nyonya adalah selir Sang Bangsawan? 　　Perhatian Jiang Si awalnya tertuju pada kerumunan yang mulai berkumpul di halaman. Melihat Zhen Shicheng memanggil dua selir, dia diam-diam mendekat. 　　Dia teringat satu titik krusial yang hampir bisa menentukan pelaku. Biarlah dia mengamati apakah kedua selir ini bersih dari tuduhan. 　　Selamat pagi. 165. BAB 165 Kecurigaan 　　BAB 165 Kecurigaan 　　Memandang dua selir yang sudah lama diabaikan, Yongchang Bo menahan berbagai perasaan: "Ini adalah Prefect Shuntian Tuan Zhen. Jawablah dengan jujur semua pertanyaan Paduka, mengerti?" 　　Selir Chunmei yang beraura lembut melirik rakus ke Yongchang Bo sebelum membungkuk memberi hormat pada Zhen Shicheng dan Sang Bangsawan, menjawab "mengerti" dengan patuh. 　　Zhaoyun tidak memandang siapa pun, ikut membungkuk bersama Chunmei dengan wajah kosong, sama sekali tidak bersuara. 　　"Di mana kalian tinggal?" tanya Zhen Shicheng. 　　"Hamba tinggal di sayap timur," jawab Chunmei seolah tahu Zhaoyun tak akan bicara. "Zhaoyun di sayap barat." 　　"Kapan kalian tidur tadi malam?" 　　“Hamba baru tidur sekitar pukul sembilan malam.” Suara Chunmei terdengar sinis, “Toh tidak ada kegiatan.” 　　Hari demi hari, malam yang panjang tanpa temanan anak maupun suami, apa lagi yang bisa dilakukan selain tidur? 　　Pikiran ini melintas di benak Chunmei sambil matanya menyiratkan pandangan sekilas ke arah Yongchang Bo. 　　Dulu ketika Nyonya mengandung, mendengar rencana memilihkan selir untuk Sang Bangsawan, hatinya nyaris melonjak bahagia. Meski Sang Bangsawan dan Nyonya telah berpesan bahwa selir dilarang memiliki keturunan, ia tetap membatalkan perjodohan yang sedang dirundingkan orangtuanya demi menjadi wanita Sang Bangsawan. 　　Di masa muda, ia pantang menyerah. Dengan mengandalkan kecantikan dan sifat pengertiannya, ia yakin bisa meluluhkan hati Sang Bangsawan. Kelak jika memiliki anak, anaknya pun akan menjadi tuan. 　　Namun seiring waktu, ia sadar Sang Bangsawan hanya membutuhkan selir sebagai penghangat tempat tidur saat Nyonya berhalangan. Di mata Sang Bangsawan, mereka tak beda dengan kucing atau anjing peliharaan. 　　Tahun berganti tahun, semangat itu pun luntur. Kekecewaan mungkin ada, tapi penyesalan tidak. 　　Ternyata saudari-saudarinya yang menikah dengan pelayan pria pun hidup tak lebih bahagia. Banyak yang setiap hari dipukuli suami atau gelisah memikirkan nafkah. Setidaknya ia hidup tenang di rumah megah dengan sandang pangan terjamin, sementara orangtua dan saudara laki-lakinya pun ikut menikmati kemewahan... 　　“Di mana dayang yang merawatmu?” 　　Segera dua dayang maju memberi salam hormat kepada Zhen Shicheng. 　　“Kemarin malam kalian yang melayani Ibu Angkat sampai tidur?” 　　Seorang dayang berbaju hijau menjawab: “Kemarin malam hamba yang berjaga malam, tidur di dekat kaki Ibu Angkat.” 　　Yongchang Bo memang belum mengangkat dua selirnya menjadi ibu angkat resmi, namun karena anak-anaknya sudah dewasa, para pelayan menyebut dua selir Bangsawan itu dengan sebutan hormat "Ibu Angkat" tanpa keberatan. 　　“Adakah kejadian mencurigakan di tengah malam?” 　　Dayang berbaju hijau itu langsung menjawab: “Tidak ada. Hamba tidurnya tidak nyenyak, dan tidur persis di sebelah kaki Ibu Angkat. Jika ada sesuatu pasti hamba tahu. Ibu Angkat baru terbangun pagi hari, hamba bersama Tao Hong yang menyiapkan air cuci muka.” 　　Dayang lainnya segera mengangguk membenarkan. 　　Zhen Shicheng membuka buku daftar nama dan mengetahui dua dayang yang melayani Ibu Angkat Mei bernama Tao Hong dan Liu Lü, keduanya ditugaskan ke paviliun timur untuk melayani Ibu Angkat Mei tiga tahun lalu. 　　Tiga tahun yang lalu—— 　　Zhen Shicheng tak sengaja menatap Yongchang Bo. 　　Waktu ini persis bertepatan dengan masa kehamilan Zhaoyun yang kemudian keguguran, berdasarkan pengalaman bisa dipastikan ini bukan kebetulan. 　　Yongchang Bo melirik Zhaoyun, berbisik pelan: “Saat itu merasa suasana rumah tangga tidak stabil, maka mengganti semua dayang-dayang dan nenek tua yang melayani mereka.” 　　Kehamilan Zhaoyun yang tak jelas asalnya membuat Yongchang Bo curiga dia menyuap dayang-dayang untuk mengganti ramuan pencegah kehamilan. Untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari, semua pelayan yang bertugas diganti. 　　“Dia tidak ingin lagi merasakan kesedihan karena memerintahkan hukuman terhadap anggota keluarganya sendiri.” 　　“Dua dayang ini dipilih oleh istri saya, semuanya budak dalam rumah. Perkataan mereka seharusnya dapat dipercaya.” 　　Zhen Shicheng mengangguk setelah mendengar penjelasan itu. 　　Karena dua dayang ini adalah budak rumah tangga yang dipilih oleh Nyonya Yongchang Bo, keluarga mereka pasti sangat diandalkan oleh Nyonya. Maka kemungkinan mereka membantu Nyonya Mei membunuh nyonya utama atau menyembunyikan kejahatan sangat kecil. 　　Zhen Shicheng menatap Chaoyun dan mengulang pertanyaan yang sama: “Kapan kamu tidur tadi malam?” 　　Chaoyun terdiam lama sebelum akhirnya menjawab: “Waktu Hai (pukul 21.00-23.00).” 　　Dua dayang pelayan pribadi Chaoyun yang hadir di tempat saling pandang ketika ditanya Zhen Shicheng tentang urusan menemani sang selir tidur. 　　Yongchang Bo mendengus dingin. 　　Kedua dayang menundukkan kepala serentak: “Tadi malam Nyonya Selir tidur sendiri.” 　　Begitu jawaban ini keluar, pandangan semua orang yang hadir langsung berubah halus terhadap Chaoyun. Banyak yang teringat peristiwa keguguran Chaoyun tiga tahun lalu. 　　Dua selir kamar yang bertahun-tahun tidak menunjukkan tanda kehamilan, ketika kabar kehamilan Chaoyun tersebar, seluruh istana ramai membicarakan bahwa akhirnya Chaoyun akan naik status menjadi selir resmi. Namun kebetulan Nyonya sedang sakit, Sang Bangsawan yang tak ingin mengganggu istrinya langsung memerintahkan pengguguran kandungan Chaoyun. 　　Ck... Sejak itu suara tangis Chaoyun kerap terdengar dari sayap barat. Pasti dendamnya menumpuk hingga akhirnya membunuh Nyonya. 　　"Xie Qingyao tiga tahun lalu sudah sangat dewasa, saat ini teringat semua ini tidak bisa menahan diri lagi, maju selangkah dan menuntut jawaban: 'Nyonya Yun, apakah ibuku benar-benar dibunuh olehmu?'" 　　Chao Yun memandangi Xie Qingyao tanpa ekspresi, tidak mengucapkan sepatah kata pun. 　　"Bicaralah!" Suara Xie Qingyao meninggi, "Ibuku tidak pernah memperlakukan kalian buruk, sekarang dia meninggal dengan cara yang begitu mengenaskan, apakah kamu tidak mau mengatakan sepatah kata pun?" 　　"Aku tidak." Entah karena perkataan Xie Qingyao menyentuh Chao Yun, atau dia sadar tidak mungkin menghindar di hadapan banyak orang, akhirnya membuka mulut. 　　Tiga kata pendek itu terdengar lemah di telinga orang-orang. 　　"Apakah Nyonya Muda selalu tidur sendirian?" Zhen Shicheng tidak terpengaruh sama sekali, bertanya lagi. 　　Seorang dayang menjawab: "Nyonya Muda selama dua tahun ini selalu sulit tidur, tidak suka kami menemaninya." 　　Zhen Shicheng mengusap janggutnya: "Kalau begitu, semalam kalian tidak tahu apakah Nyonya Muda terus tidur di kamarnya?" 　　Dua dayang saling memandang, dayang yang menjawab tadi menggelengkan kepala: "Hamba tidak tahu, tapi juga tidak mendengar suara apa pun." 　　Dia selalu tidur nyenyak, petir saja tidak terdengar, apalagi suara lain. 　　Dayang lainnya tampak ragu-ragu. 　　"Ada apa, kamu mendengar suara aneh?" Zhen Shicheng segera bertanya. 　　"Hamba--" Dayang itu melirik cepat ke arah Chao Yun. 　　Yongchang Bo segera membentak: "Katakan saja, lihat dia untuk apa? Apa Nyonya Yun yang memberimu uang saku?" 　　Dayang tidak bisa menahan diri untuk berlutut, menundukkan kepala sangat rendah: "Yiniang... Yiniang semestinya membakar kertas malam tadi..." 　　"Membakar kertas apa?" Yongchang Bo mendengar dengan wajah penuh kemarahan. 　　Dayang semakin menundukkan kepala: "Kertas untuk Tuan Gong kecil yang belum lahir..." 　　Ternyata sejak Chaoyun kehilangan anaknya, setiap tahun pada tanggal kegugurannya dia selalu membakar kertas untuk janin yang tak sempat lahir. Dayang ini pernah melihatnya di tahun pertama, meski malam kemarin tidak mendengar suara apa-apa, tapi pagi ini menemukan sisa abu di sudut halaman. 　　"Waktu kamu melihat Yiniang membakar kertas di tahun pertama pindah ke sayap barat, jam berapa itu?" 　　Dayang mengingat sejenak: "Sekitar Mao Chu." 　　Seorang nenek berteriak kaget: "Aduh, hamba ingat! Janin Nyonya Yun itu memang gugur pada waktu Mao Shi di tanggal yang sama tahun itu!" 　　Terima kasih untuk vote dan Hadiah, sampai jumpa besok. 166.BAB 166 Dayang yang Menyenangkan 　　BAB 166 Dayang yang Menyenangkan 　　Waktu Mao Shi memang periode menjelang fajar, jika Chaoyun tidak membakar kertas tapi menyusup ke halaman utama untuk membunuh, itu sangat mungkin. 　　"Bawa hamba ke sayap barat." Zhen Shicheng menatap Chaoyun dalam-dalam, menghentikan sementara interogasi. 　　Kerumunan orang berduyun menuju sayap barat. 　　Atas permintaan Zhen Shicheng, dayang itu mengantar semua orang ke sudut halaman dan menunjuk tanah: "Di sini." 　　Jiang Si tanpa terlihat menyelinap ke depan, memandang tajam ke tanah yang masih menyisakan jejak abu hitam samar. Jika dibiarkan satu dua hari lagi, pasti jejak ini akan hilang sama sekali. 　　Zhen Shicheng menatap tanah dengan ekspresi berpikir mendalam. 　　Permukaan tanah di sini terasa agak aneh—— 　　Sambil berpikir demikian, ia berjalan ke sana dan mengangkat kakinya untuk menyentuh tanah. 　　Perasaan sedikit lembut terasa. 　　Ekspresi Zhen Shicheng berubah, segera memerintahkan anak buahnya: "Gali di sini!" 　　Seorang petugas segera maju dan mulai menggali. 　　Selain lapisan tanah atas yang longgar, tanah di bawahnya sangat gembur. Petugas itu segera menemukan sebuah bungkusan. 　　"Benar-benar ada sesuatu!" Terdengar teriakan takjub dari kerumunan. 　　Pada detik ini, semua mata tertuju pada bungkusan yang digali, tapi Jiang Si dan Zhen Shicheng secara spontan menoleh ke Chao Yun. 　　Reaksi spontan seseorang selalu yang paling jujur. 　　Sayangnya mereka kecewa. Mungkin Chao Yun sudah terlalu lama hidup dengan hati yang mati rasa, wajahnya tetap datar tanpa ketegangan maupun kejutan. 　　Zhen Shicheng menghela napas. Tatapannya bertemu dengan gadis berbaju hijau dan rok putih itu, hampir tak kuasa menahan diri untuk memberi acungan jempol. 　　Kemampuannya untuk langsung mengamati reaksi tersangka alih-alih bukti fisik saat menemukan petunjuk penting adalah hasil pengalaman bertahun-tahun. Sementara gadis muda ini bahkan lebih muda dari putranya, pasti murni mengandalkan bakat dan kecerdasan. 　　Benar-benat bibit yang menjanjikan. 　　“Hati Zhen Shicheng yang menghargai bakat kembali gatal-gatal.” 　　Tuan Zhen punya kebiasaan, saat hatinya gatal suka mengusap janggut. Setelah mengusap beberapa kali hingga dua helai kumis patah, barulah ia sadar. Dengan wajah tegas menutupi rasa sakit, ia berkata: "Buka dan periksa." 　　"Baik." Petugas segera membuka bungkusan itu. 　　Para petugas ini sangat berpengalaman. Saat membuka bungkusan, mereka sangat berhati-hati. Segera isi bungkusan itu terpampang di depan semua orang. 　　Itu adalah setelan pakaian berlumuran darah. 　　Kerumunan orang langsung gemuruh dengan desahan nafas tercekat. 　　Zhen Shicheng melangkah maju, berjongkok memeriksa pakaian berdarah itu. 　　Bahan dan model pakaian ini sangat biasa, warnanya cocok untuk wanita setengah baya. 　　Istri Yongchang Bo tewas ditusuk penyangga lilin, darah menggenangi tempat tidur. Sangat sulit bagi pelaku menjaga pakaiannya tetap bersih. Pakaian berdarah ini hampir pasti dipakai pelaku saat membunuh. 　　Zhen Shicheng berdiri, menatap tajam Chaoyun: "Apakah kamu yang mengubur pakaian berdarah ini?" 　　Chaoyun diam membisu. 　　Zhen Shicheng sangat sabar, tapi Yongchang Bo tak tahan: "Masih tanya apa? Pasti budak hina ini yang membunuh istriku!" 　　Chaoyun menoleh tajam ke Yongchang Bo, bibir pucatnya bergetar hebat. 　　"Paduka harap tenang," Zhen Shicheng menenangkan. 　　Yongchang Bo menunjuk baju berlumuran darah dengan wajah yang sangat pucat: "Bukti sudah jelas, masih perlu bicara apa lagi? Pembunuh harus membayar dengan nyawa, apalagi budak hina ini berani membunuh Nyonya... Paduka, serahkan perempuan hina ini pada hukumanmu!" 　　Zhen Shicheng memandang Chaoyun yang diam membisu, merasa ada sesuatu yang tidak beres. 　　Apakah Chaoyun benar-benar pembunuh Istri Yongchang Bo? 　　Meski Chaoyun punya motif kuat dan ada baju berdarah yang dikubur di halaman sebagai bukti, membunuh orang hidup-hidup dengan kandil lilin bukanlah hal sederhana. 　　Wanita kurus di depan mata ini terlihat lemah seperti tertiup angin akan jatuh, mampukah dia menusuk seseorang dengan kandil lilin? 　　Melihat Zhen Shicheng tak bereaksi, Yongchang Bo tiba-tiba mencabut pedang di pinggang Xie Yinlou. 　　Xie Yinlou secara refleks menahan gagang pedang. 　　Yongchang Bo gagal mencabut dan berteriak: "Lepaskan!" 　　Xie Yinlou tidak banyak bereaksi terhadap perkataan ayahnya, malah memandang Zhen Shicheng. 　　Yongchang Bo marah sekali: "Dasar anak sialan! Lepaskan! Apa kau tidak ingin membalas dendam untuk ibumu?" 　　Xie Yinlou tetap menahan gagang pedang dengan tenang: "Anak tentu ingin membalas dendam untuk ibu, asalkan pelakunya sudah pasti." 　　Kekuatan ayah yang kalah dari anak membuat Yongchang Bo semakin geram, ia menoleh ke Zhen Shicheng: "Tuan Zhen, apa ini masih belum cukup membuktikan dia pelakunya?" 　　Zhen Shicheng mengelus janggutnya sambil berhati-hati: "Masih banyak kejanggalan dalam kasus ini. Nyawa manusia adalah urusan besar, tentu tak bisa disimpulkan sembarangan." 　　“Dia tahu lebih dari 80% pejabat bidang pidana di Dinasti Zhou bisa menutup kasus hanya dengan dugaan, asal alur logikanya masuk akal. Meski tanpa bukti kuat, tersangka tetap bisa ditetapkan sebagai pelaku.” 　　“Tapi dia tidak akan melakukan itu.” 　　“Untuk setiap kasus yang ditanganinya, dia lebih memilih kasusnya menjadi ngeri tak terpecahkan karena keterbatasan kemampuan, daripada menutup kasus hanya mengandalkan inferensi.” 　　“Jaring langit luas tak berlubang. Kasus ngeri tetap ada kemungkinan terpecahkan, tapi nyawa yang terenggut sia-sia takkan bisa hidup kembali.” 　　“Di balik setiap kematian, ada air mata tak terhitung dari sanak keluarga.” 　　“Masih ada kejanggalan apa lagi?” Kematian tragis istri membuat Yongchang Bo sulit tenang, selir yang dicurigai sebagai pelaku utama semakin mengaburkan pikirannya. 　　“Kapan terakhir kali kalian melihat Chaoyun?” Zhen Shicheng tidak menjawab pertanyaan Yongchang Bo, melanjutkan interogasi kepada dua dayang. 　　Seorang dayang menjawab, “Sebelum tidur, hamba menyediakan air hangat untuk nyonya muda, sekitar pukul sembilan malam.” 　　Waktu ini sesuai dengan pernyataan Chaoyun tentang jam tidurnya. 　　Barulah Zhen Shicheng menjelaskan pada Yongchang Bo, “Salah satu kejanggalan adalah bagaimana Chaoyun bisa menyusup ke halaman utama setelah pukul sembilan dan bersembunyi di lemari kamar Nyonya Yongchang Bo.” 　　Yongchang Bo terdiam sejenak. 　　Saat itu dia dan istrinya baru saja berbaring, bahkan belum terlelap. Kecuali Chaoyun makhluk gaib, mustahil bisa menyelinap ke lemari tanpa ketahuan. 　　“Tapi bagaimana menjelaskan baju berdarah ini? Waktu dia membakar kertas itu kemungkinan besar setelah istriku dibunuh. Sangat mungkin dia membakar kertas untuk mengubur baju berdarah setelah membunuh istriku.” 　　“Tapi tetap tidak bisa menjelaskan bagaimana dia bersembunyi di lemari.” Suara Zhen Shicheng tenang mengingatkan. 　　Poin paling krusial yang tak terjawab ini membuatnya tak akan sembarangan menjatuhkan tuduhan pelaku ke seseorang, sekalipun banyak bukti lain yang cocok. 　　Yongchang Bo berpikir sejenak, tiba-tiba wajahnya berubah: “Adanya orang yang bersembunyi di lemari hanya dugaan Tuan Zhen, bukan? Mungkin bekas jari di lemari itu kebetulan left oleh dayang, bukan oleh pelaku.” 　　Jiang Si batuk kecil, menyela: “Paman, dugaan ada orang di lemari berasal dari keponakan. Tuan Zhen hanya menyetujui dugaan ini. Apakah Paman lupa, justru karena ditemukan bekas jari dengan sudut aneh di lemari, kecurigaan pada Paman bisa terhapus——” 　　Yongchang Bo terdiam tak berkutik. 　　Xie Qingyao mengelus pelipisnya diam-diam. 　　Untuk membuktikan selir sebagai pelaku malah membalik kesimpulan sebelumnya, sukses menjebak diri sendiri kembali sebagai tersangka, sungguh hebat Ayahanda... 　　Kebisuan Yongchang Bo membuat Zhen Shicheng tak bisa menahan senyum pada Jiang Si. 　　Memang gadis ini yang paling mengerti suasana hati. 　　Di saat yang sama, gadis "pengerti hati" itu membalas senyum pada Zhen Shicheng: “Paduka Zhen, menurut hamba Chaoyun bukan pelakunya.” 167.BAB 167 JIANG YU LIANG CAI 　　BAB 167 JIANG YU LIANG CAI 　　Perkataan Jiang Si ini bagai melemparkan petir ke tengah kerumunan orang. 　　Pandangan orang-orang yang menatapnya langsung berubah. 　　Terutama setelah semakin banyak orang datang ke halaman untuk menunggu pemeriksaan, Jiang Si yang berdiam di sudut dengan rendah hati tiba-tiba menjadi pusat perhatian saat membuka mulut. 　　Bukankah ini Nona Keempat dari Kediaman Dongping Bo sebelah? Gadis ini biasanya bersikap angkuh dan dingin, kenapa hari ini bisa bicara sembarangan tentang hal sebesar ini? 　　Banyak orang berpikir demikian dalam hati. 　　Zhen Shicheng langsung bersemangat mendengar perkataan Jiang Si dan bertanya, "Bisakah Nona Jiang menjelaskan alasannya?" 　　Ia juga tidak menganggap Chaoyun sebagai pelaku, tapi kesimpulan ini berdasarkan bukti kecil yang ditemukan. Atas dasar apa gadis ini berpendapat demikian? 　　Ketergesa-gesaan Zhen Shicheng membuat orang-orang semakin terkejut. 　　Tuan Zhen sangat serius menanggapi perkataan Nona Keempat Jiang. Sungguh aneh. 　　Xie Yinlou menatap Jiang Si dengan intens. 　　Sudah bertahun-tahun ia tidak mengamatinya dengan saksama seperti ini. 　　Mereka bisa dibilang tumbuh bersama sejak kecil. Dirinya telah banyak berubah, sementara sang gadis juga sama sekali berbeda dari kesan sebelumnya. 　　Entah mengapa, hati Xie Yinlou dipenuhi rasa sedih dan haru. 　　Xie Qingyao tak sabar mendesak, "A Si, kenapa kamu bicara begitu? Baju berdarah sudah ditemukan terkubur di halaman Yiniang Yun. Bukankah ini membuktikan dialah pelakunya?" 　　Meski dia juga tidak mengerti bagaimana Zhaoyun bisa menyusup ke kamar utama dan bersembunyi di lemari pakaian ibu, baju berlumuran darah itu adalah bukti paling nyata. Selain Zhaoyun, dia tidak bisa memikirkan siapa lagi yang akan membahayakan ibu. 　　"Meski baju berdarah dikubur di halaman rumah Nyonya Yun, belum tentu Nyonya Yun yang menguburnya." Jiang Si berkata santai. 　　Dayang yang menyebutkan soal Zhaoyun membakar uang kertas itu gemetar ketakutan dan langsung bersujud: "Hamba bukan yang mengubur baju berdarah itu!" 　　Jiang Si terkejut. 　　Sebenarnya dia hanya asal berkomentar saja. Alasan sebenarnya dia yakin Zhaoyun bukan pelakunya tentu bukan ini. 　　Xie Qingyao curiga dengan reaksi dayang itu, matanya membelalak: "Jangan-jangan kau ini merasa bersalah?" 　　Saat ini, gadis yang ingin sekali menemukan pembunuh ibunya itu sudah sangat curiga pada setiap hal kecil. 　　"Hamba tidak, hamba benar-benar tidak—" Dayang itu terus-menerus membenturkan kepala ke lantai. 　　Xie Qingyao refleks menatap reaksi Jiang Si. 　　Tanpa disadari, sahabatnya telah menjadi orang yang paling dia percayai, setidaknya lebih bisa diandalkan daripada ayah. 　　"Nona Jiang, tolong jelaskan alasannya." Zhen Shicheng tidak tega melihat dayang kecil itu semakin membuat keributan, akhirnya berbicara. 　　"Tuan Zhen, saya ingin berbicara empat mata dengan Paduka." 　　Zhen Shicheng tertegun sejenak, lalu tersenyum: "Baik, silakan Nona Jiang ke sisi ini." 　　Dengan perasaan tak sabar melihat mereka berdua menuju tempat sepi, Xie Qingyao menoleh ke kakak laki-lakinya. 　　Xie Yinlou mengangguk untuk menenangkan adik perempuannya, matanya terus menatap ke arah kepergian Jiang Si tanpa berkedip. 　　Di sudut ruangan, Zhen Shicheng berdiri tegak dan tersenyum ramah pada Jiang Si: "Nona Jiang, sekarang bisakah Anda menjelaskan?" 　　Jiang Si tersenyum: "Sebenarnya alasan saya sederhana. Alasan saya menyimpulkan Nyonya Yun bukan pelakunya terletak pada rambutnya." 　　Mata Zhen Shicheng berbinar, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya: "Saya ingin mendengar penjelasan detailnya!" 　　Dia yakin Chaoyun bukan pelakunya karena dua helai rambut yang ditemukan di lemari pakaian. 　　Jangan-jangan Nona Jiang memiliki pemikiran yang sama dengannya? 　　Tidak, rambut itu ditemukannya di dalam pakaian-- 　　Memikirkan ini, Zhen Shicheng kembali ragu-ragu. 　　Sebenarnya, yang pertama menemukan keanehan di lemari pakaian adalah gadis muda di hadapannya ini. Mungkin dia sudah menemukan dua helai rambut itu sebelumnya, sengaja berpura-pura tidak melihat agar dia yang menemukannya. 　　Zhen Shicheng belum pernah sebegitu inginnya mendengar pendapat orang lain tentang kasus ini seperti sekarang. 　　Perasaan seperti menemukan lawan seimbang dan bakat yang setara sungguh luar biasa, patut dirayakan dengan segelas anggur besar! 　　Zhen Shicheng tanpa sadar mengusap janggutnya, dalam hati bergumam: Aku sampai ingin merekrut seorang gadis muda ke rumahku, ai, orang-orang sebelumnya terlalu bodoh, tidak ada pilihan lain. 　　"Paduka Zhen masih ingat dugaan saya sebelumnya, pelaku seharusnya menyalakan dupa di dalam lemari pakaian." 　　Seiring dengan anggukan Zhen Shicheng, jawaban Jiang Si justru di luar perkiraannya: "Mengingat aroma wangi yang bertahan lama bisa tertinggal di lemari pakaian, maka pembunuh yang bersembunyi di dalamnya pasti akan terkena aroma yang sama. Meski pembunuh bisa melepas baju berdarah dan mengganti pakaian bersih setelah membunuh, tapi rambutnya tidak sempat dicuci——" 　　Sebelum Jiang Si selesai berbicara, Zhen Shicheng sudah menepuk tangan berdecak kagum: "Tepat! Kasus terjadi di pagi hari. Dari deskripsi situasi oleh Yongchang Bo dan kesimpulan otopsi, waktu paling mungkin pembunuhan adalah tengah malam, bahkan mungkin pembunuh pergi tak lama sebelum kasus terungkap. Dalam waktu sesingkat itu, dia bisa mengganti baju berdarah atau bahkan menguburnya, tapi mencuci rambut tidak hanya tidak sempat, tapi juga tidak berani." 　　Jiang Si mengangguk: "Benar. Mencuci rambut tengah malam atau subuh-subuh sama saja dengan mengaku bersalah." 　　Sorot mata Zhen Shicheng yang memandang Jiang Si dipenuhi kekaguman: "Nona Jiang bisa menyimpulkan bahwa aroma wangi masih melekat di rambut pembunuh, sungguh luar biasa." 　　Lucunya, alasan dia dan gadis muda ini menyimpulkan bahwa Chaoyun bukan pelaku sama-sama berasal dari rambut, namun dengan alasan yang sama sekali berbeda. Justru inilah yang membuatnya semakin bersemangat. 　　Apa lagi yang lebih memuaskan daripada menguliti kebenaran lapis demi lapis untuk menemukan si pembunuh berlumuran darah yang bersembunyi di balik kabut tebal? 　　Zhen Shicheng berpikir dalam hati: Setelah kasus ini selesai, dia harus mengajak gadis ini minum secangkir teh. 　　"Tadi saat tidak ada yang memperhatikan, saya diam-diam mendekati Bibi Yun. Rambutnya——" Ekspresi Jiang Si terlihat aneh, berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Sepertinya sudah beberapa hari tidak keramas, ada bau apek keringat, tapi tidak ada aroma wangi itu sama sekali." 　　Ekspresi Zhen Shicheng berkerut sejenak. 　　Si gadis ini, apa masalahnya rambut berbau apek? Saat sibuk, janggutku juga bisa bau apek! 　　"Paduka Zhen?" Melihat ekspresi aneh Zhen Shicheng, Jiang Si menaikkan alisnya. 　　Zhen Shicheng buru-buru mengelus janggutnya untuk menenangkan diri: "Nona Jiang benar." 　　Jiang Si: "......" 　　"Apakah Nona Jiang menemukan hal lain?" 　　Jiang Si menggelengkan kepala: "Penghuni bagian dalam baru datang sebentar, saya baru memeriksa tiga lima orang, belum menemukan siapa pun yang membawa aroma wangi ini." 　　"Kalau begitu, hamba akan melanjutkan interogasi terhadap Chaoyun untuk mengalihkan perhatian. Mencari orang dengan aroma khusus di rambutnya akan hamba serahkan pada Nona Jiang." Zhen Shicheng memberi hormat dengan tangan tergabung. 　　Dia bukan kakek kolot yang bodoh. Bisa ambil jalan pintas, kenapa tidak? 　　Kematian tidak wajar perempuan dari keluarga terpandang berbeda dengan kasus 'Paman Selir Yang'. Semakin lama ditunda, desas-desus luar akan semakin menjadi. Keluarga mungkin tak tahan dan memilih kambing hitam untuk meredakan situasi. 　　Bahkan untuk almarhumah, masyarakat selalu lebih kejam pada wanita daripada pria. Jadi kasus ini harus cepat diselesaikan. 　　Jiang Si membalas hormat: "Pasti akan memenuhi amanah Paduka." 　　Selama pelaku pembunuhan benar-benar ada di antara mereka, Nona Keempat pasti akan menemukannya! 　　Keduanya saling tersenyum, tercipta nuansa persahabatan yang melampaui batas usia. 　　Kerumunan orang yang menyaksikan dari kejauhan terlihat bingung. 　　Prefect Shuntian yang terhormat ternyata memberi hormat dengan merangkapkan tangan ke Nona Keempat Jiang! Kejutan ini sama besarnya dengan kabar kematian mendadak Nyonya Yongchang! 　　Apakah besok suara bulanan akan dihitung ganda? Sayangku, jangan lupa simpan suara berhargamu untuk besok! Terima kasih! 168.BAB 168 Suara Chaoyun 　　BAB 168 Suara Chaoyun 　　Zhen Shicheng dan Jiang Si berjalan kembali berurutan. 　　Kerumunan langsung hening semakin hebat. 　　Ketenangan Chaoyun berbeda dengan yang lain, terasa muram dan suram. 　　Ekspresi Zhen Shicheng tetap netral saat bertanya tenang, "Chaoyun, apakah kamu melihat sesuatu mencurigakan saat membakar kertas persembahan pagi tadi?" 　　Chaoyun menunduk membisu. 　　Yongchang Bo naik pitam, langsung menyepak Chaoyun. 　　"Paduka Yongchang, jangan terburu nafsu!" Zhen Shicheng buru-buru menghadang di depan Yongchang Bo. 　　Yongchang Bo buru-buru menarik kakinya, namun masih mengenai Zhen Shicheng sedikit. 　　Zhen Shicheng mengusap jenggot kesakitan sambil bergetar, "Paduka, memukuli Chaoyun sebelum kebenaran terungkap adalah tindakan gegabah!" 　　Yongchang Bo gemetar marah, "Tuan Zhen! Lihat sikapnya! Jika bukan pembunuh, mengapa diam seribu bahasa? Adakah orang yang tak peduli dituduh membunuh? Kecuali dia memang pelakunya!" 　　“Sang Bangsawan salah.” Zhen Shicheng menggelengkan kepala, menatap Chao Yun dengan pandangan dalam. 　　Wanita berusia tiga puluhan itu sudah memiliki uban di rambut hitamnya, wajahnya layu dan matanya suram, bagai lampu minyak yang hampir padam - terasa aura kematian yang pekat. 　　“Di mana salahnya?” 　　Zhen Shicheng menghela nafas: “Ada banyak situasi dimana seseorang bisa acuh tak acuh menanggung tuduhan pembunuhan, misalnya ingin melindungi pelaku sebenarnya, atau sudah putus asa hingga tak peduli apapun...” 　　Saat mendengar "ingin melindungi pelaku", Chao Yun tetap diam. Tapi ketika frasa "putus asa" disebutkan, matanya berkedip lalu menitikkan air mata. 　　Seperti bendungan yang jebol, Chao Yun tak peduli tatapan orang-orang. Tangisan tertahan itu berubah menjadi ratapan keras yang membuat bulu kuduk merinding. 　　Yongchang Bo hendak berbicara, namun dihentikan oleh gelengan kepala Zhen Shicheng. 　　Semua orang menyaksikan Chao Yun menangis dalam keheningan. 　　Sementara itu, Jiang Si menyelinap di antara kerumunan saat perhatian semua tertuju pada Chao Yun, matanya menyapu kerumunan mencari si pembunuh. 　　Jika bukan Qiu Lu si dayang utama yang bunuh diri di danau, juga bukan Chao Yun si selir yang depresi bertahun-tahun, lalu siapakah pembunuh licik itu sebenarnya? 　　Setelah lama, tangisan Chao Yun mulai mereda. 　　Zhen Shicheng melirik ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si yang bersembunyi di antara kerumunan menggeleng halus ke arahnya. 　　Zhen Shicheng menghela napas dalam hati, berpikir andai Chaoyun menangis lebih lama lagi mungkin akan lebih baik. 　　Chaoyun yang matanya sembap merah sama sekali tak tahu apa yang dipikirkan sang pejabat yang terkesan misterius ini, dengan lesu mengusap air matanya. 　　"Chaoyun, bisakah kau ceritakan apakah ada keanehan saat membakar kertas tadi pagi?" tanya Zhen Shicheng dengan sabar. 　　Saat menginterogasi, tak peduli status lawan bicaranya, dia selalu menunjukkan kesabaran luar biasa. 　　Kali ini, Chaoyun akhirnya menggelengkan kepala, berbisik pelan: "Tidak ada." 　　Hati Zhen Shicheng berdesir senang. 　　Kesediaan Chaoyun bekerja sama tentu akan sangat membantu proses penyelidikan. 　　Pakaian berlumuran darah yang dikubur di lokasi pembakaran kertas Chaoyun menunjukkan bahwa selain Yongchang Bo dan istrinya, Chaoyun mungkin orang yang paling dekat dengan pelaku. 　　"Chaoyun, coba ingat-ingat lagi. Tak harus sesuatu yang kau lihat, suara aneh pun termasuk," pesan Zhen Shicheng. 　　Chaoyun menatap Zhen Shicheng, tiba-tiba tersenyum kecut: "Paduka tidak menganggap hamba rendah ini sebagai pelaku?" 　　Senyum itu mengandung nada sinis. 　　Zhen Shicheng yang cerdik dalam urusan jabatan segera melirik ke arah Yongchang Bo, dalam hati menggerutu bahwa fungsi bangsawan ini hanyalah menambah masalah. 　　Saat seperti ini tentu tak boleh memperkeruh situasi, agar Chaoyun tidak kembali mengunci diri. 　　"Hamba sebagai orang luar hanya melihat bukti dan kejanggalan. Kalian sebagai pihak terkait wajar jika terbawa emosi." 　　Chaoyun tertegun, tanpa sadar menoleh ke arah Yongchang Bo. 　　“Yongchang Bo terdiam, terkesan oleh perkataan Zhen Shicheng.” 　　“Dia selama ini cukup baik terhadap dua selirnya, pakaian dan makanan mereka bahkan lebih baik daripada selir di keluarga lain. Bahkan keluarga orang tua mereka pun diberi pekerjaan yang layak, sebagai imbalan karena telah menemani dirinya.” 　　“Dia hanya tidak memberikan perasaan cinta, dan hal ini sudah dijelaskan sejak awal saat memilih mereka, tidak ada paksaan terhadap siapapun.” 　　“Tapi ketika salah satu dari mereka menjadi pembunuh istrinya, kebaikan itu tidak cukup membuatnya tetap tenang di hadapan wanita itu.” 　　“Jika tidak meminta bantuan petugas Shuntianfu dan menemukan petunjuk bahwa Chaoyun membunuh istrinya, mungkin dia tidak bisa menahan diri untuk membunuh wanita ini.” 　　“Perkataan Zhen Shicheng juga memberi dampak besar pada Chaoyun.” 　　“Dia menarik pandangannya, mengusap tangan kurusnya dan berbisik: 'Hamba membakar kertas sembahyang lalu masuk ke dalam kamar. Baru saja berbaring ketika mendengar suara gemeretak di halaman. Setelah beberapa saat, hamba membuka jendela dan melihat tidak ada apa-apa di halaman.'” 　　“‘Berapa lama selang waktu antara suara itu sampai kamu membuka jendela?’” 　　“‘Kira-kira waktu setengah cangkir teh.’” 　　“Zhen Shicheng tidak bisa menahan kerutnya kening.” 　　“Jika pelaku masuk ke halaman barat untuk menyembunyikan baju berdarah setelah Chaoyun masuk ke kamar, waktu setengah cangkir teh tidak cukup untuk menyembunyikan baju itu lalu pergi.” 　　“‘Masih ingat waktu pasti saat masuk ke kamar?’” 　　“‘Tepat setelah awal Mao.’” 　　“Zhen Shicheng berjalan ke halaman barat sambil menyembunyikan tangan di belakang, berdiri di pintu gerbang bulan sambil memandang ke arah tempat Chaoyun membakar kertas sembahyang.” 　　"Baru lewat pukul Mao (sekitar pukul 5 pagi), saat itu langit belum terang benderang. Mungkinkah Chaoyun tidak melihat dengan jelas?" 　　"Tempat Chaoyun membakar kertas persembahan berada di sudut tembok yang ditanami tanaman hias pendek. Jika pelaku membuat suara lalu cepat-cepat merunduk, Chaoyun yang melihat dari dalam rumah mungkin tidak menyadari ada orang yang tengkurap di situ, sehingga wajar jika tidak melihat apa-apa." 　　Zhen Shicheng tiba-tiba tersadar akan sesuatu, lalu bergegas kembali bertanya pada Chaoyun: "Apakah kamu mendengar suara apa pun saat membakar kertas?" 　　Chaoyun menggelengkan kepala: "Tidak." 　　Saat itu seluruh pikirannya tenggelam dalam kesedihan merindukan anak yang belum lahir, sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekitar. 　　"Lalu, apakah kamu menangis saat itu?" 　　Pertanyaan Zhen Shicheng ini membuat banyak orang memandang sinis. 　　Semua orang tahu Chaoyun berubah drastis setelah kehilangan anaknya. Mengapa Tuan Besar ini masih terus mendesak? Apa pentingnya menangis atau tidak saat membakar kertas? 　　"Menangis." Chaoyun mengatupkan bibirnya, tangan di samping tubuhnya menggenggam lemah. 　　Setiap tahun di hari ini, ia akan merasakan kembali betapa pedihnya hati yang teriris-iris, kesakitan yang tak tertahankan. 　　Bagaimana mungkin tidak menangis? Itu adalah anak yang dinantikannya bertahun-tahun, kebahagiaan dan sandaran hidupnya di sisa usia. 　　"Menangis keras?" tanya Zhen Shicheng lagi. 　　Chaoyun menggigit bibirnya kuat-kuat, lalu mengangguk. 　　Zhen Shicheng menghela napas pelan, akhirnya memahami mengapa pelaku bisa menyusup ke halaman barat untuk mengubur pakaian berlumuran darah. 　　"Pelaku setelah melakukan kejahatan meninggalkan halaman utama, sembilan dari sepuluh kemungkinan mendengar tangisan Chaoyun lalu melihatnya membakar kertas sembahyang. Pada saat itulah pelaku memutuskan untuk menjebak Chaoyun." 　　Jiang Si berjalan diam-diam mendekati Zhen Shicheng, batuk perlahan. Ketika Zhen Shicheng menoleh, ia menggelengkan kepala halus. 　　Alis Zhen Shicheng berkerut. 　　Tidak ditemukan bukti? 　　"Sang Bangsawan, apakah semua penghuni bagian dalam sudah berkumpul di halaman?" 　　Yongchang Bo mendengar pertanyaan Zhen Shicheng, lalu menoleh ke mandor. 　　Mandor buru-buru menjawab: "Sudah semua." 　　Zhen Shicheng dan Jiang Si saling bertatapan, sama-sama terkejut. 　　Jangan-jangan alur pemikiran mereka keliru? 　　Para sayangku, jangan lupa memberikan Suara bulanan ya, terima kasih! 169. BAB 169 Kurang Dua 　　BAB 169 Kurang Dua 　　Jiang Si merinci kembali poin-poin kunci tersebut. 　　Kematian tragis Istri Yongchang Bo, suami yang tidur di sampingnya, aroma aneh dalam lemari, dayang utama yang bunuh diri dengan melompat ke air, selir yang membakar kertas sembahyang... 　　Semua ini bagai benang kusut. Ketika jalan yang diyakini ternyata tidak menemui target, hati pun menjadi bimbang. 　　Tapi segera Jiang Si menguatkan tekadnya. 　　Seberapa dalam pun pelaku bersembunyi, aroma khas di rambut tak mungkin hilang. Jika tak ada satupun dari mereka yang beraroma aneh, berarti pelaku tidak ada di antara mereka. 　　Zhen Shicheng juga memikirkan hal ini. 　　Menurutnya, selama pernah datang ke TKP, pasti meninggalkan jejak. Tak ada pembunuhan yang sempurna tanpa celah. 　　“Apakah orang itu tidak ada di antara orang-orang ini?” 　　Zhen Shicheng mengeluarkan buku daftar nama dari lengan bajunya dan memeriksanya kembali. Buku tersebut mencatat jelas bahwa kompleks belakang rumah memiliki total tujuh puluh dua orang. 　　Keluarga Bo hanya memiliki empat tuan rumah, namun jumlah pelayan yang menjaga operasional kompleks belakang rumah puluhan kali lipat lebih banyak. Angka ini sebenarnya hal biasa di kalangan keluarga bangsawan. 　　Zhen Shicheng memanggil seorang bawahannya dan berbisik beberapa pesan. 　　Bawahan ini ahli dalam menghitung. Setelah mendengar instruksi Zhen Shicheng, matanya dengan cepat menyapu kerumunan di halaman. Sekitar waktu yang dibutuhkan untuk menikmati secangkir teh kemudian, dia berbisik di telinga Zhen Shicheng: “Paduka, tidak termasuk Yongchang Bo dan lainnya, total ada tujuh puluh orang di lokasi.” 　　Mata Zhen Shicheng menyempit. 　　Kurang dua orang! 　　Jiang Si melihat perubahan ekspresi Zhen Shicheng. Meski tidak tahu persis apa yang terjadi, dia sadar pasti ada temuan penting. Sayangnya dia tak bisa mendengar, hanya bisa menunggu Tuan Zhen mengungkap jawabannya. 　　“Mandor, hamba bertanya sekali lagi. Apakah semua penghuni kompleks belakang sudah berkumpul?” 　　Mandor menjadi gugup karena keseriusan Zhen Shicheng, menjawab dengan ragu: “Sudah semua berkumpul.” 　　Mereka telah menghitung beberapa kali. Bahkan yang izin cuti pun sudah dipanggil kembali. Jangan-jangan ada masalah? 　　Zhen Shicheng memukul sampul buku daftar nama sambil menyeringai dingin: “Buku ini mencatat tujuh puluh dua orang, tapi yang hadir hanya tujuh puluh. Ke mana dua orang lainnya?” 　　Mandor tertegun oleh pertanyaan itu. 　　Zhen Shicheng tidak memberi kesempatan mandor untuk berpikir, membentak: “Kurang dua orang tapi tidak melapor. Apakah kau sedang melindungi si pembunuh?” 　　"Mandor pucat ketakutan, segera memberi hormat: 'Paduka, ini fitnah! Hamba kecil mana berani melindungi pembunuh!'" 　　"Kalau begitu, sebutkan siapa dua orang yang hilang ini?" 　　Mandor itu tak sengaja menatap seorang nenek. 　　Nenek itu adalah pengurus bagian dalam istana, semacam mandor internal. Ditatap sang mandor, keringatnya mengucur: "Paduka, semua pelayan kamar dalam sudah berkumpul di sini. Hanya dapur dalam yang menyisakan dua orang--" 　　"Dapur dalam menyisakan dua orang?" Zhen Shicheng bereaksi, wajahnya berkerut keras. "Hamba sudah tekankan berulang kali semua orang harus berkumpul di sini. Mengapa kalian menyembunyikan informasi ini?" 　　Mandor wanita tua itu gemetar: "Paduka, hamba tua tidak bermaksud menutupi. Dapur dalam tak mungkin ditinggalkan. Harus menyiapkan hidangan untuk majikan dan perlengkapan sembahyang Nyonya... Biasanya ada enam orang di sana, hanya menyisakan dua sudah minimum." 　　"Bodoh! Cepat panggil kedua orang itu!" Yongchang Bo berang mendengar penyebutan sang Nyonya. 　　Di saat seperti ini, brengsek-brengsek ini masih memikirkan urusan perut. 　　Yongchang Bo lupa, bagi para pelayan ini, memenuhi kebutuhan perut majikan adalah prioritas utama. 　　Lantai kotor sebentar tak apa, tapi jika majikan kehausan atau kelaparan saat makanan tak segera dihidangkan, bisa-bisa mereka dipecat--terutama saat majikan sedang murung. 　　Para mandor juga orang yang licik. Untuk menghindari situasi ini, mereka menyisakan dua orang yang jujur dan polos bekerja di dapur, tidak menganggap hal ini akan mempengaruhi penyelidikan kasus. 　　Tak lama kemudian, dua wanita dibawa masuk. 　　Salah satunya adalah wanita setengah baya mengenakan pakaian kain biru tua, rambutnya disisir rapi dengan ikat kepala warna senada, terlihat bersih dan rapi. Yang lain adalah dayang kecil dengan baju kusam berdebu, kemungkinan besar bertugas mengurus tungku api. 　　Keduanya dihadapkan pada Zhen Shicheng. Wanita setengah baya itu berdiam diri dengan tangan terlipat, sementara dayang kecil jelas-jelas gugup, tangannya bergeliat tak henti seolah hendak menangis. 　　Zhen Shicheng hanya melirik sekilas pada dayang kecil itu, lalu memusatkan perhatian pada wanita setengah baya. 　　Usia wanita ini sesuai dengan pakaian berlumuran darah yang telah diganti. 　　Meski pembunuh bisa bertindak berlawanan dengan kebiasaan dengan sengaja memakai pakaian yang tidak sesuai status, ini terlihat hati-hati tapi sebenarnya tindakan tak bijaksana. 　　Contohnya, wanita setengah baya yang mengenakan gaun gadis belasan tahun di halaman rumah, jika ketahuan sama saja mengaku ada masalah. 　　Penyamaran terbaik adalah tetap menjadi diri sendiri. 　　Zhen Shicheng terus mengamati wanita itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 　　Dalam kesunyian yang mencekam ini, Jiang Si diam-diam berputar ke belakang dan mendekati wanita tersebut. 　　“Meskipun wanita itu mengenakan kerudung, Jiang Si yang tidak hanya memiliki indra penciuman bawaan yang luar biasa, tetapi juga pernah belajar ilmu gaib dari Tetua Wu Miao, semakin memperkuat kemampuannya dalam hal ini. Saat ia menahan napas dan berkonsentrasi, segera tercium aroma aneh yang samar-samar itu.” 　　“Mata Jiang Si berbinar, memberi anggukan halus yang nyaris tak terlihat kepada Zhen Shicheng.” 　　“Hati Zhen Shicheng langsung tenang.” 　　“Setelah mengidentifikasi pelaku, membuka mulutnya tidak akan sulit.” 　　“Zhen Shicheng memberi isyarat mata pada seorang bawahannya yang segera mendekat.” 　　“Suruh orang menyelidiki tempat tinggal wanita ini diam-diam. Periksa apakah ada keanehan, terutama benda beraroma wangi dan sepatu yang telah diganti.” 　　“Siap.” Jawab bawahannya dengan suara rendah sebelum mundur.” 　　“Di tengah kerumunan orang di halaman, setelah petugas mundur, tak ada lagi yang memperhatikan kepergiannya.” 　　“Apa tugas kalian di dapur dalam?” tanya Zhen Shicheng.” 　　“Hamba khusus membuat kue manis.” Jawab wanita itu.” 　　“Ha-hamba... hamba hanya pelayan pengurus api.” Gagap dayang kecil itu gemetaran.” 　　“Zhen Shicheng mengambil kendi air dari petugas dan minum seteguk untuk melembapkan tenggorokan sebelum bertanya lagi: "Mengapa hanya kalian berdua yang tinggal?"” 　　“Kali ini dayang kecil yang lebih dulu menjawab: "Karena perlu hamba mengurus api."” 　　“Bagi dayang kecil itu, wajar saja ada orang yang tinggal di dapur untuk menjaga api.” 　　Zhen Shicheng mengarahkan pandangannya pada wajah wanita itu: "Lalu bagaimana denganmu? Dapur dalam ada enam orang, mengapa juru masak makanan penutup yang ditahan?" 　　Makanan penutup hanya pelengkap setelah makan, menahan juru masak khusus untuk itu agak tidak masuk akal. 　　Wanita itu menjawab: "Majikan-majikan menyukai makanan penutup buatan hamba, Nona Besar sering menyuruh orang mengambil Kue Salju." 　　Mendengar tiga kata "Kue Salju", wajah Jiang Si langsung berubah pucat. 　　Baru kemarin, ketika dia berkunjung ke Kediaman Yongchang Bo, Xie Qingyao secara khusus menjamunya Kue Salju dan memuji-muji juru masaknya tanpa henti. 　　Memikirkan ini, Jiang Si tiba-tiba mendapat inspirasi dan mengajukan pertanyaan lagi: "Kau pendatang baru, bukan?" 　　Di musim semi lalu, Kediaman Yongchang Bo mengadakan Pesta Bunga. Saat itu dia belum terlahir kembali, dan ketika menghadiri pesta tidak sempat mencicipi Kue Salju lembut nan manis itu. 　　Dia mengenal baik sahabatnya, Xie Qingyao memang berwatak suka berbagi hal baik. Jika juru masak ini sudah ada saat itu, tak mungkin tidak menyajikan Kue Salju untuk tamu. 　　Mandor itu memandang Jiang Si dengan sorot mata tak bisa menyembunyikan keheranan: "Dou Niang masuk ke kediaman ini tiga bulan lalu." 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya semua! Di periode double ini, apakah Seperti Kembang bisa dapat lebih banyak vote? Semuanya tergantung kalian sayangku! Sampai jumpa besok. 170. BAB 170 Rambut 　　BAB 170 Rambut 　　Zhen Shicheng melirik Jiang Si dengan sudut matanya. 　　Bagaimana mungkin nona kecil ini mengetahui begitu banyak hal? 　　Setelah sejenak terharu, Zhen Shicheng yang memang cermat segera menyadari sesuatu. 　　Benar, Nona Jiang berteman baik dengan Nona Xie, wajar jika dia mengetahui beberapa informasi tentang Kediaman Yongchang Bo secara kebetulan. 　　Agak lucu, sekarang aku malah punya kecenderungan untuk menganggap si gadis ini luar biasa hebat. 　　Hmm, ini tidak baik. Bagaimana nanti aku bisa menjaga wibawa sebagai orang yang lebih tua? 　　"Dou Niang yang masuk tiga bulan lalu, bisa langsung bekerja di dapur dalam?" tanya Zhen Shicheng sambil mengesampingkan pikiran-pikirannya. 　　Dapur dalam khusus menyiapkan makanan untuk majikan. Biasanya koki yang boleh masuk ke dapur dalam adalah orang terpercaya dengan keahlian masak luar biasa. 　　Sang mandor buru-buru menjelaskan: "Kemampuan Dou Niang membuat kue benar-benar istimewa, terutama Nona Utama yang sangat menyukai kue buatannya. Beberapa waktu lalu Nyonya memang memindahkan Dou Niang ke dapur dalam—" 　　"Diam!" Xie Yinlou membentak keras, memotong ucapan mandor. 　　Wajah Xie Qingyao pucat bagai kertas emas, seluruh tubuhnya gemetar sambil menutup mulut dengan tangan untuk menahan isak tangis. 　　Jika ternyata pembunuhnya adalah koki di hadapannya ini, bukankah berarti kecerobohannya menyukai makanan manis telah mengundang serigala yang membunuh ibunya? 　　Pikiran itu nyaris membuat Xie Qingyao kolaps. 　　Sang mandor menyadari kesalahannya, segera menampar mulutnya sendiri: "Aduh, mulut hamba yang lancang ini pantas ditampar!" 　　Xie Yinlou memapah adiknya sambil memandangi mandor dengan sorot mata dingin menusuk tulang. 　　“Mandor berkeringat deras, tak tahan lagi lalu bersujud.” 　　“Zhen Shicheng batuk sekali.” 　　Meski dia bisa memahami penderitaan keluarga korban, tapi ini saat genting. Kalau terus menghambat, benar-benar akan marah nanti! 　　Kalau Tuan Besar tidak marah, dikira Buddha Maitreya saja. 　　“Douniang asal mana, sebelumnya kerja apa sebelum masuk ke kediaman ini?” 　　Mandor tak berani bersuara, melirik Douniang. 　　Douniang malah menjawab dengan kooperatif pertanyaan Zhen Shicheng: “Saya ini wanita dari keluarga Nanhe. Dua tahun lalu suami meninggal, lalu ke ibu kota berjualan makanan manis untuk hidup.” 　　“Datang sendiri ke ibu kota?” 　　“Ya.” 　　Zhen Shicheng mengelus janggutnya: “Hamba lihat usiamu sudah tidak muda, apakah tidak punya anak?” 　　Mendengar ini, ekspresi Douniang baru pertama kali berubah jelas. Tapi dia menahan diri, jeda sebentar lalu berkata: “Punya satu putra, juga meninggal dua tahun lalu...” 　　Mandor yang diam-diam bangkit menghela napas. 　　Saat itu karena tahu Douniang tidak punya ikatan keluarga dan kehidupannya menyedihkan, Nyonya pun membuat pengecualian dengan memindahkannya ke dapur dalam dalam waktu singkat. Di mata majikan, orang yang tak punya ikatan dianggap lebih bisa dipercaya. 　　“Suami dan anak meninggal dalam waktu berdekatan, ada kejadian apa ya?” 　　Douniang menunduk, matanya memerah: “Anak saya tak sengaja tenggelam, cuma punya satu itu. Suami terlalu sedih sampai sakit, tak lama kemudian menyusul pergi.” 　　“Lalu kenapa Ibu datang ke ibu kota?” 　　"Dou Niang tersenyum sinis: 'Kami suami-istri orang rajin, mengumpulkan harta, terlalu banyak orang yang mengincar janda tak beranak seperti saya. Wanita kecil seperti saya harus bertahan hidup, dengar penduduk ibu kota hidup makmur, berjualan makanan seharusnya laku, lalu saya kemas barang berharga dan pindah ke ibu kota.'" 　　"'Bagaimana Dou Niang bisa masuk ke kediaman ini?' Zhen Shicheng menatap sang mandor." 　　"Mandor: '...' Dia punya segudang penjelasan, tapi takut dipukul jika mengatakannya!" 　　"Zhen Shicheng mengerutkan alis sambil melirik Yongchang Bo." 　　"'Paduka bertanya, kau harus jujur!'" 　　"Mandor mengusap keringat, berkata: 'Nyonya membawa Nona besar berbelanja perhiasan di Pavilion Permata, pulangnya melihat antrean panjang di stan dessert Dou Niang. Lalu Nyonya menyuruh dayang membeli dua tael dessert. Tak disangka dessertnya enak sekali, Nyonya dan Nona besar terus merindukannya, lalu menyuruh orang beli lagi dua kali. Kemudian Nyonya dan Nona besar kembali ke stan Dou Niang, kebetulan ada preman merusak stan itu. Nyonya pun memanggil Dou Niang dan tanya apakah mau masuk kediaman sebagai juru masak, akhirnya Dou Niang pun masuk.'" 　　"Mandor menunjuk dayang utama Chunfang yang tak jauh: 'Saat Nyonya membawa Dou Niang masuk, Chunfang yang memberitahu hamba semua ini.'" 　　"Chunfang buru-buru menyahut: 'Persis seperti yang dikatakan mandor.'" 　　"Seorang wanita paruh baya yang masuk ke kediaman tiga bulan lalu dan secara istimewa dipindahkan ke dapur dalam, seorang wanita yang setelah kehilangan anak dan suami masih bisa menjual harta benda dan merantau sendirian ke ibukota..." 　　Selain alasan lain, dari segi waktu dan kemampuan pribadi, Dou Niang memiliki kapabilitas untuk melakukan pembunuhan. 　　Zhen Shicheng merengut: "Dou Niang, jelaskan mengapa kau membunuh Nyonya Bo!" 　　Begitu kata-katanya meluncur, kerumunan langsung gempar. 　　Saat menginterogasi adik Qiulu dan Chaoyun sebelumnya, Tuan Zhen tak pernah secara eksplisit menyebut mereka sebagai pelaku. 　　Dou Niang pelaku pembunuhan Nyonya? Sungguh tak terduga. 　　Otot wajah Dou Niang berkedut, tetap mempertahankan ketenangan: "Nyonya punya jasa besar pada hamba. Apakah hamba gila sampai tega membunuh Nyonya?" 　　"Itulah yang harus kau jelaskan!" sorot mata Zhen Shicheng menyala-nyala menatap Dou Niang, suaranya menggelegar. "Lepaskan pengakuanmu!" 　　Dou Niang berlutut perlahan, ekspresi tenang: "Hamba difitnah." 　　"Difitnah?" Zhen Shicheng mencemoh. "Pengawal, buka ikatan rambut Dou Niang!" 　　Dua petugas segera maju menahan lengan Dou Niang. 　　Dou Niang meronta-ronta, lalu berteriak: "Paduka, tanpa bukti jelas menyebut hamba pelaku. Apakah Paduka ingin memaksa pengakuan palsu? Hamba benar-benar tak bersalah!" 　　"Tenang! Perintah ini untuk menunjukkan bukti kepada semua." 　　Jiang Si diam-diam mengkhawatirkan keselamatan Zhen Shicheng. 　　"Kemampuan indra penciuman yang luar biasa sehingga bisa mencium aroma aneh di rambut Dou Niang? Kalau Tuan Zhen menggunakan ini sebagai bukti untuk menjatuhkan hukuman pada Dou Niang, mungkin kurang meyakinkan." 　　Zhen Shicheng sepertinya menyadari kekhawatiran Jiang Si, dengan bangga mengusap-usap janggutnya. 　　Tanpa memiliki bukti yang meyakinkan, benar-benar akan kalah oleh seorang gadis kecil. 　　Tuan Zhen yang sudah berpengalaman menangani kasus sama sekali lupa bahwa tidak ada yang patut dibanggakan saat bersaing dengan seorang nona kecil. 　　Kain penutup rambut Dou Niang segera terbuka, mengurai rambut indahnya. 　　Disebut rambut indah, namun sebenarnya seperti rambut Chaoyun, juga terdapat banyak uban. 　　Kedua wanita ini memiliki kesamaan dalam hal ini, meski usia belum mencapai empat puluh tahun, rambut mereka sudah beruban dini. 　　"Apa perbedaan rambut Dou Niang dengan orang lain?" tanya Zhen Shicheng dengan suara berat. 　　"Ada uban!" seru seorang dayang kecil spontan. 　　Nenek di sampingnya segera memukulnya, berbisik: "Dasar kau, ada uban kenapa?" 　　Aku juga punya banyak uban, apakah berarti jadi pembunuh? 　　Xie Qingyao menatap tajam Dou Niang, tiba-tiba membelalakkan mata dan ragu-ragu berkata: "Rambutnya agak keriting..." 　　Atas peringatan Xie Qingyao, orang-orang yang dekat dengan Dou Niang baru menyadari: Perbedaan terbesar rambut panjang Dou Niang adalah teksturnya yang bergelombang, terlihat sangat unik. 　　Dou Niang mengangkat kedua tangan menekan rambutnya, jelas tidak nyaman dengan rambut terurai di hadapan orang banyak, panik berkata: "Apa maksud Paduka sebenarnya?" 　　Zhen Shicheng mengeluarkan bungkusan kertas minyak dan membukanya lapis demi lapis, memperlihatkan dua helai rambut di dalamnya: "Ini adalah dua helai rambut yang ditemukan di lemari tempat pelaku bersembunyi. Semua bisa melihat, rambut ini sama dengan rambut Dou Niang, keduanya bergelombang!" 171.BAB 171 Ternyata Orang yang Dikenal 　　BAB 171 Ternyata Orang yang Dikenal 　　Mendengar penjelasan Zhen Shicheng, Yongchang Bo dan yang lain segera mendekat untuk melihat. 　　Di atas kertas minyak yang menguning terbaring dua helai rambut panjang. Satu berwarna hitam seluruhnya, satunya lagi sudah memutih lebih dari setengah dari akarnya. Ciri khas kedua rambut ini sangat jelas - melengkung seperti ombak. Melihat rambut Dou Niang yang terurai, memang bergelombang seperti ganggang laut. 　　Orang dengan rambut bergelombang alami seperti ini sangat langka. Mustahil ini hanya kebetulan. 　　Pandangan orang-orang yang tertuju pada Dou Niang langsung berubah - ada yang jijik, ada yang benci, ada juga yang penasaran. 　　Rambut yang ditemukan Tuan Zhen dari tempat persembunyian pelaku sama dengan rambut Dou Niang. Sudah pasti Nyonya tewas karena ulah Dou Niang. Tapi mengapa seorang tukang masak seperti Dou Niang tega membunuh Nyonya? Bukankah Nyonya pernah berbuat baik padanya? 　　Pertanyaan yang sama muncul di benak semua orang, mata mereka tak berkedip menatap Dou Niang. 　　Tiba-tiba seorang mandor wanita tua mengeluarkan suara terkejut. 　　Zhen Shicheng segera menoleh ke mandor wanita yang bersuara tadi: "Apa Ibu teringat sesuatu?" 　　Ekspresi mandor wanita itu ragu-ragu, tampak tidak yakin untuk berbicara. 　　“Apa pun yang terpikirkan, silakan katakan. Tak apa jika salah, tak akan ada yang menuntutmu.” Zhen Shicheng menghibur nenek mandor sambil melirik ke arah Yongchang Bo. 　　Setelah mengalami kekeliruan mengira dirinya membunuh istri, lalu dayang utama Qiu Lu dan selir Chaoyun, akhirnya Dou Niang berhasil diungkap. Kini Yongchang Bo paling ingin tahu motif pembunuhan Dou Niang. Menanggapi lirikan Zhen Shicheng, ia segera berkata: “Paduka benar. Katakan saja apa yang terlintas di pikiranmu. Tak masalah jika salah. Jika informasi berguna, akan ada hadiah.” 　　Nenek mandor segera menghilangkan keraguan. Matanya menyapu cepat ke arah Dou Niang: “Melihat rambut keriting Dou Niang, hamba teringat seorang dayang. Rambutnya juga ikal alami, tapi dia sudah diusir lebih dari sepuluh tahun lalu.” 　　Zhen Shicheng mendadak tersentak. 　　Menurut catatan, usia Dou Niang kini 34 tahun. Sepuluh tahun lalu usianya tepat memasuki masa menjadi dayang. 　　“Namanya...” Nenek mandor mengernyit berusaha mengingat, tiba-tiba menepuk paha: “Hamba ingat! Namanya A Wan!” 　　Begitu nama “A Wan” disebut, beberapa staf lama Kediaman Yongchang Bo mulai samar-samar teringat. 　　Mandor utama yang sebelumnya terus memberi laporan pada Zhen Shicheng menatap tajam Dou Niang, wajahnya berubah pucat: “Kau A Wan?” 　　Kelopak mata Dou Niang bergetar. Perlahan ia memalingkan pandangan ke Yongchang Bo. 　　Sorot matanya memancarkan kebencian yang mengakar. 　　“Perkataan sang mandor besar membuat mandor nenek langsung tersadar: ‘Aku heran kenapa semakin melihat Dou Niang semakin terasa familiar, Ya ampun, dia tak lain adalah A Wan yang dulu diusir!’” 　　Waktu lebih dari sepuluh tahun cukup untuk mengubah seseorang hingga tak dikenali, terutama mereka yang memang tidak terlalu akrab. Tidak aneh jika tak bisa mengenali setelah belasan tahun tak bertemu. 　　Tapi ketika ciri khas yang mencolok ditunjukkan, katup memori manusia pun terbuka. 　　Mandor nenek yang awalnya ragu-ragu akhirnya bersikap tegas, menepuk tangan berkata: “Benar, dia memang A Wan!” 　　Kerumunan orang mulai ramai berdiskusi. 　　“Siapa itu A Wan?” tanya dayang kecil yang masih muda penasaran. 　　“Tidak tahu, belum pernah dengar ada orang seperti itu di kediaman ini.” 　　“Waktu itu kalian belum masuk bekerja di sini. Aku agak samar-samar ingat, lebih dari sepuluh tahun lalu ada dayang bernama A Wan yang diusir karena membuat Sang Bangsawan dan Nyonya tidak senang. Tapi aku sudah lupa di bagian mana dia bertugas saat itu...” 　　Dou Niang berdiri di tengah, membiarkan orang-orang berkomentar. Wajahnya terlihat tenang, tapi tangan yang tergantung di sisinya gemetar halus. 　　Akhirnya tetap terungkap juga? Rambutnya dibungkus begitu rapi, bagaimana Tuan Zhen bisa memastikan dua helai rambut di lemari itu miliknya? Hanya karena dia satu dari dua orang yang tetap di dapur? 　　Zhen Shicheng sementara mengabaikan Dou Niang, melanjutkan interogasi pada mandor nenek: “Mengapa A Wan diusir dulu?” 　　Sang mandor nenek jelas masih memiliki kesan, mendengar itu langsung menatap Yongchang Bo. 　　Yongchang Bo sama sekali tidak ingat sosok A Wan, bagaimana mungkin dia mengingat seorang dayang kecil yang diusir lebih dari sepuluh tahun lalu? Langsung berkata, "Katakan!" 　　Sang mandor nenek memberanikan diri, "Saat itu Nyonya sedang mengandung Putra Mahkota, perlu memilih dayang selir untuk melayani Sang Bangsawan. Nyonya saat itu memilih beberapa orang, akhirnya memutuskan Chun Mei. Tapi tiba-tiba A Wan datang menghadap Nyonya, ngotong mengatakan Sang Bangsawan sudah... sudah mengambil keperawanannya. Nyonya menganggap A Wan mengarang cerita untuk jadi selir dan mencemarkan nama baik Sang Bangsawan, lalu mengusirnya dari kediaman..." 　　Yongchang Bo sambil mendengar sambil mengerutkan kening, samar-samar mulai teringat. 　　Lebih dari sepuluh tahun lalu, sepertinya memang ada dayang yang datang meratap di hadapan Nyonya, tapi sama sekali tidak dia hiraukan, bahkan namanya pun tidak diperhatikan. 　　Mungkinkah bencana ini berakar dari peristiwa masa lalu itu? 　　Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa. 　　"Paduka, kami menemukannya!" Seorang petugas berlari menghadap Zhen Shicheng, menyerahkan sesuatu. 　　Itu adalah sepasang sepatu kain wanita yang terlihat usang, terdapat noda minyak di bagian atasnya, sangat sesuai dengan sepatu yang dipakai pekerja dapur. 　　"Paduka, ini sepatu yang ditemukan di dalam peti kamar Dou Niang, dibungkus dengan pakaian ini." Petugas itu mengangkat sehelai baju setengah baru. 　　Membungkus sepasang sepatu usang dengan sebuah pakaian, ini jelas tidak masuk akal. 　　Petugas segera membalikkan sepatu itu memperlihatkan sol: "Paduka, lihatlah!" 　　Pada sol terdapat pola yang samar, di sela-sela pola tersebut ada kotoran yang menempel dan bagian berwarna kecoklatan. 　　Zhen Shicheng menatap bagian kecoklatan itu, matanya menyipitkan. 　　Berdasarkan pengalaman, ini adalah bekas sepatu yang menginjak darah. 　　Zhen Shicheng mengangkat sepatu itu di depan Dou Niang: "Dou Niang, dua tael rambut mungkin masih bisa kau bantah, bagaimana dengan sepatu berdarah ini?" 　　Sebelumnya dia menyuruh anak buahnya mencari petunjuk di kamar Dou Niang, dengan penekanan khusus pada sepatu, alasannya sederhana. 　　Dou Niang mungkin memakai dua lapis pakaian sebelum membunuh, lalu melepas lapisan luar yang terkena darah untuk dikubur, sehingga tubuhnya tetap bersih. Tapi hampir pasti dia tidak menyiapkan dua pasang sepatu karena tidak praktis. Dengan demikian, Dou Niang tidak bisa mengubur sepatu yang dipakai bersama baju berdarah, karena jika pulang tanpa alas kaki dan bertemu orang lain akan sulit dijelaskan. 　　Sepatu yang dipakai saat membunuh, dengan kecermatan Dou Niang pasti tidak akan dipakai lagi. Tapi mustahil menghancurkannya sepenuhnya dalam waktu singkat, menyembunyikannya sementara adalah pilihan terbaik. 　　Fakta juga membuktikan perkiraannya tepat. 　　“Paduka, ada ini juga.” Petugas kembali mengeluarkan dompet polos dan menyerahkannya kepada Zhen Shicheng, “Ini ditemukan di sarung bantal Dou Niang, anak buah mencium aroma aneh, dan melihat dompet ini disembunyikan dengan rapi mungkin ada yang mencurigakan, jadi saya bawa kemari.” 　　Zhen Shicheng mendekatkan dompet ke hidungnya, lalu berkata dengan sinis: “Dou Niang, aroma aneh yang tertinggal di lemari pakaian ini persis sama dengan dompetmu. Sekarang apa lagi yang bisa kau katakan?” 　　Bibir Dou Niang pucat menatap dompet itu, menyadari segalanya telah berakhir, ia tertawa getir: “Tak ada yang perlu kukatakan. Hanya menyesal Yongchang Bo tidak bunuh diri karena rasa malu membunuh istrinya secara tidak sengaja. Sungguh langit tidak adil!” 　　Selera pembaca berbeda-beda. Ada yang suka alur penyelidikan kasus, ada juga yang hanya ingin melihat balas dendam protagonis perempuan. Saya hanya bisa berusaha menulis cerita sebaik mungkin. Bagi yang menyukai "Seperti Kembang", silakan dukung dengan banyak memberikan vote - Suara bulanan dan Rekomendasi semuanya kami rampas! 172.BAB 172 Motif 　　BAB 172 Motif 　　Kegilaan dan kebencian dalam nada suara Dou Niang membuat Yongchang Bo terkejut, ia marah besar: “Jangan asal memfitnah! Apa kesalahan kami hingga kau tega melakukan ini?” 　　Tatapan semua orang tidak membuat Dou Niang panik, malah membuatnya tertawa terbahak: “Hahaha, meski kau tidak bertanya, aku akan jelaskan agar dunia tahu bagaimana Yongchang Bo yang sopan dan santun itu sebenarnya manusia busuk!” 　　“Jangan hina Ayahku!” Xie Qingyao gemetar marah, wajahnya pucat. 　　Yongchang Bo menarik putrinya ke belakang: "Biarkan dia bicara!" 　　Dou Niang mengusap sudut matanya yang basah oleh air mata tawa, berkata dengan penuh kebencian: "Tujuh belas tahun lalu, Nyonya Yongchang mengandung dan menyebarkan kabar akan memilih pelayan kamar untuk Yongchang Bo. Saat itu banyak dayang yang bersemangat, aku salah satunya." 　　Di titik ini, Dou Niang tersenyum sinis: "Siapa di kediaman ini yang tidak tahu Yongchang Bo sangat menghormati istrinya, bersikap lembut dan sopan, menjaga diri dengan baik. Selain nyonya, tak ada selir maupun pelayan kamar sekalipun. Menjadi pelayan kamar bagi pria berkarakter baik, berstatus mulia, dan masih muda - berapa dayang yang tidak tergoda? Tapi--" 　　Suara Dou Niang tersekat, tatapannya pada Yongchang Bo penuh kebencian: "Tapi siapa sangka bangsawan yang dipuji semua orang ini bisa begitu menjijikkan? Setelah membujuk dan mengambil keperawananku, ia berbalik tidak mengakuinya. Pura-pura tidak terjadi apa-apa saat Nyonya Yongchang menunjuk Chunmei. Ha, masa mudaku terlalu bodoh - bagi pria, apa ruginya meniduri perempuan lebih? Aku tidak rela, menemui Nyonya Yongchang untuk berdebat, tapi malah dituduh mengincar Yongchang Bo dengan cara kotor, lalu diusir..." 　　“Inilah alasanmu membunuh Nyonya Bo dan memfitnah Sang Bangsawan?” Zhen Shicheng mengabaikan wajah Yongchang Bo yang semakin pucat, berkata datar, "Kebencian memang bisa membuat orang kehilangan akal sehat dan melakukan hal impulsif, tapi kebencian biasanya akan berkurang seiring waktu. Kau memilih balas dendam setelah 17 tahun, apakah terjadi perubahan keadaan?" 　　Dou Niang mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seluruh tubuhnya gemetar seperti daun di terpa angin musim gugur. 　　Zhen Shicheng menepuk tangan: "Benar! Perubahan itu pasti terkait kematian anakmu dan suamimu dua tahun lalu!" 　　Mendengar perkataan Zhen Shicheng, Dou Niang tak sadar mundur dua langkah, memandangnya seperti melihat hantu. 　　Apakah Tuan Zhen ini memiliki kemampuan membaca pikiran? 　　Pada titik ini, Dou Niang sudah tak ingin menyembunyikan apapun, malah merasa perlu meluapkan isi hatinya. Ia menyeringai dingin: "Benar! Tapi akar masalahnya harus dimulai dari 17 tahun lalu! Sejak kecil aku dijual ke Keluarga Bo, tak punya sanak saudara di dalam istana. Setelah diusir, aku benar-benar tak punya jalan keluar. Dalam keputusasaan, aku memilih untuk menceburkan diri ke sungai. Mungkin langit tak rela melihatku mati tenang, seorang pedagang keliling kebetulan menyelamatkanku. Saat itu hatiku sudah mati rasa, karena rasa terima kasih pada si pedagang, aku menikahinya dan ikut ke kampung halamannya di Nanhe..." 　　Mengenang masa lalu, sorot mata Dou Niang tiba-tiba berkilau. Jelas hari-harinya bersama si pedagang itu penuh kebahagiaan. 　　Tapi tiba-tiba nada bicaranya berubah: "Siapa sangka tak lama setelah menikah, aku ternyata hamil!" 　　Semua orang mendengar, tak urung memandang ke arah Yongchang Bo. 　　Dalam situasi seperti ini, reaksi pertama hampir semua orang adalah anak dalam kandungan ibu Dou adalah milik Yongchang Bo. Hanya Yongchang Bo yang wajahnya muram dan dingin, tak terlihat apa yang dipikirkannya. 　　Seluruh tubuh ibu Dou gemetar hebat: "Meskipun setelah diselamatkan pedagang keliling, aku segera menjadi istrinya, tapi menurut hitungan hari anak ini jelas bukan miliknya. Benar saja, delapan bulan setelah menikah aku mulai melahirkan, melalui persalinan sulit selama tiga hari tiga malam akhirnya melahirkan anak laki-laki dengan susah payah. Seiring wajah anak itu semakin berkembang, tak ada sedikit pun kemiripan dengan suamiku. Aku tak bisa lagi membohongi diri sendiri dengan harapan kosong. Untung suamiku mengira anak ini lahir prematur, tak curiga sedikit pun. Awalnya kupikir akan memberinya keturunan lagi, merawatnya seumur hidup sebagai ganti rasa bersalah, tapi tak disangka sejak itu aku tak pernah hamil lagi. Dokter yang dipanggil mengatakan tubuhku rusak saat melahirkan, tak bisa hamil lagi. Aku benar-benar benci!" 　　Mata ibu Dou membelalak menatap Yongchang Bo, suaranya gemetar: "Dia yang merusak hidupku selamanya demi kesenangan sesaat, pantaskah aku tak membencinya!" 　　Zhen Shicheng tak berkomentar, melanjutkan pertanyaan: "Lalu apa hubungan kematian anak dan suamimu dengan hal ini?" 　　Hanya karena tak bisa memberi keturunan untuk suami, kebencian semacam ini tidak cukup membuat perempuan yang hidupnya cukup baik merencanakan pembunuhan balas dendam. 　　Mendengar pertanyaan Zhen Shicheng, Dou Niang menarik-narik rambutnya yang acak-acakan. Rasa sakit itu membuatnya tetap waras saat mengingat masa lalu: "Rahasia ini terlalu lama kubendung dalam hati. Melihat anakku tumbuh besar setiap hari, wajah dan sifatnya sama sekali berbeda dengan suamiku, hatiku semakin gelisah. Sampai suatu malam—" 　　Saat Dou Niang berhenti bicara, halaman menjadi sunyi senyap. 　　Semua orang ingin tahu peristiwa mengerikan apa yang terjadi malam itu. 　　"Malam itu aku bermimpi buruk dan tak sengaja membocorkan rahasia ini dalam tidur!" 　　Terdengar teriakan terkejut dari kerumunan, jelas mereka tidak menyangka rahasia terbuka dengan cara seperti ini. 　　Cahaya aneh berkilat di mata Jiang Si. 　　Membocorkan rahasia melalui ucapan tidur terdengar mustahil, tapi sebenarnya wajar. 　　Rahasia mengerikan yang terlalu lama dipendam akan menjadi beban semakin berat di hati, hingga suatu hari akan meledak mencari jalan keluar, baik secara sadar maupun tidak. 　　"Mendengar rahasia ini, suamiku langsung menggila. Matanya merah memaksaku menjelaskan detailnya, lalu—" Dou Niang membuka mulutnya, air mata mengalir di sudut matanya yang kering, "Dia menerobos ke kamar anakku, dalam kemarahan mencekik anakku sampai mati!" 　　"Hiss—" Kerumunan serentak menarik nafas, pandangan mereka ke Dou Niang mulai dipenuhi belas kasihan. 　　“Bagaimanapun, anak lelaki satu-satunya dicekik oleh suamiku sendiri, sungguh terlalu tragis.” 　　“Kala itu kau tidak menghentikannya?” Zhen Shicheng bertanya. 　　“Aku dipukulinya sampai pingsan. Saat sadar, anakku sudah tak bernafas. Suamiku yang sudah tenang, mengikat batu di tubuh anakku lalu membuangnya ke sungai, membuat ilusi seolah anakku tenggelam saat bermain dan mayatnya tak ditemukan...” 　　Zhen Shicheng diam sejenak, lalu bertanya lagi: “Lalu bagaimana suamimu mati?” 　　Dou Niang juga terdiam. Saat semua orang menahan nafas menunggu jawabannya, ia tersenyum dan berkata kata demi kata: “Aku yang membunuhnya.” 　　Melihat senyuman Dou Niang, semua orang tiba-tiba merasakan dingin di tulang punggung, tak ada yang berani bersuara. 　　“Sejak itu setiap malam ia memukuliku, menyetrikaku dengan sol sepatu, menjepitku dengan penjepit bara. Semua cara penyiksaan digunakan. Aku tahu tak akan lama lagi aku akan mati dipukulinya, tapi aku tak rela. Bukan karena tak rela dipukuli - ini hutangku padanya. Yang tak kurelakan adalah bagaimana Yongchang Bo menghancurkanku sedemikian rupa, sementara si pelaku masih hidup mewah tanpa hukuman. Ini tidak adil!” 　　Hari terakhir bulan April, minta suara bulanan. 173. BAB 173: Ketidakcocokan yang Tak Terduga 　　BAB 173: Ketidakcocokan yang Tak Terduga 　　Sorot mata dingin Dou Niang menyapu kerumunan, suaranya parau bertanya: “Kalian bilang, adilkah ini? Hanya karena aku dayang rendahan, pantas mendapat nasib begini, sementara si pemerkosaku bebas tanpa hukuman?” 　　Semua orang terdiam. 　　Dou Niang benar-benar bodoh, nyawa bawahan memang sudah hina, mana bisa disamakan dengan tuanku? 　　Tapi penderitaan Dou Niang memang cukup menyedihkan. 　　Banyak pelayan yang teringat ketidakadilan dan kesedihan yang pernah mereka alami, menghela napas dalam hati. 　　"Suatu malam, suamiku memukulku sangat keras sampai aku pingsan lama baru siuman. Dia memelukku sambil menangis, bilang sebenarnya dia tak ingin memukulku, tapi tak bisa mengendalikan diri. Setiap kali ingat anak yang dibesarkan bertahun-tahun ternyata anak orang lain, rasanya ingin mati saja." Mata Dou Niang berkilau mengingat masa lalu, "Kata-katanya tentang kematian mengingatkanku. Jika dia tak ingin hidup lagi, sementara aku masih belum puas mati sebelum membalas dendam, lebih baik kuwujudkan keinginannya. Kubiarkan dia pergi duluan, setelah balas dendam akan kususul. Nanti kita bertiga bisa berkumpul lagi." 　　Dou Niang mengusap sudut matanya, ekspresinya menjadi tajam: "Jadi saat dia tertidur, kujerat lehernya dengan tali rami. Orang-orang desa tahu kami berduka sejak kehilangan anak. Karena orang tua suamiku sudah lama meninggal dan tak ada sanak dekat, kucari alasan dia meninggal karena sakit rindu anak. Tak ada yang curiga. Setelah mengurus pemakaman dan menjaga masa berkabung selama tiga bulan, kujual semua harta lalu pergi ke ibu kota. Sisanya, Paduka sudah tahu." 　　"Meski sudah tahu prosesmu masuk kediaman ini, tapi hamba ingin tahu bagaimana kamu yakin bisa masuk dengan mudah?" 　　"Dou Niang tersenyum: 'Tempat berjualanku terletak di jalan menuju Paviliun Zhenbao dari Keluarga Bo. Saat masih menjadi dayang di Keluarga Bo, aku tahu Nyonya Bo rutin mengunjungi Paviliun Zhenbao. Beliau juga penggemar hidangan manis, rasanya selera seseorang tak mudah berubah. Di Nanhe, aku hidup dari keahlian membuat kue yang tak tertandingi. Tak perlu khawatir dia tak terpikat!'" 　　"'Kalau begitu, kejadian Nyonya Bo membawa Nona besar membeli kue dan preman yang merobohkan stanmu juga bukan kebetulan?'" 　　"'Benar. Preman itu memang biasa mengganggu wanita tak punya pelindung sepertiku, tapi selama ini aku selalu patuh membayar uang perlindungan. Saat itu, aku sengaja memancing amarahnya karena tahu momentumnya tiba.' Dou Niang tersenyum sinis, matanya berkilau tajam, 'Tentu saja aku bersedia.'" 　　Zhen Shicheng menghela napas sambil mengelus janggutnya: "Ceritakan proses merencanakan pembunuhan Nyonya Bo." 　　Kesabaran luar biasa dari seorang wanita yang datang sendiri ke ibu kota, bertahan berjualan kue sambil menunggu momen Nyonya Bo terpancing. Sungguh, para pria selalu meremehkan kemampuan perempuan. 　　“Setelah masuk ke dapur luar, saya menjadi koki khusus yang membuat hidangan penutup. Sangat sulit menyusup ke area dalam rumah saat bekerja di dapur luar, apalagi membunuh Nyonya Yongchang Bo. Saya hanya bisa menunggu dengan sabar. Tak disangka langit pun membantu, tak lama kemudian Nyonya Bo memerintahkan mandor untuk memindahkan saya ke Dapur Kecil di halaman utama. Dengan persiapan matang, saya segera mempelajari denah area dan pola pergantian jaga para dayang.” 　　“Jadi kamu langsung bertindak?” 　　Dou Niang tersenyum, melirik ke arah Yongchang Bo: “Tidak, awalnya saya tidak berencana bertindak cepat. Meski keinginan membunuh sudah lama mengendap, semakin dekat momennya semakin khawatir gagal. Yang memicu keputusan saya adalah kabar tak terduga bahwa Yongchang Bo menderita sleepwalking. Orang yang sleepwalking, saat bangun tidur menemukan pasangan di sampingnya mati pun tak bisa membedakan siapa pembunuhnya. Ini kesempatan dari langit, mana mungkin saya lewatkan!” 　　Jiang Si menyimak ucapan Dou Niang dengan saksama. Saat mendengar bagian ini, kepalanya berdengung tiba-tiba. Tanpa sadar ia mundur setengah langkah, keringat dingin langsung membasahi bajunya. 　　Sebuah tangan menopangnya dengan mantap dari belakang. 　　Jiang Si menoleh ke belakang, tanpa persiapan bertemu sepasang mata dingin yang menyiratkan kewaspadaan. 　　Yang menopangnya adalah Xie Yinlou. 　　Pada detik itu, Jiang Si lupa menjaga jarak, juga lupa mengucap terima kasih. Wajah cantiknya pucat pasi, bulu matanya bergetar hebat. 　　Xie Yinlou mengira matanya salah lihat. 　　Gambaran Jiang Si sebelumnya samar-samar dalam ingatannya. Hari ini, sejak awal Jiang Si begitu mencolon, berbicara lancar di hadapan Prefect Shuntian seolah tak ada yang bisa membuatnya gentar. Tapi mengapa sekarang dia terlihat begitu rapuh? 　　Xie Yinlou tampak bingung, dengan nada suara yang mengandung sedikit perhatian. 　　Jiang Si baru tersadar, mundur selangkah menjauhkan diri dan tersenyum dipaksakan: "Saya tidak apa-apa." 　　Tentu saja dia tidak baik-baik saja! 　　Setelah mendengar alasan Dou Niang memutuskan untuk bertindak, akhirnya dia memahami mengapa Istri Yongchang Bo dalam kehidupan sebelumnya masih hidup sehat sebelum kematiannya, tapi di kehidupan sekarang tiba-tiba menjadi korban pembunuhan. 　　Kasus somnabulisme Yongchang Bo di kehidupan sebelumnya tidak terdiagnosis saat ini, melainkan baru diketahui setelah kejadian memalukan "tidur seperti babi" dengan memanggil tabib ternama. Artinya, di kehidupan sebelumnya pada waktu yang sama ini, Dou Niang belum bulat tekadnya untuk bertindak. 　　Terkadang seperti ini - perubahan satu pikiran bisa mengubah seluruh jalan hidup seseorang. 　　Dia tidak tahu apakah di kehidupan sebelumnya Dou Niang akhirnya bertindak atau ketahuan sebelum sempat melakukannya. Bagaimanapun, karena alasan yang tidak diketahuinya, Istri Yongchang Bo berhasil lolos dari maut. 　　Tapi di kehidupan ini, niat baiknya mengingatkan Xie Qingyao agar ayah sang sahabat terhindar dari skandal "tidur seperti babi", sekaligus mencegah Xie Yinlou kehilangan calon perjodohannya, justru secara tak terduga menjadi penyebab kematian Istri Yongchang Bo. 　　Memikirkan hal ini, Jiang Si hampir tidak bisa berdiri tegak. 　　Kalau begitu, bukankah kematian Istri Yongchang Bo disebabkan oleh beberapa perkataannya sendiri? 　　Butiran keringat besar menggelinding dari dahi mulus seorang gadis, menyusuri pipinya yang pucat dan menghilang di sudut bibir yang tak berwarna. 　　“Apa kena panas terik?” Xie Yinlou bertanya pelan. 　　Jiang Si tak berani menatap mata Xie Yinlou, dengan canggung memalingkan kepala: “Tidak apa-apa.” 　　Sorot mata Xie Yinlou meredup, berkata datar: “Kalau tidak enak badan, istirahatlah.” 　　Sambil berkata demikian, ia sengaja menjauhkan diri. 　　Dou Niang sudah sampai pada bagian proses pembunuhan: “Setelah melihat Chunfang membereskan pakaian dan pergi, sementara Nyonya Yongchang ke ruang makan, aku menyelinap masuk ke lemari pakaian di kamar Nyonya Yongchang dan menyalakan dupa penenang. Menunggu sampai subuh, aku keluar dari lemari lalu menikam Nyonya Yongchang dengan penyangga lilin. Hahaha, darahnya mengucur deras waktu itu, sayangnya Yongchang Bo tidur pulas seperti babi, tak tahu apa-apa. Kuletakkan penyangga lilin di tangannya, lepaskan pakaian terluar untuk membungkusnya lalu pergi diam-diam.” 　　Dou Niang menatap Zhao Yun yang ekspresinya kosong: "Rencana awalku adalah menjebak Yongchang Bo, membuatnya merasakan sakitnya membunuh istri sendiri. Tapi saat masuk ke halaman, tiba-tiba kudengar tangisan samar. Kuikuti suara itu dan menemukan Zhao Yun sedang membakar kertas persembahan. Saat itu juga muncul ide untuk mengubur baju berdarah di sana. Jika Yongchang Bo mengaku membunuh istrinya, itu bagus. Jika curiga, paling tidak ada kambing hitam..." 　　Para hadirin serentak menarik napas panik. 　　Perempuan ini benar-benar mengerikan. 　　"Bagaimanapun juga, bisa membongkar aibmu di depan anak-anakmu dan banyak orang ini, aku sudah puas, hehehe——" 　　Yongchang Bo yang wajahnya pucat pasi akhirnya bersuara: "Bisakah kau jelaskan bagaimana persisnya aku menipumu dulu?" 　　Terima kasih untuk vote dan hadiah. Besok awal bulan baru, mari lanjutkan semangat. Sampai jumpa besok. 174.BAB 174 Kebenaran yang Terlambat 　　BAB 174 Kebenaran yang Terlambat 　　Dou Niang terdiam sejenak oleh pertanyaan Yongchang Bo. 　　"Katakan! Bagaimana aku menipumu?!" Yongchang Bo mengeras urat dahinya, sorot mata membeku. 　　Dou Niang memandang tak percaya pada Yongchang Bo yang mengamuk, kebencian di matanya hampir berwujud nyata: "Mana ada orang sebejat kau! Dulu kau bilang mencintaiku, sampai... sampai aku menyerahkan tubuhku padamu..." 　　"Sebuah angin berhembus, menerbangkan dedaunan yang jatuh di halaman dan menyapu sepatu banyak orang." 　　Para pelayan semua menundukkan kepala, tidak berani menunjukkan ekspresi aneh. 　　Xie Qingyao terus menggelengkan kepala: "Tidak mungkin, tidak mungkin, Ayahku bukan orang seperti itu!" 　　Xie Yinlou meletakkan tangan di bahu Xie Qingyao, memberikan penghiburan tanpa kata. 　　"Sang Bangsawan, karena sudah terbukti Dou Niang adalah pelakunya, jangan dengarkan omong kosongnya yang mencemarkan nama baik Tuan. Serahkan saja ke pemerintah untuk dihukum berat." Mandor utama mendekati Yongchang Bo dan berbisik menasihati. 　　Yongchang Bo mengangkat tangan: "Tidak, hari ini aku harus menanyakan sampai jelas! Dou Niang, kau bilang aku mengatakan suka padamu, mengapa aku sama sekali tidak ingat?" 　　Apakah ingatannya sudah memburuk sampai sedemikian rupa? Berpikir keras pun tak bisa mengingat kapan pernah berinteraksi dengan Dou Niang. 　　Sejak menikah sampai sekarang, selain Nyonya, dia hanya punya dua wanita, semuanya selir yang diatur Nyonya. 　　Dou Niang menyeringai dingin: "Kau adalah Bangsawan yang mulia, mana mungkin ingat dayang kecil yang pernah kau tiduri belasan tahun lalu!" 　　"Cukup!" Yongchang Bo tak tahan lagi berteriak keras, "Dou Niang, berani kau bersumpah ke langit bahwa aku benar-benar mengatakan ini semua padamu?" 　　Dou Niang segera mengangkat satu tangan: "Aku bersumpah ke langit—" 　　Di tengah kalimat, tiba-tiba dia berhenti bicara, wajahnya semakin pucat. 　　"Kenapa tidak lanjutkan?" Yongchang Bo menggigit gigi bertanya. 　　Dia benar-benar kemasukan roh jahat, bagaimana bisa bertemu perempuan gila seperti ini! 　　Di bawah tekanan Yongchang Bo, Dou Niang menarik napas dan berkata dengan penuh kebencian: "Kalimat ini memang tidak kau ucapkan langsung padaku, tapi menyuruh orang lain menyampaikannya kepadaku!" 　　Yongchang Bo semakin yakin wanita ini sudah benar-benar gila: "Siapa orang itu? Kau membuat-buat seseorang dari udara kosong lalu menuduhku?" 　　"Aku tidak mengada-ada!" teriak Dou Niang seperti terstimulasi, matanya berputar lalu tiba-tiba menunjuk seseorang, "Dulu kau menyuruh dia menyampaikan pesan, semua urusan setelahnya diatur olehnya!" 　　Orang-orang mengikuti arah jari Dou Niang, terkejut saat melihat orang yang dimaksud, banyak yang spontan berseru: "Mandor besar?" 　　Orang yang ditunjuk Dou Niang memang adalah mandor besar Keluarga Bo. 　　Mandor besar ini adalah orang kepercayaan Yongchang Bo, telah melayani di sisinya selama lebih dari sepuluh tahun. 　　"Kau... kau jangan mengada-ada!" wajah mandor besar berubah pucat, matanya panik. 　　Yongchang Bo menatapnya sambil mengerutkan alis: "Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　"Sang Bangsawan, jangan dengarkan omong kosong wanita gila ini--" 　　Yongchang Bo menendang dada mandor besar hingga terjatuh, berseru dengan keras: "Kalian semua menganggapku bodoh? Tidak mau mengaku? Baik! Mandor Liu, hitung semua anggota keluarga Mandor Li, jual mereka semua! Sepotong kertas pun tak boleh dibawa!" 　　Sekalipun mandor besar sudah mengabdi padanya bertahun-tahun, tapi karena difitnah oleh perempuan gila tanpa alasan jelas, bahkan sampai menyeret istrinya kehilangan nyawa - Yongchang Bo sudah tidak punya toleransi sedikit pun. 　　Dia hanya ingin tahu yang sebenarnya, semakin cepat semakin baik! 　　Mandor Liu yang disebut Yongchang Bo adalah mandor kedua di kediamanan, selama bertahun-tahun selalu berada di bawah mandor besar. Mendengar perintah itu, dia segera berseru lantang: "Siap!" 　　Mandor kedua mendekati mandor besar, memandang dari atas ke bawah ke arah mandor besar yang terjatuh duduk di lantai, bibirnya melengkung tipis: "Mandor Besar Li, silakan." 　　“Dia punya firasat buruk, setelah peristiwa ini, Mandor Besar Li yang selama ini menindasnya akan hancur. Akhirnya dia bisa bertahan sampai sukses.” 　　Kesombongan Mandor Kedua membuat Mandor Besar langsung roboh, meraih ujung jubah Yongchang Bo: “Sang Bangsawan, ini karena saya tergoda hantu! Lihatlah pengabdian saya selama ini, ampunilah saya kali ini!” 　　Mandor Besar mulai memukuli mulutnya sendiri berkali-kali. Tak lama kedua pipinya bengkak, jelas dia memukul dengan keras. 　　Yongchang Bo terlihat tenang secara tidak biasa, tapi setiap inci tubuhnya menegang, membuat orang yang melihatnya gemetar ketakutan. 　　“Saya tidak mau dengar omong kosong! Saya mau tahu apa yang sebenarnya terjadi tahun itu!” 　　Mandor besar yang memahami sifat Yongchang Bo, melihatnya seperti ini tahu bahwa situasi sudah tidak bisa diselamatkan, gemetar berkata: "Pada tahun itu… Nyonya sedang mengandung, ingin memilih selir untuk Sang Bangsawan. Banyak dayang di istana yang mulai berambisi, termasuk A Wan alias Dou Niang. A Wan cantik rupawan, sebenarnya saya sudah lama menaruh hati padanya, tapi tahu bahwa dia sombong dan tidak mau menjadi selir orang biasa, jadi tidak pernah berhasil memilikinya. Saat itu A Wan mendatangi saya minta bantuan, saya merasa ini kesempatan emas, lalu membohonginya bahwa Sang Bangsawan tertarik padanya, menyuruhnya menunggu di rumah kaca taman saat gelap. A Wan benar-benar percaya, datang ke tempat yang dijanjikan sesuai waktu. Di atas meja batu rumah kaca tersedia buah dan teh. Saya bersembunyi di tempat gelap mengawasi A Wan yang menunggu cukup lama. Karena bosan dan gugup, dia meminum teh yang sudah dicampur obat bius hingga tertidur lelap, lalu saya pun--" 　　Apa yang terjadi selanjutnya, semua orang sudah bisa menebaknya. 　　"Setelah berhasil, hamba meninggalkan sebuah gelang emas untuk A Wan. Awalnya hamba kira setelah bangun dia tidak akan berani berterus terang, lagipula mendapat gelang emas juga tidak merugi. Tak disangka dia malah mencari hamba dan menanyakan kejadian malam itu. Karena takut dia membuat keributan, hamba terpaksa membohonginya bahwa gelang itu peninggalan Sang Bangsawan yang berjanji akan membicarakannya dengan Nyonya untuk menjadikannya selir." Pandangan Mandor Besar ke Dou Niang memancarkan kebencian, "Kemudian ketika Nyonya mengumumkan Chunmei sebagai calon selir, A Wan kembali menuntut penjelasan. Hamba terpaksa mengelabuhnya lagi, mengatakan meski Sang Bangsawan puas dengannya tapi Nyonya tidak setuju, menyuruhnya bersabar satu dua tahun lagi. Tapi sama sekali tak disangka A Wan ternyata tidak bisa menerima penghinaan ini, malah langsung konfrontasi dengan Nyonya..." 　　Saat itu yang berhasil dirayunya bukan cuma A Wan. Pelayan lain lebih mudah diatasi, tidak seperti A Wan yang seperti plester kulit anjing sulit dilepaskan. Terpaksa hamba terus-menerus membohonginya. Untungnya Nyonya murka mendengar pengaduan A Wan dan langsung mengusirnya, sementara Sang Bangsawan sama sekali tidak memperhatikan A Wan. Barulah hamba mendapatkan ketenangan. 　　"Semua salah hamba. Seribu kali merencanakan tak terpikir A Wan setelah belasan tahun akan menyusup ke Keluarga Bo sebagai Dou Niang dan membahayakan Nyonya. Mohon Sang Bangsawan mengampuni nyawa hamba yang hina ini, saat itu hamba benar-benar kerasukan setan—" Mandor Besar yang tahu dosanya tak termaafkan hanya bisa membenturkan kepala ke lantai berharap keajaiban terjadi. 　　"Dou Niang tiba-tiba menerjang ke depan Mandor, kedua tangan mencekal kerah baju pria itu: 'Apa yang kau katakan benar?'" 　　Perempuan itu jelas tak tahan dirangsang kebenaran, matanya merah bermandikan kegilaan, genggaman semakin keras: "Bicara! Kau membohongiku, bukan?" 　　Jika inilah kebenaran, apa arti balas dendamnya? Si pembuat onar sejati masih hidup segar bugar di hadapannya. 　　Ia harus membunuh bajingan ini. 　　"Hakh-hakh, hentikan! Wanita gila ini—" Mandor mendorong Dou Niang dengan kasar. 　　"Cukup!" Yongchang Bo memandang Zhen Shicheng dengan wajah lesu, "Tuan Zhen, segera bawa kedua orang ini! Tak sudi kulihat mereka sedetik lagi!" 　　Sebutir air mata mengalir sunyi dari sudut mata Yongchang Bo, meleleh ke ujung bibir, terasa getir tak terperi. 　　Dosa apa yang telah kulakukan, sampai digerogoti wanita gila tak jelas begini? Istriku salah apa, sampai nyawanya melayang sia-sia? 　　Mungkin aku salah memilih orang, mempertahankan penjahat seperti Mandor hingga bencana ini datang. Atau sejak awal harusnya kutolak keras usul Nyonya memilihkan selir. 　　Tapi dunia ini, sayangnya tak mengenal kata 'seandainya'. 　　Yongchang Bo memegangi dadanya, tiba-tiba jantungnya tersayat nyeri dahsyat. Tubuhnya ambruk bagai boneka terputus tali. 　　Dengan muka tembok, kumohon dukungan Suara Bulanan! Selamat Hari Buruh! 175. BAB 175 Sayap Kupu-Kupu 　　BAB 175 Kupu-Kupu Sayap 　　Yongchang Bo tumbang terlalu tiba-tiba, meski sempat ditopang oleh Xie Yinlou yang sigap di dekatnya, tetap memicu teriakan panik. 　　"Ayah, ada apa dengan Ayah?" Xie Qingyao yang ketakutan hingga wajahnya pucat langsung berlari menghampiri. 　　Kepala Yongchang Bo terkulai di bahu Xie Yinlou, tak berdaya. 　　Melihat keadaan ini, Zhen Shicheng langsung bergegas mendekat sambil memanggil: "Sang Bangsawan, Sang Bangsawan!" 　　Yongchang Bo tetap memejamkan mata, seuntai darah perlahan mengalir dari sudut bibirnya. 　　Zhen Shicheng segera mengulurkan tangan untuk memeriksa nafas Yongchang Bo. 　　Tak ada nafas sama sekali. 　　Zhen Shicheng menarik kembali tangannya, berkata dengan suara berat: "Cepat panggil tabib!" 　　Xie Qingyao membelalakkan matanya, menggenggam tangan Yongchang Bo yang terkulai: "Ayah, kenapa Ayah?" 　　Zhen Shicheng membentak: "Jangan diguncang-guncang!" 　　Xie Qingyao kaget melepaskan pegangan, terduduk lesu menatap kedua tangannya yang kosong. 　　Jiang Si berdiri agak jauh, merasa pusing melihat Yongchang Bo yang mengucurkan darah dari mulutnya. 　　Tabib yang biasa bertugas di Kediaman Yongchang Bo segera datang membawa kotak obat, terkejut melihat kondisi sang bangsawan lalu buru-buru memeriksanya, sebelum akhirnya membeku. 　　"Bagaimana kondisi ayahku...?" Xie Yinlou berusaha tenang, namun suaranya tetap terdengar bergetar. 　　Tabib tahu bahwa ucapan yang paling sulit diungkapkan pun harus dikatakan, dengan suara gemetar dia berkata, "Sang Bangsawan... telah meninggal..." 　　Saat ini Yongchang Bo masih bersandar pada Xie Yinlou. Mendengar kabar itu, Xie Yinlou mengepal tangannya dengan kencang, ekspresinya terdistorsi. 　　Xie Qingyao menjerit kencang lalu limbung jatuh. 　　Jiang Si refleks meraih Xie Qingyao, tapi di saat yang sama hatinya diliputi kebingungan. 　　Yongchang Bo ternyata tewas! 　　Di kehidupan sebelumnya meski menderita sleepwalking, kondisi fisik Yongchang Bo selalu sehat. Tapi sekarang dia malah meninggal— 　　Jiang Si tak berani melanjutkan pikiran itu, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali. 　　Pandangan Zhen Shicheng tanpa sengaja tertuju pada Jiang Si, matanya penuh tanya. 　　Kematian Yongchang Bo memang mendadak, tapi bagi orang sepertinya yang terbiasa melihat kematian, dia tetap bisa menjaga ketenangan. Tapi mengapa Nona Jiang yang sebelumnya begitu tenang dan mengesankan, kini bisa panik seperti ini? 　　Dari reaksinya, dampak yang diterima Nona Jiang tidak kalah besar dibandingkan saudara Xie. Ini sungguh aneh. 　　"Paduka Zhen, apakah ayahku diracun?" Xie Yinlou mengucapkan kalimat itu perlahan, tatapannya pada Dou Niang tajam seperti pisau. 　　"Ini masih perlu pemeriksaan lebih lanjut sebelum mengambil kesimpulan." Zhen Shicheng memberi isyarat pada bawahannya untuk memindahkan jenazah Yongchang Bo ke dalam rumah untuk diperiksa. 　　Para pelayan di halaman menunggu dengan gemetar, bahkan tak berani menarik napas dalam-dalam. 　　Xie Qingyao akhirnya menemukan suaranya lagi, terisak parau, "Ayah—" 　　Dia menangis sangat menyedihkan, seluruh tubuhnya membungkuk seolah ingin mengeluarkan jantung dan paru-parunya dari tangisan. 　　Suara tangisan pilu itu bagai cambuk yang dicelupkan air asin menghantam ujung hati Jiang Si, menyisakan luka berdarah-darah. 　　Ia memeluk Xie Qingyao erat-erat, terus bergumam: "Qingyao, maafkan aku, maafkan..." 　　Meski tahu pelaku pembunuhan Yongchang Bo dan istrinya adalah Dou Niang, tapi bagaimanapun ia membohongi diri sendiri, tak bisa meyakinkan bahwa dirinya tak perlu bertanggung jawab. 　　Memang karena mulut longgarnya, nasib Yongchang Bo dan istrinya berubah. 　　Hidup dan mati, apakah karena niat baiknya ia bisa merasa tak berdosa? 　　Ia tak tahu bagaimana orang lain menghadapi hal seperti ini, setidaknya dirinya tak bisa. 　　Dua nyawa itu adalah orang tua sahabatnya, tiang penyangga sebuah keluarga bangsawan, entah terkait dengan nasib berapa banyak orang, hanya karena beberapa ucapannya, lenyap begitu saja. 　　Saat ini, Jiang Si akhirnya mengerti bahwa kemampuan meramal tak hanya membawa keuntungan, jika tak berhati-hati dalam bicara dan tindakan juga bisa mendatangkan malapetaka. 　　"Ah, ah—" Xie Qingyao mencengkeram tangan Jiang Si sambil menangis histeris, kukunya meninggalkan goresan darah di punggung tangan putih itu. 　　Xie Qingyao yang tenggelam dalam kesedihan tak menyadarinya, sementara Jiang Si hanya bisa diam menerima. 　　Tak lama kemudian, juru bedah mayat melapor: "Paduka, Sang Bangsawan bukan keracunan, tapi meninggal akibat penyakit jantung mendadak——" 　　“Omong kosong!” Xie Yinlou memotong ucapan juru bedah mayat dengan dingin, “Ayah saya selalu sehat dan kuat, tidak pernah ada dokter yang mengatakan beliau menderita penyakit jantung!” 　　Setelah berkata demikian, ia menyeret dokter Zhang dan bertanya keras, “Dokter Zhang, kondisi kesehatan ayah saya pasti paling Anda pahami, katakanlah!” 　　Dokter Zhang terus mengusap keringat, namun dalam situasi seperti ini jika tidak menjelaskan dengan jelas, profesi dokterannya juga akan sulit dijalani. Ia buru-buru menjelaskan, “Paduka, penyakit jantung mendadak berbeda dengan penyakit lain. Biasanya mungkin tidak terdeteksi, tapi jika terkena rangsangan hebat bisa saja—” 　　Xie Yinlou tiba-tiba menghunus pedang di pinggangnya dan berjalan menuju Dou Niang. 　　“Cegat dia!” teriak Zhen Shicheng. 　　Xie Yinlou menggenggam pedang dengan ekspresi dingin: “Tuan Zhen, saya ingin mencincang perempuan itu untuk membalas dendam orang tua, apakah Paduka akan menghalangi?” 　　Zhen Shicheng menggeleng: “Paduka jangan terburu nafsu, kebenaran sudah terungkap. Mereka akan mendapat hukuman setimpal.” 　　Xie Yinlou mendengus keras, mendorong petugas yang menghalanginya: “Minggir!” 　　“Kakak Xie, membunuh dengan tangan sendiri hanya akan mengotori tanganmu!” Jiang Si tak ingin Xie Yinlou menanggung tuduhan pembunuhan lagi, terpaksa bersuara meski hatinya sangat sesak. 　　Dendam karena istrinya direbut, kebencian karena ayahnya dibunuh—meski pembalasan dendam seperti ini bisa dimaklumi hukum, tetap berpotensi menimbulkan kontroversi bagi Xie Yinlou yang akan mewarisi gelar kebangsawanan. 　　“Setiap keluarga pasti punya beberapa teman, juga beberapa musuh. Saat seseorang jatuh, banyak yang siap melempar batu ke sumur.” 　　Jika Xie Yinlou sampai kehilangan gelar bangsawannya karena kasus pembunuhan ini, Jiang Si pasti tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. 　　Mata Xie Yinlou yang hitam pekat seperti giok menghadap ke arahnya, menyembunyikan gelombang emosi yang tak terbaca. 　　Jiang Si memeluk Xie Qingyao sambil membujuk, "Kakak Xie, mereka telah menghancurkan Keluarga Bo sampai seperti ini. Membiarkan mereka mati cepat dengan sekali tebasan pedang bukanlah hukuman yang setimpal!" 　　Mata Xie Yinlou berkedip. Pedangnya kembali masuk ke sarung. 　　Zhen Shicheng mendekat dan menepuk bahu Xie Yinlou, "Putra Mahkota, terimalah takdir ini. Jika Keluarga Bo membutuhkan bantuan apapun setelah ini, silakan kirim utusan ke Shuntianfu." 　　Xie Yinlou menunduk mengucap terima kasih. 　　"Ikat Dou Niang dan sang Mandor, bawa mereka pergi!" Setelah memberi perintah, Zhen Shicheng memberi hormat pada Jiang Si, "Nona Jiang, bantuanmu sangat berarti bagiku. Aku akan datang ke kediamanmu untuk mengucap terima kasih secara resmi." 　　Hmm, dengan begitu aku bisa sekalian membawa putraku. 　　Pikiran Jiang Si kacau balau. Ia membalas hormat dengan tergesa-gesa, "Hamba tidak layak menerima ucapan terima kasih Paduka. Hamba hanya melakukan hal kecil." 　　Zhen Shicheng segera pergi dengan rombongannya. Xie Yinlou menghampiri Jiang Si, suaranya serak, "Hari ini terima kasih banyak. Aku akan mengantarmu pulang." 　　Di situasi seperti ini mana mungkin Jiang Si mau diantar Xie Yinlou. Ia pun menolak halus. 　　“Xie Qingyao menarik-narik tangan Jiang Si tidak mau melepaskannya, Xie Yinlou melirik adik perempuannya: "Qingyao, urusan pemakaman ayah dan ibu masih harus kita tangani, biarkan Nona Jiang pulang dulu."” 　　“A Si——” Xie Qingyao menatap Jiang Si sambil meneteskan air mata, terlihat sangat memilukan. 　　Jiang Si menggenggam tangan Xie Qingyao: "Aku akan pulang memberi tahu keluarga, lalu kembali menemanimu." 　　Barulah Xie Qingyao melepaskan tangannya. 　　Jiang Si melangkah keluar dari gerbang Kediaman Yongchang Bo, disambut sinar matahari yang menyilaukan, kakinya limbung hampir terjatuh. 　　“Nona, Anda baik-baik saja?” Ah Man segera menyangga tubuhnya. 　　Jiang Si menggelengkan kepala, melanjutkan langkah hingga hampir tiba di Kediaman Dongping Bo lalu berhenti. 　　Seekor Anjing Besar mengibas-ngibaskan ekornya dengan riang ke arahnya. 　　Periode double suara bulanan sedang berlangsung, mohon dukungan vote-nya. 176. BAB 176 Air Mata 　　BAB 176 Air Mata 　　Mata Ah Man berbinar: "Wah, ini kan Er Niu!" 　　Er Niu sepertinya merasakan suasana hati Jiang Si yang tidak stabil, mengendus-endus tangannya sambil mengeluarkan suara merengek dari tenggorokan. 　　Saat melihat Er Niu, ketegangan Jiang Si langsung mengendur, senyum lembut bernuansa sedih mengembang: "Er Niu, kenapa kamu datang kemari?" 　　Tak bisa dipungkiri, kehadiran Er Niu saat ini menjadi penghibur bagi hati Jiang Si yang sedang terluka. 　　“Ayahnya baik, kakak laki-lakinya juga baik. Tapi di kehidupan selanjutnya pada masa lalu, satu terpisah dalam hidup, satu berpisah oleh kematian. Yang menemani di sisinya selain Yu Qi (Pangeran Ketujuh) hanyalah Er Niu.” 　　“Bahkan saat sekarat di kehidupan sebelumnya, ia samar-samar mendengar gonggongan Er Niu.” 　　“Mungkin itu hanyalah ilusi, tapi bagi Jiang Si, Er Niu benar-benar bukan sekadar anjing biasa, melainkan keluarga yang telah lama menemaninya.” 　　“Guk——” Er Niu menggonggong sambil memalingkan kepala. 　　“Jiang Si mengikuti arah pandangannya, lalu melihat sorot mata pemuda yang telah menunggu lama di bawah pohon tak jauh bersinar terang.” 　　“Banyak orang yang menonton keriuhan di luar Kediaman Yongchang Bo. Yu Jin yang berdiri di bawah pohon tidak mencolok, tapi saat Jiang Si melihatnya, matanya tak lagi melihat orang lain.” 　　“Setelah sekilas tertegun, Jiang Si langsung berbalik pergi.” 　　“Yu Jin menyusul dengan langkah lebar dan menghalanginya.” 　　“Awalnya dia menyiapkan dua strategi: pertama mengadu, kedua mengeluh dengan sedih. Tapi saat melihat wajah pucat gadis itu, semua strategi terlupakan, yang keluar justru: 'Siapa yang menyakitimu?'” 　　“Entah mengapa, mendengar ini, Jiang Si yang tadi masih berlapis baja tiba-tiba hancur pertahanannya. Air mata berderai seperti mutiara yang putus talinya.” 　　“Butiran air mata jernih mengalir di pipi putih pucatnya, membuat wajahnya terlihat semakin rapuh.” 　　“Yu Jin langsung panik, buru-buru mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap air matanya: "Jangan menangis, aku akan membalaskan dendammu!" 　　Jiang Si seperti tersentak dari mimpi, mundur dua langkah seolah tersengat, lalu berbalik dan lari tergesa-gesa. 　　Memandang punggung gadis itu menghilang di pintu, wajah tampan Yu Jin berubah muram. 　　Sebenarnya apa yang terjadi? 　　Dia bisa berbicara dengan lancar menghadapi preman bahkan pembunuh tanpa ketakutan, mengapa tadi menangis seperti itu? 　　Begitu teringat butiran air mata jernih itu, hati Yu Jin langsung terasa perih. 　　Dia sendiri saja tidak tega membuatnya menangis, siapa bajingan yang sudah bosan hidup itu? 　　Yu Jin mengalihkan pandangannya ke pintu Kediaman Yongchang Bo. 　　Sejak tadi pagi dia sudah diam-diam mengamati, mengetahui Istri Yongchang Bo ditemukan tewas di kamar pagi itu. Keluarga Bo memanggil Prefect Shuntian untuk menyelidiki. A Si adalah sahabat Nona Xie, selama ini tinggal di Kediaman Yongchang Bo. Keanehan ini pasti terkait keluarga itu. 　　Dia harus mencari tahu kebenarannya. 　　"Long Dan--" Yu Jin memanggil. 　　Seorang pria berwajah bayi melompat dari pohon, tersenyum lebar: "Ada perintah apa, Tuanku?" 　　Yu Jin kesal melihat senyum itu: "Apa yang lucu!" 　　Long Dan cemberut: "Tuanku, hamba sedang bersukacita untuk Tuanku." 　　Alis Yu Jin berkedut halus. 　　"Senang? Dia sedang gelisah, ada yang bisa disenangi?" 　　Long Dan mengedipkan mata: "Tuanku, Anda tidak mengerti. Seorang gadis menangis di depan pria, ini menandakan apa?" 　　"Artinya dia sangat sedih." 　　"Tuanku, pemikiran Anda terlalu sederhana. Ini menunjukkan pria ini istimewa di hati gadis itu. Coba pikir, kenapa Nona Jiang tidak menangis di depan hamba?" 　　"Kamu ingin dia menangis di depanmu?" Yu Jin menyipitkan mata mengancam. 　　Long Dan merinding, mengusap keringat: "Hamba hanya memberi contoh, tuanku jangan salah paham!" 　　"Contoh juga tidak boleh." Yu Jin mengerutkan alis tak puas, tiba-tiba mengubah nada, "Katakan, bagaimana perbedaanku di hatinya?" 　　Long Dan membuka mulit ternganga. 　　Dari mana dia tahu, dia hanya ingin menghibur tuannya saja! 　　"Ehem... Nona Jiang bisa menangis di depan Anda, membuktikan Anda orang yang bisa diandalkan di hatinya. Bukankah orang hanya tunjukkan perasaan sejati di depan yang dipercaya?" 　　Yu Jin merenung, merasa ucapan Long Dan masuk akal, hatinya langsung berbunga-bunga. 　　Rupanya si gadis itu selalu berkata tak sesuai hati, sebenarnya sangat mempercayainya. 　　Ini tidak baik, bagaimana bisa dia merasa senang saat A Si sedang sedih! 　　Yu Jin introspeksi diri diam-diam, memerintahkan Long Dan: "Selidiki keadaan Kediaman Yongchang Bo, perhatikan khusus apakah Nona Jiang mengalami sesuatu." 　　Long Dan pergi menjalankan tugas, meninggalkan seorang manusia dan anjing yang saling tatap. 　　Er Niu memandang tuannya dengan pandangan merendahkan. 　　Tidak berguna, nyonya kabur lagi. 　　Yu Jin mengulurkan tangan memukul Er Niu, marah berkata: "Pandangan apa itu?!" 　　"Guk guk." Er Niu menggonggong sekadarnya dua kali, lalu lari sambil mengibas-ngibaskan ekornya. 　　Yu Jin menyilangkan tangan di dada, matanya tak berkedip menatap gerbang Dongping Bo Residence. 　　Entah hari ini dia akan keluar atau tidak. Kalau tidak, haruskah aku masuk? 　　Pangeran Ketujuh Yu mengusap dagunya, serius merenungkan masalah serius ini. 　　Saat Yu Jin merenungkan berapa tamparan yang akan didapatnya jika menyelinap ke kamar Jiang Si, Long Dan kembali melapor: "Tuanku, sudah dapat informasi!" 　　Yu Jin tersadar: "Katakan." 　　"Pembunuh Istri Yongchang Bo ternyata adalah koki keluarga Bo. Koki itu murni membunuh karena salah paham pada Yongchang Bo. Yongchang Bo marah hingga sakit jantung dan meninggal juga..." 　　"Bagaimana dengan Nona Jiang?" Meski kematian mendadak Yongchang Bo dan istrinya mengejutkan, Yu Jin yang sudah terbiasa dengan kematian hanya peduli pada Jiang Si. 　　"Nona Jiang? Ini tidak ada hubungannya dengan Nona Jiang." Long Dan terkejut sebentar, lalu tersadar, "Hamba dengar Nona Jiang memberikan kontribusi besar dalam penyelidikan kasus ini. Bahkan Prefect Shuntian memujinya tanpa henti. Katanya akan datang mengucapkan terima kasih." 　　Datang mengucapkan terima kasih? 　　Bayangan pria tua lusuh langsung muncul di pikiran Yu Jin, membuatnya langsung lega. 　　Kembali ke kantor kabupaten, Zhen Shicheng: "..." Apa kesalahpahaman orang-orang sampai menyebut pria paruh baya tampan ini sebagai kakek lusuh? 　　"Lalu kenapa dia menangis?" Yu Jin bergumam. 　　"Tuanku, keluarga Nona Jiang kan bertetangga dengan Kediaman Yongchang Bo. Mungkin pasangan Yongchang Bo baik padanya, jadi ikut sedih." 　　Pandangan Yu Jin kembali tertuju ke Dongping Bo Residence. 　　Menurutnya ini tidak sesederhana itu, sepertinya perlu ditanyakan langsung. 　　Jiang Si masuk ke Dongping Bo Residence, bergegas memberi perintah pada Ah Man: "Beri tahu Tuan Besar, Yongchang Bo telah meninggal." 　　Ah Man tak tahan bertanya: "Nona, kemana Nona pergi?" 　　"Aku akan kembali ke Haitangju untuk membereskan sesuatu." Jiang Si berjalan cepat tanpa menoleh. 　　Berlari terburu-buru ke Haitangju, wajah pucat Jiang Si membuat A Qiao kaget. 　　"Nona——" 　　Jiang Si melambaikan tangan, langsung masuk kamar dan mengunci pintu, meninggalkan A Qiao di luar. 　　Meski A Qiao biasa tenang, sikap majikannya membuatnya cemas. Ia menempelkan telinga di pintu mendengarkan aktivitas dalam. 　　Tangisan tertahan terdengar dari dalam kamar. 　　Nona menangis? 　　A Qiao panik, menjenguk ke luar tapi tak melihat bayangan Ah Man, semakin gugup. 　　Yang kerja sudah pada kerja, yang sekolah sudah pada sekolah. Jadi.... yang mau memberi vote silakan vote ya (kabur sambil nutupi kepala pakai panci). 177.BAB 177 Tersembunyi Dalam 　　BAB 177 Tersembunyi Dalam 　　"Tangisan di dalam ruangan sangat samar, samar sampai membuat orang merasa mencekam." 　　A Qiao gelisah, sesekali menyimak suara di balik pintu kamar, sesekali menunggu Ah Man di koridor. Setelah waktu yang terasa lama, akhirnya dia melihat bayangan Ah Man dan segera menyambutnya. 　　"Ah Man, kenapa kamu tidak ikut Nona pulang bersama!" 　　"Nona menyuruhku menyampaikan pesan ke Tuan Besar tadi." 　　A Qiao menarik pergelangan tangan Ah Man ke sudut, berbisik: "Ada apa dengan Nona?" 　　"Nona?" Ah Man berseri-seri, "Nona hari ini sangat hebat, membantu Tuan Besar yang sedang menyelidiki kasus—" 　　A Qiao memotong: "Kupikir Nona terlihat tidak seperti biasanya." 　　Dia menunjuk ke dalam pelan: "Dengar, Nona sedang menangis." 　　Ah Man segera menempelkan telinganya ke pintu, benar mendengar isak tangis yang tertahan. 　　"Sebenarnya apa yang terjadi pada Nona?" 　　Ah Man bingung: "Nona menangis sangat sedih... Oh iya, Yongchang Bo sudah tiada." 　　A Qiao terkejut: "Maksudmu Yongchang Bo tiada?" 　　"Ya, meninggal." Ah Man menceritakan kronologi kejadian. 　　A Qiao terpana, bergumam: "Mungkin Nona sedang berduka untuk Nona Xie?" 　　Ah Man mengangguk: "Benar, kehilangan orang tua dalam sehari pasti tak tertahankan bagi siapa pun. Aku masih ingat Istri Yongchang Bo sangat menyayangi Nona kita. Wajar kalau Nona merasa sedih." 　　A Qiao sedikit lega. 　　Suara Jiang Si terdengar dari dalam kamar: "A Qiao, tolong ambilkan baskom air untukku." 　　"Ya." A Qiao menyahut sambil menyeringai ke arah Ah Man. 　　Ah Man mendekati pintu: "Nona, hamba sudah menyampaikan pesan." 　　"Masuklah." 　　Ah Man masuk dan melihat Jiang Si duduk tegak di meja, bekas air mata sudah tak terlihat meski matanya masih merah. 　　"Nona—" Ah Man memanggil dengan hati-hati. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Tak apa. Aku hanya sedih mengingat Yongchang Bo dan istrinya dulu memperlakukan aku seperti keponakan." 　　Rasa bersalah dan penyesalan itu harus tetap terkubur dalam hati bersama rahasia kelahirannya kembali, tak mungkin diceritakan kepada siapa pun. 　　"Sudahkah Ayah dan yang lain pergi ke sana?" 　　"Tuan Besar, Tuan Ketiga, dan Nyonya Ketiga sudah berangkat bersama." 　　Tuan Jiang Kedua pergi ke kantor, Nyonya Xiao Istri Kedua sibuk mengurus rumah tangga, sementara Jiang Zhan dan yang lain berangkat ke sekolah pagi-pagi dan belum pulang. 　　Jiang Si berpikir sejenak: "Ah Man, tolong sampaikan kabar ini ke Tuan Kedua. Ceritakan tentang kejadian di Kediaman Yongchang Bo." 　　Jiang Zhan dan Xie Yinlou adalah teman bermain sejak kecil. Meski sifat mereka bertolak belakang setelah dewasa, hubungan mereka tetap dekat. Dalam situasi seperti ini, tentu tidak ada alasan untuk tidak terlibat. 　　Ah Man pun pergi menjalankan tugas. 　　Jiang Si dibantu A Qiao membersihkan wajah dan mengaplikasikan bedak hingga tidak terlihat jejak tangisan, lalu berangkat menuju Cixintang. 　　Ia khawatir dengan keadaan Xie Qingyao dan berencana menemaninya tinggal beberapa hari, sehingga perlu memberitahu Nyonya Feng. 　　Nyonya Xiao Istri Kedua sedang melaporkan urusan rumah tangga kepada Nyonya Feng. 　　Sejak Jiang Qian bercerai secara moral dari Putra Mahkota Marquis Changxing dan kembali ke rumah orang tua, Nyonya Feng semakin tidak puas dengan Nyonya Xiao dan putrinya. Meski tetap memberi wewenang mengurus rumah tangga, Nyonya Feng kerap meminta laporan kondisi keluarga, menunjukkan keraguan akan kemampuan Nyonya Xiao. 　　Nyonya Xiao geram namun tak berdaya. 　　Sang putri terkena musibah seperti ini, sekarang hanya bisa menahan amarah. 　　Tunggu saja, meski Qian'er dalam kesulitan, ia masih punya dua putra. Terutama putra sulung yang akan mengikuti ujian provinsi musim gugur. Jika lulus dalam daftar kelulusan, kehormatannya akan pulih. 　　Nyonya Xiao berpikir jernih: selama kedua putranya sukses, putrinya akan memiliki sandaran dari saudara laki-lakinya di masa depan. 　　Soal si nenek tua ini—ha! Separuh kakinya sudah masuk liang kubur. Pasti tiba saatnya ia benar-benar menjadi penguasa rumah ini. 　　Memikirkan ini, dada Nyonya Xiao terasa sesak. 　　“Setidaknya selama beberapa tahun ini dia harus melayani si nenek tua ini dengan baik, Suami beliau tidak boleh berkabung karena kehilangan ibunya, kalau tidak akan sangat menghambat masa depannya.” 　　Jiang Si menunggu sebentar, kemudian dibawa masuk oleh A Fu. 　　Mendengar maksud kedatangannya, Nyonya Feng mengangkat kelopak matanya: “Mau tinggal sementara di Kediaman Yongchang Bo?” 　　“Ya, Qingyao kehilangan kedua orangtuanya dalam sehari, aku khawatir dia tidak tahan.” 　　Xiao Shi menebak pikiran Nyonya Feng, menyela: “Keluarga mereka mengalami musibah sebesar ini, saudara sedarah dan keluarga besan pasti akan segera datang. Nanti akan ada banyak saudari yang menemani Nona Besar Xie. Nona Keempat, keluarga mereka sedang dalam masa berkabung, jangan kau tambah kerepotan mereka.” 　　Jiang Si menaikkan alis, tersenyum sinis ke arah Xiao Shi: “Bibi Er menyebut menemani teman yang sedang susah sebagai menambah kerepotan? Untung dulu saat Kakak Kedua kembali ke kediaman, aku tidak berani mendekatinya, kalau tidak pasti akan dianggap menambah kerepotan juga.” 　　Moodnya sedang tidak baik, terhadap kesulitan yang sengaja dibuat Xiao Shi, dia membalas tanpa ampun. 　　Wajah Xiao Shi berubah mendadak karena ucapan Jiang Si: “Nona Keempat, apa maksudmu ini? Kau dan Qian'er adalah satu keluarga, kalau kau menjenguknya, dia pasti senang. Tapi Nona Besar Xie berbeda, dia punya begitu banyak sepupu dari pihak ayah dan ibu. Kalau kau kesana, mereka harus melayanimu, bukan menambah kerepotan lalu apa?” 　　“Membicarakan ini membuatku kesal. Dulu saat Qian'er kembali ke kediaman, semua saudari di keluarga ini menghindar. Jiang Li dan Jiang Pei, dua si gadis kecil itu, baru berperilaku sopan setelah Qian'er menunjukkan wajah masam. Sedangkan Jiang Si dan Jiang Qiao sampai sekarang belum mengunjungi Qian'er sama sekali.” 　　“Para pelayan itu selalu pandai menilai situasi. Qian'er sedang dalam kesulitan, tentu dia berharap para tuan di keluarga ini menunjukkan sikap bersahabat untuk membuatnya tenang.” 　　“Bersikap dingin pada saudari sekeluarga, tapi peduli pada gadis tetangga. Aku sengaja tidak mau membuat si gadis kecil ini senang!” 　　“Ibu Suri, nasib Qian'er malang. Nona Keempat juga pernah membatalkan pertunangan. Sekarang sudah banyak desas-desus tentang gadis-gadis di kediaman kita. Menurutku, para nona sebaiknya tetap di rumah saja.” 　　“Perkataan Xiao Shi ini sesuai dengan keinginan Nyonya Feng: 'Bibi Ermu benar. Ayahmu dan Paman Ketiga sudah pergi membantu. Sebagai gadis, kamu tidak perlu ke sana.'” 　　“Jiang Si menundukkan mata sambil tersenyum: 'Bagaimana jika Kediaman Yongchang Bo mengundang cucu perempuan ini? Jika kita menolak, orang luar akan menganggap kita tak peduli setelah orangnya tiada.'” 　　“Nyonya Feng yang paling memperhatikan reputasi langsung berkata: 'Jika mereka mengundang, tentu harus pergi.'” 　　“Saat ini Kediaman Yongchang Bo hanya menyisakan dua anak kecil yang sibuk berduka, mana sempat mengirim utusan untuk mengundang Si'er?” 　　“Menurutnya, Si'er ini hatinya liar. Pergi keluar setiap dua tiga hari, sama sekali tak punya tata krama.” 　　“Nyonya Feng berpikir sampai di sini, rasa tidak puasnya terhadap Jiang Si semakin memuncak. 　　Atau bisa dikatakan setelah mengalami peristiwa Jiang Qian, dia tidak puas dengan semua cucu perempuannya. 　　Si gadis-gadis kurang ajar ini tidak ada yang berguna, satu per satu hanya bisa menambah masalah. 　　"Nona Keempat, silakan mundur dulu, saya masih ada urusan yang perlu dilaporkan ke Ibu Suri." Xiao Shi tersenyum puas sambil mengangkat sudut bibir. 　　Pintar bicara lalu? Tanpa perlindungan ibu kandung, semua kesulitan harus ditanggung sendiri! 　　Jiang Si tersenyum, lalu membungkuk hormat dan pamit. 　　Tak lama setelah Jiang Si pergi, dayang masuk melapor: "Ibu Suri, mandor dalam Kediaman Yongchang Bo mohon audiensi." 　　Alur cerita belakangan ini agak berat, saya akan menceritakan lelucon baru saja terjadi untuk menghibur kalian: Kemarin saya ajak dua anak makan pagi, pesankan mie daging sapi untuk kakak. Saat makan setengah, kakak bilang: "Bahan tambahan habis, saya mau tambah sedikit." Saya bilang: "Mau tambah apa? Jangan makan terlalu banyak acar kacang asam." Kakak jawab: "Saya mau tambah daging sapi." Sekarang kabar baik: Dua hari ini saya berusaha menabung naskah untuk bisa update 5 bab suatu hari nanti. Mohon dukungan dan vote! 178.BAB 178 Pikiran Xiao Shi 　　BAB 178 Pikiran Xiao Shi 　　Jiang Si belum sampai di Haitangju sudah dipanggil kembali. 　　Mandor dalam Kediaman Yongchang Bo terlihat sangat berterima kasih: "Terima kasih banyak Ibu Suri, Putra Mahkota kami khawatir pada Nona Pertama, terpaksa merepotkan Nona Keempat untuk datang. Tenang saja, kami pasti akan menjaga Nona Keempat dengan baik." 　　Nyonya Feng tersenyum: “Tetangga dekat lebih baik daripada saudara jauh, sudah seharusnya.” 　　Setelah berkata demikian, ia menatap Jiang Si dan menasihati: “Setibanya di sana, temani baik-baik Nona Xie, jangan sampai merepotkan tuan rumah.” 　　Jiang Si mengangguk patuh, lalu pergi bersama mandor dari Kediaman Yongchang Bo. 　　Wajah Xiao Shi memerah tak nyaman, tak kuasa berkata: “Putra Mahkota Yongchang Bo masih muda, hanya memikirkan persahabatan Nona Keempat dengan Nona Xie, aspek lain sama sekali tidak dipertimbangkan.” 　　Nyonya Feng melirik Xiao Shi, berujar penuh makna: “Apa salahnya muda? Siapa yang tidak pernah muda? Apalagi Putra Mahkota Yongchang Bo ini, tak lama lagi akan menjadi penguasa kediaman.” 　　Xiao Shi merasa jantungnya berdebar kencang. 　　Apa maksud ibu suri ini? 　　Memang Putra Mahkota Yongchang Bo akan mewarisi gelar, tapi apa hubungannya dengan Dongping Bo Residence? 　　“Tanpa dukungan orang tua, meski seorang anak yang belum dewasa menjadi penguasa kediaman, kemungkinan kejayaan Kediaman Yongchang Bo tidak akan seperti dulu.” 　　Nyonya Feng tertawa: “Kesulitan sementara bukan masalah. Bagaimanapun gelar ini tak bisa dirampas siapa pun. Nanti setelah menikahi istri yang bijak, masihkah khawatir tidak bisa mengelola kediaman dengan baik?” 　　Awalnya ia tidak ingin Jiang Si pergi, namun karena yang mengundang adalah Putra Mahkota Yongchang Bo, seketika ia berubah pikiran. 　　Putra Mahkota Yongchang Bo dan Si'er tumbuh besar bersama. Jika pasangan Yongchang Bo masih hidup, mungkin mereka akan memandang rendah Si'er karena pernah memutuskan pertunangan, tapi para pemuda biasanya tidak memperdulikan hal seperti itu. Jika Si'er beruntung, menikah kesana akan menjadikannya Nyonya Bangsawan. 　　Begitu mendengar Nyonya Feng menyebut kata "wanita berbudi", Xiao Shi tiba-tiba tersadar. 　　Apakah Ibu Suri ingin menjodohkan Jiang Si dengan Putra Mahkota Yongchang Bo? 　　Memikirkan hal ini, kecemburuan yang kuat muncul dari dasar hati Xiao Shi. 　　Jika Jiang Si benar-benar menikah dengan Putra Mahkota Yongchang Bo, setelahnya dia akan menjadi Nyonya Bangsawan. Bahkan tiga tahun kemudian saat resmi menikah, usianya masih belum genap dua puluh tahun. 　　Putri mana yang menikah ke keluarga bangsawan dan bisa menjadi nyonya rumah di usia begitu muda? Jika benar terjadi, nasib Jiang Si terlalu mujur! 　　Dengan hati penuh kecewa, Xiao Shi meninggalkan Cixintang dan berjalan dengan muka masam menuju Yaxinyuan, pikirannya masih terpaku pada perkataan Ibu Suri. 　　"Ibu." 　　Xiao Shi tersentak, melihat dua putri selirnya berdiri tak jauh darinya memberi salam. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu. 　　Nona Kelima Jiang Li berusia 14 tahun tahun ini, Putri Keenam dari Selir Jiang Pei berusia 13 tahun. Kedua gadis ini sedang dalam masa mekar seperti bunga. Tiga tahun lagi, tepat saat bunga merekah sempurna. 　　Hati Xiao Shi tiba-tiba berdebar kencang. 　　Qian'er sudah pernah menikah. Mencari pejabat kecil untuk pernikahan kedua bukan hal sulit, tapi bermimpi menikahi Sang Bangsawan adalah khayalan belaka. Dia masih punya kesadaran diri. Tapi dua putri selir ini belum tentu tidak punya peluang. 　　Putra Mahkota Yongchang Bo tidak memiliki orang tua yang mengawasi. Jika ia jatuh cinta pada seorang nona dan bersikeras menikahinya, tak ada yang bisa menghalangi. 　　Ia sangat paham, bagi pria muda latar belakang wanita tidak terlalu penting. Buktinya Putra Ketiga Keluarga An Guogong memilih wanita biasa daripada Jiang Si. 　　Hmm, padahal para sesepuh keluarga masih hidup. 　　Semakin Xiao Shi memikirkannya, semakin ia merasa rencana ini layak dilakukan. Matanya mengamati wajah kedua anak selir itu bergantian. 　　Jiang Li itu penurut, mudah dikendalikan, tapi sifatnya mungkin tak disukai pria. Sedangkan Jiang Pei— 　　Pandangan Xiao Shi tertahan lebih lama di wajah Jiang Pei. 　　Gadis itu berwajah oval dengan alis tipis dan mata almond yang menggoda. Pinggangnya ramping lentur seperti batang willow yang lembut. 　　Sebenarnya semua nona di keluarga ini cantik, hanya karena kecantikan Jiang Si terlalu mencolok sehingga saudari lainnya terkesam. 　　Xiao Shi telah menentukan pilihan. "Ikut aku," perintahnya pada Jiang Pei. 　　Jiang Pei gemetar ketakutan di bawah tatapan itu, terus bertanya-tanya kesalahan apa yang diperbuat. Ia pun mengikut dengan patuh. 　　Jiang Li mengerutkan kening melihat adiknya mengikuti Xiao Shi masuk ke dalam rumah. 　　Sejak Kakak Kedua pulang, selir utama sama sekali mengabaikan ia dan Adik Keenam. Mengapa hari ini adiknya dipanggil sendiri? 　　"Jiang Li merasa ada sesuatu yang terjadi, akhirnya hanya bisa menghela napas pelan dan pergi diam-diam." 　　Masuk ke dalam ruangan, Xiao Shi menunjuk bangku ukir berbunga: "Duduklah." 　　Jiang Pei duduk di pinggir bangku, raut wajahnya patuh menunggu Xiao Shi berbicara. 　　"Aku ingat waktu kecil kau sering bermain dengan Putra Mahkota Yongchang Bo, bukan?" 　　Jiang Pei tertegun. 　　Putri sulung Yongchang Bo yang sebaya dengan Jiang Si sering bermain bersama, sehingga Putra Mahkota Yongchang Bo pun kerap menemani mereka. Waktu itu dia iri hati, beberapa kali mencoba mendekat, tapi mereka tidak menggubrisnya. 　　Jiang Pei tak paham maksud Xiao Shi, menunduk dengan ekspresi malu-malu. 　　"Dalam 3-4 tahun lagi kau akan memasuki usia pernikahan. Selama itu ibuku akan mencari pasangan yang cocok, kau sendiri harus berusaha, mengerti?" 　　"Putri mengerti." 　　"Baik, kau boleh pergi." 　　Jiang Pei semakin bingung, saat menginjakkan kaki di ambang pintu tiba-tiba tersadar: Apakah selir utama menyuruhnya mendekati Putra Mahkota Yongchang Bo? 　　Memikirkan ini, jantung Jiang Pei berdebar kencang. 　　Dia pernah dengar, orang tua Putra Mahkota Yongchang Bo sudah meninggal, dan dia akan segera mewarisi gelar - selain itu, sifat dan penampilan sang Putra Mahkota sangat memuaskan hatinya. 　　Memikirkan dukungan selir utama untuk mendekati Putra Mahkota Yongchang Bo, hati Jiang Pei langsung berbunga-bunga. 　　"Sama sekali tidak menyangka kejadian baik ini akan menimpa dirinya!" 　　Dengan dukungan selir utama, asalkan dia mampu membuat Putra Mahkota Yongchang Bo tertarik, maka dia bisa menjadi Nyonya Bo yang gemilang. Saat itu, bukan hanya Jiang Si, bahkan kakak tirinya Jiang Qian yang selalu bersikap tinggi hati di hadapannya akan diinjak-injaknya seumur hidup. 　　Jiang Pei semakin bersemangat memikirkannya, dia membungkuk memberi hormat pada Xiao Shi: "Terima kasih, Ibu!" 　　Xiao Shi tersenyum tipis: "Pergilah." 　　Si gadis ini cukup lihai. Selanjutnya dia tinggal menunggu hasil. Jika berhasil, ini akan menjadi aset besar untuk keluarga mereka. Jika gagal, toh dia cuma anak selir, bisa dibuang begitu saja. 　　Jiang Si berjalan menuju Kediaman Yongchang Bo ditemani nenek mandor. Xie Yinlou justru menyambut keluar dari gerbang. 　　Xie Yinlou kini telah berganti pakaian kain kasar yang justru menonjolkan ketampanannya. Kesedihannya tertahan rapi, hanya sudut matanya yang sedikit kemerahan. 　　"Adik Keempat Jiang, terima kasih sudah datang. Qingyao kuserahkan padamu." 　　Jiang Si menunduk memberi hormat ringan: "Tenanglah Kakak Xie. Uruslah pekerjaanmu, aku akan menjaganya baik-baik." 　　Xie Qingyao sebagai gadis muda tidak perlu mengurus persiapan pemakaman orang tua. Semua beban akan dipikul Xie Yinlou. 　　Dari raut wajahnya, Jiang Si tahu dia sudah siap mental. 　　"Ayo masuk." Xie Yinlou memberi jalan, berjalan mendampingi Jiang Si. 　　Memandang sepasang kekasih yang tampan dan cantik berjalan berdampingan masuk ke Kediaman Yongchang Bo, Yu Jin muncul dari balik pohon dengan setengah badannya terlihat, hidungnya hampir melengkung karena marah. 　　"Hari terakhir suara bulanan double! Sayangku, manfaatkan kesempatan untuk mencintaiku ini! Butuh cinta kalian untuk mengatasi kemalasan menulis draft!" 179. BAB 179 Sebuah Sungai Besar 　　BAB 179 Sebuah Sungai Besar 　　Lentera merah di gerbang Kediaman Yongchang Bo telah diganti lentera putih bertuliskan karakter 'dian', tapi wajah Yu Jin lebih pucat dari lentera putih yang bergoyang-goyang itu. 　　"Dia menunggu di sini setengah mati, hanya untuk ini?" 　　Tinjunya menghantam batang pohon, membuat pohon besar itu bergetar hebat dan menjatuhkan banyak daun. 　　"Tuanku, tangan Tuanku berdarah!" 　　Yu Jin mengeluarkan saputangan dan dengan acuh membersihkan punggung tangannya, matanya tetap menatap kaku ke pintu gerbang Kediaman Yongchang Bo. 　　Long Dan diam-diam memutar matanya. 　　Tuannya ini benar-benar tong cuka. Keluarga Yongchang Bo sedang mengalami musibah besar, Putra Mahkota Yongchang Bo sekaliber brengsek mana mungkin punya pikiran mesum saat seperti ini. Nona Jiang pasti aman. 　　Dia sama sekali meremehkan tuannya sendiri. 　　Yu Jin bukan sekadar tong cuka, dia adalah sungai cuka! 　　Logika yang dipahami Long Dan mana mungkin tidak dia pahami. Tapi begitu membayangkan Jiang Si berdiri di samping pria lain, dadanya langsung sesak. 　　"Long Dan." 　　"Hamba di sini." 　　“Apakah dayang yang tadi mengikuti Nona Jiang membawa bungkusan kecil?” 　　“Ya.” 　　Yu Jin menyipitkan matanya: “Kedua kediaman ini begitu dekat, buat apa dayangnya membawa bungkusan?” 　　Long Dan berpikir sejenak, lalu tersadar: “Nona Jiang bermaksud menginap di sini!” 　　Kedua kediaman ini bersebelahan, hanya dengan menginap baru perlu membawa barang-barang pribadi. 　　Wajah Yu Jin semakin suram, ia berbalik dan pergi. 　　“Tuanku, Mau ke mana?” Long Dan segera mengejar. 　　“Mencari Er Niu.” 　　Di saat genting, Er Niu lebih berguna daripada pengawal. 　　Er Niu telah kembali ke rumah sipil di Gang Quezi, sedang asyik menyantap semangkuk tulang berisi daging. 　　Leng Ying yang biasanya pendiam dan ekspresi datar, kali ini bersikap lembut pada Er Niu: “Jangan terburu-buru, masih ada lagi.” 　　Begitu kata-katanya habis, tangan beruas jelas itu tanpa basa-basi memindahkan mangkuk berisi tulang daging. 　　Dipindahkan! 　　Er Niu mengangkat kepala bingung, kumisnya masih belepotan kuah daging. 　　Yu Jin menepuk punggung Er Niu: “Berhenti makan, ada urusan penting.” 　　Er Niu merebahkan diri di lantai, mengibas-ngibaskan ekor dengan putus asa. 　　Tulang daging yang belum habis dimakan diambil lagi, adakah hal yang lebih penting dari ini? 　　Pokoknya ia tak mau mendengar apapun. 　　“Er Niu——” Yu Jin berbicara dengan nada peringatan. 　　Er Niu melirik tuannya dengan tatapan datar yang tetap. 　　Menahan jatah makan seekor anjing, Tuanku tidak merasa bersalah? 　　“Pergilah bekerja dulu, nanti pulang biar Long Dan membelikanmu daging sapi kecap.” 　　Er Niu segera bangkit, mengibaskan bulunya yang mengilap, ekornya bergoyang-goyang. 　　Yu Jin membawa Er Niu ke dekat gerbang Yongchang Bo, menunjuk pintu merah tua: "Cari kesempatan menyusup masuk, lindungi Nona Jiang." 　　Sebelumnya A Si tinggal di Marquis Changxing, bertemu Putra Mahkota yang gila, menemukan taman penuh mayat. Sekarang dia mau tinggal di Yongchang Bo, siapa tahu apa yang akan terjadi? 　　Andai bisa menukar tempat dengan Er Niu, lebih baik bisa pergi sendiri. 　　Er Niu memandang waspada ke arah Yu Jin. 　　Mengapa pandangan majikan penuh kecemburuan? 　　"Pergilah." Yu Jin menekan rasa sesal, mengelus kepala Er Niu. 　　Er Niu menggeram pelan, menghindari kerumunan orang dengan lihai, lari menyusuri tembok belakang. 　　Yu Jin perlahan menarik pandangannya, menatap luka lecet di punggung tangannya, lalu pergi diam-diam. 　　Jiang Si langsung dibawa ke kamar pribadi Xie Qingyao. 　　Xie Qingyao duduk termenung di ranjang, dikelilingi beberapa wanita yang sedang menghiburnya. 　　Jiang Si agak linglung. 　　Baru kemarin, dia dan Xie Qingyao masih berbincang tentang "Tuan Gong secantik giok" di sini, memuji kue salju juru masak istana, riang gembira tanpa beban. 　　“Tapi baru sehari kemudian, kehidupan Xie Qingyao mengalami perubahan yang sangat drastis, dan perubahan ini juga memberikan dampak yang sama besarnya bagi dirinya.” 　　Jiang Si berdiri di tempat, tiba-tiba merasa kakinya seberat seribu kati, lama tak bisa melangkah. 　　Dayang yang mengantar Jiang Si berseru: “Nona Besar, Nona Keempat Jiang sudah datang.” 　　Xie Qingyao mengangkat kepala, bertatapan dengan mata Jiang Si. Ekspresi hampa tadi tiba-tiba berubah, menyibak orang-orang yang menghalanginya lalu bergegas mendekat. 　　“A Si, akhirnya kau datang.” 　　Jiang Si menggenggam tangan dingin itu sambil tersenyum tipis: “Sudah kubereskan dengan keluarga, tenang saja.” 　　Xie Qingyao menarik Jiang Si menuju ranjang, memandang beberapa orang di sekitarnya dengan suara datar: “Aku ingin berbincang dengan A Si, silakan kalian keluar dulu.” 　　Wanita yang baru saja didorong Xie Qingyao kesal: “Qingyao, bibi sengaja datang menemanimu. Rumah sedang kacau, kau masih muda jangan sembarangan mengajak orang ke rumah. Bibi tahu hatimu sedih, masih ada sepupumu di sini. Katakan saja apa yang kau butuhkan, bibi pasti uruskan.” 　　Yang lain mengangguk setuju, pandangan ke Jiang Si penuh prasangka. 　　Jiang Si menduga mereka mungkin kerabat klan Xie Qingyao. 　　“Keluarga Xie tinggal di sebuah desa di pinggiran ibu kota. Jika bergerak cepat setelah menerima kabar duka, seharusnya sudah tiba. Sedangkan keluarga nenek Xie Qingyao berada di luar kota, paling cepat baru bisa sampai besok.” 　　“Keluarga Jiang dan Xie telah bertetangga selama bertahun-tahun. Jiang Si tahu bahwa Kediaman Yongchang Bo jarang berinteraksi dengan klan mereka, hanya pada hari raya. Namun perkataan wanita tadi terdengar sangat ingin mengambil alih kendali.” 　　Jiang Si menyeringai dingin dalam hati. 　　“Mereka melihat Yongchang Bo dan istrinya telah tiada, Xie Qingyao masih muda, lalu ingin menguasai rumah tangga Kediaman Yongchang Bo?” 　　“Hal seperti ini tidak aneh. Seringkali ketika tulang punggung keluarga besar runtuh, kerabatlah yang pertama ingin mengeruk keuntungan.” 　　Xie Qingyao langsung marah mendengar perkataan wanita itu: “Apa urusanmu menasehatiku? Kau ini siapa bagiku?” 　　Mengingat orangtuanya yang telah tiada, air matanya mengalir deras. 　　“Ayah tidak punya saudara laki-laki kandung. Jika orangtuaku masih hidup, kapan seorang bibi sepupu mengatur-aturku?” 　　“Wah, Qingyao, perkataanmu menyakiti hati bibi. Semua ini demi kebaikanmu!” Wanita itu menepuk pahanya. 　　“Benar, sepupu. Ibuku sedang menyayangimu,” seorang gadis berbaju polos menyambung. 　　Wanita itu menghela napas: “Sepupumu sedang berduka, wajar bicara ngawur. Mana mungkin aku mempermasalahkan anak kecil.” 　　Xie Qingyao yang sedang berduka atas kematian orang tuanya, pikirannya memang sudah lamban. Disedot oleh perkataan wanita itu, ia hanya bisa menangis marah tanpa bisa membantah. 　　Jiang Si memegang tangan Xie Qingyao, berkata sinis: "Bibi datang untuk menemani Qingyao?" 　　"Iya," jawab wanita itu sembarangan. 　　"Waktu saya masuk tadi Qingyao masih baik-baik saja. Baru beberapa kalimat dari bibi langsung membuatnya menangis. Terlihat jelas bibi gagal dalam tugas menemani ini. Kalau urusan sederhana saja tidak becus, lebih baik jangan ikut campur urusan pengurusan Qingyao. Mungkin bibi dari desa tidak paham - meskipun Paman dan Bibi sudah wafat, aturan Keluarga Bo tetap berlaku. Para mandor akan mengurus semuanya sesuai ketentuan, tak perlu campur tangan orang lain." 　　Perkataan Jiang Si yang logis dan tajam membuat wajah wanita itu memerah. Ia marah: "Kamu... kamu siapa?" 　　Awalnya ia mengira gadis ini hanya teman biasa Xie Qingyao dari keluarga kecil. Tapi kenapa gadis ini memanggil Yongchang Bo sebagai "Paman"? 　　Xie Qingyao yang baru tersadar berkata marah: "Bawa mereka pergi!" 　　Apakah suara bulanan ganda sampai tanggal 7? Anak bungsu saya demam dua hari, saya tidak tidur dua malam, IQ agak turun. Terima kasih untuk vote dan hadiahnya, sampai jumpa besok. 180. BAB 180 Jika 　　BAB 180 Jika 　　Malam semakin larut, lilin putih melompat dengan nyala yang suram, tirai sutra putih serupa tergantung rapat, memantulkan siluet dua sosok anggun di dalamnya. 　　Xie Qingyao adalah gadis, tidak perlu berjaga malam. Saat tiba waktunya, Xie Yinlou memerintahkan orang untuk membawanya turun, sementara Jiang Si tidur bersamanya malam ini. 　　Baik Xie Qingyao maupun Jiang Si, sudah lama tidak pernah berbagi ranjang dengan orang lain. 　　Jiang Si mendengar Xie Qingyao berguling-guling seperti kue dadar, hatinya sendiri juga tersiksa. 　　Ia tak bisa menjelaskan kebenaran pada sahabatnya, hanya bisa bertekad dalam hati untuk membantu saudara Xie sekuat tenaga di kemudian hari. 　　Ini harga yang harus dibayar atas kecerobohannya. 　　Reinkarnasi ternyata pedang bermata dua. Ia hanyalah gadis biasa yang mati penuh kehinaan di kehidupan sebelumnya, bagaimana bisa yakin hidup ini akan sukses gemilang? 　　Jiang Si telah mengucapkan ribuan maaf dalam hati pada Xie Qingyao. Setiap kali sahabatnya gelisah, rasanya seperti pisau menggores jantungnya. 　　Penderitaan yang terpatri dalam tulang. 　　Jiang Si memejamkan mata tak bergerak. Tiba-tiba orang di sampingnya bangkit duduk dan membuka tirai ranjang. 　　Baru saat itu ia membuka mata memandang Xie Qingyao, suaranya lembut bagai air: "Qingyao, tidak bisa tidur?" 　　Xie Qingyao duduk menggenggam selimut, kedua tangan mencengkeram erat selimut tipis, butiran air mata besar menggelinding dari sudut matanya. 　　Jiang Si duduk bangun dan meletakkan tangannya di bahu Xie Qingyao. 　　“A Si, saya tidak bisa tidur…” Bahu Xie Qingyao gemetar halus, suaranya tersedu-sedu, “Setiap kali saya pejamkan mata, bayangan ayah ibu muncul. Kadang ibu yang berlumuran darah, kadang ayah yang roboh tiba-tiba. Sama sekali tak berani menutup mata—” 　　Jiang Si perlahan menepuk punggung Xie Qingyao: “Ini akan berlalu, percayalah padaku, pasti akan berlalu.” 　　Xie Qingyao menatap kosong sambil menitikkan air mata: “A Si, saya tak mengerti. Ayah saya hanya menerima dua selir saat ibu mengandung, hal yang sangat biasa di keluarga lain. Dia tidak pernah mengistimewakan selir dan mengabaikan istri, juga tak menelantarkan anak-anak. Ramah pada kerabat, baik pada pelayan. Ibu pun wanita berbudi luhur. Tapi kenapa mereka harus mati mengenaskan? Kesalahan apa yang telah mereka perbuat?” 　　Xie Qingyao menutupi wajahnya dan menangis tersedu-sedu. 　　Di luar jendela rumpun pisang hijau bergoyang lembut diterangi cahaya bulan. 　　Seekor anjing besar yang gagah mengarahkan telinganya mendengar isak tangis dari dalam jendela, ekspresi wajahnya sangat hidup. 　　Kediaman Yongchang Bo mengadakan upacara pemakaman, keramaian dan keruwetan membuat Er Niu mudah menyusup masuk. 　　“A Si, sebenarnya kenapa? Kenapa ini terjadi?” Xie Qingyao bergumam pelan. 　　Dia tidak mencari jawaban dari Jiang Si, hanya bencana yang datang tiba-tiba membuat gadis polos ini hingga kini belum bisa menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya, terus-menerus berusaha mencari alasan. 　　Jiang Si akhirnya tak tahan berkata: "Qingyao, ini semua salahku, aku telah mengkhianatimu." 　　Bola mata coklat muda Xie Qingyao berkedip, menatap kosong ke arah Jiang Si: "A Si, apa yang kau katakan?" 　　Jiang Si berusaha keras menahan dorongan untuk kabur, menatap mata Xie Qingyao yang jernih seperti kaca: "Dou Niang awalnya tidak berencana bertindak sekarang, dia memilih moment ini karena mendengar Paman menderita sleepwalking disorder. Alasan Paman terdiagnosa sleepwalking disorder adalah... karena saat itu aku mengingatkanmu untuk memperhatikan kesehatan Paman..." 　　Suara Jiang Si semakin bergetar penuh penyesalan, jarinya memucat karena menggenggam terlalu kencang: "Qingyao, ini salahku, jika saja aku tidak usil, Paman dan Bibi tidak akan tewas—" 　　Xie Qingyao terdiam mendengarkan, bahkan bola matanya tak berkedip. 　　Setelah mengungkapkan semua ini, Jiang Si justru merasa lega seperti batu besar yang jatuh. 　　Jika Qingyao membencinya, dia akan menerimanya, setidaknya dia tidak bisa menerima kepercayaan dan rasa syukur itu dengan hati yang tenang. 　　Setelah beberapa saat, Xie Qingyao berkedip, lalu menyadari sesuatu: "A Si, apa hubungan kematian orangtuaku denganmu? Jika menurut logikamu, maka aku juga seharusnya tidak membujuk ibu untuk memanggil tabib untuk ayah, tidak boleh membawa Dou Niang ke kediaman karena rakus, dan orang yang menyebarkan kabar tentang ayah yang menderita sleepwalking ke telinga Dou Niang itu pantas dihukum pancung..." 　　"Tapi Qingyao——" 　　Xie Qingyao menggelengkan kepala, menghentikan Jiang Si: "A Si, meskipun hatiku hancur, aku belum kehilangan akal. Di dunia ini tidak ada begitu banyak 'seandainya'. Aku tahu yang paling pantas mati adalah Dou Niang dan mandor besar. Salah satunya pembunuh berhati ular, satunya lagi setan yang menarik orang ke jurang. Merekalah yang seharusnya dihukum." 　　Jiang Si membuka mulut tapi tak bisa berkata-kata. 　　Sebenarnya Xie Qingyao tidak salah. Jika dia tidak tahu akhir kehidupan sebelumnya yang berbeda dengan sekarang, dia tidak akan menyalahkan diri sendiri. 　　"A Si——" 　　"Hmm?" 　　"Seandainya pasangan suami istri di dunia ini hanya memiliki satu sama lain selamanya, setujukah kamu?" Xie Qingyao memeluk lututnya, menatap sedih sinar bulan yang menembus tirai tipis. 　　Jika begitu, orangtuanya pasti akan hidup bersama sampai tua dan dikelilingi banyak cucu. 　　"Benar juga," gumam Jiang Si, pikirannya tiba-tiba melayang jauh. 　　Saat itu dia telah menjadi permaisuri Pangeran Ketujuh. Di satu sisi berpura-pura murah hati, di sisi lain menguji dengan membahas masalah selir. 　　Yu Qi langsung berubah muka, berkata melayani dia seorang saja sudah tak sanggup, mana ada waktu untuk perempuan lain? Suruh dia cepat-cepat hapus pikiran iseng itu, jangan buat dia marah tanpa alasan. 　　Hatinya terasa hangar mendengarnya, tapi tetap saja tak percaya. 　　Bahkan menikahinya pun dia tipu dengan bujuk rayu, apalagi hal lain, mana mungkin dia percaya sepenuhnya. 　　Kadang berpikir, wajar saja hubungan mereka tak bertahan. Banyak rahasia yang disembunyikan, perjodohan ini dari awal sudah terbebani terlalu banyak. Meski dia tak mati mengenaskan kemudian hari, mungkin akhirnya tetap tak bahagia. 　　Xie Qingyao berbaring perlahan, berbisik: "A Si, kalau nanti tak menemukan orang seperti itu, aku tak akan menikah. Aku takut..." 　　Xie Qingyao benar-benar kelelahan, baik fisik maupun mental. Setelah emosinya meluap, tak lama kemudian napasnya pun teratur dalam tidur. 　　Jiang Si menatap langit-langit kelambu lama sekali sebelum akhirnya menutup mata. 　　Keesokan paginya, Jiang Si yang pertama bangun. Melihat Xie Qingyao masih tertidur lelap, dia gelengkan kepala pelan pada dayang yang masuk: "Biarkan nona besar tidur sebentar, nanti siang tak akan kuat." 　　Xie Qingyao sebagai satu-satunya nona di Kediaman Yongchang Bo, harus berlutut di depan altar orangtuanya sepanjang hari untuk menyambut tamu-tamu yang datang berbelasungkawa. Jika dipaksa seperti ini seharian penuh, tubuh besi pun takkan tahan. Tidur lebih lama saat ini adalah cara untuk mengumpulkan tenaga. 　　Setelah merias diri, Jiang Si duduk di bangku bordir sisi tempat tidur sambil merenung, tiba-tiba mendengar suara lembut dari jendela. 　　Pandangan Jiang Si beralih perlahan ke jendela, mencium aroma yang familiar. 　　Er Niu? 　　Hampir reflek, Jiang Si melirik Xie Qingyao yang masih tertidur lelap, lalu bergegas ke jendela dan membukanya pelan. 　　Udara segar menyapu wajahnya, membawa aroma embun pagi. 　　Anjing besar itu menaruh kedua cakar depannya di ambang jendela, memandangi nyonyanya dengan tatapan memelas. 　　Er Niu lapar. 181. BAB 181: Kesulitan 　　BAB 181: Kesulitan 　　Suara gesekan dari belakang membuat Jiang Si cepat-cepat menutup jendela. 　　Moncong Er Niu menekan kasa jendela yang tipis seperti sayap capung, membuat lubang kecil yang memperlihatkan hidung hitamnya yang basah. 　　Jiang Si menengok dan melihat Xie Qingyao hanya berguling-guling di tempat tidur, lalu menghela napas lega sebelum kembali menghadap jendela. 　　Hidung hitam itu mengendus-endus, tetap setia berada di lubang yang dibuatnya. 　　Siluet anjing besar itu samar-samar terlihat melalui kasa jendela. 　　Jiang Si tak bisa menahan kedutan di sudut mulutnya, lalu membuka jendela kembali. 　　Anjing Besar memandang Jiang Si dengan wajah polos, seolah tahu tidak boleh membangunkan orang lain, diam patuh tanpa bersuara. 　　"Sebentar lagi aku akan memberimu makanan, lalu cepat pulang, mengerti?" Jiang Si merasa kasihan memikirkan Er Niu yang kelaparan, namun juga khawatir ketahuan, berbisik lembut mengingatkan. 　　"A Si, kamu sedang bicara dengan siapa?" 　　Jiang Si cepat berbalik, melihat Xie Qingyao sudah duduk tegak, mata bengkak seperti buah kenari, masih terlihat mengantuk. 　　Er Niu lincah bersembunyi kembali di bawah jendela. 　　Jiang Si kembali duduk: "Aku lihat cuaca bagus, sedang bicara sendiri." 　　Xie Qingyao tidak curiga, memanggil dayang untuk membantu bersuci dengan lesu, lalu duduk lunglai di meja makan. 　　Di hadapannya hanya tersedia semangkuk bubur encer. 　　Menurut aturan, tiga hari setelah orangtua meninggal hanya boleh minum air. Tapi aturan bisa dilonggarkan. Xie Qingyao yang lemah pasti tak sanggup bertahan tiga hari tanpa makan sambil menangis siang-malam. 　　Makanan berlemak dilarang, tapi bubur tawar masih bisa diterima. 　　Di depan Jiang Si selain bubur ada dua bakpao vegetarian. 　　Bakpao vegetarian hanya sebesar kepalan anak kecil. Dua bakpao plus bubur sebenarnya cukup, tapi memikirkan Er Niu di bawah jendela, Jiang Si mulai gelisah. 　　“Xie Qingyao sama sekali tidak memiliki nafsu makan, hanya meminum dua teguk bubur lalu enggan melanjutkan, menyendok bubur encer dengan sendok sup secara tidak menentu.” 　　“A Si, kamu tidak perlu mengurusku, makanlah selagi hangat. Jika kurang, suruh dayang tambahkan lagi.” 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu dengan muka tebal berkata: “Kalau begitu bawakan sepuluh bakpao lagi.” 　　Dayang yang berdiri di samping berteriak kaget: “Sepuluh?” 　　Xie Qingyao melototi dayang itu: “Banyak mulut! Cepat ambilkan.” 　　Tidak menyangka selera makan A Si sebesar ini, ternyata orang memang berubah setelah dewasa. 　　Segera sepiring bakpao vegetarian dihidangkan, lipatan kulitnya rapi, tipis dengan isian melimpah, tersusun rapi di piring porselen putih. 　　Dayang itu menyipitkan mata memandangi Jiang Si, tak bisa menyembunyikan rasa heran. 　　Jiang Si tak bisa menahan kerutan dahinya. 　　Diperhatikan begitu ketat, bagaimana caranya memberi makan Er Niu? 　　“Ada orang asing membuatku tak nafsu makan, kamu boleh mundur dulu.” 　　Melihat Xie Qingyao tidak keberatan, dayang itu pun pergi diam-diam. 　　Xie Qingyao makan dengan setengah hati, sesekali melamun. Jiang Si memanfaatkan kesempatan ini untuk melemparkan bakpao vegetarian ke jendela. Saat piring sudah kosong, keringatnya mengucur deras. 　　Sudah diduganya Yu Qi (Pangeran Ketujuh) hanya akan merepotkan! 　　“Hari ini keluarga kakek pihak ibu seharusnya datang.” Xie Qingyao berbisik pelan saat menuju ke ruang duka. 　　Jiang Si menepuk-nepuk punggung tangan Xie Qingyao, memberikan dukungan tanpa kata. 　　Di ruang duka, Xie Yinlou sedang duduk bersimpuh membakar kertas persembahan. 　　“Lidah api menjilat-jilat, uang kertas berubah menjadi kupu-kupu abu yang diterbangkan angin——” Ekspresi pemuda itu penuh konsentrasi, wajahnya dingin bagai es. 　　“Kakak——” Begitu melihat Xie Yinlou, air mata Xie Qingyao langsung menggenang. 　　Xie Yinlou menghentikan gerakan tangannya, menatap Xie Qingyao, lalu mengalihkan pandangan ke Jiang Si sambil mengangguk hormat. 　　Xie Qingyao berlutut di samping Xie Yinlou, mengambil segenggam uang kertas dari tangannya dan mulai membakarnya sambil bergumam pelan. 　　“Kamu dan Nona Keempat Jiang silakan menunggu di dalam, baru keluar saat sanak saudara datang.” 　　“Kakak, aku ingin menemanimu di sini.” 　　Ekspresi Xie Yinlou langsung membeku: “Dengarkan kakak.” 　　Xie Qingyao yang kini hanya menyisakan Xie Yinlou sebagai keluarga dekat, tak berani membantah. Ia pun bangkit diam-diam menuju ruang dalam. 　　Sepanjang siang, tamu-tamu berdatangan untuk melayat. Setiap kali ada perempuan yang datang, Xie Qingyao akan keluar untuk membalas salam. 　　Menjelang tengah hari, pemandu upacara berseru: “Paman dan bibi dari keluarga Zhang Hedong telah tiba!” 　　Keluarga Zhang Hedong adalah keluarga asal istri Yongchang Bo, tergolong keluarga terpandang di daerah itu. 　　Sekelompok orang segera membanjiri ruangan, tangisan pun pecah di mana-mana. 　　Beberapa wanita memeluk Xie Qingyao sambil menangis, lalu berpelukan masuk ke ruang sebelah. 　　Salah satu perempuan itu mengusap air matanya sambil memeluk erat Xie Qingyao: “Anakku, sungguh berat cobaanmu. Bibi datang terlambat.” 　　Sekumpulan wanita dari berbagai usia mengerumuni Xie Qingyao, silih berganti mengucapkan kata-kata simpati. 　　Dalam suasana seperti ini, Jiang Si hanya bisa berusaha meminimalkan kehadirannya. 　　“Sekarang siapa yang mengurus urusan di kediaman ini？”Wanita itu bertanya. 　　Xie Qingyao diam seribu bahasa, terus menangis. 　　Wanita itu bertukar pandangan dengan yang lain, dalam hati berpikir, 'Ini memang hanya seorang nona kecil, mana mungkin mengerti urusan duniawi seperti ini.' 　　“Qingyao, nenekmu mendengar ibumu telah tiada, langsung pingsan saat itu juga. Bahkan dalam tidurnya masih memanggil namamu. Nenekmu sangat mengkhawatirkanmu.” Wanita itu mengusap air mata, lalu mengubah topik, “Jangan takut, dengan bantuanku dan pamanmu, kami pasti akan mengurus urusan orang tuamu dengan baik. Tidak akan membiarkan kalian yang masih muda ditipu orang.” 　　“Saya tidak mengerti hal-hal ini. Bibi lebih baik bicara dengan kakak.” Xie Qingyao berkata dengan datar. 　　Wanita itu tercekat, lalu berkata dengan lembut, “Baiklah, nanti bibi akan menasihati kakakmu. Kebetulan pamanmu juga ada urusan dengan kakakmu.” 　　Melihat Xie Qingyao yang tampak bingung, wanita itu tidak melanjutkan pembicaraan, kembali meratapi nasib malang saudara Xie. 　　Saat tengah hari tiba, Xie Yinlou menyuruh Xie Qingyao beristirahat, sementara wajahnya sendiri tampak kelelahan, bahkan bibirnya kering dan pecah-pecah. 　　Xie Qingyao ingin menyuruh kakaknya beristirahat, tapi sadar bahwa Keluarga Bo yang besar kini hanya bergantung padanya. Sekeras apa pun nasehatnya takkan berguna, malah akan menyusahkan hati sang kakak. Akhirnya ia memendam keinginannya dan pulang ke kamar dengan patuh. 　　Memang banyak hal yang tidak ia pahami, tapi ia mengerti bahwa mematuhi arahan kakaknya saat ini adalah bentuk kedewasaan terbaik. 　　Jiang Si berbisik mengingatkan: "Qingyao, sepertinya Ibu Paman selain melayat mungkin punya maksud lain, kau harus lebih waspada." 　　Xie Qingyao mengangguk halus, menyisakan seorang dayang untuk mengawasi situasi. 　　Keduanya kembali ke kamar, membasuh muka dan tangan. Belum lama beristirahat, dayang itu sudah buru-buru datang dengan wajah muram: "Nona, Ibu Paman dan Ibu Kedelapan sedang bertengkar." 　　"Ibu Kedelapan" yang disebut dayang itu adalah wanita yang kemarin berbicara dengan Xie Qingyao saat Jiang Si datang. 　　Xie Qingyao menggerakkan kelopak matanya, suaranya dingin: "Berebut apa? Berebut siapa yang akan mengurus rumah tangga kita?" 　　Jelas terlihat, sikap Xie Qingyao yang tak tahu menahu saat ditanya Ibu Paman tadi sesungguhnya bukan karena benar-benar tidak mengerti. 　　Dalam hatinya ia paham. Justru karena paham, semakin ia merasakan betapa nestapanya hidup tanpa sandaran kedua orangtua. 　　Sekarang ia benar-benar hanya memiliki kakak laki-lakinya. 　　Ekspresi dayang itu aneh: "Bukan. Mereka berebut mengurus perjodohan Putra Mahkota. Kata mereka keluarga Bo tak pantas tanpa nyonya rumah, lebih baik segera menikah dalam masa berkabung agar tak perlu tunggu tiga tahun lagi, sekaligus menghibur arwah Sang Bangsawan dan Nyonya Bo." 　　Mendengar ini, wajah Xie Qingyao langsung berubah. 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya, sampai jumpa besok. 182. BAB 182 Garis Batas 　　BAB 182 Garis Batas 　　“Baru saja orangtua meninggal, pernikahan kakak laki-laki langsung jadi rebutan antara keluarga dan pihak kakek nenek dari ibu. Fakta ini membuat Xie Qingyao menggigil gemetar karena marah.” 　　“Apa kata kakakku?” 　　“Putra Mahkota bilang sudah ada calon yang sedang dibicarakan, meminta Nyonya Paman dan Nyonya Kedelapan tidak usah repot. Tapi mereka tidak percaya, memaksa menanyakan keluarga mana gadis yang dimaksud.” Dayang yang menceritakan ini terlihat kesal. 　　Wajah Xie Qingyao semakin pucat: “Kakakku tidak berkata apa-apa kan?” 　　Dayang menggeleng: “Putra Mahkota diam saja. Nyonya Paman dan Nyonya Kedelapan mengira itu hanya alasan, lalu mulai berebut lagi.” 　　Xie Qingyao mendesis dingin sambil menahan amarah: “Ini urusan mereka apa?!” 　　Dayang buru-buru menjelaskan: “Tuan Kedelapan mewakili kepala marga. Katanya perintah kepala marga agar Putra Mahkota menikah sebelum hari ketujuh berkabung untuk Sang Bangsawan dan Nyonya. Nona, bagaimana ini?” 　　Tubuh Xie Qingyao limbung. Sebuah kuku yang menancap di telapak tangan patah terpotong. 　　Saat ini juga, ia kembali merasakan betapa nestapanya hidup tanpa perlindungan orangtua. 　　Tuan Kedelapan adalah anak kepala marga sekaligus sesepuh mereka. Jika ini benar perintah kepala marga, akan sulit bagi dia dan kakak melawan. 　　“Kakak belum mewarisi gelar, juga belum mencapai usia penobatan. Para sesepuh keluarga menggunakan dalih memikirkan nasib saudara kakak-beradik ini untuk mencampuri urusan pernikahan Kakak. Jika Kakak menanganinya dengan tidak tepat hingga tersiar kabar ketidakbakti, hal ini bisa mempengaruhi proses pewarisan gelar. Bagaimanapun juga, Dinasti Zhou mengutamakan kebaktian dalam mengatur negara, Sang Kaisar sangat menekankan nilai bakti.” 　　“Tapi bagaimana bisa urusan pernikahan Kakak diputuskan secara terburu-buru seperti ini? Jika dengan gegabah menikahi istri yang tidak disukai, sungguh malang nasib Kakak seumur hidup.” 　　Xie Qingyao semakin gelisah hingga meneteskan air mata, menggenggam tangan Jiang Si sambil bergumam: “A Si, bagaimana ini?” 　　“Qingyao, apakah Putra Mahkota sudah memiliki calon yang sedang dirundingkan? Bagaimana sikap pihak perempuan?” tanya Jiang Si dengan tenang. 　　Saat ini emosi Xie Qingyao hampir mencapai titik puncak, ia harus tetap stabil. 　　Kejadian yang terjadi sekarang sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Seolah-olah dengan meninggalnya Yongchang Bo dan istrinya, takdir saudara Xie mulai mengarah ke jalur yang tak terkendali. 　　Ia harus berusaha sekuat tenaga membantu saudara Xie menghindari masalah-masalah ini, ini adalah tanggung jawab yang harus ditunaikannya. 　　Perbincangan Jiang Si tentang keluarga yang merundingkan pernikahan dengan Kediaman Yongchang Bo hanyalah membawa secercah harapan. 　　Dalam kehidupan sebelumnya, karena lelucon memalukan Yongchang Bo yang tertidur bersama babi, pihak perempuan membatalkan niat pernikahan adalah hal yang wajar. Bagaimanapun ini baru tahap perundingan, bukan pertunangan. Setelah kejadian aneh Yongchang Bo, wajar jika pihak perempuan enggan melanjutkan. 　　Kini dengan meninggalnya Yongchang Bo dan istrinya, sikap pihak perempuan semakin sulit diprediksi. 　　“Mungkin ada yang khawatir Xie Yinlou masih terlalu muda untuk menopang Keluarga Bo, tidak mau putri mereka menikah dengan keluarga yang akan merosot. Atau mungkin tertarik karena putri mereka akan langsung menjadi Nyonya Bo setelah menikah, sehingga Jiang Si bertanya seperti ini.” 　　“Sikap pihak perempuan?” Xie Qingyao yang mengalami trauma kematian orang tua meskipun emosinya agak labil, putri bangsawan yang cerdik itu masih memiliki kecerdikan. Mendengar pertanyaan itu, alisnya yang menyerupai daun willow berkerut, lalu memerintahkan dayang untuk memanggil mandor dan nenek pelayan. 　　Tak lama kemudian, mandor dan nenek pelayan itu pun bergegas datang. 　　Xie Qingyao tidak menghindari kehadiran Jiang Si, langsung bertanya terang-terangan: “Di antara pelayat, apakah ada keluarga Wen yang menjabat sebagai Jijiu Guozijian?” 　　Di kehidupan sebelumnya, calon pasangan Xie Yinlou memang putri dari keluarga Wen yang menjabat sebagai Jijiu Guozijian. 　　Keluarga Wen terkenal sebagai keluarga terpelajar di ibukota. Putri kedua Jijiu Guozijian dahulu terkenal karena kepandaiannya hingga masuk istana menjadi selir, melahirkan putra keenam Kaisar Jingming yaitu Pangeran Shu. Pangeran keenam ini mungkin mewarisi kecerdasan ibunya, sehingga juga disayangi Kaisar Jingming. 　　Keluarga Yongchang Bo bisa menjalin hubungan pernikahan dengan keluarga Wen tentu merupakan hal yang sangat baik. 　　Namun pada saat ini di kehidupan sebelumnya, Jiang Si tidak tahu siapa calon mempelai perempuan dari keluarga Yongchang Bo. Rencana pernikahan baru sebatas niat kedua belah pihak, masih banyak faktor yang bisa berubah. Sebelum resmi dipastikan, kedua pihak biasanya akan menutup mulut rapat-rapat agar jika gagal tidak menjadi bahan omongan. 　　Jiang Si tahu dari perempuan mana gadis itu berasal. Baru setelah pernikahan Yongchang Bo yang tidur dengan babi di kehidupan sebelumnya gagal, Xie Qingyao yang sedang sedih curhat padanya, barulah ia mengetahuinya. 　　Mandor wanita yang mengurus rumah tangga belakang tentu punya kemampuan. Mendengar pertanyaan Xie Qingyao, setelah berpikir sebentar ia menjawab: "Pagi ini keluarga Wen mengirim seorang mandor untuk memberi penghormatan di depan altar Bangsawan dan Nyonya, lalu langsung pergi." 　　"Tidak mengatakan apa-apa?" Xie Qingyao mendesak, jarinya mencengkeram kuat kain putih gaun berkabung. 　　"Tidak, hanya mengucapkan basa-basi biasa." 　　Bulu mata Xie Qingyao berkedip, memandang Jiang Si dengan senyum sinis: "A Si, menurutmu apa maksud mereka?" 　　Jiang Si menepuk-nepuk lengan Xie Qingyao. 　　Jika pihak laki-laki yang sedang dalam proses lamaran mengalami masalah besar seperti ini, dan pihak perempuan masih berminat, mustahil mereka hanya mengirim mandor untuk memberi belasungkawa seadanya lalu pergi. 　　Semua ini hanya membuktikan mereka ingin menghindar sejauh-jauhnya. 　　Poin ini sudah dipahami Jiang Si, Xie Qingyao tentu juga menyadarinya. 　　"Membawa bunga di saat bahagia itu mudah, memberi bara di tengah salju itu sulit." Xie Qingyao bergumam lirih. 　　"Qingyao, aku akan menemanimu melewati masa sulit ini." 　　Sorot mata Xie Qingyao beralih ke wajah Jiang Si, mata hitam pekatnya tiba-tiba berkilau: "A Si, bagaimana menurutmu tentang kakakku?" 　　Jiang Si terkejut oleh pertanyaan Xie Qingyao. 　　Xie Qingyao menggenggam tangan Jiang Si tak sabar: "Katakan, bagaimana pendapatmu tentang kakakku?" 　　“Pertanyaan ini terlalu umum,” Jiang Si hanya bisa menjawab samar, “Kakak Xie tentu sangat baik.” 　　“Kalau begitu, apakah kamu bersedia menikahi kakakku?” 　　Jiang Si benar-benar terkejut. 　　Mata Xie Qingyao semakin berbinar: “Kamu dan kakakku tumbuh bersama sejak kecil, kita juga sahabat dekat. Jika kamu bisa menjadi kakak iparku, itu akan luar biasa! Saya tidak perlu khawatir kakak akan menikahi istri yang tidak disukai dengan terburu-buru, dan orang-orang itu tidak bisa lagi bermain akal-akalan. Lagi pula tidak ada yang tahu gadis siapa yang sedang dirundingkan dengan kakak. Saya akan cari kesempatan bicara pada kakak, lalu suruh dia diam-diam mengirim utusan untuk berbicara baik-baik dengan Paman Jiang. Asal Paman Jiang setuju, urusan ini langsung beres.” 　　Xie Qingyau semakin bersemangat, mendorong bahu Jiang Si: “A Si, bagaimana menurutmu? Apakah ini bisa dilakukan?” 　　Memandangi sorot mata berbinar sahabatnya, Jiang Si diam membisu. 　　Ayah memiliki hubungan baik dengan Yongchang Bo, bisa dibilang melihat Xie Yinlou tumbuh besar. Jika keluarga Xie mengirim utusan membicarakan hal ini sekarang, kemungkinan besar ayah akan setuju. 　　Di hati ayah, Xie Yinlou jauh lebih baik daripada Ji Chongyi. Menikah ke Kediaman Yongchang Bo juga jauh lebih baik daripada ke Keluarga An Guogong. 　　Tapi dia tidak mau. 　　Dia bertekad membantu sekuat tenaga saudara kandung Xie, tapi ini tidak termasuk mengorbankan urusan pernikahannya. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia sudah muak menjadi pengganti orang lain, muak dengan suaminya yang seharusnya mencintainya tapi menyimpan wanita lain di hati. Berempati, bagaimana mungkin dia bisa menjadi istri Xie Yinlou yang baik sementara hatinya masih terikat pada orang lain? 　　"Jika begitu, dia bukan membantu, tapi merusak orang." 　　Ini tidak adil bagi Xie Yinlou, dan bantuan tanpa batas seperti ini hanya akan menghancurkan kebahagiaan yang mungkin dia miliki di masa depan. 　　"Qingyao, ini tidak pantas." 　　Cahaya di mata Xie Qingyao meredup. 　　Jiang Si menatap pegunungan awan yang saling bersaing di ufuk langit, berbisik pelan: "Ada cara yang lebih baik." 　　Selamat pagi. 183.BAB 183 Membahas Pernikahan di Depan Peti Mati 　　BAB 183 Membahas Pernikahan di Depan Peti Mati 　　Xie Qingyao memandang Jiang Si dengan ragu: "A Si, apa ide kamu?" 　　Jiang Si membisikkan beberapa kalimat di telinga Xie Qingyao. 　　Xie Qingyao semakin terkejut: "Apa ini bisa berhasil?" 　　"Coba dulu, kalau gagal kita cari cara lain. Langit tidak pernah menutup semua jalan." 　　Xie Qingyao mengangguk kuat: "Baik, mari kita coba." 　　Keduanya berjalan mencari Xie Yinlou. Baru sampai di pintu terdengar suara wanita: "Yinlou, bibi tidak akan mencelakaimu. Gadis yang bibis sebut ini baik paras dan karakternya, cocok sekali denganmu." 　　Xie Qingyao menginjak ambang pintu, berkata dingin: "Kakak, kenapa kamu tidak di ruang duka malah di sini? Aku mencari-carimu." 　　Melihat adik dan Jiang Si, ekspresi kaku Xie Yinlou sedikit melunak, tapi masih tersisa rasa canggung. 　　Tadinya dia pikir jika tidak menanggapi, mereka akan berhenti karena bosan. Ternyata malah kedengaran oleh adiknya. 　　“Apa?” Xie Qingyao masuk, wanita itu cepat-cepat mengerutkan kening, lalu langsung menunjukkan ekspresi ramah: “Qingyao, para Paduka sedang membicarakan urusan penting. Kau istirahatlah dulu.” 　　Xie Qingyao memandang Xie Yinlou dengan wajah polos: “Kakak, apa sekarang ada hal yang lebih penting daripada mengurus pemakaman orang tua?” 　　Xie Yinlou berdiri dengan raut dingin: “Tentu tidak ada.” 　　Melihatnya hendak pergi, wanita itu buru-buru berkata: “Yinlou, kau salah paham. Saat ini selain mengurus pemakaman Sang Bangsawan dan Nyonya, ada satu hal besar lagi yaitu pernikahanmu!” 　　Xie Yinlou memandang dingin ke arah wanita itu, diam seribu bahasa. 　　Wanita itu tidak peduli dengan raut dingin Xie Yinlou yang bisa membekukan orang. Dalam pandangannya, dia adalah junior. Mereka sudah dapat persetujuan kepala marga. Jika anak ini berani bertingkah sebagai Putra Mahkota, jangan harap punya reputasi baik. 　　Tanpa reputasi baik masih mau mewarisi gelar? Mimpi! 　　“Pernikahan?” Xie Qingyao menyeringai seolah mendengar lelucon, suaranya meninggi. “Orang tua baru meninggal, sebagai anak harus berkabung tiga tahun. Bagaimana bisa menikah?” 　　Dagad gadis itu menengadah, sorot mata dan alisnya memancarkan ketidakpuasan. 　　Wanita itu tidak takut pada Xie Yinlou, justru agak gentar menghadapi Xie Qingyao. 　　Si gadis yatim ini bagai orang tak beralas kaki yang tak takut kehilangan sandal. Jika benar-benar dipermalukan, kepada siapa dia akan mengadu? 　　“Qingyao, segala hal selalu ada pengecualian. Kakakmu adalah satu-satunya penerus Keluarga Yongchang Bo. Orangtuamu pergi begitu cepat, sungguh disayangkan mereka tak sempat melihat anaknya menikah. Apakah tega hatimu membuat mereka menunggu tiga tahun lagi? Lagipula, apakah Keluarga Bo yang besar ini bisa dikelola sendirian oleh kakakmu? Dengan mengizinkan kakakmu menikah sebelum lewat tujuh hari berkabung, nanti dia akan punya pendamping yang baik. Bukankah ini baik?” 　　Dalam hal ini, Bibi Delapan sependapat dengan Bibi dari pihak ibu. Ia melirik Jiang Si yang berdiri di samping Xie Qingyao sambil berujar sindiran: "Dengan bibi yang akan memilihkan calon, pasti akan dicarikan wanita yang saleh, tenang, berbudi luhur. Lebih baik daripada nanti kakakmu yang masih muda dan polos ini tertipu oleh perempuan sembarangan." 　　Wajah Xie Qingyao langsung berubah masam. Ia menatap Bibi dari pihak ibu: "Ini juga maksud Bibi?" 　　Bibi dari pihak ibu menyeringai: "Ini sudah didiskusikan pamanmu dengan nenekmu sebelum berangkat. Mana mungkin bibiberani mengambil keputusan? Qingyao, kau ini masih gadis, tak perlu ikut campur." 　　Tak disangka setelah beberapa tahun tak bertemu, si gadis ini jadi begitu lancar mulutnya. Untung suamiku hanya berniat menikahkan putri kami ke Keluarga Yongchang Bo, bukan menjodohkan putraku dengan si gadis ini. Kalau tidak, aku pasti mati-matian menolak! 　　"Betul, urusan ini ada di tangan bibi. Tak perlu kau, anak kecil, ikut repot." Bibi Delapan melirik ke arah Bibi dari pihak ibu. 　　Kedua wanita itu saling memandang, suasana penuh ketegangan terasa. 　　“Separuh tujuan mereka sama, sementara separuh lainnya, siapa yang bisa mencapainya, tergantung pada kemampuan masing-masing.” 　　Xie Qingyao memandangnya dengan mata sedih di hati. 　　A Si memang benar, Bibi dari pihak ibu dan Bibi Delapan sama-sama ingin orang mereka menjadi Nyonya Bo di masa depan. Memanfaatkan konflik mereka adalah kesempatan untuk dia dan kakak laki-lakinya. 　　“Tapi aku pernah dengar ibu menyebut, Kakak sudah dalam proses perjodohan. Jika tujuannya untuk membuat orang tua tenang di alam baka, menurutku lebih baik memilih gadis yang disukai orang tua.” 　　Pada saat itu, Xie Yinlou secara refleks melirik Jiang Si, tiba-tiba terpikir suatu kemungkinan. 　　Xie Yinlou mengerutkan alis, bersiap menghentikan ulah adiknya. 　　Masalah keluarga mereka tidak seharusnya melibatkan orang lain. 　　Xie Qingyao sepertinya sudah menduga reaksi kakaknya, tangannya yang disembunyikan di belakang menarik lengan kakaknya dengan keras. 　　Xie Yinlou menundukkan pandangan menyembunyikan keraguan di matanya, memutuskan untuk menunggu perkembangan. 　　“Perjodohan? Gadis dari keluarga mana?” Bibi Delapan langsung meninggikan suara. 　　Bibi dari pihak ibu menimpali, “Perjodohan saja belum pasti, pasti pihak perempuan tidak mau menikah dalam tujuh hari. Kalau begitu harus menunggu tiga tahun lagi—” 　　“Tiga tahun lagi kakakku baru berusia dua puluh tahun, sama sekali tidak terlambat!” Xie Qingyao tak tahan lagi membela. 　　Bibi Delapan menepuk pahanya: "Qingyao, kau masih bicara seperti anak kecil. Mengapa terburu-buru menikahkan Kakakmu di tujuh hari pertama setelah kematian orang tua? Karena dialah satu-satunya penerus keluarga. Kalian sudah lihat betapa tak tentu hidup ini, siapa tahu berapa banyak hal yang bisa terjadi dalam tiga tahun?" 　　Xie Qingyao wajahnya pucat karena marah: "Apa maksudmu? Apakah kau mengutuk Kakakku celaka?" 　　Bibi Maternal berkata dengan penuh kemarahan: "Ya, ucapanmu sungguh tak pantas. Yin Lou, orang tuamu sudah tiada, pernikahanmu bisa diatur oleh pamanmu. Hari ini kau harus patuh pada paman dan bibi, kami melakukan ini demi kebaikan kalian—" 　　"Benarkah Paman dan Bibi melakukan ini demi kami?" 　　"Tentu saja benar." 　　Bibi Delapan tak mau kalah: "Qingyao, kita satu keluarga besar, sama-sama marga Xie. Paman Delapan dan Bibi Delapan lah yang benar-benar tulus memperhatikan kalian." 　　Xie Qingyao mengusap air mata, tersenyum sinis: "Karena Bibi Maternal dan Bibi Delapan sama-sama bilang ini demi kami, siapa pun yang berani mengulang kata-kata ini di depan altar orang tua kami, pernikahan Kakak akan kami serahkan padanya." 　　Bibi Maternal dan Bibi Delapan langsung kehabisan kata. 　　“Jika Bibi dan Bibi Kedelapan tidak berani mengatakannya, maka kalian tidak usah campur tangan dalam pernikahan Kakak. Seperti yang dikatakan para sesepuh, orang tua kami paling mengkhawatirkan perjodohan Kakak, hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Jika Bibi dan Bibi Kedelapan bisa bersumpah di depan arwah orang tua kami bahwa calon mempelai perempuan yang diajukan itu baik, barulah arwah orang tua kami di alam baka bisa tenang. Jika tidak, lebih baik tunggu sampai masa berkabung tiga tahun selesai baru perlahan-lahan memilih.” 　　“Pergi ya pergi, hati nuraniku bersih.” Bibi Kedelapan melirik Bibi, lalu melangkah menuju tenda pemakaman. 　　Bibi tidak mau kalah, segera menyusul. 　　Di dalam ruangan masih duduk beberapa sesepuh dari marga dan keluarga kakek, termasuk paman dari saudara Xie Qingyao dan paman kedelapan, yang kini semuanya berdiri dan mengikuti. 　　Perselisihan seperti ini tidak pantas dihadapi pria, sebenarnya ini memang keinginan mereka sejak awal. 　　“A Si—” Melihat kerumunan orang memasuki tenda pemakaman, Xie Qingyao gelisah menarik lengan Jiang Si. 　　Saat itu tepat tengah hari, tidak ada tamu pelayat yang datang, tenda pemakaman yang awalnya sepi langsung dipenuhi orang yang berkerumun. 　　Ujung jari Jiang Si bergerak halus, Huan Ying terbang diam-diam mendekati Bibi Kedelapan dan Bibi. 　　Jiang Si memberikan tatapan menenangkan pada Xie Qingyao. 　　Xie Qingyao menarik napas dalam, lalu bersuara lantang: “Bibi Kedelapan, bicaralah dulu pada orang tuaku.” 　　Bibi Kedelapan memandang dua peti hitam yang berjejer, aroma kertas sembahyang menyengat hidungnya, tiba-tiba ia merasa hawa dingin lebih menusuk dibanding sebelumnya. 　　Begadang terus-menerus ditambah tamu bulanan datang, badan kecil ini hampir tidak kuat. Sampai jumpa besok. 184.BAB 184 Hati yang Bersalah Menghasilkan Hantu 　　BAB 184 Hati yang Bersalah Menghasilkan Hantu 　　Di langit luar paviliun pemakaman, gunung awan semakin meninggi, menjulang hingga puncak langit, hampir dalam sekejap memenuhi seluruh langit. 　　Langit masih tetap terang, di dalam paviliun tak ada yang menyadari perubahan ini, perhatian semua tertuju pada Bibi Delapan. 　　Bibi Delapan merasa gelisah, terkekeh kaku: "Ini mau bicara apa ya?" 　　Senyum itu menyakiti mata Xie Qingyao, gadis itu mengencangkan wajahnya yang cantik dan berkata dingin: "Bicarakan bagaimana merencanakan untuk kakakku, keuntungan apa yang dimiliki calon mempelai perempuan. Bukannya tadi Bibi Delapan sangat fasih bicara? Kenapa di depan altar orangtuaku jadi tidak tahu mau ngomong apa?" 　　Bibi Delapan diam-diam menarik ujung bajunya, melirik ke Nyonya Paman: "Sebaiknya Nyonya Paman yang duluan bicara, kalian kan tamu." 　　Nyonya Paman mencibir ke arah Bibi Delapan, lalu berkata serius: "Beda-beda apa tamu bukan tamu, kami ini tulus memikirkan Yin Lou, tidak ada yang tabu dibicarakan. Qingyao, sepupu keduamu sejak kecil akrab denganmu, kau tahu bagaimana sifatnya. Menikahkan dia dengan kakakmu untuk bersama menghadapi kesulitan ini adalah keinginan nenekmu. Pikirkan, adakah yang lebih tulus dari sepupu dari keluarga ibu? Tidak seperti orang-orang yang mengada-ada mencari nona entah dari sudut mana, tak peduli bagus atau jelek ingin dimasukkan ke Keluarga Bo—" 　　“Bibi Delapan langsung tidak terima, langsung membalas, ‘Apa maksud kata-kata Nyonya Paman ini? Gadis yang ingin saya tawarkan untuk Yinlou sudah diketahui oleh kepala marga. Satu goresan tidak bisa menulis dua karakter ‘Xie’, kita kan satu keluarga, masa tidak mengharapkan kebaikan Yinlou?’” 　　Keduanya adalah wanita yang tajam lidah dan pandai bicara, saling bersahutan dengan sengit, pertengkaran mereka seimbang, dan segera melupakan bahwa ini adalah ruang duka yang khidmat. 　　Xie Qingyao sesekali menyela, memperkeruh suasana. 　　Xie Yinlou samar-samar menduga bahwa tindakan adiknya ini pasti bukan tanpa tujuan, maka dari awal hingga akhir ia hanya menyaksikan drama ini dengan wajah datar. 　　Jiang Si berdiri di posisi terluar, dapat melihat jelas perubahan awan di langit. 　　Tepat saat Nyonya Paman dan Bibi Delapan bertengkar sampai muka merah padam, gunung awan yang menjulang ke langit tiba-tiba runtuh bagai terjatuh ke bawah. 　　Jiang Si batuk perlahan. 　　Xie Qingyao tak bisa menahan diri menggenggam rok kasar dari kain rami putih, menahan dorongan untuk menoleh melihat Jiang Si. 　　“Kedua Nyonya Paman dan Bibi Delapan bilang ini untuk kebaikan kakak saya, maka kakak dan saya semakin bingung memutuskan. Jika menurut keinginan kakak malah mengecewakan calon kakak ipar, ini harus bagaimana?” 　　Kebingungan Xie Qingyao membuat Nyonya Paman dan Bibi Delapan berhenti sementara adu mulut, sama-sama menatapnya. 　　Di depan altar, seorang gadis berbaju duka berat dengan senyum pahit di bibir: "Bibi dan Boshim, siapa yang bisa bersumpah demi langit bahwa niatmu tulus untuk kakakku, kami akan percaya dan mempersunting nona dari pihak itu." 　　Boshim merasakan bulu kuduknya meremang, protes: "Kau ini, pernikahan kan hal baik, buat apa bersumpah—" 　　Xie Qingyao langsung menoleh ke bibinya: "Bibi, pilihlah sepupu keduaku." 　　Boshim panik, cepat-cepat mengangkat tangan: "Aku bersumpah, niat kami tulus untuk Yin Lou, tak ada pamrih..." 　　Sang bibi menganggap Xie Qingyao yang baru kehilangan orangtua sedang tidak waras, sehingga bertindak absurd. Justru karena tak waras, si gadis ini bisa melakukan apa saja. Agar Boshim tak mengambil untung, ia pun ikut mengangkat tangan. 　　Tak perlu berdebat dengan gadis tak tahu aturan ini. Merebut perjodohan adalah prioritas. 　　Menurut sang bibi, kejadian di balai duka hanya diketahui dua keluarga. Pertikaian dengan Boshim maupun sumpah ini bukanlah aib. 　　Banyak kasus saudara bertengkar saat orangtua meninggal. Manusiawi saja berebut keuntungan. Saat putrinya jadi Nyonya Bupati, orang hanya akan lihat kemewahannya. Siapa peduli kisah belakang? 　　Saat mereka berebut bersumpah, awan di langit menghitam. Tenda duka yang awalnya terang tiba-tiba seperti ditutupi kain hitam raksasa, seketika gelap. 　　Disusul gemuruh petir menggelegar di telinga orang-orang, seluruh tenda duka seakan ikut bergetar. 　　Bibi dan Boshim berteriak histeris bersamaan. 　　Ruang duka gelap gulita, hanya lilin putih yang berkedip-kedip, terlihat pucat dan seram. 　　“Kalian benar-benar demi kebaikan Yinlou?” Suara wanita sayup terdengar dari suatu tempat. 　　Kilat ungu menyambar langit, menerangi wajah pucat Xie Qingyao. 　　Boshim menggosok matanya kasar, mundur perlahan sampai kakinya menginjak mangkuk tempat bakar uang kertas. 　　“Teriakan menyakitkan terdengar, mata Boshim membelalak ketakutan, merangkak sambil bergegas keluar. Namun gadis tak jauh di hadapannya tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok Istri Yongchang Bo.” 　　“Adik Ipar Kedelapan, berbohong akan membuatmu disambar petir.” Istri Yongchang Bo yang seluruh tubuhnya berlumuran darah tersenyum seram ke arah Boshim, melangkah mendekat. 　　“Ah, jangan mendekat, jangan!” 　　Istri Yongchang Bo hampir seketika muncul di belakang Boshim, tangan dinginnya mencekik leher wanita itu. 　　Wajah Boshim segera membiru merah padam karena kesulitan bernapas. 　　“Membuatmu berbohong, membuatmu berbohong!” Istri Yongchang Bo mengulang-ulang kalimat ini, "Berbohong akan dikutuk petir." 　　Gemuruh menyambar, kilat dan guntur seakan meledak di samping Bibi Delapan, bahkan dia bisa mencium bau rambut hangus samar. 　　Bibi Delapan langsung kehilangan akal sehat dan berteriak: "Ampuni aku, aku tidak berani lagi. Kami hanya berpikir 'air subur tidak mengalir ke ladang orang lain', ingin Xie Yinlou menikahi keponakan perempuan dari keluarga kami, agar industri Keluarga Bo bisa kami kendalikan. Sebagai sesama keluarga Xie, jika Keluarga Bo makan daging, bukankah seharusnya anggota klan diberi kuah..." 　　Di saat bersamaan, istri paman berkata hal serupa: "Jika kami tidak menikahkan putri kami ke sini, bukankah pernikahan Yinlou akan jadi incaran seperti daging gemuk bagi anggota klan? Lagipula Ying'er adalah sepupu kandungnya, mengapa mahar peninggalan saudari perempuan harus diambil orang lain?" 　　"Kau gila, diamlah!" Paman Xie Qingyao berlari menghampiri dan menampar istrinya dengan keras. 　　Paman Delapan menendang Bibi Delapan dengan kasar: "Dasar bodoh, kau sudah hilang akal?" 　　Di luar tenda duka hujan lebat mengguyur, namun awan hitam pekat mulai berpisah, bumi kembali diterangi cahaya. 　　Di dalam tenda duka, wajah semua orang tampak muram, memandang dingin kedua wanita yang mengamuk itu. 　　Bibi Delapan dan istri paman sama-sama menggigil, perlahan sadar kembali. 　　“Apa yang terjadi padaku?” Bibi Delapan mengangkat tangan merapikan rambut di pelipis yang berantakan, menyentuh sehelai rambut yang hangus tergulung. Wajahnya langsung pucat pasi, samar-samar teringat percikan api dari wadah bakar uang kertas yang baru saja diinjaknya telah membakar rambutnya yang terurai. 　　“Kau masih berani bertanya, apakah kau kerasukan?” Paman Delapan berteriak penuh amarah. 　　Sebuah tawa sinis terdengar, membawa kecerahan khas gadis muda. 　　Xie Qingyao memandang para pengkhianat ini tanpa ekspresi. Saat semua mata tertuju padanya, tiba-tiba ia menutupi wajah dan menangis: "Rupanya Istri Paman dan Bibi Delapan tidak tulus memikirkan Kakak. Jika Kakak benar-benar menerima pernikahan dalam masa berkabung ini, orang tua kami pasti takkan bisa tenang di alam baka..." 　　Gadis itu memandang kakak laki-lakinya dengan wajah penuh kepedihan: "Kakak, bukankah begitu?" 　　Xie Yinlou melirik kerumunan orang dengan tatapan sedingin es: "Ya. Jadi tolong para sesepuh jangan lagi mengusulkan pernikahan selama masa berkabung." 185.BAB 185 Keburukan Kembali Muncul 　　BAB 185 Keburukan Kembali Muncul 　　Setelah jadi bahan tertawaan ini, tak ada muka lagi baik dari keluarga klan maupun pihak kakek nenek dari ibu untuk memaksa Xie Yinlou menikah selama masa berkabung. 　　Para hadirin terlihat canggung, seolah tak betah berlama-lama di tenda duka ini. 　　Baru sekarang Xie Qingyao bisa menarik napas lega, telapak tangannya basah oleh keringat. 　　Hujan lebat menggelombang di luar, angin dan air hujan yang menerobos pintu membuat bendera putih di ruang duka berdesir-desir tertiup. 　　“Aroma khas kertas yang dibakar memenuhi ruang duka, seolah semakin pekat.” 　　Para tamu mencari alasan untuk buru-buru meninggalkan ruang duka, dalam sekejap hanya tersisa saudara Xie dan Jiang Si di dalamnya. 　　Hujan deras seperti ini membuat tamu takziah tak mungkin datang, ruang duka pun terasa tenang sesaat. 　　Xie Qingyao memandang kakak laki-lakinya, air mata berderai-derai. 　　Xie Yinlou meletakkan tangan diam-diam di bahu Xie Qingyao, sorot matanya mulai menghangat. 　　Melihat kedua saudara itu sepertinya ingin berbicara, Jiang Si bijak berkata: “Qingyao, aku akan kembali ke kamar dulu.” 　　Xie Qingyao menggenggam pergelangan tangan Jiang Si: “A Si, bagaimana kau melakukannya?” 　　“Apa?” 　　Xie Qingyao tak bisa menyembunyikan kegembiraannya: “Sambaran petir itu, bagaimana caramu?” 　　Ekspresi Jiang Si aneh: “Qingyao, apa kau salah paham sesuatu?” 　　Xie Qingyao melirik cepat ke Xie Yinlou, teringat bahwa temannya mungkin tak ingin sang kakak tahu kemampuan menakjubkannya. Wajahnya serius: “Aku bercanda. Kakak, aku antar A Si ke kamar dulu, nanti kembali lagi.” 　　Xie Yinloo memandang bergantian adiknya dan Jiang Si, tahu mereka menyembunyikan sesuatu namun tak memaksa, hanya mengangguk halus. 　　Xie Qingyao menarik Jiang Si masuk kamar, mengunci pintu, tak sabar bertanya: “A Si, sekarang boleh kau jelaskan?” 　　“Jelaskan apa?” 　　“Apakah kau bisa ilmu dewa, bisa menyuruh Dewa Petir dan Dewi Kilat menurut perintahmu?” Mata Xie Qingyao berbinar-binar, seluruh tubuhnya penuh semangat. 　　Jiang Si tiba-tiba merasa agak pusing. 　　Xie Qingyao menggenggam tangan Jiang Si erat-erat, agak menyesal: "A Si, tadi seharusnya kau minta Dewa Petir menghantam mereka dengan keras, tidak perlu sampai mati, setengah mati sebagai pelajaran saja sudah cukup." 　　Jiang Si segera menghentikan khayalan Xie Qingyao: "Qingyao, kau terlalu banyak berpikir, mana mungkin saya punya kemampuan seperti itu." 　　Seandainya benar-benar bisa memerintah Dewa Petir dan Dewi Kilat, orang yang ingin dia hantam mati terlalu banyak, mungkin Dewa Petir dan Dewi Kilat tidak akan sanggup melayani. 　　"Tapi tadi kau jelas-jelas bilang begitu mendengar batukmu akan membuat mereka bersumpah di depan abu orang tuaku, dan begitu mereka bersumpah langsung disambar petir." 　　Jiang Si menatap langit melalui jendela, memberi sedikit petunjuk: "Karena awan di langit bisa berbicara." 　　Xie Qingyao tampak bingung: "A Si, aku tidak mengerti maksudmu. Bagaimana mungkin awan berbicara? Dari mana kau belajar semua ini?" 　　Jiang Si tersenyum masam: "Banyak mengalami kesialan, akhirnya dapat beberapa kesempatan, ini tidak perlu dibicarakan. Yang penting kau tahu ini semua tidak ada hubungannya dengan kekuatan gaib, apalagi membantumu memanggil petir untuk menghantam mereka. Tapi menurut penglihatanku, mereka sudah tidak berani ikut campur urusan pernikahan Kakak Xie." 　　Xie Qingyao bukanlah tipe orang yang suka mempersulit diri. Mendengar penjelasan Jiang Si, dia tak lagi mendesak untuk bertanya, senyum sinis mengembang di bibirnya: "Kalau mereka masih nekat ikut campur, Kakak tak perlu lagi menahan diri. Mereka sendiri yang lebih dulu mempermalukan diri dengan mengumbar niat kotor di depan umum." 　　Air mata mengalir di pipi Xie Qingyao saat berbicara: "A Si, berkat kau, aku dan Kakak tak tahu akan jadi seperti apa jika terus ditekan mereka." 　　Keluarga-keluarga terpandang itu mungkin tampak megah di permukaan, namun begitu tiang penyangganya runtuh, tak terhitung banyaknya kerabat yang mengerumuni bagai lalat menghisap darah dengan dalih muluk. Xie Qingyao yang polos pun pernah mendengar cerita semacam itu. 　　Jiang Si merasa malu tak pantas menerima ungkapan terima kasih itu. Dengan jujur dia berkata: "Aku sudah merasa bersalah karena kau tak menyalahkanku atas celotehanku waktu itu. Qingyao, tenangkan hati, semua badai pasti akan berlalu." 　　Xie Qingyao mengangguk perlahan. 　　Paman dan Bibi Kedelapan kembali ke kamar tamu tempat mereka menginap, suasana lebih muram daripada badai di luar jendela. 　　Begitu pelayan yang mengantar mereka dengan payung pergi, Paman Kedelapan menyambar kerah baju istrinya dan menamparnya: "Dasar perempuan tolol! Kau sudah gila hari ini?!" 　　Bibi Kedelapan menjerit sambil mencakar muka suaminya: "Kau yang gila! Kau yang menyuruhku maju! Aku hampir terkena kutukan petir, berani-beraninya kau menghukumku!" 　　“Perempuan yang mengamuk kekuatannya tak kalah dari laki-laki. Pak Delapan mengelak ke kiri dan kanan, tapi wajahnya tetap tercakar oleh Bu Delapan.” 　　Merasakan panas menyengat, Pak Delapan menutupi wajahnya sambil menendang Bu Delapan hingga terjengkang, marah: “Kau coreng wajahku, apa kau ingin orang lain melihat aib kita?” 　　Bu Delapan tersedu-sedih: “Kau yang mulai menendang dan memukulku duluan! Aku tidak mengamuk, tidakkah kau lihat di ruang duka tadi saat aku bersumpah langit langsung gelap, disusul petir menyambar di sampingku? Kalau bukan karena nasibku baik, pastilah petir itu mengenaimu!” 　　“Omong kosong, itu hanya kebetulan.” 　　“Kebetulan?” Suara Bu Delapan meninggi, “Mana mungkin kebetulan? Lima Sao si mati muda itu datang menagih nyawaku, tak kau lihat?” 　　“Lima Sao” yang disebut Bu Delapan adalah Istri Yongchang Bo, karena Yongchang Bo menempati urutan kelima dalam klan. 　　Pandangan Pak Delapan pada Bu Delapan semakin aneh: “Kau benar-benar gila? Aku tak melihat apa-apa.” 　　Bu Delapan tertegun, tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan Pak Delapan: “Kau tak melihat Lima Sao yang berlumuran darah tiba-tiba muncul di ruang duka?” 　　Paman Kedelapan melepaskan genggaman tangan Bibi Kedelapan. Meski menganggap si perempuan bodoh ini mengoceh tak karuan, hatinya juga merasakan merinding. Dengan geram ia berkata: "Saat itu tiba-tiba langit gelap, di luar petir menggelegar. Mana ada Bibi Lima? Bukankah dia terbaring di dalam peti mati? Lalu kau tiba-tiba jadi gila, mengucapkan begitu banyak kata memalukan. Semua acara hari ini kau hancurkan!" 　　"Tidak mungkin!" Bibi Kedelapan berseru histeris. "Dia berdiri di belakangku, mencekik leherku! Kalau aku tidak jujur, dia akan mencekikku sampai mati! Lelaki tua, kau benar-benar tidak melihat?" 　　"Tidak!" 　　Bibi Kedelapan tertegun sejenak, tiba-tiba memukuli Paman Kedelapan seperti orang gila: "Ini semua salahmu! Memaksaku tampil depan, akhirnya hanya aku yang diincar arwah sialan Bibi Lima itu. Bagaimana ini?!" 　　Paman Kedelapan mendorong Bibi Kedelapan: "Sudah! Jangan mengamuk lagi. Saat itu pasti kau sedang mengalami gangguan histeris. Kalau benar arwah mencekikmu, mana mungkin tidak ada bekas di lehermu?" 　　Bibi Kedelapan terkesiap. Seperti tersadar dari mimpi, ia berlari ke cermin dan memeriksa lehernya dengan cermat. 　　Kulitnya halus mulus, tanpa jejak apapun. 　　Bibi Kedelapan mundur dua langkah. Setelah ketegangan mentalnya reda, tubuhnya terasa lunglai: "Benarkah ini hanya gangguanku?" 　　"Lalu?" 　　Ekspresi lega Bibi Kedelapan tiba-tiba membeku: "Tidak masuk akal! Kalau ini gangguanku, mengapa Nyonya Paman keluarga BAB juga mengalami hal yang sama?" 　　Paman Ba dalam hati gelisah, namun di wajahnya menunjukkan sikap tidak peduli: "Wanita memang penakut, tiba-tiba petir menyambar lagi di ruang altar, pasti ketakutan. Jangan pikirkan omong kosong ini lagi, bagaimana caranya memperbaiki masalah yang kauacau ini?" 　　Terima kasih atas voting dan hadiah, besok hari Senin, selain hari terakhir periode suara bulanan double, juga hari perebutan peringkat rekomendasi. Mohon dukungan suara bulanan dan rekomendasi. 186. BAB 186 Menjadi Hantu 　　BAB 186 Menjadi Hantu 　　Bibi Ba mengusap wajahnya yang bengkak karena tamparan dan menyeringai: "Darimana aku tahu cara memperbaikinya?" 　　Paman Ba melotot: "Dasar perempuan bodoh! Keluarga Bo yang gemuk ini tidak ada yang menjaganya, kau mau menyia-nyiakan kesempatan langka ini?" 　　"Tapi keadaan sudah seperti ini, masak bisa memaksa Putra Mahkota untuk menikah?" 　　Paman Ba mengusap dagunya, matanya berkilat penuh keserakahan: "Jalan ini buntu cari cara lain. Bukannya kalian perempuan banyak akal? Nenek, kalau kau bisa menguasai rumah tangga Keluarga Bo lewat kesempatan ini, apa perlu khawatir cucu-cucu kita tidak dapat jodoh baik?" 　　Bibi Ba duduk terjungkal, meneguk beberapa teguk teh dingin, melupakan ketakutannya tadi: "Biar saya pikirkan." 　　Bagaimana caranya ikut campur urusan Keluarga Bo? Bener juga kata si tua, kalau sampai menyia-nyiakan kesempatan emas ini, pasti akan menyesal seumur hidup. 　　Mata Bibi Ba berputar-putar, otaknya dipaksa bekerja keras mencari akal. 　　“Paman Kedelapan tahu bahwa Bibi Kedelapan punya banyak ide dalam hal ini, diam-diam menyeruput teh sambil menatap pipi Bibi Kedelapan yang sedikit bengkak dengan rasa penyesalan. 　　Seharusnya memukul lebih ringan. 　　Tiba-tiba Bibi Kedelapan menepuk pahanya: "Ketemu!" 　　"Apa?" Paman Kedelapan langsung bersemangat, meletakkan cangkir teh yang sudah habis di atas meja. 　　Cangkir porselen putih yang halus, satu set seperti ini harganya tidak murah. Pengeluaran untuk makan-minum di Kediaman Yongchang Bo benar-benar tidak bisa dibandingkan dengan perkebunan, bahkan lebih nyaman daripada dewa. 　　Memikirkan ini, hati Paman Kedelapan langsung berdesir panas. 　　Garis keturunan Yongchang Bo selalu sedikit anggotanya, beberapa generasi hanya punya satu penerus. Sekarang sebenarnya tidak ada kerabat dekat dalam klan, hubungan dengan Paman Kedelapan dan lainnya sudah terpisah beberapa generasi. 　　Untungnya Yongchang Bo baik hati, selama bertahun-tahun merawat anggota klan dengan baik. Setiap tahun memberikan dana untuk sekolah klan, kuil leluhur, dan jika ada anggota klan yang tertimpa bencana alam atau musibah, selama mereka datang minta bantuan pasti akan ditolong. 　　Sayangnya keserakahan manusia tak terpuaskan. Melihat bertumpuk-tumpuk uang setiap tahun mengalir dari Kediaman Yongchang Bo, bagi orang seperti Paman dan Bibi Kedelapan, mereka hanya menganggap Kediaman Yongchang Bo sebagai gunung emas, sama sekali tidak ingat kebaikan pasangan Yongchang Bo. 　　Menurut mereka, wajar saja Kediaman Bo yang kaya harus merawat anggota klan, bahkan merasa bantuannya masih kurang. Sekarang penguasa Kediaman Bo sudah meninggal, bagaimana mungkin warisan sebesar ini diserahkan pada para gadis belum dewasa untuk dihancurkan? 　　"Bibi Delapan menjulurkan kepala melihat ke luar, menutup jendela yang terbuka, dan berbisik, "Aku perhatikan Putra Mahkota ini punya maksud tersembunyi. Kita harus mulai dari si gadis itu."" 　　"Kau punya ide bagus?" Paman Delapan menggeleng ingat sikap Xie Qingyao yang agresif di ruang duka, "Gadis itu lebih sulit dihadapi." 　　Bibi Delapan mencibir: "Lelaki tak mengerti. Anjing galak tak pernah menggonggong, yang ribut cuma kaleng kosong." 　　"Sudah, cepat katakan rencanamu." 　　"Kalau si gadis itu sakit, tanpa sesepuh di keluarga, pasti dia akan beristirahat di rumah kakek-neneknya, kan?" 　　"Bisa jadi nyonya paman akan tinggal merawatnya." 　　Bibi Delapan tertawa sinis: "Sekalipun nyonya paman tinggal, apa pengaruhnya? Meski mereka punya suara soal pernikahan Putra Mahkota, selama tak bisa memasukkan gadis mereka, mustahil Keluarga Bo mau diatur orang luar? Ini tak masuk akal. Begitu si gadis sakit, kita sebagai keluarga sedarah dengan bendera nama kepala marga, bukankah wajar mengurus rumah tangga Keluarga Bo? Lagi pula Putra Mahkota itu lelaki, mana mungkin mengurus urusan remeh-temeh rumah tangga?" 　　Paman Delapan mengangguk-angguk setuju. 　　“Begitu hak pengelolaan Keluarga Bo ini kita pegang, bahkan jika si gadis itu sembuh nanti, mungkinkah dia mengusir kita? Memanggil dewa mudah mengusirnya sulit, sebelum ada nyonya rumah yang sah di Keluarga Bo, kitalah yang berkuasa di sini. Bahkan jika Putra Mahkota menikah kelak, saat itu hubungan di dalam istana sudah kita atur sedemikian rupa – tidak mudah bagi mereka untuk menggeser kita. Benar bukan, si tua?” 　　“Memang begitu, tapi meski gadis itu sedih, menurutku semangatnya masih cukup baik.” 　　Bibi Delapan melotot ke Paman Delapan: “Aku yang sudah hidup puluhan tahun saja sampai kena gangguan saraf di ruang altar, apalagi nona kecil manis itu – bertemu makhluk tak bersih pasti langsung jatuh sakit!” 　　Mata Paman Delapan berbinar: “Maksudmu – pura-pura jadi hantu?” 　　Bibi Delapan tersenyum puas: “Tepat! Nanti malam, kita kirim hantu perempuan berambur kusut mengintai di depan gadis itu. Dijamin setengah mati ketakutannya!” 　　Paman Delapan yang lebih teliti mengkritik: “Kalau mau pura-pura hantu, harus langsung berhasil. Cuma rambut kusut kurang meyakinkan. Menurutku, wajahnya diputihkan sampai tak berbentuk...” 　　Mereka berdiskusi antusias tentang detail kostum hantu, lalu saling tersenyum puas. 　　“Sudah diputuskan.” Paman Delapan menuangkan teh lagi, jarinya mengelus-elus cangkir porselen putih halus. 　　Cangkir ini sungguh nyaman dipegang – semuanya adalah uang. 　　Bibi Ba matanya berkedip-kedip: "Tapi siapa yang mau berpura-pura jadi hantu?" 　　Paman Ba tertegun mendengar pertanyaan itu. 　　Bibi Ba terus melanjutkan: "Orang-orang yang kita bawa tidak bisa diandalkan, membeli loyalitas pelayan Keluarga Bo juga sudah terlambat..." 　　Ia menatap pandangan suaminya, membaca maksud tersembunyi di mata sang kakek: "Si tua, jangan-jangan kau mau menyuruhku?" 　　Paman Ba tersenyum: "Nenek, kau yang paling cocok. Seperti katamu sendiri, orang lain tidak bisa dipercaya, urusan ini harus kita tangani sendiri." 　　Bibi Ba membuka mulutnya, tiba-tiba teringat sentuhan tangan dingin di ruang duka dan sambaran petir yang nyaris mengenainya, tubuhnya gemetar: "Aku tidak bisa!" 　　"Kenapa tidak?" Paman Ba melotot. 　　Bibi Ba membalas tatapan tajam itu: "Kenapa kau sendiri yang tidak pergi?" 　　"Aku ini laki-laki, menyusup ke kamar gadis pasti mudah ketahuan?" Paman Ba secara instingtif menolak urusan yang berbau makhluk halus. 　　"Bukankah lebih mencolok jika ada yang melihat penampakan hantu perempuan?" 　　Paman Ba kehabisan argumen. 　　"Sekarang sebagian besar pelayan sedang sibuk di tenda duka, seharian bekerja pasti kelelahan. Malam hari pasti tidur nyenyak. Lagipula kalau benar-benar melihat hantu, mereka pasti lari ketakutan, siapa yang berani mendekat." Bibi Ba mencubit lengan suaminya, "Aku tidak peduli, pokoknya aku tidak mau pergi sendirian!" 　　Paman Ba akhirnya menyerah, terpaksa setuju untuk menemani. 　　Malam harinya, hujan telah reda. Angin sejuk menerobos jendela, menerpa kelambu tempat tidur yang berkibar-kibar di dalam ruangan. 　　“A Si, kau belum tidur?” Xie Qingyao melihat Jiang Si berdiri di dekat jendela cukup lama, bertanya. 　　Jiang Si melirik ke luar jendela sekali lagi sebelum menutupnya dan kembali ke sisi Xie Qingyao: "Tidur." 　　Er Niu seharusnya sudah pergi dari sini, dia tidak mencium baunya. 　　Tapi hujan deras dan angin kencang hari ini mungkin mempengaruhi penilaiannya. 　　Jika Er Niu masih di sini, pasti akan kelaparan. 　　Er Niu yang sedang dikhawatirkan majikannya itu malah menggigit ayam gemuk sambil melintasi taman menuju halaman Xie Qingyao, berhenti di depan gerbang lalu bersembunyi di balik semak. 　　Lebih baik habiskan ayam ini dulu sebelum masuk. 　　Terima kasih untuk Hadiah He Shibi dari guiyue08. Terima kasih untuk semua yang memberikan vote dan hadiah. Selamat pagi. 187. BAB 187 Lelucon 　　BAB 187 Lelucon 　　Er Niu sangat lihai, bersembunyi di sudut sambil memakan ayam gemuk tanpa mengeluarkan suara sama sekali, aroma menggoda dari ayam itu tertutupi bau tanah basah setelah hujan. 　　Seekor ayam gemuk habis dalam sekejap, Er Niu memicingkan matanya dengan nyaman. 　　Inilah kehidupan anjing yang bahagia, pagi tadi beberapa bakpao vegetarian nyaris membuatnya tersedak. 　　Er Niu berdiri, mengibaskan bulu yang basah, telinganya tiba-tiba tegak. 　　Dua orang datang dari kejauhan, berkeliaran dengan mencurigakan di depan gerbang. 　　"Gerbangnya dikunci, bagaimana masuk?" Tanya Ba Shen yang berselimut kain hitam dari ujung kepala hingga kaki. 　　“Paman Delapan juga membalut tubuhnya dengan kain hitam, hanya menyisakan wajahnya: “Tembok halaman tidak tinggi, aku akan mengangkatmu untuk memanjatnya.” 　　“Kalau begitu, bagaimana denganmu?” Bibi Delapan menggenggam kain hitam di kerah bajunya bertanya. 　　“Bodoh! Setelah masuk, tidak bisakah kau membuka palang pintu dari dalam?” 　　Bibi Delapan tersadar: “Oh iya, cara ini juga memudahkan kita kabur setelah menakuti si gadis itu.” 　　Begitu Xie Qingyao melihat hantu, pastilah dia akan berteriak keras. Saat itu, dayang-dayang yang sedang istirahat pasti akan bangun memeriksa. Jika sudah begitu, memanjat tembok untuk kabur akan terlambat dan terlalu mencolok. Kabur lewat pintu gerbang saat situasi kacau adalah pilihan terbaik. 　　Bibi Delapan memandang tembok setinggi setengah tubuh di atasnya dengan gugup: “Lekas, hati-hati. Jangan sampai aku jatuh.” 　　“Banyak tingkah! Cepat naik!” Paman Delapan berjongkok, menyilangkan tangan dan mengulurkannya. 　　Di tempat gelap, Er Niu duduk tenang, memiringkan kepala mengamati gerak-gerik mereka. 　　Bibi Delapan menginjak tangan Paman Delapan, memanfaatkan tenaga sang suami untuk memanjat ke puncak tembok, lalu dengan hati-hati melompat ke seberang. 　　Paman Delapan merapat ke kaki tembok, mendengar suara lembut di dalam menandakan mendaratnya sang istri. Senyum mengembang di wajahnya. 　　Tak lama kemudian, pintu gerbang perlahan terbuka. Bibi Delapan menyembulkan kepala, berteriak berbisik: “Lekas, masuk!” 　　“Berisik!” Paman Delapan membentak, lalu bergegas menuju pintu gerbang. 　　“Er Niu memiringkan kepala menyaksikan Paman Delapan lewat, lalu bangkit sambil mengibaskan bulunya yang mencipratkan air, mengikuti diam-diam. Saat masuk gerbang halaman, ia mengangkat kaki depan menutup pintu kayu yang terbuka separuh, lalu mendorong palang pintu dengan mulutnya.” 　　“Seluruh gerakan Anjing Besar ini mengalir lancar tanpa suara, sementara Paman Delapan dan Bibi Delapan yang sedang mengamati halaman sama sekali tak menyadari perubahan di belakang mereka.” 　　“Halaman tempat Xie Qingyao tinggal bernama Zhenxia Ju. Di tengah halaman tumbuh rerumputan harum, sebatang pohon aprikot telah berbuah hijau dengan banyak cabang menjulur ke luar tembok.” 　　“Keduanya melihat sekeliling, merasa tegang menyaksikan halaman yang sunyi sepi ini.” 　　“Setelah beberapa saat, Paman Delapan mendorong Bibi Delapan: "Diam saja apa? Cepat lepas kain hitammu!"” 　　“Bibi Delapan melepas kain hitam dan menyodokkannya ke tangan Paman Delapan, memperlihatkan baju putih pucat. Lalu mengambil sesuatu dari dalam bajunya dan mengenakannya di wajah.” 　　“Mata Er Niu membelalak, jelas terkejut melihat perubahan pada Bibi Delapan.” 　　“Kini di wajah Bibi Delapan terpasang topeng kertas putih. Di bagian mata hanya ada dua celah sempit untuk melihat. Meski sederhana, tampilan ini cukup menyeramkan di tengah malam buta.” 　　“"Cepat pergi! Selesaikan cepat kita bisa cepat tidur."” 　　“Bibi Delapan menarik napas gugup, melangkah dua langkah lalu menengok: "Berdiri di depan jendela saja ya?"” 　　“Memang pertama kali jadi hantu, belum berpengalaman.” 　　“"Ketuk jendelanya dulu!"” 　　Bibi Ba ragu-ragu mengulurkan tangannya. 　　Er Niu menyipitkan mata, seluruh tubuhnya melayang ke udara dan menerjang Bibi Ba yang baru saja berdiri di luar jendela hingga terjatuh. 　　Bibi Ba yang sudah merasa bersalah dan belum keluar dari bayang-bayang hantu di ruang duka, menjerit histeris saat diterjang bayangan hitam: "Ada hantu——" 　　Jeritan melengking itu langsung terdengar hingga jauh. 　　Pada saat itu, Paman Ba juga terkejut dan membeku di tempat, lupa bereaksi. Baru setelah beberapa lampu menyala, dia seperti terbangun dari mimpi dan langsung berlari keluar. 　　Hanya satu pikiran di kepalanya: kabur secepatnya dari tempat berbahaya ini, jangan sampai tertangkap! 　　Paman Ba merangsek ke pintu halaman, menariknya keras tanpa sempat melihat. 　　Pintu halaman tak bergerak sama sekali. 　　Dingin menggigil merayap dari tulang ekor Paman Ba ke seluruh tubuhnya. 　　Saat masuk tadi dia sengaja membiarkan pintu halaman tak terkunci, mana mungkin tidak bisa dibuka? 　　Mengingat keanehan di ruang duka, kaki Paman Ba gemetar: apa benar ada hantu? 　　Ruang duka yang tiba-tiba gelap di siang bolong, guntur dan hujan yang datang mendadak, serta kegilaan kedua perempuan itu, berputar-putar seperti lentera kertas di benak Paman Ba. 　　Mustahil dia tak sedikitpun curiga waktu itu, hanya takut istri merusak rencana, maka pura-pura tak peduli. 　　Semua ini terdengar panjang, namun sebenarnya hanya sekejap. 　　“Er Niu menggeser cakarnya dari wajah Banshen, tubuhnya menegang lalu melesat ke belakang Bashu, menggigit pantatnya dengan keras.” 　　“Auu——” Bashu menjerit lebih keras daripada Banshen. 　　Tak hanya halaman yang dipenuhi orang, penghuni rumah lain yang mendengar suara itu datang membawa lentera atau tongkat, bahkan ada yang tergesa-gesa sampai lupa memakai sepatu. 　　Bashu terkapar di tanah, tak tahu siapa yang menyerangnya, berjuang keras untuk melepaskan diri. 　　Er Niu melihat orang-orang yang berhamburan keluar, melepaskan gigitannya dengan tenang, lalu menyelinap ke rumpun pisang di pinggir tembok. 　　“Siapa?” teriak pendatang sambil mengayunkan lentera, membuat halaman yang sunyi tiba-tiba terang seperti siang hari. 　　Jendela terbuka perlahan, Jiang Si dan Xie Qingyao berdiri berdampingan mengintip ke luar. 　　Terdengar teriakan dari halaman: “Hantu——” 　　Seorang dayang kecil berteriak ketakutan, menunjuk ke sosok berambut kusut di tanah sambil gemetaran. 　　Perempuan itu tertelungkup, wajah sampingnya pucat tak berbentuk, tangan keringnya yang menjulang terlihat pucat di bawah sinar lentera. 　　Pemandangan ini akan membuat orang mati ketakutan jika dilihat sendirian, tapi berkat kerumunan orang, hanya menyebabkan beberapa jeritan. 　　Terdengar teriakan lagi: “Itu... itu seperti Suami beliau!” 　　Jiang Si memperhatikan dengan seksama, berbisik pada Xie Qingyao: "Wanita itu memakai topeng di wajahnya." 　　Mata Xie Qingyao berkilat kemarahan, ia berbalik dan bergegas keluar, berdiri di tangga batu sambil berseru: "Ikat kedua pencuri yang berpura-pura jadi hantu ini!" 　　Begitu mendengar seruan nona besar, kerumunan segera mengepung. 　　Bibi Delapan yang sudah sadar, melompat dan berlari keluar. 　　Kerumunan yang banyak jadi berani, melihat "hantu perempuan" hendak kabur, seorang nenek dengan sigap menjulurkan kaki menjegal "hantu" hingga terjatuh. Topeng kertas di wajah "hantu" itu terlepas dan tertiup angin bergoyang di tanah. 　　"Ini Nyonya Delapan!" teriak seorang nenek yang langsung mengenalinya. 　　Melihat dayang-dayang mengepung mereka, Paman Delapan menutupi pantat berdarahnya buru-buru berkata: "Ini salah paham, salah paham!" 　　Xie Qingyao mendekati mereka, berkata dingin: "Salah paham? Baiklah, Paman dan Bibi Delapan bisa jelaskan di hadapan sesepuh marga dan paman saya nanti tentang 'salah paham' ini." 　　Bibi Delapan panik mendengarnya, merengek: "Qingyao, kita keluarga sendiri. Masak mau libatkan orang luar jadi bahan tertawaan?" 　　Xie Qingyao menyeringai: "Itu aib kalian, bukan aibku. Panggil Putra Mahkota, sesepuh marga, dan Paman dari pihak ibu!" 188.BAB 188 Ada Monster 　　BAB 188 Ada Monster 　　Lampu di Paviliun Zhenxia menyala terang, kerumunan orang berdiri berjejal bagai awan gelap. 　　Paman dari keluarga Zhang wajahnya muram seperti air, memarahi Paman Delapan dan Bibi Delapan: "Kalian menyusup ke pekarangan keponakan perempuan saya di tengah malam, sebenarnya bermaksud apa?" 　　Meski Paman Delapan dan Bibi Delapan biasa pandai bersilat lidah, kali ini mereka hanya bisa terbengong-bengong. Kedua orang tua itu wajah mereka memerah, keringat bercucuran. 　　Istri paman mendengus dingin: "Wah, Tuan Delapan dan Nyonya Delapan memang satu keluarga dengan Yinlou dan Qingyao. Berpakaian seperti ini di malam hari langsung menyerbu pekarangan Qingyao, keluarga seperti ini baru pertama kali kusaksikan." 　　Bibi Delapan memutar otak mencari alasan: "Saya...saya cuma mimpi buruk, mimpi Qingyao sedang dalam kesulitan dan menangis histeris...Nyonya Paman tidak tahu, mimpinya seperti nyata banget. Setelah bangun saya terus kepikiran, akhirnya ajak si tua kesini. Benar kan, Paman?" 　　Paman Delapan mengangguk cepat: "Betul--" 　　Xie Qingyao memotong dengan tawa sinis, mengacungkan topeng kertas putih: "Paman dan Bibi khawatir pada saya, tapi Bibi malah pakai ini datang ke sini? Ingin uji nyali saya yang kuat, takut tidak mati ketakutan?" 　　Paman Delapan langsung bungkam, tangannya terus mengusap keringat. 　　Bibi Delapan berusaha mati-matian: "Qingyao tidak tahu, kalau bibir ini kena angin malam, wajah langsung timbul ruam..." 　　"Xie Qingyao langsung melemparkan topeng ke wajah Bibi Delapan, wajahnya memerah karena marah: 'Kurasa ini rencana untuk menakut-nakutiku sampai sakit, sehingga Bibi Delapan bisa merebut tempatku secara terang-terangan!'" 　　Bibi Delapan membuka mulutnya, gemetar melihat gadis yang wajahnya dingin membeku seperti es. 　　Baru sekarang ia sadar, si gadis ini sama sekali berbeda dengan ibunya yang berwatak lembut seperti adonan. 　　Ternyata ini adalah orang yang tak mau ditipu sedikit pun. 　　"Qingyao, dengarkan penjelasan Bibi..." 　　"Cukup!" Dua kata sederhana itu terdengar seperti butiran es yang membuat orang bergidik. 　　Xie Yinlou memandang Paman dan Bibi Delapan dengan wajah datar, sudut bibinya naik sedikit: "Usir mereka dari kediaman!" 　　Pelayan Keluarga Bo yang sudah lama tak suka dengan perbuatan Paman-Bibi Delapan segera mengendalikan dan mendorong mereka keluar. 　　Bibi Delapan menjerit histeris: "Yinlou! Kami ini paman dan bibimu! Bagaimanapun kami adalah orang tua, jangan kau usir kami!" 　　Xie Yinlou sama sekali tak mempedulikan wanita yang merengek itu, bertanya pada para sesepuh keluarga yang canggung: "Paman-paman, Bibi-bibi, kedua orang ini menyusup ke kamar adikku tengah malam untuk berpura-pura hantu dan menyakiti orang. Mengusir mereka bukanlah tindakan tidak hormat, bukan?" 　　Yang ditanya menghela napas. Yang tertua mengentakkan kaki: "Kacau sekali. Lao Delapan, kalian berdua benar-benar bodoh!" 　　“Kedua suami istri ini, yang selama ini mengandalkan status ayah sebagai kepala suku dan selalu bersikap sombong di desa, sudah lama membuat banyak orang tidak suka. Kini, tingkah laku mereka semakin menimbulkan cibiran. Bahkan mereka yang biasanya sering menjilat pun tak bisa membela dalam situasi seperti ini.” 　　“Melihat Paman Delapan dan istrinya berulah sia-sia lalu didorong keluar oleh pelayan keluarga, Xie Yinlou tiba-tiba berseru: "Tunggu!"” 　　“Paman Delapan dan istrinya langsung menoleh, mata mereka berbinar harap.” 　　“Xie Yinlou memandangi mereka seperti melihat anjing liar, penuh cibiran dan jijik: "Dengan kejadian ini, ikatan persaudaraan antara Keluarga Bo dan kalian putus. Jangan pernah lagi menginjakkan kaki di gerbang Keluarga Bo!"” 　　“Paman Delapan sama sekali tak menyangka Xie Yinlou akan berkata sekejam itu, wajahnya menghitam: "Yinlou, Kakekmu adalah kepala suku!"” 　　“Xie Yinlou tersin dingin: "Kau salah paham. Aku tidak memutus hubungan dengan Kakek. Setelah pemakaman orang tuaku, aku akan jelaskan perbuatan kalian kepada Kakek dan minta keadilan untuk kami berdua!"” 　　“"Kau--" Paman Delapan tertegun.” 　　“Meski ada niat terselubung saat datang membantu pengurusan pemakaman, mereka sama sekali tak bermaksud membawa masalah ini ke hadapan ayahnya.” 　　“Sebagai kepala suku, meski ayahnya ingin memihak, mustahil berlaku tidak adil di depan banyak anggota keluarga.” 　　Paman Kedelapan semakin berpikir semakin panik, matanya melirik ke arah sang nenek berwajah kuning di sampingnya yang tampak berduka seperti kehilangan orang tua, lalu tangannya langsung menampar: "Ini semua ulahmu perempuan jahat, kau malah menyeretku ke dalam masalah!" 　　Perempuan tua yang tak bisa menyelesaikan masalah malah merusak segalanya ini! 　　Bibi Kedelapan bukanlah orang yang bisa diremehkan, ia melompat dan membalas tamparan. Kini tak perlu lagi menjaga muka, seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki, ia berteriak: "Apa maksudmu aku yang menyeretmu? Bukannya kau yang menghasutku? Sekarang setelah gagal malah menyalahkanku sendiri? Dasar orang tua tak tahu terima kasih..." 　　Kerabat yang hadir terus menggelengkan kepala, merasa malu sampai ke tulang. Yang tertua di antara mereka dengan wajah masam berkata: "Putra Mahkota, segera suruh orang mengusir pasangan suami istri ini keluar." 　　Memalukan sekali! 　　"Aku tak mau pergi, tak mau pergi! Atas dasar apa mengusirku?" Bibi Kedelapan meronta-ronta sambil menangis, tak rela menoleh ke belakang. 　　Di halaman yang terang benderang bagai siang hari, seorang gadis berbaju linen putih berdiri anggun, pandangannya yang tertuju ke arah mereka dingin seperti jurang es. 　　Bibi Kedelapan menggigil ketakutan, menunjuk Xie Qingyao sambil berteriak: "Si gadis brengsek ini sudah lama mengincar kita, kau sengaja melihat kami jatuh dalam kesulitan!" 　　"Orang ini sudah gila, sampai sekarang masih bicara ngawur?" Orang-orang di halaman mencibir. 　　"Aku tidak ngawur! Kalau bukan sengaja menjebak kami, mengapa putri bangsawan seperti ini memelihara siluman di pekarangannya?" 　　Er Niu yang berbaring di balik rumpun pisang dekat tembok tak puas mengibaskan ekornya. 　　"Orang ini tidak bisa berbicara dengan baik? Dia jelas-jelas anjing besar yang gagah perkasa, bagaimana mungkin disebut siluman?" 　　Paman Delapan langsung teringat begitu mendengar perkataan Bibi Delapan, melompat sambil berteriak: "Benar! Di halaman ini ada siluman, siluman itulah yang menjebak kita, sampai kita—" 　　"—sampai ketahuan?" Xie Yinlou menyela, matanya memancarkan kilatan dingin, "Jika benar demikian, maka aku harus berterima kasih pada 'siluman' dalam mulut kalian." 　　Er Niu meletakkan mulutnya di atas cakar depannya dan memicingkan mata. 　　Hmm, orang ini cukup punya selera, tentu masih kalah dibanding majikannya. 　　"Di Paviliun Zhenxia memang ada siluman, bukan cuma satu tapi dua!" Xie Qingyao meludah, menunjuk ke arah pasangan Paman-Bibi Delapan, "Melakukan perbuatan hina pada keponakan yatim piatu, kalianlah siluman! Aku tak mengerti bagaimana hati manusia bisa begitu busuk!" 　　Gadis itu menangis tersedu-sedu, air mata mengalir deras seperti hujan. Tubuhnya yang kesepian di tengah halaman bagai kuntum bunga lemah tertiup badai, memancing rasa iba. 　　Xie Yinlou maju merangkul bahu adiknya. 　　"Usir mereka segera!" bentak Paman Keluarga Zhang. 　　Sampai terdorong keluar, masih terdengar teriakan Paman Delapan yang ngotot: "Benar ada siluman yang menyerangku! Tidakkah kalian lihat pantatku masih mengucurkan darah?" 　　Semua orang: "..." Gila! Pantatnya tidak mekar, siapa yang mau melihat-lihat pantatnya? 　　Er Niu mengibaskan ekor besar berbulunya dengan santai. 　　Sudah kubilang, bagaimana mungkin anjing besar yang gagah perkasa ini jadi siluman? Tampaknya kebanyakan manusia masih punya nalar. 　　Pandangan Jiang Si beralih ke rumpun daun pisang hijau segar, sudut bibirnya naik perlahan. 　　Er Niu jagonya jaga rumah! Mana mungkin anjingku jadi siluman? Dunia ini memang suka mengada-ada. 189. BAB 189: Adik Keempat Jiang Bukan Orang Seperti Itu 　　BAB 189: Adik Keempat Jiang Bukan Orang Seperti Itu 　　Komedi akhirnya berakhir. Bibi menatap keluarga Xie dengan sinis sambil memeluk Xie Qingyao, "Qingyao, ada paman dan bibi di sini. Kalau ada yang nakal, jangan sungkan laporkan." 　　Xie Qingyao melepaskan pelukan bibinya, "Tahu." 　　Bibi pun tersipu malu. 　　Banyak yang bergumam dalam hati: Siang tadi di altar masih bicara nista, sekarang sok suci lagi. 　　Di bawah tatapan pedas, bibinya malah tenang. 　　Hidup itu soal perbandingan. Awalnya aku dan Nyonya Kedelapan sama-sama malu, tapi karena mereka berdua pura-pura hantu jahat, sebagai keluarga dari istri Yongchang Bo, wajar aku yang bicara. 　　Anggota keluarga Xie benar-benar tidak bisa membalas sindiran bibi dari pihak ibu, hanya merasa malu, dan semakin marah pada pasangan Paman dan Bibi Delapan. 　　Xie Yinlou kali ini menangkupkan tangan ke arah orang banyak: "Para Paman dan Bibi, saya dan adik bukanlah orang yang tidak menghormati orang tua, apalagi mengabaikan ikatan keluarga. Hari ini kami benar-benar terpaksa melakukan ini. Untuk biaya kuil leluhur dan sekolah keluarga di klan, kami akan tetap melanjutkan seperti yang dilakukan almarhum ayah dan ibu kami. Mohon para sesepuh kembali ke perkebunan dan jelaskan situasi kami." 　　Xie Qingyao memandang kakak laki-lakinya dengan terkejut. 　　Biasanya kakaknya yang pendiam dan dingin jarang berbicara sebanyak ini. 　　Di balik mata Xie Yinlou tersembunyi kedinginan. 　　Masyarakat sangat menghargai bakti kepada orang tua dan ikatan kekeluargaan. Meskipun Kediaman Yongchang Bo hanya berhubungan jauh dengan anggota klan ini, secara resmi mereka tetap satu keluarga. Keluarga yang mampu harus berkontribusi lebih untuk klan - ini dianggap sebagai kebenaran mutlak. Jika dia menghentikan dana untuk kuil dan sekolah klan, konsekuensinya akan lebih buruk daripada sekadar mengusir Paman dan Bibi Delapan, malah akan merusak reputasinya. 　　Meskipun dia tidak peduli reputasi sendiri, dia harus memikirkan adik perempuannya yang suatu hari nanti akan menikah. 　　Seperti diduga, anggota keluarga Xie langsung lega mendengar semua akan tetap seperti biasa, serentak berkata: "Putra Mahkota tidak perlu khawatir. Lao Ba dan istrinya memang keterlaluan. Ini bukan kesalahan kalian. Jika ada yang berani menyebarkan rumor, paman-paman akan membela Anda!" 　　“Kalau begitu, adik dan saya mengucapkan terima kasih kepada para sesepuh.” Xie Yinlou kembali mengepalkan tangan, “Sudah larut, silakan para sesepuh pulang beristirahat. Yinlou sebentar lagi akan berjaga di depan peti orangtua.” 　　Pemuda tujuh belas tahun itu mengenakan jubah kabung putih, tegak bagai pohon poplar di tengah malam, kokoh dan terpercaya. 　　Kerabat Xie mengangguk diam-diam: Dengan kehadiran anak ini, sepertinya Keluarga Bo tidak akan jatuh terpuruk. Ke depannya harus lebih sopan kepada pemuda ini, dia calon Sang Bangsawan masa depan. 　　Ck, Bangsawan muda seperti ini, pantas saja Lao Ba dan istrinya punya niat licik ingin menikahkan keponakan perempuan dari keluarga istri Lao Ba ke sini. 　　Setelah mengantar kerabat Xie pergi, Xie Yinlou membungkuk hormat kepada Paman Zhang: “Paman juga silakan pulang beristirahat, sudah malam.” 　　Paman Zhang teringat tingkah bibinya di siang hari, malu untuk bertingkah sebagai paman, berkata canggung: “Kalau begitu paman pulang dulu. Jangan terlalu memaksakan diri berjaga, jaga kesehatan.” 　　Xie Yinlou menunduk mengucapkan terima kasih. 　　Sampai keluar gerbang, bibi masih bergumam: “Qingyao sedang sedih, ini kesempatan emas untuk memperbaiki hubungan, kenapa malah pergi?” 　　Paman Zhang menyeringai: “Kalau bukan karena omong kosongmu siang tadi, ini memang kesempatan bagus. Sekarang lupakan saja. Tidakkah kau lihat, dua gadis itu bukan tipe yang mudah dikendalikan.” 　　“Sampai di sini, mata Paman dari keluarga Zhang menjadi redup: “Kau benar-benar mengira kejadian histeria tiba-tiba di paviliun duka di siang hari hanya kebetulan? Menurutku, ini pasti ada campur tangan saudara kakak-beradik itu.” 　　Bibi tersentak: “Maksudmu histeriaku adalah ulah strategi mereka berdua?” 　　Paman dari keluarga Zhang diam seribu bahasa, jelas mengiyakan. 　　Wajah Bibi berubah pucat, bergumam: “Tidak mungkin? Mereka masih para gadis, mana mungkin punya kemampuan seperti itu?” 　　Paman dari keluarga Zhang menoleh memandang halaman yang masih terang benderang, mendesah pelan: “Gadis dan gadis itu berbeda. Dalam sejarah bahkan ada gadis dua belas tahun yang menjadi perdana menteri.” 　　“Orang seperti itu kan sangat langka,” bibi bergumam. 　　Paman dari keluarga Zhang memandangnya tajam: “Kau yakin mereka bukan dua dari yang langka itu? Lagipula, aku tetap pamannya. Lebih baik jika dua keluarga kita bisa mempererat hubungan. Jika tidak, jangan sampai jadi permusuhan. Bagaimana aku menghadapi adikku nanti?” 　　Mendengar kabar buruk tentang kematian adik dan ipar di hari yang sama, rencana menikahkan putri mereka memang ada kepentingan pribadi. Tapi tujuannya tulus untuk melindungi kakak-beradik itu, daripada mereka dimangsa sanak keluarga. Sekarang tampaknya usahanya sia-sia. 　　“Sudah, lupakan rencana-rencana itu. Biarkan mengalir saja,” Paman dari keluarga Zhang menasihati. 　　“Bibi ipar menyeringai diam-diam, hatinya merasa tak nyaman: Ini benar-benar seperti tidak mendapat ikan, malah mendapat bau amis.” 　　Di Paviliun Zhenxia, saudara Xie dan Jiang Si masih berdiri di halaman. 　　“Kalian semua boleh pergi sekarang.” Xie Yinlou berkata pada para dayang-dayang. 　　Setelah para pelayan perempuan mundur satu per satu, dia menatap keduanya dan bertanya: “Apakah kalian terkejut?” 　　Jiang Si samar-samar merasakan tatapannya menyelimutinya, seolah berbeda dari biasanya, diam-diam menggelengkan kepala. 　　Xie Qingyao tersenyum: “Tidak, malah menyaksikan pertunjukan menarik yang membuat hatiku lega.” 　　Xie Yinlou memandang Jiang Si. 　　Jiang Si merasa agak bingung. 　　Apakah Kakak Xie harus mendengar jawaban langsung darinya? 　　“Aku juga baik-baik saja.” 　　Xie Yinlou memandangi Jiang Si dalam diam, matanya dalam dan bermakna. 　　Saat itu bahkan Xie Qingyao merasakan keanehan, secara refleks maju selangkah menghalangi di antara mereka. 　　Di satu sisi ada kakaknya, di sisi lain sahabatnya. Meski berharap mereka bisa jadian, tapi karena A Si sudah menyatakan tidak cocok dengan kakaknya, setidaknya sebelum A Si berubah hati dia tidak boleh sembarangan jadi mak comblang. 　　Sekalipun polos seperti Xie Qingyao tahu, dunia ini jauh lebih keras pada perempuan daripada pria. Jika sahabatnya terlalu dekat dengan kakaknya tapi akhirnya tidak menikah, yang rugi tetap sahabatnya. 　　“Kakak, ada apa?” 　　Xie Yinlou menatap dalam-dalam pada Jiang Si, akhirnya bertanya: "Adik Keempat Jiang, apakah ada hantu di halaman ini?" 　　Jiang Si bertatapan dengan Xie Yinlou, alisnya terangkat sedikit menunjukkan keheranan. 　　Rupanya Xie Yinlou mencurigai hal ini. 　　Bibirnya terkembang, wajah polos: "Tidak ada." 　　Di balik rumpun pisang hanya ada Er Niu miliknya, tentu saja tidak ada hantu. 　　Xie Yinlou tertegun. 　　Ia tak percaya nasib sial paman dan bibi kedelapan hanya kebetulan. Orang lain tak perhatikan, tapi ia melihat darah yang bercecer dan lubang di celana pamannya. 　　Ia paham kondisi adiknya sendiri. Kejadian aneh yang terus menguntungkan mereka, mustahil ia tak sadar ada yang membantu. 　　Tapi Adik Keempat Jiang ini berani berbohong padanya tanpa berkedip. 　　Dulu Adik Keempat Jiang bukan orang seperti ini. 190.BAB 190 Pembalasan Setimpal 　　BAB 190 Pembalasan Setimpal 　　Di bawah tatapan terkejut Xie Yinlou, wajah Jiang Si tetap tenang. 　　Tentu ia tak bisa mengungkap Er Niu, hanya bisa berpura-pura tidak tahu dengan muka tebal. 　　Tapi Xie Qingyao mudah ditipu, tidak dengan Xie Yinlou. 　　Alisnya berkerut, matanya masih menatap tak lepas pada wajah Jiang Si. 　　Jiang Si menunduk, merasa tertekan. 　　“Kakak, kenapa kau tanya A Si soal ini? Di pekaranganku tentu tidak ada hantu.” Xie Qingyao kali ini jarang sekali menunjukkan senyuman samar, “Pekarangan siapa pun juga tidak ada.” 　　Dalam kegelapan malam, mata coklat muda Xie Yinlou berkilauan semakin dalam, menyembunyikan perasaannya. 　　Adikku benar, mana ada hantu di dunia ini? 　　Sebenarnya, pertanyaannya pada Jiang Si bukan untuk menuding adanya hantu. Kalau Jiang Si tidak mau mengaku, buat apa ia mempersulit orang yang telah menolong mereka? 　　Tatapan Xie Yinlou melunak, ia mengangguk lembut pada Jiang Si: “Malam ini terima kasih banyak, Nona Keempat Jiang.” 　　Melihat Xie Yinlou tak lagi mendesak, Jiang Si tersenyum manis: “Kakak Xie terlalu sungkan, aku tidak melakukan apa-apa.” 　　“Sudah larut, kalian istirahatlah, aku akan ke ruang duka.” 　　Memandang lingkaran hitam di bawah mata kakaknya yang semakin pekat, Xie Qingyao tak tahan berkata: “Kakak, jaga juga kesehatanmu. Kalau kau sakit karena kelelahan, bagaimana aku harus menghadapi ini sendirian?” 　　Xie Yinlou tersenyum hangat pada adiknya: “Tenang, aku masih kuat. Tidak akan kubiar kau sendirian.” 　　Seketika mata Xie Qingyao berkaca-kaca. 　　Andai tanpa kakak, sungguh ia tak punya keberanian untuk bertahan. Kini, setelah menyaksikan wajah asli serigala-serigala itu, ia semakin tak boleh mundur, membiarkan kakaknya menghadapi semuanya seorang diri. 　　Xie Yinlou menepuk bahu Xie Qingyao, mengangguk ke arah Jiang Si, lalu berbalik menuju pintu gerbang. Saat tiba di pintu, langkahnya terhenti sejenak, matanya melirik ke arah rumpun pisang. 　　Wajah Jiang Si tetap tenang, namun hatinya berdebar-debar. 　　Apakah Xie Yinlou menemukan Er Niu? 　　Di balik rumpun pisang, Er Niu yang sensitif terhadap tatapan langsung mengarahkan telinganya dengan waspada. 　　Apakah manusia ini menemukanku? Jika dia mendekat, haruskah aku lari atau menggigit? 　　Setelah berpikir, Er Niu memutuskan: "Aku bisa melawan, lari itu memalukan. Lebih baik gigit saja." 　　Tapi nyonya terlihat akrab dengan orang ini? 　　Er Niu memiringkan kepala memandang pemuda di pintu gerbang, untuk pertama kalinya ragu. 　　Sudahlah, gigit saja. Meski nyonya marah, pasti tuan akan senang. 　　Setelah mantap memutuskan, Anjing Besar itu bersantai menanti kesempatan menggigit. 　　Xie Yinlou menarik pandangannya dan membuka pintu. 　　Jiang Si diam-diam menghela napas lega. 　　Tak peduli apakah Xie Yinlou menyadari keanehan, yang penting tidak berterus terang. Dasar tebal muka, selama tidak ketahuan, bisa saja menyangkal. 　　Xie Yinlou bertindak cepat: mengusir Paman dan Bibi Delapan malam itu juga, serta segera menulis surat. Mandor dan seorang paman klan diperintahkan berangkat ke Perkebunan Xie saat gerbang kota dibuka subuh, untuk melaporkan seluruh kejadian pada kepala klan. 　　“Mandor dan paman suku keluar kota dengan menunggang kuda saat fajar menyingsing. Paman Delapan dan bibi Delapan yang diusir keluar tengah malam terpaksa menginap di jalanan. Sebelum tengah malam mereka terbangun menatap langit berbintang, setelah tengah malam tertidur lelap sampai matahari meninggi.” 　　Keduanya bahkan belum sempat membersihkan kotoran mata, dengan penampilan compang-camping meninggalkan kota, bergegas ingin kembali ke desa untuk cari muka pada kepala suku. 　　Prasangka awal sangat menentukan. Urutan penyampaian banyak hal bisa memberikan kesan berbeda. 　　Saat mereka kembali ke desa, berjalan bajo tatapan aneh warga, terdengar suara meludah dari belakang: “Cih, memalukan!” 　　Bibi Delapan yang biasa jumawa karena ayah mertuanya kepala suku, tak tahan dipermalukan. Langsung berbalik sambil menangkup pinggang: “Kau menghina siapa?” 　　Wanita itu menyeringai: “Siapa yang merasa ya? Kakak kelima baru meninggal, tulang-belulangnya belum dingin, sudah ada yang mengincar harta warisannya. Tak takut kah kena petir?!” 　　Mendengar kata “kena petir”, tubuh Bibi Delapan gemetar. 　　Ia paling trauma mendengar frasa itu sekarang! 　　“Kena petir? Wah, tak kusangka kau begitu dekat dengan Kakak kelima. Orang sudah mati masih mau menjilat? Sayang, sikapmu sia-sia…” Soal adu umpat, Bibi Delapan tak mau kalah. 　　Tak tahukah kalau mandor dari Kediaman Yongchang Bo sudah datang lebih dulu dan membongkar semua perbuatan mereka berdua? Ditambah ada paman dari klan yang ikut bersaksi, sekarang seluruh anggota klan sudah tahu perbuatan memalukan mereka berdua, benar-benar memicu kemarahan publik. 　　Ada orang yang membalas kebaikan se-gantang beras dengan kebencian se-gantang beras, tapi ada juga yang masih punya hati nurani. 　　Wanita yang baru saja berbicara ini adalah penerima kebaikan Keluarga Bo. Mendengar kata-kata kotor dari Bibi Delapan, dia meludahi wajahnya dengan dahak kental: "Cih! Kau mengunyah belatung apa di mulutmu? Saat suamiku meninggal, lima anakku hampir mati kelaparan. Kakak kelima dan lima saudara perempuannyalah yang memberi uang penyambung hidup. Melihat anak keduaku cerdas, Kakak kelima bahkan membiayai sekolahnya. Ada serigala berbulu domba yang tak ingat kebaikan Kakak kelima, tapi aku ingat! Ayo, kita temui kepala suku! Kalau hari ini kepala suku tidak mengusir kalian berdua yang berhati hitam ini, akan kutubrukkan kepalaku di depan rumahnya sebagai balas budi pada Kakak kelima!" 　　Massa klan yang emosional mendorong-dorong Paman Delapan dan Bibi Delapan menuju rumah kepala suku. 　　Dalam situasi seperti ini, meski kepala suku ingin memihak pun tak mungkin. Apalagi seorang kepala suku haruslah orang yang dihormati. Demi menjaga reputasi dan meredam kemarahan publik, langsung saja ia mengusir Paman Delapan dari desa. 　　Orang-orang zaman itu sangat menghargai ikatan klan. Belenggu klan bahkan lebih kuat dari hukum. Misalnya, jika klan menghukum seseorang, pemerintah tak akan campur tangan. Orang yang kehilangan perlindungan klan akan hidup sangat menderita. 　　“Paman Delapan dan Bibi Delapan berteriak sampai suara serak namun tidak bisa membuat kepala suku menarik kembali keputusan, sejak itu mereka menghilang untuk waktu yang lama.” 　　Xie Yinlou berlutut di ruang duka, mendengarkan laporan mandor dengan ekspresi datar, sudut bibinya naik perlahan sambil memandang bunga sutra putih di peti mati: "Ayah, Ibu, tenanglah, putra akan menanggung beban Keluarga Bo dan merawat adik..." 　　Tak lama setelah lewat tujuh hari kematian Yongchang Bo dan istrinya, Jiang Si melihat kondisi Xie Qingyao membaik, lalu mengusulkan untuk pulang. 　　Meski berat hati, Xie Qingyao tahu tidak pantas menahan tamu terlalu lama. 　　Saat itu dia melirik kakak laki-lakinya, berharap dalam hati: Andai Kakak bisa menikah dengan A Si, kami bisa bersama setiap hari. 　　Intinya, Kakak tidak cukup berusaha. 　　Tatapan sedih sang gadis membuat Xie Yinlou bingung sekaligus tidak tahan, buru-buru berkata pada Jiang Si: "Adik Keempat Jiang, izinkan saya mengantarmu pulang." 　　Xie Qingyau menyeringai. 　　Kakak terlalu bersemangat mengusir tamu, pantas saja tidak disukai. 　　"Kedua rumah begitu dekat, tak perlu repet-repot Xie Kakak." 　　Xie Yinlou bersikeras: "Adik Keempat Jiang sudah menemani Qingyao sekian lama, sudah sepantasnya saya mengantar." 　　Jiang Si bukan tipe yang bertele-tele, menerima tawaran setelah Xie Yinlou bersikeras. 　　Orang-orang suka menonton keramaian, terutama acara pernikahan dan pemakaman. Saat pasangan Yongchang Bo meninggal, mereka mengundang belasan biksu Buddha dan Tao untuk melakukan ritual, dentuman genderang dan suling setiap hari menarik ribuan penonton. 　　Yu Jin juga termasuk penonton setia yang tak pernah absen menyaksikan keramaian ini. 191.BAB 191 Serangan 　　BAB 191 Serangan 　　Upacara penganugerahan gelar kepangeranan masih dalam persiapan, apalagi Istana Yan belum direnovasi. Bagi Yu Jin, semua ini hanyalah urusan sepele yang tak pantas menghalangi pertemuannya dengan Jiang Si. 　　Air mata Jiang Si di hari itu bagai palu kecil yang terus menggores lubang di hatinya. 　　Ia sangat ingin tahu mengapa gadis itu begitu sedih, tapi ternyata Jiang Si memilih menetap di Kediaman Yongchang Bo! 　　Memikirkan sosok pemuda tampan bermata dingin di Kediaman Yongchang Bo, jantung Pangeran Ketujuh Yu ini berdebar tak karuan. 　　Sudah lama ia menyelidiki bahwa Putra Mahkota Yongchang Bo ini adalah teman masa kecil A Si yang punya ikatan emosional sejak kecil. Jika sekarang mereka tinggal serumah setiap hari, bagaimana jika A Si tiba-tiba salah langkah? 　　Benar! Menurut Yu Jin, jika Jiang Si menyukai pria selain dirinya, itu pasti karena gadis itu sedang tidak waras! 　　"Tuanku, minumlah." Long Dan menyodorkan kendi air. 　　Yu Jin menerimanya, meneguk seteguk air, lalu tiba-tiba wajahnya berubah kaku. Tangannya menggenggam kendi itu semakin erat. 　　Di depan gerbang Kediaman Yongchang Bo, Xie Yinlou berhenti dan memberi hormat kepada Jiang Si: "Adik Keempat Jiang, terima kasih atas bantuanmu selama ini." 　　Menurut aturan, orang yang masih dalam masa berkabung berat tidak boleh memasuki rumah orang lain. 　　Jiang Si membungkuk sedikit untuk membalas salam: "Kakak Xie tidak perlu terlalu sopan, aku dan Qingyao adalah sahabat terbaik." 　　Ekspresi dingin Xie Yinlou sedikit melunak: "Qingyao sangat beruntung memiliki teman seperti Nona Keempat Jiang." 　　Jiang Si merasa malu, menundukkan pandangan menghindari tatapan Xie Yinlou, berbisik pelan: "Tidak juga. Kakak Xie, aku akan pulang dulu, tidak ingin mengganggumu." 　　Dalam tujuh hari saja Xie Yinlou sudah kurus sekali, jubah kabung putih longgar menggantung di tubuhnya, justru membuatnya terlihat lebih tegap dan tampan. 　　Kepergian kedua orang tua secara bersamaan sungguh sangat menyiksa bagi seseorang yang harus menanggung segalanya sendiri, baik secara mental maupun fisik. 　　Xie Yinlou menatap Jiang Si dengan intens, ingin tersenyum namun tak ada tenaga, juga tidak pantas untuk situasi ini, akhirnya hanya melunakkan suaranya: "Nona Keempat Jiang, hati-hati di jalan." 　　Jiang Si mengangguk ringan, lalu buru-buru pergi. 　　Xie Yinlou berdiri sejenak, kemudian berbalik dan masuk kembali ke kediamannya. 　　Yu Jin marah sampai memencet kendi air hingga penyok, melepas sumbatnya lalu menenggak air langsung dari kendi. 　　Long Dan mengamati dari samping sambil menggeleng diam-diam: "Tuanku ini lebih mirip minum cuka daripada minum air." 　　Tetesan air mengalir dari sudut mulut Yu Jin ke lehernya. Setelah kendi kosong, ia melemparnya lalu bergegas menuju Kediaman Dongping Bo. 　　"Benar saja, yang ditakuti malah terjadi. Baru saja A Si bahkan tidak berani menatap Xie Yinlou itu." 　　"Tuanku——" Long Dan segera mengejar. 　　Yu Jin berhenti sejenak, menatap tajam ke arah Long Dan: "Kutanyakan padamu, jika seorang gadis malu di depan seorang pria, apa artinya?" 　　Long Dan langsung menjawab: "Artinya dia menyukainya?" 　　Wajah Yu Jin langsung menjadi gelap. 　　Long Dan berkedip-kedip. 　　Sepertinya jawabannya benar! 　　Melihat Yu Jin berjalan pergi, Long Dan segera menghalangi: "Tuanku, hendak ke mana?" 　　"Pergi menanyakannya langsung." 　　Long Dan menepuk dahinya: "Tuanku, ini bukan Perbatasan Selatan. Dengan kerumunan orang yang menonton ini, jika Tuanku mengejar sampai pintu gerbang mereka dan bertanya macam-macam, mungkin tidak pantas?" 　　Yu Jin menutup mata sejenak lalu membukanya kembali, berusaha menahan gejolak cemburu dalam hatinya: "Kau benar." 　　Siang hari memang tidak tepat, lebih baik ditanyakan malam nanti. Lagipula A Si sudah pulang ke rumah. 　　Apa? Menyusup ke kamar wanita di malam hari bukan tindakan pria terhormat? 　　Hehe, dia memang pezinah. Tapi hanya mau berlaku jahat pada A Si saja. 　　Yu Jin adalah tipe orang yang pantang mundur setelah menentukan pilihan. Dengan tekad bulat, dia meninggalkan Long Dan dan berbalik arah. 　　Pulang dulu untuk mengumpulkan tenaga. 　　Karena acara pemakaman di Kediaman Yongchang Bo, seluruh jalanan ramai oleh kerumunan orang. Jarak antara Yu Jin dan Long Dan segera terpisah oleh lautan manusia. 　　Long Dan yang tertinggal di belakang berteriak, "Tuanku, tunggu hamba——" 　　Yu Jin masih terus memutar ulang adegan gadis itu menunduk malu-malu dalam pikirannya, sama sekali tidak memperhatikan teriakan pengawalnya, langkahnya semakin cepat. 　　Seorang pria berjalan melewati sisi Yu Jin. 　　Raut wajah pria itu sangat biasa, pakaiannya pun sangat sederhana, bagaikan setetes air yang tak mencolok di tengah kerumunan orang - tipe orang yang langsung dilupakan wajahnya meski baru saja berpapasan. 　　Keberadaan orang seperti ini di tengah kerumunan yang padat tentu tidak menarik perhatian sama sekali. 　　Saat keduanya bersimpangan, kilatan cahaya dingin muncul dari lengan baju pria itu - belati berkilau menusuk ke arah Yu Jin. 　　Meski Yu Jin sedang tak berkonsentrasi, pengalaman bertempur bertahun-tahun di medan perang ditambah bakat alaminya telah mengembangkan insting tajam terhadap bahaya. Tubuhnya bereaksi lebih dulu menghindar ke samping saat belati diangkat, sekaligus menjangkau pergelangan tangan penyerang. 　　Belati yang semula ditujukan ke jantung akhirnya hanya menyambar lengan bawahnya. 　　Belati yang setajam pisau cukur langsung merobek sutra hijau bambu, butiran darah segera merembes dari luka di lengan bawah. 　　Sensasi kesemutan menyebar. 　　Wajah Yu Jin langsung berubah pucat. 　　Ada racun di belati itu! 　　"Tuanku!" Long Dan yang melihat keanehan ini dari balik kerumunan langsung mendorong orang-orang di depannya dan berlari tergopoh-gopoh. 　　"Dalam sekejap mata, Yu Jin dan pria yang memegang pisau belati sudah bertarung beberapa kali, kecepatannya begitu tinggi hingga tidak menarik perhatian orang di sekitarnya." 　　"Melihat Long Dan berlari mendekat, pria itu segera mundur, menyelip ke kerumunan orang dan kabur." 　　"Kejar!" Yu Jin memberi perintah tegas pada Long Dan. 　　"Meskipun sehari-hari Long Dan suka bercanda dan agak kurang ajar di hadapan Yu Jin, saat genting ia tidak berani mengabaikan perintah tuannya sedikitpun, langsung mengejar." 　　"Dia tidak tahu bahwa Yu Jin saat ini sudah terkena racun." 　　"Saat Long Dan terus menerobos kerumunan orang untuk mengejar, orang-orang akhirnya menyadari keanehan, sifat suka keramaian mendorong mereka untuk ikut mengekor." 　　"Yu Jin memanfaatkan kesempatan untuk mendekati pinggir jalan, melihat luka di lengannya." 　　"Waktu itu reaksinya cepat, lukanya sebenarnya hanya goresan tipis, tapi darah yang merembes sekarang sudah berubah hitam pekat." 　　"Yu Jin meraba dompet yang tergantung di pinggangnya." 　　"Di dalam dompet ada pil penawar racun yang didapatkannya dari selatan, bisa menetralkan segala jenis racun." 　　"Tapi saat tangannya menyentuh dompet yang dibuat dengan teliti, gerakannya terhenti. Dalam sekejap ia mengubah keputusan, langkahnya sempoyongan menuju suatu arah." 　　"Seandainya Long Dan masih ada, akan terlihat bahwa arah yang dituju Yu Jin bukan Gang Quezi, tapi sebaliknya." 　　"Melewati beberapa gang sempit, Yu Jin bersandar di depan pintu sebuah rumah, mengetuk keras-keras." 　　"Siapa?" Suara waspada dari dalam terdengar, dari suaranya bisa diketahui itu pria muda. 　　"Saya." Jawab Yu Jin singkat. 　　Di dalam pintu terjadi keheningan sejenak. 　　"Kau siapa?" Beberapa saat kemudian, suara dari dalam pintu terdengar lagi. 　　Tiba-tiba di luar pintu terdengar suara "dong", seolah ada benda berat menghantam pintu. 　　Pemuda di dalam ruangan itu terkejut. 　　Jangan-jangan ada orang jahat yang sengaja menghantam pintu? 　　Ia menempelkan telinga ke pintu untuk mendengarkan, tapi tak ada suara sama sekali. 　　Setelah berpikir sejenak, pemuda itu perlahan membuka celah kecil pintu. Begitu melihat ke luar, tubuhnya gemetar. 　　Di luar pintu ternyata ada orang yang terjatuh! 　　Pemuda itu langsung membuka pintu lebar-lebar. 192. BAB 192 Keracunan 　　BAB 192 Keracunan 　　Saat pintu halaman terbuka, tangan orang di luar itu tergeletak di ambang pintu. 　　A Fei segera melihat ke kiri-kanan, memastikan tak ada yang melihat kejadian ini. 　　Melihat sekeliling sepi, ia menghela napas lega dan bergumam, "Benar-benar moral orang sekarang sudah rusak. Jalan selebar itu tidak pingsan, malah pingsan di depan pintu rumah orang!" 　　Yu Jin yang menunggu pertolongan: "..." Tak disangka, orang yang A Si pilih sebagai kurir ternyata seperti ini. 　　Rumah sipil ini disewa oleh Jiang Si. Awalnya Lao Qin yang tinggal di sini. Setelah Lao Qin menyusup ke Kediaman Dongping Bo sebagai kusir kereta, A Fei datang ke sini setiap hari. Pertama sebagai tempat berlindung yang aman, kedua untuk memudahkan komunikasi dengan Lao Qin. 　　Yu Jin sangat paham dengan semua ini. Itulah sebabnya saat keracunan, ia tidak kembali ke Gang Quezi tapi datang ke sini. 　　Dengan kondisi seperti ini, si kurir yang bekerja untuk A Si pasti akan melaporkan ke A Si. Nanti A Si pasti akan datang, tak perlu menunggu sampai malam. 　　A Fei yang diandalkan oleh Pangeran Ketujuh Yu Qi mengendap-endap mengintip, lalu membungkuk menarik kedua lengannya sambil berbisik: "Tidak bisa, kita harus cepat-cepat melempar orang ini ke depan rumah orang lain!" 　　Yu Jin: "..." Menahan diri lalu menengadah, memberi isyarat bahwa ia masih hidup. 　　A Fei terkejut, menggosok matanya: "Lho, wajahnya ini familiar!" 　　Kelopak mata Yu Jin berkedut-kedut. 　　Bukannya anak ini belum pernah melihatnya, seorang yang tampan dan mencolok seperti dirinya, apakah sekali lihat saja tidak bisa meninggalkan kesan mendalam? 　　"Hmm-hmm—" Yu Jin batuk ringan dua kali. 　　A Fei tiba-tiba tersadar: "Ini sepertinya orang yang dikenal Nona." 　　Setelah mengucapkan itu, A Fei kembali diam. 　　Pangeran Ketujuh Yu Qi hampir tak kuasa menahan amarah: Mengapa masih ragu setelah mengenalinya?! 　　"Sepertinya hubungan Nona dengan orang ini tidak terlalu baik." A Fei masih ragu-ragu. 　　Seluruh tubuh Yu Jin gemetar, tenggorokannya terasa anyir. 　　Sungguh ingin melompat dan mencekik leher anak ini! 　　A Fei ragu sejenak, lalu menghela napas: "Sudahlah, lebih baik kita bawa masuk dulu, tanyakan maksud Nona baru putuskan." 　　Tidak sembarangan mengambil keputusan adalah kebiasaan baik A Fei. 　　Meski bertubuh tinggi, Yu Jin masih kurus khas remaja. A Fei tak perlu susah payah menyeretnya ke dalam pekarangan, lalu pergi mencari Lao Qin untuk menyampaikan pesan. 　　“Lao Qin sudah sangat terbiasa dengan kehidupan sekarang, atau demi menunggu kemungkinan bertemu kembali dengan tunangan yang bereinkarnasi, baginya kehidupan seperti apa pun sama saja.” 　　Ketika A Fei datang mencari, dia sedang malas-malasan berjemur di bawah sinar matahari. 　　A Fei sangat iri: "Kuberi tahu, Lao Qin, hidupmu benar-benar enak ya." 　　Lao Qin menarik kembali pandangannya dari gerbang Kediaman Yongchang Bo yang tertutup kain putih, hanya tersenyum tanpa bicara. 　　Sejak Nona pergi ke Kediaman Yongchang Bo, setiap hari dia mengawasi dari sini. Dia tidak bisa masuk ke dalam, setidaknya bisa segera tahu jika Nona menghadapi masalah. 　　Setelah mendengar laporan A Fei, Lao Qin segera menyampaikan kabar tersebut ke Ah Man. 　　Ah Man langsung buru-buru berlari ke Haitangju: "Nona, ada masalah!" 　　Jiang Si baru saja kembali ke kediaman. Menurut protokol harus membersihkan sial dulu sebelum menghadap sesepuh. Setelah serangkaian urusan, baru bisa beristirahat sejenak di Haitangju. 　　"Apa yang terjadi?" Wajah pucat Ah Man membuat jantung Jiang Si berdebar. 　　"Tuan Yu mengalami masalah!" 　　Jiang Si menggenggam erat cangkir di tangannya, suaranya sedikit meninggi: "Dia kenapa?" 　　"Tuan Yu pingsan. A Fei menyuruh Lao Qin menyampaikan kabar ini pada Nona." 　　Tangan Jiang Si melepaskan cangkir yang langsung berputar di atas meja. 　　Beberapa saat kemudian, Jiang Si berdiri dan bergegas keluar: "Di mana A Fei?" 　　"Sedang menunggu di luar kediaman." 　　Langkah Jiang Si semakin cepat, seolah kaki tumbuh angin. 　　“Mengapa dia tiba-tiba bisa pingsan? Apakah sakit atau ada sebab lain? Bagaimana A Fei bisa mengetahuinya?” 　　Serangkaian pertanyaan membuat Jiang Si hampir berlari kecil, tak sabar ingin segera menemui A Fei untuk bertanya. 　　Ah Man yang mengejar dari belakang menggelengkan kepala diam-diam. 　　Ternyata Nona begitu perhatian pada Tuan Yu, tapi kenapa setiap ketipan bersikap dingin? 　　Ah, rasa-rasanya pikiran Nona lebih rumit daripada kasus pembunuhan. Sudahlah, nanti aku anggap Tuan Yu sebagai calon suami Nona saja pasti tidak salah. 　　Di sudut luar gerbang, A Fei sedang menunggu bosan tiba-tiba melihat sosok familiar, buru-buru melambai. 　　Jiang Si bergegas mendekat, berusaha tenang bertanya: “Apa yang terjadi?” 　　“Hamba juga tidak tahu, begitu pintu dibuka ada orang tergeletak di depan. Karena hamba lihat dia kenalan Nona, langsung datang memberi kabar.” 　　“Di mana dia sekarang?” 　　“Masih di rumah sewaan.” 　　Wajah Jiang Si tegang menuju rumah sewaan, sepanjang jalan hatinya berkecamuk. 　　Identitas Yu Qi (Pangeran Ketujuh) sangat istimewa, diam-diam ada pengawal, bagaimana bisa pingsan di sana? 　　Kebetulan sedang masa Yu Jin akan mendapat gelar kepangeranan, Jiang Si mulai berpikir mendalam. 　　Betapa liciknya orang-orang bangsawan yang tampak mulia itu, pengalaman hidup sebelumnya telah mengajarkannya. 　　Rumah sewaan itu tidak jauh dari Dongping Bo Residence, Jiang Si berjalan cepat dan segera tiba di lokasi. 　　“Kenapa pintu tidak dikunci?” Melihat pintu gerbang hanya tertutup longgar, Jiang Si melirik A Fei. 　　A Fei menatap langit. 　　Masalah yang jelas seperti ini masih ditanyakan Nona, tentu karena tidak peduli. Dia kira orang ini tidak penting bagi Nona, siapa sangka Nona panik seperti ini! 　　A Fei merasa tidak adil. 　　Jiang Si sudah masuk ke dalam, langsung melihat Yu Jin terbaring tak bergerak di atas meja batu di bawah pohon di halaman. 　　"Tidak tahu kondisi dia bagaimana, jadi tidak berani memindahkan ke dalam rumah—" A Fei menjelaskan dengan hati berkecamuk. 　　Untung tidak membuang orang ini ke depan pintu rumah orang, kalau tidak sekarang benar-benar tidak bisa dijelaskan. 　　Yu Jin menyandarkan kepala di lengan yang tidak terluka, menggerakkan alisnya. 　　A Si datang lebih cepat dari yang dia bayangkan. 　　"Kau bagaimana?" Jiang Si mendekati Yu Jin, memanggil pelan. 　　Yu Jin berusaha keras mengangkat kepala, melirik Jiang Si. 　　Melihat wajahnya yang kebiruan, Jiang Si kaget, spontan bertanya: "Kau keracunan?" 　　Yu Jin mengangkat tangan kanannya dengan susah payah, lemah berkata: "Sepertinya… iya." 　　Jiang Si melihat luka gores tidak dalam di lengan pria itu, darah hitam di area luka sudah membeku, mengeluarkan bau anyir samar. 　　Dia menekan pelan area sekitar luka. 　　"Jangan—" Yu Jin mengeluarkan satu kata dengan susah payah, tersenyum pada Jiang Si, "Tidak enak dilihat." 　　A Fei berjongkok diam-diam di sudut tembok. 　　"Bahkan di saat seperti ini, senyuman Yu Jin masih terang seperti bulan purnama, namun menusuk dada Jiang Si hingga perih." 　　Jiang Si melotot dengan wajah dingin ke arah Yu Jin: "Diam kau!" 　　Di saat seperti ini, dia masih bilang penampilannya tidak bagus? 　　Seorang pria dewasa seperti dia, apa mengira aku menyukainya karena kecantikannya? 　　Jiang Si tidak sempat menginterogasi cara Yu Jin terluka. Ia menguji suhu dahinya dengan tangan, membuka kelopak matanya untuk melihat pupil, lalu menggigit bibir dan mengambil sesuatu dari dompetnya. 　　Itu adalah kotak giok seukuran buah aprikot dengan lubang ventilasi di atasnya. 　　Jiang Si membuka kotak giok itu dengan hati-hati, menjepit seekor ulat gemuk dengan dua jarinya. 　　Mata Yu Jin menyipit, suaranya tiba-tiba lebih kuat: "Apa ini?" 　　"Ulat," jawab Nona Jiang dengan wajah polos. 　　Hari ini akan ada tambahan bab. 193.BAB 193 KEKERASAN HATI 　　BAB 193 KEKERASAN HATI 　　Ulat itu gemuk, seluruh tubuhnya memancarkan warna merah muda transparan seperti permata. Merah yang menggoda dan indah sekali. 　　Tapi secantik apapun, ini tetap ulat - lunak, gemuk, dan bisa merayap. 　　Ekspresi Yu Jin kaku: "A Si, dari mana ulat ini?" 　　Tangan Jiang Si yang memegang ulat berhenti, alis hitamnya berkerut: "Kau memanggilku A Si?" 　　Yu Jin langsung terdiam. 　　Sial, efek racun membuat reaksiku lambat, sampai tanpa sengaja memanggil nama panggilan hati. 　　Saat itu Jiang Si tak mempermasalahkan sebutan, meletakkan cacing gemuk di atas luka Yu Jin. 　　Begitu menyentuh luka berbau anyir, tubuh cacing itu bergerak gemulai mulai melahap dengan lahap. 　　Memandangi cacing yang asyik melahap daging di lukanya, Yu Jin menahan dorongan untuk menghancurkannya sambil bertanya dengan bibir pucat: “Dari mana cacing ini?” 　　Jiang Si menepuk-nepuk dompet di pinggang: “Kau lihat tadi, ambil dari dompet. Jangan takut, cacing jenis ini bisa memakan racun yang meresap ke aliran darah di luka, membantu menetralkan racunmu.” 　　Sayangnya cacing ini berbeda dengan Huan Ying, tidak bisa dipelihara dalam tubuh dan harus disimpan dalam kotak giok yang dibawa-bawa. 　　“Siapa yang takut?” Yu Jin tetap keras kepala menutup mata, bibirnya putih tanpa setetes darah. 　　“Mengapa ada cara detoksifikasi yang begitu menjijikkan ini! Seandainya tahu lebih awal——” Memikirkan pil penawar racun yang masih terbaring aman di dompetnya, Yu Jin tersenyum getir. 　　Seandainya tahu, dia tetap akan memilih dimakan cacing asal bisa bertemu A Si sekali saja. 　　Terkadang Yu Jin sendiri juga tidak mengerti mengapa seseorang bisa begitu membekas di hatinya, dan dia tidak ingin mencari tahu. 　　Di dunia ini ada satu orang yang selalu diingatnya dan harus direbut, ini adalah keberuntungannya. 　　“Sudah.” Suara datar itu terdengar setelah waktu yang tidak diketahui lamanya. 　　Yu Jin membuka mata, pandangannya jatuh ke lengan bawahnya. Luka di sana telah berubah kembali menjadi merah segar. 　　Jiang Si mengeluarkan sehelai saputangan putih dan membalut lukanya, menasihati: "Dalam tiga hari jangan terkena air, tunggu hingga keropeng lepas dengan sendirinya." 　　Yu Jin diam seribu bahasa, matanya tak berkedip memandangi Jiang Si. 　　Jiang Si kesal dipandangi begitu, bangkit berdiri: "Nanti A Fei akan mengantarmu kembali ke Gang Quezi, aku pergi dulu." 　　Sebuah tangan dingin menggenggam pergelangannya: "A Si, jangan pergi." 　　Jiang Si menunduk memandangi tempat kedua tangan mereka saling bertautan. Tangan itu putih langsing dengan ruas jari jelas, di kehidupan sebelumnya sudah tak terhitung kali menggenggamnya. Bahkan kapalan halus di ujung jari pun begitu dikenalnya. 　　Ia lupa melepaskan diri sejenak. 　　Yu Jin batuk ringan, pipi pucatnya memerah: "A Si, aku tidak enak badan——" 　　Kalimat itu mengandung nada memelas, terdengar menyedihkan. 　　Jiang Si mengeraskan hati, melepaskan genggaman: "Racun sudah dinetralkan. Aku bukan tabib. Kalau masih sakit juga, tidak bisa apa-apa. Aku akan menyuruh A Fei mengantarmu pulang." 　　Tangan itu kembali mencengkeram tangannya, suara pemuda itu semakin lembut: "A Si, hatiku sakit——" 　　Jantung Jiang Si terasa diremas, ia melepaskan genggaman itu seperti tersulut api dan berbalik pergi. 　　Suara benda berat jatuh terdengar dari belakang. 　　Jiang Si menoleh kaget, melihat Yu Jin sudah terjatuh di lantai, berusaha menopang tubuh sambil memandangnya. 　　Seuntai darah merah segar mengalir dari sudut bibirnya. 　　Jiang Si terkejut, bergegas mendekat dan menopangnya: "Ada apa?" 　　Seharusnya tidak, racunnya sudah jelas tersembuhkan. 　　Yu Jin mengerutkan kening, berusaha menahan rasa sakit: "Tidak sengaja terkena telakan, ada gangguan internal..." 　　"A Fei, pergi ke Gang Quezi——" 　　Yu Jin menggeleng lemah, berbicara susah payah: "Ada... ada pembunuh bayaran, mungkin sudah menjebak Gang Quezi..." 　　Jiang Si terpaksa membatalkan niat mengantar ke Gang Quezi. Bersama A Fei, mereka menidurkan Yu Jin dan menyuruh A Fei membeli obat. 　　Memang dia bukan tabib, tak bisa mengobati luka dalam. 　　Yu Jin bersandar pada bantal, sudut bibirnya melengkung. 　　Tak disangka A Si bisa menyembuhkan racun, hampir saja rencananya ketahuan. Untung bereaksi cepat. 　　Yu Jin puas dengan kepintarannya sendiri, tapi melihat alis gadis di sampingnya berkerut, hatinya tersayat. 　　Tampaknya berlebihan, membuatnya khawatir. 　　"Luka sudah seperti makanan sehari-hari... Aku baik-baik saja, jangan kau khawatir." 　　Jiang Si menunduk: "Tuan Yu salah paham, saya tidak khawatir." 　　"Tadi kau——" 　　"Kau penyelamat kakakku. Ini hanya hal kecil bagiku." 　　Bibir tipis Yu Jin bergetar. Kali ini benar-benar ada cairan panas menggelora di tenggorokannya. 　　Si gadis ini, sengaja memilih kata-kata yang menyakitkan tanpa perlu membayar untuk melukai hatinya. 　　"Untung hatinya lapang, bisa menahan ini." 　　Yu Jin mengeluarkan sapu tangan dan menyeka sudut bibirnya, kain putih itu segera ternoda bercak-bercak darah. 　　Jiang Si tak bisa menahan diri untuk memandangi sapu tangan itu beberapa saat. 　　Mengatakan tidak khawatir adalah membohongi diri sendiri, tapi dia paling paham ketebalan muka pria ini. Sekali sedikit melunak, dia langsung akan memanfaatkan kesempatan. 　　"Rupanya di hati Nona Jiang, aku hanya penyelamat kakakmu." Yu Jin menghela napas. 　　Mendengar panggilannya berubah dari "A Si" kembali ke "Nona Jiang", Jiang Si justru merasa sesak di dada alih-alih lega. Namun dia tersenyum dingin: "Memang begitu adanya, harap Tuan Yu tidak salah paham lagi di kemudian hari." 　　Bibir pucat Yu Jin bergetar. Menundukkan mata, dia tersenyum masam: "Aku tahu kau jengkel melihatku. Mungkin kepergianku selamanya baru akan memberimu ketenangan..." 　　Sambil berkata demikian, matanya menatap dalam ke bola mata lawan bicara, keluar erangan dari lubuk hati: "Tapi A Si, aku mengkhawatirkanmu. Kenapa kau menangis waktu itu?" 　　Hati Jiang Si seolah dipukul palu kecil, terasa nyeri tumpul. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia menikahi dua pria - Ji Chongyi dan Yu Qi. 　　Berbeda dengan sikap dingin Ji Chongyi yang membuatnya sesak napas, Yu Qi selalu menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan ucapan-ucapannya yang sekilas saja diingat dengan baik. 　　Seringkali dia berusaha meyakinkan diri sendiri: Di hati Yu Qi, tidak pernah ada Imam Suci A Sang, yang ada hanyalah Jiang Si. 　　"Tapi perkataan itu kudengar langsung dari mulut Yu Qi, membuatku tak bisa lagi menipu diri sendiri." 　　Mata Yu Jin sangat indah, hitam dan putihnya jelas, jernih bagai mata air di celah gunung. 　　Menatap bola mata yang penuh kekhawatiran tulus ini, Jiang Si merasakan kebingungan yang absurd. 　　Bagaimana mungkin ada orang seperti ini, yang memikirkan seorang wanita namun memperlakukan wanita lain dengan begitu baik? Begitu baik hingga membuat tiruan merasa seperti asli, bahkan setelah tertipu sampai mati dan terlahir kembali, tetap tak bisa melepaskan perasaannya padanya. 　　Di kehidupan ini aku tak akan lagi melakukan kebodohan. 　　"Ini tidak ada hubungannya dengan Tuan Yu." 　　"A Si!" 　　"Tuan Yu, setelah A Fei kembali akan membuatkanmu obat. Kapanpun kau merasa aman, suruh dia menyampaikan pesan ke Gang Quezi. Aku masih ada urusan, pamit dulu." Jiang Si berjalan beberapa langkah lalu berhenti, tanpa menoleh, suaranya datar dan dingin, "Tuan Yu kedepannya harap panggil aku Nona Jiang, jika kita masih punya kesempatan bertemu." 　　Setelah berkata demikian, dia berjalan keluar. 　　Update kedua, mohon dukungan Suara bulanan dan Rekomendasi. 194. BAB 194 Hati yang Tersakiti 　　BAB 194 Hati yang Tersakiti 　　Yu Jin bangkit, menghalangi jalan Jiang Si. 　　Jiang Si menyipitkan matanya yang indah, mengamati gerakan gesitnya. 　　Baru saja muntah darah, sekarang bisa melompat menghalangiku. Jadi dia lagi-lagi membohongiku? 　　Amarah membara di dada. Mengingat kekhawatirannya tadi, Jiang Si tak bisa menahan diri mencaci dirinya sendiri. 　　"Minggir!" 　　“Tidak ingin bertemu saya lagi?” Yu Jin menyandarkan satu tangan di dinding, menunduk sedikit memandangi gadis di hadapannya. 　　Jiang Si tidak mengangkat pandangan, berkata datar: "Benar." 　　"Lebih memilih menikah dengan siapa pun daripada saya?" tanya Yu Jin lagi. 　　Hampir tak terlihat keraguan, Jiang Si mengangguk lagi: "Benar." 　　Wajah pemuda itu perlahan memucat, tangannya menarik diri perlahan, bulu mata lebatnya menyembunyikan gejolak emosi di matanya. 　　Si gadis kejam ini, jelas-jelas menyimpan perasaan padanya, tapi mengapa terus menolaknya? 　　Hanya menolak dia! 　　Mengingat kata-kata Jiang Si "lebih baik menikah dengan siapa pun daripada dirinya", Yu Jin merasa dadanya sesak. 　　"Mengapa?" 　　Jiang Si akhirnya mengangkat pandangan, bertatapan dengannya. 　　Pemuda itu memiliki sepasang mata phoenix yang indah, ujung mata sedikit terangkat yang selalu memberi kesan santai namun memesona. Pupil matanya tidak seperti kebanyakan orang Dinasti Zhou yang coklat muda, melainkan hitam pekat bagai giok hitam berkualitas tinggi. 　　Saat ini, sorot mata terang itu dipenuhi cinta dan kepedihan. 　　"Mengapa?" 　　Jiang Si tersenyum, nada bicaranya tenang namun kejam: "Tuan Yu beberapa tahun lebih tua dari saya, masakan tidak tahu di dunia ini hanya hal ini yang tak bisa dijelaskan alasannya. Apakah setiap wanita yang mengungkapkan perasaan padamu, jika kau tak menerima, harus menjawab alasannya?" 　　"Tak ada yang pernah bertanya padaku." 　　"Wanita dari Perbatasan Selatan memang bersemangat dan terbuka. Ketika melihat pria tampan, mereka sangat berani. Biasanya dia langsung menghindar sebelum para wanita itu mendekat, mana sempat menunggu sampai ada yang bertanya 'mengapa'." 　　"Jika ada yang bertanya, akankah kau menjawab?" 　　"Tidak." Yu Jin menjawab tanpa keraguan. 　　Kecuali A Si, dia akan menjaga jarak dari semua wanita. Tentu A Si tidak perlu menanyainya mengapa. 　　Jiang Si menatap Yu Jin dengan pandangan dingin: "Lihatlah, Tuan Yu. Apa yang tidak kau inginkan jangan kau lakukan pada orang lain. Aku pergi dulu." 　　"Tunggu!" 　　Jiang Si tetap diam. 　　Yu Jin memandangnya, tiba-tiba tersenyum: "Kata-katamu akan kuingat. Ini tempatmu, yang harus pergi adalah aku. Selamat tinggal, Nona Jiang." 　　Jiang Si menggigit bibirnya perlahan, menyaksikan pria itu berjalan ke pintu. 　　Ratusan pikiran berputar di benaknya, tapi akhirnya tak ada suara yang keluar. Orang itu pun tak pernah menoleh kembali. 　　Yu Jin tak berani menoleh. Dia takut jika melihat ekspresi lega di wajah sang pujaan hati, hatinya akan remuk. 　　Lagipula hatinya bukan terbuat dari besi, dia juga bisa merasa sakit. 　　Saat melangkah keluar gerbang, sinar matahari menyilaukan menyinari pipi pucat pemuda itu hingga tampak tembus pandang. 　　Yu Jin berhenti sebentar di luar gerbang, tak ada suara apa pun dari belakang. 　　Dia menghela napas pelan, lalu melangkah mantap ke depan. 　　Melewati gang kecil, menyeberangi jalanan, suara musik duka sesekali terdengar – Kediaman Yongchang Bo sedang mengadakan upacara pemakaman. 　　Di sini sebenarnya tidak jauh dari Dongping Bo Residence, sama seperti rumah sipilnya di Gang Quezi yang sengaja dipilihnya segera setelah baru kembali ke ibu kota. 　　Ia ingin berada dekat dengannya, meski untuk sementara tak bisa bersama. Cukup dengan memikirkan mereka hidup di tempat yang sama, memandang langit yang sama di malam hari, hatinya yang gelisah pun merasa tenang. 　　Sebuah suara mengejek terdengar: "Wah, Adik ketujuh, kenapa kau terlihat lesu? Kalau tidak tahu, orang bisa mengira kau baru dirampok." 　　Yu Jin tersentak, menatap orang di depannya. 　　Pria yang berbicara itu berusia awal dua puluhan, berpakaian rapi dengan alis tebal dan mata besar yang tampan. Dialah Pangeran Kelima, Pangeran Lu. 　　Pangeran Kelima mengipaskan kipasnya, api kemarahan membara di matanya. 　　Hari ini kenapa harus bertemu si brengsek ini? Sungguh sial! 　　Namun melihat kekacauan lawannya, hatinya justru bergembira. Pangeran Kelima mengipaskan kipasnya perlahan: "Rupanya Adik ketujuh memang gemar berkelahi." 　　Alis pedang Yu Jin berkerut: "Kau ini--" 　　Ekspresi Pangeran Kelima membeku sebelum meledak marah: "Brengsek! Kau bahkan tidak tahu siapa aku?!" 　　Ini benar-benar penghinaan terbesar seumur hidupnya. Pertama kali kepalanya dilempari kendi anggur, lalu bukannya mendapat penghiburan dari Ayah Kaisar, malah dihukum menghadap dinding di Biro Urusan Kerajaan. Hal ini akan diingatnya seumur hidup, dan si dalang utama akan dibencinya selamanya. 　　Tapi sekarang si biang keladi ini malah tidak mengenalinya? Mereka setidaknya pernah "sekamar" di penjara selama tiga hari! Apakah keberadaannya begitu tidak berkesan? 　　Pangeran Kelima semakin memikirkannya semakin marah, tangan yang memegang kipas lipatnya pun gemetar. 　　Yu Jin memasang ekspresi kebingungan dan ketidaksalahan: "Maaf, ingatanku agak buruk." 　　Selain A Si, siapa pun yang ingin mengambil keuntungan secara verbal darinya hanyalah mimpi. 　　Memandang wajah Pangeran Kelima yang pucat, Yu Jin tersenyum ringan: "Oh, ternyata Kakak." 　　Pangeran Kelima melompat berdiri: "Kau bohong, apakah aku setua itu?" 　　Orang di sampingnya menarik-narik lengan baju Pangeran Kelima dengan panik: "Paduka, berhati-hatilah dalam berkata!" 　　Meskipun Qin Wang bukan anak kandung Kaisar, justru karena itulah hati Kaisar selalu dipenuhi rasa bersalah, secara terbuka memperlakukan Qin Wang lebih lembut daripada Putra Mahkota. 　　Selain itu, Qin Wang baru berusia awal tiga puluhan, usia ketika seorang pria paling berwibawa. Perkataan Paduka ini akan terdengar buruk jika tersebar. 　　Pangeran Kelima menyadari kesalahan ucapannya, melotot ke Yu Jin: "Lao Qi, hari ini kau masih ingin berkelahi? Waktu itu kau memecahkan kepalaku tanpa alasan, hutang ini belum kita selesaikan!" 　　Yu Jin menunjukkan ekspresi penuh pencerahan: "Oh, ternyata Kakak kelima." 　　Pangeran Kelima memegangi dadanya. 　　Akhirnya mengenali juga, haruskah dia mengucapkan terima kasih? 　　Jika tidak melampiaskan kemarahan ini, dia akan mati karena marah. 　　Pangeran Kelima menutup kipasnya dan berkata sinis: "Lao Qi, jangan bicara omong kosong, beranikah kau bertarung sungguhan denganku? Kita sepakat dulu, siapapun yang dirugikan kali ini tidak boleh mengadu ke Ayah Kaisar!" 　　“Yu Jin tersenyum sambil menggeleng, tampak tenang: ‘Kakak kelima bercanda, bagaimana mungkin saudara saling membunuh? Usulmu ini tidak bisa kuterima.’” 　　“Siapa yang bercanda?! Dulu kau memukul kepalaku dengan guci anggur, kenapa tidak ingat kita bersaudara?” Pangeran Kelima wajahnya pucat karena marah. 　　Pemuda itu dengan alis indah dan mata jernih penuh ketidakbersalahan: “Waktu itu aku mabuk.” 　　Alasan yang begitu gamblang ini membuat Pangeran Kelima terpana sejenak. 　　Yu Jin tersenyum manis pada pangeran yang hampir mati kesal: “Hari ini adik sangat sadar, tidak bisa ikut-ikutan ulah kakak.” 　　“Kau—!” Pangeran Kelima menuding Yu Jin, gemetar marah, “Semua perkataan manusia dan setan sudah kau ucapkan, aku—!” 　　Inginnya memukul, tapi bayangan hukuman kurungan belum hilang, terpaksa ditahan. 　　Yu Jin pura-pura tidak melihat kemarahannya, bertanya riang: “Kakak kelima datang kemana? Ini jauh dari kediaman Pangeran Lu.” 　　Pangeran Kelima refleks melirik ke arah Dongping Bo Residence yang tidak jauh. 　　Gerakan kecil ini tak luput dari mata Yu Jin yang seketika muram. 　　Update ketiga, mohon suara bulanan dan rekomendasi. Sore nanti ada tambahan bab ucapan terima kasih untuk hadiah. 195. BAB 195: Pasukan Mati (Tambahan He Shibi) 　　BAB 195: Pasukan Mati (Tambahan He Shibi) 　　Lirikan Pangeran Kelima itu membuat senyum Yu Jin langsung menghilang. 　　“Dia sudah lama menduga bajingan ini muncul di sini dengan niat jahat, makanya sempat mengobrol dengannya. Ternyata sama sekali tidak salah tuduh.” 　　“Bajingan ini ternyata masih belum melepaskan pikiran kotor terhadap A Si. Sepertinya tempayan anggur waktu itu kurang keras pukulannya.” 　　“Apa urusan Kakak kelima datang ke sini?” 　　Meski watak Pangeran Kelima kasar dan ceroboh, dia tidak bodoh. Perubahan ekspresi lawan bicaranya tiba-tiba membuatnya merasakan hawa dingin. 　　“Bagaimana? Apakah kemana aku pergi harus melapor ke Adik ketujuh?” 　　Yu Jin tersenyum: “Bukan itu maksudku. Aku sekadar bertanya, toh tempat ini tidak seperti daerah yang biasa Kakak kunjungi.” 　　Pangeran Kelima mengamati Yu Jin, tidak tahu maksud tersembunyi apa yang dimiliki pria ini. 　　Dia tidak percaya anak ini sekadar bertanya. Hari itu hanya karena ucapan "aku mabuk" dari mulutnya, tempayan anggur langsung menghantam kepalanya. 　　Mengingat itu, Pangeran Kelima hampir tak kuasa mengangkat tangan untuk mengusap kepalanya. 　　Dorongan ini membuat Pangeran Kelima semakin jengkel. 　　Dia kan bukan takut pada anak ini, tapi kenapa reaksi spontan ini muncul? 　　“Lalu kenapa Adik ketujuh ada di sini?” 　　Yu Jin tersenyum: “Kakak yang tinggal di istana pangeran mungkin tidak tahu, tempat tinggal sementara adik di sekitar sini. Wajar saja aku ada di sini.” 　　“Oh iya, istana Adik ketujuh belum selesai dibangun.” Akhirnya Pangeran Kelima menemukan celah untuk menyerang, senyum sinis mengembang di bibirnya. “Kasihan sekali, maukah Adik menginap beberapa hari di rumah Kakak?” 　　“Niat Kakak kelima saya hargai. Tapi saya ini orangnya suka minum alkohol sesekali, kalau kebanyakan minum jadi ingin melakukan hal-hal yang disukai. Nanti malah merepotkan Kakak kelima.” Yu Jin melirik Pangeran Kelima dengan senyum samar, “Tak kusangka Kakak kelima juga suka melihat keramaian acara pernikahan dan pemakaman.” 　　“Siapa yang suka lihat ini!” Pangeran Kelima spontan menjawab. 　　Yu Jin memicingkan mata, sorot matanya tajam seperti pisau. 　　Bagus, sudah pasti. Bajingan ini datang memang berniat mengincar A Si. 　　Pada titik ini Pangeran Kelima sudah kehilangan minat untuk bertemu gadis impiannya. Dengan muka masam dia berkata, “Kalau kau tidak berani berkelahi, aku tidak akan buang-buang waktu lagi.” 　　“Kakak kelima hati-hati di jalan.” 　　Yu Jin tetap berdiri di tempat, matanya mengikuti langkah Pangeran Kelima yang pergi bersama pengawalnya sampai jauh, baru kemudian bergegas menuju Gang Quezi. 　　Kembali ke rumah berpohon kurma bengkok di depan pintu, Er Niu yang sedang asyik menyantap daging sapi kecap segera menoleh ke arah tuannya. 　　Hidung anjing besar ini sangat peka, sudah mencium bau darah samar dari tubuh tuannya. 　　Melihat ke baskom penuh daging sapi kecap, setelah berjuang sejenak, akhirnya dia bangkit mendekati tuannya dan mengendus-endus penuh perhatian. 　　“Tidak apa.” Seiring makin pintarnya Er Niu selama beberapa bulan terakhir, hubungan manusia dan anjing ini semakin kompak. Yu Jin membelai kepala Er Niu sambil menghibur, “Cuma luka kecil.” 　　Er Niu baru kemudian menggonggong pelan, lalu berlari kembali melanjutkan perang melawan daging sapi kecapnya. 　　“Tuanku——” 　　Yu Jin mengangkat tangan menghentikan pertanyaan Leng Ying: "Long Dan sudah kembali belum?" 　　"Belum." 　　Yu Jin berjalan ke meja batu di bawah pohon sutra dan duduk, jari-jarinya yang panjang mengetuk permukaan meja: "Teh." 　　Leng Ying segera membawa cangkir dan teko teh, menuangkan secangkir dan menyerahkannya. 　　Yu Jin menerimanya dan meminumnya perlahan, di kepalanya bergantian muncul kata-kata kejam Jiang Si dan bayangan Pangeran Kelima yang mondar-mandir di sekitar Dongping Bo Residence. 　　Tanpa terasa satu teko teh habis, akhirnya Long Dan kembali. 　　Long Dan tidak pulang sendirian, ia menyeret seseorang, tepatnya sejenazah. 　　Melihat Yu Jin, Long Dan melemparkan mayat ke tanah dan berlutut satu kaki: "Tuanku, tidak bisa menangkap hidup-hidup." 　　Yu Jin mendekat, memandangi mayat pria di tanah dari atas. 　　Wajah mayat itu kebiruan, sudut mulutnya masih ada bekas darah hitam. 　　"Mati keracunan?" 　　"Benar, saat hamba hampir menangkapnya, dia menggigit gigi beracun di mulutnya." 　　Angin berhembus membawa bunga sutra yang jatuh di tubuh mayat, bunga lembut berwarna putih-merah muda yang kontras dengan mayat mengerikan itu membuat pemandangan semakin mistis dan seram. 　　Yu Jin tak peduli, berjongkok dan meraih tangan kanan mayat untuk diperiksa. 　　Di tangan mayat terdapat lapisan kapalan tipis. 　　"Tuanku, orang ini ilmu silatnya cukup hebat, hamba juga nyaris kalah," bisik Long Dan. 　　“Long Dan dan Leng Ying sudah lama mengikuti Yu Jin. Meski yang satu ceria dan yang lain bermuka datar, kemampuan mereka luar biasa. Jika Long Dan merasa kewalahan, orang seperti itu pasti bukan penjaga biasa yang dipekerjakan sembarangan.” 　　Ekspresi Yu Jin menjadi serius. 　　Memelihara prajurit bunuh diri tidaklah mudah. Lalu mengapa prajurit bunuh diri terlatih ini menyerangnya diam-diam? 　　Inilah yang paling membingungkan Yu Jin. 　　Dia hanyalah pangeran yang tak ambil pusing. Meski punya pengaruh di selatan, sejak kembali ke ibu kota, kekuatan itu dianggap remeh oleh orang. Mustahil hal ini sampai mengganggu kepentingan pihak tertentu. 　　Kehadiran prajurit bunuh diri ini justru sangat menarik. 　　Sudut bibir Yu Jin melengkung. Alih-alih frustrasi, dia justru merasa tertarik. 　　“Tuanku, apa langkah selanjutnya?” 　　Yu Jin tersenyum dingin: “Apa lagi? Tentu melapor ke pihak berwajib.” 　　Kebetulan dia kesal dengan gerombolan Lao Wu. Meski belum bisa menghabisi mereka, mengambil bunga terlebih dahulu juga lumayan. 　　Sejak kembali ke ibu kota, Zhen Shicheng terus menerus menangani kasus. Meski sibuk berputar, dia justru merasa seperti ikan di air. 　　Dia senang membongkar kasus kematian dan menyeret pelaku ke pengadilan. Itu membuatnya puas. 　　Namun ketidakkooperatifan putra sulung belakangan ini jelas mengganggu mood Tuan Zhen. 　　“Mau ke mana lagi?” Saat jeda kerja, Zhen Shicheng berjalan di taman dan kembali menangkap basah putranya yang hendak keluar. 　　Zhen Heng menunduk tersenyum getir: “Teman mengajak anak ke hutan untuk menikmati anggrek dan melukis.” 　　“Kenapa Ayahnya begitu santai, apa tidak ada kasus yang harus dipecahkan? Setiap hari cuma mengawasiku terus.” 　　Mendengar itu, wajah Zhen Shicheng berubah muram: “Melukis sambil menikmati anggrek? Ngapain ikut campur hal tak berguna ini? Daripada buang waktu, lebih baik setelah aku turun dari kantor temani aku berkunjung.” 　　Pelipis Zhen Heng berdenyut-denyut. 　　Orang bilang dia lembut seperti giok, siapa sangka dalam hatinya selalu ada dorongan untuk memukul aku! 　　Sebagai pelajar, bersenandung puisi dan menikmati bunga bersama teman itu hiburan biasa, kok di mata Ayah jadi sehina ini? Jangan dikira dia tak tahu, maksud Ayah mengajak berkunjung sebenarnya ingin memaksakan Nona pilihannya padanya. 　　Bisa saja hari ini dia ikut Ayah mengunjungi rumah orang, besok Ayah langsung bisa menetapkan perjodohan. 　　Zhen Heng sudah paham betul, karena itu bertekad keras menolak ajakan bepergian bersama Zhen Shicheng. 　　“Acara anggrek dan lukisan cuma alasan berkumpul. Lagipula, nanti masuk dunia birokrasi juga butuh dukungan teman sekelas. Tidak mungkin terus-terusan absen. Selain itu, aku sudah janji dengan orang——” 　　Melihat anaknya lagi-lagi cari alasan kabur, Zhen Shicheng kesal melambaikan tangan: “Cepat minggir!” 　　Zhen Heng: “……” Apakah aku ini anak pungut? 　　Sebenarnya, dia agak penasaran seperti apa sih Nona pilihan Paduka ini. 　　Teringat juru bedah mayat perempuan yang sering membawa kepala manusia di samping Zhen Shicheng, bibir Zhen Heng berkedut. 　　Tidak, lebih baik jangan penasaran. Penasaran bawa sial! 　　Bagian keempat. Terima kasih untuk hadiah He Shibi dari guiyue08 (2 tael), honeylion (3 tael), daddy, (2 tael), Feng Zhi Dian, dan Tuqiang. 196. BAB 196 Pangeran Melapor ke Pengadilan 　　BAB 196 Pangeran Melapor ke Pengadilan 　　Melihat anaknya lari lebih cepat dari kelinci, Zhen Shicheng menggigil sampai kumisnya bergetar. 　　Kenapa anak brengsek ini tidak bisa memahami? Dengan selera sebaik ini, mana mungkin gadis pilihanku buruk? 　　Zhen Shicheng teringat saat anaknya bertanya tentang kelebihan gadis yang dia kagumi, dengan spontan dia menjawab: "Bakat alami dalam memecahkan kasus." 　　Kelebihan sebesar ini, anak brengsek tidak tahu menghargai? 　　Zhen Shicheng teringat ekspresi Zhen Heng setelah mendengarnya, amarahnya langsung meluap sambil mengusap-usap kumisnya kasar. 　　Apa dia harus menyebutkan kelebihan sepele seperti kecantikan gadis itu? Superfisial! 　　"Paduka, ada yang melapor!" teriak Petugas yang berlari menghadap. 　　Ekspresi Zhen Shicheng kembali tenang saat melangkah mantap keluar. 　　Di ruang sidang, para Petugas berbisik-bisik memperhatikan pemuda yang berdiri tegak sebelum kedatangan Zhen Shicheng. 　　Bukan mereka tidak berpengalaman, tapi benar-benar belum pernah melihat orang yang berani membawa mayat langsung untuk melapor. 　　"Paduka datang!" 　　Ruangan langsung hening. 　　Zhen Shicheng duduk di belakang meja hakim, pandangannya terhenti saat melihat pemuda yang berdiri di bawah. 　　Pemuda ini ternyata salah satu teman yang pernah ditemuinya di Kuil Lingwu. 　　Mengingat Nona Jiang mengenal pemuda ini, Zhen Shicheng segera menyadari status orang ini pasti berasal dari keluarga kaya atau bangsawan. 　　Tentu status seperti ini di ibu kota bukan hal istimewa, bagi Zhen Shicheng juga sudah biasa. Yang membuatnya terkejut hanyalah kebetulan pernah memiliki interaksi sebelumnya. 　　Zhen Shicheng segera menyadarkan diri, menepuk meja sidang: "Persidangan dimulai." 　　Tongkat hukuman di tangan petugas segera berdentum: "Hormaaat——" 　　Yu Jin berdiam diri dengan tenang, menunggu ruang sidang kembali sunyi. 　　Seorang petugas membentak: "Berani sekali, di hadapan sidang berani tidak bersujud!" 　　Yu Jin tersenyum tipis, berkata pada Zhen Shicheng: "Mohon Paduka maklum, saya agak tidak nyaman untuk bersujud." 　　Zhen Shicheng tidak mempermasalahkan, dengan wajah kaku berkata: "Tidak apa, silakan jelaskan asal usulmu dan alasan melapor ke pemerintah." 　　Dinasti Zhou sangat menghormati kaum terpelajar. Pemegang gelar Xiucai tidak perlu bersujud di hadapan Pejabat Kabupaten, sementara Tuan Gong dari keluarga bangsawan juga wajar tidak bersujud. 　　Namun kali ini Zhen Shicheng justru penasaran dengan identitasnya. Biasanya keluarga terpandang tidak akan mengirim majikan langsung ke sidang saat melapor. Pemuda ini cukup unik. 　　"Ehm, ada yang mencoba membunuh saya," kata Yu Jin datar. 　　Zhen Shicheng langsung duduk tegak, ekspresi menjadi serius: "Percobaan pembunuhan?" 　　"Ya, pisau belati yang menusuk saya juga dilumuri racun." 　　Zhen Shicheng semakin memperhatikan: "Apakah pelaku berhasil kabur?" 　　Percobaan pembunuhan dan penggunaan racun membuktikan status pemuda ini tidak biasa. Kasus ini semakin rumit. 　　Yu Jin menunjuk mayat pria di lantai: "Orang inilah pelakunya." 　　Zhen Shicheng terdiam sejenak, mengerutkan alis: "Tuan bertindak semena-mena, ini termasuk penyiksaan pribadi." 　　Pembunuh yang justru terbunuh, selama ada saksi mata, korban memang tak perlu dihukum. Tapi kau sudah menghabisi nyawanya dengan penyiksaan pribadi, buat apa dibawa ke pengadilan? 　　Zhen Shicheng merasa seperti dipermainkan, wajahnya berubah muram. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Paduka salah paham, orang ini bukan kubunuh. Dia menggigit gigi beracunnya sendiri saat ditangkap pengawalku." 　　"Siapakah sebenarnya Tuan?" desak Zhen Shicheng. 　　"Margaku Yu, nama pemberian Jin. Anak ketujuh dalam keluarga. Ayahku adalah... Kaisar yang bertakhta." 　　Sebuah tongkat hukuman terjatuh dari tangan seorang petugas, berdentang keras di lantai. 　　Zhen Shicheng menggenggam erat meja sidang, suaranya meninggi: "Ulangi identitasmu!" 　　Yu Jin tetap tenang: "Hamba adalah putra ketujuh Kaisar. Paduka boleh memanggilku Yu Qi." 　　Zhen Shicheng spontan berdiri: "Tahukah kau—" 　　Memalsukan identitas pangeran adalah kejahatan berat! 　　Yu Jin menatap langsung ke mata Zhen Shicheng: "Paduka, hamba tidak bodoh." 　　Zhen Shicheng terdiam sesaat, lalu berkata: "Hamba ingin memeriksa kartu identitas." 　　Yu Jin melepas kartu identitasnya, menyerahkannya pada petugas di sampingnya untuk disampaikan. 　　Tangan petugas yang membawa kartu itu gemetar, seperti membawa bara api saat menyerahkan pada Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng memeriksa kartu itu dengan teliti, lalu bersikap hormat: "Rupanya Paduka Pangeran, hamba mohon maaf." 　　“Paduka tak perlu terlalu sopan. Kini Paduka adalah hakim utama, sementara saya adalah pengadu. Hari ini saya mohon Paduka membela keadilan untuk saya.” 　　Meski upacara penobatan belum dilaksanakan, dekrit kerajaan tentang gelar kepangeranan telah dikeluarkan. Orang lain tentu harus memanggil Yu Jin sebagai "Pangeran". 　　"Pangeran adalah anggota keluarga kerajaan, maka kasus ini tak bisa hanya menjadi tanggung jawab Shuntianfu. Mohon Pangeran menunggu sebentar." Zhen Shicheng yang tak kehilangan kelicikan khas pejabat tinggi, segera menyuruh orang untuk memberitahu tiga lembaga hukum untuk melakukan persidangan gabungan, tak ingin dituduh melampaui kewenangan. 　　Kasus penyergapan terhadap Yu Jin oleh prajurit bayaran sampai saat ini masih menjadi misteri. Tiga lembaga hukum paham sulit menemukan ujung pangkal kasus ini, tetapi harus berpura-pura melakukan penyelidikan teliti. Dalam hati mereka sudah memaki-maki Pangeran Ketujuh yang bertindak sembrono sepanjang hari. 　　"Pangeran Ketujuh ini benar-benar suka merepotkan! Seorang dengan status seperti dia seharusnya menyelidiki secara diam-diam jika diserang, bukan malah melapor ke Shuntianfu!" 　　Sekarang, si tua kolot Zhen Shicheng melempar tanggung jawab seperti bola, membuat mereka semua pusing tujuh keliling. 　　Yang lebih membuat pejabat tinggi tiga lembaga hukum kesal adalah kasus ini terlalu penting sehingga harus dilaporkan langsung kepada Kaisar. 　　Kaisar Jingming merasa tidak nyaman belakangan ini. 　　Cuaca panas memang mudah membuat orang emosional, ditambah lagi selir-selir di harem terus membuat keributan. 　　“Bukannya hanya menghukum beberapa putra untuk merenung dalam isolasi, tapi setiap kali mengunjungi istana selir mana pun, Kaisar selalu dihadapkan dengan wajah sedih. Siapa yang tidak kesal? Belum lagi Selir Yang yang paling difavoritkannya belakangan ini terus merajuk karena kematian kakak laki-lakinya.” 　　Kaisar Jingming yang mengklaim diri sebagai penguasa bijak, di usia ini sudah tidak berniat memilih selir baru. Namun tekanan batin yang terpendam membuat amarah tak berdasar terus menggelegak tanpa saluran pelampiasan. 　　“Paduka, tiga pejabat dari tiga lembaga hukum memohon audiensi di istana.” Pan Hai masuk melapor. 　　Kaisar Jingming melempar laporan yang baru dibaca setengah, wibawanya menggetarkan meski tanpa kemarahan: “Persilakan mereka masuk.” 　　Permohonan audiensi di waktu seperti ini pasti membawa kabar buruk – pengalaman telah mengajarkannya. 　　Tak lama kemudian, Menteri Hukum, Kepala Pengawas Kiri, dan Ketua Mahkamah Agung secara berurutan memasuki ruang studi kekaisaran. 　　“Urusan apa yang hendak dilaporkan para menteri?” 　　Ketiganya saling pandang, lalu Menteri Hukum maju menyampaikan maksud kedatangan. 　　Mendengar laporan itu, darah Kaisar langsung mendidih. Marah pada putra di hadapan orang luar terasa memalukan. Ia berpaling ke Pan Hai: “Panggil Pangeran Yan ke istana!” 　　Yu Jin menerima perintah audiensi tanpa kejutan. Dengan wajah tenang, ia mengikuti Pan Hai ke istana. 　　Setelah berputar-putar, tujuan akhirnya adalah melapor pada Ayah Kaisar. Sang ayah yang hanya pernah ditemui sekali ini tak mengecewakannya. 　　Sepanjang jalan, Pan Hai memperhatikan sikap tenang pangeran baru ini yang sama sekali tidak gelisah seperti lainnya sebelum audiensi. Ingin sekali ia mengorek informasi, namun justru timbul rasa iba. Diam-diam ia mengingatkan: “Paduka Pangeran, belakangan ini Sang Kaisar mudah tersulut.” 　　Inilah petunjuk halus bahwa Kaisar sedang marah, agar Yu Jin berhati-hati. 　　Yu Jin tak menyangka seorang kasim asing akan menunjukkan kebaikan padanya. Setelah tertekan sejenak, ia tersenyum: "Terima kasih atas peringatannya, Gonggong." 　　Melihat senyum tulus pemuda itu, Pan Hai tiba-tiba merasa peringatan spontannya ini berharga. 197. BAB 197 Perlakuan Setara 　　BAB 197 Perlakuan Setara 　　Masuk ke ruang studi kekaisaran, Yu Jin memberi salam hormat kepada Kaisar Jingming dengan patuh: "Erchen menghadap Ayah Kaisar." 　　Pakaian yang dikenakannya saat diserang masih belum diganti. Robekan di lengan baju dan noda darah segera menarik perhatian Kaisar Jingming. 　　Noda darah itu menusuk hati Kaisar Jingming hingga kemarahannya berkobar. 　　Terlepas dari perasaannya terhadap putra ini, Pangeran Ketujuh tetaplah pangeran ketujuh dinasti ini, Pangeran Yan yang mulia. Di bawah langit kekaisaran, seseorang berani membunuhnya diam-dalam dengan belati beracun! 　　Lalu niat apa yang dimiliki si pelaku? Di mana posisi Kaisar di mata mereka? 　　Semakin Kaisar Jingming memikirkannya, semakin marah. Amarahnya terhadap tindakan konyol Yu Jin melapor ke Shuntianfu justru mereda. 　　Meski demikian, baik sebagai kaisar maupun sebagai ayah, teguran tetap perlu diberikan. 　　"Hari ini kau diserang?" 　　Yu Jin menunduk: "Erchen tidak berbakti, telah membuat Ayah Kaisar khawatir." 　　Kaisar Jingming menggaruk hidungnya. 　　Siapa yang khawatir? Anak ini benar-benar sok akrab. 　　Namun karena Kaisar tidak menyangkal, para menteri di ruang studi kekaisaran pun terkejut. 　　"Tidak disangka Baginda masih cukup perhatian pada Pangeran Yan. Ini agak berbeda dengan pemahaman kami sebelumnya. Rupanya perlu menyesuaikan kembali posisi Pangeran Yan ke depannya." 　　Di antara mereka, Menteri Hukumlah yang berpikir paling dalam. 　　Sejak kembali ke ibu kota, Pangeran Ketujuh hidup menyendiri dan hampir tidak pernah muncul di acara apa pun. Bisa dibilang kehadirannya sama sekali tidak terasa di ibu kota. Banyak orang menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi ketika pangeran ini genap 18 tahun namun tetap tidak dipanggil Kaisar. Tapi tak disangka, Pangeran Ketujuh justru berhasil bertemu Kaisar melalui perkelahian massal yang terkesan wajar. 　　Bagi Menteri Hukum, ini seperti taktik "mematikan diri sendiri untuk bangkit kembali". Dan jelas Pangeran Ketujuh berhasil memenangkan taruhan itu - satu kesempatan menghadap Kaisar membuatnya dengan mulus mendapat gelar kepangeranan. Kini, Pangeran Ketujuh lagi-lagi berhasil menemui Kaisar dengan cara yang terlihat alamiah! 　　Pangeran Yan ini bukan orang yang bisa diremehkan. 　　Kaisar Jingming memandang putranya di bawah, keningnya berkerut membentuk alur: "Lagi-lagi kau membuat orang marah?" 　　Mendapat tegasan seperti ini dari Kaisar, orang biasa pasti sudah panik. Tapi Yu Jin sama sekali tidak terpengaruh, wajahnya tetap datar: "Sejak Erchen kembali ke ibu kota, jarang bergaul dengan orang. Erchen tak tahu siapa yang mungkin Erchen sakiti." 　　"Saat ulang tahunmu dulu juga tidak kau sakiti orang?" Kaisar Jingming spontan berseru. 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu menghela nafas: "Memang Erchen pernah menyakiti beberapa saudara." 　　Kaisar Jingming tiba-tiba ingin menendang seseorang. 　　Hari ini Beliau terlalu blak-blakan. Dengan berkata demikian, bukankah sama saja mengisyaratkan bahwa yang menyerang Lao Qi adalah putra-putra Beliau yang lain? 　　Aib keluarga tak boleh diumbar. Di ruang studi kekaisaran ini masih ada tiga orang tua itu. 　　“Tiga 'orang tua' ini saling menghindari pandangan, berpura-pura tidak mendengar apapun dengan ekspresi polos.” 　　Kecurigaan Kaisar Jingming begitu muncul, bagai api kecil yang membakar padang rumput, tak bisa lagi dipadamkan. 　　Setelah kembali ke ibu kota, Lao Qi hidup menyendiri. Ini dia tahu. Kalau ada yang bermusuhan mungkin hanya beberapa saudara itu. Apakah karena perkelahian, ada di antara mereka yang tega menyakiti saudara sendiri? 　　Ikatan keluarga di keluarga kekaisaran memang tipis, justru karena itu Kaisar Jingming sangat menghindari pertumpahan darah antar saudara. 　　Mengirim prajurit bayaran, melumuri belati dengan racun - ini sifatnya sangat berbeda dari sekadar perkelahian kelompok. 　　Semakin dipikir, semakin geram Kaisar Jingming. Namun raut wajahnya tetap tenang saat berkata pada tiga menteri hukum: "Urusan ini tak perlu kalian tangani lagi. Serahkan pada Jinlinwei untuk menyelidiki tuntas." 　　Yu Jin tersenyum tipis. 　　Siapa pun yang menyelidiki, seberapa banyak bukti yang ditemukan, baginya hanya menguntungkan. Makanya mengadu pada ayahnya pasti tidak salah jika anak dizalimi. 　　Tiga menteri hukum langsung menyetujui dengan lega. 　　Akhirnya bisa melemparkan batu panas ini. Siapa mau tangkap, silakan! 　　Suasana di ruang studi kekaisaran mencekam. Kaisar Jingming melirik Pan Hai: "Pan Hai, tanya Menteri Dou - apakah dia berencana menempati kediaman Pangeran Yan sampai tahun baru?" 　　Tiga menteri hukum saling pandang. Menteri Pekerjaan Umum benar-benar kena getahnya. 　　"Cukup, kalian boleh pergi." 　　"Hamba pamit." 　　Melihat Yu Jin hendak mundur bersama ketiga pejabat Kementrian Hukuman, Kaisar Jingming mengangkat kelopak matanya: "Lao Qi, kau tetap di sini." 　　Di bawah tatapan aneh ketiga pejabat Kementrian Hukuman, langkah Yu Jin terhenti. 　　Setelah orang luar mundur, postur Kaisar Jingming sedikit lebih rileks sambil mendengus: "Lao Qi, tidakkah kau punya tata krama? Mengapa setelah diserang malah melapor ke Shuntianfu?" 　　Seorang pangeran agung, putra kaisarnya, justru bertindak seperti rakyat jelata yang melapor ke pemerintah. Hampir bisa dibayangkan ekspresi petugas saat pemuda ini mengungkapkan identitasnya. 　　"Kau ini orang mana?" 　　"Berasal dari keluarga kekaisaran, ayah hamba adalah Kaisar yang berkuasa sekarang." 　　Begitu memikirkan ini, Kaisar Jingming merasa malu sampai ke tulang sumsum! 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu menatap Kaisar Jingming: "Erchen juga tidak tahu harus bagaimana menghadapi hal seperti ini. Pertama-tama yang terpikir adalah melapor ke pihak berwenang." 　　Pemuda itu memiliki alis mata yang indah, aura sejernih salju di puncak gunung, sungguh memanjakan pandangan. 　　Sesuatu atau seseorang yang menyenangkan mata, selalu mendapat perlakuan istimewa. 　　Kaisar Jingming memandang putranya yang begitu anggun, teringat bahwa ia telah terbuang dari istana selama belasan tahun, terutama di Perbatasan Selatan yang belum beradab. Wajar jika tidak paham tata krama. 　　Bagaimana mungkin menuntut anak yang dibesarkan di hutan belantara untuk memahami hierarki istana? Ini seperti mencerca serigala liar karena tidak makan rumput, bukanlah tindakan kaisar bijak. 　　“Ahem, setelah kau menempati kediaman pangeran, akan ada pejabat bawahan yang akan mengurus hal-hal ini. Jangan pernah bertindak sembrono lagi di masa depan.” 　　“Erchen mengakui kesalahan.” Yu Jin mengaku bersalah dengan sangat lancar. 　　Lagipula mengaku salah tidak akan mengurangi sepotong dagingnya, apakah orang lain akan kehilangan sepotong daging atau tidak, itu bukan urusannya. 　　“Cukup, mundurlah. Diamlah dengan tenang di tempat tinggalmu, jangan terus membuat masalah setiap hari.” 　　“Erchen akan patuh pada ajaran Ayah Kaisar.” 　　Melihat putranya yang tenang dan patuh, Kaisar Jingming secara samar merasakan firasat tidak baik. 　　Seolah-olah di masa depan dia tidak akan punya banyak waktu luang untuk membaca buku cerita. 　　Sudahlah, tidak melihat berarti tidak kesal. 　　Kaisar Jingming mengangkat tangan menyuruh Yu Jin mundur. Lebih dari satu jam kemudian, Komandan Pengawal Jinlin datang menghadap. 　　“Bicaralah.” Kaisar tak sabar melihat Komandan Pengawal Jinlin yang ragu-ragu. 　　Komandan itu menunduk: “Paduka Yang Mulia, hingga kini belum ditemukan petunjuk tentang pelaku penyerangan terhadap Pangeran Yan. Satu-satunya keanehan adalah... Pangeran Lu hari ini pernah berkeliaran di dekat tempat tinggal sementara Pangeran Yan. Sebelum memasuki istana, Pangeran Yan sempat berbincang singkat dengan Pangeran Lu——” 　　“Brengsek ini!” Kaisar Jingming menghantam meja naga marah. 　　Di hatinya, Yu Jin hanyalah pangeran tak berarti bagi pemerintah maupun dirinya sendiri. Orang seperti apa yang bisa membuat orang sampai tega membunuhnya? 　　Dia tidak bisa tidak mencurigai beberapa putranya sendiri. 　　“Panggil Pangeran Lu ke istana!” 　　Pan Hai menerima perintah hendak pergi, Kaisar Jingming memanggilnya: "Tunggu, panggil semua pangeran ke istana." 　　Meskipun Lao Wu paling dicurigai, kabar perseteruan antar saudara ini terlalu memalukan, apalagi tanpa bukti. 　　Kaisar Jingming memutuskan memanggil semua putranya ke istana untuk memberi peringatan, memperlakukan mereka sama rata. 　　Pan Hai menunduk patuh menuju pintu ruang studi kekaisaran, kembali dipanggil Kaisar Jingming: "Panggil juga Putra Mahkota." 　　Sampai jumpa besok. 198. BAB 198 Bencana Tak Terduga 　　BAB 198 Bencana Tak Terduga 　　Melihat putra-putranya bersimpuh membentuk lingkaran, Kaisar Jingming bermuka masam lama tak bersuara. 　　Berikan mereka waktu untuk introspeksi! 　　Para pangeran semakin bingung. 　　Mengapa Ayah Kaisar tiba-tiba memanggil mereka semua? Dari situasi ini pasti bukan pujian. 　　Tapi mereka tidak melakukan kesalahan apapun, paling hanya mendengar Lao Qi melapor ke Shuntianfu lalu mengejek diam-diam. 　　Saang para pangeran gelisah, Kaisar Jingming akhirnya bersuara: "Apa yang kalian lakukan hari ini?" 　　Para pangeran saling pandang. 　　Pertanyaan Ayah Kaisar yang terlalu umum ini sungguh menakutkan. 　　Pandangan Kaisar Jingming tertuju pada Pangeran Pertama. 　　Pangeran Pertama dalam hati mengeluh, buru-buru menjawab: "Erchen tetap di kediaman pangeran, setelah sarapan berjalan-jalan di taman lalu membaca buku." 　　Kaisar Jingming memandang Putra Mahkota. 　　"Erchen tetap di Istana Timur, setelah sarapan berjalan-jalan di taman lalu membaca buku——" 　　Kaisar Jingming memotong ucapan Putra Mahkota: "Selain ini? Tidak melakukan hal khusus lain?" 　　Sebutir keringat mengalir dari dahi Putra Mahkota. 　　Tidak mungkin sampai segitunya. Ia hanya bertemu dayang cantik di taman pagi itu, menariknya ke semak bunga dan tidur bersamanya. Apakah Ayah Kaisar akan berbuat ribut untuk hal ini? 　　"Hm?" Melihat Putra Mahkota tak kunjung menjawab, Kaisar Jingming mengerutkan kening. 　　Putra Mahkota teringat pasukan pengawal kerajaan, memadamkan niat mengelak, bergumam samar: "Erchen... berbincang dengan seorang dayang..." 　　"Pfft." Seseorang tak tahan tertawa. Para pangeran segera menunduk lebih dalam. 　　Kaisar Jingming geram. Ia tak pernah menyangka insiden penusukan Lao Qi terkait Putra Mahkota. Bagaimanapun Putra Mahkota adalah penerus takhta, dan tak terlibat perkelahian massal waktu itu. Untuk apa menyerang Lao Qi? 　　Tak disangka Putra Mahkota begitu bejat dan cabul! 　　Menahan amarah yang meluap, Kaisar Jingming menatap Pangeran Ketiga: "Lao San, bagaimana denganmu?" 　　Pangeran Ketiga yang berasal dari ibu berstatus rendah menjawab hati-hati: "Erchen mengajak Fu Ge-er naik kuda beberapa putaran di lapangan latihan." 　　Kaisar Jingming langsung tertarik: "Oh? Fu Ge-er sudah bisa berkuda?" 　　Para pangeran lain menyeringai diam-diam. 　　Lao San memang pandai mengambil hati. Sayang ibunya hanya dayang, tak mungkin punya wibawa. 　　"Baru mulai belajar." 　　Kaisar Jingming mengangguk. 　　"Akhirnya ada satu yang bisa diandalkan. Selain Putra Mahkota, sebenarnya Kaisar tidak menuntut banyak dari putra-putranya yang lain, asal tidak bertindak semena-mena." 　　"Selanjutnya Kaisar Jingming bertanya pada Pangeran Keempat. Pangeran Kelima sudah menyiapkan jawaban, tapi Kaisar malah melewatinya dan bertanya pada Pangeran Keenam serta Pangeran Kedelapan." 　　"Hati Pangeran Kelima langsung dagdigdug." 　　"Mengapa Ayah Kaisar sengaja melewati dirinya? Dari pemahamannya tentang sang Kaisar, kemungkinan besar bukan karena merasa tenang, tapi sembilan dari sepuluh kemungkinan disimpan untuk dihukum terakhir—" 　　"Benar saja. Setelah Kaisar Jingming selesai memeriksa semua pangeran lain, tatapannya ke Pangeran Kelima tiba-tiba menjadi dingin: "Ceritakan apa yang kau lakukan hari ini!"" 　　"Mendengar ini, pandangan yang lain ke Pangeran Kelima langsung berubah." 　　"Rupanya biang keladinya adalah Lao Wu." 　　""Erchen... Erchen tidak melakukan apa-apa." Pangeran Kelima gugup sampai pikirannya kosong." 　　"Yu Jin berlutut di sudut, sudut bibirnya mencuat senyum dingin." 　　"Dia sudah bilang—sementara belum bisa membunuh orang yang mengincar A Si, mengambil bunga terlebih dahulu juga tidak buruk." 　　""Tidak melakukan apa-apa? Lalu mengapa kau berada di dekat Gang Quezi di Jalan Qingtong?"" 　　"Pangeran Kelima tertegun." 　　"Gang Quezi di Jalan Qingtong? Dia jelas-jelas berkeliaran di sekitar Kediaman Dongping Bo." 　　""Bicara!"" 　　"Teriakan dingin Kaisar Jingming membuat Pangeran Kelima spontan menjawab: "Erchen benar-benar tidak!"" 　　"Mendengar ini Kaisar Jingming semakin marah. Kecurigaan awalnya yang dua persen langsung menjadi lima persen: "Sampai sekarang kau masih pura-pura bodoh? Kau pikir Pengawal Sisik Ikan hanyalah hiasan?""" 　　Pangeran Kelima merasa sangat tidak adil: “Erchen benar-benar tidak pergi ke Gang Qingtong atau Gang Quezi——” 　　Tunggu, Gang Quezi terdengar familiar. 　　Mata Pangeran Kelima berkedut tak sadar, tanpa sengaja melihat Yu Jin di kejauhan, tiba-tiba tertegun lalu wajahnya berubah pucat. 　　Ia baru teringat, tempat persembunyian Lao Qi memang di sana. Setelah keluar dari Biro Urusan Kerajaan, ia bahkan menyuruh orang menyelidiki, berencana mencari kesempatan untuk menghajar si anak itu. 　　Kaisar Jingming memandang Pangeran Kelima dengan kekecewaan: “Hari ini Lao Qi hampir dibunuh di dekat rumahnya, kalian sudah dengar?” 　　“Erchen sudah dengar.” Para pangeran serentak menjawab, pandangan mereka ke Pangeran Kelima semakin bernuansa. 　　Pangeran Kelima baru menyadari: “Ayah Kaisar, kasus penusukan Adik ketujuh sama sekali tidak ada hubungannya dengan Erchen!” 　　Mengapa setiap bertemu si anak itu selalu sial? Pangeran Kelima refleks menatap Yu Jin. 　　Yu Jin memutar pandangan, tersenyum tipis padanya. 　　Kepala Pangeran Kelima langsung berdengung. 　　Habis sudah, hari ini bahkan terjun ke Sungai Kuning pun tak bisa membersihkan namanya. 　　Melihat putra kelimanya yang mengaku sendiri, Kaisar Jingming naik pitam: “Aku hanya bertanya mengapa kau ada di sana!” 　　Kalau benar-benar ingin menyelidiki tuntas, mana mungkin ia akan membiarkan Pengawal Jinlin mengambil alih urusan ini? Lao Wu benar-benar tak punya otak! 　　“Erchen——” Pangeran Kelima membuka mulut, tapi tak menemukan alasan yang tepat. 　　"Dosa besar seperti Adik ketujuh diserang tentu tidak bisa aku akui, memang bukan aku yang melakukannya. Siapa tahu orang baik mana yang membantu keadilan langit? Tapi niatku pada Putri bangsawan Keluarga Bo juga tidak bisa diungkapkan jujur." 　　"Erchen... hanya iseng, pergi melihat prosesi pemakaman di Kediaman Yongchang Bo." 　　Melihat wajah Kaisar Jingming yang tegang, Pangeran Kelima buru-buru menjelaskan: "Ayah Kaisar mungkin sudah dengar, Yongchang Bo dan istrinya meninggal secara misterius di hari yang sama. Erchen merasa penasaran, jadi--" 　　"Cukup!" Kaisar Jingming tak tahan memotong ucapan Pangeran Kelima. "Mulai hari ini, kau dikarantina di Kediaman Pangeran Lu selama tiga bulan, gaji setahun dihilangkan!" 　　"Ayah Kaisar, Erchen tidak bersalah! Erchen bisa bersumpah kepada langit, pasti tidak mengirim orang untuk membunuh Adik ketujuh!" 　　Kaisar Jingming menahan keinginan untuk menendang Pangeran Kelima, membentak: "Bodoh! Jika kau berani saling bunuh dengan saudara, kau pikir hukumannya hanya segini?" 　　Para pangeran lain menggeleng diam-diam. 　　Berterima kasih pada Lao Wu yang bodoh ini, membuat mereka sedikit kena marah. 　　"Ingat baik-baik! Ini hukuman untuk moralmu yang bobrok! Ada keluarga yang mati tragis, bukannya kasihan malah melihat seperti tontonan. Ini pantaskah dilakukan seorang pangeran?" 　　"Erchen salah." Pangeran Kelima menunduk lesu, merasa seperti bencana datang tiba-tiba. 　　"Dan kalian juga!" Tatapan Kaisar Jingming menyapu wajah beberapa putranya, dingin seperti es. "Berkata-hati-hati, bersikap bijak, rendah hati, bersaudara dengan rukun. Jangan lupa semua sifat ini!" 　　“Erchen akan mematuhi nasihat Ayah Kaisar.” 　　Para pangeran akhirnya paham, semua nasihat tentang kehati-hatian dalam bicara dan kerendahan hati hanyalah omong kosong. Persaudaraan yang harmonis antar pangeranlah tujuan mereka dipanggil untuk dihukum berlutut hari ini. 　　Ayah Kaisar curiga ada di antara mereka yang berusaha mencelakai Lao Qi, dengan kata-kata sindirannya memperingatkan agar mereka berperilaku baik di masa depan. 　　Benar-benar musibah yang tak terduga! 　　Pikiran yang sama muncul di benak para pangeran, namun melihat wajah muram Pangeran Kelima, perasaan mereka pun sedikit membaik. 　　Perbandingan memang diperlukan. Dibandingkan mereka, Lao Wu jelas menjadi target kecurigaan utama Ayah Kaisar. 　　“Semua boleh pergi, tinggalkan Putra Mahkota!” 　　Saat itu juga, suasana hati para pangeran secara misterius membaik. 　　Hmm, selama Putra Mahkota yang kena sial, mereka bisa tenang. 　　Putra Mahkota: "..." Tahun sial! Kapan aku harus pergi bersembahyang! 199.BAB 199 Musim Semi Kembali 　　BAB 199 Musim Semi Kembali 　　Ditegur tanpa alasan oleh sang ayah sekaligus Kaisar, para pangeran keluar dari istana dengan wajah masam. 　　Pangeran Kelima merasa lebih kesal lagi. 　　Di hukum tahanan rumah tiga bulan, gaji setahun dipotong, dan yang paling parah adalah kecurigaan Ayah Kaisar bahwa dia berusaha mencelakai saudara. Benar-benar malang tak terduga. 　　Di antara mereka, Yu Jin-lah yang paling tenang. 　　Melihat ketenangannya, Pangeran Kelima langsung naik darah dan mendekat dengan langkah besar: "Berdiri!" 　　Yu Jin melirik Pangeran Kelima, tersenyum kecut: "Persaudaraan yang harmonis." 　　“Pangeran Kelima menahan amarah di dada, tak rela menelan namun tak berani meluapkan.” 　　Baru saja keluar dari gerbang istana, jika ia berkelahi dengan Lao Qi, pasti Ayah Kaisar akan menguliti kulitnya. 　　“Kau tunggu saja!” Akhirnya Pangeran Kelima hanya bisa melemparkan ancaman kosong sebelum pergi dengan marah. 　　Yu Jin menekan luka di lengannya yang dibalut saputangan putih - saputangan milik Jiang Si. 　　Mengingat kata-kata dingin Jiang Si, luka itu mulai terasa berdenyut-denyut menyakitkan. 　　“Adik ketujuh.” Suara lembut terdengar menginterupsi. 　　Menghadapi orang lain, sikap Yu Jin tak terbaca: “Ada keperluan, Kakak Keempat?” 　　Pangeran Keempat tersedak, tersenyum paksa setelah menenangkan diri: “Luar tak aman, tinggal sementara di tempatku. Istriku dan aku sangat khawatir mendengar kau diserang tadi...” 　　Yu Jin tersenyum tanpa kata. 　　Ia hanya ingin mendengar sampai mana kebohongan ini akan berlanjut. 　　Pangeran Keempat berdehem, menepuk bahu Yu Jin: “Ayo.” 　　Yu Jin mengibaskan tangan sang pangeran: “Tak perlu, aku terbiasa menyendiri.” 　　Baginya, selain A Si semua adalah orang luar. Tak ada minat berbagi tempat tinggal dengan orang asing. 　　Melihat Yu Jin menjauh, Pangeran Kedelapan yang akrab dengan Pangeran Keempat berbisik: “Kakak memperlakukan mereka seperti saudara, tapi bukan begitu pikirannya.” 　　"Pangeran Keempat mengikuti pandangannya ke arah sosok tegap yang menjauh, tersenyum: "Adik ketujuh sejak kecil tinggal di luar istana, tentu berbeda dengan kita. Semoga kakak dan adik-adik bisa lebih memakluminya." 　　"Kakak Keempat memang orang baik." Pangeran Kedelapan mencibir. 　　Pangeran Keempat diam seribu bahasa, dalam hati menyunggingkan senyum sinis. 　　Baik atau tidak bukan masalah, toh mengucapkan kata-kata manis tidak perlu bayar. Semakin Lao Qi tidak paham tata krama, semakin menonjolkan kebajikanku. Bukankah yang ingin Ayah Kaisar lihat adalah keharmonisan antar saudara? 　　Yu Jin kembali ke rumah sipil di Gang Quezi, merebahkan diri di ranjang sambil menatap langit-langit tanpa sepatah kata. 　　Long Dan mengintip dengan cemas, berbisik pada Leng Ying: "Apa tuanku masih ada sisa racun? Terlihat agak aneh." 　　"Hmm." 　　Long Dan mengerling: "Katakan sesuatu yang manusiawi dong!" 　　Lebih baik ngobrol dengan Er Niu daripada ngobrol dengan Leng Ying yang bicaranya susah keluar seperti kentut. 　　"Tidak tahu, tapi memang tidak biasa." Leng Ying jarang mengucapkan beberapa kata sekaligus. 　　"Bagaimana kalau kau yang menghibur?" Long Dan membujuk kawannya. 　　Leng Ying menggeleng. 　　Dia hanya pendiam, bukan bodoh. Menghibur sekarang sama saja dengan mencari masalah. 　　Long Dan berpikir sejenak, lalu melambaikan tangan ke Er Niu yang berbaring di sudut: "Er Niu, lihatlah keadaan tuanku. Buat tuanku senang, nanti ada daging sapi kecap." 　　Er Niu melirik sinis ke Long Dan sebelum masuk ke dalam kamar. 　　Ruangan dalam keadaan sunyi, Er Niu mendekati ranjang, melompat ke atas dengan dorongan kaki belakangnya lalu berbaring di samping Yu Jin. 　　Yu Jin memandangi Er Niu beberapa saat, tiba-tiba tersenyum sambil mengelus bulu punggungnya sambil berdesah: "Di masa depan...kau tak boleh sembarangan melompat ke ranjangku lagi, mengerti?" 　　Er Niu memiringkan kepala memandangi tuannya: "Guk!" 　　"Cepat turun, bulumu rontok di atas ranjang." Yu Jin berbicara dengan wajah dingin. 　　Er Niu sama sekali tak takut pada raut dingin Yu Jin, menggigit lengan bajunya dan menarik ke bawah ranjang. 　　"Er Niu—" Yu Jin mengeraskan suaranya sebagai peringatan. 　　Saat ini dia benar-benar tak punya mood untuk menemani Er Niu bermain. 　　Er Niu terus-menerus menariknya ke bawah. 　　Dengan wajah dingin, Yu Jin bangkit dan membiarkan Er Niu menariknya ke tengah halaman. 　　Hampir tengah hari, daun pohon silk floss di halaman berkilauan putih, suara jangkrik yang bersembunyi di balik dedaunan terdengar menyebalkan. 　　Er Niu berlari cepat ke sudut halaman mulai menggali, tak lama kemudian mengeluarkan suatu benda, lalu membawanya dengan mulut dan meletakkannya di tangan Yu Jin. 　　Itu adalah bola rotan anyaman yang sudah usang karena terkubur tanah, namun pengerjaannya masih terlihat rapi. 　　Yu Jin teringat, saat baru tiba di ibu kota dulu, Er Niu hampir merebut bola rotan yang sedang dimainkan beberapa gadis di jalanan. Akhirnya dia menyuruh Long Dan membelikan bola rotan untuk mainan anjingnya. 　　Er Niu suka menggali lubang untuk menyimpan barang kesayangannya, dan bola rotan ini jelas salah satunya. 　　Yu Jin memandangi bola rotan di tangannya, hati yang telah membeku perlahan menghangat. 　　Gadis kejam itu, jika terus membuatnya sedih, lebih baik dia hidup bersama Er Niu saja. 　　Er Niu melirik majikannya dengan penuh kewaspadaan. 　　Entah apa lagi yang dipikirkan majikannya. Daripada mikir yang tidak-tidak, lebih cepat bawa pulang nyonya rumah biar aku tidak perlu repot. 　　Er Niu menatap pintu gerbang, otak sederhananya membayangkan adegan-adegan mengerikan. 　　Setelah meninggalkan rumah sewaannya, Jiang Si tidak kembali ke Dongping Bo Residence, melainkan menuju area pepohonan di tengah kota. 　　Hari ini adalah Hari Titik Balik Matahari Musim Panas, hari yang telah lama dinantikannya. Pemilihannya untuk meninggalkan Yongchang Bo Residence hari ini juga terkait hal ini. 　　“Xia Zhi, saat aura Yin tiba dan aura Yang mulai melemah. Hari ini berada di titik keseimbangan antara dua energi Yin-Yang, merupakan waktu yang tepat untuk memelihara makhluk hidup aneh tertentu." 　　Dia ingin membiakkan cacing Gu. Induk parasit ini hidup di pohon bernama "Taiping". Saat baru lahir, mereka bersembunyi di akar pohon, lalu perlahan naik hingga hari Xia Zhi tiba, mencapai pucuk pohon yang paling dekat dengan matahari. Setelah hari Xia Zhi, jika induk yang tumbuh seperti tumor di pohon ini tidak dipanen, mereka akan meledak dan semua kembali menjadi debu. 　　Jiang Si tidak ingin melewatkan hari ini dan menunggu hingga tahun depan. Masih banyak hal yang harus dia lakukan di masa depan. Semakin banyak cacing Gu yang dimilikinya, semakin banyak strategi yang bisa digunakan. 　　Duduk di pucuk pohon yang tinggi, Jiang Si tanpa ragu mengambil induk serangga Gu ke tangannya. 　　Serangga Gu ini memiliki nama indah "Chun Gui", dapat disimpan di tangan dengan teknik khusus seperti Huan Ying, dan dipelihara dengan darah-daging pemiliknya. 　　Di kehidupan sebelumnya dia pernah memelihara Huan Ying, tapi tak pernah merawat Gu jenis ini. 　　Memikirkan hal ini, Jiang Si tersenyum sinis pada dirinya sendiri. 　　Dulu dia merasa Gu ini tak berguna dan jijik dengan kemampuannya, kini terasa sangat bodoh. 　　Di dunia ini tidak ada kemampuan yang tak berguna, hanya manusia yang tak bisa memanfaatkannya. 　　Gu ini bersarang di telapak tangan pemilik, sebesar koin tembaga, tapi jumlah sebenarnya tak terukur. Mereka bisa masuk ke mayat seperti debu, menggerakkan tubuh sesuai keinginan pemilik. Bagi yang tak tahu akan mengira arwah kembali atau mayat hidup, maka dinamai "Chun Gui". 　　Setelah berhasil mendapatkan Chun Gui, Jiang Si merasa lega. Dengan lincah dia melompat dari pohon, kaki mendarat di hamparan rumput tebal tanpa suara. 　　Dia menstabilkan posisi, merapikan rambut panjang yang terurai, lalu tiba-tiba berhenti bergerak. 　　Seorang pemuda bermuka tampak di kejauhan memandang gadis yang jatuh dari langit dengan wajah beku. 　　Sampai jumpa besok. 200.BAB 200 Bertemu Lagi 　　BAB 200 Bertemu Lagi 　　Gadis itu mengenakan baju putih dan rok hijau, rambut hitam pekat menjuntai sampai pinggang. Mata jernih dan bibir merah seperti bunga yang masih berembun pagi, atau mimpi indah di antara tidur dan bangun. 　　Pemuda itu mengangkat tangan, menggosok matanya dengan kuat. 　　Jiang Si tidak menyangka terjadi perubahan situasi seperti ini, tertegun sejenak. 　　"Kau... manusia atau siluman?" 　　Jiang Si mengangkat gaunnya dan berlari cepat-cepat. 　　Terhadap orang yang takkan pernah bertemu lagi seumur hidup ini, hanya orang bodoh yang mau menanggapi. 　　Hampir sekejap mata, gadis berbaju putih dan rok hijau itu menghilang di antara pepohonan. 　　Secara refleks pemuda itu melangkah mengejar, tiba-tiba terdengar suara dari belakang: "Saudara Zhen, kau lari ke mana?" 　　Zhen Heng seperti tersadar dari mimpi, memandang kosong ke depan yang sepi. 　　Apakah tadi dia berhalusinasi? 　　Suara yang memanggil terdengar lagi, Zhen Heng berbalik hendak pergi, tiba-tiba benda berkilauan di rumput menarik perhatiannya. 　　Itu adalah jade hairpin bergambar pohon. 　　Ia membungkuk mengambil hairpin jade itu, mengamati sebentar lalu menyimpannya di dada, baru kemudian berjalan cepat kembali. 　　Di kedalaman hutan terdapat beberapa pria muda, semuanya berpakaian sarjana. Ada yang sedang mengagumi sekumpulan anggrek di kejauhan, ada juga yang sedang memegang kuas untuk melukis. 　　Melihat Zhen Heng kembali, seorang teman berkelakar: "Saudara Zhen, kencingmu lama sekali." 　　Zhen Heng tak peduli candaan temannya, buru-buru mendekati meja lukis, membentangkan kertas dan menggosok tinta, lalu mulai melukis dengan lancar. 　　Keterampilan lukisan Zhen Heng cukup terkenal di antara teman-temannya. Begitu ia meletakkan kuas, seorang teman langsung mendekat: "Aku ingin melihat lukisan anggrek karya Saudara Zhen." 　　“Zhen Heng langsung membalik gulungan lukisan itu sambil tersenyum, ‘Aku akan melukis ulang. Lukisan ini rusak, tidak pantas dilihat orang.’” 　　“Mendengar ucapannya, orang itu pun mengurungkan niat.” 　　“Zhen Heng diam-diam lega. Setelah tinta mengering, ia menyimpan lukisan itu dan menggambar pemandangan anggrek di lereng gunung sebagai pengganti.” 　　“‘Saudara Muda Zhen, hari ini konsentrasimu buyar. Lukisan anggrekmu kalah hidup dibanding karya Saudara Li.’” 　　“Zhen Heng tersenyum tanpa semangat, ‘Memang takkan bisa menyaingi keahlian melukis Saudara Li.’” 　　“Usai mengapresiasi anggrek dan melukis, rombongan mengajak minum di Zhuangyuan Lou. Zhen Heng mengeluh pusing dan pulang ke kediaman belakang Shuntianfu.” 　　“‘Heng'er, hari ini pulang awal?’ Suara lembut seorang wanita terdengar.” 　　“‘Acara hari ini bubar cepat. Ibu, anak mau ke ruang belajar dulu.’” 　　“‘Sudah makan?’ Tanya Nyonya Zhen, tapi Zhen Heng sudah menjauh. Ia menggeleng, ‘Para gadis ini, hari ini kok seperti kehilangan jiwa. Jangan-jangan kepanasan?’” 　　“Zhen Heng bergegas masuk ke ruang belajar, mengunci pintu, dan mengeluarkan gulungan lukisan dari balik bajunya.” 　　“Saat gulungan terbuka perlahan, terlihatlah sosok gadis berbaju putih dengan rok biru tua.” 　　“Mata gadis itu membelalak penuh keheranan, bagai peri hutan yang terkaget-kaget oleh kedatangan manusia tak terduga.” 　　“Zhen Heng memejamkan mata. Bayangan gadis berambut hitam legam dengan kulit porselen itu seolah masih membayang di pelupuk mata.” 　　“Dia mengeluarkan jade hairpin bergambar pohon dari dalam bajunya, menatapnya lama-lama, hati semakin mantap: Yang kulihat di hutan pasti bukan mimpi, mungkin di dunia ini memang ada makhluk halus.” 　　Maka Zhen Shicheng terkejut menemukan anaknya belakangan ini tidak keluar rumah, seharian sibuk membaca buku. 　　Zhen Shicheng mengusap janggutnya, berpikir: Ujian musim gugur masih lama, Zhen Heng sudah mulai belajar mati-matian begini, ini tidak seperti kebiasaan anakku. 　　Penasaran, Zhen Shicheng mengunjungi ruang belajar Zhen Heng, lalu melihat rak buku yang penuh dengan cerita-cerita hantu. 　　Zhen Shicheng marah besar: "Zhen Heng, buku apa yang kau baca ini?" 　　Zhen Heng menghela napas dalam hati. 　　Biasanya Ayah Paduka tidak pernah datang ke ruang belajarnya, kenapa hari ini? Seharusnya dibungkus sampul buku saja. 　　Zhen Shicheng menunjuk buku cerita di samping tangan Zhen Heng: "Kau seharian membaca ini?" 　　Dasar anak bodoh, seharusnya dibungkus sampul biar tidak terlihat, malah berani membaca terang-terangan begini, masih ada rasa hormat ke ayahnya tidak?! 　　"Anak hanya penasaran apakah di dunia ini ada hantu atau makhluk halus." 　　"Orang bijak tidak membicarakan hal-hal mistik." Zhen Shicheng menegur. 　　Zhen Heng menunduk mendengarkan, tapi pikirannya melayang-layang, masih terbayang sosok gadis yang jatuh dari langit itu. 　　Ayah Paduka ini mudah saja bicara, aku sendiri sudah mengalaminya, mana mungkin tidak penasaran. 　　Zhen Shicheng melihat sikap putranya yang tidak menyesal, lalu mengangkat tangan dan mengetuk kepala anaknya: "Karena kau begitu santai, temani ayah pergi keluar sebentar." 　　"Ayah——" 　　"Apa?" Zhen Shicheng melirik buku cerita di tangan anaknya, nada mengancam terasa jelas. 　　Zhen Heng patuh menyetujui. 　　Tampaknya hari ini tidak bisa dihindari. Sudahlah, pergi saja, tidak akan kehilangan sepotong daging. Paling-paling jika ayah berusaha memaksa jodoh yang tidak cocok, dia akan bersikeras menolak. 　　Jiang Ancheng terkejut ketika menerima kartu kunjungan dari Zhen Shicheng. 　　Keluarga Bo tidak memiliki hubungan pribadi dengan Prefect Shuntian yang baru kembali ke ibu kota ini. Mengapa Tuan Zhen datang berkunjung? Jangan-jangan ada kasus lain yang terkait keluarga Bo? 　　Meski bingung, Jiang Ancheng tentu tidak akan mempermalukan Zhen Shicheng. Segera menerimanya di ruang penerimaan di halaman depan. 　　Kunjungan Zhen Shicheng menggemparkan seluruh keluarga Bo. 　　Di Cixintang, Nyonya Feng bertanya dua kali: "Yakin Tuan Zhen mengunjungi Tuan Besar, bukan Tuan Kedua?" 　　"Benar Tuan Besar," jawab A Fu lagi. 　　Nyonya Feng memutar tasbih kayu cendana di pergelangan tangannya, setelah berpikir sejenak, memerintahkan A Fu: "Pergi ke depan untuk menyelidiki tujuan kedatangan Tuan Zhen." 　　A Fu segera berangkat. Pandangan Nyonya Feng perlahan tertuju ke arah halaman depan. 　　“Dia selalu merasa putra sulungnya tidak bisa diandalkan, mana mungkin bisa menjalin persahabatan dengan pejabat tinggi berpangkat Sanpin? Sudahlah, lebih baik cari tahu dulu tujuan kunjungan Prefect Shuntian ini.” 　　“Kebetulan hari ini adalah hari libur pejabat, Tuan Jiang Kedua juga ada di kediaman. Mendengar kabar ini, dia sama bingungnya.” 　　“Posisi Prefect Shuntian bukanlah jabatan yang mudah. Fakta bahwa Zhen Shicheng bisa dipindahkan dari daerah ke ibu kota untuk menjabat ini, cukup membuktikan kedekatannya dengan Kaisar.” 　　“Sejak kapan Kakak punya hubungan dengan Zhen Shicheng?” 　　“Semakin dipikirkan, semakin tidak nyaman hati Tuan Jiang Kedua. Dia melangkahkan kaki menuju Ruang Penerimaan di depan.” 　　“Setelah bertukar salam dengan Jiang Ancheng, Zhen Shicheng tersenyum: ‘Jujur saja, kedatangan saya hari ini adalah untuk menyampaikan terima kasih kepada Putri Anda.’” 　　“Jiang Ancheng terkejut: ‘Apa yang dilakukan putri saya?’” 　　“‘Kasus suami-istri Yongchang Bo bisa terungkap berkat bantuan Putri Anda.’” 　　“Mendengar nama Yongchang Bo, Jiang Ancheng menjadi murung. Meneguk teh beberapa kali lalu berkata: ‘Dia hanya nona kecil, tidak pantas menerima ucapan terima kasih Paduka.’” 　　“Zhen Shicheng tertawa terkekeh: ‘Pendapat Sang Bangsawan keliru. Putri Anda tak kalah hebat dari pria, pantas mendapatkannya.’” 　　“Zhen Heng yang menyamar sebagai pelayan pria berdiri diam di belakang Zhen Shicheng, merasa sangat tidak nyaman dengan arahan ayahnya.” 　　“Ayah datang mengucapkan terima kasih pada seorang nona kecil saja sudah keterlaluan, malah menyuruhnya ikut serta dengan menyamar sebagai pelayan. Jika ketahuan, sungguh memalukan.” 　　“Mengingat itu, Zhen Heng semakin menundukkan kepalanya.” 　　Jiang Ancheng mendengar pujian Zhen Shicheng pada putrinya, sudah mulai tersanjung. Ia segera memerintahkan pelayan: "Panggil Nona Keempat ke sini." 　　Tak lama kemudian, suara lembut terdengar dari pintu: "Ayah memanggil saya?" 201.BAB 201 Ingin Memperistri Gadis Ini 　　BAB 201 Ingin Memperistri Gadis Ini 　　Zhen Heng yang berdiri di samping Zhen Shicheng menundukkan pandangan, namun saat mendengar suara lembut itu matanya sedikit terangkat. 　　Seketika itu, Zhen Heng seperti tersambar petir, terpaku menatap gadis yang masuk tanpa bisa bereaksi. 　　Ini... bukankah orang yang kami temui di hutan-- 　　Begitu masuk, sorotan mata yang membara itu membuat Jiang Si tak bisa mengabaikannya. Ia melirik sumber pandangan itu, senyum tipis di bibirnya langsung membeku, ingin sekali lari menjauh. 　　Mengapa orang yang ditemuinya saat melompat dari pohon itu kini berada di rumahnya? 　　Tertawa keras Zhen Shicheng terdengar: "Nona Jiang, kita bertemu lagi." 　　Jiang Si mengumpulkan keberanian, mendekat untuk memberi salam pada Jiang Ancheng dan Zhen Shicheng, namun matanya tak bisa menahan untuk melirik ke arah Zhen Heng. 　　Zhen Shicheng diam-diam mengamati reaksi putranya. 　　Bocah nakal ini berkali-kali menolak saranku, sekarang ingin tahu apa yang dipikirkannya. 　　Zhen Heng sama sekali tidak punya pikiran khusus. Pikirannya dipenuhi bayangan pertemuan tak sengaja di hutan itu. 　　“Gadis dengan rambut hitam legam yang terjatuh dari langit” perlahan menyatu dengan sosok gadis di hadapannya. 　　Ternyata dia adalah nona dari Dongping Bo Residence, bukan makhluk gaib di hutan seperti yang disangkanya. 　　Begitu menyadari hal ini, tanpa alasan yang jelas, telinga pemuda itu tiba-tiba memerah sampai ke pangkalnya. 　　Zhen Shicheng memperhatikan reaksi anaknya, dada nya langsung dipenuhi amarah. 　　"Dasar kau anak kurang ajar! Di depan ayah kandungmu pura-pura ingin jadi biksu, sekarang hampir ngiler melihat nona. Memalukan!" 　　"Ahem." Zhen Shicheng sengaja batuk dua kali keras-keras. 　　Zhen Heng tersentak kaget, buru-buru menundukkan kepala lebih dalam. Pipinya tetap panas membara, tangannya kikuk tak tahu mau ditaruh dimana, matanya tak berani menatap sang gadis, hanya menyimak suaranya. 　　Suara gadis itu lembut namun lancar berbincang dengan ayahnya, seolah mereka sudah lama akrab. 　　Zhen Heng menyimak dalam diam, muncul bayangan pikiran samar: Ternyata Paduka Ayah terkadang juga bisa dipercaya. 　　Begitu pikiran ini muncul, telinganya langsung merah membara. Dalam hati ia memaki diri sendiri: Dasar tidak berguna! 　　Apa gadis itu memperhatikan kelakuannya dan menertawakannya sekarang? 　　Dengan pikiran ini, Zhen Heng melirik diam-diam ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si sama sekali tidak menoleh ke arah Zhen Heng. 　　“Meski agak memalukan ketahuan orang ini melompat dari pohon, tapi hanya itu saja. Pada dasarnya, dia hanyalah orang asing baginya, dan sekarang dia tidak terlalu memedulikan pendapat orang asing.” 　　“Di kehidupan sebelumnya, karena terlalu memperhatikan pandangan dunia, hidupnya menjadi begitu melelahkan, penuh kesombongan, dan akhirnya menuai pelajaran.” 　　Suara kembali terdengar dari pintu: “Konon Tuan Zhen telah datang, hamba tidak sempat menyambut, harap Tuan Zhen tidak berkeberatan.” 　　Tuan Jiang Kedua berjalan cepat masuk ke dalam ruangan. 　　Zhen Shicheng mengernyitkan alis sejenak. 　　“Dia membawa putranya diam-diam mengintip calon menantu, kenapa orang ini ikut campur?” 　　Meski begitu, Zhen Shicheng tetap menjaga ekspresi dan bersikap sopan dengan Tuan Jiang Kedua. 　　Tuan Jiang Kedua terkejut melihat Jiang Si di situ: “Kenapa Si'er juga ada di sini?” 　　Sebelum Jiang Si menjawab, Zhen Shicheng berkata: “Hamba datang untuk mengucapkan terima kasih pada Nona Jiang.” 　　“Beri terima kasih ke Si'er?” Tuan Jiang Kedua tidak berani mengejar Zhen Shicheng, melirik ke arah Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng menahan perasaan bangga, berkata pada Jiang Si: “Orang dewasa sedang berbicara, kau boleh pulang dulu.” 　　Jiang Si membungkuk: “Tuan Zhen, Ayah, Paman, saya pamit undur diri.” 　　Zhen Shicheng melambaikan tangan sambil tersenyum: “Nona Jiang panggil saja saya Paman Zhen ke depannya, sebutan Tuan Zhen terlalu resmi.” 　　Kilatan kejutan terlihat di mata Tuan Jiang Kedua. 　　Apa sebenarnya yang dilakukan Si'er sampai bisa membuat pejabat tinggi berpangkat Sanpin bersikap istimewa seperti ini? 　　Shìbó——Ini maksudnya ingin menjalin persahabatan dengan kakak sulung? 　　Jiang Si tidak menyangka ada perubahan ini, tersenyum manis dan memberi hormat kepada Zhen Shicheng: "Paman Zhen." 　　Di kehidupan sebelumnya, ayahnya diusir dari rumah hingga hidup melarat, Paman mewarisi gelar bangsawan bagai pedang tajam yang menggantung di hatinya, membuatnya tak pernah melupakan sedetik pun. 　　Jika ayah bisa berteman baik dengan Tuan Zhen tentu sangat menguntungkan, dan dia sungguh menghargai integritas serta kemampuan Tuan Zhen. Panggilan "Paman Zhen" ini sangat rela diucapkannya. 　　Zhen Shicheng yang sangat tajam ini tentu merasakan ketulusan itu, tertawa besar kepada Jiang Ancheng: "Saudara, kau punya putri yang hebat, sungguh membuatku iri." 　　Jiang Ancheng buru-buru merendah: "Ah tidak, dia hanya lebih bijak daripada anak laki-laki itu saja." 　　Zhen Shicheng langsung merasa menemukan teman sejiwa: "Benar juga..." 　　Keduanya terus mengkritik kekurangan anak-anak mereka, semakin asyik berdiskusi hingga Tuan Jiang Kedua benar-benar terabaikan. 　　Zhen Heng semakin mendengar semakin merasa tertekan. 　　Baik ayahnya maupun ayah Nona Jiang, sama-sama tidak punya kesan baik pada anak laki-laki—— 　　Dia mengangkat pandangan, refleks mencari sosok gadis itu, tapi mendapatinya telah pergi entah sejak kapan. 　　Setelah meninggalkan Kediaman Dongping Bo, sepanjang perjalanan pulang Zhen Heng terus ragu-ragu ingin bicara. 　　Zhen Shicheng yang jeli justru mengabaikan anaknya. 　　Hmph, sebelumnya menolak-nolak, sekarang baru tertarik. Biarkan saja dia menahan kata-katanya, lagipula aku tidak buru-buru. 　　Kembali ke kediaman belakang Shuntianfu, ketika hendak berpisah, Zhen Heng akhirnya tak tahan membuka mulut: "Ayah——" 　　"Hmm?" Zhen Shicheng menyipitkan matanya melihat putranya yang wajahnya memerah, tak mau mengucapkan satu kata pun lebih. 　　Hari ini aku akan mengajarkan bocah brengsek ini arti roda nasib berputar! 　　Zhen Heng menahan panas di wajahnya, berusaha tampak santai: "Nona yang kami temui hari ini, apakah dia yang Ayah sanjung-sanjung sebelumnya?" 　　"Sanjung-sanjung?" Zhen Shicheng terkejut, "Tidak juga, kapan ayah pernah memuji-muji seorang nona kecil?" 　　Sudut mulut Zhen Heng berkedut. 　　Lambat laun ia pasti akan nekat memukul ayahnya sendiri. 　　"Eh, ngomong-ngomong, ayah selalu merasa si gadis Axi itu baik, sering memujinya. Apa maksudmu dia?" 　　Axi adalah juru bedah mayat perempuan bawahannya Zhen Shicheng. Karena masih muda, semua orang di sekitar Zhen Shicheng tahu tentangnya. 　　Wajah Zhen Heng menghitam. 　　Ini beneran ayah kandung? Begitu dapat kesempatan mengejek, langsung dihabis-habisan. 　　Melihat senyum licik Zhen Shicheng, Zhen Heng pasrah menunduk: "Maksudku... nona yang ayah sebut kemarin itu..." 　　Yang ingin kau nikahkan denganku! 　　Zhen Shicheng tersadar: "Ah, iya. Tapi sekarang ayah merasa buah dipaksa takkan manis, bunga dipetik paksa takkan harum. Urusan ini lebih baik kita tinggalkan." 　　Zhen Heng memandangi Zhen Shicheng dengan penuh harap, hampir menuduhnya ingkar janji. 　　Zhen Shicheng dengan tenang mengusap janggutnya: "Ayah masih ada urusan, ke ruang belajar dulu." 　　Kalau anak sudah mulai panik, maka ia tak perlu buru-buru. Lagipula yang ingin menikahi istri pasti lebih gelisah. 　　Tapi dasar anak kurang ajar, semua nasihatku tak digubris. Baru bertemu sekali sudah heboh, jelas-jelas hanya tergoda kecantikan nona kecil itu. 　　Melihat Paduka Ayah pergi tanpa ampun, Zhen Heng akhirnya tak tahan berseru: "Ayah, buah labu itu... sebenarnya tidak sepenuhnya dipaksakan..." 　　Zhen Shicheng menatap Zhen Heng dengan tajam, lama kemudian bertanya: "Mau istri ini?" 　　Zhen Heng mengangguk dengan wajah kemerahan: "Mau." 　　Besok harus bepergian seminggu, jadi mulai besok akan bertemu dengan naskah cadangan. 202.BAB 202 Transformasi Nyonya Feng 　　BAB 202 Transformasi Nyonya Feng 　　Setelah bicara, Zhen Heng yang malu menghadapi pandangan mengejek Paduka Ayah nyaris kabur kembali ke ruang belajar. 　　Ruang belajar yang terang dengan aroma tinta samar, kicau burung riang di jendela menambah semarak kesunyian. 　　Sebenarnya Zhen Heng bukan tipe pemuda gegabah. Di depan orang lain selalu tenang, tak heran dijuluki Tuan Gong Seputih Giok. 　　Kali ini dia memang bertindak impulsif, tapi setelahnya sama sekali tidak merasa menyesal. Malah di kedalaman hati dipenuhi kegembiraan, membuatnya hampir bersenandung mengikuti kicau burung di luar jendela. Hanya merasa mentari bersinar cerah, pemandangan begitu indah. 　　Zhen Heng mendatangi meja tulis, mengambil gulungan lukisan dari laci rahasia lalu membukanya perlahan. Matanya menatap gadis berambut hitam dan kulit seputih salju dalam lukisan itu. Semakin lama dilihat, senyum tipis tak tertahankan mengembang di wajahnya. 　　Mungkin ini takdir yang ditakdirkan surga bagi mereka berdua, sehingga bisa ada kebetulan seperti ini. 　　Saat makan malam, Nyonya Zhen tak kuasa berkata pada Zhen Shicheng: "Kenapa aku merasa Heng'er hari ini berjalan seperti mengambang? Sama sekali tak seperti sikap tenangnya dulu." 　　Zhen Shicheng mengusap jenggot sambil tersenyum: "Pemuda, terlalu stabil juga tidak baik." 　　Nyonya Zhen yang cerdik segera menangkap maksud tersembunyi. Matanya menyipit menatap suaminya: "Maksudmu bagaimana? Jangan-jangan kalian ayah dan anak ini menyembunyikan sesuatu dariku?" 　　Zhen Shicheng menyuruh dayang yang berdiri di samping untuk pergi, lalu berkata: "Aku sudah memilih seorang nona--" 　　"Apa?!" Sebelum Zhen Shicheng selesai, Nyonya Zhen langsung mencubit telinganya. "Memilih nona? Hah, baru kusadari di usiamu yang senja ini masih punya ambisi seperti ini! Sepertinya jenggotmu ini memang tidak ingin dipertahankan lagi? Nanti kubakar pakai lilin saja!" 　　Zhen Shicheng mengerang kesakitan: "Lepaskan dulu, biarkan aku menyelesaikan perkataan. Sudah tua dan beristri lama, masak tidak ada kepercayaan sedikit pun?" 　　Dengan wajah masam, Nyonya Zhen melepaskan cubitannya. 　　Zhen Shicheng menggosok telinganya: "Maksudku, menemukan seorang nona kecil yang cukup baik, ingin meminangnya untuk menjadi istri Heng'er kita." 　　"Ini baru benar." Nyonya Zhen menghela napas lega, setelah tenang merenung sejenak lalu marah lagi, "Heng'er hari ini bertingkah aneh, jangan-jangan kau sudah bicara dengannya?" 　　"Ah." Zhen Shicheng berpura-pura, tak berani mengaku sudah mengatakannya berkali-kali sebelumnya. 　　Nyonya Zhen mencolek Zhen Shicheng: "Kau keterlaluan, urusan sebesar ini tak berdiskusi denganku? Bagaimana latar belakang gadis itu, sifatnya, keadaan keluarganya? Banyak hal perlu diteliti, kok kau sembarangan bilang ke Heng'er? Tunggu--" 　　Sampai di sini, hati Nyonya Zhen mendadak berat, berkata penuh amarah: "Aku tahu sifat Heng'er, hanya dengan omonganmu dia tak mungkin mau. Jangan-jangan--" 　　Zhen Shicheng yang tak bisa menyembunyikan lagi mengaku: "Hari ini aku membawa Heng'er menemui gadis itu." 　　"Apa!" Nyonya Zhen wajahnya menghitam marah, "Zhen Shicheng!" 　　Zhen Shicheng buru-buru melihat ke luar: "Pelankan suara, memalukan kalau didengar dayang-dayang." 　　Nyonya Zhen menyeringai: "Dengar？Mereka sudah biasa melihatmu berlutut di papan cuci." 　　Zhen Shicheng: "..." 　　"Kau berani-beraninya membawa Heng'er langsung menemui sang gadis? Ngomong-ngomong, keluarga yang mengizinkan putrinya bertemu Heng'er sembarangan seperti ini pasti bermasalah--" 　　“Bukan, saya menyuruh Heng'er berpura-pura menjadi pelayan pria.” Zhen Shicheng nekat menjelaskan. 　　Nyonya Zhen gemetar marah sampai tak bisa bicara. 　　“Kalau Nyonya merasa ini tidak pantas, lupakan saja. Nanti kita cari yang cocok lagi. Lagipula menurutku Heng'er juga tidak terburu-buru mencari istri.” Zhen Shicheng menggunakan taktik mundur sementara. 　　Nyonya Zhen langsung tak setuju: “Urusan pernikahan bagaimana bisa mengikuti kemauan Heng'er? Dia bilang tidak buru-buru ya kita ikuti? Sudah dewasa tapi setiap hari hanya belajar dan berkeliaran, tidak pantas!” 　　Mengingat sikap putranya terhadap pernikahan, Nyonya Zhen kembali kehilangan semangat. 　　Dia benar-benar khawatir putranya menunda pernikahan sampai usia dua puluhan. Kalau ayah dan anak sama-sama menyukai nona itu, mungkin gadis itu memang baik. 　　“Gadis itu dari keluarga mana?” 　　Zhen Shicheng tahu istrinya mulai tertarik, segera menjelaskan detail tentang Jiang Si. 　　Nyonya Zhen mengerutkan alis setelah mendengar: “Aku pernah dengar tentang Nona Jiang ini dari obrolan para nyonya saat berkumpul.” 　　Reputasinya sepertinya kurang baik. 　　Pernah memutuskan pertunangan, sejak kecil tidak dididik oleh ibu. Soal gelar kebangsawanan Kediaman Dongping Bo yang hanya tiga generasi, dia tidak terlalu peduli. 　　Keluarga Zhen awalnya hanya keluarga kaya biasa. Keluarganya bertetangga dengan keluarga Zhen, mereka tumbuh bersama sejak kecil seperti buah prem dan batang bambu. Kemudian Zhen Shicheng masuk birokrasi melalui ujian kekaisaran, naik pangkat berkat kemampuan luar biasa, sehingga keluarga Zhen bisa masuk ke lingkaran sosial sekarang. 　　Setelah mendengar kekhawatiran Nyonya Zhen, Zhen Shicheng tersenyum tak acuh: "Pikiran sempit wanita, hanya bisa fokus pada hal-hal sepele seperti ini." 　　Nyonya Zhen langsung tidak senang: "Mengapa disebut pikiran sempit? Keluarga mana yang tidak mempertimbangkan hal-hal seperti ini saat mencari menantu?" 　　Zhen Shicheng jarang bersikap serius pada istrinya: "Meiniang, gadis seperti Nona Jiang itu, sekali keluarga ini menghadapi perubahan, dia mampu berdiri tegak menopang rumah tangga." 　　Keluarga mereka bukan keluarga besar berpengaruh yang mewarisi tradisi ratusan tahun. Status mereka sekarang lebih karena usahanya sendiri. Menurutnya, kemampuan menantu perempuan menghadapi masalah jauh lebih penting daripada sikap penurut. 　　Nyonya Zhen terdiam lama sebelum akhirnya setuju: "Kalau begitu, aku akan mencari kesempatan bertemu Nona Jiang." 　　Kunjungan Zhen Shicheng membuat Jiang Si dipanggil ke Cixintang. 　　"Ada yang perlu dari cucu, Nek?" Jiang Si memberi salam hormat pada Nyonya Feng lalu bertanya. 　　Nyonya Feng mengamati Jiang Si. Melihat raut wajahnya yang tenang tanpa emosi, hatinya terkejut. 　　Jangan-jangan selama ini ia salah menilai? Cucu perempuan ini diam-diam ternyata punya strategi, bahkan mendapat perhatian Prefect Shuntian. 　　Keluarga bangsawan pun berbeda-beda. Ada yang terhormat dengan pengaruh politik luar biasa, tentu jadi idaman banyak orang. Tapi keluarga seperti Dongping Bo yang jauh dari pusat kekuasaan hanya hidup dari gaji, jauh kalah pamor dibanding pejabat berkuasa. 　　"Inilah alasan mengapa Keluarga Kedua justru lebih dihargai oleh Nyonya Feng di Kediaman Dongping Bo." 　　Tuan Jiang Kedua menjabat sebagai Wakil Menteri Kekaisaran Taipusi berpangkat 4 utama. Ketika menghadapi masalah nyata, dia jauh lebih berguna daripada Putra Sulung. 　　Nyonya Feng selalu memandang tinggi Keluarga Kedua. Namun setelah Jiang Qian pulang dengan malu ke keluarga asalnya, pemikirannya mulai berubah halus. Kini melihat Jiang Si diam-diam mendapat perhatian pejabat tinggi Sanpin, ditambah ingat baru-baru ini Putra Mahkota Yongchang Bo mengantarkan Jiang Si pulang, sikapnya terhadap Jiang Si pun seketika berubah. 　　Mendengar pertanyaan Jiang Si, Nyonya Feng tersenyum penuh kasih: "Tidak apa, nenek teringat ulang tahun nenekmu (dari pihak ibu) sebentar lagi. Nanti akan kusuruh mandor membeli bahan pakaian, kau pilih beberapa gulung yang disuka untuk dibuat baju bagus. Oh ya, perhiasan juga perlu dibuat baru. Kalau ada waktu, kunjungi Toko Zhenbao, beli yang kau suka dan catat di pembukuan Kediaman Bo." 　　"Terima kasih Nenek, cucu sudah mengerti." 　　Memikirkan ulang tahun nenek maternalnya, hati Jiang Si dipenuhi kerinduan. 　　Dia segera akan bertemu kakak perempuannya. 　　Halo semua, saya Xiao Jia, si Naskah Cadangan. Majikan sedang dalam penerbangan ke Qinghai. Sayang kalian semua, cium-cium ya. 203.BAB 203: PENINJAUAN 　　BAB 203: PENINJAUAN 　　Di hari yang cerah ini, Jiang Si membawa Ah Man ke Toko Zhenbao untuk memilih perhiasan. 　　Karena nenek sudah memberi izin, tentu dia tidak akan menolak dengan alasan menjaga gengsi. 　　Toko Zhenbao adalah toko perhiasan terkemuka di ibu kota, yang kebanyakan dikunjungi para wanita dari keluarga kaya dan terhormat. 　　Meskipun para wanita dari keluarga kaya bisa meminta toko perak mengantarkan perhiasan ke kediamanan untuk dipilih, sejak dulu hingga sekarang wanita seolah memiliki kelemahan yang sama: perasaan akan berbeda walau hanya jalan-jalan tanpa membeli. 　　Saat Jiang Si sedang memilih perhiasan, ada seorang wanita paruh baya berpenampilan sederhana namun beraura lembut yang kebingungan memilih di antara baki penuh perhiasan. Melihatnya, wanita itu tersenyum ramah: "Bolehkah Nona membantu saya?" 　　Meski terkejut dengan ajakan mendadak ini, Jiang Si tetap tersenyum sopan: "Apa yang bisa saya bantu untuk Nyonya?" 　　Respon hangat namun sopan Jiang Si membuat senyum wanita itu semakin tulus: "Saya jadi bingung melihat terlalu banyak pilihan ini, ingin meminta pendapat Nona." 　　Permintaan yang wajar ini tentu tak ditolak Jiang Si. Ia mendekat dan bertanya: "Perhiasan jenis apa yang Nyonya cari? Anting, kalung, atau gelang?" 　　Wanita itu mengerutkan alisnya yang indah: "Boleh yang mana saja." 　　Jiang Si bertanya lagi: "Untuk dipakai sendiri atau hadiah? Jika hadiah, berapa usia penerimanya?" 　　Wanita itu tertawa: "Untuk hadiah. Keponakan perempuan saya akan datang sebentar lagi, perlu menyiapkan beberapa hadiah pertemuan. Usianya..." 　　Matanya menyapu tubuh Jiang Si, "Sekitar usia Nona." 　　Jiang Si mengangguk paham. Pandangannya menjelajahi koleksi emas-perak, lalu dengan cepat memilih tiga jenis barang. 　　“Sama seperti ikat rambut daun willow berlapis emas dengan teknik filigree, sama seperti anting-anting giok merah dengan hiasan mutiara dan bulu burung, serta satu kotak bunga sutra dengan inti mutiara.” 　　“Nona kecil suka yang ini?” Wanita itu tampak ragu. 　　Jiang Si tersenyum: “Di usia kami, memakai hiasan rambut berjuntai (buyao) terlalu berlebihan. Ikat rambut emas ini klasik tapi tetap elegan, cocok untuk hadiah. Tapi Nyonya ingin memberi keponakan sendiri, tak perlu terlalu mewah. Menurutku, anting giok merah ini dan bunga sutra bermutiara dengan kerajinan halus ini pasti akan disukai nona itu...” 　　Jiang Si menjelaskan dengan sabar, sementara wanita itu diam-diam mengamatinya, senyumnya semakin lebar. 　　“Terima kasih banyak, Nona. Tanpa bantuanmu, hari ini aku benar-benar bingung memilih.” 　　“Nyonya terlalu baik. Saya hanya berharap tidak dianggap ngawur.” 　　“Nona yang terlalu sopan. Kalau Nona tidak sibuk, maukah menemani saya minum teh di rumah sebelah? Biar saya bisa membalas kebaikanmu.” 　　Jiang Si menolak halus: “Walau sangat ingin menikmati teh bersama Nyonya, sayangnya saya sudah terlalu lama di luar. Harus pulang sekarang.” 　　“Begitu ya? Semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu.” 　　Begitu Jiang Si pergi, Nyonya Zhen langsung bergegas ke ruang VIP di rumah teh sebelah. 　　Zhen Shicheng yang melihat istrinya masuk bertanya sambil tersenyum: “Bagaimana?” 　　Dari ekspresi Nyonya, jelas terlihat puas. 　　Nyonya Zhen tersenyum mengangguk: "Memang gadis yang baik. Hari ini sengaja memakai bahan biasa dan minta dia pilih perhiasan untukku. Dari tiga pilihan, yang termahal hanyalah hiasan rambut emas berukir. Hiasan semacam ini terlihat mewah tapi ringan, tidak mahal. Dua lainnya adalah aksesoris imut yang disukai nona kecil tapi murah. Terlihat gadis ini cerdas dan bijaksana, bisa memahami posisi orang lain. Yang langka, dia juga pandai bicara tanpa membuat orang tersinggung. Lagipula, kesabaran seorang nona kecil terhadap orang asing yang terlihat biasa itu sungguh luar biasa..." 　　Setelah mendengar pidato panjang Nyonya Zhen, Zhen Shicheng mengorek telinganya: "Sekarang puas?" 　　Nyonya Zhen hendak mengangguk, tapi merasa agak malu. Ia melirik kesal ke arah Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng tertawa terbahak: "Kalau begitu nanti aku coba cari tahu dari Dongping Bo?" 　　"Cepatlah! Lihatlah Heng'er yang linglung dua hari ini. Kalau tidak segera, aku khawatir dia kena sakit rindu." 　　Sakit rindu mungkin berlebihan, tapi kegelisahan Zhen Heng selama dua hari ini memang nyata. 　　Ia tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama. Namun cara gadis itu muncul di hadapannya terlalu unik, ditambah kecantikannya yang memukau. 　　Pada dasarnya, Zhen Heng hanyalah pemuda berdarah panas. Seandainya gadis yang jatuh dari langit itu berwajah seram, tentu dia tak akan membiarkan perasaan romantisnya berkembang sampai ingin meminang. 　　“Tidak tahu apakah Ayah sudah menemui ayahnya untuk membahas hal ini?” 　　Zhen Heng mengeluarkan gulungan lukisan dan memandanginya sekali lagi, hati dipenuhi harapan. 　　Zhen Shicheng mengajak Jiang Ancheng minum teh di Gedung Teh Tianxiang. 　　Mendengar Zhen Shicheng secara halus menyebut-nyebut perjodohan anak, Jiang Ancheng langsung bengong. 　　Apa pendengarannya tidak salah? Ada yang menaruh hati pada putrinya? Meskipun putrinya memang luar biasa, pasti ada yang bisa melihat mutu, tapi ini terlalu mendadak. 　　“Meskipun putra hamba tidak berbakat, dalam hal belajar masih punya bakat. Kedepannya pasti bisa menghidupi keluarga sendiri, Saudara Jiang tak perlu khawatir.” 　　Jiang Anchengu tak kuasa mengangguk: “Putra Bang Zhen jauh lebih sukses daripada si brengsek di rumahku.” 　　Hari itu mereka bertukar pengalaman tentang mendidik (menghajar) anak laki-laki. Jiang Ancheng penasaran lalu menyelidiki. 　　Hasil penyelidikannya membuatnya gelisah. 　　Hal-hal seperti membuat puisi usia 3 tahun, baca sejarah usia 7 tahun tak usah disebut. Baru datang ke ibu kota sudah terkenal sebagai “Tuan Gong secantik giok” karena mengalahkan cendekiawan Xiliang. Benar-benar anak orang lain yang sempurna. 　　Zhen Shicheng melambaikan tangan: “Sama saja, anak laki-laki mana pun sama merepotkan. Tapi Saudara Jiang tenang, keluarga kami tidak punya tradisi punya selir. Kalau berani ambil selir, saya yang pertama mematahkan kakinya.” 　　Jiang Ancheng langsung tertarik. 　　Tidak punya selir adalah keunggulan besar. Kalau dulu Xie tidak punya selir, mana akan ada malapetaka sekarang. 　　Jiang Ancheng sudah lama memikirkan hal ini. Putri sulungnya sudah menikah dan tak bisa diapa-apakan lagi. Jika di masa depan putranya berani mengambil selir, dia akan menampar keras si bocah nakal itu sampai sadar. Adapun Si'er, lebih baik menikah dengan pria yang setia padanya. Jika tidak, lebih baik tetap di rumah dan dia akan merawatnya seumur hidup agar tidak menderita di kemudian hari. 　　Benar, bagi Jiang Ancheng yang menganggap putrinya sebagai mutiara, seribu kelebihan calon suami tidak akan berarti dibandingkan kesetiaan ini. 　　Zhen Shicheng yang sangat tajam, melihat Jiang Ancheng jelas-jelas tertarik, mulai mengusap janggutnya dengan puas. 　　Pertunangan ini, sembilan dari sepuluh kemungkinan akan terlaksana. 　　Jiang Ancheng masih berpikir jernih. Setelah merenung sejenak, dia berkata: "Istri saya sudah lama meninggal, dan putri saya punya pendirian kuat. Saya ingin menanyakan pendapatnya terlebih dahulu." 　　Zhen Shicheng terkejut sejenak, lalu mengangguk: "Tentu saja." 　　Pantas saja Nona Jiang berpendirian kuat, ternyata ayahnya juga tidak biasa. 　　Mengingat dirinya juga ayah yang tidak biasa, Zhen Shicheng semakin merasa cocok dengan Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng berpamitan pada Zhen Shicheng dan kembali ke Kediaman Dongping Bo. Dengan semangat, dia memanggil Jiang Si ke ruang belajarnya. 204.BAB 204 Hari Ulang Tahun 　　BAB 204 Hari Ulang Tahun 　　Melihat kegembiraan yang tak bisa disembunyikan Jiang Ancheng, Jiang Si tersenyum bertanya: "Ayah, apakah ada kabar baik?" 　　"Bukan kabar baik, hanya ada satu hal yang ingin kudengar pendapatmu." Jiang Ancheng menjawab dengan sikap menahan diri. 　　"Silakan Ayah ceritakan." 　　"Bagaimana pendapatmu tentang Paman Zhen Shicheng?" 　　“Pertanyaan ini terdengar tiba-tiba,” Jiang Si menjawab jujur, “Paman Zhen adalah pejabat baik yang langka, integritas dan kemampuan beliau membuat anak perempuan ini kagum.” 　　Memandangi putri yang secantik bunga, Zhen Shicheng meski berat hati tetap bertanya: “Kalau begitu, apakah kau bersedia menikah ke keluarganya?” 　　“Apa?” Jiang Si benar-benar terkejut. 　　“Hari ini Tuan Zhen mengajakku minum teh, bermaksud meminangmu untuk putra sulungnya...” 　　Jiang Si mendengarkan dalam diam, tiba-tiba teringat pemuda yang pernah ditemuinya di hutan, yang tak lama sebelumnya datang ke rumahnya bersama Tuan Zhen. Sekarang dipikir-pikir, pemuda itu sama sekali tidak mirip pelayan pria. 　　Memikirkan ini, jantung Jiang Si berdebar: Mungkinkah dia putra sulung Tuan Zhen? 　　Kebetulan ini membuat perasaannya agak rumit. 　　“Si'er, apa sebenarnya maksudmu?” Jiang Ancheng bertanya sambil menatap penuh harap. 　　Meski akan merasa kecewa jika putrinya mengangguk, tapi jika ditolak, rasanya juga tidak senang. 　　Keluarga Zhen memang calon perjodohan yang bagus. 　　Jiang Si jelas merasakan harapan Jiang Ancheng, dan harapan ini tiba-tiba memberatkan hatinya. 　　Di usianya sekarang, urusan pernikahan sepertinya tak bisa dihindari. 　　Jiang Si terdiam cukup lama, sampai Jiang Ancheng mulai curiga: “Si'er tidak mau?” 　　“Anak perempuan ini belum ingin berjodoh untuk sementara waktu.” Jiang Si menunduk malu. 　　Ia tahu sikapnya ini menyusahkan sang Ayah. 　　“Di usianya sekarang, seharusnya dia menikah dengan gembira begitu menemukan jodoh yang cocok dalam segala hal. Jika tidak, dianggap manja dan tidak tahu terima kasih.” Namun Ayah yang bisa memahami perasaannya benar-benar sosok orangtua langka. 　　“Sudahlah, sudahlah. Jika Si'er belum ingin menikah, tidak usah dipaksa. Keluarga kita sanggup menghidupimu. Nona kecil, cepat-cepat jangan cemberut lagi.” Jiang Ancheng melihat rasa bersalah dan kegelisahan Jiang Si, segera menghiburnya. 　　“Ayah, aku—” Jiang Si tersentuh, namun terbata-bata. 　　Jiang Ancheng memandangi putrinya yang semakin mirip mendiang istrinya, menghela napas panjang: “Manusia memang tidak boleh menikah dengan sembarangan.” 　　Sangat sulit menemukan seseorang yang benar-benar dicintai sepenuh hati dalam hidup ini. Dia berharap putrinya bisa menemukan orang seperti itu. Tentu saja, orang itu juga harus mencintai putrinya dengan tulus, jika tidak, seberapa pun putrinya menyukainya, dia tidak akan menyetujui. 　　“Mengenai keluarga Zhen, nanti Ayah yang akan menjelaskan.” Jiang Ancheng menghibur sambil menepuk bahu Jiang Si. “Pulanglah.” 　　Zhen Shicheng menerima jawaban dari Jiang Ancheng, menghela napas dalam dan berkata pada Nyonya Zhen: “Tampaknya Heng'er dan Nona Jiang tidak berjodoh. Sungguh disayangkan.” 　　Nyonya Zhen langsung mengerutkan alis: “Keluarga Jiang tidak setuju?” 　　Zhen Shicheng tersenyum pahit: “Katanya baru saja membatalkan pertunangan, putri mereka belum ingin membicarakan perjodohan baru terlalu cepat, ingin menunggu dua tahun lagi.” 　　“Tidak mau ya sudah, apa keluarga kita harus memaksa?” Nyonya Zhen meski merasa agak menyesal, namun bagi seorang ibu, orang lain meremehkan putra kesayangannya adalah hal yang sangat besar. Sedikit simpati yang timbul terhadap Jiang Si di toko perhiasan langsung lenyap. 　　Hmph, putranya yang begitu baik malah tidak disukai, jelas-jelas buta matanya. 　　Nyonya Zhen yang kesal langsung menunjukkan raut tak senang pada Zhen Shicheng yang memicu masalah ini: "Gagal ya sudah, kenapa kau tidak pergi ke kantor kabupaten malah masih di sini?" 　　"Tentang Heng'er——" 　　"Siapa yang mulai ya suruh dia yang menjelaskan." Nyonya Zhen membentak kesal. 　　Zhen Shicheng berjalan mondar-mandir menuju ruang belajar Zhen Heng. 　　Pintu ruang belajar sedikit terbuka, dari celah terlihat Zhen Heng duduk di meja belajar sedang serius melihat sesuatu. 　　"Ahem." Zhen Shicheng sengaja batuk keras. 　　Zhen Heng dengan kilat menyelipkan gulungan lukisan ke dalam laci rahasia, lalu berjalan ke pintu: "Ayah ada perlu apa?" 　　Memikirkan suatu kemungkinan, hati pemuda itu berdebar kencang, daun telinganya memerah perlahan. 　　Zhen Shicheng yang memperhatikan ini, hati yang sudah ditempa ratusan ujian tiba-tiba terasa sesak. 　　Sepertinya dia telah menjerumuskan putranya sendiri. 　　Setelah lama terdiam, barulah dia berbicara: "Urusan keluarga Jiang, lupakan saja." 　　Zhen Heng tertegun. 　　“Zhen Shicheng menepuk bahu Zhen Heng dengan kuat: "Di masa depan akan ada yang lebih cocok. Ahem, soal ini Ayah tidak ahli, nanti biarlah ibumu yang mengurus."” 　　“Pertama kali jadi perantara Hongxian malah nyaris membinasakan anak sendiri, lebih baik dia fokus pada penyelidikan kasus. Benarlah pepatah 'keahlian punya bidangnya masing-masing'.” 　　“Wajah Zhen Heng memucat perlahan, bibir pucatnya melengkung samar: "Anak mengerti."” 　　“"Heng-er——"” 　　“Zhen Heng tersenyum: "Ayah jangan khawatir, anak baik-baik saja."” 　　“Zhen Shicheng hendak membujuk lagi, tapi merasa terlalu banyak bicara tak berguna. Akhirnya mengusap janggutnya, berbalik dan cepat-cepat pergi.” 　　“Ahem, untung anak laki-laki kuat, terima pukulan sedikit tak apa.” 　　“Zhen Heng memandang kepergian Zhen Shicheng dalam diam, baru menutup pintu ruang belajar setelah bayangannya hilang. Perlahan kembali ke meja dan mengeluarkan lukisan itu.” 　　“Gadis dalam lukisan hidup bagai nyata, memandangnya seolah bisa mencium aroma rerumputan di pegunungan.” 　　“Tiba-tiba Zhen Heng merasa sesak, bukan sakit yang menyayat, tapi nyeri yang nyata.” 　　“Jarinya menyentuh alis mata gadis dalam lukisan, Zhen Heng tersenyum getir dalam diam.” 　　“Rupanya dirinya masih kurang baik, tidak bisa memikat hati nona itu.” 　　“Sudahlah, kalau begitu dia tak akan memaksakan.” 　　“Zhen Heng mengangkat lukisan hendak merobeknya, tapi berhenti di tengah gerakan.” 　　Setelah lama menatap lukisan itu, Zhen Heng akhirnya tidak tega merobeknya, diam-diam menyimpan lukisan itu di bagian terdalam laci rahasia. 　　Tak lama kemudian tibalah hari ulang tahun nenek dari pihak ibu Jiang Si, Ibu Suri Keluarga Marquis Yining. 　　Pada hari itu, Jiang Ancheng telah bersiap rapi, membawa Jiang Si dan saudara-saudaranya menuju Kediaman Marquis Yining. 　　Keluarga Marquis Yining adalah bangsawan turun-temurun. Kakek Jiang Si dari pihak ibu memiliki posisi penting di hati Kaisar Jingming, kemewahannya tentu berbeda dengan Dongping Bo Residence. Hari ini gerbang Kediaman Marquis Yining ramai sekali, kereta kuda para tamu yang datang memberi ucapan selamat sampai mengantre di jalanan. 　　Jiang Si dulu sering tinggal sementara di Kediaman Marquis Yining. 　　Saat itu dia meremehkan keluarga Bo yang semakin merosot, iri dengan kemewahan keluarga Marquis, bahkan pernah berandai-andai seandainya dia adalah putri Keluarga Marquis Yining. 　　Karena hati selalu merindukannya, tak heran jika dia sering berlama-lama di sana. 　　Tapi sejak terlahir kembali, perasaan seperti itu tak lagi ada dalam diri Jiang Si. 　　Meskipun neneknya masih menyayanginya, tapi niat orang-orang lain di sana sudah dia pahami sejak lama, bukan lagi gadis lugu yang dulu. 　　Sebelum turun dari kereta, Jiang Zhan berbisik: "Adik Keempat, hari ini Kakak akan datang. Aku tidak tahu apakah nanti ada kesempatan bicara dengannya. Tolong sampaikan salamku dulu padanya." 　　"Kakak Kedua tenang saja, aku pasti akan melakukannya." 　　"Baiklah, aku dan Ayah pergi ke sisi sana dulu. Kalau ada masalah, suruh Ah Man menyampaikan pesan." 　　"Kakak Kedua cepat pergi saja, jangan khawatir tentangku." 　　Kereta kuda langsung menuju gerbang kedua. Sesampainya di gerbang kedua, kereta berhenti. Begitu turun dari kereta, Jiang Si langsung dipandu pelayan Kediaman Marquis masuk ke dalam dan berkumpul dengan saudari-saudari seumuran. 　　"Adik Keempat." Suara lembut penuh kejutan terdengar. 　　Jiang Si menoleh ke arah suara itu, dan langsung melihat kakak tertuanya Jiang Yi yang sudah lama tidak dijumpainya. 205. BAB 205 Jiang Yi 　　BAB 205 Jiang Yi 　　Jiang Yi yang berusia dua puluh tahun terlihat cantik dan anggun. Wajah ovalnya yang pucat dihiasi senyuman tipis yang menampakkan keramahannya. 　　Jiang Si menatap tajam ke arah Jiang Yi. 　　Secara kasat mata mereka hanya terpisah beberapa bulan, namun sebenarnya sudah berpisah selama beberapa tahun. 　　Di musim dingin ini, kakak tertuanya diceraikan karena dituduh berzinah, dan tak lama setelah kembali ke Dongping Bo Residence, dia menggantung diri. 　　Jiang Si mengamati Jiang Yi dengan seksama. 　　Saat ini pipi Jiang Yi masih berisi, alisnya terlihat rileks, berbanding terbalik dengan penampilannya di kehidupan sebelumnya yang pucat dan kurus seperti kertas tipis yang bisa hilang tertiup angin. 　　Jiang Yi sudah mendekat dan menggandeng tangan Jiang Si sambil tersenyum, "Sudah beberapa bulan tidak bertemu, apakah Adik sampai tidak mengenali Kakak lagi?" 　　Saat mengucapkan ini, hati Jiang Yi dipenuhi penyesalan. 　　Adik Keempat yang memiliki sifat angkuh dan bangga memang tidak terlalu dekat dengannya. Setelah peristiwa Pembatalan Pertunangan dengan Keluarga An Guogong, dia pun tidak bisa menemani adiknya karena tekanan dari mertua. Pantas saja sekarang adiknya masih menyimpan kekesalan padanya. 　　Pada dasarnya, ini salahku sebagai kakak. 　　Jiang Si menggenggam erat tangan Jiang Yi, suaranya manis dan lembut: "Aku rindu Kakak." 　　Begitu mendengar ini, sudut mata Jiang Yi tiba-tiba memerah. 　　Adik Keempat tidak hanya tidak menyalahkanku, malah berbicara dengan nada mesra seperti ini - jelas dia sudah dewasa. 　　Suara tawa ringan terdengar: "Bibi Yi, Bibi Si, apakah kalian sengaja membuatku iri?" 　　Jiang Yi tersenyum pada gadis yang mendekat: "Bibi Shuang selalu suka mengolok-olok kami." 　　Jiang Si menyapa gadis itu: "Bibi Su Qingshuang." 　　Gadis itu bernama Su Qingshuang, putri dari paman tertua Jiang Si. 　　Nyonya Marquis Yining memiliki dua putra: keluarga putra sulung sangat ramai dengan dua cucu laki-laki sah, satu cucu perempuan sah, dan dua cucu perempuan dari selir. Keluarga putra kedua lebih sepi, saat ini hanya memiliki seorang putra berusia lima tahun. 　　Meski menjadi putri sah tunggal di Keluarga Marquis Yining, Su Qingshuang berwatak baik. Dia selalu ramah pada Jiang Yi maupun Jiang Si, dan meski agak dingin pada dua adik tirinya, tetap menjaga keharmonisan di permukaan. 　　Di kehidupan sebelumnya, Jiang Si paling mengidolakan sepupu ini. 　　Su Qingshuang tersenyum pada Jiang Si dan menggerutu: "Kemarin sudah mengirim undangan mengajak Bibi Keempat bermain, tapi kau mengabaikanku." 　　Tak lama setelah Jiang Si membatalkan pertunangan dengan Keluarga An Guogong, Su Qingshuang mengirim undangan mengajaknya bermain ke kediaman Marquis - sikap yang menunjukkan dukungan jelas. 　　Jiang Si saat itu tidak sempat memikirkan hal-hal ini. Karena ibunya telah lama meninggal, Su Qingshuang pun tidak enak mengunjunginya di Keluarga Bo, bisa dikatakan sepupu mereka sudah lama tidak bertemu. 　　"Waktu itu saya tidak bisa menerima, merasa malu," jawab Jiang Si sambil mencari-cari alasan. 　　Su Qingshuang mengedipkan mata: "Sekarang bagaimana? Menurutku penampilan adik sepupu jauh lebih baik dibanding saat bertemu awal tahun." 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Sekarang sudah sadar. Tidak pantas menderita karena orang tak penting. Daripada meratapi musim semi dan merindukan musim gugur, lebih baik mempererat hubungan dengan kakak-kakak." 　　Su Qingshuang menepuk tangan: "Pikiranmu sudah benar begini, adik sepupu." 　　Seorang gadis berbaju merah muda di sudut ruangan berbisik ke telinga gadis berbaju hijau sambil mengejek: "Lihat, sepupu kita ini tidak sesombong dulu. Sekarang sudah pandai bicara manis." 　　Gadis berbaju hijau mencibir: "Biasa saja. Dari kecil dia sudah sok cantik dan angkuh. Apalagi setelah dapat lamaran bagus dari Keluarga An Guogong, sombongnya sampai ke langit. Sekarang jatuh dari awan, harusnya sudah sadar." 　　Gadis berbaju merah muda bernama Su Qingxue, sedangkan yang hijau bernama Su Qingyu - dua anak perempuan dari selir di Keluarga Utua. 　　Mereka berusaha menyembunyikan kegembiraan atas kesialan orang lain, tapi raut wajah tetap mengkhianati perasaan. 　　Jiang Si bahkan tidak memberikan setengah tatapan. Memanfaatkan yang sedang naik dan menginjak yang jatuh adalah hal biasa. Sejak berani datang, dia sudah mengantisipasi semua ini. 　　Hari ini Kediaman Marquis Yining sangat ramai, banyak keluarga dengan hubungan dekat maupun jauh mengirim perwakilan atau mandor untuk mengantarkan hadiah ulang tahun. Tamu yang bukan kerabat dekat hanya berpesta di halaman depan, sementara yang memberikan ucapan langsung kepada Ibu Suri Yining Bo adalah kerabat sejati. 　　Jiang Si segera mengikuti rombongan ke aula utama untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ibu Suri Yining Bo. 　　Aula utama riuh rendah, Ibu Suri Yining Bo duduk megah di tempat kehormatan dikelilingi orang-orang, permata merah sebesar telur merpati di ikat kepalanya berkilauan, membuat sang nenek terlihat bersemangat dan penuh sukacita. 　　Jiang Si dengan cepat menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, lalu mengikuti Jiang Yi memberi hormat kepada Ibu Suri Yining Bo. 　　Sebagai anggota termuda, seharusnya perannya tidak penting dalam acara seperti ini. Namun ketika dia maju memberi hormat, ruangan tiba-tiba hening, puluhan tatapan penuh makna tertuju padanya. 　　Jiang Yi yang iba melihat keadaan adiknya, tidak bisa menahan kerutan di dahinya. 　　Jiang Si sama sekali tidak terpengaruh, dengan tenang dan anggun memberi hormat kepada Ibu Suri Yining Bo. 　　Ibu Suri Yining Bo melihat cucu perempuannya tidak mengasihani diri sendiri, tersenyum penuh kasih dan memberikan beberapa kata motivasi. 　　Su Qingxue menarik lengan Su Qingyu dan berbisik, "Lihat betapa berat sebelahnya nenek. Jiang Si dan keluarga Dongping Bo mereka terus memalukan diri, tapi nenek sama sekali tidak peduli." 　　Su Qingyu melirik Jiang Si yang mundur ke dekat Jiang Yi, berkata dengan nada merendahkan: "Yang memalukan bukanlah muka Keluarga Marquis Yining kita, kenapa Nenek perlu khawatir?" 　　Su Qingxue tertawa pendek: "Memang benar juga katamu." 　　Pesta segera dimulai, akhirnya Jiang Si mendapat kesempatan berbicara berdua dengan Jiang Yi. 　　"Kak, Erge menyuruhku menyampaikan salam untukmu." 　　Mendengar Jiang Si menyebut Jiang Zhan, mata Jiang Yi berkerut senang: "Bagaimana kabar adik kedua belakangan ini? Apakah dia masih sering bermasalah dan dipukul?" 　　Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Erge masih seperti biasa." 　　Jiang Yi menggelengkan kepala: "Adik kedua memang selalu membuat orang khawatir. Adik Keempat, aku jarang pulang, kau harus lebih sering menasihatinya. Sudah dewasa seharusnya bisa mengendalikan diri." 　　"Aku akan menjaga Erge. Tapi Kakak sendiri jarang terlihat selain saat hari raya, kami tidak tahu bagaimana kabarmu? Kami semua sangat merindukanmu." 　　Mendengar pertanyaan tentang dirinya, Jiang Yi tersenyum: "Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir." 　　Jiang Si mengamati ekspresi kakaknya dengan cermat. Melihat raut wajahnya yang tulus, hatinya semakin penasaran. 　　Sekarang terlihat kakaknya memang hidup bahagia, tapi mengapa di musim dingin nanti bisa terjadi kejadian mengejutkan itu? 　　Bagaimanapun juga, dia sama sekali tidak percaya kakaknya akan berselingkuh. 　　"Kak, apakah kakak pernah bertengkar dengan Kakak Ipar? Apakah mertua memperlakukanmu dengan baik?" 　　Jiang Yi terkejut oleh pertanyaan itu: "Kenapa tanya begitu?" 　　"Hanya penasaran, tidak tahu seperti apa rasanya berada di lingkungan yang benar-benar asing? Kakak tidak tahu, sebenarnya sebelum pertunangan dengan Keluarga An Guogong dibatalkan, aku setiap hari memikirkan hal-hal ini. Setelah pertunangan dibatalkan, memikirkan bahwa aku tidak akan segera menikah, diam-diam aku merasa lega..." 　　Jiang Yi merasa pemikiran adiknya ini agak berbahaya, terus menggelengkan kepala: "Adik Keempat, kekhawatiranmu sangat wajar, tapi selama kita belajar memaafkan, pasti bisa rukun dengan orang lain." 　　Matanya berbinar-binar: "Kakak Iparmu sangat baik padaku, meskipun Mertua agak ketat tapi tidak sampai menindas, Yan-yan juga pintar dan menggemaskan... Aku sangat puas dengan kehidupan seperti ini." 206. BAB 206 Menyebarkan Fitnah 　　BAB 206 Menyebarkan Fitnah 　　Jiang Si tidak mendeteksi keanehan dalam perkataan Jiang Yi, tak bisa terus menerus bertanya, lalu mengalihkan topik: "Kebetulan ingin bertanya, kenapa hari ini Kakak tidak membawa Yan-yan?" 　　Mengenai putrinya, Jiang Yi menjawab lembut dengan sedih: "Yan-yan sedang diare dua hari ini, jadi tidak kubawa." 　　Jiang Yi yang telah menikah dengan Keluarga Zhu selama beberapa tahun hanya memiliki satu putri berusia 3 tahun, dipanggil Yan-yan. 　　"Yan-yan tidak apa-apa kan?" Jiang Si tidak mau melewatkan keanehan apapun terkait Jiang Yi, buru-buru bertanya. 　　Di kehidupan sebelumnya saat menghadiri pesta ini, dia adalah menantu Keluarga An Guogong yang bersinar, dikerumuni banyak orang yang ingin berbincang, tidak sempat mengobrol lama dengan kakaknya, bahkan tidak menyadari apakah kakaknya membawa keponakannya. 　　"Memikirkan ini, Jiang Si tak bisa menahan kekesalan." 　　Perhatian sang adik membuat hati Jiang Yi hangat, ia tersenyum lembut: "Tak apa, anak-anak kecil memang sering rewel saat sakit. Kata tabib, dasar tubuh Yanyan kuat, nanti seiring bertambah usia akan membaik." 　　"Syukurlah." Mendengar kondisi Yanyan tidak serius, Jiang Si menghela napas lega. 　　Baru saja ia sempat berpikir apakah penyakit parah Yanyan yang memicu rangkaian peristiwa selanjutnya, ternyata kekhawatirannya berlebihan. 　　Tiba-tiba Su Qingshuang menyela: "Kalau Kakak Yi dan Adik Si mulai berbincang, orang lain tak bisa ikut campur. Memang bedanya saudara kandung dan sepupu." 　　Pura-pura cemberut, tapi sudut matanya masih berbinar. 　　Jiang Yi menjawab lembut: "Tidak, di hatiku Meimei Shuang dan Adik Keempat sama saja." 　　Jiang Yi tulus, Su Qingshuang bisa merasakan ketulusannya dan menghela napas: "Kakak Yi, watakmu yang baik begini, khawatir nanti dimanfaatkan orang." 　　Kuda jinak mudah ditunggangi, orang baik mudah ditindas - pepatah ini ada benarnya. 　　Jiang Yi juga heran mengapa hari ini adik dan sepupunya terus-menerus khawatir akan nasibnya, lalu mengalihkan topik: "Tadi saat memberi ucapan selamat, kenapa tak kulihat Bao Ge'er? Bibi kedua juga tampak lesu, apa Bao Ge'er sakit?" 　　Paman kedua Jiang Si dan istrinya Nyonya Xu telah menikah selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dikaruniai putra bernama Bao Ge'er, satu-satunya anak di Keluarga Kedua. Tak mungkin mereka tidak hadir dalam perayaan ulang tahun Ibu Suri hari ini. 　　Wajah Su Qingshu berubah tak natural: "Bao Ge'er sakit. Paman kedua pasti kelelahan merawatnya." 　　Jiang Yi langsung merasa khawatir: "Bao Ge'er sakit apa? Dokter yang biasa memeriksa Yan Yan cukup kompeten--" 　　"Kakak tak perlu khawatir. Bao Ge'er sudah hampir sembuh." 　　Jiang Si tetap diam, mengamati ekspresi Su Qingshu dengan tatapan dingin. Ia merasa gadis itu menyembunyikan sesuatu. 　　Ini agak aneh. Meski Bao Ge'er sakit, mengapa kakak Qingshu bicara berbelit-belit? Jangan-jangan-- Bao Ge'er terjangkit wabah? 　　Wabah penyakit menular. Di tengah perayaan ulang tahun ke-60 nenek dari pihak ibu, memang tak pantas mengumumkan hal semacam itu. 　　Jiang Yi hendak berbicara lagi ketika Jiang Si diam-diam menarik lengan bajunya. 　　Jiang Yi pun mengurungkan niatnya. 　　Di sudut barat laut dekat taman Kediaman Marquis Yining, panggung opera tinggi telah didirikan. Usai jamuan makan, rombongan berangkat menonton opera. Setelah dua pertunjukan, Ibu Suri Marquis Yining bersabda: "Aku tahu kalian anak muda tak suka ini. Pergilah bermain, jangan hanya duduk tersiksa di sini." 　　Jiang Yi tetap duduk. Melihat Jiang Si juga tak bergerak, ia berbisik: "Mengapa Adik Keempat tidak ikut bermain dengan kakak Qingshu dan yang lain?" 　　Jiang Si tersenyum: “Saya bersama Kakak.” 　　Jiang Yi menarik tangan Jiang Si berdiri: “Sudahlah, mari kita jalan-jalan bersama, mungkin bisa bertemu adik kedua.” 　　Meskipun tamu pria dan wanita tidak duduk bersama saat jamuan makan atau menonton opera, mereka mungkin sama-sama berjalan-jalan di taman. Hubungan mereka paling jauh adalah sepupu, tidak ada banyak pantangan. 　　Sebenarnya Jiang Si memang tidak ingin duduk di sini mendengarkan opera, hanya ingin tetap bersama Jiang Yi. Melihat Jiang Yi mengajak, tentu tidak menolak. 　　Mungkin karena Jiang Zhan punya niat yang sama, tak lama setelah kedua saudari ini berjalan di taman, mereka langsung berpapasan. 　　Jiang Zhan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya, melangkah cepat mendekati Jiang Yi: “Kakak!” 　　Pemuda yang berjalan bersama Jiang Zhan, melihat ekspresi haru kakak-beradik ini, dengan bijak tidak mengganggu. Matanya beralih ke Jiang Si, mengangguk dan tersenyum: “Sepupu Si.” 　　Jiang Si membungkuk memberi salam: “Kakak sepupu.” 　　Pemuda itu adalah cucu pewaris Keluarga Marquis Yining, Su Qingxun. Meski sebelumnya Jiang Si sering tinggal sementara di Kediaman Marquis, tidak banyak interaksi dengan sepupu yang berwatak tenang ini. Terutama setelah Jiang Si bertunangan, pertemuan sepupu ini paling hanya saling menyapa. 　　Hari ini Su Qingxun lebih banyak bicara: “Bagaimana kabarmu belakangan ini, Sepupu Si?” 　　“Terima kasih perhatian Kakak sepupu, semuanya baik-baik saja.” 　　“Baguslah.” Su Qingxun melirik ke arah Jiang Zhan, melihat Jiang Yi sedang mengomelinya, lalu mengalihkan pandangan kembali, "Adik sepupu Si, jika di kemudian hari menghadapi masalah, jangan lupa masih ada Kediaman Marquis. Tempat ini selamanya akan menjadi rumah kakekmu dari pihak ibu." 　　Jiang Si mengangguk ringan, tidak bersuara lagi. 　　Kakak sepupu tertua dan adik sepupu Shuang memang baik, namun dia tahu bahwa istri paman tertua itu tidak mudah diajak bergaul. Perubahan sikap istri paman terhadapnya setelah menjanda di kehidupan sebelumnya sudah membuatnya memahami arti kekejaman dunia. 　　Jiang Yi berusaha menenangkan kegembiraannya setelah bertemu adik kandungnya, lalu menyapa Su Qingxun. 　　"Di depan ada beberapa pohon bunga kaca piring yang mekar indah, aku akan mengajak sepupu-sepupu untuk melihatnya." 　　Keempat orang itu berjalan bersama ke depan. 　　Su Qingxue muncul dari balik rak bunga di samping, mencibir ke arah kepergian keempat orang itu sambil berkata pada Su Qingyu: "Lihatlah, betapa mesranya Jiang Si pada kakak tertua. Pasti ada maksud tersembunyi." 　　"Apakah dia berani melakukan itu?" 　　"Masa depan seorang wanita tergantung pada keluarga yang dinikahinya. Jiang Si sudah kehilangan pertunangan dengan Keluarga An Guogong, mana mungkin bisa dapat jodoh baik? Jika bisa menikah masuk ke Kediaman Marquis, pasti akan tertawa sampai terjaga dari mimpi. Menurutmu, apakah dia berani?" 　　Su Qingyu mengangguk setuju: "Kakak kedua benar, tapi kakak tertua selalu bersikap dingin pada Jiang Si, pasti tidak akan tertarik padanya." 　　Su Qingxue mencemooh pendek, lalu tidak menghiraukan Su Qingyu lagi. 　　"Makanya Sanmei bodoh, tak terpikir sebelumnya Jiang Si bersikap dingin pada Kakak. Orang sekuat harga diri seperti Kakak pasti tak mau memaksa. Tapi kalau Jiang Si merendahkan diri sekarang, bisa saja Kakak tergoda." 　　Su Qingxue memikirkan ini, segera mencari alasan untuk berpisah dari Su Qingyu dan pergi menjilat selir utama. 　　Nyonya Besar You sedang menemani Ibu Suri Marquis Yining menonton opera. Karena minum terlalu banyak teh, dia bergegas ke kamar mandi ditemani dayang, kebetulan bertemu Su Qingxue yang kembali. 　　"Ibu, putri ada yang ingin disampaikan." Di hadapan You Shi, Su Qingxue bersikap sopan, bahkan tak berani menaikkan kelopak matanya. 　　You Shi selalu bersikap dingin pada dua putri selir, tapi masih menerima sikap menjilat mereka. Dia berpindah ke paviliun tak jauh, duduk lalu bertanya: "Apa maksudmu?" 　　Su Qingxue melirik sekeliling, melangkah mendekat dan mulai berbisik. 　　Ekspresi You Shi berubah dari tenang menjadi muram, wajah bulatnya berubah gelap. "Kau yakin melihatnya jelas?" 　　"Putri tak berani berbohong. Saat itu Sanmei juga ada." 　　You Shi menepuk meja: "Sungguh keterlaluan!" 207. BAB 207 Niat Jahat 　　BAB 207 Niat Jahat 　　Melihat You Shi murka, sudut bibir Su Qingxue naik. Strateginya berhasil. 　　“Dengan watak selir utama, tentu tidak mungkin memanggil Sanmei untuk konfrontasi. Lagipula, perkataannya tidak menyimpang dari fakta, Kakak memang membawa Jiang Si menikmati bunga.” 　　Dugaan Su Qingxue tepat. Nyonya You saat ini dipenuhi amarah, sama sekali tidak meragukan perkataan ini. 　　Bagi semua ibu di dunia, putra mereka tentu yang terbaik. Wajar saja jika sekumpulan siluman kecil terus menerus mendekati putranya. Apalagi putra sulung Nyonya You, Su Qingxun - cucu laki-laki sah Keluarga Marquis Yining - memang luar biasa, termasuk pemuda terkemuka di seluruh ibu kota. 　　Nyonya You meredam amarahnya, memandang Su Qingxue: "Hari ini kau bertindak benar. Beberapa orang berniat menaiki tangga sosial dengan cara kotor, sementara kakakmu terlalu baik hati dan tidak waspada. Memang perlu diawasi agar tidak tertipu." 　　Su Qingxue menunduk patuh menyambut perkataan selir utama: "Putri juga berpikir demikian. Kakak dengan keagungan naga dan keanggunan phoenix, sudah berapa banyak nona yang jatuh hati. Jika yang sepadan status dan budinya, tidak masalah. Tapi jika sampai dikerjai orang sembarangan, putri ikut sedih melihatnya." 　　"Meskipun sederajat status, tetap tidak pantas berinteraksi diam-diam." Meski berkata demikian, nada bicara Nyonya You pada Su Qingxue mulai melunak. 　　Sikap selir utama ini jelas membuat Su Qingxue bersukacita, menunduk untuk menyembunyikan kegembiraannya. 　　Nyonya You menyandarkan tangan di meja batu sambil merenung dengan mata terpejam. 　　Su Qingxue tidak berani mengganggu, menunggu dengan diam. 　　“Selir utama ini bukanlah sosok welas asih——Jiang Si pasti akan mendapat pelajaran pahit, aku yakin.” 　　Su Qingxue teringat pada Jiang Si, wajah anggunnya berkerut penuh kebencian. 　　Orang yang paling ia benci adalah Jiang Si! 　　Padahal hanya seorang sepupu jauh, tak tinggal tenang di rumah sendiri, malah sering-sering menginap di Kediaman Marquis. Belum lagi setiap datang selalu bersikap lebih tinggi daripada dirinya yang merupakan putri sah marquis. Bahkan kakak sulung yang biasanya dingin padanya, justru akrab dengan Jiang Si. 　　Su Qingxue teringat saat masih kecil pernah mengejek Jiang Si langsung di depan wajahnya. Jiang Si membalas tanpa ampun: "Ibuku adalah putri kandung nenek dari pihak ibu. Meski aku cuma sepupu, tetap cucu kandungnya. Tak pantas kau merendahkanku." 　　Setiap mengingat kata-kata itu, Su Qingxue gemetar menahan amarah. 　　Berani sekali dia membalas dengan begitu arogan! Ini kediaman marga Su, bukan Jiang! 　　Pertengkaran anak-anak sebenarnya hal biasa, tapi Su Qingxue menyimpan dendam hingga sekarang. Kebenciannya pada Jiang Si tak pernah pudar. 　　Nyonya You membuka mata dan batuk kecil. 　　"Ibu——" Su Qingxue segera duduk tegak. 　　"Tadi dayang yang melayani Kakak Keduamu melapor, dia merajuk ingin main ke taman. Sekarang sudah pergi. Kau lihat?" 　　Su Qingxue tak paham maksud Nyonya You menyebut kakak keduanya Su Qingyi, geleng kepala: "Putri belum melihat Kakak Kedua." 　　Nyonya You mengetuk meja perlahan dengan jarinya: "Cari dan ajak Kakak Kedua bermain ke Paviliun Chaoyang..." 　　Semakin Nyonya You menjelaskan secara detail, semakin membelalak mata Su Qingxue. 　　Dia telah memahami maksud selir utama - sang selir utama hendak merancang agar Jiang Si dipasangkan dengan Kakak Kedua! 　　Setelah menyadari hal ini, Su Qingxue langsung merasa puas. 　　Kakak Kedua tentu adalah putra kandung selir utama. Seharusnya tidak ada alasan untuk menguntungkan Jiang Si, sayangnya sejak sakit di masa kecil, Kakak Kedua menjadi terbelakang. 　　Membayangkan wajah bodoh Su Qingyi dengan air liur menetes, Su Qingxue tak bisa menahan senyum tipis. 　　Dia sudah tak sabar ingin melihat bagaimana rupa Jiang Si setelah menjadi kakak ipar. 　　Keluarga terhormat seperti mereka bukan keluarga miskin yang tak mampu menghidupi putri. Meski Kakak Kedua adalah Tuan Gong Kediaman Marquis, bahkan jika dia pangeran sekalipun, tak ada keluarga yang mau menikahkan putri mereka dengan orang dungu. 　　"Pergilah." Nyonya You mendesak. 　　Su Qingxue segera berdiri: "Ibu tenang, putri mengerti harus berbuat apa." 　　Nyonya You mengangguk puas: "Baik, ibu akan ingat." 　　Setelah Su Qingxue pergi, Nyonya You memberi beberapa perintah pada dayang sebelum kembali mendengarkan opera. 　　Di atas panggung, opera "Xiangnang Ji" telah sampai pada babak kesepuluh. Sementara para tamu menonton dengan penuh konsentrasi, pikiran Nyonya You sudah melayang. 　　Diam-diam ia melirik Ibu Suri Yining yang dikerumuni banyak orang, senyum dingin mengembang di bibirnya. 　　"Sejak lama sebelum Jiang Si bertunangan dengan Keluarga An Guogong, Ibu Suri sudah mencoba menanyakan pendapatnya dengan halus, secara implisit ingin menyatukan Xun'er dengan Jiang Si. Saat itu benar-benar membuatnya sakit hati." 　　"Seorang gadis yatim sejak kecil yang keluarganya bahkan akan segera kehilangan gelar bangsawan, apa haknya menikahi putra yang telah dididiknya dengan susah payah? Hati Ibu Suri benar-benar condong tanpa batas." 　　"Hehe, bukankah Ibu Suri ingin mempererat hubungan keluarga? Lebih baik aku memenuhi keinginannya, biarkan Yi'er yang menikahi Jiang Si." 　　"Mengingat putra keduanya Su Qingyi, Nyonya You merasa dadanya agak sesak." 　　"Seandainya Yi'er tidak pernah sakit waktu itu, pasti akan sama pintar dan menonjolnya dengan Xun'er. Mana mungkin keuntungan ini jatuh ke tangan Jiang Si!" 　　"Pikiran Nyonya You melayang, matanya menangkap Nyonya Kedua Xu yang berkerut dahi dan pergi. Keraguan sekilas muncul di hatinya, tapi segera diabaikan untuk fokus mendengarkan opera." 　　"Su Qingxue yang mendapat pesan dari Nyonya You untuk menemui kakak keduanya Su Qingyi, merasa agak gugup." 　　"Ini tidak boleh ada kesalahan. Jika tidak, semua usahanya untuk mengambil hati selir utama akan sia-sia, malah mungkin membuatnya dibenci." 　　"'Xue'er——' suara takut-takut terdengar." 　　"Su Qingxue berhenti, wajahnya langsung muram saat melihat orang di depannya: 'Apa yang kau lakukan di sini?'" 　　Yang berbicara adalah seorang wanita, terlihat berusia sekitar tiga puluh tahun. Sudut bibir yang sedikit turun dan garis vertikal samar di dahinya membuat wajahnya yang sebenarnya cukup cantik dipenuhi kesedihan, sehingga kehilangan banyak pesona. Namun jika diperhatikan lebih seksama, terlihat kemiripan antara wanita ini dengan Su Qingxue. 　　Su Qingxue memandangi ibu kandungnya yang terlihat penakut, nada suaranya penuh kekesalan: "Sudah kubilang, jangan selalu menampakkan wajah muram di hadapanku." 　　Bibir wanita itu bergetar, terbata-bata: "Xue'er, selir merindukanmu..." 　　Wanita ini adalah selir Tuan Besar Su. Acara seperti perayaan ulang tahun Ibu Suri Marquis Yining tidak layak dihadirinya. Bahkan untuk bertemu putrinya sehari-hari pun sulit. Saat ini, melihat Su Qingxue membuat hatinya berbunga-bunga, wajah muramnya pun sedikit berseri. 　　Ia memandangi putrinya dengan penuh kerinduan, seolah ingin mengukir setiap detil sang putri dalam hatinya. 　　Namun Su Qingxue justru menunjukkan ketidaksabaran yang ekstrim, berkata dingin: "Selir lebih baik menjaga ucapan. Aku adalah putri Nyonya. Memanggilmu 'selir' sudah merupakan pertimbangan akan wajah Ayah. Selain itu, janganlah kau berkhayal yang bukan-batas." 　　Usai berkata, tanpa peduli wajah pucat pasi sang wanita, ia langsung berbalik pergi. 　　Wanita itu refleks menyambar lengan baju Su Qingxue. 　　Su Qingxue menghentakkan kaki: "Lepaskan! Aku masih ada urusan, tak ada waktu untukmu." 　　"Xue'er, hari ini adalah——" 　　Su Qingxue tidak bisa menunggu sang wanita selesai berbicara, menarik lengan bajunya dengan kasar dan berkata marah: "Kalau urusan ibu tertunda, apakah kau yang akan bertanggung jawab? Tidak punya kemampuan apa-apa, hanya tahu merepotkanku, sungguh aku benci bukan lahir dari rahim ibu sendiri!" 　　Wanita itu memandang punggung Su Qingxue yang pergi tanpa menoleh, wajahnya pucat dengan dua garis air mata mengalir diam-diam. 208. BAB 208 Jebakan 　　BAB 208 Jebakan 　　Setelah berpisah dengan Jiang Zhan, kedua saudari Jiang Si mencari tempat teduh untuk melanjutkan obrolan. 　　Kedua saudari yang lama tak bertemu ini semakin larut dalam percakapan - Jiang Si khawatir akan nasib buruk yang akan dihadapi kakak tertuanya, sementara Jiang Yi berduka atas pembatalan pertunangan adiknya. 　　Tiba-tiba seorang dayang berbaju hijau mendekat dan memberi hormat kepada Jiang Yi: "Ibu Suri memanggil Nyonya." 　　Meski terkejut, Jiang Yi segera berdiri. 　　Jiang Si hendak ikut, namun dihalangi kakaknya: "Cuaca panas, Adik Keempat tak perlu ikut. Mungkin nenek hanya ingin bertanya beberapa hal. Nanti setelah selesai aku akan kembali mencarimu." 　　Jiang Yi segera pergi mengikuti dayang hijau itu. Ah Man mengipasi Jiang Si dengan kipas, tuan dan pelayan ini mengobrol santai di bawah teduh. 　　"Hari ini benar-benar panas, untung Nona menemukan tempat teduh ini. Angin sepoi-sepoi ini terasa sangat nyaman." 　　Jiang Si awalnya memejamkan mata dengan lembut, membiarkan sinar matahari cerah menerpa wajahnya yang seputih porselen melalui celah-celah daun hijau. Mendengar perkataan itu, ia membuka mata dan melirik Ah Man sambil tersenyum, "Kalau begitu buat apa kau masih mengipas? Lebih baik beristirahatlah." 　　"Hamba tidak capek kok." Ah Mencuri-curi pandang ke sekitar yang sepi, menutup mulut sambil tertawa ringan, "Nona, hamba perhatikan Tuan Gong sepupu hari ini tidak sesering biasanya diam saja." 　　Su Qingxun adalah pria yang sangat sopan. Biasanya saat Jiang Si tinggal sementara di Kediaman Marquis, hampir tidak ada interaksi antara mereka, paling-paling hanya saling menyapa saat bertemu. 　　Jiang Si kembali memejamkan mata, berkata datar, "Kakak sepupu itu orang baik. Sudahlah, di luar rumah jangan sembarangan membicarakan orang." 　　Jiang Si mengerti mengapa sikap Su Qingxun terhadapnya kali ini berbeda dari biasanya. 　　Sejak usianya melewati 10 tahun, bibi tua Nyonya You mulai berhati-hati terhadapnya, khawatir gadis sepupu berstatus biasa ini akan terlibat dengan putranya yang diharapkan besar. 　　Meski sikap Nyonya You tersamar, baik Jiang Si yang peka maupun Su Qingxun yang bijaksana dan pendiam sama-sama merasakannya. 　　Su Qingxun tidak ingin membuatnya sulit karena sang ibu, sejak itu bersikap dingin. Perbedaan sikapnya hari ini karena belakangan ini Jiang Si dipandang dalam posisi sulit di mata orang, tidak ingin membuatnya merasakan kekejaman dunia. 　　Ah Menjulurkan lidah, "Baiklah, hamba tidak akan omong lagi." 　　“Melihat tuannya yang memejamkan mata dengan wajah tenang, Ah Man menghela napas pelan, dalam hati berpikir sepertinya di hati Nona hanya ada Tuan Yu, bahkan tidak tertarik sedikit pun untuk menyebut orang lain.” 　　Langkah kaki tergesa-gesa mendekat dari kejauhan. Jiang Si membuka matanya dan melihat seorang dayang berpakaian hijau berjalan cepat mendatanginya. 　　Tanpa sadar ia duduk lebih tegak. 　　Dayang berpakaian hijau itu mendekat, memberi hormat dengan menekuk lutut, wajahnya panik: "Nona Sepupu, Nyonya Zhu tiba-tiba pingsan!" 　　Suami Jiang Yi bermarga Zhu. Karena sudah menikah, pelayan Kediaman Marquis tidak bisa lagi memanggilnya Nona Sepupu Pertama, sehingga menyapanya sebagai Nyonya Zhu. 　　Jiang Si langsung berdiri terkejut: "Di mana kakakku sekarang? Cepat antar saya ke sana!" 　　"Silakan Nona Sepupu ikuti hamba." 　　Jiang Si mengikuti dayang berpakaian hijau melalui jalan berliku. Meski cemas, ia tetap waspada mengamati sekeliling. Melihat mereka menuju arah tempat Ibu Suri Yining, hatinya sedikit tenang. 　　Setelah belokan, tampak Danau Juxia. 　　Danau Juxia dan Paviliun Chaoyang yang tidak jauh darinya saling melengkapi, termasuk pemandangan indah terbaik di Kediaman Marquis Yining. 　　Jiang Si sangat familiar dengan pemandangan ini, tapi kini tak ada waktu untuk menikmatinya. 　　Namun tepat saat hendak melewati, tiba-tiba bayangan manusia menyergap dari balik semak bunga dan menghadang jalan mereka. 　　"Siapa?!" Ah Man nyaris berteriak, lalu terkesiap setelah melihat jelas wajahnya, "Tuan Sepupu Kedua?" 　　“Orang yang menghadang jalan adalah seorang pemuda berusia 14-15 tahun, bertubuh lebar. Ciri-ciri wajah yang seharusnya tampan kini berhimpitan karena kegemukan, terlihat agak garang.” 　　“Pandangan sang pemuda terlihat kosong, ia bersorak gembira pada Jiang Si: ‘Kakak Jiang, main denganku!’” 　　“Jiang Si menatap orang yang tiba-tiba muncul di tengah jalan. Meski terkejut di dalam hati, raut wajahnya tetap tenang.” 　　“Dengan tetap tenang, ia segera menyadari bahwa pelayan wanita berpakaian hijau yang menuntun mereka telah menghilang di balik rimbunnya pepohonan bunga.” 　　“Jiang Si langsung mencium sesuatu yang tidak beres, ia segera mundur dua langkah.” 　　“Persis di saat itu Su Qingyi mengulurkan tangan untuk meraih lengan Jiang Si, namun karena gerakan mundurnya, tangannya hanya mencengkram udara.” 　　“Ah Man berteriak: ‘Tuan Gong Kedua, apa maksudmu?!’” 　　“‘Ah Man, jangan banyak bicara, pergi!’” 　　“Jiang Si berbalik dan mundur.” 　　“Adik sepupu kedua Su Qingyi adalah anak dengan keterbelakangan mental. Berdebat dengan orang seperti ini adalah tindakan bodoh, langkah paling bijak adalah segera pergi.” 　　“Saat ini Jiang Si tidak sempat memikirkan siapa yang merancang jebakan ini dan apa tujuannya, ia hampir secara naluriah mengambil keputusan terbaik.” 　　“Tapi Su Qingyi yang bodoh ini ingin bermain dengan Jiang Si, mana mungkin membiarkannya pergi. Ia langsung menerjang mendorong Ah Man sambil berteriak: ‘Kakak Jiang harus main denganku! Aku mau main dengan Kakak Jiang!’” 　　“Kini Ah Man pun tersadar, ia mengangkat kaki dan menendang.” 　　“Ah Man memiliki ilmu bela diri di tubuhnya, menghadapi dua pria besar biasa bukan masalah. Dalam keadaan panik, tendangan ini sangat dahsyat. Meski Su Qingyi bertubuh besar, tetap terjatuh terduduk di tanah.” 　　“Memanfaatkan kesempatan ini, tuan dan pelayan bergegas pergi.” 　　“Setelah berjalan cukup jauh, Ah Man mengusap dada: 'Nona, apa yang terjadi? Kenapa Er Biao Gongzi yang biasanya baik-baik saja tiba-tiba ada di sana?'” 　　“Jiang Si menenangkan napas tersengal-sengal karena berlari, berkata dingin: 'Ya, aku juga ingin tahu apa yang terjadi!'” 　　“Su Qingyi yang kurang cerdas tidak muncul saat memberi selamat ulang tahun nenek dari pihak ibu. Jika pertemuan mereka di sini kebetulan, hilangnya pelayan wanita berpakaian hijau cukup membuktikan kecurangannya.” 　　“Pergi cari kakak tertua saya dulu.” 　　“Pelayan hijau memanfaatkan perhatianku pada kakak untuk memaksaku mengikuti. Apakah kepergian kakak benar-benar perintah nenek atau ada konspirasi lain?” 　　“Memikirkan ini, hati Jiang Si gelisah.” 　　“Kakak berbeda denganku, tidak punya dayang yang ahli bela diri, juga tidak punya serangga dan serbuk obat seperti aku. Jika ada masalah, sulit baginya melarikan diri.” 　　“Jiang Si dan Ah Man buru-buru menuju tempat Nyonya Marquis Yining mendengarkan opera. Dari kejauhan melihat Jiang Yi duduk di samping Nyonya Marquis, barulah lega. Ia berdiri di tempat sambil menenangkan diri.” 　　“Baru sekarang ia sadar telapak tangannya basah oleh keringat.” 　　Jiang Si mengangkat tangan merapikan rambut pelipis yang sedikit berantai, memperlambat langkah menuju arah panggung opera. 　　Banyak orang menemani Ibu Suri Yi Ninghou menonton opera, Jiang Si tidak ikut berkerumun, memilih duduk di tempat yang tidak mencolok. 　　Jiang Yi sudah lebih dulu menyadari kedatangan Jiang Si, pandangannya tertuju ke arah adiknya dengan tatapan bertanya. 　　Melihat kakak tertua dalam keadaan baik, Jiang Si merasa lega, tersenyum pada Jiang Yi sebagai isyarat bahwa tidak ada masalah. 　　Jiang Yi membalas senyuman, kebetulan Ibu Suri Yi Ninghou mengatakan sesuatu, maka dia pun menarik kembali pandangannya. 　　Saat kedua saudari ini berkomunikasi diam-diam, Nyonya Besar You diam-diam melirik Jiang Si dengan tatapan yang cukup kompleks. 　　Ada apa ini? Mungkinkah Su Qingxue gagal melaksanakan tugas? 　　Tiba-tiba riuh rendah terdengar, seseorang berteriak sambil menangis: "Celaka! Tuan Kedua mengalami kecelakaan!" 209.BAB 209 TENGGELAM 　　BAB 209 TENGGELAM 　　Suara keriuhan semakin menjadi-jadi, segera mengganggu Ibu Suri Yi Ninghou. 　　"Ada apa ini?" Ibu Suri Yi Ninghou menoleh bertanya pada Nyonya Besar You yang tidak jauh darinya. 　　Nyonya You sudah berubah pucat mendengar teriakan itu, berdiri sambil membentak dayang yang berlari mendekat: "Di hari bahagia Ibu Suri masih tidak tahu tata krama? Laporkan masalahnya dengan jelas!" 　　Dayang yang datang itu wajahnya pucat ketakutan, bicaranya gagap: "Nyonya Besar, Tuan Kedua dia--" 　　"Tuan Kedua kenapa?!" Andai bukan di depan banyak orang, Nyonya You ingin sekali menampar dayang ini. 　　“ adalah wanita yang terhormat, melahirkan dan dari . Kedua anaknya sangat menonjol, namun sayangnya putra kedua Su Qingyi sejak kecil terbelakang mental, menjadi duri dalam daging bagi . 　　Melihat yang panik dan gemetaran, hati berdebar-debar, khawatir putra keduanya kembali membuat masalah yang memalukan - mengingat belum lama ini dia baru saja menyebabkan kejadian memalukan-- 　　Semua mata tertuju pada itu yang menangis tersedu-sedu: ", tenggelam di danau!" 　　Tubuh limbung, matanya berkunang-kunang. Dengan suara tegas ia bertanya: " baik-baik saja?" 　　 itu berlutut di tanah, tubuhnya gemetar tak bisa berbicara. 　　Hati serasa beku, ia segera berlari menuju Danau Juxia. 　　Sebagai pengurus rumah tangga, sangat paham satu-satunya tempat di yang bisa membuat orang tenggelam adalah Danau Juxia. 　　 berdiri gemetaran, nyaris terjatuh karena terburu-buru. 　　"!" segera menyangga tubuh . 　　 mengangkat tangan, suaranya parau: ", bantu nenek ke sana." 　　Para penonton opera segera mengikuti . 　　Seketika panggung opera yang meriah menjadi sunyi senyap, hanya menyisakan kesepian setelah keriuhan. 　　Di sudut ruangan, Ah Man dengan bibir pucat menarik lengan baju Jiang Si keras-keras: "No... Nona, apakah kita dalam masalah?" 　　Meski wajah Jiang Si pucat, suaranya tetap tenang: "Ayo kita ikut ke sana. Masalah tak bisa dihindari, yang harus datang pasti akan datang." 　　Sepupu kedua Su Qingyi ternyata tenggelam! 　　Di kehidupan sebelumnya, Su Qingyi juga meninggal di tahun ini, tapi bukan saat ulang tahun nenek dari pihak ibu, melainkan beberapa hari lebih terlambat. 　　Saat itu aku sudah menjadi istri dari Keluarga An Guogong. Kabar duka yang sampai padaku mengatakan sepupu kedua meninggal karena sakit, tanpa menyebut jenis penyakitnya. 　　Namun kini, Su Qingyi meninggal karena tenggelam-- 　　Jiang Si merenungkan perbedaan ini, rasa dingin merambat di seluruh tubuhnya. 　　Setelah tenang kembali di area panggung pertunjukan, dia sudah menyadari konsekuensi jika orang lain melihat Su Qingyi menghadangnya di dekat Danau Juxia. 　　Mereka bukan anak-anak lagi. Jika terlihat berdekat-dekat, mungkin orang akan menjodohkan mereka. Sekalipun lebih baik mati daripada menyerah, reputasinya tetap akan ternoda. 　　Di kehidupan sebelumnya, saat ini dia sudah menikah dan episode ini tidak pernah terjadi. 　　Lalu apakah tenggelamnya Su Qingyi terkait episode yang ada di kehidupan sekarang ini, ataukah kematiannya di kehidupan sebelumnya juga ada alasan tersembunyi? 　　Bagaimanapun, satu hal yang jelas bagi Jiang Si: Waktu kematian Su Qingyi di kehidupan sebelumnya dan sekarang berbeda! 　　Semakin Jiang Si memikirkannya, wajahnya semakin pucat. 　　Baru saja mengalami kematian Yongchang Bo dan istrinya, dia mulai memahami ketakutan terhadap beberapa perubahan setelah kelahiran kembali. 　　Dalam kebingungan pikiran, kaki Jiang Si tiba-tiba lemas membuatnya tersandung. 　　Sebuah tangan menopangnya dengan mantap: "Nona, hati-hati!" 　　Jiang Si mengangguk dan mempercepat langkah, segera menyusul Ibu Suri Yining Hou dan lainnya, berjalan diam-diam di samping Jiang Yi. 　　Dari kejauhan terlihat Danau Juxia yang berkilauan diterpa sinar matahari cerah. 　　Pinggir Danau Juxia dipadati orang, riuh tangisan bercampur jeritan, seolah menjadi dunia berbeda dibanding kesibukan meriah di kediamanan sebelumnya. 　　Nyonya You yang berlari paling depan langsung melihat anak keduanya terbaring di tanah. 　　Su Qingyi terbaring tak bergerak, seorang nenek terus menekan perutnya. Air mengalir dari sudut mulutnya saat ditekan, tapi tak ada reaksi sama sekali. 　　"Yier!" Nyonya You menjerit memilukan dan terjatuh menubruknya. 　　Wajak Su Qingyi yang sudah gemuk terlihat menyeringai, kedua matanya terkatup rapat. 　　"Yier, bangunlah! Jangan nakuti ibu!" Nyonya You mengguncang tubuh Su Qingyi, kulitnya yang terbuka terasa dingin saat disentuh. 　　"Nyonya Besar, Tuan Kedua sudah... pergi..." 　　Nyonya You meratap pilu sambil terus memeluk mayat Su Qingyi tak mau melepas. 　　Meskipun dia sering kali memandang rendah putra keduanya yang cacat mental, bagaimanapun juga itu adalah anak yang dia lahirkan setelah mengandung selama sepuluh bulan. Kini di usia empat belas tahun berakhir seperti ini, mana mungkin tidak sedih. 　　Tangisan Nyonya You bergema di telinga semua orang, membuat para hadirin mulai terisak-isak pelan. 　　Tangan Ibu Suri Marquis Yining yang menggenggam lengan Jiang Yi terus bergetar, hampir tak bisa berdiri tegak. 　　Acara bahagia yang seharusnya berubah menjadi duka, perbedaan emosi yang ekstrem membuatnya sulit mengendalikan diri. 　　Kabar ini segera menyebar ke area tamu pria, tak lama kemudian Marquis Yining tua dan Tuan Besar Su bergegas datang. 　　"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Tuan Besar Su dengan wajah pucat. 　　Suara Nyonya You sudah parau: "Suami beliau, Yi'er tiada... Yi'er saya tiada--" 　　Dia mulai menyesal, mengapa saat putra keduanya masih hidup dia malu memiliki anak cacat, sampai-sampai di ulang tahun Ibu Suri pun tidak mengizinkannya muncul. 　　Seandainya hari ini putra kedua itu bersama putra sulung, mungkin tragedi ini tidak akan terjadi. 　　Tuan Besar Su memandangi jasad putra keduanya, meskipun sedih tapi tidak separah kesedihan Nyonya You, sehingga masih bisa berpikir jernih. 　　"Yi'er meski terbelakang, biasanya tidak pernah mendekati tepi kolam. Lagipula, mana dayang yang bertugas menjaganya?" 　　Saat Tuan Besar Su bertanya demikian, seorang dayang langsung bersujud: "Hamba menemani Tuan Kedua bermain kok bulu di halaman, Tuan Kedua mengatakan haus, hamba masuk mengambil air. Tak disangka saat menoleh, Tuan Kedua sudah menghilang. Hamba mencari ke mana-mana, lalu... lalu melihat ada yang mengambang di Danau Juxia, setelah dilihat ternyata Tuan Kedua..." 　　Dayang itu semakin panik bicara, terus-menerus membenturkan kepala ke lantai: "Hamba pantas mati, Tuan dan Nyonya kasihanilah hamba!" 　　"Dasar perempuan hina, kau diam!" Nyonya You berlari menghampiri dan menampar dayang itu, wajahnya semakin pucat. Perlahan ia menoleh, bertatapan dengan Su Qingxue yang wajahnya putih membatu. 　　Mata Su Qingxue membelalak ketakutan, ia menggelengkan kepala sekuat tenaga. 　　Bukan urusannya. Selir utama yang menyuruhnya membujuk Kakak Kedua ke Paviliun Chaoyang, lalu menunggu Jiang Si lewat untuk menghasut Kakak Kedua mengejar-ngejar Jiang Si. 　　Su Qingxue berusaha menunjukkan kepolosan lewat tatapan matanya. 　　Nyonya You perlahan tenang, menyadari anak selir tak mungkin berani melukai putra keduanya. Tiba-tiba ia teringat sosok yang patut dicurigai. 　　Jangan-jangan kecelakaan ini terjadi saat putra keduanya mengganggu Jiang Si? 　　Memikirkan ini, Nyonya You berseru kepada semua orang: "Tuan Kedua tak mungkin jatuh ke air tanpa sebab! Siapa pun yang melihat kejanggalan akan diberi hadiah besar! Tapi jika ada yang menyembunyikan informasi, seluruh keluarganya akan diusir!" 　　Para pelayan saling pandang. Tak lama kemudian seorang dayang kecil berkata gemetar: "Hamba... hamba tadi lewat jalan kecil tak jauh, agak mendengar suara Tuan Kedua memanggil seseorang--" 210. BAB 210 Jodoh Kebetulan 　　BAB 210 Jodoh yang Tak Terduga 　　"Tuan Kedua memanggil siapa?" Begitu ucapan Dayang kecil keluar, Tuan Besar Su dan Nyonya You hampir berseru bersamaan. 　　Dayang kecil itu tampak panik, wajah pucatnya menoleh-noleh tak karuan. 　　Tatapan matanya yang mondar-mandir membuat orang-orang yang terkena sorotannya ikut tegang. 　　Akhirnya pandangan Dayang kecil itu tertuju pada Jiang Si. Dengan bibir gemetar, jarinya menunjuk ke arahnya sambil gagap: "Tuan Kedua sepertinya memanggil... Sepupu Si!" 　　Seketika semua mata tertuju pada Jiang Si. 　　Nyonya You yang sudah menduga sebelumnya menyorotkan tatapan penuh kebencian: "Jiang Si, apa kau yang menyebabkan Yi'er jatuh ke air?" 　　Amarahnya memuncak. Andai saja dia tahu si jalang ini berhati ular, takkan pernah terlintas niatan itu di benaknya. Pengacau seperti ini pantas diambil oleh langit, bukan dibiarkan berkeliaran merusak! 　　Tuan Besar Su masih menjaga ketenangan, bertanya tegas: "Kau yakin mendengar Tuan Kedua berseru demikian?" 　　Di bawah tatapan semua orang, Dayang kecil itu malah semakin yakin. Ia mengangguk kencang: "Hamba dengar jelas, Tuan Kedua memang memanggil Sepupu Si!" 　　"Jalang! Kembalikan nyawa Yi'er!" Nyonya You menjerit sambil menyerang Jiang Si. 　　Jiang Yi menghalangi di depan adiknya: "Bibi, adikku tak mungkin menyakiti Sepupu Kedua!" 　　“Minggir kau!” Nyonya You mendorong Jiang Yi dengan kasar hingga membuatnya limbung. 　　Sebuah tangan menyangga tubuh Jiang Yi dari belakang, suara gadis muda yang tenang terdengar: "Bibi dari keluarga Istri Putra Mahkota Keluarga Marquis Yining yang telah lama mengurus rumah tangga dan berpengalaman luas, kini hanya karena mendengar ucapan dayang kecil langsung berteriak-teriak hendak membunuh keponakan sendiri seperti perempuan kasar, tidakkah ini merendahkan martabatmu?" 　　Jiang Si memberi isyarat pada Ah Man untuk merawat Jiang Yi, menatap Nyonya You dengan ekspresi datar. 　　Melihat wajah yang sama sekali tidak menunjukkan kepanikan ini, amarah Nyonya You memuncak, ia meratap sambil berteriak: "Martabat? Martabatku sekarang hanyalah seorang ibu yang kehilangan anak! Aku rela mengorbankan muka asalkan pembunuh anakku membayar nyawa!" 　　Sambil berkata demikian, tangannya menghantam ke arah Jiang Si. 　　"Berhenti!" Suara pemuda bernada kesal terdengar. 　　Jiang Zhan menggenggam pergelangan tangan Nyonya You, wajahnya merah karena marah: "Apapun statusmu, berani-beraninya kau menyentuh adikku!" 　　Jiang Zhan hampir meledak amarahnya. Hanya terlambat sesaat, sudah ada yang berani menganiaya adiknya? 　　Nyonya You kesakitan digenggam pergelangannya, bergumam penuh kebencian: "Jiang Zhan, kau tidak tahu tata krama sama sekali?" 　　Jiang Zhan mencibir: "Sekarang bicara tata krama? Sebagai bibi, belum jelas duduk perkaranya sudah mau memukul keponakan suami sendiri, ini tata krama versi mana?" 　　Ah Man menyangga Jiang Yi, mulutnya menganga takjub. 　　Tak disangka-sangka, Tuan Kedua bisa seperkasa ini! 　　“Suami beliau!” Nyonya You menatap Tuan Besar Su dengan suara terisak. 　　Tuan Besar Su berkata dengan suara berat: "Benar, memang sebaiknya kita klarifikasi dulu." 　　Nyonya You sudah yakin Jiang Si-lah yang membunuh putra keduanya. Mendengar perkataan Tuan Besar Su, ia sangat tidak rela. 　　Su Qingshuang memapah Nyonya You: "Ibu, mari kita klarifikasi dulu. Menurutku sepupu Si'er tidak mungkin menyakiti adik kedua--" 　　"Kau tahu apa!" bentak Nyonya You. 　　Su Qingshuang menggigit bibirnya, air mata mengalir diam-diam. 　　Ia sama sekali tak bisa membayangkan mengapa adiknya tiba-tiba jatuh ke air, apalagi terkait dengan sepupunya. 　　Tuan Besar Su menatap tajam Jiang Si: "Si'er, sebelumnya kau bertemu dengan Yi'er?" 　　Saat Jiang Si hendak menjawab, sebuah suara terdengar: "Tunggu!" 　　Jiang Ancheng berjalan besar ke samping Jiang Si, menariknya ke belakang, lalu menatap Tuan Besar Su tanpa gentar: "Kakak Ipar sedang menginterogasi putriku?" 　　"Mengapa kau berkata begitu? Aku adalah paman kandung Si'er. Tentu saja bukan interogasi, hanya klarifikasi keadaan." 　　Jiang Ancheng tetap cemberut: "Klarifikasi keadaan tidak seharusnya bersikap seperti Kediaman Marquis! Kakak Ipar, kalau kalian curiga Yi'er bukan kecelakaan, laporkan saja ke pihak berwajib untuk cari pelaku kejahatan!" 　　Laporkan ke pihak berwajib? 　　Para hadirin terkejut mendengar usulan ini. 　　Keluarga biasa enggan berurusan dengan pemerintah, selain merepotkan juga memalukan. 　　"Seperti Su Qingyi yang meninggal karena tenggelam, jika tidak ada anggota keluarga yang melapor ke pihak berwenang, pemerintah juga tidak akan repot-repot mengirim orang untuk menyelidiki." 　　Melihat Tuan Besar Su terdiam, Jiang Ancheng mengerutkan kening dan berkata dingin: "Kematian Yi'er hanya ada dua kemungkinan, pertama terpeleset jatuh ke air, kedua ada yang mendorongnya. Jika yang pertama, maka itu tidak ada hubungannya dengan Si'er, Kakak Ipar bertanya-tanya seperti ini pada Si'er sangat tidak masuk akal. Jika yang kedua, sebagai orang tua bukankah seharusnya ingin menemukan pelaku kejahatan untuk membalas dendam bagi para gadis?" 　　Perkataan Jiang Ancheng membuat Tuan Besar Su ragu-ragu. 　　"Laporkan ke pihak berwenang!" seru Ibu Suri Marquis Yining dengan suara berat. 　　"Ibu (Ibu Suri)--" berbagai suara bersahutan. 　　Marquis Yining yang tidak ambil pusing urusan rumah tangga, mengiyakan: "Kalau begitu laporkan saja." 　　"Ayah, menurut putra tidak perlu melibatkan pihak berwenang kan?" kata Tuan Besar Su sambil melirik Jiang Si. 　　Ia tidak mengerti dari mana kepercayaan diri Jiang Ancheng berasal. Jika petugas datang menyelidiki hubungan antara keponakan perempuan dan putra keduanya, sungguh akan mempermalukan kedua keluarga. 　　Meski Jiang Ancheng bukan orang yang teliti, namun terkait putrinya ia sangat waspada. Melihat sikap Tuan Besar Su, amarahnya langsung berkobar. 　　Intinya, mereka tetap mencurigai Si'er! 　　Inilah alasan ia bersikeras melapor ke pihak berwenang. 　　"Dia percaya pada kesucian sang putri, juga pada kemampuan Prefect Shuntian Zhen Shicheng. Karena itu, melibatkan otoritas adalah pilihan paling bijaksana. Bagaimanapun juga, ini lebih baik daripada putrinya diinterogasi layaknya tahanan di hadapan publik." 　　"Jika Kakak Ipar merasa ini tidak perlu, orang lain tak boleh ikut campur. Tapi aku tak akan membiarkan kalian terus-menerus menginterogasi putriku!" 　　Nyonya You marah: "Sang Bangsawan, apakah putrimu adalah permata sementara putraku hanya pecahan genteng?" 　　Jiang Ancheng sudah lama jengkel dengan sikap Nyonya You terhadap putrinya. Ia menyeringai dingin: "Karena itulah aku mengusulkan melapor ke pihak berwajib. Jika petugas datang menyelidiki Si'er, aku sama sekali tak akan menghalangi." 　　"Laporkan saja ke pihak berwajib!" Nyonya You yang yakin kematian putra keduanya terkait Jiang Si, membentak dengan geram. 　　Tuan Besar Su melihat ini tak lagi menghalangi. 　　Selama menunggu kedatangan petugas, Nyonya You terus menangisi mayat Su Qingyi. Ibu Suri Yininghou yang kelelahan ditemani Yininghou beristirahat di dalam ruangan, sementara Tuan Besar Su tetap diam. 　　Jiang Ancheng menepuk-nepuk pundak Jiang Si diam-diam, berbisik: "Ada ayah di sini, jangan takut." 　　Jiang Si mengangguk: "Putri tidak takut." 　　Tak lama menunggu, Zhen Shicheng tiba bersama sekelompok petugas. Tuan Besar Su menyambutnya dengan suara pilu: "Terima kasih atas kedatangan Paduka Zhen." 　　“Putra Mahkota Su, turut berdukacita.” Saat ini bukan waktu untuk basa-basi, setelah memberi salam pada Tuan Besar Su, Zhen Shicheng mengalihkan pandangannya ke hadirin. Saat matanya jatuh pada wajah Jiang Si, ia menghela napas panjang dalam hati. 　　Setiap ada kasus selalu bertemu si gadis ini, benar-benar takdir. 211.BAB 211 Bagaimana Membuktikan Diri Tidak Bersalah 　　BAB 211 Bagaimana Membuktikan Diri Tidak Bersalah 　　Pertemuan dengan Jiang Si membuat Zhen Shicheng tiba-tiba merasa akrab, diam-diam ia menyalahkan anaknya yang tidak berguna. 　　Apa? Dialah yang ditolak langsung oleh ayahnya? 　　Waktu itu Dongping Bo jelas-jelas sudah tertarik, tapi kemudian berubah pikiran. Pada akhirnya ini karena nona tersebut tidak menyetujui. 　　Masa mungkin nona kecil itu akan menolaknya? Pasti anakku tidak becus, tidak mampu membuat gadis itu jatuh hati. 　　Sorotan mata Zhen Shicheng membuat Jiang Si merasa semakin canggung. 　　Dia juga tidak ingin selalu bertemu dalam situasi seperti ini! Bukankah dia hanya gadis pendiam! 　　Tapi segera, perhatian Jiang Si teralihkan pada sosok lain. 　　Pria itu berdiri di samping Zhen Shicheng, bertubuh tinggi kurus dengan kulit pucat, memancarkan aura dingin alami saat tidak berekspresi. 　　Jiang Si tertegun sejenak, tak mengerti mengapa Yu Qi (Pangeran Ketujuh) ada di sini. 　　Yu Jin berusaha keras menahan keinginan untuk menoleh, tangannya yang tergantung di samping badan mengusap kepala Er Niu dengan lembut. 　　Er Niu melirik nyonya majikannya lalu tuan majikannya, gelisah mengibaskan ekornya. 　　Saat melihat Er Niu, Jiang Si semakin terkejut. 　　“Kehadiran Yu Qi (Pangeran Ketujuh) bersama Tuan Zhen saja sudah aneh, apalagi membawa Er Niu. Dia mulai bingung.” 　　“Keberadaan Er Niu segera diketahui orang-orang, ekspresi mereka langsung berubah halus.” 　　“Sejak kapan urusan pemerintah melibatkan anjing?” 　　“Putra Mahkota Su, bisakah kau antar saya melihat Putramu?” 　　“Silakan ikuti hamba, Tuan Zhen.” 　　Jenazah Su Qingyi telah dipindahkan ke kamar. Zhen Shicheng memeriksanya teliti, memberi isyarat pada juru bedah mayat untuk pemeriksaan lebih lanjut, lalu pindah ke ruang utama untuk interogasi. 　　“Apakah kau mendengar Tuan Kedua meneriakkan 'sepupu'?” 　　Dayang kecil berlutut di depan Zhen Shicheng. Saat hendak menjawab, dia merasakan tatapan dingin mengiris dadanya bagai pisau. 　　Sekilas dia memandang pemuda tinggi kurus di samping Zhen Shicheng. Wajah pemuda itu dingin, tangan menempel pada sarung pedang di pinggang. 　　Rambut kepala dayang itu meremang, cepat-cepat menunduk. 　　Melihat dayang diam, Zhen Shicheng mengerutkan kening: “Ada masalah?” 　　“Paduka bertanya, kau bisu?” Nyonya You hampir menamparnya. 　　Budak bodoh ini malah bego di saat genting. 　　Dayang itu cepat mengangguk: “Benar, hamba dengar Tuan Kedua berteriak begitu.” 　　Zhen Shicheng mengusap janggutnya, bertanya tenang: “Saat kau dengar teriakan itu, apa kau mendatangi tempat kejadian?” 　　"Tidak, hamba melewati jalan kecil yang berbeda. Meski tidak jauh dari Danau Juxia, tapi terhalang pepohonan dan bunga sehingga tidak bisa melihat situasi tepi danau. Saat itu hamba sedang buru-buru bekerja, jadi tidak berhenti." 　　"Kalau begitu, kau hanya mendengar suara tapi tidak melihat apapun?" 　　Dayang kecil ragu-ragu. 　　Zhen Shicheng mengerutkan kening: "Kau cukup jawab pada Paduka, 'ya' atau 'tidak'." 　　"Ya." 　　"Baik, kau boleh mundur dulu." Pandangan Zhen Shicheng beralih ke Jiang Si. 　　Jiang Si dengan tenang menghadap Zhen Shicheng dan memberi hormat: "Paduka silakan bertanya apapun." 　　Semua orang menatap Jiang Si, ada satu tatapan yang sangat intens. Tanpa perlu menoleh pun Jiang Si tahu itu dari arah mana. 　　"Apakah Nona Jiang setuju dengan pernyataan dayang kecil tadi?" Meski secara pribadi sangat mengagumi Jiang Si, Zhen Shicheng tetap bersikap profesional dalam pemeriksaan kasus. 　　Jiang Si diam sejenak sebelum berkata: "Beberapa waktu lalu, hamba memang bertemu dengan sepupu kedua di tepi Danau Juxia." 　　"Jadi memang kau yang membunuh Yi'er!" Suara You Shi penuh kebencian. 　　Jiang Si menatapnya dingin: "Bibi paman aneh sekali. Apakah bertemu dengan sepupu kedua berarti hamba yang membunuhnya? Jika semua hanya berdasarkan prasangka, untuk apa ada pengadilan?" 　　"Kau--" You Shi tercekat tak bisa berkata-kata. 　　Ia sama sekali tidak menyangka gadis kecil ini masih bisa bersilat lidah di saat seperti ini. 　　Yu Jin tak bisa menahan senyum tipis di sudut bibirnya. 　　“Tampaknya kecakapan bicara A Si yang tajam tidak hanya ditujukan padaku, tapi juga tidak memberi ampun pada wanita tua yang berwajah menjijikkan ini.” 　　Begitu memikirkan hal itu, sudut mulut Yu Jin kembali merosot ke bawah. 　　Dibandingkan dengan wanita tua yang berwajah menjijikkan, sepertinya tidak ada yang patut dibanggakan... 　　“Istri Putra Mahkota, hamba mohon Ibu tetap tenang selama proses interogasi ini.” 　　Nona You seketika merasa wajahnya terbakar. 　　“Nona Jiang, tolong jelaskan secara detail kejadian saat Anda bertemu dengan Tuan Kedua Su.” 　　Jiang Si sama sekali tidak menunjukkan rasa canggung atau gugup, suaranya sedikit ditinggikan agar bisa didengar semua yang hadir: “Saya membawa Ah Man untuk mencari kakak, saat melewati Danau Juxia, adik kedua tiba-tiba melompat keluar dari semak bunga dan menghalangi jalan saya--” 　　Yu Jin merasa dadanya sesak mendengarnya. 　　Benar-benar keluarga bajingan yang melahirkan anak bajingan, meski tidak mati kali ini, nanti pasti akan kubunuh juga. 　　“Lalu? Apakah kalian sempat bertengkar?” 　　Ekspresi Jiang Si tetap tenang: “Tidak, adik kedua bertingkah seperti anak kecil yang hanya ingin bermain bersama saya, tapi karena buru-buru mencari kakak, saya langsung pergi.” 　　Mengenai pelayan wanita berpakaian hijau yang menunjuk jalan itu, Jiang Si sama sekali tidak menyebutkannya. 　　Kini pelayan tersebut sudah tidak bisa ditemukan, tidak diketahui nama maupun asal-usulnya. Membahasnya di saat sensitif seperti ini hanya akan memperkeruh situasi dan merugikan dirinya. 　　“Setelah itu, apakah Anda menemukan keanehan apa pun?” 　　“Tidak, meski adik kedua memanggil saya beberapa kali, saya tidak berhenti.” 　　“Paduka, Anda tidak boleh hanya mempercayai perkataannya sepihak!” Nyonya You tak bisa menahan diri. “Dia bilang tidak bertengkar dengan putraku, lalu siapa yang bisa membuktikan?” 　　“Hamba bisa membuktikan!” Ah Man berseru keras. 　　Nyonya You menyeringai dingin: “Kau dayangnya, sekalipun dia menyuruhmu mengaku sebagai pelaku kejahatan, kau pasti takkan menolak.” 　　Orang-orang mengangguk-angguk diam-diam. 　　“Paduka, Jiang Si jelas orang terakhir yang bertemu putra keduaku, dialah tersangka utama!” 　　Jiang Si menggelengkan kepala: “Bibi, Anda salah. Saya sama sekali bukan orang terakhir yang bertemu sepupu kedua.” 　　“Lalu siapa lagi?” Nyonya You spontan bertanya. 　　Jiang Si mengucapkan perlahan kata demi kata: “Jika sepupu kedua bukan terjatuh karena kecelakaan, maka orang terakhir yang menemuinya tentulah pelaku kejahatan!” 　　Ucapannya tegas dan dingin, membuat semua yang mendengar merasakan kedinginan yang tak terduga di hati. 　　“Jelas-jelas pelaku kejahatan itu adalah kau!” Nyonya You mulai emosional. 　　Orang lain tak tahu, tapi dia paham betul pertemuan Jiang Si dengan Su Qingyi. Ditambah Jiang Si sengaja tidak menyebutkan pelayan wanita berpakaian hijau yang memancingnya, semakin meyakinkannya bahwa Jiang Si menyembunyikan sesuatu. 　　Saat itu juru bedah mayat datang melapor: “Paduka, berdasarkan pemeriksaan awal, jenazah benar-benar meninggal karena tenggelam, bukan dibuang ke air setelah meninggal. Artinya mungkin kecelakaan atau sengaja didorong ke danau.” 　　Tuan Besar Su berkata: “Paduka, meski putra hamba kurang waras, sejak kecil dia takut air. Sangat kecil kemungkinan terjatuh karena kecelakaan.” 　　“Kalau begitu, apakah Putra Mahkota Su lebih cenderung ke kemungkinan kedua?” 　　Tuan Besar Su mengangguk diam-diam. 　　Zhen Shicheng memerintahkan petugas untuk memeriksa sekitar Danau Juxia. Yu Jin maju dan berkata: "Paduka, saya juga ingin ikut melihat." 　　Meski ingin terus berada di sini, menemukan petunjuk dan bukti untuk membersihkan tuduhan pada A Si adalah perlindungan terbaik. 　　Jiang Si memperhatikan dengan dingin, tetap tak bisa memahami hubungan antara Yu Jin dan Zhen Shicheng. Sementara menekan keraguannya, ia berkata tenang: "Jika sepupu kedua sengaja didorong ke air, sebenarnya ada satu bukti jelas yang membuktikan saya tidak terlibat." 212.BAB 212 Terduga Baru 　　BAB 212 Terduga Baru 　　Perkataan Jiang Si seketika menarik perhatian semua yang hadir. 　　Zhen Shicheng tak sabar bertanya: "Bagaimana Nona Jiang bisa membuktikannya?" 　　"Bolehkah Tuan Zhen ikut saya ke tepi Danau Juxia?" tanya Jiang Si. 　　Zhen Shicheng mengangguk: "Tentu saja." 　　Sebenarnya ia sudah berencana memeriksa TKP setelah interogasi. 　　Rombongan besar kembali ke tepi Danau Juxia. 　　Jiang Si menunjuk: "Lihatlah Tuan Zhen. Meski jejak kaki di area ini berantakan, ada satu baris jejak yang sangat jelas." 　　Zhen Shicheng mengamati dengan cermat, lalu menunjuk jejak kaki lebar di tepi danau: "Nona Jiang maksud jejak ini?" 　　Jiang Si mengangguk: "Ya. Jejak ini milik sepupu kedua saya. Bila tak percaya, Tuan bisa mencocokkan dengan sepatu yang sedang ia pakai." 　　Su Qingyi bertubuh besar, dengan sepasang kaki yang luar biasa lebar. Suatu kali saat Jiang Si menginap di Kediaman Marquis, dia tidak sengaja mendengar dayang mengeluh sulitnya membuat sepatu untuk Tuan Kedua, sehingga meninggalkan kesan mendalam. 　　Saat kerumunan tiba di TKP, Jiang Si yang tahu ini akan merepotkan, diam-diam mencari petunjuk. Tak lama kemudian dia menemukan jejak kaki ini. 　　"Bawa sepatu yang dipakai Tuan Kedua Su untuk dibandingkan." Perintah Zhen Shicheng kepada anak buahnya. 　　Tak lama kemudian anak buah membawa sebuah sepatu. Setelah membandingkan dengan serius, dia melapor: "Paduka, jejak kaki ini memang berasal dari pemilik sepatu ini." 　　Jiang Si berjalan beberapa langkah ke depan dan berhenti di tepi Danau Juxia: "Jejak kaki terakhir ada di sini, ujung sepatu menghadap ke danau. Ini membuktikan Sepupu Kedua sedang menghadap ke arah Danau Juxia sebelum jatuh ke air. Jika Sepupu Kedua didorong ke dalam air, maka pelaku kejahatan pasti berada di belakangnya. Apakah Paduka setuju dengan analisis saya?" 　　Zhen Shicheng mengangguk: "Pendapat Nona Jiang masuk akal, namun selain jejak kaki Tuan Kedua Su, ada terlalu banyak jejak kaki lain yang berantakan. Hampir mustahil menemukan jejak pelaku kejahatan di antara ini semua." 　　Zhen Shicheng berkata sambil menghela napas dalam hati. 　　Seperti kebanyakan TKP, ketidaktahuan orang-orang sering merusak petunjuk penting. Hal ini menyulitkan penyelidikan kasus yang sebenarnya sederhana, tapi kita tak bisa menyalahkan para pengadu karena itu. 　　Jiang Si menatap jejak-jejak kaki yang berantakan di tanah, perasaannya semakin berat. 　　“Di antara jejak kaki ini pasti ada yang ditinggalkan pelaku kejahatan, sayangnya setelah kedatangan orang-orang yang menolong dan penonton, sudah tidak bisa dibedakan lagi.” 　　Jiang Si menghela napas pelan: “Paduka salah paham, saat saya menyebut jejak kaki, tentu tidak berharap bisa menemukan pelaku kejahatan melalui ini, melainkan ingin menunjukkan posisi tempat pelaku berdiri saat itu. Jika benar ada pelaku kejahatan, dia seharusnya berdiri di sini, apakah semua setuju?” 　　Para hadirin mengangguk tak bisa menahan diri. 　　Jiang Si mengangkat ujung roknya: “Sepupu kedua bertubuh besar, saat jatuh ke air pasti menyemburkan percikan besar, sehingga baju pelaku kejahatan pasti akan basah kuyup.” 　　“Lalu kenapa? Sinar matahari begitu terik, setelah sekian lama pasti sudah kering meski basah.” Balas Nyonya You. 　　Jiang Si menatap Nyonya You: “Saat saya kembali ke panggung opera masih awal, orang yang melihat saya bisa membuktikan baju saya bersih. Lagipula, apakah bibi tidak mengenali bahan rok saya?” 　　Nyonya You menatap tajam, wajahnya berubah pucat. 　　Rok hijau Jiang Si yang berkilauan terbuat dari kain mewah bernama "Biyingsha". Bahan ini nyaman dipakai di musim panas karena sejuk dan menyerap keringat, digemari para wanita bangsawan. Namun kelemahannya, setetes air saja akan meninggalkan noda seperti minyak. Rok hijau Jiang Si tetap bersih tanpa noda sedikitpun. 　　"Seperti yang dikatakan Jiang Si, meskipun pelaku kejahatan sangat berhati-hati, mustahil tidak ada percikan air sama sekali di bajunya setelah mendorong Su Qingyi ke dalam air. Dengan mengenakan gaun hijau, dia telah membuktikan kesuciannya." 　　Jiang Si tidak lagi memandang Nyonya You yang wajahnya pucat. Dia tersenyum tipis pada Zhen Shicheng: "Sayangnya, hamba hanya bisa membuktikan kesucian diri sendiri. Untuk menemukan pelaku sebenarnya, hamba harus merepotkan Tuan Zhen." 　　Pandangan Zhen Shicheng pada Jiang Si dipenuhi kekaguman: "Nona Jiang telah melakukan pekerjaan yang sangat baik." 　　Jiang Si sedikit menekuk lututnya dan mundur ke samping. 　　Jiang Zhan menarik lengan Jiang Si perlahan dan mengacungkan jempol padanya. 　　Jiang Si membalas dengan senyuman yang cepat menghilang. 　　Mungkin karena dalam kehidupan sebelumnya Su Qingyi cepat "meninggal karena sakit", dia secara bawah sadar telah menerima kenyataan ini. Meskipun hatinya berat menyaksikan kejadian ini, rasanya tidak seperti keputusasaan tak tertahankan saat menghadapi kematian pasangan Yongchang Bo. 　　"Kalau begitu, mungkin pelaku sudah mengganti baju?" tiba-tiba Nyonya You bertanya. 　　Zhen Shicheng mengangguk: "Kemungkinan itu tidak bisa disingkirkan." 　　Nyonya You mengalihkan pandangannya perlahan, akhirnya tertuju pada Nyonya Kedua Xu. 　　Orang-orang mengikuti arah pandangan Nyonya You. Beberapa dayang-dayang langsung berubah pucat wajahnya. 　　Mereka tiba-tiba teringat bahwa Nyonya Kedua Xu saat menghadiri pesta ulang tahun mengenakan mantel sutra berukiran pola daun kesemek warna nila, namun di tengah pertunjukan dia pergi dan sekarang mengenakan mantel brokat bermotif sepuluh corak warna ungu lembayung. 　　"Mengapa adik ipar mengganti pakaian?" Nyonya You melangkah maju, tatapannya penuh kebencian mengarah ke Nyonya Xu. 　　Sebelumnya saat menonton opera, dia tak sengaja melihat Nyonya Xu buru-buru pergi di tengah pertunjukan, dan keraguan mulai muncul di hatinya meski tak terlalu dipikirkan. Kini terpikir, jika Nyonya Xu berniat membunuh anak kedua, waktunya sangat pas. 　　Nyonya Xu memandang dingin ke Nyonya You: "Apakah mengganti baju pun harus dilaporkan kepada Kakak Ipar?" 　　"Kau biasa berganti baju berkali-kali bukan urusanku, tapi sekarang Er'er tewas! Pergantian bajumu mencurigakan!" Nyonya You berteriak histeris, "Tuan Zhen, dia pergi di tengah pertunjukan, waktunya bersamaan dengan pembunuhan anakku! Ini pasti bukan kebetulan!" 　　"Istri Putra Mahkota, tenanglah dulu," Zhen Shicheng mencoba menenangkan. 　　Nyonya Xu berkata datar: "Jangan sembarangan menuduh, Kakak Ipar. Aku pergi karena dayang memberitahu Bao'er bangun. Aku pulang memberi obat, bajuku terkena tumpahan, jadi harus ganti. Dayangku bisa menjadi saksi." 　　Mendengar nama Su Qingbao disebut, Nyonya You semakin emosi: "Jangan berkelit! Kau pasti membalas dendam untuk Bao'er dengan membunuh Er'er!" 　　“Diam!” Tuan Su membentak, wajahnya gelap, “Bicara sembarangan di depan banyak orang seperti ini, tidak malukah Anda?” 　　“Aku tidak bicara sembarangan! Tuan, meski tak ingin aib keluarga terbongkar, jangan biarkan Yi mati penuh penyesalan!” 　　Zhen Shicheng berdehem: “Putra Mahkota Su, hamba ingin mendengar alasan Nyonya Putra Mahkota mengatakan hal demikian.” 　　Duka kehilangan anak dan kegagalan rencana menjerat Jiang Si membuat Nyonya You tak bisa mengendalikan emosi, “Yi yang keterbelakangan mental suka bermain, beberapa hari lalu saat bermain petak umpet dengan Bao Ge'er tak sengaja mendorongnya dari bukit batu. Kepala Bao Ge'er terluka dan pingsan lama. Pasti Nyonya Xu yang dendam lalu membunuh Yi!” 　　Mendengar Nyonya You menyebut putranya, mata Nyonya Xu memerah: “Kakak Ipar keliru, justru karena sedihnya melihat Bao Ge'er terluka, aku tak mungkin tega melukai anak orang. Sebagai ibu, mana mungkin melakukan hal keji!” 　　Tiba-tiba suara dingin seorang pemuda terdengar: “Saya menemukan hal yang menarik.” 　　Koreksi: Jiang Si adalah sepupu Su Qingyi. Akhirnya kembali ke rumah. Beberapa hari di Qinghai mengalami gejala ketinggian, susah tidur dan pusing, agak linglung. 213. BAB 213 Bulu Ayam 　　BAB 213 Bulu Ayam 　　Pemuda 17-18 tahun muncul di antara rimbunan bunga dan pepohonan, ditemani seekor Anjing Besar. 　　“Pemuda itu memiliki alis yang rapi dan mata tajam bagai phoenix, sinar mata yang berkilau. Meski mengenakan jubah biru biasa, ia tetap tampak laksana salju di puncak gunung yang tak ternodai duniawi. Anjing Besar di sisinya terlihat gagah perkasa, meski pincang saat berjalan sehingga orang cenderung mengabaikan ancamannya.” 　　Jiang Zhan tak tahan membisik di telinga Jiang Si: "Aneh sekali, bagaimana mungkin Kakak Yu Qi bergaul dengan Tuan Zhen? Jangan-jangan dia jadi bawahan Tuan Zhen?" 　　“Mungkin saja.” Jiang Si juga tak bisa menebak alasan Yu Jin muncul di sini. 　　“Kalau begitu justru baik.” Jiang Zhan bergumam. 　　Setidaknya Kakak Yu Qi punya pekerjaan resmi, nanti akan lebih mudah mencari istri. 　　Jiang Si merasa perkataan kakak laki-lakinya agak membingungkan, ia mengalihkan pandangan ke Yu Jin. 　　Yu Jin segera menghampiri Zhen Shicheng, senyum tipis mengembang: "Paduka, saya menemukan sesuatu yang menarik." 　　“Hmm, penemuan apa itu?” Zhen Shicheng memandang pemuda yang tersenyum samar ini, hatinya ruwet mengingat identitas aslinya. 　　Tak disangka Tuan Yu ini adalah Pangeran Yan yang baru dilantik, sang Pangeran Ketujuh yang tak pernah muncul di publik sejak kecil. 　　Mengingat Kementerian Hukum memaksakan seseorang untuk membantunya menyelesaikan kasus, kepala Zhen Shicheng langsung pusing. Rasa pusingnya berlipat ganda saat tahu identitas orang tersebut. 　　Dia sangat kesal dengan orang yang ikut campur dalam kasus yang ditanganinya. Jika Pangeran Ketujuh ini menyalahgunakan statusnya untuk ikut campur sembarangan, dia tidak mungkin bisa mengembalikannya ke Kementerian Hukuman. Bagaimanapun, ide mengirim para pangeran untuk magang di berbagai kementerian berasal dari Kaisar sendiri. 　　Yang tak disangka Zhen Shicheng, Yu Jin justru mengusulkan untuk tidak mengungkapkan identitasnya, melainkan ikut serta sebagai bawahannya. 　　Zhen Shicheng tentu saja setuju, bahkan menutup sebelah mata terhadap permintaan aneh sang pangeran untuk membawa anjing selama penyelidikan. 　　Ehem, mau bagaimana lagi? Anjing itu adalah "pejabat anjing" berpangkat resmi Kelima, secara teknis masih rekan sejawat! 　　Yu Jin membuka telapak tangannya, di dalamnya tergeletak sebuah kok bulu ayam berwarna-warni. 　　Setelah melakukan interogasi, Zhen Shicheng telah mengumpulkan banyak informasi. Dia tahu Su Qingyi awalnya sedang bermain kok bulu ayam dengan dayang di halaman. Keberadaan kok bulu ayam di tangan Yu Jin ini pun menjadi pertanyaan besar. 　　Wajah Su Qingxue tiba-tiba pucat saat melihat bulu ayam itu. 　　Atas perintah selir utama, dia mendatangi Su Qingyi dan menemukannya sedang memegang kok bulu ayam sendirian. Dengan alasan menemani bermain, dia berhasil membujuknya ke tempat ini. 　　Kok ini... Bagaimana bisa ada di tangan orang ini? 　　Mengingat arah datangnya Yu Jin, Su Qingxue menggenggam tangannya erat hingga basah oleh keringat. 　　Saat itu dia dan Su Qingyi memang bermain di Paviliun Matahari Terbit. 　　Paviliun Chaoyang berdekatan dengan Danau Juxia, dikelilingi oleh bunga dan tanaman yang subur. Dari Danau Juxia, hanya atap melengkung paviliun yang terlihat, sementara pemandangan di dalamnya tidak jelas. Namun jika duduk di Paviliun Chaoyang, melalui celah-celah tanaman bisa melihat jelas situasi di tepi Danau Juxia. 　　Entah khayalan atau tidak, Su Qingxue merasa tatapan dingin pemuda yang memegang kok bulu ayam itu sesekali menyapu ke arahnya. 　　Su Qingxue mengepal erat-erat tinjunya. 　　Jangan panik, meski kok bulu ayam ditemukan, paling-paling hanya membuktikan Kakak Kedua pernah singgah di Paviliun Chaoyang. Siapa yang tahu aku juga akan ada di sana? 　　Tidak, ada satu orang yang tahu, yaitu selir utama. 　　Su Qingxue melirik sekilas ke Nyonya Besar keluarga You, lalu cepat-cepat menunduk. 　　Rencana ini memang diatur oleh selir utama. Tentu dia tahu selain Jiang Si, yang kontak dengan Kakak Kedua adalah aku. Tapi selir utama tidak akan membocorkan ini kecuali terpaksa. 　　Setelah merenungkan ini, Su Qingxue merasa lega. 　　"Kok bulu ayam ini kudapatan di paviliun, artinya Tuan Kedua Su pernah berada di sini setelah menghilang dari pengawasan dayangnya. Dengan kata lain, kemungkinan besar Tuan Kedua Su melihat Nona Jiang lewat dari sini, lalu berlari keluar." Saat menyebut Jiang Si, nada suara Yu Jin melunak, tapi dia menahan diri untuk tidak menoleh. 　　Zhen Shicheng mengangguk, menyetujui kesimpulan Yu Jin. 　　Yu Jin menimbang-nimbang kok bulu ayam berwarna-warni di tangannya, bibir tipisnya meregang: "Menurut keterangan orang dari Kediaman Marquis, Tuan Kedua Su adalah seorang yang keterbelakangan mental. Coba bayangkan, apakah orang seperti itu punya kesabaran untuk diam di paviliun?" 　　Ia berbicara sambil lalu menyapu pandangannya ke sekeliling, lalu berkata datar: "Jika ada, hanya ada satu kemungkinan - saat itu ada orang lain yang hadir!" 　　Mendengar ini, semua orang terkejut. 　　Ada orang lain yang hadir? Bukankah ini berarti saat Su Qingyi menghadang Jiang Si sebenarnya ada saksi? 　　Siapakah orang itu? Mengapa tidak pernah muncul? 　　Serentetan pertanyaan berputar di benak hadirin, membuat mereka tak berkedip memandangi pemuda yang berbicara dengan lancar ini. 　　Nyonya You melirik panjang ke arah Su Qingxue dengan tatapan muram. 　　Sebenarnya dia sudah lama curiga. Menurut rencana, setelah Su Qingxue membujuk Qingyi untuk menjerat Jiang Si, seharusnya mencari orang untuk melihat kejadian itu. Hanya dengan begitu mereka bisa menyatukan Jiang Si dengan Qingyi secara masuk akal. Tapi kemudian Jiang Si lolos tanpa cedera, sementara Qingyi mati tanpa suara... 　　Nyonya You punya banyak pertanyaan untuk Su Qingxue, tapi dari tadi tidak ada kesempatan yang tepat. 　　Di bawah tatapan selir utama, Su Qingxue mengerahkan seluruh pengendalian dirinya untuk tidak menunjukkan kegelisahan, buru-buru menundukkan kepala. 　　Sementara Su Qingyu yang berdiri di samping Su Qingxue juga wajahnya pucat pasi, hampir tak bisa berdiri tegak. 　　Dengan jari yang gemetar, diam-diam ia menyentuh lengan Su Qingxue. Su Qingxue langsung menoleh dan saling bertatapan dengannya. 　　Bulu mata lebat Su Qingyu bergetar tak henti, matanya menyiratkan pertanyaan kepada Su Qingxue. 　　Su Qingxue meremas tangan Su Qingyu yang tersembunyi di balik lengan bajunya, memberi isyarat agar jangan panik. 　　Dari ujung jari hingga hati Su Qingyu terasa dingin membeku, rasa takut mulai menjalar. 　　"Siapa gerangan pelakunya?!" Tatapan tajam Tuan Besar Su bagai pisau menyapu kerumunan orang. 　　Bahkan orang yang tidak memiliki hantu di hatinya tetap sulit menyembunyikan ketegangan dalam situasi seperti ini. Sebagai pelayan, mereka terlalu paham bahwa seringkali ketiadaan niat jahat tidak serta-merta menjamin keselamatan diri. 　　Tuan Besar Su tidak menemukan keanehan, akhirnya mengarahkan pandangannya ke wajah Yu Jin. 　　Yu Jin tersenyum, membuka telapak tangan satunya: "Pemilik saputangan ini pastilah..." 　　Di tangannya terlihat jelas sehelai saputangan sutra putih bersih yang melambai-lambai tertiup angin. 　　Su Qingxue merasa kepalanya berdengung, tubuhnya mundur setengah langkah. 　　Kapan dia menjatuhkan saputangan itu? 　　Benar, dia teringat saat menghibur Su Qingyi bermain, tiba-tiba Su Qingyi meneteskan air liur di punggung tangannya. Setelah mengelap dengan saputangan, karena merasa jijik dia langsung membuangnya... 　　Semakin dipikirkan, hati Su Qingxue semakin panik. 　　Tiba-tiba Su Qingshu angkat bicara: "Saputangan seperti ini biasanya hanya digunakan oleh majikan atau pelayan terhormat." 　　Mendengar ini, Su Qingxue tiba-tiba menjadi tenang. 　　Tidak boleh panik, saputangan ini bahkan tidak memiliki satu pun pola hiasan, siapa yang bisa membuktikan ini miliknya? 　　Nyonya You menutup matanya. 　　Tidak mungkin salah, Su Qingxue memang membujuk Yi'er bermain di Paviliun Chaoyang, hanya tidak diketahui apa yang dilihat si jalang kecil ini, atau mungkin—apakah Yi'er dibunuh oleh si jalang ini? 　　Terima kasih sudah menunggu. Terima kasih kepada Shan Cun De Jiu Shi Guang yang memberikan hadiah 10.000 koin Qidian, terima kasih kepada teman-teman pembaca yang telah memberikan vote dan hadiah. Update kedua sore hari. 214.BAB 214 Bersumpah 　　BAB 214 Bersumpah 　　Memikirkan kemungkinan kematian putra kedua terkait dengan anak perempuan dari selir, kelopak mata Nyonya You berkedut pelan sebelum akhirnya membuka tanpa menunjukkan emosi berlebihan. 　　Jika Su Qingxue yang membunuh putranya, dia pasti akan membuat si jalang ini membayar nyawa, tentu saja di situasi ini dia takkan bicara lebih. Jika Su Qingxue membocorkan perintahnya, meski bisa disangkal, tetap saja memalukan. 　　"Saputangan ini selain bahan bagus tak ada ciri khusus, sulit menemukan pemiliknya." Paman Su berkerut dahinya. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Siapa bilang tidak bisa ditemukan?" 　　Ucapannya langsung membuat semua orang tertegun. 　　Jiang Si memandangnya, lalu melihat Anjing Besar di sampingnya, mulai memahami sesuatu. 　　Zhen Shicheng tak sabar bertanya: "Ada cara apa untuk menemukan pemilik saputangan?" 　　Yu Jin mengelus kepala Er Niu, nada datar: "Er Niu, maju!" 　　Er Niu mengendus saputangan, mengibaskan bulunya, lalu berjalan perlahan mendekati kerumunan. 　　Kerumunan menjadi tegang melihat anjing besar ini mendekat. 　　"Tenang, dia tidak menggigit." 　　Er Niu berhenti sejenak, mengibaskan ekornya. 　　Majikan kembali berbohong, sungguh membuatnya kesal. 　　Orang-orang yang tidak tahu menahu justru mulai lega. 　　Er Niu mengendus-endus sambil berjalan melewati satu per satu orang, tiba-tiba berbalik badan menerjang Su Qingxue. 　　Su Qingxue menjerit histeris, langsung berlari. 　　Er Niu melompat ke udara, menjatuhkan Su Qingxue ke tanah. 　　“Su Qingxue hancur berantakan secara emosional saat itu juga, menjerit histeris.” 　　Er Niu menekan bahunya dengan satu cakar, menoleh ke arah Yu Jin. 　　“Kembali.” Yu Jin memanggil kembali Er Niu, menepuk punggungnya dengan puas sambil memuji, “Kerja bagus.” 　　Er Niu mengibaskan ekornya dengan sikap sinis. 　　Apa istimewanya dipuji? Hal sederhana seperti ini bahkan nyonya rumah pun bisa melakukannya. 　　“Paduka, anjing hamba telah menemukan pemilik saputangan ini.” 　　Perkataan Yu Jin menyadarkan kerumunan yang terpaku, wajah mereka langsung berubah warna saat menatap Su Qingxue. 　　Zhen Shicheng tetap tenang sambil membelai kumisnya: “Bolehkah hamba tahu sebutan untuk nona ini?” 　　Su Qingxue yang sudah dibantu berdiri masih terisak tanpa bicara. 　　Tuan Besar Su meliriknya, menjawab: “Dia putri kedua hamba.” 　　Zhen Shicheng mengangguk: “Ternyata Er Guniang Su. Bisakah Er Guniang Su menjelaskan pada hamba, mengapa saputanganmu ada di paviliun?” 　　Su Qingxue masih terlihat sangat ketakutan, seluruh tubuhnya gemetaran. 　　"Tuan Zhen, mohon maaf. Putri kecilku mungkin terlalu trauma." Tuan Besar Su melirik Er Niu dengan ekspresi tak senang, "Menggunakan anjing untuk menentukan pemilik sapu tangan? Ini terlalu kekanak-kanakan!" 　　Yu Jin balik bertanya tanpa basa-basi: "Putra Mahkota Su berpikir hidung manusia lebih tajam dari hidung anjing?" 　　Tuan Besar Su terdiam, wajahnya memerah karena marah: "Tuan Zhen, anak buah Paduka ini benar-benar tidak sopan!" 　　Zhen Shicheng tersenyum penuh arti: "Semangat muda yang tulus untuk memecahkan kasus, Putra Mahkota Su harusnya bisa memahami." 　　Tidak sopan? Jika Tuan tahu identitas asli pemuda ini, baru akan mengerti apa itu benar-benar tidak sopan. 　　"Nona Er Su, jawab pertanyaan hamba!" tiba-tiba Zhen Shicheng berubah cemberut. 　　Wajah Su Qingxue pucat pasi, lututnya lunglai hingga hampir terjatuh. 　　"Er Guniang!" dayang yang menyangganya berteriak kencang. 　　Su Qingxue bersandar pada dayang untuk tetap berdiri, tubuhnya gemetar seperti daun kering tertiup angin. 　　Tuan Besar Su memandangi anak perempuan selirnya yang ketakutan itu dengan wajah muram: "Paduka bertanya, kau harus menjawab jujur!" 　　Su Qingxue menggigil hebat lalu menangis pasrah: "Sebenarnya... sebenarnya aku melihat seseorang terapung di danau--" 　　Begitu kata-katanya meluncur, Su Qingyu yang berdiri di samping langsung pucat, tubuhnya limbung bagai akan roboh. 　　"Apa yang sebenarnya terjadi?" Wajah Tuan Besar Su gelap bagai bisa meneteskan air. 　　Nyonya You tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun sorot matanya dingin seperti ular berbisa. 　　Su Qingxue menyusutkan tubuhnya, kedua tangan tergenggam gugup: "Awalnya aku bermain di sisi timur taman, pakaianku tak sengaja kotor, lalu meminta Sanmei menemaniku kembali untuk ganti baju. Saat melewati Danau Juxia, kami melihat... melihat ada orang yang timbul tenggelam di danau..." 　　Ekspresi Su Qingxue semakin panik: "Aku dan Sanmei saat itu sangat ketakutan, tidak sempat memastikan siapa di danau, langsung lari menjauh. Tak lama kemudian kami dengar Kakak Kedua tenggelam... Hiks... Aku benar-benar tidak sengaja tidak menolong, saat itu terlalu takut..." 　　Tuan Besar Su menatap Su Qingyu, yang segera mengangguk setuju. 　　Nyonya You menatap tajam kedua anak perempuan dari selir itu, perasaannya bergejolak. 　　Jadi Su Qingxue mengajak Yier menghadang Jiang Si lalu pergi, memanggil Su Qingyu sebagai saksi, namun saat mereka kembali Yier sudah jatuh ke air? 　　Dalam waktu sesingkat ini, jika pelaku kejahatan bukan Jiang Si, apakah Yier benar-benar terjatuh karena kecelakaan? 　　"Kalau begitu, dua nona bersama-sama menemukan ada orang di danau?" tanya Zhen Shicheng. 　　Su Qingxue dan Su Qingyu saling memandang, lalu mengangguk serentak. 　　Yu Jin mencibir sambil memegang saputangan putih itu: "Lalu bagaimana menjelaskan saputanganmu ada di paviliun?" 　　“Bagaimana aku bisa tahu?” Su Qingxue berteriak histeris, air mata mengalir deras, “Aku dan Sanmei lewat dari sana bersama, mungkin karena buru-buru saputangan terjatuh, kebetulan tertiup angin ke Paviliun Chaoyang. Apa hanya karena sehelai saputangan bisa menyimpulkan aku pernah bersama Kakak Kedua? Lagipula, alasan apa yang kumiliki untuk membahayakan Kakak Kedua?” 　　Pertanyaan balik Su Qingxie membuat orang-orang mengangguk diam-diam. 　　Dari penjelasan ini, Er Guniang memang tidak punya motif untuk membahayakan Tuan Kedua. Apalagi ada Nona Ketiga yang bersama, masak dua nona bersekongkol membunuh Tuan Kedua? 　　Tuan Besar Su diam-diam lega, menghela napas: “Mungkin Yi benar-benar terjatuh ke air karena kecerobohan.” 　　Saat ini, dia lebih memilih anak keduanya meninggal karena kecelakaan. Jika pelaku kejahatan ternyata keponakan atau anak perempuan dari selir, hal ini akan menjadi bahan tertawaan yang memalukan. 　　Langit punya cuaca tak terduga, orang-orang selalu lebih toleran terhadap kecelakaan. 　　Yu Jin tiba-tiba tertawa pendek, tatapannya dingin menyapu wajah Su Qingxue: “Kebetulan? Kau anggap orang lain bodoh? Mana ada begitu banyak kebetulan di dunia? Saputanganmu muncul di paviliun tempat jenazah berada, ini cukup membuktikan kau tersangka utama. Kenapa bukan saputangan orang lain? Er Guniang Su, jangan lagi berkelit dengan kata-kata manismu.” 　　Su Qingxue tak tahan membantah: “Sepupu Shi juga muncul di tepi danau! Menurut logikamu, dialah tersangka utamanya!” 　　Yu Jin tiba-tiba menghilangkan senyumannya, wajahnya dingin bagai es: "Manusia bisa berbohong, tapi hadiah tidak, jadi bukti fisik lebih bisa dipercaya daripada kesaksian manusia. Tuan Zhen, bukankah demikian?" 　　Zhen Shicheng memandang Yu Jin dengan heran, menunjukkan kekaguman, lalu mengangguk: "Ada benarnya juga." 　　Meski kasus tidak bisa digeneralisir, namun saksi manusia memang memiliki lebih banyak variabel. 　　"Bertele-tele begini, kau tetap tidak punya bukti! Pokoknya Kakak Kedua bukan kubunuh, aku bersumpah di langit!" Su Qingxue tiba-tiba mengangkat tangan, berseru lantang: "Langit Yang Maha Tinggi, aku bersumpah Kakak Kedua bukan kubunuh! Bila ada setengah kebohongan, biarlah petir menyambarku!" 215. BAB 215 Tidak Percaya 　　BAB 215 Tidak Percaya 　　Di masa ini orang sangat mempercayai hal gaib, tidak sembarangan bersumpah atas langit. Sumpah kutukan Su Qingxue membuat hampir semua yang hadir percaya. 　　Tapi Jiang Si tidak percaya. 　　Di antara yang hadir, selaku orang yang merancang jebakan ini, tidak ada yang lebih tahu darinya alasan Su Qingyi mengincarnya. 　　Seandainya pertemuan Su Qingyi dengannya adalah kebetulan, mungkin tidak ada pihak ketiga. Tapi karena pelayan wanita berpakaian hijau sengaja menjebaknya ke tepi Danau Juxia, berarti Su Qingyi yang menunggu di Paviliun Chaoyang pasti diatur seseorang. 　　Seperti kata Yu Qi (Pangeran Ketujuh), Su Qingyi adalah orang dungu. Mustahil membuatnya diam menunggu di paviliun tanpa ada yang menemani bermain. 　　Jiang Si memandang Su Qingxue yang sedang bersumpah dengan tenang, sudut bibirnya melengkung halus. 　　“Bagaimanapun Su Qingxue membela diri, kemungkinan terbesar pelakunya adalah Su Qingxue sendiri. Kecuali dia bodoh, tak mungkin percaya alasan Su Qingxue bahwa sapu tangan itu terbawa angin.” 　　Tuan Besar Su menatap anak perempuan dari selir yang berwajah tegas itu, menghela napas, lalu menoleh ke Zhen Shicheng: “Sudahlah, putra hamba pasti terjatuh ke air karena tidak sengaja. Hari ini merepotkan Tuan Zhen datang ke sini.” 　　Zhen Shicheng mengerutkan alis sambil menatap Tuan Besar Su. 　　Dengan jelas ia merasakan keengganan pihak lain untuk menyelidiki lebih dalam, penyakit umum di kalangan keluarga kaya. 　　Bagi mereka, kebenaran seringkali tak sepenting gengsi keluarga. 　　Namun Zhen Shicheng tak bermaksud memberi muka pada Tuan Besar Su. 　　Rakyat tak melapor, pejabat tak menyelidik. Seandainya Kediaman Marquis Yining tak melibatkan otoritas, tentu ia tak akan repot-repot menyelidik. Tapi setelah diundang, memintanya pergi sebelum kebenaran terungkap - apakah ini sengaja membuatnya tak bisa tidur? 　　Siapapun yang mengganggu tidur Tuan Zhen, akan dihadapi dengan dingin bagai angin musim gugur menyapu daun kering. 　　“Siapa bilang putramu terjatuh tak sengaja?” Zhen Shicheng menyipitkan mata balik bertanya. 　　Tuan Besar Su tertegun: “Apa maksud Tuan Zhen?” 　　Zhen Shicheng menoleh ke Yu Jin: “Yu——” 　　Setelah ragu sebentar, Zhen Shicheng memanggil: “Xiao Yu, jelaskan pada mereka.” 　　Dalam hatinya bergumam: Memang merepotkan memanggil pangeran yang ikut menyelidik kasus. Untung Pangeran Ketujuh ini lebih kompeten dari perkiraannya, bukan tipe bangsawan sok gaya yang tak berisi. 　　Tanpa disadari, Zhen Shicheng telah mengakui performa Yu Jin hari ini. 　　Yu Jin merasakan jelas tatapan semua orang tertuju padanya. Salah satu sorot mata itu membuat hatinya berdebar sebentar, tapi ia segera memaksa diri untuk tenang. 　　Ia berjalan ke tepi Danau Juxia, berhenti di tempat dua jejak kaki terakhir Su Qingyi tertinggal, lalu menunjuk tanah: "Apakah Tuan-tuan memperhatikan jejak di sini?" 　　Jejak? 　　Pertanyaan itu membuat hadirin tertegun. 　　Yu Jin menjelaskan dengan tenang: "Tepi danau lembab. Aktivitas manusia pasti meninggalkan jejak." 　　"Maksudmu jejak kaki ini?" Tanya Tuan Besar Su. 　　"Jejak kaki hanya satu jenis. Bayangkan jika Tuan Kedua Su terjatuh tak sengaja, pasti ada bekas tergelincir sebelum masuk danau. Tapi di sini tidak ada. Apa artinya?" Yu Jin melemparkan pertanyaan, lalu menjawab dengan tegas: "Artinya ia didorong tiba-tiba ke danau, sehingga tak meninggalkan jejak semacam itu." 　　Zhen Shicheng mengangguk setuju. 　　Sebelumnya, Pangeran Ketujuh diam-diam telah memberi petunjuk ini saat tak ada yang memperhatikan. Ini kejutan yang menyenangkan baginya. 　　Kejutan itu bukan hanya untuk kasus Keluarga Marquis Yining, tapi lebih pada wawasan Pangeran Ketujuh tentang jejak yang memberi perspektif baru untuk memecahkan kasus di masa depan. 　　Jejak sama pentingnya dengan bukti. 　　Tuan Besar Su mengerutkan kening: "Ini hanya spekulasi--" 　　Yu Jin memotongnya dengan nada sinis: "Tidak, ini bukti konkret yang tertinggal di TKP. Pendapat Putra Mahkota Su bahwa putramu jatuh karena kecelakaan hanyalah spekulasi tanpa dasar." 　　Sambil melengkungkan sudut bibirnya dengan ejekan, ia menambahkan: "Bahkan tidak pantas disebut kesimpulan." 　　Sorot mata Jiang Si yang tertuju pada Yu Jin semakin dalam. 　　Di kehidupan sebelumnya, ia sudah terbiasa dengan kata-kata manis dan kemampuan bela diri luar biasa pria itu, tapi sama sekali tidak tahu dia punya wawasan dalam penyelidikan kasus. 　　Saat ini, perasaan Jiang Si agak kompleks. 　　Selama ini ia mengira sudah sangat memahami orang ini, tapi sekarang baru sadar: memahami seseorang seutuhnya bukanlah hal mudah. 　　Merasakan tatapannya, Yu Jin sedikit menoleh. Ejekan di wajahnya seketika berubah lembut. 　　Wajah Tuan Besar Su memerah karena marah yang ditahan: "Tuan Zhen, bawahanmu ini seharusnya dikendalikan!" 　　Zhen Shicheng menjawab tegas: "Putra Mahkota Su tenang saja, hamba pasti akan menghukumnya nanti." 　　Janji kosong belaka, toh tidak akan mengurangi setetes keringatnya. 　　Mendengar jawaban itu, Tuan Besar Su merasa harga dirinya pulih sedikit. Wajahnya mulai cerah kembali. 　　Tiba-tiba suara lembut terdengar: "Saya ada beberapa hal ingin disampaikan." 　　Semua orang menoleh dan melihat Jiang Si melangkah maju. 　　"Adik Keempat--" Jiang Yi memanggil dengan wajah khawatir. 　　Jiang Zhan justru menyilangkan tangan di dada seperti tak peduli, sama sekali tidak berusaha menghentikan adiknya. 　　“Kakak Kedua Jiang berpikir dengan sederhana: Tidak ada yang perlu dihentikan, bagaimanapun juga siapa pun yang berani mengganggu Adik Keempat, langsung memukul orang saja.” 　　Tuan Besar Su melihat Jiang Si sambil mengerutkan kening: “Urusan orang dewasa, kau jangan ikut campur.” 　　Jiang Si berkata dengan serius: “Paman, sebelumnya keponakan perempuan dituduh sebagai pelaku kejahatan. Jika tidak menangkap pelaku sebenarnya dan membiarkan orang-orang berspekulasi, pasti akan ada yang menghubungkannya dengan saya. Saya tidak ingin ikut campur urusan orang dewasa, tapi sudah terlibat dalam situasi yang tak bisa dikendalikan. Karena itu, saya berhak menyampaikan beberapa pendapat, menurut Paman?” 　　Tuan Besar Su tidak menyangka keponakan perempuannya yang biasanya pendiam kini berubah besar. Ia menatapnya lama sebelum berkata: “Apa yang ingin kau katakan?” 　　Jiang Si mendekati Su Qingxue, menatapnya tanpa berkedip. 　　Su Qingxue yang baru saja lega langsung tegang: “Apa yang kau inginkan?” 　　“Apakah Adik Kedua berani bersumpah sekali lagi?” 　　“Apa?” 　　“Tidak perlu mengubah yang lain, hanya satu bagian. Saat Adik Kedua bersumpah 'jika saya yang membunuh Adik Kedua maka hendaknya disambar petir', menurut saya terlalu absolut. Lebih baik diubah menjadi 'jika ada hubungan antara kematian Adik Kedua dengan saya, maka hendaknya disambar petir'.” Jiang Si berkata datar. 　　Karena ada yang menjebaknya, ingin membuat Su Qingyi merusak reputasinya, orang yang bersembunyi di Paviliun Chaoyang pasti akan mengarahkan orang lain untuk menemukan mereka. Tapi mereka tidak menyangka dia bisa lepas dengan cepat. 　　“Bisa dibayangkan, ketika dia pergi tergesa-gesa bersama Ah Man, reaksi paling logis Su Qingyi adalah kembali ke Paviliun Chaoyang, karena di sana masih ada orang yang menemaninya bermain.” 　　Tapi Su Qingyi ternyata tewas. 　　Jiang Si yakin, meski Su Qingxue mungkin bukan pelaku kejahatan yang membunuh Su Qingyi (sehingga berani bersumpah di bawah langit), tapi mustahil dia sama sekali tak terlibat dalam kematian Su Qingyi. 　　“Kenapa adik sepupu kedua diam saja?” 　　Wajah Su Qingxue pucat pasi, dia menyeringai dingin: “Lucu sekali, Kakak Jiang Si bukan orang tua saya, atas dasar apa berani meminta saya bersumpah lagi?” 　　Melihat Su Qingxue yang kalap, Jiang Si tersenyum sinis: “Sepertinya adik sepupu kedua tidak berani.” 　　Su Qingxue menggigit bibir sambil menatap Jiang Si, tubuhnya gemetar tak tertahankan. 　　Jangan-jangan dia tahu sesuatu? 216.BAB 216 Menyerahkan Diri 　　BAB 216 Menyerahkan Diri 　　Ekspresi yakin Jiang Si membuat Su Qingxue deg-degan, di bawah tatapan semua orang, tanpa sadar dia menggigit bibirnya. 　　“Kalau adik sepupu kedua tidak berani bersumpah, apakah bisa saya artikan kau sedang merasa bersalah?” Jiang Si menekan tanpa ampun. 　　“Siapa yang bersalah?!” Su Qingxue membalas dengan suara melengking. 　　Jiang Si tersenyum: “Kalau begitu, adik sepupu kedua berani bersumpah?” 　　“Su Qingxue menenangkan diri dan bersikeras: "Saya sudah bersumpah, mengapa harus bersumpah lagi? Di sini ada begitu banyak orang, mengapa Kakak Sepupu Si hanya menargetkan saya? Apakah karena saya hanya seorang anak perempuan dari selir yang tak berarti? Ibu saja begitu toleran tidak menyulitkan saya sebagai anak selir, atas dasar apa Kakak Sepupu Si melakukan ini?"” 　　“Kata-kata Su Qingxue terdengar tegas dan penuh air mata, penuh kesan teraniaya, membuat banyak orang yang hadir merasa tindakan Jiang Si agak berlebihan.” 　　“Jiang Si sama sekali tidak menghiraukan pandangan itu, alis matanya yang indah menunjukkan keheranan: "Sekarang ini sedang mencari pelaku kejahatan yang membunuh Adik Sepupu Kedua, mengapa Adik Sepupu Kedua malah membahas masalah anak perempuan sah dan selir? Alasan saya hanya menanyaimu di antara semua orang di sini, bukankah karena hanya saputanganmu yang muncul di Paviliun Chaoyang? Adik Sepupu Kedua jangan berpikir bahwa dengan mengatakan saputangan itu kebetulan tertiup angin ke sana, bisa langsung membersihkan dirimu dari kecurigaan?"” 　　“"Benar-benar kebetulan, Sanmei bisa menjadi saksi!"” 　　“Su Qingyu melihat Su Qingxue mendorongnya maju, meski kesal tapi mengangguk dengan enggan: "Iya, saya dan Kakak Kedua lewat di tepi danau bersama. Saat melihat orang mengapung di danau kami sangat ketakutan, lari tergesa-gesa, saputangan mungkin jatuh tidak sengaja waktu itu."” 　　“Su Qingxue mendengar perkataan Su Qingyu, tubuhnya yang tegang mulai mengendur.” 　　“Jiang Si menghela napas: "Adik Sepupu Ketiga hanya bisa membuktikan bahwa kalian bersama saat melewati Danau Juxia, bagaimana dengan sebelum itu?"” 　　“"Sebelumnya?" Su Qingyu tertegun.” 　　Melihat reaksi Su Qingyu, Jiang Si mulai memahami situasi: "Benar, sebelumnya San Biaomei dan Er Biaomei selalu bersama? Tidak pernah terpisah?" 　　Su Qingyu langsung terbungkam, refleks menatap Su Qingxue. 　　Ia teringat, ada suatu masa dimana sepertinya ia tidak melihat Kakak Kedua, saat itu kebetulan ada sepupu klan yang mengajaknya mengobrol, ia tidak memperhatikan lebih lanjut. 　　Bibir Su Qingxue memucat beberapa tingkat. 　　"San Biaomei merasa pertanyaan ini sulit dijawab?" tanya Jiang Si dengan tenang. 　　Tuan Besar Su mengerutkan kening memandang Su Qingyu, raut wajahnya gelap. 　　Su Qingyu merasakan tekanan besar menghantam, membuatnya panik. 　　Jiang Si menarik kembali pandangannya, memandang Zhen Shicheng: "Tuan Zhen, pertanyaan sederhana ini dihindari San Biaomei, menurutku San Biaomei lebih mencurigakan dibanding Er Biaomei--" 　　"Tidak!" Su Qingyu tiba-tiba memotong ucapan Jiang Si, wajah kecilnya pucat pasi. 　　Membunuh Kakak Kedua harus menggantikan nyawa, mana mungkin ia mencelakakan diri seperti ini! 　　Su Qingyu panik dan ketakutan, tak peduli lagi, buru-buru berkata: "Aku dan Kakak Kedua tidak selalu bersama, ada saat dimana aku mengobrol dengan orang lain, tidak memperhatikan kemana Kakak Kedua pergi. Kemudian Kakak Kedua kembali duduk disampingku, tak lama kemudian bajunya kotor, baru aku temani ia kembali ganti baju..." 　　Sampai disini, Su Qingyu mulai menyimpan dendam dalam hati pada Su Qingxue. 　　Andai saja Su Qingxue tidak menariknya kembali untuk ganti baju, mana mungkin ia melihat Kakak Kedua tenggelam di danau? 　　“Saat itu kami semua hampir mati ketakutan, tidak sempat melihat siapa orang di danau itu sebelum lari terbirit-birit. Belakangan baru tahu itu adalah Kakak Kedua, saya hampir mati ketakutan. Seandainya Ayah dan selir utama tahu kami sebenarnya melihat Kakak Kedua tapi tidak segera menolong, pasti kami akan dihukum.” 　　Karena itulah, sebelumnya saya tidak berani menyebutkan setengah kata pun. 　　Jiang Si mendapatkan jawaban yang diinginkan, menyunggingkan bibirnya pada Su Qingxue yang wajahnya pucat: “Kalau begitu, bisakah Adik Kedua menceritakan apa yang kau lakukan selama tidak bersama Adik Ketiga?” 　　Su Qingxue merasa senyuman di bibirnya lebih menyeramkan dari iblis, berusaha menahan panik: “Hanya jalan-jalan biasa di taman. Banyak orang seperti saya yang sekadar jalan-jalan, tidak bisakah?” 　　Jiang Si membuka telapak tangan: “Tapi saputangan mereka tidak muncul di Paviliun Chaoyang.” 　　“Cekikikan.” Suara tawa kecil terdengar. 　　Jiang Si melirik Yu Jin, lalu menarik pandangannya dengan tenang. 　　Yu Jin tersenyum kecumit, hati kecilnya merasa sedikit kecewa. 　　Masih bersikap dingin seperti ini padanya, si gadis yang tega ini. 　　Jiang Si tiba-tiba maju selangkah, berkata kata demi kata: “Adik Kedua, saat itu kau sedang di Paviliun Chaoyang kan? Yang menemani Adik Kedua bermain di paviliun itu adalah kau! Saat saya lewat tepi Danau Juxia, Adik Kedua berlari ingin main bersama saya. Karena buru-buru mencari Kakak, saya pergi meninggalkan kalian berdua di sana!” 　　“Nada bicaranya begitu meyakinkan, tanpa sadar semua orang mempercayai sebagian besar ucapannya.” 　　Jiang Si tersenyum dingin: “Setelah aku pergi, entah karena alasan apa kau mendorong sepupu kedua ke danau, lalu lari mencari sepupu ketiga. Karena biasanya kau dan sepupu ketiga selalu bersama, saat kejadian kalian muncul bersama, orang-orang otomatis mengira kalian terus bersama, sehingga memberimu alibi. Padahal, sapu tangan itu adalah milikmu yang tertinggal sebelumnya. Sepupu kedua, benarkah ucapanku?” 　　“Tidak! Kakak Kedua bukan aku yang membunuhnya, kau memfitnah!” Su Qingxue membantah dengan emosi. 　　Jiang Si memandangnya tanpa ekspresi, sama sekali tak tergoyahkan: “Jika sepupu kedua bilang aku memfitnah, silakan bersumpah seperti yang kukatakan untuk membuktikan hatimu bersih.” 　　“Aku... Aku...” Su Qingxue mundur perlahan dua langkah. 　　Tuan Besar Su mulai curiga dengan reaksinya, bertanya berat: “Xue’er, apa hubunganmu dengan kematian kakak keduamu?” 　　“Aku tidak membunuh Kakak Kedua, bukan aku!” Su Qingxue menggelengkan kepala keras-keras, terlihat seperti akan kolaps. 　　Semakin banyak tatapan aneh yang mengarah padanya, membuatnya hampir tak tahan menanggung beban ini. 　　Dalam kepanikannya, Su Qingxue menangkap tatapan Nyonya You yang dingin tak berperi, punggungnya langsung merinding. 　　Jangan sampai selir utama curiga padanya! Meski lolos dari hari ini, nyawanya pasti tidak aman! 　　Soal pemahaman terhadap Nyonya You, Su Qingxue yakin dirinya lebih paham daripada kakak tirinya Su Qingshuang. 　　Dia dicurigai namun selir utama diam seribu bahasa, hanya karena tidak ingin urusannya terbongkar, bukan karena toleransi padanya. Ia harus meyakinkan selir utama bahwa setelah melihat Kakak Kedua mengganggu Jiang Si, ia langsung pergi mencari Sanmei, atau celaka. 　　"Baik, aku bersumpah—" Su Qingxue yang sudah terjepit mengangkat tangan gemetaran. 　　Jiang Si menggelengkan kepala: "Sumpah seperti itu tidak sah. Jika Er Guniang memang tak bersalah, bersumpahlah di hadapan Er Biaodi." 　　Wajah Su Qingxue langsung pucat pasi: "Jiang Si, jangan keterlaluan!" 　　Jiang Si tetap tenang: "Er Guniah terlalu berprasangka. Aku hanya tidak ingin Er Biaodi mati penasaran." 　　Tuan Besar Su menghela napas: "Xue'er, bersumpahlah." 　　Su Qingxue memandangi Tuan Besar Su dengan wajah pucat, seluruh tubuhnya menggigil hebat. 　　Tiba-tiba seseorang menerjang: "Jangan ganggu Er Guniang, akulah pelakunya!" 217. BAB 217 SAKSI MATA 　　BAB 217 SAKSI MATA 　　Wanita paruh baya yang menerjang tiba-tiba menunjukkan aura berbeda, matanya berapi-api. 　　Begitu kerumunan mengenali wanita itu, suasana hening seketika. 　　Bukankah ini selir Tuan Besar? Mengapa muncul di sini? 　　Wajah Su Qingxue semakin berubah, bibirnya gemetar ingin bicara pada selir itu, tapi tak keluar suara. 　　Wanita itu berlari menghampiri Zhen Shicheng dan langsung bersujud: "Orang itu saya yang dorong ke danau, tidak ada hubungannya dengan Er Guniang." 　　"Ini adalah——" Zhen Shicheng menoleh ke Tuan Besar Su. 　　Wajah Tuan Besar Su menjadi gelap melihat wanita yang bersujud di lantai, lalu menjawab dengan canggung: "Dia adalah selir saya." 　　Zhen Shicheng tersadar: "Apakah ini ibu kandung Er Guniang?" 　　Tuan Besar Su mengangguk. 　　Selir ini biasanya sama sekali tidak menonjol, sampai-sampai dia hampir lupa akan keberadaan orang ini. 　　Zhen Shicheng mengamati wanita itu dengan tatapan dingin. 　　Orang yang tiba-tiba maju mengaku bersalah ini, mungkin akan dianggap sebagai seorang selir yang sangat menyayangi putrinya hingga rela menanggung kesalahan. Tapi dia tidak pernah langsung berprasangka pada seseorang, entah itu prasangka baik maupun buruk. 　　"Coba Ibu ceritakan detail kejadiannya." kata Zhen Shicheng dengan datar. 　　Wanita itu mengangkat kepala dan melirik Nyonya You sekejap, ekspresi paniknya tiba-tiba menghilang. Ia duduk tegak dan berkata: "Sebelumnya saya bertemu Er Guniang, awalnya ingin mengobrol baik-baik, tapi Er Guniang buru-buru pergi. Biasanya saya jarang bisa bertemu Er Guniang, sangat merindukannya. Ketika akhirnya bertemu tapi hanya berbicara dua patah kata, hati saya sangat sedih. Saya lalu berjalan tanpa arah, tanpa sadar sampai di Danau Juxia dan melihat Tuan Kedua dengan Nona Sepupu..." 　　Suaranya tenang, bicara perlahan, semua yang hadir mendengarkan dalam diam, hanya suara gemerisik daun tertiup angin dan riak air di permukaan danau yang hidup. 　　Pandangan wanita itu tertuju sebentar pada wajah Jiang Si. 　　Gadis itu memiliki kecantikan luar biasa, begitu muda. 　　Ekspresi wanita itu melunak, lalu berkata perlahan: "Tuan Kedua menghalangi Nona Biao ingin bermain dengannya, tapi Nona Biao tidak menghiraukan dan pergi cepat ditemani dayang. Saya lihat Tuan Kedua berdiri di sana kesal, lalu mendekatinya dan bilang sebenarnya Nona Biao belum jauh, suruh dia lihat ke dalam danau - di sana ada bayangan Nona Biao—" 　　Jiang Zhan langsung mengumpat marah: "Bisa nggak bicara yang bener?!" 　　Bilang ada bayangan Adik Keempat di danau, kan sama saja mengutuk dia jatuh ke air! 　　Jiang Ancheng menampar Jiang Zhan, membentak: "Jangan ikut campur!" 　　Ini bagian penting! 　　"Lalu?" tanya Zhen Shicheng dengan lembut. 　　Wanita itu tersenyum: "Tuan Kedua itu bodoh. Dengar begitu, dia langsung mendekat ke tepi danau untuk melihat. Katanya tidak kelihatan, saya suruh dia membungkuk lebih dekat. Saat dia membungkuk, saya dorong kuat-kuat sampai jatuh ke danau..." 　　Semakin ke ujung cerita, ekspresi wanita itu semakin dingin, senyum tipis mengembang. 　　"Kenapa kau lakukan ini?" Tuan Besar Su tak tahan bertanya. 　　“Mengapa?” Wanita itu mengalihkan pandangannya perlahan, memandang Tuan Besar Su dengan senyuman semakin dingin, “Apakah Suami beliau lupa bagaimana Lin Ge’er meninggal?” 　　Begitu wanita itu mengucapkan kata-kata tersebut, kerumunan orang pun segera berbisik-bisik. 　　Zhen Shicheng memahami identitas Lin Ge’er dari obrolan orang-orang, ternyata Lin Ge’er adalah anak lelaki wanita tersebut, namun meninggal saat masih kecil, akhirnya tidak tercatat dalam urutan generasi muda apalagi dimasukkan ke dalam silsilah keluarga. 　　Wanita itu langsung berdiri dan berkata keras: “Lin Ge’er didorong jatuh dari bukit batu palsu oleh si idiot itu sampai tewas! Kasihan Lin Ge’erku yang belum genap tiga tahun, begitu pintar dan menggemaskan, selalu memelukku dan memanggilku 'selir' dengan suara lembut, tapi dibunuh oleh si brengsek itu!” 　　Air mata bening mengalir di sudut matanya saat wanita itu berbicara: “Tapi hasilnya? Karena si idiot itu lahir dari rahim istri utama, dia sama sekali tidak dihukum, bahkan tidak pernah dimarahi!” 　　“Kalau begitu, mengapa Selir baru bertindak sekarang?” tanya Zhen Shicheng tanpa emosi. 　　Wanita itu tersenyum getir: “Karena aku ini orang rendahan berdarah hina. Anak kandungku dibunuh, tapi masih ada putriku. Demi putriku bisa hidup tenang, terpaksa kutahan semua ini.” 　　“Sekarang tidak tahan lagi?” 　　“Tidak tahan lagi.” Wanita itu mengusap bekas air matanya dengan kasar, “Si tolol itu telah menyakiti orang lagi, dia mendorong Putra Ketiga jatuh dari bukit batu palsu. Putra Ketiga beruntung tidak tewas, tapi siapa yang tahu berapa banyak lagi orang yang akan disakitinya nanti? Jadi lebih baik dia saja yang mati.” 　　Di akhir ucapan, raut wajah wanita itu mengeras seperti pisau. 　　Nyonya Kedua Xu tak bisa menahan diri menutup mulutnya, lingkaran matanya langsung memerah. 　　Setelah bertahun-tahun menikah, dia hanya memiliki Bao Ge seorang anak lelaki. Anak yang dimanjakannya seperti mutiara itu disakiti sampai seperti itu. Sekarang setiap kali menutup mata, bayangan wajah Bao Ge yang berlumuran darah langsung muncul, membuatnya hampir setiap saat mengalami mimpi buruk. 　　Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, orang akan berkata: “Masa kau harus berdebat dengan orang tolol?” 　　Dia tak punya niat jahat, tapi mustahil mengatakan tidak ada dendam sama sekali. Tak disangka ada yang membalas dendamnya. 　　Zhen Shicheng memandang wanita itu lama sambil menghela napas: “Selir hari ini begitu impulsif, apakah ini ada hubungannya dengan Er Guniang Su?” 　　Wanita itu tak bisa menahan pandangannya ke Su Qingxue. 　　Su Qingxue langsung menundukkan kepala, menolak bertatapan. 　　Wanita itu tiba-tiba tersenyum: “Benar, mengapa Er Guniang bahkan enggan berbicara dengan ibu kandungnya sendiri? Anak lelakiku mati, putriku tak menganggapku manusia, lalu mengapa aku harus hidup hina daripada membalas dendam untuk anakku?” 　　"Hari ini adalah hari kematian Lin Ge'er!" Rasa sakitnya seperti ditusuk belati, sangat ingin berbicara dengan putrinya, tapi yang diterimanya hanyalah pandangan merendahkan sang putri. 　　Su Qingxue tiba-tiba mengangkat kepala, tatapannya pada wanita itu memancarkan kebencian. 　　"Kau hamba rendahan ini!" Nyonya You menuding wanita itu, wajahnya pucat karena marah. 　　Saat ini, dia hampir tak bisa menahan diri untuk menyiksa perempuan hina ini dengan pisau, namun sisa akal sehatnya menghentikannya. 　　Wanita itu malah tertawa tanpa beban: "Nyonya bilang saya hamba rendahan ya sudah, memang nasib saya hina, hehehe, mati pun tak apa." 　　"Kau... kau gila!" Nyonya You tak pernah menyangka selir yang biasa merendahkan diri ini berani bicara demikian, gemetar karena amarah. 　　Zhen Shicheng menatap Su Qingxue tajam, berkata kata demi kata: "Nona Er Su, ketika selir itu mendorong Tuan Kedua Su ke sungai, kau sedang menyaksikan dari Paviliun Chaoyang kan?" 　　Meski pengalamannya menyatakan si selir tidak berbohong, tapi tanpa saksi maupun bukti, menutup kasus begitu saja sulit diterima publik. 　　Tubuh Su Qingxue limbung, kebenciannya pada wanita itu mencapai puncak. 　　Mengapa harus menyeretku ke dalam ini? Tak bisakah orang-orang ini membiarkanku? 　　Wajah Zhen Shicheng berubah serius, suaranya menggelegar: "Dengan saputangan sebagai bukti, jika Nona Er Su masih belum mau jujur, maka hamba harus menyimpulkan kau bersekongkol dengan si selir membunuh Tuan Kedua Su--" 　　Su Qingxue tiba-tiba menyela perkataan Zhen Shicheng: "Aku tidak melakukannya!" 　　Zhen Shicheng memandangnya tanpa ekspresi. 　　Su Qingxue langsung kehilangan semangat, menutupi wajahnya: "Benar, saat itu aku sedang berada di Paviliun Chaoyang, melihat selir mendorong Kakak Kedua ke dalam danau..." 　　Akhir bulan sudah dekat, mohon dukungan suara bulanan. Terima kasih semuanya. 218.BAB 218 Pilihan Sulit Er Niu 　　BAB 218 Pilihan Sulit Er Niu 　　Angin yang berhembus dari tepi danau terasa dingin. Meski hari sedang puncak musim panas, orang-orang yang mendengar cerita Su Qingxue tetap merasa merinding. 　　Kebencian Su Qingxue memuncak. 　　Awalnya semuanya berjalan mulus. Ketika menemukan Kakak Kedua, kebetulan hanya dia sendirian. Dengan mudah ia membujuk Kakak Kedua ke Paviliun Chaoyang. 　　Tak lama kemudian, dayang yang dikirim selir utama membawa Jiang Si. Hanya dengan beberapa kata hasutan, Kakak Kedua langsung berlari menghadang Jiang Si. 　　Yang tak disangkanya, dayang Jiang Si ternyata bisa menendang Kakak Kedua yang berbadan besar hingga terjatuh. Sebelum sempat mengajak orang lain datang, Jiang Si sudah berhasil melarikan diri. 　　Tapi yang lebih mengejutkan, selir kemudian datang. Entah apa yang dikatakannya ke Kakak Kedua, tiba-tiba Kakak Kedua berlari ke tepi danau dan menjulurkan kepala. Ia hanya bisa terpana melihat selir mendorong Kakak Kedua dengan sekuat tenaga. 　　Begitu teringat momen itu, Su Qingxue kembali merasakan teror yang mencekik leher. 　　Dia tidak pernah menyangka bahwa selir yang bahkan tidak berani mengangkat kepala sehari-hari akan melakukan hal seperti ini. Saat itu, rasa takutnya begitu mencekam. 　　Selir utama pasti tahu bahwa selir telah membunuh Kakak Kedua, tentu dia pun tidak akan melepaskanku! 　　Dia ingin berlari keluar untuk menyelamatkan orang, tapi dia tidak bisa berenang. Bahkan jika bisa berenang, mustahil baginya menarik tubuh Kakak Kedua. Selir itu tetap berdiri di tepi danau hingga Kakak Kedua berhenti bergerak sebelum pergi dengan cepat. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah melarikan diri dari tempat mengerikan itu, pura-pura tak ada yang terjadi. 　　Zhen Shicheng mendengarkan cerita Su Qingxue dengan tenang, lalu bertanya: "Mengapa Er Guniang dan Tuan Kedua Su berada di Paviliun Chaoyang?" 　　Su Qingxue melirik Nyonya You secepat kilat. 　　Wajah cantik Nyonya You yang sudah berubah muram saat mendengar kisah bagaimana selir membunuh putra keduanya, kembali jernih setelah tatapan itu. 　　Nyonya You mengangguk nyaris tak terlihat pada Su Qingxue, sementara itu mengubur kebencian pada ibu-anak ini dalam hati untuk sementara. 　　Meski tak ingin mengaku, dia sadar: Hari ini yang meninggal adalah putra kedua yang terbelakang. Sedihnya belum sampai membuatnya hancur. Seandainya ini terjadi pada putra sulung, mungkin dia sudah jadi gila. 　　Su Qingxue menenangkan diri, berkata: "Kebetulan bertemu, Kakak Kedua bilang tidak ada yang menemani bermain, jadi memaksa saya menemani bermain kok bulu. Saya rasa tidak pantas bermain di jalan ramai, akhirnya mengajak Kakak Kedua ke Paviliun Chaoyang. Tak lama kemudian sepupu Jiang Si datang, Kakak Kedua langsung berlari kegirangan. Saya ingin mengejar tapi belum sempat bereaksi, sepupu Jiang Si sudah buru-buru pergi. Lalu—" 　　Bagaimanapun dia tidak bisa mengungkap perintah selir utama, karena itu berarti jalan buntu baginya. 　　Sebenarnya Su Qingxue paham, ibu kandungnya telah membunuh anak lelaki selir utama. Meski tidak mengaku sekarang, masa depannya tetap suram. Tapi kesulitan hidup masih lebih baik daripada kehilangan nyawa. 　　Saat ini Su Qingxue sangat menyesali kelakuannya dulu. Andai saja dia tidak melaporkan Jiang Si ke selir utama, mungkin semua ini tidak akan terjadi. 　　Sambil berpikir demikian, matanya tak sengaja menatap Jiang Si. 　　Jiang Si berdiri di samping Jiang Zhan. Merasakan tatapan Su Qingxue, dia memalingkan pandangan sedikit. Matanya dingin tanpa ekspresi. 　　Utang karma harus dibayar. Karena Su Qingxue berani merencanakan tipu muslihat, dia harus siap menerima konsekuensinya. Adapun apakah ada dalang di belakangnya—Jiang Si melirik Nyonya You sekilas. 　　Kehilangan anak kandung, hukuman ini memang tidak ringan. 　　Jiang Si berpikir, kematian "penyakit" Su Qingyi di kehidupan sebelumnya mungkin tidak sesederhana itu. Karena tak lama setelah Su Qingyi "meninggal", dia mendengar kabar ibu kandung Su Qingxue juga wafat. 　　“Kematian ibu kandung Su Qingyi dan Su Qingxue sebelumnya dianggap tidak terkait oleh orang luar. Namun setelah mengetahui kebencian ibu Su Qingxue terhadap Su Qingyi, kebenaran yang ingin ditutupi Keluarga Marquis Yining di kehidupan sebelumnya menjadi jelas.” 　　“Kematian Putra Mahkota Kediaman Marquis karena dibunuh selir ayahnya tentu memalukan. Ini akan merusak reputasi Keluarga Marquis Yining, sehingga alasan 'meninggal karena sakit' paling tepat.” 　　“Apakah Tuan Besar Su masih ada pertanyaan?” Setelah kasus diputuskan, Zhen Shicheng menoleh bertanya pada Su Qingyi. 　　Su Qingyi enggan memandang wanita itu lebih lama, hanya menggelengkan tangan tanpa sepatah kata. 　　“Bawa pergi!” 　　Atas perintah Zhen Shicheng, petugas segera menyeret wanita itu keluar. 　　“Kalau begitu hamba pamit.” Zhen Shicheng memberi hormat pada Su Qingyi, lalu melirik Jiang Si dengan tataman penuh makna saat berpaling. 　　Dari kejadian hari ini, dia menyadari ada yang menjebak nona kecil ini. Semoga si gadis ini cukup cerdik untuk tidak dirugikan. 　　Jiang Si menekuk lutut sedikit ke arah Zhen Shicheng sebagai salam perpisahan. 　　Melihat ketenangannya, Zhen Shicheng merasa lega. 　　Rupanya kekhawatirannya berlebihan. Nona kecil ini selalu punya cara untuk mengubah bahaya menjadi keselamatan. 　　Zhen Shicheng berjalan beberapa langkah lalu menoleh: “Xiao Yu, kenapa belum berangkat?” 　　Yu Jin tersenyum: “Bertemu teman, sekadar mengobrol nostalgia.” 　　“Oh.” Zhen Shicheng mengusap janggutnya. 　　Tentu saja dia tidak bisa menghalangi pangeran yang ingin bersua dengan kenalan. 　　Memandang Yu Jin berjalan mendekati Jiang Si, Zhen Shicheng sampai lupa mengusap janggutnya. 　　Syukurlah berbeda dengan dugaannya, Yu Jin melewati Jiang Si, menepuk bahu Jiang Zhan: "Adik kedua Jiang, kebetulan sekali." 　　Jiang Zhan mengusap hidungnya: "Memang kebetulan, bagaimana Kakak Yu Qi bisa jadi anak buah Tuan Zhen?" 　　Yu Jin menunjuk ke arah gerbang: "Mari kita jalan sambil bicara." 　　Jiang Zhan yang sudah malas tinggal karena sikap buruk Nyonya You terhadap Jiang Si, merasa cocok dengan usulan ini. Setelah pamit singkat pada Jiang Ancheng, ia segera mengikuti Yu Jin pergi. 　　Melihat Yu Jin tak lagi mengganggunya, Jiang Si menghela napas lega. 　　Beginilah sebaiknya. Dengan menjaga jarak, perasaan tak terkendali itu perlahan akan memudar, dan akhirnya hilang sama sekali. 　　Setelah berjalan belasan zhang (±40 meter), Yu Jin tiba-tiba menoleh. Pandangannya menyapu wajah Jiang Si bagai capung menyentuh air, lalu berteriak ke arah Er Niu yang sedang berbaring: "Kemarilah!" 　　Er Niu mendongak ke langit, ekornya menepuk-nepuk tanah sampai debu beterbangan. 　　Ia tak mau pergi. Sang nyonya rumah belum mengelus kepalanya. 　　Yu Jin tak menyangka anjingnya yang biasanya cerdik kini malah ngambek. Suaranya mengeras: "Kemarilah!" 　　Er Niu bangun dengan enggan, mengeong memelas ke arah Jiang Si. 　　Jiang Ancheng buru-buru melindungi Jiang Si, berteriak ke Yu Jin: "Cepat bawa anjingmu pergi, Petugas! Nanti orang-orang jadi ketakutan." 　　Petugas? 　　Seketika itu juga, wajah tampan Pangeran Ketujuh Yu Qi menjadi berkerut, memandang Jiang Ancheng dengan pandangan dalam. 　　Mendengar calon mertua memanggilnya "petugas", perasaan ini benar-benar rumit. 　　Semua kesalahan Er Niu yang suka cari masalah! 　　Yu Jin tanpa ragu melemparkan kesalahan ke Er Niu, memberikan isyarat tangan padanya. 　　Mata Er Niu berbinar-binar. 　　Majikan akan memberinya satu baskom tulang berisi daging! 　　Tapi ketika menoleh melihat Jiang Si, Er Niu kembali dilanda kebingungan. 　　Mana yang harus dipilih: tulang berisi daging atau nyonya rumah? 　　Sudahlah, tulang berisi daging banyak jumlahnya, nyonya rumah hanya satu. 　　Er Niu duduk kembali dengan mantap seperti gunung Tai. 　　Yu Jin sangat ingin berlari kembali untuk menendang Er Niu, tapi di depan Jiang Si hanya bisa menahan diri, kembali memberikan isyarat tangan. 　　Tiga baskom tulang berisi daging! 　　Er Niu langsung melompat berdiri, memandang Jiang Si dengan tatapan penuh penyesalan sebelum lari tergopoh-gopoh mendekat. 　　Jiang Si: "..." 　　Hmm, Nona Jiang masih kalah dari tiga baskom tulang berisi daging. 219.BAB 219 Peringatan 　　BAB 219 Peringatan 　　Jiang Si sangat memahami isyarat tangan Yu Jin, justru karena mengerti, saat ini dia merasa terluka dalam oleh Er Niu. 　　Di hati Er Niu, ternyata dirinya masih kalah dari tiga baskom tulang berisi daging. 　　Tidak, ini bukan kesalahan Er Niu, semua ini ulah Yu Qi yang memaksa Er Niu memilih antara naluri alami dan dirinya. 　　Memikirkan ini, perasaan Jiang Si menjadi jauh lebih baik. 　　"Kediaman Marquis dibuat gaduh seperti ini, suasana riang yang sebelumnya sudah lenyap tak berbekas. Meski cuaca cerah, seluruh kediaman seolah diselimuti kabut suram." 　　Tamu-tamu yang masih bertahan mulai berpencar. 　　Jiang Ancheng membawa Jiang Si dan saudarinya berpamitan pada Pasangan Marquis Yining, lalu meninggalkan Kediaman Marquis. 　　Kereta kuda Dongping Bo Residence dan Keluarga Zhu berjejer di tempat yang sama. Banyak kereta kuda yang sebelumnya parkir sudah pergi mengikuti kepergian tamu, menyisakan lapangan luas yang kosong. 　　Lao Qin bersandar di tembok dengan wajah datar, mengesankan aura "jangan ganggu". Kusir Keluarga Zhu beberapa kali mencoba mengajak bicara tapi gagal. 　　Melihat Jiang Si dan rombongan mendekat, Lao Qin diam-diam berdiri tegak dan berjalan ke samping kereta kuda Keluarga Bo untuk menunggu. 　　Jiang Ancheng melirik ke kanan-kiri, heran bertanya: "Kudanya mana?" 　　Lao Qin menjawab: "Tuan Kedua meminjamkan kuda Tuan kepada temannya." 　　"Bocah nakal itu!" Jiang Ancheng menggebrak mata marah. 　　Jiang Si buru-buru menengahi: "Ayah, kebetulan saya ingin naik kereta yang sama dengan Kakak. Ayah bisa naik kereta saya untuk pulang." 　　Jiang Ancheng mengangguk, berpesan pada Putri Sulung agar menjaga diri baik-baik di rumah mertua. Menyaksikan kedua putri naik ke kereta Keluarga Zhu yang perlahan mulai bergerak, hatinya tiba-tiba terasa getir. 　　Lao Qin melangkah panjang mengikuti. 　　Sejak lama dia diam-diam bersumpah: selama mengawal Nona keluar, keselamatan Nona adalah tanggung jawabnya. 　　"Makanan orang lain tidak semudah itu dimakan, dan Lao Qin jelas seorang yang berprinsip." 　　Menyaksikan Lao Qin berlari mengikuti kereta kuda keluarga lain, Jiang Ancheng tertegun. 　　Ada apa ini, kusirnya kabur, apakah dia harus menyetir kereta pulang sendiri? 　　Di dalam kereta kuda keluarga Zhu, Jiang Si yang tak tahu Ayah Paduka ditinggalkan bersama kereta, setelah duduk menerima teh yang disodorkan Jiang Yi dan meneguknya. 　　"Hari ini kau kaget ya?" tanya Jiang Yi dengan lembut. 　　Jiang Si meletakkan cangkir teh di meja kecil sambil menggelengkan kepala. 　　Jiang Yi yang masih belum pulih dari gejolak hari ini, berkata dengan bibir pucat: "Syukur tidak terkejut. Saat melihat mereka menyeretmu, jantungku berdegup kencang." 　　"Kakak jangan khawatir, sekarang aku sudah bisa melindungi diri sendiri." Jiang Si meraih tangan Jiang Yi sambil tersenyum. 　　Jiang Yi menghela napas pelan: "Sayang sekali sepupu kedua, meski dia berbuat jahat, tapi dia masih belum mengerti." 　　"Tidak semua orang yang belum mengerti akan berbuat jahat." gumam Jiang Si. 　　Setelah menyaksikan wajah buruk Putra Mahkota Marquis Changxing dan pasangan Jiang Qian, beberapa pemikiran Jiang Si sudah berbeda dari kehidupan sebelumnya. 　　Menurutnya, ada segelintir orang yang sejak lahir sudah jahat, tak terselamatkan. 　　Jiang Si sadar pemikiran ini agak keras kepala, tapi dia bagai kertas putih yang telah ternoda tinta, bukan lagi gadis 15 tahun sejati. Bekas luka kehidupan sebelumnya tidak bisa lenyap begitu saja. 　　“Kau bilang apa?” Jiang Yi tidak mendengar gumaman Jiang Si dengan jelas, lalu bertanya. 　　Jiang Si tersenyum: "Hanya merasa terharu akan ketidakkekalan dunia. Ngomong-ngomong, Kakak, nenek dari pihak ibu memanggilmu pulang ada urusan apa?" 　　"Tidak ada yang penting. Nenek dengar Yan Yan tidak enak badan, jadi memanggilku untuk menanyakan kabar." 　　"Dari siapa nenek mendengarnya?" 　　Jiang Yi heran memandang Jiang Si: "Adik Keempat, ada apa?" 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk membuka kartu: "Kakak jelaskan dulu dari mana nenek tahu, baru aku ceritakan." 　　"Dari Bibi (istri paman tertua) yang memberitahu." 　　Senyum sinis mengembang di wajah Jiang Si, persis seperti dugaan. 　　"Adik Keempat, sebenarnya ada masalah apa?" Meski berwatak lembut, Jiang Yi bukan orang bodoh. Ia sudah menangkap keanehan dari sikap adiknya. 　　Tiba-tiba hatinya dipenuhi kegelisahan tak berdasar. Seolah sesuatu yang akan didengarnya akan mengubah seluruh pemahamannya selama ini. 　　Keheningan Jiang Si membuat udara dalam kereta semakin mencekam. Setelah memberi waktu cukup untuk persiapan mental, barulah ia bicara: "Kejadian Er Biaodi (sepupu kedua) menghadangku di tepi Danau Juxia bukan kebetulan. Kemungkinan besar ini rekayasa Bibi (istri paman tertua)." 　　Mulai dari pesan pelayan wanita berpakaian hijau yang mengabarkan Jiang Yi pingsan, hingga menghilangnya pelayan itu, lalu kabar duka tentang Su Qingyi - semuanya ia ceritakan berurutan. 　　Jiang Yi menyimak dalam diam, wajahnya semakin pucat. Tangannya menggenggam tangan Jiang Si gemetaran, “Bagaimana mungkin? Dia bibi kita! Berani-beraninya menjebak adik, tidak takah nuraninya?!” 　　Jiang Si menjawab blak-blakan: “Kak, banyak orang di dunia ini yang memang tak punya hati nurani.” 　　Dia tidak bermaksud menyembunyikan nasib buruk ini dari kakak tertuanya. Meskipun sang kakak berwatak lemah dan mungkin akan sedih mendengarnya selama beberapa hari, namun kakaknya segera menghadapi malapetaka. Jika sekarang tidak memperlihatkan bahwa bahkan keluarga pun bisa berhati keji, justru akan mencelakakan kakaknya. 　　Terkadang, perlindungan terbaik dari orang lain takkan sebanding dengan kemampuan untuk mandiri. 　　Jiang Yi perlahan menenangkan amarahnya, menggenggam erat tangan Jiang Si sambil berkata malu: "Ini semua salahku. Jika saat itu aku membawamu pulang bersama, pasti takkan ada masalah seperti ini." 　　Jiang Si tersenyum: "Jangan berpikir begitu, Kak. Jika seseorang benar-benar berniat jahat, dia selalu akan mencari celah. Kali ini gagal, masih ada kesempatan berikutnya. Jadi ini bukan salah Kakak. Jika Kakak terus menyalahkan diri sendiri, justru aku yang bersalah." 　　Jiang Yi menatap Jiang Si lama-lema, akhirnya menghela napas pelan: "Adikku benar-benar sudah dewasa." 　　Jiang Si mengambil kesempatan menasihati: "Kak, ke depannya kau harus lebih berhati-hati. Mengenal wajah tapi tak tahu isi hati. Mereka yang baik padamu belum tentu tulus, mungkin menyimpan niat jahat..." 　　Jiang Yi terdiam sejenak lalu gugup: "Adik Keempat, meski di dunia ini ada orang jahat, tapi sebagian besar orang baik. Jangan karena kejadian hari ini kau menjadi berubah sifat, seperti orang yang digigit ular lalu takut pada tali sumur." 　　Jiang Si tertegun. 　　Rupanya dia gagal membujuk kakak malah dapat ceramah. 　　Jiang Yi benar-benar khawatir Jiang Si menjadi penyendiri karena trauma, lalu memeluknya sambil terus membujuk. 　　Jiang Si menghela napas: "Kakak tenang, saya tidak akan berpikiran sempit. Tapi kakak juga harus berjanji, niat jahat tidak boleh ada, tapi kewaspadaan harus tetap dijaga." 　　Baru setelah Jiang Yi mengangguk, Jiang Si sedikit lega. 　　Kereta Keluarga Zhu mengantar Jiang Si langsung ke gerbang Dongping Bo Residence. Saat berpisah, Jiang Si bertanya sambil lalu: "Sudahkah Tuan Kedua pulang?" 　　Penjaga pintu menjawab: "Belum." 　　"Ayah saya?" 　　"Sang Bangsawan juga belum terlihat kembali." 　　Jiang Si mengerutkan kening: "Aneh, Lao Qin mengendarai kereta lebih cepat dari kereta Zhu." 　　Lao Qin yang mengendap-endap di belakang mendekat: "Nona, mungkin Sang Bangsawan tidak punya kusir." 　　Jiang Si terbelalak melihat Lao Qin yang tiba-tiba muncul. 　　Lao Qin bersikap sok benar: "Saya hanya kusir nona." 　　Jika perlu, bisa juga menjadi pisau pembunuh di tangan nona. Tapi dia tidak bertanggung jawab pada orang lain, lagipula orang lain tidak memberinya makan. 　　Jiang Si diam sejenak, lalu mengangguk: "Kau benar semuanya." 　　Untung dia bukan Kakak Kedua, setidaknya tidak akan dipukul. 220. BAB 220: Orang Jahat Pasti Mendapat Balasannya 　　BAB 220 Kejahatan Akan Mendapat Balasan Setimpal 　　Sebelum Lao Qin kembali menjemput orang, Jiang Ancheng akhirnya berhasil pulang dengan mengendarai kereta kuda miliknya menggunakan teknik berkendara yang masih kaku. Begitu turun dari kereta, dia langsung mengadu pada Jiang Si. 　　Jiang Si mengira akan dimarahi oleh Ayah Paduka, namun Jiang Ancheng justru langsung memarahi Jiang Zhan: "Kakak Kedua-mu yang brengsek itu, dulu merekomendasikan seorang kusir untukmu sambil menepuk dada menjamin kejujurannya. Ternyata sepatah kata pun dari si brengsek itu tak bisa dipercaya." 　　Jiang Si tersenyum kecut. 　　Saat merekrut Lao Qin masuk kediaman dulu, karena tak bisa muncul sendiri, dia minta bantuan Kakak Kedua. Tak disangka kini Kakak Kedua harus jadi kambing hitam. 　　Jiang Ancheng semakin kesal: "Yang lebih keterlaluan, si brengsek itu menyuruh orang mengendarai kudaku pergi - petugas muda yang bertugas di bawah Tuan Zhen itu. Hmph, terlihat tampan tapi bergaul dengan Kakak Kedua-mu, pasti juga orang sembrono." 　　Sudut mulut Jiang Si berkedut. 　　Betapa Ayah Paduka membenci Kakak Kedua, sampai semua yang berhubungan dengannya langsung dicap sebagai teman buruk. 　　Tapi mengingat orang itu adalah Yu Qi (Pangeran Ketujuh), rasa simpati pun tak muncul sama sekali. 　　Hmm, biarlah kebencian Ayah Paduka datang lebih dahsyat lagi. 　　Setelah memarahi, Jiang Ancheng merasa lega. Tapi untuk menghilangkan amarah sepenuhnya harus menunggu anak lelakinya pulang dan dihajar dulu. 　　“Si'er, jangan takut dengan kejadian hari ini. Ini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Jika tidak perlu, jangan lagi mengunjungi keluarga kakekmu di masa depan.” 　　“Putri mengerti.” 　　Mengetahui hati istri paman tertua, Nyonya You, yang begitu kejam, tentu saja dia tidak akan menginjakkan kaki lagi di Kediaman Marquis Yining jika tidak diperlukan. 　　Jiang Ancheng melihat wajah Jiang Si masih terlihat tenang, barulah setengah hatinya lega dan pergi. 　　Ketika hanya tinggal mereka berdua tuan dan pelayan, Ah Man tak tahan bertanya: “Nona, Bukankah Nona Kedua sepupu itu sangat jahat? Juga dayang baju hijau yang menghilang itu - semuanya berhati busuk! Apakah kita hanya akan diam saja? Tidakkah perbuatan jahat mereka akan mendapat hukuman?” 　　Jiang Si tersenyum: “Orang jahat pasti akan dihukum oleh surga.” 　　Di balik Su Qingxue jelas ada Nyonya You, sang istri paman tertua. Tapi sekarang ibu kandung Su Qingxue telah melukai Su Qingyi. Masa depan Su Qingxue di bawah asuhan Nyonya You pasti akan sangat sulit. 　　Mengenai dayang baju hijau itu, sebelumnya dia tidak pernah melihatnya di sekitar Nyonya You. Ini membuktikan itu bukan dayang utama yang penting. Mungkin sengaja mencari dayang kecil yang tidak mencolok untuk menjalankan rencana jahatnya. 　　Dayang kecil seperti ini, setelah melakukan perbuatan kotor untuk tuannya, kemungkinan besar akan dibungkam atau diusir jauh-jauh. 　　Sedangkan Nyonya You, sang dalang utama, sebenarnya sudah menerima hukuman. Apakah ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu daripada kehilangan anaknya? 　　Jiang Si tidak tahu bahwa beberapa hari kemudian, seorang dayang kecil dari Keluarga Marquis Yining ditemukan tewas tenggelam di Danau Juxia. Seluruh kediaman gempar, semua mengatakan Tuan Kedua sedang mencari pengganti untuk mati. 　　Nyonya rumah You bertindak tegas menghukum para pelayan yang menyebarkan rumor, akhirnya berhasil mencegah penyebaran gosip ke luar. 　　Seperti yang dikatakan Jiang Si, orang jahat pasti akan dihukum langit. Baik yang menyuruh maupun yang menjalankan rencana jahat, akhirnya semua menerima hukuman. 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming menyempatkan diri membaca buku cerita. Terinspirasi oleh suatu adegan, ia memanggil menteri-menteri penting dari enam kementerian untuk menanyakan perkembangan pelatihan para pangeran. 　　Sebenarnya Kaisar Jingming sudah jengkel dengan tingkah laku anak-anaknya yang baru-baru ini sering membuat onar. Ia berpikir para pemuda ini hanya menganggur setiap hari, kadang menonton keributan kadang berkelahi, akhirnya memutuskan untuk mengirim mereka ke enam kementerian agar punya kegiatan resmi. 　　Di lubuk hatinya, Kaisar Jingming enggan mengakui ada sedikit rasa iri pada anak-anaknya: Mengapa para brengsek ini bisa sesuka hati jalan-jalan, berkelahi, bahkan menggoda perempuan baik-baik tanpa konsekuensi? Sementara dirinya harus bangun lebih pagi dari ayam jago, rajin menghadiri sidang dan memeriksa laporan, bahkan membaca buku cerita pun harus sembunyi-sembunyi takut ketahuan pejabat pengawas yang bisa memprotes sampai mati. 　　Jika kehidupan anak lebih enak daripada orangtua, apakah seorang ayah bisa merasa lega? Tentu tidak! 　　“Kaisar Jingming mendengar laporan resmi dari enam menteri utama, alisnya berkeriak tidak sabar.” 　　“Pangeran cerdas dan bijaksana, Pangeran rendah hati dan sopan, Pangeran... Apakah perlu mendengar omong kosong ini lagi? Tidak ada yang baru?” 　　Menteri Hukuman yang cerdik, melihat Kaisar tampak tidak senang, teringat satu hal: “Paduka, Pangeran Yan membantu Prefect Shuntian menyelesaikan kasus tenggelamnya cucu Marquis Yining.” 　　Kaisar Jingming langsung tertarik: “Oh, kasus apa?” 　　Menteri Hukuman menjelaskan singkat kasus tersebut: “Bahkan Prefect Shuntian memuji Pangeran Yan teliti dan berbakat.” 　　Kaisar Jingming senang. Setelah memberhentikan enam menteri, dia menyuruh kasim kepala Pan Hai memanggil Yu Jin ke istana. 　　Yu Jin baru saja minum anggur bersama Jiang Zhan sambil menggali informasi tentang Jiang Si. Saat pulang dengan Anjing Besar, dia bertemu Pan Hai di pohon kurma bengkok depan rumah. 　　“Paduka, Kaisar memanggil Paduka untuk menghadap ke istana.” 　　Mata Yu Jin kembali jernih: “Mohon Kasim menunggu sebentar, saya ganti pakaian dulu.” 　　Tak lama, Yu Jin yang sudah berganti pakaian mengikuti Pan Hai ke istana. 　　“Paduka, Pangeran Yan sudah tiba.” 　　Begitu Yu Jin masuk, Kaisar Jingming mencium bau alkohol samar. 　　Kaisar Jingming langsung cemberut. 　　Minum anggur di siang bolong? 　　“Dari mana datangnya?” 　　Yu Jin menjawab dengan jujur: "Minum bersama teman, saat pulang kebetulan bertemu dengan Paman Pan." 　　"Bukankah ini waktu jam kerja resmi?" 　　"Erchen membantu Tuan Zhen, Prefek Shuntian, mengungkap kasus tenggelam. Karena senang, Erchen mengajak teman minum beberapa gelas." 　　Memandangi putranya yang pipinya kemerahan, Kaisar Jingming menghela napas dalam hati. 　　Anak yang dibesarkan di luar istana memang tak secerdas yang dibesarkan di dalam istana. Sifat terlalu polos seperti ini mudah dimanfaatkan orang. 　　Sebenarnya, ini juga kesalahan dirinya. 　　Dengan pikiran itu, pandangan Kaisar Jingming pada Yu Jin menjadi lebih lembut: "Siapa teman yang kau ajak bergaul sejak kembali?" 　　"Erchen hanya berteman dengan Putra Kedua Keluarga Dongping Bo. Tapi dia belum tahu status asli Erchen." 　　"Keluarga Dongping Bo?" Kaisar Jingming berpikir lama baru teringat: "Benar, awalnya mereka punya ikatan pernikahan dengan Keluarga An Guogong. Tapi putra bungsu An Guogong bunuh diri karena cinta pada gadis biasa, lalu memutuskan pertunangan dengan Dongping Bo. Begitu kan?" 　　Yu Jin tampak bingung: "Erchen tidak tahu hal itu." 　　"Kau baru kembali ke ibu kota, wajar jika belum paham." 　　Memandangi putranya yang tampan bak bunga anggrek dan bambu giok, Kaisar Jingming tersenyum: "Omong-omong, putra bungsu An Guogong itu masih sepupumu. Lao Qi, bagaimana pendapatmu tentang hal ini?" 　　Yu Jin wajah tampannya langsung membeku, berkata dingin: "Erchen rasa Ji San adalah brengsek yang tidak bertanggung jawab. Nona yang terpaksa membatalkan pertunangan karena terlibat dengannya benar-benar sial delapan turunan sampai harus berurusan dengan orang seperti dia." 　　Kaisar Jingming mengusap dagunya. 　　Pemikiran Lao Qi ini cukup unik. 　　Dulu saat mendengar kejadian ini, beliau hanya merasa aneh, belum pernah memikirkan bagaimana nasib nona dari keluarga Dongping Bo yang membatalkan pertunangan itu. 　　Setelah merenung begitu, Kaisar Jingming merasa sebagai kaisar bijaksana seharusnya memberikan perhatian. 　　Hmm, nanti cari kesempatan untuk memberi hadiah sesuatu pada nona itu. 　　Minta vote. 221.BAB 221 Perbedaan 　　BAB 221 Perbedaan 　　Kaisar Jingming adalah penguasa bijaksana. Sebagai kaisar bijak tentu tidak boleh bertindak semaunya. Selain pada putranya sendiri, beliau tidak bisa seenaknya memberi hadiah atau menghukum rakyat. 　　Meski saat ini beliau merasa sedikit iba pada nona malang itu, tidak mungkin langsung memberinya hadiah untuk meningkatkan pamornya. Bagaimana nanti jika pejabat pengawas menuduh beliau terobsesi wanita dan ingin memperluas harem? 　　Setelah memikirkan ini, Kaisar Jingming menatap putranya yang berwajah dingin, tersenyum: "Dia tetap sepupumu, jangan terlalu kasar." 　　Yu Jin tetap tanpa ekspresi: "Erchen membela kebenaran, bukan hubungan darah." 　　Entah membela kebenaran atau hubungan darah, yang pasti membela A Si. Adapun brengsek Ji Chongyi itu, cepat atau lambat akan dihajar untuk membela A Si. 　　Kaisar Jingming menghela nafas: "Kau ini, sepertinya cocok bekerja di bawah Zhen Shicheng." 　　"Terlalu jujur, bahkan tak bisa mengucapkan kata-kata yang enak didengar, sama sekali tak seperti keturunan keluarga kekaisaran." 　　Entah mengapa, meski Kaisar Jingming merasa jengkel, di lubuk hatinya terselip sedikit kekhawatiran. 　　"Tugasmu dikerjakan dengan baik, teruslah berusaha lebih keras di kemudian hari. Pergilah." 　　"Erchen mohon diri." Hingga melewati gerbang istana, Yu Jin masih bingung, sama sekali tak memahami tujuan dipanggil ke istana. 　　Melirik kembali tembok istana yang megah dan sakral, bola mata hitamnya yang bagai permata berkerut halus, memancarkan serpihan cahaya gemerlap. 　　Kasim kepala Pan Hai yang menyaksikan pemandangan ini tiba-tiba merasa Pangeran Ketujuh yang keluar gerbang istana sama sekali berbeda dengan Pangeran Ketujuh yang menghadap Kaisar. Tapi sulit dijelaskan perbedaan spesifiknya. 　　Mungkin karena tak terbiasa dengan belenggu kehidupan istana. 　　Pan Hai kembali ke dalam istana, melapor pada Kaisar Jingming bahwa Yu Jin telah pergi. 　　Kaisar Jingming menurunkan buku cerita yang menutupi wajahnya, melirik Pan Hai, tiba-tiba bertanya: "Menurutmu bagaimana Pangeran Yan?" 　　Pan Hai gemetar. 　　Membicarakan pangeran, itu sama saja dengan gila. 　　"Hamba belum pernah berinteraksi dengan Pangeran Yan, sulit untuk berkomentar." 　　Kaisar Jingming menatap Pan Hai beberapa saat, lalu tersenyum: "Sudahlah, kau boleh pergi." 　　Mungkin karena dia dan para putra lainnya yang lahir dan besar di istana tak berbeda dengan pangeran dari dinasti manapun, sehingga selalu muncul rasa penasaran aneh terhadap anak ketujuh Jin yang lahir di kalangan rakyat. 　　Hanya saja, bahkan Kaisar Jingming sendiri tidak tahu bahwa begitu rasa ingin tahu muncul dari satu orang terhadap orang lain, maka toleransi pun akan tumbuh. 　　Harus lebih banyak bersabar untuk melihat bagaimana pihak lawan bertindak. 　　Setiap gerak-gerik penguasa mempengaruhi hati banyak orang. Setelah Kaisar Jingming memanggil para menteri penting dari enam kementerian untuk dimintai keterangan, hanya Pangeran Yan yang dipanggil masuk ke istana. Akhirnya Pangeran Yan diantar keluar oleh kasim kepala Pan Hai sendiri, hal ini segera memicu spekulasi dari kerumunan. 　　Apakah Pangeran Yan telah mendapatkan perhatian khusus dari Kaisar? 　　Bersaing dengan Putra Mahkota? Ini tidak mungkin, takkan ada yang menyamakan pangeran yang dibesarkan di rakyat jelata dengan Putra Mahkota yang kokoh di Istana Timur. 　　Tapi pangeran yang diperhatikan Kaisar jelas berbeda dengan pangeran yang bahkan wajahnya tak diingat Kaisar. 　　Jika Pangeran Yan tak bisa bersaing dengan Putra Mahkota, bukankah dia bisa membantu orang lain untuk bersaing? 　　Contohnya Pangeran Keempat, Pangeran Qi. 　　Harus diakui, di antara para pangeran, reputasi Pangeran Qi adalah yang tertinggi, berbudi luhur dan berbakat. 　　Para nyonya di istana mendapat kabar lebih dulu. Begitu mendengar, Ibu Suri Xian langsung mulai merencanakan sesuatu. 　　Dulunya dia mengira Lao Qi adalah bidak tak berguna, ternyata kini punya potensi besar. 　　Lao Si yang begitu luar biasa hanya dirugikan karena lahir beberapa tahun lebih muda. Jika ada saudara kandung yang diperhatikan Kaisar untuk membantunya, jalan ke depan akan lebih mudah. 　　Ibu Suri Xian sangat paham betapa pentingnya pangeran mendapatkan kasih sayang kerajaan, seperti halnya Pangeran Keenam. 　　Ibu Selir Zhuangfei, ibu kandung Pangeran Keenam, dulunya terkenal karena bakatnya. Kini sudah tua dan sebenarnya sudah lama tidak disayangi lagi. Namun karena memiliki putra kesayangan Pangeran Keenam yang selalu menghibur Kaisar, setiap kali sang Pangeran berhasil menyenangkan hati Kaisar, Kaisar akan singgah sebentar di tempat Zhuangfei. 　　Karena alasan ini, tak seorang pun di istana berani meremehkan Zhuangfei. 　　Ibu Suri Xian yang tegas dan cepat bertindak. Baru saja Yu Jin kembali ke rumah sipil di Gang Quezi, kasim dari pihak Ibu Suri Xian sudah datang membawa segunung hadiah. 　　Er Niu menghalangi pintu tidak membiarkan mereka masuk. 　　Kasim itu menjerit dengan suara melengking: "Binatang ini, jangan halangi jalan!" 　　Mendengar itu Er Niu murka. Ia melompat dan menjatuhkan kasim itu ke tanah, lalu menggigit pantatnya. 　　Kasim itu menjerit kesakitan: "Kalian ini mati semua? Cepat usir binatang ini!" 　　Long Dan menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum: "Er Niu punya pangkat resmi kelas lima, ditetapkan langsung oleh Kaisar." 　　Tiga tahun yang lalu terjadi pertempuran sengit antara Dinasti Zhou dan Nanlan. Tuanku terluka parah. Saat itu Er Niu menggigit musuh yang hendak membunuh tuannya hingga tewas, lalu menarik tubuh tuannya keluar dari tumpukan mayat. 　　Kaki Er Niu menjadi pincang sejak peristiwa itu. 　　Er Niu bukan hanya menyelamatkan pangeran kekaisaran, tapi musuh Nanlan yang dibunuhnya ternyata seorang pangeran muda. Ketika kabar pertempuran ini sampai ke ibu kota, meski Er Niu hanya seekor anjing, Kaisar Jingming mengabaikan protes para pejabat pengawas dan menganugerahinya gelar Jenderal Xiaotian kelas lima. 　　Begitu Long Dan mengucapkan kata-kata ini, para kasim itu tertegun, bingung membedakan mana yang benar dan palsu. 　　Long Dan menyeringai dingin: "Baru tiga tahun sudah tidak ada yang ingat? Apa kalian mau melihat lempengan tembaga di leher Jenderal Xiaotian?" 　　Er Niu langsung melepaskan gigitannya, berdiri tegak memperlihatkan lempengan tembaga yang tergantung di lehernya. 　　Anjing Besar itu tampak gagah perkasa, memandangi para kasim yang membeku bagai patung kayu. 　　"Lihat? Secara protokol, kalian harus memberi hormat kepada Er Niu. Berani memukulinya? Ini pemberontakan bawahan terhadap atasan, pantas dicambuk dan dijebloskan ke penjara!" 　　Para kasim semakin bingung, spontan menoleh ke pemimpin mereka yang tergeletak di tanah. 　　Kasim pemimpin sambil menutupi pantatnya yang sakit berusaha bangun, baru hendak mengancam dengan nama Ibu Suri Xian, tiba-tiba Anjing Besar setinggi pinggang orang dewasa itu memperlihatkan taringnya. 　　Kasim pemimpin langsung gemetar ketakutan, kabur dengan muka penuh debu. 　　Para kasim lainnya pun bubar berhamburan. 　　Seketika suasana menjadi sunyi, hanya tumpukan hadiah di tanah yang terlihat meriah bagai permata berkilauan. 　　Er Niu menginjak-injak hadiah itu, mendekati Yu Jin yang sejak tadi diam membisu, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke tangan sang tuan dengan manja. 　　Wajah Yu Jin yang dingin bagai salju mencair sedikit, tangannya membelai kepala Er Niu: "Kerja bagus. Nanti suruh Long Dan belikan daging sapi kecap untukmu." 　　"Guk guk!" Er Niu menggonggong puas dua kali, menyelusup di samping tuannya untuk melanjutkan menggerogoti tulang berisi daging. 　　Di bawah teduhan pohon, semangkuk tulang berisi daging memancarkan aroma yang menggugah selera. Er Niu memilih satu tulang yang paling menarik dan mengunyahnya, ekor besarnya bergoyang-goyang. 　　Hmm, ada tulang berisi daging. Jika ditambah kehadiran nyonya rumah, hidup seekor anjing sudah sempurna. 　　Long Dan melihat-lihat hadiah yang menumpuk di lantai, lalu menatap wajah dingin Yu Jin. Ia mencoba bertanya, "Tuanku, apakah hamba harus membuang semua ini ke jalan?" 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Buat apa dibuang? Semuanya barang bagus, simpan saja untuk digunakan!" 　　Ia tak pernah melakukan kebodohan membenci seseorang lalu melampiaskan amarah pada benda-benda. 　　Baik atau buruk, semuanya ulah manusia. Benda mati tak ada hubungannya sama sekali. 　　Kehebohan yang dibuat Er Niu ini membuat banyak pihak yang memperhatikan situasi di sini menjadi tahu. 　　Putra Mahkota yang tadinya sudah bersiap mencari kesempatan untuk menekan Yu Jin habis-habisan—agar nanti tidak pusing kepala jika bersekutu dengan Pangeran Keempat—langsung tersenyum kecut mendengar kabar bahwa utusan Ibu Suri Xian bahkan tak bisa masuk ke gerbang rumah di Gang Quezi. 　　Oh, rupanya ia tak perlu buru-buru menjadi penjahat. Lao Qi memang berbeda dengan saudara-saudara lainnya. 222.BAB 222 Pinggir Sungai Jinshui 　　BAB 222 Pinggir Sungai Jinshui 　　Secepat kilat, tiba bulan Juli. 　　Suhu panas di ibu kota bulan Juli belum reda. Hanya berjalan sebentar di jalan, baju sudah basah kuyup. Tapi menurut kalender musim, ini sudah memasuki awal musim gugur. 　　Langit awal musim gugur terlihat tinggi, awan tipis dan renggang. Pandangan dipenuhi hamparan biru membentang serta sinar matahari yang lebih terik dibanding puncak musim panas. Di musim seperti ini, hati orang-orang tanpa alasan terasa lebih cerah. 　　Namun suasana hati Jiang Si justru semakin hari semakin berat. 　　Kematian Kakak Kedua di kehidupan sebelumnya bagai batu raksasa yang menghimpit dadanya. Semakin dekat tanggal itu, semakin sesak napasnya. 　　Setelah mengalami kematian Yongchang Bo dan istrinya, dia tak berani bertindak gegabah lagi. 　　Ini pelajaran yang membekas dalam-dalam, membuatnya sadar bahwa perubahan sekecil apapun terkadang bisa mendatangkan malapetaka tak terduga. 　　Jiang Si tak mau mempertaruhkan nyawa kakak kandungnya. 　　Daripada mati-matian mencegah Kakak Kedua pergi menyusuri sungai di hari kematiannya dulu, dia lebih memilih mengikuti alur takdir sebelumnya lalu menyelamatkan kakaknya di saat genting. 　　Bagaimana mungkin dia bisa menemani Kakak Kedua setiap saat? Siapa tahu jika mencegah perjalanan kali ini, justru akan ada perjalanan berikutnya? Atau kecelakaan tak terduga lainnya. 　　Bagi Jiang Si, setidaknya informasi tentang waktu dan lokasi kematian Jiang Zhan di kehidupan lalu sudah jelas. Ini jauh lebih baik daripada menghadapi ketidakpastian. 　　Tapi mustahil jika dikatakan hatinya tidak gundah. 　　Kekhawatiran yang berlebihan karena sayang, itu manusiawi adanya. 　　"Nona, badan Nona semakin kurus akhir-akhir ini. Apakah karena cuaca panas sampai tak nafsu makan?" A Qiao menaruh piring kue di meja, membujuk, "Hamba sengaja membuat kue dingin, silakan Nona cicipi." 　　“A Qiao adalah dayang yang cekatan, berbakat dalam membuat kue. Sepiring kue dingin berwarna hijau muda dan merah muda, dibalut serutan kelapa halus seperti bunga embun, terlihat sangat menggugah selera di cuaca panas ini.” 　　Jiang Si menggelengkan kepala: “Kamu dan Ah Man saja yang makan, bawakan saya segelas es madu.” 　　A Qiao hendak membujuk lagi, tapi melihat ekspresi serius Jiang Si, akhirnya mengurungkan niat dan pergi mengambil es madu. 　　Jiang Si berdiri dan mondar-mandir di dalam ruangan yang tidak terlalu luas. 　　Hari ini adalah hari Kakak Kedua berpesiar di sungai bersama Yang Shengcai, cucu Menteri Ritus. 　　Meski telah berulang kali memeriksa setiap detail, yakin tidak ada perubahan dari perkembangan kehidupan sebelumnya, Jiang Si tetap tak bisa tenang sebelum mendapat kabar dari pihak Jiang Zhan. 　　“Nona, nona—” Ah Man berlari masuk terengah-engah. 　　Kebetulan A Qiao sedang membawa es madu, Jiang Si langsung menyodorkannya ke Ah Man. 　　Ah Man meneguk habis dalam sekali teguk, mengembalikan mangkuk kosong ke tangan A Qiao, dan berketa cepat: “Ah Ji menyampaikan kabar, ada yang mengajak Tuan Kedua bermain ke Sungai Jinshui.” 　　Jiang Si menggigit bibirnya keras-keras, kesalnya sampai menyepak bangku kecil di kakinya. 　　Sudah dia tahu Kakak Kedua ini hanya ingat makan tapi lupa dipukul, ternyata tetap bergaul dengan orang-orang seperti Yang Shengcai. 　　Setelah amarahnya mereda, timbul rasa lega. 　　Semuanya memang berjalan sesuai kehidupan sebelumnya, maka dia yakin bisa menyelamatkan kakaknya. 　　“Tuan Kedua kapan pergi?” 　　“Katanya sudah janjian saat senja.” 　　Jiang Si menekan bibirnya, ingin mencari Jiang Zhan untuk memberi beberapa pesan, namun khawatir menimbulkan perubahan tak terduga. Ia terpaksa menahan impuls ini, lalu menyuruh Ah Man memanggil Lao Qin. 　　Tempat pertemuan dengan Lao Qin adalah paviliun yang menghubungkan halaman depan dengan kompleks belakang rumah. 　　Tak lama menunggu, Lao Qin tiba dipandu Ah Man. 　　Di hadapan Jiang Si, Lao Qin menyatukan tinju memberi salam, diam menunggu perintah. 　　Sikap Lao Qin seperti ini justru membuat Jiang Si merasa tenang. 　　Kadang ia butuh orang cerdik seperti A Fei untuk urusan tertentu, tapi kali ini justru membutuhkan orang seperti Lao Qin yang menjalankan perintah tanpa kompromi. 　　Ini menyangkut nyawa kakak laki-lakinya, ia tak boleh ada kesalahan sedikit pun. 　　“Lao Qin, kau kenal Sungai Jinshui?” 　　Lao Qin menggelengkan kepala. 　　Ia bukan penduduk ibu kota, memilih menetap di sini hanya karena ada harapan di hatinya. Tentang Sungai Jinshui bahkan belum pernah dengar. 　　“Kalau begitu pergilah cari tahu. Aku perlu kau mengenal situasi Sungai Jinshui semaksimal mungkin, sewa perahu dan tunggu di sana untukku.” Jiang Si memberi instruksi. 　　Lao Qin bahkan tak menunjukkan keheranan, langsung mengangguk: “Nona tenang saja.” 　　Jiang Si menjelaskan beberapa detail tambahan, akhirnya berkata: “Lao Qin, urusan malam ini sangat penting bagiku, kuserahkan padamu.” 　　Lao Qin menyatukan tinju: “Hamba akan kerahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan tugas Nona.” 　　Setelah berpisah dengan Lao Qin, Jiang Si kembali ke Haitangju mulai menyiapkan perlengkapan. 　　“A Qiao punya firasat buruk, mencoba bertanya: "Nona, kau mau pergi lagi?" 　　Hmm, kenapa dia pakai kata "lagi"? 　　“Ya, malam ini aku dan Ah Man mungkin pulang terlambat. A Qiao, urusan di pekarangan kuasakan padamu, terutama pastikan jangan sampai ada yang tahu aku dan Ah Man tidak ada.” 　　Mulut A Qiao terasa pahit: "Nona—" 　　Ini sudah ketiga kalinya! 　　Akhirnya A Qiao yang malas tidak berhasil mengucapkan kata-kata，setelah mengantar Jiang Si dan Ah Man pergi, diam-diam mengulang "Amitabha" berkali-kali. 　　Jika terus begini, dia bisa jadi vegetarian yang taat beragama. 　　Tepian Sungai Jinshui di siang hari lebih sepi, puncak keramaian terjadi saat malam tiba. Bulan menggantung di dahan pohon, lentera-lentera menyala terang, kapal-kapal hias berlayar di sungai, terdengar samar suara musik dan canda tawa, serta aroma bedak yang terbawa angin. 　　Tempat ini adalah surga para sastrawan, sekaligus lubang emas para bangsawan. "Malam tak pernah tidur di tepian Jinshui" menggambarkan pemandangan megah ini. 　　Jiang Si dan Ah Man dengan penyamaran sederhana mematung menyaksikan kapal-kapal mewah di tepian sungai perlahan menyalakan lentera merah besar, mulai berlayar ke tengah sungai. 　　"Nona." Suara berat terdengar, Lao Qin mengayuh perahu mendekat. 　　Selain perahu hias bergambar naga dan phoenix, di Sungai Jinshui juga terdapat banyak perahu kecil yang lincah. Beberapa adalah pedagang buah segar dan makanan ringan yang mondar-mandir di antara perahu hias, sementara lainnya adalah wanita penghibur biasa yang tak layak naik perahu mewah, sehingga menggunakan perahu kecil untuk menjajakan jasa mereka. 　　Yang mencari kesenangan di Sungai Jinshui bukan hanya orang kaya. 　　Lao Qin dengan mahir mendayung perahu, tak mencolok di antara kapal-kapal lain. 　　Jiang Si dan Ah Man naik ke perahu. 　　Ah Man penasaran: "Lao Qin, tak kusangka kau bisa mendayung." 　　"Hm." Jawab Lao Qin singkat. 　　Di tempat ia dan Ximei tumbuh besar dulu ada sungai. Di masa muda, ia sering bermain air dengan teman-temannya. Bagi yang menguasai ilmu bela diri seperti dirinya, mendayung bukan hal sulit. 　　"Nona, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Ah Man tak sabar. 　　Jiang Si menatap tak berkedap ke depan. 　　Di sana berlabuh sebuah perahu hias yang paling megah di area tersebut. 　　Beberapa pemuda sedang berjalan sambil tertawa menuju perahu itu. Salah satunya sangat dikenalnya - Kakak Kedua, Jiang Zhan. 　　Ah Man membelalakkan mata dan menarik lengan Jiang Si: "Nona, Tuan Kedua datang!" 　　Justru di saat ini Jiang Si menjadi tenang, memberi perintah datar: "Lao Qin, kayuh perahu kita. Ikuti perahu hias itu dari belakang." 　　Lao Qin diam-diam mengayuh dayung membelah riak air, perahu kecil segera menyatu dengan arus perahu yang lalu-lalang, mendekati kapal hiasan. 　　Ada adik yang bertanya kenapa Er Niu suka menggigit pantat! Masih perlu ditanya? Soalnya Er Niu adalah anjing besar! 223.BAB 223 Kapal Hiasan 　　BAB 223 Kapal Hiasan 　　Kapal hiasan itu berpendar cahaya lampu, siluet manusia berkerumun, alunan musik gesek dan tiupan bambu melayang samar di telinga. 　　Jiang Si menyimak baik-baik, jelas mendengar suara pemuda yang agak sembrono: "Cukup tinggalkan beberapa pemuda pelayan saja, semua gadis penghibur turun dari kapal. Terlalu sesak sampai tak ada tempat berpijak." 　　Suara Jiang Zhan yang penuh keraguan terdengar: "Pemuda pelayan?" 　　Pemuda yang bicara tadi tertawa: "Lagi pula hari ini kita hanya minum. Kehadiran wanita bisa mengganggu keseruan. Tapi kalau Kakak Jiang suka gadis penghibur, akan kami tinggalkan dua untukmu." 　　Ah Man mendengar ini, tak bisa tidak menatap Jiang Si. 　　Ternyata teman-teman buruk Tuan Kedua seperti ini. Dibandingkan, Tuan Yu lebih baik. 　　Jiang Si menegang wajahnya sambil mendengarkan jawaban kakak laki-lakinya. 　　Tiba-tiba ia merasa Ayah Paduka terlalu lunak pada Kakak Kedua selama ini. Anak-anak seperti ini harus dipukuli keras! 　　"Tidak usah, tidak usah. Cukup pemuda pelayan saja," Jiang Zhan buru-buru menimpali. 　　"Apa maksudmu, aku ini tipe orang yang suka hura-hura? Datang ke sini terutama karena Yang Shengcai membantuku saat ada masalah, jadi aku memberinya muka dengan makan perdamaian bersama bocah itu Cui Yi. Kalau tidak, mana mungkin aku ikut mereka ke Sungai Jinshui." 　　Batuk-batuk, andai pun datang, lebih enak kalau sendiri. 　　Jiang Si menyeringai mendengarnya. 　　Apa maksudnya 'pelayan pria juga boleh'? Kakak Kedua ini benar-benar tolol! 　　Beberapa wanita berdandan menor mulai turun dari kapal hias satu per satu. 　　Jiang Si menyiapkan dua set pakaian: satu gaun sesuai status gadis penghibur yang sedang dikenakannya, dan satu lagi pakaian pria. 　　Belakangan ini ia sering mengamati tepi Sungai Jinshui. Pakaian ini persis seperti yang biasa dikenakan para pelayan pria di sini. Bukan tipe yang langsung menarik perhatian kerumunan, melainkan yang cocok untuk mengantar teh tanpa mencolok. 　　Wajah Jiang Si yang semula mencolok kini terlihat biasa saja setelah diolesi bedak, sangat sesuai dengan pakaiannya. 　　"Lao Qin, bantu aku melemparkan tubuhku ke kapal hias itu." 　　"Nona, bagaimana dengan hamba?" Ah Man buru-buru bertanya. 　　Jiang Si yang berdiri di tepi kapal menoleh: "Kau dan Lao Qin tetap di kapal, bersiaplah menyambut aku dan Tuan Kedua nanti." 　　Ah Man sama sekali tidak bisa tenang: "Nona, sendirian di kapal hias terlalu berbahaya. Biarkan hamba ikut, jika ada masalah hamba bisa melindungi Nona--" 　　“Cerewet.” Wajah Jiang Si berkerut, “Orang banyak malah bikin ribut, saya tidak akan kenapa-kenapa. Lao Qin, ayo mulai.” 　　Lao Qin mengangguk, mendayung perahu kecil mendekati sisi belakang kapal pesiar, lalu mengangkat Jiang Si ke atas kapal. 　　Melihat Jiang Si dengan lincah melompati pagar dan berjalan ke dalam, cahaya kilat terlihat di mata Lao Qin. 　　Selama ini dia mengira nona ini hanya wanita lemah tak berdaya, tapi melihat kelincahan gerakannya tadi, cukup menarik. 　　Tentu saja, Lao Qin tidak peduli hal-hal ini. Mulai sekarang dia akan terus berada di sekitar kapal, siap menyelamatkan nona secepatnya jika ada bahaya. 　　“Lao Qin.” Ah Man memandang arah menghilangnya Jiang Si dan berbisik pelan. 　　Lao Qin tidak menjawab, wajahnya tenang menatap Ah Man. 　　“Menurutmu apa nona berniat memukul pingsan Tuan Kedua lalu menggotongnya turun dari kapal?” 　　Tujuan sebenarnya Jiang Si ke kapal pesiar tentu tidak bisa diberitahukan pada Ah Man. 　　“Tidak tahu.” Jawab Lao Qin singkat. 　　Ah Man menatap kapal sambil menghela nafas: “Nona ini benar-benar tak mudah.” 　　Jiang Si menyusup masuk ke kapal pesiar, lalu berjalan lihai menuju aula utama. 　　Kapal pesiar semacam ini sudah beberapa kali dia datangi sebelumnya, sehingga tata letaknya hapal di luar kepala. 　　Di aula yang terang benderang seperti siang hari, Jiang Zhan dan yang lain sudah duduk rapi di meja. 　　Beberapa pramusaji muda yang tidak terlalu mencolok wajahnya sibuk mengantar buah dan minuman, sementara beberapa pramusaji berpakaian mewah duduk menemani Jiang Zhan dan kawan-kawannya sambil bercanda. 　　Jiang Zhan mengerutkan kening: "Kita minum aja, ngapain ada orang-orang ini duduk di samping ribut? Cuma bikin ilfil!" 　　Ternyata Kakak Kedua Jiang adalah tipe "jujur" yang sama sekali tidak tertarik pada ketampanan pria. 　　Yang Shengcai hari ini mengenakan jubah ungu tipis bergaya santai, membuat wajahnya tampak seperti giok halus, bibir merah dan kulit putih, benar-benar tampan. 　　Jiang Si menyamar di antara pelayan pria yang mengantarkan teh, mengamat-amatinya dengan tatapan dingin sambil bergumam dalam hati: "Munafik berjubah!" 　　Yang Shengcai yang sedang dikutuk dalam hati Jiang Si hari ini jelas sedang dalam mood baik, bersikap sangat toleran pada Jiang Zhan. Mendengar komentar itu, ia segera mengusir beberapa pelayan pria berdandan norak. 　　Jiang Zhan merasa lebih nyaman, alisnya yang tampan mulai merekah senyum tipis, membuat penampilannya semakin memesona. 　　Mata Yang Shengcai berbinar. Ia menepuk bahu Jiang Zhan: "Saudara Jiang, aku harus berterima kasih sudah datang. Ayo, kita minum dulu segelas!" 　　Jiang Si memandang tangan usil yang menyentuh kakaknya itu, ingin sekali menghunus pisau dan memotongnya. 　　Tanpa alasan, Yang Shengcai tiba-tiba merasakan dingin di lengannya, reflek menggelengkan kepala. 　　Hmm, pasti hanya perasaan. 　　Sang Kakak Kedua yang polos sama sekali tidak menyadari keanehan, dengan santai mengangkat cawan anggur dan bersulang dengan Yang Shengcai. 　　Keduanya menghabiskan anggur sekali teguk. Yang Shengcai tertawa: "Aku paling suka sikap lugasmu! Tidak seperti orang lain yang minum anggur saja banyak alasan, tidak tahu diri!" 　　Selain Jiang Zhan, empat pemuda yang hadir di tempat itu adalah Yang Shengcai yang kakeknya menjabat sebagai Menteri Ritus, kakak perempuannya adalah Permaisuri Putra Mahkota. Lalu Cui Yi yang ayahnya jenderal terkenal dan ibunya Putri Rongyang. Dua pemuda lainnya berasal dari keluarga Wakil Menteri Ritus dan putra Putri Danxia. 　　Keempat orang ini tergolong lingkaran elit para tuan muda di ibu kota, sehingga kata-kata Yang Shengcai penuh keyakinan. 　　Jiang Zhan tersenyum: "Aku juga suka orang yang blak-blakan." 　　Meski awalnya merasa Yang Shengcai agak feminim, setelah berinteraksi ternyata cukup baik. Setidaknya lebih baik daripada Cui Yi itu. 　　Senyumannya membuat Yang Shengcai semakin antusias. 　　Cui Yi di sampingnya mengambil gelas anggur setelah isyarat Yang Shengcai: "Kakak Jiang, dulu adik tidak mengerti, harap jangan dimasukkan hati. Setelah minum anggur ini, kita jadi teman." 　　Sebagai tuan muda yang dermawan dan suka berteman, meski masih tidak menyukai Cui Xu, Jiang Zhan menahan diri menghormati Yang Shengcai. Ia menyentuhkan gelas dan menenggak isinya. 　　Dua pemuda lain menepuk meja bersorak: "Kakak Jiang sungguh lantang! Saudara-saudara langsung akrab melihatmu. Ayo, kita habiskan gelas ini!" 　　Jiang Si memandangi Jiang Zhan yang minum segelas demi segelas anggur, gigi-giginya sakit karena marah. 　　Kakak Kedua-nya yang bodoh itu, seharusnya cepat-cepat mencari kakak ipar seperti Macan Betina untuk mendidiknya. Berani bergaul dengan teman-teman buruk ini, lebih baik dipukul setengah mati dulu! 　　Melihat pipi Jiang Zhan memerah dan matanya berkaca-kaca menunjukkan mabuk, Yang Shengcai merangkul bahunya dengan akrab: "Saudara Jiang, hanya minum saja membosankan, mari kita main sesuatu yang lain." 　　Mata hitam seperti giok Jiang Zhan membesar penuh keingintahuan khas pemuda: "Main apa?" 　　Tiba-tiba Yang Shengcai mendekatkan wajahnya ke telinga Jiang Zhan dan menghembuskan napas: "Kau akan segera tahu." 　　Saat Jiang Zhan masih bingung, Yang Shengcai membuka mulut dan menggigit cuping telinganya dengan lembut. 　　Cui Yi dan lainnya termasuk beberapa pelayan muda tertawa terkekeh-kekeh. 　　Tolong berikan vote, sayang. 224. BAB 224 Membakar 　　BAB 224 Membakar 　　Karena banyak minum, indra dan reaksinya tumpul. Jiang Zhan sejenak benar-benar tidak memahami apa yang terjadi. 　　Setelah sadar, tanpa pikir panjang tinjunya langsung menghantam wajah Yang Shengcai. 　　Jiang Zhan yang mabuk itu sama sekali lupa status lawannya. Pukulan ini tanpa ampun, membuat Yang Shengcai menjerit dengan darah mengucur deras dari hidungnya. 　　Percikan darah panas itu mengenai wajah dan tubuh Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan mengusap wajahnya, menyadari itu darah hidung, langsung memuntahkannya dan mengenai seluruh tubuh Yang Shengcai. 　　Yang Shengcai hampir tidak mabuk karena ingin tetap sadar untuk melakukan hal menyenangkan dengan pemuda tampan di depannya. 　　Kesadaran ini justru membuatnya tak tahan menghadapi serangan muntah tiba-tiba. Yang Shengcai segera membuang nafsu birahinya dan berteriak: "Apa kalian hanya berdiri? Pukuli si idiot ini sampai mati!" 　　Cui Yi melempar cangkir ke lantai, mengusap mulutnya sambil mencibir: "Harusnya dari tadi kita lakukan ini! Sungguh menjengkelkan harus bicara halus dengan bajingan ini!" 　　Beberapa orang segera mengepung Jiang Zhan di tengah, memukulinya dengan benda apa saja yang mereka ambil. 　　Beberapa pelayan pria langsung menunduk dan kabur dari aula begitu melihat kejadian ini, takut terseret masalah. 　　Mereka tidak berani ikut campur perkelahian antar tuan muda. Bahkan mengamatinya pun tidak perlu - terlalu sering melihat adegan cemburu berdarah di tempat hiburan mahal ini. 　　Jiang Si berdiri di sudut yang tidak mencolok, tak seorang pun menyadari keberadaannya baik dari pemuda yang berkelahi maupun pelayan yang mengundurkan diri. 　　Justru dalam situasi ini dia bisa mengamati segalanya dengan lebih jelas. 　　Malam kehidupan sebelumnya, apakah Kakak Kedua juga dipukuli sampai mati lalu dibuang ke Sungai Jinshui seperti ini? 　　Jiang Si tidak buru-buru menyelamatkan Jiang Zhan. 　　“Pertama, kakak laki-laki ini kulitnya kasar dan tebal, beberapa pukulan tidak berarti apa-apa. Yang lebih penting, aku ingin melihat kelanjutannya.” 　　Jiang Zhan biasanya bisa mengatasi dua tiga orang, tapi karena mabuk, setelah menghindari pukulan Cui Yi, kakinya terpeleset hingga tubuhnya terjatuh ke meja. 　　Gelas dan piring berhamburan di lantai, aroma alkohol menyengat. 　　Dua pemuda lain menekan lengan Jiang Zhan dari kiri dan kanan, membuatnya tak bisa bergerak. 　　Cahaya kejam berkilat di mata Cui Yi saat ia mengangkat kursi hendak menghantam kepala Jiang Zhan. 　　Huan Ying di telapak tangan Jiang Si hampir terbang keluar ketika Yang Shengcai berteriak: "Tunggu!" 　　Jiang Si menatap Yang Shengcai. 　　Jangan-jangan hati nuraninya bangkit? 　　Meski sudah memutuskan takkan mengampuni keempat orang ini, tingkat hukuman tetap bergantung pada perbuatan mereka. 　　Cui Yi menurunkan kursi, bingung memandang Yang Shengcai yang compang-camping: "Apa? Di saat seperti ini kau masih tertarik pada bocah ini?" 　　Berbeda dengan Yang Shengcai, dia tak tertarik pada pria. Sesekali main-main masih bisa, tapi Jiang Zhan meskipun tampan, sifatnya sangat menyebalkan. Kalau bukan karena wajah Yang Shengcai, dia malas mendekat. 　　"Tertarik?" Yang Shengcai mengusap wajahnya, bau alkohol bercampur makanan asam membuatnya hampir muntah, kebenciannya pada Jiang Zhan semakin menjadi. 　　"Sejak kecil hidupnya selalu nyaman, kapan pernah mengalami malu seperti ini? Hari ini aku takkan membiarkan bocah ini lolos!" 　　Ekspresi Yang Shengcai semakin mengerang: "Memukulinya untuk apa? Dia tetap putra Keluarga Bo, kalau sampai terluka parah, kita pasti akan kena masalah." 　　Cui Yi menyeringai: "Apa susahnya? Apakah Keluarga Bo berani melawan kita?" 　　Yang Shengcai tertawa dingin: "Kalau bisa diselesaikan dengan mudah, kenapa tidak?" 　　"Lalu bagaimana kita menghabisi bocah ini?" Tatapan penuh jijik Cui Yi tertuju pada Jiang Zhan yang tergeletak di meja sambil berguling-guling. 　　Yang Shengcai menoleh ke arah jendela. 　　Semua jendela di ruang utama kapal hias terbuka lebar, memperlihatkan permukaan sungai yang berkilauan. 　　Bulan telah tinggi di langit malam yang gelap, namun deretan lentera merah yang berkibar-kibar dan lampu kristal berkilauan membuat permukaan sungai terlihat lebih terang dan indah daripada siang hari. 　　Tapi di mata Jiang Si, riak-riak sungai yang tak pernah berhenti ini bagai cermin jahat yang siap menelan segala yang berharga dari manusia kapan saja. 　　Suara dingin Yang Shengcai menggema: "Lempar dia dari sini, semua masalah selesai." 　　Mata Cui Yi membelalak tak percaya, jelas tak menyangka Yang Shengcai menginginkan nyawa Jiang Zhan. 　　Dua pemuda yang menahan Jiang Zhan juga terlihat kaget. 　　Cui Yi menjilat bibirnya: "Kakang Yang, tak perlu sampai menghilangkan nyawa. Memberi pelajaran pada bocah ini seharusnya sudah cukup." 　　Yang Shengcai menatap dua pemuda lainnya: "Kalian juga berpikir begitu?" 　　Kedua pemuda itu tak bisa menahan anggukan. 　　Meski berasal dari keluarga terpandang dan sering menindas rakyat, tapi jumlah nyawa yang mereka ambil sebenarnya tak banyak. Apalagi Jiang Zhan adalah tuan muda dari Keluarga Bo - hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. 　　“Takut?” Yang Shengcang menyapu pandangannya ke tiga orang sambil mencibir, "Sudah kuduga kalian semua pengecut di saat genting!" 　　Playboy seusia ini paling tak tahan diprovokasi. Ketiganya langsung membentak: "Siapa yang pengecut?" 　　Yang Shengcang mendorong dua pemuda itu, lalu menarik Jiang Zhan dari belakang dan mengangkatnya. 　　Setelah perjalanan kacau Jiang Zhan, efek alkohol mulai memuncak. Ia sudah tak bisa berdiri tegak, bahkan tak menyadari bahaya di depan mata. 　　Jiang Si hanya memandangi Yang Shengcang mendorong Jiang Zhan ke jendela, lalu mendorongnya keluar. 　　Suara 'plok' dari tubuh yang jatuh ke air menggema, membuat Cui Yi dan dua lainnya membeku di tempat. 　　Meski bersikap sok jago, dalam hati mereka tak pernah menyangka Yang Shengcang benar-benar akan bertindak. 　　"Nah, sekarang sudah sepi," kata Yang Shengcang sambil menepuk tangan. 　　"Kak Yang, benar-benar didorong turun?" 　　"Kenapa? Takut?" 　　Cui Yi menggosokkan tangannya: "Banyak yang lihat Jiang Zhan naik kapal bersama kita. Nanti saat mayatnya diangkat, bagaimana penjelasannya?" 　　Yang Shengcai tersenyum acuh: "Ada apa yang sulit dijelaskan? Lantai atas kapal pesiar adalah dek terbuka. Katakan saja kita pergi main ke dek bersama, Jiang Zhan mabuk berat lalu terjatuh. Paling-paling kita hanya gagal menyelamatkannya. Kematiannya apa urusan kita? Masa harus terjun ke air menyelamatkan dia sampai mengorbankan nyawa sendiri? Nanti kita kirimkan sejumlah uang ke Kediaman Dongping Bo sebagai ungkapan belasungkawa, itu sudah lebih dari cukup." 　　Semakin lama Yang Shengcai berbicara, semakin berkilau matanya. Seolah yang jatuh ke air tadi bukan manusia, melainkan cangkir anggur atau semangkuk makanan dingin. 　　Dari awal sampai akhir, Jiang Si hanya memandangnya dengan dingin. 　　Ia tidak khawatir dengan keselamatan Jiang Zhan, karena sudah memerintahkan Lao Qin sebelumnya untuk terus memantau situasi kapal pesiar. Jika melihat kakaknya jatuh ke air, Lao Qin akan langsung menyelamatkannya. 　　Ia ingin melihat kebenaran yang tersembunyi dibalik kabut misteri di kehidupan sebelumnya, menyaksikan bagaimana kakaknya dibunuh oleh orang-orang ini. 　　Sekarang, semua yang perlu diketahui sudah jelas. Tentu ia tahu apa yang harus dilakukan. 　　Jiang Si mengeluarkan minyak yang sudah dipersiapkan dan menyiramkannya ke lantai. Kemudian menumpahkan tong-tong anggur yang berjejer, minyak dan anggur bercampur mulai merembes. 　　Baru pada saat ini Yang Shengcai dan yang lain menyadari kehadiran pelayan muda yang belum pergi. 　　"Apa yang kau lakukan?" 　　Jiang Si tersenyum, melemparkan lilin yang sudah dibuka tudungnya ke lantai. 　　Apa yang dilakukan? Tentu saja membunuh dan membakar. 　　Membunuh, membakar, sekalian minta vote. 225. BAB 225 Membunuh 　　BAB 225 Membunuh 　　Percikan api menyentuh minyak dan anggur, langsung menyala dengan hebat. 　　Lantai dan dinding aula kapal hias seluruhnya terbuat dari kayu, ditambah dengan tirai-tirai tipis, hampir seketika seluruh aula dilalap api. 　　Di tengah lautan api, Yang Shengcai dan ketiga temannya bahkan tak bisa melihat jelas wajah pelayan pria muda itu. 　　Pada saat ini mereka tak lagi mempedulikan hal itu, kehilangan ketenangan saat mendorong Jiang Zhan ke air, panik terpancar di wajah mereka sambil berteriak keras: "Kebakaran, kebakaran!" 　　Jiang Si tersenyum pada keempat orang yang panik itu, lalu melompat keluar dari jendela. 　　Suara benda berat jatuh ke air terdengar, seolah memberi petunjuk bagi mereka berempat yang kemudian berbalik kacau dan melompat dari jendela terdekat. 　　Seperti pangsit yang direbus, suara 'plung' terus bergema beruntun. 　　Tak lama setelah keempat orang melompat, pelayan pria dan pelayan di kapal menyadari empat tuan muda telah terjun ke air, lalu menyelamatkan diri dengan kemampuan berenang atau menggunakan baskom kayu. 　　Sensasi pertama Jiang Si setelah melompat ke air adalah dingin. 　　Saat ini hawa panas belum hilang, angin malam masih terasa hangat, justru karena perbedaan suhu udara dan air inilah sungai terasa sangat dingin. 　　Jiang Si tak bisa menahan diri menggigil, kedua kakinya mendorong lembut hingga kepalanya muncul ke permukaan air. 　　Butiran air jernih mengalir di pipi halusnya, pada detik ini tiba-tiba Jiang Si teringat seseorang. 　　"Dia lahir dan besar di ibu kota, dari kompleks belakang rumah Dongping Bo Residence hingga kompleks belakang rumah Keluarga An Guogong, tentu tidak punya kesempatan belajar berenang. Kemampuan ini dia pelajari dari Yu Qi saat di Perbatasan Selatan." 　　"Wilayah selatan banyak perairan, di mana-mana ada danau besar kecil." 　　"Suatu kali Yu Qi bercanda mendorongnya ke sungai, melihatnya berjuang mati-matian, heran bagaimana mungkin Imam Suci Suku Wu Miao tidak bisa berenang." 　　"Saat itu, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan sedih." 　　"Bersalah karena orang itu mendekatinya hanya karena mengira dia adalah Imam Suci A Sang, sedih juga karena hal yang sama." 　　"Akhirnya dia tidak tahan lagi dan mengaku, bahwa dia hanya perempuan Han yang tersesat ke Perbatasan Selatan, bukan Imam Suci A Sang." 　　"Yu Qi terdiam lama, lalu berkata: 'Aku sudah tahu sejak lama, wajahmu sangat mirip A Sang.'" 　　"Baru kemudian dia tahu, bahwa sejak awal Yu Qi sudah paham dia hanyalah pengganti A Sang." 　　"Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Yu Qi dia akhirnya menguasai teknik berenang." 　　"Menurut Yu Qi, dengan banyaknya danau di sini, kalau tidak belajar berenang, bagaimana jika suatu hari terjatuh ke air? Seribu pengawal pun tidak akan menyamai kemampuan menyelamatkan diri sendiri." 　　"Dia sangat setuju, belajar dengan sungguh-sungguh." 　　"Kini, kemampuan ini sudah dua kali terpakai - pertama saat menyelamatkan tunangan Ji Chongyi yang jatuh ke air sehingga berhasil membatalkan pertunangan, kali ini untuk kabur setelah membakar rumah." 　　"'Nona, cepat pegang tangan hamba!' Dalam cahaya bulan yang remang, pantulan air dan lentera bergoyang-goyang di arus sungai, terdengar suara Ah Man yang panik." 　　Jiang Si menggenggam tangan Ah Man yang terulur, menggunakan tenaga sang dayang untuk naik ke perahu dengan lincah. 　　Melihat tubuh Jiang Si yang basah kuyup, Ah Man tak bisa menahan omelan: "Nona, keberanian Nona benar-benar keterlaluan, hampir membuat hamba mati ketakutan!" 　　"Takut apa? Bukankah sudah berembuk dengan Lao Qin." Jiang Si melirik ke sekeliling, "Tuan Kedua baik-baik saja?" 　　Lao Qin menyewa perahu kecil beratap hitam ini sebagai kedok penjual buah segar, menyamar di antara ribuan perahu di Sungai Jinshui tanpa menarik perhatian. 　　Ah Man menunjuk kabin perahu: "Tuan Kedua ada di dalam, masih belum sadar. Tapi Lao Qin bilang dia baik-baik saja." 　　Mereka terus mengikuti perahu pesiar dari dekat. Begitu Jiang Zhan jatuh ke air, langsung diselamatkan. Tapi karena mabuk berat, dia tertidur pulas. 　　Mendengar kabar Jiang Zhan selamat, hati Jiang Si sedikit lega. 　　Saat itu perahu pesiar sudah terbakar hebat, kobaran api menjilat langit bagikan naga marah. Permukaan sungai di sekitarnya memerah diterangi cahaya. 　　Teriakan dan tangisan tak henti terdengar. Perahu-perahu di sekitar sudah bergerak mendekat untuk menolong. 　　"Tolong... tolong——" Suara minta tolong lemah terdengar. Sebuah tangan meraih tepi perahu tempat Jiang Si berada. 　　Tak lama kemudian wajah basah muncul ke permukaan. 　　Ah Man terkejut berbisik, menatap Jiang Si. 　　Orang ini sepertinya teman Tuan Kedua yang naik perahu pesiar bersama. 　　Lao Qin masih memegang dayung dengan tenang, seolah tak melihat apapun. 　　Ia hanya akan mendengarkan perintah nona. Jika nona menyuruhnya menyelamatkan orang, ia akan mengulurkan tangan. Jika nona tidak memberi perintah, ia sama sekali tidak akan bertindak atas kemauannya sendiri. 　　Menyelamatkan orang adalah pekerjaan yang melelahkan. 　　Jiang Si memandang dari atas ke bawah, menatap dingin wajah itu. 　　Orang yang meminta tolong padanya ternyata adalah Yang Shengcai. 　　Pada saat ini, Jiang Si merasa langit sangat adil. Sebenarnya ia tidak berniat segera pergi, tetapi ingin menemukan Yang Shengcai. Tak disangka orang itu malah datang sendiri. 　　Jiang Si tersenyum pada Yang Shengcai yang sedang menengadah meminta tolong. 　　Saat ini, karena terendam air, salep dan bedak di wajahnya mulai meleleh membentuk tetesan keruh yang mengalir di pipinya, terlihat sangat lucu. Untungnya dengan kondisi seperti ini, wajah aslinya semakin tidak terlihat. 　　Yang Shengcai yang sedang berjuang tiba-tiba melihat wajah ini. Namun ia tidak sempat takut, satu tangannya mencengkeram tepi kapal, tangan satunya berusaha meraih ke atas: "Selamatkan aku... Aku cucu Menteri Ritus! Kalian selamatkan aku, aku akan beri kalian kekayaan seumur hidup!" 　　Jiang Si menunduk, tanpa ekspresi di wajahnya, suara dingin seperti es: "Yang kuinginkan, kau tidak akan rela memberikannya." 　　Meski Yang Shengcai adalah anak manja, ia tidak bodoh. Di saat genting antara hidup dan mati, kecerdasannya justru terpacu. Saat ini ia sudah menyadari bahwa Jiang Si adalah pengambil keputusan, segera berkata: "Kau... kau mau apa? Aku akan beri semuanya..." 　　Jiang Si mengangkat sudut bibirnya, tersenyum manis: "Tentu saja aku mau nyawamu." 　　Setelah berkata, dia membuka paksa tangan Yang Shengcai, mengambil galah bambu di perahu lalu menekan kepala Yang Shengcai ke bawah. 　　Yang Shengcai pernah belajar berenang, tapi masih sangat kaku. Setelah jatuh ke air, ia berjuang mati-matian berenang mencari pertolongan ke kapal lain. Sayangnya nasibnya buruk, tujuan awalnya adalah kapal hias yang berjarak belasan zhang, tapi di tengah jalan melihat perahu beratap hitam ini bagai menemukan jerami penyelamat, tak mau dan tak mampu berenang lebih jauh lagi. 　　Namun ia tak menyangka bahwa jerami penyelamat ini sebenarnya adalah mantra pemanggil maut. 　　Seluruh tubuhnya tenggelam dalam air, tak peduli seberapa keras berjuang tak bisa naik ke permukaan. Tekanan galah bambu di kepalanya semakin kuat, membuat tubuhnya perlahan terbenam. 　　Akhirnya Yang Shengcai berhenti bergerak. Ganggang air di dasar sungai melilit pergelangan kakinya, gelembung-gelembung udara mengalir dari sudut mulutnya, perlahan naik ke permukaan lalu pecah. 　　Jiang Si dengan wajah datar menyimpan galah bambu, meletakkannya kembali di perahu, lalu memberi perintah pada Lao Qin: "Pergi." 　　Ekspresi Lao Qin hampir tak berubah sama sekali. Ia segera mempercepat dayungan. 　　Banyak kapal telah mendekat, tapi karena kapal hias terbakar terlalu parah tak bisa mendekat, hanya bisa berusaha menyelamatkan orang-orang yang jatuh ke air. 　　Semua keriuhan dan kepanikan ini ditinggalkan oleh perahu beratap hitam kecil itu saat melaju menuju tepian. 　　Ah Man masih belum sadar dari keterkejutannya melihat tuannya membunuh dengan begitu lancar, suaranya gemetar: "No... nona, tadi--" 　　Jiang Si meliriknya, berkata datar: "Takut apa? Barusan, saya sedang menyelamatkan orang." 　　Binatang tak berperikemanusiaan seperti itu mati, bukankah itu juga bentuk penyelamatan? 　　Ia menoleh, melihat kobaran api menjilat langit di belakang, Sungai Jinshui seolah semakin mempesona. 226.BAB 226 Dengarkan Penjelasanku 　　BAB 226 Dengarkan Penjelasanku 　　"Cepat, cepat!" Rombongan petugas keamanan berlarian di sepanjang tepi sungai. Dalam sorotan api dan lentera, terlihat wajah-wajah mereka yang tegang dan sigap. 　　Sungai Jinshui adalah pusat kemewahan. Kapal-kapal mewah berukir emas itu biasanya dipenuhi pejabat tinggi. Bila terjadi insiden, konsekuensinya akan serius. Sejak menjabat sebagai Prefect Shuntian, Zhen Shicheng selalu menugaskan beberapa Petugas untuk berpatroli di sini. Begitu ada kejadian besar, genderang peringatan akan dibunyikan sehingga pasukan keamanan segera berdatangan. 　　Menjadi Prefect Shuntian yang kompeten membutuhkan pertimbangan menyeluruh di segala aspek. Inilah sebabnya jabatan ini kerap berganti pemangku. Namun jelas, Zhen Shicheng adalah pengecualian yang luar biasa mampu. 　　Wajah Jiang Si berubah melihat kedatangan petugas, ia segera memerintahkan Lao Qin: "Jangan berlabuh dulu. Selipkan kapal kita di antara armada pesiar itu." 　　Mungkin karena sering menyaksikan cara Zhen Shicheng mengungkap kasus, Jiang Si mengembangkan insting tajam dalam hal ini. 　　Kapal mewah terbakar, orang biasa akan memilih tinggal untuk melihat keramaian. Kapal yang diam-diam meninggalkan lokasi justru akan mencurigakan di saat seperti ini. 　　Dia telah melihat anak buah yang sering mendampingi Zhen Shicheng mengkoordinasi sebagian petugas menjaga dermaga, tentu tak bisa mengambil risiko. 　　Atasan yang kompeten pasti memiliki bawahan yang kompeten pula. 　　Perahu kecil tiba-tiba berhenti, terhalang oleh sebuah kapal pesiar mewah. 　　Lao Qin memegang galah bambu, siaga penuh. 　　Berdasarkan pengalaman, ia yakin kapal ini sengaja menghadang mereka. 　　Seorang pria menyembul dari kapal pesiar, berkata pasrah: "Naiklah!" 　　Di tempat yang remang-remang ini, Jiang Si langsung mengenali wajah pria itu. 　　Ah Man menoleh: "Nona, itu Tuan Yu—" 　　Jiang Si melirik tepian sungai yang ramai, lalu tegas memerintahkan Lao Qin: "Bawa Tuan Kedua ke kapal pesiar!" 　　Lao Qin segera menggotong Jiang Zhan ke kapal, disusul Jiang Si dan Ah Man yang naik bergantian. 　　Yu Jin mengangguk halus ke Lao Qin: "Kau bisa pergi sekarang." 　　Lao Qin yang menyamar sebagai pedagang buah jelas lebih aman pergi sendirian, sementara ketiganya lebih terlindungi di kapal Pangeran Ketujuh. 　　Setelah mendapat isyarat dari Jiang Si, Lao Qin mengayuh dayung dan segera menjauh. 　　Kapal pesiar Yu Jin tidak besar maupun mewah, bahkan terkesan sederhana di antara kapal-kapal lain. Yang membedakan adalah tidak adanya penghibur di dalamnya, membuat interiornya terasa lapang dan sunyi. 　　Di aula utama kapal pesiar, di dekat jendela terdapat sebuah meja dengan teko anggur dan beberapa piring buah segar. Karena hanya satu cangkir yang terpakai, suasana terlihat semakin sepi. 　　Setelah menenangkan Jiang Zhan, Yu Jin melihat Jiang Si dan menghela napas: "Pergilah cuci muka dan ganti baju kering dulu." 　　Jiang Si telah merencanakan setiap detail berulang kali untuk hari ini, termasuk aksi melompat ke sungai dari jendela setelah kebakaran. Ini bukan hanya untuk kabur, tapi juga memberi isyarat psikologis kepada Yang Shengcai dan lainnya di saat kritis. Dalam situasi seperti itu, orang-orang cenderung meniru tanpa berpikir ketika melihat seseorang melompat ke sungai. 　　Jiang Si tentu telah mempertimbangkan kebutuhan untuk mengganti pakaian kering nantinya. Karena itu, Ah Man telah membawa dua set pakaian (baik pria maupun wanita) dalam tasnya sebagai persiapan. 　　Kapal pesiar memiliki ruangan yang sangat privat. Jiang Si berganti pakaian ditemani Ah Man, lalu kembali ke aula utama. 　　Pandangan Yu Jin tertuju pada rambut basah gadis itu, ia tersenyum: "Untung cuaca panas, rambutmu akan cepat kering. Tapi ingat untuk berendam air hangat nanti, jangan sampai masuk angin." 　　Jiang Si diam, menatapnya dengan tenang. 　　Yu Jin tersenyum kecut: "Jangan salah paham, hari ini benar-benar kebetulan. Aku tidak mengikutimu." 　　Tentu saja ia takkan pernah mengaku, kalau tidak A Si pasti akan membencinya lagi. 　　Membayangkan gadis berbaju pria itu memegang galah bambu dengan ekspresi datar, mendorong kembali orang yang muncul ke permukaan air, hati pemuda yang gelisah itu pun menjadi lebih tenang. 　　“Hm, untuk sementara lebih baik bersikap baik saja.” 　　“Kau sudah melihat semuanya?” Jiang Si akhirnya membuka mulut. 　　Yu Jin tertawa kaku: “Hehe, jangan-jangan kau mau membunuhku untuk menutupi rahasia?” 　　Jiang Si duduk sambil berkata datar: “Aku tidak sesenggang itu, juga tidak punya kemampuan itu.” 　　Dari jendela, ia melihat bayangan orang yang bergerak-gerak tak jauh, merasakan kelegaan. 　　Yu Qi yang melihatnya membunuh dengan dingin itu seharusnya takkan lagi berniat. Lagipula pria biasanya menyukai wanita yang lemah lembut, sementara dirinya sejak bangkit dari kematian sudah berubah. 　　“Aku melihat Adik kedua Jiang didorong keluar dari jendela.” 　　Sorot mata Jiang Si berkilat saat bertatapan dengan Yu Jin. 　　Sebenarnya ia meragukan pertemuan malam ini hanyalah kebetulan, tapi selama lawannya tak mengaku, ia pun tak akan membongkar, agar si bajingan ini tak jadi semakin sembarangan bicara. 　　“Jadi kau sudah melakukan yang terbaik, jangan merasa bersalah sedikitpun.” 　　Harus diakui, Yu Jin hampir saja bertepuk tangan melihat tekad Jiang Si menghabisi Yang Shengcai, tapi setelah kekaguman mereda, kekhawatiran pun muncul. 　　A Si ini toh masih nona kecil. Setelah membunuh dalam emosi, pasti akan gelisah dan sulit tidur. Bagaimana jika trauma berkepanjangan? 　　“Orang-orang yang membalas kejahatan dengan kebajikan itu pasti ada masalah di kepala. Kakakmu dibunuh orang, wajar saja kalau kau ingin membalas dendam untuknya. Kalau merasa tidak enak hati karena ini, itu lebih bodoh lagi. Pikir saja, dengan matinya satu penjahat, mungkin ribuan orang akan selamat. Kalau dipikir-pikir, ini justru sebuah jasa besar.” Yu Jin berusaha menghibur sang pujaan hati. 　　Di sampingnya, Ah Man tak bisa menahan senyum. 　　Tuan Yu dan Nona ini benar-benar jodoh yang ditakdirkan, perkataan mereka selalu serasi. 　　Ternyata Yu Jin tidak terlalu mahir dalam menghibur orang. Jiang Si mendengar hiburan yang kikuk itu, diam-diam menghela napas. 　　Kalau gadis biasa mendengar hiburan nyeleneh seperti ini, mungkin sudah menangis histeris. 　　Tentu saja, gadis normal juga tidak akan membunuh orang dengan wajah tanpa ekspresi seperti dirinya. 　　Jiang Si tersenyum pada Yu Jin: “Aku tahu yang kulakukan ini baik. Orang semacam itu pantas mati.” 　　Kata-kata Yu Jin tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. Karena berhenti terlalu mendadak, ia malah jadi batuk-batuk. 　　Setelah tenang beberapa saat, Yu Jin menatap wajah Jiang Sin dengan serius: “Tidak merasa bersalah?” 　　“Tidak.” 　　Bersalah? Sekarang ia justru ingin minum anggur sebanyak-banyaknya untuk merayakan kematian si pembunuh kakaknya di kehidupan sebelumnya. 　　“Tidak takut? Tidak gelisah?” Yu Jin hampir tidak percaya. 　　Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada menemukan gadis pujaannya ternyata lebih cocok dari yang dibayangkan? 　　Jiang Si tersenyum manis, suaranya penuh keyakinan: “Tidak. Aku hanya merasa senang.” 　　Yu Jin tertawa terang: “Saya juga senang!” 　　“Kau senang apa?” Jiang Si heran. 　　Yu Jin menahan gejolak di hati, tersenyum dingin: “Awalnya cuma jalan-jalan bosan di Sungai Jinshui malam hari, tak disangka bisa membantu Adik kedua Jiang. Bukankah ini patut disyukuri?” 　　Jiang Si memandang sekeliling kapal pesiar, berkata sambil lalu: “Jalan sendirian di Sungai Jinshui malam hari, memang membosankan.” 　　Senyum Yu Jin mengeras di sudut bibir, batuk kecil: “Justru jalan sendirian lebih nyaman, para gadis penghibur itu bikin pusing. Sebenarnya, saya jarang ke sini.” 　　Harus dengarkan penjelasan saya! 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin Qidian dari Shan Cun De Jiu Shiguang, juga teman-teman pembaca yang sudah memberikan vote dan hadiah. Sampai jumpa besok. 227.BAB 227 Pulang Tidur 　　BAB 227 Pulang Tidur 　　Sungai Jinshui ramai seperti siang hari. Setelah Cui Yi bertiga diselamatkan, tersebar kabar beberapa tuan muda mabuk menyebabkan kapal pesiar terbakar, yang ternyata dinyalakan oleh seorang pelayan muda di kapal. 　　Namun petugas keamanan yang datang malah tak sempat menyelidiki pelayan itu, karena dari mulut Cui Yi bertiga mereka tahu satu hal: Cucu Menteri Ritus Yang Shengcai masih hilang! 　　Sudah lama sejak keempatnya terjun ke air, kalau belum ditemukan juga, situasinya mulai mengkhawatirkan. 　　Sayangnya sedikit petugas yang mahir berenang, terpaksa minta bantuan para pekerja di Sungai Jinshui. 　　Sungai Jinshui yang luas membentang, mencari orang tenggelam di sini bagai mencari jarum di tumpukan jerami. 　　Menjelang tengah malam tanpa perkembangan berarti, hanya segelintir orang yang penasaran masih bertahan sementara kebanyakan orang sudah bersiap pulang. 　　Petugas keamanan di dermaga hanya belasan orang, tak mampu menghalangi kapal-kapal mewah bangsawan yang lalu lalang, namun memeriksa dengan ketat perahu nelayan dan kapal pesiar. 　　Meski begitu, sebagian besar kapal lolos pemeriksaan karena jumlah personel yang terbatas. 　　Lao Qin menyelinap di antara kapal-kapal yang lolos pemeriksaan, sementara kapal hias Yu Jin berlabuh dengan mulus. 　　Daratan yang diselimuti kegelapan malam semakin pekat, membentang bak hamparan tinta hitam di kejauhan. 　　Malam telah merambat separuh, lampu-lampu kota telah padam, hanya bintang-bintang yang berkelip di langit bagai giok hitam. 　　"Biarkan Leng Ying mengantarmu pulang." Di balik kabut senja, Yu Jin menelan kembali keinginannya mengantar langsung gadis yang berpenampilan lelaki itu. 　　Pasti akan ditolak mentah-mentah oleh A Si. 　　"Tak perlu, justru merepotkan jika banyak orang. Lao Qin saja cukup." Jiang Si tetap menolak dengan lembut, "Kuharap kau bisa menjaga kakak keduaku." 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Tenang, aku akan 'merawatnya' dengan baik." 　　Ia sengaja menekankan kata "merawat" mengingat kesepakatan mereka: agar Jiang Zhan mengira dirinya diselamatkan Yu Jin. Sedangkan Jiang Si meminta agar kakaknya diberi pelajaran berharga. 　　Menghadapi permintaan orang yang dicintainya, Yu Jin tentu langsung menyanggupinya tanpa ragu. 　　Adapun persahabatan dengan Jiang Zhan? Hmm, tidak pernah ada. 　　"Kalau begitu baik." Jiang Si tersenyum, lalu pergi ditemani Ah Man. 　　Malam itu, sebagian besar ibu kota ramai tak keruan. 　　Kediaman Jenderal, Kediaman Wakil Menteri, dan Keluarga Bo Taiping menerima pemberitahuan dari Shuntianfu. Seluruh anggota keluarga langsung gempar dan bergegas mengirim orang ke Shuntianfu untuk menjemput. 　　Keluarga Menteri Ritus yang mendengar kabar Yang Shengcai yang jatuh ke air masih belum ditemukan, langsung kacau balau. Mereka mengerahkan semua tenaga yang ada untuk mencari di Sungai Jinshui. 　　Prefect Shuntian Zhen Shicheng tentu tak bisa tidur. Ia duduk di balai pemerintahan dan mulai menginterogasi Cui Yi dan kedua rekannya. 　　"Bagaimana perahu hias itu bisa terbakar?" 　　Ditanya hal ini, ketiganya langsung bersemangat: "Ada seorang pelayan pria yang sengaja membakarnya!" 　　"Tuan Cui, silakan jelaskan." 　　Setelah mendengar penuturan Cui Yi tentang penyebab kebakaran, Zhen Shicheng mengelus jenggotnya tanpa bersuara. 　　Keheningan sejenak membuat ketiganya tidak nyaman. Cui Yi berteriak: "Tuan Zhen, kalian harus menemukan pelayan terkutuk itu dan menghukumnya potong tubuh seribu kali!" 　　"Shuntianfu akan berusaha semampunya." Zhen Shicheng tentu tak mau menjanjikan kepastian. 　　Para playboy ini sejak kecil sudah membuat banyak musuh. Mencari pelaku berdasarkan daftar permusuhan sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. 　　"Bukankah yang minum bersama kalian lebih dari empat orang?" 　　Pertanyaan Zhen Shicheng ini langsung membuat wajah ketiganya berubah pucat. 　　Zhen Shicheng mengetuk meja dengan ringan sambil berkata, "Hamba mendapat informasi dari pelayan yang selamat dari kapal hias bahwa ada lima orang yang minum bersama kalian." 　　Cui Yi tiba-tiba menepuk dahinya, "Oh iya, ada juga Putra Kedua Keluarga Dongping Bo Jiang Zhan yang ikut terjatuh ke air!" 　　Wajah Zhen Shicheng berubah masam, "Kalau begitu, mengapa tidak kalian laporkan sejak awal?" 　　Cui Yi mengernyitkan bibir dengan acuh tak acuh, "Kami terlalu panik, jadi lupa sejenak." 　　"Bahkan orang yang minum bersama bisa terlupakan?" Berdasarkan pengalaman, Zhen Shicheng sudah bisa menyimpulkan ada sesuatu yang disembunyikan. 　　"Kami tidak terlalu akrab. Orang itu diundang oleh Yang Shengcai. Saat kebakaran dan jatuh ke air yang menakutkan itu, kami jadi panik dan melupakannya," sahut dua pemuda lainnya serempak. 　　Wajah Cui Yi berkerut kesal, "Tuan Zhen, kami ini korban. Bukannya mengejar pelaku pembakaran, Shuntianfu malah menginterogasi kami bertiga seperti tahanan. Apa maksudnya ini?" 　　Zhen Shicheng menghantam meja sidang dengan keras. Meski tidak ada petugas yang berteriak "Hormat!", ketiganya tetap kaget. 　　"Apa maksud Paduka?" teriak mereka dengan suara keras namun gemetar. 　　Zhen Shicheng meletakkan meja sidang perlahan, "Ini baru namanya interogasi. Sebelumnya hamba hanya meminta keterangan, tapi kalian merasa diinterogasi seperti tahanan. Jangan-jangan ada perbuatan tercela yang disembunyikan?" 　　"Tidak ada!" bantah mereka serentak. 　　“Tidak ada masalah. Tiga Tuan Gong sudah bekerja keras, kalian boleh pulang ke kediaman. Namun jika nanti hamba membutuhkan keterangan lagi, akan meminta kalian datang kembali.” Zhen Shicheng menyipitkan matanya. 　　Anak-anak kurang ajar yang tak berotak ini bahkan tidak sesulit anakku sendiri, berani-beraninya mengoceh di depanku? 　　Membayangkan anaknya yang akhir-akhir ini lesu, tiba-tiba Zhen Shicheng merasa agak bersalah. 　　Setelah Cui Yi dan dua lainnya pergi, Zhen Shicheng segera menyuruh orang untuk mengirim kabar ke Dongping Bo Residence. 　　Memikirkan nasib hidup-mati Jiang Zhan, suasana hati Zhen Shicheng menjadi suram. 　　Meski sudah biasa menghadapi kematian, tapi menghadapi orang asing dan orang yang dikenal tentu sangat berbeda. 　　Apakah pemuda itu benar-benar sudah tiada? 　　Dan nona kecil itu, pasti akan sangat sedih mengetahui kakaknya mengalami musibah. 　　Dongping Bo Residence pun langsung kacau balau mendengar kabar tersebut. Jiang Ancheng segera mengumpulkan pelayan dan bergegas menuju Sungai Jinshui sambil terus memaki: "Anak kurang ajar! Tunggu ketemu, kau akan kukuliti habis-habisan!" 　　Meski makiannya kasar, matanya berkaca-kaca, tinjannya terkepal gemetar. 　　Tuan Jiang Kedua dan Tuan Jiang Ketiga terus menghibur dengan wajah muram, meski sorot mata lega Tuan Jiang Kedua tersamar dalam kegelapan malam. 　　Di Yaxinyuan, Nyonya Xiao Istri Kedua tertawa terbahak-bahak di balik selimut sutra sebelum akhirnya bergegas ke Cixintang untuk menghibur Nyonya Feng. 　　Dengan kematian Jiang Zhan, garis keturunan Keluarga Utama punah. Jika di kemudian hari suami bisa meraih prestasi besar seperti Yongchang Bo tetangga sebelah, gelar bangsawan secara wajar akan jatuh ke tangan keluarga mereka. 　　Di Haitangju, Ah Man yang melihat Jiang Si berganti pakaian dalam yang bersih dengan tenang tak bisa menahan diri untuk mengingatkan: "Nona, keributan di depan sangat besar. Tuan Besar dan yang lain sedang mencari Tuan Kedua." 　　Jiang Ancheng khawatir putrinya cemas, tidak menyuruh orang mengirim kabar ke Haitangju. Di mata orang lain, Nona Keempat seharusnya masih tertidur lelap, tak tahu bahwa sang nona baru saja kembali dari aksi pembunuhan dan pembakaran. 　　Jiang Si berganti pakaian lalu berbaring: "Jangan pedulikan ini, pergilah tidur." 　　Lebih baik keributan di kediaman semakin menjadi, biar Kakak Kedua melihat sendiri betapa penderitaan yang dibawa pada keluarga akibat ketidakpeduliannya! 228. BAB 228 Sukacita 　　BAB 228 Sukacita 　　Di Sungai Jinshui, orang-orang yang murni ingin menonton keramaian mulai bubar. Hanya tersisa petugas keamanan Shuntianfu dan utusan dari beberapa keluarga yang mencari Yang Shengcai serta Jiang Zhan. 　　Tentu saja, hanya Keluarga Dongping Bo yang mencari Jiang Zhan. Keluarga-keluarga lain seluruhnya mencari Yang Shengcai. 　　Beberapa pemuda yang berkeliaran bersama, tiga selamat dan satu hilang tak diketahui nasibnya. Tiga keluarga yang selamat mustahil bisa lepas tangan. 　　Sungai Jinshui tetap bergelombang megah. Di kejauhan, matahari pagi perlahan melompat dari garis cakrawala dan naik secara bertahap, menyiramkan cahaya oranye lembut ke permukaan sungai. 　　Hari semakin terang, Sungai Jinshui yang biasanya tenang kini dipenuhi keriuhan tak biasa. Permukaan sungai yang berkilauan seperti taburan emas terus-menerus bergelombang, menandakan para penyelam handal yang menyelam ke dasar sungai untuk mencari korban. 　　Seiring menyebarnya kabar, semakin banyak orang berduyun-duyun datang ke tepi sungai untuk membantu pencarian. 　　Yang Shengcai bukan hanya cucu Menteri Ritus, tapi juga adik kandung Permaisuri Putra Mahkota. Hilangnya dia di sungai tentu membuat banyak orang cemas. 　　Zhen Shicheng datang bersama sekelompok petugas, berdiri di tepi sungai sambil mengamati kerumunan orang yang panik dan kelelahan. Dalam hati, dia menghela nafas. 　　Hingga saat ini korban belum ditemukan, situasi semakin tidak menggembirakan. 　　Matahari semakin tinggi, gelombang baru penonton berdatangan memadati tepi Sungai Jinshui berlapis-lapis. 　　Kabarnya Kediaman Menteri Ritus telah mengumumkan hadiah 1.000 tael perak bagi yang menemukan Tuan Yang. Kerumunan pun jadi semakin liar, para perenang berbakat berhamburan masuk ke sungai seperti pangsit rebus hingga aliran air pun tersendat. 　　Wajah Zhen Shicheng menjadi sangat muram, dalam hati mengutuk keluarga Menteri Ritus: "Bajingan!" 　　Mengeluarkan pengumuman seperti ini di saat genting hanya akan memancing banyak orang nekat menyelam. Belum tentu korban ditemukan, malah bisa-bisa menambah korban jiwa. 　　Sungai Jinshui bukan selokan kecil, bahkan perenang terbaik pun bisa celaka di sini. 　　“Zhen Shicheng berjalan cepat ke tempat orang-orang dari kediaman Menteri Ritus menunggu, berkata pada Ayah Yang Shengcai: "Saudara Yang, tarik kembali tawaran hadiah itu. Ini hanya akan membuat situasi semakin sulit dikendalikan." 　　Ayah Yang menyeringai dingin: "Kalian di kantor kabupaten tidak becus, masak kami tidak boleh mencari cara sendiri?" 　　Zhen Shicheng memahami perasaan Ayah Yang, suaranya lembut: "Pencarian tanpa organisasi sama sekali tidak berguna." 　　"Bagaimana bisa tidak berguna? Semakin banyak orang turun ke air mencari, kesempatan menemukan anak lelakiku akan semakin besar. Tuan Zhen, jangan lanjutkan lagi! Hamba ini sekarang tidak ingin mendengar apapun, hanya ingin secepatnya mendapat kabar tentang putra hamba!" 　　Zhen Shicheng menggelengkan kepala. 　　Tiba-tiba tangisan melengking memecah keheningan, membuat semua orang kaget. Ayah Yang bergegas menuju sumber suara. 　　Seorang wanita berlutut di tepi sungai, memeluk pria sambil menangis histeris: "Ayah para gadis, kau tidak boleh pergi begitu saja! Sudah kularang turun ke air, kau nekat mengejar uang hadiah sialan itu, tidak mau mendengarkan. Sekarang kau pergi buat selamanya, tinggalkan kami yatim piatu ini bagaimana?!" 　　Pria itu basah kuyup, kedua matanya terkatup rapat - jelas sudah tidak bernyawa. 　　Seorang pria di sampingnya mendorong sang wanita dan mencoba menekan perut korban, namun sia-sia. 　　Tangisan wanita itu semakin memilukan. 　　Zhen Shicheng mendekati Ayah Yang dan menghela napas: "Saudara Yang sekarang menyaksikan sendiri." 　　Ayah Yang mencemooh: "Lalu apa? Mana bisa orang-orang ini disamakan dengan putraku?" 　　Di mata Zhen Shicheng terlihat kemarahan, ia berkata dengan datar: "Rakyat biasa tentu tak bisa dibandingkan dengan putramu yang berharga, tapi mengingat putramu sekarang hilang, lebih baik kumpulkan lebih banyak karma baik untuknya." 　　Perkataan ini membuat Ayah Yang tersadar, setelah berpikir sejenak ia memerintahkan untuk membatalkan hadiah uang. 　　Zhen Shicheng mengorganisir semua tim penyelamat menjadi belasan regu untuk melakukan pencarian menyeluruh di Sungai Jinshui. Saat matahari tepat di atas kepala, tiba-tiba seorang dari salah satu regu muncul ke permukaan sambil berteriak: "Ada orang di bawah!" 　　Teriakan ini langsung menimbulkan kegemparan besar. 　　Ayah Yang dan Jiang Ancheng hampir bersamaan berlari ke tepi sungai. 　　Anak buah Zhen Shicheng memimpin regu tersebut menyelam, setelah sekitar dua shichen, seorang pria ahli renang muncul perlahan sambil menggendong seseorang dengan satu tangan. 　　Pria itu muncul ke permukaan dan berteriak: "Ditemukan!" 　　Dua orang segera mengambil alih korban dari tangan penyelamat dan berenang menuju tepi. 　　Tepi sungai dipadati kerumunan, yang paling depan adalah Ayah Yang dan Jiang Ancheng. 　　Tim penyelamat segera sampai di tepi dan membaringkan korban di daratan. 　　Setelah terendam semalaman, tubuh korban sudah membengkak. Rambut yang terurai menutupi sebagian besar wajah, menyulitkan identifikasi. 　　Zhen Shicheng memandang Ayah Yang dan Jiang Ancheng secara bergantian. 　　Ayah Yang yang melihat jubah ungu di tubuh korban langsung limbung dan nyaris terjatuh. 　　Yang Shengcai memang menyukai warna ungu, sebagian besar pakaiannya berwarna ini. 　　Orang di sampingnya segera menopang Ayah Yang yang hampir pingsan. 　　"Ayah Yang berjalan langkah demi langkah menuju mayat dengan sisa harapan satu dalam sejuta." 　　"Anak buah Zhen Shicheng diam-diam menyisir rambut yang menutupi wajah mayat, memperlihatkan seluruh wajahnya." 　　"Saat melihat jelas wajah mayat itu, harapan palsu terakhir Ayah Yang punah. Ia terhuyung-huyung berlari mendekat." 　　"Di saat yang sama, Jiang Ancheng menghela napas lega lalu terjatuh duduk di tanah." 　　"Hanya Tuhan yang tahu betapa ngerinya dia tadi, jantungnya nyaris melompat ke tenggorokan." 　　"Untung bukan anak kurang ajar itu!" 　　"Pada detik ini, Jiang Ancheng tiba-tiba merasakan dorongan untuk menangis." 　　"Tuan Jiang Ketiga berlutut setengah, menepuk bahu kakaknya keras-keras sambil berbisik menghibur: 'Kakak, tak ada kabar saat ini justru kabar terbaik.'" 　　"Tuan Jiang Kedua tampak kecewa." 　　"Jika Jiang Zhan mati, jalan Keluarga Kedua akan semakin mulus." 　　"Tapi tak perlu buru-buru. Dalam kondisi sekarang, Jiang Zhan sama sekali tak punya harapan selamat." 　　"Orang dari keluarga Menteri Ritus segera membawa mayat Yang Shengcai pergi. Sisanya terus mencari, namun seiring waktu tetap tak membuahkan hasil." 　　"Banyak yang kehabisan tenaga mulai duduk beristirahat di tepi sungai, sementara kerumunan penonton berbisik-bisik." 　　"'Mungkin tersapu arus? Aku ingat dulu ada anak desa tetangga jatuh ke sungai, tak ditemukan sampai mayatnya mengapung seratus li jauhnya.'" 　　"'Bisa jadi. Kalau tidak, masa keributan sebesar ini sampai dasar sungai nyaris dibalik, tapi tetap tak ketemu?'" 　　…… 　　Jiang Si pagi-pagi bersiap-siap lalu pergi ke Cixintang untuk memberi salam. 　　Nyonya Xiao Istri Kedua dan Nyonya Guo sudah lebih dulu tiba, sedang menemani Nyonya Feng berbincang. Suasana mendadak hening saat melihat Jiang Si masuk. 　　Jiang Si hari ini mengenakan blus putih bermotif awan dipadukan dengan rok delima merah menyala, matanya berkilau dan giginya putih berseri, kecantikannya yang memesona melebihi bunga. 　　Nyonya Xiao menyeringai dingin: "Nona Keempat hari ini berpakaian sangat meriah." 　　Si gadis bodoh ini belum tahu kalau kakak laki-lakinya sendiri sudah tenggelam mati? Berpakaian seperti ini sungguh ironis. 　　Tapi mungkin ini lebih baik, Ibu Suri pasti tidak senang melihat si gadis kecil ini. 　　Jiang Si menunduk mengangkat tepi rok merahnya, tersenyum manis: "Mood sedang baik tentu harus berpakaian meriah, biar Nenek juga senang melihatnya." 　　Dari A Fei sudah dapat kabar, para pelayan dan dayang di kapal hias semuanya telah diselamatkan. 　　Meski melalui pengamatan berulang sebelumnya, Jiang Si yakin membakar kapal tak akan melibatkan orang tak bersalah, tapi tetap ada kemungkinan kecelakaan. Mendengar kabar ini hatinya benar-benar senang. 　　Adapun Cui Yi bertiga - Jiang Si menggigit bibir halus, dingin memancar dari matanya. 　　Perhitungan ini belum selesai! 229.BAB 229 Kelebihan Jiang Zhan 　　BAB 229 Kelebihan Jiang Zhan 　　"Mood sedang baik?" Nyonya Xiao menghela napas panjang, "Nona Keempat, kalau kau tahu apa yang terjadi tadi malam, takkan berkata begitu." 　　Ekspresi kebingungan muncul di wajah Jiang Si. 　　Xiao Shi hatinya semakin lega, namun wajahnya menunjukkan ekspresi sedih, memegang saputangan dan mengusap sudut matanya: "Ah, bagaimana aku harus menjelaskan ini padamu." 　　Nyonya Feng sudah tidak sabar: "Pulang dan ganti baju saja." 　　Meski tidak terlalu menghargai cucu laki-laki kedua ini, bagaimanapun dia adalah putra ketiga generasi Keluarga Bo. Di masa ini, kejayaan sebuah keluarga diukur dari banyaknya keturunan laki-laki. 　　Lagipula, meski Jiang Zhan tidak berbakat, bagaimana bisa tahu bahwa di antara keturunannya nanti tidak ada yang bisa memuliakan keluarga? 　　Karena itu suasana hati Nyonya Feng saat ini tidak baik, memandang gaun merah Jiang Si terasa menyakitkan mata. 　　Jiang Si menunduk melihat baju sendiri, bingung: "Cucu tidak tahu di mana letak kesalahannya——" 　　"Kakak Keduamu jatuh ke sungai tadi malam, sampai sekarang keberadaannya masih belum diketahui!" Nyonya Feng berkata kesal. 　　Sebelumnya melihat Putra Mahkota Yongchang Bo dari tetangga cukup akrab dengan Jiang Si, Nyonya Feng mulai menilai ulang nilai cucu perempuannya ini, lalu berulang kali menyiratkan agar Jiang Si sering berkunjung ke Nona Pertama Kediaman Yongchang Bo. 　　Namun Jiang Si seolah tak peka, sejak pulang dari Kediaman Yongchang Bo itu tak pernah kembali mengunjungi. 　　Meski masih menyimpan harapan, kekecewaan Nyonya Feng pada ketidakpekaan Jiang Si semakin menjadi. Ketika terjadi masalah di Keluarga Marquis Yining yang juga melibatkan Jiang Si, meski akhirnya terbukti tidak bersalah, Nyonya Feng paham cucunya ini tak akan diterima baik di sana lagi, sehingga perhatiannya padanya semakin memudar. 　　Tidak bisa dipungkiri, Nyonya Feng adalah orang yang sangat pragmatis. Ketika posisi seseorang dalam hatinya berkurang, maka sikapnya pun secara alami berubah. 　　Jiang Si membuka matanya sedikit lebar, menunjukkan keterkejutan yang terukur sambil bergumam, "Apakah ada kabar tentang Kakak Kedua sekarang? Mengapa baru memberi tahu saya sekarang?" 　　Xiao Shi memandang ekspresi Jiang Si yang terpukul dengan perasaan puas. 　　Dulunya dia tak pernah menganggap Jiang Si berarti, namun entah sejak kapan, setiap berhadapan dengan si gadis ini selalu merugi. Amarah ini sungguh sulit ditelan. 　　Satu-satunya kakak laki-laki telah tiada, mulai sekarang keluarga asal kehilangan satu sandaran besar. Dia ingin melihat bagaimana si gadis ini bisa tetap angkuh. 　　Sambil berpikir demikian, Xiao Shi menunjukkan ekspresi penuh perhatian, "Ayahmu, paman, dan Kakak segera pergi ke Sungai Jinshui begitu mendapat kabar. Sampai sekarang belum ada berita tentang Kakak Keduamu. Alasan baru memberi tahumu sekarang karena ayahmu takut kamu sulit tidur jika tahu malam tadi. Kasihan orang tua mana pun, jika sesuatu terjadi pada Kakak Keduamu, bagaimana nasib ayahmu?" 　　"Bibi Er sangat berharap Kakak Kedua saya celaka?" tanya Jiang Si dengan wajah muram. 　　Ekspresi Xiao Shi berubah masam, "Nona Keempat, Kakak Keduamu juga saya besarkan sejak kecil, tak berbeda dengan Kakak dan San Di. Mana mungkin saya berharap dia celaka? Perkataanmu membuat bibi sangat kecewa." 　　"Oh." Jiang Si melontarkan satu suku kata. 　　Xiao Shi tercekat, diam-diam menggeretakkan giginya. 　　Si gadis ini benar-benar bisa membuat orang mati kesal! 　　Memikirkan nasib Jiang Zhan, amarah Xiao Shi mereda sebagian besar. Ia menasihati, "Nona Keempat, dengarkan kata Ibu Suri, cepatlah ganti baju." 　　Jiang Si merapikan bajunya, berkata dengan tenang, "Aku tidak akan ganti." 　　"Si'er!" Nyonya Feng berseru tak senang. 　　Jiang Si sedikit mengangkat dagunya, "Nenek, baju apa yang ingin cucu ganti? Apakah harus memakai gaun putih?" 　　Nyonya Feng tertegun oleh pertanyaan itu. 　　Jiang Si memandang tajam ke Xiao Shi, berkata dingin, "Berita tentang kakak keduaku belum ada, tapi Bibi Er sudah menghasut Nenek untuk menyuruhku ganti baju. Hati apa ini? Andai kemarin malam yang tenggelam adalah Kakak, apakah Bibi Er tidak merasa sial melihatku memakai pakaian berkabung pagi ini?" 　　Xiao Shi pucat mendengar perumpamaan tentang putra sulungnya, "Nona Keempat, apa maksud ucapanmu ini? Masihkah kau menghormati bibimu ini?" 　　Nyonya Guo yang berdiri di samping mencoba melerai, "Kakak Ipar, sudahlah. Tuan Kedua mengalami musibah, Nona Keempat juga sedang bersedih." 　　Xiao Shi mendengus dingin, tak melanjutkan bicara. 　　Saat ini tak perlu berdebat dengan si gadis kecil ini. Yang mati tetap Jiang Zhan, nanti kita lihat siapa yang akan menangis! 　　“Saya datang memberi salam pada Nenek pagi ini, setelah mengenakan rok delima ini rasanya hati jadi senang, seolah ada kabar baik yang akan datang. Saya yakin ini pertanda baik, jadi tidak akan mengganti rok ini.” Suara Jiang Si tegas, membungkuk pada Nyonya Feng, “Nenek, mohon jangan menyulitkan cucu perempuanmu.” 　　“Kau—” Nyonya Feng geram pada sikap keras Jiang Si di hadapan orang tua, ini membuatnya merasa terhina. 　　Jiang Si tetap tenang menunggu Nyonya Feng meluapkan amarah. 　　Belakangan sikap nenek agak aneh, seolah punya maksud tersembunyi. Ia tidak boleh menunjukkan kelemahan, membuat sang nenek menganggapnya seperti adonan yang bisa dibentuk semaunya. 　　Sepertinya seluruh anggota keluarga lupa, bahkan di kehidupan sebelumnya, dirinya bukanlah tipe perempuan yang penurut dan manis. 　　“Baik, kita tunggu kabar dari ayahmu!” Nyonya Feng menahan amarah. 　　Ia tak mau berdebat dengan si gadis kecil sekarang, semua akan dibicarakan setelah ada kabar tentang cucu laki-lakinya. 　　“Jika Kakak Keduamu celaka—” 　　Jika kabar buruk itu benar, ia pasti akan menghajar habis-habisan si gadis ini. 　　Jiang Si tersenyum: “Nenek tenang saja, Kakak Kedua saya orang baik, orang baik pasti dapat karma baik.” 　　Matanya lalu melirik sinis ke arah Xiao Shi: “Sedangkan orang-orang jahat, biarlah alam yang menghukum.” 　　Xiao Shi hampir mati menggemaskan. 　　Ini kan sindiran halus? Si gadis kecil benar-benar keterlaluan! 　　“Tapi pada akhirnya dia tidak punya otak, untung orang baik akan mendapat balasan baik. Jiang Zhan sudah lama terjatuh ke air, sekarang mayatnya mungkin sudah membengkak.” 　　Nyonya Guo mengamati dengan dingin, menghela napas pelan. 　　Nona Keempat tidak mau percaya kenyataan bahwa Tuan Kedua mengalami kecelakaan, lebih memilih membantah Ibu Suri daripada berganti baju, seolah-olah ini akan baik-baik saja. 　　Ah, sungguh menyedihkan dan patut disesalkan. 　　Nyonya Feng malas berbicara sepatah kata pun lagi dengan Jiang Si, menutup mata perlahan sambil memutar biji tasbih satu per satu. 　　Jiang Si sama sekali tidak peduli dengan pikiran orang lain, dia hanya ingin tahu bagaimana kabar kakak keduanya yang sedang "dijaga" Yu Qi. 　　Jiang Zhan saat ini sudah sadar, mabuk berat membuat kepalanya sakit seperti dihantam. Melihat orang di depannya, dia menggosok matanya: “Kenapa Kakak Yu Qi bisa ada di sini? Pasti aku belum sadar sepenuhnya.” 　　“Saudara, kau terlibat masalah besar.” Yu Jin menepuk bahu Jiang Zhan dengan keras. 　　Jiang Zhan tertegun: “Kakak Yu Qi, aku terlibat masalah apa?” 　　Yu Jin menghela napas: “Kejadian tadi malam sama sekali tidak kau ingat?” 　　Jiang Zhan terdiam sejenak, terjebak dalam kenangan. 　　Tadi malam dia minum bersama Yang Shengcai dan beberapa orang. Setelah minum cukup banyak, Yang Shengcai mengusul main permainan lain, bahkan menggigit telinganya. Marah, dia berkelahi, lalu— 　　Jiang Zhan mengetuk kepalanya pelan-pelan. 　　Apa yang terjadi setelah itu, dia sama sekali tidak ingat. 　　Jiang Zhan memandang Yu Jin dengan tatapan minta tolong. 　　Yu Jin memandang dengan wajah sangat serius: "Sama sekali tidak menyangka Adik kedua Jiang bisa dirugikan begitu parah oleh seseorang, itupun seorang suami!" 　　Hmm, ternyata kebiasaan Jiang Zhan bicara dalam tidur memang sebuah kelebihan. 230. BAB 230 Putus Asa 　　BAB 230 Putus Asa 　　Jiang Zhan langsung membeku, berbicara gemetar: "Yu... Yu Qi ge... Katanya saya diperlakukan tidak senonoh oleh pria?" 　　Yu Jin paham prinsip "diam lebih bermakna" saat ini, menatap Jiang Zhan dengan pandangan dalam tanpa sepatah kata. 　　Jiang Zhan masih tak percaya, perlahan menunduk memandangi badannya. Ia baru sadar pakaiannya sudah diganti, tapi lupa bahwa mengganti baju setelah tenggelam adalah hal yang wajar. 　　Saat ini, pikirannya dipenuhi kilatan petir, membayangkan berbagai adegan memalukan bagaimana seorang pria mempermainkannya. 　　"Huek——" Adegan itu terlalu memualkan, Jiang Zhan memegang pilar teras sambil muntah. 　　Bau muntahan pemabuk yang semalaman tentu tidak perlu dijelaskan lagi, aroma asam dan busuk segera menyebar. 　　Yu Jin sangat jijik dalam hati, tapi raut wajahnya tetap tenang. 　　Bercanda, dia sudah berjanji pada A Si untuk "merawat" bocah ini dengan baik. Jarang A Si meminta bantuannya, tentu harus dilaksanakan hingga si bocah benar-benar trauma. 　　Hmm, untung dia punya firasat baik, tidak membawa Jiang Zhan ke kamar tidurnya. Kalau tidak, harus pindah rumah nanti. 　　Long Dan yang berdiri di luar pintu: "..." Ini kamarnya! Diam-diam dia bersumpah akan membunuh majikannya! 　　Menahan bau menyengat, Yu Jin menepuk punggung Jiang Zhan dengan penuh simpati: "Adik kedua Jiang, kalau tidak tahan muntah saja sepuasnya, semua dikeluarkan pasti akan lebih baik." 　　Long Dan: ?? 　　Hati Jiang Zhan benar-benar membeku. 　　Dia masih sedikit memahami Kakak Yu Qi, orang yang biasanya sangat menjaga kebersihan ini sekarang malah begitu toleran padanya, jelas menunjukkan— 　　Jiang Zhan bahkan tak bisa memuntahkan cairan asam lagi, mengambil saputangan dari Yu Jin dan mengusap sudut mulutnya, melemparkan saputangan ke tanah lalu berbalik keluar. 　　Yu Jin buru-buru mengejarnya: "Adik kedua Jiang, kau mau ke mana?" 　　Sudah tak tahan lagi di dalam kamar. 　　Melewati Long Dan, Yu Jin mengedipkan mata menyuruhnya merapikan kamar. 　　Long Dan masuk kamar dengan wajah seperti orang tak punya harapan hidup. 　　Di halaman kecil, pohon kesumba raksasa masih bermekaran lebat, ribuan kipas kecil pink berjatuhan diterpa angin, menempel di rambut dan bahu Jiang Zhan. 　　Aroma manis yang menyengat membuat Jiang Zhan ingin muntah lagi. 　　Dia membungkuk mual, tapi tak ada yang keluar. 　　Er Niu yang berbaring di kaki tembok tak jauh dari sana melirik ke arah ini, lalu kembali fokus menggerogoti tulang berisi daging. 　　Dia hanya tertarik pada tiga hal: majikan laki-laki, majikan perempuan, dan tulang berisi daging. 　　Tentu daging sapi kecap juga enak. 　　Leng Ying membawakan sup penghilang mabuk. 　　Yu Jin mengambil dan menyerahkan kepada Jiang Zhan: "Adik kedua Jiang, minumlah sup penghilang mabuk dulu. Kondisi tubuhmu seperti ini tidak akan tahan." 　　Kalimat "kondisi tubuhmu tidak akan tahan" jelas memicu Jiang Zhan. Wajahnya pucat pasi sambil melompat: "Sialan, aku akan membunuh bajingan itu!" 　　Yu Jin mengembalikan sup penghilang mabuk ke nampan yang dibawa Leng Ying, lalu menarik lengan Jiang Zhan: "Adik kedua Jiang, mau membunuh siapa?" 　　"Membunuh Yang Shengcai!" Jiang Zhan yang tertahan oleh Yu Jin menggeram, "Kakak Yu Qi, lepaskan aku! Hari ini kalau tidak kubunuh barang menjijikkan itu, aku pasti mati muntah!" 　　Yu Jin menghela napas: "Adik kedua Jiang, terlalu impulsif seperti ini tidak baik. Ceritakan dulu siapa Yang Shengcai itu." 　　Jiang Zhan sedikit tenang, menarik napas panjang: "Dia cucu Menteri Ritus, kakak kandung Permaisuri Putra Mahkota yang sekarang. Kakak Yu Qi, jangan takut. Aku yang bertanggung jawab sendiri, tidak akan menyeretmu." 　　Setelah berkata demikian, Jiang Zhan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Yu Jin tapi gagal. Wajahnya merah marah: "Kakak Yu Qi, lepaskan aku!" 　　"Adik kedua Jiang, kau bilang mau bertanggung jawab sendiri dan tidak menyeretku. Tapi pernahkah kau pikirkan, jika benar-benar membunuh cucu Menteri Ritus, apakah ini akan menyeret Keluarga Bo?" 　　Jiang Zhan tiba-tiba berhenti meronta, wajahnya kosong. 　　Benar. Meski membunuh Yang Shengcai akan memuaskan amarahnya, paling-paling hanya mengganti nyawa dengan nyawa. Tapi bagaimana dengan Ayah dan adik perempuannya? 　　“Akankah kediaman Menteri Ritus dan Putra Mahkota serta yang lain menyusahkan mereka?” 　　Jawaban ini hampir bisa dipastikan. 　　Jiang Zhan pertama kali menyadari seperti apa rasanya tak berdaya, terpaku diam tak bergerak, membiarkan bunga sutra yang diterbangkan angin musim gugur menempel di wajah pucatnya. 　　Yu Jin melihat bahwa pukulan psikologisnya sudah cukup, berdehem ringan: “Ada kabar baik untuk Adik kedua Jiang.” 　　Seluruh tubuh Jiang Zhan seperti kehilangan nyawa, tersenyum getir: “Masih ada kabar baik apa lagi?” 　　Aaaaa, dia sudah dipermalukan oleh seorang suami, benar-benar aib yang tak tertahankan. 　　“Yang Shengcai yang kau sebutkan itu sudah mati.” 　　“Apa?” Jiang Zhan hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya, menggenggam pergelangan tangan Yu Jin, “Kakak Yu Qi, jelaskan jelas, siapa yang mati?” 　　“Ya cucu Menteri Ritus itu, kalau namanya memang Yang Shengcai.” 　　Yu Jin menceritakan situasi semalam dan hari ini kepada Jiang Zhan, tentu saja hal-hal yang tidak perlu disebut sama sekali tidak diungkit. 　　Jiang Zhan belum pernah merasakan gejolak perasaan sedramatis ini, bergumam: “Kalau begitu, setelah saya jatuh ke air tadi malam, Kakak Yu Qi yang menyelamatkan saya, lalu perahu hias terbakar, Yang Shengcai dan yang lain semua jatuh ke air.” 　　“Benar, tadi malam saya tiba-tiba ingin jalan-jalan di Sungai Jinshui, sedang bersandar di pagar melihat pemandangan, tak disangka seseorang jatuh dari jendela ke air. Adik kedua Jiang juga tahu saya orang yang suka menolong, segera menyuruh Leng Ying menyelamatkan orang itu, tak ternyata itu adalah kau.” 　　Jiang Zhan tidak bisa tidak mengangguk. 　　“Dia benar-benar beruntung bertemu Kakak Yu Qi yang baik hati, kalau tidak, mungkin mayatnya sudah dimakan ikan sekarang.” 　　“Kakak Yu Qi, ini kedua kalinya kau menyelamatkanku——” 　　Yu Jin tersenyum hangat: “Adik kedua Jiang tidak perlu sungkan, kita sudah seperti keluarga.” 　　Saat ini otak Jiang Zhan masih kacau, tidak menyadari keanehan dalam ucapan itu, lalu mengangguk mengikuti. 　　“Pagi ini separuh ibu kota berebut melihat kejadian di Sungai Jinshui, baru saja kudapat kabar mayat Yang Shengcai sudah diangkat dari air.” 　　“Matilah dia!” Jiang Zhan menggebrak tinju, tiba-tiba teringat sesuatu, lalu berjongkok menangis sambil memeluk kepala. 　　Er Niu melirik ke arah sini lagi, menggigit Tulang berisi daging lalu keluar rumah. 　　Terlalu berisik, mengganggu selera makan. 　　Yu Jin diam-diam memperhatikan Jiang Zhan menangis, mengusap dagunya. 　　“Perhatian” ini pasti takkan terlupakan seumur hidup oleh Jiang Zhan, tapi dia masih bisa berusaha lebih keras. 　　Setelah Jiang Zhan berhenti menangis, Yu Jin berjongkok dan bertanya penuh perhatian: “Adik kedua Jiang tidak enak badan?” 　　Wajah Jiang Zhan langsung menghitam. 　　Dia sama sekali tak tahan mendengar kalimat seperti ini sekarang! 　　“Bagaimana kalau kusuruh Leng Ying ambilkan salep——” 　　“Jangan!” Jiang Zhan hampir melompat, wajahnya memerah: “Aku hanya kesal karena Yang Shengcai mati sebelum sempat kubuat jadi bangkai untuk dicambuk!” 　　Yu Jin mengangguk setuju: "Adik kedua Jiang benar, perasaanmu aku sepenuhnya bisa mengerti." 　　Ekspresi Jiang Zhan berkerut, ada dorongan ingin membenturkan kepala ke tembok. 　　Yu Jin teringat sesuatu, menepuk bahu Jiang Zhan: "Adik Jiang, cepatlah kembali ke kediaman. Ayahmu sekarang masih mencarimu di Sungai Jinshui." 　　Pandangan Jiang Zhan gelap seketika, merasa hidup tak berarti lagi. 231. BAB 231 Jiang Zhan Kembali ke Kediaman 　　BAB 231 Jiang Zhan Kembali ke Kediaman 　　Matahari sudah tinggi, Sungai Jinshui hampir dibalikkan, tetap tak ditemukan jejak Tuan Kedua dari Dongping Bo Residence. 　　Para penonton perlahan kehilangan kesabaran, berangsur bubar. Tentu ada yang rumahnya dekat pulang mengisi perut, lalu kembali dengan bangku kecil untuk terus menyaksikan. 　　Bagaimana jika nanti muncul mayat Tuan Kedua Dongping Bo Residence? Mereka bisa membanggakan diri sebagai orang pertama yang melihat jenazahnya. 　　Jiang Ancheng berjalan tertatih di tepi sungai dengan mata merah penuh urat darah. 　　Saat ini, harapan anaknya selamat sudah pupus. Satu-satunya keinginannya adalah menemukan mayat Jiang Zhan. 　　Meski orang beruban mengantar yang berambut hitam, setidaknya harus ada yang diantar. Tak boleh biarkan anaknya jadi makanan ikan di dasar sungai. 　　Sungai Jinshui seolah tak berujung. Jiang Ancheng hampir tak merasakan lelah, meski telapak kakinya sudah melepuh berdarah tetap tak bisa menghentikannya. 　　Dari tadi malam sampai sekarang, dia memikirkan banyak hal, yang paling sering dipikirkan adalah |Jiang Zhan. 　　|Jiang Zhan jatuh pingsan karena disengat tawon saat mengambil sarang burung, |Jiang Zhan dicaci maki petani setelah ketahuan mencuri semangka di kebun, |Jiang Zhan membuat guru mengundurkan diri karena makan ayam bakar di kelas, |Jiang Zhan memukul atasan |adik keduanya di |rumah bordil... 　　|Jiang Ancheng merenungkan semua ini, merasa hatinya hampa, kakinya tersandung dan hampir terjatuh. 　　"|Kakak, hati-hati." |Tuan Jiang Ketiga dengan sigap menahannya. 　　|Jiang Ancheng menatap |Tuan Jiang Ketiga, bertemu dengan mata yang sama-sama dipenuhi urat darah. 　　|Jiang Ancheng tersenyum getir: "|San Di, apa |saya sangat lemah? Tak bisa memajukan |Keluarga Bo, juga gagal mendidik |anak lelakiku jadi yang terbaik, bahkan tak bisa menyelamatkan nyawanya. Nanti di alam baka, bagaimana |saya berhadapan dengan |Kakak Ipar..." 　　"|Kakak—" |Tuan Jiang Ketiga memeluk bahu |Jiang Ancheng, meski tahu tak ada harapan tetap menghibur, "Zan'er |orang baik pasti dilindungi Tuhan, pasti selamat." 　　|Tuan Jiang Kedua yang berdiri di sampung menambahkan: "Benar, |Kakak. Kau tak boleh tumbang sekarang. Mungkin sebentar lagi kita menemukan Zan'er." 　　Entah apakah |mayat |Jiang Zhan terbawa arus ke tempat lain, jika terus mencari begini orang hidup saja bisa kolaps. 　　Wajah |Tuan Jiang Kedua memerah, merasa akan |pingsan. 　　|Jiang Ancheng mengangguk bagai robot: "Ya, asal terus mencari, pasti akan menemukannya." 　　Ia sama sekali tidak akan menerima akhir di mana seseorang hilang tanpa jejak, hidup atau mati. 　　Saat itu, suara hati-hati terdengar: "Ayah——" 　　Jiang Ancheng tertegun, lalu tersenyum pahit: "Benar-benar tidak berguna, sampai mengalami halusinasi." 　　Jiang Zhan melihat ayahnya yang biasanya gagah perkasa kini terlihat linglung, matanya berkaca-kaca. Ia langsung bersujud dan membenturkan dahinya ke lantai: "Ayah, ini bukan halusinasi. Anak lelakimu belum mati!" 　　Jiang Ancheng masih terpaku memandangi anaknya yang bersujud. Tuan Jiang Ketiga sudah buru-buru menarik Jiang Zhan: "Zhan'er, kau benar-benar selamat?" 　　Jiang Zhan tetap bersujud tak mau bangun: "Paman Ketiga, keponakan baik-baik saja." 　　Tuan Kedua tertegun sepenuhnya. 　　Bagaimana mungkin Jiang Zhan masih hidup? 　　Setelah mengamati dengan tatapan dingin dan melihat meski wajah Jiang Zhan pucat namun bajunya rapi, Tuan Kedua tersadar: "Selamat saja sudah bagus, selamat saja sudah bagus." 　　Jiang Cang tersenyum menarik Jiang Zhan: "Adik Kedua, lega rasanya kau selamat. Kami semua sangat khawatir." 　　Jiang Zhan melepaskan genggaman Jiang Cang, merangkak mendekati Jiang Ancheng: "Ayah, ini salah anak yang membuat Ayah khawatir. Pukullah anak sepuasnya untuk melampiaskan amarah." 　　Jiang Ancheng diam berdiri sebentar, tiba-tiba mengulurkan tangan menyentuh pipi Jiang Zhan. 　　Benar, anak lelakinya masih hidup! 　　Saat ini, Jiang Ancheng merasa hatinya yang terpuruk ke dasar jurang akhirnya bangkit kembali, dari neraka kembali ke dunia manusia. 　　Anak kurang ajar ini! 　　Jiang Ancheng ingin memukulnya seperti biasa untuk melampiaskan amarah, namun merasa tak lagi punya tenaga, lalu berbalik dan pergi tanpa sepatah kata. 　　Jiang Zhan tertegun, buru-buru berdiri dan mengejarnya: "Ayah, tunggu sebentar——" 　　Ayah dan anak ini, satu berjalan di depan sementara yang lain mengejar di belakang, meninggalkan banyak orang yang ramai membicarakan keajaiban Tuan Kedua dari Dongping Bo Residence yang selamat dari maut. 　　Biasanya pada jam seperti ini, Dongping Bo Residence sudah bersiap menyantap makan siang, namun hari ini para majikan berkumpul di Cixintang, tak ada yang menyebut soal makan. 　　Jiang Qiao yang duduk di samping Jiang Si menghibur: "Adik Keempat, Kakak Kedua pasti akan baik-baik saja. Aku jago membaca wajah, tulang kepala Kakak Kedua berbentuk sempurna, alur hidungnya dalam dan panjang——" 　　Nyonya Feng melirik tajam dan memarahi: "Nona kecil ini ngomong kosong apa!" 　　Mana mungkin nona dari keluarga bangsawan mengaku bisa meramal wajah? Bukankah itu akan jadi bahan tertawaan jika tersiar? 　　Tentu saja Jiang Qiao tidak bisa meramal, ucapannya hanya untuk menghibur Jiang Si. Mendengar itu, ia menjulurkan lidah dan menggenggam tangan Jiang Si diam-diam. 　　Jiang Si tersenyum manis: "Ya, aku yakin Kakak Kedua pasti baik-baik saja." 　　Di ruang tengah yang penuh tekanan, hanya gaun merah Jiang Si yang terlihat mencolok. 　　Gadis itu kini duduk tegak dengan senyum tipis di bibir, pemandangan yang membuat mata Jiang Qiao memerah tanpa disadari. 　　“Dia tahu Nona Keempat sedang memaksakan diri, tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa Kakak Kedua mengalami kecelakaan. Padahal sebenarnya hati Adik Keempat saat ini pasti sangat hancur.” 　　“Nyonya Xiao Istri Kedua melirik Jiang Si dengan tatapan dingin, dalam hatinya mencemooh: Dia ingin melihat sampai kapan mulut bebek mati si gadis kecil ini bisa tetap keras.” 　　“Ibu Suri, persilahkan dapur menyajikan makanan. Kami bisa tidak makan, tapi Anda tidak boleh kelaparan. Kalau tidak, kesehatan tubuh akan terganggu.” 　　“Nyonya Feng tidak membantah perkataan Nyonya Xiao.” 　　“Manusia adalah besi, nasi adalah baja. Kehilangan seorang cucu tentu menyedihkan, tapi merusak kesehatan dengan tidak makan karena hal itu jelas lebih tidak worth it.” 　　“Sajikan makanan. Suruh dapur menyiapkan hidangan untuk Sang Bangsawan dan rombongan, jangan lupa buatkan semangkuk sup kacang hijau.” 　　“Tiba-tiba terdengar langkah kaki tergesa-gesa. Seorang nenek berlari masuk melapor: "Ibu Suri, Sang Bangsawan dan rombongan sudah kembali!"” 　　“Nyonya Feng langsung berdiri: "Bagaimana dengan Tuan Kedua?"” 　　“Si nenek menjawab dengan penuh semangat: "Tuan Kedua juga ikut kembali!"” 　　“Orang-orang yang hadir salah menafsirkan kegembiraan si nenek, mengira Jiang Ancheng dkk membawa pulang mayat Jiang Zhan. Mereka berkerumun mengantar Nyonya Feng ke luar.” 　　“Nyonya Xiao menatap Jiang Si sambil menghela napas: "Nona Keempat, Ayahmu sudah mencari sepanjang malam. Sekarang dia mungkin sudah kelelahan. Sebagai putri, kau harus lebih memperhatikannya."” 　　“"Terima kasih atas perhatian Bibi Er," jawab Jiang Si dengan nada datar sebelum bergegas keluar.” 　　“Tidak tahu apakah Kakak Kedua baik-baik saja di bawah serangan gabungan Yu Qi dan Ayah?” 　　Nyonya Feng bersama kerumunan baru saja melangkah keluar gerbang halaman, tiba-tiba melihat Jiang Ancheng dan rombongan berjalan mendekat. 　　Dayang utama A Fu yang mengikuti di belakang Nyonya Feng biasanya tenang, namun kali ini tak bisa menahan teriakan: "Tuan, Tuan Kedua!" 　　Yang mengikuti langkah Jiang Ancheng dengan setia bukan lain adalah Tuan Kedua Jiang Zhan. 　　Xiao Shi bergumam seperti melihat hantu: "Jiang Zhan masih hidup?" 　　"Benar, Bibi Er, sejak awal saya bilang orang baik akan mendapat balasan baik, orang jahat akan dihukum oleh langit. Sekarang terbukti benar." Jiang Si berkata sambil berjalan melewati sisi Xiao Shi, bergegas menyambut. 232. BAB 232 Pencerahan 　　BAB 232 Pencerahan 　　Jiang Ancheng menghadap Nyonya Feng, memanggil "Ibu". 　　Nyonya Feng mengangguk, mengamati Jiang Zhan dengan cermat. Melihatnya tak hanya selamat namun pakaiannya masih rapi, hatinya berdesir: "Di mana kalian menemukannya?" 　　Jiang Ancheng melirik Jiang Zhan dengan tatapan tajam seperti pisau, suaranya parau: "Mari bicara di dalam." 　　Kerumunan orang berduyun-duyun kembali ke Cixintang. 　　Jiang Si menyelinap ke samping Jiang Zhan, baru buka mulut air mata sudah mengalir: "Kakak Kedua—" 　　Melihat adiknya menangis, Jiang Zhan panik. Ia buru-buru mencari saputangan untuk mengusap air matanya, tapi tangan meraih kosong. 　　Baru ia ingat baju sudah diganti. 　　“Adik Keempat, jangan menangis, aku tidak apa-apa.” Jiang Zhan menepuk lengannya, “Sama sekali tidak terluka, sekuat anak sapi.” 　　Jiang Si melotot ke Jiang Zhan lalu berbalik pergi. 　　Tangis itu tentu saja palsu, tapi kemarahannya sungguhan. 　　Setelah melihat kejadian di kapal hias barulah ia paham betapa tidak adilnya kematian Kakak Kedua di kehidupan sebelumnya - dibius, dilecehkan, lalu didorong ke sungai. 　　Di kehidupan sebelumnya, jika Putra Mahkota tidak dipecat sehingga melibatkan kediaman Menteri Ritus, mungkin kabar tentang insiden Kakak Kedua tidak akan bocor sedikitpun, dan adikku itu benar-benar akan mati penuh penyesalan. 　　Mengingat kejadian semalam, Jiang Si merasa kesal sekaligus iba, bersumpah dalam hati kali ini harus memberi pelajaran keras pada Jiang Zhan agar tidak lagi bergaul dengan teman-teman buruknya. 　　"Adik Keempat—!" Jiang Zhan bergegas mengejar, namun langsung diam ketika Jiang Ancheng menoleh memberinya tatapan. 　　Begitu masuk ke ruang tengah, tanpa disuruh Jiang Zhan langsung bersujud: "Ini semua salahku, telah merepotkan para sesepuh." 　　Jiang Zhan gemetar betisnya hanya dengan membayangkan perkataan Yu Jin bahwa Ayah telah mencarinya seharian. 　　Kali ini benar-benar membuat masalah besar! 　　"Zhan'er, sebenarnya apa yang terjadi tadi malam?" Nyonya Feng bertanya sambil duduk di kursi kayu berat. 　　Jiang Zhan berlutut dengan jujur: “Tadi malam Yang Shengcai dan kawan-kawannya mengajakku bermain ke Sungai Jinshui, aku minum banyak anggur, baru sadar setelah terbangun bahwa aku diselamatkan, ternyata kapal hias terbakar dan semua orang terjatuh ke air…” 　　Jiang Zhan tentu ingat bahwa dia didorong ke sungai oleh Yang Shengcai, sedangkan kabar kapal hias terbakar kemudian diberitahukan oleh Yu Jin padanya. 　　Atas peringatan Yu Jin, dia tahu tidak boleh bercerita sesuai fakta sebenarnya. 　　Yang Shengcai sudah meninggal, jika dia mengaku menjadi korban Yang Shengcai, maka berbagai masalah akan datang. 　　Meskipun Jiang Zhan impulsif, dia sangat mendengarkan nasihat masuk akal dari sahabatnya. 　　“Yang penting selamat. Kalian pulang dan bersiap-siap untuk makan malam.” Setelah mendengar cerita Jiang Zhan, Nyonya Feng diam-diam berpikir cucu ini memang beruntung, namun mungkin ada masalah dengan keluarga Menteri Ritus. 　　Nyonya Feng sangat paham kejahatan dalam hati manusia. 　　Menurutnya, jika Jiang Zhan seperti ketiga anak dari keluarga lain yang langsung diselamatkan mungkin tidak masalah, tapi kebetulan Jiang Zhan dan Yang Shengcai tidak ditemukan sampai lama, membuat semua orang kalang kabut. Akhirnya Jiang Zhan pulang dengan selamat, sementara mayat Yang Shengcai ditemukan, maka keluarga Menteri Ritus meski tahu ini bukan kesalahan Jiang Zhan, pasti merasa tidak rela. 　　Ini mudah dipahami, sama-sama jatuh ke air dan hilang, mengapa anak keluarga kami mati, sementara anak keluarga kalian sama sekali tidak apa-apa? 　　“Memikirkan hal-hal ini, Nyonya Feng berpesan: "Putra Sulung, setelah makan nanti kunjungilah Kediaman Menteri Ritus. Bawalah beberapa hadiah."” 　　Jiang Ancheng berkata dengan wajah datar: "Anak lelaki ini lelah." 　　Nyonya Feng mengerutkan alis tak senang. Melihat sikap kaku putra sulungnya yang membuat frustasi, ia berpaling ke Tuan Jiang Kedua: "Putra Kedua, kau saja yang pergi. Ingat untuk mengatakan kata-kata penghiburan."” 　　“Ibu tenang saja, anak tahu harus bagaimana." Suasana hati Tuan Jiang Kedua saat ini agak buruk. 　　Tenggelam bersama saat berperahu tapi hanya cucu Menteri Ritus yang tewas, sedangkan Jiang Zhan selamat. Keluarga Yang pasti akan menyimpan kekesalan terhadap Dongping Bo Residence meski tak diucapkan, hal ini jelas akan mempengaruhi perkembangan karirnya di dunia birokrasi. 　　Nyonya Feng juga memerintahkan Nyonya Xiao Istri Kedua untuk menyiapkan uang perak sebagai ucapan terima kasih yang akan dikirim mandor kepada penyelamat Jiang Zhan: "Jangan sampai orang menganggap Keluarga Bo tak tahu berterima kasih, tapi juga jaga jarak agar tak timbul pikiran yang tak semestinya."” 　　Jiang Ancheng merasa jengkel mendengarnya, berkata datar: "Ibu, anak akan ganti baju dulu."” 　　Sinar matahari di luar menyengat, Jiang Ancheng menyipitkan mata dengan perasaan seperti berada dalam mimpi. 　　Hingga kini ia masih tak percaya anak brengseknya bisa kembali hidup-hidup dengan lincah seperti ini. 　　Pikiran Jiang Anchengu tetap datar, tapi langkah kakinya sangat cepat. 　　Jiang Zhan membungkuk memberi hormat dua kali kepada Nyonya Feng, lalu bergegas mengejar. 　　Baru kemudian Jiang Si berbicara: "Nenek, cucu perempuan ini akan menjenguk Ayah dan Kakak Kedua."” 　　“Pergilah.” Nyonya Feng berkata dengan kesal. 　　Memikirkan bahwa tanpa sengaja telah menyinggung keluarga Menteri Ritus, Nyonya Feng semakin membenci Keluarga Utua. 　　Dia menyadari, keluarga garis utama ini sudah bagus jika tidak membuat masalah, berharap ada yang sukses dari mereka hanyalah khayalan belaka. 　　Mengejar hingga ke tempat tinggal Jiang Ancheng, Jiang Zhan bersujud dengan suara 'plok': "Ayah, pukullah saya, ini semua salah saya!" 　　Jiang Ancheng memandangi anak lelaki yang bersujud di lantai tanpa sepatah kata. 　　Dulu setiap kali anaknya membuat masalah, memukulnya bisa meredakan amarah. Tapi kali ini bahkan keinginan untuk menghukum pun hilang. 　　Si brengsek ini sebentar lagi akan menikah dan punya anak. Jika tidak ada niat untuk memperbaiki diri, apa harus dipukul sampai jadi orang? 　　Tidak, dia bahkan tidak berharap anaknya sukses. Asal si bencana ini tidak membuat masalah, hidup tenang saja sudah syukur. 　　Jiang Ancheng merasakan kekecewaan yang mendalam. 　　Jiang Zhan mengangkat kepala, langsung bertemu dengan tatapan penuh kekecewaan itu. 　　"Ayah—" Jiang Zhan mulai panik. 　　Belum pernah dia melihat ayahnya seperti ini, membuatnya takut tanpa alasan. 　　"Pulanglah makan." Jiang Ancheng berkata datar. 　　Jiang Zhan tetap bersujud: "Ayah—" 　　Matanya memandang penuh harap, berharap ayahnya memukulinya seperti biasa. 　　Semua senang. 　　Tapi Jiang Ancheng tidak melakukannya. Dia berbalik dan berjalan ke dalam rumah dengan tangan terkepal di belakang. 　　Jiang Zhan memandang punggung ayahnya dengan pandangan kosong, tiba-tiba menyadari sosok ayah yang selama ini terasa megah seperti gunung ternyata sudah tidak lebih tinggi darinya, bahkan tubuhnya terlihat lebih kurus dari yang diingatnya. 　　Pada saat ini, Jiang Zhan seperti tersadar dari mimpi. 　　Ayah sudah tua, sementara dia terus menunda-nunda untuk menjadi dewasa, akhirnya hanya membuat semua orang kecewa. 　　Jiang Zhan mengangkat tangan dan menampar dirinya sendiri dengan keras. 　　Mengapa dia bisa begitu bodoh? Meski tidak punya bakat luar biasa atau tekad super, setidaknya menjadi anak lelaki yang bisa membuat ayah tenang dan kakak laki-laki yang bisa diandalkan adiknya, ini seharusnya tidak sulit. 　　Tapi dia bahkan gagal melakukan hal dasar ini. 　　Dia benar-benar bajingan! 　　Jiang Zhan mengangkat tangan lagi untuk menampar diri, tapi dihentikan Jiang Si. 　　"Adik Keempat?" 　　Jiang Si menghela napas dalam-dalam: "Kakak Kedua, mulai sekarang jangan bergaul lagi dengan teman-teman tak berguna itu." 　　Dia benar-benar tidak menuntut kakaknya menjadi orang hebat, cukup hidup dengan baik saja sudah cukup. 　　Jiang Zhan mengangguk berat. 　　Dia terlalu bodoh, selalu menganggap persahabatan semu itu sangat penting. Baru sekarang sadar bahwa tidak semua orang layak jadi teman. Beberapa orang memang tidak akan pernah sejalan. Kau menganggapnya saudara, tapi dia bahkan tidak menganggapmu manusia. 　　Saat dia dalam masalah, yang sedih adalah keluarga, bukan "teman" palsu itu. 233.BAB 233 Mengunjungi untuk Ucapan Terima Kasih 　　BAB 233 Mengunjungi untuk Ucapan Terima Kasih 　　Sikap Jiang Zhan membuat Jiang Si merasa terharu. 　　Kakak laki-lakinya memang punya sifat baik hati, suka berteman dengan berbagai jenis orang, dan sangat menghargai persahabatan. 　　“Sebenarnya ini adalah kelebihan yang langka, tapi yang perlu dipelajarinya adalah membedakan mana teman sejati dan mana yang harus dijauhi.” 　　“Di dunia ini, tidak semua orang layak diperlakukan dengan tulus, juga tidak semua orang bisa dimaafkan.” 　　“Contohnya Yang Shengcai, saat aku melihatnya mendorong kakak lelaki ke sungai seperti membuang cangkir bekas ke luar jendela, aku tahu orang ini sudah busuk sampai ke akarnya.” 　　“Dengan orang seperti ini mengincar kakak, meski kali ini bisa lolos, bagaimana dengan next time?” 　　“Tanpa kebijaksanaan kehidupan sebelumnya, aku tidak tahu kapan bencana berikutnya akan datang pada Kakak Kedua, atau dalam bentuk apa. Jadi lebih baik bunuh Yang Shengcai saja, ini solusi permanen.” 　　Jiang Si sama sekali tidak menyesal telah menghabisi nyawa Yang Shengcai. Hidup ini memang bonus, selama bisa melindungi keluarga, bahkan jika harus ke neraka setelah mati pun tak akan disesali. 　　“Adik Keempat, Kakak Kedua benar-benar salah. Tolong bantu aku membujuk Ayah, jangan sampai dia sakit hati.” 　　Jiang Si mengangguk: “Aku akan melakukannya. Kakak Kedua juga harus bangun dan makan dulu. Mungkin sebentar lagi Shuntianfu akan memanggil Kakak untuk interogasi.” 　　Tampaknya untuk sementara Kakak Kedua tidak akan membuat ulah lagi. Tentang apakah akan kambuh lagi, kita lihat perkembangannya nanti. 　　Ngomong-ngomong, tidak tahu bagaimana caranya Yu Qi (Pangeran Ketujuh) ‘merawat’ Kakak Kedua? 　　Rasa penasaran muncul di hati Jiang Si, matanya melirik ke arah Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan bingung diperhatikan adiknya, menggaruk kepala: “Ada apa?” 　　“Tidak apa-apa, hanya melihat wajah Kakak Kedua sangat pucat. Apakah kemarin malam minum terlalu banyak? Menurut saya lebih baik undang tabib untuk memeriksa Kakak Kedua, jangan sampai terjadi masalah kesehatan——” 　　“Tidak perlu!” Jiang Zhan buru-buru memotong ucapan Jiang Si. 　　Jiang Si memandangnya dengan bingung. 　　Jiang Zhan menahan panik sambil menepuk dada: “Aku benar-benar baik-baik saja, tidak perlu undang tabib.” 　　Kalau sampai Adik Keempat tahu dia——Jiang Zhan menggigil hebat. 　　Melihat wajah kakak laki-lakinya semakin pucat, Jiang Si semakin penasaran. 　　Tampaknya Yu Qi (Pangeran Ketujuh) sudah “merawat” Kakak Kedua dengan sangat baik. 　　“Ngomong-ngomong, mengapa Shuntianfu memanggilku untuk dimintai keterangan?” Jiang Zhan takut Jiang Si terus bertanya, buru-buru mengalihkan topik. 　　“Korban yang diselamatkan kemarin malam mengatakan penyebab kebakaran kapal lukis adalah ulah pelayan pria yang sengaja membakar. Sekarang cucu Menteri Ritus tewas tenggelam, keluarga Yang pasti mendesak pihak berwajib menyelidiki pelaku pembakaran. Jadi Tuan Zhen kemungkinan besar akan meminta Kakak Kedua memberi keterangan tentang kejadian semalam.” 　　“Menurutku pelayan yang membakar itu justru pahlawan rakyat.” Jiang Zhan kini sangat membenci Yang Shengcai, sementara rasa terima kasihnya pada pelayan tak dikenal itu mendalam. 　　Seperti yang diduga Jiang Si, tak lama kemudian petugas Shuntianfu datang menjemput Jiang Zhan ke kantor kabupaten. 　　Sebagai korban, petugas keamanan memperlakukan Jiang Zhan dengan sangat sopan. 　　Jiang Ancheng berkata pada petugas: “Hamba akan ikut bersama putra hamba.” 　　Ayah dan anak datang bersama ke Shuntianfu, namun mereka tidak menemui Zhen Shicheng di ruang sidang, melainkan di sebuah paviliun di halaman belakang. 　　Zhen Shicheng sendiri menuangkan secangkir teh dan menyerahkannya kepada Jiang Ancheng: "Saudara Jiang, keponakanmu selamat tanpa cedera, sungguh patut disyukuri." 　　Di hadapan orang lain, Jiang Ancheng kembali bersikap normal. Ia melototi Jiang Zhan dengan marah: "Anak kurang ajar ini tidak pernah lepas dari masalah. Kalau saja dia tidak main-main di Sungai Jinshui tadi malam, pasti tidak akan terjadi insiden seperti ini..." 　　Zhen Shicheng mendengarkan dengan sabar omelan Jiang Ancheng terhadap anaknya sambil mengangguk dengan penuh pengertian. 　　Meski putranya dijuluki Tuan Gong secantik giok, sebenarnya itu hanyalah ilusi yang menipu masyarakat. 　　Ah, pada akhirnya putri yang lebih tenang, seperti putri Saudara Jiang ini. Tidak hanya tidak membuat masalah, malah bisa membantu memecahkan kasus. 　　Zhen Shicheng telah menginterogasi semua pelayan dan budak yang selamat dari kapal pesiar, bahkan pemilik kapal pesiar kini ditahan di kantor kabupaten dan telah menjalani pemeriksaan berulang kali. 　　Setelah ditanya berkali-kali, ternyata tak ada satu pun yang bisa memberikan sedikit informasi tentang pelayan pembakar itu. 　　Zhen Shicheng hampir yakin bahwa pelayan itu datang dengan persiapan matang, tujuannya jelas untuk balas dendam. 　　Motif balas dendam yang begitu jelas seharusnya mudah dilacak, tapi semakin dalam ia menyelidiki latar belakang para playboy ini, semakin ia merasakan betapa rumitnya kasus ini. 　　Nyatanya, para playboy ini telah melakukan banyak kejahatan selama bertahun-tahun. Mereka bisa bertahan hidup hingga sekarang semata-mata karena status sosial mereka yang tinggi. 　　Tidak perlu menyebut yang lain, satu hal saja sudah membuat Zhen Shicheng merasa sangat tidak nyaman. 　　Cucu Menteri Ritus itu ternyata menyukai laki-laki. Tahun lalu ia mengincar seorang pelajar miskin, dan benar-benar merusak hidup orang tersebut. Tak disangka pelajar itu memiliki harga diri tinggi, setelah dipermalukan akhirnya melompat ke sungai. 　　Sayangnya pelajar itu baru menikah setengah tahun. Sang istri baru saja diketahui mengandung dua bulan. 　　Istri pelajar itu membawa surat darah yang ditinggalkan suaminya untuk melapor ke Shuntianfu, bahkan tidak sempat bertemu Prefect Shuntian saat itu. Hanya dengan kalimat "bukti tidak cukup, hanya asumsi belaka" laporannya ditolak. 　　Wanita itu tidak rela, lalu pergi ke kediaman keluarga Menteri Ritus untuk meminta keadilan. Kebetulan Yang Shengcai yang sedang keluar menendangnya hingga keguguran, akhirnya menjadi gila. 　　Keluarga menteri menggunakan tael perak untuk meredakan masalah ini. Tak lama kemudian orangtua pelajar itu menikahkan kedua saudara laki-lakinya. Keluarga yang tadinya miskin itu menggelar pernikahan sangat mewah. Adapun menantu perempuan yang gila sama sekali tidak muncul dalam pernikahan, seolah orang itu tidak pernah ada. 　　Semua ini diketahui Zhen Shicheng dari keterangan tetangga yang dikumpulkan lewat investigasi. Seandainya Yang Shengcai masih hidup, mustahil menggunakan kasus ini untuk menjatuhkan hukuman padanya. 　　Zhen Shicheng adalah pejabat beridealisme, namun juga sangat realistis. 　　"Pangeran yang melanggar hukum harus dihukum sama seperti rakyat biasa" - ini adalah mimpi yang ingin diwujudkannya, namun tetap hanya khayalan belaka. 　　Ia hanya berharap bisa melakukan yang terbaik untuk memberikan keadilan sebanyak mungkin kepada rakyat. 　　"Adapun Yang Shengcai—" Mengingat kabar bahwa anak lelakinya baru-baru ini menerima undangan dari Yang Shengcai, Zhen Shicheng hanya ingin tertawa sinis. 　　"Xiao Yu sudah memberitahuku, kebetulan dia yang menyelamatkanmu tadi malam." Zhen Shicheng berbicara kepada Jiang Zhan dengan ramah. 　　"Saya memang beruntung." 　　Berkat adik perempuannya, di hadapan Prefect Shuntian yang ditakuti semua orang, dia bisa menyebut diri sebagai "keponakan". 　　Memikirkan hal ini, selain bangga, Jiang Zhan juga merasa agak sedih. Diam-diam dia bertekad: Suatu hari nanti dia akan membuat Adik Keempat bangga karenanya, membuat Adik Keempat berbangga dengan dirinya. 　　"Jiang Shizhi, ceritakanlah kejadian tadi malam." 　　"Sebenarnya sampai sekarang saya masih bingung, waktu itu terlalu mabuk." Jiang Zhan sudah mendapat nasihat dari Yu Jin, di hadapan rubah tua seperti Zhen Shicheng, semakin banyak bicara semakin banyak salah. Untuk menghindari masalah, menyalahkan semuanya pada mabuk adalah cara terbaik. 　　Zhen Shicheng tidak mendapat informasi berguna, lalu mengubah nada bicara: "Konon katanya Jiang Shizhi dan Tuan Gong dari keluarga jenderal biasanya tidak akur." 　　Jiang Zhan mengangguk terus terang: "Benar, makanya Yang Shengcai mengajak kami minum bersama, maksudnya untuk melupakan perselisihan kecil di masa lalu." 　　Zhen Shicheng bertanya beberapa hal lagi, melihat tidak ada yang bisa digali, beralih mengobrol santai dengan Jiang Ancheng. 　　Jiang Zhan diam-diam menghela nafas lega. 　　Kakak Yu Qi benar, Yang Shengcai mendorongnya ke sungai di hadapan tiga orang termasuk Cui Yi, yang lain bisa dianggap kaki tangan. Sekarang Yang Shengcai sudah mati, ketiga orang itu pasti tidak akan mengungkapkan kebenaran malam lalu kecuali mereka bodoh. 　　Keluar dari Shuntianfu, Jiang Ancheng berhenti sejenak dan berkata datar: "Bawa aku ke rumah temanmu untuk mengucapkan terima kasih." 234. BAB 234 Membujuk 　　BAB 234 Membujuk 　　Jiang Zhan tidak menyangka Jiang Ancheng akan menyinggung hal ini. Memandang mata ayahnya yang penuh urat darah merah, ia berkata: "Ayah, Bapak sudah bekerja keras seharian, lebih baik pulang beristirahat dulu. Aku akrab dengan Kakak Yu Qi, dia tidak akan mempermasalahkan ini." 　　Wajah Jiang Ancheng muram, bentaknya: "Tunjukkan jalan!" 　　Jiang Ancheng adalah orang yang tahu membalas budi. Meski saat ini fisik dan mentalnya lelah, ia tetap merasa harus datang langsung mengucapkan terima kasih, bukan mengikuti arahan Nyonya Feng yang hanya mengirim mandor sebagai utusan. 　　Jiang Zhan mengkerutkan lehernya, buru-buru memimpin jalan. 　　Kali ini ayahnya tidak menyentuhnya sedikitpun, tapi ia sudah tidak lagi punya keberanian untuk melawan seperti dulu. 　　Atau mungkin, dulu ia tak tahu takut, padahal justru sangat bodoh. 　　Saat tiba di mulut Gang Quezi, ayah dan anak ini kebetulan bertemu mandor Keluarga Bo yang membawa kotak hadiah sedang mengintip ke dalam. 　　"Manajer Wang, serahkan barang itu padaku." Jiang Zhan mengulurkan tangan. 　　Manajer Wang buru-buru berkata: "Biarkan hamba yang membawanya. Ibu Suri memerintahkan hamba mengantarkan uang terima kasih." 　　Jiang Zhan tidak berbicara lagi, berjalan di depan memimpin jalan. 　　Tiga orang segera berhenti di depan sebuah rumah yang memiliki pohon kurma bengkok. 　　"Ayah, Kakak Yu Qi tinggal di sini." 　　Jiang Ancheng sendiri maju mengetuk pintu. 　　"Siapa?" Pintu terbuka separuh, memperlihatkan wajah khas Lao Wang yang bermata satu. 　　Jiang Zhan buru-buru menjelaskan: "Lao Wang, ini ayahku, hari ini datang untuk berterima kasih pada Kakak Yu Qi." 　　Lao Wang segera menengok dan berteriak: "Tuanku, ayah Tuan Gong Jiang datang." 　　Yu Jin yang sedang minum teh di bawah pohon sambil membelai bulu Er Niu di halaman, kaget hingga melompat dan menginjak ekor Er Niu. 　　Er Niu yang sedang menikmati belaian tuannya tak menyangka mendapat musibah mendadak, menjerit "ao" lalu lari terbirit-birit. 　　Jiang Ancheng melihat seekor anjing besar berlari ke arahnya, membuatnya kaget. 　　Ini cara menerima tamu seperti apa? 　　Untungnya anjing besar itu hanya melintas seperti angin di sampingnya, tanpa gerakan tidak bersahabat lainnya. 　　Jiang Ancheng menarik napas dalam, lalu melangkah ke halaman dan mengatupkan tinju pada Yu Jin: "Terima kasih Paduka telah menyelamatkan putra hamba." 　　Yu Jin masih dalam kondisi bingung, melirik cepat ke arah Jiang Zhan. 　　Kenapa ayah A Si datang? Ini terlalu mendadak! 　　Tapi Yu Jin bukanlah pemuda bodoh yang gagap bicara saat bertemu ayah orang yang dicintainya. Sebaliknya, dia merasa ini kesempatan emas untuk mendapatkan simpati Paduka mertua di masa depan. 　　Yu Jin dengan cepat tenang, menyingkirkan tubuhnya dan membalas salam: "Anda terlalu baik. Siapapun yang tenggelam pasti akan saya tolong. Saat itu saya tidak tahu itu Adik kedua Jiang, jadi tidak pantas menerima ucapan terima kasih Anda." 　　Jiang Ancheng langsung merasa semakin berkesan dengan pemuda di hadapannya. 　　Awalnya kesannya terhadap pemuda ini biasa saja, tapi mau bagaimana lagi? Pemuda ini kan berteman baik dengan anak lelakinya. 　　Menurut Jiang Ancheng, siapapun yang bergaul dengan anaknya pasti sama buruknya, apalagi waktu itu mereka sampai mencuri kudanya! 　　Kini Jiang Ancheng merasa sangat malu. 　　Lihatlah sifat mulianya, begitu jujur dan berhati lembut. 　　Hmm, pemuda seperti ini sudah jarang. 　　Sambil berpikir demikian, Jiang Ancheng melirik Jiang Zhan, dalam hati menggerutu: "Brengsek, rupanya matanya masih bisa melihat yang bagus. Seharusnya aku tidak berprasangka buruk dulu." 　　"Ini tael perak ucapan terima kasih dari Keluarga Bo." Mandor menyerahkan kotak hadiah. 　　Yu Jin tersenyum sopan dan menolak tegas: "Tael perak tidak perlu, ini hanya bantuan kecil." 　　"Tuan Gong mohon terima, hamba akan kesulitan melapor nanti." 　　Wajah Yu Jin berubah serius: "Adik kedua Jiang seperti saudara sendiri bagiku. Menolongnya adalah kebahagiaan, kalau terima perak jadi apa saya ini?" 　　Ia tersenyum pada Jiang Ancheng: "Bukankah begitu, Paman?" 　　Jiang Ancheng tak bisa menahan anggukan. 　　Masuk akal. Jika dia menolong teman, lalu keluarga teman membawa tael perak, pasti dia akan melempar uang itu marah-marah. 　　“Mandor masih ingin berkata lagi, tetapi Jiang Ancheng melotot padanya dengan keras.” 　　“Mandor membawa kotak hadiah dan diam.” 　　“Jiang Ancheng semakin merasa pemuda di depannya cocok di matanya, bertanya: "Boleh tahu bagaimana Tuan Yu berkenalan dengan putra hamba ini?"” 　　“Yu Jin segera menjawab: "Paman bisa memanggilku Xiao Yu seperti Tuan Zhen."” 　　“Jiang Ancheng bukan orang yang kaku, tersenyum mendengarnya: "Baik, mulai sekarang kami akan memanggilmu Xiao Yu."” 　　“Jiang Zhan yang tak diperhatikan di samping segera menyela, takut Yu Jin menceritakan pertemuan pertama mereka di dekat rumah bordil: "Waktu itu hamba sedang berkelahi dalam situasi berbahaya, Kebetulan Kakak Yu Qi lewat dan menolong hamba. Sejak itu kami berteman."” 　　“Jiang Ancheng semakin menyukai Yu Jin: "Kalau begitu, ini sudah kedua kalinya Xiao Yu menyelamatkanmu."” 　　“Pantas saja berbeda dengan teman-teman brengsek si anak tak berguna, cara bertemunya saja sudah berbeda dengan para playboy.” 　　“Ternyata pemuda mandiri seperti Xiao Yu yang tidak mengandalkan keluarga jauh lebih bisa diandalkan. Pemuda seperti ini meski keluarganya sederhana tetap seratus kali lebih baik daripada playboy yang hanya bisa membuat masalah.” 　　“"Xiao Yu, kapan-kapan sering-sering main ke rumah keluarga Bo. Lagipula kedua keluarga kita dekat." Pandangan Jiang Ancheng pada Yu Jin hampir bisa disebut 'penuh kasih sayang'.” 　　“Yu Jin gembira dalam hati, segera merespons: "Asal Paman tidak keberatan hamba mengganggu."” 　　“Tak menyangka menyelamatkan Jiang Zhan memberi hasil sebesar ini, benar-benar kejutan yang menyenangkan.” 　　“Apa maksudmu ini! Jika teman-teman Jiang Zhan semuanya seperti kau, maka saya bisa tenang.” 　　Keduanya sama sekali mengabaikan Jiang Zhan, setelah mengobrol cukup lama Jiang Ancheng baru mengajak pamit. 　　Yu Jin mengantar Jiang Ancheng sampai di luar gerbang, memandangnya hingga jauh. 　　Jiang Zhan yang tertinggal menghela napas: “Kakak Yu Qi, dibandingkan aku, ayahku mungkin lebih berharap kau menjadi anak lelakinya.” 　　Yu Jin tersenyum penuh makna. 　　Menantu laki-laki juga setengah anak, dia sangat yakin bisa menjadi "anak" yang baik. 　　Eh, tentu yang paling penting berterima kasih pada kontras si "anak" Jiang Zhan — Yu Jin berpikir dengan tidak baik. 　　Keduanya kembali ke halaman, Jiang Zhan langsung menenggak dua cangkir teh. 　　Yu Jin tertawa: “Kebanyakan minum anggur, sekarang ganti minum teh?” 　　Jiang Zhan mengangkat kelopak mata melihat Yu Jin, serius berkata: “Kakak Yu Qi, aku tidak ingin hidup sembarangan seperti dulu lagi, bantu aku memberi saran.” 　　“Apa rencanamu?” 　　Jiang Zhan menggaruk kepala, tampak bingung: “Belajar jelas bukan bakatku, setiap hari ke sekolah cuma buang waktu, tapi juga tidak tahu bisa ngapain. Kakak Yu Qi, kau tahu sifatku ini, berdagang pasti bakal gagal.” 　　“Adik kedua Jiang lebih baik masuk pasukan pengawal?” 　　Mata Jiang Zhan berbinar, tapi segera redup: “Pasukan biasa keluarga tidak akan setuju, mau masuk pasukan pengawal istana perlu koneksi——” 　　“Bagaimana kalau saya bantu tanyakan.” 　　“Kakak Yu Qi kenal orang?” 　　“Kebetulan saya bertemu beberapa teman yang bisa diandalkan. Pokoknya, saya akan coba dulu,” kata Yu Jin sambil tersenyum. 　　“Terima kasih banyak, Kakak Yu Qi.” Perasaan berat Jiang Zhan sedikit mereda, meski tentu saja pukulan besar karena diremehkan oleh seorang pria tak bisa pulih dalam waktu singkat. 　　Setelah berbincang akrab dengan Yu Jin, Jiang Ancheng pulang ke rumah dengan perasaan cukup baik. Namun, ada satu orang yang justru sedang murung. 　　Tuan Jiang Kedua kembali dari rumah Menteri Ritus dengan muka tertunduk lesu. 　　Akhir bulan minta vote! Baik Suara bulanan maupun Rekomendasi, semuanya kami harapkan. 235. BAB 235 Bagaimana Xiao Yu 　　BAB 235 Bagaimana Xiao Yu 　　Tuan Jiang Kedua adalah lulusan Jinshi resmi. Sebelum usia 40 tahun, dia sudah ditempatkan di luar ibu kota lalu ditarik kembali. Kini menjabat sebagai Wakil Menteri Kekaisaran Taipusi. Karirnya bisa dibilang mulus, banyak yang memujinya sebagai sosok muda berbakat. 　　Seorang seperti dirinya, meski orang lain mungkin tidak terlalu mengaguminya, sangat membanggakan diri sendiri. Tapi hari ini di kediaman Menteri Ritus, dia malah mendapat tatapan sinis. 　　Tentu rasanya tak enak mendapat tatapan seperti itu. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua menghitam seperti wajan saat kembali. Dia mengeluh pada Nyonya Feng, “Mulai sekarang, mungkin terjadi kesenjangan antara keluarga Menteri Ritus dan Keluarga Bo kita.” 　　Kebetulan Jiang Ancheng pulang, Nyonya Feng melirik tajam lalu berkata datar, “Zhan memang terlalu nakal. Setiap hari membuat masalah untuk Keluarga Bo. Kali ini kau harus benar-benar menghukumnya agar kapok.” 　　Jiang Ancheng langsung tak senang mendengarnya. 　　Memang anak kurang ajar itu sering membuat onar, tapi masalah harus dipisahkan. Tak bisa dihitung secara sembarangan. 　　“Ibu, masalah ini sebenarnya Cang'er yang jadi korban. Dia diajak Tuan Yang untuk berperahu, tidak terjadi apa-apa sudah untung. Masak karena Tuan Yang tewas sedangkan Cang'er selamat, langsung jadi salah Cang'er? Kalau Kementerian Ritus mau dendam pada Keluarga Bo karena ini, berarti otak mereka bermasalah!” 　　Nyonya Feng nyaris tercekik oleh ucapan Jiang Ancheng, marah: "Sampai sekarang kau masih membelanya! Kenapa Cang'er tidak ikut ke Sungai Jinshui? Pokoknya dia sendiri yang bermasalah!" 　　Jiang Si menyambung dingin: "Nenek, Kakak Kedua kan diundang Tuan Yang. Kalau menolak pasti mereka. Sejak dulu saya bilang, orang baik dapat ganjaran baik, orang jahat dapat hukumannya. Kakak selamat membuktikan dia orang baik." 　　Ucapannya membuat semua orang menyeringai. 　　Nona Keempat berani sekali. Tuan Kedua selamat karena baik, berarti Tuan Yang mati karena jahat— 　　Para hadirin geleng-geleng kepala merasa terbawa omongan Nona Keempat. Tapi ingat sebelum Tuan Kedua ditemukan, dia sudah yakin begitu, mereka pun tertegun. Terutama Nyonya Xiao, matanya menyipit menatap Jiang Si. 　　Kebetulan? Atau si gadis ini punya kemampuan tak biasa? 　　Ah, mana mungkin? Gadis 15 tahun apa bisa punya keahlian? Pasti salah sangka. 　　"Orang dewasa bicara, kau gadis kecil jangan ikut campur." Nyonya Feng berkata datar. 　　Putra Mahkota Yongchang Bo harus menjaga masa berkabung selama tiga tahun. Setelah masa berkabung berakhir, nasibnya masih belum jelas. Melihat Jiang Si yang tidak pandai memanfaatkan kesempatan, perhatian Nyonya Feng padanya semakin memudar. 　　Bagi Nyonya Feng, anak muda yang tidak dihargai tentu tidak berhak berbicara. 　　Mendengar ini, Jiang Si hanya tersenyum tipis, sama sekali tidak merasa tersinggung. 　　Kata-kata kasar hanya akan menyakiti jika berasal dari orang yang berarti. Sedangkan cacian dari orang yang tidak dianggap, baginya sama saja dengan kentut. 　　Jiang Si tidak ambil pusing, tapi Jiang Ancheng tidak terima. Ia mengerutkan alis: "Menurutku perkataan Si'er lebih masuk akal daripada banyak ucapan Paduka." 　　Ia langsung menyerang Tuan Jiang Kedua: "Apa maksudmu pulang dan mengatakan semua ini? Apakah keluarga Menteri Ritus yang lebih berkuasa dari Keluarga Bo kita berhak melampiaskan kemarahan karena kematian anggota mereka? Hmph, jelas-jelas mereka picik dan menyalahgunakan kekuasaan. Seharusnya kau langsung pergi saat diperlakukan dingin di sana, bukan pulang untuk menyerang anak muda keluarga sendiri. Apa selama bertahun-tahun belajar kitab suci, kau malah melupakan jiwa kesatria?" 　　Hmph, kalau ibu bersikap sebagai sesepuh yang mempermalukan anaknya, maka sebagai kakak tertua aku berhak menghardik adik kedua. Bagaimanapun juga, kakak tertua seperti ayah sendiri - bahkan ibu tidak bisa protes. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua yang tampan memerah seperti hati babi. 　　Ia lupa bahwa kakaknya selalu seperti petasan. Saat ayah mereka masih hidup dan mereka masih kecil, sang kakak sering dihukum. 　　“Dari segi ini, Jiang Zhan benar-benar mirip ayahnya!” 　　Dihujani makian oleh Jiang Ancheng di depan banyak orang, Tuan Jiang Kedua merasa malu. Dengan geram ia membalas, “Kakak salah bicara! Putra Menteri Ritus telah meninggal, apa aku harus membuat keributan di kediamanan mereka hanya karena mendapat perlakuan dingin? Ini bukanlah sikap seorang pria terhormat!” 　　Jiang Ancheng menyeringai dingin: “Pada dasarnya kau hanya memandang tinggi kedudukan Kementerian Ritus!” 　　Tuan Jiang Kedua yang marah mulai bicara tanpa filter: “Bukankah fakta bahwa Kementerian Ritus lebih terhormat daripada Keluarga Bo? Kakak tak peduli masa depan Keluarga Bo, aku masih harus memikirkan prospek generasi muda!” 　　Sang kakak ini adalah pecundang yang tak tahu membaca situasi. Hanya karena lahir lebih dulu sehingga mewarisi gelar bangsawan Keluarga Bo, tapi sama sekali tak memikirkan cara memuliakan keluarga dan melestarikan gelar ini. 　　“Bunga tak mekar seratus hari, manusia tak bahagia seribu hari. Paman sekarang melihat Kementerian Ritus begitu tinggi, mungkin suatu hari nanti takkan bisa menyaingi Keluarga Bo kita.” Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. 　　Ucapannya membuat kerumunan tertegun. 　　Nyonya Feng berwajah muram: “Si’er! Kau sama sekali tak punya tata krama, bicara ngawur begitu!” 　　Jiang Si berdiri, memberi hormat elegan pada Nyonya Feng: “Nenek jangan ambil pusing omong kosong cucu ini. Cucu mohon pamit.” 　　Ia melangkah keluar pintu halaman Cixintang, menarik napas panjang. Tak lama kemudian, Jiang Ancheng muncul. 　　Melihat Jiang Si menunggu di sini, Jiang Ancheng menunjukkan senyum lembut: "Si'er menunggu Ayah?" 　　Jiang Si mengangguk dan bertanya: "Ayah pergi ke Shuntianfu bersama Kakak Kedua, mengapa hanya Ayah yang pulang?" 　　Terhadap kemampuan Zhen Shicheng, Jiang Si sangat memahami, karenanya dia sangat memperhatikan perkembangan kasus. 　　"Eh, kami pergi ke tempat penyelamat nyawa Kakak Kedua, saat Ayah pergi, Kakak Kedua memilih tinggal." 　　Jiang Si agak terkejut, tetap menjaga ekspresi wajah: "Begitu rupanya." 　　Jiang Ancheng tiba-tiba menghela nafas: "Akhirnya Kakak Kedua berteman dengan orang yang bisa diandalkan. Jika dia lebih banyak bergaul dengan pemuda seperti Xiao Yu, Ayah bisa tenang." 　　Xiao Yu?? 　　Di benak Jiang Si tiba-tiba terbayang sepasang mata phoenix pria itu yang selalu tersenyum samar. 　　Jika dia mendengar penilaian Ayah ini, belum tentu bagaimana kesombongannya nanti. 　　Tidak, merayu orang memang keahliannya. Jika Ayah berkunjung beberapa kali lagi, mungkin akan menjual putrinya. 　　Suara batuk kecil terdengar: "Si'er, kau pernah bertemu Xiao Yu, waktu di Kediaman Yongchang Bo. Masih ingat?" 　　Di samping Xiao Yu ada seekor Anjing Besar, seharusnya Putri memiliki kesan mendalam. 　　"Ingat." 　　"Ahem, bagaimana pendapatmu tentang Xiao Yu?" Jiang Ancheng merasa pengantar sudah cukup, bertanya dengan santai. 　　Wajah Jiang Si sesaat berkerut. 　　Dia melebih-lebihkan integritas Ayah Paduka, ini baru kunjungan pertama! 　　"Tidak mengenal, juga tidak tertarik mengenal teman-teman Kakak Kedua. Ayah, saya kembali ke kamar dulu." 　　Melihat putrinya pergi dengan cepat, Jiang Ancheng berteriak di belakang, "Hei, Si'er, Xiao Yu tidak sama dengan teman-teman buruk kakak keduamu——" 　　Jiang Si membalikkan mata diam-diam. 　　Tentu saja berbeda, teman-teman buruk kakak kedua tidak punya kemampuan untuk memanipulasi ayah sampai linglung. 　　Kembali ke Haitangju, Ah Man mendekat. 　　"Apakah Lao Qin sudah menghancurkan kapalnya?" 　　Tengah malam para gadis ribut, tidak tidur semalaman, paginya kesiangan, maaf membuat semua menunggu. 236. BAB 236 Penyelesaian 　　BAB 236 Penyelesaian 　　Di Sungai Jinshui terdapat ratusan kapal besar kecil, dengan ribuan orang yang bersenang-senang, bisa dikatakan sungai saat malam hari adalah salah satu pemandangan terindah ibu kota. 　　Ini memberi Jiang Si kemudahan besar. 　　Meski Zhen Shicheng tajam pengamatannya, tapi dia bukan dewa, mencari petunjuk pelacur pembakar kapal dari begitu banyak orang dan kapal ibarat mendaki langit, sekalipun ada jejak butuh waktu lama. 　　Jiang Si tidak lengah karena ini, beberapa kali berurusan dengan Zhen Shicheng membuatnya paham, tak boleh mengabaikan detail sekecil apapun. 　　Kapal yang disewa Lao Qin harus dimusnahkan dengan baik. 　　Dia masih ingat pemandangan Yang Shengcai berusaha memanjat tepi kapal, ketika akhirnya jatuh kembali ke air dan mati di dasar sungai, kemungkinan besar ada bekas cakaran di tepi kapal. 　　Zhen Shicheng adalah orang yang bijaksana. Jika dia menyelidiki dari orang yang menyewa kapal semalam, lalu memeriksa badan kapal, begitu menemukan jejak-jejak itu mungkin bisa mencurigai orang yang menyewa kapal ini bermasalah. Dengan merunut jejak seperti ini, meski sudah diingatkan Lao Qin untuk menyamar saat menyewa kapal, tetap mungkin terjadi situasi di luar kendali. 　　Jiang Si tentu tak ingin masalah menimpa dirinya karena kecerobohannya sendiri. 　　"Lao Qin meminta nona tenang, semuanya sudah dia urusi dengan baik." 　　"Bagus." Jiang Si tersenyum. 　　Dia cukup percaya pada kemampuan Lao Qin. Kalau tidak, semalam tak mungkin dia membiarkan Kakak Kedua jatuh ke air dengan tenang. 　　Sungai Jinshui tidak deras, merupakan sungai panjang yang sangat tenang sehingga cocok untuk kapal pesiar bersandar, memberi kenyamanan bagi para penikmatnya. 　　Justru karena ini, dengan keahlian berenang Lao Qin, menyelamatkan Kakak Kedua bisa dipastikan berjalan mulus. 　　Ah Man sampai hari ini masih terpana oleh "kepiawaian" tuannya dalam membunuh, penuh kekaguman berkata: "Nona, bagaimana nona tahu harus mengurus kapal itu? Saat hamba menyampaikan pesan ke Lao Qin, dia bilang nona sangat hebat, seperti bisa meramal masa depan." 　　Jiang Si tersenyum masam: "Aku tidak sehebat itu. Hanya karena sangat memperhatikan, jadi banyak pertimbangan." 　　Dia terlahir kembali, tentu hidupnya bukan hanya soal "balas dendam", tapi melindungi keluarga adalah salah satu hal terpenting. Jika membiarkan nasib buruk kehidupan sebelumnya datang lagi, apakah bisa hidup tenang sendirian? 　　Ia sama sekali tidak mampu melakukan hal ini, jadi meski harus mengotori tangan dengan darah pun takkan ragu. 　　Di Shuntianfu, Zhen Shicheng berjalan perlahan dengan tangan terkebelakang. 　　Tidak lama sebelumnya, juru bedah mayat telah melapor satu hal kepadanya. 　　Juru bedah mayat menemukan serpihan kayu di sela-sela kuku jenazah! 　　Apa artinya ini? 　　Menurut penuturan Cui Yi dan lainnya, saat kebaran besar terjadi di kapal hias tadi malam, mereka semua langsung melompat ke sungai dari jendela. Artinya serpihan kayu di tangan jenazah tidak ada hubungannya dengan kapal hias. 　　Lantas apa penjelasan paling mungkin untuk adanya serpihan kayu di sela kuku jenazah? 　　Zhen Shicheng adalah orang yang berani berhipotesis. Segera muncul dugaan berani di pikirannya: Jenazah melompat ke sungai, panik berenang menuju kapal terdekat, lalu mencengkeram kuat pinggiran kapal atau dayung. 　　Tapi dia tidak diselamatkan, malah meninggalkan serpihan kayu di sela kukunya. 　　Sebenarnya ketidakselamatan Yang Shengcai membuat Zhen Shicheng sangat bingung. 　　Dia sendiri pernah mengamati Sungai Jinshui, arusnya sangat tenang. Apalagi di malam yang terang benderang dengan banyak kapal di sekitar, bagaimana mungkin tidak ada yang selamat? Perlu diketahui semua orang di kapal hias kecuali Yang Shengcai, bahkan Tuan Kedua Dongping Bo Residence yang mabuk dan jatuh ke air, berhasil diselamatkan. 　　Mempertimbangkan hal ini, dugaan Zhen Shicheng semakin jelas: Orang yang dimintai tolong oleh jenazah, hampir pasti adalah pelaku kejahatan itu sendiri! 　　Artinya, pelacur muda itu memiliki komplotan, mereka setidaknya memiliki satu kapal. Jika beruntung, mungkin bisa ditemukan bekas kuku korban di sisi kapal atau tempat lain. 　　Memikirkan hal-hal ini, suasana hati Zhen Shicheng tidak terlalu baik. 　　Meskipun saat menangani kasus ia akan bersikap adil – apapun identitas jenazah, menemukan kebenaran adalah tugasnya – namun kali ini kematian Yang Shengcai benar-benar membuatnya merasa puas. 　　Sampah masyarakat seperti itu, baru belasan tahun sudah mencelakakan banyak nyawa. Jika dibiarkan tumbuh tua, belum tahu berapa banyak lagi yang akan menjadi korban. 　　Apapun yang dipikirkan, Zhen Shicheng tetap memberi perintah tegas: "Tanya dulu pemilik kapal pesiar itu, apakah ada yang menyewa kapal kemarin. Jika ada, apakah kapalnya sudah dikembalikan." 　　Bawahan segera melaksanakan perintah. Tak lama kemudian staf lain melapor: "Paduka, utusan dari rumah keluarga Menteri Ritus telah datang." 　　Zhen Shicheng mengangguk dan bergegas menuju ruang resepsi. 　　Yang datang dari rumah Menteri Ritus adalah ayah kandung Yang Shengcai. Saat ini mata Ayah Yang memerah, wajahnya agak bengkak, terlihat sangat lesu. 　　Orang beruban mengantar yang berambut hitam – siapapun yang mengalaminya pasti sulit menanggung kesedihan ini. 　　Meski tak punya sedikitpun simpati pada Yang Shengcai, Zhen Shicheng merasa iba pada Ayah Yang. Dengan suara lembut ia menyapa: "Saudara Yang harus menjaga kondisi tubuh." 　　Ayah Yang menyeringai dingin: "Tuan Zhen tak perlu bicara basa-basi. Apakah pelacur pembakar itu sudah ditemukan?" 　　"Meski masih memiliki dua anak selir yang masih kecil, dia hanya punya satu anak lelaki sah bernama Yang Shengcai sebagai harta berharga. Meski sering mendapat marah karena kenakalannya, anak ini tetap disayangi sepenuh hati." 　　"Kini anaknya tiada, jika tak bisa menemukan pelaku kejahatan, dia bahkan ingin membakar Shuntianfu." 　　"Belum ditemukan." Melihat sikap kurang sopan lawannya, suara Zhen Shicheng juga menjadi dingin. 　　Apa istimewanya rumah keluarga Menteri Ritus? 　　"Apakah jabatanku sebagai Prefect Shuntian ini diraih dengan cara ditakut-takuti?" 　　Zhen Shicheng adalah orang yang merintis dari keluarga miskin. Orang seperti ini mungkin tak punya koneksi di masa muda, tapi pencapaiannya sekarang membuktikan dia jauh lebih cerdik dari pejabat berdarah biru. 　　"Sudah semalaman, mengapa masih belum ketemu?" Tanya Ayah Yang dengan nada menekan. 　　Zhen Shicheng dengan santai mengusap kumisnya: "Tadi malam ada ribuan orang di Sungai Jinshui. Apakah Tuan Yang mengira hamba ini dewa berkepala tiga yang bisa langsung tahu lokasinya? Lagipula pelacur itu juga terjun ke sungai, mungkin sudah tenggelam seperti dugaan orang." 　　Hmph, seperti bapak seperti anak. Kalau masih ngotot, biarkan tiga lembaga hukum yang urus. Nanti kalau ketemu pelakunya, dia akan kasih bendera penghargaan! 　　Zhen Shicheng bukanlah tipe kolot. Sebagai Prefect Shuntian, tanggung jawabnya bukan hanya menyelesaikan kasus. Dia hanya paling tertarik di bidang ini. Sesekali melepas tanggung jawab pun tak akan ada yang berani mencelanya. 　　“Kalau begitu, kapan kau bisa menemukan orangnya?” 　　“Ini sulit dipastikan. Pertanyaan Tuan Yang seperti ini justru menyulitkan hamba.” 　　“Kau!” Ayah Yang ingin meluapkan amarah, tapi melihat wajah tenang Zhen Shicheng, emosinya tak tersalurkan. 　　“Hamba dengar orang yang menyelamatkan Tuan Kedua Dongping Bo Residence adalah anak buah Paduka. Kini hamba curiga orang itu terkait kematian putra hamba. Tolong panggilkan dia untuk ditemui.” 　　Meski tak bisa berkonflik dengan Zhen Shicheng, setidaknya petugas yang menyelamatkan anak Dongping Bo tapi gagal selamatkan putranya itu harus dihukum! 　　Zhen Shicheng bertanya dengan nada aneh: “Tuan Yang ingin menemui anak buah saya?” 　　Hari terakhir akhir bulan mohon dukungan vote. Selamat menyambut Hari Anak sedini mungkin. 237.BAB 237 Ayah Saya Adalah Kaisar 　　BAB 237 Ayah Saya Adalah Kaisar 　　Ayah Yang tak menyadari keanehan nada bicara Zhen Shicheng, menyeringai: “Apakah Paduka hendak melindungi anak buah?” 　　“Sama sekali tidak. Tapi hamba ingatkan, anak buah hamba sama sekali tak ada hubungannya dengan musibah putramu.” 　　“Lebih baik temui dulu orangnya!” Bagi Ayah Yang, perkataan Zhen Shicheng hanyalah pembelaan buta. 　　Tak ada hubungan? 　　Kalau bisa menyelamatkan anak Dongping Bo, kenapa tak bisa selamatkan putranya? 　　Sekalipun tak ada hubungan, dia harus ciptakan hubungan! 　　Ayah Yang bertekad mencari masalah, menunggu dengan wajah muram. 　　Yu Jin masih berada di rumah sipil Gang Quezi. 　　Setelah berhasil menyenangkan hati calon mertua, Pangeran Ketujuh Yu Qi sedang dalam suasana hati yang sangat baik. Dengan santai, ia mengambil sikat kecil dan mulai menyisir bulu Er Niu. 　　Er Niu berbaring dengan nyaman di bawah pohon, matanya setengah terpejam menikmati perawatan. 　　Tak lama kemudian, petugas datang memanggilnya ke Shuntianfu. 　　"Keluarga Yang mengirim utusan dan secara terang-terangan meminta bertemu denganku?" 　　Meski Yu Jin bukan tipe yang mudah diatur, ia memiliki hubungan baik dengan para petugas. Petugas yang datang mengingatkan, "Tuan Yang itu menduga Anda terlibat dalam kematian cucu mereka. Tampaknya mereka ingin membuat masalah, Hati-hatilah." 　　"Mencari masalah?" Mata Yu Jin menyipit, "Ayo berangkat." 　　Hmm, mengapa perasaan ini justru membuatnya bersemangat? Bukankah biasanya ia bukan tipe yang suka mencari masalah. 　　Memikirkan Jiang Si yang semalam harus berendam di air lalu membunuh seseorang, dada Yu Jin terasa sesak. 　　Andai bukan karena kelakuan brengsek Yang Shengcai, A Si tak perlu mengotori tangannya sendiri. 　　Setiap mengingat hal itu, ia merasa kematian si bajingan itu terlalu mudah. 　　Nanti, setelah hubungannya dengan A Si semakin dekat, ia harus bilang: urusan membunuh serahkan padanya. Cukup A Si yang menyiapkan pisau. 　　Membayangkan masa depan yang cerah, senyum merekah di bibir Yu Jin. 　　Dengan senyum penuh kemenangan itu, ia memasuki balai Shuntianfu. Melihat ekspresinya, Tuan Yang hampir meledak marah dan membentak, "Andakah petugas yang menyelamatkan Tuan Kedua Dongping Bo Residence?" 　　Yu Jin tidak bermaksud mengganggu Ayah Yang, menjawab jujur: "Uh, saya yang menyelamatkan, tapi saya bukan petugas, melainkan asisten Tuan Zhen. Apakah Tuan datang untuk memberikan uang terima kasih?" 　　Ayah Yang mengabaikan penjelasan identitas Yu Jin, langsung menyerang setelah mengonfirmasi identitasnya: "Kenapa kau muncul di Sungai Jinshui tadi malam? Saat menyelamatkan Tuan Kedua Dongping Bo Residence, takkah kau melihat orang lain?" 　　Yu Jin heran menatap Zhen Shicheng: "Tuan Zhen, ini adalah——" 　　"Ini ayah dari Tuan Yang." 　　"Uh, apakah Tuan Zhen mengundang Tuan Yang untuk membantu penyelidikan?" 　　"Tidak juga, Saudara Yang sebagai pengadu datang untuk memahami kasus ini." 　　"Oh begitu." Yu Jin mengusap hidungnya, berkata dengan santai, "Saya kira Tuan Zhen mendapat asisten baru lagi." 　　"Tuan Zhen, kau terlalu memanjakan anak buah! Seorang petugas kecil berani bicara denganmu seperti ini!" 　　Alis Yu Jin berkerut, wajah tampannya mendadak membeku: "Hubungan saya dengan Tuan Zhen apa urusanmu? Kalau bukan datang untuk membantu penyelidikan, tapi memahami kasus, jagalah sikapmu!" 　　"Kurang ajar! Seorang petugas rendahan begitu tidak sopan, pasti berani melanggar hukum. Saya punya alasan untuk mencurigai kehadiranmu di Sungai Jinshui tadi malam punya maksud lain, mungkin kau pelacur pembakar itu!" 　　Ayah Yang sangat mahir dengan taktik menjatuhkan lawan seperti ini. 　　“Tentu saja dia tahu orang ini bukan pelayan yang membakar, tapi dengan statusnya yang menekan seorang petugas kecil, atasan si petugas pasti akan memberinya muka dengan membuat si petugas ini menderita.” 　　“Belum selesai, setelah urusan anak lelaki ini mereda dan tak lagi jadi sorotan, keluarga Shangshu yang terhormat bisa dengan mudah menghabisi orang kecil seperti ini.” 　　“Hehehe.” Yu Jin tertawa ringan. 　　Ayah Yang tertegun oleh tawanya. 　　Yu Jin menyunggingkan sudut mata yang berbinar, pandangannya pada Ayah Yang tiba-tiba berubah lembut. 　　Tidak apa, dia selalu toleran terhadap idiot. 　　“Tuan Yang, kalau punya alasan curiga ya curigailah? Apa Shuntianfu ini milik keluarga Shangshu?” Yu Jin malas berdebat, melirik Ayah Yang sambil berkata perlahan, “Sudah kukatakan aku bukan petugas. Anehnya Tuan Yang tidak tahu Paduka Zhen punya asisten baru.” 　　Meski Yu Jin tidak membuka identitas saat pindah dari Kementerian Hukuman ke Shuntianfu, keputusan Kaisar mengirim beberapa pangeran berlatih di enam kementerian sudah diketahui banyak orang. Dengan status keluarga Yang, identitasnya mustahil disembunyikan. 　　Lagipula, ayah beliau adalah Kaisar – bukan aib! 　　Yu Jin menyembunyikan identitas hanya demi satu orang: Jiang Si. 　　Dia khawatir status pangeran akan membuat sang pujaan hati sulit menerimanya. Perasaan orang lain? Bukan urusannya. 　　Ucapan Yu Jin membuat Ayah Yang terkesiap, matanya beralih ke Zhen Shicheng. 　　“Saudara Yang, ini adalah Pangeran Yan.” 　　"Mata Ayah Yang langsung membelalak, teriak kaget: 'Pangeran Yan?'" 　　"Benar, Pangeran Yan sedang magang di Kementerian Hukuman. Kebetulan akhir-akhir ini urusan Shuntianfu banyak, jadi beliau datang membantu hamba. Untuk kemudahan tugas, identitas aslinya sengaja tidak diumumkan." 　　Pandangan Ayah Yang ke arah Yu Jin dipenuhi rasa tak percaya, wajahnya seketika memucat, memerah, lalu menghitam bagai palet cat yang berubah-ubah. 　　Saat ini, ia merasakan betul makna malu dan terkejut yang sesungguhnya. 　　Tentang beberapa pangeran yang magang di enam kementerian, ia pernah mendengar dari ayahnya. Hanya saja Pangeran Yan jarang muncul, sehingga belum pernah dilihatnya. 　　Tak disangka Pangeran Yan ternyata adalah petugas rendahan ini—— 　　Ekspresi Ayah Yang sangat kompleks, ia tersenyum canggung pada Yu Jin: "Ternyata Yang Mulia Pangeran, maafkan ketidaktahuan hamba." 　　Putri Ayah Yang adalah Permaisuri Putra Mahkota, secara usia ia lebih tua satu generasi dari Yu Jin. Setelah keterkejutannya mereda, ia tak lagi grogi. Bagaimanapun, dibandingkan Putra Mahkota, Pangeran Yan bukanlah apa-apa. 　　Yu Jin tersenyum: "Apakah Tuan Yang masih menganggap saya sebagai pelayan pembakar gedung?" 　　Ayah Yang berdehem: "Ini jelas kesalahpahaman, harap Yang Mulia jangan tersinggung." 　　"Tak berani." 　　Ayah Yang telah kembali tenang, sikapnya terhadap Yu Jin semakin merendahkan. 　　Ia adalah ayah mertua Putra Mahkota. Secara pribadi, Pangeran Yan harus memanggilnya Paman. 　　Yu Jin yang tajam segera menangkap perubahan sikap ini, kemarahannya tersulut. 　　Idiot ini pikir dengan menjadi mertua Putra Mahkota bisa berlagak seperti burung elang berekor besar di hadapannya? Sungguh menggelikan. 　　Yu Jin mengangkat tinjunya ke arah Zhen Shicheng dengan ekspresi serius: "Tuan Zhen, Yang Laoye salah paham terhadap saya. Namun ada suatu hal yang ingin saya laporkan kepada Paduka, ini sama sekali bukan kesalahpahaman." 　　"Hmm, ada hal apa yang ingin Pangeran sampaikan?" Mata tajam Zhen Shicheng seperti musang itu menyipit. 　　Berdasarkan pengalaman, pertunjukan bagus akan segera dimulai! 　　Yu Jin melirik Ayah Yang dengan tatapan dingin nan acuh. 　　Entah mengapa, kulit kepala Ayah Yang meremang, firasat buruk mulai menggelayuti hatinya. 　　"Sebenarnya tadi malam saat Tuan Kedua Dongping Bo Residence terjatuh ke air, saya melihatnya." 　　"Melihat apa?" Zhen Shicheng segera bertanya mengejar. 　　Jantung Ayah Yang tiba-tiba berdebar kencang. 　　"Melihat sepasang tangan mendorong Tuan Kedua Dongping Bo Residence keluar dari jendela," jawab Yu Jin dengan tenang. 　　Selamat Hari Anak, sayangku semua. 238.BAB 238 Penipuan 　　BAB 238 Penipuan 　　Mendengar perkataan Yu Jin, Ayah Yang segera berseru: "Bukan perbuatan anak lelakiku!" 　　Dia terlalu memahami sifat Yang Shengcai. Seketika itu juga dia tahu pasti ini adalah perbuatan yang mungkin dilakukan putranya. Namun mengingat putranya sudah meninggal, dia takkan membiarkan fitnah ini mencoreng nama anaknya. 　　Yu Jin terkekeh ringan: "Mengapa Yang Laoye buru-buru menyangkal? Saya tidak mengatakan itu perbuatan Putramu." 　　Baru saat itu Ayah Yang tersadar, sebelumnya Yu Jin hanya menyebut "sepasang tangan" tanpa menyebut identitas pelaku. 　　"Kalau begitu, Pangeran tidak melihat pelakunya?" Zhen Shicheng yang semula mengira Yang Shengcai dan kawan-kawannya hanya sekelompok pemuda nakal, tak menduga ada alur cerita tersembunyi seperti ini. 　　Yu Jin tersenyum lebar: "Tidak melihat, tapi saat itu di kapal hias hanya ada beberapa orang. Walau Tuan Yang Shengcai tewas tenggelam, yang lain selamat. Tuan Zhen tinggal bertanya pasti tahu pemilik tangan itu." 　　Dia mulai menyadari, keluarga Menteri Ritus membenci Jiang Zhan. 　　Sungguh menggelikan, pelaku utamanya Yang Shengcai, komplotannya tiga anak Cui Yi, tapi yang dibenci malah korban. 　　Sebenarnya keluarga Menteri Ritus tidak salah sasaran, karena yang membunuh Yang Shengcai adalah A Si. Tapi membenci Jiang Zhan tanpa tahu kebenaran, ini namanya menindas. 　　Yu Jin orang yang protektif. Walau sering meremehkan kecerdasan Jiang Zhan, dia tak tahan melihat orang lain semena-mena. 　　Karena itu, dia akan sedikit menghasut, melihat bagaimana tiga sahabat Yang Shengcai akan memilih. 　　Sebenarnya Yu Jin sudah tahu pilihan ketiganya: Satu orang mati, tiga lainnya hidup. Apalagi yang berbuat memang Yang Shengcai. Mungkin mereka akan jujur daripada menanggung kesalahan? 　　Mustahil. 　　Keluarga Menteri Ritus yang menyalahkan korban seperti ini, pasti akan menyimpan dendam pada tiga keluarga lain yang mengungkap kejahatan Yang Shengcai. Dengan begitu perhatian pada Jiang Zhan akan berkurang. Soal apakah kasus Jiang Zhan dan Yang Shengcai akan membuat Jiang Si dicurigai Zhen Shicheng, Yu Jin sangat yakin tidak. 　　"Jiang Zhan ditipu naik ke kapal. Dari sudut pandangnya saat itu, hubungannya dengan Yang Shengcai cukup baik, jadi mustahil pelaku kejahatan diatur olehnya. Api besar itu menghanguskan semua jejak yang ditinggalkan orang di atas kapal hias." 　　Zhen Shicheng segera memerintahkan orang untuk memanggil Cui Yi dan lainnya. 　　Yang pertama tiba adalah Cui Yi. 　　Zhen Shicheng berkata kepada Ayah Yang dan Yu Jin: "Mohon kedua tuan menunggu sebentar di sini. Hamba akan pergi bertanya beberapa hal." 　　Ayah Yang mengusulkan untuk ikut mendengarkan. Yu Jin langsung menanggapi: "Ini tidak tepat. Bagaimana jika mereka terpengaruh saat melihat Yang Laoye?" 　　Ayah Yang bersikeras: "Ini menyangkut putra hamba. Saya berhak mengetahui situasinya." 　　"Begini saja. Kedua tuan bisa mendengarkan di balik penyekat nanti." Zhen Shicheng mengajukan solusi kompromi. 　　Kesombongan Ayah Yang berbeda tergantung lawan bicaranya. Saat ini yang satu adalah Prefect Shuntian yang dipercaya Kaisar, satunya lagi Pangeran Yan yang baru diangkat. Tentu dia tidak bisa bersikeras, akhirnya setengah hati menyetujui. 　　Zhen Shicheng mengedipkan mata ke arah Yu Jin, mengisyaratkan agar dia mengawasi orang tersebut. 　　Yu Jin paham, mengangguk hampir tak terlihat. 　　Tak lama keduanya bersembunyi di balik penyekat, mendengarkan percakapan Zhen Shicheng dengan Cui Yi. 　　Cui Yi tidak takut pada Zhen Shicheng. Menurutnya, Prefect Shuntian kecil ini jauh kalah dibanding orangtuanya. 　　"Ada keperluan apa lagi Paduka Zhen memanggil hamba?" 　　"Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi." 　　Wajah Cui Yi menunjukkan kejemuan: "Paduka Zhen, kenapa kantor kabupaten tidak buru-buru mencari pelaku pembakaran, malah setiap hari mengincar hamba?" 　　"Apa mungkin karena melihat ibunya pergi menghindari panas, saat ini tidak berada di ibu kota, sehingga berani seperti ini?" 　　Cui Yi sangat memahami sifat ibunya Putri Rongyang. Jika sang ibu berada di rumah keluarga, mengetahui peristiwa dirinya jatuh ke Sungai Jinshui saat berpesta malam pasti akan mencambuknya dengan cambuk. Tapi Shuntianfu ingin memanggilnya? Mustahil! Tidak seperti ayah— 　　Cui Yi memikirkan Jenderal Cui, sudut bibirnya menyeringai. 　　Kedatangannya kali ini dipaksa oleh ayahnya. Menurut ucapan sang ayah: "Masalah yang kau buat sendiri, uruslah sendiri. Jangan ganggu ketenanganku." 　　"Apakah Tuan Kedua dari Keluarga Bo Dongping, Jiang Zhan, sengaja didorong ke dalam air?" tiba-tiba Zhen Shicheng bertanya, mengabaikan sikap Cui Yi. 　　Pertanyaan yang terlalu mendadak ini membuat Cui Yi tak siap, wajahnya berubah drastis. 　　Zhen Shicheng tak berkedip mengamati setiap perubahan ekspresi Cui Yi, kemudian melemparkan kalimat mengguncang: "Ada saksi yang melihatmu mendorong Jiang Zhan!" 　　"Omong kosong!" Cui Yi hampir melompat, spontan berteriak, "Yang mendorong jelas-jelas Yang Shengcai! Apakah saksi itu buta?" 　　Di balik penyekat, Ayah Yang tak tahan mendengar ini. Ia hendak membentak Cui Yi yang berbicara sembarangan, namun Yu Jin dengan cepat menutup mulutnya. 　　Mulut Ayah Yang tertutup rapat tak bisa bersuara, matanya menyala-nyala menatap tajam Yu Jin. 　　Yu Jin mendekatkan telinganya ke telinganya, berbisik pelan: "Tuan Yang sebaiknya bersabar mendengarkan, kalau tidak saya akan memukulmu sampai pingsan." 　　Mata Ayah Yang membelalak lebih lebar, wajahnya berkedut karena marah. 　　Bagaimana Pangeran Yan berani memperlakukannya seperti ini? Dia adalah ayah mertua Putra Mahkota, bahkan Kaisar pun harus memberi hormat! 　　Nanti dia akan mengadu kepada Kaisar! 　　Di balik penyekat, Zhen Shicheng dengan santai mengusap kumisnya, mengangguk puas. 　　"Sudah kubilang anak-anak ini jauh kalah dibanding anakku sendiri, satu kalimat saja sudah bisa mengorek kebenaran," gumamnya. 　　"Ck, benar-benar polos tidak punya akal licik." 　　Zhen Shicheng yang cukup puas dengan performa Cui Yi, berkata datar: "Tampaknya orang itu keliru. Kalau begitu Tuan Cui tolong jelaskan keadaan yang disembunyikan sebelumnya, agar kami bisa membersihkan namamu." 　　Cui Yi ragu sejenak, matanya melirik ke sana kemari. 　　Zhen Shicheng yang paham situasi menenangkan: "Tuan Cui tak perlu khawatir. Ini bukan ruang sidang, juga tidak ada orang lain. Lagipula, hamba sudah bertanya pada dua temanmu yang lain." 　　Yu Jin di balik penyekat tersenyum kecut sudah biasa, sementara Ayah Yang menggeleng marah. 　　Dia pasti akan mengadu ke Kaisar, bukan hanya soal kelakuan Pangeran Yan, tapi juga Prefek Shuntian yang seenaknya memutar balik fakta. 　　Pola pikir manusia memang aneh - keraguan yang awalnya mengganjal, begitu tahu orang lain sudah bicara dan tak ada saksi lain, langsung kehilangan daya tahannya. 　　Cui Yi segera menjelaskan: "Yang Shengcai tertarik pada Jiang Zhan, sementara aku sebelumnya bermusuhan dengannya. Maka dengan dalih mendamaikan kami, dia mengundang Jiang Zhan minum di kapal. Kami beberapa orang memaksa Jiang Zhan minum sampai mabuk agar mudah menjebaknya, tapi tak disangka dia melawan. Marah, Yang Shengcai langsung mendorongnya ke sungai..." 　　Zhen Shicheng mendengarkan dengan ekspresi datar, namun api kemarahan berkedip di matanya. 　　Ternyata sifat jahat tidak mengenal usia, bahkan semakin muda semakin berani memperlihatkan kebuasan secara telanjang. 　　Orang seperti ini dibalas dendam, sungguh hal yang paling wajar. 　　Setelah Cui Yi diantar pergi, dua pemuda lainnya secara bergiliran menjalani interogasi. 　　Zhen Shicheng menggunakan strategi serupa untuk membuat kedua pemuda itu mengaku jujur, kesaksian mereka hampir sama dengan Cui Yi. 　　Sejak saat itu, tidak ada lagi keraguan bahwa Yang Shengcai yang mendorong Jiang Zhan jatuh ke air. 　　Lelah sekali, minta Suara bulanan dan Rekomendasi ya. 239.BAB 239 Menghadang Jalan 　　BAB 239 Menghadang Jalan 　　Zhen Shicheng memamerkan kelicikan tua-nya dengan menyuruh anak buah mengantar pulang Cui Yi bertiga sambil membujuk mereka menandatangani pengakuan, sengaja menghindari ayah Yang. 　　Jiang Zhan adalah orang terakhir yang dipanggil. 　　Dia sebelumnya tertidur lelap di rumah sendiri, sampai di kantor Shuntianfu masih bingung. 　　Menghadapi Jiang Zhan, sikap Zhen Shicheng jauh lebih ramah. Dia menyuguhkan secangkir teh dulu sebelum menanyakan kejadian semalam. 　　"Tuan Gong Jiang masih ingat bagaimana bisa jatuh ke air tadi malam?" 　　Pertanyaan Zhen Shicheng ini mengandung keanehan tersembunyi. 　　"Pada interogasi pagi ini, tidak mengherankan jika Cui Yi dan dua lainnya menyembunyikan kebenaran, tapi aneh bahwa Jiang Zhan sama sekali tidak mengatakan apa-apa." 　　Jiang Zhan mengedipkan matanya. 　　Kenapa tiba-tiba menanyakan ini lagi? 　　Meski Jiang Zhan tidak banyak akal, dia bisa mendengarkan nasihat teman-temannya, terutama teman yang dipercayainya. 　　Saat ini dia mengingat betul peringatan Yu Jin, dengan wajah bingung menjawab: "Saya tidak ingat sama sekali. Waktu itu saya terlalu mabuk. Tidak ada yang tersisa dalam ingatan. Paduka, apakah ada masalah tertentu?" 　　Zhen Shicheng mengamati ekspresi Jiang Zhan dengan cermat, lalu menghela napas pelan. 　　Sungguh tidak berdaya menghadapi orang mabuk. 　　Tapi secara logika, tidak mungkin dia mau melindungi orang yang telah mencoba mencelakakannya. 　　Zhen Shicheng akhirnya memilih percaya pada perkataan Jiang Zhan, berkata samar: "Ada beberapa petunjuk baru, jadi kami perlu menanyakan kondisi lagi pada Tuan Gong Jiang. Ngomong-ngomong, setelah ditolong oleh Xiao Yu, apakah dia mengatakan sesuatu padamu?" 　　Di balik penyekat, Yu Jin mengerutkan kening diam-diam. 　　Zhen Shicheng ini benar-benar tidak melewatkan siapa pun, bahkan sudah mulai mencurigainya sekarang. 　　Untungnya dia sudah memperingatkan Jiang Zhan sebelumnya, tidak takut terjebak sekarang. 　　"Dia bilang." Meski polos, Jiang Zhan tidak benar-benar bodoh. Hatinya waspada saat mendengar Zhen Shicheng menanyakan Yu Qi. "Kakak Yu Qi memarahiku, menyuruhku jangan ikut-ikutan sembarangan lagi." 　　"Tidak menyebut bagaimana kamu bisa jatuh ke air?" 　　Jantung Jiang Zhan berdebar kencang. 　　Apakah Tuan Zhen sudah tahu penyebab dia jatuh ke air? 　　"Menduga hal ini, Jiang Zhan sama sekali tidak panik." 　　Dia adalah korban, mengapa harus panik? Seperti yang dikatakan Kakak Yu Qi, yang penting dia bersikukuh tidak tahu apa-apa. Jika Tuan Zhen sendiri berhasil mengungkap bahwa dia menjadi korban Yang Shengcai, bukankah itu lebih baik? 　　"Tidak disebutkan, kan karena kebakaran kapal hias?" Wajah Jiang Zhan berubah pucat, "Tuan Zhen, apakah ada alasan lain?" 　　Zhen Shicheng sementara tidak ingin memperumit masalah, tersenyum: "Tuan Gong Jiang jangan berprasangka, hamba hanya bertanya. Terima kasih sudah datang lagi, silakan pulang beristirahat." 　　Kondisi para gadis ini jauh lebih buruk dibandingkan Cui Yi dan dua lainnya. Hmm, pasti karena mabuk. 　　Zhen Shicheng menyuruh orang mengantar Jiang Zhan keluar. 　　Yu Jin baru melepaskan mulut Yang Fu, lalu berjalan santai keluar dari balik paravent. 　　Yang Fu yang sudah bebas terengah-engah menarik napas. 　　Dia hampir mati kehabisan napas! 　　Zhen Shicheng memandang Yang Fu dengan ekspresi rumit: "Saudara Yang, Putramu--" 　　"Putra hamba sudah tiada, apakah Paduka masih ingin menjeratnya dengan tuduhan dan memasukkannya ke penjara bawah tanah? Daripada buang waktu, lebih baik Shuntianfu segera cari pelaku pembakaran!" Dengan muka merah padam, Yang Fu pergi sambil mengibaskan lengan baju. 　　Zhen Shicheng dan Yu Jin saling memandang, menggeleng: "Benar-benar merasa dilindungi." 　　“Seperti yang dikatakan Ayah Yang, Yang Shengcai sudah mati, sementara Jiang Zhan sama sekali tidak apa-apa. Ditambah lagi lawannya adalah cucu Menteri Ritus, ipar Putra Mahkota, bahkan Kaisar pun tidak ingin melihat namanya ternoda setelah kematian.” 　　“Tuan Zhen, saya juga pamit. Semalam berperahu tidak bisa tidur nyenyak, sampai sekarang belum pulih benar.” Yu Jin yang melihat tidak ada keramaian lagi, bersiap pulang untuk tidur siang. 　　Apakah nama Yang Shengcai ternoda atau tidak tidak penting, yang penting keluarga Yang dan tiga keluarga lainnya timbul kecurigaan. 　　Jiang Zhan keluar dari gerbang kantor Shuntianfu, tubuhnya limbung. 　　Mabuk berat ditambah tenggelam di air, membuatnya sampai sekarang belum pulih sepenuhnya. 　　Tidak jauh dari situ, Jiang Si menunggu dengan tenang. Melihat kakaknya keluar, ia segera menyambut. 　　Jiang Zhan terkejut: “Adik Keempat, kenapa kau datang?” 　　Di bawah sinar matahari, gadis itu tersenyum lembut: “Aku datang menjemput Kakak Kedua pulang ke rumah.” 　　Jiang Zhan langsung grogi, tangannya tak tahu harus diletakkan di mana, berkata malu-malu: “Kakak yang sudah besar begini, mana perlu Adik Keempat menjemput.” 　　Ternyata kinerjanya buruk, sampai sudah besar masih merepotkan adik. 　　Jiang Si berjalan berdampingan dengan Jiang Zhan menuju kereta kuda, sambil berjalan berkata: “Sebenarnya Ayah juga sangat khawatir dengan kondisi Kakak Kedua, jadi aku datang menjemput agar Ayah tenang.” 　　Sampai di sisi kereta, Jiang Si menyuruh Jiang Zhan naik. 　　“Saya naik kuda saja.” 　　“Kakak Kedua lebih baik naik kereta. Semalam Kakak jatuh ke air, sama sekali tidak bugar. Kalau sampai jatuh dari kuda bagaimana?” 　　“Mana mungkin seburuk itu.” Meski berkata begitu, Jiang Zhan akhirnya naik kereta setelah mendengar nasihat Jiang Si. 　　Jiang Si ikut naik, kusir mengibaskan cambuk dan kereta perlahan mulai bergerak. 　　Yu Jin berdiri di depan kantor kabupaten Shuntianfu, memandangi sedih kedua saudara itu naik kereta dan pergi, hampir-hampir ingin menarik Jiang Zhan turun dan menggantikan posisinya. 　　Bukankah Jiang Zhan bukan orang sakit parah yang bisa terjatuh tertiup angin? Mengapa A Si harus begitu berhati-hati? 　　Wanita memang selalu lemah hati! 　　Yu Jin tak tega menyalahkan Jiang Si, akhirnya menyebarkan kesalahan ke semua wanita. 　　Kereta Kediaman Dongping Bo baru saja belok dari jalan utama depan kantor kabupaten ke jalan kecil yang sepi, tiba-tiba beberapa batu beterbangan. 　　Kusir hari ini bukan Lao Qin. Kusir yang gugup menghadapi situasi mendadak ini tidak sempat bereaksi, salah satu batu menghantam perut kuda. 　　Kuda meringkik keras, membuat gerbong kereta berguncang. 　　Jiang Zhan melindungi Jiang Si sambil marah: "Ada apa ini?" 　　"Tuan Kedua, ada orang menghadang jalan." 　　Jiang Zhan membuka tirai pintu kereta dan melompat turun. 　　Cui Yi dan dua temannya berdiri tak jauh, menatapnya dengan wajah bermusuhan. 　　"Kalian maksudnya apa?" Melihat Cui Yi bertiga, Jiang Zhan juga naik darah. 　　Tiga orang ini benar-benar mengira dia tidak tahu apa-apa? Dia belum mencari masalah mereka, malah mereka yang datang ke rumahnya, sungguh menganggapnya buah kesemek lunak! 　　“Apa maksudnya? Jiang Zhan, kau berani sekali, berani melapor ke Prefect Shuntian. Kira dengan mengungkapkan Yang Shengcai yang menyiksamu bisa membuat kami ikut celaka, atau membuat nama Yang Shengcai tercela? Goblok! Jangan mimpi!” 　　Semakin diucapkan, amarah Cui Yi semakin membara. 　　Setelah keluar dari Shuntianfu, dia melihat kereta kuda dua rekannya, semakin dipikir semakin mencurigakan. Ketiga orang ini saling konfrontasi baru sadar telah dibohongi Prefect Shuntian. 　　Dengan demikian, sumber informasi yang didapat Prefect Shuntian menjadi jelas. 　　Penemuan ini membuat ketiganya sangat murka. 　　Mereka telah terjebak mengungkapkan perbuatan jahat Yang Shengcai. Jika sampai diketahui keluarga Menteri Ritus, pasti akan bermusuhan. 　　Cui Yi sendiri tak takut, tapi salah satunya adalah putra Wakil Menteri Ritus. Menteri Ritus adalah atasan ayahnya. Wajar jika mereka membenci kecerobohan Jiang Zhan. 　　“Anjing baik tak akan menghalangi jalan, minggir!” Jiang Zhan ingin bertarung, tapi ingat adiknya di dalam kereta kuda, menahan amarah dengan gigih. 　　“Kenapa kau tidak tenggelam tadi malam? Masih berani sombong di depan kami. Saudara-saudara, hajar dia!” Cui Yi melambaikan tangan, ketiganya menyerbu. 　　Hari ini hanya satu bab. Kemarin membawa dua anak kecil bermain seharian, lelah sekali, lalu tante datang bulan. Jujur, hari ini bahkan tidak ada tenaga untuk menulis, apalagi bangun dari tempat tidur. Terakhir, terima kasih sebesar-besarnya kepada teman-teman pembaca yang telah memberikan vote dan hadiah. 240. BAB 240 Pelajaran 　　BAB 240 Pelajaran 　　Saat dikepung oleh Cui Yi dan dua orang lainnya, reaksi pertama Jiang Zhan adalah menoleh, membiarkan tinju-tinju itu menghujani tubuhnya sambil berteriak pada kusir: "Cepat pergi!" 　　Pada saat itu, ia merasakan ketakutan yang nyata. 　　Tubuhnya lemas tak bertenaga. Jika ketiga brengsek ini mengetahui Adik Keempat berada di dalam kereta, akibatnya tak terbayangkan. 　　Memikirkan hal itu, keringat dingin mengucur di pelipis Jiang Zhan. Ia sama sekali tak merasakan sakit dari pukulan di punggungnya, berteriak lebih keras: "Pergi sekarang!" 　　Kusir yang sudah sepuh ini baru bereaksi setelah diteriaki dua kali, buru-buru mencambuk kuda tua yang sama rentanya. 　　Persis saat itu tirai katun warna hijau bambu tersibak, memperlihatkan wajah cantik sang gadis: "Kak kedua, ada apa?" 　　Saat suara lembut gadis itu terdengar, Cui Yi dan dua kawannya berhenti sejenak, kemudian wajah mereka dipenuhi ekspresi mesum. 　　"Wah, ternyata ada orang di dalam kereta." 　　Jiang Zhan berputar kasar, menggertak: "Cui Yi, berani-beraninya kau mendekati adikku! Aku akan membunuhmu!" 　　“Cui Yi sebenarnya bukan orang yang sangat bernafsu, bahkan saat melihat Jiang Si yang cantik luar biasa pun tidak sampai tidak bisa bergerak, namun ekspresinya langsung menjadi jahat, karena bagi dia yang sudah terbiasa menindas orang, sangat paham ekspresi seperti apa yang akan membuat lawan semakin panik. 　　Jiang Zhan sangat menyayangi adik kesayangannya, nah justru karena itu dia akan mengganggu adiknya, memberinya pelajaran yang takkan terlupakan seumur hidup. 　　"Kalian halangi dia!" Cui Yi melemparkan perintah, dua pemuda lainnya dengan kompak langsung menghadang Jiang Zhan. 　　Dalam keadaan normal, Jiang Zhan bisa dengan mudah mengatasi kedua pemuda ini, tapi setelah mabuk dan jatuh ke air, ditambah serangkaian pukulan mental di siang hari, seluruh tubuhnya sudah di ambang kehancuran, mana mungkin bisa melawan sekarang. 　　Melihat dua rekannya berhasil membelenggu Jiang Zhan, Cui Yi tersenyum sinis sambil meraih tali kekang kuda. 　　Kuda merah tua penarik kereta ini sudah berumur, sifatnya jinak, kelebihannya adalah stabil saat menarik kereta, tapi sekarang kelebihan ini justru menjadi kelemahan mematikan. 　　Kusir tua yang belum pernah mengalami situasi seperti ini berusaha mati-matian menggerakkan kereta namun sia-sia, hanya bisa gelisah berputar-putar. 　　Jiang Si memandang tenang Cui Yi yang hendak melompat ke kereta, dingin membeku di kedalaman matanya. 　　Ini benar-benar mencari mati sendiri. 　　Setelah menyelesaikan Yang Shengcai, meski ketiga orang sisanya tidak pantas mati, tapi hukuman pantas mereka terima. 　　Jiang Si awalnya berniat menunggu hingga insiden Yang Shengcai jatuh ke air reda, untuk menghindari kecurigaan Zhen Shicheng jika tiga orang ini berturut-turut mengalami musibah. Namun tak disangka ketiganya malah bergegas mencari masalah sendiri. 　　Tentu saja Jiang Si tidak akan melewatkan kesempatan yang datang menghampiri ini. Kemunculannya tadi sengaja direncanakan. 　　Saat Cui Yi berusaha melompat ke kereta kuda, tangan putih Jiang Si yang tersembunyi dalam lengan baju mengeluarkan serbuk halus. Sebagian serbuk masuk ke lubang hidung kuda merah tua, sementara sebagian lainnya beterbangan ke arah Cui Yi. 　　Kuda merah tua itu memang berwatak jinak. Meski ditahan oleh orang asing, ia hanya mengibaskan ekor dengan sabar. Namun saat serbuk terhirup, mata lembutnya tiba-tiba dipenuhi kegilaan. Kaki depannya mengangkat tinggi dan menendang Cui Yi hingga terlempar. 　　Perubahan situasi yang tiba-tiba ini membuat Cui Yi terlempar tanpa persiapan sama sekali. Ia jatuh ke tanah dengan posisi seperti anjing menjilat tahi, membuatnya pusing tujuh keliling. 　　Belum cukup sampai di situ, kuda tua itu seolah mengincar Cui Yi. Ia mendekat dan membuka mulut lebar-lebar, menggigit pantat pemuda itu. 　　Cui Yi menjerit kesakitan, bahkan lupa untuk meminta pertolongan. 　　Anehnya, dibandingkan dengan jatuhnya tadi, gigitan kuda ini justru tidak terlalu sakit. 　　Saat itu juga, pikiran absurd ini melintas tak terduga di benak Cui Yi. Baru kemudian ia sadar dan berteriak marah: "Kalian tidak segera menolongku?!" 　　Dua pemuda itu sempat bengong, baru tersadar setelah diteriaki Cui Yi, lalu buru-buru melepas Jiang Zhan dan menyergap. 　　Kuda tua merah marun melepaskan gigitannya, menoleh memandangi dua pemuda itu. 　　Kedua pemuda itu serentak mundur selangkah. 　　Tiga pelayan keluarga baru tersadar belakangan dan bergegas menyelamatkan. 　　Biasanya para majikanlah yang semena-mena, mereka hanya jadi penonton. Mana sangka ada hari seperti ini. 　　Saat Yu Jin tiba, ia melihat kerumunan orang menyergap ke arah kereta kuda tempat Jiang Si berada. 　　"Melihat adegan ini, amarah Yu Jin berkobar. Ia melompat maju dan menarik Jiang Si turun dari kereta kuda, melindunginya dalam pelukan sambil bergegas keluar." 　　"Bersamaan dengan itu, ia menendang perut kuda dengan kaki terangkat." 　　"Kuda tua yang sedang asyik menggigit orang itu kesakitan. Refleksnya menggeser badan ke samping, terdengar bunyi 'krak' — kaki Cui Yi patah tertimpa kuda." 　　"Ahh—!" Jeritan kali ini mengguncang langit-bumi. Cui Yi memeluk kakinya sambil berguling-guling, "Bunuh mereka!" teriaknya sambil berguling." 　　"Para pelayan mengepung Yu Jin." 　　"Dengan suara dingin Yu Jin berkata, 'Hajar habis-habisan! Tidak masalah kalau sampai mati!'" 　　"Long Dan tiba-tiba muncul entah dari mana, bagaikan macan tutul lincah yang menerjang kawanan domba." 　　"Baru kemudian Yu Jin melepas Jiang Si. 'Tidak apa-apa?' tanyanya." 　　"Jiang Si merapikan rambutnya yang berantakan. 'Tidak apa-apa,' jawabnya datar." 　　“Sayang sekali, kuda tua baru menggigit beberapa kali.” 　　Memikirkan Cui Yi yang kakinya patah diinjak kuda tua, Jiang Si merasa sedikit lega. 　　Bagaimanapun juga, Yu Jin menyelamatkannya dengan niat baik, dia tetap berterima kasih atas kebaikan ini. 　　“Terima kasih atas pertolongan Tuan Yu.” 　　Yu Jin baru saja mau bicara ketika Jiang Zhan berlari terengah-engah: “Ka-Kakak Yu Qi, untung kau datang.” 　　Yu Jin dalam hati menggelengkan kepala. 　　Kenapa Jiang Zhan tidak bisa diam saja di pojokan? 　　Derap kaki tergesa datang: “Apa yang terjadi di sini?” 　　Sekelompok bawahan segera tiba, bingung melihat sekumpulan orang berguling-guling di tanah. 　　Cui Yi nyaris pingsan karena sakit, amarahnya memuncak melihat para pelayan yang ikut berguling, berteriak pada polisi: “Kalian bego? Aku anak Putri Rongyang dan Jenderal Cui! Ditodong penjahat, tangkap mereka!” 　　Salah satu bawahan mengenali Yu Jin: “Tuan Yu?” 　　Pasukan Shuntianfu tahu tentang Yu Jin. Meski asal-usulnya misterius, dia sangat dihargai Tuan Zhen. Jelas bukan orang biasa. 　　Mengetahui "penjahat" adalah rekan sendiri, para petugas ragu. Yu Jin malah tersenyum: “Ayo kita ke Shuntianfu.” 　　“Bawa semua!” Kepala menggerakkan tangan, menyerahkan masalah rumit ini pada atasan. 　　“Kakak Yu Qi, Adik Keempat saya——” Jiang Zhan hendak mengatakan agar Jiang Si pulang dulu ke kediaman keluarga, namun baru membuka mulut, rasa pusing berputar langsung menyerang, tubuhnya goyah lalu terjatuh. 　　Jiang Si gesit menopang kakaknya, berkata pada Yu Jin: “Aku akan membawa Kakak Kedua ke klinik obat terlebih dahulu.” 　　“Baik, biarkan Long Dan menemani kalian.” 　　“Tuan Yu, ini——” 　　Yu Jin melirik Kepala polisi dengan dingin: “Semua orang ini kupukul sendiri, bukan ulah mereka. Sekarang mereka sudah pingsan, dibawa kembali juga percuma. Bila Paduka ingin interogasi, panggil mereka kembali nanti saja.” 　　Melihat petugas membiarkan Jiang Zhan pergi, Cui Yi yang marah dan kesakitan akhirnya juga pingsan. 　　Korban utama juga sudah tak sadarkan diri, baiklah, bawa ke klinik dulu. 241. BAB 241 Kehidupan Seakan Pertemuan Pertama 　　BAB 241 Kehidupan Seakan Pertemuan Pertama 　　Klinik obat terdekat yang cukup ternama di ibu kota bernama He Qi Tang. Saat ini banyak orang hilir mudik di depan klinik, terlihat ramai. 　　Seorang pemuda berusia 17-18 tahun bergegas keluar dari klinik, langkahnya tergesa. Jika diperhatikan lebih saksama, raut wajahnya terlihat tidak natural. 　　Pemuda itu adalah Putra Ketiga Keluarga Anguo Gong, Ji Chongyi. 　　Ia datang ke He Qi Tang untuk mengambil obat bagi istri barunya, Qiao Niang. 　　Keluarga An Guogong sebenarnya memiliki apotek kecil sendiri. Mulai dari ginseng langka berusia ratusan tahun hingga ramuan biasa, meski tidak selengkap klinik besar di luar, kebutuhan dasar tetap terpenuhi. Secara logika, anggota keluarga bangsawan ini seharusnya tidak perlu berobat ke luar. 　　Tapi Qiao Niang memiliki masalah pribadi yang sulit diungkapkan. Sejak jatuh ke air beberapa bulan lalu, setiap datang bulan ia selalu mengalami pendarahan yang tidak kunjung berhenti, sangat menyebalkan. 　　Sejak menikah masuk ke Keluarga An Guogong, manisnya perhatian dan kemewahan yang diberikan suami tak mampu mengimbangi tekanan pandangan merendahkan dari seluruh anggota keluarga yang terasa di mana-mana. Ia bahkan tak berani memberitahu dayang tentang penyakitnya ini, karena bahkan dayang pun dikirim oleh Nyonya An Guo Gong. Kalau sekarang diungkapkan, pasti akan langsung sampai ke telinga sang nyonya. 　　Satu-satunya orang yang dipercaya Qiao Niang hanyalah Ji Chongyi. 　　Ji Chongyi yang menikahi Qiao Niang di bawah tekanan besar tentu tak mau ada yang meremehkan istrinya. 　　Contohnya, sehari setelah Qiao Niang masuk keluarga, Nyonya An Guo Gong khusus mengirim seorang nenek untuk mengajarinya tata krama. 　　Tindakan Nyonya An Guo Gong ini bagai menampar wajah Ji Chongyi, membuatnya malu sekaligus tak berdaya. Namun akhirnya ia harus menelan ludah. 　　Dalam hati Ji Chongyi mengerti, meski Qiao Niang memiliki kemurnian hati yang tak dimiliki putri bangsawan, soal tata krama memang tak bisa dibandingkan dengan perempuan terdidik sejak kecil dari keluarga terhormat. Maka harus belajar dengan sungguh-sungguh. Begitu Qiao Niang menguasai tata krama, setidaknya para sesepuh tak bisa mencela dari sisi ini. 　　Tanpa disadari, Ji Chongyi bahkan lebih sensitif daripada Qiao Niang sendiri terhadap sikap anggota keluarga padanya. Mendengar permintaan Qiao Niang, mau tak mau ia harus turun tangan langsung. 　　Para dayang-dayang di sisi Qiao Niang tidak bisa dipercaya, dia tentu tidak bisa menyuruh pelayan prianya membeli obat semacam ini untuk istrinya. 　　Ji Chongyi baru saja turun tangga sambil membawa obat yang sudah dibeli ketika sebuah kereta kuda berhenti tergesa-gesa tidak jauh darinya. 　　Kusir kereta itu adalah seorang pemuda yang sangat gesit. Begitu kereta berhenti, dia langsung melompat turun, membuka tirai kereta dan menggendong seseorang dari dalam kabin sambil membungkuk. 　　Ji Chongyi secara refleks berhenti melangkah. 　　Menonton keramaian memang sudah menjadi sifat alami manusia. Wajah orang yang digendong kusir muda itu kebetulan menghadap ke arahnya, membuatnya tak bisa tidak membelalakkan mata. 　　Dia mengenali orang ini. 　　Bukankah ini Putra Kedua Keluarga Dongping Bo, yaitu kakak kandung Nona Keempat Jiang yang sebelumnya pernah bertunangan dengannya? 　　Setelah kedua keluarga membatalkan pertunangan, suatu kali dia pernah dihadang oleh Tuan Kedua Jiang ini di gang kecil dan dimaki habis-habisan, disebut sebagai bajingan buta yang tak tahu mutu. 　　Masih ada cacian yang lebih kasar, tapi Ji Chongyi tak mau mengingatnya lagi. 　　Sejak memilih bersama Qiao Niang, dia sudah terlalu sering mendengar makian. Hingga kini dia tetap tidak menyesali pilihan masa lalu, tapi bukan berarti dicaci bisa membuat hatinya nyaman. 　　Singkatnya, Ji Chongyi memiliki kesan mendalam pada Jiang Zhan yang hampir menjadi kakak iparnya ini. 　　Tak lama kemudian, sosok ramping yang mengikuti Jiang Zhan dengan erat menarik perhatiannya. 　　Gadis itu mengenakan baju putih dan rok merah, meski terburu-buru namun tak bisa menyembunyikan pesonanya. Seperti sekuntum bunga merah yang mencolok di antara hamparan hijau pegunungan, tiba-tiba menyergap pandangan dan hati orang. 　　Ji Chongyi kembali tertegun. 　　Gadis ini juga pernah ia lihat sebelumnya. 　　Hampir tanpa berpikir, Ji Chongyi langsung teringat. 　　Saat itu adalah hari pernikahannya ketika prosesi menjemut pengantin. Di tengah kerumunan orang, pandangannya tak sengaja tertuju pada kereta kuda berkelambu hijau yang parkir di pinggir jalan. Tirai jendela kereta tersibak sedikit, memperlihatkan wajah gadis itu yang seputih salju dan secantik lukisan dewi. 　　Saat itu ia terkesima pada kecantikannya, namun sadar pertemuan semacam ini bagai daun terapung di angin, takkan terulang lagi. 　　Ji Chongyi tak menyangka hanya dengan sekali pandang ia bisa mengingat orang yang cuma pernah dilihat sekilas. Inilah kelebihan orang berbakat lahiriah yang tak bisa didamba orang biasa. 　　"Nona Jiang, tenang saja. Tuan Gong Jiang mungkin hanya kelelahan, istirahat cukup pasti pulih." Long Dan menghibur. 　　"Mm." Jiang Si hanya menjawab singkat. Tak lama kemudian ketiganya memasuki He Qi Tang. 　　Ji Chongyi benar-benar membeku. 　　Tadi kusir muda itu memanggilnya Nona Jiang. Berarti dia adalah—— 　　Penemuan mendadak ini membuat perasaannya campur aduk. Bayangan kabur tentang wanita yang pernah memutuskan pertunangan mereka tiba-tiba menjadi jelas. 　　Rupanya dialah Nona Keempat Jiang, rupanya dialah yang hampir menjadi istrinya... 　　Merasa pikirannya melayang, Ji Chongyi menggelengkan kepala dengan keras, wajahnya tampak muram. 　　Dia marah pada dirinya sendiri karena sesaat kehilangan fokus. 　　Hanya sebatas fisik yang rupawan, pada dasarnya itu pemberian alam. Dia dan Qiao Nianglah yang saling mencintai, kebaikan Qiao Niang juga tak tertandingi oleh wanita mana pun. 　　Bagaimanapun juga dia tidak akan menyesal. 　　Ji Chongyi mengusir bayangan gadis itu yang tiba-tiba muncul di pikirannya, lalu bergegas kembali ke Keluarga An Guogong. 　　Qiao Niang tampak gelisah, langsung berdiri menyambut begitu melihat Ji Chongyi kembali. 　　Nenek di sampingnya batuk keras, Qiao Niang langsung berhenti melangkah. Mengingat-ingat ajaran nenek tentang cara berjalan, dia melangkah pelan-pelan dengan hati-hati. 　　Tiba-tiba bayangan gadis itu yang tetap anggun meski berjalan tergesa muncul di benak Ji Chongyi. Melihat Qiao Niang yang kikuk melangkah, alisnya tanpa sadar berkerut. 　　Lagipula, saudari-saudarinya juga seperti itu, sedangkan Qiao Niang sama sekali berbeda dengan mereka. 　　Ji Chongyi merasa sesak tanpa alasan, berkata pada Qiao Niang: "Berjalanlah dengan baik. Lihat dirimu seperti ini, hati-hati tersandung rok." 　　"Tapi——" Qiao Niang melirik ke arah nenek itu dengan raut takut. 　　Jika dia lupa aturan ini, nanti si nenek pasti akan memarahinya lagi. 　　Ji Chongyi semakin kesal, menoleh ke dayang-dayang di sampingnya: "Kalian semua keluar!" 　　“Dayang-dayang segera mundur, Qiao Niang baru bisa lega, matanya berbinar sambil tersenyum: "Sudah dibeli?"” 　　Ji Chongyi menatapnya dalam-dalam, menghela nafas: "Bukankah begini sudah baik."” 　　Senyum Qiao Niang pudar, suaranya rendah: "Tapi kalau aku tidak bisa belajar baik-baik, nanti dipermalukan orang saat keluar."” 　　Sejak menikah masuk ke Keluarga An Guogong, dia belum pernah menghadiri satu pesta pun karena Nyonya An Guo Gong melarang, bilang tata krama-nya belum layak menemui tamu. 　　Qiao Niang tentu juga punya harga diri. 　　Ji Chongyi tiba-tiba merasa hambar, berdesah: "Kalau begitu belajarlah baik-baik, cepat mahir. Obat ini suruh dayangmu rebus, jangan lupa diminum tepat waktu."” 　　Tidak belajar juga boleh, mahir pun tak apa, setidaknya jangan seperti sekarang ini setengah-setengah. 　　"A Yi, kau mau ke mana?" Melihat Ji Chongyi hendak pergi, Qiao Niang tertegun. 　　Ji Chongyi menyungging senyum paksa: "Aku mau baca buku di ruang belajar sebentar."” 　　Memandang punggung Ji Chongyi yang pergi, Qiao Niang melongo mengucap satu kata: "Eh."” 　　Namun sapaan ini jelas tak didengar lawannya, yang menjawabnya hanya gemerincing tirai mutiara. 　　Kantor Shuntianfu. 　　Zhen Shicheng memandang rombongan besar orang yang dibawa pulang petugas, hampir ingin melemparkan tugas. 　　Akhirnya dia mengerti kenapa rekan-rekan sebelumnya tidak betah bekerja lama. 　　Terima kasih untuk vote dan Hadiah. Sampai jumpa besok. 242.BAB 242: Mengadukan 　　BAB 242: Mengadukan 　　Zhen Shicheng mempelajari situasi, para pelayan dari tiga keluarga sudah kembali ke kediamanan masing-masing untuk melapor. 　　Kementerian Ritus dan Keluarga Taiping Bo langsung pergi ke kantor pemerintah Shuntianfu untuk berdebat setelah mendengar anak-anak mereka dipukul oleh bawahan Zhen Shicheng. 　　Di Dongping Bo Residence, Nyonya Feng dan yang lain juga mendapat kabar dari kusir tua. 　　Begitu mendengar Jiang Zhan menyinggung Cui Yi dan bahkan Jiang Si juga terlibat, wajah Nyonya Feng langsung berubah pucat. Beliau berkata pada Jiang Ancheng, "Dulu saya bilang Zhan'er tidak tahu aturan, kau malah membelanya. Sekarang lihatlah, Si'er seorang nona—" 　　"Ibu, saya akan mencari Si'er dan mereka!" Sebelum Nyonya Feng selesai mencela, Jiang Ancheng sudah menghilang setelah melemparkan kalimat itu. 　　Nyonya Feng hampir tidak bisa bernapas, memegangi dada sambil terengah-engah. 　　Pemimpin yang buruk membuat anak buah ikut rusak. Sang Putra Sulung terlalu tidak bertanggung jawab, memanjakan anak-anaknya sampai hanya bisa membuat masalah. Jika terus begini, muka Keluarga Bo akan habis dipermalukan mereka. 　　Jiang Zhan masih bisa dimaafkan. Tapi setelah Jiang Si pulang kali ini, saya harus mendidiknya dengan keras meski sang Putra Sulung membela. Karena ibu Jiang Si sudah tiada, wajar saja nenek seperti saya yang mendidik cucu perempuan. 　　Di antara beberapa keluarga, Jenderal Cui bereaksi paling tenang, hanya menyuruh mandor menjemput orang di klinik. 　　Justru putri Jenderal Cui, Cui Yueyue, tidak terima. Dengan marah ia protes, "Ayah, tidakkah Ayah dengar? Kakak sampai kakinya patah! Masakan kita diam saja melihat kakak diperlakukan begitu?" 　　Jenderal Cui menyapu putrinya dengan pandangan dingin: "Kakakmu lebih sering mengganggu orang lain." 　　"Tapi mana bisa orang lain disamakan dengan kakak?" Cui Mingyue semakin kesal dengan sikap ayahnya, "Jika ibu ada di sini, pasti akan membela kakak!" 　　Mendengar putrinya menyebut Putri Rongyang, raut Jenderal Cui menjadi lebih dingin: "Kakakmu menjadi semena-mena seperti ini karena manja oleh ibumu." 　　Melihat ayahnya bersikap dingin saat menyebut ibu, Cui Mingyue tidak merasa aneh. 　　Hubungan Jenderal Cui dan Putri Rongyang sudah retak selama bertahun-tahun. Sejak Cui Mingyue kecil, hubungan orangtuanya selalu dingin, bahkan jarang bertemu. 　　Ayah tinggal di kediaman jenderal, sementara ibu menetap di istana putri. 　　Memikirkan hal ini, Cui Mingyue semakin kesal dan berkata dengan emosi: "Jika ayah tidak mau mengurus kakak, maka saya yang akan urus!" 　　Nona pertama keluarga Cui pergi dengan mengibaskan lengan baju. Tentu saja bukan ke Shuntianfu, melainkan ke istana untuk mengadu pada Janda Permaisuri. 　　Putri Rongyang adalah adik Kaisar Jingming, namun tidak seibu. Ia diangkat oleh permaisuri setelah ibu kandungnya meninggal, sama seperti Kaisar Jingming. Karena itu, di antara semua putri kekaisaran, Putri Rongyang paling dihormati. 　　Janda Permaisuri sangat menyayangi Putri Rongyang, dan karena itu juga sangat memanjakan Cui Mingyue. 　　Dengan lancar Cui Mingyue masuk ke istana, tidak menunggu lama sudah bisa bertemu Janda Permaisuri. 　　Orang yang disayangi bangsawan istana selalu mendapat hak istimewa. 　　"Janda Permaisuri adalah seorang nenek tua yang berwajah ramah." Melihat Cui Mingyue, beliau tersenyum bertanya, "Yue'er ingat untuk mengunjungi nenek?" 　　"Yue'er selalu merindukan nenek dari pihak ibu." Cui Mingyue dengan manis menghibur Janda Permaisuri sambil bercanda sebentar, lalu tiba-tiba matanya berkedip mengeluarkan air mata. 　　Janda Permaisuri langsung bertanya, "Ada apa ini?" 　　"Yang Mulia tidak tahu, kakakku semalam hampir tenggelam." Cui Mingyue memilah informasi yang bisa diungkapkan, akhirnya menceritakan kondisi menyedihkan Cui Yi sekarang, "Bahkan petugas keamanan kecil berani memperlakukan kakakku seperti ini. Katanya Prefect Shuntian itu pilih kasih. Ini jelas-jelas memanfaatkan ketidakhadiran ibuku di ibu kota untuk menganiaya kami. Yang Mulia, mohon berikan keadilan untuk kakakku." 　　Wajah Janda Permaisuri berubah masam mendengar penuturan itu: "Kaki Yi'er patah, bahkan ayahmu tidak mengunjungi rumah sakit atau menjemputnya pulang?" 　　Beliau paham betul hubungan buruk antara Putri Rongyang dengan Jenderal Cui Xu. 　　Dahulu kala, Cui Xu dan Nyonya Su dari Keluarga Marquis Yining sebenarnya tumbuh bersama sejak kecil. Putri Rongyang yang tertarik pada Cui Xu akhirnya menggunakan statusnya untuk memisahkan mereka. 　　Namun buah yang dipaksa dipetik takkan manis. Hubungan Putri Rongyang dan Cui Xu tetap dingin. Setelah kematian Nyonya Su, sikap Cui Xu pada Putri Rongyang semakin membeku. 　　Meski memahami akar masalahnya, secara emosional Janda Permaisuri tetap memihak anak angkatnya. Setiap menyebut Jenderal Cui, selalu ada nada ketidakpuasan. 　　“Cui Mingyue menyeka air mata: ‘Ayah biasanya tidak terlalu memperhatikan saya dan kakak. Saya tidak bisa hanya diam melihat kakak dipermalukan tanpa ada yang membela, jadi terpaksa meminta bantuan Yang Mulia.’” 　　“‘Yue'er tenang, Ibu Suri akan menanyakan hal ini nanti.’” 　　“‘Terima kasih banyak, Janda Permaisuri.’ Cui Mingyue tersenyum melalui air mata.” 　　“Janda Permaisuri bertindak cepat, segera menyampaikan pesan kepada Kaisar Jingming.” 　　“Menteri Ritus hari ini tidak menghadiri sidang istana. Kaisar Jingming sudah mendengar tentang kecelakaan cucu Menteri Ritus, dan setelah mengetahui dari Janda Permaisuri bahwa tiga pemuda lainnya juga bermasalah, merasa terharu.” 　　“Ternyata anak laki-laki keluarga orang lain juga merepotkan, hmm, dengan begitu dia bisa merasa lega.” 　　“‘Kaisar, urusan pemerintahan tidak saya campuri. Tapi Cui Yi adalah satu-satunya putra Rongyang, sedangkan Yang Shengcai adalah adik kandung Permaisuri Putra Mahkota. Prefect Shuntian perlu diperingatkan – tidak boleh membiarkan korban menahan kesedihan sendirian.’” 　　“Meskipun Janda Permaisuri bukan ibu kandung Kaisar Jingming, dia memiliki jasa membesarkannya. Ditambah sebagian keberhasilan Kaisar Jingming naik tahta berasal dari status Janda Permaisuri saat itu, sehingga sang Kaisar selalu menghormatinya.” 　　“Janda Permaisuri sudah berbicara, tentu harus dihormati.” 　　“Kaisar Jingming merenung. Karena sedang tidak sibuk, memutuskan memanggil Zhen Shicheng untuk membawa orang-orang ke istana. Dia ingin menanyakan situasi langsung sekaligus menunjukkan perhatian penguasa pada bawahan.” 　　Shuntianfu saat ini sangat ramai, Zhen Shicheng mendengar berbagai tuduhan dari kerumunan sambil menahan kesal mengusap kumisnya, melirik Yu Jin yang tampak santai. 　　Tak disangka Pangeran Yan ternyata orang seperti ini, meski berstatus pangeran, malah berkelahi massal! 　　Sedang merenung apakah akan menutupi identitas Yu Jin atau lepas tangan begitu saja, utusan istana pun tiba. 　　Zhen Shicheng langsung merasa lega. 　　Biarlah Kaisar yang pusing memikirkannya. 　　Zhen Shicheng mengamalkan prinsip "biarkan orang lain yang mati asal aku selamat", kecuali saudara kandung Jiang Si di klinik dan Cui Yi yang kakinya patah, semua yang terlibat keributan ini dibawanya ke istana. 　　Kaisar Jingming yang dikenal sabar mendengarkan dua pihak menggambarkan anak buah Zhen Shicheng sebagai penjahat kejam, baru bertanya perlahan: "Zhen Qing, apakah bawahanmu benar seberani itu? Bagaimana hukumanmu?" 　　Zhen Shicheng memberi hormat tenang: "Paduka, hamba berpendapat tak boleh hanya mendengar satu pihak, jadi hamba bawa juga bawahan yang terlibat." 　　"Oh, suruh dia maju." 　　Yu Jin yang semula terdesak di belakang, menerobos kerumunan dan maju sambil berseru: "Erchen menghadap Ayah Kaisar." 　　Ayah Kaisar?? 　　Menteri Ritus dan Pangeran Pingan refleks menggosok telinga, mengira salah dengar. 　　Orang ini memanggil Kaisar apa? Ayah Kaisar?? 　　Tampaknya petugas kecil ini tahu bahwa dia telah menyinggung tiga keluarga mereka, sampai ketakutan dan linglung. Sekarang, berbicara ngawur di hadapan Kaisar pasti akan dihukum berat karena ketidakhormatan, hukuman pancung masih termasuk ringan. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin lama sekali, lalu berkata dengan nada datar: "Lao Qi, kau berkelahi lagi?" 　　Melihat jumlah rekomendasi (vote) yang sangat sedikit, sejujurnya ini cukup menurunkan semangat menulis. Tolong luangkan waktu untuk memberikan vote. Jarang meminta vote karena takut mengganggu, bukan berarti tidak membutuhkan. 243.BAB 243 Gadis Malang di Mata Kaisar Jingming 　　BAB 243 Gadis Malang di Mata Kaisar Jingming 　　Ucapan kata "lagi" membuat Kaisar Jingming sendiri merasa canggung. 　　Tampaknya ini membuka aib tertentu. 　　Menteri Ritus dan Pangeran Taiping langsung tertegun mendengar Kaisar Jingming memanggil "Lao Qi". 　　Perubahan status Pangeran Ketujuh dari orang tak dikenal yang baru kembali dari Perbatasan Selatan menjadi Pangeran Yan tentu mengundang perhatian istana. Banyak yang mencoba membaca sikap Kaisar Jingming terhadapnya, sayangnya Pangeran Yan jarang muncul dan upacara penobatan belum dilaksanakan. 　　Petugas kecil ini ternyata Pangeran Yan? 　　Menteri Ritus dan Pangeran Taiping serentak melirik Zhen Shicheng dengan mata penuh ancaman. 　　Zhen Shicheng si orang tua kolot ini sengaja menjebak mereka! 　　"Ayah Kaisar, Erchen bukan berkelahi tapi menyelamatkan orang," jawab Yu Jin dengan tenang. 　　Saat identitasnya hanyalah seorang petugas kecil di mata orang lain, perkataannya tidak ada yang memperhatikan. Namun kini, berbicara di hadapan Kaisar sebagai Pangeran Yan, Menteri Ritus dan Tai Ping Bo langsung tegang. 　　Yu Jin berbicara dengan tenang dan perlahan: "Erchen awalnya hanya melewati tempat itu, namun melihat putra Jenderal Cui, putra Menteri Ritus, dan putra Tai Ping Bo memerintahkan pengawal mereka untuk menyerang kereta keluarga Dongping Bo, membuat nona di dalam kereta ketakutan. Di bawah langit yang cerah, di depan mata Kaisar, di dekat kantor Shuntianfu, ada yang berani terang-terangan mengganggu wanita baik-baik. Ayah Kaisar, haruskah Erchen diam saja melihat kejadian seperti ini?" 　　Kaisar Jingming mengangguk hampir tak terlihat. 　　Jika benar demikian, tentu tidak boleh diam saja. 　　Melihat ekspresi Kaisar Jingming, Menteri Ritus dan Tai Ping Bo langsung merasa situasi memburuk. 　　Saat ini justru mereka tidak bisa mundur. Jika mereka takut setelah mengetahui identitas Pangeran Yan, Kaisar akan mengira mereka sebelumnya bertindak sewenang-wenang. 　　Perlu diketahui bahwa pejabat pengawas saat ini berani melotot pada Kaisar, beberapa menteri yang merasa benar juga berani berdebat dengan Kaisar. 　　Menteri Ritus segera memberikan kode mata pada Tai Ping Bo. 　　Tai Ping Bo dianggap separuh keluarga kerajaan karena istrinya adalah sepupu Kaisar Jingming. Peristiwa ini bisa dianggap urusan keluarga, sehingga lebih mudah baginya untuk berbicara daripada Menteri Ritus. 　　“Kaisar, putra hamba saat itu tidak menghadang wanita dari keluarga baik-baik, melainkan menyelamatkan Cui Yi—putra Putri Rongyang—yang diserang kuda liar dengan memanggil para pengawal. Tak disangka Pangeran Yan malah memukuli mereka. Mohon Kaisar membela keadilan untuk putra hamba.” 　　“Kuda liar?” Kaisar Jingming menangkap poin kunci. 　　Zhen Shicheng segera menjawab: “Lapor Kaisar, kuda itu sudah hamba bawa dan diikat di pohon willow luar istana. Jika Paduka ingin melihat——” 　　“Tidak perlu.” Kaisar Jingming mengernyit. “Bukankah kuda itu liar? Apakah Kaisarmu tidak terluka saat membawanya?” 　　Zhen Shicheng refleks meraba kumisnya: “Kuda itu sudah tua, hamba tak tahu sebelumnya kenapa bisa mengamuk. Saat hamba lihat, kuda tua itu sangat jinak bahkan menangis ketakutan melihat banyak orang.” 　　Kaisar Jingming membayangkan pemandangan kuda tua menangis, mengencangkan bibir untuk menahan tawa. 　　Yu Jin menyela tepat waktu: “Ayah Kaisar, kuda tua bisa panik dan melukai orang, membuktikan betapa agresifnya Cui Yi dkk. Bukankah wajar Erchen bertindak menyelamatkan orang saat itu?” 　　Menteri Ritus menunjuk anaknya yang babak belur: “Sekalipun ada kesalahpahaman, Pangeran Yan tak seharusnya melukai putra hamba sampai begini. Dinasti Zhou adalah negeri beradab, menyelesaikan masalah dengan kekuatan fisik hanya akan jadi bahan tertawaan. Harusnya ditanya dulu baru diambil tindakan.” 　　Pangeran Taiping ikut bicara: "Benar, putra hamba hanya menderita luka ringan, putra Jenderal Cui bahkan patah kakinya. Jika di kemudian hari dia cacat karena ini, bagaimana nanti ketika Putri Rongyang pulang——" 　　Kaisar Jingming langsung tidak senang mendengarnya. 　　Anak mereka adalah anak, anakku ini seperti angin yang datang tiba-tiba? 　　Pertama Janda Permaisuri yang mengadu dihadapannya, lalu Menteri Ritus dan Pangeran Taiping bergantian menuduh anaknya, sekarang malah menggunakan Rongyang untuk mengancamnya! 　　Hanya karena anaknya tidak kalah dalam perkelahian, semua kesalahan jadi ditimpakan ke anaknya? Pada dasarnya, ini karena anak-anak mereka tidak kompeten! 　　Memikirkan hal ini, Kaisar Jingming tiba-tiba merasa bangga. 　　Sebagai Kaisar, inilah kemampuannya – apapun yang dirasakan di hati, raut wajah tetap tak menunjukkan sedikitpun emosi. 　　Menteri Ritus dan Pangeran Taiping tidak tahu isi hati Kaisar Jingming, terus berkoar-koar berusaha membuat Pangeran Yan mendapat hukuman. 　　Yu Jin diam saja mendengar duo ini berbicara, menunduk dan berdiri tenang di samping. 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin, rasa tidak suka terhadap Menteri Ritus dan Pangeran Taiping semakin menjadi. 　　Apakah mereka menganggap anaknya yang jujur ini tak ada yang membela? 　　Mengira karena dirinya Kaisar, harus adil membela para pejabat? Lalu siapa yang akan membela anaknya? 　　Semakin dipikir, Kaisar Jingming semakin geram. Di tengah kebisingan ini, akhirnya tak tahan lagi dan batuk-batuk kecil. 　　Suasana langsung sunyi senyap. 　　“Di posisi yang diemban, lakukan kewajibannya. Karena masalah ini sudah ditangani oleh Zhen Aiqing, lebih baik diserahkan padanya. Aku percaya Zhen Aiqing akan menanganinya dengan adil.” 　　Menteri Ritus dan Taiping Bo langsung menolak. 　　Sikap Zhen Shicheng terlalu jelas. Jika diserahkan padanya, bukankah pukulan yang diterima anak lelaki kami akan sia-sia? 　　“Kaisar——” 　　Kaisar Jingming melirik Taiping Bo dengan kesal dan berkata datar: "Sudah diputuskan seperti ini. Masalah kecil para gadis, apa harus diserahkan ke tiga lembaga hukum? Sang Bangsawan tidak malu, Aku sendiri malu." 　　Begitu kata-kata Kaisar Jingming keluar, Taiping Bo dan Menteri Ritus terguncang. 　　Kaisar menganggap Pangeran Yan mempermalukannya, justru menunjukkan bahwa Kaisar sangat memperhatikan anak lelakinya ini! 　　Begitu memikirkan hal ini, keringat dingin mengucur di dahi mereka. 　　Mereka keliru. Selama ini mengira Kaisar menganggap Pangeran Yan tidak penting. Ternyata hubungan ayah-anak tetaplah darah daging——Menyadari hal ini, mereka langsung diam membeku. 　　"Baik, kalian semua boleh mundur." 　　Melihat Yu Jin masih diam, Kaisar Jingming bertanya kesal: "Masih belum pergi?" 　　Yu Jin memberi hormat pada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, Erchen berpendapat harus memberikan penghiburan pada korban sebenarnya hari ini untuk menunjukkan kebijaksanaanmu. Jika tidak, para putri bangsawan di ibu kota tidak akan berani keluar rumah lagi." 　　Baru teringat hal ini, Kaisar Jingming bertanya: "Putri bangsawan itu dari Dongping Bo Residence?" 　　“Menjawab Ayah Kaisar, yang mengalami kejutan hari ini adalah Nona Keempat Dongping Bo Residence. Tadi malam kakak laki-lakinya jatuh ke air, hari ini dipanggil ke Shuntianfu untuk pemeriksaan. Nona Keempat Jiang tidak tenang sehingga menjemput kakaknya ke kantor kabupaten, tak disangka mengalami kejadian seperti ini...” 　　Kaisar Jingming yang mendengar ini adalah Nona Keempat Dongping Bo Residence, matanya berkilat. 　　Oh, dia punya kesan terhadap nona sial ini. Bukankah ini gadis yang pertunangannya batal karena Putra Ketiga Adipati Anguo sangat tergila-gila pada seorang gadis biasa? 　　Sebelumnya dia ingin memberikan hadiah sebagai kompensasi, tapi karena tidak ada kesempatan yang tepat akhirnya terlupakan. Sekarang Lao Qi mengangkat masalah ini, ini kesempatan yang tepat. 　　Baik, berikan saja sebuah giok Ruyi kepada gadis sial itu, mungkin nasibnya akan berubah nanti. 　　Terima kasih untuk donasi 10.000 Qidian Coin dari , terima kasih kepada teman-teman pembaca 20180420001015039, qingshanwx, 160504094212211, , mcj221, 123, . Terima kasih untuk teman-teman yang memberikan vote. 244.BAB 244: Serangan 　　BAB 244: Serangan 　　Yu Jin tanpa malu meminta keuntungan untuk kekasih hatinya, baru pergi dengan puas. 　　Telinga akhirnya tenang, Kaisar Jingming menutup mata lelah. 　　Kasim kepala Pan Hai berdiri di samping tak berani bersuara. 　　Orang lain tidak tahu, tapi dia sangat paham, suasana hati Kaisar saat ini sedang tidak baik. 　　Mereka memperlakukan Kaisar sebagai penguasa, bahkan berani melaporkan Pangeran Yan sekalipun. Tapi Kaisar tetap memiliki emosi layaknya manusia biasa. 　　Siapa yang tidak memihak anak lelakinya sendiri? 　　Kaisar Jingming menutup mata beberapa saat, lalu berkata pada Pan Hai: "Tunjukkan padaku barang yang Zhen Shicheng selipkan padamu sebelum pergi." 　　Pan Hai segera menyerahkan hadiah tersebut. 　　Kaisar Jingming menerimanya, membuka gulungan kertas itu. Ternyata tiga lembar pengakuan bermaterai cap jempol. 　　Setelah membacanya diam-diam, wajah Kaisar Jingming langsung menjadi hitam legam. 　　Beberapa gadis belia yang berfoya-foya di Sungai Jinshui saja sudah sangat pantas dihukum, ternyata ada skandal tersembunyi seperti ini. 　　Awalnya dia mengasihani Menteri Ritus yang sudah tua kehilangan cucu. Tapi sekarang terlihat jelas, bocah ini benar-benar mencari mati. 　　Tangan Kaisar Jingming menggigil memegang kertas itu, dipenuhi kemarahan dan rasa malu. 　　Zhen Shicheng yang tegas ini bisa diam-diam menyerahkan pengakuan ke Pan Hai, setidaknya menyelamatkan muka Kaisar. 　　Bagaimanapun, Yang Shengcai adalah adik Permaisuri Putra Mahkota, ipar Putra Mahkota. Berani-berannya mengumbar nafsu pada seorang Tuan Gong dari Keluarga Bo. Jika tersebar, pasti jadi bahan tertawaan. 　　Brengsek seperti ini lebih baik mati. Demi sampah seperti ini sampai mengacaukan segalanya dan akhirnya sampai ke hadapanku. Jelas keluarga-keluarga ini sama sekali tak merasa anak mereka bermasalah. 　　Kaisar Jingming tidak heran akan hal ini. 　　"Kalangan bangsawan memang punya hak istimewa terhadap rakyat biasa, itu bisa dipahami. Tapi jelas-jelas bersalah duluan masih berani bertindak semaunya di hadapan Kaisar, ini sudah keterlaluan." 　　Kaisar Jingming merenungkan hal ini. Awalnya hanya ingin memberi Jiang Si sebuah giok Ruyi, kini memutuskan memberi Jiang Zhan perlengkapan tulis-menulis sebagai hiburan. Ini agar orang tahu meski kebenaran tak bisa diungkap, tapi Sang Kaisar tidak buta. 　　Adapun yang lain, harus diberi pelajaran! 　　"Pan Hai, panggil Putra Mahkota ke sini." 　　Pan Hai bergegas ke Istana Timur menyampaikan titah, dalam hati secara diam-diam menyalakan dupa untuk Putra Mahkota. 　　Sebagai kasim kepercayaan Kaisar, ia pun tak paham kenapa Putra Mahkota kembali bernasib sial... 　　Suasana di Istana Timur begitu mencekam. 　　Permaisuri Putra Mahkota telah mengetahui kabar kematian adiknya yang tenggelam, matanya bengkak seperti kenari. 　　Putra Mahkota tak tahan mendengar isak tangis halus itu. Biasanya langsung pergi mencari selir untuk bersenda gurau, kini terpaksa menahan diri. 　　Tahun-tahun belakangan sial terus. Seolah tanpa berbuat apa sudah membuat Ayah Kaisar tak senang. Lebih baik menjaga profil rendah. Adik ipar baru meninggal, menemani Permaisuri adalah tindakan paling tepat. 　　"Orang mati tak bisa hidup kembali, jangan menangis lagi." Terhadap Permaisuri yang menangis tersedu-sedu, Putra Mahkota tak punya banyak kesabaran. 　　“Putra Mahkota memang suka hal baru. Meski Permaisuri Putra Mahkota secantik bunga, pasangan lama sudah bosan memandang. Bagi Putra Mahkota, Permaisuri yang sudah menikah bertahun-tahun tak semenarik dayang yang sedang menyapu.” 　　“Tentu perasaan seperti ini tak boleh diungkapkan, tapi Permaisuri bukan bodoh. Bagaimana mungkin tak merasakan sikap dingin Putra Mahkota?” 　　“Orang mati tak bisa hidup lagi jadi tak perlu menangis? Ini bukan hiburan, tapi jelas-jelas ingin membuatnya marah.” 　　“Aku hanya punya satu adik kandung ini.” Permaisuri Putra Mahkota berkata sambil menitikkan air mata. 　　Melihat Permaisuri tak paham situasi, Putra Mahkota berwajah dingin berhenti membujuk. Sambil menyeruput teh, matanya menyapu lesu para dayang yang melayani Permaisuri. 　　Karena adik Permaisuri tiada, para dayang tak berani berpakaian mencolok. Mata mereka kemerahan. Salah satu dayang menarik perhatian Putra Mahkota. 　　Dayang itu bertubuh ramping dengan dagu runcing. Sudut mata kemerahan membuatnya terlihat memelas dan menggemaskan. 　　Putra Mahkota meletakkan cangkir teh dan mengusap dagunya. 　　“Dulu tak kusadari dayang ini punya pesona seperti ini. Mirip dengan Selir Yang yang belakangan paling disayangi Ayah Kaisar.” 　　Mengenai senyum manis Selir Yang, dada Putra Mahkota tiba-tiba gatal. Ia cepat menggeleng tak berani lanjut berpikir. 　　“Sekalipun aku hidung belang, tak mungkin berani menyentuh wanita milik Ayah Kaisar.” 　　Tak lama kemudian Pan Hai datang menyampaikan pesan lisan Kaisar. 　　"Putra Mahkota mengikuti Pan Hai untuk menemui Kaisar Jingming, kali ini hatinya akhirnya tidak perlu berdebar-debar." 　　"Adik laki-laki Permaisuri Putra Mahkota adalah saudara iparnya, bagaimanapun juga dia seharusnya menjadi pihak yang patut dihibur." 　　"Karena terlalu percaya diri, Putra Mahkota sama sekali tidak berpikir untuk mencari Pan Hai guna menyelidiki situasi." 　　"Pan Hai tentu senang tidak perlu membicarakannya." 　　"'Ayah Kaisar——' Putra Mahkota melangkah masuk ke ruang studi kekaisaran, memanggil." 　　"Kaisar Jingming berbalik, wajahnya muram menatap Putra Mahkota." 　　"Putra Mahkota berkedip-kedip." 　　"Tampaknya ada perbedaan dengan yang dia bayangkan." 　　"'Kau datang dari mana?'" 　　"Putra Mahkota dalam hati merasa menjaga Permaisuri Putra Mahkota adalah keputusan tepat, buru-buru menunjukkan jasanya: 'Erchen sedang di tempat Permaisuri Putra Mahkota. Mungkin Ayah belum tahu, adik Permaisuri Putra Mahkota mengalami masalah tadi malam——'" 　　"Ekspresi buruk Kaisar Jingming membuat Putra Mahkota refleks menghentikan ucapannya." 　　"'Kembalilah dan beri tahu Permaisuri Putra Mahkota, saat pulang ke keluarga asal hendaknya dia memberi contoh baik kepada adik-adik iparnya, ajari mereka untuk menghargai berkah, jangan selalu membuat masalah yang akhirnya mencoreng nama Permaisuri Putra Mahkota dan namamu.' Kaisar Jingming memberi sindiran dingin, melihat wajah bodoh Putra Mahkota membuatnya kesal, segera menunjukkan sikap ayah yang tegas dengan memarahi habis-habisan." 　　"Kaisar Jingming memiliki banyak anak lelaki, justru karena itulah dia memperlakukan Putra Mahkota secara khusus. Sebagai Putra Mahkota harus lebih unggul, jika tidak bagaimana bisa membuat orang lain tunduk?" 　　"Karena harapannya tinggi, tuntutannya pun tinggi. Namun bakat Putra Mahkota terbatas, sehingga seringkali mendapat teguran menjadi hal biasa." 　　“Setelah meninggalkan ruang studi kekaisaran, Putra Mahkota hampir tak bisa menahan amukannya.” 　　“Mengapa ketika saudara iparnya tewas, dia tidak hanya tidak mendapat hiburan malah dimarahi? Sebegitu bencinya Ayah Kaisar padanya?” 　　“Dengan wajah merah padam, Putra Mahkota kembali ke Istana Timur dan langsung meluapkan amarah pada Permaisuri Putra Mahkota, lalu memerintahkan ajudannya untuk menyelidiki situasi.” 　　“Setelah mendengar laporan ajudannya, wajah Putra Mahkota berkedut-kedut menahan geram.” 　　“Dia sudah lama menyadari: setiap kali terkait dengan Lao Qi pasti membawa sial. Mertuanya yang orang tua kolot itu bahkan tidak tahu identitas Lao Qi sudah berani melapor ke Shuntianfu.” 　　“Ini namanya sengaja mencari celaka!” 　　“Akibat teguran Kaisar Jingming, Putra Mahkota mulai membenci Permaisuri Putra Mahkota. Kini dia bahkan tak mau berpura-pura, sudah beberapa hari tidak menampakkan diri di hadapan sang permaisuri.” 　　“Badai di istana terkurung dalam tembok merah yang tinggi. Sementara itu, Jiang Ancheng bergegas ke He Qi Tang. Melihat Jiang Zhan sudah siuman, barulah hatinya lega lalu membawa kedua anaknya pulang ke rumah keluarga.” 　　“Kalian pasti lelah, pergilah beristirahat ke kamar masing-masing dulu.” 　　“Baru saja Jiang Ancheng berkata demikian, dayang dari Cixintang datang menyampaikan pesan: ‘Ibu Suri memanggil Tuan bersama Tuan Kedua dan Nona Keempat.’” 　　“Jiang Ancheng tak bisa menahan kerutan di dahinya.” 　　“Ayah, kondisi Kakak Kedua masih sangat lemah. Biarkan Ah Ji mengantarnya beristirahat ke kamar. Saya akan menemani Ayah ke tempat Nenek.” 　　“Jiang Ancheng merasa tidak puas dengan ketidaksabaran Jiang Laofuren, namun tak bisa menolak perintah ibu. Akhirnya dia membawa Jiang Si berangkat.” 　　Begitu Jiang Si masuk, Nyonya Feng langsung menyerang: "Si'er, kau sudah mempermalukan keluarga sampai ke kantor kabupaten! Seorang nona, tidak tahu malu!" 245.BAB 245 Perlindungan Anak Perempuan 　　BAB 245 Perlindungan Anak Perempuan 　　Serangan tiba-tiba Nyonya Feng tidak mengejutkan Jiang Si. 　　Dia sudah lama paham: Bagi Nenek, kepentingan keluarga adalah yang utama, hal lain tidak penting. 　　"Cucu perempuan tidak mengerti perkataan Nenek. Bagaimana bisa cucu mempermalukan keluarga?" 　　Sikap dingin Jiang Si membuat Nyonya Feng semakin murka, melemparkan cangkir teh ke hadapannya. 　　Jiang Ancheng menarik Jiang Si ke belakangnya, melihat pecahan cangkir dan teh yang berceceran sambil mengerutkan kening: "Ibu, tidak bisakah kita bicara baik-baik? Tindakan Ibu hanya akan menakuti anak-anak." 　　"Menakuti?" Nyonya Feng mencemooh, "Si'er berani lari ke kantor kabupaten, mana mungkin takut dengan aku?" 　　"Ibu, Si'er hanya menjemput Zhan pulang ke rumah keluarga, bukan ke kantor kabupaten." 　　Nyonya Feng hampir memukul kepala putra sulungnya dengan tongkat: "Kau masih membelanya! Banyak orang di rumah ini yang bisa menjemput Zhan, kenapa harus dia? Kalau dia tidak pergi, mana mungkin terlibat dengan para playboy itu? Sekarang semua orang tahu Tuan Gong Putri Rongyang terluka karena menghadang keretanya. Entah bagaimana rumor tentang Keluarga Bo nanti..." 　　Memandangi mulut Nyonya Feng yang terus membuka dan menutup, Jiang Si menggenggam tangannya perlahan lalu bertanya dengan tenang, "Nenek tidak menanyakan kabar Kakak Kedua? Saya dan Kakak Kedua baru saja pulang dari klinik." 　　Lawan bicaranya adalah nenek sendiri, tentu dia tidak bisa melawan secara terang-terangan. Maka berbicara dengan alasan logis adalah pilihan terbaik. 　　Pertanyaan itu membuat Nyonya Feng tertegun sejenak. 　　Dalam ingatannya, cucu lelaki kedua itu bertubuh kekar dan penuh energi hingga sering mencari masalah. Meski Jiang Zhan masuk klinik, dalam hatinya dia menganggap itu bukan masalah serius. Tak disangka si gadis brengsek ini justru memanfaatkan celah itu. 　　Nyonya Feng merasa tersinggung dan semakin kesal memandangi Jiang Si, "Kondisi kakakmu sudah kupahami! Tidak perlu kau ingatkan!" 　　Jiang Si tersenyum tipis, "Nenek salah paham. Cucu bukan mengingatkan, hanya penasaran." 　　Penasaran seberapa beku hati seseorang yang setelah mendengar cucu-cucunya dianiaya dan dibawa ke klinik, malah memarahi tanpa menanyakan keadaan terlebih dahulu. 　　Sorot mata Nyonya Feng berkedip-kedip. Dia tak memahami maksud perkataan Jiang Si, namun si gadis itu memilih diam. Karena gengsi, akhirnya dia hanya bisa menahan amarahnya sendiri. 　　"Si'er, jangan mengoceh omong kosong! Usiamu sudah cukup dewasa tapi masih belum mengerti tata krama. Mulai sekarang jangan keluar rumah sembarangan lagi, baik-baiklah memperbaiki sikapmu!" 　　“Ibu, Si'er jelas-jelas sangat penurut, di mana dia tidak sopan? Ibu bilang di kediamanan ini ada banyak orang, siapa pun bisa menjemput Zhan'er, tapi yang benar-benar ingin menjemput Zhan'er kan hanya Si'er? Anak tidak mengapa kenapa Si'er duduk kereta kuda menjemut kakak laki-laki pulang dianggap tidak sopan? Kalau alasannya karena bertemu dengan anak Putri Rongyang dan rombongannya, apa berarti pelaku kejahatan tidak bersalah malah korban yang salah? Hanya karena dia seorang nona?” 　　“Benar! Hanya karena dia seorang nona!” Nyonya Feng terus terang bicara, “Putra Sulung, jangan bicara padaku tentang zaman sekarang sudah berubah, perlakuan pada wanita tidak seketat dulu. Kuterangkan, kapan pun terlibat dengan orang-orang sembarangan, yang rugi pasti wanita! Yang mempermalukan keluarga juga wanita!” 　　Jiang Ancheng naik pitam, tak tahan mengungkapkan isi hatinya: “Menurutku belum tentu. Keluarga yang menyayangi putri pasti akan datang menuntut balas dalam kasus seperti ini. Tidak masuk akal menyakiti anak sendiri demi membiarkan brengsek orang lain bebas. Ibu menyalahkan Si'er seperti ini, sebenarnya hanya karena takut menyinggung keluarga berkedudukan tinggi!” 　　“Putra Sulung, kau—!” Nyonya Feng tidak menyangka anak lelakinya berani membantah, bibirnya pucat karena marah. 　　“Di samping, Tuan Jiang Kedua akhirnya tak tahan bersuara: 'Kakak, bagaimana kau bisa berbicara seperti itu pada ibu? Ibu hanya mengkhawatirkan reputasi Si'er sehingga menyuruhnya diam di rumah untuk menghindari masalah. Sekalipun kau tak mau mengakui, bukankah gadis yang terlibat masalah pasti lebih dirugikan reputasinya daripada pria?'” 　　“'Reputasi, reputasi! Aku takkan mengorbankan putriku hanya demi reputasi. Ibu dan Adik Kedua tak perlu khawatir tentang Si'er. Bukankah reputasi baik gadis hanya untuk pernikahan? Si'er tak perlu menikah, aku yang akan menafkahinya.'” 　　Pernyataan Jiang Ancheng ini seperti petir di siang bolong, mengejutkan semua yang hadir. 　　“'Bocah-bocah dari tiga keluarga itu dengan semena-mena mengganggu Zhan'er dan menakuti Si'er. Aku harus menagih hutang ini!' Jiang Ancheng tak tahu rahasia di balik kejadian Jiang Zhan jatuh ke air, tapi serangan terhadap saudara kandung Jiang Si telah memicu amarahnya.” 　　“Ngomong-ngomong, yang kemudian membantu Zhanere dan yang lain sepertinya adalah Xiao Yu itu.” 　　Semakin dipikir, kesan Jiang Ancheng terhadap Yu Jin semakin membaik. 　　Mendengar Jiang Ancheng masih berniat menuntut tiga keluarga itu, Tuan Jiang Kedua langsung pusing. 　　Kakak ini benar-benar tak akan berhenti sebelum mencelakakanku! 　　Jika sudah bermusuhan dengan tiga keluarga ini, ditambah Menteri Ritus, dan... oh ya, juga Putra Mahkota yang kemudian dipecat – sebagai bangsawan pengangguran tentu kakaku tak peduli, tapi bagaimana nasibku di dunia politik? 　　Mengetahui Jiang Ancheng adalah orang yang keras kepala, Tuan Jiang Kedua tidak berani melarangnya secara terang-terangan untuk menagih utang. Khawatir memicu psikologi perlawanan, dia terpaksa memusatkan serangan pada Jiang Si: "Kakak, apakah kau memikirkan keponakan-keponakanmu? Si'er boleh tidak menikah, tapi bagaimana dengan Qiao'er, Li'er, dan Pei'er?" 　　Menyangkut putrinya, Jiang Ancheng tidak mudah ditipu. Ia mencemooh: "Adik, jangan kau tuduh Si'er. Putri sulung Nanting Bo yang ketahuan selingkuh dan diceraikan pun tidak menghalangi adik-adiknya menikah. Si'er hanya hampir diganggu beberapa lalat busuk, mana mungkin mempengaruhi pernikahan Qiao'er dkk?" 　　Tuduhan konyol seperti ini jangan harap akan ditanggung putriku! 　　Jiang Si menunduk mendengarkan, sudut bibirnya melengkung halus. 　　Nyonya Feng akhirnya meledak: "Putra sulung, apa kau masih ingat aku ini ibumu?!" 　　Melihat sang ibu yang kehabisan akal, Jiang Ancheng menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. 　　Bagaimanapun ini ibu kandungnya, hatinya tidak tega melihatnya marah. 　　Menyaksikan Jiang Ancheng diam, Nyonya Feng bersikap tegas: "Aku nenek Si'er, cara mendidik cucu perempuan adalah hakku. Putra sulung, urusan perempuan tidak pantas kau ikut campur, nanti jadi bahan tertawaan!" 　　Jiang Ancheng tersedak hingga wajahnya memerah. 　　Saat ini, hatinya semakin pedih mengenang istri tercinta yang wafat muda. 　　Jiang Si tetap tenang tanpa ekspresi. 　　"Tentu saja tak bisa bersitegang dengan nenek. Karena nenek melarangku keluar rumah, untuk sementara aku beristirahat saja. Lagipula, saat ingin keluar nanti pasti ada caranya." 　　Dengan Huan Ying di tangan, Jiang Si tak khawatir mencari kesempatan membuat Nyonya Feng menarik ucapannya. 　　Derap langkah tergesa datang. Seorang nenek buru-buru membuka tirai, terengah-engah berkata: "Ibu Suri, istana, orang dari istana datang!" 　　Ucapan itu seketika membekukan kerumunan. 　　Nyonya Feng tak tahan bertanya lagi: "Jelasin, dari mana datangnya?" 　　"Ada kasim yang datang, bilang minta Tuan Kedua dan Nona Keempat menyambut titah lisan." 　　Sampai jumpa besok. 246.BAB 246 Pemberian Kaisar 　　BAB 246 Pemberian Kaisar 　　Mendengar utusan istana membawa titah lisan untuk Jiang Zhan dan Jiang Si, Nyonya Feng kaget setengah mati, langsung memimpin rombongan bergegas ke tempat itu. 　　Kasim yang membawa titah lisan itu tak lain adalah Pan Hai. 　　Tuan Jiang Kedua segera menyambut dan memberi salam. 　　"Tuan Jiang terlalu sopan. Boleh tahu di mana Tuan Kedua dan Nona Keempat sekarang?" 　　Tuan Jiang Kedua menoleh memandang ke kerumunan. 　　Jiang Si dan Jiang Zhan maju dari kerumunan, memberi hormat pada Pan Hai. 　　“Pan Hai melirik cepat kedua kakak-beradik itu, dalam hati mengagumi paras mereka yang elok, lalu berkata, "Sang Kaisar berfirman, di bawah langit yang cerah ini, di kaki singgasana kekaisaran, kejadian seperti ini sungguh tak pantas terjadi. Beliau telah mengetahui penderitaan Tuan Kedua Jiang dan Nona Keempat Jiang hari ini, maka memerintahkan hamba menghadiahkan sebilah giok Ruyi untuk Nona Keempat Jiang dan satu set perlengkapan kaligrafi untuk Tuan Kedua Jiang. Silakan kedua tuan menerima anugerah ini." 　　Jiang Si dan Jiang Zhan bergegas berlutut menerima hadiah, mengucap syukur sebelum bangkit di tengga꦳p tatapan penuh kagum kerumunan. 　　Pan Hai memalingkan pandangannya: "Inikah Sang Bangsawan?" 　　Jiang Ancheng hanya menghadiri upacara besar di istana, di tengah lautan bangsawan dan pejabat, tentu tak pernah mendapat kesempatan menonjol. Namun Pan Hai terkenal tajam ingatannya, masih mengingat wajah Jiang Ancheng yang pernah dilihatnya bertahun silam. 　　Nyonya Feng yang menyaksikan dari samping merasa pilu. 　　Di masa almarhum suaminya masih hidup, keluarga ini kerap diundang Sang Kaisar untuk berbincang di istana. Kini di generasi putra sulungnya, bahkan kasim istana pun tak mengenalinya. 　　"Saya Dongping Bo." Jiang Ancheng menjawab dengan tenang di hadapan Pan Hai. 　　Berbeda dengan adik keduanya yang merintis karier melalui jalur literasi, atau jenderal-jenderal berbakat yang menjaga perbatasan, prinsipnya sederhana: selama keluarga bisa hidup damai, itu sudah cukup. Sedikit orang yang bisa mencapai puncak, selama masih lebih baik dari yang di bawah, itu pun sudah cukup baik. 　　Tanpa ambisi duniawi, Jiang Ancheng berdiri tegap tanpa perlu menjilat kepada orang kepercayaan Kaisar. 　　“Bangsawan tak perlu khawatir.” Pan Hai tersenyum tipis. “Yang Mulia akan menegur keluarga-keluarga yang memperlakukan putramu dan putri Anda dengan tidak pantas. Namun Yang Mulia berpesan, ini hanyalah kenakalan anak-anak yang belum mengerti adat, sebaiknya jangan diumbar.” 　　Makna tersirat dalam kata-kata Pan Hai jelas: Kaisar tidak ingin melihat Jiang Ancheng menuntut balas ketiga keluarga itu. 　　Jiang Ancheng yang tidak tahu dalang di balik insiden Jiang Zhan jatuh ke air, setelah mempertimbangkan bahwa anak-anaknya tidak menderita kerugian berarti, akhirnya mengangguk setuju. 　　“Hamba mohon pamit.” Sorot mata Pan Hai berkeliling, terhenti lebih lama pada Jiang Si. Dalam hatinya bergemuruh rasa haru. 　　Nona Keempat dari Dongping Bo Residence ini adalah putri mendiang Nyonya Su dari Keluarga Marquis Yining, bukan? Sang ibu dan anak bagaikan pinang dibelah dua. Sayangnya sang ibu berpulang di usia muda. Entah bagaimana nasib sang putri kelak. 　　Melihat Pan Hai hendak pergi, Tuan Jiang Kedua segera menyusul dan menyelipkan sebuah dompet ke tangannya: “Paman Pan pasti kelelahan. Cuaca terik begini, sudilah menikmati secangkir teh.” 　　“Terlalu baik, Tuan Jiang.” Pan Hai tersenyum, lalu segera pergi diiringi beberapa kasim muda. 　　Suasana seketika hening. Sorot mata kerumunan beralih antara giok Ruyi di tangan Jiang Si dan kotak kayu yang dipeluk Jiang Zhan. 　　Tuan Jiang Kedua matanya memerah oleh iri hati. 　　Selama bertahun-tahun menjadi pejabat, ia hanya pernah menerima hadiah rutin dari Kaisar pada hari raya, tak sekalipun mendapat anugerah khusus. 　　Nyonya Xiao Istri Kedua bahkan lebih tak tahan lagi dengki. 　　"Perlengkapan alat tulis pemberian Kaisar! Ujian musim gugur sudah dekat, jika Cang'er mendapatkannya pasti sangat membawa keberuntungan, ini bisa diwariskan ke keturunan. Dan yu ruyi di tangan Jiang Si—" 　　Xiao Shi menatap yu ruyi sepanjang lebih dari satu chi yang diikat pita merah itu dengan mata berbinar. 　　Yu ruyi seperti ini, jika dimasukkan ke dalam barang-barang mahar saat putriku menikah, mana ada keluarga suami yang berani meremehkan. 　　Melihat ekspresi datar Jiang Si, hati Xiao Shi seperti ditusuk jarum. 　　Si gadis kecil ini benar-benar beruntung, tapi masih berpura-pura tidak peduli, sungguh menjengkelkan. 　　Entah apakah iri membuat orang jelek tidak tahu, tapi Xiao Shi benar-benar merasakan bagaimana kecemburuan menusuk hati. 　　Jiang Si memeluk yu ruyi yang dingin, sama-sama bingung dengan situasi ini. 　　Hanya beberapa playboy yang melakukan kebiasaan buruk mereka, bagaimana bisa sampai ke telinga Kaisar, bahkan memberi hadiah untukku dan kakak? 　　Sebuah yu ruyi, perlengkapan alat tulis, nilai materialnya nomor dua, yang penting makna sebagai barang pemberian Kaisar. 　　Seperti sekarang, rencanaku untuk mengalah sementara pada Nenek tidak perlu lagi, dengan yu ruyi ini posisiku sama sekali berbeda. 　　Di kemudian hari, siapa yang berani menyindir tentang kejadian hari ini, bisa kuhadapi langsung. 　　"Ibu, anak lelaki tidak salah kan? Si'er memang tidak bersalah, bahkan Kaisar memberi yu ruyi agar hidupnya lancar." Jiang Ancheng berkata dengan girang. 　　Dulu dia tidak merasakan apa-apa, sekarang tampaknya Kaisar benar-benar penguasa yang bijaksana. 　　Tangan Nyonya Feng yang memegang tongkat semakin mengeras. 　　Bagaimana mungkin keberuntungan kotor seperti ini bisa menimpa Si'er? Ini benar-benar tamparan baginya! 　　Saat ini Nyonya Feng merasa senang sekaligus kesal. 　　Senang karena Kaisar ternyata memberikan hadiah, sudah bertahun-tahun Keluarga Bo tidak mendapat pemberian kekaisaran. Kesal karena baru saja dia memerintahkan Jiang Si untuk diasingkan, tiba-tiba Kaisar menghadiahkan giok Ruyi, jelas perintahnya sia-sia - di mana wibawa seorang nenek? 　　Dengan perasaan ambivalen, Nyonya Feng mendengus dingin: "Hadiah kekaisaran tidak boleh sembarangan, bawa ke kuil leluhur untuk dipersembahkan." 　　Jiang Ancheng segera menyela: "Persembahkan saja perlengkapan tulis Zhan'er, biarkan giok Ruyi tetap pada Si'er." 　　Nyonya Feng melirik Putra Sulungnya dengan mata menyipit, ingin membuka tengkoraknya melihat isi kepala itu. 　　Orang lain memberi keuntungan untuk anak lelaki, hanya Putra Sulung ini yang seluruh hatinya condong pada putri. 　　Pada akhirnya, ini karena Jiang Si mirip ibunya yang mati muda! 　　Memikirkan ini, perasaan jijik Nyonya Feng terhadap Jiang Si semakin menjadi. 　　Bertahun-tahun Nyonya Feng tak bisa melupakan bagaimana Putra Sulungnya membela Nyonya Su hingga menentangnya. Tak disangka pengaruh almarhumah Nyonya Su masih terasa di mana-mana. 　　Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Nyonya Feng. 　　“Putra Sulung sudah lama sendiri, kalau kita carikan istri baru untuknya, mungkin setelah timbul perasaan dengan pasangan barunya, dia bisa melupakan siluman rubah Su Shi itu sampai bersih.” 　　Begitu pikiran ini muncul, Nyonya Feng untuk sementara mengurungkan niatnya menyusahkan Jiang Si. 　　Seorang gadis yang belum menikah, kedepannya lebih mudah disiksa oleh ibu tiri daripada neneknya sendiri yang bertindak, sekaligus menghindari citra tidak penyayang. 　　“Baiklah, Si'er harus menyimpan Giok Ruyi ini dengan hati-hati. Ini benda pemberian kekaisaran, kalau sampai lecet bisa mendatangkan malapetaka.” Nyonya Feng kembali berwajah ramah dan menasihati. 　　Jiang Si memeluk Giok Ruyi sambil tersenyum manis memberi hormat: “Terima kasih atas peringatan nenek, cucu sudah mengerti.” 　　Melihat cara santainya memegang Giok Ruyi, bukan hanya Nyonya Feng, bahkan Xiao Shi sampai deg-degan. 　　Si gadis kecil tak bertanggung jawab ini, tidak takah mati tapi jangan libatkan orang lain! Kenapa Giok Ruyi sampai jatuh ke tangannya?! 　　Pan Hai meninggalkan Dongping Bo Residence, segera mengunjungi tiga keluarga lainnya. Barulah Jenderal Cui tahu putrinya mengadu ke Janda Permaisuri di istana, langsung memarahi Cui Yueyang. 　　Terima kasih atas Hadiah dan vote, selamat pagi. 247.BAB 247 Kasus Misterius 　　BAB 247 Kasus Misterius 　　Cui Yueyang yang baru dimarahi Jenderal Cui, menyimpan amarah, langsung menuju kediaman Putri Rongyang setelah keluar dari rumah panglima. 　　“Putri Rongyang tidak tahan panas. Setiap tahun di musim panas, beliau akan pergi berlibur menghindari panas. Meski tanpa tuan rumah, kediaman Putri Rongyang tetap ramai dan tertata rapi.” 　　“Putri Rongyang membenci segala bentuk kesepian.” 　　“Nona pertama——” 　　“Cui Mingyue mengabaikan pelayan-pelayan rumah keluarga yang memberi hormat, langsung berlari menuju Paviliun Bulan Terang.” 　　“Putri Rongyang dan Jenderal Cui tidak tinggal bersama. Cui Mingyue lebih banyak menghabiskan waktunya di kediaman putri. Tempat tinggalnya dibangun dengan sangat mewah.” 　　“Saat ini Paviliun Bulan Terang dipenuhi bunga-bunga indah seperti lukisan, namun Cui Mingyue sama sekali tidak memperhatikan tanaman langka ini, langsung menerobos ke area belakang.” 　　“Di belakang terdapat area kecil yang dipagari kayu, di dalamnya berbaring dua ekor rusa tutul.” 　　“Buka pintu!” 　　“Pelayan wanita yang berjaga segera membuka pintu kayu.” 　　“Cui Mingyue masuk ke dalam.” 　　“Dua rusa tutul itu mengkerut ketakutan melihat kedatangannya.” 　　“Cui Mingyue mengeluarkan cambuk yang tergulung di pinggangnya, dengan gerakan indah namun mematikan, mencambuk tubuh rusa itu dengan keras.” 　　“Anehnya rusa itu tidak lari, hanya pasrah menerima cambukan sambil mengeluarkan erangan lemah.” 　　“Cui Mingyue semakin ganas mencambuk, tak lama tubuh kedua rusa itu sudah penuh bekas luka.” 　　“Pelayan penjaga tidak tega melihat mata besar rusa yang berkaca-kaca, diam-diam menundukkan kepala.” 　　Cui Mingyue terus mencambuk sampai salah satu rusa sika jatuh, lalu melemparkan cambuknya dan pergi keluar. 　　"Rapikan ini." Saat melewati pelayan, Cui Mingyue melempar kalimat dingin. 　　Pelayan buru-buru menjawab: "Baik." 　　Cui Mingyue melirik pelayan dengan tatapan dingin: "Jaga mulutmu." 　　"Hamba mengerti." 　　Kembali ke kamar tidur pribadinya, Cui Mingyue meneguk secangkir teh bunga barulah napasnya mulai tenang. Ia mengangkat tangan melihat bekas merah di ujung jarinya, menggigit bibirnya pelan. 　　Memang mencambuk rusa tak sesenang mencambuk manusia. 　　Di masa kecil, dia pernah tidak sengaja melihat ibu menggunakan cambuk untuk memukul pelayan dengan keras. Saat itu dia ketakutan, tapi setelah sering menyaksikan, rasa takut masa kecilnya terasa konyol. 　　Pada dasarnya, para pelayan itu tak beda dengan ternak, bahkan lebih murah dari rusa. Hanya karena manusia bisa bicara, dia masih harus menjaga reputasi. 　　Cui Mingyue teringat omelan ayah, dadanya kembali sesak. 　　Kakak lelakinya sampai kakinya patah, tapi ayah malah acuh tak acuh. Bahkan berkata kakaknya pantas mendapat pelajaran. Jelas-jelas ini karena ayah tak mau menyulitkan putra Dongping Bo. 　　Atau lebih tepatnya, ayah tak mau menyulitkan putra Nyonya Su. 　　Cui Mingyue samar-samar tahu hubungan masa lalu orangtuanya, tapi lebih banyak tahu dari Putri Rongyang. Secara alamiah dia menganggap ibu Jiang Si, Nyonya Su, sebagai siluman rubah yang pantas dihukum ribu kali tikaman. 　　“Jiang Zhan, kau tunggu saja.” Cui Yueyue bergumam. 　　Kasus tenggelamnya cucu Menteri Ritus di Sungai Jinshui yang sampai dilaporkan ke Kaisar telah menjadi perhatian utama di ibu kota. Semua orang menunggu Prefect Shuntian untuk menangkap pelacur pembakar kapal, ingin tahu siapa sebenarnya pelaku kejahatan yang berani melawan kekuasaan ini. 　　Namun kali ini publik pasti akan kecewa. Tuan Zhen yang terkenal jitu dalam memecahkan kasus, kali ini justru terlambat dalam memecahkan kasus. 　　Di kantor Shuntianfu, Zhen Shicheng sedang merapikan tumpukan dokumen kasus. 　　Semua dokumen ini berisi catatan tentang aktivitas Yang Shengcai dan tiga rekannya selama bertahun-tahun. Zhen Shicheng tak bisa menahan decak kagum: "Sungguh ajaib baru sekarang ada yang berani menuntut balas anak-anak nakal ini." 　　Lalu soal memecahkan kasus? Sulit! 　　Awalnya dia berencana menyelidiki orang yang menyewa kapal pada hari kebakaran. Tapi setelah penyelidikan oleh anak buahnya, tidak ditemukan petunjuk apa pun. Jalur ini terputus. 　　Meski belum ada perkembangan konkret, pengalaman membuat Zhen Shicheng mencium sesuatu yang tak biasa. Seolah ada lawan yang bersembunyi di bayang-bayang telah memprediksi langkahnya dan menutup semua celah. 　　Ini benar-benar menarik. 　　Sambil membalik-balik dokumen, Zhen Shicheng berdiri dan berjalan keluar untuk mencari udara segar. 　　"Ayah." Suara jernih seorang pemuda terdengar. 　　Zhen Shicheng berhenti, memperhatikan putra sulungnya yang belum dia perhatikan beberapa hari terakhir. 　　Oh, rupanya wajahnya mulai segar kembali. Tampaknya dia telah pulih dari pukulan sebelumnya. 　　"Rasa bersalah sedikit yang muncul pada Zhen Shicheng beberapa hari lalu sirna dengan wajar, "Hari ini tidak keluar?" 　　Zhen Heng tersenyum, "Ujian sudah dekat, jadi tidak keluar. Bagaimana perkembangan kasus Ayah?" 　　"Tidak ada perkembangan." Jawab Zhen Shicheng santai. 　　Senyum Zhen Heng mendadak kaku. 　　Nada Ayah Paduka yang mengatakan tidak ada perkembangan terdengar terlalu percaya diri, membuat penghiburan yang sudah disiapkannya bingung untuk diungkapkan. 　　Memperhatikan raut wajah Zhen Shicheng, Zhen Heng menasihati dengan lembut, "Ayah jangan khawatir, anak lelaki yakin kemampuan Paduka pasti bisa mengungkap kebenaran." 　　"Kasus ini mungkin sudah begini keadaannya." 　　Zhen Heng kembali tertegun, mencoba menenangkan, "Ayah tak perlu dipikirkan, kadang usaha manusia ada batasnya, bukan salah Paduka." 　　Zhen Shicheng melirik anaknya, "Urusan apa kau ini? Belajar sana!" 　　Yang mana yang jadi ayah dan mana yang jadi anak? 　　Mulut Zhen Heng berkedut, teringat ayahnya yang murung beberapa hari lalu, menelan amarah dan menghibur, "Ayah, anak lelaki tahu Paduka sedih tak bisa memecahkan kasus, tapi—" 　　"Tapi apa? Siapa bilang aku sedih?" Zhen Shicheng mengerutkan kening, "Masih muda kok cerewet begini?" 　　Kalau begini caranya, nona kecil bisa suka? Katanya sekarang gadis muda suka pemuda pendiam dan cool. 　　"Beberapa hari lalu anak lelaki melihat Paduka mengeluh pada bulan purnama—" 　　Zhen Shicheng membelai kumisnya: "Hmm, waktu itu saya khawatir kalau berhasil memecahkan kasus dan menjebloskan pelaku ke penjara mati, rasanya tidak tega. Tapi sengaja tidak memecahkan kasus juga bertentangan dengan prinsip saya." 　　Sekarang baiklah, dia memang benar-benar tidak mampu memecahkan kasus, akhirnya bisa bertanggung jawab pada hati nurani. 　　Zhen Heng: "..." Katanya adil dan tidak memihak? Jangan-jangan ayahku ini palsu? 　　"Cepat pergi belajar!" bentak Zhen Shicheng. 　　Zhen Heng mengerlingkan mata, lalu buru-buru pergi. 　　Zhen Shicheng menggelengkan kepala, berjalan mundur sambil menyatukan tangan di belakang. 　　Anak ini masih terlalu naif. Hukum Dinasti Zhou saja belum bisa adil, apalagi manusia. 　　Kasus ini tertunda hingga bulan ke-8 musim gugur. Di bawah tekanan berbagai pihak, Zhen Shicheng dengan lapang melapor ke Kaisar Jingming bahwa kasus tidak bisa dipecahkan. 　　Memo-memo yang menuduh Zhen Shicheng lalai dalam menangani kasus berjatuhan seperti salju di meja kekaisaran. 　　Kaisar Jingming menghantam setumpuk memo ke meja: "Gara-gara satu kasus tidak terpecahkan harus mencopot jabatan Prefek Shuntian? Kasus tak terpecahkan di dunia ini tak terhitung, kalau begitu semua pejabat harus dipecat!" 　　Kasim kepala Pan Hai diam-diam mendengarkan, dalam hati menyimpan simpati untuk Putra Mahkota. 　　Kaisar yang kesal dengan orang-orang bodoh ini pasti akan melampiaskan amarahnya ke Putra Mahkota. Lagipula cucu Menteri Ritus adalah ipar laki-laki Putra Mahkota. 　　Menunggu sampai hari berikutnya menghadiri sidang istana, seorang pejabat pengawas maju ke depan, dengan marah menuduh Prefect Shuntian tidak menjalankan tugasnya, kasus pembakaran sederhana justru menjadi kasus tak terpecahkan. Kemudian beberapa orang lain tampil menuduh Zhen Shicheng. 　　Kaisar Jingming mendengarkan tanpa ekspresi, lalu bertanya dengan sabar kepada beberapa orang yang maju: "Jabatan Prefect Shuntian sangat penting, tidak boleh kosong. Adakah di antara kalian yang bersedia menggantikan posisi ini dan menangani kasus pembakaran kapal hias itu?" 　　Rekomendasi novel "Enam Istana Phoenix" karya Xunzhao Shiluo de Aiqing: Selir Xie yang kejam dan tak berperasaan, bertahan sampai semua musuhnya mati, meninggal dengan damai di usia 80 tahun. Tak disangka saat membuka mata, dia kembali ke usia 10 tahun yang polos. Musuh-musuhnya muncul lagi... Sudahlah, biarkan mereka mati sekali lagi! 248.BAB 248 Kurma 　　BAB 248 Kurma 　　Pertanyaan Kaisar Jingming ini membuat beberapa orang yang maju tertegun. 　　Siapa yang tidak tahu betapa sulitnya menjadi Prefect Shuntian? Banyak pejabat sebelumnya yang mulai dengan penuh semangat, tapi tak lama kemudian mundur dengan malu. Bisa pensiun dengan baik sudah beruntung, banyak yang akhirnya dicopot jabatannya. 　　Dibandingkan dengan itu, pejabat pengawas Dinasti Zhou terlalu nyaman. Cukup mengawasi hal-hal dalam dan luar istana, menulis memorial untuk masalah yang melenceng, tugas pun selesai. 　　Melihat mereka saling pandang tak ada yang berani bicara, Kaisar Jingming dalam hati mencibir: Sudah tahu mereka hanya pandai bicara. Saat diminta bertindak nyata, semua bungkam. 　　Kaisar Jingming tentu tidak akan mengganti Zhen Shicheng. 　　Dalam pandangan Kaisar Jingming, Zhen Shicheng adalah pejabat yang kompeten, dan yang lebih langka adalah seorang pejabat yang independen. 　　Bagi orang lain, Zhen Shicheng yang berasal dari keluarga biasa tanpa dukungan keluarga besar dianggap lemah, tapi bagi Kaisar Jingming justru latar belakangnya yang sederhana ini menjadi keunggulan terbesar Zhen Shicheng. 　　Selama Zhen Shicheng tetap konsisten, sang Kaisar akan menjadi pelindung terkuat bagi pejabat berbakat dari kalangan biasa ini. 　　Tentu saja niat ini tidak pernah diungkapkan secara terbuka oleh Kaisar Jingming, karena kemampuan menyembunyikan emosi sejatinya adalah kualitas yang harus dimiliki seorang kaisar yang kompeten. 　　"Bagaimana? Apakah kalian semua tidak bersedia?" Setelah sengaja menunggu cukup lama, Kaisar Jingming bertanya dengan nada datar. 　　Pejabat pengawas yang sebelumnya maju buru-buru menjawab: "Hamba yang bodoh ini tidak mampu menerima jabatan Prefect Shuntian." 　　Yang lain langsung menyetujui. 　　Ekspresi Kaisar Jingming tetap tenang: "Jika demikian, setelah Zhen Shicheng mengundurkan diri dari posisi Prefect Shuntian, adakah calon yang lebih cocok menurut kalian?" 　　Pertanyaan ini kembali membuat mereka bingung. 　　Calon yang cocok? Tentu tidak ada. Semua orang tahu jabatan Prefect Shuntian ibarat batu panas - jika berhasil mempertahankan posisi akan berkuasa, jika gagal hanya menunggu malapetaka. 　　Merekomendasikan orang sembarangan justru akan menjadi bumerang. 　　"Mengapa kalian diam lagi? Kalian yang mengajukan protes, apakah Aku harus bersusah payah mencari penggantinya?" 　　"Hamba tidak berani." 　　"Kalau begitu pikirkan baik-baik. Aku menunggu." 　　Keringat dingin mengucur di dahi mereka. Baru sekarang mereka tersadar: Sang Kaisar sedang melindungi Zhen Shicheng. 　　Aneh, korban kasus pembakaran kapal hias Sungai Jinshui sebenarnya adalah adik ipar Putra Mahkota. Bukankah seharusnya Kaisar murka karena Zhen Shicheng gagal memecahkan kasus ini? Mengapa Kaisar terlihat sama sekali tidak peduli? 　　Hmm, jangan-jangan Kaisar tidak puas dengan Putra Mahkota? 　　Sungguh perhitungan yang salah. Mereka mengkritik begitu gencar demi mengambil hati Keluarga Menteri Ritus dan Putra Mahkota, toh hanya sekadar kebaikan tanpa usaha. Andai tahu pikiran Kaisar, tidak akan ikut campur dalam masalah ini. 　　Kaisar Jingming bukan tipe yang kejam. Setelah membuat beberapa menteri yang menyebalkan itu berkeringat dingin, dia memutuskan memberi jalan keluar: "Jika para menteri tidak bisa memberikan usulan, tampaknya jabatan Prefect Shuntian masih paling cocok untuk Zhen Shicheng. Bagaimana pendapat kalian?" 　　Apa lagi yang bisa mereka katakan? Tentu saja langsung menyetujui. 　　Kasus pembakaran kapal hias Sungai Jinshui akhirnya ditutup sebagai kasus tak terpecahkan. Keluarga Menteri Ritus sebagai pihak utama tentu geram. Namun selain mereka, tiga keluarga lain sebelumnya sudah ditegur Kaisar sehingga tidak berani membuat keributan lagi. Yang terpenting, para gadis mereka tidak menjadi korban. Meski kesal karena pelaku pembakaran tidak tertangkap, jelas tidak bijak memancing kemarahan Kaisar lagi untuk hal ini. 　　Dari sebuah ruang belajar di kediaman Menteri Ritus, terdengar suara tidak puas Ayah Yang: "Ayah, apakah Cai'er mati sia-sia begitu saja?" 　　“Menteri Ritus telah berusia enam puluh tahun; di masa lalu yang penuh kemudahan, ia tampak segar bugar, namun kini wajahnya terlihat letih. Ia batuk sekali lalu berkata: “Kalau tidak? Kau lupa perkataan Permaisuri Putra Mahkota beberapa hari lalu saat pulang?” 　　Mendengar ini, wajah Ayah Yang semakin muram. 　　“Caier memang sudah keterlaluan. Biasa-bersikap sembrono masih bisa dimaklumi, tapi bagaimana berani mengincar Tuan Gong dari Keluarga Bo? Jika kabar ini sampai ke telinga Kaisar, kau pikir Sang Kaisar akan mengasihani dukacitamu kehilangan anak, atau penderitaanku kehilangan cucu? Jangan bermimpi! Kaisar sedang tidak puas! Kuperingatkan, jika kau tidak menghentikan ini, Permaisuri Putra Mahkota akan kena getahnya...” 　　Ayah Yang langsung merasa dadanya sesak. 　　Anak lelaki adalah daging di hati, sementara Permaisuri Putra Mahkota adalah kebanggaan Keluarga Yang. Ketika Putra Mahkota naik takhta nanti, Keluarga Yang akan memiliki seorang Permaisuri. Saat itu, aku bisa mendapat gelar Bangawan Mu'en. 　　Sejujurnya, gelar bangsawan tidak bisa menandingi kekuasaan jabatan menteri. Namun kemegahan Kementerian Ritus dibawa oleh ayah. Setelah ayah pensiun, jika dalam sepuluh tahun keluarga tidak memiliki keturunan berbakat yang lulus ujian negara dan masuk birokrasi, Keluarga Yang akan tersingkir dari lingkaran elit ibu kota. Siapa lagi yang akan ingat kejayaan masa lalu keluarga kami? 　　Tapi gelar bangsawan berbeda. Gelar Bangawan Mu'en adalah turun-temurun. Meskipun keturunanku tidak berbakat, keluarga ini akan tetap punya tempat di ibu kota untuk selamanya. 　　“Anak mengerti.” 　　“Ayah Yang dulunya juga seorang pemuda bermoral bejat, sekarang di usia paruh baya tentu sudah lebih tenang. Kesombongannya sehari-hari bukan karena tak paham tata krama, melainkan karena orang-orang yang dihadapinya tak layak untuknya menahan amarah. Kini Kaisar tak puas, maka amarah sebesar apapun harus ditelan dalam-dalam, seperti memakan gigi patah bercampur darah.” 　　“Besok, saya juga harus menghadiri sidang istana.” Menteri Ritus mengusap pelipisnya yang lelah. 　　Kematian tragis cucunya dan kondisi kesehatan yang buruk memang bisa memicu simpati Kaisar, namun jika berlarut-larut dikhawatirkan Kaisar akan menganggapnya tua dan lemah, jabatan Menteri Ritus mungkin akan digantikan orang lain. 　　Pohon di Haitangju telah berbuah, tampak hampir matang, memenuhi dahan-dahan dengan indahnya. 　　Ah Man berlari terengah-engah masuk kamar, berbisik: “Nona, kasus itu sudah ditutup sebagai kasus tak terpecahkan.” 　　Jiang Si matanya berkedip-kedip, senyum lega mengembang di bibir: “Mengerti.” 　　Meski telah mengulik setiap detail berulang kali dan yakin tak ada celah, menghadapi lawan seperti Zhen Shicheng tetap memberi tekanan besar bagi Jiang Si. 　　Selama kasus belum ditutup, hatinya takkan pernah tenang. 　　“Amitabha, akhirnya bisa tidur nyenyak.” Ah Man merapatkan telapak tangan, bergumam pelan. 　　Pandangan Jiang Si turun, tertuju pada keranjang kecil di lengan Ah Man: “Apa ini?” 　　Ah Man baru teringat, buru-buru membuka kain halus yang menutupi keranjang bambu kecil, memperlihatkan buah kurma merah menyala: "Nona, kurma dari keluarga Tuan Yu." 　　"Siapa?" Jiang Si mengira salah dengar, bertanya lagi. 　　"Tuan Yu. Bukankah di depan rumahnya ada pohon kurma bengkok? Kurma ini dipetik dari pohon itu." 　　"Bagaimana dia memberikannya padamu?" 　　"Nona belum tahu? Hari ini Tuan Yu datang ke kediamanan kita mencari Tuan Kedua. Keranjang kurma ini dibawa Tuan Yu. Tuan Kedua mencicipi manisnya lalu menyuruh Ah Ji mengantarkan pada Nona. Di jalan kebetulan bertemu hamba, jadi hamba langsung bawa pulang. Nona coba, kurmanya manis sekali." 　　Jiang Si mengangkat tangan menahan dahi. 　　Yu Qi (Pangeran Ketujuh) berani datang ke rumah mereka! 　　"Barang tidak jelas macam apa saja kau terima." Melihat dayang kecil itu tersenyum puas, Jiang Si tak tahan menghardik. 　　Ah Man mengedipkan mata, bertanya lagi: "Nona, kalau begitu apakah Nona mau mencoba?" 　　Butir-butir kurma besar dan bulat, merah menyala menggoda, jelas sudah dipilih dan dicuci dengan teliti. 　　Jiang Si mengambil sebutir kurma dan memasukkannya ke mulut. 　　Para pembaca tersayang jangan lupa memberikan vote ya. 249. BAB 249 Meninggalkan Sekolah 　　BAB 249 Meninggalkan Sekolah 　　Saat ini Yu Jin sedang mengobrol dengan Jiang Zhan di Paviliun Bambu Gemeresik, tapi pikirannya sudah melayang jauh. 　　Entah apakah A Si sudah memakan kurma yang dia kirim. Kurma-kurma itu dipilih dan dicucinya sendiri. 　　"Kakak Yu Qi?" 　　Yu Jin tersadar, teringat sebelumnya melihat Jiang Zhan melahap tujuh delapan butir kurma yang dibawanya, hatinya langsung mendidih. 　　Belum pernah lihat lelaki dewasa yang suka ngemil seperti ini, cicip satu saja sudah cukup! 　　Jiang Zhan sedang tersentuh: "Kakak Yu Qi, waktu itu pulang dari Shuntianfu untung kau ada, kalau tidak aku dan Adik Keempat pasti celaka. Aku yang celaka tidak masalah, tapi kalau Adik Keempat sampai kena musibah, benar-benar layak aku dihukum mati." 　　Yu Jin diam, dalam hati berpikir: Kalau sadar diri baguslah, sebagai kakak yang subuat masalah dan mencelakakan adiknya memang pantas dihukum mati, masa mau minta keringanan? 　　"Kakak Yu Qi, tidak hanya membawa tonik mahal, tapi juga kurma, sungguh terlalu baik hati." 　　"Kurma menambah darah." Jawab Yu Jin datar. 　　"Oh ya, Kakak Yu Qi, tadi kau bilang mau pindah rumah?" 　　Yu Jin mengangguk: "Ya." 　　"Bukannya di Gang Quezi tinggalnya nyaman? Kenapa tiba-tiba mau pindah?" 　　"Keluarga menyediakan rumah, tidak bisa tidak pindah." 　　"Kalau begitu Kakak Yu Qi nanti tidak tinggal sendirian lagi?" 　　Yu Jin berpikir sejenak, lalu mengangguk: "Banyak orangnya." 　　Jiang Zhan agak kecewa: "Kalau begitu nanti jadi tidak enak kalau mau berkunjung." 　　Ada satu keluarga besar di sana, selain Kakak Yu Qi dia tidak kenal siapa-siapa, jadi canggung kalau harus bertamu. 　　Yu Jin dengan penuh perhatian berkata: "Tidak apa, kalau Adik kedua Jiang merasa tidak nyaman ke tempatku, nanti aku bisa sering-sering datang ke sini." 　　“Kakak Yu Qi benar,” Jiang Zhan tersenyum senang. “Ayahku sangat mengagumimu, selalu menyuruhmu main ke rumah.” 　　Yu Jin tersenyum tipis. “Asalkan Paman tidak keberatan.” 　　“Masa sih keberatan? Kupikir ayahku sampai berharap kau adalah anak lelakinya.” Jiang Zhan menyeringai. 　　“Asalkan Paman tidak keberatan.” 　　“Apa?” 　　Yu Jin berdehem, berkata dengan serius: “Maksudku, perhatian Paman yang begitu besar membuatku tersanjung.” 　　Jiang Zhan tiba-tiba diam. Setelah lama, ia bertanya hati-hati: “Kakak Yu Qi, apakah Ayahmu... tidak begitu baik padamu?” 　　Kalau bukan karena sudah akrab, pertanyaan ini pasti memalukan baginya. 　　Akhir-akhir ini Jiang Zhan mulai berpikir, kalau Kakak Yu Qi benar-benar menjadi iparnya pun tak buruk, setidaknya bisa melindungi Adik Keempat saat bahaya. Tapi keadaan keluarga Kakak Yu Qi membuatnya resah, terkesan kehidupan Kakak Yu Qi yang hidup sendiri di ibu kota seolah menandakan posisinya yang kurang baik di keluarga. 　　Mendengar pertanyaannya, Yu Jin tersenyum: “Adik kedua Jiang juga tahu saudaraku banyak, perhatian orangtua ke tiap anak pasti terbagi. Ini hal wajar, tidak bisa dibilang memperlakukanku buruk. Malah lebih nyaman begini, setidaknya gerak-gerikku tak diawasi orangtua, setuju?” 　　Jiang Zhan langsung manggut-manggut. Ayahnya justru karena hanya punya satu anak lelaki, jadi terus mengawasi dan memukulinya kapan saja. 　　“Kakak Yu Qi benar.” 　　Yu Jin tersenyum ringan: "Adik kedua Jiang, kabar tentang lowongan yang kucari untukmu beberapa hari lalu sudah ada titik terang. Di Jinwuwei ada kekosongan, tak tahu apakah kau mau——" 　　"Jinwuwei?" Jiang Zhan tertegun, lama kemudian menunjuk dirinya sendiri, "Kau bilang aku bisa masuk Jinwuwei?" 　　Di Dinasti Zhou, Jinwuwei dan Jinlinwei adalah dua kesatuan pengawal kerajaan yang paling bergengsi. 　　Reputasi Jinlinwei tak perlu diragukan lagi. Jinwuwei khusus menangani keamanan keluarga kerajaan, hampir semua anggotanya dipilih dari keturunan bangsawan dan perwira. 　　Jiang Zhan pernah kabur dari kelas untuk mengikuti ujian seleksi Jinwuwei, tapi gagal. 　　Saat itu usianya baru 13 tahun. Setelah gagal, ia berlatih keras selama dua tahun, namun Jinwuwei tidak lagi mengadakan seleksi besar-besaran, biasanya hanya mengisi kekosongan. 　　Selain putra sulung yang akan mewarisi usaha keluarga dan keturunan yang berbakat akademis, anggota keluarga besar lebih baik memiliki pekerjaan resmi daripada berleha-leha di rumah. Jinwuwei adalah tempat latihan ideal bagi pemuda - tugas ringan, gaji besar, sesekali bisa muncul di hadapan Kaisar, sehingga menjadi incaran banyak orang. 　　Jiang Zhan masih tak percaya dengan keberuntungan ini, bertanya lagi: "Kakak Yu Qi, benarkah aku bisa masuk Jinwuwei?" 　　Yu Jin mengangguk sambil tersenyum: "Asal kau mau saja." 　　"Tentu saja aku mau! Hanya orang bodoh yang menolak!" Jiang Zhan nyaris melompat kegirangan. 　　Jika bisa bertugas di Jinwuwei, ia tak perlu lagi belajar, dan bisa membelikan makanan enak untuk adiknya dengan uang hasil kerjanya sendiri. 　　"Tidak, ini bisa mempercepat pelunasan utang ke Adik Keempat." 　　Begitu memikirkannya, Jiang Zhan hampir tak sabar untuk segera melapor ke Jinwuwei. 　　Yu Jin mengingatkan: "Aku ingat Adik kedua Jiang masih bersekolah. Mengubah jalan hidup adalah hal besar, sebaiknya Adik berdiskusi dulu dengan Ayahmu." 　　"Ayah pasti akan setuju." 　　"Kalau begitu aku tunggu kabar dari Adik kedua Jiang." 　　Setelah mengantar Yu Jin pergi, Jiang Zhan langsung menuju ruang belajar mencari Jiang Ancheng. Tak lama kemudian terdengar teriakan yang menggemparkan dari ruang belajar: "Apa? Berhenti sekolah? Dasar anak kurang ajar! Apa karena kemarin main ke Sungai Jinshui tidak kena pukul, malah jadi berani?" 　　Jiang Zhan cepat-cepat menutupi wajah: "Ayah, dengarkan dulu penjelasanku. Kakak Yu Qi yang mencarikanku pekerjaan." 　　Mendengar nama Yu Jin disebut, Jiang Ancheng berhenti memukuli anaknya sambil mengerutkan kening: "Xiao Yu mencarikanmu pekerjaan?" 　　Jiang Zhan mengangguk cepat: "Ya, Kakak Yu Qi yang mengurus." 　　"Lantas apa yang bisa kau lakukan tanpa sekolah? Mau ikut-ikutan buka toko berdagang? Awalnya kukira Xiao Yu orang yang bertanggung jawab, ternyata malah ikut-ikutan merusakmu!" 　　Jiang Zhan menyeringai menahan emosi. 　　Ini ayah siapa sih? Biasanya orang tua selalu menyalahkan orang lain yang merusak anaknya, tapi ayahnya malah terbalik? 　　"Ayah, dengarkan dulu jenis pekerjaan yang dicarikan Kakak Yu Qi untukku." 　　"Pekerjaan apa?" 　　Jiang Zhan tersenyum lebar: "Jinwuwei." 　　Jiang Ancheng tertegun sejenak, mengira salah dengar: "Jinwuwei?" 　　“Benar, itu Jinwuwei yang Ayah pikirkan.” Jiang Zhan melihat reaksi ayahnya merasa sangat puas. 　　Tak disangka suatu hari dia bisa membanggakan diri di hadapan ayahnya. 　　“Sekarang lowongan Jinwuwei sangat langka, bagaimana Xiao Yu bisa mendapatkan tugas sebaik ini untukmu?” Jiang Ancheng tak habis pikir. 　　“Kakak Yu Qi pernah membantu banyak orang, mereka ingin membalas budinya.” 　　“Tugas bagus seperti ini seharusnya diambil sendiri oleh Xiao Yu.” 　　Jiang Zhan menggaruk kepala: “Ayah, jika terus begini, anak bisa meragukan arti kehidupan.” 　　Jiang Ancheng menamparnya: “Meragukan apa? Nanti panggil Xiao Yu untuk makan bersama!” 　　“Baik. Ayah, izinkan anak berhenti sekolah dulu. Ingin berlatih sebelum mulai bertugas.” 　　Jiang Ancheng merenung sejenak dengan muka masam, lalu mengangguk: “Boleh tidak sekolah, tapi sebelum mulai tugas jangan bocorkan ke mana-mana.” 　　“Anak pasti diam seperti kuburan, paling hanya beri tahu Adik Keempat.” 　　Di mata keluarga Dongping Bo, Jiang Zhan dianggap tidak berguna. Bolos sekolah sudah jadi hal biasa. Hingga menjelang Ujian Musim Gugur, keluarga baru sadar: Tuan Kedua ternyata berhenti belajar! 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, sampai jumpa besok. 250.BAB 250 Ujian Musim Gugur 　　BAB 250 Ujian Musim Gugur 　　Nyonya Feng sudah lama menyimpan amarah pada keluarga Utama. Saat makan malam keluarga, dia meluapkan kemarahannya: “Putra Sulung, mengapa tidak memberitahu saya tentang keputusan Zhan berhenti sekolah?” 　　Jiang Ancheng。 　　Anak lelaki ini punya bakat apa semua orang tahu, tidak sekolah itu sudah pasti kan? 　　"Sejak jatuh ke sungai, Zhan'er sudah lama tidak ke sekolah. Belakangan dia bilang ingin mencari pekerjaan. Aku pikir dia memang tidak berbakat dalam akademik, jadi aku setujui. Alasan tidak memberi tahu Ibu Suri karena merasa ini hal kecil tak perlu merepotkanmu." 　　Nyonya Feng memandang Jiang Zhan dengan tatapan dingin, tiba-tiba menepuk meja keras: "Putra Sulung, apa kau lupa hadiah apa yang baru-baru ini Kaisar berikan kepada Zhan'er?" 　　"Tentu saja ingat. Kaisar menghadiahkan satu set peralatan tulis lengkap untuk Zhan'er." 　　Nyonya Feng hampir-hampir ingin memukul kepala putra sulungnya dengan tongkat: "Kaisar memberi peralatan tulis tapi dia malah berhenti sekolah, bukankah ini lelucon besar? Jika kabar ini sampai ke pejabat pengawas atau bahkan Kaisar, bagaimana citra keluarga Bo di mata Kekaisaran?" 　　"Nenek, kau terlalu khawatir. Kaisar sibuk mengurus negara, mana ingat cucu siapa aku ini." Jiang Zhan bergumam tak sabar. 　　"Diam kau!" bentak Nyonya Feng dengan muka masam. 　　Meski akhirnya Kaisar menghibur keluarga Dongping Bo Residence atas insiden Sungai Jinshui, tetap saja Jiang Zhan telah membuat marah beberapa keluarga bangsawan tinggi. 　　"Kalau waktu itu Jiang Zhan benar-benar celaka, pasti Nyonya Feng akan merasa sangat sedih dengan tulus. Tapi sekarang Jiang Zhan masih sehat dan aktif, yang tersisa di hati Nyonya Feng hanyalah rasa tidak puas." 　　"Cucu ini benar-benar seperti lumpur busuk yang tak bisa dibentuk. Di masa depan belum tentu berapa banyak masalah yang akan ditimbulkannya bagi Keluarga Bo." 　　Nyonya Xiao Istri Kedua menyambung, "Zhan'er, kata Ibu Suri benar. Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Setiap keputusan harus mempertimbangkan kepentingan Keluarga Bo, jangan bertindak semaunya." 　　Perasaan Nyonya Xiao saat ini cukup rumit. Di satu sisi, semakin tidak berbakatnya Jiang Zhan semakin menonjolkan keunggulan putra sulung Jiang Cang, yang tentu dia senangi. Di sisi lain, ada gelombang kecemburuan yang menggunung. 　　"Perlengkapan menulis pemberian kaisar! Di tahun Ujian musim gugur ini, seandainya hadiah itu diberikan untuk Cang'er, pasti kemenangannya dalam ujian provinsi sudah dijamin." 　　"Jiang Cang memang berbakat dalam belajar. Di usia muda sudah meraih gelar Xiucai. Meskipun ini kali pertama mengikuti ujian provinsi, baik guru maupun suami beliau mengatakan peluangnya besar." 　　"Peluang besar bukan berarti tanpa risiko. Tapi dengan perlengkapan menulis pemberian kaisar sebagai jimat, situasinya akan berbeda sama sekali." 　　Nyonya Xiao kembali mengeluh dalam hati untuk kesekian kalinya: "Mengapa perlengkapan kerajaan itu malah diberikan pada si bebal Jiang Zhan yang tak berguna ini!" 　　"Apa salahnya aku tidak sekolah? Aku kan tidak berniat menganggur selamanya--" 　　Jiang Si sudah mengetahui dari mulut Jiang Zhan tentang urusan Yu Jin yang mengaturnya masuk ke Jinwuwei. Meskipun percaya bahwa status Yu Jin tidak akan menimbulkan masalah, tetapi tidak ada yang mutlak. Sebelum resmi bekerja, tentu lebih baik menjaga profil rendah. 　　Saat ini dia takut kakak laki-lakinya tidak tahan untuk membocorkan rahasia, lalu mengambil alih pembicaraan: "Bibi Er, Anda salah paham. Kakak Kedua saya tidak belajar justru untuk kepentingan Keluarga Bo kita." 　　Xiao Shi mencibir: "Nona Keempat, jelaskan bagaimana Tuan Kedua memikirkan kepentingan Keluarga Bo kita?" 　　Awalnya dia ingin melontarkan kata-kata yang lebih pedas, tetapi mengingat tongkat giok di tangan Jiang Si, terpaksa menelan kembali ucapannya. 　　Sebuah tongkat giok tentu tidak akan membuat seorang bibi seperti dirinya takut berbicara, tapi dia merasa ada yang aneh dengan Jiang Si. 　　Beberapa waktu lalu Jiang Zhan jatuh ke air, tapi Jiang Si malah memakai rok delima. Saat itu semua orang yakin Jiang Zhan yang semalaman di air sudah tidak ada harapan hidup, hanya Jiang Si yang percaya kakaknya masih hidup dan mengaitkannya dengan karma baik. Hasilnya, Jiang Zhan benar-benar kembali segar bugar. 　　Lalu, Jiang Si terlibat dengan beberapa playboy. Apapun benar salahnya, pihak perempuan pasti dapat cap buruk. Tapi setelah Kaisar menganugerahkan tongkat giok, tidak ada yang berani membicarakan kejadian itu lagi, karena berarti melawan titah Kaisar. 　　Apakah keberuntungan si gadis kecil ini benar-benar mau melawan takdir? 　　"Menghadapi pertanyaan Xiao Shi, Jiang Si tersenyum manis: 'Kakak Kedua saya masih perlu dibiayai kas bersama untuk sekolah. Jika mencari pekerjaan, berapa pun gajinya harus diserahkan ke kas bersama. Dengan mengurangi pengeluaran dan menambah pemasukan, bukankah ini demi kepentingan Keluarga Bo?'" 　　Jiang Zhan merasa seperti dipukul pentungan. 　　Dia lupa, bahkan jika menerima gaji harus menyerahkannya ke kas bersama. Tampaknya hutang pada Adik Keempat takkan terlunasi bertahun-tahun. 　　Nyonya Feng berkata datar: "Keluarga Bo masih mampu membiayai studi kalian. Lagipula, jika generasi muda bisa menghasilkan uang, simpan saja sendiri. Kas bersama keluarga tidak kekurangan ini." 　　Jiang Zhan langsung bersemangat. 　　"Cucu perempuan berpikir Kakak Kedua harus mengerjakan hal yang ia kuasai, bukan terus di jalan yang salah—" 　　Nyonya Feng memotong kasar: "Apa keahliannya? Berkelahi?" 　　Telinga Jiang Zhan memerah. Ia mengepal tangan menahan amarah. 　　Takkan lagi gegabah. Saat dia mengenakan seragam pengawal Jinwu, akan dilihat apa kata nenek. 　　Xiao Shi tersenyum samar, kilatan senyuman di matanya. 　　Ibu Suri sangat memprioritaskan putra sulungnya dan memandang rendah Jiang Zhan. Semua tahu ini, tapi sebelumnya tak pernah diungkapkan terang-terangan. 　　Jiang Si menggeleng halus. 　　Tampaknya penghinaan Ibu Suri pada Kakak Kedua sudah mengakar. Percuma berdebat. Saat Kakak Kedua bergabung dengan Jinwu, pasti akan mengubah pandangan semua orang. 　　“Di keluarga bangsawan, sangat sedikit anak muda yang pandai belajar. Yang berhak mewarisi gelar kebangsawanan hanya satu orang. Bagi yang lain, masuk ke Jinwuwei untuk mencari pengalaman sudah dianggap jalan keluar terbaik.” 　　Adapun sepupu laki-lakinya—saat mengingat Jiang Cang, ekspresi Jiang Si menjadi agak aneh. 　　Sepupunya ini memang sangat pandai belajar. Lulus ujian provinsi seharusnya tidak masalah, namun Ujian Musim Gugur tahun ini pasti akan mengecewakan banyak orang. 　　Jiang Cang muntah-muntah di ruang ujian hingga akhirnya digotong keluar, sehingga gagal total mengikuti ujian provinsi tahun ini. 　　“Jangan mikirin omong kosong lagi! Besok langsung kembali ke sekolah!” Nyonya Feng akhirnya memberi perintah tegas. 　　Jiang Zhan yang sedang kesal membentak: “Kakak saja yang cukup urusan belajar! Pokoknya aku tidak mau pergi!” 　　Setelah berkata demikian, ia langsung berlari keluar. Nyonya Feng sampai gemetar marah, lalu menyuruh A Fu: “Bilang ke mandor, mulai bulan ini uang saku Tuan Kedua dihentikan!” 　　Xiao Shi menahan kesenangan hatinya sambil menghibur Nyonya Feng. 　　Kabar penghentian uang saku Tuan Kedua cepat tersebar. Di satu sisi Tuan Pertama sibuk mempersiapkan ujian, di sisi lain Tuan Kedua malah berhenti sekolah. Kontras kedua saudara ini membuat para pelayan rumah selalu geleng-geleng kepala membicarakannya. 　　“Ckckck, dari dulu sudah kelihatan. Tuan Kedua tidak membuat masalah saja sudah bagus, mana mungkin bisa belajar.” 　　“Benar juga. Jelas-jelas tidak bisa dibandingkan dengan Tuan Pertama.” 　　“Wajar saja. Pamannya sendiri adalah lulusan Jinshi resmi. Mana mungkin Tuan Pertama tidak hebat? Pasti lulus ujian kali ini.” 　　Mendengar gunjingan para pelayan, Xiao Shi semakin merasa bangga. 　　Segera ujian provinsi tahun ke-18 Jingming tiba. 251.BAB 251 Manusia Bergantung pada Pakaian 　　BAB 251 Manusia Bergantung pada Pakaian 　　Nyonya Xiao Istri Kedua memeriksa keranjang ujian berulang kali, sampai bisa mengingat posisi setiap benda dalam keranjang itu dengan mata tertutup. Ia berpesan ke anak buah: "Jagalah baik-baik barang Tuan Pertama. Kalau ada kesalahan, tanggung jawabmu!" 　　Anak buah Jiang Cang yang cerdik tersenyum lebar: "Nyonya Kedua tak perlu khawatir. Pasti Tuan Besar akan pulang membawa gelar Juren untuk nyonya." 　　Nyonya Xiao tersenyum anggun: "Nanti pasti kau dapat hadiah yang pantas." 　　Saat Jiang Cang berangkat ke Gongyuan (balai ujian kekaisaran), langit masih kelabu. Seluruh anggota keluarga datang mengantar. 　　"Cang'er, jangan gugup. Tunjukkan kemampuanmu seperti biasa." Tuan Jiang Kedua menepuk bahu Jiang Cang. 　　"Anak mengerti." 　　Nyonya Xiao segera menambahkan: "Kudengar bilik ujian sangat buruk keadaannya. Cang'er, jaga baik-baik dirimu." 　　Senyum tenang mengembang di bibir Jiang Cang: "Ibu tak perlu khawatir. Anak akan menjaga diri." 　　Tuan Jiang Kedua mulai tak sabar: "Sudah, cukup bicara. Biarkan Cang'er segera ke Gongyuan." 　　Nyonya Xiao merapikan kerah Jiang Cang terakhir kali, lalu diam. 　　Jiang Cang membungkuk hormat ke Ibu Suri Feng: "Nenek, cepatlah kembali. Cucu ini segera ke tempat ujian." 　　"Nyonya Feng berusaha tenang dan mengangguk berkali-kali: "Pergilah, ingat nasihat ayahmu, kau pasti bisa."" 　　Jiang Cang sekali lagi memberi hormat dengan tangan tergenggam kepada Nyonya Feng dan yang lain, lalu naik kereta kuda menuju Balai Ujian. 　　Warna hitam samar di ufuk berubah perlahan menjadi jingga kemerahan, fajar mulai merekah, hari yang cerah kembali menyapa. 　　Nyonya Feng tetap berdiri di tempatnya, menatap lama-lama arah kepergian Jiang Cang, dada dipenuhi gejolak emosi. 　　Cucu tertua tahun ini baru 19 tahun. Jika ujian kali ini berjalan lancar, Februari depan dia sudah bisa ikut Ujian Musim Semi. Seandainya lulus, langsung akan menjadi sorotan lingkaran bangsawan ibu kota. 　　Kekejaman sistem ujian sudah menjadi rahasia umum. Jinshi berusia dua puluh tahun adalah komoditas langka, tak perlu khawatir tentang masa depan cerah dan jodoh terbaik untuk cucu tertua. 　　Di generasi ayah, putra kedua sudah punya prospek gemilang. Di generasi cucu, sang sulung akan segera memikul tanggung jawab. Keluarga Bo mungkin tak perlu terlalu takut meski suatu hari gelar bangsawan hilang. 　　Membayangkan semua ini, hati yang tua itu seolah kembali muda, keriput wajahnya mulai menghilang. 　　"Hah? Kakak sudah berangkat?" Jiang Zhan mengucek mata sambil tergopoh-gopoh datang. 　　Meski hubungan Jiang Zhan dan Jiang Cang tidak dekat, ujian negara adalah urusan besar. Hampir semua keluarga akan mengantar bersama, Jiang Zhan pun ingat harus bangun pagi untuk melepas kepergian. 　　Sayangnya, Yu Jin sudah memberi tahu Jiang Zhan harus segera melapor ke Jinwuwei. Demi tidak ketahuan kurang persiapan, dia berlatih setiap hari. Ditambah usia muda yang masih suka tidur, tak sengaja dia kesiangan. 　　Melihat Jiang Zhan, senyum hangat di bibir Nyonya Feng langsung menghilang. Dengan kesal dia berkata, "Akhirnya kau datang juga!" 　　Jiang Zhan malu-malu menjawab, "Tak kira Kakak berangkat lebih pagi." 　　Wajah Nyonya Feng muram. Dia mengulurkan tangan untuk dituntun A Fu, lalu berbalik pulang. 　　Terhadap cucu lelaki ini, dia sudah tak lagi berharap. Melihatnya pun jadi sumber sakit hati. 　　Jiang Zhan berkedip-kedip canggung. 　　Memang salahnya hari ini, tapi pandangan hina di mata nenek terlalu jelas. 　　Xiao Shi yang melintas di sampingnya berkomentar sinis, "Belajar itu memang melelahkan. Tuan Kedua bisa pulang dulu, masih ada waktu untuk tidur lagi." 　　Jiang Ancheng tentu tak puas dengan keterlambatan putranya. Tapi mengingat usaha Jiang Zhan belakangan, dia menahan omelan dan pergi urus pekerjaan bersama Tuan Jiang Ketiga. 　　Jiang Si berjalan paling belakang, berdampingan dengan Jiang Zhan. 　　"Bibi Er semakin suka bicara sarkastik," bisik Jiang Zhan. 　　Jiang Si tersenyum melihat punggung Xiao Shi: "Memang, tiap orang berbeda. Ada yang makin tenang setelah melewati cobaan, ada yang justru kehilangan semua ketenangannya." 　　“Coba pikirkan kehidupan sebelumnya, Jiang Qian tidak pernah diremehkan nenek karena kasus ‘kerasukan roh jahat’, apalagi pulang dengan malu ke keluarga karena kasus pembunuhan wanita oleh Putra Mahkota Marquis Changxing. Xiao Shi yang penuh keangkuhan selalu mempertahankan kesombongan di depan keluarga Utua, tentu saja tampak tenang dan lapang dada.” 　　“Di kehidupan ini, dengan banyak perubahan yang terjadi, wajar jika Xiao Shi kesulitan mempertahankan topeng kemunafikannya di tengah akumulasi dendam sehari-hari.” 　　“Sepertinya penyakit Bibi Er akan sembuh total.” 　　Jiang Si tidak memahami maksudnya. 　　Jiang Zhan tertawa: “Kakak jelas akan lulus ujian negara. Saat itu Bibi Er sedang di atas angin, mana berani lagi bicara dengan nada sinis?” 　　“Belum tentu.” Jawab Jiang Si dengan makna tersirat. 　　Jiang Zhan mengira adiknya merujuk pada Xiao Shi, tidak mendalami lebih jauh: “Adik Keempat, Kakak Yu Qi memberitahu besok aku bisa melapor. Aku sudah dapat nomor identitas.” 　　Dengan penerimaan nomor identitas, pengangkatan Jiang Zhan ke Pasukan Pengawal Kekaisaran menjadi kepastian. Seluruh tubuhnya terasa ringan. 　　Jiang Si bersukacita tulus untuk kakaknya: “Selamat untuk Kakak Kedua.” 　　Keesokan paginya Jiang Zhan berangkat sejak subuh. Saat pulang, ia mengenakan seragam pengawal biru-hitam berborder emas yang membuatnya tampak gagah. 　　Penjaga pintu nyaris tak mengenalinya: “Tuan... Tuan Kedua?” 　　“Paman Wang tidak kenal aku?” Jiang Zhan yang pulang dengan berjalan kaki justru merasa penuh tenaga, tidak lelah sama sekali. 　　Rupanya perasaan dikagumi orang lain begitu menyenangkan. 　　“Tuan Kedua, dari mana Anda meminjam pakaian ini? Sepertinya ini seragam Jinwuwei ya?” Setelah bertahun-tahun menjaga Dongping Bo Residence, pelayan ini masih punya kemampuan mengidentifikasi seragam resmi. 　　Jiang Zhan terhuyung-huyung hampir terjatuh. 　　Apa maksudnya "pakaian pinjaman"? Pelayan rendahan ini berani meremehkannya seperti ini! 　　Kakak Kedua Jiang merapikan postur tubuhnya, menepuk pedang di pinggang: "Paman Wang bicara apa, mana mungkin hamba meminjam pakaian orang? Ini seragamku sendiri." 　　Setelah berkata demikian, ia berjalan masuk dengan dada membusung. Pelayan itu memperingatkan khawatir: "Tuan Kedua, meniru seragam resmi pemerintah kabarnya bisa dipenjara—" 　　Langkah Jiang Zhan terhenti, ia menarik napas dalam-dalam. 　　Sekarang dia sudah menjadi Jinwuwei, setidaknya tidak boleh terjadi insiden memukuli pelayan. 　　Kabar Jiang Zhan menjadi Jinwuwei segera tersebar ke seluruh keluarga Bo. 　　Nyonya Feng memandangi cucunya yang tampak gagah dalam seragam penjaga yang pas, perasaan campur aduk memenuhi hatinya. 　　Ia mengira cucu ini selamanya akan menjadi lumpur busuk yang hanya bisa mensyukuri jika tidak mencelakakan keluarga, tak disangka malah bisa masuk Jinwuwei. 　　Tuan Jiang Kedua menoleh ke Jiang Ancheng: "Kakak, apakah masuknya Zhan ke Jinwuwei menggunakan banyak koneksi?" 　　Untuk masuk Jinwuwei, menyuap dan mencari kenalan pasti menghabiskan biaya besar. Anehnya tak ada kabar angin sama sekali. 　　Jiang Ancheng tersenyum: "Aku tak punya jalur. Zhan punya banyak teman, dia mencari jalannya sendiri lewat Lu Zi." 　　Hmm, Xiao Yu benar-benar bagus. Kalau Si'er puas dengannya, aku ingin menjadikannya menantu. Jangan sampai tercium oleh orang lain. 　　Jiang Zhan belum pernah merasa begitu bangga: "Benar, Paman. Aku minta bantuan teman, tidak menghabiskan satu uang tembaga pun dari keluarga." 　　Xiao Shi merasa tidak nyaman melihat kesombongan Jiang Zhan, tersenyum: "Tak sangka Tuan Kedua bisa masuk Pasukan Jinyiwei. Bagus juga, nanti kalian bersaudara saling mendukung, satu di bidang sastra satu di militer." 　　Pasukan Jinyiwei pun apa? Bisakah menyaingi kejayaan Juren atau Jinshi? 252. BAB 252 Nasib Sial yang Luar Biasa 　　BAB 252 Nasib Sial yang Luar Biasa 　　"Semua pekerjaan dianggap rendah, hanya belajar yang dianggap mulia" - ini adalah keyakinan yang mengakar bahkan di kalangan pedagang dan kuli di Dinasti Zhou. 　　Pasukan Brokat menakutkan? Tentu! Keluarga yang memiliki anggota di Pasukan Brokat akan membuat tetangga berhati-hati. Tapi di balik rasa takut itu adalah cibiran. 　　Pasukan Jinyiwei bergengsi? Tentu, tapi yang bisa masuk hanyalah para tuan muda borjuis, mustahil untuk ditiru. 　　Hanya jalur pendidikanlah yang merupakan jalan resmi, benar-benar seperti ikan melompati gerbang naga. Bahkan keturunan bangsawan yang lulus ujian kekaisaran akan dirayakan seisi keluarga, karena sederhana: puncak kekuasaan birokrasi selalu diisi oleh pejabat lulusan ujian. 　　Selain itu, semua hanya ikan kecil. 　　Sekarang Xiao Shi menghibur diri dengan menganggap Jiang Zhan sebagai ikan kecil. 　　"Cuma sebelumnya si sampah ini masih seperti lumpur busuk, semua orang mengira seumur hidup tak bisa dibentuk." Xiao Shi merasa sedih memikirkannya. 　　Tunggu saja. Begitu hasil Ujian Musim Gugur diumumkan, takkan ada yang bisa mencuri kemegahan putra sulung. 　　"Kakak Kedua, bajumu bagus sekali. Benarkah kau sekarang anggota Jinwuwei?" Putra Keempat Jiang Ze menengadah bertanya. 　　Tuan Jiang Ketiga memiliki satu putra dan putri. Putrinya bernama Jiang Qiao, putranya Jiang Ze yang baru berusia 10 tahun - usia mulai mengerti tapi masih polos. 　　Jiang Zhan melepas pedang di pinggangnya dan memperlihatkannya pada Jiang Ze: "Tentu! Lihatlah elang di sarung pedang ini, lambang khusus Jinwuwei!" 　　Putra Ketiga Jiang Yuan di samping mereka memandangi pedang gagah itu dengan iri: "Kakak Kedua, biarkan aku meraba sedikit." 　　Xiao Shi melirik Jiang Yuan, kesal melihat ketidakdewasaan putra keduanya: "Jangan sembarangan meraba, nanti rusak. Lihat kakakmu sudah punya tugas resmi, kau harus rajin belajar." 　　Jiang Yuan langsung cemberut: "Ibu, aku juga tak mau belajar--" 　　"Diam!" suara Xiao Shi meninggi. "Kalau tidak belajar, mau jadi apa? Apa kau bisa seberuntung kakakmu masuk Jinwuwei?" 　　Jiang Zhan menggelengkan kepala diam-diam. 　　Pertemanannya dengan Kakak Yu Qi diraih dengan kemampuan sendiri. Punya teman kompeten kok disebut cuma keberuntungan? Ini jelas berkat karakter dan kemampuan! 　　“Kakak Kedua bisa masuk Jinwuwei, kenapa saya tidak bisa? Paling-paling minta Ayah bantu cari koneksi.” Jiang Yuan membusungkan lehernya. 　　Jiang Yuan sekarang sudah 14 tahun, memiliki satu kesamaan dengan Jiang Zhan: sama-sama sangat benci belajar, seolah tak punya bakat di bidang ini. 　　Hanya saja Jiang Yuan masih lebih muda, dengan Jiang Zhan yang suka membuat masalah di atasnya, sementara belum terlalu terlihat. 　　“Nonsens!” Bagi Bibi yang melihat putra sulungnya berbakat sejak kecil, tak ada yang lebih penting dari belajar. 　　Tuan Jiang Kedua memandang Jiang Zhan yang tegak seperti pohon poplar, mulai tertarik dengan ide ini. 　　Putra kedua yang sangat berbeda dengan kakaknya, setelah belajar bertahun-tahun hanya bisa baca beberapa karakter dan buat dua puisi jelek. Waktu kecil memang perlu belajar untuk melatih karakter, tapi setelah besar tak perlu memaksakan diri di jalur ujian kekaisaran. 　　Jinwuwei memang pilihan yang baik. 　　Usia Jiang Yuan masih terlalu muda untuk masuk Jinwuwei. Tuan Jiang Kedua dengan tenang berkata: “Fokus belajar dulu, nanti akan carikan guru bela diri untuk latihan tiga tahun.” 　　“Asyik!” Jiang Yuan mengacungkan tinju, memandang Jiang Zhan dengan rasa kekerabatan yang semakin erat. 　　Beberapa tahun lagi saat dia masuk Jinwuwei, pasti akan dilindungi oleh kakak kedua. 　　Bibi tidak puas dengan keputusan suaminya, tapi di depan orang banyak tidak berkata apa-apa. 　　Sudahlah, putra kedua memang bukan bahan pelajar, menjadi Jinwuwei di masa depan juga bagus. Saudara kandung yang satu ibu, satu ahli sastra satu ahli bela diri, barulah benar-benar bisa saling mendukung. 　　“Mengingat sang putra sulung, Xiao Shi semakin merasa khawatir. Setelah kembali ke Yaxinyuan, ia tak tahan mengeluh pada Tuan Jiang Kedua, "Cuaca panas begini, tidak tahu apakah Cang'er bisa tahan. Kudengar bilik ujian mereka bahkan tidak punya ruang untuk meregangkan kaki."” 　　“Yang disebut bilik ujian adalah ruangan kecil terpisah tempat para peserta ujian mengerjakan soal. Ujian provinsi terbagi menjadi tiga sesi, setiap sesi berlangsung tiga hari. Selama tiga hari itu, para peserta harus makan, minum, dan tidur di dalam bilik sempit tersebut.” 　　“Tuan Jiang Kedua yang pernah mengalami Ujian Musim Gugur dan Ujian Musim Semi tentu paham betul kondisi buruk bilik ujian itu. Dengan datar ia berkata, "Semua orang juga melalui hal yang sama."” 　　“Konon beberapa bilik ujian ada yang bocor. Bagaimana jika dia kebagian bilik seperti itu—" 　　“Diam!” Tuan Jiang Kedua memelototi Xiao Shi dengan kesal. 　　“Jika benar kebagian bilik bocor, begitu hujan membasahi lembar ujian, nilai pun otomatis dibatalkan.” 　　“Xiao Shi menyadari ucapannya sembrono. Cepat-cepat ia berkata, "Cang'er kita selalu beruntung, pasti dapat bilik terbaik. Saya hanya mengkhawatirkan hal yang tidak perlu."” 　　“Tuan Jiang Kedua menyeringai masam.” 　　“Wanita tak tahu apa-apa. Bocor saja bukan masalah, jika dapat 'bilik bau' di dekat jamban, itu baru benar-benar batal ujian.” 　　“Di cuaca terik begini, bayangkan baunya—” 　　“Tuan Jiang Kedua teringat tahun ia ujian dulu. Seorang teman sekelas malang kebagian bilik bau, bertahan sehari sebelum pingsan dan digotong keluar. Ia menghela napas panjang.” 　　“Tapi bilik bau seperti itu sangat jarang. Hanya orang yang benar-benar sial yang kebagian.” 　　“Tuan Jiang Kedua tentu saja tidak mengira anak lelakinya akan bernasib buruk seperti ini,” pikiran yang sempat bergejolak itu segera tenang kembali. 　　Sekelip mata tiba tanggal 11 Agustus, hari terakhir ujian pertama ujian provinsi. Menjelang senja, peserta ujian yang mengikuti ujian pertama akan keluar. Seperti Jiang Cang yang rumahnya dekat, tentu tidak perlu menginap di penginapan melainkan pulang ke kediamanan. 　　Sore hari tiba, seluruh anggota Keluarga Bo diliputi ketegangan dan antisipasi. Pasangan Tuan Jiang Kedua semakin gelisah. 　　Tuan Jiang Kedua pernah mengikuti ujian kekaisaran, lebih dari siapa pun memahami pentingnya ujian pertama. 　　Sistem ujian delapan bagian hanya mementingkan ujian pertama tentang makna klasik. Jika ujian pertama berhasil, dua ujian berikutnya hanya perlu cukup untuk lulus. Bisa dikatakan ujian pertama lah yang benar-benar menentukan masa depan peserta. 　　Lulus ujian ini berarti mendapatkan tiket untuk ujian musim semi tahun depan. 　　Langkah kaki tergesa-gesa tiba-tiba bergema, bagai petir yang menghantam hati. Tuan Jiang Kedua tiba-tiba merasa firasat buruk. 　　Tak lama pemilik langkah kaki itu berlari masuk, seorang mandor dari sayap luar. Begitu masuk ia langsung berteriak: "Tuan, Tuan Pertama pulang!" 　　Jantung Tuan Jiang Kedua berdebar kencang, perasaan hancur menyergap. 　　Ini belum waktunya pengumpulan lembar jawaban, mengapa Cang'er sudah pulang? 　　"Apa sebenarnya yang terjadi?" Suara Tuan Jiang Kedua terdengar panik. 　　Wajah mandor itu pucat pasi: "Tuan Pertama dibawa pulang dalam keadaan pingsan!" 　　Xiao Shi yang sejak mendengar kabar kepulangan Jiang Cang langsung berdiri, kini limbung dan jatuh terduduk di kursi. 　　"Lalu pelayannya?" 　　Sebuah sosok kurus langsung berlutut, mengusap air mata berkata: "Tuan Gong kebagian nomor jorok, saat diangkat keluar hamba baru tahu Tuan Gong bertahan selama dua hari, sampai hari ini muntah-muntah terus menerus, benar-benar tidak kuat lalu pingsan dan diangkat keluar..." 　　Meski Tuan Jiang Kedua sudah berpengalaman di dunia birokrasi, mendengar kabar ini matanya juga berkunang-kunang. 　　Dasar, pengalaman, wawasan, bakat - setelah dihitung-hitung dia yakin putra sulungnya pasti lulus ujian, tapi lupa memperhitungkan faktor keberuntungan sang anak. 　　"Di mana Tuan Pertama?" Xiao Shi berlari keluar dengan panik. 253.BAB 253: Nasib Sial Berlipat 　　BAB 253: Nasib Sial Berlipat 　　Jiang Cang memang benar-benar sial, dari ratusan peserta ujian, hanya belasan yang kebagian nomor jorok tapi malah dia yang kena. 　　Seperti yang diduga Tuan Jiang Kedua, peserta yang kebagian nomor jorok belum tentu bisa mengerjakan ujian, bisa selamat keluar saja sudah syukur. 　　Jiang Cang yang ambisius sejak kecil memilih jalan ujian kekaisaran, ketekunannya tidak diragukan, sehingga bertahan lebih dari dua hari sebelum akhirnya pingsan karena bau. 　　Saat ini Jiang Cang terbaring di tandu yang diangkat masuk, sudah mulai sadar. 　　"Cang'er--" Xiao Sigeprakatan menyambut, melihat kondisi anaknya kepalanya langsung berdengung. 　　Putra yang semangat saat masuk ujian kini wajahnya pucat kekuningan, pipi tembem menjadi cekung, mirip hantu kurus penderita TBC stadium akhir. 　　Kenapa anakku bisa seperti ini! 　　“Cang'er, bagaimana menurutmu?” 　　Jiang Cang membuka matanya dengan susah payah memandang ibu yang panik, tersenyum pahit: "Anak ini mengecewakan Ibu..." 　　Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan susah payah, Jiang Cang memutar bola mata dan pingsan. 　　“Cang'er, Cang'er——” Xiao Shi menjerit pilu, merasa dunia runtuh saat itu. 　　Saat itu kerumunan yang dipimpin Nyonya Feng bergegas datang. 　　Tuan Jiang Kedua membentak: “Menangis tidak ada gunanya, cepat panggil tabib!” 　　Putra sulung kurang beruntung, bukan tidak punya kemampuan. Kini keadaan sudah begini, harus menunggu tiga tahun lagi. Yang terpenting sekarang memulihkan kesehatan, tubuh adalah modal utama. 　　Meski menghibur diri demikian, melihat keadaan putra sulung yang mengenaskan, dada Tuan Jiang Kedua tetap sesak. 　　Punya kemampuan tapi tak beruntung, inilah yang paling menyebalkan. 　　Jiang Cang terutama menderita karena lingkungan ujian. Setelah tabib memberi resep obat dan diminum, tubuhnya perlahan pulih. 　　Setelah sadar, semangatnya langsung lesu tak bertenaga. 　　Sepuluh tahun belajar keras, seharusnya bersinar di Ujian musim gugur. Siapa sangka karena nasib malang bahkan tidak bisa menyelesaikan ujian pertama. Bagaimana mungkin tidak merasa kesal? 　　Yang lebih menyiksa Jiang Cang: jawaban Empat Kitab-nya sangat bagus, bukan sekadar lulus, bahkan mungkin masuk tiga besar. 　　Tentang ujian provinsi, ada pepatah: Tiga sesi utamakan sesi pertama, sesi pertama utamakan Empat Kitab. 　　Ujian pertama terdiri dari tujuh soal: Tiga dari Empat Buku dan empat dari Lima Klasik. Tiga soal Empat Buku ini yang menentukan nilai ujian tahap pertama, sehingga para peserta biasanya memilih mengerjakan ketiganya terlebih dahulu. 　　Jiang Cang memaksakan diri menyelesaikan tiga soal Empat Buku dengan sempurna meski terpapar bau busuk, sayangnya di hari terakhir ia tak sanggup bertahan. Segala upaya sia-sia. Dalam keputusasaan, ia menulis ulang jawabannya dan terus mengulang-ulanginya seperti kesurupan. 　　Tuan Jiang Kedua yang melihat jawaban Jiang Cang pun nyaris muntah darah. 　　Sebagai lulusan Jinshi resmi yang pernah belajar di Akademi Hanlin, tentu saja beliau memiliki kemampuan menilai. Sangat jelas baginya betapa briliannya jawaban anaknya itu. 　　Justru karena itu, hatinya semakin teriris. 　　Sayang sekali, sungguh disayangkan. 　　Dengan kemampuan yang sama, fluktuasi nilai sangat bergantung pada keberuntungan. Soal Empat Buku kali ini cocok dengan keahlian Jiang Cang. Menunggu tiga tahun lagi, siapa yang tahu preferensi pembuat soal? 　　Gelar Juren yang sudah di depan mata pun raib! 　　Selama beberapa hari Tuan Jiang Kedua terus mendapat "hiburan" dari rekan sejawat. Dengan nekat, ia menyebarkan jawaban Jiang Cang. 　　Segera para pengamat ujian kekaisaran mengetahui satu fakta: Tuan Pertama Dongping Bo Residence sebenarnya berbakat meraih peringkat pertama, namun sialnya mendapat bilik berbau busuk dan tak sanggup menyelesaikan ujian. 　　Dengan demikian, mundurnya Jiang Cang dari ujian menjadi peristiwa yang sangat disesali banyak orang. 　　Bibi Xiao Shi bahkan lebih terpukul daripada ayah-anak Jiang. Selama berhari-hari ia tak sanggup makan hingga jatuh sakit dan terkulai di tempat tidur. 　　Banyak orang datang menjenguk secara bergantian. Dari mulut para pengunjung ini, Xiao Shi mendengar kabar tentang kondisi anaknya yang semakin membuat hatinya remuk. 　　Saat Tuan Jiang Kedua tiba, Xiao Shi tak kuasa menahan isakannya: "Jawaban ujian Cang'er sudah tersebar luar. Sekarang semua orang merasa kasihan padanya, bilang dia punya bakat Ju Yuan. Bagaimana Cang'er bisa menerima ini jika mendengarnya..." 　　Desahan Xiao Shi membuat Tuan Jiang Kedua jengkel. Bahkan terlintas pikiran absurd: Andai saja si wanita ini tak membahas kondisi bilik ujian waktu itu, mungkin nasib Cang'er takkan seburuk ini. 　　Semua gara-gara mulut sial si bodoh! 　　"Jangan menangis lagi, kau tahu apa!" 　　Isakan Xiao Shi terhenti. Wajahnya yang pucat kekuningan menatap berat ke arah Tuan Jiang Kedua. 　　Berasal dari keluarga biasa, Xiao Shi selalu mengikuti keputusan suaminya dalam urusan penting. 　　"Setiap Ujian Musim Gugur selalu ada peserta yang mengundurkan diri karena sakit. Cang'er memang berbakat, tapi nama yang mundur takkan tercantum di daftar lulus. Siapa yang akan tahu bakatnya? Haruskah kita berkeliling menjelaskan? Dengan menyebarkan jawaban ujiannya, para pakar yang melihat pasti akan menyesalkannya, lalu mengingat bakat Cang'er. Tiga tahun lagi saat dia ikut ujian, pasti akan dapat perhatian. Ini sangat menguntungkan baginya." Tuan Jiang Kedua menjelaskan dengan sabar. 　　Singkatnya, Tuan Jiang Kedua sedang membangun reputasi untuk Jiang Cang dalam situasi terburuk, mempersiapkan ujian provinsi tiga tahun mendatang. 　　Di Cixintang, Nyonya Feng mendengar desas-desus di luar dan menghela napas berat penuh kegelisahan. 　　Mengatakan cucu tertua punya bakat juara ujian provinsi, menurutnya bukanlah berlebihan. Sejak kecil, guru pertamanya sudah meramalkan dia berbakat dalam studi, dan suatu hari nanti ayah-anak berdua meraih Jinshi akan menjadi kisah legendaris. 　　Ayah dan anak sama-sama Jinshi, betapa gilang-gemilangnya! 　　Nyonya Feng langsung sakit seperti ditusuk di dada setiap teringat hal ini. 　　Jika cucu tertua memang tak berbakat itu tak apalah, tapi nyatanya dia punya kemampuan namun gagal ikut ujian provinsi karena nasib malang, ini sungguh menyakitkan. 　　Selama belasan hari, suasana di Dongping Bo Residence muram sampai-sampai Jiang Zhan malu memamerkan diri. Setiap hari dia setia bertugas di Jinwuwei, justru cepat beradaptasi dengan identitas barunya. 　　Setelah tiga sesi ujian, daftar pemenang segera diumumkan. Nama juara pertama langsung menyita perhatian dunia. 　　Juara Jinshi ternyata seorang pemuda, tak lain adalah Zhen Heng yang dijuluki "Tuan Gong secantik giok" termasyhur di ibu kota. 　　Sehari setelah pengumuman, digelar Perjamuan Luming untuk menghibur para pemenang. Zhen Heng dikerumuni bagai bintang, tak terhitung gelas anggur yang diterimanya dari rekan seangkatan. 　　Kesuksesan muda selalu mengundang iri. Seorang yang tak suka bersungut-sungut: "Sayang Tuan Pertama Jiang Cang dari Dongping Bo Residence tidak menyelesaikan ujian. Saya pernah lihat jawabannya, benar-benar layak jadi juara." 　　Zhen Heng bukanlah seorang kutu buku yang akan berpura-pura menjadi pria terhormat saat dipermalukan. Sepertinya dia juga tidak belajar untuk menelan penghinaan dari ayahnya. Dengan alis sedikit terangkat, dia tersenyum: "Kalau begitu, apakah jawaban saya sudah Saudara baca?" 　　Setelah berkata demikian, dia meminta orang membawakan alat tulis. Dengan lancar dia menuliskan jawaban pertama tentang Empat Buku, lalu melemparkan kuasnya dan merebahkan diri di meja untuk tidur. 　　Pemuda Juara Yuan yang sedikit arogan setelah mabuk - siapa yang bisa menyalahkannya? 　　Jawaban yang ditulis ulang Zhen Heng dengan cepat menyebar di kalangan peserta ujian yang hadir, lalu dengan kecepatan luar biasa menyebar ke luar. 　　Jika Jiang Cang adalah talenta dalam belajar, maka Zhen Heng adalah jenius. Ketika dua jawaban itu dibandingkan, jawaban Jiang Cang yang semula disayangkan banyak orang langsung terlihat seperti sampah di samping kecemerlangan jawaban Zhen Heng. 　　Ngomong-ngomong, karakter Zhen Heng diisi oleh teman sekelas kssherry dari grup pembaca. Vote vote dong~ 254. BAB 254: Keteguhan Hati 　　BAB 254: Keteguhan Hati 　　Zhen Shicheng yang mendengar hal ini memarahi Zhen Heng: "Bocah muda sok jago!" 　　Zhen Heng cepat-cepat menunduk mengakui kesalahan: "Anak lelaki ini memang kebanyakan minum." 　　Dia mengakui bahwa Tuan Pertama dari Dongping Bo Residence, Jiang Cang, memang berpengetahuan baik. Tapi menjadi terkenal dengan menginjak dirinya? Itu tak bisa ditoleransi. 　　Susah payah meraih gelar Juara Yuan, beberapa tahun kemudian jika orang bilang itu karena Jiang Cang tidak menyelesaikan ujian sehingga dia dapat untung, bukankah itu menyebalkan? Kalau tidak segera membuktikan diri sekarang, apakah harus menunggu masa depan untuk pembelaan tak berdasar? 　　“Lagi pula—” Memikirkan Dongping Bo Residence, hati Zhen Heng sedikit bergejolak. 　　Ia menahan napas meraih gelar Jieyuan, juga berharap dia bisa melihat kemilau dirinya. 　　Mungkin dia akan mengubah keputusannya. 　　Penolakan saat itu membuat Zhen Heng memutuskan untuk mengubur semua perasaannya dalam-dalam, tapi bagi pemuda yang baru pertama kali merasakan cinta, melupakan gejolak hati pertama bukanlah hal mudah. 　　Pada dasarnya, ada sedikit rasa tidak rela di hatinya. 　　Zhen Heng memiliki kepercayaan diri untuk menjadi lebih unggul, hingga bahkan jika sang gadis tak menyukainya, takkan bisa mengabaikan kilaunya. 　　“Ayah, bagaimana jika Ayah mengajak anak ke Dongping Bo Residence untuk meminta maaf?” 　　Zhen Shicheng merasa usul anaknya ini cukup baik. 　　Nona kecil itu memanggilnya Shìbó, Dongping Bo juga cocok dengan karakternya, kini mereka sudah bersaudara. Maka tindakan anaknya yang kurang ajar saat pesta Lu Ming tak bisa diabaikan. Mengajaknya ke Dongping Bo Residence untuk menunjukkan sikap adalah hal yang wajib. 　　Melihat ekspresi Ayah Paduka, Zhen Heng tahu rencananya berhasil, ujung bibirnya sedikit terangkat. 　　Zhen Shicheng hendak mengangguk, tapi melihat senyum samar di bibir anaknya tiba-tiba tersadar. Kumisnya berkibar saat berkata: “Bocah nakal! Kau mau meminta maaf ke keluarga Bo, atau merayu putri mereka?” 　　“Ahem-hem.” Zhen Heng batuk keras, telinga putih porselannya segera memerah. Dengan malu dan geli ia berkata: “Ayah, apa yang Ayah bicarakan ini?” 　　“Dia memang tipe orang seperti itu!” 　　“Lagipula, anak lelaki yang begitu patuh seperti ini, mana mungkin menarik perhatian perempuan sembarangan.” 　　Zhen Shicheng dengan tenang mengelus kumisnya: “Kalau begitu, saya akan mengundang Jiang Shaoqing secara diam-diam. Bagaimanapun, urusan permintaan maaf ini tidak perlu dipublikasikan.” 　　Sebenarnya Tuan Pertama dari Dongping Bo Residence sudah sangat malu, jika kabar kunjungan kami sampai diketahui orang lain, pasti akan semakin mempermalukan keluarga mereka. Jadi Zhen Shicheng sejak awal sudah merencanakan untuk bertindak rendah hati. 　　Tentu saja, alasan mengundang Tuan Jiang Kedua secara diam-diam hanyalah untuk menggoda anaknya. 　　“Ayah, mengunjungi langsung kediaman mereka akan terlihat lebih tulus.” Zhen Heng mulai tidak sabar. 　　Dia tak pernah menyangka akan mendapat kesempatan mengunjungi keluarga Jiang Si lagi, kali ini pun dengan status yang sah. 　　Zhen Heng tidak takut dikenali sebagai pelayan pria yang pernah menemani ayahnya berkunjung waktu itu. 　　Saat itu dia berpakaian seperti pelayan, berdiri patuh di belakang ayahnya. Tak ada yang memperhatikannya, satu-satunya yang mungkin mengenali identitasnya hanyalah Nona Keempat Jiang. 　　Apakah Zhen Heng takut Jiang Si mengenali identitas aslinya? Tentu tidak! 　　Menurutnya, penampilannya cukup menarik, reputasi juga cukup baik. Di hadapan para nona, seharusnya mudah mendapatkan kesan baik, bukan? 　　Tapi saat teringat gadis yang kecantikannya tak tertandingi itu, tiba-tiba Zhen Heng merasa ragu. 　　Melihat ekspresi anaknya yang berubah-ubah, Zhen Shicheng mengetuk kepala anaknya dengan kipas lipat sambil berdesah: “Dasar anak bodoh!” 　　“Anak lelaki yang tak kapok, sebagai ayah seharusnya membantu. Apalagi ini lubang yang kubuat sendiri untuknya.” 　　Zhen Heng tiba-tiba memerah mukanya, berusaha menjaga ketenangan: “Ayah beri tahu saja saat akan berangkat.” 　　“Bukannya acara jamuan dengan teman-teman seangkatannya sudah berjejal?” 　　“Semua bisa kutolak.” Wajah Zhen Heng akhirnya tak bisa menahan malu. Ia mencari-cari alasan lalu buru-buru kabur. 　　Memandang punggung anaknya yang kabur tergopoh-gopoh, Zhen Shicheng menghela napas. 　　Sudahlah, ia akan membantu anaknya mencoba sekali lagi. 　　Pemuda seusianya, apa arti satu dua kali kegagalan? Lama-lama mungkin akan terbiasa— *batuk-batuk*— atau malah sukses? 　　Nyonya Zhen langsung menangkap maksud tersembunyi saat suaminya mengajak anak mereka ke Kediaman Dongping Bo. Ia segera mencubit telinga Zhen Shicheng sambil marah: “Berani-beraninya! Gagal menjerumuskan anak sekali, masih mau coba lagi! Zhen Shicheng, apa maumu? Apa nona itu memberimu ramuan memabukkan?” 　　Kalau bukan karena sudah kenal sejak kecil, ia curiga si tua ini ingin menjadikannya sendiri sebagai istri. 　　“Lepaskan! Tunggu dayang-dayang pergi dulu!” Zhen Shicheng memerah sampai ke telinga. 　　Nyonya Zhen baru sadar dua dayang masih di ruangan. Ia melepaskan cubitan lalu membentak: “Masih di sini? Tak tahu diri!” 　　Kedua dayang segera kabur tak mau ketinggalan. 　　"Hanya tinggal kami berdua di dalam kamar," Nyonya Zhen duduk di dipan sembari berkata dengan wajah masam, "Zhen Shicheng, kukatakan padamu, aku benar-benar tidak akan membiarkanmu merusak masa depan anak kita lagi!" 　　Dia pernah merasakan getirnya cinta monyet di masa muda. Jika saling suka masih bisa ditanggung, tapi jika hanya satu sisi yang bertepuk sebelah tangan, sungguh menyiksa. 　　Pikirannya langsung tertuju pada anaknya yang begitu berbakat namun sedang terjebak dalam situasi seperti itu, membuat hatinya teriris. 　　"Heng'er bukan tipe anak yang nekat. Setelah ditolak, dia pasti bisa mengubur perasaannya pelan-pelan. Nanti kita carikan dia gadis sempurna dari keluarga terpandang, masalah kecil ini apa artinya? Tapi kau malah terus memancing hatinya, bukankah ini menyiksanya?" Semakin diingat Nyonya Zhen semakin geram, hampir saja mengambil papan cuci untuk memaksa Zhen Shicheng berlutut. 　　Tiba-tiba suara muda yang jernih terdengar dari balik pintu: "Ayah, Ibu, bolehkah anak masuk sebentar?" 　　Pasangan suami istri itu saling pandang. Setelah menghela nafas, Nyonya Zhen berkata: "Masuklah." 　　Pintu berderit terbuka. Zhen Heng melangkah masuk. 　　"Ada perlu, Heng'er?" tanya Nyonya Zhen melihat anaknya mengunci pintu. 　　Zhen Heng memberi hormat kepada ibunya: "Ibu, tadi... tanpa sengaja anak mendengar percakapan Ayah dan Ibu di balik pintu." 　　Kumis Zhen Shicheng bergetar halus. 　　'Tidak sengaja mendengar'? Pantaslah juara ujian prefektur, pilihan katanya setajam di masa mudanya dulu. 　　Nyonya Zhen menatap anaknya tak berkedip, bingung maksud di balik pengakuan ini. 　　“Ibu, jangan salahkan Ayah. Ini... ini keinginan anak... ingin pergi sekali lagi...” Suara pemuda itu semakin lirih, telinganya memerah hingga ke pangkal. 　　Terus terang mengungkapkan perasaan di hadapan orangtua tentu memalukan, tapi demi kesempatan kecil itu, apa artinya rasa malu? 　　“Heng'er!” 　　“Ibu, dengarkan saya.” Zhen Heng menatap lurus ke mata ibunya tanpa ragu, “Ibu bermaksud baik, anak mengerti semuanya. Tapi... menyerah begitu saja memang mengurangi penderitaan, tapi akan menambah penyesalan. Ibu, anak tidak ingin menyesal.” 　　Harus dicoba sekali lagi, dengan identitas yang jujur dan terhormat. 　　Setidaknya biarkan dia tahu siapa dirinya, biarkan gadis yang pertama kali membuat hatinya berdebar tahu bagaimana rupa wajahnya. 　　Meski nasibnya hanya menjadi pejalan yang lewat dalam hidupnya, itu masih lebih baik daripada tak pernah sama sekali. 　　Zhen Heng tak pernah menyesal bertemu gadis misterius seperti siluman di hutan sepi itu, meski sejak itu hidupnya dipenuhi kegelisahan. 　　“Meiniang, keteguhan hati pemuda itu baik. Masih ingat masa muda kita dulu?” 　　Ekspresi Nyonya Zhen berubah halus, akhirnya mengangguk perlahan. 　　Burung pagi dapat cacing, update pagi semoga dapat vote ya? 255. BAB 255: Niat Tersembunyi di Balik Pesta 　　BAB 255: Niat Tersembunyi di Balik Pesta 　　Agustus yang cerah berubah menjadi bulan kelam bagi sebagian besar anggota Keluarga Bo Dongping, terutama Tuan Jiang Kedua dan istrinya. 　　Anak lelaki yang sudah pasti lolos ujian provinsi (juren) tiba-tiba gagal, sudah cukup menyedihkan. Ingin membangun reputasinya, tak disangka juara pertama ujian (jieyuan) baru justru menampar muka mereka tanpa ampun, sampai membuat wajah mereka bengkak. 　　Xiao Shi pertama kali menyiratkan ketidakpuasan pada Tuan Jiang Kedua: "Seandainya dulu tidak menyebarkan jawaban ujian Cang'er, mungkin dia tidak akan jadi sorotan..." 　　"Kau tidak mengerti apa-apa, ini cuma kebetulan!" Tuan Jiang Kedua yang sudah kesal semakin marah mendengar perkataan Xiao Shi. 　　Ia tidak merasa salah memanfaatkan momentum untuk mempromosikan nama anaknya, hanya saja keberuntungan mereka sangat buruk, benar-benar sial. 　　Siapa sangka dalam Jamuan Luming ada orang iseng yang membandingkan Cang'er untuk merendahkan jieyuan baru? Dan siapa sangka si jieyuan baru ini bahkan tak tahan mendengar sindiran, langsung menulis jawabannya dan melemparkannya ke muka si penantang, sekaligus menampar keras keluarga Dongping Bo. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua menjadi hitam legam saat memikirkan ini, apalagi sikap Kaisar Jingming yang terkesan melindungi Zhen Shicheng membuatnya harus menelan ludah sendiri. 　　Dari jabatan, dia lebih rendah. Dari perhatian kaisar, dia kalah. Apa boleh buat selain mengalah? 　　Lagipula masalah ini memang tak bisa dituntut, semakin dibahas semakin jadi bahan tertawaan. Sekarang dia hanya berharap isu ini cepat mereda. 　　Xiao Shi tampak cemas: "Suami beliau, bagaimana jika Cang'er tahu kejadian di luar?" 　　Meski kondisi fisik Jiang Cang kini sudah pulih, secara mental dia mengalami pukulan hebat. Beberapa hari ini dia tampak murung dan jarang melangkah keluar dari pintu halaman, sehingga tidak mengetahui kabar angin di luar bahwa dia dianggap punya bakat menjadi Juara Ujian Provinsi. Tentu saja dia juga tidak tahu tentang insiden memalukan kemudian ketika dia dikalahkan oleh Juara Ujian baru. 　　Xiao Shi sama sekali tidak berani membayangkan bagaimana reaksi anaknya jika mengetahui semua ini. 　　Dalam hati, dia kembali menyalahkan Tuan Jiang Kedua yang dianggapnya terlalu ikut campur, namun melihat raut wajah suaminya yang muram, dia tidak berani mengungkitnya lagi. 　　"Nanti kita beri tahu Cang'er setelah beberapa waktu berlalu." Tuan Jiang Kedua menghela napas sambil memikirkan putra sulungnya. 　　Padahal jelas-jelas dia yang paling menonjol dan seharusnya bisa menjadi terkenal dalam Ujian Provinsi kali ini, sayangnya nasib malang membuatnya berakhir seperti ini. 　　Mengingat banyak kerabat, teman, bahkan rekan kerja yang sudah memberi selamat padanya sebelum Ujian Musim Gugur, Tuan Jiang Kedua ingin sekali menyembunyikan wajahnya karena malu. 　　Wajah Xiao Shi bahkan lebih bengkak daripada suaminya. Beberapa hari sebelumnya dia masih menyindir Jiang Zhan sebagai "lumpur busuk yang tak bisa dibentuk", eh ternyata Jiang Zhan malah jadi Pengawal Kekaisaran, sementara putra sulungnya yang diandalkan justru mengundurkan diri dari ujian. 　　"Suamiku, bagaimana kalau suatu hari nanti aku pergi berziarah ke Kuil Baiyun? Sepertinya akhir-akhir ini sering dapat kesialan." 　　Kuil Baiyun adalah salah satu kuil besar terkenal di ibu kota, terletak di luar kota dengan persembahan dupa yang sangat ramai. 　　Tuan Jiang Kedua sebagai cendekiawan tidak terlalu percaya pada dewa-dewa, tapi seringkali lebih baik percaya daripada tidak. Dia tidak melarang istrinya yang ingin bersembahyang di kuil, lalu berkata: "Pergilah, tambahkan lebih banyak Minyak lampu Buddha." 　　Pasangan suami istri yang sedang dilanda kegelisahan hanya bertukar beberapa kata hambar, lalu seorang dayang datang melapor: "Tuan, Nyonya, Tuan Besar menyuruh menyampaikan bahwa beliau menerima kartu kunjungan dari keluarga Zhen." 　　"Keluarga Zhen?" Xiao Shi tertegun, segera menoleh ke Tuan Jiang Kedua. 　　Tuan Jiang Kedua segera tersadar, bertanya pada dayang: "Apakah maksudnya keluarga Zhen Shuntianfu Yin?" 　　Dayang menjawab: "Tuan Besar tidak menyebutkan detail, hanya mengatakan Tuan Zhen akan datang bersama putranya dan menanyakan apakah Tuan punya waktu untuk menemui." 　　"Mengerti." Tuan Jiang Kedua melambaikan tangan menyuruh dayang pergi. 　　"Suamiku, apa maksud Zhen Shicheng datang membawa anaknya ke rumah kita?" 　　Tuan Jiang Kedua teringat perlakuan dingin yang diterimanya saat berkunjung ke Zhen Shicheng sebelumnya. Kini sang pejabat justru mengundangnya secara khusus. Tiba-tiba ia tersadar: "Mungkin terkait acara Jamuan Luming." 　　Wajah Xiao Shi berubah marah: "Apa mereka masih ingin menuntut sampai ke rumah kita?" 　　Tuan Jiang Kedua melotot ke arah istrinya: "Menuntut apa? Kau pikir pejabat tinggi berpangkat Sanpin sempat mengurus hal remeh seperti perempuan?" 　　"Tapi kau tidak punya hubungan dengannya. Untuk apa dia datang membawa anaknya sekarang?" 　　Tuan Jiang Kedua tiba-tiba mendapat ide. 　　Ini mungkin kesempatan emas untuk membangun hubungan dengan Zhen Shicheng. Soal anaknya yang dipermalukan anak Zhen, itu cuma masalah antar anak muda. Mana bisa dibandingkan dengan pentingnya jaringan di dunia birokrasi? 　　"Siapkan pakaian resmi untuk tamu." Tuan Jiang Kedua mulai menanti-nanti kedatangan Zhen Shicheng dan putranya. 　　Tak lama setelah mengirimkan kartu kunjungan, Zhen Shicheng menerima balasan dan segera membawa Zhen Heng mengunjungi Dongping Bo Residence. 　　Berjalan kembali di jalan batu hijau Dongping Bo Residence, Zhen Heng merasa agak berdebar-debar. 　　Bisakah dia bertemu dengannya dengan lancar? 　　Namun dalam situasi seperti ini, meski dia adalah Jieyuan Lang yang sangat berbakat, harapannya untuk bertemu sang pujaan hati hanya bisa digantungkan pada Ayah Paduka. 　　Sayangnya, Zhen Shicheng seolah tak menyadari kegelisahan Zhen Heng, bahkan tak memberinya satu pun pandangan. 　　Hati pemuda itu semakin gundah. 　　Ceroboh! Tadi terlalu bersemangat sampai lupa bertanya pada Ayah bagaimana cara bertemu nona itu. 　　Sambil mendengar percakapan santun antara Zhen Shicheng dengan saudara Jiang Ancheng, pikiran Zhen Heng masih melayang-layang, hingga topik pembicaraan beralih padanya. 　　"Saudara Jiang, Jiang Shaoqing, ini putra hamba. Hari ini hamba membawanya untuk meminta maaf. Anak kurang ajar ini masih muda dan sembrono, setelah minum sedikit alkohol langsung bicara ngawur, telah merepotkan kediamanmu..." 　　Tuan Jiang Kedua menyela: "Perkataan Paduka membuat hamba malu. Putra hamba memang tak bisa dibandingkan dengan Putramu, siapa sangka kabar angin di luar begitu sembarangan." 　　Zhen Shicheng melirik cepat ke arah Zhen Heng. 　　Zhen Heng segera maju selangkah dan membungkuk hormat dalam-dalam kepada Tuan Jiang Kedua: "Hamba masih belum paham tata krama, mohon Tuan jangan tersinggung." 　　Tuan Jiang Kedua segera membantu Zhen Heng berdiri: "Jieyuan Lang sungguh tampan dan berbakat, Lebih hebat dari guru!" 　　"Dunia mengagungkan warisan, menurut Tuan Jiang Kedua, memuji anak yang lebih sukses dari ayahnya pasti tidak salah." 　　Zhen Shicheng mendengar namun diam-diam menggelengkan kepala. 　　Orang yang teliti seperti dia paling tidak suka berlebihan dalam berbicara. 　　Apa arti 'Biru berasal dari indigo tapi lebih biru'? Dulu saat belajar, dia bahkan tak mau menyalakan lampu minyak di malam hari. Berjuang sendirian di dunia birokrasi hingga mencapai posisi sekarang. Anaknya punya kondisi awal yang jauh lebih baik - kalau ujiannya jelek, pantas dihukum mati. 　　Tuan Jiang Kedua tak sadar pujiannya meleset, terus memuji Zhen Heng tanpa henti. 　　Zhen Heng menjawab rendah hati: "Anda terlalu memuji. Masih banyak kekurangan. Hari ini saya datang bersama ayah untuk meminta maaf pada Tuan Pertama Jiang. Apakah boleh?" 　　"Uh... Putra hamba sedang sakit sejak hari ujian, masih istirahat. Xieyuan Lang sebenarnya tidak bersalah. Jangan dipikirkan lagi." Tuan Jiang Kedua menolak halus. 　　Biasanya Tuan Jiang Kedua pasti senang putra sulungnya berteman dengan sejawat seperti Zhen Heng. Tapi kini terpaksa menolak. 　　Sayangnya, putra sulungnya sudah trauma. Jika melihat Xieyuan baru malah tambah tertekan, itu benar-benar kerugian besar. 　　Zhen Heng membungkuk lagi: "Kalau begitu, mohon sampaikan permintaan maaf saya." 　　Di samping, Jiang Ancheng diam-diam mengamati Zhen Heng sambil berpikir: Ini anak yang dulu Bang Zhen ingin jodohkan dengan putriku. Kelihatannya cukup baik. 　　Terima kasih untuk Hadiah Koin Qidian dari 、azi、xxy_zh、、mcj221、、、iampetty, serta teman-teman pembaca yang telah memberikan vote. Sampai jumpa besok. 256.BAB 256 Penolakan Halus 　　BAB 256 Penolakan Halus 　　Zhen Heng memang seorang pemuda yang sangat menonjol. Selain gelar Jie Yuan Lang dan latar belakang keluarga terhormatnya, sikapnya yang tenang dan rendah hati saat meminta maaf tanpa terlihat canggung namun tetap tulus, cukup untuk menarik simpati orang. 　　Jiang Ancheng membandingkan anaknya yang gelisah seperti monyet dengan anak Zhen yang anggun seperti pohon anggrek dan jade, dalam hati menghela napas: Rupanya dulu pujian Kakak Zhen saat menegur anakku hanyalah basa-basi. 　　Zhen Shicheng diam-diam mengamati ekspresi Jiang Ancheng, dengan bangga mengibaskan kumisnya. 　　Meski agak hipokrit, anakku tetap bisa dibanggakan. 　　Setelah meminta maaf, Zhen Shicheng merasa tugasnya selesai, mulai bercengkerama dengan Jiang Ancheng. 　　Zhen Heng berdiri di samping ayahnya, mendengarkan dengan patuh. 　　Tuan Jiang Kedua merasa agak tersisih dari percakapan. 　　Ini wajar baginya, mustahil bisa akrab dengan orang yang begitu cocok berbicara dengan kakaknya. 　　Tapi ini tidak menghalanginya untuk memaksakan diri terus berbicara, sementara Zhen Shicheng jelas tidak ingin mengucilkannya mengingat anaknya baru saja mempermalukan anak orang. 　　Tuan Jiang Kedua menghela napas perlahan. 　　Terlepas dari cocok atau tidaknya berdiskusi, bisa berkumpul dan berbincang sudah merupakan kemajuan. Pertemuan pertama terasa asing, pertemuan kedua sudah akrab. Di dunia birokrasi bukan mencari teman, memiliki hubungan formal yang cukup untuk bisa menghubungi saat ada masalah sudah lebih dari cukup. 　　Setelah duduk sebentar lagi, seorang pelayan pria masuk dan berbisik di telinga Tuan Jiang Kedua. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua berubah, ia berdiri dan memberi hormat kepada Zhen Shicheng: "Tuan Zhen, tiba-tiba ada urusan mendesak yang harus hamba tinggalkan, sungguh memalukan." 　　Zhen Shicheng bangkit sambil tersenyum: "Tuan Jiang Shaoqing silakan urus pekerjaanmu, urusan resmi lebih penting." 　　Dengan kepergian tergesa Tuan Jiang Kedua, suasana di ruang pertemuan tiba-tiba menjadi lebih santai. 　　Setelah mengobrol sebentar, Zhen Shicheng menunjuk Zhen Heng: "Hari ini hamba membawa putra hamba ini selain untuk meminta maaf kepada Tuan Pertama Jiang, juga ingin memperkenalkannya kepada Saudara Jiang, agar kelak jika bertemu di jalan tidak saling tak mengenal, itu akan menjadi ketidakhormatan kepada Saudara." 　　Jiang Ancheng langsung merasa tersanjung. 　　Tak disangka Bang Zhen begitu menghargainya, membawa generasi muda untuk menemui ini menunjukkan maksud untuk membangun hubungan persahabatan jangka panjang. 　　Zhen Heng segera memberi hormat dalam-dalam kepada Jiang Ancheng: "Keponakan memberi salam kepada Paman." 　　Dalam hati ia tak bisa menahan diri untuk mengagumi kecerdikan Ayah Paduka. 　　Karena kedua keluarga berniat menjalin hubungan baik jangka panjang, maka memperkenalkan generasi muda dari kedua pihak adalah hal yang sangat wajar. Seperti Kediaman Yongchang Bo di sebelah Kediaman Dongping Bo, karena sudah bertetangga sejak zaman kakek-nenek, kedua keluarga sangat akrab, anak-anak muda pun tidak perlu terlalu menghindar. 　　“Ternyata benar,” ucap Jiang Ancheng, “Sayangnya putra hamba hari ini bertugas, jadi tidak bisa mempersembahkan salam kepada Saudara Zhen dan keponakan.” 　　“Oh, di mana keponakan bertugas?” tanya Zhen Shicheng sambil lalu. 　　Jiang Ancheng yang biasanya tidak sombong, kali ini terlihat agak bangga: “Putra hamba masuk ke Pasukan Jinwu untuk mencari nafkah.” 　　Zhen Shicheng tersenyum tipis: “Keponakan mendapat tempat yang bagus, selamat ya Saudara.” 　　“Ah, jauh kalah dengan putra Saudara.” 　　Setelah saling memuji, Zhen Shicheng menghela napas: “Awalnya ingin memperkenalkan anak-anak kita, tampaknya harus ditunda.” 　　“Nanti saat putra hamba libur, hamba akan bawa dia mengunjungi Saudara Zhen.” Tiba-tiba Jiang Ancheng teringat sesuatu, “Lupa, putri hamba juga harus menghadap Saudara Zhen dan keponakan.” 　　Mendengar perintah Jiang Ancheng ke pelayan untuk memanggil Nona Keempat, Zhen Heng hampir ingin memeluk ayahnya. 　　Ternyata jahe tua lebih pedas. 　　Zhen Shicheng melirik putranya dengan halus, ujung bibirnya naik. 　　Nak, Ayah hanya bisa membantumu sampai sini. Jika gadis itu masih tidak tertarik, pergilah ke tempat yang sejuk. 　　Kedua ayah-anak ini berkomunikasi dengan tatapan. Tak lama kemudian langkah kaki terdengar di luar pintu, seorang gadis anggun masuk. 　　Dengan cepat memindai ruangan, Jiang Si memberi hormat: “Ayah, Paman Zhen Shicheng.” 　　Mendengar ayah memanggilnya untuk menemui Zhen Shicheng, hati Jiang Si agak enggan. 　　Meski kasus pembakaran kapal hias di Sungai Jinshui berakhir sebagai kasus tak terpecahkan, tetapi karena dialah pelaku sebenarnya, tentu dalam waktu dekat tidak ingin berurusan dengan Zhen Shicheng yang ahli menyelidiki kasus. 　　Namun Jiang Si paham semakin demikian semakin tak boleh bertingkah aneh, maka setelah berganti pakaian tamu, ia datang dengan sikap wajar. 　　Setelah memberi salam kepada Jiang Ancheng dan Zhen Shicheng, pandangan Jiang Si secara alami tertuju pada Zhen Heng. 　　Tangan Zhen Heng yang disembunyikan di belakang punggung menggenggam kencang karena gugup, namun raut wajahnya tetap tenang sambil mengangguk sopan pada Jiang Si. 　　Zhen Shicheng tertawa lebar: "Nona Keempat, ini putra hamba, mungkin 1-2 tahun lebih tua darimu. Kau boleh memanggilnya Shixiong Zhen." 　　Melihat pelayan pria yang sebelumnya mendampingi Zhen Shicheng kini muncul sebagai putra di rumahnya, Jiang Si mulai memahami sesuatu. 　　Pertemuan pertama adalah kebetulan murni. Kedua kalinya seorang tuan muda menyamar sebagai pelayan dan datang ke rumahnya sudah bukan kebetulan lagi, apalagi kali ini. Sulit baginya meyakinkan diri bahwa tak ada maksud lain. 　　Terlebih lagi, belum lama ini ayah pernah menyebut bahwa Tuan Zhen bermaksud meminang putri sulungnya untuk dinikahkan. 　　Dengan demikian, yang sebenarnya ingin meminangnya mungkin adalah—— 　　Wajah Jiang Si agak memerah, namun sikapnya semakin tenang. Ia memberi hormat pada Zhen Heng: "Senang bertemu Shixiong Zhen." 　　Menurut Jiang Si, semakin memahami maksud pihak lain, semakin tak boleh menunjukkan sikap canggung agar tidak disalahpahami. 　　“Detak jantung Zhen Heng berdegup kencang saat memandang gadis yang bersikap santun namun matanya dingin. Tiba-tiba rasa kecewa menyelinap di hatinya.” 　　“Dia jelas tahu bahwa dirinya pernah menyamar sebagai pelayan pria sebelumnya, tapi mengapa ekspresinya tetap datar dan tenang? Apa artinya ini?” 　　“Sebijak Zhen Heng, sebenarnya dia sudah menangkap jawaban samar, tapi tetap ada secarik ketidakrelaan di hatinya.” 　　“Dia menyunggingkan senyuman jernih bagai bulan purnama: "Saudari Jiang terlalu sungkan." Setelah berkata demikian, dia mundur ke samping Zhen Shicheng dengan sikap patuh.” 　　“Zhen Shicheng memandang Jiang Si sambil tersenyum: "Nona Keempat tentu sudah dengar kasus pembakaran kapal hias di Sungai Jinshui belum lama ini?"” 　　“Jantung Jiang Si berdebar, tapi raut wajahnya tetap tenang: "Kakak Kedua saya adalah salah satu korban yang jatuh ke air, tentu saya mendengarnya."” 　　“Sayang tanpa bantuan Nona Keempat, mungkin kasus ini tidak akan menjadi kasus tak terpecahkan."” 　　“Zhen Heng mengangkat alisnya dengan terkejut.” 　　“Dia selalu tahu ayahnya sangat mengagumi Nona Jiang, tapi tak menyangka sampai sejauh ini.” 　　“Dengan partisipasi Nona Jiang kasus bisa terpecahkan? Sekalipun hanya canda, tersebarnya kabar ini sudah cukup mencengangkan.” 　　“Zhen Heng tak kuasa menatap Jiang Si.” 　　“Di bawah alis indahnya yang seperti kabut, terpancar sepasang mata jernih nan bersemangat. Mendengar ucapan Zhen Shicheng, sorot matanya tetap tenang: "Paman Zhen Shicheng jangan mengolok-olok saya. Kasus yang bahkan Paman tak bisa pecahkan, siapa lagi yang mampu?"” 　　Zhen Shicheng menggelengkan kepala: "Wanita memiliki kepekaan dan kemampuan observasi unik, sayangnya tidak mendapat kesempatan untuk terlibat. Contohnya, dulu saya pernah memecahkan kasus misterius dengan alur yang sangat rumit, pelakunya justru seorang wanita." 　　Jiang Si tersenyum manis: "Jika semua orang berpikir seperti Paman Zhen Shicheng, pasti kami para wanita akan lebih leluasa." 　　Kalau masih mengganggu saya terus, saya akan membunuh saksi! 257.BAB 257: Mengirim Orang untuk Mengawasi 　　BAB 257: Mengirim Orang untuk Mengawasi 　　Dalam perjalanan pulang, Zhen Heng terlihat agak diam. 　　Zhen Shicheng tak tahan melihatnya, melirik anaknya: "Kita belum membicarakan lagi lamaranmu ke Dongping Bo, untuk apa kau murung begitu?" 　　Zhen Heng menyeringai pahit: "Ayah, urusan lamaran ini sebaiknya ditunda dulu." 　　"Hmm?" 　　"Tunggu sebentar." Zhen Heng menunduk, pandangannya tertumbuk pada gulungan buku di sudut kereta, lalu mengambilnya sambil berbisik, "Tunggu sebentar lagi." 　　Hampir bisa dipastikan, jika melamar sekarang pasti akan ditolak. 　　Jika ayah masih bisa memaklumi, tapi setelah ditolak dua kali berturut-turut, ibu pasti tidak akan menyetujui lagi. 　　Ini kesempatan terakhirnya, dia tidak berani mengambil risiko. 　　Di Keluarga Kedua Dongping Bo Residence, suasana sedang kacau balau. 　　Tuan Jiang Kedua membawa tongkat mengejar Putra Ketiga Jiang Yuan keliling halaman. 　　"Anak kurang ajar, berhenti kau!" 　　“Bapak tidak memukul saya, saya baru akan berhenti.” Jiang Yuan benar-benar berbeda dengan kakak sulungnya Jiang Cang. Di usia 14 tahun yang sedang labil, sambil menawar-nawar dengan ayahnya, dia berlarian sambil menutupi kepala. 　　Tuan Jiang Kedua ini benar-benar murka. 　　Dia dan Xiao Shi sudah berusaha mencegah segalanya, tapi tak menyangka putra bungsu mereka malah memberitahu desas-desus luar ke telinga putra sulung. Akibatnya, Jiang Cang yang baru sembuh langsung pingsan saat mendengarnya. Setelah siuman, wajahnya kosong tak bereaksi saat dipanggil. 　　Semakin dipikir, Tuan Jiang Kedua semakin geram. Tongkat di tangannya terlempar dan menghantam punggung Jiang Yuan. 　　Jiang Yuan terhuyung-huyung lalu menjerit kesakitan sambil berlari keluar halaman. 　　Tuan Jiang Kedua mengejar sampai pintu gerbang, wajahnya pucat sambil terengah-engah. 　　Para pelayan di halaman diam membeku. Baru setelah Tuan Jiang Kedua pergi, mereka berbisik-bisik. 　　"Baru Tuan Kedua mulai menunjukkan prestasi, kok Tuan Ketiga malah jadi seperti Tuan Kedua dulu ya?" 　　"Apa sih, Tuan Ketiga memang selalu begini. Cuma dulu ada yang lebih parah menutupinya." 　　"Berani-beraninya kalian menggosipkan urusan majikan! Cepat kembali bekerja!" 　　Kabar bahwa Tuan Ketiga Jiang Yuan membuat Tuan Pertama Jiang Cang pingsan karena mulutnya sembarangan sampai ke telinga Jiang Si. Tapi hati Jiang Si sama sekali tak tergoyah. 　　Kakak sepupunya yang pandai belajar dan berperangai baik itu, di kehidupan sebelumnya setelah menjadi Putra Mahkota Dongping Bo, justru sangat kejam pada ayahnya. 　　"Nona Keempat hendak keluar?" Pelayan pintu menyapa Jiang Si dengan ramah. 　　“Nona Keempat mendapat giok Ruyi yang dihadiahkan kaisar, Tuan Kedua diangkat menjadi penjaga Jinwu, kabarnya pejabat tinggi berpangkat Sanpin juga menjalin hubungan baik dengan Tuan Besar. Seluruh rumah keluarga tahu Keluarga Utua akhirnya bisa mengangkat kepala, sehingga sikap mereka terhadap majikan Keluarga Utua pun berubah.” 　　Jiang Si menangkap perubahan ini, namun sikapnya terhadap para pelayan tetap sama seperti dulu. Dengan anggukan halus, ia melangkah keluar pintu. 　　Kali ini ia keluar untuk menemui A Fei. 　　Beberapa bulan lalu, Jiang Si membuka toko kosmetik yang dikelola oleh Xiuniangsi si Ratu Tahu. Awalnya tidak berharap mendapat untung, hanya ingin punya basis operasi yang andal. Ternyata berkat wewangian dengan aroma istimewa, toko itu malah menghasilkan banyak tael perak. 　　Jiang Si tidak terlalu memprioritaskan uang. Melihat toko kosmetik mulai menguntungkan, tanpa ragu ia menyisihkan sejumlah dana untuk A Fei agar memperkuat jaringan. 　　Preman kecil seperti A Fei biasanya bergaul dengan kalangan pinggiran. Meski terlihat remeh, orang-orang seperti ini seringkali bisa sangat berguna di saat genting. 　　Jiang Si tiba di tempat sewaan, A Fei sudah menunggu di sana. 　　“Nona.” Melihat Jiang Si, A Fei tetap tidak berani menatap lama, namun hatinya berdesir. 　　Enam bulan lalu, ia masih pemabuk yang dijauhi orang. Dirinya sendiri pun tak pernah memikirkan masa depan, hidup seadanya tanpa tujuan. 　　Sekarang? Ya, ia tetap preman, tapi tak perlu lagi merampok untuk mengisi perut. Kini hidupnya diisi pesta minum dan makan enak bersama teman-teman. 　　Di pagi yang tak terhitung jumlahnya saat melompat dari tempat tidur, A Fei selalu ingin berteriak: Aku terlalu pintar, bertaruh benar, ikut Nona Jiang memang pasti dapat keuntungan! 　　Jiang Si menoleh memandang Ah Man: "Ah Man, pergilah jaga di luar." 　　Ah Man mengangguk dan bergegas keluar, hatinya berdebar-debar: Nona akan membuat kejutan lagi! 　　Melihat situasi ini, A Fei juga menunjukkan ekspresi serius, bersiap mendengarkan: "Ada perintah apa, Nona?" 　　"Bagaimana jaringan hubunganmu?" Jiang Si langsung menanyakan intinya. 　　Awalnya hubungan mereka bisa dibilang dipaksa, kemudian diikat dengan hadiah dan hukuman, hingga kini setelah A Fei menyelesaikan berbagai tugas andal, hubungan mereka semakin harmonis. 　　Bisa dikatakan, kepercayaan kedua pihak terbangun setahap demi setahap, didorong kepentingan bersama, dalam waktu singkat akan sangat kokoh. 　　A Fei menepuk dadanya: "Nona tenang saja, teman-temanku mungkin tak bisa urus hal besar, tapi untuk mengumpulkan informasi, mengintai, atau menyebarkan rumor semacam ini, mereka ahli, pasti tak ada bekasnya." 　　Jiang Si merenung sejenak: "Untuk hal ini butuh sedikit orang, tapi harus yang benar-benar bisa dipercaya. Berapa orang bisa kau kumpulkan?" 　　Mendengar tak butuh banyak orang, A Fei semakin yakin: "Kalau soal bisa menjaga rahasia dan terpercaya, ada tiga. Nona mau saudara-saudara kami melakukan apa?" 　　Tiga orang? Sepertinya cukup. 　　Jiang Si menjelaskan misi untuk A Fei: "Kalian harus mengawasi seseorang untukku." 　　"Siapa?" 　　“Putra dari keluarga Wakil Menteri Kanan Pengadilan Dali Zhu, Zhu Ziyu, menjabat sebagai Shujishi di Akademi Hanlin.” 　　A Fei nyaris terjatuh berlutut mendengarnya. 　　Dia sudah tahu Nona Jiang bukan gadis biasa. Coba dengar, baru buka mulut langsung minta dia awasi putra keluarga Wakil Menteri Pengadilan Dali. Yang penting bukan sembarang pemuda berandalan, melainkan Shujishi di Akademi Hanlin. 　　Ujian kekaisaran memiliki posisi sakral di hati rakyat Dinasti Zhou. Bahkan preman jalanan seperti A Fei pun tahu arti penting Shujishi. 　　Shujishi dipilih dari sarjana Jinshi baru, belajar tiga tahun di Akademi Hanlin dengan masa depan cerah. Ada aturan tak tertulis di birokrasi Zhou: Hanya Jinshi yang bisa masuk Hanlin, hanya lulusan Hanlin yang bisa masuk kabinet. 　　Karena itu, setiap Shujishi layak disebut pilar negara di masa depan. 　　Untuk apa Nona mau kami awasi seorang Shujishi? 　　Dalam pikiran A Fei, figur seperti Shujishi yang setiap hari tertib ke kantor pemerintahan memang tak ada yang perlu diawasi. 　　Jangan-jangan ini tunangan Nona? 　　Pandangan A Fei pada Jiang Si menjadi sedikit aneh. 　　Jiang Si berkata datar: "Dia adalah kakak ipar laki-laki sulung saya." 　　"Batuk-batuk." A Fei tersedak hebat. 　　Jiang Si melirik A Fei dengan heran. 　　A Fei segera kembali ke wajah serius: "Tak masalah, aspek khusus apa yang Nona ingin kami perhatikan?" 　　Mungkin dia menyimpan selir di belakang kakak sulung Nona? 　　“Tidak peduli aspek mana, selama dia tidak berada di rumah keluarga, kalian bergiliran mengawasinya.” 　　A Fei tampak kesulitan: “Tapi kita tidak bisa masuk ke Hanlinyuan.” 　　“Jagalah di luar pintu, mulai besok setiap tiga hari kau harus datang melapor padaku, detail apapun, aku ingin menguasai semua pergerakan Zhu Ziyu.” 　　Ditambah A Fei total empat orang, mengawasi Zhu Ziyu seharusnya cukup. 　　“Nona, sampai kapan harus diawasi?” 　　“Sampai musim dingin tiba.” 　　Terima kasih sudah membantu mencari kesalahan, sudah diperiksa sebelum upload, tapi sering tidak terlihat sendiri. Sampai jumpa besok. 258.BAB 258 Harum yang Tersembunyi 　　BAB 258 Harum yang Tersembunyi 　　Tentang kasus kakak tertua Jiang Yi yang diceraikan karena berhubungan gelap di kehidupan sebelumnya, Jiang Si sama sekali tidak percaya, tapi setelah uji coba saat ulang tahun nenek dari pihak ibu sebelumnya, tetap tidak ditemukan petunjuk. 　　Jiang Si berpikir keras, sementara belum bisa menjangkau internal Keluarga Zhu, yang bisa dilakukan sekarang hanyalah mengawasi Zhu Ziyu. 　　Sebagai suami kakak tertua, Zhu Ziyu adalah orang terdekat Jiang Yi. Apapun latar belakang kehidupan sebelumnya, kecil kemungkinan dia benar-benar tidak terlibat. Mengawasinya mungkin sia-sia, tapi lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. 　　Jiang Si merasa sedikit menyesal. 　　Kakak tertua yang diceraikan karena skandal pulang ke rumah orangtua, saat menjenguknya Jiang Si melihat sang kakak seperti kehilangan jiwa, tidak bisa ditanya apapun hanya terus bergumam "Aku tidak melakukannya", membuat siapa pun yang melihat merasa sedih. 　　Dia tidak berani lagi memprovokasi kakak tertua, berniat menunggu kakaknya lebih tenang sebelum menanyakan detailnya. Siapa sangka tak lama setelah kembali ke rumah keluarga, datang kabar kakak tertuanya bunuh diri dengan menggantung diri. 　　Seandainya di kehidupan sebelumnya memaksa kakak tertua bicara lebih banyak, mungkin sekarang tidak akan sepengetahuan ini tanpa petunjuk. 　　Tidak, tidak juga sepenuhnya tanpa petunjuk. 　　Jiang Si ingat di pertemuan terakhir mereka di kehidupan sebelumnya, dia mendengar satu kalimat dari mulut Jiang Yi. 　　Saat itu, setelah menghibur Jiang Yi dan hendak pergi, ketika sampai di pintu dan mengangkat tirai kapas tebal, angin membawa salju menyapu wajahnya, membuatnya gemetar tak tertahankan dan langkahnya terhenti sejenak. 　　Tepat di saat itu, dari dalam kamar terdengar jeritan samar: "Seharusnya tidak menyelamatkannya!" 　　Jeritan rendah itu terbang keluar dan langsung diterbangkan angin, sampai-sampai disangkanya salah dengar. 　　Hingga kini, terpisah oleh dua kehidupan, Jiang Si masih tidak yakin apakah kakaknya benar mengucapkan kalimat itu. Tapi dia tidak akan melewatkan satu petunjuk pun. 　　Jika benar ada kalimat itu, siapa yang diselamatkan kakaknya? Mengapa menyesal menyelamatkannya? Atau mungkin orang itu diselamatkan orang lain? 　　Serentetan pertanyaan ini membuat Jiang Si menyimpulkan: Dengan keyakinan bahwa Jiang Yi pasti tidak berselingkuh, kalimat itu mungkin menunjukkan akhir tragis kakaknya terkait penyelamatan seseorang. Maka orang inilah kunci memecahkan masalah Jiang Yi. 　　Sorot dingin berkilat di mata Jiang Si: Dia harus menemukan orang ini. 　　“Nona, hamba pergi dulu ya.” A Fei melihat Jiang Si termenung cukup lama, berhati-hati mengingatkan. 　　“Pergilah, ingat untuk melapor padaku setiap tiga hari sekali, baik ada kejadian aneh maupun tidak.” 　　A Fei yang cerdik segera menangkap keseriusan sikap Jiang Si, menepuk dada berkata: “Nona jangan khawatir.” 　　Setelah meninggalkan rumah sewaan, Jiang Si mengajak Ah Man mengunjungi toko kosmetik. 　　Toko kecil yang dinamai "Lushengxiang" secara spontan ini perlahan ramai dikunjungi, pintunya yang terbuka sering diliati wanita masuk keluar. 　　Lushengxiang dikelola oleh A Qiao, termasuk urusan kontak dengan Xiuniangzi dan pemeriksaan pembukuan. 　　Beberapa waktu lalu A Qiao mengeluh di hadapannya, meratap toko kosmetik baru ini terus merugi dihimpit dua toko tua, lebih baik dijual saja. 　　Jiang Si memiliki penciuman yang luar biasa, mampu menangkap perubahan aroma terkecil, memiliki keunggulan alami dalam meracik wewangian. Ia menulis resep wewangian untuk A Qiao yang segera populer. 　　Wewangian serupa dari Lushengxiang tercium lebih harum dan menyenangkan. 　　Variasi aroma halus memberikan pengalaman berbeda, membuat Lushengxiang langsung terkenal berkat wewangian unik ini. 　　Masuk ke dalam toko, Jiang Si tidak melepas tudung wajahnya, melainkan memandang sekeliling melalui tabir sutra tipis. 　　Toko kecil yang tertata rapi tanpa debu ini menata berbagai hadiah dengan teratur. Seorang wanita berbaju motif bunga biru mondar-mandir melayani pelanggan. 　　Untuk toko kosmetik sekecil ini, satu manajer dan satu pelawan sudah cukup. 　　Lush Sheng Xiang yang berkembang dari nol hingga ramai, seolah membawa Xiuniangzi yang turut menyaksikan semua ini pulih perlahan dari duka kehilangan putrinya. Senyum mulai kembali menghias wajahnya. 　　Tanpa mengganggu Xiuniangzi, Jiang Si pergi diam-ditemani Ah Man. Di benaknya muncul rencana: menciptakan dua varian wewangian baru untuk memperkuat keunggulan Lush Sheng Xiang, sehingga bisnis semakin berkembang. 　　Uang jelas menjadi pondasi penting. Kebutuhan Jiang Si akan dana sangat banyak, misalnya untuk merangkul banyak orang melalui A Fei - semua ini tentu butuh dana besar. 　　Tak berapa jauh dari Lush Sheng Xiang, Ah Man tiba-tiba menarik lengan Jiang Si: "Nona, lihat nyonya itu! Hamba rasa wajahnya tidak asing." 　　Langkah Jiang Si terhenti. Mengikuti arah telunjuk Ah Man, terlihat seorang wanita muda ditemani dayangnya berjalan menuju Lush Sheng Xiang. 　　Jiang Si terkejut bukan main. 　　Wanita berkonde pengantin ini ternyata Qiao Niang, sang kekasih hati Ji Chongyi. Eh, sekarang harus dipanggil Nyonya Ji San. 　　Berbeda dengan gadis anggun berpakaian sederhana yang dilihat di tepi Danau Moyou malam itu, Qiao Niang kini mengenakan gaun mewah dengan hiasan rambut berjuntai emas (buyao). Setiap langkahnya membuat permata pada buyao bergoyang lembut, terlihat sangat berbeda dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. 　　Yang mengejutkan Jiang Si, Qiao Niang yang berhasil menikah dengan keluarga terpandang justru terlihat kurang segar. 　　Jiang Si segera menarik pandangannya dan melewatinya. 　　"Apakah wewangian di sini benar-benar sebaik itu?" gumam Qiao Niang sambil menatap papan nama toko Luxiangsheng dengan keraguan. 　　Belakangan ini ia menyadari waktu Ji Chongyi pulang ke kamar tidak sebanyak dulu. Meski suaranya tetap lembut, ia mulai merasakan kegelisahan. 　　Saat bosan berjalan-jalan di taman, ia tak sengaja mendengar dayang-dayang memuji aroma wewangian yang dipakai nona pertama. Katanya dibeli dari toko kecil baru, diam-diam ia mencatat nama tokonya dan mencari kesempatan untuk membeli. 　　Mendengar keraguan Qiao Niang, Ah Man menyahut ramah: "Tentu bagus, Nyonya bisa mencobanya. Nona kami juga memakainya." 　　"Ah Man!" Jiang Si memperingatkan dengan suara rendah. 　　Sejak Pembatalan Pertunangan berjalan lancar, ia tak ingin lagi berurusan dengan keduanya. 　　Qiao Niang tertegun sejenak, kemudian tersenyum hangat menanggapi niat baik Ah Man sebelum menunduk dan memasuki toko. 　　Saat berjalan pulang, Jiang Si berkata dengan kesal, "Kau terlalu banyak bicara." 　　Ah Man menjulurkan lidahnya, "Dia berani meragukan kualitas wewangian toko kita. Lagipula, hamba benar-benar merasa Nyonya itu wajahnya familiar. Aneh, di mana ya hamba pernah melihatnya?" 　　Baru beberapa langkah, tiba-tiba Ah Man teringat sesuatu. Wajahnya langsung pucat, "N-nona, dia itu... dia itu--" 　　Ekspresi Jiang Si dingin, "Dia hanyalah pelanggan yang membeli wewangian di toko kita. Selain itu tidak ada hubungan apa-apa." 　　Ah Man mengedipkan mata dan diam. 　　Meski tak mengerti maksud nona, tapi melihat sikap nona yang acuh tak acuh, hamba merasa puas. 　　Setiba di rumah, Jiang Si mengambil kuas dan menulis surat untuk Jiang Yi. 259.BAB 259 Kuil Baiyun 　　BAB 259 Kuil Baiyun 　　Bulan kedelapan hampir berakhir. Tinggal dua bulan lagi sebelum peristiwa kehidupan sebelumnya terulang. Bagi Jiang Si, waktu ini sudah sangat mendesak. 　　Dalam suratnya, Jiang Si tidak menanyakan apakah Jiang Yi pernah menyelamatkan seseorang. Hal seperti ini lebih baik dibicarakan langsung. 　　Surat itu dikirim ke keluarga Zhu. Tak lama kemudian, balasan dari Jiang Yi tiba. 　　Setelah membaca surat, Jiang Si mengusap ujung matanya. 　　Tampaknya harus pergi lagi. 　　Dalam surat disebutkan Jiang Yi akan berziarah ke Kuil Baiyun di luar kota dua hari lagi, dan mengajaknya bertemu di sana. 　　Dibandingkan ke rumah Zhu, pertemuan saudari di Kuil Baiyun tentu lebih nyaman dan bebas. 　　"Jiang Si segera membalas pesan Jiang Yi dan menunggu dengan sabar kedatangan hari yang ditentukan." 　　"Tak terasa dua hari telah berlalu. Pagi-pagi sekali, Ah Man mengirim pesan ke bagian depan untuk mempersiapkan kereta, tak lama kemudian kembali dengan wajah kecewa melapor: 'Nona, kereta besar di kediamanan sudah dipakai Nyonya Kedua, kereta kecil dipakai Nyonya Ketiga dan Nona Ketiga, sekarang sudah tidak ada kereta tersisa.'" 　　"Jiang Si berpikir sejenak lalu berkata: 'Suruh Lao Qin menyewa kereta yang agak bersih saja.'" 　　"Lao Qin bekerja sangat bisa diandalkan. Tak lama kemudian ia berhasil menyewa kereta kuda yang membawa Jiang Si dan Ah menuju Kuil Baiyun di luar kota." 　　"Langit tinggi dan awan tipis. Setelah keluar kota, berkurangnya keramaian pejalan kaki membuat alam terasa semakin luas." 　　"Ah Man mengangkat tirai jendela kereta, membiarkan angin musim gugur yang sejuk menerpa pipinya sambil menikmati pemandangan di tepi jalan dengan gembira." 　　"'Nona, lihatlah ladang gandum itu, keemasan seperti tumpukan emas, terlihat lebih indah daripada bunga.'" 　　"Jiang Si yang sedang bersantai dengan mata terpejam di dalam kereta membuka matanya dan menjulurkan kepala untuk melihat keluar." 　　"Di tepi jalan terbentang hamparan ladang gandum tak berujung. Di musim panen ini, bulir-bulir emas bergerak mengikuti tiupan angin bagai ombak keemasan yang tak putus, menyatu dengan langit biru di cakrawala. Pemandangan ini membuat hati terasa lapang, sementara petani yang membungkuk mengayunkan sabit di antara ladang gandum terlihat semakin kecil." 　　Jiang Si seolah bisa mencium aroma harum gandum dan bau keringat para petani yang bekerja keras. 　　Pemandangan seperti ini sangat ia sukai. 　　"Nona, lihat kereta kuda di depan! Sepertinya itu kereta dari kediaman kita," teriak Ah Man sambil menunjuk kereta berkelambu hijau yang tak jauh di depan. 　　Setelah diperhatikan seksama, benar itu kereta besar milik Kediaman Dongping Bo. 　　"Nyonya Kedua ini mau ke mana ya? Jalurnya searah dengan kita," gumam Ah Man dengan bingung. 　　Jiang Si merenung sejenak lalu memerintahkan Lao Qin: "Percepat keretanya, kita harus sampai di Kuil Baiyun lebih awal." 　　Mengingat kesialan yang menimpa Keluarga Kedua belakangan ini, ditambah kemunculan kereta di depan, Jiang Si menduga Xiao Shi 90% sedang menuju Kuil Baiyun untuk berziarah. Jika Xiao Shi sampai bertemu kakaknya lebih dulu, pasti akan mengganggu pembicaraannya dengan sang kakak. Maka Jiang Si segera mengambil keputusan untuk mendahului. 　　Asalkan semua pertanyaan penting sudah ditanyakan pada kakaknya, gangguan Xiao Shi tak lagi jadi masalah. 　　Lao Qin mengibaskan cambuknya setelah mendengar perintah: "Nona, harap duduk dengan." 　　Cambuk menggelegar di udara sebelum mendarat di punggung kuda. Kereta segera melesat cepat, menyusul dan melampaui kereta yang ditumpangi Xiao Shi. 　　“Xiao Shi saat ini sedang menjulurkan kepala melihat pemandangan luar, sebuah kereta kuda yang tidak mencolok lewat di samping membawa debu, ia buru-buru menutup tirai jendela, perasaan sedikit lega tiba-tiba menjadi sangat burku.” 　　“Belakangan ini benar-benar banyak masalah, bahkan cuma melihat pemandangan luar saja harus menelan setumpuk debu, tak tahu makhluk tak pantas apa yang duduk di dalam kereta itu.” 　　“Lao Qin memacu kudanya sepanjang jalan, tak lama kemudian tiba di Kuil Baiyun.” 　　“Ah Man menoleh ke belakang, tersenyum manis: 'Lao Qin, kau memang jago mengendalikan kereta, kereta itu bahkan bayangannya sudah tak terlihat.'” 　　“Lao Qin bahkan tidak mengangkat kelopak matanya, berkata datar: 'Mengendalikan kereta bukan keahlianku.'” 　　“Lalu apa keahlianmu yang paling utama?” 　　“Lao Qin menghela napas.” 　　“Gadis kecil ini benar-benar pelupa, sudah kukatakan sebelumnya, dia ahli dalam membunuh.” 　　“'Ah Man, pergilah cari tahu apakah kereta Keluarga Zhu sudah sampai.'” 　　“Mendengar perintah Jiang Si, Ah Man segera menyimpan rasa ingin tahunya, berlari menemui biksu penerima tamu untuk mencari informasi, dan segera kembali dengan kabar bahwa Jiang Yi sudah datang.” 　　“Seperti Jiang Yi yang berasal dari keluarga bangsawan tinggi, datang ke Kuil Baiyun pasti akan memesan kamar tamu dan tinggal untuk makan siang.” 　　“Pada saat ini Jiang Yi tentu tidak akan tinggal di kamar tamu, Jiang Si membawa Ah Man langsung menuju Aula Utama, dan benar melihat siluet familiar berlutut di depan patung Buddha yang megah.” 　　“Yang mengejutkan Jiang Si adalah di samping Jiang Yi ada seseorang yang mengikuti, ternyata adalah kakak iparnya Zhu Ziyu.” 　　Saat itu, Jiang Yi berdiri, mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis pada Zhu Ziyu. 　　Jiang Si berdiri tak jauh, memandang pasangan serasi yang berdiri berdampingan dengan perasaan bingung. 　　Mungkin arah pemikirannya salah, apakah Kakak Ipar Zhu Ziyu memang tidak bermasalah? 　　Jiang Si perlahan mengalihkan pandangannya ke wajah Zhu Ziyu. 　　Zhu Ziyu hari ini mengenakan jubah panjang hijau, berwajah tampan, bertubuh tegap, setiap gerak-geriknya memancarkan aura intelektual. 　　Jujur saja, Zhu Ziyu adalah pria yang sangat mampu membuat wanita berdebar-debar. 　　Setelah kakak meninggal di kehidupan sebelumnya, apa yang terjadi pada Zhu Ziyu? 　　Jiang Si ingat jelas sebelum dia meninggalkan ibu kota, Zhu Ziyu belum menikah lagi. Tiga tahun kemudian saat kembali ke ibu kota, dia sengaja menyelidiki dan baru tahu Zhu Ziyu telah menikahi seorang nona dari keluarga biasa setahun sebelumnya. 　　Seolah merasakan tatapan Jiang Si, Zhu Ziyu menoleh dan bertemu pandangannya. Dia terkejut sejenak lalu tersenyum ramah: "Yi Niang, ini Adik Keempat." 　　Jiang Yi berbalik cepat, matanya bersinar kegirangan, bergegas menghampiri dan menggandeng tangan Jiang Si: "Adik Keempat, kau datang." 　　Jiang Si segera menyembunyikan berbagai pikiran dan tersenyum: "Tak kuduga Kakak ada di sini." 　　Ucapannya sengaja samar karena tak yakin apakah Jiang Yi telah memberitahu Zhu Ziyu tentang janji mereka. 　　Setelah saudari-saudari ini berbincang sebentar, Zhu Ziyu bijaksana berkata: "Kalian lanjutkan, aku akan jalan-jalan ke depan dulu." 　　Jiang Si menatap punggung Zhu Ziyu yang menjauh, untuk pertama kalinya merasa sulit memahami kedalaman seseorang. 　　Dari segi tata krama, Zhu Ziyu bisa disebut pria terhormat yang berbudi luhur. 　　Tapi satu hal yang pasti, melakukan sedikit usaha lebih baik daripada tidak sama sekali, meski sia-sia pun dia rela. 　　"Adik Keempat?" Jiang Yi tampak bingung. 　　Jiang Si menggandeng tangan Jiang Yi: "Kakak, mari kita jalan-jalan juga." 　　Jiang Yi menunjuk ke belakang: "Adik tidak mau sembahyang?" 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu berlutut di atas bantal sembahyang dan bersujud dengan tulus, berdoa dalam hati: Buddha Yang Maha Kuasa, lindungilah kakakku Jiang Yi agar selalu damai dan terbebas dari malapetaka. 　　Saat bangkit, Jiang Yi bercanda: "Adik minta apa tadi? Jangan-jangan jodoh?" 　　"Jangan sembarangan bicara." Jiang Si berpura-pura malu. 　　Jiang Yi yang berhati lembut tak tega melanjutkan candaan, lalu bertanya tentang keadaan Keluarga Bo. 　　Pepohonan tua di kuil memberikan teduh, udara mulai terasa sejuk, semakin ke belakang semakin sepi peziarah. 　　Jiang Si merasa waktu sudah tepat, lalu berpura-pura santai: "Andai tahu Kakak Ipar akan menemani, aku takkan ikut." 　　"Jangan ngawur." Pipi Jiang Yi memerah sambil mendorong Jiang Si, "Awalnya aku sendiri, kebetulan suamiku hari ini luang jadi menemani." 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya. Jangan lupa vote ya, sampai jumpa besok! 260. BAB 260 Guntur Musim Gugur 　　BAB 260 Guntur Musim Gugur 　　Kebetulan tidak ada urusan? 　　Jiang Si menyandar pada lengan Jiang Yi dan berjalan perlahan ke depan, matanya berkilat samar. 　　Mungkin ia terlalu sensitif, setiap mendengar kata seperti "kebetulan", selalu tak bisa menahan diri untuk berpikir lebih jauh. 　　"Hari ini sepertinya bukan hari libur pejabat." Jiang Si berkata santai. 　　Hari libur pejabat sudah terjadwal tetap. Hari ini Tuan Jiang Kedua pergi ke kantor, maka Zhu Ziyu yang bertugas di Akademi Hanlin seharusnya tidak libur. 　　Senyum Jiang Yi dipenuhi kehangatan yang tak tersembunyikan: "Adik Keempat tidak tahu, Akademi Hanlin memang santai. Kebetulan kakak iparmu sudah menyelesaikan tugasnya, mendengar aku akan berziarah ke Kuil Baiyun, dia minta izin pada atasannya untuk menemaniku." 　　"Kakak Ipar sungguh baik pada Kakak." 　　"Adik Keempat!" Jiang Yi tiba-tiba memerah wajahnya. 　　Ziarahnya kali ini bertujuan memohon keturunan. 　　Jiang Yi telah menikah ke Keluarga Zhu lebih dari empat tahun, hingga kini hanya memiliki seorang putri. Di zaman dimana keberadaan anak lelaki menjadi penentu kedudukan di keluarga suami, mustahil rasanya tidak merasa tertekan. 　　Yang membuatnya beruntung, meski sang mertua kerap bersungut-sungut, suaminya selalu membelanya. Bahkan hari ini khusus menemani berziarah. 　　Melihat pancaran kebahagiaan alami di mata Jiang Yi, Jiang Si tiba-tiba terdiam. 　　Ia bisa merasakan kebahagiaan tulus sang kakak, sementara dirinya mungkin akan menjadi orang yang menghancurkan semua ini. 　　Namun keraguan di kedalaman mata Jiang Si segera tergantikan oleh ketegasan. 　　Seandainya semua ini hanyalah ilusi, apa salahnya untuk menghancurkannya? Lebih baik daripada Kakak tertua menanggung aib seperti itu hingga menempuh jalan buntu. 　　Tiupan angin menerpa, membawa hawa sejuk dan aroma rumput segar. 　　Jiang Si menaikkan pandangannya ke langit. 　　Awan tipis di ufuk tak disadari telah bertumpuk, berlapis-lapis bagai gunung awan, perlahan berubah bentuk di langit biru. 　　Matahari Wuyang di musim ini tak lagi sepanas musim panas, sinarnya jernih dan segar, memberi kehangatan pada segala makhluk. 　　Tapi Jiang Si tahu hujan akan segera turun, mungkin hujan deras yang tiba-tiba. 　　Ia tidak buru-buru menyuruh Jiang Yi pulang, sambil mengalihkan percakapan ke orang-orang di sekitar kakaknya: "Kulihat dayang yang menemani Kakak berziarah hari ini tampak asing, kenapa tidak kulihat A Zhen?" 　　Jiang Yi memiliki dua dayang utama pengiring pernikahan, satu bernama A Zhen dan satu lagi A Zhu. Biasanya keduanya selalu menemani bepergian, tapi hari ini Jiang Si hanya melihat A Zhu, sedangkan A Zhen digantikan dayang asing. 　　Mendengar nama A Zhen disebut, wajah Jiang Yi berubah kaku: "A Zhen sedang sakit, jadi tidak kubawa." 　　Jiang Si berhenti melangkah, matanya tak berkedip memandangi Jiang Yi. 　　Jiang Yi semakin tidak nyaman: "Apa maksud Adik Keempat menatapku seperti ini?" 　　Jiang Si mengerutkan alisnya halus: "Selalu ada perasaan Kakak menyembunyikan sesuatu dariku." 　　"Jiang Yi mengetuk lembut dahi Jiang Si yang pucat. 'Kau ini, masih kecil sudah berpikir macam-macam? Baru satu dayang tidak ikut, terus bertanya kesana-kemari.'" 　　"Semakin Jiang Yi berkata begitu, semakin Jiang Si yakin ada masalah. Seketika ia menundukkan pandangan dan mengganti ekspresi menjadi lesu: 'Kakak selalu bilang aku masih kecil, padahal tahun depan usiaku 16 tahun. Aku ingat saat kakak 16 tahun sudah menikah ke keluarga Zhu.'" 　　"'Adik Keempat—' Jiang Yi tercekat." 　　Jiang Si terus bersikap memelas: "Aku yang baru 15 tahun bahkan sudah memutuskan pertunangan, pengalamanku lebih banyak dibanding Kakak saat seusia ini. Kakak selalu menganggapku anak kecil, orang lain pasti akan menertawakannya kalau tahu." 　　Jiang Yi tertegun sejenak, lalu dadanya dipenuhi rasa sedih. 　　Sebagai kakak, di matanya adik-adik yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu sejak kecil akan selamanya menjadi anak-anak. Tapi dunia nyata tak mengizinkan seseorang terus-menerus tak mau dewasa. 　　Mungkin ada beberapa hal yang bisa ia bicarakan dengan Adik Keempat, agar si adik tak terlalu polos dan kelak tak dirugikan. 　　Setelah memutuskan demikian, Jiang Yi tak lagi menyembunyikan urusan A Zhen. Dengan helaan napas ringan ia berkata: "A Zhen mulai memiliki pikiran yang tak pantas, Kakak Iparmu marah lalu mengirimnya ke bagian jahit-menjahit." 　　"Pikiran tak pantas? Maksud Kakak--" 　　Wajah Jiang Yi memerah, ia menahan rasa canggung: "Suatu malam saat Kakak Iparmu sedang belajar di ruang baca, dia mengantarkan sup manis..." 　　“Dia berani mengincar Kakak Ipar?” Ekspresi Jiang Si menunjukkan kemarahan, namun hatinya tetap tenang. 　　Mungkin karena sudah mengalami hal memuakkan dari pasangan Jiang Qian, seorang dayang yang ingin merebut majikan tidak lagi bisa membangkitkan banyak emosinya. 　　“Lalu saat itu Kakak Ipar——” 　　Jiang Si tersipu-sipu: “Kakak Ipar langsung marah saat itu, membawa Ah Zhen menghadapku untuk kuserahkan hukuman. Ah Zhen sudah berani berniat seperti itu, jelas tak bisa kubiarkan tetap di dekatku. Tapi mengingat dia sudah menemani sejak kecil, aku takmengusirnya begitu saja. Akhirnya kukirim dia ke bagian jahit-menjahit, biar tak perlu melihatnya lagi.” 　　“Lalu dayang yang ikut Kakak hari ini namanya apa? Apakah dia pengganti Ah Zhen?” 　　“Dayang yang ikutku hari ini bernama Aya, belum kunaikkan pangkatnya.” 　　Jiang Si menunjukkan rasa penasaran: “Aya kan dayang dari rumah keluarga Zhu, kok bisa menarik perhatian Kakak? Apa dia punya kelebihan khusus? Atau Kakak pernah membantunya sehingga merasa dia bisa dipercaya?” 　　Jiang Yi menggeleng sambil tersenyum getir: “Apa yang Adik Keempat bicarakan? Cuma dayang kecil yang kupilih secara acak karena terlihat rajin. Mana serumit itu?” 　　Jiang Si tertawa canggung: “Cuma iseng bertanya saja. Jarang bertemu Kakak, bahkan membahas apakah induk babi bisa memanjat pohon pun akan menyenangkan.” 　　"Awalnya kulihat ada wajah asing di dekat Kakak tertua, kukira itu celah. Ternyata aku hanya berprasangka." 　　Perkataan Jiang Si membuat Jiang Yi merasa sangat bersalah, segera menjawab: "Kalau Adik Keempat merindukanku, kunjungi saja Kediaman Keluarga Zhu kapan saja." 　　"Baiklah, kebetulan aku juga rindu Yan-yan. Nanti aku akan menjenguknya." 　　Jiang Yi tersenyum lembut: "Hari ini Yan-yan masih merajuk ingin ikut. Kuragin dia tak tahan hawa dingin pegunungan di vihara ini, akhirnya tak kuiizinkan. Si kecil itu marah cukup lama." 　　"Kakak." 　　"Hmm?" 　　Jiang Si memutuskan bertanya langsung: "Pernahkah Kakak menyelamatkan seseorang?" 　　Jiang Yi terlihat bingung: "Ada apa denganmu, Adik Keempat? Pertanyaanmu aneh-aneh saja." 　　"Kakak jawab saja ada atau tidak." 　　Jiang Yi memang sungguh menyayangi adik semata wayangnya. Meski merasa pertanyaannya mengawang, tetap menjawab: "Kakak setiap hari di rumah, mana mungkin seperti di naskah opera bisa jadi pahlawan? Adik, kenapa tanya ini?" 　　Jiang Si mengeluarkan alasan yang sudah disiapkan: "Aku baru saja bermimpi aneh. Mimpi Kakak menyelamatkan ular beku di musim dingin, tapi setelah hangat ular itu menggigit Kakak dengan ganas... itu ular berbisa..." 　　Wajah Jiang Si berubah pucat, menggenggam tangan kakaknya kuat-kuat: "Kakak, mimpi ini benar-benar membuatku takut." 　　Jiang Yi tersenyum sambil memeluk Jiang Si, menghibur: "Memang masih si gadis kecil, satu mimpi saja sudah membuatmu overthinking." 　　Tiba-tiba, suara gemuruh mengguncang langit. 　　Di musim gugur, petir menyambar. 　　Bagian Pertama. 261.BAB 261 Menghindar 　　BAB 261 Menghindar 　　Petir di musim gugur, menurut kepercayaan orang Dinasti Zhou adalah pertanda buruk. 　　Pepatah mengatakan: Petir musim gugur, pencuri merajalela. Petir di musim gugur sering menandakan bencana besar di tahun berikutnya. 　　Wajah Jiang Yi berubah pucat, matanya menatap langit yang mulai berubah. 　　Angin segera menerpa pepohonan hingga bergoyang hebat. 　　Dua dayang yang disuruh menunggu di kejauhan oleh kedua saudari ini berlarian mendekat - satu Ah Man, satunya lagi Aya. Sedangkan dayang Jiang Yi yang bernama A Zhu sebelumnya tidak ikut karena sedang membereskan kamar tamu. 　　"No-Nona, sepertinya akan hujan," Ah Man yang lebih cepat larinya sudah sampai di dekat Jiang Si. 　　Jiang Si menunjuk puncak paviliun yang menyembul dari balik rimbun pepohonan: "Aku dan Kakak akan berteduh di paviliun sana. Kau kembalilah ambil payung." 　　Melihat hujan akan segera turun, Jiang Si tak berani membiarkan Jiang Si yang fisiknya lemah kehujanan. Ia menyuruh Ah Man ambil payung karena durasi hujan sulit diprediksi. Jangan-jangan mereka harus terjebak di paviliun terlalu lama. 　　Ah Man langsung menjawab "Siap!" dengan lantang. 　　“Suruh A Ya kembali, A Zhu sudah membawa alat pelindung hujan dan menaruhnya di kamar tamu. Tempat ini lebih dekat dengan kamar tamu.” 　　Jiang Si melirik dayang bernama A Ya. 　　Dayang kecil itu tampak baru berusia 14-15 tahun, bermuka manis dengan ekspresi tenang, terlihat lebih dewasa dari teman sebayanya. 　　Mengingat A Zhen yang digantikan, Jiang Si belum sepenuhnya percaya pada A Ya. Ia berkata, “Biarkan mereka pergi bersama, ada temannya.” 　　Jiang Yi ragu sebentar lalu mengiyakan. 　　Tanpa sadar, kedua saudari ini telah berjalan ke area terpencil. Siang hari di kuil sebenarnya tak masalah, tapi melihat hujan deras dan petir akan segera turun, rasanya tak tega membiarkan dayang kecil pulang sendirian. 　　“Cepat pergi dan kembali.” Jiang Si mengingatkan. 　　“Nona jangan khawatir.” Ah Man menarik lengan A Ya, “Cepat, nanti kehujanan!” 　　Melihat dua dayang kecil itu berlari menjauh, Jiang Si menggandeng tangan Jiang Yi menuju paviliun. 　　Paviliun segi enam itu sangat kecil, tersembunyi di balik pepohonan tinggi. Begitu mereka masuk, hujan deras seperti kacang kedelai mulai turun. 　　Di luar paviliun angin bertiup kencang mengoyak dahan pohon, dedaunan beterbangan diterbangkan angin lalu dihempas ke tanah oleh hujan. 　　Enam tirai hujan segera menggantung di enam sisi paviliun. 　　“Hujan ini sangat deras.” Jiang Yi bergumam sambil menatap tirai hujan yang lebat. 　　Saat ini suami sedang berada di luar, entah sudah menemukan tempat berteduh yang layak atau belum? 　　Dingin menggigit menyusup ke dalam paviliun dari segala arah bersama angin dan hujan, membuat kulit yang terbuka merinding. 　　“Adik Keempat, dinginkah?” Jiang Yi menggenggam tangan Jiang Si, merasakan telapak tangan gadis itu yang lembut terasa dingin. 　　Jiang Yi langsung khawatir, hendak berbicara tiba-tiba ditutup mulutnya oleh Jiang Si. 　　“Kakak, ada orang datang.” Begitu kata Jiang Si, langsung menarik kakaknya bersembunyi di balik pohon raksasa yang batangnya butuh dua orang untuk merangkul di samping paviliun. 　　Daunnya yang rimbun menghalangi hampir seluruh hujan, hanya tetesan jarang yang mengenai pakaian mereka. 　　Mendengar gemuruh petir di kejauhan, Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Katanya saat petir jangan berlindung di bawah pohon, nanti bisa tersambar petir. 　　Orang yang memberitahunya hal ini adalah Yu Qi. 　　Saat langkah kaki semakin dekat, Jiang Si segera fokus kembali dan menggenggam erat tangan Jiang Yi. 　　Jiang Yi kini juga mendengar langkah kaki itu, matanya memandang heran ke arah adiknya. 　　Ia tak mengerti mengapa harus bersembunyi saat ada orang datang, sepertinya tidak perlu. 　　Jiang Si tak bisa menjelaskan, hanya menggeleng kepala pelan. 　　“Kalau ada orang biasa yang datang, baik pria maupun wanita, mereka yang sudah duduk di paviliun duluan tidak perlu bersembunyi. Tapi saat ini hujan deras dan angin kencang, aroma samar darah yang bercampur dengan bau tanah basah semakin pekat seiring langkah kaki yang mendekat.” 　　Dalam situasi seperti ini, reaksi pertama Jiang Si adalah bersembunyi. 　　Melihat tingkah Jiang Si, Jiang Yi hanya bisa tersenyum kecut sambil menatap ke arah sumber suara. 　　Tak lama kemudian, dua pria masuk ke paviliun secara berurutan. 　　Salah satu dari mereka mengenakan jubah panjang, terlihat seperti pria terpelajar yang berkulit putih. Yang lain berpakaian praktis dengan kumis tebal menutupi wajah. 　　Kedua pria dengan penampilan berbeda ini terlihat sangat tidak serasi. 　　Tatapan Jiang Si tertuju pada pria berjanggut tebal. 　　Aroma darah samar itu ternyata berasal dari pria ini. 　　Jiang Yi yang tidak menyadari apa-apa, diam-diam mengamati kedua pria asing itu dengan perasaan lega. 　　Dari dua orang ini, si berjanggut tebal jelas-jelas bukan tipe yang mudah diajak berurusan. Kalau sampai bertemu Adik Keempat, bisa-bisa timbul masalah. 　　Dari situasinya, tindakan Adik Keempat menariknya untuk bersembunyi ternyata tepat. 　　“Baru saja bilang hujan, langsung turun deras begini,” gerutu pria berjanggut sambil memandang sekeliling. 　　Pria berjubah panjang tidak menanggapi keluhannya, malah mengerutkan kening bertanya, “Bagaimana?” 　　Pria berjanggut tersenyum: “Orangnya sudah dikirim, masih di tempat biasa.” 　　“Urusan penutupan?” 　　“Jangan khawatir, orang yang tidak seharusnya bicara sudah tidak bisa bicara lagi,” mata pria berjanggut itu berkilat dingin. 　　Mendengar ini, Jiang Yi gemetar, tangannya yang menggenggam Jiang Si tanpa sadar mengencang. 　　Apakah mereka baru saja mendengar sesuatu yang tidak sepatutnya? 　　Mungkin karena sudah mencium bau darah sebelumnya, hati Jiang Si justru tidak terlalu terguncang. 　　Hari hujan lebat, paviliun kuil terpencil, aroma samar darah – jika yang masuk ke paviliun ini adalah peziarah biasa, justru akan lebih mencurigakan. 　　Namun ucapan pria berjubah panjang berikutnya tiba-tiba mengguncang pikiran Jiang Si bagai halilintar. 　　“Orang itu... berapa persen kemiripannya dengan Imam Suci?” 　　Wajah Jiang Si berubah pucat, tangannya yang menggenggam Jiang Yi gemetar. 　　Imam Suci? 　　Di dunia ini, sepengetahuannya hanya Suku Wu Miao di Perbatasan Selatan yang menggunakan sebutan Imam Suci. Apakah pria itu merujuk pada Imam Suci dari Wu Miao? 　　Pikiran ini membuat jantung Jiang Si berdebar kencang. 　　Merasa keanehan adiknya, Jiang Yi memandangnya penuh tanya dan kekhawatiran. 　　“Setidaknya lima puluh persen.” 　　“Lima puluh? Cukup. Menurut kabar, Pangeran Ketujuh terpikat pada Imam Suci Wu Miao. Kini sang Imam Suci telah tiada. Kehadiran wanita dengan kemiripan lima puluh persen pasti mudah memenangkan hatinya.” 　　Jiang Si menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan gejolak dalam hatinya. 　　“Apa tujuan kedua orang ini ingin mencari orang untuk mendekati Yu Qi?” 　　Jiang Si awalnya ingin meyakinkan diri bahwa urusan Yu Qi tak ada hubungannya dengannya, namun tatapan tajam pria berbaju panjang itu membuat hatinya berdesir. 　　Bagaimanapun juga, dia berharap Yu Qi bisa tetap selamat. 　　“Ngomong-ngomong, Pangeran Ketujuh waktu itu melindungi seorang wanita di jalanan. Sudah ketahui identitasnya?” tiba-tiba pria berbaju panjang itu bertanya. 　　“Sudah. Wanita itu adalah Nona Keempat dari Dongping Bo Residence.” 　　Mendengar ini, Jiang Yi spontan mundur selangkah, menginjak ranting kering. 　　Suara berderak halus nyaris tak terdengar di tengah deru hujan, namun pria berjanggut lebat itu tiba-tiba bangkit, matanya awas menyisir sekeliling. 　　Update kedua. Sampai jumpa besok. 262.BAB 262 Bahaya 　　BAB 262 Bahaya 　　“Siapa?” teriak pria berjanggut, suaranya menyatu dengan raungan angin dan rintik hujan yang mengguyur dua saudari itu. 　　Wajah Jiang Yi memucat, tangannya mencengkeram erat tangan Jiang Si. 　　Pria berbaju panjang menatap pria berjanggut: “Ada orang?” 　　Pria berjanggut itu berwajah tegang, melangkah besar menuju pohon tempat dua saudari bersembunyi. 　　Tubuh Jiang Yi gemetar hebat, secara refleks mendorong Jiang Si ke belakangnya. 　　Angin bertiup semakin kencang, menggoyang dahan-dahan pohon dengan ganas. Saat pria berjanggut mendekat, sebuah dahan tiba-tiba patah diterpa angin dan jatuh di hadapannya. 　　Pria berkumis menginjak ranting yang jatuh, secara refleks menggesekkan ujung kakinya, tanpa jeda berjalan ke belakang pohon. 　　Jiang Yi menutup mulutnya erat-erat, hampir tak bisa menahan dorongan untuk berteriak. 　　Saat ini dia sangat ketakutan. 　　Pria seperti ini, meski hanya kebetulan berteduh hujan bersama, sudah membuatnya gelisah, apalagi setelah mendengar ucapan mengejutkan tadi. 　　Bagaimana? Jika orang ini menemukan dia dan Adik Keempat, apakah akan menghabisi kami? 　　Tidak, bagaimanapun juga Adik Keempat tidak boleh celaka. 　　Langkah kaki yang semakin dekat terdengar seperti lonceng kematian bagi Jiang Yi, membuat keputusasaan berubah jadi keberanian besar. 　　Jiang Yi mendorong Jiang Si dengan kuat agar lari, tapi tangannya melambung kosong. Saat melihat jelas, ternyata Jiang Si sudah berdiri di depannya entah sejak kapan. 　　"Adik Keempat!" Teriakannya tersekat di tenggorokan oleh ketakutan yang memuncak. Jiang Yi bagai daun tertiup badai, putus asa dan tak berdaya. 　　Tapi gadis yang berdiri di depannya memancarkan ketenangan aneh. 　　Jiang Si melihat sepasang sepatu kain hitam muncul di samping pohon, tanpa ragu lagi melepaskan Huan Ying. 　　Serangga halusinasi yang nyaris tak kasat mata itu seperti meteor masuk dari telinga kiri pria berkumis dan keluar dari telinga kanannya. 　　Pria berkumis yang muncul di depan kedua bersaudari itu sekilas terlihat bingung. 　　"Pria berjumis lebat jelas-jelas seorang ahli bela diri. Orang seperti ini biasanya memiliki tekad yang kuat, ditambah tidak ada induksi verbal yang tepat saat ini, sangat sulit menggunakan serangga halusinasi untuk membuatnya berhalusinasi." 　　Jiang Si sangat memahami hal ini. Dari awal dia tidak berharap membuat pria ini berhalusinasi, melainkan menunggu momen kebingungan sesaatnya. 　　Hampir bersamaan dengan momen kebingungan pria berjumbai itu, sebuah duri tajam yang digenggam erat di tangan Jiang Si menusuk keluar, menancap di lengan pria tersebut. 　　Seluruh tubuh pria berjumbai gemetar. Dengan ngeri dia menyadari seluruh tubuhnya tak bisa bergerak. Sebelum sempat melihat situasi di depannya dengan jelas, serbuk halus beterbangan masuk ke matanya. 　　Sensasi perih menerpa. Wajah pria berjumbai terdistorsi hebat, namun tak ada suara yang keluar. Rasa baal yang merambat dari lengannya menguasai setiap inci tubuhnya, bahkan membuatnya tak bisa menjerit kesakitan. 　　"Ada apa?" Pria berjubah panjang di paviliun terkejut melihat rekannya berdiam tak bergerak di samping pohon. 　　Mata pria berjumbai bergetar kesakitan karena serbuk tak dikenal, air mata mengalir deras keluar. 　　Pria berjubah panjang berteriak lagi: "Kau menemukan sesuatu? Kenapa diam saja?" 　　Yang menjawab teriakan pria berjubah panjang hanyalah deru angin dan hujan. 　　"Sedang apa ini?" Akhirnya pria berjubah panjang tak tahan lagi dan berjalan mendekati pria berjumbai. 　　“Kumis lebat saat ini matanya sudah sakit sampai tidak bisa membuka, tapi pendengarannya sangat tajam. Mendengar langkah kaki rekan semakin dekat, dia panik sampai hampir gila. Namun rasa kebas yang menyebar ke seluruh tubuh masih belum hilang, tenggorokannya tetap tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali. 　　Dari paviliun ke samping pohon hanya beberapa langkah, pria berjubah panjang segera mendekat. 　　Sebuah tongkat menghantam wajahnya, langsung mendarat di dahinya. 　　Pria berjubah panjang itu penglihatan menjadi gelap dan terjatuh, tepat menimpa kumis lebat. Keduanya rubuh bersama ke tanah. 　　Rangkaian kejadian ini membuat Jiang Yi benar-benar terpaku seperti patung. 　　Pria berjubah panjang dan kumis lebat terbaring di tanah, mengeluarkan suara gedebuk. 　　Jiang Si tidak ragu memberikan tambahan pukulan tongkat ke kumis lebat, lalu melemparkan tongkat besi berpucuk kulit yang dipegangnya. Dia menggenggam pergelangan tangan Jiang Yi dan berlari secepatnya. 　　Menerobos keluar dari bayangan kanopi pohon, tirai hujan seketika menyelimuti mereka. Tapi saat ini Jiang Si tidak peduli lagi, menarik Jiang Yi sambil berlari kencang. 　　Hujan semakin deras, jalan berlumpur dan licin membuat setiap langkah mereka seperti terperosok dalam rawa. 　　“Adik Keempat——” Begitu Jiang Yi membuka mulut, air hujan langsung membanjiri masuk. 　　Jiang Si menggenggam erat tangan Jiang Yi, kaki mereka terus melesat tanpa jeda. 　　Keteguhan Jiang Si membuat Jiang Yi mengesampingkan semua keraguan dan kepanikan sementara, lalu mempercepat langkahnya. 　　Seharusnya dia melindungi adiknya, tetapi sekarang justru bergantung pada adik untuk melarikan diri. Jika sampai menjadi beban lagi, tak akan ada maaf baginya. 　　Kedua saudari ini saling berpegangan berlari tak tahu berapa lama, akhirnya melihat dua payung hijau seperti daun teratai yang mekar melayang dalam hujan badai tak bertepi, semakin mendekat ke arah mereka. 　　"Ah Man!" Hati Jiang Si langsung tenang. 　　Kekhawatiran terbesarnya adalah berpisah dengan Ah Man. 　　Jika Ah Man pergi ke paviliun dan bertemu kedua pria itu, situasi akan memburuk. 　　Jiang Si tidak yakin berapa lama pria berjubah panjang akan pingsan setelah dipukul, namun kaku di seluruh tubuh pria berkumis tebal tidak akan bertahan lama. Sedangkan pukulannya pada pria berkumis itu tidak mematikan - dengan kondisi fisik orang terlatih, mungkin akan segera sadar. 　　Duri yang ditusukkan Jiang Si ke pria berkumis panjangnya hanya beberapa inci, ujungnya dilumuri racun dari Gu penawar yang dipeliharanya. Cukup menusuk kulit untuk membuat korban kaku seketika, sayangnya efeknya tidak tahan lama, tapi cukup untuk momen genting. 　　Sedangkan kayu pemukul yang melumpuhkan pria berjubah panjang, diambil Jiang Si dari pinggang pria berkumis - benar-benar memanfaatkan sumber daya yang ada. 　　Semua ini ceritanya panjang, tapi sebenarnya terjadi dalam sekejap. Sampai sekarang Jiang Yi masih seperti berada dalam mimpi, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun saat melihat Ah Man dan Aya yang datang. 　　Ah Man terkejut melihat kedua nyonya yang basah kuyup, buru-buru membuka payung yang terjepit di ketiaknya untuk menaungi Jiang Si, bertanya panik, "Nona, bukannya janjian berteduh di paviliun sampai kami datang?" 　　Di sisi lain, Aya juga membuka payung untuk Jiang Yi, menyangga tubuhnya yang lunglai. 　　Kali ini Jiang Si justru sangat tenang, berkata tegas, "Kita kembali ke kamar tamu dulu." 　　Payung yang terbuka tertiup angin bergoyang-goyang, tak mampu menahan hujan yang masuk menyamping. Saat majikan dan pelayan kembali ke kamar, Ah Man dan Aya yang memegang payung pun bajunya sudah setengah basah, apalagi kedua nyonya Jiang yang lebih parah. 　　Air segera menetes dari ujung rambut dan ujung baju, membentuk genangan di lantai. 　　Ah Man merapikan payung sambil mengentakkan kaki, "Nona, hamba akan minta air hangat untuk bersuci." 　　Jiang Si menoleh memandang ke luar. 　　Butiran hujan membentuk tirai hujan di bawah atap koridor, tak tampak akan reda. Sesekali terlihat siluet orang berlarian cepat melewati pintu bulan di kejauhan. 　　Hujan deras yang tiba-tiba ini menjebak banyak orang. 　　Jiang Si melirik Jiang Yi yang basah kuyup dan pucat pasi, lalu mengangguk, "Pergilah." 　　Melihat Ah Man pergi mengambil air panas, A Ya buru-buru berkata: "Nyonya Besar, hamba ikut Kakak Ah Man mengambil air." 　　Jiang Yi mengangguk sembarangan. 　　Jiang Si tiba-tiba membuka mulut: "Kau tetap di sini." 263. BAB 263 Intimidasi 　　BAB 263 Intimidasi 　　Mendengar perintah Jiang Si, A Ya tak bisa menahan diri untuk menoleh ke Jiang Yi. 　　Dari sudut pandang A Ya, Jiang Si yang memberi perintah padanya melewati tuannya sendiri jelas terasa aneh. 　　Saat ini Jiang Yi sedang kalut, dengan santai berkata: "Kalau begitu kau tetap di sini saja." 　　Jiang Si diam-diam mengamati A Ya yang semakin gelisah. 　　Melihat dayang kecil itu kehilangan ketenangannya, Jiang Si akhirnya berbicara: "Kau bernama A Ya, bukan?" 　　"Menjawab pertanyaan Nona, nama hamba memang A Ya." 　　Jiang Si tersenyum: "Nama yang bagus. A Ya, kemarilah." 　　A Ya semakin bingung, ragu-ragu mendekati Jiang Si. 　　Jiang Si mengeluarkan kotak giok dari dompet pinggangnya dan menyodorkannya ke A Ya: "Buka dan lihatlah." 　　A Ya membuka kotak giok itu dan melihat seekor ulat gemuk berwarna merah muda sedang mengangkat kepalanya dengan susah payah, tubuh mungilnya bergoyang-goyang. 　　Pemandangan tak terduga ini membuat A Ya menjerit dan melemparkan kotak giok itu. 　　Jiang Si yang sudah siaga segera menangkap kotak giok yang terlempar. 　　“Serangga Gu dalam kotak giok ini ternyata menempel erat tanpa terjatuh, hanya saja ulat gemuk itu jelas ketakutan, hampir berdiri tegak sambil menggetarkan sungutnya ke arah Jiang Si seolah meluapkan ketidakpuasan karena diperlakukan buruk oleh majikannya.” 　　Ujung jari putih gadis itu mengetuk punggung ulat dengan lembut, barulah ulat gemuk itu tenang dan berguling telentang di dalam kotak giok. 　　Entah mengapa, Aya yang terus menerus menatap kotak giok itu justru melihat kepuasan dalam gerakan ulat gemuk tersebut. 　　Jiang Si menyimpan kotak giok lalu menatap Aya dengan tidak senang: "Kau hampir menjatuhkan binatang peliharaanku." 　　Aya gemetar ketakutan, berlutut memohon ampun: "Hamba tidak sengaja, mohon Nona mengampuni." 　　"Adik Keempat—" Jiang Yi baru tersadar, merasa gadis berwajah datar di depannya terasa asing. 　　Kapan Adik Keempat mulai memelihara ulat menjijikkan ini? Dan tadi di paviliun, Adik Keempat bahkan tanpa ragu memukul dua pria dewasa hingga pingsan... 　　Semakin Jiang Yi berpikir, semakin tidak masuk akal baginya. 　　Jiang Si menggeleng halus, memberi isyarat pada Jiang Yi untuk tidak ikut campur. 　　Di satu sisi adik kandung, di sisi lain dayang kecil, tentu Jiang Yi tanpa ragu memilih berdiri di pihak Jiang Si dan menjadi penonton pasif. 　　"Aya takut ulat?" tanya Jiang Si sambil tersenyum. 　　Aya mengangguk pucat mengakui. 　　“Serangga yang bulat gemuk bergoyang-goyang seperti akan merayap ke tubuh orang, siapa yang tidak takut!” 　　“Kalau Aya takut ular tidak?” 　　Wajah Aya semakin pucat. 　　Jiang Si meraih ujung rambutnya yang basah, berkata dengan tenang: “Kebetulan, saya juga suka memelihara ular.” 　　Aya benar-benar linglung. 　　Dia tidak melakukan apa-apa, mengapa adik ipar Nyonya Besar ini seperti bertekad menakut-nakutinya sampai mati? 　　Melihat saatnya sudah tepat, Jiang Si berkata tanpa ekspresi: “Aya, saya tidak peduli kamu orang siapa atau setia tidak pada kakak saya. Jika ada sepatah kata pun tentang kejadian kakak kehujanan hari ini bocor, bersiaplah untuk hidup bersama serangga dan ular.” 　　Pertemuan dengan dua pria di paviliun itu di luar perkiraan, percakapan yang terdengar berarti masalah besar. Karena itu dia dan kakak tertua sama sekali tidak boleh terbongkar. 　　Ah Man benar-benar bisa diandalkan, sedangkan kesetiaan Aya bahkan kakak sendiri mungkin tidak yakin. Biarlah dia yang memutuskan. 　　Untuk mengendalikan perkataan dan perbuatan seseorang, merangkul hati secara perlahan memang cara terbaik, tapi dalam waktu singkat ancaman dan iming-iming lebih efektif. 　　Aya membelalakkan mata, memandang Jiang Si dengan tak percaya. 　　Jiang Si mengulurkan tangan ke pinggang. Aya gemetar ketakutan, buru-buru berkata: “Hamba pasti tidak akan bocorkan sepatah kata pun!” 　　"Yang tidak tahu pasti mengira Nyonya Besar telah melakukan pembunuhan dan pembakaran, padahal cuma kehujanan. Apa perlu mengancam seorang dayang kecil seperti itu?" 　　"Nona, air panas sudah siap." 　　Jiang Si segera mengganti senyumannya dengan yang lebih samar: "Kakak, silakan mandi dulu." 　　Jiang Yi membersihkan badan dengan gerakan lesu, kehangatan air perlahan menyadarkannya. 　　Setelah Jiang Si selesai mandi, Jiang Yi segera mengusir Ah Man dan A Ya keluar, lalu menggenggam tangan adiknya dengan gemetar: "Adik Keempat, mengapa kedua pria itu menyebut namamu? Bagaimana bisa Pangeran Ketujuh yang mereka sebutkan berhubungan denganmu? Dan bagaimana caramu mengalahkan dua pria dewasa itu——" 　　Jiang Si terkekeh: "Kakak, kau menanyakan begitu banyak sekaligus, mana yang harus kujawab dulu?" 　　Jiang Yi menarik napas panjang, tersenyum getir: "Adik Keempat, hatiku sekarang seperti digoreng dalam wajan minyak. Cepat ceritakan apa yang sebenarnya terjadi!" 　　Apa yang sebenarnya terjadi? Jiang Si mulai merasa pusing. 　　Sebenarnya dia pun tak paham sepenuhnya. Apa tujuan kedua pria itu mencari wanita yang mirip Imam Suci A Sang untuk mendekati Yu Qi (Pangeran Ketujuh)? Apakah pria berjubah panjang itu menyadarinya karena kemiripannya dengan A Sang? 　　Menatap sorot mata cemas kakaknya, Jiang Si kembali tenang, perlahan memeras rambutnya dengan handuk lembut: "Kakak jangan panik. Kurasa alasan mereka memperhatikanku mungkin berkaitan dengan Pangeran Ketujuh." 　　“Tapi bagaimana Adik Keempat bisa mengenal Pangeran Ketujuh?” 　　Jiang Si tersenyum: “Aku tidak kenal Pangeran Ketujuh. Beberapa waktu lalu, Bukankah Kakak Kedua terlibat kasus pembakaran kapal lukis di Sungai Jinshui? Saat aku menjemput Kakak Kedua pulang ke rumah di Shuntianfu, di jalan kami dikeroyok beberapa playboy. Seorang teman Kakak Kedua menyelamatkanku. Sekarang kupikir, teman itu mungkin adalah Pangeran Yan.” 　　Sampai di sini, Jiang Si tiba-tiba mendapat pencerahan dan menyadari keanehan. 　　Sekarang Yu Jin sudah mendapat gelar kepangeranan, orang-orang memanggilnya Pangeran Yan. Tapi dua orang tadi menyebutnya Pangeran Ketujuh. Apakah ini berarti mereka sudah terbiasa memanggilnya begitu sejak lama dan tidak mengubah sebutannya? 　　Jika demikian, berarti dua orang itu sudah mengawasi Yu Qi sejak dulu. 　　Melihat Jiang Si melamun, Jiang Yi panik: “Meskipun Adik Keempat diselamatkan Pangeran Ketujuh, mengapa dua orang itu mengincarmu?” 　　Membayangkan dua orang itu diam-diam menyelidiki identitas adiknya, Jiang Yi merinding. 　　“Kakak jangan khawatir. Setelah mengetahui identitasku, mereka pasti tidak akan bertindak gegabah.” 　　Terlepas dari ada tidaknya kekuasaan nyata di Keluarga Bo, seorang putri bangsawan Keluarga Bo tentu tidak mudah dikendalikan. Selama ada pilihan lain, Jiang Si yakin pria berbaju panjang itu tidak akan mengincarnya untuk mendekati Yu Jin. 　　“Adik Keempat, aku masih khawatir——” 　　“Kakak, terkadang kekhawatiran tak berguna. Jika benar-benar tidak bisa dihindari, aku akan melindungi diriku sendiri.” 　　Melihat tatapan adiknya yang tegas dan bersinar, pikiran kacau Jiang Si berangsur tenang. Ia mengerutkan alis bertanya, "Adik Keempat, kenapa kau memelihara serangga?" 　　"Kebetulan melihat warnanya cantik, jadi kuadopsi." 　　Jiang Yi terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Kau juga pelihara ular?" 　　"Tidak, cuma mengancam dayang kecilmu itu." 　　Jiang Yi menghela napas lega. 　　Syukurlah, adikku yang tak memelihara ular masih bisa disebut gadis normal. 　　"Kakak, kejadian hari ini jangan diceritakan pada Kakak Ipar ya." Jiang Si mengingatkan. 　　Jiang Yi mengangguk kuat. Teringat kondisi mengenaskan kedua pria itu, ia cemas bertanya, "Adik Keempat, apa mereka tidak mati dipukulmu?" 　　Sampai jumpa besok. 264. BAB 264 Bangun 　　BAB 264 Bangun 　　Kekhawatiran Jiang Yi membuat Jiang Si tak bisa menahan tawa, "Kakak, tenaga adikmu ini seberapa? Pukulan ringan begitu tak mungkin membunuh orang." 　　Malam itu ia bisa menghabisi Yang Shengcai tanpa berkedip, tapi menghadapi dua orang asing meski tahu mereka mungkin mengancamnya di kemudian hari, setidaknya sekarang ia belum sanggup jadi pembunuh kejam. 　　Terlalu lembut hati. 　　Jiang Si menunduk menatap jari-jari rampingnya, tersenyum sinis. 　　Tentu, ada alasan penting lain: Kedua pria itu jelas berperilaku mencurigakan. Sadar dari pingsan pun takkan berani mengumbar cerita dipukuli di kuil. Tapi kalau sampai ada korban jiwa, bisa-bisa ia harus bertemu Tuan Zhen lagi. 　　“Jiang Si merasa dalam hati akhir-akhir ini lebih baik mengurangi pertemuan kebetulan dengan Tuan Zhen.” 　　Mendengar tidak sampai mematikan, Jiang Yi mulai khawatir: “Apakah kedua orang itu bisa melacak kita?” 　　Jiang Si tersenyum merangkul lengan Jiang Yi: “Tenanglah, Kakak. Kuil Baiyun sangat luas, hari ini banyak peziarah datang beribadah. Orang-orang seperti mereka justru akan menyembunyikan diri, mana mungkin berani menyelidiki terang-terangan? Kerugian ini pasti mereka telan bulat-bulat.” 　　“Tapi mereka sedang menyelidiki identitasmu. Jika tahu kau datang ke Kuil Baiyun, bukankah itu berbahaya…” Alis indah Jiang Yi berkerut, tidak tenang. 　　Bagi putri bangsawan seperti dirinya yang jarang keluar rumah, kejadian hari ini sungguh menegangkan. Sampai sekarang kakinya masih lemas. 　　“Kakak tenang saja, saya datang menyewa kereta. Lagipula, seandainya mereka tahu pun, mungkinkah mencurigai seorang nona kecil seperti saya bisa memukul pingsan mereka dengan dua kali gebukan?” 　　Jiang Yi tak bisa menahan tawa. 　　Mendengar penjelasan adiknya, rupanya dirinya terlalu tegang. 　　“Kakak, asalkan Awasi baik-baik Aya jangan sampai bocor cerita, pasti tidak masalah.” 　　Jiang Yi mengangguk lembut. 　　Meski biasanya berwatak lembut, dia bisa membedakan prioritas. Tak mungkin membiarkan dayang kecil merusak segalanya. 　　Mengingat tadi adiknya membuat Aya ketakutan sampai wajahnya pucat, perasaan Jiang Yi agak rumit. 　　Tanpa disadari, Adik Keempat sudah bukan lagi nona kecil angkuh dan keras kepala dalam ingatannya, melainkan memiliki ketegasan yang jarang dimiliki wanita lain. 　　“Kesadaran ini membuat Jiang Yi merasa sedih di dalam hati.” 　　“Pada dasarnya karena ibu sudah lama meninggal, aku sebagai kakak tertua tidak berguna, sampai memaksa Adik Keempat harus mandiri.” 　　“Adik Keempat, waktu itu tidak takut? Bagaimana bisa mata orang itu tiba-tiba tidak bisa dibuka?” Jiang Yi masih gemetar mengingat kejadian saat itu. 　　Jiang Si mengeluarkan alasan yang sudah disiapkan: “Mata yang kemasukan bubuk cabai tentu tidak akan bisa dibuka.” 　　Jiang Yi merasa ada keanehan, tapi rasa takut yang baru dialaminya membuat pikirannya beku, sementara tak bisa mengingat letak keanehan tersebut. 　　Tiba-tiba suara lembut pria terdengar di luar pintu: “Yiniang, apa kau di dalam?” 　　Jiang Si berbisik pelan: “Kakak—” 　　Jiang Yi mengangguk paham: “Aku tahu, tidak akan menyebutkannya pada Kakak Ipar.” 　　Si gadis kecil ini benar-benar perasa. Meski tidak ada kejadian lanjutan, bertemu pria asing saat berteduh dari hujan bukanlah hal yang menyenangkan, tentu dia tidak akan banyak bicara. 　　Jiang Yi merapikan pakaiannya, bergegas membuka pintu dan tersenyum pada Zhu Ziyu: “Iya, Adik Keempat juga di sini.” 　　Zhu Ziyu berdiri di teras luar, matanya menyapu sekilas ke dalam ruangan. 　　Jiang Si sedikit menekuk lutut: “Kakak Ipar.” 　　Zhu Ziyu mengangguk sambil tersenyum ke Jiang Yi: “Karena Adik Keempat juga di sini, kalian bisa mengobrol baik-baik. Aku ke kamar tamu sebelah.” 　　Pakaiannya basah separuh, ujung rambut dan pipinya berembun. Jiang Yi merasa agak sedih melihatnya. 　　“Jiang Si sangat paham situasi, segera berjalan cepat menuju pintu: "Saya tidak akan mengganggu Kakak dan Kakak Ipar lagi, nanti saat makan akan bersama Kakak."” 　　Melihat Jiang Si cepat pergi, Jiang Yi yang berkulit putih wajahnya memerah, berbisik pada Zhu Ziyu: "Malulah Adik Keempat melihat kejadian memalukan ini." 　　Zhu Ziyu memandang punggung gadis yang menjauh dengan senyum, lalu menatap Jiang Yi: "Kehujanan?" 　　Jiang Yi yang biasanya selalu terbuka pada Zhu Ziyu kali ini berbohong: "Iya, tadinya hampir sampai dengan Adik Keempat, tiba-tiba hujan deras, baju pun basah." 　　Zhu Ziyu berkata santai: "Tadi saya suruh pelayan pria cari Azhu ambil payung, katanya Aya sudah datang lebih dulu." 　　Hati Jiang Yi berdesir, rasa cemas muncul. 　　"Ada apa?" 　　Jiang Yi tersenyum: "Benar, dayang kecil larinya cepat, angin baru bertiup sudah saya suruh ambil payung. Tapi hujan terlalu deras, baju tetap basah. Suami, biar saya bantu berganti baju, nanti masuk angin." 　　Saat Jiang Yi membuka tali pinggang Zhu Ziyu, tiba-tiba ditanya: "Hari ini janjian dengan Adik Keempat ya?" 　　Tangan Jiang Yi terhenti, lalu mengangguk: "Iya, Adik Keempat mengirim surat menanyakan kabar saya, kebetulan mau keluar, jadi saya beri tahu." 　　“Begitu ya.” Zhu Ziyu mengangkat salah satu lengannya, “Kalian bersaudari akrab. Jika kangen Si Mei, undang saja Jiang Si ke kediaman kami. Jangan khawatir tentang ibu, interaksi normal antar keluarga pasti tidak akan diprotesnya.” 　　Jiang Yi merasa matanya perih, mengangguk pelan. 　　Sudah beberapa tahun menikah ke Keluarga Zhu, segala sesuatunya memuaskan. Hanya satu hal yang membuatnya selalu was-was: sikap ibu mertua padanya. 　　Sejujurnya, ibu mertua tidak benar-benar mengincarnya. Beliau memang tegas pada semua menantu. Tapi sebagai menantu tertua yang menikahi putra paling berbakat Zhu, Jiang Yi mendapat bagian ketegasan yang lebih besar. 　　Sejak awal Jiang Yi memang berwatak lemah. Ditambah belum punya anak, ia merasa tak punya alasan untuk membela diri. Pulang ke rumah orang tua saja bisa dihitung jari. Mustahil tak ada rasa kecewa. 　　Tapi semua kekecewaan itu tak ada artinya dibanding kebahagiaan mendapat pasangan sepertinya. 　　Melihat sudut mata Jiang Yi memerah, Zhu Ziyu tersenyum tipis. 　　Saat keluar, Jiang Si baru sadar hujan sudah mereda. Angin dingin beraroma tanah basah menerpa wajahnya, baunya menusuk hidung. 　　Kembali ke kamar tamu, Jiang Si mulai rileks. Pikirannya terus mengulik identitas dua pria misterius itu. 　　Setelah merenung sebentar, ia memutuskan: Segera setelah pulang, harus beri tahu Yu Jin tentang dua pria ini. 　　Di paviliun dalam biara, pria berjanggut akhirnya berhasil membangunkan pria berjubah panjang. 　　Pria berjubah panjang menahan sakit kepala yang nyaris pecah dan bertanya, "Apa yang terjadi?" 　　"Tidak tahu." 　　"Tidak tahu?" Pria berjubah panjang itu merasa ingin marah. 　　Dia dipukul sampai tidak melihat apa-apa saja sudah biasa, tapi bagaimana mungkin orang ini sama sekali tidak tahu apa-apa? 　　Kumis Tebal juga kesal: "Aku baru sampai di sana tiba-tiba tertusuk sesuatu, lalu mata langsung perih sampai tidak bisa membuka, tidak melihat apa-apa." 　　"Mengapa tidak memperingatkan aku?" 　　Wajah Kumis Tebal pucat: "Saat itu tidak bisa bersuara juga tidak bisa bergerak, mungkin ada racun di benda tajam yang menusukku." 　　Pria berjubah panjang memeriksa luka tusukan di lengan Kumis Tebal, melihat hanya ada luka kecil, ekspresinya tiba-tiba serius: "Luka sekecil ini bisa membuatmu lumpuh, lawan kita pasti bukan orang sembarangan." 　　Ia melihat jejak kemerahan di wajah Kumis Tebal yang tercuci air mata, mengusapnya dan mencicipi dengan lidah, matanya langsung membelalak. 　　Bubuk cabai? 　　Hari ini tuan rumah pergi, Si Naskah Xiaojia jumpa kalian lagi. Untuk mendorong tuan rumah rajin menulis selama perjalanan, jangan lupa beri vote. 265. BAB 265 Jejak Kaki 　　BAB 265 Jejak Kaki 　　Pria berjubah panjang menatap merah samar di ujung jarinya, setelah merenung sejenak menyimpulkan: "Orang yang membawa bubuk cabai kemungkinan besar terkait dengan orang dunia persilatan." 　　Kumis Tebal mengangguk setuju: "Benar." 　　“Bukan preman rendahan di dunia persilatan apa yang membawa bubuk cabai ke mana-mana?” 　　Bayangkan, dua Pasukan Mati bertarung, di saat genting tiba-tiba salah satu melempar segenggam bubuk cabai – seperti apa keadaannya? 　　Pria berkumis tebal itu merasa terhina hanya dengan membayangkannya. 　　Adapun putri bangsawan yang membawa bubuk cabai, pikiran semacam itu bahkan tidak terlintas di benak mereka berdua. 　　Di luar paviliun, hujan mulai mereda. Pria berjubah panjang itu berjalan keluar. 　　“Kau mau ke mana?” tanya pria berkumis tebal. 　　Keduanya tampak sebagai rekan sejawat yang setara, bukan hubungan atasan-bawahan. 　　Pria berjubah panjang tidak menjawab, berdiri di tengah hujan sambil menatap ke tanah. 　　Ini adalah area terpencil di kuil gunung, tanahnya bukan jalan utama yang dilapisi batu pualam hijau, melainkan jalan tanah – pasti meninggalkan jejak kaki saat basah. 　　Hanya saja – pria berjubah panjang mengerutkan alisnya semakin dalam saat melihat genangan air setinggi beberapa inci akibat hujan deras. 　　Hujan terlalu lebat, bahkan jika ada jejak sebelumnya, semuanya telah terisi air hujan. 　　Tidak, cuaca seperti ini pasti meninggalkan jejak bagi siapa pun yang datang. 　　Pria berjubah panjang berbalik tiba-tiba: “Orang yang menyerangmu tadi bersembunyi di belakang pohon besar ini?” 　　Pria berkumis tebal mengangguk: “Benar.” 　　Pria berjubah panjang menatap tanah sambil berjalan ke belakang pohon. 　　“Pohon itu sangat besar dan tinggi, batangnya yang kokoh bahkan sulit dipeluk oleh dua orang dewasa yang merentangkan tangan mereka. Rimbunnya kanopi pohon hampir sepenuhnya menahan air hujan, hanya menyisakan lapisan tipis kelembapan di tanah.” 　　Pria berjubah panjang itu mencari dengan cermat, dan akhirnya menemukan jejak kaki di perbatasan tempat kanopi pohon hampir tidak bisa menahan hujan. 　　Ia segera berjongkok mengamati jejak kaki tersebut. 　　Jejak itu hanya menyisakan bagian depan, dengan ujung kaki menghadap menjauh dari batang pohon, mengisyaratkan ketergesaan orang tersebut saat pergi. 　　Pola pada jejak kaki hampir pudar tak terbaca, hanya menyisakan garis besar samar. 　　Pria berkumis lebat itu tampak memahami maksud pria berjubah panjang. Ia ikut berjongkok sambil bergumam, “Dengan setengah jejak seperti ini yang nyaris tak ada polanya, mustahil menebak jenis sepatu apa yang dipakai.” 　　Di era Dinasti Zhou ini, kaum bangsawan biasa memakai sepatu bot sementara rakyat jelata memakai sepatu kain atau jerami. Variasi desain sepatu bot saja sudah mencapai puluhan jenis. Jejak samar seperti ini sungguh sulit diidentifikasi. 　　Pria berjubah panjang menggeleng sambil menatap tajam jejak itu: “Tak perlu melihat pola atau bahkan garis besarnya. Perhatikan saja ukuran setengah jejak ini – tidakkah kau merasa aneh?” 　　“Ukuran?” Mata pria berkumis lebat berbinar setelah diingatkan, “Jejak ini terlalu kecil!” 　　Pria berjubah panjang mengangguk: "Benar, jejak kaki sekecil ini pasti ditinggalkan oleh wanita." 　　"Wanita?" Pria berkumis tebal membuat ekspresi aneh, "Kau maksud seorang wanita menaburkan bubuk cabai ke mataku, lalu memukulmu pingsan dengan tongkat besi milikku?" 　　Pernyataan pria berkumis tebal ini jelas membuat pria berjubah panjang agak canggung, ia lalu bergumam kesal: "Bahkan menambah satu pukulan lagi untukmu." 　　Pria berkumis tebal terus menggeleng: "Tidak mungkin, tidak mungkin, ini benar-benar di luar dugaan..." 　　"Di luar dugaan?" Pria berjubah panjang menyeringai dingin sambil meliriknya, "Hal yang paling tidak masuk akal sekalipun, setelah menyingkirkan semua kemungkinan lain, itulah kenyataan. Jejak kaki sekecil ini, masa bukan anak-anak yang meninggalkannya?" 　　"Lebih tidak mungkin lagi. Meski tidak melihat jelas, aku yakin tinggi badan lawan pasti bukan anak-anak." 　　Setelah berkata demikian, pria berkumis tebal diam sejenak bersama pria berjubah panjang, lalu menggerutu: "Tak disangka terjebak di selokan, sampai dikalahkan oleh seorang wanita." 　　Pria berjubah panjang berdiri tegak, berkata datar: "Wanita yang bisa bertahan di dunia persilatan, biasanya lebih berani dan teliti." 　　"Tapi untuk apa lawan mengganggu kita tanpa alasan?" 　　Sorot mata pria berjubah panjang tiba-tiba menjadi tajam, kilatan niat membunuh tampak samar: "Awalnya mungkin ingin menghindari kita, tapi kemudian mendengar percakapan kita dan ketahuan olehmu—" 　　Wajah pria berkumis tebal berubah pucat: "Lalu bagaimana? Jika pembicaraan kita didengar, apakah dia akan memberi tahu Pangeran Ketujuh?" 　　"Sulit dipastikan." Pria berjubah panjang menyatukan tangan di belakang lalu berjalan ke tepi paviliun, memandangi tirai hujan yang semakin menipis dengan ekspresi suram. 　　Pria berjubah panjang dengan janggut lebat mendekat: "Maksudmu sulit dipastikan bagaimana?" 　　"Jika orang itu benar-benar tak ada hubungannya dengan Pangeran Ketujuh, mungkin dia takkan ikut campur. Tapi bisa saja dia kebetulan kenal dengan Pangeran Ketujuh atau ingin mencari untung dengan menjual informasi ini." 　　Pria berjanggut lebat menggosok-gosokkan tangannya: "Kalau begitu bahaya. Tapi mengingat dia cuma bajingan kelas bawah, kecil kemungkinan kenal dengan Pangeran Ketujuh, bukan?" 　　Pria berjubah panjang mendengus dingin: "Kau lupa? Pangeran Ketujuh ini paling suka bergaul dengan segala macam orang dari latar belakang berbeda." 　　Pria berjanggut lebat terdiam. 　　Akhirnya pria berjubah panjang menghela napas: "Sudahlah. Kita perlu perbanyak pengawas di sekitar Pangeran Ketujuh. Pantau apakah ada orang mencurigakan yang menghubunginya. Jika benar ada orang itu—" 　　Sorot matanya semakin dingin: "Kita singkirkan dia!" 　　Pria berjanggut lebat mengangguk. 　　"Yang terpenting sekarang segera bawa wanita yang mirip dengan Imam Suci itu ke sisi Pangeran Ketujuh." Pria berjubah panjang menginjak-injak bekas sepatu di tanah hingga hilang, "Ayo pergi!" 　　Setelah tengah hari, hujan sudah benar-benar berhenti. Angin sejuk membawa kabut tipis ke Kuil Baiyun, dedaunan bergoyang lembut membawa butiran air, sesekali terdengar kicauan burung rendah dari hutan meski tak terlihat burung terbang melintas. Kuil di pegunungan setelah hujan terasa semakin sunyi. 　　Namun tak lama kemudian Kuil Baiyun kembali ramai. 　　Para peziarah yang tertahan hujan deras mulai keluar dari tempat berteduh, ada yang melanjutkan kegiatan di kuil, ada pula yang bersiap pulang. Para biksu di kuil juga mulai beraktivitas kembali. 　　Jiang Yi berdiri di bawah koridor, mendengar tetesan air jatuh dari atap yang berbunyi jernih. Ia menoleh ke Jiang Si: "Adik Keempat masih ingin jalan-jalan ke mana?" 　　Jiang Si melirik sekelebat Zhu Ziyu di kejauhan, lalu menggeleng sambil tersenyum: "Tidak perlu. Akhirnya cuaca cerah, lebih baik kita segera pulang sebelum hujan turun lagi dan jalan menjadi licin." 　　Jiang Yi diam-diam menghela napas lega. 　　Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di sini, tentu lebih baik jika adiknya ingin cepat pulang. 　　Jiang Yi menoleh ke Zhu Ziyu: "Suami, mari kita pulang bersama Adik Keempat." 　　Zhu Ziyu menggerakkan pandangannya, menatap Jiang Si. 　　Melihatnya terdiam sejenak, Jiang Si bertanya langsung: "Apakah Kakak Ipar masih ada urusan lain?" 　　Zhu Ziyu seolah tak menyangka Jiang Si akan bertanya begitu blak-blakan. Ia tertegun sebentar sebelum tersenyum: "Tidak ada urusan. Awalnya hanya menemani Kakakmu berziarah. Mari kita pulang bersama." 266. BAB 266 Kehilangan Kendali 　　BAB 266 KEHILANGAN KENDALI 　　Kuil Baiyun adalah tempat suci yang ramai peziarah, dibangun di lereng gunung. Di luar gerbang kuil terdapat lapangan luas khusus untuk parkir kereta kuda para peziarah. 　　Jiang Yi mengikuti arah telunjuk Jiang Si yang menunjuk ke kereta kuda sewaan yang kecil, lalu mengajak: "Adik Keempat lebih baik naik kereta bersamaku." 　　Jiang Si segera menoleh ke Zhu Ziyu. 　　Di wajah Zhu Ziyu tersungging senyum tipis, kilatan keheranan sesaat di matanya. 　　Jiang Si menarik pandangannya dan bertanya sambil tersenyum: "Kalau begitu Kakak Ipar bagaimana?" 　　Wajah Jiang Yi memerah, buru-buru menjawab: "Kakak Iparmu datang dengan menunggang kuda." 　　"Baiklah, kebetulan aku masih ingin mengobrol dengan Kakak." Jiang Si menerima ajakan itu tanpa sungkan. 　　Karena Jiang Si akan naik kereta yang sama dengan Jiang Yi, tiga dayang yang ikut akan terlalu sesak. Jiang Yi lalu menyuruh Ah Zhu, Ah Ya dan Ah Man pindah ke kereta sewaan Jiang Si. 　　Kedua saudari masuk ke dalam kereta. Jiang Si melirik sekeliling dan berkata: "Kereta Kakak cukup nyaman." 　　Jiang Yi merapikan rambut Jiang Si yang terurai sambil bertanya penuh kasihan dan keheranan: "Aku ingat Keluarga Bo punya dua kereta, kenapa Adik malah menyewa?" 　　Dulu saat ia akan menikah, yang paling dikhawatirkannya adalah adik bungsu ini. 　　Meskipun Ayah sangat menyayangi adik, tapi beliau tetaplah seorang pria dewasa yang tidak mungkin setiap hari mengurusi urusan rumah tangga. Adik Kedua adalah anak laki-laki, selama tidak membuat masalah saja sudah patut bersyukur, tak perlu khawatir dia akan dirugikan. Hanya adik perempuan ini yang tak punya perlindungan ibu di atas maupun dukungan saudari di bawah, sungguh sulit hidup nyaman di balik tembok rumah keluarga besar ini. 　　Terkadang memikirkan hal-hal ini, hati Jiang Yi langsung terasa sesak tak karuan, lama tak bisa tenang. 　　Jiang Si tersenyum menjelaskan: "Kebetulan hari ini Bibi Er dan Bibi Ketiga sama-sama memakai kereta, kereta di rumah tidak mencukupi, akhirnya hamba menyuruh orang menyewa satu." 　　"Ternyata begitu." Meski sudah tahu alasannya, hati Jiang Yi tetap terasa tidak enak. 　　Seandainya Ibu masih hidup, mana mungkin adik sampai tidak punya kereta saat mau keluar? Tentu bukan maksudnya berebut kereta dengan sesepuh, tapi kasihan melihat keadaan adik bungsu. 　　Jiang Si mengintip keluar dari jendela kereta, melihat Zhu Ziyu berkuda tak jauh di depan kereta, postur tegapnya masih terkesan agak renta, matanya menyiratkan keraguan kecil. 　　Zhu Ziyu berasal dari keluarga terpelajar murni, seorang pelajar tulen. Meski pelajar di Dinasti Zhou juga belajar menunggang kuda dan memanah, kebanyakan tetap lemah secara fisik. 　　Sebagai pasangan suami istri yang bepergian bersama, alih-alih naik kereta bersama Kakak, Zhu Ziyu malah memilih berkuda. Apakah hubungan mereka benar-benar serumit yang dikira Kakak? 　　Jiang Si tahu bahwa pikirannya ini agak terlalu kritis. Atau mungkin karena pengalaman kakak tertuanya di kehidupan sebelumnya yang membentuk kesan awal, membuatnya selalu mengkritik setiap gerak-gerik Zhu Ziyu. 　　Jiang Si tak bisa menahan diri untuk memikirkan nasibnya sendiri. 　　Setelah menikah dengan Yu Qi, selama mereka pergi bersama, Yu Qi tak pernah lagi menunggang kuda. Ia selalu memaksa masuk kereta untuk bermanja-manja dengannya... 　　Mengingat keberanian dan kelakuan tak senonoh suaminya itu, wajah Jiang Si memerah. Ia menundukkan mata untuk menenangkan diri, lalu mencoba bertanya pada Jiang Yi: "Mengapa Kakak Ipar tidak naik kereta bersama Kakak? Menurutku suami-istri yang bepergian bersama seharusnya selalu bersama." 　　Jiang Yi terkejut memandang adiknya, antara ingin tertawa dan menangis: "Mengapa Adik Keempat punya pemikiran seperti ini?" 　　"Bukankah memang seharusnya begitu?" 　　Jiang Yi memeluk Jiang Si sambil tergelak: "Adikku yang lugu, mana mungkin suami dan istri terus-terusan bersama setiap saat." 　　Wajahnya memerah saat berbisik di telinga Jiang Si: "Ada suami yang menemani istri berziarah saja sudah jadi bahan gunjingan orang." 　　Kebahagiaan dan rasa malu dalam sorot mata Jiang Yi membuat Jiang Si menghela napas dalam hati: Betapa bahagianya kakaknya di kehidupan sebelumnya, sebanding dengan keputusasaannya setelah tragedi terjadi. Pantas ia memilih mengakhiri segalanya. 　　"Kakak, nanti aku akan mengunjungimu." Gagal mengetahui siapa yang pernah ditolong Jiang Yi, Jiang Si merasa waktu semakin mendesak. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah kakaknya, mungkin bisa menemukan petunjuk di sana. 　　“Baiklah, kapanpun Adik Keempat ingin pergi, tinggal beri kabar saja.” 　　Jalan pulang yang berlumpur akibat hujan baru reda membuat kereta sedikit terombang-ambing. Tak lama kemudian, wajah Jiang Yi semakin pucat. 　　Jiang Si yang melihatnya merasa khawatir, berbisik lembut: "Kakak hari ini kehujanan, ingat minum air jahe gula untuk menghangatkan badan saat pulang." 　　"Adik Keempat juga harus begitu." Meski semakin menjauh dari Kuil Baiyun, bayangan kejadian di paviliun tetap membekap hati Jiang Yi seperti batu berat yang tak kunjung hilang. 　　Suasana dalam kereta tiba-tiba hening. 　　Sementara itu, di kereta yang mengikuti langsung kereta Keluarga Zhu, suasana justru riuh rendah. 　　Ah Man yang periang dan A Zhu, dayang utama Jiang Yi yang juga suka bercanda, saling bersahutan dengan penuh semangat. 　　A Ya yang duduk di dekat pintu kereta lama terdiam, akhirnya memberanikan diri bertanya: "Kakak Ah Man, nona kalian biasanya suka melakukan hiburan apa?" 　　Ah Man seketika ragu. 　　Hiburan kesukaan nona? Kalau dipikir-pikir, belakangan ini nona sepertinya paling suka membunuh dan membakar. 　　Eh, ini tidak boleh diungkapkan! 　　Ah Man membersihkan tenggorokannya, lalu berkata dengan wajah serius: "Nona kami senang meracik wewangian." 　　Dia tidak mengada-ada. Nona baru-baru ini membuat beberapa jenis wewangian dan mengirimkannya ke toko kosmetik untuk dijual, katanya sangat disukai oleh para istri utama dan nona-nona. 　　Memikirkan hal ini, Ah Man merasa agak bangga. 　　Tentu saja ini adalah nona kami. Apapun yang ingin dilakukan pasti berhasil. Membunuh dan membakar sebegitu lihai, kemampuan meracik wewangian pun tak tertandingi. 　　Meracik wewangian? Aya teringat ekspresi Jiang Si yang tanpa perubahan saat menakut-nakuti dirinya dengan serangga, tak percaya setengah kata pun pada ucapan Ah Man. 　　Keganasan di mata Nona Jiang saat itu membuatnya yakin: jika benar-benar bocor mulut, pasti ancaman itu akan ditepati. 　　Dia pernah mendengar beberapa putri bangsawan senang menyiksa pelayan secara diam-diam. Nona Jiang mungkin tipe seperti itu, kasihan sekali dayang dekatnya. 　　Belas kasihan yang terpancar dari mata Aya membuat Ah Man bingung, "Kenapa memandangiku seperti itu?" 　　Aya tersadar, terkekeh kaku, "Meracik wewangian cocok untuk menghabiskan waktu bagi nona secantik dewi seperti Nona Jiang." 　　Ah Man tersenyum kecut, "Benar juga." 　　Sebenarnya dia merasa membunuh dan membakar juga cocok, jauh lebih seru daripada meracik wewangian. 　　Aya merinding: Lihatlah, jawaban dayang utama Nona Jiang ini terpaksa sekali, jelas-jasal hanya omong kosong. 　　Dayang kecil itu diam-diam bergeser mendekati pintu, bertekad menjaga mulutnya rapat-rapat. 　　Tiba-tiba suara ringkikan kuda membelah kedamaian di dalam kereta kuda. 　　“Ah Man yang pertama sadar, langsung membuka tirai dan menjulurkan kepala ke luar. Kereta kuda keluarga Zhu yang sebelumnya tak jauh di depan kereta mereka tiba-tiba melesat seperti panah terlepas, menimbulkan kepanikan dan teriakan di jalanan. 　　"Nona!" Ah Man matanya memerah melihat situasi ini, berusaha melompat keluar dari kereta kuda. 　　Kusir Lao Qin segera melompat turun, berkata gusar: "Ah Man, kau yang kendarai kereta." 　　Setelah memberi perintah, Lao Qin bergegas ke Zhu Ziyu yang terlihat linglung, menariknya dengan kasar dari kuda lalu melompat ke pelana dan mengejar kereta kuda yang lepas kendali. 267.BAB 267 Kesalahpahaman 　　BAB 267 Kesalahpahaman 　　Saat kereta kuda lepas kendali, Jiang Yi secara refleks memeluk Jiang Si. Kedua saudari ini terbentur ke dinding kereta dengan erangan tertahan. 　　Guncangan kereta yang hebat membuat mereka tak bisa duduk stabil. Jiang Yi menahan benturan dinding kereta sambil bertanya: "Adik Keempat, kau tidak apa-apa?" 　　Wajah Jiang Si yang dipeluk Jiang Yi pucat pasi. Memori-memori pecah-belah meledak di kepalanya seperti kembang api. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia duduk dalam kereta kuda yang meluncur menuju tebing... 　　Memori tentang kematian yang terpendam dalam hati itu membuat seluruh tubuhnya dingin membeku, tak bisa bereaksi. 　　"Teriakan panik Jiang Yi serta desau angin yang menerobos masuk dari jendela menyadarkan Jiang Si dari lamunannya." 　　Jangan panik. Kalau dia panik, siapa yang akan melindungi kakak? 　　"Kakak, aku baik-baik saja." Jiang Si meraih tonjolan di dinding kereta, bergerak susah payah menuju pintu. 　　Melihat ini, Jiang Yi menjadi sangat cemas, suaranya bergetar: "Adik Keempat, kau mau apa?" 　　"Aku lihat apa yang terjadi..." Suara Jiang Si terpotong-potong oleh guncangan kereta yang hebat, namun gerakannya menuju pintu tak berhenti. 　　Jiang Yi mencengkeram pergelangan kaki Jiang Si dengan kuat: "Adik Keempat, jangan nekat! Bagaimana kalau kau terjatuh?" 　　Melalui tirai pintu yang tertiup angin kencang, Jiang Si melihat situasi: Kuda yang tadinya jinak kini berlari kencang seperti kesurupan, sais kereta sudah menghilang. Mengingat suara benturan tadi, mungkin sais itu sudah terlempar sejak awal. 　　Artinya, hanya mereka berdua saudari yang tersisa di kereta yang melaju kencang ini. 　　Angin menerpa membuat Jiang Si hampir tak bisa membuka mata. Pemandangan di kedua sisi berlarian ke belakang, semua terasa seperti mengulang mimpi buruk kehidupan sebelumnya. Hanya saja kali ini Jiang Si tidak sendirian - di kereta yang lepas kendali ini, Jiang Yi menemani. 　　Justru perbedaan inilah yang membuat Jiang Si, meski mengalami ketakutan yang sama, tidak mengalami gangguan emosi malah menjadi tenang. 　　“Hal yang lebih mengerikan pernah dia alami sebelumnya, saat itu dia tak bisa menyelamatkan diri. Kali ini dia tak akan tinggal diam menunggu celaka. 　　Jiang Si menyangga bingkai pintu kereta dengan satu tangan, tangan lainnya meraba pinggangnya dan mengambil sebuah jarum beracun dari dompetnya. 　　Dalam kecepatan seperti ini, baik serangga Gu maupun serbuk obat tak bisa digunakan pada kuda liar. Pilihan terbaik adalah menggunakan jarum beracun yang baru saja melumpuhkan pria berjanggut tebal itu. 　　Asalkan jarum ini menusuk kulit kuda, racun akan melumpuhkan kuda tersebut dalam waktu singkat, pasti kecepatannya akan berkurang. Saat itu tiba, baik melompat dari kereta atau cara penyelamatan lain bisa dipilih. 　　Hanya saja kuda berbeda dengan manusia, menusuk kulit dan bulunya tidak semudah itu, apalagi dalam kondisi berlari kencang seperti sekarang. 　　Jiang Si menggigit bibirnya kuat-kuat sambil mencengkeram jarum itu, pandangannya tertuju pada pantat kuda di depannya. 　　Daging di sana mungkin lebih lunak. 　　Pada saat ini, dia tiba-tiba sedikit mengerti mengapa Er Niu suka menggigit bagian itu. 　　Setelah menentukan target, Jiang Si memberanikan diri merayap keluar. 　　Jiang Yi di belakangnya memeluk erat kakinya: "Adik Keempat, kau gila?" 　　"Kakak, peganglah dinding kereta erat-erat. Jangan khawatirkan aku. Aku punya cara memperlambat kuda ini." 　　Meski disebut kuda liar, tetap saja ia menarik kereta berpenumpang dan berlari di jalan berlumpur, sehingga kecepatannya tak bisa disebut sangat dahsyat. 　　Ini juga alasan utama Jiang Si yakin bisa menyelamatkan diri. 　　“Tidak boleh, Adik Keempat, kalau saya melepaskan kau pasti jatuh.” Jiang Yi saat itu juga bersikap keras, memegang pergelangan kaki Jiang Si dengan erat tak mau melepaskannya. 　　Jiang Si merasa sangat kesal. 　　Inilah yang disebut menjadi beban! 　　Melihat pejalan kaki di depan berteriak-teriak menghindar, kereta kuda mulai menunjukkan tanda-tanda akan berantakan, Jiang Si bersiap menggunakan kekuatan kasar untuk melepaskan diri dari cengkeraman Jiang Yi, tiba-tiba teriak keras terdengar: "Nona, pegang erat!" 　　Lao Qin yang mengejar dengan kuda melompat ke udara, dari pelana kudanya berpindah ke punggung kuda yang ketakutan. 　　Kuda liar yang terstimulasi mengangkat kaki depannya berusaha melepaskan penunggangnya, kereta kuda oleng ke kiri-kanan, terlihat semakin berbahaya. 　　Saat mendengar suara Lao Qin, Jiang Si segera menarik diri ke dalam kereta, memegang dinding kereta sambil melindungi Jiang Yi: "Kakak jangan panik, Lao Qin pasti punya cara, kau harus pegang erat jangan sampai terlempar." 　　Wajah Jiang Yi pucat pasi, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengangguk terus-menerus. 　　Kereta kuda mulai melambat. Di bawah kontrol kekuatan dan keahlian Lao Qin, kuda liar mulai menunjukkan tanda-tanda bisa ditaklukkan. 　　Tepat saat itu tiba-tiba muncul seorang Xiao Tong di tengah jalan depan, terpaku melihat kereta kuda yang melaju kencang. 　　“Lao Qin” urat di pelipisnya menonjol, dengan susah payah menarik leher kuda untuk mengubah arah. Saat jarak dengan Xiao Tong semakin dekat, tiba-tiba seorang figur berlari ke tengah jalan menggendong Xiao Tong, lalu dengan lincah berguling menghindar ke pinggir jalan. 　　Setelah momen ini, terdengar tangisan keras seorang anak kecil. 　　Kereta kuda masih melaju sekitar belasan zhang ke depan sebelum akhirnya berhenti perlahan. 　　Seluruh kereta terlihat seperti hampir rontok, terparkir tak karuan di pinggir jalan. Jiang Yi dengan ditopang Jiang Si keluar terhuyung-huyung dari kereta, lalu membungkuk dan muntah. 　　“Nona, apakah Anda baik-baik saja?” Lao Qin mengikat kudanya di pohon pinggir jalan lalu mendekat. 　　Wajah Jiang Si pucat namun ekspresinya tetap tenang, ia melambaikan tangan: “Saya baik-baik saja. Lao Qin, tolong periksa apakah anak itu terluka.” 　　Lao Qin mengangguk dan berjalan ke belakang. 　　Setelah agak pulih, Jiang Yi dengan wajah pucat berkata: “Adik Keempat, aku sudah baik. Mari kita lihat kondisi anak itu.” 　　Kedua saudari itu berjalan kembali sambil berpegangan. Orang yang menyelamatkan anak itu sedang memarahi Lao Qin: “Bagaimana cara kalian mengendarai kereta? Jalanan ramai pejalan kaki, tadi nyaris saja menabrak bayi ini.” 　　Baru sekarang Jiang Si menyadari bahwa penyelamat anak itu ternyata seorang wanita muda. 　　Berbeda dengan gadis-gadis bangsawan pada umumnya, wanita di depan ini bertubuh jangkung, mengenakan baju pendek lengan sempit berwarna hijau kacang, sepatu bot panjang di kakinya dengan celana terselip rapi di dalamnya. Penampilan ini menonjolkan sorot mata hitam pekatnya yang memancarkan kegagahan dan ketegasan yang tak terucapkan. 　　"Apa anak-anak tidak apa-apa?" Jiang Si bertanya. 　　Wanita itu memalingkan pandangannya ke Jiang Si. Melihat gadis yang berbicara ini memiliki wajah luar biasa cantik dengan suara lembut, ketegangan di wajahnya sedikit mereda. Ia mengangguk halus: "Syukurlah tidak ada masalah." 　　Jiang Si menghela napas lega, tersenyum tulus: "Syukurlah, berkat bantuan Nona tadi." 　　Wanita itu hendak berkata sesuatu ketika seorang ibu yang sedang bekerja di ladang berlari terburu-buru, merangkul anaknya yang terus menjerit sambil meratap histeris. 　　Jiang Si meraba-raba dompet di pinggangnya, merasa agak canggung. 　　Dompetnya sudah terlalu penuh dengan barang-barang, tidak ada tempat lagi untuk menyimpan uang. Semua uangnya disimpan oleh Ah Man. 　　"Bibi, maafkan kami. Ini biaya pengobatan untuk anak." 　　Ibu itu menerima keping perak yang diberikan Jiang Yi, menarik anaknya sambil mengucapkan terima kasih. Takut orang lain mengincar perak putih berkilau itu, ia bahkan tidak sempat mengambil alat pertaniannya yang tertinggal di ladang, langsung menggendong anaknya dan kabur. 　　Jiang Yi bersama Jiang Si sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada wanita muda itu. 　　Wanita itu mengangkat tangan dengan sikap acuh, lalu berbalik pergi. 　　Di tengah kerumunan pejalan kaki yang berhenti melihat keramaian, dua pasang mata mengincar wanita tersebut. 268. BAB 268 Kuda yang Mengejutkan 　　BAB 268 Kuda Liar 　　Di kerumunan orang, pria berjubah panjang dan pria berjanggut lebat saling berpandangan, sama-sama merasa gembira atas penemuan tak terduga ini. 　　Mereka menyimpulkan bahwa yang bersembunyi di balik pohon untuk menguping dan menyerang mereka pastilah seorang wanita yang bergerak di dunia persilatan. Sedang bingung mencari petunjuk, tak disangka mereka menemukan sosok mencurigakan di sini. 　　Orang-orang biasa yang menonton mungkin tidak memperhatikan, tapi mereka sudah tahu sejak melihat wanita itu berlari menyelamatkan anak kecil bahwa wanita itu memiliki ilmu bela diri. 　　Arah kedatangan wanita itu persis dari lokasi Kuil Baiyun. 　　Seorang wanita muda yang kemungkinan besar pernah ke Kuil Baiyun dan memiliki ilmu bela diri - bukankah ini kandidat yang paling sesuai? 　　"Ikuti wanita itu," bisik pria berjubah panjang. 　　Pria berjanggut lebat mengangguk, meraba tongkat besi di pinggangnya, matanya berkilat penuh kebuasan. 　　Berani menaburkan bubuk cabai ke matanya? Berani memukulnya dari belakang? Hari ini jika tidak mengajari perempuan kecil ini sopan santun, hidupnya selama ini sia-sia! 　　Melihat rekanannya pergi, pria berjubah panjang tak lagi tertarik pada keramaian. Ia memandang Jiang Si dengan tatapan dalam sebelum menghilang diam-diam. 　　Nona Keempat dari Keluarga Dongping Bo ini benar-benar mirip dengan Imam Suci A Sang. Jika ditambahkan titik merah di antara alis dan sedikit riasan, pasti sulit dibedakan aslinya! 　　"Sayang sekali, gadis di depan mata ini berasal dari Keluarga Bo. Orang hidup yang hilang pasti akan menimbulkan kegemparan besar. Di masa depan, mustahil muncul secara terbuka di sisi Pangeran Ketujuh. Wajah yang mirip pun terpaksa ditinggalkan. Tidak seperti wanita dari rumah bordil yang lebih mudah dikendalikan." 　　"Ibu Yi, kau baik-baik saja?" Zhu Ziyu dan yang lain akhirnya tiba. 　　Melihat ekspresi cemas Zhu Ziyu, Jiang Yi langsung merasa kakinya lemas, hampir menangis. 　　Zhu Ziyu bergegas mendekat, memeluk Jiang Yi dan menghiburnya dengan lembut. 　　Ah Man berlari tergopoh-gopoh memeluk Jiang Si, suaranya gemetar: "Nona, hamba hampir mati ketakutan!" 　　Jiang Si menepuk-nepuk Ah Man memberi isyarat agar melepaskan pelukan, lalu berjalan tanpa bicara mendekati kuda yang panik. 　　Kuda yang panik tadi kini sudah tenang, berdiam di bawah pohon dengan keringat mengucur deras, lesu mengibaskan ekor, sama sekali tidak seperti sikapnya yang mengamuk tadi. 　　Ah Man buru-buru menarik Jiang Si: "Nona——" 　　"Tidak apa." Jiang Si mengelilingi kuda itu dua langkah. 　　Lao Qin mendekat. 　　"Lao Qin, menurutmu mengapa kuda ini tiba-tiba panik?" 　　Lao Qin maju memeriksa hidung dan mulut kuda yang ketakutan dengan cermat, mengerutkan kening: "Umumnya, kuda terlatih yang tiba-tiba panik bisa disebabkan benda asing dalam pakan yang membuatnya agresif, ketidaknyamanan fisik mendadak, atau gangguan eksternal. Sebelumnya perjalanan normal, bisa eliminasi faktor gangguan luar. Setelah saya periksa, kuda ini tidak ada luka fisik jelas, apakah sakit masih perlu diperdebatkan. Soal pakan bermasalah atau tidak, harus periksa sisa pakan..." 　　"Memeriksa sisa makanan di perut kuda ini juga bisa diketahui kan?" 　　Lao Qin tersedak, tertegun sejenak sebelum menjawab: "Tergantung situasi. Jika benda asing dalam pakan belum tercerna sempurna, tabib berpengalaman mungkin bisa temukan penyebab. Tapi jika sudah tercerna habis akan sulit. Metode ini mengharuskan membedah perut kuda..." 　　Dia bahkan tidak mengerutkan kening saat membunuh orang, apalagi seekor kuda. Yang mengejutkannya adalah wanita ini bisa memikirkan cara seperti itu... 　　Mengingat ekspresi Jiang Si yang tetap tenang saat mendengar pengakuannya sebagai pembunuh, Lao Qin pun tersadar. 　　Wanita yang berani menampung orang seperti dirinya, tentu luar biasa tangguh. 　　A Man yang diam-diam menyimak menatap Jiang Si dengan panik, tangan menutup mulut erat-erat. 　　Lihatlah! Mana mungkin Nona Jiang punya hobi membuat wewangian seperti kata A Man? Inilah sifat aslinya yang sebenarnya. 　　Ah Man juga sedikit terkejut, tapi segera menunjukkan ekspresi masa bodoh. 　　Kuda ini hampir membuat Nona celaka, pantas saja dibelah perutnya. 　　Jiang Si hanya menganalisis situasi secara objektif. Melihat ekspresi aneh ketiganya, ia sadar telah disalahpahami. Tapi penampilan Aya yang masih terguncang justru membuatnya puas. Tanpa berusaha menjelaskan, ia melanjutkan: "Bagaimana dengan memeriksa kotoran kuda ini?" 　　Lao Qin terdiam sejenak, lalu menjawab: "Sulit dikatakan. Beberapa benda asing tidak beracun, tapi berpengaruh khusus pada kuda. Jadi kotorannya mungkin tidak menunjukkan apa-apa." 　　"Begitu ya..." Jiang Si melangkah maju dan menekan-nekan area pantat kuda. 　　Tiga orang yang memperhatikan gerakannya langsung menunjukkan wajah panik. 　　Mereka terlalu bodoh - rencana Nona membelah perut kuda tadi sudah biasa? Justru sikap tenangnya mengelus pantat kuda ini yang mengerikan! Jangan-jangan Nona sedang memaksa kuda ini buang kotoran- 　　Membayangkan adegan itu, ketiganya serentak menggigil. 　　Jiang Si sama sekali tidak menghiraukan pikiran orang lain, fokus mengelus pantat kuda. 　　Kuda liar yang belum pernah melihat orang tak tahu malu seperti ini awalnya terdiam kaget. Tapi saat gadis ini terus mengelus-elus tanpa henti, tiba-tiba ia mengangkat kaki belakang. 　　Ah Man kaget, menarik Jiang Si mundur tergesa-gesa. 　　Kuda liar menghentak-hentakkan kaki beberapa kali, tak lama kemudian tenang kembali. 　　Zhu Ziyu menggandeng Jiang Yi mendekat, wajahnya penuh perhatian: "Adik Keempat tidak apa-apa?" 　　Jiang Si menatap Zhu Ziyu, bulu matanya bergetar halus, suaranya tenang namun menyimpan emosi yang sulit ditebak: "Tidak apa-apa." 　　Ekspresi Zhu Ziyu tetap ramah, seolah memperlakukan Jiang Si seperti adik kandungnya sendiri: "Kuda ini masih trauma, sifatnya sulit diprediksi. Adik Keempat jangan mendekatinya lagi." 　　Jiang Yi segera menambahkan: "Benar, Adik Keempat. Barusan kau mendekati kuda yang panik itu sangat berbahaya." 　　Jiang Si tersenyum: "Kakak Ipar benar, kuda yang panik memang berbahaya. Tadi saya dan Kakak duduk di dalam kereta kuda. Kalau bukan karena Lao Qin datang tepat waktu, bisa saja terjadi kecelakaan saat kereta menabrak pohon atau terbalik." 　　Jiang Yi gemetar tak terkendali mengingat situasi berbahaya tadi. 　　Jika terjadi sesuatu pada Adik Keempat, bagaimana dia menghadap Ayah? Jika dia sendiri celaka, bagaimana nasib Yan-yan yang masih kecil tanpa ibu? 　　Begitu memikirkan ini, rasa takut setelah kejadian itu datang seperti gelombang laut yang bergelora, lebih menakutkan daripada saat berada di kereta kuda yang lepas kendali. 　　Jiang Si memalingkan pandangan ke kereta kuda yang berhenti tenang di samping, lalu menegakkan dagu bertanya pada Zhu Ziyu: "Kakak Ipar, di mana kusirnya?" 　　Zhu Ziyu menyapu pandangannya ke pinggir jalan. 　　Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun keluar, berlutut di depan Zhu Ziyu dan terus memohon ampun: "Hamba bersalah, saat itu terlalu tiba-tiba terlempar keluar, tidak bisa melindungi Nyonya Besar dan Nona..." 　　Jiang Si memandang dingin kusir rumah keluarga Zhu yang meminta maaf, tidak tergoyahkan. 　　Jiang Yi yang berhati lembut menghela napas: "Sudahlah, kecelakaan seperti ini memang tak bisa kamu duga..." 　　Zhu Ziyu menatap Jiang Si dengan wajah malu: "Meskipun kusir tidak berniat bersalah, tapi tetap ada kelalaian. Adik Keempat tenang saja, Kakak Ipar pasti akan menghukumnya berat. Kejadian hari ini semuanya kesalahan Kakak Ipar yang tidak mengatur dengan baik, nanti Kakak Ipar akan datang ke rumah untuk meminta maaf pada ayah mertua..." 　　Jiang Si dengan ekspresi datar mendengar Zhu Ziyu selesai bicara, menyunggingkan senyum dingin padanya: "Kakak Ipar memang pantas meminta maaf pada Ayah." 269.BAB 269: Ini Adalah Pembunuhan 　　BAB 269: Ini Adalah Pembunuhan 　　Jawaban tanpa basa-basi Jiang Si membuat Zhu Ziyu tertegun, wajahnya menunjukkan warna kecanggungan. 　　Semua tahu ucapan tadi hanyalah formalitas, tak disangka si gadis ini benar-benar mempersoalkannya. 　　Mendatangi rumah untuk meminta maaf tentu tidak masalah, hanya reaksi Jiang Si membuat Zhu Ziyu mengenali ulang adik ipar perempuannya ini. 　　Zhu Ziyu jarang bertemu Jiang Si. Dalam ingatannya, adik ipar ini cantik luar biasa, seorang Nona pendiam dan tenang, tak disangka sifat aslinya begitu sulit didekati. 　　Zhu Ziyu agak lega melirik Jiang Yi, dalam hati bersyukur istri-nya sangat berbeda dengan adik iparnya, memiliki sifat lembut bak air. 　　Jawaban Jiang Si juga membuat Jiang Yi kaget, spontan berkata: "Adik Keempat--" 　　“Adik Keempat memang punya sifat sedikit keras kepala, aku tahu. Hari ini dia mengalami kekecewaan dan ketakutan sebesar ini, wajar jika ingin meluapkan emosi. Tapi di hadapan kerumunan ini, malu suami bukan masalah besar. Yang dikhawatirkan adalah reputasi Adik Keempat sebagai perempuan keras kepala yang tak mau mengalah akan tersebar.” 　　Jiang Yi memandang sekeliling dengan cemas. 　　Sebagian besar pejalan kaki yang sebelumnya berhenti menyaksikan keributan telah bubar, tapi masih ada beberapa orang yang menganggur tetap tinggal untuk terus menyaksikan. 　　“Adik Keempat, Kakak tahu hatimu terluka. Mari kita bicarakan semuanya setelah pulang,” bujuk Jiang Yi lembut, matanya memancarkan kekhawatiran dan permohonan. 　　Jiang Si mengeraskan hatinya mengabaikan permohonan Jiang Yi, mengulurkan tangan ke depan Zhu Ziyu, lalu perlahan membuka telapak tangannya. 　　Telapak tangan gadis itu putih dan lembut, dengan jelas terlihat sebatang jarum panjang terbaring di atasnya. 　　Mata Zhu Ziyu menyempit tiba-tiba, memandang Jiang Si dengan terkejut. 　　Jantung Jiang Yi berdebar kencang, bertanya penuh keheranan: “Adik Keempat, dari mana jarum ini?” 　　Jangan-jangan adikku selain membawa bubuk cabai dan serangga, juga menyimpan jarum panjang? 　　Bibir Jiang Si mengeras, nadanya dingin: “Ini diambil dari bulu di pantat kuda yang panik tadi. Jarum ini menancap dalam di daging, hanya menyisakan ujung kecil di luar. Kurasa inilah penyebab kuda tiba-tiba panik.” 　　Tak peduli reaksi kerumunan mendengar ini, Jiang Si menatap Zhu Ziyu dengan pandangan berat: “Kakak Ipar, menurutku kusir dari Rumah Keluarga Zhu bukan melakukan kesalahan tanpa sengaja, bukan?” 　　"Jiang Si" mengucapkan satu kalimat yang membuat "Zhu Ziyu" berubah pucat. 　　"Jiang Yi" bahkan wajahnya berubah pucat, berseru panik: "Adik Keempat, maksudmu jarum panjang ini sengaja ditusukkan oleh kusir?" 　　"Jiang Si" melangkah maju dua langkah, berkata datar: "Kuda yang sedang berlari kena tusuk jarum panjang di sekitar area pantat. Bukankah Kakak merasa kusir adalah yang paling mudah melakukannya?" 　　"Jiang Yi" tak bisa membantah, spontan menatap "Zhu Ziyu". 　　Kejadian hari ini benar-benar di luar perkiraannya, semua ini seperti mimpi. 　　Setelah sadar, "Zhu Ziyu" melotot ke kusir, lalu memaksakan senyum ke "Jiang Si": "Adik Keempat, sepulang nanti Kakak Ipar akan interogasi kusir ini, pasti akan memberi penjelasan. Sekarang kerumunan orang banyak, lebih baik kita pergi dulu." 　　"Jiang Si" menggelengkan kepala. 　　"Zhu Ziyu" memberikan kode mata ke "Jiang Yi". 　　"Jiang Yi" menekan gejolak pikirannya, ikut membujuk: "Iya, Adik Keempat, suamiku benar. Masalah apa pun kita bicarakan di rumah saja." 　　"Jiang Si" tetap diam di tempat, menghela napas: "Kakak, apakah kau pikir kusir kecil akan sengaja menargetmu?" 　　"Jiang Yi" terdiam oleh pertanyaan itu. 　　"Jiang Si" memicingkan mata ke "Zhu Ziyu", bertanya dengan senyum sinis: "Atau... Kakak Ipar berpikir begitu?" 　　"Tentu tidak..." Wajah "Zhu Ziyu" semakin suram, tapi tak bisa marah, berjanji tegas: "Sepulang nanti Kakak Ipar pasti selidiki sampai tuntas, tak akan biarkan kau dan Kakakmu menderita tanpa alasan." 　　“Si gadis ini benar-benar tidak tahu diri! Sekarang dia membuat kehebohan di depan banyak orang. Jika orang tahu di kediaman Zhu ada kusir yang sengaja ingin membahayakan tuannya, entah rumor buruk apa yang akan tersebar nanti.” 　　“Bagaimana Kakak Ipar bisa menjamin?” Jiang Si membalas, tanpa menunggu jawaban Zhu Ziyu langsung berkata dengan nada sinis, “Pasti bukan orang biasa yang menyuruh kusir itu berbuat jahat. Bisa jadi orang yang sangat dekat dengan Kakak Ipar. Bagaimana saya tahu nanti apakah Kakak Ipar akan menangani ini secara adil? Atau hanya mencari kambing hitam untuk menipu saya?” 　　Kening Zhu Ziyu sudah mulai berkeringat dingin. Ia tersenyum pahit: “Adik Keempat, perkataanmu membuat Kakak Ipar malu tak karuan. Kau bisa tanya Kakakmu, apakah Kakak Ipar adalah tipe orang seperti itu.” 　　Jiang Yi tentu tidak ingin adiknya berkonflik dengan suaminya. Ia buru-buru melerai: “Adik Keempat, suamiku tidak mungkin melakukan hal seperti itu...” 　　Jiang Si mengibaskan tangan: “Kakak Ipar tidak perlu menarik-narik Kakak saya. Ngomong-ngomong, Kakak Ipar juga adalah tuanku di kediaman Zhu. Sangat mampu memerintah kusir di rumah keluarga ini. Dalam situasi sensitif seperti ini, Kakak Ipar seharusnya menjaga jarak untuk menghindari kecurigaan.” 　　“Adik Keempat!” Jiang Yi sama sekali tidak menyangka adiknya akan mengucapkan kata-kata seperti itu, wajahnya langsung berubah pucat. 　　Apa maksud Adik Keempat ini? Jangan-jangan dia mencurigai kalau kejadian hari ini adalah perintah suamiku? 　　Pikiran ini melintas di benak Jiang Yi, terasa sangat konyol dan menggelikan. Untuk pertama kalinya dia merasa adiknya terlalu manja. 　　Kalau berkaitan dengan mertua yang selalu menggerutu karena dia belum punya anak, atau saudara ipar yang suai bersaing, masih masuk akal. Tapi kalau sampai suaminya... itu mustahil. 　　“Sudah beberapa tahun menikah masuk ke keluarga Zhu, suaminya memberikan perhatian yang sangat telaten padanya, bagaimana mungkin dia berniat mencelakai?” 　　Reaksi Jiang Yi membuat Jiang Si tersenyum getir dalam hati. 　　Sejak awal dia sudah menduga bahwa membuat kakak yang selalu percaya pada cinta suaminya meragukan Zhu Ziyu hampir mustahil, namun kecelakaan ini semakin meyakinkannya bahwa Zhu Ziyu bermasalah. 　　Saat melihat kakak naik kereta sementara Zhu Ziyu menunggang kuda sebelumnya, mungkin bukan karena dirinya terlalu sensitif, melainkan Zhu Ziyu sudah tahu kereta itu akan lepas kendali... 　　Tentu saja ini masih dugaan semata, namun setelah nyawa kakak terancam, dugaan ini jelas lebih masuk akal dibanding sebelumnya. 　　Masih ada sekitar dua bulan lebih sebelum malapetaka menimpa kakak, dalam situasi seperti ini Jiang Si tentu takkan mengabaikan kejanggalan apapun. 　　Zhu Ziyu menepuk-nepuk punggung Jiang Yi dengan lembut, tetap bersikap ramah pada Jiang Si: "Lalu apa yang harus kita lakukan menurut Adik Keempat?" 　　Di satu sisi ada pria terhormat yang tetap lembut seperti giok meski diragukan, di sisi lain gadis kecil yang tak mau mengalah meski sudah salah. Perbandingan ini semakin menonjolkan sikap keras Jiang Si. 　　Jiang Si sama sekali tak peduli pandangan orang, sedikit menaikkan sudut bibirnya: "Untuk masalah ini, Kakak Ipar harus datang menemui ayah saya dan menjelaskan langsung." 　　Terlepas dari siapa dalang kusir itu, jika keluarga asal tak bereaksi saat nyawa kakak terancam, pelaku akan semakin merajalela di kemudian hari. 　　"Tentu saja." Zhu Ziyu segera menyetujui. 　　"Adik ipar perempuan yang temperamennya begitu besar, tentu saja masalah ini tidak akan selesai dengan mudah. Permintaan maaf dengan datang langsung ke rumah sudah diantisipasinya." 　　Jiang Si mengangguk ringan, dagung putihnya menengadah: "Kereta kuda lepas kendali, di dalamnya hanya ada dua wanita lemah. Ini adalah pembunuhan, karena itu saya ingin melaporkan ke pihak berwajib!" 　　Terlepas dari apakah pihak berwajib bisa mengungkap pelaku yang berniat jahat terhadap kakak tertua, selama laporan ini resmi masuk dan tersebar luas, orang-orang akan memiliki kesan bahwa ada pihak di Keluarga Zhu yang berniat buruk terhadap kakak. Dengan demikian, meski di musim dingin nanti saya tidak bisa mencegah insiden 'pelarian' kakak dengan seseorang, setidaknya akan ada ruang untuk membela diri. 　　Alasannya sederhana: mengingat sebelumnya sudah ada yang memanipulasi kusir untuk menyakiti kakak, maka tidak aneh jika setelahnya akan ada fitnah lagi. 　　Langkah Jiang Si ini bisa dikatakan mengubah posisi pasif menjadi aktif, merebut sedikit inisiatif. 　　"Tidak boleh!" 270. BAB 270 PENCARI PERTOLONGAN 　　BAB 270 PENCARI PERTOLONGAN 　　Begitu mendengar Jiang Si menyebut pelaporan ke pihak berwajib, Zhu Ziyu tidak bisa lagi mempertahankan ketenangannya, langsung menolak tegas. 　　Jiang Yi juga terkejut, menarik tangan Jiang Si sambil bergumam: "Adik Keempat, bagaimana bisa melaporkan ke pihak berwajib?" 　　Aib keluarga tidak boleh diumbar - ini adalah pemikiran kebanyakan orang, apalagi bagi Jiang Yi yang sudah menjadi menantu dan istri, tentu lebih baik menyelesaikan sendiri di belakang pintu tertutup. 　　Melapor ke pihak berwajib? Ini sama sekali tidak terpikirkan. 　　Jiang Si tersenyum permisi: "Tapi saya sudah menyuruh Ah Man untuk melapor ke pihak berwajib." 　　Jiang Yi kaget, matanya melirik ke sekeliling, benar saja sosok Ah Man sudah tidak terlihat. 　　“Adik Keempat, kau benar-benar menyuruh Ah Man melaporkan ke pihak berwajib?” Jiang Yi masih tak percaya Jiang Si berani melakukan hal seperti ini. 　　Jiang Si mengangguk, mematahkan harapan Jiang Yi: "Benar. Kudengar Prefect Shuntian Tuan Zhen telah memecahkan banyak kasus rumit. Meminta beliau menyelidiki pasti akan mengungkap kebenaran, jadi Kakak Ipar tak perlu repot menyelidiki. Kakak Ipar, bagaimana pendapatmu?" 　　Wajah Zhu Ziyu sangat muram. Meski tak berkata apa-apa, jelas dia sangat marah. Matanya yang gelap menatap Jiang Yi. 　　Di bawah tatapan itu, Jiang Yi merasa canggung, tapi tetap membela Jiang Si: "Suami, Adik Keempat masih kecil, belum mengerti sopan santun..." 　　Zhu Ziyu diam seribu bahasa dengan wajah masam. 　　Masalah internal keluarga Zhu dilaporkan ke pihak berwenang tanpa persetujuannya. Mungkinkah ini bisa ditutupi hanya dengan alasan "belum mengerti sopan santun"? 　　Jiang Si berkedip, matanya polos dan penuh tanya: "Kakak, hari ini nyawa kita hampir melayang. Bukankah wajar meminta Tuan Zhen menyelidiki? Apakah gengsi keluarga lebih penting daripada nyawa kita? Kakak Ipar, kau tak berpikir begitu, kan?" 　　Zhu Ziyu menyunggingkan senyum kaku: "Tentu tidak. Tapi masalah yang bisa diselesaikan secara internal, mengapa harus dibawa ke pihak berwenang sampai jadi bahan tertawaan orang?" 　　Terdesak oleh pertanyaan beruntun Jiang Si, amarah Zhu Ziyu tak bisa diluapkan. 　　Jiang Si tersenyum: “Kakak Ipar adalah pelajar, tentu tahu pepatah bijak: Memahami kebenaran ada yang lebih dulu dan belakangan, keahlian memiliki spesialisasinya masing-masing. Keinginan Kakak Ipar menyelesaikan masalah secara tertutup memang baik, tapi bagaimana jika tidak ditemukan bukti? Bukankah melibatkan pihak berwenang nanti akan kehilangan momentum terbaik? Kakak Ipar yang begitu perhatian pada Kakak, tentu tidak ingin melihat pelaku yang menyakiti Kakak bebas berkeliaran, bukan?” 　　Zhu Ziyu hanya bisa tersenyum pahit dihujani pertanyaan itu. 　　“Kakak, pulang naik keretaku saja.” Jiang Si menarik lemban lengan Jiang Yi. 　　Jiang Yi spontan menoleh memandang Zhu Ziyu. 　　“Pergi dulu dari sini.” Zhu Ziyu menghela napas pasrah. 　　Keraguan Zhu Ziyu membuat Jiang Yi semakin merasa malu. 　　Keberangkatannya berziarah awalnya sudah tidak disukai ibu mertua, kini malah terjadi insiden besar seperti ini. Entah bagaimana harus menjelaskan nanti setelah pulang. 　　Jiang Si menghela napas halus, menggandeng Jiang Yi naik ke kereta sewaan. 　　Mengangkat tirai jendela, wajah gadis yang cerah mencuat: “Lao Qin, kendarai keretanya pelan-pelan.” 　　Sindiran halus itu jelas ditangkap Lao Qin, “Nona tenang saja, pasti akan sangat stabil.” 　　Memandang kereta kecil usang itu perlahan bergerak, Zhu Ziyu berdiam sejenak dengan sorot mata gelap sebelum membentak dua dayang yang tertinggal: “Masih tidak naik kereta?!” 　　Aya dan Azhu tak berani bersuara, gemetar naik ke kereta rumah keluarga Zhu yang reyot di tepi jalan. 　　Zhu Ziyu naik ke kuda, mengikuti kereta kuda yang ditumpangi saudari Jiang Si dari jarak yang tidak terlalu jauh maupun dekat, wajahnya yang tanpa ekspresi membuat orang tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya. 　　Jiang Si jelas merasakan suasana hati Jiang Yi yang murung, setelah naik ke kereta kuda mereka terdiam cukup lama. 　　"Kakak marah pada saya?" Yang paling Jiang Si takuti bukanlah hal lain, melainkan kemungkinan kakak tertuanya memilih berpihak pada Zhu Ziyu di saat kritis dan menjauh darinya. 　　Jiang Yi menghela napas dengan senyum getir, mengelus rambut hitam pekat Jiang Si: "Mengapa kakak bisa marah padamu? Hanya saja cara Adik Keempat hari ini terlalu impulsif, segala sesuatu yang dilaporkan ke pihak berwajib akan sulit dikendalikan." 　　"Kakak masih ingat kejadian di Kediaman Yongchang Bo?" 　　Jiang Yi tertegun sejenak, lalu mengangguk: "Bagaimana mungkin tidak ingat." 　　Kediaman Yongchang Bo telah bertetangga dengan Dongping Bo Residence selama bertahun-tahun, Pasangan Yongchang Bo adalah sosok senior yang sangat ia kenal, mengenang nasib malang mereka membuat dada Jiang Yi sesak. 　　"Kakak pikir, jika dulu Yongchang Bo memilih tidak melapor ke pihak berwajib, bagaimana mungkin akhirnya terungkap bahwa pelakunya adalah juru masak yang menyimpan dendam selama belasan tahun karena kesalahpahaman? Yongchang Bo pasti akan mati dalam depresi karena merasa bersalah membunuh istrinya, dan ini akan menjadi luka abadi bagi saudara Xie." 　　Dibandingkan dengan ayah yang membunuh ibu dengan tangannya sendiri, hasil akhir ini jelas lebih bisa diterima. 　　Jiang Yi meski setuju dengan perkataan Jiang Si, tetap menggelengkan kepala: "Masalah hari ini bagaimana bisa disamakan dengan urusan Kediaman Yongchang Bo..." 　　Jiang Si menggenggam erat tangan Jiang Yi: "Kakak, ada yang ingin mencelakaimu, pikirkan Yan-yan." 　　Jiang Yi tiba-tiba menggigil. 　　Menjadi ibu menguatkan, Yan-yan tak diragukan lagi adalah titik lemahnya, sekaligus sumber keberaniannya. 　　Jika benar ada yang ingin mencelakainya, lebih baik dimarahi ibu mertua daripada putrinya terlantar jika sesuatu terjadi padanya. 　　"Tapi bagaimana jika pihak berwenang tidak bisa menyelidiki?" 　　Mendengar pertanyaan Jiang Yi, Jiang Si menghela napas lega. 　　Perkataan kakaknya ini setidaknya memastikan tidak akan ada jarak antara mereka karena masalah ini. 　　"Meski tidak terungkap, setidaknya ini jadi peringatan bagi yang ingin mencelakai kakak, membuatnya tahu orang-orang Keluarga Dongping Bo bukanlah kue empuk yang bisa diinjak-injak." 　　Jiang Yi menghela napas pelan, lesu bersandar di dinding kereta tanpa bicara lagi. 　　Pertama paviliun di kuil gunung, lalu kuda yang panik di jalan, rentetan kejadian ini benar-benar melelahkan. 　　Suasana hening terus bertahan dalam kereta hingga memasuki kota. 　　Suara di luar semakin ramai, tawa para pejalan kaki, teriakan pedagang keliling, derit roda kereta, bersatu membentuk pemandangan kemakmuran. 　　Jiang Si tak berminat menikmati semua ini, diam-diam merencanakan langkah selanjutnya. 　　Kereta tiba-tiba berhenti, disusul teriakan panik. 　　"Lao Qin, apa yang terjadi di luar?" 　　Dari luar tirai pintu kereta terdengar suara datar Lao Qin: "Ada seorang wanita tiba-tiba berlari keluar, hampir menabrak kuda Tuan Gong Zhu." 　　Jiang Yi membuka matanya dengan cepat, menyibak tirai dan melongok ke luar. 　　Zhu Ziyu sudah turun dari kuda, bertanya dengan lembut: "Nona tidak apa-apa?" 　　Wanita itu seperti menemukan tali penyelamat, menggenggam erat lengan baju Zhu Ziyu sambil terengah-engah: "Tuan, Tuan Gong, tolong saya——" 　　Zhu Ziyu menoleh ke arah kereta kuda, bertatapan dengan Jiang Yi, wajahnya penuh kejanggalan dan kepasrahan. 　　Jiang Yi refleks merapikan pakaiannya, keluar dari kereta kuda dan mendekati Zhu Ziyu, bertanya: "Suami, ada apa?" 　　Tiba-tiba terdengar keriuhan: "Minggir, minggir!" 　　Dua pria kekar segera mendorong kerumunan orang dan mendekat, langsung menyeret wanita itu sambil memaki: "Berani-beraninya kau lari? Sungguh kurang ajar!" 　　Wanita itu masih menggenggam erat lengan baju Zhu Ziyu, merintih: "Tuan Gong tolong saya——" 　　Zhu Ziyu mengerutkan kening, tetap tak bergeming. 　　"Masih berani minta tolong? Rupanya kau belum melihat peti mati tidak akan menangis!" Seorang pria kekar menampar wanita itu. 　　Wanita yang terjatuh itu dengan susah payah merangkul kaki Jiang Yi, menengadah memohon: "Nyonya, tolong selamatkan hamba, hamba rela jadi pelayan seumur hidup..." 271.BAB 271 Menjadi Penyelamat 　　BAB 271 Menjadi Penyelamat 　　Wanita itu terlihat seumuran dengan Jiang Si, pakaian kain kasarnya tak bisa menyembunyikan kulitnya yang putih bersih. Wajah oval sebesar telapak tangan meski tak bisa dibilang cantik, tapi usia muda adalah modal terbaik, siapa pun yang melihat pasti menganggapnya sebagai nona kecil yang manis. 　　Saat ini, pipi putih nan manis si nona kecil itu menghiasi bekas tamparan yang merah dan bengkak, membuatnya terlihat semakin menyentuh hati. 　　Jiang Yi yang berhati lembut langsung menunjukkan rasa iba di matanya begitu digendong dan dibujuk dengan tangisan oleh gadis itu. 　　Jiang Si memandangi gadis di lantai dengan wajah tanpa ekspresi, di hatinya muncul perasaan lega seperti debu yang akhirnya mengendap. 　　Dia bersyukur bahwa petunjuk yang selama ini dicari-cari ternyata muncul di hadapannya. Gadis inilah yang disebut Kakak tertua di kehidupan sebelumnya sebagai orang yang tidak seharusnya diselamatkan! 　　Maka, Kakak tertua pasti akan segera mengabulkan permintaan gadis itu. 　　Pada detik ini, Jiang Si merasa sedikit ragu. 　　Menghentikan Kakak tertua menyelamatkan gadis itu memang tidak sulit. Tapi dalam kehidupan sebelumnya saat Kakak tertua terjebak dalam situasi terjepit, kejadian sebenarnya tidak diketahui. Peran gadis yang disebut tidak pantas diselamatkan itu juga tidak jelas. 　　Jika sekarang dia mengusir gadis ini dari sisi Kakak tertua, bagaimana jika ada orang lain yang mendekati Kakak tertua dengan cara yang lebih tak terduga? 　　Niat jahat yang menghadapi kenaifan, benar-benar mustahil untuk diwaspadai sepenuhnya. 　　Dalam hal ini, membiarkan gadis itu diselamatkan Kakak tertua mungkin lebih baik. Setidaknya ada target pengawasan yang jelas. Kedepannya, baik gadis itu menjebak Kakak tertua demi kepentingan pribadi atau ada dalang di belakangnya, semuanya akan meninggalkan jejak. 　　“Berdirilah!” Laki-laki besar itu meraih gadis itu seperti memegang anak ayam. 　　Gadis itu panik bersembunyi di belakang Jiang Yi. 　　Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dengan wajah berisi, membuat Jiang Yi juga merasa gugup. 　　Zhu Ziyu mengulurkan tangan menghalangi laki-laki itu: "Bicaralah baik-baik, jangan menakuti istri saya." 　　Laki-laki itu melirik Zhu Ziyu sambil tertawa sinis: "Sebaiknya jangan ikut campur. Kakak perempuan ini berhutang 20 tael padaku, dan dia sendiri yang bilang akan menggadaikan adiknya!" 　　Sambil berkata demikian, laki-laki itu menarik gadis itu ke depan dan mendorongnya untuk dilihat orang: "Lihatlah! Dengan kecantikan segini, 20 tael bisa dapat tiga gadis. Menggadaikan dia saja sudah termasuk amal..." 　　Gadis itu berjuang keras sambil menangis: "Lepaskan! Cari saja kakakku yang berhutang, kenapa aku yang digadaikan?" 　　Laki-laki itu menamparnya lagi: "Kau salahkan nasibmu sendiri! Orangtuamu sudah mati. Kakakmu menggadaikanmu, mulai sekarang kau milik kapal bunga kami. Kalau lari lagi, kubuang ke sungai jadi makanan ikan!" 　　"Aku tak mau! Lebih baik mati daripada ke kapal bunga. Nyonya, tolong selamatkan aku..." 　　Jiang Yi menggigit bibirnya ragu-ragu. 　　Biasanya ia takkan ragu menolong gadis malang seperti ini. Tapi hari ini adik keempat sudah melapor ke polisi karena kuda panik, hal ini sudah merepotkan keluarga Zhu... 　　“Teriakan putus asa sang gadis akhirnya membuat Jiang Yi tidak tega untuk berpura-pura tidak melihat. Ia refleks menatap Zhu Ziyu.” 　　“Sementara itu, Jiang Si juga diam-diam mengamati ekspresi Zhu Ziyu.” 　　“Pertama kereta kuda yang lepas kendali, lalu gadis yang minta tolong. Yang pertama sudah pasti ulah manusia, apakah kemunculan yang kedua ini ada hubungannya dengan Zhu Ziyu? Masih perlu diamati.” 　　“Zhu Ziyu menenangkan Jiang Yi dengan menggenggam tangannya, berbisik lembut: "Terserah keputusanmu."” 　　“Alis Jiang Si sedikit terangkat, dalam hati ia mencemooh.” 　　“Kata-kata Zhu Ziyu terdengar muluk-muluk, seolah menghargai pendapat sang Kakak tertua. Padahal sebenarnya "" ia sudah tahu betul sifat lemah hati kakaknya.” 　　“Artinya, Zhu Ziyu tidak mencegah karena ingin melihat sang gadis diselamatkan oleh kakaknya.” 　　“Namun--- Jiang Si melirik Zhu Ziyu, memutuskan untuk mengonfirmasi sekali lagi.” 　　“"Kalau begitu---"” 　　“"Tunggu." Jiang Si langsung memotong ucapan Jiang Yi.” 　　“Jiang Yi bingung memandangi adiknya, sementara Zhu Ziyu juga mengalihkan pandangannya.” 　　“Jiang Si maju selangkah, berdiri di depan pria besar itu.” 　　“Pria besar itu terkejut sejenak lalu menyeringai jahat: "Wah, nona kecil mau membelanya---"” 　　“"Jangan banyak bicara. Cukup?" Jiang Si menyodorkan beberapa butir emas.” 　　“Melihat pria itu terpaku, Jiang Si tak sabar bertanya: "Apakah ini tidak bisa menebus 20 tael perak? Jangan coba menipuku! Pamanku adalah pejabat di kantor kabupaten, paling benci pada penipu!"” 　　“Orang kasar itu matanya melirik ke sana kemari, tanpa sadar memandang ke arah Zhu Ziyu.” 　　“Awalnya gerak-geriknya tak terlalu mencolok, tapi karena Jiang Si memang fokus mengawasi, ia langsung menyadarinya.” 　　“Jiang Si segera mengerutkan kening: 'Tidak cukup, atau tidak mau? Beri jawaban!'” 　　“'Cukup...' Orang kasar itu mengatupkan gigi dengan susah payah.” 　　“'Kalau begitu tidak mau?' Jiang Si melirik gadis itu sambil tersenyum sinis, 'Mungkin ingin menyimpannya untuk jadi pesaing Ratu Bunga di masa depan?'” 　　“Pemilihan Ratu Bunga tiga tahun sekali di ibu kota Dinasti Zhou adalah acara megah yang tak kalah dari ujian kekaisaran, diadakan di tepi Sungai Jinshui. Bahkan anak kecil pun akan memetik bunga untuk dihadiahkan kepada para gadis berdandan mewah.” 　　“Mendengar komentar Jiang Si, kerumunan penonton pun tertawa kecut.” 　　“Gadis malang itu hanya lumayan cantik, bahkan tak mencolok jika dibandingkan dayang para nyonya dan nona keluarga bangsawan. Mustahil bisa bersaing jadi Ratu Bunga.” 　　“Orang kasar itu paham hal ini. Ditanya Jiang Si, matanya kembali melirik ke Zhu Ziyu.” 　　“Jiang Si menaikkan alis: 'Kau aneh sekali. Cukup jawab iya atau tidak, selalu lihat kakak iparku untuk apa? Apa kau juga bertugas mencari jodoh untuk gadis ini?'” 　　“Zhu Ziyu merasa jantungnya berdebar. Ingin membantah tapi takut semakin dicurigai, akhirnya diam sambil memberikan kode mata kepada Jiang Yi.” 　　“Baru sekarang ia sadar, adik ipar yang dikesankan angkuh ini terus-menerus membuatnya kewalahan dengan kelicikannya yang tak terduga.” 　　“Adik Keempat, saya punya uang di sini...” 　　“Kakak, ini bukan perlombaan membayar tagihan.” Ucapan Jiang Si memotong rencana Jiang Yi. Ia memandang lelaki besar itu dengan tidak senang, “Aku tanya sekali lagi, mau atau tidak? Kalau tidak, segera bawa orang ini pergi. Dari awal juga tidak ada hubungannya dengan kami.” 　　“Mau, mau!” Lelaki itu menerima mutiara emas dengan enggan, lalu pergi bersama temannya. 　　“Kau lupa memberikan sesuatu padaku? Surat perjanjian jual diri yang ditulis kakak gadis ini untuk kalian?” 　　Keringat mengucur di dahi lelaki besar itu saat menyodorkan surat perjanjian pada Jiang Si sebelum cepat-cepat pergi. 　　Jiang Si menyerahkan surat itu ke tangan gadis itu, tersenyum tipis: “Kakak, mari kita pergi.” 　　Selanjutnya, si gadis pasti akan bilang 'tidak bisa membalas budi, bersedia menjadi pelayan' kan? 　　Tapi kali ini yang membayar adalah diriku. Bagaimana kelanjutan drama si gadis ini? 　　Memikirkan ini, Jiang Si malah jadi penasaran dengan aksi si gadis. 　　Benar saja, gadis itu ragu-ragu melihat Jiang Yi dan Jiang Si, akhirnya berlutut di depan Jiang Si sambil menyerahkan surat: “Budi baik Nona tak bisa kubalas, hamba bersedia menjadi pelayan...” 　　“Jadi pelayan...” Jiang Si tersenyum, “Tapi keluarga kami tak kekurangan pelayan. Lagipula, pekerjaan pelayan pun tak bisa kau lakukan. Jangan bicara kosong.” 　　Gadis itu tertegun. 　　Ini berbeda dengan citra putri bangsawan yang ia bayangkan! 272.BAB 272 Menampung 　　BAB 272 Menampung 　　Jiang Si tersenyum tipis, matanya tenang namun dalam, memberikan kesan watak yang sulit ditebak. 　　Gadis itu panik, menangis sambil berkata: "Jika Nona tidak mau menerimaku, aku tak punya tempat berlindung. Akhirnya pasti akan dijual ke rumah bordil oleh kakak laki-laki pecandu judiku..." 　　Jiang Si menghela napas. 　　Inilah akibat menjadi orang baik. Bukan hanya harus kehilangan uang, tapi juga harus bertanggung jawab. 　　"Jadi apa aku harus meminta mutiara emas itu kembali dari orang yang baru pergi tadi?" Setelah mendengarkan tangisan gadis itu beberapa saat, Jiang Si bertanya dengan wajah datar. 　　Tangisan gadis itu tercekat. Karena terlalu terburu-buru, dia malah sendawa. Mukanya langsung memerah. 　　Sekarang dia sudah yakin: Putri bangsawan ini jelas berbeda dari putri bangsawan lainnya! 　　Melihat gadis itu terbungkam, Jiang Si merasa sedikit lega. 　　Meski sudah memutuskan untuk tidak mengubah alur aslinya, tetap saja menyaksikan orang yang menjebak kakak tertuanya berakting membuatnya jengah. 　　Jiang Yi tak tahan mengingatkan: "Adik Keempat, jangan terlalu banyak bicara." 　　Seorang gadis yang berbicara terlalu tajam di depan umum bukanlah hal baik. Jika tersebar, akan merusak reputasi Adik Keempat. 　　Jiang Si mengerti kekhawatiran Jiang Yi, tapi dalam hati tidak setuju. 　　Jika harus menahan diri atau mengalah hanya demi reputasi baik, lebih baik reputasi seperti itu tidak usah dipertahankan. 　　Gadis itu berbalik dan berlutut di depan Jiang Yi: "Mohon Nyonya menerimaku! Aku bisa melakukan semua pekerjaan. Asal ada tempat tinggal dan makanan..." 　　Melihat semakin banyak orang yang berkerumun untuk melihat keramaian, suara-suara diskusi yang berisik memenuhi telinga. Jiang Yi merasa agak canggung, setelah ragu sejenak ia pun mengambil keputusan: "Adik Keempat, jika kau tidak nyaman, biarkan nona ini ikut denganku. Melihat kondisinya seperti ini, jika dia kembali pasti tidak akan bertahan hidup..." 　　Seorang gadis kecil yatim piatu, jika sudah pernah dijual sekali oleh kakak laki-lakinya, pasti bisa dijual kedua kalinya. Menampung gadis kecil ini sama saja dengan menyelamatkannya sampai tuntas. 　　Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Ternyata benar, meskipun aku yang membeli gadis ini, tanpa ada yang mencegah, akhirnya gadis itu tetap tinggal di sisi kakak perempuan. 　　Gadis itu langsung berseri-seri wajahnya, membenturkan keningnya berkali-kali ke tanah untuk Jiang Yi: "Terima kasih Nyonya, terima kasih Nyonya..." 　　Jiang Yi segera menarik gadis itu berdiri: "Tak perlu seperti ini. Kami belum tahu namamu." 　　"Hamba bernama Qing'er. Jika Nyonya merasa tidak cocok, mohon beri hamba nama baru." Gadis itu cukup lihai, segera mengubah sebutan diri. 　　Jiang Yi tersenyum: "Cerah setelah hujan, itu nama yang bagus. Tak perlu diganti, tetap kupanggil Qing'er saja." 　　Tak ingin berlama-lama menjadi tontonan orang, Jiang Yi memberi isyarat pada A Zhu untuk membawa Qing'er naik kereta kuda yang mengikuti di belakang. 　　"Yi Niang, kalian naiklah juga." Melihat pandangan Jiang Yi masih tertuju pada kereta kuda di belakang, Zhu Ziyu tersenyum, "Cuma pelayan kecil. Jika cocok di matamu, biarkan tinggal di pekarangan kita. Jika tidak suka, suruh saja kerja di tempat lain. Tak perlu dipikirkan berat." 　　Perhatian Zhu Ziyu membuat Jiang Yi tersenyum lembut: "Di tempat lain, tenaga kerja sudah diatur. Sudahlah, biarkan dia tinggal di halaman sebagai dayang penyapu." 　　Satu kalimat ini menentukan nasib Qing'er, sekaligus membuat Jiang Si semakin yakin bahwa Qing'er adalah orang yang disebut kakak tertua dalam kehidupan sebelumnya. 　　Saat naik kereta kuda, kerutan di dahi Jiang Si menarik perhatian Jiang Yi: "Adik Keempat, kau tak senang Kakak menampung Qing'er?" 　　Jiang Si menatap Jiang Yi, tetap diam. 　　Jiang Yi menghela napas dan memeluk Jiang Si: "Adik Keempat, tindakanmu membantu Qing'er seharusnya dipuji. Kenapa harus bersikap keras? Keluarga kita bisa memberi makan satu mulut lagi. Jika Qing'er pulang, dia pasti mati. Niat baikmu malah dipandang salah..." 　　Jiang Si memotong: "Kakak, apakah pandangan orang lain begitu penting?" 　　Jiang Yi tertegun: Bukankah pandangan orang lain memang penting? 　　Inilah perbedaan kedua saudari. Meski tak mengalami reinkarnasi, Jiang Si bukan tipe penurut. Di kehidupan sebelumnya dia lebih keras kepala, sedangkan Jiang Yi selalu menjadi putri bangsawan yang patuh aturan. 　　"Kakak, ingatkah perkataanku di Kuil Baiyun?" 　　Mengingat Kuil Baiyun, wajah Jiang Yi langsung pucat. Jelas tempat itu bukan kenangan menyenangkan baginya. Nampaknya dalam waktu lama ia tak akan kembali ke sana. 　　"Kakak, bukankah aku pernah bilang bahwa aku bermimpi kau menyelamatkan ular? Tapi ular itu malah menggigitmu..." 　　Jantung Jiang Yi berdebar kencang: "Kau maksud--" 　　"Kebetulan ini terlalu aneh. Baru saja aku bermimpi, Qing'er langsung muncul. Menurutku mimpi ini pasti peringatan!" 　　Jiang Yi tampak sulit mempercayai: "Tapi yang menyelamatkan Qing'er adalah Adik Keempat..." 　　Jiang Si hampir tertawa kesal: "Kakak, kalau bukan aku yang turun tangan, siapa yang akan menyelamatkan Qing'er?" 　　Jiang Yi terdiam tak bisa menjawab. 　　Seandainya Adik Keempat tidak ikut campur, pasti ia akan memilih untuk menolong. 　　"Kakak, lebih baik kau awasi diam-diam Qing'er ini. Perhatikan baik-baik ucapan dan tingkah lakunya, terutama jangan sampai kau dijebaknya." Khawatir Jiang Yi meremehkan, Jiang Si menekankan, "Niat jahat tak boleh ada, tapi kewaspadaan harus tetap dijaga. Kakak, kalau sampai terjadi sesuatu padamu, yang paling menderita adalah Yan-yan." 　　Jiang Yi mengangguk: "Adik jangan khawatir, Kakak akan lebih berhati-hati." 　　Meski sulit membayangkan bagaimana seorang dayang baru bisa menjebaknya, mengingat mimpi aneh Adik Keempat ini, demi Yan-yan ia memang harus lebih waspada. 　　Tentu saja Jiang Si tidak langsung lega hanya karena anggukan kakaknya. Dalam hati ia sudah menyusun rencana lain. 　　Jiang Yi dipenuhi kekhawatiran, memikirkan adiknya yang melaporkan kasus ke pihak berwajib membuatnya terus-menerus mengerutkan kening. 　　"Tunggu, ini mau ke mana?" Suara terkejut Zhu Ziyu terdengar dari luar kereta. 　　Lao Qin menjawab: "Nona bilang mau kembali ke Keluarga Bo." 　　Zhu Ziyu menarik kendali kudanya, berseru keras: "Berhenti!" 　　Kereta kuda perlahan melewati Zhu Ziyu, disusul cambukan Lao Qin yang membuat kuda penarik berlari kencang. Kereta itu sekejap menghilang dalam debu, meninggalkan Zhu Ziyu yang terbatuk-batuk akibat debu yang terbang. 　　Akselerasi tiba-tiba kereta membuat Jiang Yi kaget, ia berpegangan pada dinding kereta sambil menjulurkan kepala: "Adik Keempat, ada apa ini?" 　　Jiang Si tersenyum manis menghibur: "Kakak jangan panik, mari kita kembali ke Dongping Bo Residence dulu untuk menceritakan kejadian hari ini pada Ayah." 　　Jiang Yi tak menyangka Jiang Si serius: "Adik, ini urusan Keluarga Zhu. Setelah pulang, aku dan suamiku akan menyelidiki. Mengapa harus membuat Ayah di Keluarga Bo ikut khawatir?" 　　Jiang Si tetap teguh: "Kakak duduklah dengan baik." 　　"Adik Keempat--" 　　Tak peduli seberapa cemas Jiang Yi, kereta yang dikemudikan Lao Qin segera tiba di gerbang Dongping Bo Residence. 　　Sebagai pribadi yang lembut, Jiang Yi kini hanya bisa mengeraskan hati mengikuti Jiang Si masuk ke dalam. 　　Jiang Si baru saja menginjakkan kaki di pintu gerbang Keluarga Bo, tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak biasa. 　　Masih ada satu bab lagi, agak sedikit malam. Membawa para gadis pergi liburan, benar-benar melelahkan. 273.BAB 273 Hilang 　　BAB 273 Hilang 　　Ekspresi pelayan pintu yang ragu-ragu, langkah tergesa pelayan dan raut wajah yang tegang, membuat Jiang Si menyadari ada kejadian luar biasa di kediamanan. 　　Jiang Si langsung menghadang seorang pelayan: "Apakah terjadi sesuatu di rumah ini?" 　　Pelayan itu refleks melirik ke arah Jiang Yi. 　　Wajah Jiang Si berubah masam: "Ada apa?" 　　Pelayan itu hati-hati menjawab: "Nyonya Kedua hilang!" 　　Jiang Si benar-benar terkejut: "Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　Tampaknya kabar ini sudah menyebar ke seluruh Keluarga Bo. Pelayan itu buru-buru menjelaskan: "Hari ini Nyonya Kedua pergi berziarah ke Kuil Baiyun. Tiba-tiba di tengah jalan muncul dua orang bertopeng yang menendang Lao Zhang si kusir keluar dari kereta kuda, lalu melarikan kereta itu..." 　　"Astaga!" Jiang Yi terkaget-kaget menutup mulutnya, jantung berdebar ketakutan. 　　Hari ini benar-benar sial, dia dan Adik Keempat mengalami serentetan insiden, bahkan Bibi Er pun tertimpa musibah... 　　Jiang Si merasa dadanya berdebar, tiba-tiba disergap rasa ngeri yang tak terkatakan: Bagaimana jadinya jika hari ini dia yang naik kereta kuda Keluarga Bo ke Kuil Baiyun? 　　Jiang Si tidak merasa berlebihan. Sejak kelahiran kembali, setiap langkah penuh bahaya. Baginya, setiap kecelakaan bisa jadi merupakan rekayasa manusia. 　　“Coba bayangkan, jika hari ini saya yang naik kereta Keluarga Bo, maka yang hilang sekarang pasti saya.” Pikiran itu membuat Jiang Si tak lagi merasa senang atas hilangnya Nyonya Xiao Istri Kedua, malah membuat hatinya semakin berat. 　　Perkara ini tidak boleh dianggap remeh. 　　“Sekarang Bibi Er sudah pulang?” 　　Pelayan menjawab, “Belum, ketiga Tuan sudah pergi mencari. Saat ini hanya Tuan Besar yang sudah kembali.” 　　“Adik Keempat—” Jiang Yi memanggil dengan wajah pucat, gelisah, “Lebih baik aku pulang dulu. Rumah sedang kacau seperti ini, jangan sampai memberatkan Ayah lagi...” 　　Melihat Zhu Ziyu sudah mengejar sampai gerbang Keluarga Bo, Jiang Si segera menggenggam tangan Jiang Yi: “Pendapat Kakak keliru. Justru karena semua kejadian beruntun inilah yang mencurigakan. Hari ini kita harus laporkan semuanya pada Ayah.” 　　“Kakak Ipar, Anda juga datang.” Pelayan gerbang terkejut melihat Jiang Yi, apalagi ketika melihat Zhu Ziyu turun dari kuda dan bergegas masuk. 　　Zhu Ziyu mengangguk singkat pada pelayan, lalu bergegas menyusul: “Yi Niang, tunggu sebentar.” 　　Melihat kakaknya berhenti, Jiang Si tidak bisa memaksa menariknya. Ia menunggu di tempat sambil menyeringai dingin pada Zhu Ziyu: “Apa janji Kakak Ipar tadi tidak berlaku lagi?” 　　Tatapan aneh para pelayan Keluarga Bo membuat Zhu Ziyu tersipu, ia mencoba tersenyum: “Tentu saja masih berlaku...” 　　“Baguslah. Mari kita temui Ayah bersama.” Jiang Si menarik Jiang Yi menuju Cixintang. 　　“Jiang Si sudah lama menyadari, untuk menghadapi orang seperti Zhu Ziyu yang selalu tampil sempurna, jalur putri bangsawan yang lembut dan pendiam tidak akan efektif. Hanya dengan melepas muka barulah bisa unggul.” 　　“Ramalan Jiang Si tepat. Saat ini Jiang Ancheng sedang berada di Cixintang. Melihatnya masuk, ia terkejut: 'Si'er, akhirnya kau pulang. Di mana Kakak Kedua?'" 　　“Pandangannya menyapu ruangan dan terkejut melihat Jiang Yi: 'Yi'er juga datang?'" 　　“Jiang Yi dan Zhu Ziyu segera memberi salam kepada Jiang Ancheng dan Nyonya Feng.” 　　“Menghadapi Zhu Ziyu, raut muram Nyonya Feng sedikit melunak: 'A Fu, hidangkan teh untuk Tuan Muda dan Nyonya Muda.'" 　　“Jiang Ancheng tak peduli formalitas: 'Kakak Kedua tidak bersama kalian?'" 　　“‘Kakak Kedua mencariku?’" 　　“Jiang Ancheng mengangguk: ‘Bibi Er diculik. Karena khawatir dengan kejadian besar ini, aku menyuruh Kakak Kedua mencarimu.’" 　　“‘Mungkin kami saling meleset dengan Kakak Kedua.’" 　　“Saat A Fu menghidangkan teh, Nyonya Feng bertanya heran: ‘Yi'er, mengapa kalian datang bersama suamimu hari ini?’" 　　“Jiang Yi dan Zhu Ziyu saling pandang, bingung harus mulai dari mana.” 　　“‘Karena ada hal yang perlu dilaporkan pada Nenek dan Ayah.’ Jiang Si sama sekali tidak merasa sungkan, langsung menceritakan semua kejadian hari ini. Akhirnya dengan wajah dingin berkata: ‘Ada orang Keluarga Zhu yang ingin mencelakakan Kakak. Karena khawatir, aku membawa Kakak pulang. Harap Nenek dan Ayah membela Kakak.’" 　　Nyonya Feng mendengar sambil terus mengerutkan kening. 　　Anak perempuan yang sudah menikah bagai air yang sudah ditumpahkan. Masalah kuda panik seharusnya diselidiki di kediaman keluarga Zhu. Paling-paling ini hanya persaingan antar perempuan di kompleks belakang rumah, cukup diselesaikan di balik pintu tertutup. Si'er malah membawa orang ke keluarga Bo, bukankah ini justru menambah masalah? Mana mungkin keluarga Bo ikut campur urusan dalam rumah tangga keluarga Zhu. 　　Jiang Ancheng malah menepuk meja: "Si'er, kau melakukan hal yang benar!" 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Putri juga sudah melaporkan ke pihak berwajib." 　　"Seharusnya begitu (keterlaluan)!" Suara Jiang Ancheng dan Nyonya Feng terdengar bersamaan. Sikap bertolak belakang mereka membuat suasana semakin canggung. 　　Sikap Nyonya Feng tidak mengejutkan Jiang Si. Ia memalingkan pandangan dengan ekspresi heran: "Nenek merasa cucu perempuanmu salah?" 　　Nyonya Feng benar-benar marah, namun berusaha menahan amarah: "Keluarga terhormat mana yang langsung melapor ke pihak berwajib? Ini pasti jadi bahan tertawaan orang!" 　　Jiang Si menyeringai dingin: "Kusir menggunakan jarum panjang untuk menusuk pantat kuda demi membunuh tuannya. Masih pantas disebut keluarga terhormat?" 　　Nyonya Feng tetap tidak menganggap serius. 　　Di kediaman bangsawan mana yang tidak punya skandal memalukan? Kalau semua dilaporkan ke kantor kabupaten, petugasnya mungkin tidak sempat makan. 　　"Para tetua keluarga Zhu pasti akan membela kakakmu. Dengan bertindak sembrono seperti ini, bukankah kau membuat kakakmu kesulitan di kemudian hari?" 　　Ekspresi Zhu Ziyu mulai relaks. 　　Nenek istrinya ternyata masih bisa diajak bicara, setidaknya tidak membabi buta membela keluarga sendiri. 　　Nyonya Feng secara tersirat menyiratkan bahwa Jiang Yi sudah menjadi bagian dari Keluarga Zhu, sehingga Keluarga Bo tidak seharusnya ikut campur urusan Rumah Zhu. 　　Jiang Si merasa pilu di hati, lalu melontarkan pukulan telak: "Nenek, saya tidak berpikir ini hanya urusan Rumah Zhu. Sebaliknya, Keluarga Bo harus serius menangani masalah ini." 　　Nyonya Feng mengerutkan kening sambil mendengarkan penjelasan Jiang Si lebih lanjut. 　　Jiang Si melirik Zhu Ziyu, lalu berkata dengan tenang: "Hari ini kusir Zhu berani mencabut nyawa kakak, besok siapa yang bisa jamin tidak ada yang menggunakan strategi lebih hina? Jika ada yang menodai kehormatan kakak, bagaimana Keluarga Bo bisa mengangkat kepala di ibu kota?" 　　Wajah Zhu Ziyu berubah drastis: "Adik Keempat, perkataanmu keterlaluan--" 　　Jiang Si membalas: "Tidak sehina orang di belakang kakak ipar yang bisa memerintah kusir kereta." 　　Nyonya Feng terdiam sejenak. 　　Jika benar terjadi hal seperti itu, reputasi Keluarga Bo di ibu kota akan hancur. Ini jelas bukan lagi urusan Rumah Zhu semata. 　　Melihat keraguan di wajah neneknya, Jiang Si mencemooh dalam hati: Ternyata hanya dengan menyentuh kepentingan Keluarga Bo, sang nenek baru mau serius. 　　Jiang Ancheng melototi Zhu Ziyu lalu bergegas pergi: "Ikut aku ke Rumah Zhu!" 　　"Ayah--" Jiang Yi bimbang di tempat. 　　Jiang Ancheng sudah melangkah keluar dengan langkah lebar. 　　Sekejap mata, Cixintang kembali sunyi. Nyonya Feng mengusap pelipisnya. 　　Masalah belum selesai sudah datang lagi, sementara Xiao Shi masih belum ketahuan dimana! 　　Sementara itu, Xiao Shi memandang sekelilingnya dengan panik, merasa ingin collapse. 　　Siapa yang bisa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi? Dia yang tadi baik-baik saja duduk di kereta sambil makan kuaci menuju tempat ziarah, kenapa sekejap mata sudah berada di tempat seperti ini! 　　Sampai jumpa besok, jangan lupa vote ya semuanya. 274.BAB 274: Salah Menculik 　　BAB 274: Salah Menculik 　　Xiao Shi berada di ruangan sempit dan rendah. Balok kayu di langit-langit terlihat lapuk dimakan rayap, jendela tinggi di dinding tetap tak bisa dilihat meski berjinjit. 　　Jerami kering menginjak di bawah kaki, tumpukan kayu bakar tinggi di sudut dinding, bau apek samar tercium di hidung. 　　Setelah lama menatap tumpukan kayu itu, Xiao Shi baru tersadar: Ini ternyata gudang kayu! 　　Siapa yang menculik dan mengurungnya di gudang kayu? 　　Merampok harta? Kalau begitu, kenapa tak ada yang datang bernegosiasi? Xiao Shi yakin Keluarga Bo pasti akan membayar berapapun tebusannya. Dia ibu dari tiga anak, neneknya pasti tak akan tega membiarkannya. 　　Kalau maksudnya menodai kehormatan... Xiao Shi gemetar menyentuh pipinya. 　　Usianya belum empat puluh, selama ini selalu merawat diri. Setelah dipikir-pikir, mungkin saja ini tujuannya! 　　Pikiran ini membuatnya semakin panik. 　　Jika benar kehormatannya ternodai, meski nyawanya selamat, Keluarga Bo tak akan menerimanya kembali. 　　"Ada orang? Ada orang?" Xiao Shi berlari ke pintu, memukul daun pintu kayu dengan keras. 　　Di aula tak jauh dari situ, Cui Yi mengayunkan tongkatnya ke dua pemuda sambil berteriak: "Kalian berdua idiot ya? Suruh kalian membawa Nona Keempat Dongping Bo Residence untuk Tuan, malah membawa bibinya! Kalau memang hebat, kenapa tidak sekalian bawa ayahnya?" 　　Kedua pemuda itu bahkan tidak berani menghindar, membiarkan tongkat menghantam tubuh mereka sambil terus merengek: "Tuan, kasihanilah hamba! Kami sudah memantau Dongping Bo Residence, dapat kabar Nona Keempat Jiang hari ini akan berziarah ke Kuil Baiyun. Entah bagaimana kereta yang kami sergap malah berisi seorang bibi..." 　　Mendengar ini, urat pelipus Cui Yi berdenyut marah. Ayunan tongkatnya semakin kencang: "Entah bagaimana? Kalian tidak tahu, masak aku yang tahu? Dasar tolol! Tidak bisa mengangkat tirai kereta untuk memastikan?" 　　Kedua pemuda itu merasa sangat tidak adil. 　　Tugas menyamun bukan keahlian mereka. Mereka bukan ahli bela diri yang mencari nafkah dengan ilmu silat. Hanya pelayan biasa. Setelah menculik, fokus mereka hanya melarikan diri secepatnya, mana sempat memeriksa tirai kereta? 　　Cui Yi kelelahan memukul. Ia melemparkan tongkatnya, memegang sandaran kursi sambil terengah-engah. 　　Ia juga merasa kesal. Sejak kejadian di Sungai Jinshui yang membuatnya malu, kakinya belum pulih. Ke mana-mana harus diusung dengan kursi. 　　“Lebih keterlaluan lagi, Ayah bahkan memanggil kembali dua pengawal yaitu Cui Cheng dan Cui Gong, membuatku terpaksa menggunakan dua orang bodoh ini. Setelah ibu pulang dari liburan musim panas dan mendengar kejadian ini, dia tidak banyak bicara, sepertinya juga tidak berniat membelaku.” 　　“Cui Yi yang selama ini hidup enak belum pernah merasakan penghinaan seperti ini, hatinya dipenuhi amarah ingin membalas Jiang Zhan. Sayangnya, Jiang Zhan sudah masuk ke Pasukan Pengawal Kekaisaran. Karena kondisi kakinya belum memungkinkan untuk bertindak, akhirnya ia mengincar Jiang Si.” 　　“Jiang Zhan kan paling menyayangi adik perempuannya. Kalau begitu, berikan pelajaran berharga untuk sang adik kesayangan, biar si brengsek itu menangis tanpa tempat mengadu!” 　　“Mengalihkan sasaran ke Jiang Si, semakin dipikirkan Cui Yi semakin merasa ini ide bagus.” 　　“Mengatasi seorang nona kecil jauh lebih mudah daripada berurusan dengan pemuda nekat. Efeknya pun pasti lebih baik daripada sekadar memukuli Jiang Zhan.” 　　“Cui Yi bahkan sudah membayangkan wajah sedih Jiang Zhan saat tahu adiknya hilang. Tapi tak disangka, dua orang bodoh itu salah menculik orang!” 　　“Tuan Gong, sekarang harus bagaimana?” Salah satu pemuda bertanya dengan hati-hati. 　　“Harus bagaimana? Berani-beraninya kau bertanya padaku!” Cui Yi ingin memukul orang lagi dengan tongkatnya. 　　“Rencana awalnya adalah menculik Nona Keempat Jiang untuk dipermalukan lalu dilepaskan. Dengan begitu reputasi Nona Keempat Jiang akan ternoda, cukup untuk memberikan pukulan telak bagi Jiang Zhan.” 　　“Merampok kehormatan tentu tidak, dia masih merendahkan diri untuk melakukan hal hina seperti itu. Membunuh? Jauh lebih tidak mungkin. Setelah membunuh, masalah yang timbul terlalu banyak. Bagaimana jika malah memancing amarah Zhen Shicheng si anjing gila tua itu?” 　　Dalam pikiran Cui Yi, diam-diam mengembalikan Jiang Si ke Dongping Bo Residence, sementara keluarga bangsawan itu bahkan tidak berani mengungkit kejadian ini. Dengan demikian dendamnya terlampiaskan sekaligus dia bisa bebas dari masalah - rencana yang sempurna. 　　Namun kini, rencana sempurna itu telah berubah menjadi lelucon besar. 　　“Bagaimana kalau kita jual saja seperti yang dilakukan pada dayang bibinya?” usul seorang pemuda lain dengan gemetar. 　　Hari ini Xiao Shi pergi dengan rombongan minimalis. Selain kusir, hanya ditemani dayang utamanya Hongyue yang ikut duduk di dalam kereta. 　　Setelah kereta kuda dirampok, Xiao Shi dan Hongyue dibawa ke sini. Karena guncangan keras dan ketakutan, Xiao Shi pingsan. Dua pelayan menginterogasi Hongyue dan mengetahui identitas nyata Xiao Shi. Sadar telah salah sasaran, mereka sepakat menjual Hongyue, sementara Xiao Shi tidak berani diganggu. 　　Meski salah sasaran, ini tetap anggota Dongping Bo Residence. Keputusan akhir harus dari tuanku. 　　Cui Yi menampar pipi pemuda itu, marah: “Kau pikir si bibi ini nona perawan belasan tahun? Perahu hiburan mana yang mau menerima? Siapa pula yang kekenyangan sampai mau menerimanya!” 　　Setelah tenang sejenak, Cui Yi menghela napas: “Cepat lepaskan dia. Pastikan dia tidak melihat wajah kalian.” 　　Dua pemuda segera menepuk dada menjamin: “Tuan Gong tenang saja, hamba-hamba ini selalu menutup wajah, dayang itu dari awal sampai akhir tidak tahu rupa hamba-hamba, nenek itu lebih tidak tahu lagi.” 　　“Lepaskan orangnya di tempat yang lebih jauh dari sini.” Merasa dua pelayan itu terlalu bodoh, Cui Yi tidak tenang dan mengingatkan sekali lagi. 　　Saat ini, Tuan Jiang Kedua dan rombongan yang mencari orang mulai kembali berdatangan, suasana di Cixintang terasa mencekam. 　　“Tidak ketemu?” Nyonya Feng bertanya dengan suara berat. 　　Tuan Jiang Kedua diam seribu bahasa, wajahnya gelap seperti badai yang telah lama mengumpul, menyeramkan. 　　Tuan Jiang Ketiga membuka suara: “Hanya menemukan kereta kuda yang ditinggalkan di pinggir jalan tidak jauh dari Sungai Jinshui...” 　　Kelopak mata Nyonya Feng berkedut. 　　Sungai Jinshui? 　　Begitu tiga karakter ini disebut, siapa di ibu kota yang tidak tahu itu tempat hiburan malam paling terkenal, apa maksudnya kereta keluarga Bo muncul di sana? Jangan-jangan Xiao Shi— 　　Begitu pikiran ini muncul, bahkan Nyonya Feng sendiri merasa itu tidak masuk akal. 　　Kecuali orang itu sakit jiwa, mana mungkin menjual wanita setengah baya ke sana. 　　“Saya rasa ada yang jangkal dalam hal ini.” Tuan Jiang Kedua mengusap wajahnya, akhirnya berbicara. 　　Di dunia birokrasi tentu dia tidak bisa menghindari musuh, tapi ini masalah perbedaan pandangan politik atau pilihan kubu, wajar bertarung sampai mati di istana untuk hal ini, siapa yang mau menculik istri lawan politik, ini kan tindakan gila. 　　“Ibu Suri, Tuan—” Seorang nenek berlari masuk terburu-buru. 　　“Ada apa？” para majikan serentak bertanya. 　　Sang nenek terengah-engah: "Nyonya Kedua, Nyonya Kedua sudah kembali!" 　　Tuan Jiang Kedua langsung bangkit dari duduknya dan bergegas keluar. 　　Nyonya Feng mengerutkan alis sejenak, lalu perlahan duduk kembali. 　　Xiao Shi berdiri di depan gerbang Keluarga Bo, merasa seperti berada dalam mimpi. 　　Apa yang sebenarnya terjadi? Para penjahat itu tidak merampok maupun memperkosanya, hanya melepaskannya begitu saja? 　　Dengan kepala pusing, Xiao Shi berjalan masuk dan bertabrakan dengan Tuan Jiang Kedua, membuatnya tersentak sadar. 　　Ini perampokan! Serahkan semua vote kalian yang lucu-lucu! 275.BAB 275 Keluarga Zhu 　　BAB 275 Keluarga Zhu 　　Tuan Jiang Kedua menatap Xiao Shi dengan pandangan dalam: "Mari bicara di dalam." 　　Xiao Shi mengikuti Tuan Jiang Kedua masuk ke Cixintang, melihat Nyonya Feng duduk di kursi kayu beratap dengan ekspresi dingin. 　　Seluruh tubuh Xiao Shi membeku, ia memberi hormat secara kaku kepada Nyonya Feng. 　　"Duduklah." Nyonya Feng menunjuk kursi di sampingnya. 　　Di ruang tengah, Jiang Qiao dan junior lainnya berdiri diam bagai patung. 　　Tuan Jiang Kedua mengerutkan kening: "Kalian semua keluar." 　　Jiang Qiao dan yang lain memberi hormat diam-diam lalu mundur. 　　Hujan pagi tadi membuat dayang pembersih malas bekerja. Daun Toona sinensis di halaman bertebaran, terinjak seperti karpet. 　　Jiang Qiao dan yang lainnya berjalan keluar dari pintu halaman Cixintang, serentak menoleh ke belakang. 　　Nona Kelima Jiang Li tak kuasa bertanya, "Ibu tidak apa-apa kan?" 　　Jiang Qiao berkata datar, "Urusan para Paduka lebih baik tidak kita selidiki. Ayo pergi." 　　Terhadap Bibi Er ini, ia sejak dulu tidak bisa dekat. Baik atau buruknya sang bibi bukan urusannya. 　　"Ibu diculik, tiba-tiba kembali. Aku merasa--" Jiang Li menghentikan ucapannya, hati dipenuhi kecemasan. 　　Sejak kecil ia mati-matian merayu selir utama. Setelah bertahun-tahun baru dapat status terhormat ini. Dua tahun lagi selir utama mungkin akan menjodohkannya dengan baik. Jika sekarang selir utama bermasalah, bukankah semua jerih payahnya sia-sia? 　　Memikirkan ini, Jiang Li merasa ingin muntah darah. 　　Putri Keenam dari Selir Jiang Pei diam membisu, tak mengucap sepatah kata. 　　"Masalah ini, Kakak dan San Di belum tahu," gumam Jiang Li. 　　Tuan Pertama Jiang Cang masih belum pulih dari pukulan gagal di Ujian musim gugur dan kekalahan dari Jie Yuan baru Zhen Heng. Ia mengurung diri di kamar. Putra Ketiga Jiang Yuan tidak bisa diandalkan, pagi-pagi sudah pergi ke sekolah. Keluarga tentu tidak akan mengabari dia di sekolah, karena hanya akan merepotkan. 　　Jiang Qiao melirik Jiang Li, lalu pergi tanpa kata. 　　"Kakak Kelima, kita kembali ke kamar saja." 　　Jiang Li sekali lagi menoleh ke Cixintang, pergi dengan perasaan kesal menggunung. 　　Di Cixintang, Nyonya Feng duduk diam sambil memegang cangkir teh, menciptakan suasana yang semakin mencekam. 　　Tuan Jiang Kedua mengamati Xiao Shi dengan cermat sambil bertanya kerut kening, "Sebenarnya apa yang terjadi hari ini?" 　　Mendengar pertanyaan itu, hati Xiao Shi langsung membeku. 　　Selama ini dia mengira hubungan pernikahan mereka harmonis, meski kehangatan masa awal pernikahan telah pudar, setidaknya masih ada sisa kasih sayang. Tapi kini, di mata suaminya tak terlihat sedikitpun keperdulian - hanya tatapan penuh kecurigaan. 　　Penemuan ini membuat Xiao Shi merasa lebih tersakiti daripada saat diculik secara misterius. 　　Setelah lama terdiam, Xiao Shi berkata dengan mata berkaca-kaca, "Aku juga tak mengerti. Tiba-tiba saja saat duduk di dalam kereta kuda, terdengar suara keras dari luar. Kereta kuda langsung melaju kencang. Hongyue melihat ke luar dan mengetahui saisnya telah ditendang jatuh, digantikan oleh dua orang bertopeng..." 　　Xiao Shi gemetar mengingat pengalaman mengerikan itu, "Saat sadar, aku sudah terkunci di gudang kayu. Setelah berteriak lama, pintu tiba-tiba terbuka. Dua orang bertopeng itu muncul lagi, memperingatkan agar aku diam dan akan mengembalikanku. Aku lalu didorong keluar kereta kuda, baru menyadari berada di mulut gang gelap tak jauh dari Gang Yuqian. Kereta kuda mereka sudah menghilang..." 　　Tuan Jiang Kedua mengerutkan dahinya, "Jadi mereka tidak menyakitimu?" 　　Xiao Sigera mengangguk. 　　"Bahkan jika sebenarnya mereka tidak menyusahkan dirinya, dia tetap tidak bisa mengaku. Kalau tidak, reputasinya akan hancur." 　　"Yang penting kau baik-baik saja." Mempertimbangkan kehadiran Tuan Jiang Ketiga dan istrinya, Tuan Jiang Kedua tersenyum kecut. 　　Setelah istri kembali, satu-satunya pilihan adalah berpura-pura tak terjadi apa-apa. Menyelidik secara terbuka tentang penculikannya hanya akan menjadikannya bahan ejekan rekan sejawat. 　　Namun fakta bahwa kereta keluarga Bo ditemukan terabaikan di dekat Sungai Jinshui menjadi duri dalam hati Tuan Jiang Kedua, membuatnya tak bisa lagi menunjukkan perhatian pada Xiao Shi selain rasa jijik. 　　Apakah sang istri benar-benar masih perawan? Siapa yang tahu? 　　"Di mana Hongyue?" Nyonya Feng tiba-tiba bertanya. 　　Xiao Shi tertegun, wajahnya berubah pucat. Baru sekarang ia teringat pada Hongyue. 　　"Sejak sadar, aku tak pernah melihat Hongyue lagi..." 　　"Apakah itu berarti mereka mengembalikanmu tapi menahan Hongyue?" Nyonya Feng merasa ada yang janggal, menoleh ke Tuan Jiang Kedua. "Apa pendapatmu, Anak Kedua?" 　　Tuan Jiang Kedua menggeleng: "Sulit dikatakan. Mustahil bencana ini disebabkan oleh Hongyue, bukan?" 　　Sungguh aneh jika seorang dayang yang jarang meninggalkan nyonya rumah bisa memicu malapetaka seperti ini. 　　"Menurut kalian, apa ada hubungan antara peristiwa ini dengan kereta keluarga Zhu yang lepas kendali tadi?" Nyonya Feng menjelaskan singkat kejadian yang dialami Jiang Si hari itu. 　　Tuan Jiang Kedua terkesiap: "Maksud Ibu Suri...?" 　　Nyonya Deng dengan cepat memutar tasbihnya: "Aku merasa semuanya terjadi berbarengan, terlalu kebetulan." 　　Tuan Jiang Kedua menutup mata sejenak lalu membukanya kembali, sorot matanya tajam: "Ibu benar, kereta keluarga Bo dirampok, kereta keluarga Zhu lepas kendali - titik temu keduanya adalah Si'er. Dia mungkin kuncinya! Ibu, di mana Si'er sekarang?" 　　Ekspresi Nyonya Feng berubah aneh: "Kakamu membawanya ke keluarga Zhu untuk minta pertanggungjawaban." 　　Tuan Jiang Kedua tertegun. 　　Berani-beraninya mereka minta pertanggungjawaban, apa mereka salah mencurigai? 　　Nyonya Feng menambahkan: "Si'er juga melaporkan ke pihak berwajib..." 　　Tuan Jiang Kedua langsung melompat berdiri: "Perampokan kereta keluarga Bo jangan sampai dikaitkan dengan masalah keluarga Zhu!" 　　Gila apa gadis itu? Masalah begini malah dilaporkan ke pihak berwajib? 　　Membayangkan wajah tenang Zhen Shicheng, kepala Tuan Jiang Kedua langsung pusing. 　　Nyonya Feng mengangguk tegas: "Ini memang tak boleh diungkit lagi. Beri perintah: siapa yang berani menyebut soal perampokan istri kedua, sekeluarga langsung dijual!" 　　Saat ini rumah keluarga Zhu lebih ramai daripada Dongping Bo Residence. 　　Nyonya Zhu terkenal sangat disiplin, biasanya tak ada cela. Tak disangka hari ini harus berurusan dengan gerombolan petugas yang tak diundang. 　　Pemuda yang sedang asyik minum teh di ruang tamu itu tak lain adalah Yu Jin. 　　"Berbeda dengan Nyonya Zhu yang sedang sangat kesal, Pangeran Ketujuh Yu Qi yang terlihat dingin justru sedang dalam suasana hati yang sangat gembira." 　　A Si ternyata melaporkan Keluarga Zhu, bukankah ini berarti dia akan segera bertemu dengannya? 　　A Si sangat pandai menciptakan kesempatan bertemu, hal ini benar-benar membuatnya agak malu. 　　Entah memikirkan apa, mata Yu Jin tiba-tiba dipenuhi senyuman lebar. 　　Nyonya Zhu semakin geram melihatnya. Sudah sering didengar bahwa Pangeran Ketujuh yang baru kembali dari selatan ini tidak tahu aturan, tapi tak disangka selain tidak beretiket juga tidak bermoral - datang ke Kediaman Zhu untuk urusan resmi tapi malah bersikap senang atas kesulitan orang. 　　Benar, setelah kasus Sungai Jinshui yang memalukan beberapa keluarga Kementrian Ritus, para pejabat dan bangsawan tidak berani lagi meremehkan. Mereka segera mengenali Pangeran Yan yang sering muncul di hadapan Kaisar, kini semua orang tahu Pangeran Yan sedang membantu Zhen Shicheng. 　　Tidak bisa mengusir maupun memarahi, Nyonya Zhu hanya bisa menahan amarah. 　　"Nyonya Zhu, mengapa Tuan Zhu belum kembali?" 　　Sampai jumpa besok. 276. BAB 276 Kontras 　　BAB 276 Kontras 　　Pertanyaan mendesak Yu Jin semakin membuat Nyonya Zhu jengkel. 　　Bagaimana dia tahu mengapa anak lelakinya belum pulang? Menantu perempuannya yang pergi bersembahyang malah menyebabkan masalah besar, sampai sekarang dia masih bingung. 　　Melihat Nyonya Zhu tak bisa menjawab, Yu Jin tidak memaksakan. Tangannya mengelus kepala Er Niu dengan santai. 　　Nyonya Zhu mengalihkan pandangannya ke bawah, tertuju pada anjing besar yang duduk berdampingan dengan Yu Jin. 　　Anjing setinggi pinggang orang dewasa ini saat duduk, memberikan kesan menakutkan yang mencekam. 　　Merasakan tatapan Nyonya Zhu, Er Niu perlahan memalingkan kepala. 　　Sangat menjengkelkan, untuk apa tuan membawaku ke sini? Tidak ada nyonya rumah maupun tulang berisi daging. 　　Ekspresi Nyonya Zhu berubah seketika. 　　Apakah matanya berkunang-kunang? Dia seolah melihat tatapan penuh penghinaan dari mata anjing itu. 　　Ketidakpuasan Nyonya Zhu terhadap Yu Jin semakin memuncak: Belum pernah melihat orang mengusut kasus sambil membawa anjing! 　　Ruang penerimaan tamunya selama ini hanya menerima orang-orang berkelas, tak pernah bergaul dengan kaum rendahan. Tapi kini seekor anjing bisa masuk dengan leluasa, membuat dadanya sesak oleh amarah. 　　Seorang dayang berbaju hijau bergegas masuk: "Nyonya, suami beliau telah pulang." 　　Tak lama kemudian terdengar langkah kaki tergesa-gesa. Seorang pria paruh baya masuk ke ruangan dan memberi hormat kepada Yu Jin: "Mohon maaf membuat Pangeran menunggu lama." 　　Yu Jin tersenyum: "Tidak apa-apa." 　　Zhu Shaoqing menatap istrinya: "Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　Nyonya Zhu menjawab: "Hari ini Ziyu menemani Nyonya Jiang berziarah ke Kuil Baiyun. Tak disangka Pangeran datang membawa petugas Shuntianfu, mengatakan Nona Keempat dari Keluarga Jiang telah melaporkan keluarga kami. Sampai sekarang saya masih bingung apa masalahnya." 　　Zhu Shaoqing menoleh ke Yu Jin: "Pangeran--" 　　Yu Jin mengusap-usap kepala Er Niu sambil tersenyum, "Masalah ini lebih baik kita bahas detail setelah pengadu datang." 　　Wakil Menteri Zhu mengernyitkan bibir, tersenyum kaku, "Baginda Pangeran, mohon jelaskan situasinya pada hamba agar tidak bingung." 　　Yu Jin menggelengkan kepala sambil tersenyum, ekspresinya penuh misteri. 　　Dia tidak akan sembarangan bicara sebelum bertemu A Si, bagaimana kalau nanti tidak bisa bekerja sama dengan baik? 　　Tentang keadilan? Huh, itu tidak ada. Apakah dia tipe orang yang membela kebenaran daripada keluarga sendiri? 　　Wakil Menteri Zhu benar-benar kehabisan akal. 　　Seorang pangeran yang terhormat tidak mau bicara, mana mungkin dia memaksa membuka mulutnya. 　　Suasana ruangan tiba-tiba hening. Yu Jin tetap santai mengelus bulu Anjing Besar. 　　Melihat bulu anjing bertebaran di lantai, Nyonya Zhu beberapa kali ingin memanggil dayang untuk membersihkan, tapi akhirnya menahan diri. 　　Akhirnya datanglah dayang melapor bahwa Zhu Ziyu dan rombongan telah tiba. Pasangan Zhu segera menyambut keluar. 　　Kali ini Yu Jin malah ragu-ragu. Diam-diam membersihkan debu khayalan di jubahnya, baru berjalan tegak keluar. 　　Dari kejauhan sekelompok orang mendekat. Yu Jin langsung menatap gadis bermuka dingin itu. 　　Hmm, setiap bertemu, A Si selalu terlihat muram seperti ini. Dari mana seorang nona kecil punya begitu banyak beban pikiran? 　　Yu Jin merasa agak kesakitan, melihat Jiang Ancheng yang mengikuti di samping Jiang Si, ekspresinya tiba-tiba kaku. 　　Ada apa ini, mengapa ayah A Si juga datang? 　　Dia, dia sama sekali belum siap! 　　Sebenarnya Yu Jin sudah berhasil menyamar di depan Jiang Ancheng sebagai pemuda baik dari keluarga biasa, mandiri, dan suka menolong yang siap kapan saja mengunjungi Kediaman Dongping Bo. Kalau sekarang tiba-tiba ketahuan jati diri, bagaimana jika calon mertua tidak bisa menerima? 　　Memikirkan ini, Yu Jin panik, keringat dingin menetes dari dahinya. 　　Zhu Shaoqing bergegas menyambut, meski terkejut dengan kehadiran Jiang Ancheng tetap bisa menahan diri, tersenyum: "Mertua juga datang." 　　Jiang Ancheng mendengus: "Kalau tidak datang, putri saya mungkin sudah tewas dibunuh. Harus datang." 　　"Apa maksudnya ini?" Zhu Shaoqing melirik cepat ke Zhu Ziyu, melihat wajah yang lesu dan berat. 　　"Suruh anak lelakimu yang jelaskan." Jiang Ancheng kesal, ketidaksukaan pada menantu semakin memuncak. 　　Putri sulung selalu bilang hubungan suami-istri harmonis, tapi ternyata keluarga pihak suami bisa sampai berniat membunuh. Untuk apa suami seperti ini? 　　Jiang Ancheng sedang menggerutu dalam hati, tiba-tiba melihat Yu Jin dan terkejut. 　　Xiao Yu kenapa ada di sini? 　　Setelah merenung sejenak, Jiang Ancheng akhirnya paham: Benar, Xiao Yu bekerja di bawah komando Lao Ge Zhen. Si'er mengutus Ah Man untuk melapor ke Shuntianfu, wajar jika Xiao Yu membawa petugas ke kediaman keluarga Zhu. 　　Memandangi putri bungsunya, lalu menatap Xiao Yu yang sangat disukainya, Jiang Ancheng tiba-tiba merasa keputusannya datang kemari tepat. 　　Siapa tahu kedua anak muda ini saling tertarik, itu akan meringankan pikirannya. 　　Jiang Ancheng tidak khawatir dengan Xiao Yu. Dengan kecantikan dan budi pekerti Si'er, kalau ada lelaki buta tak bisa melihat mutunya, lebih baik tidak usah dipilih. 　　Yang dikhawatirkannya justru putrinya. Putrinya bahkan menolak juara ujian provinsi baru, bagaimana jika benar-benar tinggal di rumah selamanya? Meski menemani orangtua adalah berkah, ia takut putrinya akan menyesal di hari tua nanti. 　　Yu Jin merinding ditatap Jiang Ancheng. Beruntung Zhu Ziyu segera menjelaskan kronologi kejadian: "Asal-usul jarum yang menusuk pantat kuda memang sulit dilacak, sebenarnya kami tak ingin merepotkan Shuntianfu..." 　　"Kenapa tidak boleh?" Jiang Ancheng menyeringai. "Menantuku, dari ucapanmu aku dengar banyak pembelaan pada kusir. Apakah keselamatan Yi'er tak sepenting kusir bagimu?" 　　Zhu Ziyu pusing tujuh keliling: "Calon mertua salah paham. Maksudku aib keluarga tidak boleh diumbar ke luar. Tentang siapa yang ingin mencelakai Yi Niang, pasti akan kami usut tuntas." 　　Yu Jin batuk keras: "Sekarang tak perlu memperdebatkan apakah harus melibatkan pihak berwenang. Karena sudah dilaporkan, mari panggil kusir kereta untuk diinterogasi." 　　Jiang Ancheng tiba-tiba merasa Xiao Yu yang lama tak jumpa ini terlihat lebih menyenangkan dibanding menantu yang menjengkelkan. Saat hendak menyapa, Yu Jin mengedipkan mata padanya. 　　Jiang Ancheng tertegun sejenak, lalu paham: Jangan sampai keluarga Zhu tahu kedekatannya dengan Xiao Yu, nanti jadi bahan gosip. 　　Tuan Besar Jiang yang mengira reaksinya cepat itu mengangguk hampir tak kentara pada Yu Jin, menandakan tak perlu khawatir. 　　Yu Jin sedikit lega. 　　Hmm, untuk sementara berhasil mengelabui ayah A Si. Tinggal menghadapi Zhu Shaoqing. 　　"Pangeran—" Begitu Zhu Shaoqing membuka mulut, langsung menerima pandangan peringatan dari Yu Jin. 　　Wajah pemuda itu tampan, terutama matanya yang berkilauan. Pandangan peringatannya mirip godaan. 　　Zhu Shaoqing lupa melanjutkan kata "Yan", batuk-batuk gugup. 　　Setelah tenang, muncul ide di benaknya: Rupanya Dongping Bo tak tahu identitas Pangeran Yan. Untuk apa diungkap? Dengan sifat Dongping Bo, pasti akan menyinggung Pangeran Yan dalam beberapa kalimat. Itu menguntungkan keluarga Zhu. 　　Zhu Shaoqing mengubah ucapan: "Lupa memperkenalkan pada mertua, ini adalah anak buah Tuan Zhen dari Shuntianfu yang ditugaskan menangani kasus ini." 　　Jiang Ancheng mendengus kesal. 　　Dengan dua tatapan yang menyelesaikan krisis identitas yang terbongkar, Yu Jin melirik Jiang Si diam-diam. 　　Selamat pagi. 277.BAB 277 Berduaan 　　BAB 277 Berduaan 　　Tatapan itu mengandung sedikit kehati-hatian dan kasih sayang yang terpendam, kebetulan Jiang Si menoleh ke arahnya, pandangan mereka bertemu, Yu Jin segera memalingkan muka. 　　Ia masih ingat kata-kata kejam yang diucapkan Jiang Si hari itu. Berdasarkan naluri mengejar nona yang meski tak berpengalaman tapi luar biasa, mungkin karena sebelumnya terlalu memaksa, sebaiknya diberi jeda dulu. 　　Penghindaran Yu Jin justru membuat Jiang Si heran, ia diam sejenak sebelum menarik kembali pandangannya. 　　Yu Jin berdehem ringan, bertanya: "Kusirnya mana?" 　　Suara gedebuk bergema, disusul teriakan panik yang bersahutan. 　　Yu Jin berjalan maju dengan alis berkerut, melihat seorang pria paruh baya berpakaian sederhana terbaring di tanah dekat tembok, dahinya penyok mengeluarkan darah. 　　Seorang pelayan pucat ketakutan, gagap menjelaskan: "Hamba... hamba tidak bisa menahan..." 　　Yu Jin melirik Sekretaris Zhu dan yang lain, bertanya datar: "Inikah kusir itu?" 　　Bagus, masalah yang semula perlu diinterogasi, sekarang sudah pasti pelakunya adalah kusir, dan pasti ada dalang di belakangnya. 　　Rumah keluarga Sekretaris kecil ini benar-benar sarang kejahatan. 　　Sekretaris Zhu mengangguk berat dengan wajah muram. 　　Terhadap kasus kusir kediamanan yang berani membunuh tuannya secara diam-diam, dia juga sangat terkejut, tapi segera menyadari kejanggalan dalam hal ini. 　　Apa permusuhan mendalam yang mungkin terjadi antara seorang kusir dengan menantu perempuan tertua? Apalagi menantu tersebut berwatak lembut dan berbudi luhur, mustahil melakukan pelecehan terhadap pelayan. Maka jelas kusir itu pasti disuruh orang. 　　Dalam pandangan Zhu Shaoqing, pelaku yang berani membahayakan tuannya harus diungkap. Tapi ini urusan internal yang harus dibicarakan di balik pintu tertutup, tidak boleh membeberkan aib keluarga ke pihak berwenang. Karena itu kematian sang kusir jelas membuatnya lega. 　　Yu Jin menundukkan matanya perlahan, menatap mayat kusir dengan kematian yang mengerikan di lantai sambil bertanya tenang: "Dari kalian yang banyak ini, tak adakah yang melihat tanda-tanda dia akan bunuh diri?" 　　Para pelayan serentak menjawab: "Siapa yang menyangka? Tiba-tiba saja dia berlari dan membenturkan kepala ke tembok..." 　　"Lalu sebelum mati, dia tidak mengatakan apa-apa?" 　　Pelayan yang pertama kali menjawab berkata: "Dia bilang kejadian hari ini adalah perbuatannya sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain. Istrinya mati karena kesalahan nyonya besar, dia sedang membalaskan dendam istrinya... Hamba merasa ada yang tidak beres, belum sempat bereaksi dia sudah berlari keluar, tangan hamba meraih kosong..." 　　Perkataan pelayan itu membuat wajah Jiang Yi tiba-tiba memucat, seolah teringat sesuatu, seluruh tubuhnya gemetar. 　　Yu Jin memalingkan pandangannya ke Zhu Ziyu, siap mendengar penjelasannya. 　　Menginterogasi kakaknya di hadapan A Si jelas tidak akan berakhir baik. Bagaimanapun juga pasangan suami istri adalah satu kesatuan, pasti Zhu Ziyu mengerti maksud ucapan pelayan itu. 　　Zhu Ziyu menghela napas dan menjelaskan: "Istri kusir itu awalnya bertugas di pekarangan kami. Tiga tahun lalu ketika istri saya melahirkan Yan-yan, kelalaian istri kusir menyebabkan istri saya mengalami kontraksi dini. Ibu marah besar, lalu menghukum istri kusir ke kamar cuci. Tak disangka saat mengambil air di sumur, istri kusir itu terpeleset dan jatuh. Setelah ditarik ke atas, nyawanya sudah tak tertolong..." 　　Jiang Yi mendengarkan ini, tubuhnya limbung seolah akan pingsan. 　　Istri kusir itu sudah tua. Sejak Jiang Yi menikah masuk ke keluarga ini, wanita itu sudah bertugas di pekarangannya. Mungkin karena melihatnya baik hati, si budak jadi semena-mena sampai sulit diperintah. 　　Masih teringat hari itu ketika tiba-tiba tidak enak badan saat jalan-jalan di taman, disuruhnya istri kusir memanggil orang. Tapi ditunda-tunda sampai dayang yang menjaganya menangis panik. Belakangan baru tahu istri kusir itu sempat bertemu putrinya yang bertugas di pekarangan mertua, ibu-anak ini mengobrol cukup lama sebelum berpisah. 　　Setelah tahu kronologi kejadian, mertua segera memindahkan istri kusir ke kamar cuci. Putri si istri kusir pun segera dinikahkan dengan pemuda dari perkebunan. 　　Kusir yang semula punya jabatan terhormat juga kena imbas, dipindahkan ke kandang kuda. 　　Ditilik lebih dalam, nasib keluarga ini memang merosot drastis karena satu kesalahan sesaat. Ingat ada nyawa yang melayang, dadanya kembali sesak. 　　Jiang Yi tidak merasa dirinya harus bertanggung jawab atas kematian istri kusir, namun nyawa manusia yang hidup karena kecelakaan tetap membuatnya merasa sedih. Tidak aneh jika kusir itu kemudian menyimpan dendam dan berusaha membahayakannya. 　　Sebuah tangan yang sejuk dan lembut menggenggam tangan Jiang Yi. 　　Jiang Yi tak sengaja menoleh, bertatapan dengan mata Jiang Si. 　　Mata gadis itu jernih bagai air, namun dingin membeku, memancarkan cahaya redup yang membuatnya tak bisa membaca emosi di dalamnya. 　　Jiang Yi terdiam sejenak, Jiang Si sudah membuka mulut: "Maksud Kakak Ipar adalah kusir punya motif cukup untuk membahayakan kakak?" 　　Mata Zhu Ziyu berkedip samar. 　　Bukankah motif kusir untuk membahayakan istri sudah jelas dari semua penjelasannya? 　　Jiang Si menunjukkan ketidaksenangan: "Dalam situasi nyawa istri terancam, kita harus memeriksa semua kemungkinan. Meski kusir punya motif yang masuk akal, siapa yang bisa menjamin itu alasan sebenarnya? Bisa jadi ini dalih yang sudah disiapkan dalangnya. Lagipula, bukankah seharusnya kusir lebih membenci Nyonya Zhu? Yang mengirim istrinya ke tempat cuci kan Nyonya Zhu, bukan kakak saya." 　　"Adik Keempat..." Jiang Yi menarik lengan Jiang Si dengan gelisah mendengar penyebutan Nyonya Zhu secara gamblang. 　　Jiang Si tetap tenang, tersenyum manis pada Nyonya Zhu yang wajahnya berubah pucat: "Nyonya Zhu, bagaimana pendapatmu?" 　　Tangan Nyonya Zhu gemetar menahan amarah. 　　“Belum pernah kulihat gadis yang begitu lancar mulut berani bicara sembarangan di depan orang tua seperti ini.” 　　Pada detik ini, Nyonya Zhu tiba-tiba merasa Jiang Yi sebagai menantunya cukup baik. Seandainya dulu mempersunting Nona Keempat Jiang ini, pasti setiap hari aku akan sakit seperti ditusuk. 　　Jiang Si menoleh sambil tersenyum manis pada Zhu Ziyu: "Kakak Ipar, lihatlah, bahkan Nyonya Zhu pun mengakui perkataanku." 　　Diam berarti mengiyakan, tak ada yang salah dengan logika ini. 　　Terkait ibunya, Zhu Ziyu tercekat tak bisa berkata-kata. Sementara Nyonya Zhu demi gengsi tak mau berdebat dengan anak muda, sehingga tak ada yang membantah kelicikan Jiang Si. 　　Yu Jin memandang senyum manis Jiang Si pada Zhu Ziyu, rasa cemburu menggelora di hatinya. 　　Masih berani tersenyum manis pada orang munafik seperti ini? Sungguh tak menyenangkan. 　　Namun tak lama Pangeran Ketujuh Yu Qi kembali berseri. Ia mendengar Jiang Si berkata: "Aku ada hal penting untuk dilaporkan secara pribadi pada petugas ini." 　　Yu Jin memastikan jari Jiang Si benar menunjuk dirinya. Seketika hatinya berbunga-bunga, tapi berusaha menahan kegembiraan sambil mengangguk formal: "Baik, harap Bapak Zhu tunjukkan paviliun terbuka yang sepi." 　　Laki-laki dan perempuan sendirian di ruang tertutup? Jangan harap! 　　"Ini..." Zhu Shaoqing ragu. 　　Laporan ke pihak berwajib sebelumnya sudah dilakukan Nona Keempat Jiang. Entah kejutan apa lagi yang akan dibuat gadis ini. 　　“Bagaimana, apakah kediamanmu tidak memiliki tempat yang sesuai?” 　　Melihat Yu Jin menunjukkan ketidaksenangan, Zhu Shaoqing segera memerintahkan pelayan untuk mengantar mereka ke paviliun tak jauh dari situ. 　　Nyonya Zhu terus menggelengkan kepala sambil menatap punggung Jiang Si. 　　Gadis seperti ini benar-benar tidak tahu tata krama! 　　Paviliun yang terbuka di semua sisi dengan jarak aman dari kerumunan membuat Er Niu yang duduk di luar mulai berjaga-jaga untuk tuan rumah dan nyonya rumah. 　　Sebenarnya tidak benar-benar berduaan, masih ada Er Niu. Hmm, minta vote ya. 278. BAB 278 Ada Masalah 　　BAB 278 Ada Masalah 　　Cuaca di musim ini sudah cukup sejuk, apalagi di paviliun terbuka, tapi Yu Jin tetap merasa suhu di dalam paviliun lebih panas. Tangannya mengorek-orek kerah baju. 　　Hmm, kalau buka sedikit untuk ventilasi, jangan-jangan A Si mengira aku berlaku jahat... 　　Tentu tidak berani membuka baju. Kesempatan langka berdua lebih baik digunakan untuk bicara. Setelah berpikir keras, Yu Jin mengeluarkan kalimat: "Dengan kusir yang sudah mati, mungkin sulit menemukan bukti." 　　Begitu selesai bicara, Yu Jin langsung ingin menampar dirinya sendiri. 　　Bukannya ini bikin A Si tambah kesal! 　　Jiang Si justru lega Yu Jin fokus pada urusan penting alih-alih omong kosong. Ia mengangguk: "Aku tahu." 　　Kusir memilih bunuh diri pasti karena tahu tidak bisa lolos dari hukuman, maka menanggung semua kesalahan demi mengharapkan kebaikan pada keluarganya dari dalang di belakang layar. 　　“Untuk mengungkap sebuah kasus hingga tuntas, ada prasyarat penting yaitu kerja sama keluarga korban.” 　　“Contohnya kasus Kediaman Yongchang Bo, saat itu baik Yongchang Bo maupun anak-anaknya berharap dapat menemukan pelaku sebenarnya di balik kematian Istri Yongchang Bo. Tugas Tuan Zhen hanyalah memastikan pelakunya berdasarkan berbagai petunjuk yang didapat.” 　　“Sedangkan situasi sekarang jelas berbeda.” 　　“Keluarga Zhu tidak ingin campur tangan pihak berwenang. Dengan kematian kusir kereta, selama seluruh anggota keluarga tutup mulut, bahkan Yu Jin sekalipun takkan bisa berbuat apa-apa, termasuk Tuan Zhen jika datang.” 　　“Pejabat yang jujur sulit menyelesaikan urusan rumah tangga. Itulah mengapa banyak perselisihan keluarga diselesaikan secara tertutup oleh kepala marga, dan pihak berwenang enggan turut campur.” 　　“Beruntung Jiang Si sejak awal tidak berharap menemukan kebenaran dari kusir kereta. Dia memilih melapor ke pihak berwajib untuk memperbesar skala masalah dan mengangkatnya ke permukaan. Dengan cara ini, dalam waktu dekat pihak yang berkepentingan akan berpikir dua kali sebelum merencanakan sesuatu terhadap kakak. Bahkan jika dia gagal mencegah insiden 'perselingkuhan' kakaknya, setidaknya akan punya kekuatan untuk membalas.” 　　“Melihat nasib Pasangan Yongchang Bo yang tewas tragis, Jiang Si menyadari pengetahuan tentang masa depan bukanlah segalanya. Peristiwa itu bisa berubah seiring tindakannya.” 　　“Yang ingin kusampaikan padamu bukan tentang masalah Keluarga Zhu.” 　　“Yu Jin segera duduk tegak, jantungnya berdebar kencang.” 　　“Dia merasa perkataan A Si berikutnya sangat penting. Jangan-jangan setelah masa dingin ini, akhirnya A Si mau membuka hatinya?” 　　Yu Jin dalam hatinya mulai berkhayal, bahkan sudah membayangkan nama apa yang cocok untuk anak pertama mereka dengan Jiang Si, namun wajahnya tetap tenang: "Apa yang ingin Nona Jiang katakan padaku?" 　　Jiang Si tak bisa menahan senyum kecil, berpikir dalam hati jika Yu Qi bisa terus mempertahankan sikap yang tidak romantis seperti ini, mereka masih bisa berkomunikasi dengan baik. 　　Yu Jin yang sangat peka langsung merasakan niat baik dari Jiang Si, tiba-tiba menjadi gugup. 　　Bukan dia yang berkhayal, A Si benar-benar melunakkan sikapnya terhadapnya. 　　Bagaimana jika A Si menyatakan ketertarikannya? Haruskah dia mengungkapkan identitas aslinya? 　　Terus menyembunyikan status pangeran tentu salah, tapi bagaimana jika gelarnya malah membuat A Si kabur? 　　Saat Yu Jin sedang bimbang, dia mendengar Jiang Si berkata: "Hari ini di Kuil Baiyun, aku tidak sengaja mendengar dua pria berencana menjebakmu..." 　　Melihat ekspresi aneh Yu Jin, Jiang Si menghentikan ceritanya: "Ada apa?" 　　Yu Jin menarik napas panjang dalam hati, menekan perasaan kecewa yang hampir menguburnya, lalu tersenyum tipis: "Lalu?" 　　Jiang Si memandangnya heran. 　　Mendengar ada yang mau menjebaknya, dia bisa tetap santai seperti ini? 　　Oh iya, dia seorang pangeran. Setiap orang yang terkait keluarga kerajaan tumbuh dalam intrik, wajar saja dia tidak terkejut. 　　Jiang Si memutuskan untuk langsung ke inti: "Mereka berencana menggunakan siasat kecantikan padamu." 　　Yu Jin tiba-tiba tertawa: "Siasat kecantikan? Mimpi di siang bolong." 　　Di dunia ini sepertinya tidak banyak orang yang lebih tampan darinya? 　　Selain itu, dia adalah milik A Si. Jika A Si menggunakan siasat kecantikan padanya, dia sangat bersedia bekerja sama. Tapi untuk orang lain... 　　Yu Jin menyeringai dingin. 　　Hidup dengan tenang tidak baikkah? Mengapa harus mencari mati? 　　Melihat sikap acuh Yu Jin, Jiang Si tidak bisa menahan kerutan di dahinya. 　　Yu Jin buru-buru berkata, "Jangan khawatir, aku akan sangat berhati-hati." 　　Jiang Si meliriknya tajam. 　　Baru saja mengatakan dia sudah bertobat, sekarang begini lagi. Apa maksudnya 'jangan khawatir'? Apa yang perlu dikhawatirkan? Peringatannya hanya niat baik semata. Sekalipun teman biasa dalam bahaya, pasti juga akan diingatkan. 　　Nona Jiang dalam hati terus menjelaskan pada diri sendiri, tiba-tiba terjebak dalam sorot mata lawan bicaranya yang jernih bagai aliran mata air. 　　Saat itu, paviliun menjadi sunyi. Hanya desau angin menyentuh pepohonan dan napas teratur Anjing Besar. 　　Dari kejauhan, sepasang manusia tampan duduk berhadapan di paviliun. Anjing Besar berbaring di luar sambil mengibas-ngibaskan ekor dengan santai, membentuk lukisan hidup yang harmonis. Keindahannya membuat hati siapa pun meleleh. 　　Jiang Ancheng memandang tanpa berkedip, penuh kepuasan. 　　Katanya juga, Si'er memang cocok dengan Xiao Yu... Tapi anak Bang Zhen yang juara ujian kerajaan juga tak kalah baik... 　　Saat putrinya tidak punya interaksi dengan pemuda incarannya, Jiang Ancheng mati-matian menjodohkan. Kini melihat kemungkinan cerita mereka, hatinya kembali goyang tak karuan. 　　“Mereka bilang ingin mencari seorang wanita yang mirip wajahnya dengan Imam Suci untuk mendekatimu, singkatnya kau harus lebih berhati-hati.” Jiang Si menyebutkan "Imam Suci", secara tak sadar mengamati reaksi Yu Jin. Benar saja, tatkala mendengar dua kata "Imam Suci" itu, pandangan mata pria itu tiba-tiba menjadi gelap, berubah dari mata air jernih menjadi kolam dingin yang tak terukur dalamnya. 　　Jiang Si menundukkan mata dan bangkit berdiri, perlahan berjalan keluar dari paviliun. 　　Er Niu sudah diberi pesan sebelumnya untuk menahan diri menunjukkan keakraban dengan Jiang Si di depan orang asing. Melihat Jiang Si pergi, anjing itu memandang penuh harap ke arah Yu Jin, tapi mendapati tuannya sedang termenung. 　　Er Niu seketika gelisah. 　　Dilarang mendekati sang nyonya, sang tuan sendiri juga tak segera bertindak. Dengan performa seperti ini, jangankan membawa nyonya rumah pulang, bahkan betina-betina kampung yang sering merunduk-runduk di depannya tapi tak dianggapnya pun tak akan bisa dibawa pulang. 　　Er Niu menggeram tak puas. 　　Yu Jin tersentak sadar, mendapati Jiang Si sudah keluar paviliun, lalu buru-buru mengejarnya. 　　Mendengar kata "Imam Suci" tiba-tiba, tak mungkin baginya untuk tak overthinking. 　　Pasti kedua orang itu paham betul urusan selatan, mungkin malah berasal dari selatan. Tapi apa tujuan mereka mencari wanita yang mirip Imam Suci untuk mendekatinya? 　　Yang penting, kenapa wanita yang mirip Imam Suci bisa mudah mendekatiku? Ini benar-benar tak masuk akal! 　　Tunggu—wanita yang mirip Imam Suci, bukankah itu berarti... 　　Setelah menyadari maksudnya, Yu Jin merasa ingin membenturkan kepala ke tembok. 　　A Si baru saja mulai menunjukkan wajah ramah padanya, apakah sekarang dia sudah salah paham sesuatu? 　　Tidak, dia harus memberikan penjelasan! 　　Pangeran Ketujuh Yu Qi yang mengikuti Jiang Si selangkah demi selangkah ingin berbicara, namun karena ada sekelompok orang yang mengawasi dari kejauhan, ribuan kata yang ingin diucapkannya tak kunjung menemukan kesempatan. 　　"Tuan Yu, jika Tuan terus berjalan dekat denganku seperti ini, orang lain pasti akan tahu ada masalah antara kita." 　　Yu Jin mengusap wajahnya. 　　Memang sudah ada masalah antara mereka, dan itu adalah masalah yang perlu segera diselesaikan! 　　Selamat pagi. 279.BAB 279 Ada Masalah Besar 　　BAB 279 Ada Masalah Besar 　　Meski sangat ingin, Yu Jin akhirnya perlahan menjauh dari Jiang Si. 　　Dia tidak peduli dengan protokol, tapi A Si pasti peduli. 　　Setelah berjalan beberapa langkah, Yu Jin tiba-tiba berhenti dan menatap punggung gadis itu dengan wajah berubah pucat. 　　Saat A Si tiba-tiba menyebutkan Imam Suci, awalnya dia bingung. Baru sekarang dia tersadar: Bagaimana A Si bisa memastikan bahwa dua orang itu merujuk padanya? 　　Pertama, nama "Tuan Yu" ini adalah samaran yang dibuatnya untuk mendekati Jiang Zhan demi bisa mendekati A Si. Dua orang itu - apapun latar belakangnya - pasti tidak akan mengatakan tentang mengirim wanita yang mirip Imam Suci ke sisi "Tuan Yu". Jika mereka menyebutnya, pasti menggunakan gelar Pangeran Ketujuh atau Pangeran Yan. 　　Bukankah ini berarti A Si sudah tahu identitas aslinya? 　　Tapi anehnya, jika A Si tahu dia adalah Pangeran Yan, mengapa tidak menunjukkan sedikitpun keheranan, seolah sudah mengetahuinya sejak lama? 　　Yu Jin merasa masalah antara mereka semakin menumpuk. Dia hampir tak sabar ingin meninggalkan urusan Rumah Keluarga Zhu ini dan membawa Jiang Si ke Gang Quezi. 　　Tatapan tajam Jiang Ancheng dari kejauhan membuatnya diam-diam mengembalikan kesadarannya. 　　Masalah bisa diselesaikan satu per satu, tapi kesan di mata calon mertua di masa depan tidak boleh dirusak. 　　Keduanya kembali berjalan dengan jarak berurutan. 　　Jiang Si tidak bersuara, diam-diam berdiri di samping Jiang Ancheng. Zhu Shaoqing dan yang lain tidak bisa menahan diri untuk melihat ke arah Yu Jin, ingin menanyakan pembicaraan mereka tapi ragu untuk langsung bertanya. 　　Yu Jin berkata dengan wajah kaku: "Siapa saja yang menemani Nyonya Besar keluar hari ini? Aku akan menanyai satu per satu secara terpisah." 　　Terlepas dari apakah bisa menemukan petunjuk atau tidak, tetap perlu memberikan teror. Dia sudah menyadari bahwa tujuan A Si melaporkan ke pihak berwajib hari ini bukan untuk segera mengungkap kebenaran, melainkan untuk menggetarkan harimau di balik gunung. 　　Yu Jin melirik ke sekeliling, lalu menunjukkan senyum penuh makna kepada Zhu Ziyu: "Tuan Zhu, ikutlah denganku dulu." 　　Zhu Ziyu tidak tahu apa yang telah Jiang Si katakan pada Yu Jin. Dengan wajah muram dia mengangguk, lalu berjalan menuju paviliun. 　　Jiang Ancheng berbisik pada Jiang Si: "Si'er, lihatlah. Xiao Yu cukup berwibawa dalam menangani kasus. Berhadapan dengan putra pejabat pun tidak gentar, benar-benar tidak rendah diri maupun sombong." 　　Dia sangat mengagumi pemuda berintegritas seperti ini. Latar belakang biasa bukan masalah, yang penting punya kemampuan dan prinsip. Orang yang mengikutinya pasti tidak akan diperlakukan semena-mena. 　　Jiang Si diam-diam memutar matanya. 　　Jujur saja, sebenarnya Zhu Ziyu-lah yang bersikap tidak rendah diri... 　　“Selanjutnya, Yu Jin secara berturut-turut mempertanyakan dua dayang bernama Aya dan Azhu, lalu menginterogasi beberapa orang di rumah keluarga Zhu yang dekat dengan kusir kereta. Setelah menghabiskan banyak waktu dan tenaga, akhirnya dia berkata: ‘Hari ini kita cukupkan sampai di sini. Jika Paduka Zhu menemukan sesuatu, bisa segera memberitahu kami.’” 　　Zhu Shaoqing menangkupkan tangan: “Selamat jalan.” 　　Dewa wabah ini akhirnya mau pergi. Apa dia tidak punya kerjaan lain sampai harus berurusan lagi dengan Shuntianfu? 　　Yu Jin tersenyum bertanya pada Jiang Ancheng: “Apakah Tuan akan pulang?” 　　Jiang Ancheng langsung menggeleng: “Tidak, saya masih perlu berbicara lagi dengan keluarga Zhu.” 　　“Kalau begitu saya akan menunggu sampai kedua pihak selesai berdiskusi. Jikalau terjadi perselisihan sampai berkelahi, sebagai anggota pihak berwenang saya bisa membantu menjaga ketertiban.” 　　Zhu Shaoqing: “...” Apakah Pangeran Yan ini sakit jiwa? 　　Jiang Ancheng diam-diam tersentuh: Xiao Yu memang berpihak padanya, takut dia sendirian lalu menunggu di sini. 　　Mengabaikan ekspresi muak Zhu Shaoqing, Yu Jin menunjuk ke paviliun: “Tenang, urusan pribadi dua keluarga tidak akan saya selidiki. Saya hanya akan menunggu di sana.” 　　Setelah mengucapkan ini, sudut mata Yu Jin dengan cepat melirik Jiang Si, lalu membawa beberapa petugas menuju paviliun. 　　Zhu Shaoqing menenangkan diri, lalu mendesah pada Jiang Ancheng: “Mertua, kejadian hari ini memang kesalahan kami yang tidak bisa mendidik pelayan dengan baik. Silakan ajukan permintaan apapun, kita tidak perlu mempermalukan diri di depan orang luar.” 　　Saat mengucapkan ini matanya melirik ke arah paviliun, makna “orang luar” jelas merujuk pada seseorang. 　　Jiang Ancheng meremehkan: "Siapa orang luar sebenarnya masih belum pasti. Saya tahu kalau kusir sudah mati, kediamanmu tidak ada yang mengaku, semua orang tidak bisa berbuat apa. Tapi ada satu peringatan buruk yang harus saya sampaikan: Kalau putri sulung saya nanti diperlakukan tidak adil lagi, saya akan segera meminta dia bercerai dengan Zhu Ziyu dan membawa semua masalah ini ke publik!" 　　Jiang Ancheng memang orang kasar, tapi tidak bodoh. Mustahil dia percaya kusir itu bertindak tanpa perintah. 　　"Tidak sampai segitunya, tidak sampai segitunya." Zhu Shaoqing terus mengulang. 　　Sadar posisinya lemah, Zhu Shaoqing merendahkan diri, tapi dalam hati geleng-geleng: Pantas Dongping Bo dianggap orang keras kepala. Sekarang mengancam seperti ini memang memaksa keluarga Zhu merendahkan diri, tapi tidak mikir putrinya akan tinggal di keluarga siapa. 　　Apa maksud "diperlakukan tidak adil"? Bagi seorang istri, suami yang main ke lokalisasi atau mengambil selir tidak bisa dianggap perlakuan tidak adil. Mertua yang memberikan aturan pada menantu perempuan juga bukan perlakuan tidak adil. Kalau nanti benar ada masalah seperti ini, Dongping Bo yang mengumbar ke publik malah akan jadi bahan tertawaan. Yang benar-benar menderita tetap putrinya sendiri. 　　Tentu saja, dia selalu percaya keluarga harmonis adalah segalanya. Meski istrinya agak keras, bukan tipe yang sengaja menyikapi menantu. Masalah seperti ini juga tidak mereka inginkan. 　　"Mertua, soal ini nanti akan saya selidiki tuntas. Jika ada unsur jahat, pelakunya pasti tidak akan kami lindungi." Zhu Shaoqing yakin dengan kemurnian nama keluarganya. Keengganannya melibatkan pihak berwenang hanya karena malu, bukan karena menduga istri atau anaknya yang jahat. Setelah pintu tertutup, pasti akan ada penyelidikan internal. 　　"Kata-kata Zhu Shaoqing ini sedikit meredakan amarah Jiang Ancheng. "Yi'er, kemarilah," teriaknya. 　　Jiang Yi menghampiri Jiang Ancheng dan memanggil, "Ayah." 　　"Jangan pendam sendiri jika kau diperlakukan tidak adil di kemudian hari. Ingat kau punya keluarga pihak ibu yang selalu mendukungmu." Pandangan Jiang Ancheng menyiratkan kepedihan saat melihat wajah pucat putri sulungnya. 　　Ucapannya tadi dimaksudkan untuk menunjukkan sikap tegas keluarga pihak ibu. Namun akhirnya hidup bahagia atau tidak tetap bergantung pada putri sulungnya sendiri. Sayangnya sifat putrinya ini terlalu lemah lembut. Andai suatu hari nanti terjadi masalah, belum tentu putri sulungnya mau menerima perceraian... 　　Melirik putri keduanya yang berwajah dingin di sampingnya, Jiang Ancheng merasa agak menyesal: Andai Yi'er memiliki 80% sifat keras kepala adiknya, setidaknya takkan mudah dirugikan. 　　Jiang Yi menundukkan kepala perlahan: "Ayah tak perlu khawatir, putri mengerti." 　　"Si'er, mari kita pergi." 　　Melihat percakapan telah usai, Yu Jin mendekat sambil tersenyum: "Paduka Zhu, hamba pun mohon pamit." 　　Zhu Shaoqing tersenyum kaku sambil mengantarkan Yu Jin sampai pintu. Begitu melihat kerumunan penasaran di luar, wajahnya langsung berubah masam. 　　Tentu saja kedatangan petugas keamanan ini langsung menyulut rasa ingin tahu tetangga sekitar. 　　Saat hendak berkilah, tiba-tiba terdengar suara lantang Yu Jin: "Permisi, semua harap minggir. Ini sedang ada urusan resmi pemerintah." 　　Zhu Shaoqing hampir terjatuh. 　　Sungguh ingin menyumpal mulut lancang Pangeran Yan ini! 　　Jiang Ancheng mengangguk pelan-pelan. 　　Hmm, Xiao Yu benar-benar paham situasi. 　　Setelah kejadian yang melelahkan ini, ketika kembali ke Dongping Bo Residence hari sudah mulai gelap. Jiang Si yang mengaku ketakutan dan tidak enak badan segera kembali ke Haitangju untuk beristirahat. Setelah menyesap teh yang disugahkan Ah Qiao, dia bertanya pada Ah Man: "Sudah diberitahu Ah Ya?" 　　Ah Man buru-buru menjawab: "Sudah, saya bilang dia harus mengawasi Qing'er dengan baik dan memberi tahu Nona jika ada yang mencurigakan. Tapi bagaimana kalau Ah Ya tidak menurut?" 　　Para pembaca tercinta, kami berencana mengadakan aktivitas komentar bab. Mulai hari ini, setiap hari di bab yang terbaru, komentar yang mendapat like terbanyak akan mendapat hadiah angpao 3.3 yuan. Tempat klaim hadiah: Grup Resmi Buku Liu Ye. Kontak: Mo Yan. 　　Syarat: Komentar harus relevan dengan isi bab, tidak boleh spam tanpa makna. 　　Waktu penghitungan pemenang: Sebelum update bab berikutnya. 280. BAB 280 Kekhawatiran yang Tidak Mendasar 　　BAB 280 Kekhawatiran yang Tidak Mendasar 　　Tidak menurut? 　　Jiang Si mengangkat alis sambil tersenyum: "A Fei saja bisa menurut, dia seharusnya juga bisa." 　　Menurut mungkin tidak ada untungnya, tapi tidak menurut pasti ada ruginya. Dayang kecil seperti Ah Ya yang berasal dari kalangan bawah biasanya sangat tahu diri. Mimpi buruk malam ini pasti akan membekas di ingatannya. 　　"Nona, kalau Nona curiga Qing'er bermasalah, kenapa masih membiarkannya melayani nona pertama?" Ah Man bertanya bingung. 　　Jiang Si menepuk bahu Ah Man sambil tersenyum: "Banyak tanya. Siapkan air, aku mau mandi." 　　Di kamar mandi yang dipenuhi kabut tipis bercampur hawa dingin musim gugur, Jiang Si melepas pakaian dan masuk ke dalam tong kayu besar. Air hangat perlahan menutupi bahunya yang putih pucat, rambut hitamnya yang lebat seperti rumput laut menyebar di permukaan air, memancarkan kemalasan yang tak terucapkan. 　　Suara siraman air di telinganya diabaikan begitu saja oleh Jiang Si yang memejamkan mata sambil merenungkan sesuatu. 　　Untuk sementara, masalah di pihak Kakak seharusnya tidak akan terjadi. Besok dia harus menemui A Fei... 　　Ah Man yang sedang menyiram air dengan gayung tiba-tiba berhenti, bertanya pelan pada A Qiao: "Apakah Nona tertidur?" 　　A Qiao membungkuk dan memanggil lembut: "Nona?" 　　Beberapa saat kemudian, bulu mata Jiang Si bergetar halus sebelum matanya terbuka. 　　"Lebih baik Ibu bangun, biar hamba mengeringkan badan Ibu dulu sebelum tidur, nanti bisa masuk angin." 　　Jiang Si mengangguk lalu berdiri. 　　Tetesan air mengalir di kulit gadis itu yang putih dan mulus, rambut sepinggang menutupi seluruh punggungnya, justru bagian depan seperti tunas teratai yang baru muncul terlihat jelas. 　　Mungkin karena pengalaman dua kali pernikahan di kehidupan sebelumnya, serta keintiman dengan Yu Jin, Jiang Si tidak merasa malu menampakkan tubuh seperti gadis seumurannya. Dengan kaki telanjang, dia berjalan menuju ruang keluarga. 　　Tiba-tiba terdengar suara berisik dari jendela, seolah ada yang mengetuk kaca. 　　Ekspresi datar Jiang Si berubah menjadi panik. Dia buru-buru bersembunyi di balik paravent terdekat sambil berteriak: "A Qiao, bawakan pakaian untukku!" 　　Kedua dayang itu panik, buru-buru mengambil pakaian dan dengan sigap membantu Jiang Si berpakaian. Sementara itu, suara ketukan di jendela terus tak henti, terdengar semakin jelas di saat lentera mulai dinyalakan, begitu jelas hingga membuat bulu kuduk merinding. 　　Akhirnya pakaian terpasang rapi. Wajah Jiang Si tegang, rambut panjangnya yang masih basah terurai bebas. Ia melangkah lebar menuju jendela. 　　Ia ingin tahu siapa yang ada di luar sana! 　　"Nona--" Ah Man dan A Qiao buru-buru mengejarnya. 　　Jiang Si melambaikan tangan, dengan wajah hitam membuka sendiri jendela. 　　Bisa dikatakan, saat ini Nona Keempat Jiang sedang dilanda kemarahan luar biasa. 　　Coba bayangkan, siapapun yang sedang nyaman mandi air panas dan tiba-tiba mendengar ketukan jendela saat telanjang bulat, mana mungkin tidak ketakutan? 　　Seekor anjing besar di luar jendela menaruh cakar depannya di ambang jendela, mengendus-endus ke arah Jiang Si. 　　Nona Keempat Jiang yang sudah di ambang ledakan amarah tiba-tiba kehilangan temperamennya, bertanya heran: "Er Niu, bagaimana kau bisa datang ke sini?" 　　Secara refleks dia minggir, membiarkan anjing besar itu melompat masuk dengan mudah. 　　A Qiao yang jarang menemani Jiang Si keluar rumah tidak paham hubungan mereka, terkejut setengah mati. 　　Ah Man justru dengan riang menyambut, bercanda mesra dengan Er Niu: "Er Niu, apa kau nemukan uang lagi?" 　　Er Niu memandang Ah Man dengan ekspresi dingin, lalu menoleh dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi ke arah Jiang Si. 　　Setelah tenang, Jiang Si akhirnya menebak maksud kedatangan Er Niu. Benar saja, ia menemukan kantong bersulam kecil di leher anjing itu. 　　Jiang Si mengernyit sambil melepas kantong tersebut, mengeluarkan secarik kertas terlipat. Setelah membacanya, ia berjalan ke meja, membuka tudung lentera, dan melemparkan kertas ke dalamnya. 　　Nyala lilin tiba-tiba melonjak setinggi satu jengkal, menyoroti wajah gadis yang tegang itu dengan cahaya terang. 　　Ah Man dan A Qiao mati penasaran, tapi tak ada yang berani bertanya melihat ekspresi tuannya. 　　Masuk ke ruang belajar, Jiang Si cepat-cepat menulis balasan dan memasukkan kembali ke kantong. Ia mengelus kepala Er Niu: "Pulanglah." 　　Er Niu mengibaskan ekornya dengan wajah memelas. 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu menyuruh A Qiao: "Ambil paha babi kecap yang Ayah kirim hari ini." 　　Entah sejak kapan, Tuan Besar Jiang terbiasa mengirim paha babi kecap untuk menenangkan putri bungsunya. Porsinya selalu berlimpah, dan kiriman hari ini belum habis. 　　Setelah melahap habis, Er Niu melompat keluar jendela dengan puas, lenyap dalam kegelapan malam. 　　Jiang Si berdiam sejenak di tepi jendela sebelum berbalik menuju ranjang. 　　Surat Yu Qi melalui Er Niu mengundangnya bertemu besok. Tapi semua yang perlu dikatakan sudah selesai, tak ada alasan bertemu lagi. 　　Lagipula, besok ia harus menemui A Fei. 　　Berbeda dengan ketenangan di Haitangju, Yaxinyuan saat ini terang benderang. Nyonya Xiao Istri Kedua memandangi hidangan yang sudah dingin di meja tanpa selera makan. Pria yang dikiranya akan datang menemaninya makan malam dan menanyakan detail kejadian siang tadi ternyata tidak muncul. 　　Tuan Jiang Kedua bahkan tidak memasuki Yaxinyuan, melainkan langsung beristirahat di ruang belajar halaman depan. 　　Di hati Nyonya Xiao berkecamuk kemarahan karena merasa diabaikan, namun amarah ini tak bisa diluapkan. 　　Ia sangat menyadari, semua orang di rumah besar ini yang mengetahui kejadian itu sedang menertawakannya. 　　Seorang nyonya rumah utama diculik di siang bolong, lalu dikembalikan secara membingungkan. Jika ini terjadi pada orang lain, pasti ia pun akan merendahkan dan mengejek. 　　Nenek Xiao yang berdiri di sampingnya berkali-kali mengamati raut wajah Nyonya Xiao, akhirnya tak tahan lagi dan bersujud. 　　"Nenek Xiao, untuk apa ini?" 　　Suara Nenek Xiao parau saat membenturkan dahinya ke lantai: "Nyonya, apakah Hongyue masih bisa ditemukan?" 　　Nenek Xiao adalah tangan kanan Nyonya Xiao. Hongyue adalah putri Nenek Xiao. Ibu dan anak ini sama-sama orang kepercayaan Nyonya Xiao. 　　Nyonya Xiao terdiam. 　　Ia bahkan tak tahu siapa penculiknya. Sejak terbangun, Hongyue juga menghilang. Meski keluarga Bo diam-diam mengirim orang untuk mencari, upaya itu seperti mencari jarum dalam jerami. 　　Nyonya Xiao mengusap pelipisnya, lemah berkata: "Sudah dikirim orang untuk mencari, mungkin besok ada kabar..." 　　Nenek Xiao bersujud di lantai, keningnya menempel pada permukaan dingin, air mata mengalir deras seperti hujan. 　　Putrinya pasti tidak akan kembali lagi. 　　…… 　　Di Kediaman Pangeran Yan yang baru selesai dibangun, Yu Jin akhirnya menunggu kepulangan Er Niu. 　　Begitu Er Niu mendekat, dia mencium aroma daging samar, langsung mencubit kulit wajah anjing itu dengan nada sulit dibedakan antara iri dan sedih: "Dia lebih baik padamu daripada padaku." 　　Er Niu mendengus dua kali, memberi isyarat agar tuannya segera mengambil kantong bersulam itu. 　　Yu Jin mengeluarkan secarik kertas dari kantong itu dan membacanya, perasaan sedihnya semakin menjadi. 　　Bagus sekali, Er Niu dapat makan daging setelah mengantarkan pesan, sementara dia hanya mendapat dua kata kering: tidak mau bertemu. 　　Mengapa perbedaan perlakuan antara manusia dan anjing bisa sebesar ini? 　　Tapi kali ini Yu Jin tidak gentar dengan kata "tidak mau bertemu", dia merasa harus menemui A Si. 　　Meski tidak boleh memaksa A Si terlalu keras, tapi juga tidak bisa membiarkannya mengira dia tertarik pada gadis lain - sungguh tuduhan yang keterlaluan! 　　Keesokan harinya angin musim gugur berhembus dingin, Jiang Si seperti biasa pergi ke Cixintang untuk memberi salam, mendengar ocehan Nyonya Feng masuk telinga kiri keluar telinga kanan, kemudian mencari kesempatan membawa Ah Man ke rumah sewaan. 　　A Fei sudah menunggu di sana, langsung memberi hormat saat melihat Jiang Si. 　　Jiang Si melambaikan tangan tanda tak perlu formalitas, langsung bertanya: "Apakah dua preman yang membuntuti gadis itu kemarin tidak terlepas?" 　　Sudahlah, jangan lagi membahas paha babi kecap terlalu asin tidak boleh diberikan ke anjing, pengetahuan umum ini penulis sudah tahu, tapi mungkin orang zaman dulu tidak tahu. Waktu kecil keluarga memelihara anjing, orang dewasa memberinya makan sisa. Teman yang mendapat like terbanyak kemarin harap segera gabung grup untuk ambil hadiah. 281.BAB 281 Hatiku Tergerak oleh Jiang Si 　　BAB 281 Hatiku Tergerak oleh Jiang Si 　　Meski kemarin mengalami insiden kereta kuda menegangkan, bagi Jiang Si ini adalah hari yang sangat berharga. 　　Ia menemukan orang yang disebut kakak tertua di kehidupan sebelumnya tidak boleh diselamatkan, lebih membahagiakan lagi karena persiapan matang dengan menyuruh A Fei mengawasi Zhu Ziyu, saat Qing'er minta tolong ke mereka, A Fei sebenarnya bersembunyi di kerumunan penonton. 　　Saat menghalau dua preman dengan beberapa butir emas, ia memberikan kode mata ke A Fei untuk mengejar. 　　Waktu itu ia melihat A Fei mengikuti dari jarak cukup aman baru bisa tenang, hari ini pagi-pagi datang bertanya ingin memastikan hasil penyelidikan A Fei. 　　Bisa dikatakan, mengawasi Qing'er lewat A Ya adalah pertahanan pasif, sedangkan sisi A Fei ini merupakan serangan aktif. 　　Jika melacak asal-usul dua preman ini, mungkin bisa mengungkap siapa dalang jebakan pada kakak tertua di kehidupan sebelumnya, dan motifnya. 　　Setiap akibat pasti ada sebabnya, Jiang Si yakin rencana rumit ini pasti bukan sekadar tidak suka pada kakak tertua. 　　"Tidak kehilangan jejak." Jawab A Fei sambil tersenyum saat ditanya Jiang Si. 　　“Kemana perginya orang itu?” 　　Ekspresi A Fei tiba-tiba menjadi aneh. Namun mengingat Nona Jiang yang menjadi majikannya sangat berbeda dengan gadis biasa, ia pun tak ragu melanjutkan: "Mereka menuju ke Sungai Jinshui." 　　Melihat ekspresi Jiang Si yang tak berubah, A Fei bertanya ragu: "Anda tahu Sungai Jinshui, kan?" 　　Ah Man yang diam seperti patung mengangkat pandangannya ke langit. 　　Tentu saja mereka tahu. Belum lama ini nona mereka justru pernah ke Sungai Jinshui untuk membunuh dan membakar... 　　"Tahu. Tempat favorit Kakak Kedua saya." 　　A Fei menyeringai, diam-diam merasa kasihan pada Jiang Zhan sejenak. 　　"Lanjutkan." 　　"Saya lihat dua preman itu naik ke kapal bunga. Malamnya saya menyamar sebagai tamu dan memastikan - ternyata mereka adalah penjaga di kapal itu..." A Fei ragu sejenak menggunakan istilah 'penjaga', tapi melihat ekspresi Jiang Si yang tetap datar, ia merasa kekhawatirannya berlebihan. 　　Sepertinya Nona Jiang lebih berpengalaman darinya - pasti ini hanya perasaan salah. 　　"Kau yakin mereka penjaga kapal?" 　　"Pasti. Saya sudah tanya, mereka sudah bekerja di sana beberapa tahun." 　　Jiang Si mengerutkan alis sambil mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. 　　Awalnya ia mengira dua preman itu hanya pemeran dalam skenario untuk menjebak Kakak, tapi ternyata mereka benar-benar pekerja di kapal bunga. 　　"Apakah kedatangan Qing'er di sisi kakak hanya kebetulan, kemudian niat jahatnya juga kebetulan? Apakah semua ini tidak ada yang mengatur sebelumnya?" 　　Jiang Si segera menepis pikiran ini. 　　Memang banyak kebetulan di dunia, tapi ketika menyangkut orang dekat, meski itu kebetulan harus dianggap bukan kebetulan. 　　Menyangkut nyawa kakak tertua, dia tak boleh lengah. 　　Jiang Si memejamkan mata perlahan sambil merenung: Seandainya dia yang mengatur semua ini, apa yang akan dilakukannya? 　　"Yang palsu dianggap nyata, maka yang nyata pun jadi palsu." Kebohongan yang ditenun rapi, semakin banyak bagian yang benar, semakin kecil celahnya. 　　A Fei yang cerdik, melihat Jiang Si memejamkan mata dan diam, tak berani bersuara. Baru setelah sang nona membuka mata dia bertanya, "Ada perintah lagi, Nona?" 　　"Jika tidak mempedulikan uang, berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menjalin keakraban dengan kedua pria itu? Atau bisa mengorek informasi dari mulut mereka?" 　　A Fei berpikir sejenak, "Tak perlu lama, tiga hari cukup." 　　"Tiga hari?" Jiang Si terkejut, tak menyangka waktu yang diberikan A Fei begitu singkat. 　　A Fei tersenyum menjelaskan, "Nona tak paham, pria yang bekerja di kapal bunga lebih hina dari lumpur busuk. Biasanya tak ada yang menghiraukan. Asal mulut mereka tidak terlalu ketat, dengan sekali-dua kali jamuan sudah bisa membuat mereka bocor rahasia masa kecil seperti mengintip istri orang mandi..." 　　Ah Man mengernyitkan alisnya, "Jangan ngawur di depan nona!" 　　“A Fei membuat muka lucu ke arah Ah Man.” 　　“Tiga hari lagi saya tunggu kabar dari kau.” 　　“Nona jangan khawatir, bergaul dengan orang sambil makan minum dan bersenang-senang itu keahlian saya.” 　　Jiang Si masih mengingatkan lagi: “Hati-hati dengan keselamatan.” 　　A Fei buru-buru menyahut, sampai di ambang pintu halaman langsung menarik pintu. Matanya tiba-tiba terbelalak, refleks menutup pintu. 　　Pintu kayu ditahan oleh satu tangan. 　　Pria yang berada di antara usia remaja dan dewasa, telapak tangannya belum selebar pria dewasa, tapi tenaganya sangat kuat. 　　A Fei mendorong sekuat tenaga, tidak bisa bergerak. 　　“Minggir!” Yu Jin langsung mendorong A Fei, lalu melangkah besar masuk. 　　Jiang Si terkejut tapi sekaligus merasa memang sudah diduga, berbagai pikiran melintas dalam hatinya, namun raut wajahnya tidak berubah sama sekali. 　　Yu Jin hanya beberapa langkah sudah sampai di depan Jiang Si, matanya menyala-nyala menatapnya. 　　Jiang Si menyangga diri dengan tangan di meja batu lalu berdiri: “Tuan Yu datang tanpa diundang, ada keperluan apa?” 　　“Bicaranya di dalam.” 　　Jiang Si duduk kembali: “Bicara di sini saja. A Fei, kau boleh pergi.” 　　A Fei pergi sambil menengok berkali-kali. 　　Nona Jiang dan pria itu sebenarnya punya hubungan apa sih? Penasaran sekali. 　　Melihat pintu halaman tertutup lagi, Ah Man yang jarang cerdik ini tiba-tiba lari memasang palang pintu. 　　Wajah Jiang Si agak menghitam. 　　Ini dayang siapa sebenarnya? 　　“Sekarang bisa bicara?” 　　“Saat ini Jiang Si sedang duduk, Yu Jin berdiri, namun orang yang duduk jelas lebih dominan. Meski Yu Jin sangat ingin menggendongnya masuk ke dalam kamar tanpa peduli apa pun, akhirnya tidak berani melakukannya.” 　　“Tak ada cara lain, dia sangat menyukainya, tapi si dia belum cukup menyukainya, dia hanya bisa mengalah.” 　　“Ah Man, kau masuk ke dalam.” Yu Jin menunjuk ke pintu kamar. 　　Ah Man berlari kecil menaiki tangga, baru teringat bahwa perintah itu bukan dari nona majikannya, buru-buru berhenti dan melirik ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si tak ingin membuang waktu lagi, mengangguk perlahan. 　　Hanya tersisa mereka berdua di halaman, bahkan angin yang berputar membawa daun kering seolah bertiup lebih kencang karena tiba-tiba ruang menjadi lebih lapang. 　　Yu Jin duduk, kedua tangan bertumpu di meja batu, matanya menatap tajam gadis di seberang meja. 　　“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” 　　“Ada satu hal yang kupikir kau salah paham, jadi harus kujelaskan.” 　　Jiang Si menunggu kelanjutan perkataannya. 　　Yu Jin terdiam sejenak. 　　Tiba-tiba angin bertiup kencang, menerbangkan helai rambut Jiang Si yang terurai. Cahaya fajar menyinari dinding halaman, membalut tubuhnya dengan kilau keemasan. 　　Matahari pagi di musim ini tak sepanas musim panas, hangatnya pas. 　　Lalu dia mendengar kata-kata yang diucapkan perlahan: “Aku tidak suka dengan Imam Suci mana pun, hatiku tertuju pada Nona Keempat dari Dongping Bo Residence—Jiang Si.” 　　Di kehidupan sebelumnya, Jiang Si pernah mendengar begitu banyak kata manis dari pria di hadapannya. Ucapan romantis itu bagai jaring halus yang membelitnya, namun justru membuatnya semakin sesak dan tidak tenang. Hingga ketika mendapat kesempatan untuk hidup kembali, meski hatinya masih belum bisa melupakan orang ini, dia memilih untuk menjauh dengan tegas. 　　Sekarang dia bilang yang disukainya adalah Jiang Si... 　　Saat ini, Jiang Si benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkannya. Hampir seperti orang panik, dia berlari ke dalam kamar dan membanting pintu dengan keras. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, tetap minta vote ya. Kemarin pemenang like di komentar BAB ini, Shushan Yali Tongxue harap ambil angpao dari moderator Mo Yan. 282. BAB 282 Rahasia untukmu 　　BAB 282 Rahasia untukmu 　　Jiang Si yang tiba-tiba masuk ke kamar membuat Ah Man yang sedang mengintip dari celah pintu kaget setengah mati. 　　"No-nona?" 　　Nona tidak panik saat membunuh dan membakar di Sungai Jinshui, apa yang dikatakan Tuan Yu sampai bisa membuat Nona panik begini? 　　Jiang Si mengabaikan teriakan Ah Man, pikirannya masih dipenuhi ucapan Yu Jin: Aku tidak suka dengan Imam Suci mana pun, yang kusukai adalah Nona Keempat dari Dongping Bo Residence - Jiang Si. 　　Pikiran pertamanya adalah: Tidak mungkin. 　　Saat itu Yu Qi (Pangeran Ketujuh) pertama kali mendekatinya dengan sikap yang sama sekali asing. 　　Saat itu, ia menggunakan identitas Imam Suci A Sang. Meski merasa cemas, ia menghibur diri bahwa tak masalah jika pria ini mengira yang disukainya adalah A Sang. Bagaimanapun, dari awal hingga akhir, yang berinteraksi dengannya adalah Jiang Si, yang semakin akrab dengannya adalah Jiang Si, dan yang saling mencintai dengannya adalah Jiang Si. 　　Kisah masa lalunya di ibu kota tak boleh disebutkan lagi. Bagi dirinya, identitas sebagai Imam Suci adalah kehidupan baru, kemungkinan untuk meraih kebahagiaan kembali. Jika ia sudah mengambil identitas Imam Suci, mengapa harus memusingkan sebuah nama yang disebut kekasihnya? Asalkan sang kekasih menyukai dirinya sendiri, itu sudah cukup. 　　Tapi kemudian baru diketahui, Yu Qi (Pangeran Ketujuh) telah mengenal A Sang sejak sangat lama. Dari awal ia tahu bahwa dia bukan A Sang. Sikap menjaga jarak di awal hanyalah untuk mengurangi kewaspadaannya, memudahkan pendekatan. 　　Sang Imam Suci telah tiada. Mengenang kekasih yang telah pergi melalui wanita yang mirip wajahnya dengan sang imam, bisa dianggap sebagai pelipur lara. 　　Kata-kata ini diucapkan oleh Ulan, dayang pribadi A Sang, dengan nada menghina dan tawa sinis. 　　Ia tak mau mempercayai sepatah katapun yang keluar dari mulut orang lain. Bahkan ketika tak sengaja menemukan lukisan A Sang di bilik rahasia tersembunyi di ruang belajar Yu Qi, ia tetap tak mau menyerah. 　　Sebenarnya saat itu ia sudah tahu bahwa kemungkinan besar ucapan Ulan itu benar. 　　Lukisan itu sudah berusia beberapa tahun. Gadis dalam lukisan tersebut masih berusia 12-13 tahun, di usia remaja awal. Matanya yang jernih dan gigi putih bersinar, kulit seputih salju dengan rambut hitam legam. Titik merah di antara alisnya terlihat begitu mencolok, menambah pesona pada gadis kecil yang belum sepenuhnya berkembang ini. 　　Perbedaan paling mencolok antara dirinya dengan A Sang adalah A Sang memiliki titik merah di antara alis, sedangkan dirinya tidak. Saat dia mengambil alih identitas A Sang, titik merah itu sengaja digambar. 　　Apalagi ada satu hal yang tak bisa Jiang Si bohongi: Di usia 12-13 tahun, dia sama sekali belum pernah bertemu Yu Qi. Jika masih berusaha meyakinkan diri bahwa gadis dalam lukisan adalah dirinya bukan A Sang, itu bukan hanya menggelikan tapi juga menyedihkan. 　　Jiang Si mungkin tidak disukai orang, mungkin jadi korban skema penggantian identitas, tapi takkan mau jadi orang menyedihkan yang hidup dalam ilusi. 　　Inilah mungkin akar penderitaannya, sehingga semua kebaikan Yu Qi tak mampu meredakan rasa sakit yang terus menggerogoti. Bahkan semakin baik Yu Qi padanya, semakin membara amarahnya. 　　Hingga akhirnya, saat mendengar langsung Yu Qi berkata mencintai Imam Suci, hatinya benar-benar mati dan menerima takdir. 　　Saat itu, berkali-kali dia berpikir: Andai semua bisa diulang, sebelum jatuh cinta, atau bahkan saat sudah jatuh cinta tapi belum menikah, dia takkan mau lagi bersama si brengsek ini. 　　Tapi sekarang, dia malah bilang cintanya selalu untuk Jiang Si. 　　Jiang Si mengangkat tangan, menyentuh pelan bagian antara alisnya dengan ujung jari. 　　Permukaan kulit di sana halus rata, tak ada tanda titik merah. Artinya tak mungkin terjadi kesalahan identitas. 　　Apakah perkataannya dapat dipercaya atau tidak? 　　Jiang Si bersandar di pintu kayu, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali. 　　Mungkin dia tetap akan mempercayainya. 　　Meski bajingan itu berwajah tebal, mengumbar kata-kata manis bak hujan tak berbayar, tapi ada satu hal yang dia pahami: saat pria itu menggunakan ekspresi dan nada seperti itu, dia sedang serius. 　　Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan sebelumnya? 　　Jiang Si menutup mata, bayangan Yu Jin muncul di benaknya. 　　Yu Jin dari kehidupan lalu, yang sudah melewati kecerobohan masa remaja, telah tumbuh menjadi pemuda dengan sorot mata semakin dingin. 　　Saat dia bersikap dingin, pria yang di depan orang lain tampak kaku seperti es justru menunjukkan tatapan sedih seperti anak anjing, lalu memanfaatkan tatapan itu ditambah kata-kata mesum yang membuat wajah memerah untuk meluluhkan hatinya. 　　Apakah... pria itu saat itu juga menyukai Jiang Si? 　　Sejak terlahir kembali, Jiang Si belum pernah merasa sebingung ini, bahkan lebih membingungkan daripada nasib Pasangan Yongchang Bo yang berbeda drastis dengan kehidupan sebelumnya. 　　Berbagai pikiran berkecamuk di hatinya. Dengan pikiran kalut, dia meninggalkan pintu kamar dan berjalan ke dalam, duduk di meja Baxian di ruang tengah sambil menyesap teh dingin. 　　“Ah Man benar-benar kaget melihat reaksi Jiang Si, melirik tuannya diam-diam, lalu membuka pintu perlahan dan menyelinap keluar. Ia berlari cepat ke depan Yu Jin, menangkupkan pinggang dan bertanya, ‘Tuan Yu, sebenarnya apa yang kau katakan pada nona kami sampai membuatnya ketakutan seperti itu?’” 　　Pemuda yang seolah dikenai mantra penghenti itu akhirnya tersadar oleh teguran dayang kecil itu, bola mata hitamnya yang berkilau berputar perlahan. 　　Sejujurnya, dialah yang lebih ketakutan. Saat A Si tiba-tiba berdiri, ia mengira akan menerima pukulan... 　　“Kau bicara dong!” Ah Man menghentakkan kaki gusar. 　　Yu Jin melirik Ah Man sekilas, lalu melangkah melewatinya menuju dalam rumah. 　　Ah Man mengejarnya, namun di depan pintu terdengar suara "brak" saat pintu ditutup di hadapannya. 　　Ah Man mengusap ujung hidungnya, lalu duduk membelakangi di anak tangga sambil menopang dagu. Dalam perkiraannya berdasarkan pengalaman, nona takkan dirugikan. Apalagi Tuan Yu bukan hanya berwajah tampan, tapi juga punya Anjing Besar yang pandai mencari kantong uang. Karena dua kelebihan ini, ia sangat berharap nona bersatu jodoh dengan Tuan Yu. 　　Yu Jin berjalan langkah demi langkah ke dalam, sampai di hadapan Jiang Si dan duduk berseberangan. Sang lawan masih sama sekali tak bereaksi. 　　“Benar-benar ketakutan?” 　　Jiang Si mengedipkan mata, menatapnya dengan pandangan terkunci. 　　"Ekspresi matanya terlalu kompleks, seolah ribuan emosi menyatu dalam sepasang bola mata indah yang hampir tak mampu menampungnya, cukup untuk menenggelamkan siapa pun yang memandangnya." 　　Yu Jin terdiam sejenak, bergumam pelan: "Aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman, tidak memaksamu untuk langsung menerimaku. Kenapa kau bisa ketakutan seperti ini?" 　　Karena mengungkapkan perasaan malah membuat kekasihnya takut hingga seperti orang bodoh, mungkin tak banyak orang di dunia ini yang bisa melakukan hal seperti ini? 　　Gadis di hadapannya bergetar bulu matanya, akhirnya bereaksi: "Apa yang kau katakan tadi benar?" 　　Tadi? 　　Apakah pertanyaan A Si ini berarti dia sangat memperhatikan siapa yang benar-benar kusukai? Bukankah ini menunjukkan bahwa A Si memiliki perasaan padanya! 　　Secercah kebahagiaan tersembunyi tiba-tiba menerjang jantung Yu Jin, membuat detak jantungnya semakin kencang. 　　Ia bisa mendengar debar jantungnya sendiri, dan dia pun bisa. 　　"Benarkah?" Jiang Si bertanya lagi, seolah mengerahkan seluruh keberanian dari kehidupan sebelumnya dan sekarang. 　　Pemuda yang tegak dan tampan seperti bambu hijau di hadapannya mengangkat tangan, mengusap lembut rambutnya sambil berdesah: "Dasar si gadis bodoh, untuk apa aku membohongimu. Jika aku menyukai imam suci itu, buat apa aku terus-terusan membuatmu tidak nyaman?" 　　Jiang Si membuka mulutnya tapi tak mengucapkan pertanyaan itu: Mungkin karena sang imam suci sudah meninggal? 　　Dalam kehidupan sekarang ini, tak ada alasan baginya untuk tahu bahwa sang imam suci sudah tiada. 　　Saat itu dia mendengar Yu Jin berkata dengan nada datar: "Aku akan memberitahumu sebuah rahasia." 　　Selamat pagi. Sudah akhir bulan, sepertinya suara bulanan sudah matang, bisa dipanen sekalian. 283. BAB 283 Pengakuan 　　BAB 283 Pengakuan 　　Rahasia? 　　Jiang Si merasa jantungnya berdebar. 　　Suara Yu Jin melunak: "Tapi soal ini, kau dengar saja, saat ini selain segelintir orang, yang lain tidak tahu." 　　Jiang Si menatapnya, menangkap kesan kesungguhan dalam sikapnya. 　　"Kalau tidak pantas, lebih baik jangan diungkapkan." Nona Jiang berkata tanpa ketulusan. 　　Jangan sampai mengungkap hal yang tidak semestinya, nanti malah harus bertanggung jawab. Ia hanya ingin mendengar rahasia, tak mau menanggung beban. 　　Benar saja, mendengar perkataan Jiang Si, Yu Jin buru-buru menjelaskan: "Bercerita padamu paling tepat." 　　Bagi Pangeran Ketujuh Yu Qi, tentu tidak ada rahasia yang lebih penting daripada menghilangkan kesalahpahaman sang kekasih. 　　Melirik ke arah pintu, Yu Jin berbisik: "Imam Suci Suku Wu Miao di Perbatasan Selatan sebenarnya sudah lama tiada." 　　Jiang Si yang sedang menanti-nanti rahasia apa yang akan diungkapkan Yu Jin, langsung berubah sorot matanya mendengar ini. 　　Kematian Imam Suci A Sang pada periode ini memang merupakan rahasia besar, bahkan di Suku Wu Miao sendiri yang mengetahui hal ini tidak sampai lima orang. 　　Dirinya satu, Yu Qi satu, Tetua Wu Miao satu, dayang pribadi A Sang satu. 　　Alasan dirinya bisa hidup dengan identitas Imam Suci A Sang setelah terdampar di Perbatasan Selatan, adalah karena kematian A Sang tidak diumumkan selama berbulan-bulan. Tetua Wu Miao memberi pernyataan resmi bahwa sang Imam Suci sedang bertapa. 　　Perbatasan Selatan bukan hanya dihuni oleh Suku Wu Miao, tetapi terdapat belasan kelompok etnis besar kecil yang tinggal bersama. Di antara mereka, yang paling terkemuka adalah Suku Wu Miao. Dapat dikatakan kelompok lain dipimpin oleh Suku Wu Miao, baik dalam menghadap negara besar Dinasti Zhou maupun berurusan dengan bangsawan Nanlan yang bertetangga, semuanya diwakili oleh Suku Wu Miao. 　　Namun demikian, Suku Wu Miao justru mengagungkan perempuan karena ilmu rahasia Wu Miao yang misterius seperti dewa dan hantu hanya dapat dikuasai oleh kaum perempuan. 　　Imam Suci dipilih dan dibina dengan hati-hati dari banyak perempuan Wu Miao berbakat. Bisa dibayangkan, kematian Imam Suci menjadi pukulan berat bagi Suku Wu Miao. Begitu tersebar, hal ini mudah memicu keresahan di beberapa kelompok etnis. 　　Hari demi hari, tahun demi tahun, siapa yang rela terus diperintah? 　　Yang mengejutkan Jiang Si bukanlah rahasia kematian Imam Suci A Sang, melainkan nada bicara santai Yu Jin saat membicarakan hal ini. 　　Bagaimanapun, cara suami dihadapannya menyebutkan kematian A Sang tidak terlihat seperti orang yang terikat cinta mendalam. Jika dia bersikap dingin pada kekasih sejati hanya untuk menipunya, itu sangat mengerikan. 　　Yu Qi yang dicintainya bukanlah pria seperti itu. 　　Saat cahaya pagi sedang terang-benderang, meskipun pintu ruang tengah tertutup menghalangi sinar matahari yang ingin menyusup masuk, ruangan tetap terang benderang sehingga perubahan ekspresi halus di wajah seseorang dapat terlihat jelas. 　　Jiang Si yakin, dia tidak menemukan secuil pun kesedihan di wajah suami yang berada di hadapannya. 　　"Wajah tampan yang garisnya belum sekeras kehidupan sebelumnya itu hanya menunjukkan keprihatinan." 　　"Bagaimanapun, kematian Imam Suci Suku Wu Miao adalah masalah besar bagi mereka. Saat ini hanya segelintir orang yang tahu, termasuk saya yang mengetahui secara kebetulan." Setelah mengatakan ini, Yu Jin terdiam sejenak. 　　Jiang Si menatapnya, beribu pertanyaan berputar di hatinya seperti bara api yang menyumbat dada, membuatnya kesakitan yang menyayat. 　　Situasi paling menyedihkan mungkin seperti dirinya - baginya, mereka telah melewati berhari-hari bersama, tapi bagi pemuda ini dirinya hanyalah orang asing yang disukai namun belum akrab. 　　Masakan mungkin bertanya: "Jika kau tidak menyukai Imam Suci A Sang, mengapa menyimpan potretnya dengan hati-hati?" 　　Atau bertanya: "Jika tidak menyukai A Sang, mengapa di kehidupan sebelumnya kau pernah mengaku mencintainya?" 　　Jiang Si merasa terjebak dalam labirin. Ini bukan kesalahannya, bukan juga kesalahan pemuda itu, seolah takdir sedang mempermainkan mereka. 　　Dengan putus asa ia berpikir: Peristiwa kehidupan sebelumnya mungkin tak akan pernah terungkap. 　　Tiba-tiba pemuda dihadapannya berkata dengan tenang: "Jika aku mencintai Imam Suci Wu Miao, pasti akan rela menukar nyawaku untuk menghidupkannya kembali." 　　Seluruh tubuh Jiang Si bergetar, "Menukar nyawa?" 　　Yu Jin kembali ke sikap tidak seriusnya, mengedipkan mata berkali-kali: "Hanya sekadar mengatakan, pokoknya di dunia ini semua orang boleh salah paham, tapi kau tidak boleh, kalau tidak aku benar-benar teraniaya." 　　Suku Wu Miao memiliki banyak ilmu rahasia, ada satu teknik ajaib menukar nyawa dengan nyawa yang hanya beredar di antara segelintir orang, syaratnya sangat ketat, konon ramuan utamanya adalah darah dari jantung seseorang, dan harus diberikan dengan sukarela sepenuhnya. 　　Meski tidak tahu detail pelaksanaan ilmu rahasia itu, setelah mendengarnya secara kebetulan pun dia sangat terkejut, sadar betul bencana apa yang akan menimpa Suku Wu Miao jika hal ini tersebar. 　　Hidup kembali setelah mati, bagi mereka yang menguasai kekuatan mengerikan, adalah godaan yang rela mengorbankan negara porak-poranda dan rakyat sengsara. 　　Jiang Si memalingkan pandangan, namun sejenak sukacita muncul diam-diam dari dasar hati, seperti air musim semi yang baru mengalir, mencairkan es yang bertumpuk bertahun-tahun di dalam hati. 　　Dia berusaha keras menahan luapan air mata yang nyaris meledak, tapi butiran air mata tetap terkumpul di bulu mata panjangnya, jatuh berat. 　　Yu Jin merasa bingung. 　　Mengapa A Si menangis? 　　"Ada satu hal lagi yang kusembunyikan darimu..." Yu Jin memaksakan diri bicara. 　　Karena cepat atau lambat harus dikatakan, lebih baik segera saja, lagipula A Si mungkin sudah mengetahuinya. 　　Jiang Si menatapnya, mata yang basah oleh air mata berkilau hitam: "Apa?" 　　"Hmm... Sebenarnya nama margaku Yu..." 　　"Pangeran Yan, bukan?" tanya Jiang Si datar. 　　Yu Jin merasa lega. 　　"Untung dia tidak terus berbohong dengan mengandalkan keberuntungan, kalau tidak pasti sudah hancur." 　　"Aku tidak sengaja menyembunyikan ini dari kalian, aku hanya takut Adik kedua Jiang akan merasa tidak nyaman setelah tahu identitasku…" 　　Jiang Si menyeringai: "Hm." 　　Seandainya dia baru mengenal pria ini di kehidupan sekarang, mungkin dia akan percaya. Alasan "takut Kakak Kedua tidak nyaman" itu jelas hanya kedok, nyatanya dia berencana mendekatinya diam-diam seperti di kehidupan sebelumnya… 　　Pikiran ini melintas, wajah Jiang Si berubah samar. 　　Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, dia sudah mengenal Imam Suci A Sang lebih dulu sebelum bertemu dengannya. Jika di kehidupan lalu perasaan mereka tumbuh karena selalu bersama, lalu bagaimana dengan kehidupan sekarang ini? 　　Dari awal saja dia sudah tidak ramah padanya, tapi dia malah nekat mengejar tanpa malu. Tanpa kedekatan sebelumnya, mungkinkah dia jatuh cinta pada pandangan pertama hanya karena tahi lalat merahnya lebih sedikit dibanding A Sang? 　　Ini jelas tidak mungkin. 　　Jiang Si menopang dagunya dengan satu tangan di meja, bertanya seolah tak acuh: "Kabarnya Pangeran Yan tergila-gila pada Imam Suci Wu Miao, pastinya sang imam itu cantik bukan main ya?" 　　Kegelisahan di hati Yu Jin langsung lenyap bagai kabut. 　　Apakah A Si ini cemburu? Kalau hatinya tidak ada dirinya, buat apa dia mempersoalkan kecantikan Imam Suci Wu Miao? 　　Penemuan ini membuatnya langsung menjadi berani, atau lebih tepatnya keberanian dan keluguan memang sudah menjadi sifat aslinya. 　　Yu Jin mengangguk sungguh-sungguh: "Imam Suci Wu Miao memang wanita cantik yang jarang ditemui." 　　Jiang Si terdiam. 　　Yu Jin bersandar lebih dekat: "A Si, kau cemburu?" 　　Jiang Si menatapnya dengan tatapan dingin: "Pangeran bercanda." 　　Dia seharusnya tidak membuang waktu mengobrol dengan bajingan yang suka omong kosong ini! 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 Qidian Coin dari guiyue08, terima kasih untuk hadiah dari Mengjun, Ruo Wu Dian Zhi Fen Yan, Zai Huan Xiang Zhong You Li, Zhen Ming Qi Xiao Hai, Qing Ling Yu, Re Lian^^, Caroline Jing, Yue Se Meng Long Yu Meng Long. Terima kasih untuk teman-teman pembaca yang memberikan vote. Jangan robek tiketnya, berikan vote ke sini. 284. BAB 284: Merelakan Diri Sejenak 　　BAB 284: Merelakan Diri Sejenak 　　Jiang Si berdiri dengan perasaan lega yang tak terucapkan, seolah semua kekesalan dan penderitaan dari dua kehidupan telah lenyap seketika. 　　Dia mengakui, mungkin selama ini terlalu memaksakan diri, terutama di kehidupan sebelumnya setiap kali mengingat suami yang berbagi ranjang dengannya namun hatinya tertuju pada orang lain, gigit jari penuh kebencian. 　　Membenci kelicikan Yu Qi, membenci ketidakberdayaan dirinya sendiri. 　　Kini, dia akhirnya mendengar langsung Yu Qi mengaku bahwa yang selalu disukainya adalah Nona Keempat Jiang Si dari Dongping Bo Residence. Untuk hal-hal yang tak terpecahkan di kehidupan sebelumnya, biarlah berlalu. 　　Mengapa harus menyiksa diri dengan berusaha membuktikan Yu Qi berbohong, lalu terus menerus merasa sesak? 　　Jiang Si memutuskan untuk membebaskan dirinya sendiri. 　　Dia rela mempercayainya, dan karena percaya tidak ada lagi penyesalan atau ketidakrelaan, itu sudah cukup. Adapun dia dan pria ini di kehidupan ini, tentu tidak mungkin bersama. 　　Meski keputusan yang dibuat sama, bagi Jiang Si semuanya sama sekali berbeda. 　　Sebelumnya dia menjauhi pria ini, tapi tidak bisa melepaskan perasaan campur aduk ketidakrelaan dan kesakitan yang ikut terlahir kembali bersamanya. Kini yang dirasakannya adalah kelegaan. 　　Dia adalah gadis Keluarga Bo yang pernah memutuskan pertunangan dan berstatus biasa, sementara dia adalah putra ketujuh kaisar, Pangeran Yan. Mereka tentu tak mungkin bersama. 　　Tak ada yang perlu disesali, tak ada penyesalan. Kata-kata manis itu sudah tak terhitung dia dengar. Pria di hadapannya ini pernah sepenuhnya menjadi miliknya. Itu sudah cukup. Jika terus berlarut-larut hanya akan merugikan kedua belah pihak, menambah masalah baru saja. 　　Seluruh perhatian Yu Jin tertuju pada Jiang Si. Hampir seketika dia menyadari perubahan pada gadis itu. Kesuraman yang selalu membayangi sudut matanya dalam beberapa pertemuan sebelumnya seolah diterbangkan angin musim gugur, bahkan lengkungan di ujung matanya terlihat lebih lepas, dihiasi senyuman ringan nan bebas. 　　Tapi senyuman itu justru membuatnya dilanda panik tak karuan. Melihat Jiang Si berbalik hendak pergi, dia menyambar pergelangan gadis itu dan menariknya kembali. 　　Jarak antara mereka tiba-tiba menyempit. Sudut meja yang keras menekan pinggang lembut sang gadis, membuatnya mengernyit tak nyaman: "Lepaskan!" 　　“Tidak akan melepaskan!” Di jarak sedekat ini, aroma harum samar dari tubuh lawan bicara menguar di sekitar hidung Yu Jin, membuat suaranya semakin berat. 　　Jiang Si menempelkan satu tangan di bahunya, meski tak bisa mendorong, sikap penolakannya jelas: "Mohon Pangeran menjaga sopan santun." 　　Panggilan "Pangeran" ini membuat Yu Jin semakin kesal. 　　Persetan dengan gelar pangeran! Ayahnya si kaisar itu tak pernah mengasuh atau membesarkannya, malah suka mencampuri urusan. 　　Di tengah kekesalannya, Yu Jin semakin tak tahan melihat sikap dinginnya. Satu tangannya mengikat pinggangnya, satunya menahan di meja agar tak bisa kabur, katanya bertekanan: "A Si, jangan membohongi diri sendiri. Kau jelas peduli apakah aku menyukai Imam Suci. Kalau tidak, mengapa kau verifikasi kebenarannya, menangis, dan memperhatikan kecantikan Imam Suci?" 　　Yu Jin mengatakannya sambil menggigit gigi: "Mengakui perasaan padaku, sesulit itu kah?" 　　Seandainya A Si laki-laki, pasti sudah ditinju! Biar kapok berbohong, bersikap dingin, dan selalu menyakiti hatinya! 　　Persetan! Kalau sekali tak cukup, tinju dua kali. Sampai dia patuh. 　　Sayangnya A Si perempuan! 　　Yu Jin akhirnya hanya bisa menghela napas. 　　Seumur hidup mungkin hanya A Si yang akan meninju dirinya, dan dia malah khawatir si perempuan itu malas melakukannya. 　　“Aura lawan membanjiri sekeliling, serangkaian tuduhannya bagai hujan es yang menghantam hati, membuat Jiang Si tak bisa kabur, panik dan bingung. 　　Ia menunduk, menggigit lengan pria itu dengan keras. 　　Seluruh tubuhnya tiba-tiba terangkat, saat Jiang Si tersadar, dirinya sudah tertindih di atas meja. Pemuda yang masih pantas disebut remaja itu menyangga tubuhnya dengan kedua lengan, menggantung di atasnya dengan mata seolah terbakar api. 　　Posisi ini... sangat ia kenal... 　　Nona Jiang tak sengarja terbawa pikiran jauh. 　　"Kau masih menggigitku." Yu Jin mengadu. 　　"Lalu apa?" Meski dalam posisi mesra seperti ini, Jiang Si bertanya dengan tenang. 　　Setelah melepaskan simpul di hati itu, seolah semua meridian tubuhnya terbuka. Sikapnya menghadapi pria ini benar-benar berbeda. 　　Apa yang ia takuti? Bagian mana dari pria ini yang belum ia lihat? Muka merah deg-degan? Tidak mungkin. 　　Ngomong-ngomong, mungkin dialah yang seharusnya malu. 　　Jiang Si memicingkan mata mengamati remaja di atasnya. 　　Ia ingat, saat menikah dulu Yu Jin masih benar-benar tak tahu apa-apa... 　　Sorot mata gadis itu seperti kait kecil yang menyentak-nyentak hati Yu Jin sampai perih. 　　Ekspresi tak kenal takutnya serta senyum penuh makna yang tersembunyi di matanya, dianggap Yu Jin sebagai provokasi telanjang. 　　Ini sudah melampaui batas kesabaran! 　　Yu Jin tiba-tiba mendekat ke wajah cantik yang telah ia rindukan ribuan kali dalam mimpi, membuka mulut dan menggigit daun telinganya. 　　"Tidak adil hanya dia yang digigit!" 　　Jiang Si langsung kaku. 　　Reaksinya tanpa disengaja memicu keberanian Yu Jin. Setelah menggigit daun telinga, dia masih tak puas. Satu tangan menopang kepala belakang Jiang Si, mulut mungilnya langsung disambar. 　　Asal-asalan menggigit beberapa kali... Eh, kok masih baik-baik saja? 　　Yu Jin merasa seperti mimpi yang tak nyata, bagai hujan kue dari langit. 　　Mungkin ini hanya mimpi. 　　Pikiran itu melintas, hampir tak sabar dia buang semua keraguan. Membuka bibir lembut nan harum itu dengan ganas. 　　Pikiran Jiang Si langsung disambar petir menggelegar, bingung membedakan masa kini dan lampau. 　　Apakah kelahiran kembali hanya mimpi panjang? Saat terbangun, manis dan derita dengannya terus berlanjut... 　　Yu Jin terengah-engah menindih seluruh berat badannya. Secangkir teh di meja jatuh, pecah berdentang keras. 　　Suara itu menyadarkan mereka berdua sekonyong-konyong. 　　Sejenak mereka saling tatap, tetap dalam posisi semula bagai patung. 　　"Sudah cukup?" Setelah jeda, Jiang Si bertanya. 　　Yu Jin bangkit, merapikan baju kusutnya lalu duduk. Dengan wajah serius berkata: "Belum..." 　　Tapi dalam hati gelombang badai mengamuk, ingin segera lari ke kamar mandi dan mandi air dingin berulang kali. 　　Dengan susah payah Jiang Si bangkit, memandang tajam ke arah suami di depannya. 　　"Memanfaatkan kesempatan dan merangkak naik ke pucuk," itu yang dilakukannya! 　　Yu Jin agak merasa bersalah, menyesuaikan napasnya yang tersengal-sengal, membela diri: "Itu... kau yang menggigitku dulu..." 　　Jiang Si hampir tertawa marah: "Jadi kau seenaknya berbuat semaumu?" 　　Jika lebih lambat sedikit, apa dia berniat langsung melakukan malam pengantin di sini? 　　Yu Jin menggeleng, menjelaskan dengan serius: "Aku hanya menggigit balik, kejadian setelah itu bukan ulahku..." 　　Dia mengamati raut wajah Jiang Si, akhirnya menemukan kambing hitam: "Mungkin dirasuki oleh diriku dari beberapa tahun kemudian..." 　　Hmm, beberapa tahun lagi pasti aku sudah menikah dengan A Si, melakukan hal-hal wajar suami istri itu biasa. 　　Jiang Si menatapnya, melontarkan satu kata: "Pergi!" 　　Dalam hal ketebalan muka, bajingan ini mungkin yang tak tertandingi sepanjang masa. 　　"A Si——" 　　Jiang Si diam. 　　"Nona Jiang!" 　　Barulah Jiang Si menatapnya langsung. 　　"Lihat, kita sudah saling menggigit, tidak pantas menggigit orang lain lagi. Relakan hatimu dan nikahi saja aku." 　　Selamat pagi. Pembaca yang menang giveaway di komentar BAB ini harap hubungi moderator Mo Yan untuk klaim hadiah, anggap saja sebagai angpao keberuntungan. 285. BAB 285 Kau Tidak Bisa Mendiskriminasi Aku 　　BAB 285 Kau Tidak Bisa Mendiskriminasi Aku 　　Jiang Si bergeser selangkah ke samping. 　　Jarak terlalu dekat akan mengganggu nalarnya. 　　Menikah dengannya... Jika di kehidupan sebelumnya dan sekarang dia mencintai Nona Keempat Jiang, tentu lebih membahagiakan daripada menikah dengan pria lain. 　　“Tapi sekarang dia bukan lagi yang disebut Imam Suci, sementara dia sudah lebih dulu diangkat sebagai Pangeran Yan. Antara mereka berdua sama sekali tidak mungkin.” 　　“Lagipula, mengarungi keruwetan keluarga kerajaan itu butuh kemampuan. Di kehidupan sebelumnya, dia tewas mengenaskan dalam intrik berbelit-belit istana. Kalau menikah dengannya, apakah harus menjalani hari-hari was-was dan selalu berjaga-jaga lagi?” 　　“Hidup seperti itu terlalu melelahkan. Daripada menjalani hari-hari penuh ketegangan bersamanya, dia lebih memilih keadaan sekarang ini, setidaknya tidak perlu khawatir tiba-tiba kehilangan nyawa tanpa alasan.” 　　“Hati-hati.” Yu Jin dengan sigap menarik lengan Jiang Si, mencegah kakinya menginjak pecahan keramik. 　　“Di musim gugur yang dalam ini, Jiang Si masih memakai sepatu bordir ber-sol lembut saat keluar rumah. Jika menginjak pecahan keramik, mungkin saja telapak kakinya terluka.” 　　“Jiang Si menunduk memandang pecahan keramik di lantai sejenak, lalu mengucapkan terima kasih pada Yu Jin.” 　　“Yu Jin tersenyum sambil memencet tangan gadis itu: 'Nona Jiang, maukah kau berkompromi sebentar?'” 　　“Jiang Si mengangkat pandangan menatapnya, perlahan menarik kembali tangannya.” 　　“Sesaat itu, Yu Jin merasa hampa dan sakit hati, tapi keberanian untuk menggenggam tangannya lagi sudah hilang. Di momen krusial ini, tentu lebih baik bersikap sopan demi mendengar jawaban yang diharapkannya.” 　　“Jiang Si sedikit melengkungkan sudut bibirnya.” 　　“Ekspresi ini, alih-alih marah, justru membuat Yu Jin semakin tegang.” 　　“Setuju saja, selama kau setuju, aku akan memperlakukanmu dengan baik, seumur hidup ini, kehidupan berikutnya, hingga kehidupan setelahnya.” 　　“Kalau aku ini seorang nona, bertemu pria seperti ini pasti langsung menyerahkan diri. Apa tega dia terus-terusan menolakku, mengusirku dari kehidupannya?” 　　Sisa hidup tanpa A Si sama sekali tidak membahagiakan baginya. 　　Angin musim gugur di luar tiba-tiba menguat. Meski pintu tertutup, hembusan dingin menyelinap melalui celah, menerbangkan ujung pakaian mereka dan menggoyangkan hati. 　　Jiang Si akhirnya bertanya, “Pangeran sadar akan status Anda?” 　　Dia cukup memahami Yu Qi. Dalam hal tertentu, mereka mirip - sama-sama keras kepala dan tak mau menyerah begitu menentukan pilihan. 　　Rupanya hari ini dia takkan melepaskannya sebelum semuanya jelas. 　　“Status?” Alis Yu Jin yang tegas semakin berkerut. Dua kata “Pangeran” itu terasa menusuk telinganya. 　　Ternyata A Si khawatir tentang hal ini. 　　Justru hatinya tenang. Matanya yang hitam berkilat menatapnya mantap, dengan keteguhan dan kepercayaan diri seorang pemuda, “Masalah ini tanggung jawabku, bukan urusanmu.” 　　Setelah jeda, ucapannya terdengar sedikit menyebalkan, “Lagipula, kau khawatir juga percuma.” 　　Selama A Si mau menikah dengannya, cara membujuk Kaisar untuk merestui tentu menjadi tanggungannya. 　　Ucapan jujur ini membuat Jiang Si tertegun. 　　Benar, masalah ini di luar kemampuannya untuk menyelesaikan. 　　“A Si, kau hanya perlu memutuskan apakah bersedia atau tidak. Asalkan kau setuju, masalah lain akan kuselesaikan.” Suara Yu Jin melunak, terdengar sedikit membujuk. 　　Dia bisa menggunakan strategi untuk meminta pernikahan dari kekaisaran saat A Si enggan, membuat Dongping Bo Residence dan A Si tak punya kesempatan menolak. Tapi kecuali terpaksa, dia tak ingin mengambil langkah ini. 　　Tentu, jika Dongping Bo Residence hendak menjodohkan A Si dengan orang lain, dia tak akan tinggal diam. Lebih baik merebutnya dulu. Sebelumnya karena sok bermurah hati, A Si hampir dinikahkan ke keluarga An Guogong. Rasa pahit dan sesak itu tak ingin dia alami lagi. 　　Hmm, saat tak ada saingan dia akan sabar menunggu A Si setuju. Saingan muncul? Lebih baik bertindak cepat... Apa? Dibilang tak tahu malu? Jangan bercanda, sejak kapan dia punya muka? 　　Jiang Si menggeleng: "Pangeran, saya hanyalah nona biasa dari keluarga bangsawan. Yang saya inginkan adalah kehidupan sederhana. Kehidupan keluarga kerajaan tidak cocok untuk saya." 　　"Kenapa tidak cocok? Saya hanya pangeran tak berkuasa. Kita tak perlu menonjol atau cari masalah, tutup pintu istana dan hidup tenang. Sungguh damai dan nyaman." 　　Persaingan istana memang kejam, tapi dia tak bernama ikut campur. Para pesaing justru senang melihatnya netral, masak mau menariknya masuk dan membuat musuh? 　　Jiang Si tetap menggeleng. 　　Begitu Putra Mahkota dipecat dan perebutan takhta dimulai, apakah mungkin tetap bisa netral? 　　"Yu Jin tiba-tiba meraih wajah Jiang Si dengan kedua tangannya, kesal berkata: 'Jika kau terus tak serius berpikir, asal geleng kepala sembarangan begitu, aku akan menggigitmu!'" 　　Jiang Si tak bisa menahan diri untuk tidak mengerlingkan mata. 　　Yu Jin tiba-tiba berubah serius, tangannya kembali ke meja, bertanya kesal: "Nona Jiang, menurutmu hari-hari seperti apa yang biasa-biasa saja? Menikahi pria biasa? Aku ingat kakak keduamu menikahi Putra Mahkota Marquis Changxing. Menurut latar belakang keluarga, ini juga termasuk pria biasa, tapi bagaimana hasilnya?" 　　Jiang Si terdiam oleh pertanyaan itu. 　　Di mata orang biasa, Putra Mahkota Marquis Changxing tentu bukan pria biasa. Tapi bagi keluarga seperti mereka, pernikahan sepadan berarti tak istimewa - dibandingkan status Pangeran, tentu dianggap orang biasa. 　　Pria "biasa" di mata para bangsawan ini, menantu ideal keluarga Dongping Bo, ternyata melakukan pembunuhan berantai terhadap wanita. 　　"Pedagang keliling yang hilir mudik di jalanan, petani yang mencangkul tanah, ini lebih layak disebut pria biasa? Tapi pria 'biasa' semacam ini begitu punya sedikit uang sudah ingin jalan-jalan ke Sungai Jinshui, ada pula yang mabuk dua tael arak lalu memukul istri untuk melampiaskan emosi..." Nada Yu Jin semakin berwibawa, tapi sudut bibirnya menyeringai sinis, "A Si, Nona Jiang, dalam hidup semua pilihan punya risiko. Mana tahu hari-hari 'biasa' yang kau sebut justru lebih buruk, lebih mengerikan?" 　　Pemuda itu tiba-tiba merajuk, mengadu: "A Si, kau tak boleh mendiskriminasikanku hanya karena aku seorang pangeran." 　　Jiang Si terdiam sejenak. 　　Melihat hal itu, Yu Jin semakin bersemangat: "Kau lihat, setidaknya kau tahu bagaimana sifatku. Menikah denganku pasti lebih aman daripada dengan orang asing yang sama sekali tidak dikenal." 　　Yu Jin merasa seperti pedagang sayur yang sedang gencar mempromosikan dagangannya: "Ayo lihat! Lobak putih segar, besar, kulit tipis, rasanya enak, jauh lebih baik daripada sayur jelek di tempat lain!" 　　Di bawah bujukan ajaib Yu Jin, Jiang Si mulai merasa perkataannya ada benarnya. 　　Kakak dan Kakak Kedua menikah dengan pria sederhana yang setara status sosialnya. Namun kehidupan mereka tak kalah berwarna dibandingkan hidupnya di kehidupan sebelumnya... 　　Setelah lama terdiam, akhirnya ia berkata ragu-ragu: "Jangan lanjutkan. Aku perlu waktu untuk memikirkannya." 　　Yu Jin bersukacita. 　　Ini pertama kalinya A Si tidak langsung menolak mentah-mentah, melainkan meminta waktu untuk merenung. 　　"Pelan-pelan saja, pikirkan matang-matang, tanpa prasangka apapun." 　　Sebagai pangeran, ia sudah kalah nilai di hati A Si. Sungguh tidak mudah! 　　"Mungkin butuh waktu lama." 　　"Tak masalah berapa pun lamanya." Yu Jin menghela napas lega, senyum merekah dari sudut matanya hingga bibir. 　　Saya bilang ke kalian, kalau berani merobek karcis, saya akan lepasin Er Niu! Catatan: Pembaca Feng Ru Song Shao Yue harap hubungi moderator Mo Yan untuk menerima angpao hadiah. Terima kasih untuk hadiah dari Biru Kucing Bahagia, Kupu-kupu Muda, Berkelana di Imajinasi, Zhu Yu, Cinta Berapi^^, Pembaca 110810145527181, Daun Madu, Rumput Hijau Ribuan Li, mcj221, Qing Ling Yu. Terima kasih untuk semua yang sudah vote, sampai jumpa besok. 286.BAB 286 Kejadian Langka 　　BAB 286 Kejadian Langka 　　Saat Yu Jin meninggalkan gang kecil, langkahnya terasa lebih ringan dari sebelumnya. 　　Seperti istana pangeran lainnya, Kediaman Pangeran Yan terletak di kawasan perkumpulan bangsawan kerajaan. 　　Sampai di gerbang utama, hatinya begitu gembira sampai tak tahan mengelus kepala singa batu pintu masuk, membuat pelayan istana terbelalak. 　　Melirik pelayan yang berwajah aneh, Yu Jin langsung melangkah cepat masuk. 　　Dibandingkan rumah sipil sempit di Gang Quezi, istana pangeran ini jauh lebih luas dengan paviliun dan kompleks bangunan bertingkat - orang baru pasti akan tersesat. 　　Tapi bagi Yu Jin, rumah kecil dengan pohon kurma bengkok di depan itu tetap paling nyaman. 　　Begitu masuk langsung ke halaman, pohon sutra raksasa meneduhkan. Duduk di bawahnya saat musim panas paling sejuk, bunga-bunga seperti kipas kecil tak pernah layu, menghiasi hari-hari panjang yang tenang. 　　Istana megah ini terasa kosong. Yu Jin merenung: Yang kurang sebenarnya cuma seorang nyonya rumah. 　　“Er Niu” bersandar di kaki tembok, melihat tuannya kembali hanya dengan tatapan lesu, lalu meletakkan wajahnya kembali di kaki depan. 　　Bagi “Anjing Besar” yang sudah bosan melihat wajah tuannya ini, status Yu Jin terus merosot. Dulu mungkin masih setara dengan semangkuk tulang berisi daging, sekarang mungkin hanya bernilai sepotong tulang. 　　“Er Niu, kemarilah.” Yu Jin ingin berbagi perasaan bahagianya. Setelah berpikir, Long Dan dan Leng Ying tidak seandal Er Niu. 　　Er Niu mengibaskan ekornya, enggan menghiraukan. 　　Yu Jin tidak mempermasalahkan, berjalan gembira mendekat lalu memeluk kepala Er Niu sambil menggosok-gosok dengan keras. 　　“Wu wu——” Er Niu protes dengan wajah bingung. 　　Long Dan menjulurkan leher untuk melihat, menyenggol Leng Ying sambil berbisik: “Tuanku hari ini agak tidak beres!” 　　Leng Ying membersihkan tali busur, berbalik dan pergi. 　　“Hei, lari apa?” teriak Long Dan dengan bingung. 　　Leng Ying sudah menghilang, terdengar suara Yu Jin: “Long Dan, datang latihan bersamaku.” 　　Long Dan: “...” Brengsek! Leng Ying ini tidak punya rasa solidaritas! 　　Nasib Long Dan yang disiksa tuannya, Jiang Si kembali ke Haitangju dan duduk di sofa santai, mulai merasa malu atas keraguannya tadi. 　　Sungguh memalukan, sungguh tidak teguh! Masakan hanya karena beberapa kalimat mau naik ke perahu pencuri lagi? 　　Jiang Si, masakan kau orang yang tidak punya prinsip seperti ini? 　　“Suara kecil dalam hati bergumam: Ya, ya, kau memang begitu. Bodohkah kau? Jika menikahi pria mana pun berisiko, apa salahnya memilih yang tampan dan kau sukai?” 　　Jiang Si mengusap wajahnya dengan tangan. 　　Tak boleh terus dipikirkan, keraguan dalam dirinya mulai membahayakan. 　　Ah Man berdiri di samping, memandang ekspresi majikannya yang terus berubah-ubah sambil menghela napas khawatir. 　　Apa sebenarnya yang dipikirkan nona? Kenapa tak menunjukkan kegagahan seperti malam itu saat membunuh dan membakar? 　　Sekejap mata, tiga hari telah berlalu. 　　Angin musim gugur kian menusuk, udara mulai dipenuhi aroma krisan dan kepiting anggur. 　　Sungai Jinshui di musim ini bahkan lebih ramai daripada musim panas. 　　Menikmati krisan dan menyantap kepiting bukan hanya hiburan kalangan bangsawan, tapi juga pesta para sastrawan dan gadis penghibur ternama. 　　Jiang Si menemui A Fei yang masih berbau alkohol di sebuah rumah sipil. 　　Meski mabuk ringan, sorot mata A Fei jernih. Alis Jiang Si yang sempat mengerut kembali halus, ia memberi isyarat agar A Fei duduk. 　　A Fei dengan sigap duduk menjauh, terbata-bata: “Dua hari ini minum agak banyak, organ dalamku sudah seperti tong arak.” 　　“Sudah bekerja keras.” 　　A Fei cepat-cepat menggeleng: “Tidak, sama sekali tidak.” 　　Demi langit, biarkan hari-hari seperti ini terus berlanjut! 　　“Ada hasil dalam dua hari ini?” 　　“A Fei tidak bisa menahan diri untuk duduk tegak, wajah bersenda guraunya menghilang: ”Tidak tahu apakah ini berguna untuk Nona, tapi hamba mendengar beberapa kalimat mabuk dari mulut dua pria itu.” 　　Jiang Si menuangkan secangkir teh dengan tangannya sendiri dan menyerahkannya kepada A Fei, memberi isyarat agar dia melanjutkan. 　　“Hamba mentraktir mereka minum dua kali. Pertama kali mereka masih waspada, kedua kali sudah lepas kontrol. Ketika melihat sudah cukup, hamba bertanya apakah sekarang menjual anak perempuan dan adik ke kapal bunga sudah biasa. Tebak apa kata mereka?” 　　Jiang Si mengetuk meja dengan kipas sutra, menggerutu: “Jangan berbelit-belit.” 　　A Fei segera serius: ”Salah satu pria itu bilang, menjual anak perempuan dan adik bukan hal aneh. Yang aneh adalah seseorang yang menjual adik perempuan dua kali.” 　　Jiang Si terlihat bingung, mengerutkan kening: “Apa maksudnya dijual dua kali?” 　　“Orang itu bilang ada dayang pelayan bintang utama yang baru-baru ini ditebus, tak lama kemudian kakak laki-lakinya yang berutang judi datang menjual lagi. Lucunya, harga gadis yang pernah bekerja di kapal bunga mana bisa disamakan dengan perawan? Dia pikir mengganti nama adiknya akan membuat mereka tidak mengenali?” 　　Jiang Si mengatupkan bibir, terus mendengarkan A Fei bercerita. 　　A Fei condong ke depan sedikit, dengan nada bangga dan mengharap pujian: “Nona, dayang yang dijual dua kali itu bernama Qing'er.” 　　“Pada hari itu A Fei yang menyamar di tengah kerumunan pernah melihat Qing'er. Kemudian Jiang Si memerintahkannya untuk menyelidiki informasi di Sungai Jinshui, dengan instruksi khusus untuk memperhatikan semua kabar tentang Qing'er.” 　　“Dengan informasi yang didapat ini, tiga hari kerja keras A Fei tidak sia-sia.” 　　Jiang Si tak kuasa berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam ruangan sebelum berhenti dan bertanya pada A Fei: “Apakah kau sudah mencari tahu tentang identitas kakak laki-laki Qing'er dan alamat rumahnya?” 　　Kali ini A Fei menggelengkan kepala: “Tidak. Orang itu mengatakan hanya pernah kontak dengan kakak Qing'er di rumah judi. Ditanya lebih lanjut, mereka tidak bisa memberikan informasi apa pun. Saya perkirakan mereka benar-benar tidak tahu.” 　　Jiang Si berpikir sejenak lalu berkata: “Mengingat kakak Qing'er adalah pelanggan tetap rumah judi, sudahkah kau pergi ke sana untuk mencari informasi?” 　　“Sudah, sayangnya dua orang itu hanya tahu kakak Qing'er bernama Yang Da. Mana mungkin rumah judi bisa mengidentifikasinya.” A Fei tak sadar membela diri, “Nona mungkin tidak tahu, di rumah judi orang seperti kakak Qing'er sangat banyak. Yang menjual rumah, tanah, anak, istri karena hutang judi tak terhitung jumlahnya. Dia menjual adiknya demi beberapa tael perak adalah hal yang sangat biasa, orang seperti ini tidak ada yang peduli.” 　　Jiang Si berjalan ke meja delapan dewa dan duduk kembali, memainkan kipas sutra di tangannya. 　　“Pria itu bilang kakak Qing'er mengganti nama adiknya. Lalu nama asli Qing'er sebelumnya apa?” 　　“Kali ini A Fei tidak ragu-ragu, menjawab: ‘Namanya Yu'er. Karena Yu'er adalah pelayan gadis utama, meski tak mencolok tapi banyak yang tahu.’” 　　Qing'er, Yu'er, ini cukup menarik. 　　Jiang Si merenungkan kedua nama ini, kembali memastikan bahwa Qing'er yang sekarang di Keluarga Zhu bermasalah besar. 　　Tapi saat ini bertindak dari sisi Keluarga Zhu adalah tidak bijaksana. Untuk mengurai misteri ini, harus dimulai dari kapal bunga. 　　“Lalu sebelumnya siapa yang menebus diri Qing'er? Mungkinkah kakak laki-lakinya?” 　　Seorang kakak laki-laki yang suka berjudi dan sudah dua kali menjual adiknya, ketika mendapat uang dari kemenangan judi, pertama kali dipikirkan pasti ingin menang lebih banyak, bukan menebus adiknya karena muncul hati nurani, bukan? 　　Selamat pagi. 287.BAB 287: Yan Chun Ban 　　BAB 287: Yan Chun Ban 　　A Fei mengejek: “Mana mungkin, kakaknya punya uang sekalipun tidak akan melakukan perbuatan manusiawi seperti itu.” 　　“Sudah bertanya pada orang lain?” 　　A Fei mendengar pertanyaan Jiang Si, tersenyum pahit: “Hamba sudah bertanya pada muncikari, kalau bukan karena uang tebal dari nona, hampir saja diusir.” 　　Jiang Si menghela napas. 　　Waktu yang diberikan pada A Fei memang terlalu singkat. Mengorek informasi dari dua pelayan pelacur tidak sulit, tapi berurusan dengan muncikari yang licik itu tidak mudah. 　　Tapi melihat situasi saat ini, siapa yang sebenarnya menebus Qing'er jelas sangat krusial. Bisa jadi orang itu terkait dengan Keluarga Zhu. 　　Ada satu hal yang masih belum dipahami Jiang Si: Qing'er hanyalah si gadis yang melayani bintang utama, biasa-biasa saja dalam segala hal. Apa keistimewaannya sehingga layak diperhatikan oleh orang yang merencanakan sesuatu terhadap Kakak? Lagipula, mengapa setelah ditebus, orang itu malah mengembalikan Qing'er ke kakak laki-lakinya, membuatnya menjual adiknya lagi? 　　Segala liku-liku ini apakah hanya untuk memainkan sandiwara agar Qing'er diselamatkan oleh Kakak tertua? 　　Tapi jika benar begitu, sepertinya tindakan yang berlebihan. 　　Bagaimana jika sandiwara ini dimainkan oleh dirinya sendiri? 　　Paling tidak tidak serumit ini. Cukup mencari seorang penjudi yang terjepit dan berniat menjual anak perempuan atau adiknya di sekitar rumah judi, tanpa perlu repot-repot menebus orang dari rumah bordil lalu mengembalikannya ke keluarga terlebih dahulu. 　　Kecuali—tangan Jiang Si yang memegang kipas sutera terhenti, matanya semakin berkilau penuh kedalaman. 　　Kecuali ada alasan mutlak yang mengharuskan penggunaan Qing'er. Alasan ini tidak bisa diduga hanya dengan duduk merenung. Dia harus menyelidiki kapal bunga tempat Qing'er dijual. 　　Jiang Si melempar kipas sutera ke meja, bertanya dengan santai: "Kapal bunga itu menggunakan nama apa?" 　　Di Sungai Jinshui terdapat tak terhitung kapal bunga besar kecil, setiap kapal memiliki nama untuk memudahkan tamu mengenalinya. 　　A Fei berkata sembarangan: "Namanya Kelompok Yan Chun." Setelah mengatakannya, ia tiba-tiba merasa tidak tepat dan mulai mengamati ekspresi Jiang Si dengan hati-hati: "Nona, mengapa Anda menanyakan ini?" 　　Jiang Si bersandar di sandaran kursi, tersenyum: "Nama yang sangat sesuai dengan situasi." 　　A Fei berdiri, mengusap wajahnya: "Nona, mendengar ini tiba-tiba saya merasa agak gugup." 　　Mustahil maksudnya seperti yang ia pikirkan! 　　Gadis itu menundukkan mata, malas-malasan menatap kuku yang merah muda sempurna dan terpotong rapi, dengan nada santai seperti "Saya hanya ingin jalan-jalan ke toko kosmetik": "Saya berencana mengunjungi Kelompok Yan Chun." 　　Kaki A Fei gemetar hingga ia terjatuh kembali ke kursi. 　　"Kedua germo itu sudah mengenalmu, kau tidak perlu ikut naik kapal bersamaku. Nanti cukup tunjukkan jalannya saja." 　　Suara A Fei berubah: "N-Nona, ini tidak boleh." 　　"Kenapa tidak boleh?" Jiang Si mengerutkan alis. 　　Kenapa tidak boleh? Masih perlu ditanya?! 　　A Fei hampir bersujud: "Nona, Anda pikir ini seperti di opera wayang? Nona pertama yang menyamar sebagai pria bisa keliling rumah bordil, bahkan ikut ujian kenegaraan dan menjadi menantu kaisar? Itu semua bohong! Begitu naik kapal, mucikari langsung tahu Anda perempuan..." 　　"Saya tahu. Kau cukup tunjukkan jalannya." 　　"Ini benar-benar tidak bisa..." A Fei memberanikan diri menolak. 　　"Hmm?" 　　A Fei berkata dengan khawatir: "Nona, jika sesuatu terjadi pada Anda, bagaimana nanti? Hamba tidak akan sanggup menanggung tanggung jawab..." 　　Jiang Si tersenyum: "Aku akan membawa Lao Qin." 　　Melihat A Fei masih ingin berbicara, wajah Jiang Si berubah masam: "Apakah dalam hatimu, aku ini orang bodoh yang nekat terjun ke bahaya seperti domba masuk mulut harimau?" 　　"Tentu saja tidak..." 　　"Sudahlah, kerjakan saja tugas yang kuperintahkan. Jangan ikut campur urusan lain." 　　A Fei menghela nafas dan bertanya putus asa: "Kapan Nona berencana pergi?" 　　Gadis itu tersenyum manis: "Tak perlu menunggu hari baik. Malam ini saja." 　　Kembali ke Haitangju, Ah Man mondar-mandir mengelilingi Jiang Si hingga akhirnya Jiang Si bertanya: "Ah Man, kau sedang mengusir lalat busuk?" 　　Ah Man berhenti dan memandangnya dengan wajah memelas: "Nona, benar-benar hanya membawa Lao Qin, tidak mengajak hamba?" 　　Tak disangka, dayang utama yang selalu mendampingi ini harus bersaing merebut perhatian dengan sais kereta. 　　"Terlalu banyak orang akan mencolok. Bawa satu orang saja cukup." 　　Wajah biasa Lao Qin yang mudah menyamar itu lebih berguna di saat genting dibanding Ah Man. Jiang Si pun tanpa ragu meninggalkan dayang kecilnya. 　　Ah Man mengiyakan dengan sedih, baru menyerah total setelah mengantar pandangan Jiang Si menghilang dalam kegelapan saat malam tiba. 　　Menengadah, bulan sabit di langit tampak suram tanpa cahaya, bintang-bintang pun tak berbekas. Ah Man menghela nafas dalam-dalam. 　　“Malam yang gelap seperti ini adalah waktu yang tepat untuk membunuh dan membakar, untung Lao Qin.” 　　Di awal bulan September, udara malam sudah mulai dingin. Jiang Si menyelinap keluar dari Keluarga Bo tanpa membawa lentera. Setelah bertemu dengan Lao Qin dalam kegelapan dengan hati-hati, telapak tangannya basah oleh keringat tipis. 　　Di luar, ribuan lampu rumah menyala, menerangi segalanya. 　　Jiang Si melirik Lao Qin, mengangguk puas: "Bagus seperti ini." 　　Lao Qin mengeluarkan suara "hmm" sebagai respons, seolah perjalanan Jiang Si kali ini tak berbeda dari biasanya. 　　“Nona——” Di sudut jalan, A Fei melambaikan tangan kuat-kuat ke arah mereka berdua. 　　Jiang Si dan Lao Qin berjalan berurutan mendekat. 　　Memandang Jiang Si yang berpakaian laki-laki dengan ekspresi kompleks, A Fei menghela napas pelan lalu menyingkir: "Silakan naik kereta." 　　Meski daerah ini sepi di malam hari, suasana Sungai Jinshui nanti akan sama sekali berbeda. 　　Kereta kuda Jiang Si tiba di tepi Sungai Jinshui dengan tenang. Gemuruh tawa dan wangi parfum menusuk langsung menyambut. Kereta yang cukup mewah ini menyatu sempurna dengan lalu lintas kendaraan yang tak putus-putus. 　　Kapal-kapal hias di tepian dipenuhi wanita-wanita bersolek yang melambaikan saputangan, aroma bedak mereka menyusup ke hidung Jiang Si setiap kali mereka menggerakkan tangan. 　　Jiang Si tak sadar mengerutkan kening, tapi segera mengumpulkan diri. Di bawah panduan A Fei, ia berjalan menuju sebuah kapal hias. 　　Lentera merah besar bertuliskan "Yan Chun Ban" yang tergantung di tiang kapal sedang bergoyang tertiup angin. 　　Di Yan Chun Ban juga ada seorang gadis penghibur berdiri di papan kayu menyambut tamu, dua orang pengawas diam-diam bersembunyi di tempat tersembunyi untuk mengantisipasi keributan. 　　Postur tubuh Jiang Si yang tinggi langsing dengan sedikit penyamaran pakaian pria berhasil menyembunyikan lekuk femininnya. Dalam sorot lampu tepi sungai yang remang-remang, sosoknya terlihat seperti pemuda tampan nan rupawan. 　　Mata gadis penghibur berbinar, segera mendekat: "Silakan masuk, Tuan Gong——" 　　Sambil berkata, entah karena kebiasaan atau terpesona oleh ketampanan pemuda itu, gelombang dadanya yang bergelora bergetar, menyenggol lengan Jiang Si. 　　A Fei yang masih bersembunyi di kegelapan langsung cemas, khawatir Jiang Si akan menjerit dan membongkar identitas aslinya. 　　Jiang Si mengerutkan bibir tipisnya tersenyum, sebutir tael perak kecil melesat di kegelapan malam dan mendarat tepat di dada gadis penghibur. 　　Gadis itu berseru gembira sambil terus mengucap terima kasih, sementara pemuda tampan itu sudah naik ke kapal diikuti pelayan berwajah datar. 　　A Fei tertegun, refleks mengusap dagunya. 　　Astaga, gaya Nona berkunjung ke rumah bordil ini jauh lebih keren darinya. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya, sampai jumpa besok. 288.BAB 288 Menghujani Uang 　　BAB 288 Menghujani Uang 　　Jiang Si tentu saja belum pernah mengunjungi rumah bordil, namun di kehidupan sebelumnya ia pernah tinggal beberapa lama di Wu Miao yang menjunjung tinggi status perempuan. Terbiasa melihat wanita Wu Miao yang berani dan ekspresif, seolah hal itu tak terlalu menakutkan baginya. 　　Ia berjalan tenang ke dalam sambil diam-diam mengamati sekelilingnya. 　　Kapal hias Yan Chun Ban bertingkat dua. Lantai bawah merupakan aula luas tempat tamu menikmati tarian dan nyanyian, sedangkan lantai atas terdiri dari serangkaian kamar wanita. Para tamu yang datang dengan semangat di malam hari akan menaiki tangga kayu di empat sudut aula jika tertarik, lalu memeluk gadis penghibur pilihan mereka untuk melewatkan malam. 　　Jiang Si melirik ke atas. 　　Di atas lantai dua sebenarnya ada loteng kecil yang terlihat seperti hendak terbang ditiup angin. Menurut A Fei, itu adalah tempat tinggal primadona kapal ini. 　　Secara umum, Yan Chun Ban hanyalah kapal hias biasa di Sungai Jinshui. Primadona mereka bahkan tidak masuk peringkat di sepanjang sungai, apalagi dayang kecil yang melayani si primadona. 　　Sambil merenungkan hal-hal ini, Jiang Si terus masuk ke aula. Tak lama kemudian seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya. 　　Wanita itu bertubuh berisi, berpenampilan genit. Di musim seperti ini masih memamerkan bahu dan lekuk dada yang dalam, seolah mengundang pandangan untuk menelusuri lebih jauh. 　　Jiang Si menduga ini pastilah muncikari kapal hias tersebut. 　　Dugaan Jiang Si benar, wanita itu memang adalah madam di kapal hiasan. 　　Kapal hiasan berukuran sedang seperti ini tentu tak bisa menyaingi kapal mewah kelas atas. Bahkan para gadis penghibur dibagi menjadi beberapa tingkatan. Cukup satu madam yang melayani tamu, sementara para hua niang yang lebih cantik sibuk menemani tamu untuk mencari keuntungan. 　　Melihat penampilan dan pakaian Jiang Si, mata madam berbinar. Suaranya lebih bersemangat dari biasa: "Wah, dari mana datangnya tuan ganteng ini? Silakan masuk!" 　　Jiang Si mengangguk halus, berusaha menahan keinginan bersin. 　　Aroma bedak dan parfum yang menyengat dari tubuh madam terlalu kuat baginya. 　　Namun tiba-tiba wajah madam yang semula ramah berubah muram, matanya curiga menatap Jiang Si tanpa berkedip. 　　Jiang Si tak gentar. Dengan tenang ia berhenti melangkah, memberikan senyuman tipis pada madam. 　　Wajah madam semakin masam. Ia maju mendekati Jiang Si, suara rendahnya mengandung kemarahan: "Kalau nona kecil ini mau membuat keributan, jangan salahkan hamba bertindak kasar!" 　　Berpengalaman lama di sungai, madam ini sudah melihat segala kejadian aneh. Bukan pertama kalinya ada wanita menyusup ke kapal hiasan - sebagian besar datang untuk menangkap suami selingkuh. 　　Tempat ini adalah sarang kenikmatan bagi para pria. Jika kabar istri-istri ribut di kapal tersebar, reputasi Yan Chun Ban akan hancur! 　　Di Sungai Jinshui ada ratusan kapal hiasan. Persaingan di sini sangat ketat. 　　“Mama bordil ini langsung naik darah karena penemuan ini, tapi tidak bisa langsung membuat keributan.” 　　“Selain itu, kalau nona kecil ini nekat, sangat mudah baginya untuk bunuh diri... dia bisa langsung lompat dari kapal bunga ini...” 　　Mama bordil mengutuk dalam hati. 　　Jiang Si mengeluarkan dompet kecil dari lengan bajunya dan meletakkannya di tangan mama bordil. 　　Mama bordil terkejut, merasakan dompet berat di tangannya bergoyang sebentar, lalu dengan cepat mengambil sikap tegas: "Ini juga tidak boleh, Yan Chun Ban bukan tempatmu untuk bertindak semena-mena!" 　　"Apakah aku orang yang berwawasan sempit seperti itu, menghancurkan masa depan Yan Chun Ban hanya untuk beberapa tael perak?" 　　Jiang Si terkekeh ringan, suaranya jernih dan datar. Karena sengaja direndahkan, sulit dikenali apakah itu suara pemuda atau nona kecil: "Ibu salah paham, aku datang ke Yan Chun Ban bukan untuk membuat masalah, tapi mencari seseorang." 　　Wajah mama bordil berkerut. Wanita setengah baya yang masih cantik ini tiba-tiba berubah menjadi seram, berkata dengan sinis: "Mencari orang berarti membuat masalah!" 　　"Tidak, orang yang kucari adalah ibu." Jiang Si tersenyum lagi, mengayunkan tangan dan menyelipkan dompet lain ke tangan mama bordil. 　　Mama bordil terpaku. 　　Mencari dirinya? 　　Setelah berpikir lama, sudah lama dia tidak turun ke panggung. Tidak mungkin nona kecil berkulit halus ini datang untuk berkelahi, bukan? 　　Kalau benar begitu... mama bordil menyeringai dingin dalam hati. 　　Preman-preman yang dipelihara Yan Chun Ban bukanlah hiasan belaka! 　　Yang penting bukan datang mencari suami, uang ini bisa diterima. 　　Nyonya rumah bordil langsung menyelipkan dua dompet ke dalam bajunya, senyum manis kembali menghiasi wajahnya: "Kalau begitu, Tuan Gong silakan ikut hamba." 　　Baru beberapa langkah dia berhenti, menoleh bertanya: "Tuan tidak punya persyaratan khusus untuk tempatnya kan?" 　　"Tidak ada." Jawaban Jiang Si singkat dan tegas. 　　Nyonya bordil itu pun langsung membawa Jiang Si ke kamar pribadinya. 　　Kamar pribadi Nyonya itu terletak di sudut aula utama, ruangan yang cukup luas dibagi dua oleh penyekat - bagian luar sebagai ruang tamu kecil, sementara bagian dalam berlapis tirai tebal sebagai area istirahat. 　　Di sisi dekat jendela ruang kecil terletak meja kayu mahoni, di luar jendela terbentang malam pekat seperti tinta yang tumpah dan lentera-lentera bergoyang bagai bintang bertaburan di atas Sungai Jinshui. 　　Angin sejuk berhembus pelan dari jendela yang terbuka, menyegarkan pikiran. 　　Nyonya rumah bordil itu menyandarkan badan menutup jendela, dengan senyum tipis tanpa kehangatan: "Nona kecil bisa cerita apa keperluanmu menemui hamba." 　　Meski telah menerima dua dompet itu, sang nyonya tetap tak nyaman. Baginya, wanita baik-baik yang datang ke kapal bunga adalah sikap tak tahu diri, tak punya malu, dan kekanak-kanakan. 　　Jika semua perempuan di dunia tak mengindahkan tata krama seperti ini, sama saja merusak mata pencaharian mereka! Angin tak baik semacam ini mutlak tak boleh diberi kelonggaran! 　　"Hamba ingin bertanya sesuatu pada Ibu." 　　Jiang Si menyandar pada sandaran kursi dengan wajah santai. Seandainya sang nyonya tak jeli, mungkin dikira gadis penghibur dari kapal hias lain yang sedang berkunjung. 　　“Ini terlalu bebas, wanita baik-baik sekarang semuanya seberani ini?” 　　“Ibu pernah dengar nama Yu'er kan?” 　　Bawang memicingkan mata, pandangannya penuh kewaspadaan tertuju pada Jiang Si. 　　Seperti dikatakan sebelumnya, Yan Chun Ban skala kecil, bahkan penebusan dayang kecil yang melayani gadis penghibur harus melalui tangannya, nama "Yu'er" tentu dia ketahui. 　　Tapi dia tak yakin maksud kedatangan Jiang Si, secara wajar tak mau mengucapkan sepatah kata pun. 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Saya ingin tahu informasi tentang orang yang menebus Yu'er, semua yang Ibu ketahui, saya ingin tahu.” 　　“Ini melanggar aturan.” Bawang menunjuk ke pintu, “Nona kecil kalau mau tanya ini, silakan pulang saja.” 　　“Ibu jangan emosi, saya hanya ingin tahu informasi orang itu, bukan mau membunuh atau membakar, apalagi membuat masalah untuk Yan Chun Ban.” Jiang Si memasukkan tangan ke lengan baju, jari putih mungilnya menjepit kertas perak dan mendorongnya ke depan Bawang. 　　Bawang melirik, menyeringai. 　　Baru sepuluh tael nominalnya, mengira dia belum pernah lihat uang? 　　Jiang Si menatap Bawang, mendorong kertas perak dengan nominal sama lagi. 　　Satu lembar, dua lembar, tiga lembar... Diam seribu bahasa, tumpukan kertas perak seketika memenuhi pandangan Bawang. 　　Sorot mata Bawang berkedip-kedip. 　　Meskipun sepuluh tael nominalnya kecil, tumpukan seperti ini sudah bukan jumlah yang sedikit. Sungai Jinshui memang banyak tamu kaya yang berjudi besar, tapi mereka tidak akan datang ke Yan Chun Ban. 　　Jiang Si terus menambahkan kertas perak. 　　Satu lembar, dua lembar... Si mucikari tak sadar menghitung dalam hati. 　　Gadis yang berpakaian pria ini seolah mengeluarkan kertas sampah, sikap santainya memberi tekanan tak jelas pada si mucikari. 　　Tidak, tidak, hitunganku kacau! 　　Mucikari itu mulai gelisah, hampir ingin memintanya mengulang, tapi tumpukan kertas perak terus bertambah. 　　Akhirnya dia tak tahan menekan tumpukan kertas perak dengan kedua tangan: "Tunggu!" 　　Selamat pagi. 289. BAB 289 Ingin Minum Teh Bersama Bintang Utama 　　BAB 289 Ingin Minum Teh Bersama Bintang Utama 　　Jiang Si menghentikan tangannya, memandang si mucikari dengan senyum mengejek. 　　Mucikari itu memeluk erat tumpukan kertas perak, wajahnya memerah karena emosi. 　　Orang seperti mereka memang mencari uang kotor, asal bayarannya cukup, aturan apa yang tak bisa dilanggar? 　　Total kertas perak ini mencapai ratusan tael, bahkan mau melayani dua orang sekaligus pun bisa, apalagi cuma bicara tentang menebus si gadis kecil. 　　"Kita sepakati dulu, setelah keluar pintu ini, segala urusan nona kecil dengan penyelamat Yu'er tak ada hubungannya dengan Yan Chun Ban." 　　Jiang Si menopang dagu, mengangguk lembut: "Tentu saja." 　　"Baiklah, nona kecil bisa bertanya sekarang." Mucikari itu mulai mengumpulkan kertas perak ke pelukannya. 　　“Sebuah tangan halus menjulur, dengan lembut menahan setumpuk kertas perak.” 　　Nyonya rumah bordil itu seperti dipotong dagingnya, memandang waspada ke arah lawan bicara. 　　Jiang Si tersenyum: "Jangan buru-buru, Ibu harus menyebutkan hal-hal yang kubutuhkan dulu sebelum aku mengulurkan tangan, bukan?" 　　Nyonya rumah bordil itu cengar-cengir kikuk. 　　“Apakah Ibu tahu identitas orang yang menebus Yu'er?” 　　“Nona kecil ini bertanya aneh, apakah Nona ke pasar membeli telur ayam lalu menanyakan corak warna induknya?” 　　Wajah Jiang Si berkerut: “Kalau aku ke pasar membeli telur, takkan kubayar harga sapi.” 　　Jika nyonya ini mengira aku malu-malu karena masih perawan, itu salah besar. 　　Sudah datang kemari, sudah mengeluarkan uang, untuk siapa aku harus malu? Kalau tak dapat informasi, aku takkan pergi! 　　Nyonya itu tercekik sampai matanya melotot, dalam hati bergumam: Si gadis ini tampak anggun, tapi kok tebal muka? 　　“Tak apa jika Ibu tak tahu identitas pelanggan itu. Setidaknya usianya, penampilan, atau apapun yang Ibu ketahui.” 　　Nyonya itu mengingat-ingat: “Orang itu sekitar tiga puluhan, logat ibu kota, tinggi sedang, tubuh biasa, wajahnya pun biasa. Tapi--” 　　Nyonya itu sengaja mengulur-ulur nada bicara. 　　Jiang Si tak terburu-buru mendesak. 　　Orang seperti Mama San ini sangat licik, jelas tahu bahwa omong kosong ini tidak mungkin membuatnya mengambil uang, jadi pasti ada informasi berharga. 　　Mama San tertawa kecil: "Mata hamba sudah melihat terlalu banyak orang. Meski orang itu berpakaian rapi, hamba langsung tahu dia pasti sering bergaul di jalanan. Tidak aneh jika tiba-tiba punya uang untuk menebus kekasih, tapi menebus si gadis kecil ini agak menarik. Tapi prinsipnya uang barang jelas, hamba tidak akan bertanya hal yang tidak perlu..." 　　Jiang Si mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, suaranya terdapat kekecewaan: "Jadi Mama hanya melihat dia preman jalanan, tidak tahu hal lain? Orang biasa seperti ini mungkin tidak akan dikenali lagi sekalipun bertemu?" 　　Mama San menggoyang saputangan dengan bangga: "Nona meremehkan hamba. Orang paling biasa pun yang pernah berurusan dengan hamba pasti akan diingat. Tapi orang ini sudah hilang di Sungai Jinshui, masuk ke ibu kota yang keruh, Nonapun akan sulit mencarinya." 　　"Sepertinya uangku ini tidak sebandung hasilnya," kata Jiang Si dengan nada datar. 　　Dia tahu Mama San masih menyembunyikan sesuatu. 　　"Hehe, meski wajahnya biasa, sebenarnya ada ciri khas." Mama San melihat Jiang Si tidak mudah ditipu, berhenti bertele-tele dan menunjuk telinga kanan, "Di daun telinga kanannya ada tahi lalat besar." 　　“Jiang Si diam-diam mencatat ciri ini, lalu bertanya: "Ada lagi? Misalnya, apakah orang itu dan Yu'er sudah saling mengenal sebelumnya?"” 　　“Sang Mama menggelengkan kepala berkali-kali: "Tidak mungkin."” 　　“"Bagaimana Ibu bisa yakin?"” 　　“Sang Mama tersenyum: "Saat hamba menyuruh orang membawa Yu'er kemari, dia sempat bertanya 'Inikah Yu'er?'. Jika sudah saling kenal, pasti tidak akan bertanya seperti itu."” 　　“Jiang Si mengangguk setuju, lalu menanyakan tentang keadaan Yu'er di Yan Chun Ban.” 　　“Seorang gadis kecil tanpa kecantikan luar biasa atau keahlian khusus, tentu Sang Mama tidak akan tahu banyak.” 　　“Jiang Si langsung bertanya: "Apakah ada orang di Yan Chun Ban yang dekat dengan Yu'er?"” 　　“"Ada seorang gadis bernama Yanzi yang bersama-sama melayari bintang utama kami." Sang Mama pun langsung memanggil Yanzi ke ruangan.” 　　“Gadis kecil yang terbiasa di tempat seperti ini sama sekali tidak grogi. Begitu masuk, matanya yang lincah langsung mengamati Jiang Si dari ujung kepala hingga kaki.” 　　“Postur Jiang Si yang tegak dan wajahnya yang ramah terlihat seperti pemuda tampan langka di mata si gadis.” 　　“"Ada keperluan apa Mama memanggil Yanzi?"” 　　“"Tuan Gong ini ingin bertanya padamu. Jawablah sejujurnya apa yang kau tahu." Sang Mama yang cukup pelekatan langsung masuk ke ruang dalam setelah memberi instruksi.” 　　“Meski hanya dipisahkan deretan penyekat, Yanzi tiba-tiba merasa lebih rileks. Sorot matanya yang menatap Jiang Si semakin berani.” 　　“Jiang Si tersenyum ramah: ‘Kata Ibu, kau dan Yu'er adalah saudari dekat.’” 　　Yan Zi tertegun, matanya menyiratkan ketidaksenangan yang cepat terkilas. 　　Mengapa lagi Yu'er? 　　Sebagai gadis yang melayani bintang utama juga, dia datang lebih awal daripada Yu'er, tapi Yu'er malah sudah ditebus diri. 　　Tebus diri, ini adalah mimpi yang selalu dinantikan mereka. 　　Kalau itu gadis penghibur di kapal hiasan kelas atas mungkin lain cerita, biasa melihat pelanggan kaya raya, tak sudi dengan pria biasa. Tapi bagi kapal hiasan kelas menengah seperti Yan Chun Ban, jangan kami ini, bahkan para gadis penghibur pun siapa yang tak berharap menemukan pria baik untuk meninggalkan tempat kotor ini. 　　Yu'er terlalu beruntung, belum lama ditebus diri, sekarang sudah ada pemuda tampan yang mengingatkannya. 　　Ini benar-benar tidak adil. 　　“Setelah sekian lama bersama, pernahkah kau mendengar Yu'er menyebut urusan keluarga?” 　　Yan Zi menutupi mulutnya sambil tertawa: “Orang seperti kami, mana berani sering menyebut keluarga? Kalau ketahuan ada gadis keluarga di kapal hiasan, itu bukan hal terpuji.” 　　“Tidak juga secara pribadi?” Jiang Si membalikkan tangan, sepasang anting emas jatuh ke telapak Yan Zi. 　　Yan Zi buru-buru melirik ke penyekat ruangan, menyimpan anting dengan cepat, lalu mulai banyak bicara. 　　Memang menyenangkan punya pemuda tampan, tapi anting emaslah yang paling nyata. 　　Jiang Si mendengarkan diam-diam, menangkap beberapa informasi: Misalnya, keluarga Yu'er berasal dari luar kota, orang tuanya meninggal dalam perjalanan, dan sebelum sempat menemukan tempat tinggal, dia sudah dijual oleh kakak laki-lakinya. Misalnya lagi, sang kakak kecanduan judi, bahkan setelah menjualnya masih sering datang menagih uang, sementara Yu'er tidak berani menolak karena takut adiknya diperlakukan tidak baik oleh sang kakak... 　　Saat Yanzi berhenti sejenak untuk menarik napas, Jiang Si bertanya: "Ternyata Yu'er punya adik perempuan, berapa usianya? Di mana mereka tinggal bersama kakaknya?" 　　Yanzi menggelengkan kepala: "Yu'er tidak pernah menyebutkan hal-hal itu." 　　Jiang Si menutup mata merenung. 　　Mengingat keluarga Yu'er datang ke ibu kota menyusuri sungai, karena kekurangan uang langsung menjualnya ke kapal bunga Sungai Jinshui, sementara kakaknya masih sering datang menagih uang, bukankah bisa disimpulkan bahwa tempat tinggal kakak Yu'er seharusnya berada di sekitar Sungai Jinshui? 　　Melihat tidak ada informasi lagi yang bisa digali, Jiang Si berpamitan pada sang germo. 　　Sang germo yang sudah menerima tael perak namun takut menimbulkan masalah, buru-buru mengantar "patung Buddha" ini keluar, lalu secara pribadi mengantarkan Jiang Si kembali ke aula utama. 　　Di bawah gemerlap lampu, Jiang Si tersenyum manis: "Sudah datang kemari, tentu harus minum teh bersama bintang utama kelompok ini." 　　Sampai jumpa besok. 290.BAB 290 Pertemuan Tak Terduga Ini 　　BAB 290 Pertemuan Tak Terduga Ini 　　Di depan mata, pemuda itu berparas elok dan bertubuh tegap, mengenakan jubah longgar hijau muda yang diikat dengan sabuk giok putih. Senyum samar menghiasi sudut mata dan bibirnya, bahkan saat diam berdiri pun terlihat anggun. Kecuali mama san yang sudah berpengalaman, orang yang hanya melirik sekilas pasti sulit menyadari identitasnya sebagai perempuan. 　　Mama san merasa kesal dan kecewa: Seorang wanita yang berdandan seperti pria justru terlihat lebih tampan daripada kebanyakan tamu yang bersenang-senang di kapal hias. Ini benar-benar menyakitkan hati. 　　Menyakitkan hati pun tak apa, setelah bertanya-tanya bukannya cepat pergi malah ingin minum teh bersama primadona. Tak punya kemampuan, berani-beraninya mengurus urusan rumit? 　　Mama san diam-diam mencibir, lalu melambaikan saputangi wanginya: "Sayang sekali, hari ini Nona Yingying kami ada tamu penting." 　　Sambil berkata demikian, mama san membetulkan bunga sutera di pelipisnya dengan bangga. 　　Kelompok Yanchun mereka memang tidak besar. Kapal hiasnya tidak selebar atau semewah kapal-kapal top di Sungai Jinshui, gadis penghiburnya juga tidak secantik milik orang. Karena itu, tamu yang datang bersantai di Yanchun biasanya kalangan menengah ke bawah. 　　Tapi hari ini agak istimewa. Selain datangnya nona kecil aneh ini, sebelumnya juga ada seorang Tuan Gong yang meminta bertemu Yingying si primadona. Orang itu bukan hanya tampan tapi juga royal, jelas-jelas berasal dari keluarga terpandang. Yingying yang biasanya sok tinggi hati sebagai tiang penopang Keluarga Yanchun, malam ini langsung menyambut setelah melirik dari lantai atas. 　　"Kalau boleh dikatakan, begitu Mami mengetahui identitas wanita Jiang Si, kecurigaan pertama pasti tertuju pada Tuan Gong ini." 　　Adapun para lelaki tua berperut buncit atau pelajar sok puitis yang bisa merapal beberapa syair, istri mereka di rumah pasti terlalu banyak waktu luang sampai mau repot-repot begini. 　　Jiang Si mengerutkan alis memandang Mami. 　　Adalah hal yang wajar jika gadis penghibur utama di kapal hiasan memiliki pelanggan, ia memang tak bisa menuduh Mami ini sembrono menanganinya. 　　Tapi sudah datang sampai sini, sungguh tak rela pulang tanpa melihat sang gadis utama. 　　Bukan berarti Jiang Si tidak curiga pada gadis utama Yan Chun Ban. 　　Mengingat pelaku yang menyakiti Kakak tertua telah menebus Yu'er, sementara Yu'er dulunya pelayan gadis utama Yan Chun Ban, siapa tahu ada hubungan terselubung antara gadis itu dengan sang kepala grup? 　　Mungkinkah Zhu Ziyu berhubungan gelap dengan gadis utama Yan Chun Ban, lalu menebus pelayan gadis itu untuk ditempatkan di sisi Kakak tertua sebagai jebakan? 　　Jiang Si menggeleng halus. 　　Andai Zhu Ziyu benar-benar merencanakan ini, strateginya bahkan kalah cerdas dari Er Niu. 　　Bagaimanapun juga, gadis penghibur utama Yan Chun Ban tetap harus ditemui. 　　"Tuan Gong, lebih baik pulanglah cepat," ujar Mami dengan senyum palsu. 　　Kerutan di alis Jiang Si berangsur menghilang. Ia tersenyum tipis pada Mami: "Kalau hari ini tak berjodoh bertemu Nona Yingying, besok malam saya akan datang lagi." 　　Mama San menggetarkan pipinya, bedak tebalnya berjatuhan, tersenyum paksa: "Besok malam Nona Yingying juga sudah ada yang memesan…" 　　Jiang Si bersandar di pagoda sambil tersenyum dingin: "Kalau begitu datanglah lusa, aku sedang santai." 　　Mama San berdesis pelan, melempar saputangan: "Hamba antar Tuan Gong turun dari kapal." 　　Waktu ini masih awal, sebagian besar kapal hias masih berlabuh menunggu tamu naik. Lambung kapal bergoyang lemah, bayangan lentera merah di tiang warna-warni bergoyang di permukaan air, serpihan emas berkumpul dan menyebar, membuat permukaan air yang tenang terlihat misterius sekaligus memancarkan pesona khas Sungai Jinshui. 　　Jiang Si tahu tidak akan mendapat hasil lagi jika bertahan, mengangguk halus, mengikuti Mama San keluar. 　　Mama San diam-diam menghela nafas lega. 　　Akhirnya bisa mengusir nona ini pergi. 　　Mereka berjalan berurutan, Lao Qin di belakang, hampir mencapai tangga kayu dekat pintu. Tiba-tiba terdengar suara langkah halus dari tangga. 　　Jiang Si refleks mendongak. 　　Tidak secerah cahaya di aula utama, area tangga agak remang-remang. Wajah pria itu separuh tersembunyi dalam kegelapan, hanya siluet samar yang terlihat. 　　Tapi Jiang Si langsung tertegun hanya dengan sekali pandang. 　　Orang yang turun dengan langkah mantap dari tangga itu ternyata Yu Qi (Pangeran Ketujuh)! 　　Kenapa dia ada di sini? 　　Hanya sekelebat mata, jarak antara mereka berdua tinggal selangkah anak tangga. 　　Jiang Si menundukkan kepala secara refleks dan mempercepat langkahnya. 　　Suara mama san terdengar tepat waktu, penuh semangat dan riang: "Wah, Tuan Gong kok sudah pergi? Apa Ying Ying kami tidak melayani Tuan dengan baik?" 　　Ying Ying? 　　Jiang Si tak bisa melangkah lagi, mengangkat pandangannya menyapu sekeliling. 　　Di balik pagar lantai dua, seorang wanita berbaju merah menatap punggung Yu Jin dengan tatapan penuh kekecewaan dan kerinduan. 　　Wanita itu berusia sekitar dua puluh tahun, menyanggul Duo Ma Ji yang longgar, gaun panjang sebatas dada menjuntai hingga pergelangan kaki. Yang kontras dengan hamparan putih salju di dadanya adalah sepasang kaki telanjang yang mungil. 　　Penglihatan Jiang Si cukup tajam, bahkan bisa melihat kuku kaki wanita itu dicat merah menyala. 　　Dibandingkan dengan penampilan dan postur tubuhnya, wajahnya terasa kurang mencolok. Tentu saja cantik, tapi hanya sekadar kecantikan biasa. 　　Setidaknya menurut Jiang Si, Ying Ying si primadona Kelompok Yan Chun masih kalah jauh dari kakak tertuanya dalam hal kecantikan. 　　Para Nona Keluarga Jiang, apapun sifatnya, tak pernah kalah dalam hal penampilan fisik. 　　Tentu saja, Jiang Si tidak akan menyimpulkan hubungan antara Zhu Ziyu dan Ying Ying hanya dari penampilan. Lagipula dirinya juga tidak jelek, tapi Ji Chongyi tetap meremehkannya dan hanya terpikat pada gadis biasa dari keluarga kecil. 　　Sekilas, pemuda di tangga telah turun. Matanya yang hitam berkilau menembus dada Nyonya yang bergetar-gemetar, menatap Jiang Si. 　　Meski Jiang Si mengenakan baju pria dan menyamarkan fitur wajah serta warna kulit dengan cermat, saat tatapan dingin yang seakan bisa menembus segalanya itu mengarah padanya, tiba-tiba ia merasa bersalah. Seakan digerakkan kekuatan gaib, ia menarik sang nyonya ke pelukannya. 　　Nyonya itu tertegun, Yu Jin tertegun, sebenarnya Jiang Si sendiri pun tertegun. 　　Untungnya dia bermuka tebal dan bereaksi cepat. Meniru gaya pria yang sering mengunjungi rumah bordil, satu tangan memeluk bahu Nyonya rumah bordil, tangan lainnya memelintir pinggangnya, lalu berkata dengan suara serak: "Hamba paling sayang pada Ibu seperti ini. Bagaimana kalau Ibu menemani hamba mengobrol? Mari kita ke tempat lama seperti biasa." 　　Sudut bibir Nyonya rumah bordil berkedut tak terkendali. 　　Tempat lama? Apa maksud si gadis ini sebenarnya? 　　"Ayo pergi." Jiang Si diam-diam menambah tenaga mendorong tubuh Nyonya rumah bordil. 　　Nyonya rumah bordil merasa ada yang tidak beres, tapi demi setumpuk kertas perak itu memilih tidak membongkar rahasia. 　　Apa pun yang terjadi di tempat lama, mana mungkin seorang wanita lemah bisa memaksanya? 　　Jiang Si setengah memeluk setengah menggendong Nyonya rumah bordil, berjalan masuk di bawah tatapan penuh selidik Yu Jin. Sang nyonya menoleh sambil tersenyum: "Maaf Tuan Gong, hamba ada tamu. Lain kali hamba pasti akan melayani Tuan dengan baik..." 　　"Tunggu." Suara Yu Jin terdengar berat, langkahnya lebar menghampiri. 　　Madam bordil melayangkan pandangan genit: "Kalau Tuan Gong tidak ada acara lain, biarkan Yingying menemani Tuan. Lihatlah, hamba sungguh tak bisa melayani dua majikan sekaligus——" 　　Yu Jin menarik madam bordil dari pelukan Jiang Si, tangan sebelahnya memangkul bahu Jiang Si. 　　"Wah, jangan sampai kedua Tuan Gong bertengkar karena hamba. Tak sepadan." Madam bordil tersenyum mencairkan ketegangan. 　　Sorot mata pemuda itu gelap, tatapan penuh arti mengancam tertancap pada Jiang Si sejenak sebelum ia berpaling pergi. 　　Ternyata A Si ada di sini! Ini benar-benar di luar dugaan! 　　Jangan marah, jangan marah. Tunggu sampai semuanya jelas dulu. 　　Pangeran Ketujuh Yu Qi membujuk diri sendiri cukup lama sebelum akhirnya tenang. 　　Selamat pagi. Akhir bulan ini, jangan robek tiket vote! 291.BAB 291: Jadi Suami Sejati 　　BAB 291: Jadi Suami Sejati 　　Di bawah tatapan penuh curiga madam bordil, Jiang Si menyibak debu imajiner dari jubahnya, wajah tetap tenang mengangguk: "Ibu tak perlu mengantar, hamba pamit." 　　"Eh——" Madam bordil mengatupkan mulut, menelan semua pertanyaan. 　　Seperti katanya sebelumnya, di profesi ini mereka hanya mengejar uang. Urusan lain bukan wilayah mereka untuk ikut campur. 　　Jiang Si melangkahi madam bordil, Lao Qin mengikuti dari belakang dengan jarak sekitar setengah zhang. 　　Saat melewati si nyonya rumah bordil, Lao Qin meliriknya. Meski tak bersuara, si nyonya merasa seperti disiram air es dari kepala hingga kaki. Di aula yang penuh hawa mesum ini, rasanya tiba-tiba terjebak di gua es di tengah musim dingin. 　　Bibir si nyonya rumah bordil langsung pucat, ketakutan merayap di matanya. 　　Orang seperti ini pasti pernah menumpahkan darah! 　　Dan ini semua bukanlah hal yang boleh dia selidiki. 　　Meski Lao Qin sudah menyusul Jiang Si dengan langkah lebar, tak mungkin melihat ekspresi si nyonya, wanita itu tetap menyunggingkan senyum penjilat. 　　Biar dewa wabah ini cepat pergi, jangan sampai kembali lagi. 　　Saat menoleh dan melihat Yingying sang bintang utama bersandar di pagar lantai dua, wajah si nyonya berkerut. 　　Celaka, si gadis itu bilang besok malam akan datang lagi. 　　Tapi segera si nyonya menyadari keanehan: Tadi si gadis itu jelas-jelas ingin menemui Yingying, kenapa malah pura-pura tak melihat dan pergi begitu saja? 　　Setelah merenung sebentar, si nyonya teringat pemuda beraura dingin yang turun dari tangga tadi. 　　Tampaknya hubungan kedua orang ini tidak biasa. 　　Si nyonya buru-buru naik tangga kayu ke lantai dua, melemparkan kalimat ke Yingying: "Masuk kamarmu." 　　Begitu masuk kamar Yingying, si nyonya bertanya: "Apa yang dilakukan Tuan Gong yang baru pergi tadi di sini?" 　　Yingying tertegun, lalu tertawa: "Apa lagi yang dilakukan tamu di kamar putri, Bu?" 　　“Madam mengamati Yingying dari atas ke bawah dengan mata tajam, bagaikan lampu yang bersinar terang.” 　　Yingying menunduk sedikit: “Ibu melihatku untuk apa?” 　　Madam berbicara perlahan: “Waktunya... agak singkat ya?” 　　Tuan Gong itu tampaknya bukan tipe pria lemah, masak urusannya cepat selesai? Bahkan tidak lebih baik dari si Ershazi di desa pinggir sungai. 　　Disebut Ershazi, sebenarnya dia tidak benar-benar bodoh, hanya agak lambat berpikir. Seandainya lahir di keluarga kaya pasti tidak masalah, sayangnya hidup miskin. Setelah dewasa tak ada gadis yang mau menikahinya. 　　Pria yang lambat berpikir tetaplah pria. Entah bagaimana dia bisa dapat uang lalu datang ke Yanchun Ban. 　　Madam takkan melewatkan peluang menghasilkan uang. Gadis penghibur cantik tidak untuk Ershazi, tapi yang sudah tua masih boleh. 　　Hasilnya gadis penghibur itu digarap Ershazi sepanjang malam, sampai lari keluar dengan rambut acak-acakan sambil menangis histeris. 　　Hmm, rupanya Ershazi punya kelebihan yang tidak dimiliki tuan muda tampan nan berkelas itu. 　　“Ibu, omongan apa ini!” Yingying memprotes. 　　Madam menarik kembali pikirannya yang melayang, suaranya menjadi dingin: “Yingying, tuan itu bukan orang biasa. Jangan kau berkhayal yang bukan-bukan.” 　　Yingying tersenyum tipis: “Ibu bercanda. Bukan pertama kalinya aku menerima tamu. Khayalan apa lagi yang bisa muncul?” 　　“Baguslah.” Mama San baru bangkit, kembali ke aula untuk bermesraan dengan para tamu. 　　Tanpa sadar dirinya telah dikalahkan oleh si bodoh dalam hati Mama San, Yu Jin yang meninggalkan kapal bunga itu menunggu dengan sabar di tepi sungai tak jauh dari sana, hingga akhirnya melihat Jiang Si keluar. 　　Jiang Si langsung melihat pemuda yang bersembunyi di kegelapan, hatinya bergulat: Harus mendekat atau pura-pura tidak melihat? 　　Dengan pakaian seperti ini dan riasan wajah yang diubah, mungkin dia tidak mengenalinya, hanya merasa mirip saja. 　　Benar, kalau Yu Qi (Pangeran Ketujuh) benar-benar mengenalinya saat itu, pasti dia akan menggotongnya pergi, bukan pergi dengan mudah seperti tadi. 　　Jiang Si memutuskan untuk mengambil risiko: Lebih baik pura-pura tidak melihat, jangan sampai masuk ke dalam perangkap sendiri. 　　Sambil berpikir demikian, dia berpura-pura santai seperti kebanyakan tamu yang puas, berjalan perlahan ke arah yang berlawanan dari tempat Yu Jin berada. 　　Melihat ini, Yu Jin hampir naik pitam. 　　Tadi di kapal bunga, demi menyembunyikan identitasnya, betapa sulitnya dia menahan diri untuk tidak marah. Tapi hasilnya? Dia malah pura-pura tidak kenal! 　　Dengan wajah kaku, pemuda itu melangkah cepat menyusul dan menghadang jalan Jiang Si. 　　Jiang Si bertanya dengan suara kasar: "Saudara, apa kita kenal--" 　　Ucapan selanjutnya berubah menjadi teriakan. 　　Yu Jin menggotongnya di pundak, bergumam rendah: "Sebentar lagi kau akan tahu kenal atau tidak!" 　　Lao Qin berlari mendekat. 　　Dia mengenal Yu Jin, sedikit banyak tahu ada hubungan khusus antara mereka berdua. Tapi seistimewa apa pun, tindakan saat ini sudah keterlaluan. 　　Long Dan menepuk bahu Lao Qin sambil tersenyum: "Kau ini tidak tahu diri. Urusan majikan buat apa kita ikut campur? Kalau masih kesal, mau latihan bareng aku?" 　　Yu Jin menggendong Jiang Si menuju hutan kecil, berpesan tanpa menoleh: "Jangan bikin kegaduhan." 　　Hutan kecil di tepi Sungai Jinshui gelap gulita, sesekali terdengar desahan halus. 　　Suara itu kadang melengking tinggi, kadang seperti rintihan sakit, berkelindan lembut. Karena tak terlihat wajahnya, justru membuat pendengar makin berdebar-debar. 　　Yu Jin mengabaikan semua suara itu. Ia memandang ke pohon rimbun di bawah sinar bulan temaram, mengubah gendongan menjadi pelukan. Satu tangan erat memeluk, tangan lain meminjam tenaga dari tonjolan batang pohon. Dalam beberapa tarikan napas, mereka sudah berada di atas pohon. 　　Saat Jiang Si sadar, dirinya sudah duduk di cabang pohon. 　　"Menurutmu kita saling kenal?" Yu Jin mendekat, membawa hawa dingin malam musim gugur. 　　Dalam remang-remang, hanya sepasang bola mata yang berkilauan terlihat jelas. 　　Begitu berbinar, mungkin karena kemarahan. 　　Jiang Si menggeliat tak sengaja: "Nanti jatuh..." 　　“Siapa yang menyuruhmu bergerak!” Yu Jin menggerutu rendah, tubuhnya berbalik lalu mengangkatnya ke pangkuannya, erat memeluknya, “Nona Jiang, berdandan seperti ini untuk jalan-jalan di Sungai Jinshui, kau benar-benar membuatku terkejut sekaligus senang.” 　　Tempat lama? Dia dan seorang nyonya rumah bordil ternyata punya tempat pertemuan lama! 　　Si gadis ini tidak akan berhenti sampai membuatnya mati kesal, ya? 　　Semakin Yu Jin memikirkannya, semakin marah dia. Dada lebar pemuda itu yang masih agak kurus naik turun tak beraturan. 　　Jiang Si merasa seperti duduk di perahu kecil, terguncang hingga seluruh tubuhnya lemas. 　　“Ceritakan padaku tentang 'tempat lama' kalian.” Yu Jin menunduk sedikit, hembusan napas panasnya menyembur ke pipi Jiang Si. 　　Jiang Si memalingkan kepala, kesal: “Pangeran ini hanya mau rakyat biasa mematuhi larangan, sementara sendiri melanggar? Sepertiku baru saja melihatmu keluar dari kamar wanita Nona Yingying.” 　　“Kau bahkan tahu bintang utama tempat itu bernama Yingying?” Yu Jin mengangkat alis marah. 　　Mata sudah menyesuaikan dengan kegelapan, Jiang Si melihat jelas ekspresi dingin bercampur kemarahan di wajahnya, dagunya sedikit terangkat: “Lalu apa?” 　　Yu Jin satu tangan memeluk pinggangnya, satu tangan menahan belakang kepalanya, lalu menciumnya dengan kasar. 　　Persetan dengan larangan untuk rakyat biasa! Di hadapannya, dirinya jelas-jelas rakyat kecil yang menderita. 　　Hari ini kalau tidak bisa membalikkan keadaan, lebih baik jangan jadi suami lagi! 292. BAB 292 Kedekatan 　　BAB 292 Kedekatan 　　Karena bibirnya tiba-tiba ditutupi oleh lawan, suara protesnya berubah menjadi rintihan terputus-putus yang beterbangan mengikuti angin malam yang menembus hutan. 　　Jiang Si merasa malu dan jengkel. 　　Di kehidupan sebelumnya, mereka sudah berguling-guling tak terhitung kali, ciuman nekat seperti ini tidak akan membuatnya panik. 　　Tapi ini adalah hutan kecil di tepi Sungai Jinshui - jika orang berniat menyusuri kedalaman hutan, bisa saja mengganggu banyak pasangan mesra. Tindakan nekatnya di sini benar-benar... tak tahu malu! 　　Mungkin kegelapan memberi Yu Jin keberanian. Kali ini ia sadar betul ini bukan mimpi, tapi tetap saja dengan pongah menyelusupkan lidahnya di antara gigi gadis itu, saling menjalin nafas. 　　Dua tubuh muda itu berpelukan tanpa celah. 　　Punggungnya menempel pada cabang pohon kasar yang meski kokoh menopang mereka, sensasi menggantung di udara menambah getaran tak terduga. 　　Gadis itu duduk di pangkuannya, terkurung erat tanpa bisa bergerak. 　　Daun-daun kekuningan berhamburan seperti diterpa angin kencang, sebagian jatuh ke hamparan daun kering, sebagian lagi menempel di tubuh mereka. 　　Saat ini tak ada yang peduli. 　　Jiang Si mendorong pria nekat itu sekuat tenaga, tak berani bersuara keras khawatir didengar orang. 　　Yu Jin juga diam, dengan satu tarikan pergelangan tangan yang kuat menyedot kembali tubuh yang mulai melengkung menjauh. 　　Ini adalah pertarungan tanpa kata. 　　Masih duduk di pangkuannya, tarikan dan sentuhan ini membuat gesekan kulit mereka memicu ribuan gemuruh di sekujur tubuhnya. Semangat juang dan keteguhannya larut dalam kehampaan, membiarkan dirinya ditarik hingga hampir rapat. 　　Alhasil, dia langsung duduk di bagian tubuhnya yang membara. 　　Ciuman Yu Jin terhenti sejenak. 　　Napas sang pria tiba-tiba menjadi berat. 　　Tak lama kemudian ciuman itu semakin menggila, bagai hujan deras menerpa bunga yang lemah gemulai. 　　“Dia mencium bibirnya, menggigit daun telinganya, tangan meraih ke tempat paling intim di antara mereka, memutar-mutar dengan kikuk.” 　　“Ranting pohon bergoyang keras, daun-daun berjatuhan lebih banyak, bagai hujan deras yang menumpuk tipis di tanah yang disinari cahaya bulan tipis.” 　　“Setelah lama, suara-suara tergesa itu akhirnya mereda.” 　　“Yu Jin tak bergerak bersandar di ranting pohon, sementara Jiang Si tergeletak di atasnya sambil terengah-engah pelan.” 　　“Napasnya menghembuskan kehangatan membara, berirama di dadanya.” 　　“Entah apa yang baru saja terjadi, setelah semua tenang, pakaian pemuda itu terbuka memperlihatkan dada putih seputih giok.” 　　“Setelah beberapa saat, suara parau pemuda itu bertanya lembut: 'Masih perlu lama memikirkan?'” 　　“'Dua hal... tak berkaitan.' Jawab Jiang Si sambil terengah.” 　　Apakah ingin memulai kembali dengannya, dia harus memikirkannya dengan saksama dan serius. Begitu keputusan diambil, baik melanjutkan hubungan sebelumnya atau melupakan satu sama lain, tidak akan ada penyesalan. 　　Jika dia mengira kedekatan intim mereka akan membuatnya goyah, itu salah. 　　Kedekatan intim apa? Di kehidupan sebelumnya, hal yang lebih keterlaluan pun pernah mereka lakukan. 　　Jiang Si menyadari dengan jelas bahwa dirinya memang berbeda dengan gadis-gadis seumuran yang sesungguhnya. 　　Saat pria ini mendekatinya, menyergapnya, yang timbul dalam dirinya lebih berupa kegairahan, kerinduan, dan dorongan untuk menyatu dengan sang kekasih, ketimbang rasa malu. 　　Pernah menjadi istri di kehidupan sebelumnya, meski kini kembali ke wujud gadis, mana mungkin tetap menjadi kertas putih? 　　Mengatasi berbagai masalah setelah terlahir kembali sudah cukup melelahkan. Dalam hal ini, Jiang Si tak mau membohongi diri. Ciuman dan pelukannya lebih banyak memberikan kenyamanan, bahkan ada sedikit kekecewaan tersembunyi saat dia akhirnya menghentikannya. 　　Kelahiran kembali tidak membuatnya menjadi lebih pintar. Sudah cukup lelah berjuang menyelamatkan nasib keluarga, lebih baik berbuat baik pada diri sendiri. 　　Jika tidak bersamanya, dia pun tidak berencana menikahi orang lain. Jadi tak masalah untuk sedikit berbuat sesuka hati. 　　“Bagaimana tidak ada hubungannya？”Yu Jin hampir tidak mengerti gadis di hadapannya, meskipun dia bersandar di pangkuannya, rambutnya yang berantakan akibat keintiman tadi terjuntai di dadanya, seperti seseorang menggelitik dengan bulu, membuatnya gatal hingga ingin melemparkan gadis itu ke rumput dan melampiaskan hasratnya. 　　Tapi akhirnya tidak bisa, dia tadi sudah keterlaluan. 　　Mengingat semua yang terjadi sebelumnya, ujung jarinya seolah masih terasa licin, wajah Yu Jin pura-pura tenang, tapi telinganya merah padam. 　　Keheningan kembali menyelimuti, angin di hutan bertiup kencang. 　　Jiang Si justru tidak terburu-buru, tetap berbaring tenang di atasnya. 　　Bulan dingin bagai embun beku, angin musim gugur menusuk, tapi tubuh Yu Jin seperti terbakar api. 　　Dia menahan perasaan tidak nyaman itu, mengeluh dengan sedih: “Apa selain aku, kau juga ingin pria lain memperlakukanmu seperti ini? Atau membuka baju pria lain?” 　　Baru sekarang Jiang Si samar-samar ingat, saat gairah tak terbendung tadi, dia dengan mahir dan gegabah membuka kancing bajunya, menggigit keras biji merah yang sedikit menonjol itu. 　　Kini, di sana masih tersisa bekas gigitan seperti diserang binatang kecil. 　　Wajah Jiang Si memerah, tapi nada bicaranya tegas: “Sudah kukatakan tidak ada hubungannya, kau memaksa bertanya, apakah ingin aku mengambil keputusan sekarang?” 　　Yu Jin malah mengkerut ketakutan. 　　Dibandingkan kekoknya, dia terlalu santai, terlalu tenang, membuatnya tak berani terburu-buru. 　　"Jelaskan tujuanmu datang ke Sungai Jinshui." Yu Jin mundur selangkah. 　　Kunjungan sebelumnya ke Sungai Jinshui untuk membunuh dan membakar, kali ini untuk menggoda nyonya rumah, sungguh tak menyisakan tugas untuknya. 　　Jiang Si terdiam sejenak, ribuan pikiran melintas di benaknya. 　　Yu Jin tidak mendesak, menunggu dengan sabar. 　　Ketergesa-gesaan dan kecerobohan sebelumnya muncul karena merasakan sikap dingin dan penolakannya, membuatnya panik dan ingin melakukan sesuatu untuk menghancurkan tembok es itu. 　　Sekarang, meski kata-katanya dingin, keintiman bibir dan kedekatan fisik membuatnya mulai tenang. 　　Dia bisa menunggu. 　　Bulan sabit di ujung dahan bagai sabit, sinar bulan yang jatuh dingin membeku, angin di hutan mulai menguat. 　　Jiang Si mengangkat tangan, merapikan baju yang terbuka di tubuhnya, baru berkata: "Aku ingin mencari seseorang." 　　Ini bukan saatnya untuk keras kepala. Untuk urusan pencarian, dia hanya punya A Fei sebagai penolong, sementara Yu Qi (Pangeran Ketujuh) jauh lebih berpengaruh. 　　"Cari siapa?" Yu Jin merasa posisi ini mengganggu konsentrasinya saat membahas urusan penting, lalu berdiri tegak. 　　Dengan posisi tubuh yang saling menempel... ah, justru semakin sulit fokus... Yu Jin menyerah untuk tetap berkonsentrasi. 　　"Seorang preman jalanan, dengan tahi lalat sebesar kacang kedelai di cuping telinga kanan, pernah terlihat di Kelas Yanchun..." 　　“Yu Jin mendengarkan dengan serius, menunggu Jiang Si selesai berbicara lalu bertanya: "Orang ini penting?"” 　　“Sangat penting, semakin cepat menemukannya semakin baik.” 　　Yu Jin menatap Jiang Si lama-lama lalu menghela napas: “A Si, aku benar-benar tidak bisa menebak untuk apa kau mencari orang seperti ini.” 　　Jika dia tidak mau memberitahu, memaksanya bertanya juga percuma. 　　Jiang Si menatapnya sambil tersenyum, dengan nada meneliti dan menyindir: “Aku juga benar-benar tak menyangka, ternyata tamu kehormatan yang dihibur gadis penghibur utama dari mulut sang mucikari itu adalah kau.” 　　Yu Jin hampir terjatuh, tangannya tergesa-gesa menahan dahan pohon. 293.BAB 293: Di Dalam Kereta 　　BAB 293: Di Dalam Kereta 　　Celaka, hanya sibuk terkejut mengapa A Si datang ke kapal hiasan. 　　“Ada kasus yang perlu diselidiki...” 　　Sebelum sempat menjelaskan, Jiang Si sudah mengangguk: “Hmm.” 　　“Benar-benar sedang menyelidiki kasus—” Anggukan yang terlalu santai ini pasti tidak mempercayainya. 　　“Kalau sedang menyelidiki kasus, jangan tunda urusan resmimu. Bawa aku turun, aku harus pulang.” 　　Yu Jin mengangkat tangan menahan bahu Jiang Si: “Aku benar-benar sedang menyelidiki kasus, kalau tidak percaya tanyalah pada Tuan Zhen...” 　　Jiang Si mengelus dahi dengan putus asa: “Aku benar-benar percaya.” 　　Terhadap Yu Qi, sedikit pemahaman ini masih dimilikinya, tadi hanya takut dia terus-menerus bertanya, sedikit membalas dendam saja. 　　“Bukan ucapan kesal?” Yu Qi menatapnya curiga. 　　“Bukan, aku benar-benar harus pergi.” 　　Yu Qi menghela napas lega: “Kalau begitu aku antarmu.” 　　Dia menggendong Jiang Si melompat turun dari pohon, mendarat tanpa suara. 　　Jiang Si menunduk merapikan pakaian dan rambutnya yang agak kusut. 　　Yu Jin berdiri di sampingnya, menjangkau dan memetik sehelai daun dari rambutnya, lalu memetik lagi sehelai daun... 　　Jiang Si menghela napas: "Sudahlah, mari kita kembali untuk membersihkan diri." 　　Yu Jin merasa bersalah telah berbuat kesalahan, berjalan keluar dari hutan dengan malu. 　　Keluar dari hutan kecil, cahaya tiba-tiba terang benderang. Sorak-sorai dari Sungai Jinshui semakin jelas terdengar, bahkan udara pun beraroma wewangian bedak tipis. 　　Jiang Si berhenti: "Tak perlu mengantarkan, saya bisa pulang sendiri." 　　Yu Jin mengerutkan kening. 　　"Bukankah kau harus menyelidiki kasus? Lebih baik segera urus pekerjaan pentingmu." 　　Yu Jin diam seribu bahasa, menggenggam tangan Jiang Si dan menariknya, namun dilepaskan: "Sungguh tak perlu mengantar. Dengan Lao Qin dan A Fei, tak akan lama sampai. Kehadiranmu malah mencolok." 　　Melihat ketegasannya, Yu Jin terpaksa mengalah. 　　Baru saja mulai dekat, lebih baik ia bersikap baik. 　　Long Dan dan Lao Qin berjaga tak jauh dari situ. 　　Jiang Si mendekat dan mengangguk pada Lao Qin: "Ayo kita pergi." 　　Semua orang telah pergi jauh, namun Yu Jin masih berdiri tak bergerak di tempat. 　　Long Dan mendekat: "Tuanku, Anda dan Tuan Gong itu... tidak terjadi apa-apa kan?" 　　Tak disangka! Tuanku ternyata punya selera seperti itu! 　　Long Dan merinding sepanjang tubuh, dalam hati bergumam: "Hampir saja celaka!" 　　Untung tuanku bisa membedakan urusan pribadi dan tugas. Bagaimana jika ia mengajukan permintaan tertentu padaku? Haruskah kuterima atau kutolak? 　　Masalah seperti ini membuat Long Dan pusing hanya dengan memikirkannya. 　　Yu Jin memandang Long Dan dengan heran: "Kau tidak sadar itu Nona Jiang?" 　　Masa iya dia akan menggendong seorang suami ke dalam hutan kecil? 　　Long Dan kaget bukan main, suaranya berubah: "Tidak, penyamaran Nona Jiang sebagai pria kan tidak seperti ini..." 　　Dia pernah melihat Nona Jiang menyamar sebagai pria, mirip dengan Kakak Kedua Jiang, bukan penampilan malam ini. 　　"Memandang orang cuma lihat wajah? Bodoh!" Yu Jin mengetuk kepala Long Dan, lalu berjalan cepat ke depan. 　　Long Dan buru-buru menyusul, mengikuti langkah tuannya menuju tepi Sungai Jinshui, matanya tajam melihat daun terselip di rambut Yu Jin. 　　Dia meraih dan mengambil daun itu. 　　Yu Jin berhenti sebentar, menoleh ke samping. 　　Long Dan mengangkat daun itu dengan penuh kekaguman: "Tuanku, apakah kediamanan kita akan segera memiliki nyonya rumah?" 　　Tuanku bertindak cepat sekali, itu pun di hutan kecil! 　　"Banyak mulut!" Yu Jin bermuka masam, tapi sudut bibirnya tak kuasa melengkung. 　　Sayang perasaan ini tak bisa diungkapkan pada Long Dan. Andai Er Niu ada, setidaknya bisa mengusap-usap kepala besarnya beberapa kali. 　　"Bukan seperti yang kau pikirkan. Ayo ke kapal hias berikutnya." 　　Long Dan terpeleset, tak percaya: "Tuanku, Nona Jiang tidak berkata apa-apa saat Tuan naik kapal hias?" 　　Yu Jin berpikir sejenak: "Dia bilang agar aku segera mengurus urusan penting." 　　Long Dan menepuk dahinya: "Pasti Nona Jiang sedang marah!" 　　“Dia tidak marah.” 　　“Kalau tidak marah, berarti tidak peduli.” 　　“Tidak peduli?” Suara Yu Jin terdengar dingin. 　　“Coba Tuan bayangkan, bagaimana perasaan Tuan jika melihat Nona Jiang mengunjungi rumah hiburan pemuda pelayan?” 　　Yu Jin merenungkan hal itu. 　　Lebih baik tidak usah membayangkannya... 　　“Tuanku, lebih baik Tuan mengantarkan Nona Jiang. Kapal hias itu setiap malam menerima tamu, tidak akan lari meski diperiksa sehari lebih cepat atau lebih lambat.” 　　Yu Jin mengangguk setuju. 　　Orang tua Zhen Shicheng itu terlalu pandai membujuk, sampai-sampai ia lupa tujuan awalnya datang ke Kementerian Hukum. 　　Awalnya kan hanya ingin memenuhi permintaan kaisar, masak iya harus jadi pejabat suci yang jago menyelesaikan kasus? 　　Yu Jin tiba-tiba merasa tindakannya tidak mengantar Jiang Si tadi sangat bodoh, orang lain bisa mengira ia senang main ke kapal hias. 　　“Begini saja, kau periksa kapal hias berikutnya. Jangan membuat ular berbisa kabur.” Yu Jin berpesan. 　　Long Dan segera menyungging senyum lebar. 　　Yu Jin memandangnya curiga. 　　Long Dan buru-buru menegakkan ekspresi: “Atau biar Tuanku yang periksa, hamba yang akan mengantar Nona Jiang.” 　　“Pergi sana!” 　　Bulan sabit semakin meninggi, tanah bagai diselimuti embun beku tipis. 　　A Si menyadari langkah Lao Qin tidak wajar: “Lao Qin, ada apa?” 　　Lao Qin malu-malu: “Kena tendang di kaki, agak sakit. Anak buah Tuan Yu memang tangkas.” 　　"Kalau masih muda, dia bisa bertarung seimbang dengan lawan, tapi sekarang tenaga sudah tidak sanggup mengimbangi." 　　"Tentu saja, jika benar-benar sampai taruhan nyawa, dia yakin tidak akan kalah dari Long Dan. Paling-paling saling tukar nyawa." 　　"Pulanglah dan oleskan obat anggur penghilang memar." Melihat ekspresi bersalah Lao Qin, Jiang Si menghibur, "Anak buahnya memang pilihan terbaik dari seribu orang. Bisa bertahan tanpa kalah sudah sangat hebat." 　　Baik Long Dan yang suka bercanda maupun Leng Ying yang pendiam, di medan perang sama-sama pembunuh tak berkedip yang benar-benar merangkak dari tumpukan mayat. 　　Kereta kuda sewaan berhenti di sudut yang tidak mencolok. A Fei yang sudah gelisah menunggu, melihat Jiang Si dan Lao Qin datang berurutan, segera menyambut. 　　"Nona, Akhirnya Nona keluar!" 　　Kalau tidak segera keluar, dia mungkin sudah mulai curiga Nona Jiang tertarik pada gadis penghibur mana di Kapal Hias Yanchun. 　　"Naik dulu." Jiang Si gesit naik ke kereta, menoleh memandang Sungai Jinshui yang terang benderang bagai siang. 　　Sungai Jinshui saat ini tampak lebih ramai daripada saat dia baru datang. Suara musik, tawa, nyanyian, berbagai bunyi seolah terbungkus aroma bedak tak kasat mata, menyatu menjadi suara samar yang membuat muka memerah dan jantung berdebar, perlahan menyusup ke telinga. 　　Telinga yang mendengar menjadi gatal, hati pun ikut gatal. Kapal-kapal hias yang bebas melayang di Sungai Jinshui menjadi tempat penghilang gatal bagi orang-orang ini. 　　Entah dia naik ke kapal hias yang mana lagi? 　　Penampilannya begitu, pasti geisha utama akan dengan senang hati menemani. 　　Gambaran Yingying, geisha utama dari Yanchun Class tiba-tiba muncul di pikiran Jiang Si. 　　Gaun panjang merah merona, sanggul longgar, dada putih pucat, dan sepasang kaki telanjang dengan kuku dicat merah... 　　Jiang Si mengatupkan bibir sambil menggeleng. 　　Katanya tidak keberatan, tapi kenapa dia masih memikirkan hal-hal tidak penting. 　　Menyibak tirai dan masuk ke dalam kereta, Jiang Si diam-diam mencaci dirinya sendiri. 　　Namun segera, kegelisahan remaja putri ini pecah bagai gelembung yang ditusuk tiba-tiba. 　　Seluruh tubuh Jiang Si menegang, bertanya sebisanya tenang: "Siapa?" 　　Belati dingin yang menempel di pinggang belakangnya bergeser perlahan. 　　Sampai jumpa besok. Akhir bulan ini, mohon vote. 294. BAB 294 Penculikan 　　BAB 294 Penculikan 　　Belati itu keras dan dingin, dengan kejam berdiam menekan lekuk lembut pinggang Jiang Si. 　　Aroma darah samar bercampur wewangian bedak dari tepi Sungai Jinshui menyusup ke hidung. 　　Jiang Si dalam hati menyadari kecerobohannya. 　　Berpikir ngawur memang membawa sial. 　　"Jangan berteriak, aku tidak akan menyakitimu." Suara peringatan rendah wanita terdengar dari belakang. 　　Dari suaranya terdengar wanita ini seharusnya masih muda. 　　Jiang Si merasa entah mengapa suara ini agak familiar, tapi sejenak tak bisa mengingat di mana pernah mendengarnya. 　　Kereta kuda sudah mulai bergerak, berderit-derit maju. Goyangan ringan membuat ujung belati sedikit menekan pinggang Jiang Si. 　　Ia bisa merasakan belati itu sengaja ditarik sedikit ke belakang oleh seseorang. 　　"Siapa kau?" tanya Jiang Si, tangan kanannya yang tergantung di depan dada diam-diam membuka. Kilau samar yang nyaris tak terlihat berpendar di telapak tangannya. 　　Suara wanita kembali terdengar, bernada tak sabar; "Kau tak perlu bertanya, jangan menoleh. Saat tiba di tempat yang tepat, aku akan pergi sendiri..." 　　Jiang Si sedikit terkejut. 　　Saat tidak sengaja mendengar percakapan dua pria di Kuil Baiyun, ia pertama menggunakan Huan Ying untuk membuat pikiran pria berjanggut tebal membeku sejenak, lalu menusuk kulitnya dengan duri beracun gu yang melumpuhkan, baru bisa melarikan diri. 　　Kini, saat hendak menggunakan cara yang sama, ia menemui masalah: wanita yang menyanderanya ini sama sekali tak terpengaruh Huan Ying. 　　Huan Ying tumbuh dalam daging tangan Jiang Si, sudah menyatu dengan pikirannya. Ia bisa merasakan "kekecewaan" makhluk itu. 　　Karena itu, ia tak bisa gegabah. 　　Ia bisa menusuk wanita itu diam-diam dengan duri saat lengah. Asal kulitnya terluka sedikit, kendali akan kembali ke tangannya. 　　Tapi bagaimana jika wanita ini tipe yang bisa bereaksi seketika meski dalam keadaan tak waspada? 　　Resiko ini tak boleh diambil kecuali dalam keadaan darurat. 　　Ia belum ingin mati. 　　Belum lagi krisis Kakak belum terselesaikan, paha babi kecap yang dibeli Ayah gurih dan harum, liangpi dari Nyonya Wang Wu yang dikirim Kakak Kedua pedas dan segar, Er Niu juga sangat menggemaskan, bahkan Yu Qi— 　　Memikirkan pria yang memiliki banyak kekurangan namun juga banyak kelebihan itu, Jiang Si menghela nafas dalam hati. 　　Jika dia mati di dalam kereta kuda ini, pastilah dia akan sangat bersedih. 　　Singkatnya, tidak boleh mati. 　　Jiang Si untuk sementara mengurungkan niat nekatnya. 　　Tentu, keputusan ini juga didasari insting tertentu: saat kereta terombang-ambing tadi, sang penculik diam-diam menggeser belatinya, membuktikan bahwa orang ini bukan penjahat kejam. 　　Tiba-tiba kereta kuda berhenti. 　　Suara A Fei terdengar dari luar: "Tu... Tu... Tuan Yu, kebetulan sekali..." 　　Astaga, kalau Tuan Yu mengenalinya, bukankah dia bisa menebak bahwa yang di dalam kereta adalah Nona Jiang? 　　A Fei yang sebelumnya melihat Jiang Si naik ke kapal hias langsung kembali menunggu di kereta, tidak tahu keributan yang terjadi kemudian. Penemuan mengejutkan ini membuatnya hampir menjatuhkan tali kekang. 　　Lao Qin mengerutkan kening melihat Yu Jin, lalu membungkuk ke tirai kereta sambil berbisik: "Nona, ini Tuan Yu." 　　Jiang Si jelas merasakan belati di punggungnya bergetar, disusul suara wanita yang terkejut: "Kau ini perempuan?" 　　“Lampu di dinding kereta sudah redup karena tidak ditambahi minyak lampu tepat waktu, cahaya di dalam kereta pun remang-remang.” 　　“Menyandera seseorang jelas bukan hal yang menyenangkan, wanita itu tak menyadari identitas asli Jiang Si.” 　　Bunyi ketukan halus terdengar dari jendela kereta, suara pemuda yang jernih menggema: “Aku tetap ingin mengantarmu.” 　　Belati itu tiba-tiba menekan lebih dalam ke pinggang Jiang Si. 　　“Usir dia!” 　　Jiang Si membuka mulut, tenggorokannya terasa kaku: “Sudah kubilang tidak perlu, cepatlah kau urus pekerjaanmu.” 　　“Mengantarmu adalah pekerjaanku yang utama.” 　　Sudut bibir Jiang Si berkedut, dalam hati bergumam kalau si bajingan ini terus merayu pasti belati akan menembus tubuhnya... 　　“Mengapa kau tidak membuka tirai untuk melihatku?” tanya pria di luar kereta. 　　Jiang Si refleks menoleh. 　　Wanita penyanderanya pun terkejut melihat kelakuan tak tahu malu pria di luar kereta, lupa memperingatkan Jiang Si untuk tidak bergerak. 　　Dalam cahaya temaram, mata mereka bertemu. Jiang Si membelalakkan matanya, akhirnya paham mengapa suara wanita ini terdengar familiar. 　　Ternyata wanita ini adalah nona yang pernah menyelamatkan Xiao Tong dari kuda liar saat perjalanan pulang dari Kuil Baiyun. 　　Wajah Jiang Si yang sudah dirias membuat si wanita tak mengenalinya. Melihat sanderanya sudah melihat wajah aslinya, belati langsung beralih ke leher Jiang Si sementara tangan satunya mencengkeram kedua pergelangan tangannya, bibirnya membentuk kata-kata tegas: “Suruh dia pergi!” 　　“Jiang Si khawatir belati tak sengaja melukai leher, berkata tegas: 'Tadi sudah kulihat cukup. Jika kau tak pergi, jangan temui aku lagi.'” 　　“Sepi tiba-tiba menyergap luar kereta.” 　　“Beberapa saat kemudian, suara di luar menghela: 'Baik, aku tak akan mengantarmu. Jangan marah.'” 　　“Mendengar derap kaki kuda yang ringan semakin menjauh, ketegangan wanita itu mengendur. Belati di leher Jiang Si tak disimpan, hanya suaranya yang melunak: 'Pergi dari sini. Aku akan pergi setelah merasa aman, tak akan menyusahkanmu.'” 　　“Jiang Si mengangguk.” 　　Kereta kuda berjalan perlahan, semakin jauh dari Sungai Jinshui semakin sepi, meski sesekali masih berpapasan dengan kereta kuda lain yang melaju kencang di jalan batu hijau, atau petugas keamanan yang sedang berpatroli malam hari. 　　Setelah Dinasti Zhou menghapus jam malam, malam hari pun tetap ramai. 　　Jiang Si merasakan kecepatan kereta kuda tiba-tiba meningkat. 　　Wanita itu melepaskan genggamannya pada tangan Jiang Si, menyibak tirai jendela kereta untuk melihat keluar. 　　Selain lentera yang tergantung di bagian depan kereta yang menerangi sekeliling secara samar-samar, kejauhan hanya terlihat kegelapan. 　　Kebingungan dan kekosongan terpancar dari mata wanita itu sebelum akhirnya melepaskan tirai dan berganti permintaan: "Aku butuh tempat berlindung." 　　Jiang Si diam-diam memutar matanya. 　　Rupanya "tempat aman" yang dijanjikan perampok wanita ini harus dicarikan olehnya. 　　Setelah ragu sejenak, Jiang Si berseru: "A Fei, ke Gang Songzi." 　　Rumah sipil yang mereka sewa terletak di Gang Songzi. 　　"Baik!" jawab A Fei sementara suara cambuk kuda berbunyi. 　　“Tidak tahu berapa lama kemudian, kereta kuda berhenti lagi, terdengar suara A Fei yang pasrah: "Nona, kereta kudanya rusak. Lagipula Gang Songzi sudah dekat, bagaimana kalau Nona turun dan berjalan kaki?"” 　　Wanita itu tiba-tiba menjadi tegang, berbisik pelan: "Tidak boleh!" 　　Suara Jiang Si lembut seperti nyamuk: "Kereta kuda rusak, kalau saya tidak keluar mereka akan curiga. Lagipula, sejak kamu meminta saya mengatur tempat tinggal, cepat atau lambat harus turun dari kereta. Tidak mungkin menyembunyikan ini dari mereka." 　　Ia merasakan betapa wanita itu sudah kehabisan akal, kalau tidak tidak mungkin meminta hal seperti ini pada orang yang diculiknya. 　　Mungkin karena melihat penampilan prianya yang tampan lalu merasa iba? 　　Akhirnya wanita itu mengangguk, memberi isyarat pada Jiang Si untuk turun lebih dulu. 　　Saat Jiang Si bergerak ke pintu kereta, tiba-tiba belati yang menempel di punggungnya menjauh, disusul suara benda berat jatuh ke tanah. 　　Ia menoleh cepat, melihat pintu belakang gerbong yang tidak diketahui kapan terbuka, di luar gelap gulita tak berujung. 　　Jiang Si segera merangkak keluar dari pintu depan gerbong. 　　"Nona, apakah Anda baik-baik saja?" 　　Jiang Si tidak menjawab pertanyaan A Fei, menoleh ke belakang. 　　Yu Jin menyentakkan wanita yang tergeletak di tanah dengan kakinya: "Leng Ying, bawa pulang ini untuk makan Er Niu." 　　Hari terakhir bulan Juni, jangan lupa vote ya. Acara like komentar bab ini berakhir hari ini, yang belum klaim hadiah buruan cari moderator Mo Yan. 295.BAB 295 Sial 　　BAB 295 Sial 　　Wanita itu terbaring di tanah dengan tubuh bergetar halus, bau darah yang semula samar kini semakin menyengat, jelas terlihat dia sudah terluka sebelum menculik Jiang Si. Setelah dilempar oleh Yu Jin, lukanya semakin terbuka. 　　Tempat kereta kuda berhenti ternyata tepat di Gang Songzi. 　　Gang Songzi sunyi senyap, seekor burung tiba-tiba menendang dahan dan terbang dari pohon. Karena terbang tergesa-gesa, sayapnya menyentuh lentera di bawah atap sebuah rumah, membuat lentera itu bergoyang hebat. 　　Wajah wanita di tanah berubah terang-gelap mengikuti goyangan cahaya lentera, ekspresinya tiba-tiba menjadi tak terduga. 　　Sebuah tangan panjang yang kokoh mengulur, mengangkat wanita itu. Leng Ying berdiri diam di hadapan Yu Jin menunggu perintah. 　　Garis wajah Yu Jin keras seperti ukiran pisau, matanya membeku oleh es: "Bawa pulang dan jaga baik-baik, jangan sampai mati." 　　"Baik." Leng Ying langsung pergi sambil membawa wanita itu. 　　Wanita itu meronta: "Lepaskan! Kalian bajingan! Apa salahku sampai kalian seperti belatung yang menempel terus mengikutiku!" 　　"Tutup mulutnya," ujar Yu Jin datar. 　　Leng Ying bukanlah tipe yang mengasihani wanita. Langsung dia menggunakan satu tangan untuk menutup mulut wanita itu. 　　Teriakan wanita itu segera berubah menjadi erangan rendah, terlihat sangat memprihatinkan. 　　Jiang Si akhirnya berbicara: "Lebih baik bawa dia masuk dulu." 　　Leng Ying menatap Yu Jin. 　　Setelah berpikir sejenak, Yu Jin mengangguk. 　　Rumah kecil itu tiba-tiba menjadi ramai. 　　"Suruh dia menunggu di sini dulu," perintah Yu Jin sambil menarik Jiang Si masuk ke dalam rumah. 　　Lampu menyala, Yu Jin menarik Jiang Si ke pelukannya dengan gemetar, "Aku bilang mau mengantarmu, kau tak mau. Bagaimana kalau tadi terjadi sesuatu?" 　　Sebenarnya Jiang Si tidak terlalu takut. 　　Mungkin karena intuisi khas perempuan, dia tak merasa wanita itu benar-benar berniat menyakitinya. 　　Seorang wanita yang meminta orang yang diculiknya untuk mencari tempat tinggal, sebenarnya di lubuk hatinya tidak waspada terhadap orang lain. Orang seperti ini biasanya jarang mengalami kejahatan, sulit memiliki keberanian untuk membunuh orang tak bersalah. 　　Karena alasan inilah Jiang Si memutuskan untuk mengamati situasi. 　　"Bagaimana kau tahu ada yang tidak beres?" Dia melepaskan genggaman Yu Jin, menjauhkan diri. 　　"Kereta kuda itu yang memberitahuku." 　　Jiang Si menatapnya. 　　Yu Jin menjelaskan, "Kedalaman jejak roda bisa memperkirakan berat muatan. Tapi yang penting adalah tingkah lakumu." 　　"Tingkah lakuku bagaimana?" 　　Yu Jin mengetuk ujung hidungnya, "Kau bukan tipe perempuan pemalu. Kalau marah padaku, pasti langsung membuka tirai kereta dan memarahiku habis-habisan. Kenapa malah bersembunyi? Waktu itu aku berpikir, jangan-jangan ada pria lain di kereta..." 　　Jiang Si melotot padanya. 　　"Yu Jin membiarkannya melotot, lalu melanjutkan: 'Aku memberi isyarat pada A Fei dan yang lain untuk mencari alasan menghentikan kereta kuda. Saat itu perhatian penumpang paling mudah teralihkan, memudahkanku menyelinap masuk dari pintu belakang kereta... Tak disangka di dalamnya tidak ada pria liar, malah ada wanita liar.'" 　　Sampai di sini, Yu Jin menghela napas berat: "A Si, mulai sekarang lebih baik kau jangan pakai baju pria lagi." 　　"Sudah saat seperti ini, jangan banyak bicara omong kosong." Jiang Si meliriknya, tangan mengusap ringan bagian punggung bawah yang masih terasa dingin dan keras bekas tusukan belati. 　　"Sebenarnya apa yang terjadi?" 　　"Kereta kuda itu disewa A Fei. Kucurigai wanita itu menyelinap ke dalam gerbong saat A Fei lengah." 　　Setelah ragu sejenak, dia berkata: "Wanita itu pernah kutemui sebelumnya." 　　Ekspresi Yu Jin langsung serius: "Kalau begitu, dia sengaja mengincarmu?" 　　Jiang Si menggeleng: "Sepertinya tidak. Saat tahu aku perempuan, dia terlihat cukup terkejut." 　　"Di mana kalian pernah bertemu?" 　　Jiang Si menceritakan secara singkat kejadian dalam perjalanan pulang dari Kuil Baiyun: "Wanita itu cukup baik hati. Buktinya dia mau menyelamatkan orang dari terjangan kuda liar." 　　"Tanya dulu baru kita lihat." 　　Yu Jin berjalan ke pintu, memberi isyarat pada Leng Ying untuk membawa tawanan masuk. 　　Di bawah kendali Leng Ying, wanita itu sama sekali tak bisa melawan. Wajahnya tetap keras kepala, menatap sinis ke arah tatapan penasaran Yu Jin sambil memalingkan kepala: "Aku sial saja, tanpa alasan harus berurusan dengan gerombolan anjing gila seperti kalian. Bunuh atau potong tubuhku terserah!" 　　"Yu Jin mengangkat tangan, Leng Ying melepaskan wanita itu dan segera menghilang di depan pintu." 　　"Wanita itu kehilangan penyangga, terjatuh duduk di lantai." 　　"Sepasang kaki muncul di hadapannya, saat mengangkat pandangan terlihat wajah pria itu yang dingin seperti patung es." 　　"Kau muncul tiba-tiba di kereta kuda tunanganku, menyandera tunanganku, sekarang malah menyebut kami anjing gila. Nona, keterlaluan kau memutarbalikkan fakta, justru kau lah anjing gila itu!" 　　"Bangsat!" wanita itu meludah ke lantai dengan penuh amarah. 　　"Yu Jin duduk di kursi sambil berkata dingin: "Aku adalah petugas keamanan yang menangani kasus. Belakangan ini terus ada gadis penghibur yang tewas di Sungai Jinshui, kucurigai kaulah pelaku kejahatannya." 　　"Wanita itu menggigil marah: "Aku tidak membunuh gadis penghibur mana pun! Kalian terus memburuku karena kecurigaan buta, mengirim gelombang demi gelombang pembunuh. Aku yang harus bertanya, benarkah yang tebus itu gadis penghibur? Begitu serius penanganannya, kurasa mungkin itu Nyonya bangsawan!" 　　"Yu Jin tersenyum sinis, bersandar malas: "Nona, jangan hanya tumbuh tinggi badan tapi tidak berkembang otak. Dengan kemampuan sepertimu, perlukah aku kirim banyak orang untuk memburumu? Kau kira anak buahku sampah tak berguna?" 　　"Wanita itu tertegun, mengerutkan alis: "Berarti kalian bukan orang-orang yang selama ini memburuku?" 　　"Tentu saja kami bukan pemburumu. Tapi jika nona tetap tidak bisa menjelaskan identitasmu, terpaksa kuantar dulu ke kantor kabupaten." 　　"Wanita itu merentangkan tangan dan merangkul lututnya, matanya bergerak dari wajah Yu Jin ke wajah Jiang Si, perlahan-lahan memancarkan kilauan harapan." 　　"Bukan orang-orang yang mengejarnya, berarti mungkin dia tidak perlu mati begitu saja tanpa alasan jelas." 　　"Mengingat kejadian beberapa hari terakhir, wanita itu merasa seperti baru terbangun dari mimpi buruk, itupun mimpi buruk tanpa alasan yang jelas." 　　"Nama." 　　"Chu Chu." Wanita itu menyadari kesalahannya setelah menjawab, lalu memelototi Yu Jin dengan keras. 　　Yu Jin tetap berbicara dengan nada datar: "Saya petugas keamanan, berwenang membawa tahanan." 　　"Aku bukan tahanan!" 　　Yu Jin tersenyum: "Berwenang membawa orang yang saya curigai sebagai tahanan. Baik, jelaskan situasimu. Jika saya anggap tidak mencurigakan, kami akan melepasmu." 　　Chu Chu mengatupkan bibirnya, menahan amarah sambil menceritakan kemalangan yang dialaminya belakangan ini. 　　"Sejak kapan mulai terjadi?" 　　"Hari itu aku berkunjung ke Kuil Baiyun, sepertinya tanggal 28 bulan lalu... Ya, tepatnya 28 Agustus. Sejak hari itu selalu ada orang yang tiba-tiba menyerangku..." 　　Yu Jin tak sengaja menoleh ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si terlihat terkejut. 　　Sungguh kebetulan, ternyata di tanggal 28 Agustus itu Nona Chu Chu malah lebih sial darinya, sampai harus dikejar-kejar orang tanpa alasan jelas. 　　Jiang Si merasakan firasat aneh yang tak bisa dijelaskan, namun karena merasa wanita itu tidak berbohong, berkatalah: "Lepaskan dia." 　　Yu Jin tentu tidak berani mempermalukan Jiang Si, lalu memberi isyarat pada wanita itu untuk pergi. 　　Chu Chu tetap diam di tempatnya. 　　“Kenapa?” Yu Jin mengangkat alis dengan kesal. 　　Chu Chu menoleh ke Jiang Si: "Sudah datang sampai sini, bolehkah aku menumpang sementara di sini?" 　　Karakter Chu Chu diperankan oleh Lu Chu Chu dari grup pembaca. Sampai jumpa besok. 296.BAB 296 Seorang Gadis Penghibur 　　BAB 296 Seorang Gadis Penghibur 　　Sebelum Jiang Si sempat bicara, Yu Jin langsung memotong: "Tidak boleh!" 　　Ia berdiri, menatap Chu Chu dari atas dengan wajah tidak senang: "Jangan kau manfaatkan kebaikan hatiku tunangan ini untuk mengajukan permintaan keterlaluan. Kalau ada yang ingin membunuhmu, keberadaanmu bisa ketahuan kapan saja. Mau kau libatkan tunanganku dalam masalahmu? Lagipula di dunia ini tak ada yang tanpa sebab. Pasti ada alasan mereka memburumu." 　　Yu Jin tersenyum sinis: "Mungkin kau sendiri tahu, cuma pura-pura korban untuk mengiba belas kasihan." 　　"Aku tidak pura-pura. Salah satu pemburuku bilang 'karena kau dengar yang tak semestinya'. Aku sendiri tak tahu siapa mereka, mana mungkin aku paham..." Amarah di wajah Chu Chu memudar. Ia menggeleng dengan sinis, "Sudahlah, permintaanku memang keterlaluan. Ini memang bukan urusan kalian." 　　Perlahan ia bangkit, tersenyum getir pada Jiang Si: "Bagaimanapun, maafkan kejadian hari ini. Terima kasih sudah menolongku tadi." 　　Tanpa pamit atau menoleh ke Yu Jin, ia berjalan pelan menuju pintu. 　　Jiang Si menatap punggung Chu Chu yang pergi, dalam sekejap memahami pikiran aneh yang tadi terlintas: Jika perkataan Chu Chu benar, mungkinkah... mungkinkah dua pria di Kuil Baiyun itu tidak menyerah mencari orang yang menguping pembicaraan mereka, lalu karena alasan tertentu salah mengidentifikasi orang... 　　Pandangan Jiang Si pada Chu Chu tiba-tiba menjadi samar. 　　Jika tebakannya benar, bukankah Chu Chu yang menjadi tameng baginya? 　　Dengan pemikiran ini, tentu Jiang Si tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja meski nuraninya terbatas... 　　"Tunggu." 　　Langkah Chu Chu terhenti, ia menoleh. 　　"Kau bisa tinggal sementara di sini." 　　Yu Jin dan Chu Chu sama-sama terkejut. 　　"A Si--" 　　Jiang Si berbisik pelan: "Aku punya pertimbanganku, nanti akan kujelaskan." 　　Sebagai orang yang berani menyelinap ke kereta kuda orang asing, Chu Chu jelas bukan tipe lugu. Setelah ragu sebentar, ia menerima tawaran Jiang Si: "Aku berhutang budi, akan kubalas nanti." 　　Jiang Si agak malu menerimanya, menjawab datar: "Ikutlah." 　　Rumah ini berbentuk siheyuan kecil biasa. Kamar samping di kiri-kanan, ruang utama terdiri dari tiga bagian: ruang tengah untuk menerima tamu, kamar timur untuk tidur, kamar barat dijadikan ruang belajar. 　　Jiang Si langsung membawa Chu Chu ke kamar timur. 　　"Nona Chu Chu bisa beristirahat di sini. Sprei dan selimut ini baru diganti." 　　Chu Chu ragu: "Lalu kamu--" 　　Jiang Si tersenyum: "Tentu aku tidak tinggal di sini." 　　Chu Chu mengucapkan terima kasih, lalu duduk di tepi tempat tidur. 　　Jiang Si berbalik kembali ke ruang tengah menuangkan segelas air dan memberikannya pada Chu Chu: "Airnya sudah agak dingin, Nona Chu Chu harap maklum. Sebentar lagi akan kusuruh orang merebuskan air panas untukmu." 　　Melihat Chu Chu menghabiskan air yang tidak panas tidak dingin itu dalam sekali teguk, Jiang Si bertanya: "Kau terluka?" 　　Tangan Chu Chu terhenti, menggenggam gelas sambil tersenyum pahit: "Diterkam gerombolan anjing gila tak karuan selama berhari-hari, bisa selamat saja sudah syukur." 　　Jiang Si tidak yakin dengan dugaan itu, tentu tak bisa mengakui apa-apa. Setelah menghibur sebentar, ia segera mencari Yu Jin. 　　Setelah mengurus Chu Chu, masih ada Yu Qi yang menunggu penjelasan. 　　"Mari jalan-jalan di pekarangan." 　　Pepohonan di pekarangan mulai meranggas, daun-daun kering berjatuhan ditiup angin malam. 　　A Fei sedang merebus air di dapur, Lao Qin berjongkok di bawah pohon memikirkan sesuatu, sementara Leng Ying menghilang begitu saja bagai tak pernah ada. 　　Jiang Si dan Yu Jin berjalan menuju meja batu di bawah pohon. Lao Qin dengan sigap bangkit dan pindah berjongkok di pinggir tembok. 　　"Mengapa kau menahan orang itu?" Yu Jin menyandarkan kedua tangan di meja batu, badannya condong ke depan, matanya berkilat tajam. 　　Jiang Si memungut sehelai daun kering di meja batu dan memainkannya. Ia merasa penjelasan ini terdengar konyol, mungkin hanya di hadapan Yu Qi ia bisa bicara tanpa beban. 　　"Kuduga para pengejar Nona Chu Chu itu salah sasaran. Yang seharusnya mereka kejar mungkin adalah... aku." 　　Yu Jin ingin tertawa tapi tak punya mood, diam-diam melanjutkan mendengarkan. 　　Jiang Si meremas-remas daun kering di ujung jarinya lalu melemparkannya ke angin, bertanya pada Yu Jin: "Masih ingat aku bilang di Kuil Baiyun mendengar percakapan dua orang? Saat itu aku bersembunyi, kemudian berpikir, hari itu sedang hujan, meski sangat hati-hati tetap akan meninggalkan jejak. Jika dua orang itu menemukan jejak kakiku, pasti akan menduga yang mendengar percakapan mereka adalah wanita..." 　　"Jadi mereka menarget Nona Chuchu?" Yu Jin sesaat merasa Jiang Si overthinking. 　　Di dunia mana ada kebetulan seperti ini. 　　"A Si, jangan selalu memikul tanggung jawab sendirian." 　　Jiang Si menghela napas: "Tapi hari itu Nona Chuchu menyelamatkan Xiao Tong, menunjukkan kemampuan bela diri yang bagus. Jika dilihat dua orang itu sangat mudah disalahpahami. Bagaimanapun, selama ada kemungkinan ini, aku tak bisa diam melihat nasib Nona Chuchu." 　　Aku tidak membunuh Boren, tapi Boren mati karena aku. Dia tidak ingin menanggung dosa lebih. 　　"Baiklah, kalau mau menampung orang silakan. Kebetulan aku bisa menyelidiki lewat jalur ini. Jika pemburu Nona Chuchu benar dua orang yang kau dengar itu, mungkin bisa ketahui alasan mereka menjebakku." 　　Setelah membahas urusan Chuchu, Jiang Si teringat perkataan Yu Jin sebelumnya: "Ada gadis penghibur tewas di Sungai Jinshui?" 　　"Yu Jin sebelumnya tidak membahas kasus karena takut Jiang Si ketakutan, melihatnya bertanya akhirnya tidak menyembunyikan lagi: "Sampai saat ini sudah empat gadis penghibur yang menjadi korban, semuanya dari kapal hias kecil-menengah. Salah satunya pernah berselisih dengan Yingying, bintang utama Yanchun Ban. Malam ini aku mencari Yingying untuk menanyakan hal ini." 　　Jiang Si terkejut: "Empat gadis penghibur tebunuh bukanlah masalah sepele, malam ini bertemu nyonya rumah bordil tapi tidak melihat keanehan apapun." 　　Yu Jin tersenyum sinis: "Tentu saja mereka tidak ingin memperbesar masalah. Kasus pembakaran kapal hias belum lama ini menjadi kasus tak terpecahkan, jika ada lagi kasus gadis penghibur terbunuh, siapa yang berani bersenang-senang di tengah kepanikan." 　　Nyawa manusia seperti rumput, gadis penghibur di Sungai Jinshui yang mati langsung diikat batu dan dibuang ke sungai, bahkan menghemat tikar usang. 　　Namun bertepatan dengan kasus pembakaran kapal hias yang belum mereda, keluarga Yang dari Kediaman Menteri Ritus tidak rela kasusnya menggantung dan terus memantau. Begitu ada kasus pembunuhan, langsung melapor ke Zhen Shicheng, sehingga Yu Jin berkeliaran di Sungai Jinshui malam ini. 　　"Sudah larut, aku akan mengantarmu pulang. Untuk sementara jangan kemari lagi, hindari menarik masalah ke diri sendiri. Mengenai Nona Chuchu, akan kusuruh orang menjaganya." 　　"Kalau begitu aku akan beri tahu A Fei." 　　Orang yang menebus Yu'er kemungkinan besar adalah preman jalanan, A Fei mungkin punya petunjuk. Meski Jiang Si sudah meminta bantuan Yu Jin, dia tidak mau melepas kemungkinan sekecil apapun. 　　Yu Jin mengantar Jiang Si pulang lalu kembali ke istana pangeran, tapi menemukan Long Dan sudah lebih dulu kembali. 　　“Pulang begitu pagi?” Yu Jin mengangkat alis. 　　Menurut pengetahuannya tentang Long Dan, bukankah seharusnya dia baru melapor besok pagi? 　　Long Dan dengan ekspresi aneh: "Tuanku, hamba bertemu seorang gadis penghibur..." 　　"Hmm." Yu Jin mendengarkan tanpa ekspresi. 　　Ekspresi Long Dan semakin aneh: "Tuanku, gadis penghibur itu tampak... agak mirip Nona Jiang..." 　　Ekspresi Yu Jin langsung berubah serius: "Kapal hias milik siapa?" 　　Para sayangku, awal bulan ini suara bulanan sangat penting. Mohon berikan suara kalian! 297. BAB 297: BERKUNJUNG LAGI KE SUNGAI JINSHUI 　　BAB 297: BERKUNJUNG LAGI KE SUNGAI JINSHUI 　　Yu Jin langsung teringat perkataan Jiang Si: Ada dua orang yang ingin mengirim wanita mirip Imam Suci untuk mendekatimu... 　　Jangan-jangan wanita itu adalah gadis penghibur di Sungai Jinshui? 　　"Kapal hias milik siapa?" 　　Long Dan terkejut melihat ekspresi serius Yu Jin. 　　Hei, dia kira tuannya akan senang. Biasanya sulit bertemu Nona Jiang, setidaknya bisa menghibur diri dengan gadis penghibur. Kalau nanti menikah dengan Nona Jiang dan bertengkar, masih bisa melampiaskan amarah ke gadis penghibur... 　　Hmm, sepertinya pikiran ini kurang baik. 　　"Kelas Fufang yang rencananya tuanku kunjungi setelah Kelas Yanchun. Menurut germo, gadis itu baru datang dan masih perawan." 　　Yu Jin mengerutkan kening sambil melirik Long Dan. 　　"Anak ini semakin tidak tahu bicara, apa maksudnya dia pernah jalan-jalan ke Yanchun Ban dan berencana ke Fufang Ban? Itu namanya menyelidiki kasus!" 　　"Siapa nama gadis penghiburnya?" 　　"Qingqing. Kayaknya sang germo menjadikannya pohon uang, mempersiapkannya jadi primadona. Hamba bertanya lebih detail, si germo malah tidak senang..." Long Dan merengek sambil menarik-narik bajunya, "Baju kita ini cukup pantas, tapi si germo tetap memandang rendah..." 　　"Ambilkan setelan baju luar untukku." 　　Long Dan membawakan baju 80% baru untuk Yu Jin berganti. Melihat tuannya hendak pergi, ia bertanya: "Tuanku, hendak ke mana?" 　　"Ke Fufang Ban." 　　"Apa?" Long Dan menengok ke langit, heran, "Sudah larut begini, para gadis penghibur pasti sudah ditemani tamu..." 　　"Banyak mulut." Yu Jin melirik tajam ke Long Dan, lalu bergegas keluar. 　　Melihat itu, Long Dan segera menyusul. 　　"Kau tidak perlu ikut." 　　Long Dan: ?? 　　Membunuh keledai setelah penggilingan selesai, menyimpan busur setelah burung habis, memasak anjing setelah kelinci mati... Masih ada apa lagi? 　　Pinggir Sungai Jinshui masih terang bagai siang. Daun-daun willow di kedua tepi yang telah menguning seperti orang tua renta yang melambai lamban dalam angin malam, dedaunan yang berguguran kemudian terseret dalam pusaran wewangian bedak dan minyak wangi. 　　“Suara musik gesek dan tiup yang samar-samar, lampu-lampu berkelap-kelip di atas sungai, semuanya terwarnai nuansa romantis oleh aroma harum yang menyelimuti segala penjuru, menciptakan pemandangan musim semi abadi di tengah musim gugur ibu kota. 　　Berbagai kapal hias dan perahu bunga yang besar kecil telah berlayar meninggalkan tepian, bergoyang-goyang bebas di atas air. 　　Yu Jin dengan santai memanggil salah satu kapal pesiar yang sedang menunggu penumpang di tepi sungai. 　　Pengayuh perahu adalah seorang kakek yang tersenyum lebar: "Tuan Gong, mau ke mana?" 　　"Fu Fang Ban." Yu Jin enggan berbicara panjang lebar, hanya mengucapkan tiga kata dengan datar. 　　Si kakeg ternyata paham tata krama, mendengar jawaban itu tidak banyak bertanya lagi. Dengan terampil ia mengayuh perahu kecilnya dengan cepat. 　　Perahu itu meliuk di antara ratusan kapal, dan tak lama kemudian sudah mendekati kapal bunga yang menggantung lentera bertuliskan "Fu Fang Ban". 　　"Fu Fang Ban menyambut tamu!" teriak si kakeg sambil menghentikan perahunya. 　　Segera seseorang dari kapal bunga menyambut Yu Jin naik ke atas. 　　Sama seperti Yan Chun Ban, Fu Fang Ban adalah kelompok hiburan kelas menengah. Sang germo yang menyambut langsung tersenyum lebar melihat pakaian mewah Yu Jin, lalu dengan girang mengantarnya masuk. 　　Yu Jin duduk di aula utama, memainkan cangkir tehnya, tak menunjukkan minat pada tarian dan nyanyian di panggung tengah. 　　"Adakah nona yang menarik hati Tuan Gong?" Sang germo mendekat bertanya. 　　"Pertama kali ke sini." 　　“Kalau begitu, kebetulan primadona kami Fei Fei sedang tidak sibuk, bagaimana kalau dipanggil untuk menyanyikan lagu untuk Tuan Gong?” 　　Yu Jin mengangguk sedikit. 　　“Kalau begitu Tuan Gong silakan ke Ruang VIP, di sini terlalu ramai tidak nyaman untuk mendengarkan lagu.” 　　Baru saja Yu Jin duduk di Ruang VIP, tak lama kemudian seorang wanita berbaju selendang tipis masuk sambil memeluk pipa. 　　“Tuan Gong, ini adalah Fei Fei.” 　　Yu Jin menyapu pandangan malas ke arah Fei Fei. 　　Mata Fei Fei berbinar, ia tertawa manis dan mendekat: “Tuan ingin mendengar lagu apa?” 　　Sebuah tael perak melengkung di udara dan mendarap di pangkuan Fei Fei, suara pemuda yang lesu terdengar: “Sesukamu.” 　　Fei Fei tertawa genit, langsung meletakkan pipa di meja lalu mulai bernyanyi tanpa iringan. 　　“……Tangan meraba sutra pipi sang gadis, awan gelap terbang setengah langit; Tangan meraba depan kepala sang gadis, dahi yang molek penuh pesona……” 　　Ternyata ini Lagu Delapan Belas Sentuhan. 　　Yu Jin yang bertahun-tahun di kamp militer selatan sudah biasa mendengar lelucon mesum, mendengar lagu cabul pun wajahnya tetap tenang. 　　Saat Fei Fei selesai bernyanyi dan menggesekkan tubuh setengah lemahnya ke arahnya, ia mendorongnya dengan satu tangan dan berkata datar: “Tidak menarik, lebih baik aku ke aula utama menikmati tarian.” 　　Fei Fei tak berani menunjukkan muka masam pada tamu, hanya memandangi mucikari dengan wajah sedih. 　　Sang Madam tertawa: “Sepertinya Tuan Gong menyukai yang baru. Kebetulan sekali, di Kelas Fufang kami baru saja datang seorang nona, segar dan sangat cantik, langka karena masih perawan. Maukah Tuan Gong bertemu?” 　　Yu Jin mengangguk perlahan. 　　Tak lama kemudian tirai mutiara berdesir, masuklah seorang wanita berpostur ramping. 　　Sang Madam menyuruh Feifei pergi, menarik wanita itu ke depan Yu Jin: “Qingqing, angkat kepala untuk dilihat Tuan Gong.” 　　Wanita itu tampak enggan, menunduk tak bergerak. 　　Sang Madam mencubit wanita itu: “Suruhmu angkat kepala.” 　　Lalu tersenyum pada Yu Jin: “Mohon maaf Tuan Gong, Qingqing baru datang, belum paham adat.” 　　Yu Jin mengerutkan kening: “Memang tidak paham adat.” 　　Seorang gadis penghibur, berpura-pura malu-malu dengannya? Hanya buang-buang waktu. 　　Qingqing dan Sang Madam sama-sama tertegun. 　　Tuan Gong ini agak menyimpang dari kebiasaan. 　　Sang Madam cepat bereaksi, mendorong Qingqing: “Tidak dengar? Apakah kau bisu?” 　　Qingqing perlahan mengangkat kepala, wajah memelas dengan mata berkaca-kaca, lirih memanggil “Tuan Gong”. 　　Yu Jin menyipitkan matanya. 　　Jika dikatakan mirip Imam Suci A Sang, memang ada sedikit kemiripan. Tapi mereka pikir dengan ini bisa membuatnya tergila-gila? Entah orang-orang itu bodoh atau nekat. 　　“Memang cukup segar.” Yu Jin tersenyum, bertanya, “Bisa menyanyikan lagu? Misalnya Delapan Belas Sentuhan?” 　　"Wajah Qing Qing menjadi kaku, menundukkan mata berkata: 'Tidak bisa.'" 　　"Bisa menari?" 　　Qing Qing menggelengkan kepala. 　　"Kalau melayani suami?" 　　Qing Qing menunduk dengan malu merah tanpa bicara. 　　Yu Jin mencibir: "Tidak bisa apa-apa, apa aku harus menyanyi dan menari untukmu? Ibu rumah bordil, bawa pergi gadis penghibur ini, aku tidak ada minat." 　　Nyonya rumah bordil tertegun. 　　Tidak! Ini tidak sesuai rencananya! 　　"Tuan Gong, Qing Qing masih perawan, wajar jika pemalu, mohon dimaklumi..." 　　Yu Jin mencemooh: "Putri bangsawan saja bisa malu, kalau mau lihat wanita pemalu perlu ke sini?" 　　Setelah berkata demikian, dia langsung pergi meninggalkan nyonya rumah bordil. 　　Nyonya rumah bordil memberi isyarat pada Qing Qing, buru-buru mengejar: "Tuan Gong, Qing Qing tidak tahu diri telah merusak suasana, biar dia minta maaf. Qing Qing, cepat ke sini!" 　　Qing Qing berjalan sambil menunduk, menabrak pria mabuk yang tersandung. 　　Pria itu mengumpat, lalu matanya berbinar melihat wajah Qing Qing. Dia mendorong gadis penghibur di pelukannya dan menggenggam tangan Qing Qing: "Nyonya Liu, kapan datangnya gadis ini? Kenapa belum pernah kulihat sebelumnya?" 　　Qing Qing panik melihat ke nyonya rumah bordil, pandangannya juga menangkap Yu Jin yang tak jauh dari situ. 　　Yu Jin menyeringai tipis. 　　Sungguh membosankan, pantas opera-opera itu selalu tanpa inovasi. 　　Hmm, kalau dapat vote dari para beauty, Xiaoqi pasti tidak akan merasa bosan. 298. BAB 298 Umpan 　　BAB 298 Umpan 　　Yu Jin tetap tak berubah ekspresi, memandang dingin pertunjukan ini. 　　Qingqing pucat pasi memohon pada mama: "Mama——" 　　Sang mama buru-buru mendekat: "Tuan mabukkah?" 　　Qingqing segera melepaskan diri dan bersembunyi di belakang mama. 　　Suami itu cemberut: "Mama Liu, kau tidak adil. Punya barang bagus begini kenapa tidak segera kau tunjukkan padaku?" 　　"Tuan, Qingqing masih baru, belum pernah melayani tamu." 　　Pria itu terkekeh: "Gadis perawan ya? Aku paling suka. Ayo, temani aku minum di atas." 　　Melihat tangan besar pria itu menggapai, Qingqing menjerit ketakutan. 　　Pria itu kesal diganggu mama, mendorongnya lalu membuka tangan ke Qingqing: "Kemarilah, sayang." 　　Qingqing panik, tatapannya yang kebingungan tiba-tiba melihat Yu Jin yang diam mematung: "Tuan Gong tolong saya——" 　　Melihat Yu Jin, wajah pria itu berubah: "Kau siapa?" 　　"Penonton." 　　"Apa?" Pria itu tak paham, menggeram: "Aku peringatkan, perempuan ini milikku! Berani merebut, hati-hati nyawamu!" 　　Qingqing buru-buru bersembunyi di belakang Yu Jin: "Saya... saya sudah ditahan Tuan ini. Tuan cari saudari lain saja..." 　　"Justru kau yang aku mau! Enyah kau dari sini!" 　　Yu Jin dengan cepat minggir. 　　Suami itu terkejut, memandang Yu Jin dengan bingung dan lupa bereaksi. 　　Yu Jin tersenyum: "Tenang, aku belum membayar. Saudara silakan bertindak sesuka hati." 　　"Untung kau tahu diri!" 　　Melihat Yu Jin melewati suami itu menuju pintu keluar, Bawang menggigilkan bibirnya. 　　Kenapa orang ini tidak punya nyali sama sekali? Masih pantas disebut laki-laki?! 　　"Ayo, si cantik!" Suami itu menggendong Qingqing sambil tertawa mesum menuju tangga. 　　Qingqing memberontak mati-matian, namun orang-orang di aula sama sekali tidak memperdulikan kejadian ini. 　　Bawang bergegas mengejar Yu Jin: "Tuan Gong--" 　　Wajah Yu Jin berubah muram: "Aku ke sini untuk bersenang-senang, bukan main pahlawan. Tempat kalian Fufangban ini membosankan, lebih baik aku pindah tempat." 　　"Eh, Tuan Gong, Tuan Gong--" 　　Yu Jin sudah keluar, memanggil perahu kecil yang melintas di sungai dan melompat masuk. 　　Angin malam berhembus, aroma parfum menyengat membuat Yu Jin mengerutkan kening sambil tersenyum mendengar sumpah serapah Bawang. 　　Orangnya sudah dilihat, biasa saja. Aku sengaja tidak mau bekerja sama, lihat bagaimana mereka akan melanjutkan sandiwara ini. 　　Mengenai rencana membawa orang itu ke dekatku untuk memancing ikan besar di belakangnya? Malas aku melakukan hal yang terlalu bertele-tele itu. Banyak cara untuk mengungkap dalangnya, tak perlu memilih cara yang paling membuat mual. 　　“Coba pikirkan tadi sang ibu dan Qingqing berdekatan, Yu Jin langsung merasa jijik, dalam hati bergumam: Rugi, rugi, pulang harus mandi dua kali minimal.” 　　Di Fufang Ban, setelah pria itu menggendong Qingqing naik ke lantai atas, tiba-tiba bagian belakang kepalanya sakit dan langsung tidak sadarkan diri. 　　Sang ibu dan Qingqing saling memandang wajah di sebuah ruangan yang sepi. 　　Dari luar jendela terdengar suara canda samar-samar, saat ini sedang puncak keramaian di Sungai Jinshui. Nanti setelah beberapa saat lagi, para pria yang sudah puas menonton tarian dan agak mabuk akan memeluk gadis penghibur untuk menghabiskan malam bersama. 　　“Kemudahan sudah saya sediakan, kalau ikannya tidak mau memakan umpan ya sudah tidak ada cara lagi.” Sang ibu memecahkan kesunyian terlebih dahulu. 　　Qingqing mengatupkan bibir tanpa bicara. 　　Dari awal dia memang hanya pion, kalau tidak bisa terhubung dengan target misi, pasti ada yang lebih gugup darinya. 　　“Aduh, Nona Qingqing, kalau kamu memang tertarik pada Tuan Gong itu, tidak bisakah cari cara lain? Kamu tidak mau melayani tamu lain, tapi wajahmu justru sangat menggoda. Kalau begini terus, bukankah tamu-tamu Fufang Ban malah akan tersingkat semua?” Sang ibu menggerutu sambil menuangkan teh untuk dirinya. 　　Qingqing menopang dagu dengan satu tangan: “Menurut pengalaman Ibu, jangan-jangan Tuan Gong itu homoseksual?” 　　Sang ibu terkejut, hampir menyemburkan teh dari mulutnya. 　　“Dia sudah datang ke Sungai Jinshui, tidak mungkin bersikap dingin seperti itu.” Qingqing bergumam pelan. 　　Terhadap kecantikannya sendiri, dia masih cukup percaya diri. 　　“Hamba tidak tahu. Mungkin Tuan Gong itu kebetulan tidak menyukai keindahan alami bunga teratai.” 　　Qing Qing mengusap pipinya. 　　Yu Jin telah turun dari kapal dan pergi ke tempat sepi lalu memanggil: "Leng Ying." 　　Bayangan gelap muncul tanpa suara di hadapan Yu Jin. 　　"Kirim beberapa orang untuk memantau Fu Fang Ban, perhatikan siapa yang berhubungan dengan Qing Qing." 　　"Baik." Leng Ying mengiyakan lalu menghilang seperti bayangan. 　　Yu Jin menengadah, bulan sabit menggantung di langit, kurus dan sepi memancarkan cahaya redup. 　　Ia menghela napas perlahan seolah ingin mengeluarkan aroma bedak yang terhirup, lalu kembali ke kediamannya. 　　Pagi hari berikutnya, Yu Jin langsung pergi ke Jalan Songzi. 　　Di mulut Jalan Songzi tiba-tiba muncul lapangan penjual kue guihua. Yu Jin membeli sekotak, melihat kue lembut berwarna merah muda dan hijau muda itu tersenyum, berpikir A Si pasti menyukainya. 　　Saat tiba di depan rumah, baru ia sadar Jiang Si tak mungkin datang saat ini. Yang tinggal di dalam adalah orang lain, maka ia berdiri di depan pintu dan diam-diam menghabiskan kue itu. 　　Long Dan memalingkan pandangan. 　　Ia benar-benar tak mau mengakui ini adalah tuannya! 　　Setelah membersihkan sudut mulut, Yu Jin memberi isyarat pada Long Dan untuk mengetuk pintu. 　　Tidak ada penjaga di rumah itu. Biasanya hanya A Fei yang sesekali datang. Semalam Yu Jin memerintahkan Long Dan mengirim orang untuk "melindungi" Chu Chu, namun sebenarnya untuk memata-matai. 　　“Yu Jin tidak punya niat baik untuk berbelas kasihan, sama sekali tidak berbaik hati pada orang yang mungkin merepotkan Jiang Si.” 　　Pintu terbuka, Yu Jin masuk ke dalam. 　　Chu Chu sudah bangun, agak terkejut dengan kedatangan mendadak Yu Jin. 　　Yu Jin menunjuk kursi batu di bawah pohon: "Duduklah." 　　Chu Chu duduk di seberangnya. 　　“Bagaimana kondisi luka Nona Chu Chu?” 　　“Sedikit membaik.” Chu Chu tidak mengerti maksud pertanyaan Yu Jin, menjawab samar. 　　Dibandingkan dengan pemuda yang mood-nya tidak menentu ini, dia lebih suka berurusan dengan nona yang sempat disandera kemarin malam. 　　Tetap saja nona kecil yang lemah gemulai itu lebih membuat hati tenang. 　　“Syukurlah.” Yu Jin mengetuk-ngetuk meja batu dengan jarinya, ekspresinya seperti tertawa tapi tidak. “Aku punya usulan, Nona Chu Chu boleh mendengarnya.” 　　“Silakan.” 　　“Ada sekelompok orang yang tidak kau kenal mengejarmu, kau di tempat terang musuh di kegelapan. Dalam situasi seperti ini, meskipun lukamu sudah sembuh di sini, setelah keluar kemungkinan besar masih akan diincar?” 　　Chu Chu diam sejenak, tersenyum pahit: “Aku mengerti, kau merasa aku merepotkan kalian.” 　　Sungguh pria tak tahu malu ini, mengusir orang diam-diam di belakang tunangannya. 　　Tunangannya yang telah menyelamatkannya, dia bahkan belum tahu wajah asli sang penyelamat, sungguh disayangkan. 　　Yu Jin melambaikan tangan: “Sudah jelas ini merepotkan, jadi maukah kau bekerja sama denganku menyelesaikan masalah ini?” 　　Jika orang-orang yang mengejar Chu Chu sebenarnya menargetkan A Si, berarti mereka satu kelompok dengan orang di balik Qing Qing. Mungkin lebih mudah menyelidik dari sisi Chu Chu. 　　"Bagaimana cara kerjasamanya?" 　　"Kita umpan ular keluar sarang. Kau jadi umpannya, aku yang akan membereskan mereka." 　　Chu Chu memperhatikan ekspresi Yu Jin, melihatnya tidak sedang bercanda, bertanya curiga: "Kenapa mau membantuku seperti ini?" 299.BAB 299 Mulut usil suami 　　BAB 299 Mulut usil suami 　　Chu Chu tentu tidak percaya Yu Jin bertindak karena kebaikan hati 　　Lalu apa tujuannya membantu dirinya? Jangan-jangan tertarik pada kecantikannya? 　　Memandang wajah tampan Yu Jin, Chu Chu mengusap dagunya. 　　Kecantikan yang sebenarnya tidak dia miliki... 　　"Nona Chu Chu jangan overthinking. Ini bukan untukmu. Masalah sudah kau bawa, harus tuntas biar aku tenang. Gimana, setuju dengan usulanku?" 　　"Apa ada pilihan menolak?" 　　Yu Jin tersenyum manis: "Tentu ada, aku kan orang yang pengertian." 　　Chu Chu tersenyum sinis, jelas tidak percaya. 　　"Aku setuju." 　　Ngapain ditolak? Jadi umpan pun gapapa. Asal bisa mengungkap gerombolan gila itu, dia mau lakukan apa saja. 　　"Nona Chu Chu memang tegas!" Yu Jin bertepuk tangan senang, sudut matanya berbinar. "Tapi tolong jangan beri tahu tunanganku tentang rahasia ini." 　　Chu Chu menarik sudut bibirnya. 　　Di bawah atap orang lain, terpaksa menundukkan kepala - dia menahan diri! 　　Chu Chu melangkah meninggalkan Gang Songzi di bawah cahaya fajar. 　　Jalanan semakin ramai, kereta kuda berlalu-lalang, teriakan pedagang bersahut-sahutan, kemegahan ibu kota tak tertandingi oleh tempat lain. 　　Tapi Chu Chu berdiri di tepi jalan, memandangi kerumunan orang yang sibuk, hanya merasakan kepedihan dan kemarahan. 　　Dia benar-benar sial tujuh turunan sampai tanpa alasan terjebak masalah seperti ini. 　　Tunggu, sejak kecil sepertinya dia memang tak pernah beruntung, selalu jadi kambing hitam kesalahan orang, selalu jadi korban masalah orang lain... 　　Chu Chu mengusir pikiran buruk itu dari kepalanya, melangkah masuk ke kerumunan orang di bawah sinar pagi. 　　Fajar di Sungai Jinshui terasa lebih sepi, perahu-perahu bagai tertidur lelap, tak bergerak di tepian, hanya riak air yang diterpa angin membawa aroma berat yang mengendap. 　　Seorang pria berjanggut tebal menyelinap keluar dari kapal bunga Fu Fang Ban, lalu cepat-cepat masuk ke hutan kecil tak jauh dari tepian dan menghilang dalam sekejap. 　　Pria berjanggut itu berkelok-kelok, akhirnya bertemu dengan pria berjubah panjang di sebuah rumah tua yang terbengkalai. 　　"Bagaimana?" 　　Pria berjanggut menggeleng: "Gagal, ikannya tidak menyambar umpan." 　　"Tidak menyambar?" Pria berjubah panjang terkejut, "Bagaimana bisa?" 　　Pria berjanggut tebal itu pun menceritakan kembali apa yang didengarnya dari Qingqing. 　　Pria berjubah panjang mengusap pelipisnya, wajahnya berubah muram: "Ini tidak benar." 　　"Kenapa tidak benar?" 　　Pria berjubah panjang menatap pria berjanggut tebal: "Tidakkah kau merasa sikap Pangeran Ketujuh terlalu dingin? Jika itu kau, melihat wanita yang mirip dengan kekasih hatimu, apakah kau akan bersikap acuh tak acuh? Bahkan melihatnya dipermalukan pria lain pun wajah tetap tenang?" 　　Pria berjanggut tebal berpikir sejenak lalu mengangguk kuat: "Memang mencurigakan. Seorang pria sejati takkan bersikap demikian." 　　"Pasti ada sesuatu yang salah di sini." Pria berjubah panjang teringat sesuatu, wajahnya berubah pucat, "Kemarin malam wanita itu tiba-tiba menghilang. Jangan-jangan dia berhasil menghubungi Pangeran Ketujuh sehingga pangeran tahu rencana kita?" 　　Pria berjanggut tebal menepuk tangan: "Mungkin! Kemarin malam anak buah kita kehilangan jejaknya di Sungai Jinshui, kebetulan Pangeran Ketujuh sedang berada di sana." 　　"Sial! Susah payah mengatur pertemuan alami antara Pangeran Ketujuh dan Qingqing, ternyata dirusak oleh wanita itu!" raut wajah pria berjubah panjang menjadi kejam. 　　"Jika memang begitu, bukankah Qingqing sebagai bidak sudah tidak berguna lagi?" 　　Pria berjubah panjang berdiri: "Bagaimanapun juga kita harus temukan wanita itu dulu. Kali ini tangkap hidup-hidup. Jika dia belum menghubungi Pangeran Ketujuh, lanjutkan rencana. Jika sudah, kita buat strategi baru." 　　Pria berjubah panjang dan pria berjanggut tebal melintasi halaman berumput liar, lalu berpisah masing-masing. 　　Saat itu, keduanya tidak menyadari ada dua pria muda berpenampilan biasa yang masing-masing mengikuti mereka. 　　Yu Jin segera mendapat kabar. Ia berdiri di tepi jendela lantai dua sambil merenung sejenak, lalu memerintahkan Leng Ying: "Jangan dulu membuat ular berbisa kabur, cari sarang mereka terlebih dahulu." 　　Memusnahkan sampai ke akar-akarnya adalah keharusan. Berani menghitungnya, harus siap menanggung konsekuensinya. 　　Leng Ying menyatukan tinju, mundur dengan diam-diam. 　　Menjelang tengah hari, Long Dan naik ke lantai atas: "Tuanku, Nona Chuchu sudah diawasi orang." 　　Ruang utama lantai bawah kini sudah penuh sesak. Chuchu bersandar di jendela sambil makan, matanya terus awas mengawasi sekeliling dengan gugup. 　　Ia teringat perkataan Yu Jin: "Teruslah panik dan linglung seperti sebelumnya. Sikap masa bodohmu seperti mengundang musuh: 'Ayo serang, aku sudah siap perangkap!'" 　　Meski dihina, ia merasa perkataan pria itu ada benarnya. Hanya saja, berakting bukanlah keahliannya. 　　Akankah musuh menyambar umpan? 　　Chuchu gelisah. Sudut matanya tiba-tiba menangkap bayangan dua orang. Jantungnya berdebar kencang, lalu pelan-pelan mereda. 　　Mereka datang! 　　Beberapa hari terakhir ini ia bagai burung yang trauma panah, sangat peka terhadap aura para penguntit itu. 　　Syukurlah mereka datang. Asal Tuan Yu bisa membereskan mereka, ia akan segera bebas. 　　Entah mengapa, Chuchu yakin Yu Jin pasti bisa menyelesaikan masalah ini. 　　Kalau harus mencari alasan... Pria yang mau menemani tunangannya yang menyamar sebagai pria ke rumah bordil seharusnya tidak buruk, kan? 　　Dua meja orang perlahan bangkit, mendekati Chu Chu tanpa terlihat. 　　Chu Chu secara refleks menggenggam erat cangkir tehnya. 　　Ruangan utama ramai sekali, pengunjung berteriak-teriak tertawa, pelayan berseru menyebut nama hidangan, ditambah desis minyak dari dapur belakang dan suara bentakan. 　　Dua kelompok yang diam-diam mengepung Chu Chu saling pandang, wanita yang duduk di dekat jendela itu seolah sudah menjadi mangsa di cakar, tak bisa melarikan diri. 　　Heh, perempuan ini pikir dengan memilih penginapan ramai mereka tidak berani bertindak? Terlalu naif. 　　Chu Chu tiba-tiba meletakkan cangkir ke meja dan berlari pontang-panting. 　　Kedua kelompok tertegun sejenak, lalu segera mengejar. 　　Pelayan penginapan berteriak mengejar: "Hei, belum bayar--" 　　Begitu sampai di luar penginapan, Chu Chu sudah dikepung beberapa orang. Pertarungan segera terjadi. 　　Luka di tubuhnya akibat pengejaran berhari-hari ditambah jumlah lawan yang banyak membuatnya cepat terdesak. 　　Meski keamanan ibu kota lumayan baik, perkelahian di jalanan sering terjadi. Pelecehan terhadap gadis baik-baik di siang bolong bukan hal aneh. Melihat kejadian ini, sebagian orang menjauh menghindar, lebih banyak lagi membentuk lingkaran penonton, sementara sedikit yang berhati baik buru-buru memanggil petugas keamanan. 　　"Tuanku, bukankah sudah saatnya kita turun tangan? Nona Chu Chu tidak akan bertahan lama." 　　Yu Jin menggeleng: "Tidak perlu. Biarkan mereka berhasil." 　　Apa? 　　Long Dan heran melihat Yu Jin. 　　Tuanku, apakah pantas kau membohongi seorang nona pertama untuk mati dengan tidak tahu malu seperti ini? 　　Yu Jin bersandar di pagar sambil menonton keramaian dengan wajah tanpa ekspresi: "Kau belum menyadari? Kali ini lawan tidak berniat membunuh, tapi menangkap hidup-hidup." 　　"Jadi?" 　　Yu Jin memandang Long Dan dengan tatapan melihat orang bodoh: "Jadi biarkan Nona Chu Chu ditangkap saja, baru bisa melacak jejaknya." 　　Di bawah, Chu Chu menjerit kecil dan sudah kalah, namun bahkan setelah mulutnya ditutup dan diseret pergi, tak seorang pun muncul. 　　Matanya melotot menatap kedai minum, hatinya hanya punya satu pikiran: Dia benar-benar bodoh, seharusnya tahu lebih percaya babi betina memanjat pohon daripada percaya mulut busuk suami! 　　Sampai jumpa besok. 300. BAB 300 Menutup Jaring 　　BAB 300 Menutup Jaring 　　Chu Chu membenci sampai mati. Seandainya Yu Jin berdiri di hadapannya, mungkin dia akan menghunus belati dan menggoreskan tujuh delapan torehan di wajah tampan itu. 　　Tapi apapun kebenciannya, beberapa orang itu tetap membawanya pergi dari kedai, melewati satu lorong demi lorong, semakin masuk ke daerah sepi. 　　Sedikit harapan di dasar hati Chu Chu bagai nyala api diterpa angin kencang, 'pu' padam. 　　Dia benar-benar dikibuli oleh suami terkutuk itu. 　　"Denting angin menderu di telinga, membawa hawa dingin yang menyapu wajah, seperti pisau tumpul mengiris kulit lembut." 　　Orang yang membawanya akhirnya berhenti, melemparkannya ke tanah. 　　Saat itu kepala terasa pusing, seluruh tubuh terasa sakit tak tertahankan. 　　Chu Chu belum sempat pulih, suara pria sudah bergema dari atas kepalanya: "Akhirnya berhasil menangkap perempuan kecil ini, benar-benar merepotkan." 　　Secara refleks Chu Chu menengadah, terlihat pria berjanggut tebal yang memandangnya dengan tatapan garang seperti binatang buas. 　　Pria berjanggut tebal itu berjongkok, mencengkeram dagu Chu Chu: "Kepada siapa kau ceritakan pembicaraan yang kau dengar hari itu?" 　　Chu Chu menatap tajam pria berjanggut tebal itu, matanya memancarkan kebencian yang tak terucapkan. 　　Lagi-lagi omongan tak jelas ini, dia hampir gila, sebenarnya apa yang terjadi? 　　"Bicara!" Pria berjanggut tebal itu menambah tekanan jarinya, pipi putih gadis itu segera memerah. 　　Pria berjubah panjang berdehem ringan: "Kau mencengkeramnya seperti itu, mana mungkin dia bisa bicara." 　　Barulah pria berjanggut tebal itu melepas cengkeramannya. 　　Chu Chu memalingkan wajah ke arah pria berjubah panjang. 　　Dibandingkan dengan kekasaran pria berjanggut tebal, pria berjubah panjang ini berpenampilan elegan seperti pelajar, namun matanya yang dingin seperti ular berbisa membuat hati Chu Chu benar-benar jatuh. 　　Menurut naluri, ini adalah pria yang jauh lebih kejam. 　　Tanpa ada lagi rasa berharap, Chu Chu menyunggingkan senyum sinis: "Aku tidak mengenal kalian, juga tidak mendengar ucapan apa pun, jadi kurasa kalian salah orang. Sayangnya, kalian telah membuang banyak waktu untukku. Jangan harap bisa menemukan orang yang benar-benar mendengar pembicaraan kalian..." 　　"Mulutmu lancang!" Pria berjanggut tebal itu menampar Chu Chu. 　　Chu Chu malah tertawa lebih keras: "Orang itu akan menyebarkan rahasia yang kalian takuti. Aku yakin kalian para anjing gila ini pasti akan celaka..." 　　Selama tindakan orang itu merugikan mereka, dia rela jadi kambing hitam. Bagaimanapun, tak boleh menguntungkan para bajingan ini. 　　Pria berjanggut tebal itu menatap pria berjubah panjang. 　　Jangan-jangan mereka memang salah tangkap? 　　Pria berjubah panjang itu tersenyum seperti ular berbisa: "Coba beri siksaan dulu, lihat apakah ini salah tangkap atau sekadar mulut keras." 　　Sebuah baskom berisi bara api didekatkan. Pria berjanggut tebal itu menjepit bara membara dengan penjepit, menyeringai ke Chu Chu: "Masih tetap tidak mau bicara?" 　　Mata Chu Chu berkedip ketakutan, seluruh tubuhnya gemetar, tapi dia tahu tak bisa menghindar. 　　Dia pun ingin berbicara, tapi apa yang bisa diucapkan? 　　Selama bertahun-tahun jadi kambing hitam, beban kali ini paling berat. Tak sanggup lagi ditanggung. 　　Seolah merasakan hawa panas itu, Chu Chu menutup matanya. 　　Terdengar jeritan kesakitan. 　　Chu Chu segera membuka mata. Pria berjanggut tebal itu sedang melompat-lompat memegangi kaki, penjepit api terjatuh. 　　Pria berjubah panjang langsung bereaksi, berbalik badan dan berlari. 　　"Sayang sudah terlambat!" Long Dan menggenggam kerah bajunya seperti memegang anak ayam, melepas rahang bawah untuk mencegah bunuh diri, lalu tertawa: "Kukira sehebat apa. Kejam sekali pada nona kecil, kalian benar-benar sok jago." 　　Pria berjanggut tebal tak sengaja melihat rekan-rekannya yang tergeletak di luar jendela, wajahnya berubah pucat. 　　Habis! Dibabat habis sekaligus! 　　Tak mau menyerah, ia meneriakkan pekikan sambil mengayunkan tongkat besi ke arah Leng Ying. 　　Keduanya langsung bertarung sengit. 　　"Bisa bangun?" Suara dingin pemuda itu terdengar dari atas. 　　Chu Chu tertegun, melihat wajah tampan dengan garis tegas itu, amarahnya meluap. Ia melompat dan menyambar pipi pemuda itu. 　　Yu Jin mengernyit menghindar, suaranya berat: "Sudah cukup! Kau pikir aku tak mau memukul perempuan?" 　　"Kau... penipu busuk..." Chu Chu menggigil marah. 　　Yu Jin menyeringai: "Ini satu-satunya cara untuk mengakhiri masalah." 　　Chu Chu tak bisa membalas. Tapi saat teringat rasa takut dan putus asa tadi, ingin rasanya ia menangis keras. 　　Dosanya apa sampai begini?! 　　KRAK! Tangan pria berjanggut tebal itu patah. 　　Ia menjerit kesakitan. Tapi alih-alih memukul Leng Ying, tongkat besinya justru menghantam kepalanya sendiri. 　　PLUK! Kepalanya pecah seperti semangka, merah putih meleleh, cairan keruh menyembur kemana-mana. 　　Chu Chu memalingkan muka dengan wajah pucat pasi. 　　Leng Ying menunduk melihat, lalu berkata pada Yu Jin: "Tuanku, orang ini sudah mati." 　　Yu Jin mendekat, menghindari genangan darah yang mengalir di tanah sambil mengamati mayat pria berjanggut tebal itu. 　　Pria perkasa ini memilih bunuh diri dengan tegas, pasti memiliki latar belakang yang tidak sederhana. 　　Setelah mengamati sejenak, Yu Jin memberi perintah: "Lepaskan pakaiannya dan periksa seluruh tubuh." 　　Leng Ying langsung mulai bekerja tanpa bicara, tatapan Chu Chu pada Yu Jin tiba-tiba berubah. 　　Ini pasti orang gila? Mayat pun masih mau ditelanjangi? 　　Melihat Leng Ying sudah melepas mantel luar pria berjanggut itu, Chu Chu membersihkan tenggorokannya. 　　Yu Jin meliriknya, berkata tanpa rasa bersalah: "Maaf, aku lupa kau perempuan. Kau bisa menunggu di halaman dulu." 　　Chu Chu menggelengkan kepala lalu keluar. 　　Tak lama kemudian pria berjanggut itu sudah telanjang bulat. Setelah memeriksa, Leng Ying menggeleng pada Yu Jin: "Tuanku, tidak ada tanda khusus." 　　Yu Jin tampak kecewa. 　　Orang-orang yang mengejar Chu Chu ini memang sama dengan kelompok yang tak sengaja diusik A Si. Mereka yang tahu rumor kekagumanku pada Imam Suci pasti terkait dengan wilayah selatan. Kebiasaan masyarakat Perbatasan Selatan kebanyakan memiliki tato, terutama pria dewasa. Tapi pria berjanggut ini justru bersih dari tato. 　　Yu Jin memandang pria berjubah panjang yang ditahan Long Dan. 　　Untung masih ada tawanan hidup, mungkin bisa diinterogasi. 　　"Bawa dia kembali untuk diinterogasi, rapikan tempat ini." 　　Setelah memberi instruksi, Yu Jin berbalik dan keluar. 　　Chu Chu berdiri di halaman, bingung melihat sekelilingnya orang-orang yang berserakan tak tahu hidup mati. 　　Sebenarnya apa identitas Tuan Yu itu? 　　"Aku akan menyuruh orang mengantarmu kembali ke Gang Songzi." 　　Chu Chu tersadar dari lamunannya, bertemu tatapan tenang pemuda itu, hatinya berdesir. 　　Dia bahkan baru saja menyuruh orang menanggalkan pakaian mayat... 　　"Karena masalahnya sudah selesai, aku tidak akan mengganggu lagi." 　　"Tidak boleh." 　　Chu Chu terkejut. 　　"Jika Nona Chu Chu pergi begitu saja, aku tidak bisa memberi penjelasan pada tunanganku." 　　Chu Chu mengerutkan kening: "Tuan Yu bisa pura-pura tidak tahu, anggap saja aku pergi tanpa pamit." 　　Nasibnya memang selalu sial, lebih baik menjauh dari orang yang jelas-jelas membawa masalah besar seperti ini. 　　Yu Jin tampak terkejut: "Nona Chu Chu menyuruhku berbohong pada tunanganku?" 　　Chu Chu: "... " Memang dia sial! 　　Jiang Si mengingat pesan Yu Jin untuk tidak keluar rumah, menunggu kabar dengan cemas. 　　Orang yang bisa diandalkan masih terlalu sedikit. Baik informasi tentang orang yang menebus Yu'er maupun keberadaan kakak Yu'er, semuanya harus menunggu kabar dari Yu Jin dan A Fei. Mencari orang bukan hal mudah, kadang butuh keberuntungan. 　　Saat menerima kabar dari Yu Jin, Jiang Si buru-buru bersiap keluar, tapi menemui masalah. 　　Hongyue, dayang utama yang menghilang saat menemani Nyonya Xiao Istri Kedua berziarah ke Kuil Baiyun, dikembalikan orang. 　　Minta dukungan vote. 301. BAB 301 Nasib Malang 　　BAB 301 Nasib Malang 　　Yang mengembalikan dayang utama Hongyue adalah mandor dari Kementerian Ritus. 　　Mandor Kementerian Ritus berdiri di Ruang Penerimaan Keluarga Dongping Bo, berbicara lancar: "Kebetulan juga, anak lelaki hamba yang tidak berguna semalam pergi ke Sungai Jinshui, di sebuah kapal hias bertemu nona Hongyue ini. Si nona ini menangis minta tolong, mengaku sebagai dayang dari istri kedua di kediamanmu. Karena iba hati, anak hamba pun menebusnya. Jika benar ini dayang dari rumahmu, berarti kami telah berbuat kebajikan..." 　　Mandor itu mengamati beberapa tuan di Ruang Penerimaan sambil tersenyum: "Mungkin Ibu Suri dan Nyonya bisa mengidentifikasi, apakah ini benar dayang dari rumahmu?" 　　Wajah Nyonya Xiao Istri Kedua pucat pasi. Seandainya mandor Kementerian Ritus tidak ada, pasti dia sudah menyiksa gadis yang gemetaran berlutut di lantai itu sampai mati dan membuangnya ke kuburan massal. 　　Dayang terkutuk ini! Masih berani pulang setelah terperosok ke tempat kotor seperti Sungai Jinshui? Seharusnya dia bunuh diri dengan mencebur ke sungai! Sekarang malah dibawa orang kembali, bagaimana citraku di mata orang? 　　Seorang nyonya bangsawan dengan dayang pribadi terjebak di rumah bordil – betapa memalukan gunjingan orang nanti. 　　Apalagi jika sampai terungkap peristiwa penculikannya dulu... Xiao Shi menggigil, rasa takut menyebar dari dasar hatinya. 　　Tahun ini benar-benar sial, semua hal selalu salah arah. 　　Ekspresi Nyonya Feng bahkan lebih suram dibaripada Xiao Shi. Melalui wajah bermuramandirin mandor Kediaman Wakil Menteri Ritus yang dipenuhi senyum palsu, seolah melihat ejekan dan keceriaan jahat yang tak berujung. 　　Rupanya musibah penculikan Xiao Shi belum berakhir. Tidak, mungkin ini baru permulaan... 　　Pikiran ini tiba-tiba melintas di benak Nyonya Feng, semakin menguatkan tekadnya. 　　Beliau meraih cangkir teh berhias bunga di sampingnya, meniup daun teh yang mengapung lalu menyesap dua kali. Perlahan meletakkan cangkir kembali, suaranya bergetar kesal: "Omong kosong perempuan penghibur dari kapal bunga pun kalian percayai? Kami tak mengenal orang ini. Tidak mungkin ada dayang Keluarga Bo yang dijual ke Sungai Jinshui. Segera bawa pergi nona ini!" 　　Menjual pelayan yang berkesalahan melalui calo memang biasa, tapi keluarga terhormat takkan menjual orang ke tempat kotor seperti itu. Tindakan semacam itu melanggar tata krama dan tak bermoral, hanya akan memancing gunjingan. Apalagi Hongyue bukan sekadar dijual ke rumah bordil, ini menyangkut reputasi Xiao Shi. 　　Bagaimanapun juga, orang ini tak boleh diakui! 　　Begitu Nyonya Feng bersuara, hati Xiao Shi yang sempat cemas perlahan tenang. 　　Memang tak pantas baginya untuk menolak pengakuan ini secara langsung. 　　Masalah ini sengaja diarahkan padanya. Menghindari kecurigaan saja tak cukup, apalagi Hongyue adalah putri satu-satunya Dayang Xiao. Jika hari ini ia membuka mulut, Dayang Xiao yang telah mendampinginya puluhan tahun ini mungkin akan kecewa dan menjauh. 　　Gadis yang berlutut di tanah mendongak tiba-tiba, memandang Nyonya Feng dengan rasa tak percaya. Yang terlihat adalah wajah tua tanpa ekspresi, setiap keriput di wajahnya memancarkan kekejaman. 　　Ia termenung sejenak, seolah teringat sesuatu, lalu merangkak ke arah Xiao Shi: "Istri utama, hamba ini Hongyue—" 　　Xiao Shi tetap diam dengan wajah kaku. 　　Nyonya Feng menghentakkan tongkatnya ke lantai: "Usir wanita yang bicara ngawur ini!" 　　Dua orang nenek segera menyergap, menutup mulut Hongyue dan menyeretnya keluar. 　　Hongyue memberontak mati-matian, kedua matanya yang besar menatap tajam ke arah Xiao Shi. 　　Xiao Shi diam-diam memalingkan pandangan. 　　Mandor dari Kementerian Ritus tersenyum: "Tak disangka ini cuma salah paham, saya minta maaf pada Ibu Suri." 　　"Tak apa, Putramu juga sedang berbuat kebajikan." Nyonya Feng paham maksud kedatangan mereka adalah untuk mempermalukan, namun tak bisa menunjukkan kemarahannya. 　　Jika masalah Hongyue ini dibesar-besarkan, bagi Dongping Bo Residence akan menjadi pedang tergantung di atas kepala. 　　"Boleh tahu ke mana pelayan kediamanmu membawa nona itu? Orang itu dibeli putra hamba, kalau memang bukan orang sini, lebih baik saya bawa pulang. Sejujurnya, putra hamba cukup puas dengan nona itu. Daripada jadi selir karena berasal dari Sungai Jinshui, lebih baik dijadikan pelayan kamar..." 　　"Nyonya Feng tersenyum dipaksa, berkata pada nenek di sampingnya: "Pergilah cari nona itu kembali. Karena sudah dibeli orang Kediaman Wakil Menteri, kalau sampai ada yang terluka di kediamanan kita ini akan merepotkan."" 　　Menerima isyarat mata dari Nyonya Feng, sang nenek kaget, punggungnya langsung basah oleh keringat dingin. 　　"Hmm?" 　　Nenek itu tersadar, menjawab "Baik" lalu bergegas keluar. 　　Mandor dari Kediaman Wakil Menteri Ritus tersenyum menunggu, di mata Nyonya Feng jelas terlihat sedang menertawakan kemalangan Keluarga Bo. 　　Dalam hati Nyonya Feng mencibir dingin. 　　Mau menggunakan Hongyue untuk menjerat Keluarga Bo dan menertawakan kami? Perhitunganmu terlalu muluk! 　　Tak lama kemudian, sang nenek berlari terburu-buru dengan wajah pucat: "Ibu Suri, nona itu tiba-tiba melepaskan diri dan terjun ke kolam taman... Saat diangkat sudah tak bernyawa..." 　　Nyonya Feng menggeleng-geleng, mendesah pada mandor Kediaman Wakil Menteri Ritus: "Sungguh disayangkan. Berapa tebusan yang dikeluarkan putramu? Karena ini terjadi di Keluarga Bo, kami akan mengganti kerugiannya..." 　　Sang mandor dalam hati mengutuk "Tua bangke licik!", tersenyum palsu: "Ibu Suri terlalu baik. Uang tak bisa hamba terima, jenazahnya pun hamba serahkan sebagai duka cita. Hamba pamit." 　　"Hati-hati di jalan." 　　Begitu mandor itu pergi, Xiao Shi mengeluarkan suara berisik - tanpa sengaja menjatuhkan cangkir teh di sampingnya. 　　Nyonya Feng melirik Xiao Shi, mengerutkan kening dalam: "Urusan sisanya kau tangani sendiri, jangan sampai jadi bahan tertawaan lagi!" 　　Xiao Shi ini semakin sial saja. Bisa jadi dialah penyebab kemalangan cucu sulung dan cucu perempuan kedua. Rupanya pengelolaan rumah tak bisa diserahkan padanya lagi. 　　Menyerahkan hak mengurus rumah tangga ke Nyonya Guo? Nyonya Feng bahkan tak mau mempertimbangkannya. 　　Meski Xiao Shi banyak kekurangan, setidaknya putra keduanya adalah anak kandung. Sedangkan putra ketiga hanyalah anak selir. Rupanya urusan pernikahan ulang putra sulung tak bisa ditunda lagi. 　　Pikiran ini kembali muncul di benak Nyonya Feng. Ia menyuruh dayang kepercayaannya untuk memanggil semua anggota keluarga ke Cixintang. 　　Ah Man yang selalu dapat informasi cepat, membuat Jiang Si sudah tahu kejadian di depan. Saat tiba di Cixintang, wajahnya tenang tapi hati resah. 　　Akibatnya, rencana keluar rumah jadi tertunda. 　　Melihat anggota keluarga sudah hampir lengkap, Nyonya Feng bersabda: "Belakangan rumah ini sering mendapat masalah. Mulai hari ini kalian semua tinggal di rumah saja. Jika ada keperluan, harus minta izin padaku dulu." 　　Jiang Si dalam hati berkeluh "celaka", lalu menjawab bersama Jiang Qiao dan lainnya: "Baik." 　　Masalah Bulan Merah tetap menjadi gosip di luar. Untungnya tanpa bukti, orang-orang hanya menganggapnya lelucon. 　　Ada yang percaya, ada pula yang mencemooh. 　　Nyonya Feng kesal nama Keluarga Bo kembali jadi bahan gunjingan, tapi tahu ini sudah hasil terbaik. Dalam hati kembali memarahi Xiao Shi. 　　Tuan Jiang Kedua yang pulang ke rumah mendengar kabar ini, awalnya marah pada Xiao Shi, lalu beralih ke Keluarga Utama. 　　Semua masalah ini disebabkan oleh Jiang Zhan. Keluarga Menteri Ritus beserta beberapa keluarga lainnya jelas-jelas menganggap Keluarga Bo sebagai duri dalam daging. 　　Tuan Jiang Kedua yang sedang kesal langsung menuju ke ruang belajar. 　　Sementara itu, Nenek Xiao - tangan kanan Xiao Shi - akhirnya mengetahui kabar tentang kematian putrinya. 302. BAB 302 Akar Malapetaka 　　BAB 302 Akar Malapetaka 　　Sejak Hongyue menghilang, Nenek Xiao terus gelisah. Xiao Shi juga merasa tidak nyaman berhadapan dengannya, akhirnya mengizinkannya beristirahat. 　　Semakin banyak waktu luang justru membuat pikirannya semakin kacau, kondisi mentalnya pun memburuk. 　　Nenek Xiao sama sekali tidak tahu tentang kedatangan mandor dari Kediaman Wakil Menteri Ritus yang membawa Hongyue, apalagi kabar kematian putrinya. 　　Mungkin karena ikatan batin ibu-anak, dia tertidur lemas tanpa makan malam dan tiba-tiba mengalami mimpi buruk. 　　Dalam mimpi itu, putrinya mengenakan pakaian persis seperti saat menemani Nyonya Kedua keluar rumah, dengan bunga sutra baru di sisiran rambutnya. Putrinya terombang-ambing di air berkilauan, setiap kali muncul ke permukaan selalu menangis: "Ibu, Hongyue kedinginan... Ibu, Hongyue ingin pulang..." 　　Nenek Xiao langsung terduduk tegak, keringat dingin mengucur deras di dahinya, jantung berdebar kencang. 　　"Hongyue, Hongyue..." Semakin dipikir semakin takut, dia menyelonjorkan sepatu dan mendorong pintu keluar. 　　Hari lebih cepat gelap dibanding musim panas. Saat ini langit telah kelam, semburat jingga terakhir di ufuk pun menghilang. Bulan sabit menggantung sunyi di angkasa, embun beku menyelimuti tanah. 　　Angin sejuk menerpa leher Nenek Xiao, membuatnya menggigil kaget dan tersadar, menghentikan langkah menuju kamar utama Yaxinyuan. 　　Belakangan ini Nyonya Kedua juga sedang murung, jika ia terlalu banyak bicara, jangan-jangan Nyonya Kedua marah dan Putrinya semakin tak bisa pulang... 　　Meski tahu harapan Putrinya kembali tipis, Nenek Xiao masih menyimpan secercah angan-angan. Mimpi ini membuat pikirannya kacau. 　　Sejak lahir Putrinya sudah montok, wajahnya lebar dan bulat seperti bulan purnama, jelas terlihat pembawa keberuntungan. Karena itu dinamai Hongyue. 　　Hongyuenya yang penuh berkah ini pasti tak mungkin celaka. 　　Tanpa sadar Nenek Xiao berjalan ke taman, berlutut di samping pepohonan bunga, lalu bersujud ke arah bulan. 　　"Dewi Bulan, lindungilah putriku Hongyue. Apapun yang terjadi, asalkan dia tetap hidup..." 　　Setelah bersembahyang, Nenek Xiao langsung duduk di tanah, bersandar pada pepohonan sambil termenung lesu. 　　Tanpa sang Putri, ia sama sekali tak ingin kembali ke kamar itu. 　　Entah berapa lama, makin larut malam. Bayangan-bayangan gelap bergerak-gerak di sekeliling taman, bagaikan hantu. 　　Derap langkah samar terdengar. 　　Nenek Xiao tersentak, refleks menyembunyikan diri lebih dalam. 　　Tak lama kemudian langkah kaki berhenti tak jauh darinya, disusul suara cekikan nona kecil: "Kakak, aku takut--" 　　Nenek Xiao menyondongkan telinga. 　　“Saya melihat... Orang yang datang hari ini adalah Kak Hongyue...” 　　Suara lain memotong dengan panik: “Cepat diam! Kalau majikan dengar kau membicarakan ini, pasti akan mencabut lidahmu!” 　　“Kakak, aku benar-benar takut...” 　　“Takut apa? Siapapun itu, mati tenggelam di kolan itu sudah takdirnya. Apa hubungannya denganmu?” 　　Suara si gadis kecil semakin gemetar: “Kakak, aku melihat sendiri Ibu Feng yang melayani Ibu Suri membawa orang untuk menenggelamkan Kak Hongyue... Bagaimana kalau... kalau kita berbuat salah nanti, apakah kita juga akan...” 　　“Benarkah?” 　　“Be-benar... Hiks——” Mulut si gadis kecil ditutup paksa. 　　“Sialan! Bawa rahasia ini ke kuburanmu! Jangan berani cerita ke siapa pun!” 　　Suara retakan pecah mengiris kesunyian taman yang gelap. 　　Tak lama kemudian terdengar derap langkah tergesa menjauhi tempat kejadian. 　　Di balik semak, gelang giok Nenek Xiao patah berkeping-keping masih terkepal di tangannya, wajahnya lebih pucat dari bulan dingin di langit. 　　Hongyue mati? 　　Ditenggelamkan di kolam oleh Ibu Feng dengan bantuan orang? 　　Mengapa setiap katanya bisa dimengerti, tapi ketika disatukan justru tak masuk akal? 　　Pasti dua si bedebah itu iri melihat Hongyue-nya dihormati majikan, sampai tega mengutuk putrinya dengan omong kosong keji seperti itu! 　　Nenek Xiao mengusap sudut matanya, ketika tersadar sudah berdiri di depan pintu kamar utama Yaxinyuan. 　　"Nenek Xiao, sudah larut begini, ada perlu apa?" Dayang penjaga pintu yang melihatnya langsung menghindari kontak mata. 　　Dulu Nenek Xiao bisa berjalan dengan sombong di Yaxinyuan, tapi kematian Hongyue hari ini membuat dayang kecil ini ragu. 　　Meski sebagian besar anggota Keluarga Bo mengira Hongyue bunuh diri dengan melompat ke kolam, Ibu Suri yang sudah mendengar kabar itu tetap menolak mengakui - hanya Nenek Xiao yang masih dikaburkan. 　　"Saya mau bertemu Nyonya." Wajah Nenek Xiao tak menunjukkan gejolak saat menjawab, tapi tangan di belakang punggungnya gemetar tak terkendali. 　　Dayang kecil itu buru-buru masuk melapor. 　　Xiao Shi awalnya hendak menolak bertemu, tapi segera berubah pikiran. 　　Bagaimanapun Keluarga Bo menyangkal ke luar, di dalam rumah kematian Hongyue mustahil disembunyikan. Lebih baik Nenek Xiao mendengar langsung darinya daripada dari orang lain yang bisa merenggangkan hubungan tuan-hamba. 　　Begitu masuk, Nenek Xiao langsung bersujud di hadapan Xiao Shi. 　　"Nenek Xiao, cepatlah bangun." 　　Nenek Xiao tetap berlutut: "Nyonya, hamba bermimpi melihat Hongyue..." 　　Wajah Xiao Shi berubah sejenak, lalu ia menghela napas dan sendiri membantu Nenek Xiao berdiri. 　　“Nenek Xiao, sebenarnya sudah lama ingin memberitahumu, tapi aku khawatir kau takkan sanggup menerimanya, jadi sengaja disembunyikan…” Xiao Shi menghindari inti masalah saat menceritakan kejadian siang hari. 　　“Orang beruban mengantar yang berambut hitam adalah kesedihan terbesar. Nenek Xiao, aku mengerti perasaanmu. Tenanglah, aku takkan membiarkanmu hidup tanpa sandaran di masa depan. Mengenai Ibu Suri… jangan salahkan beliau, beliau berusaha menjaga reputasi Keluarga Bo dengan tidak mengakui Hongyue, awalnya berencana mengurus keluarga Kediaman Wakil Menteri dulu baru diam-diam menempatkan Hongyue, siapa sangka Hongyue ternyata sekeras itu—” 　　Perkataan sudah jelas, jika Nenek Xiao ingin menyalahkan, salahkanlah Ibu Suri. 　　Ini justru baik, kebencian Nenek Xiao pada Ibu Suri akan membuatnya lebih tulus dalam bekerja untuknya nanti. 　　Mendengar kata-kata Xiao Shi, Nenek Xiao melolong keras, tapi dalam hati tertawa dingin berulang kali. 　　Ia membenci Ibu Suri yang memerintahkan pembunuhan putrinya, lebih lagi membenci Xiao Shi yang hanya menjadi penonton. 　　Sudah lebih dari dua puluh tahun ia melayani Xiao Shi dengan setia, tapi satu-satunya putri malah berakhir seperti ini. 　　Padahal Xiao Shi yang membawa putrinya pergi, penjahat yang ingin menculik juga Xiao Shi, hanya karena putrinya seorang pelayan yang nasibnya hina, akhirnya semua selamat kecuali putrinya? 　　Ini tidak adil! 　　Nenek Xiao menyembunyikan kebencian membara dalam hatinya di balik ratapan. 　　Tunggu saja, suatu hari nanti Xiao Shi akan merasakan bagaimana kehilangan putri sendiri! 　　Pertemuan terakhir dengan sang Putri tentu tidak terjadi, Nenek Xiao mengusap air mata sambil berjalan ke kolam di taman. 　　Yu Jin membawa Er Niu memanjat tembok, begitu mendarat anjing itu langsung berlari kencang ke satu arah. 　　Yu Jin mengejar sambil mengutuk dalam hati: Buat apa lari secepat itu? Tidak tahukah ini pertama kalinya dia memanjat tembok untuk menemui A Si, masih agak malu-malu? 　　Kemudian Pangeran Ketujuh Yu Qi yang sedang malu-malu itu dibawa Er Niu ke tepi kolam. 　　Cahaya bulan redup, bayangan pepohonan berlapis-lapis, permukaan kolam memantulkan kilau dingin. 　　Nenek Xiao perlahan menoleh, wajah tua pucatnya tiba-tiba menampak di pandangan Yu Jin. 　　Sialan, pulang nanti dia akan menyembelih anjing sialan Er Niu ini! 　　Selamat pagi. 303.BAB 303 Ada satu hal penting 　　BAB 303 Ada satu hal penting 　　Menghadapi kemunculan mendadak manusia dan anjing ini, Nenek Xiao menatap kosong lalu menunduk kembali merenung ke kolam. 　　Bagi Nenek Xiao yang sedang berduka kehilangan putri, kemunculan Yu Jin dan Er Niu hanyalah halusinasi. 　　Yu Jin bingung. 　　Dia sedang merencanakan apakah akan membungkam saksi atau membunuh saksi, tapi kenapa nenek tua ini malah mengabaikannya? 　　Er Niu menggigit ujung celananya saat melihat majikan tak bereaksi. 　　Mau bunuh nenek tua ini atau tidak, Tuan tolong beri isyarat. 　　Yu Jin tersadar, dengan wajah dingin membuat gerakan melingkar dengan tangannya. 　　Er Niu langsung panik. 　　Tuan rumah ternyata akan menghukum dengan menyita satu baskom tulang berisi daging! 　　Anjing Besar mengibaskan ekornya dengan lesu sambil berlari ke suatu arah. 　　Yu Jin melangkah mengikuti, berjalan beberapa langkah lalu berbalik, lalu menampar Nenek Xiao hingga pingsan. 　　Hmm, sekarang jadi lebih tenang. 　　Er Niu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, dengan lihai menyelinap masuk ke Haitangju. 　　Yu Jin merasa agak kecut: Ternyata Er Niu lebih mengenal kamar tidur pribadi A Si daripada dirinya. Sepertinya setelah menikahi A Si, lebih baik anjing ini dijual saja. 　　Er Niu sama sekali tidak tahu sang tuan sedang cemburu buta. Ia melompati rumpun pisang di depan jendela, mengangkat kedua kaki depannya dan mulai menggerek-gerekkan jendela dengan berisik, seolah sedang melakukan hal yang sangat mulia. 　　Yu Jin diam-diam berdiri di kaki tembok, hanya ada satu pikiran di benaknya: Manusia kalah sama anjing... 　　Jendela langsung terbuka, terdengar suara terkejut Ah Man: "Er Niu, kamu datang lagi? Cepat masuk, cepat masuk!" 　　Er Niu melompat masuk dengan gesit, sebuah tangan putih muncul hendak menutup jendela. 　　Yu Jin mengangkat alis. 　　Kalau hari ini sampai kalah oleh seekor anjing, lebih baik ganti profesi. 　　Ia melangkah mendekat, mengulurkan tangan menyangga jendela yang hampir tertutup. 　　Wajah yang tiba-tiba muncul membuat Ah Man kaget hingga gagap: "Tu...Tuan Yu?" 　　Tanpa sepatah kata pun, Yu Jin dengan lincah melompat masuk melalui jendela. 　　“Aduh, bagaimana Tuan bisa datang saat ini?” Ah Man bergumam kesal, lalu cepat-cepat menghindar, “Nona, ini Tuan Yu.” 　　A Qiao yang juga sedang melayani di dalam ruangan sudah terdiam tak bergerak. 　　Meski terkejut dengan kunjungan mendadak Yu Jin, Jiang Si segera menyadari situasi dan memberi isyarat pada Ah Man dan A Qiao untuk mundur. 　　A Qiao ragu-ragu tidak bergerak, akhirnya diseret keluar oleh Ah Man. 　　Di balik pintu, A Qiao panik berbisik pelan, “Bagaimana bisa meninggalkan Nona sendirian dengan seorang laki-laki?” 　　Ah Man tenang menjawab, “Nona sudah punya pertimbangan.” 　　Mengingat wajah tenang majikannya, A Qiao menghela napas. 　　Baiklah, asalkan Nona sudah punya pertimbangan. 　　Belum masuk waktu istirahat, cahaya di dalam ruangan terang benderang. Angin sejuk masuk dari jendela yang terbuka lebar, menerpa ujung baju Yu Jin hingga berdesir. 　　Er Niu mengibaskan ekornya dan menyambar Jiang Si, menciumi tangan sang nona dengan mesra. 　　Jiang Si mengelus kepala Er Niu, pandangannya bertemu dengan sorot mata Yu Jin. 　　Yu Jin mendekat mendorong Er Niu ke samping, menjelaskan, “Mengirim pesan melalui Er Niu kurang praktis, jadi saya datang langsung.” 　　Er Niu menggeram kesal. 　　Jiang Si duduk sambil membelai bulu Er Niu dengan lembut. 　　“Hari ini kau mengajak saya bertemu, apakah ada kabar tentang orang yang akan menebus Yu’er?” 　　“Untuk hal itu belum ada kabar. Saya mengajakmu bertemu karena ada dua hal yang perlu dibahas.” 　　Tangan Jiang Si berhenti sejenak, menunggu kelanjutan ucapan pria itu. 　　“Sebelumnya kau menduga bahwa orang-orang yang mengejar Nona Chu Chu sebenarnya menargetmu, hari ini aku berhasil menangkap mereka dan ternyata benar.” Yu Jin mengerutkan alisnya seperti pedang saat menyebut gerombolan itu. 　　Asal-usul orang-orang tersebut tidak biasa. 　　Pria berjanggut tebal tanpa ragu memilih mati, sementara pria berjubah panjang yang tampak lemah itu tetap bungkus meski disiksa, kini hanya tersisa setengah nyawa. 　　Yu Jin sendiri heran, sebagai pangeran yang tidak disayang kaisar, apa motif orang-orang itu? 　　Situasi tak jelas seperti kabut ini sungguh menyebalkan, untungnya sikap A Si akhir-akhir ini melunak padanya, mengimbangi semua perasaan buruk. 　　Jiang Si langsung merasa bersalah: "Kalau begitu, aku yang menyeret Nona Chu Chu ke dalam masalah." 　　Bahkan di kehidupan sebelumnya, sifatnya adalah 'hormati satu kaki ku, kubalas sezhang' - pada penantang tak perlu sungkan membalas dingin, pada penolong meski tak sampai membalas budi setetes air dengan mata air, tetap berusaha sebisanya. 　　Membayangkan gadis asing yang hampir kehilangan nyawa karena dirinya, Jiang Si gemetar ketakutan dan mengucap terima kasih sungguh-sungguh pada Yu Jin. 　　Yu Jin menatap Jiang Si dengan ekspresi aneh. 　　"Ada apa?" Jiang Si bingung dibuatnya. 　　"A Si, kau malah mengucap terima kasih khusus padaku untuk orang luar." 　　Tak disangka, dia harus bersaing bukan hanya dengan pria, dengan Er Niu, tapi juga dengan wanita! 　　"Jiang Si malas berdebat dengannya, menghela nafas: "Kalau ada kesempatan, lebih baik dijelaskan secara jelas pada Nona Chu Chu." 　　"Apa perlu dijelaskan? Lagipula sekarang dia sudah baik-baik saja." Yu Jin merasa ini berlebihan. 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Sudah menyakiti orang tapi malah dianggap penyelamat, aku tidak bisa melakukan ini." 　　Yu Jin tersenyum sambil mengusap kepalanya: "A Si kita benar-benar gadis yang baik." 　　Menjual orang tapi masih membuatnya menghitung uang, menurutnya ini ide bagus. 　　Jiang Si menghindar: "Hal kedua apa?" 　　Masalah Chu Chu sudah satu hal, belum ada kabar tentang permintaan bantuan pada Yu Qi untuk mencari orang, dia tidak bisa memikirkan hal lain. 　　Yu Jin tiba-tiba mendekat, matanya penuh keseriusan: "Hal kedua lebih penting dari yang pertama." 　　"Apa?" 　　Mata pemuda itu berkilau penuh kelembutan, berkata perlahan: "Aku merindukanmu." 　　Pipi Jiang Si memerah tanpa alasan. 　　Anehnya, saat dia mencium atau memeluknya, dia justru ingin membalasnya tanpa rasa malu. Tapi di kamar gadis yang sepi di tengah malam ini, mendengar kata-katanya tiba-tiba membuat jantungnya berdebar kencang. 　　Perasaan ini membuat Jiang Si panik. 　　Sebuah tangan besar meraih tangannya. 　　Tangan pemuda itu masih terlihat ramping, sementara tangan gadis itu lebih kecil. 　　Kedua tangan yang bergandengan itu bagai dua potong giok mutiara di bawah sinar lampu. 　　Jiang Si menarik tangannya, pura-pura tenang: "Urusan sudah selesai, kau boleh pulang." 　　“Sudah datang, setidaknya biarkan saya minum air.” Yu Jin bertekad untuk berlama-lama, mengambil cangkir teh di meja dan menyesap sedikit, tiba-tiba merasa seperti mendapat keuntungan besar. 　　Ini cangkir yang pernah digunakan A Si. 　　Suara gadis yang heran terdengar: "Itu air sisa minuman Ah Man." 　　Wajah Yu Jin kaku, air yang tertelan terasa seperti bara api di perut, panas dan tidak nyaman. 　　Setelah susah payah pulih, dia marah setengah mati: "Mana ada dayang tak tahu tata krama seperti ini, berani minum pakai cangkir tuanku!" 　　Nanti setelah A Si melewati pintu, jual Er Niu dan Ah Man sekaligus. 　　Jiang Si tersenyum manis melihat kemarahan Yu Jin. 　　Yu Jin tiba-tiba tersadar: "A Si, kau membohongiku?" 　　Berani memperdayanya dengan hal menjijikkan seperti ini, sungguh tak bisa ditolerir! 　　Yu Jin tiba-tiba menarik tubuh Jiang Si. 　　Di antara mereka terhalang meja, cangkir di atasnya jatuh ke lantai. 　　Yu Jin tak peduli, menggenggam Jiang Si dan menggerutu: "A Si, kau jadi jahat!" 　　"Er Niu masih di sini, jangan macam-macam." Melihat Er Niu mendekat dari sudut mata, Jiang Si memperingatkan. 　　"Abaikan saja." 　　Lagipula Er Niu takkan bocorkan rahasia. 　　Anjing besar yang diam-diam mengamati dari samping ragu sebentar, lalu menggigit pantat majikan prianya. 　　Tak vote, akan lepaskan Er Niu. 304.BAB 304 Perkembangan 　　BAB 304 Perkembangan 　　"Saat itu, langit dan bumi serasa hening." 　　Tatapan Yu Jin pada Er Niu tajam bagai pisau. Jika Jiang Si tidak ada di sana, mungkin dia sudah menguliti anjing sialan ini. 　　Er Niu mengibaskan ekornya dengan wajah polos. 　　"Ada apa sih?" 　　Jiang Si hampir tak bisa menahan tawa. Ia buru-buru meneguk air untuk menjaga ekspresi datarnya. 　　Bokong yang masih perih akibat gigitan Anjing Besar membuat Yu Jin tak betah. Dengan wajah muram ia bertanya, "A Si, kau tidak bisa keluar rumah lagi?" 　　Jiang Si tersenyum santai, "Hari ini ada masalah di keluarga, Nenek baru saja memerintahkan kami untuk diam di rumah. Kalau mau keluar harus minta izin dulu." 　　"Harus kucari cara?" 　　"Tak usah. Hari pertama perintah Nenek, lebih baik patuhi. Dalam dua hari jika perlu keluar, aku punya cara." Ucapnya terhenti sejenak, lalu menatap Yu Jin, "Urusan Keluarga Bo tak perlu kau campuri." 　　Jika sampai urusan kecil di keluarga bangsawan ini saja tak bisa ditangani sendiri, dan harus bergantung pada bantuan orang lain, maka mustahil baginya untuk mengubah nasib tragis keluarga. 　　"Yakin tak butuh bantuanku?" 　　"Tak perlu. Kalau mau ketemu, beri tahu Lao Qin. Dia akan menyampaikan pesan padaku. Juga jangan lagi memanjat tembok malam-malam, tidak pantas." Jiang Si menoleh ke Er Niu sambil bergurau, "Lihat, bahkan Er Niu saja tidak setuju." 　　Wajah Yu Jin semakin muram. Saat hendak pergi, tiba-tiba teringat sesuatu. 　　“A Si, meski di dalam rumah sendiri, jangan sembarangan keluar di malam hari. Tadi malam kulihat seorang wanita gila di taman rumahmu, sedang meratapi bayangannya sendiri di tepi kolam.” 　　Wanita gila? 　　Jiang Si tak langsung bisa menebak siapa, buru-buru bertanya: “Dia melihatmu?” 　　“Sepertinya tidak, aku langsung memukulnya pingsan.” Soal apakah si wanita itu benar-benar melihat atau tidak, Yu Jin merasa ini pertanyaan yang sulit dijawab. 　　Memandang Yu Jin dan Er Niu pergi, Jiang Si berdiri di depan jendela beberapa saat. 　　Di luar jendela, langit hitam kelam dihiasi bintang-bintang redup, bulan sabit seperti kait menyebarkan cahaya dingin. 　　Angin malam musim gugur akhir semakin dingin, sudah mulai terasa hawa menusuk yang tak nyaman. 　　Jiang Si menyandarkan tangan di ambang jendela, kegelapan di hatinya tak kunjung sirna. 　　Musim dingin hampir tiba, dan kakak tertuanya Jiang Yi tewas tepat di musim dingin yang begitu beku itu. 　　Kakaknya diceraikan, mati dalam keadaan tak terhormat. Mertuanya Nyonya Wei dari Keluarga An Guo Gong tak menyukai kepulangannya untuk berkabung. Ini pertama kalinya dia terang-terangan melawan keinginan Nyonya Wei untuk pulang. 　　Tapi di Kediaman Dongping Bo tak terlihat kesedihan sedikitpun, para pelayan tetap menjalankan tugas rutin mereka seolah tak terjadi apa-apa. 　　Baru ketika sampai di halaman rumah masa perjaka kakaknya, terlihat sedikit hiasan putih bertebaran. 　　Ayahnya diam-diam berdiri di bawah pohon persik tua di halaman, tangannya mengelus batang pohon yang penuh tonjolan. 　　Pohon persik di halaman Kakak tertua selalu berbunga lebat setiap musim semi, menyala dengan keindahannya. Namun tahun ini pohon tua itu tidak berbunga, hanya dedaunan yang tersisa, dan sekarang hanya menyisakan ranting-ranting gundul. Tahun depan mungkin tak akan bertunas lagi. 　　Karena Kakak tertua telah lama mencapai usia pernikahan, halaman ini tak berpenghuni bertahun-tahun. Tak ada yang ingat untuk menebang pohon tua ini, seolah-olah pohon mati itu telah lama mengisyaratkan pertanda buruk hari ini. 　　Saat itu, ia tak bisa menahan pikiran: "Anak yang tidak memiliki ibu sungguh menyedihkan. Seandainya ibu mereka masih hidup, meski Kakak tertua telah menjadi istri dan ibu selama bertahun-tahun, jika pohon persik di halamannya mati, pasti ibu akan menyuruh orang menanganinya sejak dulu." 　　Bukan ia menyalahkan Ayah, melainkan memahami bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam hal kepekaan. Bagaimana mungkin mengharapkan seorang lelaki yang jarang menginjakkan kaki di area belakang rumah untuk ingat menebang pohon tua di halaman putrinya yang sudah berdebu setelah menikah? 　　Kini, Yan-yan yang juga kehilangan ibu sedang menangis histeris. Si kecil itu menangis menyayat hati dengan wajah memerah. 　　Menghadapi cucu perempuannya Yan-yan yang sedang menangis, Ayah berdiri di bawah pohon persik tua tampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tak berani mendekat untuk menghibur. 　　Saat itu ia sempat merasa kesal, langsung menyambar dan menggendong Yan-yan untuk menenangkannya. Namun setelah mengalami kehidupan dan kematian, ia kini memahami perasaan Ayah waktu itu. 　　“Kehilangan istri di masa muda, kehilangan anak dan putri di usia paruh baya. Saat itu Ayah mungkin merasa dirinya pembawa sial, takut menularkan kesialan ini kepada satu-satunya cucu perempuan Yan-yan.” 　　Entah kapan, Ah Man dan A Qiao menyelinap masuk dengan hati-hati. 　　Ah Man membersihkan pecahan keramik di lantai, sementara A Qiao mendekati jendela dan mengenakan jubah pada Jiang Si. 　　Jiang Si tersentak kembali ke realita, wajahnya pucat seperti salju. 　　“Nona, hati-hati masuk angin.” A Qiao berbisik sambil menghela napas dalam hati. 　　Selama beberapa bulan ini ia diam-diam mengamati, sudah menyadari perubahan pada nona-nya, mungkin akibat pukulan berat dari pembatalan pertunangan. 　　Jiang Si meremas-remas tangannya yang dingin, melangkah perlahan menuju ranjang. 　　Di kehidupan ini, meski harus mempertaruhkan nyawa, Kakak tertua tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Jika benar-benar tidak bisa menemukan dalang di balik layar——sinar dingin di mata gadis itu lebih menusuk dari rembulan yang suram. 　　Zhu Ziyu, pasangan Zhu Shaoqing, lebih baik semuanya dibunuh. Paling-paling ia ganti nyawa. Kakak tertua yang hampir tidak pernah keluar rumah sejak menikah ke Keluarga Zhu, apapun motif di balik jebakan ini, pastilah orang-orang itu. 　　Jiang Si berbaring di atas kasur yang lembut, perlahan menutup kelopak matanya. 　　Malam berlalu tanpa kejadian, fajar segera tiba. 　　Ah Man membawa kabar baru begitu pagi menjelang. 　　“Nona, pagi ini ada dayang kecil yang menemukan Nenek Xiao tertidur pulas di tepi kolam taman. Dayang kecil itu mengira Nenek Xiao sudah mati, sampai menjerit ketakutan. Setelah sekelompok orang datang membangunkan Nenek Xiao, tebak apa katanya?” 　　Jiang Si semalam justru tidur nyenyak, kini segar bugar. Mendengar perkataan Ah Man, ia tersenyum: "Jangan jual klim." 　　Ah Man menjulurkan lidah, bersemangat bercerita: "Nenek Xiao bilang semalam tidur nyenyak di kamar, tak tahu kenapa bisa terbangun di tepi kolam. Orang-orang yang mendengar langsung berubah wajah. Sekarang desas-desus sudah menyebar di kediamanan, katanya arwah Hongyue tak mau masuk neraka, diam-diam menarik ibunya ke sana. Kediamanan kita mungkin akan jadi tidak tentram..." 　　Jiang Si mendengarkan diam-diam, akhirnya paham siapa yang ditemui Yu Jin semalam. 　　Desas-desus hantu justru menguntungkannya. Kedepan bisa dimanfaatkan untuk memudahkan rencana. 　　Lagipula dengan isu hantu, malam hari orang-orang di kediamanan tak akan sembarangan keluar. 　　Seperti dugaan Jiang Si, kabar Nenek Xiao menginap di tepi kolam sampai ke telinga Nyonya Feng. Nyonya Feng merasa sangat jijik, langsung memanggil Nyonya Xiao Istri Kedua dan memarahinya habis-habisan. 　　Dalam beberapa bulan singkat, Xiao Shi yang semula nyonya rumah yang berseri-seri berubah menjadi istri yang murung dan tertindas. Perbedaan yang begitu besar mungkin hanya bisa dimengerti oleh pihak yang terlibat. Kematian Hongyue membuatnya ketakutan, hingga selama beberapa hari berturut-turut ia tak bisa tidur nyenyak. 　　Kediaman Dongping Bo pun menjadi riuh oleh kabar burung tentang hantu, diselimuti bayangan tak kasatmata. 　　Pada suatu hari, Jiang Si akhirnya mendapat kabar dari Yu Jin: Orang yang menebus Yu'er telah ditemukan! 　　Melihat Jiang Si menyanggul rambut model sanggul ganda sederhana dan mengenakan pakaian dayang kecil Haitangju, Ah Man tak putus harapan bertanya: "Nona, benarkah Nona benar-benar pergi sendirian?" 305. BAB 305 Peti Mati 　　BAB 305 Peti Mati 　　Jiang Si tanpa ampun mematahkan harapan Ah Man: "Sekarang berbeda dengan dulu, pergi sendirian justru tidak mencolok. Tugasmu dan A Qiao adalah menjaga pekarangan dengan baik, jika ada yang datang, carilah cara untuk mengalihkan perhatian." 　　Sayangnya di siang hari memang agak merepotkan. 　　Karena rumor hantu Hongyue sedang ramai diperbincangkan di kediamanan, Jiang Qiao dan lainnya dilarang bepergian oleh Nyonya Feng, sehingga kunjungan ke saudari-saudari di siang hari semakin sering. Kemarin Jiang Si bahkan pernah menjamu Jiang Qiao. 　　Hari ini ia harus pergi, jika ada yang datang lagi tentu akan merepotkan. 　　Mengetahui sifat Ah Man yang mudah panik, Jiang Si khusus berpesan kepada A Qiao sebelum berangkat: "Urusan Haitangju kuserahkan padamu." 　　“Nona, tenang saja.” Setelah beberapa kali menunggu Nona pulang hingga tengah malam untuk membukakan pintu, A Qiao tiba-tiba merasa bisa tetap tenang menghadapi situasi apapun. 　　Sekadar menyamar sebagai dayang kecil dan keluar di siang hari, itu bukan masalah. 　　Bagi Jiang Si, keluar rumah memang bukan hal sulit. 　　Dengan menyamar sebagai dayang kecil, kulitnya yang agak gelap dan wajah biasa-biasa saja membuatnya terlihat familiar seperti dayang kecil lain yang biasa terlihat di rumah keluarga, meski namanya sulit diingat. 　　Terlihat familiar saja sudah cukup, siapa yang peduli dengan nama seorang dayang kecil? 　　Jiang Si mendatangi pintu samping, menyuap pelayan dengan segenggam koin tembaga sambil bilang ingin membeli minyak rambut dan bedak dari pedagang keliling, lalu berhasil keluar dengan lancar. 　　Langit di luar terasa begitu luas, berbeda dengan pandangan terbatas di lingkungan Keluarga Bo. 　　Jiang Si mempercepat langkahnya menuju tempat pertemuan dengan Yu Jin. 　　Tempat pertemuan mereka adalah rumah teh. Setelah menyebut nama ruang VIP, pelayan segera mengantarnya ke lantai dua. 　　Long Dan sedang berjaga di depan sebuah ruang VIP. 　　Jiang Si memberi isyarat pada pelayan untuk pergi lalu mendekat. 　　Melihat gadis kecil yang mendekat, Long Dan mengusir dengan wajah dingin: "Nona kecil jangan mendekat ya, kalau tidak Kakak akan memukul orang." 　　Jiang Si menatap Long Dan dalam-dalam. 　　Tak disangka Long Dan berperilaku seperti ini di depan nona asing! 　　Long Dan dibuat bingung oleh pandangan Jiang Si, dengan samar merasakan firasat buruk. Perasaan ini membuatnya semakin ingin mengusir orang ini, "jauh di mata, hilang dari hati". 　　Ia cepat-cepat menoleh ke arah pintu kamar, memastikan tuannya tidak tahu, lalu menyeringai nakal pada Jiang Si: "Nona kecil, bagaimana kalau Kakak mengajakmu minum teh?" 　　Alih-alih kabur ketakutan seperti yang diperkirakan, dayang kecil itu masih tetap berdiri di tempat. 　　Long Dan kini kehabisan akal, mengangkat tangan mengusap dagunya. 　　Jangan-jangan karena melihatnya terlalu tampan, si gadis kecil jadi tertarik? 　　Ini tidak boleh, dia bukan orang yang sembarangan! 　　Jiang Si tak tahan lagi membuka suara: "Long Dan, ini saya." 　　Mata Long Dan langsung membelalak. 　　Jiang Si khawatir dia tidak mengenali, menambahkan: "Nona Jiang." 　　Long Dan: "..." 　　Habis, habis, sangat memalukan! 　　Saat itu pintu terbuka, Yu Jin menarik Jiang Si masuk, memandang Long Dan dengan tatapan tajam sambil tersenyum sinis: "Nanti saya bisa mengajakmu minum teh." 　　Pintu tertutup kembali, Long Dan bersandar di pintu dengan wajah putus asa. 　　Yu Jin memandangi Jiang Si dari atas ke bawah, tersenyum: "Ternyata menyamar dengan tampang seperti ini untuk kabur." 　　Jiang Si menarik-narik ujung baju, bertanya sambil tersenyum: "Apa cukup mirip?" 　　Yu Jin menghela napas melihatnya. 　　Jiang Si mengangkat alis. 　　"Katakan saja, kalau cepat-cepat menikah dengan saya tidak akan ada banyak masalah begini. Nanti mau melakukan apa, mau ke mana, saya pasti temani." 　　“Jiang Si tidak menjawab, duduk sendiri dan menuangkan secangkir teh lalu meminumnya. Setelah beberapa teguk, dia bertanya, ‘Di mana orang itu?’” 　　“Yu Jin agak kecewa, tapi segera menjadi gembira kembali.” 　　“Kali ini ketika topik ini dibahas, A Si ternyata tidak membantah.” 　　“Tidak membantah hampir sama artinya dengan mengiyakan, bukan?” 　　“Orang itu adalah preman yang aktif di sekitar Kawasan Kangping, namanya Lao Yu. Sekarang sedang diawasi oleh orang kita.” 　　“Kawasan Kangping?” 　　“Jiang Si merenungkan sejenak.” 　　“Yu Jin tiba-tiba berkata, ‘Itu adalah jalur wajib menuju Akademi Hanlin.’” 　　“Kelopak mata Jiang Si berkedut, menatapnya.” 　　“Yu Jin tersenyum santai, ‘Hanya sekadar komentar biasa. A Si, aku masih belum tahu untuk apa kau mencari orang seperti ini.’” 　　“Jiang Si sangat ingin melotot padanya.” 　　“Andai saja tidak sudah lama memahami sifat suami ini, pasti dia akan tertipu oleh sikapnya yang seperti ini.” 　　“Yu Qi bukan tipe pria yang rumit dan dalam pemikirannya, sering bertindak sesuka hati, tapi memiliki kepekaan mengejutkan dalam hal tertentu.” 　　“Contohnya sekarang, dia sudah menyebut Akademi Hanlin padahal aku belum mengatakan apapun.” 　　“Sejak kembali dari Kuil Baiyun, dia sudah melaporkan Keluarga Zhu. Meski Yu Qi tidak banyak bertanya, mungkin dia sudah menduga tindakannya.” 　　“Sebenarnya tidak sulit ditebak, jika kakak tertua menjadi korban, Zhu Ziyu memang akan menjadi tersangka utama. Tidak peduli seberapa dalam dia pura-pura menunjukkan cinta pada pasangan suami istri, setidaknya begitulah pendapatku.” 　　“Dan jelas, Yu Qi juga berpikir demikian.” 　　“Saat ini, Jiang Si sudah tidak perlu menyembunyikan apa pun, ia berkata terus terang: “Aku ingin melihat apakah orang itu ada hubungannya dengan Keluarga Zhu.” 　　“Ini sangat sederhana, preman jenis itu paling tidak punya nyali, begitu ditangkap bahkan belum disiksa pasti akan mengaku segalanya.” Setelah mengatakan ini, Yu Jin menghela napas pelan. 　　Pria berjubah panjang itu sampai sekarang masih tidak mau bicara, benar-benar tidak semanis preman. 　　“Aku ingin bertanya langsung.” 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu cepat-cepat mengangguk: “Tidak masalah, segera kusiapkan.” 　　Kawasan Kangpingfang dipenuhi orang-orang dari berbagai kalangan, saat ini sedang ramai-ramainya. 　　Lao Yu keluar dari gang gelap, berjalan sambil mengucek mata yang masih mengantuk, tak lama kemudian bertemu dengan orang yang sering bergaul dengannya. 　　“Wah, Lao Yu, habis bersenang-senang ya? Lihat lingkaran hitam di matamu, jangan keterlaluan!” 　　Lao Yu tersenyum puas sambil melambai: “Pergi sana! Aku akhirnya tidak perlu mengandalkan tangan, jangan kau kutuki!” 　　Orang yang menyapanya penasaran dan iri: “Lao Yu, belakangan ini dompetmu tebal terus, sedang cari rezeki di mana?” 　　Lao Yu melototi orang itu: “Jangan ikut campur!” 　　Melihat langkah Lao Yu yang sempoyongan menuju mulut gang, orang itu meludah: “Sombong apa? Kalau punya uang kenapa tidak ke Sungai Jinshui--” 　　Ucapan selanjutnya tiba-tiba tercekat. 　　Orang itu menatap ngeri melihat Lao Yu yang sampai di mulut gang dipukul sampai pingsan lalu digotong pergi, lama tak bisa memulihkan diri. 　　Melihat ke kiri kanan, orang itu menundukkan kepala dan menerjang keluar, berlari sekuat tenaga. 　　Soal menolong Lao Yu berteriak minta tolong? Mustahil! Waktu Lao Yu main ke rumah bordil juga tidak mengajaknya. 　　Lao Yu tersadar, menemukan diri di tempat sempit yang gelap gulita. Tangannya meraba-raba dan menyentuh dinding keras yang tidak panas maupun dingin. 　　Tempat apa ini? 　　Lao Yu bingung sekaligus ketakutan, berteriak keras. 　　Suaranya seperti terperangkap dalam ruang sempit ini. 　　Ketakutan Lao Yu semakin menjadi. Sambil berteriak, tangan kakinya menggapai-gapai tak karuan. Tanpa sengaja mendorong bagian atas, langsung terdengar suara gemeretak. 　　Lao Yu langsung membeku ketakutan. Tak lama kemudian tersadar dan mulai mendorong bagian atas sekuat tenaga. 　　Celah semakin terbuka, cahaya mulai terlihat. 　　Lao Yu merangkak keluar dari tempat pengapungannya. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar ketakutan. 　　Ya ampun, itu sebuah peti mati! 　　Sampai jumpa besok. Sedang berusaha menumpuk naskah, suatu hari nanti akan ada update besar. Mohon dukungan vote, menumpuk naskah itu sangat melelahkan. 306. BAB 306 Pembuktian 　　BAB 306 Pembuktian 　　Lao Yu nyaris hilang akal ketakutan. Bangkit dan lari, menghadapi dinding tinggi yang menghalangi jalan. Tidak tahu itu tembok atau pintu, dipukulinya sekuat tenaga. 　　Suara dingin tanpa emosi bergema dari belakangnya: "Dengan cara begitu tidak akan bisa keluar." 　　Lao Yu berhenti bergerak, lalu berbalik tubuh dengan cepat. 　　Dibandingkan kegelapan total di dalam peti mati, cahaya redup saat ini setidaknya memperlihatkan siluet samar-samar sosok manusia di kejauhan. 　　Lao Yu gemetar ketakutan hingga tubuhnya melorot, celana bagian selangkangan basah kuyup meneteskan air. 　　Ya ibu, melihat manusia justru lebih menyeramkan daripada tidak melihat apa-apa! 　　Mengingat tempat yang baru saja dia keluarkan, Lao Yu hanya bisa menyimpulkan sosok ini adalah hantu, bahkan hantu perempuan! 　　Hantu perempuan itu melambaikan tangan padanya: "Mendekatlah." 　　Lao Yu menolak dalam hati tapi kaki tak bisa dikendalikan, saat sadar telah berada di depan hantu itu barulah melihat ada hantu laki-laki di sampingnya. 　　Dua hantu sekaligus, semakin tak ada harapan. 　　Lututnya lemas hingga terjatuh, terus-menerus memohon: "Amitabha, dewa-dewa melindungi, kalian berdua silakan selesaikan dendam, jangan libatkan saya..." 　　Yu Jin sangat ingin menendang orang yang mengoceh ini ke tembok selatan, tapi menahan diri. 　　Tunggu sampai A Si selesai interogasi baru menghukumnya. 　　"Ada beberapa pertanyaan. Jawab dengan memuaskan maka kau boleh pergi." Jiang Si mengerutkan hidung menahan bau pesing dari tubuh Lao Yu. 　　"Ka-kalian bukan hantu?" Sedikit warna merah muncul di wajah Lao Yu. 　　Gadis itu bersuara dingin dengan ekspresi acuh: "Jika tak mau menjawab baik-baik, kau akan jadi hantu. Peti mati itu akan digunakan atau tidak, tergantung jawabanmu." 　　Lao Yu menggigil, warna merah di wajahnya kembali memudar. 　　“Walau begitu, hatinya sedikit lebih tenang.” 　　Selama itu manusia, masih bisa diajak bicara. Hantu tidak kenal logika. 　　Jangan tanya bagaimana dia tahu, orang-orang semuanya bilang begitu. 　　“Mengapa menebus Yu’er?” 　　Lao Yu tertegun, matanya berputar-putar refleks berbohong: “Yu’er? Itu kekasih lamaku—” 　　Tangan gadis yang pucat meraih, mengetuk-ngetuk dinding peti mati dengan lembut: “Sepertinya ucapan saya tidak kau pahami. Tuan Gong, menurutmu kita potong satu atau dua jarinya?” 　　Jiang Si masih berpakaian dayang kecil, memanggil Yu Jin sebagai Tuan Gong tanpa terasa janggal. 　　Ekspresi gadis itu polos, suaranya manis. Yu Jin mendengarnya dengan sukacita, berpikir dalam hati: Suara A Si memanggil Tuan Gong begitu merdu, setelah menikah nanti harus kusuruh dia memanggil lebih sering. 　　Kilatan dingin melesat, sebuah belati menancapkan tangan Lao Yu ke lantai. 　　Yu Jin tersenyum manis: “Mau potong berapa terserah, yang penting kau puas.” 　　Darah segera menggenang. Lao Yu menjerit-jerit, tergagap: “Aku bicara, aku bicara!” 　　Jiang Si mencemooh: “Katanya takkan menangis sebelum lihat peti mati. Kau memang berani, peti mati sudah di depan mata masih mau main akal. Aku ulang pertanyaanku, kali ini pikir baik-baik sebelum jawab.” 　　Lao Yu sudah ketakutan setengah mati, berucap cepat: “Tak perlu pikir! Aku tak kenal Yu’er! Seorang pemuda memberiku uang untuk menebus gadis penghibur bernama Yu’er dari Yan Chun Ban.” 　　“Setelah ditebus lalu bagaimana?” 　　“Setelah itu? Setelah itu orang itu langsung membawa Yu’er pergi.” 　　Jiang Si。 　　Ia sempat mengira karena orang itu menggunakan Lao Yu untuk menebus, mungkin sekalian meminta Lao Yu mengantar Yu’er kembali ke kakak laki-lakinya, sehingga bisa menemukan lokasi kakak Yu’er. 　　Ternyata terlalu optimis. 　　“Pemuda itu tampilannya seperti apa? Ada ciri khas tertentu? Atau hal tidak biasa apa pun yang kau perhatikan.” 　　Mengingat kewaspadaan pihak lawan, mustahil mengharapkan Lao Yu mengenali pemuda itu. Jika bisa menyebutkan ciri-ciri tertentu, itu sudah lumayan. 　　Lao Yu tiba-tiba diam. 　　Belati yang menancap di telapak tangan terasa nyeri menusuk, tapi bagi orang sepertinya yang biasa terluka, rasa sakit ini masih bisa ditahan selama nyawa masih aman. 　　Yu Jin tiba-tiba berbicara: “Sepertinya kau tidak sekadar memperhatikan penampilannya... Katakan, apakah kau mengenalnya?” 　　Lao Yu mendongak kaget memandang Yu Jin. 　　Ini adalah ruangan remang-remang, satu-satunya cahaya berasal dari jendela tinggi di atas. 　　Sinar matahari membentuk berkas cahaya yang dipenuhi debu beterbangan. 　　Lao Yu masih belum bisa melihat jelas wajah Yu Jin, tapi bisa merasakan hawa dingin dari raut wajahnya. 　　Itu adalah sikap acuh tak acuh terhadap manusia remeh seperti dirinya. 　　Melirik peti mati hitam legam, Lao Yu hanya ragu sejenak sebelum mengambil keputusan. Dengan tegas ia berkata: "Saya memang mengenal orang itu..." 　　"Siapa?" Yu Jin bertanya dengan wajah datar. 　　Jiang Si terkejut sekaligus gembira, pandangannya pada Yu Jin tiba-tiba berubah. 　　Ternyata masih belum bisa mengalahkan kelicikannya. 　　Lao Yu menggeleng: "Tidak tahu namanya. Yang saya kenal sebenarnya hanya pernah melihat sekilas. Dia tampaknya pelayan pria dari seorang tuan besar, suatu kali pernah lewat bersama majikannya di tempat saya biasa mangkal, membeli seikat bunga dari pedagang bunga. Karena laki-laki yang beli bunga, saya sengaja mengamati lebih lama sehingga ingat. Tak disangka beberapa waktu lalu dia menghampiri saya, minta saya menebus seorang gadis penghibur..." 　　"Kalau begitu, dia tidak tahu bahwa kamu mengenalnya. Pertemuannya denganmu murni kebetulan?" 　　Lao Yu mengangguk: "Sepertinya begitu." 　　"Kalau kamu bertemu lagi dengan orang itu, bisakah kamu mengenalinya?" 　　Tanpa ragu Lao Yu menjawab: "Tentu bisa." 　　Yu Jin menoleh ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si menahan gejolak di hati, mengajukan pertanyaan lain: "Kalau bertemu dengan tuan besar itu, bisakah kamu mengenalinya?" 　　"Bisa." Jawab Lao Yu yakin. 　　Senyum tipis mengembang di wajah Jiang Si. 　　Bagus, kebenaran apakah tuan besar itu adalah Zhu Ziyu akan segera terungkap. 　　Akademi Hanlin termasuk salah satu kantor pemerintahan paling santai di ibu kota. Bahkan di pagi hari yang baru saja dimulai, nuansa bersantainya sudah terasa. 　　“Zhu Ziyu baru saja menyeduh secangkir teh untuk dirinya sendiri, baru minum dua teguk ketika seseorang masuk: "Saudara Zhu, ada yang mencari di luar."” 　　Ada yang mencarinya di saat seperti ini? 　　Meski agak bingung, Zhu Ziyu tetap melangkah keluar dari gerbang Akademi Hanlin. 　　Depan kantor kabupaten sepi, hanya pejalan kaki yang lalu lalang di jalanan tak jauh. 　　Di mana orangnya? 　　Zhu Ziyu menengok ke kiri-kanan, menunggu sejenak tapi tak ada yang muncul. Ia mengerutkan alis dan berbalik masuk kembali. 　　Di gedung teh seberang, Yu Jin bertanya pada Lao Yu: "Apakah itu orangnya?" 　　“Ya...” 　　Jiang Si mengingat-ingat sejenak lalu bertanya pada Lao Yu: "Pelayan pria itu apakah bertubuh kurus kecil dengan wajah baby face?" 　　Meski tak pernah memperhatikan secara detail, ia samar-samar ingat ada pelayan seperti itu di sekitar Zhu Ziyu. 　　Kesempatan bertemu dengan Zhu Ziyu memang jarang, pelayan yang bisa memberikan kesan pasti yang sering mendampinginya. 　　Lao Yu mengangguk cepat: "Benar, benar. Terlihat sangat muda, jadi saat diperintah menebus gadis penghibur di Sungai Jinshui, hamba agak terkejut." 　　Yu Jin memberi isyarat pada Long Dan untuk membawa Lao Yu keluar. 　　Jiang Si memandang kantor kabupaten Akademi Hanlin di seberang dari jendela, hatinya dingin membeku. 　　Selamat pagi. 307.BAB 307 Menempel 　　BAB 307 Menempel 　　Akademi Hanlin adalah lembaga terhormat dan bergengsi. Seiring para akademisi Hanlin menempati berbagai posisi, mereka membentuk arus bersih yang kuat di istana, menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan oleh pihak manapun. 　　Ini adalah era di mana hanya Jinshi yang bisa masuk Akademi Hanlin, dan hanya anggota Akademi Hanlin yang bisa masuk kabinet - zaman keemasan bagi para pelajar. 　　Setiap orang di Akademi Hanlin adalah bintang yang dikagumi dunia, segala pujian akan dilimpahkan pada mereka. Tapi sebagian dari mereka, meski berpenampilan seperti pria terhormat, sebenarnya adalah serigala berbulu domba. 　　Saat memastikan itu Zhu Ziyu, Jiang Si tak tahu apakah dirinya marah atau justru lega. 　　Lebih baik memang dia. Dengan target yang jelas, semuanya lebih mudah diatasi. 　　Jiang Si menengadah. 　　Langit tinggi dengan awan tipis, pemandangan yang membangkitkan kelegaan hati. 　　Dia tidak bertanya bagaimana Yu Jin mengusir Lao Yu. Karena Yu Qi (Pangeran Ketujuh) sudah turun tangan, urusan penutupan seperti ini tak perlu dia pusingkan lagi. 　　Yang harus dilakukan berikutnya tetap menunggu. 　　Rencana membunuh Zhu Ziyu jika sudah mentok adalah opsi terakhir, strategi paling rendah. 　　Membunuh tetap salah, bukan solusi sejati untuk masalah. 　　Setidaknya, jika dia yang membunuh Zhu Ziyu, kakak tertua pasti akan membencinya seumur hidup. 　　Jiang Si serakah, juga picik. 　　Mengapa binatang jahat itu pantas dikenang seumur hidup oleh kakak, sementara dia dan kakak harus jadi terpisah? 　　“Orang seperti Zhu Ziyu pantas dihancurkan reputasinya, ditinggalkan keluarga, dan ditatap hina oleh dunia. Kakak tertua akan membawa Yan-yan kembali ke Dongping Bo Residence, meskipun untuk sementara hatinya patah arang. Asalkan bisa melihat wajah asli suaminya, saya yakin suatu hari kakak bisa melepaskan segalanya.” 　　Merasa suasana hati Jiang Si kurang baik, Yu Jin mendekat untuk menghiburnya: "A Si, lihatlah, perempuan menikah itu risikonya lebih besar dari berjudi. Jika sampai menikahi pria berwajah manusia tapi berhati binatang, hidupnya akan hancur." 　　“En.” 　　“Makanya, baru dengan orang sepertiku kau bisa tenang.” 　　Jiang Si tak berminat bercanda, menjawab sekenanya: “Tak ada orang yang menulis kata ‘penjahat’ di wajahnya.” 　　Yu Jin terdiam lama tak bisa berkata-kata, akhirnya mengeluarkan kalimat: “Waktu akan membuktikan isi hati.” 　　Perkataan ini terdengar cukup enak di telinga Jiang Si. 　　Sebelum urusan sial ini terselesaikan, sama sekali tak ada niatnya untuk menikah. Karena Yu Qi berkata demikian, setidaknya dia punya waktu lama untuk berpikir. 　　Jiang Si merasa dirinya pengecut dalam urusan perasaan. Di satu sisi tak tega melepaskan cinta orang ini, di sisi lain tak berani mengeluarkan kepala dari cangkang kura-kuranya. 　　Dia memutuskan nanti akan memelihara kura-kura, setiap hari memarahinya beberapa kali, anggap saja sedang memarahi diri sendiri. 　　“Ngomong-ngomong, Nona Chuchu itu, apa rencanamu?” 　　Jiang Si berpikir sejenak: “Karena sudah keluar, lebih baik aku temui saja.” 　　"Zhu Ziyu sudah diawasi oleh orang-orang seperti A Fei, sementara Qing'er di sisi kakak tertua dijaga oleh Aya." Terburu-buru tidak bisa makan tahu panas, seberapa pun gelisahnya dirinya, dia tak bisa hanya fokus pada urusan kakaknya dan mengabaikan hal lain. 　　Gang Songzi sedang dalam keadaan sepi. 　　Waktu terbaik sehari ada di pagi hari, rakyat biasa sudah keluar sejak dini hari untuk mencari nafkah, umumnya baru pulang saat senja. Yang tertinggal kebanyakan orang tua dan anak-anak. 　　Chu Chu selesai meregangkan otot di halaman, dengan bosan berjongkok di kaki tembok sambil menghela napas. 　　Meski tinggal di sini kebutuhan makan-minum terpenuhi dan bisa menyembuhkan luka, tapi perasaan tidak bebas datang-pergi sangat menyebalkan. Apa bedanya dengan dipenjara? 　　Dia bahkan mulai merindukan hari-hari sialnya itu, setidaknya dulu bisa pergi ke mana saja tanpa diawasi. 　　Chu Chu melotot penuh kebencian pada orang yang mengawasinya, dalam hati mengutuk Yu Jin berulang-ulang. 　　Ada suara dari pintu, pemuda yang sedang dikutuk dalam hati itu masuk ditemani dayang kecil. 　　"Ahem." Melihat Chu Chu dengan santai berjongkok di kaki tembok, Yu Jin sengaja batuk dengan wajah dingin. 　　Harus jauhkan A Si dari orang ini, jangan sampai terpengaruh buruk. 　　Chu Cu melirik Yu Jin sekilas, lalu mengalihkan pandangan bosannya. Tanpa mengangkat kepala dia bergumam: "Tunangan Tuan Yu kapan akhirnya datang? Kalau tidak segera datang aku benar-benar pergi. Kukatakan padamu, mengirim dayang ke sini percuma saja. Aku tak perlu dilayani..." 　　“Nona Chuchu.” Jiang Si membuka mulut. 　　Mendengar suara yang agak familiar ini, Chuchu tertegun, mengernyitkan alis sambil menatap Jiang Si cukup lama, lalu berkata heran: “Kau gadis yang pernah jalan-jalan ke Sungai Jinshui itu!” 　　“Benar.” 　　Chuchu segera melirik Yu Jin, lalu tersadar: “Rupanya kau dayangnya, bukan tunangannya.” 　　Masuk akal, mana mungkin pria normal membawa tunangan jalan-jalan ke Sungai Jinshui? Pria hidung belang yang membawa dayang jalan-jalan baru masuk akal. 　　Yu Jin cemberut tidak senang: “Dia tunangan saya.” 　　Chuchu jelas-jelas menunjukkan ekspresi tidak percaya. 　　“Kenapa? Tunangan saya kadang suka berlagak jadi pria, kadang berlagak jadi dayang. Nona Chuchu iri?” 　　Tatapan Chuchu ke Jiang Si tiba-tiba menjadi aneh. 　　Gadis yang hidup sesuka hatinya seperti ini baru pertama kali kulihat, ini benar-benar tujuan hidup yang kuidamkan. 　　Chuchu tersenyum manis ke Jiang Si: “Belum tahu bagaimana memanggil nona. Berkat nona yang menampung kami dalam kesulitan ini, tidak pantas kalau tidak tahu nama nona...” 　　Jiang Si melirik Yu Jin. 　　Yu Jin mengerti maksudnya, meski enggan akhirnya mengangguk: “Kalian ngobrol saja.” 　　Melihatnya pergi, Jiang Si membungkuk hormat secara khidmat ke Chuchu. 　　Chuchu kaget: “Ini buat apa? Apakah di sini memberitahu nama harus seresmi ini?” 　　Tata krama di ibu kota benar-benar aneh. 　　"Jiang Si merapikan postur tubuhnya, tersenyum minta maaf pada Chuchu: 'Saya bermarga Jiang, Nona Chuchu bisa memanggilku A Si. Hari ini datang untuk menyampaikan permintaan maaf.'" 　　Chuchu semakin bingung. 　　"Sebenarnya aku dan Nona Chuchu pernah bertemu sebelumnya, di jalan pulang dari Kuil Baiyun..." 　　Chuchu mengamati Jiang Si dengan seksama, berusaha mengingat-ingat. 　　Jiang Si langsung menyebutkan insiden kuda liar itu. Chuchu tersadar: "Oh, ternyata kau." 　　Dengan santai dia melambaikan tangan: "Tak perlu minta maaf, kuda liar itu kecelakaan, bukan salahmu." 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu canggung berkata: "Aku baru tahu, orang-orang yang mengejar Nona Chuchu sebenarnya targetnya adalah aku..." 　　Wajah Chuchu langsung berubah. Matanya yang besar menatap Jiang Si seakan ingin melihat sampai ke dalam hati. 　　Setelah mengutarakan segalanya, Jiang Si justru merasa lega. 　　Membuat orang nyaris kehilangan nyawa, dia siap menerima makian apapun. 　　Tentu tamparan tidak boleh, meski dia rela, mengingat watak Yu Qi (Pangeran Ketujuh) yang mungkin akan membunuh, sungguh dia tak ingin Nona Chuchu nekat begitu. 　　Setelah lama menatap, Chuchu tiba-tiba tertawa: "Sudahlah, pada dasarnya aku memang sial. Kau tak perlu merasa bersalah." 　　Sejak kecil mengalami banyak kesialan, hampir tak pernah orang yang membuatnya menanggung kesalahan orang lain merasa bersalah. 　　A Si ini, layak dijadikan teman! 　　Chu Chu segera mengambil keputusan: Karena dikejar-kejar orang-orang itu, kantong uangnya entah jatuh ke mana, dia memutuskan untuk menempel terus pada A Si sampai tabungannya cukup untuk bekal perjalanan. 　　Hingga meninggalkan Jalan Songzi, Yu Jin masih bermuka masam. 　　Sungguh tidak adil! Dia sendiri belum sempat menempel pada A Si, malah didahului seorang perempuan! 308. BAB 308 Kabut 　　BAB 308 Kabut 　　Cuaca semakin hari semakin dingin, aroma krisan di udara semakin pekat, pertanda musim dingin hampir tiba. 　　Jiang Si ingat, musim dingin tahun ke-18 Jingming sangatlah menusuk tulang. 　　Ingatannya tidak tergolong paling tajam, tapi di tahun ini dia memasuki usia pernikahan dalam keadaan menjanda hidup, kehilangan kakak laki-laki dan saudari perempuannya secara beruntun. Rangkaian nasib buruk ini membuat kenangannya akan tahun itu dipenuhi dingin yang membekukan dan hujan salju yang tak henti. 　　Kesengsaraan seolah merata, banyak orang tua dari keluarga miskin yang gagal melewati musim dingin ini. 　　Suasana di Dongping Bo Residence terus-menerus muram, selalu terasa tekanan tak terucap di balik rutinitas sehari-hari, bahkan persiapan pakaian musim dingin pun tertunda-tunda. 　　Tahun ini, rentetan masalah telah memaksa keluarga Bo yang pondasinya rapuh ini memperlihatkan tanda-tanda kemerosotan yang tak terhindarkan. 　　Di pekarangan Haitangju, daun-daun pohon telah hampir seluruhnya berguguran, menyisakan ranting-ranting gundul yang melambai ditiup angin, sesekali melayangkan daun kering seperti kupu-kupu kuning yang menari-nari. 　　Jiang Si meraih sehelai daun yang jatuh, menghitung hari dalam diam. 　　"Nona——" Ah Man mendorong pintu halaman dan berlari mendekat. 　　Jantung Jiang Si berdebar kencang beberapa kali. 　　Di hari yang membosankan dan biasa ini, reaksi Ah Man seperti itu pasti karena ada kabar baru. 　　Benar saja Ah Man membawa kabar baik: "Orang Tuan Yu bilang, kakak ipar Zhu——" 　　Menatap pandangan dingin Jiang Si, Ah Man teringat sesuatu dan menjulurkan lidah: "Pelayan pria Zhu Ziyu tiba-tiba menyelinap ke rumah sipil terpencil, di situ ternyata tinggal seorang nona!" 　　Jantung Jiang Si berdegup kencang mendengarnya. 　　Pelayan Zhu Ziyu menyelinap ke rumah sipil, pasti perintah Zhu Ziyu. Mungkinkah di situ tinggal kekasihnya? 　　Ia harus menemui wanita yang disimpan di rumah mewah ini! 　　Jiang Si segera mengambil keputusan. 　　Seperti biasa, ia menyamar sebagai dayang kecil dan menyelinap keluar rumah, meninggalkan Ah Man yang kesal. 　　Pengawal Yu Jin yang bertugas mengawasi pelayan Zhu Ziyu segera maju saat Jiang Si tiba: "Ceritakan apa yang kau lihat pada Nona Jiang." 　　Pengawal tidak berani menengadah, menjawab dengan tata krama: "Kami punya dua anggota yang bergantian mengawasi pelayan pria itu. Biasanya dia hanya keluar dua kali: pagi hari mengantar Tuan Zhu ke Akademi Hanlin, dan sore hari menjemputnya pulang ke rumah keluarga. Hari ini setelah mengantar Tuan Zhu ke jam kerja resmi, dia tidak langsung pulang malah berputar-putar sampai ke sebuah rumah sipil terpencil. Anak buah saya memanjat tembok dan melihat ada seorang wanita berusia sekitar 15-16 tahun di dalam..." 　　Jiang Si menanyakan rupa wanita itu. Pengawal menggaruk-garuk kepala: "Cukup cantik juga." Setelah itu dia memandang tuannya dengan wajah bingung. 　　Yu Jin tersenyum: "A Si, pertanyaanmu ini menyulitkannya. Bagi anak-anak muda seperti mereka, babi betina pun terlihat cantik." 　　Wajah pengawal itu langsung memerah seperti kain merah, marah tapi tak berani bersuara. 　　"Bawa saya menemui wanita itu." 　　Berpusat di Akademi Hanlin, lokasi rumah sipil ini berlawanan arah dengan Keluarga Zhu. Meski disebut terpencil, suasana di sini ramai dengan keragaman penduduk. 　　Pengawal itu membawa Yu Jin dan Jiang Si berhenti di depan pintu rumah yang tak mencolok, berbisik: "Di sini." 　　Jiang Si mengamati dengan saksama, alisnya sedikit terangkat. 　　Pintunya terbuat dari kayu dengan cat hijau yang sudah mengelupas, tergembok. 　　Melihat sekeliling, terlihat deretan rumah sipil membentuk gang. Rumah ini berada di sudut, terpencil seperti sudah lama ditinggalkan. 　　Andai bukan pengawal yang membawanya ke sini, Jiang Si pun tak akan menyangka ada penghuni meski melewati tempat ini. 　　Menatap pintu kayu yang cat hijaunya mengelupas, Jiang Si merasa aneh: Mengunci pintu di siang hari, ini berarti tidak ingin berurusan dengan tetangga. Tapi jika wanita ini adalah orang tersayang yang disembunyikan Zhu Ziyu, bukankah hidup seperti ini terlalu menyiksa? 　　Jiang Si bukan tidak pernah mendengar tentang pria yang memelihara selir, mereka hanya mencari rumah yang nyaman untuk menempatkan wanita itu. Setiap kali berkunjung meski tidak sampai memukul gong dan genderang, tetap dilakukan secara jujur dan terhormat. 　　"Pria mengurus urusan luar, wanita mengurus domestik" adalah tata krama yang diakui umum. Istri yang tinggal di kediaman dalam mustahil memantau pergerakan suaminya. Kecuali selir itu datang menggedor pintu dengan perut buncit, sebagian besar istri sampai tua pun tak akan tahu keberadaan selir. 　　Bayangan Zhu Ziyu yang anggun muncul di benak Jiang Si, hatinya tiba-tiba terasa berat. 　　Jika seorang suami sampai harus berhati-hati seperti ini, tujuan pastinya bukan sekadar menyembunyikan bunga dalam rumah emas. 　　Mungkinkah di kehidupan sebelumnya dia membunuh Kakak tertua demi mengangkat posisi selir ini? 　　Tapi di kehidupan sebelumnya, Zhu Ziyu baru menikah tiga tahun setelah Kakak tertua wafat. Istrinya adalah putri pejabat biasa, mustahil wanita selir ini. 　　Atau jangan-jangan setelah Kakak tertua tiada, Zhu Ziyu diam-diam membawa selir itu masuk ke rumah keluarga? 　　Ini semakin tidak masuk akal. 　　Kakak tertua dikenal sebagai sosok lemah lembut dan berbakti. Cukup dengan menunjukkan keinginan, bahkan tanpa perlu mengutarakan, Kakak tertua pasti akan dengan sukarela mengangkat wanita itu masuk ke rumah. Zhu Ziyu sama sekali tak perlu membunuh Kakak tertua. 　　“Pikiran-pikiran ini berputar di benak Jiang Si, ketika telinganya mendengar suara tanya Yu Jin: "Rencana bertemu bagaimana?"” 　　Jiang Si tersadar, melihat tinggi tembok lalu berbisik pelan: "Untuk sementara jangan ganggu orang di dalam, aku mau lihat dulu." 　　“Baiklah.” Begitu suara Yu Jin menghilang, satu tangannya melingkari pinggang Jiang Si dan melompat ke atas tembok, lalu meneruskan ke atap rumah. 　　Atap yang landai sama sekali tidak menghalangi gerakan Yu Jin. Sebelum Jiang Si menyadari, mereka sudah tengkurap rapi. 　　Pelataran kecil itu sepi tak berpenghuni. 　　Jiang Si menggeser tubuhnya, suara rendah pemuda terdengar: "Jangan bergerak, aku akan memancing mereka keluar." 　　Setelah hening sejenak, Jiang Si mengatupkan gigi: "Singkirkan cakarmu itu." 　　Bajingan ini, berani-berannya menekan pantatnya! 　　Mata Yu Jin melirik ke bawah, wajahnya langsung memerah. 　　Rupanya tanpa sengaja, tangannya menempati posisi yang salah... 　　Pinggang gadis itu ramping, posisi tengkurap membuat pakaiannya melekat membentuk lekuk pantat kecil yang mencuat. 　　Tapi jelas ini bukan saatnya untuk pikiran melantur. 　　Yu Jin cepat-cepat menarik pandangan, berkata dengan wajah serius: "Maaf." 　　Tapi dalam hati sudah bersorak gembira. 　　Hmm, jangan tunjukkan kegembiraan, nanti ditampar. 　　Ia menahan senyum yang hendak merekah, mengambil pecahan genting dan melemparkannya ke pelataran. 　　Pecahan genting kecil itu menghantam jendela dengan suara keras. 　　Sesaat kemudian, pintu kamar terbuka, seorang gadis berpakaian sederhana dengan jepit rambut kayu keluar, berdiri di halaman sambil memandang sekeliling dengan bingung. 　　"Tidak ada siapa-siapa?" gumam gadis itu, bergegas ke pintu gerbang halaman dan mendorongnya. 　　Pintu gerbang terkunci dari luar, tentu saja tidak bisa terbuka. 　　Gadis itu berbalik dan berjalan kembali, terlihat lebih murung dibandingkan kegembiraan tak terbendung yang terpancar saat pertama kali keluar. 　　Tak lama kemudian gadis itu masuk kembali ke dalam rumah, pintu kamar menutup lagi. 　　Melihat Jiang Si tak berkedip, Yu Jin bertanya pelan: "Sudah jelas?" 　　Jiang Si mengangguk perlahan, tapi kemudian menggenggam tangan Yu Jin erat-erat, suaranya gemetar: "Lihat sekali lagi!" 　　Yu Jin terkejut, mengulang triknya untuk memancing gadis itu keluar lagi. 　　Jiang Si memandangi gadis itu dengan wajah pucat, seolah terjebak dalam kabut tebal, dingin dari hati sampai ujung jari. 　　Gadis ini ternyata adalah Qing'er! 　　Kalau begitu... siapa yang dibawa Kakak tertua? 　　Selamat pagi. 309.BAB 309 Kembar 　　BAB 309 Kembar 　　Melihat ekspresi Jiang Si berubah, Yu Jin mendekatkan telinganya: "Ada apa?" 　　Jiang Si lama tidak bereaksi. 　　Baru kemudian Yu Jin mengamati gadis itu lebih seksama. 　　Satu hidung dua mata, tidak ada yang istimewa. 　　"Apa kita harus membawanya pergi?" 　　Jiang Si tiba-tiba sadar, matanya mengikuti punggung gadis yang menghilang di balik pintu kamar, lalu menggeleng perlahan: "Tidak, kita... pergi dulu..." 　　Tubuhnya terangkat ke udara, saat sadar sudah mendarat di gang, sebuah tangan besar menyelimuti tangan gadis yang dingin. 　　“Kehangatan yang ditransmisikan dari telapak tangan lawan membuat Jiang Si yang sedang bingung merasa sedikit tenang.” 　　Jiang Si menenangkan diri sejenak, lalu berkata dengan serius kepada Yu Jin: “Ada sesuatu yang ingin kuminta bantuanmu.” 　　“Katakan saja, semua orangku boleh kau pergunakan.” Yu Jin sedikit mengangkat sudut bibirnya, menambahkan, “Aku juga boleh kau pergunakan.” 　　“Jaga baik-baik orang di dalam sini, jangan sampai lepas dari kendali.” 　　“Masih ada lagi?” Untuk urusan kecil seperti ini, bahkan jika A Si tidak mengatakannya, dia pasti akan memerintahkannya juga. 　　Sekarang A Si bersedia meminta bantuannya, artinya di dalam hatinya sudah menerimanya. Tentu dia harus menunjukkan performa terbaik agar bisa cepat menikahi sang istri. 　　“Tidak ada lagi, aku harus pulang.” 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si tidak mau melepas: “A Si, sebenarnya ada masalah apa? Mengapa kau begitu terguncang setelah bertemu gadis itu?” 　　Jiang Si ragu sejenak. 　　Meskipun masalah kakak tertua menggunakan tenaga Yu Qi, awalnya tidak ingin melibatkannya terlalu dalam. Tapi melihat situasi sekarang, dua kepala lebih baik daripada satu. 　　Jiang Si segera tidak lagi ragu, menceritakan secara detail proses menyelamatkan Qing'er dalam perjalanan pulang dari Kuil Baiyun. 　　Yu Jin setelah mendengar berkata: “Kalau tidak paham, pergilah ke Keluarga Zhu untuk melihat apakah Qing'er ada di sana.” 　　“Bagaimana jika ada?” Jiang Si reflek bertanya balik. 　　Yu Jin mengusap rambutnya: “Kau ini, benar-benar terbelenggu dalam situasi. Jika ada Qing'er di Keluarga Zhu, artinya yang di pekarangan tadi bukan Qing'er, melainkan dua orang yang wajahnya sama, kemungkinan besar saudari kembar.” 　　“Jiang Si awalnya terkejut, kemudian kabut di depan matanya seolah diusap oleh tangan tak terlihat.” 　　“Dia memang terlalu larut dalam situasi. Jika ada dua 'Qing'er', maka salah satunya pasti bukan 'Qing'er'.” 　　“Mungkin... Yu'er?” 　　“Inspirasi tiba-tiba menyambar pikiran Jiang Si.” 　　“Terpengaruh informasi dari Yan Chun Ban, dia memiliki prasangka bahwa pelayan pria Zhu Ziyu menebus Yu'er melalui preman dan mengembalikannya ke kakak laki-lakinya. Kemudian sang kakak yang suka berjudi mengganti nama adiknya dan menjualnya kembali, hingga ditemukan dan diselamatkan kakak tertua.” 　　“Sekarang, jika Qing'er masih baik-baik saja di Keluarga Zhu, mungkin kesalahan terjadi sejak awal...” 　　“Jiang Si mendesak untuk menyelidiki Keluarga Zhu dan berpamitan pada Yu Jin.” 　　“Yu Jin menahannya: 'Mengapa repot? Berpura-puralah sebagai dayangku, aku akan membawamu ke Keluarga Zhu lebih cepat. Ingat, kasus kuda liar kakakmu masih tanggunganku.'” 　　“‘Pangeran membawa dayang ke Keluarga Zhu untuk menyelidiki kasus, bukankah ini akan menimbulkan gossip?’” 　　“Yu Jin tersenyum acuh: ‘Mereka tak berani bergosip dihadapanku. Tentang bisikan belakang, toh aku tak dengar. Lagipula—’” 　　“‘Apa?’” 　　“Yu Jin menghela napas: ‘A Si lupa? Kau baru melaporkan mereka ke. Kira-kira Keluarga Zhu masih mau menerimamu? Coba kirim kartu kunjungan, pasti akan ditolak halus.’” 　　"Jiang Si sejak awal berani melapor ke pihak berwajib dengan terang-terangan sudah memprediksi situasi ini. Namun dia punya strategi penanganan, tapi saat ini sedang terburu-buru ke keluarga Zhu, apapun responsnya akan menghabiskan banyak waktu." 　　Setelah mempertimbangkan matang-matang, ternyata benar-benar paling praktis ikut Yu Qi. 　　Melihat Jiang Si mengangguk, Yu Jin menyembunyikan senyum di matanya, berkata dengan percaya diri: "Panggil aku Tuan Gong, dengar apakah terdengar mirip." 　　Tatapan mata penuh senyum itu membuat Jiang Si tiba-tiba merasa sulit membuka mulut. 　　Bajingan yang mengambil keuntungan dalam kesulitan ini! 　　Mengatur perasaannya, Jiang Si kembali tenang: "Tuan Gong, mari kita pergi." 　　Yu Jin merasa sangat gembira. 　　Di masa depan, dia ingin A Si memanggilnya Kakak Ketujuh. 　　Belum saatnya turun dari kantor, Zhu Shaoqing tidak ada di rumah. Nyonya Zhu begitu mendengar Pangeran Yan datang, langsung merasa sakit seperti ditusuk di dada. 　　Tapi tamu ini memiliki pengaruh besar, meski hati tersiksa tetap harus menerima. 　　Nyonya Zhu memaksakan diri menemui Yu Jin. Sekilas pandang, di belakang pangeran ini berdiri seorang dayang, hatinya semakin sesak. 　　Sungguh tidak pantas! 　　"Kehadiran Paduka mengharumkan kediaman sederhana kami. Ada keperluan apa hari ini?" Bagaimanapun hati merendahkan, raut wajah Nyonya Zhu tetap sopan sempurna. 　　Yu Jin bersandar di kursi, memegang cangkir teh dengan sikap malas: "Nyonya Zhu lupa? Kasus di kediamanmu belum ditutup." 　　Nyonya Zhu hampir ingin menyiramkan air teh ke wajah Yu Jin. 　　“Apakah Pangeran Yan kekenyangan sehingga terus-menerus mencampuri urusan kecil keluarga kami?” 　　Beberapa hari terakhir, Keluarga Zhu juga tidak tenang. 　　Kusir kereta yang meninggal, Zhu Shaoqing memerintahkan penyelidikan menyeluruh, namun setelah diselidiki tetap tidak ditemukan hasil. 　　Hal ini membuat Zhu Shaoqing mulai menyalahkan Nyonya Zhu atas ketidakmampuannya mengurus rumah tangga. 　　Nyonya Zhu yang sangat menjaga gengsi, meski tidak ditegur langsung, merasa tersindir hingga susah tidur. 　　Baru saja situasi mulai sedikit tenang, tiba-tiba Pangeran Yan datang lagi! 　　“Apakah Paduka telah menemukan petunjuk?” tanya Nyonya Zhu sengaja. 　　Mereka sendiri saja tidak menemukan apa-apa, sangat tidak mungkin Pangeran Yan bisa menemukan bukti. 　　Komentar pedas Nyonya Zhu tidak berpengaruh pada Yu Jin. Dia meletakkan cangkir teh sambil tersenyum: “Justru karena tidak ada petunjuk, kami datang lagi. Tolong panggilkan Nyonya Besar.” 　　Dalam hati Nyonya Zhu menggerutu 'kurang ajar', namun tetap tersenyum dingin: “Maaf, menantu perempuan saya Jiang Shi masih trauma sejak kejadian itu. Kesehatannya terganggu dan tidak bisa menemui tamu.” 　　Selain tidak pantas memperkenalkan menantu perempuan pada pria asing, Nyonya Zhu juga tidak menyukai sikap Yu Jin yang terlihat tidak sopan, tentu tidak mau memenuhi permintaannya. 　　Mendengar kabar sakit kakaknya Jiang Yi, Jiang Si mengatupkan bibirnya. 　　Dengan elegan Nyonya Zhu mengangkat cangkir tehnya. 　　Ia tidak percaya Pangeran Yan masih mau memaksa bertemu menantunya setelah pembicaraan sampai sejauh ini. 　　"Yu Jin tetap tersenyum: \"Kalau Nyonya Besar tidak enak badan, tidak apa-apa. Nyonya Zhu, tolong panggil semua dayang-dayang yang melayani Nyonya Besar.\"" 　　Nyonya Zhu terdiam sejenak. 　　Yu Jin mengangkat alis: \"Bagaimana? Bahkan dayang-dayang yang melayani Nyonya Besar pun tidak bisa ditemui?\"" 　　\"Pangeran bercanda.\" Nyonya Zhu yang terjepit akhirnya menyuruh dayangnya memanggil orang. 　　Segera sekumpulan dayang-dayang memenuhi halaman. 　　Pemuda itu melangkahkan kaki panjangnya melewati barisan dayang-dayang, sementara dayang bermuka biasa mengikuti di belakangnya. 　　\"Sudah semua di sini?\" Langkah Yu Jin melambat seolah bertanya sembarangan. 　　Wajah yang familiar masuk ke pandangannya, tapi langkahnya tak berhenti. Sementara Jiang Si langsung menunduk setelah melihat sekilas, menyembunyikan gejolak emosi di matanya. 　　Qing'er benar-benar ada di sini! 　　Qing'er, Yu'er... 　　Dua gadis kembar identik - mungkin inilah alasan Zhu Ziyu mati-matian harus menggunakan Qing'er! 　　Tante datang bulan, ambruk... Beginilah nasib naskah yang susah payah ditabung terbuang percuma. 310.BAB 310 Mengintip 　　BAB 310 Mengintip 　　Setelah meninggalkan Keluarga Zhu, Jiang Si terus merenung. 　　Di kehidupan sebelumnya, Kakak tertua pernah menyebut tak seharusnya menyelamatkan Qing'er - ini membuktikan keterkaitan Qing'er dengan kasus perselingkuhan yang membuat Kakak diceraikan. 　　Sedangkan Qing'er sendiri adalah dayang di pekarangan Kakak... 　　Seorang Qing'er, seorang Yu'er, alasan perangkap itu bisa terpasang mungkin terletak pada fakta bahwa penampilan mereka persis sama. 　　Kira-kira skema apa ya? 　　Jiang Si berpikir sampai kepalanya sakit, naik kereta kuda dengan pikiran melayang lalu duduk di samping Yu Jin. 　　Yu Jin melihatnya termenung, berpikir sejenak lalu memutuskan membiarkannya. 　　Lagipula kereta kuda ini menuju Kediaman Pangeran Yan, A Si sendiri yang mau ikut ke rumahku, ah, aku juga bingung. 　　Jiang Si meremas lengan baju Yu Jin seperti saputangan, bergumam: "Dua orang berwajah sama, paling cocok untuk kejahatan apa ya?" 　　Yu Jin menjawab spontan: "Tentu saja saling jadi pengganti orang lain." 　　Mungkin kata "pengganti" terlalu sensitif bagi Jiang Si, mendengar itu ia tersentak dan menggenggam lengan bajunya: "Kau bilang apa?" 　　Yu Jin tertegun, matanya yang hitam berkilau menatapnya dengan polos dan bingung. 　　Dia belum berkata apa-apa, kenapa A Si seolah ingin mengusirnya turun dari kereta kuda? 　　Jiang Si menarik napas, menenangkan diri lalu bertanya ragu: "Barusan kau bilang saling jadi pengganti..." 　　Yu Jin menghela napas lega. 　　Rupanya tentang ini. 　　Tanpa berpikir panjang ia tersenyum: "Untuk anak kembar, kalau satu berbuat jahat bisa dialihkan ke yang lain." 　　Jiang Si seperti menangkap sesuatu, bertanya spontan: "Bagaimana jika orang luar tidak tahu ada sepasang anak kembar?" 　　Kabut itu seolah disinari cahaya matahari, seakan sedikit lagi terang akan menghalaunya. 　　"Justru itu lebih baik. Seseorang berbuat kejahatan, sementara orang lain pada waktu yang sama berada bersama orang lain. Di mata orang luar hanya ada satu orang, sehingga yang satunya bisa menciptakan alibi sempurna bagi pelaku kejahatan..." 　　Sebuah petir menyambar pikiran Jiang Si, seketika menghancurkan kabut keraguan. 　　Sepasang kembar, satu bisa menciptakan alibi sempurna bagi yang lain. Lalu bagaimana sebaliknya? 　　Jika salah satu dari Qing'er atau Yu'er menjerat Kakak tertua dalam jebakan "perselingkuhan", sementara yang lain muncul di hadapan kerumunan pada saat yang sama, maka ketika Kakak tertua ketahuan "berselingkuh", mustahil membuktikan bahwa ini semua adalah rekayasa Qing'er. 　　Dengan demikian, Kakak tertua benar-benar terbukti bersalah melakukan perselingkuhan, berakhir dengan diceraikan dan dikembalikan ke rumah orangtua. 　　Jiang Si seperti tercerahkan, memahami perangkap yang menjerat Kakak tertua di kehidupan sebelumnya. Meski tak bisa memverifikasi kejadian masa lalu, ia yakin tebakannya hampir pasti benar. 　　Sedangkan Zhu Ziyu... 　　Jantung Jiang Si terasa terendam dalam air es di tengah musim dingin. 　　Seorang suami bisa begitu kejam terhadap istri sahnya, hati nuraninya sungguh lebih beracun dari ular dan kalajengking. 　　Gadis itu mencengkeram lengan baju Yu Jin dengan kuat menggunakan sepuluh jarinya. 　　Ia bersumpah takkan membiarkan Zhu Ziyu lolos, pasti akan membuatnya merasakan rasa malu dan kehancuran reputasi. 　　Kehancuran reputasi? 　　“Jiang Si tiba-tiba teringat pada Putra Mahkota Marquis Changxing, Cao Xingyu.” 　　“Cao Xingyu dijatuhi hukuman pancung segera, eksekusinya akan dilaksanakan setelah musim gugur. Kebetulan hari eksekusinya sudah semakin dekat.” 　　“Menyaksikan Cao Xingyu dipenggal sama sekali tidak menarik minat Jiang Si.” 　　“Tugasnya hanya menjatuhkan sampah masyarakat dari singgasananya. Untuk urusan lain, tak perlu lagi menyiksa diri sendiri.” 　　“Namun hal ini memberi Jiang Si keyakinan.” 　　“Jika dia bisa menghukum demon seperti Putra Mahkota Marquis Changxing Cao Xingyu, pasti bisa mengungkap wajah asli hipokrit seperti Zhu Ziyu.” 　　“Setelah memahami jebakan yang menjerat Jiang Yi di kehidupan sebelumnya, hati Jiang Si menjadi lebih tenang.” 　　“Mengingat perangkap Zhu Ziyu bergantung pada sepasang kembar Qing'er dan Yu'er, cara menggagalkannya pun sederhana: cukup hilangkan salah satu dari mereka.” 　　“Saat ini, cara termudah adalah menyingkirkan Yu'er yang berada di rumah sipil.” 　　“Tapi Jiang Si tidak berniat melakukannya kecuali terpaksa.” 　　“Baik Yu'er maupun Qing'er hanyalah pion. Kuncinya tetap pada Zhu Ziyu.” 　　“Menggagalkan jebakan kehidupan sebelumnya tidak cukup. Serigala tetap mengintai di dekat kakak tertua, selalu ada cara untuk membunuhnya. Menyingkirkan Zhu Ziyu-lah solusi permanen.” 　　“"A Si…" Yu Jin akhirnya tak tahan, "Jika kau terus menggosok seperti ini, lengan bajuku akan robek…"” 　　“Jiang Si tersadar, lalu menarik tangannya dengan malu-malu.” 　　“Yu Jin mendekat: "Apa kau sudah menemukan jawaban?"” 　　“Hm.” Jiang Si mengangguk. 　　Pemuda itu mengangkat sudut matanya yang lancip, senyum tipis terlihat: “Ini kan jasaku, apakah harus ada hadiah?” 　　Suasana hati Jiang Si memang sedang baik, melihat sikapnya yang tak tahu malu itu, ia tertawa: “Ada.” 　　“Apa?” 　　Bibir lembut gadis itu menempel padanya. 　　Yu Jin langsung membeku, tak lama kemudian kegembiraan bagai air pasang menerpanya, membuatnya rela tenggelam dalamnya. 　　Ia menarik gadis itu dengan kuat, pertautan bibir mereka membara seperti api. 　　Beberapa saat kemudian, mereka berpisah. Derit roda kereta yang berputar menemani napas tersengal mereka. 　　Yu Jin dengan cepat membuka tirai jendela kereta, menghirup dalam-dalam udara dingin. 　　Ketenangan, semakin dekat kemenangan, semakin harus tenang. Terburu-buru adalah kesalahan fatal... 　　Jiang Si merapikan pakaiannya yang agak kusut, kembali berlagak tenang. 　　Yu Jin langsung tidak senang. 　　Dia masih seperti terbakar api di sini, tak bisa naik turun. Mengapa dia bisa tenang begitu? 　　Tidak boleh seenaknya mempermainkan orang! 　　“A Si.” Panggilnya. 　　Jiang Si menoleh. 　　“Kau barusan menciumku.” 　　Jiang Si mengangkat alis, tidak menyangkal. 　　“Atas kemauan sendiri.” Yu Jin menekankan. 　　Jiang Si tetap tak bergeming. Yu Jin mulai gelisah: “A Si, bukankah kau harus bertanggung jawab?” 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta, tersenyum: “Tidak.” 　　Yu Jin sampai tak bisa berkata-kata. 　　Bisa mengatakan ketidakbertanggung jawab dengan begitu berani, si gadis ini semakin tebal muka. 　　Tak bisa mengalahkannya dalam argumen dan tak bisa memukulnya, dia menutup mata sambil menggerutu. 　　Jiang Si diam-diam mengamatinya. 　　Fitur wajah pemuda itu semakin tajam, bulu halus mulai tumbuh di bawah bibirnya, namun saat mata tertutup terlihat kelembutan dan kenaifan seperti anak kecil. 　　Orang di hadapannya semakin mirip dengan gambaran dalam ingatannya. 　　Di kehidupan ini, mereka sudah bertemu satu tahun lebih awal, situasinya sama sekali berbeda dengan kehidupan sebelumnya. 　　Mungkin... mereka bisa memulai kembali? 　　Pikiran ini tiba-tiba muncul seperti nyala api di tengah angin dingin, rapuh namun berharga. 　　Sudut mata Jiang Si tiba-tiba terasa panas, dadanya sesak penuh perasaan. 　　Bisakah dia benar-benar memulai kembali dengannya? Masuk kembali ke pusaran keluarga kerajaan, bahkan jika berakhir seperti kehidupan sebelumnya yang mati tanpa kuburan, takkan menyesal? 　　Sebutir air mata menyelinap di sudut mata. 　　Tak bisa dipungkiri, sebagai manusia biasa, dia masih merasa takut. 　　Pemuda itu tiba-tiba membuka mata, menarik gadis dengan sudut mata kemerahan ke pelukannya. 　　Di telinga terdengar suara roda kereta yang teratur, sementara yang tak teratur adalah detak jantung mereka berdua. 　　Yu Jin menekukkan kepala pada rambut hitam pekat Jiang Si, mendesah: "Sudah, tak usah kau bertanggung jawab juga tidak apa, jangan menangis." 　　Si gadis bodoh ini, benar-benar mengira dia tertidur, sampai mengintipnya diam-diam. 　　Hehe, mengintipnya diam-diam. 311. BAB 311 Krisis 　　BAB 311 Krisis 　　Yu Jin merasa prinsip "puas dengan yang ada adalah kelebihan besar", seperti saat ini. 　　Dulu ketika dia mencium A Si, pasti akan ditampar, tapi sekarang A Si yang aktif menciumnya. 　　Meskipun A Si belum sepenuhnya menerima, ini sudah kemajuan yang luar biasa. 　　Ini sudah cukup baik. 　　Ketahuan mengintip, Jiang Si merasa canggung, menundukkan mata menyangkal: "Siapa yang menangis?" 　　Dia tidak mendorongnya, hanya merasakan dada itu lapang dan hangat. 　　Lelaki yang pernah dia 'tiduri' di kehidupan sebelumnya, di hidup sekarang belum ada wanita lain. Jika tidak memanfaatkan kesempatan untuk lebih banyak meraba dan memeluk, bukankah itu bodoh. 　　Jika di masa depan - membayangkan Yu Jin akan menikahi wanita lain, Jiang Si pun bisa menerima dengan lapang. 　　Jika dia memilih melepaskan, tentu tak berhak menggerutu. Anggap saja takdir dua kehidupan sudah habis. 　　Begitu pikirnya, Jiang Si mencari posisi nyaman di pelukan sang pemuda. 　　Kalau begitu, lebih lama sedikit bersandar juga tak apa. Tidak memanfaatkan kesempatan itu namanya bajingan... 　　Rasa malu sama sekali tak ada. Bagi Jiang Si, perubahan status dengan pria di sampingnya hanyalah sekejap mata. Padahal malam sebelum dia tewas, mereka masih tidur berpelukan. 　　Dia hafal setiap bagian tubuhnya, bahkan gerakan favoritnya saat bercinta pun dia ingat. Mana mungkin merasa malu? 　　Merasakan Jiang Si bersandar nyaman, Yu Jin malah tegang seolah dipanggang di atas tungku. 　　Merasa ada bagian tubuhnya yang bereaksi, diam-diam dia menggeser posisi. 　　“Ada apa?” Jiang Si tidak membuka mata, kelopak matanya berkedut. 　　“Tidak apa.” Yu Jin buru-buru mencari alasan agar tak ketahuan, "Tanganku kesemutan kena bebanmu, aku coba gerakkan sedikit." 　　Kesemutan... 　　Jiang Si membuka mata, bertemu pandangan pemuda yang berkelip-kelip. 　　Masih tahu merasa bersalah. Dulu tak pernah kusadar dia sebego ini cari-cari alasan. 　　Sebutir keringat muncul di dahi Yu Jin. 　　Jika ketahuan, apa yang harus dia lakukan? 　　Mungkin situasi tidak separah itu, A Si masih polos, mungkin mengira hanya menyimpan belati. 　　Ya, pasti tidak apa-apa. 　　Setelah menghibur diri, Yu Jin akhirnya kembali tenang: "Kenapa memandangiku seperti itu?" 　　"Ah, tidak..." Jiang Si tersenyum penuh arti, melepaskan diri dari pelukan Yu Jin dan duduk tegak. 　　Senyuman itu membuat Yu Jin gelisah, seandainya kereta kosong, ingin rasanya memukul 'si bandel' itu dua kali. 　　Untungnya kereta kuda berhenti, terdengar suara pengawal: "Pangeran, kita sudah sampai." 　　Yu Jin menghela napas lega, hampir berlari keluar. 　　"Pangeran?" 　　"Diam!" 　　Beberapa saat kemudian, tirai kereta dibuka, sang pemuda berkata seolah tak terjadi apa-apa: "Turunlah." 　　Jiang Si mengangguk sambil tersenyum, melompat keluar dengan lincah. Saat melihat tulisan menyolok "Kediaman Pangeran Yan", dia tertegun. 　　"Sudah sampai, mau lihat-lihat?" 　　Jiang Si menggeleng sambil menekan bibir: "Tidak, aku ingin pulang lebih cepat." 　　Yu Jin menahan kekecewaan: "Baiklah, aku akan mengantarmu pulang." 　　Tiba-tiba suara terdengar dari kejauhan: "Adik ketujuh benar-benar gaya ya, jalan-jalan bawa dayang." 　　Jiang Si menoleh ke arah suara, melihat seorang pemuda bermata besar dan alis tebal mendekat. 　　Orang itu dikenalnya, dia adalah Pangeran Kelima Lu. 　　Terhadap Pangeran Lu, Jiang Si tidak punya kesan buruk. 　　Mungkin karena di kehidupan sebelumnya sebagai Permaisuri Yan yang baru kembali ke ibu kota, jarang bertemu pangeran ini. Dia hanya dengar kabar Pangeran Lu pernah dikejar-kejar Permaisuri Lu sampai ke jalan karena main pelacuran, wajahnya babak belur dipukuli. 　　Kabar ini sampai ke telinga Ibu Selir Ning, ibunya Pangeran Lu. Sang selir marah besar dan melapor ke Kaisar untuk menghukum Permaisuri Lu. Namun akhirnya justru Pangeran Lu sendiri yang memohon pengampunan untuk istrinya... 　　Mungkin karena ini, Jiang Si malah punya kesan agak baik pada Pangeran Lu. 　　Sambil mengingat-ingat, pandangannya tertahan agak lama di wajah pangeran kelima ini. 　　Yu Jin sangat tidak senang. 　　Apa Lao Wu lebih tampan darinya sampai A Si bisa terpana seperti itu? 　　"Kakak kelima sudah selesai masa tahanannya?" Yu Jin langsung menyentil aib Pangeran Kelima. 　　Pangeran Kelima menggertakkan tinjunya. 　　Memukul jangan di muka, mencaci jangan buka aib. Lao Qi bajingan ini benar-benar keterlaluan! 　　Matanya berputar menyapu Jiang Si, Pangeran Kelima mengejek: "Adik ketujuh, seleramu biasa saja. Kalau sudah membawa dayang keluar, kenapa tidak bawa yang lebih cantik? Aku ingat, Kediaman Pangeran Yan baru selesai dibangun, dayang yang dikirim Kantor Urusan Dalam Negeri memang tidak bagus. Hehe, nanti Kakak kelima akan mengirimkan beberapa penari wanita untukmu, dijamin nyaman digunakan dan membawa muka saat dibawa keluar..." 　　Mengirimkan penari wanita kepada Yu Qi? 　　Sedikit simpati Jiang Si terhadap Pangeran Kelima langsung lenyap bagai asap. 　　Mengapa Permaisuri Lu dulu tidak membunuh suaminya? Sungguh penyesalan. 　　"Kakak kelima lebih baik menyimpannya sendiri untuk digunakan. Di kediamananmu sendiri silakan pakai sesuka hati, hanya saja jangan selalu suka melihat keramaian di luar, jangan sampai lagi dikenakan tahanan rumah oleh Ayah Kaisar." 　　"Kau!" 　　Yu Jin mengerlingkan matanya, lalu berbalik dan pergi. 　　Jiang Si tidak menyangka Yu Jin bisa berubah muka secepat itu, sesaat linglung. 　　"Ayo pergi." Sebuah tangan besar meraihnya. 　　Melihat kedua orang itu menghilang di balik pintu besar merah menyala, Pangeran Kelima mengusap wajahnya. 　　Brengsek! Akan kubalas perbuatan Lao Qi ini! 　　Masuk ke Kediaman Pangeran Yan, Jiang Si langsung merasakan puluhan tatapan mengarah padanya, bahkan beberapa sumber tatapan tak jelas dari sudut mana. 　　Yu Jin mengerutkan kening, semua tatapan itu seketika lenyap. 　　"Mari, kuantarkanmu berkeliling." Yu Jin berjalan sambil sesekali berhenti, menjelaskan setiap pemandangan dengan sangat serius. 　　Tempat ini akan menjadi rumah A Si di masa depan, di sini mereka akan menghabiskan waktu yang sangat lama selama sisa hidupnya, semoga dia menyukainya. 　　Jiang Si sudah sangat familiar dengan Kediaman Pangeran Yan. Saat mendengar penjelasan, pikirannya mulai melayang. Ketika Yu Jin menunjuk ke arah kolam, dia spontan berseru: "Kolam Teratai Senja." 　　Langkah Yu Jin terhenti, dia bertanya heran: "Bagaimana kau tahu?" 　　Lidah Jiang Si seperti terbelit, dia berpura-pura tenang: "Masih ada sisa teratai di kolam, kupikir nama ini sangat sesuai dengan pemandangan." 　　Yu Jin tertawa: "Kebetulan yang luar biasa, kolam ini memang bernama Kolam Teratai Senja." 　　Kebetulan seperti ini membuktikan bahwa A Si memang ditakdirkan menjadi nyonya rumah Kediaman Pangeran Yan. 　　Merasa ini pertanda baik, Yu Jin tiba-tiba merasa gembira tanpa alasan yang jelas. 　　Jiang Si tak berani lagi melamun, dia mengajukan pamit: "Tak perlu menggunakan kereta kuda istana, cukup carikan kereta kuda biasa di luar untuk mengantarku ke dekat Dongping Bo Residence." 　　Setelah menghabiskan hampir sepanjang hari bersama dan mengunjungi rumah baru, Yu Jin merasa puas lalu menuruti permintaan Jiang Si dengan patuh. 　　Kediaman Pangeran Yan dan Dongping Bo Residence sama-sama berada di kawasan barat. Jaraknya tidak terlalu jauh, tak lama kemudian mereka sudah tiba di jalan yang familiar. Jiang Si melompat turun dari kereta kuda, merapikan pakaiannya lalu berjalan menuju Dongping Bo Residence. 　　Para pelayan sudah mulai mengenali dayang kecil yang sesekali keluar membeli bedak ini. Melihat Jiang Si mendekat, mereka berseru: "Kakak membeli apa lagi hari ini? Pulangnya agak sore nih." 　　Jiang Si tersenyum menyodorkan sebungkus kue kepada Pelayan: "Membelikan kue guihua dari ujung timur jalan untuk tuanku, harum sekali." 　　Pelayan menerima kue itu lalu membukakan pintu untuknya sambil tersenyum. 　　Tiba-tiba suara terdengar dari belakang: "Dayang kecil dari kamar mana ini? Kok aku belum pernah melihatmu?" 　　Minta vote ya. 312.BAB 312 Ikut Ayah 　　BAB 312 Ikut Ayah 　　Jiang Si tidak menoleh, namun sudah mengenali suara itu: Ini adalah Mandor Nenek Zhao dari bagian dalam. 　　Semua pengaturan pelayan bagian dalam, uang saku bulanan, dan penugasan semuanya diurus Mandor Zhao. Bisa dibilang di belakang rumah Keluarga Bo, selain majikan, dialah yang paling dihormati. 　　Mandor Zhao adalah wanita cerdik dengan ingatan tajam. Jiang Si pernah mendengar kisahnya menghukum dayang kecil. 　　Jiang Si sedikit terhenti, menoleh sambil menyunggingkan senyum manis: "Benarkah Nenek Zhao tidak mengenal saya?" 　　Mata tajam Mandor Zhao menyapu tubuh Jiang Si dari ujung kepala sampai kaki, berkerut: "Tidak. Kau bertugas di mana?" 　　Dayang biasa-biasa ini terlihat seperti pelayan biasa, tapi kemampuannya mengenali orang sangat hebat. Sekali dilihat, wajah sekecil apapun pasti akan terekam di ingatannya. 　　Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Terlalu sering main api akhirnya terbakar juga. Tak disangka ketahuan secepat ini. Rupanya harus ganti cara lain kalau mau menyelinap keluar. 　　Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan itu. Yang penting segera kabur. 　　Jiang Si sedikit menaikkan dagunya, tersenyum manis kepada Mandor Zhao: "Baguslah kalau tidak kenal." 　　Setelah berkata demikian, dia mengangkat roknya dan lari sekencang-kencangnya, gesit seperti kelinci yang melarikan diri. 　　Mandor Zhao dan pelayan pintu sama sekali tidak menyangka kejadian ini, tertegun sejenak. Saat sadar, dayang kecil itu sudah hilang entah ke mana. 　　Mandor Zhao murka, berteriak menyuruh orang mengejar. Kediaman Dongping Bo yang biasanya sunyi senyap tiba-tiba riuh rendah, porak-poranda namun tak berhasil menemukan si pelarian. 　　Keributan ini segera menarik perhatian Nyonya Feng. 　　Di Cixintang, Nyonya Feng memandang Mandor Zhao dengan wajah gelap: "Mandor Zhao, beginikah caramu mengurus rumah? Membiarkan dayang tak dikenal keluar-masuk kediaman bangsawan semaunya! Pantas saja akhir-akhir ini terjadi banyak masalah di sini!" 　　Mandor Zhao segera bersujud memohon ampun: "Ibu Suri, ini semua kesalahan hamba. Hamba tidak menyangka Lao Wangtou begitu bodoh..." 　　Nyonya Feng mengarahkan tatapan tajamnya ke pelayan pintu Lao Wang: "Lao Wangtou, kau kenal dayang kecil itu? Tahu dia dari paviliun mana?" 　　Pelayan itu gemetar ketakutan, wajahnya masih bingung: "Hamba tidak tahu, Nyonya." 　　"Tidak tahu?" Tongkat Nyonya Feng menghantam lantai keras. "Tidak tahu tapi berani membiarkan dayang keluar berkali-kali? Apakah tidak ada lagi tata krama di kediaman ini!" 　　Pelayan masih merasa kesal di dalam hati: “Si gadis itu bilang mau keluar beli sesuatu, minta hamba yang tua ini memberi kemudahan. Hamba pikir ini bukan urusan besar……” 　　Secara resmi, pelayan di kediamanan harus melapor jika ingin keluar, tapi di semua rumah bangsawan sama saja, aturan di atas ada cara bawahannya mengakali. Beberapa dayang kecil yang ingin keluar beli jarum-benang biasanya cukup menyuap pelayan pintu dengan beberapa uang tembaga. 　　Mandor Zhao tahu hal ini, sadar betapa ketat pengawasannya pun tak bisa menghapus praktik itu, tapi tak menyangka pelayan pintu begitu bodoh sampai menjeratnya juga. 　　“Mandor Zhao, apa kau yakin dayang kecil itu masih di dalam kediamanan saat ini?” 　　Mandor Zhao segera mengangguk: “Hamba yakin. Hamba melihat sendiri dayang itu lari ke halaman belakang. Sambil memerintahkan pengejaran, hamba juga segera menyegel semua pintu depan-belakang. Pasti dia masih di sini, tak mungkin kabur.” 　　“Kalau bertemu lagi, apakah kalian bisa mengenali dayang kecil itu?” 　　Pelayan pintu jujur, menunduk tanpa suara. 　　Para pelayan perempuan di kediamanan ini seragam pakaiannya, semuanya gadis belasan tahun yang wajahnya mirip-mirip. 　　Mandor Zhao tanpa ragu: “Bahkan jika dayang kecil itu dikremasi pun hamba akan mengenalinya!” 　　Belum pernah dia melihat dayang seberani itu, tertangkap basah bukannya takut malah tersenyum sinis padanya. 　　Begitu bayangan senyum sumringah itu muncul di benak, Mandor Zhao langsung merasa sakit hatinya. 　　“Geledah! Pastikan kalian menemukan asal paviliun dayang kecil itu!” 　　“Setelah Mandor Zhao mundur, pandangan tidak senang Nyonya Feng jatuh pada Xiao Shi, lalu berkata dengan tegas: “Xiao Shi, kau benar-benar pandai mengurus keluarga ini!” 　　Xiao Shi merasa sangat kesal. 　　Bukan satu dua tahun dia mengurus rumah tangga, tahun-tahun sebelumnya selalu berjalan lancar, mengapa tahun ini masalah datang bertubi-tubi? 　　Orang yang sedang sial bahkan minum air dingin pun tersedak! 　　“Ini kesalahan menantumu, setelah menemukan dayang kecil itu pasti akan dihukum berat sebagai peringatan.” 　　Nyonya Feng tidak menghiraukannya, langsung menutup mata. 　　Jiang Si berlari kembali ke Haitangju, melepas pakaiannya, dengan bantuan Ah Man dan A Qiao cepat-cepat merapikan diri. Saat Mandor Zhao datang dengan rombongan, yang terlihat adalah Nona Keempat yang berwajah dingin, tak berbeda dari biasanya. 　　“Mandor Zhao datang dengan pasukan besar, apakah ada maling masuk ke rumah?” 　　Menghadapi Jiang Si, Mandor Zhao sangat sopan: “Ada dayang kecil yang membuat masalah, tapi tidak tahu dari pekarangan mana. Hamba diperintah Nyonya untuk memeriksa satu per satu pekarangan, baru saja dari tempat Nona Ketiga.” 　　Maksudnya, keributan ini bukan ditujukan pada Jiang Si. 　　Jiang Si mengangguk tipis, bibirnya mengencang lalu berbalik masuk ke dalam rumah. 　　A Qiao tersenyum: “Mandor Zhao, semua orang di Haitangju sudah berkumpul di sini. Periksa baik-baik. Jika tidak ada orang yang kalian cari, cepatlah pergi ke tempat lain. Nona kami tidak suka keramaian.” 　　Mandor Zhao menyapu pandangannya ke dayang-dayang yang berkumpul di halaman, menahan kekecewaan di hati sambil mengucapkan beberapa patah kata sopan kepada A Qiao sebelum pergi ke paviliun Nona Kelima bersama anak buahnya. 　　Jiang Si berdiri di tepi jendela menyaksikan kepergian Mandor Zhao dan yang lain, mengerutkan alisnya yang hitam. 　　Setelah kejadian ini, pengawasan di kediamanan pasti akan diperketat. Pergi keluar akan membutuhkan perhatian ekstra. 　　Ah Man mendekat: "Nona, lebih baik kita pergi malam hari saja, pergi malam hari mana ada serumit ini." 　　Jiang Si mencubit pipi putih lembut dayang kecil itu, berkata datar: "Nanti kita lihat lagi." 　　Keributan di kediamanan akhirnya berakhir tanpa hasil. 　　Nyonya Feng mengamuk, menghukum Mandor Zhao dengan pemotongan Uang Saku Bulanan selama setengah tahun, mengusir para pelayan ke perkebunan, bahkan memerintahkan Nyonya Guo dan Xiao Shi untuk bersama-sama mengurus urusan rumah tangga. 　　Untuk pertama kalinya Nyonya Ketiga ikut campur dalam urusan rumah tangga, tamparan keras yang membuat Xiao Shi layu tak berdaya. 　　Pengawasan keluar-masuk kediamanan memang menjadi lebih ketat dari sebelumnya. 　　Dalam situasi seperti ini, Jiang Si tiba-tiba menerima kabar dari A Fei melalui Lao Qin: Zhu Ziyu bertemu dengan seorang wanita di Gedung Teh Tianxiang! 　　Mendengar kabar ini, Jiang Si ingin segera terbang meninggalkan Keluarga Bo. 　　Setelah ragu sejenak, ia bergegas ke halaman depan mencari Jiang Ancheng. 　　“Ayah, Putri merasa agak tertekan di rumah dan ingin pergi keluar.” Menghadapi Jiang Ancheng, Jiang Si sama sekali tidak perlu menggunakan taktik, cukup dengan suara manja mengutarakan keinginannya. 　　Ayah mana yang bisa menahan rayuan putrinya? 　　Jiang Ancheng langsung melepas kantong uang dan menyerahkannya: “Mau pergi ya pergi saja, apa tael perakmu kurang?” 　　Jiang Si tersenyum manis: “Ayah temani Putri pergi. Kalau pergi sendiri, Putri harus minta izin Nenek, takut membuat beliau tidak senang.” 　　“Ikut Ayah.” 　　Jiang Si mengikuti Jiang Ancheng keluar rumah dengan leluasa. 313.BAB 313 Kekasih Zhu Ziyu 　　BAB 313 Kekasih Zhu Ziyu 　　Sebagai kepala keluarga, Jiang Ancheng tidak perlu melapor ke Nyonya Feng saat mengajak putrinya keluar. Pelayan baru mengawasi kepergian ayah-anak ini sambil tetap waspada menjaga pintu. 　　“Si'er ingin jalan-jalan ke mana?” 　　“Putri ingin mengunjungi toko kosmetik. Katanya ada toko baru bernama Lush Sheng Xiang yang parfumnya sangat laris.” 　　“Toko kosmetik—” Jiang Ancheng menunjukkan raut penyesalan. 　　Seorang pria dewasa seperti dirinya tidak pantas berkeliaran di tempat seperti ini. 　　Sampai di depan toko bertuliskan "Lush Sheng Xiang", Jiang Ancheng berhenti: “Si'er, kau masuk saja. Ayah akan menunggu di kedai teh sebelah.” 　　Jiang Si segera menyunggingkan senyum manis: “Kalau begitu merepotkan Ayah menunggu.” 　　“Dengan diluncurkannya dua varian wewangian baru di Lush Sheng Xiang, toko kosmetik kecil ini semakin ramai dikunjungi. Saat ini sudah banyak pelanggan yang datang membeli bedak dan parfum.” 　　“Jiang Si masuk bersama A Qiao. Begitu melihat A Qiao, Xiuniangzi langsung menyambut.” 　　“A Qiao menggelengkan kepala halus.” 　　“Setelah kesibukan beberapa bulan ini, Xiuniangzi perlahan mulai pulih dari rasa sakit karena kehilangan putri. Atau lebih tepatnya, kesedihan itu selamanya tertanam di dasar hati, namun toko kosmetik kecil ini menjadi tumpuan harapannya akan masa depan, membuatnya terus bertahan.” 　　“Xiuniangzi yang menjanda sejak muda dan membesarkan putrinya dengan berjualan tahu, sebenarnya adalah perempuan tangguh. Kini ia sudah kembali seperti sedia kala. Melihat gelengan kepala A Qiao, ia segera paham situasi. Baru setelah A Qiao menemani Jiang Si masuk ke ruang dalam beberapa lama, Xiuniangzi mencari kesempatan untuk mendatangi mereka.” 　　“Salut untuk Nona.” 　　“Meski belum mengetahui identitas asli Jiang Si, Xiuniangzi sudah tahu dari A Qiao bahwa dialah pemilik sebenarnya Lush Sheng Xiang.” 　　“Terhadap Jiang Si, ia merasa berterima kasih dari lubuk hati.” 　　“Kini ketika mengingat-ingat, Xiuniangzi sendiri tidak tahu bagaimana ia melewati masa-masa itu. Jika bukan karena toko kecil ini yang memberinya tempat berlindung, mungkin ia sudah menyusul putrinya.” 　　“Jiang Si dapat merasakan ketulusan rasa terima kasih Xiuniangzi. Ia melepas tudung wajah dan meletakkannya di meja, tersenyum lembut: Xiuniangzi tidak perlu banyak basa-basi.” 　　Saat melihat jelas wajah Jiang Si, Xiuniangzi tertegun, air mata hampir tak terkendali mengalir dari sudut matanya. 　　Tanpa alasan yang jelas, dia melihat bayangan putrinya pada gadis muda di hadapannya. 　　Xiuniangzi segera menyadari kesalahannya dan memohon maaf kepada Jiang Si: "Wanita kecil ini telah berlaku tak pantas, mohon Nona jangan marah." 　　Pasti karena terlalu merindukan putrinya. Gadis ini jauh lebih anggun dan menonjol daripada putrinya, mana mungkin ada kemiripan? 　　Setelah goncangan awal berlalu, Xiuniangzi yang sudah tenang kini mengamati dengan seksama dan menyadari tak ada kemiripan sama sekali. 　　Keputusan Jiang Si untuk menampakkan diri di hadapan Xiuniangzi sudah direncanakan sejak lama. 　　Keberadaan Nona Chuchu di Gang Songzi membuat beberapa urusan tak lagi cocok diatur di sana, sementara toko kosmetik justru sangat sesuai dengan identitasnya. 　　Gadis muda yang datang membeli kosmetik ditemani dayang adalah hal yang sangat biasa, sama sekali tidak mencurigakan. 　　Dengan demikian, dia perlu memastikan Xiuniangzi mengenal pemilik sebenarnya agar bisa membantu memberikan perlindungan dan kemudahan. 　　"Apakah A Fei sudah sampai?" tanya Jiang Si. 　　"Sudah, silakan Nona mengikuti wanita kecil ini." 　　Xiuniangzi membawa Jiang Si ke halaman belakang. 　　Meskipun toko kosmetik di tepi jalan ini tidak besar, memiliki tata letak khas toko-depan-dan-halaman-belakang: bagian depan untuk berdagang, bagian belakang untuk tempat tinggal. 　　Tentu saja halaman belakang ini tidak boleh dimasuki sembarangan oleh pelanggan. 　　“Halaman belakang memiliki pintu belakang, A Fei masuk melalui pintu tersebut dan sedang menunggu di dalam rumah sambil minum teh. Begitu melihat Jiang Si masuk, ia langsung berdiri dan berkata tak sabar: ‘Nona, akhirnya Anda datang!’” 　　A Qiao tersenyum manis menarik lengan Xiuniangzi: “Xiuniangzi, silakan ke depan saja, area depan tidak boleh ditinggalkan.” 　　Setelah A Qiao dan Xiuniangzi pergi, Jiang Si segera bertanya: “Sekarang apakah orangnya masih di sana?” 　　“Dua anak buah hamba sedang mengawasi di luar Gedung Teh Tianxiang, sejauh ini belum terlihat Tuan Gong Zhu turun.” 　　“Bagaimana kalian menemukan dia bertemu dengan seorang wanita?” Jiang Si terus mendesak. 　　Ia tidak percaya dengan kehati-hatian Zhu Ziyu yang berani terang-terangan membawa wanita ke Gedung Teh Tianxiang. 　　A Fei segera menjelaskan: “Sebelumnya hamba mengikuti Tuan Gong Zhu masuk ke Gedung Teh Tianxiang, mengawasinya dari Ruang VIP seberang. Tak lama kemudian seorang nona naik dan masuk ke Ruang VIP sebelah Tuan Gong Zhu. Beberapa saat kemudian, Tuan Gong Zhu keluar dari ruangannya dan menyelinap masuk ke Ruang VIP nona tersebut...” 　　“Kamu melihat jelas?” Jiang Si menekan bibirnya bertanya. 　　A Fei menepuk dada: “Hamba melihatnya sangat jelas.” 　　“Maksud saya, dari usia dan penampilannya, kamu yakin itu seorang gadis?” 　　“Usianya seumuran Anda, rambutnya disanggul gaya perawan, pakaiannya terlihat cukup mewah...” 　　Jiang Si menggenggam erat tangannya, sukar menahan gejolak di hatinya. 　　“Qing'er dari Keluarga Zhu, Yu'er dari rumah sipil, kedua pihak ini belum menunjukkan gerakan, tak disangka Zhu Ziyu malah menunjukkan kelemahan.” 　　“Jika benar Zhu Ziyu memiliki kekasih, dihitung-hitung mereka sudah tidak bertemu lebih dari sebulan, karena sejak bulan Agustus aku menyuruh A Fei mengawasi Zhu Ziyu 24 jam.” 　　“Kalau begitu, ini bukan karena Zhu Ziyu tidak bisa menahan diri.” 　　“Sepasang kekasih yang terpisah memang sulit menahan rindu dalam waktu lama seperti ini.” 　　“Bawa saya ke sana.” 　　A Fei memimpin Jiang Si keluar melalui pintu belakang, mengambil jalan pintas dan segera tiba di Gedung Teh Tianxiang. 　　“Nona, mau naik ke atas untuk melihat?” Bersembunyi di balik pohon seberang gedung teh, A Fei berbisik. 　　Jiang Si menggelengkan kepala: “Tidak perlu. Nanti saat Zhu Ziyu keluar, jangan langsung bertindak. Ikuti wanita itu untukku, lihat dari keluarga mana asalnya.” 　　“Sudah cukup lama sejak A Fei mengirim kabar sampai aku bisa keluar rumah. Sekarang meski langsung naik ke Gedung Teh Tianxiang, sudah terlambat untuk melakukan persiapan.” 　　“Justru di saat seperti ini harus lebih tenang. Membuat ular berbisa kabur hanya akan membuat kita terjebak dalam posisi pasif.” 　　Menurut Jiang Si, menghadapi tipe orang seperti Zhu Ziyu harus dilakukan sekali pukul hingga tak bisa bangkit lagi. Saat ini bahkan identitas wanita itu pun belum jelas, tentu tidak bisa gegabah bertindak. 　　“Tujuanku kemari adalah untuk melihat langsung wajah wanita itu, juga reaksi Zhu Ziyu.” 　　“Dia yakin, tidak peduli seberapa pandai seorang pria menyembunyikan perasaan, setelah bertemu dengan kekasih gelap pasti akan tersisa jejak. Mungkin kilauan kebahagiaan di mata, mungkin senyum tipis di sudut bibir...” 　　Semua ini hanya bisa diketahui dengan mengamati langsung. 　　“Nona, dia sudah keluar.” 　　Orang pertama yang keluar dari gedung teh adalah Zhu Ziyu. 　　Jiang Si memandang dingin ke arah pria yang tersenyum itu hingga menjauh, lalu tanpa ekspresi meraba duri beracun di dalam dompetnya. 　　Tenang, membunuh dan membakar itu salah. 　　A Fei tiba-tiba menggigil. 　　Setelah menunggu sekitar seperempat jam, seorang gadis dengan dayang pelayan keluar dari Gedung Teh Tianxiang. 　　“Nona, itu dia wanitanya!” A Fei berbisik. 　　Jiang Si sudah lama mengamatinya. 　　Dibandingkan dengan aura bahagia Zhu Ziyu, gadis yang berhenti sebanyak di pintu gedung teh ini terlihat biasa saja, sama sekali tidak seperti baru saja bertemu kekasih. 　　Saat melihat jelas wajah gadis itu, pupil mata Jiang Si tiba-tiba menyempit menunjukkan keheranan yang luar biasa. 　　Bagaimana mungkin dia?! 　　Kemarin ada saudara datang, empat anak di rumah ribut sampai jam 2 pagi. Saya ketiduran. Dua BAB sekaligus saya terbitkan, sampai jumpa besok. 314.BAB 314: Aneh 　　BAB 314: Aneh 　　Jiang Si sama sekali tidak menyangka, gadis yang berkencan dengan Zhu Ziyu ternyata adalah Cui Mingyue, nona pertama dari keluarga Jenderal Cui. 　　“Cui Mingyue adalah putri tercinta Jenderal Cui Xu dan Putri Rongyang. Kakak laki-lakinya, Cui Yi, adalah teman bergaul Yang Shengcai yang tewas dalam kasus pembakaran kapal pesiar di Sungai Jinshui.” 　　“Ayah Cui Mingyue adalah jenderal termasyhur, ibunya putri kekaisaran, nenek maternalnya Janda Permaisuri. Latar belakang bangsawan yang begitu megah ini bahkan termasuk yang tertinggi di antara putri-putri bangsawan ibu kota. Jiang Si sama sekali tidak menyangka dia ternyata merupakan kekasih Zhu Ziyu.” 　　“Mungkinkah dugaannya salah? Mungkinkah hubungan antara Cui Mingyue dan Zhu Ziyu bukan seperti yang dia kira?” 　　“Di hadapan realitas absurd ini, Jiang Si hampir meragukan kesimpulan yang telah dia tarik sendiri.” 　　“Nona, hamba sudah mengikuti mereka.” A Fei berbisik pelan saat melihat Jiang Si termenung. 　　Jiang Si menghentikan A Fei: “Tidak perlu.” 　　“Dia sudah mengetahui identitas wanita itu, tentu tak perlu lagi menyuruh A Fei mengikuti.” 　　Jiang Si sendiri yang menyusul dari belakang. 　　“Cui Mingyue berjalan-jalan santai ditemani dayangnya, dan tanpa disangka memasuki toko Lush Sheng Xiang.” 　　“Menghadapi kebetulan seperti ini, Jiang Si antara ingin tertawa dan menangis. Dia merapikan tudung wajahnya yang berhiaskan kain tipis, lalu masuk ke dalam toko dengan sikap percaya diri.” 　　“Xiuniangzi sedang menjelaskan wewangian terbaru dengan suara lembut kepada seorang wanita muda. Matanya terbelalak melihat Jiang Si masuk dari pintu toko, terkejut sampai lupa bicara.” 　　“Tindakan pemilik toko ini benar-benar penuh misteri.” 　　“Hai pemilik toko! Kau tuli? Panggilan tadi tidak kau dengar?” Dayang yang mendampingi Cui Mingyue berserak tidak sabar. 　　Xiuniangzi tersadar, meminta maaf pada wanita muda itu, lalu segera menyambut: "Ada yang bisa saya bantu, Tuan/Nyonya?" 　　Cui Mingyue diam saja. Dayangnya bersuara nyaring: "Katanya wewangian di sini bagus. Bawa semua varian wewangian untuk dilihat Nona kami." 　　Xiuniangzi mengangguk patuh, tidak berani menatap Jiang Si terlalu lama, lalu bergegas ke rak mengambil beberapa botol wewangian. 　　"Ini aroma melati, ini bunga kaca piring, ini..." 　　Mendengar penjelasan Xiuniangzi, sang dayang menjilat pada Cui Mingyue: "Nona, mau mencoba yang mana?" 　　"Coba yang aroma mawar." Cui Mingyue menyangga dagu sambil memandang rak yang penuh barang, berkata santai. 　　Xiuniangzi mengambil botol wewangian berwarna merah muda, membuka tutupnya dan menuangkan sedikit di pergelangan tangan dayang yang diulurkan. 　　Dayang itu mengangkat tangannya, mengendus, lalu menyodorkannya ke hadapan Cui Mingyue seperti mempersembahkan harta: "Nona, aromanya lebih wangi dari yang biasa Nona pakai." 　　Cui Mingyue melirik dayangnya, mengerutkan kening sambil mengendus. 　　Wewangian mawar yang biasa digunakannya adalah persembahan kekaisaran dari seberang lautan, tak ternilai harganya. Mungkinkah wewangian dari toko kecantikan kecil ini melebihi barang istana? 　　Saat aroma lembut namun memikat itu menyentuh hidungnya, keheranan terpancar di mata Cui Mingyue. Ia mengangguk halus. 　　Sang dayang bertanya pada Xiuniangzi: "Ada wewangian mawar kualitas lebih tinggi lagi?" 　　"Nona-nona kami tidak menggunakan barang apapun kecuali yang terbaik. Meskipun wewangian dari toko kecil ini harum, mana mungkin Nona menggunakan barang rendahan yang dipakai banyak orang." 　　"Tuan yang terhormat, mohon ditunggu sebentar." 　　Melihat Xiuniangzi pergi mengambil parfum mawar kualitas premium, dayang berbisik di telinga Cui Mingyue: "Nona, setelah memakai wewangian segar ini, pasti dia akan linglung dibuatnya--" 　　Jiang Si berdiri terang-terangan di belakang Cui Mingyue sambil mengarahkan telinga untuk menguping. Tiba-tiba dia mendengar tiga kata meluncur dari mulut Cui Mingyue: "Dia pantaskah?!" 　　Tiga kata pendek itu terdengar dingin dan kejam, penuh cemoohan terhadap pria yang disebutkan dayang tersebut. 　　Mengingat pertemuan diam-diam Cui Mingyue dengan Zhu Ziyu sebelumnya, Jiang Si bisa menebak bahwa pria yang dimaksud dayang itu pastilah Zhu Ziyu. 　　Ini membuatnya semakin bingung. 　　Cui Mingyue baru saja berkencan dengan Zhu Ziyu, mengapa sikapnya seperti ini? 　　Ditambah lagi dengan ingatan akan ekspresi puas Zhu Ziyu saat meninggalkan Gedung Teh Tianxiang, Jiang Si semakin merasa ada yang aneh. 　　"Cukup! Jangan banyak bicara di tempat umum!" bentak Cui Mingyue dengan kesal. 　　Hingga Cui Mingyue dan dayangnya pergi, Jiang Si tidak mendengar informasi berguna lainnya. 　　Ia bersandar di konter, merenungkan kejadian aneh ini. 　　Jika kita menerima premis bahwa kekasih Zhu Ziyu adalah Cui Mingyue, maka upaya Zhu Ziyu menjebak kakak tertua menjadi masuk akal. 　　Dia ingin mengosongkan posisi kakak tertua untuk Cui Mingyue, sambil tetap menjaga reputasinya tetap bersih! 　　Ini sebenarnya sangat absurd, dengan latar belakang Cui Mingyue mustahil menjadi istri pengganti anak pejabat tingkat empat. 　　Tapi——Jiang Si menyeringai dingin dalam hati. 　　Zhu Ziyu dan Cui Mingyue saja bisa menjadi kekasih gelap, apa lagi yang mustahil? 　　Dulu, ibu kandungnya dan Jenderal Cui adalah teman masa kecil yang hampir menikah, namun dihancurkan oleh campur tangan Putri Rongyang, ibu Cui Mingyue. 　　Putri Rongyang berani merebut cinta orang meski dicela masyarakat, apa anehnya putrinya rela jadi istri kedua demi cinta sejati? 　　Jiang Si tertegun, pikiran melintas: Mungkin Zhu Ziyu juga berpikir demikian! 　　Benar, lelaki licik seperti Zhu Ziyu takkan beraksi sebelum yakin bisa menikahi Cui Mingyue sebagai istri pengganti. 　　Lalu bagaimana dengan Cui Mingyue? 　　Kalimat "Dia pantas?" bergema di telinga, Jiang Si teringat kehidupan sebelumnya. 　　Zhu Ziyu akhirnya tak menikahi Cui Mingyue, tapi tiga tahun setelah kakak tertuanya meninggal, dia menikahi putri pejabat biasa sebagai istri kedua. 　　Yang lebih penting, tak ada kabar hubungan Zhu Ziyu dan Cui Mingyue saat itu, mereka tampak asing di mata orang. 　　Zhu Ziyu tetap tokoh bersih berprospek cerah, Cui Mingyue tetap putri bangsawan yang angkuh. 　　Apakah ada yang memisahkan mereka, atau—— 　　"Dia pantas?" Tiga kata ini membuat Jiang Si semakin yakin pada dugaan lain: Semua ini hanyalah permainan Cui Mingyue terhadap Zhu Ziyu. Mungkin dia merasa bangga melihat suami orang tergila-gila pada rok delimanya, atau mungkin... 　　Dingin membeku di dasar mata Jiang Si, kemarahan menyembur dari hatinya: Atau mungkin hanya untuk menyakiti kakak tertuanya! 　　Sikap Cui Mingyue terhadap keluarga Jiang, sudah sangat dipahami Jiang Si. 　　Di kehidupan sebelumnya, setelah menikah ke keluarga An Guogong dan memasuki lingkaran elite ibu kota, dia beberapa kali bertemu Cui Mingyue. Sikap wanita itu jelas terlihat. 　　Mungkin dalam pandangan Cui Mingyue, ibu yang membuat Jenderal Cui tak bisa melupakan patut mati. Begitu pula anak-anak ibu itu. 　　Setelah mengalami kekacauan kehidupan sebelumnya, Jiang Si tak segan menggunakan prasangka terburuk untuk menilai orang. 　　"Nona, Tuan Besar masih menunggu." A Qiao berbisik mengingatkan. 　　Jiang Si menepuk dahinya. 　　Celaka! Ayah Paduka sampai terlupa. 　　Buru-buru menuju kedai teh seberang, dia disambut tatapan rindu Jiang Ancheng. "Maaf membuat Ayah menunggu lama." 　　"Tidak lama. Sudah selesai belanjanya, Si'er?" 　　Jiang Si menunjuk kotak brokat di tangan A Qiao: "Sudah. Ayah, mari pulang." 　　Saatnya pulang mengasah pisau dan membereskan pasangan brengsek itu! 　　"Baik." Jiang Ancheng berjalan perlahan keluar dari rumah teh, tiba-tiba wajahnya berubah, langkahnya semakin lambat. 　　Jiang Si menyadari keanehan itu dan berhenti: "Ayah, ada apa denganmu?" 　　Jiang Ancheng menyeringai: "Ti-Tidak apa-apa..." 　　Ya ampun! Setelah makan daging goreng berminyak di rumah, lalu minum setumpuk air teh, sepertinya dia terkena diare! 315. BAB 315: Membalas Dendam 　　BAB 315: Membalas Dendam 　　Meski Jiang Ancheng bukan orang yang berpendidikan, tetap saja malu mengaku diare di depan putrinya. 　　Tidak boleh, harus ditahan! 　　Satu langkah, dua langkah, tiga langkah... 　　Wajah Jiang Ancheng membiru, bibir memucat, seluruh tubuh gemetaran, tampaknya sudah tidak bisa menahan lagi. 　　Saat itulah dia teringat kebaikan anak lelakinya. 　　Kalau si bocah nakal Jiang Zhan ada di sini, buat apa menahan? Cukup teriak minta digendong ke jamban! 　　Benar, saat ini Jiang Ancheng bahkan tak berani melangkah, berdiri tak berdaya di tempat dengan putus asa. 　　Suara familiar terdengar: "Paman tidak enak badan?" 　　"Xi-Xiao Yu ya." Melihat pemuda tampan di depannya, Jiang Ancheng menyapa sambil berkeringat dingin. 　　Yu Jin berkata serius kepada Jiang Si: "Nona Jiang, menurut saya paman sedang sakit mendadak. Kondisi seperti ini tidak boleh ditunda. Saya akan antar paman ke klinik..." 　　Usai bicara, dia menggendong Jiang Ancheng dan berlari masuk kembali ke rumah teh yang baru saja mereka tinggalkan. 　　“Jiang Si mengangkat matanya memandang papan nama rumah teh.” 　　“Ini memang rumah teh.” 　　“Tak lama kemudian, Yu Jin menyangga Jiang Ancheng keluar.” 　　“Jiang Ancheng tampak segar bugar, agak canggung menghadapi tatapan penuh tanya putrinya.” 　　“Yu Jin tersenyum minta maaf: 'Melihat Paman tak enak badan, saya panik sampai salah mengira rumah teh sebagai klinik... Mohon Nona Jiang jangan tersinggung.'” 　　“Jiang Si menyeringai.” 　　“Tentu saja ia tak percaya omong kosong Yu Qi. Mengingat keanehan Jiang Ancheng tadi, ia mulai mengerti sesuatu. Untuk menghindari kecanggungan ayahnya, ia pura-pura bodoh bertanya: 'Bagaimana kondisi Ayah?'” 　　“Suara Jiang Ancheng terdengar lantang: 'Penyakit mendadak, setelah melewati masa kritis sudah membaik. Ayo kita pulang.'” 　　“Yu Jin tersenyum lembut: 'Paman, izinkan saya mengantar Anda dan Nona Jiang.'” 　　“Saat ini Jiang Ancheng memandang Yu Jin bagai penyelamat hidupnya, dengan gembira menyetujui: 'Kalau begitu merepotkanmu, Xiao Yu.'” 　　“Dalam perjalanan pulang, Jiang Ancheng bertemu kenalan lamanya.” 　　“Kenalan itu mengajaknya minum. Jiang Ancheng ragu sebentar lalu berkata pada Yu Jin: 'Xiao Yu, tolong antarkan Si'er pulang.'” 　　“Untunglah Xiao Yu, kalau orang lain takkan kupercayai.” 　　“'Paman tenang saja, saya pasti akan mengantar Adik Jiang dengan selamat.'” 　　“Begitu Jiang Ancheng pergi, Yu Jin langsung membawa Jiang Si ke Gang Songzi.” 　　“A Qiao beberapa kali hendak bicara tapi mengurungkan niat, mengingat pria ini berani memanjat tembolok di tengah malam, kata-katanya pun ditelan kembali dalam diam.” 　　“Baiklah, selama Nona sudah punya pertimbangan sendiri.” 　　Berdiri di depan rumah sipil di Jalan Songzi, Jiang Si berhenti sejenak. 　　Seolah menebak isi hati Jiang Si, Yu Jin tersenyum: “Tenang, di dalam kita bisa bicara leluasa. Nona Chu Chu itu setiap pagi pergi mencari pekerjaan.” 　　“Mencari pekerjaan?” 　　Menyikapi keheranan Jiang Si, Yu Jin tak ambil pusing: “Daripada menganggur dan jadi beban seumur hidup, sekarang aku justru merasa dia perempuan yang tahu diri.” 　　Mendengar perkataan Yu Jin, kesan Jiang Si terhadap Chu Chu semakin membaik. 　　Chu Chu dikejar-kejar karena sebab yang ditanam Jiang Si. Meski diberi makan dan tempat tinggal, tapi siapa yang tidak menghargai kemandirian? 　　Seorang wanita dengan kualitas seperti itu patut dihormati. 　　Yu Jin mulai waspada. 　　Entah mengapa, perasaan hormat orang lain tiba-tiba bertambah. 　　Ini kali pertama A Qiao ke sini, tapi tak seperti Ah Man yang cerewet dan penasaran. Matanya lurus ke depan, mengikuti Jiang Si dengan tata krama. 　　“Kau tunggu saja di luar.” Yu Jin memberi perintah singkat. 　　A Qiao memandang Jiang Si. Setelah mendapat anggukan halus, dia membungkuk hormat dan tetap di luar. 　　Baru masuk kamar, Yu Jin sudah becanda: “Tak kusangka kau punya dayang sekaku ini.” 　　Jiang Si melirik tajam ke arah Yu Jin. 　　"Bisa menyebut menjunjung tinggi tata krama sebagai kaku, orang ini memang tidak tahu malu." 　　"Bagaimana kau tahu saya pergi?" 　　Yu Jin menarik Jiang Si untuk duduk, tersenyum: "Aku tidak hanya tahu kau pergi, tapi juga tahu wanita yang berkencan diam-diam dengan Zhu Ziyu itu siapa." 　　Melihat alis Jiang Si berkerut, dia merapikan keningnya dengan jari: "Aku menyuruh orang mengawasi Zhu Ziyu. Lagipula A Fei hanya preman jalanan. Hal ini sangat penting bagimu, bagaimana jika terjadi kekeliruan?" 　　"Jadi pertemuan ayah dengan temannya itu bukan kebetulan?" 　　Yu Jin tersenyum sambil mengedipkan mata. 　　Jiang Si tentu tidak akan mempermasalahkan detail kecil ini: "Karena sudah tahu identitas wanita itu, takkah kau terkejut?" 　　"Mengapa harus terkejut? Banyak hal aneh di dunia ini. Yang kuperhatikan hanya bagaimana rencanamu menyelesaikan ini, butuh bantuanku?" 　　Seorang pangeran seperti dia pun pernah hampir dijual ke rumah bordil waktu kecil. Apa anehnya Putri Rongyang punya anak perempuan yang main serong dengan Zhu Ziyu? 　　"Bagaimana menyelesaikannya?" 　　Wajah Jiang Si mendadak dingin, jari-jari pucatnya mengetuk meja perlahan: "Tentu membuat mereka merasakan pahitnya kehilangan reputasi." 　　Kulitnya yang sejak awal sudah pucat, mungkin karena memberi makan Gu dengan darah daging sendiri hingga kekurangan darah, terlihat semakin tembus pandang seperti giok putih terbaik yang rapuh, memancarkan keindahan yang membuat orang ingin melindungi. 　　Yu Jin menghela napas, menahan keinginan untuk memeluk orang itu, lalu bertanya: "Rencananya bagaimana?" 　　Jiang Si menundukkan pandangan sambil berpikir. 　　Sekarang situasi lawan sudah jelas, baik Qing'er dan Yu'er yang menjadi pion, maupun kekasih Cui Mingyue yang sikapnya tak terduga telah muncul ke permukaan. 　　Dalam kondisi seperti ini, tentu dia tidak akan diam menunggu kejadian "perselingkuhan" kakak tertuanya di kehidupan sebelumnya terulang lagi. 　　Membalas secara pasif mana bisa menandingi keserangan aktif yang memuaskan. 　　Jiang Si segera menyusun rencana, berkata dingin: "Aku akan menangkap basah perselingkuhan!" 　　Di kehidupan sebelumnya, Zhu Ziyu membuat kakak tertuanya menanggung aib tak terbayangkan, maka tentu dia akan membalas dendam dengan cara yang sama, membuat Zhu Ziyu merasakan rasa malu serupa. 　　Yu Jin tidak puas dengan pernyataan ini: "Pada pria lain, mana bisa disebut menangkap basah perselingkuhan?" 　　Jiang Si tertawa kesal karena keketatannya: "Kalau padamu boleh?" 　　Wajah Yu Jin menjadi serius: "Selain kamu, aku pasti tidak akan main-main dengan wanita lain. Jadi kalau benar-benar ketahuan berselingkuh, pasti kita berdua yang dipermalukan..." 　　"Tak tahu malu." 　　"Hmm, aku setuju dengan pernyataan itu." 　　"Bantu carikan seseorang untukku." Sudah berciuman dan berpelukan, Jiang Si tidak ingin lagi berlagak sopan, apalagi ini bukan saatnya untuk formalitas. 　　"Lebih baik cari wanita berusia 20-an dari pasar yang galak, yang suaminya main serong tapi belum ketahuan... Nanti kita cukup menambah api dan menonton keributan, jangan sampai keberadaan kita ketahuan..." 　　Setelah mendengar penjelasan Jiang Si, Yu Jin tersenyum: "Orang seperti itu pasti banyak. Tenang saja, kita akan segera menemukannya." 　　Pria seperti dirinya yang menjaga kesucian untuk A Si memang sulit ditemukan, sedangkan suami yang selingkuh di luar sana bisa ditemukan di mana-mana. 　　Seperti yang dikatakan Yu Jin, tak butuh waktu lama untuk menemukan kandidat yang cocok. 　　Jiang Si merasa setengah lega setelah menerima kabar ini. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menunggu dengan sabar sampai Zhu Ziyu tak tahan dan kembali bertemu diam-diam dengan Cui Mingyue. 　　Cuaca semakin hari semakin dingin, jaket lapis pun mulai tak mampu menahan hawa dingin. 　　Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. 316.BAB 316 Menangkap Pasangan Gelap 　　BAB 316 Menangkap Pasangan Gelap 　　Hari itu cuaca cerah. 　　Matahari musim dingin tak menyilaukan seperti di musim panas, diam tergantung di ufuk timur, menghangatkan tubuh dengan sempurna. 　　Tentu saja, kehangatan ini tetap tak mampu mengusir hawa dingin. 　　Beberapa pejalan di jalanan sudah mengenakan mantel kapas, sementara yang masih memakai jaket lapis terlihat menggigil dari belakang. 　　Seorang wanita muda berbaju lapis hijau kacang berjalan cepat di pasar sambil membawa keranjang tertutup kain tua, terlihat gesit dan energik. 　　Saat tiba di tempat biasa mangkalnya, ternyata lokasi itu sudah diduduki orang. 　　Yang merebut tempat adalah Bibi Liu dari desa yang sama. 　　“Bibi Liu Er adalah wanita yang tak mudah dihadapi, tapi si wanita muda ini juga tak kalah garang. Langsung dia naik pitam: ‘Bibi Liu Er, ini tempatku, tolong minggir dong.’” 　　“Bibi Liu Er mengangkat kelopak matanya melirik wanita muda itu, mencibir: ‘Wah, kok jadi tempatmu? Aku bilang Dongmei, apa kamu nyewa atau beli tempat ini? Kalau enggak nyewa enggak beli, ya siapa cepat dia dapat.’” 　　“Wanita muda yang sudah kesal belakangan ini langsung meledak: ‘Selama setengah tahun aku jualan telur di sini. Banyak tempat kosong di sana, kenapa harus nempel di sini? Bibi Liu Er, sengaja cari gara-gara ya?’” 　　“‘Masa sih aku cari gara-gara sama keponakan? Tempat itu teduh, duduk sebentar aja bisa kedinginan. Setengah tahun gimana? Kalau tiap hari kamu mondar-mandir di restoran mewah, apa setelah setengah tahun restorannya jadi punyamu? Logikanya nggak gitu...’” 　　“Wanita muda itu mengernyitkan alisnya bagai daun willow, meludah keras: ‘Jangan ngelantur! Kalau nggak suka teduh, geser dikit ke depan kan nggak teduh lagi? Jelas-jelas karena kemarin babimu masuk ke pekaranganku, menggerek kubis sampai kakinya digigit anjingku. Kamu dendam!’” 　　“Mendengar ini, Bibi Liu Er langsung menyala.” 　　“Berani-beraninya dia ngomong gitu, belum pernah lihat orang selevel tebal muka ini!” 　　"Babi miliknya hanya sesekali tidak dijaga dengan baik sampai lari ke rumah tetangga, mengobrak-abrik beberapa ikat sawi saja, dia akan mengganti rugi. Tapi siapa sangka babi itu digigit anjing tetangga hingga kehilangan sepotong besar daging paha belakang." 　　"Ini sudah keterlaluan. Daging paha babi yang tergigit itu harusnya dikembalikan, tapi malah bilang sudah dimakan anjing, habis tak tersisa." 　　"Hush! Pada malam harinya dia mencium aroma daging yang semerbak dari rumah tetangga. Apakah daging paha babinya masuk ke perut anjing atau manusia, dia tahu persis." 　　"Dongmei, aku dan mertuamu sudah bertetangga puluhan tahun tak pernah berselisih. Tak disangka setelah mertuamu pergi, justru dengan menantumu seperti kamu jadi tidak akur. Jangan salahkan bibi tidak mengingatkan, istri muda sebaiknya lebih lembut. Jangan sampai nanti suami sendiri saja tidak bisa diikat..." 　　"Apa maksudmu ini?" Hati perempuan muda itu berdebar kencang. 　　"Belakangan ini memang dia merasa suaminya agak aneh. Meski belum ketahuan bukti, tapi naluri perempuan memberitahunya pasti ada sesuatu." 　　"Karena inilah juga, akhir-akhir ini dia sulit tidur di malam hari, sampai terlambat ke pasar." 　　Bibi Er Liu tersenyum puas: "Bibi tidak bilang apa-apa. Tapi kalau kamu tidak ada tempat menjual telur, coba lihat rumah di seberang toplek asinan Ma Po. Pagi tadi lewat sana, kok rasanya ada orang yang mukanya tak asing masuk ke dalam..." 　　"Rumah di seberang toplek asinan Ma Po?" 　　Wanita muda itu berpikir sejenak, wajahnya langsung berubah pucat. 　　Bukankah itu rumah janda cantik? Sudah kuduga mereka berselingkuh! 　　Wanita muda itu berjalan dengan marah sambil membawa keranjang. 　　Banyak orang di pasar mengenali wanita itu. Melihatnya hendak menangkap perselingkuhan, mereka segera mengikuti. 　　Toko acar Mapa Jianggua terkenal dengan acar melonnya yang istimewa. Terutama di musim dingin, menikmati bubur jagung panas buatan Mapa dengan acar asam, renyah, dan pedas benar-benar nikmat. 　　Jiang Zhan menghabiskan dua mangkok bubur, mengusap mulutnya dengan sapu tangan lalu menghela nafas puas: "Ayah, Adik Keempat, aku tidak berbohong kan? Bubur jagung dengan acar di sini luar biasa ya?" 　　Jiang Si mengangguk sambil tersenyum: "Enak sekali. Jarang-jarang Kakak Kedua bisa menemukan tempat seperti ini." 　　Jiang Zhan tampak bangga: "Aku bertemu beberapa teman di Jinwuwei. Salah satunya suka mencari makanan enak di seluruh kota. Saat Adik Keempat bilang bosan dengan makanan mewah dan ingin acar segar, aku langsung ingat tempat ini. Ayah suka rasanya?" 　　Di musim dingin sayuran segar langka. Sekelas keluarga Dongping Bo pun lebih banyak menyajikan hidangan daging. Memang wajar kalau para nona jadi mual jika kebanyakan. 　　Jiang Ancheng menarik sudut bibirnya: "Cukup lumayan." 　　"Si'er sudah bosan makan paha babi kecap? Sepertinya harus ganti menu lain nanti." 　　"Jangan hanya memikirkan makan-minum dan bersenang-senang, melakukan tugas dengan baik itu yang utama!" Jiang Ancheng memberi nasihat rutin pada anak lelakinya. 　　Setelah mengalami peristiwa kebakaran kapal hias di Sungai Jinshui, penolakan dalam hati Jiang Zhan terhadap perkataan seperti ini berkurang. Meski merasa membosankan, ia tetap mengangguk patuh: "Anak mengerti." 　　Jiang Ancheng merasa sangat terhibur, suasana hatinya membaik. 　　Anak lelaki sudah mulai dewasa, putri sejak dulu sudah penurut. Sekadar jalan-jalan membawa anak-anak, seolah hidup sudah tak ada penyesalan lagi. 　　Seorang wanita muda terburu-buru datang, bersandar pada pohon di depan rumah seberang toko acar timun Mapo sambil mengambil napas. Matanya langsung menangkap seutas tali merah yang tergeletak di depan pintu. 　　Ia membungkuk mengambilnya. 　　Tali merah itu sudah sangat usang, ujungnya terputus, sementara ujung lain terikat simpul yang masih terlihat rapi. 　　Melihat simpul itu, wanita muda langsung yakin ini adalah tali yang selalu diikatkan di pergelangan tangan suaminya. 　　Cara mengikat simpul ini dipelajarinya dari istri muda yang baru menikah tahun lalu di ujung desa. Karena tahun ini adalah tahun shio suaminya, sejak awal tahun sudah diikatkan di pergelangan tangannya. 　　Bajingan tak tahu berterima kasih ini! 　　Wanita muda yang berwatak keras ini langsung menyerbu hendak menghantam pintu. 　　Seorang penonton yang tak ingin kehilangan keseruan menghalangi wanita muda itu: "Dengar, adik. Kalau kau mengetuk pintu sama saja memberi kesempatan mereka kabur. Seperti kata pepatah, tangkap pencuri harus dengan barang bukti, tangkap pasangan selingkuh harus berdua. Kalau kau gebrak pintu depan sementara mereka lari lewat belakang, mau protes ke mana nanti?" 　　Wanita muda itu tersadar, langsung berhenti dari niatnya mengetuk pintu dan melirik orang tersebut meminta bantuan. 　　Pria itu memberi ide: "Tendang saja pintunya langsung serbu masuk! Bikin mereka kaget tak sempat bersiap!" 　　“Benar, benar, harus begini caranya!” Beberapa orang di kerumunan penonton langsung bersorak mendorong. 　　Wanita muda itu sedang dilanda emosi, akal sehatnya hampir hilang. Mendengar banyak orang berkata begitu, tanpa ragu dia bertindak. 　　Pintu ditendang keras terbuka, wanita muda itu menerobos masuk seperti angin puyuh. 　　Sejak cuaca dingin, bahkan burung gereja yang cerewet pun jadi malas. Keributan seperti ini sudah lama tak terlihat, banyak orang yang bersemangat ikut menerobos masuk di belakang wanita muda itu. 　　Yang tak disadari, beberapa orang yang tadi menyamar di kerumunan dan bersorak mendorong justru diam-diam mengundurkan diri. 　　Zhu Ziyu memandangi kerumunan yang tiba-tiba membanjiri ruang tengah dengan wajah pucat. 　　Cui Mingyue berteriak keras: "Minggirlah kau!" 317.BAB 317 Lompat ke Lubang 　　BAB 317 Lompat ke Lubang 　　Cui Mingyue hampir meledak marahnya. 　　Zhu Ziyu ingin menemuinya, boleh saja. 　　“Zhu Ziyu mengatakan meski di gedung teh berbeda, pertemuan yang terlalu sering juga bisa menarik perhatian. Lebih baik pindah ke rumah sipil yang lebih aman, tidak apa-apa.” 　　“Tapi setelah berhati-hati begini, malah membuat keributan seperti ini untuknya?” 　　“Siapa yang bisa memberitahu siapa wanita gila kasar dan tak tahu malu ini, kenapa bisa masuk ke sini!” 　　Wanita muda itu pun terdiam, menggosok-gosok matanya dengan tangan. 　　“Ada apa ini, ternyata yang di dalam bukan suamiku?” 　　“Tidak mungkin! Bibi Er Liu jelas melihat suamiku menyelinap ke rumah janda cantik. Di depan rumah janda cantik masih ada tali merah yang jatuh dari suamiku...” 　　Orang-orang yang ikut masuk untuk melihat keramaian mulai menyadari keanehan situasi. 　　“Adik, lihat pakaian Tuan Gong ini. Ini bukan suamimu, kan?” 　　Wanita itu kebingungan, menunjuk Zhu Ziyu bertanya: “Kau... kau siapa? Bukankah ini rumah janda cantik?” 　　Saat pintu ruang tengah terbuka lebar, Zhu Ziyu melihat semakin banyak orang membanjiri halaman untuk melihat keramaian, hingga berkeringat dingin: “Kakak Ipar pasti keliru. Segera keluar dari sini!” 　　Wanita itu tidak mau menerima, menarik lengan baju Zhu Ziyu: “Apa kalian menutupi suamiku? Kalau tidak, kenapa kalian ada di rumah janda cantik?” 　　Zhu Ziyu menyadari wanita muda itu suka membuat masalah, menarik Cui Mingyue ke belakangnya dan berkata dengan suara keras dan wajah seram: "Rumah ini adalah villa sewaan kami berdua suami istri, apa hubungannya dengan janda cantik itu? Kalian telah menakuti istri saya, segera pergi atau saya akan laporkan ke pihak berwajib!" 　　Rakyat biasa paling takut berurusan dengan pihak berwenang. Mendengar ancaman itu, semangat wanita muda itu langsung padam. Ia berkata dengan malu-malu: "Ini jelas rumah janda cantik itu, kapan disewakan..." 　　Seorang nenek tua menyela: "Waktu itu si janda cantik bilang mau menyewakan rumah ini dan pulang ke desa." 　　Zhu Ziyu berkata dingin: "Kakak ipar sudah dengar? Segera pergi dari sini!" 　　Wanita muda itu seperti dipukul palu, menahan kesal dan terpaksa memaksakan senyum: "Maafkan kami." 　　Kerumunan orang yang kehilangan tontonan menarik mulai menggelengkan kepala dan bersiap pergi. 　　Tiba-tiba suara sedingin es terdengar: "Istri saya? Menantu yang baik, kapan saya punya putri berwajah seperti ini?" 　　Jiang Ancheng menerobos kerumunan, menatap tajam ke arah Zhu Ziyu. 　　Setelah terkejut sejenak, Jiang Zhan berlari dan menendang Zhu Ziyu hingga terjatuh. Dengan sekuat tenaga ia menampar berkali-kali sambil memaki: "Zhu Ziyu! Manusia berhati binatang! Berani selingkuh di belakang kakakku, memelihara selir! Masih berani menyebut diri sebagai suami-istri!" 　　Jiang Ancheng hanya memandang dingin saat anak lelakinya memukuli menantunya, sama sekali tak berniat melerai. 　　Dibandingkan dengan kemarahan kakak laki-laki dan kemarahan ayah, hati Jiang Si jauh lebih tenang. 　　Akhirnya hari yang dinanti pun tiba. 　　Menyesatkan wanita muda untuk menerobos masuk sebenarnya sangat sederhana, namun metode kasar seperti ini justru paling efektif untuk menghadapi Zhu Ziyu. 　　Zhu Ziyu adalah pria yang hati-hati. Melihat kerumunan orang masuk, untuk menghindari masalah besar, ia pasti akan mengakui sendiri bahwa Cui Mingyue yang satu kamar dengannya adalah pasangan suami istri. Hanya dengan cara ini ia bisa mengusir mereka dengan wajar, lalu pergi diam-diam. Tak ada yang tahu identitas asli mereka, dan bencana tak terduga ini pun teratasi. 　　Reaksi Zhu Ziyu memang cepat, tapi justru membuatnya terjungkal ke dalam perangkap Jiang Si. 　　Jiang Si bukanlah orang yang paling cerdas, namun ketika suatu hal menyangkut hidup dan mati dan telah direnungkan berulang kali, orang bodoh pun bisa mengalahkan orang pintar. 　　"Zhu Ziyu, bagaimana kau berani menjadi Shu Jishi di Akademi Hanlin? Kakakku benar-benar sial tujuh turunan sampai menikah dengan bajingan sepertimu!" 　　Kerumunan penonton seolah kaki mereka berakar, terpaku di tempat tak bergerak. 　　Ya Tuhan! Tadinya kukira tak ada tontonan menarik, ternyata ada kejadian mengejutkan seperti ini! 　　Lelaki punya selir bukan hal aneh, tapi mengaku sebagai suami-istri di depan umum? Sungguh tak tahu malu! Apalagi pelakunya adalah pelajar terpandang yang menjadi Shu Jishi! 　　Tatapan menghina kerumunan tertuju pada Zhu Ziyu. 　　Suara gadis itu terdengar jernih: "Ayah, Kakak Kedua, wanita di belakang Kakak Ipar itu sepertinya seorang nona yang belum menikah." 　　Kepalan tangan Jiang Zhan yang hendak diayunkan terhenti di udara, matanya menatap Cui Mingyue. 　　Setelah diingatkan Jiang Si, kerumunan pun tersadar: Wanita yang berselingkuh dengan pria beristri itu ternyata benar-benar seorang putri bangsawan! 　　Perlu diketahui, status pernikahan wanita zaman ini bisa langsung dikenali dari gaya rambutnya, dan penampilan wanita ini jelas menunjukkan ia masih lajang. 　　Wanita muda yang gagal menangkap suaminya itu sudah menahan amarah, paling jijik melihat kelakuan si gadis kecil tak tahu malu ini. Langsung ia meludah: "Putri perawan berselingkuh dengan pria beristri, malah saling memanggil suami-istri, sungguh tak tahu malu!" 　　"Benar juga, bahkan lebih hina dari janda cantik. Setidaknya mereka tahu menghindar ke desa setelah suaminya mati." 　　"Dilihat dari pakaiannya, nona kecil ini kan putri bangsawan. Huh, moral zaman sekarang memang bobrok." 　　Jiang Zhan berdiri, tatapannya gelap menatap Cui Mingyue: "Kenapa kamu di sini?" 　　Jiang Si menghampiri Jiang Zhan, bertanya heran: "Kakak Kedua kenal dia?" 　　Secara logika, seharusnya tidak ada hubungan antara Kakak Kedua dengan Cui Mingyue. 　　Bibir tipis Jiang Zhan terkunci rapat sambil terus menatap Cui Mingyue. 　　Nona Cui ini belakangan sering muncul di hadapannya dengan sikap manis. 　　“Saat itu dia sudah merasa ada yang tidak beres, jelas-jelas dia punya konflik dengan kakak Nona Cui, kenapa adik perempuannya malah menyambutnya dengan senyum?” 　　Pasti ada masalah, pasti sedang menyimpan rencana jahat untuk menjebaknya! 　　Jiang Zhan memandangi Cui Mingyue yang wajahnya pucat pasi, merasa lega akan kewaspadaan awalnya. 　　Untung adik keempatku cantik, setelah terbiasa melihatnya, tak mungkin lagi ada yang bisa menipuku dengan pesona kecantikan. 　　“Tentu saja kenal, dia adalah——” 　　“Diam!” teriak Cui Mingyue keras, mendorong Zhu Ziyu dan berlari keluar. 　　Memalukan seperti ini, dia tak ingin tinggal di sini sedetik pun. 　　Jiang Zhan langsung menangkap Cui Mingyue, berkata dingin: “Aku dengar dari paman dan bibi tadi, menangkap pencuri harus dengan barang bukti, menangkap pezina harus berpasangan! Nona Cui tidak boleh pergi begitu saja!” 　　“Lepaskan!” Cui Mingyue malu dan marah bercampur, mulai berkelahi dengan Jiang Zhan. 　　Meski Jiang Zhan masuk ke Jinwuwei melalui koneksi Yu Jin, tapi dia punya kemampuan nyata. Cui Mingyue hanya bisa jurus-jurus dasar, mana bisa melawannya? Hanya beberapa gerakan sudah ditaklukkan. 　　Sementara Zhu Ziyu yang lemah seperti sarang laba-laba, Jiang Ancheng mengangkatnya dengan satu tangan. 　　Ayah dan anak berdua berjalan penuh amarah menuju kediaman Keluarga Zhu, diikuti kerumunan penonton yang ramai dan Jiang Si yang wajahnya tanpa ekspresi. 　　Dayang Cui Mingyue menyelinap pergi di tengah keributan, lari kembali ke istana putri untuk minta bantuan. 　　Di kediamanan Keluarga Zhu, Nyonya Zhu sedang menegur Jiang Yi. 　　“Cuma insiden kuda liar, sampai sekarang kau masih terlihat lesu begini? Kalau tak tahan sedikit masalah, bagaimana nanti bisa mengurus keluarga besar ini!” 　　Jiang Yi menunduk malu, tak berani bicara. 　　Tiba-tiba dayang berlari masuk dengan wajah pucat: "Nyonya, ada masalah besar!" 　　Jangan robek vote, serahkan ke sini! 318.BAB 318 Buka Kartu 　　BAB 318 Buka Kartu 　　Nyonya Zhu paling benci melihat pelayan rumahnya ceroboh, wajahnya langsung muram: "Apa masalahnya?" 　　Dayang melirik Jiang Yi dengan panik, suaranya masih gemetar: "Ayah mertua keluarga besar dari rumah orangtua datang, juga, juga..." 　　"Juga apa?" Nyonya Zhu semakin kesal, dalam hati menyesal dulu menikahi keluarga Dongping Bo Residence yang tak tahu aturan ini, mana ada tamu datang langsung tanpa kartu kunjungan. 　　"Juga membawa Tuan Pertama dan seorang wanita, bilang Tuan Pertama berselingkuh dengan wanita itu!" Dayang akhirnya bisa menjelaskan. 　　Nyonya Zhu langsung berdiri, bertanya keras: "Di mana mereka?" 　　Dayang menjawab sambil terisak: "Banyak orang ikut menonton, mandor takut masalah membesar, jadi mengundang mereka masuk, sekarang menunggu di depan..." 　　Sebelum dayang selesai, Nyonya Zhu sudah bergegas keluar. 　　Jiang Yi berdiri di tempat, seolah dikutuk dewa hingga tak bisa bergerak. 　　Dayang menatap dalam-dalam ke arah Jiang Yi, baru berbalik mengejar Nyonya Zhu. 　　Bulu mata Jiang Yi bergetar, air mata mengalir dari sudut matanya. 　　“Air mata itu dingin bagai mutiara es, persis seperti musim dingin yang datang lebih awal ini.” 　　Entah berapa lama berlalu, barulah dia tersandung-sandung melangkah keluar untuk berlari. 　　Nyonya Zhu sambil menyuruh orang ke kantor kabupaten memanggil Zhu Shaoqing pulang, sambil bergegas menuju Ruang Penerimaan di halaman depan. 　　Ruang Penerimaan keluarga Zhu terhias cukup elegan, tapi Jiang Ancheng yang duduk di dalamnya justru merasa mual terus-menerus. 　　Tampak indah di luar tapi busuk di dalam, hari ini dia benar-benar merasakan makna pepatah itu. 　　Setelah masuk pintu, Nyonya Zhu langsung melihat anak lelakinya yang pucat pasi, baru kemudian menyadari kehadiran Jiang Ancheng. 　　“Apa sebenarnya yang terjadi?” 　　Jiang Ancheng melirik Nyonya Zhu, berkata dingin: “Kediamanmu sudah menyuruh orang memanggil Zhu Deming? Lebih baik tunggu dia pulang baru kita bicara sekaligus, hemat tenaga.” 　　“Ziyu, kau yang jelaskan!” Nyonya Zhu menatap Zhu Ziyu. 　　Orang sudah berani membuat keributan sampai ke rumah, tentu tidak bisa diam menunggu. Paling tidak harus tahu duduk persoalannya. 　　Dari dada hingga ujung jari, Zhu Ziyu merasa dingin menggigil. 　　Mungkin udara musim dingin yang terlalu menusuk telah membekukan pikirannya, hingga sekarang masih seperti terkurung dalam mimpi. 　　Sebenarnya apa yang terjadi? 　　Tempat pertemuannya dengan Mingyue sudah sangat tersembunyi, bagaimana mungkin ada wanita membawa massa menerobos masuk? 　　Salah tangkap pun tidak masalah, toh tak ada yang mengenali mereka. Tapi bagaimana mungkin mertuanya bisa muncul di sana? 　　Sementara Zhu Ziyu masih berkubang dalam pertanyaan-pertanyaan itu, suara teguran Nyonya Zhu terasa samar bagai datang dari balik awan. 　　Di hadapan orangtua, dia adalah putra sulung yang berbakti dan patuh; di mata orang luar, dia adalah Shu Jishi yang dijuluki "Calon Perdana Menteri"; di depan istri, dia adalah suami yang penuh perhatian... 　　Apakah semua ini akan lenyap begitu saja karena kecelakaan hari ini? 　　Tidak, tidak, tidak boleh seperti ini! 　　Wajah Zhu Ziyu mulai berkerut, seluruh tubuhnya gemetar. 　　Jiang Si mengamati reaksi Zhu Ziyu dengan tatapan dingin, senyum sinis tergantung di bibirnya. 　　Laki-laki seperti Zhu Ziyu paling menjijikkan - di hari biasa berlagak bermoral, licik dalam strategi, selalu ingin menunjukkan sisi terbaiknya di depan orang. Tapi begitu topengnya terbuka, dia akan menunjukkan sikap pengecut yang membuat orang geram. 　　Nyonya Zhu yang sedang melirik tiba-tiba melihat Cui Mingyue, matanya menyempit ketakutan: "Nona pertama Keluarga Cui?" 　　Cui Mingyue jauh lebih tenang dibanding Zhu Ziyu, terus menunduk tanpa bicara. 　　Dia sedang menunggu. 　　Jiang Zhan yang sudah mengenali identitasnya masih nekat membawanya ke keluarga Zhu untuk dipermalukan - ini akan dihitung nanti. Sekarang dia menunggu kedatangan ibunya. 　　Bagi Cui Mingyue, saat ini rasa malu jauh lebih besar daripada ketakutan. 　　Apa masalahnya meski dia berkencan dengan Zhu Ziyu? Setidaknya Jiang Zhan tidak membocorkan identitasnya di luar. Asal ibunya turun tangan menutup kasus ini, kabar yang beredar nanti paling hanya sebatas rumor. 　　"Ibu tentu akan marah, tapi itu urusan setelah pulang dan menutup pintu. Saya punya cara untuk membujuk ibu agar tidak mempermasalahkannya. Untuk saat ini, semakin banyak bicara semakin banyak kesalahan, diam adalah yang terbaik." 　　Setelah mengenali identitas Cui Mingyue, Nyonya Zhu sedikit merasa lega. 　　"Apakah Sang Bangsawan keliru? Nona ini adalah putri tercinta Jenderal Cui dan Putri Rongyang, tidak mungkin--" 　　Jiang Ancheng memotong ucapan Nyonya Zhu dengan tertawa sinis: "Zhu Ziyu dan Nona Cui tertangkap basah oleh sekelompok orang di dalam kamar! Menantu berbaktiku ini sendiri yang mengakui Nona Cui sebagai istrinya!" 　　"Ini mungkin cuma rumor--" 　　"Saya sendiri yang mendengar langsung di halaman! Nyonya Zhu masih bilang ini rumor?" Jiang Ancheng menunjuk ke luar pintu, "Jika tidak percaya, tanyalah orang-orang yang menonton di luar. Banyak yang mendengar saat itu." 　　Nyonya Zhu berusaha tetap tenang: "Ziyu, katakan pada ibu, sebenarnya apa yang terjadi?" 　　Dalam kesunyian panjang Zhu Ziyu, Zhu Shaoqing akhirnya tiba. 　　Melihat Zhu Shaoqing hendak bicara, Jiang Ancheng melambaikan tangan: "Jangan bicara basa-basi. Zhan, jelaskan kejadiannya pada Paduka Zhu." 　　Jiang Zhan melirik dingin ke arah Zhu Ziyu, berkata dengan amarah: "Syukurlah langit membuka mata. Hari ini saya mengajak ayah dan adik ke kedai bubuk acar Lobak Mala, lalu menyaksikan pertunjukan memalukan ini..." 　　Setelah mendengar penjelasan, Zhu Shaoqing berjalan dengan muka masam ke depan Zhu Ziyu, lalu menamparnya. 　　Suara tepukan yang nyaring membawa keheningan seketika di seluruh ruangan. 　　Seorang nenek bergegas masuk: "Suami beliau, Nyonya, Putri Rongyang telah datang." 　　Tak lama kemudian, seorang wanita cantik dengan alis panjang yang mencapai pelipis masuk ke dalam. 　　Putri Rongyang masuk diam-diam melalui pintu belakang Keluarga Zhu, ini pertama kalinya dia masuk ke rumah orang dengan cara memalukan seperti ini. 　　Melihat Putri Rongyang, Cui Mingyue baru pertama kali membuka mulut: "Ibu--" 　　Mata tajam Putri Rongyang yang bersinar menyapu Zhu Shaoqing dan yang lain, akhirnya berhenti pada wajah Zhu Ziyu. 　　Dia telah mendengar tentang kejadian hari ini dari dayangnya. 　　Pemuda yang terlibat dengan putrinya adalah orang ini? 　　Di bawah tatapan mengamati Putri Rongyang, Zhu Ziyu merasakan sisi wajahnya yang baru saja ditampar Zhu Shaoqing semakin terbakar, rasa terbakar ini membuatnya merasakan aib mendalam dan tekad nekat. 　　Zhu Ziyu meluruskan sedikit punggungnya, memberi hormat dalam-dalam kepada Putri Rongyang dan pasangan Zhu Shaoqing: "Ziyu telah mengecewakan harapan orangtua, Ziyu juga tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini..." 　　Nadanya berhenti sebentar, memandang Cui Mingyue dengan tatapan dalam dan tegas: "Hanya saja anakmu dan Mingyue saling mencintai, harap Paduka dan Ayah, Ibu berkenan merestui!" 　　Sampai saat ini, harapan untuk menceraikan istri dan menikah lagi tanpa cela sudah pupus. Jika tidak bisa menikahi Mingyue, kejadian hari ini cukup untuk menghancurkan karirnya. 　　Dia tidak ingin kehilangan semuanya! 　　Putri Rongyang sedikit mengangkat alisnya, berkata dingin: "Kau yang sudah punya istri dan anak masih meminta restuku, bukankah ini sangat konyol?" 　　Zhu Ziyu tiba-tiba berbalik, memberi hormat pada Jiang Ancheng: "Ayah mertua, menantu telah mengecewakanmu. Menantu juga tidak ingin mengkhianati siapapun, tapi perasaan seseorang tak bisa dikendalikan..." 　　Tirai pintu bergetar, seseorang tersandung masuk dengan limbung. 　　"Kakak!" Jiang Si bergegas menghampiri. 　　Jiang Yi bersandar di dinding, menatap tajam ke arah Zhu Ziyu. 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin Qidian dari , terima kasih untuk hadiah dari Shū Yǒu160607225447373, , Caroline, 007, Shū Yǒu160607225447373, , , Shū Yǒu20170110064854451, , juju5505, , づ, Shū Yǒu20180627114038214, serta teman-teman pembaca yang telah memberikan vote. 319.BAB 319 Bukan Mimpi 　　BAB 319 Bukan Mimpi 　　Saat melihat Jiang Yi, mata Zhu Ziyu berkedip sebentar sebelum tenang kembali. 　　Jiang Yi menolak bantuan Jiang Si yang hendak menopangnya, melangkah pelan mendekati Zhu Ziyu. 　　Setelah diam sejenak, Jiang Yi bertanya: "Suamiku, apa benar katamu tadi bahwa kau dan Nona Cui saling mencinta?" 　　Zhu Ziyu tetap membisu. 　　"Apa ini benar?" Jiang Yi mengulang pertanyaannya. 　　Dia berusaha keras menahan gemetar bulu matanya, mencegah air mata jatuh. 　　"Katakan! Apa ini benar?" Untuk ketiga kalinya bertanya, nada suara Jiang Yi mulai tak terkendali. 　　Di bawah serangkaian tiga pertanyaan istri, Zhu Ziyu akhirnya mengangguk pelan dengan suara berat: "Ibu Yi, aku telah bersalah padamu..." 　　Jiang Yi mundur beberapa langkah dengan wajahnya tampak hilang arah: "Tidak mungkin, aku tidak percaya, aku tidak percaya..." 　　Bagaimana mungkin mempercayainya? Bukankah selama bertahun-tahun pernikahan ini dia selalu begitu lembut dan perhatian padanya, bahkan tak pernah sekalipun bersuara keras. 　　Berapa kali dia ditegur keras oleh mertua, suami selalu membelanya, menghiburnya, menjadi sandaran terkuatnya. 　　Kini, pria ini memberitahunya bahwa dia saling mencintai dengan wanita lain, bahkan memohon restu dari mertua dan ayah... 　　Lalu dia ini apa? 　　Pandangan Jiang Yi berkunang-kunang. 　　Baru sekarang dia menyadari, inilah rasanya langit runtuh dan bumi terbelah. 　　Ini pasti mimpi buruk, pasti hanya mimpi, nanti juga akan hilang saat terbangun... 　　Jiang Yi berbalik badan, berjalan keluar dengan langkah sempoyongan. 　　Jiang Si menggenggam tangan Jiang Yi. 　　Jiang Yi menggerakkan bola matanya, tersenyum lemah pada Jiang Si: "Adik Keempat, kenapa bahkan kau muncul dalam mimpiku--" 　　Jiang Si menggenggam erat tangan Jiang Yi: "Kakak, sadarlah! Ini bukan mimpi, semua ini nyata!" 　　Keadaan sudah sampai di titik ini, dia tak bisa membiarkan kakaknya terus menipu diri sendiri. 　　"Nyata?" 　　“Jiang Si mengangguk: ‘Pertemuan rahasia Zhu Ziyu dengan Nona Cui adalah benar, pengakuan Zhu Ziyu sendiri bahwa mereka saling mencinta adalah benar, permohonan Zhu Ziyu pada Ayah untuk merestui juga benar. Tidak ada mimpi, kita juga tidak mungkin hidup dalam mimpi. Kakak, kau setuju?’” 　　Sorot mata Jiang Yi perlahan menjadi jernih kembali, namun setelah kejernihan itu datanglah kesedihan dan keterkejutan yang menyelimuti. 　　Justru Jiang Si merasa lega. 　　Kesedihan dan keputusasaan tidak masalah. Di kehidupan ini dia belum menikah, akan menemani kakak dengan baik, percaya bahwa kakak lambat laun akan bisa melewatinya. 　　“Yi'er, kemarilah.” Jiang Ancheng berbicara. 　　Jiang Si menemani Jiang Yi mendekat. 　　Ekspresi Jiang Ancheng tenang, namun di kedalaman matanya seperti tersimpan api yang menyala-nyala, menatap tajam ke wajah putri sulungnya: “Berdirilah di belakang Ayah.” 　　Jiang Yi berjalan mendekat dengan bingung, dadanya terasa seperti tertusuk lubang, hampa dan menyiksa. 　　Jiang Ancheng menatap Zhu Ziyu: “Barusan kau bilang telah mengecewakanku?” 　　Sikap Zhu Ziyu sopan, nada suaranya merendah dan tulus: “Ini semua kesalahan hamba. Tapi keadaan sudah begini, hamba tidak bisa lagi mengkhianati Nona Cui, mohon Ayah mertua merestui...” 　　“Kubunuh kau bajingan!” Jiang Zhan menggebrak tinju dan menerjang. 　　Melihat Zhu Ziyu terkena beberapa pukulan, Jiang Si baru mendekat dan menarik Jiang Zhan: “Kakak Kedua, lebih baik dengarkan Ayah. Memukul bukan cara menyelesaikan masalah.” 　　Jiang Zhan menarik kembali tangannya dengan muka masam. 　　Jiang Ancheng tertawa terbahak-bahak: "Mengabulkan? Aku yang sudah hidup 40 tahun ini selalu bersikap toleran, tapi terhadap binatang tidak tahu cara mengabulkan permintaan." 　　Zhu Ziyu tidak menyangka Jiang Ancheng akan mengucapkan kata-kata pedas seperti itu, wajahnya berubah pucat. 　　Pasangan Zhu Shaoqing meski menyayangi putra mereka, namun sebagai orang yang sangat menjunjung tata krama, sama sekali tidak menyangka putra sulung yang selama ini dibanggakan akan membuat masalah seperti ini. Saat ini mereka tak berani membantah. 　　Tawa Jiang Ancheng bergema di ruangan, dipenuhi ejekan dan kemarahan yang membuat suasana hati terasa berat bagai tertindih batu besar. 　　Tawa berhenti, pandangan Jiang Ancheng ke arah Zhu Ziyu penuh penghinaan: "Putriku adalah orang yang sopan dan bermoral, mana mungkin tinggal bersama binatang? Tenang, aku tak akan biarkan dia tetap di sarang serigala ini. Tapi ingat, bukan aku yang mengabulkan permintaanmu, tapi manusia tak bisa hidup bersama binatang!" 　　Jiang Zhan bertepuk tangan: "Ayah bicara dengan sangat baik!" 　　Selama ini dia selalu menganggap ayahnya paling gagah saat memarahinya. Sekarang baru tahu, justru saat memarahi orang lainlah ayahnya paling gagah. 　　Zhu Shaoqing terus mengusap keringat di dahinya: "Mertua, anak kurang ajar ini hanya sesaat linglung, tidak perlu sampai seperti ini." 　　"Sesaat linglung? Menurutku tidak." Jiang Si menyela dengan nada dingin. 　　Zhu Shaoqing mengerutkan alis memandang Jiang Si, kemarahan menyala di hatinya: "Nona Keempat Jiang, kau masih muda, lebih baik tidak ikut campur urusan orang dewasa." 　　Lebih baik menghancurkan sebuah kuil daripada menggagalkan pernikahan. Bagaimana keluarga terhormat seperti mereka bisa menjadi bahan lelucon perceraian? 　　"Lagi pula, Kakak dari keluarga Cui itu siapa? Meski benar-benar bercerai, mungkinkah dia menikah lagi sebagai istri pengganti putra sulung?" 　　Anak lelaki ini benar-benar bodoh! 　　Jiang Si menyeringai dingin: "Paduka keliru. Ziyu memang beberapa tahun lebih tua dariku, tapi dia tega merencanakan pembunuhan istri dan berselingkuh dengan putri bangsawan yang belum menikah." 　　Zhu Shaoqing menarik napas dalam: "Pembunuhan istri? Jangan sembarangan bicara!" 　　Sudut bibir Jiang Si menyungging sinis: "Apakah Paduka lupa, belum lama ini kakakku mengalami kecelakaan kuda liar di Kuil Baiyun yang nyaris merenggut nyawanya? Pelaku yang menyuruh sais masih belum ketemu! Kini aku punya alasan untuk mencurigai dalangnya adalah Zhu Ziyu!" 　　Mendengar ini, wajah Jiang Ancheng langsung berubah pucat. 　　Awalnya demi cucu perempuannya Yan-yan, dia hanya ingin menyelesaikan dengan perceraian. Tapi jika Ziyu sudah lama berniat mencelakai putri sulungnya, binatang ini tidak boleh dibiarkan begitu saja! 　　Dia ingin menghancurkan reputasi Zhu Ziyu sampai tak bisa lagi berkarier di dunia birokrasi! 　　"Kita pergi!" Jiang Ancheng mengibaskan lengan baju lalu berpaling. 　　Jiang Yi tidak bergerak. 　　Jiang Ancheng berhenti, menatap putri sulungnya. 　　Wajah Jiang Yi lebih pucat dari kertas, tangannya dalam lengan baju menggenggam erat sampai kuku menusuk telapak. 　　Dia sama sekali tidak merasakan sakit, karena semua ini tak bisa mengisi kekosongan di hatinya saat ini. 　　Hati Jiang Si langsung berdebar kencang. 　　“Bagaimana jika meskipun Zhu Ziyu kehilangan reputasi dan bertekad menikah lagi, Kakak tertua tetap bersikeras tinggal di Keluarga Zhu?” 　　Pasangan Zhu Shaoqing saling memandang, sedikit lega dalam hati. 　　Selama menantu perempuan tidak mau mengambil langkah itu, masih ada ruang untuk bernegosiasi. 　　“Yi'er, apa pendapatmu?” tanya Jiang Ancheng dengan wajah pucat. 　　Menghadapi Ayah, air mata Jiang Yi yang lama tertahan akhirnya mengalir pelan: “Ayah, saya akan ikut dengan Ayah.” 　　Jiang Ancheng tak bisa menahan senyum: “Baik, kita pergi.” 　　Tapi Jiang Yi menunduk, suaranya semakin lirih: “Tapi bagaimana dengan Yan-yan?” 　　Dia memohon restu ayahnya, dia bukan orang yang memaksa diri, tapi bagaimana dengan putri Yan-yan? 　　Yan-yan baru tiga tahun, bagaimana mungkin berpisah dari ibunya? 　　Memikirkan ini, Jiang Yi merasa seperti pisau menusuk jantungnya. 　　Tiba-tiba Putri Rongyang angkat bicara: “Setelah mendengar semua pembicaraan, saya belum menanyai putri saya. Mingyue, apakah benar kau dan Tuan Gong Zhu saling mencintai, hingga kau bersumpah hanya mau menikah dengannya?” 　　Kerumunan segera memandang Cui Mingyue. 　　Cui Mingyue menggigit bibir, tiba-tiba menutupi wajahnya sambil menangis. 320. BAB 320 Permainan 　　BAB 320 Permainan 　　Tangisan Cui Mingyue ini benar-benar mengejutkan semua orang. 　　Tidak menangis saat dikurung sekelompok orang di kamar, tidak menangis saat dibawa paksa ke rumah pria, mengapa sekarang menangis? Apakah reaksinya lambat, baru sekarang merasa malu? 　　Kerumunan memiliki pikiran yang berbeda-beda, namun karena kehadiran Putri Rongyang, mereka tidak berani mendesak. 　　Putri Rongyang sendiri bukan orang biasa. Meski putrinya mengalami hal seperti ini, wajahnya tetap tenang, hanya alis panjangnya yang sedikit berkerut meninggalkan jejak usia di sudut matanya. 　　Harus diakui, Putri Rongyang adalah wanita yang cantik. 　　Cui Mingyue tidak kalah dalam hal kecantikan dibanding ibunya. 　　Jiang Si memandang dingin Cui Mingyue yang menangis tertutup wajah, tiba-tiba teringat tiga kata yang pernah diucapkan gadis cantik dari Lush Sheng Xiang dengan nada sinis: "Dia pantas?!" 　　Saat ini, rasa ingin tahu Jiang Si tiba-tiba muncul. 　　Jelas, Cui Mingyue tidak memiliki perasaan tulus pada Zhu Ziyu. Lalu ketika dia mendorong kedua orang ini ke situasi sekarang, apakah Cui Mingyue akan menerima arus atau punya rencana lain? 　　Tangisan Cui Mingyue semakin menjadi, hingga akhirnya tersengal-sengal bersandar pada Putri Rongyang: "Ibu... putri... tertipu..." 　　Wajah Putri Rongyang berubah, menggenggam erat tangan Cui Mingyue: "Apa?" 　　"Putri salah... Putri sebentar linglung..." Cui Mingyue berbicara terputus-putus sambil gemetar merapat ke tubuh Putri Rongyang. 　　Zhu Ziyu memandang tak percaya: "Mingyue, apa yang kau katakan?" 　　Cui Mingyue menunduk menangis, sorot mata dinginnya tersamar oleh kilau air mata. 　　Zhu Ziyu maju selangkah, tangan terulur tanpa sadar: "Mingyue--" 　　Cui Mingyue seolah tiba-tiba ketakutan, bersembunyi di belakang Putri Rongyang. 　　Zhu Ziyu seperti dipukul gada, terdiam tak bisa bersuara. 　　Cui Mingyue memendam tangisan pilu di bahu Putri Rongyang, senyum sinis sesaat mengintip di sudut bibirnya. 　　Apa alasan Zhu Ziyu merasa terpukul? 　　Perhatiannya padanya hanyalah permainan, demi membuat seluruh keluarga Jiang sengsara. Sedangkan perasaan Zhu Ziyu padanya? Tak lebih dari pandangan akan status ningratnya yang ingin dimanfaatkan. 　　Sayangnya pria selalu lebih bodoh dari wanita. Hal yang jelas-jelas ia pahami, sang pria malah menganggapnya sebagai gadis lugu yang setia membabi buta. 　　Sungguh menggelikan! Sekalipun matanya buta, takkan pernah ia menikahi pria yang tega membunuh istri sahnya. 　　Ibunya adalah istri sah ayahnya, tapi di hati ayah selalu ada wanita lain. Sikap dinginnya pada ibu sudah cukup keji, apalagi perbuatan Zhu Ziyu ini. 　　Cui Mingyue tentu takkan membiarkan diri terjerumus dalam lumpur busuk keluarga Zhu, menghabiskan hidup dengan pria seperti Zhu Ziyu. 　　Untunglah ibunya adalah putri kaisar yang sangat dihormati. Sekalipun terperangkap dalam masalah ini, cukup dengan alasan "gadis muda tertipu", sang ibu pasti akan menolongnya. 　　Jiang Si mengamati reaksi Cui Mingyue dengan tatapan dingin, hampir tak bisa menahan tawa. 　　Nona Cui ini benar-benar memberinya kejutan besar. 　　Betapa teganya, tegasnya, dan tak tahu malunya wanita di dunia ini! 　　Dengan pandangan sekilas ke arah Zhu Ziyu, Jiang Si merasa sangat puas. 　　Pasti perasaan Zhu Ziyu saat ini sangat rumit, sungguh ingin bertanya. 　　Setelah menyaksikan langsung drama ini, Jiang Si akhirnya memahami mengapa di kehidupan sebelumnya Zhu Ziyu baru menikahi seorang wanita biasa dari keluarga pejabat sebagai istri kedua setelah tiga tahun. 　　Dia telah dipermainkan oleh Cui Mingyue, akhirnya hanya bisa menderita dalam diam seperti orang bisu menelan kumis kucing, menelan gigi patah bersama darah. 　　Tentu saja, dia tidak akan merasa sedikit pun simpati pada Cui Mingyue karena hal ini. 　　Memang benar Cui Mingyue mempermainkan Zhu Ziyu, tetapi korban terbesar adalah kakak tertuanya, Jiang Yi. 　　Kakak perempuannya telah mengorbankan nyawanya untuk sandiwara kedua orang ini! 　　Jiang Si kembali mengalihkan pandangannya ke gadis yang menangis bersandar pada ibunya, rasa dingin tiba-tiba menyergap hatinya. 　　Tidak, ini bukan sekadar drama antara Zhu Ziyu dan Cui Mingyue. 　　Banyak pria berkarakter baik dan tampan di ibu kota, mengapa Cui Mingyue memilih Zhu Ziyu? 　　Target sebenarnya adalah kakak tertua! 　　Atau mungkin, targetnya adalah Keluarga Jiang... 　　Pada saat ini, tiba-tiba Jiang Si teringat kematian Jiang Zhan di kehidupan sebelumnya. Sebuah pikiran mengejutkan muncul di hatinya: Di kehidupan sebelumnya, Kakak Kedua tewas tragis di Sungai Jinshui karena diperhatikan oleh Yang Shengcai yang menyukai pria. Kehidupan sekarang ini masih mengikuti jalur sebelumnya, hanya karena campur tangannya akhirnya mengubah takdir Kakak Kedua. 　　Lalu, apakah pertemuan Kakak Kedua dengan Yang Shengcai dan yang lainnya benar-benar kebetulan? Atau—— 　　Jiang Si menatap Cui Mingyue lama-lama. 　　Atau apakah Cui Mingyue turut memprovokasi situasi ini? 　　Seorang gadis yang bisa berpura-pura mesra dengan pria sudah menikah demi menjerat kakak tertua——apa lagi yang tidak akan dia lakukan? 　　Jiang Si berpikir, mungkin dia tidak bisa membuktikan dugaan ini. Karena sekalipun ini fakta, Cui Mingyue tidak akan mengaku. 　　Tapi dia punya target baru: harus menyingkirkan Cui Mingyue. 　　Orang seperti ini mengincar Keluarga Jiang, tepatnya Keluarga Utua Jiang. Bukankah lebih baik mencari cara menyingkirkan lawan daripada menunggu ditindas? 　　Jiang Si perlahan menarik pandangannya, menundukkan kelopak mata. 　　Zhu Ziyu masih tidak percaya Cui Mingyue bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Setelah terkejut sesaat, wajahnya memerah karena emosi berlebihan: "Mingyue, apa kau ketakutan? Aku——" 　　Melihat putrinya menggelepar menghindar, Putri Rongyang berseru: "Cukup!" 　　Zhu Ziyu tercekat. 　　Putri Rongyang menggeser pandangannya perlahan dari pasangan Zhu Shaoqing, bibirnya terkunci: "Anak muda tidak mengerti sopan santun. Aku akan bawa putriku pulang untuk dididik. Harap Tuan dan Nyonya mendisiplinkan anak lelaki kalian juga——berpikirlah bijak!" 　　Usai berkata demikian, Putri Rongyang membawa Cui Mingyue pergi sambil mengibaskan lengan baju. 　　Kereta kuda istana putri tertambat di belakang rumah keluarga Zhu, tampak biasa seperti kereta kuda lain di jalanan. 　　Setelah naik ke kereta kuda, Putri Rongyang langsung menamparnya. 　　"Dasar bodoh!" 　　Dayang Cui Mingyue hanya bisa menyaksikan tuannya dipukul, ketakutan hingga meringkuk di sudut kereta bahkan tak berani bernapas keras. 　　Karena pertemuan rahasia Cui Mingyue dengan Zhu Ziyu ketahuan, dayang yang kembali meminta bantuan tentu tak berani bicara sembarangan, sehingga sang Putri benar-benar mengira putrinya terlibat asmara dengan Zhu Ziyu. 　　Inilah yang membuat Putri Rongyang lega begitu melihat Cui Mingyue tidak merengek ingin menikahi Zhu Ziyu, lalu buru-buru pergi. 　　Pipi putih Cui Mingyue segera memerah. 　　"Ceritakan, bagaimana kau bisa tertipu?" 　　Cui Mingyue menunduk, bulu mata panjangnya membentuk bayangan gelap: "Awalnya anak tak tahu identitasnya, mengira dia pelajar miskin yang belum menikah karena fokus ujian kekaisaran... Setelah tahu, jadi tak tega... Tapi sekarang anak sudah sadar salah. Bagaimanapun tak pantas berhubungan dengan pria beristri. Ibu, maafkan anak dan bantu anak ya..." 　　Putri Rongyang terdiam lama, menyandar sambil menutup mata. 　　Suasana di Ruang Penerimaan Keluarga Zhu mendadak canggung setelah kepergian Putri Rongyang. 　　Nyonya Zhu memegangi meja sambil nyaris terjatuh. 　　Jangan-jangan kebenarannya lebih memalukan - anaknya ternyata memperdaya gadis perawan? 　　"Si'er, bawa kakakmu pergi!" teriak Jiang Ancheng keras. 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin Qidian dari dan , terima kasih kepada Smaogirl2, , iampetty, , 20180712095316636, , , 2009, dan atas hadiahnya, serta teman-teman pembaca yang telah memberikan vote. 321.BAB 321 Mari Kita Tunggu 　　BAB 321 Mari Kita Tunggu 　　Melihat Jiang Yi hendak melawan dan berbicara, Jiang Si dengan natural maju menyandarkan lengannya, duri beracun pelumpuh menusuk perlahan. 　　Seketika seluruh tubuh Jiang Yi menjadi mati rasa, bahkan suarapun tak bisa keluar. 　　Jiang Si menopang Jiang Yi dengan mantap, berkata lembut: "Kakak, mari kita pergi." 　　Karena yang paling tidak bisa ditinggalkan kakak adalah Yan-yan, maka jangan biarkan dia menunjukkan ekspresi menyayat saat berpisah dengan putrinya. Jika tidak, keluarga Zhu akan memanfaatkannya, dan akan sulit membawa Yan-yan keluar dari rumah keluarga Zhu di kemudian hari. 　　Keheningan Jiang Yi membuat Jiang Ancheng lega. 　　Dia paling takut putri sulungnya ngotot tidak mau pergi, kalau begitu tidak bisa bertindak tegas. 　　Untungnya sang putri sulung masih bisa diajak bekerja sama. 　　Jiang Ancheng memberi isyarat mata ke Jiang Si untuk mempercepat tindakan. 　　Namun Jiang Si tidak terburu-buru. Setelah menyerahkan Jiang Yi ke sandaran Jiang Zhan, dia tersenyum pada Nyonya Zhu: "Nyonya Zhu, belum lama ini kakak saya pergi berziarah ke Kuil Baiyun, membawa pulang dayang bernama Qing'er, bukan?" 　　Zhu Ziyu langsung menatap tajam ke arah Jiang Si. 　　"Pandangan Jiang Si tak kalah tajam menatap balik, ia tersenyum manis pada Zhu Ziyu." 　　"Dia sengaja membuat Zhu Ziyu gelisah dan sulit tidur, agar pria itu tak mengira semua orang bodoh saat merencanakan kejahatan." 　　"Nyonya Zhu yang sedang murung semakin masam wajahnya mendengar perkataan Jiang Si, menatapnya tanpa sepatah kata." 　　"Senyum tipis tetap mengembang di bibir Jiang Si, menebarkan hawa dingin yang tak terduga dalam ketegangan ini." 　　"'Apakah Kakak pernah memberi tahu Nyonya Zhu? Sebenarnya Qing'er kubeli sendiri, bisa dibilang orangku. Karena Kakak pulang hari ini, kuajak Qing'er juga.'" 　　"Mata Zhu Ziyu menyempit tiba-tiba, tatapannya membara mengincar Jiang Si." 　　"Jiang Si tak lagi menghiraukannya, tersenyum pada Nyonya Zhu: 'Nyonya Zhu setuju?'" 　　"Di saat seperti ini Nyonya Zhu mana peduli nasib dayang kecil, segera menyuruh orang memanggil Qing'er." 　　"Tak lama kemudian, seorang dayang bermuka manis masuk." 　　"Melihat itu memang Qing'er, Jiang Si berkata dingin: 'Ayo pergi.'" 　　"Qing'er terkejut, refleks menoleh ke Zhu Ziyu." 　　"Zhu Ziyu menunduk lesu, tak lagi bersemangat seperti biasanya." 　　"Jiang Si menatapnya dengan mata dingin: 'Tak rela pergi?'" 　　"Wajah Qing'er berubah pucat, buru-buru menundukkan pandangan." 　　"'Mertua, mertua—' Zhu Shaoqing yang baru sadar bergegas mengejar Jiang Ancheng." 　　"Nyonya Zhu tidak menyangka bahwa menantu tertua yang biasanya penurut benar-benar pergi diam-diam mengikuti keluarga asalnya, barulah ia menyadari situasi buruk ini." 　　Jika hari ini Nyonya Jiang benar-benar pergi seperti ini, Dongping Bo pasti tidak akan tinggal diam. Saat itu terjadi, masa depan anak lelakinya benar-benar hancur. 　　Nyonya Zhu segera memberi kode pada dayang utamanya. 　　Dayang utama itu paham, berbalik pergi dan tak lama kemudian membawa Yan-yan dalam gendongan. 　　"Yan-yan, ibumu mau pergi, tidak akan kembali selamanya. Cepat kejar!" 　　Saat Jiang Ancheng memimpin anak-anaknya mendekati pintu gerbang, terdengar tangisan anak perempuan: "Ibu, ibu! Ke mana Ibu pergi? Ibu tidak mau Yan-yan lagi?" 　　Langkah kerumunan terhenti. 　　Tangisan putrinya membuat hati Jiang Yi hancur berkeping-keping, tapi saat ini ia tak bisa bergerak, bahkan tak bisa menoleh melihat anaknya sekilas pun. 　　Jiang Ancheng memandang cucu perempuan kecil yang berlari dari kejauhan dengan wajah dingin yang jarang terlihat, berkata tegas: "Zhan'er, Si'er, bantu kakakmu naik kereta kuda!" 　　Jiang Zhan ragu sejenak: "Ayah—" 　　"Tuli?!" Jiang Ancheng membentak. 　　Jiang Zhan menghela napas berat. 　　Melihat ibunya naik ke kereta, Yan-yan semakin menangis menyayat hati. Ia berlari hingga terjatuh tersungkur. 　　“Jiang Zhan tidak tahan lagi melompat turun dari kereta, berlari menghampiri Yan-yan dan menggendongnya sambil menghibur: "Yan-yan jangan menangis, Paman Zhang akan membawamu main ke keluarga kakek nenek dari ibu."” 　　Orang-orang dari Keluarga Zhu segera menghalangi jalan Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan marah: "Apa maksudnya? Yan-yan tidak boleh pergi ke keluarga kakek nenek dari ibu?" 　　Nyonya Zhu gelisah, tapi berusaha tetap tenang: "Tentu Yan-yan boleh pergi, tapi bukan saat ini." 　　Ia menatap Jiang Ancheng di kejauhan: "Mertua, Yan-yan tetap bermarga Zhu. Masalah antara orang dewasa belum selesai, kalian membawa pergi para gadis seperti ini tidak pantas." 　　Jiang Ancheng terdiam sejenak. 　　Ia mengakui ucapan Nyonya Zhu benar. 　　Yan-yan adalah satu-satunya cucu perempuannya, mana mungkin tidak ia sayangi. Tapi membawa Yan-yan pergi sekarang memang tidak beralasan. 　　Seperti kata Nyonya Zhu, Yan-yan tetap bermarga Zhu. Jika dipaksa dibawa pergi sekarang, keluarga Jiang yang awalnya benar akan jadi salah. 　　Jiang Si melompat turun dari kereta kuda, memberi perintah pada Lao Qin: "Bawa kakak saya pulang dulu ke Keluarga Bo." 　　Lao Qin mengangguk, mengibaskan cambuk dan menjauh dengan kereta. 　　Jiang Si berjalan kembali, berdiri sejajar dengan ayah dan kakaknya. 　　"Zhan'er, serahkan Yan-yan pada Nyonya Zhu." Jiang Ancheng berbicara dengan wajah masam. 　　"Ayah!" 　　"Lakukan seperti yang kukatakan!" 　　"Hah!" Jiang Zhan menghentakkan kaki kesal, menyerahkan Yan-yan kepada Nyonya Zhu. 　　Nyonya Zhu menggendong Yan-yan dan menyerahkannya pada nenek di sampingnya. Melihat kereta kuda sudah menjauh, tak ada gunanya menahan Yan-yan, ia menyuruh nenek itu membawa Yan-yan kembali. 　　"Tunggu sebentar." 　　Nyonya Zhu waspada menatap Jiang Si. 　　Entah mengapa, setiap kali Nona Keempat Jiang yang terlihat lemah lembut ini membuka mulut, hatinya langsung berdebar-debar. 　　Jiang Si melewati Nyonya Zhu dan mendekati Yan-yan. 　　"Apa yang Nona Jiang lakukan?" 　　Jiang Si mengabaikan pertanyaan Nyonya Zhu. Ia membungkuk lembut dan berkata pada Yan-yan: "Yan-yan, bibi kecil berjanji akan segera menjemputmu untuk bertemu ibu. Janji sama bibi, jangan menangis lagi ya?" 　　"Benarkah?" 　　"Tentu benar." Jiang Si mengulurkan tangan. "Ayo kita kait kelingking." 　　Yan-yan tersedu-sedu, ragu-ragu mengulurkan jari kelingkingnya. 　　Setelah Yan-yan digendong pergi oleh nenek dari keluarga Zhu, Jiang Si menoleh dan sedikit membungkuk pada pasangan Zhu Shaoqing: "Mohon rawat keponakan saya baik-baik. Keluarga Jiang akan segera datang menjemputnya." 　　Ketenangan Jiang Si sukses memancing amarah Nyonya Zhu. 　　Nyonya Zhu berwajah muram dan berseru keras: "Jangan mimpi!" 　　Jiang Si memandang Nyonya Zhu dengan heran. 　　Selama ini ia mengira ibu mertua yang terkenal tegas dalam cerita kakaknya ini lebih tenang. Ternyata tidak bisa menahan emosi juga. 　　Sebenarnya ini permintaan yang terlalu berat bagi Nyonya Zhu. 　　Manusia mana mungkin bisa sepenuhnya bebas dari pengaruh emosi. Nyonya Zhu tentu bukan pengecualian. 　　"Anak lelaki yang ia banggakan tiba-tiba berubah menjadi binatang yang meninggalkan istri dan menipu gadis belum menikah, ditambah terus-menerus diprovokasi oleh Jiang Si yang masih belia, siapa pun pasti akan merasa malu dan marah." 　　Jiang Si tentu tidak memahami perasaan Nyonya Zhu. 　　Menurutnya, seorang anak lelaki yang berperilaku biadab seperti itu, ditambah sikap ibu yang masih arogan, jelas-jelas pantas dihajar. 　　Mata gadis itu dingin bagai es, senyum di bibirnya semakin menusuk, ia berbicara kata demi kata: "Mari kita lihat nanti." 　　Melewati Jiang Zhan, Jiang Si menarik lengan kakaknya: "Kakak Kedua, ayo pergi." 　　Sepanjang perjalanan pulang, Jiang Zhan terus mengamati Jiang Si. 　　Jiang Si menoleh: "Kenapa Kakak terus memandangiku?" 　　"Adik Keempat, rupanya kau jago sekali membohongi orang." 　　Jiang Si melotot pada Jiang Zhan: "Siapa bilang aku membohongi?" 　　Agar kakak perempuannya bisa lepas dari bayang-bayang keluarga Zhu, Yan-yan harus direbut kembali. 　　"Kau benar-benar punya cara untuk membawa Yan-yan pergi?" Jiang Zhan bersemangat. 　　Jiang Si melirik Qing'er yang menunduk di belakang, lalu mengangguk halus. 322.BAB 322 MEREMEHKAN 　　BAB 322 MEREMEHKAN 　　Lao Qin mengendarai kereta langsung ke pintu kedua Kediaman Dongping Bo. 　　Ah Man memapah Jiang Yi turun dari kereta kuda dan berjalan masuk. 　　Nenek penjaga pintu kedua menyapa sambil tersenyum: "Ah Man, Nona Keempat ini tampak lelah--" 　　Ucapan selanjutnya tertelan di tenggorokan, nadanya menjadi aneh: "Ini... Nyonya Tua?" 　　“Nyonya Tua sedang tidak enak badan, saya segera menopangnya ke Haitangju, tidak bisa mengobrol dulu ya.“ 　　“Eh, eh——” Setelah Ah Man menuntun Jiang Yi pergi dengan cepat, nenek penjaga pintu baru tersadar. 　　Kenapa tiba-tiba Nyonya Tua pulang, itupun dalam kondisi seperti ini? 　　Setelah berpikir sebentar, nenek penjaga pintu buru-buru melapor ke Nyonya Feng. 　　Jiang Yi yang ditopang Ah Man sampai di depan Haitangju, akhirnya sadar dan dengan susah payah menunjuk ke arah Cixintang. 　　Meski seluruh berat badan Jiang Yi tertumpu pada Ah Man, Ah Man tetap gesit menggotongnya masuk ke Haitangju. 　　Mengenai maksud Jiang Yi menunjuk ke Cixintang? 　　Ah, mana mungkin dayang kecil cuma bermodal tenaga kasar seperti dia mengerti. 　　Nyonya Feng yang mendapat laporan dari pelayan itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menegang. 　　Wajar Nyonya Feng merasa khawatir, terlalu banyak masalah buruk terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini. Tahun ini hampir berakhir, kondisi tenang saja sudah patut disyukuri. 　　“Pergi ke Haitangju undang Nyonya Tua kemari.” 　　A Fu yang menerima perintah Nyonya Feng pergi ke Haitangju untuk memanggil. Ah Man maju berkata: “Nyonya Tua tidak bisa bangun dari tempat tidur, Kakak A Fu, biar saya yang menghadap Nyonya.” 　　Dalam pikiran A Fu, Jiang Yi yang sudah menikah adalah tamu. Dalam kondisi seperti ini tentu tak pantas memaksa tamu bangun, akhirnya ia pun membawa Ah Man untuk melapor. 　　"Nyonya Feng langsung mengerutkan kening saat melihat Jiang Yi tidak datang, bertanya dengan suara dingin: 'Di mana Tuan Putri?'" 　　Menghadapi Nyonya Feng, Ah Man tidak menunjukkan rasa takut seperti pelayan biasa, menjawab dengan lantang: "Sedang beristirahat di Haitangju." 　　A Fu membisikkan situasi Jiang Yi ke telinga Nyonya Feng. 　　"Ada apa ini?" 　　Ah Man berkedip: "Hamba tidak tahu, nona menyuruh hamba mengantar Tuan Putri pulang dulu." 　　A Fu di samping menggigit giginya diam-diam. 　　Ah Man ini juga licik, tadi bilang akan memberi laporan ke Nyonya Feng, tapi saat ditanya malah tidak tahu apa-apa. 　　"Di mana Nona Keempat?" 　　"Nona sedang bersama Tuan Besar, seharusnya sebentar lagi akan kembali." Ah Man menjawab dengan ragu. 　　Nyonya Feng langsung menutup matanya, menunggu dengan sabar hingga Jiang Ancheng kembali ke rumah. 　　Setelah kembali, Jiang Ancheng langsung menuju Cixintang. Sebelum sempat ditanya Nyonya Feng, ia sudah menceritakan detail kejadian hari ini. 　　Nyonya Feng gemetar mendengar ceritanya: "Suaminya selingkuh dengan perempuan lain di luar, kau malah membawa putri pulang ke rumah orangtua?" 　　"Ibu, Zhu Ziyu si binatang itu bukan hanya selingkuh biasa, dia punya niat jahat terhadap Yi'er!" 　　Nyonya Feng mengibaskan tangan, wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan: "Ini hanya dugaan kalian, tidak bisa dianggap pasti. Lagipula, Putri Rongyang sudah mengeluarkan pernyataan untuk membawa pulang putrinya, jelas-jelas ingin memutus hubungan dengan Keluarga Zhu. Siapa yang bisa menggoyahkan posisi Yi'er? Kalau kau membawa pulang orang ini sembarangan, pernahkah kau pikirkan bagaimana menyelesaikannya nanti?" 　　Jiang Ancheng terkejut: "Menyelesaikan apa? Anak membawa pulang Yi'er tentu untuk bercerai dengan Zhu Ziyu." 　　"Tidak mungkin!" Suara Nyonya Feng melengking, membuat dayang-dayang yang melayani di ruangan itu segera menundukkan kepala. 　　Nyonya Feng bangkit berdiri dengan geram, menuding Jiang Ancheng sambil berteriak: "Jangan harap! Kecuali aku mati, baru Jiang Yi boleh bercerai dengan Zhu Ziyu! Pertama Si'er membatalkan pertunangan, lalu Nona Kedua memutus hubungan moral, sekarang Nona Besar mau bercerai. Putra Sulung, apakah kau tidak akan berhenti sebelum membuat Keluarga Bo menjadi bahan tertawaan seluruh ibu kota? Belum cukup malu?" 　　Sebuah tawa sinis terdengar. 　　Pandangan kerumunan langsung tertuju pada sumber suara. 　　Nyonya Feng semakin marah karena tawa Jiang Si ini, bertanya dengan kata-kata terpisah: "Si'er, apa yang kau tertawakan?" 　　Jiang Si melangkah maju mendekati Nyonya Feng, wajahnya tenang: "Cucu tertawa, tentu karena hal yang menggelikan!" 　　Nyonya Feng mengangkat tongkatnya: "Apa katamu?" 　　Jiang Zhan memandang waspada ke arah Nyonya Feng, siap merebut tongkat jika hendak diayunkan ke adiknya. 　　Jiang Si sama sekali tidak menghiraukan ancaman tongkat itu, suaranya lantang: "Alasan cucu membatalkan pertunangan adalah karena Ji San dari keluarga An Guogong lari bersama gadis biasa sampai mati bunuh diri. Kakak Kedua memutus hubungan karena Putra Mahkota Marquis Changxing menyiksa dan membunuh wanita tak bersalah. Ayah meminta Kakak untuk bercerai dengan Zhu Ziyu karena dia berselingkuh dengan putri Kaisar dan berniat membunuh istri sahnya. Nenek, orang ibu kota yang ditertawakan adalah mereka. Kami bersaudara adalah korban, mana memalukannya?" 　　"Memalukan?" Nyonya Feng hampir mati marah mendengar ucapan cucunya, suaranya getir: "Siapa yang menyuruh kalian terlahir sebagai perempuan? Dunia ini tidak diatur oleh logika! Kau pikir lelaki jadi bahan tertawaan, perempuan bisa bebas? Kalau benar begitu, mengapa sampai sekarang tak ada yang melamar?" 　　"Ibu!" Jiang Ancheng tak menyangka neneknya bisa berkata kasar seperti itu pada cucu. Dadanya memanas: "Siapa bilang tak ada yang melamar? Hanya saja hamba tidak puas, jadi hamba tolak." 　　Nyonya Feng terkejut dengan informasi tak terduga ini, bahkan lupa masalah Jiang Yi. Matanya menatap tajam: "Keluarga siapa yang melamar?" 　　Jiang Ancheng langsung menyesal begitu kata-katanya meluncur. Tangannya mengusap hidung. 　　Sudah menolak lamaran orang, sekarang mengungkitnya lagi—rasanya tidak sopan. 　　Nyonya Feng mencemek, tak sudi berkomentar. 　　Sudah tahu Putra Sulung ini cuma pamer untuk membela anak perempuannya. 　　"Cekikan ini berhasil memancing amarah." 　　Jiang Ancheng mengusir para pelayan di dalam ruangan dengan gerakan tangan, mengabaikan tatapan mencegah Jiang Si, lalu berkata: "Selama ini belum memberitahu Ibu, keluarga Zhen beberapa waktu lalu meminang Si'er pada putra." 　　"Keluarga Zhen yang mana?" Nyonya Feng secara refleks teringat seseorang, tapi segera menyangkal dalam hati. 　　Tidak mungkin, mana mungkin keluarga Zhen itu! 　　"Tentu saja Tuan Zhen, Prefect Shuntian. Beliau meminang Si'er untuk putra sulungnya." Jiang Ancheng tampak bangga, "Ibu pasti pernah dengar tentang putra sulung Tuan Zhen, Xieyuan Lang dalam Ujian Musim Gugur tahun ini." 　　Jiang Zhan dan Nyonya Feng sama-sama menarik napas tajam. 　　Kapan adik perempuannya menjadi incaran Tuan Zhen? Sungguh tak terduga. 　　Nyonya Feng bereaksi berbeda: "Putra Sulung, omong kosong apa ini?" 　　"Ibu, mana mungkin putra mengada-ada? Kalau ini kabar bohong, reputasi putra akan hancur." 　　Mendengar penjelasan itu, Nyonya Feng mulai percaya. Matanya menyelidik Jiang Si, dan tanpa sadar mengucapkan isi hatinya: "Mengapa keluarga Zhen memilih si anak keempat ini?" 　　Jiang Si tak mengerti bagaimana pembicaraan tentang kakak perempuannya beralih ke dirinya. Dengan perasaan kesal, ia berkata dingin: "Apakah Nenek belum menyadari kelebihan terbesar cucu?" 　　Selamat pagi. 323. BAB 323 Janji 　　BAB 323 Janji 　　"Kelebihan apa yang kau miliki?" Nyonya Feng bertanya dengan kesal. 　　Jiang Si menjawab serius: "Cantik." 　　“Ckck.” Jiang Zhan tak bisa menahan tawa. 　　Nyonya Feng terdiam sejenak, bibirnya gemetar karena marah: “Si'er, pantaskah putri bangsawan bicara seperti ini? Menikahi istri harus cari yang berbudi. Keluarga terhormat memilih calon menantu berdasarkan moral dan garis keturunan. Kecantikan adalah yang paling tak penting. Tahukah kau, omonganmu ini bisa jadi bahan tertawaan orang banyak?” 　　“Benar, Nenek bijaksana. Dari sini terlihat keluarga Zhen memang tertarik pada moral cucu. Ini membuktikan keluarga terpelajar sejati tak akan memutarbalikkan fakta - salah satu pihak pria tapi malah merendahkan wanita yang tak bersalah.” 　　Wajah Nyonya Feng berubah warna karena geram, akhirnya bertanya dengan muka masam: “Putra Sulung, kenapa kau tak memberitahuku soal lamaran keluarga Zhen?” 　　“Karena tak bernama menerima, jadi tak perlu dibahas.” 　　Nyonya Feng menghentakkan tongkat di dekat kaki Jiang Ancheng: “Apa kau kesurupan?” 　　Jiang Ancheng mengerutkan kening: “Apa maksud Ibu?” 　　“Tuan Zhen adalah pejabat tinggi berpangkat Sanpin, sangat dipercaya Kaisar. Putranya lebih hebat dari ayahnya, di usia muda sudah menjadi Juara Yuan. Tahun depan ujian Jinshi pasti lulus. Kenapa kau menolak perjodohan sebaik ini?” 　　Jiang Anchengan melirik cepat ke arah Jiang Si, dalam hati bergumam: Dia juga ingin menerima, tapi bagaimana lagi kalau putrinya tak suka? 　　“Alasan ini tentu tidak bisa diucapkan,” Jiang Ancheng membersihkan tenggorokannya, “Belum tentu yang terbaik. Seorang putri dikunjungi ratusan pelamar, mana mungkin langsung menerima pinangan pertama yang datang? Harus ditinjau lebih lanjut.” 　　Jiang Zhan mengangguk setuju. 　　Ayah Paduka benar, Adik Keempat sudah susah-payah keluar dari lubang api, pemilihan calon suami berikutnya harus benar-benar diteliti. 　　Kalau dipikir-pikir, jika harus memilih suami untuk Adik Keempat, dia merasa Kakak Yu Qi jauh lebih baik daripada si bocah keluarga Zhen. 　　Dia memang menyukai Kakak Yu Qi! 　　“Bodoh!” Tangan Nyonya Feng menggenggam tongkatnya bergetar, ingin sekali memukul kepala putra sulungnya yang bebal. 　　Seorang putri dikunjungi ratusan pelamar, tapi lihat juga kualitas keluarga yang melamar. Sudah ada keluarga selevel Zhen yang melamar, masih mau menunggu apa lagi? 　　“Bagaimana kau menolaknya?” Nyonya Feng tak rela melanjutkan pertanyaan. 　　“Kubilang putri saya masih kecil, ingin menunggu dulu.” 　　“Tunggu apa!” Nyonya Feng tak tahan lagi memukulkan tongkatnya ke tubuh Jiang Ancheng, wajahnya berkerut, “Kau harus segera beritahu keluarga Zhen bahwa kita menerima pinangan mereka!” 　　“Ibu——” 　　Nyonya Feng menarik napas panjang, melirik Jiang Si dengan tatapan tajam: “Jika perjodohan dengan keluarga Zhen terlaksana, aku akan setuju Nona Besar bercerai dari keluarga Zhu!” 　　Zhu Ziyu dan Nona Cui terjebak dalam satu kamar bersama banyak saksi, mustahil untuk menutupi skandal ini. Bagi calon pejabat yang hendak mengikuti ujian kekaisaran, reputasi adalah segalanya. Skandal memalukan ini telah menghancurkan masa depan Ziyu. 　　"Dengan demikian, memutuskan hubungan pernikahan dengan Keluarga Zhu tidak terlalu disayangkan, paling-paling hanya terdengar buruk jika beberapa nona di kediamanan terus-menerus mendapat masalah." 　　"Dan reputasi semu ini tentu tidak sebanding dengan keuntungan nyata dari menjalin hubungan kekerabatan dengan Keluarga Zhen." 　　"Ibu, ini dua hal berbeda, saya tidak setuju!" 　　Nyonya Feng melirik dingin Jiang Ancheng, dari kerutan vertikal di antara alis sampai garis horisontal di sudut bibirnya memancarkan ketegasan yang tak terbantahkan: "Jika demikian, aku akan segera memerintahkan orang untuk mengembalikan Nona Besar ke Keluarga Zhu. Putra Sulung, jangan kau lupa, aku adalah ibumu, apakah kau berani melawan dan tidak berbakti?" 　　Di Dinasti Zhou, cap "tidak berbakti" cukup untuk membuat seseorang tak bisa mengangkat kepala. 　　Sebelum Dinasti Zhou, negara pernah dikuasai oleh suku asing yang merusak kebijakan negara tentang pemerintahan berbasis kebaktian dari dinasti-dinasti sebelumnya. Ketika Dinasti Zhou berdiri, mereka menghidupkan kembali nilai kebaktian, menganggapnya sebagai fondasi moral bangsa. 　　Seseorang yang tersebar kabar tidak berbakti, bukan hanya tidak bisa menjadi pejabat atau mewarisi gelar, bahkan dalam pergaulan biasa akan dicemooh, apalagi anak-anaknya akan dipandang rendah. 　　"Seseorang saja tidak berbakti pada orangtua, masih berharap dia bisa mendidik anaknya dengan baik?" 　　Tentu saja, masih banyak anak durhaka, namun seringkali orangtua mereka justru menutupi demi kepentingan keluarga dan keturunan, tidak berani memberitahu kebenaran pada orang luar. 　　Nyonya Feng menggunakan "kebaktian" untuk memaksa Jiang Ancheng menyerah, membuat Jiang Ancheng putus asa dan sakit hati, hampir tidak percaya memandangnya, bergumam: "Ibu, Ibu tidak boleh seperti ini..." 　　“Dia bisa melepaskan gelar Dongping Bo, tapi bagaimana dengan anak-anaknya? Sebagai seorang ayah, dia sudah cukup tidak mampu, tidak boleh lagi mencelakakan anak-anak karena reputasinya sendiri.” 　　Nyonya Feng mengangkat kelopak matanya, mengucapkan dua kata: “Aku bisa.” 　　Jiang Si memandang dingin tekanan nenek terhadap ayahnya, menekan bibirnya. 　　Dunia ini memang aneh, pihak yang kurang mencintai selalu memiliki keunggulan. Seperti banyak anak yang semena-mena terhadap orangtua, seperti nenek terhadap ayah. 　　“Saya tidak setuju.” Suara Jiang Si datar. 　　Nyonya Feng yang sedang bersitegang dengan putra sulungnya memindahkan perhatian, hampir tertawa sinis melihat keberanian Jiang Si: “Si'er, urusan pernikahan bukan wilayahmu. Kapan mungkin urusan besar seperti ini diserahkan pada junior?” 　　Nyonya Feng sudah sangat kecewa pada Jiang Si, namun saat melihat wajahnya yang menakjubkan, kemarahan itu tetap ditahan. 　　Bagaimanapun ucapannya, dia harus mengakui kebenaran perkataan Jiang Si: Keunggulan terbesar cucu keempat ini mungkin hanya wajahnya. 　　Terhadap orang yang masih berguna, Nyonya Feng bersedia sedikit bersabar. 　　Jiang Si telah lama memahami betul karakter Nyonya Feng. 　　Di hati nenek ini mungkin hanya tersisa kepentingan. Menghadapi orang seperti ini sebenarnya mudah - singkirkan yang tidak berguna, bicaralah dengan bahasa kepentingan. 　　“Cucu tidak berminat membahas urusan pernikahan. Hanya merasa nenek meremehkan kemampuan cucu.” 　　“Contak mata Nyonya Feng meredup, menatap tajam ke arah Jiang Si.” 　　Jiang Si menatap balik Nyonya Feng, tersenyum manis: "Nenek merasa selain keluarga Zhen, cucu tidak bisa menikah ke keluarga yang lebih baik?" 　　Nyonya Feng hampir silau oleh senyuman itu, tanpa sadar terdorong untuk mendengarkan, namun nalarnya masih menganggap ini konyol: "Kau pikir dirimu masih bisa menikah ke keluarga lebih baik dari Zhen?" 　　"Nenek, bagaimana kalau kita bertaruh?" 　　"Taruhan apa?" 　　"Bertaruh bahwa cucu bisa menikah ke keluarga lebih baik dari Zhen. Jika gagal, cucu akan tunduk pada keputusan Nenek. Syaratnya, urusan Kakak diserahkan pada Ayah, Nenek jangan ikut campur." 　　Nyonya Feng menatap Jiang Si lama, alisnya semakin berkerut: "Si'er, kau bilang mau menikah ke keluarga lebih baik dari Zhen. Kapan? Tanpa batas waktu, ini hanya omong kosong." 　　"Paling lambat pertunangan tahun depan. Nenek mau bertaruh?" 　　Setelah lama menatap, Nyonya Feng mengangguk: "Baik, aku akan menunggu." 　　Satu tahun masih bisa dia tunggu. 　　Jiang Si tersenyum: "Ayah dan Kakak Kedua akan jadi saksi." 　　Jika sudah berada di sarang serigala, tak masalah menjelajah sarang serigala lain. Apalagi nanti ada yang menemani. 　　Jiang Si berpikir: Ternyata tekad bulat bisa muncul dalam sekejap. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, sampai jumpa besok. 324.BAGIAN 324 Utusan Istana 　　BAGIAN 324 Utusan Istana 　　Entah karena keraguan selama ini akhirnya menemukan jawaban, Jiang Si tiba-tiba merasa lega. Seperti batu yang tergantung di udara akhirnya jatuh ke tanah. Meski tahu jalan itu berliku, setelah memutuskan takkan menyesal. 　　Jiang Zhan langsung menyipitkan mata ke arah Jiang Si: "Adik Keempat, bagaimana bisa urusan pernikahan dijadikan taruhan?" 　　Kau lupa Kakak Yu Qi dari Gang Quezi? 　　“Jiang Ancheng juga tidak setuju dengan keputusan Jiang Si: ‘Si'er, urusan Kakakmu Ayah akan carikan solusi. Kau tidak boleh bermain-main dengan pernikahanmu sendiri!’” 　　Jiang Si memandangi wajah gelisah ayah dan kakaknya sambil tertawa: “Ayah, Kakak Kedua, jika aku benar-benar menikah ke keluarga yang lebih baik dari keluarga Zhen, kalian harusnya senang untukku.” 　　Jiang Zhan marah hingga mengumpat: “Senang apanya! Status keluarga setinggi apapun, kalau suaminya tidak bisa diandalkan buat apa? Kakak dan Kakak Kedua menikah ke keluarga yang tidak buruk, tapi hasilnya bagaimana?” 　　Andai tahu akan seperti ini, waktu itu seharusnya membantu Kakak Yu Qi. Menyesal sekali. 　　Jiang Ancheng yang jarang memuji melirik Jiang Zhan sambil mengangguk-angguk: “Kakak Keduamu benar. Status keluarga hanyalah bunga di saat bahagia, yang penting adalah apakah calon suami bisa diandalkan.” 　　“Tapi orang dari latar belakang rendah belum tentu bisa diandalkan, mungkin malah lebih tidak bisa.” Kata Jiang Si dengan datar. 　　Tinggi-rendahnya status itu relatif. Bagi Keluarga Bo, Kakak dan Zhu Ziyu dianggap setara. Tapi dibandingkan Cui Mingyue, latar belakang Zhu Ziyu sedikit lebih rendah. 　　"Dan Zhu Ziyu bukan sekadar punya ambisi mencari kemuliaan palsu, baru timbul niat jahat untuk membunuh istri sahnya." 　　"Bagi keluarga biasa, suami yang menghutang karena judi dan mabuk lalu menyerahkan istrinya untuk tidur dengan orang lain pun bukan hal aneh..." 　　Berbagai pikiran ini melintas di benak Jiang Si, tiba-tiba ia membeku. 　　Setelah reinkarnasi, seolah setiap pria terlihat bermasalah di matanya, hanya Yu Qi (Pangeran Ketujuh) yang ternyata menjadi yang paling bisa diandalkan. 　　Kapan dirinya mulai punya pemikiran berbahaya seperti ini? Nona Jiang dalam hati mencela diri sendiri. 　　Pertanyaan Jiang Si membuat Jiang Ancheng terdiam. 　　"Benar, siapa bilang orang berdarah rendah lebih bisa dipercaya? Orang seperti itu justru bisa mengorbankan segalanya untuk meraih kekuasaan jika ada kesempatan..." 　　Tatapan Nyonya Feng pada Jiang Si mulai memancarkan kekaguman. 　　Tak disangka Si'er (Nona Keempat) ternyata cukup bijak dalam hal ini. 　　"Ayah tenang, putri tak akan main-main dengan urusan pernikahan. Saat ini yang terpenting adalah menyelesaikan masalah kakak." 　　Pembicaraan tentang Jiang Yi tiba-tiba membuat suasana menjadi suram. 　　Seorang nenek pelayan bergegas masuk: "Ibu Suri, ada utusan dari istana!" 　　"Istana?" Nyonya Feng tertegun sebentar lalu merapikan pakaiannya, dipapah pelayan berjalan keluar. 　　Utusan istana itu adalah seorang pelayan muda. Setelah melihat lebih seksama, wajah Nyonya Feng berubah pucat. 　　Ini adalah kasim dari sisi Janda Permaisuri. 　　"Nyonya, mohon Sang Bangsawan dan Nyonya berkenan berbicara empat mata." Kasim itu berbicara dengan suara melengking. 　　“Saudara kandung Jiang Si diusir oleh Nyonya Feng.” 　　Jiang Zhan sering menengok ke belakang, alisnya berkerut khawatir, berbisik, “Nona Keempat, menurutmu kenapa utusan dari istana datang?” 　　Jiang Si menekan bibir tipisnya, berkata datar, “Tidak lain untuk Cui Mingyue.” 　　Langkah Jiang Zhan terhenti, “Nona Cui membuat skandal memalukan seperti ini, apa istana masih ingin menutupinya?” 　　Jiang Si memandang Cixintang sambil menghela napas, “Cui Mingyue adalah keponakan perempuan Kaisar, cucu Janda Permaisuri. Skandal ini harus ditutupi daripada jadi bahan gunjingan umum. Meski orang tahu siapa pelakunya, secara resmi tak boleh disebut.” 　　“Bukankah ini menguntungkannya!” 　　“Tak mungkin langsung menghabisi lawan. Selama Zhu Ziyu tidak mendapat keuntungan, sudah cukup.” Jiang Si cukup realistis. 　　Jurang status bawaan ini tak bisa diabaikan. Beberapa hal tak bisa dipaksakan. 　　Selain itu, meski istana melarang penyebutan terbuka skandal Cui Mingyue, reputasinya sudah hancur total. Ke depannya mustahil baginya muncul di istana atau acara resmi. 　　Bagi Cui Mingyue yang dulunya diagungkan, situasi ini lebih menyiksa daripada mati. 　　Jiang Si teringat sesuatu, melirik Jiang Zhan, “Kakak Kedua kenal Cui Mingyue bagaimana?” 　　“Hah?” 　　Ekspresi Jiang Si semakin curiga, matanya yang hitam berkilat menyipit. 　　Di bawah tatapan adiknya yang tajam, telinga Jiang Zhan memerah. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, ia berbisik pelan, "Cui Mingyue sepertinya berencana menggunakan siasat kecantikan padaku..." 　　Jiang Si hampir terjatuh karena tergelincir. 　　Jiang Zhan segera menopangnya, kesal berkata, "Mengapa reaksi Adik Keempat begitu berlebihan?" 　　Jiang Si menenangkan diri lalu tersenyum, "Menurutku sikap Kakak Kedua yang tidak tergoda oleh kecantikan sangatlah baik. Pria sepertimu sungguh langka." 　　Namun dalam hatinya, amarah membara. 　　Cui Mingyue benar-benar keterlaluan! Tidak hanya mempermainkan Zhu Ziyu, bahkan Kakak Kedua pun ingin dijebaknya. Hutang ini pasti akan kubayar! 　　Jiang Zhan menghela napas berat, "Baik atau buruk diriku tak berarti, yang penting jangan sampai merugikan nona dari keluarga lain. Tapi Adik Keempat, kau harus benar-benar selektif dalam memilih pasangan. Jangan sampai mengorbankan dirimu hanya karena janji dengan Nenek." 　　Jiang Si tertawa terhibur, "Merugikan nona lain? Kakak Kedua tidak malu mengagumi diri sendiri begini?" 　　Namun Jiang Zhan sama sekali tidak bisa tertawa. 　　Menyaksikan penderitaan Jiang Qian dan Jiang Yi dalam pernikahan, kekhawatirannya pada satu-satunya adik perempuan mencapai puncaknya. 　　Jika harus bertemu bajingan seperti Cao Xingyu atau Zhu Ziyu, lebih baik adikku tidak menikah selamanya. Aku yang akan menghidupinya! 　　Melihat raut wajah cemas Jiang Zhan, kehangatan mengalir dalam hati Jiang Si. Dengan lembut ia berkata, "Kakak Kedua benar-benar tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja." 　　Jiang Zhan mengangkat tangan hendak mengusap rambut adiknya, tapi melihat sanggul adiknya hari ini terlalu rumit. Jika berantakan pasti akan dimarahi, akhirnya menurunkan tangannya dengan kesal sambil berkata: "Mari kita kunjungi Kakak." 　　Di Haitangju, Jiang Yi sudah kembali seperti biasa. 　　Ia tidak terlalu memikirkan kejadian sebelumnya ketika tubuhnya tiba-tiba tak bisa bergerak. 　　Saat seseorang terluka hati sampai ke titik terparah, seluruh tubuh serasa mau mati. Apa anehnya jika tubuh mengalami kelainan sesaat? 　　Saat saudara kandung Jiang Si masuk, mereka melihat Jiang Yi terduduk lesu di samping penyekat dengan wajah kosong. 　　Kedua saudara ini saling memandang, lalu berjalan berdampingan mendekat. 　　"Kakak," panggil Jiang Zhan. 　　Jiang Yi menggerakkan bola matanya, menatap Jiang Zhan. 　　"Kakak, jangan sedih lagi. Orang seperti Zhu Ziyu tidak layak kau tangisi." 　　Jiang Yi menunduk tanpa bersuara. 　　"Kakak, tinggallah dengan tenang di keluarga kami. Aku akan bekerja keras di Kesatuan Jinwuwei, kelak akan menjadi penopang untukmu dan Adik Keempat." 　　Bulu mata Jiang Yi bergetar, air matanya berderai, tetap tak bersuara. 　　Jiang Zhan bingung memandang Jiang Si. 　　Jiang Si duduk di samping Jiang Yi dan menggenggam tangannya: "Kakak, apakah kau memikirkan Yan-yan?" 　　Mendengar nama Yan-yan, wajah Jiang Yi langsung dipenuhi kesedihan. Tangan yang digenggam Jiang Si mulai gemetar. 　　“Kakak, saya berjanji padamu, pasti akan membawa Yan-yan kembali ke sisimu. Jadi kakak harus bangkit semangat dulu, jangan menyia-nyiakan kesehatan tubuhmu sendiri, ya?” 　　“Yan-yan... benar-benar bisa ikut denganku?” Jiang Yi seperti boneka kayu yang tiba-tiba dihidupkan, akhirnya menunjukkan reaksi. 　　“Pasti!” 　　Setelah menghibur Jiang Yi, Jiang Si menuju ruang belajar dengan nada datar memerintahkan Ah Man: “Panggil Qing'er ke sini.” 325. BAB 325 Interogasi Qing'er 　　BAB 325 Interogasi Qing'er 　　Ruang Barat di rumah utama Haitangju diubah menjadi ruang belajar yang sederhana dan rapi. 　　Masih pagi, cahaya matahari tipis menyelinap melalui kisi-kisi jendela, menguraikan siluet gadis kurus dan lembut yang duduk di tepi jendela. 　　Saat Qing'er masuk, pemandangan indah inilah yang terlihat. 　　Tapi gadis cantik nan lembut itu bagai salju di pegunungan tinggi, es di atas danau - indah namun membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. 　　Qing'er dibawa menghadap Jiang Si. Ah Man berseru: “Nona, orangnya sudah datang.” 　　Jiang Si mengangguk halus, memberi isyarat pada Ah Man untuk mundur. 　　Ah Man mundur dan berdiri di depan pintu. 　　Qing'er memberi hormat dengan tekanan tak jelas: “Hamba menghadap nona.” 　　Jiang Si menopang dagu, mengamati Qing'er. 　　Mirip sekali. 　　Orang bilang aku mirip Imam Suci A Sang, tapi aku belum pernah bertemu A Sang. Hanya melihat potretnya di ruang belajar Yu Qi. Karena itu perasaan ini jauh lebih kuat sekarang. 　　“Qing'er dan Yu'er benar-benar seperti dicetak dari cetakan yang sama, mungkin satu-satunya perbedaan adalah aura mereka.” 　　Jiang Si teringat pada Yu'er di rumah sipil itu, meski mengenakan baju sederhana dengan jepit rambut dari kayu, namun langkahnya masih memancarkan kewanitaan yang menggoda. Sedangkan Qing'er di hadapannya benar-benar bersikap seperti dayang kecil biasa. 　　Jiang Si diam, Qing'er tidak berani bergerak. Tak lama kemudian kakinya mulai gemetar dan keringat mengucur di ujung hidung. 　　Ruang belajar dipanaskan dengan bara arang, dipisahkan dari hawa dingin luar oleh dinding dan jendela, seolah menjadi dua dunia yang berbeda. 　　Dalam kesunyian itu, Jiang Si akhirnya berbicara: “Haruskah aku memanggilmu Qing'er, atau Yu'er?” 　　Qing'er yang semula tegang namun masih tenang itu mendadak mengangkat kepala, memandang Jiang Si dengan terkejut. 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Lebih baik tetap kusebut Qing'er. Tampaknya orang bisa berganti-ganti, tapi nama tak perlu diubah-ubah. Setuju?” 　　Warna merah di wajah Qing'er langsung memudar seketika, seluruh tubuhnya mulai gemetar. 　　Jiang Si bersandar malas di sandaran kursi, tangannya yang putih bak giok di atas meja mengetuk-ngetuk meja dengan santai, mengeluarkan suara 'tok-tok' berirama. 　　Setiap dentuman itu terdengar, jantung Qing'er semakin mengencang. 　　“Ceritakan, bagaimana rencana Zhu Ziyu menggunakan kalian bersaudari untuk menjerat kakakku?” Setelah memberi tekanan cukup, Jiang Si mengajukan pertanyaan seolah santai. 　　Qing'er secara refleks mundur setengah langkah, terus menggelengkan kepala: "Hambaku tidak tahu apa yang Nona bicarakan..." 　　Jiang Si tersenyum. 　　Senyuman gadis itu lembut, jernih seperti dicuci mata air - tapi mata air yang dingin membeku. 　　Matanya bahkan lebih dingin dari senyumannya, bagai kolam es tebal yang bisa membekukan siapa pun yang menatapnya. 　　"Kemarilah." Jiang Si melambaikan tangan pada Qing'er yang terus mundur. 　　Gerak tangannya lentik seperti ganggang air yang meliuk, menimbulkan rasa takut namun tak bisa dihindari - seolah akan segera membelit erat. 　　Qing'er gemetaran berdiri di hadapan Jiang Si. 　　Jiang Si kembali tersenyum: "Qing'er, kalau aku bisa menyebut nama Yu'er, kau pikir aku tidak tahu di mana dia?" 　　Mata Qing'er terbelalak, pancaran terkejut dan ketakutan berbaur di pupilnya. 　　Jiang Si menatapnya dengan senyuman dingin: "Aku akan membunuhnya!" 　　Qing'er menggigil keras. 　　Senyuman itu merekah seperti bunga indah yang mempesona: "Lagipula kalian bersaudara memang berencana berbagi identitas, biar kugenapkan saja. Jika jawabanmu tak memuaskan, sumpah akan kubunuh dia." 　　Suara dinginnya berhenti sejenak, membuat bulu kuduk meremang: "Kepalanya akan kupenggal, agar kau bisa melihat wajah kembarmu yang pucat tak bernyawa--" 　　“Jangan bicara lagi!” Qing'er akhirnya ambruk, menutupi telinga sambil menjerit. 　　Ah Man yang menjaga pintu mengintip ke dalam ruangan, mencibir. 　　Baru segini sudah ketakutan, benar-benar tak berguna. 　　Kalau dipikir, masih dayang utamanya yang profesional. Melihat nona membunuh dan membakar, apa dia pernah protes? 　　Hanya kesal karena akhir-akhir ini nona jarang membawanya! 　　Jiang Si diam membisu, mengamati reaksi Qing'er dengan tenang. 　　Setelah beberapa lama, Qing'er menurunkan tangannya. Wajah pucatnya masih menyisakan ketakutan, mata redup penuh kepasrahan. 　　"Aku akan bicara..." Begitu membuka mulut, air matanya langsung jatuh. 　　Jiang Si mengetuk meja, kesal: "Kalau menangis bisa menyelesaikan masalah, buat apa aku membunuh?" 　　Tangis Qing'er tercekat. Kepalanya menunduk: "Yu'er adalah kakak kembarku. Orang tua kami meninggal dalam perjalanan ke ibukota, hanya tersisa kakak dan kami berdua. Untuk bertahan hidup, kakak menjual kakakku ke rumah bordil. Tapi tak lama kemudian dia kecanduan judi, bukan cuma menghabiskan uang hasil penjualan kakakku, tapi juga berutang banyak..." 　　Kisah selanjutnya hampir sama dengan semua pecandu judi. Setelah kehabisan uang dan terlilit utang, kakak Qing'er mulai mengincar adik-adiknya. 　　Pertama, dia sering pergi ke Yan Chun Ban untuk meminta uang dari Yu'er. Setelah menghabiskan semua uang Yu'er, dia berencana menjual Qing'er untuk melunasi utang judi. 　　"Aku tidak rela dijual ke rumah bordil lalu kabur ke jalan. Saat itulah Tuan Gong Zhu muncul. Dia memberi kakak sejumlah uang dan berpesan agar jangan menjualku. Aku sangat paham sifat kakak, setelah uang dari Tuan Gong Zhu habis, dia pasti akan mengincarku lagi. Awalnya ingin mencari kesempatan kabur diam-diam, tapi kakak mengancam akan membunuh kakak perempuanku jika aku berani kabur. Akhirnya aku pasrah menunggu hari nasibku sama seperti kakak yang jatuh ke rumah bordil. Tapi tak disangka..." 　　Qing'er melirik Jiang Si dengan takut-takut, melanjutkan: "Tuan Gong Zhu diam-diam mencariku lagi. Dia menyuruhku memainkan sandiwara ini, berjanji setelah berhasil bukan hanya memberiku kehidupan tenang tapi juga menebus kakak perempuanku..." 　　Godaan ini memang sangat besar. 　　Jiang Si tersenyum tipis, bertanya lagi: "Lalu bagaimana rencananya untuk menjerumuskan kakakku?" 　　Qing'er menggigit bibirnya, di bawah tatapan tajam lawan bicaranya, tahu tak bisa berbohong lalu mengaku: "Tuan Gong Zhu menyuruhku berusaha dapatkan kepercayaan Nyonya Besar. Saat waktunya tepat, suruh kakakku diam-diam masuk rumah keluarga dengan menyamar sebagai aku. Dengan alasan menyampaikan pesan Tuan Gong Zhu, ajak Nyonya Besar keluar. Di sana sudah ada pria lain yang menunggu Nyonya Besar——" 　　Suara retakan memotong ucapan Qing'er, Jiang Si mematahkan kuas di tangannya. 　　"Lanjutkan." Jiang Si melempar kuas patah itu ke samping, mengambil kuas baru dari rak. 　　"Saya akan pergi ke dapur besar atau tempat ramai yang bisa membuktikan keberadaan saya saat itu. Kakak akan membujuk Nyonya Besar pergi ke belakang lalu meninggalkan rumah keluarga Zhu. Ketika 'perzinahan' Nyonya Besar dengan pria yang diatur Tuan Gong Zhu terbongkar, dia pasti akan bilang dipanggil kakak. Semua orang akan menganggap Nyonya Besar berbohong..." 　　Jiang Si melambaikan tangan, menyuruh Qing'er berhenti berbicara. 　　Qing'er mengatupkan mulutnya, memandang Jiang Si dengan gelisah. 　　Dia tidak tahu bagaimana Nona Jiang yang menakutkan ini akan menghukumnya. 　　Jiang Si mengetuk-ngetuk kertas di meja tulis: "Ayo, bubuhkan cap jari di sini." 326. BAB 326 Tiga Hukuman 　　BAB 326 Tiga Hukuman 　　Melihat tulisan hitam di atas kertas putih, mata Qing'er membelalak, bulu matanya bergetar. 　　Jiang Si tersenyum menghibur: "Jangan takut, cukup celupkan jari ke cinabar dan tekan di sini. Lebih mudah daripada menulis." 　　Di pintu, Ah Man menatap langit diam-diam. 　　Nona, Anda benar-benar pandai menghibur. 　　Qing'er justru semakin ketakutan, enggan mengulurkan tangan. 　　Wajah Jiang Si berubah dingin: "Kenapa? Berani berbuat kejahatan, tapi takut mengaku?" 　　Qing'er bersujud sambil menangis: "Nona, ampunilah hamba! Hamba tidak akan berani lagi..." 　　Jiang Si tersenyum sinis: "Kalau minta ampun bisa menyelesaikan masalah, buat apa ada kantor kabupaten?" 　　Qing'er menatap Jiang Si dengan ragu-ragu. 　　Gadis itu memandangnya dengan dingin, raut wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak terbantahkan. 　　"Nona, aku tidak berniat jahat. Sungguh terpaksa, saat itu kalau tidak menuruti Tuan Gong Zhu, aku dan kakak pasti sudah dibunuh oleh saudara laki-laki Xie Qingyao..." Qing'er masih berusaha memohon dengan sisa harapan terakhir. 　　Sorot mata Jiang Si semakin gelap, sudut bibirnya menyunggingkan ejekan: "Untuk menyelamatkan diri sendiri dan keluarga, berani-beraninya kau merugikan orang tak bersalah? Berani sekali kau mengucapkan kata-kata minta ampun seperti ini? Cukup! Tanda tangani segera, mungkin aku tidak akan menyerahkan ke pihak berwenang jika aku senang. Kalau masih banyak bicara, aku akan cari Yu'er..." 　　"Aku setuju!" Begitu mendengar nama Yu'er disebut, Qing'er langsung kehilangan keberanian. Dengan mata berkaca-kaca, ia membubuhkan cap jari di atas kertas. 　　Jiang Si meniup tinta yang masih basah, lalu melipat dan menyimpan dokumen itu dengan rapi. 　　Malam itu, banyak orang yang terjaga hingga pagi. 　　Jiang Yi menginap di Haitangju. 　　Malam semakin larut, angin kencang tiba-tiba berhembus menerpa jendela, namun suasana dalam ruangan tetap hangat seperti musim semi. 　　Jiang Si berbaring berdempetan dengan Jiang Yi, memandang kakak tertuanya yang tak kunjung terlelap. 　　"Kakak, tidak bisa tidur?" 　　Kelopak mata Jiang Yi bergetar halus, namun ia tidak menjawab. 　　Jiang Si mengulurkan tangan dari selimut sutera, memeluk tubuh renta kakaknya. 　　Cahaya lampu yang redup, ruangan sunyi, malam dingin diterpa angin kencang. 　　Hati Jiang Yi berjuang dalam air danau yang membeku, suara lembut adiknya bagai balok kayu yang mengapung, memberinya secercah harapan. 　　"Kakak tertua, Yan-yan pasti juga tidak bisa tidur tanpamu." 　　Saat ini, Jiang Si tidak akan bodoh menanyakan apakah Jiang Yi masih mencintai Zhu Ziyu. 　　Dia sangat memahami perasaan kakaknya. 　　Percaya dan mencintai seorang pria selama bertahun-tahun, meski tiba-tiba melihat sisi terburuknya, bagaimana mungkin langsung memutus ikatan cinta? 　　Yang dibutuhkan kakaknya sekarang adalah waktu - batu asah terdingin yang perlahan mengikis hati lembut itu, hingga akhirnya bisa menyebut "binatang" dengan tenang saat mengingat pria itu. Inilah kebaikan waktu. 　　Dia yakin hari itu akan tiba, tapi bukan sekarang. Tugasnya kini adalah menggunakan Yan-yan untuk membangkitkan keberanian kakaknya. 　　Reaksi Jiang Yi saat mendengar Jiang Si menyebut putrinya membuktikan hal itu. 　　Tangannya mencengkeram kaus dalam putih Jiang Si, air mata mengalir tanpa suara. 　　Mata Jiang Si berkaca-kaca, suaranya lembut: "Kakak, Yan-yan akan segera menemanimu. Kalian bisa tinggal di sini bersama Ayah, Kakak Kedua, dan saya. Keluarga kita akan baik-baik saja..." 　　Genggaman Jiang Yi pada lengan baju Jiang Si semakin kencang, tangisnya tiba-tiba meledak keras. 　　“A Qiao yang tidur di ruang luar diam-diam membalikkan badan, dalam hati menghela napas. 　　Nyonya Tertua sungguh malang, kalau dipikir-pikir, hidup Nona lebih bebas. 　　Hmm, sebenarnya keluar diam-diam tengah malam untuk jalan-jalan atau ada Tuan Gong tampan memanjat tembok masuk juga tidak buruk. 　　Nyonya Tertua yang lembut, patuh tata krama dan beretiket, akhirnya bagaimana? 　　Jiang Si yang sedang menghibur kakak tertuanya tidak tahu, di malam dingin ini, Dayang utamanya A Qiao mengalami perubahan drastis dalam pola pikir. 　　Langit belum mulai terang, para pejabat yang harus menghadiri sidang pagi sudah berjalan keluar rumah membawa lentera diterpa angin dingin, menuju Gerakan Qianqing. 　　Kaisar Jingming juga bangun lebih awal, dilayani pelayan istana untuk berpakaian resmi, memulai urusan politik hari itu. 　　Semalam Kaisar Jingming begadang membaca buku cerita secara diam-diam, sekarang kepalanya masih pusing. 　　Melihat Kaisar Jingming lesu, Kasim Kepala Pan Hai hati-hati mengusulkan: "Kaisar, hamba akan ambilkan semangkuk sup penyegar." 　　“Tidak perlu.” Kaisar Jingming menggelengkan tangan menolak. 　　Sidang pagi setiap hari hanya urusan-urusan itu saja, sangat membosankan. 　　Tentu, meski mengeluh, Kaisar Jingming sebenarnya menikmati kebosanan ini. 　　Kebosanan berarti tidak ada peristiwa besar, buruk atau menyusahkan terjadi, sehingga ia bisa tenang membaca buku cerita untuk hiburan. Sebagai kaisar bijak, harusnya ia tidak bisa tidur malam dan mengkhawatirkan negara. 　　Agak mengantuk, nanti tidur lagi sejenak. Setelah urusan pemerintahan selesai, harus menyelesaikan sisa buku cerita. Tadi malam baru sampai bagian seru langsung disita Pan Hai! 　　Kaisar Jingming menyapu pandangannya ke wajah-waJh familiar. Kepekaan yang terasah selama bertahun-tahun membuatnya segera mencium keanehan. 　　Kenapa beberapa orang terlihat seperti disuntik darah ayam? 　　Dalam hati, Kaisar Jingming segera menarik kesimpulan: Tampaknya ada yang akan kena batunya. 　　Benar saja. Setelah rutinitas harian selesai, beberapa orang langsung berebut maju. Yang dituduh tetap sama: Zhuziyu, Shujishi dari Akademi Hanlin. 　　Tahun baru hampir tiba. Para pejabat pengawas ini sedang pusing memenuhi target. Kau yang seharusnya menjadi teladan kaum terpelajar, malah berbuat skandal. Tidak dituntut mau dibawa lewat tahun? 　　Mendengar pidato menggebu-gebu dari beberapa pejabat pengawas, Kaisar Jingming juga terkejut. 　　Seorang Shujishi berbakat malah memelihara selir dan menyebutnya sebagai pasangan suami istri? 　　Orang bodoh macam ini bisa lulus ujian Jinshi? 　　Kaisar Jingming mengusap dagu dengan kesal. 　　Tahun ini memang banyak kasus mengabaikan tata krama demi wanita. Mulai dari anak lelaki Keluarga An Guogong, sekarang putra Zhu Shaoqing. 　　Di buku cerita namanya mengharukan. Tapi kalau terjadi berulang di dunia nyata, apakah ini pertanda rakyatku sudah tak peduli aturan? 　　Pasti karena hukuman ringan untuk An Guogong waktu lalu membuat mereka salah paham. 　　Angin tak baik begini tidak boleh dibiarkan! 　　Kaisar Jingming tiba-tiba merengut: "Pendapat para menteri sangat tepat. Copot jabatan Zhu Ziyu dan larang seumur hidup untuk diangkat kembali." 　　"Kaisar bijaksana." Beberapa pejabat pengawas merasa tertekan tanpa alasan jelas. 　　Tak disangka Kaisar mengambil keputusan begitu cepat, hampir tak memberi kesempatan bagi mereka untuk berargumen. 　　"Wakil Menteri Kanan Pengadilan Dali Zhu Deming gagal mendidik anaknya. Turunkan pangkatnya menjadi Sekretaris Pengadilan kelas lima." 　　Para menteri terkejut, dalam hati bergumam Kaisar kali ini benar-benar tak meninggalkan muka. 　　Anak lelaki berbuat kesalahan dan menyeret ayahnya itu hal biasa, tapi turun dua tingkat jabatan sekaligus, mungkin Zhu Shaoqing akan pingsan menangis. 　　Kaisar Jingming menyapu pandangannya ke para menteri, lalu menambahkan: "Adipati An dihukum potong gaji selama setahun." 　　Kali ini para menteri benar-benar bingung. 　　Ada hubungan apa dengan Adipati An? 　　Teringat, putra bungsu Adipati An sempat membuat skandal bunuh diri bersama gadis rakyat jelata awal musim semi, tapi mereka sudah menikah beberapa bulan. 　　Kaisar Jingming sepertinya tahu isi hati para menteri, berkata datar: "Hukuman tambahan." 　　Ekspresi para menteri berkerut. 　　Masih bisa begitu? 　　Tiga hukuman berturut-turut dari Kaisar Jingming jelas menunjukkan sikap tertentu, membuat para menteri gemetar ketakutan. 　　"Apa asal-usul wanita yang bergaul dengan Zhu Ziyu?" 327.BAB 327 Memperdalam Kesan 　　BAB 327 Memperdalam Kesan 　　Saat Kaisar Jingming mengajukan pertanyaan ini, pandangan para menteri kepadanya tiba-tiba menjadi aneh. 　　Pertanyaan Kaisar agak terlalu luas. 　　Umumnya wanita yang menjadi selir apa lagi identitasnya? Paling banter putri keluarga miskin, tapi kebanyakan bukan dari latar belakang terhormat. 　　“Hal seperti ini terjadi, kuncinya terletak pada bagaimana menangani pria yang sedang dalam karir politik, siapa yang akan peduli dengan latar belakang seorang selir.” 　　Ada alasan lain mengapa kerumunan memandang dengan tatapan aneh: menurut desas-desus penonton, selir itu bermarga Cui dan masih berpenampilan seperti nona pertama, kini beredar kabar bahwa wanita itu adalah Putri Rongyang, Nona Cui yang pertama. 　　Desas-desus ini agak aneh, Keluarga Zhu dan Kediaman Dongping Bo sama-sama tetap diam seribu bahasa. 　　Tapi asap tidak mungkin muncul tanpa api, mungkin saja ini benar? 　　Tentu saja, benar atau tidak, mereka tidak akan membahas identitas wanita dalam acara seperti ini. 　　Kaisar Jingming memandang dingin ekspresi para menteri, sama sekali tidak merasa canggung. 　　Ada apa? Apa tidak boleh Ia bertanya karena penasaran? 　　Kaisar Jingming akhirnya tidak mendapat jawaban, membubarkan sidang dengan perasaan kesal di tengah keheningan aneh para menteri. 　　Kembali ke ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming duduk di kursi naga, semakin lama semakin merasa situasi ini ganjil. 　　Sikap orang-orang tua itu terlalu aneh. 　　Setelah berpikir panjang, Kaisar Jingming berseru: “Pan Hai!” 　　Pan Hai segera menjawab: “Hamba di sini.” 　　“Masalah ini begitu ramai dibicarakan, banyak yang sudah tahu kan? Pergilah selidiki detailnya.” 　　Sebagai Kepala Dongchang, Pan Hai ahli dalam mengumpulkan intelijen. Tak lama kemudian ia kembali dengan wajah aneh melapor. 　　“Ada apa?” Setelah bertahun-tahun bersama, tidak hanya Pan Hai yang memahami Kaisar Jingming, Sang Kaisar juga mengerti setiap ekspresi wajah Pan Hai. Begitu melihat raut wajahnya, Ia langsung tahu ada masalah. 　　Pan Hai hanya diam sejenak, lalu melapor dengan jujur: "Dilaporkan kepada Yang Mulia, wanita yang terlibat dengan Zhu Ziyu adalah putri Cui Xu dan Putri Rongyang..." 　　Melihat Kaisar Jingming tak bereaksi, Pan Hai dengan sigap menambahkan: "Keponakan perempuan Yang Mulia..." 　　Kaisar Jingming hampir mengambil tinta di Meja Naga untuk melemparkan kepala Pan Hai. 　　Brengseknya Pan Hai! Apa dia pikir Sang Kaisar sudah pikun karena tua? Tentu saja dia tahu putri Rongyang adalah keponakannya! 　　Kaisar Jingming berdiri, marah oleh kabar ini hingga mondar-mandir di ruang studi kekaisaran. Bahkan buku cerita yang tersembunyi di bawah tumpukan memorial tak lagi menarik. 　　Apa artinya buku cerita dibandingkan keponakan kaisar yang bergaul dengan pria beristri? 　　Jika ada cerita seperti ini di buku, pasti akan dia cela sebagai omong kosong. 　　"Sudah dipastikan?" Muka Kaisar Jingming memerah saat bertanya lagi. 　　Pan Hai menunduk: "Putri Rongyang telah ke keluarga Zhu, sementara dari Istana Cining ada yang dikirim ke Dongping Bo Residence..." 　　Kaisar Jingming terkejut: "Apa hubungannya dengan Dongping Bo Residence?" 　　Akhir-akhir ini nama Dongping Bo Residence sering disebut, sampai-sampai keluarga bangsawan biasa ini begitu membekas di ingatannya. Bahkan ingat mereka punya Nona Keempat yang pernah diberi tongkat gioknya. 　　Entah sudah dinikahkan belum si gadis sial itu—Kaisar Jingming tiba-tiba merasa terlalu ikut campur, lalu canggung menyadarinya. 　　Pan Hai menyebutkan Kediaman Dongping Bo juga dengan ekspresi aneh: "Melapor kepada Yang Mulia, istri sah Zhu Ziyu memang nona pertama dari Kediaman Dongping Bo. Setelah kejadian itu, Dongping Bo langsung membawa putrinya pulang ke kediaman." 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak, lalu bangkit dan menuju Istana Cining. 　　Orang yang sudah tua cenderung takut dingin. Begitu udara mulai dingin, Janda Permaisuri langsung bersembunyi di dalam ruangan dengan naga api yang menyala dan tidak keluar lagi. 　　Biasanya beliau mendengarkan opera, menyalin sutra, menikmati sayur-mayur segar yang langka di luar, hidupnya tenang dan nyaman. Tapi hari ini suasana hati Janda Permaisuri seperti langit mendung di musim dingin, sangat buruk. 　　"Yang Mulia tiba——" 　　Suara pengumuman itu membuat Janda Permaisuri yang sedang bersantai langsung membuka mata. 　　Kaisar Jingming melangkah masuk dengan gagah. 　　"Ibu sedang beristirahat?" 　　Janda Permaisuri mengumpulkan perasaannya dan tersenyum: "Yang Mulia cepat duduk." 　　Kaisar Jingming duduk di samping Janda Permaisuri, sambil mengambil selimut tipis yang terlepas dan menyampirkannya di lutut ibu suri. 　　Meskipun ruangan ini hangat seperti musim semi, di musim dingin lutut Janda Permaisuri tetap tidak tahan. 　　Kaisar Jingming ingat alasannya. 　　Saat itu dia masih seorang pangeran yang tak punya perlindungan. Karena fitnah selir jahat, ayah kaisar murka dan menghukumnya berlutut di tanah bersalju. 　　Permaisuri (yang sekarang menjadi Janda Permaisuri) mendengar kabar itu dan bergegas datang. Beliau berlutut di sampingnya memohon pengampunan kepada ayah kaisar, berlutut selama satu shichen penuh, akhirnya berhasil melunakkan hati ayah kaisar. 　　Tapi sejak itu Janda Permaisuri menderita penyakit kaki. 　　Kaisar Jingming memikirkan ini semua, lalu menelan semua tuduhannya. Ia mengulurkan tangan memijat lembut kaki Janda Permaisuri. 　　“Kenapa Kaisar datang sekarang?” 　　“Tidak ada urusan, hanya ingin bertemu Ibu.” 　　Mendengar itu, alis panjang Janda Permaisuri meregang, sudut matanya berkerut oleh senyum. 　　Kaisar Jingming akhirnya tidak membahas apapun. Setelah menemani Janda Permaisuri sebentar, ia pun berdiri dan pergi. 　　Begitu Kaisar Jingming pergi, alis Janda Permaisuri yang tadinya tenang berkerut, wajahnya menjadi muram. 　　“Tak ada yang lebih mengenal anak daripada ibunya sendiri. Meski Kaisar bukan anak kandungnya, tapi dibesarkannya sejak kecil. Tiba-tiba Kaisar datang di waktu yang tidak biasa ini, bukan hari raya maupun acara penting, lalu pergi tanpa bicara apa-apa—pasti ada sesuatu.” 　　Janda Permaisuri segera menemukan alasan setelah merenung sejenak. 　　Pasti Kaisar telah mendengar kabar tentang Mingyue. 　　Wajah Janda Permaisuri membeku seperti es saat mengingat Cui Mingyue. 　　“Si gadis ini terlalu berani dan sembrono, benar-benar mengecewakan!” 　　“Janda Permaisuri, Putri Rongyang bersama Nona pertama Keluarga Cui memohon audiensi.” 　　Janda Permaisuri melambaikan tangan, berkata dingin: “Suruh mereka pulang.” 　　Ini pertama kalinya Putri Rongyang diusir tanpa bertemu Janda Permaisuri, padahal biasanya ia bebas masuk istana tanpa lapor. 　　Begitu tiba di istana putri, Putri Rongyang langsung menyambar cangkir teh di dekatnya dan melemparkannya ke Cui Mingyue: “Lihat perbuatanmu!” 　　Untung cangkir itu kosong, tidak ada teh yang tumpah. 　　“Cui Mingyue menahan rasa sakit itu, menangis penuh kekesalan: 'Ibu, putri benar-benar tahu salah, apakah nenek takkan mau bertemu putri lagi?'” 　　Putri Rongyang melototi putrinya dengan geram: "Kau melakukan aib seperti ini masih berharap Janda Permaisuri menganggapmu mutiara telapak tangan? Lupakan angan-angan itu, tetap di rumah dan jangan mempermalukan diri!" 　　Cui Mingyue menggigit bibirnya kuat-kuat, barulah menyesal. 　　Seandainya dia bersembunyi di belakang layar seperti saat diam-diam mendorong pertemuan Yang Shengcai dengan Jiang Zhan dulu, pasti lebih aman daripada turun tangan langsung. 　　"Putri sebentar linglung, siapa sangka pria yang tampak sopan dan terpercaya itu penipu..." 　　Sorot dingin tiba-tiba memancar dari mata Putri Rongyang, mengingat nasib Keluarga Zhu yang dihujani tuduhan oleh para pejabat pengawas, barulah amarahnya mereda. 　　Suasana muram menyelimuti rumah keluarga Zhu setelah menerima dekrit kerajaan. 　　Zhu Ziyu pingsan seketika mendengar maklumat "dilarang bekerja seumur hidup", terbaring kaku seperti ikan mati di tepian yang mengeluarkan bau anyir menjijikkan di bawah terik matahari. 　　Tak ada yang sempat menolongnya. 　　Nyonya Zhu terserang sakit seperti ditusuk di dada, merosot perlahan sambil memegangi jantungnya, membuat dayang-dayang berteriak histeris. 　　Zhu Shaoqing berjalan lunglai menghampiri Zhu Ziyu, menendangnya sekuat tenaga tapi tetap tak puas. 　　Pangkat diturunkan dua tingkat, putra sulung yang masa depannya cerah kehilangan jalan di dunia karir, keluarga Zhu menjadi bahan tertawaan seluruh ibu kota... 　　Dosa apa yang telah kulakukan, sampai punya anak durhaka seperti ini! 　　Minta vote! Suara bulanan, Rekomendasi, semua diterima. Ucapkan berkali-kali biar kalian lebih ingat. 328. BAB 328: Memukul Anjing yang Jatuh ke Air 　　BAB 328: Memukul Anjing yang Jatuh ke Air 　　Berbeda dengan kesuraman di keluarga Zhu, keluarga An Guogong justru seperti terkena pukulan tak terduga. 　　Anak Zhu Shaoqing yang berbuat salah, kenapa An Guogong malah dihukum potong gaji setahun? Ini benar-benar malapetaka tak berdasar! 　　An Guogong masih bisa menahan diri, tapi Nyonya An Guo Gong (Wei) langsung naik pitam. Tak tegas menyalahkan anak sendiri, akhirnya cari-cari alasan untuk melampiaskan kemarahan pada Qiao Niang. 　　Qiao Niang kembali ke kamar, menangis tersedu-sedu sambil menelungkup di bantal. 　　Ji Chongyi yang baru sampai di depan pintu sudah mendengar suara tangisan samar. 　　Langkahnya langsung terhenti, wajahnya yang sudah muram semakin gelap. 　　Keluarga An Guogong tiba-tiba jadi sorotan lagi, kembali jadi bahan gunjingan orang. Mana mungkin dia bisa tenang? 　　Teman-teman sepermainan dulu sekarang bersikap aneh padanya, seolah dia telah melakukan kejahatan terbesar. 　　Padahal, dia hanya menikahi seorang wanita sesuai isi hatinya, itu saja. 　　Dibanding teman-teman yang hobi nongkrong di rumah bordil, punya selir dan gundik, salah apa sebenarnya yang telah dia perbuat? 　　Perasaan dikucilkan secara samar oleh teman membuat Ji Chongyi gelisah dan bingung. 　　Pandangan penuh tuduhan dan keluhan yang sebelumnya berhasil diredam di kediaman Keluarga An Guogong kini kembali ada di mana-mana, membuat Ji Chongyi semakin frustrasi. 　　Dengan perasaan seperti ini ia menuju tempat istirahat, namun mendengar tangisan istrinya. 　　Beberapa bulan lalu, tangisan seperti ini pasti langsung membuatnya khawatir dan tersentuh, langsung masuk untuk menanyakan penyebabnya lalu memeluk istrinya untuk menghibur. 　　Namun sekarang Ji Chongyi hanya merasakan kejengkelan. 　　Dimarahi ibu mertua - istrinya menangis; Dihadapi dengan wajah dingin adik ipar - istrinya menangis; Dilayani dengan acuh oleh pelayan - istrinya tetap menangis... 　　Tapi dia juga bisa lelah dan kesal. 　　Apakah dia tidak pernah ingin menangis saat sedih dan frustrasi? Hanya saja dia seorang suami, dan semua ini adalah pilihannya sendiri - tidak pantas baginya untuk menangis. 　　Tapi pada akhirnya, semuanya sudah berbeda. 　　Saat pulang dengan hati lara, yang diharapkannya bukan wajah penuh keluh kesah, melainkan secangkir teh hangat dan kata-kata lembut. 　　Sejak kapan gadis yang dulu tertawa lepas dalam pelukannya telah menghilang? 　　Ji Chongyi membalikkan badan dalam diam dan berjalan menuju ruang belajar. 　　Dayang yang berjaga di pintu membuka mulut tapi mengurungkan niat, menggeleng kepala saat melihat punggung Ji Chongyi yang menjauh. 　　"Baru beberapa bulan ini, Putra Ketiga sudah begitu dingin terhadap Nyonya Muda Ketiga. Padahal dulu saya diam-diam iri dengan nasib baiknya." 　　Namun——dayang itu memutar matanya licik, senyum mengembang di bibir. 　　Justru bagus kalau Putra Ketiga sudah tak sayang lagi pada Nyonya Muda Ketiga. Kalau tidak, mana ada kesempatan untuk orang lain? 　　Di mata para dayang, status mereka yang rendah tak bisa dibandingkan dengan putri bangsawan. Tapi kalau seorang gadis biasa saja bisa menikah masuk Keluarga An Guogong jadi nyonya muda, tak salah jika mereka bermimpi jadi selir. 　　Hukuman Kaisar terhadap Keluarga Zhu membuat Jiang Ancheng bersorak gembira, tapi urusan perceraian putri sulungnya dengan Zhu Ziyu malah menemui jalan buntu. 　　Keluarga Zhu menolak menandatangani akta perceraian karena dokumen tersebut mencantumkan klausul Yan-yan, putri Jiang Yi dan Zhu Ziyu, akan ikut ibunya. 　　Melihat hukuman terhadap Keluarga Zhu, Nyonya Feng ingin segera memutus hubungan dengan keluarga yang telah kehilangan muka. "Yan-yan bermarga Zhu, sudah tentu dia tetap putri keluarga Zhu. Sekalipun ayahnya bersalah, tak mungkin memisahkan anak dari keluarga ayahnya saat bercerai. Lebih baik urungkan niat ini!" ujarnya pada Jiang Ancheng. 　　"Tidak boleh!" Jiang Ancheng dan Jiang Zhan serentak berseru. 　　Nyonya Feng melirik tajam ke Jiang Zhan, "Bukankah hari ini kau harus bertugas?" 　　"Cucu sudah izin. Kalau urusan kakak belum selesai, cucu tak bisa fokus bekerja." 　　Nyonya Feng berkerut dahinya: "Bermain-main, apa yang bisa kau bantu? Mungkin pergi ke Keluarga Zhu untuk merebut Yan-yan kembali?" 　　"Jika merebutnya kembali dianggap sah, maka cucu akan merebutnya kembali." Jiang Zhan berkata dengan penuh penyesalan. 　　Sayangnya masih ada hukum yang membatasi. Saat ini Keluarga Zhu sedang menjadi sorotan, banyak orang mengawasi. Jika dia merebut keponakan perempuannya, Keluarga Zhu pasti akan melaporkannya ke pihak berwenang. 　　Jiang Ancheng mengusap pelipisnya: "Ibu, jangan terlalu khawatir. Bercerai bukanlah hal sepele, perlu proses perundingan. Keluarga Zhu semakin lemah, seiring waktu mereka pasti akan melepaskan Yan-yan asalkan kita tidak menyerah." 　　"Tapi ini akan memakan waktu terlalu lama." Jiang Si berbisik lembut. 　　Meski suaranya pelan, langsung menarik perhatian kerumunan. 　　Jiang Zhan teringat perkataan Jiang Si sebelumnya, matanya berbinar: "Adik Keempat, apa kau punya cara?" 　　Nyonya Feng mengerutkan alis menatap cucu perempuannya. 　　Sejak janji itu, setiap melihat wajah cucunya yang begitu mempesona, hatinya selalu dirundung perasaan rumit. 　　Di satu sisi, omong kosong si gadis membuatnya jengkel. Tapi di sisi lain, muncul pikiran: Bagaimana jika gadis ini benar-benar bisa melakukannya? 　　Putra Mahkota Yongchang Bo sebelah - eh, sekarang seharusnya disebut Yongchang Bo - tumbuh bersama Si'er sejak kecil. Si gadis bicara begitu yakin, mungkin anak itu telah memberikan janji tertentu padanya. 　　“Apa masalahnya Yongchang Bo yang baru menjabat menjaga masa berkabung untuk orangtuanya selama tiga tahun? Tiga tahun kemudian Si'er baru berusia delapan belas tahun, masih dalam usia subur. Begitu menikah bisa langsung punya anak dan memperkuat posisinya.” 　　Adapun perjanjian satu tahun, Nyonya Feng sama sekali tidak menganggapnya. 　　“Kecuali Kaisar berencana mengadakan seleksi selir untuk mengisi harem, mana mungkin Si'er bisa kabur ke langit?” 　　Bagi Nyonya Feng, bahkan jika Jiang Si menjadi selir istana, tetap tidak lebih baik daripada menjadi Istri Yongchang Bo. 　　“Kaisar sudah sepuh, yang terpenting dia punya banyak anak lelaki. Apa gunanya masuk istana jadi selir? Apalagi wajah Si'er ini kalau dilihat orang-orang terhormat malah bisa jadi musuh bagi keluarga Bo.” 　　Nyonya Feng tidak bisa melupakan alasan ibu Jiang Si dulu tidak laku sampai akhirnya menikah ke keluarga Bo. Dengan ibu seperti itu, mana mungkin Janda Permaisuri dan Putri Rongyang akan baik-baik saja pada cucu perempuan keempat ini. 　　“Katakan caramu.” Nyonya Feng mengucapkan ini sambil geleng-geleng kepala diam-diam. 　　Sejak kapan dia mulai punya kesabaran mendengar omong kosong si gadis kecil ini? 　　“Karena keluarga Zhu tidak mau bercerai dengan baik, mari kita minta pihak berwenang memutuskan pemutusan hubungan secara moral.” 　　“Itu mustahil!” Nyonya Feng membantah tegas. “Suami punya perempuan lain di luar, itu saja tidak cukup alasan untuk bercerai, mana mungkin pihak berwenang akan memutuskan pemutusan moral?” 　　Jiang Si tersenyum: “Bagaimana jika Zhu Ziyu berniat membunuh istri sahnya?” 　　Nyonya Feng terkejut. 　　"Zhu Ziyu si binatang kejam itu, karena itulah aku bersikeras agar Yi'er keluar dari sarang serigala itu. Sayangnya tidak ada bukti!" Jiang Ancheng berbicara dengan wajah masam. 　　"Siapa bilang tidak ada bukti?" Di bawah tatapan ayah dan kakaknya, Jiang Si sedikit menaikkan dagunya dan mengucap perlahan, "Aku punya!" 　　Jiang Ancheng langsung berdiri, bertanya penuh harap: "Benarkah?" 　　Jiang Si tersenyum manis: "Mana mungkin putri bercanda dengan hal seperti ini. Ayah, bawa putri menemui Tuan Zhen. Putri pasti akan membawa pulang surat pemutusan hubungan secara moral." 　　Memukuli anjing yang sudah jatuh ke air - itulah hal yang paling disukainya. 　　Ayo, dukung A Si dengan vote untuk memukuli anjing yang sudah terjun ke air. 329. BAB 329: Berhadap-hadapan di Ruang Sidang 　　BAB 329: Berhadap-hadapan di Ruang Sidang 　　Melihat ekspresi Jiang Si yang tak terlihat berpura-pura, Jiang Ancheng hanya ragu sebentar lalu mengangguk mantap: "Ayo pergi!" 　　Bagaimanapun juga, Tuan Zhen sangat menyukai Si'er. Jika Si'er benar-benar bisa menunjukkan bukti, ini urusan resmi. Jika tidak, anggap saja mengunjungi sesepuh. Tidak ada ruginya. 　　Dari belakang terdengar teriakan marah Nyonya Feng: "Putra Sulung, bagaimana bisa kau membiarkan Si'er (Nona Keempat) bertingkah sembarangan?" 　　Jiang Si berbalik, tersenyum manis bertanya pada Ibu Suri: "Apakah Nenek mau bertaruh lagi dengan cucu?" 　　Nyonya Feng mengerutkan alis menunggu kelanjutan perkataannya. 　　"Jika cucu bisa membawa pulang surat pemutusan hubungan, urusan Kakak dan Yan-yan di kemudian hari jangan lagi Nenak campuri." 　　"Jika tidak bisa membawanya kembali?" 　　Jiang Si mengangkat tangan: "Kalau begitu, cucu perempuan ini menyerahkan diri pada hukuman Nenek." 　　Baru saja Nyonya Feng ragu-ragu, Jiang Ancheng sudah membawa kedua anaknya pergi dengan cepat. 　　Si nenek baru tersadar belakangan: Tidak benar, dalam dua kali taruhan, setiap kali Si'er kalah hanya menyerahkan diri pada hukumanku, ini sama saja dengan tangan kosong mengelabui serigala! 　　Tidak menyangka malah dikalahkan oleh si gadis kecil! 　　Saat Nyonya Feng sedang kesal, Jiang Ancheng sudah membawa Jiang Si dan saudaranya sampai di Shuntianfu. 　　Zhen Shicheng yang duduk di belakang meja sidang memandang Jiang Ancheng, menghela napas dalam hati. 　　Sejak menjabat sebagai Prefect Shuntian, keluarga Saudara Jiang jadi langganan Shuntianfu, tidak perlu sematang ini mendukung pekerjaan kami. 　　"Ada keperluan apa gerangan, Sang Bangsawan?" Di ruang sidang, Zhen Shicheng tentu tidak bisa bersikap akrab, menjaga sopan santun. 　　Jiang Ancheng juga tidak main-main, bersuara lantang: "Paduka Zhen, hamba datang kali ini untuk memohon pihak berwenang menjatuhkan hukuman Pemutusan hubungan secara moral antara putri hamba dengan Zhu Ziyu!" 　　"Hmm, apa alasannya?" 　　"Zhu Ziyu bermaksud membunuh istri sahnya demi bisa menikahi wanita lain!" 　　Ruang sidang langsung gempar. 　　Zhen Shicheng mengalihkan pandangan, melirik gadis yang berdiam di belakang Jiang Zhan. 　　Jiang Si menatap baliknya, tersenyum tipis. 　　Zhen Shicheng berdehem ringan: "Mohon Sang Bangsawan menunggu sebentar, hamba akan memanggil keluarga Zhu terlebih dahulu." 　　Jiang Ancheng mengangguk, duduk tenang di bangku panjang sambil menunggu, meski hatinya berdebar-debar. 　　Sepertinya agak terburu nafsu, harusnya bertanya pada Si'er bukti apa yang dia pegang. 　　Kegelisahan ini tiba-tiba lenyap saat melihat wajah tenang putrinya. 　　Si'er bukan gadis gegabah, dia harus mempercayainya. Kalau ini anak lelakinya - tidak perlu tanya lagi, langsung tamparan keras dahulu. 　　Tak lama kemudian, Zhu Shaoqing dan anaknya tiba di ruang sidang bersama petugas. 　　Shuntianfu dikepung penonton yang mendengar kabar Dongping Bo Residence akan memutus hubungan dengan Keluarga Zhu, sampai ada yang membawa kuaci sambil terburu-buru. 　　Dinasti Zhou memiliki kebijakan terbuka, rakyat boleh menghadiri persidangan kasus pengadilan. 　　Mengapa banyak penonton di luar? Tentu saja karena terlambat datang dan kehabisan tempat! 　　Zhen Shicheng mengangguk pada Jiang Ancheng: "Sang Bangsawan, pihakmu menggugat niat jahat suami untuk membunuh istri sah, silahkan paparkan dulu." 　　Jiang Ancheng berdiri di tengah ruangan: "Ini berawal saat putri saya berziarah ke Kuil Baiyun..." 　　Usai penuturannya, desas-desus semakin riuh. 　　"Aku ingat, waktu itu Dongping Bo Residence langsung laporkan ke pihak berwajib. Kulihat petugas keamanan ke rumah Zhu." 　　"Sepertinya tak ada bukti, kasusnya mangkrak sampai sekarang." 　　"Meski tanpa bukti, hampir pasti ini benar. Kalau tidak, kenapa Keluarga Bo langsung berani lapor?" 　　"Benar, kasus yang sampai dilaporkan ke pihak berwajib pasti tidak sesederhana itu. Ternyata Zhu Ziyu sudah punya wanita lain di luar, katanya seorang putri bangsawan. Sayangnya tidak diketahui dari keluarga mana..." 　　Mendengar desas-desus ini, Jiang Ancheng hampir ingin membeli dua kati paha babi kecap untuk menghibur putrinya. 　　Masih Si'er yang punya visi jauh ke depan. Laporan resminya ke otoritas membuat Keluarga Bo kini menguasai situasi. 　　"Harap tenang!" Zhen Shicheng menggebrak meja sidang, memandang Zhu Ziyu. "Zhu Ziyu, apa pembelaanmu?" 　　Hanya dalam dua tiga hari, pemuda yang dulu penuh semangat itu berubah menjadi layu. 　　Zhu Ziyu perlahan meluruskan punggungnya, bicara lambat tapi jelas: "Kasus kuda liar itu ulah sais yang ingin balas dendam. Aku tidak terlibat. Tuduhan Keluarga Jiang bahwa aku merencanakan pembunuhan istri sah hanyalah cara untuk merebut putri mereka dariku." 　　"Omong kosong!" Jiang Ancheng memerah marah melihat Zhu Ziyu masih tidak menyesal. 　　Zhu Ziyu membalas: "Ayah mertua menuduhkan kejahatan seperti ini pada menantu, apa buktinya?" 　　"Bukti tentu ada." Suara gadis manis yang jernih mengguncang ruang sidang. Semua mata beralih ke sumber suara. 　　Tatkala melihat wajah yang berbicara, kerumunan semakin terperanjat. 　　Bukankah ini nona dari Dongping Bo Residence? Putri bangsawan yang ikut ayah dan kakak ke ruang sidang? 　　Di bawah tatapan penuh keheranan, Jiang Si sama sekali tidak canggung. Dengan anggun ia mengeluarkan sesuatu dari lengan bajunya dan menyerahkan pada Jiang Ancheng. 　　“Kalau dia berani berdiri di sini, dia tidak takut dilihat orang.” 　　“Saudara perempuan kandungnya menderita, mengapa adiknya tidak boleh bersuara? Hanya karena dia wanita?” 　　“Wanita juga punya cinta dan benci, darah dan air mata, kelembutan seperti air, juga keberanian membalas kejahatan dengan keadilan. Menghadapi binatang yang menyakiti keluarga, dia sengaja tidak bersembunyi di belakang ayah dan kakak, justru ingin menghajar Zhu Ziyu si anjing terendam ini terang-terangan.” 　　Setelah membaca cepat kertas yang diberikan Jiang Si, wajah Jiang Ancheng langsung pucat pasi. Tangan gemetar menyerahkan kertas itu kepada Petugas untuk disampaikan ke Zhen Shicheng. 　　“Binatang!” Jiang Ancheng menendang Zhu Ziyu hingga terjatuh. 　　Zhu Shaoqing berubah muka: “Mertua, perlu sampai segitunya?” 　　“Segitunya? Zhu Deming, lihat baik-baik ulah anakmu ini!” 　　Zhen Shicheng memberi isyarat pada Petugas untuk memperlihatkan kertas itu kepada Zhu Shaoqing dan Zhu Ziyu. 　　Zhu Shaoqing memandang anaknya dengan tak percaya. 　　Penopang dalam hati Zhu Ziyu runtuh seketika. 　　Bagaimana mungkin Jiang Si tahu ada masalah dengan Qing'er? 　　“Ini konyol! Kalian hanya bermodalkan selembar kertas mau menuduhku berniat membunuh istri?” 　　Jiang Si menyeringai dingin: “Takkan percaya sebelum lihat peti mati!” 　　Dia menepuk tangan pelan. Suara lantang Ah Man terdengar: “Minggir-minggir dong.” 　　Sepasang kakak adik muncul di depan kerumunan. Mereka berdempetan seperti melihat cermin. 　　Wajah Zhu Ziyu langsung pucat pasi. 　　"Siapa di antara kalian yang Qing'er dan Yu'er?" tanya Zhen Shicheng. 　　Kedua saudari perempuan itu langsung bersujud, masing-masing memperkenalkan identitas. 　　"Coba ceritakan." 　　Qing'er dan Yu'er saling menyambung cerita tentang hal-hal tertulis di kertas itu, membuat kerumunan pendengar sesekali menarik napas tajam. 　　"Omong kosong! Dua si gadis ini pasti disuap oleh kalian!" bantah Zhu Ziyu penuh kegerahan. 　　Jiang Si menatap Zhu Ziyu dengan senyum manis: "Jangan buru-buru. Masih banyak saksi lain. Misalnya dua preman Yanchun Ban, preman yang menebus Yu'er, dan... kakak laki-laki Yu'er!" 　　Saat mengatakan ini, pandangan Jiang Si menembus kerumunan dan bertabrakan dengan tatapan Yu Jin. 　　Berkat bantuan Yu Qi (Pangeran Ketujuh), mereka bisa menemukan kakak kandung Yu'er. 　　Tatapan mereka saling terikat sesaat sebelum Jiang Si menarik pandangannya, berkata perlahan: "Zhu Ziyu, jika kau benar-benar suami sejati, mengakulah sekarang. Setidaknya tidak terlalu memalukan." 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, sampai jumpa besok. 330.BAB 330: Pemutusan Hubungan secara Moral 　　BAB 330: Pemutusan Hubungan secara Moral 　　Mengaku bersalah? 　　Zhu Ziyu menatap Jiang Si bagai melihat monster mengerikan. 　　Semua rencana sudah disusun rapi, mengapa akhirnya berantakan begini? 　　Senyum dingin Jiang Si menyapu wajah Zhu Ziyu. Cahaya samar mengalir dari telapak tangannya, menyelinap masuk ke tubuh pria yang berada di ambang kehancuran emosional. 　　“Zhu Ziyu, lelaki sepertimu yang merencanakan istri sendiri untuk mencarikan tudung hijau, ini pertama kalinya saya melihatnya. Pasti semua orang juga baru pertama kali melihatnya?” 　　Kerumunan penonton tertawa riuh menyambut: "Ya, belum pernah dengar sebelumnya!" 　　Gelak tawa itu menggempur gendang telinga Zhu Ziyu, membuat kepalanya pusing-pening, bagai kuda liar yang lepas kendali. 　　Seharusnya tidak perlu seperti ini! 　　Mengapa Nyonya Jiang tidak mati dalam kecelakaan kuda liar? Kalau waktu itu mati, tidak perlu menggunakan langkah Qing'er! 　　Zhu Ziyu berteriak dalam hatinya, tergila-gila akan nasib sialnya yang keterlaluan. 　　Tapi dia segera menyadari sekelilingnya sunyi senyap, kerumunan memandangnya dengan tatapan tak percaya. 　　Sebuah kekuatan besar menerjang. 　　"Binatang! Kau tahu apa yang kau ucapkan?!" Dalam dua tiga hari ini, rambut Zhu Shaoqing sudah memutih separuh. Sekarang dia terlihat tua dan compang-camping. Ucapan tak bertanggung jawab putranya memberi pukulan berat, membuatnya tak tahan menampar Zhu Ziyu. 　　Mata Zhu Ziyu perlahan jernih kembali, tangannya spontan menutupi mulut. 　　Apakah tadi dia mengucapkan isi hatinya? 　　Kecelakaan kuda liar dalam perjalanan pulang dari Kuil Baiyun memang sudah dia atur. 　　Sang ibu mengawasi ketat, kesempatan Nyonya Jiang bepergian jauh sulit didapat, karena itu dia menyiapkan rencana ganda. 　　Pertama kuda liar. Jika Nyonya Jiang tewas dalam kecelakaan itu, itu yang terbaik. Dia hanya perlu menahan diri setahun lalu menikah lagi. 　　“Tapi kecelakaan seperti ini sulit dikendalikan. Jika Nyonya Jiang selamat, dia akan mengikat pita warna-warni pada tali kekang kuda. Qing'er yang sudah menunggu di tengah jalan akan melihat pita berkibar dan langsung tampil memainkan sandiwara.” 　　“Berdasarkan pemahamannya terhadap Nyonya Jiang, dia yakin Nyonya Jiang pasti akan menyelamatkan Qing'er dan membawanya pulang. Dengan begitu, rencana cadangan bisa dijalankan.” 　　“Asalkan Nyonya Jiang diceraikan dengan tuduhan berselingkuh dan dikembalikan ke rumah orangtuanya, tanpa perlu campur tangannya, Nyonya Jiang akan mengakhiri hidupnya sendiri. Saat itu, tak ada lagi yang mengganggunya.” 　　“Rencana ini membutuhkan kesabaran, namun menjamin keberhasilan tanpa cela.” 　　“Tapi kenapa rencana yang dianggapnya sempurna justru mengalami kesalahan besar seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” 　　“Jiang Si sudah tak sabar melihat Zhu Ziyu yang setengah mati. Dia menoleh dan memberi hormat kepada Zhen Shicheng.” 　　“Suara gadis itu lebih tinggi dan jernih daripada pria, sehingga terdengar semakin jelas di telinga kerumunan.” 　　“Paduka, seperti yang baru saja didengar, Zhu Ziyu secara langsung mengakui harapannya agar kakak tertua hamba tewas dalam kecelakaan kuda liar. Ditambah dengan jarum panjang yang ditemukan di pantat kuda, alasan tidak masuk akal dari sais yang bunuh diri, serta pengakuan Zhu Ziyu tentang langkah Qing'er dan saudarinya... Hamba punya alasan kuat untuk menyimpulkan bahwa dalang di balik insiden kuda liar ini pastilah Zhu Ziyu!” 　　“Zhen Shicheng mendengarkan penjelasan Jiang Si dengan sabar, sesekali mengelus-elus sungutnya.” 　　“Sementara orang-orang yang berkumpul sudah tak sabar berteriak.” 　　“Benar! Pasti keluarga Zhu yang berniat membunuh istrinya!” 　　“Astaga, ternyata ada pria berhati iblis seperti ini. Sungguh membuka mata.” 　　“Ini bukan apa-apa. Istri Zhang Dalang di selatan punya pria gelap, malah meracuni Dalang sampai tewas. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, begitu punya niat jahat, apa pun bisa dilakukan!” 　　…… 　　Desas-desus itu memenuhi telinga Zhu Ziyu bagikan ribuan lebah berdengung, membuatnya gelisah. 　　“Diam!” teriak Zhu Ziyu dengan wajah histeris yang memalukan. 　　Suasana seketika hening. 　　Zhu Ziyu menatap Jiang Si dengan mata penuh kebencian, bertanya sinis: “Nona Keempat Jiang berkali-kali mengatakan aku merencanakan pembunuhan kakakmu. Lalu bagaimana keadaan kakakmu sekarang?” 　　Jiang Si sedikit menaikkan alisnya. 　　Kakak tertua sekarang berada di Kediaman Dongping Bo, tentu saja dalam keadaan selamat. 　　Bukan hanya Jiang Si, kerumunan pun segera memahami maksud Zhu Ziyu. 　　Di Dinasti Zhou, tidak ada pasal percobaan pembunuhan. 　　Istri Zhu Ziyu sekarang tidak apa-apa, insiden kuda liar pun tidak ada bukti konkret. Meski Zhu Ziyu mengakui rencana menggunakan sepasang saudari kembar untuk menjerat istrinya, namun hal ini belum terjadi. Maka tidak bisa menghukumnya, paling hanya dicaci masyarakat. 　　Jiang Si menghela napas halus: “Orang berpendidikan memang bisa menahan diri.” 　　Hukum dunia ini benar-benar konyol, tidak bersalah hanya karena belum berhasil? 　　"Secara fisik, Kakak tertua memang tidak terluka, tapi hatinya sudah terluka parah oleh Zhu Ziyu dan tak akan pernah pulih seperti semula." 　　Zhu Ziyu bagaikan serigala terpojok yang diam-diam memandangi Jiang Si. 　　Tiba-tiba Jiang Si tersenyum: "Zhu Ziyu, mungkin kau lupa tujuan kami datang melapor ke pihak berwajib hari ini." 　　"Tujuan?" Zhu Ziyu mengulang dua kata itu dengan lesu. 　　Kerumunan penonton menunggu penasaran jawaban Jiang Si. 　　Jiang Si merasa agak lucu. 　　Di dunia ini, aturan abadi, hanya hati manusia yang sulit ditebak. 　　Hanya karena ucapan mengejutkan Zhu Ziyu, banyak orang lupa tujuan awal Kediaman Dongping Bo melapor ke pihak berwajib. 　　Ini justru baik, hati manusia yang sulit ditebak akan lebih mudah diarahkan menjadi penopang yang ia butuhkan. 　　"Benar, bukankah kau lupa? Hari ini keluarga Bo datang melapor untuk meminta pihak berwenang memutuskan Pemutusan hubungan secara moral antara kakakku dan dirimu!" 　　Siapa bilang mereka ingin menuduh Zhu Ziyu pembunuhan? Dari awal keluarga Bo hanya ingin pemutusan hubungan resmi dan membawa Yan-yan pergi dari Keluarga Zhu dengan cara terhormat. 　　Biarlah Zhu Ziyu tidak masuk penjara. Anak emas yang selalu dimanja ini akan merasakan cibiran dunia sampai mati, merasakan penderitaan lebih buruk dari kematian. 　　Jiang Si memberikan penghormatan serius kepada Zhen Shicheng dan berseru lantang: "Paduka, Zhu Ziyu berniat jahat terhadap istri sahnya, tak layak disebut suami; Mengabaikan penderitaan putri yatim kehilangan ibu, tak layak disebut ayah. Sebagai murid Kaisar terpilih sebagai Shujishi di Akademi Hanlin, mengkhianati harapan Kaisar - ini ketidaksetiaan; Berencana membunuh istri sah, merusak sumpah perkawinan - ini ketidakadilan; Memalukan orangtua dan mencoreng kehormatan keluarga - ini ketidakbakti. Terhadap pria tak setia, tak adil, dan tak berbakti ini, hamba mohon Paduka memutuskan pemutusan hubungan moral antara kakak perempuan hamba dengan Zhu Ziyu, serta mengembalikan putri Yan-yan kepada kakak hamba untuk diasuh." 　　Pidato Jiang Si yang berapi-api bagai percikan bintang yang membakar semangat dan kegigihan di hati setiap pendengar. 　　Kerumunan berseru serentak: "Pemutusan moral! Pemutusan moral! Mohon Tuan Besar yang bijaksana memutuskan pemutusan hubungan antara Keluarga Jiang dan Zhu!" 　　Di tengah gemuruh tuntutan massa, Zhen Shicheng mengumumkan keputusan khidmat: "Zhu Ziyu memiliki niat jahat terhadap istri sahnya, ikatan suami-istri dinyatakan putus. Putri Yan-yan diserahkan kepada pihak ibu. Sidang ditutup!" 　　Segera riuh sorak-sorai menggema di dalam dan luar ruang sidang. 　　Mendengar keputusan tersebut, Zhu Ziyu limbung tertatih mundur. 　　Orang-orang yang didekatinya menghindar bagai menjauhi wabah, disusul hujan sayur busuk dan telur busuk yang mengarah ke tubuhnya. 　　Di tengah keriuhan ini, Jiang Si tersenyum pada Jiang Ancheng: "Ayah, mari kita jemput Yan-yan pulang." 　　Sejak para gadis libur musim panas, ditambah dua anak keluarga yang datang berlibur, situasi terus kacau balau. Mohon dukung saya dengan vote agar semangat menulis, hampir tidak sanggup bertahan. 331. BAB 331 Menjebak Anak Laki-laki & Menjebak Ayah 　　BAB 331 Menjebak Anak Laki-laki & Menjebak Ayah 　　Pada detik itu, memandangi putrinya yang tersenyum, Jiang Ancheng tiba-tiba matanya berkaca-kaca. 　　Putrinya telah dewasa, sudah mampu menyelesaikan urusannya sendiri. 　　Sebagai ayah, ia merasa malu sekaligus haru. 　　Rasa haru lebih mendominasi - di dunia ini, mengandalkan diri sendiri selalu lebih penting daripada mengandalkan orang lain, sekalipun itu ayah, kakak laki-laki, atau suami. 　　"Xiao Yu, temani Sang Bangsawan pergi," ujar Zhen Shicheng. 　　Yu Jin yang mengenakan pakaian biasa menyatukan tangan memberi hormat, lalu mendekati Jiang Ancheng: "Paman, mari kita pergi." 　　Jiang Ancheng memandang pemuda tampan itu, lalu putri bungsunya yang anggun, di tengah kegembiraannya ia menghela napas dalam hati. 　　Xiao Yu dan Si'er cukup serasi. Nanti akan saya tanyakan pendapat Si'er. Jika ia mau, akan meminta Tuan Zhen menjadi saksi pernikahan. Ini lebih bisa diandalkan daripada Si'er yang ingin menikahi keluarga bangsawan tinggi. 　　Lantas bagaimana dengan janji antara putri saya dan Ibu Suri? 　　Haha, toh pihak berwenang sudah memutuskan perceraian Yi'er dengan Zhu Ziyu, tentu saja ini penyesalan! 　　Jiang Ancheng tanpa beban mental diam-diam membuat keputusan untuk putrinya. 　　Menyaksikan kerumunan orang berhamburan bagai air pasang, ruang sidang menjadi sepi, Zhen Shicheng berjalan dengan tangan terkepal di belakang menuju suatu tempat. 　　Zhen Heng berdiri di sana, terlihat kesepian karena tak ada lagi penonton. 　　Melihat ayahnya mendekat, Zhen Heng tersenyum: "Ayah." 　　Zhen Shicheng berkata dengan nada penuh makna: "Bagaimana, kau ketakutan?" 　　Zhen Heng tak sengaja melirik ke arah kepergian Jiang Si, wajahnya menyungging senyum polos: "Putra Ayah bukanlah orang yang mudah takut." 　　Jatuh cintanya pada gadis itu bukan karena dia putri bangsawan yang tersenyum tanpa memperlihatkan gigi. Sejak pertemuan tak sengaja di hutan, dia sudah menerima keunikannya. 　　Dan tadi, dia kembali menyaksikan sisi gemilang lainnya dari dirinya. 　　Saat seseorang semakin menjadi istimewa dalam hati, itulah tanda cinta yang semakin dalam. 　　Dia berpikir, dirinya telah jatuh cinta. 　　Ingin sarapan bersamanya, berpelukan saat tidur, menjalani hidup dengan bahagia. 　　Jika orangnya diganti, dia akan merasa sangat menyesal. 　　Melihat ekspresi putranya, Zhen Shicheng tiba-tiba merasa pusing. 　　"Memanggil anak lelaki untuk menyaksikan, awalnya bermaksud membuatnya menyadari bahwa Nona Jiang bukan putri bangsawan yang patuh pada norma. Dia tidak sejalan dengan anakku yang suka membaca, menyukai puisi, dan menemani diri dengan kaligrafi serta lukisan. Biar si bocah ini cepat-cepat patah hati." 　　"Tapi melihat ekspresi bodoh si anak ini, sepertinya dia malah semakin terjerumus..." 　　"Celaka, sepertiku sedang berlari di jalan mencelakakan anak sendiri tanpa bisa berbalik. Jangan sampai Nyonya tahu!" 　　"Shuntianfu semakin sepi, namun di depan gerbang Keluarga Zhu berkerumun massa yang membuat penjaga gerbang gemetar ketakutan, lalu buru-buru melapor ke Nyonya Zhu." 　　"Nyonya Zhu sedang menunggu di Ruang Penerimaan halaman depan." 　　"Keluarga Dongping Bo tiba-tiba melaporkan kasus 'pemutusan hubungan moral' ke pihak berwenang. Suami dan anak semuanya pergi ke kantor kabupaten, bagaimana perkembangan masalah ini?" 　　"Saat pelayan masuk melapor, Nyonya Zhu sudah berdiri di tangga batu dengan gelisah di luar Ruang Penerimaan." 　　"Ny-Nyonya, banyak orang datang!" 　　"Di mana Suami dan Tuan Gong?" 　　"Tidak terlihat Tuan dan Tuan Gong, orangnya terlalu banyak." 　　"Nyonya—" Mandor yang menemani Zhu Shaoqing dan anaknya ke Shuntianfu berlari terburu-buru masuk. 　　"Melihat wajah pucat seperti hantu sang mandor, hati Nyonya Zhu langsung cemas. 'Bagaimana?' tanyanya cepat." 　　"Mandor itu terjatuh sambil menangis: 'Nyonya, kita kalah, kalah...'" 　　"Nyonya Zhu limbung mundur, tangannya cepat-cepat memegang pilar koridor." 　　"Pelayan lain berlari tergopoh-gopoh: 'Nyonya, Dongping Bo di gerbang mengatakan akan membawa pergi nona pertama.'" 　　"Wajah Nyonya Zhu berubah beberapa kali, ia berjalan keluar dengan langkah besar." 　　Jiang Ancheng tidak memasuki gerbang keluarga Zhu, hanya berdiri menunggu di samping patung singa batu di luar pintu. 　　Nyonya Zhu yang ditemani dayang-dayang melangkahi ambang pintu tinggi, memandang kerumunan gelap di luar pintu, kepalanya terasa berputar. 　　Setelah menarik napas, Nyonya Zhu memaksakan senyum: "Sang Bangsawan sudah datang, mengapa tidak masuk untuk berbicara?" 　　Jiang Ancheng menarik sudut bibirnya dengan wajah muram: "Prefect Shuntian telah memutuskan perceraian antara keluarga Zhu dan Jiang. Aku takkan masuk ke rumah Zhu. Aku datang untuk menjemput cucu perempuanku, Yan-yan." 　　"Itu mustahil!" Nyonya Zhu tertegun, refleks mencari Zhu Shaoqing dan anaknya, namun hanya menerima tatapan hina yang tak terhitung. 　　Tatapan itu seperti pisau yang menyayat-nyayat tubuh Nyonya Zhu. 　　"Cih, keluarga terpelajar begini, ternyata membesarkan anak lelaki semacam ini!" 　　"Benar! Membunuh istri sah demi perempuan lain, gagal membunuh lalu mau pakai tuduhan perselingkuhan untuk menceraikan, mana ada orang seperti ini di dunia..." 　　Suara-suara itu seperti datang dari ufuk langit, samar-samar tertutup kabut bagi Nyonya Zhu. 　　"Apa yang mereka bicarakan?" 　　Sang mandor berbisik di telinga Nyonya Zhu: "Nyonya, pihak berwenang telah memutuskan Nona Pertama diasuh oleh Nyonya Besar..." 　　Mata Nyonya Zhu kosong, seolah tak memahami perkataan mandor. 　　"Jangan pingsan, Nyonya Zhu." Suara gadis lembut itu terdengar, menusuk seperti siraman air es. 　　“Nyonya Zhu dengan susah payah membuka kelopak matanya, yang terlihat adalah wajah cantik yang dingin.” 　　“Nona Keempat Jiang.” Nyonya Zhu tersadar, mengawasi Jiang Si dengan waspada. 　　Jiang Si melangkah maju, tersenyum lembut tak berbahaya: “Lihatlah, saya bilang akan menjemput Yan-yan.” 　　“Kau, kau—” Nyonya Zhu menunjuk Jiang Si, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, merasa wajah secantik ini lebih menyeramkan dari hantu. 　　Jiang Si memasang wajah dingin, berkata pada mandor Zhu: “Bawa keluar nona pertama kalian!” 　　Mandor Zhu secara refleks berbalik memasuki rumah, baru setelah dua langkah tersadar: Tidak benar, mengapa dia menurut pada orang bermarga Jiang? 　　Mandor Zhu ragu-ragu memandang Nyonya Zhu. 　　Ekspresi Nyonya Zhu kosong, tak bereaksi sama sekali. 　　Yu Jin yang berdiri di samping dengan beberapa petugas berkata datar: “Putri Yan-yan dari Zhu Ziyu dan Nyonya Jiang telah diputuskan diasuh pihak ibu. Jika kediamanmu menolak, saya akan langsung masuk menjemput.” 　　Suara tua terdengar: “Bawa keluar nona pertama.” 　　Nyonya Zhu tiba-tiba berubah pucat, nyaris terjatuh: “Suami beliau, mengapa keadaanmu begini?” 　　Zhu Shaoqing pergi dengan pakaian rapi, kini bajunya tak bisa dikenali warnanya, penuh noda kuning-hijau tak jelas. Bahrambutnya meneteskan kuah yang membeku di udara dingin. 　　“Zhu Shaoqing mengangkat pandangan ke arah papan nama megah Rumah Keluarga Zhu, bergumam: "Kesalahan ayah jika anak tidak terdidik, dosa yang kubuat harus kutebus!"” 　　“Jiang Si menggendong Yan-yan berjalan keluar.” 　　“Bibi kecil, kenapa ibu tidak datang?” 　　“Ibumu sedang membuat kue kesukaan Yan-yan.” 　　“Benarkah? Bolehkah Yan-yan bawa pulang untuk Kakek, Nenek, dan Ayah?” 　　“Langkah Jiang Si terhenti, melirik Zhu Shaoqing dan Nyonya Zhu, namun menghalangi arah Ziyu.” 　　“Tentu saja.” Jiang Si memeluk Yan-yan lebih erat. “Yan-yan bisa berdiskusi dengan ibumu, minta dia buatkan lebih banyak.” 　　“Dalam hati putri kecilnya, ayah adalah gunung terpercaya. Tapi apakah harus meruntuhkan gunung dalam hati Yan-yan, itu bukan keputusannya.” 　　“Aku yang gendong. Anak kecil lumayan berat.” Yu Jin mengulurkan tangan. 　　“Yan-yan bisa malu pada orang asing.” 　　“Yu Jin tersenyum pada gadis kecil itu: "Yan-yan, mau digendong paman?"” 　　“Yan-yan memiringkan kepala melihat pemuda bermata hitam berkilau, lalu mengulurkan tangan: "Kakak, gendong."” 　　“Terima kasih untuk vote dan Hadiah, sampai jumpa besok.” “332.BAB 332 Mimpi Semu” 　　“BAB 332 Mimpi Semu” 　　“Anak perempuan cantik bak boneka porselen itu mengulurkan tangan pada Yu Jin dengan mata hitam seperti anggur, polos dan tak bersalah, sama sekali tak sadar betapa kata "Kakak" mengguncang hati Yu Jin.” 　　“Memanggil Bibi Kecil seperti panggilan A Si, lalu memanggilku Kakak?” 　　“Urutan generasi ini tidak benar!” 　　Yu Jin merengut, berkata dengan serius: "Harus panggil Paman!" 　　“Kakak.” 　　“Panggil Paman.” 　　“Kakak.” 　　“Panggil Paman!” 　　“Waa——” 　　Menggendong keponakan perempuan yang menangis meraung, Jiang Si bermuka masam: “Apa kau harus bersaik dengan anak tiga tahun?” 　　Tiba-tiba ia teringat suatu pagi di kehidupan sebelumnya setelah menikahinya. 　　Mereka berdua bermalas-malasan di tempat tidur. Karena menstruasinya terlambat beberapa hari, mereka membahas topik kehamilan. 　　Saat itu ia mengelus perutnya dengan serius: "Jika benar harus punya anak, lebih baik putri. Kalau punya anak lelaki, memikirkan dia akan lebih banyak bersamamu daripada aku, pasti ingin memukulnya..." 　　Bagus, sekarang ia yakin. Bajingan ini bahkan tidak punya kesabaran untuk putri sekalipun. 　　Tunggu, kenapa ia memikirkan hal yang begitu jauh? 　　Wajah Jiang Si memerah, mengusir pikiran itu. 　　“Biarkan aku menggendong.” Jiang Zhan mengambil Yan-yan dan mengantar Jiang Si serta Yan-yan naik kereta kuda. 　　Kereta kuda melaju perlahan ke Kediaman Dongping Bo, sementara Yu Jin dan Jiang Zhan berkuda di depan. 　　Setelah melewati persimpangan, Jiang Zhan mengingatkan: “Kakak Yu Qi, Shuntianfu arahnya ke sana.” 　　Yu Jin tetap duduk tegak di atas kuda: “Tuan Zhen menyuruhku membantu keluarga Bo membawa keponakan pulang. Tentu harus mengantar sampai rumah.” 　　“Kakak Yu Qi sangat bertanggung jawab.” Jiang Zhan memuji, tak lama kemudian menghela nafas. 　　“Apakah Adik Kedua Jiang punya beban pikiran?” 　　Jiang Zhan menatap Yu Jin, matanya memancarkan penyesalan. 　　Yu Jin tak bisa menahan kerutan di dahinya: "Jika Adik Kedua Jiang menghadapi kesulitan, bicaralah padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu." 　　Jiang Zhan semakin merasa menyesal. 　　Lihatlah, Kakak Yu Qi ini orang yang begitu baik, sayangnya Adik Keempat dan Nenek membuat taruhan itu... 　　"Tidak ada apa-apa." Akhirnya Jiang Zhan tidak menyebutkan apapun. 　　Sudahlah, seseorang tak bisa mengubah latar belakang kelahirannya. Buat apa mengungkitnya dan membuat Kakak Yu Qi resah? 　　Yu Jin melirik ke arah kereta kuda di belakang. 　　Jangan-jangan ini berhubungan dengan A Si? 　　Baiklah, jika Jiang Zhan tidak mau bicara, nanti dia bisa langsung bertanya pada A Si. 　　Begitu pikirannya, senyum pun mengembang di bibir Yu Jin. 　　Akhirnya ada alasan yang jujur dan terhormat untuk memanjat tembok lagi. 　　Di dalam kereta kuda, Yan-yan tertidur dalam buaian Jiang Si, hanya suara berderit roda yang monoton terdengar. 　　Jiang Si menyibak tirai jendela kereta, mengintip diam-diam ke luar. 　　Di depan, dua sosok tegap berjalan berdampingan, masing-masing sangat dikenalnya. 　　Satu adalah kakak laki-lakinya, satu lagi adalah orang yang dicintainya. 　　Karena sudah memutuskan, saatnya mencari kesempatan untuk memberitahunya... 　　Tiba-tiba orang di depan menoleh, pandangan mereka bertabrakan sejenak di udara. 　　Jiang Si secara refleks tersenyum. 　　Yu Jin buru-buru memalingkan wajah, hatinya berdebar kencang, kacau beberapa saat sebelum akhirnya sadar kembali. 　　A Si saja tidak panik, mengapa dia harus gugup? 　　"Bukannya ada calon mertua dan kakak ipar di samping, dia sama sekali tidak takut." 　　"Xiao Yu ya——" 　　Badannya goyah, hampir terjatuh dari kuda, buru-buru menghentikan lamunannya: "Ada keperluan, Paman?" 　　Berhasil memutuskan hubungan dan membawa kembali cucu perempuan, Jiang Ancheng tersenyum lega: "Karena sudah sampai di sini, masuklah minum teh sebentar, kebetulan ingin berbincang denganmu." 　　"Kalau begitu hamba dengan muka tebal mohon secangkir teh." 　　Masuk ke Kediaman Dongping Bo, Jiang Ancheng menyuruh Jiang Zhan menemani Yu Jin sementara, membawa Jiang Si dan Yan-yan ke Cixintang untuk memberi salam pada Nyonya Feng. 　　"Ibu Suri, Tuan Besar dan Nona Keempat datang." 　　Nyonya Feng membuka mata: "Apakah anak itu sudah dibawa kembali?" 　　"Sudah, sedang digendong Nona Keempat menunggu di luar." 　　Terhadap Yan-yan, Nyonya Feng tidak punya ikatan emosi, hanya merasa kesal: "Suruh Tuan Besar masuk saja." 　　A Fu hendak keluar menjalankan perintah ketika Nyonya Feng berseru: "Tunggu!" 　　A Fu berhenti, menunggu instruksi. 　　"Suruh Tuan Besar dan Nona Keempat masuk bersama." 　　A Fu menyampaikan pesan: "Ibu Suri meminta Tuan Besar dan Nona Keempat masuk." 　　Melihat Jiang Si menggendong Yan-yan hendak masuk, A Fu buru-buru berkata: "Ibu Suri memerintahkan hamba untuk membawa Nona Yan ke tempat Nyonya Muda terlebih dahulu." 　　Wajah Jiang Si langsung berubah masam mendengar hal itu. 　　"Ibu Suri bahkan enggan bertemu Yan-yan sekali pun. Di masa depan, hidup Kakak dan Yan-yan di Keluarga Bo akan semakin sulit." 　　Yang benar-benar memegang kendali di Keluarga Bo adalah Nyonya Feng. Sikap kepala keluarga terhadap ibu-anak Kakak jelas akan mempengaruhi sikap seluruh anggota keluarga. 　　"Yan-yan masih malu dengan orang asing. Lebih baik aku antar dia ke tempat Kakak." Setelah berkata demikian, Jiang Si mengabaikan ekspresi A Fu dan membawa Yan-yan kembali ke Haitangju. 　　Jika Ibu Suri tidak menyukai Yan-yan, maka dia harus lebih tegas menunjukkan sikap. Biar pelayan-pelayan yang suka memanfaatkan yang sedang naik dan menginjak yang jatuh ini mengerti: Siapa pun yang berani meremehkan ibu-anak Kakak, pasti akan berhadapan dengannya. 　　Melihat hanya Jiang Ancheng yang masuk, Nyonya Feng bertanya, "Di mana Si'er?" 　　"Dia mengantar Yan-yan kembali ke Haitangju dulu." 　　"Bocah ini masih menganggap aku sebagai neneknya atau tidak?!" Amarah Nyonya Feng meluap, tongkatnya menghantam lantai keras-keras. 　　"Ibu jangan marah. Yan-yan masih kecil, dia akan rewel jika bersama orang lain." 　　"Panggil Nona Keempat ke sini sekarang!" Nyonya Feng menekankan kata "panggil" dengan nada berat. 　　Haitangju terlihat suram di musim dingin. Wajah mungil Yan-yan menyembul dari jubah merahnya, matanya penuh rasa ingin tahu menyapu halaman yang asing. 　　Sejak menikah, Jiang Yi jarang pulang ke rumah orangtuanya. Yan-yan yang baru tiga tahun sama sekali tidak punya ingatan tentang tempat ini. 　　"Tante, ini tempat tinggalmu?" 　　“Ya, tante tinggal di sini. Yan-yan, kau lihat pohon itu? Itu pohon, saat musim semi dan panas tiba, bunganya akan bermekaran indah…” 　　“Di mana ibuku?” Pemandangan indah yang digambarkan Jiang Si tidak sebanding dengan keinginan gadis kecil itu untuk bertemu ibunya. 　　“Nyonya Muda, Hati-hati langkah kaki Anda——” 　　Jiang Yi berlari terhuyung-huyung keluar dari pintu. 　　“Ibu——” Yan-yan menggeliat berusaha melepaskan diri dari pelukan Jiang Si. 　　Jiang Yi bergegas memeluk Yan-yan erat-erat, bagai menggenggam harta yang baru ditemukan kembali. 　　Jiang Si berdiri di samping, tersenyum memandang mereka. 　　Setelah beberapa saat, Jiang Yi mengusap air matanya, menatap putri dalam dekapannya, lalu bertanya pada Jiang Si: “Zhu… Zhu Ziyu setuju untuk bercerai denganku?” 　　Rupanya mengakhiri ikatan perkawinan bertahun-tahun bisa sesederhana ini. 　　Jiang Yi tak berani mengingat bagaimana Zhu Ziyu merengek pada mertua dan ayahnya kala itu – setiap ingatan itu terasa seperti ribuan panah menembus hatinya. 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu berkata terus terang: “Bukan perceraian biasa, tapi pemutusan hubungan secara moral. Yan-yan diserahkan oleh pihak berwenang kepada kakak untuk diasuh, mulai sekarang tak ada hubungan lagi dengan keluarga Zhu.” 　　“Pemutusan moral?” Jiang Yi terkesiap, wajahnya penuh ketidakpercayaan. 　　Jiang Si memeluk bahunya: “Kakak, mari kita masuk dulu untuk berbicara.” 　　Setelah mendengar penjelasan Jiang Si, Jiang Yi terdiam sangat lama. 　　“Kakak——” 　　Jiang Yi tersenyum sambil mengusap air mata dengan saputangan, namun semakin diusap semakin banyak yang mengalir. 　　“Kakak——” 　　“Pemutusan hubungan secara moral ini sungguh baik, sungguh baik……” 　　Setelah menimbulkan begitu banyak masalah bagi keluarga, dia masih bisa menemani putrinya tumbuh besar, apa lagi yang harus dikeluhkan? 　　Adapun Zhu Ziyu, pria yang memberinya mimpi indah sekaligus mimpi buruk itu, lebih baik dilupakan saja. 333. BAB 333 Identitas Xiao Yu 　　BAB 333 Identitas Xiao Yu 　　A Qiao masuk: “Nona, A Fu dari Cixintang datang, bilang Ibu Suri meminta Nona datang.” 　　“Tahu, biarkan dia menunggu.” 　　A Qiao berbalik pergi menyampaikan pesan, sementara Jiang Yi justru merasa gelisah. 　　“Adik Keempat, tidak baik membiarkan utusan nenek menunggu, cepatlah pergi.” 　　Jiang Si tersenyum acuh: “Seorang dayang saja tidak bisa menunggu?” 　　Mereka sudah terlalu dimanja. 　　“Ini bukan soal dayang, nenek——” 　　Wajah Jiang Si berubah dingin: “Biarkan nenek menunggu sebentar juga tak apa.” 　　Dia harus membuat kakaknya paham: Ini adalah Kediaman Dongping Bo, ayah mereka adalah Dongping Bo. Kedatangan kakaknya bukan sebagai pengemis, tak perlu berhati-hati berlebihan terhadap pelayan, sekalipun itu pelayan dari paviliun nenek. 　　Jiang Yi terkejut dengan sikap adiknya, memandangnya tak percaya: “Adik Keempat, nenek akan marah……” 　　Jika karena dirinya adiknya sampai dibenci nenek, itu akan menjadi dosanya. 　　Mendengar ini, Jiang Si malah tertawa. 　　“Mengapa Adik tertawa?” Jiang Yi semakin merasa adiknya berbeda dengan kesan sebelumnya. 　　Jiang Si mengulurkan tangan, menggenggam tangan dingin Jiang Yi. 　　"Kakak jangan khawatir, sebenarnya tidak terlalu penting apakah Nenek akan menyalahkan atau tidak." 　　Tiba-tiba Jiang Si merasa memiliki nenek yang selalu mengutamakan kepentingan pribadi justru suatu hal yang baik. 　　Di dunia ini, berbicara uang dan kepentingan sebenarnya bukan masalah, yang paling merepotkan adalah urusan perasaan. 　　Seperti Nenek ini lebih baik, selama dia bisa membuat Nenek mengerti bahwa dirinya berguna, bersikap sedikit lancang pun tidak apa. 　　"Adik Keempat, aku tidak mengerti maksudmu..." 　　Jiang Si menepuk punggung tangan Jiang Yi lalu berdiri: "Kakak temani Yan-yan bermain saja, aku akan pergi ke Cixintang." 　　A Fu yang dibiarkan menunggu di luar tidak bisa menahan rasa kesalnya. 　　Sebagai dayang utama di sisi Ibu Suri, semua orang selalu bersikap hormat padanya. Ini pertama kalinya diperlakukan dingin seperti ini. 　　Namun ketika melihat gadis berwajah cantik dengan raut dingin itu keluar, amarah kecil di hati A Fu tiba-tiba lenyap. 　　Nona Keempat ini berani memarahi keluarga Zhu di ruang sidang, sebagai dayang kecil mana mungkin dia berani melawan sifatnya. 　　Seolah membuktikan pepatah "hantu takut pada orang jahat", A Fu refleks memberi hormat pada gadis yang mendekat: "Nona Keempat, Ibu Suri meminta kehadiranmu." 　　Jiang Si mengangguk ringan, lalu berjalan keluar dengan langkah tegas. 　　A Fu menunduk mengikuti dari belakang, bahkan sampai keluar halaman pun posturnya tetap tidak tegak. 　　Jiang Yi yang menyaksikan kepergian Jiang Si dari balik jendela terlihat termenung. 　　"Ibu, apakah kita akan tinggal di sini mulai sekarang?" Yan-yan yang sedang dipeluk Jiang Yi mengaitkan lengannya di leher sang ibu, menengadah dan bertanya. 　　Jiang Yi menunduk tersenyum lembut pada putrinya: "Ya, mulai sekarang kita akan tinggal di rumah kakek nenek dari pihak ibu." 　　"Lalu bagaimana dengan Ayah? Apakah Ayah akan ikut tinggal di sini?" 　　Jiang Yi terdiam cukup lama sebelum akhirnya tersenyum pada Yan-yan: "Ayahmu tidak akan tinggal di sini. Tapi mulai sekarang Ibu akan selalu menemanimu. Jika Yan-yan ingin beli tanghulu di pasar, Ibu temani. Jika Yan-yan ingin melihat pertunjukan sulap di Jembatan Langit, Ibu juga temani. Bagaimana?" 　　Bagi gadis kecil berusia tiga tahun ini, janji-janji itu jelas sangat menggoda. Yan-yan segera mengangguk riang. 　　"Ibu Suri, Nona Keempat telah tiba." 　　Nyonya Feng memberi isyarat pada A Fu untuk mundur, tiba-tiba menyergap: "Si'er, apakah kau masih ingat bahwa aku adalah nenekmu?" 　　"Tentu saja cucu ingat." 　　"Haruskah nenek mengirim tandu delapan pengusung untuk menjemputmu ke Cixintang?" 　　Jiang Si tidak langsung menjawab, malah bertanya sambil tersenyum: "Nenek, apakah Nenek sudah melihat surat pemutusan hubungan secara moral?" 　　"Lalu apa maksudmu?" Amarah Nyonya Feng mereda sedikit. 　　Putra sulungnya membawa anak-cucu ke Shuntianfu untuk mengajukan pemutusan hubungan dengan Keluarga Zhu. Nyonya Feng sudah menyuruh orang mencari informasi, sehingga semua tindakan Jiang Si di ruang sidang jelas tercatat. 　　Keberanian dan kelincahan lidah gadis ini jauh melampaui perkiraannya. 　　Karena itulah, sang nenek tua ini tiba-tiba bingung harus bersikap bagaimana terhadap cucu perempuannya ini. 　　“Sebelumnya cucu perempuan ini pernah membuat janji dengan Nenek, sepertinya cucu yang menang.” 　　Nyonya Feng mengerutkan kening: “Apa? Menang lalu minta hadiah? Aku ingat taruhannya adalah aku tidak akan ikut campur urusan kakak perempuanmu dan putrinya.” 　　Jiang Si menggeleng sambil tersenyum: “Tidak berani minta hadiah. Cucu hanya ingin memberi tahu Nenek, janji lain pun akan saya menangkan.” 　　“Ahem.” Jiang Ancheng terus-menerus memberikan isyarat mata pada Jiang Si. 　　Dasar gadis bodoh, ngapain membicarakan ini? Dia masih ingin ngobrol serius dengan Xiao Yu. 　　Nyonya Feng menatap tajam Jiang Si, mengucapkan tiga kata: “Aku tunggu.” 　　Setelah keluar dari Cixintang, Jiang Ancheng berjalan cepat dengan muka masam. 　　Sebuah tangan menarik lengan bajunya. 　　“Ayah, Ayah marah?” 　　Jiang Ancheng tidak menghiraukan Jiang Si. Setelah berjalan cukup jauh baru berhenti tiba-tiba, bergumam kesal: “Aku ayahmu! Pernikahanmu harus aku yang tentukan!” 　　“Tapi saya sudah bertaruh dengan Nenek.” 　　“Ingkari saja!” Jiang Si menjawab dengan yakin. 　　Putri sulung saja sudah pulang ke rumah, surat pemutusan hubungan secara moral juga sudah didapat. Kalau janji diingkari, nenek juga tidak bisa berbuat apa-apa. 　　“Pokoknya, urusan ini bukan kau yang menentukan. Urusan pernikahan harus dengar kata ayah!” Jiang Ancheng menarik kembali lengannya. “Temani kakakmu. Ayah masih ada urusan penting.” 　　Jangan kira dia tidak lihat! Saat pulang ke rumah keluarga Bo, Si'er membuka tirai kereta untuk mengintip Xiao Yu. Dasar si gadis ini jelas tertarik pada Xiao Yu, ngapain masih berpikir menikah dengan kalangan bangsawan tinggi. 　　“Anak-anak dari kalangan bangsawan tinggi, mana ada yang lebih bisa diandalkan daripada Xiao Yu.” 　　Jiang Ancheng melambaikan tangan kepada putrinya dan menuju Ruang Penerimaan, senyum merekah saat mendengar tawa riang yang terdengar dari dalam. 　　Melihat Jiang Ancheng masuk, Yu Jin berdiri: "Paman." 　　Jiang Ancheng memasuki ruangan dengan tangan terkepal di punggung: "Xiao Yu, duduklah." 　　Melirik ke arah anak lelakinya: "Sedang membahas apa?" 　　"Sedang bercerita tentang Jinwuwei bersama Kakak Yu Qi." 　　Jiang Ancheng mengangguk puas. 　　Dekat dengan merah akan menjadi merah, dekat dengan hitam akan menjadi hitam. Sejak bergaul dengan Xiao Yu, anak brengsek ini memang semakin menunjukkan perubahan baik. 　　"Xiao Yu tahun ini berusia berapa?" 　　Jantung Yu Jin berdebar kencang. 　　Pertanyaan ini sangat disukainya, seolah pertanda baik akan segera tiba. 　　"Saya sudah delapan belas tahun." Meski gembira, ekspresi Yu Jin tetap tenang. 　　"Delapan belas tahun, usia yang baik." 　　Yu Jin tetap mempertahankan senyuman. 　　Jiang Ancheng merasa perlu bersikap lebih hati-hati, lalu menghela napas berat. 　　"Ada apa, Paman?" 　　"Ah, Xiao Yu belum berkeluarga, tentu tak memahami perasaan seorang ayah. Putri Sulung salah memilih suami, sampai-sampai aku ingin menahan Putri Kedua di rumah selamanya." 　　Ekspresi Yu Jin menjadi kaku, ia tertawa kikuk: "Paman jangan membuang nasi karena tersedak, masih ada suami baik di luar sana." 　　"Oh? Di mana?" 　　Sudut mulut Yu Jin berkedut. 　　Bukankah ada pria baik yang begitu jelas di depan mata? 　　"Menurut saya, satu orang untuk seumur hidup itu lebih baik. Tambahan orang lain hanya merepotkan dan memboroskan uang." 　　Jiang Ancheng tertawa terbahak: "Memang begitulah seharusnya!" 　　“Dia bilang lebih baik menikah dengan pria seperti Xiao Yu yang berasal dari keluarga biasa tapi pekerja keras, pasti bisa mengatur kehidupan dengan baik.” 　　Setelah berbicara dengan Yu Jin, Jiang Ancheng merasa perjodohan Jiang Si tidak bisa ditunda lagi, lalu mengajak Zhen Shicheng minum teh. 　　“Saudara Zhen, hari ini ada urusan yang ingin kuminta bantuan.” 　　Zhen Shicheng memegang cangkir teh sambil mendengarkan. 　　“Xiao Yu adalah anak buahmu. Aku ingin kau menyelidiki keadaan keluarganya dan pendapat pribadinya. Jika cocok, aku ingin putriku menjalin hubungan dengannya.” 　　Ekspresi Zhen Shicheng aneh: “Saudara Jiang tidak tahu identitas Xiao Yu?” 　　Ah, kupikir sudah update, untung tidak terlalu terlambat. Terima kasih untuk hadiah 10.000 Qidian Coin dari "Aku Dewa Luohan Besar". Terima kasih untuk hadiah dari Liàngnǚ 007, Youli di Khayalan, Ji Yingjing, Wen Jinjin, Nyonya Du Tujuh, Heiankyō Kanki, juju5505, teman pembaca 20171124234407269, iampetty, dz19770118, machan, Errica, dan Danfeng Qingyun. Terima kasih untuk suara dari teman-teman pembaca. 334.BAB 334: Si Penipu Xiao Yu 　　BAB 334: Si Penipu Xiao Yu 　　Jiang Ancheng tersenyum meletakkan cangkir teh: “Detail keluarga mereka belum kuselidiki, makanya kuminta bantuanmu. Hanya tahu keluarga Xiao Yu termasuk klan besar, tapi banyak anggota keluarganya. Dia kurang diperhatikan dan harus merintis sendiri...” 　　Ekspresi Zhen Shicheng semakin aneh mendengarnya. 　　Rupanya selama ini saudara ini sudah memilih calon menantu, tapi masih dibodohi. 　　“Saudara Zhen, apa ada yang tidak beres?” Jiang Ancheng mulai curiga, hatinya berdebar-debar. 　　Orang bilang "jauh harum dekat bau", dia melihat Xiao Yu sempurna dalam segala hal, tapi pemahamannya masih di permukaan. Sedangkan Saudara Zhen setiap hari berhadapan langsung dengan Xiao Yu. 　　Jangan-jangan Xiao Yu punya kekurangan yang tidak terlihat olehnya tapi diketahui Saudara Zhen? 　　Jiang Ancheng menggenggam erat tangan Zhen Shicheng: "Saudara Zhen, hubungan kita sudah sedekat ini. Kalau Xiao Yu ada masalah, jangan kau sembunyikan dariku. Putri sulungku menikah dengan binatang berwajah manusia, sampai harus memutus hubungan secara moral. Kalau putri keduaku salah pilih lagi, hidupku benar-benar hancur..." 　　Zhen Shicheng dalam hati mengedipkan mata ke atas. 　　Pria dewasa kok bicara mati-hidup. Anaknya sendiri dikibulin masih baik-baik saja. 　　"Saudara Zhen, tolong beri penjelasan." Melihat Zhen Shicheng lama diam, Jiang Ancheng semakin gelisah. 　　Zhen Shicheng mengelus jenggotnya: "Kalau soal ini, Xiao Yu sempurna dalam segala hal. Hanya statusnya mungkin sedikit berbeda dari yang dikira Saudara Jiang." 　　"Perbedaan apa?" Jiang Anchengu mengusap cangkir tehnya, "Apakah keluarga Xiao Yu bukan marga besar... Atau jangan-jangan dia yatim piatu?" 　　Ah, kalau begitu malah bagus. Tidak perlu khawatir Xiao Yu memperlakukan Si'er tidak baik. 　　Meski orang bilang tanpa dukungan keluarga sulit sukses, dia tidak peduli hal itu. 　　"Hah!" Zhen Shicheng menyemburkan teh dari mulutnya, menyebarkan daun teh di janggutnya. 　　Jiang Ancheng buru-buru mengeluarkan saputangan untuk membersihkan kumisnya: "Saudara Zhen kenapa begitu emosional? Walaupun tebakanku tepat, ini bukan masalah besar. Asal-usul kurang mentereng tak apa, yang penting karakter baik..." 　　Zhen Shicheng menggeleng dengan susah payah, memberi isyarat agar dia segera berhenti bicara. 　　Gerakan Jiang Ancheng membersihkan kumis Zhen Shicheng tiba-tiba berhenti, alisnya berkerut tipis. 　　Melihat reaksi Saudara Zhen ini, sepertinya masalahnya tidak sesederhana itu. 　　"Saudara Zhen, langsung saja katakan status sebenarnya Xiao Yu, saya bisa menerima." 　　Zhen Shicheng menatap Jiang Ancheng sambil menghela napas panjang: "Xiao Yu itu putra ketujuh Kaisar yang sekarang, Pangeran Yan--Aduh--" 　　Kata terakhir berubah menjadi jeritan kesakitan. 　　Jiang Ancheng memegang sejumput kumis yang tercabut, matanya terbelalak. 　　Zhen Shicheng menahan sakit sampai air matanya meleleh. 　　Dia sudah menduga Saudara Jiang akan terkejut mengetahui kebenaran, tapi tidak menyangka kumisnya yang jadi korban pertama! 　　Zhen Shicheng membelai kumisnya dengan sedih, hati dipenuhi amarah. 　　Saudara Jiang ini, dulu berkali-kali ingin meminang Nona Jiang untuk anak lelakinya, tapi selalu ditolak. Rupanya mengincar Pangeran Yan. 　　Hmph, Pangeran Yan cuma lebih tampan dan statusnya lebih tinggi. Mana ada yang lebih baik dari anakku? 　　Kira dia akan merahasiakan untuk Pangeran Yan? Jangan bercanda, mana mungkin dia orang seperti itu. 　　Melihat wajah Jiang Ancheng yang seperti patung kayu, Zhen Shicheng hampir tak bisa menahan diri untuk tidak bersenandung kecil. 　　Lebih baik cepat-ceputus harapan, tetap anakkulah yang paling cocok. 　　“Dia menyodorkan secangkir teh.” 　　Jiang Ancheng mengangkat tangan: “Biar saya tenangkan diri dulu.” 　　Setelah beberapa saat, Jiang Ancheng menggosok wajahnya keras-keras: “Saudara Zhen, kau tidak sedang bercanda denganku, kan?” 　　Zhen Shicheng merengut: “Saudara Jiang, bisakah canda seperti ini diucapkan?” 　　Jiang Ancheng mengangkat tangan dan menepuk dahinya. 　　Benar, canda seperti ini tak boleh sembarangan – siapa yang berani menyamar sebagai pangeran tanpa takut dipenggal? 　　Setelah berpikir, dia bertanya tak mau menyerah: “Lalu kenapa dia bekerja di bawahmu?” 　　“Tidakkah kau dengar? Kaisar memerintahkan beberapa pangeran untuk magang di berbagai kementerian. Pangeran Yan ditempatkan di Kementerian Hukum, lalu datang membantu saya di Shuntianfu.” 　　“Lalu kau memanggilnya Xiao Yu——” 　　Zhen Shicheng tersenyum tipis: “Ini keinginan Pangeran Yan, untuk memudahkan penyelidikan kasus.” 　　Jiang Ancheng terdiam lagi. 　　Kali ini bukan karena terkejut, tapi telah memastikan identitas Xiao Yu. 　　Astaga! Pemuda sopan yang memintanya memanggil "Xiao Yu" itu adalah Pangeran Yan? 　　Bahkan pernah membahas soal biaya memelihara selir bersamanya? 　　Xiao Yu si penipu! 　　Jiang Ancheng tiba-tiba berdiri. 　　Zhen Shicheng tetap duduk tenang dengan cangkir teh: “Ada apa, Saudara Jiang?” 　　“Tidak ada.” Jiang Ancheng bergumam, lalu tiba-tiba berbalik dan pergi. 　　“Saudara Jiang——” Teriak Zhen Shicheng, tapi Jiang Ancheng sudah menghilang. 　　Jiang Ancheng buru-buru kembali ke Dongping Bo Residence dan memanggil Jiang Si ke ruang belajar. 　　Jiang Si masuk ke dalam ruangan dan melihat Jiang Ancheng mondar-mandir di ruang belajar yang tidak terlalu besar. 　　"Ayah mencari putri ada urusan?" 　　Langkah Jiang Ancheng berhenti mendadak. Ia melambaikan tangan pada Jiang Si: "Si'er, kemarilah duduk." 　　Jiang Si mendekat. 　　Jiang Ancheng langsung duduk sambil bertanya tak sabar: "Kau tahu identitas asli Xiao Yu?" 　　Alis Jiang Si terangkat penuh keheranan. 　　Ayah bertanya seperti ini... Apakah dia sudah tahu identitas sebenarnya Yu Qi? 　　"Tahu tidak?" 　　Jiang Si menggeleng: "Ayah bertanya pada putri, mana mungkin putri tahu. Masih ada identitas khusus apa lagi dari Tuan Yu?" 　　Jiang Ancheng bersandar ke kursi sambil menghela napas berulang kali: "Salah menilai, salah menilai!" 　　Jiang Si tersenyum tipis. 　　Perkataan ayah ini... Kapan matanya pernah jeli... 　　Berpikir seperti ini agak durhaka... Jiang Si menundukkan kelopak matanya diam-diam. 　　"Identitas apa dari Tuan Yu?" 　　Mendengar pertanyaan Jiang Si, Jiang Ancheng justru diam membisu. 　　Setelah lama, ia menghela napas: "Tidak ada, Si'er pulang saja." 　　Jiang Si berdiri lalu membungkuk halus: "Kalau begitu putri pamit undur diri." 　　Suara pintu tertutup terdengar. Jiang Ancheng memukul meja dengan muka muram. 　　Sekarang tidak perlu khawatir Si'er menikah dengan kalangan bangsawan tinggi. Bagaimana pun juga pernikahannya tidak mungkin melebihi status keluarga Xiao Yu. 　　Yang harus dilakukannya sekarang adalah mengawasi ketat, jangan sampai Xiao Yu si penipu itu mencuri putri kesayangannya. 　　"Untung Putri tidak tahu identitas Xiao Yu, juga tidak menunjukkan tanda-tanda menyukainya secara jelas. Selama dia diam, mereka berdua tidak akan bisa bersatu." 　　"Bahaya sudah lewat…" 　　Jiang Ancheng merebahkan diri sambil menutup mata, keringat dingin mengucur deras. 　　Jika menikah dengan keluarga biasa, saat salah pilih suami masih bisa Bercerai atau Pemutusan hubungan secara moral. Tapi jika masuk keluarga kerajaan, hanya bisa ditindas seenaknya. 　　Dia tak boleh membiarkan Putrinya terjebak dalam lubang api besar seperti keluarga kerajaan. 　　"Xiao Yu si penipu!" 　　Tuan Besar Jiang untuk kesekian kalinya dalam hati mencaci. 　　Yu Jin duduk di ruang belajar Kediaman Pangeran Yan, merasa kelopak matanya berkedut tak karuan. 　　"Long Dan——" 　　Long Dan yang berjaga di luar segera masuk: "Ada perintah apa, Tuanku?" 　　"Kedipan mata kiri pertanda rezeki, kanan pertanda bencana, atau sebaliknya?" 　　"Tentu saja——" Long Dan menelan kata-katanya, bertanya hati-hati, "Mata yang mana yang berkedut?" 　　Tentu saja mata mana pun yang berkedut pada Tuanku, itu pertanda rezeki. 　　Yu Jin paham betul kelicikan Long Dan. Wajahnya berubah masam: "Jawab!" 　　"Kiri rezeki, kanan bencana!" 　　Yu Jin berdiri dengan wajah dingin. 　　Tidak boleh. Dia harus bertemu A Si. 335.BAB 335 Kesediaan 　　BAB 335 Kesediaan 　　Cuaca sangat dingin. Di malam hari, hanya desiran angin utara yang menerpa jendela, berusaha menyusup lewat celah-celah. 　　Lampu di Haitangju masih menyala. 　　Jiang Si mengambil sebuah buku perjalanan dan bersandar di atas tungku penghangat sambil membaca, kehangatan yang bercampur aroma arang samar membuatnya mengantuk. 　　Sebenarnya ia tak bisa berkonsentrasi membaca, hanya menikmati rasa santai setelah ketegangan yang berkepanjangan, yang justru membuatnya merasa bosan dan bingung. 　　Kebosanan semacam ini sangat dinikmati Jiang Si. 　　Siapa yang tidak? Kebosanan seringkali adalah kemewahan emosi yang lahir dari hidup tanpa tekanan dan bahaya. 　　Sebelumnya, nasib buruk Kakak Kedua dan Kakak dalam kehidupan sebelumnya bagai dua pedang tergantung di atas kepalanya, membuatnya hanya merasakan kecemasan - mana sempat merasa bosan? 　　Sedangkan kebingungannya adalah tentang masa depan dirinya dengan Yu Qi. 　　Dulu hanya ingin menjauhi suami itu, semua terasa mudah. Kini memutuskan memulai kembali dengannya, justru khawatir akan banyak rintangan. 　　Ayah jelas tidak menyetujui pernikahannya dengan keluarga kekaisaran, sementara pihak kerajaan pun tentu tak akan menerimanya. 　　Jiang Si menutupkan buku ke wajahnya dan memejamkan mata. 　　Sudahlah, biarkan Yu Qi yang memikirkan ini semua. Ia tak bisa berbuat banyak, masa harus mengajukan diri di hadapan Kaisar? 　　Bunyi ketukan berirama terdengar dari jendela. 　　Jiang Si menurunkan buku dari wajahnya dan menatap ke arah jendela. 　　Musim dingin membuat senja datang lebih cepat, kini gelap sudah menyelimuti. Kasa jendela yang samar-samar terkadang dialiri bayangan daun pisang kering yang tertiup angin. 　　“Nona？” Malam ini A Qiao yang bertugas, mendengar suara langsung mengambil vas bunga dan berjalan ke arah jendela. 　　Suara ketukan jendela yang sempat berhenti kembali terdengar. 　　Jiang Si memberi isyarat pada A Qiao untuk membuka jendela. 　　A Qiao membuka jendela dengan satu tangan sambil memegang vas di tangan lainnya. 　　Bersamaan dengan hembusan angin dingin, seorang pria melompat masuk dengan gesit. 　　Pemuda yang muncul dari kegelapan itu memiliki alis hitam pekat, bibir merah dan gigi putih, tampan tiada tara. 　　A Qiao dengan tenang menutup jendela, memberi sedikit penghormatan pada Yu Jin, lalu pergi ke ruang luar sambil memeluk vas bunga. 　　Yu Jin terkejut, duduk di samping Jiang Si sambil berkata, "A Si, dayangmu ini sangat sadar diri. Kupikir dia akan melempariku dengan vas." 　　Jiang Si meliriknya, meletakkan buku di sampingnya. 　　"Dingin sekali." Yu Jin menempelkan tangannya ke penghangat ruangan dengan wajah memelas. 　　A Si yang keras di mulut tapi lembut di hati, mungkin tidak akan marah lagi melihatnya memanjat tembok. 　　"A Si." 　　"Hmm?" 　　Senyum gadis itu memberi keberanian besar pada pemuda. 　　"Aku merindukanmu, jadi datang melihat." 　　Mata kanannya terus berkedut, merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Melihat A Si baik-baik saja, hatinya pun tenang. 　　Jiang Si terdiam sejenak, senyumnya semakin dalam. Kata-kata itu keluar begitu saja: "Aku juga." 　　Yu Jin membeku kaku. 　　Apa yang barusan dia dengar? 　　A Si bilang aku juga—— 　　“A Si, apa yang kau katakan?” pasti dia salah dengar. 　　Jiang Si tersenyum: “Aku bilang aku juga.” 　　“Kau juga apa?” 　　Jiang Si bersandar di xunlong (tempat pemanas) sambil menyesuaikan posisi lebih nyaman, tertawa: “Aku juga merindukanmu.” 　　Yu Jin kembali tertegun, kali ini lebih lama, sampai Jiang Si hampir menguap, tiba-tiba dia mendekatinya. 　　Di luar udara membeku, di dalam ruangan hangat membuat suami yang belum sempat melepas mantel cepat berkeringat. 　　Keringat itu tak mampu meredakan gejolak dalam hatinya. 　　Yu Jin membuka tali mantel hitamnya dengan kasar, menampakkan tunik batu giok yang melekat di tubuhnya. 　　“A Si.” Matanya menyapu setiap ekspresi di wajahnya dengan saksama. 　　“Apa kau sengaja menggodaku karena marah?” 　　Gadis yang terdesak di xunlong memiringkan kepala: “Kau bukan anak kucing atau anjing kecil, ngapain aku menggoda?” 　　Yu Jin mengusap hidungnya dengan kesal. 　　Benar, dalam hal menggemaskan, mungkin dia tak sebanding Er Niu, tak perlu A Si menggoda. 　　Kalau begitu, apa perkataan A Si tadi tulus? 　　Tapi perasaan ini masih terasa tak nyata, seperti mimpi di siang bolong. 　　“A Si, kau benar-benar merindukanku?” Dia mendekat lagi, sorot matanya membara. 　　Jiang Si mengangguk. 　　“Tapi... tapi bagaimana mungkin...” 　　“Tidak percaya?” 　　Yu Jin ingin mengangguk, tapi tak tega, khawatir jika ia mengangguk, lawan bicaranya akan langsung mengatakan itu semua bohong. 　　Jika benar begitu, hatinya pasti akan sangat kesal. 　　Dalam situasi berduaan pria-wanita ini, bagai kayu kering bertemu api, jika terlalu kesal mungkin ia akan melakukan hal untuk menyenangkan diri... 　　Jiang Si mengangkat kepala dan menempelkan bibirnya pada bibirnya. 　　Ruangan terasa panas, bibir mereka yang saling bertautan bahkan lebih membara. Sayangnya sangkur di bawah mereka semakin melengkung ditekan, perlahan mendekati bara api. 　　Jiang Si merasa punggungnya hampir meleleh, bergumam parau: "Panas..." 　　Suaminya memeluknya, berguling bersama ke ranjang di samping, membuat bantal dan selimut berantakan. 　　Tak lama kemudian mereka jatuh ke lantai, tepat di atas tumpukan selimut yang lembut. 　　Bibir mereka tetap tak terpisahkan. 　　Gairahnya semakin membara, seolah ingin menelan gadis dalam pelukannya bulat-bulat. 　　Gadis itu tak mau kalah, tangannya meraba ke bawah, dengan mahir menggenggam "pedang" yang sedang berdiri tegak. 　　Sepertinya tidak sebesar di kehidupan sebelumnya... 　　Pikiran itu baru melintas ketika sang pemuda tiba-tiba melepaskannya dan bangkit, bertumpu pada lantai sambil terengah-engah. 　　"Percaya sekarang?" Nafas Jiang Si sedikit tersengal, pipinya merah bagai bunga persik mekar. 　　Yu Jin sudah tak mampu berkata-kata. 　　Si gadis nekat ini, tadi sengaja atau tidak sengaja... 　　“Sekilas berpikir, dia merasakan sensasi seperti akan meledak, hanya ada satu pikiran gila di hatinya: semua etiket dan tata krama itu omong kosong, dia ingin langsung menginap bersama malam ini...” 　　Karenanya, napasnya semakin tersengal, tapi dia tak berani melakukan gerakan apapun. 　　Ini tidak benar, jelas dialah si pezinah yang ingin mengambil keuntungan... 　　Dengan semua pengendalian diri yang tersisa, Yu Jin akhirnya tenang. Dia mengusap wajahnya lalu duduk tegak. 　　Jiang Si dengan tenang merapikan pakaiannya yang kusut. 　　Setelah waktu lama, kehangatan dalam ruangan mulai mereda. Yu Jin baru berucap: "A Si, aku akan menganggap ini serius." 　　Jiang Si mendekat. 　　Yu Jin waspada menatapnya. 　　Daya tahannya sekarang sangat lemah, tak mungkin menahan diri lagi. 　　Gadis itu tersenyum padanya, matanya berkilauan penuh semangat: "Mau kucium lagi?" 　　Batu besar yang menggantung di hatinya akhirnya jatuh dengan pertanyaan ini. 　　Yu Jin menggosok wajahnya yang kaku, meninju lantai keras-keras, kegembiraan meluap seperti air bah. 　　"A Si, maukah kau menikah denganku?" 　　Jiang Si mengangguk, suaranya lembut namun terdengar menyedihkan: "Mau." 　　Di kehidupan ini, akhirnya dia menggunakan identitas yang jujur dan terhormat untuk menyatakan kesediaannya, dan tahu persis Yu Jin ingin menikahi Jiang Si. 　　Ini sungguh indah. 　　“Bagus sekali!” Yu Jin berseri-seri, memeluknya erat, “Ayah kandung Jiang Si hari ini menanyakan usiaku, sepertinya beliau berkenan padaku dan berniat menjodohkanmu denganku…” 　　Jiang Si mengerutkan bibir, mengingatkan dengan baik hati: “Ayah Saya sudah tahu identitasmu.” 　　Yu Jin tertegun, bertanya dengan sedikit harapan: “Lalu?” 336.BAB 336 Tidak Memberi Maka Rebut 　　BAB 336 Tidak Memberi Maka Rebut 　　Jiang Si melirik Yu Jin: “Menurutmu?” 　　Yu Jin menghela nafas: “Memang identitas ini hanya membawa masalah.” 　　“Lalu apa rencanamu?” 　　“Aku masih ingin melihat apakah Paman mungkin menerima.” 　　“Cobalah. Tapi itu ayah saya, kau tidak boleh main pukul jika emosi.” Jiang Si mengingatkan dengan khawatir. 　　Yu Jin tersenyum: “Apa kau menganggapku seperti itu?” 　　Jiang Si diam-diam mengangkat alis. 　　Bukankah dia memang orang yang tak kenal hukum? Benar-benar berani melakukan apa saja jika tersentuh urat nadinya. 　　“Sungguh tidak akan, dia kan ayahmu.” 　　Jiang Si melepaskan setengah kekhawatirannya. 　　“Tunggu kabar dariku.” 　　Yu Jin menunduk mencium dahi putih gadis itu, pandangannya tertahan sebentar di bibir kemerahan, lalu dengan berat hati melompat keluar jendela. 　　Angin dari luar jendela menerobos masuk, menyapu bersih segala keharuman dalam ruangan. 　　Jiang Si berdiri di tepi jendela, memandang keluar dalam diam. 　　Di luar terbentang kegelapan tak bertepi, bintang-bintang di langit berkelip dengan cahaya dingin, tanpa kehadiran bulan, menciptakan kesan kosong dan sepi. 　　“Tapi hati Jiang Si yang sebelumnya gelisah kini justru menjadi tenang.” 　　Jalan sesulit dan segelap apapun, jika ada orang yang dicintai menemani, tidak akan terlalu menakutkan lagi. 　　“A Si.” 　　Sebuah wajah tampan tersenyum muncul di balik jendela. 　　Jiang Si mundur setengah langkah, mengerutkan alis memandangi pemuda dengan sorot mata berkilau. 　　“Rupanya kau begitu berat hati berpisah denganku.” 　　Kalimat itu membuat A Qiao yang hendak masuk tiba-tiba berhenti, pipinya memerah. 　　Jiang Si tidak membantah juga tidak marah, malah tersenyum kecil padanya. 　　Harus diakui, perasaannya sangat lega melihat orang yang dikira telah menghilang di kegelapan muncul kembali. 　　Senyumannya justru membuat Yu Jin sedikit grogi. 　　“Dingin di dekat jendela, cepatlah tidur.” Ia menutup jendela sendiri, lalu menghilang cepat di antara pekarangan. 　　A Qiao mengeraskan hati masuk: “Nona, hamba akan membantu Nona beristirahat.” 　　Jiang Si berbalik dan berjalan kembali, duduk di depan meja rias. 　　A Qiao membuka sanggul rambutnya. 　　Rambut hitam legam yang terurai sampai pinggang berkilau seperti sutra terbaik. 　　A Qiao menyisir rambutnya perlahan dengan sisir gading. 　　Sisir putih gading, rambut hitam pekat, cermin meja rias yang redup memantulkan sorot mata lembut sang gadis. 　　A Qiao tak bisa menahan diri untuk melirik berkali-kali. 　　“Melihat apa?” Jiang Si menangkapnya, mengangkat kelopak matanya. 　　A Qiao gugup mengingat kalimat yang tak sengaja didengarnya, buru-buru cari alasan: “Nona terlihat cantik.” 　　Jiang Si seperti membaca pikiran A Qiao, menoleh sambil tersenyum: “Apa kau terkejut?” 　　A Qiao langsung memerah. 　　Jiang Si berjalan menuju ranjang. 　　Bantal dan selimut sutra masih berserakan di lantai. 　　Melihat itu, A Qiao semakin merah padam, tangannya tak tahu harus kemana. 　　Kalau langsung memungutnya, apa nona akan malu? 　　Harus pungut atau pura-pura tidak lihat? 　　“Sedang bimbang, tiba-tiba mendengar Jiang Si berkata dengan tenang: ‘Kumpulkan barang-barang yang jatuh di lantai.’” 　　A Qiao segera mengangkat bantal dan selimut lalu meletakkannya di ranjang. 　　“Pergilah beristirahat.” 　　“Baik.” 　　A Qiao berjalan ke pintu, tiba-tiba berbalik badan. 　　Jiang Si memandanginya dengan tenang. 　　“Nona, apakah Yang Mulia akan menikah dengan Tuan Yu?” 　　Jiang Si mengangguk ringan melihat dayang kecil yang terlihat panik. 　　A Qiao menghela nafas lega, tak berani menatap mata Jiang Si, lalu buru-buru keluar. 　　Jiang Si tersenyum sambil menggelengkan kepala. 　　Rupanya dayang kecil itu ketakutan. 　　Memang, di keluarga kolot, gadis belum menikah yang mesra dengan pria yang memanjat tembok seperti dirinya bisa dihukum celupkan ke kandang babi jika ketahuan? 　　Persetan dengan hukuman celup babi! 　　Jiang Si menarik selimut sutra menutupi wajahnya, lalu tertidur dengan hati tenang. 　　Yu Jin kembali ke Kediaman Pangeran Yan namun tak bisa tidur, terus-menerus mandi air dingin. 　　Long Dan yang berdiri di samping menyerahkan handuk lembut tak bisa menahan gemetar. 　　"Tuanku, apakah Anda tahan seperti ini?" 　　Yu Jin mengabaikan Long Dan, mengambil seember air dan menyiramkannya ke tubuh. 　　Tubuh muda tanpa penutup pakaian bagaikan macan tutul gesit, setiap garis otot yang menonjol menyimpan kekuatan. Air dingin mengalir dari tulang selangka ke bawah, melewati perut rata yang berotot, kaki panjang yang kuat, membentuk genangan di lantai. 　　Tuanku mungkin membutuhkan seorang perempuan, tidak, tiga... 　　Long Dan sesaat melamun, menatap suatu bagian terlalu lama. 　　Yu Jin menyadarinya, menyepak Long Dan hingga terpelanting ke pintu, meraih jubah dan berjalan mendekat dengan wajah dingin: "Kalau masih tak tahu aturan, kulempar kakimu yang ketiga!" 　　Long Dan refleks mengatupkan kaki, mengikuti tuannya keluar kamar mandi dengan wajah merajuk. 　　Kan sama-sama pria dewasa, salah apa melihat sebentar? 　　Yu Jin yang berjalan di depan sangat ingin berbalik dan menambah dua tendangan. 　　Brengsek! A Si saja belum pernah melihat, dia berani mengintip sembarangan! 　　Tapi... A Si sudah meraba... 　　Memikirkan ini, Yu Jin tiba-tiba merasa mandi air dinginnya sia-sia. 　　Begininya tidak bisa terus-terusan, dia harus segera menikahi A Si. 　　Keesokan harinya, Yu Jin mondar-mandir di tempat yang pasti dilewati Jiang Ancheng saat keluar rumah. 　　Jiang Ancheng melirik pemuda bertubuh tinggi itu, lalu memalingkan wajah dan berjalan terus seolah tak melihat. 　　"Paman." Yu Jin membungkuk hormat. 　　"Jangan, jangan." Jiang Ancheng cepat-cepat melambaikan tangan, berkata sinis, "Hamba tak pantas dipanggil begitu oleh Pangeran Agung." 　　Semalaman ia merenung, akhirnya tersadar. 　　Kalau tiba-tiba berbaik-baik, pasti ada maksud tersembunyi. Dengan status mulianya, untuk apa pemuda ini merendahkan diri di hadapannya? Apa mungkin mengincar anak lelakinya yang tak berguna? 　　Setelah dipikir-pikir, pasti si pemuda ini mengincar putrinya! 　　Melihat sikap dingin Jiang Ancheng, Yu Jin dalam hati bersyukur. 　　Untung tadi malam sempat memanjat tembok, sehingga sudah punya persiapan mental. Kalau tidak, pasti sudah kehilangan muka. 　　Dengan wajah tenang, Yu Jin tersenyum lega: "Rupanya Paman sudah tahu status hamba. Apapun jabatan hamba, di hadapan Paman tetaplah yang lebih muda. Paman lupa hamba bersaudara dengan Jiang Zhan?" 　　Penampilan tampan, sikap anggun, ditambah suara tulus – siapa pun takkan bisa membenci. 　　Jiang Ancheng menyepak pahanya sendiri diam-diam. 　　Bertahanlah! Jangan termakan bujukan si pemuda ini! 　　Jiang Ancheng melirik ke sekeliling, berbisik sinis: "Pangeran benar-benar membuat hamba grogi. Bagaimana jika Kaisar tahu Pangeran menyebut diri 'keponakan' di hadapan hamba?" 　　Yu Jin tetap tersenyum ramah: "Ayah Kaisar adalah orang yang terbuka. Pasti senang melihat anaknya berteman baik." 　　Jiang Ancheng mengerutkan kening. 　　"Bocah ini tahan air dan api, kulit wajahnya terlalu tebal. Tampaknya harus pakai cara keras." 　　"Pangeran, kita orang terbuka tak perlu bicara berbelit. Langsung saja saya katakan." 　　"Silakan Paman bicara, saya akan mendengarkan dengan saksama." 　　"Saya hanya punya dua putri. Putri sulung yang bercerai sudah pulang ke rumah orangtua, putri kedua masih perawan. Jadi masalah pernikahan putri kedua ini harus sangat hati-hati, ada satu syarat mutlak." 　　"Apa syaratnya?" 　　"Tidak boleh dari keluarga kerajaan." 　　Yu Jin terdiam sejenak, bertanya: "Tidak ada ruang negosiasi?" 　　Jiang Ancheng menghela nafas: "Sama sekali tidak ada." 　　Xiao Yu memang sangat baik, sayang latar belakangnya tidak memenuhi syarat. 　　"Saya mengerti." 　　"Jangan menyebut diri 'keponakan' lagi, biar tidak canggung." 　　"Kalau begitu hamba pangeran mengerti." Yu Jin perlahan merapikan postur tubuhnya, tersenyum menjawab. 　　Baiklah. Jika status sebagai keponakan tidak berguna, lebih baik sebagai pangeran yang merebut putrinya yang berharga itu. 337.BAB 337 Tamu Datang dari Jauh 　　BAB 337 Tamu Datang dari Jauh 　　Musim dingin tahun ke-18 Jingming memang luar biasa dingin. Belum sampai Dongzhi, salju sudah turun. 　　Kepingan salju bertebaran seperti jarum halus yang jatuh di atap rumah dan jalanan, perlahan membentuk hamparan putih. 　　Jalan batu hijau dengan salju tipis yang membeku, memantulkan warna pucat kebiruan. Sepatu bot para pejalan kaki menginjaknya mengeluarkan suara decitan halus yang licin. 　　Sungguh dingin. 　　Orang-orang yang berjalan di jalan menggosok-gosokkan tangan, menutupi telinga, dan mempercepat langkah. 　　“Di cuaca dingin seperti ini, kalau bukan karena terpaksa mencari nafkah atau urusan penting, takkan ada yang mau keluar rumah.” 　　Tapi hari ini, Kediaman Dongping Bo kedatangan tamu. 　　Jiang Si dipanggil dayang Cixintang dengan perasaan penuh tanda tanya. 　　Sebentar lagi Dongzhi, festival besar bagi setiap keluarga bahkan istana pun mengadakan upacara besar. Mengapa ada yang berkunjung di waktu seperti ini? 　　Sampai di pintu Cixintang, suara obrolan dan tawa terdengar dari dalam. 　　“Nona Keempat sudah datang.” 　　Begitu dayang mengumumkan, ruangan langsung hening. 　　Jiang Si mengamati sekeliling. 　　Di atas kang duduk bersila Nyonya Feng, seorang wanita 18-19 tahun duduk di tepi kang dengan kepala tertunduk, wajahnya tak terlihat jelas. 　　Nona Ketiga Jiang Qiao, Nona Kelima Jiang Li, Putri Keenam Jiang Pei sudah hadir, Nyonya Guo juga ada. 　　Jiang Si melepas jubah dan menyerahkan ke dayang, lalu masuk memberi hormat: “Nenek, Bibi Ketiga.” 　　Nyonya Feng tersenyum ramah tak biasa: “Mendekatlah, temui bibi sepupumu ini.” 　　Lalu ke wanita di sampingnya: “Ini Nona Keempat.” 　　Wanita itu mengangkat kepala, menyapa: “Nona Keempat.” 　　Barulah Jiang Si melihat jelas wajahnya. 　　Gaya rambut gadis lajang, wajah oval anggun, mata almond yang jernih - kesan orang pendiam. 　　Bibi sepupu? 　　Pikiran Jiang Si berputar, mencerna identitas wanita ini. 　　"Orang yang dipanggil bibi sepupu olehnya, bisa jadi adalah putri dari saudari kakek, atau putri dari saudara kandung nenek." 　　Kakek telah meninggal selama bertahun-tahun, dengan watak Nenek yang enggan berurusan dengan orang dari pihak itu, maka hampir pasti wanita di depan mata ini adalah putri dari saudara kandung nenek. 　　Tak ada kesan pernah bertemu sebelumnya, sulit menentukan dari keluarga mana dia sebenarnya. 　　Jiang Si merenung demikian, namun gerakannya tak berhenti, membungkuk sedikit kepada wanita itu: "Hormat kepada Bibi Sepupu." 　　"Nona Keempat tak perlu terlalu formal." Wanita itu menahan dengan lembut sambil tersenyum malu. 　　Jiang Si mengamati sikap pendiam dan pemalu wanita itu, justru timbul rasa simpati. 　　Tiba-tiba Nyonya Feng berbicara: "Bibi sepupu kalian ini adalah putri dari bibi kecil kalian, baru datang dari Jinsha, mulai sekarang akan tinggal di rumah keluarga. Kalian harus lebih akrab dengannya." 　　Barulah Jiang Si mengetahui identitas wanita itu. 　　Adik perempuan Nyonya Feng yang termuda menikah ke Kabupaten Jinsha di selatan ibu kota, keluarga suami bermarga Dou. Karena usianya lebih muda belasan tahun dari Nyonya Feng, anak-anaknya masih muda, sayangnya dia tidak berumur panjang dan telah meninggal lebih dari dua tahun lalu. 　　Kalau begitu, apakah bibi sepupu ini baru saja keluar dari masa berkabung? 　　Memikirkan ini, kelopak mata Jiang Si tiba-tiba berkedut, muncul perasaan tidak nyaman. 　　Dia tak bisa menjelaskan asal muasal perasaan ini, tapi memilih untuk mempercayai intuisi tersebut. 　　Kedatangan bibi sepupu ini mendekati tahun baru, apapun sifatnya, selalu terasa Nenek akan membuat masalah lagi. 　　Jiang Si tak bisa tidak melirik wanita itu sekali lagi. 　　"Alis yang anggun, ekspresi yang tenang, sungguh terlihat seperti seorang gadis yang manis." 　　"Apakah nenek bermaksud membantu putri dari adik perempuan ibu, jadi menjemputnya ke ibu kota untuk mencari perjodohan yang baik?" 　　Ini bisa dimengerti. 　　Tapi Jiang Si tetap tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman itu. 　　Untungnya bibi sepupu berbeda generasi dengan mereka, jadi tidak mungkin mengincar kakak. 　　Tentu saja, dia tidak meremehkan orang yang mengandalkan kerabat, tapi lebih waspada terhadap nenek. Siapapun yang berhubungan dengan nenek, pasti akan menarik perhatiannya. 　　Bagaimanapun juga, neneknya selalu mengutamakan kepentingan di atas segalanya. 　　Wanita itu menundukkan mata menghindari pandangan Jiang Si, dalam hati heran: Dibandingkan ketiga nona lainnya, sorot mata Nona Keempat ini begitu tajam, seakan bisa menembus hati orang. 　　Sikap Nyonya Feng terhadap Nona Keempat juga membuatnya terkejut. 　　Saat ketiga nona lain masuk, sang bibi sepupu bersikap biasa seperti nenek pada cucu perempuan. Tapi setelah Nona Keempat masuk, sang bibi mengubah sikap santainya, seakan menyemangati diri sepenuhnya. 　　Perhatian seperti ini tidak seperti sikap nenek pada cucu, melainkan— 　　Melainkan apa, wanita itu tidak bisa menjelaskan, hanya merasa ada yang tidak beres, sehingga memberi perhatian khusus pada Jiang Si. 　　"Nyonya Guo, apakah Paviliun Qinfang sudah siap?" 　　“Sudah kami siapkan. Untuk pola penyekat dan tirai, kami tidak tahu apa yang disukai Bibi. Kalau tidak cocok, bisa diganti.” ujar Nyonya Guo yang selama ini pendiam. 　　Wanita itu segera menyahut, “Bibi ipar terlalu baik.” 　　Nyonya Feng menepuk tangan wanita itu, “Jangan sungkan. Mulai sekarang Keluarga Bo adalah rumahmu. Kalau ada yang tidak nyaman, bicaralah dengan Bibi ipar ketigamu.” 　　Jiang Si semakin heran. 　　Qinfangyuan adalah kompleks terdekat dengan Keluarga Utama. Tempat itu tak pernah dihuni lagi sejak bibi pernikahannya pindah. 　　Di generasi Jiang Ancheng, ada empat bersaudara. Hanya Tuan Jiang Ketiga yang lahir dari selir, sementara dua putra dan satu putri lainnya adalah anak kandung Nyonya Feng. 　　Terhadap satu-satunya putri, Nyonya Feng sangat menyayanginya. Meski telah menikah jauh, ia tetap menjaga kebersihan kompleks itu dengan menyuruh pelayan membersihkannya secara rutin. 　　Nenek menyuruh Bibi Dou tinggal di Qinfangyuan, menunjukkan betapa ia menyayanginya. 　　Sayang? Jiang Si segera membuang pikiran itu. 　　Bahkan pada cucu kandungnya sendiri perasaan itu hampir tak ada, apalagi pada putri adiknya? 　　Nyonya Feng menambahkan, “Oh ya, Paman sepupu kalian sedang minum teh dengan ayahmu. Nanti temui beliau, jangan sampai tinggal serumah tapi tak kenal sesama keluarga.” 　　Baru sekarang Jiang Si tahu selain Bibi Dou, ada juga Paman Dou. 　　“Si'er, Qinfangyuan tak jauh dari Haitangju. Antarkan Bibimu bersama Bibi Ketiga.” 　　“Baik.” Jiang Si tersenyum mengiyakan, memutuskan untuk sementara memantau perkembangan. 　　"Menemani Nyonya Guo mengantar Dou Biaogu ke Qin Fang Yuan, Jiang Si mengunjungi Jiang Yi sebentar dan membahas rencana saudara kandung keluarga Dou tinggal lama di Keluarga Bo." 　　"Mungkin karena proses mengungkap wajah asli Zhu Ziyu terlalu berdarah-darah, membuat Jiang Yi tak bisa lagi membohongi diri sendiri. Setelah beberapa hari, kondisinya ternyata lebih baik dari perkiraan Jiang Si." 　　"Jiang Yi mengerutkan kening: 'Menurut ingatanku, sepupu itu berwatak sangat centil. Adik jangan terlalu dekat dengannya.'" 　　"'Dou Biaoshu dan Dou Biaogu pernah datang?'" 　　"'Pernah, tapi waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk mengingat. Intinya, adik keempat jangan mendekati Dou Biaoshu.'" 　　"'Kakak tenang saja, saya sudah paham. Dou Biaoshu juga tidak tinggal di bagian dalam, kemungkinan pertemuan tidak akan sering.'" 　　"Setelah mengobrol sebentar, Jiang Si kembali ke Haitangju." 　　"Saat sore hari, Nona Kelima Jiang Li ternyata datang mengunjungi Haitangju." 　　"Jiang Li berwatak menghindari masalah, tidak keluar rumah jika tidak perlu. Kunjungan ke Haitangju termasuk langka." 　　"Jiang Si menahan keheranan menjamu Jiang Li, tak lama kemudian Jiang Li pun pergi." 　　"Jiang Si merasa aneh, merenungkan ucapan Jiang Li. Tiba-tiba satu kalimat menarik perhatiannya." 　　"'Ibu mungkin karena sedang tidak enak badan, hari ini marah-marah tidak karuan.'" 　　"Ahem, vote vote darurat diperlukan untuk membuka jurus pamungkas——Anran Xiaohun Duan." "338. Bab 338 Pertemuan Tak Disengaja di Taman" 　　"Bab 338 Pertemuan Tak Disengaja di Taman" 　　Dibandingkan dengan Nona Keenam Jiang Pei yang mulutnya tidak bisa dijaga, Jiang Li memiliki sifat yang sangat hati-hati. Terhadap orang tua, terutama selir utama, hampir tidak pernah ada komentar seperti ini. Maka perkataannya kali ini patut dipertimbangkan lebih dalam. 　　Nyonya Kedua tidak enak badan, hari ini marah-marah sekali... 　　Ungkapan "tidak enak badan" menggunakan nada dugaan, maka poin utamanya adalah kemarahan besar hari ini. 　　Ada hal apa yang membuat Nyonya Kedua marah besar? 　　Jiang Si tiba-tiba teringat pada tamu istimewa yang datang hari ini. 　　Saat itu semua saudari perempuan mereka hadir, Nyonya Ketiga juga ada, hanya Nyonya Kedua yang tidak terlihat. 　　Sejak Nyonya Feng memberi perintah beberapa waktu lalu agar Nyonya Ketiga dan Nyonya Kedua bersama-sama mengurus rumah tangga keluarga, banyak bisik-bisik bermunculan di kediamanan, Jiang Si sempat mendengarnya. 　　Sudah pasti Xiao Shi merasa tidak nyaman belakangan ini. Setelah mengurus rumah tangga selama lebih dari sepuluh tahun, tiba-tiba harus berbagi dengan saudara ipar dari selir - terlepas dari berapa banyak kekuasaan yang terbagi, yang penting adalah malu. 　　Apakah penekanan Jiang Li pada kemarahan besar Nyonya Kedua hari ini ada hubungannya dengan Bibi Dou? 　　Ini membuat Jiang Si semakin bingung. 　　Tamu dari rumah orangtua nenek, mengapa Nyonya Kedua marah? 　　Tidak, pasti ada hubungannya di sini. 　　Jiang Si mengusap pelipisnya. 　　"Nona, minumlah secangkir teh hangat." 　　Jiang Si menerima cangkir teh yang disodorkan A Qiao, menyesapnya perlahan. 　　Air teh yang masih hangat masuk ke perut, seketika terasa nyaman di seluruh tubuh, juga membuat pikiran Jiang Si semakin tajam. 　　Nyonya Kedua dan Bibi Dou tidak memiliki permusuhan di masa lalu, juga tidak ada perselisihan baru-baru ini. Alasan kemarahannya yang meledak sebenarnya berkaitan dengan kepentingan. Bagi seorang istri di kompleks belakang rumah, kepentingan itu bisa terkait dengan suami atau kekuasaan... 　　Hati Jiang Si berdebar kencang. 　　Jangan-jangan Nenek ingin Bibi Dou menjadi selir Paman? Lagipula Nenek sudah meminta Bibi Ketiga mengurus rumah tangga, menunjukkan ketidakpuasannya terhadap Bibi Er sudah mencapai puncaknya. 　　Tapi seharusnya tidak mungkin. Keluarga Bibi Dou meski merosot, tetap merupakan keponakan perempuan dari adik Nenek. Seberapa pun Nenek mementingkan keuntungan, tidak mungkin mengizinkan keponakan kandungnya menjadi selir anaknya. Hal itu akan menjadi bahan celaan orang jika tersebar. 　　Lalu kenapa Bibi Er marah? 　　Sebuah kemungkinan tiba-tiba melintas di benak Jiang Si, membuatnya kaget sampai langsung berdiri dan menjatuhkan cangkir teh di sebelahnya. 　　Teh panas mengalir menuruni sudut meja, beberapa tetes mengenai punggung tangan yang putih hingga memerah. 　　A Qiao buru-buru mengompres tangan Jiang Si dengan kain yang direndam air dingin, sementara Ah Man membersihkan kekacauan di lantai. 　　"Nona, apakah Anda baik-baik saja?" Wajah pucat Jiang Si membuat A Qiao cemas, bertanya dengan hati-hati. 　　Jiang Si menggelengkan tangan tanpa bersuara, namun batinnya bergolak dahsyat. 　　“Masih untung dia lega untuk Kakak Kedua, ternyata Nenek berencana mencarikan ayah seorang ibu tiri!” 　　Inilah alasan Nyonya Kedua marah besar. Jika keluarga utama sudah memiliki nyonya rumah, Nenek yang tidak puas dengan Nyonya Kedua bisa menyerahkan hak mengurus rumah tangga ke menantu perempuannya. 　　Mencari ibu tiri bukan tidak boleh, asalkan Ayah bersedia. Tapi karena calon ini dipilih Nenek, dia sama sekali tidak yakin. 　　Tidak boleh. Hal ini harus diberitahukan ke Ayah. 　　Mengingat bukan lagi nona kecil yang polos, Jiang Si sedikit banyak paham tentang pria. 　　Sekalipun Ayah orangnya jujur dan setia pada ibu yang telah tiada, dalam situasi direncanakan diam-diam, pasti akan terlibat masalah. Bagaimana jika Ayah tidak waspada dan terjadi sesuatu dengan Bibi Dou? Masa bisa tidak bertanggung jawab? 　　Jiang Si menekan tangannya dengan sapu tangan dingin, menyuruh A Qiao: "Ambilkan mantel untukku." 　　A Qiao segera mengambil mantel, bertanya pada Jiang Si: "Nona mau keluar?" 　　Cuaca sedingin ini, kalau tidak ada urusan, duduk menikmati secangkir teh hangat sambil membaca buku di dekat perapian adalah hal paling nyaman. 　　"Aku mau menemui Ayah." 　　A Qiao tidak bertanya lagi, menemani Jiang Si berjalan keluar. 　　Langkah Jiang Si terhenti: "Ah Man yang ikut aku. A Qiao, kamu rapikan kamar saja." 　　Cuaca sangat dingin. Daripada membawa A Qiao yang lemah lembut, lebih baik membawa Ah Man yang kekar seperti anak sapi tentu lebih praktis. 　　Ah Man sama sekali tidak tahu isi hati nona, membuat muka lucu ke A Qiao, lalu membawa payung dengan sombong keluar. 　　Begitu melangkah keluar, hawa dingin langsung menyergap. 　　Ah Man membuka payungnya, menghentakkan kaki: "Nona, hati-hati jalan licin." 　　Butiran salju halus seperti ini paling menyebalkan. Jika menumpuk tebal di jalan justru lebih baik. Kondisi sekarang ini seperti memberi lapisan lilin dan minyak pada jalan batu hijau, nyaris pasti terpeleset jika tidak hati-hati. 　　Jiang Si merapikan mantelnya, lalu berjalan keluar. 　　Setelah keluar dari Haitangju, tanpa perlindungan tembok halaman, hawa dingin semakin menusuk. Angin yang menerpa pipi terasa seperti silet. 　　Di cuaca seperti ini, jalanan benar-benar sepi, tak terlihat seorang pun sejauh mata memandang. 　　Ah Man sambil memegang payung, tangan satunya menyangga Jiang Si berjalan. Dari kejauhan terlihat siluet seseorang. 　　Mata Ah Man yang tajam segera mengenali wajah asing itu, berbisik pelan: "Nona..." 　　Jiang Si juga melihat orang itu. Wajahnya samar-samar, tapi dari postur dan pakaiannya jelas bukan pelayan biasa. 　　Kehadiran orang seperti ini di taman tentu mencurigakan. 　　Semakin mendekat, terlihat jelas pemuda berwajah tampan sekitar dua puluhan tahun. 　　Tiba-tiba Jiang Si tersadar akan identitas orang ini: kemungkinan besar ini adalah Paman Dou yang dimaksud. 　　Setelah menebak identitas pemuda itu, Jiang Si tak berniat mendekat untuk bersalaman. 　　Belum pernah bertemu secara resmi, tak sengaja berpapasan di taman, memberi salam pasti akan canggung. Apalagi sedikit kesan baiknya pada Bibi Dou sejak pertemuan pertama sudah lenyap setelah dia menebak maksud Nyonya Feng. 　　Ingin menjadi ibu tiri dan paman tirinya, mana mungkin dia punya kesan baik? 　　Jiang Si mengira Paman Dou akan merasa malu karena berkeliaran di taman orang dan bertemu gadis muda, lalu menghindar. Ternyata dugaannya salah. 　　Sejak kehadirannya, tatapan itu tak lagi berpaling. 　　Dou Qitong memang lupa mengalihkan pandangannya. 　　Taman sepi dan sunyi, salju halus berterbangan, payung kertas minyak biru perlahan mendekat... Di bawah payung terlihat gadis cantik berbibir merah dengan jubah merah menyala... Apa? Ada juga dayang? 　　Tentu saja Dou Qitong tidak melihatnya. 　　Jiang Si mengerutkan kening, memberi isyarat pada Ah Man: "Lewat sana." 　　Tak disangka pria itu malah mendekat langsung, dalam beberapa langkah menghalangi jalan mereka. 　　Ah Man hendak marah sambil menaruh tangan di pinggang, tapi Jiang Si menggeleng halus. 　　Lebih baik hindari masalah. Di cuaca dingin begini dia tak mau berurusan dengan pria asing. 　　Tapi tampaknya pihak lain berpikir sebaliknya. 　　Semakin dekat, semakin jelas terlihat alis mata gadis itu yang indah. Setiap inci kulit yang terbuka bagaikan giok putih pahatan tangan, memesona siapapun yang memandang. 　　Di Kabupaten Jinsha mana pernah ada kecantikan seperti ini? 　　Dou Qitong merasa dadanya membara, kakinya limbung, mendekat selangkah lagi. 　　“Berdirilah.” Suara gadis itu terdengar. 　　Suaranya lembut namun dingin, terdengar begitu murni di tengah taman yang diselimuti salju halus. 　　Dou Qitong merasa dirinya sudah mabuk, tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk menangkap Jiang Si. 　　Jiang Si merebut payung bambu dari tangan Ah Man, melipatnya, lalu menghantam Dou Qitong sekuat tenaga. 　　Dou Qitong memegangi wajahnya sambil menjerit kesakitan. 　　Jiang Si masih merasa kurang puas, terus menghantam kepala dan wajahnya beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. 　　Pria muda yang cukup tampan itu kini wajahnya bengkak seperti kepala babi, tergeletak di tanah sambil merintih. 　　“Ayo pergi.” Jiang Si berkata pada Ah Man. 　　Ah Man menunduk melihat pria yang merintih itu, menendangnya dua kali lalu menyusul: "Nona tunggu hamba, tidak pakai payung bisa masuk angin!" 339. BAB 339 Pengaduan 　　BAB 339 Pengaduan 　　Sepanjang perjalanan, Ah Man masih gemas bukan main. 　　"Pria macam apa itu, benar-benar pezinah tak tahu malu. Sayang sekali payung kita, hampir rusak..." 　　Langkah Jiang Si semakin cepat. 　　Ah Man terus bergumam: "Nona, dia menyusup ke rumah sipil, harusnya kita serahkan ke pihak berwajib. Kalau kabur bagaimana?" 　　“Dia mungkin kakak laki-laki Bibi Dou.” Jiang Si berkata santai. 　　Ah Man membelalakkan mata: "Bibi Dou yang datang hari ini?" 　　Jiang Si mengangguk. 　　Ah Man semakin terkejut, bahkan bicaranya terbata-bata: "Non, Nona, dia, dia menggoda Anda..." 　　Ini melanggar hierarki generasi! — Tidak, bahkan sesama generasi pun tidak boleh menggoda! 　　Tapi pelanggaran hierarki generasi ini sungguh mengejutkan, ini, ini benar-benar keterlaluan... 　　Ah Man mengamati ekspresi Jiang Si dengan hati-hati, namun mendapati tuannya tetap tenang, hanya langkah kakinya semakin cepat. 　　"Nona jangan anggap serius orang semacam itu." Dayang kecil itu berusaha mencari kata-kata penghibur. 　　Wajah Nona terlihat tenang, tapi pasti hatinya sedang marah sekali. 　　Siapa yang tidak marah jika digoda oleh orang yang lebih tua... 　　Ah Man membayangkannya saja sudah ingin kembali untuk menendang beberapa kali lagi. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Siapa bilang tidak menganggap serius? Nanti saat bertemu Tuan Besar, ingat untuk mengatakan ini..." 　　Jiang Ancheng sedang asyik membaca buku hiburan di ruang belajarnya. Mendengar kedatangan Jiang Si, ia buru-buru menyembunyikan buku itu di rak dan mengambil kitab sejarah. 　　"Salju turun, mengapa Si'er datang ke sini?" 　　Jiang Si berdiri di depan pintu mengentakkan kaki, menyerahkan jubah merahnya kepada Ah Man, lalu masuk dengan menunduk. 　　Jiang Ancheng segera menyadari keanehan itu, tubuhnya yang bersandar langsung duduk tegak: "Si'er?" 　　Jiang Si mengangkat wajah, butiran air mata menggantung di bulu matanya seperti hendak jatuh. 　　Jiang Ancheng kaget setengah mati, langsung berdiri: "Apa yang sebenarnya terjadi pada Si'er?" 　　Putrinya ternyata menangis. 　　Di ruang sidang putri bisa memarahi keluarga Zhu sampai tak bisa mengangkat kepala, kenapa sekarang malah menangis? 　　Pasti mengalami ketidakadilan yang sangat besar! 　　Jiang Ancheng semakin berpikir semakin panik, tangannya hendak menyangga putrinya tapi merasa tak pantas, untuk sementara tak tahu harus meletakkan tangan di mana. 　　Jiang Si meraih lengan baju Jiang Ancheng: "Ayah, ada orang yang melecehku..." 　　Jiang Ancheng hampir tak bisa bernapas, menyandar ke dinding untuk menenangkan diri, lalu berteriak: "Di mana orangnya?" 　　Dia ingin membunuh pezinah itu! 　　Jiang Si tetap memegang lengan baju ayahnya tanpa berkata-kata. 　　Ah Man dengan cepat menambahkan: "Suami beliau tidak tahu, tadi hamba menemani nona ke sini, di taman keluarga kita ternyata ada pria..." 　　Melihat wajah Jiang Ancheng semakin pucat, dayang kecil itu mengangguk kuat: "Anda tidak salah dengar, di taman keluarga kita benar ada pria muda asing!" 　　"Lalu bagaimana?" Urat di pelipis Jiang Ancheng berdenyut-denyut. Andai saja lengan bajunya tidak dipegang putri dan identitas pezinah belum jelas, dia sudah pasti mengambil pedang dan berlari keluar. 　　"Lalu pezinah itu langsung mendekati nona, menghalangi jalan dan tak mau membiarkan nona pergi, bahkan berusaha menggenggam tangan nona... Nona dan hamba susah payah baru bisa meloloskan diri, sampai sekarang kaki masih lemas karena ketakutan." 　　Jiang Ancheng menatap Jiang Si, menggigit gigi bertanya: "Benar?" 　　Jiang Si mengangguk perlahan. 　　“Bajingan!” Jiang Ancheng menendang bangku kecil di depannya hingga terlempar. 　　Sayangnya bangku kecil yang masih 80% baru itu langsung hancur berkeping-keping. 　　Setelah agak tenang, Jiang Ancheng bertanya lebih lanjut: "Orang itu kabur setelahnya? Apa kau ingat wajahnya?" 　　Ah Man menghindari pertanyaan pertama, langsung menjawab bagian belakang: "Kelihatan sekitar awal dua puluhan, memakai mantel abu-abu tikus, tidak seperti pelayan." 　　Jiang Ancheng tertegun, tiba-tiba teringat seseorang di benaknya. 　　Sepupu yang baru tiba di rumah Keluarga Bo hari ini, persis memakai mantel abu-abu tikus... 　　Memikirkan ini, amarah Jiang Ancheng langsung memuncak, hampir hendak menembus ubun-ubun dan melesat ke langit. 　　Sepupu pihak ayah yang seharusnya menjadi paman malah menggoda keponakan perempuannya, sungguh keterlaluan! 　　Tidak bisa, dia harus menuntut pertanggungjawaban si brengsek itu. 　　Melirik putrinya, Jiang Ancheng menahan amarahnya dan menghibur: "Si'er, Ayah akan mengantarmu kembali ke Haitangju dulu. Untuk kejadian hari ini, jangan kau pendam dalam hati. Ayah pasti akan menemukan orang itu dan menghajarnya habis-habisan." 　　"Siapa sebenarnya orang itu?" 　　Jiang Ancheng tertegun oleh pertanyaan itu, menyentuh ujung hidungnya: "Sekarang belum tahu, Ayah akan menyelidikinya." 　　"Ah Man, pergilah dulu." Jiang Si berkata. 　　Ah Man mundur keluar, hanya menyisakan ayah dan anak di ruang belajar. 　　Jiang Ancheng agak khawatir: "Si'er?" 　　Jiang Si menatap Jiang Ancheng: "Ayah tahu siapa orang itu, ya?" 　　Wajah Jiang Ancheng berubah drastis, tiba-tiba merasa tekanan yang sangat besar. 　　“Putri berpikir sepanjang jalan, orang yang muncul di kebun keluarga kita di siang bolong itu pasti bukan pencuri kecil, juga bukan pelayan keluarga mana pun. Kemungkinan besar dia tamu Ayah atau paman-paman.” Jiang Si menggigit bibirnya, wajahnya menunjukkan ekspresi malu, “Hari ini putri baru saja menemui Bibi Dou dari jauh, kabarnya ada seorang sepupu laki-laki yang datang bersama Bibi Dou……” 　　Jiang Ancheng dengan canggung mengalihkan pandangannya. 　　Kebohongannya terbongkar di depan putrinya sendiri, sungguh memalukan. Semua ini gara-gara brengsek Dou Qitong! Nanti pasti akan kupatahkan kaki bajingan itu dan kusuruh pergi! 　　“Apa rencana Ayah?” 　　“Mematahkan kaki anjingnya dan mengusirnya!” 　　Jiang Si menghela napas: “Ayah, jika Ayah bertindak seperti itu, bukankah kasus pelecehan terhadap putri akan tersebar luas?” 　　Jiang Ancheng langsung tertegun. 　　Kekhawatiran Si'er benar. Dou Qitong bukan sembarang orang, dia adalah sepupu pihak ibu dari keluarga jauh. Jika dipukuli dan diusir, orang pasti akan curiga. Sedikit investigasi akan membongkar kejadian buruk yang dialami Si'er. 　　Memalukan seperti lumpur busuk Dou Qitong itu tidak masalah, tapi bagaimana mungkin Si'er harus terkena cipratan kotor seperti ini? 　　Semakin dipikir semakin geram, Jiang Ancheng memukul kepalanya sendiri dengan keras. 　　“Ayah, jangan marah lagi.” 　　Jiang Ancheng menatap Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Putri sekarang juga tidak marah lagi. Lebih baik tahu sejak awal bagaimana sifat orang itu, di kemudian hari jauhi saja." 　　"Harus dijauhi." Jiang Ancheng berpikir harus cari kesempatan untuk menghajar Dou Qitong, tapi belum bisa sekarang. 　　"Ayah juga harus menjauhi." 　　Jiang Ancheng tertegun, lalu mengangguk serius: "Tentu saja." 　　Barulah Jiang Si tersenyum lega. 　　Yang membuatnya lega tentu bukan karena lumpur busuk seperti Paman Dou akan dihukum, tapi setelah kejadian ini Ayah pasti akan menjauhi Bibi Dou. 　　Dalam hal ini, Jiang Si sangat memahami karakter ayahnya. 　　Menghadapi adik perempuan pria yang melecehkan putrinya, kesan awalnya terhadap Bibi Dou langsung merosot ke dasar tanah. Kedepannya jika Bibi Dou bisa mendekati Ayah dalam radius 1 zhang (±3.3 meter), itu berarti dia kalah. 　　"Omong-omong, Si'er mencari Ayah ada keperluan apa?" 　　Sorot mata Jiang Si berkilat, tangannya merapikan helai rambut di pelipis: "Saya membuatkan sepasang sepatu untuk Ayah, coba apakah pas." 　　"Pas, pasti pas!" Jiang Ancheng menerima sepatu itu, belum sempat mencoba langsung menyahut. 　　Memandangi wajah yang sangat mirip mendiang istrinya itu, sudut mata Jiang Ancheng memerah diam-diam. 　　Putrinya benar-benar sudah dewasa, nanti bakal direbut kotoran sapi sebelah mana! 　　Tuan Besar Jiang tiba-tiba dipenuhi rasa benci mendalam terhadap semua pria lajang yang bukan marga Jiang. 　　Terima kasih atas hadiah 10.000 koin Qidian dari づ, terima kasih kepada iampetty、、、、、20170821233208544、、20170603084840204、mcj221、、cc、20171006133549616、007 atas hadiahnya, serta terima kasih kepada teman-teman pembaca yang telah memberikan vote. 340. BAB 340 Ada Hantu 　　BAB 340 Ada Hantu 　　Jiang Ancheng bersikeras mengantar Jiang Si kembali ke Haitangju. Setelah kembali ke ruang belajar, ia mengambil pedang yang tergantung di dinding dan mulai mengusap bilah pedang yang dingin. 　　"Tunggu beberapa hari lagi, aku pasti akan memberikan pelajaran keras kepada Dou Qitong. Tidak sulit mencari alasan, asalkan tidak menyangkut putriku." 　　Sepanjang perjalanan pulang ke Haitangju, telapak kaki Jiang Si terasa dingin. Ia melepas sepatu dan kaus kaki lalu menghangatkan diri di dekat tungku penghangat. 　　A Qiao menghidangkan secangkir teh jahe. 　　Jiang Si menerimanya, menyesap teh itu dengan malas. 　　Ah Man beberapa kali ingin bicara tapi mengurungkan niat. Melihat Jiang Si diam seribu bahasa, ia takut membahasnya akan mengganggu tuannya, akhirnya menahan diri dengan susah payah. 　　"Ah Man, A Qiao, kalian cari tahu di halaman mana Paman Dou yang datang hari ini tinggal." 　　"Nona?" Ah Man memandangi Jiang Si, heran tapi dengan kegembiraan tersembunyi. 　　Jangan-jangan nona akan melakukan hal seru lagi? 　　Jiang Si memegang cangkir teh, tersenyum samar: "Selagi memungkinkan, kita sebisa mungkin tidak meninggalkan dendam semalaman." 　　Ada dendam lebih baik dibalas hari itu juga, dia tidak ingin menunggu sepuluh tahun seperti pepatah "gentleman membalas dendam sepuluh tahun tidak terlambat". Siapa tahu apakah musuhnya masih hidup sepuluh tahun kemudian? Bagaimana jika mereka tersambar petir? 　　Ah Man mengangguk bersemangat: "Iya." 　　A Qiao bingung: "Kenapa--" 　　Ah Man menariknya keluar: "Ayo cepat cari informasi, nanti kuberi tahu di jalan..." 　　Seiring kepergian dua dayang itu, ruangan menjadi sunyi. 　　Jiang Si bersandar di tungku penghangat, sembari mengambil buku di sampingnya untuk mengisi waktu. 　　Di luar salju tipis berjatuhan, pemandangan putih membentang, tapi di dalam ruangan yang jendelanya tertutup rapat, cahaya temaram menyaring melalui kertas jendela semi-transparan. 　　Dalam cahaya redup ini, Jiang Si tidak benar-benar membaca, pikirannya melayang-layang. 　　Yu Qi sudah beberapa hari tidak menghubunginya, entah niat jahat apa yang ditahannya setelah mendapat tekanan dari ayah. 　　Anehnya, dulu dia selalu ingin menjauh darinya, merasa kehadirannya terlalu sering sampai membuatnya resah. Tapi kini, baru beberapa hari tanpa kabar, justru dirindukan. 　　Jiang Si meletakkan bukunya, tubuhnya miring menindih tungku bambu sampai agak melengkung. 　　Tiba-tiba teringat malam itu ketika dia ditindihnya di atas tungku itu, pakaiannya hampir terbakar bara... 　　Jiang Si tersenyum sendiri mengingatnya. 　　Betapa berharganya bisa memikirkan seseorang secara jujur dan terhormat, tanpa perlu menyembunyikan apa pun. 　　"Tak tahu berapa lama waktu berlalu, Jiang Si bersandar di keranjang penghangat sambil mengantuk, Ah Qiao dan Ah Man akhirnya kembali." 　　Ah Qiao melapor: "Nona, Paman Dou tinggal di Paviliun Daun Maple Jatuh." 　　Paviliun Daun Maple Jatuh? Tempat itu bersebelahan dengan Paviliun Bambu Gemeresik milik Kakak Kedua. 　　Begitu terpikir, perasaan tidak nyaman di hati Jiang Si semakin menjadi-jadi. 　　Bibi Dou dari pihak ibu terlihat seperti wanita pendiam, terlepas dari sifat aslinya, selama Ayah akan menjauhinya karena kejadian hari ini, maka dia tak perlu sengaja menyasarinya. 　　Tapi Paman Dou tidak bisa dibiarkan begitu saja. 　　Jiang Si merasa pria itu mungkin agak kurang waras, kalau tidak, bagaimana mungkin berani menggoda gadis muda yang ditemuinya di taman orang lain? 　　Ini bukan gila lalu apa? 　　Orang seperti ini sama sekali tak boleh diizinkan tinggal di Keluarga Bo. 　　Rumah ini memang tak hangat dengan para sesepuh yang tak berbudi, namun bagaimanapun ini tempat tinggalnya selama ini. Keberadaan orang ini yang terus menerus dijumpai hanya akan menambah kekesalan. 　　Apalagi masih ada saudari-saudari lain di kediamanan ini. Jika mereka bertemu pria semacam ini di taman, bisa terjadi malapetaka. 　　"Bersiaplah, malam ini kita akan ke Paviliun Daun Maple Jatuh." 　　Ah Man berseri-seri wajahnya, menjawab dengan riang. 　　Ah Qiao mengangkat kelopak matanya tipis-tipis, tetap tenang tanpa reaksi. 　　Melihat reaksi kedua dayangnya, Jiang Si mengernyitkan bibir lalu mengusir mereka dengan gerakan tangan. 　　Tidur nyenyak dulu, malam nanti ada pekerjaan penting. 　　“Malam tiba, lentera di berbagai sudut kediamanan Keluarga Bo menyala lebih awal, menerangi tanah hingga putih berkilauan.” 　　“Salju telah berhenti, remukan es mencair di celah-celah batu pualam, membentuk lapisan tipis es.” 　　“Dua sosok berjalan hati-hati di jalan tanpa membawa lentera, jubah hitam mereka menyatu dengan kegelapan.” 　　“Nona, tak ada seorang pun di jalan.” 　　“Jiang Si tersenyum.” 　　“Di cuaca sedingin ini, kecuali ingin melakukan hal-hal tak pantas di malam hari, siapa yang mau keluar?” 　　“Saat tiba di Pintu Kedua, Ah Man mengeluarkan kunci dan membukanya diam-diam dengan perasaan berdebar.” 　　“Sejak Nona memintanya membuat duplikat kunci Pintu Kedua di awal tahun, hidupnya jadi penuh kejutan.” 　　“Bintang dan bulan tak terlihat, hanya tumpukan awan gelap, namun lampu-lampu di koridor masih cukup menerangi jalan.” 　　“Angin menusuk dingin seperti pisau mengiris kulit lembut, kadang salju berjatuhan dari pepohonan membuat tengkuk basah beku.” 　　“Majikan dan dayangnya saling berpegangan akhirnya tiba di Paviliun Maple Jatuh.” 　　“Kompleks halaman depan ini tidak memiliki gerbang, hanya ada pintu bulan setinggi orang dewasa.” 　　“Jiang Si memegang dinding pintu bulan, matanya dingin mengintai ke dalam.” 　　“Paviliun Maple Jatuh telah gelap gulita.” 　　“Siang tadi tersiar kabar bahwa Tuan Gong keluarga Dou yang baru datang kerasukan hantu Hongyue - pelayan yang bunuh diri di kolam musim gugur lalu.” 　　Ah Man menyampaikan rumor yang didengarnya kepada Jiang Si, Jiang Si tersenyum. 　　Setelah Hongyue tenggelam, Nenek Xiao duduk di tepi kolam pada malam hari untuk mengenang putrinya. Karena dipukul pingsan oleh Yu Qi, tersebarlah kabar kemunculan hantu. Sejak itu, meskipun Ibu Suri melarang penyebaran rumor, desas-desus hantu di taman tetap beredar di kalangan pelayan. 　　Saat itu dia berpikir, rumor semacam ini justru memudahkan rencananya. 　　Ternyata benar. Ketika Paman Dou ditemukan dengan wajah bengkak seperti kepala babi, orang-orang langsung menghubungkannya dengan fenomena hantu daripada menyebutkan alasan sebenarnya. 　　Jiang Si melangkah masuk. 　　Dou Qitong terbaring di tempat tidur empuk, terbungkus selimut sutra beraroma wangi, setengah sadar dalam kondisi mengantuk. 　　Bekas luka merah di wajahnya terasa perih, mengganggu tidurnya. 　　Setelah berguling-guling, Dou Qitong merasa ingin buang air kecil. Dengan suara parau dia memanggil pelayan pria di ruang luar untuk membawakan urinal. 　　Pelayan ini adalah orang yang dibawanya dari Jinsha, Dou Qitong merasa sangat nyaman menggunakannya. 　　Namun pelayan yang biasa melayaninya tidak menyahut. 　　Dou Qitong memanggil beberapa kali lagi. Pelayan tak kunjung datang, rasa kantuknya justru hilang. 　　Akhirnya dia membuka mata terpaksa. 　　Ruangan sunyi senyap, gelap gulita. 　　Setelah beberapa saat, matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan, akhirnya bisa melihat samar-samar siluet perabotan di dalam kamar. 　　Dou Qitong mengumpat sambil berusaha bangkit, tiba-tiba raut wajahnya kaku. 　　Suara napas terdengar, teratur dan panjang. 　　Bersamaan dengan suara napas, aroma harum yang tak tergambarkan menyebar. 　　Wanginya sangat halus, tapi luar biasa enak dicium. 　　Bibir Dou Qitong gemetar, ingin bertanya "Siapa?", tapi kata itu tak kunjung berani diucapkan. 　　Tiba-tiba ia teringat rumor yang didengarnya siang tadi saat orang melihat luka di wajahnya di halaman depan. 　　Taman Keluarga Bo dihantui! 　　Ya Tuhan, tempat indah penuh bunga seperti ini kok bisa berhantu? 　　Jangan-jangan gadis cantik berjubah merah yang mendatanginya di tengah hujan salju itu adalah hantu? 　　Secantik itu, sedingin itu, memukul tanpa ampun - kalau bukan hantu lalu apa lagi? 　　Mana ada gadis duniawi seperti itu! 　　Hantu perempuan datang menuntut nyawanya? 　　Begitu pikiran ini muncul, tulang ekor Dou Qitong langsung mati rasa, tak bisa bergerak. 　　Tiba-tiba ruangan terang benderang. 341. BAB 341 Gunting Saja 　　BAB 341 Gunting Saja 　　Cahaya tiba-tiba membuat Dou Qitong refleks menutup mata. Saat membuka, ia kaget melihat seseorang berdiri di hadapannya. 　　Bukan! Ini hantu! Hantu perempuan yang ditemuinya siang tadi di taman! 　　Dou Qitong sudah yakin bahwa ia bertemu hantu. Mengapa bisa bertemu hantu di siang hari? Jelas saja, saat itu sedang turun salju tanpa matahari. Hantu perempuan yang sakti keluar memburu manusia bukanlah hal aneh. 　　Karena itu, wajahnya pucat seperti tanah, kedua pahanya gemetar, keringat dingin mengucur deras. 　　Tapi ingin lari tak bisa. Entah mengapa, tiba-tiba ia tak bisa bergerak, hanya mulutnya yang masih bisa mengeluarkan suara lemah: "To...tolong..." 　　Suara seperti ini mustahil memanggil orang. Dou Qitong segera menyerah dan mulai merengek: "Lepaskan aku, aku hanya sesaat tak waras—" 　　Melihat hantu perempuan mendekat, Dou Qitong hampir mengompol ketakutan. Dengan suara menangis ia berteriak: "Ini keterlaluan! Aku tak membunuh atau membakar, bahkan tak sempat menyentuh tanganmu. Jika kau ambil nyawaku, aku juga akan jadi hantu gentayangan. Aku peringatkan, sebagai laki-laki, hantu laki-laki pasti lebih kuat dari hantu perempuan. Nanti aku akan balas dendam—" 　　Dou Qitong menutup mata sambil berteriak: "Jadi kau tak boleh membunuhku! Jika tidak, kau sendiri yang akan rugi—" 　　Sebuah tawa kecil memotong omong kosong Dou Qitong: "Membunuh memang merepotkan, jadi aku tak akan membunuhmu." 　　Dou Qitong membuka mata lebar-lebar, menatap "hantu perempuan" di depannya tanpa berkedip. 　　Mungkin karena jarak sudah dekat, atau mungkin karena tawa mengejek tadi, Dou Qitong tiba-tiba menyadari sesuatu. Pandangannya turun ke bawah. 　　Cahaya lampu memanjangkan bayangan gadis di jendela kasa, lembut dan ramping. 　　Dou Qitong menghela nafas lega. 　　Syukurlah, itu bukan hantu! 　　Karena bukan hantu melainkan seorang nona kecil, bahkan nona yang sangat cantik, nyali Dou Qitong tiba-tiba membesar. Ia mulai menanyakan identitas Jiang Si: "Kau ini siapa sebenarnya?" 　　Jiang Si mengangkat alis. 　　Inilah yang disebut "nyali besar karena nafsu". Meski tak bisa bergerak, di tengah malam seorang wanita asing bermaksud jahat muncul di hadapannya, tapi dia masih punya tenaga untuk penasaran. 　　Gadis itu tersenyum. 　　Di bawah cahaya lampu temaram, senyuman itu terlihat anehnya mencolok, membuat keringat dingin tiba-tiba mengucur di punggung Dou Qitong. 　　Dengan suara lembut gadis itu berkata: "Aku orang yang akan membersihkan tubuhmu." 　　"Apa, apa, apa?" Dou Qitong berpikir salah dengar, gagap bertanya. 　　Sebuah gunting berkilat muncul di tangan gadis itu, bahkan ia menggerakkan gagang gunting hingga menimbulkan bunyi gesekan halus. 　　Dou Qitong benar-benar membeku ketakutan, giginya gemetaran menimbulkan bunyi "tek-tek-tek". 　　Jiang Si menganggukkan dagu ke arah Ah Man. 　　Ah Man mendatanginya dengan cepat, memandangi lelaki itu dari atas dengan wajah cantik penuh cemooh. 　　Suara "kriiiip" terdengar saat celana Dou Qitong disobek. 　　"Lelaki... perempuan... tidak boleh bersentuhan..." 　　“Brengsek!” Dayang kecil meludah ke arah Dou Qitong, menangkup pinggangnya sambil memaki, "Sekarang bicara soal etiket pria-wanita, siang tadi di taman berani-beraninya kau lancang?" 　　Melirik paha yang terasa dingin, lalu menatap gunting mengkilap itu, Dou Qitong seandainya bisa bergerak pasti sudah bersujud minta ampun. Kini hanya bisa merengek: "Ampun, siang tadi aku benar-benar kehilangan akal, sungguh belum pernah melihat wanita secantik ini..." 　　Ah Man mengatupkan bibirnya. 　　Ini memang benar, nona majikannya memang jelita. 　　Ia tak sengaja menoleh ke Jiang Si. 　　Jiang Si tetap tanpa ekspresi, suaranya lebih dingin dari angin di luar jendela: "Aku juga belum pernah melihat pria sebejat ini. Lebih baik kupotong saja, biar kau tak bisa mengganggu orang lagi." 　　"Jangan, jangan—" Dou Qitong menatap ngeri saat gunting mendekat, matanya berkali-kali memutar putih mencoba pingsan, sayang tetap sadar penuh. 　　Rupanya saat ketakutan ekstrem, orang justru tak bisa pingsan. 　　"Ah Man, pegang bagian terkutuk itu. Aku akan memotongnya." 　　Suara gadis itu manis dan lembut, tapi di telinga Dou Qitong terdengar mengerikan, lebih menakutkan dari hantu gentayangan. 　　Ia salah, manusia lebih mengerikan dari hantu! 　　"Kakak, jangan sentuh kemaluanku! Aku belum mandi setelah kencing, nanti tanganmu jadi kotor..." 　　Ah Man mengeluarkan sepotong saputangan dan mengibaskannya, berkata dengan nada sinis: "Siapa yang menyentuh pakai tangan? Aku pakai saputangan sebagai alas." 　　Dou Qitong menjerit histeris. 　　Majikan dan pelayan macam apa ini? Satu berani mengarahkan gunting ke kemaluan pria dewasa tanpa ragu, satunya lagi bahkan pakai saputangan untuk menyentuh! 　　Suara gadis itu kembali terdengar: "Jangan salahkan aku. Sudah kupikirkan matang-matang, cara ini yang paling ampuh. Kalau tidak, hari ini aku bisa lolos, tapi besok bagaimana jika kau menjerat nona lain?" 　　Dou Qitong seolah merasakan hawa dingin dari gunting itu, menangis ketakutan: "Tidak akan, aku tidak akan berani lagi, bahkan jika dipukul sampai mati pun tidak berani..." 　　Jiang Si menyimpan kembali guntingnya, memainkannya di tangan: "Tapi janji pria paling tidak bisa dipercaya. Selama kau masih di sini, aku tidak bisa tenang—" 　　Dou Qitong buru-buru berjanji: "Aku pergi, aku pergi!" 　　"Kau pergi?" Jiang Si akhirnya tersenyum mendengar jawaban yang diharapkan. 　　Memang pria ini bodoh. Andai dari tadi mengatakan yang kudengar, tak perlu mengalami teror seperti ini. 　　Dou Qitong yang biasanya lamban, kini cepat menangkap perubahan ekspresi Jiang Si. Ia berseru: "Besok pagi langsung berangkat, tidak akan menunda seperempat jam pun." 　　Daripada tinggal di tempat mengerikan ini - ada hantu, dan perempuan yang lebih menakutkan dari hantu - lebih baik mati dipukul. 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Tapi kau pergi tanpa alasan, bagaimana pendapat Ibu Suri dan Sang Bangsawan? Bukankah mereka akan merasa tamu telah dihina?" 　　Dou Qitong mengusap air matanya, buru-buru berkata: "Aku akan bilang seorang pria dewasa seperti aku tak pantas lama tinggal di rumah orang, lebih baik mandiri..." 　　Melihat gadis itu mengangguk, Dou Qitong tersenyum menjilat: "Bagaimana menurut Nyonya?" 　　"Kalau begitu besok pagi kau menghadap Ibu Suri untuk pamit. Tapi kuingatkan——" 　　"Silakan Nyonya." 　　"Jika besok kau masih tinggal, malam ini aku akan kembali." Jiang Si tersenyum dingin, "Jangan berharap pelayan bisa melindungimu. Jika aku bisa membuat pelayan priamu tertidur pulas, aku juga bisa melakukannya pada orang lain. Oh, termasuk dirimu. Mungkin aku malas berbicara panjang, besok pagi kau akan bangun dan siap masuk istri untuk melayani para orang terhormat." 　　Dou Qitong langsung menangis: "Tenang saja, pasti aku pergi." 　　Jiang Si menyimpan gunting: "Ah Man, kita pergi." 　　Ah Man melihat area bawah pria itu dengan penuh penyesalan, menggelengkan kepala. 　　Setiap gelengan kepala itu membuat Dou Qitong menggigil, bahkan setelah mereka pergi tubuhnya masih bergetar seperti ayakan. 　　Semalaman tak bisa tidur, akhirnya pagi tiba. 　　Pelayan yang tidur nyenyak mengusap mata masuk: "Tuan Gong——" 　　Dou Qitong melompat dari tempat tidur, mencengkeram kerah pelayan: "Kau mati tadi malam?!" 　　"Tu-Tuan Gong..." 　　"Kau benar-benar tak dengar suara apa pun tadi malam?" 　　Pelayan menggeleng bingung. 　　Dou Qitong melepaskan cubitan, berjalan limbung keluar. 　　"Tuan Gong, Anda belum mandi!" 　　Di Cixintang, mendengar Tuan Dou datang untuk memberi salam, Nyonya Feng memerintahkan A Fu untuk mempersilakan tamu masuk. 　　Dengar-dengar ada yang mau mengirim kecoa untukku? Jangan, aku butuh boneka imut seperti harimau kecil atau kelinci! Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin Qidian dari Ai Aiyuanzi, terima kasih juga untuk hadiah dari Youli dalam Khayalan, Bunga Teratai Mekar Pertama, bookfriend20180403221135821, dan liping730510. Rekomendasi karya Gui Ren "Kecantikan Nomor Dua di Dunia": Kecantikan kedua di dunia, yang pertama siapa? Tebak sendiri. 342.BAB 342 Hati-hati dengan Seseorang 　　BAB 342 Hati-hati dengan Seseorang 　　Ini waktu rutin pemberian salam, di Cixintang banyak orang yang duduk atau berdiri. 　　Mendengar kedatangan Tuan Dou, Nona Ketiga Jiang Qiao penasaran mengintip ke luar. 　　Nona Kelima Jiang Li seperti biasa menundukkan mata dengan tata krama sempurna, sementara Putri Keenam dari Selir Jiang Pei mengerutkan kening memikirkan sesuatu. 　　Nyonya Feng tersenyum: "Kebetulan kalian semua ada di sini, temui paman sepupu kalian." 　　Setelah dibujuk pelayan pria, Dou Qitong akhirnya mandi dan berganti baju sebelum datang. Begitu masuk, hembusan angin hangat beraroma wewangian langsung menyambutnya. 　　"Memberi salam pada bibi." 　　Nyonya Feng tersenyum menyuruh Dou Qitong bangun: "Tidurmu tadi malam..." 　　Kalimatnya terhenti melihat lingkaran hitam pekat di mata Dou Qitong. 　　Ucapan basa-basi Nyonya Feng pun tertelan, ia mengerutkan kening bertanya: "Ada apa ini, kelihatan seperti tidak tidur semalaman. Apa ranjang tidak nyaman, atau pelayan tidak becus——" 　　Dou Qitong buru-buru menjawab: "Bukan, keponakan hanya sulit tidur karena pindah tempat." 　　"Nanti suruh dapur mengantarmu semangkok sup penenang. Kemarin kamu minum teh dengan tiga sepupu tapi tidak bertemu keponakan-keponakan perempuanku, sekarang saatnya berkenalan agar tidak saling tidak mengenal saat berpapasan di kediamanan." 　　Dou Qitong refleks mendongak. 　　"Ini Nona Ketiga." 　　Gadis manis yang muncul di hadapannya membuatnya ingin tersenyum, namun bayangan malam kemarin terlalu kuat, senyumnya pun membeku. 　　Tapi keluarga Bo memang pandai merawat, Nona Ketiga ini cukup cantik... 　　Begitu Jiang Si melihat sorot mata Dou Qitong, ia langsung tahu sifat buruk takkan berubah, dalam hati mencibir dingin. 　　"Menghormat Paman." Jiang Qiao memberi salam kepada Dou Qitong lalu mundur ke samping. 　　Paman ini meski bermata indah, tapi lingkar mata hitamnya besar seolah habis berminggu-minggu di rumah bordil, tidak terlihat baik. 　　Nyonya Feng melirik Jiang Si: "Ini Nona Keempat." 　　"Menghormat Paman." 　　Dou Qitong baru hendak membalas salam, mendengar suara dingin ini gemetar seolah telanjang berlari keluar, seluruh tubuhnya langsung terjaga. 　　Matanya terbelalak ketakutan, berteriak: "Kau——" 　　Keanehan ini langsung menarik perhatian kerumunan. 　　Nyonya Feng mengerutkan alis sambil mengamati kedua orang ini. 　　Yang satu terlihat seperti melihat hantu, yang lain tenang-tenang saja. 　　"Qi Tong?" 　　Teriakan Nyonya Feng menyadarkan kembali akal sehat Dou Qitong. 　　Baru saja dia hampir kabur keluar pintu. 　　"Qi Tong, ada apa denganmu?" Nyonya Feng langsung mencium ada yang tidak beres, bertanya dengan suara berat. 　　Dou Qitong refleks menatap Jiang Si. 　　Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, matanya seperti batu giok dingin yang tenang dan membeku. 　　Dou Qitong spontan bertanya: "Siapa dia?" 　　Alis Nyonya Feng semakin berkerut: "Qi Tong, tidakkah kau dengar ucapanku tadi? Ini Nona Keempat dari kediamanan ini, putri kedua anak sulungmu." 　　Dou Qitong memandangi Jiang Si, bibirnya bergetar. 　　Si gadis setan ini ternyata adalah putri kakak sepupuku! 　　Sadar akan identitas Jiang Si, amarah membara tiba-tiba menyala di hati Dou Qitong. 　　Bagaimana seorang putri bangsawan berani mempermainkannya seperti itu? Tidakkah dia takut akan aib jika dia membongkar semuanya? 　　Akan tetapi, aura mengerikan itu langsung dipadamkan oleh tatapan dingin itu. 　　Dou Qitong kembali sadar. 　　Putri kakak sepupu pun apa? Gadis ini bisa menyelinap ke kamarnya di malam hari tanpa ketahuan dan hendak memotong kemaluannya! Dia jelas tak bisa dilawan! 　　Jika tak bisa dilawan, lebih baik dihindari. 　　Dou Qitong berkata canggung: "Entah mengapa Nona Keempat terlihat familiar, seolah pernah bertemu di suatu tempat. Maafkan kelakuanku tadi." 　　"Pertemuan selanjutnya dengan Jiang Li dan Jiang Pei, Dou Qitong terlihat tidak fokus. Nyonya Feng terus mengerutkan kening, menaruh banyak ketidaksukaan pada keponakan yang sudah lama tidak dijumpainya ini." 　　"Bagi Nyonya Feng, cucu perempuan kandung pun bisa dibedakan perlakuan berdasarkan nilai. Apalagi anak-anak dari adik perempuannya yang tidak memiliki nilai tentu lebih tidak dihargai." 　　"Dia menyuruh orang menjemput keponakan perempuannya dari Jinsha untuk dijadikan istri pengganti putra sulungnya, agar Xiao Shi tersadar. Adapun keponakan laki-laki ini hanyalah bonusan belaka." 　　"Awalnya dia berpikir jika keponakan ini baik, akan dirawat di rumah keluarga sebagai penopang untuk keturunannya kelak. Tapi sekarang tampaknya sifatnya terlalu sembrono." 　　"Meskipun Si'er mirip dengan seseorang yang pernah dikenalnya, pantaskah seorang yang lebih tua berlaku tak karuan di depan yang lebih muda? Tidak bisa mengendalikan diri seperti ini mana mungkin bisa sukses?" 　　"Bibi Dou yang berada di samping melihat kakak laki-lakinya dalam masalah, matanya berkedip khawatir sambil menggenggam saputangan." 　　"Perkataan Dou Qitong berikutnya semakin mengejutkan." 　　"'Bibi, semalam keponakan tidak bisa tidur. Setelah merenung, keponakan ingin keluar dari rumah ini dan mandiri.'" 　　"Bibi Dou spontan menatap Dou Qitong, tak bisa menyembunyikan keheranannya." 　　"Nyonya Feng menatap tajam Dou Qitong: 'Apa maksudmu ini?'" 　　"'Keponakan sudah bukan anak-anak lagi. Tinggal lama di rumah bibi tidak pantas. Lebih baik menyewa rumah sendiri dan merintis usaha. Jika berhasil, baru pantas menghadap orangtua...'" 　　"Dou Qitong berbicara panjang lebar, tapi Nyonya Feng tetap menggelengkan kepala tidak menyetujui." 　　“Baru kemarin datang, hari ini sudah mau pindah keluar. Meski untuk jangka panjang ini hal baik, tapi pasti membuat muka Nyonya Feng memanas. Orang yang tak tahu mungkin mengira beliau bahkan tak bisa menerima keponakan sendiri.” 　　Meski Nyonya Feng suka menghitung untung-rugi, keluarga Bo sebenarnya tak kekurangan makanan untuk satu mulut tambahan. 　　Dou Qitong mana berani langsung menetap? Di bawah tatapan dingin yang menancap di punggungnya, dia hampir bersumpah demi langit. Setelah membujuk lama, akhirnya Nyonya Feng mengangguk setuju. 　　Urusan menyewa rumah diserahkan ke kepala pelayan. Mengemas barang awalnya menjadi tanggung jawab Nyonya Guo (istri ketiga), tapi Bibi Dou dengan sukarela mengambil alih tugas itu. 　　Nyonya Feng sengaja ingin melihat kemampuan Bibi Dou mengurus hal ini, maka beliau menyetujui. 　　Yang mengejutkan dan menggembirakannya, meski keponakannya ini pendiam, saat memimpin para pelayan bekerja sangat teratur. Hal ini semakin memperkuat kepuasan beliau atas keputusan tersebut. 　　“Adik—” Dou Qitong menyelinap saat tak ada yang lihat, mengedipkan mata ke arah Bibi Dou. 　　Bibi Dou mendekat, matanya menyapu wajah Dou Qitong. Bertanya pelan: “Kakak laki-laki sudah membuat masalah lagi?” 　　Dou Qitong hampir melompat: “Tidak ada! Jangan selalu mencurigai saya begini! Saya pindah keluar karena sudah bertekad untuk bekerja lebih baik.” 　　Bibi Dou menunduk: “Bagus kalau begitu. Lalu ada apa Kakak memanggil saya?” 　　Dou Qitong melirik sekeliling, menurunkan suaranya: "Adik, maksud bibi adalah ingin mengatur perjodohan yang bagus untukmu di ibu kota. Sebelum kau menikah, selama tinggal lama di rumah keluarga Bo ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali satu orang yang harus kau waspadai..." 　　"Siapa?" 　　"Nona Keempat itu!" 　　Bibi Dou memandang kakaknya dengan heran, lama kemudian berkata: "Kakak bilang tidak membuat masalah, apa kau sudah menyinggung Nona Keempat?" 　　Nona Keempat itu memang memberinya kesan tidak biasa, kenapa kakak justru menyinggungnya—— 　　"Tidak, tidak pokoknya kau hati-hati saja dengannya." Dou Qitong tentu tak akan memberitahu adiknya yang sebenarnya, setelah berkata demikian ia pun pergi. 　　Ketika Jiang Ancheng kembali dari luar, sepupu brengsek yang masuk daftar hukuman sudah pindah. 　　Ia tertegun sejenak, mengumpat dalam hati "anak kurang ajar itu masih tahu diri", berniat memberi pelajaran nanti. 　　Tiba-tiba dayang utama Nyonya Feng, A Fu datang, meminta Jiang Ancheng ke Cixintang. 343. BAB 343 Titik Balik Matahari Musim Dingin 　　BAB 343 Titik Balik Matahari Musim Dingin 　　Pemanas bawah tanah di Cixintang lebih panas dari tempat lain, Jiang Ancheng melepas mantel tebalnya saat masuk, tetap merasa gerah. 　　"Ibu memanggil anak untuk urusan apa?" 　　Nyonya Feng mencibir: "Tentu ada urusan, tapi kau tidak menyapa sepupu?" 　　Jiang Ancheng terkejut memandang Bibi Dou: "Bibi juga ada di sini ya." 　　Mana mungkin dia memperhatikan orang-orang di kamar Ibu Suri, sekilas dikira dayang baru. 　　Atas peringatan Nyonya Feng, Jiang Ancheng mengenali ini adalah bibi baru. Tiba-tiba teringat kejadian putrinya digoda kemarin, wajahnya langsung berubah dingin sambil mundur selangkah. 　　Bibi Dou membungkuk kepada Jiang Ancheng: "Kakak sepupu." 　　Jiang Ancheng mengangguk dingin. 　　Nyonya Feng langsung merasa kesal melihatnya. 　　Bertahun-tahun ini, putra sulungnya terobsesi pada siluman rubah Su itu. Bahkan setelah kematian Nyonya Su, tak sekalipun melirik wanita lain. Masak dia bukan laki-laki normal! 　　Meski mempertanyakan kemampuan anak sendiri agak canggung, Nyonya Feng tak bisa menahan kecurigaan. 　　Melirik keponakan perempuannya, Nyonya Feng menghela napas lagi. 　　Cantik dan anggun begini, kok sama sekali tak menggugah hati? Bahkan diperlakukan sedingin ini! 　　Bibi Dou pun membuka suara: "Bibi, kalau ada urusan dengan Kakak sepupu, saya pamit dulu." 　　Memandang Bibi Dou berjalan pergi, Nyonya Feng menggigit bibir tapi tak menahan. 　　Masih terlalu dini untuk bertindak terang-terangan. Keponakannya ini terlalu polos... 　　Nyonya Feng dilema. Di satu sisi membenci tipe wanita seperti Su yang memabukkan pria, sehingga sangat menyukai keponakannya yang anggun. Di sisi lain kesal karena keponakannya tak bisa merayu pria, terlalu kaku. 　　“Di dunia ini memang tak ada hal yang sempurna. Jujur saja, si anak lelakilah yang membuatnya kesal.” 　　Setelah Bibi Dou pergi, wajah Nyonya Feng langsung berkerut, kerutan di sudut matanya semakin dalam. 　　“Ibu ada keperluan apa?” 　　“Setelah tahun baru ini, Zhan'er genap delapan belas tahun kan? Si'er juga sudah enam belas. Kau sebagai ayah tak punya rencana?” 　　Jiang Ancheng tertegun sejenak, lalu tersenyum santai: “Cang'er saja belum menikah, Zhan'er tidak perlu buru-buru.” 　　Untuk satu-satunya anak lelakinya, dia tidak menuntut banyak. Masuknya ke Jinwuwei saja sudah di luar dugaan. Ke depan asal bisa bertugas dengan tenang, itu sudah cukup. 　　Soal pernikahan anaknya, dia masih menunggu si bocah bodoh itu suatu hari nanti sadar dan memberitahu gadis seperti apa yang disukainya. Asal gadis itu sifatnya baik dan berasal dari keluarga terhormat, dia akan segera mengirim lamaran. 　　Hidup manusia cuma sekali, lagipula tak ada takhta kerajaan yang harus diwarisi. Buat apa membebani diri? Baru berasa nikmat hidup kalau bisa menghabiskan usia bersama orang yang dicintai. 　　Ya, baru berasa nikmat... Jiang Ancheng merasa matanya berkaca-kaca saat teringat hal ini. 　　Hidup yang penuh kebahagiaan itu... sudah tiada. 　　“Bagaimana bisa mereka sama?” Nyonya Feng spontan berseru. 　　Jiang Ancheng menarik kembali pikirannya: “Kenapa tidak sama? Cang'er adalah kakak. Zhan'er tidak perlu mendahului kakaknya berkeluarga. Lagipula pria tak masalah menikah beberapa tahun lebih tua. Saat sifatnya sudah matang, mungkin rumah tangganya justru lebih harmonis.” 　　Nyonya Feng mengangkat cangkir teh dan menyesap sedikit, melirik Jiang Ancheng: "Cang'er masih harus mengejar jabatan dalam tiga tahun. Urusan perjodohan baru dibicarakan setelah lulus Jinshi. Apakah Zhan'er harus menunggu sampai saat itu?" 　　Jiang Anchengerang sedikit mengerutkan bibir: "Tidak harus menunggu tiga tahun, tapi juga tak perlu terburu-buru. Harus ada waktu untuk mengamati perlahan. Memilih istri harus yang berbudi, bukankah begitu menurut Ibu?" 　　Nyonya Feng mengangkat alis, kesal: "Lalu Si'er bagaimana? Apa kau benar-benar menganggap serius janji taruhan antara dia dan saya?" 　　Sorot mata Jiang Ancheng berkedip. 　　Pasti tidak dianggap serius. 　　"Perkawinan Nona Besar dan Nona Kedua tidak bahagia. Adik ketiga sudah diatur orangtuanya. Apakah pernikahan Si'er harus mengikuti kelakuannya yang sembrono?" 　　Jiang Ancheng terdiam sejenak. 　　"Memilih jodoh untuk anak perempuan bukan hal mudah. Seorang pria dewasa sepertimu pasti ada hal yang terlewat. Usia saya sudah tua, jarang bergaul dengan keluarga terpandang di ibukota, jadi tidak punya gambaran. Apa kau ingin melihat Si'er mengalami nasib buruk seperti kakaknya?" 　　Wajah Jiang Ancheng berubah samar. 　　"Kalau menurut saya, sekarang ada satu cara." 　　Menyangkut putrinya, Jiang Anchenga mulai serius. 　　Nyonya Feng mengusap sudut matanya, berkata penuh makna: "Kau menikah lagi saja. Nanti ada ibu yang mengurus urusan anak perempuan, bukankah lebih ringan?" 　　Jiang Ancheng terkejut. 　　Hari ini ibu kenapa? Mulai dari urusan pernikahan anak-cucu, sekarang giliran dirinya? 　　“Tidak boleh!” Jiang Ancheng berwajah dingin langsung menolak. 　　“Putra Sulung!” 　　“Ibu tak perlu bicara lagi. Pesan ibu bertahun-tahun lalu pun masih sama: seumur hidupku tak akan menikah lagi. Aku tak mau nanti di altar leluhur, selain diriku dan Nyonya Su, ada orang lain.” 　　“Brengsek kau!” Nyonya Feng gemetar menahan amarah. 　　Jiang Ancheng mengerutkan alis: “Mengapa ibu marah? Anakmu sudah punya cucu, tidak menikah lagi bukanlah durhaka.” 　　Nyonya Feng menunjuk pintu: “Pergi kau dari sini!” 　　Jiang Ancheng berdiri: “Kalau begitu anak pamit. Janganlah ibu terusik, jangan sampai sakit karena marah.” 　　Memandangi Jiang Ancheng kabur, Nyonya Feng terengah-engah lama tak bisa tenang. 　　Anak durhaka ini! 　　Nyonya Feng berusaha menenangkan diri dengan bisikan "masih ada waktu", tapi tetap geram. Cangkir teh dihempaskannya ke lantai. 　　Ibu Feng di sampingnya membujuk: “Ibu Suri, jangan terburu-buru. Semua perlu proses.” 　　Nyonya Feng mengusap tangan dengan saputangan, mengangguk pelan. 　　Memang tak bisa dipaksa. Tunggu saja. Tahun depan ketika janji taruhan Si'er gagal, sesuai perjanjian dia akan dihukum. Saat itulah sang Putra Sulung bisa dikendalikan. 　　Mengingat betapa sang Putra Sulung menyayangi Si'er, pasti dia akan menyerah! 　　Kediamanan keluarga pun tenang kembali. Tak terasa musim dingin tiba. 　　Titik balik matahari musim dingin adalah hari besar dalam setahun. 　　Di Dinasti Zhou terdapat tiga hari raya besar: Tahun Baru, Hari Ulang Tahun Kaisar, dan Dongzhi. Pada tiga hari ini, istana mengadakan sidang agung dimana seluruh pejabat militer-sipil dan bangsawan harus hadir dengan pakaian resmi. 　　Pada hari Dongzhi, Kaisar akan memimpin pejabat militer-sipil untuk melakukan ritual sembahyang kepada langit di pinggiran kota, memohon kelimpahan panen dan kedamaian negara. Jamuan kenegaraan diselenggarakan di istana peristirahatan pinggiran kota pada tengah hari, sedangkan jamuan keluarga diadakan malam hari setelah kembali ke istana. 　　Dari tiga hari raya besar setahun, Kaisar Jingming paling menyukai Dongzhi. Alasannya sederhana: hari ini ia bisa keluar istana untuk menghirup udara segar. 　　Ya, kalian tidak salah dengar. Hal yang paling dinantikan penguasa negara ini adalah kesempatan setahun sekali untuk keluar istana. 　　Selain hari ritual sembahyang ini, mustahil bagi Kaisar untuk keluar istana. Mengenai inspeksi incognito? Hanya bisa jadi mimpi indah dari buku cerita. 　　Di masa mudanya, Kaisar Jingming pernah memberontak terhadap aturan ini. Akibatnya, selama setengah tahun ia dihujani memorial kecaman oleh para pejabat sensor bagai anjing terkepung. Sejak itu, ia menjadi patuh. 　　Mau bagaimana lagi? Sebagai kaisar bijak, ia harus menerima kenyataan. Jika tidak, tentu sudah ia bunuh semua bajingan pejabat sensor itu dan rendam di kolam anggur. 　　Menjadi penguasa bijak memang harus siap menerima cercaan. 　　Usai ritual sembahyang rutin, Kaisar Jingming yang sedang bersemangat mengamati para pejabat di aula. Ia berbisik pada Pan Hai: "Mana itu Dongping Bo?" 　　Hmm, sudah lama ia penasaran dengan si orang sial ini. 　　Terima kasih untuk hadiah dari Smile ibu Xiao Bao, mcj221, dan Qianlicao Qingzheng. Terima kasih juga untuk semua yang memberikan vote. Sampai jumpa besok. 344.BAB 344 Jamuan Keluarga 　　BAB 344 Jamuan Keluarga 　　Bangsawan di ibu kota sangat banyak, sehingga selain orang-orang yang sering terlihat di depan mata dan beberapa orang penting, Kaisar Jingming bahkan tidak memiliki kesan sama sekali tentang Dongping Bo meskipun pernah bertemu sebelumnya. 　　Namun justru orang yang tidak berkesan ini, tahun ini tiba-tiba terus-menerus disebut-sebut, dan setiap kali selalu menjadi pihak yang sial tanpa alasan, hal ini membuat Kaisar Jingming tidak bisa tidak penasaran. 　　Melihat tatapan penasaran Kaisar, Pan Hai diam-diam menggelengkan kepala, lalu mengarahkan mulutnya ke suatu arah: "Lapor Paduka, yang kedua dari dalam di meja sudut barat daya itu adalah..." 　　Sudut barat daya? 　　Kaisar Jingming menyipitkan matanya melihat ke kejauhan. 　　Batuk kecil Pan Haipun terdengar: "Paduka, itu sudut tenggara..." 　　Wajah Kaisar Jingming memerah, dengan muka masam berkata: "Apa? Tidak bisakah Aku melihat tempat lain?" 　　Pan Hai mengernyitkan bibirnya. 　　Akhirnya Kaisar Jingming melihat jelas wajah Jiang Ancheng, sedikit terkejut. 　　Dongping Bo ternyata masih merupakan pria tampan yang gagah, secara logika orang yang berparas baik seharusnya tidak terlalu sial. 　　"Paduka——" 　　"Hmm?" 　　"Bukankah sudah waktunya pesta dimulai?" Pan Hai berbisik mengingatkan. 　　"Oh, mulai saja pesta." 　　Pan Hai segera berseru keras: "Pesta dimulai——" 　　Para bangsawan dan pejabat segera berdiri mengucap syukur. 　　Kaisar Jingming menerima cangkir anggur dari Pan Hai, sesuai tradisi tahun-tahun sebelumnya menghormati bawahannya dengan secangkir, namun kali ini ia mengangkat cangkirnya ke arah sudut barat daya. 　　Keinginan raja sulit ditebak, dan hal yang paling disukai orang untuk ditebak justru keinginan raja. 　　“Kaisar tahun ini memberi penghormatan dengan minum ke arah sudut barat daya, apakah ada orang yang dianggap penting oleh Kaisar di sana?” 　　Para bangsawan dan pejabat segera mengalihkan pandangan ke sudut barat daya. 　　Tidak ada yang istimewa di sana, yang duduk di posisi itu adalah bangsawan rendahan yang jarang mendapat kesempatan tampil di hadapan Kaisar, terutama Dongping Bo yang tahun ini terus mendapat sial, orang-orang bahkan enggan duduk semeja dengannya. 　　Musik dan tarian pun dimulai, suasana pesta semakin ramai dengan gelas-gelas yang saling bersentuhan. 　　Kaisar Jingming menyantap beberapa suap makanan, lalu kembali bergosip dengan kasim kepercayaannya Pan Hai: "Jiang Shaoqing terlihat lebih tua dari kakak laki-lakinya." 　　Tuan Jiang Kedua yang menjabat sebagai Wakil Menteri Kekaisaran Taipusi termasuk wajah yang cukup dikenal Kaisar Jingming, inilah alasan mengapa Tuan Jiang Kedua lebih dihormati daripada Jiang Ancheng. 　　Yang satu tercatat namanya di hadapan Kaisar, sementara yang lain bahkan setelah meninggal pun keturunannya tidak bisa mewarisi gelar, tentu jelas mana yang lebih terhormat di mata masyarakat. 　　Pan Hai melirik Tuan Jiang Kedua dengan pandangan penuh simpati. 　　Kaisar berbicara dengan halus, maksud "tua" sebenarnya adalah Jiang Shaoqing tidak secantik Dongping Bo! 　　“Dengar-dengar selisih usia mereka berdua tidak terlalu jauh.” 　　“Hmm.” Kaisar Jingming mengangguk sambil memandangi wajah Jiang Ancheng yang elok, tiba-tiba penasaran lagi, “Dua putri Dongping Bo Residence yang sudah menikah sama-sama mendapat suami tak baik, apakah wajah mereka mewarisi keluarga ibu?” 　　Pan Hai melirik ke kiri-kanan, lalu mengusap keringat di dahinya. 　　“Paduka Yang Mulia, tidak bisakah pertanyaan-pertanyaan ini dibahas setelah kembali ke istana? Bagaimana jika orang mendengar Kaisar sebuah negara besar mempedulikan hal seperti ini, memalukan!” 　　Meski dalam hati menggerutu, pertanyaan Kaisar harus dijawab: “Hamba mendengar para putri Dongping Bo Residence semuanya adalah kecantikan yang luar biasa.” 　　“Bagaimana dengan Nona Keempat Jiang itu?” Kaisar Jingming bertanya seolah digerakkan arwah. 　　Tentang rupa Jiang Si, meski Pan Hai belum pernah melihatnya, dia benar-benar mengetahuinya. 　　Jaringan mata-mata Dongchang yang dia pimpin tersebar di mana-mana. Beberapa hari lalu ketika Dongping Bo Residence menggugat Keluarga Zhu di ruang sidang, Nona Keempat Jiang tampil di depan umum. Kebetulan ada anggota Dongchang di antara petugas keamanan di ruang sidang saat itu. 　　Menurut laporan bawahannya, Nona Keempat Jiang adalah kecantikan yang bisa mengguncang negara. 　　Namun tentang cara melapor ke Kaisar, Pan Hai sedikit ragu. 　　Jangan-jangan jika berkata jujur, Kaisar akan memasukkan Nona Keempat Jiang ke dalam istana? 　　Kaisar Jingming mengangkat alis: “Hmm?” 　　Pan Hai gemetar ketakutan, buru-buru menjawab: “Konon kecantikan Nona Keempat Jiang sangat menakjubkan.” 　　Kaisar Jingming terkejut mendengar pujian “kecantikan menakjubkan” dari Pan Hai. 　　Dari situ terlihat, Nona Keempat Jiang pasti adalah kecantikan yang mengalahkan semua bunga. 　　Kecantikan seperti ini, bagaimana mungkin pemuda dari keluarga An Guogong berani membatalkan pertunangan? 　　Setelah rasa penasaran berlalu, Kaisar Jingming mengabaikan hal ini dan mulai menikmati tarian dan nyanyian. 　　Musim dingin membuat hari cepat gelap. Begitu pesta berakhir, setelah istirahat sebentar, iring-iringan besar pun kembali ke kota. 　　Sepanjang jalan bendera berkibar, alunan musik menggema, ribuan rakyat berjejer di sisi jalan menyaksikan iring-iringan kerajaan. Kaisar Jingming juga tersenyum dari kereta kudanya memandangi rakyatnya. 　　Setelah kembali ke istana, semangat tinggi Kaisar Jingming mulai meredup. 　　Kembali dari alam luas ke istana yang monoton, siapa pun pasti merasa kecewa. 　　Tapi apapun perasaannya, jamuan malam keluarga tetap harus dihadapi dengan semangat. 　　Kaisar Jingming mencuri waktu untuk istirahat sebentar, berganti pakaian kasual, lalu menuju Aula Changsheng. 　　Jamuan keluarga di istana selalu diadakan di Aula Changsheng. Bagi Yu Jin, ini adalah pertama kalinya dia menghadiri acara seperti ini. 　　Alunan musik yang tak henti-hentinya, dayang-dayang berbaju tipis, dan kehangatan yang membuat mengantuk, semua membuat Yu Jin merasa sangat bosan. 　　Tapi sebosan apapun, dia tetap harus datang. Urusan pernikahannya masih bergantung pada Kaisar. 　　Tawa cekikikan samar terdengar. 　　Pendengaran Yu Jin sangat tajam, dia mendengar dengan jelas. 　　"Itu Kakak Ketujuh ya? Katanya dia sering berkelahi dengan pangeran lain, ternyata wajahnya cukup tampan..." 　　"Hmph, setampan apapun tetap saja pria kasar yang suka main fisik. Tidak ada yang istimewa." 　　…… 　　Yu Jin melirik ke arah sumber suara, matanya silau oleh deretan putri-putri. 　　Ini setidaknya ada belasan putri! Kaisar benar-benar produktif! 　　Melihat barisan pangeran di seberang, Yu Jin tersenyum kecut pada dirinya sendiri. 　　Jika tidak bisa melahirkan banyak anak, mungkin dia juga tidak akan terlahir ke dunia ini. 　　“Meski sejak lahir langsung dikirim keluar istana, hampir tidak menikmati perlakuan sebagai pangeran, apalagi mendapatkan sedikit kehangatan dari orangtuanya, Yu Jin tidak pernah menyangka takdirnya begitu tragis. Seandainya saja dirinya tidak dilahirkan.” 　　“Bercanda, hidup itu indah. Jika tidak pernah ada di dunia ini, bagaimana bisa bertemu dengan A Si-nya?” 　　Yu Jin mengangkat teko anggur dan menuangkan secangkir anggur untuk dirinya sendiri. 　　Teko perak, cangkir giok putih, anggur berwarna amber yang indah. 　　Yu Jin mengangkat cangkir ke hidungnya, mengendus perlahan, lalu menyesap sedikit. 　　Terdengar suara cekikan rendah. 　　Tanpa perlu mendengar detail, sudah jelas itu suara putri-putri yang menertawakan tindakan Yu Jin menuangkan anggur sendiri yang dianggap tidak pantas. 　　Yu Jin mengangkat alisnya, pandangannya tajam seperti kilat menatap ke arah itu. 　　Para putri langsung diam, beberapa di antaranya diam-diam memerah dan menundukkan kepala. 　　Seberapa kasar dan melanggar tata krama sang kakak ini, harus diakui di antara semua pangeran, Kakak Ketujuh Yu Jin yang paling tampan. Tatapannya membuat orang tak karuan gelisah. 　　“Seolah-olah... seolah-olah jika terlalu banyak bicara, akan dipukuli seperti kakak-kakak itu...” 　　Yu Jin menarik kembali pandangannya, memutar-mutar cangkir giok di tangannya. 　　“Kaisar tiba, Permaisuri tiba——” 　　Begitu seruan bergema, musik upacara langsung berhenti. Kaisar Jingming masuk ke aula besar bersama Permaisuri. 　　Seluruh kerumunan di aula segera berdiri memberi hormat dengan suara lantang. 　　Kaisar Jingming menekan kedua tangannya ke bawah: "Duduklah, kita semua satu keluarga, tak perlu banyak basa-basi." 　　Upacara sembahyang di luar istana sudah cukup melelahkan, di jamuan keluarga ini dia tak ingin lagi berlagak resmi. 　　Kaisar Jingming duduk malas-malasan mulai mengamati para selir dan anak-anaknya. 　　Tuan rumah keluar lagi, jadi Xiao Jia si Naskah Cadangan muncul kembali. Mohon dukungan vote-nya ya! 345. BAB 345 Pernikahan Sang Pangeran 　　BAB 345 Pernikahan Sang Pangeran 　　Sudah lama tak ada anggota baru di istana, para selir tak ada yang menarik dilihat. Tapi anak lelaki, menantu perempuan, dan putri-putri yang jarang terkumpul lengkap seperti ini harus diamati baik-baik, jangan sampai tak bisa mengenali. 　　Memang, memiliki banyak anak juga punya kerepotannya sendiri. 　　Terutama putri-putri yang jumlahnya dua puluh enam orang, ingatan sehebat apapun tak akan sanggup mengingat semuanya. 　　Kaisar Jingming mulai mengamati para putri, baru melirik sebentar sudah pusing tujuh keliling. 　　Kecuali yang sudah menikah, masih ada lebih dari sepuluh putri belum bersuami. Di acara ini mereka semua memakai seragam istana yang sama, sanggul yang seragam, wajah-wajah yang mirip – seolah sengaja menyulitkannya! 　　Kaisar Jingming mengamati beberapa kali lagi, akhirnya menyerah dan memalingkan muka. 　　Untungnya para putri jarang muncul di hadapannya. Tak bisa mengenali pun tak apa, yang penting anak lelaki dan menantu perempuannya bisa dikenali. 　　Kaisar Jingming meneguk anggur untuk menenangkan diri, lalu memandang ke bawah. 　　Pertama Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota, kemudian pasangan Pangeran Pertama Qin Wang, pasangan Pangeran Ketiga Jin Wang, pasangan Pangeran Keempat Qi Wang, pasangan Pangeran Kelima Lu Wang, Pangeran Keenam Shu Wang, Pangeran Kedelapan Xiang Wang... dll, sepertinya ada yang kurang satu. 　　Kaisar Jingming menghitung lagi dalam hati, lalu tersadar: Lao Qi yang hilang! 　　Matanya menyapu ruangan, lalu menemukan Yu Jin di sudut ruangan. 　　Di sekelilingnya terdengar tawa selir-selir, bisik putri-putri, pandangan tak sengaja antara pangeran dan permaisuri, serta tatapan penuh kasih ibu selir kepada putra mereka. Hanya pemuda bermata indah itu yang duduk menyendiri di sudut, minum sendiri dalam kesepian. 　　Melihat ini, Kaisar Jingming tiba-tiba merasa tidak enak hati. 　　Ini juga putranya. Dari segi penampilan dan sikap, meski dibesarkan di desa, tak kalah dari pangeran lain. Mengapa begitu menyedihkan? 　　Siapa ibu kandung Lao Qi ya? 　　Kaisar Jingming berpikir sejenak, lalu menatap Ibu Suri Xian. 　　Istana tak pernah kekurangan kecantikan. Meski telah melahirkan dua pangeran, Ibu Suri Xian di usianya ini masih terlihat sangat memesona. 　　Saat itu Permaisuri Qi sedang membisikkan sesuatu pada Ibu Suri Xian. Sang Ibu Suri mendengar sambil tersenyum, lalu menoleh memberikan senyuman manis pada Pangeran Qi yang tak jauh. 　　Kaisar Jingming tak bisa menahan kerutan di dahinya. 　　“Lao Si sudah punya istri, buat apa Ibu Selir masih bertingkah seperti ini? Malah Lao Qi, sekarang duduk sendirian di sudut, tidak terlihat sang Ibu Selir ini memperhatikannya.” 　　Ibu Suri Xian seolah merasakan sesuatu, menatap Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming membersihkan tenggorokannya, bertanya: “Apa yang Kekasihku bicarakan dengan istri Lao Si sampai begitu gembira?” 　　Ibu Suri Xian tidak menyangka dari semua orang di istana, Kaisar hanya memperhatikannya. Dengan riang dan bangga ia tersenyum: “Mendengar istri Lao Si bercerita tentang belajar menjahit. Lihatlah Kaisar, ini saputangan bordiran. Baru berusia lima enam tahun si kecil, bordirannya sudah lumayan bagus.” 　　“Benarkah? Aku lihat.” 　　Segera seorang dayang mengambil saputangan dari tangan Ibu Suri Xian dan menyerahkannya ke hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming melirik sekilas. Di atas saputangan persegi itu terlihat segerombolan anggrek, dengan seekor burung bentuk aneh hinggap di bunga anggrek yang sedang mekar. 　　“Burung apa ini?” tanya Kaisar Jingming sambil lalu. 　　Bordiran cucu perempuan, bagus atau jelek harus tetap menunjukkan sedikit ketertarikan. 　　Ekspresi Ibu Suri Xian berubah sesaat. Di bawah tatapan bertanya Kaisar Jingming, ia mengatupkan gigi: “Ini kupu-kupu.” 　　Seketika gelak tawa pecah di seluruh ruangan. 　　Kaisar Jingming mengusap hidungnya. Karena merasa malu, sikapnya pada Ibu Suri Xian semakin tidak ramah: “Daripada sibuk dengan bordiran kupu-kupu, lebih baik Kekasihku memikirkan urusan pernikahan Lao Qi.” 　　Begitu kata-kata ini terucap, tidak hanya Ibu Suri Xian yang tertegun, suasana di aula pun seketika sunyi senyap bagai jarum jatuh terdengar. 　　Kaisar Jingming semakin tidak puas. 　　Lao Qi adalah anak lelakinya, tahun ini sudah delapan belas tahun. Dalam pesta reuni pun dia masih minum sendirian dengan muram. Apa salahnya seorang ayah kaisar menanyakan hal ini? 　　Pandangan Yu Jin yang dipenuhi sukacita tertuju pada Kaisar Jingming, namun dalam hatinya tetap tenang. 　　Tidak sia-sia dia berpura-pura memelas setengah hari. Kaisar ini cukup tajam juga, belum sempat dia mengutarakan naskah yang sudah disiapkan, sang kaisar malah mengangkat topik ini lebih dulu. 　　Kegembiraan Yu Jin yang tak disembunyikan membuat Kaisar Jingming semakin terharu: Lihat bagaimana Lao Qi bersukacita, jelas dia sudah lama ingin mencari istri, hanya saja tak ada yang mengurus. 　　Anak yang malang ini. 　　Kaisar Jingming merasa agak pilu, melirik Ibu Suri Xian lalu berpaling ke Zhuangfei: "Putra Keenam bahkan lebih tua dari Lao Qi. Urusan pernikahannya juga tidak boleh ditunda." 　　Kecuali Putra Mahkota, untuk calon permaisuri putra-putranya yang lain dia tidak berencana campur tangan. Biarkan seperti biasanya diserahkan pada ibu kandung mereka untuk mengatur. Setelah calon permaisuri ditentukan dan diajukan padanya untuk diperiksa, selama tidak ada masalah besar pasti akan disetujui. 　　Zhuangfei tertekan sejenak, lalu segera tersenyum: "Hamba memang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengusulkan pada Kaisar. Setelah tahun baru, adakan pesta apresiasi bunga plum dan undang para gadis terhormat dari berbagai keluarga. Jika ada yang cocok saat itu, perjodohan Putra Keenam bisa ditetapkan..." 　　Kaisar Jingming mengangguk-angguk sambil mendengarkan: "Kekasihku sangat perhatian." 　　Ibu Suri Xian mendengarkan hingga nyaris meledak amarahnya. 　　Apa maksudnya Kekasihku bersungguh hati? Apakah ini menunjukkan ketidaksenangan karena dia tidak memperhatikan Lao Qi? 　　Lao Qi baru saja kembali ke ibu kota, sudah beberapa kali dipanggil tapi belum sempat memberi salam. Sekalipun dia ingin, mana mungkin? 　　Ibu Suri Xian tidak ingin mengakui kelalaiannya terhadap Yu Jin. 　　Menurutnya, untuk apa buru-buru mengurus perjodohan seorang anak lelaki yang masa depannya belum jelas? Menunda sambil mengamati sikap Kaisar akan lebih menguntungkan. 　　Tak disangka dalam acara seperti hari ini, Kaisar justru menegurnya karena masalah Lao Qi. 　　Memikirkan hal ini, Ibu Suri Xian merasa gemetar. 　　Mungkin, perhatian Kaisar terhadap Lao Qi tidak sesedikit yang dia kira... 　　Sambil merenungkan hal ini, Ibu Suri Xian segera tersenyum: "Hamba juga berpikir demikian, ternyata sependapat dengan Adik Zhuangfei. Mari kita urus bersama setelah tahun baru." 　　Melihat respons Ibu Suri Xian, Kaisar Jingming tentu tidak ingin mempermalukannya, lalu mengangguk. 　　Ibu Suri Xian sedikit lega. 　　Untuk sementara masalah ini teratasi. Masih ada waktu sebelum tahun baru, tepat untuk memikirkan calon Permaisuri Yan yang cocok. 　　Calon ini harus berasal dari keluarga terhormat tapi tidak terlalu tinggi, agar bisa saling mendukung Lao Qi tanpa membuat malu istri Lao Si. 　　Wataknya tentu semakin penurut semakin baik. 　　Seorang permaisuri yang santai dengan sifat keras kepala sama sekali tidak berguna, hanya akan menambah kesulitan. 　　Putri bangsawan mana yang cocok untuk Lao Qi? 　　Ibu Suri Xian melirik Yu Jin, mulai merenung. 　　Yu Jin meletakkan cawan anggur di atas meja dengan keras, lalu berdiri: "Terima kasih atas perhatian Ayah Kaisar kepada Erchen. Maka kebahagiaan seumur hidup Erchen bergantung pada Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming baru hendak mengangguk, tiba-tiba terhenti. 　　Tunggu, maksudnya "kebahagiaan seumur hidup bergantung padanya"? Dia hanya tidak tega melihat Lao Qi belum punya istri, bukan menjamin istri yang dinikahi pasti memuaskan hati. 　　Hmph, pemuda memang naif. Kebahagiaan semudah itu? Dirinya sendiri saja belum puas. 　　Meski bergumam dalam hati, tatkala bertemu pandangan mata hitam jernih anaknya, Kaisar Jingming akhirnya hanya mengangguk kaku. 　　Yu Jin duduk kembali dengan senyum. 　　Dengan persetujuan Ayah Kaisar ini, hatinya akhirnya tenang. 346. BAB 346 Pengunjung Malam 　　BAB 346 Pengunjung Malam 　　Perjamuan usai saat bintang-bintang sudah bertebaran. 　　Yu Jin mengabaikan raut wajah Ibu Suri Xian yang ingin bicara, melangkah cepat keluar istana. 　　Dingin menusuk di luar istana. Kebetulan Jiang Er sedang selesai bertugas. 　　"Adik kedua Jiang." Yu Jin berdiri tak jauh, memanggil dengan ramah. 　　Jiang Er buru-buru mendekat, mengeluh: "Pangeran, di luar jangan panggil begitu. Dengar-dengar rekan kerja nanti tidak baik." 　　Beberapa hari sebelumnya, Jiang Er baru tahu identitas asli Yu Jin dari ayahnya yang sedang marah, sampai shock tiga hari lamanya. 　　Kakak Yu Qi yang selalu disebut saudara itu ternyata seorang pangeran? 　　"Eh, ini bukan masalah besar. Dia punya banyak teman dari berbagai kalangan, bahkan dengan pengemis pun dia bergaul. Jadi apa masalahnya berteman akrab dengan pangeran?" 　　Tapi, pangeran terhormat mengincar adiknya? 　　Yang lain tidak masalah, tapi ini tidak bisa. 　　Jiang Zhan cukup realistis. Menurutnya, meski adiknya sempurna, tapi pernah memutuskan pertunangan. Jika menikah dengan pangeran, paling-paling jadi selir. 　　Jangan anggap dia bodoh, bukankah selir itu sama dengan selir? Kalau dinikahi lalu ditindas permaisuri resmi, apa dia bisa menyerbu istana pangeran? 　　Ilmu bela diri sehebat apapun tidak berguna. Dia sudah cari tahu, itu sama saja memberontak! 　　Makanya Jiang Zhan tegas bersatu dengan Ayah Paduka: Berteman tetap bisa, tapi menjadi kakak ipar mutlak tidak boleh. 　　Melihat Jiang Zhan, Yu Jin gemas bukan main. 　　Calon mertua yang sementara linglung masih bisa dimaklumi, tapi Jiang Er ikut-ikutan bikin ulah? Padahal dia sudah berkali-kali menyelamatkannya. Pasti nurani anak ini sudah dimakan Er Niu. 　　"Apa salahnya mereka dengar?" Meski kesal, demi bisa menikahi sang kekasih, Yu Jin tetap tersenyum sabar. 　　Jiang Zhan berkedip, bergumam: "Benar juga, pertemananku dengan Pangeran kan bukan aib." 　　"Lebih baik panggil aku Kakak Ketujuh saja." 　　Jiang Zhan cepat-cepat melambaikan tangan: "Sungguh tidak bisa. Kita mungkin tak peduli, tapi kalau sampai didengar orang jahat, pasti akan dibuat masalah." 　　Yu Jin tersenyum tipis. 　　“Ada apa?” Setelah bertugas seharian, Jiang Zhan merasa tangan dan kakinya kaku, sambil menggosok-gosok tangannya dia bertanya. 　　“Aku perhatikan Adik kedua Jiang sekarang lebih matang pertimbangannya dibanding dulu.” 　　Jiang Zhan tersenyum: "Pengalaman adalah guru terbaik. Meski tak berbakat, aku tak boleh terus menyusahkan Ayah dan adik. Ngomong-ngomong, Pangeran, apakah pesta di istana menarik?" 　　Yu Jin menatap langit. 　　Titik balik matahari musim dingin tahun itu jatuh pada tanggal 16 bulan 11, bulan purnama menggantung besar bagai piringan di angkasa. 　　Bulan yang dingin memancarkan sinar keperakan seperti embun beku, membungkusnya dengan hawa dingin, tapi hatinya terasa hangat. 　　Yu Jin tersenyum: "Menarik, Ayah Kaisar ingin mencarikan calon istri untukku." 　　“Apa?” Jiang Zhan berhenti mendadak, memandang ekspresi Yu Jin, lupa menggunakan sebutan resmi, “Kakak Yu Qi, kau tidak bercanda kan?” 　　“Ini bukan bahan candaan. Tahun depan usiaku 19 tahun, istana pangeran tak bisa terus tanpa nyonya rumah.” 　　Jiang Zhan tersadar, mengepalkan tangan: “Selamat ya Pangeran.” 　　Bagus! Setelah Kakak Yu Qi menikah, tak perlu khawatir adikku jadi domba masuk mulut harimau lagi. 　　Wajah Yu Jin langsung muram. 　　Dia sengaja membocorkan informasi ini untuk menguji reaksi si kau ini, tapi malah terlihat senang bukan main. 　　Benar-benar bikin kesal! Malam ini juga akan menyelinap ke tembok untuk menemui A Si. 　　Hmph! Kalau Jiang Er begitu protektif pada adik kesayangannya, justru akan lebih sering diam-diam menemui A Si! 　　Setelah memutuskan, melihat ekspresi gembira Jiang Zhan, Yu Jin perlahan menghela nafas lega. 　　Setelah berpisah, Jiang Zhan kembali ke Dongping Bo Residence. 　　Karena sudah lelah lama bekerja dan hampir tak sempat makan, begitu tiba di kamar, Jiang Zhan segera menyuruh Ah Ji mengambil makanan dari dapur besar. 　　Tak lama kemudian Ah Ji kembali membawa kotak makanan, menyajikan beberapa piring lauk kecil dan sekoci anggur panas, lalu mengeluarkan sepiring besar pangsit yang masih mengepul. 　　Melihat pangsit itu, Jiang Zhan terkejut lalu tersenyum: "Apakah dapur besar mengganti juru masak tahun ini? Kreatif juga." 　　Pangsit-pangsit ini ada yang kulitnya ungu, hijau, dan kuning. Terlepas dari rasanya, penampilannya saja sudah menggugah selera. 　　Ah Ji menjelaskan sambil tersenyum: "Tuan Gong, pangsit warna-warni ini dibuat oleh Nona Keempat. Beliau khusus menyuruh dapur menyisakan sepiring untuk Tuan." 　　Jiang Zhan langsung tersentuh mendengarnya. Ia menjepit pangsit kulit kuning dengan sumpit, mengunyah perlahan lalu berseru: "Isiannya daging ikan! Enak!" 　　Tak tahu jenis ikannya, tapi daging ikan yang dihaluskan sebagai isian pangsit ini meninggalkan rasa gurih yang tak terlupakan. 　　"Yang hijau? Yang hijau?" Ah Ji tampak lebih antusias daripada yang makan, terus bertanya. 　　Jiang Zhan mencicipi pangsit hijau, lalu berkata sambil tersenyum: "Isian sayuran, ada jamur kuping dan tauge kacang hijau." 　　“Nona Keempat benar-benar pintar dan cekatan.” 　　Jiang Zhan memandang sinis ke arah Ah Ji: “Tentang Nona Keempat, bukan urusanmu!” 　　Adik perempuannya memang cerdas dan tak tertandingi, sepatu yang dipakainya pun hadiah dari Adik Keempat. 　　Setelah menghabiskan sepiring pangsit hangat, hati Jiang Zhan menjadi hangat. 　　Adik Keempat begitu memikirkan dirinya, rasanya tak enak hati jika tidak mengucapkan terima kasih. 　　Melihat langit yang mulai gelap di musim dingin, sebenarnya baru saja selesai makan malam dan masih jauh dari waktu tidur. 　　"Hmm, lebih baik kunjungi Haitangju untuk menemui Adik Keempat." 　　Jiang Zhan memutuskan dan langsung menuju Haitangju tanpa membawa Ah Ji. 　　Gerbang kedua masih terbuka lebar. Nenek penjaga pintu yang berlindung di gubuk kecil untuk menghangatkan diri segera keluar memberi salam saat melihat Jiang Zhan. 　　Seluruh rumah keluarga kini tahu: Tuan Kedua yang selama ini dianggap sampah yang tak bisa dibentuk ternyata mulai menunjukkan perubahan, mungkin akan meraih kesuksesan. 　　Jiang Zhan melambaikan tangan dan bergegas melintas. 　　Jiang Si yang mendapat laporan kedatangan Tuan Kedua segera menyambutnya dengan sedikit keheranan. 　　Ia tahu Yu Qi (Pangeran Ketujuh) adalah pria yang menepati janji, kemungkinan Festival Dongzhi kali ini akan menjadi yang terakhir di Keluarga Bo. Karena itu ia membuat pangsit warna-warni untuk Ayah, Kakak, dan Kakak Kedua. 　　Pangsit berwarna ini dipelajarinya saat berada di selatan. 　　“Mengapa Adik keluar? Di luar dingin.” 　　“Jiang Si memperhatikan kakak laki-lakinya, suaranya lembut: "Kakak Kedua pasti lelah bertugas, cuaca sedingin ini masih harus berpatroli di luar."” 　　Jiang Zhan tersenyum memperlihatkan gigi putihnya, masuk dan duduk bersama Jiang Si: "Tidak lelah. Setelah makan pangsit buatan Adik Keempat, jadi makin semangat." 　　“Asal Kakak Kedua suka, itu sudah cukup.” 　　Jiang Zhan memandangi adiknya penuh kekaguman, dalam hati bergumam: "Pantasan Kakak Yu Qi yang seorang pangeran sampai berani berniat jahat." 　　Tiba-tiba dia merasa kasihan pada sahabatnya itu. 　　Adik sebaik ini sudah tidak ada hubungannya lagi dengan Kakak Yu Qi. 　　“Ada apa dengan Kakak Kedua?” Jiang Si bertanya saat melihat ekspresi aneh Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan tertawa menutupi perasaannya: "Tidak apa. Hanya ingin bilang pangsit buatan Adik Keempat enak sekali." 　　“Kalau begitu nanti aku buatkan lagi untuk Kakak.” 　　Jiang Zhan buru-buru melambaikan tangan: "Jangan repot-repot, nanti tangan dayangmu jadi kasar." 　　Setelah berpikir sejenak, dia usul: "Suruh saja dua dayangmu belajar membuatnya. Nanti biar mereka yang membuat." 　　Ah Man dan A Qiao serentak mengedipkan mata dengan ekspresi kesal. 　　Tiba-tiba suara ketukan jendela yang mengagetkan terdengar. 　　Aku tahu kalian ingin berulah dengan mengirim pisau, tapi percuma saja. Majikan tidak bisa melihat, hanya ada Xiao Jia, si Naskah Cadangan yang setia di sini. 347. BAB 347 Ada Siluman 　　BAB 347 Ada Siluman 　　Malam itu angin tidak bertiup, sehingga suara ketukan jendela terdengar sangat jelas. 　　Wajah Jiang Zhan berubah pucat, langsung berdiri tegak. 　　Ah Man tiba-tiba berlari mendekat: "Tuan Kedua, hamba akan ambilkan teh untuk Tuan!" 　　"Minggir." Jiang Zhan dengan wajah serius menyibakkan Ah Man, lalu bergegas menuju jendela. 　　Dia pasti tidak salah dengar, ada yang mengetuk jendela! 　　Hari sudah gelap, ini kamar tidur Adik Keempat, masa ada orang di luar jendela? Ini tidak boleh dibiarkan! 　　Jiang Zhan hampir-hampir berlari ke jendela dengan wajah pucat pasi, bahkan teriakan Jiang Si "Kakak Kedua" sama sekali tidak menghentikan langkahnya. 　　Jendela terbuka tiba-tiba, udara dingin langsung menerobos masuk. 　　Jiang Si masih terlihat tenang, tapi Ah Man dan A Qiao spontan menutup mulut mereka dengan tangan. 　　Celaka, celaka! Nona ketahuan berkencan dengan Tuan Yu oleh Tuan Kedua! Bagaimana ini? Apa Tuan Kedua akan mencelupkan mereka ke dalam kandang babi? 　　Ini pikiran A Qiao. 　　Ah Man menutup mata tak tega melihat. 　　Akankah terjadi pertarungan berdarah antara Tuan Kedua dan Tuan Yu? Kalau berkelahi, haruskah dia membantu Tuan Kedua atau Tuan Yu? 　　Ah Man membuka mata dengan berat hati, melirik ke luar jendela, lalu tertegun kaget. 　　Yang lebih terkejut dari Ah Man adalah Jiang Zhan. 　　Ia bertatapan dengan anjing besar di luar jendela, mengira matanya bermasalah, lalu menggosok mata kuat-kuat. 　　Benar, itu Er Niu! 　　Er Niu yang kedua kaki depannya menempel di ambang jendela mengendus-endus. 　　Wajah Jiang Zhan langsung menghitam, marahnya menyala-nyala: "Er Niu! Hari ini Tuan akan menyembelihmu untuk dimakan!" 　　Er Niu mengangkat satu cakarnya ke depan, seolah menyapa Jiang Si, atau mungkin menantang Tuan Kedua Jiang yang sedang marah, lalu berbalik dan menghilang dalam kegelapan malam yang dingin. 　　Jiang Zhan menopang ambang jendela dengan tangan, melompat dengan gesit dan segera menghilang. 　　Jendela terbuka lebar, menghembuskan hawa dingin ke dalam ruangan, tiga orang majikan dan pelayan di dalam kamar sejenak terdiam. 　　Sebuah siluet melompat masuk melalui jendela, gerakannya lincah dan mendarat tanpa suara. 　　Orang itu mengenakan jubah hitam, setelah masuk dengan tenang berbalik menutup jendela, melepaskan jubahnya dan mengibaskannya hingga rontok embun beku, lalu menyodorkan pakaiannya kepada A Qiao yang terpaku di samping. 　　Begitu akrab dan santai, seolah sedang pulang ke rumah sendiri. 　　Anehnya, A Qiao pun secara refleks menerima jubah itu dan menggantungkannya di rak pakaian. 　　Jiang Si menatap pria yang mendekat, lalu melirik ke jendela: "Er Niu--" 　　Yu Jin mendekat, menggenggam tangan Jiang Si sambil berkasual: "Anjing itu mungkin rindu padamu, nekat ingin ikut. Bagus juga, bisa jadi kambing hitam untukku." 　　Sudut mulut Jiang Si berkedut. 　　Hanya bajingan ini yang bisa menyuruh anjingnya menanggung kesalahan dengan semudah itu. 　　"Masih awal, kenapa sudah datang?" tanya Jiang Si. 　　Seandainya lebih malam, takkan ketahuan Kakak Kedua. 　　Yu Jin mengedipkan mata: "Kau tidak suka aku datang lebih awal? Kalau datang larut, aku takkan mau pulang..." 　　A Qiao menundukkan kepala dengan wajah memerah, sementara Ah Man berjaga-jaga di depan jendela dengan wajah waspada. 　　Jiang Si menepuk bahu Yu Jin: "Jangan banyak omong, bicaralah urusan penting!" 　　Semangatnya datang ke sini jelas karena ada urusan serius yang ingin dibicarakan. 　　Yu Jin mengangkat alis sambil memandangi kedua dayang itu. 　　Jiang Si menghela napas: "Kalau tidak ada yang berjaga di jendela, bagaimana jika Kakak Kedua saya kembali lagi?" 　　Ketahuan secara tidak sengaja saja sudah merepotkan, jika memungkinkan, dia tentu tidak ingin membuat kakaknya terkejut seperti itu. 　　Yu Jin tertawa: "Tidak mungkin. Aku kenal betul Er Niu itu. Selama dia ada, Kakak Kedua pasti tidak bisa pulang." 　　Begitu sampai di bagian ini, Pangeran Ketujuh Yu Qi langsung tak senang. 　　Ini sudah jam berapa? Mengapa Jiang Zhan ada di tempat A Si! 　　Jiang Si diam-diam memutar matanya. 　　Er Niu jadi terpengaruh buruk oleh Yu Qi. Padahal dulunya anjing besar yang sangat patuh. 　　"Kalian mundur dulu." Karena Yu Jin sudah berkata begitu, Jiang Si pun tak mempertanyakan lagi. Ia melambaikan tangan menyuruh A Qiao dan Ah Man pergi. 　　Setelah kedua dayang pergi, Yu Jin langsung menarik Jiang Si ke dalam pelukannya: "Kenapa Jiang Er ada di sini?" 　　Kedekatan yang tiba-tiba ini membuat Jiang Si refleks mendorongnya: "Hari ini Dongzhi. Aku bikin pangsit untuk Kakak Kedua. Karena suka rasanya, dia sengaja datang untuk berterima kasih." 　　Yu Jin semakin mengerutkan kening: "Kau malah bikin pangsit untuknya?" 　　"Dia kakak kandungku!" jawab Jiang Si dengan getir. 　　“Yu Jin mengatupkan gigi: "Kalau bukan karena dia Kakak Kedua-mu, sudah kubikin kakinya patah." 　　Jiang Si meliriknya dengan pandangan kesal: "Kalau kau masih belum mau bicara hal penting, aku tidur saja." 　　Yu Jin menariknya duduk sambil tersenyum: "Dalam pesta keluarga istana, Ayah Kaisar membahas urusan pernikahanku." 　　Jiang Si tertegun sejenak. 　　Meski percaya pada kemampuannya, hatinya gelisah sekaligus penasaran bagaimana cara pria ini mengatasi rintangan untuk menyatukan mereka. 　　Mustahil Kaisar akan langsung menganugerahkan pernikahan saat membahas urusan Yu Qi (Pangeran Ketujuh). 　　Yu Jin melanjutkan: "Setelah tahun baru, Ibu Suri Xian dan Zhuangfei akan mengadakan Pesta Apresiasi Bunga Mei khusus untuk memilih permaisuri bagi Pangeran Shu dan diriku." 　　Jiang Si mendengarkan kata-kata Yu Jin, dalam hati berkeluh kesah. 　　Panggilan "Ibu Suri Xian" dari Yu Qi menegaskan hubungan ibu-anak yang dingin. 　　Ia tak peduli apapun selain rasa sayang pada suami ini. 　　Yu Jin yang peka segera menangkap kelembutan di matanya: "Ada apa?" 　　Jiang Si menundukkan bulu mata berkata: "Aku mungkin takkan mendapat undangan ke pesta itu." 　　Yu Jin terkekeh. 　　Tawanya yang jernih bak remaja namun berwibawa seperti anggur pilihan itu membuat jantungnya berdesir. 　　"Apa yang lucu?" Jiang Si menyipitkan mata. 　　Yu Jin mengacak rambutnya: "Dasar gadis bodoh, undangan pasti akan kuterima." 　　"Jiang Si mengulurkan tangan untuk melindungi rambutnya, namun malah menutupi tangan pria yang belum sempat ditarik." 　　Dia menahan tangan lelaki itu, sementara matanya tak lepas memandangnya. 　　Tatapan saling beradu, ruangan tiba-tiba sunyi senyap. 　　Setelah sadar, Yu Jin menghela napas panjang. 　　Sebelum menikah, dia tak berani menggoda si gadis ini lagi, nanti malah dirinya yang menderita. 　　Tangannya turun perlahan, menyisir rambutnya yang terurai ke belakang telinga dengan lembut: "Pokoknya hari-hari ini jauhi pikiran kacau, fokuslah merayakan tahun baru. Saat pesta apresiasi bunga plum nanti juga tak perlu melakukan apapun, serahkan padaku." 　　Jiang Si membuka bibir hendak bertanya rencananya, namun menelan kata-kata saat bertemu sorot mata hitam berkilau yang penuh kelembutan. 　　"Kalau begitu aku pergi dulu." Yu Jin mengecup kening Jiang Si, lalu membuka jendela dan melompat keluar. 　　Jiang Si mendekati jendela, menyaksikan bayangan itu berbalik melambai, lalu lenyap dalam kelam malam. 　　"Nona, Tuan Yu sudah pergi?" Ah Man masuk setelah mendengar suara jendela ditutup. 　　Jiang Si berkata dengan wajah kaku: "Pergi tidur." 　　Ekspresi kecewa di wajah dayang kecil ini karena Yu Qi pergi terlalu cepat? 　　Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari nenek penjaga pintu gerbang kedua. 　　Ya ampun, Tuan Kedua diculik siluman! 　　Bukan, Tuan Kedua sedang mengejar seekor siluman. 　　"Ada siluman!!" Teriakan nenek penjaga pintu segera mengundang kerumunan orang berhamburan keluar. 　　Di sudut yang sepi, Jiang Zhan menutupi lubang di bokongnya yang tergigit, wajahnya pucat kemarahan: "Kau tunggu saja. Er Niu, kau tunggu saja!" 　　Er Niu duduk dengan kaki belakang tertekuk, menunggu. 　　Sampai jumpa besok. Kalian bisa memberikan berbagai vote untuk Xiao Jia, si Naskah Cadangan yang imut. 348.BAB 348 Persuasi 　　BAB 348 Persuasi 　　Di sudut gelap, seekor anjing besar setinggi pinggang orang dewasa duduk diam membatu, memandang dengan wajah polos ke arah pemuda yang sedang kalap. 　　Jiang Zhan menghentakkan kaki marah: "Siapa yang suruh kau duduk di sini? Cepat pergi, mau ketahuan orang?" 　　Er Niu berdiri, mengibaskan bulunya, melirik Jiang Zhan dengan pandangan merendahkan sebelum menyelip ke dalam lubang pintu. 　　Jiang Zhan bersandar ke pohon sambil terengah-engah. 　　Sungguh bikin kesal, dasar anjing sialan Er Niu ini! 　　Sekerumunan orang mengejar ke tempat itu. 　　"Tuan Kedua, apakah Anda baik-baik saja?" 　　Jiang Zhan kembali berpose santai, melambaikan tangan: "Tidak apa-apa." 　　Nenek penjaga pintu menggerakkan bola matanya: "Tuan Kedua, tadi hamba melihat bayangan berbulu hitam lewat, jangan-jangan itu siluman rubah?" 　　"Pernah lihat siluman rubah sebesar itu?" Jiang Zhan spontan menjawab. 　　Nenek penjaga pintu serius mengingat-ingat. 　　Benar juga, siluman rubah tidak sebesar itu. 　　"Lalu makhluk apa itu sebenarnya?" 　　Jiang Zhan berdehem, dengan wajah kaku berkata: "Tidak jelas terlihat, juga tidak berhasil dikejar. Sudah, bubar semuanya." 　　Melihat Tuan Kedua berjalan pergi dengan tangan terkepal di belakang, kerumunan orang saling pandang bingung. 　　“Keluarga Yang, kau benar-benar melihat siluman?” 　　Begitu ada yang bertanya, nenek penjaga pintu langsung bersemangat, berbicara penuh ekspresi: “Tentu saja! Awalnya aku duduk di dalam rumah mengupas biji kuaci, tiba-tiba dengar suara gaduh. Ketika kuintip ke luar, ya ampun! Sesosok makhluk besar melesat lewat! Sayangnya gelap sekali, tak bisa melihat jelas bentuknya, hanya terasa berbulu lebat. Menurut kalian, kalau bukan siluman, lalu apa?!” 　　Kerumunan serentak menarik napas. 　　“Tuan Kedua benar-benar pemberani, berani mengejar siluman.” 　　“Pantasan Tuan Kedua bisa jadi anggota Jinwuwei. Ibuku pernah bilang, keberanian seseorang sebanding dengan rezekinya...” 　　“Kalau begitu, masa depan Tuan Kedua pasti cemerlang.” 　　Di balik tembok, Jiang Zhan menggaruk-garuk hidungnya. 　　Pelayan-pelayan ini benar-benar bisa mengarang. Dari membahas siluman bisa melenceng ke ramalan masa depannya. 　　Tapi masa depannya yang cemerlang memang sudah jelas, tak perlu mereka katakan! 　　Jiang Zhan tidak bisa tidur semalaman. Beruntung besoknya adalah hari liburnya. Setelah buru-buru bersuci, ia langsung menuju Cixintang. 　　Adik Keempat pasti akan memberi salam ke Nenek, jadi paling mudah menangkapnya di sana. 　　Pemanas bawah tanah di Cixintang menyala seperti biasa. Ketika Jiang Zhan tiba, Bibi Dou sudah ada di sana, sedang menemani Nyonya Feng mengobrol dengan suara lembut. 　　“Nenek, Bibi.” Jiang Zhan memberi hormat pada keduanya dengan senyum cerah. 　　"Bibi Dou tak sengaja melirik Jiang Zhan lagi, dalam hati berpikir dibandingkan Nona Keempat yang misterius itu, Tuan Kedua justru polos dan jujur, membuat hati nyaman." 　　"Sambil berpikir begitu, ia menundukkan pandangan ke ujung sepatu, tak bisa menahan kekhawatiran pada kakak laki-lakinya yang sedang di luar." 　　"Sudah beberapa hari Kakak pergi, tapi belum juga membuat masalah..." 　　"Tanpa tahu kekhawatiran Bibi Dou, Nyonya Feng tersenyum melihat Jiang Zhan: 'Hari ini tidak bertugas?'" 　　"Sejak Jiang Zhan mendapat tugas resmi, sering pergi lebih pagi dari ayam jago, memberi salam ke Nyonya Feng jadi tidak teratur." 　　"'Belum, makanya datang menjenguk Nenek.'" 　　"Nyonya Feng merasa senang, tertawa: 'Kau memang berbakti.'" 　　"Para majikan dari berbagai kamar mulai berdatangan memberi salam. Begitu Jiang Si masuk, pandangannya langsung bertemu sang kakak, dalam hati menghela napas." 　　"Kakak Kedua ini datang untuk mencari masalah." 　　"Saat meninggalkan Cixintang, Jiang Zhan benar-benar mengikuti langkahnya." 　　"Jiang Si langsung bertanya: 'Kakak Kedua ada perlu?'" 　　"Melihat sekeliling sepi, Jiang Zhan bertanya dengan muka masam: 'Apa yang terjadi tadi malam?'" 　　"Jiang Si mengedipkan mata tak bersalah." 　　"'Bagaimana Er Niu bisa sampai di kamarmu?'" 　　"Jiang Si menutupi mulutnya dengan saputangan, terkejut: 'Itu Er Niu? Kupikir siluman...'" 　　"Jiang Zhan hampir tertawa geli dibuat adiknya, berbisik marah: 'Adik Keempat, kau pikir aku bodoh?'" 　　“Tahu-tahu Er Niu bisa datang ke sini,” jawab Jiang Si dengan kepala tertunduk. 　　Jiang Zhan menarik napas dalam-dalam. 　　Tenang, adikku ini bukan bocah nakal, tak boleh dipukul. 　　Setelah sedikit menenangkan diri, Jiang Zhan menarik Jiang Si ke paviliun tak jauh dari sana. 　　Di musim dingin, angin bertiup kencang menerpa paviliun terbuka itu, pemandangan sekitar terlihat suram. 　　Berdiri di tengah tiupan angin, Jiang Zhan bertanya serius: "Adik Keempat, jujur saja, apa Kakak Yu Qi menggunakan Er Niu untuk mengirim surat melalui Hongyan?" 　　Ah Man di kejauhan memandang langit dengan diam-diam. 　　Tuan Kedua ini benar-benar naif. 　　Jiang Si ragu sejenak lalu mengangguk: "Beberapa kali." 　　Menyembunyikan hal ini dari Ayah dan Kakak bukanlah maksudnya. Di sisi Yu Qi yang sedang berusaha keras, ia pun perlahan harus menunjukkan sikap agar keluarga bisa menerima secara bertahap. 　　Tunggu, maksudnya membuat Kakak Kedua menerima. Kalau Ayah... *batuk* lebih baik diberi tahu setelah semuanya pasti. 　　"Dia...dia bilang apa saja?" teriak Jiang Zhan sambil melompat. 　　Yu Qi bajingan ini, berani-beraninya menyelundupkan surat untuk Adik Keempat, bukan laki-laki terhormat! 　　Jiang Si menunduk, pipinya berangsur memerah. 　　Melihat ekspresi itu, Jiang Zhan langsung panik, marah sambil mondar-mandir di paviliun. 　　Lama kelamaan, hembusan angin dingin dari segala penjuru membuatnya tenang kembali. 　　“Adik Keempat, bujuk rayu pria tidak bisa dipercaya…” Jiang Zhan berpidato panjang lebar, berusaha menyelamatkan gadis yang tersesat. 　　Jiang Si masih menunduk tanpa bicara. 　　Akhirnya Jiang Zhan kehabisan tenaga, menghentakkan kaki: “Adik Keempat, katakanlah apa yang sebenarnya kau pikirkan.” 　　Jiang Si mengangkat pandangan menatap kakak laki-lakinya, mata berkilau: “Kakak Kedua, hatiku tertarik padanya.” 　　“Kau—!” Jiang Zhan hampir terjatuh karena tercekik, memegang pilar paviliun untuk menenangkan diri sebelum menatap adiknya lagi. 　　Keseriusan di mata gadis itu membuatnya tertegun, lalu dada sesak. 　　Bajingan Yu Qi itu akhirnya berhasil menipu adiknya yang polos dan tak tahu apa-apa. 　　Er Niu si komplotan! 　　Nanti akan kuberi pelajaran manusia dan anjing ini! 　　Setelah mengancam, Jiang Zhan kembali kehabisan tenaga. 　　Kakak Yu Qi adalah pangeran, sulit untuk dihajar, apalagi dia juga tak bisa mengalahkannya. 　　Anjing sialan Er Niu terlalu licik, dia juga tak bisa untung. 　　Ah, benar-benar membuatku kesal. 　　Jiang Si memperhatikan kakaknya yang mondar-mandir sambil menahan senyum. 　　Jiang Zhan tiba-tiba berhenti, bertanya serius: “Adik Keempat, kau sungguh-sungguh?” 　　“Masalah seperti ini mana mungkin dijadikan lelucon.” 　　Jiang Zhan meraba sarung pedang di pinggangnya. 　　Meski sedang istirahat, dia sudah terbiasa mengenakan pedang. 　　Kalau kubunuh Kakak Yu Qi, apakah Adik Keempat akan putus asa... 　　“Adik Keempat, kau dan Kakak Yu Qi tak mungkin bersatu, dia pangeran.” 　　“Aku tahu.” 　　“Apakah dia memberitahukan identitasnya padamu?” 　　Jiang Si mengangguk sambil tersenyum: “Ya, menurutku dia cukup jujur dan bisa dipercaya.” 　　Jiang Zhan mengusap wajahnya. 　　Pergi ke neraka dengan kejujuran! Kalau bukan karena Ayah yang memberitahuku, sampai sekarang aku masih dikibuli. 　　“Kakak Kedua, kau tidak suka Kakak Yu Qi?” 　　Jiang Zhan ingin bilang "iya", tapi akhirnya tak bisa berbohong, mendengus: “Omong kosong. Dia pangeran, kau menyukainya, apa mau jadi selir?” 　　Jiang Si tertawa: “Mengapa Kakak khawatir? Kalau dia ingin menikahiku, biarkan dia cari cara. Kalau gagal, kita juga tak rugi.” 　　Jiang Zhan tertegun. 　　Hmm, ucapan Adik Keempat ini agak masuk akal. 　　Masih ragu, ia bertanya lagi: “Kalau gagal, kau takkan nekad mengikutinya?” 　　“Tentu tidak.” 　　Jiang Zhan merenung sebentar, lalu tersenyum. 　　Kalau dipikir-pikir, ini bisa diterima. 　　Tahun Baru segera tiba. Waktu Pesta Apresiasi Bunga Plum akhirnya ditetapkan. 349.BAB 349 Undangan 　　BAB 349 Undangan 　　Pesta Apresiasi Bunga Plum dijadwalkan tanggal 18 bulan pertama, tepat saat bunga plum mekar sempurna. 　　Ibu Suri Xian merenung lama sebelum menyusun daftar undangan, lalu menyerahkannya ke pelayan istana untuk dikirim ke Departemen Urusan Dalam Istana. 　　Pesta ini diselenggarakan bersama oleh Ibu Suri Xian dan Zhuangfei. Keduanya sudah lama tak akur, tentu tak mungkin berdiskusi, melainkan masing-masing membuat daftar lalu menyerahkan ke kasim yang bertugas mengurus acara. 　　Setelah mengirimkan daftar nama, Ibu Suri Xian kembali merasa gelisah. Kuku palsu dari kulit penyu bertatahkan mutiara menyentuh guci catur, ia mengambil sebuah bidak hitam dan memainkannya sambil bergumam, "Entah siapa yang diundang Zhuangfei." 　　Daftar undangan yang disusunnya hanya memuat putri bangsawan dari keluarga menengah - tidak terlalu menonjol, tidak terlalu unggul, baik yang berasal dari nama keluarga yang ketat maupun gadis-gadis yang dikenal lemah lembut dan penurut. Untuk menjaga gengsi, beberapa putri dari keluarga terpandang juga diundang, namun sebenarnya bukan kandidat serius. 　　Daftar seperti ini kemungkinan besar memiliki sedikit kesamaan dengan daftar milik Zhuangfei. 　　Ibu Suri Xian sangat memperhatikan gengsi. Di satu sisi, ia tidak ingin mencari menantu dari keluarga ningrat untuk anak bungsunya yang hubungannya renggang. Di sisi lain, ia tak ingin Zhuangfei mengetahui maksudnya ini. 　　Dayang kepercayaannya yang sangat memahami pikiran sang ibu suri menghibur, "Pilihan Nyonya pasti yang paling tepat." 　　Ibu Suri Xian melemparkan bidak catur kembali ke guci, lalu berjalan ke jendela sambil menghela napas, "Sudahlah, biarkan saja seperti ini." 　　Ruangan terasa pengap. Sebagian jendela dibuka untuk sirkulasi udara. Dari luar jendela hanya terlihat secuil langit dan awan bergulung yang terus berubah bentuk. 　　Awan yang tak terkendali itu bagaikan anak lelaki bungsunya yang berwatak labil. 　　Beberapa kali dalam periode ini, Ibu Suri Xian ingin memanggil Yu Jin ke istana untuk mengetes maksudnya, namun selalu ditolak dengan berbagai alasan. 　　Setiap teringat hal ini, Ibu Suri Xian merasa sesak dada. 　　"Tidak peduli apakah ibu dan anak ini pernah hidup bersama atau tidak, setidaknya ini adalah anak yang dilahirkannya setelah sepuluh bulan mengandung. Tapi anak ini malah tidak peduli sama sekali pada ibu kandungnya sendiri!" 　　Kadang-kadang, Ibu Suri Xian juga merasa gelisah: Apakah Lao Qi yang begitu dingin padanya benar-benar akan membantu Lao Si sesuai keinginannya di kemudian hari? 　　Pikiran ini membuatnya sangat serius menghadapi Pesta Menikmati Bunga Mei sekaligus merasa bimbang bagai mengambang di udara, selalu takut terjatuh dan malah celaka. 　　Derap kaki tergesa datang, meski ringan tapi cukup membuat Ibu Suri Xian tersentak. 　　Pelayan istana yang sukses di istana harus bisa tenang. Mendadak tergesa-gesa seperti ini pasti ada urusan penting? 　　Tak lama kemudian seorang dayang berbaju hijau masuk: "Nyonya, Pangeran Yan datang memberi salam pada Nyonya." 　　Ibu Suri Xian berbalik cepat: "Pangeran Yan datang?" 　　Menyadari ketidaksopanannya, ia mengangkat tangan merapikan rambut sisi pelipis. Permata di sarung kukunya berkilauan menyilaukan mata. 　　"Benar, Yang Mulia sedang menunggu di luar. Apakah Nyonya bersedia menerima—" 　　"Persilakan Pangeran Yan masuk." Ibu Suri Xian langsung memotong ucapan dayang itu. Langkah teratainya berjalan menuju kursi malas lalu duduk anggun menanti. 　　Saat Yu Jin masuk, terlihat seorang wanita berbusana istana duduk tegak di kursi malas, cantik dan anggun tapi agak tidak selaras dengan kesan santai yang seharusnya ada di kursi malas. 　　Ibu Selir-nya ini benar-benar menarik. 　　“Yu Jin memicingkan mata, memastikan tidak salah mengenali orang, baru kemudian memberi salam: “Bertemu Ibu Selir.” 　　Ibu Suri Xian menatap anak bungsu yang sedang memberi salam padanya, semakin dilihat semakin tidak enak dipandang. 　　Lihat kemalasannya ini, benar-benar tidak punya tata krama sedikitpun, mana bisa menyamai sepersejuta Lao Si. 　　Ibu Suri Xian menyimpan ketidakpuasan dalam hati, wajahnya semakin dibuat angkuh: “Mendekatlah, biar Ibu Selir melihatmu.” 　　Yu Jin melangkah beberapa kali mendekat, sudah bisa melihat garis-garis halus di sudut mata Ibu Suri Xian. 　　Waktu adil, wanita secantik apapun pasti meninggalkan jejak. 　　Sudut bibir Yu Jin sedikit terangkat. 　　Sejujurnya, di usia 19 tahunnya, ini pertama kali sejak ingatannya terbentuk ia berada sedekat ini dengan ibu kandungnya. 　　Benar-benar tidak nyaman. 　　Ibu Suri Xian penasaran dengan maksud kedatangan Yu Jin. 　　Sejak anak ini kembali ke ibu kota, sudah berkali-kali dipanggil tapi tak pernah menurut. Hari ini Lao Qi datang pasti bukan sekadar memberi salam. 　　Ibu Suri Xian tidak langsung bertanya, melainkan mengamati anak bungsunya dengan saksama. 　　Perasaannya asing, tapi raut wajah dan sikapnya sangat familiar. 　　Secara fisik, Lao Qi lebih mirip dengannya dibanding Lao Si. 　　Bagaimanapun ini darah dagingnya sendiri yang melahirkannya. 　　Ibu Suri Xian tiba-tiba merasa terharu, ekspresinya melunak: “Hari ini datang menemui Ibu Selir, ada urusan?” 　　“Anak lelaki datang untuk memberi salam pada Ibu Selir.” 　　Ibu Suri Xian tidak percaya, tersenyum palsu: “Kau baik hati. Ada hal lain?” 　　Wajah Yu Jin sedikit memerah, tampak bimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, "Konon waktu Pesta Apresiasi Bunga Plum sudah ditetapkan." 　　Ibu Suri Xian menatap Yu Jin dengan seksama, lalu tersenyum, "Benar, dijadwalkan pada tanggal delapan belas. Apakah Jin'er khawatir ibunda tidak bisa mengatur dengan baik?" 　　Panggilan "Jin'er" membuat Yu Jin hampir menggeliat tak nyaman, tapi ekspresinya tetap terkendali. Dengan wajah merah ia berkata, "Putra tentu tidak meragukan hal ini. Hanya saja, karena putra lama di Perbatasan Selatan, sama sekali tidak mengenal putri bangsawan di ibu kota, namun sangat merindukan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Karena itu, pilihan istri yang cocok sepenuhnya bergantung pada ibunda." 　　Ibu Suri Xian terus mengamati Yu Jin. Melihat wajahnya semakin merah dan gerak-geriknya mulai gelisah, bibirnya merekah dalam senyuman. 　　Sebelumnya mendengar kabar Lao Qi berkelahi dengan beberapa pangeran, ia mengira anak ini berwatak keras. Ternyata meskipun tumbuh liar di luar, masih seperti remaja polos yang begitu antusias menanti calon istri. 　　Dalam hal ini, Lao Qi justru lebih naif dibanding pangeran-pangeran yang dibesarkan di istana. 　　Ibu Suri Xian tidak menganggap ini sebagai kelebihan. Namun kepolosan dalam urusan hati berarti mudah dipengaruhi oleh istri yang disukainya. Dengan begitu, selama ia bisa mengendalikan menantu perempuan, otomatis anak lelakinya pun akan tunduk. 　　Memandangi sorot mata penuh harap anaknya, Ibu Suri Xian tersenyum manis: "Tenang saja, ibunda pasti akan memilihkan istri yang paling cocok untukmu." 　　"Baiklah, di Pesta Plum nanti, siapapun yang Lao Qi pilih, aku akan setujui. Hubungan ibu-anak yang renggang ini bisa membaik lewat kesempatan ini. Dengan begitu, di masa depan Lao Qi akan lebih tulus membantu Lao Si." 　　"Kalau begitu anak mohon diri." 　　Setelah meninggalkan istana Ibu Suri Xian, ekspresi Yu Jin segera kembali dingin, seakan pemuda yang tersipu di depan ibunya tak pernah ada. 　　Memang tak pernah ada. 　　Yu Jin tersenyum sinis, melangkah melewati lapisan tembok istana dan belok di sebuah tikungan. 　　Seorang pelayan istana berbaju abu-abu melintas di samping Yu Jin, perlahan memperlambat langkahnya. 　　"Sudah selesai?" tanya Yu Jin lembut sambil menatap lurus ke depan. 　　Pelayan itu mengangguk halus: "Sudah." 　　Bibir Yu Jin melengkung, lalu ia bergegas menuju luar istana. 　　Kepala Pelayan Han dari Kementerian Rumah Tangga Kekaisaran yang bertanggung jawab atas acara ini sedang memerintahkan beberapa pelayan untuk menyalin daftar undangan sesuai nama dari kedua Nyonya. Salah satu pelayan melihat daftar itu, lalu menuliskan nama Nona Keempat Dongping Bo Residence. 　　Kabar tentang Pesta Plum mulai menyebar. Dua hari sebelum tanggal 18 bulan pertama, putri-putri bangsawan yang menerima undangan hampir tak percaya akan kebahagiaannya, sementara yang tidak mendapatkannya menyesal dalam-dalam. 　　Posisi Permaisuri! Kesempatan untuk bersaing pun tak ada, hilang begitu saja! 　　Di Dongping Bo Residence, Nyonya Feng berulang kali memandangi undangan berukir yang dibawa mandor, hatinya berdebar-debar. 350. BAB 350 Menghasut 　　BAB 350 Menghasut 　　Undangan berukir berlapis emas yang ringan dan halus, terasa seberat seribu kati di tangan Nyonya Feng. 　　Beliau memeriksanya berulang kali, memastikan undangan itu memang ditujukan untuk Nona Keempat Dongping Bo Residence, lalu meneguk habis secangkir teh dengan penuh semangat. "Panggil Nona Keempat ke sini!" perintahnya pada A Fu. 　　A Fu berlari kecil ke Haitangju untuk menjemput. Sepanjang perjalanan ke Cixintang, postur tubuhnya semakin membungkuk, tatapannya pada Jiang Si dipenuhi kebingungan dan rasa hormat. 　　Bagaimana mungkin Nona Keempat yang pendiam ini mendapat undangan dari istana? 　　Benar-benar luar biasa! 　　"Ibu Suri, Nona Keempat sudah datang." 　　Nyonya Feng menekan undangan dengan telapak tangan. "Suruh dia masuk." 　　Dayang penjaga pintu membuka tirai kapas. Seorang gadis berjubah merah menyala melangkah masuk dengan ringan. 　　Melihat warna merah itu, hati Nyonya Feng langsung merasa lega. 　　Si'er suka memakai warna mencolok, tak seperti gadis-gadis muda lain yang memaksa pakai warna pastel demi terkesan anggun. Padahal keanggunan tak ada hubungannya dengan warna baju, semuanya tergantung wajah! 　　Dengan wajah secantik Si'er, wajar saja dia mendapat berkah. 　　Jiang Si melepaskan jubah merahnya dan menyerahkannya ke dayang, lalu memberi hormat pada Nyonya Feng. "Nenek." 　　Nyonya Feng mengulurkan tangan dengan sikap ramah yang jarang terlihat. "Duduklah di samping nenek." 　　Jiang Si mendekat dengan wajah tanpa ekspresi. 　　Nyonya Feng mengamati cucu perempuannya dengan saksama, sudut matanya berkerut oleh senyuman: "Hari ini istana mengirimimu sebuah undangan, lihatlah." 　　Jiang Si melihat Nyonya Feng menggeser selembar undangan mewah ke arahnya, lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. 　　Setelah membaca dengan menunduk, jemari Jiang Si tak sadar mengusik pola ukiran pada undangan itu, bayangan Yu Jin yang tersenyum muncul di benaknya. 　　Ternyata dia benar-benar punya cara membuatku menerima undangan ini. 　　Kini aku telah mendapat undangan Pesta Bunga Plum, dua hari lagi harus masuk istana menghadiri acara, lalu bagaimana caranya dia membuat dirinya menjadi kandidat tunggal Permaisuri Yan? 　　Jiang Si diam-diam merenungkan hal ini, senyum tipis tak terelakkan mengembang di bibirnya. 　　Bagaimanapun juga, dia percaya Yu Jin bisa melakukannya. 　　Kepercayaan ini mungkin berasal dari kehidupan sebelumnya. 　　Saat itu identitasnya sebagai Imam Suci Wu Miao, pernikahan dengan pangeran Dinasti Zhou menyangkut hubungan dua negara, sama sekali bukan urusan pribadi yang bisa diatur, namun Yu Qi berhasil membawa dekrit pernikahan kerajaan. 　　Nyonya Feng menatap senyum tipis di bibir Jiang Si, matanya berkedip samar: "Si'er, tahukah kamu mengapa bisa menerima undangan ini?" 　　Jiang Si tersenyum: "Nenek bercanda, bagaimana mungkin cucu tahu rencana orang terhormat istana mengadakan Pesta Bunga Plum? Sebenarnya cucu juga heran, mengapa undangan pesta seperti ini bisa sampai ke tangan cucu." 　　Nyonya Feng tak percaya, pandangannya terus menerawang wajah Jiang Si, namun yang terlihat tetap ekspresi tenang nan anggun itu. 　　“Kalau memang tidak tahu sama sekali, mengapa kau tidak terlihat terkejut?” 　　Jiang Si memandang Nyonya Feng dengan heran: "Bukankah Nenek pernah mengajarkan kami, seorang putri bangsawan sejati harus tetap tenang bagai Gunung Tai runtuh di depan mata?" 　　Pertanyaan balik itu membuat Nyonya Feng agak canggung, ingin marah tapi tak punya alasan. 　　Ya, undangan ini saja sudah cukup membuatnya tak punya alasan untuk marah. 　　Ini adalah undangan seleksi permaisuri pangeran kerajaan! 　　Belum lagi soal terpilih atau tidak, fakta bahwa Si'er mendapat undangan semacam ini sudah cukup membuatnya bangga. Nanti saat menjodohkannya pun bisa lebih leluasa. 　　Apa? Putri keempatmu pernah memutuskan pertunangan? Bahkan tersiar kabar berperilaku nekat? 　　Lalu kenapa? Jika dia lolos seleksi ketat para orang terhormat istana sebagai kandidat permaisuri, itu membuktikan Nona Keempat Dongping Bo Residence tak bercela. Tak ada yang berani mencela hal ini secara terbuka. 　　Begitu dipikirkan Nyonya Feng, rasanya seperti melepas batu besar dari hatinya. 　　Dua putri keluarga Bo yang sudah menikah berturut-turut bermasalah, sungguh menyebalkan. 　　Tentu saja, meski mendapat undangan istana, Nyonya Feng tak mengira Jiang Si bisa lolos seleksi. 　　Menjadi permaisuri pangeran? Hal itu bahkan tak berani dia bayangkan. 　　“Setelah pulang persiapkan semuanya dengan baik, jika ada yang kurang langsung bilang ke mandor. Nenek di sini masih punya dua set perhiasan kepala yang dulu dipakai saat muda, nanti akan kubersihkan dan menyuruh A Fu mengantarkannya padamu…” Nyonya Feng berbicara panjang lebar sambil tersenyum menggenggam tangan Jiang Si dan mengusapnya perlahan, “Jangan sampai membuat Keluarga Bo kehilangan muka.” 　　“Cucu perempuan mengerti.” 　　Melihat sikap tenang Jiang Si, Nyonya Feng ingin menasihati lagi, tapi akhirnya menelan kata-katanya dan memberi isyarat agar Jiang Si boleh pergi. 　　Berita bahwa Nona Keempat menerima undangan pesta apresiasi bunga plum dengan cepat menyebar bagai angin ke seluruh Keluarga Bo. 　　Sejak kedatangan Bibi Dou, Nyonya Xiao Istri Kedua yang sebelumnya terlihat sakit-sakitan kini berubah total, semakin serius mengurus rumah tangga. Setiap urusan besar kecil ditangani tanpa cela. 　　Hampir seketika itu juga dia mendengar kabar tersebut, langsung memegang erat cangkir teh panas sambil terdiam lama. 　　Nenek Xiao sepertinya mulai pulih dari kesedihan kehilangan anaknya, kembali tampil cekatan. Beberapa hari ini dia bekerja keras membantu Nyonya Xiao sehingga kembali dipercaya. 　　Melihat keadaan Nyonya Xiao, dia berulang kali menenangkan dengan lembut. 　　Barulah Nyonya Xiao mulai mereda, lalu berpesan: “Musim semi tiba, seragam musim semi untuk seluruh rumah harus disiapkan lebih awal. Juga kelambu tempat tidur dan tirai, tahun lalu persediaan sudah habis digunakan, harus beli yang baru. Oh ya, ke tempat Qian'er kau harus datang sendiri, jangan sampai para pelayan itu memandang rendah dan memperlakukannya dengan tidak sopan.” 　　“Istri utama tenang saja, sebentar lagi hamba yang tua akan pergi melihat.” 　　Setelah meninggalkan Xiao Shi, Nenek Xiao membelai lembut bunga sutra polos di pelipisnya, lalu melangkah menuju tempat tinggal Jiang Qian. 　　Sejak kembali ke Keluarga Bo, Jiang Qian jarang keluar dari pintu halaman. 　　Bukan karena tidak ingin, tapi tidak bisa. 　　Mengingat pernyataan Nyonya Feng sebelumnya, sebagai perempuan yang kembali ke rumah orangtua setelah Pemutusan hubungan secara moral, tentu harus bersikap sopan setidaknya hingga melewati masa-masa ini. 　　Jiang Qian sempat berharap setelah kakak laki-lakinya lulus ujian negara bisa membangkitkan martabat keluarga, tapi tak menyangka urusan yang hampir pasti itu justru bermasalah. Benar-benar tahun yang penuh kesialan. 　　Mendengar kedatangan Nenek Xiao, Jiang Qian mengumpulkan semangat menemui tamu, menahan kesabarannya mendengar obrolan sepele sang nenek. 　　Kapan dirinya sampai terpuruk seperti ini, bahkan harus sabar mendengar omongan seorang pengurus rumah tangga tua dari ibu. 　　Hati Jiang Qian terasa pedih. 　　Nenek Xiao diam-diam menyunggingkan sudut bibir, seolah tak sengaja berkata: "Nona Keempat benar-benar beruntung, bahkan menerima undangan Pesta Bunga istana." 　　"Pesta Bunga istana?" 　　"Iya, katanya untuk memilih permaisuri bagi pangeran yang belum menikah." 　　Mata Jiang Qian tiba-tiba menyempit, tangannya mencengkram saputangan: "Mengapa adik keempat yang dapat? Bagaimana dengan saudari-saudari lainnya?" 　　Nenek Xiao tersenyum: "Hanya Nona Keempat yang mendapatkannya. Di kediamanan beredar kabar, mungkin benar-benar akan menjadi Permaisuri--" 　　"Tidak mungkin!" 　　Nenek Xiao berhenti bicara. 　　"Jiang Qian mengatupkan bibirnya perlahan untuk menenangkan diri, lalu tersenyum paksa: 'Kedepannya, Nenek Xiao sering-seringlah datang ke sini, ceritakan padaku hal-hal yang terjadi di luar.'" 　　"'Er Guniang tenang saja, Nyonya sudah memerintahkan hamba yang tua untuk sering datang.'" 　　"Setelah Nenek Xiao pergi, wajah Jiang Qian tiba-tiba menjadi muram, bergumam menghibur diri: 'Jiang Si itu siapa? Putri seorang Bangsawan yang bahkan gelarnya tidak bisa diwariskan bisa menjadi Permaisuri? Mimpi!'" 351.BAB 351: Menghadiri Jamuan 　　BAB 351 Menghadiri Jamuan 　　Pada hari masuk istana untuk menghadiri jamuan, saat hari belum subuh sudah mulai turun butiran salju kecil, seperti salju tapi bukan salju, jatuh ke tanah langsung mencair jadi air beku. 　　Langit dipenuhi awan berlapis-lapis, memancarkan warna kebiruan. 　　Nyonya Feng sudah bangun pagi-pagi, menyuruh A Fu ke Haitangju untuk melihat persiapan Jiang Si. 　　Setelah menunggu sekitar Dua shichen, Jiang Si datang bersama A Fu. 　　Nyonya Feng mengamat-amatinya dari atas ke bawah, pertama melihat sanggul rambut, lalu pakaian, bahkan tidak lupa menyapu pandangan pada pola hiasan sepatu, baru tersenyum bertanya: "Tadi malam tidur nyenyak?" 　　Jiang Si mengangguk halus: "Nyenyak." 　　"Di istana harus patuh tata krama, yang tidak boleh dilihat jangan dilihat, yang tidak boleh diucapkan jangan diucapkan, ikuti saja cara orang lain. Satu hal yang harus diingat, jangan sampai membuat masalah..." Nyonya Feng terus mengingatkan. 　　Setelah kegembiraan menerima undangan, yang tersisa adalah kekhawatiran. 　　Nyonya Feng baru sadar kemudian, cucu perempuan ini bukanlah sosok yang penurut, jika di istana tiba-tiba emosinya meledak dan menyinggung orang terhormat, itu akan sangat berbahaya." 　　“Apakah sudah ingat?” 　　Jiang Si menundukkan pandangan dan mengangguk: "Hm." 　　Nyonya Feng menahan napas di tenggorokan. 　　Air liurnya hampir habis, si gadis ini tak bisakah bicara lebih banyak! 　　"Baiklah, pergilah lebih awal, ingat bawa tungku tangan." 　　"Cucu perempuan mohon pamit." 　　Jiang Si memberi hormat kepada Nyonya Feng, berbalik keluar. Saat sampai di gerbang Cixintang, bertemu Bibi Dou. 　　Kepada Bibi Dou, Jiang Si tersenyum dan menyapa duluan. 　　Bibi Dou membalas salam, masuk ke Cixintang untuk memberi salam pada Nyonya Feng. 　　Di hadapan Bibi Dou, Nyonya Feng bersikap lebih santai, bersandar di bantal sambil bertanya: "Bertemu Nona Keempat?" 　　"Kebetulan bertemu di pintu gerbang." 　　"Ah Wan, bagaimana pendapatmu tentang Nona Keempat?" tiba-tiba Nyonya Feng bertanya. 　　Nama asli Bibi Dou adalah Shuwan. 　　"Nona Keempat unggul dalam segala hal, sungguh langka." Dou Shuwan memilih kata dengan hati-hati, sambil teringat peringatan kakaknya. 　　Nyonya Feng tersenyum penuh arti: "Kau ini bijaksana. Nona Keempat masih bersikap kekanakan. Kuharap kalian bisa rukun di kemudian hari." 　　Dou Shuwan kaget. 　　Apa maksud kata-kata bibiku ini? 　　Meski tak banyak bicara, Dou Shuwan paham situasi. Teringat beberapa kali saat menemani Nyonya Feng, sang Nyonya memanggil Jiang Ancheng. Tiba-tiba ia menangkap maksud Nyonya. 　　Jangan-jangan bibiku ingin aku dengan Kakak sepupu— 　　Begitu pikiran ini muncul, gelombang besar bergolak di hati Dou Shuwan. 　　Kakak sepupu adalah orang baik, tapi dia tak ingin menjadi istri kedua. Yang lebih penting, dia tak melihat sedikitpun perhatian khusus di mata kakak sepupu. 　　Cara kakak sepupu memandangnya, bahkan cara dia melihat wanita mana pun, tak berbeda dengan caranya memandangi pria. 　　Meski kehilangan ibu dan keluarganya merosot, dia tak ingin suami yang menemaninya sampai tua terus memandanginya dengan tatapan seperti itu. 　　Hidup seperti ini, meski kaya raya selangit, apa gunanya? 　　Memikirkan ini, Dou Shuwan tersenyum manis: "Saya orang yang lebih tua dari Nona Keempat, tentu akan hidup rukun dengannya. Bagaimana mungkin seorang yang lebih tua bertingkah sebaliknya?" 　　Dia tak berani menolak secara terang-terangan. Jika bibi langsung membuka kartu, jalan mundur akan tertutup. 　　Dou Shuwan sangat sadar, betapapun dia tak rela, nasibnya saat ini berada di genggaman bibi. Banyak hal tak bisa dia tentukan sendiri. 　　Saat ini, tiba-tiba dia merasa iri pada Jiang Si. 　　Sejak datang ke Keluarga Bo, dia mendengar banyak cerita tentang Nona Keempat. Dari semuanya, yang paling membuatnya iri adalah ayah dan kakak laki-laki yang sangat menyayangi Nona Keempat. 　　Tak seperti dirinya. Kakak laki-lakinya tak bisa diandalkan, sementara ayahnya di Jinsha yang sudah menikah lagi dengan ibu tiri, begitu antusias mengirimnya ke ibu kota begitu bibi mengirim utusan. 　　Dou Shuwan sangat paham, keluarga di Jinsha itu tak akan pernah bisa dia kembali lagi seumur hidup. 　　"Sementara itu, Jiang Si yang sangat diiri oleh Dou Shuyan sedang menuju istana dengan kereta kuda." 　　Musim semi telah tiba, namun udara masih menggigit. Roda kereta berderit membosankan di atas jalan beku. 　　Ah Man menyibak tirai kereta dan mengintip keluar. 　　"Nona, di luar ada banyak kereta kuda." 　　"Banyak orang datang ke istana untuk Pesta Apresiasi Bunga Mei. Wajar jika kereta kudanya banyak." 　　Melihat Jiang Si bersandar di dinding kereta sambil memejamkan mata, Ah Man tak tahan bertanya, "Nona, tidak penasaran seperti apa istana itu? Katanya ubinnya terbuat dari emas. Sayang hamba tidak bisa menemani Nona ke taman kekaisaran, hanya bisa menunggu di paviliun dalam kota..." 　　Jiang Si mendengar dayang kecilnya berkicau dengan riang, hatinya pun gembira. 　　"Adik Keempat—!" Suara penuh semangat seorang pemuda terdengar. 　　Ah Man segera mendorong Jiang Si, "Nona, itu Tuan Kedua." 　　Jiang Si membuka mata dan menjulurkan kepala keluar. 　　Jiang Zhan berlari mendekat dengan seragam Jinwuwei yang membuatnya tampak gagah. 　　"Adik Keempat, gugup tidak?" tanyanya sambil menggosok-gosok tangan yang merah karena dingin. 　　Jiang Si menyodorkan pemanas tangan ke Jiang Zhan, "Tidak gugup. Kakak Kedua cepat kembali bertugas. Kalau dilihat orang nanti tidak baik." 　　Jiang Zhan memandangi pemanas tangan kecil di tangannya dengan ekspresi aneh, "Saya ini pria dewasa membawa benda seperti ini. Kalau dilihat orang pasti ditertawakan." 　　Ia menyodorkan pemanas tangan kembali, lalu mengeluarkan bungkusan kertas dari dalam bajunya: "Permen mawar. Katanya makan manis-manis bawa hoki." 　　Jiang Si menerima permen itu sambil tersenyum manis: "Terima kasih, Kakak Kedua. Pasti aku akan beruntung." 　　Ia menutup gorden kereta kuda yang segera melanjutkan perjalanan. 　　Jiang Zhan masih menjulurkan lehernya memandang. 　　"Saudara Jiang, itu saudari perempuanmu?" Seorang rekan sejabat menepuk bahunya. 　　Jiang Zhan memandang rekan sejawatnya: "Itu adikku." 　　"Hehe," pengawal muda itu tertawa kecil. "Bagaimana kalau nanti saya minta orangtua datang ke kediamanmu untuk melamar?" 　　"Pergi sana!" Jiang Zhan melototi rekannya dengan kesal. 　　"Ada apa? Jangan-jangan adikmu bisa jadi permaisuri pangeran?" Pengawal muda itu mencibir. 　　Kalau bukan karena pandangan sekilas itu yang membuatnya terpesona pada kecantikannya, mana mungkin dia tertarik. Lagipula keluarga Dongping Bo bukan keluarga bangsawan tinggi yang layak dijodohkan. 　　Jiang Zhan berjalan kembali dengan wajah masam: "Pokoknya jangan macam-macam dengan adikku!" 　　Semakin lama semakin terasa betapa remaja-remaja tak berguna yang hanya mengandalkan wajah ini tak ada apa-apanya dibanding Kakak Yu Qi. Kini dia mulai berharap Adik Keempat dan Kakak Yu Qi bisa bersatu sebagai kekasih. 　　Ah Man ditahan di gerbang kota dalam, sementara Jiang Si dipandu pelayan istana menuju Kebun Plum. 　　Kedatangannya agak terlambat. Saat tiba di Kebun Plum, sudah banyak putri bangsawan berkumpul di sana. 　　Kemunculan Jiang Si membuat para putri bangsawan terkejut, mereka berbisik-bisik dalam kelompok kecil. 　　"Putri dengan jubah hijau muda yang baru datang itu dari keluarga mana? Kenapa belum pernah kulihat sebelumnya?" Tampaknya kecantikan Jiang Si memicu kecemasan di antara banyak putri bangsawan. 　　"Ah, itu Nona Keempat dari Keluarga Bo Dongping. Kami pernah bertemu di pesta bunga Keluarga Bo Yongchang awal tahun lalu." 　　"Keluarga Bo Dongping?" Mendengar asal-usul ini, banyak putri bangsawan menunjukkan pandangan merendahkan. 　　Belum lagi status Keluarga Bo Dongping di antara bangsawan ibu kota, akhir-akhir ini keluarga ini justru sering menjadi sorotan karena hal-hal memalukan. 　　Bagaimana mungkin putri dari keluarga seperti itu bisa datang ke pesta bunga semacam ini? 　　"Aku heran apakah panitia sudah memeriksa undangan dengan benar. Kok bisa binatang seperti kucing atau anjing pun bisa menyusup masuk." Suara seorang gadis terdengar keras, menghentikan segala bisikan. 352.BAB 352 Kesulitan yang Disengaja 　　BAB 352 Kesulitan yang Disengaja 　　Kerumunan menoleh ke arah sumber suara. 　　Yang berbicara adalah seorang gadis bermata almond berbaju ungu. Pandangannya tertuju pada Jiang Si, dengan senyum sinis yang tak ditutupi. 　　Berbeda dengan para gadis lain, Jiang Si malah menunduk mencari tempat duduk yang sesuai. 　　Melihat Jiang Si mengabaikannya, gadis ungu itu mengerutkan alis dan meninggikan suara: "Kau yang kubicarakan! Apa kau tuli?" 　　Barulah Jiang Si mengangkat wajah, memandangnya dengan tenang. 　　Gadis ini juga dikenalnya. Dia adalah putri Keluarga Bo Taiping, bermarga Chen dengan nama kecil Huifu. 　　Di kehidupan sebelumnya, saat menjadi Permaisuri Yan, aku pernah bertemu dengan Nona Chen dari Keluarga Bo Taiping ini. 　　Saat itu kami tidak memiliki hubungan dekat, mungkin dia tidak menyukaiku tapi tidak pernah menunjukkan. 　　Tak disangka hari ini permusuhannya begitu terang-terangan. 　　Jiang Si segera memahami benang merahnya. 　　Ibu Chen Huifu adalah Puteri Ningluo. Kakak kandungnya bersama Yang Shengcai dari keluarga Menteri Ritus, Cui Yi dari Kediaman Jenderal, dan putra Kediaman Wakil Menteri Ritus adalah teman buruk yang tumbuh bersama sejak kecil. Keempat inilah yang menjebak kakak keduanya di Sungai Jinshui. 　　Yang Shengcai tewas tenggelam, Cui Yi dan dua lainnya juga celaka. Sudah jelas keempat keluarga ini menyimpan dendam pada kakak kedua bahkan menimpakan ke Dongping Bo Residence. 　　Permusuhan Chen Huifu yang meluap ini mungkin berasal dari sini. 　　Melihat tatapan Jiang Si, Chen Huifu semakin sarkastis: "Huh, kalau bukan tuli, tapi pura-pura tak dengar perkataan orang, jelas-jelas tidak berpendidikan." 　　Jiang Si duduk, mengeluarkan saputangan untuk membersihkan tangan, lalu dengan santai memilih sebuah kurma dari piring buah. 　　Sikapnya yang mengabaikan Chen Huifu membuat para gadis lain saling pandang penuh antisipasi. 　　Chen Huifu murka melihat sikap Jiang Si yang angkuh, seolah mendengar cemoohan para gadis. 　　Ia menghampiri Jiang Si, menepuk meja panjang: "Rupanya benar-benar tuli, sampai tak tahu tata krama!" 　　“Jiang Si menggerakkan alisnya, melemparkan kurma ke atas meja, lalu mengangkat pandangan sambil tersenyum pada Chen Huifu.” 　　“Sebenarnya pertengkaran antar gadis muda tidak menarik, tapi jika terus-menerus mendesak, maka tak perlu ditahan lagi.” 　　“Dia tak pernah bisa berpura-pura anggun dan membiarkan orang lain yang maju.” 　　“Batuk-batuk, tentu saja, tak ada yang membelanya.” 　　“Mengingat hal ini, pergaulannya agak buruk.” 　　“Apa yang kau tertawakan?” Chen Huifu bertanya dengan sikap superior pada Jiang Si. 　　“Tapi dalam hal aura, gadis yang duduk itu jelas mengalahkannya.” 　　“Aku tertawa karena ternyata tata krama dan pendidikan adalah seperti Nona Chen.” 　　“Chen Huifu terkejut: ”Kau mengenalku?”” 　　“Jiang Si tersenyum: ”Nona Chen sudah menuding hidungku, masak aku tak boleh mengenal?”” 　　“Tawa ringan terdengar sambung-menyambung.” 　　“Chen Huifu sangat malu, marah: ”Kalau kau mengenalku, kenapa tadi pura-pura bisu?”” 　　“Jiang Si menghela napas, suaranya lembut tapi jelas: ”Aku biasanya hanya merespon yang bicara layak manusia. Yang lain, tergantung situasi.”” 　　“Kau!” Chen Huifu tak menyangka gadis dari latar belakang seperti Jiang Si berani berkata kasar, langsung naik pitam sambil mengulurkan tangan, ”Serahkan!”” 　　“Jiang Si menatapnya.” 　　“Jangan berpura-pura bodoh, saya ingin memeriksa undanganmu. Sekarang saya curiga kau sama sekali tidak menerima undangan Pesta Apresiasi Bunga Mei, hanya menyusup masuk. Heh, mungkin mengandalkan kecantikan sedikit lalu mengira bisa mendapat perhatian orang terhormat? Kuberi tahumu, itu khayalan belaka!” 　　Jiang Si mengerutkan alis lalu bertanya dengan serius: “Jadi maksudmu, kau cemburu karena saya lebih cantik?” 　　Tertusuk separuh kebenaran, wajah Chen Huifu semakin masam, menggertak: “Keluarkan! Kalau tidak, saya akan panggil pelayan istana untuk mengusirmu!” 　　Gadis berbaju polos yang awalnya duduk bersebelahan dengan Chen Huifu mendekat, berbisik lembut: “Huifu, sudahlah.” 　　Jiang Si dengan tenang mengamati gadis yang datang merayu ini. 　　Nona ini juga dikenalnya, adik kandung Yang Shengcai bernama Yang Sulian. 　　Yang Sulian terkenal sebagai gadis kalem dan beretika di lingkaran sosial elite, sama sekali tidak kesulitan mendapat jodoh. Kehadirannya di Pesta Apresiasi Bunga Mei hari ini hanyalah formalitas belaka. 　　Kakak perempuannya adalah Permaisuri Putra Mahkota yang sedang menjabat, mustahil ia menikah dengan pangeran. 　　“Sulian, kau tak perlu membujukku. Hari ini saya harus memastikan apakah undangannya asli!” 　　Suara manis terdengar: “Mengapa Nona Chen harus sekeras ini?” 　　Chen Huifu menoleh tajam ke arah suara, bertatapan dengan Nona Ji Fanghua dari Keluarga An Guogong. 　　Jiang Si agak terkejut. 　　Baru saja masih merenungkan betapa buruknya pergaulannya, tak disangka ada yang membelanya, dan orang itu ternyata Ji Fanghua. 　　Setelah Pembatalan Pertunangan dengan Ji Chongyi, keterlibatannya dengan orang dari Keluarga An Guogong tentu terasa canggung di mata orang luar. 　　Yang mengejutkannya, Ji Fanghua justru mengabaikan kecanggungan ini dan bersuara di forum seperti ini. 　　Chen Huifu menatap Ji Fanghua beberapa saat, tiba-tiba tertawa: "Nona Ji, bukankah keluargamu sudah membatalkan pertunangan dengan Dongping Bo Residence? Mengapa masih begitu akrab dengan Jiang Si? Ah, aku tahu, mungkin masih ingin menjadi satu keluarga..." 　　Meski tidak terang-terangan, perkataan Chen Huifu jelas menyiratkan: Keluarga An Guogong berencana menjadikan Jiang Si sebagai selir Ji Chongyi, atau Jiang Si sendiri yang punya niat demikian. 　　Ini tentu sindiran murni yang penuh kebencian. 　　Ekspresi Ji Fanghua menunjukkan kemarahan tipis: "Nona Chen, jagalah tutur kata! Lihatlah ini acara apa!" 　　Chen Huifu mencemooh: "Justru Nona Ji yang harus lebih memperhatikan situasi. Membela orang tak berterima kasih hanya akan membuatmu kehilangan peluang emas." 　　Dari berbagai pertimbangan, Ji Fanghua memang kandidat kuat untuk menjadi Permaisuri, mengingat dia keponakan kandung Ibu Suri Xian. 　　"Terima kasih, Nona Ji." Suara Jiang Si langsung terdengar setelah ucapan Chen Huifu. 　　Ji Fanghua tersenyum tipis pada Jiang Si. 　　“Posisi Permaisuri sama sekali tidak ia idamkan. Ia hanya ingin mencari suami yang setara statusnya dan saling mengenal akar-umbinya. Tak mau seperti Kakak ketiga yang menikahi gadis rakyat jelata hingga kewalahan, juga tak ingin menikah ke keluarga kerajaan yang membuatnya sesak napas.” 　　Chen Huifu memandangi interaksi keduanya, amarahnya berkobar-kobar: “Apakah Nona Jiang tidak bisa menunjukkan undangan asli, sehingga lama tak bergerak?” 　　Jiang Si menopang dagu dengan santai, sikap rileksnya semakin menyoroti kegelisahan lawannya: “Tak kusangka putri bangsawan di istana juga merekrut Nona Chen untuk tugas pelayan. Tapi seharusnya Nona Chen berjaga di gerbang kota dalam, bukan di sini.” 　　Sebuah kalimat yang memancing gelak tawa para gadis. 　　“Ibu Suri Xian tiba, Zhuangfei tiba——” 　　Begitu teriakan pelayan istana menggema, para gadis segera menundukkan pandangan dan kembali berperilaku anggun. 　　Chen Huifu yang gagal memenangkan debat, menahan amarah di dada. Terpaksa menahan diri karena kedatangan para nyonya, wajahnya pucat membara. 　　Ji Fanghua tanpa terasa telah mendekat dan duduk di samping Jiang Si: “Kakak Jiang, bolehkah aku duduk di sini?” 　　Jiang Si mengangguk dengan senyum: “Tentu saja.” 　　Para gadis memberi hormat kepada Ibu Suri Xian dan Zhuangfei sebelum duduk kembali. 　　Ibu Suri Xian mengamati para putri bangsawan secara perlahan. Saat pandangannya menyentuh wajah Jiang Si, senyumnya tiba-tiba membeku. 353.BAB 353: Luka Lama 　　BAB 353: Luka Lama 　　Ibu Jiang Si, Nyonya Su, berasal dari Keluarga Marquis Yining. Memiliki kecantikan yang luar biasa, beliau terkenal sebagai wanita tercantik puluhan tahun yang lalu. 　　Baik Ibu Suri Xian maupun Zhuangfei seangkatan dengan Nyonya Su. Meskipun Ibu Suri Xian jauh lebih tua, ia sudah mengenal Nyonya Su sejak dini. 　　Tidak hanya mengenal, tetapi juga meninggalkan kesan mendalam. 　　Saat itu ia baru saja masuk istana sebagai Jieyu. Ada kabar angin bahwa Kaisar tertarik pada Nyonya Su dan ingin memasukkannya ke harem. 　　Ia cemas berbulan-bulan. Namun rencana masuk istana Nyonya Su akhirnya batal, konon karena Nyonya Su sudah memiliki tunangan yang tumbuh bersama sejak kecil dan menolak masuk istana. 　　Ibu Suri Xian bukannya menghargai, malah semakin tidak menyukainya. 　　Mengapa Nyonya Su bisa meremehkan hal yang ia perjuangkan mati-matian? 　　Ketika perjodohan Nyonya Su dengan Cui Xu dihancurkan oleh Putri Rongyang, ia merasa sangat puas. 　　Hehe, Nyonya Su benar-benar kehilangan segalanya. 　　Dengan dukungan keluarga An Guogong, Ibu Suri Xian terus menanjak. Ia selalu memantau nasib Nyonya Su: bagaimana Nyonya Su kehilangan keperawanan karena kontak fisik yang mesra dengan Cui Xu, bagaimana akhirnya menikahi Putra Mahkota Keluarga Bo yang gelarnya hanya bertahan tiga generasi, hingga kematian dini Nyonya Su... 　　Mendengar semua ini, Ibu Suri Xian berpikir: "Kecantikan sering berujung pada nasib malang. Langit memang adil." 　　Wajah Jiang Si sangat mirip dengan ibunya, dan kecantikan kedua ini bagai mutiara yang menyilaukan, sulit dilupakan. Ibu Suri Xian langsung mengenalinya sekilas pandang. 　　Dengan latar belakang insiden masa lalu ini, tentu saja kesan Ibu Suri Xian terhadap Jiang Si tidak baik. 　　Ia segera teringat status keluarga Jiang Si dan reputasi Dongping Bo Residence yang belakangan ini, meski raut wajahnya tetap netral, hatinya sudah dipenuhi kejengkelan. 　　Mengapa putri dari Dongping Bo Residence bisa hadir dalam pesta apresiasi bunga plum ini? 　　Ibu Suri Xian melirik Zhuangfei, dalam hati mengejek: "Kukira Zhuangfei ini hebat, ternyata cuma segini kemampuannya, sampai mengundang gadis seperti ini." 　　Jangan-jangan Zhuangfei ingin menambahkan selir yang cantik luar biasa untuk putranya? 　　Tapi pemilihan selir memiliki kriteria tersendiri, tidak mungkin dicampur dengan proses pemilihan permaisuri resmi. 　　Ibu Suri Xian mencibir ringan. 　　Tanpa disadari, Zhuangfei juga sedang terkejut saat ini. 　　Tentu saja ia mengenal Nyonya Su, dan langsung mengenali putri Nyonya Su itu sekilas pandang. 　　Mengapa Ibu Suri Xian mengundang putri dari Dongping Bo Residence? 　　Ia hapal betul undangan mana yang berasal dari dirinya. Dengan membandingkan daftar tamu yang tumpang tindih dan tersisa, niat Ibu Suri Xian pun menjadi jelas. 　　Rupanya Ibu Suri Xian berencana memilihkan permaisuri dengan status sosial sedang untuk Pangeran Yan. 　　Tapi seharusnya tetap tidak pantas mengundang gadis yang pernah memutuskan pertunangan, apalagi dari keluarga seperti Dongping Bo Residence yang hampir kehilangan gelar bangsawan dan reputasinya buruk. 　　"Sudah lama terdengar kabar bahwa Ibu Suri Xian bersikap dingin pada Pangeran Yan tanpa sedikitpun ikatan ibu-anak. Kini baru kusaksikan sendiri." 　　"Hmm, mungkin Ibu Suri Xian berencana mengambil selir cantik jelita untuk anaknya, agar hubungan ibu-anak mereka membaik?" 　　"Tapi cara memilih selir berbeda dengan permaisuri resmi. Tak mungkin dicampur-adukkan." 　　Pikiran tersembunyi Zhuangfei hampir identik dengan Ibu Suri Xian, namun raut wajahnya tetap tenang sambil membalas senyuman sang ibu suri. 　　Di bawah ketegangan tak terucap kedua wanita itu, para gadis terlihat gugup. 　　Entah berasal dari keluarga tinggi atau rendah, siapa pun yang masuk ke istana megah ini harus menundukkan kepala. 　　"Adik Zhuangfei, lebih baik kita tidak membatasi para gadis ini. Biarkan mereka bersikap santai." 　　"Kakak Ibu Suri Xian benar." 　　Di bawah obrolan lembut kedua nyonya bangsawan, suasana pun menghangat. Beberapa putri bangsawan duduk di depan alat musik, yang lain mendekati peralatan melukis, sementara banyak lainnya berjalan-jalan di antara pohon plum di luar paviliun. 　　Jiang Si tetap berdiam di sudut tanpa bergerak, sesekali menjawab pertanyaan Ji Fanghua. 　　Ibu Suri Xian kembali melirik ke arah mereka, alisnya berkerut halus. 　　Mengapa Fanghua bisa bergaul dengan Nona Jiang? 　　Terhadap keponakan perempuan satu-satunya dari keluarga asal, Ibu Suri Xian memang menyayanginya, tapi tak pernah berniat menjodohkannya dengan putra bungsunya. 　　Sandarannya adalah ayah dan kakak di keluarga asal. Jika Ji Fanghua menjadi istri Lao Qi, bagaimana mungkin ia bisa mengendalikan situasi? 　　“Hanya karena hal ini, Ibu Suri Xian telah menghapus nama Ji Fanghua dari hatinya.” 　　Wajahnya tentu tidak menunjukkan perasaan sebenarnya, sambil tersenyum ia melambaikan tangan pada Ji Fanghua: "Fanghua, kemarilah duduk di samping bibimu." 　　Ji Fanghua memberikan tatapan permintaan maaf pada Jiang Si, lalu beranjak mendekat. 　　"Bibi." 　　"Sudah lama tidak bertemu, Fanghua benar-benar telah menjadi gadis dewasa. Cantiknya melebihi bunga plum di taman ini." 　　Ji Fanghua yang berwatak ceria, tanpa niatan menjadi menantu bibinya sendiri, menjawab dengan santai: "Keluarga bilang aku mirip bibiku. Tentu saja bibi adalah sang dewi yang jauh lebih cantik dari bunga." 　　"Jangan banyak bicara." Ibu Suri Xian berpura-pura marah, namun senyumnya merekah. 　　Para putri bangsawan yang melirik ke arah mereka dalam hati mengeluh: Kehadiran Ji Fanghua mengurangi peluang mereka. 　　Ibu Suri Xian yang sangat menjaga reputasi, meski tak menyukai interaksi keponakannya dengan Jiang Si, tetap menahan Ji Fanghua duduk di sampingnya. 　　Melihat para putri bangsawan semakin rileks, Zhuangfei mengusulkan agar para gadis menunjukkan bakat mereka. 　　Para gadis seketika tegang, menyadari momen penting telah tiba. 　　Tiba-tiba terdengar suara pelayan istana mengumumkan: "Pangeran Shu tiba, Pangeran Yan tiba——" 　　Dua pria muda berbaju brokat dengan ikat pinggang giok berjalan berdampingan mendekat. 　　Sebelum menikah, Zhuangfei dikenal sebagai wanita berbakat yang menonjol karena aura elegannya. Meski kecantikannya sedikit di bawah selir-selir lain di istana, Pangeran Keenam Shu jelas mewarisi wajah sang ibu selir - tampan dan berbudaya dengan aura yang luar biasa. 　　Di mata para gadis, Pangeran Yan yang selama ini hanya ada dalam kabar burung ini memiliki ketampanan yang membuat hati berdebar kencang. 　　Alisnya yang terangkat, gerakan tangannya yang santai, semuanya memancarkan kharisma tak terduga yang membuat pipi memerah tanpa sadar. 　　Rupanya Pangeran Yan adalah pria secantik ini. 　　Para putri bangsawan yang datang ke Pesta Bunga Mei jelas lebih ingin menikahi Pangeran Shu. Bagaimanapun, dialah pangeran yang paling dicintai Kaisar. Menjadi permaisurinya, meski takkan mencapai posisi tertinggi, sudah cukup membawa kemuliaan. 　　Namun kini, timbangan di hati mereka mulai bergoyang. 　　Sayangnya, mereka tak punya hak memilih untuk menikah atau tidak. 　　Tapi bagaimanapun ini kesempatan emas. Jika tampil baik, menikahi salah satu pangeran berarti mendapat keberuntungan besar. 　　Setelah memberi salam kepada kedua nyonya, Pangeran Shu tersenyum: "Aku dan Adik Ketujuh sedang berjalan-jalan di taman. Melihat keramaian di sini, kami pun mampir." 　　Tentu ini sekadar basa-basi. Semua tahu pesta bunga ini digelar untuk kedua pangeran. Kehadiran mereka tak lain untuk memilih calon permaisuri. 　　Dinasti Zhou memiliki kebiasaan yang terbuka, bahkan para pangeran pun memiliki hak untuk memilih, dengan syarat para nona tersebut bisa hadir dalam acara seperti ini. 　　Artinya, para nona yang hadir dalam pesta pemilihan permaisuri secara implisit telah dianggap memenuhi syarat untuk menjadi permaisuri. Namun ini bukan berarti pangeran bisa langsung menentukan calon akhir, melainkan memilih beberapa orang dengan cara memberikan bunga, lalu keputusan akhir akan dipertimbangkan oleh selir, permaisuri, atau Kaisar. 　　Yu Jin memanfaatkan waktu ketika Pangeran Shu sedang berbicara, matanya yang indah seperti burung phoenix melirik ke arah Jiang Si. Setelah memastikan orang yang dirindukannya benar-benar hadir, dia menarik pandangannya sambil tersenyum. 354.BAB 354 Apa Keahlian Nona Jiang 　　BAB 354 Apa Keahlian Nona Jiang 　　Sorotan mata dan senyuman samarnya tanpa sengaja membuat banyak putri bangsawan yang menyadarinya tersipu dan jantung berdebar, menundukkan kepala, namun tak rela melewatkan kesempatan lalu mengangkat muka perlahan dengan malu-malu. 　　Di usia remaja yang baru mekar perasaan cinta, sangat sedikit gadis yang benar-benar bisa mengutamakan kepentingan keluarga daripada ketampanan fisik. 　　Jiang Si mengamati semua ini dengan perasaan bangga sekaligus kesal, lalu mencela diri sendiri: Wajar merasa bangga karena suaminya memang luar biasa, tapi kenapa harus kesal? Padahal dia bukan tipe yang posesif. 　　Semua ini gara-gara pengaruh buruk Yu Qi yang posesif seperti tong cuka. 　　Memikirkan hal ini, Jiang Si tersenyum tipis sambil menekan bibirnya. 　　Yu Jin juga sedang dalam suasana hati yang baik. 　　Akhirnya dia bisa berinteraksi secara terbuka dan terhormat dengan A Si sebagai seorang pangeran. 　　Setelah hari ini, dia akan menjadi nona miliknya. 　　Pangeran Shu merasa seperti adiknya merebut sorotan, namun ia tidak terlalu memedulikannya. 　　Seorang pria, terutama yang berasal dari keluarga kerajaan, penampilan adalah hal yang paling tidak penting. Jika ia mempermasalahkan ini, malah akan terlihat rendah. 　　Ibu Suri Xian tersenyum manis: "Silakan kedua Pangeran duduk, kebetulan bisa menikmati kharisma putri bangsawan ibu kota kita." 　　Yu Jin dan Pangeran Shu pun duduk. 　　Kehadiran dua pangeran muda tampan langsung membuat para gadis bersemangat bak disuntik darah ayam jago. Meski berusaha tampil anggun, gelagat girang tetap terlihat dari gerak-gerik mereka. 　　Sekalipun tidak terpilih, sekalipun kedua pangeran ini bukan berstatus putra kaisar, hanya bangsawan biasa, secara naluri perempuan, siapa yang tidak ingin menampilkan sisi terbaik diri? 　　Segera semua yang hadir dimanjakan telinga dan mata. 　　Ada yang bermain guzheng, seruling, se——khususnya penampilan Nona Ketiga dari Keluarga Marquis Shouchun, Kou Lingbo, dengan tarian Huxuan yang memukau, membuat mata tak sempat berkedip. 　　Usai Kou Lingbo menari, ruangan tiba-tiba hening sejenak. Tak ada putri bangsawan yang segera naik panggung. 　　Tak ada yang ingin menjadi vas bunga biasa yang tertutupi gemerlap Kou Lingbo, hanya menjadi batu loncatan orang lain. 　　Baru saja Jiang Si berhenti ikut-ikutan bertepuk tangan, ia merasakan sorotan mata mengarah padanya. 　　Penuh niat jahat. 　　"Paduka sekalian, Nona Jiang dari Dongping Bo Residence berniat tampil!" teriak Chen Huifu sambil terkekeh. 　　Chen Huifu yang berusia sekitar 14-15 tahun memiliki sepasang mata almond berair yang tampak polos saat tersenyum. Tak ada yang menyangka dia bisa berbohong dengan mata terbuka. 　　Dua sorot mata penuh makna menyapu ke arah Jiang Si, satu dari Ibu Suri Xian, satu lagi dari Zhuangfei. 　　Ibu Suri Xian berpikir: Tadi si gadis ini duduk di sudut terlihat tahu diri, mengukur kemampuan sendiri. Sekarang tiba-tiba ingin menonjol? Sungguh tak tahu diri! 　　Zhuangfei menggeleng halus, memandang rendah Jiang Si beberapa tingkat lagi. 　　Selain prestasi Nona Jiang ini tak mungkin menonjol, tarian Hu Xuan yang memukau tadi masih membekas. Sungguh tak bijaksana memilih tampil di saat seperti ini. 　　Jika benar-benar berbakat, memilih momentum ini untuk tampil jelas menunjukkan sifat kompetitif berlebihan. 　　Jika tak punya keahlian memadai, hanya akan mempermalukan diri. 　　Kedua nyonya tak mungkin menyangka nona kecil polos seperti Chen Huifu berani berbohong terang-terangan. Putri bangsawan lain yang tahu trik liciknya pun takkan membela Jiang Si. 　　Chen Huifu yakin betul dengan hal ini sehingga tak merasa takut. 　　Dia tak percaya Jiang Si berani mengungkapnya. 　　Dalam acara seperti ini, siapa pun yang memulai keributan pasti akan rugi. 　　Perhitungan Chen Huifu tepat. 　　Terdorong menjadi pion tanpa persiapan, Jiang Si jelas tak mungkin mundur seperti kura-kura pengecut. 　　Satu-satunya pilihan baginya adalah tampil. 　　Yu Jin memegang cangkir teh, sorot matanya gelap. 　　Di hadapannya, wanita ini berencana mencelakai A Si? 　　Langsung membalik meja pun tidak bisa, toh istri belum resmi dipinang. 　　Yu Jin menahan diri berulang kali, pandangannya pada Jiang Si penuh kekhawatiran. 　　Meski telah memendam rindu pada A Si bertahun-tahun, pertemuan sebenarnya belum genap setahun. Keahlian apa yang dimiliki A Si? 　　Dalam kilasan ingatan, muncul beberapa kata: membunuh, membakar, memotong pantat pria dengan pisau... 　　Yu Jin tak berani melanjutkan bayangan itu. 　　Ehem, di acara seperti ini, lebih baik A Si menyembunyikan kemampuan. 　　Jiang Si tersenyum tipis. 　　Yang lain tak ia pedulikan, tapi apa maksud sorot mata Yu Qi itu? 　　Apakah dia mengira aku tak punya keahlian? Memang keahlian terbaikku bukanlah musik atau kaligrafi, tapi untuk menghadapi situasi ini cukup. 　　Jiang Si berdiri anggun, memberi hormat ke arah Ibu Suri Xian dan Zhuangfei, "Hamba sebenarnya tak berani mempermalukan diri, tapi Nona Chen tadi berkata jika hamba tampil, dia akan menyusul. Hamba tak tega menghalangi kesempatan Nona Chen menunjukkan bakat, maka berani tampil." 　　Chen Huifu menggigit bibirnya, gemetar beberapa saat sebelum akhirnya menelan kata-katanya. Sorot matanya pada Jiang Si penuh kebencian. 　　Dasar jalang licik! 　　Kebencian Chen Huifu terhadap Dongping Bo Residence tidak hanya berasal dari kakak laki-lakinya, tetapi juga dari sahabat karibnya Cui Mingyue. 　　Mingyue menjadi korban Keluarga Zhu dan Dongping Bo Residence, jika tidak, bagaimana mungkin dia menghindar di rumah sendiri dan tidak muncul di acara pemilihan selir, sementara orang tak pantas ini tiba-tiba muncul. 　　Sambil memikirkan ini, Chen Huifu merasa geram. Tapi seperti rencananya untuk menjebak Jiang Si, balasan setimpal Jiang Si juga tak bisa disangkal. 　　Artinya, setelah Jiang Si selesai menunjukkan bakatnya, gilirannya akan tiba. 　　Chen Huifu mulai merasa gugup. 　　Meski dia mempelajari qin (kecapi), qi (permainan papan), shu (kaligrafi), dan hua (lukisan), keberaniannya menyusut di hadapan audiens seperti ini. 　　Beberapa putri bangsawan sebelumnya yang tampil memiliki kemampuan jauh di atasnya. Jika dia maju, pasti akan mempermalukan diri. 　　Menyaksikan kecemasan di wajah Chen Huifu, Jiang Si tersenyum tipis. 　　Gadis bodoh, nanti kau baru akan tahu arti 'mempermalukan diri' yang sesungguhnya. 　　Jiang Si benar-benar murka. 　　Ejekan pribadi bisa dia anggap sebagai kenakalan gadis belia, tapi ini situasi apa? 　　Dengan dua nyonya bangsawan dan pangeran yang hadir, jika gadis biasa dipermalukan seperti ini, bisa-bisa masa depannya hancur. 　　Berani menghancurkan prospek seseorang tanpa alasan langsung - ini bukan kenakalan, melainkan kejahatan. 　　Menurut Jiang Si, kejahatan tidak mengenal usia. 　　"Kalau sudah cari masalah begini, tentu dia tidak akan ragu untuk menghukum." 　　Berbelas kasih pada wanita? Tidak ada, seumur hidup tidak akan ada, karena dia bukan pria. 　　Jiang Si telah berjalan di bawah sorotan mata banyak orang menuju tengah lapangan. 　　Yu Jin mengatupkan bibir tipisnya menahan kekhawatiran, sementara Pangeran Shu untuk pertama kali menunjukkan ekspresi serius. 　　"Apa yang akan Nona Jiang pertunjukkan?" Ibu Suri Xian bertanya datar. 　　Jiang Si tersenyum tenang: "Setelah menyaksikan pertunjukan bakat para nona yang jauh lebih hebat, hamba tidak mau mempermalukan diri. Hamba ingin mempertunjukkan sulap untuk menghibur semua." 　　Pertunjukan sulap? 　　Alis Ibu Suri Xian berkerut refleks. 　　Sorotan mata penasaran para gadis berkedip-kedip, menyembunyikan ejekan di kedalaman. 　　Pertunjukan sulap di acara seperti ini? Sungguh tidak pantas. 　　"Tolong ambilkan dua ranting plum yang masih kuncup dan dua vas kaca berisi air setengah." 　　Pulang, lelah seperti anjing. 355.BAB 355 Mekarnya Bunga 　　BAB 355 Mekarnya Bunga 　　Mendengar permintaan Jiang Si, dayang memandang Ibu Suri Xian dan Zhuangfei. 　　Zhuangfei tersenyum tipis tanpa reaksi berlebihan. 　　Ibu Suri Xian mengangguk mengizinkan. 　　Dia ingin melihat apa rencana si gadis ini. 　　Segera dua dayang datang membawa vas kaca berisi ranting plum. 　　Botol kaca kristal transparan bertangkai panjang, ranting plum menjulur tiga cun lebih dari mulut botol, dihiasi beberapa kuncup bunga yang jarang-jarang. 　　Di tengah hamparan bunga plum yang mekar meriah ini, mencari dua ranting plum yang masih berbentuk kuncup pun bukan hal mudah. 　　"Nyonya." Dua dayang berdiri sejajar, memberi hormat serempak kepada Xianfei dan Zhuangfei. 　　Xianfei menunjuk ke arah Jiang Si, berkata datar: "Antarkan pada Nona Jiang." 　　Kedua dayang membawa vas bunga mendekati Jiang Si, menekuk lutut sedikit tanpa ekspresi. 　　Bagi dayang yang terbiasa melayani orang terhormat, seorang nona dari keluarga bangsawan biasa tak berarti apalagi yang jelas-jelas tak punya masa depan. 　　Pertunjukan sulap? 　　Tak terhitung pesta bunga yang pernah mereka saksikan, namun belum pernah melihat putri bangsawan mempertunjukkan sulap sebagai bakat. 　　Bagaimana caranya? Apakah ranting plum ini akan dihilangkan? 　　Bagaimanapun juga, terasa tidak pantas dan menggelikan. 　　Sambil berpikir demikian, kedua dayang tetap menjaga raut wajah netral, menyerahkan vas bunga dengan sikap hormat. 　　Jiang Si tersenyum: "Biarkan kedua kakak yang memegangnya." 　　Kedua dayang tetap kukuh memeluk vas bunga. 　　Jiang Si melangkah dua langkah mendekat, mengurangi jarak dengan salah satu dayang. 　　Ia mengangkat tangan, jari-jari rampingnya menunjuk lembut ke sebuah kuncup di ranting plum. 　　Kuncup itu kecil, mengerut rapat, tampak kurus kering. 　　Para gadis semakin bingung melihat gerak-geriknya. Meski hati masih meremehkan, rasa ingin tahu mereka kini tergugah hingga mereka menahan napas memandang, beberapa bahkan tanpa sadar berjinjit. 　　"Nona Jiang, sebenarnya apa sulap yang akan kau peragakan?" tanya Ibu Suri Xian. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Sebenarnya ini bukan sulap. Hanya saja dari sekian banyak bunga plum di taman yang hampir layu, dua tangkai ini belum mekar. Hamba merasa sayang, ingin menyemangati mereka agar jangan malas dan cepat mekar." 　　Apa? Mempercepat mekarnya kuncup bunga plum? 　　Bukan hanya para putri bangsawan yang terlihat tak percaya, bahkan Ibu Suri Xian dan Zhuangfei saling bertukar pandang penuh keheranan. 　　Zhuangfei juga tampak terkejut ringan. 　　Jika benar Nona Jiang bisa membuat kuncup bunga plum mekar, ini bukan lagi sekadar trik murahan, melainkan suatu keajaiban yang elegan. 　　Tapi bagaimana mungkin? 　　Ia yang banyak membaca kitab-kitab sastra bahkan buku-buku aneh, tak pernah mendengar cara semacam ini di dunia. 　　Saat kedua nyonya saling berpandangan, para putri bangsawan sudah tak tahan berbisik-bisik. 　　"Jangan-jangan Nona Jiang terkena gangguan histeris?" 　　"Siapa tahu? Tadi kudengar jelas Nona Jiang dipojokkan oleh Nona Chen. Mungkin karena tak punya bakat yang layak dipamerkan, terpaksa begini." 　　“Meski dipaksa, tidak boleh bersikap seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki. Mengucapkan omong kosong seperti ini, bukankah nanti akan semakin memalukan?” 　　Sudut bibir Chen Huifu semakin terangkat ke atas. 　　Ia mendorong Jiang Si ke panggung dengan harapan agar bakat apapun yang ditunjukkan Jiang Si akan terlihat biasa saja setelah tarian spektakuler Kou Lingbo, tapi tak menyangka si gadis malah mengundang petaka. 　　Menyebabkan kuncup plum mekar? Hahaha, si jalang bermarga Jiang ini pasti idiot. 　　Ji Fanghua yang duduk di samping Ibu Suri Xian mengerutkan kening melihat gadis di tengah panggung, namun ketika gadis itu memandang ke arahnya dengan tatapan tenang dan percaya diri, hatinya tiba-tiba merasa lega. 　　Ji Fanghua tak bisa menahan senyum. 　　Jiang Si membalas senyum tipis sebelum mengalihkan pandangan. 　　Pandangan Yu Jin terus mengikuti setiap gerakan gadis di panggung. Melihat Jiang Si saling berpandangan dengan orang lain, hatinya langsung menjadi kesal. 　　Dia duduk di sini, tapi A Si malah memandang perempuan lain? 　　Perempuan tak tahu diri itu anak keluarga mana? 　　Yu Jin memerhatikan Ji Fanghua dengan seksama. 　　Wajahnya asing, tapi bisa duduk di samping Ibu Suri Xian, pasti berasal dari keluarga terpandang. 　　Merasakan pandangan Yu Jin, Ji Fanghua menoleh dan memberikan anggukan sopan, namun hatinya bertanya-tanya: Untuk apa sepupuku menatapku seperti itu? 　　Ah, jangan-jangan dia tertarik padaku? 　　Ini sangat menakutkan! 　　Ji Fanghua merasa panik, wajahnya langsung muram, melirik Yu Jin dengan mata melotot. 　　Yu Jin terkejut sejenak, kemudian marah: Wanita ini tidak hanya bermain mata dengan A Si, malah berani menantangku! 　　Suara rendah terdengar: "Adik ketujuh, menurutmu apakah Nona Jiang benar-benar bisa membuat kuncup prem mekar?" 　　Yu Jin tersadar, menatap sorot mata Pangeran Shu yang berbinar, alarm bahaya langsung berbunyi dalam hatinya. Dengan wajah datar ia berkata: "Aku mana tahu." 　　Pangeran Shu tersenyum: "Hehe, aku juga penasaran." 　　Ternyata Lao Qi mengincar gadis dari keluarga An Guogong. 　　Masuk akal juga, keluarga An Guogong adalah keluarga nenek dari pihak ibu Lao Qi. Jika Lao Qi menikahi gadis dari sana, tentu keluarga An Guogong akan mendukungnya mati-matian. Ibu Suri Xian yang selama ini tidak dekat dengan Lao Qi mungkin juga akan berubah sikap, tidak lagi fokus hanya pada Lao Si. 　　Dipikir-pikir, Lao Qi memang licik. 　　Pikiran-pikiran ini berputar di benak Pangeran Shu sementara matanya menatap gadis di tengah arena. 　　Meski posisi Permaisuri Shu tidak mungkin didapatkan oleh Nona Jiang yang cantik luar biasa ini, sebagai lelaki normal tentu ingin memandangi kecantikannya lebih lama. 　　Reaksi dan bisikan kerumunan sama sekali tidak mempengaruhi Jiang Si. 　　Ia menunduk memandang ranting prem dalam botol kaca, sorot matanya lembut: "Jangan malas, saatnya berbunga." 　　Setelah berkata demikian, ujung jari putihnya menyentuh sebuah kuncup bunga. 　　Terlihat kuncup bunga yang semula erat mengatup itu, saat tangan putih sang gadis mengusapnya, di bawah tatapan tak terhitung pasang mata, kelopaknya sedikit demi sedikit bergetar dan perlahan mekar. 　　Tangan putih itu mengusap satu per satu kuncup bunga. Kuncup yang tersentuh seolah mendapat embun surgawi, lalu perlahan merekah. Tak lama, cabang-cabang pun dipenuhi bunga prem merah yang bermekaran. 　　Pemandangan ajaib ini bagai petir menyambar setiap orang yang hadir. Seketika hening mencekam, bahkan suara jarum jatuh pun terdengar. Meski sebenarnya tak ada suara bunga mekar, desahan halusnya seolah bergema di hati semua yang menyaksikan. 　　Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. 　　Setiap orang yang hadir di sini pernah menghadiri banyak pesta bunga, menyaksikan berbagai tumbuhan langka. Bisa dikatakan, tak ada lagi tanaman eksotis atau pemandangan menakjubkan yang mampu menggugah hati mereka. 　　Tapi ini pertama kalinya mereka menyaksikan proses bunga mekar sedikit demi sedikit. 　　Begitu ajaib, begitu... memukau. 　　Sebelum kerumunan sadar, dua cabang bunga prem telah bermekaran sempurna. 　　Merah menyala bunga prem, gadis yang lebih memesona dari bunga itu sendiri. 　　Pangeran Shu tak kuasa menahan diri untuk berdiri. 　　Jiang Si memberi hormat kepada Ibu Suri Xian dan Zhuangfei, bersuara lantang: "Hamba yang tak berbakat ini mempersembahkan dua cabang bunga prem ini untuk Paduka. Semoga Paduka senantiasa awet muda dan berumur panjang." 　　Ibu Suri Xian perlahan sadar dari keterpukauannya, perasaannya campur aduk. Ia mengangguk pada dayang: "Bawalah kemari." 　　Dua dayang segera menghadapkan vas kaca berisi bunga plum di depan kedua selir. 　　Ibu Suri Xian mengamati dengan saksama, dalam hati berdesah: Sungguh ajaib, bisa membuat bunga mekar seperti ini, benar-benar belum pernah terdengar. 　　Kalau bukan karena ingin mengajak para gadis jalan-jalan, pasti hanya ingin rebahan di rumah, terlalu lelah. Terima kasih untuk hadiah 10.000 Koin Qidian dari Yin Xiaotiao dan Ai Aiyuanzi, terima kasih untuk hadiah dari Yán Zhī Hǔ1, teman pembaca 20180729161528330, Sophia, Yilan Youyou, Queqian ing, Liuminsk, Zhudi Bai, Ling Luoluo, Bin Beier, teman pembaca 20170808130110648, Youli dalam Khayalan, Qingchun Hudie, Zihua Sui, teman pembaca 20180726104619416, Hao Guniang Tang Xiaomo, teman pembaca 20170704142413672, teman pembaca 20171124234407269, Ruo Wu Ban Dian Zhifen Yan, Aku Adalah Raja Bijak, Iampetty, Qianli Cao Qingzheng, ___Qianxiao, Pangpang25. Terima kasih juga untuk teman-teman pembaca yang memberikan vote. 356. BAB 356: Hukuman Kecil 　　BAB 356: Hukuman Kecil 　　Ibu Suri Xian menahan keheranannya, mengangguk halus pada Jiang Si: "Nona Jiang sungguh telaten." 　　Sangat ingin bertanya cara melakukannya, tapi harus menjaga martabat, terpaksa ditahan. 　　Lagipula, jika terlalu banyak bertanya, bisa menimbulkan kesan tertarik pada gadis dari Keluarga Dongping Bo. 　　Mungkin Zhuangfei yang akan bertanya? 　　Ibu Suri Xian melirik Zhuangfei diam-diam. 　　Zhuangfei tersenyum tipis pada Jiang Si: "Persembahan Nona Jiang memang sangat unik. Hari ini bisa menyaksikan pemandangan ajaib seperti ini, sungguh membuka wawasan." 　　Dia benar-benar meremehkan gadis ini sebelumnya. 　　Setelah tarian permata Nona Kou dari Kediaman Marquis Shouchun yang memukau, penampilan gadis-gadis berikutnya dengan bakat apapun akan mudah menjadi sekadar pelengkap. Namun Nona Jiang justru bisa membuat bunga plum mekar, tidak hanya sesuai dengan tema Pesta Apresiasi Bunga Plum, tapi juga di luar dugaan semua orang. Bisa dibilang ini adalah kejadian elegan yang langka. 　　Bagaimana dia melakukannya? 　　Keraguan mengusik hati Zhuangfei, tapi tak pantas baginya untuk banyak bertanya. 　　Dalam acara seperti ini, terlalu banyak pertanyaan darinya hanya akan menimbulkan kesan bahwa dia tertarik pada Nona Jiang. 　　Sebenarnya dia memang penasaran dengan gadis kecil ini, tapi sama sekali bukan dalam konteks menginginkannya sebagai menantu perempuan. 　　Terutama—Zhuangfei melirik Pangeran Shu sekejap, mengingat bagaimana putranya tadi tak terkendali bangkit berdiri, kewaspadaan dalam hatinya menguat. 　　Putranya bukan tipe pria yang linglung karena kecantikan. Tindakan tak pantas yang baru saja dilakukannya membuktikan kemampuan gadis ini. 　　Memandangi gadis muda yang tersenyum tenang di hadapannya, Zhuangfei menghela napas dalam hati: Apa yang aneh? Ketertarikan alami pemuda pada kecantikan. Melihat gadis cantik melakukan keajaiban seperti dewi, pemuda mana yang tidak akan berdebar hatinya? 　　Matanya melirik ke arah Yu Jin. Pria itu menunduk, jari-jarinya memutar-mutar cangkir giok dengan lembut, ekspresinya tak terbaca. 　　Zhuangfei terkejut. 　　Pangeran Yan sama sekali tak bergeming? 　　Yu Jin yang dianggap acuh oleh Zhuangfei itu mencengkeram erat cangkir tehnya, berusaha mengendalikan dorongan untuk menyerbu ke tengah dan membawa kabur orang itu. 　　Dia memang tahu A Si selalu penuh kejutan - saat membunuh dan membakar, maupun saat membuat bunga prem mekar. 　　Inilah nona yang dicintainya... Yu Jin merasakan decak kagum, kepahitan, dan getaran hati yang tak terbendung. 　　"Benar-benar ingin mencungkil bola mata Putra Keenam itu." 　　"Hamba mempersembahkan keterampilan yang memalukan." Jiang Si kembali membungkuk kepada Ibu Suri Xian dan Zhuangfei, lalu mundur dengan tenang, tatapan semua orang mengikuti langkahnya. 　　Setelah keheningan sesaat, para putri bangsawan mulai berbisik-bisik. Yang berada di dekatnya bahkan langsung bertanya: "Nona Jiang, bagaimana caramu melakukannya?" 　　Jiang Si tersenyum menjawab: "Hanya trik kecil saja." 　　Di pohon Taiping, ada Gu bernama Musim Semi Kembali, kecil seperti debu waktu, namun mampu mengendalikan banyak hal ajaib. Misalnya membuat mayat bergerak, atau mendorong kelopak bunga mekar. 　　Adegan ajaib tadi sebenarnya hanya membuka kelopak bunga yang bertumpuk dengan paksaan. Jika dijelaskan, tak lebih dari itu. Tapi bagi yang tidak tahu kebenarannya, ini seperti teknik dewa. 　　Segalanya memang seperti ini. Jika tidak cukup menakjubkan, di mata orang dunia ini hanya dianggap sebagai trik sulap yang tidak pantas ditampilkan. Namun jika penuh misteri, maka itu akan menjadi sihir dewa. 　　Keduanya tentu tidak bisa disamakan. 　　Jiang Si berjalan ke sisi Chen Huifu, langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia tersenyum: "Bukankah sekarang giliran Nona Chen untuk tampil?" 　　Seketika, tatapan tak terhitung jatuh pada Chen Huifu. 　　Dengan tarian spektakuler Kou Lingbo dan sihir dewa Jiang Si yang membuat bunga plum mekar, apapun yang ditampilkan Chen Huifu hanyalah akan menjadi batu loncatan bagi orang lain. 　　Chen Huifu jelas juga menyadari hal ini. Wajah cantiknya yang pucat mulai membiru, terlihat sangat tidak enak dipandang. 　　Di bawah tatapan bermacam-mata, ia mengeraskan hati melangkah keluar. Dari kejauhan ia membungkuk hormat kepada kedua ibu suri: "Hamba akan mempermalukan diri, menghibur kedua Nyonya dengan permainan seruling." 　　Ia menguasai qin, catur, kaligrafi, lukisan, nyanyi dan tari. Namun baik memainkan qin maupun menari hanya akan menjadikannya bahan tertawaan. Dibandingkan itu, bermain seruling setidaknya lebih biasa dan minim kesalahan. 　　Ibu Suri Xian mengangguk pelan. 　　Di antara banyak putri bangsawan, Chen Huifu adalah yang dikenalnya. 　　Putri Junyuri Ningluo, tentang kesan baik? Sama sekali tidak ada. 　　Tentu saja, apapun yang dipikirkannya, Ibu Suri Xian tidak akan menunjukkan sedikitpun di raut wajah. Ia hanya menanti pertunjukan Chen Huifu untuk mengisi waktu. 　　Seorang dayang berbaju hijau menghampiri membawa nampan, di atasnya tergeletak seruling Xiangxiang yang berkilauan. 　　Chen Huifu mengambil seruling itu, mencoba meniupnya beberapa kali. 　　Suara seruling bergema merdu, kualitas suara yang sangat baik. 　　Hatinya sedikit tenang, dalam hati ia menyemangati diri: Tidak ada yang perlu ditakuti, asalkan bisa memainkan lagu ini dengan lancar. Bagaimanapun, bermain seruling sangat berbeda dengan menari atau pertunjukan sulap, tidak akan sampai dipermalukan. 　　Setelah menenangkan diri, Chen Huifu menempatkan seruling di bibirnya dan mulai memainkannya. 　　Suara seruling yang lincah dan jernih mengalun, membawakan lagu terkenal "Zhegu Fei" (Terbangnya Burung Francolin) yang sudah familiar di telinga. 　　Dalam acara seperti ini, lagu "Zhegu Fei" dengan irama riang sangat sesuai, juga mengandung makna simbolis terbang tinggi yang diam-diam terkait dengan proses pemilihan selir. 　　Tidak ada kesalahan maupun keistimewaan, Ibu Suri Xian mengangguk pelan. 　　Lagu seruling semakin memukau, Chen Huifu semakin rileks, sehingga nada yang keluar dari lubang seruling semakin halus dan merdu. 　　Chen Huifu bahkan terkejut pada diri sendiri: Ini adalah penampilan terbaiknya sepanjang waktu. 　　Sebuah rasa bangga mulai menggelora di hatinya. 　　Tiba-tiba, gatal yang luar biasa menyerang. 　　Rasa gatal itu datang begitu tiba-tiba dan dahsyat, membuatnya sama sekali tak bisa mengontrol kedutan hebat di sudut bibir. 　　Suara seruling tiba-tiba pecah, berubah menjadi decitan menusuk yang tak nyaman bagai pisau menggores kulit. 　　Meskipun kerumunan sebelumnya mendengarkan dengan setengah hati, obrolan mereka masih bisa berlangsung dengan iringan lagu riang. Begitu nada sumbang itu terdengar, semua serentak mengerutkan kening dan memandang ke tengah arena. 　　Chen Huifu terkejut, berusaha tetap tenang. 　　Suara seruling yang melengking terus berbunyi, di antara bisikan-bisikan, wajahnya memerah seketika. 　　Apa yang terjadi? Kenapa begitu gatal? 　　Sepertinya tidak boleh dipikirkan, semakin dipikirkan semakin gatal. Akhirnya ia hampir tidak bisa mengontrol kedutan di sudut mulutnya, melemparkan serulingnya lalu menggaruk pipinya. 　　Lima bekas jari tertinggal di kulit pipi putihnya, seolah rasa gatalnya langsung hilang. 　　Tapi telinganya mendengar seruan kaget yang sambung-menyambung, diikuti gelombang komentar-komentar bagai air bah yang membuatnya pusing. 　　"Astaga, meski tidak bisa memainkan melodi indah, tidak perlu ekstrim seperti ini. Garuk wajah sendiri sampai begini, bukankah ini merusak penampilan?" 　　"Tidak sampai merusak wajah, tapi sepuluh atau dua puluh hari tidak bisa muncul di publik itu benar." 　　"Ck, apa Nona Chen ada masalah di sini?" Seorang putri bangsawan menunjuk kepala secara diam-diam. 　　"Siapa yang tahu? Tapi tindakannya sangat mengerikan. Bisa melakukan ini pada diri sendiri, lebih baik kita jaga jarak." 　　"Benar." 　　Chen Huifu diam terpaku di tempat, lupa bereaksi. 　　Apa yang telah ia perbuat? Di mana dirinya? Siapakah dia? 　　Rasa sakit baru datang belakangan, disertai rasa malu yang tak tertahankan. 　　"Segera pergi dari sini!" Bekas garukan berdarah itu terlihat sial bagi Ibu Suri Xian, wajahnya muram. 　　Chen Huifu menutupi wajahnya sambil menjerit, tersandung-sandung kembali ke tempat semula. Mendengar komentar-komentar pedas itu, dia benar-benar breakdown dan menangis tersedu-sedu. 　　Suasana seketika menjadi hening dengan nuansa aneh dan canggung. 　　Selamat pagi. 357. BAB 357 Kebijaksanaan? 　　BAB 357 Kebijaksanaan? 　　Memalukan tentu saja memalukan, tapi di hadapan banyak orang, menangis terisak-isak seperti ini apakah terlalu langsung? 　　Chen Huifu yang menangis sambil mengeluarkan ingus dan air mata: Siapa yang mengerti perasaan gadis yang sedang emotional breakdown? 　　Jiang Si tersenyum manis, lalu mengalihkan pandangannya bertemu tatapan Yu Jin. 　　Yu Jin mengedipkan sebelah matanya diam-diam padanya. 　　Ternyata dia khawatir sia-sia, bahkan tidak sempat turun tangan, A Si sudah membalas dendam sendiri. 　　Tapi——kecurigaan samar muncul di hatinya. 　　Pertama membuat kuncup bunga prem mekar, lalu tingkah aneh putri bangsawan di atas panggung, semua ini terasa familiar baginya. 　　Apakah A Si ada hubungan dengan Suku Wu Miao di Perbatasan Selatan? 　　Itu mustahil. 　　Yu Jin menggeleng halus, mengusir pikiran absurd itu. 　　Jiang Si meneguk teh longan dan kurma merah. 　　Aroma kurma yang samar, manis yang pas, terasa hangat dan nyaman setelah diminum, persis seperti perasaannya sekarang. 　　Memang benar, selama memungkinkan, lebih baik jangan menyimpan dendam semalaman, langsung balas dendam saat itu juga paling memuaskan. 　　Memandang dingin Chen Huifu yang menangis histeris, hati Jiang Si sama sekali tidak bergejolak. 　　Benar-benar gadis bodoh, sekarang baru tahu bagaimana rasanya dipermalukan? 　　Putri bangsawan di sebelah Chen Huifu tak tahan menasihati: "Nona Chen, jangan menangis lagi, kedua Nyonya dan para pangeran sedang memperhatikan..." 　　Mendengar ini, tangisan Chen Huifu semakin keras. 　　Putri bangsawan yang menenangkan itu merasa sangat canggung. 　　Wajah Ibu Suri Xian semakin muram. 　　Pesta pemilihan selir yang seharusnya meriah, kok bisa menyusup kotoran seperti ini? 　　"Bantu Nona Chen untuk beristirahat." Ibu Suri Xian yang sudah tak tahan memberi perintah dingin pada pelayan istana di sampingnya. 　　Pelayan istana mendekati Chen Huifu dan berkata dengan nada datar: "Nona Chen, silakan." 　　Gugur dalam pesta pemilihan selir tidak memalukan, tapi diusir di tengah acara? Memalukan sampai ke nenek! 　　Tatapan pelayan istana pada Chen Huifu seolah melihat badut lucu. 　　Chen Huifu tiba-tiba berdiri, menutupi wajahnya sambil berlari keluar. 　　Para gadis lainnya saling pandang dengan malu. 　　Perilaku anggota lingkaran sosial elite seperti ini benar-benar mempermalukan. 　　Ibu Suri Xian memecahkan keheningan: "Penampilan kalian semua tadi sangat mengesankan. Masih ada yang ingin unjuk kebolehan?" 　　Chen Huifu memang tidak ada dalam daftar calon Ibu Suri Xian. Kepergian si badut ini justru membuat suasana menjadi tenang. 　　Para gadis saling memandang ragu. 　　Tampil di saat seperti ini punya keuntungan dan risiko tersendiri. 　　Sisi positifnya, keributan yang ditimbulkan Chen Huifu seolah membuat segalanya akan berjalan lancar hanya dengan memamerkan bakat. Namun inilah justru kelemahannya. 　　Saat ini pikiran orang-orang sedang tidak stabil. Kecuali pertunjukan bakat bisa menyaingi Tarian Xuanpo Kou Lingbo atau memiliki keajaiban membuat bunga plum mekar seperti Nona Jiang, semuanya hanya akan menjadi formalitas belaka. 　　Kalau hanya formalitas, untuk apa dilakukan? 　　Ji Fanghua berdiri sambil tersenyum, "Bibi, izinkan keponakan memainkan lagu untuk Anda dan Nyonya Zhuangfei. Semoga bibi dan Nyonya Zhuangfei tidak menganggap permainan saya kaku." 　　Yu Jin mengangkat alis heran. 　　Rupanya sepupunya. 　　Sepupu dari Keluarga An Guogong? 　　Begitu teringat Keluarga An Guogong, perasaan Yu Jin seperti menelan lalat busuk. 　　Bertunangan dengan A Si, lalu membatalkan pertunangan dengan A Si. Sungguh tempat yang membesarkan orang bodoh. 　　Sementara Yu Jin terus menggerutu dalam hati, Ji Fanghua dengan percaya diri berjalan ke tengah arena dan berlutut di samping rak qin. 　　Lagu "Gunung Tinggi dan Air Mengalir" yang dimainkannya meski tidak menampilkan keahlian luar biasa, berhasil meredakan kegelisahan di hati para hadirin. 　　Ji Fanghua membungkuk hormat ke arah Ibu Suri Xian dan Zhuangfei, lalu berjalan menuju tempat Jiang Si. 　　Itu sebenarnya tempat duduknya, hanya saja sejak tadi dipanggil bibinya untuk duduk di sampingnya sehingga tidak sempat kembali. 　　Melihat ini, Ibu Suri Xian menggerakkan bibirnya namun tak bisa berkomentar di tengah keramaian seperti ini. 　　“Terhadap keponakan ini, dia merasa puas: penurut dan manis mulutnya, juga tahu menyelamatkan situasi. Sayangnya status sebagai keponakan dari keluarga ibu membuatnya mustahil menjadi Permaisuri Yan.” 　　Memikirkan ini, Ibu Suri Xian merasa sedikit menyesal. Tiba-tiba muncul ide: Seandainya Lao Si benar-benar bisa merebut posisi itu, mengapa posisi Permaisuri harus diberikan kepada Permaisuri Qi yang biasa-biasa saja? 　　Saat itu tiba, bukan lagi dia dan Lao Si yang bersatu melawan musuh, tapi saatnya merencanakan masa depan keluarga ibunya. Mengapa keponakannya tidak bisa menjadi Permaisuri? 　　Pikiran Ibu Suri Xian melayang-layang, merasa ide ini sempurna. Senyum tipis mengembang di bibirnya. 　　Berkat pertolongan Ji Fanghua, suasana kembali meriah. 　　Setelah para gadis selesai menunjukkan kemampuan, Ibu Suri Xian dan Zhuangfei saling bertatapan. 　　Ibu Suri Xian membersihkan tenggorokannya, tersenyum: "Adik Zhuangfei, apakah kau merasa generasi muda menggeser generasi tua? Hari ini hamba benar-benar tercengang." 　　Zhuangfei tersenyum: "Murid melampaui guru, memang begitulah dunia. Kakak Xianfei tak perlu iri." 　　Ibu Suri Xian tertawa besar: "Usia hamba sudah senja, mana bisa dibandingkan dengan bunga-bunga muda ini. Tapi para gadis ini semua berbakat, sampai hamba bingung menilai mana yang terbaik." 　　"Benar juga." Zhuangfei mengangguk perlahan. 　　Ibu Suri Xian menatap Pangeran Shu dan Yu Jin: "Begini saja, hari ini biarkan kedua pangeran memilih beberapa putri bangsawan terbaik untukku dan Zhuangfei. Dengan begitu hadiah kecil yang kami siapkan bisa diberikan. Bagaimana pendapat kalian berdua?" 　　Pangeran Shu berdiri dan menyatukan kepalan tangan: "Jika Nyonya mempercayai hamba, hamba akan berani memilih. Jika ada kesalahan, mohon maafkan hamba." 　　Yu Jin tidak menunjukkan kerendahan hati seperti Pangeran Shu, menjawab dengan jujur: "Terima kasih atas kesempatan yang Nyonya berikan pada Erchen." 　　Ibu Suri Xian dan Zhuangfei tersenyum tanpa bicara, sementara para gadis diam-diam memerah pipi. 　　Baik kharisma Pangeran Shu maupun ketampanan luar biasa Pangeran Yan, semuanya membuat mereka berdebar-debar menanti pemberian bunga. 　　Entah berapa orang yang akan terpilih hari ini. 　　Dua dayang segera maju membawa keranjang bunga berisi beberapa ranting plum hijau. 　　Wajah para gadis berusaha tenang, namun diam-diam menghitung jumlah ranting plum. 　　Satu, dua... 　　Setiap keranjang berisi enam ranting plum. Ranting di keranjang pertama diikat pita merah muda, keranjang kedua pita biru. 　　Hati para gadis berdebar-debar, semangat langsung bangkit. 　　Enam ranting per keranjang berarti dua pangeran akan memilih enam kandidat masing-masing. Dengan demikian dua belas orang akan terpilih dari yang hadir - kesempatannya cukup besar. 　　Melihat dayang berhenti di depan kedua pangeran, Ibu Suri Xian mengangguk halus memberi isyarat untuk memulai. 　　Pangeran Shu menatap Yu Jin. 　　Yu Jin tersenyum: "Kakak Keenam silakan duluan." 　　"Kalau begitu kakak tidak menolak lagi." Pangeran Shu mengambil ranting plum dengan pita biru dan berjalan ke arah para gadis. 　　Langkahnya membuat jantung para gadis berdebar kencang. 　　Saat melewati sisi Jiang Si, langkah Pangeran Shu terhenti sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. 　　Dalam hati ia menghela napas panjang: Sudahlah, ini memilih permaisuri resmi bukan selir. Latar belakang keluarga dan karakter jauh lebih penting daripada kecantikan. 　　Tidak boleh bertindak emosional, tidak boleh mengecewakan ibu selir... 　　Yu Jin menatap punggung Pangeran Shu sambil tersenyum tipis. 　　Putra Keenam masih tahu diri. 　　Tiba-tiba Pangeran Shu yang sudah melewati Jiang Si berbalik badan dan meletakkan ranting plum di piring giada di depan Jiang Si. 　　Persetan dengan latar belakang keluarga dan karakter! Orang yang bicara begitu pasti karena gadis-gadis itu tidak cukup cantik, apalagi punya kemampuan membuat kuncup plum mekar! 　　Baru saja melihat suara bulanan, jumlahnya ternyata jauh melebihi perkiraan (ehem, sebagai orang yang tahu diri, ekspektasi awalnya memang rendah). Seketika merasa bingung: Apa yang terjadi? Di mana ini? Siapa saya? Apakah tanpa sengaja saya sudah menjadi malaikat kecil yang dicintai para pemberi suara? Membungkuk hormat, sampai jumpa bulan depan, sayangku semua. 358.BAB 358 Silakan terima dengan senyum 　　BAB 358 Silakan terima dengan senyum 　　Pada saat Pangeran Shu meletakkan bunga plum hijau di depan Jiang Si, suasana tiba-tiba hening. 　　Dan dalam keheningan yang luar biasa ini, dia tersadar. 　　Apa yang telah dia lakukan? 　　Benar, dia mengikuti naluri seorang pria dengan menaruh bunga plum hijau di depan gadis tercantik di tempat itu. 　　Sedikit malu, lebih banyak menyesal, namun penyesalan sebesar apapun tak bisa mengubah fakta yang terlanjur dibuat karena impulsif. 　　Meski hati Pangeran Shu bergejolak, raut wajaknya tetap tenang. Dia mengusap hidungnya pelan dan berbalik pergi. 　　Masih ada lima tangkai bunga plum hijau yang bisa diberikan ke lima gadis lainnya, sebenarnya tindakan impulsif ini bukanlah masalah besar. 　　Meski begitu, Pangeran Shu masih melirik Zhuangfei dengan sudut matanya, menyaksikan wajahnya yang tiba-tiba muram. 　　Saat ini Zhuangfei benar-benar kebingungan. 　　Dia sama sekali tidak menyangka putranya yang selalu bijaksana dan tenang bisa melakukan tindakan mengejutkan seperti ini. 　　Bagaimana mungkin dia memberikan bunga plum hijau kepada gadis dari Keluarga Dongping Bo yang pernah memutuskan pertunangan! 　　Setelah keterkejutan, datanglah amarah yang membara. 　　Marah karena putranya tergoda kecantikan, marah pada Ibu Suri Xian yang gila memberikan undangan kepada gadis Dongping Bo. 　　Segala gejolak emosi itu hanya terpancar melalui ketenangan wajah dan sorot mata yang dalam. Bertahun-tahun di istana telah membuat wanita berkedudukan tinggi seperti Zhuangfei menguasai seni menyembunyikan perasaan. 　　Untung saja, enam tangkai plum dan enam kandidat permaisuri, akhirnya yang terpilih tetap dia. 　　Para putri bangsawan menyaksikan Pangeran Shu berjalan kembali, perasaan kecewa, terkejut, kesal, dan bingung berbaur di hati, akhirnya hanya tersisa kepahitan: Hanya karena Nona Jiang cantik, Pangeran Shu langsung memberinya tangkai plum pertama? Ini sungguh tidak adil, apa gunanya kecantikan? Bisakah dimakan, diminum, mengurus rumah tangga, atau menjadi penopang bagi suami? 　　Sama sekali tidak! Hanya warisan lahiriah belaka! 　　Sambil berpikir demikian, para putri bangsawan menggeretak sapu tangan kecil di tangan mereka bolak-balik... hampir merobeknya menjadi sobekan kain. 　　Sementara itu, Yu Jin hanya ingin melompat dan menendang dada Pangeran Shu. 　　Bajingan Putra Keenam ini, berani-beraninya mengincar istriku! 　　Benar, A Si memang sempurna dalam segala hal. Bajingan ini masih punya selera, tapi selera sebaik apapun tak boleh mengincar istri adik sendiri, sungguh tidak berperikemanusiaan! 　　Seiring langkah Pangeran Shu yang mendekat, Yu Jin perlahan tenang. 　　Secara logika, tindakan Pangeran Shu justru menguntungkannya. 　　Ia yakin Zhuangfei dan Ibu Suri Xian adalah tipe orang yang sama. Melihat anak lelaki mereka memberi bunga plum ke A Si, pasti kalang kabut. Dengan begini, saat ia menyatakan memilih A Si, Zhuangfei pasti akan mendukung penuh. 　　Ah, tetap saja kesal. 　　“Orang-orang buta itu berani meremehkan A Si? Suatu hari mereka pasti akan menyesal!” 　　Tangan yang tergantung di samping tubuhnya mengepal erat, urat-urat di punggung tangan menonjol, namun raut wajah Yu Jin tetap dingin membeku. 　　Ia ingin melihat bagaimana Pangeran Shu terus menggali kuburannya sendiri. Jika cabang plum kedua juga diberikan ke A Si, maka ia benar-benar tidak akan menahan diri lagi. 　　Memandangi kekasih hatinya dipilih-pilih oleh pria lain, Yu Jin benar-benar memahami arti peribahasa "menahan amarah bagai pisau menusuk jantung". 　　Rasanya benar-benar sangat menyebalkan. 　　Pangeran Shu menghampiri Yu Jin sambil membuat gerakan tangan: "Sekarang giliran Adik ketujuh." 　　“Tidak perlu, Kakak keenam bisa langsung memilih semuanya.” kata Yu Jin dengan datar. 　　Pangeran Shu menolak: “Bagaimana bisa begitu.” 　　Bergantian memilih sesuai tata krama. Jika ia langsung memberikan enam cabang plum sekaligus, sama saja dengan menerima sisa pilihan Pangeran Yan. 　　Itu tidak pantas, nanti dikira ia terlalu otoriter. 　　Yu Jin tersenyum: “Untuk apa repot-repot? Lebih baik Kakak keenam memilih dulu, baru saya menyusul. Malas bolak-balik berdiri dan duduk.” 　　Melihat keteguhannya, Pangeran Shu pun mengalah. 　　Dengan pandangan dingin, Yu Jin mengikuti gerak Pangeran Shu yang mengambil cabang plum hijau kedua dari dayang dan meletakkannya di depan Nona Kou Lingbo dari Kediaman Marquis Shouchun. Barulah dadanya terasa lega. 　　Kou Lingbo menatap plum hijau di piring giok putih di hadapannya, menundukkan mata perlahan, telinganya mulai memerah. 　　Pangeran Shu menatap telinga gadis yang anggun, bayangan wajah cantik namun dingin melintas di pikirannya. Dalam hati ia tertawa: Sudahlah, meski putri Dongping Bo Residence secantik apapun, si cantik dingin tak menarik. 　　Sambil berpikir demikian, matanya tak kuasa melirik ke arah Jiang Si. 　　Jaket merah muda, rok putih polos, siluet ramping, dan profil wajah yang sempurna. 　　Segera semua pembenaran diri Pangeran Shu hancur berkeping. 　　Ia berbohong! Cantik dingin justru sangat menggoda! Hanya saja karena tak bisa memilikinya, ia menipu diri sendiri. 　　Pangeran Shu yang sudah kembali waras menghela nafas, lalu tersenyum: "Penampilan dua nona sungguh memukau. Dua tangkai plum ini hadiah untuk kalian. Pasti Nyonya Zhuangfei dan semua hadirin tak akan menyalahkan selera hamba." 　　Sikap terbukanya, ditambah keahlian Jiang Si dan Kou Lingbo yang memang terbaik di antara putri bangsawan, membuat pemberian tangkai plum pertama kepada Jiang Si tak terkesan mencurigakan. 　　Nyonya Zhuangfei tetap tenang, namun senyum tipis mengambang di matanya. 　　Ia selalu tahu anak lelakinya bisa diandalkan. 　　Nyonya Xianfei mengerutkan alis, penyesalan menyelinap di hati. 　　Sudah mengira akan melihat lelucon, ternyata tak jadi. 　　Terhadap Zhuangfei, Ibu Suri Xian selalu menyimpan rasa was-was. 　　Masuk istana lebih belakangan darinya, wajahnya pun biasa-biasa saja, namun hanya karena pandai melantunkan dua baris puisi langsung mendapat kasih sayang Kaisar, dan bertahan hingga kini. 　　Selama bertahun-tahun, Ibu Suri Xian tak pernah melihat Zhuangfei melakukan kesalahan. Sungguh penyesalan yang sangat besar. 　　Pangeran Shu mengambil tangkai ketiga bunga plum hijau, memandang sekeliling sejenak, lalu ragu-ragu meletakkannya di piring giada putih di depan seorang putri bangsawan. 　　Putri bangsawan yang menerima plum hijau itu wajahnya berseri-seri, namun berusaha menahan kegembiraannya. 　　Putri-putri lain yang melihat penerima plum itu bukan dari keluarga paling terkemuka dan wajahnya pun biasa saja, kembali merasa kesal: Wajar jika Pangeran Shu memberi plum pada Kou Lingbo yang menari luar biasa dan Nona Jiang yang cantik jelita, tapi mengapa si Anu juga dapat? 　　Dibandingkan si Anu, diri mereka sendiri lebih layak. 　　Begitu berpikir, para putri pun kembali berharap. 　　Jika Pangeran Shu bisa memberi plum pada putri bangsawan biasa, bukankah berarti semua orang punya kesempatan? 　　Di tengah penantian penuh harap para putri, Pangeran Shu membagikan tiga tangkai plum yang tersisa. 　　Para putri yang menerima plum girang bukan main, sementara yang tidak mendapatkannya merasa kecewa. 　　Yu Jin berdiri, mengambil sebatang plum hijau dari keranjang bunga dayang di hadapannya. 　　Segala perasaan para putri langsung tersimpan, menegangkan menunggu kepada siapa Pangeran Yan akan memberikan tangkai plum pertamanya. 　　Secara umum, putri bangsawan yang pernah menerima plum hijau tidak akan mendapat plum dari Pangeran Yan lagi. Maka dari enam putri bangsawan tersisa, masing-masing memiliki peluang yang cukup besar. 　　Yu Jin berjalan cepat mendekati Jiang Si. 　　"Silakan Nona Jiang menerimanya." Pemuda yang tersenyum sambil memegang bunga itu meletakkan plum hijau di piring giok di depan Jiang Si. 　　Para gadis terkejut, senyum Ibu Suri Xian menjadi kaku, sementara Pangeran Shu setelah terkejut lalu tersenyum pengertian. 　　Setiap suami mana yang tidak ingin berdiri di posisi tertinggi, meniduri wanita tercantik. 　　Yu Jin menatap Jiang Si dalam-dalam sebelum berbalik, mengeluarkan tangkai plum kedua dan kembali berjalan ke arah para gadis. 　　Para gadis serentak berpikir: Mungkinkah Pangeran Yan juga akan memberikan tangkai plum kedua kepada Nona Kou? 　　Dua pangeran memberikan dua tangkai plum kepada dua gadis yang penampilannya paling menonjol, hal ini cukup masuk akal. 　　Di tengah berbagai spekulasi, Yu Jin kembali berhenti di depan Jiang Si dan meletakkan plum sambil tersenyum: "Silakan Nona Jiang menerimanya." 　　Para pembaca yang bijak, jangan hanya menuntut chapter ekstra dariku. Pikirkan penulis yang tetap konsisten update meski sedang bepergian, bukankah ini membuat kalian semangat memberi vote? Aku berjanji tidak akan keluar di Agustus, fokus menulis untuk persiapan chapter ekstra. Butuh dukungan vote kalian, jangan lakukan 'vote tearing'. 359. BAB 359 Tidak Ada yang Paling Mengejutkan, Hanya yang Lebih Mengejutkan 　　BAB 359 Tidak Ada yang Paling Mengejutkan, Hanya yang Lebih Mengejutkan 　　Saat plum hijau di tangan pemuda berbaju brokat jatuh ke piring giok putih di depan Jiang Si, para gadis serentak terkejut. 　　Apakah penglihatan mereka salah? 　　Putri bangsawan yang berwatak impulsif mulai menggosok mata, sementara yang tenang pun sulit menjaga ketenangan. 　　Apakah Pangeran Yan benar memberikan kedua plum hijaunya kepada Nona Jiang? 　　Tatapan beralih ke Ji Fanghua yang tak jauh dari Jiang Si. Banyak yang berpikir: Jangan-jangan Pangeran Yan salah melempar, mungkin plum ini untuk Putri Ji dari Keluarga An Guogong? 　　Ji Fanghua berasal dari keluarga terhormat, keponakan perempuan dari Ibu Suri Xian, dan sepupu dekat Pangeran Yan. Wajar jika mendapat satu tangkai plum. 　　Seharusnya, selama Pangeran Yan masih peduli pada harga diri, satu dari enam tangkai plum itu pasti diberikan untuk sepupu perempuannya. Jika tidak, muka Ibu Suri Xian akan rusak. 　　Wajah Ibu Suri Xian kini memanjang. Kuku panjang bertatahkan permata menekan meja kayu, mengeluarkan sura derik halus. 　　Tangkai pertama untuk putri Dongping Bo Residence masih bisa ditahan. Toh ada contoh dari Pangeran Shu sebelumnya. Memuji kecantikan memang naluri pemuda. Tapi tangkai kedua masih diberikan pada si gadis bermarga Jiang? Ini benar-benar melampaui batas kesabarannya! 　　Baru saja ia ingin menertawakan Zhuangfei, tapi sekejap mata dirinya sendiri yang jadi bahan tertawaan. 　　Zhuangfei nyaris tak bisa menjaga ekspresi tenangnya. 　　Putra bungsu Ibu Suri Xian ternyata adalah orang seperti ini... 　　Mabuk oleh kecantikan, putranya sendiri juga pernah mabuk sekali, untung cepat sadar. Tapi Pangeran Yan malah mabuk dua kali. 　　Alasan memberikan bunga karena performa Nona Jiang yang luar biasa menjadi tidak masuk akal. 　　Ini murni terpikat oleh kecantikan Nona Jiang! 　　Zhuangfei diam-diam menggelengkan kepala. 　　Dengan Pangeran Yan menjadi orang seperti ini, hatinya merasa lega. 　　Pastinya Ibu Suri Xian sedang sangat marah sekarang? 　　Zhuangfei melirik ke arah Ibu Suri Xian. 　　Lirikan ini membuat Ibu Suri Xian yang hampir meledak tiba-tiba tersadar. 　　Jangan panik. Jika panik, justru akan memuaskan hati Zhuangfei. 　　Ia memaksakan senyuman, matanya tak lepas mengawasi gerak-gerik Yu Jin selanjutnya. 　　Jiang Si menatap dua tangkai plum hijau di nampan giok dengan keheranan, namun merasa ini memang hal yang khas dilakukan Yu Qi. 　　Awalnya ia mengira hanya akan mendapat satu tangkai plum dari Yu Qi, lalu mengamatinya berdiplomasi antara Kaisar dan Ibu Suri Xian untuk memantapkan perjodohan mereka. Tak disangka dia langsung membagikan semua enam tangkai plum padanya tanpa basa-basi. 　　Ya, saat ini Jiang Si sudah paham - sisa plum hijau Yu Jin pasti semuanya untuknya. 　　Tapi mau diberikan ke siapa lagi? Membayangkan suaminya memberi bunga ke wanita lain saja sudah membuat kesal. 　　Jiang Si sedikit melengkungkan bibirnya. 　　“Apa, ternyata di piring ada cabang ketiga plum hijau? Maaf, hadiah dari orang yang tidak diminati, tentu tak akan dia hiraukan.” 　　Melihat Jiang Si tersenyum, Yu Jin langsung merasa hati berbunga-bunga. 　　Menyaksikan A Si bahagia, dia pun ikut bersukacita. 　　Suasana tak lagi bisa dijaga tenang, bisikan-bisikan rendah berdesir dari segala penjuru bagai lalat busuk yang mengganggu ketenangan. 　　Yu Jin sama sekali tak menghiraukan ini, fokus sepenuhnya pada yang ingin dilakukan. 　　“Silakan Nona Jiang menerimanya.” Dia meletakkan cabang ketiga plum hijau di hadapan Jiang Si. 　　Bisikan semakin keras, berubah menjadi gemuruh. 　　“Apa? Pangeran Yan benar-benar memberikan cabang ketiga plum hijau kepada Nona Jiang?” 　　Seorang putri bangsawan bergumam: “Ternyata pemberian cabang kedua plum hijau oleh Pangeran Yan bukan karena keseleo tangan ya...” Nada suaranya memanjang, disertai desahan, menyembunyikan kepahitan dan kecemburuan. 　　Mengapa bisa ada wanita seberuntung ini? Hanya karena dia lebih cantik? 　　Satu cabang dari Pangeran Shu, tiga cabang dari Pangeran Yan, apakah Nona Jiang ingin menyedot semua perhatian? 　　Putri bangsawan lain menyindir: “Mana mungkin keseleo tangan, Pangeran Yan memang tertarik pada Nona Jiang.” 　　“Cabang keempat plum hijau akan diberikan ke siapa? Jangan-jangan lagi ke Nona Jiang?” 　　Seorang putri bangsawan menggeleng tak percaya: “Tak mungkin, sama sekali tak mungkin! Tak ada aturan memberi empat cabang ke orang yang sama, ini kan pesta pemilihan selir——” 　　“Tidak sengaja bicara terlalu blak-blakan,” putri bangsawan itu buru-buru menggigit bibirnya, wajahnya memerah karena malu. 　　Walau sudah menjadi rahasia umum bahwa dua pangeran akan memilih permaisuri di Banquet Plum Mekar, mengatakannya terang-terangan tetap saja memalukan. 　　Saat itu, tak ada yang menghiraukan kemalangan putri bangsawan itu. Semua mata tertancap pada Yu Jin, menanti kepada siapa ia akan menghadiahkan tangkai keempat plum hijau. 　　Jika diberikan ke putri bangsawan lain, masih ada tiga kesempatan tersisa. Tapi jika tetap diberikan pada Nona Jiang... Tidak, tidak mungkin, Pangeran Yan pasti sudah gila jika berani melakukan ini. 　　Namun tangkai keempat plum hijau di tangan Yu Jin dengan mantap mendarat di piring giok putih di hadapan Jiang Si. 　　“Silakan Nona Jiang menerimanya dengan senyuman.” Suara pemuda itu tetap tenang dan jernih, bagai salju musim semi yang mencair di puncak gunung. 　　Bersih, namun mengandung kehangatan yang tak terungkapkan. 　　Bagaimana tidak hangat? Empat tangkai plum diberikan pada satu orang, cukup membuktikan isi hati sang pemuda. 　　“Gila, gila... Pangeran Yan pasti sudah gila...” Seorang putri bangsawan bergumam dengan wajah kosong. 　　Putri bangsawan di sampingnya segera menutup mulutnya, berbisik kesal: “Sadarlah! Jangan bicara sembarangan!” 　　Seburuk apapun Pangeran Yan, dia tetap seorang pangeran. Bukanlah tempat mereka untuk membicarakannya secara sembarangan. 　　Ibu Suri Xian sudah tak bisa duduk tenang lagi, aura ketenangannya yang biasa lenyap seketika. 　　Yu Jin tersenyum sambil menaruh tangkai kelima plum hijau ke dalam piring giok putih di depan Jiang Si. 　　Dibandingkan dengan piring giok putih yang kosong di hadapan putri bangsawan lain, piring giok putih di hadapan Jiang Si sudah penuh dengan ranting plum. 　　Pada saat ini, suasana kembali hening. 　　Begitu terkejut hingga mati rasa, yang tersisa hanyalah menyaksikan bagaimana peristiwa ini berkembang. 　　Akankah ada kejadian yang lebih mengejutkan lagi? 　　Seharusnya tidak, paling-paling Pangeran Yan akan memberikan ranting plum hijau keenam kepada Nona Jiang. 　　"Kasih, kasih saja! Pikir kami masih akan terkejut? Hmph, Pangeran Yan sudah berani melakukan hal memalukan seperti ini, apapun yang dilakukannya kami takkan terkejut lagi!" 　　Nyatanya, para gadis ini terlalu naif. 　　Saat Yu Jin meletakkan ranting plum hijau keenam sambil berkata "Silakan diterima, Nona Jiang", dengan santai ia membolak-balik piring giok yang sudah penuh, lalu menarik ranting plum hijau berikat pita biru dan melemparkannya sembarangan ke meja. 　　Para gadis tertegun, mengikuti gerakannya dengan tatapan yang semakin bingung. 　　Bukan hanya melempar ranting plum hijau yang diberikan Pangeran Shu kepada Nona Jiang ke meja, yang lebih keterlaluan adalah Pangeran Yan melemparnya ke meja orang lain! 　　Menatap ranting plum hijau di mejanya, Ji Fanghua menggigit bibir. 　　Ini benar-benar musibah yang datang tiba-tiba, bukan? 　　Ia bersumpah, sepupu pria ini adalah orang yang paling dibencinya, tidak ada yang lain. 　　Namun karena itu juga, saat memandang Jiang Si yang tidak jauh darinya, Ji Fanghua tiba-tiba merasakan simpati yang dalam. 　　"Dulu Kakak ketiga ngotot menikahi gadis rakyat jelata, membatalkan perjodohan dengan Nona Jiang. Bukankah ini bencana tak terduga bagi Nona Jiang?" 　　Kekecewaan Nona Jiang saat itu pasti ribuan kali lebih dalam daripada perasaannya. 　　Sebuah tangan menjulur, mengambil bunga plum di depan Ji Fanghua dan melemparkannya ke tanah. 　　"Maaf, lemparanku meleset." 　　Yu Jin mengatakannya lalu menoleh memberi hormat ke Pangeran Shu: "Piring giok Nona Jiang tak muat menampung begitu banyak bunga plum, aku ambil bunga Kakak Keenam ini. Kakak tidak kecewa, kan?" 　　Sampai jumpa besok. 360. BAB 360: Mengungkap 　　BAB 360: Mengungkap 　　Pangeran Shu hanya bisa tersenyum pahit: "Tentu saja tidak." 　　Dalam hati ia justru mengagumi Yu Jin: Lao Qi benar-benar berjuang mati-matian demi kecantikan. 　　Sebagai pria sehat jasmani-rohani, siapa tak ingin menikahi wanita cantik jelita? Tapi kewajiban seorang istri bukan sekadar memuaskan suami. Melahirkan anak, mengurus rumah tangga, melayani mertua... Semua lebih penting dari itu. 　　Apalagi sebagai Permaisuri, tanggung jawabnya semakin berat. 　　Permaisurinya tak boleh hanya bermodal rupa. 　　Memilih istri cari yang bijaksana, mengambil selir cari yang cantik. Ini pilihan orang bijak. 　　Tindakan LaoQi mengembalikan ranting plum hijaunya justru membuatnya lega, meski agak menyesal. 　　Menikahi seorang putri bangsawan tinggi adalah yang paling sesuai dengan harapan Ibu Selir, dan juga paling menguntungkan baginya. 　　Adapun kecantikan, di masa depan tentu bisa memilih beberapa selir dan selir sampingan berparas menawan sesuai keinginan. 　　Di tengah pandangan kaku dan lamban seluruh hadirin, Yu Jin dengan santai kembali ke tempat duduknya. 　　Ibu Suri Xian yang tanpa sadar telah berdiri terhuyung sedikit. 　　Apa yang telah dilakukan si brengsek Lao Qi ini? 　　Pasti dia sedang bermimpi, kalau tidak bagaimana mungkin menyaksikan hal absurd seperti ini? 　　Rasa sakit di telapak tangan membuat Ibu Suri Xian tersadar, wajahnya muram bagai mendung. 　　Ini bukan mimpi! Si brengsek Lao Qi tidak hanya melakukan hal memalukan, tapi juga duduk kembali seolah tak terjadi apa-apa. Apakah dia sama sekali tidak menghormati Ibu Selir ini? 　　Dia sudah bisa membayangkan, begitu Pesta Apresiasi Plum ini berakhir, namanya akan menjadi bahan tertawaan di dalam dan luar istana, bahkan membuat Lao Si kehilangan muka. 　　Ibu Suri Xian gemetar marah, tapi tak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan Zhuangfei. Ia menarik napas dalam dan berkata perlahan: "Pangeran Yan, bagaimana bisa kau bertingkah sembarangan di acara seperti ini?" 　　Dengan mengklasifikasikan tindakan mengejutkan Yu Jin sebagai kenakalan remaja, Ibu Suri Xian berharap Yu Jin memiliki sedikit kecerdikan untuk mencari celah pelarian. 　　Ibu Suri Xian menatap Yu Jin dengan mata berapi-api penuh peringatan. 　　Yu Jin berdiri, tersenyum lebar pada Ibu Suri Xian: "Nyonya bercanda, Erchen bukan anak-anak lagi, mana mungkin berbuat konyol di acara resmi seperti ini." 　　Ibu Suri Xian menggigit bibirnya kuat-kuat, berkata kata demi kata: "Banyak gadis terhormat hadir di sini, pertunjukan bakat tadi juga tak sedikit yang luar biasa. Memberi semua enam ranting plum pada Nona Jiang saja, ini tidak adil bagi gadis-gadis lain." 　　Yu Jin tersenyum. 　　Pemuda tampan dengan aura dingin nan bersih, ditambah tindakan mengejutkan barusan. 　　Pangeran Yan seperti ini, para gadis terpaksa mengakui, sangat memikat. 　　Apa yang lebih menggugah daripada pria sempurna yang meremehkan semua wanita, namun hanya mencurahkan hati pada satu orang? 　　Ji Fanghua memandang dingin reaksi para gadis, menopang dagu dengan tangan, menggeleng pelan. 　　Dasar bodoh. Sebaik apapun seorang suami, jika matanya memandang orang lain, apa gunanya seribu kebaikannya bagimu? 　　Apalagi sepupunya ini hanya menyebalkan, mana ada baiknya. 　　Kakak ketiganya juga sama menyebalkan. Setelah diamati, tak ada yang semenarik Nona Jiang. 　　Senyum Yu Jin mengembang, suaranya tidak keras namun jelas terdengar di telinga para gadis. 　　Hampir seperti menghela napas, ia berkata: "Nyonya, di dunia ini, mana ada keadilan mutlak?" 　　Ibu Suri Xian tertegun, tak bisa mengungkapkan perasaannya. 　　Sejenak, banyak hal teringat olehnya. 　　Misalnya Lao Si yang memikul semua harapannya, atau Lao Qi yang membuatnya menyesal telah melahirkannya... 　　Seberapa pun tidak bertanggung jawabnya Lao Qi, ucapannya ini benar: Di dunia ini, mana ada keadilan mutlak. 　　Benar, sungguh tidak adil. Dia melahirkan dua pangeran, salah satunya sejak lahir dikatakan membawa sial hingga Kaisar jatuh sakit. Alih-alih menikmati kemuliaan sebagai ibu dua pangeran, malah mendapat cemoohan dan pengabaian. 　　Kini, posisinya bahkan kalah dari Zhuangfei yang hanya punya satu pangeran dalam hal perhatian Kaisar. 　　Yu Jin membuka tangannya dengan tenang dan jujur: "Erchen merasa bunga plum hijau ini paling pantas diberikan pada Nona Jiang. Jika demi 'keadilan' semu lalu memberikannya ke gadis lain, bukankah ini berarti Erchen mengkhianati hati nurani? Justru itu baru tidak adil bagi gadis-gadis lain, bukan?" 　　Dia berhenti sejenak, lalu bersuara lantang: "Di mata Erchen, ini bukan keadilan, tapi kekonyolan." 　　Memilih selir, memilih selirmu! Istriku kenapa harus ditentukan orang lain? Dengan sengaja akan kuberikan keenam tangkai plum hijau ini semua pada A Si. Tanpa kandidat lain, lihat bagaimana Ibu Suri Xian mau memilih. 　　Ibu Suri Xian gemetar marah: "Apa itu kekonyolan?! Ini bukan Pesta bunga untuk memilih gadis berbakat! Ini Pesta Pemilihan Selir!" 　　Dalam kemarahannya, Ibu Suri Xian tak sengaja mengungkap hakikat sebenarnya dari Pesta Apresiasi Plum itu. 　　Segera semua gadis menundukkan mata dengan pipi memerah. 　　Di hari-hari biasa, mereka adalah putri-putri bangsawan yang dimanja, meski dipilih oleh keluarga kerajaan, begitu dibeberkan tetap memalukan. 　　Yu Jin mengangkat alis tinggi, berpura-pura terkejut lalu tersenyum memperlihatkan gigi putihnya: "Kalau begitu, Erchen lebih tidak perlu membagikan enam ranting plum hijau ke enam nona, lagipula Erchen cuma satu orang, tidak butuh enam istri." 　　Ji Fanghua tiba-tiba terkikik, buru-buru menutup mulut dengan sapu tangan seolah tak terjadi apa-apa. 　　Jiang Si menundukkan kelopak mata, menyembunyikan senyum di matanya. 　　Berkelit dengan logika ngawur tapi begitu percaya diri, mungkin cuma keluarga Yu Qi yang punya ciri khas seperti ini. 　　Para gadis itu tanpa sadar mengangguk mendengar omongan ngawur Yu Jin, baru kemudian tersadar: Ngapain manggut-manggut? Kedudukan Permaisuri Yan saja belum diperebutkan, sudah lenyap begitu saja! 　　Ibu Suri Xian juga terpana, merasa seperti terpojok di ujung tanduk. 　　Pesta pemilihan permaisuri yang akhirnya hanya memilih satu orang, benar-benar belum pernah terdengar. 　　Kalau ini terjadi pada orang lain mungkin bisa ditertawakan, tapi ketika menimpa anaknya sendiri, sungguh tidak mengenakkan. 　　Tapi di acara seperti ini tidak mungkin membentak Lao Qi habis-habisan. 　　Ibu Suri Xian seolah dipukul palu godam, amarahnya terpendam sambil menggenggam tangan erat: "Kau hanya butuh seorang istri, itu benar. Tapi urusan pernikahan selalu berdasarkan restu orangtua dan perantara. Keluarga kerajaan pun tak terkecuali. Bagaimana mungkin posisi Permaisuri bisa kau tentukan sendiri? Hal ini harus dibahas baik-baik antara hamba dengan Ayah Kaisarmu." 　　Yu Jin heran dan tersinggung: "Sebelumnya Ayah Kaisar berjanji Permaisuri Yan masa depan akan memuaskan hatiku. Ibu juga menyetujui. Mengapa sekarang janji itu berubah?" 　　Ibu Suri Xian tercekat, gemetar kesumat seolah organ dalamnya mau kejang. 　　Brengseknya Lao Qi! Pantas saja waktu itu dia tiba-tiba datang ke istana, ternyata sudah menyiapkan jebakan! 　　Bukan cuma untukku, bahkan Kaisar yang bodoh sudah lebih dulu masuk perangkapnya! 　　Begitu nama Kaisar Jingming disebut, Ibu Suri Xian pun kehabisan kata. 　　Dengan persetujuan Kaisar, jika dia memilih putri bangsawan selain si gadis Jiang, lalu Lao Qi bilang tak puas, bukankah dia akan jadi bulan-bulanan? 　　Ibu Suri Xian tak sengaja melirik ke arah Jiang Si. 　　Gadis berbaju merah dan rok polos itu mengingatkannya pada kecantikan luar biasa sang wanita tercantik ibu kota masa lalu. 　　Sama sekali tidak boleh! 　　Meski harus kehilangan muka hari ini, dia tak boleh dipaksa Lao Qi memilih si gadis Jiang sebagai menantunya! 　　Terima kasih kepada Yin Xiaotiao atas hadiah 10.000 koin Qidian, terima kasih kepada Weifeng Caicai, Ling Luoluo, Da Dao Wu Xing Zhi Yongye, Orang Kebal Racun yang Pernah Terlalu Parah, Gadis Cantik 007, selinajin, Luo Luo Liu Nian, Teman Pembaca 20180630210116556, Xue Xue Ai Yuedu, Teman Pembaca 20180729161528330, Lian Zhege Dou Youle, Sophia Jie, Shu Mei, You Bear Er Lai, Liu Gou Yi＿Yi Ren, guiyue08, iampetty, №Xiǎo Māo Er, Zai Huanxiang Zhong Youli, Xi Yuan atas hadiahnya, serta terima kasih kepada teman-teman pembaca yang memberikan vote. 361. BAB 361 Kedatangan Sang Kaisar 　　BAB 361 Kedatangan Sang Kaisar 　　Ibu Suri Xian mengamati Jiang Si, kata-katanya seolah dikeluarkan dari sela gigi: "Kepuasan hati bukanlah hal yang bisa didapat hanya dengan bertemu sekali atau merasa senang saat pandangan pertama. Dua orang yang akan menghabiskan seumur hidup bersama, butuh memperhatikan banyak hal untuk mencapai kepuasan hati." 　　Sudah sampai di tahap ini, ia sepenuhnya berhak memperlihatkan ekspresi tidak senang pada si gadis bermarga Jiang ini, tanpa dicela sebagai pribadi yang tidak lapang dada. 　　Seorang nona kecil, bisa membuat dua pangeran memberikannya bunga, ini sudah bukan calon yang cocok untuk masuk keluarga kerajaan. Apalagi sampai membuat Pangeran Yan memberikan semua bunga plum hijau hanya untuknya. 　　Apa maksudnya ini? Ingin menjadi penyebab malapetaka karena kecantikan? 　　Yu Jin semakin bersandar santai, berkata datar: "Jika sekilas pandang saja sudah tidak nyaman, bagaimana bisa bicara tentang seumur hidup? Menurut pendapat Nyonya, apakah semua orang harus menunggu sampai ujung hayat baru bisa menilai apakah hidupnya memuaskan?" 　　Para gadis: Apa maksudnya? Pangeran Yan merasa tidak nyaman hanya dengan melihat kami sekali? 　　"Seketika hawa pembunuhan memenuhi langit." 　　Yu Jin mengabaikan wajah Ibu Suri Xian yang semakin masam, tersenyum: "Singkatnya, saat ini anak lelaki ini merasa sangat puas dan bahagia. Percaya dengan restu Ayah Kaisar yang berharga bagai emas, di masa depan pun akan tetap merasa puas dan bahagia." 　　Ibu Suri Xian memberanikan diri, menundukkan mata dan berkata berat: "Puas dan bahagia bukan berarti bisa bertindak semaunya. Pokoknya hal tak sesuai tata krama seperti ini hamba tidak setuju. Pangeran Yan harus memilih: kembalikan enam ranting plum hijau ini kepada enam nona, atau tunggu hamba yang akan mengaturkan untukmu nanti." 　　Kalimat tegas itu langsung mematikan percakapan, ruangan seketika sunyi senyap. 　　Yu Jin menatap tajam ke arah Ibu Suri Xian, sorot matanya dalam bagai kolam gelap. 　　Ibu Suri Xian mengernyitkan alis, dalam hati mencemooh: Apakah Lao Qi berani membantah di depan umum? Kalau begitu, justru akan semakin mudah baginya untuk mengendalikan anak ini. Anak ini harus diberi pelajaran, sama sekali tidak menghormati ibu kandungnya sendiri. 　　"Kakak Suri Xian, tak perlu terlalu banyak berdebat dengan junior. Acara menikmati plum hari ini seharusnya menjadi hal yang menyenangkan. Menurut hamba, jika dalam hidup bisa meraih kepuasan dan kebahagiaan, itu sudah merupakan keberuntungan besar." Zhuangfei turut angkat bicara di saat tepat. 　　Ibu Suri Xian ingin mencakar wajang polos Zhuangfei sampai babak belur. 　　Pelacur Zhuangfei ini benar-benar enak bicara tanpa merasakan susahnya! Apa maksudnya "jika dalam hidup bisa meraih kepuasan dan kebahagiaan itu keberuntungan besar"? Apakah ini sindiran bahwa dia sedang menyusahkan anak kandungnya sendiri? 　　“Hmph, kalau Pangeran Shu memberikan semua enam ranting plum hijau kepada si gadis bermarga Jiang, dan Zhuangfei masih bisa berkata demikian, aku benar-benar ‘salut’ padanya.” 　　Ibu Suri Xian tersenyum: “Adik Zhuangfei salah paham, mana mungkin aku berselisih dengan anak kandung sendiri? Aku justru merencanakan yang terbaik untuknya, sama seperti kamu merencanakan untuk Pangeran Shu.” 　　Zhuangfei tersenyum tipis, mengakhiri perdebatan verbal dengan Ibu Suri Xian. 　　Bagaimanapun juga, hari ini ia sudah menyaksikan seluruh drama ini. Kisah memalukan Ibu Suri Xian mungkin akan menjadi buah bibir di istana untuk waktu lama. Dibandingkan itu, pemberian sebatang plum hijau dari anakku kepada Nona Jiang sama sekali bukan masalah. 　　Pandangan samping Zhuangfei menyapu Yu Jin, hati kecilnya berdesah: Terima kasih Pangeran Yan yang telah menjadi kontras untuk menunjukkan kematangan anakku. 　　Wajah Ibu Suri Xian tegang, hatinya seperti diremas-remas. 　　Kalau saja Lao Qi tidak bertingkah bodoh, mungkin dia bisa tenang menikmati tontonan seperti Zhuangfei. 　　Benar-benar membuatku naik darah! 　　“Kedatangan Kaisar——” teriakan itu langsung membuat para perempuan berdesak-desakan. 　　Mengapa Kaisar datang ke sini? 　　Ibu Suri Xian dan Zhuangfei saling bertatapan, keduanya melihat keheranan di mata masing-masing. 　　Dalam acara pemilihan permaisuri pangeran seperti ini, Kaisar tak pernah ikut campur. 　　Lagipula, tidak pantas seorang Kaisar ikut dalam hal remeh-temeh begini. Pasti para pejabat pengawas akan mengira Kaisar kekenyangan. 　　Sambil menggerutu dalam hati, Ibu Suri Xian melihat sosok jingga familiar memasuki ruangan, diikuti kasim kepala Pan Hai. 　　Kaisar Jingming memandang sekeliling, mengarahkan pandangannya ke Yu Jin sebelum menarik kembali pandangannya dan berjalan menuju dua selir. 　　Yu Jin tersenyum tipis. 　　Ayah Kaisar datang cukup tepat waktu, tak sia-sia dia sengaja melintas di hadapannya sebelum ke sini. 　　Di tengah sorakan "Wan Sui" yang bergema, Kaisar Jingming membantu dua selir berdiri secara simbolis, memberi isyarat agar para perempuan tak perlu banyak bersikap sopan. 　　Dengan kehadiran Kaisar, semua perempuan menundukkan pandangan dan memperlambat tarikan napas. 　　Meski berasal dari keluarga terpandang, kecuali segelintir yang memiliki hubungan darah dengan keluarga kerajaan, kebanyakan putri bangsawan ini pertama kalinya melihat wajah kaisar. 　　Rupanya Kaisar juga memiliki satu hidung dan dua mata, dengan uban di pelipisnya. Namun di usianya yang tak lagi muda, Sang Kaisar tetap tampak anggun, tidak seperti ayah mereka yang berperut buncit atau botak mengkilap, cukup membangkitkan harapan akan masa depan para pangeran. 　　"Mengapa Kaisar datang ke sini?" Ibu Suri Xian bertanya, meski berusaha menyamarkan, senyuman kaku itu tetap tertangkap oleh Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming refleks melirik Yu Jin, lalu berkata datar: "Aku dengar ada seorang nona yang bisa membuat kuncup prem mekar, penasaran ingin melihat." 　　Ini semua salah Lao Qi. 　　Dari sekian banyak anak lelakinya, lima di antaranya sudah menikah, semuanya tenang-tenang saja saat pemilihan selir. Hanya Lao Qi ini yang pagi-pagi sudah mondar-mandir di hadapannya. 　　Saat ditanya ada apa, bocah ini menjawab: "Ayah Kaisar, bagaimana kalau di pesta pemilihan selir ini tak ada nona yang cocok?" 　　Dia begitu marah sampai menendang dengan kakinya. 　　Pesta pemilihan selir apa? Itu kan Pesta Menikmati Bunga Plum! 　　Tentu saja, tujuan pesta menikmati bunga plum memang untuk memilih selir, tapi belum pernah ada yang mengatakannya secara gamblang seperti ini. Apa keluarga kerajaan tidak punya rasa malu sama sekali? 　　Setelah menendang, melihat bocah itu memegangi pantatnya dengan wajah malang, dia berkata sembarangan: "Kalau kali ini tidak ada yang cocok, kita adakan lagi pesta bunga." Baru kemudian si bocah nakal itu pergi sambil tersenyum lebar. 　　Kaisar Jingming mengingat senyuman itu - sebuah keceriaan jujur yang belum pernah ia lihat sebelumnya. 　　Benar-benar anak liar yang tumbuh bebas. Baik saat marah maupun senang, semuanya terasa begitu hidup. Begitu hidupnya sampai ia tak tahan untuk melirik sekali lagi, seperti melihat awan merah yang berkobar-kobar di luar paviliun persembahan di pinggiran kota. 　　Mana ada bocah yang tidak tahu malu begini? Ini pasti karena terlalu ingin punya istri. Mungkin sampai sekarang masih perjaka. 　　Kaisar Jingming tiba-tiba penasaran dengan urusan pribadi pangeran ketujuhnya. Dipanggilnya Pan Hai untuk bertanya, dan terbukti bahwa di Kediaman Pangeran Yan memang tidak ada selir, bahkan dayang pun sedikit. 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming mulai lebih mengerti. 　　Pantas saja. Para pangeran lain biasanya diaturkan dayang ketika menginjak 14 tahun sebagai bagian dari pendidikan. 　　Awalnya Kaisar Jingming tidak memperhatikan pesta bunga plum ini. Tapi karena kedatangan Yu Jin, ia menyuruh Pan Hai mengirim orang untuk mengawasi. 　　Dia penasaran apakah si anak itu menemukan gadis yang disukai di pesta bunga kali ini, toh biaya acara bunga berikutnya juga bukan dari kantong pribadinya, sungguh membuatnya sakit hati. 　　Tak disangka, pelayan istana yang melapor justru membawa kabar menakjubkan: Seorang gadis misterius menggunakan sihir dewa sehingga kuncup plum yang belum mekar tiba-tiba merekah. 　　Kaisar langsung ingin melihat sendiri, sayangnya Pan Hai si orang tua kolot itu menghalangi sampai ia kehilangan tontonan menarik! 　　Mendengar ucapan Kaisar Jingming, Ibu Suri Xian melirik Pan Hai. 　　Pan Hai menatap langit pura-pura tidak tahu. 　　Apa boleh buat, dia juga putus asa! 　　Merasakan suasana semakin aneh, Kaisar Jingming bertanya sambil tersenyum: "Gadis penyihir itu dari keluarga mana?" 　　Ibu Suri Xian mengatupkan bibir rapat-rapat, nyaris tak bisa mempertahankan senyumannya. 　　Zhuangfei menjawab: "Paduka Yang Mulia, dia putri dari Dongping Bo Residence." 　　Terima kasih atas vote dan Hadiah, sampai jumpa besok. 362.BAB 362 Rasa Penasaran Sang Kaisar 　　BAB 362 Rasa Penasaran Sang Kaisar 　　Dongping Bo Residence? 　　Dongping Bo Residence! 　　Kaisar Jingming refleks mengusap dagunya. 　　Oh, ini bukan pertama kali dia mendengar nama Dongping Bo Residence. 　　Kaisar Jingming langsung bersemangat. 　　Sejujurnya, dia sudah lama penasaran dengan Nona Keempat Jiang yang selalu sial itu. 　　Matanya menyapu Ibu Suri Xian dan Selir Zhuang, Kaisar Jingming diam-diam berpikir: Entah selir mana yang begitu pengertian, sampai mengundang putri dari Dongping Bo Residence. Jangan-jangan si Nona Keempat itu. 　　Membersihkan tenggorokan, Kaisar Jingming menunjukkan senyum alami: "Putri keberapa dari Dongping Bo Residence ini?" 　　"Putri keempat." Selir Zhuang tersenyum. 　　Ibu Suri Xian diam seribu bahasa, firasat buruk tiba-tiba muncul di hatinya. 　　Dasar Selir Zhuang, kenapa mengacau di saat seperti ini! 　　Yu Jin dengan dingin mengamati ekspresi Ibu Suri Xian, dalam hati mengejek. 　　Tepat seperti dugaan, setelah Putra Keenam mengirimkan plum hijau itu, Selir Zhuang langsung menjadi sekutunya. 　　Mendengar ucapan Selir Zhuang, Kaisar Jingming senang bukan main. 　　Benar, ini Nona Keempat Jiang yang ingin dilihatnya. 　　Hmm, sudah datang, masa tidak dilihat! 　　"Di mana orangnya?" 　　Selir Zhuang mengamati raut wajah Kaisar Jingming dengan saksama, berpikir: Andai bukan karena sikap Kaisar yang begitu serius, pasti dia akan curiga. 　　Jiang Si melangkah maju dari kerumunan, memberi salam hormat kepada Kaisar: "Hamba perempuan menghadap Yang Mulia." 　　Sorot mata lembut menyapunya. 　　Jiang Si tidak terlalu gugup. 　　Meski Kaisar berada di tempat tertinggi, tapi di kehidupan sebelumnya dia telah bertemu berkali-kali. Di balik kewibawaannya, secara pribadi beliau adalah sosok tua yang ramah. 　　Eh, sosok tua yang unik tapi ramah. 　　Nona Jiang menambahkan dalam hati. 　　Melihat gadis yang membungkuk dengan anggun, bibir Kaisar Jingming bergetar. 　　Jika dia menyuruh sang gadis mengangkat kepala, apakah itu terlihat seperti orang tua tak bermoral? Bagaimanapun ini adalah Pesta Bunga untuk memilih menantu perempuan. 　　Ekspresi Kaisar Jingming semakin serius, bertanya perlahan: "Kaulah gadis yang bisa membuat kuncup plum mekar?" 　　"Benar, Yang Mulia." Jawab Jiang Si dengan sikap tidak rendah diri maupun sombong. 　　Ibu Suri Xian merasa kecewa. 　　Dia menyangka si gadis marga Jiang akan gemetar ketakutan saat menghadap Kaisar, tapi ternyata tetap tenang. 　　Dia membenci ketenangan seperti ini. 　　Apa hak seorang gadis kecil untuk bersikap tenang? Jelas-jelas hanya mengandalkan kecantikan agar diperlakukan istimewa. 　　Wanita seperti ini sudah sering dia jumpai. 　　"Bisa membuat kuncup bunga mekar, bukankah itu ilmu sihir dewa?" 　　Jiang Si tersenyum: "Ini hanya trik sederhana." 　　"Bisakah Nona Jiang memperlihatkannya pada-Ku?" 　　Begitu Kaisar bicara, pelayan istana segera memetik ranting plum. 　　Jelas saja, meski bertanya dengan sopan, menolak permintaan Kaisar sama saja bunuh diri. 　　Melihat pelayan membawa ranting plum bertunas, Kaisar bertanya lagi: "Apa lagi yang diperlukan?" 　　"Perlu vas kaca berisi air jernih." Selipkan Zhuangfei sambil tersenyum. 　　Ibu Suri Xian menggenggam kuku patahnya kuat-kuat, matanya menyemburkan kebencian seperti pisau tajam ke arah Zhuangfei. 　　Dasar sundal Zhuangfei berani menjawab duluan! 　　Zhuangfei hanya tersenyum manis. 　　Melihat Ibu Suri Xian begitu kewalahan, benar-benar menyegarkan hati. 　　Tiba-tiba dia merasa Nona Jiang agak menggemaskan, tentu saja dengan syarat bukan sebagai menantu perempuannya. 　　Pelayan istana segera mengambil botol kaca berisi air jernih, menatap Jiang Si. 　　Jiang Si sedikit mengerutkan bibir, diam sejenak sebelum berkata: "Masukkan saja ranting plum ke dalam botol kaca ini." 　　Suaranya jernih dan dingin, seperti denting batu giok berkualitas tinggi. 　　Yu Jin tak sadar mengerutkan kening. 　　Mengapa A Si terlihat tak bersemangat? 　　Jiang Si memang merasa sedikit tidak nyaman. 　　Saat seseorang secara sukarela memamerkan keahlian dan mendapat pujian, itu menyenangkan. Tapi ketika dipaksa melakukannya, rasanya tak enak. 　　Seperti monyet yang dijadikan hiburan. 　　Untungnya ini Kaisar, jadi tak terlalu memalukan. 　　Jiang Si segera melupakan kekesalannya, wajahnya tetap tenang. 　　Justru sikap dinginnya ini yang membuat Kaisar Jingming semakin penasaran. 　　Sudah lama tak melihat nona kecil yang begitu menarik. 　　Kecantikannya luar biasa, tapi sebagai kaisar yang telah melihat banyak wanita cantik, yang menarik baginya adalah keberanian gadis ini. 　　Apakah tadi dia sengaja menunjukkan ketidaksenangan padanya? 　　Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Jika nanti tak bisa menunjukkan keajaiban yang dijanjikan, dia benar-benar akan marah. Tak boleh memanjakan tingkah nakal gadis-gadis muda ini. 　　“Kaisar Jingming berpikir demikian, lalu melihat gadis itu mengangkat tangannya dengan lembut, ujung jari putihnya yang bersinar perlahan menyentuh kuncup bunga. 　　Meski sudah melihat sebelumnya, kerumunan masih menahan napas dengan tatapan berbinar-binar. 　　Pemandangan ajaib seperti mimpi itu memang tak pernah bosan ditonton berulang kali. 　　“Bunga mekar——” 　　Seiring sentuhan tangan gadis itu, bunga plum merah mulai bermekaran satu per satu. 　　Mata Kaisar Jingming tiba-tiba membelalak, berkilau seperti anak kecil yang penasaran. 　　Benarkah bunganya benar-benar mekar? 　　“Apakah masalah suhu air? Atau ada sesuatu dalam air——” 　　“Ahem!” Pan Hai batuk keras. 　　Kaisar Jingming kembali memasang wajah serius: “Hebat sekali kemampuan Nona Jiang.” 　　Aaaaa, penasaran! 　　Pan Hai: “...” Sadarlah, Yang Mulia adalah Kaisar! 　　Menjaga martabat sebagai kaisar, Kaisar Jingming menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Setelah memuji Jiang Si, pandangannya beralih ke Pangeran Shu dan Pangeran Yan. 　　Melihat ini, Jiang Si memberikan penghormatan dengan menekuk lutut lalu mundur diam-diam. 　　“Kudengar kalian berdua menjadi juri dalam Perjamuan Apresiasi Plum hari ini?” Berhadapan dengan putranya, Kaisar Jingming bertanya dengan wajah kaku seperti biasa. 　　Pangeran Shu memberi hormat sambil tersenyum: “Kebetulan sedang ada. Kedua Nyonya berbaik hati mengajak para gadis untuk bersenang-senang.” 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin. 　　Bukannya anak ini khawatir tak menemukan gadis yang cocok? Sudah ketemu atau belum? 　　Tanpa sadar, pandangannya menyapu piring giok putih yang terletak di depan para gadis. 　　Menurut tradisi, para pangeran akan menaruh bunga plum ke piring giok gadis yang mereka minati. 　　Dulu dia juga pernah melakukannya, tapi bukan bunga plum yang ditaruhnya, melainkan bunga peony. 　　Hingga kini dia masih ingat betapa indahnya bunga peony itu mekar, ditaruhnya di depan gadis yang langsung menarik hatinya. 　　Gadis yang dipilihnya itu kemudian menjadi permaisurinya, lalu naik tahta sebagai permaisuri kerajaan. 　　Hingga akhirnya, dia meninggal... 　　Kaisar Jingming menarik kembali pikirannya, tiba-tiba pandangannya terhenti. 　　Sepiring bunga plum hijau nyaris menyilaukan matanya. 　　Setelah mengumpulkan kesadaran, Kaisar Jingming yakin tidak salah lihat. 　　Ada apa ini? 　　Tak kuasa menahan rasa ingin tahu, Kaisar Jingming bertanya: "Mengapa piring giok Nona Jiang berisi banyak tangkai bunga plum?" 　　Pipi Ibu Suri Xian memerah. 　　Lao Qi memang tak pernah memberinya kebanggaan! 　　Tapi kalau Sang Kaisar sudah tahu, rencana licik Lao Qi itu pasti tak akan terwujud, setidaknya dia tak perlu repot memberi penjelasan. 　　Ibu Suri Xian menghibur diri sendiri, merasa sedikit lega. 　　Yu Jin tersenyum menjawab: "Anakmu yang memberikannya." 　　Pangeran Shu menunduk, hampir tak tega melihat ekspresi Kaisar Jingming. 　　Bisa-bisanya Lao Qi berkata begitu di hadapan ayahanda dengan sikap paling bersalah! 　　Apa ayahanda akan menghukum Lao Qi dengan tahanan rumah? Atau pemotongan gaji tahunan? Mungkin juga mengurangi wilayah kekuasaannya. 　　Lao Qi memang sial tertangkap basah oleh ayahanda. 　　Tapi justru ini yang baik, hatinya merasa sedikit seimbang. 　　“Semuanya?” Suara Kaisar Jingming meninggi, terdengar sumbang. 　　Yu Jin tersenyum semakin cerah: "Benar, semuanya. Berkat sabda emas Ayah Kaisar, anak lelaki ini sia-sia khawatir." 363.BAB 363 Hati Kaisar 　　BAB 363 Hati Kaisar 　　Wajah Kaisar Jingming berubah muram: "Keterlaluan!" 　　Si bodoh ini terlalu polos, bahkan saat bertemu yang sangat disukai, tak bisakah menyembunyikannya? 　　Ibu Suri Xian tepat waktu menyela: "Kaisar, tenanglah. Hamba sudah menegur Pangeran Yan tadi, memintanya memberikan bunga kembali." 　　Di hadapan Kaisar, dia tak percaya si pembangkang ini masih berani keras kepala. 　　Sudut bibir Yu Jin naik, sinisme sekilas lalu berganti ekspresi lugu: "Barang yang sudah diberikan mana bisa ditarik kembali untuk diberikan ke orang lain? Bunga-bunga ini Erchen sudah berikan pada Nona Jiang, tak akan diberikan ke orang lain." 　　"Di hadapan Ayah Kaisar, masih berani lancang--" 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan, menyuruh Ibu Suri Xian tak terburu marah, bertanya berat: "Lao Qi, kenapa kau berikan semua plum hijau pada Nona Jiang? Tak adakah satu pun bakat gadis di sini yang layak di matamu?" 　　Yu Jin tersenyum: "Erchen ini orang kasar, melihat penampilan setiap nona semuanya luar biasa, tak bisa membedakan mana yang lebih unggul. Alasan memberi semua plum hijau pada Nona Jiang karena Erchen tertarik pada kelebihan lain darinya." 　　Para gadis mendengar dalam hati menghela: Strategi Nona Jiang membuat bunga plum mekar benar-benar terlalu mencuri perhatian. 　　“Ibu Suri Xian tersenyum sinis: ‘Cuma menggunakan ilusi untuk membuat bunga prem mekar, bisa membuatmu bingung? Pangeran Yan, wawasanmu seperti ini sungguh mengecewakan hamba.’” 　　Yu Jin mendengar dan dalam hati tertawa sinis berulang kali. 　　Mengecewakan hamba? 　　Wajahnya sungguh besar, seolah-olah dia peduli. 　　Kaisar Jingming juga mendengar dengan tidak senang. 　　Apa maksudnya "menggunakan ilusi"? Sampai sekarang dia masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. 　　Ibu Suri Xian bicara seenaknya, kenapa tidak memperlihatkan ilusi seperti itu padanya? 　　“Bukan begitu, Nyonya. Erchen tadi sudah berkata, bakat yang ditunjukkan para nona sebelumnya semuanya luar biasa, sulit dibedakan. Erchen memberikan semua bunga prem hijau kepada Nona Jiang hanya karena satu alasan sederhana: Begitu melihatnya langsung merasa cocok di hati.” 　　Pangeran Shu mendengar sambil bibirnya berkedut. 　　Lao Qi terlalu jujur, siapa yang tidak senang melihat kecantikan? 　　“Paduka Kaisar, lihatlah, Pangeran Yan benar-benar——” 　　Wajah Kaisar Jingming sedikit muram: “Sudah, ini cuma memberi bunga, perlu heboh begitu? Karena pesta bunga sudah selesai, bubarlah.” 　　Ibu Suri Xian semakin cerewet, memarahi pangeran di depan banyak putri bangsawan apa gunanya? Tidak bisakah dibicarakan di balik pintu tertutup? 　　Setelah dikatakan oleh Kaisar Jingming seperti itu, wajah Ibu Suri Xian memanas. Tatapan tenang Yu Jin yang sebelumnya membuatnya kesal, memaksanya berkata dengan gigih: "Yang Mulia benar, memberikan bunga memang bukan hal yang berarti." 　　Tradisi pangeran memberikan bunga untuk memilih calon permaisuri hanyalah kebiasaan, bukan hukum tertulis. Penentuan akhir gadis mana yang menjadi permaisuri bukanlah keputusan pangeran. 　　Hak memutuskan akhirnya tetap berada di tangannya. 　　Setelah merenungkan hal ini, Ibu Suri Xian merasa sebelumnya terlalu tergesa-gesa. Semua kesalahan ada pada Lao Qi yang brengsek karena perbuatannya yang kacau telah mengacaukan langkahnya. 　　Setelah memahami ini, senyum Ibu Suri Xian mulai mengembang. 　　Para gadis berjalan keluar dipandu pelayan istana. Mereka yang tidak menerima plum hijau berpikir sama: Dari ucapan Kaisar dan Ibu Suri Xian, apakah pemberian bunga Pangeran Yan juga tidak berlaku? Berarti mereka masih punya kesempatan menjadi Permaisuri Yan? 　　Ketertarikan Pangeran Yan pada Nona Jiang hanyalah sementara karena kecantikannya. Jika mereka menjadi Permaisuri Yan, memperlakukan Pangeran Yan dengan lembut, lalu memilihkan beberapa selir cantik untuknya, pasti bisa memikat hatinya. 　　Mereka telah banyak melihat sifat suami yang mudah tertarik pada hal baru dari ayah dan kakak laki-laki mereka. 　　Bagaimanapun, di mata Kaisar dan Nyonya, peluang mereka pasti lebih besar daripada Nona Jiang. Lihat saja latar belakang biasa Nona Jiang dan sejarahnya memutuskan pertunangan. 　　"Dengan pikiran ini, perasaan para wanita yang terpukul ganda oleh Jiang Si dan Yu Jin menjadi sedikit lebih lega. 　　Benar, memberi bunga tidak berarti apa-apa! Selama Kaisar dan Nyonya tidak setuju, bagaimana mungkin posisi Permaisuri Yan jatuh ke tangan Nona Jiang!" 　　Paviliun panjang itu kini sepi, hanya menyisakan Kaisar Jingming dan dua selirnya. 　　Zhuangfei yang cukup bijak berkata dengan tenang: "Kaisar, hamba mohon pamit duluan." 　　"Hmm." Kaisar Jingming mengangguk perlahan. 　　Terhadap Zhuangfei, beliau selalu merasa puas. 　　Cerdik, tidak banyak urusan, dan tidak banyak bicara. Jika semua selir bisa seperti Zhuangfei, telinganya pasti lebih tenang. 　　Tinggal berdua dengan Xianfei, Kaisar Jingming berbicara lebih santai: "Kekasihku, mengapa tadi marah besar? Lao Qi yang tumbuh di luar istana memang polos, itu bukan kesalahan fatal..." 　　"Kaisar, kita tidak boleh membiarkannya bertindak semaunya! Lihatlah, semua bunga plum diberikan ke Nona Jiang. Pada dasarnya dia hanya mengejar kecantikan. Bagaimana bisa ada masa depan bagi orang yang berpikiran dangkal seperti ini..." 　　Alis Kaisar Jingming berkedut mendengar ini. 　　Lao Qi hanyalah pangeran tak berkuasa yang hidupnya bergelimang kemewahan. Masih mau kemajuan apa lagi? 　　Kalau mau maju lagi, apa dia ingin menjadi Putra Mahkota? 　　Kaisar Jingming dikenal berwatak lembut, terutama di istana belakang. Sifatnya yang baik ini menipu banyak selir yang mengira kaisar ini berjiwa sederhana. 　　Mereka tidak tahu bahwa Kaisar Jingming sebenarnya sangat perhitungan. Hal-hal tertentu bisa diabaikan sama sekali, namun masalah yang menyentuh prinsip akan ditanggapi dengan kewaspadaan penuh. 　　Putra Mahkota-nya sudah kehilangan Ibu Suri sejak dini, sementara jumlah pangeran begitu banyak. Mungkinkah para bajingan kecil ini dan ibu selir mereka masih belum menyerah? 　　Kaisar Jingming kembali memandang Ibu Suri Xian, di hatinya mulai muncul sikap kritis. 　　Ibu Suri Xian terus membeberkan kesalahan Yu Jin tanpa henti, semakin lama kata-katanya semakin pedas: "Hamba juga tidak berharap Lao Qi bisa sepatuh Lao Si, tapi dia bertindak semaunya dan sama sekali tidak menghargai hamba sebagai ibunya. Ini sungguh tidak pantas......" 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening, tiba-tiba teringat kejadian pagi tadi. 　　Pemuda tampan nan luar biasa itu berdiri dihadapannya, dengan wajah kemerahan dan mata berbinar penuh harap: "Ibu selir juga sudah berjanji pada Erchen, dalam Pesta Bunga kali ini pasti akan memilihkan istri yang memuaskan hati Erchen. Dengan restu Ayah Kaisar dan Ibu selir, Erchen jadi tenang. Tak disangka Ayah Kaisar dan Ibu selir begitu baik pada Erchen......" 　　Heh, Lao Qi menganggap ibunya baik, berharap bisa mendapat kebahagiaan. Tapi dia tak tahu sang ibu sedang mencaci habis-habisan dirinya...... 　　Kaisar Jingming semakin lama semakin merasa tidak enak. 　　"Seorang gadis yang sudah memutuskan pertunangan, hanya karena cantik parasnya, dia nekat meminta jadi Permaisuri. Ini khayalan belaka! Apakah dia sama sekali tidak menghargai martabat keluarga kerajaan——" 　　"Cukup!" Kaisar Jingming memotong keluhan Ibu Suri Xian. 　　Bukankah paras yang cantik itu keunggulan besar? Kalau para selir di istana berwajah jelek, mungkinkah mereka terpilih masuk ke sini? 　　“Lagipula, bagaimana mungkin keinginan menikahi istri yang cantik disebut sebagai khayalan?” 　　Kaisar Jingming tiba-tiba terkejut. 　　Benar, kalau Lao Qi punya niat lain, mengapa memilih permaisuri hanya berdasarkan kecantikan? Ternyata dia memang jujur. 　　“Aku rasa Nona Jiang ini cukup baik.” 　　Latar belakang biasa, rupa cantik, Lao Qi tampak puas. Bukankah ini bagus? 　　“Kaisar!” Ibu Suri Xian terkejut, memandang Kaisar Jingming dengan tak percaya. 　　Apa Lao Qi yang mabuk kecantikan, atau Kaisar juga ikut mabuk? 　　Apa yang baru saja dia dengar! 　　“Kaisar, Nona Jiang pernah memutuskan pertunangan!” 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya, sampai jumpa besok. 364.BAB 364 Mengabulkan Keinginanmu 　　BAB 364 Mengabulkan Keinginanmu 　　Ibu Suri Xian hampir hilang akal. 　　Apa yang dia dengar? Kaisar benar-benar menganggap si gadis Jiang itu baik! 　　Gadis biasa yang pernah putus tunangan, ditempatkan sebagai permaisuri, dan dianggap pantas? 　　Perusak! Si gadis Jiang pasti perusak! 　　Pandangan Ibu Suri Xian pada Kaisar Jingming penuh makna tersirat. 　　Dulu pernah ada desas-desus Kaisar ingin membawa Nyonya Su ke istana, ternyata benar. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis. 　　Apa maksud pandangan Ibu Suri Xian? Apakah dia pikir Aku mabuk kecantikan? 　　Aku bukan tipe seperti itu. Aku hanya seorang ayah yang memahami anak lelaki yang mabuk kecantikan. 　　Lagipula, siapa yang tak pernah muda— 　　“Kaisar mungkin belum tahu, Nona Jiang dari Kediaman Dongping Bo ini pernah bertunangan dengan Tuan Gong dari Keluarga An Guogong, baru awal tahun lalu pertunangan itu dibatalkan……” 　　Kaisar Jingming berkata datar: “Hm, hal ini Aku sudah tahu. Pembatalan pertunangan Nona Jiang itu kan gara-gara keponakanmu yang berulah.” 　　Ibu Suri Xian tercekat, lalu berkata dengan bibir terkunci: “Lao Qi memang tumbuh besar di luar istana, tapi bagaimanapun dia tetap seorang pangeran. Bagaimana mungkin menikahi wanita yang pernah memutuskan pertunangan sebagai permaisuri——” 　　Kaisar Jingming tak ambil pusing: “Pernah membatalkan pertunangan bukanlah hal besar. Permaisuri leluhur kita bahkan pernah menikah sebelumnya, bahkan punya dua anak dari mantan suaminya. Bukankah akhirnya mereka bersama membangun masa keemasan, menjadi kisah legendaris?” 　　Leluhur yang disebut Kaisar Jingming adalah kaisar ketiga Dinasti Zhou, Kaisar Fengde. 　　Saat masih menjadi pangeran, Kaisar Fengde terpikat pada seorang dayang yang baru saja dijual ke kediamannya, lalu dijadikan selir. 　　Dayang ini sebenarnya pernah menikah. Keluarganya mengungsi ke ibu kota karena kesulitan hidup, hingga sang suami menjualnya ke istana pangeran. 　　Nasib dayang ini sungguh luar biasa. Kaisar Fengde begitu menyayanginya, memanjakannya bagai mutiara. Sejak itu, tidak ada wanita baru yang masuk ke haremnya. 　　Ketika Putra Mahkota meninggal karena sakit, Kaisar Fengde yang menjadi Putra Mahkota baru naik takhta sebagai kaisar. Kebetulan permaisuri utamanya telah meninggal dua tahun sebelumnya, sehingga posisi permaisuri kosong untuk sementara. 　　Meski terus didesak para pejabat, Kaisar Fengde menolak mengambil permaisuri pengganti. Setelah tiga tahun mengkonsolidasi kekuasaan, langsung mengumumkan pengangkatan dayang tersebut sebagai permaisuri. 　　Saat itu suara penentang bergema di mana-mana, beberapa pejabat pengawas yang menasihati sampai bunuh diri dengan menabrakkan diri, namun Kaisar Fengde tetap tak bergeming, bahkan tegas menghukum mati dua pejabat penasihat. 　　Seluruh pejabat membisu, tak ada lagi yang berani mengangkat masalah penentangan pengangkatan dayang menjadi permaisuri. 　　Sejak itu kemakmuran negara semakin pesat, memasuki era keemasan yang damai. Masyarakat pun perlahan hanya menyisakan pujian untuk kaisar dan permaisuri, tak ada lagi yang menyebut-nyebut asal usul permaisuri. 　　Yang lebih mencengangkan, mantan suami permaisuri malah mendapat jabatan santai, sementara dua anak hasil pernikahan sebelumnya juga meraih masa depan cerah. 　　Kisah unik dari lebih seratus tahun silam ini tentu sudah diketahui oleh Ibu Suri Xian. 　　Melihat Kaisar Jingming mengulik kisah ini untuk mengelak, Ibu Suri Xian mengangkat sudut matanya yang indah: "Ini kan berbeda——" 　　Di dunia ini hanya ada satu Permaisuri Chunrong, mana bisa si gadis marga Jiang ini disamakan? 　　Kaisar Jingming tersenyum: "Memang beda, Nona Jiang setidaknya belum menikah. Kekasihku, memilih permaisuri untuk Lao Qi bukanlah memilih permaisuri putra mahkota. Asal dia sendiri suka, cukup sudah......" 　　Wajah Ibu Suri Xian membiru, bibirnya gemetar karena marah: "Paduka, hamba sama sekali tak mau Lao Qi menikahi perempuan seperti ini sebagai permaisuri——" 　　Perubahan ekspresi Kaisar Jingming yang tiba-tiba menggelap membuat Ibu Suri Xian secara refleks menghentikan ucapan yang hendak dilontarkan. 　　Sudah lama dia tak sedemikian kehilangan kendali. Sungguh, tingkah laku ayah dan anak ini semakin menjadi-jadi, membuatnya sulit mengontrol diri. 　　“Kekasihku memandang rendah Nona Jiang, apakah kamu ingin memilihkan Lao Qi seorang putri bangsawan yang sempurna dalam segala hal? Bahkan saat Aku memilih Permaisuri Putra Mahkota untuk Putra Mahkota dulu, tidak sampai serumit ini.” 　　Permaisuri Putra Mahkota adalah cucu perempuan Menteri Ritus Yang Deguang. Menurutnya, Yang Deguang adalah salah satu calon menteri yang akan memasuki kabinet di masa depan. Memilih cucunya sebagai permaisuri bertujuan agar Putra Mahkota dapat mengurus urusan pemerintahan dengan lebih lancar di kemudian hari, tidak seperti kesulitan yang dialaminya dulu. 　　Meski latar belakang Permaisuri Putra Mahkota cukup baik, namun dalam hal lain tidak bisa dikatakan istimewa. 　　Mendengar perkataan Kaisar Jingming, Ibu Suri Xian merasa gemetar. 　　Apakah Kaisar mulai curiga padanya? 　　Benar, melihat Putra Mahkota yang tidak kompeten dan tanpa perlindungan ibu kandung, tentu dia punya ambisi. Namun ambisi ini bukan untuk Lao Qi. 　　Dia ingin anaknya menjadi Kaisar, dirinya menjadi Janda Permaisuri, dan anak yang dimaksud adalah Lao Si - sama sekali tidak ada hubungannya dengan Lao Qi. 　　Ibu Suri Xian mengatupkan bibirnya perlahan. 　　Untuk seorang brengsek seperti Lao Qi yang tidak menghargainya, apakah harus bersikeras hingga membuat Kaisar curiga dan memengaruhi masa depan Lao Si? 　　Ini sama sekali tidak boleh! 　　Ibu Suri Xian cepat-cepat mengubah nada bicara: "Hamba tidak bermaksud demikian. Permaisuri Lao Qi mana bisa disamakan dengan Permaisuri Putra Mahkota? Jika Yang Mulia merasa Nona Jiang cocok, tentukan saja dia untuk Lao Qi. Semuanya mengikuti kehendak Yang Mulia." 　　Saat mengucapkan ini, hati Ibu Suri Xian merasa seakan memakan lalat busuk. 　　“Pada akhirnya, dia hanyalah seorang selir, semua kehormatan berasal dari Kaisar. Begitu pendapatnya berseberangan dengan Kaisar, mau tak mau dia harus mengalah.” 　　“Andai menjadi Permaisuri, setidaknya ada dasar untuk bernegosiasi dengan Kaisar. Jika menjadi Janda Permaisuri, bahkan penguasa negara pun harus menghormati dan merayunya.” 　　Hati Ibu Suri Xian membara. 　　Demi Lao Si, dia sementara mundur selangkah. Lambat laun... pasti akan tiba hari di mana dia bisa menegakkan kepala dengan bangga! 　　Setelah menghibur diri, Ibu Suri Xian benar-benar tenang. 　　Kaisar Jingming tampak lebih nyaman, tersenyum: "Karena Nona Jiang bisa mendapatkan undangan kalian, berarti semua aspek sudah memenuhi syarat. Kekasihku tak perlu khawatir lagi. Nanti punya menantu perempuan yang pandai sulap untuk menghiburmu, bukankah itu menyenangkan?" 　　Ibu Suri Xian menahan keinginan untuk mengedipkan mata, berkata datar: "Kaisar benar." 　　Asu kau! Menyenangkan apanya?! 　　Benar-benar membuatnya marah! Memaksakan menantu perempuan tak pantas seperti ini sudah keterlaluan, masih harus menerimanya dengan sukacita! 　　Terutama di Pesta Bunga saat dia jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan di depan banyak putri bangsawan, akhirnya malah menguntungkan si gadis Jiang. Sekarang dipikir-pikir, rasanya malu sampai ke ubun-ubun. 　　"Begini saja, Aku akan tanya pendapat Lao Qi lagi. Urusan pernikahan tidak boleh sembarangan." 　　Ibu Suri Xian menggenggam kuku patah di tangannya dengan kuat, berkata perlahan: "Kaisar benar." 　　Tadi menyuruhnya untuk berkompromi, sekarang bilang tidak boleh sembarangan. Kaisar ini sebenarnya mau apa? 　　Tak lama kemudian, Yu Jin diundang masuk oleh Pan Hai. 　　"Ayah Kaisar, Ibu Selir." Begitu masuk, Yu Jin segera memberi hormat dengan khidmat. 　　Ibu Suri Xian diam seribu bahasa. 　　"Lao Qi, kau terlihat sangat puas dengan Nona Jiang. Apakah kau ingin menjadikannya permaisuri?" 　　Yu Jin tersenyum lebar: "Hanya Ayah yang memahami isi hati Erchen." 　　Hatinya sudah berbunga-bunga. 　　"Tapi Nona Jiang pernah memutuskan pertunangan. Sekarang kau tak peduli karena terpesona kecantikannya, tapi bagaimana di masa depan? Jika nanti merasa tak cocok, apakah akan menyalahkan janji kerajaan-Ku?" Kaisar Jingming menatap Yu Jin dengan serius, "Berikan alasan kenapa kau tak peduli dengan hal ini." 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu tertawa: "Emas yang dibuang orang buta, tak bolehkah diambil oleh yang punya mata?" 　　Kaisar Jingming tertawa terbahak: "Baiklah! Karena kau berkata begitu, Aku akan memenuhi keinginanmu. Nona Jiang akan menjadi permaisurimu." 　　Semoga semua bisa mendapatkan yang diinginkan. Rekomendasi novel "Petani Legenda" karya Leidewen: 　　Doktor sastra modern menjadi tuan muda di desa pandai besi? 　　Aku ini perempuan! 　　Kakek: Pelan-pelan, jalani dulu, nanti bisa diubah. 　　Pangeran: Pemuda ini bagus! Dengan bantuanku, kau pasti bisa jadi juara ujian kekaisaran! 365. BAB 365 Nyonya Feng yang Terkejut 　　BAB 365 Nyonya Feng yang Terkejut 　　Yu Jin bersukacita: "Terima kasih Ayah Kaisar, terima kasih Ibu Selir!" 　　Melihatnya bersujud antusias, Kaisar Jingming tersenyum dan menendangnya: "Dasar tak berguna!" 　　Lalu matanya menyapu Ibu Suri Xian dengan pandangan tajam. 　　Ibu Suri Xian tersenyum dipaksakan: "Untuk urusan besar seperti ini, selama maklumat belum resmi dikeluarkan, jangan sampai bocor kabarnya." 　　"Erchen mengerti." 　　"Pergilah, pergilah." Kaisar Jingming melambaikan tangan. 　　Melihat Yu Jin berjalan sempoyongan, Kaisar Jingming menggelengkan kepala sambil tersenyum pada Ibu Suri Xian: "Lihatlah Lao Qi yang gembira ini, dasar anak ini terlalu polos, tidak bisa menahan perasaan." 　　"Kaisar benar." Ibu Suri Xian mengeluarkan kata-kata ini dari sela gigi untuk ketiga kalinya. 　　"Kalau begitu, setelah calon Permaisuri Shu ditetapkan, Aku akan mengeluarkan maklumat sekaligus. Urusan selanjutnya Kekasihku harus urusi dengan baik." Setelah memberikan instruksi, Kaisar Jingming berjalan keluar dengan tangan tergenggam di belakang. 　　Pan Hai maju selangkah mengangkat tirai brokat penahan angin. 　　Angin musim semi yang menusuk disertai aroma bunga plum yang semerbak. 　　Kaisar Jingming menatap langit kelabu di atasnya, hati dipenuhi rasa hampa. 　　Tinggal terlalu lama di istana megah ini memang membosankan. Jika Nona Jiang menjadi menantu perempuanku, bukankah Aku bisa sesekali melihatnya melakukan sulap? 　　Di dalam kereta kuda, Jiang Si tiba-tiba bersin. 　　"Nona masuk angin!" Ah Man panik, segera mengambilkan saputangan untuk Jiang Si. 　　Jiang Si menerima saputangan dan menyeka hidungnya: "Tidak masuk angin, jangan berlebihan." 　　Mengapa tiba-tiba bersin? Sepertinya ada yang sedang mengincarku. 　　“Ah Man” mendekat dengan ekspresi misterius: “Nona, bagaimana di istana?” 　　Istana tidak sama dengan tempat lain, dayang seperti Ah Man bahkan tidak punya kualifikasi masuk ke dalam, hanya bisa menunggu di pinggir kota dalam. 　　Ah Man menahan diri sampai keluar istana, akhirnya tidak tahan bertanya. 　　“Lumayan.” Jiang Si tersenyum menjawab dua kata. 　　“Nona, maksudnya lumayan itu apa?” 　　Jiang Si tersenyum manis: “Ya memang lumayan.” 　　Dia tidak kehilangan muka, tidak dirugikan, bahkan menerima banyak bunga plum indah dari Yu Qi, tentu saja lumayan. 　　Soal bisa menjadi Permaisuri Yan atau tidak, itu bukan keputusannya, juga tak perlu gelisah memikirkannya. 　　“Apakah Nona menerima bunga plum dari pangeran?” Ah Man menutupi wajahnya bertanya. 　　Dia sudah bertanya-tanya, dalam pesta bunga hari ini, dua pangeran akan memberikan setangkai bunga plum pada nona yang disukai. 　　Nona mereka secantik ini, dapat dua tangkai bukan masalah kan? Dua pangeran itu kan tidak buta. 　　Hmph, ngomong-ngomong kesal, waktu itu dayang-dayang putri bangsawan lain mengejek mengapa nona mereka diundang, sekumpulan bodoh tak berwawasan. 　　Jiang Si tersenyum halus: “Sudah terima.” 　　“Berapa tangkai? Berapa tangkai?” Mata Ah Man berbinar. 　　Jiang Si juga tak ingin menggoda dayang kecilnya, tersenyum: “Enam tangkai.” 　　“Apa?” Ah Man berkedip. 　　Jiang Si menutup mata, tak berbicara lagi. 　　Ah Man mengguncang-guncang lengan Jiang Si dengan kuat: "Nona, benar enam batang? Hamba tidak salah dengar ya." 　　"Hm, enam batang." Jiang Si membuka mata dengan pasrah. 　　Ah Man menjerit sambil menutupi wajah: "Nona sungguh hebat!" 　　Nona Keempat memang membanggakan. Nanti kalau ada kesempatan bertemu si gadis kecil itu, dia akan pamer habis-hasisan! Biar mereka tidak meremehkan orang! 　　Setelah tenang, Ah Man mencubit pipinya sendiri: "Tapi hanya ada dua pangeran, bagaimana Nona bisa dapat enam bunga plum?" 　　"Pangeran Yan memberikan semua bunganya padaku." 　　"Nona benar-benar luar biasa!" Ah Man memuji dengan mata berbinar. 　　Nyonya Feng sudah menyuruh orang berjaga di pintu gerbang sejak pagi. Begitu melihat kereta kuda Keluarga Bo kembali, mereka segera berlari kencang ke Cixintang untuk melapor. 　　"Ibu Suri, Nona Keempat sudah kembali!" 　　Nyonya Feng langsung bangkit berdiri: "Bawa Nona Keempat ke Cixintang!" 　　Saat melihat pelayan hendak pergi, Nyonya Feng memanggilnya lagi: "Apakah Tuan Besar sudah pulang?" 　　"Tuan Besar belum kembali." 　　Barulah Nyonya Feng merasa lega. 　　Memikirkan Jiang Ancheng, kepalanya langsung pusing. 　　Untung selama dua hari Si'er menerima undangan ini, Putra Sulung sedang bepergian. Kalau tidak, pasti akan merepotkan. 　　Setelah menjadi ibu dan anak puluhan tahun, Nyonya Feng cukup memahami watak putra sulungnya. Dia yakin hal yang membanggakan bagi orang lain ini justru akan dihindari sang putra. 　　Entah warisan sifat siapa, anak ini sama sekali tidak punya ambisi! 　　“Nyonya Feng bergumam dalam hati, lalu melihat seorang gadis berjubah hijau muda memasuki ruangan.” 　　“Dia menahan keinginan untuk berdiri, berkata datar: 'Sudah pulang.'” 　　“Jiang Si melepaskan jubahnya dan menyerahkannya ke dayang di sampingnya, lalu mendekat dan sedikit membungkuk: 'Nenek.'” 　　“Nyonya Feng mengamati cucu perempuannya yang baru masuk dengan saksama, wajah gadis itu terlihat tenang tanpa sedikitpun petunjuk.” 　　“Akhirnya dia bertanya: 'Bagaimana di istana?'” 　　“'Cukup baik,' jawab Jiang Si.” 　　“Nyonya Feng mengerutkan kening.” 　　“Apa maksudnya 'cukup baik'?” 　　“'Apakah kau melakukan hal memalukan yang membuat orang terhormat tidak senang?'” 　　“Jiang Si tersenyum tipis: 'Hanya menunjukkan bakat sesuai saran Nyonya.'” 　　“Nyonya Feng mengangguk.” 　　“Kedengarannya masih wajar.” 　　“'Sudah, cukup dengan berperilaku sopan di istana. Kau pasti lelah berangkat pagi-pagi, pergilah beristirahat.' Nyonya Feng sempat ingin menanyakan tentang bunga dari pangeran, tapi melihat ketenangan Jiang Si, niat itu pun sirna.” 　　“Dapat menerima undangan dari istana sudah merupakan keberuntungan besar, mana mungkin Si'er dengan kondisinya mendapat bunga dari pangeran.” 　　“Bertanya tentang itu hanya akan membuat diri sendiri malu.” 　　“Nyonya Feng menutup mata untuk beristirahat.” 　　“Suara langkah kaki tergesa datang mendekat.” 　　“'Ada apa?' tanya Nyonya Feng saat melihat dayang utama A Fu masuk bersama dayang kecil penjaga perapian dari kamar samping.” 　　“'Nyonya, Cuier mendengar sesuatu tentang Nona Keempat dari Ah Man.'” 　　“Nyonya Feng memandang dayang kecil itu.” 　　“Katakan!” A Fu menepuk dayang kecil itu. 　　Dayang kecil itu tampak bersemangat: "Lapor Ibu Suri, tadi Ah Man di kamar samping bilang ke hamba... Nona Keempat mendapat enam tangkai bunga mei di Pesta Bunga Mei!" 　　"Omong kosong!" 　　Nyonya Feng membentak keras, membuat dayang kecil itu langsung terdiam ketakutan. 　　"Panggil Nona Keempat kembali sekarang!" 　　Jiang Si yang belum sampai di Haitangju langsung dipanggil kembali ke Cixintang. 　　"Ada keperluan apa lagi dari Nenek?" 　　Nyonya Feng mengamati Jiang Si dari atas ke bawah dalam diam. 　　Kesunyian seperti ini mungkin membuat banyak gadis muda gemetar, tapi Jiang Si tetap tenang. 　　Nyonya Feng menghantam meja: "Si'er! Kau tahu ucapan sembarangan tentang keluarga kerajaan bisa membuatmu kehilangan kepala?" 　　Jiang Si terkejut: "Apa yang cucu katakan sembarangan?" 　　"Dayangmu Ah Man bilang kau dapat enam tangkai bunga mei?" 　　"Benar." 　　Keriput di sudut mata Nyonya Feng meregang: "Apa katamu?" 　　"Cucu bilang memang benar." 　　"Kau... kau benar-benar dapat enam tangkai bunga mei?" 　　Jiang Si tersenyum: "Kalau Nenek tidak percaya, tanyakan saja pada siapa pun. Peristiwa di pesta bunga tidak mungkin disembunyikan." 　　Nyonya Feng melotot tanpa berkedip. 　　Kalau Si'er sudah berkata begitu, berarti ini benar? 　　Setelah menarik napas, alis Nyonya Feng berkerut: "Kenapa tadi tidak bilang?" 　　Jiang Si menjawab tegas: "Nenek tidak bertanya." 　　"Bagaimana bisa ada enam cabang?" Nyonya Feng tidak sempat marah, langsung bertanya dengan gugup. 　　"Semuanya hadiah dari Pangeran Yan." 　　Nyonya Feng terdiam sejenak, lalu mengeluh panjang sambil menghentakkan kaki: "Ini masalah besar!" 366. BAB 366: PERMUSUHAN 　　BAB 366: PERMUSUHAN 　　Seandainya Jiang Si hanya menerima satu tangkai plum, Nyonya Feng pasti sangat senang. 　　Bagaimanapun juga tidak mungkin menjadi permaisuri, mendapat satu tangkai plum dari pangeran mana pun setidaknya membuktikan cucunya menonjol, itu pun kehormatan untuk Keluarga Bo Dongping. Tapi Nona Keempat ini tidak mendapat satu atau dua tangkai, melainkan enam tangkai plum! 　　Apapun maksud Pangeran Yan mengirim semua enam tangkai plum hanya untuk Si'er, yang benar-benar terlempar ke pusaran badai adalah Si'er sendiri dan Keluarga Bo Dongping. 　　Seorang gadis menerima semua plum dari seorang pangeran, bagaimana para bangsawan akan memandang ini? 　　Semakin dipikir Nyonya Feng semakin khawatir, matanya menatap tajam Jiang Si: "Pangeran Yan memberimu semua plumnya, apa kata Nyonya Zhuangfei? Bagaimana tanggapan Ibu Suri Xian?" 　　Jiang Si menjawab jujur: "Nyonya Zhuangfei tidak berkomentar, Ibu Suri Xian mengatakan tindakan Pangeran Yan melanggar tata krama..." 　　"Tentu saja melanggar tata krama!" Nyonya Feng kembali menghentakkan kaki, wajahnya sangat muram. 　　Seberapa nakalnya pun Pangeran Yan, dia tetap putra kaisar yang paling-paling hanya tidak disukai Kaisar. Tapi bagaimana dengan Si'er? 　　“Begitu kabar tentang Pesta Apresiasi Bunga Plum tersebar, orang-orang pasti akan menyebut Si'er si Bunga Pemikat Bencana.” 　　“Lalu apa pujian yang bisa didapat Keluarga Dongping Bo yang telah membesarkan si pemikat bencana ini?” 　　Nyonya Feng langsung merasa sakit hati begitu memikirkan hal-hal ini. 　　“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dongping Bo Residence tahun ini? Benar-benar sial bertubi-tubi. Dua nona yang memutuskan hubungan secara moral, satu nona pemikat bencana, bagaimana nasib yang tersisa mau menikah?” 　　“Pada titik ini, hanya ada satu kemungkinan untuk menyelamatkan Dongping Bo Residence dari situasi memalukan ini: Si'er harus menjadi Permaisuri Yan.” 　　Namun kemungkinan itu hanya melintas sekejap dalam hati Nyonya Feng sebelum ditepis dengan cibirkan sinis. 　　“Si'er bisa menjadi Permaisuri? Aku tak berani menyebut satu katapun, nanti ditertawakan orang.” 　　“Si'er, ceritakan detail peristiwa di Pesta Bunga Plum itu, terutama setelah Pangeran Yan memberimu bunga.” 　　Jiang Si dengan tajam menangkap perubahan nada bicara Nyonya Feng. 　　Sebelum pesta, sikapnya sangat ramah dan baik hati, kini berubah penuh sikap mengintimidasi. 　　Jiang Si mengangkat sudut bibirnya dengan tenang, menceritakan kronologi pesta secara rinci kepada Nyonya Feng. 　　Sang Nyonya adalah senior, dirinya junior. Sebanyak apapun rasa jengah, formalitas basa-basi tetap harus dijaga. 　　Saat mendengar Kaisar juga hadir, wajah Nyonya Feng pucat bagai ditimpa kapur, jari-jarinya gemetar memutar tasbih dengan cepat. 　　“Kembali ke Haitangju.” Nyonya Feng malas memandang Jiang Si lagi, suaranya berat. “Kedepannya bacalah buku dan sulam di Haitangju. Jangan datang ke sini tanpa urusan penting, apalagi keluar rumah.” 　　Ternyata benar, Kaisar dan Ibu Suri Xian sama-sama bilang memberi bunga bukan masalah besar. Ini jelas tak menganggap serius tindakan Pangeran Yan memberi bunga. Si'er pun jadi bahan tertawaan di pesta bunga. Masakan para bangsawan akan membicarakan Si'er dengan baik di kemudian hari? 　　Sekarang hanya bisa mengurung Si'er di rumah, jangan sampai mempermalukan keluarga di luar. 　　Jiang Si menatap Nyonya Feng, suaranya dingin: “Apakah nenek mengurung cucu ini dalam tahanan rumah?” 　　Beberapa perkataan bisa dielakkan, tapi beberapa harus diungkapkan terang-terangan. 　　Jika dia diam saja pergi begitu saja, nanti saat menjadi Permaisuri Yan, nenek tetap akan berlaku sebagai sesepuh yang baik hati, sementara dia tetap harus memberi muka. 　　Dengan terang-terangan menyingkap niat nenek, setidaknya setelah statusnya berubah, sikap dinginnya akan membuat nenek sadar diri. Jangan sok sebagai sesepuh tapi tak tahu diri. 　　Wajah Nyonya Feng berkedut, matanya membelalak terkejut. 　　Gadis ini berani bertanya seperti itu! 　　“Memangnya kenapa?” Nyonya Feng menatap balik Jiang Si, bertanya kata demi kata. 　　Wajah Jiang Si tenang: “Apa kesalahan cucu hingga nenek mengurungku?” 　　Sikapnya ini semakin memicu amarah Nyonya Feng yang sedang emosi naik turun. 　　Sang nenek mengambil cangkir teh dan melemparkannya, suaranya garang: “Kau masih berani bertanya! Dasar tak tahu malu!” 　　Jiang Si tidak menghindar, membiarkan cangkir Gu menghantam tubuhnya. 　　Pukulan itu terasa perih menusuk. 　　Air teh yang semula panas sudah mulai dingin setelah didiamkan dalam cangkir, kini mengalir menyusuri ujung baju, mengotori kemeja kecil merah muda dengan noda kecoklatan. 　　Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Sayang sekali baju baru ini, padahal dia sangat menyukai kemeja merah muda ini. 　　Suara Ibu Suri terdengar kasar dan menusuk bagai kerikil: "Acara menikmati bunga plum yang indah ini kau nodai dengan skandal! Masih berani kau keluar rumah untuk jadi bahan gunjingan orang? Jika kau tak malu, Keluarga Bo masih punya harga diri!" 　　"Apa yang terjadi di sini?" Suara itu terdengar. 　　Jiang Si menoleh dan melihat Jiang Ancheng serta Tuan Jiang Ketiga masuk berurutan. 　　Beberapa usaha keluarga Bo akan dibuka kembali setelah tahun baru, Jiang Ancheng dan Tuan Jiang Ketiga baru kembali setelah perayaan Cap Go Meh. 　　Melihat keadaan Jiang Si yang compang-camping, wajah Jiang Ancheng berubah pucat. Ia melangkah cepat mendekat: "Apa kau kepanasan?" 　　Jiang Si menggeleng. 　　Jiang Ancheng menghalangi tubuhnya sambil mengerutkan dahi ke arah Nyonya Feng: "Ibu, masalah apa yang tidak bisa diselesaikan dengan bicara? Si'er masih seorang nona, bagaimana bisa Ibu memukulinya?" 　　Nyonya Feng menuding gadis yang membisu itu: "Kau masih membelanya! Kelakuan buruknya ini semua buah dari manjamu!" 　　Jiang Ancheng menendang bangku kecil hingga terlempar: "Apa sebenarnya yang terjadi?!" 　　"Baru pergi beberapa hari, dia sudah menyiksa putrinya. Kalau pergi lebih lama, apa dia akan menguburkan anaknya?" 　　Bangku kecil yang terlempar menabrak dinding dengan dentuman keras, membuat para pelayan di luar melongok-longok ke dalam. A Fu yang sedang melayani di dalam ruangan hampir kehilangan keseimbangan. 　　Tuan Jiang Ketiga buru-buru menarik lengan Jiang Ancheng: "Kakak, tenanglah. Bicaralah baik-baik." 　　Nyonya Feng gemetar marah: "Putra Sulung, kau berani memukul ibumu sendiri?" 　　Anak durhaka ini benar-benar membuatnya ingin mati! 　　"Ananda tentu tak berani. Hanya merasa bangku kecil ini mengganggu, menginjaknya membuat lega." 　　"Kau... keluarlah dari sini!" 　　Jiang Ancheng tetap diam: "Ibu sebaiknya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi sampai membuatmu marah seperti ini." 　　"Tahukah kau betapa besar masalah yang ditimbulkan Si'er?" 　　Setelah Nyonya Feng menceritakan soal pesta apresiasi bunga plum, Jiang Ancheng semakin geram: "Apa? Istana mengundang Si'er untuk pemilihan permaisuri pangeran? Kenapa saya tidak tahu soal ini?" 　　Merasa jengkel, matanya melirik ke sekeliling sebelum menendang bangku kecil yang tergeletak di lantai sekali lagi. 　　"Sekarang membahas itu sudah tak ada gunanya. Si'er sudah terlibat skandal. Bukankah lebih baik dia diam di rumah daripada mempermalukan keluarga di luar?" 　　Jiang Ancheng menyeringai dingin: “Kalau bicara tak tahu malu, itu kan Pangeran Yan yang tak tahu malu, mana mungkin malah Si'er yang salah? Orang-orang berpikir begitu hanya karena memilih yang lemah untuk ditindas. Ibu bijaksana, jangan terpengaruh oleh orang-orang pengecut dan tak bermoral itu. Ibu tenang dulu, hamba akan membawa Si'er mengundurkan diri.” 　　“Putra Sulung——” Melihat Jiang Ancheng menarik Jiang Si pergi tanpa menengok, Nyonya Feng yang berdiri sambil berteriak-teriak itu mengamuk, ujung sepatunya menyentuh bangku kecil yang belum stabil, lalu menendangnya hingga ke sudut dinding. 　　Dosa apa yang telah kulakukan sampai anak besar kecil semuanya menyusahkan hati! 　　Tuan Jiang Ketiga diam-diam mengangkat bangku kecil itu, memberi hormat lalu mundur. 　　Sungguh, bangku kecil ini salah apa sih? 367.BAB 367 Pengumuman Titah Kaisar 　　BAB 367 Pengumuman Titah Kaisar 　　Langkah Jiang Ancheng cepat, Jiang Si mengikuti langkah demi langkah di belakangnya. 　　Jiang Ancheng tiba-tiba berhenti, memandangi putrinya. Amarahnya bagai nyala api tertiup angin, kadang menjulang tinggi, kadang mereda. 　　Setelah beberapa kali begini, ia melemparkan kalimat: “Ikut ayah.” 　　Ayah dan anak ini segera tiba di ruang belajar. 　　Jiang Ancheng duduk kasar, melirik putrinya yang diam seribu bahasa, lalu menunjuk kursi: “Duduklah.” 　　Jiang Si duduk sambil mengangkat ujung baju yang basah kena teh ke samping. 　　Melihat ini, Jiang Ancheng menghela napas, garuk-garuk kepala gelisah: “Si'er, kenapa tidak memberitahu ayah soal undangan dari istana? Sekalipun ayah tidak di rumah, bisa menyuruh pelayan mengirim kabar padaku.” 　　Jiang Si tersenyum: "Putri rasa ini bukan hal besar." 　　"Bukan hal besar?" Jiang Ancheng melotot, "Pesta tak jelas macam ini harusnya kau tolak dengan alasan sakit! Takkan sampai kau diganggu oleh si bejat Pangeran Yan itu!" 　　Tiba-tiba Jiang Ancheng tertegun: "Si'er, kau bertemu Pangeran Yan?" 　　"Hm." 　　"Lalu-" 　　"Tak disangka Pangeran Yan adalah Tuan Yu." Jiang Si langsung menjelaskan. 　　Jiang Ancheng meninju meja belajar: "Dasar anak ini, rupanya sudah lama mengincarmu!" 　　Jiang Si tersenyum menenangkan: "Ayah, jangan panik. Urusan pemilihan permaisuri ada di tangan Kaisar dan Nyonya." 　　“Bukan karena hal ini, mana mungkin saya masih bisa duduk tenang! Sudah, kau juga taruh hatimu kembali ke perut, pulanglah ganti pakaian. Mengenai pihak nenekmu… akhir-akhir ini jangan sering-sering muncul di hadapannya.” 　　“Kalau begitu putri mohon pamit.” 　　Jiang Si keluar dari ruang belajar, menatap langit. 　　Langit mulai cerah, sinar matahari keemasan menembus awan jatuh ke genteng hijau atap, menyepuhnya dengan lapisan sinar emas. 　　Awal musim semi meski dingin, tapi lagipula sudah tiba. 　　Ayah Padukasalah paham tentang sesuatu, apakah khawatir saya akan menangis pingsan jika terpilih? 　　Jiang Si merapikan jubahnya, bergegas menuju Haitangju. 　　Nyonya Feng sama sekali tak bisa tenang, langsung memerintahkan orang untuk menyelidiki urusan Pesta Bunga Mei. 　　Tak lama, Ibu Feng yang merupakan orang kepercayaan kembali dengan kandungan penuh informasi. 　　Begitu melihat ekspresi Ibu Feng, Nyonya Feng langsung cemas dan buru-buru bertanya, "Bagaimana?" 　　Ibu Feng mengangguk berat: "Sekarang kabar sudah menyebar di luar. Nona Keempat benar-benar mendapatkan enam cabang plum dari Pangeran Yan. Tidak hanya itu, kabarnya cabang plum pertama Pangeran Shu juga diberikan pada Nona Keempat..." 　　Nyonya Feng merasa pusing mendengarnya, lalu menggerutu: "Si gadis penggoda yang suka menarik perhatian itu!" 　　Padahal sebelumnya ia masih berharap Si'er mungkin bisa meraih kesuksesan di masa depan berkat kecantikannya. Rupanya harapannya sia-sia. 　　Semakin Nyonya Feng merenungkan, semakin geram hatinya. 　　"Apa kata orang luar?" 　　Melihat Ibu Feng ragu, Nyonya Feng bermuka masam: "Katakan apa yang kau dengar! Apa lagi yang harus ditutupi sekarang?!" 　　"Orang luar mengolok-olok Nona Keempat sebagai bencana, dan mengatakan semua ini percuma. Orang terhormat di istana sudah bersabda, memberi bunga bukanlah hal istimewa. Gadis Dongping Bo Residence yang ingin jadi phoenix hanya mimpi siang bolong..." Ibu Feng sambil berbicara sambil mengamati raut wajah Nyonya Feng yang semakin muram. 　　"Semua itu cuma gosip picik!" Nyonya Feng kesal lalu memerintahkan, "Sampaikan pada penjaga pintu, larang Nona Keempat keluar rumah lagi." 　　Begitu perintah Nyonya Feng tersebar, seluruh anggota keluarga segera memahami maksudnya. 　　Nyonya Xiao Istri Kedua segera memerintahkan, "Bagian jahit-menjahit yang khusus membuat pakaian baru untuk Nona Keempat dihentikan. Karena tidak keluar rumah, tidak perlu menyiapkan banyak baju. Tidak pantas melebihi nona-nona lain…" 　　Saat makan malam tiba, Ah Man marah melihat makanan yang dibawa dayang kecil dari dapur utama: "Ini layak dimakan? Sup udang sudah dingin, ayam goreng bubuk merica hanya ada kepala ayam tanpa potongan daging! Hamba akan menghadap dapur utama! Pasti brengsek-brengsek itu sengaja!" 　　"Tidak perlu." Jiang Si melirik makanan yang tidak karuan itu, merasa lucu. 　　Nenek berubah sikap lebih cepat dari membalik halaman buku. Para pelayan lebih lihai lagi memanfaatkan angin. Terbukti betapa bijak keputusannya dulu. 　　Kalau di mana-mana tidak tentram, buat apa dia bergulat di lumpur busuk Kediaman Dongping Bo ini. 　　"Nona, apa kita harus menerima begitu saja?" 　　Jiang Si tak lagi memandang makanan, kembali duduk di tepi ranjang sambil memainkan rumbai tirai sutra: "Kalau harus tahan seumur hidup, jangan ditahan. Kalau cuma sementara, apa salahnya bersabar?" 　　Seandainya dia tinggal lama di keluarga Bo, seperti saat Nyonya Kedua ingin menyiksanya dulu, tak boleh ada toleransi. Kalau tidak, seluruh isi rumah ini akan menginjak-injaknya. 　　Tapi sekarang, mengapa tidak bersabar? 　　Semakin keterlaluan sikap Ibu Suri, semakin beralasan nanti saat dia memperlihatkan ekspresi tidak senang. Takkan ada yang berani menyalahkannya. 　　“Ah Man semakin bingung: 'Bertahan seumur hidup? Bertahan sesaat? Nona, hamba semakin tidak mengerti.'” 　　“Kau hanya perlu tahu beberapa hari ini jangan pedulikan hal-hal itu. Jika makanan tidak sesuai selera, belilah di luar.” 　　“Tapi——” 　　A Qiao menarik lengan Ah Man dengan lembut: “Kalau Nona berkata begitu, lakukan saja. Pasti ada alasannya.” 　　Ah Man merenung sejenak lalu mengangguk dengan enggan. 　　Huh, kalau bukan karena perintah Nona, pasti dia sudah menghancurkan wajan di dapur besar! 　　Langit semakin gelap, A Qiao menyalakan lentera tambahan sehingga ruangan menjadi terang. 　　Jiang Si selesai mandi dan berganti pakaian, duduk di tepi ranjang dengan baju dalam putih bersih. 　　Memang bukan musim dingin lagi, setelah mandi seluruh tubuh terasa hangat, bahkan ujung jari kaki terasa malas. 　　Melihat Jiang Si mengantuk, A Qiao berbisik: “Nona, hamba akan menemani Nona tidur.” 　　“Tidak perlu buru-buru.” Jiang Si berkata sambil melirik ke arah jendela. 　　Mengetahui sifat Yu Qi, malam ini hampir pasti dia akan datang. 　　Baru saja pikiran itu muncul, suara berderak terdengar dari kisi-kisi jendela. 　　“Nona?” A Qiao menanyakan instruksi Jiang Si. 　　Jiang Si mengangguk halus. 　　A Qiao dengan cekatan mengambil vas bunga dari meja tinggi sambil berjalan mendekat: “Siapa?” 　　"Kapan pun tidak boleh lengah. Kalau di luar jendela bukan Tuan Yu, masih bisa melempar vas bunga lalu berteriak minta tolong." 　　Dari luar jendela: "Guk!" 　　A Qiao segera membuka jendela, seekor anjing besar melompat masuk. 　　Melihat Er Niu, Jiang Si girang bukan main, bergegas menyambut sambil mengusap-usap kepala anjing besar itu, lalu mengambil kantong bersulam di lehernya dan membukanya. 　　Di atas kertas tergambar sebuah tongkat giok hijau zamrud. 　　Melihat ini, Jiang Si tersenyum kecut, barulah hatinya benar-benar lega. 　　Keesokan paginya, beberapa pelayan istana diam-diam keluar dari istana, terbagi menjadi dua kelompok yang menaiki kereta kuda ke arah berbeda. 　　Warung sarapan di mulut Gang Yuqian tempat Kediaman Dongping Bo berdiri dikerumuni banyak orang, aroma bakpao dan youtiao menyebar hingga ke tembok tinggi kediaman bangsawan. 　　Ah Man bertolak pinggang, sedang berdebat dengan pelayan: "Aku cuma mau beli beberapa roti daging di ujung gang, kenapa tidak boleh keluar?" 　　Pelayan bahkan tidak mengangkat kelopak mata: "Ibu Suri sudah memerintahkan, tidak boleh keluar rumah tanpa urusan penting." 　　"Membeli roti daging bukan urusan penting?" 　　"Urusan penting harus ada tanda pengurus." 　　"Persetan dengan tanda pengurusmu, benar-benar orang nganggur!" Ah Man yang tak kunjung bisa berdebat akhirnya menyambar si pelayan dan melemparkannya keluar. 　　Pelayan istana yang membawa dekrit kerajaan terkejut melihat orang tua yang tergeletak di depannya. 　　Hari ini ulang tahun anak bungsu, setelah update mau pergi bersenang-senang. Tapi sepulangnya orang lain istirahat, aku masih harus mengetik.... 368.BAB 368 Pemberian Pernikahan 　　BAB 368 Pemberian Pernikahan 　　Para pelayan istana yang membawa dekrit kerajaan menatap papan nama pintu. 　　Di pintu kayu berwarna merah tergantung papan nama kayu hitam dengan empat karakter emas: Dongping Bo Residence. 　　Memang ini adalah kediaman Dongping Bo. 　　Sang pelayan istana memandang aneh ke arah penjaga pintu yang bangun dengan susah payah, lalu melihat dayang yang berwajah garang, ragu-ragu. 　　Belum pernah terdengar dayang di kediaman bangsawan langsung melempar penjaga pintu keluar. 　　"Ini Dongping Bo Residence, kan?" Lebih baik berhati-hati, apalagi untuk menyampaikan maklumat penting. Pelayan istana memutuskan untuk memastikan. 　　Suara melengking khas pelayan istana membuat penjaga pintu segera menyadari keistimewaan tamu ini. Dia buru-buru berkata: "Benar, Tuan/Nyonya yang terhormat..." 　　Pelayan istana memotong dengan kesal: "Kami dari istana untuk menyampaikan dekrit kerajaan." 　　Penjaga pintu kaget. Setelah mempersilakan para pelayan istana masuk, dia segera lari memberi kabar. 　　Ah Man ragu sejenak. 　　Utusan dari istana - buru-buru memberi kabar ke nona atau beli roti daging dulu? 　　Dayang kecil itu berjuang sejenak, lalu menarik roknya dan berlari ke mulut gang. 　　Bisa beli roti daging dulu baru kasih kabar ke nona. Jangan sampai nona kelaparan. 　　Di Cixintang, para dayang-dayang bekerja dengan hati-hati, tak ada yang berani membuat suara berisik. 　　Ibu Suri tidur tidak nyenyak semalam, hingga kini belum bangun. 　　Seorang dayang berlari masuk terburu-buru. 　　A Fu melotot tajam padanya, menggeram rendah: "Pelankan suaramu!" 　　"Cepat, cepat bangunkan Ibu Suri! Istana, istana mengirim utusan--" Dayang itu terengah-engah, sama sekali tak berusaha merendahkan suara. 　　A Fu kaget setengah mati, segera berbalik di balik penyekat untuk menyampaikan pesan. 　　"Yang Mulia, bangunlah! Utusan dari istana datang--" 　　Nyonya Feng langsung duduk tegak, menyibak kelambu tempat tidur: "Kau bilang apa?" 　　Melihat Nyonya Feng sudah bangun, A Fu merendahkan suara: "Tadi pelayan memberitahu, ada beberapa kasim yang membawa titah kerajaan." 　　Nyonya Feng langsung panik, bergegas membersihkan diri lalu berlari ke ruang penerimaan depan. 　　Sepanjang jalan, hati Nyonya Feng berdebar-debar tak karuan. 　　Kenapa tiba-tiba istana mengirim titah? 　　Ah, kemarin Si'er baru menghadiri Pesta Bunga Mei di istana. Pasti titah ini terkait hal itu. 　　Si'er membuat masalah besar di pesta bunga itu. Pasti Sang Kaisar murka dan sekarang menjatuhkan hukuman pada Keluarga Bo! 　　Sang Kaisar memang kejam. Baru-baru ini saat Keluarga Zhu jatuh, An Guogong juga ikut terseret tanpa alasan jelas. 　　Semua ini gara-gara Si'er si pembawa sial itu! 　　Kaki Nyonya Feng gemetar, tubuhnya limbung sebentar. 　　"Hati-hati, Yang Mulia." Sebuah tangan menyangga. 　　Nyonya Feng menenangkan diri. Melihat Tuan Jiang Ketiga dan istrinya, ia mengerutkan kening: "Kalian juga dapat kabar?" 　　Nyonya Guo menjawab: "Kakak ipar mengirim utusan ke Jinglan Yuan untuk memberi tahu." 　　"Ketiga orang itu bergegas menuju ruang tamu, dan melihat Nyonya Xiao Istri Kedua sudah berada di dalam, menemani seorang pria berkulit pucat tanpa janggut." 　　"Mendengar keributan, pelayan istana menoleh ke arah mereka." 　　"Mohon maaf membuat Bapak Pelayan menunggu lama." 　　"Mengingat perempuan tua di hadapannya adalah nenek calon Permaisuri Yan, pelayan istana melunakkan ekspresinya dan bertanya, 'Hamba datang membawa dekrit kerajaan. Apakah Nona Keempat Jiang ada di sini?'" 　　"Benar juga Si'er!" 　　"Nyonya Feng yang terburu-buru karena bangun kesiangan masih dalam kebingungan, mengangguk kaku: 'Ada.'" 　　"'Kalau begitu mohon panggilkan Nona Keempat, dan semua majikan rumah agar keluar menyambut dekrit kerajaan.'" 　　"Tak lama kemudian pekarangan dipenuhi kerumunan orang yang berjejalan." 　　"Pelayan istana mengamati wajah-wajah di hadapannya satu per satu, lalu membuka gulungan sutra kekaisaran." 　　"Sekilas warna kuning keemasan itu membuat semua orang langsung bersujud. Dalam keheningan total, suara lantang pelayan istana menggema:" 　　"'Dengan mandat Langit dan kehendak Kaisar, dekrit menyatakan: Tercatat putri Dongping Bo yang berbudi luhur dan berparas ayu, membuat Sang Kaisar berkenan. Kini Pangeran Ketujuh Jin telah tiba usia pernikahan... Dengan ini ditetapkan sebagai Permaisuri Pangeran Ketujuh. Perkimpoian akan dilaksanakan pada hari baik. Demikian titah.'" 　　"Usai pembacaan dekrit, pekarangan sunyi mencekam hingga meremang bulu kuduk." 　　"Pelayan istana mengernyitkan bibirnya." 　　"Sejak memasuki gerbang Kediaman Dongping Bo, ia sudah merasa ada yang janggal dengan keluarga ini. Ternyata firasatnya benar." 　　"'Nona Jiang Keempat, silakan terima dekrit.'" 　　"Jiang Si membungkuk dengan hormat dan menerima dekrit kerajaan: 'Hamba perempuan menerima dekrit.'" 　　"Ahem, maklumat telah disampaikan. Keluarga kami mengucapkan selamat kepada seluruh anggota kediamanmu." Pelayan istana menyatukan tangan, matanya berkilat licik. 　　Kecuali Jiang Si yang sedang memegang dekrit kerajaan, semua yang hadir masih terlihat bengong. 　　Pelayan istana diam-diam menggelengkan kepala. 　　Padahal dia menyangka akan mendapat keuntungan tambahan dari kunjungan ini, ternyata harapannya pupus. 　　"Keluarga kami pamit undur diri." Pelayan istana memberi hormat dan berbalik hendak pergi bersama anak buahnya. 　　Nyonya Feng baru tersadar: "Tuan pelayan, mohon ditahan!" 　　Nenek Feng di sampingnya segera menyelipkan dompet ke tangan pelayan: "Tuan pelayan pasti lelah setelah perjalanan jauh." 　　Pelayan istana tersenyum: "Terlalu sungkan." 　　Nyonya Feng mengamati pelayan istana dengan tatapan tajam. 　　Senyum pelayan istana tiba-tiba kaku. 　　Tadinya dia pikir keluarga Dongping Bo Residence cukup tahu adat, mengapa ibu suri ini memandangnya seperti penipu? 　　Nyonya Feng masih tidak percaya: "Benarkah Nona Keempat diangkat menjadi Permaisuri Yan?" 　　Pelayan istana tertawa: "Apa mungkin berani memalsukan dekrit kerajaan? Itu bisa dihukum pancung dan sembilan generasi keluarga!" 　　Ya, pancung, sembilan generasi! 　　Memikirkan itu, Nyonya Feng akhirnya sadar ini bukan mimpi, hatinya menjadi tenang. 　　Si'er ternyata menjadi permaisuri! 　　Pelayan istana telah pergi, tapi tak seorang pun di pekarangan yang meninggalkan tempat, semua pandangan tertuju pada Jiang Si. 　　Nyonya Feng perlahan mendekati Jiang Si, tangannya gemetar saat meraih tangan sang cucu: "Si'er, apa sebenarnya yang terjadi..." 　　Jiang Si menarik tangannya kembali, nada suaranya dingin: "Cucu juga tidak tahu. Cucu akan kembali ke Haitangju dulu, kemarin Ibu Suri baru memerintahkan agar cucu mengurangi keluar dari pekarangan." 　　Melihat Jiang Si berbalik hendak pergi, Nyonya Feng spontan berseru: "Berdiri!" 　　Jiang Si menoleh kembali, bertanya tenang: "Apakah Nenek masih ada perintah lain?" 　　Nyonya Feng menyadari ucapannya yang kurang tepat. 　　Sekarang Si'er sudah menjadi calon Permaisuri, sikapnya harus diubah. 　　Memang tidak enak harus menarik kembali ucapan yang baru saja dikeluarkan, tapi semua ini tidak ada artinya dibandingkan keluarga Dongping Bo yang kini memiliki seorang Permaisuri. 　　Nyonya Feng tersenyum ramah: "Bukan begitu maksudnya, hanya khawatir cuaca belum sepenuhnya hangat, takut kau sering keluar sampai masuk angin." 　　Ah Man yang masih shock akhirnya sadar, menyela tepat waktu: "Lalu kenapa hamba juga dilarang keluar? Pagi ini hamba mau membeli beberapa roti daging, tapi penjaga pintu keras kepala melarang." 　　"Membeli roti daging?" 　　Dayang kecil itu cepat menjawab: "Iya, kemarin makan malam dari dapur utama sama sekali tidak layak dimakan, pagi ini hanya mengirimkan semangkuk bubur encer, hamba terpaksa keluar membeli makanan untuk nona..." 　　"Muka Nyonya Feng memerah karena marah, berteriak: 'Xiao Shi, bagaimana kau mengurus rumah tangga?'" 　　Xiao Shi masih terdiam kebingungan. 　　Apa hubungannya dengan dirinya? Dia bahkan belum sempat menyusahkan Jiang Si. 　　"Guo Shi, mulai sekarang kau yang akan mengurus rumah tangga. Kakak iparmu belakangan ini kesehatannya tidak baik, perlu istirahat." 　　Jiang Si menyaksikan tekanan Nyonya Feng terhadap Xiao Shi di depan umum, tersenyum sinis. 　　Terima kasih untuk Feng Zhi Dian dan Yin Xiaotiao yang memberikan hadiah 10.000 koin Qidian, terima kasih untuk semua yang memberikan hadiah dan vote. 369.BAB 369: Hati yang Sangat Senang 　　BAB 369: Hati yang Sangat Senang 　　Nyonya Feng dengan beberapa kalimat mencabut hak mengurus rumah tangga Xiao Shi, sama sekali tidak peduli dengan malu Xiao Shi, mengulurkan tangan ke Jiang Si: "Si'er, temani Nenek ke Cixintang, Nenek ingin bertanya sesuatu." 　　Pandangan Jiang Si jatuh pada tangan berkeriput itu, matanya dingin: "Roti daging yang dibeli Ah Man akan dingin jika tidak dimakan segera. Tunggu cucu sarapan dulu baru akan datang." 　　Setelah berkata demikian, mengabaikan ekspresi kaku Nyonya Feng, dia pergi dengan anggun bersama Ah Man. 　　Nyonya Feng dipermalukan di depan umum namun hanya bisa menahan amarah, setelah tenang menyuruh pelayan memanggil Jiang Ancheng dan Tuan Jiang Kedua pulang. 　　Kembali ke Haitangju, Ah Man tak tahan memeluk lengan Jiang Si sambil mengguncang: "Aaaaaa, Nona, Anda menjadi Permaisuri!" 　　A Qiao berdiri di samping melirik lengan Jiang Si yang satunya. 　　Meski sangat ingin melakukan seperti Ah Man, tapi... apakah posisi Permaisuri benar-benar yang diinginkan Nona? 　　Ia teringat pemuda yang datang di bawah gelap malam, dan kata-kata mesum yang tak sengaja didengarnya hingga membuatnya tersipu. 　　Yang disukai Nona bukanlah Pangeran Yan, melainkan Tuan Yu. 　　A Qiao memandang Jiang Si dengan khawatir: "Nona——" 　　Ah Man seolah menyadari sesuatu, tiba-tiba berhenti dan menutup mulut: "Nona, Jika Anda menjadi Permaisuri Yan, bagaimana nasib Tuan Yu nanti!" 　　Baru tadi sibuk membela harga diri Nona, kok malah lupa dengan Tuan Yu. 　　Jendela Kediaman Pangeran Yan pasti tidak semudah di Keluarga Bo untuk dipanjat. 　　Jiang Si tersenyum lepas: "Tuan Yu adalah Pangeran Yan." 　　"Apa?" Kedua dayang serentak berteriak kaget. 　　Ah Man memegangi pipinya yang memerah: "Nona, maksudmu Tuan Yu yang memanjat tembok mengunjungi Anda di malam hari itu... adalah Pangeran Yan?" 　　"Ya." 　　Ah Man mendorong A Qiao keras: "A Qiao, cubit aku, lihat apakah aku tidak sedang bermimpi." 　　Setelah keterkejatan awal, A Qiao cepat tenang kembali. 　　Benar juga, kalau Pangeran Yan bukan Tuan Yu, mana mungkin Nona bisa setenang ini. 　　Pangeran Yan adalah Tuan Yu, Nona menjadi Permaisuri Yan, ini sungguh kabar gembira. 　　“Cepat dayang masuk melapor: ‘Nona, Nona Ketiga, Nona Kelima, Nona Keenam semuanya sudah datang.’” 　　“Persilahkan masuk.” 　　Berbeda dengan keramaian mendadak di Haitangju, Cixintang sunyi senyap. 　　Nyonya Feng duduk bersila di atas ranjang, masih seperti sedang bermimpi. 　　“Ibu Feng, menurutmu bagaimana bisa Si’er menjadi Permaisuri?” 　　Tahun lalu Si’er bertaruh denganku, jangan-jangan— 　　Ibu Feng tampak bingung. 　　Dia hanyalah pelayan, biasanya bisa leluasa membicarakan tuannya di hadapan Ibu Suri, tapi sekarang Nona Keempat adalah calon Permaisuri, mana boleh hamba seperti dirinya sembarangan berkomentar. 　　Tapi pertanyaan Ibu Suri harus dijawab. 　　Ibu Feng tersenyum kecut: “Bukankah Kaisar bilang Nona Keempat kita lembut dan berbudi, parasnya menakjubkan... Hamba yang tua ini dulu sudah melihat Nona Keempat pasti akan meraih keberuntungan besar.” 　　Nyonya Feng menghela napas: “Benar, memang keberuntungan besar.” 　　Sungguh tak pernah terbayang Jiang Si akan menjadi Permaisuri, sementara keluarga Dongping Bo tiba-tiba menjadi keluarga mertua Pangeran Yan! 　　Pada akhirnya, junior yang paling sukses di keluarga ini ternyata Si’er. 　　Nyonya Feng menyesal sekaligus kesal. 　　Seandainya tahu begini, tak seharusnya dia bersikap dingin dan meremehkan Si’er, apalagi mengancam akan menghukumnya tadi kemarin. 　　Tapi penyesalan sekarang tak berguna, hanya bisa berusaha memperbaiki hubungan di kemudian hari. 　　“Ibu, benarkah Nona Keempat mendapat dekrit kerajaan?” Tuan Jiang Kedua langsung bertanya begitu masuk. 　　Nyonya Feng mengangguk perlahan. 　　“Bagaimana bisa?” 　　Melihat Tuan Jiang Kedua linglung, Nyonya Feng mengerutkan alis: “Ini kabar baik!” 　　Tuan Jiang Kedua tersadar, lalu tertawa menyambut: “Ibu benar, tentu ini kabar gembira.” 　　Putri kakak tertuanya menjadi Permaisuri, harapannya selama bertahun-tahun pupus. Meski ini kekecewaan besar, namun hubungan dengan keluarga kerajaan terbentuk, bagai kehilangan di timur tapi mendapat di barat. 　　Dengan dukungan ini, karirnya akan lebih mulus. Jika kelak bisa masuk kabinet menjadi perdana menteri berkuasa, itu jauh lebih baik daripada gelar Bangsawan tanpa kenyataan. 　　Menghadapi putra kesayangannya, Nyonya Feng tak perlu menyembunyikan apapun: “Sudah kuperintahkan, urusan rumah sementara dikelola istri Putra Ketiga. Istrimu cukup beristirahat saja.” 　　Tuan Jiang Kedua tak bereaksi: “Seharusnya begitu. Sakit-sakitan masih ngotot mengurus rumah, hanya bikin masalah.” 　　Pada Xiao Shi, dia sudah tak punya sisa kasih. Pikiran tentang istrinya yang diculik sehari semalam lalu kembali utuh, membuatnya jijik. 　　Nyonya Feng tersenyum. 　　Dia selalu tahu, Putra Kedua paling tak merepotkan. 　　Jiang Ancheng masuk: “Ibu menyuruh orang bilang ada darurat di rumah, apa masalahnya?” 　　Berbeda dengan Tuan Jiang Kedua, Nyonya Feng khusus berpesan pada utusan untuk tak bocorkan apapun pada Jiang Ancheng, khawatir sang putra sulung bertindak nekat. 　　Kini setelah pulang, tak perlu khawatir lagi. 　　“Hari ini datang dekrit kerajaan, Si'er dihadiahkan menjadi permaisuri Pangeran Yan——” 　　Nyonya Feng belum selesai bicara, Jiang Ancheng sudah menghunus pedang dan bergegas keluar. 　　“Cepat halangi Sang Bangsawan!” 　　Suara ayam dan anjing berlarian, Tuan Jiang Kedua mempertaruhkan nyawa merebut pedang: “Kakak, kau gila?” 　　Nyonya Feng menggigil marah: “Putra Sulung, maksudmu mengacung pedang? Ingin seluruh 100 lebih anggota Keluarga Bo ikut mati bersamamu?” 　　Jiang Ancheng menghela napas panjang, seluruh tubuhnya terlihat putus asa. 　　Nyonya Feng membanting meja: “Lihatlah penampilanmu! Jika tersiar keluar, bukankah para bangsawan akan mengira kita menentang pernikahan ini? Sadarlah, menjadi permaisuri adalah berkah turunan ratusan generasi untuk Si'er!” 　　“Berkah seperti ini lebih baik tidak usah.” Jiang Ancheng merasa kepala nyut-nyutan, menghentakkan kaki. “Sudahlah, aku akan menemui Si'er!” 　　Baru mendekati Haitangju, terdengar suara tawa gadis-gadis dari dalam kamar. 　　Langkah Jiang Ancheng terhenti. 　　Tampaknya tidak separah yang dibayangkannya. 　　“Tuan Besar datang.” 　　Selain Jiang Yi dan Jiang Qian, semua gadis seangkatan Jiang Si hadir, bahkan termasuk Dou Shuwang. 　　Melihat Jiang Ancheng masuk, kerumunan segera berpamitan. 　　Hanya tersisa ayah dan anak perempuan, Jiang Ancheng murung dan menyalahkan diri: "Si'er, ini ayah yang tidak becus menjaga kamu. Seandainya dulu menerima lamaran Tuan Zhen, takkan kau terjerumus ke lubang api keluarga kerajaan ini." 　　Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Ayah melebih-lebihkan, mana ada seburuk itu." 　　Sebenarnya memang seburuk itu, tapi mentalitasnya sudah berubah. 　　"Mana mungkin gelar Permaisuri Yan jatuh ke kepalamu!" Jiang Ancheng tertegun, lalu meledak marah: "Pasti ulah brengsek Pangeran Yan itu! Ayah akan cari dia minta pertanggungjawaban!" 　　Jiang Si menarik lengan baju ayahnya, mengingatkan dengan lembut: "Ayah, kalau sekarang langsung cari Pangeran Yan, orang akan menduga ada hubungan terlarang antara anak dengan beliau." 　　Jiang Ancheng terbelalak. 　　Kekhawatiran putrinya masuk akal. Ia tak boleh gegabah. 　　Aaaaa, bocah nakal Pangeran Yan itu main tunjuk harga dulu baru ngomong! Licik, penipu, benar-benar tidak punya malu! 　　Di tengah emosinya, Tuan Besar Jiang mendengar putrinya berkata tenang: "Lagipula, anak rasa Tuan Yu orang baik. Hati ini sangat senang padanya." 　　Jiang Ancheng: "..." Mungkin dia sedang berhalusinasi. 370.BAB 370 Reaksi Berbagai Pihak (Tambahan bab Hadiah He Shibi) 　　BAB 370 Reaksi Berbagai Pihak (Tambahan bab Hadiah He Shibi) 　　Melihat Jiang Si tidak sedang bercanda, Jiang Ancheng memukul dadanya: "Si'er, kau masih muda dan naif! Orang baik belum tentu cocok untuk dijadikan sandaran seumur hidup!" 　　Apalagi Xiao Yu bukanlah pria jujur. Kalau tidak, bagaimana bisa dulu membujuk dirinya, lalu merayu putrinya? 　　Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada Xiao Yu. 　　"Tapi menurut putri, Tuan Yu bisa diandalkan untuk seumur hidup." Jiang Si tersenyum. 　　"Tapi itu lingkungan kerajaan, tempat yang bisa melahap orang tanpa meninggalkan tulang--" 　　Jiang Si menyambung dengan senyuman: "Jika tidak punya kemampuan melindungi diri, semua tempat adalah jurang maut. Pada akhirnya, hidup itu dijalani oleh manusianya sendiri." 　　"Si'er, apa kau begitu yakin Pangeran Yan tidak akan mengecewakanmu? Dia pangeran. Kalau nanti baik ke wanita lain, protesmu tidak akan berguna. Saat itu, bahkan kesempatan bercerai pun tak ada." Jiang Ancheng menasihati dengan khidmat. 　　Jiang Si tertawa getir: "Ayah, dekrit pernikahan sudah turun. Meski putri tidak mau, apa bisa dilakukan?" 　　Jiang Ancheng sepertinya sudah memikirkan ini sebelumnya, langsung menjawab: "Laporkan saja sakit. Sebelum pernikahan, umumkan kematian karena penyakit. Nanti Ayah diam-diam mengirimmu keluar, menikah dengan keluarga terpercaya atau jalan-jalan menikmati alam. Yang penting hidupmu bebas." 　　Di lingkungan kerajaan, nyawa bisa lenyap karena kecerobohan. Dia hanya ingin putrinya hidup dengan baik. 　　Jiang Si menggeleng: "Ayah, putri tidak mau seumur hidup bersembunyi, bahkan tidak bisa menjadi diri sendiri." 　　Menjadi orang lain, sudah cukup di kehidupan sebelumnya. Di hidup ini, dia hanya ingin menjadi Jiang Si. 　　"Ayah, jangan khawatirkan putri. Kalau Pangeran Yan berani tidak setia--" Dia mengambil gunting dari keranjang bordir dan meletakkannya di depan Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng tertegun. 　　Jiang Si tersenyum: "Pokoknya Ayah tenang saja, dia tidak akan berani." 　　Sampai meninggalkan Haitangju, Tuan Besar Jiang masih merenung dalam hati: Apa maksud Si'er mengeluarkan gunting itu? 　　Tidak, pasti bukan makna yang dia pikirkan! 　　Tapi bagaimanapun, karena putrinya menunjukkan kegembiraan dan pengakuan terhadap perjodohan ini, sebagai ayah seolah hanya bisa memberikan restu. 　　Tanpa sadar, Jiang Ancheng telah sampai di Minghua Hall. 　　Ini adalah tempat tinggalnya setelah menikah dulu. Sejak istrinya meninggal karena sakit, dia jarang datang ke sini, hampir semua waktu dihabiskan di ruang belajar halaman depan. 　　Minghua Hall adalah pekarangan terluas di keluarga Bo. Jiang Ancheng berjalan masuk, tangan terkepal di belakang sambil mondar-mandir, akhirnya berhenti di depan rak bunga. 　　Beberapa hari lagi, tanaman madreselva ini akan kembali rimbun. 　　Dia mengusap palang kayu yang sudah lapuk, bergumam: "A Ke, lima tahun lalu Yi'er menikah, aku memberitahumu. Tahun lalu Yi'er pulang ke rumah orangtuanya, aku takut kau khawatir jadi tidak berani bilang. Kali ini datang ingin memberitahu, Si'er kita juga akan memasuki usia pernikahan, waktu berlalu begitu cepat..." 　　Jiang Ancheng berdiri di samping rak bunga yang rusak itu, lama sekali baru pergi. 　　Sejumlah pelayan istana lain yang telah membacakan dekrit kerajaan di Kediaman Marquis Shouchun, suasana penuh sukacita di sana berusaha keras menjamu para pelayan istana dengan teh. 　　Pelayan istana itu menolak sambil tersenyum: "Marquis tidak perlu sungkan. Kami harus segera kembali melapor. Jika terlambat dibandingkan utusan yang ke Dongping Bo Residence, akan sulit dipertanggungjawabkan." 　　“Dongping Bo Residence?” Marquis Shouchun terlihat bingung. 　　“Benar, Nona Keempat Dongping Bo Residence dijodohkan dengan Pangeran Yan sebagai permaisuri.” 　　Marquis Shouchun lebih terkejut daripada mendengar putrinya sendiri ditunangkan dengan Pangeran Shu. Mulutnya masih terbuka lebar bahkan setelah pelayan istana pergi. 　　Kabar tentang Nona Keempat Dongping Bo Residence menjadi Permaisuri Yan menyebar secepat kilat. 　　Seluruh ibu kota langsung gempar. 　　Chen Huifu, putri Putri Ningluo, langsung melompat saat mendengar kabar ini: “Ini tidak mungkin! Bagaimana mungkin sundal Jiang Si itu menjadi Permaisuri Yan? Pasti ada kesalahan!” 　　“Diam! Dekrit kerajaan sudah tersebar luas, mana mungkin salah? Huifu, kau harus mengendalikan sifat impulsifmu. Bukankah malu sudah cukup setelah diusir dari Pesta Apresiasi Bunga Mei?” Putri Ningluo yang biasanya sangat menyayangi putrinya kini justru kesal melihat tingkah anaknya. 　　Dalam satu Pesta Apresiasi Bunga Mei, gadis berlatarbelakang biasa dengan reputasi buruk menjadi permaisuri, sementara putrinya sendiri diusir keluar. Bagaimana bisa perbedaannya sebesar ini? 　　Chen Huifu sama sekali tidak bisa tenang. 　　Semua ini salah sundal dari keluarga Jiang yang memaksanya tampil hingga membuatnya dipermalukan di pesta. Dendam ini sama sekali tidak bisa ia telan! 　　“Ibu, dia pernah memutuskan pertunangan! Tidak mungkin jadi permaisuri!” 　　Putri Ningluo justru tenang: “Dalam urusan kerajaan, apa yang tidak mungkin?” 　　Jika bicara tentang melanggar tata krama, sebenarnya pihak paling tidak patuh aturan adalah keluarga kerajaan sendiri. 　　“Benarkah……benar tidak salah?” Chen Huifu perlahan menyadari kenyataan, melangkah keluar, “Ibu, saya akan pergi sebentar.” 　　“Kau mau ke mana?” 　　“Aku akan mencari Mingyue——” 　　“Berhenti kau!” Ningluo Junzhu melihat putrinya, kesal karena anaknya tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan, “Diamlah di rumah! Wajahmu masih belekan begini mau cari Mingyue apa!” 　　Dengan skandal memalukan seperti itu, mana mungkin orang-orang terhormat di istana tidak tahu. Si gadis bodoh ini masih mau mendekat. 　　Cui Mingyue yang tidak hadir dalam Pesta Menikmati Bunga Mei ini juga mendapat kabar dari kakak laki-lakinya. 　　“Kenapa nasib Jiang Zhan itu selalu baik? Awalnya ingin cari kesempatan untuk menghajarnya. Sekarang dia sudah jadi Kakak Ipar pangeran, mau cari masalah pun jadi sulit...” 　　Cui Mingyue mendengar Cui Yi terus menggerutu, berkata datar: “Kalau Kakak sudah selesai bicara silakan keluar, aku lelah.” 　　“Kau——” Cui Yi hendak mengeluh adiknya tidak bersemangat, seandainya ikut pesta mungkin tidak akan ada urusan adik perempuan Jiang Zhan. Tatapan mata Cui Mingyue yang dalam seperti kolam membuatnya tiba-tiba takut bicara. 　　Entah mengapa, sejak kecil dia agak takut dengan adik perempuannya ini. 　　Setelah Cui Yi pergi, Cui Mingyue dengan wajah tanpa ekspresi berjalan ke belakang rumah, memegang cambuk panjang dan memukul rusa tutul dengan keras. 　　Rusa setengah dewasa itu tergeletak di tanah, mulutnya mengeluarkan darah dan kejang-kejang tanpa suara. 　　Tidak seru! 　　“Cui Mingyue melemparkan cambuk panjangnya, tiba-tiba melirik ke arah dayang yang merawat rusa.” 　　“Dayang itu bahkan tidak berani mengangkat kepala, perutnya gemetar ketakutan.” 　　“Ini sudah menjadi rusa kesembilan yang dibunuh nona pertama belakangan ini. Ia selalu merasa bahwa nona pertama mungkin segera bosan melampiaskan amarahnya pada rusa.” 　　“Kalau sudah begitu, apa yang akan terjadi?” 　　“Dayang itu tidak berani melanjutkan pikirannya. Mendengar langkah kaki yang semakin menjauh, ia terjatuh lemas di lantai yang dingin.” 　　“Zhen Shicheng segera memanggil Zhen Heng begitu mendengar kabar tersebut.” 　　“Heng'er, Ayah mau bicara sesuatu denganmu.” 　　“Zhen Heng terdiam sejenak, lalu tersenyum: 'Jika Ayah ingin membicarakan pernikahan adik Keluarga Jiang dengan Pangeran Yan, tidak perlu lagi. Anak lelaki sudah mengetahuinya.'” 　　“Siapa di ibu kota yang tidak tahu keajaiban gadis Keluarga Dongping Bo yang tiba-tiba menjadi phoenix ini?” 　　“'Kalau begitu kau—'” 　　“Zhen Heng masih tersenyum: 'Anak lelaki baik-baik saja, benar-benar baik.'” 　　“'Kalau baik-baik saja, kembalilah belajar. Ujian musim semi sudah dekat.'” 　　“Mulut Zhen Heng berkedut.” 　　“Apakah penghiburan ini terlalu singkat?” 　　“'Heng'er—'” 　　“Zhen Heng berhenti di pintu.” 　　“Zhen Shicheng merasa bersalah sambil mengusap kumisnya: 'Ahem... dalam buku ada kecantikan tersembunyi...'” 　　“Zhen Heng mengepal tinjunya.” 　　“Mood-nya sudah cukup buruk. Sekarang jika aku meninju Ayah, mungkin juga bisa dimaafkan, ya?” 　　Para sayang tidak salah lihat, ini adalah tambahan bab dari hadiah, janji harus ditepati. Terima kasih untuk hadiah dari 、、、guiyue08、、、、づ、、. Sepertinya masih ada sisa, akan ditambahkan di next update sebagai ucapan terima kasih. 371. BAB 371 Bekas 　　BAB 371 Bekas 　　Haitangju segera menerima hadiah yang menumpuk seperti gunung. 　　Berbagai hadiah dari keluarga kakek nenek pihak ibu di Kediaman Marquis Yining, daftar hadiahnya panjang sekali, bahkan Jiang Si melihat Nyonya You (istri paman tertua) memberikan sepasang gelang emas. 　　"Ah Man, cari barang yang dikirim Nyonya You." 　　Ah Man mencari-cari lama akhirnya mengeluarkan kotak kecil, di dalamnya terlihat sepasang gelang emas yang berat dan mengkilap. 　　Jiang Si melirik lalu berkata: "Kalian berdua (Ah Man dan A Qiao) ambil masing-masing satu." 　　A Qiao yang sedang menghitung dengan sempoa mendongak bingung. 　　Ah Man dengan gembira memasang satu gelang emas di tangannya, mengangkatnya dan membiarkan gelang meluncur turun di pergelangan: "Nona, lumayan cantik ya." 　　A Qiao melototi Ah Man, ragu-ragu: "Nona, ini kan hadiah Nyonya You, tidak baik jika diberikan ke hamba..." 　　Jiang Si tetap menatap daftar hadiah, berkata santai: "Justru karena dari dia, jadi tepat." 　　Perbuatan licik Nyonya You padanya, apakah bisa dimaafkan hanya karena dia selamat? 　　"Maaf, dia adalah orang yang pendendam." 　　"Bukan hanya Nyonya You, tapi juga Jiang Qian. Dia bahkan mengharapkan orang-orang berhati busuk dan paru-paru busuk itu mendapat lebih banyak kesialan." 　　Meskipun dekrit pernikahan kerajaan telah turun, tanggal pernikahan yang spesifik masih harus ditentukan oleh Biro Astronomi Kekaisaran. Menurut tradisi, pernikahan pangeran akan dilangsungkan pada tahun yang sama. Artinya, Jiang Si tidak akan tinggal di Kediaman Dongping Bo sampai tahun depan. 　　Sebelum tiba usia pernikahannya, dia sangat khawatir terhadap Jiang Qian. 　　Di mata orang-orang, Jiang Qian adalah korban yang malang, tapi dia sangat paham bahwa Jiang Qian adalah kaki tangan kejahatan! 　　Dengan kehadiran orang seperti ini di Keluarga Bo, bagaimana jika kakak tertuanya yang tidak sadar malah menjadi korban intrik? Ayah dan kakak laki-lakinya mungkin masih bisa menghadapi. 　　"Nona, Nyonya Muda sudah datang." 　　Jiang Si yang sedang berpikir untuk mengunjungi kakaknya langsung menyambut ketika Jiang Yi tiba. 　　Jiang Yi memasuki ruangan sambil menggandeng Yan-yan. 　　"Tante, ini apa? Cantik sekali!" Yan-yan menunjuk pohon karang setinggi tiga kaki. 　　"Ini pohon karang. Kalau Yan-yan suci, Tante berikan padamu ya?" 　　Yan-yan melirik ke arah ibunya lalu menggeleng: "Ibu bilang anak perempuan baik tidak boleh sembarangan menerima barang orang." 　　Jiang Si mencubit pipi keponakannya sambil berpura-pura sedih: "Apakah Tante dianggap orang asing oleh Yan-yan?" 　　"Tante bukan orang asing! Tante adalah tante favorit Yan-yan, tapi..." Gadis kecil itu kebingungan dan memandang ibunya minta tolong. 　　Jiang Yi menggelengkan kepala: "Jangan menggoda Yan-yan lagi, anak kecil memang tidak boleh dibiasakan meminta-minta." 　　"Aku tahu, kebetulan kakak datang. Aku baru saja mau mencarimu." 　　A Qiao dan Ah Man membujuk Yan-yan bermain di ruang luar, menyisakan kedua saudari untuk berbincang. 　　Jiang Yi memandang Jiang Si dengan tenang. 　　"Mengapa kakak memandangku seperti ini?" 　　Jiang Yi mengangkat tangan menyentuh rambut Jiang Si, berdesah: "Kakak tak pernah menyangka Adik Keempat akan menikah ke keluarga kerajaan." 　　Jiang Si merapat, duduk bersebelahan dengan Jiang Yi. 　　Kehangatan yang terpancar dari tubuh saudarinya membuat hatinya terasa tenang. 　　Di kehidupan ini, semua kakak dan saudara selamat, sungguh suatu berkah. 　　"Adik Keempat, meski seharusnya tidak kukatakan, tapi kakak merasa takut... Itu kan keluarga kerajaan. Setelah menikah kesana, bukankah setiap ucapan harus disampaikan dengan gemetar ketakutan..." 　　Jiang Si menuangkan secangkir teh untuk Jiang Yi, wajahnya tenang: "Kakak tidak perlu khawatir. Adikmu ini punya sifat keras kepala dan pantang menyerah. Jika ada orang yang bisa hidup baik di istana, mengapa aku tidak bisa? Justru kakak, ada seseorang yang harus kau jauhi, jangan sampai dia menghancurkanmu." 　　"Siapa?" 　　"Jiang Qian." 　　Jiang Yi terkejut: "Kakak Keduamu?" 　　Melihat Jiang Si mengangguk, Jiang Yi semakin bingung: "Ada apa dengan kakak keduamu?" 　　"Kakak tahu tentang kasus Putra Mahkota Marquis Changxing yang memperkosa dan membunuh banyak wanita muda?" 　　Jiang Yi mengangguk. 　　Putra Mahkota Marquis Changxing telah dihukum mati, hal ini diketahui semua orang di ibu kota. 　　“Sebelum kejahatan Putra Mahkota Marquis Changxing terbongkar, Jiang Qian berkali-kali mengundangku untuk tinggal sementara di Kediaman Marquis. Meski kutolak berkali-kali dan menunjukkan muka masam, dia tetap bersemangat seperti api. Menurut Kakak, apa maksudnya ini?” 　　Jiang Yi mengerutkan alis, tiba-tiba menatap Jiang Si, seolah sudah menebak sesuatu. 　　“Dia...dia tahu?” Suara Jiang Yi gemetar karena syok hebat, wajahnya pucat pasi. 　　Jiang Si berkata kata demi kata: “Kakak, dia bukan sekadar tahu. Dia adalah komplotan.” 　　Keringat segera mengucur di dahi Jiang Yi. Ia meraih tangan Jiang Si sambil bergidik ngeri: “Adik Keempat, kenapa...kenapa tidak kau beri tahu sejak awal!” 　　Ya Tuhan, saat ia terus terbenam dalam kesedihan karena cinta yang salah, tak disangka Adik Keempat mengalami hal mengerikan seperti ini. 　　Jiang Si tersenyum: “Awalnya tak ingin menambah beban pikiran Kakak. Hanya saja, sebentar lagi aku akan memasuki usia pernikahan. Membiarkan bencana seperti Jiang Qian tinggal bersama Kakak di kompleks belakang rumah, hatiku tak tenang...” 　　Beberapa hari terakhir, ia mengamati dengan dingin kedekatan Kakak tertua dengan Jiang Qian, tapi tidak segera menghentikannya. 　　Selama masa depannya masih belum pasti, selama ia masih di Keluarga Bo, Jiang Qian takkan bisa membuat keonaran. Dengan adanya hubungan antara Kakak dan Jiang Qian, baru terasa benar kengerian saat mendengar kebenaran ini. 　　Dugaan Jiang Si tepat. Jiang Yi terus-menerus bergidik ngeri, wajah pucatnya berbisik pelan: “Kukira kami sama-sama menderita, lalu membalas ajakannya. Tak kusangka dia berhati hitam seperti ini...” 　　"Sekalipun bukan saudara kandung, mereka tetap sepupu. Bagaimana mungkin Jiang Qian tega mengakali Adik Keempat!" 　　Kemarahan dan rasa ngeri memenuhi hati Jiang Yi. 　　Dari pintu terdengar suara laporan Ah Man: "Nona, Nyonya Kedua datang." 　　"Adik Keempat!" Jiang Yi kaget, refleks menggenggam tangan Jiang Si. 　　Jiang Si merenung sejenak, lalu berkata tenang pada Ah Man: "Bilang aku tidak mau bertemu." 　　"Adik, apakah ini terlalu kasar?" Menurut Jiang Yi, cukup menjauhi Jiang Qian setelah tahu wataknya. Jika perseteruan antar sepupu di rumah ini sampai tersiar, orang akan menganggap Adik Keempat sombong setelah meraih kedudukan, merusak reputasimu. 　　Jiang Si tersenyum: "Justru lebih baik langsung terang-terangan." 　　Daripada terus was-was dengan ulah Jiang Qian, lebih baik kita yang mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini secepatnya. 　　Ah Man keluar, berkata dengan riang: "Nyonya Kedua, maaf, Nona kami tidak ingin menemui Anda." 　　Dalam menyampaikan pesan nona, dialah yang paling akurat. 　　Jiang Qian ditopang dayangnya, tubuhnya kurus kering seperti tengkorak berjalan, kulitnya nyaris transparan di bawah sinar matahari. 　　Ia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. 　　"Tidak mau bertemu?" 　　Ah Man tersenyum lebih lebar: "Ya, tidak mau." 　　Jiang Qian menggenggam saputangan erat-erat, tubuhnya seperti daun kering di ranting yang gemetar hebat. 　　"Tahu Jiang Si menjadi Permaisuri, Tuhan tahu seberapa besar upayanya menahan emosi datang ke sini. Jiang Si malah terang-terangan bilang tak mau menemuinya." 　　Ini benar-benar tak meninggalkan secuil pun muka untuknya! 　　Rasa anyir manis mengalir naik ke kerongkongan, seolah tenggorokannya berkarat. 　　Jiang Qian memaksakan senyum: "Aku datang untuk memberi selamat pada nona kalian." 　　Ah Man mengedipkan mata: "Banyak yang datang memberi selamat, Nyonya Kedua tak dengar ya? Nona kami tak ingin bertemu, TAK MAU! Tidak mengerti bahasa manusia ya?" 　　"Baik, baik." Jiang Qian menggigit bibir pergi. 　　"Adik Keempat, Ah Man ini terlalu—" Jiang Yi ragu mengatakannya. 　　Jiang Si tersenyum manis: "Terlalu arogan ya!" 372.BAB 372 Kegalauan dalam Jurang Keputusasaan 　　BAB 372 Kegalauan dalam Jurang Keputusasaan 　　Jiang Yi memeluk bahu Jiang Si: "Adik Keempat, tak takut orang menyebarkan gosip? Kau sekarang calon Permaisuri, banyak mata mengawasi." 　　Jiang Si memutar-mutar cangkir kosong: "Siapa yang berani? Pelayan di rumah keluarga ini jika menggunjing, yang pertama menghukum pasti nenek!" 　　Neneknya ini justru paling bisa diandalkan. Selama menguntungkan Keluarga Bo, seberapa pun tak suka di hati, dialah penjaga reputasinya yang paling gigih. 　　"Tak perlu begitu. Sekarang aku tahu tabiat Jiang Qian, ke depannya kita jaga jarak saja." 　　Jiang Si meletakkan cangkir teh di meja, senyumnya berubah dingin: "Jika ada tahi tergeletak di tengah jalan, apakah semua orang harus memutar? Mengapa tidak menyekop tahi itu saja?" 　　Jiang Yi terkejut: "Adik Keempat, maksudmu——" 　　Jiang Si menegakkan dagu, berkata kata demi kata: "Aku akan mengusirnya dari Keluarga Bo!" 　　Luka-luka itu tidak terhindar karena Jiang Qian berhenti, tapi karena usahanya menyelamatkan diri sekuat tenaga. Apakah kejahatan itu tidak dianggap hanya karena akhirnya tidak melukainya? 　　Hukum Dinasti Zhou mungkin menghitung begitu, tapi di hatinya tidak! 　　Baik untuk dirinya di kehidupan sebelumnya maupun kakak dan keponakannya sekarang, Jiang Qian harus dihukum. Berhati lembut meninggalkan bekas, menyesal kemudian justru bodoh. 　　Kabar Jiang Qian datang memberi selamat tapi tak bisa masuk pintu segera menyebar seperti angin ke seluruh rumah keluarga. 　　Yang pertama datang ke pekarangan Jiang Qian adalah A Fu dari Nyonya Feng. 　　Melihat dayang cantik berbaju merah Tao Hong, Jiang Qian bangkit sambil tersenyum: "A Fu datang, apakah Ibu Suri mencari saya?" 　　Di antara cucu-cucu perempuan, dulu nenek paling menyayanginya. Meski kini dia paham prioritas nenek, tapi penghinaan Jiang Si seperti ini, apakah nenek sama sekali tak peduli? 　　Sedikit harapan mulai menggeliat di hati Jiang Qian. 　　Dalam keputusasaan, manusia mudah terpikat harapan palsu. 　　Mungkinkah...mungkinkah tidak begitu buruk? 　　A Fu memandang Nyonya Kedua yang dulu begitu gemilang ini, matanya berkilauan belas kasihan. 　　Tiga puluh tahun di timur sungai, tiga puluh tahun di barat sungai, begitulah ketidakkekalan dunia. 　　Memberi hormat seadanya pada Jiang Qian, A Fu berkata tanpa ekspresi: "Hamba mendapat perintah Ibu Suri untuk menyampaikan pada Nyonya Kedua, mulai sekarang kurangi keluar dari pekarangan, terutama ke tempat Nona Keempat. Nona Keempat sekarang adalah orang terhormat, jangan membawa sial..." 　　Seluruh tubuh Jiang Qian bergetar, spontan bertanya: "Ini benar perkataan Ibu Suri?" 　　A Fu menyampaikan semua perintah Nyonya Feng tanpa jeda, tak tegas memandang mata Jiang Qian, memberi hormat lagi: "Mana berani hamba mengada-ada. Silakan Nyonya Kedua beristirahat, hamba harus kembali melapor." 　　Hingga lama setelah A Fu pergi, Jiang Qian masih termangu. 　　Setelah sekian lama, ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. 　　"Nyonya Kedua—" Dayang itu tampak ketakutan. 　　"Bagus, bagus! Inikah nenek kandungku?!" Jiang Qian mengatupkan giginya, lalu menggenggam pergelangan dayang, "Apa dari pihak Istri Utama tidak ada yang datang?" 　　Persis saat itu, Nenek Xiao masuk. 　　Belakangan ini Nenek Xiao sering datang ke sini tanpa perlu lapor lagi. 　　"Nyonya Kedua, ada apa ini?" Nenek Xiao bergegas mendekati Jiang Qian dengan wajah penuh perhatian. 　　"Tidak ada." Jiang Qian mengusap matanya, bertanya, "Apa kabar Istri Utama belakangan ini?" 　　Nenek Xiao menghela napas: “Nyonya Kedua belum tahu ya, begitu dekrit pernikahan dari istana turun, Ibu Suri langsung menyerahkan urusan rumah tangga ke Nyonya Ketiga, meminta Nyonya beristirahat dengan tenang.” 　　Jiang Qian tiba-tiba berdiri, lalu perlahan duduk kembali, berkata dengan sinis: “Satu orang berhasil, semua pengikutnya ikut naik daun, yang tidak disukai tentu akan dijatuhkan ke neraka.” 　　Nenek Xiao menghela napas lagi: “Nyonya juga tidak mudah, dipermalukan Ibu Suri di depan umum, kini Tuan bahkan tidak mau masuk ke kamar Nyonya, kadang tidur di tempat selir, kadang di ruang belajar...” 　　Selanjutnya, Jiang Qian sedikit demi sedikit mengetahui banyak hal dari mulut Nenek Xiao. 　　Misalnya tanggal pernikahan Nona Keempat ditetapkan pada tanggal 6 bulan keenam, misalnya istana khusus mengirim orang untuk mengambil ukuran membuat pakaian Nona Keempat, misalnya hadiah ucapan yang menumpuk di Haitangju... 　　Sebaliknya, perlakuan di sisi ini semakin hari semakin buruk, sampai-sampai makan makanan hangat pun harus melihat wajah pihak dapur. 　　Memanfaatkan yang sedang naik dan menginjak yang jatuh, memang menjadi keahlian banyak orang. 　　Semua ini terus mengusik saraf sensitif dan rapuh Jiang Qian. 　　Saraf itu akhirnya putus ketika Jiang Qian menyadari bahkan pelayan di pekarangannya sendiri pun tidak mau menurutinya. 　　Sudah memasuki bulan kedua, cuaca masih sejuk tapi kadang dingin, pagi-pagi masih harus memakai baju lapis untuk menghangatkan diri. 　　Jiang Qian mengenakan jaket musim gugur warna hijau kekuningan yang sekitar 80% masih baru. Tahun ini dia tidak menerima pakaian musim semi dari bagian jahit-menjahit, jaket ini masih dibuat saat berada di Keluarga Marquis Changxing. 　　Namun semua ini sudah tidak penting lagi bagi Jiang Qian. Dia menyembunyikan tangan ke dalam lengan baju, lalu melangkah menuju pintu. 　　Dayang yang menjaga pintu gerbang taman ternyata tertidur. 　　Jiang Qian bergumam "Tolonglah saya, Tuhan", lalu dengan hati-hati mengelilingi dayang itu dan menyelinap keluar. 　　Di luar taman, angin kencang berhembus. Jiang Qian menarik napas dalam-dalam, merasakan kebebasan seperti terbang. 　　Dia menengadah ke langit, membiarkan sinar matahari pagi yang lembut seperti serpihan emas menyinari wajahnya, sambil melangkah dengan mantap. 　　Dulu dia menganggap kehidupan di Keluarga Marquis Changxing sebagai neraka, tapi kini baru sadar bahwa Dongping Bo Residence juga bukan dunia manusia. 　　Menjadi manusia atau penghuni neraka tergantung diri sendiri. Karena dia tidak bisa lagi bangkit dari neraka, lebih baik menyeret orang yang paling kubenci bersama ke jurang neraka. 　　Banyak orang yang dibenci Jiang Qian, dan yang paling utama tentu saja Jiang Si. 　　Sesama saudari dari keluarga yang sama, mengapa dia yang selalu menjadi yang paling cemerlang sejak kecil, kini menjadi lumpur yang bisa diinjak-injak Jiang Si? 　　Hari itu Jiang Si menolak bertemu dengannya tanpa alasan yang jelas, ini jelas-jelas memaksanya ke jalan buntu! 　　Taman Keluarga Bo sudah mulai menghijau. Dari kejauhan, Jiang Qian melihat dua wanita sedang berjalan berdampingan, senyum tak tertahan mengembang di bibirnya. 　　Kabar yang didapat dari Nenek Xiao memang akurat, belakangan Jiang Si sering mengajak Jiang Yi berjalan-jalan di taman. 　　Heh, ini persaudaraan yang erat? Takut tidak bisa bertemu lagi setelah usia pernikahan? 　　Dia akan segera membuat si jalang Jiang Si itu tahu, apa arti "tidak bisa bertemu" yang sesungguhnya! 　　Jiang Qian merapikan pakaiannya, lalu berjalan mendekati Jiang Si dan Jiang Yi dengan senyuman. 　　Jiang Yi sudah melihat kehadiran Jiang Qian, menarik lengan Jiang Si perlahan: "Adik Keempat, Jiang Qian datang." 　　Jiang Si tersenyum: "Karena sudah bertemu, mari kita sapa." 　　Jiang Yi merasa cemas tanpa alasan, berhenti melangkah dan berbisik: "Kudengar Nenek melarang Jiang Qian keluar rumah. Kenapa pagi-pagi dia bisa ada di taman?" 　　Memandang Jiang Qian yang semakin mendekat, senyum Jiang Si penuh makna: "Meski Nenek membatasinya, ini bukan penjara. Setelah lama terkurung di tempat sempit, wajar saja ingin keluar menghirup udara segar." 　　Saat berbicara, Jiang Qian sudah sampai di depan mereka: "Kakak, Adik Keempat, kebetulan sekali ya." 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya, sampai jumpa besok. 373.BAB 373 Ikatan Darah Rapuh Bagai Kertas 　　BAB 373 Ikatan Darah Rapuh Bagai Kertas 　　Pepatah mengatakan tamu yang tersenyum takkan ditampar. 　　Jiang Yi yang berhati lembut, meski sudah tahu watak asli Jiang Qian, tetap tak tegas mengabaikannya saat bertemu. 　　"Memang kebetulan, Adik Kedua juga sedang jalan-jalan?" 　　Jiang Qian bulu matanya bergetar halus, tersenyum: "Hm, seharian di kamar, anggota klub hampir berjamur, ingin keluar jalan-jalan." 　　Dia menatap Jiang Si: "Dengar Adik Keempat bertunangan, waktu itu sebenarnya ingin memberi ucapan selamat, sayang tidak bertemu. Untung hari ini bertemu, harap Adik Keempat jangan anggap ucapan selamat saya terlambat." 　　Jiang Si menatap Jiang Qian sambil tersenyum: "Bagaimana mungkin, selama itu ucapan selamat, kapan pun tidak akan saya anggap terlambat." 　　Jiang Qian melepas dompet di pinggangnya, wajahnya cemas: "Saya tak punya barang bagus, di dompet ada kalung mutiara, untuk Adik Keempat sebagai hadiah, jangan diremehkan." 　　Jiang Si tersenyum ramah, sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sama sekali tidak memberikan muka pada Jiang Qian hari itu: "Tentu saja tidak akan menolak, kita adalah saudari satu keluarga. Sekalipun Kakak Kedua menghadiahiku sebuah bunga sutra, pasti akan kujaga dengan baik." 　　"Kalau begitu Kakak jadi lega." Jiang Qian memegang dompet mendekati Jiang Si, senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. 　　Jiang Yi melihat Jiang Si, lalu menatap Jiang Qian, dalam hati menghela nafas: Lebih baik Adik Keempat bisa memberikan sedikit muka pada Jiang Qian. Sekarang Adik Keempat adalah Mutiara Keluarga, tidak pantas berkonflik dengan Jiang Qian. 　　Mengenai mengusir Jiang Qian dari Keluarga Bo... Jiang Yi tidak tahu apakah setuju atau menentang. 　　Bagi dirinya yang tinggal di rumah orangtua sebagai tamu, tentu lebih baik menghindari masalah. Dibandingkan ketegasan Adik Keempat, dia lebih memilih menjaga jarak dengan Jiang Qian. 　　Jiang Qian sudah sampai di depan Jiang Si, menyerahkan dompet berbentuk labu yang indah, suaranya lembut merdu: "Adik Keempat buka dan lihat apakah suka." 　　"Terima kasih." Jiang Si menerima dompet itu, wajah datar mulai membukanya. 　　Sudut matanya silau oleh kilatan dingin tiba-tiba, telinganya mendengar jeritan histeris Jiang Yi: "Adik Keempat, hati-hati!" 　　Jiang Qian mengangkat gunting tinggi-tinggi hendak menusuk Jiang Si. 　　Jiang Si tampak terkejut oleh kejadian tak terduga ini, tertegun sejenak sebelum berbalik badan dan lari. 　　“Lari? Sudah terlambat!” Jiang Qian yang kurus kering itu tiba-tiba mengeluarkan tenaga mengerikan, tangannya mencengkeram lengan baju Jiang Si, tanpa ragu menusukkan benda tajam ke arahnya. 　　“Jiang Qian, hentikan!” Jiang Yi berusaha mendorong Jiang Qian sekuat tenaga. 　　Jiang Qian sama sekali tak menghiraukan dorongan Jiang Yi, matanya berkilau seperti serigala lapar yang fokus memburu nyawa Jiang Si. 　　Mengapa dia harus membusuk seperti lumpur dalam kamar, sementara Jiang Si bisa bermegah ria menjadi Permaisuri? 　　Semua penderitaannya ini karena ulah perempuan hina Jiang Si! Jika tak bisa bangkit, lebih baik ajak Jiang Si mati bersama! 　　Dayang Jiang Yi yang tadinya mengobrol dengan Ah Man di belakang, menjerit histeris melihat kejadian ini. 　　“Ah Man berlari kencang menghampiri, menendang Jiang Qian hingga terpelanting, lalu merangkul Jiang Si sambil menangis histeris: "Nona, Anda baik-baik saja? Hamba hampir mati ketakutan!" 　　Jiang Qian tergeletak di tanah, pandangannya berkunang-kunang, berusaha meraih gunting yang terlempar tak jauh darinya. 　　Sepatu bordir menyepak gunting itu menjauh. 　　Jiang Qian mengangkat kepala dengan susah payah. 　　Jiang Yi wajahnya pucat pasi, menatap Jiang Qian bagai melihat Hantu jahat: "Jiang Qian, kau benar-benar mengerikan!" 　　Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang seperti ini, di siang bolong berani membunuh saudari sekeluarga di rumah keluarga... 　　Suara keributan ini menarik perhatian banyak orang yang segera bergegas mendatangi lokasi. 　　Mendengar derap kaki dan teriakan yang semakin mendekat, seluruh tenaga Jiang Qian seolah terkuras, seperti ikan sekarat yang terdampar di tepian. 　　Orang-orang yang tiba di tempat langsung dicekam ketakutan. 　　Ya Tuhan, Nyonya Kedua ternyata hendak membunuh Nona Keempat! 　　Nona Keempat sekarang sudah jadi calon Permaisuri, kalau benar terjadi sesuatu, bukankah kami semua harus ikut dikubur hidup-hidup? 　　"Kalian ini orang mati apa?! Cepat ikat dia dan bawa ke Cixintang!" Ah Man berteriak sambil melompat-lompat dalam tangisan. 　　Sungguh menyebalkan, Nona malah menyuruhnya menunggu di kejauhan sampai Er Guniang selesai mengamuk. Apa ini bukan penghalang bagi Dayang utama seperti dirinya untuk menunjukkan kemampuan? 　　Beberapa nenek maju tanpa ampun memelintir Jiang Qian, menyeretnya ke Cixintang. 　　Nyonya Feng memandang Jiang Qian yang rambutnya acak-acakan, gemetar marah hingga tak bisa bicara. 　　"Nyonya." A Fu dengan hormat menyodorkan gunting mengilap kepada Nyonya Feng. 　　Begitu melihatnya, Nyonya Feng langsung merasa jantungnya berdebar kencang. 　　"Jiang Qian, apa kau sudah gila?" 　　Jiang Qian tetap diam membisu. 　　"Sebenarnya apa yang terjadi?" 　　Wajah Jiang Si pucat pasi sambil tetap membisu. 　　Jiang Yi melangkah maju, "Nenek, sebenarnya cucu tidak pantas bicara. Tapi Jiang Qian keterlaluan, berani menusuk adik keempat dengan gunting. Mohon Nenek menghukumnya agar tidak bisa menyakiti Si'er lagi!" 　　Wajah Nyonya Feng semakin suram, menatap Jiang Si: "Si'er, kau mau bilang apa?" 　　Jiang Si menunduk, suaranya dingin: "Cucu tidak ada yang bisa dikatakan." 　　"Panggil Tuan Jiang Kedua ke sini." Nyonya Feng memerintahkan A Fu. 　　Tentang Nyonya Xiao Istri Kedua, sama sekali tidak disebut. 　　Kebetulan hari libur pejabat, Tuan Jiang Kedua segera tiba di Cixintang, terkejut melihat situasi ini: "Ibu, ada masalah apa?" 　　"Masalah apa?" Suara Nyonya Feng meninggi, jarinya gemetar menunjuk Jiang Qian, "Tanya putrimu yang baik ini! Dia berani mencoba membunuh Nona Keempat dengan gunting!" 　　"Benarkah?" Tuan Jiang Kedua memandang putrinya yang sudah lama tidak dijumpai, hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. 　　Jiang Qian menundukkan kepala, rambutnya yang acak-acakan menutupi wajahnya sehingga ekspresinya sama sekali tidak terlihat. 　　Tuan Jiang Kedua melangkah besar mendekat: "Qian'er, benarkah kau melakukan hal seperti ini?" 　　Jiang Qian perlahan mengangkat kepala, memperlihatkan wajah yang terdistorsi. 　　Tuan Jiang Kedua secara refleks mundur selangkah, hatinya terkejut bukan main. 　　Dalam ingatannya, putrinya yang cantik jelita itu sejak kapan berubah menjadi hantu seperti ini? 　　Tiba-tiba ia kehilangan kesabaran untuk mendengarkan penjelasan Jiang Qian, lalu berkata pada Nyonya Feng: "Negara punya hukum negara, keluarga punya aturan keluarga. Qian'er telah berbuat salah, silakan Ibu yang menentukan hukumannya, anak ini tidak akan membantah." 　　Jiang Qian mendengar perkataan Tuan Jiang Kedua, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak: "Hahahaha, inilah nenek dan ayah yang baik! Kalian sungguh luar biasa! Sayang tenagaku tak cukup, jika tidak pasti kubunuh kalian satu per satu, semua kubunuh..." 　　Setiap orang di ruangan itu merinding ketakutan. 　　Apakah Er Guniang ini sudah gila? 　　Sisa kasih sayang terakhir Nyonya Feng terhadap cucu perempuan yang pernah benar-benar disayanginya itu akhirnya lenyap sama sekali. Dengan suara keras ia berkata: "Nyonya Kedua sakit! Ibu Feng, panggil tabib untuk memeriksa dan memberi obat pada Nyonya Kedua!" 　　Jiang Qian segera didorong keluar. 　　Nyonya Feng tidak peduli bahwa Tuan Jiang Kedua masih ada di depan, dengan wajah penuh perhatian bertanya pada Jiang Si: "Si'er, tidak terkejut kan?" 　　Jiang Si melirik Tuan Jiang Kedua, lalu berkata datar: "Saya terkejut. Cucu akan kembali ke Haitangju dulu." 　　Nyonya Feng menghadapi penolakan halus, namun raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan kemarahan: "A Fu, antar Nona Keempat kembali, jangan biarkan siapa pun mengganggunya lagi." 　　Jiang Si tersenyum, menggandeng tangan Jiang Yi dan pergi. 　　Setelah Jiang Qian yang dikawal kembali ke pekarangan tenang, dihadapannya muncul semangkuk obat beruap panas. 374.BAB 374 Karma yang Ditanggung Sendiri 　　BAB 374 Karma yang Ditanggung Sendiri 　　Ibu Feng memandang sinis ke arah dayang dengan wajah dingin: "Berdiri bengong untuk apa? Segera layani Nyonya Kedua minum obat!" 　　Dua dayang saling pandang, salah seorang mengangkat mangkuk obat mendekati Jiang Qian: "Nyonya Kedua, silakan minum obat." 　　Meski sebelumnya berniat menusuk Jiang Si dengan gunting hingga tewas dengan tekad mati bersama, setelah emosinya mereda, melihat obat hitam pekat ini Jiang Qian kembali merasa takut. 　　Ia mundur beberapa langkah, berteriak keras: "Aku tidak mau minum, pergi kalian!" 　　Ibu Feng menghela napas: "Nyonya Kedua, kalau sakit harus minum obat. Nona bukan anak kecil lagi, seharusnya mengerti hal ini." 　　"Kamu ini apa? Cuma anjing peliharaan Ibu Suri! Lihat aku dalam kesulitan, berani-beraninya menghardik tuanmu!" Jiang Qian memaki marah. 　　Wajah Ibu Feng tetap tenang mendengar ini, namun matanya menyala kemarahan: "Tunggu apa lagi? Beri Nyonya Kedua minum obat!" 　　Seorang dayang membekap Jiang Qian. 　　Jiang Qian meronta-ronta: "Pergi! Aku tidak mau minum!" 　　"Bahkan jika aku mati, seharusnya tidak mati dengan cara yang memalukan seperti ini!" 　　"Di mana Jiang Si? Aku ingin bertemu Jiang Si!" Pada saat ini, Jiang Qian sama sekali tidak berpikir untuk memohon belas kasihan Nyonya Feng lagi, satu-satunya keinginannya adalah bertemu Jiang Si. 　　Beberapa hal, jika tidak ditanyakan sampai jelas, tidak diungkapkan dengan tuntas, dia tidak akan rela! 　　Ibu Feng terkekeh: "Nyonya Kedua, Anda benar-benar tidak menyadari posisi sendiri. Siapakah Nona Keempat? Dia adalah calon Permaisuri Yan masa depan, tidak ada yang lebih mulia dari Nona Keempat di Keluarga Bo, mana mungkin Anda bisa bertemu sesuka hati? Apalagi Anda telah melakukan hal itu pada Nona Keempat——" 　　Membicarakan ini, Ibu Feng menggelengkan kepala. 　　Er Guniang benar-benar gila, untungnya Nona Keempat selamat. 　　"Aku ingin bertemu Jiang Si!" Jiang Qian mendorong dayang dengan kasar. 　　Dua dayang mengira dia akan kabur, buru-buru menghalangi pintu, tapi tak disangka Jiang Qian berbalik masuk ke kamar dalam, lalu keluar sambil melemparkan kotak kayu merah di depan Ibu Feng. 　　Tutup kotak terbuka, memperlihatkan tumpukan perhiasan di dalamnya. 　　Mata Ibu Feng menyempit: "Apa maksud Er Guniang ini?" 　　Jiang Qian tiba-tiba tenang, berkata dengan wajah datar: "Hanya kita berempat di ruangan ini, Nenek Xiao dan kalian berdua bisa membagi ini, tidak ada yang akan tahu. Aku hanya punya satu syarat——" 　　Pandangan Ibu Feng beralih dari tumpukan perhiasan berkilau, dengan wajah kesakitan ia berkata: "Nyonya Kedua jangan memaksa, hamba tua tak mungkin berani memanggil Nona Keempat ke sini." 　　“Bagaimana jika hanya menyampaikan pesan?” 　　Ibu Feng tertegun. 　　Jiang Qian menunjuk perhiasan di lantai: “Bantu sampaikan pesanku ke Jiang Si. Mau dia bertemu atau tidak, semua ini untuk kalian.” 　　“Ini—” Ibu Feng mulai ragu. 　　Godaan harta menggerogoti hati. Setengah hidupnya melayani Ibu Suri, belum pernah melihat uang sebanyak ini. 　　Dua dayang itu matanya berbinar-binar. 　　Uang sebanyak ini, sekalipun hanya dibagikan sedikit, cukup untuk menghidupi mereka di masa depan. 　　"Waktu terus berlalu," Ibu Feng akhirnya mengangguk, "Baiklah, tapi kusampaikan dulu. Setelah pesan disampaikan, bila Nona Keempat tak mau menemui Yang Mulia, Nyonya Kedua jangan membuat keributan." 　　Jiang Qian terkekeh sinis: "Boleh. Tapi aku mau kalian bersumpah wajib menyampaikan pesan. Jika terima uang tapi tak bekerja, biarlah disambar petir!" 　　"Ini tidak mungkin!" Ibu Feng menolak mentah-mentah. 　　"Aku tidak memaksa kalian harus membawa orangnya. Dengan mudah mendapat sekotak perhiasan, kalian juga tidak mau?" 　　Setelah merenung sejenak, Ibu Feng mengangguk: "Baik." 　　Tiga Orang segera angkat tangan bersumpah. Salah satu dayang diam-diam pergi ke Haitangju untuk menyampaikan pesan. 　　Jiang Si mendapat kabar itu agak terkejut, menghela napas: "Jiang Qian benar-benar punya cara." 　　Terjebak dalam situasi seperti ini masih bisa menyuruh dayang dari paviliun Ibu Suri menyampaikan pesan, Jiang Qian memang punya keahlian. 　　“Nona, Janganlah Nona menemui orang gila itu lagi.” 　　Jiang Si berdiri: “Lebih baik kita temui saja.” 　　Beberapa perkataan yang sebelumnya malas diulang, karena Jiang Qian tidak mau menerima, pergi sekali saja bisa dianggap penyelesaian. 　　Jiang Qian tidak menyangka Jiang Si benar-benar datang. 　　Pintu kamar yang terkunci rapat, pencahayaan redup, suasana yang mencekik. 　　Melihat gadis yang wajahnya tanpa ekspresi, Jiang Qian tiba-tiba tersenyum: “Tak kusangka nona bangsawan ini mau datang, tidak takut aku menyakitimu lagi?” 　　Suara Jiang Si dingin: “Waktu terbatas, Kakak Kedua cepatlah bicara.” 　　“Kakak Kedua?” Mata Jiang Qian melebar tiba-tiba, “Tak kusangka kau masih mau memanggilku Kakak Kedua! Lalu Jiang Si, aku ingin bertanya padamu, dulu hubungan kita begitu baik, kesalahan apa yang kulakukan sampai tiba-tiba wajahmu selalu masam?” 　　Jiang Si memandangi Jiang Qian dengan ekspresi aneh. 　　“Ada apa?” 　　Jiang Si tertawa: “Kakak Kedua pikir aku tidak tahu perbuatanmu selama ini?” 　　Dia melangkah mendekat, berbisik pelan, “Kau ini komplotan!” 　　Seluruh tubuh Jiang Qian bergetar, menatap Jiang Si dengan panik dan terkejut, merasa seperti tiba-tiba ditelanjangi. 　　Dia tahu? 　　Bagaimana mungkin dia tahu! 　　“Apa maksudmu--” 　　Jiang Si memotong dengan sinis pembelaan spontan Jiang Qian: “Berani berbuat tapi takut mengakui, Kakak Kedua, jangan buatku meremehkanmu.” 　　Jiang Qian membuka mulut, semua tuntutannya bagai balon pecah, lenyap seketika. 　　“Kalau Kakak Kedua sudah paham, maka saya akan pergi.” 　　Jiang Qian tiba-tiba teringat sesuatu, meraih lengan baju Jiang Si: "Masalah Putra Mahkota terbongkar, apakah karena kau?" 　　Jiang Si menunduk memandang tangan kering dan pucat itu, tidak menyangkal. 　　"Benar-benar kau!" Mata Jiang Qian memerah bagai binatang buas yang kehilangan kendali, "Dasar pelacur, rupanya aku terjatuh dalam keadaan seperti ini semua karena ulahmu!" 　　Jiang Si menarik lengan bajunya dengan keras, menampar ke arah itu. 　　"Pak!" Bekas merah segera muncul di wajah Jiang Qian. 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Awalnya tak ingin mengotori tangan, hanya tak menyangka sampai saat ini kau masih membatu. Apa maksudmu 'aku terjatuh karena ulahmu'? Menurutmu, aku pantas dibiarkan kau rancang untuk dipermalukan bahkan dibunuh oleh Putra Mahkota Marquis Changxing, lalu kau tetap menjadi Istri Putra Mahkota yang gemilang, diam melihat Cao Xingyu terus merugikan orang lain, barulah disebut pantas bagimu?" 　　Suara Jiang Si semakin dingin: "Berkata 'diam' saja masih terlalu tinggi, mungkin saat Cao Xingyu kesulitan kau malah membantu? Jiang Qian, dengarlah baik-baik, kejatuhanmu ini bukan ulah siapapun, melainkan dirimu sendiri!" 　　Setelah berkata demikian, ia berbalik menuju pintu. 　　"Jiang Si, dasar pelacur kejam! Kau pikir jadi Permaisuri akan gemilang selamanya? Kau akan dapat balasan, pasti akan dapat balasan!" 　　Jiang Si berhenti sejenak, berbalik sambil tersenyum: "Setidaknya terhadapmu, aku takkan dapat balasan. Mata langit belum buta sampai segitunya!" 　　Pintu terbuka, Ibu Feng membawa dua dayang masuk tanpa suara. 　　"Nyonya Kedua, minumlah obat." 　　"Uhuk...uhuk..." Setelah berjuang keras, Jiang Qian menggaruk-garuk lehernya sambil berguling di lantai, perlahan suaranya menghilang. 　　Segera seluruh anggota keluarga mengetahui Nyonya Kedua sakit parah hingga tak bisa bicara. 　　Ibu Suri memerintahkan untuk mengirim Nyonya Kedua ke perkebunan untuk berobat. 　　Jiang Qian yang bisu diam-diam dikunjungi Nenek Xiao sebelum diusir. 　　Ngomong-ngomong, tentang kontes karakter pendukung, Er Niu kita lolos ke final mengalahkan pemeran utama (Karakter pendukung masuk final, benar-benar tak terduga... Yu Qi (Pangeran Ketujuh) menangis.). Ayo dukung Er Niu dengan vote agar menang, mungkin kita bisa dapat boneka Er Niu nanti. 375.BAB 375 PEMBALASAN 　　BAB 375 PEMBALASAN 　　Nenek Xiao menyuap dayang penjaga dengan tusuk emas agar bisa masuk. 　　Ruangan tanpa jendela terbuka, tirai tebal yang tergantung membuat suasana suram. 　　Jiang Qian duduk di ranjang, rambutnya acak-acakan dan baju kotor, kehilangan aura elegannya. 　　Persis seperti wanita gila. 　　Nenek Xiao menatap Jiang Qian tanpa bicara, ujung bibirnya melengkung. 　　Setelah berdiam sejenak, ia berkata: "Nyonya Kedua." 　　Jiang Qian menunduk, tak bereaksi. 　　Nenek Xiao tak buru-buru, memanggil lagi: "Er Guniang." 　　"Jiang Qian mengangkat kepala dengan tajam, seolah baru menyadari kehadiran Nenek Xiao. Di matanya berkecamuk emosi marah, sedih, dan kecewa yang saling bertautan." 　　"Tapi dia tak bisa bicara, hanya mengeluarkan suara 'uu... aa...' yang membuatnya terlihat sangat menyedihkan." 　　"Dalam hati Jiang Qian, Nenek Xiao yang mewakili sosok ibu adalah sisa kelembutan terakhir yang dimilikinya." 　　"Mengapa ibu tidak mendatanginya? Apakah bahkan ibu telah menyerahkannya?" 　　"Tidak, Nenek Xiao pernah berkata bahwa ibu dicabut hak mengurus rumah tangga oleh nenek dan dipaksa beristirahat, yang sebenarnya dikurung, sama sekali tidak bisa menemuinya." 　　"Mengapa nasib ibu dan anak perempuan ini begitu malang?" 　　"Jiang Qian merasakan sakit yang tak tertahankan, menarik tangan Nenek Xiao dengan kuat sambil terus mengeluarkan suara 'uu... uu...'." 　　"Melihat Jiang Qian seperti ini, Nenek Xiao tiba-tiba tertawa." 　　"Tawanya ini membuat Jiang Qian tertegun." 　　"Tak bisa bicara, Jiang Qian hanya bisa menyampaikan kebingungannya lewat tatapan mata." 　　"Tawa Nenek Xiao semakin menjadi-jadi, bahkan sampai terdengar nyaring." 　　"'Uu... uu...' Mata Jiang Qian membelalak semakin lebar." 　　"Apakah dirinya yang gila, atau orang lain yang gila? Mengapa setiap orang begitu aneh, tidak seperti yang dibayangkannya?" 　　"Nenek Xiao melangkah mendekat, suaranya direndahkan: 'Er Guniang pasti heran mengapa saya tertawa?'" 　　"Jiang Qian mengangguk." 　　"Siksaan tak bisa bicara membuat raut wajahnya terdistorsi." 　　Nenek Xiao sama sekali tidak takut, mengucapkan kata demi kata: "Karena aku akhirnya membalas dendam untuk Hongyue! Putriku mati di tempat kejam yang melahap manusia tanpa menyisakan tulang ini karena Istri Utama, putri Istri Utama menjadi bisu, hahaha, bukankah ini sangat adil..." 　　Jiang Qian awalnya bingung, kemudian kemarahan yang membara meluap, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Nenek Xiao. 　　Nenek Xiao membiarkannya mencengkeram, tertawa dingin: "Er Guniang, rasanya tidak enak jadi bisu ya? Tapi Hongyeku bukan bisu, mulutnya justru disumbat dan badannya diceburkan ke kolam oleh kalian orang-orang berhati hitam. Dia baru 16 tahun, belum sempat menikah!" 　　Saat mengatakannya, dia menekan tangan Jiang Qian dengan kuat, kata demi kata: "Er Guniang sudah menikah, tetap lebih baik dari Hongyeku. Jadi ini belum selesai, sekarang Er Guniang, berikutnya adalah Istri Utama——" 　　"Uuu——" Jiang Qian mengerahkan seluruh tenaga untuk menangkap Nenek Xiao. 　　Sayangnya tenaganya sudah hampir habis, Nenek Xiao hanya perlu mendorong kuat-kuat untuk menjatuhkannya ke ranjang. 　　Nenek Xiao melirik Jiang Qian, lalu berbalik keluar. 　　Jiang Qian berlari mengejar, dayang penjaga pintu langsung menutup pintu dengan cepat, membiarkan pintu itu berdentam-dentam ditabrak. 　　"Nenek Xiao cepat pergi, kalau sampai ketahuan aku membiarkanmu masuk, bahaya nanti." 　　Dulu, Nenek Xiao bisa pergi ke mana saja tanpa halangan, tapi sekarang Nyonya Kedua jatuh dari kekuasaan, orang-orang di sekitarnya pun ikut terpuruk. 　　Nenek Xiao sama sekali tidak peduli, mengucapkan terima kasih pada dayang itu, lalu segera pergi. 　　Pintu kayu masih berdentang-dentang, dayang itu menghela napas pelan. 　　Nona Kedua yang dulu begitu gemilang ternyata benar-benar sudah gila, sungguh menyedihkan. 　　Saat Jiang Qian diusir, Tuan Jiang Kedua tidak muncul, hanya kakak kembarnya Jiang Cang yang mengejar. Memandangi adiknya yang nyaris tak dikenali, ia berkata dengan mata berkaca-kaca: "Adik, tunggulah, suatu hari Kakak akan menjemputmu kembali..." 　　Jiang Qian menjerit-jerit ingin memperingatkan kakaknya waspada pada Nenek Xiao, tapi dua nenek yang mengantarnya ke perkebunan langsung mendorongnya naik ke kereta kuda. 　　Memandang kereta kuda yang menjauh dalam diam, Jiang Cang berbalik dengan wajah muram. Saat melewati pintu bulan, ia melihat Tuan Jiang Kedua berdiri tak berekspresi. 　　"Ayah." Jiang Cang memanggil dengan lesu, perasaannya campur aduk. 　　Ia tidak menyalahkan ayahnya karena tidak menghentikan pengusiran adiknya, tapi ayah bahkan tidak muncul saat perpisahan dan merahasiakan ini dari ibu, sungguh membuat hati dingin. 　　Tuan Jiang Kedua juga tidak senang melihat sikap Jiang Cang. 　　Putra sulung yang diandalkan kini terpuruk, apakah ini berarti Keluarga Kedua tidak akan pernah bangkit lagi? 　　“Cang'er, dua tahun lagi akan ada Ujian Musim Gugur. Asalkan kau berprestasi, pasti akan tiba hari di mana adikmu bisa pulang ke rumah.” 　　Jiang Cang menggigil hebat, mengangguk kuat: "Anak akan berusaha keras, pasti tidak akan membiarkan Ermei terus menderita di luar." 　　Para sesepuh bilang Ermei mengidap penyakit buruk yang perlu istirahat di perkebunan, tapi sebenarnya ini karena Ermei menyinggung Adik Keempat, sehingga harus dijauhkan agar tidak mengganggu pandangan Adik Keempat. 　　Malangnya Ermei sampai kehilangan suara karena shock berat, bahkan tidak ada keluarga yang merawatnya. 　　Tuan Jiang Kedua melihat reaksi Jiang Cang, diam-diam merasa puas. 　　Putri sah yang dibesarkan dengan susah payah memang sudah rusak, tapi setidaknya masih bisa memotivasi putra sulung untuk maju. 　　Tuan Jiang Kedua menepuk bahu Jiang Cang: "Sudah, kembalilah belajar. Ayah juga sedih melihat keadaan Ermei, tapi kadang kita harus tahan perasaan. Situasi lebih kuat dari manusia." 　　"Anak mengerti, anak mohon diri." Jiang Cang meninggalkan Tuan Jiang Kedua menuju tempat tinggalnya. 　　"Nenek Xiao, kenapa Nenek di sini?" Sesampai di tempat tinggal, Jiang Cang melihat Nenek Xiao yang bersembunyi di tempat tersembunyi, lalu berhenti berjalan. 　　Nenek Xiao mendekat, melihat ke sekeliling lalu berbisik: "Tuan Pertama, hamba yang tua ini punya sesuatu untuk disampaikan." 　　"Nenek Xiao ke sini." 　　Bambu di halaman sudah tumbuh daun baru, hijau segar bagai dicuci. 　　Jiang Cang berdiri di sana, berkata lembut: "Nenek Xiao silakan bicara." 　　“Nenek Xiao langsung bersujud sambil menangis, ‘Tuan Pertama, tolong berikan keadilan untuk Nyonya Kedua!’” 　　“Ibu Xiao, bicaralah sambil berdiri. Jika dilihat orang, pasti akan jadi bahan gunjingan.” 　　Nenek Xiao bangkit sambil mengusap air mata, “Tuan Pertama, Tuan tidak tahu, Nyonya Kedua sama sekali tidak sakit sampai tak bisa bicara, tapi diracuni sampai bisu!” 　　“Apa?!” Jiang Cang merasa seperti dipukul tongkat, kepalanya pusing berkunang-kunang. 　　Suara Nenek Xiao direndahkan, “Hari itu hamba diam-diam mengunjungi Nyonya Kedua. Pintu kamarnya terkunci rapat, tidak ada satu pun pelayan. Merasa curiga, hamba mengendap ke belakang dan mengintip dari celah jendela. Ternyata Ibu Feng dari Cixintang sedang menyuruh dua dayang menyuapi obat paksa kepada Nyonya Kedua! Tak lama kemudian tersiar kabar Nyonya Kedua sakit sampai kehilangan suara...” 　　“Benarkah ini?” 　　Nenek Xiao terus mengusap air mata, “Hamba mana berani mengada-ada tentang hal seperti ini. Istri utama sedang beristirahat, Ibu Suri melarang keras menyebutkan urusan Nyonya Kedua padanya. Hamba tidak berani melanggar, tapi juga tidak tega melihat kesengsaraan Nyonya Kedua, jadi hanya bisa melapor pada Tuan Pertama.” 　　Ekspresi Jiang Cang berubah-ubah sebelum akhirnya tenang. Dengan suara dingin ia berkata, “Saya paham. Jangan bicarakan hal ini pada siapapun lagi, Ibu Xiao. Segera kembalilah ke Yaxinyuan.” 　　“Baik.” Nenek Xiao memberi hormat pada Jiang Cang. Saat keluar gerbang kompleks, senyum mengembang di wajahnya. 　　Di perjalanan pulang, Ah Man menghadang Nenek Xiao. Mengangkat dagunya ia berkata, “Ibu Xiao, nona kami memanggilmu.” 　　Aktivitas "Beri Hati untuk Karakter", awalnya pasangan protagonis bisa masuk final jika jumlah vote cukup, tapi jika satu buku punya kurang dari 20 karakter, hanya satu yang bisa lolos. Akhirnya Er Niu mengalahkan pasangan protagonis dan lolos dengan gemilang. Sayangku, agar pengorbanan pasangan protagonis kita tidak sia-sia, beri lebih banyak hati dan like untuk Er Niu, biarkan dia mengalahkan pasangan protagonis lain juga. 376.BAB 376 Ketukan 　　BAB 376 Ketukan 　　Mendengar Nona Keempat memanggil, Nenek Xiao deg-degan, tapi tak berani protes, hanya mengikuti Ah Man menuju Haitangju. 　　"Nona, Nenek Xiao sudah datang." 　　Mendengar laporan Ah Man, Jiang Si meletakkan cangkir tehnya: "Suruh dia masuk." 　　Nenek Xiao masuk dengan kepala tertunduk, memberi salut pada Jiang Si: "Salut untuk Nona Keempat." 　　Suasana hening sejenak. 　　Nenek Xiao semakin grogi, tetap mempertahankan posisi bersujud tak berani bergerak. 　　Tak tahu berapa lama, suara lembut nan dingin terdengar: "Tak perlu banyak tata krama." 　　Nenek Xiao lega dalam hati, langsung berdiri tegak. 　　"Nenek Xiao." 　　"Hamba di sini, ada apa perintah Nona Keempat?" 　　Jiang Si memandang Nenek Xiao, merasa lucu. 　　Sikap merendahkan diri seperti ini tak pernah terlihat dari tangan kanan Nyonya Kedua sebelumnya, pantas semua orang ingin mengejar kekuasaan. 　　Setelah mengamati sejenak, Jiang Si langsung to the point: "Nenek Xiao, rencanamu apa pun tak kupedulikan, hanya satu yang kuingatkan: jangan ulurkan tangan ke Keluarga Utama." 　　“Nenek Xiao gemetar hebat dalam hati, tertegun melihat Jiang Si.” 　　Wajah gadis itu tidak menunjukkan banyak ekspresi, hanya sepasang mata hitam bagai permata yang memancarkan kedinginan menusuk tulang. 　　Nenek Xiao menggigil tak tertahankan. 　　“Nona Keempat, hamba yang tua——” 　　Jiang Si memotong dingin ucapan Nenek Xiao: “Kau tidak rela dengan kematian Hongyue.” 　　Nenek Xiao menatap Jiang Si bagai melihat hantu, gelombang dahsyat mengamuk dalam hatinya. 　　Mengapa Nona Keempat bisa tahu? 　　Para majikan di rumah keluarga sampai sekarang tidak tahu bahwa dirinya telah lama mengetahui penyebab sebenarnya kematian putrinya. Di depan Xiao Shi pun ia menyembunyikan dengan sangat baik, hingga kembali memperoleh kepercayaan Xiao Shi. Baru dengan demikian ia bisa menghasut Er Guniang menuju jalan buntu. Tapi bagaimana mungkin Nona Keempat yang jauh di Haitangju mengetahui isi hatinya? 　　Nenek Xiao merasa gadis cantik bak bunga di hadapannya ini mengerikan sekaligus misterius, membuatnya merinding. 　　Jiang Si bersandar malas di sandaran kursi, tersenyum sinis: “Nenek Xiao tidak perlu penasaran mengapa saya tahu isi hatimu, sama seperti saya tidak penasaran mengapa Jiang Qian kehilangan akal sehat hingga ingin membahayakan saya. Yang perlu kau ingat, Keluarga Utua bukan tempat untukmu ikut campur. Jika melanggar tata krama, maka saya akan memotong cakarmu. Sudah jelas?” 　　Nenek Xiao refleks mundur selangkah, wajahnya semakin pucat. Suara dalam hatinya menjerit-jerit: Nona Keempat tahu soal hasutannya pada Er Guniang! Nona Keempat tahu semuanya! 　　Bagaimana mungkin Nona Keempat bisa tahu? 　　“Pada akhirnya, dia tidak menanyakan apapun, berlutut dan membungkukkan kepala dalam-dalam kepada Jiang Si: "Nona Keempat tenang saja, hamba yang tua ini adalah orang yang paling taat aturan."” 　　Jiang Si tersenyum: "Bagus, Nenek Xiao boleh pulang."” 　　Orang jahat akan dihadapi oleh orang jahat pula, bagaimana Nenek Xiao akan menghadapi Nyonya Kedua, dia akan menunggu dengan penuh antisipasi. 　　Nenek Xiao bangkit berdiri, nyaris melarikan diri pontang-panting. 　　Kediaman Dongping Bo sesaat bersukacita, tak menyadari suasana di istana sedang sangat mencekam. 　　Janda Permaisuri sudah beberapa hari merasa tidak enak badan. 　　Kaisar Jingming setelah sidang pagi langsung menuju Istana Cining untuk menjenguk Janda Permaisuri. 　　Aroma obat samar-samar menyelimuti Istana Cining, Kaisar Jingming menghirup perlahan, merasa agak bersalah. 　　Sepertinya Janda Permaisuri sedang marah. 　　"Baginda Kaisar yang sibuk dengan urusan negara, bagaimana bisa datang lagi ke sini?" Janda Permaisuri sedang bersandar di penyekat ranjang untuk beristirahat, melihat Kaisar Jingming masuk, hendak bangun. 　　Kaisar Jingming segera mendekat dan menahan Janda Permaisuri: "Ibu Suri berbaring saja. Apakah kondisi Ibu hari ini sudah membaik?"” 　　Janda Permaisuri tetap duduk tegak menjaga keperawanannya, tersenyum: "Sebenarnya tidak ada masalah, Baginda terlalu berlebihan."” 　　Kaisar Jingming segera menyahut: "Tidak ada masalah tentu baik. Di musim semi yang masih dingin ini, Ibu harus menjaga kesehatan, baru hamba bisa tenang."” 　　Janda Permaisuri sudah hampir berusia tujuh puluh tahun, tidak tahan goncangan sedikitpun. 　　Memikirkan ini, Kaisar Jingming menjadi sangat kesal. 　　"Siapa yang mulut gatal menyebarkan kabar pemilihan permaisuri pangeran ke telinga Janda Permaisuri? Jika ketahuan, pasti akan kucabik-cabik!" 　　Melihat tatapan penuh perhatian Kaisar Jingming, Janda Permaisuri akhirnya mengungkapkan kegelisahannya: "Baginda, urusan sepenting memilih permaisuri pangeran, kenapa terburu-buru ditetapkan begitu saja?" 　　Kaisar Jingming menggaruk hidung, tampak polos: "Burukah? Aku sudah memikirkannya semalaman." 　　Janda Permaisuri ingin menggelengkan kepala, namun malas bergerak di usia senjanya. Dengan wajah masam ia berkata: "Semalaman merenung, lalu memilih putri Dongping Bo Residence untuk Lao Qi? Kabarnya nona itu pernah memutuskan pertunangan." 　　Putri Su Ke. 　　Terhadap kecantikan luar biasa wanita itu, Janda Permaisuri masih mengingatnya hingga kini. 　　"Ibu bahkan tahu mantan tunangan istri Lao Qi, sungguh bijaksana." 　　"Sudah tua begini masih suka bercanda!" Janda Permaisuri menyampingkan pandang ke Kaisar Jingming, mencibir. "Banyak wanita di dunia ini, tak pantas memilih yang cacat reputasi sebagai permaisuri." 　　"Ibu tak perlu khawatir. Saat itu aku melihat calon istri Lao Qi, tampak anggun dan beretika." 　　Hmm, dingin dan pendiam. Jika disebut anggun pun tak masalah. 　　Janda Permaisuri semakin cemberut: "Istri Lao Qi, istri Lao Qi. Orangnya belum resmi masuk keluarga kerajaan, Baginda sudah menyebut-nyebut gelar itu pantaskah?" 　　Kaisar Jingming seperti babi mati yang tak takut air panas: "Aku sudah menetapkan pernikahan. Kali ini mereka tak bisa membatalkannya lagi." 　　“Janda Permaisuri tersedak setengah mati.” 　　“Coba dengarkan nada bicara Kaisar ini, seolah merasa mendapat keuntungan besar?” 　　“Sudah, hamba lelah. Kaisar boleh pulang.” 　　Kaisar Jingming merasa sang ibu mungkin sudah menerima keadaan, tersenyum: “Baginda boleh beristirahat, anak akan pulang dulu dan besok kembali menjenguk.” 　　“Tak perlu.” Janda Permaisuri menutup mata, semakin kesal. 　　Kaisar Jingming kembali menasihati: “Ibu tak perlu terlalu khawatir dengan urusan para gadis. Rezeki cucu-cicit ada di tangan mereka sendiri. Kalau tak bisa mengurus diri, sekalipun menikahi bidadari pun rumah tangga akan tetap kacau.” 　　Di sini, Kaisar Jingming kembali marah pada Putra Mahkota. 　　“Si tak berguna itu! Meski Permaisuri Putra Mahkota mungkin bukan yang terbaik dalam kebajikan dan kecantikan, tapi segala aspeknya cukup baik. Mengapa terus-menerus diabaikan?” 　　“Mengistimewakan selir dan mengabaikan istri di keluarga biasa akan mengacaukan rumah tangga. Apalagi di keluarga kerajaan, terutama pada calon penerus takhta, bisa menghancurkan negara!” 　　Setelah meninggalkan Istana Cining, Kaisar Jingming segera memanggil Putra Mahkota dan menghujani dengan omelan. 　　Putra Mahkota tertegun. 　　Apa kesalahannya? 　　Apakah Ayah Kaisar terlalu ikut campur? Hanya karena tak menyukai Permaisuri Putra Mahkota harus dimarahi? 　　Kembali ke Istana Timur, Putra Mahkota membanting meja sambil berjalan mondar-mandir mengamuk. 　　“Dengar-dengar istri Lao Qi secantik bidadari. Andai dulu aku dikawinkan dengan Permaisuri Putra Mahkota seperti itu, mana mungkin aku jengkel melihatnya!” 　　"Padahal jelas-jelas Ayah Kaisar tidak memperhatikannya, tapi selalu mencari-cari kesalahannya dengan mata melotot!" 　　Putra Mahkota semakin memikirkannya semakin kesal, tiba-tiba muncul ide di hatinya: Sudah lama Ibu Permaisuri meninggal, apakah Ayah Kaisar terlalu banyak mendengar bisikan selir-selir jahat di ranjang, ingin menggantikan dirinya sebagai Putra Mahkota? 　　Di ruang studi kekaisaran, Pan Hai berhati-hati menasihati: "Yang Mulia jangan sampai sakit hati merusak keperawanan. Putra Mahkota perlahan-lahan akan memahami niat baik Paduka." 　　"Perlahan? Aku melihat dia sama sekali tidak bisa menempatkan posisinya dengan benar!" 　　Dengan sikap Putra Mahkota seperti ini, bagaimana mungkin di masa depan Kaisar akan menyerahkan takhta kepada brengsek itu? 377.BAB 377 Pawai Juara Yuan 　　BAB 377 Pawai Juara Yuan 　　Musim semi tahun ke-19 Jingming banyak hujan, ujian musim semi yang dinanti-nantikan pun dimulai di tengah kabut hujan yang menyelimuti hari-hari musim semi. 　　Saat tiga ujian selesai, separuh bulan kedua telah berlalu. Saat bunga aprikot mekar, Daftar Xing akan dipasang di depan Balai Ujian. 　　Pada hari pengumuman, kerumunan orang berdesakan di depan Balai Ujian untuk melihat siapa yang lulus. Orang-orang terkejut menemukan juara pertama Daftar Xing adalah Xieyuan Lang Zhen Heng dari ujian musim gugur. 　　Tidak, sekarang harus dipanggil Huiyuan Lang. 　　Seketika hal ini memicu gelombang ribuan meter. 　　Tuan Gong secantik giok yang awalnya Xieyuan Lang, lalu Huiyuan Lang, jika saat ujian istana Kaisar menggoreskan kuasanya menjadikannya Juara Yuan, bukankah itu berarti meraih tiga gelar juara berturut-turut? 　　Meraih tiga gelar juara berturut-turut adalah kejadian langka yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun, apalagi Tuan Gong secantik giok masih begitu muda. 　　Selama Februari, warga ibu kota seperti disuntik semangat tinggi memperhatikan hal ini, menanti kelahiran Bintang Sastra yang meraih tiga penghargaan berturut-turut. Kejadian ini akan menjadi kemuliaan bagi semua orang yang menyaksikan kelahiran keajaiban. 　　Pada hari ujian istana, Kaisar Jingming bergumam dalam hati: "Jika aku tidak mengikuti keinginan rakyat, apakah aku akan tenggelam dalam cipratan ludah mereka?" 　　Sudahlah, anak lelaki Zhen Shicheng si orang tua kolot itu memang berbakat dan berpenampilan rapi. Dalam masa pemerintahanku, memiliki seorang Bintang Sastra dengan tiga penghargaan berturut-turut yang akan tercatat dalam sejarah, mengapa tidak? 　　Dengan goresan kuasanya, Kaisar Jingming menganugerahkan gelar Juara Ujian Nasional kepada Zhen Heng. 　　Begitu pengumuman keluar, ribuan orang bersorak "Hidup Sang Kaisar!" sambil berlarian menyebarkan kabar gembira. 　　Dinasti Zhou melahirkan Bintang Sastra pertama sejak berdirinya kerajaan yang meraih tiga penghargaan berturut-turut. Apa artinya ini? 　　Ini membuktikan Dinasti Zhou makmur dengan energi positif, tanah subur dengan bakat-bakat unggul. Biarlah orang-orang utara Qi yang belum beradab dan orang-orang Xiliang yang selalu ingin menyaingi Zhou, minggir saja! 　　Saat parade juara nasional, jalanan ibu kota sepi dari orang karena semua memadati jalan untuk menyaksikan. 　　Jiang Si adalah salah satu penontonnya. 　　"Nona, orangnya benar-benar banyak ya." Ah Man membabat kerumunan orang yang mendesak sambil melindungi Jiang Si masuk ke rumah teh. 　　Long Dan menyambut dengan sigap: "Anda datang, tuanku sedang menunggu di atas." 　　Jiang Si mengangguk halus, lalu mengikuti Long Dan naik ke lantai atas. 　　Melihat Jiang Si, Yu Jin sangat gembira. Ia menariknya duduk di sampingnya, menuangkan secangkir teh dan menyerahkannya. 　　Jiang Si memegang cangkir bertanya: "Mengapa hari ini mengajakku keluar?" 　　Yu Jin menunjuk ke luar jendela: "Acara besar seperti ini, kupikir kau akan penasaran." 　　Jiang Si melengkungkan sudut bibirnya. 　　Jika Yu Qi tahu sedikit keterkaitannya dengan putra keluarga Zhen, mungkin dia tidak akan memenuhi rasa penasarannya. 　　Melihat Jiang Si tersenyum tanpa bicara, Yu Jin langsung mengakui: "Baiklah, sebenarnya aku ingin menemuimu, hanya mencari alasan yang jujur dan terhormat." 　　Jiang Si tertawa: "Melihat pemenang ujian kerajaan berparade adalah alasan terhormat? 　　Yu Jin bersandar ke belakang, tersenyum manis: "Tentu saja. Lihatlah seluruh ibu kota keluar melihat keramaian ini, kita manfaatkan untuk bertemu kenapa tidak?" 　　Sejujurnya, keluarga kerajaan memang banyak urusan rumit. Jika di kalangan rakyat biasa, pasangan tunangan jalan-jalan bersama bukanlah hal aneh. 　　Sudah lama dia ingin mengajak A Si keluar, sayangnya pejabat istana pangeran lebih ketat mengawasi daripada Er Niu, sangat menyebalkan. 　　Apakah dia tipe orang yang sembarangan? 　　Jiang Si menopang dagu melihat ke luar: "Sungguh ramai, tak heran orang-orang begitu antusias melihat Bintang Sastra yang meraih tiga gelar sekaligus." 　　Yu Jin memegang wajah Jiang Si dan memutarnya kembali: "Cukup. Lihatlah lautan kepala itu sudah cukup. Sang juara tidak ada istimewanya, tetap satu hidung dua mata, tidak punya ekor." 　　“Siapa bilang tidak ada yang menarik? Juara ujian tiga tahun sekali tidak langka, tapi Bintang Kuixing yang tiga kali menjuarai ujian berturut-turut dalam seratus tahun hanya ada satu ini.” Jiang Si sengaja menggoda Yu Jin. 　　“Tidak ada yang istimewa untuk dilihat. Sekalipun kita melihat, tidak ada hubungannya dengan kita. Daripada buang waktu, lebih baik kau lebih sering memandangku.” Yu Jin merasa cemburu melihat Jiang Si begitu mengagumi juara ujian baru. 　　Hebat saja bisa belajar? Meski katanya buku berisi kecantikan, tetap tidak secantik A Si-nya. 　　Begitu dipikirkan, Yu Jin tiba-tiba merasa lega. 　　Seumur hidupnya dia tidak punya permintaan lain. Setiap hari tidur sambil memeluk A Si, membuka mata melihat A Si, itu sudah cukup. 　　“Pangeran juga tidak ada yang menarik untuk dilihat.” Jiang Si tersenyum menggoda. 　　Entah mengapa, meski cuma omongan mesra yang tak berarti, terasa manis tak terkatakan di hati. 　　Wajah Yu Jin berubah serius: “Jangan panggil aku Pangeran.” 　　“Lalu panggil apa?” 　　Yu Jin mendekat, dengan muka tebal mengusulkan: “Panggil aku Kakak Ketujuh.” 　　Kakak Ketujuh? 　　Melihat wajah tampan yang mendekat dengan ekspresi bangga dan penuh harap, Jiang Si tanpa ragu memutar matanya. 　　Meski di kehidupan sebelumnya sudah jadi suami istri, sepertinya dia tidak pernah meminta hal memalukan seperti ini. 　　Hmm, waktu itu usianya beberapa tahun lebih tua, jadi bisa sedikit menahan rasa malunya. 　　“Tidak bisa.” 　　Yu Jin kecewa tapi belum menyerah: “Pokoknya jangan panggil Pangeran. Kau memanggilku Pangeran, orang lain juga memanggilku Pangeran, itu membosankan.” 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu berkata dengan wajah berseri: "Kalau begitu, bagaimana jika aku memanggilmu A Jin?" 　　"A Jin?" Yu Jin mengulang dua kata itu, merasa meski biasa saja, terdengar begitu indah saat diucapkan oleh sang kekasih. 　　A Si dan A Jin, sungguh cocok. 　　Yu Jin mengangguk: "Baik." 　　Jiang Si memanggil sambil tersenyum: "A Jin." 　　"Hmm?" 　　"Rasanya sudah memanggilmu A Jin seumur hidup." 　　Masa-masa singkat itu, jika mengesampingkan penderitaan akibat Imam Suci A Sang, memang merupakan hari paling membahagiakan dalam hidupnya yang pendek. 　　Yu Jin menarik Jiang Si ke pelukannya, berkata bangga: "Tentu harus dipanggil seumur hidup." 　　Keributan tiba-tiba memecah suasana mesra di antara mereka. 　　"Juara ujian kekaisaran datang! Juara ujian kekaisaran datang--" 　　Juara sialan! 　　Dengan wajah masam, Yu Jin melirik ke luar dan melihat kerumunan orang berhamburan seperti ingin menginjak-injak jalan sampai ambruk. 　　Diiringi genderang meriah dan letusan kembang api, tiga pemenang ujian kekaisaran berhias pita merah menunggang kuda mendekat. Di barisan terdepan adalah Juara Zhen Heng. 　　Melihat Zhen Heng yang masih muda, teriakan histeris wanita-wanita memecah udara, diikuti lemparan kantong wewangian, sapu tangan dan bunga yang membanjirinya. 　　Seorang tua bijaksana berteriak: "Jangan lempar buah! Jangan sampai Lambang Keberuntungan kita terluka!" 　　Lambang Keberuntungan? 　　Zhen Heng yang menunggang kuda besar hampir terjatuh. 　　Kapan dia menjadi pertanda keberuntungan? 　　"Tak ada juara pertama dalam sastra, juara kedua dalam bela diri" – mengikuti ujian kekaisaran dengan sepenuh hati adalah kebanggaan seorang pelajar sekaligus jawaban untuk perasaan pertama yang tak pernah bisa diungkapkan. 　　Bagaimanapun, dia berhasil menunjukkan versi terbaik dirinya padanya. 　　Di tengah kerumunan orang ini, apakah dia sedang memperhatikannya? Meski hanya sebagai penonton biasa. 　　Seperti sudah takdir, Zhen Heng menoleh ke arah rumah teh tanpa sadar, jantungnya berdebar kencang. 　　Kuda yang ditungganginya memperlambat langkah. 　　Orang-orang di pinggir jalan melihat juara pertama melambat, teriakan semakin keras terutama dari para pemuda yang seperti gila berebut maju. 　　"Juara pertama! Juara pertama!" Teriakan orang-orang menggila. 　　Tiba-tiba seorang wanita terdesak keluar dan menghalangi jalan, pengawal dengan refleks mengacungkan tombak. 378.BAB 378 Peristiwa Mendadak 　　BAB 378 Peristiwa Mendadak 　　Melihat wanita itu, Jiang Si terkejut: "Sanjie!" 　　Yu Jin yang mendengar kekhawatiran dalam suara Jiang Si melemparkan cangkir tehnya, membelokkan tombak yang hendak menusuk Jiang Qiao. 　　Kekacauan pun terjadi, teriakan panik bergema di mana-mana. 　　Kilatan logam tajam melesat ke arah Zhen Heng. 　　Yu Jin menyipitkan matanya, lalu menyambar cangkir teh lain dan melemparkannya, sambil melompat keluar dari jendela. Begitu kakinya mendarat di tanah, cangkir yang terbang tadi bertabrakan dengan senjata rahasia, lalu jatuh bersamaan. 　　Situasi semakin kacau. 　　“Lindungi Zhuangyuan Lang!” 　　Kuda-kuda meringkik, langkah kaki berantakan, teriakan-teriakan bergema silih berganti. 　　Orang bertopeng lebar itu bertarung beberapa jurus dengan Yu Jin, menyadari tak mampu menang, lalu segera mundur. 　　Yu Jin langsung mengejar, dan segera keduanya menghilang di tengah kerumunan orang. 　　Jiang Si menjulurkan kepala ke luar jendela, melihat Long Dan membawa Jiang Qiao keluar dari kerumunan kacau sesuai perintahnya, barulah dia lega. Tapi tiba-tiba merasakan sorot mata mengawasinya. 　　Saat pandangan mereka bertemu, Jiang Si mengangguk sekadarnya sebagai salam, lalu buru-buru menutup jendela. 　　Zhen Heng tak sempat bereaksi lagi, sudah dikepung pengawal, mengakhiri pawai kebanggaan mengelilingi kota dengan tergesa-gesa. 　　Long Dan membawa Jiang Qiao yang terus meronta naik ke gedung rumah teh. 　　Jiang Si menyambut, menggenggam tangan Jiang Qiao: “Sanjie, kau tidak apa-apa?” 　　Melihat itu Jiang Si, Jiang Qiao berhenti meronta, sangat terkejut: “Adik Keempat, ternyata kau. Bagaimana kau bisa ada di sini?” 　　Jiang Si menjawab terus terang: “Pangeran mengajak saya menonton pawai Zhuangyuan. Kalau Sanjie?” 　　Jiang Qiao memegang rok yang entah bagaimana sobek, menggigit bibirnya dan berkata: “Aku juga ikut Adik Kelima dan Adik Keenam untuk melihat keramaian, siapa sangka nyaris kehilangan nyawa!” 　　“Orang di jalan sangat banyak, tadi Sanjie benar-benar dalam bahaya.” Mengingat tombak yang menghujam ke arah Jiang Qiao, Jiang Si masih merasa ngeri. 　　Sejak tinggal sementara di Keluarga Marquis Changxing, hubungan kedua saudari ini semakin harmonis. Ia tentu tidak ingin melihat Jiang Qiao celaka. 　　Jiang Qiao tiba-tiba berubah muram, menepuk meja dengan tangan: “Ada yang mendorongku! Tenaga itu pasti sengaja, bukan karena ketidaksengajaan dalam kerumunan.” 　　Jiang Si tertegun, pertama kali terpikir adalah Putri Keenam dari Selir Jiang Pei. 　　Tiga saudari pergi bersama, jika benar ada yang sengaja mendorong Jiang Qiao, kemungkinan besar Jiang Pei yang berbuat jahat sangat besar. 　　Jiang Qiao juga berpikir demikian, segera berlari ke tepi jendela dan membuka jendela untuk melihat ke luar. 　　Di bawah gedung, kepala manusia berjejalan dalam kekacauan. 　　Matanya tajam, setelah mengamati sejenak, ia melihat saudari Jiang Li yang sedang bersandar di pohon sambil terengah-engah. 　　“Adik Keempat, mereka ada di sana.” 　　Jiang Si segera memerintahkan Long Dan untuk membawa Jiang Li dan yang lainnya naik. 　　Tak lama kemudian Jiang Li dan Jiang Pei naik ke atas. 　　Akibat kekacauan tadi, keduanya terlihat lebih compang-camping daripada Jiang Qiao - satu rambutnya berantakan, satunya lagi sepatunya terlepas. 　　Melihat yang datang adalah Jiang Si, Putri Keenam dari Selir Jiang Pei segera mendekat dan berkata dengan wajah memelas: "Kakak keempat, untung bertemu denganmu. Lihatlah, sepatuku hilang sebelah, aku tak bisa pulang." 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya. 　　Meski Jiang Pei suka menjilat atasan dan menginjak bawahan, dibandingkan dengan Jiang Qian yang tega membunuh, kesalahannya masih terbilang kecil. 　　Tapi jika dorongan tadi benar ulahnya, itu cerita lain. 　　Jiang Qiao menatap Jiang Pei dengan wajah dingin: "Aku tadi didorong seseorang, Adik Kelima dan Keenam, kalian lihat siapa pelakunya?" 　　Nona Kelima Jiang Li menggelengkan kepala perlahan. 　　Jiang Pei ikut menimpali: "Tidak melihat." 　　Merasa tatapan Jiang Qiao masih menancap, Jiang Pei mulai kesal: "Kenapa Kakak Ketiga terus memandangiku seperti ini? Bukan aku yang mendorongmu!" 　　Jiang Qiao menyeringai dingin: "Masih belum pasti." 　　Jiang Pei membalas: "Kakak Ketiga jangan kira karena dekat dengan Kakak Keempat lalu bisa seenaknya membuat tuduhan tanpa bukti. Hal yang tidak kulakukan, bagaimanapun juga tak akan kauakui!" 　　Wajah Jiang Qiao pucat karena marah: "Aku hanya bertanya apakah kau yang mendorongku, ngomong yang lain-lain buat apa?" 　　Melihat pertengkaran semakin memanas, Jiang Li berkata lembut: "Kakak Ketiga, bukan Adik Keenam." 　　Jiang Qiao beralih memandang Jiang Li. 　　Jiang Li menggigit bibirnya, menjelaskan: "Saat itu Adik Keenam berlari ke depan dan hampir menabrak seorang nona kecil, jadi kusambar lengannya. Kebetulan saat itu Kakak Ketiga terdorong keluar, jadi kulihat jelas, Adik Keenam tidak mendorong Kakak Ketiga..." 　　"Kakak dengar kan, bukan aku!" 　　“Jiang Qiao wajahnya sedikit memerah, tiba-tiba memberi hormat pada Jiang Pei: "Kalau begitu aku minta maaf, aku salah sangka padamu."” 　　Jiang Pei tidak menyangka Jiang Qiao mengakui kesalahan begitu gamblang, sejenak kehilangan kata, akhirnya mendesis: "Sudahlah, lain kali jangan selalu menyangka aku yang berbuat jahat, nasib sial sendiri mau menyalahkan siapa lagi." 　　Jiang Qiao mengatupkan gigi, memang hanya bisa mengakui nasib sial. 　　Dalam keriuhan saat itu, didorong dari belakang, mana mungkin menemukan pelakunya. 　　Jiang Si melirik ke luar jendela lalu menarik pandangannya: "Long Dan, antarkan kami kembali ke Keluarga Bo." 　　Di bawah gedung sudah ada kereta kuda yang menunggu, sebenarnya dengan Lao Qin sebagai kusir tidak perlu khawatir, tapi insiden Zhen Heng tadi membuat Jiang Si tak bisa lengah. 　　"Tuanku tidak menunggu majikan?" 　　"Tidak perlu, dia mengejar pembunuh bayaran. Kalau aman pasti sudah lama kembali." 　　Memilih saat prosesi keliling Jalan Kekaisaran untuk membunuh juara imperial, Jiang Si mencium sesuatu yang tidak biasa dari insiden ini. 　　Tak lama berselang, terdengar langkah kaki tergesa datang mendekat. 　　Yu Jin membuka pintu dengan kasar: "A Si——" 　　Melihat masih ada Jiang Qiao dan lainnya di dalam ruangan, segera diam. Alis pedangnya sedikit terangkat sambil menyapu pandang pada mereka, lalu melangkah besar menuju Jiang Si. 　　"Tidak apa-apa?" Sampai di depan Jiang Si, suaranya lembut tapi nafas masih tersengal. 　　Jiang Si tersenyum: "Apa mungkin ada masalah? Pembunuh bayarannya tertangkap?" 　　Yu Jin mengangguk ringan, langsung memberi perintah pada Long Dan: "Tolong antar ketiga nona ini keluar dulu." 　　Long Dan segera mengulurkan tangan pada ketiganya: "Silakan ketiga nona." 　　Jiang Qiao melirik Jiang Si sebentar sebelum berjalan keluar. 　　Jiang Li menundukkan kepala dan menekuk lutut dengan patuh, lalu mengikuti keluar. 　　Hanya Jiang Pei yang menoleh ke belakang saat sampai di pintu, melirik cepat Yu Jin sebelum meninggalkan kamar. 　　Long Dan menatap ketiga gadis itu: "Tiga Nona bisa menunggu di sana." 　　Jiang Pei bersandar di pagar, hatinya bergejolak seperti direbus minyak panas. 　　Itulah tunangan Kakak Keempat, Pangeran Yan. 　　Begitu muda, tampan, dan mulia... Mengapa Jiang Si bisa seberuntung ini! 　　Di dalam ruangan, Yu Jin meletakkan tangan di bahu Jiang Si: "A Si, ada yang tidak beres. Pembunuh itu berasal dari suku asing." 　　"Maksudmu——" 　　"Ini mungkin akan menarik perhatian Ayah Kaisar. Sayangnya Sanjie terlibat, mungkin dia akan dipanggil untuk pemeriksaan." 　　Inilah alasan mengapa dia langsung melompat dari jendela untuk menyelamatkan Juara Ujian. 　　Pertama seorang wanita berlari ke tengah jalan mengganggu iring-iringan, lalu Juara Ujian ditikam. Secara intuitif dia yakin wanita itu bukan kebetulan berada di sana - mungkin kaki tangan pembunuh atau korban yang tidak sengaja terlibat. 　　Bila orang lain, dia takkan peduli nasib wanita itu. Tapi karena dia saudara A Si, dia harus bertindak dan memastikan Juara Ujian selamat. 　　Jika Juara Ujian yang dianggap pertanda keberuntungan ini tewas, A Si sebagai calon Permaisuri pasti akan terkena imbasnya. 　　Yu Jin merenungkan semua ini sambil mengusap dagunya. 　　Dia sendiri mengagumi kemampuannya berpikir sejernih itu di saat genting. Tak heran A Si tidak mencintai siapa pun kecuali dirinya. 379. BAB 379 Murka Sang Kaisar 　　BAB 379 Murka Sang Kaisar 　　"Memanggil Sanjie untuk diinterogasi?" Jantung Jiang Si berdebar kencang. 　　Yu Jin tersenyum: "Ini hanya kemungkinan. Pahami dulu situasinya, tapi jangan dibicarakan ke Sanjie. Mungkin aku terlalu khawatir." 　　Jiang Si mengangguk: "Ya." 　　"Aku akan bawa ini dulu. Biar Long Dan mengantarmu pulang." 　　Keduanya berjalan berdampingan keluar dari pintu kamar. 　　Jiang Qiao dan kedua adiknya menatap ke arah mereka. 　　Jiang Si mendekat, berkata dengan tenang: "Sanjie, Adik Kelima, Adik Keenam, mari kita pergi." 　　Keempat bersaudari berdesakan dalam satu kereta yang dikemudikan Lao Qin menuju Dongping Bo Residence, sementara kereta kuda yang mereka naiki sebelumnya mengikuti dari belakang dalam keadaan kosong. 　　Jiang Pei mengamati raut wajah Jiang Si sambil bertanya: "Kakak keempat, tadi itu Pangeran Yan ya?" 　　Jiang Si tersenyum sinis: "Lalu siapa lagi?" 　　Jiang Pei tersipu malu. 　　Dia tahu pria asing yang bisa menyendiri dengan Jiang Si pastilah calon suaminya Pangeran Yan, tapi tetap ingin memastikan. 　　Bagaimana bisa kakak tiri yang pernah putus pertunangan ini bisa naik status menjadi Permaisuri Yan? 　　Sampai sekarang Jiang Pei masih merasa ini seperti mimpi. 　　“Wajah Yu Jin terus bermunculan di pikirannya. Ia tak tahan melirik Jiang Si lagi, hati kecilnya bergumam: Pada akhirnya, ini semua karena Kakak keempat memang cantik. Pasti Pangeran Yan tergila-gila pada kecantikannya.” 　　“Kecantikan bawaan lahir memang tak bisa diiri. Lagi pula, bukankah aku bukan anak dari istri utama Paman yang sudah meninggal?” 　　Jiang Pei berpikir dengan perasaan asam. Dalam gerbong yang sesak ini, dengan derit roda yang monoton, ia selalu ingin mengatakan sesuatu. 　　“Kakak keempat, tadi aku dengar percakapanmu dengan Kakak Ipar. Benarkah ada penjahat yang mencoba membunuh Zhuangyuan Lang?” 　　Jiang Li menarik lengan baju Jiang Pei perlahan, berbisik: “Adik Keenam, jangan tanya lagi. Kita tak perlu tahu hal-hal seperti ini.” 　　Jiang Pei melototi Jiang Li: “Hanya Kakak Kelima yang penakut. Di gerbong ini kan tidak ada orang luar, apa salahnya bertanya? Kejadian menegangkan dan mengerikan seperti itu, apakah kau tak penasaran? Selalu takut bertanya ini itu, lebih baik kubur saja dirimu!” 　　Jiang Li menundukkan pandangan, tak bersuara lagi. 　　Jiang Qiao tak tahan melihatnya, melototi Jiang Pei: “Adik Keenam, sebagai adik, beginikah caramu berbicara dengan kakak?” 　　Dalam hati Jiang Pei: Meski aku anak selir, tapi Ayahku adalah anak lelaki sah, masih pejabat ibu kota kelas empat yang berprospek cerah. Sedangkan Jiang Qiao meski anak perempuan sah, tapi ayahnya anak selir yang tak punya jabatan, hanya membantu Paman mengurus urusan pemerintahan keluarga Bo. Kalau dibandingkan, statusku lebih terhormat. 　　Mendengar perkataan Jiang Qiao, Jiang Pei sama sekali tidak terima, bergumam pelan: "Kakak keempat saja tidak berkata apa-apa, kenapa kakak ketiga begitu bersemangat?" 　　Jiang Qiao langsung mengerutkan alisnya yang melengkung, hendak berdebat dengan Jiang Pei. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Adik keenam benar-benar mau dengar pendapatku?" 　　Jiang Pei segera menyimpan ketidakpuasannya, tersenyum: "Tentu saja." 　　Jiang Si menatap Jiang Pei dengan tatapan tajam, berkata perlahan: "Karena adik keenam mau dengar, kuingatkan satu hal. Ingatlah, jangan lagi memanggil Pangeran Yan sebagai kakak ipar keempat." 　　"Lalu harus memanggil apa?" Jiang Pei bertanya bingung. 　　"Kau harus memanggilnya Pangeran." 　　Sepasang bola mata yang sangat indah itu tetap tenang, namun Jiang Pei merasa seolah dipenuhi ejekan. 　　Wajahnya langsung memerah, lalu dia berkata canggung: "Tapi dia memang Kakak Ipar Keempat..." 　　Jiang Qiao mendengus: "Adik Keenam, sudah diingatkan Kakak Keempat, kenapa kau masih belum mengerti? Tata krama keluarga kerajaan mana bisa disamakan dengan rakyat biasa? Beliau adalah pangeran agung yang bahkan belum resmi menikah dengan Kakak Keempat. Kau menyebutnya 'kakak ipar' terus-menerus, bukankah itu akan membuat orang tertawa terbahak-bahak?" 　　Melihat Jiang Pei masih membangkang, Jiang Qiao balik bertanya: "Pernahkah kau dengar ayah mertua kaisar memanggil kaisar sebagai menantunya?" 　　Jiang Pei akhirnya tak bisa membantah lagi. Ia menunduk: "Kakak Keempat, aku salah. Nanti tidak akan sembarangan memanggil lagi." 　　Jiang Si menutup matanya, tak lagi bersuara. 　　Kesabarannya terhadap adik ini hanya sampai di sini. 　　Kereta kuda langsung berhenti di pintu kedua Dongping Bo Residence, keempat saudari turun dari kereta kuda secara berurutan. 　　Setelah berpisah dengan Jiang Li dan Jiang Pei di persimpangan jalan, Jiang Qiao tiba-tiba menggenggam tangan Jiang Si: "Adik Keempat, apakah saya menimbulkan masalah?" 　　Jiang Si berdiri tegak dan bertanya dengan tenang: "Mengapa Kakak Ketiga bertanya begitu?" 　　Di antara saudari-saudari di keluarga ini, meski Jiang Qiao berwatak blak-blakan dan tampak polos, namun dia cukup tajam dalam momen-momen kritis. 　　Jiang Si berpikir, bakat setiap orang memang berbeda sejak lahir. Seperti dirinya, meski telah mengalami reinkarnasi, terkadang masih tetap kikuk. 　　Jiang Qiao memelintir saputangannya: "Mendengarmu menyebutkan pembunuh bayaran pada Pangeran, saya berpikir betapa kebetulannya - baru saja saya didorong keluar untuk menghalangi rombongan, langsung muncul pembunuh bayaran. Kalau yang mendorong saya bukan Adik Keenam, mungkin... mungkin itu pembunuh bayaran juga. Jika benar begitu, bukankah saya telah membuat masalah..." 　　Jiang Qiao semakin kesal: "Andai tahu begini, saya tidak seharusnya ikut keluar mencari keramaian..." 　　Jiang Si menggenggam tangan Jiang Qiao, menghibur: "Kakak Ketiga jangan dulu berpikir macam-macam. Pulanglah dan beristirahatlah. Jika benar ada masalah, saya pasti akan meminta bantuan Pangeran." 　　"Kalau begitu merepotkan Adik Keempat." Jiang Qiao terlihat agak frustrasi. 　　Belum genap satu shichen sejak mereka berpisah, utusan dari istana datang menjemput Jiang Qiao. 　　"Benar memanggil Nona Ketiga kami?" Nyonya Feng bertanya sekali lagi, hatinya dipenuhi keraguan. 　　"Mungkinkah ada kesalahan? Seandainya istana memanggil, seharusnya Si'er yang dipanggil. Apa hubungan Adik Ketiga dengan istana?" 　　Pelayan istana tampak kesal: "Memang Nona Ketiga yang dimaksud." 　　Nyonya Feng melihat ketegasan pelayan itu, akhirnya menyuruh pelayan untuk memanggil Jiang Qiao. 　　Jiang Si yang mendengar kabar ini mengantar Jiang Qiao hingga keluar, berbisik pelan: "Sanjie tenang saja. Jika ditanya tentang kejadian waktu itu, jawablah sesuai fakta. Dengan kehadiran Pangeran Yan, mereka tak akan menyusahkanmu." 　　Jiang Qiao mengangguk, lalu naik ke kereta kuda bersama pelayan istana. 　　Jiang Si menatap kereta itu hingga hilang dari pandangan, baru kembali ke dalam. 　　Nyonya Feng bertanya gusar: "Si'er, kenapa istana tiba-tiba memanggil kakak ketigamu?" 　　Jiang Si mengernyit tak mengerti: "Cucu benar-benar tidak tahu." 　　Nyonya Feng seperti tersedak. Meski tahu Jiang Si bermain kata-kata, amarahnya tak bisa diluapkan, dadanya sesak dibuatnya. 　　Di istana, Kaisar Jingming juga merasakan sesak di dada. 　　"Apa gunanya kalian semua?! Di parade penghormatan Jalan Kekaisaran sampai bisa menyusup penjahat yang mencoba membunuh juara ujian, lagi-lagi orang asing! Tahukah kalian konsekuensinya jika mereka berhasil?" 　　Sekelompok orang berjongkok gemetaran di lantai, menahan amarah dahsyat Sang Kaisar sambil diselimuti rasa ngeri. 　　Juara ujian kali ini berbeda dari sebelumnya, merupakan pertanda keberuntungan langka seabad. Jika benar-benar terbunuh di depan ribuan rakyat, bisa dikatakan pondasi Dinasti Zhou terancam. 　　Rakyat bersatu, negara kokoh. Rakyat goyah, negara dalam bahaya. 　　Kebangkitan dan kejatuhan, perpecahan dan persatuan, arah nasib negara, terkadang hanya karena perbedaan satu hal saja, segalanya bisa berubah drastis. 　　Kaisar Jingming yang terbiasa melihat para bawahan bersikap keras kepala menentang, jarang menyaksikan keledai-keledai bandel ini gemetar ketakutan. Di tengah kemarahannya, tiba-tiba muncul perasaan puas tersembunyi. 　　Dengan wajah muram, dia melirik Yu Jin yang tidak jauh darinya. 380. BAB 380 dayang pengajar 　　BAB 380 dayang pengajar 　　Memandangi anak ketujuhnya, perasaan Kaisar Jingming menjadi kompleks. 　　Tentu saja dia marah. 　　Seorang pangeran pergi menyaksikan arak-arakan juara ujian nasional saja sudah cukup konyol, apalagi membawa tunangan! 　　Kenapa bocah ini begitu tak sabar? Apakah belum pernah melihat perempuan delapan generasi? 　　Kaisar Jingming bergumam dalam hati, tiba-tiba merasa perlu melakukan sesuatu untuk anaknya. 　　Hmm, nanti akan kuberi Lao Qi dua dayang pengajar. Pelajaran yang tertunda bertahun-tahun ini harus dikejar. 　　Tradisi kerajaan di setiap dinasti mewajibkan pangeran mendapat pengajaran urusan ranjang dari dayang pengajar saat menginjak usia 14 tahun. 　　Di balik kemarahannya, ada perasaan lega yang tak terucapkan. 　　Berkat kehadiran Lao Qi di sana, lambang kemakmuran Dinasti Zhou bisa diselamatkan tepat waktu. Bayangkan akibatnya jika tidak! 　　Dipikir-pikir, anak ini cukup tangkas. Kemampuannya bahkan melebihi pasukan pengawal kerajaan yang terpilih ketat. 　　Merasakan sorotan Kaisar Jingming, Yu Jin menyunggingkan senyum. 　　Kaisar Jingming langsung memasang wajah masam dan memalingkan muka. 　　Bocah nakal ini langsung sombong saat diberi sedikit perhatian. Nanti harus dimarahi baik-baik. 　　Gerakan ini tertangkap jelas oleh menteri yang lincah matanya, yang segera berseru, "Kami para menteri bersalah, untung ada Pangeran yang turun tangan sehingga menghindarkan malapetaka. Ini semua berkat berkah langit dan kebijaksanaan Kaisar..." 　　Pujian yang tak henti-hentinya membuat Kaisar Jingming merasa nyaman. 　　"Hmm, akhirnya mereka menyebut jasa putraku juga. Orang-orang tua ini belum terlalu bodoh." 　　"Aku tidak ingin mendengar omong kosong. Bangsa asing itu sudah ditangkap hidup-hidup oleh Pangeran Yan. Kemampuan kalian bertanya sekarang diuji." 　　Para menteri seolah mendapat amnesti, buru-buru berkata, "Kami mohon diri." 　　Yu Jin ikut menyelinap keluar. 　　Suara berat bergema, "Lao Qi, kau tetap di sini." 　　Yu Jin berhenti, "Apa lagi perintah Ayah Kaisar?" 　　Di aula yang sudah sepi, Kaisar Jingming bangkit dan turun dari tangga batu menghampiri Yu Jin. 　　Yu Jin menunduk ringan, menunggu titah kaisar. 　　Kaisar Jingming bertanya sinis, "Hari ini kau ke mana saja?" 　　Yu Jin dalam hati bertanya-tanya: Bukankah ini pertanyaan retoris? Apa dia pikir tidak tahu bahwa Dongchang sudah memanggil Nona Ketiga Jiang? 　　"Aku menanyaimu, kenapa diam saja?" 　　Yu Jin tersenyum polos, "Erchen agak malu." 　　Sudut mulut Kaisar Jingming berkedut. 　　Malu seperti ini? Apa dia pikir aku tidak pernah malu waktu muda? 　　"Erchen mengajak Nona Keempat Jiang menonton arak-arakan juara kerajaan." Yu Jin menjawab dengan wajah polos. 　　“Kaisar Jingming mengangkat sebelah alisnya, berpikir dalam hati: Pemuda ini cukup jujur. Jika Putra Mahkota bisa sejujur ini, pasti aku lebih tenang.” 　　Meski berpikir demikian, Kaisar Jingming tetap bermuka masam dan menghardik: “Tak tahu tata krama!” 　　Yu Jin terlihat sedih dan heran: “Apa maksud Ayah Kaisar?” 　　“Maksud?” Kaisar Jingming tak tahan mengetuk bahunya dengan gagang kipas, “Pernikahan agung akan digelar bulan keenam. Untuk apa mengajak tunanganmu menonton arak-arakan juara kerajaan sekarang?” 　　“Tapi Erchen melihat para pemuda di sekitar juga demikian. Setelah bertunangan, mereka tak hanya mengajak tunangan jalan-jalan, bahkan ada yang berpegangan tangan!” 　　Kaisar Jingming melotot: “Orang lain adalah orang lain. Kau ini pangeran! Ini tak pantas!” 　　Dulu dia sendiri tak berani mengajak tunangannya jalan-jalan. Berani-beraninya pemuda ini? 　　“Erchen salah. Erchen seharusnya tinggal di istana pangeran dan rajin belajar.” 　　Kaisar Jingming hendak mengangguk, tapi merasa ada yang tak beres. 　　Jika Lao Qi tak keluar, mungkin juara kerajaan itu sudah binasa. 　　Ia terbelit dilema. Setelah berpikir panjang, karena hasilnya baik, akhirnya tak diusut lagi. 　　“Mundur.” 　　Yu Jin masih diam di tempat. 　　“Ada apa lagi?” 　　“Ayah Kaisar, Erchen ingin mengirim utusan ke Dongping Bo Residence untuk menanyakan apakah Nona Keempat Jiang terkejut. Saat itu beberapa saudarinya juga ada di sana. Salah seorang terdorong ke tengah jalan dalam kerumunan, membuat Nona Keempat sangat ketakutan.” 　　Kaisar Jingming kesal: “Urusan kecil seperti ini urus saja sendiri!” 　　Lao Qi ini benar-benar tak punya malu, terobsesi pada tunangannya! 　　Setelah Yu Jin pergi, Kaisar Jingming menutup matanya untuk beristirahat. Pan Hai segera mendekat dan memijat area sekitar mata sang kaisar. 　　Dalam kondisi mengantuk, Kaisar Jingming bertanya: "Sudah dapat jawaban? Ada hubungankah peristiwa ini dengan Kediaman Dongping Bo?" 　　Seorang nona dari Kediaman Dongping Bo tiba-tiba berlari ke tengah jalan, disusul kejadian pembunuhan. Kebetulan Pangeran Yan yang sedang berada di paviliun teh pinggir jalan melihat kejadian itu dan menyelamatkan Zhuangyuan Lang. 　　Semua ini terasa terlalu kebetulan. 　　Orang asing bermata dalam itu, sebenarnya berasal dari mana? 　　Di tenggara Dinasti Zhou ada negara kepulauan. Penduduknya kurang cerdas namun fisiknya sangat kuat, sering dijadikan Pasukan Mati oleh berbagai pihak. 　　Apakah upaya pembunuhan Zhuangyuan Lang ini ulah orang dalam yang tidak tenang, atau negara tetangga yang selalu mengincar? 　　Kaisar Jingming merasa resah. 　　Kesehatan Janda Permaisuri memburuk dan belum membaik. Ditambah kejadian ini, sejak awal tahun sepertinya banyak ketidakberuntungan. 　　Pan Hai menjawab dengan suara rendah: "Hamba sudah perintahkan bawahannya yang berpengalaman untuk menginterogasi. Tampaknya ada yang sengaja mendorong Nona Ketiga Jiang Qiao keluar, tapi sang nona sendiri tidak tahu apa-apa..." 　　Kaisar Jingming merenung sejenak lalu berkata datar: "Kalau begitu lepaskan dia. Nona muda, apalagi saudari calon Permaisuri Yan, tidak pantas lama-lama ditahan di istana." 　　"Hamba mengerti." 　　Kaisar Jingming kembali menutup matanya, tiba-tiba teringat satu urusan penting: "Benar, pilih dua dayang pengajar yang cerdas dan tenang untuk dikirim ke Kediaman Pangeran Yan." 　　Pan Hai tertegun sejenak, lalu segera mengangguk: "Baik." 　　Hm, bahkan dayang pengajar Putra Mahkota diatur oleh Permaisuri Pengganti, dayang pengajar pangeran lain diatur oleh ibu kandung masing-masing, tapi dayang pengajar Pangeran Yan malah dipusingkan oleh Kaisar. Kalau dipikir-pikir, Pangeran Yan benar-benar mendapat restu kekaisaran. 　　Seorang ayah yang memusingkan hal seperti ini, jelas menunjukkan perhatiannya pada anak lelaki ini. Bagaimanapun, ada begitu banyak putri di istana belakang yang bahkan nama dan wajahnya belum bisa diingat Kaisar. 　　Dayang pengajar termasuk dalam pengelolaan istana belakang. Setelah keputusan Kaisar Jingming ini, para selir segera mendapat kabar, namun dengan pemikiran yang sangat berbeda dari Pan Hai. 　　Kaisar sendiri yang menunjuk dayang pengajar untuk Pangeran Yan, apakah ini karena tidak puas dengan kematangan Pangeran Yan, sekaligus memberi peringatan pada calon Permaisuri Yan? 　　Seorang pangeran yang dibesarkan di rakyat jelata, seorang permaisuri yang biasa-biasa saja hanya memiliki sedikit kecantikan, tak heran Kaisar tidak bisa diam saja. Sekarang Kaisar mungkin menyesal telah memberikan pernikahan ini. 　　Ibu Suri Xian mendapat kabar ini, terus-menerus mencemooh. 　　Kaisar benar-benar tidak ada kerjaan, merebut lagi tugas yang seharusnya menjadi tanggungjawabku. 　　Awalnya dia berencana mengirim orang mendekati hari pernikahan, tak disangka didahului Kaisar. Akibatnya, istana pasti akan bergosip bahwa dia tidak cukup memperhatikan Pangeran Ketujuh. 　　Ibu Suri Xian segera memerintahkan dayang istana untuk memilih dua orang dayang dan mengirimkannya ke Kediaman Pangeran Yan. 　　Yu Jin meninggalkan istana, menyuruh Leng Ying mengirim surat ke Jiang Si agar dia tidak khawatir tentang Jiang Qiao. Namun tak lama setelah kembali ke kediaman pangeran, dua dayang istana yang cantik dan anggun sudah menunggunya. 　　Yu Jin mengangkat cangkir teh, terkejut: "Ini dari mana?" 　　Sekretaris kediaman pangeran membungkuk: "Lapor Pangeran, ini dayang pengajar yang diutus Kaisar." 　　"Dayang pengajar?" Yu Jin tampak bingung. 　　Istana memiliki terlalu banyak prosedur. Karena dibesarkan di luar istana, dia tak langsung paham maksudnya. 　　Sekretaris menjelaskan dengan serius: "Mereka bertugas mengajarkan urusan ranjang kepada Pangeran - keturunan kerajaan menyangkut nasib negara, ini urusan resmi dan penting." 　　Yu Jin menyemburkan teh ke wajah sekretaris. 381. BAB 381 Menuduh Pangeran Yan 　　BAB 381 Menuduh Pangeran Yan 　　Setelah Kediaman Pangeran Yan selesai dibangun, dibentuk pula struktur pemerintahan khusus. Mengingat Pangeran Yan tumbuh di luar istana dan kurang memahami tata krama, Kaisar Jingming khusus memilih pejabat senior berintegritas sebagai sekretaris kediaman. 　　Sekretaris yang sudah berumur ini sangat menjunjung protokol. Kumisnya selalu rapi, tapi kini dipenuhi remahan teh. 　　"Pangeran, ini tidak pantas! Sungguh tidak pantas!" Sekretaris merah padam, kumisnya bergetar meneteskan teh. 　　Yu Jin buru-buru meletakkan cangkir: "Maaf, Aku tak bisa menahan diri..." 　　Sang Sekretaris Kerajaan dadanya naik turun hebat, seandainya boleh melanggar atasan, mungkin sudah lama mengguncang bahu Yu Jin: "Hamba tua sudah berulang kali mengatakan, Paduka adalah pangeran agung, setiap gerak-gerik harus menunjukkan sikap tenang, mana boleh... mana boleh menyemburkan air teh ke muka hamba tua?" 　　Apakah ini balasan yang sudah direncanakan lama oleh Pangeran Yan? 　　Sekretaris Kerajaan tiba-tiba tersadar akan satu kemungkinan, matanya memancarkan amarah semakin menjadi saat menatap Yu Jin. 　　Seandainya ini anak lelakinya sendiri, pasti sudah dihajar mati setidaknya delapan kali. 　　Yu Jin menekan bibirnya dengan tangan, batuk ringan lalu berkata serius: "Sekretaris segera membersihkan diri, sungguh kami malu." 　　Bagi Sang Sekretaris, penampilan seperti ini memang tak pantas dilihat orang. 　　Ia menyilangkan tangan: "Hamba tua mohon diri dahulu." 　　Yu Jin mengerlingkan matanya yang indah, berkata dingin: "Kalian masih berdiri di sini untuk apa? Cepat temani Sekretaris untuk bersuci!" 　　Dua dayang pengajar saling pandang. 　　Apakah Pangeran Yan mengusir mereka untuk melayani si tua bangka? 　　Astaga, lebih baik mereka membenturkan kepala sampai mati! Kalau harus melayani orang tua, lebih baik melayani Sang Kaisar! 　　Dayang pengajar umumnya dilatih minimal tiga tahun, selama itu mereka ditugaskan mengajarkan urusan ranjang kepada keturunan naga, agar tak tersesat jalan. 　　Maka dalam hati para dayang ini, keperawanan mereka pasti diberikan pada pemuda bangsawan muda, meski kelak bahkan status selir pun tak didapat, itu sudah takdir. 　　Tapi, apa yang terjadi dengan si tua berantakan ini yang ada daun teh menempel di kumisnya? 　　Sekretaris istana langsung panik mendengarnya, berteriak: "Pangeran, ini adalah dayang pengajar yang dihadiahkan Kaisar untuk Paduka, khusus mengajari Paduka——" 　　Yu Jin kebetulan sedang meneguk teh untuk melembabkan tenggorokannya, mendengar itu tenggorokannya bergerak. 　　Sekretaris istana ketakutan langsung kabur berlari, kecepatannya membuat orang terbelalak. 　　Yu Jin agak menyesal: "Sepertinya Sekretaris tidak membutuhkan pelayanan kalian. Long Dan——" 　　Long Dan masuk: "Apa perintah Tuanku?" 　　Tadi Tuanku menyuruh dua kakak cantik ini melayani Sekretaris, tapi Sekretaris kabur. Jangan-jangan sekarang aku yang dapat untung? 　　Ehem, sejak lama memang perlu kakak secantik bunga untuk melayaninya. 　　Yu Jin langsung tahu isi pikiran Long Dan, berkata dingin: "Bawa kedua dayang ini ke belakang dan serahkan pada mandor dalam, biar dia yang mengatur tugas mereka." 　　"Baik." Long Dan dalam hati merasa sayang, tapi tetap berkata sopan: "Silakan, kedua kakak." 　　Dua dayang saling pandang, salah satunya memberanikan diri: "Pangeran, hamba diutus Kaisar untuk mengajari Paduka——" 　　Ucapan selanjutnya lenyap di bibirnya karena raut pemuda yang tiba-tiba menjadi dingin. 　　"Perkataan seperti ini, aku tidak ingin mendengarnya lagi dari mulut kalian. Siapa yang tidak ingat nanti, suruh Long Dan potong lidahnya." Yu Jin berkata tanpa ekspresi, sudut bibirnya melengkung kejam: "Aku tidak punya waktu untuk belas kasihan, apalagi butuh diajar orang. Bawa pergi!" 　　Long Dan segera membawa pergi dua dayang pengajar, tak lama kemudian kembali dan berkata ragu, "Tuanku, kedua itu diutus oleh Kaisar. Sebagian besar orang di istana pangeran adalah orang yang ditunjuk dari atas. Banyak mata yang mengawasi. Jika hal ini sampai ke telinga Kaisar..." 　　Yu Jin tersenyum acuh tak acuh: "Lalu bagaimana? Paling hanya mendapat teguran. Aku bukan Putra Mahkota yang sudah dipecat. Masak penguasa negara mau mengawasi urusan remeh seperti aku tidur dengan dayang atau tidak?" 　　Beberapa hal bisa ditoleransi, tapi beberapa hal mutlak tidak bisa. Dia bukan babi ternak, siapa perempuan yang dia tiduri bukan urusan orang lain. 　　Alasan "bertahan sementara untuk masa depan" itu omong kosong belaka, cuma kedok untuk pengecut atau keserakahan. 　　Hal ini mempermalukan Kaisar. Pasti Kaisar akan marah. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Paling hanya memandangnya sebelah mata, masa bisa mencabut gelar pangerannya? 　　Saudara-saudaranya yang lain takut bernapas di hadapan Kaisar karena terlalu banyak keinginan. Yang dia inginkan hanya A Si. Sekarang mimpi indahnya baru terwujud, Kaisar jangan ikut campur. 　　Dayang pengajar? 　　Hmph, apa dia terlihat seperti idiot yang tak tahu apa-apa? Sejak pertunangan ditetapkan, buku-buku panduan yang dibeli Long Dan sudah bolak-balik dibaca sampai sobek. Tidak ada posisi yang tidak dikuasainya. 　　Long Dan menggaruk kepala bingung. 　　Kenapa tuanku terlihat agak sombong begini ya? 　　"Belum sempat Long Dan mundur, pengawal lain datang melapor: "Pangeran, Istana Yuquan mengirim dua orang dayang." 　　Istana Yuquan adalah kediaman resmi Ibu Suri Xian. 　　Yu Jin langsung tertawa sinis mendengarnya. 　　Ini masih belum selesai? 　　Awalnya dari pihak Kaisar, lalu Ibu Suri Xian. Nanti apakah Permaisuri dan Janda Permaisuri juga akan mengirim orang? 　　"Suruh pelayan buang mereka keluar. Jangan terima semua sampah di istana pangeran." 　　Pengawal itu memang mantan pengawal pribadi Yu Jin dari selatan, jadi langsung menjalankan perintah tanpa ragu. 　　Penasihat istana buru-buru datang sambil berkata sambil mengeluh panjang: "Pangeran, tidak boleh dibuang! Tidak boleh!" 　　Yu Jin bermuka masam: "Apa yang tidak boleh?" 　　Penasihat itu kesal: "Pangeran, itu dayang yang dikirim ibu kandung Paduka! Jika dibuang begitu saja, akan ada pejabat pengawas yang menuduh Paduka tidak berbakti!" 　　Yu Jin mengedipkan mata: "Biarkan saja mereka melapor. Sudah, Penasihat, orangnya sudah kubuang. Jangan sedih lagi." 　　Penasihat: "..." Sedih apa? Dia mau kena serangan jantung karena kelakuan Pangeran Yan yang semena-mena ini! 　　Seperti pepatah kabar buruk menyebar cepat, peristiwa Pangeran Yan membuang dayang dari Ibu Suri Xian segera ramai diperbincangkan. 　　Di kediaman Pangeran Lu yang berseberangan dengan Kediaman Pangeran Yan, Pangeran Lu tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, si brengsek Lao Qi ini, kali ini aku akan lihat bagaimana kau mati! Hmph, sudah membuatku ditegur Ayah Kaisar tanpa alasan, masih merebut wanita incaranku, sekarang giliranmu yang sial!" 　　Meski kabar ini sampai agak terlambat di Istana Timur, Putra Mahkota juga bersemangat, berkata dengan gigih: "Brengsek Lao Qi ini, sudah membuatku ditegur Ayah Kaisar tanpa alasan, masih menikahi wanita tercantik di ibu kota, sekarang gilirannya yang sial." 　　Para pangeran serentak berpikir: Benar juga, seharusnya sudah giliran Lao Qi yang sial. 　　Kaisar Jingming mendengarkan beberapa pejabat pengawas yang berkicau keras mengkritik Pangeran Yan dengan ekspresi datar, alisnya semakin berkerut. 　　Meski si bajingan Lao Qi ini pantas dihukum, tapi kemarin kasus orang asing yang mencoba membunuh juara ujian belum ada perkembangan, mereka semua tidak mengurus urusan penting malah sibuk dengan masalah sepele ini, apa mereka kekenyangan? 　　"Kalau begitu, masukkan Pangeran Yan ke penjara bawah tanah." 382. BAB 382 Membalikkan Situasi 　　BAB 382 Membalikkan Situasi 　　Dimasukkan ke penjara bawah tanah? 　　Para menteri tertegun. 　　Ini... Ini berlebihan, Kaisar. Apakah pantas Baginda bicara dengan santai seperti ini? 　　Kaisar Jingming memandangi para menteri dari atas, lalu menatap Yu Jin: "Pangeran Yan, ada yang ingin kau katakan?" 　　Ia ingin melihat bagaimana si brengsek ini membela diri. 　　Yu Jin berlutut dan berkata datar: "Erchen tidak ada yang perlu dikatakan." 　　Kaisar Jingming mengangkat alis: "Kalau begitu, bawa orang ke sini——" 　　Beberapa pejabat pengawas yang menuduh Pangeran Yan segera berebut berkata: "Paduka, tidak boleh, tidak boleh..." 　　Kaisar Jingming mengangkat tangan menghentikan gerakan pengawal di aula, berkerut bertanya: "Mengapa tidak boleh?" 　　Dia sudah tahu para pengecut ini hanya berani bicara tapi takut bertindak! 　　Seorang pejabat pengawas dengan enggan berkata: "Paduka, meskipun penolakan Pangeran Yan terhadap dayang yang dikirim Ibu Suri Xian adalah tindakan tidak berbakti, tapi... tapi hukumannya tidak seberat ini..." 　　Wajah Kaisar Jingming muram, tak tergoyahkan: "Dinasti Zhou mengutamakan kebaktian. Ketidakbaktiannya jelas kejahatan berat. Menurutku memasukkannya ke penjara bawah tanah masih terlalu ringan, lebih baik——" 　　Para menteri gemetar ketakutan, berteriak: "Paduka, sama sekali tidak boleh!" 　　Melihat para menteri berjubel bersujud, Kaisar Jingming tersenyum tipis. 　　Dia belum mengatakan apa-apa, sebenarnya apa yang "sama sekali tidak boleh"? 　　Melirik Yu Jin yang masih berlutut kaku tanpa ekspresi, Kaisar Jingming merasa kesal sekaligus tak berdaya. 　　Bodoh sekali, untuk apa mengusir dayang yang dikirim Ibu Suri Xian? Biarkan saja mereka tinggal untuk memasak. Kenapa harus sekeras batu seperti ini! 　　Setidaknya Lao Qi menerima dayang yang dia kirim, membuktikan dalam hati Lao Qi, Ayah Kaisar lebih dihargai daripada Ibu Selir. 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi tegas. 　　Berpikir terlalu jauh. Anak durhaka ini memang perlu diberi pelajaran. 　　Membiarkan para menteri berdebat kacau, Kaisar Jingming tetap diam dengan wajah seram yang mengerikan. 　　Saat itu Zhen Shicheng berbicara: "Paduka, hamba berpendapat bahwa tuduhan para menteri terhadap Pangeran Yan memang tidak tepat. Pangeran Yan bukan Putra Mahkota, tidak perlu memikul tanggung jawab melanjutkan keturunan kekaisaran. Karena itu, pemberian dayang oleh Ibu Suri Xian kepada Pangeran Yan hanyalah urusan keluarga, tidak terkait dengan urusan negara. Pangeran Yan telah menolak kebaikan orang tua, Paduka dan Ibu Suri Xian sebagai orangtua cukup menegur beliau di balik pintu. Masalah ini dibawa ke sidang istana, apakah Dinasti Zhou sudah tidak memiliki urusan lain yang perlu diperhatikan?" 　　Kaisar Jingming mengangguk diam-diam. 　　Ternyata Zhen Aiqing-lah yang paling bijaksana. 　　Para menteri menggeretakkan gigi. 　　Zhen Shicheng si tua licik ini, sekarang pura-pura jadi orang baik di hadapan Kaisar. Siapa yang tidak tahu Pangeran Yan pernah menyelamatkan anaknya? Ini jelas bermuatan kepentingan pribadi. 　　"Tidak perlu dimasukkan ke penjara bawah tanah?" Melihat para menteri bersemangat ingin berdebat dengan Zhen Shicheng, Kaisar bertanya ragu. 　　Para menteri segera mengurungkan niat, serentak berseru: "Mohon Paduka pertimbangkan sekali lagi!" 　　Tindakan Pangeran Yan memang salah, tetapi hanya karena menolak dayang dari Ibu Selir langsung dijebloskan ke penjara, apa kata dunia nanti? 　　Apalagi kisah Pangeran Yan menyelamatkan Juara Kerajaan sudah tersebar luas. Rakyat ibu kota tahu betul simbol kemakmuran Dinasti Zhou ini terlindungi berkat Pangeran Yan. Jika mereka memenjarakannya, bisa-bisa dilempar telur busuk saat pergi-pulang kantor. 　　Membayangkan situasi itu, para menteri gemetar ketakutan. 　　Kaisar Jingming merenung sejenak, lalu berkata: "Karena para menteri telah membela Pangeran Yan, maka hukuman ini kami batalkan. Namun hukuman tetap harus diberikan. Baiklah, Pangeran Yan dihukum tahan rumah di istananya selama tujuh hari untuk merenungkan kesalahannya!" 　　Para menteri diam-diam menghela napas lega, serentak berseru: "Keputusan Kaisar sungguh bijaksana." 　　Saat kerumunan meninggalkan istana, hembusan angin semi yang menusuk tiba-tiba membuat pikiran mereka jernih kembali. 　　Ini tidak masuk akal. Bukankah mereka yang menuduh Pangeran Yan dan mendesak Kaisar untuk menghukumnya? Kenapa akhirnya malah mereka yang membelanya? 　　Apakah mereka baru saja ditipu oleh Kaisar? 　　Melirik kembali pintu gerbang istana yang megah dan sakral, langkah para menteri semakin pelan. 　　Jika sekarang mereka kembali meminta Kaisar memperberat hukuman untuk Pangeran Yan, apakah nyawa mereka masih aman? 　　Sudahlah. Lain kali harus lebih waspada, jangan sampai tertipu lagi. 　　Di dalam aula, Kaisar Jingming memandangi Yu Jin yang masih berlutut, bertanya kesal: "Lao Qi, kenapa kau menolak dayang yang dikirim ibumu?" 　　Yu Jin menundukkan pandangan, menjawab datar: "Ini pertama kalinya Erchen menerima hadiah dari ibu selir. Ternyata hadiahnya malah dua orang hidup. Erchen kira ada yang mengatasnamakan ibu selir. Manusia hidup berbeda dengan benda mati. Bagaimana jika mereka ternyata pembunuh bayaran?" 　　Kaisar Jingming secara refleks mengangguk. 　　Masuk akal... Masuk akal apanya? Hampir saja terpengaruh omongan bocah ini. 　　Tapi Ibu Suri Xian memang keterlaluan. Lao Qi sudah sebesar ini baru pertama kali dikirimi hadiah... 　　"Begitu dipikirkan, amarah di hati Kaisar Jingming pun berkurang." Ia menegur, "Kau tumbuh besar di luar istana, banyak hal tak kau pahami. Dua dayang pengajar yang kukirim jangan kau beri tugas sembarangan. Mereka bertugas membimbingmu." 　　Yu Jin diam membisu. 　　Kaisar Jingming yang tak kunjung melihatnya bersyukur justru terheran, "Ada apa?" 　　Di antara semua putranya, belum pernah ada yang seberani bocah ini. Sungguh menarik. 　　Yu Jin menatap Kaisar Jingming yang rambut pelipisnya sudah memutih, ragu-ragu berkata, "Ada satu hal, Ayah Kaisar. Jika kuucapkan, khawatir Ayah marah. Tapi jika tak kusampaikan, hatiku tak tenang." 　　"Bicaralah!" Kaisar Jingming menghampiri sambil menyatukan tangan di belakang punggung. 　　Hmm, jika terlalu membuat marah, lebih mudah untuk menendangnya. 　　Dengan wajah polos, Yu Jin berkata, "Erchen perhatikan rakyat di luar istana. Mereka punya anak satu demi satu, tak pernah dengar ada yang tak paham cara..." 　　"Brengsek!" Kaisar Jingming merah muka karena marah. 　　Anak durhaka ini sengaja memancingnya dengan cerita luar istana. 　　Yu Jin tak bersuara lagi, tunduk berlutut dengan patuh. 　　Kaisar Jingming mengitarinya sambil semakin geram, lalu menendangnya. 　　Yu Jin tak menghindar, membiarkan tendangan itu mendarat di pantatnya. 　　Kaisar Jingming berhenti, bertanya dengan suara berat, "Kau memang tak mau menerima bimbingan dayang-dayang itu?" 　　"Ayah Kaisar bijaksana." 　　Kaisar Jingming menarik napas, "Sebenarnya apa alasannya?" 　　Ini hadiah cuma-cuma. Mengapa lebih memilih menyinggung perasaan ayahnya daripada menerimanya? 　　Yu Jin berkata dengan serius: "Erchen adalah tipe orang yang lebih baik tidak punya daripada asal pilih. Mereka bahkan tidak secantik anak saya sendiri, sungguh tidak bisa saya ajak tidur..." 　　"Pergi dari sini!" Kaisar Jingming menunjuk ke pintu, kumisnya bergetar karena marah. 　　Yu Jin segera berdiri: "Erchen mohon diri, Erchen akan pulang ke kediaman untuk merenungkan kesalahan." 　　Sekejap mata, aula kekaisaran hanya tersisa Kaisar Jingming dan para pelayan. 　　Setelah hening sejenak, Kaisar Jingming menggerutu setengah marah setengah geli: "Brengsek ini." 　　Seandainya Putra Mahkota bisa bersikap selektif seperti itu, hatinya tentu akan lega. 　　Saat Yu Jin keluar dari istana, terlihat Zhen Shicheng berdiri di tepi pohon willow. 　　"Tuan Zhen belum juga pergi?" Napas Yu Jin terasa lebih ringan di luar istana, ia bertanya sambil tersenyum. 　　Zhen Shicheng memberi hormat: "Belum sempat berterima kasih atas nyawa putra hamba yang Pangeran selamatkan. Sebenarnya dia ingin berterima kasih langsung, namun karena kejadian kemarin, Kaisar memerintahkannya untuk tetap di rumah sementara..." 　　Yu Jin melambaikan tangan: "Kebetulan saja. Silakan Tuan melanjutkan urusan, saya harus pulang merenungkan kesalahan." 　　Zhen Shicheng terdiam sejenak, lalu tersenyum: "Pangeran dan Nona Keempat Jiang akan menjadi pasangan yang serasi." 　　Yu Jin tertawa: "Tuan Zhen memang ahli menyelesaikan kasus, mata Tuan lebih jeli dari yang lain. Saya permisi dulu." 383.BAB 383 Perbedaan Mencolok 　　BAB 383 Perbedaan Mencolok 　　Para pangeran yang mengawasi ketat Yu Jin segera mengetahui hasilnya. 　　"Apa? Cuma dihukum kurungan tujuh hari?!" Pangeran Lu meninju meja kayu mahoni hingga ambruk. 　　“Kalau dia berbuat kesalahan langsung dikurung berbulan-bulan, Lao Qi yang bersalah cuma dikurung tujuh hari. Dibandingkan begitu, bukankah dia justru anak liar yang dibesarkan di luar istana sejak kecil?” 　　Pangeran Lu berputar-putar saking marah: "Aku benar-benar kesal! Karena dia, aku berkali-kali dihukum Ayah Kaisar, bahkan wanita incaranku direbut. Tapi hukuman untuknya cuma segini?!" 　　Sebuah kaki melangkahi ambang pintu. 　　“Mengapa Pangeran marah besar begitu?” Permaisuri Lu melangkah mendekat dengan langkah ringan. 　　Pangeran Lu tersedak mendadak dan batuk-batuk. 　　Permaisuri Lu menepuk-nepuk lembut punggungnya. Setelah Pangeran tenang, ia bertanya perlahan: “Barusan aku dengar Pangeran bicara soal wanita incaran?” 　　“Huh-huh-huh!” Batuk Pangeran semakin menjadi-jadi. 　　Permaisuri Lu memandangnya sambil tersenyum: “Pangeran jadi merasa bersalah ya?” 　　“Huh—” Batuk Pangeran tiba-tiba berhenti. Ia mengusap sudut mata: “Permaisuri salah dengar. Belakangan ini aku jarang keluar, mana ada wanita lain selain Permaisuri.” 　　Permaisuri Lu menatap Pangeran sekilas, lalu tersenyum: “Pangeran benar-benar membuatku tersanjung.” 　　“Harusnya, harusnya.” Pangeran mengusap kening sambil terkekeh kaku. 　　Macan Betina ini, kalau sampai tahu aibnya pasti akan ribut lagi. 　　Sebagai suami, meski takkan dirugikan dalam pertengkaran, tapi kalau sampai terdengar oleh Ayah Kaisar, tamatlah riwayatnya. 　　“Ayah Kaisar paling membenci pasangan suami istri tidak harmonis dan keluarga yang tidak tentram. Hal ini justru diingatkan oleh Ibu Selir padanya.” 　　Ekspresi garang Kaisar Jingming tiba-tiba melintas dalam pikiran Pangeran Lu, membuatnya gemetar tak sadar. 　　Kelak saat Ayah Kaisar tak lagi bisa ikut campur, dia akan menceraikan istri kusir yang jahat ini! 　　Putra Mahkota yang mengetahui hasilnya semakin kecewa. Awalnya berencana menyambangi Permaisuri Putra Mahkota dengan sabar, akhirnya malah mengajak dayang untuk bersantai karena kesal. 　　Pangeran Qi tidak berkomentar banyak, hanya berpesan pada Permaisuri Qi: "Temani Ibu Selir di istana. Bujuk beliau agar tidak terlalu dipikirkan, merusak kesehatan tidak sepadan." 　　Permaisuri Qi menjawab lembut: "Tuanku tenang saja, saya akan menghibur Ibu Selir dengan baik." 　　Tak ada yang lebih mengenal seorang ibu daripada anaknya sendiri. Ibu Suri Xian saat ini bahkan tidak sanggup menyentuh makanannya karena marah. 　　Seorang ibu yang mengirim hadiah untuk anaknya lalu ditolak, sebenarnya bukan masalah besar. Tapi setelah dihebohkan para pejabat pengawas, semua orang jadi tahu dan malunya tak terkira. 　　Kenapa dia melahirkan anak durhaka seperti ini? Andai dulu dicekik dengan bantal saat lahir, pasti tidak akan dibuat kesal begini. 　　"Nyonya, Permaisuri Qi telah datang." 　　Ibu Suri Xian menarik napas panjang, lalu menyuruh mempersilakan Permaisuri Qi masuk. 　　"Menantu perempuan baru mendapatkan bunga salju milenium, dipersembahkan untuk memulihkan keperawanan Ibu Selir." 　　"Kau memang selalu penuh perhatian." 　　Permaisuri Qi mengamati Ibu Suri Xian dengan nada perhatian: "Lihat wajah Ibu Selir tidak begitu baik, apakah Ibu tidak enak badan?" 　　Ibu Suri Xian menyeringai dingin: "Bisa bertahan hidup saja sudah untung!" 　　Ketika menyebut Yu Jin, Ibu Suri Xian hampir-hampir menunjukkan kebencian. 　　Senyuman melintas sekejap di mata Permaisuri Qi, ia menghibur dengan lembut: "Adik ketujuh masih muda, lagi pula dibesarkan di luar istana, Ibu janganlah berselisih dengannya. Lagipula, jika Ibu jatuh sakit karena marah, adik ketujuh tak mengerti menghargai, tapi Pangeran kita pasti sangat khawatir... Hamba yang di bagian dalam pun awalnya tak tahu masalah ini, baru setelah Pangeran mengingatkan hamba..." 　　Ibu Suri Xian menghela napas panjang: "Kalau bukan karena Lao Si, hidup ini memang tak bisa dijalani--" 　　"Ibu jangan berkata begitu. Jika Ibu menderita, Pangeran kita bahkan tak bisa tidur nyenyak." 　　Setelah didampingi Permaisuri Qi beberapa lama, suasana hati Ibu Suri Xian sedikit membaik. Ia memerintahkan dayang untuk mengemas banyak barang berharga sebagai hadiah untuk cucu perempuan. 　　Permaisuri Qi menolak beberapa kali, akhirnya menerima dan pergi. 　　Pangeran memelihara banyak pengikut, pengeluaran terlalu besar. Hadiah berharga dari mertua ini bisa menutupi kebutuhan untuk sementara. 　　Melihat Permaisuri Qi kembali, Pangeran Qi terharu: "Kau sudah bekerja keras." 　　Permaisuri Qi tersenyum: "Tidak apa, bisa membantu Pangeran adalah keberuntungan hamba." 　　Pangeran Qi menggenggam tangan Permaisuri Qi: "Kalau begitu kau lanjutkan kegiatannya, aku ada urusan di ruang belajar." 　　"Silakan Pangeran mengurus urusannya." 　　“Pangeran Qi berjalan ke pintu, tanpa sengaja menoleh, melihat Permaisuri Qi sedang asyik menghadiahkan barang-barang yang dibawa pulang, tiba-tiba rasa jijik menggelora di hatinya.” 　　“Permaisuri Qi seakan merasakan sesuatu, mengangkat pandangannya.” 　　“Masih ada urusan, Pangeran?” 　　“Tidak ada.” Pangeran Qi tersenyum, lalu pergi. 　　Kabar Pangeran Yan dihukum kurungan tersebar sampai ke Kediaman Dongping Bo. 　　Nyonya Feng segera memanggil Jiang Si, menasihati: “Si'er, fakta Pangeran mengajakmu nonton pawai Zhuangyuan membuktikan perhatiannya. Setelah menikah, ingatlah selalu menasihati Pangeran agar tidak selalu mengikuti kemauannya.” 　　Jiang Si tersenyum: “Cucu mengagumi ketulusan hati Pangeran.” 　　Mengirim dayang pengajar? 　　Sayangnya dia belum resmi menikah, kalau tidak, meski Yu Qi tidak mengusir orang itu, dia sendiri yang akan melakukannya. 　　Prinsip 'istri berbakti dan bijaksana' jika hanya menambah kesulitan, lebih baik ditinggalkan. 　　Mungkin karena di kehidupan sebelumnya melihat Permaisuri Lu memukuli Pangeran Lu di jalanan tanpa konsekuensi, Jiang Si sebenarnya punya pemahaman tersendiri tentang Sang Kaisar. 　　Kaisar bukan tipe orang yang mudah naik darah karena hal-hal seperti ini. 　　“Mengagumi?” Nyonya Feng meninggikan suara, “Si'er, jangan sampai kau salah langkah. Seluruh ibu kota tahu, perhatian Pangeran Yan padamu terutama karena kecantikanmu. Jika setelah menikah namamu disebut-sebut sebagai istri kesayangan, rumor itu akan semakin menjadi-jadi.” 　　Jiang Si heran: “Masih perlu dikonfirmasi?” 　　Nyonya Feng hampir pingsan marah. 　　“Jiang Si berdiri: ‘Nenek tak perlu khawatir. Cucu tidak hidup dalam desas-desus orang. Pernikahanku dengan Pangeran Yan ditetapkan langsung oleh Kaisar. Biarkan orang bergosip di belakang, tapi siapa yang berani menghina di hadapanku, pasti akan kuhukum!’” 　　“Nyonya Feng melihat sikap Jiang Si yang sama sekali tidak mau mendengar nasihat dan bertingkah semena-mena, jantungnya berdebar kencang.” 　　“Si gadis terkutuk ini berwajah cantik pembawa malapetaka, tapi sama sekali tak mengerti kesopanan. Masuk ke keluarga kerajaan bukanlah akan menimbulkan bencana besar?” 　　“‘Cucu mohon pamit.’” 　　“‘Si’er, Si’er—’ Nyonya Feng memanggil berkali-kali tapi Jiang Si tidak menengok, membuatnya gemetar marah.” 　　“A Fu menunduk berusaha menyembunyikan diri.” 　　“Pantas orang mengejar status tinggi. Nona Keempat menjadi permaisuri sampai Ibu Suri tak berdaya, sungguh menggiurkan.” 　　“Badai politik mereda seiring pengurungan Pangeran Yan. Kematian mendadak orang asing pembunuh juara ujian membuat penyelidikan beberapa kantor kabupaten mandek.” 　　“Waktu berlari cepat. Tiba-tiba sudah awal musim panas, pohon haitang di Haitangju bermekaran api, persiapan pernikahan di Keluarga Bo semakin semarak.” 　　“Tak lama lagi Nona Keempat akan memasuki istana pangeran.” 　　“Mengingat hal ini, bahkan pelayan tak bertalian dengan Haitangju pun berdiri tegak dengan semacam kebanggaan tak terucapkan.” 　　“Suasana halus ini tidak mempengaruhi Jiang Si sama sekali.” 　　Seiring hari pernikahan semakin dekat, dia jarang keluar rumah lagi, biasanya hanya berdiam di kamar sambil minum teh dan membaca untuk menghabiskan waktu, sesekali mendengarkan gosip yang dibawa Ah Man dari luar. 　　Pada suatu hari saat mendengar Ah Menceritakan kabar dari Keluarga An Guogong, Jiang Si teringat satu hal. 　　Di kehidupan sebelumnya, Ji Chongyi seharusnya sudah meninggal pada saat seperti ini... 384. BAB 384: GOSIP MULAI BEREDAR 　　BAB 384: GOSIP MULAI BEREDAR 　　Di tengah momen santai yang langka ini, Jiang Si hampir melupakan keberadaan Ji Chongyi, baru teringat lagi setelah mendengar Ah Menyebut Keluarga An Guogong. 　　Di akhir musim semi tahun ini pada kehidupan sebelumnya, Ji Chongyi mabuk berat dan tak pernah membuka matanya lagi. 　　Konon, saat mabuk dia terus memanggil nama Qiao Niang. 　　Ini sebenarnya hal biasa, dia sendiri sudah mendengar lebih dari tiga kali. Tapi karena Ji Chongyi mati seperti itu, ini menjadi bahan tertawaan besar baginya. 　　Betapa tidak becusnya Nyonya Muda Ketiga, bahkan tak bisa menyaingi gadis biasa yang sudah mati, membiarkan suami sampai akhir hayat masih memikirkan wanita lain. 　　Nyonya An Guo Gong yang berduka bahkan menangis dihadapannya, berkata jika dulu mengikuti keinginan anak bungsu, mungkin dia tidak akan mati. 　　Jiang Si masih ingat betul kemarahan dan penghinaan itu, sampai-sampai rasa kehilangan suami pun tak terlalu terasa. 　　Saat itu, yang tersisa dalam hatinya untuk Ji Chongyi hanyalah kebencian. 　　Berjalannya waktu, saat mengingat pria ini lagi, bahkan kebencian pun sudah hilang, hanyalah orang asing biasa. 　　“Tapi Ji Chongyi yang sekarang hidup dengan baik, sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya, tetap membuat Jiang Si merenung.” 　　“Mengapa bisa berubah?” 　　“Dia tentu tidak berharap Ji Chongyi mati muda, tapi orang yang jelas-jelas sudah meninggal pada periode ini di kehidupan sebelumnya sekarang malah baik-baik saja, sungguh membingungkan.” 　　“Setelah lama merenung, Jiang Si tersenyum sinis pada dirinya sendiri.” 　　“Sepertinya tidak terlalu aneh juga.” 　　“Ji Chongyi sangat mencintai Qiao Niang, di kehidupan sebelumnya dia menikahinya dengan setengah hati, mungkin karena rindu yang berujung kematian akibat minum berlebihan.” 　　“Sedangkan di kehidupan ini dia mendapatkan yang diinginkan, wajar saja tetap sehat dan aktif.” 　　“Setelah menemukan jawabannya, Jiang Si melupakan hal ini dan melanjutkan hidup tenangnya yang mengalir seperti air.” 　　“Tapi seluruh penghuni Istana Cining merasa setiap hari seperti setahun.” 　　“Penyakit Janda Permaisuri semakin parah.” 　　“Anehnya, sejak tak lama setelah Pesta Apresiasi Bunga Mei, Janda Permaisuri mulai tidak enak badan dan perlahan terbaring sakit, namun tabib istana tak bisa menjelaskan penyebab pastinya.” 　　“Kaisar Jingming semakin sering mengunjungi Istana Cining, sementara para selir datang silih berganti memberi salut - meski tak bisa bertemu langsung, yang penting adalah kedatangan mereka.” 　　“Dengan datang, mungkin bisa berpapasan dengan Kaisar. Kalaupun tidak, setidaknya Kaisar akan mendengar kabar baik tentang mereka.” 　　“Paduka——” Para dayang serentak memberi hormat saat melihat Kaisar Jingming mendekat. 　　“Pelayan istana hendak memberitahu kedatangan beliau, tapi dihentikan oleh Kaisar Jingming: “Tidak perlu.”” 　　“Kaisar Jingming melangkah masuk dengan langkah lebar, langsung menuju tempat peristirahatan Janda Permaisuri.” 　　Di Istana Cining, tirai dalam yang tebal menggantung, semakin masuk aroma obat semakin menyengat. 　　Saat melihat wajah Janda Permaisuri, perasaan Kaisar Jingming menjadi berat. 　　Katanya orang tua tak tahan sakit, bahkan perempuan paling mulia di kolong langit pun tak bisa menghindarinya. 　　Kondisi Janda Permaisuri tampak semakin memburuk. 　　Kaisar Jingming dalam hati mengumpat, menyesali pikirannya yang melantur, lalu mempercepat langkah dan menggenggam tangan sang ibu: "Ibu, apakah kondisi Ibu sudah membaik?" 　　Dengan susah payah Janda Permaisuri membuka mata, suaranya lembut: "Masih seperti biasa. Mengapa Kaisar datang lagi? Urusan negara harus diutamakan, jangan sampai tertunda karena diri hamba." 　　Kaisar Jingming merasa tak enak di hati, tapi tak memperlihatkannya, tersenyum: "Takkan tertunda. Lagipula tak ada yang lebih penting dari kesehatan Ibu. Tabib-tabib tak becus itu pantas dihukum pancung..." 　　Janda Permaisuri sedikit menekan tangan Kaisar: "Kaisar tak perlu menyalahkan tabib istana. Usia hamba sudah lanjut, tubuh tak lagi kuat menahan angin sepoi-sepoi. Sudah saatnya—" 　　Kaisar Jingming buru-buru menyela ucapan sang ibu. Setelah menemani beberapa saat hingga sang ibu terlihat lelah, barulah ia pergi. 　　Di perjalanan, aroma rumput basah setelah hujan menyusup ke hidung, tapi suasana hati Kaisar Jingming tak kunjung membaik meski musim panas awal sedang cerah. 　　Musim semi dan panas kembali tiba, sementara Janda Permaisuri telah mencapai usia langka tujuh puluh tahun. 　　Apakah benar Janda Permaisuri yang selalu melindungi dan menyayanginya ini takkan mampu bertahan lagi? 　　Bisik-bisik dari balik rerumputan membuat langkah Kaisar Jingming terhenti. 　　“Dengar kabar belum, Janda Permaisuri sama sekali tidak sakit, melainkan terkena gangguan roh.” 　　Melihat Pan Hai bermuka masam hendak bicara, Kaisar Jingming melambaikan tangan, malah cepat-cepat menghindar ke balik pepohonan di samping. 　　Menyaksikan Sang Kaisar bersembunyi, kasim kepala Pan Hai terpaksa ikut bersembunyi. 　　Keduanya menyondongkan telinga menyimak diam-diam. 　　“Ah, kena gangguan? Gangguan apa?” 　　“Katanya terganggu oleh perjodohan pangeran dalam Pesta Apresiasi Bunga Mei.” 　　Suara lain berteriak kaget: “Ya, benar juga, kesehatan Janda Permaisuri mulai menurun sejak pesta itu... Lalu, perjodohan pangeran mana yang mengganggu?” 　　Setelah Pesta Apresiasi Bunga Mei, dekrit pernikahan Pangeran Shu dan Pangeran Yan diumumkan bersamaan, pernikahan kedua pangeran itu hanya terpaut sekitar sebulan. 　　“Masih perlu ditanya? Pasti yang itu——” 　　“Yang mana?” 　　“Tujuh——” Dayang kecil itu tercekat di tengah ucapan, matanya melotot melihat sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya. 　　Dayang satunya yang lebih lihai segera menarik temannya untuk bersujud, gemetar ketakutan memberi salut pada Kaisar Jingming. 　　Wajah Kaisar Jingming gelap bagai air keruh, bertanya: “Yang mana?” 　　Melihat dua dayang itu diam membisu, Pan Hai menyepak: “Tuan bertanya! Bisu kau?” 　　Salah satu dayang terjengkang, buru-buru bangun menempelkan dahi ke tanah sambil menggigil: “M-Melapor... pernikahan Pangeran Yan yang mengganggu Janda Permaisuri...” 　　Kaisar Jingming langsung berbalik pergi. 　　“Dua dayang kecil itu sadar bencana besar akan menimpa, terus-menerus bersujud memohon ampun.” 　　Sebagai Kepala Biro Timur, meski selalu bersikap hormat di hadapan Kaisar Jingming, di depan orang lain ia tetap berdarah dingin. 　　Pan Hai melirik kedua dayang kecil dari atas ke bawah, lalu melambai ke arah tidak jauh: “Bawa pergi.” 　　Dua pelayan istana segera muncul dari kejauhan, mendekat dan dengan cekap menutup mulut dayang-dayang itu lalu menyeret mereka diam-diam. 　　Langkah Kaisar Jingming semakin cepat, jelas terlihat sangat murka. 　　Pan Hai menyusul: “Kaisar harap tenang, tidak layak jasmani naga rusak karena amarah pada hamba rendahan itu.” 　　Kaisar Jingming berhenti mendadak, menatap Pan Hai: “Aku tak tahu ada desas-desus absurd seperti ini!” 　　Baik Pangeran Shu maupun Pangeran Yan, pernikahan mereka semua kuberkahi sendiri. Mengatakan pernikahan Pangeran Yan melukai Janda Permaisuri, bukankah ini menyiratkan penyakit ibunda disebabkan olehku? 　　Semakin dipikir, amarah Kaisar Jingming semakin membara. 　　Pan Hai menggeleng halus. 　　Orang yang menyebar rumor ini benar-benar tolol. 　　Terlihat ingin menjatuhkan Pangeran Yan, tapi lupa bahwa pernikahan itu restu Kaisar. Kaisar yang paling peduli pada Janda Permaisuri pasti marah jika dikaitkan dengan penyakitnya. 　　“Aku tak ingin mendengar omong kosong ini lagi.” 　　Pan Hai segera membenahi: “Da.” 　　Mencari sumber rumor semacam ini sangat sulit, tapi membungkam mulut-mulut usil relatif mudah. 　　Hanya saja— 　　Pan Hai teringat gadis cantik yang menonjol di Pesta Apresiasi Bunga Mei, dalam hati ia menghela nafas. 　　“Kehidupan Permaisuri Yan ke depannya mungkin akan sulit. Meski Kaisar tidak mempermasalahkan, pasti akan ada rasa tidak enak di hati. Apalagi mulut rakyat bisa dibungkam, tapi hati mereka tidak. Meski Kaisar tidak berprasangka, bagaimana dengan Permaisuri dan para selir?” 　　Bahkan Janda Permaisuri? 　　Sebuah rumor bisa menghancurkan seseorang. Hal seperti ini sudah sering ia lihat. 　　Tentu saja Janda Permaisuri juga mendengar kabar angin ini. 　　Dayang kepercayaannya menasihati: "Janda Permaisuri, bagaimana jika hamba yang menghadap Kaisar?" 　　Janda Permaisuri menggeleng dengan susah payah: "Bicara apa? Membawa omong kosong seperti ini ke hadapan Kaisar, bukankah sangat menggelikan?" 　　"Tapi——" 　　Tiba-tiba pelayan istana mengumumkan: "Putri Rongyang telah tiba." 385.BAB 385 Sejenis Obat 　　BAB 385 Sejenis Obat 　　Masalah Cui Mingyue yang berulah tahun lalu masih membuat Janda Permaisuri jengkal setiap teringat. Namun kedudukan Putri Rongyang di hatinya memang berbeda, karena diasuh bersama Kaisar Jingming sejak kecil. 　　Melihat Janda Permaisuri mengangguk, dayang kepercayaan itu memberi isyarat pada pelayan istana. 　　Pelayan istana segera mempersilakan Putri Rongyang masuk. 　　Tak lama kemudian tirai mutiara berdesir, seorang wanita cantik masuk membawa kotak sutra. 　　"Ibu, apakah kondisi Ibu sudah membaik?" Bagaimanapun sikap angkuh Putri Rongyang di depan orang lain, di hadapan Janda Permaisuri ia tetap bersikap seperti anak kecil. 　　Janda Permaisuri mengangkat kelopak matanya, berkata datar: "Belum mati." 　　Putri Rongyang mengatupkan bibirnya. 　　Janda Permaisuri masih marah. Marah karena Mingyue tidak tahu malu, marah karena ia tidak mendidik putrinya dengan baik. 　　Putri Rongyang meletakkan kotak brokat di atas meja kecil di sampingnya, lalu menggenggam tangan Janda Permaisuri sambil tersenyum: "Ibu, kalau Ibu bicara seperti ini, Rongyang jadi sedih. Ibu harus tetap sehat, kalau tidak apa yang akan terjadi pada Rongyang?" 　　Janda Permaisuri melirik Putri Rongyang dan tersenyum kesal: "Apa maksudmu? Sudah punya anak yang akan berumah tangga, masih bicara tidak berguna seperti ini, tidak pantas." 　　Putri Rongyang menundukkan pandangan, bulu matanya bergetar halus, ekspresinya tiba-tiba muram: "Bukankah Ibu tahu, Cui Xu... dia tak pernah menganggap saya. Jika Ibu tidak lagi melindungi saya, maka saya benar-benar..." 　　"Kau ini." Janda Permaisuri menghela napas, amarahnya perlahan mereda. 　　Sepanjang hidupnya ia tak punya putra kandung, Putri Rongyang di hatinya tak berbeda dengan anak kandung sendiri. 　　Putri Rongyang melihat waktu sudah tepat, membuka kotak brokat di meja kecil dan mengeluarkan mangkuk keramik putih bertutup. 　　Janda Permaisuri melirik mangkuk itu: "Ini--" 　　Putri Rongyang membuka tutupnya, di dalam mangkuk terlihat kuah berwarna amber. 　　"Erchen telah menemukan tabib terkenal dari rakyat yang memberi resep tradisional, katanya sangat manjur untuk penyakit Ibu. Ibu, mau mencoba?" 　　Janda Permaisuri mengerutkan alis memandang obat itu lagi. 　　Anehnya, berbeda dengan ramuan pahit yang diminum tiap hari, obat ini mengeluarkan aroma harum. 　　"Ibu--" Putri Rongyang memanggil lembut, matanya penuh harap. 　　Janda Permaisuri ragu sejenak, lalu mengangguk. 　　Segera ada dayang yang maju, mengambil sendok perak dan mencicipi sedikit. 　　Putri Rongyang sama sekali tidak merasa aneh. 　　Bahkan orang terdekat Janda Permaisuri sekalipun, makanan yang dibawa dari luar istana harus diuji racunnya oleh dayang. 　　Sebenarnya membawa makanan dari luar istana adalah pantangan besar dan tindakan tak disukai, tapi demi kesembuhan Janda Permaisuri, dia nekat melakukannya. 　　Setelah beberapa saat, dayang itu mengangguk halus, barulah dua dayang melayani Janda Permaisuri meminum obat. 　　"Bagaimana perasaan Ibu?" tanya Putri Rongyang dengan hati-hati setelah melihat Janda Permaisuri meminum obat. 　　Janda Permaisuri membuka mata, senyum tipis mengembang: "Sepertinya lebih nyaman." 　　Putri Rongyang girang: "Bagus! Kata tabib, minum obat ini akan membuat mengantuk. Ibu tidurlah dulu, mungkin setelah bangun keperawanan akan membaik." 　　Janda Permaisuri tak percaya keajaiban semacam itu, tetap tersenyum mengangguk: "Kau sungguh perhatian." 　　Putri Rongyang berdiri: "Kalau begitu tidak akan mengganggu istirahat Ibu lagi." 　　Seperti yang dikatakan Putri Rongyang, Janda Permaisuri segera mengantuk dan tertidur hingga pagi hari berikutnya. 　　Kaisar Jingming sedang marah: "Suruh Putri Rongyang masuk istana! Berani-beraninya kalian memberi makanan dari luar istana kepada Janda Permaisuri!" 　　Di Istana Cining, sekelompok dayang berlutut dengan wajah pucat pasi, tak berani bernapas mendengar kemarahan kaisar. 　　Seorang dayang berlari masuk: "Janda Permaisuri bangun! Janda Permaisuri bangun!" 　　Seorang tabib istana berjalan keluar dengan tergesa-gesa mengikuti dayang, ekspresinya aneh. 　　"Bagaimana?" Kaisar Jingming bertanya sambil berjalan masuk. 　　Tabib itu segera menjawab: "Selamat Kaisar, Janda Permaisuri sudah pulih sepenuhnya." 　　Kaisar Jingming tiba-tiba berhenti, menatap tajam sang tabib: "Benarkah?" 　　Tabib itu sendiri masih seperti sedang bermimpi, mengangguk berulang kali: "Hamba yang bodoh baru saja memeriksa denyut nadi Janda Permaisuri, Beliau benar-benar sudah pulih. Ini berkat berkah Kaisar yang—" 　　Kaisar Jingming tak sudi mendengar omong kosong sang tabib, segera bergegas masuk. 　　Janda Permaisuri sedang ditopang dayang untuk turun dari ranjang. 　　"Ibu, kenapa Bangun?" 　　Janda Permaisuri tersenyum lega yang jarang terlihat: "Kaisar datang." 　　Kaisar Jingming segera menyambar untuk menopang Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri berjalan beberapa langkah, menghela napas: "Aku kira kali ini tidak akan selamat, untung ada Rongyang..." 　　Kaisar Jingming tersenyum kecut, bertanya: "Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" 　　Janda Permaisuri memegang sandaran kursi sambil perlahan duduk: "Seluruh badan terasa ringan, seolah meridian tubuhku tersalurkan. Ngomong-ngomong, mana Rongyang? Cepat panggil dia ke istana, aku ingin bertanya dokter ajaib mana yang dia datangkan, sampai obatnya bisa manjur begini." 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Benar, tabib sehebat itu harusnya tinggal di istana. Ibu jangan khawatir, Rongyang akan segera tiba." 　　Belum habis bicara, pelayan istana sudah berteriak: "Putri Rongyang tiba—" 　　"Cepat suruh masuk!" Kaisar dan Janda Permaisuri berserempak bersuara. 　　Putri Rongyang segera masuk. Begitu melihat Kaisar Jingming, ia langsung bersujud memohon ampun: "Hamba tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat, mohon Kakanda Kaisar memberikan penjelasan..." 　　Janda Permaisuri memandang Kaisar Jingming dengan bingung: "Kaisar, apa yang terjadi?" 　　Kaisar Jingming membersihkan tenggorokannya, lalu berkata dengan lembut pada Putri Rongyang: "Bangunlah. Siapa bilang kau bersalah? Aku memanggilmu ke istana karena Ibu telah sembuh total, katanya setelah meminum obat yang kau kirim kemarin..." 　　Putri Rongyang seolah baru menyadari kehadiran Janda Permaisuri, wajahnya berseri-seri: "Ibu, benarkah Ibu sudah sembuh total?" 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Lihatlah kau yang terkejut ini. Bukankah ini berkat obat yang kau kirim?" 　　Mata Putri Rongyang langsung memerah, ia menyeka sudut matanya dengan sapu tangan. 　　"Ada apa ini?" tanya Janda Permaisuri penuh perhatian. 　　Setelah sembuh dari sakit, Janda Permaisuri memandang Putri Rongyang dengan lebih dekat. 　　Putri Rongyang mendekat dan bersandar di lutut Janda Permaisuri, berkata lega: "Dengan kesembuhan Ibu, hatiku pun tenang. Meski tabib ajaib itu menjanjikan kesembuhan, hatiku selalu cemas. Bagaimana jika malah memperburuk keadaan? Sungguh hamba pantas mati..." 　　Suaranya tercekat di akhir kalimat. 　　Janda Permaisuri semakin tersentuh. 　　Penyakitnya datang tiba-tiba. Berbagai ramuan obat tak membuahkan hasil, bahkan tabib istana pun tak berdaya. Di saat seperti itu, keberanian Rongyang mengambil risiko demi kesembuhannya sungguh membuktikan bakti sang putri. 　　"Beruntung ada kau. Ngomong-ngomong, di mana tabib ajaib itu? Aku ingin berterima kasih padanya." 　　Kaisar Jingming menyambung: "Bagus! Tabib ajaib seperti ini harus Kuberi hadiah besar!" 　　Putri Rongyang ragu sejenak, lalu tersenyum: "Kalau begitu, hamba akan segera memanggil tabib itu ke istana." 　　Tak lama kemudian, seorang pria tua berjanggut putih muncul di hadapan Kaisar Jingming dan Janda Permaisuri. 　　Kaisar Jingming gembira dan ingin menahan tabib itu di Kantor Tabib Kekaisaran. 　　Pria tua itu menolak: "Hamba ini sudah terbiasa hidup bebas seperti burung liar. Usia pun sudah lanjut, sulit memikul tanggung jawab sebagai tabib istana. Penyakit Yang Mulia Permaisuri sebenarnya tidak sulit diobati, masalah utamanya terletak pada sulitnya mendapatkan satu jenis obat." 　　"Obat apa?" Kaisar Jingming penasaran. 386.BAB 386 Bangkit 　　BAB 386 Bangkit 　　Pria tua itu terdiam. 　　Kaisar Jingming semakin penasaran melihat situasi itu dan mendesak, "Obat ajaib apa sebenarnya ini?" 　　Orang tua itu tersenyum, tampak agak sulit: "Dibilang ajaib juga tidak, banyak orang memilikinya. Tapi dibilang tidak ajaib, ini bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang..." 　　Sambil berkata demikian, matanya tak sengaja menatap Putri Rongyang. 　　Putri Rongyang menggelengkan kepala perlahan. 　　Kaisar Jingming menangkap komunikasi diam-diam mereka, wajahnya berkerut: "Rongyang, obat apa sebenarnya? Kau masih menghalangi tabib untuk bicara?" 　　"Ini--" Putri Rongyang ragu-ragu. 　　Janda Permaisuri juga penasaran: "Rongyang, ada apa yang tidak bisa dikatakan?" 　　Ekspresi Putri Rongyang berubah-ubah, akhirnya mengangguk. 　　Barulah orang tua itu berkata: "Hamba laporkan pada Kaisar dan Janda Permaisuri, obat ini adalah dua tael daging manusia, harus diambil dari daging lengan gadis perawan..." 　　“Apa?” Janda Permaisuri terkejut, perutnya tiba-tiba mual dan wajahnya pucat. 　　Putri Rongyang segera bersujud mohon ampun: "Semoga Ibu tidak menghukum Erchen karena menyembunyikan hal ini. Erchen khawatir Ibu tidak berani minum obat jika mengetahuinya..." 　　Kaisar Jingming juga tampak terkejut. 　　Ibu memakan daging manusia tapi tidak merasakan perbedaannya? Jadi rasa daging manusia mirip dengan daging biasa? 　　Batuk-batuk, sepertinya pikirannya terlalu melayang. 　　Mengumpulkan kembali pikirannya, Kaisar Jingming memandang Janda Permaisuri dengan penuh perhatian. 　　Janda Permaisuri sudah mulai pulih. 　　Bagi wanita di puncak hierarki istana, jika daging manusia bisa menyembuhkan penyakit, maka itu hanyalah sejenis obat. Selama bisa menyelamatkan nyawa, tidak ada yang tabu untuk dimakan. 　　“Saya tidak apa-apa. Hanya saja tentang obat ini——” 　　Putri Rongyang terdiam sejenak sebelum menjawab: "Mingyue sendiri yang memotong daging dari lengannya..." 　　“Mingyue?” Janda Permaisuri terperanjat. 　　Kaisar Jingming semakin terkejut. 　　Dalam ingatannya, keponakan perempuan ini selalu lemah lembut. Skandal tahun lalu sudah mengejutkannya, tapi sekarang dia berani memotong dagingnya untuk menyelamatkan Janda Permaisuri... 　　Setelah lama terdiam, Janda Permaisuri bertanya dengan penuh perhatian: “Bagaimana kondisi Mingyue sekarang?” 　　Segala ketidaksukaan terhadap Cui Mingyue langsung lenyap setelah mendengar kabar ini. 　　Putri Rongyang mengusap sudut matanya: “Sejak memotong dagingnya, Mingyue mulai demam dan masih tertidur sampai sekarang.” 　　Wajah Janda Permaisuri berubah: “Mengapa tidak memilih orang lain saja?” 　　"Ada begitu banyak dayang, mengapa harus memaksa nona yang lemah gemulai untuk memotong daging..." 　　Putri Rongyang menghela napas: "Tabib ajaib berkata semakin berharga penyedia ramuan ini, semakin manjur khasiatnya... Mingyue langsung menggorok daging di lengannya dengan belati setelah mendengar kabar ini, Erchen sama sekali tak sempat mencegah..." 　　"Gadis ini, sungguh..." Janda Permaisuri tak bisa melanjutkan ucapannya. 　　Putri Rongyang menghibur: "Ibu jangan khawatirkan Mingyue, kesehatan Ibu yang terpenting. Mingyue masih muda, demam biasa tak ada masalah besar--" 　　Janda Permaisuri menyela: "Siapa bilang demam bukan masalah? Demam justru yang paling sulit dipastikan. Ngomong-ngomong, sudahkah tabib ajaib memeriksa Mingyue?" 　　Orang tua itu menjawab: "Orang biasa seperti hamba hanya ahli menangani penyakit langka. Untuk demam biasa lebih baik memanggil tabib istana." 　　Janda Permaisuri menatap Kaisar Jingming: "Kaisar--" 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Ibu jangan cemas, anak lelaki akan segera memerintahkan tabib istana untuk memeriksa Mingyue." 　　Putri Rongyang berdiri: "Kakak Kaisar, adik perempuan akan pulang bersama tabib istana. Sungguh tak tenang meninggalkan Mingyue." 　　"Pergilah adik. Segera beri kabar pada Aku jika ada perkembangan." 　　Istana Cining tiba-tiba sunyi. 　　Janda Permaisuri membiarkan jari-jarinya melintasi tasbih sambil berbisik lirih. 　　Sekitar satu shichen kemudian, tabib istana datang melapor. 　　Janda Permaisuri memanggil tabib mendekat: "Bagaimana luka Nona pertama Keluarga Cui?" 　　Tabib menjawab: "Luka di lengan kiri Nona pertama cukup dalam, terjadi pembengkakan sehingga menyebabkan demam." 　　“Janda Permaisuri mendengar ini tersentuh hingga tak terkira.” 　　“Berdiam di istana belakang, selalu menyimpan sedikit ketidakpercayaan pada orang. Meski kisah Cui Mingyue menyayat dagingnya diceritakan langsung dari Putri Rongyang, Janda Permaisuri masih menyimpan keraguan. Baru setelah mendengar penjelasan tabib istana, semua kecurigaannya sirna.” 　　“Anak itu, Mingyue, demi menyelamatkanku benar-benar tak ragu menyayat dagingnya sendiri...” 　　“Apakah akan meninggalkan bekas luka?” 　　“Tabib istana menundukkan kepala: Luka sebesar itu tentu akan meninggalkan bekas.” 　　“Janda Permaisuri terdiam sejenak.” 　　“Seorang putri bangsawan dengan bekas luka seperti itu di lengannya – ini akan menjadi penyesalan seumur hidup. Kelak setelah menikah, mungkin akan dihinakan suaminya karena hal ini...” 　　“Membicarakan pernikahan, Janda Permaisuri teringat insiden yang dibuat Cui Mingyue awal tahun ini.” 　　“Rongyang menjelaskan bahwa Mingyue tertipu oleh brengsek bermarga Zhu yang mengaku sebagai pelajar miskin yang mandiri dan berintegritas. Meski sudah berhubungan beberapa waktu, Mingyue tetap menjaga kesuciannya sesuai norma kesopanan.” 　　“Saat itu beliau marah pada ketidakdewasaan Cui Mingyue dan tak mau mendengar penjelasan. Kini setelah dipikir, Mingyue memang selalu gadis baik. Penjelasan Rongyang bukan sekedar pembelaan untuk putrinya.” 　　“Penyembuhan ajaib Janda Permaisuri dengan cepat menjadi buah bibir di istana, beserta kisah pengorbanan Cui Mingyue.” 　　“Seketika itu juga tak ada yang berani mengolok-olok rumor tentang Mingyue awal tahun.” 　　“Banyak yang berbisik: Nona pertama Keluarga Cui akan bangkit kembali. Dibanding jasa menyelamatkan Janda Permaisuri, rumor kecil itu apa artinya?” 　　"Tepat seperti yang diduga orang banyak, ketika Janda Permaisuri sudah bisa berjalan-jalan di taman bahkan merasa kondisi fisiknya lebih ringan daripada sebelum sakit, akhirnya beliau mengambil keputusan untuk memanggil Kaisar Jingming ke Istana Cining." 　　Perasaan Kaisar Jingming juga sangat lega selama dua hari ini. 　　Beliau benar-benar bersukacita atas kesembuhan Janda Permaisuri. 　　"Ibu sudah berjalan cukup lama, biarkan anak lelaki membantu Ibu masuk ke dalam." Melihat keringat di dahi Janda Permaisuri, Kaisar Jingming mengusulkan. 　　Janda Permaisuri menyetujui dan dipapah Kaisar Jingming kembali ke kamar tidur. 　　Keduanya duduk, dan segera dayang-dayang menghidangkan teh. 　　Janda Permaisuri meneguk tehnya lalu memberi isyarat agar orang-orang yang tidak berkepentingan mundur, hanya menyisakan dayang kepercayaannya. 　　Kaisar Jingming menyadari ada yang ingin dibicarakan sang ibu, wajahnya langsung serius. 　　"Bukankah Pangeran Xiang juga sudah cukup dewasa?" Janda Permaisuri membuka pembicaraan. 　　Kaisar Jingming tertegun, matanya melirik Pan Hai. 　　Dengan begitu banyak anak, mana mungkin ia ingat usia Lao Ba. 　　Yang paling jelas diingatnya adalah Lao Qi, sebab sejak lahir sang Ahli Fengshui telah meramalkan anak itu baru bisa bertemu ayahnya di usia 18 tahun. 　　Baru tahun lalu ia tahu wajah Lao Qi, jadi tahun ini usianya 19 tahun - pasti tidak salah ingat. 　　Pan Hai segera tahu kaisar sedang kesulitan, diam-diam memberi isyarat angka "tujuh" dengan jari. 　　Kaisar Jingming buru-buru menjawab: "Lao Ba tujuh tahun--" 　　"Ehem-ehem!" Pan Hai batuk keras. 　　“Kaisar, hamba hanya punya sepuluh jari, tidak bisa menghitung sampai tujuh belas. Tidak bisakah Kaisar lebih memperhatikan?” 　　“Tujuh belas tahun!” Kaisar Jingming cepat-cepat mengubah ucapan. 　　“Tujuh belas tahun sudah cukup dewasa. Pernikahan Putra Keenam dan Lao Qi sudah ditetapkan. Hamba berpikir lebih baik menetapkan pernikahan Lao Ba juga.” 　　Kaisar Jingming mulai memahami maksud Janda Permaisuri, lalu bertanya: “Apakah Ibu punya calon yang disukai?” 　　Sebenarnya, ibu kandung Lao Ba hanyalah seorang penari. Urusan pernikahan sama sekali bukan wewenangnya. 　　Janda Permaisuri tersenyum memandang Kaisar Jingming: “Bagaimana pendapat Kaisar tentang Mingyue?” 387.BAB 387 Penganugerahan Pernikahan Pangeran Xiang 　　BAB 387 Penganugerahan Pernikahan Pangeran Xiang 　　Saat menyebut Cui Mingyue, Kaisar Jingming tertegun. 　　“Mingyue?” Beliau merenung, sejenak tak tahu harus berkata apa. 　　Sebelum Janda Permaisuri sakit, Cui Mingyue jelas bukan kandidat Permaisuri Xiang. 　　Meski ada rasa sayang pada keponakan perempuan ini, tapi dengan skandal yang pernah terjadi, bagaimana mungkin masuk keluarga kerajaan? 　　Tapi sekarang berbeda. Mingyue telah menyelamatkan Janda Permaisuri. Ini saja sudah merupakan jasa besar. 　　Melihat Kaisar Jingming diam termenung, Janda Permaisuri menghela nafas: “Kaisar, hamba tahu kekhawatiranmu. Mingyue memang pernah berbuat kesalahan, tapi dia tetap gadis baik. Dengan Zhu Ziyu tidak pernah melampaui batas. Dia masih perawan yang suci. Hanya saja dia terlalu polos hingga tertipu. Sebenarnya dia sangat malang.” 　　Janda Permaisuri berkata dengan nada mengharukan: “Siapa yang tak pernah berbuat kesalahan di masa muda?” 　　Kaisar Jingming tidak punya alasan untuk menolak lagi, mengerutkan kening dan ragu-ragu. 　　Janda Permaisuri menghela nafas lagi: "Apalagi Mingyue meninggalkan bekas luka di lengan saat menyelamatkan saya, pasti akan memengaruhi perjodohannya kelak... Saya tidak tenang memikirkan ini, bahkan tidak bisa tidur..." 　　Akhirnya Kaisar Jingming terbujuk, mengangguk perlahan. 　　"Perjodohan Lao Ba memang sudah waktunya ditetapkan." 　　Janda Permaisuri tersenyum tipis melihat Kaisar Jingming melunak. 　　Alasan dia memilih Pangeran Xiang: pertama usianya sepadan dengan Mingyue, kedua status ibu kandung pangeran yang rendah sehingga tidak akan ada hambatan menikahkan Mingyue dengannya. 　　Bahkan bagi ibu-anak Pangeran Xiang, menjalin hubungan dengan keluarga Rongyang adalah keuntungan besar, pasti tidak berani memperlakukan Mingyue sembarangan. 　　Ini bisa dibilang solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. 　　"Ibu, bagaimana kalian berdiskusi dulu dengan Rongyang? Ini menyangkut putrinya sendiri, harus menanyakan pendapatnya." 　　"Baik." 　　Begitu Kaisar Jingming pergi, Janda Permaisuri segera menyuruh orang memanggil Putri Rongyang ke istana. 　　Putri Rongyang sedang dalam suasana hati baik selama dua hari ini, lega setelah melampiaskan kekesalan tahun lalu, bahkan langkahnya terasa lebih ringan. 　　"Penampilan Ibu terlihat lebih segar." 　　Janda Permaisuri langsung merasa senang melihat Putri Rongyang: "Ini berkat Mingyue. Bagaimana kondisi Mingyue sekarang?" 　　Putri Rongyang menjawab: "Berkat doa Ibu, Mingyue sudah hampir pulih total." 　　"Syukurlah, akhirnya saya bisa tenang. Jika sampai Mingyue celaka karena saya yang tua ini, bagaimana hati saya bisa tenang." 　　"Bisa membuat Ibu sembuh adalah keberuntungan bagi Mingyue." 　　Janda Permaisuri memberi isyarat agar para pelayan mundur, lalu bertanya pada Putri Rongyang: "Mengenai perjodohan Mingyue, apa pendapatmu?" 　　Putri Rongyang terkejut, kemudian hatinya dipenuhi kegembiraan. 　　Apakah Janda Permaisuri akan campur tangan dalam urusan perjodohan Mingyue? 　　Setelah skandal tahun lalu, perjodohan Mingyue menjadi masalah besar. Meski kini reputasi kebaktiannya terangkat dan membuktikan ia masih perawan, mencari keluarga yang cocok tetap sulit. Bantuan Janda Permaisuri akan sangat berarti. 　　Meski gejolak dalam hati, ekspresi Putri Rongyang tetap tenang. Ia menghela napas berat: "Mana ada rencana? Mingyue bilang tidak akan menikah seumur hidup, hanya ingin menemaniku saja..." 　　"Omong kosong!" Janda Permaisuri mengernyit memotong, "Mingyue masih muda, bagaimana mungkin tidak menikah?" 　　"Bukankah Ibu tahu, reputasi Mingyue--" 　　"Apa masalah reputasinya? Beta lihat tak ada gadis lebih berbakti darinya. Rongyang, tanpa orang asini, katakan terus terang: Bagaimana pendapatmu tentang Pangeran Xiang?" 　　Mata Putri Rongyang membesar seketika, memandang takjub pada Janda Permaisuri. 　　Ia menduga Janda Permaisuri akan mencarikan perjodohan yang baik, tapi sama sekali tidak menyangka calonnya adalah Pangeran Xiang! 　　Dulu pernah terpikirkan Pangeran Keenam Shu. 　　Sayangnya Ibu Selir Zhuangfei sang pangeran itu hubungan biasa-biasa saja dengannya. Setelah beberapa kali mencoba menggali sikap Janda Permaisuri tanpa hasil, akhirnya ia mengurungkan niat. 　　"Begitu kasus Mingyue dan Zhu Ziyu meletus sebelum tahun baru. Jangan bicara soal keluarga kerajaan, di masa depan bisa menikahkan Mingyue dengan pasangan yang sesuai status sosial saja sudah untung besar." 　　Tak disangka sakitnya Janda Permaisuri malah menjadi berkah terselubung. 　　Sekalipun dia memandang rendah ibu kandung Pangeran Xiang, Pangeran Xiang tetaplah pangeran resmi. Menikah dengan dia, Mingyue akan menjadi Permaisuri. 　　"Bagaimana? Jika merasa Pangeran Xiang tidak cocok——" 　　Putri Rongyang buru-buru menyela: "Cocok! Usia Pangeran Xiang dan Mingyue sebaya, mereka sudah tumbuh besar bersama sejak kecil. Tidak ada yang lebih cocok. Terima kasih Ibu sudah memikirkan Mingyue." 　　Janda Permaisuri melambaikan tangan: "Ah, Mingyue adalah cucu perempuan saya, lagi pula dia menyelamatkan nyawa saya. Ini hal kecil. Saya sudah bicara dengan Kaisar. Jika kamu tidak menolak, sebentar lagi maklumat resmi akan turun." 　　Putri Rongyang kembali ke istana putri. Tak bisa menahan sukacita, bahkan tak sempat minum teh langsung menuju kamar tidur pribadi Cui Mingyue. 　　Aroma obat samar-samar memenuhi kamar, tercium oleh Putri Rongyang seperti wewangian yang lebih harum dari bunga. 　　Cui Mingyue sedang bersandar di bantal sulam motif tinta sambil membaca. Mendengar langkah kaki, dia mengangkat pandangan dan tersenyum: "Ibu datang." 　　Ingin bangun, tapi ditahan oleh Putri Rongyang yang bergegas mendekat: "Berbaringlah dengan tenang. Luka masih sakit?" 　　Tentu saja sakit, tapi Cui Mingyue hanya tersenyum tipis: "Tidak sakit lagi." 　　Memandangi wajah pucat putrinya, Putri Rongyang menghela napas. 　　“Mencabut sepotong daging dari lengan sendiri, mana mungkin tidak sakit?” 　　Ia menggenggam tangan Cui Mingyue, suaranya lembut: "Mingyue, penderitaanmu dipahami oleh Janda Permaisuri. Pengorbanan ini tidak akan sia-sia." 　　Cui Mingyue menundukkan mata sambil tersenyum: "Putri tidak mengharapkan apapun, asalkan Janda Permaisuri sehat walafiat." 　　Sejak awal tahun hingga kini, sudah berapa lama ia tidak melihat sang ibu memperlakukannya dengan wajah ramah seperti ini? 　　Pada akhirnya, untuk bangkit kembali semuanya harus bergantung pada diri sendiri. 　　"Kau ini, gadis yang begitu berbakti, kenapa waktu itu malah--" Putri Rongyang menelan kata-kata selanjutnya, "Sudahlah, lebih baik tidak usah dibahas lagi. Mingyue, ada kabar baik untukmu." 　　Cui Mingyue mengangkat pandangannya menatap Putri Rongyang. 　　Wajah Putri Rongyang berseri-seri menandakan suasana hati yang gembira, berbisik pelan: "Berkat restu Janda Permaisuri, Kaisar akan mengeluarkan maklumat pernikahan untukmu dengan Pangeran Xiang." 　　Ekspresi gembira tepat waktu muncul di wajah Cui Mingyue: "Benarkah?" 　　Melihat keceriaannya, Putri Rongyang lega sambil tertawa: "Ibu tega menipumu? Bersiap-siaplah baik-baik, maklumat resmi akan segera turun." 　　"Putri mengerti, terima kasih atas perhatian ibu." 　　Putri Rongyang pergi dengan hati puas. 　　Cui Mingyue menatap tirai mutiara yang bergoyang, matanya dingin membeku. 　　Pangeran Xiang? 　　Pangeran yang ibunya seorang penari, tumbuh liar seperti rumput di istana, yang selalu menyunggingkan senyum penjilat setiap bertemu dirinya-- pantaskah menjadi suaminya? 　　Baiklah, sepertinya tidak ada pilihan yang lebih baik saat ini. Baru setelah masuk ke lingkaran sosial keluarga kerajaan, aku akan merasa nyaman seperti ikan di air. 　　Cui Mingyue menekan rasa tidak suka di hatinya dan menunggu dengan tenang. 　　Maklumat pernikahan antara Pangeran Xiang dengan Cui Mingyue, putri Putri Rongyang, benar-benar turun dengan cepat. 　　Mendengar kabar itu, Pangeran Xiang menyelinap ke ruang belajar dan mematahkan tiga batang kuas sebelum akhirnya tenang. 388. BAB 388: Hari Pernikahan Tiba 　　BAB 388: Hari Pernikahan Tiba 　　Karena ibu kandung Pangeran Xiang berasal dari kalangan rendahan, ia adalah pangeran yang paling tidak mencolok di antara para pangeran. Sikapnya terhadap Cui Mingyue yang seperti putri langit memang sangat sopan. 　　Namun kesopanan ini muncul karena status Cui Mingyue. Ketika Cui Mingyue tiba-tiba berubah menjadi Permaisuri Xiang, rasa penghinaan dan kemarahan bagai minyak tersiram api langsung berkobar-kobar. 　　Sama-sama pangeran yang baru saja ditunangkan, Kakak Keenam menikahi nona tercantik dari Kediaman Marquis Shouchun, Kakak Ketujuh mendapat kecantikan luar biasa. Mengapa giliranku harus Cui Mingyue? 　　Walaupun Cui Mingyue telah menyelamatkan Janda Permaisuri dan dianggap berjasa besar di mata orang, baginya wanita ini tetaplah perempuan tidak sopan. 　　Dulu bermanja-manja dengan suami lain, lalu karena menyelamatkan Janda Permaisuri aku harus jadi orang bodoh? 　　Semakin Pangeran Xiang memikirkannya, semakin marah. Setelah bertahun-tahun menahan diri, ia akhirnya menyadari realita sambil memegang kuas patah dan tertawa getir. 　　Apa gunanya membangkang? Lagipula ibu kandungnya hanyalah seorang penari yang hingga kini statusnya hanya selir, apalagi tidak ada rumah orangtua sebagai sandaran. 　　“Meskipun dia adalah seorang pangeran dan pangeran kerajaan, tidak ada yang bisa diandalkannya. Bukankah mustahil menolak tanpa berterima kasih dengan tulus?” 　　“Menolak...” Pangeran Xiang menemukan dua kata ini memiliki daya tarik yang luar biasa baginya. 　　“Andai saja bisa seperti Lao Qi yang dengan tegas menolak dayang yang dikirim Ibu Suri Xian... Tapi dia memang bukan Lao Qi.” 　　“Kakak Ketujuh bisa dimarahi Ayah Kaisar karena tumbuh di luar istana dan dianggap tidak tahu adat, lalu melupakannya. Tapi dia tidak bisa.” 　　“Jika berani melakukan itu, yang pertama tidak akan memaafkannya adalah Ayah Kaisar.” 　　“Pangeran——” Dayang yang menemani Pangeran Xiang sejak kecil memanggil dengan cemas. 　　Pangeran Xiang tersentak, kuas patah jatuh dari genggamannya. 　　“Rapikan semua ini, jangan sampai ada yang melihat jejaknya.” 　　“Pangeran tenang saja.” Dayang itu membungkuk merapikan kekacauan di ruang belajar. 　　Pangerang Xiang menatap dayang itu dengan tatapan kosong. 　　Dayang itu beberapa tahun lebih tua darinya, berada di puncak kecantikan wanita. Sikapnya lembut, tubuhnya berisi, lekuk tubuhnya yang memikat terlihat jelas saat membungkuk. 　　Pangeran Xiang tiba-tiba memeluk dayang itu dan mendorongnya ke meja tulis. 　　Rak kuas jatuh ke lantai berbunyi berderet. Dayang itu memanggil “Pangeran” dengan wajah merah padam. 　　“Diam! Tuan sedang kesal.” Pangeran Xiang menguburkan wajahnya di leher putih dayang itu. 　　Dayang itu tidak lagi melawan, membiarkan pria di atasnya melakukan apapun. 　　Dia telah menemani Pangeran Kedelapan sejak kecil, tentu sudah lama menjadi miliknya. 　　Tak lama kemudian ruang belajar bergema dengan desahan tertekan, membuat burung yang bertengger di ranting luar jendela malu terbang tergopoh-gopoh. 　　Keputusan Kaisar menetapkan pernikahan Pangeran Xiang dengan Cui Mingyue menjadi berita besar yang segera tersebar ke seluruh ibu kota, tentu juga sampai ke telinga Jiang Si. 　　Ah Man sangat bersemangat: "Nona, Nona Cui yang tak tahu malu itu kelak akan menjadi saudara ipar Nona!" 　　Jiang Si duduk di ayunan taman, senyumnya dingin: "Benar, ini benar-benar hal yang sama sekali tak terduga." 　　Di kehidupan sebelumnya, Permaisuri Pangeran Xiang bukanlah Cui Mingyue. 　　Pada titik ini, Jiang Si harus mengakui bahwa perubahan satu hal sering memicu serangkaian perubahan, seperti Ji Chongyi yang tidak mati, atau Cui Mingyue yang berubah status menjadi Permaisuri Xiang. 　　Tapi jika dipikirkan lagi, ini sebenarnya tidak aneh. 　　Di kehidupan sebelumnya, aib Cui Mingyue tidak terbongkar. Dia tetap menjadi salah satu putri bangsawan termasyhur tanpa perlu bersusah payah meraih masa depan gemilang. 　　Sekarang segalanya berbeda. Selama dia bukan tipe yang pasrah menunggu kematian, perlawanan yang dilakukannya pasti akan membawa perubahan. 　　Suara langkah kaki terdengar. Jiang Zhan datang seperti angin. 　　"Kakak Kedua hari ini tidak bertugas?" Jiang Si yang sedang duduk di ayunan bertanya sambil menengadah ke kakaknya yang tiba-tiba muncul. 　　Setelah lebih dari setahun bertugas di Jinwuwei, penampilan Jiang Zhan menunjukkan perubahan yang signifikan. 　　Tubuhnya semakin tinggi, bahunya perlahan melebar, raut wajahnya mulai terlihat tenang - bayangan seorang pemuda mulai terlihat. 　　Namun ketenangan ini langsung lenyap begitu menyangkut urusan sang adik. 　　"Adik Keempat, kau dengar belum? Nona Cui itu jadi Permaisuri Xiang, nanti akan jadi saudara iparmu!" 　　Jiang Si tak tahan tertawa: "Ya, benar-benar di luar dugaan." 　　Ah Man di sampingnya diam-diam menatap langit. 　　Barusan nona juga bilang hal serupa, tapi sama sekali tak terlihat cemas. 　　Jiang Zhan malah panik, memegang tali ayunan dengan cemas: "Adik Keempat, Cui Mingyue membencimu sampai ke tulang. Kalian sama-sama masuk keluarga kerajaan. Dia putri Putri Rongyang, cucu Janda Permaisuri. Punya keunggulan waktu, lokasi, dan dukungan. Aku khawatir kau akan dirugikan nanti..." 　　Jiang Si terkekeh. 　　"Adik tertawa apa?" 　　Jiang Si menatap Jiang Zhan sambil tersenyum: "Kakak Kedua memang pantas jadi Jinwuwei, sampai paham konsep waktu, lokasi, dan dukungan--" 　　Jiang Zhan kesal: "Adik Keempat, aku sedang serius!" 　　Jiang Si bangkit dari ayunan, berdiri berhadapan dengan kakaknya dengan tenang: "Kakak tak perlu khawatir. Adikmu ini bisa makan apa saja, kecuali kerugian." 　　"Tapi--" 　　Jiang Si bertanya sambil tersenyum: "Kakak tidak percaya padaku, atau tidak percaya pada Ah Jin?" 　　"Ah Jin?" Jiang Zhan tertegun, memandangi Jiang Si dengan aneh. 　　Jiang Si sadar salah bicara, tersipu: "Pangeran Yan." 　　Jiang Zhan merasa tak enak di hati. 　　Ah Jin? Panggilan Adik Keempat terdengar terlalu mesra! 　　“Hm, belum resmi menikah saja sudah memanggil 'A Jin', pasti Pangeran Yan yang tak tahu malu membujuk Adik Keempat untuk memanggilnya begitu.” 　　“Pangeran Yan ya Pangeran Yan, ngapain dipanggil 'A Jin', kedengaran tidak pantas.” Jiang Zhan menegur dengan wajah masam. 　　“Kakak Kedua benar.” 　　Jiang Zhan seperti meninju kapas, tak bisa berbuat apa-apa terhadap Jiang Si. Ia pergi sambil mengelus sarung pedang di pinggangnya. 　　Perasaan campur aduk saat adik perempuan akan menikah, kenapa jadi tidak karuan begini? 　　Sialan si A Jin itu! 　　Tak terasa masuk bulan keenam, hari pernikahan semakin dekat. Tibalah hari pemberian hadian pengantin. 　　Kediaman Dongping Bo di ibu kota termasuk keluarga bangsawan kelas bawah. Karena Tuan Jiang Kedua adalah pejabat sipil, pergaulannya lebih luas dibanding bangsawan merosot lainnya, tapi di lingkup ibu kota tetap biasa saja. 　　Tapi Jiang Si akan menikah ke keluarga kerajaan, tentu berbeda. 　　Di hari pemberian hadiah itu, semua keluarga yang mendengar kabar mengirimkan hadiah. A Qiao yang jago berhitung kewalahan hingga harus minta bantuan akuntan keluarga Bo. 　　Nyonya Feng merasa lega. 　　Akhirnya Si'er akan segera menikah. 　　Meski tahu titah kerajaan tak mungkin berubah, selama beberapa bulan ini hatinya tetap gelisah. 　　Yang lebih membahagiakan, melalui acara pemberian hadiah ini, keluarga-keluarga elite yang sebelumnya sulit dijangkau kini punya alasan resmi untuk membangun hubungan. 　　Dalam urasan pergaulan sosial, dengan adanya 'datang', selama ada niat pasti akan ada 'pergi'. 　　Menikahkan anak perempuan ke keluarga terpandang, inilah keuntungan yang terlihat nyata. 　　Di Haitangju, hampir tidak ada ruang lagi untuk menumpuk hadiah-hadiah. 　　"Nona, ini dari Nona Chuchu." Ah Man mengeluarkan kotak kecil dan menyerahkannya, tak lama kemudian mengambil kotak panjang sambil berkata, "Ini dari Nona Besar Xie." 　　Lu Chuchu kini membantu di toko kosmetik milik Jiang Si, mulai menetap di ibu kota. Nona Besar Xie dari keluarga Bo Yongchang di sebelah masih dalam masa berkabung, sehingga tidak pantas muncul di acara ini, namun hadiah pernikahannya sangat mewah. 　　Jiang Si teringat pada sahabat dekatnya Xie Qingyao, perasaan bersalah menggelayuti hatinya. Ia hanya bisa menunggu hingga masa berkabung sahabatnya selesai untuk mempererat hubungan kembali. 　　Dalam suasana penuh sukacita, tiga hari pun berlalu dengan cepat hingga tiba hari pernikahan Jiang Si. 389.BAB 389 Usia Pernikahan 　　BAB 389 Usia Pernikahan 　　Hari pernikahan Jiang Si cerah berawan, cuaca yang begitu indah hingga menyentuh sukma. 　　Pangeran Shu menikah bulan lalu, hanya berselang sebulan dari pernikahan Pangeran Yan. Namun saat pangeran Shu menikah, hujan gerimis turun hingga berubah menjadi deras, membuat prosesi pengantin menjadi kacau-balau. 　　Di kalangan rakyat Dinasti Zhou ada pepatah: "Menginjak lumpur kuning, jika tak mati pasti berpisah." 　　Meski kaum terpelajar menyebutnya takhayul, bisik-bisik masyarakat tak terbendung. 　　Kedekatan tanggal pernikahan Pangeran Yan dan Pangeran Shu tentu memicu perbandingan. 　　Nyonya Marquis Shouchun wajahnya muram, hatinya dipenuhi kegetiran. 　　Awalnya tidak ada hubungan dengan keluarga Dongping Bo, tak disangka putri kedua keluarga ini menikah dengan pangeran, bahkan tanggal pernikahannya sangat berdekatan. 　　Dengan begini, Ling Bo di masa depan mungkin akan terus dibandingkan dengan Nona Keempat Jiang. 　　Kou Ling Bo terkenal di ibu kota sebagai gadis berbakat dan cantik. Nyonya Marquis Shouchun belum pernah melihat Jiang Si, meski mendengar Nona Keempat Jiang sangat cantik tapi meremehkan. 　　Menurutnya, kecantikan fisik biasa bukanlah hal istimewa. Putrinya yang juga cantik luar biasa dengan keahlian menari langka, pasti tak akan kalah oleh gadis dari keluarga bangsawan biasa. 　　Tapi takdir berkata lain. Saat pernikahan putrinya turun hujan deras, langsung terlampaui oleh Nona Keempat Jiang. 　　Biro Astronomi Kekaisaran terkutuk! Bagaimana cara mereka menghitung hari baik?! 　　Kekesalan Nyonya Marquis Shouchun tak mampu mengganggu keceriaan di Kediaman Dongping Bo. 　　Kediaman Dongping Bo bersolek baru, dipenuhi lentera dan hiasan. Para pelayan berpakaian rapi dengan senyum merekah. 　　Di Haitangju, Jiang Si mengenakan gaun pengantin merah menyala, semakin memancarkan pesona. 　　Kamar dipenuhi orang yang berbisik kata-kata keberuntungan di telinganya. 　　Di antara mereka ada sesepuh dan saudari, tapi tak terlihat Nyonya Xiao Istri Kedua. 　　Jiang Si puas dengan pengaturan Nyonya Feng. 　　Di hari bahagia ini, tentu ia tak ingin kehadiran Nyonya Xiao merusak suasana. 　　Tapi di kerumunan juga tak terlihat kakak tertua Jiang Yi. 　　Setelah menatap sekeliling, Jiang Si bertanya, "Di mana Nyonya Muda?" 　　Ruangan sejenak hening. 　　Jiang Qiao menjawab, "Aku sudah memanggil kakak, tapi dia bilang tidak bisa datang..." 　　Jiang Si mengerutkan kening dan menyuruh Ah Man, "Panggilkan Nyonya Muda dan Yan-yan ke sini." 　　Ah Man segera membungkuk hormat lalu bergegas keluar. 　　Para hadirin saling pandang dengan canggung. 　　Status Jiang Yi adalah pemutusan hubungan secara moral, bukan janda. Secara teori tidak ada pantangan, tapi tetap dianggap pembawa sial. Tak disangka Nona Keempat sama sekali tidak memperdulikan hal itu. 　　Nona Keempat yang akan menikah ke keluarga kerajaan ini seharusnya selalu mencari pertanda baik. 　　Nyonya Feng merasa tidak nyaman. Sambil menatap cucu perempuannya yang cantik mempesona, ia berkata dingin, "Yan-yan masih kecil, untuk apa dia ikut ramai-ramai?" 　　Jiang Si menatap balik sang nenek dengan nada datar, "Yan-yan adalah keponakan kandungku. Aku justru senang melihatnya, mana mungkin merasa terganggu?" 　　Nyonya Feng terkena sindiran halus. Di hari penting seperti ini ia tak bisa meluapkan amarah, hanya memaksakan senyuman sambil menahan geram. 　　Para tamu saling bertukar pandang, langsung memahami posisi penting Jiang Yi dan putrinya di hati Permaisuri Yan. 　　Nyonya Muda memang beruntung. Setelah bercerai dan kembali ke rumah orangtua, masih dilindungi ayah, kakak, dan didukung adiknya. 　　Bandingkan dengan nasib Nyonya Kedua yang dikirim ke desa untuk berobat... 　　Dengan pemahaman ini, para tamu segera tahu harus bersikap bagaimana terhadap Jiang Yi ke depannya. 　　Memperhatikan ekspresi semua orang, Jiang Si tersenyum tipis. 　　Sikap menjilat ke atas dan menginjak ke bawah tidak menakutkan, selama dia masih menjadi Permaisuri Yan, orang-orang ini tidak akan berani menghina kakak tertua. 　　Intinya, hanya dengan berdiri tinggi dan kokoh dia bisa melindungi keluarganya. 　　Jiang Yi segera dipanggil oleh Ah Man, puluhan pasang mata tertuju padanya. 　　Meski berwatak lembut, Jiang Yi bukanlah gadis biasa dari keluarga kecil. Dengan punggung tegak di bawah tatapan orang banyak, dia memberi selamat kepada Jiang Si dengan anggun. 　　Awalnya tidak datang karena takut mengganggu acara bahagia adiknya. Tapi setelah hadir, tentu tidak boleh mempermalukan diri. 　　Yan-yan mengucapkan kata-kata keberuntungan bersama ibunya, tapi akhirnya cemberut: "Apa Yan-yan tidak bisa bertemu tante lagi nanti?" 　　Jiang Si mengusap pipi Yan-yan: "Bagaimana mungkin? Yan-yan bisa datang ke istana pangeran kapan saja ingin bertemu tante, tante selalu senang." 　　Gadis kecil itu pun menjadi gembira. 　　Langit berangsur memerah, matahari terbenam menyapu cakrawala dengan kilau kemerahan. 　　Suara petasan mulai terdengar samar-samar. 　　Suasana di dalam ruangan mendadak bergelora. 　　Itu tanda rombongan penjemput pengantin telah tiba. 　　Jiang Si merasa sedikit gugup. 　　Di kehidupan sebelumnya, pernikahannya dengan Yu Qi di Perbatasan Selatan memang megah, tapi tidak menggunakan ritual ibu kota seperti ini. 　　Dia dan pria itu benar-benar akan menikah. 　　Di kehidupan ini, dia adalah Pangeran Yan, dan dia adalah Jiang Si. 　　“Begitu pikirnya, mata Jiang Si pun berkaca-kaca, samar-samar melihat pemuda yang dikasihinya sejak kehidupan sebelumnya dan sekarang.” 　　“Ia mengenakan jubah merah, kulit seputih giok, menyilaukan bagai mentari.” 　　“Air mata di mata Jiang Si mengering, sinarnya kembali terang.” 　　“Yu Jin tersenyum lembut pada Jiang Si.” 　　“Akhirnya dia bisa datang ke rumah A Si dengan jujur dan terhormat, tidak mudah ya!” 　　“Ah, itu kakak yang tampan——” 　　“Jiang Yi buru-buru menutup mulut Yan-yan, keringat dingin mengucur.” 　　“Untungnya suasana di ruangan sedang ramai, tak ada yang memperhatikan ucapan nona kecil itu.” 　　“Pendengaran Yu Jin tajam, ia mendengar jelas hingga sudut bibirnya berkedut.” 　　“Si bocah nakal ini, sampai sekarang masih memanggilku kakak, sangat menyebalkan!” 　　“Sesuai tata krama, Jiang Si berpamitan pada Nyonya Feng dan Jiang Ancheng.” 　　“Nyonya Feng dengan angkuh menasihati Jiang Si tentang etiket setelah menikah, sementara Jiang Ancheng matanya kemerahan terus melototi Yu Jin.” 　　“Apa kalau sekarang menghajar si anak ini, akan mengganggu waktu baik Si'er?” 　　“Banyak yang bergumam: Decak-decak, Pangeran Yan memang tampan, pantas Sang Bangsawan tak berkedip memandangnya.” 　　“Ahem.” Nyonya Feng mengeluarkan suara setelah selesai, melihat Jiang Ancheng masih menatap Yu Jin tajam, memberikan isyarat mata. 　　“Jiang Ancheng tetap tak bereaksi.” 　　“Nyonya Feng tak tahan lagi: "Sang Bangsawan, tak ada pesan untuk putrimu?"” 　　Seharusnya menjadi momen orangtua menasihati anak perempuan yang akan menikah, namun Jiang Ancheng mengibaskan tangan: "Tidak perlu, tidak perlu. Yang penting Pangeran ingat untuk memperlakukan Si'er dengan baik." 　　Kerumunan saling pandang dengan ekspresi aneh, ingin tertawa namun tak berani. 　　Biasanya orangtua menasihati putri bagaimana berbakti pada mertua dan patuh pada suami, mana ada yang berbicara seperti ini. 　　Tak disangka Yu Jin malah membungkuk dalam-dalam kepada Jiang Ancheng dan berkata serius: "Calon mertua tak perlu khawatir, maksudku pasti akan memenuhi." 　　Dendam tersimpan Jiang Ancheng terhadap Yu Jin akhirnya mulai menghilang. 　　Bocah nakal ini masih punya hati nurani bisa berkata begitu. 　　Jiang Zhan mendekati Jiang Si lalu berjongkok: "Adik Keempat, Kakak Kedua akan menggendongmu ke tandu." 　　Jiang Si dengan patuh merangkul punggung Jiang Zhan. 　　Memandangi Jiang Zhan menggendong Jiang Si dengan mudah, Yu Jin merasa asam tenggorokan bergolak. 　　Siapa sih yang menetapkan aturan wanita menikah harus digendong kakak laki-laki? Sungguh tak masuk akal. 　　Dia punya lebih dari sepuluh saudari belum menikah, silakan digendong siapa saja, yang jelas dia tak mau. 　　Lalu kenapa Jiang Zhan ini semangat sekali menggendong? 　　Jiang Zhan tiba-tiba merasakan dingin menusuk di punggungnya, seolah ditusuk belati. 　　Mungkin karena sedih melihat adiknya menikah. 390.BAB 390. Pernikahan Besar 　　BAB 390. Pernikahan Besar 　　Jiang Si merangkul punggung Jiang Zhan, tudung pengantin menutupi pandangannya, hanya melihat bahu lebar sang kakak. 　　Bahu itu lebar dan kuat, tak lagi kurus seperti masa remaja, memberi rasa aman yang tak terkira. 　　Jiang Si bersandar di bahu Jiang Zhan, air mata jatuh diam-diam. 　　Di kehidupan sebelumnya saat menikah ke Keluarga An Guogong, Kakak Kedua juga yang menggendongnya ke tandu pengantin. Saat itu tak ada rasa kehilangan terhadap kakaknya, bahkan cenderung meremehkan. 　　Kakak laki-laki orang lain semuanya berbakat dan sukses di usia muda, sedangkan kakaknya sendiri adalah pemuda tak berguna yang tak mau belajar. 　　Pikirannya lebih banyak tertuju pada kehidupan setelah menikah ke Keluarga An Guogong - ada harapan, kegelisahan, tapi tak ada kelekatan pada keluarga yang telah mendampinginya 15 tahun. 　　Sekarang saat mengingatnya, dia merasa sangat bersalah. 　　Sambil berpikir begitu, entah mengapa Jiang Si semakin merasa pilu, butiran air mata jatuh satu per satu membasahi leher Jiang Zhan. 　　Langkah Jiang Zhan terhenti, tak bisa melanjutkan jalan. 　　Adik Keempat menangis? 　　Hentian ini membuat kerumunan penonton saling pandang bingung. 　　Ada apa? Mungkin Nona Keempat Jiang terlalu berat hingga Tuan Kedua tak sanggup menggendong? 　　Tidak mungkin, tubuh Nona Keempat terlihat ramping. 　　Yu Jin gemas sekali. 　　Dia sudah tak sabar membawa A Si pulang setelah naik tandu, apa yang dilakukan Jiang Zhan brengsek ini? 　　Apa dia pikir dengan berhenti jalan bisa menahan A Si? Pernah lihat kakak yang sayang adik, tapi tak pernah lihat yang tak tahu malu seperti ini! 　　Yu Jin mengatupkan bibir tipisnya, namun mengingat seluruh keluarga sang mertua sedang memperhatikan, ia tak bisa menendang Jiang Zhan hingga terlempar. 　　Alhasil, amarahnya semakin memuncak. 　　Jiang Si tersadar dari lamunannya saat Jiang Zhan berhenti, lalu memanggil lembut, "Kakak Kedua." 　　Jiang Zhan ragu-ragu: "Adik Keempat—" 　　Jiang Si bertanya pelan: "Apa kakak tidak kuat menggendong lagi?" 　　Apa? Tidak kuat menggendong? 　　Jiang Zhan langsung melesat ke depan tandu pengantin. 　　Di bawah tatapan mengancam Yu Jin, sang perias pengantin buru-buru membimbing Jiang Si masuk ke tandu. 　　Memandang bayangan adiknya yang mengenakan gaun pengantin merah menyala menghilang di balik tirai tandu, lalu tandu itu menjauh diiringi suyna suona yang menggema, hati Jiang Zhan tiba-tiba terasa sesak. 　　Begitulah rasanya menikahkan seseorang. 　　Lebih baik nanti kalau dia menikah punya anak lelaki saja, perasaan saat mengantar orang tercinta ke tandu pengantin terlalu menyedihkan. 　　Sementara Yu Jin merasakan hal yang sepenuhnya berlawanan. 　　Ia menunggang kuda besar di depan tandu pengantin, senyum tak pernah sirna dari bibirnya. 　　Kerumunan penonton di kedua sisi jalan berteriak-teriak histeris. 　　"Lihat, itu Pangeran Yan!" 　　"Pangeran Yan tampan sekali, masih muda pula. Permaisuri Yan sungguh beruntung..." 　　"Kudengar Permaisuri Yan itu kecantikan langka, justru Pangeran Yan yang beruntung..." 　　"Kalau begitu, Pangeran Yan dan Permaisuri Yan adalah pasangan yang ditakdirkan langit dan bumi." 　　"Yu Jin mendengarkan dengan seksama semua komentar itu, merasa sangat senang, lalu melirik sekilas ke pengawal yang sedang menyebar koin keberuntungan." 　　Pengawal penyebar koin keberuntungan itu bereaksi cepat, langsung mengambil segenggam koin yang diikat tali merah dan melemparkannya ke arah kerumunan. 　　Kerumunan bersorak gembira. 　　Gemuruh genderang dan suona, hiasan merah sepanjang jalan, massa bergerak mengikuti iring-iringan pengantin sambil meninggalkan kelopak bunga dan sisa petasan yang berserakan. 　　Setelah keriuhan, datanglah kesunyian yang terasa lebih menusuk. 　　Pintu samping Kediaman Yongchang Bo yang berdampingan dengan Dongping Bo terbuka lebar, di mana saudara Xie berdiri mematung sambil perlahan menarik pandangan mereka. 　　"Ayo kita kembali," kata Xie Yinlou dengan wajah datar kepada Xie Qingyao. 　　Kedua kakak-beradik itu berjalan berdampingan pulang. 　　Xie Qingyao menghela napas pelan: "Awalnya kukira kita bisa mengantar A Si menikah..." 　　Meskipun mereka adalah sahabat sejak kecil, karena masih dalam masa berkabung, tentu tidak pantas menghadiri acara sukacita. 　　Bagi kakak-beradik yang sedang menjaga masa berkabung untuk orangtua ini, bahkan undangan biasa pun harus ditolak, apalagi perhelatan semacam ini. 　　Xie Yinlou yang pendiam hanya mendengarkan keluh kesah adiknya sambil melangkah cepat ke dalam. 　　Memperhatikan ekspresi kakaknya yang dingin tanpa secercah senyum, Xie Qingyao akhirnya tak tahan bertanya: "Kakak, apakah... hatimu sedih karena A Si sudah menikah?" 　　Langkah Xie Yinlou terhenti, matanya menatap sang adik. 　　“Kakak——” Xie Qingyao kembali merasa menyesal telah bertanya. 　　Hal yang jelas tidak bermakna, apa gunanya bertanya sampai jelas? 　　Tapi mengingat hari-hari saat kakak laki-laki dan A Si masih akrab sejak kecil, tetap terasa penyesalan. 　　Bagaimana bisa A Si menjadi Permaisuri Yan? Keluarga kerajaan berbeda dengan rakyat biasa, kehidupan A Si setelah menikah ke sana mungkin akan sulit. 　　Xie Yinlou memandang Xie Qingyao dengan ekspresi serius: "Tidak ada apa-apa, kau terlalu banyak berpikir." 　　“Kakak——” Melihat Xie Yinlou berjalan cepat menjauh, Xie Qingyao mengangkat roknya dan mengejar. 　　Prosesi pengantin mengelilingi kota satu putaran, akhirnya berhenti di depan pintu Kediaman Pangeran Yan. 　　Setelah berbagai keributan, saat akhirnya duduk di ranjang pengantin di kamar baru, Jiang Si merasa seluruh tubuhnya hampir remuk. 　　Tidak tahu apakah hari sudah gelap atau terang, melalui kain penutup kepala pengantin bisa merasakan cahaya terang di dalam ruangan. 　　Tak lama kemudian penutup kepala disingkap, Jiang Si langsung melihat Yu Jin yang berdiri di hadapannya, tersenyum memandangnya. 　　Tatapan mereka bertemu, sejenak melupakan kehadiran orang-orang di sekitar. 　　“Pangeran, Permaisuri, saatnya minum anggur cawan pengantin.” 　　Utusan keberkahan mengulurkan anggur cawan pengantin, memecah tatapan kedua insan. 　　Yu Jin mengambil gelas itu dan menghabiskannya sekaligus, lalu meletakkan gelas kosong dan mengusir orang-orang dari kamar pengantin. 　　“Paduka Pangeran, sudah waktunya Paduka menghadiri jamuan di depan.” Mandor dalam pihak mempelai pria mengingatkan. 　　Mandor dalam itu adalah seorang wanita paruh baya berwajah lonjong, bermarga Ji, dipanggil Nyonya Ji. 　　Dia sudah mendapat pesan dari Sekretaris Utama sejak pagi, harus mengawasi Pangeran dengan ketat dan jangan sampai membiarkannya membuat masalah. 　　Untungnya Pangeran cukup kooperatif, Sekretaris Utama terlalu paranoid. 　　Yu Jin mengerutkan kening menatap Dayang Ji: "Anda adalah——" 　　Dari mana asalnya wanita ini? Mengapa istana pangeran selalu dipenuhi orang asing yang tak dikenalnya? 　　Dayang Ji menahan amarah, tak berani menunjukkan sedikit pun: "Hamba adalah dayang yang mengurus bagian dalam." 　　Yu Jin mengangguk: "Mengerti, bawa mereka pergi." 　　"Tapi di depan——" 　　Yu Jin bahkan tak mengangkat matanya: "Apa masalahnya jika terlambat memberikan toast?" 　　Dayang Ji tercengang, lama akhirnya memaksa senyum dan memohon kerumunan pergi, dalam hati bergumam: Sekretaris Utama benar tidak membohongiku! 　　Kamar pengantin kini hanya menyisakan mereka berdua. 　　Lilin naga-phoenix sebesar lengan anak menyala terang, menerangi kamar pengantin. 　　Yu Jin menatap orang yang duduk anggun di ranjang pengantin, kebahagiaan meluap dari relung hatinya. 　　A Si akhirnya menjadi istrinya, mulai sekarang dia miliknya. 　　Kesepian masa kecil di desa terpencil, kekejaman bertempur di medan Perbatasan Selatan saat remaja, semua penderitaan itu kini terbayar lunas. 　　Mungkin dia terlahir ke dunia ini untuk bertemu dan bersama A Si. 　　Diamnya Yu Jin yang berkepanjangan justru membuat Jiang Si tak sabar menunggu. 　　Ia langsung melepas mahkota phoenix, bertanya sambil tersenyum: "Kenapa jadi bengong?" 　　Yu Jin menggenggam tangannya, berkata riang: "Orang bilang orang bodoh punya keberuntungan, jadi sedikit bodoh tak apa. Asal kau tidak jijik." 　　Jiang Si melotot padanya: "Cepat pergi menghormati tamu dengan minuman. Para tamu di depan masih menunggu." 　　"Kalau begitu aku pergi dulu." Yu Jin berjalan beberapa langkah tiba-tiba kembali. 　　"Ada apa?" 　　Yu Jin memegang wajah Jiang Si dan menciumnya keras-keras. 　　Lilin pernikahan meletup mengeluarkan bunga api, suasana kamar tiba-tiba menjadi mesra. 　　"Tunggu aku." Setelah mengusap sudut bibirnya, Yu Jin bergegas keluar. 　　Sampai jumpa besok. 391.BAB 391 Tidur 　　BAB 391 Tidur 　　Halaman depan riuh rendah. 　　Belum lagi tamu yang masih ada hubungan keluarga, Yu Jin sendiri punya tujuh saudara laki-laki. Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di acara seperti ini, yang lain sampai tidak muat di satu meja. Ditambah para putri yang sudah menikah dan menantu kaisar, suasana semakin meriah. 　　"Adik ketujuh, kau datang terlambat. Harus dihukum." Pangeran Lu yang sedang kesulitan mencari kesalahan, meletakkan cangkir di depannya dengan licik. 　　Yu Jin bertanya sambil tersenyum: "Hukumannya apa?" 　　Ini hari bahagianya, harus tahan diri jangan berkelahi. 　　Pangeran Lu jelas berpikir sama, jadi tak takut memancing pengantin pria: "Tentu hukuman minum." 　　Yu Jin mengangkat alis. 　　Rupanya ia terlalu menganggap tinggi Lao Wu, ternyata hanya hukuman minum. 　　“Ambil anggur.” Pangeran Lu memanggil pelayan, menuangkan tiga cangkir anggur berturut-turut. 　　Yu Jin meraih cangkir anggur, tapi dihalangi olehnya: "Tunggu." 　　Sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya, Pangeran Lu memberi isyarat dan pelayan lain membawa guci keramik hijau. 　　Pangeran Lu mencabut sumbat guci, menuangkan cairan kecoklatan yang bercampur dengan anggur. 　　"Adik ketujuh, berani minum?" 　　"Ini--" Yu Jin mengendus-endus, menatap Pangeran Lu, "Cuka?" 　　Pangeran Lu tersenyum: "Hidung adik memang tajam. Anggur campur cuka ini belum pernah kau cicipi, kan?" 　　Yu Jin menenggak seluruh isi cangkirnya, berkata datar: "Sekarang sudah." 　　Melihat ekspresi Yu Jin tetap tenang, Pangeran Lu kecewa dan memaksanya menghabiskan dua cangkir anggur campur cuka. Tapi tiba-tiba Yu Jin mengangkat tempayan anggur. 　　Saat itu juga Pangeran Lu refleks melindungi kepalanya: "Apa maksudmu?!" 　　Kenangan pahit pernah ditimpuk tempayan anggur masih membekas dalam-dalam, membuatnya tak bisa tidak tegang. 　　Yu Jin memegang tempayan dengan bingung: "Apa yang Kakak kelima lakukan? Cukanya terlalu asam, aku mau minum satu tempayan anggur untuk membersihkan mulut." 　　"Membersihkan mulut? Mana ada yang pakai satu tempayan anggur untuk..." Pangeran Lu gugup sampai gagap. 　　Sebenarnya dia tidak takut, juga tidak ingin gugup, tapi reaksi tubuhnya tak bisa dikendalikan. 　　Tawa rendah mulai terdengar di sekitar. 　　Pangeran Qi maju ke depan: "Adik kelima jangan mengganggu adik ketujuh lagi. Hari ini dia pengantin pria, kalau mabuk bagaimana?" 　　Pangeran Lu merasa dadanya sesak. 　　Benar, kalau Lao Qi mabuk pasti akan mengamuk. Begitu mengamuk pasti akan lari ke Ayah Kaisar. 　　Dimarahi, dipotong tunjangan, dikurung... Rangkaian konsekuensi ini membuat Pangeran Lu gemetar. 　　Pangeran Qi mengangkat gelas sambil tersenyum: "Adik ketujuh, selamat ya." 　　"Terima kasih." Yu Jin menghormati beberapa pangeran dengan anggurnya, lalu berjalan ke area berikutnya. 　　Pangeran Kedelapan Xiang menatap punggung yang menjauh, lalu tersenyum ke arah Pangeran Lu: "Kakak kelima, adik teringat sesuatu." 　　"Apa itu?" 　　"Dulu kakak pernah bilang tertarik dengan istri ketujuh kan?" 　　Gelas di tangan Pangeran Lu langsung jatuh ke lantai. Dengan suara rendah penuh panik dia membentak: "Lao Ba, kau mabuk ya? Ngapain buka aib masa lalu?" 　　Lao Qi belum jauh-jauh amat, si Macan Betina cuma dipisahkan deretan penyekat. Apa Lao Ba ingin dia diserang dari dua sisi sekaligus? 　　Pangeran Xiang mengusap dagu, bermakna: "Adik tiba-tiba merasa perkelahian saat ulang tahun ketujuh itu cukup menarik." 　　Waktu itu Lao Qi tiba-tiba melempar kendi anggur ke Lao Wu tanpa alasan. Dulu dia mengira ini orang gila, tapi sekarang dipikir-pikir, mungkin sejak saat itu Lao Qi sudah menaksir Nona Keempat dari Dongping Bo Residence? 　　Kalau benar begitu, hubungan antara Lao Qi dengan Nona Keempat Jiang pasti tidak sesederhana itu... 　　“Pangeran Xiang tengah merenung, tak menyadari benda yang terbang mendatanginya. Saat rasa sakit hebat menusuk dan ia menjerit sambil memegangi mulut, terlihat sebuah cangkir anggur jatuh berguling di dekat kakinya.” 　　Teriakannya langsung menarik perhatian banyak orang. 　　“Adik Kedelapan, ada apa?” para pangeran bertanya serentak. 　　Pangeran Xiang menatap ke depan, tak bisa bicara sejenak. 　　Yu Jin memegangi pelayan untuk menstabilkan posisinya, lalu berbalik dengan wajah menyesal: “Adik Kedelapan, sungguh maaf, tiba-tiba kakiku terpeleset dan cangkir ini terlempar...” 　　Kau sengaja! 　　Pangeran Xiang menuduh, tapi kesakitan hingga ucapannya tak jelas, berubah menjadi dengusan tak terbaca. 　　“Apa, tidak perlu dipikirkan? Tentu saja, kita saudara sedarah.” Yu Jin tersenyum lalu pergi. 　　Andai bukan hari bahagia yang pantang melihat darah, niscaja gigi depan brengsek itu sudah kuremukkan. 　　Pangeran Xiang mengepal tinjunya. 　　Gila, Lao Qi benar-benar gila! 　　Tidak seperti Lao Wu, akal sehat memaksanya menahan diri di acara seperti ini. Jika tidak, melapor ke Ayah Kaisar hanya akan merugikan semua pihak. 　　Lao Qi begitu protektif pada istrinya? Heh, nanti kita lihat. 　　Setelah melayani tamu, Yu Jin menyelundupkan sebungkus paha babi kecap dan buru-buru menuju kamar pengantin. 　　Jiang Si telah berganti pakaian dengan bantuan Ah Man dan A Qiao, merias wajah kembali. Setelah menghabiskan semangkuk bubur sarang burung gula batu dari Dapur Kecil, tubuhnya langsung terasa nyaman. 　　Menikah adalah pekerjaan fisik yang melelahkan dan membuat lapar. Dia sudah mengalaminya tiga kali, seakan bisa melewati tribulasi dan mencapai pencerahan! 　　"Pangeran." Melihat Yu Jin masuk, Ah Man dan A Qiao segera memberi hormat. 　　Hingga kini kedua dayang itu masih merasa tidak nyata, menatap Yu Jin tak berkedip. 　　Tuan Yu adalah Pangeran Yan, Pangeran Yan adalah Tuan Yu - akhirnya jelas sudah. 　　Wajah Yu Jin berkerut: "Kalian boleh mundur." 　　Setelah mereka pergi, Yu Jin duduk di samping Jiang Si mengeluh: "A Si, kenapa dayangmu selalu menatapku? Jangan-jangan ingin naik ranjang?" 　　Jiang Si hampir memuntahkan bubur sarang burung walet yang baru ditelannya, membentak: "Omong kosong apa itu?" 　　Pria lain biasanya berusaha menyembunyikan kecurigaan, tapi dia malah lebih paranoid daripada istri. 　　Yu Jin memang sangat waspada. 　　Belakangan ini selain mempelajari buku lukisan, dia juga banyak membaca buku cerita. Konflik-konflik dalam cerita selalu muncul karena kecerobohan pria dan kepekaan berlebihan wanita. Dia tak ingin ada kesalahpahaman dengan A Si karena siapapun atau apapun. 　　"Sudah makan bubur sarang burung walet?" 　　"Kau yang menyuruh orang mengantarnya?" 　　"Ya. Sudah kutanyakan, sejak pagi hingga masuk kamar pengantin, wanita yang menikah hampir tidak bisa makan apapun. Pasti kau lapar." 　　Hati Jiang Si terhangatkan, tersenyum: "Buburnya enak." 　　Yu Jin tersenyum puas, mengeluarkan bungkusan kertas minyak dari dalam bajunya. 　　"Apa ini?" Jiang Si heran. 　　Aromanya terasa familiar. 　　Yu Jin dengan gesit membuka bungkusan kertas minyak, memamerkan hasilnya: "Dengar dari calon mertua bahwa kau paling suka paha babi kecap, kebetulan ada di pesta, kubawakan satu untukmu." 　　Jiang Si menatap paha babi kecap yang besar itu, ekspresinya sesaat berkerut. 　　Ia mengira yang ditunggu adalah momen romantis mengulang kenangan indah, bukan segumpal paha babi kecap raksasa! 　　"Ayah yang bilang padamu?" Jiang Si bertahan sambil bertanya. 　　Yu Jin mengangguk riang: "Awalnya kukira calon mertua masih marah padaku, ternyata—ada apa, A Si?" 　　Jiang Si menutup mata sebentar lalu tersenyum: "Tak apa. Aku tidak lapar, paha babi kecap ini biar Ah Man dan yang lain bawa keluar saja." 　　Masak harus berbagi ranjang dengannya sementara mulutku masih bau paha babi kecap? Dasar bodoh! 　　"Tapi—" 　　"Mau tidur atau tidak?" Jiang Si tak tahan lagi bertanya. 　　Setiap kali melompat jendela semangat sekali, sekarang sudah resmi bersama kok malah sibuk dengan paha babi kecap? 　　"Tidur!" 　　Jangan bermimpi bercerita mesra, dalam situasi ketat begini, menulis kata ** saja kena sensor, apalagi minta sepeda? 392.BAB 392 Putri Sakit 　　BAB 392 Putri Sakit 　　Tirai sutra merah menyala bergoyang berlapis-lapis, cahaya lilin redup memantulkan siluet di balik kelambu. 　　Sesaat penuh keindahan musim semi. 　　Jiang Si tiba-tiba duduk tegak. 　　Pria dengan pakaian setengah terbuka terkejut, suaranya serak: "Ada apa?" 　　Jiang Si merapikan kerah baju sambil membuka tirai. 　　“Er Niu menggigit paha babi kecap, mengibas-ngibaskan ekor dengan wajah polos.” 　　Yu Jin ikut duduk sambil memeriksa Er Niu di bawah cahaya lampu, wajahnya langsung menghitam seperti dasar wajan: "Er Niu, siapa yang membiarkanmu masuk?!" 　　Ia melirik ke sekeliling, lalu menyambar bantal keramik hendak melempar. 　　Er Niu lari terbirit-birit sambil tetap menggigit paha babi kecap. 　　Yu Jin membalikkan badan dan turun dari tempat tidur, dihadang Jiang Si: "Ke mana kau pergi?" 　　"Akan kukuliti Er Niu, besok kita makan dagingnya!" 　　Jiang Si melototinnya: "Malam pengantin kau malah kejar-kejaran sama Er Niu, kalau ada yang lihat gimana?" 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu geram: "Dasar anjing Er Niu itu pasti sengaja datang mencuri paha babi kecap malah-malam!" 　　Setelah ngambek sebentar, mengingat malam pengantin tak ternilai harganya, ia menarik Jiang Si ke pelukannya, terjatuh berdua ke dalam kelambu ranjang. 　　Lilin pengantin naga-phoenix menyala semalaman, tirai merah bergoyang tak henti hingga fajar menyingsing. 　　Yu Jin mengusap-usap punggung Jiang Si yang mulus, meski jasmani telah puas, hatinya bergejolak. 　　Apa urusan ranjang ini bergantung pada bakat? Kenapa setelah buku ilustrasi itu sampai sobek-sobek, malah kalah mahir dari A Si? 　　Jiang Si mengantuk membuka mata: "Sudah waktunya kah?" 　　Yu Jin segera mengusir kesedihannya, membenahi rambutnya yang terurai: "Tidur lagi sebentar." 　　Di luar pintu terdengar batuk Dayang Ji: "Pangeran, Permaisuri, sudah waktunya bangun." 　　Alis Yu Jin berkerut, hendak mengusir mereka. 　　Jiang Si memberi isyarat untuk berhenti, lalu bangkit. 　　"Karena harus memberi salut di istana, terlambat tidak baik." 　　Menurut tata krama, pangeran yang telah membuka rumah sendiri setelah menikah, kaisar dan selir-selir tidak bisa keluar istana. Keesokan harinya pengantin baru harus memberi salut di istana. 　　"Masuklah." Jiang Si merapikan pakaiannya dan berkata. 　　Pintu segera terbuka, Dayang Ji memimpin beberapa dayang masuk berbaris. 　　Aroma yang belum hilang di ruangan membuat Dayang Ji mengerutkan kening. 　　Betapa sembrononya Pangeran dan Permaisuri ini? Muda dan tak tahu diri, sungguh tak tahu diri! 　　Melihat Jiang Si, Dayang Ji menghela napas lagi. 　　Permaisuri secantik ini, pantas saja Pangeran tak bisa menahan diri... 　　Tidak boleh, meski Tuanku akan marah, dia harus menasihati. Bagaimana bisa menjalankan tugas dengan baik kalau tidak? 　　"Pangeran, hamba dengar semalam minta air lima kali--" Tatapan dingin Yu Jin seperti pisau membuat Dayang Ji terhenti. 　　"Apa dapur kecil lalai sampai persediaan air panas kurang?" 　　"Tentu saja cukup, tapi--" 　　"Kalau cukup, dan istana pangeran mampu menyediakan kayu bakar, buang-buang kata untuk apa?" Yu Jin bertanya dingin. 　　“Jin, lupakan saja.” Setelah mendengar perkataan Dayang Ji, Jiang Si tidak merasa malu atau marah. 　　Dayang yang berasal dari istana memang sangat ketat dalam tata krama, wajar jika tidak menyukai hal-hal yang keluar dari norma. 　　Dayang Ji membelalakkan matanya: "Permaisuri, Yang Mulia tidak pantas memanggil nama Pangeran..." 　　Wajah Jiang Si sedikit muram: "Dayang panggil A Qiao dan Ah Man untuk melayani aku bersuci. Harap Dayang ingat, mulai sekarang akulah satu-satunya nyonya rumah di kediaman ini. Tata krama di sini aku yang tentukan. Aku yakin Dayang adalah orang yang tahu diri." 　　Dayang Ji tak bisa tidak menoleh ke arah Yu Jin. 　　"Tidakkah kau dengar perkataan Permaisuri?" 　　Dayang Ji hendak berkata lagi, tapi saat melihat wajah Yu Jin yang dingin, tiba-tiba teringat sesuatu. 　　Tuan ini bahkan berani berkelahi dengan para pangeran saat marah, apalagi menghukum seorang mandor seperti dirinya? 　　Dayang Ji pun langsung diam. 　　Maaf Chang Shi, masalah Pangeran dan Permaisuri mematuhi tata krama atau tidak, urusan itu kau yang harus atasi sendiri. 　　Permaisuri benar, dia memang orang yang tahu diri. Sejak ditugaskan di Kediaman Pangeran Yan, hidup mati dan kemakmuran dirinya sudah terikat dengan kediaman ini. 　　Daripada memusingkan tata krama, lebih baik biarkan saja aturan-aturan itu terlupakan. 　　Di dalam kereta kuda menuju istana, Yu Jin memeluk Jiang Si sambil tersenyum: "Kau terlalu baik. Aku waktu itu ingin langsung mengusir nenek tua itu keluar." 　　“Mereka bahkan diatur berapa kali minta air? Mengatur langit dan bumi, sampai melahirkan pun diatur. Benar-benar tak menyenangkan menjadi anggota keluarga kerajaan.” 　　“Kau ini seorang pangeran, tak perlu menggunakan tinju untuk menyelesaikan masalah dengan pelayan. Urusan istana pangeran biarlah aku yang mengurus.” 　　Yu Jin pun mengangguk setuju. 　　Seperti Kaisar yang jarang mencampuri urusan harem, jika ia terlalu banyak ikut campur, orang justru akan menganggap Permaisuri tidak kompeten. 　　“Kukira kau malas mengurus hal-hal seperti ini.” 　　Jiang Si tersenyum: “Masa mungkin. Sejak memilih menikahimu, inilah tugasku. Jika terus dilindungi, lama-lama aku akan menjadi bunga dodder...” 　　Yu Jin tersenyum puas: “Bunga dodder atau bunga kertas, jadilah apa yang kau mau, asal kau bahagia.” 　　Mereka berdua berbincang riang sepanjang perjalanan ke istana, dipandu pelayan istana menuju Istana Cining untuk memberi salut pada Janda Permaisuri. 　　Setelah menunggu sebentar, pelayan Janda Permaisuri keluar membawa kotak brokat: “Ini hadiah dari Janda Permaisuri untuk Permaisuri. Beliau sedang kurang enak badan, membebaskan Pangeran dan Permaisuri dari salut.” 　　Jiang Si menerima kotak dari dayang, membungkuk hormat ke arah istana Janda Permaisuri, lalu berjalan berdampingan dengan Yu Jin. 　　Saat mereka telah jauh, dua dayang junior mulai berbisik-bisik. 　　“Nona Cui baru saja masuk, tapi Janda Permaisuri menolak menemui Pangeran Yan dan Permaisurinya. Apa ini tanda ketidakpuasan pada Permaisuri Yan?” 　　“Ini wajar, bulan lalu Pangeran Shu membawa permaisurinya untuk memberi salut kepada Janda Permaisuri, Janda Permaisuri sempat menahan Permaisuri Shu duduk cukup lama. Sekarang menolak menemui Permaisuri Yan, jelas menunjukkan ketidaksukaan terhadap Permaisuri Yan……” 　　Di kamar tidur, Cui Mingyue memegang palu gading memukul lembut kaki Janda Permaisuri, sorot mata berkilau senang. 　　Jiang Si pernah melihat penampilannya yang paling memalukan, merusak reputasinya. Jika dia membiarkannya tenang-tenang saja, maka bukanlah Cui Mingyue. 　　“Mingyue, pernikahanmu dengan Pangeran Xiang diatur terburu-buru,。” 　　Cui Mingyue tersenyum: “Bagaimana mungkin Mingyue merasa? Yang Mulia tidak menganggap kekonyolan Mingyue sebelumnya, Mingyue sudah merasa sebagai orang paling beruntung.” 　　Pandangan Janda Permaisuri pada Cui Mingyue semakin lembut. 　　Penolakan Janda Permaisuri tidak mempengaruhi suasana hati Jiang Si, pasangan suami-istri itu berjalan menuju istana Permaisuri. 　　Kaisar Jingming saat ini sedang menunggu di Istana Kuning. 　　Permaisuri menyimpan keheranan dalam hati. 　　Dulu ketika pasangan Pangeran Shu datang memberi salut, Kaisar baru datang saat sedang berbincang. Mengapa untuk Pangeran Yan justru datang lebih awal? 　　Dengan demikian, dia harus mengevaluasi kembali posisi pasangan Yan di hati Kaisar. 　　Kedatangan awal Kaisar Jingming murni karena dorongan hati. 　　Belakangan ini hujan sering turun di berbagai daerah, kabar bencana terus berdatangan, suasana hati sungguh buruk. Mari lihat menantu perempuan yang pandai pertunjukan sulap untuk menghibur diri. 　　Setelah belasan tahun menjadi kaisar bijak, Kaisar Jingming sangat pandai meredakan tekanan. 　　“Ayah Kaisar、Ibu, saya dengar tujuh kakak ipar adalah wanita tercantik di ibu kota, benarkah?” Gadis yang duduk di bawah Permaisuri tiba-tiba bertanya. 　　Gadis itu berparas cantik, yang paling mencolok adalah kulit putih saljunya, terlihat seperti patung giok. 　　Inilah Putri Fuqing, putri tunggal Permaisuri sekaligus putri kesayangan Kaisar Jingming. 　　Namun putri mulia nan cantik ini memiliki sepasang mata yang tertutup kabut putih, suaranya datar tanpa ekspresi saat berbicara. 　　Selamat Hari Qixi. 393. BAB 393 Bisa Diobati 　　BAB 393 Bisa Diobati 　　Kaisar Jingming sangat mementingkan legitimasi. Permaisuri pertama hanya meninggalkan Putra Mahkota, sedangkan Permaisuri sekarang hanya memiliki seorang putri. 　　Meski memiliki lebih dari 20 putri, bahkan banyak nama putrinya yang tak diingat, ia sangat menyayangi putri permaisuri tunggal ini. 　　Apalagi Putri Fuqing menderita Penyakit Mata sejak kecil sehingga tidak bisa melihat jelas, membuat Kaisar Jingming semakin berbelas kasih. 　　Mendengar pertanyaan Putri Fuqing, Kaisar Jingming dan Permaisuri saling memandang lalu tersenyum: "Tak ada yang lebih cantik dari Aku di mata Ayah." 　　Putri Fuqing mengangkat wajah dengan senyum tipis: "Benarkah? Pasti Ayah sedang membujukku." 　　"Masa sih? Ayah tak pernah berbohong. Di hati Ayah, Aku memang yang tercantik." 　　Putri Fuqing pun tertawa, lalu tiba-tiba menghela nafas dan menunduk tanpa bicara. 　　Melihat ini, Kaisar Jingming merasa teriris hati. 　　Aku memang putri paling manis dan tercantik, tapi mengapa langit begitu tak adil sampai membuat Aku buta? 　　Suasana hati Kaisar Jingming tiba-tiba murung, bahkan minatnya untuk melihat menantu perempuan baru pun hilang. 　　Saat hendak pergi, pelayan istana mengumumkan: "Pangeran Yan dan Permaisuri Yan tiba——" 　　Permaisuri mengangguk halus, memberi isyarat agar mereka diizinkan masuk. 　　Tak lama kemudian, sepasang kekasih tampan masuk sambil berpegangan tangan. 　　"Hormat kepada Ayah Kaisar dan Ibu." 　　"Bangunlah," kata Kaisar Jingming dengan datar. 　　Permaisuri memandang mereka sambil tersenyum. 　　Segera dayang istana menghidangkan teh. 　　Yu Jin yang telah mendapat pengajaran sebelumnya tahu ini adalah ritual penghormatan teh pasca pernikahan, lalu mengangkat cangkir teh pertama untuk Kaisar Jingming kemudian Permaisuri. 　　Jiang Si mengikuti ritual, menerima set perhiasan emas dari Permaisuri. 　　Bagi Permaisuri, baik Permaisuri Shu maupun Permaisuri Yan sama derajatnya, sehingga hadiah yang diberikan sama: set perhiasan emas. 　　Selanjutnya giliran Putri Fuqing. 　　"Fuqing menghadap Kakak Ketujuh." 　　Yu Jin baru pertama kali memperhatikan Putri Fuqing, menyerahkan hadiah yang dipersiapkan Jiang Si sambil berkata basa-basi: "Ini cenderamata kecil, harap adik jangan menolak." 　　Putri Fuqing menerima hadiah itu, jarinya tanpa sadar mengelus-elus benda sambil ragu: "Ini... burung kayu?" 　　Karena sudah lama tidak bisa melihat, banyak benda bisa ditebak hanya dengan rabaan. 　　Yu Jin menyapu pandangannya, mengambil cangkir teh dan meletakkannya di meja, lalu mengambil burung kayu dari tangan Putri Fuqing dan menaruhnya di depan cangkir. 　　Gerakannya ini segera menarik perhatian Kaisar dan Permaisuri. 　　Terlihat burung kayu itu menundukkan kepala, paruh panjangnya tercelup ke dalam air teh, lalu tubuhnya melenting kembali dan mengulangi gerakan minum. 　　Putri Fuqing menyandarkan telinga mendengarkan, tak kuasa menahan senyum, lalu berkata dengan heran: "Aku mendengar suara burung sedang minum. Ibu, apakah burung kayu pemberian Kakak Ketujuh tadi yang sedang minum?" 　　Permaisuri juga terkagum-kagum: "Benar, burung kayu itu memang sedang minum!" 　　Kaisar Jingming yang awalnya murung langsung bersemangat bertanya pada Yu Jin: "Kenapa burung kayu ini bisa minum sendiri?" 　　Yu Jin tersenyum: "Erchen juga tidak tahu alasannya. Ini disebut burung minum air, mainan favorit anak-anak keluarga kaya di Perbatasan Selatan. Dulu saat Erchen kembali ke Ibu Kota, sempat membawa satu..." 　　Kaisar Jingming mengusap dagu sambil berpikir: "Banyak sekali benda aneh dari selatan." 　　Melihat Putri Fuqing yang jarang tersenyum tulus, Kaisar Jingming manggut-manggut: "Asalkan A Quan suka." 　　Putri Fuqing sangat menyukainya, memegang-mainkan cukup lama sebelum menyerahkan ke dayang pengiring, lalu menyapa Jiang Si: "Kakak Ketujuh, semammu dan Kakak Ketujuh bahagia langgeng." 　　"Terima kasih, Putri." Jiang Si menatap tajam kedua mata Putri Fuqing. 　　Putri Fuqing tidak menyadari, namun Permaisuri sudah mengerutkan alis tak senang. 　　“Dia hanya memiliki satu putri, yang dianggap sepenting nyawanya. Namun langit tidak adil, membuat putrinya menderita Penyakit Mata. Saat orang lain menikmati dunia yang penuh warna tanpa menghargainya, putrinya hanya bisa tinggal dalam kegelapan.” 　　Penyakit Mata Putri Fuqing bukan hanya penderitaan bagi sang putri, tetapi juga menjadi beban berat bagi Permaisuri. 　　Permaisuri dengan sensitif menyadari Jiang Si sedang menatap mata Putri Fuqing, sehingga secara alami merasa sangat tidak senang. 　　Meskipun di hadapan Kaisar Jingming, Permaisuri tetap memasang wajah muram dan bertanya dengan datar: "Apa yang sedang Permaisuri lihat?" 　　Baru saja mengatakan bahwa baik Permaisuri Shu maupun Permaisuri Yan tidak ada hubungannya dengannya, namun sekarang ternyata Permaisuri Yan ini benar-benar kurang sopan. 　　Terus-menerus menatap kekurangan orang lain bukan hanya kurang sopan, tapi juga menunjukkan tidak adanya tata krama. 　　Semakin Permaisuri memikirkannya, semakin marah dia, wajahnya pun semakin dingin. 　　Mendengar perkataan Permaisuri, Putri Fuqing segera menundukkan kepala. 　　Apakah Kakak Tujuh Keempat sedang penasaran mengapa dirinya buta? 　　Melihat reaksi Putri Fuqing, Kaisar Jingming merasa sakit hati. Dengan wajah muram dia berkata: "Lao Qi, istri Lao Qi, kalian boleh mundur." 　　"Kalau begitu Erchen mohon pamit." Meski terkejut dengan ketidakwajaran Jiang Si, Yu Jin sama sekali tidak memperlihatkannya. Dia menggenggam tangan pasangannya hendak pergi. 　　Namun Jiang Si tidak bergerak. Menatap langsung mata Putri Fuqing, tiba-tiba dia bertanya: "Sejak kapan mata Putri tidak bisa melihat?" 　　Pertanyaan ini membuat suasana seketika hening, bahkan para dayang yang melayani di dalam istana menundukkan kepala karena terkejut dan kagum. 　　Apakah Permaisuri Yan sudah gila? Berani-berannya membongkar aib Putri Fuqing di hadapan Kaisar dan Permaisuri. 　　Putri Fuqing menggenggam roknya sambil bergegas membungkuk: "Ayah Kaisar, Ibu, Erchen ingat masih ada urusan, mohon pamit dulu." 　　Permaisuri tak bisa menahan diri lagi, marah: "Permaisuri Yan, kau lancang!" 　　Urusan lain masih bisa ia toleransi sebagai permaisuri yang bijaksana, namun yang menyangkut Fuqing tidak bisa. 　　Menghadapi kemarahan Permaisuri, Yu Jin tetap tenang, berkata datar: "Ibu tak perlu marah, lebih baik dengarkan apa kata A Si." 　　Permaisuri tak bisa tidak menatap Jiang Si, sorot matanya semakin dalam. 　　Meski tak puas dengan tindakan Jiang Si sebelumnya, Kaisar Jingming justru penasaran. 　　Menantu perempuan yang pandai pertunjukan sulap ini sepertinya akan membuat kejadian lagi. 　　Hmph, kalau bisa memuaskannya mungkin masih bisa dimaafkan. Jika tidak, ia akan menghukum si gadis kurang ajar ini untuk membuat seratus trik sulap tanpa pengulangan! 　　Jiang Si membungkuk sedikit lalu berdiri tegak bertanya: "Jika menantu tidak salah menebak, penyakit mata sang putri bukan bawaan lahir, bukan?" 　　Permaisuri menyeringai dingin: "Bawaan lahir atau bukan, lalu kenapa?" 　　Seluruh keluarga terhormat di ibukota tahu Fuqing menderita penyakit mata sejak kecil. Pertanyaan Permaisuri Yan ini jelas sengaja menyakiti hatinya. 　　Simpati Permaisuri terhadap Jiang Si langsung anjlok ke titik terendah. 　　Tidak, sebenarnya tidak ada kesan baik atau buruk, sekarang si gadis yang tidak tahu aturan ini berhasil membuatnya marah. 　　Kaisar Jingming melirik Permaisuri sekali, lalu sekali lagi. 　　Perhatian Permaisuri terpecah separuh, dalam hati bertanya-tanya mengapa Kaisar terus memandanginya? Biasanya saat tidur bersama pun tak pernah ia memandangnya lama. 　　Kaisar Jingming berpikir dalam hati: Harus diakui menantu perempuan ini memang berbakat, sudah lama ia tidak melihat Permaisuri marah. 　　Sejujurnya, biasanya kemarahan Permaisuri tidak terlihat, sampai-sampai ia merasa tidak nyaman menyaksikannya. 　　Kepala Tabib Istana sebelumnya pernah berkata, emosi harus dikeluarkan agar tidak merusak kesehatan, terus menahan hanya akan mendatangkan penyakit. 　　Setelah istana begitu damai selama bertahun-tahun, meski Kaisar Jingming tidak terlalu menyukai Permaisuri Pengganti, ia tetap berharap Permaisuri tetap sehat dan selamat. 　　Saat pasangan kekaisaran ini sedang teralihkan perhatiannya, terdengar suara Jiang Si: "Penyakit mata Putri bisa disembuhkan." 394.BAB 394 Mengubah Cara Hidup 　　BAB 394 Mengubah Cara Hidup 　　Putri Fuqing yang sedang berjalan ke pintu nyaris terjatuh tersandung. 　　Dayang di sampingnya buru-buru menopang, jantungnya berdebar ketakutan: "Putri, hati-hati." 　　Putri adalah tubuh mulia, jika sampai terjadi kecelakaan, hukuman mati seratus kali pun tak akan cukup baginya. 　　Seolah tak mendengar dayangnya, Putri Fuqing mendorong sang dayang dan berlari kembali. 　　Meski penglihatannya kabur, setelah bertahun-tahun ia sudah terbiasa berjalan layaknya orang normal. Tapi kali ini langkahnya terhuyung-huyung hingga menabrak sudut meja. 　　"Putri--" 　　"Putri Fuqing memandang ke suatu arah, suaranya gemetar: \"Kakak ipar ketujuh, apa yang kau katakan?\"" 　　"Dia tidak memandang ke arah Jiang Si, sehingga tampak semakin menyedihkan." 　　"Gadis secantik bunga yang kehilangan penglihatan, sungguh merupakan hal yang memilukan." 　　"Permaisuri bergegas mendekat dan menggenggam tangan Putri Fuqing, berkata dengan suara keras: \"Permaisuri Yan, apa kau tahu apa yang kau ucapkan?!\"" 　　"Jiang Si dengan tenang menjawab: \"Menantu berkata, penyakit mata sang putri bisa disembuhkan.\"" 　　"\"Sekadar mencari perhatian—\"" 　　"Putri Fuqing menggenggam tangan Permaisuri lebih kuat: \"Ibu, aku ingin mendengar penjelasan kakak ipar ketujuh.\"" 　　"\"A'Quan, jangan hiraukan omong kosong ini...\" Permaisuri memeluk putrinya yang gemetar, hati remuk redam." 　　"Permaisuri Yan berani mengucapkan kata-kata absurd seperti ini, niatnya patut dihukum!" 　　"Bagaimana mungkin dia menggunakan harapan terbesar Fuqing untuk menyakiti hatinya?" 　　"Semakin Permaisuri berpikir, semakin marah, hampir tak bisa menjaga wibawa kerajaan, ingin memarahi Jiang Si habis-habisan." 　　"Kaisar Jingming diam, tatapannya tajam menusuk, tak lepas dari Jiang Si." 　　"Putri Fuqing menengadah, suara bergetar: \"Ibu, selama bertahun-tahun, begitu banyak tabib istana memeriksa mata Erchen, tapi hanya kakak ipar ketujuh yang bilang penyakit mata Erchen bisa diobati.\"" 　　"Dia tersenyum pahit: \"Karena itu meski ini omong kosong, Erchen tetap ingin mendengarnya.\"" 　　"Permaisuri menatap Jiang Si, berkata kata demi kata: \"Baik, silakan Permaisuri Yan melanjutkan.\"" 　　Jiang Si berkata dengan santai: "Penyakit mata Putri bukanlah bawaan lahir, juga bukan perubahan struktur mata akibat penyakit di kemudian hari, melainkan disebabkan oleh cacing parasit yang bersarang di mata sehingga mengganggu penglihatan..." 　　"Bagaimana kau bisa membuktikannya?" Permaisuri bertanya tak sabar. 　　Jiang Si tersenyum: "Jika menantu bisa menyembuhkan penyakit mata Putri, apakah itu bisa dianggap sebagai bukti?" 　　Permaisuri tertegun, matanya menatap tajam ke arah Jiang Si tanpa bereaksi. 　　Kaisar Jingming mendekati Putri Fuqing sambil bergumam: "Ada cacing? Bagaimana mungkin mata bisa ditumbuhi cacing?" 　　Putri Fuqing menutupi matanya dengan malu dan jengkel: "Ayah Kaisar, jangan lanjutkan!" 　　Apakah benar ada cacing di matanya? 　　Begitu terbayang, perutnya langsung mual. 　　Tapi dibandingkan penyakit mata, jika memang ada cacing, bukankah berarti masih ada harapan sembuh? 　　Sambil berpikir demikian, Putri Fuqing perlahan melepaskan cubitan. 　　"Baik, kalau Permaisuri Yan berkata begitu, mohon obati penyakit mata Fuqing." Permaisuri menenangkan diri dengan wajah dingin. "Jika berhasil menyembuhkan mata Fuqing, hamba pasti akan membalas budi. Jika gagal--" 　　Jiang Si tersenyum memotong ucapan Permaisuri: "Ibu, jika mendengar hukuman, menantu akan merasa tertekan." 　　Yu Jin menyembunyikan senyum di bibirnya. 　　Dia sempat khawatir A Si akan grogi menghadapi Kaisar-Permaisuri, tapi ternyata kekhawatirannya sia-sia. 　　Memang, A Si bahkan tak berkedip saat membunuh dan membakar, keberaniannya sudah tak perlu diragukan. 　　Permaisuri menahan amarah sampai urat di pelipisnya menonjol. 　　Apakah pendengarannya salah? Di saat seperti ini, Permaisuri Yan masih berani mengancamnya untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar. 　　Permaisuri menatap dalam-dalam ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si dengan tenang menatap balik. 　　Memasuki kembali lingkungan keluarga kerajaan yang kejam ini, di kehidupan sebelumnya ia memilih menyembunyikan kemampuan namun mati tragis. Maka di kehidupan sekarang, lebih baik menjadi diri sendiri dengan leluasa. 　　Tata krama memang ada di sana untuk membelenggu mayoritas orang, tapi selalu ada segelintir orang yang justru hidup lebih baik bahkan melampaui batas-batas aturan. 　　Asalkan memiliki kemampuan untuk melampaui aturan tersebut. 　　Jiang Si sangat paham, seberapa marah pun Permaisuri saat ini atau seberapa meragukan Kaisar, asalkan bisa menyembuhkan penyakit mata Putri Fuqing, semua perkataannya sebelumnya tak akan berarti—itu hanya bukti kepercayaan dirinya. 　　Putri Fuqing menarik lembaran gaun Permaisuri: "Ibu, meski Kakak Tujuh tidak bisa menyembuhkan mataku juga tak apa. Penyakit mata Erchen ini bukan karena Kakak Tujuh, paling buruk hanya kembali seperti semula..." 　　Jiang Si tersenyum tipis mendengarnya. 　　Harus diakui, Putri Fuqing adalah orang yang bijak. 　　Permaisuri yang sudah tenang mengusap sudut mata dengan saputangan, suaranya kembali lembut: "Kapankah Permaisuri Yan bisa mulai mengobati Fuqing? Benda atau bantuan apa yang diperlukan?" 　　Jiang Si menjawab: "Sekarang juga bisa. Mohon Permaisuri menyediakan ruangan yang tak akan diganggu." 　　"Tak ada yang boleh mengganggu?" Alis Permaisuri berkerut. 　　"Ya, hanya saya dan Putri yang boleh berada di dalam." 　　Permaisuri ragu sejenak, tak bisa menahan diri untuk melihat ke arah Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming dengan sigap segera memerintahkan orang untuk mengatur segalanya. 　　Tak ada yang perlu ditakutkan berdua saja. Si gadis ini tidak gila atau bodoh, mana berani menyakiti Fuqing? 　　Tak lama kemudian, Jiang Si dan Putri Fuqing ditempatkan di satu ruangan, sementara semua orang menunggu di luar. 　　Suara Putri Fuqing terdengar menggema di ruangan kosong yang sunyi: "Kakak ipar ketujuh, benarkah kau bisa menyembuhkan mataku?" 　　Jiang Si melunakkan suaranya: "Jangan takut, Putri. Kita bisa mencoba. Seperti katamu tadi, paling buruk ya tetap seperti sekarang." 　　Putri Fuqing mengangguk lemah: "Ya." 　　Hatinya tetap dipenuhi ketakutan. 　　Bagaimana mungkin sama seperti semula setelah harapan muncul lalu musnah? 　　Hanya saja, dia tak ingin Ibu Suri menghukum orang yang tidak bersalah karena hal ini... 　　"Berbaringlah, Putri. Santai saja..." 　　Putri Fuqing menuruti, dibimbing Jiang Si untuk berbaring perlahan di ranjang bambu. 　　Ranjang bambu terasa sejuk, empat sudut ruangan dipenuhi basin es. Tapi telapak tangannya segera basah oleh keringat. 　　Putri Fuqing merasakan kelopak matanya ditopang, disusul rasa gatal dan nyeri halus. 　　Sensasi itu sangat lembut, mungkin karena tenggelam dalam kegelapan tanpa batas, tapi justru terasa sangat jelas. 　　Kegelisahan seperti air pasang menerpa jantung Putri Fuqing, membuat napasnya tersengal-sengal. 　　Di telinganya terdengar suara lembut dan tenang seorang wanita, membawa kekuatan yang teguh: "Santai saja, sebentar lagi selesai." 　　Putri Fuqing perlahan mulai rileks. 　　Tak terasa berapa lama, suara lembut itu kembali terdengar: "Paduka bisa bangun sekarang, saya akan membantu." 　　Setelah hening sejenak, Putri Fuqing tiba-tiba duduk sambil bergumam: "Masih gelap... Masih tidak bisa melihat..." 　　Pasti hanya khayalan karena terlalu ingin melihat! Buta selama belasan tahun, mana mungkin tiba-tiba sembuh! 　　Putri Fuqing menutupi wajahnya ingin menangis, tapi jarinya menyentuh sesuatu. 　　Jiang Si tertawa kecil: "Paduka lama tidak terpapar cahaya, saya pasang kain penutup. Nanti di tempat terang, biarkan mata beradaptasi dulu sebelum membukanya." 　　Putri Fuqing bingung tak tahu harus berbuat apa. 　　"Saya antar Paduka keluar." Jiang Si menggandeng tangan Putri Fuqing menuju pintu. 　　Begitu pintu terbuka, Kaisar Jingming hampir terjatuh masuk. 　　"Ahem... Bagaimana matanya Fuqing?" 　　Putri Fuqing ragu-ragu: "Saya... tidak tahu..." 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari tsubaki, Mo Yu Moyo, Najia. Terima kasih untuk semua yang sudah vote dan memberi hadiah. Sampai jumpa besok. 395. BAB 395 Pemulihan Penglihatan 　　BAB 395 Pemulihan Penglihatan 　　Saat ini, hati Putri Fuqing dipenuhi kecemasan. 　　Selama bertahun-tahun hidup dalam kegelapan, tak ada yang lebih memahami rasanya selain dirinya. Kerinduan akan cahaya pun tak tertandingi. 　　Justru karena itu, keraguan semakin menggerogoti. 　　Di dalam hati, ia tak bisa menahan harapan, namun semakin begitu semakin tak berani bicara sembarangan, akhirnya hanya bisa mengucapkan "tidak tahu". 　　“Kain ini——” Kaisar Jingming menatap Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum memegang tangan Putri Fuqing, berjalan menuju balairung yang luas. 　　Saat itu pagi hari dengan sinar matahari cerah, balairung terang benderang dengan jendela-jendela bersih. 　　Di balik kain, Putri Fuqing samar-samar merasakan warna merah yang kabur. 　　“Fuqing, bagaimana perasaanmu?” Permaisuri mendekati Putri Fuqing, bertanya dengan hati-hati. 　　Putri Fuqing diam seribu bahasa. 　　Sorot mata Permaisuri tertuju pada Jiang Si, penuh wibawa: “Kapan kain penutup Putri bisa dilepas?” 　　“Permaisuri harap tenang.” 　　Ucapan singkat dan jelas Jiang Si membuat Permaisuri langsung tak berdaya. 　　Ular punya tujuh ruas, manusia punya titik mematikan—Putri Fuqing adalah titik kelemahan Permaisuri. 　　Kaisar dan Permaisuri kehilangan semangat berbicara, menunggu dalam diam. 　　Dalam kesunyian ini, dayang-dayang di dalam istana bahkan menahan napas, berusaha meminimalkan keberadaan mereka. 　　Sudah bertahun-tahun mata Putri tak bisa melihat, hampir semua Tabib Istana pernah memeriksanya, bahkan mengundang tabib ternama dari rakyat, namun semua tak berdaya. Permaisuri Yan hanya bertemu Putri sekali, langsung berani klaim bisa menyembuhkan penyakit matanya? 　　Benar kata Permaisuri, Permaisuri Yan hanya sedang cari perhatian! 　　Tidakkah ia mempertimbangkan murka bagai petir dari Kaisar dan Permaisuri? 　　“Apakah Permaisuri Yan kemasukan roh jahat, sehingga terobsesi melakukan tindakan absurd ini?” 　　Di tengah spekulasi orang banyak, akhirnya Jiang Si berbicara: “Paduka jangan bergerak, biar saya melepas kain penutup mata Anda.” 　　“Aku——” Putri Fuqing tiba-tiba menggenggam tangan Jiang Si, seluruh tubuhnya menegang. 　　Dalam ketegangan yang mencekam, tiba-tiba penglihatan menjadi terang. 　　Kaisar dan Permaisuri sama-sama menahan napas, memantau reaksi Putri Fuqing. 　　Putri Fuqing masih memejamkan mata, kebingungan sesaat. 　　“Cobalah Paduka membuka mata.” 　　Mendengar suara lembut namun tegas itu, kelopak mata Putri Fuqing bergetar. 　　Ia tak berani. 　　Lama tak ada gerakan dari Putri Fuqing, wajah ayunya pucat tak berdarah. 　　Permaisuri akhirnya tak tahan: “Fuqing, bukalah matamu.” 　　Keraguan terpancar di wajah Putri Fuqing. 　　Suara itu kembali bergema di telinganya: “Bukankah Paduka pernah berkata, skenario terburuk hanyalah kembali seperti semula? Lalu apa yang ditakuti?” 　　Kalimat ini memantapkan hati Putri Fuqing, dengan keputusan nekat ia membuka mata lebar-lebar. 　　Perlahan penglihatannya fokus, menangkap pilar merah bergambar naga dan phoenix, langit-langit bermotif indah. 　　Pandangan turun, menyapu wajah Permaisuri yang anggun namun telah berhiaskan garis-garis usia. 　　Air mata Putri Fuqing mengalir deras. 　　Permaisuri panik, menggenggam tangan putrinya: “A'Quan, ada apa?” 　　Putri Fuqing tiba-tiba menangis tersedu-sedu. 　　Di hadapan Kaisar-Permaisuri, pasangan Jiang Si, serta dayang dan pelayan istana, Putri Fuqing menangis menyayat hati, sama sekali melupakan etika putri kerajaan. 　　Permaisuri panik, bertanya berulang: "A'Quan, apa sebenarnya yang terjadi? Jangan menakuti ibu—" 　　Kaisar Jingming mendorong Permaisuri, memegang bahu Putri Fuqing: "A'Quan, apakah kau melihat sesuatu?" 　　Permaisuri bodoh ini! Dengan watak Fuqing, jika masih belum bisa melihat mana mungkin dia menangis? Dia pasti hanya tersenyum lembut dan berkata tidak apa-apa... 　　Meski sudah menduga demikian, Kaisar Jingming tetap menanti jawaban Putri Fuqing dengan penuh harap. 　　Putri Fuqing memeluk Kaisar Jingming erat, terisak tak karuan: "Ayah, saya melihat... Kumis Ayah sangat panjang..." 　　Seketika sudut mulut Kaisar Jingming berkedut, lalu dia bersukacita hingga air mata mengalir: "Baguslah bisa melihat, Aku selalu tahu anak baik seperti Fuqing pasti diberkati nasib..." 　　Tiba-tiba terdengar suara 'gedebuk', disusul teriakan dayang: "Permaisuri, Permaisuri—" 　　Permaisuri pingsan karena terlalu emosional. 　　Putri Fuqing kaget, berlari menghampiri: "Ibu, bangunlah—" 　　Dayang dan pelayan istana bingung memandang Kaisar Jingming, menunggu perintah memanggil tabib istana. 　　Kaisar Jingming bergegas mendekat, menekan titik renzhong di bawah hidung Permaisuri. 　　Ngapain panggil tabib? Permaisuri cuma bisa merepotkan. 　　Tanpa ampun, cubitan itu membuat Permaisuri segera tersadar. Di matanya terpantul wajah Kaisar Jingming, dan dia bertanya reflek: "Di mana Fuqing?" 　　Dia tiba-tiba duduk tegak: "Kaisar, apakah aku sedang bermimpi?" 　　Di sebelah, Putri Fuqing memeluk lengan Permaisuri sambil menangis tersedu-sedu: "Ibu, ini bukan mimpi, Erchen benar-benar telah melihat..." 　　Barulah Permaisuri merasakan kenyataan ini. Dia memeluk Putri Fuqing sambil menangis pilu. 　　Tangisan ibu dan anak itu bergema di dalam aula, sementara dayang-dayang diam-diam mengusap air mata. 　　Kaisar Jingming memandang Permaisuri dan Putri yang tak mampu menahan emosi, serta dayang-dayang yang bahkan tak berhak menangis terang-terangan. Tak ada rasa jemu, justru hati dipenuhi kepuasan. 　　Setelah kegembiraan mereda, perhatian kerumunan kembali tertuju pada Jiang Si. 　　Permaisuri yang telah berubah sikap memandang Jiang Si dengan keramahan tulus: "Permaisuri Yan, hamba tak menyangka Nyonya benar-benar bisa menyembuhkan mata Fuqing. Hamba... hamba berterima kasih padamu..." 　　Jiang Si sedikit menekuk lutut: "Tak pantas menerima ucapan terima kasih Ibu. Bisa menyembuhkan mata Putri, menantu juga merasa bahagia." 　　Di kehidupan sebelumnya, saat kembali dari Perbatasan Selatan bersama Yu Qi, dia tahu Putri Fuqing menderita Penyakit Mata namun tak berani mengaku bisa mengobati. 　　Dia merasa bersalah. 　　Dengan menyandang status Imam Suci A Sang, tapi memiliki wajah yang mirip menantu ketiga Keluarga An Guogong yang hilang, dia takut terlalu mencolok akan membongkar rahasia. 　　Untuk itu, ia berusaha serendah mungkin, sampai-sampai ingin mengurung diri di rumah dan menjalani kehidupan kecil bersama Yu Qi. 　　Belakangan, kabarnya Putri Fuqing terjatuh dari podium tinggi dan tewas... 　　Meski kematian Putri Fuqing tidak ada hubungannya dengannya, Jiang Si tetap merasa sedih lama, kadang tak bisa menahan diri untuk berpikir: seandainya dulu punya keberanian menyembuhkan mata Putri Fuqing, gadis muda ini tidak akan mati mengenaskan. 　　Kali ini, Jiang Si tidak ingin merasakan lagi perasaan tertekan dan penyesalan itu. Dari sudut kepentingan pribadi, dengan menyembuhkan mata Putri Fuqing, Permaisuri yang sungguh menyayangi putrinya akan lebih memihaknya di kemudian hari. 　　Kaisar Jingming memandang Jiang Si dengan penuh minat, bertanya: "Istri Lao Qi, bagaimana kau bisa menyembuhkan penyakit mata Fuqing?" 　　Jiang Si sudah tahu pertanyaan ini akan muncul, menjawab tenang: "Menantu juga tidak tahu kenapa, begitu melihat mata Putri Langsung tahu ada parasit, Langsung tahu cara mengobatinya." 　　Kaisar Jingming terkejut: "Bawaan lahir?" 　　Di zaman ini, kisah orang yang punya pengetahuan bawaan lahir sering terjadi. Masyarakat tidak menganggap hal ini aneh, bahkan ada ucapan bijak: "Yang punya pengetahuan bawaan adalah yang utama, yang belajar kemudian adalah kelas dua." 　　Kaisar Jingming tidak sepenuhnya percaya pada ucapan Jiang Si. Setelah mengamat-amatinya lama dan tidak melihat tanda-tanda kebohongan, ia tertawa: "Lao Qi, kau dapat istri yang baik." 　　Bohong atau tidak tidak penting, yang penting mata Fuqing sudah sembuh. 396. BAB 396 KABAR BAIK 　　BAB 396 KABAR BAIK 　　Reaksi Kaisar Jingming membuat Jiang Si lega, sesuai dengan perkiraannya. 　　Karena dia sudah memutuskan untuk tidak lagi menyembunyikan kemampuannya, baik trik membuat kuncup bunga mekar di Pesta Apresiasi Plum, metode menyembuhkan Putri Fuqing saat ini, maupun keunikan-keunikan di masa depan, semuanya perlu penjelasan yang masuk akal. 　　Tapi apa penjelasan yang bisa diberikan seorang putri bangsawan yang tumbuh besar di dalam tembok rumah megah? Tidak mungkin mengarang-narasikan seorang shifu misterius. 　　Daripada berbohong seperti itu, lebih baik mengaitkannya dengan pengetahuan bawaan sejak lahir. Bagaimanapun, orang hanya bisa mendengarnya meski mungkin tidak percaya. 　　Penguasa sebenarnya tidak peduli alasan apa pun, yang penting adalah hasilnya menguntungkan. 　　Jiang Si tahu Kaisar Jingming akan menyelidiki latar belakangnya, tapi justru merasa aman karena sepanjang hidupnya memang tidak ada keanehan yang tercatat. 　　Yu Jin melirik Jiang Si sejenak sambil tersenyum: "Ini berkat kebijaksanaan Ayah Kaisar yang memilihkan Erchen istri yang baik." 　　Kaisar Jingming tertawa lebih keras. 　　Sudah dari tadi dia berpikir, dengan menantu perempuan yang ahli pertunjukan sulap, istana akan jadi lebih menarik di masa depan. 　　Putri Fuqing menghampiri Jiang Si dan membungkuk dalam-dalam: "Kakak ipar ketujuh, Fuqing ingin mengucapkan terima kasih--" 　　Jiang Si menyangga lengan Putri Fuqing: "Paduka tidak perlu demikian. Kebetulan saya bisa mengobati penyakit mata Paduka, mungkin ini takdir." 　　"Takdir?" Putri Fuqing bergumam pelan, matanya kembali berkaca-kaca. 　　Sejak dewasa, dia tak henti menyalahkan langit yang tidak adil. Kini matanya sembuh, apakah ini pertanda langit belum meninggalkannya? 　　"Apakah takdir atau bukan, yang menyembuhkan mata saya adalah Kakak ipar ketujuh. Fuqing sangat berterima kasih..." Ujarnya sambil menoleh ke Permaisuri. 　　Permaisuri saat ini masih diliputi perasaan haru yang tak terbendung. 　　Ia hanya memiliki satu putri. Kebutaan putrinya selalu menjadi luka terdalam dalam hatinya. Kini mata putrinya telah sembuh, seolah penyakit hati yang selama ini menggerogotinya akhirnya terobati. 　　Mengenai pangeran - menyaksikan satu per satu pangeran tumbuh dewasa, bahkan yang termuda Pangeran Kedelapan pun telah dinikahkan, Permaisuri sejak lama sudah menyerah akan harapan melahirkan pangeran. 　　Ia dan Kaisar sudah tua. Jangan katakan sudah tidak bisa melahirkan, bahkan seandainya sekarang bisa melahirkan pangeran, apa gunanya? 　　Sebagai Permaisuri Pengganti, anak lelaki sahnya. Jika Putra Mahkota bisa naik tahta dengan mulus, itu sudah cukup. Jika tidak, sudah pasti tak mungkin hidup santai seperti pangeran-pangeran lain yang hidup berkecukupan. 　　Permaisuri langsung menggenggam tangan Jiang Si: "Fuqing adalah anak yang tahu membalas budi, kau pun anak yang bijaksana. Kedepannya sering-seringlah datang ke Istana Kuning, temani hamba mengobrol..." 　　Sambil berkata demikian, Permaisuri memberikan kode mata kepada dayang kepercayaannya: "Ambilkan satu Gelang Lingxiao." 　　Dayang kepercayaan itu tertegun sejenak, lalu cepat berbalik pergi. 　　Para dayang dan pelayan istana berlutut serentak, berseru: "Selamat atas Kaisar, selamat atas Permaisuri, selamat atas Paduka—" 　　Kaisar Jingming berseri-seri wajahnya: "Semua dapat hadiah!" 　　Permaisuri mengangguk sambil tersenyum. 　　Mendengar sorak-sorai ucapan selamat yang memekakkan telinga, dayang-dayang di luar aula saling pandang bingung. 　　Hari ini Pangeran Yan bersama Permaisuri Yan datang memberikan teh kepada Kaisar dan Permaisuri, peristiwa apa gerangan yang terjadi hingga menimbulkan keriuhan seperti ini? 　　Tidak lama lalu Pangeran Shu datang bersama Permaisuri Shu, hanya dalam waktu sebatang dupa sudah pergi. 　　Melihat seorang pelayan istana yang bertugas di dalam aula keluar, seorang dayang di luar berani bertanya: "Kepala Pelayan Tao, ada kabar gembira apa?" 　　Pelayan itu tak bisa menahan kegembiraannya: "Mata Putri Fuqing sudah sembuh, Kaisar memerintahkan hamba untuk melapor ke Istana Cining!" 　　Pelayan itu bergegas pergi, bahkan langkah kakinya terlihat bersemangat. 　　Seluruh staf istana yang mengetahui kabar ini bersukacita. 　　Sudah lama Istana Kuning tidak mengalami peristiwa sebesar ini, belum lagi hadiah-hadiah dari Nyonya Permaisuri, setidaknya beberapa bulan ke depan suasana kerja akan lebih santai tanpa takut kesalahan kecil langsung dihukum. 　　Apalagi Putri Fuqing yang baik hati itu, sungguh menyedihkan jika terus buta. 　　Segenap Istana Kuning langsung dipenuhi kegembiraan, wajah setiap orang lebih bahagia dari tahun baru. 　　Di Istana Cining, Janda Permaisuri sedang mendengar cerita lucu Cui Mingyue ketika seorang dayang melapor: "Kepala Pelayan Tao dari Istana Kuning datang membawa kabar gembira untuk Paduka." 　　Kabar gembira? 　　Wajah Janda Permaisuri langsung serius, hatinya penuh keheranan. 　　Kabar gembira apa yang bisa dari Istana Kuning sampai perlu dikirim utusan khusus? 　　Mengingat pada shichen ini seharusnya Pangeran Yan dan istrinya sedang memberi hormat teh kepada Kaisar-Permaisuri, Janda Permaisuri tergerak hatinya. 　　Jangan-jangan ada hubungannya dengan pasangan Pangeran Yan? 　　“Tapi dia benar-benar tidak bisa membayangkan kemampuan apa yang dimiliki pasangan itu, hingga bisa terkait dengan kabar gembira ini?” 　　Dengan keraguan ini, Janda Permaisuri memberi isyarat pada dayang istana untuk mempersilakan pelayan istana pembawa kabar gembira masuk. 　　Begitu masuk, Kepala Kasim Tao langsung bersujud sambil berseru lantang: “Hamba mengucapkan selamat kepada Janda Permaisuri!” 　　“Kabar gembira apa?” tanya Janda Permaisuri dengan suara berat. 　　Meski tak berani mengangkat kepala, suara Kepala Kasim Tao gemetar penuh antusias: “Lapor pada Janda Permaisuri, mata Putri Fuqing telah sembuh——” 　　Janda Permaisuri bangkit mendadak: “Apa?!” 　　Kabar dari pelayan istana ini terlalu ajaib, membuatnya meragukan pendengarannya sendiri. 　　“Janda Permaisuri, penglihatan Putri Fuqing telah pulih sepenuhnya!” Kepala Kasim Tao mengulangi dengan suara keras. 　　Janda Permaisuri yang dituntun dayang mendekati Kepala Kasim Tao, wajahnya penuh kewibawaan: “Apakah kau tahu akibatnya jika membohongi hamba?” 　　Kepala Kasim Tao segera membungkuk berkali-kali: “Hamba berani bersumpah tidak berani membohongi Janda Permaisuri! Ini perintah langsung dari Kaisar dan Permaisuri!” 　　Janda Permaisuri masih tak percaya: “Bagaimana cara Putri Fuqing bisa sembuh?” 　　“Permaisuri Yan-lah yang menyembuhkan mata Sang Putri!” 　　Janda Permaisuri terpaku diam. 　　Cui Mingyue yang berdiri tak bergerak di sudut ruangan tak bisa menyembunyikan keheranannya. 　　Jiang Si menyembuhkan mata Putri Fuqing? Sungguh menggelikan! 　　Tapi seabsurd apapun, dia tetap menerima fakta ini tanpa menunjukkan perubahan ekspresi. 　　Jika dia bisa menyembuhkan penyakit Janda Permaisuri dengan mengorbankan dagingnya, mengapa Jiang Si tidak bisa menyembuhkan mata sang putri? 　　Rupanya dia meremehkan putri Nyonya Su ini! 　　Cui Mingyue sedang berpikir, Janda Permaisuri sudah memerintahkan: "Panggil Putri Fuqing dan pasangan Pangeran Yan ke Istana Cining——" 　　Baru saja memerintahkan, Janda Permaisuri berubah pikiran: "Tidak, bantu aku pergi ke Istana Kuning." 　　Selama ini selalu Permaisuri yang datang ke Istana Cining untuk memberi salut kepada Janda Permaisuri, hampir tak pernah Janda Permaisuri yang datang ke Istana Kuning. Tapi penyembuhan mata Putri Fuqing membuat semua orang merasa tindakan Janda Permaisuri ini sama sekali tidak aneh. 　　Meski hanya karena penasaran, harus segera pergi ke Istana Kuning untuk melihat. 　　Sekelompok orang berbondong-bondong menuju Istana Kuning. 　　Kaisar Jingming tersenyum kepada Permaisuri: "Entah bagaimana reaksi Ibu nanti saat mendengar kabar ini." 　　Permaisuri tersenyum menyetujui, tapi dalam hati tidak sependapat. 　　Walaupun Fuqing adalah anak kandungnya, dia hanya seorang putri. Di hati Janda Permaisuri, mana bisa dibandingkan dengan para pangeran? 　　Pada akhirnya, selain dirinya sebagai ibu kandung, siapa lagi yang bisa diharapkan menyayangi Fuqing? 　　Karena itu, melihat keakraban Putri Fuqing terhadap Jiang Si, Permaisuri semakin menyukai Jiang Si. 　　Kaisar memang benar, Lao Qi menikahi istri yang baik. Pantas saja Permaisuri memberikan gelang Lingxiao padanya. 　　Dalam suasana sukacita yang harmonis, pelayan istana berteriak: "Janda Permaisuri tiba——" 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri saling memandang, sama-sama melihat keheranan di mata masing-masing. 　　Pasangan kaisar dan permaisuri segera berpegangan tangan menyambut Janda Permaisuri. 　　Yu Jin mengulurkan tangan ke Jiang Si, tersenyum rendah. "Baru saja pergi mencarimu tapi tidak ketemu, sekarang malah datang sendiri. A Si, kau memang hebat." 　　Jiang Si menaruh tangannya di genggaman Yu Jin, membalas senyumannya. 　　Keduanya berjalan berdampingan keluar. 397.BAB 397 Menegur 　　BAB 397 Menegur 　　Janda Permaisuri datang tergesa-gesa. Meski diiringi rombongan besar, tidak ada upacara khusus. 　　Kaisar Jingming menyambutnya: "Ibu, mengapa Ibu datang sendiri?" 　　Janda Permaisuri menghentikan ritual penghormatan, langsung bertanya: "Benarkah mata Fuqing sudah sembuh?" 　　Sambil berbicara, mereka kembali ke aula. Putri Fuqing maju memberi penghormatan: "Cucu perempuan memberi salam kepada Nenek Permaisuri." 　　Dinasti Zhou tidak hanya memiliki masyarakat yang terbuka, tapi juga kaisar yang bijaksana dan toleran. Tidak ada aturan bersujud sembarangan, bahkan bawahan di hadapan Kaisar cukup memberi hormat dengan menangkupkan tangan dalam situasi informal. 　　Penghormatan besar Putri Fuqing kepada Janda Permaisuri menunjukkan kesungguhannya. 　　Janda Permaisuri segera mengangkat Putri Fuqing sambil berkata: "Biarkan Nenek lihat." 　　Putri Fuqing bangkit dan menatap Janda Permaisuri dengan senyum. 　　Melihat mata jernihnya yang berbinar, Janda Permaisuri akhirnya yakin dan menghela nafas: "Benar-benar sembuh!" 　　Putri Fuqing tersenyum: "Cucu tidak menyangka Nenek Permaisuri begitu ramah dan awet muda." 　　Janda Permaisuri memeluk Putri Fuqing: "Di istana tak ada anak yang lebih manis darimu. Sekarang matamu sudah sembuh, sungguh berkah langka..." 　　Putri Fuqing tersenyum manis: "Cucu perempuan ini beruntung mendapat belas kasihan Surga, juga berkat bantuan Kakak Tujuh." 　　Janda Permaisuri mengarahkan tatapan tajamnya ke Jiang Si yang berdiri berdampingan dengan Yu Jin. 　　Jiang Si membungkuk hormat: "Cucu menantu mohon sungkem kepada Nenek Kaisar." 　　Pandangan Janda Permaisuri tertahan cukup lama di wajah Jiang Si, nada suaranya datar tanpa kesan keraguan maupun keramahan - seperti sikapnya terhadap kebanyakan orang: "Penyakit mata sang Putri sembuh berkat Permaisuri?" 　　Jiang Si tetap mempertahankan posisi penghormatannya: "Cucu menantu hanya beruntung saja." 　　"Beruntung?" Janda Permaisuri menaikkan sebelah alis, berkata dingin, "Fuqing menderita penyakit mata bertahun-tahun, sudah diperiksa tabib tak terhitung jumlahnya, tak satu pun yang punya 'keberuntungan' seperti ini." 　　Suasana seketika hening. 　　Yu Jin menarik lengan Jiang Si dengan natural, berkata sambil terkekeh: "Nenek, kesembuhan mata Fuqing adalah kabar gembira. Menurut cucu, meski tak perlu pengampunan nasional, setidaknya seluruh negeri harus bersukacita. Jika Nenek mau menghukum para tabib yang gagal menyembuhkan Fuqing, cucu dan Permaisuri malah merasa tidak enak..." 　　Janda Permaisuri nyaris tak bisa menahan keinginan untuk memutar matanya. 　　Apakah itu maksudnya? 　　Sebelum sempat bicara, Kaisar Jingming sudah membentak: "Lao Qi, kalau tidak rajin belajar jangan sembarangan pakai kosa kata!" 　　Yu Jin memerah malu: "Erchen akan rajin belajar ke depannya." 　　"Ibu, janganlah marah pada si brengsek ini..." 　　Janda Permaisuri tersenyum tipis: "Mata Fuqing yang sembuh adalah kabar gembira terbesar, hamba terlalu bahagia sampai tak bisa menahan diri..." 　　Pandangannya kembali tertuju pada Jiang Si, mata penuh pengamatan: "Hanya saja hamba tak tahu bagaimana Permaisuri menyembuhkan mata Fuqing? Hamba hanya tahu Permaisuri adalah putri dari Kediaman Dongping Bo, apakah pernah mempelajari pengobatan?" 　　Sekalipun pernah belajar pengobatan, mustahil seorang gadis kecil belasan tahun bisa mengalahkan para tabib ternama. 　　Jiang Si menjawab tenang: "Cucu menantu ini tak pernah belajar pengobatan. Mungkin Langit kasihan melihat Putri yang malang dan menggemaskan, maka menyembuhkannya melalui tangan cucu menantu ini." 　　Janda Permaisuri mengerutkan alis: "Apa maksudnya ini?" 　　"Ibu, istri Lao Qi ini langsung tahu cara mengobati mata Fuqing saat bertemu. Ini mungkin benar-benar takdir." Kaisar Jingming tertawa. 　　Janda Permaisuri melirik Kaisar Jingming dengan ekspresi aneh, berpikir dalam hati: Kata-kata seperti ini Kaisar juga percaya? Apakah kaisar yang kulihat tumbuh besar ini menjadi bodoh? 　　Kaisar Jingming sama sekali tidak merasa canggung. 　　Beliau adalah Putra Langit. Bukankah wajar jika Langit menganggap putrinya patut dikasihani, lalu menyembuhkan matanya melalui tangan orang lain? 　　Para penguasa selalu berharap ada keajaiban untuk membuktikan status istimewa mereka. Inilah mengapa banyak catatan sejarah bahkan resmi menulis tentang cahaya merah menyala saat kelahiran seseorang, atau aroma harum memenuhi ruangan, paling tidak ibu yang melahirkan bermimpi diberi pil keabadian oleh dewa sebelum melahirkan. 　　"Janda Permaisuri tidak memahami pikiran kecil Kaisar Jingming," beliau bertanya langsung, "Kalau begitu, Permaisuri Yan terlahir dengan pengetahuan bawaan?" 　　Kaisar Jingming tersenyum: "Benar adanya." 　　Benar adanya apanya! 　　Janda Permaisuri memutuskan untuk mengabaikan Kaisar Jingming, lalu bertanya pada Jiang Si: "Lalu penyakit apa lagi yang bisa diobati Permaisuri Yan?" 　　Jiang Si sama sekali tidak menunjukkan ketakutan, tetap menunjukkan sikap hormat yang tak tercela: "Cucu menantu pun tidak tahu. Mungkin baru akan tahu setelah bertemu pasien dengan penyakit langka tertentu." 　　"Sungguh ajaib." Nada suara Janda Permaisuri tak terbaca emosinya. 　　Jiang Si berkata datar: "Cucu menantu pernah dengar Nona pertama Keluarga Cui mengobati penyakit Kaisar Nenek dengan dagingnya, itu pun terasa ajaib." 　　Cahaya keheranan berkedip di mata Cui Mingyue yang selama ini diam. 　　Belum sempat dia berkata apa-apa, Permaisuri Yan malah berani memprovokasi duluan? 　　Perasaan terkejut dan marah yang lama tidak dirasakan Cui Mingyue ini membeku menjadi es di matanya. 　　Kaisar Jingming tertawa: "Makanya akhir-akhir ini berturut-turut ada kabar gembira. Kesehatan Janda Permaisuri membaik, penyakit mata Fuqing sembuh, beberapa pangeran sudah berkeluarga. Menurutku Lao Qi benar, kita harus merayakan secara besar-besaran--" 　　"Kaisar!" Janda Permaisuri memotong ucapan kaisar. 　　"Ibu?" 　　Janda Permaisuri berkata datar: "Perayaan besar-besaran tidak perlu. Pemborosan akan mengurangi berkah." 　　Kaisar Jingming tidak setuju: "Bersedekah untuk mendoakan ibu, mana bisa disebut pemborosan?" 　　Janda Permaisuri bingung. 　　Mengapa tiba-tiba dikaitkan dengan mendoakan dirinya? 　　"Melihat Kaisar Jingming bersikeras, Janda Permaisuri akhirnya berkata: 'Mata Fuqing yang sembuh memang patut dirayakan, tapi cukup adakan jamuan keluarga saja. Sekalian biar Fuqing berkenalan dengan sanak saudara.'" 　　Kaisar Jingming berpikir sejenak lalu mengangguk: "Baiklah, menurut saran Ibu." 　　Janda Permaisuri menggerakkan alisnya, mengulurkan tangan: "Permaisuri, persiapkan jamuan keluarga ini. Jangan sampai Fuqing merasa direndahkan. Beta lelah. Permaisuri Yan, temani Beta pulang ke istana. Kebetulan Beta ingin mendengar cerita ajaibmu tentang pengetahuan bawaan lahir." 　　Saat mengatakan ini, matanya menyapu Yu Jin: "Pangeran Yan tak perlu ikut. Nanti Beta akan mengantar Permaisuri Yan kembali." 　　Yu Jin hendak berkata sesuatu, tapi tangan halus menarik lengan bajunya. 　　Jiang Si maju selangkah menyangga tangan Janda Permaisuri: "Ayah Kaisar, Ibu, menantu mohon pamit." 　　Dibawa pergi di hadapan Kaisar, Jiang Si tentu tidak khawatir Janda Permaisuri akan menghukum menantu baru. 　　Soal teguran verbal, siapa yang peduli? 　　Sepanjang perjalanan ke Istana Cining, Janda Permaisuri diam. Baru setelah masuk ruang dalam dan mengusir kerumunan, ia berkata dingin: "Permaisuri Yan, apapun kelebihanmu, sekarang kau bagian keluarga kerajaan. Patuhi tata krama, jangan sampai melangkah salah setapak pun." 　　"Cucu menantu mengerti." 　　"Selain itu, kurangi bicara omong kosong yang menyesatkan." 　　"Cucu menantu mengerti." 　　Tak peduli bagaimana Janda Permaisuri berkata, Jiang Si tetap tenang dan sopan tanpa cela. 　　Hingga akhirnya mulut Janda Permaisuri kering, meneguk teh: "Mingyue, antarkan Permaisuri Yan keluar." 　　Cui Mingyue tersenyum lembut pada Jiang Si: "Bibi ipar, biar saya mengantarmu keluar." 　　Jiang Si menatap Cui Mingyue sejenak, lalu berkata datar: "Terima kasih." 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari Yin Xiaotiao, terima kasih untuk semua yang memberikan vote dan hadiah. Sepertinya hadiah hampir mencapai standar tambahan bab, seperti senang bercampur resah..... 398.BAB 398: Tak Kenal Ampun 　　BAB 398: Tak Kenal Ampun 　　Keduanya berjalan berdampingan menuju luar Istana Cining. 　　Ekspresi Jiang Si datar, tak memulai percakapan dengan Cui Mingyue. 　　Bukan tak bisa berpura-pura ramah, tapi menghadapi Cui Mingyue, ia tak sudi. 　　Di kehidupan sebelumnya, orang ini menghancurkan kakak tertuanya, bahkan mungkin dalang di balik kematian Kakak Kedua. 　　Bersikap sopan pada Janda Permaisuri dan Kaisar itu keterpaksaan. Meski bukan Permaisuri Yan, tak perlu menyungging senyum pada sosok seperti ini. 　　Apalagi target terkininya masih tergantung di sana: menyingkirkan Cui Mingyue. 　　Cui Mingyue tiba-tiba memanggil: "Bibi ipar." 　　Langkah Jiang Si terhenti sebentar. 　　Cui Mingyue mendekat, berbisik: "Bibi ipar tidak menyukaiku?" 　　Jiang Si meliriknya, mengangguk: "Ya." 　　Cui Mingyue nyaris tak bisa menjaga senyumannya, menggigit bibir: "Apa maksud bibi ipar?" 　　Jiang Si terus berjalan ke depan, berkata dengan datar: "Bukankah Nona pertama Keluarga Cui sudah bertanya tadi, dan saya sudah menjawab dengan jelas?" 　　Cui Mingyue cepat-cepat menyusul, suaranya sedikit meninggi: "Apakah saya pernah menyinggung kakak ipar? Mengapa kakak berkata seperti ini?" 　　Suara tingginya itu seolah-olah sebelumnya bukan dia yang memulai bertanya, melainkan Jiang Si yang tiba-tiba berkata kasar tanpa alasan, seketika menarik perhatian para dayang di sekitarnya. 　　Alis lentik Jiang Si yang menyerupai pegunungan jauh berkerut halus, terlihat heran: "Nona pertama Cui benar-benar tidak tahu alasannya?" 　　Ekspresi Cui Mingyue tetap mempertahankan kesedihan, namun dalam hati goncang luar biasa. 　　Ternyata Jiang Si benar-benar mengakui perkataannya sesuai dengan pertanyaannya! 　　Apakah dia mengira dengan menyembuhkan mata Putri Fuqing bisa bertindak semaunya? Perkataan kasar seperti ini jika sampai di telinga Janda Permaisuri, tidak takutkah dia dibenci? 　　Dibenci Janda Permaisuri? 　　Pertanyaan yang sama juga melintas di benak Jiang Si, dengan santai dia menyunggingkan sudut bibir. 　　Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, sejak pertama kali bertemu Janda Permaisuri, dia sudah tahu bahwa sang ibu suri tidak menyukainya. 　　Kalau sudah tidak disukai bagaimanapun juga, buat apa dia repot-repot menjaga perasaan? 　　Jiang Si menatap lurus ke Cui Mingyue, tersenyum lembut seperti awan tipis: "Saya kira alasannya sudah cukup jelas, Nona pertama Cui seharusnya memiliki kesadaran diri. Tak disangka masih perlu saya beri pencerahan. Alasan saya tidak menyukaimu tentu karena kau bergaul di jalanan dengan mantan suami kakak saya--" 　　“Kau!” Cui Mingyue refleks meraba cambuk panjang di pinggangnya, namun hanya menemui kekosongan. Baru teringat bahwa setiap kali akan masuk istana, cambuk itu selalu dilepas. 　　Jiang Si tersenyum sinis bertanya: "Nona Pertama Cui marah karena malu, apakah ingin memukul saya?" 　　Tatapan para dayang di sekitar mulai memancarkan keanehan terhadap Cui Mingyue. 　　Rumor tentang Cui Mingyue dan Zhu Ziyu telah menjadi bahan gunjingan para dayang istana yang kesepian. Mereka memandang hina kelakuan tak tahu malunya, namun juga iri dengan nasib baiknya. 　　Manusia memang tak bisa dibandingkan. Meski tercoreng namanya, Nona Cui tetap bisa menjadi Permaisuri Xiang. Pada akhirnya ini karena dia adalah cucu Janda Permaisuri. Coba orang lain, mana mungkin Janda Permaisuri mau menikahkannya dengan pangeran. 　　Tapi semua omongan ini tak boleh dibahas terang-terangan. Jika sampai ke telinga majikan, nyawa bisa melayang. 　　Justru karena itu, para dayang semakin tak menyukai Cui Mingyue. Kini mendengar Jiang Si langsung menyindir aibnya, mereka merasa sangat puas. 　　Di bawah tatapan penuh makna ini, wajah Cui Mingyue memerah karena malu. Ia menahan amarah: "Kakak ipar bercanda, mana berani saya pukul. Lagipula sebagai putri bangsawan, mana boleh sembarangan memukul orang." 　　Jiang Si tak menghiraukan perkataannya, hanya tersenyum tipis. 　　Senyuman itu terdengar penuh ejekan di telinga Cui Mingyue. 　　Para dayang semakin menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyuman di mata mereka. 　　"Sebagai putri bangsawan tidak boleh sembarangan memukul orang, tapi malah bergaul di jalanan dengan pria yang sudah beristri, bukankah itu lebih tidak masuk akal?" 　　Cui Mingyue tidak menyangka Jiang Si begitu sulit ditangani, ucapannya sama sekali tidak meninggalkan muka, membuatnya kehabisan akal sesaat. 　　Kalau Permaisuri Yan adalah tipe yang pemalu dan tidak pandai bicara, beberapa kalimatnya tadi pasti bisa membuat Permaisuri Yan terjepit. Tak disangka sekarang malah seperti mengangkat batu dan menginjak kaki sendiri. 　　Jika dia melanjutkan omongan, lalu Permaisuri Yan mengeluarkan kata-kata pedas lagi, masih pantaskah dia menjadi Permaisuri Xiang atau tidak? 　　Percakapan mereka berdua pasti akan sampai ke telinga Janda Permaisuri. Meski Janda Permaisuri akan marah pada ketidakdewasaan Jiang Si, tapi masalah lamanya yang diungkit kembali juga tidak menguntungkannya. 　　"Sepupu ipar perlahan-lahan, maaf saya tidak mengantarkan." Cui Mingyue memberi setengah penghormatan pada Jiang Si, lalu berbalik dan bergegas kembali. 　　Kembali ke ruang dalam, Janda Permaisuri melihat mata Cui Mingyue sedikit merah, bertanya: "Ada apa ini?" 　　Cui Mingyue menunduk: "Tidak apa-apa." 　　"Tadi masih baik-baik saja, kenapa setelah mengantar Permaisuri Yan, matamu jadi merah?" Janda Permaisuri mendesak. 　　Cui Mingyue diam lama, baru berkata: "Sepupu ipar karena kedewasaan Mingyue sebelumnya, sangat tidak menyukai Mingyue..." 　　Karena Janda Permaisuri pasti akan tahu juga, lebih baik dia yang mengatakannya dulu agar tidak pasif. 　　Mendengar itu, wajah Janda Permaisuri langsung muram. 　　Karena dia sendiri yang menjodohkan Mingyue dengan Pangeran Xiang, kalau Permaisuri Yan masih terus mencari-cari kesalahan Mingyue, itu berarti tidak mempedulikan reputasi keluarga kerajaan dan meremehkan kedudukannya sebagai Janda Permaisuri. 　　Namun setelah berpuluh tahun menjalin hubungan ibu-anak yang harmonis dengan Kaisar Jingming, tentu saja Janda Permaisuri tidak akan memperlakukan Permaisuri Yan dengan keras saat ini. 　　Permaisuri Yan baru saja menyembuhkan mata Putri Fuqing. Melihat hal itu, Kaisar dan Permaisuri sangat gembira. Menjatuhkan hukuman pada Permaisuri Yan di saat seperti ini sungguh tidak bijaksana. 　　Janda Permaisuri yang sudah berpikir jernih menepuk-nepuk tangan Cui Mingyue dengan lembut: "Tak perlu menghiraukan Nyonya Jiang. Aku tahu kau anak yang baik." 　　Cui Mingyue mengangguk perlahan. 　　Jiang Si yang pertama kali masuk istana langsung disukai Kaisar dan Permaisuri, bahkan membuat Janda Permaisuri harus menahan amarah. Dia sama sekali tidak bisa membiarkan si jalang ini semakin memperkuat posisinya di kemudian hari... 　　Setelah Cui Mingyue pergi, Janda Permaisuri bertanya pada dayang yang menemani mereka tadi: "Bagaimana perselisihan antara Permaisuri Yan dan Nona Cui bisa terjadi?" 　　Dayang itu bersujud mohon ampun: "Saat itu hamba mengikuti dari belakang. Suara Permaisuri dan Nona Cui sangat pelan, sehingga hamba tidak bisa mendengar dengan jelas." 　　Beberapa pembicaraan memang tidak pantas didengar. 　　Permaisuri Yan secara terang-terangan menyatakan bahwa Nona pertama Keluarga Cui terlibat hubungan dengan pria beristri. Tapi Nona Cui adalah calon Permaisuri Xiang pilihan Janda Permaisuri. Jika hamba yang statusnya hina ini menyampaikan perkataan itu kepada Janda Permaisuri, mustahil Sang Janda tidak akan marah dan memandang hamba dengan sebelah mata. 　　Janda Permaisuri pun tak bertanya lagi, sejenak tidak puas dengan kelakuan Jiang Si yang melampaui batas, sekaligus jengkel dengan ketidakwajaran Cui Mingyue. 　　Namun perasaan berutang budi karena Cui Mingyue memotong dagingnya sebagai obat tetap ia rasakan, sehingga hanya bisa mengubur rasa jijik itu dalam-dalam. 　　Cui Mingyue kembali ke tempat tinggalnya di istana putri senior kekaisaran, memegang cambuk berjalan ke belakang, namun tempat itu kosong tak terlihat bayangan rusa. 　　Ia berdiri di samping pagar, baru teringat bahwa karena akan memasuki usia pernikahan, rusa sebelumnya yang dipukul sampai mati tidak diganti lagi. 　　Tiba-tiba Cui Mingyue menatap dayang yang merawat rusa itu. 　　Dayang itu langsung lemas kakinya, merosot di sepanjang pagar. 　　Jiang Si kembali ke Istana Kunning, waktunya sudah banyak terbuang. 　　Tapi Putri Fuqing begitu bersemangat, hampir tak mau berpisah dari sang penyembuh matanya yang ingin terus diajak bicara. 　　Permaisuri melihat putri kesayangannya begitu gembira, sementara Kaisar juga tak bersuara, dengan senang hati tak memaksa Pasangan Pangeran Yan untuk segera memberi salut kepada Ibu Suri Xian. 　　Biasanya ia bisa menjadi ratu seperti Buddha karena tak punya keinginan, tapi sekarang A'Quan dekat dengan Permaisuri Yan, semua Ibu Suri Xian, Zhuangfei, minggirlah! 　　Di Istana Yuquan, Ibu Suri Xian mulai tak sabar menunggu. 399. BAB 399 PERLAKUAN DINGIN 　　BAB 399 PERLAKUAN DINGIN 　　Dia sudah pernah minum teh istri sekali, tak tertarik untuk kedua kalinya. 　　Tapi di satu sisi tak tertarik, di sisi lain apakah mereka datang memberi teh penghormatan adalah hal berbeda. 　　“Lao Qi si anak durhaka itu tak menghiraukannya, itu sudah ia alami. Istri Lao Qi ini ikut-ikutan suami?” 　　Mencintai rumah hingga burung gagaknya, membenci seseorang pun sama prinsipnya. 　　Ibu Suri Xian sama sekali tak menyayangi Yu Jin, yang ada hanya kebencian karena dihina oleh anaknya sendiri. Hal ini tentu mempengaruhi pandangannya terhadap menantu perempuan, apalagi menantu ini adalah putri dari orang yang selalu ia jauhi, tentu semakin tak disukai. 　　Ibu Suri Xian merasa pasangan suami-istri ini bersatu padu menyumbat hatinya sepuluh kali lipat. 　　“Nyonya, Pangeran Yan dan Permaisuri telah tiba.” 　　Matahari sudah tinggi, jangkrik di luar jendela berkicau bersahutan, cuaca sangat panas dan gerah. 　　Wajah Ibu Suri Xian justru membeku bagai es. 　　“Bilang saja hamba sudah lelah dan sedang beristirahat, suruh mereka menunggu di ruang tamu.” 　　Dayang itu pun pergi menjalankan perintah, menyampaikan pesan Ibu Suri Xian dengan wajah datar. 　　Yu Jin dan Jiang Si saling bertatapan. 　　“Baiklah, saya dan Permaisuri akan menunggu.” 　　Yu Jin hari ini mengenakan jubah merah tua yang kontras dengan kulitnya yang pucat, membuatnya tampak gagah berani bak rembulan terang. 　　Suaranya yang santai dengan senyum mengambang membuat dayang penyampai pesan itu memerah wajahnya, tak bisa lagi menjaga ekspresi dingin. 　　Walau begitu, dayang itu tetap mengingat ketidaksenangan Ibu Suri Xian dan tak melayani pasangan tersebut. 　　Waktu berlahan merayap, keduanya menunggu dengan tenang. 　　Saat dayang yang berdiri di ruang depan mengira Ibu Suri Xian hampir memanggil mereka, tiba-tiba Yu Jin meraih cangkir teh dan melemparkannya ke lantai dengan keras. 　　Cangkir itu langsung pecah berantakan, menimbulkan suara keras. 　　Bagi dayang yang biasa berjalan pelan-pelan di istana, ini sudah merupakan keributan yang sangat besar. 　　Beberapa dayang langsung pucat wajahnya, kebingungan tak tahu harus berbuat apa. 　　"Lao Qi, kau sedang apa?" Tirai bergerak, Ibu Suri Xian keluar ditemani dayang. 　　Pecahan keramik di lantai menyakiti matanya, sementara ekspresi tenang pasangan pengantin baru itu semakin membuatnya marah. 　　Ibu Suri Xian menatap tajam Yu Qi, berkata sinis: "Lao Qi, apakah kau masih ingat bahwa hamba adalah ibumu?" 　　Yu Jin menundukkan pandangan, berkata datar: "Tentu saja ingat." 　　"Ingat?" Suara Ibu Suri Xian meninggi. "Menurutku kau sudah lupa! Brengsek! Hamba sudah menunggu kalian hampir satu shichen, karena lelah lalu beristirahat di belakang. Kau malah membuat keributan sampai ke Istana Yuquan. Apakah kau masih menganggap hamba sebagai ibumu?" 　　Yu Jin tersenyum: "Nyonya, justru karena anak menganggap Ibu sebagai orang terdekat, baru berani menghukum para budak anjing yang tak tahu sopan santun ini!" 　　Ibu Suri Xian menatap dingin menunggu Yu Jin melanjutkan. 　　Yu Jin sama sekali tidak merasa tidak nyaman, senyuman di bibirnya tidak berkurang: "Nyonya sedang tidur, hamba dan Permaisuri menunggu berapa lama pun seharusnya. Tapi setelah menunggu sebegitu lama, para hamba di Istana Yuquan ini bahkan tak menyajikan secangkir teh, membuktikan mereka sama sekali tidak mengerti tata krama. Kalau menghadapi anak lelaki dan istri mungkin masih bisa dimaafkan, tapi jika tamu lain datang dan diperlakukan seperti ini, yang dipermalukan adalah wajah Nyonya. Sebagai anak kandung Nyonya, tentu hamba harus mempertimbangkan dari sudut pandang Nyonya. Setelah dipertimbangkan, para hamba ini harus dihukum..." 　　Seiring ucapan Yu Jin, para dayang istana itu sudah bersujud berjajar di lantai, wajah mereka pucat ketakutan. 　　Mereka hanya memikirkan untuk mengambil hati Nyonya, tak menyangka Pangeran Yan bisa sekejam ini. 　　Ibu Suri Xian juga tak menyangka Yu Jin bisa langsung marah dan membalikkan meja hanya karena tak mendapat teh, apalagi ucapannya sulit dibantah, terutama frasa "anak kandung Nyonya" yang terdengar sangat sarkastik di telinganya. 　　"Ini karena hamba terlalu lunak pada mereka. Tapi hari ini adalah kunjungan pertamamu membawa Permaisuri ke Istana Yuquan, jangan sampai hamba-hamba tak tahu diri ini merusak momen bahagia." Ibu Suri Xian melirik para dayang yang masih bersujud, berkata datar, "Mundur dan terima hukuman." 　　Beberapa dayang segera mohon ampun dan buru-buru keluar. 　　Jiang Si tidak bisa menahan senyum. 　　Berkat ulah Yu Qi ini, saat kembali ke Istana Yuquan di kemudian hari, para dayang tak akan berani memperlakukan mereka dengan semena-mena tanpa perintah langsung dari Ibu Suri Xian. 　　“Cepat ada dayang membersihkan kekacauan di lantai dan menghidangkan teh baru.” 　　Yu Jin mengangkat cangkir memberikan teh kepada Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian berkata dengan sikap tidak ramah: “Hamba kira baru bisa minum teh ini sampai tengah hari.” 　　Yu Jin tersenyum: “Anak sudah lama ingin datang, tapi Ayah Kaisar memaksa Erchen berbicara, tak sengaja jadi tertunda.” 　　Dia sangat tidak sabar masuk istana belakang untuk omong kosong ini, tapi karena ini hari pertama pernikahan, demi pertanda baik untuk dirinya dan A Si harus menahan diri. 　　Ibu Suri Xian tergugah hatinya mendengar Yu Jin menyebut Kaisar Jingming. 　　Kaisar menahan Lao Qi berbicara? Apa artinya ini? 　　“Ayahmu bukan tipe yang banyak bicara.” Ibu Suri Xian mencoba menguji. 　　Yu Jin tersenyum sambil menarik Jiang Si: “Orang yang sedang berbahagia pasti bersemangat.” 　　Ibu Suri Xian mengernyitkan bibir. 　　Omong kosong! Kaisar sudah menikahkan putrinya lebih dari sepuluh kali, memberi anak lelaki mencari istri juga enam tujuh kali, tidak bosan saja sudah ajaib. 　　Ibu Suri Xian menekan rasa penasarannya, menerima teh Yu Jin dan menyesap sedikit. 　　Selanjutnya giliran Jiang Si memberikan teh, tapi Ibu Suri Xian tidak menerima. 　　“Teh tidak perlu terburu-buru diminum, ada beberapa hal yang harus hamba ingatkan pada Permaisuri.” 　　“Mohon petunjuk Ibu Selir.” Jiang Si tetap mempertahankan posisi memberikan teh, sikapnya patuh. 　　Sikap patuh dan hormatnya ini tanpa disengaja memberi Ibu Suri Xian kesan keliru. 　　“Ibu Suri Xian mulai berbicara tentang pentingnya kesucian dan ketenangan bagi wanita, bahkan setelah waktu minum secangkir teh pun belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.” 　　“Anak lelaki yang brengsek dan tak mengikuti aturan ini sulit dihadapi untuk sementara, jika menantu perempuan tak bisa dikendalikan lagi itu akan menjadi lelucon.” 　　“Jiang Si memegang cangkir teh dengan kedua tangan, menghitung dalam hati: satu, dua, tiga...” 　　“Benar saja, sebelum hitungan kesepuluh, Yu Jin merebut paksa cangkir teh dari tangannya dan meletakkannya keras-keras di meja.” 　　“Nyonya boleh minum perlahan-lahan. Sudah hampir tengah hari, hamba harus membawa Permaisuri ke tempat berikutnya.” 　　“Melihat Yu Jin menarik Jiang Si hampir sampai ke pintu, Ibu Suri Xian yang semula terkejut berubah menjadi murka. Dilemparnya cangkir teh ke lantai: "Brengsek! Teh ini hamba tak akan minum!"” 　　“Langkah Yu Jin terhenti. Ia menatap Ibu Suri Xian: "Jika Nyonya tidak suka minum teh, silakan. Tentu hamba dan istri tak bisa memaksa orang tua."” 　　“Di hadapan dayang-dayang di ruangan, Ibu Suri Xian menggigil marah: "Brengsek! Kau tahu jika hamba tidak minum teh ini, Permaisuri Yan tak akan diakui secara resmi?"” 　　“Yu Jin terkejut.” 　　“Melihat keterkejutannya, Ibu Suri Xian menyeringai dingin.” 　　“Bahkan di keluarga biasa, mempelai baru yang menyuguhkan teh ke mertua harus waspada. Bagaimanapun mertua menyulitkan, harus diterima. Jika mertua menolak minum teh, berarti tak mengakui menantu perempuan ini.” 　　“Jika demikian, mempelai perempuan itu takkan bisa angkat kepala lagi di klan.” 　　Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Pasangan Pangeran Yan jika dia tidak meminum teh pengantin ini! 　　Yu Jin tiba-tiba tertawa: "Apakah Nyonya salah paham? Baru saja Ayah Kaisar dan Ibu telah meminum teh yang dihormatkan Permaisuri, bahkan Ibu memberikan Permaisuri Gelang Lingxiao. Jadi jika bicara legitimasi, tidak ada yang lebih sah dari Permaisuri." 　　Setelah berkata demikian, dia menarik Jiang Si dan pergi dengan angkuh. 　　Ibu Suri Xian menatap tajam tirai mutiara yang bergoyang, wajahnya yang terawat berganti pucat dan merah, hampir pingsan. 400. BAB 400. Si Bodoh dari Istana Timur 　　BAB 400 SI BODOH DARI ISTANA TIMUR 　　Ibu Suri Xian yang dilanda amarah tetap tidak kehilangan akal, segera menyuruh orang untuk menyelidiki soal Gelang Lingxiao. 　　Mengenai Gelang Lingxiao, ada sebuah kisah unik. 　　Permaisuri berasal dari Klan Di, keluarganya tidak terlalu terkemuka. Ibu Permaisuri yang sedang hamil tua tersandung batu saat berjalan di taman, lalu langsung melahirkan Di Shi. 　　Batu yang tak diketahui sudah berapa lama berada di taman itu tentu dibuang. Tapi pelayan yang memindahkan batu tidak memegang dengan baik, batu itu menabrak batu lain hingga pecah sedikit, memperlihatkan warna hijau samar. 　　Pelayan yang melihat warna batu tidak biasa segera melapor. Mandor memanggil pengrajin untuk membelah batu itu, ternyata adalah batu giok yang akhirnya dibuat menjadi sepasang gelang giok. 　　Gelang giok ini memiliki kualitas air yang sangat baik, yang lebih menakjubkan adalah serat salju yang tersebar samar di dalamnya, ternyata merupakan serat kapas salju langka. 　　Sepasang gelang giok seperti ini tentu memiliki nilai yang sangat tinggi. 　　Karena penemuan gelang giok ini dikaitkan dengan kelahiran Nyonya Di, gelang tersebut tanpa ragu menjadi milik Nyonya Di yang baru lahir. 　　Ibu Suri Keluarga Di menganggap ini pertanda baik, khusus mengundang ahli nujum untuk membaca takdir Nyonya Di. 　　Ahli nujum terkejut melihat Nyonya Di dan menyatakan bahwa takdirnya akan luar biasa mulia di masa depan. 　　Ibu Suri Di sangat gembira, sejak itu memperlakukan Nyonya Di seperti biji matanya, bahkan menamai gelang giok tersebut sebagai Gelang Lingxiao. 　　Kemudian Kaisar Jingming naik tahta, hidup harmonis dengan Permaisuri Pertama. Meski kecewa, Ibu Suri Di mengira "kemuliaan luar biasa" mungkin berarti cucunya bisa menikahi seorang pangeran menjadi permaisuri. 　　Seorang permaisuri resmi bagi keluarga bangsawan seperti mereka sudah cukup baik. 　　Tak disangka hidup tak terduga, Permaisuri Pertama wafat karena sakit. Kaisar Jingming berduka sangat, tahta permaisuri kosong bertahun-tahun, akhirnya memutuskan mengambil Permaisuri Pengganti setelah desakan dari dalam dan luar istana. 　　Tahun itu, Nyonya Di tepat genap lima belas tahun. 　　Setelah berbagai pertimbangan keseimbangan kekuatan, Nyonya Di terpilih menjadi permaisuri baru. 　　Kemudian, kisah tentang Gelang Lingxiao pun perlahan menyebar luas. 　　“Gelang Lingxiao ada sepasang, Janda Permaisuri memberikan satu kepada Permaisuri Yan. Ini sungguh tak masuk akal, mengingat saat pernikahan Putra Mahkota dulu, Permaisuri Putra Mahkota pun tidak mendapat satu pun gelang Lingxiao dari Janda Permaisuri.” 　　Kabar kesembuhan mata Putri Fuqing adalah hal menggembirakan. Ibu Suri Xian mengirim orang untuk menyelidiki dan segera mendapat konfirmasi. 　　Ibu Suri Xian duduk di kursi malas, jarinya tanpa sadar mengelus ukiran sandaran tangan, masih seperti berada dalam mimpi. 　　Permaisuri Yan menyembuhkan mata Putri Fuqing? 　　Ini... sungguh aneh. 　　Namun hal mustahil ini benar-benar terjadi, bahkan membuat Janda Permaisuri terkejut. 　　Utusan dari Istana Yuquan meski tidak bertemu langsung dengan Putri Fuqing, memastikan kebenaran berita ini tak mungkin dipalsukan. 　　Saat Ibu Suri Xian menutup mata, bayangan wajah anggun yang luar biasa muncul di benaknya. 　　Wanita itu tersenyum lembut, tangannya yang putih mengusap kuncup bunga prem hingga mekar perlahan. 　　Kini, dia bahkan menyembuhkan mata Putri Fuqing. 　　Jantung Ibu Suri Xian berdebar kencang, pikiran aneh tiba-tiba muncul: Ini pasti siluman! 　　"Nyonya——" Dayang kepercayaan melihat wajah Ibu Suri Xian pucat, memanggil dengan cemas. 　　Ibu Suri Xian membuka mata, ekspresinya kembali tenang. "Kendalikan para pelayan. Peristiwa hari ini tentang pasangan Pangeran Yan di Istana Yuquan tidak boleh bocor keluar." 　　Awalnya dia ingin mengendalikan Permaisuri Yan, tapi tidak menyangka binatang Lao Qi itu langsung menarik Permaisuri Yan pergi, akhirnya bahkan secangkir teh istri pun tidak diminum. 　　Perbuatan tidak berbakti seperti ini sampai ke telinga Kaisar, hukuman untuk Lao Qi sudah pasti, sedangkan dia tentu tak peduli dengan reputasi anak durhaka ini. 　　Tapi Permaisuri Yan justru menyembuhkan Putri Fuqing. Menurut kabar yang didapat, Kaisar sudah memerintahkan diadakannya pesta istana untuk merayakannya. 　　Jika masalah ini tersebar di saat seperti ini, meski Kaisar menghukum Lao Qi, dia pasti akan sangat kecewa padaku. Para siluman rubah di istana itu malah akan menertawakanku. 　　Anak lelaki tak menghiraukan ibu selirnya, menantu perempuan tak menghormati ibu mertua dengan teh - mana mungkin wajahku tetap bermartabat? 　　Jadi cara terbaik adalah menutupi masalah ini sementara, menahan amarah untuk sementara waktu. 　　Selain hari-hari spesial seperti ini, pangeran dewasa memang jarang masuk istana. Sebagian besar waktu Permaisuri-lah yang masuk istana untuk salut pada ibu selir. Nanti ketika Permaisuri Yan datang sendirian tanpa perlindungan Lao Qi, aku ingin lihat apakah dia masih berani semena-mena. 　　Setelah meninggalkan Istana Yuquan, Jiang Si tersenyum bertanya: "A Jin, kau berani langsung menarikku pergi begitu saja? Tak takukah Ibu Suri Xian akan mengadukanmu pada Ayah Kaisar?" 　　Yu Jin menoleh memandang ke belakang. 　　Di bawah terik matahari, tembok merah dan genting hijau Istana Yuquan tampak megah berkilauan. 　　Dia terkekeh: "Jika dia tidak takut malu, silakan saja mengadu." 　　Apakah Ibu Suri Xian termasuk orang yang tidak takut malu? Tentu saja bukan. 　　Seorang yang karena anaknya diramalkan biksu Tao bertentangan dengan Kaisar bisa langsung mengabaikan anaknya, selalu mementingkan hal-hal tak berguna. 　　Sebenarnya ini cukup baik, harap Ibu Suri Xian mempertahankan kelebihan ini. 　　Selanjutnya mereka mengunjungi beberapa istana yang memiliki selir berpangkat, mendapat berbagai hadiah, lalu menghadap Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota di Istana Timur. 　　Putra Mahkota sudah lama tidak menyukai Yu Jin. 　　Setiap kali bajingan ini membuat masalah, dia selalu kena marah juga. Apa dasarnya? 　　Putra Mahkota memandang Yu Jin dengan ekspresi tidak jelas, Permaisuri Putra Mahkota tak tahan menarik lengan suaminya. 　　Putra Mahkota semakin kesal, melepaskan tangan permaisuri, lalu menatap Jiang Si. 　　Tatapannya tertahan agak lama. 　　Yu Jin bermuka masam: "Banyak urusan di rumah, saya dan Permaisuri mohon pamit." 　　Putra Mahkota pura-pura tak dengar, tersenyum manis: "Pantas saja Adik ketujuh memberikan semua bunga prem di Pesta Bunga Mei kepada adik ipar, sungguh cantik luar biasa." 　　Hmph, lihat Lao Qi ini, benar-benar melindungi istrinya. 　　Sengaja dia berkata begitu, silakan saja pukul dia kalau berani. 　　Memukul saudara lain masih dianggap ulah anak-anak, tapi berani memukul Putra Mahkota? Itu pemberontakan! 　　Pasti akan membuat bajingan ini menyesal seumur hidup! 　　Yu Jin malah tertawa, berkata terus terang: "Mencintai keindahan adalah naluri manusia. Kalau saya suka, pasti akan direbut. Saya tahu Kakak iri, tapi berkata begitu di depan Permaisuri Putra Mahkota, bisa membuatnya sakit hati." 　　"Melihat Yu Jin menarik Jiang Si keluar, Putra Mahkota menggertakkan kepalan tangan: 'Lao Qi, kau kembali!'" 　　Yu Jin tak menoleh: "Tak perlu menjamu makan, makanan Istana tidak cocok dengan selera adik." 　　Putra Mahkota hendak berbicara lagi, dihalangi Permaisuri Putra Mahkota. 　　"Mengapa kau menghalangiku?" 　　Permaisuri Putra Mahkota menggigit bibir, tak tahan menasihati: "Paduka mengomentari kecantikan Permaisuri Yan di depan umum, jika sampai ke telinga Ayah Kaisar pasti akan dimarahi lagi." 　　"Dimarahi, dimarahi, selain dimarahi apa lagi yang bisa dilakukan?" 　　Permaisuri Putra Mahkota gemetar ketakutan: "Paduka!" 　　"Sudahlah, kau hanya bisa mengomel, sungguh membosankan." 　　Wajah Permaisuri Putra Mahkota memerah, menggigit bibir: "Memang aku tak berguna, tapi tahu sebagai calon penguasa harus jadi teladan para pangeran, membuat Ayah Kaisar senang, menenangkan rakyat. Bukan seperti Paduka yang malah mengomentari menantu perempuan, sikap sembrono dan tidak serius——" 　　"Diam!" Tamparan Putra Mahkota melayang, marah tak karuan: "Jika kau secantik Permaisuri Yan, mana mungkin aku dihina oleh bajingan Lao Qi itu?" 　　Permaisuri Putra Mahkota menghindar tipis, berkata datar: "Pangeran Yan bisa menghina Paduka, mana mungkin karena kecantikanku." 　　Sayangnya, si bodoh ini takkan pernah paham. 　　Setelah keluar istana masuk ke kereta kuda, Yu Jin tiba-tiba berkata: "Menurutku si bodoh Istana Timur itu takkan lama lagi menjadi Putra Mahkota." 　　Terima kasih kepada Ai Aiyuanzi atas hadiah 10.000 koin, terima kasih untuk teman-teman pembaca yang telah memberikan vote dan hadiah. 401.BAB 401 Apakah Lukisan Itu Masih Ada 　　BAB 401 Apakah Lukisan Itu Masih Ada 　　Pada saat itu, jantung Jiang Si tiba-tiba berdebar kencang, matanya memandang Yu Jin dengan ekspresi aneh. 　　Musim panas tahun ke-19 Jingming, memang tidak lama lagi sebelum Putra Mahkota pertama kali dipecat. 　　Seketika ini, Jiang Si tiba-tiba terbersit pikiran bahwa Yu Qi mungkin juga mengalami reinkarnasi seperti dirinya. 　　"Ah Jin." 　　Yu Jin tersenyum menarik Jiang Si ke pelukannya, menatap matanya: "Kenapa memandangku seperti ini?" 　　"Mengapa kau bilang Putra Mahkota tidak akan lama bertahan?" 　　Yu Jin mencemooh: "Seperti kata pepatah, langit berulah akan hujan, manusia berulah akan celaka. Putra Mahkota sudah keterlaluan, mustahil bisa bertahan lama." 　　Jiang Si menatap Yu Jin tak berkedip. 　　"Ada apa?" Yu Jin bingung, tiba-tiba tersadar: "Apakah kau merindukanku?" bisiknya di telinga Jiang Si. 　　Jiang Si terkejut sejenak, lalu melotot: "Apa yang kau bayangkan?" 　　Siang bolong di dalam kereta kuda, bagaimana bajingan ini bisa memikirkan hal-hal semacam—*batuk* sepertinya juga tidak mustahil. 　　Jiang Si teringat kehidupan sebelumnya. 　　Waktu itu, pria ini seperti belum pernah melihat perempuan selama beberapa generasi, terus merayunya setiap hari. Dari awalnya malu dan menolak, akhirnya ia malah menikmati situasi "seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki". 　　Sepertinya, sebenarnya, ketika bertemu dengan lawan yang seimbang, itu memang hal yang menyenangkan bagi tubuh dan pikiran. 　　Yu Jin terus memandangi orang dalam pelukannya. 　　Melihatnya seolah sedang mengingat-ingat, matanya berkilau dengan cahaya yang membuat hatinya berdebar, tiba-tiba ia mendapat dorongan semangat. 　　A Si pasti sedang mengingat kegagahanku tadi malam. 　　Sebenarnya aku bisa melakukan lebih baik, hanya takut badan A Si tidak kuat... 　　Begitu memikirkannya, seolah api menyala-nyala di tubuhnya, seluruh badan terasa panas. 　　Yu Jin menjilat bibirnya, menunduk menggigit leher putih salju Jiang Si, berani membuka tali pinggangnya. 　　Jiang Si menahan tangan besar yang tak bisa diam itu: "Jangan macam-macam, aku masih sakit..." 　　Yu Jin segera duduk tegak kembali, bahkan mendorong Jiang Si sedikit menjauh. 　　Jiang Si tertawa kesal: "Kenapa tidak kau lemparkan aku keluar kereta kuda?" 　　Yu Jin mengeluh dengan wajah sedih: "Sulit menjadi Liu Xiahui yang bertahan godaan." 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta, suaranya merendah: "A Jin, aku juga merasa Putra Mahkota tidak akan lama lagi." 　　Yu Jin tidak merasa aneh, tersenyum: "Kita berpikiran sama." 　　Jika Kaisar hanya punya satu putra mahkota, biar dia berulah sepuasnya. Tapi Kaisar terlalu subur, pangerannya sampai delapan orang, yang paling kecil sudah usia menikah. 　　Meski kupandang saudara-saudara itu ada yang bodoh ada yang licik, tetap tidak bisa menghalangi mereka yang mengincar posisi putra mahkota. 　　“Dikelilingi serigala-serigala, Kaisar masih sehat walafiat, apakah Putra Mahkota yang berperilaku hati-hati bisa bertahan sampai naik tahta? Sungguh mustahil situasi seperti ini tidak menimbulkan kekacauan.” 　　“Tentu saja, ini semua tak ada hubungannya dengan diriku dan A Si. Aku hanyalah pangeran tak berkuasa, menutup pintu istana dan hidup harmonis bersama A Si di dalamnya sudah seperti surga. Biarkan tulang berisi daging bernama takhta itu diperebutkan oleh anjing-anjing gila!” 　　Yu Jin mengingat malam kemarin, merasakan hari-hari ke depan bagaikan terendam dalam tong madu, perasaan segar dan puas memenuhi hatinya. 　　Jiang Si baru yakin bahwa Yu Jin berbeda dengannya. 　　Di hatinya muncul sedikit penyesalan, tapi juga kelegaan. 　　Yang disesalkan adalah kenangan bersama A Jin di kehidupan sebelumnya hanya akan diketahui olehnya sendiri. Yang menggembirakan adalah mereka bertemu di waktu yang tepat, tanpa kehadiran Ji Chongyi maupun Imam Suci A Sang, tentu hidup mereka akan lebih sederhana dan bahagia. 　　Lebih banyak kelegaan daripada penyesalan, baginya ini sudah merupakan berkah. 　　Sewaktu kecil ia tak percaya kecantikan membawa nasib malang, setelah dewasa mengalami semuanya barulah percaya. Kini ia lebih yakin takdir harus direbut dengan tangan sendiri. 　　Jiang Si sudah melepaskan keraguannya, tiba-tiba Yu Jin bertanya: “A Si, benarkah kau bisa menyembuhkan mata Putri Fuqing karena terlahir berpengetahuan?” 　　“Tidak percaya?” Jiang Si tersenyum bertanya. 　　“Bukan.” Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, jemari mereka saling terkait. “Mungkin kau tak tahu, di beberapa suku Perbatasan Selatan, keyakinan tentang orang yang terlahir berpengetahuan sangat populer.” 　　Jantung Jiang Si berdebar kencang. 　　Yu Jin melanjutkan: “Contohnya Suku Wu Miao, Imam Suci mereka disebut sebagai Yang Terpilih Langit. Konon hanya anak perempuan yang memiliki kepekaan alami terhadap Ilmu Gaib yang bisa menjadi kandidat Imam Suci. Dalam proses tumbuh kembang kandidat-kandidat ini, pasti ada satu anak perempuan yang bakatnya jauh melampaui yang lain, seolah terlahir dengan penguasaan Ilmu Gaib... Orang inilah yang akan menjadi Imam Suci Wu Miao. Setelah Imam Suci sebelumnya meninggal, dia akan menjadi Tetua baru, yakni pemimpin Suku Wu Miao bahkan suku-suku taklukan di sekitarnya...” 　　Pemimpin sejati yang menguasai Suku Wu Miao dan suku-suku taklukan, jika berhadapan dengan Dinasti Zhou atau negara-negara lain, cukup mampu mengacaukan separuh langit. 　　Yu Jin mengambil sebuah plum dari meja kecil yang terpasang di gerbong, melemparkannya ke mulut lalu mengunyah. Setelah menelan, ia meneguk beberapa kali teh sementara pikirannya masih tertuju pada urusan Perbatasan Selatan. 　　Tempat yang telah diinapinya bertahun-tahun itu, meski tampak seperti wilayah kecil, sesungguhnya penuh misteri dan menyimpan kekuatan yang menakutkan. 　　Melihat ini, Jiang Si meletakkan tangan di bahu Yu Jin dengan senyum menggoda: “Jin, kau sangat memahami Imam Suci Wu Miao ya.” 　　Di kehidupan sebelumnya, dia selama dua tahun menyamar sebagai Imam Suci Wu Miao. Karena takut ketahuan, jarang berinteraksi dengan anggota suku. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk mempelajari Ilmu Gaib. Orang yang dikenalnya selain Yu Qi hanyalah dayang pribadi A Sang. 　　Sekarang ketika diingat kembali, pengalaman itu memberinya berbagai kemampuan ajaib, sementara jejak ingatan lainnya hampir tak tersisa. 　　“Tahu karena kebetulan.” Mengenai urusan Perbatasan Selatan, Yu Jin tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. 　　Bibir Jiang Si bergetar halus. Hatinya ingin menanyakan tentang lukisan itu, tapi tak tahu harus memulai dari mana. 　　Meski pasangan suami istri seharusnya saling terbuka, bagaimana dengan masalah peninggalan kehidupan sebelumnya seperti ini? 　　Pada saat ini, dirinya tidak hanya seharusnya tidak tahu wajah Imam Suci A Sang, apalagi mengetahui keberadaan lukisan tersebut. 　　Apakah harus memberitahu Yu Qi bahwa dirinya adalah hasil reinkarnasi? 　　Semua hal lain bisa diungkapkan, hanya ini satu-satunya yang tak pernah terpikir oleh Jiang Si. 　　Rahasia reinkarnasi ini bagai pakaian dalam yang paling intim. Jika dibuka, sungguh akan membuatnya telanjang bulat. 　　Memikirkan hal ini, Jiang Si teringat pertanyaan baru: Di kehidupan sekarang ini, apakah lukisan di ruang belajar Yu Jin masih ada? 　　Pertanyaan ini bagai batu yang mengobrak-abrik danau hati, membuatnya ingin segera kembali ke Kediaman Pangeran Yan. 　　Dalam perjalanan yang terasa singkat bagi Yu Jin namun panjang bagi Jiang Si, kereta kuda akhirnya berhenti. 　　Kediaman Pangeran Yan telah tiba. 　　Mereka turun berurutan dan berjalan berdampingan masuk. 　　Bayangan abu-abu kekuningan menyergap, berhenti di depan Jiang Si sambil mengibaskan ekor dengan memelas. 　　Yu Jin menggeretakkan gigi dengan muka masam: "Er Niu, kau masih berani muncul!" 　　Mulut Er Niu dibalut sutra merah dengan pita berbentuk kupu-kupu, mengeluuhkan suara sedih. 　　Jiang Si merasa trenyuh melihatnya, melotot ke arah Yu Jin: "Er Niu hanya ingin makan paha babi kecap, bagaimana bisa kau memberinya hukuman seperti ini?" 　　Wajah Yu Jin semakin hitam. 　　Hanya ingin makan paha babi kecap? Si anjing ini jelas sengaja membuat ulah karena aku melarangnya ikut saat menjemput A Si. 　　Saat itu dia hampir terkejut setengah mati! 402. Hari ini tidak bisa update bagian kedua 　　Hari ini tidak bisa update bagian kedua 　　Area tempat tinggal mengalami pemutusan jaringan regional, sedang diperbaiki. Data semua ada di komputer desktop, tidak bisa update. Teman-teman tunggu besok saja. Hari ini terasa penuh kesialan, menghela nafas. 403. BAB 402 Memegang Erat Kaki Nyonya Rumah 　　BAB 402 Memegang Erat Kaki Nyonya Rumah 　　Er Niu yang mulutnya sudah bebas, menguap lebar ke arah Yu Jin. 　　Mulut anjing besar terbuka lebar memperlihatkan gigi putih, sambil mengamati reaksi tuan rumah dengan mata sipit, sikapnya benar-benar penuh provokasi. 　　Yu Jin hampir meledak marah, mengangkat kaki hendak menendang. 　　Er Niu lincah menghindar ke belakang Jiang Si, menjilat-jilat punggung tangannya dengan sikap merayu. 　　Jiang Si mengerutkan alis menegur Yu Jin: "Untuk apa kau berdebat dengan Er Niu?" 　　Yu Jin: "..." Yang menyerang duluan selamat, yang terlambat celaka. Andai dulu aku cepat-cepat menjual si anjing Er Niu ini, mana mungkin sekarang sampai menderita sakit hati begini! 　　Er Niu: "Guk!" 　　Halaman utama Kediaman Pangeran Yan bernama Taman Yuhe, terletak di poros tengah istana. 　　Pasangan suami istri melangkah masuk gerbang taman, Er Niu mengikuti rapat di belakang. 　　Langkah Yu Jin terhenti sebentuk, berkata dengan jijik: "Kembali ke kandang anjingmu!" 　　Sebelum menikah, hampir semua waktu istirahatnya dihabiskan di ruang belajar halaman depan, demi menunggu A Si masuk untuk tinggal bersama di tempat baru. 　　“Sarang Er Niu juga terletak di Halaman depan, namun biasanya tidak ada yang melarangnya berlarian ke mana-mana di istana pangeran yang luas ini.” 　　Er Niu melirik Yu Jin, tetap menggigit rok Jiang Si tanpa melepaskannya. 　　Yu Jin mengulurkan tangan untuk mencengkeram leher Er Niu, namun dihalangi oleh Jiang Si. 　　“Buatkan kandang anjing untuk Er Niu di Yuyuan.” 　　Er Niu seolah mengerti, menggonggong bangga dua kali lalu berguling-guling perlahan di tanah, terus menggelinding sampai ke sudut teduh di dekat tembok, menjulurkan lidahnya dan menolak pergi. 　　Yu Jin bergumam akan menyelesaikan ini nanti, lalu masuk ke dalam rumah bersama Jiang Si. 　　Setelah berganti pakaian dan membersihkan tangan (tidak perlu dijelaskan detailnya), sambil menunggu makan malam, Yu Jin mengeluh dengan wajah kaku: "A Si, saya selalu merasa seperti ada ilusi bahwa kau lebih baik ke Er Niu daripada ke saya." 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu tersenyum manis: "Sebenarnya itu bukan ilusi." 　　Yu Jin menepuk meja dan berdiri, menarik Jiang Si mendekat: "Benarkah?" 　　Jiang Si melihat ekspresinya yang sangat serius, tertawa: "Kenapa? Tidak puas dengan jawaban dan mau memukul orang?" 　　Suara Yu Jin merendah, matanya berkilau dengan cahaya berbahaya: "Sebenarnya aku ingin melakukan hal lain..." 　　Jiang Si mengedipkan mata sambil tertawa: "Aku juga sedang berpikir hal yang sama." 　　Yu Jin benar-benar terpaku. 　　Mungkin pendengarannya salah. Dalam bayangannya, bukankah A Si seharusnya menolak dengan tegas? 　　Jiang Si tertawa tak bisa berhenti. 　　Setelah menjalani dua kehidupan, jika harus membandingkan ketebalan muka, tentu lebih tebal sedikit daripada si bodoh di depannya ini. 　　"Makanlah, aku lapar." Jiang Si berhenti menggodanya. 　　Yu Jin merasa sedikit menyesal, namun patuh berhenti melamun. 　　Hanya menunggu sampai malam, dia masih bisa menahan diri. Nanti pasti ada saatnya A Si yang memohon ampun. 　　Setelah makan siang berdua, dayang menghidangkan baskom cuci muka, handuk, dan lain-lain. Barulah segalanya tertata rapi. 　　Jiang Si masuk ke kamar dalam dan bersandar di ranjang. Melihat Yu Jin menyusul masuk, dia bertanya sambil tersenyum: "Pangeran tidak ada urusan lain?" 　　Yu Jin menendang sepatunya dan berbaring di samping Jiang Si, memeluknya erat: "Tidak ada yang lebih penting dari tidur siang bersama. Lagipula, pangeran tak berkuasa seperti aku punya urusan apa..." 　　Hidup santai tanpa tujuan, setidaknya biarkan orang lain mengira begitu, baru hari-hari akan terasa nyaman. 　　Jiang Si mendorongnya: "Tidak mau ke ruang belajar membaca? Bukannya kau bilang pada Ayah Kaisar akan lebih rajin membaca?" 　　Yu Jin terkekeh: "Terlalu banyak baca malah bikin pusing. Keadaanku sekarang sudah pas." 　　"Kalau begitu tidurlah." Jiang Si mengangkat tangan melepas kait kelambu. 　　Kelambu sutra merah perlahan turun, mengisolasi ruang kecil mereka. 　　Jiang Si tak bisa tidur, pikirannya masih terpaku pada lukisan itu. 　　Yu Jin juga terjaga, merenungkan gelang Lingxiao yang diberikan Permaisuri kepada Jiang Si. 　　Kembali ke ibu kota bagaikan masuk kegelapan, sama seperti orang buta. 　　Rasanya sungguh menyebalkan. 　　Sejak tahun itu ketika dia hampir dijual ke rumah bordil karena disangka perempuan, dia sudah bersumpah: nasibnya tak boleh lagi diatur orang lain. 　　“Sejak itu, ia mengubur dendam dan kepahitan masa kecil, belajar dan berlatih bela diri dengan gila-gilaan, pergi ke medan perang paling kejam di Perbatasan Selatan untuk mengasah diri, semata-mata demi mendapatkan kekuatan.” 　　“Bisa dikatakan kelahiran barunya diberikan oleh A Si.” 　　“Kini ia telah kembali, mendapatkan A Si seperti yang diinginkan, meski sudah merasa puas tanpa keinginan lain, tetap tidak bisa lengah.” 　　“Dia bisa memilih untuk tidak bersaing secara aktif, tapi tidak bisa pasif mengikuti arus.” 　　“Lebih dari setahun sejak kembali ke ibu kota, sebagian besar hasil dari Perbatasan Selatan secara diam-diam berubah menjadi bidak-bidak dan mata-mata.” 　　“Itu adalah mata dan telinganya, mencegahnya menjadi buta dan tuli setelah kembali ke ibu kota.” 　　“Tentang kisah Gelang Lingxiao, tentu saja dia pernah mendengarnya.” 　　“A Si menyembuhkan mata Putri Fuqing, memberikan jasa besar. Wajar jika Permaisuri ingin memberi hadiah besar, tapi apakah pemberian Gelang Lingxiao terlalu berlebihan?” 　　“Napas di telinganya tidak teratur, Yu Jin pun bertanya: 'A Si, kau suka gelang hadiah dari Permaisuri?'” 　　“Jiang Si membalikkan badan, berhadapan langsung dengan Yu Jin.” 　　“Keduanya berbaring di ranjang yang sama, sangat berdekatan.” 　　“Dia bisa menghitung jelas beberapa helai janggut tipis di dagu lawannya, sementara dia bisa melihat bulu halus di pipinya.” 　　“Jiang Si mengangkat tangannya. Lengan baju putih salju melorot memperlihatkan pergelangan tangan putih mulus dengan Gelang Lingxiao hijau zamrud yang berkilauan.” 　　“'Gelangnya memang cukup indah.' Jiang Si berkata dengan tulus.” 　　“Niat Permaisuri agak sulit ditebak. Kecuali benar-benar diperlukan, jangan sering datang ke istana.” Yu Jin mengatupkan bibir tipisnya, mengingatkan. 　　Jika dipikir dangkal, mungkin Permaisuri terlalu berterima kasih sehingga memberikan hadiah termewah kepada Permaisuri Yan. Tapi jika dipikir lebih dalam, siapa tahu ini cara Permaisuri menarik kami ke kubangan keruh itu? 　　Yu Jin merasa kebiasaan selalu mencurigai niat buruk orang lain itu tidak baik, tapi tak berniat mengubahnya. 　　Jiang Si mengangguk: "Aku paham. A Jin, tenang saja. Sejak memutuskan menikahimu, aku sudah siap mental. Tak akan lagi terperosok dalam bahaya." 　　Kata "lagi" itu menarik perhatian Yu Jin. 　　"Lagi?" 　　Apakah A Si pernah mengalami bahaya sebelumnya? 　　Jiang Si menyadari kekeliruannya, lalu tertawa ringan: "Saat pesta bunga di Kediaman Yongchang Bo awal tahun, aku dengar banyak desas-desus. Waktu itu masih kekanak-kanakan, sampai sakit lama sebelum akhirnya sadar." 　　Sejujurnya, Jiang Si yang sombong dan angkuh itu telah mati di akhir musim semi itu. 　　Mati oleh komentar sembrono seorang lelaki, mati dalam tatapan mengejek para gadis. 　　Sekarang dipikir-pikir, sungguh tak berarti. 　　Sorot mata Yu Jin tiba-tiba dingin: "A Si, mau kubantu balas dendam?" 　　Jiang Si geleng: "Untuk orang tak penting, marah pun hanya buang waktu. Tidur saja." 　　"Hmm." 　　Kelambu kamar pun kembali sunyi. 　　Jiang Si terbangun dan membuka matanya, sisi tempat tidur kosong. 　　"Di mana Pangeran?" tanyanya sambil mengenakan mantel luar kepada A Qiao. 　　"Pangeran bangun lebih awal dari Nyonya, pergi berlatih pedang." 　　Jiang Si tidak terkejut. 　　Yu Qi memang selalu disiplin dalam hal ini, tak pernah melalaikannya. 　　Awalnya hanya tidur siang sebentar, tapi tidurnya ternyata terlalu lama - efek samping dari kelelahan semalam. 　　Jiang Si mengusap pelipisnya yang berdenyut, setelah cuci muka berjalan keluar. 　　Tempat Yu Qi berlatih pedang di lapangan latihan, berarti dia bisa mengunjungi ruang belajar. 　　Sepanjang jalan, para pelayan memberi hormat: "Permaisuri." 　　Jiang Si mengangguk ringan, melewati pintu bulan demi pintu bulan bersama Ah Menuju ruang belajar halaman depan. 　　Di luar ruang belajar ada pelayan pria berjaga, terkejut melihat Jiang Si lalu buru-buru memberi hormat. 　　Kemarin telepon bilang perbaikan paling cepat malam ini, pagi ini telepon lagi bilang baru siap sore.... Akhirnya terpaksa beli flashdisk untuk memindahkan data ke laptop, pakai hotspot baru bisa update. Jangan tanya apakah PC bisa buka hotspot, saya bodoh secara teknis, tidak paham. 404.BAB 403 Perbedaan Lukisan Itu 　　BAB 403 Perbedaan Lukisan Itu 　　"Hamba memberi hormat pada Permaisuri." 　　"Apakah Pangeran ada di dalam?" tanya Jiang Si sambil berjalan melewati pelayan. 　　Pelayan buru-buru menjawab: "Lapor Permaisuri, Pangeran tidak ada di ruang belajar." 　　"Oh." Jiang Si mengulurkan tangan mendorong pintu. 　　Pelayan itu membeku. 　　Sudah dikatakan Pangeran tidak ada, mengapa Permaisuri tetap mau masuk? 　　"Ruang belajar dianggap area penting, sebelumnya Pangeran tidak hanya tidur di sini, tetapi juga sering berdiskusi dengan orang di sini. Sang Permaisuri tidak pantas masuk tanpa izin Pangeran. Jika Pangeran tahu, selain Permaisuri yang akan kena masalah, penjaga pintu seperti aku pasti akan dihukum." 　　Pelayan pria melompat menghadang Jiang Si, memberanikan diri berkata: "Permaisuri, Pangeran tidak ada di sini." 　　Langkah Jiang Si terhenti sebentar, ia berkata datar: "Aku dengar." 　　"Kalau... kalau begitu, silakan Permaisuri kembali." 　　Sebelum Jiang Si sempat menjawab, Ah Man menangkupkan tangan di pinggang sambil menunjuk hidung pelayan itu: "Berani sekali, lancang!" 　　Pelayan pria semakin bingung, mundur selangkah menghindari serangan dayang kecil. 　　Ah Man menghardik dengan wajah dingin: "Seluruh istana pangeran ini di bawah kendali Permaisuri! Apa salahnya Permaisuri ingin melihat ruang belajar? Dasar budak licik, berani menghalangi? Apa kau makan hati beruang dan empedu macan?" 　　Sudut mulut pelayan pria itu berkedut hebat. 　　Aku budak licik? 　　Justru si rambut kuning inilah yang licik! Belum pernah melihat dayang seganas ini! 　　Pelayan itu juga naik darah, menggulung lengan bajunya: "Pangeran sudah perintahkan, area penting ruang belajar dilarang dimasuki orang sembarangan!" 　　Ah Man meludah: "Orang sembarangan? Dasar budak tolol tak tahu bicara..." 　　Saat mereka bertengkar, Jiang Si sudah mendorong pintu masuk dan mengunci dari dalam. 　　Bunyi pintu terkunci membuat pelayan itu seperti tersadar, mendorong pintu sambil berteriak: "Permaisuri, Yang Mulia tidak boleh masuk..." 　　Di sebelah, Ah Man melontarkan pandangan sinis: "Sudah masuk kok masih berteriak-teriak. Kalau orang tahu kau tak jaga baik ruang belajar, pasti kau dituduh lalai. Dasar pelayan licik, benar-benar bodoh…" 　　Pelayan pria itu menutupi dadanya, hampir meledak marah. 　　Pelayan licik, pelayan licik, andai si gadis brengsek ini tak terus memanggilnya pelayan licik, mana mungkin dia sampai ceroboh begini? 　　Pelayan itu mengusap wajahnya, bergumam kesal: "Kelalaianku ini gara-gara kau!" 　　Ah Men menyeringai: "Pelayan licik selalu cari alasan." 　　Pelayan pria: "…" Bagaimana ya akibatnya kalau dia nekat membunuh dayang pengikut Permaisuri? 　　Ruang belajar Yu Jin jauh lebih luas dari biasa. 　　Tiga ruang besar saling terhubung. Ruang dekat pintu depan ditata seperti ruang tamu. Di timur dipisahkan deretan penyekat, masuk ke dalam adalah ruang santai. Bagian barat tanpa penghalang, langsung terlihat rak-rak buku dan meja tulis lengkap dengan gunungan kuas, tinta, dan perlengkapan lain – area khusus untuk membaca dan menulis. 　　Tujuan Jiang Si adalah tempat ini. 　　Matanya menyapu sekeliling, lalu terpaku pada satu titik berdasarkan ingatannya. 　　Di situ ada panel rahasia yang menyimpan lukisan itu. 　　Tentu saja itu kondisi kehidupan sebelumnya, masa kini belum pasti. 　　Jiang Si mendekat, tangannya terulur lalu berhenti. Jantungnya berdebar kencang. 　　Sudah bertekad tak ambil pusing, sudah berusaha ikhlas, juga meyakinkan diri bahwa Yu Jin dari kehidupan lalu maupun sekarang hanya mencintainya. 　　Tapi di detik ini, kegelisahan tak bisa ditahan. 　　Bagaimanapun aku membohongi diri, lukisan ini tetap menjadi simpul hati terdalamnya. 　　Karena dia tidak bisa memahaminya. 　　Jika A'Jin di kehidupan sebelumnya tidak pernah menyukai Imam Suci, mengapa sosok dalam lukisan itu adalah A'Sang? 　　Gadis dalam lukisan itu tampak baru berusia sekitar sepuluh tahun, mustahil itu dirinya. 　　Tapi, meski gugup dan ingin terus bersembunyi seperti burung unta, apakah harus membiarkan simpul hati itu terus ada? 　　Sebelum melihat lukisan, dia tidak punya alasan membicarakan Imam Suci Wu Miao dengan Yu Qi. Kini setelah ada alasan, bisakah dia bertanya secara terbuka? 　　Takut apa? Tanyakan saja, pasti semua akan jelas. Setidaknya sekarang dia yakin Yu Qi mencintainya. 　　Jiang Si mengerahkan keberanian membuka laci rahasia, tapi matanya terpejam. 　　Setelah beberapa saat, dia perlahan membuka mata. Tatapannya menyentuh benda dalam laci, pupil matanya tiba-tiba menyempit. 　　Lukisan itu ada! 　　Tangannya yang pucat mengeluarkan gulungan lukisan, urat nadi terlihat jelas – masih ada kegugupan yang tak terkendali. 　　Sekeliling sunyi, tanpa angin maupun suara. 　　Ruang belajar terasa pengap oleh hawa musim panas. 　　Keringat menetes dari dahi, mengalir di pipi. Satu tetes jatuh di kertas lukisan kekuningan, langsung membentuk noda. 　　Jiang Si menarik napas dalam, perlahan membuka gulungan. Seorang gadis remaja belia muncul. 　　Jiang Si merasa kepalanya berdengung, lama tak bisa bereaksi. 　　Waktu berlalu, jarinya menyentuh dahi gadis dalam lukisan. 　　Di sana... tidak ada titik merah... 　　Pada detik ini, kegembiraan seperti rumput musim semi yang tumbuh subur dari tempat paling lembut di hati, dengan cepat merambat dan menembus bilik jantung. 　　Jiang Si duduk di atas lantai papan, bagai orang tenggelam yang selamat dari maut, menarik napas dalam-dalam. 　　Tidak ada titik merah, tidak ada titik merah! 　　Sedangkan Imam Suci A Sang memiliki tahi lalat... 　　Mungkinkah orang dalam lukisan ini adalah dia? 　　Pertanyaan yang lebih besar muncul: Bagaimana Ah Jin bisa tahu penampilannya saat berusia sepuluh tahun lebih? 　　Tidak ada alasan untuk ragu, dia harus bertanya! 　　Jiang Si dengan lembut menggulung lukisan itu, namun genggamannya erat. Setelah menutup kompartemen rahasia, dia bergegas menuju pintu. 　　Sampai di ambang pintu, suara pertanyaan terdengar dari luar: "Mengapa ada dayang di sini?" 　　Pelayan pria itu terbata-bata tak tahu harus menjawab apa. 　　Jiang Si langsung membuka pintu. 　　Di luar selain pelayan dan Ah Man, berdiri seorang pria tua. 　　Pria tua itu berpenampilan gagah, janggutnya terawat rapi, kerutan berbentuk karakter "" di antara alis menunjukkan sifatnya yang tegas. Dia adalah Kepala Administrasi Istana Pangeran. 　　"Permaisuri?" Kepala Administrasi terkejut melihat Jiang Si. 　　Meski belum pernah bertemu, hanya Permaisuri yang bisa berpakaian demikian mewah di istana pangeran. 　　Sang Kepala Administrasi yang sangat menjunjung tata krama segera menunduk setelah memastikan status Jiang Si. Saat menunduk, matanya melihat gulungan lukisan di tangan Jiang Si. 　　Wajah Kepala Administrasi langsung berubah. 　　Permaisuri berani masuk ke ruang belajar Pangeran dan mengambil barang sembarangan? 　　Ini, ini sungguh tidak pantas! 　　“Seketika itu juga tak sempat memikirkan tata krama, Kepala Administrasi mendongak kasar, jenggotnya gemetar karena marah: "Permaisuri, berani bertanya apakah Pangeran ada di sini?"” 　　“Tidak ada.” 　　“Lalu... lalu apa yang Permaisuri pegang di tangan?” 　　“Sebuah gulungan lukisan.” 　　“Kepala Administrasi meninggikan suaranya: "Permaisuri, meskipun Pangeran tidak memegang jabatan penting di istana, tapi ruang belajar adalah area terlarang! Bagaimana bisa Permaisuri seenaknya masuk dan mengambil barang dari sana? Segera kembalikan gulungan lukisan itu ke tempatnya!"” 　　“Dulu ia mengira setelah Permaisuri masuk keluarga kerajaan, setidaknya bisa mengendalikan Pangeran yang semena-mena itu. Tak disangka, Permaisuri malah lebih tak paham tata krama daripada Pangeran!” 　　“Jiang Si menghindari cipratan ludah Kepala Administrasi, wajahnya menunjukkan keraguan: "Tapi Pangeran yang menyuruhku mengambil gambar rahasia ini--"” 　　“Kepala Administrasi gemetar seakan tersambar petir, kumisnya bergetar tanpa bisa berkata-kata.” 　　“Pelayan pria di sampingnya nyaris terjatuh.” 　　“Hanya Ah Man yang setengah mengerti, terperangkap dalam kebingungan yang mendalam.” 　　“Apa itu gambar rahasia?” 　　“Yu Jin yang mendengar kabar Permaisuri datang ke halaman depan segera bergegas ke sana. Begitu mendengar kalimat itu, kakinya langsung terpaku di tempat.” 　　“Di belakang punggungku, A Si tega menjerumuskanku seperti ini?” 　　Tidak tahu kapan internet akan pulih, jadi langsung update semuanya. Update yang tertunda kemarin akan disimpan untuk ledakan update di masa depan, selama naskah cadangan belum terkumpul, ledakan update tidak mungkin dilakukan. Aaaa, tidak tahu apakah ada yang mengerti obsesi kompulsif saat internet putus? Padahal saat ada internet juga hanya mengetik, tidak sempat melihat halaman web, tapi begitu memikirkan tidak ada internet, mengetik pun terasa canggung. Baiklah, aku akan kembali ke komputer desktop tanpa internet untuk mengetik, air mata meleleh. 405. BAB 404 Pengakuan 　　BAB 404 Pengakuan 　　Sekretaris menghirup napas dalam-dalam dan berteriak: "Permaisuri!" 　　Meskipun istrinya juga menyimpan gambar mesum di lemari pakaian untuk mengusir roh jahat, tapi jelas Pangeran dan Permaisuri menyimpan gambar mesum bukan untuk itu! 　　Permaisuri yang berwajah tebal ini akan merusak Pangeran! 　　Salah, Pangeran sebenarnya juga bukan orang baik... 　　Semakin dipikirkan oleh Sekretaris, masa depan semakin gelap, matanya berkunang-kunang. 　　Yu Jin berbelok di sudut tembok, membersihkan tenggorokannya: "Mengapa Sekretaris berteriak-teriak di sini?" 　　Melihat pemuda jangkung itu berjalan mendekat dengan nada bertanya, Sekretaris yang biasanya tenang langsung mengedip-ngedipkan mata marah. 　　Apa maksudnya berteriak-teriak? Ini menjalankan kewajiban, menghentikan Pangeran dan Permaisuri agar tidak semakin jauh tersesat. 　　"Pangeran, apakah Anda yang menyuruh Permaisuri ke ruang belajar?" Meski sangat marah, Sekretaris tetap ingat memberi hormat pada Yu Jin. 　　Yu Jin melirik Jiang Si, mengangguk: "Ya." 　　"Pangeran!" Sekretaris Istana melangkah maju, ekspresinya muram seolah langit akan runtuh kapan saja, "Ruang belajar adalah area terlarang, bagaimana bisa wanita masuk sembarangan? Bahkan Permaisuri pun tak boleh! Pangeran, tindakan ini melanggar tata krama, sungguh tak pantas..." 　　Yu Jin tidak menghalangi, membiarkan Sekretaris Istana berbicara hingga cipratan ludah beterbangan. Saat memperkirakan mulut tua itu sudah kering, ia bertanya sambil tertawa: "Wahai Sekretaris, maukah kau minum teh bersama hamba pangeran di ruang belajar?" 　　Mendengar kata "teh", kumis Sekretaris Istana bergetar hebat seolah lehernya dicekik tiba-tiba hingga tak bisa bersuara. 　　Yu Jin melirik pelayan pria: "Masih belum bantu Sekretaris masuk ke ruang belajar? Tak punya tahu diri!" 　　Pelayan pria paling patuh pada Yu Jin. Begitu mendengar perintah, ia langsung menarik lengan Sekretaris Istana menuju ruang belajar. 　　Sekretaris Istana sudah trauma berat dengan acara minum teh. Dengan panik ia melepaskan diri dari pelayan dan lari terbirit-birit. 　　Pelayan bingung memandang Yu Jin: "Pangeran——" 　　"Berdiri jaga di pintu." Setelah berkata demikian, Yu Jin menarik Jiang Si masuk ke ruang belajar, langsung menuju ruang santai di sisi timur. 　　Di ruang santai terdapat dipan rendah. Yu Jin duduk di tepinya sambil menepuk bantal empuk: "A Si, aku ingin mengapresiasi gulungan lukisan erotis yang kau temukan." 　　Kapan dia menyimpan lukisan erotis di ruang belajar? Bukankah dia orang yang sopan? Kalau mau menyimpan, mestinya di bawah bantal. 　　Jiang Si mendekat dan duduk di bangku brokat di sampingnya, menyerahkan gulungan lukisan. 　　Yu Jin menerima gulungan itu, memandangi lukisan dengan serius sebelum wajahnya berubah. 　　Bagaimana mungkin A Si menemukan ini? 　　Setelah hening sejenak, Jiang Si bertanya: "Siapa orang dalam lukisan ini?" 　　Yu Jin tidak membuka gulungan lukisan. Sambil memutar-mutar kertas yang sudah menguning, dia menjawab dengan geli: "Tentu saja kau. Siapa lagi?" 　　Jiang Si mengambil kembali lukisan itu dan membukanya perlahan. "Gadis dalam lukisan ini berusia remaja. Saat aku seusia ini, kau sedang di Perbatasan Selatan." 　　Yu Jin tampak bingung antara ingin tertawa dan menangis: "A Si, jangan-jangan kau curiga aku melukis orang lain?" 　　Jiang Si menundukkan pandangan ke gadis dalam lukisan, lalu melirik Yu Jin dengan senyum samar: "Orang dalam lukisan ini mirip setidaknya 90% dengan penampilanku di usia 12-13 tahun. Bagaimana mungkin aku curiga kau melukis orang lain? A Jin, kalau kau berkata begitu, jangan-jangan kau merasa bersalah seperti pencuri?" 　　Yu Jin batuk dua kali dengan gugup, lalu berkata dengan jujur: "A Si, percaya atau tidak, di Perbatasan Selatan benar-benar ada seorang wanita yang mirip denganmu." 　　Jiang Si menekan bibirnya rapat-rapat. 　　Pengakuan Yu Jin jelas membuat perasaannya sedikit lega, namun ketegangan tetap tak terhindarkan. 　　Keraguan yang terbawa melalui dua kehidupan, mana mungkin dia bisa bersikap acuh tak acuh. 　　"Siapa?" tanyanya. 　　Suaranya meski lembut, terdengar penuh kesungguhan. 　　Sedangkan jawaban Yu Jin jauh lebih santai: "Imam Suci Wu Miao." 　　Jiang Si mengedipkan mata: "Ternyata aku mirip dengan Imam Suci Wu Miao?" 　　Yu Jin mengangguk: "Hmm, memang sangat mirip. Kalau orang yang tidak mengenal pasti mengira kalian adalah orang yang sama." 　　"Benar-benar kebetulan, sayang tidak ada kesempatan bertemu lagi." 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Tentu tidak ada kesempatan lagi. Imam Suci Wu Miao sudah wafat dan menjadi debu tanah. A Si pasti berumur panjang." 　　Jiang Si diam membisu. 　　"Ada apa, A Si?" 　　"Tidak bisa memahaminya." 　　"Bagian mana yang tidak dimengerti?" 　　"Kau bilang lukisan itu adalah diriku, tapi saat pertama kita bertemu, usiaku sudah genap lima belas tahun..." 　　Kilatan pergolakan muncul di mata Yu Jin. Melihat tatapan bingung Jiang Si, ia pasrah mengaku: "Siapa bilang? Pertama kali aku melihatmu, usiamu belum genap sepuluh tahun..." 　　Jawaban ini benar-benar di luar dugaan. Jiang Si benar-benar terkejut. 　　"Tidakkah kau ingat pernah menyelamatkan seorang nona kecil berusia 12-13 tahun?" 　　"Nona kecil 12-13 tahun?" Jiang Si mengerahkan seluruh ingatannya, tetap tidak menemukan petunjuk. 　　Yu Jin memberi isyarat: "Di jalan pinggiran ibu kota, ada nona kecil yang diseret dua pria..." 　　Mata Jiang Si berbinar, teringat kejadian itu: "Aku ingat! Tahun itu aku pergi berziarah ke kuil di luar kota. Di jalan melihat dua orang menangkap seorang nona kecil. Nona itu bilang mereka penculik, tapi mereka mengaku sebagai kakaknya..." 　　Masih jelas ia ingat, karena pernyataan dua pria itu, orang-orang yang menonton hanya menjadi penonton pasif. Tak peduli sekuat apa nona itu meronta, tak ada yang mau menolong. 　　Mungkin karena kepekaan seorang gadis, dia hampir langsung yakin bahwa dua pria itu bukan orang baik. 　　Melihat gadis yang berjuang mati-matian, dia cepat mengambil keputusan untuk menyelamatkannya dengan mengaku bahwa gadis itu adalah dayangnya yang hilang beberapa waktu lalu. 　　Kedua pria itu, meski melihatnya masih muda, takut bertindak kasar karena banyak dayang-dayang dan pelayan yang mengikutinya, namun enggan melepaskannya. 　　Dia memerintahkan Ah Man untuk memberikan tael perak kepada kedua pria itu sehingga masalah reda. 　　Uang itu sebenarnya persiapan sumbangan Minyak lampu Buddha ke kuil, karena sudah terpakai maka urusan berziarah pun dibatalkan, lalu dia membawa gadis yang diselamatkan kembali ke kota. 　　Setiba di area ramai di kota, dia memberikan beberapa kepingan perak kecil kepada gadis itu dan mengusirnya, tak lama kemudian melupakan kejadian ini. 　　Baginya, itu hanyalah bantuan kecil yang diberikan secara kebetulan, tentu tak akan diingat. 　　Jiang Si menarik kembali pikirannya, memandang Yu Jin dengan ekspresi aneh: "Apa hubungan nona kecil itu denganmu?" 　　Kuping Yu Jin langsung memerah, setelah berjuang batin sejenak, akhirnya berkata dengan tegas: "Nona kecil itu adalah aku!" 　　Jiang Si mengira salah dengar, mengangkat kipas sutra untuk menutupi mulutnya yang terbuka karena terkejut, lama baru tenang dan berkata dengan hati-hati: "Ah Jin, tak kusangka... masa mudamu dulu punya hobi seperti itu..." 　　Yu Jin bahkan sampai memerah wajahnya, buru-buru menjelaskan: "Sejak kecil aku tinggal di desa pinggiran ibu kota. Di masa kecilku, aku sering menggerutu dan sinis terhadap dunia. Suatu hari, aku ingin kabur ke kota untuk melihat-lihat. Meski tidak disukai, statusku sebagai pangeran membuat sulit kabur. Akhirnya aku berpikir untuk menyamar sebagai perempuan, baru bisa lolos. Tapi di tengah jalan malah diikuti orang..." 　　Sejak kejadian itu, semua dendam dan ketidakadilan kusimpan rapat-rapat. Aku bersumpah harus memiliki kekuatan yang besar, agar tidak terjatuh lagi ke situasi memalukan seperti itu. 　　Juga sejak saat itu, hati dingin dan kerasnya untuk pertama kali memiliki sesuatu yang diperhatikan... 　　Jaringan masih belum pulih. Yang paling menyebalkan, perbaikan lokal sudah selesai. Tetangga sekompleks sudah dapat internet, hanya keluarga saya yang belum. Katanya ada kerusakan kabel, teknisi akan datang sore. Pengin bertanya seratus ribu mengapa....... Kukira tidak bisa hidup dua hari tanpa internet, ternyata sudah tiga hari aku masih bertahan! 406. BAB 405 Ulah Aneh 　　BAB 405 Ulah Aneh 　　Mendengar penjelasan Yu Jin, Jiang Si memegang kipas bundar, hampir terbahak-bahak. 　　Selama ini dia hanya tahu Yu Qi (Pangeran Ketujuh) tak takut apapun, selalu mengabaikan tata krama. 　　Tak disangka, selama ini ternyata meremehkannya. Bodoh ini di masa mudanya bahkan berani menyamar sebagai perempuan. 　　Tawa Jiang Si yang tak terkendali membuat Yu Jin semakin kesal. Ia mengangkat dan melemparnya ke dipan rendah, bergumam kasar: "Berhenti tertawa!" 　　Jiang Si berhenti tertawa, mengangkat tangan menyentuh alisnya. Jari-jari lentiknya merayap turun melewati pipi pria yang tegas itu. 　　Yu Jin menghindar perlahan, bergumam: "Apa yang kau raba?" 　　Jiang Si tak tahan tersenyum lagi: "Aku berpikir, waktu kau berusia 12-13 tahun memakai baju wanita, memang lebih cantik daripada kebanyakan nona kecil..." 　　Di mata para penjaga di kapal bunga itu, pasti mengira material berkualitas tinggi, layak dididik menjadi Ratu Bunga. 　　"A Si!" Yu Jin benar-benar kesal, menunduk menggigit bahunya. 　　Melalui baju musim panas yang tipis, Jiang Si merasakan gatal menggigil di bahu, mendorongnya: "Jangan macam-macam." 　　"Kalau begitu jangan tertawa lagi." 　　Jiang Si mendorongnya dan duduk tegak, bertanya pelan: "Kalau begitu, waktu itu kau sudah mengingatku?" 　　Yu Jin bersandar di kepala tempat tidur, menatap orang di sampingnya: "Ya, waktu itu aku berpikir, aku harus selalu bersama nona kecil yang menyelamatkanku. Makan bersama, mendengar jangkrik di malam cerah bersama, tidur bersama..." 　　Dengan begitu, dia tidak lagi sendirian. 　　Wajah Jiang Si memerah tanpa alasan, memprotes: "Waktu itu usiamu baru berapa, sudah mulai memikirkan hal-hal tidak karuan..." 　　Yu Jin berpura-pura polos: "Hanya tidur biasa kok, A Si kau terlalu banyak berpikir." 　　Jiang Si memukul lengan Yu Jin dengan kipas, terhanyut dalam sorot mata penuh kasihnya, tiba-tiba hatinya terasa pedih. 　　Merasakan perubahan emosi lawan bicara, Yu Jin meletakkan tangan di bahunya: "A Si, kau sedang sedih?" 　　Bulu mata Jiang Si yang lebat dan panjang bergetar halus, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh, nadanya penuh kekecewaan: "Mengapa kau tidak mengatakannya?" 　　Jika di kehidupan sebelumnya dia memberitahukan bahwa takdir mereka sudah dimulai sejak lama, pasti tidak akan ada kesalahpahaman dan penderitaan itu. 　　"Mengaku pada kekasih bahwa aku pernah menyamar sebagai wanita dan hampir dijual ke rumah bordil?" Bibir Yu Qi mengetat, wajahnya menunjukkan keputusasaan. 　　Jika bukan karena hari ini A Si menemukan lukisan ini di ruang belajar, dan dia benar-benar tidak bisa menghindar, sampai mati pun tidak akan mengaku. 　　Jiang Si merenung sejenak, akhirnya memahami tindakan Yu Jin. 　　Memang sesuai sifat Yu Qi yang keras kepala, hal memalukan seperti ini pasti akan disembunyikan mati-matian. 　　Hanya saja, yang satu terlalu menjaga gengsi, yang lain terlalu keras kepala, akhirnya berujung pada akhir yang tragis. 　　Tiba-tiba Jiang Si berpikir, setelah kematiannya yang mengenaskan di kehidupan sebelumnya, apa yang terjadi pada Yu Qi? 　　Sudahlah, dia tidak boleh lagi terpengaruh oleh masa lalu, itu benar-benar tindakan bodoh. 　　Mengenakan titik merah di lukisan masa lalu yang kini menghilang, Jiang Si memilih untuk tidak menanyakannya lagi. 　　Dulu dia menemukan lukisan ini tiga tahun lebih lambat dari sekarang. Sebuah titik kecil yang bisa dengan mudah ditambahkan menggunakan kuas merah, terlalu banyak pihak yang bisa memanipulasinya. Pertanyaan ini sekarang hanya akan menyulitkan Yu Qi. 　　Melihat gadis itu masih memegang lukisan itu, Yu Jin terlihat agak malu: "Sebelum pergi ke Perbatasan Selatan, aku pernah diam-diam mengunjungimu saat kakak perempuannya menikah. Hari-hari awal di Perbatasan Selatan sangat sulit, sehingga aku semakin merindukanmu. Kemudian secara kebetulan bertemu dengan Imam Suci Wu Miao A Sang, tiba-tiba terpikir untuk melukis wajahmu agar bisa melihatmu setiap saat..." 　　Wajahnya semakin lembut saat berbicara. 　　Saat itu sudah lebih dari dua tahun sejak terakhir kali melihat A Si. Dalam bayangannya, gadis kecilnya harusnya terlihat seperti itu di usia remaja. 　　"Kalau begitu, kau melukisku berdasarkan penampilan Imam Suci A Sang?" 　　Yu Jin menyangkal tegas: "Tentu tidak. Meski kalian terlihat mirip di mata orang lain, bagiku sangat berbeda." 　　Ia menunjuk gadis kecil dalam lukisan: "Ujung matamu lebih panjang darinya, hidungmu lebih mancung, bibirmu lebih tipis... Yang paling jelas, dia memiliki tahi lalat di sini sedangkan kamu tidak..." 　　Jiang Si tersenyum: "Pengamatan yang cukup detail." 　　Yu Jin tersenyum bangga, menggenggam tangan gadis itu dan menaruhnya di dadanya: "Tentu, ingatanku bagus. Hanya perlu melihatmu dua kali sudah terpatri di sini." 　　"Maksudku, pengamatanmu terhadap sang Imam Suci cukup detail." 　　Yu Jin tiba-tiba tersedak hebat. 　　Hidup memang tak mudah, tanpa sengaja terjebak dalam perangkap. 　　Merasa puas, Jiang Si tiba-tiba membungkuk dan mencium pipinya. 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu dengan cepat membalikkan posisi hingga gadis itu tertindih di bawahnya. 　　"Pangeran, hamba ada urusan penting!" Suara ketukan pintu yang mendesak bergema di luar. 　　Yu Jin dan Jiang Si saling bertatapan, tersenyum masygul: “Kepala Sekretaris ini benar-benar terlalu banyak ikut campur!” 　　Keduanya keluar dari ruang santai, membuka pintu ruang belajar. 　　Kepala Sekretaris yang telah menyusun kekuatan kembali berdiri di luar pintu, tatapan tajamnya memancarkan kilau tajam, menyapu tubuh Yu Jin dari atas ke bawah. 　　Adapun Permaisuri, memandang seperti ini tidak sesuai tata krama, dia akan meminta Dayang Ji untuk mengawasi. 　　Setelah mengamati, Kepala Sekretaris menghela napas lega. 　　Tidak ada perbuatan mesum di siang hari, Pangeran kayu lapuk ini masih bisa diselamatkan! 　　Wajah Yu Jin lebih gelap dari awan mendung: “Apa urusan Kepala Sekretaris?” 　　Jika bukan karena usia tua dan keseriusannya mengurus urusan rumah tangga, dia sudah menyuruh orang mengusirnya. 　　Wajah tua Kepala Sekretaris berkerut serius: “Masalah luar, hamba perlu laporkan secara pribadi kepada Pangeran.” 　　Jiang Si menahan tawa mengangguk pada Yu Jin: “Pangeran, saya akan membawa Gambar Rahasia kembali ke halaman utama. Dayang Ji bilang benda ini bisa mengusir roh jahat.” 　　Hingga Jiang Si melangkah pergi dengan anggun, Kepala Sekretaris masih terdiam membeku. 　　Dayang—Ji—! Bagaimana bisa berbuat seperti ini! 　　Melihat ini, Yu Jin menghela napas. 　　A Si kembali mengganggu orang jujur, melihat nasib yang sama, dia memutuskan tetap menahan Kepala Sekretaris tua. 　　“Silakan masuk, Kepala Sekretaris.” Yu Jin berbalik masuk ke ruang belajar. 　　Sepanjang jalan ke Taman Yuhe, Jiang Si merasakan hati cerah seperti musim semi, bahkan suara jangkrik yang berisik pun terdengar merdu. 　　Kembali ke Istana Yuhe, bersandar di penyekat sambil membuka gulungan lukisan itu lagi, suasana hati sudah sama sekali berbeda. 　　Ini adalah dirinya yang berusia 12-13 tahun. 　　Saat dia melukis ini, usianya sendiri baru sekitar 15-16 tahun. 　　Seandainya dia tahu ada seorang pemuda yang terus memikirkannya, menemani, dan kebetulan tumbuh menjadi sosok yang dia jatuh cinta, mungkin rasa rendah diri yang tersembunyi di balik sikap angkuhnya tak akan ada. 　　"Permaisuri, Dayang Ji minta audiensi." Laporan A Qiao memutus renungan Jiang Si. 　　Jiang Si menyerahkan lukisan itu ke Ah Man untuk disimpan, lalu memberi isyarat agar A Qiao mempersilakan mereka masuk. 　　Tak lama kemudian seorang wanita berwajah panjang dengan penampilan rapi masuk, diikuti dua gadis di belakangnya. 　　Pandangan Jiang Si melompati wajah panjang Dayang Ji, singgah sebentar di kedua gadis itu sebelum ditarik kembali. 　　"Menghormat Permaisuri." 　　"Dayang tak perlu banyak formalitas. Ada keperluan apa dayang datang di waktu seperti ini?" 　　Secara protokol, ini masih hari pertama setelah pernikahan. Seharusnya baru tiga hari lagi saat kembali mengunjungi keluarga sebelum mulai mengurus istana pangeran. 　　Dayang Ji bergeser ke samping, menampakkan kedua gadis tersebut. 　　"Sebenarnya baru semestinya tiga hari lagi Permaisuri repot, tapi kedua dayang ini adalah hadiah Kaisar untuk Pangeran sebagai dayang pengajar. Tentang penempatan mereka kelak, hamba perlu petunjuk Permaisuri." 407.BAB 406 Memutus Masalah Seketika 　　BAB 406 Memutus Masalah Seketika 　　Sorot mata Jiang Si beralih di antara kedua gadis: "Dayang pengajar?" 　　Dayang Ji ekspresinya datar, suara sedikit meninggi: "Permaisuri mungkin belum tahu, keluarga kerajaan sejak dulu memiliki tata krama seperti ini. Pangeran yang telah genap empat belas tahun akan dibimbing oleh dayang pengajar mengenai urusan ranjang. Ketika Pangeran berusia empat belas tahun sedang berada di Perbatasan Selatan, tidak dapat menjalankan tata krama ini. Berkat kasih sayang Kaisar, sebelum pernikahan Pangeran, dua dayang pengajar ini secara khusus ditunjuk…" 　　Jiang Si mendengarkan dengan tenang. 　　Dayang Ji berhenti sejenak, berkata dengan serius: "Tak disangka Pangeran malah menjauhi kedua dayang pengajar ini. Tanpa tata krama takkan tercipta keteraturan. Kini Permaisuri telah masuk rumah, kediaman besar Istana Pangeran sepenuhnya di bawah kendali Permaisuri. Mohon petunjuk Permaisuri mengenai penempatan kedua dayang pengajar ini." 　　"Bolehkah saya tahu nama kedua nona ini?" 　　Dua dayang pengajar saling pandang. Yang berbaju merah muda bertekuk lutut: "Hamba bernama Jiangzhu." 　　Dayang berbaju hijau ikut menjawab: "Hamba bernama Qingyu." 　　Jiang Si menatap Dayang Ji: "Sebelum saya masuk rumah, bagaimana penempatan Jiangzhu dan Qingyu?" 　　Membahas ini, Dayang Ji langsung naik darah. 　　Padahal ini adalah selir yang dihadiahkan Kaisar untuk Pangeran, tapi Pangeran malah melemparkan masalah ini padanya. 　　Batu panas seperti ini, mana mungkin dia tahu cara menempatkan yang tepat? Jika diberi pekerjaan kasar akan jadi masalah, tapi tidak mengerjakan apa-apa juga melanggar perintah Pangeran. Akhirnya terpaksa menugaskan mereka mengelola wewangian untuk sementara waktu. 　　"Mengurus wewangian?" Mendengar penjelasan Dayang Ji, Jiang Si tersenyum, "Kedua nona ini hadiah dari Kaisar, lebih berharga daripada dayang-dayang di rumah ini, sedangkan wewangian juga barang berharga. Menurut saya, keputusan Dayang menugaskan kedua nona mengelola wewangian sangat tepat, saling melengkapi." 　　Dayang Ji mengernyitkan bibir. 　　Saling melengkapi apanya! 　　Bukankah mereka dihadiahkan Kaisar untuk melayani Pangeran? Bagaimana bisa mengurus wewangian disebut saling melengkapi? 　　Intinya, Permaisuri ini tidak punya kelapangan hati, tidak tega melihat Pangeran tidur dengan wanita lain. 　　Ckck, memang tidak bisa dibandingkan dengan putri bangsawan keluarga kerajaan, sama sekali tidak punya wibawa nyonya rumah. 　　Tidak, mana ada nyonya rumah keluarga terhormat yang melarang suami punya selir? Apakah Permaisuri mengira Pangeran hanya akan punya dia seorang wanita di kemudian hari? Terlalu naif. 　　Dayang Ji menyeringai: "Permaisuri bercanda. Menugaskan kedua nona mengelola wewangian hanya langkah sementara. Kini dengan kehadiran Permaisuri, sudah seharusnya kedua nona diatur oleh Anda untuk melayani Pangeran, baru sesuai dengan maksud Kaisar." 　　Wajah Jiang Si berubah muram: "Diatur oleh saya untuk melayani Pangeran?" 　　Dayang Ji sama sekali tidak gentar, bahkan berbicara dengan nada sepenuhnya membela: "Pangeran adalah lelaki, boleh saja bertindak semaunya, tapi Permaisuri harus lebih bijak. Jika tidak, nama baik Anda akan ternoda..." 　　Jiang Si menyeringit dingin. 　　“Saat belum menikah yang kudengar hanya reputasi, kini sudah menikah, ternyata masih tak bisa lepas dari dua kata ini.” 　　“Dua kata ini... bisa melahap manusia.” 　　Dayang Ji tercengang oleh senyuman Jiang Si. 　　Apa yang salah dengan ucapannya sampai Permaisuri sampai mengejek? 　　“Terima kasih atas pertimbangan Dayang, tapi ada hal yang ingin kutanyakan.” 　　“Silakan Permaisuri bicara.” 　　“Apa maksud Kaisar memberikan dua dayang pengajar untuk Pangeran?” 　　“Tentu karena khawatir Pangeran tak paham urusan suami-istri, kasihan pada Pangeran, maka diutus dua dayang untuk membimbing. Permaisuri harus tahu, ini bentuk kasih sayang Kaisar pada Pangeran.” 　　“Niat baik Ayah Kaisar tentu kupahami, tak perlu Dayang ingatkan. Tapi mungkin Dayang lupa, semalam aku dan Pangeran sudah menjadi pasangan suami-istri dengan lancar...” 　　Ekspresi Dayang Ji berkerut. 　　Lupa? Mustahil! Mati pun takkan bisa lupa, malam pertama minta air lima kali! 　　Belum pernah melihat pasangan pengantin yang tak tahu malu begini! 　　“Ternyata Dayang benar-benar lupa.” 　　Dayang Ji mengeluarkan dua kata dari sela gigi: “Tidak lupa.” 　　Jiang Si menatap Dayang Ji dengan tatapan tajam, tersenyum sinis: "Bagus kalau Dayang tidak lupa. Karena saya dan Pangeran telah menjadi pasangan suami istri dengan lancar, berarti Pangeran tidak perlu lagi diajari oleh dayang pengajar. Lebih baik mereka diberi tugas lain, supaya istana pangeran tidak memelihara pengangguran! Dayang, boros-boros dan menghabiskan harta tanpa bekerja itu tidak boleh!" 　　Dayang Ji membuka mulutnya. 　　Hmm, perkataan Permaisuri sepertinya masuk akal. 　　Tidak! Kenapa dia jadi bingung dibuat Permaisuri? 　　"Permaisuri, ini dua hal yang berbeda." 　　Suara Jiang Si semakin dingin: "Ini hal yang sama. Coba Dayang tanya langsung pada Pangeran, apakah dia setuju dengan pendapat saya?" 　　Dayang Ji masih berusaha: "Pria mengurus urusan luar, wanita mengurus urusan dalam. Urusan istana memang menjadi tanggung jawab Permaisuri. Masak hal kecil seperti ini mau mengganggu Pangeran?" 　　Jiang Si menyeringai dingin: "Kalau begitu, kenapa Dayang masih berdebat terus dengan saya?" 　　Tangannya menyusup ke lengan baju, mengeluarkan belati yang ditamparnya di meja. 　　Belati itu sederhana tanpa hiasan, sama sekali tidak seperti mainan putri bangsawan, malah lebih mirip senjata pembunuh. 　　Dayang Ji gemetar. 　　Dia salah - belati memang untuk membunuh. Tapi kenapa pengantin baru membawa ini? 　　Tatapan Dayang Ji pada Jiang Si berubah, seolah mengenal kembali makna "putri bangsawan". 　　Jiang Si mengelus belati dengan ujung jarinya, wajahnya santai: "Aku ini tempramennya buruk. Jika ada yang ikut campur dalam urusanku, aku mudah terpancing." 　　Begitu masuk keluarga kerajaan, di luar sana sudah menunggu badai berdarah. Istana pangeran ini harus menjadi tempat berlindung bagi diriku dan Ah Jin. Tak boleh ada yang membatasi gerakanku di wilayahku sendiri. 　　Dayang Ji tertegun kaku. 　　Bukannya katanya orang bijak hanya bicara tanpa kekerasan? 　　Permaisuri terhormat, mana ada yang mengancam orang pakai belati seenaknya? Kalau sampai tersiar kabar, bukankah akan mempermalukan Kediaman Pangeran Yan? 　　Tidak bisa! Demi kehormatan istana, meski harus mempertaruhkan nyawa, Dayang harus mencegah Permaisuri kembali ke jalan sesat! 　　Dayang Ji menegakkan pinggangnya, berkata tegas: "Paduka, tindakan seperti ini akan jadi bahan ejekan orang. Yang akan malu akhirnya keluarga istana!" 　　Jiang Si tersenyum manis: "Tersiar kabar? Dayang becanda. Di ruangan ini hanya ada kita. Jika ada yang bocor, semua mulut usil akan kupotong lidahnya." 　　Ah Man dan A Qiao tetap tenang, sementara yang lain langsung pucat pasi. 　　Apakah Permaisuri sedang bercanda? 　　Jiang Si mengambil belati, mengelusnya tak menentu: "Aku tak pernah suka bercanda. Silakan dicoba kalau tidak percaya." 　　Dayang Ji langsung bisu. 　　Jiang Si memainkan belati sambil menatap dua dayang: "Kedua Nona jika tidak puas dengan tugas saat ini, bisa laporkan padaku." 　　Kedua dayang itu gemetar serentak, serempak berkata: "Puas, hamba sangat puas dengan tugas sekarang..." 　　Jiang Si melemparkan belati itu. 　　Pelayan di dalam ruangan buru-buru menutup mulut menahan jeritan, melihat belati mendarat dengan stabil di tangan Ah Man. 　　Ah Man memutar belati dengan satu tangan, putaran cepatnya membentuk kilatan cahaya putih yang membuat bulu kuduk meremang. 　　"Ah Man, antarkan Dayang dan kedua Nona ini keluar." 　　"Siap." Ah Man menjawab lantang, mengangkat alis pada Dayang Ji dan dua dayang, "Silakan." 　　Sejak jaringannya rusak, aku jadi ikan asin yang malas mengetik. Kemarin janji teknisi datang sore, nunggu sampai malam tak kunjung datang, malah dapat telepon survei kepuasan. Saya: ?? 408. BAB 407 Permaisuri Qi 　　BAB 407 Permaisuri Qi 　　Sampai di gerbang Yuhe Yuan, Ah Man berhenti, dagu terangkat tinggi menunjukkan hidung: "Permaisuri kami baik hati, tapi aku tidak. Bertingkah laku baik, jangan bikin Permaisuri marah." 　　Sambil bicara, belati di tangannya melesak lurus ke batang pohon tak jauh, membuat kanopi pohon bergerak gemetar dan daun berhamburan. 　　Ketiganya tak bisa lagi menyembunyikan ketakutan di mata. 　　"Ah Man ini pasti dididik oleh Permaisuri!" 　　"Apakah kalian bertiga sudah ingat?" 　　Wajah Dayang Ji pucat pasi saat mengiyakan, sementara dua dayang lainnya bahkan tak berani bersuara. 　　Setelah meninggalkan Istana Yuhe dan nyaris tak kuat kembali ke kamar, Qingyu bersandar di dinding dengan tubuh lemas: "Aku hampir mati ketakutan, bagaimana bisa Permaisuri... begini sifatnya..." 　　Jiangzhu juga wajahnya pucat seperti mayat, mengangguk terus: "Benar, Permaisuri sama sekali tidak seperti bayangan kita..." 　　Para nyonya terhormat di istana mana ada yang tidak ramah dan lemah lembut? Bahkan saat menghukum orang, mereka hanya mengerutkan alis sedikit, urusan eksekusi diserahkan ke bawahannya. Para nyonya tetap terlihat anggun dan mulia. 　　Tapi Permaisuri ini? Langsung mengeluarkan belati saat ada perselisihan. 　　Qingyu menenangkan diri di dinding, bertanya pada Jiangzhu: "Menurutmu, apakah Pangeran tahu sifat Permaisuri seperti ini?" 　　Jiangzhu masih deg-degan, mengelus dadanya sambil berdesah: "Tahu pun bagaimana? Menurutku Pangeran juga tidak seperti orang biasa, mungkin justru menyukai Permaisuri yang begini." 　　Qingyu putus asa: "Kalau begitu, bukankah kita takkan pernah bisa menonjol?" 　　Jiangzhu terdiam lama, perlahan berkata: "Tiba-tiba aku merasa hari-hari seperti ini juga cukup baik." 　　Qingyu membelalakkan matanya, kaget: "Jiangzhu, kau terlalu takut sampai linglung ya?" 　　Sambil berkata demikian, ia mengulurkan tangan untuk meraba dahi Jiangzhu, memeriksa apakah ada demam. 　　Jiang Zhu menoleh menghindar, nada suaranya tenang: "Aku tidak bingung. Qing Yu, coba kau pikir, sekarang kita mengelola rempah istana pangeran, bukankah lebih ringan dibanding di istana?" 　　Qing Yu mengangguk ragu-ragu. 　　Sebenarnya, karena terpilih sebagai dayang pelatih tiga tahun lalu, mereka tidak diberi tugas khusus. Sebagian besar waktu selain belajar tata krama, juga mempelajari urusan ranjang. Tentu tidak bisa dibilang melelahkan, tapi... 　　Entah teringat apa, mata Qing Yu berkedip ketakutan. 　　Jiang Zhu jelas merasakan hal serupa: "Tiga tahun ini tak ada hari yang tidur nyenyak. Justru sejak mengelola rempah di istana pangeran, aku merasa agak rileks. Awalnya kira Permaisuri seperti para orang terhormat lainnya, pasti akan menyuruh kita melayani ranjang setelah menikah. Tapi dari tadi sepertinya jalan itu tak perlu ditempuh. Sebenarnya ini baik, di istana pangeran setidaknya kebutuhan tercukupi. Lagipula kita hadiah dari Kaisar, selama tidak menyinggung Permaisuri, siapa berani memperlakukan kita buruk. Bagaimana menurutmu?" 　　Qing Yu masih belum paham, menggigit bibir: "Jiang Zhu, kau sendiri bilang kita hadiah Kaisar. Kalau tidak melayani Pangeran, mana ada yang berani melamar? Bukankah kita akan... akan menjanda seumur hidup?" 　　"Jiangzhu melotot padanya, nada suaranya penuh kekecewaan: 'Nikah buat apa? Kalo udah nikah sama pria, cuma bisa minta makan dan pakaian. Di istana pangeran kita gak perlu khawatir makan atau pakaian seumur hidup, ngapain repot nikah sama pria kasar lalu cuci baju, masak, dan melayani mertua? Nanti setelah kita kerja keras separuh umur, si pria nabung dikit duit langsung mikir cari selir.'" 　　Perkataan Jiangzhu bagai kilat menyambar pikiran Qingyu, membuka pintu dunia baru di benaknya. 　　"Jiangzhu, setelah kau bilang gini, aku baru ngerasa ini bener..." 　　Dayang di istana hampir semua berasal dari keluarga miskin. Meski ada aturan boleh pulang ke rumah setelah genap 25 tahun, tapi setelah melihat kemewahan istana, kecuali orangtua sangat menyayangi, sedikit sekali yang mau kembali ke hidup lama. 　　Orangtua Qingyu sudah tiada beberapa tahun lalu, Jiangzhu hanya punya ibu tua dan kakak ipar. Rumah itu sudah bukan tempat pulang lagi. 　　"Ayo, kita masuk ke dalam." Jiangzhu mengulurkan tangan ke Qingyu. 　　Qingyu menggenggam tangan Jiangzhu, berdua berjalan bergandengan menuju kamar. 　　Halaman hanya tersisa cahaya mentari yang bersinar, dedaunan hijau berkilauan. 　　Nenek Ji langsung menuju halaman depan, mencari Sekretaris Utama. 　　Sekretaris Utama baru saja keluar dari ruang belajar Yu Jin, masih pusing memikirkan sikap pangeran yang keras kepala, tiba-tiba Nenek Ji masuk sambil menghela nafas. 　　"Kenapa Nenek menghela nafas?" 　　“Kepala Sekretaris, tugas saya ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan lagi.” 　　Mendengar keluhan panjang Dayang Ji, ekspresi wajah Kepala Sekretaris menjadi sangat aneh. Setelah lama baru membujuk: “Justru karena seperti ini, Dayang harus lebih bersungguh-sungguh membimbing Permaisuri ke jalan yang benar!” 　　Dayang Ji menyeringai lesu: “Awalnya hanya mengira akan membuat Pangeran dan Permaisuri tidak suka, tak disangka malah mempertaruhkan nyawa! Saya kemari hanya untuk memberitahu Kepala Sekretaris, mulai sekarang saya hanya akan mengurus pelayan. Perilaku Pangeran dan Permaisuri yang keterlaluan sudah di luar kemampuan saya.” 　　Setelah berkata demikian, Dayang Ji langsung berbalik pergi. 　　“Dayang, Dayang—” Kepala Sekretaris yang gagal mengejar menepuk dada dan menghentakkan kaki, “Mundur karena takut kesulitan, memang tidak bisa berharap pada wanita!” 　　Namun sebagai Kepala Sekretaris, dia bisa menasihati Pangeran tetapi tidak boleh sering mendekati Permaisuri. Memikirkan ini, si tua itu langsung merasa masa depan gelap gulita. 　　Jiang Si akhirnya mendapat ketenangan. 　　Di sisi lain, Kaisar Jingming yang telah selesai memeriksa laporan resmi, mengambil laporan rahasia dari Komandan Pengawal Jinlin. 　　Dalam pandangan Kaisar Jingming, laporan rahasia Jinlinwei jauh lebih menarik daripada laporan resmi para pejabat, apalagi ini termasuk investigasi khusus yang dia perintahkan. 　　Seperti menyelidiki masa lalu Permaisuri Yan. 　　Laporan rahasia Jinlinwei umumnya ringkas dan tepat sasaran. 　　Setelah membacanya, Kaisar Jingming akhirnya menghilangkan keraguannya. 　　Permaisuri Yan sejak kecil tumbuh di kedalaman rumah, selain kecantikan yang luar biasa, tidak ada keistimewaan lain, apalagi pernah berinteraksi dengan orang-orang khusus. 　　Dengan demikian, anggapan bahwa Permaisuri Yan terlahir dengan pengetahuan bawaan tampaknya tidak memiliki celah. 　　Bagaimanapun ini hanya urusan sepele yang tidak berpengaruh pada situasi besar, Kaisar Jingming meletakkan laporan rahasia setelah membacanya, melirik ke kiri-kanan, lalu menarik buku cerita dari tumpukan dokumen setinggi gunung dan mulai membaca dengan penuh minat. 　　Pesta istana untuk merayakan kesembuhan mata Putri Fuqing ditetapkan dua hari kemudian, ini bisa dianggap sebagai jamuan keluarga di mana hanya kerabat kekaisaran yang menerima undangan. 　　Kebetulan hari itu adalah hari Jiang Si pulang ke rumah orang tua, sehingga pada hari tersebut harus mengirim utusan ke Kediaman Dongping Bo untuk menyampaikan pesan bahwa akan datang terlambat. 　　Tidak perlu menyebut berbagai perasaan anggota Keluarga Bo saat menerima pesan, pagi-pagi sekali Jiang Si dan Yu Jin sudah naik kereta kuda menuju istana. 　　Jamuan istana diadakan di Aula Changsheng, skalanya setara dengan pesta Dongzhi dan Tahun Baru, menunjukkan betapa Kaisar dan Permaisuri menghargai Putri Fuqing. 　　Jiang Si dan Yu Jin datang cukup awal, setelah masuk ke aula mereka berpisah, masing-masing dipandu dayang menuju tempat duduk. 　　Baru saja duduk, Jiang Si mendengar suara lembut: "Adik ipar ketujuh?" 　　Sejuk yang menusuk tak terkendali muncul dari dasar hati, dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. 　　Jiang Si menggenggam ujung jari yang dingin, menoleh ke arah suara. 　　Permaisuri Qi tersenyum lembut dengan sudut bibir terangkat, sikapnya ramah: "Adik ipar ketujuh, pada hari pernikahanmu kerumunan orang terlalu banyak, mungkin kau tidak ingat padaku. Aku adalah kakak ipar keempatmu." 409. BAB 408 Kematian Jiang Si 　　BAB 408 Kematian Jiang Si 　　Saya adalah kakak ipar keempatmu. 　　Mendengar kata-kata lembut dan ramah Permaisuri Qi, Jiang Si seolah kembali ke pertemuan pertama mereka saat pulang dari Perbatasan Selatan ke ibu kota. 　　Saat itu Permaisuri Qi juga sama ramahnya, tersenyum menenangkannya agar tidak perlu gugup, mengatakan bahwa jika ada orang yang tidak dikenal atau hal yang tidak dimengerti bisa langsung bertanya. 　　Dua tahun lebih hidup di Perbatasan Selatan ternyata membuatnya lengah, mulai menaruh simpati pada istri kakak kandung Yu Qi. 　　Karena hal inilah, tanpa disadarinya ia terjerumus ke jalan buntu. 　　Hingga kini Jiang Si masih mengingat dengan jelas, angin di tepi tebing begitu kencang, menerbangkan rambut panjangnya yang acak-acakan. 　　Ia ingin hidup, kedua tangannya mencengkram erat tepi tebing, meski jari-jarinya terkikis berdarah tetap tak mau melepaskan pegangan. 　　Telah melewati kehidupan membosankan di keluarga An Guogong, melewati hari-hari menegangkan sebagai Imam Suci palsu di Perbatasan Selatan, meski ada ganjalan dan siksaan dalam hubungannya dengan Yu Qi, ia tetap ingin bertahan hidup. 　　Permaisuri Qi juga berdiri di tepi tebing, berbeda dengan kekacauan dan keputusasaannya, wajahnya tenang. 　　Perempuan ini berjongkok dengan senyum ramah yang sama seperti sekarang, perlahan membuka jari-jarinya satu persatu. 　　Ia terjatuh. 　　Jiang Si tidak bisa melupakan rasa sakit setiap tulang yang patah saat kesadarannya kabur, bau darah yang memenuhi tenggorokan dan mulutnya, apalagi senyuman setan itu. 　　Melihat wanita ini lagi, seluruh tubuh Jiang Si terasa dingin, hatinya bahkan lebih beku. 　　Dia tidak takut pada wanita ini, tapi pada kejahatan hati manusia semacam itu. 　　Bagaimana mungkin seseorang bisa sekejam itu? 　　Atau mungkin, mereka yang berebut posisi itu sudah tidak layak disebut manusia lagi. 　　Jiang Si terdiam cukup lama. Permaisuri Qi sama sekali tidak menunjukkan kecanggungan, ekspresinya lembut bagai angin semi: "Jangan malu-malu, adik ipar ketujuh. Aku juga melalui ini saat pernikahanku dulu. Kalau ada yang tidak kamu pahami, tanyalah padaku. Adik ketujuh dan Pangeran kami adalah saudara kandung, tak ada yang lebih dekat dari kita..." 　　Jiang Si tersenyum manis: "Tentu saja aku mengenal kakak ipar keempat." 　　Meski tulangnya dihancurkan jadi abu pun takkan terlupakan. 　　Permaisuri Qi tertegun sejenak lalu tertawa: "Ingatan adik ipar ketujuh memang baik." 　　Jiang Si mengulurkan tangan mengambil cangkir teh di hadapannya, lengan baju lebar tergulung memperlihatkan pergelangan putih dan gelang gioknya. 　　Mata Permaisuri Qi tiba-tiba menyipit, terpaku pada gelang giok itu. 　　Ini merupakan sikap yang sangat tidak biasa bagi Permaisuri Qi. 　　Tapi apa artinya sikap tidak biasa? Ini adalah Gelang Lingxiao! 　　Gelang Lingxiao yang didapat Permaisuri sejak lahir, maknanya sudah jelas. 　　Seketika itu, berbagai perasaan berkecamuk di hati Permaisuri Qi. 　　Sangat tabu bagi pangeran yang membuka rumah keluarga di luar istana untuk menyelidiki urusan dalam istana. Meskipun tahu bahwa Permaisuri Yan telah menyembuhkan mata Putri Fuqing setelah menerima undangan, dan Permaisuri Yan pun mendapat kasih sayang Kaisar-Permaisuri, namun melihat gelang Lingxiao terpasang di pergelangan tangan Jiang Si, Permaisuri Qi tetap tergetar hebat. 　　Sama-sama sebagai pengantin baru yang menghadap Kaisar-Permaisuri keesokan hari setelah pernikahan, dirinya selalu berhati-hati, takut melakukan kesalahan sedikit pun, tidak berani bicara lebih atau bertindak sembarangan. Hasilnya hanyalah pujian "sikap tenang dan anggun" dari Permaisuri. 　　Anggun dan tenang? Di dalam maupun luar istana, sifat seperti itu justru paling umum ditemui. 　　Permaisuri Yan benar-benar nekat! Pertama kali masuk istana langsung berani melakukan hal sesekstrem ini, tapi anehnya malah berhasil. Bukan hanya mendapat apresiasi Kaisar-Permaisuri, bahkan memperoleh Gelang Lingxiao yang tak dimiliki Permaisuri Putra Mahkota sekalipun. 　　Gelang Lingxiao sepasang. Satu diberikan ke Permaisuri Yan, satunya pasti disimpan untuk Putri Fuqing. 　　Meski tak ada yang berani mengaku terang-terangan, mendapatkan Gelang Lingxiao seolah pertanda akan menjadi Permaisuri di masa depan. Siapa yang tak menginginkan pertanda baik seperti ini? Melihat gelang ini saja hatinya sudah perasaan asam, apalagi Permaisuri Putra Mahkota. 　　Mengingat pesan Pangeran Qi sebelum ke istana, Permaisuri Qi mengumpulkan perasaan lalu menggandeng tangan Jiang Si dengan mesra: "Kabar mengatakan mata Putri disembuhkan oleh adik ipar ketujuh—" 　　Kalimat selanjutnya terhenti karena gerakan menghindar yang sangat jelas dari Jiang Si. 　　“Saya tidak terbiasa melakukan kontak fisik dengan orang yang tidak dikenal.” 　　Perkataan Jiang Si membuat pipi Permaisuri Qi memerah. Di tengah suasana seperti ini, dia tak bisa marah, hanya bisa berkata dengan malu: "Saya yang kurang sopan." 　　Jiang Si tersenyum, tak melanjutkan percakapan. 　　Menghadapi orang seperti Permaisuri Qi, sulit sekaligus mudah. 　　Permaisuri Qi berusaha menjadi permaisuri sempurna yang selalu menjaga kesopanan dan kemurahan hati, bahkan saat mendengar ucapan menyinggung pun harus tersenyum lapang. 　　Dari hati, dia berharap kebiasaan baik Permaisuri Qi ini terus dipertahankan. 　　Tamu berdatangan. Sebagian berpura-pura anggun namun kerap melirik ke arah Jiang Si, sebagian lagi langsung mendekat untuk menanyakan kesembuhan mata Putri Fuqing. 　　Dalam sekejap, Jiang Si menjadi pusat perhatian bagai bulan dikelilingi bintang, membuat Permaisuri Qi di sampingnya semakin terabaikan. 　　Permaisuri Qi tetap menjaga sikap sopan. Dia hanya tersenyum pada Putri Rongyang yang baru masuk dengan putrinya, sebagai bentuk sapa. 　　Putri Rongyang adalah anak angkat Janda Permaisuri dan adik kandung Kaisar Jingming yang paling dekat. Dalam acara seperti ini kehadirannya wajib. Sementara Cui Mingyue yang bertunangan dengan Pangeran Xiang kini tak perlu lagi bersembunyi. 　　Pandangan tajam bagai pisau Putri Rongyang langsung tertuju pada Jiang Si. 　　"Ibu—" desis Cui Mingyue pelan. 　　“Sifat ibu kandungnya yang kurang tenang, sama sekali tidak bisa menahan amarah terhadap orang biasa.” 　　“Melihat Jiang Si dipermalukan tentu menyenangkan baginya, tapi bukan sekarang. Sebelum resmi menjadi Permaisuri Xiang, dia tidak ingin menimbulkan masalah lagi.” 　　“Mendengar panggilan lembut putrinya, Putri Rongyang menarik pandangannya dan berjalan ke tempat duduknya sambil mengibaskan lengan baju.” 　　“Cui Mingyu duduk di samping Putri Rongyang, menatap Jiang Si di balik kerumunan orang.” 　　“Ini adalah rival yang patut diwaspadai. Membayangkan masa depan, sungguh membuat penasaran.” 　　“‘Kaisar tiba, Permaisuri tiba, Putri Fuqing sampai——’” 　　“Begitu teriakan pelayan istana menggema, seluruh hadirin serentak berdiri.” 　　“Kaisar Jingming dan Permaisuri berjalan masuk bergandengan tangan, diikuti seorang gadis berbaju hijau.” 　　“Untuk pertama kalinya, perhatian kerumunan tidak tertuju pada pasangan paling mulia itu, melainkan serempak mengarah ke Putri Fuqing.” 　　“Benarkah kabar bahwa Permaisuri Yan telah menyembuhkan mata Putri Fuqing?” 　　“Merasakan ratusan tatapan, Putri Fuqing sedikit menegakkan punggungnya.” 　　“Pertama kali menghadapi sorotan sebanyak ini, mustahil tidak grogi. Tapi sebagai putri mahkota yang baru sembuh, menunjukkan kelemahan berarti mempermalukan Ibu Suri.” 　　“Selama bertahun-tahun kebutaannya telah membuat Ibu Suri menanggung banyak cibiran. Bagaimana mungkin sekarang dia mempermalukan ibunya lagi?” 　　Putri Fuqing teringat perkataan ibu susunya: "Jika Putri merasa gugup, lebih baik tunjukkan ekspresi dingin. Dengan begitu orang lain tidak bisa menebak pikiran Putri, dan mereka hanya akan merasa segan." 　　Tidak sulit menunjukkan wajah dingin. Maka yang muncul di hadapan orang-orang adalah Putri Fuqing dengan wajah membeku seperti es. 　　Jiang Si sedikit menaikkan alisnya. 　　Dibandingkan gadis lembut dan manis beberapa hari lalu, Putri Fuqing di depan mata seolah telah berganti orang. 　　Saat berpikir begitu, Putri Fuqing tiba-tiba menoleh dan memberinya senyum manis. 　　Seketika pandangan orang-orang kembali tertuju pada Jiang Si. 　　Putri Fuqing begitu akrab dengan Permaisuri Yan, tampaknya rumor itu benar adanya! 　　Syukurlah, akhirnya ada yang memperbaiki jaringnya. Bagian kedua akan menyusul. 410. BAB 409 Pembukaan Jamuan 　　BAB 409 Pembukaan Jamuan 　　Beberapa pangeran duduk bersama. 　　Pangeran Lu menyandar ke arah Yu Jin: "Adik ketujuh, bagaimana caramu menyembuhkan mata Putri Ketigabelas?" 　　Yu Jin memandang Pangeran Lu dengan dingin. 　　Setiap kali berkumpul pasti berkelahi, setiap kali kalah, dari mana keberanian Lao Wu yang sok akrab ini? 　　Pangeran Lu sama sekali tidak peduli dengan tatapan dingin Yu Jin, tetap tersenyum: "Ceritakanlah." 　　Katanya, menyebut Permaisuri Yan mudah memicu amarah Lao Qi. Jika Lao Qi mengamuk di acara seperti ini, pasti akan berakhir buruk. 　　Yu Jin mengambil gelas anggur dan meminumnya, memainkan gelas kosong tanpa bersuara. 　　Pangeran Lu menunjukkan wajah tak tahu malu: "Adik ketujuh kenapa diam saja?" 　　Yu Jin memutar gelas anggur, bertanya dengan wajah datar: "Haruskah saya tanya lima saudara perempuan, apakah belakangan ini kakak kelima kurang memperhatikan lima saudara perempuan?" 　　Pangeran Lu mengusap hidungnya, seketika menghentikan perlawanannya. 　　Pangeran Xiang masih menyimpan dendam atas pukulan di mulutnya saat pernikahan Yu Jin, berkata dengan nada dingin: "Kakak ipar ketujuh memang misterius, bahkan bisa menyembuhkan mata Shisanmei. Kakak ketujuh harus lebih waspada, jangan sampai tidak tahu kemampuan kakak ipar ketujuh." 　　Pangeran Xiang selalu berada di lapisan terbawah di antara para pangeran. Ketika Lao Qi yang dibesarkan di luar istana akhirnya kembali, dikira ada yang bisa ditindas, tapi malah terus menerus mengalami kegagalan sementara lawannya hidup bebas. 　　Hal ini membuat ketidakseimbangan dalam hatinya semakin menjadi. Semua kesabaran itu langsung lenyap ketika berhadapan dengan Yu Jin. 　　Yu Jin mencemooh, matanya yang seperti phoenix menyapu Pangeran Xiang dengan penuh arti: "Justru saya harus ucapkan selamat kepada adik kedelapan yang sudah tahu kemampuan calon istrimu sejak dini. Ngomong-ngomong, mungkin adik lupa, kasus Keluarga Zhu dulu ditangani oleh saya..." 　　Wajah Pangeran Xiang seketika menjadi merah padam. Ia menaruh gelas ke meja dengan keras, langsung menarik perhatian orang sekitar. 　　Pangeran Qi memanggil lembut, "Adik Kedelapan." 　　Barulah Pangeran Xiang menahan dorongan untuk meninju wajah Yu Jin, menarik napas dalam-dalam. 　　Jangan terpancing, jangan terpancing. 　　Benar-benar membuatnya naik darah, mulut busuk Lao Qi ini! 　　“Kakak Ketujuh lebih cepat berbicara daripada wanita, hari ini aku benar-benar belajar dari kakak.” Pangeran Xiang mengejek dengan suara rendah. 　　Yu Jin sama sekali tidak menghiraukan sarkasmenya, berkata datar: "Seolah-olah dengan bertarung kau bisa menang." 　　Pangeran Xiang merasa tersedak. 　　Pangeran Qi mencoba melerai: "Adik ketujuh, Adik Kedelapan masih kecil, jangan kau permasalahkan." 　　Yu Jin menggelengkan kepala tanpa menanggapi perkataan Pangeran Qi. 　　Di hadapan semua saudara, Pangeran Qi merasa malu dan tersipu sambil meneguk anggur. 　　Di sela-sela itu, Pangeran Xiang melirik ke arama para wanita. 　　Jamuan keluarga hari ini sangat meriah. Selain selir dan putri istana yang memiliki pangkat cukup, semua putri yang menikah di ibu kota hadir, ditambah generasi sebelumnya seperti Putri Rongyang dan kerabat kerajaan lainnya, meja demi meja penuh keriuhan. 　　Putri Rongyang yang dihormati oleh Janda Permaisuri dan Kaisar, posisinya sangat mencolok. 　　Sekilas ia melihat Cui Mingyue yang mengikuti Putri Rongyang. 　　Gadis enam belas tahun itu cantik bak bulan purnama, beraura tenang, sungguh sulit untuk membenci. 　　Cui Mingyue tiba-tiba menoleh, pandangan mereka bertabrakan secara tak terduga. 　　Dengan menahan jijik, Cui Mingyue tersenyum tipis pada Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang segera memalingkan muka, namun hatinya mulai bergejolak halus. 　　Dulu, ia pernah bercita-cita menikahi putri bangsawan seperti Cui Mingyue. 　　Cantik, anggun, terlebih berasal dari keluarga terhormat. 　　Hanya saja dia memiliki kesadaran diri, tahu bahwa dengan kesombongan Putri Rongyang, sang putri tidak akan menganggap serius seorang pangeran seperti dirinya yang memiliki ibu kandung berstatus rendah. 　　Pikiran-pikiran yang muncul ini diusir oleh logika. Ketika Cui Mingyue dan Zhu Ziyu terlibat skandal, perjodohan yang jatuh ke tangannya bukan lagi kebahagiaan, melainkan aib. 　　Bukankah dia bukan pemulung? Tanpa bertanya sepatah kata pun, semua sampah busuk dilempar ke sini? 　　Pada dasarnya, mereka masih menganggapnya mudah dikendalikan, tidak punya hak untuk bersuara. 　　Namun—Pangeran Xiang memikirkan gadis yang tersenyum lembut padanya tadi, hatinya mulai goyah. 　　Mungkin dia benar-benar hanya sesaat tidak waras... 　　Cui Mingyue sedikit melengkungkan bibirnya. 　　Dia sudah lama tahu bahwa sikap keras ibu terhadap ayah adalah tindakan yang salah. 　　Hati manusia bukan terbuat dari besi, terutama hati pria, harus dihangatkan dengan kelembutan seperti air. Selama ada kesabaran, pasti akan bisa dihangatkan. 　　Tapi ibu sengaja tidak melakukannya. 　　Di satu sisi mencintai ayah, di sisi lain tidak bisa melepaskan gengsi sebagai putri. Bertahun-tahun hubungan mereka semakin renggang, yang menderita justru diri sendiri. 　　Untuk apa semua ini? 　　Menurut Cui Mingyue, Putri Rongyang adalah orang bodoh, dan dia pasti tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. 　　Apa artinya reputasi ternoda? Setelah menikah, dia pasti akan mencengkeram erat hati Pangeran Xiang. 　　Setelah Kaisar dan Permaisuri duduk, Kaisar Jingming memulai pembicaraan: "Hari ini Aku sangat senang, mata Fuqing telah sembuh. Mulai sekarang Fuqing bisa melihat pemandangan indah dan hadirin sekalian seperti kalian. Aku angkat gelas pertama untuk merayakan kesembuhan Fuqing." 　　Seluruh penghuni aula serentak mengangkat gelas, menyampaikan ucapan selamat atas kesembuhan mata Putri Fuqing. 　　Melihat adegan ini, Permaisuri tak bisa menahan air matanya. 　　Putrinya akhirnya bisa berdiri dengan jujur dan terhormat di hadapan dunia menerima doa, bukan terus menghindar dan layu perlahan di istana dalam. 　　Bagaimana mungkin dia tidak terharu? 　　Pada momen ini, dia bukan lagi seorang Permaisuri, melainkan seorang ibu. 　　Setelah melepaskan emosi sesaat, Permaisuri kembali tersenyum sopan: "Kesembuhan Fuqing berkat jasa Permaisuri Yan. Hamba ingin menghormati Permaisuri Yan dengan segelas anggur ini." 　　Jiang Si membalas hormat: "Ini hanya kebetulan. Kebaikan dan kebijaksanaan Putri serta berkah langitlah yang membuatnya terbebas dari penderitaan..." 　　Sejak saat itu, keraguan tentang peran Permaisuri Yan dalam menyembuhkan mata Putri Fuqing sirna sama sekali. 　　Kini muncul kebingungan baru: Bagaimana cara Permaisuri Yan menyembuhkan mata Putri Fuqing? 　　Namun dalam acara resmi seperti ini, segala rasa ingin tahu harus ditahan rapat-rapat, membuat suasana sesaat menjadi kaku. 　　Kaisar Jingming bersuara lantang: "Kita semua keluarga. Hari ini tidak perlu banyak tata krama, kalian boleh bersantai." 　　Suasana pun seketika menjadi riuh. 　　Bila Sang Kaisar sudah berfirman demikian, meski kaku harus dipaksakan meriah. 　　Putri Fuqing memandang sekeliling dengan penasaran, merasa tak puas hanya melihat sekilas. 　　Permaisuri menepuk tangan Putri Fuqing: "A'Quan, mau duduk di samping Ibu atau bergabung dengan saudari-saudarimu?" 　　Sebagai bintang utama hari ini, Putri Fuqing pantas duduk di sisi Kaisar dan Permaisuri. Apalagi ini jamuan keluarga, Kaisar berhak menempatkan siapa pun yang disayanginya di dekatnya. 　　Putri Fuqing tak sengaja melirik ke arah Putri Kaisar yang belum menikah. 　　Sekitar belasan gadis berbusana serupa duduk mengelilingi meja besar, suasana terlihat sangat meriah. 　　"Bolehkah saya ke sana?" 　　"Tentu saja, pergilah." Permaisuri tersenyum mendorong. 　　Putri Fuqing berjalan ke arah mereka sambil menahan roknya. 　　Dayang istana sudah menyiapkan kursi dan mempersilakan Putri Fuqing duduk. 　　"Kakak Ketiga Belas, matamu sungguh indah." Gadis berbentuk wajah apel dengan senyum ceria itu memuji lalu bertanya nakal, "Coba tebak, siapa saya?" 　　Putri Fuqing memandangnya seksama lalu menjawab pasti: "Adik Kelima Belas." 　　Akhirnya kembali ke alur cerita. Rekomendasi "Flirting First: National Male God, Please Behave" karya Zisu Luobi: Tunangannya adalah male god nasional, kaya, berkuasa, tampan, berbadan atletis, kompeten, karir cemerlang. Tapi mengapa si pria dingin ini jadi tidak tahu malu? 411.BAB 410 Putri Kelima Belas 　　BAB 410 Putri Kelima Belas 　　“Putri Fuqing telah menderita penyakit mata sejak kecil, namun berhati murni dan berwatak lembut, tak pernah menunjukkan kesombongan sebagai putri permaisuri. Para putri di istana senang bersahabat dengannya.” 　　“Meski demikian, yang benar-benar akrab dengan Putri Fuqing tidak banyak jumlahnya.” 　　“Putri Fuqing berstatus mulia namun matanya buta, bagai patung kristal berharga. Bila terjadi benturan atau ketidaksenangan saat bermain bersamanya, bukankah akan menjadi masalah besar?” 　　“Suara ini sangat familiar bagi Putri Fuqing, berasal dari Putri Kelima Belas yang sering mengunjunginya.” 　　“Kakak Ketiga Belas sungguh hebat, langsung bisa menebak dengan benar!” Putri Kelima Belas tersenyum hingga matanya berbentuk bulan sabit. 　　“Putri Fuqing memandang teliti Putri Kelima Belas, lalu tersenyum: ‘Adik Kelima Belas ini cantik jelita.’” 　　“Setelah matanya sembuh dan mendapat pesan Jiang Si untuk beristirahat dua hari, Permaisuri melarang gangguan terhadap sang putri. Hari ini baru pertama kalinya ia bertemu kerumunan.” 　　“Putri Kelima Belas gembira mendengarnya, menggenggam tangan Putri Fuqing: ‘Hanya Kakak Ketiga Belas yang berkata begitu, yang lain menertawakan wajah bulatku.’” 　　“Tidak benar. Penampilan Adik Kelima Belas segar, siapa pun yang melihat pasti akan senang.” 　　“Bagi Putri Fuqing yang lama dalam kegelapan, semua warna cerah sangat disukainya.” 　　“Seorang dayang menghidangkan anggur buah di hadapan para putri.” 　　“Alunan musik mengalun, sekelompok penari mulai berputar-putar di aula.” 　　"Sambil menikmati keriuhan tersebut, Putri Kelima Belas berbisik di telinga Putri Fuqing, 'Kakak Ketiga Belas, menurutku di antara semua orang di sini, Saudari Tujuh yang paling cantik.'" 　　Putri Fuqing mengalihkan pandangan melewati dayang-dayang yang sedang menari anggun ke meja di seberang. 　　Putri Kelima Belas memegang cawan anggur buah yang manis asam, bertanya sambil tersenyum, "Benar kan?" 　　Putri Fuqing mengangguk halus, "Benar. Adik Kelima Belas, tunggu sebentar, aku ingin memberikan semangkuk anggur kepada Saudari Tujuh." 　　Dia mengangkat cawan, mencium aroma bayangan prem lalu meletakkannya kembali, memerintahkan dayang untuk menuangkan anggur Baihua Yang, lalu berjalan menuju meja seberang. 　　Putri Kelima Belas buru-buru berdiri, menarik lembusan lengan Putri Fuqing. 　　Putri Fuqing berhenti, menatap Putri Kelima Belas, "Ada apa, Adik Kelima Belas?" 　　"Kakak Ketiga Belas, aku juga ingin menghormati Saudari Tujuh. Dia telah menyembuhkan matamu, aku sangat senang." 　　Putri Fuqing tersedak tawa, menyingkap niatan kecil sang adik, "Kurasa kau hanya penasaran saja." 　　Matanya yang buta selama sepuluh tahun tiba-tiba disembuhkan oleh Permaisuri Yan, siapa yang tidak akan penasaran? 　　"Ayo pergi." 　　Keduanya berjalan bersama menuju Jiang Si. 　　Jiang Si sedang melayani para wanita di mejanya. Meski sengaja mengabaikan Permaisuri Qi, dia cukup sabar menghadapi yang lain, suasana untuk sementara masih terasa harmonis. 　　Melihat kedatangan Putri Fuqing, kerumunan segera menghentikan obrolan dan memandang ke arah mereka. 　　Putri Fuqing dengan sopan membungkuk kepada kerumunan: "Fuqing menyapa para kakak ipar kerajaan." 　　Putri Kelimabelas mengikuti memberi salam. 　　Para permaisuri tidak berani angkuh, segera membalas salam. 　　Ini adalah satu-satunya putri kaisar dari permaisuri utama, bukan hanya buah mata Permaisuri, tapi juga putri tersayang Kaisar. Meski berstatus permaisuri, mereka tak mungkin bersikap angkuh di hadapan Putri Fuqing. 　　Adapun putri yang mengikuti Putri Fuqing, heh, cukup beruntung jika bisa mengetahui urutan kelahirannya. 　　Putri Fuqing mengangkat piala giok ke arah Jiang Si: "Kakak ipar ketujuh, kau telah menyembuhkan mataku. Fuqing akan selalu ingat. Piala ini untukmu." 　　Jiang Si menyentuhkan piala gioknya dengan Putri Fuqing: "Paduka tak perlu demikian. Sudah kukatakan sebelumnya, mungkin ini takdir antara kita." 　　Beberapa permaisuri hampir tak bisa menahan keinginan untuk melirik. 　　Permaisuri Yan benar-benar ahli menjalin kedekatan. Seolah-olah Dewa Bulan menjodohkan Putri Fuqing dengan Permaisuri Yan. Masak pakai alasan takdir. 　　Meski iri, semua tahu ini bukan sesuatu yang bisa ditiru. Siapa sangka mata Putri Fuqing justru disembuhkan oleh Permaisuri Yan. 　　Putri Fuqing tersenyum tipis: "Kakak ipar benar. Fuqing menghormatimu." 　　Keduanya menghabiskan anggur dalam piala mereka. 　　Melihat mereka selesai minum, Putri Kelimabelas mengangkat piala dengan senyum manis: "Kakak ipar ketujuh, aku juga ingin menghormatimu. Terima kasih telah menyembuhkan mata kakak ketigabelasku." 　　“Ini pertama kalinya Jiang Si bertemu Putri Kelima Belas. Ia cukup berkesan dengan gadis yang lahir di istana dalam namun berwatak ceria ini. Ia mengambil gelas yang baru diisi ulang oleh dayang dan mengangkatnya ke arah Putri Kelima Belas, "Putri Kelima Belas terlalu sopan."” 　　Gelas mereka saling bersentuhan. Melihat Jiang Si menghabiskan minumannya dengan lancar, Putri Kelima Belas segera meneguk habis anggur dalam gelasnya. 　　“Kakak ipar ketujuh, karena hari ini ramai kami tak akan mengganggumu lagi. Lain waktu kumohon kunjungilah istana,” ujar Putri Fuqing setelah Jiang Si mengangguk. Ia tersenyum senang lalu menoleh berbisik, “Adik Kelima Belas, mari kita kembali.” 　　Namun Putri Kelima Belas tak membalas. 　　Putri Fuqing merasakan kejanggalan. Ia meraih tangan adiknya, “Adik Kelima Belas——” 　　Tiba-tiba Putri Kelima Belas terjatuh ke lantai, menggeliat kesakitan. 　　Seorang dayang yang berdiri dekat menjerit ketakutan, “Darah! Putri mengeluarkan darah!” 　　Keributan ini seketika mengguncang seluruh ruangan. 　　Mendengar teriakan itu, tangan Permaisuri gemetar hingga anggur dalam gelasnya tumpah ke meja. 　　“Adik Kelima Belas!” Putri Fuqing menerjang ke arah sang adik yang terus menggelepar di lantai. 　　Permaisuri menarik napas panjang, kesadarannya pulih. “Cegah Putri Fuqing! Panggil Tabib istana!” teriaknya. 　　Kaisar dan Permaisuri bergegas mendekat, situasi langsung kacau-balau. 　　Putri Kelima Belas akhirnya menghembuskan napas terakhir sebelum Tabib istana tiba. 　　Di antara isak tangis teredam Putri Fuqing, bergema amarah Kaisar Jingming, “Apa yang terjadi pada Putri Kelima Belas?!” 　　Beberapa tabib istana berlutut di lantai dengan gemetar ketakutan, tak berani menarik napas. 　　"Bicara, atau Aku akan memenggal kepala kalian!" 　　Di bawah interogasi Kaisar, salah seorang tabib terpaksa mengeraskan hati menjawab: "Paduka, Putri Kelima Belas... wafat karena racun..." 　　"Racun apa?" 　　Pertanyaan ini membuat beberapa tabib kebingungan, saling pandang. 　　Kaisar Jingming mencemooh: "Kalian tabib terpilih seantero negeri, malah tak bisa mendeteksi jenis racun yang membunuh Putri Kelima Belas?" 　　Para tabib hanya bisa merasakan kepahitan dalam hati. 　　Antar bidang pekerjaan seperti dipisahkan gunung. Paduka bisa menjadi kaisar yang baik, tak perlu bicara sembarangan tentang dunia pengobatan. 　　Di dunia ini banyak keanehan, kasus keracunan justru yang paling sulit dilacak. 　　Tapi kalimat ini hanya bisa disimpan dalam hati. Berani mengatakannya pada Kaisar berarti mencari mati. 　　Seorang tabib berkata: "Paduka, untuk mengidentifikasi racun, pertama-tama kita harus mencari sumbernya - misalnya makanan atau benda yang disentuh korban." 　　Meski tak tega, Kaisar Jingming menatap Putri Fuqing: "Fuqing, tadi kamu bersama Putri Kelima Belas?" 　　Putri Fuqing mengangguk sambil menahan air mata. 　　"Apakah ada keanehan yang kamu lihat padanya?" 　　Putri Fuqing menggigit bibirnya, tetap diam. 　　Putri Rongyang menyela: "Kakak, tadi di sini ramai. Tanpa sengaja hamba melihat Putri Kelima Belas sedang minum bersama Permaisuri Yan." 　　Pandangan kerumunan langsung tertuju pada Jiang Si. 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: "Istri Lao Qi, benarkah demikian?" 　　“Ya, Putri Kelima Belas memang memberikan hormat dengan minuman kepada menantu perempuan, namun minuman Putri Kelima Belas diambil dari mejanya sendiri.” 　　Sekali lagi kukatakan, jangan lagi mengoreksi bahwa kasim harus menyebut diri sebagai budak, mana ada begitu banyak budak. 412. BAB 411 Target Sebenarnya 　　BAB 411 Target Sebenarnya 　　Di bawah tatapan kerumunan, Jiang Si dengan tenang mengulurkan tangan, di telapaknya terdapat cawan giok putih. 　　Cawan giok putih itu memiliki bagian yang pecah dan beberapa retakan. 　　“Ini adalah cawan anggur yang digunakan Putri Kelima Belas, jatuh ke tanah bersamaan ketika beliau terjatuh tadi, dan menantu perempuan mengambilnya.” 　　Kaisar Jingming segera memerintahkan para tabib istana: “Periksa sisa anggur dalam cawan ini!” 　　Mendengar kemungkinan adanya racun dalam anggur, kerumunan langsung panik dan wajah mereka memucat. 　　Baru saja mereka saling bersulang, semua telah meminum anggur. 　　Seseorang bergumam: “Tidak mungkin ada racun dalam anggur, banyak yang sudah minum, kenapa hanya Putri Kelima Belas yang bermasalah?” 　　Kaisar mendengar perbincangan ini dan menunggu kesimpulan tabib dengan wajah muram. 　　Setelah memeriksa cawan Putri Kelima Belas beberapa saat dalam ketegangan, seorang tabib melapor: “Paduka Kaisar, sisa anggur dalam cawan memang mengandung racun, jenis pastinya masih perlu pemeriksaan lebih lanjut...” 　　Kaisar Jingming menutup matanya. 　　Jenis racun apa sebenarnya tidak penting, yang penting adalah di pesta istana seperti ini, ada yang berani menyelundupkan racun untuk putri tanpa diketahui siapa pun! 　　“Hari ini bisa meracuni putri, besok bukankah bisa meracuni Permaisuri, dia, bahkan Janda Permaisuri?” 　　Begitu pikirannya melayang, Kaisar Jingming langsung merasakan kedinginan menyelimuti. 　　Kaisar Jingming memiliki banyak putri. Meski sehari-hari bahkan tak bisa mengingat nama mereka, menyaksikan putri yang semula sehat walafiat tiba-tiba menjadi mayat yang dingin, hatinya terasa berat dan muram. Tiba-tiba ia membuka mata dan menepuk pilar merah: “Selidiki ini sampai tuntas untuk Aku!” 　　Permaisuri juga merasa tak nyaman. 　　Pesta istana ini adalah tanggung jawabnya, untuk merayakan kesembuhan mata Fuqing. Namun pesta yang seharusnya meriah malah diwarnai peristiwa mengerikan ini. Ini bukan sekedar memalukan dirinya. 　　“Paduka, jika masalah ini dibesar-besarkan, bisa mencemarkan nama baik keluarga kerajaan.” Permaisuri mengingatkan dengan suara lembut. 　　Kaisar Jingming mulai tenang. 　　Putri ke-15 tewas karena diracun, pasti ada pelaku dibaliknya. 　　Si peracun mungkin masih berada di balairung ini, sementara yang hadir semuanya selir-selir, putri-putri kerajaan, sanak saudara istana... 　　Kaisar Jingming semakin geram, matanya yang penuh wibawa menyapu Jiang Si dengan tatapan tajam. 　　Bisa dikatakan, orang terakhir yang berinteraksi dengan Putri ke-15 adalah Permaisuri Yan. 　　Tiba-tiba suara jernih terdengar: “Ayah Kaisar, anak lelaki ini telah magang di Kementerian Hukum beberapa bulan, juga belajar menyelidiki kasus dari Tuan Zhen. Biarlah hari ini anak mencoba menemukan pelaku kejahatan pembunuh Putri ke-15.” 　　Pandangan kerumunan langsung tertuju pada sumber suara, raut wajah mereka berubah aneh. 　　Menghadapi hal seperti ini, orang biasanya menghindar. Apa Pangeran Yan bodoh, sampai berinisiatif mengambil alih masalah ini? 　　Tapi ada juga yang cepat tanggap menyadari situasi: Permaisuri Yan adalah orang terakhir yang bertemu Putri ke-15. Jika ingin menyelidiki pelaku racun Putri ke-15, Permaisuri Yan akan jadi sasaran pertama. Tindakan Pangeran Yan ini jelas melindungi Permaisurinya... 　　Mereka yang paham tak bisa menahan decak kagum akan nasib baik Jiang Si. 　　Pangeran Yan benar-benar menempatkan Permaisurinya di puncak hatinya. 　　Meski cinta bisa memudar seiring memudarnya kecantikan, kasih sayang saat ini tak menjamin masa depan. Tapi bagaimanapun, ini tetap lebih baik daripada tak pernah disayang sama sekali. 　　Permaisuri Putra Mahkota adalah salah satu yang merasakan sentimen ini. 　　Ia melirik sang Putra Mahkota, namun hanya melihat kegembiraan yang tak tersembunyi di matanya. 　　Itu adalah tatapan penonton yang menikmati kejadian. 　　Hati Permaisuri Putra Mahkota membeku, senyum masam mengering di bibirnya. 　　Putri ke-15 tewas mengenaskan. Sekalipun hubungan Putra Mahkota dengannya renggang, tak seharusnya bersikap dingin seperti ini. 　　Jika orang seperti ini naik takhta, akankah memperlakukan rakyat Zhou dengan baik? Apalagi terhadap istri sahnya? 　　Permaisuri Putra Mahkota menunduk, menyembunyikan kesepian di matanya. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin lama, bertanya: "Lao Qi, kau benar-benar ingin mencoba?" 　　“Meskipun anak lelaki baru pertama kali bertemu Putri Kelima Belas, kami tetaplah saudara. Anak ingin membantu adik kelima ini sedikit. Tentu kemampuan anak terbatas, jika tidak bisa menemukan petunjuk, harap Ayah Kaisar memaafkan.” 　　Putra Mahkota yang diam-diam berharap Yu Jin gagal, mencibir mendengar perkataan ini. 　　Lao Qi yang mulut manis ini, kata-kata baik semua dia ucapkan, perbuatan baik semua dia lakukan, tapi akhirnya tidak perlu bertanggung jawab. Apakah Ayah Kaisar dianggap bodoh? 　　Kaisar Jingming yang mendengar ini, kesan terhadap Yu Jin langsung membaik. 　　Di keluarga kerajaan, banyak yang lebih memilih menyelamatkan diri saat ada masalah, sedikit yang berani bertanggung jawab. Lao Qi yang tumbuh di luar istana justru sangat menghargai ikatan persaudaraan, ini langka. 　　“Kalau begitu cobalah. Jika tidak berhasil, jangan memaksakan diri.” 　　Yu Jin memberi hormat kepada Kaisar Jingming: “Terima kasih Ayah Kaisar.” 　　Putra Mahkota: ?? 　　“Ini tempat duduk Putri Kelima Belas, ya?” Yu Jin menunjuk ke suatu tempat. 　　Baru sekarang orang-orang menyadari Pangeran Yan tidak berada di mejanya sendiri, melainkan berdiri di dekat meja minum para putri. 　　Karena kekacauan tadi, banyak putri yang mendekat untuk melihat, tapi ada juga yang tetap di tempat untuk menghindari masalah. 　　Pertanyaan Yu Jin ini membuat semua pandangan tertuju ke sana. 　　Seorang putri yang tetap di tempatnya berkata gemetar: “Yang Kakak Ketujuh tunjuk bukan tempat duduk adik kelima belas, melainkan tempat adik ketiga belas.” 　　Yu Jin terkejut, memandang Putri Fuqing yang sedang ditarik erat oleh Permaisuri. 　　Putri Fuqing melepaskan genggaman Permaisuri, melangkah beberapa langkah ke depan, menahan kesedihan sambil mengangguk: "Benar, itu tempat dudukku." 　　Ekspresi Yu Jin terlihat aneh, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja tersebut: "Barusan saya perhatikan, di meja ini ada dua belas orang, hanya di tempat duduk ini yang tidak ada gelas anggur, jadi saya kira ini tempat Putri ke-15." 　　Begitu kata-katanya keluar, wajah Putri Fuqing langsung berubah pucat, berseru: "Tidak mungkin!" 　　Kerumunan segera menatap Putri Fuqing. 　　Wajah Putri Fuqing pucat bagai kertas, bergumam pelan: "Tadi saat saya memberi hormat pada istri ketujuh, saya langsung mengambil segelas Baihua Yang dari dayang, bukan gelas yang ada di depan tempat duduk, jadi pasti ada gelas di tempat saya..." 　　Sampai di sini, Putri Fuqing seperti teringat sesuatu, buru-buru berlari ke meja dan menatap ngeri ke suatu titik. 　　Di atas meja tersebut terdapat gelas anggur kosong dengan sisa cairan merah, di tepi gelas terlihat jejak lipstik. 　　Yu Jin tersentak inspirasi, bertanya: "Ini tempat duduk Putri ke-15?" 　　Putri Fuqing mengangguk. 　　Yu Jin mengusap dagunya pelan, dalam kesunyian yang mencekam, tiba-tiba berseru: "Saya mengerti!" 　　"Lao Qi, apa yang kau mengerti?" Kaisar Jingming bertanya tergesa. 　　Yu Jin mengambil gelas kosong itu, menatap bekas merah samar di tepinya, bertanya pada Putri Fuqing: "Saat itu Putri pergi memberi hormat pada istriku, apakah Putri ke-15 langsung mengikutimu?" 　　“Hm, Adik Kelima Belas turut senang untukku, lalu merajuk ingin ikut memberikan minuman kepada Kakak Tujuh.” 　　Yu Jin menghela napas: “Maka semuanya menjadi jelas. Putri Kelima Belas ingin ikut Putri Fuqing untuk memberikan minuman, kebetulan dia baru menghabiskan minuman di cangkirnya, sementara Putri Fuqing mengambil minuman Baihua Yang dari dayang, tidak menyentuh minuman di depannya. Lalu Putri Kelima Belas mengambil cangkir minuman Putri Fuqing yang belum diminum itu...” 　　“Apa maksudnya?” Permaisuri bertanya dengan suara keras. 　　Yu Jin menatap Permaisuri: “Artinya cangkir anggur beracun itu sebenarnya diperuntukkan bagi Putri Fuqing.” 　　Belakangan ini dunia sanzigen benar-benar kacau balau, syukurlah ada kalian semua di dunia nijigen. Aku sayang kalian, sampai jumpa besok. 413. BAB 412 Mengurai Benang Kusut 　　BAB 412 Mengurai Benang Kusut 　　Putri Fuqing menutup mulutnya, wajahnya pucat bagai salju. 　　Permaisuri bahkan tampak lebih limbung daripada Putri Fuqing, setelah mendengar perkataan Yu Jin tubuhnya goyah dan hampir terjatuh sebelum ditopang dayang di sampingnya. 　　Ekspresi kerumunan semakin berwarna-warni. 　　Jika cangkir anggur beracun itu untuk Putri Fuqing, bukankah berarti pelaku kejahatan sebenarnya ingin membunuh Putri Fuqing, sementara Putri Kelima Belas menjadi tumbal? 　　Wanita berseragam istana yang membelai jenazah Putri Kelima Belas sambil menahan tangis tiba-tiba melolong keras. 　　“Diam! Dengarkan apa kata Lao Qi!” Kaisar Jingming membentak, seisi ruangan langsung senyap. 　　Pandangan Yu Jin beralih ke Putri Fuqing: “Benar atau tidaknya, tanyakan saja pada Putri Fuqing. Fuqing, apakah kau ingat tentang Putri Kelima Belas meminum anggur?” 　　"Putri Fuqing berusaha keras menjaga ketenangan, mengingat sejenak lalu berkata: 'Saat Adik Kelima Belas berbicara denganku, dia memang memegang anggur prem yang dihidangkan dayang sambil minum.'" 　　"'Apakah kau punya kesan tentang dia mengambil gelasmu?'" 　　"Putri Fuqing menggeleng: 'Aku yang berbalik duluan, Adik Kelima Belas menyusul, jadi tidak memperhatikan bagaimana gelas di tangannya muncul.'" 　　"'Aku punya satu pertanyaan lagi.' Suara Yu Jin semakin datar, tapi justru menggelitik rasa penasaran kerumunan yang hadir." 　　"'Silakan, Kakak Ketujuh.'" 　　"'Mengapa Sanmei tidak menggunakan anggur yang sudah tersedia di depannya, malah meminta Baihuayang dari dayang?'" 　　"'Pangeran Yan, apa maksudmu ini!' Permaisuri bertanya dengan wajah dingin." 　　"Kaisar Jingming melambaikan tangan: 'Permaisuri, biarkan Lao Qi melanjutkan.'" 　　"Permaisuri mengatupkan bibir, matanya menatap tajam ke arah Yu Jin." 　　"Yu Jin tetap tenang, sama sekali tidak terpengaruh sikap Permaisuri: 'Ibu tak perlu curiga. Karena ini penyelidikan kasus, siapapun identitasnya pertanyaan ini harus diajukan. Aku yakin Putri Fuqing juga tak ingin Adik Kelima Belas meninggal secara tak jelas.'" 　　"Sebelum Permaisuri sempat bicara, Putri Fuqing menyahut: 'Kakak Ketujuh benar, kita tak boleh biarkan Adik Kelima Belas pergi tanpa kejelasan.'" 　　"Dia melirik ke arah Jiang Si, pandangannya penuh duka namun lembut: 'Alasan aku tidak menggunakan gelas di depan, tapi mengambil Baihuayang adalah karena merasa memberikan penghormatan dengan anggur buah pada Kakak Ketujuh kurang tulus, jadi kutinggalkan anggur prem dan ambil Baihuayang...'" 　　"Ucapan Putri Fuqing ini membuat sorot mata Kaisar dan Permaisuri yang tertuju pada Jiang Si langsung berubah." 　　“Permaisuri memandang dengan rasa syukur yang tak terucapkan, seandainya bukan karena situasi yang tidak tepat, mungkin dia akan menarik Jiang Si untuk berterima kasih.” 　　“Syukurlah, jika bukan karena Permaisuri Yan, pasti Fuqing akan celaka hari ini!” 　　Kaisar Jingming semakin menyukai Jiang Si. 　　“Meski telapak tangan dan punggung tangan sama-sama daging, mana ada daging punggung tangan sebanyak telapak tangan? Di hati saya tentu Fuqing yang lebih penting.” 　　“Istri Lao Qi ini telah menyelamatkan nyawa Fuqing!” 　　Putri kandung satu-satunya yang buta selama bertahun-tahun ini, jika sampai celaka karena keinginannya mengadakan pesta istana, mungkin seumur hidupnya akan hidup dalam penyesalan. 　　“Adik Kelima Belas… mati menggantikan aku?” Putri Fuqing bergumam. 　　Yu Jin melunakkan nada bicaranya: “Itu bukan salah Paduka, Paduka dan Putri Kelima Belas sama-sama korban, pelaku kejahatanlah yang gila.” 　　Air mata Putri Fuqing mengalir deras: “Kakak Ketujuh, tolong temukan pelakunya!” 　　Melihat sikap tenang Yu Jin, Kaisar Jingming mengangguk puas: “Lao Qi, ada ide lain?” 　　“Ayah Kaisar, menurut saya yang terpenting sekarang adalah menemukan dayang yang membawa anggur beracun itu.” 　　Kaisar Jingming menoleh ke Permaisuri. 　　Permaisuri segera memanggil pejabat wanita yang bertanggung jawab atas pesta. 　　Setiap detail pesta telah diatur sebelumnya, termasuk dayang yang bertugas di setiap meja. 　　Pejabat wanita yang berpengalaman itu segera menyebutkan enam dayang yang bertugas di meja putri. 　　“Melihat enam dayang berlutut berjajar, Yu Jin bertanya, "Siapa yang menyajikan anggur Putri Fuqing?" 　　Enam dayang itu gemetar seperti ayakan, tak ada yang berani bersuara. 　　Permaisuri berkata dengan penuh kebencian, "Jika tidak ada yang berbicara, semua akan dihukum dengan secangkir anggur beracun!" 　　Putri Fuqing-nya hampir tewas dibunuh! 　　Mengapa ini terjadi? Putri yang penurut dan berbakti ini sejak kecil mengalami kemalangan, kini setelah sembuh malah nyaris kehilangan nyawa... 　　Memikirkan ini, Permaisuri merasa amarah dan dendam bergolak dalam hatinya. 　　Enam dayang tetap tak ada yang membuka mulut. 　　Melihat situasi ini, Yu Jin menyunggingkan sudut bibirnya. 　　Tak ada yang berani maju, hal ini tidak mengherankan. 　　Entah dayang itu pelaku peracunan atau bukan, karena telah menyajikan anggur beracun, hukuman mati sudah tak terelakkan. 　　Di hadapan maut, meski tak mungkin lolos, semakin lambat semakin baik. 　　"Tidak mengaku juga tidak apa. Mulai dari orang paling kiri, sebutkan nama dayang di depan dan belakangmu saat menyajikan anggur!" Yu Jin memandangi enam dayang dari atas, nada datar. "Yang ragu-ragu langsung diseret keluar!" 　　Dayang paling kiri gemetar menyebut nama-nama, sampai ke orang keempat, setelah menyebut nama dayang di belakangnya tiba-tiba terbata-bata. 　　"Di depan hamba... di depan..." 　　"Cepat katakan! Siapa di depanmu?" Yu Jin mendesak dengan suara dingin. 　　Dayang akhirnya breakdown, menangis mengaku: "Hamba tidak bekerja sama dengan siapa pun, hamba yang menghidangkan anggur prem untuk Putri Fuqing..." 　　Dia tahu ajalnya sudah dekat, setelah bicara langsung terkulai lemas di lantai. 　　Permaisuri menatap dayang itu, tangannya gemetar: "Hamba, kenapa kau tega menyakiti putri?" 　　"Hamba tidak! Permaisuri, hamba berani mati pun takkan menyakiti putri..." Dayang itu berteriak sekuat tenaga menjelaskan. 　　Permaisuri bermuka masam tak bicara lagi, diam-diam memandang Yu Jin. 　　Sekalipun benar dayang ini yang menaruh racun, Permaisuri sangat paham bahwa dia pasti bukan pelaku kejahatan sebenarnya. 　　Tampaknya performa Yu Jin tadi membuatnya mulai percaya Pangeran Yan bisa mengungkap pelaku kejahatan. 　　Tiba-tiba seorang tabib istana bersuara: "Hamba laporkan Paduka, kami telah mengidentifikasi racun yang mengenai Putri ke-15." 　　Kaisar Jingming segera bertanya: "Racun apa?" 　　"Racun yang mengenai Putri ke-15 adalah duancao (akar dan daun gelasium), bubuk akar-daun ini sangat mematikan, sedikit saja tertelan bisa membuat orang keracunan dan tewas seketika..." 　　Seiring penjelasan tabib, kerumunan berubah warna muka berulang kali. 　　"Kalian semua berdiri." Yu Jin berkeliling mengitari enam dayang, lalu bertanya pada pegawai wanita, "Semua dayang yang bertugas di pesta hari ini pasti melalui pemeriksaan ketat kan?" 　　“Pegawai wanita istana berkata: “Benar, para dayang ini memiliki gaya rambut dan pakaian yang seragam. Sebelum masuk ke jamuan, mereka harus mandi dan berganti pakaian. Semua barang yang dibawa dari ujung kepala sampai ujung kaki telah diperiksa, dan mereka juga dilarang memakai Kantong Wewangian atau benda serupa.”” 　　“Kalau begitu, mereka tidak mungkin menyelundupkan racun?” 　　Pegawai wanita itu mengangguk pasti: “Sama sekali tidak mungkin.” 　　“Maka racun ini mungkin ditaruh oleh seseorang saat dayang lengah, atau diberikan ke dayang setelah mereka masuk ke aula. Artinya pelaku kejahatan pasti berada di dalam aula!” kata Yu Jin dengan tegas. 　　Putri Rongyang menyeringai dingin: “Pangeran Yan terus-menerus menyebut bahwa target pelaku kejahatan adalah Putri Fuqing. Jika pelakunya orang lain, bagaimana mereka bisa memastikan anggur beracun akan disajikan ke Putri Fuqing?” 　　Yu Jin tersenyum: “Ini sederhana. Karena para dayang pembawa anggur bekerja dalam tim yang melayani meja berbeda, pelaku bisa mengincar tim dayang tertentu. Di meja para putri yang dipimpin Putri Fuqing, gelas pertama pasti ditujukan untuknya. Dengan demikian, pelaku pasti yakin racun akan sampai ke Putri Fuqing.” 　　Putri Rongyang langsung kehilangan kata-kata. 414.BAB 413 Orang yang Terlewatkan 　　BAB 413 Orang yang Terlewatkan 　　Mendengar analisis Yu Jin, kerumunan langsung merinding. 　　Pelaku kejahatan yang begitu cermat dan berani benar-benar di luar dugaan. 　　Ini kan jamuan keluarga kerajaan, orang-orang paling terhormat di dunia berkumpul di sini. Siapa yang berani melakukan ini? 　　Pangeran Yan berkata pelaku sebenarnya ada di antara orang-orang dalam aula ini... Memikirkan hal ini, banyak yang gemetar. 　　Basin es di dalam aula terlalu banyak. 　　Yu Jin memberi hormat kepada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, aula ini penuh kerumunan, kita harus mulai dari dayang ini untuk memastikan apakah dia sengaja diarahkan meracuni atau ceroboh hingga dimanfaatkan orang." 　　Kaisar Jingming mengangguk dan berkata datar: "Pan Hai, bukakan mulut dayang ini untuk Aku." 　　Pan Hai segera menuruti, melambaikan tangan memanggil dua pelayan istana untuk menyeret dayang tersebut keluar. 　　Kedua pelayan istana tersebut berasal dari Dongchang. 　　Wajah kerumunan berubah pucat, merasakan atmosfer tegang dan menyesakkan di aula. 　　Yu Jin memandang sekeliling dan berseru: "Sebelum ada kabar, jangan ada yang berpindah tempat atau meninggalkan aula." 　　Suasana semakin mencekam. 　　Setelah penantian panjang, Pan Hai akhirnya kembali: "Paduka, setelah interogasi, dayang itu benar-benar tidak tahu menahu." 　　Dayang tersebut tidak muncul kembali. 　　Interogasi tentu bukan sekadar tanya jawab, melibatkan penyiksaan. Orang yang telah disiksa rupanya mengerikan, dan tidak boleh dibawa masuk tanpa perintah khusus agar tidak mengganggu orang terhormat. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin. 　　Dengan begitu banyak orang di aula dan kemungkinan dayang diperintah telah disingkirkan, mencari peracun bagai mencari jarum dalam jerami. Ia penasaran metode apa lagi yang dimiliki putranya ini. 　　Yu Jin dengan tenang menyapu pandangannya ke kerumunan: "Ini jamuan keluarga. Meskipun tamu pria-wanita tidak dipisahkan penyekat, para putri semuanya nona. Jika ada pria mendekat pasti akan menarik perhatian. Jadi kusimpulkan pelaku pasti bukan pria. Ada yang keberatan?" 　　Kerumunan mengangguk diam-diam. 　　Pesta dimulai, tempat duduk diatur dengan ketat. Di sisi wanita, ada satu meja untuk selir-selir, satu meja untuk putri yang belum menikah, satu meja untuk putri yang sudah menikah, ditambah para Permaisuri, putri bangsawan, dan sebagainya. 　　Yang beraktivitas di area ini hanyalah dayang-dayang, tanpa kehadiran pelayan istana. 　　Dengan demikian, analisis Pangeran Yan sangat masuk akal - pelaku kejahatan pasti seorang wanita. 　　Melihat kerumunan menyetujui perkataannya, Yu Jin mengalihkan pandangannya ke meja-meja minum sambil berkata tenang: "Total ada sembilan meja. Untuk menemukan si pelaku, sebenarnya kita bisa menggunakan metode tadi." 　　Metode tadi? 　　Kerumunan sesaat terkesiap. 　　Jiang Si memandang pria yang sedang berbicara lancar itu, matanya berbinar lembut. 　　A Jin memang seperti ini - terlihat liar dan tak terkendali sehari-hari, tapi selalu bisa diandalkan saat situasi genting. 　　Yu Jin mengalihkan pandangannya, bertatapan sesaat dengan Jiang Si sebelum melanjutkan: "Mulai dari meja pertama, silakan ingat-ingat siapa yang meninggalkan tempat duduk sebelum kejadian." 　　Di meja pertama tempat Ibu Suri Xian duduk, seorang nyonya segera protes: "Saat itu kami sedang mengobrol dengan saudari di samping, mana sempat memperhatikan siapa yang pergi?" 　　Yu Jin tersenyum: "Itu mudah. Ibu hanya perlu mengingat apakah ada orang di kiri-kanan yang pergi." 　　Kerumunan pun tersadar. 　　Metode ini memang sangat brilian. 　　Dalam keriuhan pesta, perhatian mudah terpecah. Jarang ada yang terus memantau pergerakan seluruh meja. Tapi mengingat aktivitas orang di samping kiri-kanan jauh lebih mudah. 　　“Metode ini memiliki satu keuntungan lagi. Karena semua orang duduk melingkar, setiap orang berada di sebelah kanan orang di kiri sekaligus di sebelah kiri orang di kanan. Dengan demikian, setiap orang bisa diperhatikan oleh dua orang di sampingnya. Jadi meskipun ada satu orang yang tidak memperhatikan, tidak menjadi masalah besar.” 　　Di hadapan Kaisar Jingming, belasan selir istana meski enggan di hati, terpaksa bekerja sama dengan Yu Jin untuk mengingat-ingat kejadian saat itu. 　　Ketika giliran Ibu Suri Xian berbicara, ia menatap Yu Jin dalam-dalam sebelum berkata dengan tenang: "Apa yang dilakukan dua orang di sebelahku saat itu, hamba tidak tahu. Karena saat itu hamba sedang keluar." 　　Ekspresi kerumunan seketika berubah penuh makna. 　　Tak disangka, orang pertama yang dikonfirmasi meninggalkan tempat duduk saat itu justru ibu kandung Pangeran Yan. Sedangkan Ibu Suri Xian jelas-jelas tahu tak bisa menghindari metode Pangeran Yan, langsung mengaku saja. 　　Wajah Yu Jin tak berubah sedikit pun. Dengan suara datar ia bertanya: "Ke mana Nyonya pergi saat itu?" 　　"Hamba pergi berganti pakaian." 　　Dalam situasi resmi, "berganti pakaian" adalah kiasan sopan, sebenarnya berarti buang hajat. 　　Yu Jin bertanya lagi: "Acara baru saja dimulai, mengapa Nyonya perlu berganti pakaian?" 　　Pertanyaan ini membuat ekspresi kerumunan berubah aneh, saling bertukar pandang. 　　Pangeran Yan benar-benar blak-blakan, bahkan pada ibu kandungnya sendiri bersikap begitu keras tanpa ampun. 　　Sebagian orang berpikir: Dari sini terlihat jelas, hubungan tidak harmonis antara Pangeran Yan dan Ibu Suri Xian memang benar adanya. 　　Di hadapan publik, Ibu Suri Xian merasa sangat dipermalukan oleh pertanyaan anaknya sendiri. 　　Binatang ini masih berani bertanya! 　　Mengapa ia sampai harus buang hajat? Tidak lain karena diuber-uber oleh anak durhaka ini. 　　"Dia memandang dingin pasangan itu yang semakin marah, namun sama sekali tak bisa menunjukkan emosi, hanya terus minum teh untuk menahan amarah. Setelah minum banyak teh hingga perut kembung, tentu harus buang air." 　　"Tubuh sedikit tidak nyaman." Wajah Ibu Suri Xian tetap tenang, nada suaranya tanpa sedikitpun kemarahan. "Dayang istana hamba serta pelayan di ruang ganti pakaian bisa menjadi saksi." 　　Perkataan Ibu Suri Xian segera terbukti. 　　"Apakah Pangeran Yan masih ada yang ingin ditanyakan?" tanya Ibu Suri Xian dengan datar. 　　Yu Jin tersenyum memperlihatkan gigi putihnya: "Sudah tidak ada. Hamba bertanya detail agar orang lain tidak salah paham pada Nyonya, percaya Nyonya tidak akan menyalahkan hamba?" 　　Sebelum Ibu Suri Xian menjawab, Kaisar Jingming berkata: "Lao Qi, lanjutkan pertanyaanmu. Ibumu orang yang bijaksana, mana mungkin marah padamu?" 　　Ibu Suri Xian tersenyum, menyetujui perkataan kaisar: "Apa yang dikatakan Ayahanda Kaisar benar adanya, hamba tentu tidak akan menyalahkanmu." 　　"Baik kalau begitu." Jawab Yu Jin dengan tenang, lalu mulai menginterogasi meja berikutnya. 　　Meja kedua adalah kerabat kekaisaran seangkatannya Kaisar Jingming seperti Putri Rongyang. Setelah pesta dimulai, Cui Mingyue yang mengikuti Putri Rongyang menuju ke tempat duduknya sendiri. 　　Di meja ini juga ada satu orang yang meninggalkan tempat duduk sebelum kejadian, yaitu Putri Rongyang sendiri. 　　Melihat kerumunan memandangnya, Putri Rongyang mengangkat alis dengan sedikit kesal: "Saat itu hamba sedang menghadiahkan anggur pada Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Benar, Rongyang saat itu sedang memberikan penghormatan dengan anggur pada Permaisuri dan diriku." 　　Alasan tidak memberi tahu sebelumnya adalah karena dia tahu hanya dengan memimpin contoh bekerja sama dengan Lao Qi, para bangsawan kerajaan baru akan patuh. 　　Putri Rongyang terbebas dari kecurigaan, melirik Yu Jin dengan sinis. 　　Yu Jin pura-pura tidak melihat, melanjutkan interogasi ke meja berikutnya. 　　Tidak butuh waktu lama untuk menginterogasi 8 meja tamu wanita, terungkap beberapa orang yang meninggalkan tempat duduk saat itu, namun semuanya memiliki saksi yang bisa membuktikan aktivitas mereka. 　　Untuk sementara, penyelidikan tampak menemui jalan buntu. 　　Putri Rongyang berkata dengan nada dingin: "Kakak Kaisar, adikmu merasa metode Pangeran Yan ini tidak efektif. Setelah menginterogasi banyak orang dengan gegap gempita, hasilnya nihil." 　　Seorang pangeran tua menimpali: "Pangeran Yan masih muda. Kaisar, sebaiknya perintahkan tiga lembaga hukum bekerja sama dengan Biro Urusan Kerajaan untuk menyelidiki tuntas." 　　Kaisar Jingming menatap tajam Yu Jin, bertanya perlahan: "Lao Qi, masih ada ide lain?" 　　Yu Jin tersenyum: "Ayah Kaisar, sebenarnya masih ada sekelompok orang yang belum diperiksa." 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari Ai Aiyuanzi, terima kasih untuk semua yang telah memberikan vote dan hadiah. Sampai jumpa besok. 415.BAB 414 Penampakan 　　BAB 414 Penampakan 　　Masih ada orang yang belum diperiksa? 　　Para hadirin terkejut mendengar pernyataan Yu Jin, saling memandang curiga. 　　Tamu wanita total 8 meja, bahkan meja tempat Ibu Suri Xian dan Putri Rongyang duduk sudah diperiksa satu per satu. Bagaimana mungkin masih ada yang terlewat? 　　Tunggu, Pangeran Yan bilang masih ada sekelompok orang yang belum diperiksa... 　　Seseorang tak bisa menahan diri berkata, "Tidak mungkin. Kalau satu dua orang terlewat masih masuk akal, tapi tadi semua orang mengawasi. Bagaimana mungkin ada sekelompok orang yang tidak diperiksa? Apa kami semua buta?" 　　Kaisar Jingming berwatak sabar, ditambah ini acara jamuan keluarga. Semua yang hadir adalah kerabat dekat kerajaan, sehingga percakapan berlangsung lebih santai. 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming menatap Yu Jin dalam-dalam, menanti penjelasannya. 　　Yu Jin memicingkan matanya, seolah sedang merenung. 　　Kerumunan di aula mulai gelisah. 　　Tiba-tiba Yu Jin menunjuk ke suatu arah dan berkata dingin, "Masih ada kelompok ini yang belum diperiksa!" 　　Semua mata langsung mengikuti arah telunjuknya. Mereka terkejut: Pangeran Yan sedang menunjuk seorang penari dengan bahu terbuka dan rok warna-warni yang menggelepar – penari hiburan sejak pesta dimulai! 　　Ditunjuk oleh Yu Jin, puluhan tatapan menghujam ke arah penari itu. Sang penari langsung bersujud gemetaran, tak berani bersuara sedikitpun. 　　Kaisar Jingming terkejut, "Lao Qi, maksudmu pelaku racun ada di antara penari-penari ini?" 　　Para penari ini bukan direkrut dari rakyat biasa, melainkan dipilih sejak kecil dan dilatih di istana untuk menghibur di berbagai pesta kerajaan. 　　Jika ada penari yang meracuni, ini benar-benar sulit dipercaya. 　　Reaksi kebanyakan orang adalah skeptis. 　　Seseorang membantah, "Para penari ini statusnya lebih hina dari lumpur. Untuk apa membahayakan Putri Kekaisaran?" 　　"Motif membahayakan Putri adalah hal yang akan dipertimbangkan nanti. Saat ini yang harus dilakukan adalah menemukan pelaku kejahatan. Seperti yang telah dikatakan tadi, semua wanita dari delapan meja telah diinterogasi satu per satu, tidak mungkin ada kesalahan atau kelalaian. Tapi karena pelakunya pasti adalah salah satu wanita di aula ini, maka yang mustahil pun menjadi keniscayaan." Yu Jin menatap orang yang berbicara sambil berkata dengan tenang. 　　Pandangannya perlahan menyapu wajah orang-orang yang hadir, menangkap berbagai ekspresi mata yang berbeda. 　　"Para penari ini berputar-putar di dalam aula. Siapa lagi yang lebih tidak mencurigakan selain mereka yang pernah menari di suatu tempat?" 　　Pertanyaan Yu Jin ini membuat kerumunan tertegun, punggung mereka mulai merasakan dingin. 　　Tanpa perlu mengingat dengan sengaja, dalam setiap pesta para penari tidak hanya menari di tengah aula, tapi juga meliuk-liuk mengikuti alunan musik untuk menghibur. 　　Setelah dipikir-pikir, perkataan Pangeran Yan ternyata sangat masuk akal. 　　Siapapun yang meninggalkan tempat duduknya dalam pesta pasti akan diperhatikan, kecuali para penari yang memang bergerak sambil menari – kemana pun mereka melintas tidak akan mencolok. 　　Yang paling mudah terlewatkan justru hal-hal yang sudah terlalu biasa. 　　Para penari segera berjajar berlutut, Yu Jin berjalan perlahan di depan mereka. 　　Para penari ini tidak hanya memiliki gaya rambut dan pakaian yang serupa, bahkan postur tubuh mereka hampir sama. Saat berlutut di lantai, membedakan satu sama lain menjadi tugas yang sangat sulit. 　　Sekalipun pelaku racun ada di antara penari-penari ini, bagaimana cara Pangeran Yan menemukannya? 　　Rasa ingin tahu kerumunan pun terpicu dengan kuat. 　　Ikatan keluarga di lingkungan kerajaan sangat rapuh. Kematian seorang Putri yang tidak diketahui publik, berapa orang yang benar-benar bersedih? Setelah dibebaskan dari kecurigaan dan tak terlibat, sebagian besar yang hadir justru lebih merasakan kegembiraan dan kepanikan, bahkan secara samar merasakan sensasi provokatif. 　　Yu Jin masih terus mengitari para penari. 　　Kali ini, tidak ada yang menyela lagi. 　　Tak tahu berapa lama kemudian, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia membuka mulut: "Setelah mengamati, para penari ini bersanggul tinggi, berbusana warna-warni, pergelangan kaki dihiasi lonceng. Kecuali penari utama, riasan mereka seragam. Saya sempat berpikir, bagaimana salah satu dari mereka bisa diam-diam meracuni?" 　　Pertanyaan ini membuat banyak orang terdiam, meski beberapa mendapat ilham mendadak namun masih samar seperti melihat bunga dalam kabut, tak bisa menjelaskan dengan jelas. 　　Benar, bagaimana penari itu bisa meracuni tanpa ketahuan? 　　Yu Jin tersenyum, tatapannya dingin bagai es: "Gerakan harus cepat, dan tidak boleh ada benda mencurigakan yang terlihat jelas. Jadi—" 　　Dia melangkah maju, sepatu bot bordir benang emasnya berhenti di depan seorang penari. 　　"Jadi apa? Adik ketujuh, jangan bertele-tele!" Pangeran Lu tidak tahan berteriak. 　　Sorot mata berwibawa menyapu, Pangeran Lu langsung diam seperti tikus ketemu kucing. 　　Sekedar bertanya penasaran saja dilarang, Ayah Kaisar memang selalu memandangnya sebelah mata. 　　"Jadi saya menduga, apapun tempat awal pelaku menyimpan racun, saat meracuni kemungkinan besar racun disembunyikan di kuku. Dengan begitu cukup dengan sentuhan ringan, racun bisa ditaburkan tanpa diketahui dan pelaku bisa kabur dengan aman." Yu Jin menoleh ke tabib istana sambil bertanya, "Jika ada bubuk racun mematikan yang tersisa di kuku salah satu penari ini, bisakah Tabib memastikannya?" 　　Beberapa tabib istana segera menyetujui. 　　Yu Jin mengalihkan pandangannya sambil mengamati para penari, berkata dengan nada datar: "Kalau begitu rentangkan tangan kalian sekarang, biarkan tabib memeriksanya. Dengan begitu yang tidak bersalah bisa terbebas dari hukuman." 　　Begitu dia berkata demikian, beberapa penari langsung merentangkan tangan-tangan halus mereka setelah ragu sejenak. Yang lain pun mengikuti contoh. 　　Sorot mata Yu Jin yang tajam langsung tertuju pada penari keenam dari kiri yang sedang berlutut. 　　Penari itu bertubuh lebih kurus dari yang lain. Entah karena takut atau merasa bersalah, tangannya yang terentang gemetar halus tak henti-henti. 　　Ujung jarinya bergetar samar, jelas berusaha keras menekan kecemasan agar tidak terlihat mencurigakan. 　　Yu Jin melangkah besar mendekat dan berdiri tegap di depan penari tersebut. 　　Penari itu menatapnya sebentar, lalu tiba-tiba melompat berusaha membenturkan kepala ke pilar. 　　Kejadian yang begitu mendadak ini membuat kerumunan tercekat. Saat sadar, penari itu sudah terikat pergelangan tangannya dengan erat oleh Pangeran Yan, tak bisa bergerak meski meronta-ronta. 　　“Yu Jin sama sekali tidak terpengaruh oleh kejadian ini, berkata dengan tenang: "Tabib istana bisa datang untuk memeriksa." 　　Beberapa tabib istana segera maju memeriksa kuku penari itu. 　　Tak lama kemudian seorang tabib berteriak: "Jari keempat tangan kiri!" 　　Jari keempat, yaitu jari manis. 　　"Benar, di sela kuku jari keempat tangan kiri penari ini terdapat sisa serbuk rumput patah hati..." 　　"Bawa kemari!" Kaisar Jingming bersuara berat. 　　Dua pelayan istana segera menyeret penari itu ke hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengamati sosok ramping penari itu, tak bisa membayangkan mengapa wanita lemah seperti ini berani meracuni putri. 　　"Aku bertanya, mengapa kau meracuni Putri?" 　　Wajah pucat penari itu bergetar hebat, gemetar tanpa bisa bicara. 　　Yu Jin yang tak diketahui kapan muncul bertanya dingin: "Siapa yang menyuruhmu?" 　　Target pelaku kejahatan adalah Putri Fuqing, waktu yang dipilih tepat setelah penglihatannya pulih - ini sangat mencurigakan. Hampir mustahil penari ini bertindak tanpa dalang. 　　"Tidak, tidak ada yang menyuruh!" teriak penari itu histeris. 　　Teriakannya justru menguatkan dugaan Yu Jin yang segera menatap Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming paham, memanggil Pan Hai dengan geram. 　　Pan Hai memberi isyarat, dua pelayan segera menyeret penari itu keluar. 416.BAB 415 Kesulitan 　　BAB 415 Kesulitan 　　Tak lama kemudian, Pan Hai kembali dengan wajah sangat buruk. 　　Kaisar Jingming tiba-tiba merasakan firasat tidak baik. 　　Pan Hai berlutut dengan wajah pahit: "Kaisar, penari itu meninggal secara mendadak." 　　"Kematian mendadak?" Kaisar Jingming merasa dadanya sesak, bertanya dengan berat, "Apakah karena penyiksaan yang berlebihan?" 　　Pan Hai tetap berlutut, meski cuaca Juni namun keringat dingin mengucur deras, menunduk berkata: "Cara menghukum setiap tahanan sesuai statusnya, sejauh mana hukuman diberikan, anak buah hamba sudah berpengalaman. Tapi baru saja interogasi dimulai, penari itu langsung tewas. Mohon Kaisar mengizinkan beberapa tabib istana untuk memeriksa jenazah..." 　　Kaisar Jingming gelisah mengibaskan tangan. Beberapa tabib istana menahan napas, menunduk mengikuti Pan Hai pergi. 　　Suasana di aula seketika menjadi mencekam. 　　Susah payah Pangeran Yan mengurai benang kusut menemukan penari peracun, tapi Paman Pan malah gagal menginterogasi sebelum narasumber tewas! 　　Apakah kematian Putri ke-15 akan menjadi kasus tak terpecahkan? 　　Kaisar Jingming yang berwatak tenang, meski Pan Hai gagal tugas tetap menahan amarah, mengusap pelipis sambil bertanya pada Yu Jin: "Lao Qi, apa pendapatmu lagi?" 　　Yu Jin menghela nafas: "Penari peracun sudah tewas. Jika ada dalang di belakangnya, hanya ada dua jalur penyelidikan." 　　"Dua jalur apa?" 　　Yu Jin mengulurkan jarinya, tidak terganggu pikiran oleh kematian mendadak penari: "Pertama, kondisi penari ini. Dari saat dia masuk istana sampai sekarang, dengan siapa dia berteman baik, bermusuhan, perkataan khusus apa yang pernah diucapkan, tindakan khusus apa yang dilakukan, atau kesulitan apa yang pernah dihadapi. Semakin detail informasi ini, semakin mungkin kita menemukan jejak-jejak kecil dari pengalamannya." 　　"Lalu poin kedua?" Kaisar Jingming bertanya lagi. 　　Pada saat ini, orang-orang yang hadir sudah tidak berani sembarangan menyela. 　　Penari yang susah payah diungkap sudah mati. Meski Kaisar terlihat baik-baik saja, sebenarnya kemarahan beliau tak terkira. Berbicara sembarangan sekarang berarti mencari celaka. 　　"Kedua, soal sumber racun." Yu Jin menganalisis dengan tenang, "Menurut anak lelaki, pengelolaan racun mematikan seperti ini di istana harusnya sangat ketat. Tidak mungkin didapatkan dengan mudah, bukan?" 　　Kaisar Jingming mengangguk perlahan. 　　Bercanda saja, jika racun semacam ini bisa didapatkan sembarang orang dengan mudah, maka tak ada hari yang tenang baginya. 　　Kaisar Jingming melirik Kepala Tabib Istana yang menunggu di samping: "Kepala Tabib Zhang?" 　　Kepala Tabib Zhang segera menjawab: "Yang Mulia, tumbuhan memang racun mematikan. Dosis kecil saja bisa membunuh dengan cepat. Meski efektif mengobati rematik dan nyeri sendi, sepengetahuan hamba yang bodoh, Apotek Kekaisaran tidak menyimpan benda ini." 　　Apotek Kekaisaran terletak di halaman belakang Taiyi Yuan, namun yang bertanggung jawab bukanlah Kepala Tabib Istana, melainkan dikelola oleh kasim. 　　"Alasan Kaisar Jingming melewati kasim pengawas yang mengurus apotek kekaisaran dan bertanya langsung kepada Kepala Tabib Zhang terlebih dahulu adalah untuk membandingkan dua kesaksian." 　　Mendengar perkataan Kepala Tabib Zhang, Kaisar Jingming segera melirik kasim pengawas yang bertanggung jawab atas apotek kekaisaran. 　　Sang kasim pengawas segera menjawab: "Paduka, semua obat yang masuk dan keluar dari apotek kekaisaran harus disertai cap resmi dan dicatat untuk pemeriksaan rutin serta pengarsipan. Seorang penari tidak mungkin mengambil obat secara diam-diam dari sini, apalagi racun. Seperti yang dikatakan Kepala Tabib Zhang, di apotek kekaisaran memang tidak ada racun rumput pemutus usus." 　　Ia mengangkat kedua tangannya menyembahkan sebuah dokumen yang berisi daftar lengkap semua obat di apotek kekaisaran. 　　Kematian putri akibat racun membuat amarah kaisar bisa menghantam siapa saja, apalagi instansi yang terlibat. Kasim pengawas ini telah mempersiapkan semua dokumen sejak Pangeran Yan mulai menyelidiki, siap kapanpun kaisar menanyakan. 　　Melihat dokumen tersebut, amarah Kaisar Jingming sedikit mereda. 　　"Kalau begitu, racun rumput pemutus usus yang digunakan penari pasti berasal dari jalur tidak resmi," kata Yu Jin. 　　Kerumunan orang tak sadar menggelengkan kepala. 　　Jika berasal dari jalur ilegal dan pelakunya sudah mati, investigasi akan semakin sulit. 　　Selain jalur resmi, satu-satunya kemungkinan adalah diselundupkan dari luar istana. Tapi bagaimana melacaknya? Siapa yang tahu kapan barang mematikan ini masuk? 　　Bisa jadi beberapa hari, bulan, atau bahkan tahun yang lalu. 　　Ini benar-benar tidak mungkin dilacak. 　　Saat itu Pan Hai membawa beberapa tabib istana yang memeriksa mayat penari masuk ke ruangan. 　　Kaisar Jingming segera bertanya: "Bagaimana hasilnya?" 　　Seorang tabib istana melapor, "Penari itu meninggal mendadak karena serangan jantung." 　　Wajah Kaisar Jingming berubah muram, hatinya sesak. 　　Ekspresi kerumunan semakin menjadi-jadi. 　　Benar-benar seperti atap bocor dihujani deras, perahu terlambat dihadang angin sakal. Kematian Putri ke-15 yang penuh misteri, penari yang berhasil diungkap malah tak bertahan selama interogasi karena serangan jantung. 　　Dengan begini, permohonan sukarela Pangeran Yan mungkin akan mentah begitu saja. 　　Namun tak mengapa, performa Pangeran Yan sudah cukup gemilang, pasti mendapatkan simpati Kaisar, sekaligus membersihkan kecurigaan terhadap Permaisuri Yan. Pangeran Yan sudah bisa mundur dengan prestasi. 　　Pikiran Kaisar Jingming tak jauh beda dengan kerumunan. 　　Pada titik ini, penyelidikan harus dilanjutkan, tapi tak mungkin diselesaikan hanya dengan pertanyaan Lao Qi, melainkan harus digali lebih dalam. 　　Menyelundupkan racun mematikan ke istana, kapan pun itu terjadi harus ditindak, tapi ini bukan perkara yang bisa diselesaikan cepat. 　　Kaisar Jingming menghela nafas, berkata berat, "Lao Qi, hari ini kau tampil baik." 　　Yu Jin menyembah, "Ayah Kaisar terlalu memuji." 　　Dibanding ikatan saudara yang nyaris tak ada dengan Putri ke-15, alasan utamanya mengambil alih kasus ini adalah untuk melindungi A Si dari masalah. 　　Meski dalang sebenarnya belum terungkap, tapi kemampuan memerintah penari istana jelas tak ada hubungannya dengan A Si. Tujuannya sudah tercapai. 　　“Pada saat ini, menyelidiki lembaga pelatihan musik dan istana belakang secara menyeluruh bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam sehari.” 　　“Inilah perbedaan antara dia dengan Zhen Shicheng.” 　　“Zhen Shicheng yang tua itu adalah maniak kasus yang mengejar kesempurnaan, mungkin dia tidak bisa tidur sebelum kasusnya terungkap tuntas. Aku tidak punya semangat seperti itu.” 　　“Tepat ketika Kaisar Jingming dalam suasana hati muram hendak mengakhiri pesta istana yang menyakitkan ini dengan tergesa-gesa, suara lembut seorang wanita terdengar: 'Ayah Kaisar, menantu perempuan ini berani ingin bertanya sesuatu.'” 　　“Kaisar Jingming menatap sumber suara itu dengan cukup terkejut.” 　　“Orang yang berbicara itu tidak lain adalah Jiang Si.” 　　“Yang terkejut bukan hanya Kaisar Jingming, tapi hampir semua orang yang hadir.” 　　“Untuk apa Permaisuri Yan berbicara pada saat ini?” 　　“Benar, Pangeran Yan baru saja menunjukkan penampilan luar biasa. Mungkin Permaisuri Yan ingin meminta hadiah untuk suaminya?” 　　“Jika benar begitu, itu sangat bodoh.” 　　“Meskipun Kaisar adalah penguasa yang bijaksana dan lembut, biasanya tegas dalam memberi penghargaan dan hukuman (Putra Mahkota tidak setuju dengan ini), tapi baru saja kehilangan seorang putri. Sebagus apapun performa Pangeran Yan, mustahil baginya untuk memberikan hadiah sebelum pelaku sebenarnya ditemukan.” 　　“Menantu Lao Qi, apa yang ingin kau tanyakan?” 　　“Di bawah tatapan ratusan pasang mata, Jiang Si sama sekali tidak takut. Ia membungkuk sedikit kepada Kaisar Jingming: 'Menantu ini hanya tiba-tiba terpikir sesuatu sehingga bertanya, belum tentu berguna. Mohon Ayah Kaisar jangan marah atas kelancangan ini.'” 　　“Katakanlah.” 　　Jiang Si merapikan posturnya, suaranya sedikit meninggi: "Hamba tidak tahu di mana di istana ini yang menanam tanaman madreselva?" 　　Sampai jumpa besok. Ledakan pembaruan membutuhkan naskah cadangan, dan perlu banyak persiapan, jadi jangan buru-buru. 417. BAB 416 Tanaman Madreselva 　　BAB 416 Tanaman Madreselva 　　Tanaman madreselva, juga disebut bunga madreselva, awalnya mekar putih lalu berubah kuning, di kalangan rakyat dijuluki bunga emas-perak. 　　Tanaman madreselva mekar di musim semi, masa mekarnya sangat panjang, hingga awal musim gugur masih bisa dilihat bunganya. 　　Meskipun bunga ini umum di kalangan rakyat, tapi di istana yang sangat memperhatikan kelangkaan dan kemewahan setiap tanaman, ini jarang terlihat. 　　Bagaimana mungkin bunga madreselva kecil ini bisa dibandingkan dengan peony yang megah atau bunga peony yang cerah dan indah? 　　Pertanyaan Jiang Si yang aneh ini membuat para selir saling pandang bingung. 　　Permaisuri Yan sengaja bertanya di mana istana menanam madreselva, apa maksudnya? 　　"Menantu perempuan Lao Qi, kau menyebut madreselva, apakah ada hubungannya dengan kejadian hari ini?" Kaisar Jingming bertanya perlahan. 　　Jiang Si menjawab tenang: "Hamba tidak berani memastikan, hanya ingin bertanya dulu." 　　Mungkin karena kesembuhan mata Putri Fuqing oleh Jiang Si, serta strategi membuat kuncup bunga mekar sebelumnya yang menunjukkan banyak keajaiban, meski Kaisar Jingming tak bisa membayangkan hubungan antara madreselva biasa dengan kematian Putri ke-15, beliau menunjukkan kesabaran penuh: "Pertanyaan Permaisuri Yan sudah didengar semuanya?" 　　“Pertanyaan Jiang Si adalah tentang istana, Putri Rongyang yang tinggal di luar istana tidak merasa apa-apa, sementara para selir dan putri yang belum menikah menjadi gelisah, semakin tidak bisa memahami maksud Jiang Si.” 　　“Kalian semua renungkan baik-baik. Jika tidak bisa menjawab sekarang, nanti Aku akan menyelidiki istana mana yang memiliki tanaman madreselva——” Ancaman tersirat dalam kata-kata Kaisar Jingming yang sengaja tidak diselesaikan. 　　Seharusnya merayakan pemulihan penglihatan putrinya, tapi putri lainnya malah menjadi korban. Andai bukan karena kesabaran luar biasa, Kaisar Jingming pasti sudah meledak amarahnya. 　　Setelah keheningan yang mencekik, tiba-tiba seorang dayang berlutut dan gemetar melapor: “Paduka Kaisar, hamba... hamba pernah melihat tanaman madreselva di suatu tempat...” 　　“Di mana?” 　　Saat Kaisar Jingming bertanya, mereka yang mengenali dayang itu segera memandang ke arah Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian nyaris kehilangan ketenangannya: “Shiliu, kau sadar apa yang kau katakan?” 　　Ternyata dayang bernama Shiliu ini adalah pelayan Istana Yuquan yang menemani Ibu Suri Xian ke jamuan ini. 　　“Kekasihku lebih baik mendengarkan penjelasannya.” Kaisar Jingming melirik dingin ke arah Ibu Suri Xian, nada suaranya tidak bersahabat. 　　Ibu Suri Xian tak menyangka masalah tiba-tiba menghampiri. Menahan amarah yang berkecamuk, dia bertanya pada dayang: “Kalau begitu katakan, di mana kau melihat tanaman madreselva itu?” 　　Dayang diam-diam memberikan pandangan pasrah kepada Ibu Suri Xian, membungkuk hingga menyentuh lantai: "Hamba pernah melihat tanaman madreselva di tempat Selir Chen..." 　　"Selir Chen?" 　　Kaisar Jingming terlihat kebingungan. 　　Permaisuri dengan sigap mengingatkan: "Selir Chen adalah ibu kandung Putri Keempat Belas, tinggal di pavilion samping Istana Yuquan." 　　Peraturan tempat tinggal selir-selir istana Dinasti Zhou sangat ketat, hanya selir berpangkat tertentu yang berhak menempati istana mandiri. Pangkat seperti Jieyu dan Meiren harus tinggal bersama selir berpangkat lebih tinggi. 　　Mendengar tanaman madreselva terlihat di tempat Selir Chen, Ibu Suri Xian sedikit lega namun juga kesal. 　　Selir-selir rendah ini tinggal tersebar di istana selir senior sesuai aturan, bukan karena kesukaan pribadi memilih siapa yang boleh tinggal di Istana Yuquan miliknya. 　　Meski tak tahu maksud Permaisuri Yan menanyakan tanaman madreselva, jelas ini bukan hal baik. Kebetulan orang yang terlibat tinggal di Istana Yuquan-nya, sungguh malang tak terduga. 　　"Apakah Selir Chen hadir?" Kaisar Jingming yang telah memahami status Selir Chen, mengerutkan kening. 　　Perjamuan istana ini memang diadakan Permaisuri, ia langsung menjawab: "Selir Chen mengajukan izin." 　　"Izin?" 　　"Putri Keempat Belas sakit dua hari lalu, Selir Chen mengajukan izin untuk merawat putrinya." 　　“Putri yang berusia 12 tahun ke atas tidak lagi tinggal bersama Ibu Selir. Putri Keempat Belas yang seusia dengan Putri Fuqing sudah lama pindah dari Istana Yuquan.” 　　“Tentu saja, meski para putri tinggal terpisah dari ibu mereka setelah dewasa, karena masih di lingkungan istana belakang, para selir tetap bisa mengunjungi dengan mudah tanpa perlu melapor ke Permaisuri.” 　　“Artinya baik Chen Meiren maupun Putri Keempat Belas tidak ada di istana?” Kaisar Jingming mengerutkan alis semakin dalam, perasaan hatinya tiba-tiba terasa berat. 　　Permaisuri mengangguk: “Benar.” 　　Kaisar Jingming menatap Jiang Si: “Istri Lao Qi, sekarang kita sudah tahu di mana ada tanaman madreselva. Apa maksudmu menanyakan ini?” 　　“Menantu masih perlu melihat sendiri.” 　　Melihat penjelasan Jiang Si semakin membingungkan, Kaisar Jingming tak sengaja melirik Yu Jin. 　　Apa sebenarnya maksud istri Lao Qi ini? 　　“Ayah Kaisar, menantu bukan sengaja menyembunyikan sesuatu. Hanya karena ini menyangkut masalah besar, menantu tidak berani sembarangan menuduh siapa pun. Hanya dengan melihat langsung baru bisa memastikan.” 　　Kaisar Jingming menghela napas: “Baiklah, Pan Hai akan mengantarmu ke Istana Yuquan.” 　　Jiang Si kembali sedikit menekuk lutut: “Mohon Direktur Tabib Istana ikut serta.” 　　Setelah mengizinkan Jiang Si pergi ke Istana Yuquan, Kaisar Jingming tentu tidak akan mempersulit hal ini dan langsung menganggukkan kepala. 　　Yu Jin yang awalnya ingin meminta ikut Jiang Si, mengurungkan niat setelah menerima pandangan dari Jiang Si. 　　Saat ini yang paling menderita adalah Ibu Suri Xian. 　　“Permaisuri Yan malah harus pergi sendiri ke Istana Yuquan, apa maksudnya ini?” 　　Mungkinkah Selir Chen ada hubungannya dengan kematian Putri Kelima Belas? Ini tidak mungkin! 　　Semakin dipikir semakin membingungkan, membuat Ibu Suri Xian ingin buang air lagi. 　　Tapi saat ini tak seorang pun yang hadir boleh pergi, meminta izin buang air di depan Kaisar benar-benar memalukan. 　　Tidak ada cara lain, harus ditahan. 　　Selama menunggu, Kaisar Jingming menutup mata tanpa bicara, sementara kerumunan tak tahan berbisik-bisik. 　　“Mengapa Permaisuri Yan memperhatikan tanaman madreselva?” 　　“Siapa yang tahu? Jangan-jangan tanaman madreselva bisa meracuni orang?” 　　Ada nada mengejek dalam perkataan ini. 　　Beberapa tabib istana yang masih berada di aula saling bertukar pandang, samar-samar memiliki dugaan mengerikan. 　　Tentu saja, sebelum Permaisuri Yan kembali, mereka tak berani mengucapkan sepatah kata pun. 　　Putri Rongyang yang tak sabar menunggu, menyeringai ke arah Puteri Ningluo di sampingnya: “Menurutku Permaisuri Yan sengaja membuat misteri.” 　　Puteri Ningluo adalah ibu Chen Huifu. Setelah putrinya dipermalukan di Pesta Bunga Mei, dia curiga ada hubungannya dengan Jiang Si. Karena itu dia tak sependapat dengan Putri Rongyang, berbisik: “Sulit dikatakan, meski Permaisuri Yan masih muda, dia punya strategi..." 　　Setelah penantian panjang, Jiang Si akhirnya kembali dengan membawa sapu tangan terlipat di tangannya. 　　“Istri Lao Qi, apakah sekarang kau bisa menjelaskan dengan jelas?” Kaisar Jingming membuka mata dan bertanya, pandangan sampingnya menyapu Pan Hai. 　　Sebagai kasim kepala paling dipercaya Kaisar Jingming, Pan Hai telah menyaksikan banyak badai kehidupan, namun saat ini wajahnya pucat, jelas menunjukkan sesuatu yang sangat mengejutkan telah terjadi. 　　“Ayah Kaisar, menantu perempuan ini kira-kira telah menemukan sumber racun mematikan itu.” 　　Begitu kata-kata ini terucap, kerumunan pun terkejut. 　　“Di mana?” Kaisar Jingming tak sabar bertanya. 　　Jiang Si menjawab tenang: “Di antara tanaman madreselva itu!” 　　“Tidak mungkin! Madreselva tidak hanya tidak beracun, tapi juga obat yang baik!” Banyak orang spontan berseru. 　　Racun yang bisa membunuh Putri ke-15 dalam waktu singkat adalah madreselva? Sungguh konyol! 　　Jiang Si tetap tenang membungkuk hormat pada Kaisar Jingming: “Ayah Kaisar, lebih baik mintalah Tabib Zhang yang menjelaskan.” 　　Belakangan terlalu banyak urusan di dunia nyata, sering begadang sampai larut malam, daya ingat jadi buruk, kukira sudah update... Sayang kalian semua. 418.BAB 417 Nyonya Chen 　　BAB 417 Nyonya Chen 　　Kaisar Jingming menatap Tabib Zhang. 　　Tabib Zhang sudah berumur, wajahnya penuh keriput, janggut putih seperti salju. 　　Setelah mengalami tempaan waktu dan bekerja di lingkungan seperti Rumah Sakit Kekaisaran, pria ini telah menjadi setegar gunung, namun kini wajahnya penuh kecemasan yang tak bisa disembunyikan. 　　Tabib Zhang membungkuk dalam-dalam pada Kaisar Jingming, suara tuanya bergema di aula: “Laporan pada Kaisar, perkataan Permaisuri Yan benar! Sumber racun mematikan itu memang berasal dari tanaman madreselva itu!” 　　“Mendengar Kepala Tabib Zhang juga berkata demikian, kerumunan sementara menahan dorongan untuk membantah, menahan napas menunggu dia melanjutkan penjelasannya.” 　　Kepala Tabib Zhang menundukkan kepala: “Tanaman madreselva memang obat detoksifikasi dan pendinginan yang sangat baik, ini tidak diragukan lagi. Tapi ada satu tumbuhan yang penampilannya sangat mirip dengan madreselva, orang awam sulit membedakannya. Tumbuhan ini adalah salah satu jenis tumbuhan pemutus usus - bunga gounwen!” 　　Di kalangan rakyat, istilah 'tumbuhan pemutus usus' adalah sebutan umum, beberapa jenis rumput beracun bisa disebut demikian, dan bunga gounwen termasuk salah satunya. 　　Bunga gounwen sangat beracun, terutama akar dan daun mudanya, sedikit saja bisa menyebabkan keracunan mematikan dalam waktu singkat. Ciri yang paling menipu adalah kemiripannya dengan madreselva yang mudah ditemui di mana-mana. 　　Hanya saja bunga gounwen terutama tumbuh di selatan, kebanyakan orang yang lahir dan besar di ibu kota tidak hanya belum pernah melihat, bahkan belum pernah mendengarnya. 　　Setelah mendengar penjelasan Kepala Tabib Zhang, kerumunan gemetar ketakutan. 　　Ternyata ada tumbuhan beracun yang mirip dengan madreselva, ini sangat mengerikan. Yang lebih mengejutkan lagi, di pekarangan Selir Chen ada tanaman madreselva, sementara Permaisuri Yan dan Kepala Tabib Zhang menemukan bunga gounwen di antara madreselva itu... Hal ini membuat bulu kuduk merinding. 　　“Tunjukkan padaku bunga gounwen itu!” 　　Jiang Si membuka saputangan di tangannya, memperlihatkan dedaunan dan bunga di dalamnya. 　　Semua mata terbelalak, melihat bunga berwarna kuning pucat yang memang sangat mirip dengan madreselva. 　　Kaisar Jingming melangkah maju, pandangannya dalam: "Ini... ini bunga Hook Wēn?" 　　Dalam ingatannya, hanya sekali saat keluar istana untuk ritual sembahyang kepada langit ia pernah melihat tanaman madreselva. Saat itu bunga bermekaran indah dengan warna emas-perak, sama persis dengan yang di tangan Permaisuri Yan. 　　Saat itu hanya melirik sekilas, sekarang jika ditanya apakah benda di depan mata ini bunga madreselva, ia pun tak bisa memastikan. 　　Tak bisa memastikan, tentu harus mendengarkan tabib istana. 　　Spesialisasi bidang masing-masing, dalam hal ini Kaisar Jingming selalu memiliki pandangan yang jernih. 　　"Paduka lihat, inilah tanaman madreselva yang sebenarnya." Tabib Zhang mengeluarkan sapu terlipat dari lengan bajunya dan membukanya untuk diperlihatkan kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming memperhatikan dengan saksama, akhirnya menemukan beberapa perbedaan. 　　"Bunga Hook Wēn ini ditemukan di antara tanaman madreselva itu?" 　　Jiang Si menjawab: "Benar." 　　Kaisar Jingming menatap Jiang Si beberapa saat, tiba-tiba bertanya kepada Pan Hai yang berdiri diam di samping: "Bagaimana keadaan Putri Keempat Belas?" 　　Pan Hai segera menjawab: "Hamba telah menyuruh orang berjaga di luar, tapi tidak berani mengganggu Paduka Putri dan Nyonya Chen..." 　　Menyangkut selir dan putri Kaisar, tanpa perintah Kaisar Jingming, Pan Hai tentu tak berani bertindak sembarangan. 　　Sorot mata Kaisar Jingming menyapu kerumunan di aula, nada suaranya dingin: "Aku dan Permaisuri akan menjenguk Putri Keempat Belas, para hadirin harap tetap di sini sementara." 　　Kerumunan segera menjawab patuh. 　　Kaisar Jingming mengulurkan tangan ke Permaisuri. 　　Dalam acara resmi, Kaisar Jingming selalu memberikan penghormatan penuh kepada Permaisuri. 　　Permaisuri meletakkan tangannya di tangan Kaisar Jingming. 　　“Lao Qi, bawa istrimu ikut Aku ke sana.” 　　Yu Jin mengiyakan, lalu mengulurkan tangan ke Jiang Si seperti yang dilakukan Kaisar Jingming. 　　Di bawah tatapan kerumunan, Jiang Si dengan santai meletakkan tangannya di tangan Yu Jin. Pasangan suami istri ini mengikuti Kaisar dan Permaisuri keluar dari Balai Panjang Umur, meninggalkan orang-orang yang saling pandang bingung. 　　Pangeran Yan dan Permaisurinya berani berpegangan tangan di depan umum? Sungguh tak tahu malu! 　　Apa? Kaisar dan Permaisuri juga berpegangan tangan? Keharmonisan pasangan kekaisaran adalah berkah bagi negara, ini jelas berbeda! 　　“Kalian bilang, yang meracuni Putri ke-15 benar-benar Selir Chen?” 　　“Putri ke-15 cuma korban sial, target sebenarnya adalah——” 　　“Tak masuk akal, bagaimana mungkin selir rendahan berani——” 　　Dalam forum resmi seperti ini, meski para bangsawan kerajaan biasa bersikap sembrono, diskusi sensitif tentang kasus keracunan hanya berani disampaikan setengah-setengah. 　　Penasaran! Gatal rasanya ingin tahu sampai ke tulang sumsum! 　　Sayangnya bukan keluarga Pangeran Yan... 　　Tatapan kerumunan mulai menyapu halus ke arah Putra Mahkota. 　　Melihat Kaisar hanya mengizinkan keluarga Pangeran Yan yang ikut, sementara Putra Mahkota dan istrinya harus duduk diam di balai, hati mereka agak seimbang. 　　Putra Mahkota: “...” Racun bukan aku yang taruh, ngapain pada menatapku? 　　Dipimpin Kaisar Jingming, rombongan besar tiba di kediaman Putri ke-14. 　　Sepuluh lebih pelayan istana berjaga dalam diam, tanpa menggugah penghuni dalam. 　　Langkah Kaisar Jingming terhenti sesaat. 　　Jiang Si berbisik pelan: "Ayah Kaisar, meskipun tanaman gelingsir ditemukan di Istana Yuquan, tetapi penari itu sudah mati, ini tak bisa membuktikan apa-apa——" 　　Kaisar Jingming mengangkat tangan, nada suaranya berat: "Aku sudah tahu semua ini, tak perlu kau khawatir." 　　Jiang Si pun tidak berkata lagi. 　　Bunga kouwen yang seharusnya tumbuh di selatan tercampur dengan tanaman madreselva, sungguh konyol jika disebut kebetulan. Tapi tak ada yang mutlak, tentu dia harus mengingatkan agar hatinya tenang. 　　Yu Jin menggenggam erat tangannya, berkata serius: "Ayah Kaisar yang bijaksana dan perkasa, pasti tak akan menghukum orang tak bersalah, juga tak akan melewatkan penjahat..." 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin, lalu berjalan sambil berkata datar: "Panggil mereka." 　　Pelayan istana segera berseru: "Kaisar tiba, Permaisuri tiba——" 　　Pintu gerbang terbuka lebar, Kaisar Jingming berjalan masuk pertama. 　　Dayang-dayang di halaman bersujud berjajar, dayang yang keluar dari dalam kamar juga segera berlutut. 　　Seorang wanita berpakaian istana dengan riasan sederhana bergegas keluar: "Hamba memberi salam kepada Kaisar, memberi salam kepada Nyonya." 　　Kaisar Jingming berhenti di depan wanita itu, nadanya aneh: "Selir Chen?" 　　Selir Chen sedikit mengangkat pandangan, yang terlihat selain wajah Kaisar yang tegang, juga banyak wajah asing. 　　Warna wajahnya tiba-tiba memucat. 　　"Kau tahu kesalahanmu?" Kaisar bertanya dengan kata-kata terpisah. 　　Empat kata itu seperti palu berat, menghantam jantung Selir Chen. 　　Selir Chen gemetar hebat. 　　"Jangan beri dia kesempatan berpikir lebih lanjut," Kaisar Jingming berkata dengan wajah marah, "Penari itu sudah mengaku, apakah kau masih ingin membantah?" 　　Mendengar penari telah mengaku, kepanikan Nyonya Chen tak bisa lagi disembunyikan. Ia terjatuh lesu di lantai dalam keputusasaan. 　　"Pengawas, bawa Putri ke-14 keluar! Apakah aku datang ia berani tidak menyambut?" 　　Kaisar Jingming menuntut bertemu Putri ke-14. Nyonya Chen merangkak di lantai memohon, "Paduka, Putri ke-14 sedang sakit. Hamba akan mengaku semua yang Paduka tanyakan, hanya mohon jangan siksa dia. Dia tak bersalah!" 　　"Baik, katakanlah." Kaisar Jingming berdiri di tengah halaman dengan raut dingin. 　　Nyonya Chen membenturkan kepala ke lantai keras-keras, "Mohon Paduka izinkan hamba melihat Putri ke-14 sekali lagi, sebagai perpisahan terakhir." 　　Memandangi wanita yang merengek ini, meski benci, Kaisar Jingming agak luluh juga. Ia mengangguk perlahan. 　　"Terima kasih Paduka." Nyonya Chen buru-buru menuju pintu sebelum Kaisar berubah pikiran. Saat hendak masuk, ia melambat, merapikan pakaiannya sebelum melangkah. 　　Yu Jin melihat punggung yang pergi itu menghilang di balik pintu, menggeleng pelan. 　　Bukan pun wanita tercinta, masih saja luluh. Ayah Kaisar harus ubah kebiasaan buruk ini. 　　Sampai jumpa besok. Jangan robek vote, berikan semua untuk Liu Ye yang imut. 419. BAB 418 Putri ke-14 　　BAB 418 Putri ke-14 　　Memang Kaisar Jingming adalah orang yang mudah luluh. 　　Segala hal punya dua sisi. Beliau bukan penguasa kejam, dicintai rakyat karena wataknya tenang, wajar saja tak bisa sekeras baja. 　　Yu Jin memandang dingin saat Selir Chen masuk ke dalam kamar, tidak memberikan peringatan apa pun. 　　Dalam situasi seperti ini, memberi peringatan salah, tidak memberi peringatan juga salah. Mana yang lebih baik pun ia tak bisa memastikan. Karena itu, diam seribu bahasa lebih baik. Ia memilih untuk tetap mengawasi bersama A Si dengan tenang. 　　Yu Jin sangat memahami prinsip "berlebihan sama buruknya dengan kekurangan". 　　Dirinya dan Jiang Si baru saja menarik perhatian berlebihan, kini saatnya untuk merendahkan profil. 　　Selir Chen sudah cukup lama masuk namun belum keluar. 　　Kaisar Jingming merasa ada yang tidak beres, lalu melangkah masuk ke dalam. 　　Karena semua dayang istana telah keluar menyambut kedatangan kaisar, aula dalam terasa lengang. Hanya suara batuk lemah yang terdengar, terasa tertekan. 　　Batuk itu memiliki kelembutan khas gadis muda. 　　"Ayah Kaisar, apakah itu Anda?" 　　Kaisar Jingming menggerakkan alisnya, memberi isyarat agar pengiring tetap di aula. Dengan ditemani Pan Hai dan Permaisuri, ia masuk ke dalam. 　　Di dalam ruangan, kelambu bertumpuk-tumpuk. Karena jendela tak dibuka, udara dipenuhi aroma obat yang menyengat. 　　Seorang gadis berusaha bertahan dengan bersandar di ranjang, mencoba turun untuk memberi hormat saat melihat Kaisar Jingming dan Permaisuri masuk. 　　Dayang yang melayani di sampingnya sudah bersujud di lantai, tak berani bersuara. 　　"Mengapa tidak segera menidurkan Putri?" Kaisar Jingming mengerutkan kening. 　　Dayang itu segera bangkit dan menahan Putri Keempat Belas. 　　Baru sekarang Kaisar Jingming bisa melihat jelas kondisi Putri Keempat Belas. 　　Gadis berusia lima belas enam belas tahun seharusnya sedang mekar seperti bunga, namun gadis di depan matanya ini memiliki pipi cekung, wajah pucat penuh penyakit, sama sekali tak ada semangat kecerahan remaja. 　　Kaisar Jingming tidak bisa menahan rasa iba. 　　"Sakit parah begini tidak memanggil tabib istana?" 　　"Sudah dipanggil." Putri ke-14 matanya berkilauan, berbicara dengan susah payah, "Erchen tidak berbakti, merepotkan Ayah Kaisar dan Ibu datang menjenguk. Tapi tadi Ibu Selir pergi menyambut, kenapa sekarang tidak kelihatan?" 　　Dalam keadaan sakit, yang dipikirkannya tentu ibu kandung yang sangat menyayanginya, bukan Kaisar Jingming dan Permaisuri yang sulit ditemui selama berbulan-bulan. 　　Ekspresi Kaisar Jingming tetap tenang, berkata lembut: "Ayah Kaisar perlu menanyakan sesuatu pada ibumu. Permaisuri, temani Si Shisi. Aku ingat beberapa hari lalu dia masih baik-baik saja, kenapa tiba-tiba sakit parah." 　　"Kaisar tak perlu khawatir." 　　Kaisar Jingming melangkah keluar dengan cepat, segera seorang pelayan istana berbisik: "Paduka, hamba sudah memeriksa kamar barat. Jendelanya terbuka lebar, Nona Chen mungkin kabur dengan melompat jendela..." 　　"Kabur? Mau lari ke mana?" Kaisar Jingming memasuki kamar barat, menatap jendela yang terbuka lebar dengan suara dingin. 　　Dia sempat merasa iba mengizinkan pertemuan terakhir ibu dan anak ini, tak disangka si jalang ini berani melawan. 　　Di luar jendela sinar matahari terik, daun pisang hijau bergoyang malas. 　　Mustahil bisa kabur. Banyak pelayan istana berjaga di luar, apa mungkin ada tempat persembunyian di halaman belakang? 　　Sekalipun ada, pencarian sejengkal demi sejengkal pasti akan menemukannya. 　　Kaisar Jingming menunggu dengan tangan terkepal di belakang, namun yang datang adalah kabar buruk lagi. 　　"Paduka, Nona Chen telah gantung diri di pohon halaman belakang." 　　“Si bajingan ini!” Bahkan Kaisar Jingming yang sabar akhirnya tak bisa menahan amarahnya. 　　Yu Jin menggelengkan kepala diam-diam. 　　Sekarang marah, kenapa tidak dari dulu? Jika sejak awal dia langsung menampar wanita itu sampai pusing, mana mungkin dia bisa main akal-akalan. 　　Ingin menemukan pelaku kejahatan yang membunuh putri kesayangan, tapi juga tak tega melihat putri lain ketakutan. Mana ada yang sempurna. 　　Permaisuri tiba-tiba muncul tanpa diketahui. 　　“Di mana Si Empat Belas?” 　　“Si Empat Belas sudah tertidur karena kelelahan.” 　　Amarah Kaisar Jingming berubah menjadi tanya: “Permaisuri, menurutmu mengapa Selir Chen memilih bunuh diri?” 　　Permaisuri menoleh ke belakang, berbisik pelan: “Mungkin takut membebani putrinya.” 　　Sorot mata dingin memancar dari mata Kaisar Jingming: “Kalau begitu, apakah Selir Chen yang menyakiti Fuqing berkaitan dengan Si Empat Belas?” 　　Ucapan spontannya setelah mendengar perkataan Permaisuri membuat mereka saling pandang, sama-sama melihat keheranan di mata masing-masing. 　　Selir Chen lebih memilih mati daripada mengaku, bahkan melewatkan kesempatan berpamitan dengan putrinya. Kemungkinan besar dia tahu kebenaran ini akan membahayakan putrinya. 　　Apakah Putri ke-14 tahu tentang semua ini? 　　Pasangan kekaisaran itu serentak menoleh ke arah kamar Putri ke-14. 　　Bayangan gadis yang wajahnya pucat sakit terlintas di benak Kaisar Jingming. 　　“Paduka, kasus ini harus diselidiki tuntas!” kata Permaisuri dengan tegas, tangannya di sisi tubuh terus bergetar. 　　"Jika bukan karena Pangeran Yan yang mengungkap kasus penari istana, dan Permaisuri Yan yang menyebutkan kesamaan antara tanaman gelingsir dan madreselva, siapa sangka selir rendahan bisa membahayakan Fuqing?" 　　Ini sangat mengerikan. Jika tidak diselidiki tuntas, dia takkan bisa tidur nyenyak. 　　"Aku mengerti." Seiring tewasnya penari istana dan Nona Chen beruntun, Kaisar Jingming sudah tak punya niatan menutupi kasus ini. "Pan Hai, selidiki setiap orang yang melayani Nona Chen dan Putri Keempat Belas. Jika ada kelalaian lagi, jangan muncul di hadapanku!" 　　Waktu berlahan. Kaisar Jingming duduk di dekat jendela yang terbuka lebar, meminum secangkir demi secangkir teh, hingga akhirnya Pan Hai datang melapor. 　　"Ada temuan apa?" 　　Pan Hai tahu kesabaran Kaisar sudah di ujung tanduk. Buru-buru dia menjawab: "Nona Chen punya dayang kepercayaan yang meninggal mendadak kemarin. Dayang itu pasti pelaku utama yang kemudian dibungkam." 　　Di istana, nyawa sebagian orang sangat berharga, sementara lainnya seperti rumput liar. 　　Dayang dari selir rendahan bahkan tak berhak memanggil tabib istana saat sakit. Jenazahnya langsung dibungkus tikar dan dibuang. 　　Korban seperti ini minimal belasan orang setiap tahunnya. Tak ada yang peduli. 　　"Artinya, dengan tewasnya Nona Chen dan dayangnya, tak ada lagi saksi mata?" Kaisar Jingming merasa kepala nyut-nyutan. 　　Namun jika diulang kembali, mungkin dia tetap akan mengizinkan Nona Chen berpamitan dengan putrinya dengan wajah tak bersalah. 　　“Ada seorang dayang yang tak sengaja mendengar percakapan Nyonya Chen dengan Dayang kepercayaannya.” 　　Kaisar Jingming langsung bersemangat: “Bawa dayang itu ke sini.” 　　“Ayah Kaisar, biarkan anak lelaki membawa Permaisuri menunggu di luar.” Yu Jin segera menyela. 　　Terkadang mengetahui terlalu banyak hal bukanlah sesuatu yang baik. 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan, memberi isyarat mereka boleh berbuat sesuka hati. 　　Tak lama kemudian seorang dayang dibawa masuk. 　　“Katakan semua yang kau ketahui kepada Kaisar.” 　　Dayang itu merangkak di atas batu bata hijau, gemetar berkata: “Hamba pernah membersihkan ruang belajar, anting jatuh ke celah rak buku. Saat meraihnya, tangan hamba menyentuh sesuatu yang tak dikenal. Setelah bunyi klik, tiba-tiba muncul pintu rahasia di samping rak buku. Kebetulan ada suara langkah di luar, hamba buru-buru bersembunyi di dalam. Tak disangka dua orang masuk ke ruang rahasia, satu adalah selir, satunya lagi dayang kepercayaannya...” 　　Kebetulan ini jelas bukan kenangan menyenangkan bagi dayang tersebut. 　　Dia terus berlutut gemetar, wajah pucat melanjutkan: “Hamba dengar selir itu bilang mata Putri Fuqing sudah sembuh, Putri ke-14 pasti akan bernasib malang... Dayangnya menasihati agar jangan overthinking, tapi si selir malah berkata...” 　　“Berkata apa?” Kali ini Permaisuri yang bertanya dengan keras. 　　“Katanya dia awalnya juga tidak percaya, tapi dulu ketika mata Putri Fuqing buta, Putri ke-14 baru bisa membaik. Karena Putri ke-14 dan Putri Fuqing lahir di tahun, bulan, hari, dan jam yang sama, takdir mereka saling terhubung. Keberuntungan saling meniadakan, membuatnya tak bisa tidak percaya...” 420.BAB 419 Satu Melemah, Satu Menguat 　　BAB 419 Satu Melemah, Satu Menguat 　　Perkataan dayang ini membawa terlalu banyak informasi. 　　Permaisuri ditopang dayang pengiringnya, suaranya bergetar: "Putri Keempatbelas dan Fuqing terikat takdir, energi nasib saling melemahkan? Ini, ini omong kosong apa!" 　　Dua orang yang lahir bersamaan memiliki takdir terikat, energi nasib saling melemahkan? Ini terlalu menggelikan! 　　Permaisuri segera menangkap makna lain dari perkataan dayang itu, berteriak histeris: "Kalau begitu, penyakit mata Fuqing juga ada hubungannya dengan Selir Chen?" 　　Penemuan ini membuatnya nyaris pingsan, hampir tak bisa berdiri tegak. 　　Seandainya penyakit mata Fuqing adalah buatan manusia, sementara dirinya tak tahu apa-apa membiarkan putrinya menderita bertahun-tahun, itu terlalu mengerikan. 　　"Permaisuri Yan, panggil Permaisuri Yan masuk!" Permaisuri sudah tak peduli keberadaan Kaisar Jingming, berteriak keras. 　　Pan Hai melirik Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming memahami kegugupan Permaisuri, mengangguk halus. 　　Pan Hai keluar untuk menyampaikan pesan. 　　"Permaisuri, tenangkan diri." Suara Kaisar Jingming berat. 　　Mendengar perkataan dayang itu, hatinya juga berdebar-debar, amarah menyala-nyala, namun situasi sudah begini harus diklarifikasi dulu. 　　Permaisuri sedikit tenang, tapi api dalam hatinya masih membara, membuatnya sesak napas. 　　Jiang Si dan Yu Jin yang menunggu di luar segera masuk. 　　"Istri Lao Qi, penyakit mata Fuqing, waktu itu kau bilang bukan kelainan tubuh, tapi ada cacing?" 　　Jiang Si mengangguk. 　　Kaisar Jingming menatapnya dengan tatapan tajam, bertanya dengan suara serius: "Lalu, apakah kau tahu dalam kondisi apa cacing parasit bisa muncul?" 　　Jiang Si tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke arah Yu Jin. 　　Apakah pertanyaan Kaisar ini menunjukkan keraguan tentang penyebab penyakit mata Putri Fuqing? 　　Pertanyaan Kaisar dan Permaisuri muncul setelah mendengar kesaksian dayang Selir Chen. Ini membuktikan bahwa penyakit mata Putri Fuqing bukan masalah biasa. 　　Hal ini justru membenarkan dugaan yang telah lama dipegangnya. 　　Saat itu, pernyataannya tentang "cacing di mata" Putri Fuqing hanyalah eufemisme untuk menghindari kepanikan. Sebenarnya, Putri Fuqing telah menjadi korban Gu Penutup Mata. 　　Gu Penutup Mata adalah salah satu dari ribuan jenis Gu yang khusus bersarang di mata manusia, membentuk jaring sutra super halus yang menutupi bola mata seperti kabut tipis. 　　Korban akan mengalami penurunan penglihatan bertahap. Semakin lama terinfeksi, penglihatan semakin buram hingga akhirnya buta total. 　　Karena kebutaan ini disebabkan oleh jaring Gu, praktisi Ilmu Gaib bisa menyembuhkannya dengan mudah: mengangkat selaput tipis itu lalu menggunakan ramuan khusus untuk mengeluarkan Gu-nya. 　　Oleh karena itu, saat itu dia hampir tidak mengalami kesulitan dalam menyembuhkan mata Putri Fuqing. 　　Pertanyaan Kaisar Jingming membuat pikiran Jiang Si berputar cepat. 　　Penjelasan tentang "melihat cacing di mata" bisa dianggap sebagai intuisi alamiah, tapi jika terungkap penguasaannya atas ilmu Gu, itu akan menimbulkan kecurigaan. 　　Setelah berpikir sejenak, Jiang Si berkata, “Sebagai menantu perempuan, saya hanya tahu bahwa serangga itu sangat langka, dan Putri Fuqing seharusnya tidak memiliki kemungkinan untuk terpapar.” 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri saling memandang. 　　Serangga yang menyebabkan kebutaan Putri Fuqing sangat langka, dan Putri Fuqing tidak mungkin terpapar. Dengan kata lain, pasti ada yang sengaja melakukannya. 　　Wajah Permaisuri menjadi pucat pasi, suaranya gemetar, “Kaisar, A’Quan... A’Quan dirugikan oleh Selir Chen!” 　　Saat ini, Permaisuri bersyukur Putri Fuqing tidak ikut, karena jika tahu dirinya buta selama bertahun-tahun akibat ulah orang lain, betapa sedihnya. 　　Dan betapa kecewanya dia terhadap istana yang dingin ini. 　　“Saya gagal melindungi A’Quan, saya bukan ibu yang baik...” Permaisuri hampir runtuh, bergumam pelan. 　　Kaisar Jingming menepuk lengan Permaisuri, “Ini bukan salahmu, Permaisuri. Jangan menyalahkan diri. Sekarang yang penting mencari kejelasan masalah ini.” 　　Setelah mengetahui motif Selir Chen merugikan Putri Fuqing, masih perlu diselidiki hubungan antara Selir Chen dengan penari, serta berapa banyak orang yang terlibat dalam meracuni putri. 　　“Pan Hai, bubarkan orang-orang di Aula Changsheng.” 　　Pan Hai segera membungkuk dan menyuruh orang menyampaikan perintah. 　　Namun Kaisar Jingming tidak mengizinkan Yu Jin dan Jiang Si pergi, meminta mereka tetap mendampingi penyelidikan. 　　Saat ini, keduanya telah mengetahui percakapan antara Selir Chen dengan dayang kepercayaannya. 　　Pan Hai menghadap sambil membawa buku catatan tebal untuk diserahkan kepada Kaisar Jingming. 　　“Kaisar, Putri Fuqing dan Putri Keempat Belas memang lahir bersamaan, hamba menemukan sesuatu yang aneh…” Pan Hai melanjutkan pembicaraan Nyonya Chen, mengambil buku catatan lain dan mempersembahkannya kepada Kaisar Jingming. 　　Itu adalah catatan medis tabib istana tentang penyakit para orang terhormat di istana, nama Putri Keempat Belas tercantum jelas di dalamnya. 　　Kaisar Jingming membalik-balik halaman, bertanya: “Apa yang kau temukan?” 　　Permaisuri tak bisa menahan kepalan tangannya mengeras. 　　Pan Hai menunduk berkata: “Sejak lahir, Putri Keempat Belas selalu sakit-sakitan, membaik saat berusia tiga bulan, sedangkan saat itu Putri Fuqing baru saja terkena flu. Catatan menyebutkan, Putri Fuqing baru sembuh setelah sepuluh hari, Putri Keempat Belas menderita batuk kronis. Ketika Putri Fuqing berusia setengah tahun terkena ruam, batuk Putri Keempat Belas kebetulan sembuh...” 　　Sambil Pan Hai terus menjelaskan, Kaisar Jingming dengan cepat membalik-balik catatan medis, membandingkan rekaman Putri Fuqing dan Putri Keempat Belas. 　　Pada akhirnya, wajah Kaisar Jingming pucat membiru, diam membisu. 　　Permaisuri merampas buku catatan itu, membalik halaman demi halaman. 　　Jarinya berhenti di halaman catatan saat Putri Fuqing berusia lima tahun. 　　“Penglihatan Putri Ketiga Belas tiba-tiba kabur, semua tabib istana melakukan konsultasi bersama, namun tak membuahkan hasil...” 　　Konsultasi berulang kali setelahnya, mencatat proses penglihatan Putri Fuqing yang semakin memburuk hingga akhirnya buta total. 　　Meski kini mata Putri Fuqing sudah membaik, membuka kembali catatan hari-hari penuh penderitaan ini tetap membuat hati Permaisuri teriris-iris. 　　“Dia membuka catatan Putri Keempat Belas dengan gila-gilaan. Setelah usia lima tahun, tidak ada catatan penyakitnya untuk waktu yang lama, hingga dua hari lalu saat mata Putri Fuqing pulih, Putri Keempat Belas jatuh sakit lagi.” 　　“Permaisuri menutup matanya, air mata mengalir di sudut mata.” 　　“Paduka, Pasti Nyonya Chen melihat mata Fuqing sembuh sementara Putri Keempat Belas sakit, sehingga berniat membunuh Fuqing!” 　　“Kaisar Jingming diam membisu.” 　　“Seorang pelayan istana masuk, berbisik di telinga Pan Hai.” 　　“Pan Hai melapor setelah mendengar: ‘Paduka, hubungan Nyonya Chen dengan penari telah terungkap.’” 　　“Bicaralah.” 　　“Empat tahun lalu, penari ini dipuji guru karena bakatnya hingga dijauhi. Seorang penari lain melukai pergelangan kakinya. Kebetulan Nyonya Chen melihat dan memberinya salep obat bagus sehingga tidak cacat. Penari ini sangat berterima kasih, pernah berkata pada teman dekat bahwa Nyonya Chen lebih baik dari ibu kandungnya...” 　　“Kaisar Jingming menghela napas dan melambaikan tangan: ‘Lao Qi, bawa istrimu pulang.’” 　　“Kebenaran telah terungkap. Yang perlu dihargai akan dihargai, yang perlu dihukum akan dihukum, yang perlu dimakamkan akan dimakamkan. Tak perlu menahan orang lagi.” 　　“Anak lelaki (menantu perempuan) mohon diri.” 　　“Yu Jin dan Jiang Si pergi, meninggalkan Kaisar dan Permaisuri saling terdiam.” 　　“Setelah lama, Kaisar Jingming berdiri: ‘Permaisuri, urusan pemakaman Putri Kelima Belas, kuserahkan padamu.’” 　　Permaisuri menundukkan pandangan, tiba-tiba bertanya: "Paduka, Selir Chen mengatakan awalnya ia tidak percaya, namun akhirnya terpaksa percaya. Lalu siapa yang memberitahunya tentang teori nasib A Quan dan Pangeran Keempat Belas yang saling bertolak belakang ini? Dari mana asal serangga yang membutakan mata A Quan dan rumput patah hati yang merenggut nyawa Pangeran Kelima Belas?" 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya, sampai jumpa besok. 421. BAB 420 Ancaman Tersembunyi 　　BAB 420 Ancaman Tersembunyi 　　Istana Kekaisaran berdiri megah di bawah sinar mentari keemasan, tetap agung dan sakral, menjadi impian tak terhitung orang di seluruh penjuru negeri. 　　Satu per satu kereta kuda mulai menjauh bergantian. 　　Jiang Si dan Yu Jin meninggalkan istana, menuju kereta kuda Kediaman Pangeran Yan yang tertambat di samping. 　　Yang mengemudikan kereta adalah Lao Qin, sementara A Qiao yang memayungi Jiang Si dengan payung dari terik matahari. 　　Jiang Si selalu berpendapat bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, kuncinya terletak pada penempatan yang tepat. 　　Ah Man yang gesit dan berani cocok dibawa dalam urusan antar keluarga bangsawan, toh yang dirugikan pasti pihak lain. A Qiao yang tenang dan hati-hati, paling tepat menemani ke istana. 　　Sesampai di kereta, A Qiao bergegas membuka tirai kereta dan membantu Jiang Si naik. 　　Yu Jin hendak menyusul naik, ditantap tajam oleh Jiang Si: "Bukannya kau naik kuda?" 　　"Ingin ngobrol denganmu." 　　Jiang Si melirik ke arah kereta-kereta yang berjalan di depan, berbisik: "A Qiao ada di sini, ngapain kau ikut masuk? Ayah pasti sudah menunggu lama, cepatlah kita berangkat." 　　Yu Jin akhirnya menyerah, menerima tali kekang yang diberikan Lao Qin lalu naik ke pelana kuda, bergerak di samping kereta kuda. 　　Lao Qin mengibaskan cambuknya, kereta kuda mulai bergerak perlahan menghadap sinar matahari. 　　Di kejauhan, tirai jendela kereta kuda bermotif awan emas gelap perlahan diturunkan, sekaligus menahan silau matahari. 　　Bagian dalam gerbong dihias sangat mewah, dipenuhi aroma harum yang lembut. 　　Putri Rongyang bersandar di dinding kereta, melirik putrinya. 　　"Mingyue, apakah Permaisuri Yan tidak akur denganmu?" 　　Pertanyaan mendadak Putri Rongyang membuat Cui Mingyue tertegun sejenak. 　　Si jalang berkeluarga Jiang jelas tidak akur dengannya, bahkan tak menyembunyikan ketidaksukaannya. Tapi semua ini belum pernah ia ceritakan pada ibunya. 　　Putri Rongyang memejamkan mata perlahan: "Kebodohanmu yang terlibat dengan si Zhu membuatmu berseteru dengan Permaisuri Yan. Sebenarnya ini bukan masalah besar, tapi Permaisuri Yan yang tadinya hanya nona dari keluarga bangsawan biasa tiba-tiba menjadi permaisuri, kini bahkan mendapat perhatian Kaisar. Ini tidak bisa diabaikan..." 　　Cui Mingyue duduk menyamping, menunduk mendengarkan dengan tenang. 　　"Singkatnya, pengaruh Permaisuri Yan sedang di puncak. Hindarilah konflik dengannya ke depannya." 　　Cui Mingyue mengangkat pandangan, senyumnya menyimpan sindiran: "Ibu takut pada Permaisuri Yan?" 　　Dalam ingatannya, sang ibu yang kerap bertengkar sengit dengan ayahnya dan memukul pelayan tanpa ampun ini ternyata juga tahu mengalah. 　　“Takut?” Putri Rongyang melirik putrinya, menyeringai dingin, “Kaisar telah bertakhta hampir dua puluh tahun, yang pernah mendapat perhatiannya tidak seribu pun delapan ratus. Bagaimana nasib mereka? Manusia tak selamanya makmur, bunga tak selamanya mekar. Menghindari puncak kemasyhuran saat sedang memuncak bukanlah aib.” 　　Saat mengatakan ini, Putri Rongyang menyesuaikan posturnya, ekspresinya semakin santai: "Yang terpenting adalah jangan membuat Janda Permaisuri marah, jangan membuat Kaisar marah. Inilah hal paling krusial." 　　Permaisuri Yan pun apa? Bahkan Pangeran Yan sendiri harus memanggilnya 'bibi' dengan sopan. Tapi belakangan ini Sang Kaisar memandang Permaisuri Yan dengan baik, maka berseteru dengannya adalah tindakan bodoh. 　　"Putri mengerti." Cui Mingyue menjawab datar, namun dalam hati meremehkan. 　　Beberapa orang adalah kucing sakit, kejayaan sementara tak perlu dikhawatirkan. Tapi beberapa lainnya adalah harimau buas, jika tidak dibunuh saat masih anak, akan menjadi bencana besar di kemudian hari. 　　Permaisuri Yan adalah harimau seperti itu, dia tak boleh diberi waktu untuk tumbuh dewasa! 　　Cui Mingyue kembali ke istana putri, menghabiskan teh bunga yang disuguhkan dayangnya sekaligus, tapi tetap tak bisa menghilangkan kegelisahan di hatinya. 　　"Nona—" dayang pengiringnya ragu-ragu. 　　Cui Mingyue mengerutkan kening: "Beresiko apa kau berbicara setengah-setengah?" 　　Dayang itu segera menjawab: "Hamba ada hal ingin dilaporkan pada nona." 　　"Bicaralah." Cui Mingyue meletakkan cangkir teh di meja dengan gerakan tak sabar. 　　“Dayang itu secara refleks melirik ke sekeliling, berbisik: "Nona, hari ini hamba menemani Anda masuk ke istana, menunggu di ruang samping. Eh, tiba-tiba melihat seseorang yang tak terduga." 　　"Siapa?" 　　"Dayang Permaisuri Yan." 　　"Terus kenapa?" Cui Mingyue sama sekali tak ingat dengan dayang di sisi Jiang Si, bertanya dengan sikap meremehkan. 　　Dayang itu menunjukkan ekspresi aneh: "Hamba pernah bertemu dengannya di toko yang sering membelikan wewangian untuk Anda. Tapi lihatlah, pemilik wanita Lush Sheng Xiang ini bersikap sangat hormat padanya. Sepertinya bukan memperlakukan pelanggan, tapi seperti menghadapi pemilik..." 　　Cui Mingyue tiba-tiba duduk tegak, wajahnya serius: "Maksudmu—" 　　Dayang itu buru-buru menjelaskan: "Hamba hanya bertemu dengannya di istana hari ini, teringat kejadian waktu itu yang agak aneh, jadi melapor pada Nona..." 　　"Kau bekerja dengan baik." Cui Mingyue memuji, jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan lembut. 　　Pemilik wanita Lush Sheng Xiang bersikap hormat pada seorang dayang? 　　Cui Mingyue teringat saat tidak sengaja masuk ke toko kosmetik sederhana itu, namun terkejut menemukan wewangian mereka sangat harum. Sejak itu sering menyuruh dayangnya membeli wewangian, kadang juga mampir sendiri. 　　Pakaian dan perhiasannya jelas menunjukkan status putri bangsawan, tapi pemilik toko itu tak tampak merendah diri. 　　Melihat sikap pemilik toko terhadap dayang Permaisuri Yan—Cui Mingyue menaikkan alis, telapak tangan menekan meja. 　　Jangan-jangan pemilik di balik toko kosmetik itu adalah Permaisuri Yan sendiri? 　　“Cui Mingyue menutup matanya, bulu mata panjang dan lebatnya seperti kipas kecil yang menebarkan bayangan di bawah mata, persis seperti suasana hatinya yang muram selama ini. Kelopak mata yang bergetar halus menunjukkan kegelisahan dalam hatinya saat ini. 　　Itu adalah kegelisahan yang disertai kegembiraan. 　　Jika pemilik di balik layar Lush Sheng Xiang benar-benar Permaisuri Yan, maka menjatuhkan Permaisuri Yan akan menjadi sangat mudah. 　　Cui Mingyue teringat pidato lancar Yu Jin di Aula Changsheng, ketenangan Jiang Si, serta pandangan kompak tak disengaja antara mereka berdua. Semua ini mengusik sarafnya dan memicu keinginan untuk menghancurkan mereka. 　　Mengapa mereka bisa harmonis seperti kecapi dan seruling, bersinar begitu menyilaukan? 　　Mari mulai dari Lush Sheng Xiang. Kita lihat bagaimana Permaisuri Yan bisa tetap angkuh kali ini. 　　Keluarga Dongping Bo memang sudah mulai gelisah menunggu. 　　Meski telah menerima kabar bahwa Pasangan Pangeran Yan harus menghadiri jamuan di istana terlebih dahulu, Nyonya Feng tetap menyuruh orang berjaga di pintu gerbang untuk menyambut mereka sesaat setelah tiba. 　　Keluarga Dongping Bo kini memiliki seorang permaisuri sejati. Hanya dengan memikirkan ini, Nyonya Feng sudah tak bisa menahan gejolak hatinya. 　　Sejak Jiang Si menikah, Nyonya Feng merasa seperti berada dalam mimpi. Di hari kunjungan pengantin ini, hatinya tetap tak tenang sebelum melihat mereka datang. 　　Matahari mulai condong ke barat, membuat kerumunan semakin resah. 　　"Sudah waktunya, jangan-jangan mereka tidak datang?" Jiang Zhan berdiri di depan pintu gerbang, melipat tangan sambil bergumam. 　　Jiang Ancheng melotot padanya: "Jangan banyak bicara, mana mungkin tidak datang saat kunjungan tiga hari setelah pernikahan? Kira adikmu sembarangan seperti kau?" 　　Jiang Zhan menatap langit tanpa kata. 　　Ayah Paduka mulai melampiaskan amarah lagi. 　　Sejak Adik Keempat menikah, Ayah jadi suka mencari-cari kesalahan. 　　Masuk akal juga, dua hari ini dia mengunjungi Haitangju, melihat ayunan kosong di bawah pohon pun terasa mengharukan, apalagi Ayah. 　　"Datang, datang!" Mandor yang berjaga di luar langsung menyambut saat melihat kereta kuda Kediaman Pangeran Yan. 　　Jiang Ancheng mengintip sebentar lalu buru-buru berbalik. 　　"Ayah, Paduka mau ke mana?" 　　Jiang Ancheng kesal: "Kembali ke kamar, masak aku sebagai mertua harus menyambut menantu di pintu?" 　　Melihat punggung Jiang Ancheng yang berlari cepat, Jiang Zhan menggeleng. 　　Ada urusan yang tertunda. Hari pertama September, mari semangat bersama. 422.BAB 421 Kunjungan Kembali 　　BAB 421 Kunjungan Kembali 　　Kereta kuda Kediaman Pangeran Yan baru saja berhenti ketika mandor bergegas menyembah pada Yu Jin. 　　"Hamba menghadap Paduka Pangeran." 　　Yu Jin turun dari kuda, menunggu di samping kereta. 　　Tirai kereta dibuka, A Qiao membantu Jiang Si turun. 　　Yu Jin mengulurkan tangan. Jiang Si dengan natural meletakkan tangannya di genggaman suaminya, berjalan beriringan menuju gerbang Keluarga Bo. 　　Sang mandor terpana. 　　Paduka Pangeran yang mulia begitu perhatian pada Nona Keempat? 　　Jiang Zhan menyambut, meninju bahu Yu Jin: "Akhirnya kalian datang. Cepat masuk, mungkin masih bisa menyusul ayah saya." 　　Jiang Ancheng yang baru masuk ke Cixintang bersin keras. 　　Mandor gemetar ketakutan melihat kelancangan Jiang Zhan, keringat dingin bercucuran. Melihat Yu Jin sama sekali tidak marah, ia terkejut bukan main. 　　Menyembunyikan keterkejutannya, mandor segera memimpin jalan. 　　Jalan di rumah Keluarga Bo bersih terawat. Para pelayan sepanjang jalan memberi hormat, lalu berbisik-bisik penuh semangat setelah Jiang Si dan rombongan lewat. 　　"Lihatlah, Pangeran begitu perhatian pada Nona Keempat kita." 　　"Tentu saja, katanya di Pesta Bunga Mei, Pangeran sendiri yang memilih Nona Keempat. Mana mungkin tidak baik?" 　　"Bahkan pada Tuan Kedua pun Pangeran bersikap ramah." 　　"Mencintai rumah hingga burung gagaknya." 　　Dayang-dayang kecil tertawa terkikik, tak taktu meski berkali-kali ditegur madam. 　　Di hari bahagia ini, suasana penuh kehangatan dan sukacita terasa dari atas hingga bawah. 　　Nyonya Feng memutar tasbihnya semakin cepat, matanya terus melirik ke pintu. Begitu tirai bergerak, ia segera duduk tegak berlagak tenang. 　　Jiang Ancheng masuk dengan langkah lebar. 　　"Belum datang juga?" Melihat yang masuk adalah putra sulung, Nyonya Feng kecewa dan bertanya kesal. 　　"Jiang Ancheng duduk, mengambil secangkir teh secara santai: 'Tidak tahu, anak lelaki juga tidak berjaga di gerbang utama. Tapi kurasa seharusnya sudah tiba.'" 　　Tuan Jiang Kedua mengerutkan bibir, meneguk teh untuk menahan kepahitan di hati. 　　"Pangeran dan Permaisuri tiba!" 　　Sepasang suami-istri tampan cantik segera masuk berpegangan tangan. 　　Yu Jin membawa Jiang Si memberi salam hormat satu per satu kepada para senior. 　　Melihatnya sama sekali tidak menunjukkan kesombongan sebagai pangeran, pandangan Nyonya Feng pada Jiang Si semakin lembut. 　　Sikap seorang suami terhadap keluarga istrinya cukup menunjukkan betapa penting sang istri dalam hatinya. 　　Secara protokol negara, Pangeran Yan bahkan tidak perlu memberi salam kepada kami. 　　Tampaknya Si'er untuk sementara berhasil mengendalikan Pangeran Yan. 　　Nyonya Feng menghela napas lega. 　　Di antara semua cucu perempuan, akhirnya ada satu yang menunjukkan keberhasilan. 　　Selanjutnya giliran salam antar sesama generasi. 　　Keramahan Yu Jin pada Jiang Zhan membuat Nyonya Feng diam-diam terkejut, dan membuat Tuan Jiang Kedua iri hati. 　　Tuan Jiang Kedua memberi isyarat mata pada Jiang Cang. 　　Jiang Cang mencoba menyela pembicaraan, namun terbata-bata karena sikap dingin lawan bicaranya, akhirnya hanya bisa minum teh dengan canggung. 　　Setelah semua ritual salam selesai, sesuai tradisi para pria mengajak menantu baru minum anggur, sementara Jiang Si yang kembali dengan status 'nona' akan menemani Nyonya Feng dan para wanita lainnya mengobrol. 　　Jiang Si merasa tidak ada yang perlu dibicarakan dengan Nyonya Feng, lalu berkata: "Nenek, cucu ingin kembali melihat-lihat Haitangju." 　　“Wajah Nyonya Feng terlihat tidak nyaman, namun tidak bisa marah. Ia menahan kesal: "Cuaca panas begini pulang terburu-buru, minum secangkir teh dulu sebelum pergi." 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Terima kasih atas perhatian Nenek, tapi cucu sudah minum banyak teh di istana. Saat ini belum haus, ingin jalan-jalan ke tempat yang ditinggali lebih dari sepuluh tahun." 　　Nyonya Feng terpaksa mengangguk. 　　Jiang Pei buru-buru berkata: "Kakak keempat, aku temani kamu!" 　　Jika dulu masih ada keinginan bersaing dengan Jiang Si, sekarang sudah sama sekali tidak tersisa. 　　Kalau memang tidak bisa menandingi, tentu harus menjalin hubungan baik. 　　Pepatah mengatakan 'tangan tak akan memukul orang yang tersenyum'. Jiang Pei yakin Jiang Si tidak akan menolak permintaan sederhana ini. 　　Tapi Jiang Si bukan tipe yang mengorbankan kenyamanan demi gengsi. Dengan datar ia berkata: "Cukup Kakak yang temani. Adik keenam tetap di sini temani Nenek minum teh saja." 　　Ia menarik tangan Jiang Yi pergi, meninggalkan Jiang Pei yang memerah malu. 　　"Bubar semuanya!" bentak Nyonya Feng kesal. 　　Jiang Yi akhirnya mendapat kesempatan berdua dengan Jiang Si: "Adik keempat, bagaimana perlakuan Pangeran padamu?" 　　Menghadapi Jiang Yi, raut Jiang Si melunak. Bibirnya merekah: "Kakak jangan khawatir, Pangeran memperlakukanku sangat baik." 　　Jiang Yi mengamati wajah adiknya. Melihat pipinya kemerahan dan senyum tulus, barulah lega: "Syukurlah. Aku selalu khawatir memikirmu tinggal di tembok tinggi istana itu." 　　Kedua saudari itu berjalan perlahan di pekarangan Haitangju. 　　Pohon telah melewati puncak mekarnya, papan ayunan di bawah pohon yang bertaburan kelopak bergoyang perlahan tertiup angin. 　　Jiang Yi tak tahan menasihati: "Adik Keempat tidak suka Nenek dan Adik Keenam, tapi tak perlu terlalu kaku. Lagipula nanti kalian jarang bertemu..." 　　Jiang Si menyeringai dingin: "Kakak tak tahu, sebagian orang semakin menjadi-jadi kalau diberi kesempatan, ada juga yang suka mengklaim nama orang lain untuk pamer. Jadi lebih baik tegas, setidaknya membuat mereka tak banyak berkhayal." 　　Jiang Yi merenung sejenak lalu tersenyum: "Adik Keempat sudah punya pertimbangan sendiri, itu yang penting." 　　Sepanjang hidupnya, dia tak akan bisa sebebas adiknya. Tapi dia berharap sang adik bisa tetap seperti ini selamanya. 　　Jiang Si duduk di ayunan, membiarkan tubuhnya bergoyang perlahan. 　　Sinar matahari yang menembus dedaunan lebat jatuh renggang di tubuh kedua bersaudari itu. 　　Derau jangkrik naik-turun silih berganti. 　　"Adik Keempat, katanya Kaisar menghadiahkan dua dayang untuk Pangeran?" Jiang Yi mendorong ayunan perlahan sambil bertanya. 　　"Kakak sampai tahu hal ini juga?" 　　Jiang Yi tertawa: "Semua dari kabar Adik Kedua. Dia kan bertugas di istana, pasti detail mengabarkan hal tentangmu. Adik Keempat, apa sikap Pangeran terhadap dua dayang itu?" 　　"Tak ada sikap khusus, disuruh mengurus wewangian saja." Jiang Si menoleh, "Jangan-jangan Kakak mau menyarankanku untuk mengatur mereka melayani ranjang?" 　　Jiang Yi melototi Jiang Si: "Justru ingin kukatakan, selama Pangeran tak berkomentar, jangan sok bermurah hati!" 　　"Dengan nada mengejek diri sendiri dan kesepian di matanya: 'Cinta pria itu terbatas, semakin dibagi semakin tipis. Sekali bermurah hati dapat reputasi baik, akhirnya yang menderita diri sendiri.'" 　　Jiang Si berdiri dan mendorong Jiang Yi duduk di ayunan, tersenyum manis: "Aku suka dengar perkataan Kakak ini." 　　Saat kembali ke Kediaman Pangeran Yan, langit sore sudah merah merona. Lentera merah tergantung di koridor sudah dinyalakan demi suasana pernikahan. 　　Tapi keceriaan ini ternoda oleh tragedi di Balai Panjang Umur. 　　Jiang Si dan suaminya sudah berbaring di ranjang lebih awal, membahas kejadian siang hari. 　　"Tampaknya ada dalang lain di balik Kekasih Chen..." 　　"Urusan istana biarlah menjadi tanggung jawab Kaisar dan Permaisuri." Yu Jin melepas kaitan tirai, tirai sutra pun turun. 　　Keesokan harinya, istana secara resmi mengumumkan kematian Putri ke-15, yang diberi gelar anumerta Putri Changning. 　　Biasanya putri baru mendapat gelar resmi saat menikah. Tapi ada pengecualian seperti Putri Fuqing, putri tunggal permaisuri yang sangat dicintai Kaisar Jingming sehingga dapat gelar sejak lahir. 　　Putri ke-15 menjadi pengecualian lain. 　　Diam-diam, kabar tentang kejadian di Balai Panjang Umur cepat menyebar. 　　Mohon dukungan Suara bulanan. 423. BAB 422 Kekacauan 　　BAB 422 Kekacauan 　　Alasan Kekasih Chen mencoba membunuh Putri Fuqing hanya diketahui Kaisar, Permaisuri, dan pasangan Pangeran Yan. Tapi penyebab kematian Putri ke-15 bocor dengan cepat setelah pesta istana. 　　Yang juga tersebar adalah performa luar biasa Jiang Si dan Yu Jin. 　　Permaisuri Yan berhasil menyembuhkan mata Putri Fuqing, mendapat hadiah gelang Lingxiao dari Permaisuri, sementara Pangeran Yan menemukan pelaku pembunuh Putri Kelima Belas. Wah, sepertinya pasangan Yanwang semakin dihargai di hadapan Kaisar dan Permaisuri. 　　Ternyata benar, meskipun tidak ada hadiah resmi dari istana ke Kediaman Pangeran Yan, dalam evaluasi kinerja para pangeran di enam kementerian, hanya Pangeran Yan yang mendapat pujian dari Kaisar Jingming. 　　Satu pujian ini lebih berharga daripada segudang hadiah. 　　Para pangeran lain merasa campur aduk. 　　Lao Qi yang sejak lahir diusir keluar istana dengan stigma pengaruh buruk terhadap Ayah Kaisar, sekarang malah dipuji lagi! 　　Apa sih yang dipikirkan Ayah Kaisar? Hanya karena menemukan pembunuh Putri Kelima Belas, itu dianggap prestasi? Pangeran terhormat malah merebut pekerjaan kantor kabupaten Shuntianfu, benar-benar iseng! 　　Tapi masih ada penghiburan: Putra Mahkota kembali dimarahi. 　　Mengingat nasib Putra Mahkota, para pangeran pun merasa lebih seimbang. 　　Para pejabat dan bangsawan yang sebelumnya mengabaikan Pangeran Yan mulai menilai ulang posisinya. Bahkan Nyonya Wei dari Keluarga An Guo Gong sengaja mengunjungi Ibu Suri Xian di istana. 　　"Kakak ipar, apakah keluarga di rumah baik-baik saja?" Ibu Suri Xian yang murung beberapa hari ini akhirnya tersenyum melihat Nyonya Wei. 　　"Aku benar-benar sial tahun ini, pelaku pembunuh Putri Kelima Belas malah berasal dari Istana Yuquan!" 　　Bukan hanya dia yang merasa kesialan, meski Kaisar tidak bersuara, nyonya bisa merasakan sikap dingin itu. 　　Ini kemarahan yang dipindahkan, tapi tak bisa dilawan. 　　Ujung-ujungnya, dialah yang kena getah! 　　Mendengar pertanyaan Ibu Suri Xian, Nyonya Wei reflek mengerutkan alis. 　　Masalah besar sih tidak ada di keluarga, tapi urusan menyebalkan tentu tak pernah kurang. 　　"Kenapa?" 　　Sebagai ipar, mana mungkin Nyonya Wei mengeluh pada Ibu Suri, buru-buru menjawab: "Semua baik-baik saja, Yang Mulia tak perlu khawatir." 　　"Bagaimana dengan ibuku?" 　　"Kondisi Ibu Suri juga sehat. Sebelum masuk istana, beliau berpesan melalui saya." Nyonya Wei masuk ke inti percakapan. 　　"Pesan apa yang ibu sampaikan melalui kakak ipar?" 　　Nyonya Wei meletakkan cangkir teh, menurunkan suara: "Ibu Suri berkata sudah lama tidak melihat dua pangeran, rindu pada cucu laki-laki..." 　　Ibu Suri Xian sedikit mengangkat alis. 　　Sebelumnya di hati Ibu Suri hanya ada satu cucu laki-laki, yaitu Lao Si. 　　Makna tersirat perkataan Ibu Suri telah ia pahami, ini adalah perintah untuk lebih memperhatikan Lao Qi, keluarga An Guogong juga berencana menjalin hubungan lebih dekat dengan Lao Qi. 　　Memikirkan ini, Ibu Suri Xian merasa kesal. 　　Biasanya anak lelaki yang harus merayu ibu, gilirannya malah harus menuruti si bencana itu, mana ada logika seperti ini. 　　Nyonya Wei mengamati ekspresi Ibu Suri Xian, diam-diam menggelengkan kepala. 　　Bagaimanapun anak tetaplah daging yang lahir dari rahim ibu, adik iparnya ini baik dalam hal lain, hanya sikapnya pada Pangeran Yan terlalu keras. 　　“Tidak seperti dia, meski sering dibuat marah oleh Putra Ketiga si pembangkang sampai hampir mati, tetap tak tegas mengeluarkan kata-kata keras.” 　　Nyonya Wei melahirkan tiga anak lelaki berturut-turut. Putra sulung bersikap tenang, putra kedua rendah hati, sementara si bungsu yang paling disayangi berwatak ceria. Hidupnya seharusnya bahagia, namun semenjak si bungsu menikahi wanita itu, masalah pun berdatangan. 　　"Nyonya, orang-orang di luar sana kini iri pada Paduka. Katanya kedua Pangeran itu sangat sukses." 　　Ibu Suri Xian berkata datar: "Sukses atau tidak bukan urusan mereka. Asal mereka menjalankan kewajiban dan tidak merepotkanku, itu sudah cukup." 　　"Nanti Keluarga An Guogong akan menyiapkan jamuan sederhana, undang kedua Pangeran beserta Permaisuri mereka." 　　"Biarlah kakak ipar yang mengatur semuanya." 　　Nyonya Wei menyeringai diam-diam. 　　Kalau dia tidak memberi kabar sebelumnya, pasti Ibu Suri Xian tidak akan senang. 　　Tujuan datang ke istana telah tercapai, Nyonya Wei pamit undur diri. 　　Ibu Suri Xian menyuruh dayang mengantar Nyonya Wei keluar, lalu memanggil Permaisuri Qi ke istana. 　　"Beberapa hari lagi Keluarga An Guogong akan mengundang kalian dan pasangan Lao Qi. Usahakanlah berbaikan dengan istri Lao Qi." 　　Permaisuri Qi tersenyum kecut: "Menantu memang ingin akrab dengan adik ipar, tapi waktu pesta istana kemarin, sikapnya sangat dingin..." 　　"Kalian berbeda. Untuk apa kau mempermasalahkannya?" 　　"Menantu mengerti." 　　Tentu saja dia berbeda dengan Permaisuri Yan. 　　“Pangeran adalah orang yang mengejar ambisi besar, tentu harus menjaga hubungan baik sebelum berhasil. Sebagai pendamping yang bijak, aku juga harus demikian.” 　　Sedangkan pasangan Pangeran Yan hanya menjalani hari-hari biasa saja. 　　"Mengerti saja sudah cukup." Ibu Suri Xian menasihati, tiba-tiba mengarahkan pandangan ke bawah. 　　Meski Permaisuri Qi hanya berpenampilan biasa-biasa saja dan telah melahirkan seorang putri, postur tubuhnya masih ramping. 　　Perut rata itu membuat Ibu Suri Xian tak bisa menahan kerutan di kening. 　　“Tidak ada tanda-tanda kehamilan sama sekali?” 　　Wajah Permaisuri Qi langsung memerah dan pucat bergantian. 　　Sejak melahirkan, tak ada tanda kehamilan lagi. Padahalsudah enam tahun... 　　Ibu Suri Xian memandangnya dingin, perlahan berkata: "Pangeran sampai sekarang belum punya ahli waris, kau harus lebih memperhatikan." 　　Jika Putra Mahkota yang tak berguna itu tumbang, di antara para pangeran yang berpotensi bersaing, hanya Lao Si yang tidak punya keturunan - ini sangat menghambat. 　　"Menantu perempuan mengerti." Permaisuri Qi menjawab lembut. 　　Ibu Suri Xian tersenyum. 　　Sejujurnya, menantu perempuannya ini memang sangat penurut, sayangnya tak kunjung melahirkan anak lelaki. 　　Kembali ke Kediaman Pangeran Qi, Permaisuri Qi duduk bermeditasi lama di kamar, lalu menyuruh Dayang membawa seorang gadis berusia 18 tahun. 　　Gadis itu berwajah bulat seperti purnama, dengan ciri-ciri yang dipercaya membawa keturunan laki-laki. 　　Permaisuri Qi menatap gadis itu lama, lalu berkata lembut: "Malam ini layani Tuan dengan baik." 　　Kilau sukacita terlihat di mata gadis itu, ia segera membungkuk hormat. 　　Malam itu, Pangeran Qi menemukan kehadiran tambahan di kamarnya. 　　“Permaisuri memerintahkan hamba untuk melayani Pangeran.” 　　Pangeran Qi mengamati gadis itu di bawah sinar lentera, rasa ketertarikannya pudar. 　　Ia tak berani mencoreng reputasi dengan kesan suka wanita cantik, tak pernah menyentuh dayang cantik di kediamannya, bahkan tak pernah mengajukan mengambil selir. Beruntung Permaisuri yang cemas karena tak ada kabar mulai mengatur beberapa selir untuknya. 　　Tapi, tak bisakah dipilih yang lebih cantik? 　　Pada dasarnya, Permaisuri hanya menjaga citra baiknya sendiri. Kapan pernah benar-benar memikirkan dia? 　　Pangeran Qi mulai kesal, namun dibandingkan istri yang hambar, setidaknya ini sesuatu baru dan segar. Ia mendengus pelan dan menyetujui gadis itu tinggal. 　　Permaisuri Qi menatap kait perak burung phoenix di langit-langit ranjang semalaman. Mendengar kokok ayam, ia bangun dan menutupi lingkaran hitam di matanya dengan bedak sebelum mengurus urusan istana. 　　Jiang Si segera menerima undangan dari Keluarga An Guogong. Pada hari yang ditentukan, ia berangkat bersama Yu Jin dengan kereta. 　　Di musim panas, warga ibu kota sudah bangun pagi mencari nafkah. Deretan toko di sepanjang jalan juga buka lebih awal. 　　Wewangian dari Lush Sheng Xiang sudah terkenal di jalan ini. Begitu Xiuniangzi membuka pintu, pelanggan langsung membanjiri toko kecil itu. 　　Para pengunjung terdiri dari wajah-wajak lama dan baru, hampir semuanya tamu wanita, membuat toko yang sempit itu ramai luar biasa. 　　Xiuniangzi dengan lancar melayani pelanggan, seakan berbeda dari keputusasaan yang terlihat tahun lalu. 　　Saat Nona A Qiao datang berikutnya, dia berencana mengusulkan untuk mengambil alih toko kain sebelah agar bisnis Lush Sheng Xiang semakin berkembang. 　　Tiba-tiba, sekelompok orang dengan wajah garang mendatangi pintu toko. 424.BAB 423 Pasukan Resmi Tiba 　　BAB 423 Pasukan Resmi Tiba 　　Yang memimpin adalah seorang wanita muda sekitar dua puluhan, mengenakan rok delima cerah yang berlari sambil menutupi wajah dengan lengan baju. 　　Sesampainya di depan Lush Sheng Xiang, wanita muda itu menjerit histeris: "Wewangian dari toko ini telah menghancurkan wajahku! Ini toko terkutuk yang tak punya hati nurani——" 　　Teriakannya langsung menarik kerumunan orang. Pedagang dari toko-toko sekitar berhamburan keluar menyaksikan kejadian. 　　Di dalam ruangan Lush Sheng Xiang, calon pembeli saling pandang bingung. 　　Xiuniangzi segera keluar menghampiri. 　　"Nyonya, mengapa Anda menangis di depan toko kami?" 　　"Mengapa?" Wanita itu tiba-tiba menurunkan lengan bajunya memperlihatkan wajah yang bengkak-merah, "Lihatlah! Inilah akibat menggunakan wewangian mereka! Awalnya ingin membuat suami lebih perhatian, malah jadi monster! Suamiku pasti akan menceraikanku——" 　　"Wanita muda itu wajahnya dipenuhi bintik-bintik merah yang rapat, beberapa bahkan sudah bernanah, terlihat sangat mengerikan." 　　Suara tarikan napas keras bergantian terdengar. 　　Kerumunan penonton mulai menunjuk-nunjuk papan nama Lush Sheng Xiang. 　　"Tidak mungkin, bisnis Lush Sheng Xiang sedang ramai sekarang, masa pakai wewangian mereka jadi begini?" 　　"Siapa tahu, toh ini bukan toko tua berabad-abad, wajar kalau ada kesalahan..." 　　"Aduh, kayaknya produk Lush Sheng Xiang nggak bisa dipakai lagi deh." 　　Pelanggan di dalam toko buru-buru meletakkan kembali wewangian dan bedak yang sudah mereka pilih, seolah barang itu panas menyengat. 　　Xiuniangzi yang masih berduka atas kehilangan putrinya meski sempat terpuruk lama, mengingat masa lalu saat menjanda dan membesarkan anak sendiri, menunjukkan sikap keras kepala. Melihat wanita muda ini berulah, ia langsung menyambar sapu di pintu dan menghantamkannya ke lantai. 　　Teriakan wanita muda itu tercekat. 　　Xiuniangzi mengerutkan alisnya, suaranya lebih nyaring: "Istri utama, Anda bilang wajah jadi begini karena wewangian toko kami, ada buktinya? Sejak buka, kami sudah jual ratusan botol. Kenapa cuma Anda yang bermasalah?" 　　Wanita muda itu tak mau kalah: "Bukti? Kemarin baru beli wewangian di sini, semalam pakai beberapa tetes, pagi ini langsung jadi begini. Wajahku ini bukan bukti?" 　　"Wanita muda itu semakin bersemangat bicara, menarik lebih banyak orang untuk mengelilingi dan menonton." 　　"Keluarga kami memang bukan kaya raya, tapi apa mungkin aku sengaja merusak wajah sendiri hanya untuk menipu uang kalian?" 　　Orang-orang yang menonton serentak mengangguk mendengar ini. 　　Benar, kecantikan adalah hal terpenting bagi wanita, mana mungkin ada yang sengaja merusak wajah demi uang? 　　Lagipula lihatlah pakaian wanita ini cukup bagus, tangannya masih memakai gelang emas, mana terlihat kekurangan uang. 　　Mendengar omongan orang banyak, Xiuniangzi mulai panik. 　　Bahaya, jika dibiarkan wanita muda ini terus membuat keributan, toko Lush Sheng Xiang takkan bisa terus beroperasi... 　　"Tak bisa menjawab kan? Toko jahat tak bermoral ini! Hancurkan saja, biar toko hitam ini tak bisa menyakiti orang lagi!" Wanita muda itu tak memberi waktu Xiuniangzi bereaksi, terus menjerit sambil menangis. 　　Beberapa pria yang mengikutinya segera membanjiri Lush Sheng Xiang, mulai merusak dan memukuli. 　　Tamu-tamu wanita di dalam toko buru-buru kabur, dengan wajah pucat bergabung dalam kerumunan penonton. 　　Meski takut menghadapi hal seperti ini, tontonan tetap harus ditonton. 　　Di tengah kerumunan, Cui Mingyue yang mengenakan tudung wajah tersenyum tipis. 　　Pada titik ini, terlepas dari percaya atau tidaknya para penonton, kabar tentang wajah yang rusak karena menggunakan wewangian Lush Sheng Xiang akan menyebar cepat. Semakin luas tersebar, siapa lagi yang akan menyelidiki kebenarannya? 　　“Yang dia inginkan tentu bukan hanya membuat toko kecil penghias wajah ini tutup, tapi juga melihat apakah Permaisuri Yan akan muncul setelah orang-orangnya dihajar. 　　Jika Permaisuri Yan bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, biarlah dia menelan kehinaan ini. Jika dia tidak tahan dan muncul, itu akan lebih menarik. 　　Lush Sheng Xiang bukan dibuka setelah Permaisuri Yan menikah masuk ke istana pangeran. 　　Seorang gadis yang belum menikah secara diam-diam memiliki properti sudah merupakan kesalahan, apalagi tokonya terlibat skandal memalukan seperti ini yang kini mencemarkan nama keluarga kerajaan. Lihat saja bagaimana dia akan mempertanggungjawabkannya nanti. 　　Masihkan Pangeran Yan akan memandangnya sebagai sosok sempurna? 　　Cui Mingyue sangat menantikan pemandangan pasangan pengantin yang dulunya harmonis ini perlahan menjauh. 　　"Jangan dihancurkan, hentikan! Kalian tidak boleh merusak--" Xiuniangzi tak menyangka mereka langsung bertindak kasar. Sambil meratap, dia menyambar sapu dan memukul salah satu pria itu. 　　Pria kekar itu sama sekali tidak takut dengan seorang wanita. Dengan kasar merebut sapu dan melemparkannya ke tanah, dia menyepak tubuh Xiuniangzi. 　　Terjatuh di lantai, Xiuniangzi tetap memeluk erat pergelangan kaki pria itu: "Tidak boleh dihancurkan, tidak boleh..." 　　Beberapa penonton menunjukkan raut tidak tega, tapi tak ada yang bersuara. 　　Wajah pengadu itu sudah rusak parah. Mereka sulit membedakan benar tidaknya, tapi jika memang disebabkan wewangian dari toko ini, penghancuran itu pantas dilakukan. 　　Sementara itu, para pemilik toko dan pelayan yang selama ini iri dengan kesuksesan bisnis Lush Sheng Xiang memanfaatkan kesempatan ini untuk menambah masalah. 　　Hehe, entah benar atau tidak, jika Lush Sheng Xiang bangkrut, bisnis mereka pasti akan membaik di kemudian hari. 　　"Hentikan!" teriak suara perempuan lantang, sebuah bayangan gesit melesat maju dan menendang wajah pria itu dengan tendangan udara. 　　Xiuniangzi menahan sakit sambil mendongak, air mata menetes deras: "Nona Chuchu, akhirnya kau datang." 　　Perempuan yang gesit itu tak lain adalah Lu Chuchu. 　　Lu Chuchu dan Xiuniangzi tinggal bersama di halaman belakang Lush Sheng Xiang, mulai menetap dengan stabil di ibu kota. 　　Pagi ini dia membawa seorang pelayan untuk membeli bahan baku pembuatan wewangian, tak menyangka toko mereka malah dihancurkan orang. 　　Lu Chuchu sangat mahir bela diri, bahkan unggul saat melawan beberapa pria sekaligus. 　　Xiuniangzi bangkit, mengambil sapu dan ikut membantu. 　　Pertarungan sengit antara kedua pihak membuat kerumunan penonton semakin terhibur, beberapa orang yang semula hendak bekerja pun terpaku di tempat. 　　Pekerjaan bisa ditunda, tapi tontonan menarik tak selalu ada setiap hari. 　　Cui Mingyue yang berdiri di tengah kerumunan terlihat dingin. 　　Diam-diam dia menyelidiki: Lush Sheng Xiang memiliki seorang manajer wanita paruh baya, dua pelayan, dan seorang gadis muda yang mengerjakan pekerjaan sampingan - terlihat setara kedudukannya dengan sang manajer. 　　Tak disangka perempuan ini ternyata mahir ilmu silat. 　　Entah itu Permaisuri Yan, maupun orang-orang dekat Permaisuri Yan, selalu mampu memberinya kejutan. 　　Dengan begini, akan sulit membuat orang-orang Lush Sheng Xiang mendapat pelajaran. 　　Tapi Cui Mingyue tidak menyesal. 　　Jika orang-orang yang mengikuti wanita itu menunjukkan kemampuan membunuh dengan kejam, justru akan menimbulkan kecurigaan. 　　Ia menoleh ke ujung jalan, akhirnya melihat sekelompok pasukan keamanan bergegas datang, sudut bibirnya sedikit melengkung. 　　Hebat bertarung pun bagaimana? Dua tinju takkan bisa melawan banyak tangan, mungkinkah wanita itu melawan begitu banyak pasukan keamanan? 　　Setelah Wucheng Bingmasi membawa pergi orang-orang Lush Sheng Xiang, Permaisuri Yan hanya punya dua pilihan: membiarkan bawahannya mendekam di penjara atau menggunakan pengaruhnya sebagai permaisuri untuk membebaskan mereka. 　　Saat itu, statusnya sebagai pemilik di balik layar tak bisa lagi disembunyikan. 　　Melihat pasukan keamanan datang, warga yang menonton segera membuka jalan. 　　Pemimpin pasukan berhenti dan berteriak: "Bawa semua orang yang membuat keributan di jalan ini!" 425. BAB 424 Wajah Besar 　　BAB 424 Wajah Besar 　　Wucheng Bingmasi berada di bawah Kementerian Pertahanan, bertugas khusus menangani pencurian dan urusan keamanan di ibu kota. 　　Wanita muda itu melihat petugas Wucheng Bingmasi datang, dengan wajah yang rusak parah langsung terjatuh di depan pemimpin pasukan, meratap: "Wanita kecil ini korban! Setelah memakai wewangian toko ini, wajah yang tadinya baik-baik saja jadi seperti ini. Karena emosi, saya ajak orang untuk protes, tapi ternyata toko ini punya preman wanita yang tidak mau mengakui kesalahan malah memukuli orang... 　　Petugas keamanan terkejut melihat wajah wanita muda itu, buru-buru mengalihkan pandangan ke kiri-kanan: "Benarkah begitu?" 　　Kerumunan penonton mengangguk ragu-ragu. 　　Menonton keributan dan ikut menghasut sebenarnya sudah menjadi naluri alami yang tertanam dalam diri banyak orang. 　　Petugas keamanan menatap Lu Chu Chu dan Xiuniangzi sambil berkerut kening: "Kalian pemilik kedai?" 　　Xiuniangzi menahan sakit berkata: "Wanita kecil ini pemilik kedai, kejadiannya tidak seperti itu——" 　　"Bawa pergi!" Petugas keamanan tak membiarkan Xiuniangzi selesai bicara, langsung mengangkat tangan setelah memastikan identitas mereka. 　　Lu Chu Chu melangkah maju marah: "Belum jelas bertanya, kenapa langsung membawa kami?" 　　"Kenapa? Kalian buka kedai gelap disini, pukuli korban, harusnya tidak dibawa?" Petugas keamanan menyeringai dingin. 　　Lu Chu Chu mendorok kasar petugas yang hendak menangkapnya, kilatan niat membunuh di matanya. 　　Xiuniangzi memeluk Lu Chu Chu: "Chu Chu, mereka pejabat pemerintah, jangan nekat!" 　　Tiba-tiba Lu Chu Chu menyambar wanita muda itu mendekatkan ke badannya. 　　Wanita muda itu menjerit keras: "Tolong——" 　　Petugas keamanan murka: "Berani-beraninya menyandera orang, ini memperberat hukumanmu!" 　　"Ada salah paham, saya bukan menyandera. Katanya di ruang sidang harus ada penggugat dan tergugat, kalau mau menangkap ya bawa semua, jangan hanya dengar sepihak!" 　　"Wanita sialan ini!" 　　Ia mengira nasib sial yang menyelimutinya selama belasan tahun akhirnya hilang, tak menyangka baru tenang beberapa hari malapetaka sudah datang lagi. 　　Wewangian dari Lush Sheng Xiang mustahil bermasalah, situasi saat ini jelas-jeras pemerasan. 　　Sungguh ingin kuleher wanita ini—Lu Chuchu bergumam geram. 　　"Jangan banyak bicara, segera lepaskan sandera dan ikut kami, atau—" Petugas keamanan kepala mengacungkan pedang panjang. 　　Pedang standar itu berkilau dingin diterpa matahari, warga yang menonton mundur perlahan. 　　"Atau bagaimana?" Suara dingin mengalun bak mata air yang membeku, menusuk tulang. 　　Petugas kepala menggenggam erat pedangnya sambil menoleh, melihat pria tegas berusia antara remaja dan dewasa, di sampingnya berdiri wanita dengan kecantikan luar biasa. 　　Melihat keduanya, mata Lu Chuchu tiba-tiba berbinar, hendak berbicara namun menerima isyarat mata dari Jiang Si. 　　Ia segera menelan ucapannya. 　　Menyadari kesan mulia kedua orang ini, petugas kepala memperhalus nada: "Hamba menasihati Tuan Gong untuk tidak ikut campur, menghalangi petugas menangkap penjahat." 　　"Penjahat?" Yu Jin menyapu pandangannya ke papan nama Lush Sheng Xiang, mencibir dingin, "Ini jelas perselisihan pembeli-penjual, mana pihak yang jahat?" 　　Petugas kepala menunjuk wanita muda yang masih dicengkeram erat Lu Chuchu: "Tuan tidak melihat wanita ini jadi begini setelah memakai wewangian toko ini? Jelas mana yang jahat." 　　Jiang Si terkikik ringan, lalu berbicara: "Aku juga menggunakan wewangian dari toko kosmetik ini, tapi tak pernah ada masalah seperti ini. Wajah Kakak Ipar sampai seperti ini, apakah karena wewangian, atau tidak sengaja memakan obat tertentu, atau memang sejak dulu sudah jelek, itu masih belum jelas." 　　Kerumunan penonton tertawa terkekeh. 　　Wanita muda itu melompat-lompat marah: "Siapa yang sejak dulu sudah jelek? Dasar mulut busuk perempuan licik ini—" 　　Sebelum kalimatnya selesai, mulutnya terasa perih. Ia membuka mulut dan mengeluarkan darah bercampur dua gigi depan. 　　Wanita muda itu terpaku menatap dua gigi depannya, lalu menjerit histeris seperti babi disembelih. 　　"Pembunuhan di siang bolong! Petugas, kalian tidak boleh membiarkan penjahat ini bebas berkeliaran—" 　　Jerawat merah di wajahnya bisa hilang dengan obat, tapi bagaimana dengan gigi depan yang sudah tanggal? 　　Bayangkan jika nanti setiap buka mulut terlihat gigi ompong, bagaimana caranya memikat hati suami... 　　Semakin dipikir, wanita muda itu pun menangis semakin keras. 　　Sementara itu, petugas keamanan yang memimpin memperhatikan butir emas yang terjatuh di tanah. 　　Tuan Gong berbaju sutra inilah yang menggunakan butir emas itu untuk melontarkan gigi wanita muda tadi. 　　Petugas itu tidak berani lengah. Tatapannya beralih ke giok yang tergantung di pinggang Yu Jin, jantungnya langsung berdebar kencang. 　　Jika tidak salah lihat, giok itu diukir dengan pola naga berkuku empat—motif yang hanya boleh digunakan oleh Pangeran! 　　"Pan, Pangeran—" 　　"Yu Jin mengabaikan gagapnya petugas keamanan yang memimpin, lalu berkata dengan santai: "Kebetulan Pangeran ini sedang belajar cara memutuskan perkara dari Prefect Shuntian. Mari kita putuskan siapa yang benar hari ini." 　　Pangeran? 　　Begitu mendengar ucapan Yu Jin, warga yang berkumpul langsung tertegun. 　　Cui Mingyue yang bersembunyi di kerumunan orang juga ikut terkejut. 　　Kehadiran pasangan Pangeran Yan di sini sudah merupakan kejutan, apalagi sang Pangeran secara terbuka mengakui identitasnya - ini kejutan kedua. 　　Mengapa pasangan ini selalu melakukan hal-hal tak terduga? 　　Cui Mingyue mulai merasa gelisah. 　　"Hamba memberi hormat pada Pangeran." Petugas keamanan yang memimpin itu pucat sambil memberi salam pada Yu Jin. 　　Para petugas lain ikut memberi hormat. 　　Di situasi seperti ini, tidak akan terlihat pemandangan orang-orang berlutut berjubel. 　　Yu Jin mengangguk ringan, lalu menatap wanita muda itu: "Kau bilang wajahmu jadi begini karena menggunakan wewangian keluarga ini?" 　　"Ya..." jawab wanita muda itu gemetar. 　　Astaga, bagaimana bisa bertemu dengan seorang pangeran? 　　Itu pun pangeran yang suka ikut campur urusan orang! 　　Asal bisa melewati momen ini, dia harus minta tambahan bayaran. 　　"Wewangiannya mana?" 　　Wanita muda itu ragu sejenak, lalu mengeluarkan botol kaca indah dari dalam bajunya. 　　Yu Jin meraih dan memain-mainkan botol wewangian itu. 　　Botol kaca semi-transparan itu memantulkan cahaya pelangi di bawah sinar matahari, memperlihatkan cairan merah muda pucat di dalamnya. 　　Wewangian dalam botol seperti ini jelas terlihat sangat berharga. 　　“Wewangian dalam botol kaca ini tidak murah, ya?” Yu Jin bertanya pada Xiuniangzi. 　　Xiuniangzi segera menjawab: "Lapor Paduka Pangeran, yang dalam botol kaca ini adalah minyak mawar kualitas premium, wewangian termahal di toko kami." 　　"Berapa harga jualnya?" 　　"Dua puluh tael perak per botol." 　　Kerumunan penonton langsung menarik napas tajam. 　　Astaga, botol kecil wewangian ini harganya dua puluh tael? 　　Apa arti dua puluh tael? 　　Menurut harga di Dinasti Zhou saat ini, satu keping uang bisa membeli satu kue panggang besar, satu kati daging babi hanya 20-30 keping, sementara satu tael perak setara dengan seribu keping atau lebih. 　　Rakyat jelata yang menonton ini, bekerja keras sebulan penuh, penghasilan mereka hanya sekitar satu tael perak. 　　Dua puluh tael perak untuk sebotol wewangian? Ini hal yang tak terbayangkan bagi rakyat biasa. 　　Yu Jin tersenyum sinis pada wanita muda itu: "Tak kusangka Kakak Ipar begitu royal." 　　Wanita muda itu gugup namun memaksa diri: "Ada apa dengan dua puluh tael per botol? Suamiku sayang padaku, dua ratus tael pun tak akan dia pelit!" 　　"Kau bilang semalam sebelum tidur memakainya, hari ini wajahmu jadi begini?" 　　Wanita muda itu mengangguk. 　　"Di bagian mana kau pakai? Ini pemakaian keberapa kalinya?" 　　Wanita itu gelisah namun tak berani tidak menjawab: "Ini pemakaian pertama, hanya dioleskan ke wajah." 　　Yu Jin melirik botol kaca itu dan mengejek: "Wajah Kakak Ipar memang besar, pemakaiannya pun boros." 426.BAB 425 Membongkar Kebohongan 　　BAB 425 Membongkar Kebohongan 　　“Perkataan Yu Jin ini langsung memicu gelak tawa berderai-derai.” 　　Di tengah gelak tawa, wajah wanita muda itu memerah, gagap berkata: "Tidak sengaja tercecer sedikit, apa itu tidak boleh?" 　　Yu Jin tersenyum tipis, sorot matanya dalam, berujar lembut: "Tentu boleh, bukankah begitu, Tuan-tuan?" 　　"Benar—!" kerumunan penonton bersahutan. 　　Pada saat ini, kerumunan mulai menyadari keanehan dalam situasi ini. 　　Melihat pakaian wanita ini, seharusnya ia berasal dari keluarga kelas menengah, bukan istri kalangan bangsawan tinggi. Menggunakan wewangian seharga 20 tael perak sebotol sungguh berlebihan. 　　Para tamu wanita yang sering membeli bedak dan wewangian pun menggelengkan kepala pelan. 　　Wewangian mawar ini jika digunakan sedikit saja tidak hanya memberi aroma wangi, tapi juga membuat wajah tampak cerah berseri. Mana mungkin ada yang menggunakan sebanyak ini? Klaim tumpah pun semakin tidak masuk akal. 　　Ini bukan satu tael perak sebotol. Siapa yang tidak hati-hati menggunakannya? Masak bisa seenaknya tumpah? 　　Yu Jin dengan tenang mengajukan beberapa pertanyaan yang seketika meredakan kerumunan. 　　Tampaknya ini upaya pemerasan. 　　Jangan-jangan wanita ini sudah kehabisan akal, rela merusak wajahnya sendiri demi uang? 　　Tanpa kecantikan, apa gunanya uang? Banyak wanita mengelus wajah sambil berpikir. 　　"Wewangian ini juga sering kugunakan, biar kulihat." Jiang Si mengulurkan tangan. 　　Yu Jin menyerahkan botol wewangian kepada Jiang Si. 　　“Jiang Si menerima botol kaca, menggoyangkannya perlahan. Cairan berwarna merah muda di dalamnya membentuk riak-riak kecil. 　　Membuka sumbat botol, menunduk dan menghirup aromanya pelan-pelan. 　　Wanginya familiar - ini wewangian yang ia racik sendiri. Namun di balik keakraban itu terselip sesuatu yang asing. 　　Jiang Si mengerutkan alis, menghirup sekali lagi dengan hati-hati. 　　Ada bau yang nyaris tak terendus. Sebutan 'bau busuk' mungkin berlebihan, karena tertutupi harum wewangian, mustahil terdeteksi orang biasa. Tapi bagi Jiang Si, aroma itu jelas terasa. 　　Sudut bibir Jiang Si naik perlahan, dingin mengkristal di matanya. 　　"Ada yang tidak biasa?" tanya Yu Jin. 　　Jiang Si memandang Yu Jin, lalu menyapu pandangannya ke kerumunan penonton. Suaranya lantang: "Ada." 　　Satu kata itu seketika membangkitkan rasa penasaran orang-orang. 　　Wajah Cui Mingyue di tengah kerumunan semakin pucat. 　　Si jalang bermarga Jiang ini bisa mendeteksi keanehan dalam wewangian hanya dengan sekali hirup? 　　Tidak mungkin! 　　Ia mencengkeram lengan dayang di sampingnya dengan kuku menusuk. 　　Melalui pakaian tipis, dayang itu menahan tangis kesakitan namun tak berani bersuara. 　　Jiang Si melangkah dua langkah ke depan, mengangkat botol wewangian di tangannya. 　　"Aku mencium aroma rumput Ruyi dalam parfum mawar ini." 　　Rumput Ruyi alias bola sutra lima warna, bisa berbunga sepanjang tahun. Tumbuh terutama di selatan, biasa digunakan untuk mengusir serangga. 　　Tentu saja, daerah utara juga ada yang menanamnya. 　　“Apakah ada yang pernah mendengar tentang tanaman Ruyi Cao?” 　　Banyak orang menggelengkan kepala. 　　Sebagian besar penonton adalah rakyat biasa yang sibuk mencari nafkah sepanjang tahun, mana sempat memperhatikan bunga-bunga. 　　Tiba-tiba suara seorang wanita menjawab: "Hamba tahu." 　　Jiang Si menoleh ke arah suara itu. Pembicara adalah seorang gadis berusia enam belas tahun dengan jepit rambut dari kayu dan baju sederhana, namun berparas cantik. 　　"Coba Nona jelaskan." Suara Jiang Si lembut penuh dorongan. 　　Semua mata tertuju pada gadis itu. 　　Meski gugup, gadis itu berbicara lancar: "Hamba penjual bunga. Di rumah kami ada tanaman Ruyi Cao. Meski cantik, baunya menyengat. Bunga ini bisa mengusir serangga." 　　"Coba Nona cium wewangian ini, bisakah mengenali baunya?" Jiang Si mengulurkan botol parfum. 　　Gadis itu ragu sejenak sebelum menerimanya, lalu mengendus dengan sungguh-sungguh. 　　Kerumunan menahan napas menanti jawaban. 　　Setelah beberapa saat, gadis itu mengembalikan botol sambil mengangguk yakin: "Meski sangat samar, tapi hamba yang sehari-hari mengurus bunga bisa menciumnya." 　　Jiang Si mengangguk berterima kasih, lalu berubah serius: "Perlu diketahui, Ruyi Cao meski bisa usir serangga, tapi seluruh tanamannya beracun. Jika tercampur dalam parfum wajah..." Ia menunjuk ke arah wanita muda, "wajah akan rusak seperti Kakak Ipar ini..." 　　Semua pandangan langsung tertuju pada pedagang telur yang ditunjuknya. 　　Wanita muda itu mundur terburu-buru dua langkah, memaksakan diri berkata: "Apa itu rumput ruyi? Aku sama sekali tak pernah dengar! Kalian mau seenaknya menuduh saja?" 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Kau bilang Permaisuri memfitnahmu?" 　　Wajah wanita muda itu langsung pucat, baru teringat bahwa orang dihadapannya bukan rakyat biasa, melainkan seorang Permaisuri. 　　Jiang Si melangkahi wanita itu, menyerahkan botol wewangian kepada Xiuniangzi: "Pemilik tolong cium juga, apakah aroma wewangian mawar ini berbeda dengan yang lain?" 　　Xiuniangzi buru-buru menerima, mengendus dengan seksama lalu matanya berbinar: "Berbeda! Benar-benar berbeda!" 　　Kehadiran Jiang Si bagai obat penenang bagi Xiuniangzi, mengembalikan kecerdikannya yang biasa. 　　Xiuniangzi memegang botol wewangian sambil menyapu pandang, segera mendatangi seorang tamu wanita: "Mohon nyonya sudi mengendus, apakah wewangian ini berbeda dengan yang biasa nyonya pakai?" 　　Biasanya menonton keramaian, tamu itu tentu tak mau terseret, tapi sekarang ada Pangeran dan Permaisuri yang memperhatikan. Minimal bisa memberi kesan baik. 　　Tamu wanita itu dengan patuh menerima botol dan mengendusnya. 　　Sepertinya sama, tapi sepertinya juga agak berbeda... 　　Wewangian mawar dua puluh tael perak sebotol, dia hanya pernah membeli satu botol dengan bertahan, sungguh sulit membedakan baunya. 　　Tapi di bawah tatapan mendesak kerumunan, tamu itu tetap mengangguk: "Berbeda." 　　"Kalau gadis penjual bunga mencium baunya beda, pemilik toko mencium beda, yang lebih penting Permaisuri juga mencium beda, tentu saja ini berbeda." 　　Mendengar perkataan tamu wanita itu, kilat kesombongan melintas sekejap di mata Xiuniangzi. 　　Dia sudah tahu, pada saat seperti ini, siapapun yang ditanya pasti akan menjawab berbeda. 　　Seorang wanita jelita yang bisa membesarkan putrinya sendirian di desa dengan damai, pasti punya kecerdikan tersendiri. 　　Ini adalah kecerdikan kecil orang-orang lapis bawah untuk bertahan hidup, bukan hal yang memalukan. 　　Xiuniangzi menegakkan punggungnya, mengangkat tinggi botol wewangian mawar: "Para tetangga semua sudah dengar kan, wewangian ini baunya berbeda dengan yang di toko kita karena ditambah rumput ruyi! Wanita kecil seperti saya bahkan tak tahu apa itu rumput ruyi, apalagi mencampurkannya ke wewangian, orang ini jelas sedang memeras uang!" 　　Semakin Xiuniangzi berbicara, wajah wanita muda itu semakin pucat. 　　"Asu! Dasar perempuan licik berhati hitam!" Xiuniangzi meludah, lalu menarik lengan baju petugas keamanan, "Tuan Petugas, bukannya kalian mau menangkap orang? Cepat tangkap perempuan murahan ini!" 　　Petugas kepala yang tahu Xiuniangzi didukung Pangeran Yan, menahan keinginan untuk melepaskan diri lalu memandang Yu Jin. 　　"Tak perlu lihat saya. Wanita ini berani membahayakan orang dengan bunga beracun, ini sudah bukan sekadar penipuan. Menurut hukum setidaknya pantas dihukum tusuk jarum, bawa saja dia untuk diproses sesuai aturan." 　　Hukuman jarum tusuk, itu adalah hukuman kejam yang biasa digunakan pada narapidana wanita dengan menusukkan jarum panjang ke celah kuku. 　　Wanita muda itu langsung limbung ketakutan, bersujud tak henti-hentinya, "Ampun, Pangeran! Hamba ini benar-benar terbujuk orang, terbujuk orang!" 　　Belakangan ini saya baca sebuah karya bersambung di situs utama, baru paham perasaan pembaca! Pengen penulisnya update seratus bab sehari. Habis baca rasanya kok tiba-tiba udah tamat padahal belum ada kejadian apa-apa! 427.BAB 426 Membeli 　　BAB 426 Membeli 　　Terbujuk orang? 　　Kerumunan penonton langsung bersemangat, matanya berkilau seperti disuntik darah ayam jago. 　　Acara hari ini benar-benar berliku-liku, lebih seru dari dongeng di rumah teh. 　　Kayaknya gak bakal selesai cepat. Beberapa orang di sekitar sudah buru-buru mengeluarkan bangku lipat. 　　Yu Jin berkata datar, "Kalau begitu ceritakan bagaimana kau terbujuk." 　　Cui Mingyue yang menyamar di antara kerumunan memandang tanpa ekspresi. 　　"Ada orang... membawa wewangian mawar ke hamba, menyuruh hamba mengoleskannya lalu beraksi usai wajah merah-merah... Mohon ampun Pangeran, hamba benar-benar cuma korban tipu daya..." 　　"Apa imbalan yang diberikan orang itu?" 　　Mata wanita muda itu berkedip-kedip gelisah. 　　"Bicara!" 　　Wanita itu menunduk, tubuhnya gemetar di lantai: "Dijanjikan rumah dan dua ratus tael perak..." 　　Begitu mendengar ini, kerumunan langsung gempar. 　　Rumah keluarga di ibu kota memang sangat berharga, meskipun lokasinya terpencil tetap bernilai tinggi, apalagi ditambah dengan dua ratus tael perak. 　　Pantas saja wanita ini nekat sampai tidak peduli malu. 　　"Siapa orang itu?" Yu Jin bertanya tanpa harapan akan mendapat jawaban. 　　Seperti diduga, wanita muda itu bergumam pelan: "Wanita kecil ini benar-benar tidak tahu status orang itu..." 　　"Paling tidak kamu tahu jenis kelaminnya?" 　　Di bawah tekanan berat, wanita muda itu sudah takluk, menunduk berkata: "Seorang nona muda, meski wajahnya tak terlihat, tapi suaranya tidak lebih dari dua puluh tahun..." 　　Di kerumunan, dayang Cui Mingyue wajahnya pucat pasi, berteriak kecil: "Nona--" 　　Cui Mingyue melotokinya, tetap menatap tanpa ekspresi, genggaman tangan yang mengeras mengungkapkan gejolak hatinya. 　　"Masih ada lagi?" 　　"Ti-Tidak... hanya itu, nona itu menutupi wajahnya, tidak bisa melihat rupanya..." 　　Yu Jin mengangguk halus ke petugas keamanan: "Bisa dibawa pergi." 　　Wanita muda itu terkejut, memohon sambil menangis ketakutan: "Paduka Pangeran, hamba sudah mengatakan semua yang hamba tahu, mohon ampun..." 　　Yu Jin tersenyum: "Aku hanya iseng menyelidiki kebenaran. Urusan hukuman ada pada Paduka pihak berwenang." 　　Saat wanita itu digiring pergi, kerumunan warga bertepuk tangan riuh. 　　"Pangeran benar-benar bijaksana dan perkasa!" 　　Sudut mulut Yu Jin berkedut. 　　“Sudah sering mendengar para menteri berkata seperti itu pada Kaisar, sekarang ada yang menggunakannya untuknya, benar-benar segar.” 　　Di tengah gemuruh pujian, Yu Jin tersenyum bertanya pada Jiang Si: “Permaisuri menyukai wewangian mawar toko ini?” 　　Jiang Si mengangguk: “Suka.” 　　“Kalau begitu, beli saja.” 　　Kerumunan tertegun. 　　Apa kata Pangeran? 　　Yu Jin tersenyum menjelaskan: “Agar tidak ada yang berniat jahat melihat toko ini laris seperti hari ini. Bagaimana jika toko ini terpaksa tutup dan Permaisuri butuh wewangian?” 　　Satu kalimat telah menentukan sifat keributan wanita muda hari ini. 　　Setelah keterkejutan awal, Jiang Si tersenyum: “Terima kasih, Suami.” 　　Mereka menumpang kereta menuju kediaman Keluarga An Guogong, tak sengaja mendengar keributan di Lush Sheng Xiang, lalu bergegas ke sini. 　　Yu Qi tahu toko ini miliknya. 　　Kemunculan wanita itu ada dua kemungkinan: persaingan bisnis Lush Sheng Xiang yang ramai, atau target langsung padanya. 　　Apapun itu, identitasnya sebagai pemilik tersembunyi Lush Sheng Xiang tidak boleh terbongkar. 　　Toko kosmetik yang dibuka Permaisuri Yan sebelum usia pernikahan menyebabkan wajah orang rusak... 　　Jiang Si tak peduli reputasi, tapi bukan berarti senang dibicarakan, apalagi diam saja saat dijebak. 　　Masalah hari ini tentu tidak boleh diabaikan. 　　Tindakan Yu Jin jelas-jelas memecahkan masalah Lush Sheng Xiang. 　　Secara jujur dan terhormat membeli toko ini, sekarang semua orang tahu Lush Sheng Xiang dibeli Pangeran Yan untuk Permaisuri Yan. 　　“Tuan pemilik toko, mari kita masuk untuk membahas detailnya.” Yu Jin berkata pada Xiuniangzi, lalu langsung berjalan masuk. 　　Xiuniangzi menundukkan kepala tak berani melirik ke arah Jiang Si. Setelah masuk ke toko dan mengunci pintu, ia membawa kedua orang itu ke halaman belakang sebelum buru-buru memberi hormat: "Wanita kecil ini menghadap Pangeran dan Permaisuri." 　　Lu Chuchu dengan enggan memberi salam pada Yu Jin, matanya bersinar memandang Jiang Si: "Nona Jiang, apakah mulai sekarang aku harus memanggilmu Permaisuri?" 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Sebutan saja, terserah Nona Chuchu mau memanggil apa." 　　Yu Jin berkata datar: "A Si adalah istriku, sudah sepantasnya dipanggil Permaisuri." 　　Lu Chuchu mengerlingkan matanya. 　　Orang ini tetap sama piciknya! 　　"Manajer Xiu, lukamu sebaiknya diperiksakan ke tabib," ujar Jiang Si dengan lembut. 　　Xiuniangzi wajahnya penuh malu: "Luka wanita kecil ini tidak apa, hanya hari ini mempermalukan Permaisuri, semuanya kesalahan wanita kecil—" 　　Jiang Si menggelengkan tangan: "Manajer Xiu tak perlu buru-buru memikul tanggung jawab. Aku ingat wewangian mawar yang dibawa wanita itu hari ini memiliki batasan penjualan bulanan kan?" 　　Xiuniangzi segera mengangguk: "Hanya tiga puluh botol per bulan." 　　Awalnya Jiang Si membuka toko ini, selain untuk penghasilan tambahan, terutama karena kasihan pada Xiuniangzi yang kehilangan putri di usia paruh baya, memberinya pekerjaan. 　　“Tidak disangka wewangian yang ia racik sangat populer, hingga membuatnya tak lagi khawatir akan uang. Bisa dibilang ‘tanpa sengaja menanam willow, malah tumbuh rimbun’.” 　　Walau begitu, Jiang Si tidak berniat memperbesar toko. 　　Baginya, uang secukupnya saja. Yang ia kurang bukanlah uang. 　　“Apakah pelanggan tetap dominan membeli wewangian ini?” Jiang Si bertanya lagi. 　　Xiuniangzi segera menyodorkan buku catatan kepada Jiang Si. 　　“Sebagian besar pelanggan tetap. Untuk pelanggan rutin, saat mengobrol jika saya tahu asal keluarganya, akan saya catat di sini.” 　　Jiang Si menunduk membaca buku catatan. 　　Jika persaingan antar pedagang, biasanya wanita tidak akan tampil bernegosiasi. Jadi ia lebih condong ke kemungkinan kedua: insiden hari ini menarget dirinya, dalangnya tahu hubungan Lush Sheng Xiang dengannya. 　　Memakai wewangian seharga dua puluh tael per botol sebagai jebakan, pasti dalangnya orang kaya raya. Bukan tipe yang harus mengencangkan ikat pinggang untuk mencoba wewangian ini. Jadi hampir pasti pelanggan tetap. 　　Yang mengejutkan Jiang Si adalah ketelitian Xiuniangzi. 　　Jarinya meluncur deretan nama, berhenti di satu titik. 　　Tertulis tiga karakter: Istana Putri. 　　Istana Putri? 　　Jiang Si mengerutkan alis, melanjutkan membaca. 　　Pelanggan tetap jumlahnya sedang, apalagi tidak semua status Xiuniangzi ketahui. Daftar di buku catatan ini cepat habis terbaca. 　　Pandangan Jiang Si kembali jatuh pada tiga karakter “istana putri”, jarinya mengetuk lembaran perlahan. “Dari istana putri mana tamu ini berasal?” tanyanya pada Xiuniangzi. 　　“Yang sering datang membeli wewangian adalah seorang dayang berpenampilan nona. Nona itu sangat angkuh, tak pernah mengobrol dengan wanita kecil seperti saya. Hanya sekali ketika stok wewangian habis, dia marah dan menyebut-nyebut istana putri. Selain itu tak ada informasi lain…” Xiuniangzi yang melihat ekspresi serius Jiang Si tiba-tiba menepuk dahinya. “Ah benar! Nona itu pernah Anda lihat!” 　　Tangan Jiang Si membalik lembaran, menekan buku catatan ke meja. 　　“Saat pertama kali Anda membuka tudung wajah di depan saya, kemudian pergi dan kembali ke toko, saat itu dayang itu sedang mendampingi nononya membeli wewangian!” 　　Xiao Jia, si Naskah Cadangan kembali bertemu dengan semua. Tuan rumah pergi menghadiri acara salon yang diadakan situs web, akan pulang beberapa hari lagi. Tuan rumah akan membantu menagih update pada penulis-penulis besar lainnya. 428. BAB 427 Target harus segera direalisasikan 　　BAB 427 Target harus segera direalisasikan 　　Tangan Jiang Si di atas buku catatan menggenggam, sorot mata berapi-api. 　　Melihat tiga karakter “istana putri”, hatinya sudah mulai menduga. Tapi setelah benar-benar mengkonfirmasi identitas orang itu, amarahnya tak terbendung. 　　Cui Mingyue benar-benar hebat. Target kecilnya belum tercapai, baru merencanakan waktu serangan, tapi pihak lawan sudah tak sabar begini rupa. 　　“Ada apa?” tanya Yu Jin. 　　“Bicarakan di kereta.” 　　“Xiuniangzi sudah bekerja keras, nanti biarkan Nona Chuchu mengantarmu ke klinik untuk mengobati luka.” Jiang Si menyerahkan buku pembukuan kepada Xiuniangzi, lalu berpaling ke Lu Chuchu, “Mengganggumu, Nona Chuchu.” 　　Lu Chuchu mengibaskan tangan: “Saya makan dan tinggal di sini, artinya sudah menjadi bagian dari Lush Sheng Xiang. Permaisuri tidak perlu sungkan. Sayangnya saat preman itu membuat masalah saya tidak ada di tempat, kalau tidak mereka jangan mimpi menyentuh sehelai rambut pun dari Bibi Xiu.” 　　Lu Chuchu yang mengembara kesana-kemari, Xiuniangzi yang kehilangan putrinya di usia paruh baya, keduanya sama-sama orang yang bernasib malang. 　　Xiuniangzi memperlakukan Lu Chuchu seperti anak kandung sendiri, ikatan emosional mereka sudah sangat erat. 　　Kembali ke dalam kereta kuda, Yu Jin membuka kipas lipat gading sambil mengipas: “Apakah kejadian hari ini ada hubungannya dengan putri Putri Rongyang?” 　　“Kau sudah menebaknya?” Jiang Si bersandar di dinding kereta, memetik sebutir anggur dari meja kecil lalu memainkannya. 　　“Menyebut istana putri, tentu tidak sulit ditebak. Di seluruh ibu kota, orang yang bermusuhan denganmu dan terkait istana putri, selain Cui Mingyue siapa lagi?” 　　Dingin di mata Yu Jin semakin mengental, tiba-tiba dia berkata: “A Si, bagaimana kalau saya bunuh saja dia?” 　　Jiang Si tersenyum: “Apa rencanamu?” 　　“Membunuh seseorang itu mudah, kecuali dia terus bersembunyi di istana putri dan tidak keluar.” Ekspresi Yu Jin tetap datar. 　　Membunuh baginya hanyalah hal biasa. 　　Sudut mulut Jiang Si berkedut halus. 　　A Jin tetap sederhana dan kasar seperti ini. 　　Yu Jin mengambil sebutir anggur dan mulai mengupas kulitnya dengan hati-hati. 　　“Jari-jari yang panjang dan kuat, anggur merah keunguan seperti batu akik, sari buah kemerahan yang menodai ujung jarinya yang pucat, melunakkan sorot mata dingin sang pria.” 　　Ia menyuapkan anggur yang sudah dikupas ke mulut Jiang Si, dengan nada sedikit kesal: "Tidak bolehkah?" 　　Jiang Si menelan anggur manis itu, menyeka sudut bibirnya dengan sapu tangan, tersenyum: "Ibu kota bukan medan perang, kematian mendadak seseorang dengan status seperti Cui Mingyue pasti akan diselidiki. Seandainya Prefek Shuntian itu pejabat biasa mungkin tidak masalah, tapi Tuan Zhen bukan orang sembarangan, mungkin bisa menemukan jejak-jejak kecil." 　　"Tidak mungkin." Ekspresi Yu Jin penuh keyakinan, "Jalanan ramai dengan orang lalu lalang, waktu sepersekian detik saat berpapasan sudah cukup untuk membunuh, tanpa sepengetahuan siapa pun." 　　Jiang Si menggeleng: "Selain skandal dengan Zhu Ziyu, Cui Mingyue selalu dikenal sebagai putri bangsawan yang lembut dan anggun, reputasinya baik. Artinya dia tidak punya musuh, yang mungkin bermasalah hanyalah keluarga Zhu dan Jiang kami. Jika dia mati mengenaskan di jalanan, setidaknya kita akan jadi tersangka." 　　Ia menyandarkan lengan pada Yu Jin: "A Jin, aku tidak mau menanggung risiko untuk orang seperti Cui Mingyue. Tidak worth it." 　　Yu Jin mengangkat alis sambil tersenyum: "Kalau begitu kau sudah punya rencana?" 　　Membunuh diam-diam, meski ada kecurigaan, lalu bagaimana? Tanpa bukti, mana mungkin mereka berani membawa Permaisuri untuk diinterogasi? 　　“Yu Jin merasa wanita memang lebih teliti, tapi wanita ini adalah A Si, jadi dia hanya bisa menuruti keinginannya.” 　　Jiang Si mengangkat sudut bibirnya, tatapannya tajam seperti pisau: “Tentu saja harus segera mewujudkan target yang sudah ditetapkan. A Jin, urusan ini tak perlu kau urusi. Jika benar-benar butuh bantuan, aku akan memberitahumu.” 　　Yu Jin tidak puas mengusap rambut Jiang Si: “Antara kita masih disebut bantuan?” 　　Jiang Si mengibaskan tangannya: “Sebentar lagi sampai di Kediaman An Guogong, jangan acak-acak rambutku.” 　　“Siap.” Tangan Yu Jin merosot ke bawah, menempel di payudara Jiang Si yang menjulang. 　　Jiang Si tertegun sejenak. 　　Yu Jin dengan santai menarik kembali tangannya, wajah polos: “Sepertinya di dalam kereta agak panas.” 　　Jiang Si mencubit lengan Yu Jin keras-keras: “Panas di kereta ada hubungannya dengan kelakuan tak tahu malumu tadi?” 　　“Siapa bilang tidak ada? Tubuhmu lebih sejuk daripadaku.” 　　“Yu Qi, brengsek tak tahu malu...” 　　Di dalam kereta terdengar suara geram dan tawa rendah. 　　Lao Qin yang menyetir kereta diam-diam mencambuk pantat kuda lebih keras. 　　Memang sudah terlambat, sama sekali bukan karena diam-diam iri. 　　Di Kediaman An Guogong, Pangeran Qi dan Permaisuri Qi sudah tiba lebih dulu. 　　Kerumunan di aula terus duduk menunggu, sudah beberapa cangkir teh diminum, tetap belum ada kabar kedatangan Pangeran Yan dan Permaisuri Yan. 　　“Mungkin adik ketujuh terhalang urusan.” Pangeran Qi tersenyam mencairkan suasana, mood-nya cukup baik. 　　"Meski dia dan Lao Qi adalah saudara kandung yang satu ibu, hubungan mereka renggang. Sampai sekarang dia belum bisa merangkul Lao Qi untuk membantunya." 　　"Di belakangnya selain Ibu Selir, dukungan terkuat berasal dari keluarga kakek nenek pihak ibu yaitu Keluarga An Guogong. Jika Lao Qi terlalu dekat dengan Keluarga An Guogong, justru akan merepotkannya." 　　"Sumber daya terbatas. Jika Keluarga An Guogong membagi dukungannya ke Lao Qi, bagian yang dia terima pasti akan berkurang." 　　"Ji Chongli, Putra Mahkota An Guo Gong bangkit berdiri: 'Aku akan pergi melihat.'" 　　"Jika orangnya tidak segera datang, waktu jamuan makan sudah akan terlewat." 　　"Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar." 　　"'Pangeran Yan dan Permaisuri sudah tiba!'" 　　"Kerumunan bangkit menyambut." 　　"Yu Jin dan Jiang Si berjalan berdampingan masuk, menarik tatapan sembunyi-sembunyi para pelayan sepanjang jalan." 　　"Dari kejauhan, Pangeran Qi melihat sepasang kekasih datang bergandengan tangan. Matanya tak sengaja melirik Permaisuri Qi di sampingnya." 　　"Permaisuri Qi hari ini mengenakan jaket lingkar leher motif bunga dengan warna madu, terlihat anggun dan elegan." 　　"Tapi di mata Pangeran Qi tidak demikian." 　　"Wajah Nona Yang biasa saja, ditambah pakaian yang kuno ini, sepertinya semakin tidak sedap dipandang..." 　　"Pangeran Qi menghela napas dalam-dalam di hati, lalu menyunggingkan senyuman kembali." 　　"Sementara Ji Chongyi yang berdiri paling belakang menatap wanita yang perlahan mendekat dengan perasaan campur aduk." 　　"Tidak disangka dia akan datang ke Keluarga An Guogong, dan bertemu dalam status seperti ini." 　　"Seandainya tidak ada kejadian itu, dia seharusnya menjadi istrinya." 　　"Ji Chongyi menoleh ke sampingnya yang kosong." 　　"Qiao Niang tidak ada." 　　"Ibu khawatir Permaisuri Yan akan merasa tidak senang melihat Qiao Niang, jadi dalam acara ini Qiao Niang tidak dihadirkan." 　　Dia marah pada ketidakadilan ibu, juga kecewa dengan sikap Qiao Niang yang menahan diri. 　　Yang lebih menyebalkan adalah setelah menahan diri, Qiao Niang justru melimpahkan semua keluhannya padanya. 　　Mengingat pertengkaran demi pertengkaran antara pasangan suami istri di malam-malam yang panjang, Ji Chongyi merasa lelah secara fisik dan mental. 　　Dia masih mencintai Qiao Niang, dan lebih menghargai masa-masa mereka sejak pertama kali bertemu hingga saling jatuh cinta. 　　Perasaan jantung berdebar pertama kali itu takkan terlupakan seumur hidup. 　　Tapi mengapa kehidupan tidak sebahagia yang dia bayangkan dulu? Padahal dia sudah berhasil menikahi Qiao Niang seperti yang diinginkan. 　　Melajari Jiang Si dan Yu Jin berjalan bergandengan tangan semakin dekat, dengan senyuman cerah di bibir, tiba-tiba terlintas dalam pikiran Ji Chongyi: Seandainya dulu tidak ada gejolak itu, bagaimana jadinya kehidupan jika Nona Jiang menikah dengannya? 　　"Adik ketujuh, kau datang terlambat." Pangeran Qi tersenyum ramah. 　　"Terlambat sedikit di perjalanan." 　　"Oh, apa gerbongnya rusak?" 　　Yu Jin tersenyum: "Melewati toko kosmetik, dengar Permaisuri suka, saya langsung membelinya." 429. BAB 428 Pertengkaran 　　BAB 428 Pertengkaran 　　Senyum Pangeran Qi tiba-tiba kaku. 　　Permaisuri suka langsung dibeli? 　　Ini kan sebuah toko, bukan beberapa kotak bedak. Lao Qi ini kebanyakan uang sampai mau dibakar? 　　Hati Pangeran Qi terasa kecut. 　　“Selama bertahun-tahun Lao Qi di selatan pasti sudah mengumpulkan banyak harta, kalau digunakan untuk mendukungnya...” 　　Begitu memikirkan ini, pandangan Pangeran Qi pada Yu Jin semakin lembut. 　　Permaisuri Qi di sampingnya merasa lebih pahit daripada suaminya, tak kuasa mengintip Jiang Si. 　　Benar-benar sedang dalam bulan madu yang manis bagai madu. Hanya karena satu kata "suka", Pangeran Yan sampai membeli toko. 　　Permaisuri Qi berpikir demikian, tiba-tiba teringat keadaan dirinya sendiri. 　　Dia dan Pangeran juga pernah mengalami bulan madu, tapi jika diingat-ingat, selama bertahun-tahun ini jarang menerima hadiah dari Pangeran... 　　Tanpa sadar Permaisuri Qi menghentikan senyumannya. 　　"Paman Zhang." Yu Jin menyapa An Guogong. 　　An Guogong mengangguk: "Kalau Tuan dan Nyonya sudah sampai, mari masuk. Di luar terik sekali." 　　Perjamuan diadakan di Ruang Penerimaan, dipisahkan menjadi dua meja untuk pria dan wanita. 　　Ibu Suri yang sudah berusia lanjut tapi masih bugar, duduk di tempat utama sambil mengamati Jiang Si diam-diam. Melihat sikapnya yang anggun dan tenang, matanya menyorot tajam ke Nyonya Wei dari Keluarga An Guo Gong. 　　Kalau saja Nyonya Wei bisa mengontrol dengan baik, bagaimana mungkin A Yi sampai terlibat hubungan terlarang dengan gadis biasa. 　　Dulu dia dengar Nona Keempat Jiang berwatak aneh, tapi sekarang terlihat jauh lebih baik daripada Qiao Niang. 　　Benar-benar kehilangan semangka dan mengambil biji wijen. 　　Sebagai menantu yang sudah puluhan tahun melayani Ibu Suri, Nyonya Wei langsung paham maksud sang mertua. Dadanya terasa sesak. 　　“Anak lelaki bungsu ini keras kepala, bahkan sampai nekat bunuh diri dengan terjun ke sungai demi cinta. Apa lagi yang bisa kulakukan?” 　　“Jika tidak membatalkan pertunangan dengan Keluarga Dongping Bo sesuai keinginannya, haruskah kita melihatnya mati?” 　　Pada akhirnya, semua kesalahan malah jatuh di pundakku. 　　Nyonya Wei semakin kesal, rasa tidak suka pada Qiao Niang kian menjadi. 　　Semua gara-gara siluman rubah itu yang memabukkan anak lelaki bungsu sampai linglung. Jika tidak, keluarga kita takkan mengalami nasib buruk ini. 　　Meja makan dipenuhi pikiran yang saling berseteru, hanya Ji Fanghua yang tersenyum tulus: “Bibi, toko kosmetik apa yang dibelikan Pangeran untukmu?” 　　“Lush Sheng Xiang.” 　　Mata Ji Fanghua berbinar: “Ternyata berhasil membeli Lush Sheng Xiang! Aku sangat suka wewangian dari sana.” 　　Jiang Si tersenyum manis: “Kalau Bibi suka, setiap bulan akan kukirimkan beberapa botol.” 　　Ji Fanghua berterima kasih dengan santun: “Wah, bagus sekali! Nanti dayangku tak perlu khawatir kehabisan.” 　　Jiang Si memang menyukai sifat lugas seperti Ji Fanghua. 　　Beberapa botol wewangian bukanlah masalah besar, baik bagi dirinya maupun Keluarga An Guogong. Sikap yang terlalu hitung-hitungan justru terkesan picik. 　　Melihat keakraban Ji Fanghua dengan Jiang Si, Nyonya Wei semakin tidak nyaman. 　　Biasanya gadis Fanghua ini hanya menjaga kesopanan permukaan dengan Qiao Niang, bahkan jarang mengobrol. 　　“Bibi, sepertinya Pangeran sangat menyayangimu. Pilihanmu menikah dengannya tidak salah,” canda Ji Fanghua riang. 　　Di meja sebelah, telinga tajam Yu Jin menangkap percakapan ini. Seketika kesannya pada Ji Fanghua membaik. 　　“Hm, rupanya di keluarga An Guogong masih ada orang yang waras.” 　　Mendengar ini, tangan Ji Chongyi yang memegang cangkir anggur terhenti sejenak, perasaan pahit menyergap. 　　Apakah adikku ini bermaksud mengatakan Nona Jiang beruntung tidak menikah denganku? 　　Dorongan untuk menoleh ke meja itu dan melihat reaksi Jiang Si begitu kuat, namun akal sehatnya menghentikan impuls tersebut. 　　Adikku memang tidak salah. Sejujurnya, aku sama sekali tidak berminat pada Nona Jiang, hanya saja—Ji Chongyi melirik Yu Jin dengan tatapan dalam. 　　Hanya merasa iri melihat kebahagiaan orang lain, sementara kehidupan pernikahanku berantakan tanpa kebahagiaan, sungguh membuat hati tak nyaman. 　　Ji Chongyi tersenyum getir lalu menghabiskan anggur dalam cangkirnya. 　　Dari sudut matanya, Yu Jin mengamati seluruh reaksi Ji Chongyi sambil menyimpan kecut dalam hati. 　　Hmph, untuk orang bodoh seperti ini, bahkan tidak layak dapat tatapan langsung darinya. 　　Nanti saat ia dan A Si hidup bahagia berdua, biarlah si bodoh ini menanggung rasa iri dan cemburu. 　　Yu Jin juga menghabiskan anggurnya, merasakan keharuman wine yang sempurna dan kepuasan tak terkira. 　　Suasana di meja perempuan langsung canggung setelah komentar Ji Fanghua. 　　Nyonya Kedua Zhao melototi putrinya: "Kau ini, jangan kurang ajar pada Permaisuri!" 　　Dasar gadis bodoh, ucapan seperti itu pasti menyakiti hati kakak ipar. 　　"Ibu, mana ada kurang ajar," bermanja Ji Fanghua. 　　Nyonya Kedua tak tahu harus berbuat apa pada putrinya. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Bibi memang benar, mungkin aku hanya beruntung." 　　Ekspresi wajah Nyonya An Guo Gong terlihat tidak enak. 　　Setelah pernah menjadi ibu mertua selama hampir satu tahun di kehidupan sebelumnya, ia sangat paham betapa cerewetnya nyonya adipati yang terlihat anggun dan baik hati ini. 　　Tiba-tiba, Jiang Si merasa kasihan pada Qiao Niang yang tidak hadir. 　　Permaisuri Qi memegang sumpit, wajahnya tetap tenang meski hati dipenuhi rasa malu dan keheranan. 　　Mengapa setiap kali duduk bersama Permaisuri Yan, akhirnya dirinya selalu yang diabaikan? 　　Padahal secara usia dia yang lebih tua, latar belakang keluarga pun lebih terpandang... 　　Permaisuri Qi berusaha menyembunyikan perasaan dan mencoba mengajak Jiang Si berbincang, namun hanya mendapat respon dingin. 　　Perlahan-lahan semua orang di meja mulai menangkap situasi aneh ini. 　　Setelah makan selesai, kedua pangeran dan permaisuri mereka berpamitan, sementara Ibu Suri menahan An Guogong untuk berbicara. 　　"Ada urusan apa, Ibu?" 　　"Hari ini saat makan bersama kedua permaisuri, kulihat hubungan mereka tidak akur." 　　An Guogong tersenyum angkuh: "Urusan anak muda tak perlu Ibu risaukan." 　　"Tak perlu? Kau tahu adikmu menaruh harapan besar pada Pangeran Qi! Awalnya kupikir Pangeran Yan yang mendapat perhatian Kaisar akan menjadi penopang bagi Pangeran Qi, tapi kini tampaknya tidak semudah itu." 　　Perseteruan antar saudara ipar sudah sedemikian jelas, mungkinkah Pangeran Yan masih mau membantu Pangeran Qi dengan sepenuh hati? 　　An Guogong segera mengerutkan kening: "Ibu Suri jangan bicara begitu. Apa maksud 'harapan besar'? Menurutku adik terlalu suka berkhayal." 　　Tidakkah lebih baik hidup tenang menikmati kemewahan seumur hidup? Ambisi adik terlalu besar... 　　"Kau benar-benar—" Melihat ekspresi dingin anak lelakinya, Ibu Suri menghentikan ucapannya. Ia melambaikan tangan menyuruh An Guogong pergi, lalu merenung sendirian. 　　Ji Chongyi minum beberapa gelas lagi, langkahnya limbung saat kembali ke kamar. 　　Qiao Niang sedang meneteskan air mata diam-diam. Melihat Ji Chongyi masuk, ia mengatupkan bibirnya menunggu bujukan, namun tak kunjung datang. 　　Aroma alkohol samar menyebar di udara. 　　"Minum lagi?" Qiao Niang menahan sedih bangkit menyambutnya, nada suaranya agak kesal. 　　Beberapa bulan terakhir ini, A Yi semakin sering mabuk. 　　Ji Chongyi mengerutkan kening menepis tangan Qiao Niang: "Minum beberapa gelas saja kau sudah cerewet." 　　"Aku hanya mengkhawatirkan kesehatanmu—" 　　Mungkin karena pengaruh alkohol, menatap wajah penuh kekecewaan itu, Ji Chongyi spontan berkata: "Dulu ibu dan yang lain melarangku menikahimu, juga bilang itu untuk kebaikanku..." 　　Hal yang paling ia benci adalah alasan "untuk kebaikanmu" yang diulang-ulang! 　　Ucapan itu bagai pisau tajam yang menyambar jantung Qiao Niang. 　　Wajah Qiao Niang pucat pasi, suaranya gemetar: "Jadi... kau menyesal, ya?" 　　Kabut di mata Ji Chongyi berangsur sirna, kesadarannya pulih sedikit. 　　Tampaknya ia baru saja mengatakan hal yang salah. 　　"A Yi, jawab! Apa kau benar-benar menyesal?" 　　“Ji Chongyi tidak mau kehilangan muka untuk meminta maaf, wajahnya dingin: "Apa maksudmu menyesal atau tidak, jangan mengada-ada!"” 　　Qiao Niang menitikkan air mata berderai-derai: "A Yi, kamu memang menyesal!" 　　“Ngaco!” Ji Chongyi pergi sambil mengibaskan lengan bajunya. 430. BAB 429 Penyesalan 　　BAB 429 Penyesalan 　　Ji Chongyi kembali ke ruang belajar, menendang sepatu lalu merebahkan diri di ranjang dan terlelap. 　　Entah berapa lama, ia terbangun setengah sadar dengan kepala terasa mau pecah dan tenggorokan kering. 　　“Air——” 　　Terdengar teriakannya yang tidak jelas, bibirnya menyentuh tepian cangkir. 　　Ji Chongyi tak banyak berpikir, meminum beberapa teguk malah semakin haus. Dengan susah payah membuka kelopak mata, direbutnya cangkir itu dan minum dengan lahap. 　　“Tuan Gong, hati-hati bajunya basah.” Tubuh harum nan lembut mendekatinya. 　　Ji Chongyi merasa gerah, menarik-narik kerah baju. Ternyata mantel luarnya sudah terlepas tanpa disadari, hanya tersisa baju dalam putih bersih. 　　Baru sekarang ia menatap orang yang berbicara. 　　Dayang pengiring Qiao Niang. 　　Dayang kecil itu melirik manja dengan senyum tipis. 　　Ji Chongyi tak curiga, meletakkan cangkir sembarangan di kepala ranjang: “Nyonya Muda yang menyuruhmu datang?” 　　Dayang menunduk, memperlihatkan leher yang ramping dan putih: "Nyonya Muda menangis sepanjang sore, kemudian tertidur... Hamba berpikir Tuan Gong mungkin kehausan setelah mabuk, jadi datang untuk melihat..." 　　Ji Chongyi menunduk melihat pakaiannya. 　　Dayang buru-buru menjelaskan: "Hamba khawatir Tuan Gong tidak nyaman tidur dengan baju luar, jadi meleaskannya. Tuan Gong tidak akan marah pada hamba, kan?" 　　"Tidak apa, keluar saja." Ji Chongyi masih merasa organ dalamnya seperti terbakar, bangkit dari tempat tidur. 　　Tubuh lembut itu mendekat: "Tuan Gong, hamba akan menopang Anda." 　　"Tidak perlu--" Ji Chongyi mendorong dayang, tubuhnya goyah. 　　"Hati-hati Tuan Gong." Seluruh tubuh dayang menempel, suaranya menggoda dengan nada akhir yang memikat. 　　Ji Chongyi mengerutkan alis, baru saja ingin mendorong dayang, pintu kamar tiba-tiba terbuka. 　　Qiao Niang berdiri di ambang pintu membawa mangkuk sup penawar mabuk, wajahnya pucat pasi. 　　"Qiao Niang--" 　　Mangkuk di tangan Qiao Niang jatuh ke lantai, berderak pecah berkeping-keping, kuah tumpah menggenang. 　　Dia berbalik dan lari. 　　Ji Chongyi yang baru sadar dari mabuk masih linglung, tertegun sejenak sebelum buru-buru mengejar. 　　Dayang memegangi pintu dengan wajah pucat. 　　Masih belum berhasil sudah ketahuan Nyonya Muda Ketiga, dia tamat! 　　Qiao Niang berlari kembali ke kamar, menangis tersedu-sedu di atas bantal. 　　Ji Chongyi masuk ke dalam ruangan, memandang Qiao Niang yang sedang menangis tersedu-sedan, lalu berkata dengan putus asa: "Qiao Niang, kau salah paham——" 　　Qiao Niang tiba-tiba duduk tegak, matanya yang basah oleh air mata melotot ke arah Ji Chongyi: "Coba kau jelaskan, bagian mana yang kusalah paham?" 　　"Dayang itu hanya mengantarkan segelas air untukku, tak ada maksud lain..." 　　Qiao Niang menyeka air mata sambil tertawa sinis: "Hanya mengantar segelas air sampai-sampai bajumu terbuka? Aku bukan buta, tadi kalian berdua sedang apa di sana jelas kulihat!" 　　Ji Chongyi juga mulai kesal, menggenggam pergelangan tangan Qiao Niang dengan tidak puas: "Aku mabuk berat kau malah tidak merawatku, malah menuduh sembarangan. Apa di hatimu, aku ini orang yang mudah berpaling?" 　　Qiao Niang yang ditahan Nyonya Wei tidak menghadiri jamuan siang hari itu. Pikirannya sudah resah memikirkan pertemuan Ji Chongyi dengan Permaisuri Yan, apalagi setelah mendengar para pelayan membicarakan kecantikan luar biasa sang Permaisuri, hatinya semakin gelisah. 　　Ia menunggu dan berharap, namun yang datang adalah suaminya yang setengah mabuk. 　　Mungkin akumulasi kekesalan selama ini meledak, Qiao Niang mengambil bantal dan melemparkannya ke Ji Chongyi sambil memaki: "Kalau bukan karena ingin berpaling, kenapa kau mabuk? Jelas-jelas setelah melihat kecantikan Permaisuri Yan, kau menyesal telah membatalkan pertunangan dulu——" 　　Ji Chongyi tiba-tiba menutup mulut Qiao Niang, marah: "Jangan mengada-ada! Kau tahu konsekuensinya jika kata-kata ini terdengar orang?" 　　Qiao Niang meronta sambil memaki: "Hati merasa bersalah? Kau pasti menyesal sampai lebih memilih tidur di ruang belajar daripada tinggal di sini. Mungkin saat si hamba itu merayumu, kau malah membayangkan Permaisuri Yan——" 　　Ji Chongyi menamparnya, mata merah membara: "Qiao Niang, bagaimana kau bisa menjadi begitu kasar?" 　　Mengatakan bahwa dirinya punya pikiran terhadap Permaisuri Yan, rumor ini bukan hanya akan ditertawakan tapi juga mendatangkan bencana bagi Keluarga An Guogong! 　　Ji Chongyi benar-benar geram dengan ucapan Qiao Niang. 　　Adegan yang baru saja dilihatnya di ruang belajar membuat Qiao Niang kehilangan akal sehat, ia mendongak menantang: "Aku memang anak petani, bukankah kau sudah tahu dari dulu? Pada akhirnya karena terpesona kecantikan Permaisuri Yan, kau jadi memandangku sebelah mata. Merasa bahkan si hamba itu lebih menarik daripadaku, bukan?" 　　"Ya! Aku memang menganggap dayang itu menarik, puas?" 　　Qiao Niang melemparkan bantal dan selimut ke tubuh Ji Chongyi: "Kalau begitu pergilah tidur dengannya! Ngapain datang ke kamarku?" 　　"Ini katamu?" wajah Ji Chongyi menghitam. 　　"Apa ucapanku salah?" 　　Ji Chongyi menatapnya dalam-dalam, menyapu sapu tangan yang terjatuh di bahunya: "Baik, akan kupenuhi keinginanmu." 　　Ia berbalik dan pergi dengan langkah besar. 　　Qiao Niang mengejar beberapa langkah, lalu berhenti sambil memeluk dinding dan terisak-isak. 　　Sang dayang masih termangu-mangu di ruang belajar. 　　“Menggoda tuan rumah tapi ketahuan nyonya sebelum berhasil, pasti dia tidak akan dilindungi.” 　　Bagaimana hukuman yang akan diberikan Nyonya Muda Ketiga padanya? 　　Pintu tiba-tiba didorong terbuka, angin malam menerobos masuk. 　　“T-Tuan Gong?” 　　Ji Chongyi bergegas menarik dayang dari lantai, mengangkat dan melemparkannya ke dipan, lalu menindihnya sambil menciumi wanita di bawahnya dengan kasar. 　　Ciumannya penuh amarah, sangat menggila. 　　Dari terkejut menjadi bahagia, dayang itu merangkul pinggang pria di atasnya dan mulai membalas ciuman. 　　Tiba-tiba Ji Chongyi berbalik badan dan mendorong dayang itu jatuh. 　　“Tuan Gong?” 　　“Keluar!” 　　“Tuan Gong——” 　　“Jika kejadian hari ini terulang, aku akan suruh mandor menjualmu! Pergi sekarang!” 　　Dayang itu gemetar ketakutan, tak berani berkata lagi. Ia menunduk dan buru-buru keluar. 　　Ruang belajar mendadak sunyi. 　　Ji Chongyi duduk di dipan rendah dengan senyum getir. 　　Sekeras apapun dia memberontak, tetap tidak bisa dekat dengan wanita yang tidak disukai. 　　Makin larut, sakit kepala akibat mabuk menyerang, diikuti kebingungan akan masa depan. 　　Ji Chongyi bolak-balik di dipan, matanya menatap pintu. 　　Qiao Niang tak kunjung datang, meski dia sudah mengancam akan meniduri dayang itu. 　　Dalam keheningan malam, suara jangkrik di luar jendela semakin nyaring. 　　Ji Chongyi menutup mata dan menghela napas panjang. 　　"Dia mungkin... benar-benar menyesal..." 　　Di Paviliun Bulan Terang istana putri senior kekaisaran, Cui Mingyue dengan wajah tanpa ekspresi menusuk-nusuk punggung dayang dengan jarum panjang tipis. 　　Dayang itu tidak berani menghindar, menggigit saputangan hingga tak berani merintih. Baru setelah Cui Mingyue kelelahan, dia bersujud memohon ampun. 　　"Nona, hamba benar-benar tidak berani lagi, sudi kiranya Nona mengampuni hamba ini." 　　Sang nona menyuruhnya menjebak dengan air mawar, tapi karena keserakahan hamba menuang sedikit, akhirnya terbongkar setelah campur tangan Pangeran Yan... 　　"Hamba hina! Seharusnya kutatuk matamu yang picik ini!" Amarah Cui Mingyue membara karena gagal menjerat Jiang Si, dilampiaskan ke tubuh dayang. 　　Dayang itu menggigil ketakutan, bahkan tak berani merengek lagi, pasrah menutup mata. 　　Sang nona semakin menyeramkan, bagaimana nasibku nanti? 　　Tidak, setelah nona menikah ke Istana Pangeran Xiang pasti bisa mengendalikan amarah. Bertahanlah sebentar lagi. 　　Masuk ke Istana Pangeran Xiang? Jiang Si mengipaskan kipas sutra dengan lembut, tatapannya dingin membeku. 　　Cui Mingyue takkan pernah mendapat kesempatan itu! 431. BAB 430 Ketidakrelaan 　　BAB 430 Ketidakrelaan 　　Bulan Juni hampir berakhir, hawa tetap terik menyengat. 　　Jalanan sepi, pejalan kaki yang ada pun bergegas menyusur tepian menghindari sengatan matahari ganas. 　　Anjing Besar berbaring di sudut tembok, menjulurkan lidah dengan lesu. 　　Seorang pria duduk termenung di kaki tembok, hanya sejarak satu zhang dari anjing kuning tanah itu. 　　Anjing Besar yang bosan memiringkan kepala mengamati pria itu, menggeram pelan dua kali. 　　Anjing liar ini jelas sangat familiar dengan pria itu, mengizinkannya berkeliaran di wilayahnya. 　　Tiba-tiba anjing liar itu waspada, menegakkan telinga dan melihat sekeliling. 　　Seekor anjing berbulu halus dari jenis yang sama berjalan mendekat dengan langkah santai. 　　Anjing liar itu bangkit tegang, mengeluarkan geraman peringatan dari tenggorokannya yang sarat kecemasan. 　　Sebagai sesama jenis, ia menangkap ancaman dari pihak lawan dengan insting tajam. 　　Pasti setiap hari makannya daging! Badan gemuknya saja bisa menghancurkan aku! 　　Anjing Besar yang gagah perkasa mendekati si anjing liar, mengangkat cakar depan dan menyibaknya ke samping. 　　Anjing liar itu mendidih marah. 　　Ini wilayahnya! Sudah lama dikuasainya, setiap hari dikencingi berkali-kali sebagai penanda. Keji benar anjing ini! 　　Meski lebih tinggi dan besar, anjing liar pun punya harga diri. Ia akan bertaruh nyawa! 　　"Woof!" Er Niu menampakkan gigi dengan wajah garang. 　　Anjing liar itu melesat kabur, baru berhenti setelah jauh dan menoleh melihat ke belakang. 　　Er Niu berbaring di tempat semula si anjing liar, menempelkan moncongnya ke tanah dengan puas. 　　Di tepi tembok ada tempat teduh, mungkin karena kontur tanah yang sedikit lebih rendah. Meski cuaca seperti ini, lumut kehijauan tipis tetap tumbuh di pangkal tembok. 　　Er Niu melirik bangga ke arah anjing liar tak jauh darinya. 　　Makhluk tak berakal ini benar-benar tahu memilih tempat, di sini adalah area paling sejuk. 　　Persaingan dua anjing atas wilayah sama sekali tidak dihiraukan pria itu. Ia hanya melirik sebentar, lalu kembali melamun. 　　Sepasang sepatu bordir berwarna hijau danau berhenti di depan pria itu. 　　Pria itu tetap menunduk, tak bereaksi terhadap sepatu bordir yang tiba-tiba masuk ke bidang pandangnya. 　　Belakangan ini pria itu sering terlihat di sini, duduk seharian penuh. Kadang ada yang mengira dia pengemis, meletakkan satu dua uang tembaga atau roti kukus. 　　Pria itu tak pernah membawa barang-barang itu saat pergi. 　　Warga sekitar berbisik, "Ini orang gila, entah datang dari mana." 　　"Zhu Ziyu." Suara wanita itu lembut dan manis. 　　Lembut dan manis adalah warna suara aslinya, tapi panggilan ini penuh hawa dingin. 　　Pria yang sebelumnya tak bereaksi itu mendongak tiba-tiba, matanya menyala-nyala penuh kebencian ke arah wanita itu. 　　Meski wanita di hadapannya memakai tudung wajah, suara ini tak mungkin dilupakannya. 　　Kalau dipikir-pikir, siapa yang lebih dia benci dalam kejatuhannya sampai seperti ini? 　　Cui Mingyue si jalang di urutan pertama, wanita di depannya ini di posisi kedua! 　　Adik iparnya ini, sejak pertemuan di Kuil Baiyun dengan sang istri, telah menjadi hantu jahat yang mendorongnya ke jurang. 　　Zhu Ziyu memandang dengan mata penuh kebencian, ingin merobek-robek wanita di hadapannya sampai hancur. 　　"Tetapi segera, aura jahat di matanya tertutupi oleh kelesuan, kembali menundukkan pandangan dan menatap lantai dengan kosong." 　　Jiang Si memandang dari atas melalui kerudungnya pada pria yang mirip pengemis di hadapannya, merasa puas namun juga terkesiap. 　　Inikah Shujishi yang pernah begitu gemilang? Namanya tercoreng dan diusir dari keluarga, hanya dalam beberapa bulan sudah menjadi seperti ini. 　　Kabar tentang Zhu Ziyu yang berusaha membunuh istri sahnya untuk mengejar status lebih tinggi tersebar luas, bahkan mendapat hukuman langsung dari Kaisar. Keluarga Zhu tiba-tiba menjadi bulan-bulanan masyarakat, tak ada yang berani angkat kepala saat keluar rumah. 　　Alhasil, kerabat keluarga Zhu tak tinggal diam. Kepala marga turun tangan menghapus nama Zhu Ziyu dari silsilah keluarga dan mengusirnya. 　　Zhu Ziyu yang jatuh dari awang-awang ke lumpur kehinaan sudah mulai kehilangan akal sehat, kondisinya semakin parah setelah diusir. 　　Meski ada ibu Zhu yang diam-diam merawat, tak bisa menghentikan Zhu Ziyu yang mengembara tak karuan setiap hari. Lama-kelamaan jadilah begini keadaannya. 　　"Zhu Ziyu, aku tahu kau tidak gila, juga tidak bodoh." 　　Seluruh tubuh Zhu Ziyu bergetar. 　　Melihat reaksinya, Jiang Si mengangkat sudut bibirnya tanpa suara. 　　Seorang pria yang bisa menguliti istri sahnya sedemikian kejam - kalau bukan karena pengalaman dua kehidupan, siapa bisa mencium hati beracun di balik sikapnya yang lembut seperti giok? 　　Orang seperti ini bisa begitu mudah menjadi gila atau bodoh? Ia tak percaya. 　　"Berdrama gila, hanyalah kain penutup aib yang ditarik karena tak mampu menghadapi pandangan dunia." 　　"Zhu Ziyu, kau tak ingin balas dendam?" Menghadapi suami yang membisu, Jiang Si bertanya lagi. 　　Tangan Zhu Ziyu mencengkeram tanah, urat-urat di punggung tangan menonjol seperti akar, kurus yang mengerikan. 　　Jiang Si tertawa kecil: "Aku tahu kau membenciku, menganggap campur tanganku yang menjerumuskanmu ke keadaan ini. Kau bahkan membenci Kakakku, benci kenapa dia tak tahu diri, tak mau mati dengan patuh malah mempertahankan posisi Nyonya Zhu tanpa memberi kesempatan pada orang lain..." 　　Zhu Ziyu mengepal tinju, perlahan mengangkat kepala. 　　Sorot matanya tajam bagai pisau, ingin menusuk-nusuk tubuh lawan hingga berlubang. 　　Dasar lacur! Dirinya sudah seperti ini, si perempuan ini masih tak mau melepaskannya, datang untuk mengatakan kata-kata ini! 　　Jiang Si sedikit membungkuk, sama sekali tak takut Zhu Ziyu akan tiba-tiba melukainya. 　　"Kusarankan jangan gegabah. Lihat Anjing Besar di samping itu? Dia selamat dari tumpukan mayat di medan perang. Gigi-giginya sudah merobek banyak nyawa." 　　Zhu Ziyu refleks menoleh ke anjing besar yang berbaring tak jauh. 　　Er Niu dengan kompak menyeringai memperlihatkan giginya. 　　Gigi-gigi tajam itu berkilau dingin di bawah matahari, sungguh setajam pisau yang sebenarnya. 　　Zhu Ziyu langsung kehilangan nyali. 　　Dirinya memang bukan tipe yang mengandalkan kekuatan fisik. 　　Senyum sinis mengintip di sudut bibir Jiang Si. 　　Menghadapi lelaki macam ini, dengan atau tanpa Er Niu, dia sama sekali tak gentar. 　　“Asalkan bukan ahli bela diri yang luar biasa, menaklukkan orang biasa sangat mudah baginya.” 　　“Zhu Ziyu, kau sebenarnya sangat paham, dalang sebenarnya yang membuatmu seperti ini bukan saya, apalagi kakak saya, melainkan Cui Mingyue.” 　　Mendengar nama itu, ekspresi Zhu Ziyu akhirnya berubah drastis. 　　Itu adalah kebencian yang tak terkendali. 　　Benar, bagaimana mungkin dia tidak tahu? Pelacur Cui Mingyue itulah akar masalah sebenarnya! 　　Dulu jika bukan karena Cui Mingyue yang aktif merayu dan memberi isyarat, bagaimana mungkin dia akan tertarik pada putri bangsawan yang tak terjangkau itu? 　　Latar belakang keluarganya cukup baik. Jika dia belum menikah, dengan status Shujishi yang berprospek cerah, mungkin saja dia bisa menikahi putri pangeran. Tapi dia sudah punya istri sah. Bahkan jika istri sahnya meninggal karena sakit, putri pangeran tak mungkin menjadi istri kedua. 　　Pikiran ini dipicu oleh Cui Mingyue! 　　Zhu Ziyu memang membenci, tapi dalam keadaan seperti ini dimana dia bahkan kehilangan perlindungan keluarga, kebenciannya tak berarti apa-apa. 　　“Cui Mingyue akan segera menikah, dan menjadi Permaisuri Xiang yang tinggi di awan.” Jiang Si berkata datar, mengamati pria di hadapannya. 　　Ucapannya semakin menusuk hati. 　　“Mulai sekarang dia di awan sedangkan kau di rawa, rela?” 　　Zhu Ziyu memukul tanah keras-keras, wajahnya mengerut. 　　Rela? 　　Dia hidup bagai mayat hidup, sementara si itu bersinar megah. Mana mungkin dia rela! 　　Jika bisa menggunakan nyawanya untuk menarik Cui Mingyue ke dalam kubangan yang sama, dia akan mati sambil tersenyum. 　　Zhu Ziyu menatap Jiang Si dengan pandangan tajam, mengucapkan kata demi kata: "Aku tidak rela!" 432. BAB 431 Pernikahan Pangeran Xiang 　　BAB 431 Pernikahan Pangeran Xiang 　　Waktu berlalu cepat, seolah-olah suara jangkrik tiba-tiba menghilang dalam sekejap mata. 　　Tanggal 6 bulan 8, hari baik untuk pernikahan, tepat hari pernikahan Pangeran Xiang. 　　Prosesi menjemut pengantin telah berhenti di depan Kediaman Jenderal, genderang berdenting, petasan berbunyi riuh, Koin Keberuntungan dilempar-lemparkan ke luar hingga memicu sorak gembira anak-anak. 　　Masyarakat ibu kota paling suka menonton keramaian acara pernikahan dan pemakaman, dengan pernikahan keluarga kaya menjadi yang paling ditunggu. 　　Mengikuti acara bahagia seperti ini, bukan hanya bisa menonton keramaian, jika beruntung bahkan bisa mendapatkan Koin Keberuntungan, paling tidak juga ada roti manis untuk menghibur anak-anak. 　　Pangeran Xiang duduk di atas kuda merah tua, menunggu dengan tenang di samping tandu pengantin. 　　Di halaman utama Kediaman Jenderal, Jenderal Cui Xu dan Putri Rongyang duduk berdampingan, baru saja menyelesaikan nasihat terakhir untuk putri mereka. 　　Cui Mingyue memberi hormat kepada orangtua: "Putri akan mengingat baik-baik." 　　Kain penutup kepala merah menutupi kecantikannya, wajah di balik kain penutup tiba-tiba menjadi dingin. 　　Pangeran Xiang tidak masuk untuk menjemput. 　　Dia mendengar saat si jalang bernama Jiang menikah, Pangeran Yan langsung masuk ke bagian dalam rumah dan menjemput pengantin perempuan sendiri. 　　Di ibu kota, pada hari Menjemut Pengantin, pengantin pria bisa menunggu di luar atau masuk untuk menjemut. Namun sebagian besar memilih menunggu di luar agar tidak dianggap terlalu mendesak pihak perempuan. 　　Belum sempat melangsungkan pernikahan sudah dikalahkan pihak perempuan, ini sungguh tak bisa diterima. 　　Hanya sedikit keluarga pria yang statusnya jauh di bawah keluarga perempuan, atau pengantin pria yang sangat mencintai pasangannya, yang memilih menjemut langsung. 　　Karena itu, tindakan Pangeran Yan yang langsung menjemut pengantin perempuannya menjadi sorotan. 　　Sebagai pangeran yang statusnya jauh di atas mempelai perempuan, hanya ada satu alasan: perhatian besar pada Permaisuri Yan. 　　Tindakan ini membuat banyak wanita iri. 　　Permaisuri Yan beruntung, berkat kecantikannya bisa menarik perhatian Pangeran Yan, benar-benar perubahan nasib dramatis. 　　Pernikahan Pangeran Xiang yang berdekatan dengan Pangeran Yan membuat Cui Mingyue membandingkan perlakuan dua suami terhadap istri, menimbulkan rasa tak nyaman. 　　Tentu, ketidaknyamanan ini dipendamnya, hanya berani muncul saat kepala tertutup kain penutup pengantin. 　　Cui Mingyue segera menata kembali perasaannya, senyum mengembang di bibir. 　　Kekalahan sementara bukan masalah, pemenang sejati adalah yang terakhir tertawa. 　　Mengingat kegagalan rencana terhadap Jiang Si sebelumnya, semangat kompetisi Cui Mingyue berkobar-kobar. 　　Mari lihat bagaimana Permaisuri Yan menghadapinya di istana. Ia tak percaya sang permaisuri selalu bisa mengubah bahaya menjadi keselamatan. 　　Dalam hal merencanakan sesuatu dari balik layar, Cui Mingyue sudah mahir betul. 　　“Cui Yi, cepat gendong adikmu ke tandu!” Jenderal Cui mendesak dengan suara berat. 　　Sepasang anak-anak tumbuh dewasa dalam sekejap mata. 　　Saat ini, beragam perasaan berkecamuk di hati Jenderal Cui. 　　Dulu, di usia yang sama dengan anak lelakinya sekarang, ia hanya ingin memperistri A Ke yang tumbuh bersama sejak kecil. 　　Namun pertemuan tak sengaja dengan Putri Rongyang mengubah hidupnya yang semestinya bahagia secara drastis, sekaligus mengubah nasibnya dengan A Ke bahkan sang Putri Rongyang sendiri. 　　Itu adalah perubahan yang menyedihkan. 　　Kini putrinya memasuki usia pernikahan, sang anak lelaki pun sudah sampai usia untuk menikah. Ia hanya berharap mereka lebih beruntung darinya. 　　Meski Cui Xu tidak punya rasa cinta pada Putri Rongyang, naluri sebagai orang tua pada anak-anaknya tak bisa dipadamkan. 　　Cui Yi yang tak takut pada siapapun, gentar pada ayah yang selalu bermuka masam. Mendengar perintah, ia segera membungkuk dan mengangkat tubuh Cui Mingyue dengan kasar. 　　Tanpa persiapan, Cui Mingyue nyaris terpekik kaget. 　　Di punggung Cui Yi, Cui Mingyue ingin mencubit kakak laki-lakinya sekuat tenaga. 　　Si tolol ini, caranya kasar sekali sampai hampir membuatnya kehilangan muka. 　　"Kakak, hati-hati!" bisiknya dengan nada peringatan. 　　Dari dalam kamar hingga halaman dipenuhi orang. Cui Mingyue tak berani bersuara keras. Bibirnya mendekat ke telinga Cui Yi, suaranya ditahan serendah mungkin. 　　Dengan peringatannya, napas yang dihembuskan seolah menyapu telinga belakang Cui Yi, membuat bulu kuduknya meremang. 　　Seperti yang pernah disebut sebelumnya, Cui Yi merasa takut tak berdasar terhadap adik perempuannya ini. 　　Ia tak bisa menjelaskan alasannya, tapi setiap kali adiknya berbicara padanya dengan wajah datar, hatinya selalu bergemuruh tanpa alasan. 　　Pasti ini hanya perasaannya saja. 　　Cui Yi berusaha meyakinkan diri berulang kali, tapi insting alaminya tetap tak terbendung. 　　Saat Cui Mingyue berbisik pelan di telinganya, kakinya tersandung hingga pengantin yang digendongnya terlempar. 　　Bersamaan dengan terlemparnya kerudung pengantin merah, terdengar suara benda berat jatuh. 　　Suasana langsung hening seketika. 　　Cui Mingyue menahan diri dengan tangan menopang tanah, hampir menggigit bibirnya sampai berdarah untuk menahan jeritan. 　　Dasar Cui Yi, apa yang sedang dilakukannya?! 　　Pada detik ini, Cui Mingyue ingin sekali mencambuk kakak laki-lakinya dengan cambuk. 　　"A Yi!" Putri Rongyang berseru keras. 　　Cui Yi buru-buru menggendong Cui Mingyue sambil terus meminta maaf: "Maaf, maaf, Kakak tidak sengaja--" 　　Karena kejadian memalukan ini, Cui Yi yang panik langsung berlari cepat sambil menggendong Cui Mingyue. 　　Pembawa acara pernikahan berteriak kejar-kejaran: "Jangan lari! Kerudung pengantin belum dipasang--" 　　Tiba-tiba, acara pernikahan yang semula khidmat berubah jadi kekacauan yang menggelikan. 　　Para tamu yang hadir saling bertukar pandang maklum, tak berani berkomentar keras-keras. 　　Kejadian seperti ini di hari usia pernikahan bukanlah pertanda baik, nasib Nona pertama Keluarga Cui setelah menikah ke Istana Pangeran Xiang mungkin tidak akan mulus... 　　Orang-orang zaman itu sangat memperhatikan hal semacam ini. Sang pengantin perempuan terjatuh ke tanah dan kerudung pengantinnya terlepas, sungguh tidak menguntungkan. Lagipula, belum pernah ada kakak laki-laki yang menggendong adiknya ke tandu pengantin malah menjatuhkannya... 　　Banyak orang tak bisa menahan diri untuk melirik ekspresi Jenderal Cui dan Putri Rongyang. 　　Ekspresi Cui Xu tidak menunjukkan banyak emosi. 　　Menurutnya, yang menentukan kebahagiaan pernikahan adalah cara pasangan saling memperlakukan, bukan pertanda apapun. 　　Hanya saja, tindakan anak lelakinya memang sangat memalukan. 　　Tentu saja, Cui Xu sudah lama terbiasa dengan hal seperti ini. 　　Putri Rongyang yang sangat menjaga reputasi tidak bisa menerima dengan mudah seperti suaminya, wajahnya pucat membara. 　　"Brengsek! Benar-benar tidak ada hari tanpa membuatku khawatir! Malangnya Mingyue, hari bahagianya dirusak oleh anak durhaka ini..." 　　Dengan pikiran seperti itu, rasa bersalah Putri Rongyang terhadap Cui Mingyue semakin bertambah. 　　Untungnya ada dirinya, tidak perlu khawatir Mingyue akan dirugikan setelah menikah ke keluarga kerajaan. 　　Pangeran Xiang yang berdiri di luar Kediaman Jenderal mulai tidak sabar menunggu. 　　Dua patung singa batu di pintu gerbang kediaman itu telah dihiasi sutra merah, nuansa sukacita terasa di mana-mana. Namun sepanjang perjalanan, suasana hati Pangeran Xiang sangat muram. 　　Awalnya ia mencoba membujuk diri untuk menerima perjodohan ini dengan penuh harap, menerima istri yang namanya ternoda. Tapi saat berkuda mendekat, tiba-tiba mendengar celetukan sinis dari kerumunan orang. 　　“Katanya Pangeran Yan tumbuh di luar istana, baru saja menikahi seorang gadis cantik luar biasa sebagai permaisuri. Kenapa giliran Pangeran Xiang malah——” 　　Dia sama sekali tidak menyangka ada yang berani terang-terangan menyebut hal ini. 　　Tapi penonton yang ingin melihat keributan berjumlah ribuan, mungkinkah menangkap dan menghukum orang itu? 　　Pangeran Xiang terpaksa menelan rasa kesal yang terpaksa ditelan, memandang dingin ke pintu gerbang Kediaman Jenderal. 　　"Pengantin perempuan keluar!" 　　Cui Yi menggendong Cui Mingyue sampai di depan tandu pengantin. Setelah pengantin naik ke tandu, akhirnya dia bisa lega dan tersenyum pada Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang dengan enggan membalas senyumannya. 　　"Tandu berangkat——" 　　Suara suling merdu penuh sukacita mulai terdengar, rombongan pengantin mulai bergerak. Tapi baru berjalan tidak jauh tiba-tiba berhenti. 433.BAB 432 Pembalasan 　　BAB 432 Pembalasan 　　Di depan rombongan pengantin, berdiri seorang pria muda. 　　Pria berusia awal dua puluhan itu mengikat rambutnya rapi dengan ikat kepala, wajahnya kurus sehingga semakin menonjolkan kesan intelek dan tampan. 　　Ini adalah pria yang setiap gerak-geriknya memancarkan aura intelektual pekat. 　　Meski berpenampilan mencolok, pria seperti ini biasanya tidak terlalu mencuri perhatian di kerumunan. Tapi saat ini, pandangan ribuan orang tertuju padanya. 　　Ia mengenakan jubah merah menyala, warna yang mampu menyaingi baju pengantin merah tua di atas kuda Pangeran Xiang. 　　Bukan ini yang membuat orang tertegun. Yang benar-benar membuat banyak orang ternganga adalah panji panjang yang diikat pria itu pada tongkat bambu. 　　Panji sepanjang lebih dari satu zhang itu bertuliskan enam karakter besar berwarna hitam: "Nona Cui adalah istriku". 　　“Orang yang melihat tulisan pada bendera panjang itu sampai lupa bicara.” 　　“Yang buta huruf gelisah menarik-narik orang di sebelah: "Tulisannya apa? Kok kalian semua bengong?"” 　　“Nona Cui adalah istriku.” 　　“Apa?” 　　“Nona Cui adalah istriku.” 　　“Anjing kampung, kau nekat sekali berani ngomong begitu!” 　　Pernikahan pangeran yang meriah ini, semua tahu pengantin prianya adalah Pangeran Xiang, pengantin perempuannya Nona pertama dari Kediaman Jenderal, keluarga Cui. 　　Orang itu menunjuk bendera panjang dengan jari gemetar: “Di... di situ tulisannya begitu!” 　　Setelah keheningan singkat yang mencekam, kerumunan penonton tiba-tiba gempar. 　　Ini ada yang mau merebut pengantin? 　　Ya ampun, tontonan hari ini benar-benar spektakuler! 　　Hal seperti ini cuma dengar dari cerita orang tua, hari ini malah menyaksikan langsung. Yang lebih menggemparkan, yang direbut pengantinnya adalah pangeran kerajaan! 　　Cara seorang penguasa memerintah akan mempengaruhi perilaku rakyatnya. 　　Kaisar Jingming adalah penguasa yang toleran, rakyatnya pun hidup lebih santai dan berani. 　　Seperti kejadian sekarang, meski yang terlibat pangeran, justru tontonannya semakin seru 　　Lagian tidak mungkin menangkap semua orang, penjara juga tidak muat menampung semuanya. 　　Pangeran Xiang nyaris terjatuh dari kuda merahnya karena kaget. 　　Zhu Ziyu memancarkan kilatan dingin di matanya, mengangkat panji panjang di tangannya lebih tinggi dan berteriak keras: "Aku Zhu Ziyu dan Mingyue saling mencintai, mengapa Pangeran Xiang memisahkan kami——" 　　Kerumunan penonton semakin gempar. 　　"Apa? Ternyata Pangeran Xiang merebut cinta orang?" 　　"Ck ck, sebelumnya aku dengar Zhu Ziyu merencanakan pembunuhan terhadap istri sahnya demi kekasih gelapnya, yang ternyata adalah Nona Pertama Keluarga Cui dari Kediaman Jenderal. Tadinya tidak percaya, ternyata benar!" 　　Insiden kuda liar di Kuil Baiyun membuat Jiang Si tanpa ragu melapor ke pihak berwajib, kemudian pemutusan hubungan antara Keluarga Dongping Bo dan Keluarga Zhu, membuat nama Zhu Ziyu menjadi buah bibir. 　　Siapa yang tak kenal Zhu Ziyu si pengkhianat hati, dianggap ketinggalan zaman. 　　Dalam barisan pengantar pengantin, akhirnya ada yang tersadar. 　　"Cepat usir orang gila ini!" 　　Di hari bahagia ini, meskipun ada pengawal dari istana pangeran, senjata tidak dibawa. 　　Beberapa orang segera maju menyeret Zhu Ziyu. 　　Ini pernikahan pangeran kekaisaran, mengusir bukan berarti sekadar diusir, tapi dibawa ke tempat lain untuk dihitung nanti. 　　Zhu Ziyu berjuang mati-matian, berteriak menyayat: "Mingyue, Mingyue! Kau lupa sumpah cinta kita? Katamu mau jadi istriku, kenapa menikah dengan Pangeran Xiang? Apa kau dipaksa?" 　　Desas-desus semakin menjadi. 　　“Dari sini terlihat Zhu Ziyu sangat mencintai Nona pertama Keluarga Cui, mungkin Nona Cui juga demikian...” 　　“Hiss——Lalu bukankah Pangeran Xiang telah merebut cinta orang?” 　　Pangeran Xiang yang membeku: ?? 　　Di dalam tandu pengantin, Cui Mingyue menyentak kain penutup kepala bermotif lotus kembar, wajahnya pucat menakutkan. 　　Zhu Ziyu—— 　　Bukankah dia sudah gila? Kenapa bisa muncul di sini? 　　Tidak, justru karena dia gila, baru bisa melakukan hal gila seperti ini. 　　Dia rela mengorbankan nyawa untuk menghancurkan hidupku! 　　“Mingyue, Mingyue keluarlah——” 　　Teriakan di luar tandu bagai mantra kematian, menyiksa setiap urat saraf Cui Mingyue. 　　Tangannya bergetar beberapa kali ingin membuka tirai tandu, tapi tak punya keberanian. 　　Kerumunan orang di luar sedang menertawakan drama ini, mungkin semua mata tertuju padanya. 　　Dengan ulah Zhu Ziyu ini, apa yang akan dipikirkan Pangeran Xiang? Bagaimana reaksi Janda Permaisuri bahkan Kaisar jika mendengar ini? 　　Untuk pertama kalinya Cui Mingyue merasa panik dan bingung dalam tandu, seolah terkurung di pulau terpencil yang mulai digenangi air pasang. 　　Apa yang harus dia lakukan? 　　Tiba-tiba jantung Cui Mingyue berdebar kencang, tangannya memegangi dinding tandu sambil kesulitan bernapas. 　　Di dalam tandu sunyi, hanya terdengar napas beratnya yang parau; di luar tandu juga tampak sepi, teriakan yang membuatnya sesak telah menghilang. 　　Apakah Zhu Ziyu sudah diusir? 　　Cui Mingyue tidak bisa melihat keluar, hanya bisa menebak-nebak dengan panik. 　　Zhu Ziyu benar-benar diseret pergi, hanya panji panjang yang terjatuh dari tangannya saat berontak masih tergeletak di tanah. 　　Orang-orang yang berada dekat masih bisa membaca tulisan besar di panji itu: Nona Cui adalah istriku. 　　Ratusan pasang mata tertuju pada Pangeran Xiang. 　　Semua orang penasaran apa yang akan dilakukan Pangeran Xiang setelah kejadian dengan Zhu Ziyu ini. 　　Kalau dipikir-pikir, Pangeran Xiang memang sial, acara bahagia tiba-tiba dapat masalah seperti ini. 　　Tapi beberapa orang berbisik: Mau bagaimana lagi, dia sendiri yang merebut cinta orang. 　　Pangeran Xiang: ?? 　　Dalam iring-iringan pengantin, kerumunan saling pandang tak ada yang berani maju, akhirnya semua memandangi sang perias pengantin. 　　Perias pengantin yang dikirim istana ini baru sadar diri. Meski terbiasa dengan acara besar, ini pertama kalinya dia menghadapi situasi seperti hari ini. 　　Bagaimanapun juga, perjodohan harus dilanjutkan. 　　Di bawah tatapan kerumunan, perias pengantin mengeraskan hati mendekati Pangeran Xiang. 　　"Pangeran—" 　　Pangeran Xiang yang sedang menunggang kuda menatap bunga merah di rambut perias pengantin itu dengan perasaan tak enak. 　　Dengan tatapan dingin, ia melirik tandu pengantin, lalu mengguncang tali kekang. Kuda dan penunggangnya melesat pergi, meninggalkan debu jalanan, rombongan Menjemut Pengantin yang bingung, serta kerumunan penonton. 　　Kerumunan orang tiba-tiba hening, hanya terdengar teriakan nyaring Xi Niang: "Pangeran, Yang Mulia tidak boleh kabur——" 　　Jiang Si menyangga dagu di tepi jendela lantai dua rumah teh tepi jalan, tersenyum tipis sambil memandang keluar. 　　Dahulu, Putri Rongyang merebut cinta orang dan menghancurkan kebahagiaan ibu. Kini putrinya ditinggalkan pengantin pria di tengah prosesi pernikahan. Inilah yang disebut karma. 　　Keluarga yang menimbun kebaikan akan menuai berkah, keluarga yang menimbun kejahatan akan menuai bencana. 　　Siapa bilang tidak ada hukum karma? Kadang langit yang membalas. Jika langit diam, pasti ada manusia yang bertindak. 　　Jiang Si merapatkan sepuluh jarinya, menekan dengan kuat. 　　Ia justru senang menjadi pelaksana keadilan surgawi. 　　"A Si." 　　"Hmm?" 　　Yu Jin mengalihkan pandangan dari kedua tangan istri yang berderak ditekan, tersenyum: "Kita harus segera ke Istana Pangeran Xiang." 　　Jiang Si bangkit, tersenyum lebar: "Baik." 　　Di luar jendela, jalanan. 　　Cui Mingyue menyibak tirai tandu dengan kasar. 　　Di depan hanya ada ratusan pasang mata yang menatap, bayangan pengantin pria sudah lenyap. 　　Apakah ia baru saja ditinggalkan Pangeran Xiang di tengah prosesi pernikahan? 　　Meski telah bersiap menghadapi konsekuensi sejak mendengar keributan Zhu Ziyu, konsekuensi ini tetap tak tertahankan bagi Cui Mingyue. 　　Tangan melepas, tirai tandu jatuh, dia terjatuh lemas di dalam tandu pengantin. 434.BAB 433 Kaisar Merasakan Firasat Buruk 　　BAB 433 Kaisar Merasakan Firasat Buruk 　　Istana Pangeran Xiang dipenuhi lentera dan hiasan merah, ramai sekali. 　　Yu Jin datang terlambat bersama Jiang Si. 　　Pangeran Lu berteriak: "Adik ketujuh, kalian sangat terlambat. Saat pernikahanmu dulu, Adik Kedelapan datang lebih awal." 　　Yu Jin melihat pelayan wanita Istana Xiang membawa Jiang Si ke area tamu perempuan, baru duduk sambil berkata malas: "Seperti kata pepatah, datang lebih awal tidak sebaik datang tepat waktu. Prosesi pernikahan belum mulai, pengantin pria juga bukan Kakak kelima, kenapa Kakak begitu buru-buru?" 　　Suaranya sama kerasnya, Permaisuri Lu di area tamu perempuan melirik ke sini, menaruh cangkir tehnya dengan keras di meja. 　　Pangeran Lu kaku seketika, menyeringai pada Yu Jin tapi tak berani lagi memprovokasi. 　　Sialan, kenapa tidak menghadapiku langsung? Selalu melibatkan istri galakku untuk mengancam, itu bukan keahlian sejati! 　　Setelah duduk beberapa lama, Putra Mahkota mengerutkan kening: "Kenapa rombongan penjemput pengantin belum kembali?" 　　Pangeran Ketiga Jin Wang menengadah ke langit. 　　Matahari telah merayap ke barat, langit merah menyala indah. 　　"Waktu keberuntungan hampir terlewatkan?" gumam Pangeran Jin, nada datar. 　　Dua shichen berlalu lagi. 　　Para pangeran saling pandang, mulai merasakan keanehan. 　　Sampai sekarang rombongan Menjemut Pengantin belum tiba di istana Pangeran Xiang, pasti ada masalah. 　　"Jangan-jangan jalanan macet?" Pangeran Keenam Shu yang baru saja menikah, teringat kembali kerumunan orang saat ritual Menjemut Pengantin membuat bulu kuduknya merinding. 　　Hubungannya dengan Lao Ba biasa saja, tentu tidak bisa disebut khawatir, tapi menunggu terus-menerus sangat membosankan. 　　Pangeran Lu yang selalu bicara tanpa filter bergumam: "Jangan-jangan Adik Kedelapan jatuh dari kuda? Sudah kukatakan dia harus berlatih berkuda." 　　"Kemampuan berkuda Adik Kedelapan masih cukup, mungkin benar hanya jalanan yang macet." Pangeran Qi menunjukkan ekspresi khawatir. 　　Tentu saja, tidak diketahui berapa orang yang menganggap serius kekhawatirannya. 　　Setelah meneguk secangkir teh lagi, akhirnya kabar datang. 　　"Apa? Rombongan Menjemut Pengantin berhenti di tengah jalan?" 　　Ekspresi beberapa pangeran yang mengetahui penyebabnya menjadi sangat menarik. 　　Pangeran Shu diam-diam menghela napas lega. 　　Saat pernikahannya dulu hujan deras membuatnya basah kuyup seperti ayam, awalnya merasa tidak nyaman. Kini dibandingkan dengan Lao Ba, langsung terasa tidak berarti. 　　Basah seperti ayam kuyup bukan apa-apa, dilihat seluruh kota dengan "padang rumput di kepala" baru benar-benar menyedihkan. 　　Tentu saja, Pangeran Shu sama sekali tidak merasa kasihan pada nasib Pangeran Xiang. 　　Bercanda, tidak mungkin hanya dia sendiri yang sial. Hanya ketika orang lain lebih sial darinya baru bisa merasa senang. 　　Memikirkan ini, Pangeran Shu melirik Yu Jin secepat kilat, penuh dengan sikap jijik. 　　“Dia menikah hampir bersamaan dengan Lao Qi, hampir saja kalah telak oleh pasangan Lao Qi, tetap saja Lao Ba yang jujur dan patuh.” 　　“Yang mengantar pengantin perempuan dari pihak wanita adalah sepupu Jenderal Cui, yang saat ini sudah mengutus orang untuk kembali ke Kediaman Jenderal dan menjelaskan situasinya.” 　　“Putri Rongyang seperti tersambar petir, butuh beberapa saat baru sadar, wajahnya memucat karena marah.” 　　“Tidak masuk akal, bagaimana mungkin Pangeran Xiang membuang Mingyue begitu saja!” Dia memukul meja dengan keras masih belum puas, lalu menyambar cangkir teh dan melemparkannya ke lantai. 　　“Cangkir itu pecah berkeping-keping dengan suara keras.” 　　“Cui Xu secara refleks mengernyit, tapi malas berkomentar, bangkit dan berjalan keluar.” 　　“Cui Xu, kau mau ke mana?” Putri Rongyang mengejar sambil bertanya. 　　“Cui Xu berhenti, melirik ke luar.” 　　“Langit semakin gelap, bahkan mega senja di ufuk kehilangan kilaunya.” 　　“Waktu baik telah berlalu.” 　　“Tidak mungkin membiarkan Mingyue teronggok di jalanan begitu saja.” Cui Xu menjelaskan singkat, melanjutkan langkahnya. 　　“Putri Rongyang menyusul: ‘Maksudmu menjemput Mingyue kembali?’” 　　“‘Lalu bagaimana?’” 　　“‘Cui Xu!’ Putri Rongyang menjerit dua kata itu dengan wajah hijau, tak kuasa menahan amukannya, ‘Perjodohan Mingyue dengan Pangeran Xiang diusulkan Janda Permaisuri, ditetapkan Kaisar. Tindakan Pangeran Xiang ini melawan titah suci, dialah yang pantas dihukum. Jika kita jemput Mingyue pulang, lalu bagaimana kelanjutannya?’” 　　“Cui Xu menatap dalam-dalam ke Putri Rongyang dengan sorot mata berat.” 　　"Sudah sampai saat ini, mengapa kau memandangiku seperti ini?" Perasaan tak berdaya yang mendalam bercampur amarah membuncah dari hati Putri Rongyang. 　　Selalu begini, baik kepada dirinya maupun anak-anak, Cui Xu selalu bersikap tenang seperti ini. 　　Tenang sampai membuatnya merasa tak acuh. 　　Cui Xu akhirnya berbicara: "Mingyue dan Pangeran Xiang belum melangsungkan pernikahan, kalau tidak membawa Mingyue pulang, apa mau memaksanya ke Istana Pangeran Xiang?" 　　"Lalu kenapa?" 　　Cui Xu menghela napas: "Jika ditolak di depan pintu oleh Pangeran Xiang, Mingyue tetap akan malu. Karena bagaimanapun juga akan memalukan, pulang ke rumah setidaknya lebih baik daripada dijadikan bahan perbincangan di Istana Pangeran Xiang yang penuh tamu undangan." 　　Putri Rongyang kehilangan semangat berdebat, mengibaskan lengan bajunya: "Kalau begitu kau yang menjemputnya, aku akan ke istana!" 　　Pengantin pria yang menghilang di tengah prosesi pernikahan benar-benar tak pernah terdengar, dia harus segera ke istana meminta penjelasan. 　　Menyaksikan Putri Rongyang pergi dengan amarah, Cui Xu tidak menghalangi. Keluar dari Kediaman Jenderal, matanya menangkap kerumunan gelap di ujung jalan, segera meninggalkan kuda dan bergegas berjalan kaki. 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming yang baru menyelesaikan urusan kerajaan harian mengeluarkan buku ceritanya seperti biasa, namun tiba-tiba kehilangan minat. 　　Beberapa hari belakangan ini, rasanya segala sesuatu tak beres. 　　Jamuan keluarga yang seharusnya tenang berakhir dengan hilangnya Putri ke-15, selir Chen yang meracuni Putri ke-15 juga tiada. Putri ke-14 yang mengetahui ibunya tiada, penyakitnya semakin parah, sepertinya juga tak akan bertahan lama. 　　Namun dua pertanyaan yang dilontarkan Permaisuri masih berkecamuk di benaknya, perlahan berubah menjadi simpul yang tak teruraikan. 　　Dia telah memerintahkan Pan Hai untuk menyelidiki. Kecantikan Chen berasal dari keluarga biasa, orangtuanya telah lama tiada, hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang menjadi pejabat di daerah terpencil. 　　Selama bertahun-tahun, kami (saudara kandung) hampir tidak memiliki kontak. 　　Bagaimana mungkin seorang selir kecil yang begitu biasa memiliki benda-benda aneh untuk menyakiti orang? 　　Jika dikatakan tidak ada orang di belakang Kecantikan Chen, Kaisar Jingming adalah yang pertama tidak mempercayainya. 　　Namun meski Permaisuri telah menyelidiki begitu lama—tidak hanya tempat tinggal Kecantikan Chen, bahkan seluruh Istana Yuquan telah digeledah berulang kali, hingga Ibu Suri Xian terpaksa pindah sementara—sama sekali tidak ditemukan petunjuk. 　　Meski Kaisar Jingming memiliki Dongchang dan Jinlinwei, ini digunakan untuk memantau para bawahan dan kantor kabupaten. Bukan hanya karena sifat Kaisar yang toleran, bahkan para pendahulunya pun tidak pernah menggunakan ini untuk mengawasi halaman belakang istana. 　　Penguasa harem adalah Permaisuri. 　　Kaisar Jingming yang tidak bisa campur tangan secara langsung, bukan berarti tidak peduli dengan kasus Kecantikan Chen. 　　Sayangnya Permaisuri gagal memberikan jawaban yang memuaskan. 　　Kekecewaan, kegelisahan, kemarahan... berbagai emosi berbaur membuat buku cerita favoritnya pun kehilangan daya tarik. 　　Kaisar Jingming melempar buku cerita ke meja tulis, bertanya pada Pan Hai: "Kelopak mataku berkedut. Konon di kalangan rakyat ada istilah. Pan Hai, mata kiri berkedut pertanda rezeki, mata kanan pertanda bencana, atau sebaliknya?" 　　Pan Hai berkeringat dingin. 　　Belakangan ini Kaisar bahkan tidak menyembunyikan kebiasaan membaca buku cerita, menunjukkan suasana hatinya yang sangat buruk. 　　Apa yang harus dia katakan? 　　Setelah berpikir sejenak, Pan Hai bertanya dengan tersenyum, "Boleh hamba tahu kelopak mata mana Yang Mulia yang berkedut?" 　　Kaisar Jingming menatap Pan Hai dalam-dalam, lalu berkata, "Mata kanan." 　　Hati Pan Hai berdebar, sedang mencoba mencari cara untuk berbicara ketika terdengar langkah kaki tergesa-gesa. 435.BAB 434 Kaisar Jingming Si Baik Hati 　　BAB 434 Kaisar Jingming Si Baik Hati 　　Yang masuk adalah seorang pelayan istana berjubah hijau, terlihat muda dengan sorot mata lincah, murid Pan Hai. 　　Pan Hai mengerutkan kening dan melototi pelayan berjubah hijau itu. 　　Tempat ini adalah kediaman siapakah, melayani siapakah? Meski langit runtuh harus tetap tenang. 　　Memang masih muda belum berpengalaman. 　　Pelayan hijau itu tak peduli dengan ketidaksenangan shifu-nya, langsung melapor, "Yang Mulia, Pangeran Xiang memohon audiensi." 　　Kaisar Jingming terkejut. 　　Pangeran Xiang? 　　Bukankah hari ini Lao Ba menikah? Jangan-jangan salah ingat, bukankah gelar Lao Ba bukan Pangeran Xiang? 　　Kaisar Jingming menoleh ke Pan Hai, bertanya tegas, "Hari ini bukankah hari pernikahan Pangeran Xiang?" 　　Mengajukan pertanyaan ini, hati Kaisar Jingming terasa perih. 　　Di keluarga biasa, saat ini mertua sudah menerima sembah sujud anak lelaki dan menantu. Tapi di keluarga kerajaan, beliau harus membaca laporan di ruang studi kekaisaran. 　　Besok pagi baru bisa menikmati secangkir teh mempelai. 　　Meski memiliki banyak anak dan menantu, secangkir teh tak lagi istimewa. Tapi soal istimewa atau tidak adalah satu hal, minum teh basi sungguh tak berasa. 　　“Pan Hai saat ini juga tertegun, namun dia menyembunyikan keheranannya dalam hati. Mendengar pertanyaan Kaisar Jingming, dia segera menjawab: "Benar."” 　　Kaisar Jingming mendapatkan jawaban pasti, hatinya langsung dingin membeku. 　　Habislah, habislah! Setelah pesta istana hari itu, masalah baru muncul lagi! 　　“Di mana Pangeran Xiang?” Kaisar Jingming mengangkat suaranya. 　　Pelayan istana berjubah hijau berkata hati-hati: “Pangeran Xiang sedang berlutut di tangga batu di luar...” 　　“Suruh dia masuk!” 　　Tak lama kemudian Pangeran Xiang berlutut di hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengamati Pangeran Xiang dengan saksama. 　　Dibandingkan putri-putri di harem yang jarang ditemui, delapan anak lelakinya sangat ia kenal. 　　Anak sialan di depan mata ini memang yang seharusnya menikah hari ini! 　　“Berikan alasanmu berada di sini.” 　　Dahi Pangeran Xiang menempel pada ubin emas yang mengilap, suaranya penuh amarah: “Ayah Kaisar, mohon hukum hamba. Hari ini hamba tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.” 　　Kaisar Jingming menepuk meja dengan keras: “Apa sebenarnya yang terjadi? Angkat kepalamu dan jelaskan!” 　　Pangeran Xiang ragu sejenak sebelum mengangkat kepala, matanya yang indah berlinang air mata. 　　Kaisar Jingming tertegun melihatnya. 　　Anak kecil ini sampai menangis? Seorang pria dewasa, menghadapi masalah masih menangis? 　　Memikirkan ini, amarah Kaisar Jingming yang semula memuncak justru terlupakan, hanya menunggu penjelasan Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang tentu tidak mungkin meratap seperti seorang wanita, matanya yang kemerahan dipenuhi kekesalan dan amarah: "Di tengah prosesi Menjemut Pengantin, Zhu Ziyu menghadang tandu pengantin untuk merebut mempelai... mengaku bahwa dia saling mencintai dengan Nona Cui, anakku merebut cinta orang..." 　　Saat menceritakan hal ini, seluruh tubuh Pangeran Xiang gemetaran. 　　Adakah yang lebih memalukan daripada disaksikan ribuan orang saat mahkota hijau tertanam di kepala? 　　Kejadian hari ini adalah aib yang tak tertanggungkan, dendam ini harus dibalas! 　　Memang dia melanggar titah kaisar, tapi jika harus menelan penghinaan ini dan membawa Cui Mingyue ke Istana Pangeran Xiang hanya untuk menuruti perintah, maka seumur hidupnya takkan bisa menegakkan kepala. 　　Langkah terbaik adalah segera meninggalkan wanita hina itu dan datang ke istana untuk mohon ampun. 　　Dia bertaruh bahwa Ayah Kaisar bisa merasakan penderitaan putra kandungnya. 　　Tidak, semua pria sejati pasti memahami pilihannya. 　　Pangeran Xiang melirik Pan Hai tak sengaja, lalu menambahkan dalam hati: Bahkan pria setengah jadi pun akan paham. 　　Pan Hai bingung dibuatnya oleh sorotan mata itu. 　　Kaisar Jingming sudah berdiri: "Benarkah ini terjadi?" 　　Pernikahan pangeran malah direbut orang... Di buku cerita pun tak berani menulis plot seperti ini! 　　Kaisar Jingming memegangi dadanya, napasnya mulai tersengal. 　　Pan Hai panik bertanya berulang: "Paduka, Paduka kenapa?" 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan: "Pan Hai, sampaikan pada Han Ran untuk segera menyelidiki kejadian hari ini dan laporkan." 　　“Han Ran adalah Komandan Pengawal Jinlin, meskipun setara dengan Pan Hai, namun Pan Hai bisa melayani Kaisar secara dekat. Tidak seperti Jinlinwei yang harus melapor melalui surat rahasia atau menunggu panggilan.” 　　Karena ada jarak ini, lama-kelamaan Pan Hai secara alami mengungguli Han Ran. 　　Pernikahan pangeran hari ini adalah acara besar. Han Ran telah mengirim anak buahnya untuk mengawasi di jalan. Setelah Zhu Ziyu muncul, pasukan Jinlinwei walau tidak tampil, telah segera melaporkan situasi ke Han Ran. 　　Kaisar Jingming tidak menunggu lama sebelum melihat Pan Hai membawa Han Ran masuk. 　　“Hamba yang bodoh menghadap Kaisar——” 　　Kaisar Jingming memotong dengan tidak sabar: “Bagaimana?” 　　Han Ran melirik sekilas ke arah Pangeran Xiang yang berlutut jauh di sana, matanya berkilau simpati, lalu menunduk: “Melapor, hari ini dalam prosesi Menjemut Pengantin Pangeran Xiang, dihadang oleh Zhu Ziyu...” 　　Mendengar laporan Han Ran yang tidak jauh beda dengan versi Pangeran Xiang, Kaisar Jingming murka. Tangannya menghantam Meja Naga: “Bagaimana Zhu Deming mendidik anaknya! Tampaknya penurunan jabatannya sia-sia!” 　　Zhu Deming sebelumnya adalah Wakil Menteri Kanan Pengadilan Dali. Meski pangkatnya tidak tinggi, tapi termasuk pejabat terpandang di antara banyak pejabat ibu kota. 　　Setelah skandal Zhu Ziyu, Kaisar Jingming menurunkannya dari Wakil Menteri Kanan Pengadilan Dali menjadi Sekretaris Pengadilan kelas lima, sekonyong-konyong jadi pegawai rendahan. 　　Dalam hal merugikan ayah, Zhu Ziyu benar-benar ahli. 　　“Lapor Kaisar, Zhu Ziyu telah dikeluarkan dari Keluarga Zhu.” 　　Di era ketika hukum klan lebih kuat dari hukum kerajaan, pengusiran dari keluarga adalah hukuman yang sangat berat. 　　Orang yang diusir kehilangan sandaran keluarga, dan apapun yang dilakukannya di masa depan tidak akan lagi berhubungan dengan keluarga. 　　Kaisar Jingming tertegun sejenak. 　　Karena sudah diusir, tentu tidak bisa lagi menyalahkan Keluarga Zhu. 　　Setelah lama terdiam, Kaisar Jingming yang sudah sedikit tenang bertanya: “Benarkah rakyat mengira Pangeran Xiang merebut cinta orang?” 　　Pangeran Xiang yang sedang berlutut menggigit gigi dengan getir. 　　Merebut cinta orang? 　　Mana mungkin dia sebodoh itu! 　　Han Ran melirik Pangeran Xiang sekali lagi sambil menjawab: “Rakyat jelata suka ikut-ikutan. Zhu Ziyu yang teriak-teriak sembarangan dengan panji membuat banyak orang percaya, bahkan bilang——” 　　“Bilang apa?” 　　“Bilang Zhu Ziyu dan Nona Cui adalah sepasang kekasih yang dipisahkan dengan kejam, sungguh menyedihkan...” 　　Wahai Pangeran Xiang, sebagai sesama suami aku hanya bisa membantu sampai di sini. 　　Pangeran Xiang hampir menangis haru, menunduk untuk menyembunyikan perasaannya. 　　Komandan Han hari ini terlalu jago berakting. 　　Ayah Kaisar ini selalu menjaga reputasi, tak mau dicap sebagai penjahat pemisah kekasih di mata rakyat... 　　Setelah lama berdiam, Kaisar Jingming berkata: “Pan Hai, panggil Jenderal Cui Xu dan Putri Rongyang ke istana——” 　　Sebelum selesai bicara, sudah ada pelayan istana melapor bahwa Putri Rongyang meminta audiensi. 　　“Kakak Kaisar, Baginda harus membela adikMu——” Putri Rongyang berlari masuk, terhenti bicaranya saat melihat Pangeran Xiang berlutut di lantai. 　　“Aku mendengar, bicaralah pelan-pelan.” 　　Putri Rongyang yang datang mengadu sudah mempersiapkan argumen, terutama menekankan bagaimana Pangeran Xiang mengabaikan kepentingan umum dengan meninggalkan Cui Mingyue. 　　Setelah mengadu sambil menangis tersedu-sedu, melihat Kaisar Jingming menutup mata diam seribu bahasa, Putri Rongyang tak tahan mendesak: “Kakak Kaisar, sekarang Mingyue sudah dibawa pulang Cui Xu ke Kediaman Jenderal, Bagaimana nasib Mingyue nanti?” 　　“Dibawa ke Kediaman Jenderal justru tepat.” 　　Putri Rongyang tertegun, mendengar Kaisar Jingming berkata santai: “Karena Mingyue dan Zhu Ziyu saling mencinta, Aku takkan jadi penghalang. Aku akan menetapkan pernikahan mereka.” 436.BAB 435 Kesempurnaan 　　BAB 435 Kesempurnaan 　　Suara Kaisar Jingming lembut, matanya samar menyembunyikan secercah belas kasihan, berpura-pura memikirkan keponakannya. 　　Pangeran Xiang menunduk, nyaris tertawa terbahak-bahak. 　　Taruhannya tepat! 　　Ia yakin setiap pria yang mengalami nasibnya hari ini pasti akan bersimpati. 　　Sambil berpikir begitu, matanya menyipit ke arah Pan Hai, menambahkan dalam hati: Pria setengah juga begitu. 　　Pan Hai: “...” Sudah kedua kalinya! 　　Jika Pangeran Xiang terus memandangnya seperti ini, ia akan khawatir sang Pangeran ingin mencampakkan Nona Cui padanya. Untunglah ia hanya pria setengah... 　　Pan Hai dalam hati menghela nafas lega, mengusap keringat di dahinya dengan lengan baju. 　　Putri Rongyang terdiam kaku mendengar ucapan Kaisar Jingming. Setelah sadar, langsung meledak: “Kakak Kaisar, kau... kau bilang apa?” 　　“Aku memutuskan untuk menetapkan pernikahan antara Mingyue dan Zhu Ziyu, ini juga bisa dianggap sebagai pengabulan bagi sepasang kekasih.” 　　“Kakak Kaisar, Mingyue telah dibohongi oleh brengsek bermarga Zhu itu! Awalnya dia mengira dia belum menikah, baru kemudian berhubungan dengannya...” 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: “Menipu memang salah, karena itu Aku telah menurunkan jabatan Zhu Deming dan mencabut status Shujishi Zhu Ziyu. Apakah menurut Adinda hukuman ini masih kurang?” 　　Putri Rongyang menggigilkan bibirnya, tidak berani bicara. 　　Bagaimana jika dia bilang kurang? Jika Kaisar menambah hukuman lalu tetap memaksa pernikahan Mingyue dan Zhu Ziyu, itu malah akan jadi bencana! 　　“Apakah Adinda merasa hukuman ini sudah cukup?” Kaisar Jingming bertanya lagi dengan sabar. 　　Putri Rongyang memucatkan bibirnya, menahan keras emosi yang hampir meledak: “Keputusan Kakak Kaisar pasti yang paling tepat.” 　　Kaisar Jingming mengangguk perlahan: “Bagus kalau Adinda bisa berpikir begitu. Karena perbuatan Zhu Ziyu sudah dihukum, mari kita bahas pernikahannya dengan Mingyue—” 　　“Apa lagi yang perlu dibahas dengan Mingyue?!” Putri Rongyang benar-benar kehilangan kendali, memotong ucapan Kaisar dengan suara tinggi. 　　Sorot mata Kaisar Jingming menggelap, pandangannya menyapu wajah Putri Rongyang yang memerah karena emosi. 　　Nada bicaranya masih tetap lembut: “Tadi Adinda bilang Mingyue mengira Zhu Ziyu belum menikah sehingga berhubungan dengannya. Ini membuktikan ada perasaan di antara mereka. Jika ada cinta, dan sekarang sudah terjadi masalah seperti ini, bukankah mengabulkan mereka akan jadi solusi yang sempurna?” 　　Putri Rongyang hampir tersedak napasnya. 　　"Sempurna apanya! Aku tahu orang yang terlalu lama jadi kaisar pasti otaknya agak nggak normal!" 　　"Kak, Mingyue dan Pangeran Xiang cuma tinggal belum melangsungkan pernikahan. Kalau dipikir-pikir, dia sudah bisa dianggap istri keluarga kerajaan. Gimana bisa menikah lagi dengan orang lain?" 　　Wajah Kaisar Jingming berubah serius: "Perkataanmu salah. Kalau pasangan suami istri tidak harmonis setelah menikah, banyak yang memilih bercerai dan mencari jodoh baru. Apalagi mereka belum resmi menikah. Aku bukan orang kolot yang mau mengorbankan kebahagiaan Mingyue demi gengsi keluarga kerajaan." 　　Putri Rongyang hampir bersujud di hadapan kaisar. 　　Kak, tolonglah jadi kolot sedikit! Sikapmu begini bikin orang nggak bisa hidup! 　　"Jangan keras kepala. Dengarkan nasihatku, anak cucu punya takdirnya masing-masing—" 　　"Tidak boleh!" Putri Rongyang memotong dengan tegas, suaranya bergetar. "Aku akan temui Ibu—" 　　Suara dingin menggelegar: "Berdiri!" 　　Langkah Putri Rongyang terhenti. Matanya menatap kaisar. 　　Sosok kakak yang selama ini dikenal lembut dan toleran kini memandangnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. 　　Kemarahan kaisar yang sesungguhnya membuat bahkan Putri Rongyang yang paling manja pun gemetar ketakutan. 　　Dia bukan lagi gadis belasan tahun yang nekat minta izin menikah di hadapan Janda Permaisuri dan Kaisar Jingming demi pria yang dicintainya. 　　Kaisar Jingming meletakkan tangannya di atas pemberat kertas giok putih sambil mengusap-usapnya perlahan, suaranya terdengar dingin: "Ibu sudah berusia lanjut, perlu lebih banyak istirahat. Adinda Putri selalu bijaksana, jangan sampai mengganggu beliau." 　　Meski Kaisar Jingming berbicara santai, Putri Rongyang menangkap peringatan keras dalam kata-katanya. 　　Seketika itu juga niatnya untuk mengadu dan meratap sirna. 　　Di keluarga kerajaan Zhou Besar, jumlah putri selalu lebih banyak. Dulu dia punya banyak saudari, tapi yang bisa menikah di ibu kota sangat sedikit. Dan yang bisa masuk istani kapan saja hanya dirinya seorang. 　　Mengapa? 　　Pada dasarnya karena dia adalah putri angkat Janda Permaisuri, Sang Kaisar baru memberikan perlakuan khusus padanya. 　　Dan perlakuan khusus ini bergantung pada Janda Permaisuri. 　　Jika dia tetap nekat mencari Janda Permaisuri untuk mengadu setelah peringatan Sang Kaisar, itu akan dianggap sebagai sikap tidak berbakti. 　　Sang Kaisar paling memperhatikan Janda Permaisuri. Jika dia dianggap tidak berbakti, hak istimewanya akan terpengaruh besar. 　　Kenakalan masa muda Putri Rongyang sebenarnya karena statusnya yang lebih tinggi. Tapi di hadapan Janda Permaisuri dan Kaisar Jingming, dia tahu harus menahan diri. 　　Hidup di keluarga kerajaan, jika hanya mengandalkan kelicikan, mungkin tidak akan bertahan dua tahun. 　　Melihat Putri Rongyang cukup mengerti situasi, Kaisar Jingming mengangguk puas, matanya berubah lembut: "Kalau Adinda juga setuju dengan keputusan Aku, mari kita laksanakan. Pan Hai, sampaikan maklumatKu..." 　　Pan Hai segera menjalankan perintah. 　　Putri Rongyang meninggalkan istana bagai orang tak bernyawa. 　　Untuk apa dia datang ke istana? 　　Pangeran Xiang masih berlutut dengan tenang. 　　Kaisar Jingming berjalan mendekat, menendang pantat Pangeran Xiang, dan marah: "Ngapain masih berlutut? Gua suruh lu balik ke istana pangeran!" 　　Saat ini di Istana Xiang masih ada sekumpulan orang yang menunggu pesta pernikahan - memikirkan hal ini, Pangeran Xiang tiba-tiba merasa hidupnya tak berarti. 　　Kesalahan apa yang telah kulakukan sampai mengalami kejadian menjijikkan seperti ini! 　　Cui——Ming——Yue—— 　　Pangeran Xiang menggigit gigi dalam hati sambil menyebut nama ini, kebencian memenuhi dadanya. 　　Sekarang menelan ludah ini bukan berarti urusan selesai sampai di sini. 　　Apa menikah dengan Zhu Ziyu sudah cukup? 　　Pasangan mesum ini sudah mempermalukanku sampai begini, pasti akan kubuat mereka menyesal! 　　"Hmm?" Kaisar Jingming mengerutkan kening melihat Pangeran Xiang masih berlutut bodoh. 　　Pangeran Xiang membungkukkan kepala: "Anak mohon pamit." 　　Sekejap mata, ruang studi kekaisaran hanya tersisa Kaisar Jingming sendirian. 　　Kaisar Jingming membalik-balik buku cerita, menghela napas dalam-dalam. 　　"Ternyata mata kiri berkedut rejeki, mata kanan berkedut malapetaka!" 　　Kaisar Jingming menyelipkan buku cerita ke laci, lalu berjalan ke Istana Cining dengan tangan terkebelakang. 　　Janda Permaisuri pasti akan tahu soal ini cepat atau lambat, tapi lebih baik tunggu sampai nasi sudah menjadi bubur. 　　Kedatangannya sekarang tentu bukan untuk mengaku, tapi menemani Janda Permaisuri mengobrol. 　　Dengan anak yang berbakti seperti dirinya, seharusnya Janda Permaisuri tidak akan terlalu mempermasalahkan orang lain. 　　Pangeran Xiang buru-buru kembali ke istananya, sebagian besar tamu memang masih menunggu di sana. 　　“Pangeran Xiang melihat beberapa saudaranya masih ada di sini, bahkan Putra Mahkota pun belum pergi. Dia langsung naik pitam.” 　　“Orang lain mungkin biasa saja, tapi saat pernikahan Lao Qi dulu, Putra Mahkota jelas-jelas sudah pergi lebih awal. Sekarang mau apa?” 　　“Apakah kelucuanku semenyenangkan itu untuk ditonton?” 　　“Adik Kedelapan, ada masalah apa ini?” Para pangeran berpura-pura penuh perhatian sambil bertanya ramai-ramai. 　　“Bercanda! Kebetulan sedang mencari cara untuk menonton drama ini secara jujur dan terhormat. Sekarang kebetulan ketemu, orang bodoh pun takkan pergi.” 　　“Mungkin karena kejadian hari ini terlalu menguji kesabaran, Pangeran Xiang hanya marah sebentar lalu tenang kembali. Dengan datar dia berkata: 'Tidak ada apa-apa. Pernikahanku dengan Nona Cui dibatalkan.'” 　　“Dibatalkan?” Para pangeran tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut. 　　Putra Mahkota yang jarang mendapat kesempatan menasihati adiknya berkata: “Adik Kedelapan, perjodohan kalian ditetapkan oleh Ayah Kaisar. Sekalipun marah, jangan bertindak semaumu!” 　　“Tidak ada cara lain. Adikku dicuri pasangannya. Terpaksa masuk istirahat memohon keadilan Ayah Kaisar. Akhirnya beliau membatalkan pernikahanku dengan Nona Cui, lalu menetapkan pernikahan Nona Cui dengan Zhu Ziyu...” 　　“Pfft——” Pangeran Lu menyemburkan teh dari mulutnya. 437. BAB 436: Pasangan yang Ditakdirkan 　　BAB 436: Pasangan yang Ditakdirkan 　　Pangeran Lu yang terlalu emosional menyemburkan tehnya mengenai baju Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota mengibas-ngibaskan lengan bajunya dengan wajah muram: “Lao Wu, tidak bisakah kau lebih sopan?” 　　Pangeran Lu tersenyum minta maaf: “Maaf, Kakak Kedua. Aku terlalu terkejut.” 　　Kerumunan kembali memusatkan pandangan pada Pangeran Xiang. 　　“Pangeran Qi bertanya dengan penuh perhatian: "Adik Kedelapan, benarkah Ayah Kaisar telah menetapkan pernikahan Nona Cui dengan Zhu Ziyu?"” 　　Hubungan Pangeran Xiang dengan Pangeran Qi selalu baik, ia mengangguk dengan wajah muram. 　　"Selamat untuk Adik Kedelapan." Suara jernih terdengar. 　　Pangeran Xiang menoleh ke arah suara. 　　Yu Jin mengangkat gelas ke arahnya. 　　"Apakah Kakak Ketujuh sedang bercanda?" tanya Pangeran Xiang dingin. 　　Jika hari ini ia berkelahi, pasti Ayah Kaisar akan memahaminya. 　　Yu Jin mengangkat alis dengan senyum tipis: "Saya paling tidak suka bercanda, melainkan tulus mengucapkan selamat pada Adik Kedelapan." 　　Urat di pelipis Pangeran Xiang berdenyut, hampir tak bisa menahan dorongan untuk memukul. 　　"Kalau begitu, kakak jelaskan, dari mana sumber kebahagiaan adik ini?" 　　Yu Jin memutar gelas di tangannya, berkata perlahan: "Meskipun kejadian hari ini memalukan Adik, lebih baik daripada terungkap di kemudian hari. Itu baru benar-benar memalukan. Bagaimana pendapat Adik?" 　　Pangeran Xiang ragu sejenak, lalu menyambar gelas anggur dan meneguknya habis. 　　Lao Qi memang benar, membebaskan diri dari si jalang bermarga Cui sebelum melangsungkan pernikahan, patutlah ia menerima ucapan selamat. 　　Para pangeran lain serentak mengangkat gelas. 　　"Benar, Adik jangan dipikirkan. Mari kita minum..." 　　Yu Jin menyentuhkan gelas ke bibirnya, tersenyum tipis. 　　Dalam perjalanan pulang, Yu Jin dengan tak tahu malu menyelinap ke gerbong, memeluk Jiang Si bertanya: "A Si, tebaklah apakah pernikahan Cui Mingyue dengan Zhu Ziyu akan berjalan lancar?" 　　Jiang Si memiringkan kepala menghindari bau alkohol yang menyengat, tersenyum: "Tentu saja berharap mereka lancar-lancar saja." 　　Awalnya mengira memutus jalan Permaisuri Cui Mingyue sudah merupakan kemenangan kecil, tak menyangka Kaisar punya keputusan tak terduga seperti ini. 　　Mempertemukan Cui Mingyue dengan Zhu Ziyu, benar-benar seperti ikan mencari ikan, udang mencari udang, kura-kura mencari penyu, sungguh jodoh yang ditakdirkan langit. 　　Jiang Si hampir bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. 　　Dengan keangkuhan Cui Mingyue, jika Zhu Ziyu masih Shujishi yang berprospek cerah mungkin masih bisa diterima. Tapi menikahkannya dengan pria setengah gila yang diusir dari keluarga? Nanti tanpa perlu campur tangan orang lain, mereka sendiri akan menghancurkan diri. 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta sambil tersenyum. 　　Target kecil ini sepertinya hampir tercapai. 　　Cui Mingyue duduk lesu di kamar, baju pengantin merahnya belum juga ditanggalkan. 　　Cui Yi yang biasanya tak kenal aturan bahkan tak berani memasuki pintu kamar, hanya bolak-balik berjalan di koridor luar. 　　"Kau ngapain di sini?" 　　Cui Yi menoleh dan melihat Putri Rongyang, wajahnya masam: "Adik sedang di dalam." 　　"Ayahmu mana?" 　　Cui Yi menunjuk ke area bayangan: "Ayah ada di sana." 　　"Jaga baik-baik adikmu." Putri Rongyang melempar kalimat itu tanpa langsung menemui Cui Mingyue, malah pergi mencari Cui Xu. 　　Cui Xu berdiri di bawah pohon osmanthus, mendengar langkah kaki sedikit mengangkat pandangan. Melihat Putri Rongyang mendekat, ia kembali menunduk dan tetap diam. 　　Putri Rongyang mendekat dan melihat penampilan Cui Xu yang membuat amarahnya langsung memuncak. 　　"Kau tidak menanyakan apa kata Kakak Kaisar?" 　　"Bagaimana kata Kaisar?" 　　"Kau——" 　　Cui Xu memandangnya dengan putus asa: "Saat seperti ini kita harus bertengkar dulu?" 　　Putri Rongyang langsung kehilangan semangat. 　　"Kakak Kaisar ingin menjodohkan Mingyue dengan Zhu Ziyu!" 　　Cui Xu tertegun sejenak, lalu diam berkepanjangan. 　　"Cui Xu, kau tidak mau bicara?!" Selama bertahun-tahun, yang paling dibenci Putri Rongyang adalah sikap dingin suaminya ini. 　　Cui Xu tersenyum pahit: "Ini keinginan Kaisar, apa lagi yang bisa kukatakan? Apa kau ingin aku melawan titah?" 　　Seandainya bisa melawan titah, dia takkan menunggu sampai saat ini. 　　Putri Rongyang terdiam tak bisa membalas. 　　"Kalau memang ini keinginan Kaisar, kau yang beri tahu Mingyue. Suruh dia bersiap." Setelah berkata demikian, Cui Xu berbalik menuju pintu halaman dengan tangan tergenggam di belakang. 　　"Cui Xu——" Putri Rongyang memanggil. 　　Cui Xu berhenti, memandangnya dengan tatapan bertanya. 　　Bibir Putri Rongyang bergetar. 　　Untuk apa dia menahan Cui Xu? 　　Titah kerajaan tak boleh dilawan. Pernikahan putri mereka dengan Zhu Ziyu tak bisa diubah. Tentu saja dia tidak meminta Cui Xu melawan titah. 　　Tapi di saat seperti ini, sang suami dan ayah ini tak bisa memberinya sedikit penghiburan? 　　"Kalau tidak ada urusan, aku pergi dulu." Cui Xu berpaling dan pergi. 　　Putri Rongyang masuk ke dalam rumah. 　　“Kaisar akan menetapkan pernikahan saya dengan Zhu Ziyu?” Setelah mendengar ucapan Putri Rongyang, Cui Mingyue bergumam bertanya. 　　“Dekrit kerajaan akan segera tiba.” 　　“Tidak mungkin!” Cui Mingyue tiba-tiba berdiri dan menarik lengan baju Putri Rongyang, “Bagaimana mungkin Kaisar menetapkan pernikahan saya dengan Zhu Ziyu? Ibu, apakah Ibu tidak menemui Janda Permaisuri——” 　　Putri Rongyang menampar wajah Cui Mingyue. 　　“Kau masih berani menyebut Janda Permaisuri! Jika mengganggu Janda Permaisuri lagi sampai membuat Kaisar tidak senang, bahkan aku pun tidak akan bisa bertahan di ibu kota!” Amarah Putri Rongyang semakin memuncak, “Bukankah semua ini akibat kebodohanmu? Mengapa dulu kau bergaul di jalanan dengan pria yang sudah beristri!” 　　Cui Mingyue memegangi pipinya, mengabaikan tuduhan Putri Rongyang, bersikeras bertanya: “Benarkah Kaisar akan menetapkan pernikahan saya dengan Zhu Ziyu?” 　　Tiba-tiba Cui Yi berlari masuk: “Ibu, Adik, kasim pembawa titah sudah tiba!” 　　Cui Mingyue langsung terjatuh terduduk di kursi. 　　Setelah kasim pembawa dekret pergi, Cui Mingyue memeluk dekret kerajaan sambil termenung. 　　Bukankah mulai hari ini seharusnya aku menjadi Permaisuri Xiang? Bagaimana semua ini bisa berubah seperti ini? 　　Kapan pria seperti Zhu Ziyu punya keberanian seperti ini? 　　Cui Xu melihat kilasan kemarahan dan kekecewaan di mata putrinya, akhirnya berubah menjadi kepasrahan: “Mingyue, berkemaslah dengan baik... Bagaimanapun juga, jalani hidupmu dengan baik bersama Zhu Ziyu...” 　　Melihat Cui Xu pergi, Putri Rongyang juga tidak berminat tinggal, tapi tiba-tiba pergelangan tangannya dicengkeram Cui Mingyue. 　　“Ibu, kejadian hari ini pasti ada yang sengaja menjerumuskanku!” 　　Putri Rongyang terkejut. 　　Cui Mingyue mengangkat kepala, menggenggam pergelangan tangan Putri Rongyang dengan kuat: "Ibu, yang menghasut Zhu Ziyu untuk membuat keributan pasti Permaisuri Yan!" 　　Wajah Putri Rona Yang berubah: "Kau punya bukti?" 　　"Aku tidak punya, tapi aku yakin pasti dia! Ibu, percayalah padaku..." 　　Si jalang bermarga Jiang pasti membalas dendam karena urusan Lush Sheng Xiang! 　　Dalam permainan ini, dia kalah total... 　　Memikirkan ini, air mata Cui Mingyue mengalir deras, penuh penyesalan. 　　Dia terlalu terburu-buru. Seandainya menunggu menjadi Permaisuri Xiang terlebih dahulu, menyelesaikan masalah Zhu Ziyu yang berbahaya itu baru fokus menghadapi si jalang bermarga Jiang, mana mungkin sampai kalah telak seperti ini. 　　Tidak, sekalipun kehilangan segalanya, dia tidak akan menjadi pasangan suami istri dengan Zhu Ziyu! 　　Dengan dekrit kerajaan, Cui Mingyue segera kembali duduk di tandu pengantin, diarak dengan gemuruh musik menuju sebuah rumah besar. 　　Itu adalah wujud kasih sayang kekaisaran, khusus diberikan kepada Zhu Ziyu yang telah diusir dari keluarga sebagai tempat tinggal baru. 　　Kali ini warga yang menonton lebih banyak daripada pernikahan Pangeran Xiang, memadati jalanan hingga sesak. 　　Sayangnya upacara pernikahan kali ini berjalan lancar tanpa kejadian aneh. 　　Di kamar pengantin, lilin merah berlompatan menerangi ruangan. 　　Zhu Ziyu menatap sosok yang tertutup kain penutup kepala pengantin, tatapannya rumit. 438.BAB 437 Malam Lilin Pernikahan 　　BAB 437 Malam Lilin Pernikahan 　　Akhirnya dia menikahi wanita ini. 　　"Berhasil menikahi putri bangsawan yang berasal dari keluarga terhormat." 　　"Tapi apa gunanya? Dalam situasinya sekarang, bukan hanya menikahi putri permaisuri, bahkan menikahi putri kaisar pun tak ada artinya." 　　"Kain penutup kepala pengantin tak kunjung disingkapkan." 　　"Karena Zhu Ziyu bukan lagi anggota keluarga Zhu, tak ada satu pun dari pihak mempelai pria yang hadir dalam pesta pernikahan ini, bahkan pengantin wanita pun dikirim dari istana." 　　"Pengantin wanita menyembunyikan ketidaksabaran di matanya, bersikap kaku saat mendesak: 'Tuan Gong Zhu, cepatlah singkapkan kain penutupnya. Masih harus minum anggur cawan pengantin dengan pengantin baru.'" 　　"'Keluar.'" 　　"Pengantin wanita tertegun, bertatapan dengan mata Zhu Ziyu yang hitam pekat tanpa dasar." 　　"Cui Mingyue yang masih tertutup kain pengantin menggenggam erat gaun pengantinnya." 　　"'Pergilah, sisanya kami bisa urus sendiri.'" 　　"Dengan sedikit ragu, pengantin wanita memenuhi permintaan Zhu Ziyu." 　　"Ini adalah orang gila yang berani menculik pengantin sampai ke kepala pangeran. Dia hanya pengantin wanita biasa, tak perlu mempertaruhkan nyawa..." 　　"Setelah menimbang cepat, pengantin wanita bersama dua dayang segera meninggalkan ruangan." 　　"Di dalam ruangan hanya tersisa pasangan pengantin baru. Lilin naga-phoenix membara sunyi, tiba-tiba menyemburkan percikan api." 　　"Zhu Ziyu menatap lilin merah besar itu." 　　"Percikan lilin pertanda baik... pikirnya melayang. Saat matanya beralih ke sosok yang duduk di ranjang, langkahnya mulai mendekat." 　　"Cui Mingyue tetap tak bergerak di tepi ranjang. Tertutup kain pengantin, pandangannya gelap. Mendengar langkah kaki semakin dekat, raut wajahnya semakin membeku." 　　Tiba-tiba pandangan terang, kain penutup kepala pengantin disingkirkan dan dilempar ke samping, yang muncul di depan mata adalah wajah pria tanpa ekspresi. 　　Kurus, pucat, memiliki ketampanan yang mengundang rasa iba. 　　Tapi Cui Mingyue sama sekali tidak merasakan apa-apa. 　　Yang dia kagumi adalah pria gagah seperti elang atau serigala sendirian, bukan orang lemah seperti Zhu Ziyu. 　　Apalagi menjadi pasangan suami istri sejati, hanya memikirkan menjadi pasangan nominal dengan pria seperti ini saja sudah membuatnya muak! 　　Zhu Ziyu memandang gadis secantik bunga dari atas ke bawah, tidak ada sedikitpun kegembiraan dalam hatinya. 　　"Istriku, mari minum anggur cawan pengantin." Entah memikirkan apa, setelah lama terdiam Zhu Ziyu mengambil gelas anggur di samping dan menyerahkannya pada Cui Mingyue. 　　Cui Mingyue tidak bergerak. 　　Zhu Ziyu mengangkat alis: "Kenapa, tidak mau minum?" 　　Cui Mingyue menatap Zhu Ziyu sebentar, melepas sepatu bordir merahnya: "Aku tahu kau menyimpan dendam, buat apa berpura-pura seperti ini? Lebih baik tidur cepat." 　　Zhu Ziyu tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan Cui Mingyue. 　　Cui Mingyue mengerutkan alisnya yang ramping dan berteriak: "Apa yang kau lakukan?" 　　Zhu Ziyu mendekatinya, suaranya dingin: "Apa? Menikahi ayam ikuti ayam, menikahi anjing ikuti anjing. Cui Mingyue, kau pikir masih menjadi Nona pertama Keluarga Cui yang tinggi di atas awan?" 　　Sambil berbicara, satu tangannya mencengkeram dagu runcing Cui Mingyue, tangan lain mengangkat gelas anggur dan menuangkan dengan kasar ke mulutnya. 　　“Hiks... kau bajingan...” Cui Mingyue berjuang keras, tenggorokannya terbakar saat minuman keras itu dipaksakan masuk, membuatnya batuk-batuk hebat. 　　Secara fisik, suami selalu memiliki keunggulan. 　　Setelah menuangkan segelas anggur, Zhu Ziyu mengambil gelas lain dan menghabiskannya sekaligus, lalu menyeka sudut bibirnya dengan kasar. 　　Bibirnya memerah akibat gesekan itu, tapi tak secemerlang wajah gadis yang bak bunga mekar. 　　Rupanya hanya perlu sekejap untuk melepas belenggu kesopanan dan membiarkan binatang buas dalam hatinya keluar. 　　Zhu Ziyu mengangkat tubuh Cui Mingyue dan melemparkannya ke ranjang pengantin, bahkan tak sempat menurunkan kelambu, langsung menindihnya dengan ciuman ganas. 　　Ciumannya tak mengandung sedikit pun kelembutan, melainkan balas dendam yang terpendam seperti letusan gunung berapi. 　　Bibir Cui Mingyue segera terluka, mulutnya dipenuhi bau darah. 　　Perlahan hentikan perlawanannya, senyum sinis mengembang di sudut bibirnya. 　　Brengsek Zhu Ziyu ini, kira setelah menikah dia akan jadi ikan di talenan yang bisa ditindas semaunya? 　　Berani-berainya menggunakan cara hina untuk menggagalkan perjodohannya dengan Pangeran Xiang, apa dia pikir aku akan menerima takdir? 　　Mimpi kalian! Jalan ke surga terbuka lebar tak kau tempuh, gerbang neraka tak ada malah kau terjang sendiri! 　　"Senyuman dingin di mata Cui Mingyue berubah menjadi niat membunuh. Tangannya yang putih sehalus giok meraba-raba selimut sutra merah bermotif anak dan cucu, lalu menemukan sebuah belati dari tempat yang paling mudah dijangkau." 　　"Belati itu tidak memiliki sarung, berkilauan sinar dingin di bawah gemerlap lilin." 　　"Pria yang menindihnya sama sekali tidak menyadari bahaya yang mendekat. Dengan kasar ia menyibak kerah baju pengantin merah, tangannya meraba masuk dengan liar." 　　"'Nona Cui, katakan bagaimana mungkin aku Zhu Ziyu menipumu?'" Zhu Ziyu menggigit tulang selangka gadis itu, suaranya penuh kemarahan dan kekesalan. "'Pertemuan pertama bukankah kau sudah tahu aku punya istri? Dasar perempuan licik penuh kebohongan--'" 　　"Ucapannya terputus tiba-tiba." 　　"Ekspresi Zhu Ziyu berubah menyakitkan karena kesakitan yang datang mendadak." 　　"Cui Mingyue menutup mulut Zhu Ziyu dengan erat, meredam teriakannya di tenggorokan." 　　"Atau lebih tepatnya, tusukan tepat di titik vital itu telah melumpuhkan tenaganya untuk berteriak." 　　"Suara parau keluar dari tenggorokan Zhu Ziyu." 　　"Cui Mingyue tak berkedip sedikit pun. Hanya ketika tubuh pria itu lunglai tak bergerak di atasnya, barulah ia melepas pegangan dan mendorong mayat itu ke samping." 　　"Pria yang baru saja hendak memperkosanya kini telah menjadi mayat yang masih hangat." 　　"Cui Mingyue menarik napas pendek sambil memulihkan tenaga." 　　Menghadapi orang yang dibunuhnya sendiri, dia sama sekali tidak merasa takut, malah justru merasa bersemangat. 　　Ternyata membunuh manusia lebih memuaskan daripada membunuh rusa. 　　Cui Mingyue duduk di ranjang pengantin yang dipenuhi warna merah tua dan muda, menyaksikan darah mengalir dari tubuh Zhu Ziyu yang semakin menyatu dengan warna merah di sekitarnya. 　　Warnanya sungguh indah. 　　Cui Mingyue tak tahan menjulurkan tangannya, mengambil setetes darah lalu menjilatnya di bibir. 　　Lilin naga-phoenix sebesar lengan anak kecil masih menyala, di luar jendela sunyi senyap. 　　Beberapa hari lagi akan datang Festival Pertengahan Musim Gugur. 　　Saat keluarga berkumpul, ribuan rumah bergembira. 　　Cui Mingyue menghela napas, menghindari genangan darah lalu turun dari ranjang. 　　Dia sebenarnya tak ingin sampai seperti ini. Andai saja Zhu Ziyu tidak membuat keributan itu, bukankah lebih baik dia menjadi Permaisuri Xiang dengan damai? 　　Cui Mingyue kembali menghela napas, penuh penyesalan. 　　Sayangnya dia sendirian, tak mampu menyingkirkan si jalang bermarga Jiang itu. 　　Bicara soal kebencian, saat ini yang paling dia benci adalah Jiang Si. 　　Masalah Zhu Ziyu pasti diatur oleh Jiang Si! 　　Dia tak punya bukti, tapi dia percaya pada nalurinya. 　　Mungkin karena selama belasan tahun hidupnya, dari sekian banyak putri pingitan, ini pertama kalinya dia mencium aura setara dari seseorang. 　　Seorang bangsawan bisa menunda balas dendam sepuluh tahun. Selama dia masih hidup, pasti akan datang hari pembalasan. 　　Cui Mingyue beristirahat sejenak lagi, dengan cepat melepas gaun pengantin yang berat, membungkuk mengambil bungkusan kecil dari bawah ranjang, lalu membuka jendela perlahan. 　　Malam bulan Agustus, angin berhembus sejuk, membuatnya semakin sadar. 　　Berdiri di samping rumpun pisang di luar jendela, Cui Mingyue melirik ke dalam. 　　Di ranjang pengantin, suaminya terbaring miring, terlihat seperti tertidur. 　　Ekspresinya tetap datar, dengan hati-hati menutup jendela sebelum menyatu dengan kegelapan malam. 　　Cui Mingyue memiliki dasar ilmu bela diri, meski sendirian tak merasa takut, berhasil meninggalkan rumah kecil itu dengan lancar. 　　Jalanan sepi, hanya lentera merah besar di depan rumah yang memancarkan cahaya samar. 　　Cui Mingyue merapikan rambutnya, melangkah mantap menuju satu arah. 　　Di depan ada tikungan, saat melewatinya tiba-tiba muncul tangan yang menjulur diam-diam. 439.BAB 438 PENUTUPAN 　　BAB 438 PENUTUPAN 　　Di Kediaman Pangeran Yan, Yu Jin yang biasanya selalu di Istana Yuhe, kali ini duduk bosan membaca buku di ruang belajar halaman depan. 　　Jendela ruang belajar terbuka, di kejauhan terlihat rumpun bambu bergoyang pelahan diterpa angin malam. 　　Merasa jenuh, Yu Jin menelungkupkan buku di meja tulis, lalu berdiri mendekati jendela. 　　Cahaya bulan yang redup menyelimuti pemandangan luar jendela dengan warna perak pucat, menciptakan kesan dingin yang tak terucapkan. 　　Yu Jin memperkirakan waktu, merasa sudah tak ada yang perlu ditunggu lagi, lalu berjalan menuju pintu ruang belajar. 　　Baru sampai di depan pintu, suara Long Dan terdengar dari luar: "Tuanku, apakah Anda di dalam?" 　　Yu Jin berhenti berdiri dan berkata dengan kesal: "Ada." 　　"Kalau begitu hamba masuk." 　　Bunyi pintu berderit memecah kesunyian malam musim gugur, Long Dan masuk dengan cepat. 　　Yu Jin sudah duduk kembali dan memberi isyarat pada Long Dan untuk mendekat. 　　"Tuanku, anak buah yang mengawasi Zhu Ziyu melaporkan kabar..." 　　Setelah mendengar laporan Long Dan, Yu Jin mengangkat alis: "Kau bilang Cui Mingyue baru-baru ini menyelinap keluar dari rumah barunya, lalu diculik lagi?" 　　"Benar, setelah terus melacak, ternyata Cui Mingyue dibawa ke Istana Pangeran Xiang..." 　　Yu Jin mengejek: "Kejadiannya semakin menarik saja." 　　Long Dan penasaran bukan main, tak tahan bertanya: "Tuanku, bagaimana Anda tahu Cui Mingyue akan ada masalah di malam pernikahannya?" 　　Yu Jin melirik Long Dan: "Jangan tanya yang tidak perlu." 　　Long Dan cekikikan: "Apakah kita masih perlu terus mengawasi?" 　　"Tidak perlu." 　　Yu Jin mengusir Long Dan pergi, melangkah di jalan batu yang diterangi bulan menuju Yuheyuan. 　　Lentera di kamar utama masih menyala, Jiang Si juga belum tidur. 　　"Permaisuri, Pangeran datang." A Qiao baru saja melapor ketika Yu Jin masuk. 　　Jiang Si memberi isyarat pada A Qiao dan yang lain untuk mundur, lalu menatap Yu Jin. 　　"A Si, prediksimu benar, Cui Mingyue dan Zhu Ziyu memang ada keanehan malam ini." 　　Dari sudut pandang Yu Jin, tidak perlu mengirim orang khusus untuk mengawasi Cui Mingyue dan Zhu Ziyu. Aksi malam ini adalah usulan Jiang Si. 　　"Ada keanehan apa?" tanya Jiang Si. 　　Seribu kaki lipan mati tapi tidak kaku. Terhadap orang seperti Cui Mingyue yang bahkan jatuh ke kubangan lumpur pun kita tak boleh lengah. 　　Mungkin yang paling memahami seseorang adalah lawannya. Jiang Si tidak percaya bahwa seseorang yang tega menjerat pria beristri demi menjerat kakak tertuanya akan rela menjadi pasangan suami istri dengan Zhu Ziyu. 　　Paling-paling hanya mengirim seseorang untuk mengawasi. Kalau dapat hasil bagus, kalau tidak pun tidak masalah. 　　Mengingat laporan Long Dan, Yu Jin tersenyum: "Dia mungkin kabur dari pernikahan. Malam ini membawa bungkusan kecil menyelinap keluar." 　　Jiang Si menggelengkan kepala: "Memang hal yang bisa dilakukan Cui Mingyue." 　　Pernikahan Cui Mingyue dan Zhu Ziyu adalah Pemberian Kaisar. Menolak pernikahan secara terang-terangan mustahil dilakukan. 　　Tidak rela, maka hanya ada satu pilihan: kabur diam-diam dari pernikahan. 　　Tentu saja, perilaku seperti ini di keluarga biasa akan mencelakakan orangtua dan sanak saudara, tapi Cui Mingyue tidak punya kekhawatiran itu. 　　Kaisar marah seberapa pun tidak akan berbuat apa-apa terhadap Putri Rongyang. 　　"A Jin, anak buahmu tidak sampai membawa orang itu pulang, kan?" Khawatir dengan kemungkinan itu, Jiang Si bertanya. 　　Yu Jin menjepit pipi Jiang Si: "Memikirkan apa? Anak buahku sebodoh itu? Cui Mingyue memang dibawa orang, tapi itu orangnya Pangeran Xiang." 　　Jiang Si menghela napas lega: "Syukurlah." 　　Sudah lama dikatakan bahwa sifat Cui Mingyue yang terlalu ambisius tidak perlu campur tangan khusus darinya untuk menghancurkan dirinya sendiri, kini tampaknya target kecilnya akan segera terwujud. 　　"Bagaimana dengan Zhu Ziyu?" 　　Yu Jin menarik tangan Jiang Si menuju ranjang, berkata dengan santai: "Kuduga dia sudah mati..." 　　Langkah Jiang Si terhenti sejenak, ekspresinya segera kembali normal. 　　Pelaku yang menyakiti Kakak telah mati, sungguh membahagiakan. 　　Di Istana Pangeran Xiang, sang pangeran memandangi wanita yang mulutnya disumbat dengan wajah hitam, mencengkeram pengawal rahasia dan menamparnya berkali-kali sambil memaki: "Kau bodoh, hah? Kau memang tolol! Suruhanmu mengawasi situasi di sana, kenapa malah membawa orang ini pulang?" 　　Saat ini Pangeran Xiang benar-benar hampir kehilangan akal. 　　Dia tidak rela melihat pasangan mesum itu hidup bahagia setelah mempermalukannya, baru mengirim pengawal untuk memantau situasi agar bisa membalas dendam saat ada kesempatan. 　　Tak disangka, pengawal bodoh itu malah membawa Cui Mingyue kembali kepadanya! 　　Pengawal yang ditampar itu juga merasa sangat tidak adil. 　　Tuanku menyuruhnya mengawasi situasi di sana, bukankah untuk menangani masalah secepatnya? Saat Nona pertama Keluarga Cui kabur malam hari dari pernikahan, haruskah dia biarkan saja orang itu kabur? 　　Bagaimana nanti jika tuanku meminta pertanggungjawaban? 　　"Idiot!" Pangeran Xiang berhenti setelah tangannya sakit, lalu menghampiri Cui Mingyue. 　　Mata Cui Mingyue dipenuhi kejutan dan kemarahan. 　　Pangeran Xiang menamparnya dengan keras, lalu berkata dengan nada sinis: "Wanita hina, untuk apa kau memandangiku seperti itu?" 　　Cui Mingyue tidak bisa bicara, api kemarahan di matanya semakin membara. 　　Apakah Pangeran Xiang gila? Dia sampai mengirim pengawal rahasia untuk mengawasinya di malam hari! 　　Memikirkan hal itu, jantung Cui Mingyue berdebar kencang. Kemarahan di matanya cepat pudar, digantikan permohonan. 　　Dengan kecantikan yang memesona, meski dalam keadaan memalukan seperti ini, ketika merendahkan diri dan menunjukkan ekspresi memohon pada seorang lelaki, sulit bagi pria itu untuk tetap acuh. 　　Pangeran Xiang memang tertegun sejenak, lalu segera tertawa: "Bagaimana? Sekarang kau tahu harus memohon padaku?" 　　Cui Mingyue mengeluarkan suara "uh uh", terlihat panik. 　　Kabur dari pernikahan dan jatuh ke tangan Pangeran Xiang, untuk pertama kalinya Cui Mingyue merasakan ketakutan. 　　Dia harus mendapatkan kesempatan berbicara untuk membela diri dalam situasi seperti ini. 　　Melihat wanita yang dulu begitu angkuh ini berubah menjadi seperti ini, Pangeran Xiang tiba-tiba tak lagi marah pada pengawal rahasianya. 　　Menyiksa langsung si wanita manja kesayangan langit ini ternyata jauh lebih memuaskan dari yang dibayangkan. 　　Pangeran Xiang menggapai dan menggenggam dagu Cui Mingyue, tersenyum dingin: "Wanita hina, kau pikir aku akan memberimu kesempatan mengumbar kata-kata manis?" 　　Cui Mingyue berkedip, sesaat tak memahami maksud Pangeran Xiang. 　　Jari-jari pria itu mengusap lembut dagunya, lalu perlahan merayap ke bawah, menyentuh leher putih mulus di samping tulang selangka yang indah. 　　"Bekas ciuman di tulang selangka membuat Pangeran Xiang terkekeh: "Hehe, sepertinya sudah melewati malam pengantin? Lalu mengapa kau masih kabur?" 　　Cui Mingyue menggigil ketakutan, rasa panik merambat di hatinya. 　　Apa yang akan dilakukan Pangeran Xiang? Jangan-jangan dia ingin merusak kesuciannya? 　　Begitu pikiran itu muncul, terdengar suara "krak". 　　Mata Cui Mingyue tiba-tiba membelalak lebar, reaksinya terlihat tumpul. 　　Apa yang terjadi? 　　Pikiran ini samar-samar melintas saat gadis cantik bagai bunga itu seperti angsa patah sayap, menundukkan leher tanpa gerakan. 　　Pangeran Xiang menunduk melihat tangannya sendiri. 　　Tidak ada pilihan, sejak Cui Mingyue masuk ke istana pangeran Xiang, hanya dengan cara ini masalah bisa diselesaikan selamanya. 　　Ia menoleh ke pengawal bayangan. 　　Pengawal bayangan: "......" Dia sudah mengakui kesalahan, bukankah cukup? 　　"Buang mayatnya. Aku ingat ada sumur tua di pekarangan yang terbengkalai di istana pangeran..." 　　Pengawal bayangan tak berani berkata sepatah kata pun, langsung menggotong mayat Cui Mingyue dan kabur. 　　Cahaya remang-remang di dalam ruangan, Pangeran Xiang mengeluarkan sapu tangan dan mengelap tangannya sambil menghela napas. 　　Dia juga terpaksa, hanya bisa menyalahkan wanita ini yang berumur pendek seperti hantu. 　　Keesokan harinya, teriakan memekakkan telinga mengoyak kedamaian rumah kecil itu. 440. BAB 439 Kaisar Menjawab dengan Benar 　　BAB 439 Kaisar Menjawab dengan Benar 　　Pengantin pria tewas, pengantin perempuan menghilang. 　　Pernikahan mereka adalah Pemberian Kaisar... 　　"Dayang yang menemukan mayat Zhu Ziyu hampir gila ketakutan, setelah sadar langsung melaporkan kejadian tersebut ke Putri Rongyang." 　　Putri Rongyang terdiam lama, lalu bergegas menuju Kediaman Jenderal. 　　Ia dan Cui Xu sudah lama tidak tinggal bersama. 　　Sepanjang jalan, para pelayan Kediaman Jenderal terus memberi salut kepada Putri Rongyang. 　　"Di mana jenderal kalian?" 　　"Jenderal sedang berlatih pedang di lapangan latihan." 　　Putri Rongyang bergegas ke lapangan latihan di sudut timur laut, langsung melihat sosok suami yang sedang mengayunkan pedang dengan gagah di bawah sinar fajar. 　　"Cui Xu--" teriaknya. 　　Cui Xu menghentikan gerakannya, berjalan mendekat sambil masih memegang pedang. 　　Melihat ekspresi dingin Cui Xu, Putri Rongyang bertahan mengatakan: "Kau masih sempat berlatih pedang, ada masalah besar!" 　　"Masalah apa?" Cui Xu menyimpan pedangnya, mengusap keringat. 　　Putri Rongyang menurunkan suara: "Zhu Ziyu tewas!" 　　Gerakan tangan Cui Xu yang sedang mengusap keringat terhenti mendadak: "Mingyue bagaimana?" 　　"Hilang..." Putri Rongyang menggenggam pergelangan Cui Xu, "Cui Xu, menurutmu harus bagaimana?" 　　Cui Xu perlahan melepaskan tangannya, menggenggam erat hulu pedang: "Tentu harus mencari!" 　　"Tapi--" Putri Rongyang menarik napas, nada suaranya aneh, "Siapa pembunuh Zhu Ziyu?" 　　Malam pernikahan, pengantin pria tewas, pengantin wanita hilang - siapa pun pasti curiga kematian pengantin pria terkait sang pengantin wanita. 　　“Terhadap putri yang selama ini dikenal baik dan penurut, Putri Rongyang tiba-tiba merasa asing.” 　　“Apakah Zhu Ziyu dibunuh oleh Mingyue——” Hatinya bergetar, tak berani melanjutkan pikiran. 　　Suara Cui Xu terdengar: “Mingyue pernah belajar bela diri dariku selama beberapa tahun, menghadapi satu dua orang biasa bukan masalah.” 　　“Cui Xu, apa maksudmu ini?” 　　Cui Xu menatap tajam Putri Rongyang, nada datar: “Maksudku apapun kebenarannya, cari orangnya dulu.” 　　Putri Rongyang menghela napas. 　　Cui Xu benar, siapapun pembunuhnya, Mingyue harus ditemukan. 　　“Aku akan mencari Mingyue dulu, kau laporkan hal ini pada Kaisar.” 　　Putri Rongyang terkejut: “Harus beri tahu Kakak Kaisar?” 　　“Lambat laun pasti ketahuan.” Cui Xu melemparkan kalimat itu lalu bergegas pergi. 　　Kaisar Jingming baru saja bubarkan sidang istana ketika Pan Hai melapor kedatangan Putri Rongyang. 　　Ada masalah lagi? 　　Kaisar Jingming mengingat-ingat dengan serius. 　　Kemarin pernikahan Mingyue dan Zhu Ziyu katanya berjalan lancar—— 　　“Persilakan Putri ke ruang studi kekaisaran.” 　　Belum sempat Kaisar Jingming duduk nyaman di ruang studi, Putri Rongyang sudah masuk. 　　“Adikmu menghadap Kakak Kaisar.” 　　“Ada apa ini?” Melihat mata merah Putri Rongyang, Kaisar Jingming mulai pusing. 　　“Kakak, Mingyue hilang...” 　　Kaisar Jingming refleks duduk tegak: “Apa?!” 　　Putri Rongyang bersujud: “Adik datang untuk mohon ampun.” 　　"Apa maksud mohon ampun? Bangun dulu dan jelaskan semuanya!" Kaisar Jingming langsung berdiri dan mendekat. 　　Putri Rongyang pun bangkit, lalu menceritakan kejadian secara singkat. 　　"Kau bilang Mingyue hilang, sedangkan Zhu Ziyu tewas?" Suara Kaisar Jingming gemetar. 　　Sudah kuduga pasti ada masalah lagi, ternyata benar! 　　Putri Rongyang mengangguk perlahan. 　　Kaisar Jingming menutup mata lama sebelum membukanya kembali, bola mata hitamnya tak terbaca. 　　"Apa pendapat adinda?" 　　Putri Rongyang hampir menangis: "Kakak, hamba sangat khawatir. Pasti penjahat masuk membunuh Zhu Ziyu dan menculik Mingyue--" 　　"Sudahkah keluarga Zhu tahu?" 　　"Saat ini belum." 　　"Aku perintahkan Zhen Shicheng menyelidiki kasus ini. Komandan Jinlinwei Han Ran akan membantu Cui Xu mencari Mingyue..." 　　Wajah Putri Rongyang berubah: "Kakak, apakah melibatkan pihak berwenang tidak tepat?" 　　Masalah Mingyue dan Zhu Ziyu ini sebenarnya urusan pribadi keluarga kerajaan. Jika terungkap sesuatu, nama baik kerajaan bisa tercoreng. 　　Kaisar Jingming tak ambil pusing: "Selidiki diam-diam saja. Zhen Shicheng tahu batasannya." 　　Si tua itu hanya butuh kasus untuk diselidiki, jauh lebih baik daripada para 'menteri setia' yang justru merepotkan. 　　Putri Rongyang terpaksa menyetujui. 　　Kaisar Jingming memandangnya: "Jangan banyak bicara ke Ibu untuk sementara. Beri tahu keluarga Zhu secara diam-diam dulu." 　　"Kakak tenang, hamba paham." 　　"Kalau begitu adinda boleh melanjutkan urusan." 　　Setelah Putri Rongyang pergi, Kaisar Jingming berdiri lama di tepi jendela tanpa berkata-kata. 　　“Pan Hai——” 　　“Hamba di sini.” 　　“Menurutmu, mata kiri berkedut artinya rezeki, mata kanan artinya bencana, atau sebaliknya?” 　　Pan Hai terus-menerus mengusap keringat: “Kaisar, hamba...” 　　“Sudahlah, saat orang sedang sial, mata mana pun yang berkedut artinya bencana.” 　　Pan Hai diam-diam menghela napas lega. 　　Jika Kaisar terus menggodanya dengan pertanyaan seperti ini, hidupnya tak akan tenang. 　　“Pan Hai, menurutmu siapa yang membunuh Zhu Ziyu?” 　　Pan Hai: “......” 　　“Kaisar, Toko Liuchuhua baru merilis buku cerita terbaru, apakah Paduka ingin melihatnya?” 　　…… 　　Zhen Shicheng menerima dekret rahasia dan langsung bersemangat. 　　Belakangan ini ibu kota tidak terjadi kasus besar, tugasnya di Shuntianfu hanya menangani hal-hal sepele: misalnya tanaman rambat keluarga Wang San tumbuh ke rumah keluarga Li Si lalu buahnya dipetik istri Li Si; babi keluarga Zhao Liu hilang dan ditemukan orang tapi tidak dikembalikan; istri muda keluarga Sun lari bersama kekasih gelap... 　　Zhen Shicheng merasa bosan sampai mau tumbuh jamur. 　　Ternyata terjadi kasus besar lagi, bahkan kasus kematian dan hilangnya orang! 　　Satu-satunya hal yang tak memuaskan Zhen Shicheng adalah karena status korban istimewa, ia harus menyamar selama penyelidikan tanpa mengganggu tetangga. 　　Bagi Zhen Shicheng ini tidak sulit, ia segera menyamar sebagai tamu yang berkunjung, sementara juru bedah mayat perempuan berpura-pura sebagai dayang kecil yang membawa kotak hadiah di belakangnya. 　　Isi kotak hadiah itu hanya diketahui oleh orang dalam. 　　Setelah penyelidikan dan interogasi yang cermat, Zhen Shicheng merasa cukup kecewa. 　　Kasus ini jauh lebih sederhana dari yang dia bayangkan. 　　"Zhen Shicheng meminta audiensi?" Kaisar Jingming yang sedang sakit kepala semakin parah akhir-akhir ini, baru saja meremangkan mata saat mendengar laporan. 　　Tak lama kemudian, Zhen Shicheng sudah berada di hadapan Kaisar Jingming. 　　"Apa yang ditemukan Zhen Aiqing?" 　　Membicarakan keahliannya, Zhen Shicheng tidak menunjukkan kerendahan hati, langsung menjawab: "Melapor kepada Kaisar, situasi sudah jelas." 　　Sorot mata Kaisar Jingming berbinar: "Coba Zhen Aiqing jelaskan." 　　"Berdasarkan pemeriksaan, pengantin pria tewas akibat ditikam dari belakang tepat di jantung oleh pengantin wanita." 　　Gading giok yang sedang dipegang Kaisar Jingming hampir terjatuh: "Apakah Zhen Aiqing sedang bercanda?" 　　Apakah keponakan perempuannya yang lemah lembut itu bisa membunuh seorang pria dewasa dengan satu tikaman? 　　Wajah Zhen Shicheng berubah serius: "Hamba tidak pernah bercanda dalam penyelidikan. Juru bedah mayat telah memeriksa jenazah pengantin pria. Arah dan kedalaman luka tikam, ditambah bekas darah di ranjang, menyimpulkan bahwa pengantin wanita mengangkat belati dan menikam keras ke jantung suami yang sedang menindihnya..." 　　Ekspresi Kaisar Jingming berubah kompleks, akhirnya bertanya dengan susah payah: "Maksud Zhen Aiqing, pengantin wanita membunuh suaminya lalu kabur karena takut dihukum?" 　　Zhen Shicheng mengangguk: "Kaisar benar." 441.BAB 440 Tongkat 　　BAB 440 Tongkat 　　Pujian dari ahli penyelidikan Zhen Shicheng sama sekali tidak membahagiakan Kaisar Jingming. 　　Dia sama sekali tidak ingin tebakannya terbukti benar! 　　“Pernikahan yang merupakan Pemberian Kaisar, hasilnya pengantin perempuan malah membunuh pengantin pria. Lagi pula pengantin perempuan itu adalah keponakan perempuannya sendiri. Apa ini!” 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya dengan kesal. 　　Dibandingkan dengan ini, dia lebih rela membaca seratus laporan resmi. 　　“Zhen Aiqing menurutmu ke mana pengantin perempuan itu akan melarikan diri?” 　　“Sulit dikatakan.” 　　“Oh, maksudmu bagaimana?” 　　“Setelah membunuh pengantin pria, pengantin perempuan pasti langsung kabur. Meskipun ibu kota tidak memberlakukan jam malam, tapi gerbang kota akan ditutup setelah malam tiba. Selama gerbang belum dibuka saat fajar, dia pasti masih di dalam kota.” 　　“Kalau gerbang kota sudah dibuka?” 　　“Jika pengantin perempuan itu mahir menyamar, mungkin bisa menyelinap keluar kota.” 　　“Ini sama saja dengan semua kemungkinan terbuka...” 　　Zhen Shicheng mengangguk serius: “Tepat seperti itu.” 　　Dia hanya ahli memecahkan kasus, bukan mencari orang. 　　Kaisar Jingming mengibaskan tangan lesu, memberi isyarat agar Zhen Shicheng boleh pergi. 　　“Pan Hai, panggil Han Ran masuk ke istana.” 　　Tak lama kemudian Han Ran datang tergopoh-gopoh. 　　“Hamba yang bodoh menghadap Kaisar.” 　　“Bagaimana, ada kabar tentang Zhu Cui-shi?” 　　Jika dulu Kaisar Jingming masih punya sedikit kasih sayang pada Cui Mingyue, sekarang hanya tersisa kebencian. 　　“Hamba telah menginterogasi penjaga gerbang kota, pagi ini mereka tidak melihat wanita muda cantik keluar kota. Jenderal Cui mencari beberapa tempat yang mungkin didatangi Zhu Cui-shi, juga tidak menemukan...” 　　Kaisar Jingming membuka mulut ingin memaki, tapi diam-diam menelan kembali. 　　Keponakan perempuan sendiri, mana ada muka untuk memaki orang lain. 　　"Ibu kota adalah ibu kota negara paling megah, mencari seseorang bagaikan mencari jarum dalam jerami." 　　Tiga hari kemudian, Cui Xu bersama Putri Rongyang menghadap ke istana untuk mohon ampun. 　　"Hamba gagal mendidik putri, sehingga ia berani membunuh tunangan dan melarikan diri. Mohon Kaisar memberikan hukuman." Cui Xu berlutut tegak, ubin emas yang licin memantulkan wajahnya yang lesu. 　　Putri Rongyang di sampingnya diam-diam menitikkan air mata. 　　"Tidak bisa ditemukan?" Kaisar Jingming merasa sesak, mengerutkan alis bertanya. 　　"Sementara ini belum ada kabar tentang putri durhaka itu." 　　Kaisar Jingming melirik Putri Rongyang, mengelus-elus pemberat kertas giok putih di Meja Naga. 　　Dinginnya pemberat kertas sedikit meredakan kegelisahan di hatinya. 　　"Orang hidup tiba-tiba hilang, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Jenderal Cui, urusan Mingyue harus kau prioritaskan. Untuk hal lain... kita bicara setelah orangnya ditemukan." 　　"Hamba merasa malu--" 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Sudahlah, omongan kosong tak berguna. Mencari orang adalah yang terpenting." 　　Cui Xu dan Putri Rongyang perlahan mundur meninggalkan aula. 　　Setelah keluar istana, Putri Rongyang tiba-tiba bertanya: "Cui Xu, jika Mingyue ditemukan, menurutmu bagaimana Kaisar akan menghukumnya?" 　　Mata Cui Xu dipenuhi kelelahan: "Mingyue melakukan kejahatan yang pantas dihukum mati." 　　Putri Rongyang tiba-tiba berhenti: "Mingyue tidak mungkin membunuh Zhu Ziyu tanpa alasan!" 　　"Paduka, apapun alasannya Mingyue telah membunuh, itu pun suami yang ditetapkan Kaisar sendiri lewat pernikahan resmi." 　　"Lalu? Kau akan menyerahkan Mingyue kepada Kaisar untuk dihukum?" 　　“Setiap orang harus menanggung konsekuensi atas perbuatannya sendiri, termasuk kita dan Mingyue. Sudah untung Kaisar tidak menghukum kita karena perbuatan Mingyue.” Setelah berkata demikian, Cui Xu berjalan cepat meninggalkannya. 　　Putri Rongyang mengejar dan menarik lengan baju Cui Xu. 　　Cui Xu berhenti dan menatapnya. 　　“Ada alasan mengapa Mingyue sampai seperti ini!” 　　“Alasan apa?” 　　Tapi Putri Rongyang tidak melanjutkan perkataannya. 　　Apa yang harus dijelaskan? Apakah harus mengatakan bahwa perubahan putri mereka ada hubungannya dengan Permaisuri Yan? 　　Permaisuri Yan dari keluarga Jiang adalah putri Su Ke. Jika pria ini mengetahuinya, pasti akan membela keluarga Jiang lagi. Itu hanya akan menambah kesal. 　　Mengingat sikap dingin Cui Xu, Putri Rongyang tiba-tiba kehilangan minat mencari putrinya. 　　Kalau ketemu mungkin malah akan kehilangan nyawa. Daripada begitu, lebih baik biarkan keadaan tetap seperti sekarang. 　　Menjelang Festival Pertengahan Musim Gugur saat orang sibuk berbelanja hadiah, tiba-tiba masyarakat menyadari penambahan petugas keamanan di jalan. Tapi tidak jelas apa yang sedang mereka cari. 　　Keadaan mencekam ini berlangsung beberapa hari sebelum akhirnya kembali normal. 　　“Apakah pencarian Cui Mingyue masih berlanjut di luar?” Di kediaman Pangeran Yan, Jiang Si bersandar di pagar bertanya pada Yu Jin. 　　Er Niu menyelip di antara mereka, mengangkat kedua kaki depan ke pagar sambil menggoyangkan ekor riang pada nyonya rumah. 　　“Minggir!” Yu Jin memberi peringatan keras pada Er Niu. 　　“Er Niu” melirik Yu Jin dengan kesal, lalu berjalan ke samping sambil menggendong tulang berisi daging dan menggerogotinya, sesekali menggerutu tak puas. 　　Sang majikan semakin keterlaluan, disuruh bekerja selalu memanggilkunya, tapi saat santai malah menganggapnya mengganggu. 　　Melihat saingannya pergi, Yu Jin tersenyum: "Tidak seribut beberapa hari lalu. Mayatnya terbaring di sumur tua Istana Pangeran Xiang. Biar mereka membongkar langit sekalipun takkan menemukan." 　　Wajah Jiang Si berubah serius: "Di sumur yang sudah tidak terpakai?" 　　Er Niu yang sedang mengunyah tulang tetap mengarahkan telinganya, mendengar itu langsung menggonggong dua kali ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si langsung paham: "Er Niu yang menemukan?" 　　"Guk guk!" Er Niu mengeluarkan suara puas. 　　Syukurlah, jasanya tidak diklaim si majikan pria. 　　Dulu majikan pria tidak seperti ini, semenjak nyonya rumah pindah ke sini semuanya berubah... Er Niu teringat masa harmonis dulu dengan majikan pria, hati pun sedih. 　　Yu Jin memiringkan badan menghalangi wajah anjing yang sedang cari muka: "Anak buah Pangeran Xiang terlalu bodoh, membawa mayat kembali ke istananya. Sang Pangeran terjepit, jika tak sebodah anak buahnya pasti sudah membungkam hidup-hidup Cui Mingyue. Hilangnya Cui Mingyue pasti menarik perhatian Jinlinwei. Daripada bertindak gegabah, pilihan terbaik Pangeran adalah diam di istana sambil menghancurkan mayat itu." 　　Yu Jin meraih kepala Er Niu di belakangnya dengan tepat lalu mengusapnya: "Jadi aku menyuruh Er Niu mencoba pergi kesana, akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian mayatnya." 　　Jiang Si bersandar di pagar sambil memandang ke kejauhan. 　　Aroma bunga osmanthus memenuhi pekarangan, pertanda musim gugur semakin mendalam. 　　"Meski cuaca sudah mulai dingin, bau itu tetap akan menyebar, bukan?" 　　Yu Jin memandangi Jiang Si dengan ekspresi aneh. 　　"Kenapa kau menatapku?" Jiang Si heran. 　　Yu Jin berkata dengan wajah muram: "A Si, tidakkah kau merasa pertanyaanmu tadi terlalu serius?" 　　Di hadapan istri yang lebih indah dari bunga, tanpa sadar ia teringat wajah tua Zhen Shicheng! 　　"Ini memang masalah penting. Aku pernah bertanya pada juru bedah mayat di bawah Tuan Zhen tentang hubungan tingkat pembusukan mayat dengan waktu..." 　　Melihat mata Yu Jin membelalak, Jiang Si berhenti: "Ada apa?" 　　"Ehem, itu pekarangan yang sudah ditinggalkan, sumurnya pun sudah ditimbun. Untung hidung Er Niu tajam bisa menciumnya, lalu Long Dan menyelundup ke bawah untuk memastikan - itu memang Cui Mingyue." 　　Jiang Si tersenyum: "Sebenarnya Long Dan tidak perlu turun. Bau campuran mayat dan aroma bedak bisa dibedakan Er Niu dari aroma lain." 　　Er Niu menggonggong setuju. 　　"Baru lega setelah dipastikan." 　　"A Jin, apa rencanamu?" 　　Yu Jin tersenyum santai: "Tergantung keinginanmu." 　　"Kematian Cui Mingyue sudah cukup, aku tak ingin ikut campur lebih jauh." 　　"Kalau begitu, biarkan dia tetap di sana." 　　Menatap Jiang Si, Yu Jin tersenyum tipis: "Masalah Pangeran Xiang - hanya hal yang kita tahu tapi orang lain tidak yang bisa jadi senjata." 　　Senjata ini belum perlu digunakan sekarang, siapa tahu di masa depan? 442.BAB 441 Surat dari Jiang Yi 　　BAB 441 Surat dari Jiang Yi 　　Pada Festival Pertengahan Musim Gugur tahun ke-19 Jingming, ribuan keluarga berkumpul dalam kehangatan, namun istana terasa sepi tanpa rencana mengadakan jamuan keluarga besar. 　　Kaisar Jingming sungguh merasa khawatir. 　　Belakangan ini masalah terus datang silih berganti, lebih baik suasana sepi. Setidaknya suasana sepi tidak menimbulkan masalah tak terduga. 　　Walau begitu, pertemuan kecil dengan selir-selir istana dan putri-putri yang belum menikah tetap tak terhindarkan. 　　Kaisar Jingming singgah sebentar di Istana Cining terlebih dahulu. 　　"Waktu berlalu begitu cepat, dalam sekejap Festival Pertengahan Musim Gugur tiba lagi." 　　"Benar, saatnya menikmati kepiting lagi." Kaisar Jingming tersenyum menyambut. 　　Janda Permaisuri menggeleng: "Di usiaku ini, hamba tak sanggup lagi menyantap makanan sedingin itu. Ngomong-ngomong, Kaisar, di mana jamuan istana tahun ini akan diadakan?" 　　Dalam beberapa tahun terakhir seiring bertambahnya usia Janda Permaisuri, beliau jarang menghadiri jamuan seperti ini. 　　Kaisar Jingming ragu sejenak, lalu menjawab: "Di Istana Chunhe." 　　"Istana Chunhe?" Janda Permaisuri langsung menangkap keanehan. 　　Menurut tradisi, jamuan keluarga kerajaan selalu diadakan di Aula Changsheng. Istana Chunhe terlalu kecil untuk menampung semua keturunan naga. 　　Kaisar Jingming menjelaskan dengan tenang: "Anak sudah berkonsultasi dengan ahli Fengshui. Katanya tahun ini jamuan tidak boleh diadakan di Aula Changsheng." 　　Janda Permaisuri mengangguk mengerti. 　　Kejadian mengerikan yang terjadi saat jamuan di Aula Changsheng beberapa waktu lalu masih membekas. 　　"Tapi Istana Chunhe terlalu kecil..." 　　"Karena itu tahun ini anak tidak berencana mengundang mereka semua ke istana. Cukup keluarga inti istana saja yang merayakan bersama." 　　Berbeda dengan Dongzhi dan Tahun Baru, cara merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur dianggap sebagai urusan keluarga kaisar. Kaisar Jingming tidak ingin merayakannya secara besar-besaran, membuat para pejabat pengawas lega karena sang Kaisar tidak bermewah-mewah. 　　Janda Permaisuri tentu tidak akan sembarangan mempertanyakan hal yang bisa membuat Kaisar Jingming tidak nyaman. Dengan santai beliau berkata: "Kalau Qin Wang dan yang lain tidak diundang ke istana, cukup panggil Rongyang saja. Hamba sudah lama tidak bertemu dengannya." 　　Kepala Kaisar Jingming mulai berdenyut-denyut lagi. 　　Masalah keponakan perempuannya sebelumnya berhasil dia hindari, dan sekarang dia bingung bagaimana memberitahu Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri memandang Kaisar Jingming dengan tenang, menambahkan: "Dan Mingyue juga. Meski setelah pernikahan tidak perlu memberikan teh penghormatan kepada hamba, tapi jangan sampai sama sekali tidak muncul... Kaisar, jujur saja, akhir-akhir ini kelopak mata hamba sering berkedut..." 　　"Mata kiri atau kanan?" Kaisar Jingming spontan bertanya. 　　Janda Permaisuri tertegun sejenak, alisnya berkerut halus. 　　Mata mana yang berkedut itu pentingkah? Bukankah maksud perkataannya sudah jelas bagi Sang Kaisar? 　　Kaisar Jingming merasa gelisah di bawah pandangan Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri memutar-mutar tasbih di pergelangan tangannya, bertanya: "Kaisar, apakah ada masalah dengan Rongyang dan Mingyue?" 　　Wajah Kaisar Jingming menunjukkan keraguan. 　　Janda Permaisuri menghela napas: "Tampaknya hamba sudah benar-benar tua, tidak berguna lagi--" 　　"Ibu, jangan berkata begitu. Masalah Mingyue ini ceritanya panjang, anak lelaki ini bingung harus memulai dari mana." 　　"Kalau begitu ceritakan perlahan. Acara jamuan malam masih lama." 　　"Pada hari pernikahan Lao Ba, Zhu Ziyu datang untuk merebut pengantin di tengah prosesi Menjemut Pengantin--" 　　"Apa?" 　　“Rakyat biasa semua mengira Mingyue dan Zhu Ziyu adalah sepasang kekasih, anak lelaki menjadi orang jahat yang memisahkan kekasih. Untuk menghindari kesalahpahaman rakyat, anak lelaki kemudian memberikan pernikahan kepada Mingyue dan Zhu Ziyu——” 　　“Apa?” 　　“Hasilnya di malam pernikahan, Mingyue membunuh Zhu Ziyu dan melarikan diri, hingga kini tidak diketahui keberadaannya——” 　　“Apa?” 　　Janda Permaisuri menatap langsung Kaisar Jingming, terkesima. 　　Kaisar Jingming justru merasa lega setelah mengatakannya sekaligus, mengangkat tangan menepuk-nepuk punggung Janda Permaisuri: "Ibu, Ibu jangan panik——" 　　Janda Permaisuri mengedipkan mata putihnya lalu pingsan. 　　Kaisar Jingming melirik ke sekeliling, melihat dayang yang berdiri di samping sedang kebingungan, dengan cepat menjepit titik renzhong di bawah hidung Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri perlahan sadar, barulah teriakan dayang terlambat terdengar: "Astaga, Janda Permaisuri pingsan——" 　　Janda Permaisuri: ?? 　　"Diam!" bentak Kaisar Jingming, mengusir dayang itu keluar. 　　"Kaisar, apa yang Kaisar katakan tadi benar?" Janda Permaisuri menggenggam tangan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming tersenyum pahit: "Anak lelaki juga tidak berharap ini benar..." 　　Janda Permaisuri mulai pulih, wajahnya berangsur tenang, berkata dingin: "Rongyang ini, bagaimana caranya mendidik putri!" 　　Dalam pandangan Janda Permaisuri, Cui Mingyue telah menyembuhkan penyakitnya, dia membalas dengan mengatur pernikahan Cui Mingyue dengan Pangeran Xiang, bisa dianggap sebagai dua hal yang saling meniadakan. 　　Sebenarnya dalam hati, Janda Permaisuri masih memiliki kritik terhadap Cui Mingyue. 　　Kini mendengar kabar Cui Mingyue membunuh orang dan menghilang, Janda Permaisuri selain terkejut juga merasa lega tanpa alasan. 　　Si gadis itu ternyata begitu kejam, untung tidak menikah ke istana Pangeran Xiang. 　　Janda Permaisuri hampir tidak berani membayangkan jika Mingyue benar-benar membunuh Pangeran Xiang, ke mana wajahnya harus disembunyikan. 　　Kaisar Jingming tidak menyangka Janda Permaisuri bisa menerima kenyataan secepat ini, diam-diam menghela nafas lega. 　　Benar-benar Janda Permaisuri, pengendalian diri seperti ini patut ditiru oleh para selir-selir istana. 　　Setelah menemani Janda Permaisuri berbincang sebentar dan memastikan tidak ada keanehan, barulah Kaisar Jingming pergi dengan tenang. 　　Begitu Kaisar Jingming pergi, Janda Permaisuri segera memerintahkan: "Jika Putri Rongyang meminta audiensi akhir-akhir ini, katakan hamba sedang tidak enak badan." 　　Membesarkan putri seperti itu, Rongyang memang pantas melakukan introspeksi. 　　Tapi Putri Rongyang sama sekali tidak berniat introspeksi. 　　Di pesta pertengahan musim gugur yang seharusnya jadi reuni keluarga, ia justru menghabiskan waktu sendirian di istana putri. 　　Biasanya, Mingyue selalu mengajak A Yi datang lebih awal untuk menemaninya... 　　Menghadapi meja penuh hidangan lezat, Putri Rongyang tidak menyentuh satu sumpit pun, langsung kembali ke kamar tidur. 　　Baru tertidur sebentar, Putri Rongyang tiba-tiba bangun duduk, sepenuhnya sadar. 　　Ia bermimpi Mingyue berlumuran darah dari tujuh lubang wajah, berteriak minta dibalaskan... 　　Mimpi itu terasa sangat nyata, hati Putri Rongyang gelisah tak karuan. 　　Jangan-jangan Mingyue benar-benar dalam masalah? 　　“Memang, Mingyue seorang nona muda, meski punya ilmu bela diri, tapi bahaya yang dihadapi seorang diri terlalu banyak.” 　　“Dia sempat berpikir mencari orang yang kabur juga merupakan kejahatan berat, berharap putrinya bersembunyi di suatu tempat dengan selamat. Tapi ternyata tetap terjadi musibah!” 　　“Orang-orang zaman ini sangat percaya hal-hal mistis. Putri Rongyang buru-buru turun dari ranjang menuju pintu.” 　　“Sampai di depan pintu kamar, dia kembali berhenti.” 　　“Dia ingin menemui Cui Xu, memberitahu bahwa Mingyue celaka. Tapi apa gunanya?” 　　“Pasti Cui Xu akan bilang Mingyue mendapat karma yang ditanggung sendiri.” 　　“Pria ini mana pernah memikirkan istri dan anak? Hatinya masih terpaut pada perempuan hina yang sudah mati itu!” 　　“Putri Rongyang dipenuhi kebencian dan kekecewaan. Bayangan mengerikan putrinya dalam mimpi membuatnya gelisah. Setelah berguling-guling semalaman, dia menutupi lingkaran hitam di matanya dengan bedak tebal, lalu masuk istana menemui Janda Permaisuri.” 　　“Janda Permaisuri tidak enak badan?” Mendengar perkataan dayang, Putri Rongyang tertegun, lalu memaksakan senyum. “Kalau begitu mohon Yang Mulia beristirahat baik-baik. Lain kali saya akan datang lagi menemani beliau.” 　　“Pulang ke istana putri dengan perasaan tertolak, Putri Rongyang menghancurkan semua perabotan di ruangan.” 　　“Ini adalah Festival Pertengahan Musim Gugur pertama Jiang Si setelah menikah ke Kediaman Pangeran Yan. Karena tak perlu menghadiri jamuan istana, pasangan muda ini menikmati waktu dengan bebas.” 　　“Tapi kebebasan ini hanya bertahan sampai keesokan harinya, ketika Jiang Si menerima surat dari Jiang Yi.” 　　“Nenek mereka dari pihak ibu—Ibu Suri Marquis Yining—sedang sakit parah.” 　　Jiang Yi dalam suratnya mengundang Jiang Si untuk bersama-sama mengunjungi nenek dari pihak ibu di Kediaman Keluarga Marquis Yining. 443.BAB 442 Mengunjungi Orang Sakit 　　BAB 442 Mengunjungi Orang Sakit 　　Yu Jin masuk dan melihat Jiang Si termenung memandangi surat, bertanya dengan senyuman: "Melihat apa?" 　　"Surat dari kakak, mengajakku mengunjungi nenek dari pihak ibu." 　　Mendengar Jiang Si menyebut Kediaman Marquis Yining, alut Yu Jin berkerut: "Jika tidak ingin ke sana, tolak saja." 　　Jiang Si meletakkan suratnya dan berjalan ke jendela sambil memandang ke luar. 　　Di bawah atap koridor tergantung sangkar burung indah berisi sepasang burung kingfisher yang saling merapat. 　　Setelah kejadian dengan sepupu Su Qingyi, ia enggan menginjakkan kaki lagi di pintu gerbang Kediaman Marquis Yining. Tapi nenek dari pihak ibu selalu baik padanya, sekarang sedang sakit parah secara logika dan perasaan harus dikunjungi. 　　"Nenek dari pihak ibu selalu baik padaku." 　　Yu Jin merangkul pinggang Jiang Si, memandangi sepasang kingfisher itu bersama-sama: "Kalau begitu pergilah. Sekarang kau adalah Permaisuri Yan, bukan Nona Keempat Jiang yang bisa diperlakukan semena-mena. Tidak perlu lagi melihat wajah orang-orang Keluarga Marquis Yining." 　　Memikirkan Keluarga Marquis Yining, Yu Jin punya kesan sangat buruk. 　　Saat kasus tenggelamnya Su Qingyi, ia pernah ikut Zhen Shicheng menyelidiki dan melihat jelas sikap orang-orang marquis terhadap Jiang Si. 　　"Aku akan menemanimu pergi." 　　"Tidak perlu." 　　"Lagipula aku tidak ada urusan lain." 　　"Aku akan pergi bersama kakak. Kalau kamu ikut, takut kakak tidak akan merasa nyaman." 　　“Baiklah.” Dikecewakan, Yu Jin tersenyum kecut, “Aku akan pergi ke kantor kabupaten.” 　　Jiang Si memandangnya keluar, tak lama kemudian siluetnya muncul di luar jendela, berjalan di bawah koridor lalu mencolek sangkar burung dengan jari. 　　Sangkar burung yang terguncang tiba-tiba membuat dua ekor burung kingfisher panik melompat-lompat, berkicau marah. 　　Pria itu menoleh, di bawah mentari musim gugur sorot matanya memancarkan pesona, melambai padanya sebelum menghilang dari pandangan. 　　Jiang Si menggeleng sambil tersenyum. 　　Yu Qi ini, memang tak pernah serius. 　　Meski menggerutu dalam hati, manisnya rasa itu merambat di relung hatinya. 　　Andai mereka bisa selalu bersama seperti ini, itulah kebahagiaan terbesar. 　　Ia berjalan ke ruang belajar kecil, mengambil kuas dan menulis balasan undangan untuk Jiang Yi. 　　Penyakit tak menunggu, kedua saudari itu sepakat bertemu besok. 　　Keesokan harinya, gerimis turun rintik-rintik. 　　Setiap hujan musim gugur membawa hawa dingin, panas musim panas yang masih terasa kemarin tiba-tiba berganti udara sejuk. 　　A Qiao memilih jubah tipis berwarna hijau kacang untuk Jiang Si, lalu menyerahkan kotak berisi ramuan obat mahal kepada Ah Man sebelum mengantarkan mereka sampai gerbang halaman. 　　“Lao Qin, antar nyonya kita ke rumah Keluarga Bo dulu untuk menjemput orang,” suara Ah Man lantang memberi instruksi sebelum membungkuk masuk kereta kuda. 　　Lao Qin yang tak suka banyak bicara langsung melecut cambuk, mengarahkan kereta menuju Dongping Bo Residence. 　　Jiang Yi sudah siap rapi, menunggu bersama Jiang Zhan di depan gerbang utama. 　　“Datang!” Melihat kereta kuda Kediaman Pangeran Yan dari kejauhan, Jiang Zhan segera menyambut. 　　“Adik Keempat——” 　　Tirai jendela kereta diangkat, memperlihatkan wajah yang familiar. 　　“Kakak Kedua hari ini tidak bertugas?” 　　Jiang Zhan yang berwatak ceria, ditambah adik perempuannya menjadi Permaisuri, sudah sangat nyaman bekerja di Jinwuwei. 　　Ia menepuk-nepuk bagian pinggang tempat pedang tergantung sambil tersenyum: “Aku tuker shift dengan orang lain, kita pergi bersama.” 　　Saat ulang tahun nenek dari pihak ibu sebelumnya sampai terjadi kasus pembunuhan yang melibatkan Adik Keempat, sampai sekarang masih merinding kalau ingat. 　　Meski sekarang Adik Keempat sudah jadi Permaisuri, dia tetap merasa lebih tenang kalau pergi bersama. 　　Apalagi nenek dari pihak ibu sedang sakit, dia harus menjenguk. 　　Jiang Si menyuruh Ah Man membantu Jiang Yi naik ke kereta. 　　Kereta mulai bergerak perlahan, Jiang Zhan mengendarai kuda di samping sambil menggoyangkan jas hujan di tubuhnya. 　　Hujan benar-benar menyebalkan. 　　Tapi mendengar suara obrolan pelan kedua saudari dari dalam kereta, dia kembali ceria dan bersiul keras sambil tersenyum. 　　Siulan merdu itu membuat obrolan kedua saudari di dalam kereta terhenti. 　　Jiang Yi geleng-geleng sambil tersenyum: “Adik Kedua masih seperti anak kecil.” 　　Jiang Si tersenyum kecut: “Kakak Kedua punya mentalitas bagus, jauh lebih baik daripada mereka yang sok tegas setiap hari.” 　　“Memang begitu.” Jiang Yi sangat setuju, berbisik pelan, “Entah kapan Adik Kedua akan menikah. Waktu itu aku coba menyelidiki pendapat Ayah, maksud Ayah adalah menunggu Kakak Kedua menemukan orang yang disukainya dulu. Tapi dari pengamatanku, Adik Kedua sama sekali tidak mengerti masalah percintaan ini…” 　　“Kalau takdir sudah tiba, pasti akan mengerti sendiri. Urusan seperti ini tidak bisa dipaksakan.” Jiang Si sangat santai menghadapi hal ini, meletakkan topik ini dan bertanya tentang kehidupan Jiang Yi di Keluarga Bo. 　　Tidak lama kemudian mereka tiba di Kediaman Marquis Yining, kereta kuda pun berhenti. 　　Ah Man melompat turun dari kereta dan berdiri di samping, membantu Jiang Si dan saudari perempuannya turun. 　　“Memberi salut pada Permaisuri.” 　　Jiang Si melirik sekilas, ternyata di pintu gerbang sudah banyak orang berdiri, yang paling depan adalah Mandor besar Kediaman Marquis Yining. 　　Jiang Si menggenggam tangan Jiang Yi, berjalan masuk bersama. 　　Pelayan Kediaman Marquis segera melapor, tidak lama kemudian keluarga Paman Kedua dari keluarga Su menyambut. 　　“Mengapa repah-repah Paman dan Bibi Kedua menyambut…” 　　Paman Kedua Su tersenyum: “Permaisuri yang datang, sudah seharusnya kami menyambut.” 　　Ini baru keponakan perempuan yang jadi Permaisuri, kalau yang datang adalah orang terhormat dari istana, bahkan Ayah dan Ibu kami pun harus keluar menyambut. 　　Paman Kedua Su menatap Jiang Zhan dengan senyum ramah: “Zhan'er hari ini tidak bertugas?” 　　“Khawatir dengan kondisi Nenek, jadi minta cuti untuk menjenguk beliau.” 　　“Zhan'er benar-benar sudah sukses.” Paman Kedua Su mengangguk, lalu berkata pada Jiang Yi: “Yi'er kelihatan segar.” 　　Jiang Yi tersenyum: "Semua ini berkat berkah Paman dan Bibi." 　　Kedua pihak saling menyapa, kemudian bersama-sama menuju tempat tinggal Ibu Suri. 　　Marquis Yining yang tua sedang jongkok di serambinya sambil menghisap rokok pipa berdebar-debar, mendengar keriuhan dia mengangkat kelopak matanya. 　　"Kalian datang." 　　Ketiga saudara itu segera memberi salam kepada Marquis Yining yang tua. 　　Marquis Yining tua melambaikan tangan, berkata lesu: "Masuklah menjenguk nenek kalian." 　　Jiang Si merasa sedih melihatnya. 　　Dalam ingatannya, kakek dan neneknya sangat harmonis. Kini neneknya sakit parah, jika terjadi sesuatu, kakeknya akan tinggal sebatang kara. 　　Mata Jiang Yi sudah memerah. 　　Marquis Yining tua mengerutkan kening: "Masuklah, jangan menangis di depan nenek kalian." 　　"Kakek tenang saja, kami mengerti." Jiang Yi buru-buru mengusap sudut matanya, menarik tangan Jiang Si masuk ke dalam kamar. 　　Di dalam ruangan tercium aroma obat yang samar. 　　Nyonya You sedang menyuapi Ibu Suri dengan mangkuk obat. 　　Mendengar suara, dia segera berdiri menyapa Jiang Si. 　　Jiang Si mengagumi. 　　Pertemuan terakhir di Kediaman Marquis yang begitu kaku, Nyonya You hampir tak mau menampakkan wajah padanya, kini bisa bersikap biasa saja. 　　Benarlah, orang yang tak punya muka akan tak terkalahkan di dunia. 　　Jiang Si takkan pernah melupakan rencana Nyonya You yang ingin menikahkannya dengan anak lelaki idiot. 　　Merasakan sikap dingin Jiang Si, Nyonya You tetap menjaga ekspresi walau hati kesal. 　　“Bagaimana mungkin si gadis ini bisa berhasil!” 　　Situasi sekarang lebih kuat dari manusia, meskipun dia sebagai orang yang lebih tua, tetap harus menundukkan kepala. 　　“Hmm, Yi'er dan yang lain sudah datang?” Suara lemah dan tua terdengar. 　　Tiga bersaudara langsung melewati Nyonya You dan terjatuh di depan ranjang. 　　Penampilan Ibu Suri membuat ketiganya terkejut. 　　Di awal tahun, wanita tua yang masih terlihat segar kini kurus dengan pipi cekung, wajah pucat tanpa setetes darah, bahkan bernapas pun terlihat sangat sulit. 　　“Nenek dari pihak ibu, bagaimana kondisi Anda?” Jiang Yi menggenggam tangan Ibu Suri, menahan kesedihan bertanya. 　　Jiang Si diam-diam memegang tangan satunya lagi. 　　“Saya baik-baik saja—” Ibu Suri berbicara satu kalimat, lalu beristirahat sejenak. 　　Baik-baik saja? Jiang Si tanpa sengaja melihat jari Ibu Suri, pupil matanya tiba-tiba menyempit. 444. BAB 443 Gagal Jantung 　　BAB 443 Gagal Jantung 　　Jari-jari Ibu Suri Marquis Yining kurus seperti ranting kering, kuku yang agak tebal berwarna abu-abu pucat tidak sehat. 　　Yang menarik perhatian Jiang Si bukan ini, melainkan tiga garis merah samar di kuku jari tengah Ibu Suri. 　　Tiga garis merah itu terlihat sangat mencolok di mata Jiang Si. 　　Untuk sementara dia menatap ke sana sambil berpikir. 　　Merasa Jiang Si kehilangan fokus, Jiang Yi secara refleks menunduk dan ikut tertegun melihat tiga garis merah di kuku Ibu Suri. 　　Ibu Suri menggerakkan tangannya, bertanya pada Jiang Yi: “Yi'er, kalian baik-baik saja di Keluarga Bo?” 　　Jiang Yi segera menarik pandangannya, tersenyum pada Ibu Suri: "Anda tak perlu khawatir, saya baik-baik saja sejak pulang ke rumah, Yan-yan juga sudah beradaptasi..." 　　"Nenek dari pihak ibu merasa tidak enak badan di mana?" tanya Jiang Si. 　　Ibu Suri beristirahat sejenak, tersenyum pada Jiang Si: "Sudah tua, seluruh badan tidak karuan, kalian tak perlu mengkhawatirkan saya..." 　　Paman tertua Su berkata: "Biarkan Ibu Suri beristirahat." 　　Melihat Ibu Suri benar-benar kelelahan dan lemah, Jiang Yi menarik tangan Jiang Si berdiri; "Nenek, Anda istirahatlah yang baik, kami akan kembali mengunjungi nanti." 　　Tiga bersaudara itu mengikuti Paman tertua Su dan lainnya ke Ruang Penerimaan, perasaan mereka sangat berat. 　　Kondisi Ibu Suri Marquis Yining tak terhindarkan mengingatkan pada ungkapan "lilin di ujung angin". 　　Nyawa api kehidupan ini seolah-olah akan padam oleh hembusan angin lembut sekalipun. 　　"Paman, penyakit apa yang diderita nenek?" Jiang Zhan yang berwatak impulsif langsung bertanya begitu masuk ruang penerimaan. 　　"Tabib yang diundang mengatakan Ibu Suri menderita sindrom kelelahan jantung," kata Paman tertua Su dengan wajah muram. "Jantung tiba-tiba mulai melemah, ramuan herbal hanya bisa sedikit memberi nutrisi, tapi tak mampu menghentikan penurunan kondisi fisik..." 　　"Maksud Paman, kondisi nenek sangat buruk?" tanya Jiang Zhan. 　　Paman tertua Su melirik ke arah pintu, perlahan mengangguk: "Tabib mengatakan penderita sindrom ini bisa tiba-tiba berhenti detak jantungnya, sekarang kita hanya bisa berdoa pada Yang Maha Kuasa..." 　　Tiba-tiba mata Jiang Yi memerah, ia meremas saputangan untuk menyeka air mata. 　　Jiang Zhan memberi Jiang Si isyarat mata, ingin menyuruhnya menenangkan Jiang Yi, tetapi melihat Jiang Si tampak tidak fokus. 　　Ia pun terpaksa membujuk: "Kakak, jangan menangis lagi. Nenek dari pihak ibu pasti akan selamat——" 　　Kalimat penenang berikutnya terhenti oleh ucapan Jiang Yi yang tiba-tiba dan tidak jelas. 　　"Ibu juga seperti ini dulu." 　　"Kakak, apa yang kau katakan?" Jiang Si tiba-tiba tersadar, menatap tajam ke arah Jiang Yi. 　　Jiang Yi tidak melihat Jiang Si, melainkan memandang Paman tertua dari keluarga Su: "Paman, apakah Paman masih ingat? Dulu ibu juga meninggal karena penyakit jantung..." 　　Paman tertua Su mengangguk perlahan. 　　Jiang Si menggenggam tangan Jiang Yi: "Kakak, kau masih ingat keadaan saat ibu meninggal?" 　　"Saat itu aku sudah cukup besar untuk mengingat, jadi masih ingat sedikit." 　　Bagi seorang anak kecil, dua orang terpenting dalam hidup adalah orang tua. 　　Meski Jiang Yi masih kecil saat Nyonya Su meninggal, kesan yang tertinggal tak pernah pudar. 　　"Jangan-jangan penyakit jantung ini diturunkan dari ibu ke anak perempuan——" Jiang Yi bergumam pelan. 　　Paman tertua Su berkerut kening: "Yi'er, jangan berpikir macam-macam, nanti membuat adik-adikmu ketakutan." 　　Jiang Zhan berseru: "Paman, kita harus mencari kejelasan! Mengapa justru diturunkan ke anak perempuan? Kakak dan Adik Keempat tubuhnya lemah, tidak seperti aku yang kuat..." 　　Ekspresinya yang tampak menyesal bukan keturunan ibu ke anak laki-laki membuat Paman tertua Su dan Paman kedua Su sama-sama mengernyitkan bibir. 　　“Keponakan ini memang masih belum punya kelicikan sama sekali. Berharap penyakit turunan dari ibu ke anak sama saja dengan mengutuk mereka agar terkena penyakit jantung juga.” 　　Di dalam hati, dia menggerutu, namun juga tersentuh oleh perhatian Jiang Zhan terhadap saudara perempuannya. 　　Jiang Yi mengangkat tangan memukul Jiang Zhan, memarahi: "Adik Kedua, jangan sembarangan bicara." 　　Jika penyakit nenek dari pihak ibu memang benar turunan, dia lebih rela menanggung sendiri daripada melihat adiknya menderita. 　　"Saya agak tidak enak badan, ingin istirahat sebentar." Jiang Si memegang kening, tiba-tiba berkata. 　　Biasanya jika Jiang Si tidak enak badan, paling hanya memberitahu diam-diam, tidak mungkin mengatakannya di depan paman tertua Su dan para sesepuh. 　　Sebagai yang lebih muda, perkataannya dianggap tidak sopan. Tapi sebagai Permaisuri Yan, tak ada yang berani menyanggah. 　　Keuntungan dari peningkatan status sosial jelas tak perlu dipertanyakan lagi. 　　Nyonya Besar You segera menyuruh dayang mengantar Jiang Si ke kamar tamu untuk beristirahat. 　　Jiang Yi yang khawatir ikut menemani. 　　"Adik Keempat, bagaimana perasaanmu?" Melihat wajah Jiang Si pucat, Jiang Yi buru-buru bertanya. 　　Adik Keempat biasanya lebih berani darinya, seharusnya tidak ketakutan karena ucapannya tadi. 　　Jiang Si tidak langsung menjawab, malah memberi perintah pada Ah Man: "Kau jaga pintu, kalau ada yang mendekat segera beri tahu." 　　Jiang Yi melihat ke arah Ah Man lalu ke Jiang Si, mulai merasakan keanehan. 　　"Adik Keempat, ada apa?" 　　Jiang Si menggigit bibir, tangan terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. 　　"Kakak, apakah gejala yang dialami ibu dulu benar-benar sama dengan nenek dari pihak ibu?" 　　Adik Keempat rupanya ingin tahu tentang ibu. 　　Jiang Yi mengangguk halus: "Hm, saat itu kondisi ibu semakin melemah dari hari ke hari. Aku sangat ketakutan, terus menemani ibu. Suatu kali kudengar tabib memberitahu Ayah bahwa ibu menderita penyakit gagal jantung. Obat herbal hanya bisa memperpanjang waktu, tapi tak bisa menyelamatkan nyawa ibu..." 　　Saat mengatakannya, bayangan sosok Nyonya Su di ambang kematian muncul di depan mata Jiang Yi. 　　Wanita berparas cantik itu bagai bunga layu, menatapnya dengan senyum tenang, namun mata yang dipenuhi kesedihan tak teruraikan, penuh rasa tak rela dan khawatir pada anak-anaknya yang masih belia. 　　Itulah tatapan paling mengharukan yang pernah dilihatnya, berulang dalam mimpinya selama bertahun-tahun, membuatnya terbangun menangis mencari ibu. 　　Ibunya yang masih begitu muda telah pergi, meninggalkannya, meninggalkan adik-adik, juga meninggalkan Ayah. 　　"Kondisi ibu terlihat sama seperti nenek dari pihak ibu." 　　Jiang Si mengulurkan tangan di depan Jiang Yi, bertanya kata demi kata: "Lalu kuku jari tengah tangan kiri? Apakah tiga garis darah itu juga sama?" 　　Dia bertanya dengan suara gemetar yang tertahan. 　　Jiang Yi ragu memandang Jiang Si: "Adik Keempat, mengapa kau bertanya begitu-" 　　"Kakak, coba ingat-ingat baik-baik. Apakah jari ketiga tangan kiri ibu sebelum wafat juga memiliki tiga garis darah seperti nenek?" 　　Jiang Yi tiba-tiba merasa tegang, ribuan pikiran berdesakan di benak hanya menjadi satu kata: "Ada!" 　　Jiang Si menyangga tubuhnya dengan tangan di permukaan ranjang, wajahnya terlihat sangat muram. 　　"Adik Keempat, sebenarnya ada apa?" Jiang Yi meraih tangan Jiang Si, seperti memegang sepotong es. 　　Wajah Jiang Si tanpa ekspresi, tapi matanya seperti kolam es yang gelap dan dalam tanpa dasar. 　　"Ibu tidak meninggal karena sakit!" Setelah lama terdiam, ia mengucapkan kata demi kata. 　　Wajah Jiang Yi mendadak pucat pasi, matanya menatap tajam adiknya sambil bertanya gemetar, "Lalu... lalu bagaimana ibu meninggal?" 　　Jiang Si menutup mata sejenak lalu membukanya kembali, menunduk sambil menatap jari-jarinya tanpa bergerak. 　　Jari-jari wanita muda itu putih dan lembut seperti tunas bambu musim semi, kuku yang dipotong rapi berwarna merah muda pucat yang sehat. 　　"Racun," jawabnya perlahan. 　　Sebenarnya, itu bukan racun, melainkan Gu. 　　Ada jenis Gu yang bisa menempel di dinding jantung manusia, hidup dengan menghisap darah jantung. Lama-kelamaan korban akan semakin lemah dan menunjukkan gejala gagal jantung. 　　Ciri khas paling jelas dari Gu ini adalah munculnya tiga garis Hongxian samar di kuku jari ketiga tangan kiri. 445.BAB 444 Peracun 　　BAB 444 Peracun 　　"Racun..." Jiang Yi hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya, terus bergumam, "Bagaimana mungkin racun... Bagaimana mungkin..." 　　Dalam ingatannya, ibu yang lembut dan penyayang itu - bukankah dia meninggal karena sakit? Apakah sebenarnya dibunuh? 　　Tiba-tiba ia teringat sesuatu, meraih pergelangan tangan Jiang Si sambil berteriak histeris, "Lalu bagaimana dengan nenek dari pihak ibu?" 　　Nenek dari pihak ibu memiliki gejala yang sama dengan ibu. Jika ibu meninggal karena keracunan, bukankah nenek juga diracuni... 　　Pikiran seperti itu membuat Jiang Yi meriang. 　　Jiang Si melirik ke arah pintu, menurunkan suaranya: "Kakak, nenek dan ibu sama-sama diracuni. Aku curiga sumbernya dari Keluarga Marquis Yining!" 　　Ekspresi Jiang Yi bergetar, semakin terkejut. 　　Beberapa saat kemudian, barulah suaranya kembali: "Adik Keempat, kenapa kau berkata begitu?" 　　Mata indah Jiang Si menyipit: "Racun tak mungkin muncul tiba-tiba dari dalam tubuh, pasti ada pelakunya. Menurutmu, Kakak, jika pelakunya dari Keluarga Bo, bagaimana mungkin tangan mereka bisa menjangkau Kediaman Marquis Yining setelah ibu meninggal belasan tahun..." 　　Jiang Yi sangat setuju. 　　Jika seseorang bisa meracuni ibu dan nenek, hampir pasti pelakunya dari Keluarga Marquis Yining. 　　Bibirnya bergetar ingin bertanya bagaimana Jiang Si tahu nenek diracuni, tapi kata-kata itu ditelannya kembali. 　　Jiang Yi selalu bijaksana, hal-hal yang tak diungkapkan tak akan ditanyakannya. 　　"Saat ibu meninggal, Bibi kedua belum menikah, kan?" tiba-tiba Jiang Si bertanya. 　　Jiang Yi tertegun, refleks menggeleng, lalu wajahnya berubah pucat: "Adik Keempat, maksudmu--" 　　Senyum Jiang Si dingin menusuk: "Meski pelakunya belum pasti, setidaknya beberapa orang bisa disingkirkan." 　　“Meski berkata demikian, sebenarnya di dalam hatinya telah muncul kecurigaan samar terhadap seseorang.” 　　Jiang Si berdiri, melangkah menuju pintu. 　　Jiang Yi menariknya: “Adik Keempat, kau mau ke mana? Jangan-jangan ingin melaporkan ke pihak berwajib?” 　　Jelas sekali kejadian kuda liar di Kuil Baiyun dulu, dimana adiknya yang langsung ingin melapor ke pihak berwajib saat terjadi perselisihan, telah meninggalkan kesan tak terlupakan bagi Jiang Yi. 　　Wajah Jiang Si yang tegang menjadi rileks, tak bisa menahan tawa: “Kakak, apa aku ini orang yang suka melaporkan segalanya ke pihak berwajib?” 　　Jiang Yi memandangnya dengan ragu. 　　Bukan ingin menghalangi adiknya, tapi saat ini tanpa bukti konkret, lagi pula ini keluarga nenek dari pihak ibu, melapor ke pihak berwajib terlalu tidak pantas. 　　Lagipula, Adik Keempat sekarang sudah menjadi permaisuri, melapor ke pihak berwajib akan jadi bahan tertawaan orang. 　　Berbagai kekhawatiran Jiang Yi langsung terlupakan karena ucapan Jiang Si. 　　“Aku akan menemui Kakek!” 　　Jiang Yi buru-buru menghalangi: “Adik Keempat, jangan gegabah. Kakek sudah tua, emosinya tidak bisa menerima gejolak besar. Lagi pula meski kau tahu Nenek diracun, kita tidak punya bukti, apalagi menemukan pelakunya. Setidaknya tunggu sampai ada jejak-jejak kecil baru bicarakan...” 　　“Bukti bisa saya temukan.” Ekspresi Jiang Si tegas. “Kakak, kita boleh melakukannya perlahan-lahan, tapi kondisi Nenek tidak bisa menunggu. Bagaimana hati bisa tenang jika pelaku yang membahayakan Nenek tidak segera ditemukan?” 　　Orang itu juga pelaku kejahatan yang membunuh Ibu! 　　Memikirkan hal ini, gigi Jiang Si gemeretuk karena kebencian. 　　"Seandainya ibu tidak meninggal, saya di kehidupan sebelumnya tidak akan menjadi begitu sensitif dan rendah diri, membuat satu demi satu pilihan yang salah." 　　"Seandainya ibu tidak meninggal, ayah tidak akan hidup menyendiri dan kesepian di usia tua, kakak-kakak saya mungkin juga tidak akan mengalami nasib malang itu." 　　Jiang Si mengakui semua ini hanya asumsi, namun tidak bisa menahan kebencian luar biasa terhadap si peracun. 　　"Orang ini harus berhasil saya usut!" 　　"Adik Keempat, benarkah kau bisa menemukan bukti?" 　　Melihat Jiang Si mengangguk, Jiang Yi berubah beberapa kali ekspresinya, akhirnya melepas tangan: "Baiklah, kita pergi bersama." 　　Marquis Yining tua masih berjongkok di bawah koridor menghisap pipa tembakau kering, tiba-tiba batuk-batuk saat menghisap. 　　Jiang Zhan segera menepuk-nepuk punggungnya: "Kakek, kurangi lah menghisapnya." 　　Marquis Yining tua melirik cucunya, menyodorkan pipa tembakau: "Coba hisap?" 　　Jiang Zhan ragu sejenak, menerima pipa tembakau dan meniru sang kakek menyentuhkan corong tembakau ke mulutnya. 　　Ia belum pernah mencoba benda ini, tapi bisa menghibur kakek juga tak masalah. 　　Persis saat berpikir demikian, suara lembut terdengar: "Kakek, Kakak Kedua--" 　　Pipa tembakau di tangan Jiang Zhan terlempar tiba-tiba. 　　"Hmm, Adik Keempat, kondisimu sudah membaik?" 　　Marquis Yining tua melihat corong giok pipa tembakaunya yang retak di lantai, kumisnya bergetar menahan kesal. 　　Saat sedang resah, benda kesayangan inilah yang selalu menghiburnya. 　　“Jiang Si datang menghadap Marquis Yining yang sudah tua, memungut pipa rokok dan menyerahkannya padanya.” 　　Marquis Yining yang tua mengulurkan tangan menerimanya, membersihkan debu yang menempel, suaranya terdengar sendu: “Setelah menjenguk nenek dari pihak ibu, pulanglah lebih cepat.” 　　“Kakek, saya ada beberapa hal ingin bicarakan dengan Anda,” Jiang Si berkata lembut. 　　Barulah Marquis Yining yang tua mengangkat kelopak matanya memandang Jiang Si. 　　Cucu perempuan ini yang paling mirip dengan putrinya yang meninggal muda. 　　Sekejap, sudah besar begini. 　　Mata Marquis Yining yang tua terlihat lebih lembut, bertanya: “Ada apa?” 　　“Silakan Kakek pergi ke tempat saya beristirahat tadi.” 　　Sebelum Marquis Yining yang tua bereaksi, Jiang Zhan sudah menyangga lengannya: “Kakek, saya temani Kakek ke sana.” 　　“Tidak usah kau menyangga.” Marquis Yining yang tua mengetuk punggung tangan Jiang Zhan dengan pipa rokoknya, kesal. 　　Pemuda bodoh ini memang sepenanggungan dengan adik perempuannya. 　　Jiang Zhan tidak marah, hanya tersenyum lebar. 　　Kembali ke ruangan tadi, Marquis Yining yang tua menyelipkan pipa rokok di pinggangnya, lalu menatap Jiang Si. 　　“Kakek silakan duduk dulu.” Jiang Yi membantu Marquis Yining yang tua duduk. 　　Perkataan Adik Keempat terlalu mengejutkan, lebih baik kakek duduk tegak dulu. 　　Marquis Yining yang tua merasa ada yang aneh, mengerutkan alis memandang Jiang Si. 　　Di mata orang lain si gadis ini adalah Permaisuri, tapi di matanya tetap cucu perempuan kecil itu. Jika bermain-main pasti akan dimarahinya. 　　“Kakek, hari ini saat saya menjenguk nenek, menemukan suatu hal.” 　　“Apa itu?” 　　“Nenek dari pihak ibu tidak sakit, melainkan diracun.” 　　“Kau ulangi lagi!” Marquis Yining yang tua tiba-tiba menghilangkan kesan rentanya, matanya berkilat tajam. 　　Jiang Zhan tertegun. 　　Jiang Si tidak sedikitpun menghindar, dengan tegas mengulangi: “Nenek bukan sakit, tapi diracun!” 　　Marquis Yining yang tua menatap tajam Jiang Si, suaranya keras: “Si'er, apa dasar perkataanmu ini?” 　　“Kondisi fisik nenek adalah buktinya. Saya bisa mengeluarkan racun itu, tapi Kakek harus membantu saya.” 　　Wajah Marquis Yining kembali tenang, bertanya berat: “Bagaimana caranya?” 　　Jiang Si menatap ke pintu, mengucap perlahan: “Saya ingin menemukan pelakunya. Tolong Kakek kumpulkan semua senior di keluarga terlebih dahulu.” 　　“Maksudmu... pelakunya ada di antara mereka?” Mata Marquis Yining berbinar, raut ragu muncul. 　　Jiang Si berkata datar: “Gejala yang dialami ibu dulu persis sama dengan nenek. Menurut Kakek, pelaku paling mungkin berasal dari kalangan mana?” 　　Marquis Yining terdiam sejenak, lalu amarah menyala di matanya: “Akan Kukumpulkan mereka!” 　　“Tidak, tolong ajak mereka semua ke kamar nenek.” 　　Tak lama kemudian, ruang luar Ibu Suri telah dipenuhi banyak orang. 　　Paman tertua dari keluarga Su melihat ke dalam, berkata pada Marquis Yining: “Ayah, Ibu sedang tidur. Kehadiran kita semua akan mengganggu beliau.” 446. BAB 445 ULURKAN TANGANMU 　　BAB 445 ULURKAN TANGANMU 　　“Marquis Yining Tua menatap Paman Tertua Su, lalu pandangannya menyapu Nyonya Besar You, kemudian pasangan putra kedua.” 　　“Selain keempat orang ini, ada tiga saudara Jiang Si.” 　　“Si gadis itu mengatakan pelaku racun ada di antara keempat orang ini...” 　　“Tidak mungkin menantu kedua, saat A Ke meninggal, menantu kedua belum menikah masuk keluarga.” 　　“Marquis Yining Tua mengalihkan pandangan antara pasangan putra sulung dan putra kedua, hati dipenuhi kepedihan.” 　　“Mungkin si gadis itu hanya mengada-ada.” 　　“Kakek, mari kita masuk menemui nenek.” Jiang Si berkata. 　　“Permaisuri--” 　　“Paman, kalian juga masuklah menjenguk nenek.” 　　“Paman Tertua Su mengerutkan kening: 'Ini akan mengganggu Ibu Suri...'” 　　“Jiang Si tiba-tiba tersenyum: 'Tapi jika tidak begini, bagaimana cara membuat para sesepuh menyaksikan langsung nenek keracunan?'” 　　“Perkataan ini membuat wajah mereka berubah pucat.” 　　“Permaisuri, apa maksudmu?” Paman Tertua Su terkejut. 　　“Marquis Yining Tua mengeluarkan pipa tembakau, menggenggamnya erat.” 　　“Sama sekali tak disangkanya Jiang Si akan seblak-blakan begini.” 　　“Kerumunan masih terpaku ketika Jiang Si sudah melangkah menuju kamar dalam.” 　　“Di kamar dalam ada dayang utama yang merawat Ibu Suri yang tertidur.” 　　“Apakah Ibu Suri tidur nyenyak?” tanya Jiang Si. 　　“Wajahnya tanpa senyum, memancarkan wibawa seorang permaisuri.” 　　“Dayang utama merasa tertekan, tak berani bersuara, hanya mengangguk lemah.” 　　Marquis Yining dan yang lainnya masuk. 　　Dayang utama hendak memberikan salam, diusir oleh Marquis Yining. 　　"'Permaisuri, bagaimana kau tahu Ibu Suri diracuni? Racun apa yang digunakan?' Paman tertua Su terus bertanya." 　　"'Paman tertua harap tenang.' Jiang Si mendekati ranjang, mengamati wajah Ibu Suri." 　　Wajah keriputnya memerah tak wajar, tapi sang nenek tetap terlelap. 　　Penderita gagal jantung seringkali seperti ini, bisa saja tak bangun lagi setelah tertidur. 　　"'Pisau kecil.' Jiang Si mengulurkan tangan." 　　Kerumunan saling pandang, sementara Jiang Zhan meraba-raba pinggangnya. 　　Seberapa kecil pisau itu? Belati mungkin? 　　Ah Man mengeluarkan pisau sepanjang telapak tangan dari dompetnya, menyerahkannya dengan tenang. 　　"'Kain lap.'" 　　Ah Man mengeluarkan saputangan putih bersih. 　　"'Cawan berisi air bersih.'" 　　Ah Meraba dompetnya, lalu menjulurkan bibir: "Apa kediamanmu tak punya secawan air bersih?" 　　Apa mereka berharap dia mengeluarkan secawan air dari dompetnya? 　　Kerumunan lega tanpa alasan jelas. 　　Andai dayang ini mengeluarkan benda aneh lagi dari dompetnya, pasti mereka akan bertanya-tanya apa yang biasa dilakukan majikan dan pelayan ini. 　　Nyonya Kedua Xu menyerahkan cawan berisi air. 　　Ah Man menerimanya, bertanya sambil memegang cawan: "'Permaisuri, airnya ditaruh di mana?'" 　　“Kau pegang saja.” Jiang Si berkata sambil memegang tangan kiri Ibu Suri dengan lembut, pisau kecil berputar di telapak tangan lalu menoreh jari ketiga. 　　Beberapa orang terkejut. 　　“Si gadis, apa yang kau lakukan!” Paman tertua Su berwajah masam mencoba menghentikan. 　　Marquis Yining tua melihat tetesan darah kotor membeku di ujung jari Ibu Suri, pipa tembakaunya diturunkan sambil berteriak: “Putra Sulung, jangan ganggu si gadis!” 　　Langkah Paman tertua Su terhenti. 　　“Ah Man, siapkan cangkir air.” 　　Sebutir darah kotor jatuh ke cangkir, mengembang seperti kabut dengan bau anyir samar. 　　“Bau apa ini?” Paman kedua Su mengerutkan alis. 　　Mereka menatap cangkir itu dengan ekspresi serius. 　　Belum pernah dengar darah orang sakit berbau busuk, tapi keracunan tertentu bisa menyebabkan hal ini... 　　Jadi, Jiang Si tidak asal bicara? 　　Saat mereka berpikir, tak ada yang memperhatikan Jiang Si menaburkan serbuk halus di luka jari. 　　Tetesan darah kotor terus jatuh ke cangkir, perlahan menyebar. 　　Proses pengeluaran darah biasa saja, tapi yang menusuk adalah Permaisuri terhormat - sepupu jauh yang dikenal angkuh; yang ditusuk adalah nyonya rumah tertinggi di Kediaman Marquis, mungkin korban racun. 　　Semua faktor ini membuat pemandangan terasa ganjil. 　　Alhasil, mata mereka terpaku pada jari Ibu Suri yang mengucurkan darah. 　　Tiba-tiba ada sesuatu yang keluar dari ujung jari dan jatuh ke dalam gelas air. 　　Gumpalan itu membuka diri di dalam air, ternyata adalah seekor cacing merah darah dari ujung ke ujung. 　　Wajah beberapa orang berubah pucat. 　　"Apa ini?" Paman Tertua Su dan Paman Kedua Su serentak melangkah maju. 　　Marquis Yining Tua menyibak kedua putranya, mendekat dan memerhatikan cacing merah di air dengan seksama. 　　Cacing itu seolah sedang menghisap air, perutnya semakin menggembung hingga perlahan membentuk bola bulat. 　　Air dalam gelas berkurang dengan kecepatan yang terlihat mata. 　　Cacing berbentuk bola itu terus mengembang, perlahan hampir memenuhi dinding dalam gelas. 　　Nyonya Besar You dan Nyonya Kedua Xu sama-sama menutup mulut dengan sapu tangan, mata mereka penuh kengerian dan jijik. 　　Yang lain tampak terheran-heran. 　　Seluruh orang di ruangan itu diam membisu, menahan napas memandangi cacing rakus itu. 　　Kalau terus minum, apakah dia akan pecah? 　　Baru saja pikiran itu muncul, terdengar suara "plop" lembut. Cacing itu seketika menjadi lapisan kulit tipis yang mengambang perlahan ke permukaan air. 　　Riak air dalam gelas segera berhenti. 　　Air yang mati, cacing yang mati, disertai bau anyir samar yang mengganggu indera. 　　"Huek--" Nyonya Kedua Xu tak tahan muntah kering dua kali. 　　Marquis Yining Tua menunjuk gelas sambil bertanya keras: "Gadis Si, apakah cacing inilah yang meracuni nenekmu?" 　　Jiang Si menyerahkan pisau kecil kepada Ah Man, berkata dengan tenang: "Serangga ini sendiri tidak beracun, tetapi setelah masuk ke tubuh manusia akan merayap melalui meridian menuju jantung, lalu hidup sebagai parasit dengan menghisap darah jantung. Lama-kelamaan, orang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala gagal jantung..." 　　"Artinya, serangga inilah dalang utama yang membuat Ibu Suri sakit parah?" tanya Paman tertua Su. 　　Jiang Si menatap Paman tertua Su, tersenyum tipis: "Paman keliru." 　　Paman tertua Su mengerutkan alis: "Bukan?" 　　"Tentu saja bukan." Jiang Si mengusap tangannya dengan sapu tangan, berkata penuh makna: "Dalang di balik penyakit nenek dari pihak ibu adalah manusia!" 　　Pernyataan yang menggemparkan itu membuat semua orang merinding sekaligus seperti terbangun dari mimpi. 　　Benar, serangga aneh seperti ini tidak mungkin muncul tiba-tiba. Pasti ada manusia di balik penderitaan Ibu Suri. 　　"Siapa yang berani menyakiti nenekmu!" bentak Marquis Yining yang tua dengan suara keras. 　　Jiang Si memandang bergantian ke Paman tertua Su dan Paman kedua Su. 　　Keduanya dibuat deg-degan oleh tatapannya. 　　"Pelakunya pasti ada di antara orang yang hadir di sini." 　　Wajah Paman tertua Su pucat pasi: "Permaisuri, jangan asal bicara!" 　　Jiang Si tidak menghiraukan sikapnya, menjelaskan perlahan: "Sebelum masuk ke tubuh korban, serangga ini harus diberi makan darah ujung jari kiri ketiga. Jadi cara menemukan pelakunya mudah - lihat saja siapa yang memiliki bekas luka berulang di jari kiri ketiga." 　　“Bisa membahayakan nenek dari pihak ibu, dan terkait dengan kematian ibu 10 tahun lalu, kemungkinan besar pelakunya tidak menggunakan pelayan untuk memelihara Gu.” 　　Semakin banyak orang yang tahu, semakin sulit rahasia dijaga. 　　“Paman tertua, Paman kedua, Bibi, sekarang tolong rentangkan tangan kiri kalian.” 　　“Mengapa adik ipar tidak perlu?” Nyonya Besar You tiba-tiba bertanya. 　　Jiang Si menatapnya dengan senyum samar: “Karena saat ibu saya meninggal, Bibi kedua belum menikah masuk keluarga kita.” 　　Wajah Nyonya You berubah pucat: “Kau maksud--” 　　“Saya bisa jelaskan nanti, sekarang tolong Bibi rentangkan tangan.” 447.BAB 446 Ancaman 　　BAB 446 Ancaman 　　Nyonya Besar You tiba-tiba berubah ekspresi: “Permaisuri, apa maksudmu ini?” 　　“Bibi tidak perlu curiga atau gugup, ini bukan hanya pemeriksaan jari Bibi saja. Tangan Paman tertua dan Paman kedua juga akan saya periksa.” 　　Paman tertua Su mengerutkan alis kesal: “Permaisuri, kami tetap adalah orang tua mu...” 　　Jiang Si menyeringai dingin: “Tapi di antara orang tua itu ada yang menyakiti nenek dan ibu saya. Jika kedua Paman dan Bibi bersih hati, memeriksa jari pun tak masalah bukan?” 　　Pembunuh ibu adalah musuh abadi, siapapun pelakunya harus dihancurkan. Masih berharap saya bersikap lembut dan sopan? 　　Paman tertua Su masih ingin membantah, tapi Nyonya You sudah mengulurkan tangan: “Permaisuri boleh melihat.” 　　“Tangan kiri.” 　　Nyonya You mengganti tangan kiri, menelungkupkan telapak tangan memperlihatkan ujung jari. 　　Tangan perempuan paruh baya itu masih terlihat putih dan lembut karena perawatan yang baik, bantalan jari halus tanpa bekas luka. 　　Jiang Si menatap jari ketiga yang mulus tanpa bicara. 　　"Sudah selesai diperiksa, Permaisuri? Jari ketiga tangan kiri saya tidak ada bekas sayatan, kan?" Nyonya You bertanya dengan senyum sinis. 　　Paman tertua Su tanpa sadar menghela napas lega. 　　Jika benar ada yang meracuni ibu, hampir tidak ada alasan untuk aku dan adik kedua. Sedangkan istriku dan ibu bukan saudara sedarah, siapa yang tahu? 　　Jiang Si mengangkat pandangan, bibirnya mengencang: "Bibi, tenang dulu." 　　Ia mendekati Paman tertua Su: "Paman, tolong rentangkan tangan Anda." 　　Paman tertua Su dengan wajah kaku mengulurkan tangan. 　　Terhadap keponakan perempuan ini, ia merasa agak gentar. 　　Saat berkunjung pada acara ulang tahun Ibu Suri sebelumnya, anak lelaki bungsunya tenggelam. Kini kunjungan ini malah mengungkap kasih racun pada Ibu Suri. 　　Tentu saja menyembuhkan Ibu Suri adalah hal baik, tapi setiap kali si gadis ini datang seolah selalu membawa malapetaka... 　　Paman tertua Su yang terlatih bela diri memiliki bantalan jari berkulit tebal, tanpa bekas sayatan. 　　Jiang Si memandang ke Paman kedua Su. 　　Paman kedua Su mengulurkan tangan kirinya, di jari ketiga terlihat jelas sebuah bekas luka. 　　"Adik Kedua!" Wajah Paman tertua Su berubah drastis. 　　Nyonya You tertegun sejenak, lalu sudut bibirnya melengkung. 　　"Bekas luka di tangan suami saya akibat tersabet pedang saat latihan bela diri, sayalah yang membalutnya!" Nyonya Kedua Xu buru-buru menjelaskan. 　　Paman kedua Su melototi Xu: "Jangan banyak bicara!" 　　"Apakah terpotong pedang saat berlatih bela diri adalah hal yang membanggakan?" 　　Apalagi saat itu keponakan Su Qingyi tiba-tiba melompat keluar, demi menghindari melukainya dia buru-buru menarik pedang hingga jarinya sendiri yang tersayat. 　　Sekarang Yi'er pun sudah tiada, buat apa lagi mengungkit masa lalu. 　　Jiang Si melirik sejenak lalu berkata dingin: "Bekas luka di tangan Paman Kedua adalah cedera lama." 　　Ibu Suri baru sakit belum lama, artinya parasit itu baru masuk ke tubuhnya belum lama. Sebelumnya ia perlu menghisap darah sang pemelihara untuk bertahan, sehingga bekas di jari tengah pemelihara akan menunjukkan bekas luka baru di atas yang lama. 　　Marquis Yining tua membuka suara: "Nona Jiang, mungkin kau keliru. Pelaku racun tampaknya bukan di antara mereka." 　　Jiang Si tersenyum: "Mari bicara di ruangan lain. Parasit penghisap darah di tubuh nenek sudah hilang, cukup banyak konsumsi makanan penambah darah dan istirahat yang cukup, kesehatannya akan cepat pulih. Jangan ganggu beliau beristirahat." 　　Kerumunan pindah ke ruangan lain, dengan Ah Man mengawasi agar tak ada pelayan yang masuk. 　　Sorot mata Jiang Si menyapu wajah satu per satu, akhirnya berhenti di wajah Nyonya You. 　　"Bibi, tolong ulurkan tangan kirimu." 　　Nyonya You mengatupkan bibir, wajahnya memerah karena penghinaan: "Paduka Permaisuri, meski statusmu kini berbeda, tak pantas seenaknya memperlakukan orang tak senonoh! Aku ini masih kerabatmu, bahkan andai pun orang biasa tanpa hubungan darah sekalipun, tak sepantasnya diperlakukan begini--" 　　"Siapa bilang kau tak ada hubungan denganku?" Jiang Si menggenggam tangan Nyonya You dengan dingin, "Kau adalah pelaku pembunuhan ibuku, kita punya dendam pembunuhan ibu!" 　　Di kehidupan sebelumnya, dia pernah belajar beberapa jurus dari Yu Jin. Kekuatan tangannya yang besar menekan titik akupresur di pergelangan Nyonya You, membuatnya tak bisa melepaskan diri. 　　"Nona Jiang, apa maksudmu ini?" Paman tertua marah, lupa menyebut gelar Permaisuri. 　　Jiang Si mengabaikannya, berseru: "Kakak Kedua, tolong aku!" 　　Jiang Zhan berlari mendekat, tangan menebas tengkuk Nyonya You. 　　Nyonya You mengedipkan mata putih lalu pingsan. 　　Dunia pun menjadi sunyi. 　　Sudut mulut Jiang Si berkedut. 　　Kakak Kedua benar-benar langsung bertindak. 　　Paman tertua murka. 　　"Cukup!" Marquis Yining tua menghentakkan pipa tembakaunya ke meja, "Kalau Nona Jiang sudah berkata begitu, untuk apa kau ribut? Tunggu dia jelaskan!" 　　Paman tertua menahan amarah, menatap Jiang Si. 　　Jiang Si memerintah Ah Man: "Basahi saputangan dan berikan padaku." 　　Ah Man segera menyodorkan saputangan basah. 　　Jiang Si meraih jari ketiga tangan kiri Nyonya You, mengelapnya perlahan dengan saputangan basah. 　　Segera terlihat goresan-goresan di ujung jari yang semula putih mulus. 　　Goresan itu sangat tipis, bercampur antara baru dan lama. 　　"Apa artinya ini?" Wajah Paman tertua menjadi sangat pucat. 　　Jiang Si menatapnya dan menjelaskan: "Sederhana saja, Nyonya You mengoleskan minyak pada ujung jari untuk menutupi luka sayatan yang muncul berulang kali." 　　Bagi istri utama kalangan bangsawan tinggi, luka sayat tidak sengaja di jari memang biasa, tapi jika muncul berulang kali tentu sangat mencurigakan. 　　Keanehan seperti ini mustahil disembunyikan dari dayang yang selalu mendampingi. 　　Nyonya You cukup cerdik dan hati-hati, menggunakan lapisan minyak untuk menutupi kelainan tersebut. 　　"Adik Keempat, bagaimana kau bisa mengetahui ini?" tanya Jiang Zhan tak tahan. 　　Padahal sebelumnya adiknya hanya melirik sekilas, sementara minyak itu warnanya senada dengan kulit dan luka sayatnya sangat tipis sehingga sulit terdeteksi. 　　Jiang Si mengusap ujung hidungnya perlahan. 　　Jiang Zhan tersadar. 　　Rupanya adiknya mendeteksi melalui indra penciumannya. 　　Sedangkan yang lain masih bingung. 　　"Kakak Kedua, bangunkan dia." 　　Jiang Zhan mengangguk, lalu mencubit titik renzhong Nyonya You dengan keras. 　　Kesakitan, Nyonya You terbangun perlahan dan langsung disambut wajah-wajah dengan ekspresi beragam di sekelilingnya. 　　Ia secara refleks mengangkat tangannya. 　　Luka di jari tengah kiri itu membuat wajahnya pucat mendadak, mata dipenuhi kepanikan dan keputusasaan. 　　"Sekarang kau bisa jelaskan mengapa tega membunuh nenek dari pihak ibu?" tanya Jiang Si dingin. 　　Terhadap pelaku pembunuh ibunya, ia tak sudi lagi menyebut "Bibi". 　　"Aku... aku tidak..." bantah Nyonya You gemetar. 　　Su Paman tertua dipenuhi kekecewaan: "Mengapa?" 　　Nyonya You mengencangkan bibirnya, tidak bersuara. 　　Paman tertua Su mengayunkan tangannya untuk menampar. 　　Jiang Zhan refleks ingin mencegah, tapi mendengar Jiang Si batuk perlahan, langsung menghentikan gerakannya. 　　Mendengar suara tamparan keras yang mendarat di wajah Nyonya You, Jiang Si tersenyum. 　　Kakak Kedua memang terlalu baik hati. 　　Mencegah untuk apa? Dendam pembunuhan ibu, satu tamparan bahkan belum sepadan dengan bunganya. 　　"Katakan, mengapa kau membunuh ibu?" Paman tertua Su bertanya dengan keras. 　　"Aku tidak!" Nyonya You tetap menyangkal sampai mati. 　　Beberapa hal meski semua orang mencurigai, tak boleh diakui secara langsung. 　　Begitu diakui, tamatlah riwayatnya. 　　Jiang Si menatap Nyonya You dengan pandangan dingin: "Kau boleh menyangkal, tapi sebaiknya pikirkan tentang Su Qingxun." 　　Su Qingxun adalah putra sulung Nyonya You, sekaligus cucu laki-laki sah Kediaman Marquis. 　　Perkataan Jiang Si ini membuat Marquis Yining yang tua pun menoleh. 　　"Kau... kau mengancamku dengan Xun'er?" Nyonya You tak percaya. 　　Dalam ingatannya, Xun'er selalu baik pada Jiang Si, dasar bangsat tak berperasaan! 　　Jiang Si tersenyum: "Tentu." 448.BAB 447 Target Kecil Lainnya 　　BAB 447 Target Kecil Lainnya 　　Jiang Zhan terbelalak: "Adik Keempat, kau tidak serius kan?" 　　Masalah ada pemiliknya, utang ada yang berpiutang. Kakak Sepupu Tertua itu orang baik. 　　"Tentu saja serius." Jiang Si memandang Nyonya You dengan senyum dingin, "Utang ayah dibayar anak. Kau boleh bertahan menyangkal, tapi jangan salahkan aku yang tak berperasaan pada Kakak Sepupu Tertua." 　　"Kau... Xun'er selalu baik padamu!" 　　"Benarkah? Selama ini di Kediaman Marquis, saya dan Kakak Sepupu hampir tidak pernah berinteraksi. Sungguh tidak terlihat di mana 'tidak mengecewakan'-nya dia terhadap saya. Lagipula, apa artinya tidak mengecewakan? Nenek dari pihak ibu juga tidak mengecewakanku, tapi kau tetap tega berniat jahat pada beliau!" 　　Wajah Paman tertua Su memerah. Ia menarik kerah baju Nyonya You: "Perempuan hina! Tidak perlu kau mengaku, aku akan segera menulis surat cerai untukmu!" 　　"Tuan, jangan seperti ini—" Nyonya You terkejut, memandangi Paman tertua Su dengan tidak percaya. 　　Paman tertua Su berwajah muram, dingin membeku: "Tidak ada yang tidak bisa. Meski kau tidak mengaku, semua orang sudah tahu apa yang telah kau perbuat." 　　Ulat itu jelas-jelas mereka saksikan keluar dari jari Ibu Suri. Pasti ada pelaku yang meracuni. Sedangkan jari Nyonya You terdapat bekas luka baru dan lama, persis seperti yang dijelaskan Jiang Si. 　　Dalam situasi seperti ini, meski Nyonya You bersikeras menyangkal, itu sudah tidak penting lagi. 　　Perempuan yang membahayakan Ibu Suri pasti tidak akan ia tolerir. Apalagi ini bisa menyinggung Permaisuri Yan sang keponakan, yang akan mempengaruhi masa depan Xun'er. 　　Sebenarnya Paman tertua Su tidak percaya Jiang Si benar-benar akan mengincar putra sulungnya. Tapi Su Qingxun adalah yang terbaik di generasi muda keluarga Su, sekaligus Cucu Pewaris Kediaman Marquis Yining. Sama sekali tidak boleh mengalami kegagalan. 　　Ucapan dingin Paman tertua Su ditambah ancaman terbuka Jiang Si benar-benar menghancurkan pertahanan Nyonya You. 　　Lututnya gemetar hingga ia terjatuh di kursi, hati bagai abu: "Iya." 　　Satu kata pendek itu menciptakan suasana hati yang berbeda-beda pada semua yang hadir. 　　Marquis Yining Tua menggebrak meja kayu mahoni dengan pipa tembakaunya: "Katakan, mengapa kau tega membunuh Ibu Suri?" 　　Mouthpiece giok yang sudah retak sebelumnya kini dipenuhi garis-garis halus, benar-benar rusak tak terpakai. 　　Marquis Yining Tua sama sekali tak menghiraukannya, tatapannya menancap tajam ke Nyonya You. 　　Seandainya bukan menantu perempuannya, sudah lama ia menggebrak kepala orang itu dengan pipa tembakaunya! 　　"Ayahmu sedang bertanya padamu!" Paman tertua Su berkacau antara malu dan geram, ingin mencekik wanita di hadapannya. 　　Ini adalah istri sah yang telah berbagi ranjang dengannya hampir dua puluh tahun. Sampai mati pun tak disangkanya sanggup berbuat seperti ini. 　　"Mengapa?" Nyonya You melirik Marquis Yining Tua, lalu Paman tertua Su, akhirnya mengarahkan pandangan penuh dendam pada Jiang Si. "Semua karena Ibu Suri selalu memanjakmu!" 　　Jiang Si sama sekali tak memahami maksutnya. 　　"Apa hubungannya dengan Permaisuri?" Paman tertua Su bertanya. 　　Nyonya You mencemooh: "Sejak Yi'er tenggelam di pesta ulang tahun Ibu Suri, karena awalnya kukira Jiang Si dalangnya dan kuperlakukan kasar, Ibu Suri menyimpan ketidaksukaan. Tidakkah Tuan sadar sejak itu ia menjauhkanku dan mulai membagi wewenang mengurus rumah tangga pada Nyonya Xu?" 　　Ia menggeleng, "Salahku. Kalian para pria mana mungkin memperhatikan hal remeh seperti ini?" 　　Paman tertua Su terbelalak: "Hanya karena itu?" 　　Nyonya You membalas bertanya: "Bukankah ini sudah cukup? Awalnya dengan membagi sebagian kekuasaan kepada Nyonya Xu, setelah satu atau dua tahun saat Nyonya Xu sudah mahir mengurus, mungkin aku akan benar-benar disingkirkan. Aku ini Istri Putra Mahkota Kediaman Marquis, atas dasar apa urusan pemerintahan kediamanan ini harus dicampuri Nyonya Xu? Hanya karena kita menyinggung cucu perempuannya yang sangat ia sayangi?" 　　"Buang muka!" Jiang Zhan meludah, menuduh tanpa ampun, "Kau sakit jiwa ya? Ini bisa-bisanya kau salahkan Adik Keempatku? Yang membunuh sepupu adalah selir Paman tertua, intinya kau bodoh! Tak bisa mengendalikan selir sendiri sampai terjadi tragedi seperti itu. Apa hubungannya dengan adikku?" 　　Jiang Zhan benar-benar naik pitam. 　　Pernah lihat orang yang melampiaskan kemarahan, tapi belum pernah lihat yang sebegitu tak tahu malunya! 　　Nyonya You memerah mukanya karena diludahi Jiang Zhan, bibirnya gemetar. 　　Sebuah tawa ringan terdengar, kerumunan memandang Jiang Si. 　　Setelah tertawa, Jiang Si menghela napas pelan: "Kau yakin Nenek dari pihak ibu menjauhimu karena ingin melindungiku, bukan karena curiga dengan beberapa tindakanmu?" 　　Nyonya You wajahnya pucat, matanya berkedip-kedip. 　　Selain kesal dengan campur tangan Nyonya Xu dalam urusan Kediaman Marquis, hatinya memang mulai cemas menyadari sikap dingin Ibu Suri. 　　Para suami bersikap kasar dan ceroboh, sementara wanita di kompleks belakang rumah paling paham sesama wanita. 　　Jangan-jangan Ibu Suri sudah menebak rencanaku terhadap Jiang Si? 　　“Dugaan ini membuatnya semakin gelisah setiap hari, pikiran itu semakin kuat: jika si tua itu mati, bukankah halaman itu bisa benar-benar terhapus?” 　　Akhirnya, dia bertindak... 　　“Perbuatan apa?” Paman tertua Su bertanya. 　　Sampai saat ini, dia tidak akan heran lagi apapun yang dilakukan wanita ini. 　　Jiang Yi diam-diam menarik lengan baju Jiang Si. 　　Diketahui bahwa Adik Keempat hampir dilecehkan Su Qingyi, ini jelas bukan hal yang terhormat. 　　Jiang Si memahami kekhawatiran Jiang Yi, berkata datar: “Jenis perbuatan tidak penting, yang penting Nyonya You telah meracuni nenek dari pihak ibuku!” 　　Kerumunan mengangguk. 　　Meracuni ibu mertua, ini adalah kejahatan yang tak termaafkan. 　　“Masih ada satu lagi.” Jiang Si menatap tajam Nyonya You, bertanya kata demi kata: “Mengapa kau meracuni ibuku tahun lalu?” 　　Nyonya You menundukkan pandangan, tidak bereaksi sejenak. 　　“Aku pernah bertanya pada kakak, gejala sebelum kematian ibuku dulu sama persis dengan nenek. Karena nenek keracunan, mustahil ada teori absurd penularan dari ibu ke anak, racun ini juga buatanmu bukan?” 　　Jiang Zhan mengepal erat tangannya, gigi berderik. 　　“Kematian ibumu benar-benar terkait pelacur ini?” Paman tertua Su menunjuk Nyonya You. 　　Jiang Si balik bertanya tenang: “Paman, racun ibuku tentu bukan dari keluarga Bo kan?” 　　Paman tertua Su terdiam, memandang Nyonya You dengan ekspresi beku. 　　Wanita ini sudah mulai melakukan kejahatan sejak belasan tahun lalu? 　　“Beberapa tahun lalu, Nyonya You juga seorang wanita cantik di masa muda, bagaimana bisa memiliki hati yang kejam seperti kalajengking?” 　　Paman tertua Su memandangnya seperti orang asing. 　　Jiang Si meletakkan tangannya di sandaran kursi tempat Nyonya You duduk, berbisik lembut: "Jika kau ceritakan alasan sebenarnya kejadian tahun itu, aku tidak hanya akan membebaskan Su Qingxun, tetapi juga akan meminta Pangeran untuk lebih banyak mendukung Kakak sepupa di masa depan." 　　Sedangkan untuk Nyonya You, yang telah membunuh ibu dan nenek dari pihak ibu, pasti harus membayar dengan nyawa. 　　Nyonya You menundukkan kepala dalam diam. 　　Jiang Si tidak tergesa-gesa, berdiri di hadapannya dan menunggu dengan tenang. 　　Setelah lama, Nyonya You akhirnya mengangkat kepala dengan ekspresi aneh: "Kau benar-benar ingin tahu alasannya?" 　　Jiang Si mengangguk. 　　Nyonya You sangat paham, sejak mengakui telah melukai Ibu Suri, jalan hidupnya telah tertutup. Pada saat seperti ini, lebih baik mencari keuntungan untuk anak lelakinya. 　　Nyonya You menatap Jiang Si, matanya menyembulkan secercah senyum. 　　Jiang Si bisa melihat itu adalah senyum kecut. 　　Dengan wajah datar ia menunggu perkataan Nyonya You, dadanya terasa sesak tanpa alasan. 　　Nyonya You berbisik pelan: "Ada seseorang yang menyuruhku melakukan ini." 　　"Siapa?" Kali ini, beberapa suara bertanya serempak. 　　Nyonya You melirik kerumunan, mengucap perlahan: "Putri Rongyang." 　　Wajah semua orang berubah pucat, hanya Jiang Si yang tetap tanpa ekspresi. 　　Dia sudah tahu, sekarang dia punya target kecil baru! 　　Pulang dari salon rasanya seperti setengah mati, baru hari ini sedikit memulihkan tenaga. 449.BAB 448 Kematian Nyonya Su 　　BAB 448 Kematian Nyonya Su 　　Putri Rongyang sebagai dalang kematian ibu kandung bukanlah hal yang mengejutkan bagi Jiang Si. Satu-satunya kejutan adalah Putri Rongyang ternyata menggunakan Nyonya You sebagai perantara. 　　Dalam keheningan yang mencekam, suara Nyonya You menggema di telinga kerumunan: "Saat itu Yi'er baru berusia satu tahun. Suatu hari Putri Rongyang menghampiriku dan memberikanku kotak kecil berisi... serangga itu. Bukan, itu bukan serangga biasa, melainkan Gu. Beliau menjelaskan bahwa Gu ini akan aktif mencium darah. Cukup goreskan jari ketiga tangan kiri seseorang, makhluk ini akan menyusup dan bersemayam di bilik jantung. Tak lama kemudian korban akan menunjukkan gejala gagal jantung dan mati tanpa jejak..." 　　"Cukup! Fokuskan pada motif Putri Rongyang!" bentak Marquis Yining yang tua. 　　"Motif?" Nyonya You menyeringai sinis ke arah Jiang Si. "Bukankah karena perbuatan mesum Su Ke yang berpura-pura berziarah tapi diam-diam bertemu Jenderal Cui?" 　　"Omong kosong!" Jiang Zhan berdenyut-denyut di pelipisnya, tinjunya menghantam meja kayu mahoni di depan Nyonya You. 　　Meja mahoni itu langsung berantakan. 　　Penghinaan terhadap almarhumah ibunya membuat darah semua anak-anaknya mendidih. Bahkan Jiang Yi yang lembut pun mengernyitkan alisnya dengan wajah merah padam. 　　"Tuduhan ibuku berselingkuh dengan Jenderal Cui - ini rekayasamu atau perkataan langsung Putri Rongyang?" 　　“Putri Rongyang pernah menyatakan.” Mungkin rahasia yang terlalu lama terpendam, Nyonya You tiba-tiba ingin mencurahkan isi hatinya. 　　“Makanya dia menemui saya, menyuruh A Ke mati, biar Jenderal Cui tidak terus-terusan mengingatnya...” 　　Paman tertua marah menampar Nyonya You dua kali, berteriak: "Dia suruh kau bunuh A Ke langsung kau lakukan? Kalau dia suruh kau mati apa kau juga mau?" 　　"Apa lagi yang bisa kulakukan?" Nyonya You membalas sambil menahan pipi bengkaknya, "Putri Rongyang mengancam nyawa anak-anakku! Su Shan, aku ibu mereka! Haruskah aku melihat mereka celaka?" 　　Semakin emosional ia menggenggam tangan suaminya, menjerit: "Katakanlah, apa yang harus kulakukan?!" 　　Di titik ini Nyonya You benar-benar hancur, menangis tersedu-sedu. 　　Pernah hidup bahagia dengan reputasi tetap bersih. Andai A Ke tidak sembrono, takkan sampai tangannya terkotori rahasia ini. 　　"Ini semua salah adikmu yang masih berhubungan dengan Jenderal Cui, memaksaku jadi begini—" 　　"Diam!" Pintu terbuka kasar. Ibu Suri masuk didukung dayang kepercayaannya. 　　Kerumunan langsung berubah pucat. 　　"Ibu Suri datang?" 　　Ibu Suri berjalan perlahan menghadap Nyonya You, meski bibirnya masih kehitaman, raut wajaknya jauh membaik dibanding sebelumnya. 　　"Siapa yang bilang A Ke masih terikat hubungan dengan Jenderal Cui?" 　　Nyonya You menyeringai dingin: "Bukan begitu? Seluruh ibu kota tahu Su Ke sudah kehilangan keperawanannya karena kedekatan intim dengan Jenderal Cui. Setelah pernikahannya batal, tak ada yang mau menikahinya. Dia tinggal di rumah bertahun-tahun baru bisa masuk Dongping Bo Residence..." 　　"Omong kosong!" Teriak Ibu Suri yang membuat semua orang kecuali Marquis Yining yang sudah sepuh tertegun. 　　Nyonya You pun terpana. 　　Dalam ingatannya, ibu mertua ini adalah sosok nenek yang tenang dan bijak, tak berbeda dengan para sesepuh di keluarga bangsawan lain. 　　Ibu Suri tak peduli pendapat orang, melanjutkan makian: "Dasar putri bangsawan brengsek! Mulutmu ini hanya mengeluarkan kata-kata kotor. Dulu sungguh aku buta memilihkan putra sulung istri sepertimu!" 　　Jiang Yi mendekat menyangga Ibu Suri, berbisik lembut: "Nenek dari pihak ibu, tenangkan diri. Jangan sampai kesehatanmu terganggu." 　　Meski tubuhnya lelah, postur Ibu Suri tetap tegak. Ia melambaikan tangan: "Justru menahan amarah yang merusak kesehatan! Hari ini aku akan meluapkan semua!" 　　"Ibu Suri terus-menerus memarahi selama waktu minum secangkir teh, menunjuk hidung Nyonya You sambil berkata: 'Keluarga Marquis kami bukanlah keluarga penipu perjodohan. Dulu saya menyuruh Mama Liu memeriksa A Ke dengan teliti, A Ke masih perawan, barulah kami menyetujui pernikahan dengan Dongping Bo Residence. Memang benar A Ke dan Cui Xu tumbuh bersama sejak kecil, tetapi meskipun begitu perasaan mereka tetap dalam batas norma. Masa' setelah menjadi ibu tiga anak dia akan berbuat mesum dengan Cui Xu?'" 　　"Kakakku bukan orang seperti itu." Paman Su kedua akhirnya tidak tahan membela. 　　Jiang Yi juga tak kuasa menahan diri: "Ibu dan Ayah saya sangat harmonis. Saya masih ingat jelas, sebelum meninggal ibu berkata pada ayah bahwa dia tidak menyesal menikahinya, ayahlah orang paling penting dalam hatinya." 　　Dia tak pernah melupakan wajah ayahnya yang menangis tersedu-sedu seperti anak kecil setelah mendengar kata-kata itu. 　　Kemudian, ibu pun menutup mata selamanya dengan segala kerinduan pada ayah dan anak-anaknya. 　　Nyonya You diam seribu bahasa. 　　Ibu Suri masih belum reda amarahnya: "A Ke yang paling tidak bersalah. Hanya karena Putri Rongyang menginginkan tunangannya, perjodohannya yang baik hancur, reputasinya ternoda, sampai akhirnya nyawanya pun melayang. Kau si wanita beracun ini bukannya menyalahkan kelicikan Putri Rongyang atau kebodohanmu sendiri, malah menyalahkan A Ke. Apa lagi yang bisa kau buktikan selain kebodohanmu yang tak tertandingi?" 　　"Aku tidak bisa—" gumam Nyonya You. 　　Ibu Suri tersenyum sinis: "Jangan jadikan ancaman Putri Rongyang sebagai alasanmu! Jika aku yang diancam seperti itu, aku justru akan menyebarkan kabar ini. Nanti Putri Rongyang bukan hanya tidak berani menyakiti Xun'er dan yang lain, malah harus berdoa agar mereka selamat. Nyonya You, kau pikir putri bisa bertindak semena-mena? Meski dia tidak punya muka, Kaisar masih perlu menjaga reputasi!" 　　Nyonya You benar-benar membeku. 　　Ibu Suri malas memandang Nyonya You lagi, berpaling ke Paman tertua Su: "Meski dia istrimu, ibu Xun'er dan yang lain, tapi kutegaskan di sini - nyawa harus dibayar nyawa, utang harus dibayar uang. Pilihannya: serahkan Nyonya You ke pengadilan atau biarkan dia mengakhiri sendiri." 　　Setelah berkata demikian, Ibu Suri mengulurkan tangan ke Jiang Si: "Si'er, temani nenek pulang ke kamar." 　　Jiang Si memegang tangan lain Ibu Suri namun berkata: "Saya masih punya satu pertanyaan." 　　Nyonya You menggerakkan bola matanya ke arahnya, tiba-tiba tertawa: "Bukankah Ibu Suri sudah bilang, ancaman tidak berguna." 　　Kalau sudah pasti mati, buat apa memuaskan rasa ingin tahu orang lain? 　　Jiang Si tersenyum sinis: "Seluruh dunia tahu Putri Rongyang merebut tunangan ibuku. Jika kabar seperti itu tersebar, tak ada yang merasa aneh. Jika kabar Permaisuri Yan ingin mencelakai Cucu Pewaris Marquis Yining tersebar, tebak apa yang akan dipikirkan orang? Apakah mereka akan menyadari bahwa ibu Cucu Pewaris Yining adalah wanita jahat yang dulu membunuh adik ipar lalu menyiksa ibu mertuanya? Jika demikian, tak perlu aku berbuat apa-apa, Kakak Sepupu dan Sepupuku sudah cukup sial memiliki ibu sepertimu..." 　　Wajah Nyonya You langsung pucat bagai mayat. 　　Jiang Si kembali mengancamnya! 　　Apakah orang-orang ini akan diam saja mendengar Jiang Si ingin mencelakai Xun'er? 　　Nyonya You memandangi kerumunan, perlahan merasa putus asa. 　　Setelah berpikir panjang, akhirnya demi masa depan anak-anaknya dia menyerah dan berkata: "Tanyakanlah." 　　"Dari mana kau dapatkan cacing Gu untuk menyiksa nenek?" 450.BAB 449 Toko Tak Bernama 　　BAB 449 Toko Tak Bernama 　　Nyonya You menatap tangannya sendiri: "Dari seorang perempuan Perbatasan Selatan. Suatu hari di pasar aku bertemu wanita dari Perbatasan Selatan yang menjual barang-barang aneh. Aku mencoba bertanya tentang Gu, ternyata dia benar-benar memilikinya..." 　　Nyonya You masih sangat ingat cacing Gu yang bisa menghisap darah manusia itu. 　　Bisa dibilang selama bertahun-tahun, bentuk cacing Gu itu terpatri dalam di benaknya. 　　"Di mana kau bertemu wanita Perbatasan Selatan itu?" desak Jiang Si. 　　"Di jalan Pasar Barat, toko paling ujung yang tidak ada papan namanya." 　　Jiang Si mencatat dalam hati sambil berkata pada Ibu Suri, "Nenek dari pihak ibu, biar saya dan kakak yang menuntun Nenek kembali ke kamar untuk beristirahat. Saat ini Nenek harus menghindari gejolak emosi yang berlebihan." 　　Ibu Suri mengangguk perlahan. 　　Jiang Si dan Jiang Yi mengapit Ibu Suri kiri-kanan sambil menuntunnya menuju pintu. 　　Nyonya You menatap punggung ketiga orang itu tiba-tiba berteriak, "Ibu Suri! Jika saya tiada, Xun'er dan Qingshuang harus menjalani masa berkabung!" 　　Langkah Ibu Suri terhenti sejenak. Tanpa menoleh, beliau berkata datar, "Menjaga masa berkabung untuk ibu kandung adalah kewajiban setiap anak." 　　"Tapi Qingshuang sudah tujuh belas tahun! Tiga tahun lagi akan terlambat untuk perjodohan—" 　　"Jodoh yang baik tak mengenal waktu. Bertambah usia justru akan membuatnya lebih bijak, sehingga tak mudah terjerumus ke jalan sesat." Setelah mengucapkan itu, Ibu Suri melanjutkan langkah keluar. 　　Suasana di ruang tamu mendadak mencekam. 　　Paman kedua Su berkata, "Ayah, Kakak, kami akan undur diri dulu." 　　Melihat Marquis Yining tua mengangguk, Paman kedua Su lega sembari menarik Nyonya Xu pergi tergesa-gesa. 　　Kini hanya tersisa Marquis Yining tua, Paman tertua Su, tiga generasi keluarga Jiang, serta Nyonya You yang linglung. 　　"Kau masih belum pergi?" Marquis Yining tua mengerutkan kening melihat cucu laki-lakinya. 　　Jiang Zhan menjawab tegas, "Saya ingin mendengar bagaimana Kakek dan Paman akan menghukum pelaku yang menyakiti Nenek dan ibu saya sebelum pergi." 　　Marquis Yining tua meletakkan pipa tembakaunya di meja dengan keras. "Ikuti saja keputusan nenekmu." 　　Nyonya You menatap kosong ke arah Paman tertua Su. 　　“Paman Su Tertua diam-diam memalingkan pandangan.” 　　“Manusia bukanlah rumput atau kayu, mustahil mengatakan tidak ada cinta setelah bertahun-tahun menjadi pasangan suami istri. Tapi cinta sebesar apapun takkan bisa menebus kejahatan si wanita beracun ini yang telah membunuh ibu dan adikku.” 　　“Pembunuh harus membayar dengan nyawa. Ini kehendak ibu, juga keadilan semesta.” 　　“Paman Su Tertua menatap ke jendela. Seekor angsa liar melintas di ufuk langit.” 　　“Dia menghela napas perlahan.” 　　“Jiang Si memapah Ibu Suri masuk ke kamar, lalu berjalan ke jendela dan membukanya.” 　　“Angin sejuk berhembus masuk, menyapu bau obat samar di dalam ruangan.” 　　“Ibu Suri duduk perlahan di tepi ranjang. Jiang Yi mengambil bantal sandaran dan menyangga punggungnya.” 　　“Nenek dari pihak ibu, istirahatlah. Jangan sampai kemarahan merusak keperawananmu.” 　　“Mendengar nasihat Jiang Yi, Ibu Suri tersenyum getir: ‘Aku tak pernah menyangka Nyonya You bisa berubah seperti ini!’” 　　“Jiang Si mengatupkan bibirnya.” 　　“Beberapa hal begitu dilakukan tak bisa ditarik kembali.” 　　“Dulu Nyonya You diperintah Putri Rongyang untuk membunuh ibu kami. Begitu mudahnya dia beraksi, bertahun-tahun tak ketahuan. Ketika keberadaan orang lain mengancamnya, dia memilih cara termudah – menyingkirkan orang itu dengan metode yang sama.” 　　“Bukankah aku juga begitu? Setelah merasakan kepuasan balas dendam, takkan kuizinkan para penjahat itu terus berkeliaran.” 　　“Merencanakan perlahan hanyalah dalih menipu diri sendiri. Aku lebih suka membalas dendam saat itu juga.” 　　“Ibu kalian hidup penuh derita—” Air mata membasahi sudut mata Ibu Suri.” 　　Jiang Yi mengangkat tangan dan mengusap air matanya. 　　Ibu Suri menatap Jiang Si. 　　Di matanya, cucu perempuan dari pihak putri ini terlalu tenang, tenang sampai membuatnya tidak bisa menembus pikiran sang cucu. 　　"Si'er, katakan jujur pada nenek, apa yang sebenarnya terjadi di pesta ulang tahun tahun lalu?" 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu berkata: "Sepupu Kedua menghalangiku karena Qingxue sengaja membawanya ke paviliun, sementara Qingxue bertindak atas perintah Nyonya You. Nyonya You ingin menikahkan aku dengan Sepupu Kedua..." 　　"Penyihir jahat ini, kematiannya tidak patut dikasihani!" Ibu Suri menggigil karena kemarahan. 　　Jiang Yi ketakutan dan segera menepuk-nepuk punggung neneknya. 　　Jiang Si mengangguk ringan: "Nenek benar, wanita jahat seperti itu memang pantas mati!" 　　"Adik Keempat, jangan lanjutkan." Jiang Yi khawatir dengan kondisi Ibu Suri, memberikan isyarat pada Jiang Si. 　　Jiang Si merangkul lengan Ibu Suri dan menempelkan pipinya di sana. 　　Gadis yang sebelumnya tegar itu tiba-tiba berubah menjadi putri manja. 　　Suaranya semakin lembut: "Nenek, tidak pantas marah karena Nyonya You. Seharusnya nenek bersukacita." 　　"Bersukacita?" 　　"Benar. Meski perbuatan Nyonya You menyakitkan hati, tapi jika kejahatannya tidak terungkap hari ini, ibu saya akan tetap tidak bisa beristirahat dengan tenang. Kejahatan itu tidak akan hilang hanya karena tidak ada yang menemukannya. Dengan membongkarnya, pelaku mendapat hukuman dan korban mendapat pembebasan. Bukankah begitu, Nek?" 　　“Ibu Suri mengangguk dengan mata berkaca-kaca: "Benar."” 　　Jiang Si tersenyum: "Jadi, orang yang membunuh ibu saya sudah mendapat balasan. Bukankah Ibu seharusnya senang?" 　　“Tentu saja senang!” Setelah dibujuk Jiang Si, kegelisahan di hati Ibu Suri mulai menghilang. 　　Setelah keluar dari kamar Ibu Suri, Jiang Si berkata: "Kakak, ajak Kakak Kedua, kita pulang saja." 　　“Ya.” 　　Setelah mengantar Jiang Yi kembali ke Dongping Bo Residence, Jiang Si tidak langsung ke Kediaman Pangeran Yan. Ia menyuruh Lao Qin menuju Jalan Pasar Barat. 　　Putri Fuqing diracuni Gu oleh selir Kaisar, ibu kandungnya diracuni Gu oleh Putri Rongyang melalui Nyonya You. Untuk sementara ia belum bisa melacak asal Gu milik Chen Meiren dan Putri Rongyang. Informasi dari Nyonya You saat ini adalah petunjuk termudah untuk ditelusuri. 　　Kereta kuda berhenti di area khusus di pintu masuk Jalan Pasar Barat. Lao Qin berjalan di depan untuk menghalau orang yang mungkin menabrak Jiang Si. Long Dan di belakang, meski wajahnya tenang, matanya terus melirik ke sekeliling. 　　Jalan Pasar Barat sedang ramai. Deretan toko di kedua sisi berlomba memasang bendera warna-warni. Banyak pelayan yang keluar menarik pembeli. 　　Keempat orang ini terlihat tidak biasa. Sorak-sorai pelayan toko semakin bersemangat. 　　Tiba-tiba Ah Man tertawa, menunjuk: "Lihat, pelayan kita dari Lush Sheng Xiang juga sedang menarik pembeli." 　　Jalan Pasar Barat khusus menjual kebutuhan sehari-hari. Toko-toko kosmetik tradisional seperti bedak berkumpul di sini. 　　"Lagi ke depan, setelah melewati jalan yang harum aroma bedak ini, jenis barang yang dijual semakin beragam." 　　Ini masih keadaan biasa. Di ibu kota setiap lima hari sekali ada pasar kaget, saat itulah baru benar-benar ramai sampai orang bisa berkeringat deras hanya dengan berjalan-jalan." 　　Makanya, para wanita dari keluarga kaya tidak pernah beli bedak dan perlengkapan rias saat hari pasar kaget." 　　Setelah berjalan sekitar seperempat jam, Jiang Si berhenti di depan toko kecil tanpa papan nama." 　　Berbeda dengan keramaian toko-toko lain, di luar toko ini sepi, pintunya setengah tertutup seolah ragu mau buka atau tidak." 　　Atas isyarat Jiang Si, Ah Man mendorong pintu dan masuk." 　　"Ada orang?" 　　Begitu Ah Man bertanya, seorang wanita mengangkat kepala: "Mau beli apa, Tuan?" 　　Ah Man menyingkir memberi jalan, tersenyum: "Nyonya, ada orangnya." 　　Wanita itu menatap Jiang Si, tiba-tiba wajahnya berubah: "Imam Suci--" 　　Jiang Si langsung menyadari satu hal: Wanita ini mengenal Imam Suci A Sang! 　　Terima kasih pada Xin Yun Qian Yin yang memberi Hadiah status Mengzhu. Karena sedang menumpuk naskah, belum bisa beri Tambahan bab. Ucapan terima kasih untuk semua teman-teman pembaca yang memberi Hadiah dan vote akan disatukan saat update besar nanti. 451.BAB 450 Terbongkar 　　BAB 450 Terbongkar 　　Wanita itu tampak belasan tahun, mengenakan pakaian khas gadis Wu Miao dengan gelang perak bertumpuk di pergelangan. Saat terkejut mengangkat tangan, gemerincing gelangnya terdengar nyaring. 　　Melihat orang di samping Jiang Si, dia menelan lanjutan ucapannya. Tatapannya pada Jiang Si kini dipenuhi keraguan dan kekhawatiran. 　　“Contoh teks A-1——” 　　Berbicara dalam bahasa Wu Miao. 　　Gadis itu berteriak "Ya", segera memberi hormat kepada Jiang Si dengan ekspresi sangat bersemangat, lalu mengucapkan serangkaian kata dalam bahasa Wu Miao. 　　Ah Man bingung mendengarnya, menoleh memandang Jiang Si, dan terkejut menemukan aura tuannya yang biasa ia kenal telah berubah total. 　　Jika saat memasuki toko Jiang Si terlihat santai seperti putri bangsawan ibu kota, kini raut wajahnya dingin dan anggun bagai bunga salju di puncak gunung, matanya memancarkan ketenangan tak bertepi. 　　Ah Man menutup mulutnya, berpikir: Tuanku mulai merayu lagi. Dasar sial, aku tak mengerti si gadis kecil ini bicara apa, sama sekali tak bisa membantu tuanku! 　　Menjadi dayang utama memang tak mudah. Tak hanya harus menguasai teknik membunuh dan membakar, tapi juga belajar bahasa suku asing... 　　Gadis itu mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Jiang Si masuk. 　　Jiang Si mengangguk halus, lalu berjalan ke dalam ditemani gadis tersebut. 　　Melihat Ah Man ingin ikut, gadis itu berhenti dan berkata dalam bahasa Zhou: "Harap tetap di sini." 　　Ah Man membelalakkan mata: "Aku harus ikut tuanku!" 　　Gadis itu terus menggelengkan kepala menolak. 　　Jiang Si yang ingin mencari informasi dari gadis Wu Miao ini tentu tak ingin ada masalah. Ia memberi kode pada Ah Man: "Ah Man, tunggulah di sini." 　　"Tapi——" 　　"Tak apa." Jiang Si membelai lembut dompet di pinggangnya. 　　Ah Man menghela napas lega. 　　"Aku baru ingat, di dompet tuanku selalu tersedia obat bius, mengurus si gadis kecil ini mudah sekali." 　　Setelah melewati konter, mereka memasuki sebuah ruangan kecil di dalam. Gadis itu langsung bersujud memberikan penghormatan besar, menyebutnya Imam Suci. 　　Mendengar panggilan itu, Jiang Si merasa tertegun sejenak. 　　Selama bertahun-tahun hidup dengan identitas Imam Suci A Sang, ia telah mempelajari banyak kebiasaan imam suci dari Tetua Wu Miao dan dayang pendamping A Sang. Tak disangka pengetahuan itu kini berguna. 　　Jiang Si tak pernah menyangka bahwa toko tak bernama di jalan yang sama dengan Lush Sheng Xiang ternyata milik wanita Wu Miao. Seolah ada tangan tak terlihat yang terus mendorongnya berinteraksi dengan Suku Wu Miao. 　　Pikiran ini membuatnya merasa tak nyaman. 　　Urusan kehidupan sebelumnya telah selesai setelah kesalahpahamannya dengan Pangeran Ketujuh terungkap. Ia tak ingin membangkitkan kenangan pahit itu lagi. 　　"Imam Suci, bukankah Yang Mulia sedang bertapa? Mengapa berada di sini?" tanya gadis itu penuh keheranan. 　　Mereka baru saja kembali dari kampung, dan menurut kerabat, Imam Suci sudah lama tidak terlihat karena sedang bertapa. 　　Alut Jiang Si berkerut halus, matanya menyiratkan teguran saat menatap gadis itu. 　　Gadis itu segera menunduk mohon ampun. 　　"Ada hal-hal yang tak perlu kau tanyakan." 　　Gadis itu mengangguk patuh, dalam hati berpikir: Pantas saja Imam Suci lama tak muncul, ternyata ada urusan di ibu kota Dinasti Zhou. 　　Dengan bahasa Wu Miao yang fasih, Jiang Si bertanya: "Apakah belum lama ini ada yang membeli Gu Pemikat Hati dari sini?" 　　Gadis itu tertejut sebentar, lalu mengangguk: "Benar." 　　"Ceritakan secara detail." 　　Gadis itu mengingat kembali, berkata: "Lebih dari sebulan yang lalu ada seorang nyonya yang tidak sengaja masuk ke toko, melihat saya orang Perbatasan Selatan, lalu bertanya apakah saya punya Gu Pemikat Hati, mengatakan bersedia membeli dengan harga mahal..." 　　Jiang Si mengerutkan alis, berkata dingin: "Ada peraturan suku, dilarang memberikan gu kepada orang luar sembarangan, apalagi Gu Pemikat Hati bukan gu biasa, dengan statusmu bagaimana bisa mendapatkannya?" 　　Dia menjaga wibawa sebagai Imam Suci, membuat gadis itu gemetar dan langsung bersujud berulang kali. 　　"Mohon pengampunan Imam Suci, hamba benar-benar tidak punya cara lain, Hua Zhuo waktu itu sakit parah, butuh uang untuk membeli obat-obatan mahal..." 　　"Dari mana kalian mendapatkan Gu Pemikat Hati?" 　　Di Wu Miao, meskipun penggunaan gu oleh wanita cukup umum, beberapa gu khusus sulit didapatkan orang biasa, Gu Pemikat Hati adalah salah satunya. 　　Jiang Si yang telah hidup beberapa tahun di Perbatasan Selatan sangat memahami hal ini. 　　"Gu Pemikat Hati milik Hua Zhuo..." Gadis itu merangkak di lantai, tubuhnya menggigil. 　　Bagi orang Wu Miao, Tetua dan Imam Suci memiliki posisi tertinggi yang tak boleh dinodai. 　　Jiang Si langsung mencurigai nenek gadis tersebut. 　　Mampu memiliki Gu Pemikat Hati menunjukkan orang ini memiliki status tidak biasa di Suku Wu Miao. 　　Dengan usia gadis itu yang masih muda, tak mungkin berhubungan dengan Putri Rongyang, lalu bagaimana dengan nenek gadis itu? 　　"Kapan kalian datang ke ibu kota?" 　　Gadis itu ragu sejenak. 　　"Hmm?" 　　"Hamba datang ke ibu kota Dinasti Zhou pada awal tahun lalu." 　　Jiang Si memandang tirai batik yang menuju ke ruang utama toko: "Toko ini dibuka awal tahun lalu?" 　　“Tidak berani hamba sembunyikan,” gadis itu menjawab, “Kedai ini sudah buka bertahun-tahun, Hua Zhuo datang ke ibu kota Dinasti Zhou lebih dari sepuluh tahun lalu.” 　　Lebih dari sepuluh tahun lalu... 　　Jiang Si merasa hatinya berdesir. 　　Gu Pemikat Hati sulit didapat, apakah kematian ibu yang terkena Gu Pemikat Hati lebih dari sepuluh tahun lalu terkait dengan nenek gadis ini? 　　Melihat Jiang Si tengah merenung, gadis itu bahkan tak berani bernapas keras, hanya mengintip dengan mata penuh kekaguman dan rasa ingin tahu. 　　Imam Suci adalah wanita tercantik di Suku Wu Miao sekaligus yang paling berbakat dalam ilmu gaib. 　　Biasanya ia hanya bisa memandang dari jauh, tak menyangka kini bisa sedekat ini... 　　Pipi gadis itu memerah karena girang, matanya berbinar-binar. 　　“Kau tahu waktu pastinya?” tanya Jiang Si. 　　Gadis itu cepat menunduk, menggeleng: “Tidak tahu persis kapan, hamba tidak pernah tanya pada Hua Zhuo.” 　　“Hua Zhuo-mu di mana?” Jiang Si memutuskan untuk menemui pemilik sebenarnya kedai ini. 　　Gadis itu segera menjawab: “Hua Zhuo kondisi kesehatannya kurang baik, sedang istirahat di belakang. Hamba akan panggil dia menghadap Paduka.” 　　“Baik, pergilah.” Suara Jiang Si datar tanpa basa-basi. 　　Ia sangat paham posisi Imam Suci di Suku Wu Miao. 　　Seandainya di Dinasti Zhou, Imam Suci Wu Miao setara dengan Putra Mahkota. Tapi Imam Suci mengandalkan bakat dan usaha sendiri untuk membawa harapan suku, sehingga rasa hormat rakyat Wu Miao tak terucapkan. 　　Dibandingkan, Putra Mahkota bahkan tak ada apa-apanya. Tak terhitung orang Zhou yang diam-diam menyebut Paduka Putra Mahkota si tolol. 　　Gadis itu memberi hormat lalu pergi, Jiang Si menunggu dengan tenang. 　　Ruang kecil ini dipenuhi aroma herbal yang samar. 　　Bau itu terasa familiar sekaligus asing baginya. 　　Tirai kain bergerak, Ah Man mengintip diam-diam: "Tuanku——" 　　"Pergilah, beri tahu Long Dan tidak perlu khawatir tentang saya." 　　Selain Tetua Wu Miao, orang-orang Wu Miao biasa takkan mudah mengganggu dirinya. 　　Jiang Si masih ingat pujian Tetua Wu Miao yang sering ia dapat saat mempelajari ilmu gaib di Perbatasan Selatan. 　　Tetua Wu Miao bahkan pernah berkomentar, kalau bukan karena tahu dia orang Dinasti Zhou, akan mengira dialah Imam Suci terpilih Suku Wu Miao. 　　Ah Man menarik kepalanya kembali, menyisakan tirai batik yang bergoyang lembut. 　　Tak lama kemudian terdengar langkah kaki, gadis itu menuntun seorang nenek tua masuk melalui pintu halaman belakang. 　　"Hormat pada Imam Suci——" suara tua terdengar. 　　Jiang Si menoleh, mengamati nenek tua itu. 　　Sang nenek juga mengamat-ngamatkannya. 　　Berbeda dengan sikap hormat sang gadis, mata nenek itu penuh kecurigaan. 　　Sebelum Jiang Si sempat bicara, nenek itu tiba-tiba berubah wajah, berteriak marah dalam bahasa Wu Miao: "Kau bukan Imam Suci!" 452. BAB 451 Menipu 　　BAB 451 Menipu 　　Sang nenek berbicara cepat dan tergesa, wajahnya memerah karena amarah. 　　Jiang Si agak kesulitan memahami, tapi menangkap maksudnya: Imam Suci ada tahi lalat di antara alis, kau tidak punya, wanita hina yang pantas dimakan ribuan cacing! 　　“Hua Wo, apa yang Anda bicarakan?” Gadis itu terlihat kaget, menunjuk Jiang Si, “Bukankah dia Imam Suci?” 　　Nenek tua itu sedikit tenang, bertanya keras: “Siapa kau?” 　　Jiang Si memandang tenang nenek tua itu, berkata datar: “Saya A Sang.” 　　Nenek tua itu menunjukkan ekspresi terkejut, keyakinan sebelumnya mulai goyah. 　　Jika wanita yang mirip Imam Suci ini mengaku sebagai Imam Suci, tentu dia tidak percaya. 　　Tapi wanita ini menyebut dirinya A Sang. 　　Jika orang luar berpura-pura jadi Imam Suci, bagaimana mungkin tahu nama kecil Imam Suci? 　　Nenek tua itu mulai ragu. 　　Jiang Si mengangkat dagunya: “Ada yang bisa meniru saya?” 　　“Tapi Imam Suci ada tahi lalat di antara alis——” Semangat nenek tua yang semula agresif tiba-tiba melemah. 　　Jiang Si sama sekali tidak gentar, balik bertanya kesal: “Hanya berdasarkan tahi lalat?” 　　Di kehidupan sebelumnya, dia hidup sebagai A Sang selama bertahun-tahun tanpa pernah ketahuan. 　　Tentu ini terkait cara Suku Wu Miao melatih Imam Suci. 　　Memilih sekelompok anak perempuan berbakat dari keluarga, menjauhkan mereka dari orangtua, bersama-sama mempelajari Ilmu Gaib. 　　Proses eliminasi bertahun-tahun hingga tersisa satu Imam Suci yang akan tinggal dan belajar bersama Tetua. 　　A Sang terpilih sebagai Imam Suci di usia 10 tahun. Hanya Tetua dan dayang pribadi yang benar-benar mengenalnya. Bagi yang lain, Imam Suci adalah sosok sakral yang tak terjangkau. 　　Kini, A Sang telah meninggal selama dua tahun, semakin mustahil ada yang pernah melihatnya. 　　Dia memiliki kecantikan yang sama dengan A Sang, bisa berbahasa Wu Miao, menguasai Ilmu Gaib Wu Miao, bahkan familiar dengan kebiasaan kecil A Sang. Siapa berani menyangkalnya sebagai Imam Suci? 　　Tentu saja, jika nenek ini kembali memverifikasi ke Tetua besar dan Tetua membocorkan kabar kematian A Sang, maka tipuannya akan terbongkar. 　　Tapi siapa yang peduli? Saat ini dia hanya ingin mendapatkan informasi yang diinginkan dari mulut si nenek. 　　"Tapi Imam Suci memiliki tahi lalat di antara alis..." Nenek itu semakin goyah, matanya dipenuhi keraguan. 　　Jiang Si tersenyum, mengusap daerah di antara alisnya. Secara ajaib muncul sebuah titik merah kecil di sana. 　　Nenek itu tertegun, matanya menatap tajam titik merah itu tanpa henti. 　　Jiang Si memandang dingin ke arah nenek: "Bagaimana? Masih menganggap saya bukan Imam Suci? Kau sudah lama tidak melihatku, bukan?" 　　Nenek itu langsung bersujud: "Mohon ampunilah ketidaktahuan hamba, Imam Suci." 　　Hati Jiang Si berdesir, status sebenarnya sang nenek seketika menjadi jelas. 　　Di Wu Miao, hanya anggota Tetua yang berhak menyebut diri "saya" di hadapan Imam Suci. 　　"Bangunlah." 　　Sang nenek berdiri dan bertanya: "Mengapa Imam Suci datang ke ibu kota Dinasti Zhou?" 　　"Lalu mengapa Tetua datang kemari?" Jiang Si membalas bertanya sambil mencari celah. 　　Mengingat nenek ini sudah berada di ibu kota Dinasti Zhou selama lebih dari sepuluh tahun, dia berani menduga bahkan A Sang pun takkan tahu tujuan kedatangannya ke sini. 　　“Nenek tua itu ragu sejenak, lalu berkata: ‘Saya diutus oleh Tetua ke sini. Mengenai alasannya... Mohon ampun Yang Mulia, tanpa izin Tetua saya tidak bisa memberitahu siapapun.’” 　　Jiang Si menghela napas pelan. 　　Gagal mengelabui, sayang sekali. 　　Tapi ini menyangkut rahasia suku, mungkin tidak tahu justru lebih baik. 　　Nanti jika nenek tua ini kembali ke Suku Wu Miao dan melaporkan ke Tetua, statusnya pasti akan terbongkar. Jika sekarang dia tahu rahasia penting, bisa-bisa menimbulkan masalah besar. 　　“Toko ini dibuka lebih dari sepuluh tahun lalu?” 　　“Lima belas tahun yang lalu.” 　　Alis Jiang Si berkedut halus. 　　Lima belas tahun lalu usianya baru satu tahun lebih, ibu kandungnya meninggal di masa itu. 　　“Sudah lama sekali, tak pernah kudengar Tetua menyebutkan ini.” Jiang Si berkomentar. 　　Cara Jiang Si menyebut Tetua terdengar akrab dan alami, membuat keraguan nenek itu langsung hilang. 　　Sejak itu, percakapan semakin lancar. 　　“Ini masalah penting, hanya Tetua dan pelaksana tugas yang tahu. Tentu Yang Mulia belum pernah mendengarnya.” 　　“Begitu rupanya.” Melihat sang nenek sudah tak curiga, Jiang Si bertanya, “Kau tahu mengapa aku datang?” 　　Sang nenek menggeleng. 　　Wajah Jiang Si tiba-tiba menjadi dingin, “Aku secara tak sengaja menemukan seseorang terkena Gu Pemikat Hati!” 　　Sang nenek melotot ke gadis itu, lalu membungkuk hormat: “Mohon amarah Yang Mulia reda, cucu perempuan saya ini lancang...” 　　Gadis itu segera berseru: “Yang Mulia, jangan salahkan Hua Wo, ini semua salah saya... Hukum saya saja...” 　　Gadis itu berkata sambil merangkak di tanah, tubuhnya menggigil. 　　"Jangan terulang lagi." 　　Nenek tua itu membentak, "Imam Suci sudah tidak mempermasalahkan, masih tidak mau bangun?" 　　Gadis itu buru-buru berdiri dan berdiri patuh di belakang nenek tua. 　　Nenek tua itu melirik Jiang Si, dalam hati berpikir: Saat terakhir bertemu Imam Suci dulu masih belia, tak disangka dalam beberapa tahun saja sudah memiliki kewibawaan mirip Tetua Besar. 　　Memikirkan ini, senyum lega muncul di wajahnya. 　　Suku Wu Miao memiliki penerus, benar-benar berkat restu langit. 　　Sebenarnya antara Tetua Besar dengan Imam Suci sekarang, seharusnya ada satu generasi Imam Suci lagi, namun pada masa itu tidak muncul Imam Suci terpilih. 　　Tetua Besar semakin menua, suatu hari nanti akan menutup mata. Bila tidak ada Imam Suci yang menggantikan sebagai Tetua Besar, Suku Wu Miao yang kehilangan perlindungan akan seperti serigala yang ompong, menjadi mangsa rebutan suku-suku lain. 　　Saat itu, seluruh Suku Wu Miao dilanda kepanikan, baru setelah kemunculan A Sang para kerabat bisa bernapas lega. 　　"Selain kali ini, pernahkah kalian memberikan Gu Pemikat Hati kepada orang lain sebelumnya?" Jiang Si bertanya dengan wajah muram. 　　Gadis itu menggeleng cepat-cepat: "Tidak!" 　　"Bagaimana dengan Tetua?" Jiang Si menatap nenek tua itu. 　　Yang sebenarnya ingin dia ketahui tentu jawaban dari mulut nenek tua itu. 　　Nenek tua itu berpikir sejenak, lalu menggeleng: "Tidak." 　　Jiang Si tercekat, merasa seperti meninju kapas yang sia-sia. 　　Lebih dari itu, rasa kecewa menyergap. 　　Apakah petunjuk ini benar-benar putus? Haruskah menanyakan langsung kepada Putri Rongyang dari mana asal Gu Pemikat Hatinya? 　　“Pelaku sebenarnya yang membunuh ibu tentu harus dihukum, tapi mungkin sulit untuk mengorek informasi ini dari Mulia Putri.” 　　Dalam kondisi status Imam Suci-nya diakui, kecuali nenek tua ini punya niat jahat meninggalkan Suku Wu Miao, dia tidak akan berbohong padanya. 　　Jika nenek tua itu bilang tidak ada, maka memang tidak ada. 　　Jiang Si merasa tidak puas, tapi tidak punya cara lain. 　　“Imam Suci?” Nenek tua itu memanggil setelah Jiang Si terdiam cukup lama. 　　Jiang Si menoleh ke nenek tua itu, pandangan sampingnya tak sengaja melihat gadis di sebelahnya. Hatinya berdesir: “Dulu apakah Tetua datang ke sini sendirian?” 　　Nenek tua itu menjawab: “Dua orang.” 　　“Apakah orang lainnya juga berstatus Tetua?” 　　“Dia adalah Tetua generasi kedua.” 　　Dari calon Imam Suci yang tersisih saat belajar bersama Tetua Agung dulu, beberapa yang terbaik dipilih sebagai Tetua generasi pertama. Tetua generasi kedua dipilih dari calon Imam Suci sebelum A Sang, hanya saja generasi kedua tidak memiliki Imam Suci Terpilih. 　　“Kenapa orang lainnya tidak terlihat?” Jiang Si menekan gejolak hatinya, bertanya dengan wajah tenang. 　　Nenek tua itu berkata: “Tak lama setelah tiba di sini, dia langsung masuk ke istana.” 　　Bepergian jauh benar-benar membuat lama tidak pulih. Sampai jumpa besok. 453.BAB 452 Petunjuk 　　BAB 452 Petunjuk 　　Masuk istana? 　　Jiang Si langsung merasa jantungnya berdebar kencang. 　　Sejak Selir Chen menggunakan Gu untuk membahayakan Putri Fuqing, dia sudah curiga ada ahli Gu di istana. Tapi karena Kaisar dan Permaisuri yang mengurus kasus Putri Fuqing, dia tidak bisa ikut campur. 　　Tapi kalau berkaitan dengan kematian ibunya, ini berbeda cerita. 　　"Gu 'Yinxin' yang digunakan Putri Rongyang untuk membunuh ibu, jika didapat dari Tetua Wu Miao yang masuk istana, dia pasti akan mencari orang itu." 　　"Di bagian mana istana dia bertugas?" 　　Nenek itu menggelengkan kepala: "Sejak dia masuk istana kami tidak pernah bertemu lagi, tidak tahu di mana dia bertugas." 　　"Kalau kalian sudah menerima perintah Tetua Besar untuk datang ke sini, bukankah kehadirannya di istana akan mengganggu misi?" 　　Nenek itu melirik Jiang Si, tidak langsung menjawab. 　　Jiang Si tiba-tiba tersadar. 　　Kemungkinan masuknya Tetua itu ke istana adalah salah satu tugas yang diberikan Tetua Besar. 　　Keraguan bermunculan di hati Jiang Si. 　　Di kehidupan sebelumnya sebagai Imam Suci Wu Miao selama bertahun-tahun, dia tidak pernah mendengar sepatah kata pun dari Tetua Besar tentang pengiriman orang ke Dinasti Zhou untuk misi. 　　Perbatasan Selatan adalah sebutan umum, Wu Miao hanya salah satu suku yang selalu hidup damai dengan Dinasti Zhou. Di kehidupan sebelumnya, mereka bahkan membantu Zhou mengalahkan Nanlan. 　　Mengapa lebih dari sepuluh tahun lalu Tetua Besar Wu Miao sudah mengirim orang secara rahasia ke ibu kota Dinasti Zhou? 　　Jiang Si menahan rasa penasarannya dan bertanya: "Selama lebih dari sepuluh tahun tidak bertemu, bagaimana kalian biasanya berkomunikasi?" 　　Nenek itu memandang Jiang Si dengan heran: "Mengapa Imam Suci menanyakan ini?" 　　Hati Jiang Si berdesir, tapi raut wajahnya tetap biasa: "Sekadar bertanya." 　　"Tapi mengapa Imam Suci datang ke tempat ini?" 　　Jiang Si menatap nenek itu dengan senyum samar: "Sama seperti Tetua, ada alasan yang tidak bisa diungkapkan." 　　Nenek itu terdiam sejenak, lalu berkata: "Saya yang sudah lama tinggal di sini, melihat penampilan Imam Suci seperti wanita menikah..." 　　Jiang Si tersenyum: "Ini menyangkut rahasia, tidak bisa diberitahu." 　　"Saya yang terlalu banyak bicara." Nenek itu meminta maaf. 　　Jiang Si menyadari jika terus bertanya bisa membongkar identitasnya, dengan bijak menghentikan topik dan mengobrol tentang adat Wu Miao dengan sang nenek sebelum meninggalkan toko. 　　Gadis itu mengantar Jiang Si sampai ke luar toko dengan hormat, lalu bergegas kembali sambil berseru gembira: "Hua Zhua, Imam Suci tidak hanya membawa dayang, tapi juga pengawal dan pelayan tua!" 　　Sang nenek merasakan keanehan. 　　"Apakah pengawal dan pelayan tua itu berpakaian ala Dinasti Zhou?" 　　"Ya." Gadis itu tak mengerti maksud pertanyaan nenek. 　　Karena Imam Suci menyamar sebagai orang Dinasti Zhou, tentu pengikutnya juga berpakaian sesuai. 　　Alut nenek itu berkerut. Tiba-tiba ia berdiri menuju ruang belakang. 　　"Hua Zhua, mau ke mana?" Gadis itu mengejar. 　　Nenek itu berhenti. "Tulis surat untuk dikirim ke suku kita." 　　Di perjalanan, Ah Man penasaran: "Tuanku, tadi ngobrol apa dengan si gadis itu?" 　　Jiang Si menatapnya. "Bahasa Wu Miao." 　　"Tuanku bisa bahasa Wu Miao?!" 　　"Hm." 　　"Tapi tak pernah lihat Tuanku belajar." 　　"Bawaan lahir." 　　Dayang kecil itu menggaruk kepala bingung. 　　Membunuh dan membakar saja bisa belajar otodidak? 　　Tapi jika tuanku bilang begitu, pasti benar. 　　Ah Man langsung berhenti memikirkan dan hanya tersisa kekaguman pada majikannya. 　　Jiang Si kembali ke Kediaman Pangeran Yan dalam hening. 　　"Salut untuk Permaisuri." 　　"Salut untuk Permaisuri." 　　Jiang Si kembali ke kamar tidur di tengah salam para pelayan istana, bertanya pada A Qiao: "Hari ini Tuan ada di rumah?" 　　Sebagai pangeran yang tidak mewarisi takhta, cukup menjadi penganggur saja. Namun Kaisar Jingming membenci kebiasaan Putra Mahkota yang biasa-biasa saja, untuk memotivasi kayu lapuk ini, beberapa putranya dikirim magang di berbagai kantor kabupaten. 　　"Tuan sebelumnya mengirim kabar sudah pergi." 　　Jiang Si memberi perintah pada A Qiao: "Pergi ke depan sampaikan, bila Tuan kembali mohon datang ke sini." 　　A Qiao segera berangkat menjalankan tugas. 　　Jiang Si duduk di tepi ranjang, tanpa sengaja mengambil bantal dan memeluknya sambil merenung. 　　Banyak hal jauh lebih rumit dari perkiraannya, dan ini semua tidak pernah ia alami di kehidupan sebelumnya. 　　Suara gemerisik terdengar dari jendela. 　　“Jiang Si melihat ke atas, lalu melihat kepala berbulu lebat muncul dari balik jendela yang terbuka.” 　　Er Niu menjejakkan kedua cakar depannya di ambang jendela. Melihat Jiang Si menatapnya, ia mengibaskan satu cakar. 　　Jiang Si tersenyum, keluar rumah dan berjalan memutari jendela, lalu melambai-lambai pada Er Niu. 　　Er Niu berlari kencang mendekat dan duduk patuh di hadapan Jiang Si. 　　“Kenapa kau datang saat jam makan?” 　　Er Niu mengibaskan ekornya sambil mengeluarkan suara gerutuan dari tenggorokan, terdengar gelisah. 　　“Apa tulang berisi dagingnya kurang?” 　　“Guk——” Er Niu menggonggong, memukul-mukul tanah dengan ekornya. 　　Jiang Si pun paham, bukan karena kurang tulang berisi daging. 　　Sejak ada nyonya rumah, Er Niu hidup bahagia dengan bisa makan satu baskom tulang berisi daging dan membuang satu baskom lainnya. 　　"Apakah tulang berisi daging hari ini tidak sesuai selera?" tebak Jiang Si. 　　Er Niu kembali memukul tanah dengan ekornya. 　　Jiang Si mengedipkan mata, tak bisa menebak lagi. 　　Suara jernih terdengar: "Dia ingin makan paha babi kecap." 　　Er Niu segera mengangguk, langka sekali bersikap manja sambil menggonggong dua kali pada Yu Jin. 　　Yu Jin langsung merasa kesal melihatnya. 　　Dulu anjing ini masih berguna, bisa membantu menyampaikan surat untuk A Si, sekarang hanya tahu bersaing untuk perhatian. 　　Er Niu dengan tajam merasakan perubahan emosi tuan rumah, wajah anjingnya langsung serius, tiba-tiba lari ke kandang anjing. 　　Jiang Si dan Yu Jin saling pandang bingung. 　　Tak lama Er Niu kembali berlari keluar, membawa bunga krisan ungu di mulutnya dan memberikannya ke tangan Jiang Si. 　　Wajah Yu Jin langsung menghitam. 　　Anjing ini bahkan tahu memberi bunga untuk A Si! 　　Jiang Si memegang krisan ungu pemberian Er Niu, tersenyum: "Ah Man, ke dapur tanya ada paha babi kecap tidak. Jika ada, bawa untuk Er Niu." 　　Ah Man menjawab riang dan berjalan keluar, Er Niu segera mengikuti dengan gembira. 　　Yu Jin menatap tajam punggung Er Niu, mengusap dagu dengan tatapan penuh pertimbangan. 　　"Memikirkan apa?" 　　"Aku berpikir, apakah kita harus mencari istri untuk Er Niu?" 　　Setelah bercanda, mereka berdua masuk ke dalam rumah. 　　Yu Jin menatap Jiang Si dengan intens, berkata, "A Si, sepertinya kau tidak bahagia hari ini..." 　　Dia selalu bilang bahwa Kediaman Marquis Yining tidak boleh dikunjungi, setiap kali pergi A Si selalu pulang dengan perasaan tidak enak. 　　Mendengar perkataan Yu Jin, mata Jiang Si memerah, hampir meneteskan air mata. 　　Rasa sakit dan kekesalan yang terpendam di dasar hati datang menghantam bagai gelombang pasang. 　　Di hadapan orang yang paling berarti, seseorang akan mudah menunjukkan sisi rapuhnya. 　　"Ada apa?" Yu Jin menarik Jiang Si ke dalam pelukannya, "Apakah orang-orang Kediaman Marquis Yining berani menyakitimu sekarang?" 　　Jiang Si menyembunyikan wajahnya di dada Yu Jin, mengusap air mata di bajunya, menggigit bibir sambil berkata, "A Jin, ibuku dibunuh oleh Nyonya You." 　　Dada pria yang kokoh itu tiba-tiba menegang, tangannya terangkat dan membelai rambutnya: "Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　Jiang Si menarik Yu Jin untuk duduk, lalu mulai menceritakan seluruh kronologi peristiwa. 　　"Artinya, ibu mertuaku dibunuh oleh Putri Rongyang?" 　　Jiang Si mengangguk. 　　"Apa rencanamu? Bagaimana kalau kita antar dia bertemu putrinya?" Yu Jin mengajak berdiskusi dengan nada bicaranya. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Aku juga berpikir begitu." 　　Beberapa hari kemudian, Kediaman Marquis Yining mengirim kabar duka, Nyonya Besar You meninggal karena sakit. 　　Yu Jin melihat surat duka itu sambil tersenyum: "Kediaman Marquis Yining benar-benar cepat bertindak." 　　Selamat pagi. 454.BAB 453 Mimpi Menikmati Kebahagiaan Dua Wanita 　　BAB 453 Mimpi Menikmati Kebahagiaan Dua Wanita 　　Bagi orang Dinasti Zhou, kedudukan paman dari pihak ibu sangat tinggi di antara banyak kerabat. Bahkan jika Jiang Si adalah Permaisuri, dia harus menghadiri upacara penghormatan terakhir saat bibi meninggal. 　　Tentu saja Jiang Si tidak akan pergi. 　　Terhadap orang yang menyebabkan kematian ibunya, dia sama sekali tidak akan bersujud untuk menjaga reputasi atau gengsi semata. 　　Saat belum mencapai usia pernikahan pun dia tidak mau, apalagi sekarang sebagai Permaisuri yang lebih tidak ingin menyiksa diri. 　　Yu Jin dengan acuh melemparkan surat duka itu, bahkan enggan mengucapkan sepatah kata pun. 　　Mereka berdua membahas kakek-nenek dari Suku Wu Miao yang membuka toko di Jalan Pasar Barat. 　　"Saat ini sudah ada orang yang diam-diam mengawasi. Kakek-nenek itu tampaknya biasa saja, seharian menjaga toko kecil mereka tanpa keluar." Kata Yu Jin. 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Tujuan mereka datang ke ibu kota masih misteri. Tempatkan pengawas jangka panjang saja." 　　"Ya, toh tidak merepotkan." Sambil berkata demikian, Yu Jin mengeluarkan sepucuk surat dari lengan bajunya. 　　Jiang Si menerimanya dan membuka surat itu. 　　Isinya ditulis dalam bahasa Wu Miao. 　　Yu Jin mendekat sambil tersenyum: "Mengerti isinya? Perlu kuberitahu?" 　　Jiang Si meliriknya: "Kau bisa bahasa Wu Miao?" 　　Dulu demi menyamar sebagai Imam Suci, dia hampir-hampir berbicara bahasa Wu Miao dalam tidurnya. 　　Hampir semua orang Suku Wu Miao bisa berbahasa Zhou. Sejak Yu Qi berinteraksi dengannya, belum pernah menggunakan bahasa Wu Miao. 　　"Aku kan tinggal di Perbatasan Selatan bertahun-tahun, sedikit-sedikit pasti bisa." Jawab Yu Jin dengan bangga. 　　“Tidak bisa dibilang fotografi, tapi ingatannya memang sangat baik. Kalau tidak, mana mungkin setelah dua tiga tahun masih bisa melukis A Si dengan sangat hidup hanya berdasarkan imajinasi.” 　　Jiang Si terdiam sejenak, berkata: “Aku bisa membaca.” 　　Meski rahasia reinkarnasi tidak bisa diungkap, tapi pasangan suami istri yang hidup bersama dalam waktu lama mustahil bisa terus menyembunyikan segalanya dari pasangannya. 　　Yu Jin terkejut: “Kau bisa membaca aksara Wu Miao?” 　　Sebelumnya A Si pernah bilang padanya bahwa dia memanfaatkan kemiripan wajahnya dengan Imam Suci Wu Miao untuk menipu kakek dan cucu itu. Dia mengira komunikasi mereka menggunakan bahasa Zhou, sama sekali tidak menyangka A Si tidak hanya bisa berbahasa Wu Miao tapi juga membaca aksara mereka... 　　Perasaan aneh yang pernah muncul sebelumnya semakin kuat. 　　A Si sepertinya sangat familiar dengan urusan Suku Wu Miao, seolah pernah hidup disana bertahun-tahun... 　　Yu Jin memegang kedua pipi Jiang Si, menggosok-gosokkannya. 　　Pipi Jiang Si yang mulus seperti kulit telur segera memerah. 　　“Apa maksudmu?” Jiang Si bertanya sambil setengah tertawa. 　　Yu Jin mendekat, gugup: “Aku ingin memastikan kau bukan imam suci Wu Miao palsu.” 　　Candaan itu membuat Jiang Si tertegun. 　　Di kehidupan sebelumnya justru dialah yang sering menyamar sebagai imam suci. Sekarang mendengar kata-kata ini dari Yu Qi, perasaannya agak kompleks. 　　“Kalau benar-benar palsu bagaimana? Mau dikembalikan?” Jiang Si balas bertanya sambil tersenyum. 　　Melihat perasaan Jiang Si sama sekali tidak terpengaruh oleh kematian Nyonya You, Yu Jin diam-diam lega dan berkata sambil tersenyum: "Mengapa mengembalikan? Aku akan mencari A Si yang asli lagi, tidak bisakah menikmati kebahagiaan bersama dua wanita?" 　　"Kau tunggu sebentar," kata Jiang Si, lalu bergegas menuju ruang dalam. 　　Membiarkan Yu Jin merenung dalam hati: Aku hanya bercanda, jangan-jangan dia marah... 　　Yu Jin sudah siap meminta maaf segera setelah istri keluar. 　　Jiang Si segera kembali. 　　"A Si, kau marah?" 　　"Tidak marah." Jiang Si menepuk sebuah gunting di depan Yu Jin, tersenyum manis: "Ngomong-ngomong, ulangi lagi ucapanmu tadi." 　　Yu Jin terkekeh kaku: "Ucapan apa?" 　　Jiang Si memainkan gunting, mengingatkan: "Yang tentang menikmati kebahagiaan bersama dua wanita itu." 　　"Hehe, pasti kau salah dengar." Yu Jin meraih tangan Jiang Si, sekaligus menahan gunting berkilauan di tangan istri, menasihati dengan tulus: "A Si, hati-hati gunting melukai tanganmu..." 　　Senyum manis menghiasi bibir Jiang Si, tampak lembut dan anggun: "Tak apa, aku sudah terbiasa memainkannya." 　　"Untuk apa wanita main gunting... A Si, kau suka main kecapi tidak? Atau main catur juga boleh, mari kita bertanding satu ronde." 　　Jiang Si berkata dengan serius: “Tentu karena bermain gunting lebih nyata daripada bermain kecapi atau catur. Misalnya, jika suami berencana menikmati kebahagiaan dua istri, wanita yang bisa main kecapi hanya bisa memainkan beberapa lagu untuk mengungkapkan kesedihan, sedangkan wanita yang mahir gunting bisa langsung memotong akar masalahnya.” 　　Yu Jin tiba-tiba merakan dingin di bagian bawah tubuhnya, lupa menanyakan mengapa Jiang Si bisa membaca aksara Wu Miao. 　　Setelah bercanda, Jiang Si menunduk membaca isi surat. 　　Usai membaca, ia tersenyum: “Tetua generasi ini memang tak mudah dibohongi, cepat sekali mengirim surat balasan... Ngomong-ngomong, bagaimana cara mendapatkan surat ini?” 　　“Kami sengaja mencegatnya, jadi terlambat dua hari.” 　　Suasana kembali tegang. 　　Yu Jin bertanya: “A Si, sepertinya kau sangat familiar dengan Suku Wu Miao...” 　　Jiang Si terdiam sejenak, matanya menatap dalam-dalam ke mata Yu Jin. 　　Mata pria itu hitam berkilau seperti batu giok hitam berkualitas tinggi, memancarkan sinar keingintahuan. 　　Jiang Si menghela napas, memegang lengan Yu Jin: “A Jin, seolah-olah aku pernah mengunjungi Suku Wu Miao dalam mimpi, mengalami banyak hal di sana... Jadi bisa berbahasa Wu Miao, membaca aksara mereka. Tapi tak bisa menjelaskan asalnya...” 　　“Mungkin memang kau orang Wu Miao di kehidupan sebelumnya.” Yu Jin mengusap rambutnya sambil menghibur, “Jangan dipikirkan. Punya pengetahuan bawaan sejak lahir justru bagus, menghemat waktu belajar.” 　　Khawatir Jiang Si overthinking, Yu Jin menunjuk surat: “A Si, bagaimana rencanamu menangani ini?” 　　Jiang Si melipat surat dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam amplop, berkata: "Bagaimanapun surat sudah dicegat, informasi ini tidak akan sampai ke Wu Miao dalam waktu dekat. Mari kita pantau perkembangannya. Jika nenek tua itu lama tidak menerima kabar dari Wu Miao, mungkin dia akan mencoba menghubungi orang di istana itu." 　　Wanita Wu Miao lain yang menyusup ke istana selama belasan tahun adalah target yang harus ditemukan Jiang Si. 　　Apakah Yinxin Gu yang digunakan Putri Rongyang untuk membunuh ibunya dulu benar-benar berasal dari wanita Wu Miao itu? Meski bukan, Jiang Si harus tetap waspada terhadap sosok yang bersembunyi di istana dan mungkin menjadi dalang di balik kecelakaan Putri Fuqing. 　　Itu adalah ular berbisa yang bersembunyi di kegelapan. Meski belum menggigit, mengetahui lokasi persembunyiannya setidaknya bisa menghindarkan bahaya. 　　Yu Jin mengangguk: "Baik, akan kuperintahkan untuk memantau situasi ini. Beberapa hal tak bisa dipaksakan, mari kita lakukan selangkah demi selangkah." 　　Seperti saat pertama kali tiba di Perbatasan Selatan, beberapa perwira yang tahu statusnya sebagai pangeran hanya berpura-pura hormat, namun sebenarnya meremehkannya dan menganggap kedatangannya hanya menambah masalah. 　　Semua ketabahan yang ditahannya tak berarti apa-apa, sampai suatu saat ia berhasil memimpin pasukan yang terperangkap di hutan berawa keluar, barulah posisinya mulai diakui... 　　Di ibu kota, membunuh tak bisa menggunakan pedang. Butuh kesabaran ekstra. Seperti untuk Putri Rongyang, ia sudah merancang belasan cara kematian, tinggal memilih mana yang paling mudah diwujudkan. 　　Kematian bibi Permaisuri termasuk peristiwa penting yang harus diatur oleh Sekretaris istana. 　　Sesepuh Sekretaris istana menunggu lama, namun tak kunjung mendengar suara Pangeran maupun Permaisuri, akhirnya terpaksa mendatangi ruang belajar Yu Jin. 　　"Sekretaris istana datang." Pelayan pria itu menyapa sambil tersenyum lebar. 　　"Apakah Tuan Pangeran ada di dalam?" 　　"Tidak." 　　Sekretaris istana melototi pelayan itu: "Pangeran jelas-jelas sudah pulang." 　　Pelayan pria: "……" 　　Kalimat tadi bukanlah ucapan darinya! 455. BAB 454 Chi 　　BAB 454 Chi 　　"Silakan Sekretaris istana masuk." Suara malas Yu Jin terdengar dari dalam ruang belajar. 　　Sekretaris istana baru tersadar: Ternyata kalimat tadi adalah ucapan Pangeran sendiri. 　　Bagaimana mungkin Pangeran mempermainkannya seperti ini? Sungguh keterlaluan! 　　Pelayan pria membuka pintu, Sekretaris istana masuk dengan wajah masam. 　　Melihat Sekretaris istana masuk, Yu Jin meletakkan gulungan buku di sampingnya sambil tersenyum: "Ada keperluan apa Sekretaris istana mencariku?" 　　Sekretaris istana melirik gulungan buku di samping tangan Yu Jin, batuk kecil lalu bertanya: "Pangeran sedang membaca buku ya." 　　Sebagai Sekretaris istana, tiga tugas utamanya adalah: pertama memberi nasihat dan koreksi untuk mencegah kesalahan Pangeran; kedua menangani urusan protokol dan musik; ketiga bertanggung jawab atas pendidikan Pangeran. 　　Meski Pangeran Yan sudah dewasa, namun karena dibesarkan di luar istana sejak kecil, Sekretaris istana selalu merasa tingkat pendidikannya masih perlu ditingkatkan dengan banyak membaca. 　　Melihat Pangeran Yan bersembunyi di ruang belajar ketimbang berpelukan dengan Permaisuri di kamarnya, sang tua ini merasa sangat terharu. 　　"Ya, aku memang suka membaca." Yu Jin menyorongkan buku bersampul tebal ke samping. 　　Sekretaris istana tersenyum berkata, "Pangeran bisa berpikir seperti itu sudah benar——" 　　Kata-katanya belum selesai, buku itu jatuh ke lantai dengan suara "plak", memperlihatkan judul di halaman dalam: 36 Kiat Memikat Ibu. 　　Mata Sekretaris istana hampir melotot keluar. 　　"Apa ini?" Tua itu menggigilkan kumisnya, menunjuk buku di lantai. 　　Yu Jin dengan tenang mengambil buku itu, menutup sampulnya, wajahnya tak berubah: "Buku strategi perang." 　　Nada suara Sekretaris istana meninggi: "Buku strategi perang?" 　　"Hmm." 　　"Pangeran, hamba belum rabun, itu jelas, jelas adalah——" 　　Jelas adalah **! 　　Rasa malu membuat Sekretaris istana tak melanjutkan. 　　Yu Jin membersihkan debu di sampul buku, wajah khawatir: "Aku sejak kecil tinggal di luar istana, banyak hal tak kumengerti, apakah membaca buku strategi perang tidak pantas?" 　　"Membaca buku strategi perang tentu pantas——" 　　Yu Jin segera memotong ucapan Sekretaris istana, tersenyum manis: "Kalau begitu, Sekretaris tak perlu khawatir, katakanlah urusanmu mencariku." 　　"Hamba datang menemui Pangeran——" Sekretaris istana terhenti, baru sadar hampir teralihkan. 　　"Pangeran, sekarang hamba anggap masalah bacaan Paduka lebih penting!" 　　Alis tajam Yu Jin sedikit terangkat: "Ada masalah apa dengan membaca?" 　　"Tolong Pangeran jelaskan, 36 Kiat Memikat Ibu itu apa?" 　　Judul buku seperti itu saja tak bisa ia ucapkan! 　　Sekretaris istana yang hidupnya selalu serius kini dipenuhi amarah dan kepedihan. 　　“Yu Jin sama sekali tidak merasa malu, menjelaskan dengan serius: 'Jika aku dan Permaisuri terjadi konflik, membaca buku ini akan membantuku memperbaiki hubungan dengan Permaisuri. Apakah Sekretaris istana tidak ingin melihat aku dan Permaisuri hidup harmonis?'” 　　“Tentu saja tidak!” 　　“Yu Jin berkata datar: 'Kalau begitu, Sekretaris istana tidak perlu panik. Lebih baik bicarakan urusan yang membuatmu mencariku.'” 　　“Sekretaris istana menggigilkan kumisnya, kehabisan kata-kata.” 　　“Pangeran terdengar masuk akal juga...” 　　“Yu Jin tersenyum puas.” 　　“Sekretaris istana kita cukup baik.” 　　“Hamba datang untuk meminta petunjuk Pangeran mengenai urusan pemakaman Keluarga Marquis Yining...” 　　“Tidak pergi.” 　　“Sekretaris istana tertegun.” 　　“Aneh, biasanya Pangeran terlihat sangat mesra dengan Permaisuri. Kenapa tidak mau melayat saat Bibi Permaisuri meninggal?” 　　“Tapi status Pangeran memang berbeda. Wajar jika tidak pergi.” 　　“Kalau begitu hamba akan mempersiapkan protokol untuk Permaisuri saja.” Sekretaris istana membungkuk, bersiap mundur. 　　“Eh, Permaisuri juga tidak pergi.” 　　“Yu Jin berkasaual seolah tak terjadi apa-apa, membuat Sekretaris istana hampir melompat: 'Permaisuri tidak pergi?'” 　　“Hm.” 　　“Tuanku, ini sangat tidak sopan! Orang akan menganggap istana kita tidak punya tata krama!” 　　“Pangeran memiliki enam saudara laki-laki yang membangun istana sendiri, artinya masih ada enam Sekretaris istana lainnya.” 　　“Hamba juga punya tekanan kompetisi!” 　　“Melihat tuanku yang tetap tenang, Sekretaris istana putus asa bertanya: 'Mengapa Permaisuri tidak pergi?'” 　　Yu Jin awalnya ingin mengatakan karena Permaisuri tidak mau, mengingat Sekretaris Istana sudah tua, takut tidak tahan stimulasi dan terjadi hal buruk, mengganti Sekretaris Istana baru mungkin lebih buruk, akhirnya mengubah jawaban: "Permaisuri agak kurang sehat." 　　Sekretaris Istana berusaha keras menahan dorongan untuk pergi sambil mengibaskan lengan baju: "Hamba tidak mendengar kabar——" 　　Yu Jin melirik Sekretaris Istana dengan dingin: "Permaisuri tidak sehat, haruskah melapor ke Sekretaris Istana?" 　　"Tentu tidak, tapi——" 　　"Sekretaris Istana tidak perlu bicara lagi, nanti Aku akan marah." Yu Jin mengibaskan lengan bajunya. 　　Sekretaris Istana menggertakkan gigi: "Hamba pamit undur diri." 　　Yu Jin sedikit mengangguk. 　　Sekretaris Istana meninggalkan ruang belajar, berjalan dalam hembusan angin musim gugur yang menusuk, hati lebih pilu daripada pemandangan daun kuning di musim gugur. 　　Dia sudah bisa memprediksi Pangeran yang semena-mena ini akan dikritik oleh pejabat pengawas. 　　Sudahlah, untuk kayu lapuk seperti Pangeran ini, biarkan saja! 　　Sekretaris Istana berpikir kesal, kembali ke kamar dan menenggak dua cangkir teh sekaligus baru merasa lebih baik. 　　Kakek tua yang sudah pulih akal sehat mulai merumuskan kata-kata tepat untuk membalas surat Keluarga Marquis Yining. 　　Yu Jin mulai menyesal. 　　Meski Sekretaris Istana sudah tua, suaranya masih keras, menunjukkan tubuhnya masih kokoh, seharusnya tidak takut stimulasi. 　　Seharusnya tidak mengatakan A Si tidak sehat. 　　Semakin Yu Jin berpikir, semakin resah, bergegas kembali ke Yuyuan. 　　A Qiao sedang berjaga di luar pintu. 　　"Permaisuri mana?" tanya Yu Jin sambil berjalan. 　　A Qiao ragu sejenak. 　　Yu Jin tiba-tiba berhenti melangkah, wajahnya serius: "Ada apa dengan Permaisuri?" 　　A Qiao menunduk, berkata pelan: "Permaisuri agak tidak enak badan, sedang beristirahat..." 　　Wajah Yu Jin langsung berubah pucat. Tanpa sempat menanyai A Qiao lagi, ia langsung masuk ke ruang dalam. 　　Jiang Si berbaring miring di ranjang dengan mata terpejam. Rambut hitamnya yang indah terurai acak di bantal bermotif bebek mandarin warna hijau tua, wajahnya yang bersandar di lengan terlihat agak pucat di antara hamparan rambut hitam. 　　Yu Jin merasa dadanya sesak, melangkah cepat dan menggenggam pergelangan tangan putihnya sambil berseru: "A Si——" 　　Jiang Si perlahan membuka mata. Tatapan cemas lawan bicaranya langsung membuatnya tersadar: "Ada apa?" 　　Suaranya terdengar serak karena baru terbangun dari tidur. 　　Mendengar ini, Yu Jin semakin panik. Tangannya langsung menempel di dahi Jiang Si. 　　Jiang Si terkejut oleh aksinya: "A Jin, kau sedang apa?" 　　Kulit yang disentuhnya terasa sejuk, membuat Yu Jin sedikit lega. Ia menghela napas: "Tidak demam, tadi A Qiao bilang kau tidak enak badan, membuatku kaget." 　　Jiang Si langsung tak tahu harus tertawa atau marah, memarahi: "Kau berlebihan sekali, kukira ada kejadian besar di luar." 　　Begitu masuk keluarga kerajaan, banyak hal kecil pun menjadi penting. 　　"Tapi A Qiao bilang kau tidak enak badan." Ekspresi Yu Jin masih tetap muram. 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya, raut wajahnya agak aneh. 　　Yu Jin menepuk wajahnya dengan kesal: “Ini salahku, seharusnya aku tidak asal bicara.” 　　“Apa yang kau katakan?” tanya Jiang Si. 　　“Sekretaris istana menanyakan tentang pemakaman Keluarga Marquis Yining, aku bilang kau tidak enak badan dan tidak pergi...” Yu Jin semakin menyesal saat berbicara, “Tak disangka kau benar-benar sakit, ini semua salahku——” 　　Jiang Si mengangkat satu jarinya, menempelkannya di bibir tipis suaminya. 　　Yu Jin berhenti bicara. 　　Jiang Si ragu sejenak apakah harus mengatakan hal tersebut. 　　Yu Jin panik, menggenggam tangan Jiang Si erat: “A Si, jika kau sakit, jangan sembunyikan dariku!” 　　Melihat ekspresi cemas sang suami, Jiang Si berkata: “Mens saya terlambat beberapa hari...” 456. BAB 455 Kabar Gembira 　　BAB 455 Kabar Gembira 　　Mendengar ini, Yu Jin segera menghibur: “Keterlambatan tidak masalah, mungkin sebentar lagi akan datang.” 　　Jiang Si: ?? 　　“A Jin, apa kau tahu arti mens yang terlambat?” 　　Yu Jin tersenyum: “Mens terlambat berarti——” 　　Ucapannya terhenti mendadak. 　　Matanya menatap tajam Jiang Si, ekspresinya sangat beragam. Setelah beberapa saat baru bisa tenang, bertanya dengan gugup: “A Si, maksudmu kau mungkin... mungkin hamil?” 　　Jiang Si mengangguk perlahan. 　　“Sebenarnya aku juga tidak yakin, belum memanggil tabib untuk memeriksa...” 　　Dia bukan tabib, hanya karena memelihara Gu dalam tubuhnya, memiliki indra keenam yang aneh tentang kelahiran kehidupan baru. 　　“Kalau... kalau begitu mari panggil tabib untuk memeriksa.” Yu Jin mengusap wajahnya, perasaan campur aduk. 　　Perasaan Jiang Si pun sama rumitnya. 　　"Di kehidupan sebelumnya, selama lebih dari setahun menikah dengan Yu Qi, tidak ada tanda-tanda kehamilan. Padahal saat itu usianya sudah 19 tahun, secara teori wanita yang lebih dewasa seharusnya lebih mudah hamil." 　　"Tapi anehnya, kehamilan yang tak pernah ada di kehidupan sebelumnya, kini hanya dalam beberapa bulan setelah pernikahan mereka..." 　　"Karena itu, Jiang Si sama sekali tidak berani memastikan." 　　"Akhirnya dia mengangguk, mengingatkan: 'Untuk sementara jangan beri tahu pihak istana, agar tidak jadi bahan tertawaan. Panggil saja dokter utama istana pangeran.'" 　　"Dokter utama adalah pejabat kecil yang mengurus urusan medis istana pangeran, berada di bawah wewenang Sekretaris istana." 　　"Yu Jin mengangguk: 'Tentu saja.'" 　　"Tak lama kemudian dokter utama diam-diam memasuki Yuyuan." 　　"'Hamba memberi salam kepada Pangeran dan Permaisuri.'" 　　"'Permaisuri merasa tidak enak badan, periksa lah.'" 　　"Mendengar Permaisuri sakit, dokter utama segera maju sambil menunduk: 'Mohon Permaisuri mengulurkan tangan.'" 　　"Jiang Si mengulurkan tangannya." 　　"Dokter utama menekan pergelangan tangan Jiang Si, ekspresinya semakin serius seiring berjalannya waktu." 　　"Melihat ekspresi dokter itu, Yu Jin tiba-tiba merasa tegang." 　　"'Bagaimana? Bagaimana kondisi Permaisuri?'" 　　"Dokter utama yang sedang fokus memeriksa nadi sama sekali tidak mendengar pertanyaan Yu Jin." 　　"Yu Jin mengepalkan tangannya." 　　"Berani sekali dokter ini mengabaikannya. Apakah ada masalah lain dengan A Si?" 　　"'Dokter, aku bertanya padamu, kenapa tidak menjawab?'" 　　"Dokter utama baru tersadar, menatap Yu Jin dengan bingung: 'Apa yang Pangeran tanyakan?'" 　　Yu Jin menarik napas dalam-dalam, menahan dorongan untuk marah, lalu mengulangi perkataannya: "Aku bertanya padamu, bagaimana kondisi kesehatan Permaisuri?" 　　Liang Yizheng langsung mengerutkan kening mendengar pertanyaan itu. 　　Melihat reaksi tersebut, Yu Jin panik dan membentak sambil memukul meja kayu mahoni: "Jawab sejujurnya, jangan ada yang disembunyikan!" 　　Liang Yizheng gemetar ketakutan, lalu berkata dengan hati-hati: "Mohon Permaisuri mengulurkan tangan yang lain, hamba perlu memeriksa kembali." 　　Sikap hati-hati Liang Yizheng justru membuat Jiang Si semakin yakin, dengan wajah tenang ia mengulurkan tangan kirinya. 　　Melihat jari Liang Yizheng menyentuh pergelangan tangan Jiang Si yang lain, wajah Yu Jin semakin muram. 　　Harus memeriksa dua kali? Dukun gadungan! 　　Di bawah tatapan membara Sang Pangeran, keringat dingin mulai mengucur di dahi Liang Yizheng. 　　Jiang Si melirik Yu Jin, barulah aura mengintimidasi itu mereda. 　　Liang Yizheng menghela napas lega, fokus sepenuhnya pada diagnosis nadi. 　　Yu Jin mengamati dengan tatapan dingin, menyaksikan ekspresi Liang Yizheng yang kembali berubah-ubah. 　　Dorongan untuk menendang tabib tua itu muncul lagi. 　　Tak bisakah si tua ini langsung ke inti? Ekspresi berubah-ubah begini mau menakut-nakuti siapa? 　　Di tengah kutukan dalam hati Yu Jin, Liang Yizheng akhirnya melepas genggaman. 　　"Bagaimana?" Yu Jin buru-buru bertanya. 　　Liang Yizheng bersembah: "Selamat Paduka, Permaisuri sedang mengandung!" 　　“Permaisuri tidak ada keluhan lain?” Yu Jin bertanya lebih lanjut. 　　Sekretaris istana tertegun sejenak. 　　Dulunya dia adalah anggota Tabib istana, baru dialokasikan ke Kediaman Pangeran Yan untuk mengepalai urusan medis setelah Pangeran mendapat gelar kepangeranan. Saat masih menjadi tabib istana, dia sering memeriksa denyut kehamilan para Nyonya bangsawan, tapi belum pernah melihat reaksi pertama calon ayah seperti ini. 　　“Apakah Permaisuri benar-benar tidak memiliki keluhan lain?” 　　Sekretaris istana menunduk, menyembunyikan ekspresi campur aduk: "Tubuh Permaisuri tidak ada masalah, hanya sedang hamil. Akan ada beberapa reaksi selama kehamilan. Nanti hamba akan meracik obat untuk meredakan gejala kehamilan dan memberikan pantangan-pantangan..." 　　Yu Jin menghela napas lega lalu tersenyum: "Tidak ada masalah lain? Itu bagus." 　　"Selamat kepada Pangeran dan Permaisuri--" 　　Yu Jin sama sekali tidak menanggapi sukacita Sekretaris istana, berkata datar: "Permaisuri baru saja hamil. Untuk sementara jangan beri tahu siapa pun tentang kabar ini." 　　Sekretaris istana mengernyitkan bibir dengan canggung. 　　Sikap dingin Pangeran ini membuat orang yang memberi selamat merasa sangat awkward. 　　"Sudah paham?" Yu Jin mulai kehilangan kesabaran. 　　Dia menduga Kaisar asal comot orang-orang untuk membentuk kelompok Kediaman Pangeran Yan. Kalau tidak, mengapa Sekretaris istana begitu cerewet, Sekretaris medis tidak kompeten--apakah tidak ada satu pun yang normal? 　　"Pangeran tidak perlu khawatir. Kabar kehamilan Permaisuri baru akan diumumkan setelah kandungan genap tiga bulan." Sekretaris istana menjawab dengan penuh taktis. 　　"Biasanya, tiga bulan pertama kehamilan tidak stabil. Jika perawatan tidak baik atau kondisi ibu hamil lemah, sangat mudah mengalami keguguran. Memberi kabar gembira setelah genap tiga bulan adalah kebiasaan umum." 　　"Selamat, Pangeran, selamat Permaisuri." Tabib kepala tak mau menyerah, mengulangi ucapan selamatnya. 　　"Meski tidak mendapat uang hadiah, setidaknya aku sudah mendiagnosis kehamilan Permaisuri sejak dini. Pasti Pangeran akan memujiku." 　　Tabib kepala yang menanti-nanti hanya mendapat sepatah kata dari Yu Jin: "Pergi buatkan obat." 　　Tabib kepala: "..." Andai yang dihadapannya bukan pangeran, sungguh ingin kulemparkan mangkuk obat ke wajahnya! 　　Jiang Si yang lebih pengertian tersenyum: "Tabib kepala sudah bekerja keras. A Qiao—" 　　A Qiao paham, mengambil hadiah perak dan memberikannya pada tabib kepala. 　　Seharusnya tabib kepala menolak dulu baru menerima setelah dibujuk, tapi kelakuan aneh Pangeran membuatnya takut mengambil risiko. Dengan muka tebal langsung diterimanya: "Terima kasih Permaisuri, hamba yang bodoh ini segera membuatkan obat." 　　Setelah tabib kepala pergi, pandangan Yu Jin turun ke perut rata Jiang Si. 　　"Lihat apa?" Jiang Si mengangkat wajah menatapnya. 　　Yu Jin meletakkan tangan di perutnya, ekspresi kompleks: "Di sini... benar ada anak kita?" 　　Jiang Si melotot: "Sudah didiagnosis tabib kepala, masih tak percaya?" 　　"Hanya... merasa terlalu mendadak..." 　　"Dia belum siap menjadi ayah, masih ingin menghabiskan dua tahun lagi berdua dengan A Si. Kenapa tiba-tiba harus ada makhluk kecil yang datang bersaing merebut perhatiannya?" 　　Ancaman si kecil ini pasti lebih besar daripada Er Niu! 　　"Ekspresimu bagaimana ini? Apa kau tidak senang punya anak?" Jiang Si mulai kesal. 　　Bajingan ini memang tak berbeda dengan versi kehidupan sebelumnya. 　　"Senang sih senang, tapi aku khawatir setelah punya anak kau tak lagi punya waktu untukku..." 　　Jiang Si tak tahan lagi mencubitnya: "Dungu, ini anak kita berdua, bukan milikku sendiri. Nanti kita akan menjadi keluarga tiga orang..." 　　Yu Jin tertegun, bayangan abstrak tentang anak tiba-tiba menjadi konkret dalam pikirannya. 　　Sepertinya menyenangkan memiliki makhluk kecil yang akan memanggilnya 'Ayah' dan memanggil A Si 'Ibu'... 　　"A Si." 　　"Hmm?" 　　"Sekarang apakah detak jantung anak sudah bisa didengar?" 　　Jiang Si ragu: "Masih sangat kecil, mungkin belum..." 　　"Aku mau dengar." Yu Jin penasaran mendekat. 457.BAB 456: Kabar yang Menggembirakan Hati 　　BAB 456: Kabar yang Menggembirakan Hati 　　Sekretaris kediaman pangeran menemui Kepala Tabib. 　　"Baru saja memeriksa Permaisuri?" Tanya si tua sambil mengelus kumis. 　　Jika Permaisuri benar-benar sakit, setidaknya dia sudah punya alasan untuk menghindari tuduhan karena tidak menghadiri upacara penghormatan. 　　Kepala Tabib mengangguk. 　　"Bagaimana kondisi kesehatan Permaisuri?" 　　Kepala Tabib ragu sejenak: "Sedang anemia, sudah kuberi obat tonik. Yang Mulia tak perlu khawatir." 　　Sekretaris istana tua itu diam-diam mencabut sehelai kumisnya. 　　Kekurangan qi dan darah? Bukankah ini artinya tidak sakit! 　　Melihat ekspresi Sekretaris istana, Tabib Utama bergegas menghibur: "Anda sungguh tak perlu khawatir, Permaisuri baik-baik saja." 　　Sekretaris istana: "..." 　　Si tua itu mengangkat tangan lesu: "Tabib Utama boleh pergi." 　　Tabib Utama pergi dengan wajah bingung. 　　Mulai dari Pangeran sampai Sekretaris istana, mengapa semua bertingkah aneh? 　　Kabar Jiang Si tidak datang melayat segera tersebar di Keluarga Marquis Yining, membuat para pihak yang tahu merasa kompleks. 　　Paman tertua Su meski memahami keputusan keponakannya, tak menyangka ia bisa sekeras ini. 　　Orangnya sudah meninggal, setidaknya demi menghormati orang tua, harusnya datang memberi penghormatan terakhir. 　　Sebagai Permaisuri Yan, status Jiang Si adalah yang paling terhormat di antara kerabat Keluarga Marquis Yining. Banyak yang mengawasi. Tak hadirnya Permaisuri Yan saat bibi meninggal, bagaimana tanggapan orang? 　　Selain jadi bahan olok-olok keluarga Marquis, sang keponakan pun akan dituding tak tahu tata krama. 　　Paman tertua Su mulai mengkhawatirkan masa depan Jiang Si: Dengan kelakuan kekanak-kanakan ini, kemewahannya mungkin hanya sementara. 　　Ruang duka Keluarga Marquis Yining dipenuhi kesan khidmat. Dua anak Nyonya You berlutut dengan baju kabung di sisi peti, mata mereka sudah bengkak akibat tangisan. 　　Saat Jiang Ancheng datang bersama Jiang Yi dan Jiang Zhan untuk menyampaikan belasungkawa, Su Qingshuang memeluk Jiang Yi sambil menangis tersedu-sedu. Karena kesedihan yang berlebihan, ia akhirnya pingsan. 　　Ruang duka seketika menjadi kacau balau. 　　"Paman tertua, saya akan menemani Bibi ke belakang untuk beristirahat," kata Jiang Yi sambil menopang Su Qingshuang kepada Paman tertua Su. 　　Jiang Yi yang berhati mulia, meski sangat membenci Nyonya You yang sudah terbaring dalam peti mati, tidak melampiaskan kemarahannya pada Su Qingshuang. 　　Paman tertua Su merasa terhibur, dalam hati berpikir: Dibandingkan Jiang Si, keponakan perempuan Jiang Yi ini jauh lebih bijaksana. 　　"Pergilah, tenangkan bibimu dengan baik." Setelah berkata demikian, Paman tertua Su melirik kedua anak perempuan dari selirnya dan berkata dengan wajah masam, "Kalian juga pergilah ke belakang." 　　Er Guniang Su Qingxue dan San Guniang Su Qingyu segera bangkit, lalu mengiringi Su Qingshuang keluar dari ruang duka dari kiri dan kanan. 　　Jiang Ancheng berkata kepada Paman tertua Su: "Terimalah ucapan belasungkawa kami." 　　Paman tertua Su terkejut dalam hati. Ia mengamati Jiang Ancheng dengan seksama, melihat kepedulian tulus yang terpancar dari raut wajahnya. Sebuah pikiran muncul: Mungkinkah Jiang Ancheng masih belum mengetahui penyebab sebenarnya kematian adiknya? 　　Dugaan Paman tertua Su tepat. Saat ini Jiang Ancheng benar-benar masih dibodohi. 　　Ini adalah hasil musyawarah Jiang Si bertiga setelah meninggalkan Kediaman Marquis Yining kala itu. 　　Ayah terlalu dalam cintanya pada ibu. Jika mengetahui kebenaran, mungkin dia tidak akan tahan dan melakukan hal-hal ekstrem seperti membawa pedang menyusup ke Kediaman Marquis Yining dan langsung membunuh Nyonya You. 　　Karena Keluarga Marquis Yining sudah diam-diam setuju Nyonya You harus menebus nyawa, tak perlu tangan Ayah yang terkotori. 　　Setelah menunggu beberapa hari, kabar kematian Nyonya You akhirnya tersiar. 　　Pada titik ini, khawatir Jiang Ancheng akan menghancurkan ruang duka keluarga itu, Jiang Yi dan Jiang Zhan berembuk memutuskan untuk menunda penjelasan sampai nanti. 　　Jiang Ancheng yang bertahun-tahun menderita kesedihan kehilangan istri, merasakan sakit yang menusuk tulang. Karena itu dia sungguh-sungguh bersimpati pada Paman tertua Su yang kehilangan istri di usia paruh baya, menepuk lengan pria itu berulang kali sambil menghibur. 　　Paman tertua Su tak sengaja melirik ke arah Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan mengangguk dengan enggan. 　　Sebenarnya dia juga punya dorongan untuk menghancurkan ruang duka, bahkan merasa jijik seperti makan lalat busuk saat baru saja bersembahyang untuk Nyonya You. Tapi mengingat bujukan ratusan kali dari kakak tertua, terpaksa ditahan. 　　Adik Keempat lebih bebas, bahkan tidak datang sama sekali, sungguh membuatnya iri. 　　Sudahlah, Nyonya You sudah menebus nyawa. Kematian ibu sebenarnya bukan kesalahan anggota lain Keluarga Marquis Yining. Yang harus disalahkan adalah pelaku sebenarnya - Putri Rongyang. 　　Memikirkan ini, Jiang Zhan menunduk menyembunyikan kilatan niat membunuh, tangannya mengelus posisi pedang di pinggang. 　　Jiang Ancheng sama sekali tidak menyadari perasaan anaknya, bertanya sambil mendesah pada Paman tertua Su: "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" 　　"Paman tertua Su dengan wajah berduka, namun matanya terlihat dingin: "Sakit mendadak." 　　"Sungguh tak terduga..." 　　"Ya, siapa yang menyangka." Paman tertua Su mengusap sudut matanya. 　　Siapa sangka Nyonya You yang telah membunuh adiknya kini hendak membunuh ibu, dia ternyata telah tidur sekasur dengan wanita beracun ini selama hampir dua puluh tahun! 　　Su Qingxun memandangi paman tertuanya dengan mata merah, keraguan di hatinya semakin membesar bagai bola salju. 　　Ibu yang semasa hidupnya sehat-sehat saja, bagaimana bisa tiba-tiba meninggal? 　　Dibilang sakit mendadak, tapi kesedihan ayah terasa tidak tulus, sementara kakek dan nenek justru terlihat terlalu tenang... 　　Tiba-tiba Su Qingxun mendengar Jiang Ancheng bertanya: "Si'er belum sampai?" 　　Su Qingxun spontan menengadah. 　　Paman tertua Su tertegun, menjawab: "Istana pangeran mengirim kabar, bilang Permaisuri agak kurang sehat..." 　　Jiang Ancheng langsung cemas, menoleh ke Jiang Zhan: "Bukannya beberapa hari lalu kalian bertiga bersama menjenguk nenekmu, waktu itu bagaimana kondisi Adik Keempatmu?" 　　Jiang Zhan terpaksa mengarang: "Saat itu wajahnya tidak terlihat baik..." 　　Jiang Ancheng melotot: "Lalu kenapa pulang tidak bilang? Andai tahu akan kukirim orang untuk menengoknya." 　　Buat apa punya anak lelaki seperti ini? 　　Jiang Zhan dalam hati mengerlingkan mata. 　　Bukannya ada kakak perempuan juga, kenapa selalu dia yang dimarahi? 　　Paman tertua Su mengedikkan mulutnya. 　　"Tak heran keponakan perempuan ini begitu manja, rupanya dimanjakan oleh ayahnya." 　　Su Qingxun diam-diam mendengarkan, namun pikirannya melayang ke hal lain: dua hari setelah sepupu mereka berkunjung, ibu meninggal dunia, tapi Sepupu Si tidak datang memberikan penghormatan terakhir. Apakah ada hubungannya? 　　Semakin dipikirkannya, semakin ia yakin ada rahasia tersembunyi. Andai bukan karena ruang duka yang dipenuhi orang, ia hampir tak sabar menanyakan kebenarannya. 　　Tamu lain datang melayat. Su Qingxun menekan gejolak hatinya, membungkuk membalas hormat seperti robot. 　　Di ruang dalam, Su Qingshu telah sadar. Tangannya menggenggam tangan Jiang Yi sambil merintih pelan. 　　Jiang Yi menghela nafas, "Kak sepupu, yang mati takkan hidup lagi. Tabahkan hatilah." 　　Su Qingshu menyeka air mata, "Aku tahu... Tapi... Hati ini terlalu pedih..." 　　Jiang Yi memeluk Su Qingshu, menepuk bahunya tanpa kata. Tak ada lagi nasihat yang pantas diucapkan. 　　Sejujurnya, merekalah yang paling bersikeras menuntut Nyonya You membayar nyawa. 　　Tapi ia tak menyesal. 　　Meski tak sehebat Adik Keempat, ia paham dendam pembunuhan ibu takkan pernah termaafkan. Menghibur kesedihan Su Qingshu saat ini terasa munafik. 　　Jiang Yi terlalu polos, hanya bisa terus menepuk-nepuk punggung Su Qingshu dengan kaku. 　　"Kak sepupu kedua, kenapa Er Guniang tidak datang ya?" tiba-tiba Su Qingxue bertanya. 　　Jiang Yi melirik Su Qingxue, berkata datar: "Istana pangeran tidak mengirim kabar?" 　　Su Qingxue tidak menyangka akan mendapat penolakan halus dari Jiang Yi. Ia tersipu diam, tapi dalam hati lega sekali. 　　Selir utama sudah mati, tak perlu lagi khawatir akan dihukum karena gagal menangani urusan kakak kedua yang bodoh. 　　Sungguh menyenangkan. 458. BAB 457 Mengetahui Kebenaran 　　BAB 457 Mengetahui Kebenaran 　　Saat Su Qingyu mengantar Jiang Yi keluar, melihat ekspresi linglung Su Qingshuang, Su Qingxue berbinar: "Kakak, menurutmu kenapa sepupu kedua tidak datang melayat ibu?" 　　Su Qingshuang tersentak, wajahnya muram: "Apa maksudmu?" 　　Su Qingxue menggigit bibir: "Aku rasa kematian ibu terlalu mendadak. Padahal beberapa hari lalu masih sehat-sehat saja. Kenapa setelah sepupu dari keluarga nenek datang tiba-tiba..." 　　"Diam!" Su Qingshuang naik pitam. 　　Su Qingyu mencibir: "Aku tahu Kakak akrab dengan sepupu Jiang, tapi tak herankah kau dengan semua ini?" 　　Su Qingshuang mengerutkan kening: "Aku tak mau dengar omongan macam ini lagi. Keluarlah." 　　"Kalau begitu Kakak beristirahatlah." Su Qingxue membungkuk singkat. Saat sampai di pintu, sudut bibirnya naik menampakkan kepuasan sesaat. 　　Sejak perayaan ulang tahun Nenek tahun lalu, rasanya seperti telanjang di depan semua orang, tak tersisa sedikit pun harga diri. 　　“Yang menjerumuskannya ke situasi itu adalah ibu kandung yang bodoh, selir utama yang kejam, serta Jiang Si yang sama sekali tak menunjukkan belas kasihan.” 　　“Kini selir utama telah tiada, gunung yang menindih kepalanya lenyap. Sudah waktunya ia menikmati kebebasan selama dua tahun.” 　　“Hmph, walau tak bisa melawan Jiang Si yang menjadi Permaisuri Yan, menanamkan duri dalam hati kakak tiri masih mungkin. Jika kelak kakak tiri dan Jiang Si bertikai, itu urusan mereka. Kerugian pun hanya untuk kakak tiri.” 　　“Terhadap Nyonya You, Su Qingxue merasa takut dan benci. Kini dengan kematian Nyonya You, bayangan tentang kakak tiri kesayangan selir utama yang akan celaka karena provokasinya membuatnya tak sabar menanti.” 　　“Su Qingshu duduk kaku di ranjang, mendengar bunyi pintu tertutup. Kata-kata Su Qingxue memang menggores keraguan dalam hatinya.” 　　“Apakah kematian ibu... benar-benar ada hubungannya dengan sepupu mereka?” 　　“Malam tiba, ruang duka semakin sepi. Hanya para ahli waris berbakti yang tetap berjaga di depan tungku api.” 　　“Su Qingxun menambahkan kertas persembahan ke tungku, menatap lembaran uang kertas berubah menjadi abu, lalu berjalan perlahan ke ruang dalam.” 　　“Paman tertua Su sedang beristirahat, tapi sama sekali tak mengantuk.” 　　“Ayah, apakah kau di sana?” 　　“Paman tertua Su bangkit dari tempat tidur dan mempersilakan Su Qingxun masuk.” 　　“Su Qingxun segera mendorong pintu masuk.” 　　“Melihat tubuh anaknya yang menyusut drastis dalam dua hari, Paman tertua Su menghela napas: 'Xun'er, meski harus berjaga di peti mati, jaga juga kondisi tubuhmu.'” 　　“Anak lelaki tahu.” Su Qingxun mengakhiri ucapannya, lalu diam. 　　“Ada hal?” 　　Su Qingxun menatap Paman tertua Su, bertanya: “Ayah, sebenarnya bagaimana ibu meninggal?” 　　Paman tertua Su segera mengerutkan kening, nada suaranya keras: “Bukankah sudah dikatakan, ibumu sakit mendadak——” 　　“Itu hanya alasan untuk orang luar.” Su Qingxun memotong ucapan Paman tertua Su dengan datar. 　　Sebagai cucu pewaris Marquis Yining, setelah Adik Kedua tiada, dialah satu-satunya penerus laki-laki generasi Keluarga Utama. Beberapa hal harus dia selidiki. 　　Paman tertua Su masih bersikukuh: “Xun'er, apa maksudmu ini!” 　　Su Qingxun saling menatap dengan Paman tertua Su, tanpa tanda-talah mundur: “Ayah, anak lelaki sebentar lagi akan menjalani penobatan, berhak mengetahui kebenaran. Terutama karena orang itu adalah ibuku, salah satu dari dua orang terdekatku di dunia ini.” 　　Paman tertua Su menatap mata putranya. 　　Mata pria muda itu meski agak merah bengkak dan penuh kelelahan, tetap memancarkan kejernihan. 　　Setelah lama, Paman tertua Su bertanya: “Kau benar-benar ingin tahu?” 　　Hati Su Qingxun mendadak berat, mengangguk: “Anak lelaki ingin tahu.” 　　Ternyata dugaannya tidak salah. Kematian ibu menyimpan rahasia. 　　Melihat keteguhan hati putranya, Paman tertua Su mengusap pelipisnya sambil menghela napas: “Ibumu melakukan kesalahan besar.” 　　“Kesalahan apa yang dilakukan ibu?” 　　“Dia meracuni nenekmu!” 　　“Apa?!” Su Qingxun tak lagi bisa menjaga ketenangan, terkejut luar biasa. 　　“Ucapan sudah terlontar, Paman tertua Su tak lagi ragu,” lanjutnya, “Bibimu juga tewas diracun oleh ibumu sendiri!” 　　Anak lelaki yang cerdas dan penuh pertimbangan ini, lebih baik diberi penjelasan jelas tentang penyebab kematian ibunya. Daripada nanti timbul kesalahpahaman yang berujung konflik dengan Keluarga Jiang, terutama dengan keponakan perempuan Permaisuri Yan, itu baru akan menjadi penyesalan tiada tara. 　　Su Qingxun merasa seluruh pemahamannya terbalik, mulutnya terbuka-tertutup, suaranya seperti ikan yang meronta-rona di tepi sungai di bawah terik matahari: “Ayah, apakah tidak ada kesalahan?” 　　Bagaimana mungkin ibu melakukan hal seperti ini? 　　Dalam benak Su Qingxun, Nyonya You adalah personifikasi ibu penyayang, sama persis dengan ibu mana pun yang menyayangi anaknya. 　　“Ibumu sendiri yang mengaku.” Paman tertua itu menyeringai, khawatir anaknya masih ragu menambahkan, “Di hadapan kakek nenekmu, Paman Er, Bibi Er, dan saya.” 　　Su Qingxun hatinya benar-benar hancur, bergumam pelan: “Pantas saja...” 　　Pantas ayah tak terlihat berduka mendalam, pantas kakek nenek bersikap tenang, pantas pandangan Bibi Er padanya agak aneh, pantas ibu— 　　Su Qingxun tiba-tiba tersentak, berseru: “Kematian ibu—” 　　“Dia bunuh diri.” 　　“Tapi—” Su Qingxun ingin berkata sesuatu, namun ribuan kata berubah menjadi batu yang menyumbat hatinya. 　　Tapi apa? Apakah mau mengatakan ibu tidak bunuh diri, melainkan dipaksa bunuh diri? 　　“Membunuh bibi, lalu menyakiti Ibu Suri, kejahatan seperti ini terbongkar, selain mati apa lagi yang bisa dilakukan ibu?” 　　Jika dikatakan ibu dipaksa bunuh diri, itu juga karena dia sendiri yang mendorong dirinya ke jalan buntu... 　　Memikirkan ini, dua garis air mata mengalir dari sudut mata Su Qingxun. 　　“Mengapa ibu ingin membunuh bibi dan Ibu Suri?” Ini hal yang tidak bisa dipahami Su Qingxun. 　　Paman tertua Su menutup mata, berkata: “Hanya karena kebodohan dan kedangkalan wanita biasa.” 　　Menyakiti Ibu Suri, sebenarnya bukan karena hak mengurus rumah tangga dikurangi, tapi karena takut Ibu Suri mengetahui rencananya memanipulasi Jiang Si. 　　Membunuh adik, adalah tindakan bodoh tanpa prinsip setelah dipaksa oleh Putri Rongyang. 　　Su Qingxun masih ingin bertanya lebih detail, Paman tertua Su membuka mata menatapnya, menghela nafas: “Xun'er, biarkan ibumu menyisakan sedikit wajah di hatimu.” 　　Bibir Su Qingxun bergetar, kehilangan semangat. 　　Ayah benar, setelah mengetahui ibu menyakiti Ibu Suri dan bibi, bertanya lebih lanjut hanya akan semakin mengekspos keburukan ibu, membuat citra ibu di hatinya runtuh total. 　　Tetap mengaburkan diri, setidaknya masih bisa menghibur diri bahwa ibu punya alasan sulit. 　　“Ayah, anak lelaki ini akan berjaga di depan peti.” Su Qingxun seperti kehabisan tenaga, melangkah pergi dengan berat. 　　Paman tertua Su sedikit lega. 　　Dia tidak ingin menyebut Putri Rongyang, khawatir anak muda yang bersemangat ini akan melakukan tindakan gegabah. 　　Su Qingxun berjalan di jalan menuju ruang duka, lentera putih yang tergantung di bawah koridor memancarkan sinar pucat. 　　Di bawah pohon tak jauh, berdiri seorang gadis berbaju rami putih yang ramping. 　　"Kakak?" Langkah Su Qingxun terhenti sebentar, lalu ia segera mendekat. 　　Embun malam musim gugru menggigit, pipi Su Qingshu memerah karena kedinginan. 　　"Kakak pergi menemui Ayah?" 　　Menatap mata gadis itu yang gelap dan penuh duka, Su Qingxun menghela napas: "Kakak, ikutlah denganku." 　　Hal yang ingin ia ketahui, sang adik pun sama ingin memahaminya. 　　Setelah mendengar penuturan Su Qingxun, Su Qingshu menutupi wajahnya dengan tangan gemetar, menangis dalam diam. 　　"Pantas saja... Sepupu Si bahkan tak mau datang..." 　　Keengganan Jiang Si menghadiri upacara penghormatan di Kediaman Marquis Yining untuk Bibi segera menarik perhatian pihak-pihak tertentu. 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari Ai Aiyuanzi. Terima kasih untuk teman-teman pembaca yang memberikan vote dan hadiah. Tambahan bab yang belum terbayar akan dilunasi sekaligus nanti. 459. BAB 458 Impeachment 　　BAB 458 Impeachment 　　Yang pertama mendapat kabar adalah Pangeran Qi. 　　"Lao Qi memang sembrono, ternyata istrinya juga sama." Di hadapan orang kepercayaannya, Pangeran Qi sedikit mengurangi sikap resminya sambil tersenyum. 　　Penasihatnya menyambut: "Permaisuri Yan tentu tak bisa menandingi kesantunan Permaisuri kita." 　　Wajah Pangeran Qi tetap tenang, tapi hatinya sudah jengah. 　　Kecantikan yang manja masih bisa dimaafkan, sementara istrinya yang berwajah biasa tentu harus punya kelebihan lain. Lalu berapa banyak wanita yang tidak memiliki keutamaan seperti kebijaksanaan dan kesopanan? 　　Pangeran Qi dalam hati bergumam, namun berkata: "Tuan benar, memiliki istri seperti ini adalah berkah bagiku." 　　Penasihat itu bersemangat, segera memuji Pangeran Qi beberapa kali. 　　Seorang pangeran yang tidak mengejar kecantikan fisik pasti akan mendapat berkah besar, dan dia yang mengabdi pada tuan seperti ini tentu akan ikut menanjak... 　　Pujian seperti ini sudah biasa didengar Pangeran Qi. Ia tersenyum tipis dan merendah. 　　Mata penasihat berkilat: "Tuanku, Permaisuri Yan sudah melanggar etiket seperti ini, apakah kita perlu—" 　　Pangeran Qi memutar cincin giok di jempolnya, menggeleng: "Aku dan Pangeran Yan adalah saudara kandung. Jika pasangan Yan tidak paham tata krama, nanti kita ingatkan secara pribadi saja. Tidak perlu diperbesar." 　　Penasihat segera menjilat: "Tuanku benar-benar baik hati dan murah..." 　　"Tuan terlalu memuji." 　　Setelah penasihat pergi, ruang belajar kecil itu menjadi sepi. Pangeran Qi duduk sesaat, lalu bangkit dari dipan rendah menuju jendela. 　　Jendela terbuka, pemandangan musim gugur yang suram menyambut. 　　Pangeran Qi menyunggingkan senyum. 　　Untuk menghadapi Lao Qi, tidak perlu dia turun tangan. Beberapa saudara sudah akan bergerak. 　　Seperti Lao Wu yang emosian, Putra Keenam yang terus kalah bersaing dengan pasangan Lao Qi sejak pernikahan mereka, atau si bodoh Putra Mahkota... 　　"Setelah Lao Qi terjebak dalam situasi di mana semua orang mengecamnya, aku baru akan muncul memberikan bantuan. Bukankah dia pasti akan bersyukur habis-habisan dan bekerja untukku setelah itu?" 　　Pangeran Qi semakin tersenyum lebar sambil memikirkan semua ini. 　　Di kediaman Pangeran Lu, sang pangeran langsung bersorak gembira saat mendengar kabar tersebut sambil menepuk meja kayu mahoni dengan keras: "Bagus! Akhirnya Lao Qi akan celaka kali ini!" 　　"Celaka apa?" Permaisuri Lu menginjakkan kaki di ambang pintu sambil menangkap sepenggal ucapan itu. 　　Pangeran Lu mengerutkan kening: "Kenapa tidak mengetuk pintu sebelum masuk ke ruang belajarku?" 　　Macan Betina ini semakin tidak mengindahkan tata krama. 　　Permaisuri Lu melirik penasihat yang ada di ruangan itu, dengan sopan memintanya pergi sebelum berkata datar: "Inspeksi mendadak." 　　Mendengar itu, wajah Pangeran Lu langsung berubah hitam sambil menyingsingkan lengan bajunya, ingin serius membahas 'makna kehidupan'. 　　Hidup dengan istri seperti ini benar-benar menyiksa. Biasanya diawasi ketat sudah biasa, tapi hanya karena diam-diam meraba dayang kecil di ruang belajar pribadinya, istri kasar ini malah membawa golok dan menendang pintu. 　　Sejak itu, dayang cantik yang biasa menghibur diganti kakek tua berkeriput, bahkan pelayan pria yang tampan pun tak diizinkan melayaninya. 　　Mengingat semua ini, Pangeran Lu gemetar menahan amarah sambil berkata dengan wajah masam: "Jangan keterlaluan!" 　　Permaisuri Lu diam-diam mengeluarkan golok dari dalam bajunya, menggenggamnya sambil tersenyum manis: "Tuan bilang saya keterlaluan?" 　　Pangeran Lu langsung melompat berdiri, semangatnya langsung menghilang: "Bicara ya bicara, ngapain bawa-bawa pisau dapur?" 　　Perempuan kasar ini benar-benar berani mengejarnya dengan pisau dapur. Jika kabar ini tersebar, sungguh memalukan. 　　Permaisuri Lu menyimpan pisau dapur, bertanya: "Tuan tadi bilang siapa yang akan sial?" 　　"Aku bilang Lao Qi." Pangeran Lu menceritakan kabar yang didengarnya kepada Permaisuri Lu. 　　Permaisuri Lu bergumam: "Permaisuri Yan benar-benar memiliki karakter yang kuat." 　　Pangeran Lu mendengus dingin: "Bajingan Lao Qi itu selalu bertentangan denganku, sekarang akhirnya gilirannya sial!" 　　"Apa yang ingin Tuan lakukan?" Permaisuri Lu bertanya waspada. 　　"Tentu mencari pejabat sensor untuk menuduh pasangan Lao Qi." Pangeran Lu menggosok-gosokkan tangannya, sudah bisa membayangkan wajah pasangan Pangeran Yan yang dipenuhi masalah akibat tuduhan pejabat sensor. 　　Permaisuri Lu melirik tajam ke Pangeran Lu: "Tuan, hal semacam ini sebaiknya tidak kita ikut campur." 　　Pangeran Lu membalas dengan tatapan tidak. 　　Permaisuri Lu langka melunakkan nada suaranya: "Bahkan jika pasangan Pangeran Yan sial, tidak ada keuntungan bagi kita. Mengapa Tuan melakukan hal yang merugikan orang lain tanpa manfaat?" 　　"Siapa bilang tidak ada manfaat? Melihat Lao Qi sial sudah membuatku senang." 　　"Pokoknya Tuan jangan ikut campur. Bisa jadi tindakan Permaisuri Yan ini ada alasan tersembunyi." 　　“Apa lagi rahasia di baliknya, cuma orang yang sekali meraih kesuksesan langsung tidak tahu langit tinggi dan bumi rendah.” Pangeran Lu tidak menggubris ucapan Permaisuri Lu. 　　Permaisuri Lu diam-diam mengeluarkan pisau dapur. 　　Menatap pisau dapur yang sudah diasah mengkilap, Pangeran Lu terdiam sejenak, lalu berdiri dengan kesal: “Sudahlah, perempuan memang suka ribut!” 　　Dengan geram ia mendorong pintu keluar, tapi seketika berbalik: “Ini ruang belajarku!” 　　Permaisuri Lu menyelipkan pisau dapur lalu berdiri, berkata dengan senyuman manis: “Kalau begitu saya pulang ke kamar dulu, Tuan Pangeran jangan lupa datang makan.” 　　Begitu Permaisuri Lu pergi, Pangeran Lu menyepak bangku kecil berkali-kali sampai puas melampiaskan amarah. 　　Sudahlah, kali ini anggap Lao Qi beruntung, nanti pasti ada kesempatan untuk menghajarnya. 　　Pangeran Shu yang mendengar kabar ini merasa lega. 　　Sejak proses negosiasi pernikahan tahun lalu, karena jadwal pernikahannya hanya terpaut sebulan dengan Lao Qi, ia selalu di bawah bayang-bayang Lao Qi. Kini akhirnya datang kesempatan untuk membalas dendam. 　　“Tunggu dulu lihat apakah ada yang lain bergerak. Jika ada, bantu tambahkan momentum, tapi pastikan jangan sampai kita ketahuan.” 　　Setelah memberi perintah, Pangeran Shu mulai menanti-nanti kejadian yang akan datang dengan penuh harap. 　　Di Istana Timur, Putra Mahkota hampir tak kuasa menahan tawa terbahak-bahak. 　　Akhirnya dapat juga celah kelemahan Lao Qi! 　　Sejak Lao Qi kembali ke ibu kota, setiap kali membuat masalah akhirnya malah membuatnya kena marah. Dendam ini sudah tertahan lama. 　　Lao Qi sialan, kali ini lihat bagaimana kau lolos dari hukuman! 　　“Suruh para pejabat sensor mengajukan tuduhan keras terhadap pasangan Pangeran Yan!” 　　Segera, memorandum yang menuntut pasangan Pangeran Yan berdatangan seperti salju di atas Meja Naga Kaisar Jingming. Keesokan harinya di sidang istana, beberapa pejabat sensor maju ke depan dan dengan penuh semangat mencela Permaisuri Yan telah merusak kewibawaan keluarga kerajaan, kemudian menuduh Pangeran Yan terlena oleh kecantikan dan terlalu memanjang istrinya. 　　Kaisar Jingming mendengarkan dengan wajah tanpa ekspresi, hatinya dipenuhi ketidakpuasan. 　　Para tua-tua ini, menuduh istri Lao Qi tidak mengerti tata krama saja sudah keterlaluan, mengapa harus menuduh Pangeran Yan terlena oleh kecantikan? 　　Apakah penggunaan "terlena oleh kecantikan" seperti ini tepat? 　　Memelihara selir cantik atau tidur dengan pelacur baru pantas disebut terlena kecantikan. Menyayangi istri sendiri mana bisa disebut demikian? Ini jelas harus disebut keharmonisan rumah tangga. 　　Kaisar Jingming membantah dalam hati, sorot matanya beralih ke Yu Jin yang sedang berlutut di samping. 　　Menurut peraturan, siapapun yang dituduh, terlepas dari status atau ada tidaknya kesalahan, harus berlutut mendengarkan teguran. 　　Inilah pemikiran yang sedang populer saat ini: Jika kau benar di semua hal, mengapa orang akan menuduhmu? Karena ada yang menuduh, pasti ada yang salah darimu. Meski tak bersalah, tetaplah berlutut untuk introspeksi diri. 　　Yu Jin pernah membayangkan Jiang Si akan dituduh karena tidak melayat Nyonya You, tapi tak menyangka akan ada begitu banyak penuduh, membuat lututnya nyaris bengkak. 　　Akibatnya, dia tidak bisa lagi menunjukkan wajah yang ramah, hawa dingin terus memancar dari dirinya. 　　Pejabat yang berdiri di dekat Yu Jin diam-diam bergeser ke samping. 　　Pangeran Yan berani memukul saudara sendiri, lebih baik mereka menjauh agar aman. 　　Begitu melihat wajah muram Yu Jin, Kaisar Jingming langsung marah: "Lao Qi, kau tahu kesalahanmu?" 460.BAB 459 Memanggil Tabib Istana 　　BAB 459 Memanggil Tabib Istana 　　Setelah dipanggil oleh Kaisar Jingming, Yu Jin terlihat bingung: "Erchen tidak tahu." 　　"Tidak tahu?" Amarah Kaisar Jingming semakin membara, ia menunjuk beberapa pejabat sensor yang maju ke depan: "Kau tidak mendengar ucapan mereka tadi?" 　　Yu Jin menundukkan pandangan, berkata datar: "Erchen mendengar." 　　Sikap dinginnya justru memicu semangat para pejabat sensor yang sedang bersemangat. 　　Terlalu congkak, sungguh terlalu congkak! Pangeran Yan ini mengandalkan status pangeran sama sekali tidak menghormati mereka. 　　Pangeran pun bagaimana? Kaisar saja kalau ribut ingin keluar istana tetap akan dimarahi mereka. 　　Merasakan amarah membara para pejabat sensor, Kaisar Jingming buru-buru menenangkan: "Tuan-tuan harap tenang," untuk menghindari kejadian pejabat sensor menabrak pilar yang tidak menyenangkan. 　　Lalu membentak Yu Jin: "Sudah dengar, masih berpura-pura tidak mengerti apa!" 　　Brengsek-brengsek ini, menyayangi istri itu baik, tapi jangan sampai terlalu dimanjakan! Tidak bisakah rendah hati sedikit? 　　Semakin dipikir, Kaisar Jingming semakin kesal. 　　Dulu saat ia dan Permaisuri yang masih permaisuri pangeran saling mencintai, di depan orang lain tetap harus bersikap sopan agar tidak mengganggu pandangan orang. Anak ini benar-benar tidak tahu menahan diri, lewat kesempatan ini harus diberi pelajaran. 　　Kaisar Jingming semakin bertekad untuk menghukum putranya, wajahnya semakin muram. 　　"Ayah Kaisar, Erchen masih tidak tahu kesalahan apa yang telah dilakukan. Para Paduka mengatakan bahwa Permaisuri tidak menghadiri upacara penghormatan di Keluarga Marquis Yining adalah tindakan tidak sopan yang merusak reputasi keluarga kerajaan. Namun Permaisuri bukan tidak ingin pergi, melainkan tidak bisa pergi." 　　"Tidak bisa pergi?" Kaisar Jingming menyahut dengan geram. 　　Yu Jin mengangguk: "Benar, Permaisuri sedang tidak sehat sehingga tidak bisa pergi." 　　Perkataan itu kembali memicu cipratan ludah dari beberapa pejabat sensor. 　　Salah seorang pejabat sensor langsung menantang: "Hamba ingin tahu penyakit apa yang diderita Permaisuri Yan? Menurut informasi hamba, beberapa hari sebelum Nyonya Besar Keluarga Marquis Yining wafat, Permaisuri Yan masih mengunjungi Ibu Suri Marquis Yining bersama kakak-kakaknya." 　　Alis Yu Jin mencuat menunjukkan ketegasan: "Paduka meragukan ucapan hamba pangeran?" 　　"Tidak berani." Di hadapan Kaisar Jingming, pejabat sensor itu mempertahankan sikap tidak rendah diri maupun sombong. 　　Kaisar Jingming semakin geram melihatnya. 　　Orang-orang tua kolot yang tak ada kerjaan ini, mengapa hanya sibuk mengawasi urusan pribadi keluarga kerajaan? Bagaimana tidak ada yang melaporkan desa di selatan yang hancur diterjang banjir? 　　Melihat putra ketujuhnya yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, amarah Kaisar Jingming semakin memuncak. 　　Bukankah seharusnya si anak ini lebih berhati-hati setelah ketahuan? Mereka semua hanya menambah sakit kepalanya! 　　Yu Jin tampak sedih: "Ayah Kaisar, Erchen tidak berbohong, Permaisuri benar-benar tidak enak badan dan tidak bisa menghadiri upacara duka. Sekretaris kediaman pangeran sudah langsung membalas surat Keluarga Marquis Yining, mereka saja tidak berkomentar, mengapa orang lain masih mau ikut campur?" 　　Ikut campur? 　　Beberapa pejabat sensor langsung marah, terutama yang sebelumnya menginterogasi. Mereka mulai menyerang Yu Jin dengan sengit. 　　Sekretaris istana tua dari Kediaman Pangeran Yan yang berlutut di samping hampir menitikkan air mata. 　　"Kalau sudah tahu begini, kenapa dulu tidak mencegah?" Pikirnya. Dia selalu tahu suatu hari Pangeran Yan akan dikeroyok para pejabat sensor. 　　Sekarang muka tuanya benar-benar hancur di depan rekan-rekan sejawat. 　　Wajahnya memang tak berharga, tapi dipecat karena masalah konyol seperti ini adalah aib seumur hidup. 　　Semakin dipikir, semakin putus asa. Matanya tertuju pada mulut pejabat sensor yang terus mengoceh. Tiba-tiba terlintas ide: Bagaimana jika dia melompat dan menyumbat mulut itu dengan handuk? 　　Akal sehat menghentikan niatnya. 　　Yu Jin mendengarkan dengan wajah datar. Saapi para pejabat sensor tenang, dia berkata dingin: "Permaisuri memang sakit dan tidak bisa menghadiri upacara duka di Kediaman Marquis Yining. Jika Paduka tidak percaya, hamba pangeran pun tak bisa berbuat apa-apa." 　　Dia menoleh ke Kaisar Jingming dengan wajah memelas: "Mohon Ayah percaya pada anakmu." 　　Kaisar Jingming diam-diam menatap langit. 　　Sebenarnya dia juga tidak percaya... 　　Pejabat sensor yang memimpin kembali berkata: "Jika Pangeran Yan berkata demikian, mengapa Yang Mulia tidak mengirim tabib istana untuk memeriksa Permaisuri Yan——" 　　"Tidak boleh!" Yu Jin spontan berseru. 　　Kerumunan segera menatapnya dengan ekspresi beragam. 　　Rupanya alasan Pangeran Yan tentang sakitnya Permaisuri Yan hanyalah dalih, sekarang Pangeran Yan akan mengaku sendiri tanpa disuruh. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin dengan sorot mata tajam. 　　"Adik ketujuh, kalau Permaisuri Yan tidak enak badan, biarkan tabib istana memeriksanya agar Ayah Kaisar tidak khawatir," Putra Mahkota berkata dengan niat jahat. 　　Seorang pangeran yang dikritik, pangeran lain wajib menghadiri persidangan – ini sudah menjadi kebiasaan tahun-tahun belakangan. 　　Menurut kata-kata Kaisar Jingming, ini disebut sebagai peringatan dan kesempatan baik untuk menyadarkan para pangeran. 　　Yu Jin melirik Putra Mahkota dan berkata datar: "Terima kasih Kakak Kedua sudah memperhatikan adik." 　　Putra Mahkota hendak bicara lagi, namun setelah menerima isyarat mata dari Menteri Ritus Yang Deguang, terpaksa diam. 　　Yu Jin membungkuk hormat kepada Kaisar Jingming: "Tabib utama sudah memeriksa Permaisuri, tidak perlu merepotkan tabib istana lagi..." 　　Kaisar Jingming yang melihat raut memohon Yu Jin agak melunak hatinya. 　　Jangan-jangan istri Lao Qi punya penyakit rahasia yang memalukan? 　　Kalau begitu, alasan Lao Qi yang banyak berkutuk itu masih bisa dimaklumi. 　　Mendengar perkataan Yu Jin, beberapa pejabat sensor semakin yakin dia bersalah, bersikeras meminta panggil tabib istana. 　　Yu Jin tiba-tiba marah: “Apakah beberapa Paduka ini terlalu tidak ada kerjaan, terus-menerus mengusik urusan rumah tangga hamba pangeran? Hamba hanyalah seorang pangeran tak berkuasa, Permaisuri pun hidup sederhana bersama hamba. Mau melayat atau tidak saat bibi Permaisuri meninggal, itu urusan rumah tangga kami berdua. Hamba benar-benar tidak mengerti bagaimana ini bisa mengganggu urusan negara sampai para Paduka sebegitu geramnya.” 　　Brengsek, katanya pangeran yang bukan playboy bukan pangeran baik. Kalau reputasi baiknya terlalu mentereng, bukan cuma Putra Mahkota jadi tidak tenang, bahkan Kaisar pun bisa merasa terancam. Giliran dia malah harus punya standar tinggi? 　　Pertanyaan balik Yu Jin membuat ruangan istana mendadak hening. 　　Kaisar Jingming menghantam sandaran kursi naga: “Brengsek-brengsek, tutup mulutmu di hadapanku!” 　　Di situasi serius begini, ngomong terus terang saja. 　　“Pangeran adalah anggota keluarga kerajaan, setiap gerak-geriknya menyangkut muka kerajaan. Ini tentu tidak bisa dianggap sekadar urusan pribadi.” Pejabat sensor yang memimpin akhirnya membantah setelah terkejut sesaat. 　　Yu Jin tersenyum: “Tak disangka hamba pangeran begitu penting sampai bisa mewakili seluruh keluarga kerajaan…” 　　Beberapa pejabat sensor terperangah, seolah baru pertama kali mengenal Pangeran Yan. 　　Ada yang berani berdebat sengit dengan pejabat sensor di hadapan istana. 　　Perlu diketahui, pejabat sensor Dinasti Zhou punya hak melapor berdasarkan kabar angin. Artinya mereka bisa menuduh seseorang hanya berdasarkan desas-desus, tanpa perlu bukti konkret. Kalau salah menuduh? 　　Ehem, salah ya sudah. 　　Justru karena sejak berdirinya dinasti, pejabat sensor diberikan hak seperti ini, sepanjang sejarah selalu ada banyak pejabat sensor yang dengan gigih dan siap mati memberikan nasihat ketika kaisar melakukan kesalahan moral. 　　"Nasihat hamba telah disampaikan, mati pun tak menyesal." 　　Ini adalah integritas para pejabat sensor, sekaligus hal yang diharapkan oleh penguasa. 　　Karenanya, sikap berani para pejabat sensor bukanlah kelancangan sejati, dan kesabaran kaisar bukanlah tanda kelemahan. 　　Seorang kaisar bijak tidak bisa menjamin keturunannya tidak berbuat kesalahan, bahkan tidak bisa menjamin dirinya sendiri tidak salah. Nasihat para pejabat sensor merupakan bentuk pengendalian kekuasaan kaisar, yang pada dasarnya menjaga stabilitas negara. 　　Bahkan Kaisar mau memaklumi pejabat sensor, tapi Pangeran Yan berani langsung berkonfrontasi alih-alih mendengarkan teguran dengan patuh. 　　Pangeran Yan tidak akan hidup tenang di masa depan. 　　Melihat ini, Kaisar Jingming merasa pusing tujuh keliling, berkata: "Kalau begitu suruh tabib istana memeriksanya." 461.BAB 460 Permaisuri Hamil 　　BAB 460 Permaisuri Hamil 　　Setelah Kaisar Jingming mengucapkan ini, tak ada yang berani menyanggah. 　　Beberapa pejabat sensor terlihat sangat puas dengan kemenangan, sementara Yu Jin mengerutkan alutnya seolah sedang memikirkan sesuatu. 　　Kaisar Jingming berdiri: "Beberapa pejabat sensor dan Pangeran Yan bisa menunggu di ruang studi kekaisaran, yang lain boleh bubar." 　　Istri Lao Qi belum tahu situasi sebenarnya. Pura-pura sakit masih bisa ditolerir, tapi kalau ada penyakit tersembunyi tentu tidak bisa diumumkan di depan umum. 　　Benar-benar melelahkan hati. 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya, berjalan ke dalam. 　　"Hamba mohon pamit--" Para menteri dengan berbagai pikiran meninggalkan aula. 　　Selain beberapa pejabat sensor dan Yu Jin yang menuju ke ruang studi kekaisaran, dalam sekejap hanya tersisa beberapa pangeran di aula. 　　"Bagaimana dengan kita?" Pangeran Lu yang belum puas menonton keributan menggaruk-garuk kepalanya. 　　Beberapa pangeran serentak memandang Putra Mahkota. 　　Saat seperti ini tentu harus mengikuti Putra Mahkota, jika ada masalah dialah yang pertama kena getahnya. 　　Putra Mahkota yang jarang waspada kali ini membentak, "Lihat saya kenapa? Tidak dengar Ayah Kaisar suruh kita bubar?" 　　Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil menyembunyikan tangan di punggung. Saat sampai di tempat sepi, senyum puas merekah di wajahnya. 　　Drama hari ini sungguh menarik. Dia sudah tak sabar melihat Lao Qi celaka, sayang tak bisa ikut ke ruang studi kekaisaran. 　　Beberapa pangeran yang punya niat serupa berangsur-angsur meninggalkan istana, tapi tak satu pun ingin pulang ke kediaman masing-masing. 　　"Bagaimana kalau Kakak-Adik mampir sebentar ke tempat saya?" usul Pangeran Qi. 　　Di antara semua saudara, Pangeran Qi tak pernah bertengkar dengan siapapun. Saat hasrat gosip semua orang sedang membara, tak ada yang menolak usulan ini. 　　Para pangeran beramai-ramai menuju Kediaman Pangeran Qi. 　　Permaisuri Qi yang mendapat kabar kedatangan para pangeran segera menyuruh dayang menyajikan teh dan kue, tapi tidak menyiapkan hidangan berat. 　　Pangeran Lu yang berhati kasar menyeruput teh tanpa berpikir panjang. 　　Pangeran Shu diam-diam memuji Permaisuri Qi. 　　Meskipun mereka berkumpul untuk menunggu keributan Lao Qi, cukup minum teh saja. Jika sampai ada minum anggur dan makan daging yang terdengar oleh Ayah Kaisar, pasti akan dimarahi. 　　“Ayah Kaisar pasti berpikir: Saudara sedang sial, kalian malah minum-minum dan bersenang-senang? Sungguh tidak punya rasa persaudaraan.” 　　“Pengaturan Kakak Ipar Keempat sangat tepat, Kakak Keempat dengan dukungannya memang menjadi lebih tenang.” 　　Pangeran Qi yang sudah terbiasa dengan kelembutan Permaisuri Qi, tersenyum dan berkata, "Sudah bersusah payah." 　　Mendengar ucapan itu, Permaisuri Qi puas undur diri. 　　Jiang Si malas bergerak, bersandar di ranjang sambil membaca buku ketika Dayang Ji buru-buru masuk. 　　“Permaisuri, Tabib istana datang!” 　　Jiang Si meletakkan buku sembari berkata datar: “Kalau begitu silakan masuk.” 　　“Permaisuri, Anda——” Dayang Ji ragu-ragu, wajahnya pucat. 　　Ia sudah tahu Permaisuri berpura-pura sakit untuk tidak melayat di Keluarga Marquis Yining, diam-diam sering mengelus dada. Ternyata situasi lebih buruk dari perkiraannya – istana malah mengirim tabib. 　　Apakah Permaisuri ini seperti babi mati yang tak takut air panas? 　　Jiang Si menutup mata, mengabaikan Dayang Ji. 　　Sepertinya reaksi tubuhnya semakin kuat, bicara sedikit saja ingin muntah. 　　Tak lama tabib masuk, memberi salam lalu menyampaikan maksud kedatangannya. 　　Jiang Si membuka mata dengan wajah lesu: “Kalau begitu merepotkan Tabib.” 　　Tak disangka istana begitu bersikeras tentang ketidakhadirannya di Keluarga Marquis Yining, sampai mengirim tabib khusus. 　　"Dari situ terlihat, bayi dalam kandungan ini pasti seperti jaket hangat kecil yang menghangatkan hati, datang tepat pada waktunya." 　　Sebenarnya Jiang Si tidak takut meski tidak hamil. Karena sudah menggunakan alasan kesehatan untuk menghindari pelayat, jika ada yang memeriksa, dia bisa membuat gejala penyakit lain. 　　Memelihara Gu dalam tubuh untuk mengubah denyut nadi dan memalsukan penyakit adalah hal yang sangat mudah baginya. 　　Tabib istana meletakkan jarinya di pergelangan tangan Jiang Si, memeriksa denyut nadi dengan cermat. 　　Tak lama kemudian, dia mengganti tangan yang lain. 　　Di sampingnya, Dayang Ji tampak gelisah, memikirkan berapa banyak uang yang pantas diberikan kepada tabib. 　　Mustahil meminta tabib mengarang diagnosa berat - itu termasuk menipu kaisar. Tapi dalam kondisi sehat, mengubah penjelasan diagnosis tetap mungkin, tabib memang ahli dalam mengaburkan masalah. 　　Akhirnya tabib melepaskan cubitannya. 　　Dayang Ji buru-buru menyodorkan dompet yang berat: "Tabib, bagaimana--" 　　Tabib tersenyum menerima dompet itu dengan santai: "Dayang terlalu baik." 　　Kelancaran tabib ini membuat Dayang Ji tertegun. 　　Menerima uang secepat itu, terasa ada yang tidak beres. 　　"Tabib, Permaisuri kita--" 　　Wajah tabib penuh senyum: "Kondisi kehamilan Permaisuri sangat stabil, selamat atas kabar gembira ini." 　　Dayang Ji membuka mulut lebar, bingung menatap Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum tipis sambil mengangguk halus: "Terima kasih atas jerih payahnya." 　　Tabib istana memberi hormat dan berpamitan: "Permaisuri baik-baik saja beristirahat, hamba akan kembali melapor." 　　"A Qiao, antarkan tabib keluar." 　　Dayang Ji menatap tabib yang pergi bersama A Qiao, seperti terbangun dari mimpi: "Permaisuri, Anda... Anda hamil?" 　　Jiang Si mengangguk. 　　"Pantas saja, pantas saja..." Dayang Ji bicara tak karuan, wajahnya terus berubah-ubah. 　　Pada akhirnya, pandangannya tertuju pada perut Jiang Si, hanya tersisa satu pikiran: Baru beberapa bulan menikah sudah ada kabar gembira, ini terlalu cepat! 　　Jangan-jangan... karena semalam minta air lima kali? 　　Keyakinan kokoh Dayang Ji selama bertahun-tahun mulai goyah. 　　Di ruang studi kekaisaran, suasana sangat menegangkan. 　　Kaisar Jingming memandang anaknya yang keras kepala, lalu melihat pejabat sensor yang tak mau mengalah, menahan amarah hingga akhirnya tabib kembali. 　　Tabib masuk sambil menunduk, memberi salut kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming melirik pejabat sensor, ragu-ragu bertanya: "Bagaimana Permaisuri Yan?" 　　Dia sengaja mengirim tabib senior yang berpengalaman. Jika ada masalah dengan Permaisuri Yan, pasti tahu mana yang boleh diungkapkan. 　　Tabib itu ragu sejenak. 　　Secara medis, kehamilan di bawah tiga bulan tak boleh diberitahu orang luar. 　　Bagi dokter, ini karena 100 hari pertama kehamilan rentan keguguran. Menurut kepercayaan rakyat, mengumumkan kehamilan terlalu dini bisa mengganggu Dewa Janin dan membawa sial pada bayi. 　　“Tabib istana，？”pejabat sensor。 　　“Tabib istana？”Kaisar Jingming。 　　Istri Lao Qi？ 　　Istri Lao QiLao Qi，Ibu Suri Xian，Istri Lao Qi tongkat giok。 　　Istri Lao Qi，wajah。 　　Kaisar Jingming。 　　Kaisar Jingming，tabib istana，：“Kaisar，Permaisuri Yan。” 　　Kaisar Jingming，tabib istana。 　　Tabib istana，？ 　　Istri Lao Qihukuman，pintu，pejabat sensoranak lelaki、menantu perempuan，wajah。 　　Pejabat sensor，：“Kaisar，Permaisuri Yan，Bibi，——” 　　“Permaisuri Yan。”Tabib istanapejabat sensor。 　　Ruang studi kekaisaran。 　　Kaisar Jingming，：“Tabib istanaPermaisuri Yan？” 　　Tabib istana：“Permaisuri Yan sedang hamil！” 　　Di samping, Pan Hai dengan sigap menjelaskan: "Permaisuri Yan sedang hamil." 462. BAB 461 Hadiah Satu Gerobak 　　BAB 461 Hadiah Satu Gerobak 　　Permaisuri Yan sedang hamil! 　　Semua orang di ruang studi kekaisaran sedang mencerna informasi ini. 　　Kaisar Jingming mengorek telinganya, bertanya lagi pada tabib: "Permaisuri Yan mengandung?" 　　Pan Hai diam-diam mengusap hidungnya. 　　Kaisar sudah menyuruh tabib mengulang dua kali, sepertinya sengaja agar para pejabat sensor ini mendengar jelas. 　　Tabib sangat kooperatif, berseru keras: "Benar, Permaisuri Yan sudah mengandung lebih dari sebulan..." 　　Suara lantang tabib bergema di ruang studi kekaisaran, bergaung di telinga setiap orang. 　　Wajah beberapa pejabat sensor berangsur memerah padam. 　　Meskipun pejabat sensor berhak melapor berdasarkan kabar angin, kalau menuduh pejabat tinggi saja tidak apa-apa, tapi menuduh seorang wanita yang ternyata sedang hamil... ini sangat memalukan. 　　Pulang ke keluarga nanti jika diketahui ibu atau istri kusir, pasti akan dimarahi. 　　Melihat para pejabat sensor yang terpaku itu, Kaisar Jingming merasa lega. 　　Heh, akhirnya giliran orang-orang tua ini yang malu. Biasanya semangat sekali mencaci maki, sekarang bagaimana? 　　Rupanya tongkat giok yang dia berikan kepada istri Lao Qi membawa keberuntungan. 　　Kaisar Jingming semakin senang, melirik ke arah Yu Jin sambil berpura-pura kesal: "Lao Qi, kehamilan istrimu ini berkah besar, kenapa tidak memberi tahu istana? Kalau kau beri tahu, mana mungkin para menteri ini salah paham." 　　Beberapa pejabat sensor seolah ditampar berkali-kali, wajah mereka terasa perih. 　　Yu Jin memandang dengan ragu di matanya yang indah: "Ayah Kaisar, konon di ibu kota ada pantangan mengumumkan kehamilan sebelum tiga bulan..." 　　Wajah Kaisar Jingming berubah pucat. 　　Ia juga mengetahui mitos ini - kabarnya mengumumkan terlalu dini bisa menyebabkan keguguran! 　　Tatapan Kaisar Jingming menyapu wajah para pejabat sensor. Wajah mereka memerah sambil merasakan tekanan bagai gunung. 　　Apa maksud Kaisar? Jika sesuatu terjadi pada Permaisuri Yan, apakah mereka harus bertanggung jawab atas calon keturunan kerajaan? 　　Ini kan keturunan naga... Pikiran ini membuat para pejabat sensor gemetar. 　　Pejabat sensor yang paling vokal dalam memprotes kini mengutuk habis-habisan penasihat Putra Mahkota dalam hatinya. 　　Pejabat sensor seharusnya netral, tapi manusia pasti memiliki kecenderungan. Dirinya termasuk yang mendukung Putra Mahkota. 　　Sebenarnya wajar saja, mengingat Kaisar selalu mendukung posisi Putra Mahkota. Tapi Putra Mahkota terlalu ceroboh - menyuruhnya menuduh Pangeran Yan tanpa klarifikasi, akhirnya malah mempermalukan diri... 　　Dengan wajah bengkak, pejabat sensor itu berlutut memohon ampun. 　　Kaisar Jingming menghela nafas dengan murah hati: "Aku tahu kalian semua bermaksud menjaga tata krama Dinasti Zhou. Meski terjadi kesalahpahaman, aku tidak akan menyalahkan kalian." 　　"Hamba bersalah--" jawab para pejabat sensor dengan lesu. 　　Kaisar terlalu kejam, bahkan masih memukuli anjing terendam! 　　Kaisar Jingming tersenyum ramah memandangi para pejabat sensor yang bersujud di lantai: “Para menteri tak perlu mohon ampun pada-Ku, jadikan ini pelajaran ke depan.” 　　Biar kalian kapok mengorek-ngorek urusan pribadi keluarga kerajaan. Bahkan saat Aku cuma mau keluar istana saja diserbu seperti ini, benar-benar keterlaluan! 　　Kaisar Jingming menoleh ke Yu Jin: “Pangeran Yan, para menteri ini tidak sengaja menargetmu. Mereka menjaga martabat keluarga kerajaan tanpa pamrih. Jangan kau simpan dendam.” 　　“Anak paham.” Kata Yu Jin dengan nada datar sebelum menundukkan kepala dalam diam. 　　Melihat itu, Kaisar Jingming tersadar: Ini tanda penghinaan. 　　Wajar saja, siapa yang tak tersinggung jika tiba-tiba diserang habis-habisan oleh para pejabat sensor? Apalagi mengumumkan kehamilan istri secara prematur kan dianggap pertanda buruk... 　　“Sepertinya perlu memberikan sedikit kompensasi pada Lao Qi.” 　　Mustahil untuk mengatakan tidak ada dendam sama sekali terhadap beberapa pejabat sensor. Kaisar Jingming yang sedang ingin melakukan balas dendam kecil-kecilan, lalu menganugerahkan segudang hadiah kepada Permaisuri Yan untuk menenangkannya di hadapan para pejabat sensor tersebut. 　　Yu Jin mengucapkan terima kasih dengan tenang: “Terima kasih banyak atas anugerah Ayah Kaisar.” 　　Kaisar Jingming mengangguk diam-diam. 　　Tidak terlihat gembira berlebihan karena sedikit hadiah, Lao Qi masih menunjukkan sikap tenang. Setidaknya kelopak matanya tidak begitu dangkal. 　　“Para menteri yang terkasih, kalian boleh pergi.” 　　“Hamba pamit.” Beberapa pejabat sensor kabur dengan tergesa-gesa. 　　Ruang studi kekaisaran tiba-tiba menjadi lengang. 　　Kaisar Jingming memandang Yu Jin sambil mengusap-usap pemberat kertas giok putih. 　　“Sejak kapan ada kabar baik?” 　　Yu Jin berkata, "Sejak pulang menjenguk Ibu Suri Marquis Yining, dia merasa tidak enak badan. Sebagai anak lelaki, saya khawatir lalu meminta tabib istana memeriksanya. Tak disangka ternyata dia hamil, sehingga tidak bisa menghadiri upacara duka..." 　　Kaisar Jingming mengangguk perlahan. 　　Kehamilan memiliki banyak pantangan, salah satunya tidak boleh menghadiri acara pernikahan dan pemakaman. 　　"Sebaiknya beri kabar ke istana." 　　"Saya khawatir akan membawa sial bagi para gadis——" 　　Wajah Kaisar Jingming berubah tegas: "Apa masalahnya? Ini bukan keluarga biasa! Istri kau mengandung cucu naga, dewa janin pasti akan melindungi!" 　　Yu Jin menunduk: "Saya akan ingat pesan Ayah. Jika ada kabar gembira lagi, pasti akan segera memberitahu Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming hampir menyetujui, lalu tersadar dan membersihkan tenggorokannya: "Laporkan ke Permaisuri saja, ngapain ke Aku?" 　　"Baik, saya mengerti." 　　"Sudah, pulanglah menemani istrimu. Suruh dia beristirahat dengan tenang." 　　Setelah mengucapkan terima kasih, Yu Jin membawa pulang segunung hadiah ke Kediaman Pangeran Yan. 　　"Apa? Lao Qi membawa banyak hadiah?" 　　Di Kediaman Pangeran Qi, para pangeran tertegun mendengar kabar ini, lalu segera mengirim mata-mata untuk menyelidiki. 　　Tak lama kemudian, mereka semakin terkejut: Ternyata Permaisuri Yan sedang hamil! 　　Kerumunan serentak menatap Pangeran Shu. 　　Wajah Pangeran Shu tampak menghitam. 　　Mulai lagi. Dia sudah tahu setiap ada angin segar pasti akan dibandingkan dengan Lao Qi. 　　“Dia mengganggu siapa lagi? Bukankah hanya menikah berdekatan dengan Lao Qi.” 　　Hati Pangeran Shu dipenuhi kemarahan, tapi tak bisa menghalangi candaan saudara-saudaranya. 　　"Tak kuduga Adik ketujuh begitu cepat. Adik keenam, kau harus berusaha lebih keras." Pangeran Lu menepuk bahu Pangeran Shu dengan keras. 　　Pangeran Shu menenggak tehnya, bergumam kesal: "Aku tidak terburu-buru." 　　"Adik keenam memang tak perlu terburu, toh baru menikah beberapa bulan." Pangeran Pertama Qin Wang tersenyam mencairkan suasana. 　　Pangeran Lu yang suka mengadu domba menyindir: "Lao Qi bahkan menikah satu bulan lebih telat dari Adik keenam." 　　Pangeran Shu melempar cangkir ke meja kayu mahoni, berdiri: "Terima kasih atas kebaikan Kakak Keempat, adik masih ada urusan di rumah, permisi duluan." 　　Begitu Pangeran Shu pergi, yang lain pun berpamitan satu per satu. 　　Pangeran Qi mengantar kerumunan sampai pintu dengan senyum, tapi wajahnya langsung muram begitu berbalik, lalu bergegas menuju halaman belakang. 　　Permaisuri Qi baru selesai memeriksa pembukuan musim ini dan menemukan pengeluaran rumah melebihi anggaran. Saat sedang memikirkan cara menutupi defisit, Pangeran Qi tiba-tiba masuk. 　　Permaisuri Qi meninggalkan urusannya, menyambut dengan senyum manis: "Para Pangeran sudah pergi?" 　　Pandangan Pangeran Qi tertumbuk pada wajah biasa-biasa saja Permaisuri Qi, tiba-tiba rasa jemu menghantamnya. 　　Tak cantik sudah jadi satu hal, setelah bertahun-tahun menikah hanya punya satu putri, sungguh tak berguna. 　　"Ada apa, Tuan?" 　　Pangeran Qi terdiam sejenak, lalu berkata: "Istri Lao Qi sedang hamil." 　　"Permaisuri Qi gemetar, senyuman di wajahnya pudar." 　　Permaisuri Yan yang baru menikah beberapa bulan, ternyata sudah hamil... 　　Pangeran Lu kembali ke rumah keluarga, memeluk Permaisuri Lu lalu mencium pipinya. 　　"Pangeran sedang gila apa?" Permaisuri Lu setengah menolak sambil memarahi. 　　Pangeran Lu gemetar ketakutan: "Untung kau menghentikanku ikut campur. Istri Lao Qi ternyata hamil!" 463. BAB 462 Pengakuan Tanpa Dipaksa 　　BAB 462 Pengakuan Tanpa Dipaksa 　　Permaisuri Lu terkejut: "Secepat ini?" 　　Di antara saudara ipar, dia yang paling cepat hamil setelah menikah - itu pun baru terjadi setahun kemudian. Pangeran sering bangga akan hal ini. Tak disangka Permaisuri Yan lebih cepat. 　　"Kita baru punya satu anak lelaki. Harus buru-buru, jangan sampai dikalahkan Lao Qi." 　　Di antara para pangeran, Pangeran Pertama Qin Wang memiliki keturunan terbanyak: tiga putri satu putra. Putra Mahkota dan Pangeran Jin masing-masing dua putri satu putra. Pangeran Qi hanya punya satu putri. 　　Selain Pangeran Qi, tiga pangeran senior yang sudah menikah bertahun-tahun dengan banyak selir pun hanya punya satu putra. Jumlah keturunan mereka masih terbilang sedikit. 　　Apalagi Pangeran Qi yang bahkan tak punya putra - ini menjadi kekurangannya. 　　Bagaimanapun, keluarga kerajaan selalu menginginkan keturunan sebanyak-banyaknya. 　　"Siang bolong begini, jangan macam-macam Tuan..." Permaisuri Lu meronta sebentar lalu menyerah pada Pangeran Lu. 　　“，，。” 　　，，。 　　，，，。 　　，。 　　，，。 　　“？”。 　　，：“？” 　　“。” 　　，。 　　，。 　　，：“，——” 　　，。 　　“？” 　　“？” 　　，：“——” 　　“。”。 　　，。 　　Istri Lao Qi hamil? Jadi dia sudah menghasut pejabat sensor dengan sia-sia... 　　Setelah merasa menyesal, Putra Mahkota bingung: Meskipun istri Lao Qi menghindari hukuman karena hamil, mengapa Ayah Kaisar memanggilku? 　　Hiss—— Jangan-jangan perbuatannya menghasut pejabat sensor ketahuan oleh Ayah Kaisar? 　　Kaisar Jingming yang awalnya memanggil Putra Mahkota untuk menasihati secara rutin, tiba-tiba melihat keanehan dari ekspresi sang putra. 　　Setiap kali brengsek ini berbuat kesalahan, wajahnya selalu terlihat ingin dipukul seperti ini... 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis sambil menatap sang putra mahkota dengan serius: "Kau tahu salahmu?" 　　Putra Mahkota tak sadar menundukkan kepala. 　　Bersikap seperti pencuri yang ketakutan! 　　Dengan penuh pengalaman, Kaisar Jingming menggedok-gedokkan pemberat kertas giok di Meja Naga: "Diam saja? Harus Aku yang menyebutkan?" 　　Putra Mahkota langsung jujur mengaku dengan lesu: "Anak tidak seharusnya menghasut pejabat sensor untuk menjatuhkan Lao Qi——" 　　Kaisar Jingming terkejut. 　　Apa? Ada urusan ini juga? 　　"Brengsek! Aku memanggilmu untuk menanyakan kesalahan apa yang dilakukan Lao Qi sampai kau sebagai kakak berani berbuat seperti ini? Di mana ikatan persaudaraanmu?" Dari terkejut ke interogasi, Kaisar Jingming bertindak lancar tanpa celah, meski hati mendidih marah. 　　Selagi Aku masih hidup mereka sudah saling menjatuhkan, bagaimana nanti setelah Aku tiada? Pasti akan saling bunuh! 　　Putra Mahkota berlutut mohon ampun: "Anak sedang kebingungan, mohon Ayah Kaisar mengampuni anak." 　　Kaisar Jingming menutup matanya sebentar, berkata dengan marah: "Kau sangat mengecewakan Aku!" 　　Marah karena Putra Mahkota menghitung saudaranya sendiri, serta lebih marah lagi karena Putra Mahkota mengaku sendiri tanpa disiksa. 　　Seluruh tubuh Putra Mahkota bergetar, wajahnya sangat pucat. 　　Ayah Kaisar ternyata sudah membencinya, mungkin sejak lama ingin memecatnya... 　　Benar juga, jika Ayah Kaisar tidak punya niat ini, mengapa mengirim orang untuk memata-matai setiap gerak-geriknya? 　　Dalam hati Putra Mahkota, Kaisar Jingming pasti mengirim pengawas yang membuatnya ketahuan menghitung Lao Qi, sama sekali tidak menyadari bahwa kebodohannya sendiri yang membuat Kaisar Jingming berhasil mengorek informasi melalui tipu daya. 　　"Pergi dari sini dan introspeksi diri!" 　　Putra Mahkota melirik cepat ke arah Kaisar Jingming, lalu bangkit dan berlari. 　　Memandangi punggung Putra Mahkota yang berlari, Kaisar Jingming berteriak: "Tunggu!" 　　Putra Mahkota berhenti mendadak, lalu berbalik dengan kaku. 　　"Lao Qi saja tahu melindungi istrinya. Mulai sekarang tiru dia! Jika Aku dengar lagi kabar tidak harmonisnya hubunganmu dengan Permaisuri Putra Mahkota, kau tidak usah keluar dari Istana Timur lagi!" 　　Inilah nasihat yang sebenarnya ingin diberikan Kaisar Jingming pada Putra Mahkota, tak disangka malah mendapat "kejutan" besar. 　　Putra Mahkota buru-buru menyetujui, lalu pulang dengan malu ke Istana Timur. 　　Masuk ke kamar dalam, dia terjatuh di ranjang sambil terengah-engah. 　　Kapan sih orang tua kolot ini mati? Hidup seperti ini benar-benar tak tertahankan! 　　Kabar kehamilan Permaisuri Yan dengan cepat tersebar di istana. Seketika, banyak orang berduyun-duyun ke Istana Yuquan untuk memberi selamat pada Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian memaksakan senyum mengantar para tamu pergi satu per satu, wajahnya langsung berubah muram. 　　Orang-orang ini jelas tahu hubungannya dengan Lao Qi yang renggang, tapi tetap bergegas datang. Bukan untuk memberi ucapan selamat, murni ingin menonton kejadian memalukan. 　　Ibu Suri Xian menahan amarah memanggil Permaisuri Qi ke istana, memberikan teguran keras. 　　Permaisuri Qi menelan penghinaan dengan perasaan tertindas dan kesal yang tak terucapkan. Saat hendak keluar istana, ia berpapasan dengan Permaisuri Shu. 　　"Adik Ipar Keenam juga masuk istana." Melihat Permaisuri Shu, Permaisuri Qi merasa seperti bertemu teman seperjuangan. 　　Tak perlu ditanya, pasti Permaisuri Shu baru saja mendapat teguran dari Zhuangfei. 　　Sebenarnya Permaisuri Shu memang sial, kebetulan menikah berdekatan waktunya dengan Permaisuri Yan. 　　Permaisuri Shu mengangguk ringan, wajahnya tenang berkata: "Datang untuk memberi salut pada Ibu Selir." 　　Permaisuri Qi merasa ini kesempatan langkah untuk mempererat hubungan, berbisik menasihati: "Adik Ipar jangan dipikirkan, kalian baru menikah, memang belum perlu terburu-buru..." 　　Permaisuri Shu terkejut melirik Permaisuri Qi, lalu berkata datar: "Terima kasih hiburan Kakak Ipar Keempat, saya memang tidak terburu-buru." 　　Nilai seorang wanita diukur dari kemampuannya melahirkan anak, sungguh hal yang membosankan. 　　Permaisuri Shu teringat peringatan halus Zhuangfei dan sikap ragu-ragu Pangeran Shu, semakin merasa segalanya tak bermakna. 　　"Saya permisi dulu, Kakak Ipar Keempat silakan lanjutkan." 　　Permaisuri Qi menatap Permaisuri Shu yang membungkuk masuk ke dalam kereta kuda, wajahnya langsung berubah pucat. 　　Beberapa permaisuri sebelumnya termasuk Permaisuri Putra Mahkota jelas-jelas normal, mengapa mulai dari Permaisuri Lu semuanya berubah? 　　Permaisuri Lu bersikap manja dan kasar, Permaisuri Shu pura-pura anggun, Permaisuri Yan berwatak aneh, Permaisuri Xiang—— 　　Permaisuri Qi menggelengkan kepala. 　　Permaisuri Xiang yang gagal melangsungkan pernikahan dengan Pangeran Xiang itu terlalu mengerikan, tak berani dibayangkan... 　　Di Kediaman Pangeran Yan, Sekretaris istana tua nyaris menangis melihat segunung hadiah kerajaan. 　　"Pangeran, kalau ada kejadian seperti ini lagi, bisakah Tuan memberitahu hamba terlebih dahulu..." 　　Yu Jin melirik sang Sekretaris istana, berkata datar: "Apakah hamilnya Permaisuri harus diumumkan ke seluruh penjuru? Sekretaris tak perlu ikut campur, aku orang yang selalu bertindak tepat." 　　Menahan dorongan untuk membantah, Sekretaris istana menyeringai: "Tuan benar." 464.BAB 463 Dou Shuwan Berkunjung 　　BAB 463 Dou Shuwan Berkunjung 　　Saat Yu Jin kembali ke Yuyuan, Jiang Si sedang tertidur. 　　Ia melambaikan tangan, menyuruh A Qiao mundur. 　　Musim dingin hampir tiba, untung tahun ini hawa dingin datang terlambat, suhu dalam ruangan cukup nyaman. 　　Angin sejuk nan lembut menerobos melalui jendela yang terbuka, menggoyangkan kelambu ranjang warna hijau kekuningan seolah mengalun berlapis-lapis. 　　Orang yang berbaring di ranjang bernapas teratur, bulu mata panjang dan lebarnya menebarkan bayangan di bawah mata, warna kulitnya tampak terlalu pucat, memperlihatkan nuansa keputihan. 　　Yu Jin menatap orang yang tertidur lelap dengan penuh kebahagiaan. 　　A Si tidak hanya menikah dengannya, kini bahkan mengandung dan akan segera melahirkan anak yang memiliki ikatan darah dengan mereka berdua. 　　Memikirkan hal ini, Yu Jin mulai merasa antusias menanti kedatangan si kecil. 　　Dia menggenggam tangan Jiang Si dan mengusapnya perlahan. 　　A Si terlalu kurus... 　　Pikiran ini membuatnya tiba-tiba merasa khawatir. 　　"Sedang memikirkan apa?" Suara lembut itu datang, Jiang Si membuka matanya. 　　Yu Jin condongkan tubuhnya sedikit ke depan, meminta maaf: "Aku membangunkanmu?" 　　Jiang Si duduk sambil tersenyum: "Sudah cukup tidur. Bagaimana, hari ini berhasil keluar dari istana dengan selamat?" 　　Yu Jin tersenyum sambil mengelus perutnya: "Dengan si kecil ini sebagai jimat pelindung, tentu saja selamat." 　　Dia menceritakan secara singkat kejadian hari itu, menyebutkan Sekretaris istana senior: "Kamu tidak tahu ekspresi Sekretaris istana saat aku pulang membawa gerobak penuh hadiah." 　　Jiang Si tertawa mendengarnya. 　　Di kehidupan sebelumnya tak menyadari, kali ini dengan persiapan matang mengambil alih kembali Kediaman Pangeran Yan, ternyata menemukan banyak orang lebih menarik dari yang diingat. 　　Mungkin di kehidupan sekarang ini dia memiliki keyakinan yang tidak dimiliki sebelumnya, sehingga keadaan batinnya sama sekali berbeda. 　　"Hari ini makan apa?" tanya Yu Jin. 　　“Ada sup ayam jamur perak, sayur jantung jamur segar, dan beberapa iris rebung kukus……” Wajah Jiang Si langsung pucat sambil melambaikan tangan, “Jangan sebut makanan, aku mual mendengarnya……” 　　“Baik, baik, tidak akan kusebut lagi.” Yu Jin melirik istri yang pipinya mulai runcing, rasa khawatir tak tertahankan. 　　Apakah A Si ingin makan paha babi kecap ya? 　　Tak lama kemudian hadiah dari istana berdatangan tiada henti ke Kediaman Pangeran Yan. Ada dari Permaisuri, Ibu Suri Xian, selir-selir berpengaruh, bahkan dari Istana Cining. 　　Para mandor dari istana-istana pangeran pun silih berganti datang mengantarkan ucapan selamat. 　　Untuk sementara waktu, pintu gerbang Kediaman Pangeran Yan ramai oleh kunjungan, menjadi pusat perhatian. 　　Keluarga Dongping Bo yang mendapat kabar ini, Nyonya Feng sangat gembira, berulang kali mengucapkan "Bagus!", lalu menyuruh Jiang Yi mengunjungi Kediaman Pangeran Yan. 　　A Qiao sudah menunggu di Pintu Kedua istana. Begitu melihat kereta kuda perlahan berhenti, ia segera menyambut. 　　“Nyonya Muda, Permaisuri sudah menanti.” A Qiao memapah Jiang Yi masuk. 　　Ini pertama kalinya Jiang Yi mengunjungi Kediaman Pangeran Yan. 　　Sepanjang jalan menuju Yuyuan, mereka terus berpapasan dengan pelayan istana yang memberi salam hormat. 　　Hati Jiang Yi sedikit gugup, tapi raut wajahnya tetap tenang. Begitu melihat Jiang Si berdiri di pintu gerbang, semua perasaan itu lenyap seketika. 　　“Kenapa tidak di dalam saja, keluar untuk apa?” Jiang Yi menggenggam tangan adiknya, berlagak kesal. 　　Jiang Si tersenyum manis: "Kakak terlihat penampilannya baik." 　　Jiang Yi hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi melihat banyak orang menunggu di samping, diam-diam menelan kata-katanya lalu menggandeng Jiang Si masuk ke dalam rumah. 　　Secara tak sadar matanya menyapu sekeliling. 　　Perabotan di dalam ruangan sederhana namun elegan, di ambang jendela tidak ada bunga yang ditata, hanya sebuah pot lidah mertua di atas meja tinggi yang menjuntai dengan daun hijau lebat. 　　Jiang Yi lalu tertawa: "Adik Keempat masih seperti dulu." 　　Masih bisa mempertahankan kebiasaan hidup sebelum usia pernikahan setelah menikah, ini menunjukkan adik hidup bebas tanpa tekanan. 　　Hatinya yang menggantung mulai tenang separuh, sambil memegang tangan Jiang Si bertanya: "Reaksinya besar tidak?" 　　"Cukup baik, hanya agak susah makan. Kakak tak perlu khawatir untuk saya." 　　Jiang Yi memberikan beberapa nasihat detail, lalu membicarakan Jiang Ancheng: "Seluruh keluarga sangat gembira, hanya Ayah yang resah." 　　Senyum Jiang Si rileks: "Ayah khawatir apa?" 　　"Dia merasa kau masih terlalu muda, hamil di usia dini ini dikhawatirkan akan sulit saat melahirkan. Dia juga bilang akan menemui Pangeran untuk membicarakan hal ini." 　　Senyum Jiang Si menghilang, pandangannya bertemu dengan Jiang Yi. 　　Jiang Yi juga diam. 　　Setelah lama, Jiang Si bertanya: "Ayah masih belum tahu tentang ibu, kan?" 　　Jiang Yi mengangguk. 　　Saat Nyonya Su meninggal, Jiang Si baru berusia satu tahun lebih. Jiang Ancheng selalu mengira Nyonya Su meninggal karena sakit akibat kerusakan keperawanan setelah melahirkan Putri Kedua. 　　Karena itu, mendengar Jiang Si hamil begitu cepat, kekhawatiran Jiang Ancheng lebih besar daripada kegembiraannya. 　　“Saya sudah berdiskusi dengan Kakak Kedua, urusan ibu tidak akan kami beritahu ayah, khawatir beliau tidak sanggup menerima…” 　　Meskipun kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian menyedihkan, perasaan ketika orang tercinta dibunuh sama sekali berbeda dengan itu. 　　Rasa sakit dan kemarahan seperti itu bisa membuat orang gila. Kakak Jiang Yi dan adiknya tidak ingin melihat ayah yang baru saja tenang kembali menderita. 　　“Baik, urusan ini saya ikuti keputusan Kakak dan Kakak Kedua.” 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Jiang Yi menghela napas lega. 　　Adiknya memang punya pendirian. Kebenaran tentang kematian ibu adalah temuan adiknya. Jika adik bersikeras memberitahu ayah, dia dan Adik Kedua tidak bisa menghalangi. 　　Ternyata kekhawatirannya selama ini berlebihan. 　　“Nenek menyuruhku menyampaikan, karena kau sedang hamil ingat jangan lagi tidur sekamar dengan Pangeran, segera pilih dua orang tepercaya untuk melayani beliau.” Jiang Yi tersenyum pahit, “Anggap saja angin lalu, jangan dipikirkan.” 　　Jiang Si mencemooh: “Nenek memang suka ikut campur. Katakan padanya, tata krama biasa di kediamanan bangsawan tidak berlaku di istana pangeran. Mohon jangan ikut campur lagi.” 　　Jiang Yi menghela napas: “Nenek memang terlalu banyak urusan. Menurut pengamatanku, dia sepertitujuan agar Bibi Dou menjadi istri kedua ayah…” 　　Jiang Si mengangkat alis: “Kakak sudah menyadarinya?” 　　Jiang Yi tersenyum getir. 　　Meski sifatnya lembut, dia tidak bodoh. Setiap kali nenek memanggil ayah, Bibi Dou selalu hadir. Tindakan sejelas ini tentu tidak bisa diabaikan. 　　Jiang Yi berkata hati-hati: "Ayah sudah membujang bertahun-tahun. Sebagai anak, seharusnya kami tidak berkomentar jika beliau menikah lagi untuk mendapat pendamping. Tapi kurasa ayah tidak berminat menikah lagi. Jika nenek memaksa menyatukan mereka, dikhawatirkan akan terjadi insiden memalukan... Awalnya tidak ingin mengganggu Adik Keempat dengan hal ini, tapi statusku membuatku tak pantas banyak bicara..." 　　Jiang Yi yang tinggal di rumah orangtuanya bersama putrinya, secara teknis adalah tamu. Wajar jika dia enggan ikut campur dalam urusan tertentu. 　　Jiang Si merenung sejenak: "Lain waktu jika Kakak datang menengokku, ajaklah Bibi Dou bersama." 　　"Adik Keempat, kau——" 　　Jiang Si tersenyum: "Jangan overthinking, Kakak. Bibi Dou adalah senior, aku tidak akan memakannya." 　　Usai berkata, dia mengusap pelipisnya dengan lembut: "Tak perlu menunggu lain hari, besok Kakak dan Bibi Dou bisa datang bersama." 　　Dia lebih suka memutus masalah seketika daripada membiarkan hal-hal menyebalkan yang sebenarnya bisa dihindari berlarut-larut. 　　"Baiklah, besok aku dan Bibi Dou akan datang bersama." 　　Keesokan harinya, angin kencang tiba-tiba berhembus membuat cuaca langsung dingin. 　　Jiang Yi dan Dou Shuwan menumpang kereta kuda yang sama, tiba di gerbang Kediaman Pangeran Yan sesuai janji. 　　Dibandingkan ketenangan Jiang Yi, Dou Shuwan tampak sangat gugup. Setelah memberi salam pada Jiang Si, dia tetap berdiri kaku tanpa bicara. 465. BAB 464: Memutus Masalah Seketika 　　BAB 464 Memutus Masalah Seketika 　　Jiang Si tersenyum lembut pada Dou Shuwan: "Bibi sepupu tidak perlu sungkan, silakan duduk." 　　"Terima kasih, Permaisuri." Dou Shuwan menunduk hormat sebelum duduk di pinggir bangku. 　　Sekarang status Nona Keempat sudah berbeda, jika aku bersikap sebagai sesepuh hanya akan jadi bahan tertawaan. 　　Jiang Si mengangguk pelan dalam hati. 　　Selain itu, bibi sepupu ini cukup tahu diri. 　　Dengan isyarat menyuruh A Qiao dan pelayan lain mundur, ruangan hanya tersisa tiga orang. Jiang Si menyeruput air dari cangkir lalu bertanya: "Bibi sepupu punya keinginan seperti apa soal urusan pernikahan?" 　　Dou Shuwan terkejut mendengar pertanyaan itu. 　　Jiang Si meletakkan cangkir di meja, memandang Dou Shuwan dengan ekspresi datar. 　　Wajah Dou Shuwan berangsur memerah. 　　Jiang Si tak terburu-buru, menunggu jawabannya dengan tenang. 　　Setelah keheningan yang mencekam, tiba-tiba Dou Shuwan membungkuk hormat dalam-dalam: "Jika Permaisuri bertanya keinginan hamba, hamba hanya ingin pasangan yang sederajat dalam budi pekerti dan rupa, saling menghormati seperti meja dan tiang penyangga." 　　Suaranya terdengar bergetar penuh emosi. 　　Tak mungkin ia tidak terpancing. 　　Belakangan ini sindiran bibi semakin jelas, bahkan mulai mendesak-desak. Rupanya ia tak akan diizinkan berpura-pura bodoh terlalu lama. 　　Tapi sungguh, ia tak sudi menjadi istri kedua untuk kakak sepupu. 　　“Dulu dia juga pernah menjadi permata di tangan ibu, pernah merasakan gejolak cinta pertama dan membayangkan rupa calon suaminya. Dalam imajinasinya, pria itu boleh saja tidak berkuasa atau berwajah biasa, tapi setidaknya akan tulus padanya, tidak langsung mengisi hatinya dengan orang lain…” 　　Sehebat apa pun kakak sepupu, dia tidak ingin menikahinya. 　　Tapi banyak hal tak bisa dia tentukan. Kehilangan ibu lalu dikirim ayah ke rumah bibi, dia bagai eceng gondok tak berakar. Sungguh sulit meraih kemandirian. 　　Dou Shuwan adalah wanita yang cerdik. Mendengar pertanyaan Jiang Si, dia langsung paham maksud sang permaisuri. 　　Dia harus merebut kesempatan ini untuk melepaskan diri dari takdir sebagai boneka bibi! 　　“Seimbang dalam karakter dan rupa?” Jiang Si mengulang perlahan empat kata itu. 　　Ekspresi Dou Shuwan tegas, “Seimbang dalam karakter dan rupa.” 　　Memandang wajah cantik nan muda itu, Jiang Si tersenyum, “Bibi Dou memiliki karakter dan rupa yang luar biasa. Memang tidak mudah mencari pemuda yang sepadan, tapi pasti ada.” 　　Dou Shuwan membungkuk lagi pada Jiang Si, “Terima kasih doa baik Permaisuri. Jika benar terwujud, itu adalah berkah terbesar bagiku.” 　　Jiang Si dan Jiang Yi saling bertatapan. 　　Jiang Yi mengangguk pelan. 　　Selain karena menyayangkan ayah, alasan dia tidak ingin nenek memaksakan perjodohan antara bibi Dou dan ayah juga karena simpati pada bibi Dou. 　　Tentang cinta antara pria-wanita, dulu dia pernah kebingungan, kini mulai sedikit mengerti. 　　“Keraguan dan ketidakrelaan di mata Dou Shuwan terlihat jelas. Wanita di dunia ini, pada dasarnya semuanya patut dikasihani.” 　　“Tabib mengatakan beberapa bulan pertama saya sebaiknya tidak banyak bergerak, tapi tinggal di rumah keluarga pasti membosankan. Jika Bibi sepupu tidak ada urusan, lebih baik tinggal beberapa hari menemani saya.” 　　Dou Shuwan terkejut melirik Jiang Yi. 　　Jiang Yi tersenyum: "Saya juga ingin menemani adik, sayangnya Yan-yan tidak bisa lepas dari saya. Membawanya ke sini pasti mengganggu pemulihan adik, jadi dengan muka tebal saya minta tolong Bibi sepupu untuk membantu." 　　Dou Shuwan hanya ragu sebentar sebelum setuju, sopan berkata: "Saya kikuk dan ceroboh, asalkan Permaisuri tidak merendahkan." 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Bagaimana mungkin. Keinginan Bibi sepupu untuk tinggal menemani saya justru sangat diharapkan." 　　Dou Shuwan adalah tipe orang yang tahu apa yang diinginkannya, tidak akan berkhayal tentang hal yang tak terjangkau. Untuk orang seperti ini, saya bersedia saling mendukung. 　　Kereta kuda membawa Jiang Yi seorang diri kembali ke Dongping Bo Residence. 　　Di Cixintang, Nyonya Feng terperanjat: "Permaisuri menahan Bibi sepupumu?" 　　"Ya, Adik Keempat yang hamil merasa bosan dan merasa cocok dengan Bibi sepupu, jadi memintanya tinggal." 　　Ekspresi Nyonya Feng tiba-tiba berubah tak menentu. 　　Cocok dengan Dou Shuwan? 　　“Keponakan perempuan sudah tinggal di Keluarga Bo bukan cuma satu dua hari. Jiang Si juga tidak akan menikah dalam waktu dekat. Keduanya tinggal serumah di Keluarga Bo dan bertemu setiap hari selama setengah tahun lebih. Bagaimana mungkin aku tidak melihat adanya chemistry di antara mereka?” 　　Apa maksud Jiang Si ini? 　　“Adik Keempatmu masih muda sudah hamil, seharusnya kau sebagai kakak lebih pantas menemaninya. Lagi pula kau sudah berpengalaman. Bibi sepupu meski disebut sesepuh, sebenarnya masih gadis muda yang belum mengerti...” 　　“Aku juga ingin menemaninya, tapi ada Yan-yan. Yan-yan sedang dalam usia aktif dan suka berisik. Jika ikut ke Istana Pangeran, khawatir mengganggu Adik Keempat.” Jiang Yi menjelaskan dengan lembut. 　　Nyonya Feng mengangguk perlahan. 　　Membawa anak balita untuk menemani orang hamil memang tidak tepat. 　　Tapi keputusan Jiang Si menahan Dou Shuwan masih membuat Nyonya Feng merenung. 　　“Tuan Besar—” sapa dayang di pintu, tak lama kemudian Jiang Ancheng masuk. 　　Setelah memberi salam kilat pada Nyonya Feng, Jiang Ancheng buru-buru bertanya pada Jiang Yi: “Bagaimana keadaan Adik Keempatmu?” 　　Nyonya Feng langsung merasa geram melihatnya. 　　Saat istri hidup, hatinya hanya untuk istri. Setelah istri mati, hatinya hanya untuk putri. Seorang pria dewasa tak bisa punya prestasi? 　　“Ayah tenang saja, keadaan Adik Keempat baik. Tampaknya Pangeran sangat perhatian padanya...” 　　Jiang Ancheng mengangguk berulang kali, wajahnya baru terlihat lega: "Ibu, kalian lanjutkan bicara, saya ke ruang belajar dulu." 　　Kedatangan dan kepergian Jiang Ancheng yang mendadak mengingatkan Nyonya Feng: Jangan-jangan Jiang Si sengaja menahan Dou Shuwan karena masalah Putra Sulung? 　　Benar juga, si gadis itu memang berwatak aneh dan tak mengizinkan kehadiran orang lain, pasti tidak rela ayahnya menikah lagi. 　　Melihat Jiang Si menjadi permaisuri, keinginan Nyonya Feng untuk menjodohkan Dou Shuwan dengan Jiang Ancheng semakin membara. Rencana yang tiba-tiba kacau ini membuat hatinya sesak bagai tertindih batu, namun tak bisa berbuat apa-apa. 　　Akhirnya sang nenek hanya bisa menghibur diri: Sudahlah, jika Jiang Si memang tidak setuju, urusan ini ditunda dulu. Keluarga Bo masih perlu mengandalkan si'er untuk masa depan, tak perlu memaksakan pernikahan pengganti ini dan membuatnya marah. 　　Yu Jin baru menyadari adanya kerabat baru di kediamannya beberapa hari kemudian. 　　"Kukira itu dayang yang ikut dari Keluarga Bo, ternyata bibimu?" 　　"Tidakkah kau perhatikan perbedaan cara berpakaiannya?" 　　Yu Jin tersipu: "Tidak kuperhatikan detail, kupikir semuanya sama saja." 　　"Bibiku ini juga hidup susah. Ayahnya mengirimnya ke ibu kota agar nenekku mencarikan jodoh." 　　"Jadi?" Yu Jin menangkap maksud tersirat. 　　"Jadi perhatikanlah baik-baik. Jika ada calon yang cocok, jadilah perantara untuk bibiku." 　　Yu Jin tersenyum: "Aku tidak kenal banyak sastrawan yang bertele-tele. Tapi kalau perwira muda yang punya masa depan cerah, jumlahnya tak terhitung. Hanya tidak tahu apakah bibimu mau menikah dengan perwira." 　　Selain itu, istana pangeran memiliki regulasi pasukan. Banyak yang langsung mengabdi padanya. 　　"Bibi hanya minta pasangan yang sederajat dalam karakter dan penampilan, serta bisa memberikan perhatian dan kehangatan." 　　"Baiklah, akan kuperhatikan." Yu Jin langsung menyetujui, lalu bercerita tentang kabar baru: "Pejabat sensor yang paling gencar menyerangku tempo hari telah dihukum dan diusir dari ibu kota oleh Ayah Kaisar." 　　Ekspresi Jiang Si menjadi serius. 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Ternyata orang itu hanya corong pihak tertentu. Pantas saja semangat sekali!" 466. BAB 465 Provokasi dari Putra Mahkota 　　BAB 465 Provokasi dari Putra Mahkota 　　Jiang Si tidak datang melayat ke keluarga Marquis Yining. Masalah ini bisa dianggap sepele atau serius. Jika tidak ada yang mempermasalahkan, akan berlalu begitu saja. Tapi jika diincar pejabat sensor yang suka ikut campur, bisa repot. 　　Banjir memorial beberapa hari lalu dan serangan para pejabat sensor telah membuat Yu Jin curiga. Sekarang pejabat sensor paling vokal dipecat, semakin menguatkan dugaannya. 　　"Putra Mahkota benar-benar tidak ada kerjaan." Yu Jin menepuk meja, bertanya pada Jiang Si, "Apa kita pernah berseteru dengannya?" 　　Jiang Si berpikir keras, lalu menggeleng: "Sejauh ini belum." 　　“Aneh sekali, saya tidak punya reputasi baik Lao Si seperti Putra Keempat, juga tidak disayang seperti Putra Keenam. Untuk apa dia menekan kita tanpa alasan?” Yu Jin mengernyit sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. 　　Setelah lama berpikir tak mendapatkan jawaban, dia menyeruput teh dan berkata dingin: "Mungkin otaknya memang bermasalah. Jika dia tidak berperilaku sopan, kita tak perlu sungkan—" 　　Jiang Si menggeleng: "Sudahlah, menurut saya Putra Mahkota ini ibarat belalang di akhir musim gugur yang takkan bisa melompat lama lagi. Tak perlu kita turun tangan, tunggu saja." 　　Jika mengikuti alur kehidupan sebelumnya, pada hari Dongzhi tahun ke-19 Jingming, Kaisar akan memimpin keluarga kerajaan dan pejabat militer-sipil ke pinggir kota untuk ritual sembahyang kepada langit seperti tahun-tahun sebelumnya. 　　Tapi kali ini terjadi peristiwa besar: badai salju tiba-tiba datang, rombongan Kaisar Jingming terpaksa menginap di istana peristirahatan. Putra Mahkota tertidur dengan Selir Yang selir kesayangan kaisar... Dalam murkanya, Kaisar Jingming memecat sang putra mahkota. 　　Inilah peristiwa terkenal "Pemecatan Pertama Putra Mahkota" pada tahun ke-19 Jingming. 　　Belakangan, Putra Mahkota dipulihkan jabatannya lalu dipecat lagi, menandai dimulainya era perebutan takhta yang berdarah-darah. 　　Meski Jiang Si bukan orang paling cerdas, fakta bahwa Putra Mahkota yang sudah meniduri selir kaisar masih bisa dipulihkan jabatannya, setidaknya membuktikan satu hal: Kaisar Jingming sangat menghargai anak lelaki sah dari Permaisuri Pertama. 　　Namun karena Putra Mahkota ini ibarat lumpur busuk yang tak bisa dibentuk, akhirnya memberi kesempatan pada pangeran lain untuk berebut tulang berisi daging kekuasaan. 　　“Pemecatan pertama Putra Mahkota sudah di ambang pintu, kemudian akan dipulihkan kembali. Dalam jangka pendek, Kaisar masih memiliki rasa kasih sayang ayah terhadapnya. Tidak perlu bertindak melawan Putra Mahkota saat ini. Jika sampai meninggalkan jejak dan diketahui Kaisar, malah akan berbahaya.” 　　“Lebih baik mengandalkan diri sendiri daripada mengandalkan langit,” kata Yu Jin. 　　“A Jin, pikirkanlah anak kita. Untuk sementara, utamakanlah kedamaian.” 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Yu Jin hanya bisa mengangguk patuh. 　　Emosi tak tersalurkan membuatnya langsung menuju lapangan latihan militer setelah meninggalkan Yuyuan, melatih Long Dan sampai babak belur. 　　Long Dan terbaring lemas di tanah keras: “Tuanku, kasihanilah hamba. Bukankah masih ada Leng Ying?” 　　Yu Jin meliriknya dengan jijik: “Kulihat kau ke Sungai Jinshui sampai keperawananmu terkuras ya?” 　　Long Dan melompat bangkit: “Tuanku, ini fitnah! Benar hamba pernah beberapa kali ke Sungai Jinshui, tapi itu untuk mengumpulkan intel. Mana mungkin hamba menghabiskan keperawanan? Hamba masih ingin menjaga stamina untuk mencari istri!” 　　Sambil bergumam pelan, wajahnya penuh kekecewaan: “Tuanku sudah dapat Permaisuri enak saja. Tidak paham penderitaan bujangan. Pergi ke Sungai Jinshui saja diawasi...” 　　“Bicara apa kau?” Yu Jin menyepaknya dengan kaki. 　　Long Dan menutupi pantatnya sambil menghindar, berteriak: "Tuanku, janganlah setelah punya istri lupa pada hamba-hamba ini, saudara-saudara kita masih hidup membujang semua!" 　　Yu Jin tertegun, melirik ke arah Long Dan. 　　Long Dan merasa merinding dipandang, diam-diam mundur perlahan. 　　"Mendekatlah." 　　Long Dan tersenyum kecut: "Tuanku mau bicara apa dulu?" 　　Yu Jin mengangkat alis dengan senyum sinis: "Sudah berani tawar-menawar denganku?" 　　Long Dan merengut sambil mendekat. 　　Yu Jin mengamatinya sambil mengusap dagu. 　　Rupanya cukup tampan, cuma sifatnya agak kurang. 　　Long Dan waspada: "Tuanku, kenapa memandang hamba seperti ini?" 　　Tatapan tuannya terasa aneh... 　　"Ingin cari istri?" 　　Long Dan mengangguk kencang, lalu tersipu malu sambil cekikikan. 　　Yu Jin mengerutkan alut, teringat sesuatu: Gadis itu adalah bibi sepupu A Si, kalau dia menjodohkan Nona Dou dengan Long Dan, bukankah dia harus memanggil Long Dan sebagai paman? 　　Sebenarnya hubungan kekerabatan jauh begini tidak berarti, tak ada yang berani memaksanya memanggil begitu, tapi tetap saja tidak enak. 　　Sudahlah, lebih baik cari pria yang jarang bertemu untuk Nona Dou. 　　Tahun lalu banyak pemuda berbakat yang pulang dari Perbatasan Selatan bersamanya, beberapa ditempatkan di pos penjagaan sekitar ibukota, cocok untuk ini. 　　Sambil berpikir begitu, Yu Jin berbalik dan pergi, meninggalkan Long Dan tercengang. 　　"Apa mungkin karena dia terlalu angkuh, tuanku malah menyesali?" 　　"Sudah memberi harapan tapi kemudian tidak membahas lagi, apa bedanya dengan mengkhianati setelah merayu!" 　　"Tuanku, tunggu dulu——" Long Dan buru-buru mengejar. 　　Cuaca semakin hari semakin dingin, berkedip saja sudah tiba musim dingin. 　　Orang-orang yang sibuk sepanjang musim semi, panas, dan gugur mulai menikmati kenyamanan musim dingin, berdiam di rumah tanpa alasan keluar, bahkan ibu kota kekaisaran pun sepi, hanya para prajurit Jinwuwei yang terus berpatroli. 　　Yang menemani mereka hanyalah angin dingin menusuk dan pepohonan yang gundul. 　　"Cuaca sialan ini, belum sampai Dongzhi saja sudah sedingin ini." Seorang prajurit Jinwuwei menggosok-gosok tangan dengan hidung merah membeku. 　　Prajurit lain mengeluh pahit: "Katanya musim dingin lalu sudah dingin, tahun ini aku rasa lebih kejam lagi. Entar berapa banyak orang yang akan menderita." 　　Setiap musim dingin, bahkan di ibu kota yang makmur sekalipun, banyak pengemis mati kedinginan, belum lagi orang tua yang tak sanggup bertahan sampai musim semi. 　　"Sudahlah, nasib orang lain kita tak tahu, yang pasti kita sendiri sudah cukup menderita." Prajurit yang pertama bicara melihat dua sosok mendekat, "Akhirnya Jiang Er datang ganti jaga, bisa masuk menghangatkan diri." 　　Dari kejauhan, Putra Mahkota yang mengenakan pakaian biasa berbisik pada orang di sampingnya: "Itukah kakak ipar Pangeran Yan?" 　　Setelah mendapat konfirmasi, senyum dingin mengembang di bibir Putra Mahkota sebelum ia melangkah mendekat. 　　Di dalam istana kerajaan, tak ada yang berani bersuara keras. Dua anggota Jinwuwei yang sedang menunggu giliran bertugas melambai ke arah Jiang Zhan. 　　Melihat itu, Jiang Zhan mempercepat langkahnya sambil berkata pada rekannya, "Mereka sudah tak sabar, cepatlah." 　　Sebelum rekannya sempat menjawab, tiba-tiba terlihat seseorang di depan. Jiang Zhan berusaha menghindar namun tetap menabrak bahu orang itu. 　　"Maaf--" Jiang Zhan tertegun ketika melihat wajah orang tersebut. 　　Orang ini mirip dengan Putra Mahkota... 　　Meski sudah lama bertugas di Jinwuwei, Jiang Zhan hanya pernah melihat Putra Mahkota dari jauh dua kali. Pria yang berpakaian biasa ini sulit dipastikan identitasnya. 　　Salah mengenali Putra Mahkota bisa berakibat fatal. 　　Rekan Jinwuwei di sampingnya sudah membungkuk dan memberi salut pada Putra Mahkota. 　　Jiang Zhan diam-diam lega lalu berseru, "Hamba ceroboh, mohon Paduka mengampuni." 　　Putra Mahkota mengamati Jiang Zhan dengan dingin, "Sebagai Jinwuwei masih sembrono. Inikah caramu minta maaf pada hamba?" 　　Setiap berhadapan dengan Lao Qi selalu sial. Kali ini bukan hanya dihujani makian oleh Ayah Kaisar, tapi juga kehilangan seorang pejabat sensor yang mendukungnya. Jika tak melampiaskan amarah ini, bisa-bisa mati kesal. 　　Hari ini harus membuat Lao Qi merasakan pahitnya terhina tanpa bisa protes! 467.BAB 466 Tambahan 　　BAB 466 Tambahan 　　Di antara pria dewasa, Putra Mahkota tidak termasuk pendek. Namun postur Jiang Zhan yang tinggi tegap memaksanya mendongakkan pandangan. 　　Hal ini semakin membuat Putra Mahkota kesal. 　　Dan ketidaknyamanan ini, bahkan Jiang Zhan yang bukan orang yang peka pun merasakannya. 　　Ia ragu sejenak, lalu berlutut satu kaki: "Mohon Paduka berkenan mengampuni." 　　Sebagai pasukan Jinwuwei yang bertugas di istana, mustahil bertindak semaunya. Jiang Zhan sangat paham tak boleh berbenturan langsung dengan Putra Mahkota. Saat seperti ini, tunduk adalah satu-satunya pilihan. 　　Berlutut di atas batu pualam yang dingin dan keras, rasa hina membanjiri hatinya. 　　Jiang Zhan mengepal tangannya erat, menunduk memandangi lantai sambil memohon ampun sekali lagi. 　　Seorang prajurit Jinwuwei di sampingnya tak tahan membela: "Paduka, Jiang Er--" 　　Sorot mata dingin Sang Putra Mahkota membuat prajurit itu segera membungkam. 　　"Hamba sungguh heran, bagaimana orang sembrono sepertimu bisa menyusup ke pasukan Jinwuwei!" 　　Jiang Zhan tetap berlutut satu kaki, menunduk tanpa sepatah kata. 　　Di hadapan kekuasaan mutlak, segala perlawanan bukan hanya mempermalukan diri sendiri tapi juga mendatangkan masalah bagi keluarga. Ini pelajaran yang mulai dipahaminya. 　　Sungguh ingin meninju wajah Sang Putra Mahkota hingga babak belur... 　　Sang Putra Mahkota mengangkat alisnya. 　　Kabarnya kakak ipar Lao Qi ini nekat, tapi rupanya masih bisa menahan diri. 　　Memandangi orang yang berlutut dari atas, sudut bibir Sang Putra Mahkota melengkung kejam. Ia menginjak tangan lawannya dengan sepatu bot bersulam naga berkuku lima, menggosoknya dengan keras. 　　Rasa sakit menyengat menerjang. Jiang Zhan menggigit bibirnya tanpa suara. Punggung tangannya sudah terkoyak, darah mengalir deras. 　　Putra Mahkota semakin terkejut, setelah kejutan itu muncul perasaan gagal. 　　Jika si bocah ini berteriak kesakitan, dia bisa menuduhnya dengan alasan trauma. 　　Jiang Zhan berlutut tegak, keringat dingin membasahi dahinya karena menahan sakit. 　　Putra Mahkota bodoh ini ingin mencari kesalahannya? Mimpi kali! 　　Putra Mahkota tidak mengangkat kaki, malah menambah tekanan. 　　Pasukan Jinwuwei di sampingnya pucat pasi, memalingkan muka tak tega melihat. 　　Sebuah tinju menghantam Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota oleng dan terjungkal ke depan. 　　Pemilik tinju itu masih belum puas, mengangkat kaki dan menendang Putra Mahkota hingga terguling. 　　Putra Mahkota terjatuh seperti anjing menjilat tahi, wajahnya menghantam batu pualam hijau yang dingin dan keras, nyaris pingsan karena sakit. 　　Teriakan menyayat hati seperti babi disembelih bergema. 　　Yu Jin menendang pantat Putra Mahkota dua kali keras, mengangkatnya dengan satu tangan, lalu menamparnya dua kali tanpa ampun. 　　Pelayan yang terpaku baru berteriak: "Lindungi Paduka Putra Mahkota, lindungi Paduka Putra Mahkota--" 　　Jiang Zhan menekan punggung tangan yang berdarah, matanya melotot tak percaya. 　　Iparnya memukul Putra Mahkota? 　　Eh, sampai membuatnya menjerit-jerit pula... 　　Puluhan pasukan Jinwuwei bergegas mengepung Yu Jin, menghunus pedang mengarah padanya. 　　Putra Mahkota adalah calon penguasa, sekalipun Pangeran Yan seorang pangeran, menghina calon penguasa tetap merupakan kejahatan berat. 　　“Hah, ini Kakak Kedua?” Yu Jin menurunkan tinjunya, wajahnya penuh keterkejutan. 　　Putra Mahkota dipukul sampai matanya berkunang-kunang, menunjuk Yu Jin tapi tak bisa berkata-kata. 　　Yu Jin menepuk dahinya dengan kesal: "Andai tahu ini Kakak, adik takkan berani mulai duluan. Apa sakit?" 　　Putra Mahkota mencengkeram kerah baju Yu Jin sambil menggigit gigi: "Ikut aku menghadap Ayah Kaisar, sss—" 　　Sakitnya sampai membuat suaranya gemetar. 　　Seketika ruang studi kekaisaran dipenuhi orang yang bersujud. 　　Wajah Kaisar Jingming membiru, tangannya menghantam Meja Naga keras-keras: "Jelaskan pada-Ku, apa yang sebenarnya terjadi!" 　　Sepanjang tahun ini tak ada kabar baik, baru senang sebentar karena sebentar lagi Dongzhi bisa keluar istana— maksudku ritual sembahyang kepada langit— eh tiba-tiba ada ulah aneh lagi? 　　Memandang Putra Mahkota yang pipinya bengkak, lalu menatap Yu Jin yang wajahnya pucat, amarah di hati Kaisar berkobar-kobar. 　　Lao Qi lagi! 　　Tahun lalu di hari ulang tahunnya dia sudah memukuli semua saudara kecuali Putra Mahkota, hari ini mau melengkapi? 　　Melihat sorot mata membunuh Kaisar ke arah Yu Jin, Putra Mahkota tiba-tiba merasa lukanya tak begitu sakit lagi. 　　Tindakan Lao Qi memukulnya hari ini adalah kejahatan besar. Jika ayah bisa menghukum berat, penderitaannya hari ini akan sepadan. 　　Putra Mahkota merasa sudah unggul, langsung mengambil inisiatif berteriak: "Ayah, Lao Qi hampir membunuh anak hari ini, mohon Ayah beri keadilan." 　　“Ceritakan dengan detail!” 　　"Saat anak keluar dihantam oleh seorang pengawal muda. Baru saja memarahi si pengawal, tak disangka Lao Qi langsung menyerang dan memukul anak tanpa sepatah kata pun sampai menjadi begini..." Suara Putra Mahkota gemetar penuh emosi sambil menahan sakit menceritakan kejadian. 　　Kaisar Jingming mendengarkan dengan wajah dingin. Setelah Putra Mahkota selesai, matanya menyapu deretan pelayan istana dan pengawal yang bersujud: "Benarkah demikian?" 　　Pelayan pribadi Putra Mahkota segera menjawab: "Lapor Paduka, memang seperti itu." 　　Para pengawal mengangguk kompak. Seorang anggota Jinwuwei ragu sebentar, lalu menundukkan kepala dalam-dalam. 　　Pangeran Yan memukul Putra Mahkota - ini sudah di luar batas wewenang mereka. Bandingkan dengan insiden Jiang Er yang hanya sekadar menyinggung Putra Mahkota. 　　Mendapat konfirmasi, Kaisar Jingming menatap Yu Jin dengan api kemarahan: "Lao Qi, kau gila hari ini?" 　　Yu Jin berlagak polos: "Anak tidak mengenali itu Kakak Kedua. Dari jauh melihat seseorang mengganggu kakak iparku, langsung terpancing emosi dan memukulnya. Baru sadar itu Kakak Kedua setelah kejadian!" 　　Kaisar Jingming menekan pelipisnya, bertanya sambil mengatupkan gigi: "Kakak ipar? Maksudmu siapa?" 　　Yu Jin cepat menunjuk Jiang Zhan yang sedang bersujud: "Ayah Kaisar, kakak iparku bernama Jiang Zhan, bertugas di Jinwuwei. Saat anak datang, melihat seseorang menginjak tangannya..." 　　Pandangan Kaisar Jingming turun mengamati tangan Jiang Zhan. Benar terlihat punggung tangan yang luka parah berdarah-darah. 　　“Putra Mahkota, apa yang terjadi lagi ini?” Pandangan Kaisar Jingming kembali tertuju pada Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota tiba-tiba panik, buru-buru menjelaskan: "Ayah Kaisar, anak lelaki benar-benar tidak tahu orang ini adalah Kakak Ipar Lao Qi. Hari ini saat anak keluar, pengawal ini menabrakku. Dia berlutut memohon ampun di hadapanku, aku membentaknya beberapa kali dan terburu-buru pergi, tidak sengaja menginjak tangannya..." 　　Jiang Zhan menggerakkan sudut bibirnya, tidak bersuara. 　　Yu Jin tanpa ragu bertanya dengan heran: "Apakah sol sepatu Kakak Kedua ada paku? Menginjak tangan orang tidak sengaja bisa sampai separah ini?" 　　Kaisar Jingming menyipitkan matanya. 　　Penjelasan Putra Mahkota tentu tidak sepenuhnya dipercayainya. Tapi Lao Qi yang brengsek ini berani bersuara sekarang, apakah dia benar-benar mengira memukul calon penguasa bisa dibiarkan begitu saja? 　　"Lao Qi, menghina calon penguasa, kau tahu dosamu?" Kaisar Jingming benar-benar murka, bertanya dengan dingin. 　　Yu Jin berlutut dengan baik, menundukkan pandangan: "Anak tahu menghina calon penguasa adalah kejahatan besar. Tapi Kakak Kedua hari ini tidak memakai pakaian kebesaran Putra Mahkota, saat memukul anak tidak mengenalinya..." 　　"Ayah Kaisar, jangan dengarkan omong kosong Lao Qi. Ganti baju saja dia tidak bisa mengenaliku? Kalau Ayah ganti baju apakah dia juga tidak bisa mengenali, berani memukul Ayah?" 　　Lao Qi ternyata ingin beralasan dengan dalih 'tidak tahu maka tidak bersalah', jangan mimpi! 　　Kaisar Jingming jarang-jarang ingin menyetujui perkataan Putra Mahkota. 　　Ada benarnya, alasan Lao Qi terlalu dipaksakan. Kali ini mustahil bisa menghindar dari hukuman. 　　“Ayah Kaisar memakai apapun juga tak akan menginjak tangan orang sampai hancur.” Yu Jin berkata datar. 　　Kaisar Jingming mengangkat alis. 　　Oh, sepertinya lebih masuk akal. 468.BAB 467 Hukuman 　　BAB 467 Hukuman 　　Melihat ekspresi Kaisar Jingming mulai melunak, Putra Mahkota langsung bersujud sambil merintih: "Ayah Kaisar, hari ini Bapak harus membela anak! Lao Qi berani memukul anak sendiri, di masa depan apa lagi yang tidak berani dia lakukan..." 　　Kaisar Jingming mendengar keluhan Putra Mahkota dengan wajah dingin, pandangannya pada Yu Jin terasa dalam dan tak terduga. 　　Jiang Zhan tak tahan menyela: "Paduka, masalah ini timbul karena kesalahan hamba, tidak ada hubungannya dengan Pangeran. Mohon hukum hamba saja..." 　　Sorot mata Kaisar Jingming mengitari tubuh Jiang Zhan, sudut bibirnya berkedut. 　　Dari mana datangnya si bodoh ini, aku sedang mendidik anak sendiri kok ikut campur. 　　"Kau kakak laki-laki Permaisuri Yan?" Suara penuh tanya terdengar dari atas kepala Jiang Zhan. 　　"Benar." 　　Kaisar Jingming tiba-tiba penasaran, berseru tegas: "Angkat kepalamu." 　　Jiang Zhan mengangkat wajah, sepasang mata jernihnya bertatapan dengan Kaisar Jingming. 　　Kesan pertama Kaisar Jingming: pemuda ini cukup tampan. 　　Alis pedang bermata bintang, aura wajahnya cerah, jelas terlihat sebagai pemuda baik yang jujur dan berbudi. 　　"Pemuda, jangan terlalu gegabah." Menghadapi orang berparas rupawan, Kaisar Jingming biasanya lebih toleran, nadanya tak terasa melunak. 　　Di sampingnya, Putra Mahkota hampir menangis meradang. 　　"Ayah Kaisar tak pernah bersikap selembut itu padanya, mengapa kau diperlakukan dengan baik? Apakah masalah pemukulannya hari ini akan dibiarkan begitu saja?" 　　Ini sama sekali tidak boleh! 　　Putra Mahkota menyematkan tangannya ke paha dan menjerit kesakitan. 　　Sorot mata Kaisar Jingming menyapu ke arahnya. 　　Putra Mahkota merintih: "Ditendang berkali-kali oleh Adik ketujuh, pinggangku sakit..." 　　Suasana hati Kaisar Jingming langsung memburuk. 　　Suasana di ruang studi kekaisaran mencekam, para pejabat yang berdiri atau berlutut tak berani bernapas keras. 　　"Lao Qi, perbuatanmu hari ini sangat mengecewakan Aku." 　　Yu Jin menunduk memandangi lantai, ubin emas yang mengilap memantulkan wajah tenangnya. 　　"Anak lelaki bersalah, mohon Ayah Kaisar menghukum." 　　Kaisar Jingming tertegun sejenak. 　　Mengaku bersalah begitu mudah? Ia mengira si anak ini akan mengelak. 　　Pengakuan jujur Yu Jin meredam kemarahan Kaisar Jingming: "Mulai hari ini jangan kembali ke rumah, pergilah ke Biro Urusan Kerajaan untuk merenung, ditambah potong gaji setahun." 　　Putra Mahkota bersukacita dalam hati. 　　Sang Kaisar tak menyebut batas waktu, pastinya Lao Qi tak bisa ikut ritual sembahyang kepada langit pada Festival Dongzhi, hampir pasti tahun baru dihabiskan di Biro Urusan Kerajaan. Tahun depan saat kaisar sibuk, mungkin Lao Qi akan terlupakan di sana. 　　Seorang pangeran yang dikurung di Biro Urusan Kerajaan tak beda dengan pejabat yang dijebloskan ke penjara, kelak Kediaman Pangeran Yan akan menjadi tempat yang dihindari orang. 　　"Membayangkan pemandangan itu, Putra Mahkota tak bisa menahan kegembiraannya, segera menundukkan kelopak mata untuk menyembunyikan sukacitanya." 　　"Adapun Putra Mahkota——" Kaisar Jingming menatap Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota langsung tegang. 　　Dia dipukul, terluka, mungkinkah Ayah Kaisar masih akan memarahinya? 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: "Nanti Tabib istana akan pergi ke Istana Timur untuk memeriksamu, sembuhkan luka secepatnya, saat Dongzhi masih harus pergi keluar." 　　"Terima kasih atas perhatian Ayah Kaisar." 　　Melihat kegembiraan Putra Mahkota yang terpancar jelas, Kaisar Jingming menghela napas halus dalam hati. 　　Karena ketidaksengajaan pengawal terus-menerus dipersoalkan, sebenarnya dia kecewa pada Putra Mahkota. 　　Jika seorang penguasa terlalu rewel dan berhati sempit, mungkin bukan berkah bagi negara... 　　Pikiran ini melintas sekilas, membuat suasana hati Kaisar Jingming yang sudah muram semakin suram. 　　"Pengawal, bawa Pangeran Yan ke Biro Urusan Kerajaan——" 　　Dua pengawal segera maju, menahan lengan Yu Jin dari kiri dan kanan. 　　Yu Jin tidak melawan, dengan tenang memberi hormat kepada Kaisar Jingming: "Anak lelaki mohon diri." 　　Kaisar Jingming membalikkan badan tanpa melihatnya, baru menoleh setelah suara pintu terbuka terdengar. 　　Pintu ruang studi kekaisaran terbuka lebar, angin dingin segera masuk. 　　Kaisar Jingming berdiri, melambaikan tangan: "Semua boleh mundur." 　　"Kaisar, hamba bersalah, mohon hukumlah hamba——" Jiang Zhan melihat Yu Jin dibawa pergi, wajahnya sangat pucat, membenturkan kepala ke lantai berkali-kali di hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya, berkata datar: "Lain kali lebih hati-hati, mundurlah." 　　Jiang Zhan hendak berbicara lagi, ditegur Pan Hai dengan pandangan tajam, akhirnya diam-diam meninggalkan ruang studi kekaisaran. 　　Pan Hai menghela nafas dalam hati: Anak muda ini benar-benar beruntung. 　　Hari ini dia menabrak Putra Mahkota, entah sang Putra Mahkota mempermasalahkan atau tidak, jika tidak sampai ke hadapan Kaisar pasti sudah diusir dari Jinwuwei. Tapi malah bisa lolos tanpa cedera. 　　Ck, memang kata orang bodoh punya keberuntungannya sendiri. 　　Jiang Zhan berjalan keluar dari ruang studi kekaisaran, matanya langsung menangkap Yu Jin yang dijaga dua pengawal di depan. 　　Ia membuka mulut, takut menambah masalah untuk Yu Jin, lalu memukul kepalanya dengan kesal. 　　Andai bukan karena dirinya hari ini, Pangeran Yan takkan dihukum. 　　Seolah ada mata di belakang kepala, Yu Jin tiba-tiba berhenti dan menoleh. 　　Keduanya sudah lama bersahabat dan kompak, Jiang Zhan segera menyusul. 　　Seorang pengawal langsung memberi peringatan. 　　"Mohon permisi, aku ingin bicara dua patah kata dengan kakak iparku." Kata Yu Jin tenang. 　　Dua pengawal saling pandang, ragu sebentar lalu minggir sedikit. 　　Pangeran yang bersalah tetap seorang pangeran, saat ini hanya ditahan di Biro Urusan Kerajaan, tetap tak boleh dihina. 　　"Pangeran, hari ini semuanya salahku--" 　　Yu Jin memotong: "Masalah yang datang tak bisa dihindari, tak perlu kata-kata itu. Pergilah ke istanaku, beri tahu A Si jangan khawatir." 　　“Bagaimana mungkin Adik Keempat tidak khawatir, dia sedang mengandung……” 　　Yu Jin mengulurkan tangan ke bahu Jiang Zhan, menepuknya kuat-kuat: “Ceritakan saja padanya apa yang kulakukan hari ini.” 　　Setelah berkata demikian, dia mengangguk pada dua pengawal yang menunggu di samping, lalu berjalan cepat ke depan. 　　Jiang Zhan menghela napas berat, begitu keluar dari pintu gerbang istana, dia buru-buru menuju Kediaman Pangeran Yan. 　　Mendengar Jiang Zhan datang, Jiang Si berganti pakaian lalu menuju Ruang Penerimaan. 　　Jiang Zhan sedang mondar-mandir di Ruang Penerimaan, mendengar langkah kaki segera menyambut: “Adik Keempat, Pangeran mengalami masalah.” 　　Senyuman di bibir Jiang Si menghilang: “Apa yang terjadi?” 　　Jiang Zhan segera menceritakan seluruh kejadian dari awal hingga akhir. 　　Jiang Si mendengarkan dengan tenang sampai Jiang Zhan selesai, lalu bertanya: “Jadi Pangeran dikurung di Biro Urusan Kerajaan?” 　　“Ya, dan Kaisar tidak menyebut kapan akan membebaskannya, Pangeran mungkin akan ditahan tanpa batas waktu. Adik Keempat, kau jangan panik, mari kita cari cara, minta bantuan orang untuk membujuk Kaisar, mungkin jika suasana hatinya baik dia akan dilepaskan……” Jiang Zhan mengernyitkan dongkol, tiba-tiba menepuk dahinya, “Oh ya, Adik Keempat, bukankah kau menyembuhkan mata Putri? Bisa minta bantuan Permaisuri——” 　　Jiang Si tersenyum tipis. 　　Jiang Zhan tertegun oleh senyumannya, memandangnya dengan bingung. 　　“Tidak perlu. Meski Pangeran kehilangan kebebasan di Biro Urusan Kerajaan, dia tidak akan kedinginan atau kelaparan. Ditahan beberapa hari tidak masalah.” 　　Jiang Zhan mengira salah dengar, berkedip: “Adik Keempat, apa katamu?” 　　“Kukatakan biarkan Pangeran tinggal beberapa hari di Biro Urusan Kerajaan saja, tak perlu minta bantuan orang.” Jiang Si berkata dengan tenang. 　　Jiang Zhan mengusap wajahnya: “Tunggu sebentar!” 　　Melihat adiknya yang tetap tenang, Jiang Zhan melirik ke kiri-kanan lalu bertanya dengan suara rendah: “Adik Keempat, jangan-jangan Pangeran ini tidur dengan selir saat kau hamil?” 　　Jiang Si tertawa getir: “Mana ada selir.” 　　“Atau jangan-jangan tidur dengan dayang?” Jiang Zhan kaget. 　　Selamat Hari Pertengahan Musim Gugur, semoga semua orang berkumpul dalam kebahagiaan di bawah bulan purnama. 469.BAB 468 Menonton Keributan 　　BAB 468 Menonton Keributan 　　Jiang Si antara ingin tertawa dan menangis, berkata dengan kesal: “Kakak Kedua, apa yang kau pikirkan ini? Tidak ada selir, apalagi dayang, kami baik-baik saja.” 　　Jiang Zhan semakin bingung, berbisik: “Lalu kau tidak khawatir Pangeran dikurung di Biro Urusan Kerajaan? Kukira Pangeran berbuat kesalahan.” 　　“Mana ada permusuhan antara ayah dan anak yang bertahan semalaman. Mungkin beberapa hari lagi Kaisar akan membebaskannya.” Suara Jiang Si santai, lalu berubah topik, “Kakak Kedua, perlihatkan tanganmu padaku.” 　　Jiang Zhan refleks menyembunyikan tangan di belakang punggung, menolak: “Cuma luka ringan, tidak ada yang istimewa.” 　　Jiang Si menggenggam lengan Jiang Zhan, bersikeras: “Aku lihat.” 　　Setelah beberapa saat bersitegang, Jiang Zhan akhirnya menyerah, mengulurkan tangan yang terluka dengan patuh. 　　Tangan yang biasanya ramping dan indah itu kini punggungnya bengkak, daging yang terbuka mengeras menjadi warna ungu gelap, tampak mengerikan. 　　"Pandangan Jiang Si menyempit, perasaan sakit hati dan amarah bercampur." 　　"Bisa menginjak tangan Kakak Kedua sampai seperti ini, Putra Mahkota itu benar-benar kejam!" 　　"Adik Keempat, sungguh tidak apa-apa, sudah tidak sakit sama sekali." Jiang Zhan menarik kembali tangannya, tapi dihentikan oleh Jiang Si. 　　"Keluar dari istana juga tidak langsung merawat luka." Jiang Si menggerutu sambil mengeluarkan sapu tangan, "Aku akan membalut lukamu." 　　Jiang Zhan hendak menolak, tapi melihat raut wajah kakaknya yang tegang, berkata: "Biarkan Ah Man atau A Qiao saja yang merawat. Adik tidak takut darah, tapi bagaimana jika keponakanku di kandungan takut?" 　　Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Kakak Kedua benar-benar suka bercanda, bayi dalam kandungan mana mengerti apa-apa." 　　Meski begitu, dia tetap memanggil A Qiao untuk merawat luka Jiang Zhan. 　　A Qiao mengambil alkohol kuat dan salep, membersihkan luka dengan kapas steril yang dicelup alkohol, wajahnya pucat samar. 　　Luka seberat ini, pasti sangat menyakitkan. 　　Tapi Jiang Zhan sama sekali tidak bereaksi, seolah yang terluka adalah orang lain, dengan santai berkata pada Jiang Si: "Adik Keempat, aku ingin mencari kesempatan mendaftar militer." 　　"Militer?" Jiang Si terkejut. 　　Jiang Zhan mengangguk: "Iya, Nanlan dan Dinasti Zhou kita terus menerus berkonflik, perbatasan utara juga sering terjadi gesekan dengan Qi Utara yang sering merampok dan membunuh rakyat kita. Aku pikir baik ke Perbatasan Selatan maupun utara lebih menarik daripada tinggal di ibu kota." 　　Di mata orang biasa, Jinwuwei yang menjaga istana kerajaan terlihat sangat berjaya, dulu dia juga berpikir demikian. 　　Tapi hari ini setelah dipermalukan Putra Mahkota, barulah dia mengerti bahwa kejayaan itu relatif. Di hadapan para bangsawan istana, Jinwuwei kecil tak ubahnya semut. 　　Dia bukan sendirian, di belakangnya masih ada Dongping Bo Residence, ada Adik Keempat. Jika nekat melawan orang terhormat, pasti akan membawa masalah besar bagi orang-orang yang dicintainya, seperti hari ini... 　　Padahal tabiatnya bukanlah tipe yang bisa menerima perlakuan semena-mena. Sekali dua kali mungkin bisa ditahan, tapi siapa tahu suatu saat tidak akan tahan lagi. 　　Daripada menjadi kenari emas yang tertekan di ibu kota, lebih baik menjadi elang perkasa di perbatasan. Sekalipun gugur, setidaknya pernah berjuang untuk rakyat Zhou. 　　Lelaki sejati tak segan mengorbankan nyawa demi negara. 　　Mendengar perkataan Jiang Zhan, reaksi pertama Jiang Si adalah menentang. 　　Pedang tak bermata, ke medan perjung sedikit saja lengah bisa kehilangan nyawa. Ini bukan hal menarik, jelas-jelas bikin dag-dig-dug. 　　Tapi saat bertemu mata jernih kakaknya, kata-kata penolakan Jiang Si mentah di mulut. 　　Dia menyayangi kakaknya, diam-diam mengubah nasib meninggal muda yang seharusnya menimpanya. Tapi hidup Kakak Kedua adalah miliknya sendiri, sekalipun dengan alasan untuk kebaikannya, tak pantas mengambil keputusan untuknya. 　　"Adik Keempat, bagaimana menurutmu?" tanya Jiang Zhan penuh harap. 　　“A Qiao kebetulan menggunakan kain kasa yang direndam alkohol kuat untuk membersihkan kotoran yang menempel di dagingnya, rasa sakit membuatnya sedikit mengerutkan alis.” 　　Jiang Si menghela napas dalam hati, tersenyum lembut: “Kalau Kakak Kedua sudah memutuskan, tidak apa-apa.” 　　Mata Jiang Zhan langsung berbinar-binar. 　　Persetujuan Adik Keempat jelas sangat penting baginya. 　　Jiang Si menambahkan: “Hanya harus selalu berhati-hati, jangan membuat orang yang mengkhawatirkan Kakak Kedua menjadi cemas.” 　　Jiang Zhan tersenyum lebar: “Tentu saja.” 　　Antusiasme Jiang Zhan membuat Jiang Si tak bisa menahan senyuman, namun setelah dia pergi, senyum riang itu langsung menghilang. 　　Yu Qi (Pangeran Ketujuh) dikurung di Biro Urusan Kerajaan, mustahil untuk sama sekali tidak khawatir. Tapi terlalu cemas juga tidak. 　　Inilah keuntungan menjadi peramal. 　　Festival Dongzhi hampir tiba, pencopotan pertama Putra Mahkota sudah di depan mata, konsekuensi menyinggung Putra Mahkota tidak terlalu serius. 　　Mengingat alasan pencopotan Putra Mahkota, Jiang Si mengangkat alisnya. 　　Mungkin Kaisar malah merasa A Jin sudah membantunya melampiaskan amarah lebih dulu? 　　Festival Dongzhi tahun ke-19 Jingming terlalu menegangkan, dia berharap Yu Jin bisa menghindarinya. Jadi ketika Jiang Zhan menyampaikan pesan, dia langsung paham maksudnya. 　　Memukuli Putra Mahkota habis-habisan, selain membalas dendam untuk Kakak Kedua, juga sekaligus menghindari perjalanan saat Dongzhi – sempurna. 　　“Tapi terlalu nekat juga.” Jiang Si bergumam kesal, lalu menyuruh A Qiao menyiapkan makanan enak untuk dikirim ke Biro Urusan Kerajaan. 　　Kabar Yu Jin memukul Putra Mahkota dan ditahan di Biro Urusan Kerajaan menyebar cepat bagai terbawa sayap. 　　Para pangeran yang terlibat perkelahian tahun lalu tiba-tiba merasakan perasaan kompleks. 　　Pangeran ketujuh berani memukul Putra Mahkota, jadi pukulan yang mereka terima sebelumnya terasa tidak seberapa. 　　Acara panas seperti ini tak boleh dilewatkan! 　　Pertama kunjungi Putra Mahkota untuk lihat lukanya, lalu tengok Lao Qi. 　　Di Istana Timur, jeritan kesakitan Putra Mahkota terdengar sementara tabib istana memijat dan mengoleskan obat. 　　Sambil mengerang Putra Mahkota mengutuk dalam hati: "Bajingan Lao Qi! Begitu aku naik takhta, pertama-tama akan kuhukum dia dengan tuduhan makar dan kubantai seluruh keluarganya!" 　　"Paduka, Pangeran Lu datang menjenguk," lapor pelayan istana. 　　Putra Mahkota yang tengkurap di ranjang berseru dengan muka masam: "Tolak!" 　　Pelayan segera keluar, tak lama kembali lagi: "Paduka, Pangeran Qi datang..." 　　Putra Mahkota kesal: "Jangan lapor lagi! Tolak semua!" 　　Bagaimana mungkin Putra Mahkota bertampang babi panggang ini menemui orang? Jelas-jelas mereka ingin menertawakannya. 　　Kecewa tak bisa melihat wajah babi Putra Mahkota, para pangeran berduyun-duyun ke Biro Urusan Kerajaan. 　　Pangeran Lu yang tiba lebih dulu menyuap petugas penjaga dengan uang, lalu berhasil menemui Yu Jin. 　　Kamar kosong di Biro Urusan Kerajaan ini mirip penjara, tapi jauh lebih nyaman tanpa serangga atau ular. 　　Yu Jin duduk di dekat jendela, matanya beralih memandang Pangeran Lu. 　　"Adik ketujuh, kau benar-benar memukul Putra Mahkota?" 　　Yu Jin mengerutkan kening. 　　Mengapa dia melihat sedikit kegembiraan di mata Lao Wu? 　　"Hm." Jawabnya dingin. 　　Pangeran Lu cepat-cepat melirik sekeliling, diam-diam mengacungkan jempol ke Yu Jin: "Adik ketujuh, kau benar-benar hebat." 　　Sudah lama dia ingin memukul Putra Mahkota, impian sejak kecil, sayangnya tak pernah berani mewujudkannya. 　　Dia memutuskan, mulai sekarang tak akan mempermasalahkan Lao Qi yang pernah memukulnya. 　　Yu Jin menyeringai tipis, mengingatkan dengan datar: "Kakak kelima lebih baik berkata-hati-hati, jangan sampai ikut menemani saya." 　　Pangeran Lu terkekeh: "Tak kira adik ketujuh begitu memperhatikanku, aku mengerti. Saudara-saudara lain masih antri menunggu, aku pergi dulu." 　　Ada urusan yang tertunda. Terima kasih kepada Mo Yu Moyo atas Hadiah 10.000 koin, terima kasih untuk teman-teman pembaca yang telah memberikan vote dan hadiah. 470.BAB 469 Ibu Suri Xian Yang Tanpa Pamrih 　　BAB 469 Ibu Suri Xian Yang Tanpa Pamrih 　　Yang berikutnya masuk menjenguk adalah Pangeran Qi. 　　Pangeran Qi memasang wajah penuh perhatian: "Adik ketujuh, kejadian hari ini sudah kudengar, kau terlalu terburu nafsu." 　　"Hm." Menghadapi Pangeran Qi, sikap Yu Jin bahkan lebih dingin daripada pada Pangeran Lu. 　　Pangeran Qi menahan ketidaknyamanan hatinya, menghibur: "Jangan khawatir, tunggu beberapa hari sampai amarah Ayah Kaisar mereda, aku akan mencoba membujuk, mungkin Beliau akan membebaskanmu..." 　　“Tidak perlu merepotkan Kakak Keempat, aku merasa di sini cukup nyaman.” 　　Sudut mulut Pangeran Qi berkedut, terlalu polos untuk melanjutkan ucapan. 　　Belum pernah bertemu brengsek sebandel Lao Qi yang tak bisa dirayu atau diancam. 　　Setelah beberapa saat, Pangeran Qi akhirnya memaksakan kalimat: "Adik ketujuh, kita saudara kandung yang satu ibu, tak ada yang lebih dekat di antara saudara-saudara lain. Jangan sungkan dengan Kakak Keempat." 　　Yu Jin terkekeh pelan: "Kalau begitu, minta tolong Kakak Keempat membujuk Ayah Kaisar untukku sekarang juga." 　　Pangeran Qi tersendat, terbata-bata: "Saat ini Ayah sedang marah—" 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Kalau begitu, tak perlu Kakak Keempat mengoceh omong kosong. Dengar dari Kakak Kelima masih ada antrian di belakang, jangan buang waktu di sini." 　　Hanya dengan beberapa pujian ingin merekrutku jadi pendukungnya? Memang pantat Lao Si tebal bukan main. 　　Bagaimana mungkin aku satu darah dengan manusia seperti ini? 　　Yu Jin mengernyit bingung, menutup mata dan mengabaikan Pangeran Qi. 　　Sekalipun berwatak sabar, Pangeran Qi kini tersudut, nadanya menjadi datar: "Adik ketujuh, kau besar di luar istana dan masih muda gegabah. Kakak tetap ingin menasihati: jangan lawan semua orang sampai tak ada jalan mundur..." 　　Yu Jin membuka mata, tersenyum malas: "Kakak Keempat terlalu khawatir. Jika tak ada jalan, aku bisa tetap di istana pangeran, tak kemana-mana." 　　Pangeran Qi mengencangkan bibir, pergi dengan perasaan sesak. 　　Tak lama kemudian, Pangeran Shu muncul di hadapan Yu Jin. 　　“Adik ketujuh tidak takut adik ipar ketujuh khawatir? Katanya orang yang sedang hamil tidak boleh tertekan……” 　　Melihat Yu Jin yang dikurung di kamar kosong, Pangeran Shu merasa sangat puas. 　　Sejak tersiar kabar Permaisuri Yan sedang hamil, setiap kali berhubungan intim dengan permaisuri, ia merasa terbebani seperti gunung. Setiap kali selesai, selalu memikirkan apakah sudah hamil atau belum. 　　Padahal pernikahan mereka masih sebentar, tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semua ini gara-gara Lao Qi! 　　“Urusan keluarga saya, tidak perlu Kakak Keenam repot-repot.” Yu Jin bersandar di dinding dingin dan keras, kepala terasa pusing. 　　Anak lelaki Kaisar memang terlalu banyak. Saya dan A Si cukup punya satu saja, biar tidak ada masalah ribet begini. 　　Setelah mengusir beberapa pangeran, akhirnya ada kabar gembira: utusan Kediaman Pangeran Yan datang mengantar makanan. 　　Yang mengantar makanan adalah Ah Man, ditemani Long Dan. 　　“Bagaimana kabar Permaisuri?” 　　Ah Man segera menjawab: “Permaisuri baik-baik saja, menyuruh hamba menyampaikan pada Pangeran agar tidak khawatir dengan keluarga……” 　　Sambil berkata demikian, ia membuka kotak makanan berwarna merah menyala dan mengeluarkan hidangan lapis demi lapis. 　　Kotak makanan memiliki tiga lapisan. Lapisan pertama berisi beberapa jenis makanan bumbu, termasuk paha babi kecap yang diiris tipis lebar. 　　Daging paha merah tua yang diiris tipis terlihat tembus pandang, memancarkan kilau yang menggoda. 　　Lapisan kedua berisi tujuh delapan piring kecil, berisi hidangan panas seperti burung merpati goreng dengan daun ketumbar, kelinci hutan goreng kung pao, dan lain-lain. Meski porsinya kecil, semuanya sangat elegan, masih hangat ketika dikeluarkan. 　　“Lapisan ketiga berisi makanan pokok, kue-kue, serta beberapa jenis buah segar.” 　　Dalam sekejap meja telah penuh terisi hidangan, pemandangan yang memikat mata. 　　Pejabat penjaga yang mencium aroma sedap menjulurkan leher, menelan ludah diam-diam. 　　Sungguh nasib manusia berbeda-beda, meski dipenjara sang pangeran tetap menikmati kemewahan dan dilayani dengan baik. 　　Yu Jin mengambil sumpit dan mulai makan di hadapan Ah Man. 　　Meski terkesan santai dan beradab cara makannya, tak lama kemudian piring-piring pun kosong tertumpuk. 　　Setelah menyeka mulut dengan saputangan dan berkumur air teh, Yu Jin tersenyum: “Kembalilah dan sampaikan pada Permaisuri bahwa saya baik-baik saja, bisa makan dan tidur nyenyak. Mohon jaga diri baik-baik bersama anak di kandungan.” 　　Ah Man mengangguk, merapikan peralatan makan lalu pergi ditemani Long Dan. 　　Di Yuyuan, Jiang Si terkejut mendengar laporan Ah Man: “Pangeran menghabiskan semua makanan yang kami kirim?” 　　“Ya, semuanya. Tuanku tak perlu khawatir, tempat tinggal pangeran cukup nyaman dengan selimut tebal.” 　　Setelah menanyakan detail-detail lain, barulah Jiang Si merasa sedikit lega. 　　Kaisar Jingming menikmati makan siang di Istana Kuning. 　　Kaisar dan Permaisuri duduk hening sambil menyeruput teh hangat setelah makan. 　　“Paduka, kabarnya Pangeran Yan melakukan kesalahan dan dijebloskan ke Biro Urusan Kerajaan...” 　　Biasanya Permaisuri tak campur tangan urusan pangeran, namun kali ini berbeda dengan Yu Jin. 　　“Putri Fuqing berhasil disembuhkan matanya oleh Permaisuri Yan, pasangan Pangeran Yan juga berhasil mengungkap Chen Meiren yang selama bertahun-tahun menyimpan niat jahat terhadap putri mereka. Permaisuri merasa berhutang budi.” 　　Hutang budi sulit dilunasi. Jika Permaisuri tidak menunjukkan sikap apapun saat ini, akan terlihat terlalu kejam. 　　Saat Permaisuri menyentuh topik ini, Kaisar Jingming terlihat cukup puas. 　　Dia memang sengaja menunggu Permaisuri yang mengangkat masalah ini. 　　Mengurung Lao Qi di Biro Urusan Kerajaan sebenarnya bukan masalah besar, tapi setelah memikirkan istri Lao Qi yang sedang hamil, timbul penyesalan. 　　Perempuan biasanya sensitif. Bagaimana jika istri Lao Qi mengalami trauma dan membahayakan janinnya? 　　“Berkali-kali berani memukul Putra Mahkota, hukuman wajib diberikan!” 　　Permaisuri mengangguk setuju: “Memang pantas dihukum. Hanya saja Permaisuri Yan sedang hamil, takut-takut dia mengalami shock…” 　　Kaisar Jingming menahan diri, bertanya: “Istri Lao Qi tidak datang memohon ke Ibu Suri?” 　　“Belum.” Permaisuri merenung sejenak, “Mungkin dia pergi ke Ibu Suri Xian.” 　　Kaisar Jingming tidak berkomentar lagi. Percakapan beralih ke kondisi Putri Fuqing. Setelah berbincang sebentar, Kaisar beranjak pergi menuju Istana Yuquan. 　　Begitu masuk Istana Yuquan, Kaisar teringat pada Chen Meiren. 　　Meskipun tanaman bunga gounwen dan madreselva di pekarangan Chen Meiren sudah dicabut sampai ke akar-akarnya dan dibakar habis, Kaisar tetap merasa tidak nyaman mengingatnya. 　　Jika tidak perlu mendesak, sungguh enggan datang ke sini. 　　Kedatangan Kaisar Jingming juga mengejutkan Ibu Suri Xian. 　　Sudah lama Kaisar tidak mengunjunginya... 　　“Tentu saja kedatangan Kaisar pasti terkait urusan Lao Qi.” 　　Mengingat Yu Jin, Ibu Suri Xian langsung merasa geram. 　　Seperti dugaan, si pembangkang ini tidak pernah melibatkanku saat ada hal baik, tapi ketika berbuat kesalahan aku langsung menjadi target hukuman Kaisar. 　　Menurut aturan istana, setiap tanggal 1 dan 15 permusuri pangeran wajib masuk istana untuk memberi salut kepada Ibu Selir, bahkan dalam kondisi hamil sekalipun. 　　Kabar kehamilan Jiang Si tersebar. Ibu Suri Xian sedang menunggu kedatangannya untuk membahas penempatan selir bagi Yu Jin, tapi ternyata dia tidak datang! 　　Hanya karena Kaisar menyuruhnya beristirahat, dia benar-benar merasa berhak melanggar aturan. Untuk apa menantu perempuan seperti ini? 　　Amarah Ibu Suri Xian belum reda, si pembangkang itu malah kembali berulah. 　　“Kau sudah tahu urusan Lao Qi?” 　　Kaisar Jingming bertanya. Ibu Suri Xian menjawab tegas: “Lao Qi menghina Putra Mahkota itu kesalahan besar. Kaisar tak perlu mempertimbangkan perasaan Hamba, hukum saja dia seberat-beratnya!” 　　Kaisar Jingming tersedak, lalu melanjutkan: “Istri Lao Qi—” 　　Ibu Suri Xian segera menyela: “Bahkan jika istri Lao Qi datang memohon keringanan, Hamba pasti tidak akan berpihak. Kaisar boleh bertindak adil.” 　　Kaisar Jingming: “……” 　　Makanya dari tadi ke Istana Yuquan selalu ada yang tidak beres! 471. BAB 470 Kembalinya Dongzhi 　　BAB 470 Kembalinya Dongzhi 　　Kaisar Jingming pergi meninggalkan Istana Yuquan dengan geram, membuat Ibu Suri Xian sakit hati bukan main. 　　“Kaisar benar-benar murka karena kelancangan Lao Qi, bahkan amarahnya meluas sampai ke dirinya.” 　　“Si bencana ini, sejak lahir memang hanya bisa merepotkan!” 　　Kembali ke istananya, Kaisar Jingming dengan wajah muram bertanya pada Pan Hai: “Bagaimana kabar Pangeran Yan di Biro Urusan Kerajaan?” 　　“Lapor Kaisar, Sang Pangeran tenang-tenang saja, hanya berdiam di ruang kosong dengan patuh.” 　　“Yang lain bagaimana?” 　　“Ada beberapa pangeran yang secara bergantian mengunjungi Pangeran Yan...” 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai: “Di Kediaman Pangeran Yan tidak ada gerakan mencurigakan?” 　　Pan Hai segera menangkap maksud Kaisar Jingming: Sang Kaisar khawatir dengan cucu yang belum lahir ini, tapi malu kalau ketahuan orang. 　　“Permaisuri Yan mengirim dayang untuk mengantar 18 piring makanan ke Pangeran Yan, semuanya habis dimakan Sang Pangeran.” 　　Kaisar Jingming mencibir: “Lapar betul.” 　　Pan Hai tersenyum membenarkan. 　　Jari Kaisar Jingming mengetuk-ngetuk sandaran kursi: “Tidak memberontak, tidak juga masuk istana untuk minta ampun, malah menyiapkan makanan mewah untuk Lao Qi...” 　　Rupanya Istri Lao Qi ini sangat bisa mengendalikan diri. 　　Pantas saja, sebelum usia pernikahan sudah berurusan dengan pembatalan tunangan dan berjuang membela kakak perempuannya di pengadilan, sudah melewati berbagai badai kehidupan... 　　Kaisar Jingming tiba-tiba merasa pilihan menantu perempuannya ini cukup tepat. 　　“Bukan seperti keluarga kecil yang selalu menghadapi masalah remeh-temeh, sebagai menantu perempuan keluarga kerajaan harus bisa tenang dan tahan ujian. Pangeran ketujuh yang berwatak gegabah dan blak-blakan itu memang membutuhkan permaisuri seperti ini untuk mendukungnya.” 　　Kaisar Jingming menarik napas lega tanpa alasan, raut wajahnya mulai rileks. 　　Pan Hai mengamati dengan tatapan dingin, mulai menyadari posisi Permaisuri Yan di hati Kaisar Jingming. 　　Pangeran Yan benar-benar beruntung, sepertinya setelah kembali dari ritual sembahyang Dongzhi kepada langit, dia akan dibebaskan. 　　“Sampaikan ke Istana Kuning, Aku akan kembali untuk santap malam di sana.” 　　Pan Hai mengiyakan dan segera menyuruh orang untuk menyampaikan pesan ke Istana Cining. 　　Permaisuri kerajaan sedang dalam suasana hati yang sangat baik. 　　Kunjungan Kaisar yang semakin sering tentu menambah kewibawaan Permaisuri. 　　Toh meski Kaisar tak datang, statusku tetap sebagai Permaisuri. Para selir yang kurang ajar pasti kuhadapi dengan tegas. 　　Inilah kewibawaan sebagai permaisuri. 　　Sang Permaisuri sangat memahami: meski Kaisar tak terlalu mencintainya, namun sang suami tetap menghormatinya sebagai istri sah. 　　“Suruh Dapur Kecil mempersiapkan hidangan spesial. Kaisar suka mie naga dengan tumis bibir ikan, jangan sampai lupa.” Perintah Permaisuri tiba-tiba disertai firasat aneh. 　　Jarang terjadi Kaisar menyantap dua kali makan berturut-turut di Istana Kuning dalam beberapa tahun terakhir. Hari ini sungguh tak biasa. 　　Mengingat ucapan Kaisar Jingming saat makan siang, Permaisuri baru tersadar: Jangan-jangan Kaisar khawatir dengan kondisi Permaisuri Yan yang sedang hamil? 　　Begitu memahami maksudnya, Permaisuri tak bisa menahan senyum kecut. 　　“Kaisar yang cinta muka tidak enak menunjukkan sikap, maka dia akan mewakilinya, sekaligus menunjukkan perhatiannya.” 　　Mendengar Permaisuri mengirim pelayan istana mengirimkan tonik ke Kediaman Pangeran Yan, Kaisar Jingming menyesap teh dengan puas. 　　Permaisuri jelas lebih unggul daripada Ibu Suri Xian, gelar ibu negara memang bukan sekadar hiasan. 　　Hmm, dia bisa menantikan hari-hari langka kebebasan di penghujung tahun. 　　Tak lama kemudian tibalah malam sebelum Dongzhi. 　　Mungkin hukuman pada Yu Jin membuat para pangeran gentar, beberapa hari ini keadaan sangat tenang. 　　Kaisar Jingming yang sedang gembira berjalan menuju tempat Selir Yang. 　　Ungkapan "tiga ribu selir di istana belakang" memang berlebihan, tapi jumlah selir memang cukup banyak. Selir Yang adalah favorit Kaisar Jingming selama dua tahun terakhir. 　　Namun sejak kakak laki-laki Selir Yang tewas tahun lalu, Selir Yang kerap menyiratkan keluhan pada Kaisar Jingming. Lama-kelamaan Kaisar Jingming pusing melihat selir yang cengeng, kunjungannya pun berkurang. 　　Kaisar Jingming adalah pribadi yang sentimental. Lama tak bertemu, rasa rindu pun muncul. 　　Di anak tangga luar Istana Furong, berdiri seorang Meiren membawa lentera. 　　Wanita itu bertubuh agak kurus. Gaun berwarna bulan pucat membingkai sanggul hitam legam, seolah siap terbang ditiup angin. 　　"Menghadap Kaisar." Selir Yang sedikit menekuk lutut, lentera istana berwarna oranye bergoyang pelan. 　　Kaisar Jingming menggenggam tangan Selir Yang. 　　Ujung jarinya dingin. 　　“Kenapa menunggu di luar？” Kaisar Jingming yang ditemani Selir Yang berjalan masuk sambil bertanya. 　　Selir Yang menundukkan pandangan dan berkata pelan: "Untuk menerangi jalan Kaisar." 　　“Suruh dayang istana yang menunggu juga sama saja.” 　　Selir Yang tersenyum tipis: "Tidak sama." 　　Kaisar Jingming mengamati Selir Yang, melihat wajahnya yang kurus tersungging senyum lembut, hati terharu dan lega. 　　Akhirnya dia tidak ngambek lagi, sepertinya sudah tidak marah padanya. 　　Tahun lalu kakak laki-lakinya tewas tragis di pos peristirahatan pinggiran ibu kota, kasusnya dipecahkan oleh Prefect Shuntian yang baru dilantik Zhen Shicheng. Sejak itu Selir Yang mulai menjauh darinya. 　　Setelah berpelukan, Kaisar Jingming bersiap pergi. Selir Yang memeluk pinggangnya dan merajuk: "Kaisar, bisakah hamba ikut dalam perjalanan besok?" 　　“Kekasihku ingin keluar?” 　　Selir Yang menggigit bibir mengangguk: "Sejak masuk istana, hamba tak pernah punya kesempatan keluar. Bahkan saat kakak meninggal pun tidak bisa..." 　　Hati Kaisar Jingming luluh, ia mengangguk setuju. 　　Ritual sembahyang Dongzhi, Permaisuri dan Ibu Suri Xian memang akan ikut. Satu Selir Yang tambahan bukan masalah. 　　“Terima kasih Kaisar.” 　　Selir Yang membawa lentera istana mengantar Kaisar hingga pintu. 　　Dingin menusuk tulang, Kaisar Jingming menoleh sebentar dalam kegelapan malam. 　　Sosok cantik memegang lentera, ekspresi wajahnya samar tertutup bayangan. 　　“Kaisar, hati-hati langkahnya.” Pan Hai berbisik mengingatkan. 　　Kaisar Jingming menoleh kembali, lalu melangkah tegap. 　　Pan Hai dan beberapa pelayan istana mengikuti dari belakang, segera lenyap dalam gelapnya malam. 　　Selir Yang baru berbalik masuk ke istananya. 　　Keesokan harinya langit masih gelap, istana dan luar istana sudah sibuk mempersiapkan ritual sembahyang langit, hanya Kediaman Pangeran Yan yang masih diselimuti kedamaian. 　　Jiang Si sebenarnya sudah lama terbangun, menatap kait perak di kelambu ranjang dengan tatapan kosong. 　　Festival Dongzhi tiba. 　　Setelah hari ini berlalu, tak terhitung banyaknya kehidupan manusia yang akan mengalami perubahan besar. 　　"Tuanku, Anda sudah bangun." A Qiao yang tak diketahui kapan sudah memakai jubahnya mendekat, perlahan membuka kelambu ranjang. 　　Jiang Si tersenyum: "Masih pagi, kau bisa tidur lagi sebentar." 　　A Qiao tertawa: "Tuanku saja sudah bangun, mana pantas hamba malas tidur. Mau tidur lagi atau langsung mandi?" 　　"Nanti saja mandinya." Berselimut selimut sutra hangat dan lembut, Jiang Si malas bergerak. 　　"Pesan untuk Tuan Kedua kemarin sudah disampaikan ya?" 　　"Sudah." A Qiao mengangguk, hatinya merasa heran. 　　Pertanyaan ini sudah diajukan tuannya berulang kali sejak kemarin, rupanya orang hamil memang mudah gelisah. 　　Senyum lega muncul di wajah Jiang Si. 　　Kehangatan selimut membuatnya mengantuk, tak lama kemudian ia tertidur lagi. 　　Melihat hal ini, A Qiao menutup kembali kelambu ranjang dan mundur perlahan. 　　Tabib bilang orang hamil mudah mengantuk, ternyata benar. 　　Di luar, angin dingin menusuk tulang, rombongan panjang seperti naga bergerak pelan menembus kegelapan yang belum tersapu cahaya fajar, menuju luar kota. 　　Satu barisan pengawal berbaju brokat membawa panji-panji dan payung kebesaran berjalan di depan, membuat seluruh prosesi yang sunyi itu terlihat sangat megah. 　　Saat tiba di lokasi ritual sembahyang kepada langit di Gunung Cuiluo pinggiran ibu kota, langit telah terang benderang. 　　Menjelang waktu keberuntungan, Kaisar Jingming memimpin keluarga kerajaan dan pejabat sipil-militer melakukan upacara sembahyang, berharap tahun depan panen melimpah dan rakyat sejahtera. 　　Setelah itu sesuai tradisi, para pejabat dijamu dalam pesta di istana peristirahatan. 　　Di saat alunan musik istana mengalun lembut dan nuansa musim semi terasa, tiba-tiba salju mulai turun di luar. 472.BAB 471 Badai Salju Datang 　　BAB 471 Badai Salju Datang 　　Salju turun deras bercampur rintik hujan, menghujani bumi tanpa henti. 　　Angin semakin kencang, menerpa pepohonan dan rerumputan hingga bergoyang-goyang tak karuan. 　　Langit yang semula cerah berubah gelap gulita, warna-warni berubah seperti tinta pekat. 　　Jiang Si membuka jendela, membiarkan angin menerbangkan jubah bulu rubah saljunya, memandang langit kelam dan hujan salju yang bertaburan. 　　Di kehidupan sebelumnya, saat seperti ini ia sudah berada di Perbatasan Selatan. Baru sekarang ia tahu cuaca Dongzhi tahun ke-19 Jingming ternyata seperti ini. 　　Angin kencang dan salju deras bukan hal aneh, yang mengherankan adalah langit yang mendadak gelap bagai malam. Tak heran banyak kejadian terjadi di istana peristirahatan Gunung Cuiluo. 　　Langkah kaki pelan terdengar mendekat. 　　"Tuanku, angin di jendela kencang. Hati-hati masuk angin." Ah Man menutup jendela, mengurung angin di luar. 　　Jiang Si berbalik dan berjalan menuju meja. 　　A Qiao segera menyodorkan teh hangat yang sudah disiapkan sebelumnya. 　　Jiang Si menerimanya, menghangatkan tangan yang dingin karena tiupan angin. 　　"Tuanku, apakah Tuan khawatir pada Pangeran?" tanya Ah Man dengan blak-blakan. 　　Jiang Si memegang cangkir teh hangat tanpa bersuara. 　　Ah Man bergegas menghibur: "Jangan khawatir, Pangeran tidak akan kedinginan. Tempat tinggal beliau lengkap dengan sistem pemanas bawah tanah." 　　"Baik. Setelah badai reda, suruh orang mengirim bubur daging kambing untuk Pangeran." Jiang Si menyeruput tehnya, tangan menempel di perut. 　　Janin belum genap tiga bulan, perutnya masih rata, tapi dia sudah bisa merasakan kehadiran kehidupan kecil itu. 　　Terkadang Jiang Si berpikir, anak ini sepertinya datang terlalu awal. 　　Badai Dinasti Zhou baru saja dimulai. Kekejian berdarah masih tersembunyi di balik tabir kedamaian, keadaan akan semakin sulit setelahnya. 　　Setidaknya dalam tiga empat tahun ke depan, mereka yang terlibat dalam pusaran keluarga kerajaan takkan merasakan ketenangan. 　　Memikirkan ini, hati Jiang Si dipenuhi penyesalan pada sang janin. 　　Meski Jiang Si diam, A Qiao dan Ah Man merasakan kegalasan tuannya. 　　Kedua dayang saling memandang. 　　"Wah, apa tuan kecil merindukan Ayah?" Ah Man mendekat, sengaja menghibur Jiang Si. 　　Jiang Si menyudahi lamunannya, tersenyum tipis. 　　Dayang di pintu melapor: "Bibi Dou datang." 　　"Persilakan masuk." 　　Tirai kapas tebal terbuka, Dou Shuwan yang berpakaian sederhana masuk ke dalam. 　　"Bagaimana perasaan Permaisuri hari ini, masih mual?" Dou Shuwan berjalan mendekat sambil tersenyum, membawa keranjang kecil di tangannya. 　　Melihat Dou Shuwan, senyuman Jiang Si terlihat lebih tulus saat menyapa: "Di luar sedang berangin dan bersalju, mengapa Bibi datang di waktu seperti ini?" 　　Setelah tinggal di istana pangeran selama lebih dari dua bulan, keduanya telah akrab setelah melewati fase kehati-hatian awal. 　　Dalam hal pergaulan, Jiang Si tidak banyak bertele-tele, menganut prinsip "seribu cangkir masih kurang bagi teman sejati, setengah kalimat pun berlebihan bagi yang tak sejalan". 　　Cocok ya dijalin dengan baik, tak cocok jangan buang waktu dengan basa-basi. 　　Dou Shuwan yang tenang tahu batas namun tetap cerdas, membuat suasana bersama terasa nyaman. 　　"Duduk sendirian di kamar lebih baik datang mengobrol dan berkarya di tempat Permaisuri." Dou Shuwan mengeluarkan jarum dan benang dari keranjang, mulai menyulam sepatu bayi. 　　Di dalam keranjang kecil sudah ada satu sepatu bayi berhias kepala harimau yang selesai. 　　Jiang Si mengangkat sepatu harimau itu, merasa sangat lucu lalu memuji: "Keterampilan Bibi luar biasa. Tapi hari ini gelap di luar, cahaya kurang bagus. Lebih baik temani saya mengobrol saja, jangan sampai mata lelah." 　　A Qiao yang lihai segera menyalakan beberapa lentera tambahan. 　　Ruangan langsung terang benderang. 　　"Sudah terbiasa, tidak apa-apa." Tangan Dou Shuwan tetap bergerak lincah menyulam, bercakap-cakap santai dengan Jiang Si dengan wajah penuh kedamaian. 　　Jiang Si akhirnya merasa tenang dalam suasana damai dan nyaman ini. 　　Awan hitam yang menutupi langit perlahan bergerak dari kota menuju pinggiran. Langit di Gunung Cuiluo ini menjadi gelap lebih lambat dibandingkan di dalam kota. 　　Saat pesta di istana peristirahatan sedang meriah, tiba-tiba segala sesuatu terbenam dalam kegelapan. 　　Teriakan penari, denting cangkir saling bertabrakan, dan suara benda berat jatuh bergema dalam kegelapan yang tiba-tiba, memicu kepanikan di antara orang-orang. 　　Pengawal istana yang berdiri di sudut ruangan bergerak senyap mengelilingi Kaisar Jingming. 　　Meski dalam kegelapan, para pengawal pilihan terbaik ini langsung bereaksi melindungi Kaisar secara instingtif. 　　Sedangkan yang lain tentu harus mengandalkan nasib sendiri. 　　"Cepat nyalakan lentera!" teriak seseorang tak dikenal. 　　Karena siang hari, aula dengan banyak jendela besar awalnya tidak menyalakan lentera. 　　Setelah beberapa saat berisik, akhirnya satu lentera menyala. 　　Kerumunan perlahan mulai bisa saling melihat wajah satu sama lain. 　　Di antara mereka, wajah Zhen Shicheng terlihat muram seolah merasakan firasat buruk. 　　"Kaisar, apakah Yang Mulia baik-baik saja?" Seruan khawatir berdatangan menutupi suara lain. 　　Lentera-lentera mulai menyala satu per satu, mengembalikan penerangan di aula. 　　Kaisar Jingming tetap duduk tegak sambil melambaikan tangan: "Tuan-tuan tenang, Aku baik-baik saja." 　　Para menteri menunjukkan ekspresi lega. 　　Jika sesuatu terjadi pada Kaisar, pasti terjadi pergolakan besar di Dinasti Zhou. Mereka semua pantas mati berulang kali. 　　Kaisar baik-baik saja, itu yang terpenting. 　　Tepat ketika kerumunan baru saja lega, sebuah teriakan panik terdengar. 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening memandang ke arah sumber suara. 　　Pangeran Kang menunjuk ke tanah dengan wajah panik, suaranya bergetar: "P-Pangeran An—" 　　Barulah kerumunan menyadari seseorang terbaring tak jauh dari Pangeran Kang. Yang dekat langsung mengenali itu Pangeran An. 　　Pangeran An terbaring tak bergerak dengan lubang menganga di dadanya. Darah menggenangi belati yang tergeletak di sampingnya. 　　Kerumunan pun gempar. 　　Kaisar Jingming yang duduk jauh terhalang pandangan, bertanya dengan panik: "Apa yang terjadi?" 　　Para menteri menyingkir ke kedua sisi membuka pemandangan. 　　Di saat yang sama, langit yang tiba-tiba gelap kembali terang. Meski badai salju masih berlangsung, aula menjadi cukup terang. 　　Kaisar Jingming yang tajam penglihatannya langsung melompat berdiri: "Ada apa dengan Pangeran An?" 　　Sebelum ada yang menjawab, ia berteriak: "Zhen Shicheng—" 　　Zhen Shicheng maju dan membungkuk memeriksa jenazah. Setelah berdiri, ia melapor: "Paduka, Pangeran An sudah mati kaku." 　　Para menteri mengedikkan bibir. 　　Ungkapan Zhen Shicheng terlalu kasar. "Mati kaku"? Tak bisakah pakai bahasa yang lebih halus? 　　“Luka di tengah hati, meninggal seketika. Hamba memeriksa arah belati yang menusuk, bukanlah bunuh diri.” Zhen Shicheng tak peduli pendapat orang lain, menambahkan penjelasan. 　　Para menteri diam-diam menggelengkan kepala. 　　Pangeran An hidup baik-baik saja, untuk apa bunuh diri? 　　Zhen Shicheng mengelus kumisnya. 　　Tidak berprasangka adalah kemampuan dasar dalam investigasi kasus, orang-orang ini tidak mengerti apa-apa. 　　“Zhen Aiqing, lanjutkan.” Kaisar Jingming yang sudah sedikit tenang menatap Zhen Shicheng tanpa mempedulikan yang lain. 　　Soal menjilat, semua bisa. Tapi soal memecahkan kasus, hanya Zhen Shicheng yang dipercayanya. 　　Kepercayaan ini dirasakan Zhen Shicheng. Menahan haru, ia berkata: “Pelaku pasti bertindak saat aula tiba-tiba gelap tadi.” 　　Sejak pulang, badan masih belum pulih. Mengetik sampai bahu sakit tak tertahan. Ada salep yang bagus? 473. BAB 472 Pelaku Kejahatan Berpengalaman 　　BAB 472 Pelaku Kejahatan Berpengalaman 　　Tatapan Zhen Shicheng menyapu kerumunan, kata-katanya mengguncang seperti petir: “Pelaku pasti masih di antara orang-orang di aula ini!” 　　Aula langsung riuh rendah. 　　“Siapa pembunuh Pangeran An?” 　　“Tak terbayangkan. Baru saja bersulang dengan Pangeran An, tiba-tiba mati saat lampu padam?” 　　“Zhen Shicheng bilang pelakunya di sini. Mungkin yang dekat Pangeran An saat gelap?” 　　“Apa maksudmu? Jangan-jangan kau mengira Pangeran An yang kubunuh?” Suara penuh kemarahan itu berasal dari Pangeran Kang yang baru saja ketakutan. 　　“Ah, Tuan Pangeran jangan curiga, ini hanya kesimpulan logis biasa...” 　　“Tapi tak boleh menyimpulkan ke arahku!” 　　…… 　　“Cukup! Diam semua!” Terdengar teriakan lantang Kaisar Jingming. 　　Sudah lama menanti Festival Dongzhi, Kaisar berharap bisa keluar istana menghilangkan kesialan setahun, siapa sangka ada lagi yang tewas! 　　Ada lagi yang mati... 　　Memikirkan hal ini, Kaisar Jingming merasa putus asa. 　　Dia sudah bisa membayangkan, di masa depan ketika ingin mencari kesempatan keluar, para pejabat pengawas pasti akan lebih banyak komentar. 　　“Zhen Aiqing, lanjutkan laporanmu.” 　　Zhen Shicheng memberi hormat kepada Kaisar: “Pertama-tama mohon Kaisar mengirim orang untuk menjaga pintu aula, jangan biarkan siapa pun keluar.” 　　Kaisar Jingming mengangguk, segera memberi isyarat mata ke Pan Hai. 　　Pan Hai paham, mundur untuk mengatur hal teknis. Beberapa pengawal segera berjaga di beberapa pintu menuju aula belakang dan luar gedung. 　　Zhen Shicheng mengelilingi mayat Pangeran An, lalu berhenti. 　　Kerumunan menyaksikan setiap gerak-geriknya. Terdiam oleh teriakan Kaisar sebelumnya, tak ada yang berani bersuara. 　　Sepi mencekam menyelimuti aula, bahkan suara jarum jatuh pun terdengar. 　　Zhen Shicheng membersihkan tenggorokannya, bertanya: “Saat lampu padam tadi, adakah yang tertabrak atau merasakan orang lewat di sekitar?” 　　Setelah keheningan sejenak, seseorang berkata, "Tadi ada yang menginjak kakiku, entah siapa." 　　Orang di sebelahnya canggung menjawab, "Maaf, yang menginjak itu aku." 　　Zhen Shicheng melirik kedua orang yang berbicara itu, lalu memalingkan pandangannya diam-diam. 　　Yang diinjak adalah Menteri Pekerjaan Umum, yang menginjak adalah Menteri Ritus. Keduanya sudah setengah badan masuk liang kubur. Mustahil bagi para lelaki tua ini untuk bisa merangkak melewati beberapa meja dalam kegelapan dan membunuh Pangeran An dengan satu tusukan. 　　Ada yang menambahkan, "Saat itu aku sedang menghormat dengan anggur, tiba-tiba gelap dan entah siapa yang menubrukku sampai anggur tumpah ke bajuku." 　　Seorang lain buru-buru menjelaskan, "Paduka Zhang, aku tidak sengaja menabrakmu. Saat aula gelap tiba-tiba, aku panik ingin kembali ke tempat duduk dan tak sengaja menyenggol seseorang. Separuh lengan bajuku basah kuyup." 　　Dia mengangkat lengan bajunya: "Ciumlah, sampai sekarang masih bau anggur." 　　Orang di sebelahnya mengendus-ngendus, memang mencium aroma anggur pekat. 　　Beberapa orang lain menyebut insiden kecil serupa, namun setelah diteliti tak ada keanehan. 　　Pandangan kerumunan kepada Zhen Shicheng mulai berubah bernuansa. 　　Kasus ini sulit dipecahkan. Tak ada petunjuk yang muncul. Kali ini Zhen Shicheng mungkin akan mengecewakan kepercayaan Kaisar. 　　Banyak yang meremehkan Zhen Shicheng yang berasal dari keluarga miskin tanpa jaringan kekuasaan. 　　“Lebih tepatnya, justru karena Kaisar Jingming sangat menyukai Zhen Shicheng, sementara Zhen Shicheng tidak menghargai siapapun, beberapa orang semakin tidak menyukainya. Secara lebih gamblang, sebenarnya ini adalah masalah iri hati dan dengki.” 　　Jiang Ancheng yang duduk di sudut ruangan merasa sangat khawatir dengan situasi Zhen Shicheng. 　　Saudara Zhen sepertinya menghadapi masalah. 　　Di tengah kekhawatiran, muncul rasa lega: Awalnya dia menyesal karena putri dan menantunya tidak hadir, tapi sekarang justru bersyukur mereka tidak datang. 　　Saat minum bersama Saudara Zhen, dia tidak sengaja berkata "Si'er sepertinya punya hubungan dengan kasus pembunuhan", hampir saja dia menggulung lengan baju hendak memukul Saudara Zhen. 　　Hmph, kali ini Saudara Zhen pasti tidak bisa berkata apa-apa lagi. 　　Zhen Shicheng tetap tenang. Setelah aula kembali sunyi, dia bersuara lantang: "Tadi saat gelap gulita tiba-tiba melanda aula, tidak ada yang melihat pelaku. Namun ada beberapa hal yang pasti." 　　Kerumunan menahan napas mendengarkan penjelasannya. 　　"Pertama, Pangeran Kang yang paling dekat dengan Pangeran An bukanlah pelakunya." 　　Begitu kata-kata ini keluar, kerumunan langsung berbisik-bisik. 　　Pangeran Kang hampir menangis terharu, nyaris hendak memeluk Zhen Shicheng. 　　"Paduka Zhen, sungguh pandai mengamati detail! Siapa pun yang berani meragukan kemampuanmu memecahkan kasus, aku yang pertama akan mencacinya!" 　　Orang-orang diam-diam menatap langit. 　　Alasan Pangeran Kang menilai Zhen Shicheng "pandai mengamati detail" terlalu polos... 　　Kaisar Jingming tak tahan bertanya: "Zhen Aiqing, bagaimana kau yakin pelakunya bukan Pangeran Kang?" 　　Zhen Shicheng berkata kepada Pangeran Kang, “Mohon berbalik badan.” 　　Meski bingung, Pangeran Kang menurut karena Zhen Shicheng mengatakan jika dia bukan pelaku kejahatan berarti orang baik, sehingga sangat kooperatif. 　　Kaisar Jingming menatap punggung Pangeran Kang, menunggu penjelasan Zhen Shicheng. 　　“ lihat, di bagian belakang ini ada berbentuk jarum menetes ke bawah. Ini membuktikan saat Pangeran An ditusuk, Pangeran Kang sedang membelakangi sehingga darah menyembur ke punggungnya.” Penjelasan Zhen Shicheng perlahan namun jelas, “Jika saat itu membelakangi Pangeran An, bagaimana mungkin dia melakukan pembunuhan?” 　　Seseorang berbisik, “Mungkin darah baru menyembur setelah dia berbalik badan?” 　　Pangeran Kang melirik orang itu, diam-diam mencatat namanya di buku hitam. 　　Zhen Shicheng membantah tegas, “Tidak mungkin. Pelaku mencabut segera setelah menusuk dada Pangeran An, darah pasti menyembur saat itu. Pelaku harusnya berdiri di samping mayat agar darahnya bisa mengenai punggung Pangeran Kang.” 　　Dengan sapu tangan, Zhen Shicheng mengambil yang tergeletak di dekat mayat Pangeran An. 　　 menggigil melihat ujung yang masih merah. 　　Meski sekarang , aula istana hangat seperti musim semi. Tapi tipis mereka tiba-tiba terasa dingin. 　　“Mengapa pelaku kejahatan mencabut pisau? Jika tidak mencabutnya, apakah darah tidak akan menyembur?” Seorang menteri yang penuh rasa ingin tahu bertanya dengan bingung. 　　Zhen Shicheng tersenyum dingin: "Inilah yang akan saya jelaskan berikutnya." 　　Kerumunan segera menghentikan berbagai spekulasi mereka, menunggu Zhen Shicheng melanjutkan. 　　“Meskipun pelaku berdiri di sisi dan menghindari sebagian besar cipratan darah, masih mungkin ada darah yang menempel di tubuhnya. Lalu mengapa dia tetap memilih untuk segera mencabut pisau?” 　　Pertanyaan Zhen Shicheng membuat beberapa perwira mulai menyadari sesuatu. 　　Seseorang bergumam pelan: “Agar Pangeran An tidak sempat melawan...” 　　Zhen Shicheng segera menyambung: “Benar! Tujuannya untuk mengurangi perlawanan Pangeran An. Jika pisau ditancapkan di jantung korban tapi tidak segera dicabut, korban tidak akan langsung tewas dan biasanya akan bergerak keras. Ini tidak hanya akan menarik perhatian orang lain, jenazah juga mungkin mencakar pelaku. Pelaku tidak ingin hal ini terjadi, jadi meski darah menyembur, dia tetap mencabut pisau segera. Ditambah situasi kacau setelah lampu padam, proses pembunuhan bisa dilakukan tanpa diketahui siapa pun.” 　　Zhen Shicheng mengalihkan pandangannya perlahan ke kerumunan: “Dari sini kita bisa menyimpulkan satu hal: Pelaku memiliki pengalaman membunuh.” 　　Selamat pagi. Terima kasih atas sharing obat tempel kemarin, saya sudah menempelkannya! 474.BAB 473 Pakaian Lama 　　BAB 473 Pakaian Lama 　　Pelaku punya pengalaman membunuh? 　　Pernyataan Zhen Shicheng ini langsung membuat suasana menjadi tegang. 　　Kaisar Jingming langsung marah setelah mendengar: Ternyata ini residivis! 　　“Siapakah orang ini?” 　　Zhen Shicheng mengarahkan pandangannya yang tajam ke kerumunan, lalu melanjutkan: "Orang ini kemungkinan mahir bela diri, menguasai titik-titik vital tubuh manusia. Jika saat kejadian tidak berada di dekat Pangeran An, maka pasti telah menerima pelatihan khusus sehingga bisa bergerak leluasa dalam kegelapan..." 　　Seiring penjelasan Zhen Shicheng, gambaran sosok pelaku mulai terbentuk dalam benak para hadirin. Meski masih samar, bagaikan selembar kertas jendela yang hanya perlu sentuhan ilham untuk ditembus. 　　Kaisar Jingming juga merenung dengan serius: Siapakah orang yang dimaksud Zhen Shicheng ini? 　　Setelah lama berpikir tanpa hasil, Kaisar Jingming akhirnya melemparkan pertanyaan kembali ke Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng menangkupkan tangan: "Hamba yang bodoh ini berani mengajukan dugaan, namun jika keliru, mohon Kaisar berkenan mengampuni." 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan: "Zhen Aiqing silakan berbicara. Aku yakin dugaanmu pasti berdasar." 　　Para menteri gemetar ketakutan. 　　Sikap Kaisar ini terlalu sembrono! Bagaimana jika Zhen Shicheng memanfaatkan kesempatan untuk balas dendam? 　　Para pejabat mulai memeras otak mengingat-ingat apakah pernah menyinggung Zhen Shicheng. 　　Suasana ruangan tiba-tiba menjadi hening secara aneh. 　　Kaisar Jingming mengamati reaksi mereka dengan wajahnya muram, senyum dingin mengembang di sudut bibirnya. 　　Berkali-kali berani membunuh di hadapanku, apakah mereka menganggapku terlalu sabar? 　　Kali ini lebih baik salah tangkap daripada melewatkannya! 　　Kaisar Jingming berpikir: Aku juga punya batas kesabaran. Saatnya memberi pelajaran pada para brengsek ini. 　　Dengan dukungan Kaisar Jingming, Zhen Shicheng mengibaskan kumisnya lalu tiba-tiba menunjuk: "Hamba yang bodoh berpendapat, pelaku kejahatan paling mungkin berada di antara para pengawal ini!" 　　Ucapan ini bagai petir di siang bolong, mengguncang banyak orang. 　　Pada saat itu, Kaisar Jingming hampir melompat dari kursi naganya. 　　Bukankah banyak pengawal yang menjaga di sekelilingnya? Mungkinkah di antara mereka ada pelaku kejahatan? 　　"Tuan Zhen, apakah kau tidak sedang bercanda? Para pengawal ini dipilih satu dari seribu untuk melayani Kaisar," sanggah seseorang. 　　Di aula, Komandan Jinwuwei Wang Hai dan Komandan Pengawal Jinlin Han Ran sama-sama terlihat sangat muram. 　　Selain menjadi mata-mata Kaisar, Jinlinwei juga bertugas sebagai tim protokoler dalam perjalanan Kaisar. Pasukan Jinwuwei sebagai pengawal istana juga akan mengirim sebagian pasukan untuk mengawal Kaisar. 　　Keberadaan kedua pasukan ini di aula membuat pernyataan Zhen Shicheng secara tak langsung menjerumuskan kedua komandan ke pusat sorotan. 　　Mereka yang tidak menjadi sasaran tuduhan diam-diam lega, namun tak bisa tidak mengagumi keberanian Zhen Shicheng. 　　Berani menyinggung komandan Jinwuwei dan komandan Jinlinwei tanpa bukti kuat, pantas disebut Zhen Shicheng. 　　“Hamba yang bodoh memperhatikan bahwa setelah aula kembali terang, tidak ada pengawal di sekitar mayat Pangeran An. Hamba meminta untuk memeriksa satu per satu pengawal di dalam aula. Jika ditemukan bekas darah pada salah seorang pengawal, itu berarti darah tersebut menempel sebelum Pangeran An dibunuh.” Zhen Shicheng tidak peduli apakah permintaannya akan menyinggung orang, langsung mengajukan permintaan. 　　Makna perkataannya jelas: Karena tidak ada pengawal yang mendekat setelah kematian Pangeran An, maka pengawal yang memiliki bekas darah hampir pasti adalah pelaku kejahatan. 　　“Bagaimana jika semua pengawal tidak memiliki bekas darah?” Komandan Jinwuwei Wang Hai bertanya. 　　“Itu tidak menyingkirkan kemungkinan pengawal sebagai pelaku.” Zhen Shicheng mengusap kumisnya, menganggap pertanyaan Wang Hai bodoh, “Jika bisa sepenuhnya menghilangkan kecurigaan pada pengawal, baru kita perlu meninjau kembali lingkup investigasi. Sekarang tentu harus dimulai dari target yang paling mungkin.” 　　Wang Hai tidak berbicara lagi. 　　Kaisar Jingming melirik Han Ran. 　　Han Ran segera mengumpulkan pasukan Jinlinwei yang hadir untuk berbaris dalam satu tim, memudahkan pemeriksaan Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng berjalan melewati barisan pengawal muda yang berdiri tegak dengan ekspresi serius, kemudian kembali ke depan barisan untuk memulai pemeriksaan menyeluruh. 　　Saat ini, diam-diam ia berpikir: Andai Permaisuri Yan ada di sini, mungkin dengan mengendus saja bisa mengetahui siapa yang berbau darah. Atau jika Pangeran Yan hadir juga baik, meski agak bodoh tapi semangatnya sungguh... 　　Zhen Shicheng yang kekurangan asisten menghela napas dalam hati, lalu bersemangat melanjutkan pemeriksaan satu per satu. 　　Di tengah sorotan kerumunan, Zhen Shicheng akhirnya selesai memeriksa anggota terakhir Jinlinwei, berkata: "Untuk sementara tidak ditemukan bukti." 　　Komandan Pengawal Jinlin Han Ran segera menghela napas lega, sementara komandan Jinwuwei Wang Hai tanpa alasan menjadi tegang. 　　Saat ini pasukan Jinwuwei juga telah berbaris rapi, menunggu pemeriksaan Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng berjalan mendekat, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada wajah muda seorang prajurit. 　　Jiang Zhan menyunggingkan sudut bibirnya, memberi isyarat salam. 　　Zhen Shicheng mengangguk halus, menarik pandangannya dan berjalan ke depan barisan. 　　Satu per satu pengawal diperiksanya, tiba-tiba dia berhenti di depan Jiang Zhan. 　　Jiang Ancheng hampir melompat terkejut. 　　Kekhawatiran membuatnya gelisah, meski yakin anaknya takkan membunuh, situasi ini tetap membuat jantungnya berdegup kencang. 　　Dia memang percaya Zhan'er takkan membunuh, tapi si bocah ini sudah berkali-kali menjerumuskannya. 　　Zhen Shicheng mundur selangkah, berkata pada pengawal yang berdiri di depan Jiang Zhan: "Silakan maju ke depan." 　　Jantung Jiang Ancheng yang berdebar kencang tiba-tiba tenang, diam-diam menyeka keringat. 　　Saudara Zhen benar-benar jago bikin tegang, nanti pulang pasti akan kuhukum dia minum beberapa gelas. 　　Zhen Shicheng mengitari anggota Jinwuwei yang maju itu, bertanya dengan wajah datar: "Mengapa seragammu berbeda dengan yang lain?" 　　Prajurit yang ditanya itu menunduk memandang seragam hitam-birunya, wajah penuh kebingungan: "Hamba tidak melihat perbedaan dengan seragam lain--" 　　Zhen Shicheng langsung menggenggam pergelangan tangan pria itu, berkata kata demi kata: "Warna tali pengikat di lengan baju berbeda dengan yang lain." 　　Berbeda dengan jubah longgar orang biasa, pengawal memakai baju pendek dan lengan sempit agar mudah bergerak. 　　Seragam Jinwuwei didominasi warna hitam dan biru dengan sulaman benang emas, sedangkan tali pengikat lengannya berwarna hijau keabuan. 　　Meski tali pengikat lengan Jinwuwei ini juga berwarna hijau keabuan, jika diamati seksama terdapat perbedaan tipis warna yang agak lebih muda. 　　Atas insistensi Zhen Shicheng terhadap perbedaan sepele ini, kerumunan di aula tampak bingung. 　　Mata tajam Zhen Shicheng, ia melepas genggaman lalu bertanya pada seorang Jinwuwei yang raut wajahnya mencurigakan: "Kau ada sesuatu untuk dikatakan?" 　　Jinwuwei itu tampak ragu-ragu. 　　"Tuan Zhen bertanya, jawab saja!" Komandan Jinwuwei Wang Hai berkata dingin. 　　Setelah berpikir sejenak, Jinwuwei itu menjawab: "Dilihat dari warna talinya, mirip dengan seragam tahun lalu..." 　　Wang Hai seakan teringat sesuatu, bergegas meraih ujung baju Jinwuwei tersebut dan membaliknya. 　　Di bagian dalam ujung baju tersulam tipis angka "delapan belas". 　　"Baju ini memang buatan tahun lalu." Wang Hai berkata dengan wajah muram. 　　Zhen Shicheng mengamati Jinwuwei itu sambil mengelus kumisnya: "Kalau begitu jelaskan, mengapa memakai baju lama dalam ritual sembahyang kepada langit?" 　　"Sebelum berangkat, pakaian saya tidak sengaja kotor. Terpaksa mengambil baju lama untuk diganti." Jinwuwei itu menjawab jujur. 　　Kerumunan menggeleng kepala diam-diam. 　　Zhen Shicheng terlalu banyak berpikir, apakah memakai pakaian usang berarti ada masalah? 　　Tiba-tiba Zhen Shicheng memperhatikan kode mata rahasia yang diberikan Jiang Zhan secara diam-diam. 　　Terima kasih untuk hadiah dari Zai Huanxiang Zhong Youli, Shū Yǒu 20180919075535605, guiyue08, mcj221, Jing Shui Ning Lu, Re Lian^^, Rong Jiu Niu, Shū Yǒu 20180802095538026. Terima kasih juga untuk teman-teman pembaca yang memberikan vote. 475.BAB 474 Penemuan Jiang Zhan 　　BAB 474 Penemuan Jiang Zhan 　　Zhen Shicheng dengan tenang menarik pandangannya, lalu berkata kepada barisan Jinwuwei: "Silakan semua mengingat kembali kejadian aneh setelah aula gelap. Sekarang mulai dari orang pertama. Ingat, semua hal yang kalian anggap tidak biasa boleh diungkapkan, sekalipun mungkin salah." 　　Kaisar Jingming tepat waktu menyela: "Wang Hai, pastikan mereka bekerja sama dengan baik dengan Tuan Zhen." 　　Dengan perintah kaisar, dimulai dari anggota Jinwuwei pertama di barisan, mereka semua mengerahkan otak untuk menyebutkan keanehan yang dirasakan. 　　Zhen Shicheng mendengarkan dengan seksama, namun tidak menemukan informasi berharga. 　　Segera tiba giliran Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan menyatukan tangan memberi hormat: "Paduka, hamba bertugas di sekitar pintu aula. Saat aula tiba-tiba gelap, penglihatan terganggu. Perasaan hamba mungkin kurang akurat..." 　　Sebenarnya berdasarkan senioritas, Jiang Zhan tidak layak bertugas di dalam aula. Namun Wang Hai paham betul Kaisar Jingming menyukai wajah tampak, terutama dalam acara besar seperti ini. Jika kaisar melihat wajah buruk rupa tentu akan merusak suasana, maka Jiang Zhan ditukar posisinya dengan orang lain. 　　“Silakan bicara.” Zhen Shicheng berkata datar, dalam hati berpikir: Sudah kuberi pengantar begitu lama, sekarang juga belum cepat-cepat bicara. 　　Jiang Zhan menunjukkan raut ragu: "Saat aula tiba-tiba gelap, situasi sempat kacau. Hamba merasa rekan sejawat di samping menghilang sejenak——" 　　Zhen Shicheng menyela Jiang Zhan: "Jika tidak bisa melihat, bagaimana kau tahu rekanmu menghilang sejenak?" 　　Seseorang berbisik: "Konon ahli bela diri bisa merasakan aura orang di sekitarnya. Tak disangka anggota Jinwuwei ini ternyata master sejati." 　　Jiang Ancheng mengusap dagunya berpikir: Anakku bukan tipe orang seperti itu. 　　Jiang Zhan segera menjawab: "Karena pertama kali bertugas di aula, hamba panik saat gelap tiba-tiba. Hamba berteriak memanggil rekan itu beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Jadi hamba simpulkan dia tidak ada di samping." 　　Kerumunan: "..." Logis juga, dasar. 　　"Siapa nama rekan itu?" tanya Zhen Shicheng. 　　Jiang Zhan menatap anggota Jinwuwei yang mengenakan baju usang. 　　Zhen Shicheng mengikuti pandangannya: "Dia?" 　　Jiang Zhan mengangguk. 　　"Bisa kau jelaskan ke mana perginya saat itu?" 　　Anggota Jinwuwei itu tampak polos: "Hamba tidak pergi, tetap di posisi semula." 　　Zhen Shicheng menunjuk Jiang Zhan: "Kalau begitu, kenapa tidak menjawab saat dia memanggilmu?" 　　"Jinwuwei berkata dengan tegas: 'Hamba hanya menjalankan tugas. Sebagai Jinwuwei, jika panik saat menghadapi keadaan darurat, bagaimana bisa melindungi orang terhormat? Saat semua orang kacau, bagaimana jika ada yang berbuat jahat dan kabur diam-diam? Karena itu hamba tidak berani lengah, dan tidak memberi tahu posisi hamba agar bisa mengawasi segala keanehan.'" 　　Zhen Shicheng mengangkat sudut bibirnya. 　　Jinwuwei ini benar-benar pandai bicara. 　　Ia menatap Jinwuwei, Jinwuwei juga menatapnya, pandangan mereka bertemu di udara. 　　Sehelai baju usang dan dugaan rekan seperjuangan, tentu tidak bisa dianggap sebagai bukti. 　　Tiba-tiba Jiang Zhan berkata: "Jadi kau tidak menjawab karena alasan ini?" 　　Jinwuwei mengangguk: "Jiang Er, kau masih baru, wajar belum paham." 　　Jiang Zhan mengangkat alisnya: "Memang aku baru, tapi ucapan tadi belum selesai." 　　Jinwuwei menatapnya tanpa ekspresi. 　　"Paduka Zhen, saat itu teriakan hamba tidak mendapat jawaban, lalu hamba meraba-raba dalam gelap mendekati arahnya. Tiba-tiba sesuatu menyentuh kaki hamba, tak lama kemudian aula menjadi terang." 　　"Bagaimana keadaannya saat itu?" 　　"Dia memang di tempat semula, hanya mundur dua langkah. Yang aneh adalah benda yang menyentuh kakiku—" Jiang Zhan mengerutkan alis pedangnya, "Sesuatu yang lembut... Paduka, bolehkah hamba periksa pintu?" 　　Setelah Zhen Shicheng mengangguk, Jiang Zhan bergegas ke pintu. 　　Pandangan kerumunan mengikuti setiap gerakannya. 　　Pintu aula tertutup rapat, di kedua sisinya tergantung tirai berlapis-lapis. Saat ini ada beberapa pengawal berjaga di sana untuk mencegah ada yang menyelinap pergi. 　　Jiang Zhan berjalan mendekat lalu melihat sekeliling, tangannya meraih tirai yang menjuntai ke lantai. 　　Setelah meraba-raba sebentar, dia berdiri tegak sambil memegang suatu benda di tangannya. 　　Kerumunan seketika berubah wajah saat melihat benda di tangannya: itu adalah pakaian yang terlipat sembarangan, berwarna biru-hitam dengan pola emas samar. 　　Jiang Zhan membawa tumpukan pakaian itu menuju Zhen Shicheng. 　　"Ini seragam Jinwuwei?" tanya Zhen Shicheng pada komandan Jinwuwei Wang Hai. 　　Pada titik ini, Wang Hai sudah tidak bisa lagi memikirkan kekecewaan bahwa pelaku kejahatan mungkin berasal dari pasukan pengawalnya. Yang terpenting sekarang adalah segera menemukan si pelaku untuk menebus kesalahan. 　　Ia segera mengangguk: "Ini memang seragam Jinwuwei." 　　"Artinya, seseorang memanfaatkan kegelapan untuk melepas dan menyembunyikan seragam ini..." Zhen Shicheng membentangkan pakaian itu, setelah memeriksa dengan teliti, dia menemukan noda darah kecil di bagian depan baju. 　　Warna pakaian yang biru-hitam membuat noda darah itu tidak mencolok, tapi pengalaman Zhen Shicheng yang tak terhitung dalam kasus pembunuhan membuatnya langsung mengenalinya. 　　Zhen Shicheng mengangkat pakaian itu dan berkata: "Pelakunya sangat cermat. Saat membunuh Pangeran An, meski sudah berdiri di samping untuk menghindari percikan darah, dia masih khawatir ada darah yang mengenai bajanya. Jadi dia mengenakan dua lapis baju yang sama, lalu dengan cepat melepas dan menyembunyikan lapisan luar setelah beraksi, sehingga penampilannya tetap sempurna tanpa cacat." 　　Zhen Shicheng menatap anggota Jinwuwei itu sambil menggelengkan kepala: "Sayang sekali, di dunia ini tidak ada kejahatan yang sempurna tanpa cacat. Selama dilakukan, pasti ada petunjuk yang tertinggal——" 　　Wajah anggota Jinwuwei itu berubah pucat pasi. Tiba-tiba ia menerjang ke arah Zhen Shicheng, namun diseret kembali saat kakinya melayang. 　　Jiang Zhan menungganginya, mengerahkan tenaga penuh untuk menampar dua kali sambil marah: "Membunuh sampai kecanduan? Berani-beraninya kau menyentuh Tuan Zhen!" 　　Dalam hal ilmu bela diri, ia memang kalah dengan anggota Jinwuwei ini. Keunggulannya terletak pada mengambil inisiatif menyerang lebih dulu, pukulan acaknya langsung membuat lawan linglung. 　　Saat anggota Jinwuwei itu sadar dan bersiap membalas serangan, ujung beberapa pedang panjang sudah menancap di anggota badannya. 　　"Tahan eksekusi!" teriak Zhen Shicheng keras-keras, suaranya menenggelamkan jeritan anggota Jinwuwei itu. 　　Beberapa pengawal yang bertindak menoleh ke komandan Jinwuwei Wang Hai, sementara Wang Hai sendiri menatap Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menatap Jiang Zhan sekilas dalam-dalam sebelum berkata: "Tanyakan dulu semua detailnya." 　　Perasaan frustasi karena sudah susah payah menangkap pelaku namun belum sempat diinterogasi sudah mati, Kaisar Jingming benar-benar mengalaminya. 　　Wang Hai segera maju dan menarik anggota Jinwuwei itu berdiri. 　　"Bawa dia ke aula belakang untuk pemeriksaan. Zhen Aiqing, Komandan Wang, Komandan Han... Kalian semua ikut. Yang lain tetap di aula sementara." Setelah berkata demikian, Kaisar Jingming berjalan ke belakang dengan tangan terkepal di punggung. 　　Beberapa yang disebut namanya segera mengikuti, meninggalkan para menteri terkagum-kagum. 　　Mereka juga ingin mendengar alasan pembunuhan Pangeran An! Kaisar terlalu kejam! 　　Sesampainya di aula belakang, Kaisar Jingming memberi isyarat pada Wang Hai untuk mulai menginterogasi, lalu menyepi ke ruang dalam. 　　Suara siksaan yang terdengar sesekali membuat alut Kaisar Jingming berkerut sambil menunggu hasil. 　　Setelah dua shichen, Wang Hai masuk dengan wajah penuh malu melapor: "Kaisar, tulang keras itu masih perlu waktu untuk dipecahkan..." 476.BAB 475 Dugaan Berani 　　BAB 475 Dugaan Berani 　　Kali ini Kaisar Jingming tak mau menjaga reputasi Wang Hai lagi, langsung memerintah: "Suruh Han Ran yang interogasi." 　　Dalam hal interogasi dan penyiksaan, Komandan Pengawal Jinlin Han Ran jelas lebih ahli daripada Komandan Jinwuwei Wang Hai. 　　Zhen Shicheng tiba-tiba angkat bicara: "Kaisar, hamba yang bodoh ingin mengajukan beberapa pertanyaan." 　　Menghadapi Zhen Shicheng, raut wajah Kaisar Jingming melunak, mengangguk perlahan. 　　Zhen Shicheng pun keluar. 　　Prajurit Jinwuwei itu kini sudah berlumuran bekas darah. Tatkala Zhen Shicheng mendekat, ia hanya membuka mata sebentar lalu menutupnya lagi. 　　Zhen Shicheng berdiri kaku di depannya, membisu. 　　Kebisuan ini justru membuat prajurit Jinwuwei itu kembali membuka mata, memandang Zhen Shicheng dengan tatapan bingung. 　　Melihat tujuannya tercapai, Zhen Shicheng tiba-tiba tersenyum. 　　Senyuman ini semakin membuat lawannya kebingungan. 　　"Saya telah menyelesaikan ratusan kasus, dan menemukan satu pola." Zhen Shicheng mulai bicara dengan nada santai. 　　Prajurit itu mengedipkan kelopak mata, menatap ke arahnya. 　　Zhen Shicheng meraba kumisnya, berkata dengan tenang: "Membunuh orang, tidak lepas dari beberapa alasan: demi harta, keuntungan, nafsu, atau balas dendam..." 　　Saat mengucapkan ini, ia mengamati perubahan ekspresi lawan bicaranya dengan cermat. Jelas terlihat kelopak mata pria itu berkedut lebih dua kali saat disebutkan "nafsu". 　　Seketika itu pula Zhen Shicheng menemukan arah penyelidikan. 　　Mungkin bagi orang awam, menentukan arah penyidikan hanya berdasarkan perubahan ekspresi dianggap tidak masuk akal. Tapi hanya praktisi berpengalaman yang memahami keajaiban dalam profesi ini. 　　Terkadang seberkas inspirasi bisa menjadi kunci pemecahan kasus. 　　Zhen Shicheng melanjutkan: "Tadi saya sudah menanyakan situasimu. Kau adalah putra bungsu Qingchun Bo, setelah orangtuamu meninggal kau hidup terpisah di rumah lain. Sehari-hari jarang berinteraksi dengan kakakmu yang mewarisi gelar bangsawan, bisa dibilang hampir sepanjang tahun bertugas di ibukota. Dalam kondisi seperti ini, saya tidak melihat alasan bagimu untuk bermusuhan dengan Pangeran An." 　　Pria itu menundukkan pandangan tanpa reaksi. 　　"Kau tidak suka judi, tidak kecanduan minuman, hiburan saat libur juga sedikit. Sepertinya bukan karena harta juga..." Zhen Shicheng menatapnya tajam, dengan nada meyakinkan: "Ini karena wanita, bukan?" 　　Pria itu tiba-tiba mengangkat wajah, panik sesaat terpantul di kedalaman matanya. 　　Reaksi ini tak luput dari pengamatan Zhen Shicheng. Keyakinannya semakin bertambah, sambil mengelus kumisnya ia tersenyum mantap: "Biarkan saya menyimpulkan status paling mungkin dari wanita tersebut." 　　Karena Zhen Shicheng akan melakukan interogasi, Kaisar Jingming telah keluar dari ruang dalam lebih awal dan menguping di balik penyekat. Mendengar pengakuan si pengawal muda bahwa ia membunuh demi seorang wanita, rasa ingin tahunya langsung melambung tinggi, hampir saja menempelkan telinganya ke penyekat. 　　Pan Hai buru-buru menarik lengan Kaisar Jingming sambil menunjuk ke arah penyekat. 　　Jika Yang Mulia terus mendorong penyekat ini, nanti penyekatnya bisa roboh. 　　Kaisar Jingming menggeser tubuhnya ke belakang sedikit, dengan angkuh mengangkat dagu. 　　Di balik penyekat, ucapan Zhen Shicheng telah menyedot seluruh perhatian prajurit Jinwuwei itu. 　　Di bawah senyum penuh keyakinan lawannya, jantung prajurit Jinwuwei berdebar kencang merasakan ketegangan yang luar biasa. 　　Zhen Shicheng justru sangat menyukai tekanan yang dirasakan prajurit itu. 　　Ia melanjutkan, "Seperti yang kukatakan sebelumnya, hampir sepanjang tahun kau bertugas di istana. Rumah hanya tempatmu bersantai sesekali. Aku menduga wanita itu lebih mungkin berada di dalam istana. Lalu, perempuan macam apa yang paling mungkin kau temui di istana? Dayang?" 　　Kaisar Jingming yang bersembunyi di balik penyekat mengernyitkan mulutnya. 　　Hubungan gelap antara pengawal dan dayang adalah kejahatan yang hukumannya mati. 　　Meski ada peraturan bahwa dayang boleh keluar istana di usia 25, secara tak langsung semua perempuan di istana - kecuali Janda Permaisuri, Putri, dan kerabat darah Kaisar - bisa dianggap sebagai milik Kaisar. 　　Kaisar Jingming tidak memiliki kebiasaan menggauli dayang, tapi mendengar hal ini tetap membuatnya jengah. 　　Jika pengawal berani melakukan ini dengan dayang, apa mereka juga berani mendekati selir-selir? 　　“Baru saja pikiran ini terlintas, tiba-tiba terdengar suara Zhen Shicheng: ‘Atau mungkin para selir?’” 　　Tubuh Kaisar Jingming goyah, nyaris menjatuhkan penyekat ruangan. 　　Pan Hai segera menopang Kaisar Jingming, mengusap keringat dingin dengan lengan bajunya. 　　Zhen Shicheng ini benar-benar berani mengatakan apa saja! 　　Di samping, Komandan Jinlinwei Han Ran dan Komandan Jinwuwei Wang Hai menundukkan kepala pura-pura mati. 　　Jinwuwei menyeringai: “Paduka berani membuat dugaan sembarangan seperti ini, tidak takukah Kaisar akan menghukummu?” 　　Zhen Shicheng tertawa lebih keras: “Semua dugaan ini untuk memecahkan kasus! Kaisar bukan penguasa lalim, mengapa harus menghukumku? Jika kau benar-benar berselingkuh dengan seorang wanita di istana, lebih baik diungkap daripada dibiarkan membusuk!” 　　Di balik penyekat, Kaisar Jingming mengangguk tanpa sadar. 　　Meski kata-kata Zhen Shicheng menyakitkan, logikanya tetap ada. 　　Jinwuwei mendengus keras, memalingkan muka dari Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng tersenyum: “Kemarahan seringkali menyembunyikan ketakutan dalam hati. Dugaan saya ternyata benar.” 　　“Konyol! Sebagai Prefect Shuntian, kau berani memfitnah pengawal rendahan sepertiku. Apa aku tak boleh marah?” 　　“Tentu saja kau boleh murka karena malu,” kata Zhen Shicheng dengan tenang. 　　Jinwuwei segera mengatupkan mulutnya. 　　Semakin banyak bicara, situasi semakin buruk... 　　Zhen Shicheng berjalan mondar-mandir dengan tangan terkait di belakang, menjaga jarak dari Jinwuwei, lalu berkata penuh makna: "Korban hari ini, Pangeran An, hamba pernah menangani kasus yang terkait dengannya sebelumnya. Kebetulan hamba tahu siapa yang baru-baru ini menjadi musuhnya." 　　Ekspresi Kaisar Jingming di balik penyekat tiba-tiba berubah serius, sementara wajah prajurit Jinwuwei itu semakin pucat mendengar perkataan ini. 　　Zhen Shicheng melanjutkan tanpa peduli: "Tahun lalu saat hamba datang ke ibu kota untuk menjabat, kasus pertama yang hamba tangani adalah kasus kematian mendadak 'Paman Selir Yang'. 'Paman Selir Yang' tewas di pos peristirahatan, kemudian terungkap bahwa pelakunya adalah pelayan Pangeran An, bermula dari persaingan mereka memperhatikan seorang bunga teratai di Sungai Jinshui..." 　　Cerita Zhen Shicheng mengingatkan kerumunan pada kasus yang menggemparkan ibu kota tahun lalu. 　　Hmm, memang tahun lalu banyak kasus menggemparkan ibu kota. Selain kasus kematian mendadak 'Paman Selir Yang', ada juga kasus pembunuhan sepuluh perempuan oleh Putra Mahkota Marquis Changxing... 　　"Meski kasusnya terungkap, karena pelakunya adalah pelayan Pangeran An, hukuman untuk Pangeran An hanya potongan gaji. Pasti Selir Yang tidak puas..." 　　Orang-orang berpengamatan tajam tahu bahwa pelayan Pangeran An hanyalah kambing hitam. Dalang sebenarnya yang ingin membunuh 'Paman Selir Yang' tentulah Pangeran An sendiri. 　　Sebagai sepupu Kaisar Jingming, meski marah atas kelancangan Pangeran An, Sang Kaisar mempertimbangkan berbagai faktor dan tidak memberikan hukuman berat. 　　Karena inilah, selama delapan bulan terakhir Selir Yang terus-menerus menggerutu pada Kaisar Jingming. 　　Zhen Shicheng menatap anggota Jinwuwei itu, mengucapkan kata demi kata: "Orang yang menyuruhmu membunuh Pangeran An adalah Selir Yang!" 　　Begitu ucapannya selesai, penyekat rubuh dengan suara gemuruh yang menggemparkan. 　　"Kaisar——" 　　Kaisar Jingming mengabaikan teriakan orang lain, melangkah besar ke depan Zhen Shicheng dengan nada yang belum pernah se-serius ini: "Zhen Aiqing, apakah kau serius dengan ucapanmu?" 　　Zhen Shicheng memberi hormat kepada Kaisar Jingming, nada bicaranya tetap tenang: "Ini semua hanya dugaan berani hamba. Untuk memastikan kebenarannya, mengapa Kaisar tidak memanggil Selir Yang untuk diinterogasi?" 477.BAB 476 PEMBALASAN 　　BAB 476 PEMBALASAN 　　Komandan Jinlinwei Han Ran dan Komandan Jinwuwei Wang Hai sama-sama terkejut oleh ucapan Zhen Shicheng. 　　Berani menduga Selir Yang berselingkuh dengan pengawal... Benar-benar dugaan yang nekat... 　　Sekarang mereka akhirnya mengerti mengapa Zhen Shicheng sejak awal mengatakan ini hanya dugaan berani dan memohon pengampunan Kaisar jika salah. 　　Ini taktiknya untuk melindungi diri sendiri sejak awal. 　　Kala itu bagaimana jawaban Kaisar? 　　"Aku percaya dugaan Zhen Aiqing pasti ada dasarnya." 　　Mengingat kembali ucapan Kaisar Jingming, keduanya tak bisa menahan rasa simpati yang mendalam, sambil mengingatkan diri sendiri untuk sebisa mungkin menghindari berurusan dengan si rubah tua Zhen. 　　Merasa ada bayangan hijau di atas kepala, Kaisar Jingming tak sabar menunggu, segera memerintahkan Pan Hai: "Kau bawa orang untuk menjemput Selir Yang ke sini!" 　　Saat ini satu-satunya hal yang membuatnya lega adalah sedikitnya orang yang tahu kebenaran, hanya beberapa orang paling dipercayanya. 　　Pan Hai segera menjalankan perintah. 　　Aula tiba-tiba diliputi keheningan yang mencekik. 　　Jari-jari Kaisar Jingming tanpa sadar mengetuk sandaran kursi, semakin cepat dan gugup, lalu berhenti sejenak sebelum akhirnya duduk diam membatu. 　　Ini bukan pertanda ia tenang. Sebaliknya, Kaisar Jingming saat ini bagaikan busur yang tegang - panahnya yang mampu mengubah langit dan bumi siap meleset kapan saja, mengacaukan ibu kota yang damai. 　　Han Ran dan Wang Hai bahkan tegang hingga berkeringat dingin. 　　Jika dugaan Zhen Shicheng benar, bukankah Selir Yang telah mengenakan tudung hijau untuk Kaisar? 　　Jangan-jangan Sang Kaisar dalam kemarahannya akan kubunuh mereka yang mengetahui rahasia ini? 　　Seharusnya tidak sampai begitu... Tapi tetap saja deg-degan... 　　Entah berapa lama, derap langkah terdengar dari luar. Pintu terdorong kasar saat Pan Hai masuk tergopoh-gopoh. 　　Kelopak mata Kaisar Jingming berkedut keras. 　　Pan Hai telah melayaninya bertahun-tahun, telah melalui banyak cobaan. Sikap tidak sopan seperti ini sangat langka. 　　Jangan-jangan Selir Yang juga sudah bunuh diri setelah mendapat kabar buruk? 　　Ingatan akan Chen Meiren yang gantung diri karena takut dihukum timbul dalam benaknya. 　　Han Ran dan Wang Hai dengan tajam mencium bahaya. Setelah saling pandang, mereka mundur ke dinding dan berpura-pura menjadi tiang kayu. 　　Pan Hai mengabaikan mereka. Bahkan tak sempat memberi salam, ia langsung mendekat dan berbisik di telinga Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming berdiri tiba-tiba. Karena terlalu cepat, tubuhnya oleng nyaris terjatuh. 　　Pan Hai menyangga Kaisar Jingming, suaranya bergetar: "Kaisar, Yang Mulia harus menjaga keperawanan ini——" 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan, raut wajahnya yang belum pernah terlihat sedingin es, bertahan: "Aku belum akan mati!" 　　Setelah beberapa saat, Kaisar Jingming mengeluarkan napas berat, suara seraknya seolah tiba-tiba menua beberapa tahun: "Ikut Aku melihat ke sana." 　　Pan Hai diam seribu bahasa, menyangga Kaisar Jingming keluar. 　　Han Ran dan Wang Hai saling berpandangan, sama-sama melihat kebingungan dan ketakutan di mata masing-masing. 　　Kaisar sebenarnya sudah mempersiapkan diri tentang urusan Selir Yang dengan pengawal, seharusnya tidak bereaksi seperti ini kecuali terjadi hal yang lebih mengejutkan—— 　　Keduanya tak berani melanjutkan pikiran, patuh berdiri di kaki tembok. 　　Kaisar Jingming yang sudah sampai di pintu menoleh ke mereka, sudut bibirnya berkedut: "Kalian juga ikut." 　　Han Ran dan Wang Hai gemetar dalam hati, diam-diam mengikuti. 　　Istana peristirahatan di Gunung Cuiluo, fungsi utamanya adalah sebagai tempat pesta dan istirahat setelah Kaisar memimpin pejabat militer-sipil melakukan ritual sembahyang kepada langit setiap Festival Dongzhi. 　　Istana ini tidak besar, area untuk dayang istana belakang hanya sebagian kecil. 　　Dengan ditopang Pan Hai, Kaisar Jingming segera tiba di kediaman terdalam istana yang tampak tenang namun dijaga banyak pelayan istana. 　　Melihat kedatangan Kaisar Jingming, pelayan istana membuka pintu tanpa suara. 　　Kaisar Jingming memandang Pan Hai. 　　Pan Hai mengangguk halus. 　　Kaisar Jingming mengencangkan bibirnya, melangkah masuk. 　　Han Ran dan Wang Hai ragu sejenak di depan pintu. 　　Ini adalah tempat peristirahatan selir di istana belakang. Meski aturannya tidak seketat di Istana Kekaisaran, status mereka yang datang ke sini tetap membuat bulu kuduk merinding. 　　Setelah ragu-ragu, mereka mengeraskan hati dan mengikuti. 　　Petir dan hujan semuanya merupakan kasih kaisar. Apa pun yang diperintahkan Kaisar harus dilaksanakan, meski tahu terlalu banyak rahasia akan mempercepat kematian, tak boleh melanggar titah kaisar. 　　Berbeda dengan kemegahan aula depan, jalan setapak menuju kamar tidur memancarkan ketenangan yang unik. 　　Kaisar Jingming memberi isyarat pada Han Ran dan Wang Hai untuk berjaga di luar, menatap langit berhujan salju, lalu melangkah masuk dengan pasti. 　　Pintu kamar langsung ditutup. 　　Dengan wajah kaku, Kaisar Jingming berjalan perlahan melewati tirai-tirai bertumpuk, melihat Selir Yang menyelimuti tubuhnya dengan selimut sutra sambil meringkuk di sudut, sementara Putra Mahkota tergeletak di lantai dengan pakaian tidak rapi. 　　Darah Kaisar Jingming langsung mendidih melihat pemandangan ini. Dia mengangkat kaki dan menendang Putra Mahkota dengan keras. 　　Putra Mahkota terjatuh, berguling dan merangkak sambil menangis memohon: "Ayah Kaisar, anak lelaki ini mabuk, anak lelaki ini mabuk..." 　　Kaisar Jingming menutup mata sejenak, lalu memerintahkan Pan Hai: "Kurung binatang ini! Jangan biarkan dia mengoceh sembarangan." 　　Pan Hai segera mematuhi, menyuruh beberapa pelayan istana membawa pergi Putra Mahkota. 　　Kaisar Jingming menatap Selir Yang. 　　Selir Yang menunduk, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah. 　　Ini adalah selir yang pernah sangat dicintainya, tapi melakukan hal yang begitu menjijikkan baginya... 　　"Mengapa?" Kaisar Jingming membuka mulut bertanya, amarah langsung memenuhi seluruh tubuhnya. 　　Selir Yang diam seribu bahasa. 　　"Apakah Pangeran An juga kau yang menyuruh pengawal untuk membunuhnya?" 　　Mendengar pertanyaan Kaisar Jingming, Selir Yang akhirnya mengangkat pandangan dan mengangguk perlahan. 　　Kaisar Jingming spontan mengambil vas bunga dan melemparkannya ke arah Selir Yang. 　　"Kau sudah gila? Katakan, bagaimana kau berhubungan dengan pengawal itu, dan bagaimana kau merayu Putra Mahkota!" 　　Selir Yang tiba-tiba tertawa. 　　Tawa nyaring seperti lonceng perak wanita itu bergema di telinga, membuat Kaisar Jingming merasa sesak dan ingin muntak. 　　"Yang Mulia bertanya tentang Zhang Hu? Saya sudah kenal dengannya sejak sebelum masuk istana." Selir Yang mengaitkan rambut yang terjuntai dengan jarinya, "Dia selalu jatuh cinta pada saya, sampai-sampai memilih tidak menikah karena saya masuk istana. Jadi saya tidak perlu merayunya, cukup minta bantuan, pasti dia akan menolong." 　　Sambil berkata demikian, Selir Yang tersenyum tipis: "Misalnya membunuh orang." 　　"Haruskah Pangeran An mati?" 　　"Tepat." Ekspresi wanita yang semula berseri tiba-tiba membeku: "Yang Mulia tahu keluarga saya sudah tiada, hanya tinggal seorang kakak laki-laki. Tapi kakak saya dibunuh Pangeran An, hukuman Yang Mulia hanya ala kadarnya. Pernahkah Yang Mulia memikirkan perasaan saya?" 　　Tidak mungkin punya keturunan, satu-satunya keluarga juga hilang. Apa arti kasih sayang setipis kertas Yang Mulia? Mengapa saya tidak boleh memilih balas dendam? 　　Kaisar Jingming menutup matanya, sudah hampir tak sanggup bertahan: "Kau membalas dendam untuk kakakmu masih punya alasan, lalu bagaimana dengan Putra Mahkota?" 　　Selir Yang mengejek: "Satu telapak tangan tak bisa bertepuk. Apakah Kaisar memaksa saya mengaku telah menggoda Putra Mahkota terlebih dahulu, baru hatimu akan merasa lega?" 　　Memandangi wajah yang anggun sempurna itu, hati Kaisar Jingming seperti tertusuk pisau: "Kau sengaja, sengaja menghancurkan Putra Mahkota!" 　　Selir Yang tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. 　　Setelah tertawa, dia melengkungkan bibirnya: "Kaisar boleh anggap saya telah menggoda Putra Mahkota dengan segala cara, sehingga Putra Mahkota sesaat linglung." 　　Meski begitu, mampukah seorang Putra Mahkota yang berselingkuh dengan selir istana tetap duduk tegak sebagai calon penguasa? 　　Matinya Pangeran Anjun apa artinya? Dia ingin calon penguasa Dinasti Zhou ini ikut mati sebagai tumbal untuk kakaknya! 　　Perkataan orang itu benar, balas dendam seperti ini benar-benar memuaskan. 478.BAB 477 Alasan Pemecatan Putra Mahkota 　　BAB 477 Alasan Pemecatan Putra Mahkota 　　Zhen Shicheng yang tetap di aula merasa ada yang tidak beres. 　　Mengapa ketika Kaisar hendak memanggil Selir Yang untuk diadili, Pan Hai kembali dengan keadaan terguncang, lalu Kaisar langsung pergi setelah mendengar bisikan Pan Hai sambil membawa Komandan Jinlinwei dan Komandan Jinwuwei? 　　Komandan Jinlinwei Han Ran, Komandan Jinwuwei Wang Hai, ditambah Kepala Dongchang Pan Hai - ketiganya adalah kunci pengendali kekuasaan Kaisar di dalam dan luar istana. 　　Pasti telah terjadi sesuatu yang lebih ekstrem, lebih parah dari perselingkuhan selir dengan pengawal. 　　Otak Zhen Shicheng yang mahir membuat dugaan segera beroperasi kencang. 　　Pan Hai pergi memanggil Selir Yang, masih ada apa yang lebih ekstrim dari ini? 　　Zhen Shicheng teringat sesuatu: Jamuan di aula baru setengah jalan, Putra Mahkota mengeluh tak enak badan dan pergi... 　　Pikiran ini melintas di otaknya, membuatnya tiba-tiba gemetar, muncul dugaan mengerikan tertentu. 　　Dibandingkan analisa rasional Zhen Shicheng, Han Ran dan Wang Hai sudah terpana. 　　Kaisar Jingming melirik mereka, berkata dengan suara berat: “Pergilah ke depan dulu. Pan Hai, urusilah Selir Yang di sini.” 　　Tak lama kemudian Zhen Shicheng menyambut kepulangan Kaisar Jingming. 　　“Paduka——” Zhen Shicheng menyambut dengan sikap tenang untuk memberi salam. 　　Kaisar Jingming duduk dengan wajah pucat pasi, Komandan Jinlinwei Han Ran segera menyuguhkan secangkir teh. 　　Biasanya ini tugas Pan Hai, sekarang Pan Hai tidak ada di tempat, Han Ran terpaksa mengeraskan hati melakukannya. 　　Kaisar Jingming menerima cangkir teh itu, lalu melemparkannya keras-keras ke lantai. 　　Cangkir teh yang sangat berharga itu hancur berkeping-keping, teh panas mengalir di atas ubin dingin. 　　Komandan Jinlinwei Han Ran dan Komandan Jinwuwei Wang Hai langsung membeku bagai cicak di tembok. 　　Zhen Shicheng pura-pura terkejut: "Baginda?" 　　Kaisar Jingming menatap dalam-dalam ke Zhen Shicheng, berkata: "Putra Mahkota terlibat hubungan gelap dengan Selir Yang--" 　　Dalam perjalanan pulang, Kaisar Jingming berpikir berulang kali apakah akan memberitahu Zhen Shicheng kebenaran, akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan sejujurnya. 　　Meskipun harga diri Sang Kaisar penting, namun penyelesaian masalah ini jauh lebih krusial. 　　Jika Zhen Shicheng mengetahui hal ini, hanya akan menambah satu orang yang tahu. Namun jika masalah ini tidak ditangani dengan baik dan tersebar luas, Sang Kaisar akan menjadi bahan tertawaan seluruh negeri, sementara Putra Mahkota akan terpaku di tiang aib dalam catatan sejarah. 　　Akibat seperti ini tidak bisa ia tanggung. 　　Mendengar perkataan Kaisar Jingming, Zhen Shicheng membungkuk dalam-dalam: "Paduka harap tenang, kesehatan Paduka yang utama." 　　Han Ran dan Wang Hai seketika itu merasa kagum pada Zhen Shicheng. 　　Mereka yang nyaris ketakutan setengah mati mendengar kabar perselingkuhan Putra Mahkota dengan Selir Yang, Tuan Zhen malah bisa menenangkan Sang Kaisar - ketenangannya tak tertandingi. 　　Ruangan itu sunyi, selain Kaisar Jingming hanya ada Zhen Shicheng, Han Ran, dan Wang Hai. 　　Kaisar Jingming yang mulai reda amarahnya mengamati wajah satu per satu dengan tatapan muram, berkata perlahan: "Aku akan memecat Putra Mahkota!" 　　Ketiganya langsung bersujud, namun tak mampu mengucapkan kata-kata penasihat. 　　Bagaimana menasihati? Putra Mahkota berani berselingkuh dengan selir Kaisar. Jika ini anak mereka sendiri, mungkin sudah mereka tebas dengan pisau dapur. Nasihat macam apa lagi? 　　Tentu, menyetujui perkataan Kaisar Jingming juga bukan pilihan. 　　Jika sekarang buru-buru mendukung Sang Kaisar, bagaimana jika di kemudian hari Paduka menyesali keputusannya? 　　Ruangan pun tenggelam dalam kesunyian. 　　Perkataan Kaisar Jingming ini sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk meminta pendapat ketiganya. 　　“Dia sangat paham, Han Ran dan Wang Hai menguasai dua pengawal terpenting dalam pasukan istana. Perintahnya harus dilaksanakan tanpa kompromi—itulah tujuan keberadaan mereka, tidak seperti pejabat militer-sipil yang masih mau tawar-menawar dengannya.” 　　“Adapun Zhen Shicheng, ini orang yang sederhana namun cerdik, jauh lebih menyenangkan dibanding pejabat sensor yang hanya tahu memaki tanpa alasan.” 　　“Kaisar Jingming melihat ketiganya diam seribu bahasa, lalu melanjutkan: 'Tapi Aku tidak ingin ada yang tahu pemecatan Putra Mahkota terkait Selir Yang.'” 　　“Ini agak rumit.” 　　“Putra Mahkota adalah calon penguasa, pondasi negara yang tak boleh digoyang sembarangan. Sekalipun Kaisar ingin memecatnya, harus ada alasan kuat. Jika tidak, bersiaplah berperang urat syaraf dengan pejabat militer-sipil.” 　　“Begitu memikirkan Putra Mahkota, hati Kaisar Jingming langsung bergejolak seperti terbakar, sama sekali tak tahan permainan tarik-ulur ini.” 　　“Dalam kondisi seperti ini, siapa pun yang berani protes saat Kaisar hendak memecat Putra Mahkota, siap-siap dihabisi.” 　　“'Kalian ada usulan?'” 　　“Sorot mata Kaisar Jingming menyapu Zhen Shicheng yang segera menundukkan kelopak mata pura-pura tak dengar.” 　　“Dia pejabat polos—hanya tertarik memecahkan kasus, urusan lain jangan diajak campur.” 　　“Berkelahi soal pemecatan Putra Mahkota? Kalau sampai istri kusir di rumah tahu, pasti disuruh berlutut di atas sempoa.” 　　“Kaisar Jingming tidak heran dengan reaksi Zhen Shicheng. Pandangannya beralih ke Han Ran dan Wang Hai.” 　　“Di bawah tekanan berat, Han Ran akhirnya bicara: 'Kaisar, hamba yang bodoh ini pun ide.'” 　　“Beberapa ide bukan tidak terpikir oleh Kaisar, tapi tidak pantas diucapkan sendiri. Saat seperti inilah orang lain harus yang mengatakannya.” 　　Sebagai mata-mata dan cakar sang Kaisar, Komandan Pengawal Jinlin yang ditakuti ini harus memainkan peran tersebut. Meski nanti dihukum, dicaci sepanjang masa, tak bisa menghindar. 　　“Bicaralah.” Kaisar Jingming mengeluarkan satu kata. 　　“Jika dalang pembunuhan Pangeran An oleh Jinwuwei adalah Putra Mahkota——” 　　Kaisar Jingming melirik Han Ran, terdiam. 　　Ini jelas metode yang bagus. 　　Saat ini kasus Pangeran An masih diselidiki, para pejabat militer-sipil masih menunggu hasil di aula depan. Tak mungkin berlalu tanpa penjelasan. 　　Tapi kebenarannya adalah Selir Yang bersekongkol dengan pengawal, yang kemudian mengaitkan hubungan terlarang dengan Putra Mahkota. 　　Jika salah satu dari dua hal ini bocor, wajahnya sebagai kaisar akan tercoreng. 　　Menyudutkan kematian Pangeran An ke Putra Mahkota memberi alasan cukup untuk memecatnya, sekaligus menutupi kasus Selir Yang. 　　Ini bisa disebut sempurna. 　　Kaisar Jingming dalam hati mengutuk dirinya sendiri. 　　Sempurna apanya? Tak ada kaisar lebih menyedihkan darinya. 　　Satu-satunya putra dari Permaisuri Pertama, sang Putra Mahkota yang penuh harapan, ternyata melakukan hal biadab seperti ini. 　　Putra Mahkota harus dipecat. 　　Kaisar Jingming menghela napas dalam, berkata pada Zhen Shicheng: “Zhen Aiqing, kasus Pangeran An kau yang tangani. Serahkan padamu.” 　　Ini berarti meminta Zhen Shicheng membantu menutupi kebohongan. 　　"Harap Kaisar tenang, hamba yang bodoh tahu cara melakukannya." Zhen Shicheng adalah orang yang tahu batas. Meski bergairah dalam memecahkan kasus, yang membuatnya terobsesi adalah proses mengurai benang dari kepompong untuk menemukan pelaku kejahatan, bukan mempertaruhkan nyawa Kaisar demi membuktikan kebenaran pada dunia. 　　Putra Mahkota yang lumpur busuk yang tak bisa dibentuk itu akhirnya berani dipecat oleh Kaisar... 　　Kaisar Jingming berdiri, lesu: "Baiklah, kita kembali ke istana setelah badai salju berhenti. Han Ran, Wang Hai, urusan keamanan selama ini kuserahkan pada kalian." 　　Han Ran dan Wang Hai segera menyatukan tinju: "Harap Kaisar tenang." 　　Zhen Shicheng menahan diri berulang kali, akhirnya tak kuasa bertanya: "Kaisar, hamba yang bodoh masih punya satu hal yang tak mengerti." 　　Kaisar Jingming menatapnya dengan sorot mata berat: "Apa yang tak dimengerti oleh Zhen Aiqing?" 　　"Selir Yang menyuruh Zhang Hu dari Jinwuwei membunuh Pangeran An, tapi bagaimana mereka bisa tahu badai salju tiba-tiba datang hari ini, sehingga aula tiba-tiba gelap?" 479. BAB 478 Di Balik Selir Yang 　　BAB 478 Di Balik Selir Yang 　　Masalah ini terlewatkan oleh Kaisar Jingming dan yang lain. 　　Ini wajar, skandal Putra Mahkota dengan Selir Yang saja sudah terjadi, siapa yang masih peduli nasib Pangeran An. 　　Tapi pertanyaan Zhen Shicheng ini langsung membuat mereka menyadari keanehan. 　　Benar, perubahan cuaca di luar kendali manusia, mengapa Zhang Hu dari Jinwuwei bisa menyiapkan dua setel pakaian identik sebelumnya untuk persiapan pembunuhan di aula? 　　"Hamba yang bodoh akan periksa." Panglima Jinwuwei Wang Hai meminta izin pada Kaisar Jingming. 　　“Kaisar Jingming mengangguk sedikit.” 　　Melihat Wang Hai berjalan keluar, Zhen Shicheng diam-diam mengikutinya. 　　Kalau tidak memecahkan masalah ini, dia tidak bisa tidur malam ini. 　　Mendengar suara, Zhang Hu mengangkat pandangan. 　　“Zhang Hu, Selir Yang sudah mengaku.” kata Wang Hai. 　　Wajah Zhang Hu berubah drastis. Menatap tatapan tenang Zhen Shicheng, dia putus asa menutup matanya dan bergumam: “Terlalu bodoh, dia benar-benar terlalu bodoh...” 　　Wang Hai menyeringai dingin: “Dengan kehadiran Tuan Zhen yang jenius menyelesaikan kasus, kau pikir bisa mengelabui?” 　　“Ini bukan urusannya! Membunuh Pangeran An adalah kemauanku sendiri!” 　　“Cukup. Sukarela atau tidak sekarang sudah tidak penting. Aku hanya punya satu pertanyaan.” 　　Zhang Hu menatap Wang Hai. 　　“Bagaimana kalian tahu langit akan mendadak gelap saat pesta?” 　　Zhang Hu terkejut, ekspresinya berubah aneh, lalu cepat kembali normal dan mengejek: “Pertanyaan Komandan Wang lucu sekali. Aku bukan dewa yang bisa meramal, mana mungkin tahu?” 　　“Kalau tidak tahu, kenapa kau memakai dua lapis pakaian yang sama sebelumnya?” suara Wang Hai penuh kemarahan. 　　Pengawal kecil yang dulu sangat hormat padanya sekarang berani bersikap seperti ini, wajar jika dia kesal. 　　Tapi dia juga tahu orang di depannya pasti akan mati. Tidak pantas bertengkar dengannya. 　　Zhang Hu memandang Wang Hai dengan heran: "Aku bertekad membunuh Pangeran An saat ritual sembahyang kepada langit, pasti harus mempersiapkan semuanya dengan matang. Memakai dua lapis baju yang sama agar bisa melepas pakaian bekas darah di lokasi manapun setelah membunuhnya tanpa meninggalkan jejak. Pemadaman lampu tiba-tiba di aula saat pesta hanyalah berkah tak terduga, andai tidak ada kesempatan itu, aku akan mencari cara lain." 　　Di sini, Zhang Hu tersenyum sinis sambil menatap dalam ke Zhen Shicheng: "Seandainya di tempat lain tanpa kehadiran Paduka Zhen, mungkin tidak ada yang tahu pelakunya adalah aku..." 　　Maka Yu Ling juga tidak akan terseret ke dalam kasus ini. 　　Pada detik ini, gelombang penyesalan dan keputusasaan menghantam hati Zhang Hu. 　　Zhen Shicheng mencemooh: "Kau salah. Jaring Surja Tak Terelakkan, kejahatan pasti terungkap." 　　Setiap penjahat selalu mengira dirinya bisa lolos dari hukuman. Orang macam ini sudah sering ia temui. 　　Sebenarnya, ada satu musuh tak terjangkau yaitu dalang kasus pembakaran kapal hias Sungai Jinshui. 　　Berdasarkan intuisi pengalaman menangani kasus bertahun-tahun, kematian Yang Shengcai jelas bukan sekadar tenggelam karena panik melompat dari kapal. 　　Tapi itu kan membela keadilan, ahem... tidak bisa disebut kejahatan. 　　Zhen Shicheng menarik kembali pikirannya, tatapannya mengunci Zhang Hu: "Dan, kau berbohong." 　　Mata Zhang Hu berkedut tiba-tiba: "Apa?!" 　　“Alasan yang kau berikan memang tidak buruk, tapi aku masih berpikir kalian sudah mengetahui perubahan fenomena langit sebelumnya. Perubahan fenomena langit ini seharusnya diberitahukan oleh Selir Yang. Yang ingin kuketahui sekarang adalah, siapa yang memberitahu Selir Yang?” 　　“Omong kosong!” Zhang Hu memalingkan kepala, tidak lagi menghiraukan Zhen Shicheng. 　　Melihat tidak ada informasi lebih yang bisa didapat dari Zhang Hu, Zhen Shicheng mengangguk halus pada Wang Hai lalu kembali menghadap Kaisar Jingming. 　　“Kaisar, hamba yang bodoh ingin mencari kejelasan masalah ini dari Selir Yang.” 　　Ekspresi Kaisar Jingming tak terbaca, matanya menatap tajam Zhen Shicheng: “Zhen Aiqing, maksudmu ada orang di belakang Selir Yang?” 　　“Ini hanya dugaan hamba.” 　　“Apa buktinya?” 　　“Tanpa bukti, hanya mengandalkan intuisi.” Jawab Zhen Shicheng dengan jujur. 　　Intuisi yang sering diremehkan banyak orang sebenarnya adalah kilatan inspirasi yang terkumpul dari berbagai pengalaman. 　　Kedengarannya sangat misterius, tapi ini benar-benar ada. 　　Tapi apakah Sang Kaisar percaya atau tidak, itu di luar kendalinya. 　　“Baiklah, Aku izinkan kau untuk bertanya.” 　　Kematian Chen Meiren telah menjadi duri dalam hati Kaisar Jingming, dan semakin dalam tertancap seiring waktu. 　　Seorang selir rendahan yang sudah bertahun-tahun di istana, mustahil memiliki hubungan dengan luar istana. Tapi dari mana cacing yang membutakan mata Putri Fuqing bertahun-tahun lalu berasal? Dari mana pula bunga gounwen yang meracuni Putri Kelima Belas sampai tewas? 　　Jika benar ada orang seperti itu, sembilan dari sepuluh kemungkinan orang itu bersembunyi di istana belakang, tapi sampai sekarang belum terungkap. 　　Kini, muncul lagi Selir Yang... 　　“Kaisar Jingming memikirkannya lebih detail, dan tubuhnya langsung menggigil ketakutan.” 　　“Selir Yang telah melakukan kejahatan besar. Untuk menghindari hubungan dengan kasus pemecatan Putra Mahkota, tidak bisa langsung dihukum, namun juga tidak boleh sampai diketahui Permaisuri dan lainnya. Zhen Shicheng harus melalui banyak rintangan sebelum bisa bertemu Selir Yang.” 　　“Saat pandangan Zhen Shicheng dan Selir Yang bertemu, hatinya langsung terasa berat.” 　　“Sorot mata Selir Yang begitu tenang, sepenuhnya menunjukkan mentalitas orang yang telah mencapai keinginannya dan hanya ingin mati. Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit mengorek informasi dari mulutnya.” 　　“Apakah Paduka adalah Prefect Shuntian, Tuan Zhen?” 　　“Zhen Shicheng tidak menyangka yang pertama kali membuka mulut justru Selir Yang.” 　　“Benar.” 　　“Selir Yang malah sedikit membungkuk hormat pada Zhen Shicheng: ‘Terima kasih juga pada Tuan Zhen yang telah mengungkap pembunuh kakak laki-lakiku.’” 　　“Ini bagian dari tugas resmi, tidak pantas menerima ucapan terima kasih.” Kata Zhen Shicheng dengan datar. 　　“Selir Yang menatap Zhen Shicheng, nada bicaranya berubah: ‘Tapi Tuan Zhen tidak bisa menghukum pelaku sebenarnya!’” 　　“Kumis Zhen Shicheng bergetar, tapi ia tetap diam.” 　　“Mengapa pelaku sebenarnya tidak dihukum, bukankah Selir Yang sendiri yang paling paham alasannya?” 　　“Selir Yang tiba-tiba tertawa: ‘Ya, ini bukan kesalahan Tuan Zhen. Pada akhirnya yang berkuasa adalah Sang Kaisar.’” 　　“Zhen Shicheng semakin tidak bisa berkata-kata.” 　　“Membahas benar salahnya Kaisar, itu sama saja dengan mencari mati.” 　　“‘Jika Tuan Zhen tidak bisa menghukum pelakunya, dan Kaisar tidak tega menghukum pelakunya, maka aku yang akan bertindak sendiri. Tuan Zhen, apakah aku salah?’” Selir Yang bertanya dengan suara lembut. 　　“Zhen Shicheng sudah tak tahan lagi dan melirik: ‘Nyonya jangan buang waktu, saya hanya ingin bertanya, siapakah yang memberitahu Nyonya tentang perubahan fenomena langit hari ini.’” 　　Selir Yang tertegun, lalu menggeleng: “Saya tidak tahu apa yang Tuan Zhen maksud.” 　　“Sampai saat ini, kau masih mau menutupi orang itu?” 　　“Saya tidak menutupi apapun. Pertanyaan Tuan Zhen menggelikan, mana mungkin ada orang yang bisa mengetahui perubahan fenomena langit!” 　　“Ada.” Kata Zhen Shicheng dengan serius. “Kalau tidak, untuk apa Biro Astronomi Kekaisaran ada?” 　　Selir Yang menutup mata: “Anggap saja petugas Biro Astronomi yang memberitahu saya. Tuan bisa melapor ke Kaisar sekarang.” 　　“Nyonya, sungguh rela dijadikan bidak permainan orang?” 　　“Diam! Saya bukan bidak! Saya rela mati asal bisa balas dendam untuk kakak!” Selir Yang emosional tiba-tiba memegang dada sambil wajahnya berubah pucat. 　　Zhen Shicheng kaget: “Nyonya?” 　　Selir Yang perlahan roboh sambil terus memegang dadanya. 480.BAB 479 Menginap di Gunung Cuiluo 　　BAB 479 Menginap di Gunung Cuiluo 　　Melihat Selir Yang terjatuh, Zhen Shicheng segera berkata pada Pan Hai yang berdiri di samping: “Cepat panggil tabib istana!” 　　Dalam perjalanan Kaisar, pasti ada tabib yang ikut. 　　Pan Hai ragu sebentar. 　　Masalah Selir Yang dengan Putra Mahkota harus ditutup rapat. Selain yang sudah tahu, tidak boleh ada yang mencium kabar. Sekarang memanggil tabib- 　　Melihat Pan Hai ragu-ragu, Zhen Shicheng bersuara keras: "Paman Pan, pasti ada orang di balik Selir Yang. Sebelum diinterogasi, Selir Yang tidak boleh celaka!" 　　Pan Hai mengangguk, berbisik pelan: "Mohon Tuan Zhen menyingkir sebentar." 　　Zhen Shicheng dipandu pelayan istana kembali ke hadapan Kaisar Jingming. 　　"Ada hasil interogasi?" tanya Kaisar Jingming dengan suara berat. 　　Zhen Shicheng menyatukan tinju memohon ampun: "Saat hamba sedang menginterogasi Selir Yang, tiba-tiba dia memegang dada dan terjatuh..." 　　Sorot mata Kaisar berubah tajam, wajahnya menjadi sangat muram: "Dia celaka?" 　　"Paman Pan telah memanggil tabib istana. Keadaannya masih menunggu diagnosis tabib." 　　Kaisar Jingming segera menyuruh pelayan istana untuk menyelidiki. 　　Tak lama kemudian Pan Hai kembali dengan wajah suram: "Paduka, Selir Yang telah tiada." 　　"Bagaimana bisa?" 　　"Tabib mengatakan Selir Yang meninggal karena serangan jantung mendadak--" 　　Sebelum Pan Hai selesai, Kaisar Jingming menghantam meja keras: "Omong kosong!" 　　Pan Hai segera diam membisu. 　　Sang Kaisar sampai mengumpat, menunjukkan kemarahan yang memuncak. 　　Kaisar Jingming benar-benar murka, di balik kemarahan tersirat rasa tak berdaya yang mendalam. 　　Saat Putri Kelima Belas celaka, penari yang terlibat juga meninggal karena serangan jantung. Kini Selir Yang sama. Apakah para wanita di istana terjangkit penyakit jantung menular? 　　Ini sungguh tidak masuk akal! 　　Sikap Kaisar Jingming membuat Zhen Shicheng merasa aneh, mencoba bertanya: "Baginda, apakah Baginda berpendapat penyebab kematian Selir Yang bukan penyakit jantung mendadak seperti diagnosa tabib istana?" 　　Ekspresi Kaisar Jingming sedikit melunak, setelah ragu sejenak ia membocorkan detail perjamuan di Aula Changsheng: "Penari yang membunuh Putri Kelima Belas tiba-tiba mati mendadak saat interogasi, setelah diperiksa tabib juga meninggal karena penyakit jantung mendadak." 　　Zhen Shicheng langsung mengusap kumisnya setelah mendengar ini. 　　"Satu kali masih bisa dimaklumi, tapi dua orang terkait kasus pembunuhan berturut-turut mati karena penyakit jantung mendadak, ini terlalu kebetulan." Sorot mata Kaisar Jingming terlihat dalam. 　　Zhen Shicheng terdiam sejenak. 　　Kaisar Jingming menatapnya: "Bagaimana pendapat Zhen Aiqing?" 　　Zhen Shicheng memberi hormat pada kaisar: "Baginda, dua wanita istana yang terkait kasus pembunuhan berturut-turut meninggal karena penyakit jantung, ini semakin membuktikan dugaan hamba." 　　"Maksudmu masih ada orang di balik Selir Yang?" 　　Zhen Shicheng mengangguk: "Orang itu mungkin bersembunyi di istana belakang, siap membangkitkan kejahatan dalam hati seseorang untuk menciptakan berbagai masalah." 　　Kaisar Jingming menutup mata, suaranya penuh kelelahan: "Jika benar ada orang seperti itu, itu sangat mengerikan." 　　Bisa membangkitkan niat jahat, mengendalikan hidup mati orang, bahkan memahami perubahan fenomena langit, strategi seperti ini tidak berbeda dengan hantu atau dewa! 　　Membayangkan kemungkinan ada orang seperti itu di istana belakang, Kaisar Jingming merasa gelisah bagai duduk di atas duri. 　　"Jika benar ada orang seperti itu, kita harus menemukannya!" 　　Zhen Shicheng tetap diam. 　　Orang berada di istana belakang, ia tidak bisa berbuat apa-apa. 　　Kaisar Jingming jelas-jelas juga memikirkan hal ini, untuk sementara semakin frustasi. 　　Zhen Shicheng adalah ahli dalam memecahkan kasus, tapi tetap saja dia pejabat luar, tidak mungkin berkeliaran di istana belakangnya. 　　Lagipula, tanpa bukti nyata hanya mengandalkan dugaan untuk menyuruh Zhen Shicheng menginterogasi selir-selir istana, Janda Permaisuri mungkin akan memukulinya dengan tongkat. 　　Saat Kaisar Jingming sedang gelisah, teringat seseorang: Yu Jin. 　　Lao Qi telah membantu Zhen Shicheng menangani banyak kasus, sebelumnya menunjukkan performa luar biasa di Aula Changsheng, mungkin bisa dicoba. 　　Pikiran ini sekilas muncul, Kaisar Jingming mulai pusing memikirkan kematian Selir Yang. 　　Di luar badai salju tak henti, jalan turun gunung licin, untuk kembali ke istana sekarang tidak mungkin, kemungkinan besar harus menginap semalam, menunggu cuaca cerah besok baru berangkat. 　　Dengan demikian, hanya mengandalkan Pan Hai dan yang lain untuk menyembunyikan hal ini dari beberapa selir yang ikut akan sulit. 　　Tampaknya harus meminta bantuan Permaisuri. 　　Kaisar Jingming telah mengambil keputusan, segera menuju tempat peristirahatan Permaisuri. 　　Istana peristirahatan sendiri tidak besar, beberapa pekarangan tempat selir-selir beristirahat saling berdekatan, sedikit gerakan pun mudah terdeteksi. 　　Melihat Kaisar Jingming datang di waktu seperti ini, Permaisuri sudah merasa ada yang tidak beres. 　　Dengan sikap tenang ia menyambut: "Kaisar--" 　　Kaisar Jingming menopang Permaisuri, menariknya menuju dipan rendah. 　　"Hal yang terjadi hari ini, kau sudah dengar?" 　　Permaisuri ragu sejenak, bertanya: "Yang Kaisar maksud adalah urusan Pangeran Anjun?" 　　Di aula depan, pesta untuk menghormati para pejabat dan bangsawan berlangsung. Meski ia tidak hadir di sana, bagaimana mungkin ia berpura-pura tuli dan bisu terhadap keributan sebesar ini. 　　Kaisar Jingming tidak menjawab, menatap mata Permaisuri bertanya: "Permaisuri, bolehkah Aku mempercayaimu?" 　　Permaisuri benar-benar membeku. 　　Makna tersirat dalam perkataan Kaisar terlalu banyak, membuatnya bingung seketika. 　　Setelah tertegun, Permaisuri menekan kebingungan di hatinya: "Saya dan Kaisar adalah pasangan suami istri, tentu selamanya berpihak pada Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengangguk, berbisik pelan: "Aku memutuskan untuk memecat Putra Mahkota!" 　　Permaisuri yang biasanya bersikap tenang, langsung berubah wajahnya mendengar ini, tangannya gemetar: "Kaisar?" 　　Apakah ini halusinasi? Kaisar ternyata ingin memecat Putra Mahkota! 　　Bertahun-tahun ia memandang dingin para pangeran yang semakin dewasa, perlahan menunjukkan gelagat ambisi, namun hanya merasa lucu. 　　Sayangnya para pangeran ini tidak menyadari, di hati Kaisar tak ada anak yang lebih berharga daripada Putra Mahkota peninggalan Permaisuri Pertama. 　　Itu adalah satu-satunya anak lelaki sah Kaisar, sekaligus darah daging terakhir dari istri sah yang pertama. 　　Kedudukan Putra Mahkota di hati Kaisar tak tertandingi. 　　Tapi sekarang, Kaisar malah mengatakan akan memecatnya? 　　Di saat ini Kaisar Jingming tak peduli lagi wajah, bertahan berkata: "Putra Mahkota terlibat hubungan gelap dengan Selir Yang!" 　　Permaisuri melonjak berdiri, kulit wajahnya bergetar, lalu duduk kembali tanpa sepatah kata. 　　Diamnya Permaisuri bukan tanda ketenangan, melainkan keterkejutan yang membuatnya tak bisa berkata-kata. 　　“Lama kemudian, Permaisuri bertanya dengan suara gemetar, ‘Bagaimana keadaan Selir Yang dan Putra Mahkota sekarang?’” 　　“Putra Mahkota telah dijaga oleh Jinlinwei dan Dongchang, sementara Selir Yang meninggal secara mendadak. Aku membutuhkan bantuan Permaisuri, setidaknya sampai kembali ke istana, jangan sampai ada yang tahu Selir Yang sudah tiada.” 　　Bukan hanya kematian Selir Yang yang perlu disembunyikan, kabar tentang pemecatan Putra Mahkota juga belum boleh tersebar saat ini. 　　Istana peristirahatan tidak seperti Istana Kekaisaran, terlalu banyak faktor ketidakstabilan di luar. Sedikit kelalaian bisa menjerumuskan ke dalam krisis. 　　Kaisar Jingming segera membeberkan beberapa rencana kepada Permaisuri. 　　Mendengar penjelasan terakhir, Permaisuri berkata dengan khidmat, “Paduka tenang saja, urusan Selir Yang serahkan pada hamba.” 　　Para menteri di aula menunggu sampai senja hampir tiba, pantat sudah pegal duduk, akhirnya datang pelayan istana menyampaikan pesan. 　　“Para Paduka sekalian dipersilakan pulang. Perintah Kaisar, malam ini bermalam di Gunung Cuiluo.” 　　Badai salju di luar belum berhenti. Para menteri sudah siap mental untuk menginap di Gunung Cuiluo, tapi tidak menyangka setelah menunggu lama hanya diberi keputusan ini. 　　“Gonggong, mengapa prajurit Jinwuwei itu membunuh Pangeran An?” 　　Pelayan istana melirik penanya, lalu berkata tegas: “Paduka lebih baik tidak usah bertanya. Kaisar pun tidak mendapat jawaban, sedang murung hatinya.” 481.BAB 480 Daging Kukus 　　BAB 480 Daging Kukus 　　Mendapat jawaban seperti itu, para pejabat dan bangsawan kebingungan, namun hanya bisa menurut diatur pelayan istana kembali ke penginapan masing-masing. 　　Malam itu, banyak orang sulit tidur. 　　Kaisar Jingming bermalam di tempat Permaisuri. 　　"Meskipun ini istana sementara, pemanas bawah tanah menyala dengan kencang, membuat ruangan terasa hangat seperti musim semi." 　　Kaisar dan Permaisuri berbaring di ranjang yang sama, namun tak ada yang bisa terlelap. 　　Kaisar Jingming yang telah berguling berkali-kali akhirnya bangun dan berjalan ke jendela. 　　Kasa jendela berwarna hijau kabut menutupi pemandangan di luar. 　　Kaisar Jingming membuka jendela, angin dingin yang menusuk langsung menyergap masuk. 　　Dari belakang terdengar suara langkah halus, lalu sehelai mantel luar menyelimuti tubuhnya. 　　"Kaisar, hati-hati masuk angin." 　　Kaisar Jingming menoleh dan melihat Permaisuri dengan sanggul yang sudah longgar berdiri di sampingnya, matanya penuh kecemasan. 　　Kaisar Jingming menunjuk ke luar jendela dengan nada tak terduga: "Permaisuri, lihat, salju telah berhenti." 　　Permaisuri melirik ke luar. 　　Meski sudah larut malam, koridor luar dipenuhi lentera merah besar yang menyala. Cahaya oranye-merah mereka menyatu, menerangi pekarangan dengan terang. 　　Salju benar-benar telah reda. Sudut pekarangan dan atap rumah tertimbun salju putih yang menyilaukan. 　　Permaisuri mengangguk halus, suaranya lembut: "Benar, salju telah berhenti. Besok kita bisa kembali ke istana." 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak, lalu tersenyum sinis: "Setiap kali Aku datang ke Gunung Cuiluo untuk ritual sembahyang langit, selalu diam-diam berharap bisa menginap semalam. Dulu terasa menarik dan baru, tapi kini ketika kesempatan itu datang, malah ingin buru-buru pulang..." 　　"Kaisar, tak ada yang bisa memprediksi kejadian seperti ini--" 　　Kaisar Jingming menggelengkan tangan, menghentikan penghiburan Permaisuri, lalu tersenyum pahit: "Meski begitu, jika berada di dalam istana, bagaimana mungkin Putra Mahkota dan Selir Yang bisa——" 　　Permaisuri mengerutkan sudut bibir, tidak membantah, namun dalam hati menghela napas. 　　Putra Mahkota melakukan hal yang melanggar etika seperti ini, Kaisar malah merasa itu karena memberi kesempatan pada Putra Mahkota, tanpa memikirkan bahwa barang busuk dari dalam tulang pasti akan membuat masalah. 　　Tampaknya Kaisar masih belum sepenuhnya putus asa terhadap Putra Mahkota. 　　Dengan kesadaran ini, Permaisuri semakin berhati-hati dalam bicara. 　　Kaisar merasa tak menarik, menutup jendela: "Permaisuri, istirahatlah." 　　Di Yuyuan Kediaman Pangeran Yan, Jiang Si terbangun dalam keadaan setengah sadar. 　　Ah Man yang mendengar suara bertanya dengan suara serak: "Tuanku, apakah Anda ingin minum air?" 　　Jiang Si duduk: "Bawakan secangkir air hangat." 　　Ah Man segera membawakannya secangkir air hangat. 　　Jiang Si menerima cangkir itu, minum dua teguk, lalu turun dari ranjang dan berjalan ke jendela. 　　"Saljunya sudah berhenti?" 　　Di malam musim dingin, dengan kondisi hamil, ia tidak berani membuka jendela sembarangan, hanya mengamati kabut di luar melalui kasa jendela. 　　"Sudah berhenti." Meski bingung mengapa tuannya hari ini sangat memperhatikan perubahan cuaca, Ah Man tetap menjalankan perintah tuannya tanpa ragu. 　　Tentang berhentinya salju, ia sudah memastikannya sebelum tidur. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Bagus sudah berhenti, orangnya pasti segera kembali." 　　Ah Man yang suka ingin tahu segera tersenyum, "Benar, hamba dengar hari ini Kaisar memimpin para bangsawan dan pejabat ke pinggir kota untuk ritual sembahyang langit. Karena badai salju, mereka menginap di luar. Setelah salju berhenti, besok bisa kembali." 　　Jiang Si menatap ke luar jendela, bergumam pelan, "Maksudku, A Jin seharusnya sudah kembali." 　　Ah Man tak mendengar jelas, buru-buru bertanya, "Tuanku, apa yang Baginda katakan?" 　　Jiang Si menarik kembali pikirannya dan memandanginya, "Tidak ada. Pergilah beristirahat. Besok pagi ingat suruh dapur membuat daging kukus." 　　Daging babi berlemak dan daging tanpa lemak dipotong rata, direbus dengan bumbu lalu diiris dan disusun di atas kacang panjang kering. Diolesi garam, gula, dan bawang putih tumbuk, lalu dikukus hingga harum semerbak. 　　Di musim dingin ini, menyantap daging kukus yang lembut dengan kacang panjang asam yang meresap kaldu daging, sungguh kenikmatan tiada tara. 　　Ah Man menelan air liur, "Hamba rasa jika diolesi tempe bosok lalu dikukus pasti lebih lezat." 　　Jiang Si tak tahan tertawa geli. 　　Yu Qi menyukai daging kukus. Namun saat dingin, lemaknya akan mengeras dan tak bisa dimakan. Di musim dingin harus disantap panas-panas. Selama beberapa hari di Biro Urusan Kerajaan, tentu tak sempat menikmatinya. 　　Ah Man yang serius berdiskusi tentang cara memperkaya rasa daging kukus membuat Jiang Si terhibur. 　　“Dia sangat menyukai kesederhanaan Ah Man, menjalani hidup saat ini dengan penuh kenikmatan.” 　　“Kalau begitu, satu mangkuk diolesi fermented tofu, satu mangkuk diolesi bawang putih tumbuk. Besok kita cicipi mana yang lebih enak.” 　　Ah Man menjawab dengan riang, membantu Jiang Si naik ke ranjang, sambil menantikan kedatangan hari esok. 　　Di Biro Urusan Kerajaan, Yu Jin menatap langit-langit dengan sama-sama tidak bisa tidur. 　　Sudah beberapa hari tidak bertemu A Si. 　　Seandainya bisa menahan diri, pasti tidak akan berpisah dengan A Si. 　　Yu Jin berguling ke satu sisi, lalu berguling lagi, bolak-balik di ranjang seperti kue yang dibalik di wajan. 　　Penjaga yang berjaga tak tahan mengintip masuk. 　　Yu Jin melontarkan tatapan tajam, lalu melambai memanggil penjaga. 　　Penjaga mendekat: “Ada yang perlu Pangeran perintahkan? Apakah mau minum air?” 　　Yu Jin duduk sambil berkata malas: “Cuaca dingin begini minum air apa? Aku mau makan daging kukus.” 　　Penjaga tertegun. 　　Apakah pendengarannya salah? 　　“Kau tidak salah dengar, aku mau makan daging kukus.” 　　Penjaga menggetarkan pipinya: “Pangeran, saat ini saya tidak bisa menyediakan daging kukus.” 　　“Tidak bisa?” 　　Penjaga mengangguk kencang: “Tidak bisa.” 　　“Daging kukus saja tidak bisa?” 　　Penjaga hampir bersujud: “Pangeran, ini Biro Urusan Kerajaan bukan rumah makan. Tengah malam buta begini, siang hari pun tidak bisa sembarang membuat daging kukus.” 　　Sebenarnya Tuan ini sedang dipenjara, pikir ini masih di istana pangeran? 　　Yu Jin menghela napas panjang dan berkata dengan sedih: "Di sini memang tidak senyaman di istana pangeran, lebih baik cepat-cepat keluar." 　　Pegawai kecil itu menyeringai, hatinya dipenuhi rasa meremehkan. 　　Kira Biro Urusan Kerajaan bisa keluar seenaknya? Tempat ini khusus menahan kerabat kekaisaran, tanpa perintah Kaisar mustahil bisa keluar. 　　Pangeran Yan memukul Putra Mahkota, menurut pengalamannya minimal akan ditahan setengah tahun. 　　"Ambilkan kertas dan kuas." 　　"Yang Mulia ingin menulis surat?" tebak pegawai itu. 　　Yu Jin meliriknya dan berkata kesal: "Surat apa, aku ingin melukis semangkuk daging kukus." 　　Pegawai: "..." Dia yakin Pangeran Yan jenis orang seperti ini minimal akan ditahan setahun, kalau tidak dia berani tampar wajah sendiri! 　　Yu Jin menghela napas dalam-dalam di hati. 　　Rindu daging kukus, lebih rindu A Si, bahkan wajah anjing Er Niu pun sedikit dirindukan. 　　Keesokan harinya matahari terbit lebih awal, naik perlahan menghangatkan lapisan tipis salju di tanah. 　　"Paduka, waktu pulang ke istana sudah tiba." Pan Hai yang hampir tak tidur semalam mengingatkan. 　　Kaisar Jingming bangkit, mengibaskan lengan bajunya: "Pulang!" 　　"Berangkat--" Teriakan protokoler mengganggu kedamaian Gunung Cuiluo, barisan panjang seperti naga mulai turun menyusuri jalan gunung. 　　Salju yang meleleh membuat tanah licin, rombongan akhirnya tiba di ibu kota dengan waktu lebih lama dari perjalanan datang. 　　Memandang genteng emas dan tembok merah yang familiar, Kaisar Jingming menghela napas lega. 　　Akhirnya kembali, saatnya menghitung utang. 　　Bulan baru telah tiba, semoga semua dalam keadaan baik. 482. BAB 481 Putra Mahkota yang Dipecat 　　BAB 481 Putra Mahkota yang Dipecat 　　Meski jarak dari pinggiran kota ke istana tidak terlalu jauh, setelah melewati perjalanan melelahkan, seharusnya para menteri diperbolehkan pulang beristirahat sehari. Namun mereka justru ditahan dan diminta menunggu di aula istana. 　　Aula Fengtian yang biasanya sepi dan hanya dibuka untuk acara besar, kini dipenuhi orang. 　　Para menteri mulai berbisik-bisik. 　　"Apa yang sebenarnya terjadi?" 　　"Tidak tahu. Kemarin sudah terasa ada yang tidak beres. Mungkin terkait pembunuhan Pangeran An?" 　　"Meski kasus Pangeran An penting, tak perlu menahan kita semua di Aula Fengtian. Jangan-jangan dalang pembunuhan oleh Jinwuwei ada di antara kita?" 　　"Mungkin saja. Kalau tidak, mengapa Kaisar menahan kita?" 　　"Tapi kenapa kemarin tidak dilakukan interogasi?" 　　Zhen Shicheng berdiam diri di antara para menteri, menundukkan pandangan. 　　"Tuan Zhen, mengapa prajurit Jinwuwei itu membunuh Pangeran An? Apakah ada dalang di baliknya?" 　　Menghadapi pertanyaan rekan sejawat, Zhen Shicheng tetap bungkam, membuat banyak orang kesal dan mengibaskan lengan baju. 　　Tak tahu berapa lama mereka menunggu, saat kegelisahan mulai melanda, Kaisar Jingming akhirnya muncul. 　　Yang mengejutkan, Permaisuri datang bersama Kaisar dengan berpegangan tangan. 　　Kehadiran bersama penguasa tertinggi di Aula Fengtian menandakan masalah semakin serius. 　　Segera bisikan-bisikan berhenti, aula menjadi sunyi senyap. 　　Kaisar Jingming memandang dengan tatapan penuh wibawa, perlahan menyapu pandangannya ke para menteri. 　　Para menteri segera memberi hormat. 　　Kaisar Jingming menarik Permaisuri untuk duduk, lalu berkata pada Pan Hai: "Bacakan maklumat kekaisaran." 　　Para menteri langsung menyiapkan diri. 　　Pembacaan maklumat dalam acara seperti ini biasanya menandakan peristiwa besar telah terjadi. Mengingat kematian Pangeran An di Gunung Cuiluo, mereka mulai memiliki firasat buruk. 　　Suara Pan Hai yang agak melengking menggema di aula: "Dengan mandat Langit, Kaisar berfirman: Putra Mahkota Lang tidak meneladani leluhur, tidak mematuhi perintahku, kejam dan semena-mena, menyuruh Zhang Hu dari Jinwuwei membunuh Pangeran An. Hal ini membuatku malu untuk mengatakannya... Kekaisaran tak boleh jatuh ke tangannya. Maka Lang dicabut gelarnya dan diturunkan menjadi Pangeran Jing..." 　　Saat Pan Hai membacakan maklumat, bagai gemuruh halilintar yang menyambar di atas kepala para menteri, membuat mereka limbung. 　　Lama setelahnya, para menteri baru tersadar: Ini... ini ternyata maklumat pemecatan Putra Mahkota! 　　Menteri Ritus Yang Deguang langsung lunglai, menangis histeris: "Paduka, janganlah--" 　　Para menteri berbaris bersujud: "Mohon Paduka pertimbangkan kembali!" 　　Kaisar Jingming duduk di kursi naga, memandangi lautan menteri yang bersujud dari ketinggian, mata penuh kepedihan. 　　Seandainya ada jalan lain, mana mungkin dia sampai mengambil langkah ini. 　　"Mohon Paduka pertimbangkan kembali!" Teriak para menteri lagi. 　　Jika dikatakan mereka sangat puas dengan Putra Mahkota, itu dusta. Kepuasan mereka bahkan tak mencapai setengahnya. 　　“Calon penguasa menyangkut fondasi negara, mana mungkin bisa dipecat begitu saja. Belum lagi, negara tetangga yang sudah licik pasti akan mulai berulah jika mendengar kabar ini.” 　　“Apalagi sejarah membuktikan, begitu suatu negara kehilangan putra mahkota dan terjadi perebutan takhta, pasti disusul pertumpahan darah. Para menteri yang sudah lama menikmati kedamaian tentu tak ingin melihat hal ini.” 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis sambil menekan bibirnya. 　　“Buang saja pertimbangan, dia sudah memikirkannya delapan ratus kali!” 　　Meski para menteri merengek-rengek, Kaisar Jingming tetap tak bergeming, wajahnya semakin dingin. 　　“Pangeran yang melanggar hukum harus dihukum sama seperti rakyat biasa. Apakah para menteri sengaja mengabaikan hukum negara dengan membela Pangeran Jing terus-menerus?” Setelah mendengar permohonan mereka, Kaisar bertanya dingin. 　　Suara di aula langsung hening. 　　Kaisar Jingming berdiri, berkata dengan nada beku: “Keputusan Aku sudah final. Para menteri tak perlu membujuk lagi. Bubarlah!” 　　“Paduka, Paduka——” Menteri Ritus Yang Deguang berusaha mengejar beberapa langkah. 　　Langkah Kaisar Jingming terhenti, matanya menyapu tajam ke arahnya. 　　Yang Deguang langsung kehilangan keberkatan, merangkak di lantai sambil menangis tersedu-sedu. 　　Kaisar Jingming menghela napas panjang, lalu pergi dengan mengibaskan lengan jubahnya. 　　Pan Hai mengikuti langkah penguasa dengan sigap. 　　Di jalan menuju istana belakang, langkah Kaisar Jingming melambat. Ia bertanya pada Pan Hai: “Sudahkah Pangeran Jing dikirim ke Biro Urusan Kerajaan?” 　　Putra Mahkota yang dipecat bergelar Pangeran Jing. Mantan putra mahkota beserta keluarganya harus pindah dari Istana Timur ke kediaman baru. 　　Kaisar Jingming menempatkan Putra Mahkota yang dipecat di Taman Jing. Namun sebelum memasuki taman tersebut, sesuai tata krama, sang mantan putra mahkota harus melalui Biro Urusan Kerajaan terlebih dahulu. 　　Biro Urusan Kerajaan mengurus buku daftar nama klan kerajaan dan mencatat kesalahan-kesalahan. Peristiwa besar seperti pemecatan putra mahkota tidak boleh melewati tahap ini. 　　"Melapor pada Kaisar, kami sedang mempersiapkan pengantaran Pangeran Jing." 　　Kaisar Jingming melirik Permaisuri, menurunkan suara: "Sudah diberi pengarahan?" 　　Terhadap anak lelaki yang melakukan pengkhianatan besar, Kaisar Jingming saat ini dipenuhi amarah, bahkan enggan memandangnya sekali pun. 　　Brengsek-brengsek itu, jika bertemu mungkin dia takkan tahan untuk melemparkan batu tinta hingga tewas. 　　Pan Hai segera menjawab: "Kaisar tenang, sudah kami sampaikan." 　　Alasan pemecatan putra mahkota adalah menghasut pembunuhan Pangeran An. Hal ini harus konsisten dengan pernyataan sang putra mahkota. 　　Putra Mahkota tahu telah melakukan kesalahan fatal. Tapi dibandingkan pasal perselingkuhan dengan selir istana, tuduhan ini jelas lebih bisa diterima. Setidaknya masih bisa menjadi pangeran dengan tenang, selama tidak bodoh tentu akan kooperatif. 　　Namun bagi Kaisar Jingming, anaknya ini sungguh tolol. Kalau tidak bodoh, bagaimana mungkin sampai kehilangan posisi calon penguasa? 　　"Kau sendiri yang antar Pangeran Jing." Kaisar Jingming tiba-tiba teringat anaknya lain yang ditahan di Biro Urusan Kerajaan: "Suruh Pangeran Yan pulang ke istananya!" 　　Dua anak lelaki sekaligus ditahan di Biro Urusan Kerajaan, memikirkannya saja sudah bikin kesal. 　　Pan Hai memberi salam pada Kaisar dan Permaisuri, lalu pergi menjalankan tugas. 　　Saat ini di Istana Timur, tangisan telah bergema di mana-mana. 　　"Yang menangis adalah selir-selir Istana Timur, sekumpulan selir Putra Mahkota, diselingi tangisan anak-anak." 　　Mantan Permaisuri Putra Mahkota, sekarang Permaisuri Jing dari Wangsa Yang, justru terlihat tenang secara mengejutkan. 　　Matanya hanya sedikit memerah sambil menggenggam tangan anak lelaki berusia enam tujuh tahun. 　　Anak lelaki itu adalah putra Wangsa Yang, sekaligus satu-satunya anak Putra Mahkota yang semula berstatus Cucu Mahkota, kini hilang semua gelarnya. 　　Tangisan mantan Putra Mahkota bahkan lebih keras dari selir-selirnya, terutama setelah Pan Hai mengirim orang untuk mendesak, ia meronta-ronta tanpa sisa harga diri. 　　Pan Hai melirik Permaisuri Jing dengan wajah bermasalah. 　　Permaisuri Jing menarik putranya mendekat dan berkata pada mantan Putra Mahkota: "Anda berangkatlah dulu, saya akan menunggu di Taman Jing bersama anak-anak." 　　"Tidak, aku tak mau ke Biro Urusan Kerajaan!" Pangeran Jing melototi Permaisuri Jing, lalu menarik lengan Pan Hai sambil merengek: "Paman Pan, tolong sampaikan pada Ayah Kaisar bahwa aku benar-benar menyesal, jangan diusir dari Istana Timur..." 　　Permaisuri Jing menggigit bibir, hatinya hanya dipenuhi kepedihan dan ironi, namun anehnya juga merasa lega. 　　Seonggok lumpur busuk seperti ini, bagaimana mungkin menjadi penguasa Dinasti Zhou? 　　Mungkin pencopotan gelar ini justru berkah, setidaknya tidak akan merusak negara dan rakyat, juga menghindarkan malapetaka besar yang bisa merenggut nyawa putranya. 　　Hidup di Taman Jing mungkin lebih menjanjikan daripada di Istana Timur. 　　Saat pikiran ini melintas, mata Permaisuri Jing mulai berbinar. 　　Tangisan mantan Putra Mahkota terus bergema. 　　Pan Hai menghela napas: "Pangeran, maklumat pemecatan Putra Mahkota telah dibacakan di Aula Fengtian. Lebih baik Pangeran segera menuju Biro Urusan Kerajaan. Semakin cepat pergi, semakin cepat bebas..." 　　Putra Mahkota langsung layu seperti terong kena embun beku, ditemani Pan Hai menuju Biro Urusan Kerajaan. 　　Kemarin hari terakhir September, saya lupa minta dukungan vote! Hari ini hari pertama Oktober, suara bulanan sedang periode double. Saya berseru keras minta dukungan vote, ledakan pembaruan akan dilakukan akhir bulan ini. Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari Liu Cheng Xue Pao, terima kasih untuk hadiah dari Mo Yu Moyo, Re Lian^^, Fu Renbai, Xin Yi Hua Kai Liu Shao Huang, mcj221, guiyue08, Zhu Yu, Shū Yǒu20180818194259677, Hao Gu Niang Tang Xiao Mo, Zai Huanxiang Zhong Youli, Yán Zhī Hǔ1, Gadis Cantik 007, Hei Dao Ru Xue. Terima kasih untuk teman-teman pembaca yang telah memberikan vote. 483.BAB 482: Roda Keberuntungan Berputar 　　BAB 482: Roda Keberuntungan Berputar 　　Di Biro Urusan Kerajaan, Yu Jin merasa agak gelisah. 　　Meski suatu hari pasti bisa keluar, tapi tinggal sehari pun di tempat seperti ini sungguh tidak nyaman. 　　Tak ada daging kukus, tak ada Er Niu, yang lebih penting tak ada istri! 　　Seorang pelayan istana dipandu petugas kecil menghampiri, tersenyum: "Memberi salut untuk Pangeran." 　　Yu Jin malas mengangkat pandangan. 　　Mukanya agak familiar, sepertinya kasim kecil yang biasa mengikuti Pan Hai. 　　Yu Jin mendengus dingin: "Hmm." 　　Pelayan istana tersenyum: "Pangeran, saya mendapat perintah Paman Pan untuk mengantar Anda keluar." 　　Yu Jin tiba-tiba bersemangat, tapi wajahnya tetap tenang: "Mengajakku keluar?" 　　“Ya, Kaisar memerintahkan Tuan untuk kembali ke Kediaman Pangeran Yan. Tidak perlu tinggal di sini lagi.” 　　Pegawai rendah di sampingnya membelalakkan mata karena terkejut, memandang pelayan istana lalu memandang Yu Jin dengan ekspresi tak percaya. 　　Semalam ia masih membayangkan orang seperti Pangeran Yan paling tidak akan ditahan setahun dua tahun, bagaimana bisa hari ini langsung dibebaskan? 　　Bukankah Pangeran Yan dipenjara karena memukul Putra Mahkota? Hukuman untuk memukul calon penguasa kok ringan sekali? 　　Malangnya si pegawai belum tahu bahwa Putra Mahkota yang dipecat akan segera datang tinggal sementara, hatinya masih dipenuhi kebingungan. 　　Yu Jin berdiri dengan tenang, menyeka debu yang sebenarnya tidak ada di bajunya, lalu mengangguk halus: "Terima kasih atas bantuannya." 　　Mengingat ratapan Putra Mahkota yang dipecat, lalu membandingkannya dengan ketenangan Pangeran Yan, sang pelayan istana menggeleng diam-diam. 　　Pantas saja Putra Mahkota dipecat. Calon penguasa negara ini bahkan tak memiliki kewibawaan seperti Pangeran Yan yang tumbuh besar di luar istana. 　　Sejujurnya, pemecatan Putra Mahkota seperti ini belum tentu hal buruk... 　　Pelayan istana tiba-tiba tersentak, menyadari pikirannya telah melantur. Ia buru-buru menarik kembali pikiran dan tersenyum ramah sambil memimpin jalan untuk Pangeran Yan. 　　Saat Yu Jin melewati si pegawai, langkahnya terhenti sebentar. Dengan suara datar ia berkata: "Terima kasih atas perhatiannya selama ini." 　　Pegawai itu mengusap keringat sementara buru-buru menjawab: "Tuan terlalu sopan. Jika lain kali Tuan datang lagi—" 　　Melihat ekspresi kaget pelayan istana, si pegawai tiba-tiba menutup mulutnya. Ia menampar pipinya sendiri: "Dasar mulut busuk! Gugup sedikit langsung ngawur. Mohon Tuan maafkan hamba..." 　　Terhadap seorang pegawai kecil yang tidak penting, Yu Jin selain tidak puas karena dia tidak menyiapkan daging kukus untuknya, tidak memasukkannya ke dalam hati. Hanya mengangguk lalu berjalan cepat ke depan. 　　Pegawai kecil itu buru-buru mengikuti dari belakang untuk mengantar. 　　Tidak berjalan jauh, dari depan datang beberapa orang. Yang berjalan di tengah adalah Putra Mahkota yang telah dipecat. 　　Kedua pihak bertemu. 　　Yu Jin melihat Putra Mahkota yang dipecat, mengangkat alis heran: "Kakak Kedua ini——" 　　Putra Mahkota yang dipecat tertegun sejenak, tiba-tiba menerjang. 　　Yu Jin menangkap tangan Putra Mahkota yang dipecat yang sedang mengayun-ayun, mengerutkan alis: "Meskipun Kakak Kedua adalah Putra Mahkota, tidak bisa langsung memukul orang tanpa penjelasan kan?" 　　Putra Mahkota yang dipecat menatapnya langsung, bernapas terengah-engah. 　　Pan Hai di samping mengingatkan: "Pangeran, Pangeran Jing sudah bukan Putra Mahkota lagi." 　　"Pangeran Jing?" Ekspresi heran muncul tepat waktu di wajah Yu Jin. 　　Putra Mahkota yang dipecat semakin merasa terhina dan marah, tatapannya pada Yu Jin tajam seperti pisau. 　　Yu Jin semakin heran: "Apakah pemecatan Putra Mahkota ada hubungannya dengan saya?" 　　Sudut mulut Pan Hai berkedut. 　　Pangeran Yan ini, benar-benar berani mengucapkan apapun. 　　"Tidak mungkin, tentu saja tidak ada hubungannya dengan Pangeran." 　　Yu Jin melirik Putra Mahkota yang dipecat, tersenyum: "Bagus kalau tidak ada hubungannya. Saya kira saya yang menyebabkan ini. Tatapan Kakak Kedua seperti ingin membunuh saya." 　　"Lao Qi, brengsek! Waktu itu kau memukulku, bahkan bilang——" Bertemu dengan tatapan dingin Yu Jin, Putra Mahkota yang dipecat tiba-tiba menggigil tanpa alasan, tidak melanjutkan perkataannya. 　　Saat itu dia dipukul oleh Lao Qi, awalnya mengira Lao Qi akan hancur. Tak disangka, Lao Qi tetap arogan bahkan diam-diam berkata padanya: "Kakak Kedua jangan terlalu senang, roda nasib terus berputar. Hari ini aku yang masuk Biro Urusan Kerajaan, mungkin besok giliranmu..." 　　Waktu itu dia merasa itu omong kosong, tak menyangka ramalan itu benar-benar terjadi. 　　"Kakak Kedua, kita semua orang terpelajar. Tak baik selalu mengancam pembunuhan. Lagipula, kakak takkan lama di sini, lebih baik tenang-tenang saja." 　　Pan Hai memanfaatkan kesempatan untuk menasihati Putra Mahkota yang dipecat: "Pangeran, kata-kata Pangeran Yan masuk akal. Lebih baik Tuan segera pergi. Kaisar sedang marah, jika sampai terdengar kabar buruk—" 　　Putra Mahkota yang dipecat mengatupkan gigi, wajahnya gelap sambil menyingsingkan lengan baju berjalan maju. 　　Pan Hai mengangguk halus pada Yu Jin, lalu bergegas mengikuti. 　　Yu Jin tersenyum tipis sambil bertanya pada pelayan istana di sampingnya: "Bisa tahu kenapa Putra Mahkota dipecat?" 　　Pelayan itu ragu sejenak, lalu berbisik pelan: "Pangeran Jing menyuruh Jinwuwei membunuh Pangeran An di Gunung Cuiluo..." 　　Reaksi pertama Yu Jin adalah tidak percaya. 　　Si bodoh seperti Putra Mahkota itu, kalau benar-benar bisa memakai cara pembunuhan untuk menghabisi lawan, takkan sampai kehilangan posisinya sebagai putra mahkota. 　　Pasti ada alasan tersembunyi. 　　Tentu saja, Yu Jin sama sekali tak peduli dengan alasan apapun. Baginya tak ada yang lebih penting dari pulang ke rumah dan berkumpul dengan istrinya. 　　Keluar dari pintu gerbang Biro Urusan Kerajaan, angin dingin yang menusuk membawa hawa lembap menerpa tubuh. Yu Jin langsung merasa segar dan bersemangat, seolah semua kesialan selama ini tersapu bersih. 　　Tak lama setelah Yu Jin pergi, seorang pegawai kecil yang bersembunyi di tempat sepi menampar pipinya sendiri dua kali. 　　Perkataan yang sudah diucapkan harus ditepati, kalau tidak akan mendatangkan malapetaka. 　　Bangsat, mulai sekarang urusan tentang Pangeran Yan tidak akan kuceriwiskan lagi sembarangan. 　　Di pagi hari, Kediaman Pangeran Yan diterpa sinar matahari musim dingin. Tembok merahnya berubah menjadi jingga lembut. Salju di atap rumah mulai mencair, hanya tersisa rintik salju di ranting yang bergetar tertiup angin, seperti bulu kapuk yang beterbangan di musim semi. 　　Aroma daging kukus mengepul keluar dari dapur. 　　"Tuanku, Pangeran sudah pulang, Pangeran sudah pulang!" Ah Man berlari masuk ke ruangan memberitahu Jiang Si. 　　Jiang Si yang sedang ditemani Dou Shuwan mengobrol langsung bersinar matanya. 　　Sebelum sempat keluar pintu gerbang, seorang pemuda tegap sudah bergegas mendekat. 　　Setelah beberapa hari tak bertemu, bajunya tampak kusut, sanggul rambutnya tidak serapih biasanya di rumah, namun sorot matanya tetap berbinar. Begitu melihat Jiang Si, cahaya itu semakin memancar kuat. 　　"A Si, aku kembali." Yu Jin melangkah cepat mendekat, lengannya yang kekat langsung memeluk Jiang Si. 　　Dou Shuwan di samping mereka memerah pipinya. 　　Baginya, keintiman pasangan suami istri seperti ini memang membuatnya agak malu. 　　“Wajah Jiang Si tebal, menahan dorongan untuk berjinjit dan mencium pipi suaminya, lalu tersenyum. “Masuk ke dalam dulu.” 　　“Baik.” Yu Jin memeluknya sambil berjalan masuk. 　　Dou Shuwan tidak bergerak, sedikit menekuk lutut ke arah Yu Jin. “Syukur Pangeran sudah kembali, Permaisuri terus merindukan Tuan selama beberapa hari ini. Saya ada urusan di kamar jadi pulang dulu, nanti akan kembali untuk salut pada Pangeran dan Permaisuri.” 　　Baru sekarang Yu Jin menyadari keberadaan Dou Shuwan. 　　Batuk-batuk, tanpa sengaja lagi mengira dia sebagai dayang utama. 　　Terhadap Dou Shuwan yang tahu diri, Yu Jin bersikap baik, mengangguk halus. “Terima kasih telah menemani Permaisuri beberapa hari ini.” 　　Dou Shuwan membungkuk hormat lalu buru-buru pergi. 　　Mengganggu reunian pasangan suami istri muda bukanlah tindakan seorang wanita terhormat. 　　Begitu masuk kamar, Yu Jin langsung mengangkat Jiang Si dan mencium keras pipinya. 　　“A Si, rindu padaku tidak?” 　　Jiang Si cepat-cepat memukulnya. “Tangan nakal! Hati-hati lukai para gadis, cepat turunkan aku!” 　　Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu bergegas. 　　Selamat hari raya. 484.BAB 483 Pamer Kekayaan 　　BAB 483 Pamer Kekayaan 　　Yu Jin menurunkan Jiang Si, mengerutkan alis sambil melirik pintu. 　　Setelah lama menjalani kehidupan mesra dengan A Si, dayang-dayang di sekitarnya sudah sangat tahu diri dan pasti menghindar di saat seperti ini. 　　Siapa yang tidak tahu diri begini? 　　Sambil menggerutu dalam hati, suara ketukan pintu tiba-tiba berhenti. Tak lama kemudian, bunyi tepukan terdengar di jendela. 　　Yu Jin berjalan mendekat, membuka jendela dengan keras. Er Niu segera mengaitkan dua kaki depannya di ambang jendela, mendorong kaki belakangnya kuat-kuat, lalu melompat ke tubuhnya. 　　"Guk guk!" Er Niu menggoyangkan ekornya dengan mesra ke arah Yu Jin. 　　Amarah Yu Jin yang semula hendak meledak langsung pupus. Ia mengelus kepala Er Niu dengan gemas, "Cepat turun!" 　　Pelukannya hanya untuk A Si. Buat apa si Er Niu ini nongkrong di dadanya? 　　Er Niu mendarat dengan empat kaki, meninggalkan Yu Jin, lalu berjalan menghampiri Jiang Si sambil menyalak dua kali dengan manis. 　　Jiang Si tersenyum sambil membelai bulu lebat di punggung Anjing Besar, "Jangan buru-buru, daging kukusnya sebentar lagi siap." 　　Senyum Yu Jin langsung menghilang, "Daging kukus? Daging kukus apa?" 　　Jiang Si tersenyum manis, "Pagi tadi sudah menyuruh dapur membuat daging kukus." 　　Melihat istri yang tersenyum bak bunga dan Er Niu yang ngiler, Yu Jin langsung marah: "Er Niu sudah cukup dengan tulang berisi daging! Ngapain makan daging kukus!" 　　Keterlaluan! Tidak adil! Di Biro Urusan Kerajaan ia ngidam daging kukus sampai mata hampir copot, si anjing Er Niu ini malah bisa makan semaunya, mungkin bahkan makan satu baskom lalu mengubur satu baskom lagi! 　　Yu Jin menunjuk ke pintu dengan muka masam: "Keluar!" 　　“Er Niu mengeluarkan gerutuan tidak puas dari tenggorokannya. Melihat tuannya yang penuh aura membunuh, ia memutuskan menghindari konflik dan pergi sambil mengibaskan ekor, bahkan menutup pintu kamar dengan keras menggunakan cakar depannya.” 　　“Pergi ya pergi, yang penting jatah daging kukusnya tidak dikurangi.” 　　“Begitu suara pintu yang ditutup mereda, ruangan kembali sunyi.” 　　“Yu Jin menarik Jiang Si, merajuk: 'A Si, aku juga ingin makan daging kukus.'” 　　“Jiang Si meliriknya, tersenyum: 'Hari ini dapur sudah memasak banyak, tidak akan kurang bagianmu.'” 　　“Yu Jin menarik Jiang Si duduk di ranjang, bertanya tak rela: 'Apakah selama beberapa hari aku tidak di rumah ini, Er Niu makan daging kukus setiap hari?'” 　　“Jiang Si tak lagi menggoda, tertawa: 'Tidak. Karena memikirkan kau suka daging kukus tapi tidak di rumah, jadi malas memasaknya.'” 　　“Yu Jin baru berseri-seri, mengelus perut Jiang Si dengan lembut: 'Bagaimana kondisi anak kita? Tidak membuatmu kelelahan?'” 　　“'Cukup baik. Sekarang sudah tidak ada reaksi mual, hanya masih sering mengantuk.'” 　　“Menyebut anak, ekspresi Jiang Si semakin lembut.” 　　“Tabib istana dan dokter kekaisaran sama-sama mengatakan kandungannya sehat, anak ini memang tidak merepotkan.” 　　“Ia akan memiliki seorang anak yang terhubung darah dengan orang yang dicintainya, sesuatu yang tidak pernah dimilikinya di kehidupan sebelumnya.” 　　“Memikirkan ini, Jiang Si kadang merasa tidak nyata, namun hubungan mistis dengan janin di perutnya terus mengingatkannya bahwa semua ini nyata.” 　　“'Sudah bisa bergerak?' tanya Yu Jin penuh semangat.” 　　“Selama beberapa hari di Biro Urusan Kerajaan, waktu yang ia gunakan untuk memikirkan para gadis jauh lebih sedikit daripada memikirkan istri. Biasanya hanya sekilas teringat, misalnya apakah anak-anak membuat A Si sulit tidur atau makan...” 　　“Namun saat tangan menyentuh perut istri, keberadaan si kecil terasa lebih nyata.” 　　“Jiang Si menggeleng: 'Tidak bisa merasakan apa-apa. Tabib utama mengatakan perlu menunggu sekitar satu bulan lagi baru bisa merasakan gerakannya.'” 　　“Pasangan suami istri ini berbincang beberapa saat tentang topik anak. Wajah Yu Jin tiba-tiba berubah serius: 'A Si, kau dengar kabar Putra Mahkota dipecat?'” 　　“Pemecatan Putra Mahkota adalah peristiwa besar yang menggemparkan istana. Kabarnya telah menyebar seiring para pejabat meninggalkan Aula Fengtian.” 　　“'Sudah tahu.'” 　　“'Kurasa Putra Mahkota tak mungkin menyuruh Jinwuwei membunuh Pangeran An. Sayang kali ini tidak ikut ritual sembahyang, jadi tidak bisa melihat fakta sebenarnya.' Ucap Yu Jin penuh penyesalan.” 　　“Bibir Jiang Si bergetar, namun akhirnya tidak mengungkap alasan sebenarnya pemecatan itu. Ia tersenyum: 'Apapun faktanya, tidak ada hubungannya dengan kita.'” 　　“Yu Jin mengangguk: 'Benar. A Si, kau tidak lihat tadi saat aku keluar dari Biro Urusan Kerajaan, kebetulan bertemu mantan Putra Mahkota yang sedang digiring masuk. Dia bahkan ingin memukulku!'” 　　“'Mantan Putra Mahkota sekarang ibarat anjing terendam, tak perlu dihiraukan.' Ujar Jiang Si. Tiba-tiba ia teringat suaminya yang bisa cemburu pada Er Niu selama berhari-hari, merasa perlu mengingatkan sesuatu.” 　　“'A Jin, meski jarang berinteraksi dengan Ayah Kaisar, aku bisa melihat beliau sebenarnya masih memperhatikan mantan Putra Mahkota...'” 　　“Maksudmu——” 　　Jiang Si berkata dengan nada penuh makna: "Mungkin setelah amarah Ayah Kaisar mereda, Beliau akan mengubah keputusan." 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu tenggelam dalam perenungan. 　　Jika nanti Kaisar akan mengembalikan status Putra Mahkota yang dipecat, maka sikap terhadap mantan Putra Mahkota itu memang tidak boleh terlalu buruk. 　　Dia sendiri tidak masalah, tapi masih ada A Si dan anak yang belum lahir. Dia tidak boleh membiarkan mereka ikut menderita karenanya. 　　"A Si jangan khawatir, saya sudah paham." 　　"Baik, mari kita makan dulu." 　　Di atas meja makan segera terhidang berbagai piring. Di tengah terdapat mangkuk besar berisi daging kukus yang menggugah selera. Saat dijepit dengan sumpit, irisan tipis daging itu memperlihatkan kacang panjang asam yang tersusun rapi di dasarnya. 　　Setelah makan dengan puas, Yu Jin membersihkan mulutnya lalu berkata pada Jiang Si: "Kau istirahat dulu di kamar. Aku mandi dulu, setelah selesai akan segera menyusul." 　　Di banyak keluarga yang menjunjung tinggi tata krama, tuan rumah jarang mengunjungi bagian dalam rumah di siang hari, lebih banyak menghabiskan waktu di ruang belajar halaman depan. Namun aturan ini sama sekali tidak berlaku di Kediaman Pangeran Yan. 　　Bagi Yu Jin, aturan sampah apapun tidak lebih penting dari memeluk istri tidur. 　　Jiang Si juga sudah terbiasa: "Baik, aku akan menunggumu di kamar." 　　Baru saja selesai makan langsung berbaring tentu tidak nyaman. Jiang Si pun berjalan-jalan kecil beberapa putaran di dalam kamar. Sebelum Yu Jin selesai mandi, datanglah kabar bahwa Pangeran Lu berkunjung. 　　Beberapa istana pangeran berderet di satu jalan, dengan kediaman Pangeran Lu dan Pangeran Yan saling berdekatan. Biasanya kedua saudara ini selalu bertengkar setiap bertemu, tak pernah saling mengunjungi. 　　Saat ini Pangeran Lu datang ke sini? 　　Setelah Yu Jin berganti pakaian bersih, Jiang Si segera memberitahunya tentang kunjungan Pangeran Lu. 　　Alis Yu Jin berkerut: "Dia mau apa? Kalau begitu A Si istirahat dulu, aku akan ke depan melihat-lihat." 　　Masalahnya keluar dari Biro Urusan Kerajaan pasti sudah diketahui umum, saat ini tak ada alasan tepat untuk menghindar. 　　Sikap santai dan bebas Yu Jin merupakan kamuflase pelindung, tapi jika terus-terusan arogan itu kebodohan. 　　Dia sudah punya istri dan anak, tak boleh bertindak bodoh. 　　Pangeran Lu duduk di Ruang Penerimaan, bosan memandang sekeliling. 　　Dekorasi rumah Lao Qi memang sederhana - tunggu dulu! 　　Pangeran Lu tiba-tiba berdiri, bergegas mendekati meja tinggi tempat botol bawang putih terpajang. 　　Botol leher panjang bermotif ikan dan alga biru putih ini terlihat sederhana dan kuno, memang benar-benar antik. 　　Pangeran Lu yang besar di lingkungan mewah jelas paham nilai barang, setelah melihat beberapa saat dia yakin botol bawang putih ini adalah peninggalan zaman pria besar! 　　Sebuah botol bawang putih dari era pria besar nilainya sangat tinggi. 　　Bukankah Lao Qi anak liar yang dibuang keluar istana sejak kecil? Dengar-dengar masuk Biro Urusan Kerajaan malah dihukum potong gaji setahun, darimana dia dapat uang! 　　Saat Yu Jin masuk ke Ruang Penerimaan, Pangeran Lu tak tahan menanyakan tentang botol tersebut. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Oh, sebelumnya kan sudah membelikan Permaisuri sebuah toko kosmetik, tak disangka toko kecil itu cukup menghasilkan." 485.BAB 484 Cuma Pengen Ngobrol 　　BAB 484 Cuma Pengen Ngobrol 　　Pangeran Lu menahan dorongan untuk menyiramkan air teh ke wajah Yu Jin, dalam hati membujuk diri: Jangan berkelahi dengan Lao Qi, berkelahi dengannya tak pernah membawa hasil. 　　"Kakak kelima datang untuk apa?" Menghadapi Pangeran Lu, Yu Jin juga tak ingin bersikap sopan, duduk di kursi kayu beratap sambil bertanya santai. 　　"Kita kan saudara tinggal berdekatan, apa tidak boleh saling mengunjungi?" 　　Yu Jin menyeruput teh dari cangkirnya. 　　Dia baru saja kembali dari Biro Urusan Kerajaan, belum sempat dekat-dekatan dengan istrinya, ngapain juga mengunjungi orang! 　　Pangeran Lu mendekat dengan nada akrab: "Adik ketujuh, sudah dengar kabar tentang dia?" 　　Yu Jin mengangkat alis: "Siapa?" 　　Pangeran Lu menurunkan suara: "Kakak kedua, sekarang dia sudah jadi Pangeran Jing, tiba-tiba setara dengan kita." 　　Hehehe, benar-benar menyegarkan. 　　Dengan gelar pangeran baru untuk kakak kedua, mungkinkah ini kesempatannya mewujudkan keinginan lama? 　　Keinginan Pangeran Lu adalah memukuli Putra Mahkota habis-habisan tanpa konsekuensi. 　　Mengikuti teladan baik Yu Jin, hatinya sudah mulai gelisah. 　　"Tidak terlalu paham." Yu Jin memegang cangkir teh, berkata datar. 　　“Lao Wu dan rombongannya ikut pergi ke ritual sembahyang kepada langit, bisa dibilang mereka menyaksikan kematian Pangeran An. Kabar dari luar mana bisa sejelas penuturan saksi mata.” 　　Begitu mendengar perkataan Yu Jin, Pangeran Lu langsung bercerita tentang kejadian di Gunung Cuiluo. 　　Memandangi wajah bersemangat Pangeran Lu, Yu Jin diam-diam berpikir: Kapan dia dan Lao Wu menjadi begitu akrab? 　　Setelah menghabiskan tiga cangkir teh, Pangeran Lu akhirnya sampai pada kesimpulan: “Siapa sangka Kakak Kedua yang biasa mengurung diri di Istana Timur ternyata kenal dengan Meiren di Sungai Jinshui, sampai-sampai membunuh Paman Wang An karena hal ini.” 　　“Kalau begitu, apakah kasus itu dipecahkan oleh Tuan Zhen?” 　　Tampaknya dia perlu segera mampir sebentar ke Shuntianfu. 　　Pangeran Lu mengangguk: “Benar, untung ada Tuan Zhen di lokasi. Kau tak tahu, Adik ketujuh, Tuan Zhen itu luar biasa! Sekilas dia langsung melihat perbedaan warna tali lengan baju Jinwuwei yang mencurigakan. Kemudian seorang Jinwuwei lain menemukan baju yang sudah diganti itu, baru tertangkap pelakunya. Ngomong-ngomong, Jinwuwei yang berjasa itu rupanya kakak iparmu.” 　　“Benarkah?” Yu Jin terkejut sedikit. 　　Detail seperti ini belum sempat dia selidiki. 　　“Sayangnya, Ayah Kaisar sedang marah besar, mungkin tidak akan memikirkan jasa kakak iparmu.” 　　Yu Jin tersenyum tipis: “Tidak masalah. Kakak ipar memang orang yang bertanggung jawab, tidak mengharapkan imbalan.” 　　"Tak disangka saat membicarakan gosip masih harus mendengar Yu Jin memuji kakak ipar," Pangeran Lu diam-diam memutar matanya putih. 　　"Adik ketujuh, menurutmu apakah Kakak Kedua kali ini sudah tamat?" 　　"Pikiran Ayah Kaisar tidak berani saya tebak." 　　Pangeran Lu mengusap hidungnya: "Aku juga bukan menebak pikiran Ayah Kaisar, cuma merasa terlalu tiba-tiba. Kakak Kedua tiba-tiba bukan Putra Mahkota lagi, seperti mimpi..." 　　"Jadi maksud Kakak kelima mencariku adalah——" 　　Apa Lao Wu yang biasanya tidak bersemangat ini langsung ingin membentuk klik dan mengincar posisi Putra Mahkota? 　　Pangeran Lu dengan wajah sewajarnya: "Peristiwa besar seperti ini, pasti perlu cari orang untuk ngobrol." 　　Apalagi Lao Qi baru saja mengalahkan Lao Er, partner ngobrol gosip yang sempurna. 　　Yu Jin tertegun sejenak, senyum tulus muncul di wajahnya. 　　Jika Lao Wu memang tidak punya ambisi merebut takhta, layak dijadikan teman. 　　Petir penghapusan status Putra Mahkota ini langsung memicu berbagai pikiran banyak orang. 　　Calon penguasa menyangkut stabilitas hati rakyat, pasti tidak bisa dibiarkan kosong lama. Tak lama lagi Kaisar akan memilih seorang pangeran sebagai Putra Mahkota baru. 　　Pintu gerbang Istana Pangeran Jin dan Kediaman Pangeran Qi tiba-tiba ramai dikunjungi. 　　Mewarisi takhta ayah selalu mengutamakan anak sulung dari permaisuri. 　　Di antara banyak pangeran, Putra Mahkota sebelumnya memiliki status 'anak permaisuri' dan merupakan putra sulung Kaisar Jingming secara de facto. Posisinya sebagai calon penguasa sangat sah, meski tidak kompeten sekalipun tak ada yang menyangka dia akan digulingkan. Kini setelah jatuh, penentuan Putra Mahkota baru menjadi tidak pasti. 　　Pangeran Pertama Qin Wang adalah anak angkat, sudah pasti tidak punya kesempatan. 　　“Pangeran Kelima dan pangeran-pangeran di bawahnya urutannya lebih belakang, tidak akan mendapat giliran. Maka kandidat populer jatuh pada Pangeran Ketiga Jin Wang dan Pangeran Keempat Qi Wang.” 　　“Selain Qin Wang dan Putra Mahkota yang dipecat, Jin Wang adalah putra tertua di antara para pangeran. Keuntungan posisi 'anak sulung' memberinya peluang besar, sedangkan Qi Wang juga memiliki kekuatan untuk bersaing.” 　　“Kekurangan terbesar Jin Wang adalah ibunya berasal dari dayang istana, hanya sedikit lebih baik dari ibu Pangeran Xiang yang mantan penari.” 　　“Dinasti Zhou sangat memperhatikan garis keturunan maternal calon penerus tahta. Kaisar Jingming berhasil menyingkirkan banyak pesaing kuat di generasi sebelumnya, dengan status sebagai anak angkat Permaisuri menjadi penopang terbesarnya.” 　　“Asal usul ibu Jin Wang yang kurang terhormat membuat beberapa pihak meragukan keabsahan gelar 'anak sulung'-nya, lalu memilih mendukung Qi Wang.” 　　“Ibu Qi Wang adalah Ibu Suri Xian yang berasal dari Keluarga An Guogong, serta telah melahirkan dua pangeran dewasa yang kokoh pondasinya.” 　　“Qi Wang sendiri jauh lebih unggul dari Jin Wang. Reputasinya sebagai pangeran yang menghormati orang berbakat dan rendah hati membuat banyak yakin jika naik tahta, ia akan seperti Kaisar sekarang yang perhatian pada bawahan serta tekun mengurus negara.” 　　“Di Kediaman Pangeran Qi, Permaisuri Qi bertanya lembut: 'Tuan, hari ini banyak yang mengirim undangan untuk bertemu. Masihkah Tuan menolak semuanya?'” 　　“'Tolak.' Jawab Pangeran Qi tanpa ragu.” 　　Takut Permaisuri Qi tidak mengerti, Pangeran Qi dengan sabar menjelaskan: "Meskipun Lao Er seperti lumpur busuk yang tak bisa dibentuk, posisinya di hati Ayah Kaisar sangat istimewa. Saat ini Lao Er baru saja dipecat, Ayah Kaisar pasti belum punya niat mengangkat putra mahkota baru. Jika pada saat ini Ayah Kaisar merasa saya mengincar posisi Putra Mahkota, maka malapetaka sudah di depan mata." 　　Pandangan Permaisuri Qi ke arah Pangeran Qi penuh kekaguman: "Tuan begitu bijaksana, hati saya jadi tenang." 　　Pangeran Qi tiba-tiba mengubah topik: "Tapi akhir-akhir ini kamu bisa lebih sering bergaul dengan Permaisuri Yan." 　　Mendengar Pangeran Qi menyebut Jiang Si, alis Permaisuri Qi secara refleks berkerut: "Tuan-" 　　Terhadap istri sahnya, Pangeran Qi tak menyembunyikan niatnya: "Tidak peduli Ayah Kaisar mau atau tidak, Putra Mahkota baru pasti akan diangkat. Putra Ketiga punya kesempatan, saya juga punya. Dalam hal 'usia senior' saya tak bisa menyaingi Putra Ketiga, jadi harus mencari cara lain. Kamu harus sering-sering memberi salut ke Ibu Selir, juga berusaha menarik hati Lao Wu dan yang lain. Untuk hal ini saya belum bisa bertindak terang-terangan, jadi bergantung pada hubungan baikmu dengan para permaisuri lainnya." 　　Permaisuri Qi menunjukkan raut wajah yang kesulitan. 　　Permaisuri Lu adalah tong cuka, sejak dulu tak disukainya. 　　Permaisuri Shu berlagak angkuh, sejak dulu tak disukainya. 　　Permaisuri Yan - Permaisuri Yan sejak dulu tak menyukainya... 　　Memikirkan ketiga saudara ipar ini, Permaisuri Qi merasakan kepasrahan yang dalam. 　　“Permaisuri Lu dan Permaisuri Shu mungkin biasa saja, tapi Permaisuri Yan selalu punya prasangka terhadap saya...” 　　“Saya baru saja ingin membicarakan ini. Lao Qi sudah beberapa kali membuat masalah, tapi Ayah Kaisar akhirnya selalu membiarkannya begitu saja. Saya rasa Ayah Kaisar memperlakukan Lao Qi secara khusus. Jadi kau harus menjalin hubungan baik dengan Permaisuri Yan agar Lao Qi bisa menjadi penopangku.” Pangeran Qi menggenggam tangan Permaisuri Qi, berkata penuh perasaan, “Kau harus menahan diri.” 　　Lao Qi selalu punya prasangka terhadapnya. Dibandingkan kesulitan menjalin hubungan baik dengan si brengsek Lao Qi, mungkin lebih mudah mendekati istrinya. 　　Dari pengamatannya, Lao Qi sangat memperhatikan istrinya. 　　“Akan saya usahakan.” 　　Permaisuri Qi segera mengirimkan Kartu kunjungan ke Kediaman Pangeran Yan. 486.BAB 485 JASA HARUS DIHADIAHI 　　BAB 485 JASA HARUS DIHADIAHI 　　“Permaisuri, ini undangan dari Kediaman Pangeran Qi.” 　　Jiang Si menerima Kartu kunjungan berlapis emas bermotif indah dari Dayang Ji. Setelah sekilas melihat, ia melemparkannya ke meja kayu mahoni sambil berkata dua kata: “Tolak.” 　　Dayang Ji mengerutkan kening. 　　Penolakan Permaisuri terlalu gegabah. 　　Sebagai nyonya rumah Kediaman Pangeran Yan, mengurus urusan pemerintahan dan hubungan sosial dengan keluarga-keluarga di ibu kota adalah kewajibannya. Kunjungan Permaisuri Qi untuk menengok menantu perempuan yang sedang hamil adalah hal yang wajar, bagaimana bisa ditolak begitu saja? 　　Semena-mena, Permaisuri ini benar-benar terlalu semena-mena. 　　Melirik perut Jiang Si yang belum menonjol, Dayang Ji menghela napas dalam hati. 　　Tidak ada cara lain, orang hamil tidak boleh diganggu. Jika tidak mau bertemu, biarlah. 　　"Permaisuri Yan sedang tidak enak badan dan tidak layak menerima tamu?" Mendengar jawaban itu, Permaisuri Qi merasa sesak di dada. 　　Permaisuri Yan menolak dengan begitu langsung, alasan yang diberikan terkesan asal-asalan. 　　Tidak enak badan apa? Sudah jelas kandungannya sudah lebih dari tiga bulan. Ketidaknyamanan di awal kehamilan pasti sudah berlalu. Jawaban seperti ini jelas menunjukkan keengganannya berurusan denganku. 　　Permaisuri Yan ini benar-benar keras kepala. 　　Sejak hamil, Jiang Si sama sekali tidak keluar dari gerbang Kediaman Pangeran Yan. Permaisuri Qi bahkan tidak bisa bertemu langsung, apalagi menjalin hubungan baik. 　　Permaisuri Qi akhirnya mengunjungi Permaisuri Lu dan Permaisuri Shu. Seiring dengan Pangeran Qi yang menutup pintu untuk tamu, Kediaman Pangeran Qi pun menjadi sepi untuk sementara. 　　Di ruang studi kekaisaran, buku cerita Kaisar Jingming yang disembunyikan di panel rahasia sudah lama tidak diganti. 　　Sejak memecat Putra Mahkota, ia sudah kehilangan ketenangan untuk membaca buku cerita. 　　Meski para menteri belum mengajukan, ia sudah bisa melihat keinginan mereka untuk mendesak penetapan putra mahkota baru dari sorot mata yang tak sabar. 　　Tapi ia tidak mau. 　　Bukan karena masih berharap pada mantan Putra Mahkota, tapi memikirkan posisi yang selama puluhan tahun dipegang satu orang tiba-tiba harus diberikan ke anak lain, terasa sangat sulit diterima. 　　Berjalan ke luar ruang studi, Kaisar Jingming bersandar di pagar sambil menatap langit. 　　Langit tak bertabur bintang maupun bulan, bagaikan perasaan hampa yang mengisi hatinya saat ini. 　　"Suyue, apakah kau marah padaku karena aku memecat Lang'er?" Gumam Kaisar Jingming, suaranya lirih hingga hanya diri sendiri yang mendengar. 　　Tak ada yang menjawab pertanyaannya, namun Kaisar Jingming sangat paham bahwa masa tenangnya paling lama bertahan hingga Tahun Baru. Begitu musim semi tiba, para menteri pasti akan mendesaknya untuk menunjuk putra mahkota baru. 　　Sudahlah, setidaknya dua bulan ini bisa menikmati ketenangan. 　　Derap kaki pelan terdengar, Kaisar Jingming tak menengok. 　　"Paduka, mengapa belum beristirahat?" Pan Hai bertanya dengan suara rendah. 　　Kaisar Jingming berbalik, separuh wajahnya tersaput bayangan: "Ada kabar apa dari luar istana?" 　　Pan Hai ragu sejenak, bingung harus memulai dari mana. 　　"Kudengar gerbang Istana Pangeran Jin ramai dikunjungi kereta kuda?" 　　Pan Hai tak berani menyambut ucapan itu. 　　"Bagaimana dengan Pangeran Qi?" 　　"Pangeran Qi telah menutup pintu dan menolak tamu sejak beberapa hari lalu." 　　Wajah Kaisar Jingming sedikit cerah mendengarnya. 　　Lao Si selalu menunjukkan sikap persaudaraan yang harmonis, cukup baik. Sayang, statusnya tak sekuat Putra Ketiga... 　　Mengusir pikiran, Kaisar Jingming beralih pertanyaan: "Bagaimana dengan dalam istana? Adakah petunjuk tentang orang di balik Chen Meiren dan Selir Yang?" 　　Sebenarnya Dongchang tak punya kewenangan menyelidiki istana belakang, tapi Kaisar Jingming melanggar aturan. 　　Meski hanya dugaan Zhen Shicheng, sang Kaisar tetap memilih untuk percaya. 　　Orang itu harus dicari sampai ketemu. 　　Pan Hai menunduk malu: "Sampai kini belum ada petunjuk. Orang-orang yang sering berinteraksi dengan Chen Meiren dan Selir Yang semasa hidup mereka masih belum mencurigakan." 　　"Karena ini investigasi diam-diam, tentu tidak boleh membuat ular berbisa kabur, tapi orang yang bisa mempengaruhi Chen Meiren dan Selir Yang mungkin sudah lama berada di istana. Apakah mudah untuk menemukan petunjuk dalam waktu singkat?" 　　Kaisar Jingming tentu tahu ini, tidak bermaksud menyalahkan Pan Hai, hanya teringat lagi pada Yu Jin. 　　Mungkin harus memanggil Lao Qi untuk mencoba? 　　Tapi mengenai urusan Putra Mahkota dan Selir Yang, dia tidak ingin Lao Qi mengetahuinya... 　　Kaisar Jingming merasa dilema sesaat. 　　"Kaisar, sudah larut malam, Baginda sebaiknya beristirahat." Pan Hai menasihati. 　　Kaisar Jingming mengangguk, suaranya terdengar letih: "Hm." 　　Tunggu sebentar lagi, mungkin dengan memberi Pan Hai lebih banyak waktu akan ditemukan petunjuk. 　　Hari tenang yang didambakan Kaisar Jingming hancur saat sidang pagi keesokan harinya. 　　Ternyata ada seorang pejabat pengawas yang menuduh Zhen Shicheng. 　　"Kaisar, Prefect Shuntian Zhen Shicheng menyatakan bahwa Pangeran Jing menyuruh Jinwuwei membunuh Pangeran An demi seorang gadis sungai Jinshui, tapi hamba dengar gadis itu sama sekali tidak mengenal Pangeran An... Hamba berpendapat Zhen Shicheng salah dalam menangani kasus ini. Mengingat ini menyangkut calon penguasa, mohon Kaisar meninjau ulang!" 　　Pelipis Kaisar Jingming berdenyut-denyut mendengarnya. 　　Tinjau ulang apa? Apakah harus mengumumkan ke seluruh negeri bahwa Putra Mahkota berselingkuh dengan selir istana? 　　Pejabat pengawas yang sok sibuk itu tak pelak mendapat teguran keras. 　　Melihat ekspresi berbeda-beda para menteri, Kaisar Jingming tersadar: Tampaknya masih ada yang belum bisa menerima kenyataan pencopotan Putra Mahkota. 　　"Hati rakyat yang labil, masih berkhayal tentang Putra Mahkota yang dipecat itu bukanlah hal baik." 　　Kaisar Jingming merenung sejenak, bertanya: "Siapakah anggota Jinwuwei yang menaklukkan penjahat dan menyelamatkan Tuan Zhen hari itu?" 　　Ia ingat itu adalah kakak ipar Lao Qi, seorang pemuda yang tampan. 　　Segera seseorang menjawab: "Paduka, anggota Jinwuwei itu adalah putra dari Dongping Bo Residence." 　　"Panggil dia ke aula." 　　Kebetulan Jiang Zhan sedang bertugas, tak lama kemudian ia dipandu pelayan istana memasuki aula. 　　Ini pertama kalinya Jiang Zhan memasuki situasi resmi seperti ini, untungnya ia memang pemberani sejak lahir dan tidak terlalu menghiraukan hierarki, bersikap wajar. 　　Kaisar Jingming mengamati pemuda setegak pohon poplar itu memberi salam dengan penuh percaya diri, diam-diam mengangguk puas. 　　Pantaslah ia saudara kandung istri Lao Qi, benar-benar pemuda yang menjanjikan. 　　"Saat itu situasi kacau, tapi jasamu selalu Kuingat." Kaisar Jingming berbicara lembut, bertanya pada Jiang Zhan: "Jiang Er, katakan hadiah apa yang kau inginkan?" 　　Jika ada yang menyerang Zhen Shicheng, maka ia harus memberi penghargaan besar kepada pelindung Zhen Shicheng, agar para pengacau itu berpikir ulang sebelum bertindak. 　　Jiang Zhan mengangkat kepala, matanya berbinar: "Paduka akan memberi hadiah pada hamba?" 　　Para menteri hampir pingsan. 　　Meminta hadiah secara terang-terangan seperti ini dari Kaisar, benar-benar pemandangan baru bagi mereka. 　　Tuan Kedua dari Dongping Bo Residence ini dan ayahnya benar-benar darah daging yang sama. 　　Terhadap keterusterangan Jiang Zhan, Kaisar Jingming justru sangat mengapresiasi, tersenyum berkata: "Bagus, berjasa patut diberi hadiah, bersalah patut dihukum. Asal permintaan hadiahmu masuk akal, Aku akan mengabulkannya." 　　Kakak laki-laki permaisuri, meski tak berjasa, menaikkan pangkat sedikit dari pengawal biasa juga hal yang wajar. 　　Memikirkan ini, Kaisar Jingming semakin menambah rasa kagumnya pada Jiang Si. 　　Setelah meraih posisi tinggi tak memaksa menaikkan jabatan ayah dan kakak, memang patut dipuji. 　　Sorot mata Jiang Zhan berbinar-binar, memandang penuh harap pada Kaisar Jingming: "Paduka, hamba mohon izin menjadi prajurit kecil di Perbatasan Selatan atau Utara?" 　　Kaisar Jingming mengira salah dengar, duduk tegak seraya bertanya lagi: "Kau bilang apa?" 　　Jiang Zhan menjawab lantang: "Hamba ingin menjadi prajurit kecil di Perbatasan Selatan atau Utara, membela wilayah Dinasti Zhou kita." 　　Mendengar permohonan penuh semangat dan tekad dari pemuda ini, hati Kaisar Jingming tiba-tiba berdesir, namun mulutnya berkata: "Nakal!" 　　Akhirnya jatuh sakit... Ingin tidur lelap berhari-hari, tapi masih harus mengetik... 487.BAB 486: Hasrat Terkabul 　　BAB 486: Hasrat Terkabul 　　Teriakan "Nakal!" Kaisar Jingming sama sekali tak menakut-nakuti Jiang Zhan. 　　Bercanda, tumbuh besar di bawah tinju Ayah Paduka, hardikan semacam ini bagai hujan rintik-rintik. 　　Ekspresi Jiang Zhan semakin tegas, menangkupkan tangan: "Mohon Kaisar mengabulkannya!" 　　Kaisar Jingming duduk di kursi naga, memandang ke bawah pada pemuda itu: "Jiang Er, kau tahu pedang tak bermata?" 　　Jiang Zhan berlutut tegak, segera mengangguk: "Hamba tentu tahu. Justru karena itulah, kita harus mengorbankan diri sebagai laki-laki sejati untuk membela tanah Dinasti Zhou." 　　Mata Kaisar Jingming berbinar, menepuk sandaran kursi naga: "Ungkapan 'mengorbankan diri' yang bagus! Kalau begitu, Aku akan mengangkatmu sebagai Jenderal Xuanwu. Musim semi depan berangkatlah ke selatan untuk bergabung dengan pasukan Jenderal Feng." 　　Jiang Zhan bersukacita: "Terima kasih Kaisar!" 　　Pandangan para menteri terhadap Jiang Zhan tiba-tiba menjadi sangat kompleks. 　　Ada yang menganggap si bodoh ini, meninggalkan kehidupan mewah di ibu kota demi mencari mati di medan perang. Namun juga merasa hari ini dia berhasil menarik perhatian Kaisar. Asal bisa bertahan beberapa tahun di Perbatasan Selatan dan pulang utuh, masa depannya pasti cerah. 　　Ck ck, dari prajurit Jinwuwei biasa langsung menjadi Jenderal Xuanwu kelas empat. Tuan Kedua dari Keluarga Dongping Bo ini benar-benar melesat ke puncak. 　　Kegembiraan tulus Jiang Zhan mempengaruhi Kaisar Jingming, membuat raut wajahnya lebih cerah. Tanpa disadari Kaisar bertanya: "Apakah Jenderal Jiang sudah menikah?" 　　Jiang Zhan masih termenung dengan senyum bodohnya, baru tersadar setelah Kaisar mengulang pertanyaan bahwa sebutan "Jenderal Jiang" ternyata merujuk padanya. 　　Jenderal Jiang... 　　Jiang Zhan merasa kepalanya ringan seperti melayang. 　　Dia dipanggil jenderal! Itu pun oleh Sang Kaisar! 　　Kelakuan konyol Jiang Zhan membuat Kaisar Jingming tersenyum geli, berdehem: "Jenderal Jiang?" 　　Jiang Zhan tersadar, lalu menjawab dengan jujur: "Lapor Paduka, hamba belum menikah." 　　"Begitu ya." Memandang pemuda tampan nan berwibawa itu, Kaisar Jingming mengusap dagu sambil termenung. 　　Jiang Zhan buru-buru menjelaskan: "Hamba segera pergi ke selatan, belum ada persiapan untuk menikah. Tidak baik membiarkan calon istri menunggu lama." 　　Kaisar Jingming mengangguk halus: "Hmm, ada benarnya. Kalau begitu, urusan pernikahan bisa dibahas setelahmu kembali dari selatan." 　　Melihat raja yang berwajah ramah dan pemuda penuh semangat itu, para menteri kembali berbisik: Apa maksud Kaisar ini? Terlalu ikut campur... 　　Setelah menerima hadiah, Jiang Zhan mundur ke samping. Kaisar Jingming bertanya datar pada para menteri: "Apakah masih ada yang ingin melapor?" 　　Seketika ruangan sunyi senyap. 　　Sang Kaisar baru saja memberi pelajaran melalui penghargaan untuk Tuan Kedua Dongping Bo Residence. Siapa berani nekat angkat bicara? 　　Kaisar Jingming puas dengan sikap tahu diri para menteri. Perlahan beliau berdiri: "Kalau begitu, bubarlah semua." 　　"Persidangan ditutup--" 　　Begitu kasim berseru, para menteri berhamburan keluar. 　　Zhen Shicheng yang lolos dari tuduhan tanpa cedera menghampiri Jiang Zhan, menepuk bahunya. 　　"Paman Zhen Shicheng." Jiang Zhan menoleh dan tersenyum lebar melihatnya. 　　Zhen Shicheng mengusap kumis sambil tersenyum: "Keponakan, apakah rencanamu ke Perbatasan Selatan sudah dibicarakan dengan Ayahmu?" 　　Senyum Jiang Zhan tiba-tiba kaku. 　　Zhen Shicheng kembali menepuk bahunya dengan keras, berkata penuh arti: "Keponakan, jaga baik-baik dirimu." 　　Jika ini anaknya sendiri, sudah 800 kali dia pukuli sampai mati. 　　Perasaan riang Jiang Zhan tiba-tiba menjadi berat, dia pulang ke Kediaman Bo dengan ekor terkepit dan langsung menyelinap ke kamarnya. 　　Jiang Ancheng datang ke Paviliun Bambu Gemeresik sambil membawa tongkat besar. 　　"Jiang Zhan, keluarlah kau dari sana!" 　　Tidak ada respon sama sekali. 　　Jiang Ancheng berjalan besar ke pintu, mengangkat kaki untuk menendang, tiba-tiba pintu terbuka. 　　"Ayah--" Jiang Zhan tersenyum manis, matanya melirik cepat ke tongkat sebesar mangkuk teh di tangan ayahnya. 　　Jiang Ancheng mengetukkan tongkatnya ke lantai: "Coba ceritakan apa yang kau lakukan hari ini!" 　　“Anak lelaki——” Menghadapi tatapan penuh amarah Jiang Ancheng, Jiang Zhan tahu bahwa menghindari hujan hari ini hanya akan menunda masalah, akhirnya mengaku jujur, “Anak memohon izin Kaisar untuk dikirim ke medan perang Perbatasan Selatan…” 　　“Brengsek! Masalah sebesar ini kenapa tidak berdiskusi denganku!” 　　Jiang Zhan mundur selangkah, terkekeh kaku: “Anak juga tidak tahu hari ini Kaisar tiba-tiba memanggilku ke aula.” 　　Jiang Ancheng merasa ada benarnya, amarahnya mereda sedikit. Begitu tenang, tiba-tiba tersadar: “Kaisar yang tiba-tiba memanggilmu itu satu hal, tapi kau bisa mengajukan permintaan ini, pasti sudah lama direncanakan!” 　　Jiang Zhan hanya tersenyum kecut, mengiyakan secara implisit. 　　Jiang Ancheng mengayunkan tongkat ke betisnya: “Lalu kenapa tidak berkoordinasi dulu dengan keluarga? Sudah berani melawan ya?” 　　Dia memiliki satu putra dan dua putri, tidak pernah berharap mereka menjadi orang hebat, hanya ingin mereka hidup sehat dan damai seumur hidup. 　　Jiang Zhan menghindari tongkat yang melayang, tiba-tiba terinspirasi berteriak: "Anak sudah berdiskusi dengan Adik Keempat—" 　　Tongkat yang melayang tiba-tiba berhenti di udara. 　　"Sudah berdiskusi dengan adik keempatmu?" 　　Jiang Zhan mengangguk kencang: "Benar, sebelumnya bukankah anak dihina tanpa alasan oleh Putra Mahkota yang dipecat? Bahkan sampai membuat Pangeran Yan masuk Biro Urusan Kerajaan. Saat itu merasa sangat terhina, lebih baik pergi berperang di medan perang." 　　Jiang Ancheng menamparnya: "Tertusuk pisau juga menyenangkan!" 　　Setelah memarahi, muncul keraguan. 　　"Apa kata adik keempatmu?" 　　Jiang Zhan menunjukkan senyum cerah: "Tentu menyetujui. Kalau Adik Keempat tidak setuju, anak tidak akan mengajukan ke Kaisar." 　　Jiang Ancheng nyaris tersedak. 　　Urusan sebesar ini tidak berdiskusi dengan ayah, malah dengan adik, selain anaknya sendiri siapa lagi yang berani begini? 　　Tapi Si'er memang selalu bisa diandalkan. Kalau Si'er anggap tak masalah, berarti aman. 　　"Ehem, kalau sudah berdiskusi dengan adik keempatmu, baiklah. Jangan terulang." 　　Jiang Zhan hampir menangis. 　　Dia tahu lebih aman mengajukan ke Adik Keempat dulu. 　　Memandang wajah muda anaknya, Jiang Ancheng tak tahan bertanya: "Brengsek-brengsek, kau benar-benar tidak takut terluka dan berdarah?" 　　Jiang Zhan dan Jiang Ancheng saling bertatapan, ekspresi mereka langka dan serius: “Ayah, untuk menjaga dan mewujudkan sesuatu, pasti akan ada orang yang mengorbankan darah. Para pemuda yang terluka bahkan gugur di medan perang juga adalah anak lelaki keluarga lain, kakak... Jika mereka bisa, mengapa anakmu tidak?” 　　Dia benar-benar pernah memikirkan masa depan. 　　Bukan hanya karena dipermalukan oleh Putra Mahkota yang dipecat, di dalam hatinya dia memang tidak ingin menghabiskan hidup dalam kemewahan semu seperti ini. 　　Lelaki sejati harus mengangkat pedang Wu, merebut kembali lima puluh wilayah perbatasan. 　　Inilah kehidupan yang ingin dikejarnya. 　　Jiang Ancheng menatap wajah penuh semangat putranya, menepuk bahunya pelan, lalu pergi membawa tongkat dalam diam. 　　Yu Jin bergegas masuk ke Yuyuan, membawa hawa dingin. 　　Dia melepas mantel tebal dan memberikannya pada dayang, menggosokkan lumpur di sepatunya, baru melangkah masuk ke ruang dalam. 　　“A Si, hari ini Ayah Kaisar memuji kakak iparmu di sidang pagi, tapi hadiah yang dimintanya agak mengejutkan...” 　　“Apakah Kakak Kedua ingin pergi ke Perbatasan Selatan?” 　　Yu Jin terkejut: “Kau sudah tahu?” 　　Jiang Si mengangguk: “Ya, Kakak Kedua sudah bicara padaku sebelumnya.” 　　Yu Jin mengatupkan bibirnya. 　　Saatnya mencari istri untuk Jiang Zhan! 488.BAB 487 Hari Ulang Tahun Ibu Suri Xian 　　BAB 487 Hari Ulang Tahun Ibu Suri Xian 　　Setelah perayaan Laba, nuansa tahun baru semakin terasa. 　　Ibu kota tetap ramai, meski hawa dingin tak mampu menghentikan antusiasme warga berbelanja di pasar. 　　Beberapa kebutuhan tahun baru perlu dibeli sejak awal, semakin ditunda harganya akan semakin mahal. 　　Berjalan di jalanan, terlihat orang-orang tersenyum sambil bergegas membawa bebek di satu tangan dan kue di tangan lainnya. 　　Pemberhentian Putra Mahkota masih menjadi hal yang jauh bagi rakyat biasa, setidaknya saat ini mereka belum merasakan perbedaan. 　　Namun para pejabat dan bangsawan merasakan tanda-tanda badai yang akan datang menjelang tutup tahun. 　　Meski belum ada yang secara terbuka mengusulkan penunjukan putra mahkota, persaingan antara Pangeran Ketiga Jin Wang dan Pangeran Keempat Qi Wang perlahan mulai terbuka. 　　Hari ini pejabat pendukung Jin Wang menuduh pejabat pro-Qi Wang melakukan korupsi, besoknya pejabat pro-Qi Wang menuduh pihak Jin Wang melakukan pemerasan. 　　Aksi kedua belah pihak tidak terlalu besar, tapi cukup membuat banyak orang mulai berpikir strategis. 　　Usia Kaisar sudah tidak muda lagi, meski perlu mempertimbangkan perasaannya untuk sementara, masalah penunjukan putra mahkota harus dibahas tahun depan. 　　Antara Jin Wang dan Qi Wang, bagaimana cara memilih pihak? 　　Dalam ketegangan yang tersamar ini, tiba hari ulang tahun Ibu Suri Xian. 　　Selain Permaisuri, selir berpengaruh seperti Xianfei, Zhuangfei, Ningfei selalu menerima banyak hadiah meski tak merayakan besar-besaran di hari ulang tahun mereka. 　　"Terutama Putra Mahkota yang baru saja dipecat, Pangeran Qi kini menjadi calon kuat penerus takhta. Pesta ulang tahun Ibu Suri Xian tiba-tiba menjadi ramai, bahkan Putri Rongyang yang sedang menghadap Janda Permaisuri pun datang memberi dukungan." 　　"Ini belum pernah terjadi sebelumnya, membuat Ibu Suri Xian merasa sangat bangga." 　　"Meski Jiang Si terhindar dari kewajiban menghadap Ibu Suri Xian setiap tanggal 1 dan 15 karena hamil, tapi ulang tahun resmi sang ibu suri tak mungkin dihindari lagi." 　　"Apalagi kandungannya sudah memasuki bulan keempat, saatnya kembali menjalin hubungan sosial seperti biasa." 　　"'Semoga Nyonya panjang umur dan senantiasa sehat.' Dibandingkan dengan ucapan selamat dan hadiah mewah dari Permaisuri Qi, persiapan Jiang Si terlihat sangat sederhana, bahkan dianggap asal-asalan oleh Ibu Suri Xian." 　　"'Hmm, kau cukup berbakti.' Ibu Suri Xian berkata datar." 　　"Jiang Si sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap dingin itu, duduk kembali dengan tenang." 　　"Pandangan Ibu Suri Xian jatuh ke perut Jiang Si: 'Sudah empat bulan?'" 　　"Jiang Si membenarkan." 　　"'Masih belum terlihat jelas. Kau harus lebih banyak bergerak. Terlalu banyak berdiam di kamar justru tidak baik untuk... para gadis.'" 　　"Ini adalah sindiran halus atas ketidakhadirannya selama ini." 　　"Di hadapan banyak orang, Jiang Si tentu tak akan melawan: 'Terima kasih nasihat Nyonya, saya akan rajin menghadap mulai sekarang.'" 　　"Perkataan ini sedikit meredakan amarah Ibu Suri Xian." 　　Putri Rongyang yang duduk di samping tiba-tiba berkata: "Nyonya benar-benar murah hati, sampai menantu perempuan yang tidak menghadap untuk salut selama berbulan-bulan pun tidak dimarahi. Ketika saya mengandung Yi'er dulu, setiap hari selalu pergi dari istana putri ke Kediaman Jenderal untuk memberi salut pada ibu mertua." 　　Dia menatap Jiang Si sambil tersenyum tipis di sudut bibir: "Permaisuri Yan sungguh beruntung punya ibu mertua yang bijaksana seperti ini." 　　Putri Rongyang memiliki posisi terhormat di hadapan Kaisar dan Janda Permaisuri. Selama bertahun-tahun bahkan selir-selir istana seperti Ibu Suri Xian pun harus menghormatinya. Ucapannya kali ini tentu tak ada yang berani menyanggah. 　　Tidak hanya tidak berkomentar, beberapa orang malah tertawa kecil, contohnya Permaisuri Qi. 　　Dia sudah lama tidak puas dengan Permaisuri Yan. Kini akhirnya ada yang berani mempermalukan Permaisuri Yan di depan umum, seperti melepaskan dendam yang terpendam. 　　Permaisuri Qi melirik Jiang Si dalam hati: Orang jahat pasti akan dihukum oleh orang jahat lain. Sekeras apapun Permaisuri Yan, pasti harus menerima sindiran tajam Putri Rongyang. 　　Istana belakang berbeda dengan luar. Meskipun Pangeran Qi dan Pangeran Yan adalah putra Ibu Suri Xian, mereka hanya sebentar menghadiri perayaan ulang tahun lalu harus segera keluar istana. Yang benar-benar tinggal menemani hanyalah para wanita. 　　Permaisuri Qi tahu Pangeran Yan bahkan berani memukul Putra Mahkota sekalipun, tapi dia tidak percaya Permaisuri Yan berani membalas sindiran Putri Rongyang. 　　"Siapa sangka saat itu, suara dingin terdengar: 'Kalau begitu, apakah bibi tidak bertemu dengan mertua yang bijaksana, sehingga tidak beruntung?'" 　　Suasana langsung hening, tatapan tak terhitung jatuh pada Jiang Si yang duduk tegak. 　　Apakah pendengaran mereka salah? 　　Putri Rongyang sama sekali tidak meragukan telinganya, tangan menepuk meja kayu mahoni: "Permaisuri Yan bilang saya tidak beruntung?" 　　Jiang Si tersenyum lembut, sorot mata jernih tanpa takut: "Bukankah bibi sendiri yang berkata tadi? Bibi iri saya punya mertua bijaksana, merasa saya beruntung, itu berarti nasib bibi kurang baik bertemu mertua yang tidak bijak." 　　Dalam situasi seperti ini, jika orang lain yang mengejeknya mungkin bisa ditahan selama makan, tapi menghadapi pelaku pembunuh ibunya, sedetik pun tak ingin ditahan. 　　"Kau berani sekali!" Putri Rongyang tak menyangka ada orang yang berani melakukan ini, berani menantangnya di depan umum. 　　"Permaisuri Yan, seenaknya membicarakan senior, inikah pendidikanmu sebagai permaisuri?" 　　Jiang Si mengangkat dagunya, tersenyum tenang: "Sebagai permaisuri yang ditunjuk langsung oleh Ayah Kaisar, ketika ada yang meragukan pendidikan saya, tentu harus saya buktikan pilihan beliau tidak salah." 　　"Kau--!" Jiang Si begitu lihai mengibarkan bendera Kaisar Jingming, Putri Rongyang langsung tercekat setengah mati. 　　"Bibi jangan sedih, meskipun mertua Anda kurang bijaksana, sekarang semuanya sudah berlalu. Kita harus melihat ke depan." Jiang Si menundukkan kelopak matanya, kembali menunjukkan sikap lemah lembut. 　　Saat itu ibu sudah bertunangan dengan Jenderal Cui. Putri Rongyang merebut cinta orang dengan mengandalkan kekuasaan Janda Permaisuri. Awalnya Jenderal Cui menentang keras, tapi ibunya mengancam bunuh diri hingga akhirnya menyerah. 　　Dia bisa memahami pilihan ibu Jenderal Cui, tapi tak bisa menyukainya. Mengatakan bahwa Nyonya Cui kurang bijaksana bukanlah tuduhan yang salah. 　　"Permaisuri Yan, jangan pura-pura bodoh!" Putri Rongyang merasa seperti menelan lalat busuk mendengar penghiburan ini, sama sekali tidak berterima kasih. 　　Suasana tiba-tiba menjadi kaku. 　　Jiang Si tetap tenang, mengusap perutnya sambil tersenyum: "Katanya orang hamil akan jadi bodoh sementara. Terima kasih atas peringatan bibiku." 　　Putri Rongyang benar-benar kehabisan akal. 　　Di dunia ini, yang mengandung keturunan naga adalah yang paling berkuasa. Jika dia terlalu banyak bicara dan membuat perempuan hina ini sakit, pasti akan dimarahi Kakak Kaisar dan Ibu. 　　Tapi Putri Rongyang yang hanya pernah menahan diri di depan Kaisar Jingming dan Janda Permaisuri, merasa seperti ada duri di tenggorokan yang tak bisa ditelan. 　　Benar-benar membuatnya marah! 　　Sekarang dia semakin yakin dengan perkataan yang Mingyue ucapkan sebelum menghilang. 　　Mingyue berakhir seperti itu, pasti ini jebakan perempuan hina ini! 　　Putri Rongyang menyipitkan mata menatap Jiang Si. 　　Jiang Si tak gentar menatap balik, dagunya yang sedikit terangkat menunjukkan sikap menantang. 　　Benar, target kecil Cui Mingyue itu sudah dia basmi, target kecil Putri Rongyang ini juga takkan dia lepaskan. 　　Sorot mata Putri Rongyang menyempit. 　　Perempuan hina ini menantang lagi, tak bisa ditoleransi! 489.BAB 488 Keceriaan 　　BAB 488 Keceriaan 　　Seandainya Ibu Suri Xian membuka mulut saat ini, Putri Rongyang mungkin akan memberi muka dan mengakhiri konflik. Tapi Ibu Suri Xian sama sekali tak berniat melakukannya. 　　Sudah lama dia tak puas dengan menantu perempuannya ini. Terhalang reputasi, tak bisa berkonflik terang-terangan. Kini dengan Putri Rongyang yang maju, dia senang melihat keributan. Nanti saat mereka benar-benar berseteru, barulah dia akan turun tangan sebagai penengah. Bagus juga untuk membuat Permaisuri Yan paham bahwa di istana tak seperti tempat lain - tanpa perlindungan senior, pasti akan dirugikan. 　　Seluruh yang hadir tertegun melihat keberanian Jiang Si. 　　Tidakkah Permaisuri Yan takut Putri Rongyang melaporkan ini ke Janda Permaisuri atau Kaisar? 　　Meski Putri Rongyang tak melapor, sebagai senior bukankah dia bisa memberi pelajaran ke Permaisuri Yan yang harus diterima begitu saja? 　　Saat kerumunan menanti perkembangan situasi, Jiang Si mendahului kemarahan Putri Rongyang dengan mengerutkan alut dan memegangi perutnya: "Nyonya, saya agak tak enak badan. Ingin mencari tempat beristirahat." 　　Putri Rongyang tersenyum: "Barusan Permaisuri Yan mengobrol santai denganku masih terlihat segar bugar, kenapa tiba-tiba tidak enak badan?" 　　Jiang Si tersenyum: "Benar, sekarang tiba-tiba tidak enak badan." 　　Putri Rongyang geram melihat keberanian Jiang Si, menahan amarah berkata pada Ibu Suri Xian: "Nyonya, Permaisuri Yan sedang hamil, ketidaknyamanan fisiknya tak boleh diabaikan. Mengapa tidak memanggil tabib istana untuk memeriksanya?" 　　Hm, saat tabib datang dan memeriksa denyut nadinya, kalau Permaisuri Yan sama sekali tidak sakit, lihatlah ke mana wajah perempuan hina ini akan disembunyikan. 　　Memikirkan hal ini, Putri Rongyang sedikit melengkungkan bibirnya. 　　Ibu Suri Xian juga berniat memberi pelajaran pada Jiang Si, setelah berpura-pura ragu sebentar akhirnya mengangguk: "Baik juga memanggil tabib untuk memeriksanya." 　　Jiang Si berkata: "Nyonya, hari ini adalah hari ulang tahun Anda, untuk apa mengganggu keceriaan Anda dengan memanggil tabib? Cukup suruh dayang mengantarku beristirahat sebentar." 　　Melihat ini Putri Rongyang semakin yakin Jiang Si sedang takut, berkata dingin: "Mengapa Permaisuri Yan banyak alasan? Kandunganmu adalah cucu kerajaan, bukan anak kucing atau anjing biasa. Ketidaknyamanan fisik tentu harus diperiksa tabib." 　　Ibu Suri Xian mengangguk: "Putri Rongyang benar. Setelah diperiksa tabib, kita semua bisa tenang." 　　Jiang Si menggigit bibirnya, tidak bersikeras lagi. 　　"Istri Lao Si, temani dulu istri Lao Qi ke dalam untuk menunggu." 　　Hati Permaisuri Qi dipenuhi sukacita. 　　"Ibu Selir akhirnya memikirkan dirinya dan Pangeran, mengetahui keinginannya untuk menjalin hubungan baik dengan Permaisuri Yan, ini adalah kesempatan yang diberikan untuknya." 　　"Adik ipar ketujuh, pelan-pelan." Permaisuri Qi berkata lembut kepada Jiang Si. 　　Jiang Si berdiri, mengangguk dingin, lalu mengibaskan lengan baju dan berjalan maju. 　　Aula yang kehilangan dua permaisuri tiba-tiba terasa membosankan. 　　Putri Rongyang memutar-mutar cangkir teh di tangannya, berkata dengan nada datar: "Nyonya, bukan maksudku mencampuri, tapi menantu perempuanmu ini terlalu lancar mulutnya, untunglah sifatmu baik..." 　　Ibu Suri Xian tersenyum. 　　Bertahun-tahun menjaga reputasi kebajikan, masak sekarang harus berkonflik terbuka dengan menantu perempuan hanya untuk jadi bahan tertawaan orang? 　　Daripada begitu, lebih baik melihat orang lain yang berkonflik dengan menantu mereka. 　　Di kamar samping, melihat Jiang Si tanpa peduli langsung merebahkan diri di dipan Meiren, Permaisuri Qi dalam hati mengumpat, tapi tetap berpura-pura perhatian: "Adik ipar ketujuh, kau baik-baik saja?" 　　Jiang Si melirik Permaisuri Qi sebentar lalu memalingkan pandangan. 　　Wajah Permaisuri Qi memerah karena malu. 　　Permaisuri Yan benar-benar keterlaluan, di hadapan dayang istana pun tak mau menyahut percakapannya. 　　Apa sebenarnya yang dipikirkan wanita ini? Apakah dirinya pernah menyinggungnya? 　　Kemarahan dan kebingungan yang ditahan Permaisuri Qi tertangkap jelas oleh Jiang Si yang kemudian mengangkat sudut bibirnya. 　　“Terhadap Permaisuri Qi yang secara langsung membunuhku di kehidupan sebelumnya, aku tidak mungkin menunjukkan wajah ramah padanya, seumur hidup ini pun tidak akan.” 　　Adapun kebingungan Permaisuri Qi, hah, biarkan dia mati kesal itu lebih baik. 　　Jiang Si berpikir demikian, senyumannya semakin dingin, yang terlihat di mata Permaisuri Qi adalah sikap meremehkan yang nyata. 　　Permaisuri Qi tidak bisa menahan diri lagi, bertanya pada Jiang Si: "Adik ipar ketujuh, apakah aku pernah menyinggungmu?" 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu menggeleng: "Tidak." 　　Di kehidupan ini, belum sempat menyinggung. 　　"Lalu mengapa setiap bertemu denganku adik selalu bersikap dingin?" Permaisuri Qi akhirnya melontarkan pertanyaan yang lama mengganjal di hatinya. 　　Kalau dikatakan Permaisuri Yan berwatak dingin, waktu berkunjung ke Keluarga An Guogong dia bisa tertawa dan berbincang dengan Ji Fanghua yang sedang dalam posisi canggung, mengapa hanya padanya sikapnya selalu penuh kecurigaan? 　　Jiang Si bersandar di meiren ta, mengubah posisi lebih nyaman, lalu berkata datar: "Kakak ipar keempat, untuk apa memaksakan pertanyaan ini? Di dunia ini tidak semua hal harus ada alasannya." 　　Pertanyaan sudah sampai di sini, Permaisuri Qi tidak rela tidak mendapat jawaban, menekan bibirnya: "Tapi pertanyaan ini seharusnya ada jawabannya." 　　Memandang wajah penuh kepura-puraan ini, rasa jijik yang mendalam mengalir dari hati Jiang Si. 　　Kalau ditanya apakah Permaisuri Qi telah berbuat salah padanya di kehidupan sekarang, tentu saja belum. 　　Tapi dia sangat paham, bukan karena wanita ini tidak akan melakukannya, tapi waktunya belum tiba. 　　Apakah karena belum sempat melakukan, dia harus melupakan dendam dan menunggu sampai orang lain melakukannya baru membenci? 　　Dia sama sekali tidak memiliki sifat suci seperti orang suci. 　　Jiang Si melirik Permaisuri Qi, senyum malasnya serupa dengan Yu Jin: "Sebenarnya jawabannya sederhana, setiap kali melihat kakak ipar keempat, saya langsung merasa jijik. Saya pun tak ingin begitu, tapi tak bisa mengontrol..." 　　"Adik ipar ketujuh, kau... kau keterlaluan..." Permaisuri Qi tak menyangka mendapat jawaban tak masuk akal dan tak kenal ampun seperti itu, amarahnya memuncak hingga matanya berkunang-kunang. 　　Dalam pandangan kabur, hanya bibir merah menyala wanita berparas sempurna itu yang terlihat jelas. 　　Permaisuri Qi membuka mulut, lalu memuntahkan isi perutnya. 　　Dayang yang mengiringi keduanya langsung panik. 　　Salah seorang buru-buru menyangga Permaisuri Qi sambil bertanya berulang: "Permaisuri, apa Anda baik-baik saja?" 　　Dayang lainnya bergegas kembali ke aula. 　　Tabib istana yang baru tiba langsung memberi salam kepada Ibu Suri Xian dkk. Melihat dayang masuk dengan wajah panik, Ibu Suri Xian bertanya: "Ada apa?" 　　Dayang itu menjawab: "Permaisuri tiba-tiba muntah dan pusing--" 　　Putri Rongyang tertegun. 　　Benarkah Permaisuri Yan merasa tidak enak badan? 　　Setelah terkejut, hatinya bergelora: Jika kandungan Permaisuri Yan bermasalah, baru lega rasanya. 　　Ibu Suri Xian langsung tegang mendengarnya: "Cepat antar tabib untuk memeriksa Permaisuri Yan." 　　Walau sangat tidak menyukai menantu perempuan ini, jika Permaisuri Yan yang sedang hamil mengalami masalah di pesta ulang tahunnya, itu akan menjadi pertanda sial besar. 　　Dayang itu segera menjelaskan: "Yang datang adalah Permaisuri Qi." 　　Kerumunan tertegun sejenak. 　　Ibu Suri Xian langsung mengikuti tabib istana ke kamar samping, Putri Rongyang juga ikut serta. 　　Wajah Permaisuri Qi yang kini sudah mulai pulih terlihat sangat pucat. 　　Dalam perjalanan, Ibu Suri Xian telah mendengar dari dayang bahwa kedua menantu perempuannya tidak akur. Meski dayang tidak berani bicara banyak, jelas terasa bahwa Istri Lao Qi telah mempermalukan Istri Lao Si. 　　Begitu masuk dan mencium bau asam menyengat di ruangan, wajah Ibu Suri Xian langsung muram. Dengan suara dingin ia menegur: "Istri Lao Qi, kenapa kau selalu harus bersitegang dengan semua orang? Apa kau puas membuat orang lain celaka?" 　　Menghadapi tuduhan langsung Permaisuri Qi, Jiang Si tersenyum manis balik bertanya: "Mengapa Nyonya mengatakan saya membuat orang celaka? Bisa saja ini justru orang lain yang terkena keberuntungan saya?" 　　Ibu Suri Xian hendak menyeringai sinis ketika tabib istana tiba-tiba mengumumkan: "Selamat, Nyonya. Permaisuri sedang mengandung." 　　Tolong berikan suara bulanan kalian. Mengetik dalam keadaan sakit, hati ini terasa pahit. 490.BAB 489 Adu Domba 　　BAB 489 Adu Domba 　　“Permaisuri Yan sudah mengandung empat bulan, tanpa perlu Tabib istana mengatakan, hamba juga——” Di tengah kalimat, Ibu Suri Xian teringat sesuatu, matanya menyala menatap Permaisuri Qi, “Maksud Tabib adalah?” 　　Tabib istana dengan wajah berseri memberi hormat kepada Ibu Suri Xian: “Lapor Nyonya, Permaisuri Qi sedang hamil.” 　　Kegembiraan besar membuncah dari hati Ibu Suri Xian, “Benarkah?” 　　Selama ini, kekurangan terbesar Lao Si adalah belum memiliki anak lelaki. 　　Usia pasangan Lao Si sebenarnya biasa bagi keluarga biasa, namun mereka berada di keluarga kerajaan—terutama yang mengincar takhta—keturunan menjadi sangat penting. 　　Misalnya, jika harus memilih antara Pangeran Jin dan Pangeran Qi, sebagian orang mungkin akan mundur karena Pangeran Qi tidak memiliki putra. 　　Siapa tahu apakah Pangeran Qi bisa memiliki putra di masa depan? Bagaimana jika setelah naik takhta tetap tak punya penerus? Haruskah mengadopsi keturunan pangeran lain nanti? 　　Lebih baik mendukung kandidat yang terjamin sejak awal. 　　Di bawah desakan Ibu Suri Xian, Tabib buru-buru menjawab: “Denyut nadi kehamilan Permaisuri Qi sudah jelas, seharusnya tidak ada kesalahan.” 　　Ibu Suri Xian menarik napas pelan: “Berapa lama kehamilannya?” 　　“Lebih dari satu bulan.” 　　Senyum merekah di wajah Ibu Suri Xian: “Terima kasih atas jerih payah Tabib.” 　　Dengan kode matanya, seorang dayang segera menyodorkan amplop hadiah tebal kepada Tabib. 　　“Terima kasih, Nyonya.” 　　Ibu Suri Xian mengangguk halus: "Harus merepotkan Tabib istana untuk membuat ramuan tonik bagi Permaisuri Qi." 　　"Nyonya tenang, hamba yang bodoh akan segera membuatkannya." 　　Mengikuti kepergian tabib dengan pandangan, Ibu Suri Xian tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. 　　Kehamilan ini datang di saat yang tepat! 　　Ia menatap Permaisuri Qi yang masih terpaku, jelas belum sepenuhnya sadar. 　　"Ahem." Ibu Suri Xian berpura-pura batuk, "Istri Lao Si, bagaimana perasaanmu sekarang?" 　　Bulu mata Permaisuri Qi bergetar, ia menutupi mulutnya dengan saputangan. 　　Putri Rongyang di depan pintu merasa agak rumit, namun tersenyum: "Hari ini Nyonya mendapat dua berkah sekaligus, kabar baik seperti ini patut disampaikan pada Kakak Kaisar." 　　Hati Ibu Suri Xian berdesir. 　　Celaka! Lupa bahwa Putri Rongyang masih berada di sini. Kini kabar kehamilan istri Lao Si tak bisa disembunyikan lagi. 　　Biasanya kehamilan di bawah tiga bulan tak boleh diumumkan, namun selalu ada pengecualian. 　　Lao Si sedang bersaing ketat dengan Pangeran Jin. Kabar kehamilan ini jelas menguntungkan posisinya. 　　Saran Putri Rongyang bagus. Kabar gembira ini harus segera diketahui Kaisar. 　　Di hadapan Putri Rongyang, Ibu Suri Xian segera memerintahkan pelayan istana untuk melapor ke Kaisar. 　　Putri Rongyang tersenyum: "Tadi Tabib istana pergi membuat obat untuk Permaisuri Qi, tapi lupa memeriksa denyut nadi Permaisuri Yan." 　　“Orang lain mungkin lupa, tapi dia ingat betul soal Permaisuri Yan yang berpura-pura sakit. Permaisuri Yan ingin menghindar dengan cara ini takkan semudah itu.” 　　Ibu Suri Xian baru teringat pada Jiang Si dan menoleh ke arahnya. 　　Jiang Si berdiri di samping dipan, raut wajahnya tenang. 　　Tiba-tiba Ibu Suri Xian teringat kata-kata Jiang Si sebelumnya, rasa aneh menggelayut di hatinya. 　　“Istri Lao Qi, tadi kau bilang kakak ipar keempat akan ikut merasakan kebahagiaanmu. Jangan-jangan kau sudah tahu sejak awal kalau dia hamil?” 　　Jiang Si menunjukkan ekspresi terkejut: “Nyonya bercanda. Saya bukan tabib istana, mana mungkin tahu kalau kakak ipar hamil. Lagipula, tabib pun perlu memeriksa denyut nadi untuk memastikan.” 　　Mendengar itu Ibu Suri Xian merasa masuk akal, tapi semakin penasaran dengan ucapan Jiang Si. 　　“Saya hanya bicara sembarangan,” jawab Jiang Si sembari melemparkan penjelasan tak bertanggung jawab. 　　Putri Rongyang menyeringai dingin: “Bicara sembarangan saja bisa tepat. Permaisuri Yan benar-benar berbakat.” 　　Jiang Si tersenyum manis: “Bibi memuji berlebihan. Sebenarnya bukan berbakat, mungkin hanya beruntung saja.” 　　Putri Rongyang mengepal tangan, menahan dorongan untuk menampar: “Sekarang kondisi Permaisuri Yan sudah membaik?” 　　“Mendengar kabar kehamilan kakak ipar, kegembiraan ini memang membuat saya merasa jauh lebih sehat.” 　　"Karena Permaisuri Qi tiba-tiba didiagnosis hamil, Ibu Suri Xian sudah tidak sempat memikirkan urusan Jiang Si. Beliau menengahi: 'Sudah merasa lebih baik saja sudah cukup. Kau sedang mengandung, memang harus berhati-hati. Jika suatu saat merasa tidak enak badan, jangan ditahan-tahan.'" 　　"Kemudian perhatiannya beralih ke Permaisuri Qi: 'Istri Lao Si, kandunganmu masih muda, harus lebih berhati-hati lagi. Jangan mengorbankan diri dan anakmu untuk alasan apapun. Untuk sementara waktu tidak perlu datang ke istana untuk salut.'" 　　"Permaisuri Qi yang sudah tenang berusaha menahan kegembiraannya: 'Bagaimana bisa demikian? Memberi salut kepada Ibu Selir adalah kewajiban menantu.'" 　　"Mendengar ini, Ibu Suri Xian langsung melirik Jiang Si." 　　"Sungguh tidak bisa dibandingkan. Istri Lao Qi begitu hamil langsung menghilang, sementara Istri Lao Si begitu berbakti." 　　"Pantas saja beliau lebih menyayangi Istri Lao Si." 　　"'Tidak membuat senior khawatir juga kewajiban junior. Istri Lao Si, aku tahu kau anak yang berbakti, tapi saat ini cuaca sangat dingin. Kedatanganmu justru membuatku cemas. Merawat kandunganmu dengan baik di rumah adalah bentuk bakti terbesar saat ini.'" 　　"Permaisuri Qi tersipu mengangguk: 'Kasih sayang Ibu Selir adalah keberuntungan terbesar menantu...'" 　　"Jiang Si tidak sabar mengangkat alis: 'Nyonya, saya agak lelah dan ingin pulang beristirahat.'" 　　"Wajah Ibu Suri Xian menjadi masam: 'Pergilah.'" 　　Tak melihat, tak gelisah. Masih banyak yang perlu ia nasihatkan pada istri Lao Si, tak ada waktu berdebat dengan makhluk tak tahu tata krama ini. 　　Putri Rongyang melihat tak berhasil mempermalukan Jiang Si, hilang keinginan untuk tinggal. Ia berpamitan pada Ibu Suri Xian dan pergi sesaat setelah Jiang Si. 　　Tanpa orang lain, Ibu Suri Xian memarahi: "Istri Lao Si, kau sudah pernah melahirkan. Hamil sebulan lebih kok tidak tahu?" 　　Akhirnya malah terungkap dari omong kosong istri Lao Qi, sungguh kacau. 　　Permaisuri Qi tersipu: "Sejak melahirkan , kondisi keperawanan hamba tak kunjung pulih, haid tak teratur. Jadi tak terpikir..." 　　"Sudahlah. Lain kali lebih hati-hati. Kutanya, tadi saat berdua dengan istri Lao Qi, kalian tidak akur?" 　　Wajah Permaisuri Qi berubah, sukacitanya pudar perlahan. 　　"Kenapa? Masih ragu bicara?" 　　Ibu mertua dan menantu sama-sama paham Pangeran Qi mengejar tahta. Dengan tujuan sama, Ibu Suri Xian leluasa bertanya. 　　"Adik ipar ketujuh bilang terus terang tak suka padaku, suruhku jangan sering mendekat." Permaisuri Qi menahan malu mengaku. 　　Ibu Suri Xian terbelalak: "Dia berani berkata begitu?" 　　"Para Nyonya di dalam dan luar istana, meski dalam hati ingin menusuk lawan dengan pisau, mana ada yang tidak menyambut dengan senyuman di wajah? Bagaimana mungkin ada orang bodoh seperti ini?" 　　"Apa sebenarnya yang dia pikirkan?" gumam Ibu Suri Xian, kebingungan dibuat oleh sikap menantu perempuannya yang paling muda. 　　Permaisuri Qi mengusap lembut perutnya, merasakan kegembiraan besar yang tiba-tiba, suaranya dingin: "Ibu Selir, awalnya Pangeran menyuruh saya menjalin hubungan baik dengan adik ipar ketujuh agar persaudaraan mereka semakin erat. Tapi bila adik ipar ketujuh begitu membenci saya, bukankah hubungan Lao Qi dengan Pangeran akan semakin renggang..." 491.BAB 490 Perhitungan di Kemudian Hari 　　BAB 490 Perhitungan di Kemudian Hari 　　Ucapan Permaisuri Qi yang seolah santai itu membuat alis Ibu Suri Xian berkedut, matanya tiba-tiba membeku. 　　Putra Mahkota dipecat, kesempatan yang ditunggu Lao Si selama bertahun-tahun akhirnya tiba. Tentu dia harus merangkul saudara kandung satu ibu yaitu Lao Qi dengan baik. 　　Jika hubungan persaudaraan mereka terganggu karena sikap Istri Lao Qi, maka pandangannya terhadap menantu perempuan ini harus diubah. 　　Membenci seseorang, dia bisa menghindarinya. Tapi jika orang ini menyentuh kepentingan utamanya, ini bukan lagi sekadar masalah menghindar. 　　Jika Istri Lao Qi terus bersikap seperti ini tanpa mau mengendalikan diri, dia harus mempertimbangkan untuk mencari pengganti yang lebih patuh dan mengerti bagi Lao Qi. 　　Namun rencana ini masih terlalu dini, setidaknya... Melihat perut Jiang Si yang masih rata, Ibu Suri Xian menyunggingkan senyum sinis. 　　Setidaknya tunggu hingga istri Lao Qi melahirkan anak terlebih dahulu. 　　Permaisuri Qi menatap senyum dingin di sudut bibir Ibu Suri Xian, kilatan kegembiraan terpantul di matanya. 　　Permaisuri Yan benar-benar tidak tahu takut, apa untungnya menunjukkan keperkasaan verbal seperti ini? Sungguh bodoh. 　　Permaisuri Qi sangat memahami strategi Ibu Suri Xian. 　　Ketika baru menikahi Pangeran Qi, dia mengira ibu mertuanya ini seorang yang penyayang. Namun suatu hari saat pangeran masuk istana, seorang dayang berani menggoda, dan sejak itu gadis itu tak pernah terlihat lagi. 　　Permaisuri Qi merasa puas dengan cara tegas Ibu Suri Xian menangani dayang yang berani merayu Pangeran Qi, namun juga melihat kebengisan terselubung di balik topeng kebajikannya. 　　Ibu Suri Xian menaruh harapan besar pada Pangeran Qi, sehingga menerapkan standar ketat yang tak mengizinkan siapa pun merusak reputasinya. 　　Memantik niat membunuh Jiang Si dalam diri Ibu Suri Xian, Permaisuri Qi merasa puas sambil mendengarkan nasihat sang ibu mertua dengan wajah patuh. 　　Di luar gerbang istana, pemandangan diselimuti salju perak. 　　Salju lebat semalam membungkus ibu kota dengan mantel baru, pepohonan di tepi jalan berkilauan seperti kristal di bawah sinar matahari musim dingin. 　　Jalan yang dipenuhi batu pualam hijau terlihat agak berlumpur. 　　A Qiao memapah Jiang Si dengan hati-hati menuju kereta kuda yang berhenti di tepian tembok istana. 　　"Mohon berhenti sebentar." Suara datar tanpa emosi terdengar dari belakang. 　　Langkah Jiang Si terhenti sejenak sambil menoleh ke belakang. 　　Putri Rongyang berjalan mendekat dengan langkah tegap, membiarkan gaun panjangnya menyapu tanah yang berlumpur. 　　Baju baru tak perlu dicuci setelah dipakai, langsung dibuang saja. Ini hal biasa bagi Putri Rongyang yang hidup dalam kemewahan. 　　Aura kehadirannya yang demikian membuat A Qiao merasa waspada. 　　"Hamba memberi salut kepada Paduka Putri Rongyang." A Qiao menghalangi Jiang Si sambil membungkuk hormat, punggungnya tegang. 　　Jiang Si memperhatikan kegugupan pelayannya namun tetap tenang. 　　"Ada keperluan apa, Bibi?" 　　Putri Rongyang melirik A Qiao, "Kau minggirlah." 　　A Qiao memandang Jiang Si, tetap tak bergerak. 　　Niat buruk Putri Rongyang bisa membahayakan tuanku dan bayi dalam kandungan! 　　"Permaisuri Yan, pelayanmu sangat setia. Apa kau kira hamba akan mencelakaimu?" 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Tentu Bibi takkan berbuat jahat. A Qiao, minggirlah." 　　Setelah ragu sejenak, A Qiao mengundurkan diri. 　　Putri Rongyang majah selangkah mendekati Jiang Si. 　　"Wajah Jiang Si sama sekali tidak menunjukkan perubahan, sepasang mata bening seperti kaca memandangnya dengan tenang." 　　Putri Rongyang mencibir: "Berani sekali, jauh lebih hebat dari ibumu." 　　Mendengar Putri Rongyang menyebut almarhumah ibunya, sorot mata Jiang Si langsung dingin. 　　Di hadapannya, Putri Rongyang masih berani menyebut ibu? Ternyata orang yang sudah tak punya muka bisa melakukan apapun. 　　"Ibuku bukan tidak hebat, hanya kurang tebal muka." Jiang Si menatap balik Putri Rongyang tanpa tedeng aling-aling. 　　Tangan Putri Rongyang bergetar, ia menggigit gigi: "Permaisuri Yan, kau pikir dengan hamil, hamba tak bisa berbuat apa-apa?" 　　"Bibi takkan mendorong hamba di depan umum, kan?" Jiang Si sama sekali tak takut, bertanya sambil tersenyum. 　　Putri Rongyang tertawa sinis: "Hamba tidak sebodoh itu. Tak perlu mengincar bayi yang belum lahir." 　　Kaisar punya banyak pangeran, cucu pun lebih banyak. Meski Permaisuri Yan melahirkan cucu kerajaan, lalu apa? 　　Selama Permaisuri Yan masih hamil, tak perlu membuat Janda Permaisuri dan Kaisar tidak senang. Setelah melahirkan, ada ribuan cara untuk menghadapinya. 　　Setidaknya, benda yang bisa membuat ibu bersalin mengalami perdarahan hebat bukanlah hal yang sulit dicari... 　　Mengingat orang yang dulu ia kirim ke istana, senyum ringan muncul di wajah Putri Rongyang. 　　Jiang Si menghela napas: "Bibi sepertinya sangat membenci hamba. Apakah karena ibu hamba?" 　　“Putri Rongyang memicingkan mata, memandang wajah yang sangat mirip dengan almarhumah Nyonya Su, sejenak merasakan ilusi waktu berbalik.” 　　Karena Nyonya Su? Sebagian iya. Terhadap wajah ini dia tak bisa menumbuhkan rasa suka. 　　Tapi tidak sepenuhnya, yang benar-benar tak bisa ditahannya adalah hilangnya Mingyue. 　　“Aku bertanya padamu, apakah Zhu Ziyu yang merusak perjodohan Mingyue adalah ulahmu?” Putri Rongyang menurunkan suara bertanya. 　　Jiang Si tersenyum mendengarnya. 　　“Apa yang kau tertawakan?” 　　Jiang Si tersenyum manis: “Aku tertawa karena pertanyaan Bibi konyol. Kalau Anda sembarangan menuduh orang membunuh, bahkan jika dia benar pelakunya, apakah akan bodoh mengaku?” 　　Putri Rongyang terdiam. 　　Dia tak berharap Jiang Si mengaku, hanya melontarkan kata-kata untuk meredakan kegelisahan di hati. 　　Tapi tak disangka Jiang Si tiba-tiba merendahkan suara, berbisik hanya untuk mereka berdua: “Cui Mingyue menuai hasil perbuatannya sendiri, membuktikan Langit punya mata, Pembalasan Setimpal——” 　　Putri Rongyang tak menyangka Jiang Si akan berkata demikian, amarahnya meluap, tangannya menyambar hendak menampar. 　　Pergelangan tangan itu terjepit erat di udara. 　　“Bibi, main tangan tidak baik. Aku ini Permaisuri resmi, menantu perempuan yang ditunjuk Ayah Kaisar. Kau pikir aku budak di istana putri yang bisa seenaknya ditampar?” 　　Setelah melepas pergelangan tangan Putri Rongyang, Jiang Si sudah bulat tekad: Jika Putri Rongyang nekat lagi, dia akan melepaskan cacing untuk menggigit orang. 　　"Racun Gu yang bisa melumpuhkan seketika, dia tidak kekurangan itu." 　　Putri Rongyang yang sudah tenang menyadari tindakannya tadi terlalu impulsif, menahan amarah dan memperingatkan: "Permaisuri Yan, tunggulah hari ketika hamba akan menuntut balas padamu." 　　Setelah berkata demikian, dia membalikkan badan dengan gerakan marah menyibak lengan jubah. 　　Jiang Si memanggil dari belakang: "Mohon tunggu sebentar." 　　Putri Rongyang menoleh kembali, memandangnya dengan tatapan dingin. 　　Jiang Si melangkah mendekat dan berbisik: "Saya juga ada pesan untuk Bibi." 　　"Katakanlah." 　　Suara Jiang Si semakin direndahkan, tapi setiap katanya terdengar jelas di telinga Putri Rongyang. 　　"Peringatanmu tadi saya kembalikan persis. Tunggulah hari ketika saya akan menagih balas." 　　Setelah mengucapkan itu, Jiang Si memberi hormat ringan pada Putri Rongyang lalu berpaling ke A Qiao: "Ayo kita pergi." 　　Saat sudah naik kereta kuda, A Qiao cemas: "Tuanku, Baginda sudah menyinggung Putri. Bagaimana jika diam-diam Beliau berbuat jahat nanti?" 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta sambil menghangatkan tangan dengan pemanas, tersenyum tipis: "Mungkin dia tidak akan sempat menunggu sampai hari itu." 492.BAB 491 Perubahan Situasi 　　BAB 491 Perubahan Situasi 　　Kakek-nenek dari suku Wu Miao yang membuka toko di Jalan Xishi, tidak hanya diawasi oleh orang yang dikirim Yu Jin, Jiang Si juga telah memerintahkan A Fei untuk memperhatikan. 　　Beberapa hari sebelumnya, mungkin karena tidak kunjung menerima surat dari Wu Miao, sang nenek tua akhirnya mulai bergerak mencoba menghubungi orang di istana. 　　Menurut Jiang Si, sejak mereka mulai tidak sabar melakukan kontak, kemunculan perempuan Wu Miao yang bersembunyi di istana hanyalah masalah waktu. 　　“Wanita suku Wu Miao itu terbukti bersalah atas pasal berat, setidaknya sebagai pelaku yang menghasut Chen Meiren meracuni Putri Fuqing dan Putri Kelima Belas. Nampaknya ia telah menjadi tumor ganas dalam benak Kaisar dan Permaisuri yang ingin segera disingkirkan.” 　　“Tentang cara orang ini masuk istana tahun lalu, pasti ada kaitannya dengan Putri Rongyang. Begitu identitasnya terungkap, Putri Rongyang tak akan bisa lolos tanpa konsekuensi.” 　　Kembali ke Kediaman Pangeran Yan, Jiang Si bertemu dengan Yu Jin. 　　“Apakah Ibu Suri Xian menyulitkanmu di istana?” 　　Jiang Si tersenyum, “Dalam kondisi hamil seperti ini, paling-paling ia hanya bisa menahan diri. Tapi ada satu kejadian tak terduga.” 　　“Apa itu?” 　　“Permaisuri Qi didiagnosis hamil oleh tabib istana.” 　　Yu Jin mengangkat alis, “Lao Si memang beruntung.” 　　Belakangan ini ia mengamati perseteruan diam-diam antara Pangeran Jin dan Pangeran Qi layaknya menonton drama. 　　“Situasi yang awalnya seimbang, kini mungkin akan condong ke pihaknya.” 　　“Mungkin.” Jiang Si mengangguk ragu, teringat kehamilan Permaisuri Qi. 　　Saat berdekatan dengan Permaisuri Qi di Istana Yuquan tadi, cacing gu dalam tubuhnya merasakan keanehan pada Permaisuri Qi. Berdasarkan pengalaman kehamilannya sendiri, itu adalah aura kehidupan yang sedang berkembang. 　　Sebenarnya ia sudah mengetahui kehamilan Permaisuri Qi sejak lama, sehingga bisa menggunakan fakta itu untuk membungkam Ibu Suri Xian. 　　Namun di kehidupan sebelumnya, saat ia kembali dari Perbatasan Selatan sebagai Permaisuri Yan, Permaisuri Qi sama sekali tidak memiliki anak. 　　“Saat itu Permaisuri Qi masih hanya memiliki seorang putri, dan merasa khawatir karena Pangeran Qi tidak memiliki putra.” 　　“Artinya, anak Permaisuri Qi ini tidak berhasil dipertahankan…” 　　“Mengingat kegembiraan Ibu Suri Xian hari ini dan air mata bahagia Permaisuri Qi, Jiang Si menghela napas pelan.” 　　“Bagaimanapun permusuhannya dengan Permaisuri Qi, dia tidak akan menyakiti anak orang lain. Hanya bisa dikatakan wanita berhati racun seperti Permaisuri Qi memang tidak beruntung mempertahankan anaknya.” 　　Yu Jin memeluk Jiang Si sambil tersenyum: “Selama tidak menyangkut kita, biarkan mereka saling menggigit seperti anjing.” 　　“Jika sampai menyentuh A Si dan diriku, jangan harap aku akan berbaik hati.” 　　“Kembali ke istana, Permaisuri Qi tak bisa menyembunyikan kegembiraannya: "Di mana Pangeran?"” 　　“Pangeran sedang di ruang belajar.” 　　“Undang Pangeran ke halaman utama.” 　　“Mendengar pesan dayang, Pangeran Qi mengerutkan alu sejenak sebelum bergegas ke halaman utama.” 　　“Dayang-dayang di depan pintu kamar langsung salut sambil tersipu gembira melihat kedatangan Pangeran Qi.” 　　“Sebagai pria yang peka, Pangeran Qi langsung bertanya: "Ada kabar baik?"” 　　“Permaisuri Qi menyuruh para pelayan mundur, wajahnya memerah: "Ada kabar gembira untuk Paduka."” 　　“Kabar apa?” Pangeran Qi duduk berseberangan dengan Permaisuri Qi.” 　　“Hari ini di istana saya merasa kurang enak badan, Ibu Selir memanggil Tabib istana untuk memeriksa. Tabib itu mendeteksi denyut kehamilan……” 　　Pangeran Qi tiba-tiba duduk tegak, wajahnya terpaku: “Apa?” 　　Permaisuri Qi tersenyum memandang Pangeran Qi: “Paduka, hamil mengandung cahaya.” 　　“Benarkah?” Pangeran Qi menggenggam tangan Permaisuri Qi, kegirangan hingga tak kuasa menahan tawa. 　　Sungguh Langit sedang membantunya! 　　Kabar sukacita dari Kediaman Pangeran Qi sampai ke Istana Pangeran Jin. Di balik pintu tertutup, Pangeran Jin langsung menghantam meja. 　　Permaisuri Jin yang berwatak lembut mengeluarkan sapu tangan, diam-diam membersihkan percikan air di kerah baju Pangeran Jin. 　　Pangeran Jin kesal menyapu tangan Permaisuri Jin: “Jangan dibersihkan, nanti ganti saja.” 　　Permaisuri Jin menasihati dengan lembut: “Mengapa Paduka marah? Fu Ge-er kita sudah enam tahun, sementara kandungan Permaisuri Qi masih segumpal daging. Jenis kelaminnya pun belum diketahui. Meski lahir laki-laki, takkan mempengaruhi apapun.” 　　“Kau tak mengerti—” Pangeran Jin menghela napas, menggenggam tangan Permaisuri Jin berbisik, “Siapa suruh ibuku hanya dayang istana? Sejak lahir sudah lebih rendah setingkat dari saudara-saudara lain...” 　　Permaisuri Jin mendekat, suaranya penuh keharuan: “Paduka, sebenarnya menurut hamba keadaan kita sudah cukup baik. Anak-anak menggemaskan, rumah tangga harmonis. Tak perlu memikirkan hal-hal itu...” 　　“Meski tidak setuju dengan ucapan Permaisuri Jin, nada Pangeran Jin jauh lebih lembut: "Seandainya Lao Er tidak dipecat, tentu aku tidak akan punya pikiran yang tidak semestinya. Tapi sekarang Lao Er diubah gelarnya menjadi Pangeran Jing, posisi Putra Mahkota kosong. Tanpa ahli waris resmi, yang tertua harus diangkat. Mengapa aku tidak boleh memperebutkannya?" 　　Permaisuri Jin hendak berbicara lagi, Pangeran Jin menghela napas dalam: "Menurutmu di saat seperti ini aku bisa memilih untuk tidak berebut jika tidak mau? Sudah banyak orang di belakang yang mendorongku untuk berebut. Jika aku tidak berebut, jatuhnya akan lebih parah." 　　Jika kalah dalam perebutan, konsekuensinya adalah hancur berkeping-keping. 　　Dengan istri cantik dan anak-anak, juga sama-sama putra naga, pasti dia harus berebut, dan harus menang. 　　"Apapun yang terjadi, saya akan selalu mendukung Tuan." Permaisuri Jin bersandar di bahu Pangeran Jin dengan suara lembut, tapi di matanya terlihat kebingungan. 　　Hari itu, hadiah dari istana terus mengalir ke Kediaman Pangeran Qi. 　　Setelah melahirkan putri, perut Permaisuri Qi lama tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Para selir yang dipilih untuk memperbanyak keturunan Pangeran Qi telah melahirkan beberapa putri. Jumlah putri Pangeran Qi dalam beberapa tahun mungkin akan melebihi jumlah putri kaisar. 　　Kini Permaisuri Qi hamil lagi, ini benar-benar kabar gembira. 　　"Ayah Kaisar memberi Permaisuri Qi sebuah tongkat giok?" Pangeran Jin yang baru mendapat kabar itu mematahkan kuas dengan keras. 　　Tongkat giok - apakah ini agar Permaisuri Qi bisa melahirkan keturunan dengan lancar, atau agar Lao Si bisa meraih apa yang diinginkan? 　　Tidak boleh. Janin dalam kandungan Permaisuri Qi sama sekali tidak boleh dibiarkan hidup lama. 　　"Masih terlalu lama menunggu kelahiran anak Permaisuri Qi, dan selama masa ini karena Permaisuri Qi sedang hamil, Ayah Kaisar pasti akan lebih memihak Lao Si." 　　"Hampir setahun ditekan oleh Lao Si, waktu yang cukup baginya untuk mengumpulkan kekuatan guna menekanku sampai tidak bisa bangkit lagi. Saat itu, meskipun Permaisuri Qi melahirkan anak perempuan, situasi sudah tidak bisa diubah lagi." 　　"Dia tidak bisa tinggal diam menunggu kehancuran." 　　"Persaingan terselubung antara Pangeran Jin dan Pangeran Qi tidak mempengaruhi Yu Jin." 　　"Seiring kehamilan Permaisuri Qi, tindakan Pangeran Qi untuk merekrutnya melambat." 　　"Yu Jin menikmati ketenangan. Selain sesekali mengunjungi kantor kabupaten, sebagian besar waktunya dihabiskan bersama Jiang Si. Beberapa hari nyaman berlalu, tiba-tiba datang pelayan istana memanggilnya ke istana." 　　"Meski bingung alasan pemanggilan mendadak ini, Yu Jin tetap tenang. Setelah memberi salam hormat pada Kaisar Jingming di ruang studi kekaisaran, dia berdiri diam." 　　"Kaisar Jingming meletakkan buku, melirik Yu Jin." 　　"Kantor kabupaten sebentar lagi tutup, akhir tahun ini cukup sepi ya?" 　　"Yu Jin bingung tapi menjawab samar." 　　"Memang apa lagi yang bisa dilakukan pangeran selain menganggur? Kecuali seperti Putra Ketiga dan Lao Si yang sibuk tanpa tujuan." 　　"Istirahat juga baik," Kaisar Jingming bergumam pelan sebelum serius, "Kalau memang tidak ada kerjaan, ada tugas untukmu." 　　"Silakan Ayah Kaisar perintahkan." 493.BAB 492 Buku Daftar Nama 　　BAB 492 Buku Daftar Nama 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai. 　　Pan Hai mundur keluar, menutup pintu dan berjaga di luar. 　　Di dalam hati Yu Jin mulai serius, namun ekspresi wajahnya tetap tidak banyak berubah. 　　Setelah hening sejenak, Kaisar Jingming membuka suara: "Masalah Chen Meiren yang meracuni Putri Kelima Belas, masih kau ingat?" 　　Yu Jin mengangguk. 　　Siapa yang bisa melupakan peristiwa seperti ini? Pembukaan percakapan Ayah Kaisar ini kurang tepat. 　　"Aku curiga masih ada orang di balik Chen Meiren." 　　Yu Jin diam sejenak, lalu berkata: "Ayah Kaisar bijaksana." 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin: "Sudah, memanggilmu kemari bukan untuk mendengar sanjunganmu. Ada urusan yang ingin kusampaikan." 　　Terutama karena sanjungannya terlalu hambar, empat kata kering itu benar-benar membuat orang tak bisa melanjutkan pembicaraan. 　　"Silakan Ayah Kaisar berbicara." 　　Kaisar Jingming mengetuk-ngetuk pemberat kertas giok putih di meja, suaranya merendah: "Aku ingin kau mencoba mencari orang ini." 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu menyembunyikan kegembiraannya. 　　Dia dan A Si sedang mengejar petunjuk garis keturunan kakek-nenek Wu Miao, sebelumnya kesulitan menyelidiki ke dalam istana. Tak disangka datang bantuan tepat saat dibutuhkan. 　　Melihat Yu Jin tidak merespon, Kaisar Jingming bertanya: "Merasa sulit?" 　　Yu Jin menarik kembali pikirannya, dengan tepat menunjukkan keraguan di wajahnya. 　　Sebenarnya tidak sulit sama sekali, tapi lebih baik membuat Ayah Kaisar mengira dia kesulitan. 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Aku tahu ini perkara rumit, dan harus diselidiki diam-diam tanpa keributan. Jadi jangan merasa tertekan, jika bisa menemukan petunjuk itu bagus, jika tidak Aku juga tak akan menyalahkanmu." 　　“Memang sulit untuk Lao Qi, ini menyangkut harga dirinya. Masalah Selir Yang tidak bisa diungkap ke Lao Qi, investigasi harus dimulai dari Chen Meiren. Dengan demikian, tingkat kesulitannya jauh meningkat.” 　　“Anggap saja mengobati kuda mati sebagai kuda sakit. Jika tidak ketemu, anggap saja sebagai latihan untuk Lao Qi.” 　　“Adapun alasan melatih kemampuan anak lelaki dalam menyelidiki kasus, Kaisar Jingming tidak berniat memikirkannya lebih detail.” 　　“Mendengar perkataan Kaisar Jingming, Yu Jin segera menyatakan: “Kalau begitu anak akan mencoba. Hanya saja kemampuan terbatas, khawatir mengecewakan Ayah Kaisar.”” 　　“Jangan terlalu banyak berpikir. Selidiki saja sepenuhnya. Tapi jangan membuat suasana istri jadi panik. Untuk apa pun yang perlu diselidiki, mintalah Pan Hai membantumu.”” 　　“Kaisar Jingming berpikir: Apa yang perlu dikecewakan? Justru jika bisa menemukan orang itu, itu baru disebut kejutan yang menyenangkan.” 　　“Hm, katanya ada janji. Hal yang dinanti-nantikan lebih mudah terwujud.” 　　“Kaisar Jingming lalu berbisik dalam hati: Jika Lao Qi bisa mengungkap orang itu, saat anak Lao Qi lahir, Aku sendiri yang akan memberi nama dan gelar resmi.” 　　“Tidak ada hal lain lagi. Pergilah.” 　　“Anak mohon pamit.” 　　“Sesampai di pintu ruang studi kekaisaran, Yu Jin mengangguk halus ke arah Pan Hai.” 　　“Pan Hai paham maksudnya, segera menyusul.” 　　“Melihat sekeliling sepi, Yu Jin berbisik: “Apa Paman Pan tahu perintah Ayah Kaisar padaku?”” 　　“Pan Hai mengangguk.” 　　““Aku ingin buku daftar nama orang yang masuk istri antara 10 hingga 16 tahun lalu, dan masih bertugas di istri sampai sekarang.”” 　　Toko kecil di Jalan Pasar Barat dibuka lima belas tahun lalu. Berdasarkan petunjuk dari nenek tua suku Wu Miao, orang itu seharusnya masuk istana lima belas tahun lalu, tapi Yu Jin tidak mungkin membatasi pencarian hanya pada periode tersebut. 　　Secara khusus menyebutkan tahun tertentu, ini tidak masuk akal. 　　"Buku daftar nama ada, Pangeran silakan ikuti hamba." Pan Hai membimbing Yu Jin berbelok ke arah dalam. 　　Memeriksa orang-orang yang masuk istana sejak belasan tahun lalu, ini memang sudah terpikir olehnya, tapi belum ada orang mencurigakan yang terlihat. 　　Yu Jin mengikuti Pan Hai masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan gulungan dokumen bertumpuk di rak buku dan meja. 　　Pan Hai langsung melewati tumpukan itu, membuka kompartemen rahasia dan mengeluarkan sebuah buku catatan. 　　Meski targetnya memeriksa daftar nama masuk istana belasan tahun lalu, tapi yang masih bertahan sampai sekarang sangat sedikit. Pan Hai bersusah payah menyusun daftar ini. 　　Melihat sampul buku yang tintanya masih segar, Yu Jin bertanya: "Ini hasil susunan Paman Pan?" 　　Pan Hai mengangguk: "Benar, nama-nama yang masuk istana antara 10 sampai 18 tahun lalu dan masih bertahan sampai sekarang semuanya tercatat di sini." 　　Setelah jeda sebentar, Pan Hai menjelaskan: "18 tahun lalu adalah tahun Chen Meiren masuk istana, 10 tahun lalu adalah... waktu Putri Fuqing mengalami kebutaan total..." 　　"Paman Pan sangat teliti." Yu Jin memegang buku catatan yang tidak terlalu tebal itu, terkagum-kagum. 　　Meski hanya sebuah buku catatan, tapi proses penyusunannya pasti membutuhkan usaha luar biasa. 　　"Ini kewajiban hamba." Pan Hai menjawab sopan, matanya menerawang memandangi buku catatan itu. 　　Setelah berlelah-lelah, akhirnya semua usaha ini sia-sia belaka. 　　Jari-jari yang ramping membuka halaman pertama buku catatan. 　　Pan Hai mengatur dengan sangat teliti. Tahun seseorang masuk ke istana, posisi awal saat mulai bertugas, waktu mutasi ke lokasi lain, waktu dipindahkan ke tempat berikutnya, hingga posisi saat ini—semua tercatat jelas dalam buku ini. 　　Bahkan hubungan dengan orang-orang yang dekat, teman akrab, atau musuh-musuhnya pun dicatat secara ringkas maupun detail. 　　Beberapa bagian ditandai lingkaran dengan kuas merah. 　　Pan Hai menjelaskan: "Orang yang ditandai kuas merah adalah yang dicurigai saat itu, tapi setelah penyelidikan mendalam tidak ditemukan bukti berharga." 　　Yu Jin semakin mengagumi ketelitian Pan Hai. Kenapa masih tidak bisa menemukan orang itu? Pasti dia bersembunyi sangat dalam. 　　Setelah membaca perlahan, Yu Jin menutup buku catatan dan menyerahkannya ke Pan Hai. 　　Pan Hai terkejut: "Pangeran sudah selesai membacanya?" 　　"Sudah. Bolehkah buku ini kubawa pulang untuk dipelajari lagi?" 　　Pan Hai menolak setelah ragu: "Ini melanggar tata krama..." 　　Meski Kaisar memerintahkan Pangeran Yan terlibat, membawa buku catatan rahasia istana ke luar bisa disalahgunakan orang dan menimbulkan masalah. 　　"Pangeran bisa membacanya di sini." 　　Yu Jin tersenyum: "Aku berlama-lama di istana juga melanggar protokol." 　　Di tengah persaingan sengit Putra Ketiga dan Lao Si, jika ia tinggal di istana seharian penuh, entah bagaimana reaksi anjing-anjing gila itu. 　　Bagi Yu Jin, yang terpenting saat ini adalah Jiang Si bisa melahirkan dengan selamat. Masalah lain sama sekali tak ingin dia sentuh. 　　“Tidak apa, saya hampir hafal semua. Nanti saya rapikan dulu dan cari petunjuk lagi.” 　　Pan Hai tertegun sejenak, nada suaranya terdengar aneh: “Semua dihafal?” 　　Yu Jin membetulkan: “Hanya hampir saja.” 　　Pan Hai menggerakkan bibirnya. 　　Hehehehe, pasti Pangeran Yan sedang bercanda dengannya? 　　Buku catatan seperti ini, kalau isinya cerita mungkin masih bisa diceritakan ulang, tapi semua nama orang cuma dibaca sekali bisa ingat? 　　Ingin mempertanyakan, tapi akal sehat menghentikannya untuk bertanya. 　　Setelah Yu Jin keluar dari istana, Pan Hai kembali ke ruang studi kekaisaran untuk melapor. 　　“Pangeran Yan sudah pulang?” 　　“Sudah.” Pan Hai tak tahan menceritakan kejadian tadi pada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming meletakkan gulungan buku di samping, wajahnya menunjukkan keheranan: “Kau bilang, Lao Qi punya ingatan fotografis?” 　　Pan Hai buru-buru menjawab: “Begitu kata Pangeran Yan.” 　　Dia tak mau menanggung risiko ini, bagaimana kalau Pangeran Yan hanya membual? 　　Suasana muram Kaisar Jingming selama beberapa hari ini tiba-tiba membaik, dia tersenyum ringan: “Lao Qi ini, benar-benar pandai menghibur orang.” 　　Ingatan fotografis, menurut pengalamannya membaca buku cerita selama bertahun-tahun, hanya dimiliki oleh anak ajaib yang berbakat luar biasa. 　　Tunggu, dia ini Kaisar, mengapa tidak mungkin ada anak ajaib di antara begitu banyak putranya? 494.BAB 493 Mencurigakan 　　BAB 493 Mencurigakan 　　Kaisar Jingming ingin memanggil Yu Jin kembali untuk menanyakan soal ingatan fotografis ini, tapi khawatir pemanggilan yang terlalu sering akan menimbulkan prasangka, akhirnya urung dilakukan. 　　Di sisi lain, Yu Jin yang baru keluar dari Istana Kekaisaran langsung menuju ruang belajar begitu tiba di Kediaman Pangeran Yan. 　　"Mengatakan dia punya ingatan fotografik mungkin berlebihan, tapi memang ingatannya sangat baik." 　　Saat melihat buku catatan di istana, di mata Pan Hai seolah dia hanya menyapu seluruh isi buku, padahal fokus utamanya adalah pada kelompok orang lima belas tahun lalu. 　　Dengan cara ini, beban memori menjadi jauh berkurang. 　　Begitu masuk ke ruang belajar, Yu Jin langsung membentangkan kertas dan menggerus tinta, menuliskan nama-nama dan peristiwa yang diingatnya dengan cepat. 　　Di pekarangan Yuyuan, Jiang Si berjalan perlahan. 　　Cuaca sangat dingin, salju turun bertubi-tubi, menumpuk lama di sudut dinding dan ranting-ranting pohon. 　　Di sepanjang jalan yang dilalui Jiang Si telah dipasang alas jerami untuk mencegah terpeleset. 　　Menjelang waktu makan siang, Jiang Si menyuruh Ah Man: "Pergi tanyakan apakah Pangeran sudah pulang." 　　Ah Man berlari pergi dan segera kembali: "Pangeran sudah pulang, tapi langsung masuk ke ruang belajar dan belum keluar." 　　Jiang Si tahu Kaisar Jingming memanggil Yu Jin ke istana. Mendengar laporan Ah Man, dia berpikir sebentar lalu berjalan menuju ruang belajar. 　　Ah Man segera menyusul, memapah Jiang Si untuk berjaga-jaga. 　　Tuanku sedang mengandung calon ahli waris, jika sampai terjatuh akibatnya akan fatal. 　　Hush, tuanku pasti tidak akan jatuh. Jika harus ada yang jadi bantalan, biarlah tubuh hamba yang menerima. 　　Di pintu ruang belajar masih berdiri pelayan pria yang sama. Melihat Ah Man memapah Jiang Si mendekat, dia segera memberi salam. 　　"Apakah Pangeran masih di dalam?" 　　“Di sini.” Pelayan pria dengan sigap membukakan pintu untuk Jiang Si. 　　Orang yang bisa membaca situasi adalah pahlawan sejati. Selama setengah tahun terakhir ini, bagaimana perlakuan Pangeran terhadap Permaisuri sudah jelas terlihat. Saat seperti ini, bicara tentang kesetiaan hanyalah omong kosong. Jika menghalangi Permaisuri, dirinya pasti akan dimarahi. 　　Ah Man melirik pelayan pria itu, dalam hati bergumam: Budak licik ini benar-benar menunjukkan peningkatan. 　　Jiang Si memberi isyarat pada Ah Man untuk tetap di luar, lalu melangkah masuk. 　　Pintu kamar tertutup rapat. Ah Man dan pelayan pria itu berdiri mengapit di kiri kanan pintu, saling melirik. 　　“Hei, Kakak Ah Man.” Pelayan pria itu fleksibel, segera menyapa duluan. 　　Ah Man awalnya ingin menunjukkan mata putih, tapi ingat dirinya adalah dayang utama Permaisuri yang harus bersikap lapang dada. Ia pun mengangguk pendek dan bertanya dengan suara nyaring: “Kau namanya siapa?” 　　Pelayan pria itu tak kuasa mengusap keringat. 　　Setelah setengah tahun dipanggil “budak licik”, akhirnya sang dayang ingat menanyakan namanya. Sungguh mengharukan. 　　“Aku bernama Yuan Bao.” 　　“Yuan Bao ya——” Ah Man memanjangkan nada bicaranya. 　　Pelayan pria itu sudah bersiap menerima ejekan. 　　Nama ini selalu dianggap kampungan oleh para nona kecil, sangat norak. 　　Ah Man tersenyum manis: “Yuan Bao benar-benar nama yang bagus.” 　　“Kau serius?” Yuan Bao terkejut. 　　Ah Man heran memandangnya: “Tentu saja serius. Yuan Bao bagus sekali, penuh keberuntungan, enak didengar, dan mudah diucapkan.” 　　“Dia memang suka nama yang terlalu polos seperti ini. Beberapa pelayan pria diberi nama Mo Yu atau Qing Feng dan sebagainya, apa mereka mau naik ke langit?” 　　Pujian tulus Ah Man membuat Yuan Bao sangat tersentuh, sehingga gadis kecil yang suka mengkritik itu terlihat lebih menyenangkan di matanya. 　　Ngomong-ngomong, Kakak Ah Man memang cukup cantik... 　　Di ruang belajar, Jiang Si melihat Yu Jin duduk di depan meja sambil mengerutkan kening berpikir, lalu berjalan mendekat dengan senyuman. 　　“A Jin.” 　　Mendengar panggilannya, Yu Jin mengangkat kelopak mata dan segera tersenyum. 　　“Jalan di luar licin, kenapa kau datang?” 　　“Bukankah kau sudah menyuruh orang menggelar tikar jerami di jalan, jadi tidak licin.” Jiang Si mendekat dan melihat kertas yang terbentang di depan Yu Jin. 　　Di atas kertas tertulis nama-nama orang. 　　“Ini——” 　　Yu Jin menariknya untuk duduk di sampingnya, menjelaskan: “Buku daftar nama orang yang masuk istana lima belas tahun lalu dan masih bertahan sampai sekarang.” 　　Jiang Si merenung sejenak lalu bertanya: “Ayah Kaisar menyuruhmu ikut menyelidiki urusan istana?” 　　Setelah kecelakaan Putri Fuqing, Kaisar dan Permaisuri pasti tidak akan menghentikan penyelidikan hanya karena kematian Chen Meiren, pastinya akan menyelidiki lebih dalam. 　　Ini memang sesuatu yang sudah mereka duga sebelumnya. 　　“Ya, Ayah Kaisar memanggilku ke istana hari ini untuk urusan ini.” Meski belum menemukan banyak petunjuk, Yu Jin tetap merasa senang. 　　Dibandingkan Pan Hai, mereka memiliki keunggulan mutlak yaitu sudah mengetahui keberadaan nenek-cucu Wu Miao. 　　Menelusuri dari hasil akhir, tentu akan jauh lebih mudah dan menghemat tenaga. 　　“Begitu juga baik, saya sedang kesulitan mencari orang yang memberikan cacing Gu kepada Putri Rongyang.” Jiang Si menyapu pandangannya pada nama-nama di kertas, "Ada yang mencurigakan?" 　　Yu Jin mengetuk-ngetukkan jarinya: "Lihat, Pan Hai telah mencatat semua titik kritis orang-orang ini sejak masuk istana sampai sekarang. Lima belas tahun bukan waktu singkat, dari yang bertahan sampai sekarang, sebagian besar sudah pindah beberapa tempat. Ada beberapa orang ini yang tidak pernah berpindah." 　　Yu Jin menunjuk beberapa orang tersebut, akhirnya jempolnya berhenti di empat nama: "Jika nama orang itu ada dalam buku catatan ini, menurutku keempat orang ini paling mencurigakan." 　　Jiang Si melirik empat nama itu, pandangannya tertahan pada catatan di belakang nama mereka. 　　Keempat orang terdiri dari pria dan wanita, semuanya berasal dari Istana Cining. 　　"Mengapa kau pikir mereka berempat paling mencurigakan?" 　　"Karena informasi tentang mereka berempat terlalu sedikit." Yu Jin menjelaskan, "A Si lihat, keempat orang ini masuk istana lima belas tahun lalu. Dua langsung ditugaskan di Istana Cining, dua lainnya dipindahkan bertahap ke sana. Selama lebih dari sepuluh tahun hanya tercatat perubahan tugas mereka, selain itu tidak ada catatan lain." 　　Jiang Si mengangguk perlahan. 　　"Menurut analisaku, ini terjadi karena keempatnya adalah orang-orang istana Janda Permaisuri. Pan Hai secara tidak sadar melewatkan dan tidak menyelidiki detail. Jika orang itu ada di antara mereka, menurutku keempat ini yang paling mungkin." 　　"Istana Cining..." Jiang Si bergumam pelan, berusaha mengingat informasi dari kehidupan sebelumnya. 　　Sayangnya di kehidupan sebelumnya ia terlalu cepat meninggal setelah kembali ke ibu kota, sehingga tidak bisa mengingat apa-apa saat ini. 　　“Melihat alutnya berkerut, Yu Jin mengangkat tangan dan mengusap keningnya sambil tersenyum: "Jangan terlalu memaksakan diri sekarang, aku akan menyelidiki perlahan. Orang itu bersembunyi di istana selama bertahun-tahun, tak perlu terburu-buru."” 　　“Aku tahu tergesa-gesa tak berguna, lagipula senggang juga senggang——” Jiang Si tiba-tiba berhenti bicara, ekspresinya agak aneh. 　　Yu Jin langsung tegang: "Ada apa?" 　　Jiang Si menunjuk perutnya dengan ragu: "Sepertinya aku merasakan para gadis bergerak sekali." 　　"Sungguh?" Yu Jin meletakkan tangannya di perut lembut itu, tiba-tiba merasakan suatu denyutan. 　　Mata Yu Jin membelalak penuh keheranan dan kegembiraan: "A Si, ini, ini bergerak!" 　　Menghadapi kehadiran para gadis yang akan datang, keduanya masih pemula, merasakan gerakan janin makhluk kecil ini dengan penuh kekaguman. 　　Di Istana Kekaisaran, Kaisar Jingming menghadapi masalah pelik. 　　Janda Permaisuri ternyata ingin berziarah ke Kuil Dafu. 　　Bagi kaisar yang baru saja keluar istana dan menemukan kasus pembunuhan, keinginan Janda Permaisuri keluar istana sungguh menakutkan. 　　Kalau dia sendiri yang menemukan kasus pembunuhan masih bisa diterima, tapi Janda Permaisuri sudah sepuh, bagaimana jika sesuatu terjadi? 　　Akibatnya tak bisa dibayangkan. 　　"Ibu, Tahun Baru sudah dekat, lebih baik tunggu musim semi saat cuaca hangat," Kaisar Jingming menggunakan taktik mengulur waktu. 495.BAB 494 Janda Permaisuri Keluar Istana 　　BAB 494 Janda Permaisuri Keluar Istana 　　Janda Permaisuri sudah tua, mungkin akan lupa ketika musim semi tiba... 　　Kaisar Jingming merenung. 　　“Janda Permaisuri menatap Kaisar Jingming dalam-dalam, memecahkan khayalan indahnya: "Belakangan ini banyak kejadian, hamba ingin pergi ke Kuil Dafu untuk berdoa agar tahun depan damai dan lancar. Jika menunggu sampai musim semi, bukankah sudah terlambat." 　　"Tapi di luar sangat dingin, hamba tidak tenang jika Ibu keluar istana..." Kaisar Jingming berusaha membantah. 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Kuil Dafu terletak di dalam kota, lagi pula ini kuil kerajaan, apa yang perlu dikhawatirkan? Hamba tahu Kaisar akhir-akhir ini mengalami banyak nasib buruk, kali ini hamba pergi berdoa untuk Kaisar." 　　Kaisar Jingming tersentuh: "Ibu, anak lelaki tidak tega melihat Ibu bersusah payah keluar." 　　Wajah Janda Permaisuri menjadi serius: "Pergi berziarah ke Kuil Dafu mana bisa disebut bersusah payah? Janganlah Kaisar melarang lagi, hamba tidak akan tenang hati jika tidak pergi sekali ini." 　　Terhadap Janda Permaisuri, Kaisar Jingming jarang menolak. Melihat keteguhan hatinya, terpaksa menyetujui. 　　"Aku akan memerintahkan Han Ran menemani Ibu." 　　"Mengapa dibuat ribut begitu? Hamba ingin pergi diam-diam dengan sedikit pengiring." 　　"Baiklah sesuai keinginan Ibu." Meski berkata demikian, dalam hati Kaisar Jingming bertekad mengirim pengawal secara diam-diam. 　　Barulah Janda Permaisuri tersenyum: "Sudah akhir tahun, kantor kabupaten pun akan ditutup. Kaisar jangan terus-terusan bersembunyi di ruang studi kekaisaran membaca laporan. Laporan yang tiada henti itu takkan pernah habis dibaca, sisihkan sementara ini dan beristirahatlah beberapa hari." 　　Pan Hai yang berdiri di belakang Kaisar Jingming menundukkan kepala diam-diam. 　　Terus-terusan bersembunyi di ruang studi kekaisaran membaca laporan... 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai, lalu batuk kecil: “Putra mengerti, tidak akan memaksakan diri.” 　　“Kalau Kaisar sudah paham pentingnya keseimbangan, hamba jadi tenang.” Janda Permaisuri memutar tasbih di tangannya, teringat sikap tidak hormat Permaisuri Yan yang disebut-sebut Putri Rongyang, tetap tak menyebut sepatah katapun pada Kaisar. 　　Sikap tahu batas Janda Permaisuri inilah yang membuatnya mendapat rasa hormat dan bakti tulus dari Kaisar Jingming. 　　Bertahun-tahun Janda Permaisuri jarang menyinggung urusan politik di hadapan Kaisar, seperti kasus pemecatan Putra Mahkota dan lowongnya posisi calon penguasa sekarang ini, sama sekali tidak dikomentarinya. 　　Justru karena itu, jika Janda Permaisuri benar-benar mengkritik seseorang, pengaruhnya sangat besar bagi Kaisar. 　　Berhenti memutar tasbih, Janda Permaisuri tersenyum: “Kaisar boleh melanjutkan urusan negara, hamba ingin beristirahat.” 　　Setelah Kaisar Jingming pergi, Janda Permaisuri bersandar pada xunlong sambil menutup matanya sejenak. 　　Seorang dayang tua mengambilkan bantal lembut untuk menyangga punggung Janda Permaisuri. 　　Tak lama kemudian seorang dayang masuk melapor: "Paduka, Mulia Putri Rongyang telah datang." 　　Janda Permaisuri membuka matanya: "Suruh dia masuk." 　　Sejenak kemudian tirai kapas berhias diangkat oleh dayang istana, terlihat sosok Mulia Putri Rongyang berbaju merah berjalan masuk dengan anggun. 　　Memandangi mata kemerahan Mulia Putri Rongyang, Janda Permaisuri bertanya: "Ada apa ini?" 　　Mulia Putri Rongyang mendekat dan bersimpuh di lutut Janda Permaisuri: "Ibu, saya bermimpi tentang Mingyue..." 　　"Bermimpi tentang Mingyue?" Reaksi pertama Janda Permaisuri adalah mengerutkan kening. 　　“Terhadap cucu perempuan yang membunuh suami barunya lalu kabur, meski sebelumnya sungguh-sungguh menyayangi, kini perasaan itu hampir tidak tersisa.” 　　Putri Rongyang matanya berkaca-kaca: “Bermimpi Mingyue mengeluarkan darah dari tujuh lubang tubuhnya, mati dengan sangat mengenaskan... Ibu, pasti terjadi sesuatu pada Mingyue!” 　　Janda Permaisuri merinding mendengarnya: “Jangan berkhayal sembarangan.” 　　“Ibu, hati ibu dan anak perempuan itu menyatu. Firasat hamba tidak mungkin salah. Mingyue bukan kabur, tapi dibunuh orang...” 　　Terhadap anak angkat satu-satunya, Janda Permaisuri masih merasa iba. Melihatnya demikian, beliau menghela napas: “Sudahlah, hamba berencana besok berziarah ke Kuil Dafu. Jika kau gelisah, ikutlah bersama hamba.” 　　Kilatan sukacita muncul sekejap di mata Putri Rongyang sebelum segera menyahut patuh. 　　Esok harinya cuaca cerah. 　　Matahari musim dingin yang jarang bersinar terang mencairkan timbunan salju di sudut tembok, ranting-ranting berlapis es meneteskan air berderai-derai. 　　Putri Rongyang sudah menunggu di luar sejak pagi, lalu bersama Janda Permaisuri berangkat menuju Kuil Dafu melalui pintu gerbang istana. 　　Janda Permaisuri tidak ingin terlalu mencolok, naik kereta kuda bersama Putri Rongyang dengan sedikit dayang pengiring, kereta pun tidak menampakkan lambang kerajaan. 　　Dalam perjalanan ke Kuil Dafu, kereta mereka terhalang kerumunan orang yang sedang melihat keributan di depan. 　　“Ada apa ini?” Janda Permaisuri mengerutkan alis. 　　Putri Rongyang membuka tirai kereta dan memberi beberapa perintah pada dayang yang berdiri di samping kereta. 　　Dayang istana mengangguk, lalu berlari ke kerumunan orang untuk mencari informasi. Tak lama kemudian ia kembali dan melapor: "Ada seorang pemuda yang menarik-narik istri orang tidak mau melepaskan, memaksa wanita itu ikut dengannya……" 　　"Tidak ada yang menengahi?" Mulia Putri Rongyang bertanya. 　　Dayang istana ragu sejenak. 　　Wajah Janda Permaisuri tetap tenang dengan mata terpejam, tidak menunjukkan minat mendengar. 　　Playboy menggoda wanita baik-baik, hal seperti ini selalu terjadi. Jika Beliau harus penasaran dan ikut campur setiap kejadian, pasti akan terlalu lelah. 　　Janda Permaisuri yang telah puluhan tahun di istana telah mengembangkan ketahanan seperti baja. 　　Namun Mulia Putri Rongyang lebih penasaran: "Apakah ada hal yang tidak bisa diungkapkan?" 　　Dayang istana menjawab: "Orang itu mengaku sebagai kerabat Permaisuri Yan. Siapa yang berani ikut campur akan menghadapi konsekuensi berat." 　　Janda Permaisuri membuka mata: "Kerabat Permaisuri Yan?" 　　Di satu sisi ada kesan buruk sebelumnya terhadap Jiang Si, di sisi lain ada bisikan occasional dari Mulia Putri Rongyang, membuat Janda Permaisuri secara natural tidak punya simpati bahkan cenderung antipati. 　　Hanya saja Beliau bisa menahan diri, tidak berniat membicarakan hal-hal sepele di hadapan Kaisar Jingming. Tapi jika ada kesempatan untuk memberikan peringatan pada Permaisuri Yan, Beliau tidak akan menolak. 　　Tiba-tiba keriuhan terjadi, seseorang berteriak: "Ada yang tewas——" 　　Banyak orang berdesakan maju, sementara yang lain berlarian mundur, membuat suasana menjadi kacau seketika. 　　Pengawal yang mengemudi segera menarik mundur kereta kuda. 　　"Janda Permaisuri benar-benar muram: "Pergi lihat keadaannya. Kalau sampai ada korban jiwa, apa petugas Wucheng Bingmasi hanya makan gaji buta?"" 　　Baru saja berkata, sekelompok petugas keamanan bergegas datang. Pemimpin mereka berteriak dari jauh: "Minggir semua! Di mana penjahat yang menggoda wanita baik-baik itu?" 　　Kedatangan petugas langsung membuat kerumunan penonton menyebar ke kedua sisi, memperlihatkan pemandangan di tengah. 　　Pemandangannya cukup mengerikan. 　　Seorang pemuda awal dua puluhan terpaku menatap suatu titik. Mengikuti arah pandangannya, terlihat sosok wanita ramping terjengkang di kaki tembok. 　　Wajah wanita itu miring ke samping, keningnya penyok. Darah yang mengucur deras telah mengaburkan rupanya. 　　Penonton berdecak kaget, marah, berbisik-bisik. Sifat ingin tahu membuat kaki mereka seperti tertanam, tak mau bergeser. 　　Pemimpin petugas tertegun sejenak lalu meledak marah: "Tangkap si pembunuh ini!" 　　Bukannya cuma menggoda wanita baik-baik? Kok sampai ada korban jiwa? Ini mau merusak suasana tahun baru! 　　Melihat dua petugas menghampiri dan menahan bahunya, si pemuda langsung meronta: "Lepaskan! Aku bukan pembunuhnya, kenapa menangkapku?" 　　"Memang bukan kau yang membunuh, tapi kau yang memaksanya mati!" Akhirnya ada yang berteriak dari kerumunan. 　　Penonton langsung menyambut dengan sorak setuju. 　　Si pemuda mengusap wajahnya: "Aku cuma menanyakan arah, tak memaksanya. Tuan petugas, mungkin Anda belum tahu, aku ini paman dari Permaisuri Yan." 496. BAB 495 Aksi 　　BAB 495 Bertindak 　　Paman Dou saat ini hancur hatinya. 　　Ada yang menyuruhnya menghentikan perempuan kecil ini di jalan untuk mengobrol santai, dia berpikir bisa dapat keuntungan sekaligus mengganggu wanita, tentu saja sangat bersemangat. 　　Tapi tak ada yang bilang kalau perempuan ini bunuh diri dengan membenturkan kepala ke tembok hanya karena tangannya disentuh! 　　Bunuh diri dengan membenturkan kepala... Benar-benar sial jika dipikir-pikir. 　　Teriakan Paman Dou ini membuat petugas keamanan yang hendak menangkapnya berhenti sejenak, memandang ke pemimpin regu. 　　Pemimpin regu mencibir: "Konyol! Kau bilang diri paman Permaisuri Yan ya? Orang seperti kau yang asal mengaku-aku hubungan keluarga, sehari bisa ketemu belasan!" 　　Wucheng Bingmasi khusus menangani patroli dan pencurian di ibu kota. Di bawah kaki Putra Langit, yang paling banyak adalah pejabat dan bangsawan, maka pemalas pengaku-aku hubungan pun ikut banyak. 　　"Aku mengada-ada?" Paman Dou sangat yakin diri, berteriak keras: "Kalau tak percaya tanya saja! Adikku sekarang tinggal di Istana Pangeran Yan..." 　　Pemimpin regu mulai ragu. 　　Paman Dou tertawa dingin penuh kemenangan: "Huh! Aku paman Permaisuri Yan, berarti juga paman Pangeran Yan. Berani tangkap aku, pangeran pasti akan meringkusmu di penjara dan menghajar pakai tongkat!" 　　Janda Permaisuri mendengarkan diam-diam, wajahnya sangat muram. 　　Putri Rongyang menundukkan mata, menyembunyikan kilau tawa di pupilnya. 　　Orang seperti ini, meski sampah, tapi di saat genting sangat bisa dimanfaatkan. 　　Kasus playboy menggoda wanita baik-baik memang banyak, tapi ketika korban pelecehan tewas membentur tembok di depan publik, masalah jadi meluas. 　　Sekalipun pihak berwenang tidak menindaklanjuti, kerumunan penonton pasti akan menyebarkan kabar ini. 　　Setelah keributan hari ini, bagaimanapun Pangeran Yan dan istrinya berusaha memperbaiki, reputasi Permaisuri Yan tetap tercoreng. 　　Dengan menghancurkan reputasi Permaisuri Yan di mata rakyat, serta meruntuhkan posisinya di hati Kaisar dan Janda Permaisuri, upayaku kali ini tak sia-sia. 　　Putri Rongyang pernah berniat menyasar anak dalam kandungan Jiang Si, namun akhirnya mengurungkan niat. 　　Sejak hamil, Permaisuri Yan jarang keluar rumah, sementara Istana Pangeran Yan sulit disusupi. Menghabisi janinnya cukup rumit. 　　Lagipula, janin Permaisuri Yan tak seberharga janin Permaisuri Qi. Membunuhnya hanya akan menyedihkan Permaisuri Yan sementara. Di usianya ini, mungkin ia bisa hamil lagi dalam beberapa bulan. 　　Jurus merepotkan dengan dampak terbatas seperti ini tak layak dilakukan. 　　Merusak reputasi seseorang jauh lebih mudah, efeknya bertahan bertahun-tahun, bahkan bisa tercatat dalam sejarah jika parah. 　　Putri Rongyang menyaksikan keriuhan dengan tatapan dingin, merasa puas dan lega. 　　Suara anak kecil terdengar: "Kakak——" 　　Seorang bocah lelaki 7-8 tahun menerobos kerumunan, berlari ke arah wanita yang terjatuh. 　　Gemuruh diskusi seketika memenuhi kerumunan. 　　“Dosa besar, anak ini sudah kehilangan orangtua sejak kecil, hidup bersama kakak perempuan yang sudah menikah. Sekarang kakaknya meninggal, bagaimana dia bisa bertahan hidup——” 　　“Suami nona kecil ini mana?” 　　“Suaminya pedagang keliling, masih belum pulang dari perjalanan……” 　　Bocah lelaki merangkul mayat wanita sambil menangis, tiba-tiba berlari menghampiri Paman Dou. 　　“Kembalikan kakakku, kembalikan kakakku!” Bocah itu menunduk dan menggigit pergelangan tangan Paman Dou. 　　Gigi bocah yang tajam dengan tenaga penuh seketika membuat pergelangan tangan Paman Dou berdarah-darah. 　　Paman Dou kesakitan, langsung melemparkan bocah itu. 　　Meski tubuh bocah itu tidak pendek, tapi sangat kurus sehingga terlempar jauh dan jatuh ke tanah. 　　Orang-orang yang menonton tidak bisa diam lagi, mulai mengumpat. 　　“Apakah paman Permaisuri Yan boleh membunuh orang semena-mena? Masih adakah hukum pangeran?!” 　　“Benar! Pangeran yang melanggar hukum pun dihukum setara rakyat biasa, masa seorang paman permaisuri bisa berbuat sewenang-wenang?” 　　“Dulu Paman Selir Yang juga semena-mena, akhirnya bagaimana? Matinya sangat mengenaskan……” 　　Beberapa kasus besar tahun lalu masih menjadi bahan perbincangan hangat masyarakat sampai sekarang. 　　Hukum tak bisa menghukum massa, suara kerumunan semakin membara. 　　Paman Dou menutupi pergelangan tangannya sambil melompat-lompat marah: “Siapa yang berani? Ayo maju! Kita hadap Pangeran Yan!” 　　Kerumunan mendadak sunyi. 　　Sikap Paman Dou yang tak kenal takut membuat petugas keamanan tidak berani bertindak gegabah. 　　Masih bisa bersikap begitu percaya diri di saat seperti ini, sepertinya bukan orang sembarangan yang mengaku-ngaku. Mungkin benar-benar paman dari Permaisuri Yan. 　　Prestasi gemilang Pangeran Yan telah tersebar luas di kalangan pejabat rendahan ini. 　　Berani mengangkat lengan untuk memukul Putra Mahkota, setelah itu sendiri selamat, sementara Putra Mahkota tak lama kemudian dipecat... 　　Ck ck, orang seperti mereka berani macam-macam dengan Pangeran Yan? Nyawa pun tak akan cukup untuk menebusnya. 　　Petugas keamanan itu melunakkan nada bicaranya: "Ikuti kami dulu!" 　　"Aku tak mau pergi! Takkan ke mana-mana! Kalau harus pergi, ya ke Kediaman Pangeran Yan. Kalian tak berani ke sana, lepaskan aku!" teriak Paman Dou keras-keras. 　　Petugas keamanan itu nyaris tak bisa menahan diri untuk menampar Paman Dou. 　　Bagaimana bisa ada orang sebodoh ini! 　　"Saudara, ikuti kami dulu. Pembicaraan bisa dilanjutkan ketika tak ada orang..." bisik petugas itu sebagai peringatan. 　　Paman Dou tertegun sejenak, ragu-ragu sebentar lalu menyetujui. 　　Di dalam kereta kuda, Janda Permaisuri dengan wajah masam memerintahkan pelayan istana: "Panggil pengawal kemari." 　　Seorang pria muda berbaju sipil segera menghadap Janda Permaisuri, berkata dengan hormat: "Hamba bertugas di bawah Komandan Han. Perintah apa yang Paduka berikan?" 　　Janda Permaisuri terkejut, bergumam pelan: "Kaisar benar-benar..." 　　Kemudian menyusun raut wajah serius dan berpesan: "Baik juga, pergilah katakan pada petugas Wucheng Bingmasi untuk membawa orang itu kepada hamba..." 　　Pemuda itu segera menjalankan perintah. 　　"Tunggu sebentar." 　　Petugas keamanan yang sedang bersiap membawa pergi Paman Dou menoleh ke arah suara. 　　Pemuda itu mengangkat tangannya sebentar. 　　Melihat kartu identitas di tangan pemuda, ekspresi petugas keamanan langsung berubah. Ia menyembah hormat, "Ada perintah apa, Paduka?" 　　Pemuda itu menaikkan dagu sedikit, berkata dingin, "Orang ini, aku bawa pergi." 　　Petugas keamanan itu langsung legoh, buru-buru mendorong Paman Dou ke depan pemuda. 　　Lebih baik Jinlinwei yang membawa si bodoh ini, sekalian menghindarkan dirinya dari dilema. 　　Kalau sampai ada korban jiwa, melepasnya akan dicemooh rakyat, tidak melepas mungkin menyinggung Pangeran Yan. Bagaimanapun tetap akan disalahkan. 　　Memang Jinlinwei paling berwibawa, keluarga kerajaan pun berani tangkap, apalagi kerabat keluarga kerajaan. 　　Seorang pria yang mengikuti pemuda itu segera maju dan menangkap Paman Dou. 　　"Kalian ini siapa? Lepaskan aku!" Melihat aura mengerikan dari pemuda itu, Paman Dou memandang petugas keamanan minta tolong, "Bukannya kalian petugas resmi? Kenapa tidak menghentikan orang yang mau menculikku ini?" 　　Pemuda itu berkata datar, "Jinlinwei menangani kasus." 　　Paman Dou langsung terpaku, "J-Jinlinwei?" 　　Sudah cukup lama ia hidup di ibu kota, tentu tahu reputasi Jinlinwei. 　　Mendengar Jinlinwei yang menangani kasus, bahkan penonton pun tak ada yang berani bersuara. Suasana langsung hening, hanya tangisan bocah laki-laki yang terus bergema, terdengar sangat menyedihkan. 　　Janda Permaisuri kembali berpesan kepada pelayan istana: "Keluarkan uang untuk menguburkan wanita itu, kembalikan para gadis itu ke keluarga mereka. Putar arah kereta kuda." 　　Hari ini membawa para gadis untuk disuntik, antrian di depan hampir mencapai tiga ratus nomor... Hati saya juga seperti hancur. 497.BAB 496 Muncul ke Permukaan 　　BAB 496 Muncul ke Permukaan 　　Kerumunan orang masih berkumpul di jalanan, tak kunjung bubar. 　　Tangisan bocah laki-laki menembus riuh rendah suara, kereta kuda Janda Permaisuri yang telah berjalan jauh masih bergema di telinga. 　　Di Dalam Kereta, Janda Permaisuri memutar tasbih di tangan tanpa bicara, wajahnya gelap menahan amarah. 　　Putri Rongyang menasihati: "Ibu, orang seperti ini banyak, tidak baik marahi diri sendiri." 　　Janda Permaisuri berkata perlahan: "Memang banyak orang seperti ini, tapi kejadian hari ini terlalu memalukan, tak boleh dibiarkan merusak reputasi keluarga kerajaan." 　　Putri Rongyang menyunggingkan sudut bibir, berdesah: "Asal-usul Permaisuri Yan memang lebih rendah dibanding permaisuri lain, pantas saja ada kerabat menyebalkan seperti ini..." 　　Janda Permaisuri menggerakkan bibir, namun tak bersuara. 　　Putri Rongyang memutar bola mata, mencoba bertanya: "Ibu, Jinlinwei membawa orang itu pergi, apakah Kakak Kaisar harus tahu?" 　　Janda Permaisuri menyeringai dingin: "Istri pilihan baiknya, tentu harus dia urus sendiri." 　　Setelah berkata demikian, Janda Permaisuri menutup mata, ekspresinya kembali tenang. 　　Putri Rongyang senang melihat situasi membaik, mengambil Meiren (palu pijat) dan mulai memijat lembut kaki Janda Permaisuri, senyum mengembang di bibirnya. 　　“Janda Permaisuri tiba-tiba membuka mata, dengan sedikit keraguan: 'Rongyang, suasana hatimu hari ini sepertinya baik.'” 　　Kegembiraan sesaatnya ketahuan oleh Janda Permaisuri, Putri Rongyang dalam hati berteriak 'bahaya', namun tetap tenang menjawab: "Sudah lama tidak menemani Ibu berziarah ke Kuil Dafu. Memikirkannya saja sudah membuatku senang, Ibu juga jangan terbawa perasaan karena kejadian tadi." 　　Janda Permaisuri akhirnya mengesampingkan keraguannya, sedikit mengangguk: "Hmm." 　　Kuil Dafu terletak di dalam kota, kereta kuda berjalan beberapa saat lalu berhenti. 　　Dayang mengangkat tirai kereta, membantu Putri Rongyang dan Janda Permaisuri turun secara bergantian. 　　Musim dingin yang menggigit, Janda Permaisuri sengaja tidak berangkat pagi-pagi. Saat ini matahari musim dingin sedang bersinar hangat, menyirami Kuil Dafu dengan cahaya keemasan. 　　Kepala biara Kuil Dafu sudah menunggu di samping, menyambut Janda Permaisuri dengan hormat. 　　Putri Rongyang menarik napas panjang lega. 　　Hari ini saat berziarah dan bersembahyang, ia akan sungguh-sungguh memohon kepada Buddha agar perempuan hina yang menyakiti Mingyue segera mendapat hukuman. 　　Sebentar lagi, dengan sifat Kakak Kaisar, pasti tidak akan mentolerir hal seperti ini. 　　"Ibu, hati-hati langkahnya." Putri Rongyang memapah Janda Permaisuri menuju Aula Utama. 　　Saat itu di Jalan Pasar Barat, riuh rendah suasana perdagangan. 　　Menjelang tahun baru, banyak toko akan tutup. Kawasan ini dipadati orang yang berbelanja kebutuhan tahun baru. 　　Seorang wanita paruh baya tak mencolok membawa keranjang berjalan menyusuri deretan toko yang menguar aroma bedak, terus hingga ke ujung jalan. 　　Toko di ujung jalan terlihat sepi dan dingin, sangat berbeda dengan keramaian di tempat lain, seolah membentuk dunianya sendiri. 　　Pemilik toko itu tampak tenang tanpa terburu-buru, membuat para pemilik toko dan pelayan yang telah mengenalnya selama bertahun-tahun merasa penasaran. 　　Pelanggan yang datang terlihat biasa-biasa saja, namun dua kepala tiba-tiba menengok secara bersamaan dari toko-toko sibuk di sekitarnya, lalu saling bertatapan dengan nuansa persaingan. 　　Kedua orang ini, satu adalah anak buah Yu Jin, satunya lagi adalah A Fei. 　　A Fei mengusap wajahnya, langsung segar kembali. 　　Setiap orang yang masuk ke toko kecil ini tidak boleh diabaikan. Bekerja untuk Permaisuri, harus diselesaikan dengan baik. 　　Bekerja untuk Permaisuri ya... 　　Sampai sekarang, A Fei masih kadang merasa seperti bermimpi. 　　Pikirnya, seorang preman jalanan seperti dirinya yang mungkin suatu hari mati di selokan kotor pun tak ada yang peduli, kini ternyata bekerja untuk Permaisuri. 　　Permaisuri adalah orang yang baik hati, ini sudah ia ketahui sejak Permaisuri masih menjadi Nona Jiang. Asal bekerja keras, di masa depan mungkin bisa jadi pejabat kecil. 　　Saat itu nanti, ia akan memuliakan leluhur, membuat iri tetangga-tetangga, lihat siapa yang berani meludahi punggungnya. 　　A Fei penuh semangat, matanya tak berkedip mengawasi toko kecil itu. 　　Orang satunya lagi tak mau kalah. 　　Dia ini pengawal bayangan Pangeran, kalau sampai kalah oleh preman kecil, lebih baik tidak usah muncul lagi. 　　Merasa wanita paruh baya itu berdiam terlalu lama, keduanya perlahan mendekat. 　　Dua shichen kemudian, A Fei muncul di ruang belajar halaman depan Kediaman Pangeran Yan, dengan semangat melapor kepada Jiang Si tentang penemuannya. 　　Yu Jin mendengarkan dengan wajah datar, sangat ingin menendang A Fei keluar pintu. 　　Orang berisik dan bodoh seperti ini, sungguh sulit dimengerti mengapa A Si masih memakainya. 　　Tapi memang, sebelum A Si menikah ke sini, dia tidak punya sumber daya manusia. 　　"Apakah wanita itu langsung pergi ke Kuil Dafu setelah meninggalkan toko kecil?" tanya Jiang Si. 　　A Fei tak bisa menyembunyikan kesombongannya: "Hamba perhatikan wanita itu sudah berumur tapi tidak menyisir rambut gaya wanita bersumpah, merasa aneh lalu mengikutinya diam-diam. Ternyata dia menuju Kuil Dafu..." 　　Karena dialah yang pertama menyadari keanehan wanita itu, sekarang dialah yang bisa berdiri memamerkan jasanya di hadapan Pangeran dan Permaisuri. 　　Sedangkan pengawal bayangan itu, hehe, mungkin sedang meratap di sudut dinding dekat toko kecil sekarang. 　　"Awalnya hamba ingin menyusup ke Kuil Dafu, tapi hari ini kuil tidak menerima peziarah. Hamba mengawasi dari luar, lalu melihat kereta kuda keluar dengan wanita itu dan beberapa pengawal. Hamba melempar batu ke wanita itu, teriakannya membuktikan prediksi hamba saat orang memanggil namanya." 　　Jiang Si mengangguk puas: "Cerdik, kerja bagus. Siapa nama wanita itu?" 　　“Orang lain memanggilnya Dayang Duo.” A Fei tidak yakin dengan pelafalannya, ragu-ragu berkata. 　　“Lalu?” 　　Wajah A Fei tiba-tiba pucat: “Setelah itu saya mengikuti kereta kuda itu dari kejauhan, tiba-tiba menyadari ada orang lain juga mengikuti kereta itu dan menatap ke arah saya. Saya takut ketahuan, jadi tidak berani terus mengikuti...” 　　“Cukup, kau boleh pergi ambil hadiah.” Yu Jin berbicara dengan datar. 　　A Fei sangat tahu diri, memberi hormat kepada Yu Jin dan Jiang Si lalu mundur perlahan. 　　Ruang belajar seketika hanya menyisakan suami-istri itu. 　　Jiang Si membuka pembicaraan: “Kuil Dafu adalah kuil keluarga kerajaan. Meski biasa menerima peziarah umum, tapi akan menutup pintu saat ada orang terhormat yang datang. Orang yang duduk di dalam kereta kuda yang ditemui A Fei hari ini statusnya mungkin tidak biasa...” 　　“Ini mudah, saya akan menyuruh orang mencari informasi.” 　　Kunjungan Janda Permaisuri ke Kuil Dafu untuk berziarah meski tidak mengumumkan statusnya untuk menghindari keributan, juga tidak sengaja disembunyikan. 　　Yu Jin segera mendapatkan kabar, dengan ekspresi aneh berkata pada Jiang Si: “Sudah ketahuan.” 　　“Siapa?” 　　“Janda Permaisuri.” 　　Jiang Si tertekan sejenak, tidak terlalu terkejut. 　　Yu Jin telah menyaring empat orang mencurigakan dari daftar yang disusun Pan Hai, keempatnya adalah orang Istana Cining. 　　“Wanita paruh baya itu layak menemani Janda Permaisuri dalam perjalanan sederhana, menunjukkan sudah mendapat kepercayaannya.” 　　Yu Jin membentangkan kertas yang dipenuhi nama, menunjuk satu nama dengan jarinya: "Seharusnya dia. Buku daftar nama mencatat namanya A Duo, masuk istana pertama kali di usia 20 tahun, langsung bertugas di Istana Cining selama 15 tahun. Sekarang kita perlu konfirmasi lebih lanjut." 　　Jiang Si tersenyum: "Metode menunggu seperti menunggu kelinci memang kuno, tapi efektif ternyata," 　　Lalu menambahkan: "Juga karena A Fei pintar." 　　Yu Jin memutar matanya. 　　Merasa akan flu sampai akhir zaman.... 498. BAB 497 Janda Permaisuri Menuduh 　　BAB 497 Janda Permaisuri Menuduh 　　Janda Permaisuri kembali ke istana saat sore hari. 　　Kaisar Jingming yang khawatir dengan perjalanan ibunya sudah menyuruh orang mengawasi, segera datang begitu sang ibu kembali. 　　"Kakak Kaisar." Putri Rongyang yang ikut kembali memberi salam. 　　Kaisar Jingming tahu Putri Rongyang menemani ibunya berziarah, tapi heran mengapa mereka tidak langsung pulang ke istana putri malah ke istana. 　　Tapi keraguan ini tidak membuatnya bertanya, ia mengangguk balik lalu bertanya: "Bagaimana perjalanan Ibu hari ini?" 　　Janda Permaisuri meletakkan tangan di sandaran kursi, berkata datar: "Ziarah lancar, jalan-jalan juga menyegarkan hati." 　　Tapi Kaisar Jingming mendengar ketidaksenangan dalam nada datar itu. 　　"Apakah Ibu lelah?" 　　"Tidak lelah, cuma di perjalanan kami melihat mayat..." 　　Kaisar Jingming hampir melompat kaget. 　　Melihat mayat. 　　Mayat... 　　Sekarang dia sudah punya bayangan mendalam terhadap dua kata “orang mati”, awalnya mengira Janda Permaisuri tidak akan terpengaruh, tapi tak disangka—— 　　“Ibu benar-benar mengalami hal seperti ini?” Suara Kaisar Jingming penuh perhatian. 　　Suara Janda Permaisuri dingin: “Ini semua berkat menantu perempuan pilihan Kaisar yang hebat!” 　　Kaisar Jingming mengedipkan mata bingung. 　　Sebenarnya, setiap perjodohan pangeran harus dapat persetujuanku. Yang mana yang dimaksud Ibu? 　　Janda Permaisuri tidak berbelit-belit: “Permaisuri Yan.” 　　Kaisar Jingming tertegun. 　　Janda Permaisuri melirik Putri Rongyang. 　　Putri Rongyang mulai bercerita: “Saat kami menuju Kuil Dafu, jalan depan macet karena banyak orang berkumpul melihat keramaian. Lalu kami menyuruh pelayan istana untuk menyelidiki. Ternyata ada penjahat mengganggu seorang nona kecil. Nona itu nekad, karena tak bisa kabur langsung membenturkan kepala sampai tegas……” 　　Kelopak mata Kaisar Jingming berkedut: “Apa hubungannya dengan istri Lao Qi?” 　　Suara Putri Rongyang meninggi: “Penjahat itu mengaku sebagai paman Permaisuri Yan.” 　　Kaisar Jingming tersenyum: “Banyak orang yang seenaknya mengaku-ngaku seperti itu, bukan?” 　　“Kemudian petugas Wucheng Bingmasi datang. Dia malah semakin nekat, ingin menarik petugas keamanan ke Kediaman Pangeran Yan untuk minta keadilan. Dia juga bilang adik perempuannya tinggal di kediamanan Pangeran Yan. Kakak Kaisar, menurut adikmu ini sepertinya bukan sekadar mengada-ada.” 　　Saat itu Janda Permaisuri berbicara: "Hamba waktu itu memerintahkan orang untuk membawa pergi orang itu terlebih dahulu, kemudian setelah diselidiki, identitas asli orang itu memang adalah paman sepupu Permaisuri Yan." 　　Janda Permaisuri bukan orang yang impulsif. Kemampuannya menghadapi Jiang Si di hadapan Kaisar Jingming tentu didasari bukti nyata. Seandainya masalah ini sampai di hadapan Kaisar namun ternyata orang itu hanya mengoceh sembarangan, tentu akan memalukan. 　　"Benarkah ini terjadi?" Kaisar Jingming segera memanggil Han Ran untuk dimintai keterangan. 　　Setelah mendapat konfirmasi dari Han Ran, Kaisar Jingming berpikir sejenak lalu berkata: "Panggil Pangeran Yan masuk istana." 　　Putri Rongyang mengingatkan: "Bukankah Kakak Kaisar sebaiknya memanggil Permaisuri Yan untuk diinterogasi juga?" 　　Kaisar Jingming sedikit mengerutkan kening. 　　Istri Lao Qi sedang hamil, bahkan jika harus dimarahi seharusnya Lao Qi si brengsek itu yang menanggung, tidak pantas menyalahkan menantu perempuan sampai mempengaruhi janin... 　　Janda Permaisuri berkata dingin: "Lebih baik panggil pasangan muda itu bersama-sama untuk diinterogasi. Hamba tahu Yang Mulia sangat memperhatikan kondisi Permaisuri Yan yang sedang hamil, tapi ada hal-hal yang bisa dimaafkan dan ada yang tidak boleh dibiarkan. Hari ini paman sepupu Permaisuri Yan secara terbuka memaksa wanita baik-baik bunuh diri, reputasi pasangan Pangeran Yan di mata rakyat sudah sangat ternoda dengan berbagai desas-desus. Jika besok-besok muncul lagi sepupu-sepupu lain seperti paman atau bibi sepupu yang melakukan hal lebih keterlaluan, mungkin Yang Mulia pun tidak akan bisa lagi melindungi Permaisuri Yan..." 　　Mendengar alasan yang masuk akal, Kaisar langsung mengubah keputusan: "Panggil pasangan Pangeran Yan bersama-sama masuk istana." 　　Pelayan istana segera tiba di Kediaman Pangeran Yan untuk menyampaikan pesan lisan. 　　Awalnya Yu Jin mengira dirinya dipanggil masuk istana untuk membahas perkembangan penyelidikan, tapi ketika mendengar Jiang Si juga ikut dipanggil, hatinya mulai merasa tidak enak. 　　Keduanya saling memandang. 　　Keraguan juga terpantul di mata Jiang Si. 　　Meski telah menikah dengan seorang pangeran, sejujurnya kesempatannya bertemu muka dengan Kaisar sangatlah jarang. 　　Kejadian hari ini terasa aneh. 　　Tapi biarlah air pasang surut kita hadapi, khawatir berlebihan tak berguna. Masuk istana saja baru tahu masalahnya. 　　Setelah bersiap, Yu Jin menemani Jiang Si naik ke kereta kuda. 　　"Tidak tahu mengapa Ayah Kaisar memanggilku ikut, mungkin bukan hal baik." 　　Yu Jin menepuk tangan Jiang Si untuk menenangkan: "Ayah Kaisar menyuruhku menyelidiki orang bersembunyi di istana. Jika kita lempar petunjuk hari ini, pasti Beliau tak sempat memikirkan hal lain." 　　"Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Janda Permaisuri?" Jiang Si berspekulasi, "Keberangkatan Janda Permaisuri berziarah termasuk langka, bersamaan dengan panggilan Ayah Kaisar hari ini. Memang kebetulan bisa terjadi, tapi sebagian besar 'kebetulan' sebenarnya saling berkaitan..." 　　"Jangan terlalu banyak berpikir. Masuk saja baru tahu." 　　Mereka memasuki kompleks istana, dipandu pelayan menuju Istana Cining. 　　Alis Yu Jin sedikit terangkat. 　　Tampaknya tebakan A Si benar, urusan hari ini memang terkait Janda Permaisuri. 　　Jiang Si mengedipkan mata ke arah Yu Jin. 　　“Orang-orang di sisi Janda Permaisuri telah mengunjungi toko kecil milik kakek-nenek Suku Wu Miao. Mereka menduga wanita itu seharusnya adalah A-Duo yang tercatat dalam buku daftar nama, yaitu Dayang Duo yang sekarang berada di Istana Cining.” 　　“Namun dugaan tetaplah dugaan. Apakah orang ini benar-benar Dayang Duo? Seperti apa rupa Dayang Duo? Semua ini hanya bisa dipastikan dengan melihat langsung baru bisa membahas hal lainnya.” 　　“Kaisar Jingming memanggil mereka ke Istana Cining justru memberikan kesempatan langka bagi kedua orang ini, menghemat usaha mereka untuk mencari alasan masuk istana memberi salut kepada Janda Permaisuri.” 　　“Ini adalah pertama kalinya mereka masuk ke Istana Cining. Bagi Jiang Si ini bukan pertama kali, tapi itu adalah hal dari kehidupan sebelumnya.” 　　“Sesampai di dalam, pelayan istana memberi isyarat kepada keduanya untuk berhenti, lalu masuk untuk melapor.” 　　“Paduka Kaisar, Pangeran Yan dan Permaisuri Yan telah tiba.” 　　“Persilahkan masuk.” 　　“Suara pengumuman segera bergema.” 　　“Yu Jin membawa Jiang Si masuk, langsung memandang Putri Rongyang yang menemani Janda Permaisuri.” 　　“Sedangkan Jiang Si dalam perjalanan masuk, perhatiannya tertuju pada seorang wanita paruh baya.” 　　“Wanita itu berdiri di sudut tak mencolok dalam ruangan Janda Permaisuri, berpenampilan biasa saja, tapi bagi Jiang Si ini sangat berbeda.” 　　“Bagi Jiang Si yang pernah belajar Ilmu Gaib dari Tetua Besar Suku Wu Miao dan dipuji sebagai berbakat langka, dia memiliki indra keenam khusus terhadap para praktisi ilmu gaib.” 　　“Dayang ini pastilah Dayang Duo yang bertemu dengan cucu Suku Wu Miao, yaitu Tetua generasi kedua Suku Wu Miao, A-Duo.” 　　Dayang Duo memandang Jiang Si yang masuk ke dalam, mata penuh keheranan. 　　Kejutan itu segera disembunyikannya, namun sorot mata Jiang Si yang mengawasi gerak-geriknya telah menangkapnya. 　　Jiang Si mengangkat sudut bibirnya, tersenyum tipis. 　　Pasti sang dayang terkejut melihat kemiripannya yang luar biasa dengan Imam Suci A Sang. 　　Ia jarang bertemu orang dari Istana Cining, sebaliknya penghuni Istana Cining juga tak punya kesempatan melihatnya. Ini adalah pertemuan pertama antara Dayang Duo dengannya. 　　Sungguh menarik, baru saja bertemu dengan nenek-cucu Wu Miao, mengetahui dari si nenek bahwa Imam Suci A Sang telah tiba di ibu kota, lalu mendapati sang imam suci menjadi Permaisuri Yan. 　　Saat ini pastilah gelombang kejutan bergemuruh di hati Dayang Duo? 　　Terima kasih atas Hadiah dan vote-nya, sampai jumpa besok. 499.BAB 498 Mohon Ayah Kaisar Menjatuhkan Hukuman 　　BAB 498 Mohon Ayah Kaisar Menjatuhkan Hukuman 　　Dayang Duo benar-benar terkejut bukan main. 　　Kejutan yang luar biasa membuatnya, meski telah puluhan tahun di istana, tak bisa menyembunyikan ekspresi. 　　Belum lama ini ia tiba-tiba menerima surat dari luar istana. Memanfaatkan kesempatan Janda Permaisuri berziarah, ia bertemu dengan Tetua Hua. Tetua Hua mengatakan pernah bertemu imam suci, namun masih ada keraguan, lalu mengirim surat ke Wu Miao untuk konfirmasi. Namun surat yang dikirim tak kunjung mendapat balasan, barulah ia memberikan kabar ini... 　　Mengapa imam suci yang pernah sekali mengunjungi kedai Tetua Hua lalu menghilang, tiba-tiba berubah wujud menjadi Permaisuri Yan? 　　Tetua Hua menyebutkan bahwa pakaian Imam Suci menyerupai wanita menikah Dinasti Zhou. Saat ditanya, Imam Suci beralasan misi rahasia tanpa menjelaskan detail. Ini sebenarnya biasa, namun sangat aneh jika Imam Suci ternyata adalah Permaisuri Yan. 　　Sebelumnya dia belum pernah bertemu Permaisuri Yan, tapi mendengar Permaisuri Yan adalah nona dari Kediaman Dongping Bo. 　　Bagaimana mungkin seorang Imam Suci bisa menggantikan identitas wanita yang memiliki keluarga marga, ayah dan kakak? 　　Identitas Imam Suci ini benar-benar mencurigakan... 　　Dayang Duo yang sudah bertahun-tahun di istana dan tak pernah kembali ke Wu Miao, seharusnya tidak tahu wajah Imam Suci sekarang. 　　Namun status Imam Suci di Suku Wu Miao tak bisa dipahami orang luar. Terutama setelah posisi itu kosong bertahun-tahun, saat A Sang resmi menjadi Imam Suci, potretnya dikirim ke Dayang Duo melalui tangan Tetua Hua. 　　Potret Imam Suci itu sama persis dengan Permaisuri Yan di depan mata. Dia yakin tak mungkin salah mengenali. 　　Setelah memastikan target yang dicari, Jiang Si merasa lebih tenang dan memberi salam pada Kaisar Jingming dengan sikap wajar. 　　Meski masih kesal, Kaisar Jingming melunak mengingat menantu perempuannya sedang hamil: "Bangunlah dulu." 　　Janda Permaisuri melirik Kaisar Jingming dan menggeleng diam-diam. 　　Sang Kaisar sempurna dalam segala hal, hanya sifatnya yang terlalu baik sampai merusak wibawa kerajaan. 　　"Tahu kenapa Aku memanggil kalian berdua ke istana?" Tatapan Kaisar Jingming ke Yu Jin terasa jauh lebih tegas. 　　"Yu Jin" meski tahu tidak ada hubungannya dengan kasus penyelidikan, sengaja bertanya, "Apakah itu hal yang Ayah Kaisar sebutkan sebelumnya pada anak lelaki? Kebetulan anak sudah mendapat beberapa petunjuk dan ingin melapor pada Ayah." 　　Hati Kaisar Jingming langsung berdebar kencang. 　　Ada petunjuk? 　　Bagaimanapun juga sudah banyak membantu Zhen Shicheng menangani kasus, bahkan Zhen Shicheng sendiri pernah memuji Lao Qi sebagai pekerja yang baik. Ternyata pujian Lao Zhen itu tulus... 　　"Kaisar?" Melihat Kaisar Jingming terdiam setelah mendengar ucapan samar Yu Jin, Janda Permaisuri tak tahan lagi mengingatkan. 　　Kaisar Jingming hampir tak bisa duduk tenang. 　　"Ibu, Aku ingin--" 　　Janda Permaisuri melirik Kaisar Jingming, berkata datar, "Bukankah Kaisar memanggil pasangan Pangeran Yan ke istana untuk dimintai penjelasan?" 　　Apakah maksud Kaisar ini tidak berniat menindaklanjuti? 　　Janda Permaisuri merasa bingung sekaligus marah, sangat ingin membuka otak Kaisar Jingming untuk melihat isi pikirannya. 　　Jiang Si merasa geli, diam-diam menyentuh lengan Yu Jin dengan tangan. 　　A Jin terlalu licik. Tahu hal yang paling diperhatikan Kaisar adalah kasus itu, langsung mengangkat topik itu. Dengan begitu meski mereka punya kesalahan, Kaisar tak punya hati untuk menindak. 　　Kaisar Jingming memang sudah kehilangan niat untuk menindak, atau setidaknya bukan saat ini. 　　Seorang kerabat jauh yang memakai nama Permaisuri Yan untuk berbuat onar, mana bisa dibandingkan dengan pentingnya menemukan dalang yang berulang kali membuat kekacauan di istana. 　　Dengan kehadiran Janda Permaisuri, Kaisar Jingming harus menyelesaikan urusan depan mata dulu dengan sabar, namun suasana hatinya sudah berbeda. 　　Yu Jin tidak membuka mulut saat Kaisar Jingming masih marah, berniat memberikan pelajaran pada pasangan muda ini. Kini bahkan kemarahannya terkesan setengah hati. 　　"Apakah istri Lao Qi memiliki seorang bibi sepupu yang tinggal di kediamanan kalian?" 　　Pertanyaan Kaisar Jingming ini mengejutkan keduanya. 　　Dalam perjalanan menuju istana kekaisaran, mereka telah memikirkan banyak kemungkinan, tak pernah menyangka akan terkait dengan Bibi Dou. 　　Kaisar Jingming menanyakan pada Yu Jin. Melihatnya diam, alutnya berkerut: "Mengapa tidak bicara?" 　　Brengsek ini, cepat selesaikan urusan kacau ini, masih ada urusan penting yang harus didiskusikan. 　　Jiang Si bicara sebelum Yu Jin: "Saat ini bibi sepupu menantu memang tinggal di istana pangeran." 　　Putri Rongyang menundukkan mata dengan senyum dingin. 　　Permaisuri Yan yang mengakui akan mempermudah segalanya. 　　Benar saja, alut Kaisar Jingming semakin berkerut, suaranya berat: "Apakah bibi sepupu istri Lao Qi ini masih memiliki seorang kakak laki-laki?" 　　Jiang Si mulai menangkap maksudnya, langsung bertanya: "Mungkinkah paman dari pihak menantu yang bermasalah?" 　　Cara bertanya Jiang Si yang langsung ke inti masalah membuat Kaisar Jingming terkesan. 　　Dia sedang terburu-buru. 　　"Pamanmu itu hari ini hampir menabrak Janda Permaisuri." 　　Jiang Si spontan menoleh ke arah Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri berkata datar: "Menabrak hamba bukan masalah besar. Yang penting, apakah Permaisuri Yan tahu bahwa pamanmu hari ini membunuh seseorang di jalanan?" 　　Mendengar penjelasan Janda Permaisuri tentang kejadian di jalan, alut Jiang Si berkerut halus. 　　Sebelumnya dia pernah berkata, beberapa kejadian yang berbarengan mungkin terlihat kebetulan, tapi jika ditelusuri lebih dalam, pasti ada hubungan yang tak terhindarkan. 　　Sangat tidak biasa Janda Permaisuri keluar istana, kebetulan langsung menemui Paman Dou memaksa wanita baik-baik bunuh diri. Ini terlalu kebetulan. 　　Apalagi yang menemani Janda Permaisuri keluar istana adalah Putri Rongyang... 　　Jiang Si menatap Putri Rongyang. 　　Putri Rongyang balas menatap, senyum dingin mengambang di sudut bibirnya. 　　Saat ulang tahun Ibu Suri Xian dulu, hampir terjadi pertengkaran terbuka antara mereka. Kini tentu tak perlu lagi bersikap munafik. 　　Dia sengaja ingin perempuan hina ini tahu akibat menghina dirinya, agar kelak bisa berperilaku baik dengan ekor terkepit. 　　Putri Rongyang tahu mustahil menjatuhkan Jiang Si lewat kasus ini, tapi cukup untuk memberi pelajaran. 　　Terhadap reaksi Putri Rongyang, Jiang Si justru merasa sangat memahaminya. 　　Seandainya dirinya yang bertindak, mungkin juga akan melakukan hal serupa. 　　Membalas dendam tapi musuh tak menyadarinya, bagai memakai baju mewah di malam hari, tetap tak memuaskan. 　　Jiang Si membungkuk hormat pada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, Paman Dou adalah keponakan nenek menantu. Tahun lalu datang ke ibu kota, hanya menginap satu malam di keluarga Bo lalu pindah. Sejak itu menantu tak pernah bertemu lagi." 　　Sebelum Kaisar Jingming bicara, Janda Permaisuri berkata datar: "Kalau begitu, ini tak ada hubungannya denganmu?" 　　Jiang Si menggeleng, ekspresi serius: "Tidak. Ini ada hubungannya dengan saya." 　　Begitu dia berkata, semua orang kecuali Yu Jin terlihat terkejut. 　　Apa Permaisuri Yan ini sudah linglung? 　　“Paman Dou memang memiliki hubungan kekerabatan dengan saya, ini fakta yang tak terbantahkan. Kelancangan Paman Dou mungkin karena status menantu perempuan saya sebagai permaisuri memberinya keberanian. Saya sama sekali tidak mengetahui perbuatan semena-mena Paman Dou yang menggunakan nama saya, ini merupakan kelalaian pengawasan. Saya mohon ampun pada Ayah Kaisar dan bersedia menerima hukuman.” 　　Setelah mengucapkan itu, Jiang Si berlutut dalam diam. 　　Melihat hal tersebut, Yu Jin ikut berlutut: "Ayah Kaisar, status A Si sebagai permaisuri adalah pemberian anak lelaki Ayah. Jika ada yang menyalahgunakan statusnya, semuanya adalah tanggung jawab anak lelaki Ayah. Mohon hukumlah saya saja." 　　Sudut mulut Kaisar Jingming berkedut halus. 　　Jika dipikir-pikir, bukankah dirinya sendiri yang memaksakan pernikahan ini meski ditentang Janda Permaisuri dan Ibu Suri Xian, bahkan memberikan tongkat giok? Apakah berarti dia juga bertanggung jawab atas insiden ini? 　　"Istri Lao Qi, kau sedang hamil, bangunlah dulu." 　　Jiang Si tetap tak bergerak: "Saya tak bisa menggunakan kehamilan sebagai jimat pelindung. Kesalahan yang memang milik saya takkan saya hindari. Mohon Ayah Kaisar menghukum." 　　Kaisar Jingming mengusap hidungnya dengan kesal. 　　Semua alasan sudah diucapkan si gadis ini, apa lagi yang bisa dia katakan? 500.BAB 499 Meminjam Kekuatan 　　BAB 499 Meminjam Kekuatan 　　Awalnya Kaisar Jingming ingin menegur Jiang Si, misalnya tentang kewajiban menantu keluarga kerajaan untuk berkata-hati-hati dan tidak semena-mena karena sedang hamil. 　　Tapi si gadis sudah lebih dulu mengakui kesalahan dan tulus meminta hukuman, masih apa lagi yang bisa diomelkan? 　　Harus diakui, menantu perempuan ini cukup bijaksana. 　　Kaisar Jingming tiba-tiba teringat pada Permaisuri Lu. 　　Tak lama setelah menikahi Pangeran Lu, Permaisuri Lu hamil. Dengan bangga, Pangeran Lu pun tidur dengan dayang. Konon, Permaisuri Lu menghantamkan mangkuk nasi ke wajah Pangeran Lu. 　　Tentu, ia tak yakin kebenaran cerita ini. Tapi ia sangat ingat betul Permaisuri Lu yang datang masuk istana mengadu dengan perut membesar. 　　Sebagai seorang pria, Kaisar Jingming sebenarnya tak menganggap tidur dengan dayang saat istri hamil sebagai masalah besar. Meski sempat memarahi Lao Wu, di hati ia merasa Permaisuri Lu kurang bijaksana. 　　Dibandingkan, Istri Lao Qi jauh lebih rasional. Setidaknya jika Lao Qi tak bisa menahan diri dan tidur dengan pelayan, pastinya tak akan ada mangkuk nasi dihantamkan ke wajah suami. 　　Kaisar Jingming mengesampingkan kekhawatiran tersembunyinya, berkata datar: "Bangunlah dulu." 　　Yu Jin menarik tangan Jiang Si untuk berdiri. 　　Cukup berlutut sejenak sebagai formalitas. Ia tak tega membiarkan A Si dan janinnya lelah. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin: "Aku ingin mendengar rencanamu dalam hal ini." 　　Satu alis Janda Permaisuri bergerak. 　　Sang Kaisar tak marah-marah seperti dugaan sebelumnya. Ini diluar perkiraannya. 　　Namun—dengan sorot mata samping ke arah Jiang Si, Janda Permaisuri mulai menyadari sesuatu. 　　Berbeda dengan kesan kurang ajar yang sebelumnya, si gadis ini ternyata cukup cerdik. 　　Strategi "mundur untuk maju"-nya sungguh brilian. 　　Yu Jin tanpa ragu berkata: "Bahkan jika anak lelaki sendiri yang melakukan kejahatan seperti ini, tetap harus menerima hukuman. Apalagi ini sepupu jauh A Si. Dia menggoda wanita baik-baik di jalanan sampai memicu kematian, biarkan pihak berwenang yang menentukan pasal hukumnya. Setelah itu, penjara ya penjara, hukuman ya hukuman. Anak dan A Si tak akan ikut campur." 　　"Cuma begitu?" Kaisar Jingming agak kecewa. 　　Yang dia pedulikan bukan hanya menghukum penjahat, tapi juga reputasi istri Lao Qi. 　　*Batuk* Lagian Lao Qi seorang pangeran, reputasi sedikit ternoda tidak masalah... 　　Wajah Yu Jin berubah serius, matanya berkilat dingin: "Tentu tidak bisa selesai begini saja. Reputasi anak dan A Si yang dirusak harus dipulihkan." 　　Kaisar Jingming langsung tertarik: "Bagaimana caranya?" 　　Janda Permaisuri menyentak sudut bibirnya, batuk halus. 　　Bukannya Kaisar mau menegur? Tak peduli teguran ringan atau keras, setidaknya harus ada upaya! 　　Kaisar Jingming membersihkan tenggorokannya: "Kau tahu tidak melindungi penjahat itu sikap bijak. Maka tugas memulihkan reputasimu dan istrimu kuserahkan padamu. Dalam tiga hari, Aku ingin melihat perubahan opini rakyat. Jika gagal—" 　　"Jika gagal, anak akan menyerahkan kepala." Yu Jin menyambut tegas. 　　Kaisar Jingming tertegun: "Tidak perlu sampai..." 　　Menyerahkan kepala? Hantu apa lagi ini? 　　Yu Jin berkata khidmat: "Biasanya sumpah militer memang seperti ini." 　　Kaisar Jingming tak tahan lagi menunjukkan mata putih: "Ini bukan kamp militer, buat apa sumpah militer!" 　　Mencegah mulut rakyat lebih sulit daripada membendung sungai. Begitu reputasi buruk tersebar, sangat sulit untuk memperbaikinya. 　　Jika gagal memenuhi tugas, hukuman utamanya adalah: dimarahi, tahanan rumah, denda, ditahan di Biro Urusan Kerajaan, turunkan gelar bangsawan... "Serahkan kepala" benar-benar tidak perlu digunakan, mana mungkin memenggal kepala anak sendiri hanya karena hal kecil seperti ini? 　　Kaisar Jingming memandang bolak-balik keduanya, dalam hati berpikir pasangan ini aneh, berebut minta dihukum. 　　Amarahnya sebelumnya karena mendengar kabar ini telah menghilang perlahan. 　　Ditegur keras oleh Kaisar Jingming, Yu Jin menunjukkan senyum polos: "Anak ini terbiasa sesaat." 　　Kaisar Jingming tertegun, melihat senyuman itu, hatinya tiba-tiba melunak. 　　Berbeda dengan para pangeran yang dibesarkan dalam kemewahan, anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di selatan. 　　Hingga sekarang ia masih ingat laporan pertempuran yang menyebutkan Pangeran Ketujuh lebih memilih mati daripada mundur setelah membunuh jenderal Nanlan, terkubur di tumpukan mayat, diselamatkan oleh seekor Anjing Besar yang menyeretnya keluar... 　　Mengingat semua ini, hati Kaisar Jingming semakin melunak. 　　Secara pribadi, ia memang merasa berhutang pada anak ini. 　　Yu Jin dikirim keluar istana sejak kecil karena dianggap membawa sial bagi Kaisar Jingming. Banyak yang mengira Kaisar tetap menyimpan rasa tidak suka, namun mereka salah menilai karakter sang Kaisar. 　　“Seorang kaisar yang masih memiliki belas kasihan pada bawahan dan rakyat, mana mungkin berhati dingin terhadap anaknya sendiri.” 　　Secara resmi, dari begitu banyak putra, hanya Lao Qi yang benar-benar pernah turun ke medan perang dengan bakat luar biasa. Di masa depan, negara yang luas ini pasti membutuhkan perlindungannya. 　　Kaisar menjaga altar leluhur, pangeran melindungi wilayah negara. Dengan demikian, tak perlu khawatir tentang kemantapan Dinasti Zhou. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin dalam-dalam sambil berkerut dahi: “Jangan lagi mengucapkan kata-kata sembrono di hadapan Aku. Aku memberimu tiga hari. Jika gagal, hukuman berat menantimu!” 　　“Anak mengerti.” Yu Jin menunduk patuh, sudut bibirnya melengkung naik. 　　Kaisar Jingming menoleh bertanya pada Janda Permaisuri: “Ibu, bagaimana pendapatmu?” 　　Janda Permaisuri mengerutkan sudut bibirnya. 　　Jika diteliti, hari ini Kaisar sama sekali tidak memberi hukuman pada pasangan Lao Qi! Namun Kaisar telah memberi batas waktu tiga hari, maka beliau tak boleh terlalu agresif. 　　Janda Permaisuri merasa tak puas, seperti baru saja mengayunkan tinju namun menghantam kapas. 　　“Wanita itu tewas tak berdosa, hanya meninggalkan adik lelaki kecil. Suaminya pun tak ada di rumah. Hamba merasa tak tenang...” 　　Yu Jin segera menyahut: “Nenek Kaisar, cucu bersedia mengadopsi anak itu. Akan kusekolahkan dia untuk belajar literatur dan bela diri, semoga kelak menjadi pilar negara kita Zhou.” 　　Janda Permaisuri menyipitkan matanya. 　　Gerak refleks bocah ini memang cepat. 　　Wajah Putri Rongyang berubah pucat. 　　"Kakak Kaisar terlalu lunak terhadap pasangan Pangeran Yan! Untung reputasi yang sudah rusak mustahil dipulihkan dalam waktu singkat. Aku ingin lihat bagaimana Pangeran Yan akan bertindak." 　　Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba Yu Jin menoleh ke arahnya. 　　Putri Rongyang merasa ngeri, tapi berusaha menyembunyikan ekspresinya. 　　"Ayah Kaisar, sebenarnya anak lelaki ini merasa heran." 　　"Heran apa?" Kaisar Jingming terdengar kesal. 　　Dia ingin segera menanyakan penyelidikan kasus ini. Kalau tidak, mengapa dia buru-buru menyelesaikan masalah ini? Kenapa Lao Qi malah membuat masalah baru? 　　"Menurut anak, sungguh kebetulan yang mencurigakan bahwa nenek Kaisar yang jarang keluar istana langsung bertemu Paman A Si berbuat kejahatan di jalanan." 　　Alis Kaisar Jingming terangkat, mulai menangkap maksud tertentu. 　　Janda Permaisuri berkata dingin: "Ini justru membuktikan orang itu sudah sering berbuat jahat, bukan pertama kalinya melakukan hal seperti ini." 　　Kaisar Jingming mengangguk pelan, merasa perkataan ibu suri masuk akal. 　　Yu Jin tersenyum: "Kalau nenek Kaisar dan Ayah Kaisar sepaham, mari perintahkan penyelidikan menyeluruh. Jika ditemukan kejahatan lain Paman Dou, bisa dihukum sekaligus." 　　Seandainya orang itu sering memakai nama A Si untuk berbuat jahat, pasti sudah terdengar kabarnya. Jika tebakannya benar, ini mungkin pertama kalinya si pelaku beraksi, pasti ada dalang di belakangnya. 　　Daripada begitu, lebih baik menggunakan Jinlinwei milik Kaisar untuk menyelidik secara terbuka. Meski tidak bisa membuktikan keterlibatan Putri Rongyang, setidaknya bisa menanamkan kecurigaan pada Ayah Kaisar. 501.BAB 500 Pedang Menunjuk Istana Cining 　　BAB 500 Pedang Menunjuk Istana Cining 　　Saat bertatapan dengan mata jernih Yu Jin, Kaisar Jingming mengangguk. 　　Lao Qi memang anak yang jujur. Kalau begitu, mari kita selidiki baik-baik. Kerabat yang bisa menjerat pasangan Lao Qi memang tidak boleh dimaafkan. 　　Putri Rongyang diam-diam mengatupkan giginya. 　　Meski orang dari istana putri yang menghasut pemuda nakal itu untuk menggoda wanita baik-baik tidak muncul, jika diselidiki lebih dalam dan Jinlinwei menemukan bahwa tindakannya bukan spontan tapi dihasut, ini akan menjadi masalah baginya. 　　Apalagi jika Kaisar tahu Permaisuri Yan bukan menjadi korban kerabat tapi dijebak, alih-alih dihukum, pasangan Pangeran Yan malah akan dikasihani. 　　Pasangan Pangeran Yan lebih sulit dihadapi dari yang dibayangkannya. Ke depannya dia harus lebih berhati-hati. 　　Putri Rongyang merasa kesal tapi hanya bisa menyaksikan Kaisar Jingming memberi perintah. 　　Janda Permaisuri tidak terlalu mempedulikan hal ini. 　　Preman jalanan menggoda wanita baik-baik? Kalau bukan karena kaitannya dengan pasangan Pangeran Yan, dia bahkan takkan mengangkat alis. 　　Kaisar Jingming berdiri: "Ibu, Ibu pasti lelah setelah berziarah. Hamba tidak akan mengganggu istirahat Ibu." 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Kaisar boleh melanjutkan urusan. Hamba tidak lelah, justru ingin mengajak Permaisuri Yan mengobrol." 　　Tata krama istana ketat. Menahan pangeran seperti Yu Jin yang sudah memiliki kediaman sendiri tidak pantas, tapi menahan anggota keluarga perempuan lebih mudah. 　　Kaisar Jingming dengan senang hati menerima usulan itu, wajahnya tetap tenang, "Kalau begitu biarlah istri Lao Qi menemani Ibu, kebetulan Ayah juga ingin menanyakan perkembangan studi Lao Qi, melihat apakah dia malas belakangan ini. Dengan begitu pasangan muda ini bisa pulang bersama." 　　Yu Jin memberikan kode mata kepada Jiang Si, lalu mengikuti Kaisar Jingming keluar dari Istana Cining. 　　Di luar Istana Cining, dinginnya menusuk tulang bagai es dan salju. 　　Sejak festival Dongzhi, salju tahun ini turun bertubi-tubi, seolah-olah lebih deras dari biasanya. 　　Kaisar Jingming menghela nafas, uap putih mengepul dari hidungnya, pemandangan di kejauhan pun diselimuti kabut tipis. 　　Yu Jin berjalan di samping Kaisar Jingming tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 　　Hal semacam itu tentu tak boleh disebut-sebut di tempat terbuka. 　　Kedua ayah dan anak ini mempercepat langkah mereka. 　　Pan Hai membuka pintu ruang studi kekaisaran, membantu Kaisar Jingming masuk. 　　Kaisar Jingming duduk, menerima teh panas yang disajikan Pan Hai lalu menyeruputnya, berkata pada Yu Jin: "Ceritakan apa petunjuk yang telah kau temukan." 　　Pan Hai melirik Yu Jin secepat kilat, lalu menundukkan kelopak matanya. 　　Apakah Pangeran Yan sudah menemukan petunjuk secepat ini? 　　Tapi waktu itu Pangeran Yan hanya sekilas melihat buku daftar nama yang dia susun, bahkan tak memanggil siapapun untuk diinterogasi. Jika duduk di istana pangeran saja bisa menemukan petunjuk tentang istana, bukankah itu berarti dirinya hanya makan gaji buta? 　　Keraguan yang mendalam muncul dalam hati Pan Hai terhadap pernyataan Yu Jin. 　　Yu Jin yang sudah mempersiapkan diri langsung menjawab: "Menurut analisis anak, pelakunya berada di dalam Istana Cining." 　　Wajah Kaisar Jingming langsung berubah muram, tangan menampar meja dengan keras: "Berani-beraninya!" 　　“Cangkir teh yang baru saja diletakkannya di samping tangan berguncang akibat tepukan, mengeluarkan bunyi ringan.” 　　Pan Hai tertegun kaku. 　　Selama ini dia selalu menganggap Pangeran Yan berani, tapi tak pernah menyangka keberaniannya sebesar ini. 　　"Brengsek! Janda Permaisuri bisa kauhina begitu saja?" Dibandingkan kemarahan di Istana Cining sebelumnya, kini Kaisar Jingming benar-benar murka. 　　Jangan-jangan anak ini kesal karena Janda Permaisuri menyinggung soal ziarah? 　　Yu Jin tampak gentar melihat reaksi kaisar, terbata-bata: "Bagaimana mungkin hamba berani menghina Nenek Kaisar? Hamba hanya menduga pelakunya bersembunyi di Istana Cining. Hamba khawatir si pelaku terlalu dekat dengan Nenek Kaisar, kalau sampai membahayakan beliau... Hamba memang ceroboh, seharusnya menunggu sampai ada buti konkret baru melapor." 　　Melihat Yu Jin mengatupkan mulutnya, Kaisar Jingming justru semakin gelisah. 　　Kekhawatiran Lao Qi memang beralasan. Bagaimana jika pelaku benar-benar di Istana Cining dan berniat jahat? 　　Kaisar Jingming tak lagi mempedulikan kesan menghina, bertanya: "Siapa pelakunya?" 　　Yu Jin melirik ke arah Pan Hai. 　　"Tak perlu melihat Pan Hai. Dia kasim yang jujur." 　　Yu Jin mengatupkan bibirnya. 　　Kasim kepala sekaligus Kepala Dongchang disebut jujur... Ya, Kaisar memang penguasa tertinggi. Semua ucapannya pasti benar. 　　“Putra tentu percaya pada Paman Pan. Saya bisa menebak orang itu dari ketidaktahuan, berkat buku daftar nama yang Paman Pan susun.” Yu Jin dengan lihai memberikan pujian kepada Pan Hai. 　　Pan Hai tentu menerima sanjungan itu, dalam hati berpikir Pangeran Yan memang luar biasa, jujur seperti dirinya. 　　Yu Jin mengeluarkan kertas terlipat dari lengan bajunya, membukanya dan menyerahkan kepada Kaisar Jingming: "Seharusnya orang ini." 　　Awalnya ia tidak berani berbicara begitu yakin, namun saat di Istana Cining, Jiang Si diam-diam menunjuk Dayang Duo sehingga memberinya keyakinan penuh. 　　Sudah lama ia berkata, dengan menelusuri proses dari hasil akhir, mudah dan tanpa risiko. 　　Pan Hai melirik kertas itu, melihat banyak nama dengan beberapa dilingkari, satu nama ditandai lingkaran merah menggunakan kuas. 　　Reaksi pertama Pan Hai bukan melihat nama itu, tapi terkagum-kagum: Pangeran Yan benar-benar memiliki ingatan fotografis! 　　Setelah kekaguman mereda, barulah ia membaca nama tersebut. 　　“Dayang Duo?” Kaisar Jingming tak memiliki kesan akan nama ini, lalu menoleh ke Pan Hai. 　　Meski sering mengunjungi Istana Cining, perhatiannya hanya tertuju pada 2-3 orang kepercayaan Janda Permaisuri, sepertinya tidak ada Dayang Duo. 　　Pan Hai yang mengenal Dayang Duo segera menjelaskan: “Dia bisa masuk ke kamar Janda Permaisuri, kadang menyampaikan pesan ke berbagai bagian istana belakang. Tapi orangnya terlalu polos, bukan yang paling dipercaya...” 　　Seorang dayang yang kadang menyampaikan pesan untuk Janda Permaisuri memang terlalu biasa, wajar jika Kaisar tidak ingat. 　　Sebenarnya, bukan hanya istana belakang yang hierarkis, para hamba yang bisa memasuki kamar nyonya rumah dari kalangan bangsawan tinggi pun dianggap cukup sukses. 　　Di kompleks belakang rumah, ada aturan tertentu tentang pelayan mana yang boleh masuk ke kamar tuan rumah. Jika nekat masuk sembarangan, akan dikenakan hukuman. 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin dengan sorot mata tajam: "Mengapa kau menganggap dialah orang itu?" 　　"Intuisi." Yu Jin segera menjawab. 　　Kaisar Jingming secara refleks mengerutkan kening. 　　Hanya dua kata itu tak bisa meyakinkannya. Di dunia ini, hanya Lao Zhen yang bisa meyakinkannya dengan kata "intuisi". 　　Hmph, bahkan anak lelakiku sendiri pun tak boleh! 　　Perlakuan tidak adil membuat Yu Jin mengusap hidungnya, lalu melanjutkan: "Tentu saja yang lebih utama adalah petunjuk." 　　Mendengar itu, Kaisar Jingming tak bisa menahan diri untuk duduk tegak. 　　Seandainya kau langsung menyebut petunjuk dari awal, tak perlu brengsek ini bertele-tele soal intuisi di hadapanku. 　　"Bicaralah." 　　"Anak lelaki baru-baru ini membelikan permaisuri sebuah toko kosmetik. Toko itu terletak di Jalan Pasar Barat." 　　Kaisar Jingming kedutan di sudut mulutnya. 　　Inikah pameran sayang pada istri? 　　Tahu Yu Jin takkan berbicara tanpa dasar, kesabaran untuk mendengarkan masih ia miliki: "Lanjutkan." 　　"Chen Meiren menggunakan cacing gaib untuk membahayakan Fuqing. Karena anak lelaki pernah tinggal lama di Perbatasan Selatan, tahu bahwa ilmu gaib marak di sana, maka menduga orang itu kemungkinan besar terkait dengan Suku Wu Miao dari Perbatasan Selatan." 　　"Apa hubungannya dengan toko kosmetik itu?" 　　“Tak ada kebetulan maka tak ada cerita. Ada sebuah toko kecil yang berada di satu jalan dengan toko kosmetik itu. Saat mengelola tokonya, Permaisuri secara tak sengaja mengetahui bahwa toko kecil tersebut dijalankan oleh kakek-cucu dari suku Wu Miao. Anak lelaki segera menyuruh orang mengawasi diam-diam. Hari ini, orang suruhan anak lelaki menemukan Dayang Duo pergi ke toko kecil itu...” 　　Wajah Kaisar Jingming tak bisa menahan perubahan ekspresi. 502. BAB 501 Cepat Lepas Tanggung Jawab 　　BAB 501 Cepat Lepas Tanggung Jawab 　　Secara emosional, Kaisar Jingming sama sekali tak ingin orang yang bersembunyi di istana dan membuat kekacauan ini memiliki hubungan sedikit pun dengan Janda Permaisuri. 　　Tapi Yu Jin menyebutkan orang Wu Miao, kebetulan Dayang Duo dari Istana Cining memanfaatkan kesempatan keluar istana untuk berhubungan dengan orang Wu Miao. Hal ini memaksanya untuk serius menanggapinya. 　　Masih ada satu pertanyaan yang harus diajukan Kaisar Jingming: "Lao Qi, bagaimana orang suruhanmu bisa mengenal Dayang Duo?" 　　Pertanyaan ini mengandung nuansa halus. Pan Hai melirik Yu Jin diam-diam. 　　Jika jawaban Pangeran Yan kurang tepat, bisa-bisa dia celaka. 　　Setelah menemani Kaisar Jingming selama bertahun-tahun, Pan Hai lebih memahami daripada siapapun posisi Janda Permaisuri di hati kaisar. 　　Janda Permaisuri adalah ibu angkat Kaisar Jingming, sekaligus penopang terbesar yang mendorongnya naik takhta. Setelah menjadi kaisar, beliau tetap tenang tinggal di istana belakang dan jarang banyak bicara. 　　Rasa hormat dan bakti Kaisar Jingming pada Janda Permaisuri datang dari lubuk hati yang paling dalam. 　　Orang suruhan Pangeran Yan bisa mengenal orang dari Istana Cining, apa maksudnya ini? 　　Pan Hai menggeleng diam-diam, merasa Pangeran Yan terlalu nekat dan polos. 　　Orang yang ada di depan mata ini bukan hanya ayah Pangeran Yan, tetapi juga penguasa sebuah negara. Ucapan "Di keluarga kekaisaran tak ada hubungan ayah dan anak" memang bukan sekadar omong kosong. Bahkan seorang kaisar yang welas asih seperti Kaisar ini tetap memiliki batasan yang tak boleh dilanggar. 　　Yu Jin sepertinya tidak berpikir panjang, dengan tersenyum menjawab: "Orang-orang anakmu tentu tidak mengenal Dayang Duo. Hanya saja kami terus memantau toko kecil itu, mengikuti siapa pun yang masuk dan terlihat mencurigakan. Saat orang kami mengikutinya, mereka mendengar orang lain memanggilnya Dayang Duo..." 　　Wajah Kaisar Jingming berubah muram: "Brengsek-brengsek! Hanya karena mendengar orang memanggil sebuah nama, kau berani membuat dugaan sembarangan sampai ke istana Janda Permaisuri?" 　　Yu Jin sama sekali tidak gentar oleh hardikan Kaisar Jingming, dengan wajah serius berkata: "Ayah Kaisar, Tuan Zhen pernah mengatakan pada anakmu: Saat sebuah kasus terjadi, untuk mencari kebenaran kita tak boleh mengabaikan sedikit pun kejanggalan, tak boleh membatasi dugaan apa pun, hanya dengan demikian kebenaran bisa kita raih. Yang dimaksud 'Jaring Surya Tak Terelakkan' bukan berarti Langit akan langsung menyambar pelaku kejahatan dengan petir, melainkan ada penyelikik yang cermat yang akan mengembalikan keadilan bagi korban..." 　　"Penyelikik apa, korban apa! Masih muda sudah cerewet seperti si tua!" Kaisar Jingming menghardik dengan mulut yang tak selaras dengan hatinya. 　　Apakah Zhen Shicheng benar pernah mengatakan itu pada anaknya? Sepertinya ada benarnya juga... 　　Yu Jin memulihkan ekspresi santainya dan tersenyum: "Bagaimanapun, anak percaya pada Tuan Zhen, jadi mengikuti perkataannya. Nama 'Dayang Duo' diketahui oleh saya saat menyelidiki orang yang menyembunyikan diri dan membuat onar di istana. Kebetulan ada orang seperti itu di istana, Ayah Kaisar, bukankah kita tidak boleh melewatkan petunjuk ini?" 　　Saat itu, Zhen Shicheng yang sedang minum teh di rumah bersin keras. 　　"Apakah Tuan masuk angin?" tanya Nyonya Zhen dengan penuh perhatian. 　　Zhen Shicheng mengelap air teh yang menciprat di kumisnya dengan saputangan: "Tidak masuk angin, baik-baik saja." 　　Dasar, bajingan mana yang melemparkan kesalahan padanya? 　　Kaisar Jingming juga bergumam dalam hati: Bocah nakal ini sangat menghormati Lao Zhen, mungkin bahkan tidak punya rasa seperti ini pada ayah kandungnya sendiri... 　　Setelah bergumam, dia bertanya urusan resmi: "Bagaimana rencanamu mengejar petunjuk ini?" 　　"Tentu saja menyelidiki Dayang Duo dengan seksama, seperti bagaimana dia masuk istana, keadaan sebelum masuk istana..." Yu Jin mengangguk ringan pada Pan Hai, "Tapi ini harus merepotkan Paman Pan, saya tidak nyaman melakukan penyelidikan sendiri." 　　Pan Hai menahan dorongan untuk mengangguk, memandang Kaisar Jingming. 　　Wajah Kaisar Jingming muram: "Penyelidikan harus dilakukan, tapi sebelum ada buti konkret, Janda Permaisuri tidak boleh diganggu." 　　Pan Hai segera menyetujui. 　　"Ayah Kaisar, anak akan pulang dulu." 　　"Pulanglah." Terkait Janda Permaisuri, suasana hati Kaisar Jingming tidak baik, jawabnya datar. 　　Yu Jin tidak bergerak. 　　Kaisar Jingming meliriknya: "Kenapa belum pergi?" 　　Yu Jin tertawa kaku: "Bukankah Ayah menyuruh anak lelaki pulang bersama A Si?" 　　Kaisar Jingming mengernyit, memerintah Pan Hai: "Suruh orang ke Istana Cining melihat-lihat. Janda Permaisuri sudah sepuh perlu istirahat baik-baik, Permaisuri Yan tak usah ditahan lama-lama." 　　Di Istana Cining, tanpa kehadiran Kaisar Jingming dan Yu Jin, suara Janda Permaisuri menjadi dingin saat menegur Jiang Si: "Permaisuri Yan, terlepas dari apakah kau tahu atau tidak tentang kejadian hari ini, membiarkan kerabat memanfaatkan namamu untuk berbuat onar adalah kesalahanmu." 　　Jiang Si tentu tak bodoh berdebat dengan Janda Permaisuri, dengan patuh menjawab: "Cucu menantu mengerti, semua ini salah cucu menantu." 　　Putri Rongyang yang duduk di samping menyindir dingin: "Sikap Permaisuri Yan memang baik." 　　Di depanku kemarin lancar mulut mengatai? Si perempuan hina ini pura-pura manis. 　　Jiang Si tersenyum halus: "Perkataan Bibi membuat saya malu. Kesalahan yang memang menjadi tanggung jawabku, takkan kuhindari. Ini prinsip hidup saya." 　　"Orangnya sudah dibunuh paman jauhmu, bagaimana kau bertanggung jawab? Jangan-jangan janji tak lari dari tanggung jawab cuma omong kosong belaka?" 　　Jiang Si memandang Putri Rongyang dengan ekspresi heran: "Bibi juga bilang orang itu dibunuh paman jauhku, hukumannya tentu diserahkan pada keputusan kantor kabupaten. Sedangkan saya dan Pangeran tentu bukan sekadar omong, bukankah Pangeran sudah berjanji di hadapan Ayah Kaisar akan membesarkan adik laki-laki yatim piatu itu? Apakah Bibi tidak mendengarnya? Jika Bibi masih merasa kurang, jangan-jangan ingin saya ganti nyawa?" 　　Wajah Putri Rongyang menjadi muram: "Kau berani berkata seperti itu——" 　　“Cukup.” Janda Permaisuri tak sabar memotong pembicaraan mereka, “Rongyang, saat ini kau sebaiknya mengurangi omonganmu.” 　　Putri Rongyang mengatupkan bibirnya, tak bersuara lagi. 　　Janda Permaisuri kembali memandang Jiang Si, matanya menunjukkan ketidaksetujuan: “Permaisuri Yan, Rongyang adalah seniormu. Janganlah bicara dengan begitu tajam.” 　　Jiang Si menundukkan pandangan: “Cucu menantu mengerti.” 　　Putri Rongyang sedikit melengkungkan bibirnya. 　　Hal yang paling tidak disukai Janda Permaisuri adalah orang yang tak tahu tata krama. Selama dia masih ada, Permaisuri Yan jangan mimpi untuk merebut hati Janda Permaisuri di kemudian hari. 　　Sorot mata Jiang Si menyapu sekilas ke arah Putri Rongyang, hatinya menyimpan kecaman dingin. 　　Tipe orang seperti Putri Rongyang ini, isi kepalanya hanya menyenangkan hati Janda Permaisuri belaka. 　　“Janda Permaisuri, Kaisar memerintahkan agar Permaisuri Yan segera meninggalkan istana.” Seorang pelayan istana masuk melapor. 　　Janda Permaisuri tersedak sejenak. 　　Awalnya dia ingin memberi lebih banyak teguran pada Permaisuri Yan. Ternyata Kaisar yang tak sabar—tidak, yang sebenarnya tak sabar pasti Pangeran Yan. 　　Apakah dia khawatir istrinya akan dipermalukan? 　　Janda Permaisuri sangat paham lika-liku dibalik semua ini. Dia menoleh memandang Jiang Si, sorot matanya semakin dalam. 　　Dulu, Kaisar dan Permaisuri Pertama juga mesra seperti ini... 　　Sorot mata Janda Permaisuri mendingin. Dia mengusir pikiran itu lalu mengangguk pada Jiang Si: “Pergilah. Hamba tidak akan menahanmu lagi.” 　　“Semoga Nenek Kaisar beristirahat dengan nyaman. Cucu menantu mohon pamit.” Jiang Si memberi hormat dengan anggun. 　　Putri Rongyang ikut berdiri: “Ibu, hamba juga tidak akan mengganggu lagi. Perjalanan pulang cukup melelahkan, silahkan Ibu beristirahat dengan tenang.” 　　Keduanya keluar dari Istana Cining bersama-sama. 　　"Bagaimana Permaisuri Yan berencana membersihkan nama baikmu?" Putri Rongyang bertanya dengan suara rendah, matanya berkilat penuh kemenangan. 　　Jiang Si tersenyum: "Bibi sebaiknya memikirkan bagaimana membela diri jika Jinlinwei menyelidiki sampai ke kepala Bibi?" 　　Mata Putri Rongyang melebar, bibirnya terkunci rapat: "Apa hubungannya denganku?" 　　"Berani berbuat tapi tak berani mengaku, ini tidak seperti gaya Bibi. Bibi ingat, tidak membalas budi adalah tidak sopan." Setelah berkata demikian, Jiang Si pergi sambil mengibaskan lengan bajunya. 　　Teringat sebelumnya ada pembaca yang menyebutkan Dayang Duo belum pernah melihat Imam Suci, lalu mengatakan pengenalan terhadap tokoh utama sebagai bug. Segera di bab berikutnya dijelaskan alasan pengenalan tersebut. Ingin mengatakan kepada yang terkasih, ketika menemukan plot yang dianggap bermasalah atau foreshadowing yang terasa tidak berguna, mohon bersabar untuk membaca lebih lanjut. 503.BAB 502 Salju Turun 　　BAB 502 Salju Turun 　　Yu Jin menunggu di luar tembok kota dalam. Dari kejauhan melihat sosok berbaju jubah merah berbulu rubah salju mendekat, sudut bibirnya tak sadar merekah senyum, lalu bergegas menyambut. 　　Jiang Si mendekat, tersenyum manis padanya: "Aku sudah menduga kau akan lebih cepat dariku." 　　Yu Jin melirik dayang istana, lalu menggenggam tangan Jiang Si: "Ayo pergi." 　　Keduanya berjalan bergandengan tangan. 　　Dayang yang mengikuti dari belakang berbalik menuju Istana Cining, dalam hati berdecak: Pangeran Yan dan Permaisuri benar-benar mesra, pantas Permaisuri Yan tidak mau menahan diri di hadapan Putri Rongyang. 　　Pertarungan kata-kata antara Jiang Si dan Putri Rongyang meski tak terdengar oleh dayang istana, namun ketegangan di antara mereka seperti pedang terhunus dan busur yang ditarik tetap terasa. 　　Seorang dayang tak tahan berbisik pada rekannya yang mengantar Jiang Si: "Lihatlah Permaisuri Qi, bukan saja tak berani melawan Putri Rongyang, setiap kali datang langkahnya seperti diukur penggaris, penuh kehati-hatian sampai ke tulang sumsum." 　　Kedua dayang saling memandang, entah mengapa rasa iri mereka pada Permaisuri Qi tiba-tiba sirna. 　　Kabarnya, setelah hamil Permaisuri Qi malah aktif mencari empat selir baru untuk Pangeran Qi... 　　Di dalam kereta kuda saat pulang, Yu Jin bertanya pada Jiang Si: "Apakah Janda Permaisuri menyulitkanmu?" 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta, tersenyum: "Orang sehalus Janda Permaisuri paling-paling hanya mencubitku dengan kata-kata. Kulit wajahku tebal, serangan verbal apapun bisa kutahan." 　　Yu Jin terkekeh, mengusap lembut pipinya: "Apa yang kau bicarakan ini." 　　Jiang Si mendekat, mendengar detak jantung mantap dari dada pria itu, hatinya dipenuhi ketenangan. 　　Yu Jin membahas masalah Dayang Duo: "Tarik saja pasukan kita dari kakek-nenek Suku Wu Miao. Ayah Kaisar pasti segera mengirim penyelidik, kita tak perlu ikut campur." 　　Jiang Si ragu sejenak lalu mengangguk: "Kau bilang di hadapan Ayah Kaisar bisa memulihkan reputasi yang dirusak Paman Dou dalam tiga hari. Sudah ada rencana?" 　　“Kau lihat bagaimana ini?” Yu Jin mendekat ke telinga Jiang Si, berbisik beberapa patah kata. 　　Di dalam ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming mengetuk meja dengan gelisah: "Pan Hai, panggil Han Ran kemari." 　　Saat Han Ran memasuki ruang studi kekaisaran, bulu kuduknya meremang melihat ekspresi hampa sang Kaisar. 　　Sejak mengetahui Sang Kaisar memakai tudung hijau, ia terus diliputi kekhawatiran akan dibungkam – sungguh kehidupan yang sulit! 　　Memandang komandan Jinlinwei yang terlihat hormat ini, tiba-tiba kemarahan menyembul di hati Kaisar Jingming. 　　Menurutnya dulu Han Ran tak pernah sesopan ini... Apakah ini bentuk belas kasihan terselubung? 　　Suasana canggung tercipta saat kedua penguasa dan bawahan ini masing-masing menyimpan pikiran. 　　Pan Hai menyampaikan kode mata diam-diam, heran melihat Han Ran yang biasanya licik kini terlihat bodoh. 　　Oh tentu, pasti karena trauma menyaksikan peristiwa tudung hijau Kaisar yang masih membekas. 　　Bodoh sekali! Seharusnya semakin bersikap biasa saja, membuat Kaisar yakin kau sudah melupakan kejadian itu. 　　Han Ran membalas pandang Pan Hai sambil bergumam dalam hati: Apa kau tahu? Manusia tak berakar... 　　Pan Hai menggulung lengan bajunya. 　　Andai bukan karena kehadiran Kaisar, pasti sudah ia hajar si Han ini! 　　"Han Ran, di Jalan Pasar Barat ada kedai milik suku Wu Miao. Aku ingin tahu situasi mereka, tapi jangan sampai membuat ular berbisa kabur." 　　Mendengar perintah resmi Kaisar, Han Ran segera membungkuk mengiyakan. 　　“Selain itu, selidiki juga urusan paman sepupu Permaisuri Yan. Lihat kejahatan apa lagi yang pernah dilakukannya.” 　　Han Ran mengiyakan sekali lagi. 　　“Kau boleh pergi.” 　　Setelah Han Ran pergi, Kaisar Jingming menatap Pan Hai: “Menurutmu, apakah petunjuk yang ditemukan Pangeran Yan bisa dipercaya?” 　　Pan Hai ragu sejenak, lalu berkata: “Hamba rasa perkataan Pangeran Yan ada benarnya.” 　　Dalam hati ia menghela nafas: Tampaknya Kaisar sampai sekarang masih tidak ingin melihat orang yang membuat onar itu terkait dengan Janda Permaisuri. 　　Namun sebagai orang yang telah mendampingi Kaisar bertahun-tahun dan selalu mengutamakan kepentingan Kaisar, ia tidak boleh membiarkan urusan penting terbengkalai hanya karena memahami preferensi pribadi Kaisar. 　　Orang itu terlalu berbahaya. Membujuk Selir Yang untuk berselingkuh dengan Putra Mahkota merupakan pukulan ganda yang kejam bagi Kaisar. 　　“Kalau begitu selidikilah, tapi jangan membuat ular berbisa kabur. Laporkan dulu hasil penyelidikanmu padaku.” 　　“Da.” 　　Kaisar Jingming tidak ingin melanjutkan topik yang membuatnya muram, lalu beralih ke hal lain: “Menurutmu, cara apa yang akan digunakan Pangeran Yan untuk memulihkan reputasinya yang rusak?” 　　Pan Hai tampak bingung: “Hamba tidak bisa membayangkannya.” 　　“Aku juga tidak tahu.” Kaisar Jingming tersenyum. 　　Mari kita tunggu saja, ini juga akan menambah hiburan baginya. 　　Jiang Si dan Yu Jin kembali ke Kediaman Pangeran Yan. Waktu sudah cukup sore. Yu Jin awalnya ingin langsung menunggu waktu makan, tapi diusir oleh Jiang Si. 　　“Aku ingin berbicara dulu dengan Bibi Dou.” 　　Jika bukan karena keharmonisan yang terjalin belakangan ini, dengan sifat aslinya Jiang Si malas melakukan hal yang dianggapnya tidak perlu ini. 　　“Bahkan jika Kakak Kedua yang melakukan perbuatan brengsek seperti ini, saya rasa dia harus mendekam di penjara beberapa tahun, apalagi seorang kerabat jauh.” 　　Setelah mengalami kejadian kehidupan sebelumnya, dia sudah belajar untuk tidak mempedulikan orang yang tidak layak diperhatikan. 　　“Baiklah, kebetulan saya perlu mengurus hal itu.” Yu Jin akhirnya pergi. 　　Tak lama kemudian, A Qiao melapor: “Tuanku, Bibi Dou sudah tiba.” 　　Dou Shuwan masuk ke dalam, melepas mantel tebalnya dan mengibaskan salju sebelum menyerahkannya ke dayang di pintu, lalu berjalan masuk. 　　“Di luar turun salju lagi? Silakan duduk, Bibi.” Jiang Si melirik ke jendela. 　　Kasa jendela tertutup rapat, pemandangan luar tak terlihat jelas. 　　Musim dingin memang punya kekurangan ini, tidak mungkin membiarkan jendela terbuka lebar dari pagi hingga malam. 　　Dou Shuwan duduk sambil tersenyum, “Iya, tiba-tiba turun salju lagi.” 　　Setelah berkata begitu, dia diam. 　　Dengan kecerdasannya, Dou Shuwan jelas merasakan keanehan dari panggilan Jiang Si di waktu seperti ini. 　　Jiang Si menyukai kepintaran Dou Shuwan yang seperti ini. 　　Berbicara dengan orang pintar tak perlu banyak basa-basi. 　　“Apakah Bibi masih berhubungan dengan Paman?” 　　Dou Shuwan menatap Jiang Si, seluruh tubuhnya sesaat menegang. 　　Jangan-jangan kakaknya berbuat nakal? 　　Sebelum pikiran ini selesai, dia mendengar Jiang Si berkata: “Paman terlibat masalah.” 　　Alis Dou Shuwan melengkung tajam, “Dia kenapa?” 　　Jiang Si menjelaskan rangkaian peristiwa secara singkat, lalu menatap Dou Shuwan: "Bibi sepupu punya pendapat apa, bisa bicara pada saya." 　　Wajah Dou Shuwan sudah memerah karena malu. Saat membuka mulut, perasaan terdzalimi membanjiri hatinya hingga sudut matanya memerah. 　　Ingin hidup dengan baik, hidup layaknya manusia biasa, mengapa begitu sulit! 　　Di keluarga Bo, orang-orang menganggap Nona Keempat galak dan sulit diajak bergaul, tapi baginya justru tak ada yang lebih nyaman daripada bersama Nona Keempat. 　　Tak perlu terus mengalah atau berhitung untung rugi. Sebaliknya, semakin sederhana, hubungan mereka justru semakin nyaman dan menyenangkan. 　　Mengapa tak bisa membiarkannya menikmati hidup layak manusia beberapa hari saja? 　　Jiang Si masih menunggu jawaban Dou Shuwan. 　　Dia bukan orang baik yang sembarangan. Jika Dou Shuwan nekat melindungi kakak laki-laki bajingan itu, dia bisa memaklumi tapi akan menjaga jarak. Mengurus pernikahan Dou Shuwan dengan pria terpercaya sudah merupakan kebaikan terakhir. 　　Orang seperti Paman Dou ibarat lumpur busuk. Berharap mereka berubah mustahil. Terlibat dengannya hanya akan membuatmu terperosok dalam kubangan lumpur. 504.BAB 503 Penyelidikan Mendalam 　　BAB 503 Penyelidikan Mendalam 　　Dou Shuwan menunduk, setelah diam sejenak mengangkat wajah untuk menatap Jiang Si: "Saya hanya mohon nyawa kakak laki-laki diampuni. Sisanya terserah Permaisuri." 　　Kali ini jika dia memohon pengampunan untuk kakaknya sehingga lolos dari hukuman, itu justru akan merusaknya. 　　“Kakak mengira sudah punya sandaran, kelak akan semakin semena-mena dalam bertindak. Suatu hari pasti akan melakukan kejahatan yang pantas dipenggal.” 　　Mendengar jawaban Dou Shuwan, Jiang Si tersenyum: "Bibi sepupu tidak marah padaku sudah bagus." 　　Dou Shuwan tersenyum masam: "Kalau aku marah pada Permaisuri, berarti aku benar-benar bodoh. Permaisuri, tahun baru sudah dekat, lebih baik aku kembali ke Keluarga Bo untuk menemani bibi." 　　Kakak berani melakukan hal seperti ini, sampai menodai reputasi Pangeran dan Permaisuri. Mana mungkin aku masih berani tinggal di sini. 　　Jiang Si meraih tangan Dou Shuwan: "Kalau Bibi sepupu berkata begitu, berarti masih menyimpan kemarahan padaku." 　　Dou Shuwan buru-buru menyangkal. 　　"Kalau begitu tetaplah di sini. Sehari-hari Pangeran sibuk dengan urusannya, aku sendiri di istana besar ini juga kesepian." 　　Dou Shuwan mengangguk dengan wajah memerah. 　　Ia belum bisa sepenuhnya mengabaikan kepentingannya sendiri. Jika bukan keadaan terdesak, ia tak ingin kembali ke Keluarga Bo. 　　Yu Jin keesokan harinya pergi ke Kantor Zhenfu tempat Paman Dou ditahan. 　　Yang menyambut Yu Jin adalah seorang komandan Zhenfushi bawahan Han Ran. 　　Kedatangan Yu Jin membuat komandan Zhenfushi itu agak risau. 　　Jangan-jangan Pangeran Yan yang bodoh ini datang untuk membela preman itu? 　　Seharusnya tidak mungkin. Masalah ini sudah sampai ke telinga Kaisar dan Janda Permaisuri. Pangeran Yan pasti tidak sebodoh itu. 　　Tapi kalau Permaisuri Yan yang merajuk memohon, belum tentu... 　　"Menggoda wanita baik-baik di jalanan sampai membuatnya bunuh diri karena malu, menurut hukum Dinasti Zhou harus dijatuhi pasal apa?" 　　Zhenfushi berpikir sejenak lalu berkata: "Kesalahannya pantas dihukum buang." 　　Secara hukum pasal yang disebutkan memang berat, tapi kenyataannya hanya gelandangan tak berpengaruh yang benar-benar dibuang, sementara para bangsawan nakal tak ada yang menerima hukuman itu. 　　"Apakah dia masih punya kesalahan lain?" 　　Zhenfushi tertegun, semakin tak mengerti maksud kedatangan Yu Jin. 　　"Saat ini belum ditemukan bukti lebih lanjut." 　　"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelidikinya?" 　　Zhenfushi tiba-tiba merasa tekanan bertambah, menjawab: "Setidaknya dua hari." 　　Penyidikan menyeluruh tentang masa lalu preman itu adalah perintah langsung dari Komandan Han, tentu mereka tak berani main-main. 　　"Baik, dua hari lagi saya akan kembali." Yu Jin tak banyak bicara, setelah bertanya langsung berbalik pergi, meninggalkan Zhenfushi yang masih bingung. 　　Kedua hari itu pun segera berlalu. 　　Kaisar Jingming segera mendengarkan laporan Han Ran, tatapannya berat: "Berarti paman Permaisuri Yan selama di ibu kota tidak melakukan kejahatan besar?" 　　"Benar, setelah meninggalkan Dongping Bo Residence, meski pengangguran, dia tidak melakukan tindakan kriminal. Saat kehabisan uang, dia selalu meminta adiknya. Kali ini adalah pertama kalinya dia menggoda wanita baik-baik di jalan. Anak buah hamba menginterogasi dan menemukan ada yang memberinya 100 tael perak, menyuruhnya melakukan ini." 　　Kaisar Jingming mengangkat alis: "Menyuruhnya menggoda wanita baik-baik, apa tujuannya?" 　　"Menurut pengakuannya, orang itu bilang wanita tersebut merayu suami seorang istri utama, dan sang istri ingin membalas dendam. Tapi setelah anak buah hamba menyelidiki masa lalu wanita itu, tetangga semua memuji kelakuannya, tak satu pun yang menyebutnya sembrono..." 　　“Kalau dia orang yang sembrono, tentu tidak akan bunuh diri karena malu dan marah.” Kaisar Jingming berkata dingin. 　　Jadi jika paman dari istri Lao Qi itu tidak berbohong, berarti dia dimanfaatkan orang. 　　Tujuan orang itu sudah jelas, yakni menyerang pasangan Lao Qi. 　　Kaisar Jingming teringat ucapan Yu Jin di Istana Cining dua hari lalu: “Anak ini merasa terlalu kebetulan nenek Kaisar yang jarang keluar istana langsung bertemu paman A Si berbuat jahat di jalanan.” 　　Lao Qi benar, sebagian besar peristiwa di dunia ini sebenarnya bukan kebetulan. 　　Saat ini, amarah Kaisar Jingming akibat kejahatan kerabat Jiang Si sudah lenyap, yang tersisa hanya kekesalan. 　　Awan kelam di istana belum sirna, bahkan orang luar pun tak tenang. Siapa sebenarnya yang menjebak Lao Qi? 　　“Sudah ketahuan siapa yang menghasutnya?” 　　Han Ran menunduk: “Sampai saat ini belum.” 　　Jinlinwei memang terdengar mengerikan dan ditakuti, tapi mereka bukan dewa yang bisa menyelidiki segala hal secara detail. 　　Preman seperti Paman Dou sehari-hari bergaul dengan terlalu banyak orang, tidak seperti target tertentu yang sudah dalam pengawasan Jinlinwei. Mencari orang itu ibarat mencari jarum dalam jerami. 　　Kaisar Jingming paham situasi ini. Menahan kesal ia bertanya: “Masih belum ada gerakan dari Pangeran Yan?” 　　Si bocah itu bilang akan menyelesaikan masalah dalam tiga hari, sekarang tinggal satu hari lagi. 　　“Pangeran Yan pergi ke Kantor Nanzhen Fusi kemarin dulu, setelah itu tidak ada reaksi lagi.” Han Ran juga penasaran dengan metode apa yang akan digunakan Yu Jin untuk memulihkan reputasinya. 　　Seorang saudara jauh seorang permaisuri yang melakukan kejahatan, sebenarnya bukan hal yang mencolok. Namun karena mendapat perhatian Kaisar dan Janda Permaisuri, saat ini hampir semua bangsawan dan pejabat mengetahuinya. 　　Semua orang menunggu untuk melihat langkah Pangeran Yan selanjutnya. 　　Kaisar Jingming sedikit mengerutkan kening: "Toko kecil di Jalan Pasar Barat itu, sudah ada temuan apa?" 　　"Laporan Paduka, toko itu telah beroperasi selama lima belas tahun, memang dijalankan oleh sepasang kakek-nenek dari Suku Wu Miao. Setiap bulan Mei-Juni toko akan tutup sementara, saat buka pun sepi pengunjung. Mereka jarang berinteraksi dengan orang luar. Menurut laporan anak buah hamba, nenek tua dari Suku Wu Miao itu sepertinya menyadari adanya pengawasan. Apakah perlu kita amankan dulu..." 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Baik. Pan Hai, panggil Pangeran Yan untuk masuk istana." 　　Saat Yu Jin tiba, Pan Hai dan Han Ran masih berada di ruang studi kekaisaran. 　　Yu Jin memberi salam kepada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengangguk, langsung membuka topik: "Dua hari terakhir Pan Hai menyelidiki Dayang Duo. Dia memang pernah berhubungan dengan Chen Meiren. Beberapa kali Putri ke-14 sakit, Istana Cining mengirim Dayang Duo untuk menjenguk." 　　Selir Yang beberapa kali bertengkar dengannya setelah kematian tragis kakak laki-lakinya. Istana Cining mengirim Dayang Duo untuk menasihatinya agar berperilaku baik, namun karena hubungan Selir Yang dengan Putra Mahkota, mereka tidak bisa menjelaskan secara terbuka kepada Lao Qi. 　　Han Ran berdiri dengan menundukkan pandangan di samping, hati dipenuhi keheranan. 　　Awalnya dia mengira Kaisar memanggil Pangeran Yan ke istana untuk membahas cara menyelesaikan masalah paman Permaisuri Yan, tak menyangka Kaisar malah membicarakan rahasia istana dengan Pangeran Yan. 　　Tampaknya performa Pangeran Yan dalam jamuan keluarga itu benar-benar memenangkan hati Kaisar. 　　Yu Jin yang tak tahu kejutan yang dirasakan Komandan Pengawal Jinlin Han Ran atas tindakan Kaisar Jingming ini berkata: "Sebelum Dayang Duo muncul, anak lelaki sudah menduga orang ini berstatus tinggi dan punya kesempatan legal untuk mendekati Chen Meiren. Sekarang terbukti benar." 　　Di sini dia berhenti sejenak, bertanya pada Kaisar Jingming: "Apakah Paman Pan berhasil menyelidiki cara Dayang Duo masuk istana? Dari informasi sebelumnya, Dayang Duo masuk istana 15 tahun lalu di usia 20 tahun, sementara perekrutan dayang biasanya dibatasi usia 13-16 tahun." 　　Mendengar pertanyaan ini, wajah Kaisar Jingming berubah muram. Setelah lama terdiam, beliau berkata perlahan: "Dayang Duo masuk istana melalui hubungan dengan Putri Rongyang." 　　Terima kasih untuk Panni yang memberikan hadiah 10.000 koin, terima kasih untuk teman-teman pembaca yang memberikan vote dan hadiah. Mohon dukungan vote-nya! 505.BAB 504 Umpan 　　BAB 504 Umpan 　　Yu Jin dengan tepat menunjukkan ekspresi terkejut: "Apakah karena Bibi Rongyang masuk istana?" 　　Pan Hai sedikit menggerakkan alisnya. 　　Pangeran Yan berkata, "Penggunaan kata 'karena' olehmu sangat brilian." 　　Karena Mulia Putri Rongyang masuk istana, maka sang pelaku yang menimbulkan kekacauan ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan dengan Mulia Putri Rongyang. 　　Wajah Kaisar Jingming semakin muram. 　　Perekrutan staf istana memiliki tata krama yang baku. Rongyang melanggar aturan dengan menyelundupkan orang ke istana, sungguh telah menimbulkan banyak bekas masalah. 　　Rongyang ini, sejak dulu memang tak pernah bisa bersikap dewasa. 　　Kaisar Jingming sejak lama telah menyimpan ketidakpuasan terhadap beberapa tindakan Mulia Putri Rongyang. Namun karena sifatnya yang toleran, tidak ingin merusak hubungan persaudaraan, apalagi menyakiti hati Janda Permaisuri, selama ini beliau selalu menahan diri. 　　Tapi kini, akibat kelakuan semena-mena Mulia Putri Rongyang, bahkan Janda Permaisuri pun bisa menjadi korban. Hal ini tak bisa lagi ditolerir. 　　Kaisar Jingming berniat memberi pelajaran pada Mulia Putri Rongyang. Beliau bertanya pada Yu Jin: "Bukti saat ini hanya membuktikan Dayang Duo punya kesempatan berbuat jahat. Namun Chen Meiren sudah mati tanpa bisa dimintai kesaksian, tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman. Kau punya ide?" 　　Saat ini Yu Jin baru fokus pada Dayang Duo, kemudian menemukan bahwa Dayang Duo pernah kontak dengan Chen Meiren dan Selir Yang. Tapi hanya dengan bukti ini belum cukup membuat Kaisar Jingming yakin pelakunya adalah Dayang Duo. 　　Di istana belakang yang luas ini, seiring berjalannya waktu, banyak orang selain Dayang Duo yang pernah berinteraksi dengan Chen Meiren dan Selir Yang. 　　Yu Jin merenung sejenak, lalu berkata: "Bagaimana jika kita mencoba memancing ular keluar dari sarangnya?" 　　“Menggoda ular keluar dari sarang?” Kaisar Jingming mulai tertarik, “Maksudmu memberi kesempatan padanya untuk keluar istana, lalu melihat apakah dia akan kontak dengan orang-orang dari toko kecil itu?” 　　Yu Jin menggelengkan kepala: “Cara itu terlalu mencolok, mungkin akan menimbulkan kecurigaannya.” 　　Saat ini informasi dari Dayang Duo dan kakek-nenek dari Suku Wu Miao tidak konsisten. 　　Kakek-nenek dari Suku Wu Miao tahu Imam Suci telah tiba di ibu kota, namun karena masih ragu mereka mengirim surat ke Wu Miao untuk konfirmasi. Karena lama tidak mendapat balasan, barulah mereka menghubungi Dayang Duo di istana. 　　Dayang Duo memanfaatkan kesempatan Janda Permaisuri berziarah keluar istana untuk kontak dengan kakek-nenek Wu Miao. Setelah kembali ke istana, karena Yu Jin dan Jiang Si mengunjungi Istana Cining, Dayang Duo baru tersadar bahwa Imam Suci yang disebut Tetua Hua ternyata adalah Permaisuri Yan. 　　Yu Jin sama sekali tidak ingin memberi kesempatan Dayang Duo bertemu kembali dengan kakek-nenek Wu Miao, dengan alasan yang dikemukakannya secara jujur dan terhormat. 　　Mendengar alasan ini, Kaisar Jingming cukup setuju, lalu bersandar sambil bertanya: “Kalau begitu, jelaskan caramu menggoda ular keluar sarang.” 　　Yu Jin menatap Kaisar Jingming: “Apa Ayah Kaisar masih meragukan apakah orang itu benar-benar Dayang Duo?” 　　“Hmm.” Kaisar Jingming tidak menyangkal. 　　Yu Jin tersenyum: “Siapapun orangnya, apakah itu Dayang Duo atau bukan, jika melihat kesempatan untuk berbuat jahat, hampir pasti tidak akan menyia-nyiakannya. Mari kita ciptakan kesempatan seperti itu untuknya.” 　　Sorot mata Kaisar Jingming berkilat, ekspresinya menjadi serius. 　　Ia ingin mendengar ide Lao Qi. 　　"Orang itu sengaja menyasar wanita di istana belakang yang menyimpan dendam. Menurutku, kita bisa mencari orang yang sesuai untuk memancingnya keluar." 　　Mata Kaisar Jingming menyempit. 　　Orang yang sesuai? Apakah sebanyak itu wanita di istana belakangku yang menyimpan dendam? 　　Pan Hai menatap Yu Jin dalam-dalam, hati dipenuhi kepasrahan: "Perkataan Pangeran Yan ini benar-benar melukai hati Kaisar..." 　　Yu Jin mengamati ekspresi Kaisar Jingming sambil tersenyum: "Bagaimana pendapatmu tentang Putri ke-14?" 　　"Putri ke-14?" Wajah Kaisar langsung berubah masam, tak senang: "Jangan sembarangan! Adikmu yang keempat belas masih nona kecil, jangan libatkan dia dalam skema ini!" 　　Yu Jin tersenyum: "Paman Pan, bukankah Putri ke-14 lebih tua satu tahun dari Putri Kelima Belas? Sudah genap lima belas tahun, kan?" 　　Pan Hai melirik cepat ke arah Kaisar Jingming lalu mengangguk: "Yang Mulia tidak keliru, Putri ke-14 memang sudah genap lima belas tahun." 　　Pangeran Yan yang terlihat kasar ternyata paham betul permainan psikologi. Dengan bertanya usia Putri ke-14 sambil menyelipkan nama Putri Kelima Belas, efeknya jauh lebih ampuh dari ribuan kata bujukan. 　　Benar saja, Kaisar Jingming langsung teringat Putri Kelima Belas. 　　Putri Kelima Belas yang lebih muda dari sang kakak, kini telah wafat... 　　Kaisar Jingming memiliki lebih dari dua puluh putri. Mustahil beliau memiliki ikatan emosional dengan semuanya. Seperti Putri Kelima Belas, selama 14 tahun hidupnya, baginya tak lebih dari sebutan "seorang putri". 　　Namun setelah kematian tragis Putri Kelima Belas di hadapannya, citra gadis itu tiba-tiba menjadi sangat nyata dalam hati Kaisar. 　　Dia menjadi kenangan abadi yang tak pernah pudar dalam ingatan sang Kaisar. 　　“Pangeran Kelima Belas tewas, mati karena Ibu Selir Si Empat Belas. Meski Si Empat Belas tak bersalah, menggunakan dirinya untuk memancing keluar orang itu juga bisa dianggap meringankan dosa Ibu Selir.” 　　Setelah lama terdiam, Kaisar Jingming berkata datar: “Bicarakan rencana konkretmu.” 　　…… 　　Setelah berdiskusi, Kaisar Jingming meneguk tehnya: “Perjanjian tiga hari yang kau sebutkan, besok sudah jatuh tempo.” 　　Yu Jin tersenyum: “Ayah Kaisar khawatir anak lelaki ini gagal memenuhinya?” 　　Wajah Kaisar Jingming berkerut: “Aku hanya bertanya sembarangan.” 　　Siapa yang peduli apakah bocah nakal ini bisa menyelesaikan atau tidak, dasar anak kurang ajar yang suka berasumsi. 　　“Anak lelaki ini akan mengatur semuanya setelah keluar istana.” Yu Jin menunjukkan senyum lebar pada Han Ran, “Harap Komandan Han bersedia bekerja sama nanti.” 　　Di hadapan Kaisar Jingming, apa lagi yang bisa diucapkan Han Ran? Ia segera menyetujui. 　　Setelah Yu Jin pergi, Kaisar Jingming berjalan menuju Istana Kuning. 　　“Nyonya, Kaisar datang.” Dayang istana bergegas masuk memberi tahu. 　　Kelopak mata Permaisuri berkedut dua kali. 　　Kaisar datang lagi... 　　Sepertinya sejak kematian Selir Yang, frekuensi kedatangan Kaisar ke sini semakin sering, membuat seluruh istana belakang bergosip Permaisuri sedang diistimewakan. 　　Permaisuri hanya ingin tertawa sinis "hehe" mendengar ini. 　　Dia adalah Permaisuri, bukan selir kesayangan seperti Selir Yang. Yang dia butuhkan sejak awal bukanlah kasih sayang kaisar. 　　Kaisar memberinya kehormatan dan martabat, dia mengelola istana belakang dengan baik untuk Kaisar. Sudah cukup seperti ini. 　　Siapa yang tidak punya cahaya bulan di hati? Kaisar menyimpan Permaisuri Pertama di hatinya, sementara dia punya teman masa kecil sendiri. 　　Berbeda dengan wanita yang merana karena tidak bisa bersama kekasih hatinya, Permaisuri sangat menerima hal ini. 　　Masuk istana menjadi permaisuri adalah keinginan keluarga marga, dan sejak kecil ia hidup mewah dengan banyak pelayan. Karena telah menikmati kemewahan keluarga, maka berkorban untuk keluarga adalah hal yang adil. 　　Dengan wajah tenang, Permaisuri menyambut keluar. 　　"Kalian semua mundur." Kaisar Jingming masuk, mengusir dayang istana yang melayani di dalam ruangan, lalu menarik tangan Permaisuri untuk duduk. 　　Di hadapan Permaisuri, Kaisar Jingming sangat santai: "Ada hal yang perlu bantuan Permaisuri." 　　Sudut mulut Permaisuri berkedut halus. 　　Benar kata pepatah, sekali basah kedua kali lancar. Kali ini Kaisar malah tidak pakai basa-basi sama sekali saat minta bantuan. 　　"Silakan Kaisar bicara." 　　"Cari alasan untuk menghukum Si Empat Belas." 　　Permaisuri terkejut: "Apa?" 　　Yang Kaisar maksud Putri ke-14? 　　Sebagai permaisuri, apa gunanya ia repot-repot menghukum putri yang sakit-sakitan? 　　Kaisar Jingming menjelaskan situasinya sambil memegang tangan Permaisuri: "Permaisuri harus rela dikritik Ibu. Beliau penyayang, pasti akan menegur Permaisuri jika tahu Si Empat Belas dihukum." 　　Sekaligus mengirim Dayang Duo untuk menjenguk Si Empat Belas... 　　Permaisuri mengangguk: "Jika demikian, beberapa teguran dari Ibu bukan masalah. Kaisar tak perlu khawatir, serahkan saja pada hamba." 　　Namun di hati Permaisuri bergolak: Kaisar sangat memperhatikan Pangeran Yan. 506.BAB 505: Keramaian Tak Pernah Terlalu Besar 　　BAB 505: Keramaian Tak Pernah Terlalu Besar 　　Han Ran baru keluar dari Istana Kekaisaran, sudah melihat Yu Jin menunggu di bawah pohon tak jauh. 　　Pohon di musim dingin yang gundul hanya menyisakan ranting-ranting, tetapi karena salju yang menempel di dahan belum mencair, pohon biasa yang agak jelek itu berubah menjadi "pohon giok dan permata", terlihat sangat indah. 　　Pemuda yang berdiri di samping pohon itu bertubuh tegap, sorot matanya jernih, bahkan lebih memikat daripada pohon giok. 　　Han Ran sedikit ragu, lalu berjalan mendekat. 　　"Pangeran belum pergi?" 　　"Menunggu Paduka Han untuk pergi bersama." 　　Han Ran mengusap hidungnya. 　　Pangeran Yan berbicara begitu langsung. 　　Dengan statusnya sebagai Komandan Pengawal Jinlin, para pejabat tinggi itu menjauhinya, hampir tidak ada yang berani mendekat apalagi terang-terangan mendekat. 　　"Pangeran silakan duluan." 　　Mata indah Yu Jin berkerut penuh senyum: "Paduka Han kembali ke kantor kabupaten?" 　　Han Ran secara refleks menengadah melihat langit, menjawab samar: "Harus kembali." 　　Hari masih pagi, tak mungkin langsung pulang minum teh. 　　"Kebetulan hamba pangeran ingin ikut bersama Paduka." 　　Han Ran menunjukkan ekspresi bingung. 　　Yu Jin tersenyum menjelaskan: "Ayah Kaisar memerintahkan hamba untuk menghilangkan pengaruh buruk dari paman Permaisuri dalam tiga hari. Hamba ingin berbincang dengannya." 　　Han Ran memandang Yu Jin dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. 　　Benarkah hanya sekedar berbincang? Jika dia punya kerabat jauh yang membuat masalah besar seperti ini, dia ingin sekali mencekik leher orang itu. 　　Bagaimanapun juga, Han Ran tak bisa menolak permintaan Yu Jin, akhirnya mengangguk setuju. 　　Berkat pengaturan Han Ran, Yu Jin segera bertemu dengan Paman Dou. 　　Saat itu Paman Dou tampak lesu seperti terong kena embun beku. Matanya berbinar melihat Yu Jin: "Pangeran, akhirnya Paduka datang menyelamatkan hamba!" 　　Baru saat terakhir kali mendatangi Keluarga Bo untuk meminta uang pada adiknya, ia tahu sang adik telah pindah ke Kediaman Pangeran Yan. Diam-diam ia pernah mengawasi di luar istana, sehingga tahu pemuda di hadapannya ini adalah Pangeran Yan, calon menantu keponakannya. 　　Sedihnya, sampai sekarang ia tak bisa melupakan adegan mengerikan saat keponakannya mengarahkan gunting ke selangkangannya saat ia terbangun di malam hari, sampai-sampai tak berani mendekati pintu istana. 　　Karena itulah ia kehabisan uang, dan tergoda ketika seseorang menawarkan tael perak... 　　"Menyelamatkanmu?" Yu Jin tersinik dingin. 　　Paman Dou merasakan kedinginan di lehernya, tubuhnya menyusut ketakutan. 　　"Kau memanfaatkan nama Permaisuri untuk berbuat jahat, masih berharap aku akan menyelamatkanmu? Lebih baik kuremukkan akar tak berguna yang tak tahu diri itu dan kukirim kau masuk istana untuk bertugas!" 　　Wajah Paman Dou langsung pucat, tatapannya pada Yu Jin penuh kengerian. 　　Gunting... Sekarang ia sama sekali tak tahan mendengar dua kata itu! 　　Yu Jin merapatkan kedua tangannya dengan tak sabar: "Begini saja, ikuti permintaanku maka kau akan selamat. Jika tidak—" 　　Paman Dou terpaku oleh aura pembunuhan di mata lawannya, hanya bisa mengangguk kaku. 　　Dua shichen kemudian, Yu Jin meninggalkan kantor Jinlinwei menuju lokasi kejadian. 　　“Salju turun lagi, bekas darah merah gelap di jalan batu pualam telah lama tertutupi, seolah tak ada yang pernah terjadi. Namun topik obrolan penduduk sekitar saat minum teh tetap tak lepas dari hal ini, dan semakin meluas seiring kebosanan musim dingin.” 　　“Gosip seputar keluarga kerajaan benar-benar memikat...” 　　“Yu Jin berjalan menyusuri jalan, mendengar berbagai omongan kosong.” 　　“Kurasa istri Keluarga Li mati sia-sia, aduhai, pelakunya adalah kerabat Permaisuri Yan, punya perlindungan kuat.” 　　“Bukankah ditangkap oleh pejabat Jinlinwei? Jinlinwei kan tak kenal kompromi?” 　　“Tergantung kepada siapa. Kepada kita rakyat biasa tentu tak kenal ampun, tapi kepada kerabat Permaisuri Yan? Pejabat saling melindungi, lihat saja, akhirnya pasti diam-diam dilepaskan, lagipula kita tak bisa melihat.” 　　“Kasihan Chongli baru pulang hari ini. Mendengar istrinya tewas, langsung muntah darah dan pingsan. Setelah siuman berusaha memperjuangkan keadilan, baru bisa ditahan setelah dibujuk...” 　　“Ngomong-ngomong, adik istri Keluarga Li yang dulu diculik, bagaimana rencana mereka menangani gadis itu?” 　　“Siapa tahu? Pokoknya Keluarga Li sudah hancur lebur, sungguh malapetaka...” 　　“Yu Jin mendengar desas-desus ini, wajahnya semakin dingin.” 　　“Bahkan tanpa janji di hadapan Kaisar, dia tak bisa membiarkan masalah ini terus membesar.” 　　“Dia adalah seorang pangeran tak berkuasa, boleh tak peduli reputasi, tapi A Si tidak bisa. Dunia ini memang lebih kejam terhadap wanita.” 　　Yu Jin berhenti di sudut tembok, Long Dan segera mendekat: "Pangeran, mulai sekarang?" 　　"Hm." 　　Long Dan mengayunkan tangan, segerombolan orang berbaris di jalanan, memukul gong hingga bergemuruh. 　　Orang-orang pengangguran langsung berduyun datang dari segala penjuru, yang berpengalaman bahkan menjepit bangku lipat di ketiak. 　　Satu tim mengerahkan tenaga penuh memukul gong, lapisan demi lapisan kerumunan penonton semakin bertambah. 　　"Ada apa ini?" tanya orang yang datang terlambat sambil berjinjit. 　　"Belum tahu juga." Orang yang ditanya menepuk punggung di depannya, "Hei, ada apa di dalam?" 　　Tepukan merambat ke depan, akhirnya jawaban kembali: "Masih memukul gong, belum ada kejadian lain." 　　Kerumunan saling bertukar pandang penuh semangat: Menurut pengalaman, akan ada gosip besar! 　　Suara gong akhirnya berhenti. Tim itu tiba-tiba membawa kursi dari tempat tak diketahui, mulai menyusunnya di tengah area yang dikepung penonton. 　　Justru saat bunyi gong berhenti, orang di lapisan luar yang tak bisa melihat jadi gelisah, terus menusuk-nusuk orang depan: "Ada apa? Ada apa?" 　　"Kursi disusun bertingkat-tingkat, seperti sedang membangun tangga tinggi." 　　"Menyusun kursi jadi tangga tinggi? Jangan-jangan pertunjukan akrobat?" 　　"Orang-orang di lapisan terluar segera berhenti bertanya. Kursi di tengah lapangan semakin bertumpuk tinggi, dalam sekejap mencapai ketinggian dua zhang, cukup untuk dilihat jelas oleh orang dalam dan luar dengan mendongak." 　　"Di puncak tangga kursi berdiri seseorang bertubuh kecil. Orang-orang melempar kursi ke atas, ia menangkapnya dengan stabil, menempatkan kursi dengan hati-hati, lalu berputar dan melompat ke ketinggian baru." 　　"Kerumunan penonton bersorak gemuruh." 　　"Saat tangga kursi sudah mencapai tinggi lebih dari tiga zhang, kerumunan penonton menjadi sunyi." 　　"Jika jatuh dari ketinggian ini pasti akan tewas. Lebih baik mereka diam menyaksikan saja, jangan sampai suara keras membuat orang panik." 　　"Namun orang yang berdiri di udara sama sekali tidak tegang." 　　"Dia adalah pemain akrobat terbaik di kota, ahli dalam pertunjukan seperti ini. Ketinggian ini bukan masalah baginya. Hadiah uang yang didapatkan hari ini cukup untuk menghidupi kelompok akrobat selama tiga tahun." 　　"Yu Jin berkata datar: 'Dengan ketinggian ini, apakah penonton di dalam maupun luar bisa melihat?'" 　　"Long Dan mengusap wajahnya: 'Menurut hamba, bahkan orang di luar kota bisa melihat.'" 　　"Tinggi tembok kota saja hanya dua-tiga zhang." 　　"Hanya Pangeran yang bisa memikirkan cara seperti ini." 　　"Yu Jin mendongak, senyum tipis mengembang di bibirnya: 'Bagus.'" 　　"Kalau sudah tersebar, semakin gaduh semakin baik." 　　"Penonton tak keberatan keributan, pembuat keributan pun demikian." 　　"Pemain akrobat di udara itu berdiri stabil di tangga kursi sambil memandang sekeliling, lalu memberikan salam kepada penonton." 　　Penonton menahan napas, menantikan gerakannya selanjutnya. 　　Pemain opera mengeluarkan sesuatu dari dalam bajunya, lalu melemparkannya ke udara - sehelai spanduk panjang terkembang diterpa angin dengan latar belakang hijau dan tulisan hitam yang mencolok. 　　"Apa yang tertulis di sana?" tanya orang buta huruf dengan penasaran. 507.BAB 506 Di Hadapan Publik 　　BAB 506 Di Hadapan Publik 　　Ratusan orang mendongakkan kepala, berusaha membaca tulisan di spanduk: "Hari ini pukul 3 sore, undang seluruh warga kota untuk mengutuk penjahat." 　　Usai membaca, kerumunan saling pandang bingung. 　　Apa maksudnya ini? Penjahat mana yang dimaksud? 　　Tiba-tiba seseorang berteriak: "Pasti si penjahat yang memaksa nyonya Keluarga Li bunuh diri!" 　　Kerumunan langsung gempar. 　　Siapa yang mau menuntut keadilan untuk nyonya Keluarga Li? 　　Pemain opera di tangga kayu kembali mengibarkan spanduk bertuliskan tiga karakter besar: "Kediaman Pangeran Yan." 　　Penonton pun meledak dalam keriuhan. 　　Ternyata orang dari Kediaman Pangeran Yan, ini benar-benar di luar dugaan! 　　Desas-desus semakin keras, berubah menjadi gelombang suara yang menggema. 　　Long Dan mendekati Yu Jin sambil tersenyum: "Tuanku, nanti sore di sini pasti akan penuh sesak." 　　"Justru bagus," jawab Yu Jin dengan senyum tipis. 　　Ngomong-ngomong, trik menggunakan spanduk untuk menarik perhatian orang ini dipelajarinya dari A Si. 　　Metode tak perlu orisinal, yang penting efektif. 　　Aksi Yu Jin dan anak buahnya di jalanan ini segera sampai ke telinga Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming tercengang, lama kemudian mendesah: "Hanya Lao Qi yang berwajah tebal bisa melakukan hal seperti ini. Pada orang lain, jika terjadi hal seperti ini pasti akan berusaha menyembunyikan dan menutupi, membungkam semua yang tahu. Tapi Lao Qi justru melakukan sebaliknya, malah ingin membuat seluruh kota tahu..." 　　Pan Hai tidak berkomentar, hanya tersenyum menanggapi. 　　Taktik Pangeran Yan yang bertindak berlawanan ini digunakan dengan baik. 　　Mengingat kecepatan penyebaran gosip warga ibu kota, bagaimanapun juga tak lama lagi semua akan tahu. Bagaimanapun keponakan Permaisuri Yan dihukum, orang tidak akan percaya dan malah akan menyebarkan rumor lebih buruk tentang Kediaman Pangeran Yan. 　　Membongkar masalah ini, membiarkan seluruh kota menyaksikan sendiri nasib kerabat Permaisuri Yan, itulah cara memotong akar masalah. 　　Nantinya, mungkin orang justru akan memuji pasangan Pangeran Yan karena tidak melindungi kerabatnya. 　　"Setelah Pangeran Yan menyelesaikan urusannya, suruh dia masuk istana. Aku ingin memarahinya habis-habisan, benar-benar keterlaluan." 　　Entah seberapa ramai aksi mengutuk penjahat sore nanti? Sayang tidak bisa menyaksikan langsung. 　　Pan Hai diam-diam memutar mata putih. 　　Kaisar lagi-lagi tidak jujur pada hatinya. 　　"Omong-omong, Yang Mulia, spanduk kutukan terhadap penjahat itu digantung di tangga kursi setinggi lima zhang. Jika kita naik ke menara tinggi, mungkin bisa melihat..." 　　Mata Kaisar Jingming berkilat, lalu kembali berwajah serius: "Apa menariknya spanduk itu?" 　　Pan Hai menundukkan kepala. 　　"Sesaat kemudian, Kaisar Jingming bangkit, berjalan keluar sambil menyatukan tangan di belakang: 'Terlalu lama membaca laporan resmi bikin sesak, mari keluar hirup udara segara.'" 　　"Pan Hai: "..." Mengikuti tuanku yang mulut dan hati tidak selaras, hati ini sangat lelah." 　　"Waktu baru tepat tengah hari, Long Dan datang memeriksa lokasi dengan was-was, nyaris terkejut hingga rahangnya copot." 　　"Yu Jin yang sedang beristirahat di ruang belajar, melihat Long Dan masuk dengan ekspresi aneh, meliriknya: 'Ada apa?'" 　　"Long Dan tertawa getir: 'Tuanku, mari kita segera berangkat, jika terlambat mungkin tidak bisa masuk karena penuh...'" 　　"'Seheboh itu?'" 　　"'Bahkan mengibaratkan lautan manusia pun tidak berlebihan, sampai di pohon pinggir jalan pun ada yang duduk...'" 　　"Yu Jin berpikir sejenak, lalu berkata: 'Kalau begitu mari mulai dari kantor kabupaten Jinlinwei.'" 　　"Dari kantor kabupaten Jinlinwei ke lokasi kejadian membutuhkan sekitar setengah shichen. Mempertimbangkan kondisi aktual, Yu Jin datang satu shichen lebih awal." 　　"Paman Dou digiring keluar oleh pasukan Jinlinwei." 　　"Han Ran dengan ekspresi rumit: 'Pangeran, kerumunan massa ini kacau, harus waspada ada yang melempar benda hingga mematikan...'" 　　"'Terima kasih atas peringatannya, Paduka Han.' Yu Jin tersenyum berterima kasih, memberi isyarat pada Long Dan." 　　"Long Dan mengangkat tangan, suara gong langsung bergema." 　　"Seketika banyak orang menjulurkan kepala untuk melihat." 　　"Han Ran yang berdiri di depan kantor kabupaten menyeringai masam." 　　"Memukul gong dan genderang di depan kantor kabupaten Jinlinwei, ini benar-benar pertama kali dalam sejarah." 　　"Tim terus bergerak maju, semakin banyak orang mengikuti di belakang." 　　Paman Dou yang mengenakan gandar tampak lesu, menikmati "perlakuan" sayuran busuk yang dilemparkan sepanjang perjalanan. 　　"Datang, datang, orangnya datang!" 　　Kerumunan yang telah menunggu lama langsung bergemuruh. 　　"Itukah pezinah yang memaksa nyonya Keluarga Li bunuh diri?" 　　"Benar, dialah orangnya!" 　　Seketika bertumpukan sayuran busuk, telur busuk, dan sepatu jerami usang beterbangan. 　　Barang-barang ini sudah mereka siapkan sejak lama, menunggu momen ini. 　　Sebagai warga ibu kota yang berpengalaman menyaksikan berbagai keramaian, mereka paham betul tata krama: benda keras seperti batu tak boleh dilempar agar tak menimbulkan korban jiwa yang merepotkan kedua belah pihak. 　　Saat tiba di spanduk yang berkibar ditiup angin, rombongan berhenti. 　　Long Dan melompat ke atas meja, berteriak: "Hamba adalah pengawal Kediaman Pangeran Yan! Kini hamba bawa pezinah yang menggunakan nama Permaisuri kami untuk menggoda wanita baik-baik! Silahkan tetangga sekalian melempar sayuran busuk sepuasnya, tapi jangan sampai melukainya! Para petugas masih harus mengawalnya ke Lingnan untuk membuka lahan!" 　　Kerumunan penonton sesaat hening, lalu ramai berbisik-bisik. 　　"Dikirim ke Lingnan? Ini hukuman pembuangan, bukan?" 　　"Seberat itu hukumannya?" 　　Di Dinasti Zhou, narapidana hukuman mati tak banyak. Kebanyakan penjahat berat dikirim sebagai tentara. Meski perbuatan Paman Dou menggoda wanita hingga bunuh diri di jalanan tergolong kejahatan besar, menurut pemahaman rakyat biasa belum pantas dihukum seberat pembuangan. 　　Alasannya sederhana, tindakan playboy-playboy menggoda wanita baik-baik sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kalau semua kasus seperti ini dihukum pengasingan, petugas pengawal tahanan pasti tidak akan cukup. 　　Suara tak dikenal dari kerumunan berteriak: "Kalian bilang diasingkan ya diasingkan? Nanti diam-diam dilepas lagi, siapa yang tahu?" 　　Setelah hening sejenak, seruan setuju berdatangan: "Iya juga, jangan-jangan ini cuma tipu muslihat!" 　　Tiba-tiba seorang pria menerobos ke depan, rambutnya acak-acakan dan wajahnya mengerikan: "Binatang! Kembalikan nyawa istriku--" 　　"Itu Chongli!" 　　Dua orang segera menahan Chongli dari kiri-kanan: "Chongli, jangan gegabah! Tidak worth it mengorbankan diri buat sampah macam ini. Kau dengar tadi, pejabat sudah menjatuhkan hukuman pengasingan untuk pezinah ini--" 　　Chongli meludah keras: "Hush! Mereka para pejabat saling melindungi, omongan mereka bisa dipercaya? Semua orang tahu, Kediaman Pangeran Yan cuma mau tampil baik. Nanti diam-diam mereka akan melepasnya, dan kematian istriku akan sia-sia..." 　　Ia pun menangis tersedu-sedu. 　　Ratapan pilu itu membuat kerumunan yang tadi ramai menjadi hening, memandangi Chongli dan Paman Dou yang tak jauh dari situ. 　　Seorang pria jangkung berusia antara remaja dan dewasa muda menghampiri Chongli. 　　Penampilannya laksana pohon anggrek dan jade, langsung menarik perhatian semua orang. 　　Tangis Chongli terhenti sejenak ketika pria secantik mutiara itu berseru: "Saya Pangeran Yan." 　　Suasana mendadak hening. 　　“Saudara tidak percaya pezinah ini akan diasingkan?” 　　Chongli waspada menatap Yu Jin, diam seribu bahasa. 　　Bagi rakyat biasa, sosok seperti Pangeran bagai awan di langit, tak terjangkau. 　　Yu Jin memberi hormat kepada Chongli: "Hamba pangeran mengundang Saudara untuk mengawal bersama petugas keamanan. Kau bisa menyaksikan sendiri orang ini diasingkan ke Lingnan." 　　Di sini, ia berhenti sejenak lalu melanjutkan: "Hamba pangeran juga akan memberikan tambahan seribu tael perak sebagai upah lelah." 508. BAB 507 Er Niu Menggonggong 　　BAB 507 Er Niu Menggonggong 　　Upah lelah seribu tael? 　　Banyak orang membelalakkan mata. 　　Seribu tael cukup untuk menghidupi satu keluarga di ibu kota seumur hidup dengan nyaman. 　　Tapi—orang-orang saling bertukar pandang sembari menggeleng. 　　Seribu tael ini mungkin tak bisa dinikmati dengan selamat. 　　Belum lagi kepayahan perjalanan panjang ke daerah terpencil seperti Lingnan, jika Chongli nekad ikut dan dibunuh di jalan, siapa yang tahu? 　　Segera seseorang berteriak dari kerumunan: 　　"Ucapan Pangeran manis di telinga, kalau di tengah jalan Chongli dibunuh, orang hilang uang dihemat, kami mana bisa tahu..." 　　Kerumunan bersahut: "Benar juga, jarak yang jauh, kalau Chongli dibunuh di jalan siapa yang tahu? Selain hemat uang, mungkin pezinah ini malah diam-diam dibebaskan..." 　　Hukum tidak menghukum massa, dengan banyaknya orang yang bersuara, mereka tak takut dihukum Pangeran Yan karena ucapan pedas. 　　“Hm, jika Pangeran Yan berani melakukan ini, reputasinya pasti akan semakin hancur.” 　　Yu Jin tersenyum tipis, mendengarkan dengan sabar. 　　Setelah membiarkan orang-orang ramai berkomentar cukup lama, ia mengangkat tangan dan berseru keras: "Mohon perhatian semua, hamba pangeran ingin menyampaikan sesuatu." 　　Meski kerumunan besar dengan bisikan-bisikan saling tindih, suaranya memiliki daya tembus khusus yang jelas terdengar di telinga. 　　Seketika keramaian mereda. 　　Mereka sangat penasaran dengan apa yang akan diucapkan Pangeran Yan. 　　Sebenarnya, kehadiran Pangeran Yan di tempat seperti ini saja sudah cukup memicu rasa ingin tahu. 　　Setelah menyaksikan banyak keramaian, ini pertama kalinya seorang bangsawan tinggi turun langsung dan menjadikan mereka bagian dari pertunjukan. 　　Sungguh membuat hati berdebar. 　　Kerumunan yang antusias itu memandangi tajam pemuda tampan nan luar biasa di tengah lapangan. 　　"Hamba pangeran meminta 50 orang untuk menemani Li Chongli mengawal tahanan. Semua biaya makan ditanggung, dan setelah kembali ke Ibu Kota, setiap orang akan mendapat 200 tael perak." 　　Han Ran, Komandan Pengawal Jinlin yang bersembunyi di kerumunan, mengernyitkan alis. 　　Pangeran Yan benar-benar punya ide gila. Lima puluh orang ikut mengawal tahanan bersama petugas keamanan, bahkan menanggung makan? Ini seperti mengirim Putri untuk berdamai dengan pernikahan? 　　Namun ia hanya bisa tersenyum pahit sambil mengamati. 　　Pangeran Yan sudah memintanya untuk kooperasi di hadapan Kaisar - apa lagi yang bisa ia katakan? 　　Han Ran merasa terjebak dalam skema ini. Baru setelah mengingat bahwa biaya operasional dan makan semua ditanggung pribadi oleh Pangeran Yan, napasnya mulai lega. 　　"Sudahlah, toh ini bukan uangnya. Pangeran Yan kaya raya dan semaunya sendiri, biarkan dia berbuat sesukanya." 　　Dari ibu kota ke Lingnan, pulang-pergi sekitar empat bulan, semua makan dan akomodasi ditanggung, murni dapat 200 tael perak? 　　Penonton baik yang bisa berhitung maupun tidak buru-buru menghitung dengan jari, matanya langsung memerah. 　　Ini terlalu menguntungkan! Setahun kerja keras mereka bahkan tidak bisa dapat 30 tael! 　　Apa, masalah keamanan? 　　Masalah keamanan apaan? Kita kan banyak orang, mana mungkin Pangeran Yan berani membunuh semua? Jelas-jelas tidak mungkin. 　　Yu Jin mengamati kerumunan dan bertanya lantang: "Bagaimana pendapat kalian? Yang berminat bisa langsung daftar sekarang, akan dicatat segera." 　　Mendengar ini, orang-orang langsung heboh. Banyak yang menerobos sambil teriak: "Saya daftar! Saya daftar!" 　　Untuk sementara tak ada yang sempat melempar sayuran busuk ke Paman Dou. 　　Paman Dou berkedip-kedip, air matanya menetes. 　　Li Dalang 1.000 tael, 50 orang masing-masing 200 tael, totalnya 11.000 tael! 　　Demi mengawalnya ke Lingnan, Pangeran Yan rela keluar 11.000 tael perak... Hiks, andai tahu dirinya semahal ini, lebih baik dia jual diri ke Pangeran Yan saja, biar air subur tidak mengalir ke ladang orang lain. 　　Jika Yu Jin tahu peribahasa "air subur tidak mengalir ke ladang orang lain" dipakai seperti ini, pasti dia akan tertawa sambil kesal. 　　"Paduka, kerumunan ini bisa menyebabkan insiden terinjak-injak." 　　"Harap tenang——" Yu Jin berseru keras. 　　“Harta menggerakkan hati orang, saat ini wajah tampan Pangeran Yan tak lagi mempan, teriakan orang-orang menggema lebih keras daripada suaranya.” 　　Yu Jin mengulurkan tangannya memberi isyarat. 　　Er Niu yang berjongkok tak jauh dari sana segera berlari mendekat, menunjukkan sikap penurut siap menerima perintah. 　　Yu Jin mengusap kepala Er Niu: “Er Niu, sekarang giliranmu. Kalau performamu bagus, ada daging kukus.” 　　Mata Er Niu langsung berbinar, menengok ke sekeliling sebelum melompat ke tangga kursi dengan dorongan kuat kaki belakangnya. 　　Tangga kursi yang awalnya reyot itu telah diperkuat dengan tali setelah sebelumnya digunakan pesilat untuk menarik perhatian pagi tadi. 　　Dengan kelincahannya, Er Niu segera mencapai puncak tertinggi lalu menengadah ke langit dan melolong. 　　Wajah Yu Jin menjadi gelap. 　　Er Niu si ahli cari perhatian ini! Dia hanya menyuruhnya menggongong untuk menarik perhatian, siapa sangka anjing ini malah memanjat setinggi itu! 　　Yu Jin menatap ketinggian tangga kursi sambil merasa pusing. 　　Aneh, pagi tadi saat pesilat itu berdiri di atasnya, sama sekali tak ada rasa pusing. 　　Lolong aneh yang bukan gonggongan anjing maupun lolongan serigala itu seketika membuat kerumunan terdiam. 　　“Lihat di atas tangga kursi! Ada serigala besar!” 　　Serigala? 　　Kerumunan secara refleks mundur selangkah sambil mendongakkan leher untuk melihat. 　　Merasa kerumunan telah tenang dan tujuannya tercapai, Er Niu mengibaskan ekornya lalu meluncur turun dengan gesit melalui tangga kursi. 　　Ya ampun, serigala yang bisa memanjat pohon! 　　Orang-orang langsung merinding, untung jumlah mereka banyak sehingga belum ada yang lari pontang-panting. 　　Baru segini sudah takut? 　　Er Niu berjalan mendekati Yu Jin lalu duduk, memandang sekeliling dengan sinis sebelum membuka mulut lebar-lebar: "Guk!" 　　Mendengar suara Er Niu, kerumunan orang membuat ekspresi aneh. 　　Berarti makhluk besar ini sebenarnya adalah...anjing? 　　Er Niu kesal dan memukul tanah dengan ekornya. 　　Manusia bodoh, wajah anjing sejelas ini saja tidak bisa mengenali? 　　Yu Jin melontarkan pandangan "nanti kita bicara" ke Er Niu, lalu berseru: "Tak disangka semuanya begitu antusias, ini kelalaian hamba. Baiklah, 50 orang ini hamba serahkan pada Chongli untuk memilih orang tepercaya mendampinginya mengawal tahanan, tidak ada keberatan kan?" 　　Begitu Yu Jin bicara, penonton berteriak: "Tidak ada!" 　　"Terima kasih atas pengertiannya." Setelah itu Yu Jin menatap Chongli, "Bagaimana dengan pengaturan ini, Saudara masih keberatan?" 　　Chongli menggerakkan bibirnya, wajahnya berganti-ganti ekspresi. 　　Secara prinsip, apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap Pangeran yang sudah merendahkan diri begini? 　　Secara emosional- 　　Chongli bergumam lesu: "Tapi istriku tidak bisa kembali..." 　　Mata Yu Jin dipenuhi penyesalan tulus, ia membungkuk dalam-dalam: "Hamba tahu Ibu Li adalah harta tak ternilai bagi Saudara, hamba mohon maaf..." 　　Li Dalang, seorang pedagang keliling kecil, langsung panik dan membalas hormat ketika seorang pangeran terhormat memberi salam padanya: "Paduka tak perlu begitu, tak perlu--" 　　Kerumunan yang menyaksikan adegan seperti dari buku cerita ini serentak berdecak kagum: Pangeran Yan benar-benar orang baik. 　　Para mata-mata dari berbagai rumah bangsawan yang menyamar di kerumunan segera kembali melapor ke majikan mereka masing-masing. 　　Di Aula Yangxindian, Kaisar Jingming mendengarkan laporan Han Ran dengan mata terpejam, lalu perlahan membuka matanya. 　　Lao Qi benar-benar berani mengusulkan metode membiarkan pengadu mengawal tahanan sendiri? 　　Dengan begini, semua keraguan rakyat tentang kasus ini akan lenyap. 　　Lao Qi si bocah nakal ini, aktingnya bahkan lebih berani daripada cerita di buku! 509. BAB 508 Sandiwara 　　BAB 508 Sandiwara 　　Setelah selesai melapor, Han Ran membungkuk dan mundur. 　　Aula Yangxindian yang megah hanya menyisakan suara tepukan lembut Kaisar Jingming pada sandaran kursi kayu cendana. 　　Kaisar Jingming baru tersadar: Dengan hukuman gaji setahun, Pangeran Yan bisa mengeluarkan 10.000 tael perak dengan mudah - ternyata bocah ini kaya raya! 　　Pertanyaan ini melintas sebentar di pikirannya sebelum segera dilupakan. 　　Bagaimanapun ini bukan masalah besar. 　　Lao Qi menukar 10.000 tael perak dengan reputasi baik - transaksi yang sangat menguntungkan. 　　Prestise terkadang bisa menggerakkan hati rakyat. 　　Han Ran yang meninggalkan istana melihat hari telah sore dan hendak pulang, tapi terkejut melihat ajudannya Zhenfushi sudah menunggu di kejauhan dan segera mendekat. 　　Melihat ekspresi wajah Zhenfushi yang buruk, Han Ran mengerutkan kening bertanya: "Apa yang terjadi?" 　　Tanpa urusan penting, Zhenfushi tidak akan menunggunya di luar pintu gerbang istana. 　　Zhenfushi menundukkan kepala, mengeraskan hati berkata: "Paduka, kakek-nenek dari Suku Wu Miao itu menghilang." 　　"Menghilang?" Han Ran mengira mendengar lelucon. 　　Pasangan kakek-nenek Wu Miao itu kini bukan berada di toko kecil Jalan Pasar Barat, melainkan sudah dibawa Jinlinwei ke penjara setelah mendapat persetujuan Kaisar. 　　Sekarang Zhenfushi memberitahunya bahwa di penjara khusus Jinlinwei untuk narapidana berat, dua orang hidup-hidup bisa lenyap begitu saja? 　　"Kau sedang bercanda? 　　Di tengah musim dingin yang menggigit, kening Zhenfushi telah basah oleh keringat. 　　Tanpa sempat mengusapnya, ia menunduk: "Paduka, mereka benar-benar hilang. Saat ditemukan, pintu sel terbuka lebar, gembok tidak rusak, penjaga pingsan di samping dengan kunci masih melekat di tangan..." 　　Wajah Han Ran semakin muram: "Maksudmu, orang kita sendiri yang membuka pintu dengan kunci dan membiarkan mereka pergi, sementara para penjaga sepanjang jalan pura-pura tidak melihat?" 　　Zhenfushi mengangguk dengan susah payah. 　　"Omong kosong!" Han Ran tak bisa menahan diri lagi, menyepak tubuh Zhenfushi. 　　Zhenfushi bahkan tidak berani menghindar, membiarkan tendangan keras itu mendarat di tubuhnya. 　　Setelah menyepak, Han Ran memejamkan mata sejenak menahan amarah yang memuncak: "Jelaskan situasinya dengan detail." 　　“Komandan Zhenfu menjelaskan setiap detail, lalu menatap mata Han Ran dengan hati-hati: “Paduka, konon orang-orang dari Perbatasan Selatan punya banyak keunikan. Mungkinkah nenek tua itu mengerti ilmu sihir?” 　　Han Ran mengangkat alis pedangnya: “Kau tahu apa itu ilmu sihir?” 　　Komandan Zhenfu menggelengkan kepala. 　　“Lalu buat apa kau bicara omong kosong!” 　　“Paduka, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang—” tanya Komandan Zhenfu dengan gemetar ketakutan. 　　Han Ran ingin menendang lagi, tapi pandangannya menangkap pengawal yang berjaga di pintu gerbang istana. Ia menahan diri dan berkata dingin: “Ikut aku menghadap Kaisar!” 　　Komandan Zhenfu menahan keinginan untuk menangis sambil mengikuti Han Ran menuju gerbang istana. 　　“Paduka Kaisar, Komandan Han Ran mohon audiensi.” 　　Kaisar Jingming tertegun sejenak. 　　Bukankah Han Ran baru saja pergi? Mengapa sudah kembali? 　　Sial, kelopak matanya mulai berkedut lagi. 　　Sekarang Kaisar Jingming tak peduli lagi apakah kedutan di mata kiri atau kanan. Ia sudah menyimpulkan pengalaman: Setiap kali kelopak mata berkedut, pasti ada kabar buruk. 　　“Persilahkan dia masuk.” 　　Begitu masuk, Han Ran langsung bersujud: “Hamba yang bodoh telah lalai dalam tugas, mohon ampun Paduka Kaisar.” 　　Kaisar Jingming bahkan tak merasa terkejut. Ia menggosok pelipisnya lemas: “Ceritakanlah pada-Ku.” 　　“Baru saja Komandan Zhenfu melapor, kakek-nenek dari Suku Wu Miao itu menghilang.” 　　Kaisar Jingming terkejut sampai mulutnya terbuka lama. Setelah beberapa saat baru bertanya: “Kalian tidak membawa mereka kembali ke kantor kabupaten?” 　　Han Ran menundukkan kepala, merasa kulit wajahnya tiba-tiba menebal: "Orang itu menghilang dari dalam penjara..." 　　"Han Ran, pintu penjara kekaisaran ini lupa ditutup ya?" 　　Dari nada sarkastik Kaisar Jingming, Han Ran merasakan kegilaan. Ia menahan malu menjelaskan situasi. 　　Setelah mendengar, Kaisar Jingming lama tak bereaksi. 　　Ia tak bisa bereaksi. Jika tak menahan diri, pasti akan memerintahkan untuk membunuh Han Ran. 　　Sebenarnya orang bodoh seperti ini kubunuh saja tak masalah, tapi mengangkat Komandan Jinlinwei baru berarti satu orang lagi yang tahu aibnya... 　　Kaisar Jingming tak bisa berpikir. Setiap kali berpikir, keinginan membunuh langsung muncul. 　　"Pergi dari sini!" 　　Han Ran berpikir sejenak, lalu meringkukkan badan dan berguling keluar. 　　Zhenfushi yang melihat ini segera meniru. 　　Melihat dua orang berguling keluar, Kaisar Jingming marah hingga berputar-putar, menendang beberapa bangku kecil, lalu pergi ke tempat Permaisuri. 　　"Nyonya, Kaisar datang lagi." Dayang melaporkan gembira. 　　Sudut mulut Permaisuri berkedut. 　　Pasti Kaisar datang mendesak urusan umpan Putri ke-14. 　　Kaisar benar-benar tak sabar... 　　Saat sedang berpikir, Kaisar Jingming sudah masuk. Permaisuri segera menyambut. 　　Kaisar Jingming mengusir semua pelayan: "Permaisuri, urusan ini tak bisa ditunda lagi. Semakin lama semakin berisiko." 　　Orang yang sudah masuk penjara Jinlinwei bisa kabur, apa lagi yang tidak mungkin? 　　Permaisuri mengangguk. 　　Saat Kaisar dan Permaisuri sedang makan malam, Putri Fuqing datang. 　　"Rupanya Ayah Kaisar juga ada di sini." 　　Permaisuri tersenyum: "Kebetulan ada masakan kesukaanmu dan Ayah Kaisar, jadi kami memanggilmu." 　　Melihat putrinya yang tersenyum manis namun kurus kering, hati Permaisuri timbul rasa tidak tega. 　　Sejak Pangeran Kelima Belas meninggal, A'Quan sering mimpi buruk, tak terhitung berapa kali menangis, terus menyalahkan diri karena telah menyeret Pangeran Kelima Belas. Namun di hadapan mereka selalu berpura-pura ceria. 　　Kini demi rencana ini, harus sengaja menyebut-nyebut di hadapan A'Quan... 　　"A'Quan kurus." Kaisar Jingming berkata. 　　Permaisuri menyambung: "Memang jauh lebih kurus, apa kamu tidak makan dengan baik?" 　　Putri Fuqing buru-buru menjawab: "Ayah, Ibu tidak perlu khawatir, saya baik-baik saja." 　　Di hadapan para dayang istana, Kaisar Jingming tiba-tiba menghela napas: "Benar juga, A'Quan jauh lebih kuat dibanding Si Empat Belas dan Pangeran Kelima Belas..." 　　Bulu mata Putri Fuqing bergetar, matanya menunduk. 　　Permaisuri mengerutkan alis: "Saat ini, Kaisar sebaiknya tidak membicarakan yang lain." 　　"Aku hanya tiba-tiba merasa tersentuh melihat A'Quan. Pangeran Kelima Belas sudah tiada, tak ada gunanya diperbincangkan. Tapi Si Empat Belas, sejak ibunya meninggal kesehatannya semakin memburuk. Aku khawatir dia kesepian..." 　　"Maksud Kaisar——" 　　Kaisar Jingming menatap dalam-dalam ke Permaisuri: "Permaisuri, bagaimana kalau kau mengadopsi Si Empat Belas sebagai putri angkat?" 　　Semua dayang di ruangan itu menunjukkan ekspresi terkejut, buru-buru menundukkan pandangan. 　　Permaisuri tertegun sejenak, lalu menolak tegas: "Tidak boleh! Apakah Kaisar lupa bagaimana Pangeran Kelima Belas meninggal?" 　　Ketegasan Permaisuri seolah membuat Kaisar Jingming tersudut: "Meskipun Chen Meiren bersalah, Si Empat Belas tidak berdosa. Sebagai ibu negara, bukankah Permaisuri harus memiliki kelapangan hati..." 　　"Kaisar menganggap penolakan saya mengadopsi Si Empat Belas sebagai bukti kekurangan toleransi? Utang ayah dibayar anak adalah hukum alam. Meski saya iba pada nasibnya, cukup dengan menjamin kehidupannya yang layak. Mana mungkin menjadikannya putri mahkota? Jika hukum tak ditegakkan, bagaimana menghentikan niat jahat? Ini justru mendorong kejahatan! Saya sama sekali tidak setuju!" 　　"Ini hanya usulan kecil, mengapa Permaisuri sampai marah besar?" 　　Pertengkaran Kaisar dan Permaisuri membuat semua pelayan di ruangan itu membeku ketakutan, tak ada yang berani bernapas keras. 　　Setelah perdebatan sengit, Kaisar Jingming pergi sambil mengibaskan lengan baju dengan wajah masam. 　　[Catatan Penulis] Tadi malam kukira sudah setting pre-release, ternyata ingatan semakin memburuk. Sejak tengah malam kemarin diare terus menerus bolak-balik ke WC, berbaring, lalu ke WC lagi... Hari ini pasti tidak bisa mengetik. Kurangi satu bagian dulu, soalnya ledakan pembaruan akhir bulan butuh jumlah bab yang cukup. 510.BAB 509 Ikan Datang 　　BAB 509 Ikan Datang 　　Putri Fuqing yang wajahnya pucat menarik lengan baju Permaisuri: "Ibu, Anda--" 　　Permaisuri hanya merasa berakting lebih melelahkan daripada mengurus istana belakang, dengan letih menepuk tangan Putri Fuqing: "A'Quan tidak perlu khawatir, pasangan suami istri bertengkar di kepala ranjang tapi berdamai di ujung ranjang, berselisih beberapa patah kata bukanlah masalah." 　　Putri Fuqing mendekat ke sisi Permaisuri, menggigit bibir: "Tapi Ayah Kaisar adalah penguasa negara——" 　　Permaisuri menunjukkan senyum menenangkan: "Penguasa negara tetaplah Ayahmu." 　　Teringat kasih sayang Ayah Kaisar selama bertahun-tahun, Putri Fuqing sedikit lega, ragu-ragu bertanya: "Ibu, benarkah Ibu membenci Adik Keempat Belas?" 　　Permaisuri tersenyum: "Bagaimana dengan Fuqing?" 　　Putri Fuqing menggeleng: "Saya tidak membenci, malah merasa Adik Keempat Belas agak menyedihkan." 　　"Oh?" 　　"Walau utang ayah dibayar anak memang sudah sewajarnya, tapi Si Empat Belas sama sekali tidak tahu, bukankah ada pepatah 'yang tidak tahu tidak bisa disalahkan'." Putri Fuqing menggigit bibir, "Ayah Kaisar ingin menjadikan Adik Keempat Belas sebagai putri permaisuri, menurut saya ini bukan hal besar, Ibu tidak perlu berselisih dengan Ayah Kaisar karena ini......" 　　Permaisuri penuh kasih mengelus rambut Putri Fuqing: "Kau ini, malah ikut memusingkan urusan orang dewasa. Sudah, mari makan, Ibu punya pertimbangan sendiri dalam hal ini." 　　Melihat Permaisuri bersikap demikian, Putri Fuqing pun menghentikan pembicaraan, mulai makan dengan patuh mengikuti tata krama. 　　Permaisuri memandangi putrinya dengan penuh kepuasan. 　　Fuqing memang berbudi luhur, sifat seperti ini sekilas mudah dirugikan, tapi dia yakin justru inilah keberuntungan sejati bagi putrinya. 　　Gadis dari keluarga miskin membutuhkan keberanian yang nekat untuk meraih posisi tinggi, sedangkan A'Quan sudah menjadi putri kerajaan tertinggi di dunia, bahkan dengan watak yang paling baik pun tak ada yang berani menyakitinya. 　　Dengan sifat A'Quan, di masa depan pasti bisa saling menghormati seperti meja dan tiang penyangga dengan menantu kaisar. 　　Memikirkan hal ini, Permaisuri teringat seseorang, sudut bibirnya menggantungkan ejekan. 　　Jangan sampai seperti Mulia Putri Rongyang yang mengandalkan status tinggi dan mengira bisa mendapatkan segalanya, akhirnya merugikan orang lain dan diri sendiri. 　　Setelah Putri Fuqing pergi, Permaisuri segera memerintahkan dayang kepercayaannya untuk pergi ke kediaman Putri ke-14, memperingatkannya agar tetap tahu diri dan jangan berkhayal yang bukan-bukan. 　　Perselisihan Kaisar-Permaisuri dan teguran Permaisuri terhadap Putri ke-14 bagai angin berhembus ke setiap sudut istana belakang. 　　Ibu Suri Xian yang mendengar kabar ini, reaksi pertamanya adalah iri hati. 　　Lihatlah, Permaisuri memang berbeda dengan orang-orang seperti kami. 　　Siapapun dari kami saat menghadap Kaisar pasti bersikap lembut dan patuh, sebanyak apapun kemarahan harus ditahan, tapi Permaisuri? Berani bertengkar dengan Kaisar. 　　Permaisuri adalah istri Kaisar, memang berbeda pada akhirnya. 　　Setelah menghela nafas, kilatan tekad muncul di mata Ibu Suri Xian. 　　Dia harus membantu Lao Si merebut posisi calon penguasa. Untuk sementara tidak bisa menjadi Permaisuri tidak masalah, ketika Lao Si naik takhta menjadi Kaisar, posisi Janda Permaisuri pasti akan menjadi miliknya. 　　Memikirkan hal ini, hati Ibu Suri Xian membara dengan semangat, justru menganggap remeh tindakan Permaisuri yang memperingatkan Putri ke-14. 　　"Permaisuri mungkin terlalu marah, mengirim orang untuk menghukum seorang putri yang sakit-sakitan sungguh tidak elegan. Hehe, Janda Permaisuri mungkin akan punya pendapat tentang ini." 　　Kabar ini sampai ke telinga Janda Permaisuri, dan beliau memang menyimpan ketidakpuasan. 　　"Permaisuri biasanya bersikap tenang, kenapa hari ini begini? Proposal kecil Kaisar saja bisa membuatnya murka?" 　　Dayang kepercayaan dalam hati menahan tawa. 　　Janda Permaisuri yang merasa iba pada Kaisar lalu menyimpan ketidaksukaan pada Permaisuri, padahal seandainya Kaisar sebelumnya ingin menyerahkan sembarangan putri untuk dididik sebagai putri utama, Janda Permaisuri pasti langsung marah. 　　"Yang Mulia jangan dipikirkan, hubungan Kaisar dan Permaisuri selalu harmonis, pasti akan segera membaik." 　　Janda Permaisuri masih kesal: "Menurut hamba, Permaisuri jadi kurang kontrol diri karena mata Putri Fuqing sudah sembuh." 　　Seorang putri utama yang sempurna dengan putri utama yang buta, masa depan mereka akan sangat berbeda. 　　Dalam pandangan Janda Permaisuri, dulu Permaisuri menjaga putri buta tanpa harapan sehingga tahu diri dan lemah lembut, sekarang merasa putrinya punya masa depan jadi tidak bisa menahan kesombongan. 　　Ini tidak boleh dibiarkan. 　　Janda Permaisuri mengerutkan alis, berkata pada dayang kepercayaan: "Suruh Dayang Duo bawa tonik ke tempat Putri ke-14. Katakan hamba khawatir akan kesehatannya, suruh dia beristirahat baik-baik dan datang memberi salut setelah sembuh." 　　Berbeda dengan konflik kasar antara Janda Permaisuri dan Permaisuri di naskah opera, sebenarnya setiap pertarungan antara dua wanita mulia ini selalu terselubung rapi. 　　Misalnya saat ini Janda Permaisuri tidak puas dengan ucapan dan tindakan Permaisuri, tentu tidak akan langsung menegur Permaisuri, melainkan mengirim orang untuk mengunjungi Putri ke-14. 　　Permaisuri tidak menyukai Putri ke-14, sementara Janda Permaisuri sengaja menunjukkan perhatian kepada Putri ke-14. Ini adalah kritik halus terhadap Permaisuri agar seluruh penghuni istana belakang tahu bahwa Janda Permaisuri tidak puas dengan Permaisuri. 　　Dayang kepercayaan ragu sejenak: "Suruh Dayang Duo pergi sekarang atau tunggu besok?" 　　Janda Permaisuri mengangkat kelopak matanya: "Lebih cepat pergi, biar orang tahu meski Si Empat Belas sudah tidak punya Ibu Selir, dia bukan rumput liar tak berakar." 　　Dayang kepercayaan mengiyakan, lalu berbalik memberi tugas kepada Dayang Duo. 　　Di musim dingin hari cepat gelap, langit telah benar-benar gelap gulita. Rangkaian lentera istana memancarkan cahaya lembut di bawah atap rumah. 　　Salju putih di atap rumah dan dahan pohon terlihat menyilaukan mata. 　　Dayang Duo berjalan tanpa ekspresi. Seorang dayang membawa lentera istana menyinari jalan di depan, dayang lain membawa kotak brokat mengikuti dari belakang. 　　Angin dingin menusuk tulang, meski berpakaian tebal tetap menyelinap ke leher. Ketiganya berjalan di luar pada malam yang membekukan ini sama-sama menderita. 　　Sebagai hamba, tugas yang dititahkan tuanku harus segera diselesaikan meski tak nyaman. Maka ketiganya mempercepat langkah. 　　Tempat tinggal Putri ke-14 terlihat sepi. Saat ini hanya ada seorang dayang yang berjaga di pintu. 　　Melihat Dayang Duo dan dua orang mendekat, dayang penjaga itu segera menyapa. 　　“Apakah Paduka sudah tidur?” 　　Dayang melirik pintu kamar, berbisik pelan: "Sepertinya Paduka belum tidur. Mohon Dayang menunggu sebentar, saya akan masuk memberitahu." 　　Dayang membuka pintu, melangkah beberapa langkah sambil berseru: "Paduka, Janda Permaisuri mengirim Dayang Duo untuk menemui Paduka." 　　Dari balik tirai berlapis-lapis, tangisan lirih Putri ke-14 tiba-tiba terhenti. 　　Setelah beberapa saat, suara yang dipaksakan tenang terdengar: "Persilakan Dayang Duo masuk." 　　Dayang Duo menerima kotak brokat dari dayang pengiringnya, berkata datar: "Kalian tunggu di sini saja. Putri sedang malu, mungkin tak ingin ditemui banyak orang saat ini." 　　Dua dayang itu tidak merasa aneh, mengangguk lalu mulai mengobrol kecil dengan dayang penjaga pintu. 　　Dayang Duo membawa kotak brokat melangkah masuk perlahan. 　　Aroma obat semakin pekat menusuk hidung. 　　Ia segera melihat seorang gadis pucat bersandar di kepala ranjang, sudut matanya kemerahan. 　　"Hamba memberi salut pada Paduka." 　　Putri ke-14 menggeser keperawanannya lemah, suara terdengar lemah: "Dayang Duo tak perlu sungkan, repotkanmu datang menjenguk di malam hari." 　　Dayang Duo memandang Putri ke-14, bertanya lembut: "Paduka menangis?" 　　Putri ke-14 terkejut oleh pertanyaan itu, air mata tumpah tak terbendung. 　　Dayang Duo segera mendekat, menghibur dengan suara penuh kehangatan. 　　"Setiap kali datang, hamba selalu merasa Paduka semakin kurus. Paduka, jika begini terus, arwah Meiren di alam baka pasti akan sedih..." 　　Tangisan Putri ke-14 semakin mengharukan, ia bergumam pelan: "Aku sangat rindu Ibu Selir... Dayang, mengapa Ibu Selirku tiba-tiba menghilang..." 511.BAB 510 Mata Kail Terkait 　　BAB 510 Mata Kail Terkait 　　Wajah Putri ke-14 tampak pucat lesu, tangisannya menyayat hati, terlihat sangat memilukan. 　　"Ayah Kaisar bilang Ibu Selir kena penyakit mendadak, tapi aku tak percaya... Ibu Selir baru saja merawatku tadi, setelah Ayah Kaisar dan Ibu Suri datang menjenguk, dia tak pernah muncul lagi, ini sungguh aneh..." Ia menatap Dayang Duo dengan linangan air mata penuh harap, "Dayang, hatiku sakit, aku tahu tak ada yang mau memberitahuku, tapi tetap saja hatiku sakit..." 　　Dayang Duo menepuk-nepuk punggung Putri ke-14 dengan lembut sambil melirik ke sekeliling. 　　Di manapun selalu ada orang yang memanfaatkan yang sedang naik dan menginjak yang jatuh. 　　Kasus Chen Meiren membunuh Putri Kelima Belas telah menjadi buah bibir baik di dalam maupun luar istana. Dengan demikian, meski Kaisar dan Permaisuri tak menunjukkan ketidaksenangan pada Putri ke-14, banyak orang telah bertindak berdasarkan dugaan mereka. 　　Putri yang hidup dalam kemewahan tak perlu diperlakukan kasar, cukup dengan sedikit pengabaian saja sudah cukup membuatnya sengsara. 　　Kini kediaman Putri ke-14 sunyi sepi bagai gua es. 　　Suara Dayang Duo bergema aneh di ruangan luas yang dingin: "Paduka benar-benar ingin tahu bagaimana Meiren meninggal?" 　　Tangisan Putri ke-14 terhenti. Matanya berbinar penuh harap saat menatap Dayang Duo: "Dayang tahu?" 　　Dayang Duo membawa keraguan dan kecemasan: "Jika hal ini diceritakan kepada Paduka, bila ada yang tahu, maka hamba telah melakukan kesalahan besar——" 　　Putri ke-14 menggenggam tangan Dayang Duo dengan kuat: "Dayang tenang, saya tidak akan memberitahu siapapun. Dayang berkenan memberitahu saya, membuat putri ini mengetahui kebenaran wafatnya Ibu Selir, tidak menjadi orang yang dibodohi, bagi saya ini sudah merupakan kebaikan besar. Bagaimana mungkin saya sembarangan bicara sehingga membahayakan Dayang?" 　　Dayang Duo menghela napas, suaranya direndahkan: "Hamba juga tidak tega melihat Paduka terus dibodohi. Tapi setelah Paduka tahu, simpanlah dalam hati, jangan sampai orang lain melihat tanda-tandanya. Kalau tidak, yang akhirnya dirugikan tetap Paduka..." 　　"Dayang bicaralah, saya bukan anak kecil lagi. Bagaimana seharusnya, dalam hati sudah ada perhitungan." 　　"Chen Meiren... dihukum mati..." 　　"Dihukum mati?" Sorot mata Putri ke-14 tiba-tiba membeku, genggamannya pada tangan Dayang Duo mengeras, "Siapa... yang menghukum mati ibu kandungku..." 　　Dayang Duo berdesah pelan: "Paduka, siapa lagi yang berkuasa menghukum mati seorang Meiren?" 　　Putri ke-14 berkedip, air mata berderai: "Tidak mungkin, Ayah Kaisar yang begitu bijak dan pengasih, mengapa menghukum mati ibu kandungku?" 　　"Di mata Kaisar, yang berbuat salah tentu harus menerima hukuman." 　　"Kesalahan apa yang dilakukan ibu kandungku?" desak Putri ke-14. 　　Dayang Duo terdiam. 　　“Dayang, tolong beri tahu saya. Saya tidak percae Ibu Selir melakukan kesalahan yang pantas dihukum mati oleh Ayah Kaisar.” 　　“Sebenarnya Meiren tidak melakukan kesalahan besar. Mata Putri Fuqing sembuh, kebetulan Paduka sakit. Ada desas-desus bahwa Meiren menganggap Putri Fuqing bertabrakan astrologi dengan Paduka, sehingga saat mata Putri sembuh Paduka jatuh sakit...” 　　“Lalu?” Putri ke-14 menggigit bibirnya. 　　“Permaisuri mengatakan Meiren menyembunyikan boneka kecil bertuliskan nama dan tanggal lahir Putri Fuqing yang ditusuk jarum. Kaisar sangat murka sehingga memerintahkan hukuman mati...” 　　Putri ke-14 terdiam, tiba-tiba bersemangat: “Tidak mungkin! Saat itu saya terus sakit, Ibu sibuk merawat saya. Mana ada waktu untuk urusan kacau begitu? Ini cuma fitnah! Permaisuri punya bukti?” 　　Perubahan sebutan dari “Ibu” ke “Permaisuri” membuat senyum tipis di mata Dayang. Ia menepuk punggung putri: “Paduka, Putri Fuqing adalah jantung hati Permaisuri. Desas-desus saja sudah cukup, perlu apa bukti?” 　　Mata Putri ke-14 membelalak, wajahnya pucat: “Hukuman mati tanpa bukti?” 　　Dayang tersenyum getir: “Paduka masih bicara seperti anak kecil. Bagi orang berkuasa, untuk membunuh seseorang bahkan tak perlu desas-desus...” 　　Putri ke-14 memeluk Dayang sambil menangis tersedu-sedu. 　　“Dayang Duo membiarkan Putri ke-14 menangis hingga puas, kemudian berkata dengan lembut menasihati: ‘Paduka lebih baik mengeringkan air mata, kalau tidak besok mata akan bengkak.’” 　　“Putri ke-14 tersenyum getir: ‘Bengkak atau tidak apa urusannya? Yang penting saya sudah kehilangan ibu, di sini hanya hidup segan mati tak mau.’” 　　“‘Paduka keliru. Hari ini Janda Permaisuri mengutus hamba mengunjungi Paduka. Kabar ini sampai ke telinga Permaisuri, besok mungkin Permaisuri akan datang sendiri.’” 　　“Putri ke-14 tiba-tiba mengusap air matanya, sorot mata berkilau: ‘Besok Permaisuri akan datang?’” 　　“Perubahan sebutan dari Ibu Suri ke Permaisuri lalu ke Permaisuri, membuat Dayang Duo mengambil keputusan tegas.” 　　“Dia membuka mulut: ‘Sang Kaisar paling berbakti kepada Janda Permaisuri. Permaisuri tentu juga berbakti. Melihat Janda Permaisuri mengutus hamba mengunjungi Paduka, mana mungkin tidak memberi respons?’” 　　“‘Mungkin hanya mengirim dayang istana...’” 　　“Dayang Duo tersenyum: ‘Paduka pasti sudah dengar, hari ini Permaisuri berselisih dengan Kaisar. Jika besok Permaisuri datang sendiri, selain menghormati Janda Permaisuri, juga menunjukkan sikap baik kepada Kaisar. Dua keuntungan sekaligus, andai Paduka yang di posisi itu, apakah tidak akan melakukan hal sama?’” 　　“Putri ke-14 mendengarkan dalam diam. Cahaya lentera yang redup bergetar di wajahnya, membuat paras lembut nan tenang ini tiba-tiba terkesan mengerikan.” 　　“‘Kalau begitu, Permaisuri pasti akan datang?’ Di ruangan sunyi yang diterangi goyangan cahaya lentera, dia bertanya pelan.” 　　Dayang Duo tepat waktu menunjukkan ekspresi khawatir: "Paduka, besok ketika Permaisuri datang, Jangan tunjukkan ketidakpuasan, nanti merugikan Paduka——" 　　Putri ke-14 menutup mulut dengan saputangan sambil batuk, beberapa saat kemudian menunduk memandangi noda merah segar di kain itu. 　　"Dayang, lihatlah——" 　　Tatapan Dayang Duo menyentuh bekas darah di saputangan, matanya menyipit. 　　"Hidupku tak akan lama lagi, apa artinya Permaisuri puas atau tidak padaku?" Putri ke-14 bergumam pelan, menggenggam erat tangan Dayang Duo, "Dayang, kau berani memberitahu kebenaran, pasti dalam hati kasihan padaku. Kumohon bantu aku, ingin membela Ibu Selir——" 　　Dayang Duo menunjukkan raut ragu. 　　Keraguan sebelumnya hanya pura-pura, tapi kali ini sungguhan. 　　Awalnya ingin menanam benih kebencian di hati Putri ke-14, lalu melakukan kontak beberapa kali lagi, menunggu waktu tepat. Tak disangka Putri ke-14 yang merasa hidupnya tak lama sama sekali tak mau menunggu. 　　Jika bertindak sekarang, apakah terlalu terburu-buru? 　　Tapi jika tidak bertindak, membiarkan Putri ke-14 bertindak gegabah hingga kehilangan nyawa, bukankah menyia-nyiakan bidak catur yang bagus? 　　Putri ke-14 tiba-tiba bangkit susah payah, memberi hormat pada Dayang Duo: "Lupakan apa yang baru saja kukatakan, sudah merepotkan Dayang. Hanya mohon jangan ceritakan pada siapapun." 　　Gerakan Putri ke-14 membuat keraguan terakhir Dayang Duo sirna seketika. 　　“Paduka berencana bagaimana membalas dendam untuk Ibu Selir？” Di ruangan yang dipenuhi aroma obat, Dayang Duo bertanya. 　　Putri ke-14 menekan bibirnya: "Dayang tak perlu banyak bertanya, terlalu banyak tahu tak baik bagimu." 512.BAB 511 Tugas Sukses 　　BAB 511 Tugas Sukses 　　"Paduka jangan terburu nafsu……" 　　Putri ke-14 menatap Dayang Duo dengan mata berkilau, tersenyum tipis: "Dayang tenang, saya tidak akan gegabah." 　　"Paduka, tindakanmu benar-benar membuat hamba khawatir. Besok apakah Paduka berniat mencelakai Permaisuri?" 　　Putri ke-14 menunduk menatap tangannya sendiri, suaranya dingin: "Dia membunuh ibuku, haruskah aku tidak membalas?" 　　"Paduka, Permaisuri pasti dikawal ketat saat bepergian. Bahkan saat mengunjungi Paduka, pengawalnya takkan sedikit. Paduka sedang sakit, masakan mengandalkan kekuatan fisik? Jika begitu, mungkin gagal sebelum sempat bertindak. Saat itu, bagaimana Paduka bisa mempertanggungjawabkan kasih sayang ibu Meiren yang tulus?" 　　Putri ke-14 menutupi wajahnya sambil menangis: "Selain tubuh lemah ini, apa lagi yang bisa kulakukan?" 　　Isakan tangis gadis itu bergema di ruangan, semakin menjauh seiring kibasan tirai. 　　"Pernahkah Paduka mempertimbangkan menggunakan racun?" 　　Tangisan Putri ke-14 terhenti, matanya menatap Dayang Duo. 　　Dayang Duo yang telah berusia paruh baya ini berwajah ramah, namun kata-katanya yang diucapkan ringan menyimpan hawa dingin yang tak terkatakan. 　　“Menggunakan racun?” Putri ke-14 tampak bingung, “Persediaanku sehari-hari semuanya tercatat rapi, dari mana mungkin aku bisa mendapatkan racun?” 　　Dayang Duo mengeluarkan suatu benda dari lengan bajunya dan menyerahkannya. 　　Itu adalah kotak giok mungil dengan penampilan sangat biasa. 　　Putri ke-14 memandangnya dengan tatapan tak mengerti. 　　“Di dalamnya ada sejenis cacing beracun. Asal bisa masuk ke dalam tubuh manusia, tak lama kemudian korban akan menunjukkan gejala gagal jantung secara bertahap, akhirnya meninggal karena gagal jantung. Bahkan tabib istana tak akan bisa mendeteksinya. Dengan cara ini, Paduka bisa membalaskan dendam Ibu Selir sekaligus menyelamatkan diri sendiri. Bukankah ini sempurna?” 　　Putri ke-14 menatap kotak giok kecil itu, bergumam: “Mengapa Dayang mau membantuku seperti ini?” 　　Mata Dayang Duo berkedip-kedip: “Hamba punya anak angkat perempuan yang dulunya bekerja di Istana Kuning. Hanya karena mengeluh beberapa kata secara pribadi yang sampai ke telinga Permaisuri, dia langsung dibuang diam-diam. Hamba sama seperti Paduka, ingin membalas dendam untuk anak angkatku yang malang.” 　　Jari-jari putih ramping Putri ke-14 menyentuh kotak giok itu, matanya memancarkan kekaguman dan ketakutan: “Bagaimana cara menggunakan cacing beracun ini?” 　　“Sangat mudah. Cari saja luka kecil di tangan target...” Suara Dayang Duo mengandung bujukan. 　　Putri ke-14 akhirnya menggenggam kotak giok kecil itu, berbisik: “Seperti ini saja?” 　　Derap langkah kaki terdengar. Tirai tebal tersibak, Kaisar Jingming dan Permaisuri muncul berpegangan tangan di hadapan Dayang Duo. 　　Dayang Duo tertegun, refleks menatap Putri ke-14. 　　Putri ke-14 menggenggam erat kotak giok, berjalan menghampiri Permaisuri. 　　"Ibu——" 　　Permaisuri menepuk-nepuk lengan Putri ke-14 dengan lembut, menariknya ke belakang: "Si Empat Belas sudah melakukan dengan baik." 　　Putri ke-14 tersenyum lega, bersandar lemas pada dayang sambil terengah-engah: "Erchen tidak mengecewakan tugas yang diberikan." 　　Setelah berkata demikian, ia memandang Dayang Duo yang masih terpaku, air mata mengalir deras. 　　Ia tahu, Ibu Selirnya bersalah. 　　Hari itu setelah Ayah Kaisar dan Ibu datang ke tempatnya, Ibu Selir pun menghilang. Berkali-kali ia ingin menanyakan penyebab kematian sebenarnya, namun hanya mendapat tatapan menghindar dan jijik. 　　Akhirnya tiba hari ini, Ibu mengirim orang dengan alasan menegurnya, mengungkap seluruh kebenaran kematian Ibu Selir. Barulah ia paham situasi sebenarnya. 　　Ternyata Ibu Selirnya adalah dalang di balik kebutaan Kakak ketigabelas, sekaligus pelaku pembunuhan Adik Kelima Belas. 　　Kebenaran memalukan ini, meski enggan dipercaya, ia tahu itu nyata. 　　Dahulu kala ia pernah tak sengaja mendengar keluhan Ibu Selir. 　　Saat itu ia sedang sakit, terlelap dalam dekapan Ibu Selir. Ibu Selir memeluknya erat sambil berbisik: "Ini semua karena Putri Fuqing merebut berkah anakku, andai Putri Fuqing mati saja..." 　　Air mata pahit Ibu Selir menetes di wajahnya, meski sudah terbangun dia bahkan tidak berani menggerakkan bulu mata. 　　Perkataan semacam itu terlalu mengerikan, dia tidak bisa membayangkan reaksi Ibu Selir jika tahu dia mendengarnya. Anggap saja tidak mendengar, Ibu Selir hanya sedang emosi karena menyayanginya. 　　Namun perkataan itu akhirnya tertanam dalam hati Putri ke-14. Saat kebenaran terungkap di hadapannya, tidak ada alasan untuk meragukannya. 　　Putri ke-14 menyimpan kekecewaan dan kebencian - kecewa pada kebodohan Ibu Selir yang mempercayai omong kosong hingga merugikan orang dan kehilangan nyawa, lebih membenci si penghasut. 　　Orang inilah biang keladi segalanya, menemukannya barulah benar-benar membalaskan dendam Ibu Selir. 　　Putri ke-14 memegang kotak giok, tangan terus bergetar. 　　Sama sekali tidak tahu bagaimana dia bisa memainkan sandiwara tadi, seolah seluruh tenaganya terkuras. 　　Dia berhasil, benar-benar berhasil... 　　Kepala Putri ke-14 berkunang-kunang, kotak giok terjatuh dari genggamannya. 　　Seorang dayang gesit menangkap kotak itu: "Paduka——" 　　Permaisuri segera bersabda: "Bawa Putri ke ruang sebelas untuk beristirahat." 　　Sorot mata memohon Putri ke-14: "Ibu, Erchen ingin mendengarkan." 　　Permaisuri ragu menatap Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengangguk halus: "Biarkan dia mendengar." 　　Seperti kata Lao Qi, Si Empat Belas sudah besar. Tidak semua hal boleh ditutupi, nanti malah dimanfaatkan orang untuk melakukan hal tak terampuni. 　　"Mengingat Dayang Duo sedikit demi sedikit menghasut kebencian Putri ke-14 terhadap Permaisuri, Kaisar Jingming langsung merasakan ketakutan yang mendalam." 　　"Seandainya tidak memberitahu Putri ke-14 tentang kebenaran kematian Chen Meiren sebelumnya, mungkin putri ini akan mengikuti jejak Chen Meiren dan Selir Yang, menjadi pisau di tangan orang lain." 　　"Namun sekarang dia justru merasa lega." 　　"Dia bahkan tidak menyangka Putri ke-14 bisa bertindak begitu baik, diam-diam memancing lawan menunjukkan ekor rubah mereka." 　　"Mengingat hal ini, penilaian Kaisar Jingming terhadap Yu Jin semakin meningkat." 　　"Ibu - Permaisuri - Permaisuri, perubahan tiga sebutan ini adalah saran dari Yu Jin." 　　"Anak muda ini benar-benar cerdik." 　　"Dayang Duo, sebagai orang dari suku Wu Miao yang menyusup ke istana lima belas tahun lalu untuk membuat kekacauan, apa tujuanmu?" Kaisar Jingming menarik kembali pikirannya, menatap tajam ke arah Dayang Duo. 　　"Dayang Duo tetap diam." 　　"Kau menghasut orang untuk menyakiti Putri Mahkota, menyakiti Putra Mahkota, bahkan hendak membunuh Permaisuri, untuk tujuan apa sebenarnya?" 　　"Hamba tidak mengerti maksud Kaisar." 　　"Kaisar Jingming murka: "Baru saja kau menghasut Putri ke-14 menggunakan cacing beracun untuk membunuh Permaisuri, Aku mendengar jelas-jelas, masih berani menyangkal?"" 　　"Permaisuri menghukum putri angkat hamba, hamba hanya ingin menuntut keadilan untuk putri angkat hamba. Adapun tuduhan Kaisar tentang menyakiti Putri Mahkota dan Putra Mahkota, hamba sama sekali tidak paham." 　　Melihat Dayang yang tenang dan santai, Kaisar Jingming naik darah dan berkata dengan sinis, "Jika tahu bahwa rekanmu di ibu kota sudah dihukum mati, apakah kau masih akan berpura-pura bodoh?" 　　Ekspresi Dayang yang tenang akhirnya menunjukkan perubahan: "Apa maksud Kaisar?" 　　Kaisar Jingming menyeringai dingin: "Sepasang nenek dan cucu itu sudah dihukum lingchi. Dayang, jika kau jujur mengaku tujuanmu melakukan ini, Aku akan memberimu mayat utuh. Jika tidak, mereka akan menjadi contohmu!" 　　Kali ini giliran Dayang yang tertawa: "Kaisar akan menghukum hamba dengan lingchi? Hehe, apakah Kaisar sudah bertanya pada Janda Permaisuri?" 　　Batuk ini benar-benar tak kunjung sembuh, minta vote penghiburan. 513.BAB 512 Merebut Waktu 　　BAB 512 Merebut Waktu 　　Cahaya dingin tiba-tiba berkilat di mata Kaisar Jingming: "Apa maksudmu?" 　　Dayang berbicara dengan tenang: "Ada cacing bernama Gu Ibu-Anak yang hidup bersimbiosis, yang besar induknya, yang kecil anaknya. Induknya di dalam tubuh satu orang, anaknya di tubuh lain. Ketika pembawa induk dihukum, coba tebak Kaisar apa yang terjadi pada orang satunya?" 　　Kaisar Jingming enggan mengikuti alur Dayang, tapi terkait Janda Permaisuri ia harus mengalah: "Apa yang terjadi?" 　　Dayang tersenyum: "Pembawa anak cacing akan merasakan penderitaan berlipat ganda. Hamba ini hina, pantas mati. Cuma ingin mengingatkan Kaisar, jika hamba dihukum lingchi, kesehatan Janda Permaisuri mungkin tak akan sanggup menahannya..." 　　“Brengsek, kau berani memasang Gu pada Janda Permaisuri?” Kaisar Jingming wajah pucat pasi, hampir tak kuasa merobek kulit Dayang Duo dengan tangannya sendiri. 　　Dayang Duo tahu Kaisar Jingming takut membahayakan ibu suri, sikapnya semakin tenang: “Benar, induk cacing Lianxin Gu ada dalam tubuhku, sedangkan anak cacingnya ada di tubuh Janda Permaisuri.” 　　“Kau--!” Kaisar Jingming menuding Dayang Duo, lama tak merasakan kemarahan dan kepasrahan sehebat ini. 　　Sungguh perasaan yang menyiksa! 　　Permaisuri berkata: “Dayang Duo, sejak pertama masuk istana kau bertugas di Istana Cining, bertahun-tahun Janda Permaisuri memperlakukanmu dengan baik. Mengapa kau tega menyakiti seorang nenek yang hampir tujuh puluh tahun?” 　　Dayang Duo menjawab datar: “Terpaksa, aku harus menyiapkan jalan mundur untuk diri sendiri, karena itu terpaksa mengkhianati Janda Permaisuri.” 　　Kaisar Jingming menatap tajam Dayang Duo, tiba-tiba wajahnya berubah gelap: “Kau pikir Aku akan takut? Pan Hai, tangkap si jahat ini!” 　　Dayang Duo tertawa: “Jika Kaisar tak percaya, silakan coba.” 　　Sambil berkata demikian, dia mencabut tusuk konde emas di rambutnya, mengarahkannya ke punggung tangan lalu menggores keras. 　　“Hentikan dia!” teriak Kaisar Jingming gusar. 　　Tusuk konde emas direbut Pan Hai, namun punggung tangan Dayang Duo sudah berlumuran darah. 　　Putri ke-14 memalingkan wajah pucatnya. 　　Kaisar Jingming menatap tangan berdarah Dayang Duo, memerintahkan pelayan istana dengan suara berat: “Pergilah ke Istana Cining lihat keadaan Janda Permaisuri.” 　　Pelayan istana menerima perintah dan pergi, seketika ruangan terbenam dalam keheningan. 　　Sebuah diam yang tegang seperti pedang terhunus. 　　Tepat ketika kesabaran Kaisar Jingming hampir mencapai batasnya, pelayan istana bergegas kembali. 　　"Bagaimana?" tanya Kaisar Jingming tak sabar. 　　Pelayan itu adalah murid muda Pan Hai, seorang pemuda cerdik yang kini matanya dipenuhi kegelisahan: "Lapor Paduka, Janda Permaisuri awalnya sudah beristirahat, tiba-tiba bangun karena tangan yang sakit. Saat ini sudah memanggil tabib istana..." 　　"Tangan mana yang dirasa sakit oleh Janda Permaisuri?" Kaisar Jingming menatap tangan kiri Dayang yang berdarah, bertanya. 　　Pelayan menjawab: "Tangan kiri." 　　Sorot mata Kaisar Jingming berkedip-kedip tak stabil, bergelombang penuh gejolak. 　　Dayang membuka suara: "Jika Paduka merasa ini kebetulan, mari kita uji lagi." 　　Sambil berkata demikian, matanya mencari benda tajam. 　　Kaisar Jingming mana berani mempermainkan kesehatan Janda Permaisuri, berseru keras: "Apa sebenarnya yang kau inginkan?" 　　Tak disangkannya bahwa dalang kerusuhan di istana yang muncul ke permukaan ini justru tak bisa diungkap motifnya, malah terpojok oleh si tertuduh. 　　Perasaan terhimpit ini sungguh tak tertahankan. 　　Dayang merapikan helaian gaun yang kusut, berkata datar: "Antar saya keluar istana." 　　"Jangan mimpi!" seru Kaisar Jingming spontan. 　　Dayang Duo tersenyum: "Lupa memberitahu Kaisar, cacing dalam tubuhku bukan hanya Gu Ibu dan Anak yang Tersambung Hati, tapi masih banyak jenis lain dengan berbagai kegunaan. Kaisar pikir dengan mengikatku, aku akan diam saja? Kaisar salah. Jika aku mau, cacing Gu bisa langsung menggerogoti organ dalamku..." 　　"Cukup!" Kaisar Jingming tak ingin mendengar lebih lanjut. 　　Meski orang di hadapannya layak dihukum seribu kali, dia takkan berkedip. Tapi jika menyakiti Janda Permaisuri, itu sama sekali tak bisa diterimanya. 　　"Aku harus keluar istana sekarang." Dayang Duo bersikap tegas. "Jika Kaisar tidak setuju, aku akan membuat Janda Permaisuri merasakan sakit hati yang terbelah. Beliau sudah tua, entah bisa bertahan atau tidak--" 　　"Keluar istana sekarang mustahil." Sebuah suara lembut menyela sebelum Kaisar Jingming sempat bicara. 　　Dayang Duo menatap Permaisuri yang tiba-tiba bersuara. 　　Wajah Permaisuri tenang, nada bicaranya halus: "Dayang Duo yang sudah 10 tahun lebih di istana pasti tahu, begitu gembok istana terkunci, bahkan Kaisar pun tak bisa sembarangan memerintahkan membuka pintu gerbang. Dengan memaksa Kaisar membuka pintu untukmu, apakah kau pernah memikirkan konsekuensi bagi Suku Wu Miao?" 　　Mendengar nama Wu Miao, raut Dayang Duo langsung berubah serius. 　　Permaisuri melanjutkan: "Kami saat ini tidak tahu tujuanmu menyusup ke istana dan menciptakan kekacauan. Entah demi Wu Miao atau ambisi pribadimu, ini tetaplah urusan yang tak pantas diumbar. Jika kami melanggar tata krama warisan leluhur dengan mengusirmu sekarang, apakah kau ingin seluruh negeri tahu seorang Wu Miao berbuat kejahatan di istana Dinasti Zhou? Saat itu tiba, mau tak mau Dinasti Zhou dan Wu Miao akan berkonflik. Dayang Duo, pikirkan baik-baik, sanggupkah kau menanggung konsekuensinya?" 　　Wu Miao terletak di antara Dinasti Zhou dan Negara Nanlan, selalu bersikap netral. Secara terbuka tidak pernah bermusuhan dengan pihak manapun, sehingga selama bertahun-tahun mereka bisa beristirahat dan memulihkan diri. 　　"Dayang Duo yang bersemangat mencari jasa, hamba bisa memahaminya. Bagaimana jika besok pagi saat pintu gerbang istana dibuka, kami mengizinkanmu pergi?" 　　Dayang Duo menatap Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming membaca sedikit kelonggaran dari raut wajah Dayang Duo, segera berkata: "Permaisuri sudah mewakili pendapatku." 　　Mengulur waktu sebisa mungkin, kali ini reaksi Permaisuri jauh lebih baik dibanding saat mata Fuqing disembuhkan. 　　Dayang Duo terdiam sejenak, lalu berkata: "Baik! Saat fajar menyingsing dan pintu gerbang istana terbuka, saya harus keluar!" 　　Kaisar Jingming menghela napas lega, memerintahkan pengawal untuk mengawasi Dayang Duo, menyuruh Putri ke-14 beristirahat, lalu pergi ke tempat lain bersama Permaisuri. 　　Melihat ke luar jendela, wajah Kaisar Jingming berkerut: "Masih ada beberapa shichen sebelum fajar. Kita harus menemukan solusi dalam waktu ini." 　　“Begitu Dayang Duo dilepaskan dari istana, meski terus diikuti diam-diam, karena Janda Permaisuri berada di bawah kendalinya, kita tak bisa berbuat apa-apa.” 　　Perasaan terkekang seperti ini sungguh menyebalkan, terutama selama Janda Permaisuri masih hidup, Kaisar Jingming sama sekali tidak bisa menerima keadaan ini. 　　Permaisuri merenung sejenak, menatap mata Kaisar Jingming: "Paduka, masih ingatkah dengan kasus Permaisuri Yan yang menyembuhkan mata Putri Fuqing?" 　　“Mana mungkin lupa.” Hati Kaisar Jingming berdesir. 　　“Saat itu Permaisuri Yan mengatakan ada cacing di mata Fuqing, setelah cacing dikeluarkan maka matanya sembuh. Entah apakah cacing di tubuh Janda Permaisuri bisa dikeluarkan oleh Permaisuri Yan?” 　　Mata Kaisar Jingming berbinar, saling bertatapan dengan Permaisuri. 　　“Bagaimana jika... kita minta Istri Lao Qi mencoba?” Setelah ragu sejenak, Kaisar Jingming mengambil keputusan. 　　Sudah sampai di titik ini, hanya bisa mencoba segala cara. Jika Istri Lao Qi punya metode itu bagus, kalau tidak ya terpaksa pasrah. 　　Dibandingkan kesehatan Janda Permaisuri, semua rasa terhina harus diterima. 　　Seperti yang dikatakan Permaisuri, pintu gerbang istana memang tak boleh dibuka sembarangan setelah dikunci, namun keadaan darurat membuat Pan Hai diam-diam keluar istana menuju Kediaman Pangeran Yan atas perintah Kaisar Jingming. 　　Obat batuk sirup itu terlalu pahit! Sepengetahuanku, banyak teman-teman penulis yang mengetik sama sepertiku, batuk sudah sebulan lebih.. 514. BAB 513 Metode 　　BAB 513 Metode 　　Di Yuyuan Kediaman Pangeran Yan, lampu-lampu masih terang benderang. 　　Er Niu mendapat makanan tambahan, perutnya yang bulat malas-malasan berbaring di sarang dekat tembok, sesekali menegakkan leher untuk melihat bayangan orang yang bergerak di balik kasa jendela, lalu mengibaskan ekornya dengan bosan. 　　Di dalam ruangan, Jiang Si yang mengenakan baju dalam putih bersih sedang bermain catur dengan Yu Jin. 　　Yu Jin meletakkan bidak catur dengan santai, berkata: "Kakek-nenek dari Suku Wu Miao itu sudah dibawa pergi oleh Jinlinwei." 　　Jiang Si memegang bidak caturnya: "Nenek tua itu adalah tetua generasi Suku Wu Miao. Dengan strateginya, penjara Jinlinwei mungkin takkan sanggup menahannya." 　　Mengapa Suku Wu Miao yang populasinya sedikit bisa mendominasi berbagai suku dan tetap tegak di antara dua kekaisaran besar Zhou dan Nanlan? Rahasianya terletak pada ilmu gaib segelintir perempuan Wu Miao. 　　Di Suku Wu Miao, prinsipnya adalah yang mampu berkuasa. 　　Jika sebuah keluarga melahirkan calon Imam Suci, seketika mereka dihormati semua orang. Bila calon tersebut akhirnya menjadi tetua, keluarga itu akan langsung naik strata sosial apapun latar belakang sebelumnya. 　　Dibanding garis keturunan, kemampuan individu justru lebih dihargai. Bahkan keturunan tetua pun jika biasa-biasa saja takkan dipedulikan orang. 　　Sebagai salah satu dari segelintir tetua generasi pertama, kemampuan Nenek Hua tak perlu diragukan lagi. 　　Yu Jin menunduk memandangi papan catur, berdesah pelan: "Ya, memang takkan bisa ditahan." 　　Jiang Si menatapnya: "A Jin, kau sepertinya sangat memahami Suku Wu Miao." 　　"Kebetulan saja." Cahaya mata Yu Jin berkedip dalam, seolah teringat sesuatu. 　　Jiang Si masih ingin bertanya lebih lanjut, A Qiao segera melapor: "Pangeran, Permaisuri, utusan dari istana telah datang." 　　Keduanya saling bertukar pandang. 　　Utusan datang di waktu seperti ini? 　　Pasti ada urusan penting yang sangat mendesak. 　　Yu Jin berdiri: "A Si, kau istirahat saja, aku akan pergi ke depan melihat situasi." 　　A Qiao buru-buru berkata: "Pangeran, kasim dari istana itu ingin bertemu Permaisuri." 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu segera memerintahkan: "Kalau begitu antar tamu ke Ruang Penerimaan di Yuyuan." 　　Cuaca dingin dan malam gelap, dia tentu tidak ingin Jiang Si repot pergi ke depan. 　　Keduanya tidak menunggu lama sebelum melihat pelayan istana yang terburu-buru datang di Ruang Penerimaan - Pan Hai. 　　Hati Yu Jin sedikit berdebar. 　　Ternyata Pan Hai sendiri yang datang, tampaknya masalahnya lebih serius dari perkiraannya. 　　Menyadari waktu mendesak, Pan Hai langsung membuka pembicaraan: "Pangeran, Permaisuri, ada masalah di istana, Permaisuri diminta segera datang." 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Paman Pan, tolong jelaskan dulu detail kejadiannya." 　　Pan Hai segera menjelaskan urutan kejadian: "Tak disangka Dayang Duo berani menyandera Janda Permaisuri untuk memaksa Kaisar. Kaisar tidak punya pilihan selain meminta Permaisuri datang ke istana." 　　"Jalan licin di malam hari, Permaisuri juga sedang hamil. Aku tahu Ayah Kaisar sedang cemas, tapi aku sangat khawatir membiarkan Permaisuri pergi sendirian... Paman Pan, bolehkah aku ikut Permaisuri ke istana?" 　　Pan Hai tersenyum kecut: "Pangeran, ini tidak boleh. Pada shichen ini Baginda sama sekali tidak boleh masuk istina. Sekalipun Kaisar mengizinkan, penjaga pintu gerbang istana pun tak akan melepas masuk." 　　Permintaan pangeran dewasa masuk istana di tengah malam, hanya Pangeran Yan yang berani mengajukannya. 　　"Pangeran, hamba akan ikut Paman Pan masuk istana. Kau tak perlu khawatir." Jiang Si tersenyum manis pada Yu Jin, memberikan isyarat mata. 　　Yu Jin seribu tak rela di hati, namun terpaksa mengangguk: "Repotkan Paman Pan menjaga Permaisuri dengan baik." 　　"Pangeran tenang, hamba pasti akan mengembalikan Permaisuri dengan selamat." 　　Jiang Si diam-diam naik ke tandu yang menunggu di Pintu Kedua. Pengangkat tandu melesat dalam gelap malam, hingga entah berapa lama baru memperlambat langkah. 　　Jiang Si mengangkat tirai tandu selapis, mengintip ke luar. 　　Istana malam hari bagai binatang raksasa tertidur, di atas tembok kokoh bertebaran titik-titik cahaya bintang. 　　Itu adalah penerangan bagi pengawal yang sedang berpatroli. 　　Tandu tak berhenti di pintu gerbang istana. Pan Hai maju membisik sesuatu pada penjaga pintu, lalu langsung diusung masuk. 　　Jiang Si menurunkan tirai tandu. Wajahnya yang tersembunyi dalam gelap samar-samar, merenungkan segala yang akan dihadapi. 　　"Permaisuri, sudah sampai." 　　Dibantu pelayan istana turun dari tandu, Jiang Si melirik sekeliling tapi tak langsung mengenali aula mana ini. 　　Pan Hai berjalan di depan sisi dengan langkah terukur, menghantarkan Jiang Si ke sebuah ruang penerimaan. 　　Sekilas pandang, Jiang Si langsung melihat pasangan Kaisar dan Permaisuri yang duduk berdampingan. 　　Di antara mereka terpisah meja teh kecil, di atasnya dua cangkir teh mengepulkan asap hangat. 　　"Menantu perempuan memberi salam kepada Ayah Kaisar dan Ibu." 　　Permaisuri tiba-tiba berdiri langsung menyangga Jiang Si: "Permaisuri tak perlu berlebihan, memanggilmu di saat seperti ini adalah kesalahan hamba." 　　Jiang Si yang selalu memegang prinsip "hormat dibalas sepuluh kali lipat" menjawab lembut: "Ibu jangan berkata demikian, bisa membantu meringankan beban Ayah Kaisar dan Ibu adalah kehormatan menantu." 　　Kaisar Jingming merasa nyaman mendengar perkataan Jiang Si, langsung membuka topik: "Istri Lao Qi, apakah kau tahu cara menghilangkan Gu Ibu dan Anak yang Menyatu?" 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya. 　　Harus diakui Kaisar dan Permaisuri cepat beradaptasi, hanya karena dia menyembuhkan mata Putri Fuqing, saat Janda Permaisuri kena Gu Ibu dan Anak yang Menyatu langsung mencari dia. 　　"Mustahil menghilangkan Gu Ibu dan Anak yang Menyatu." Perkataan Jiang Si seketika membuat wajah penguasa muram. 　　Kaisar Jingming tak mau menyerah: "Tak bisa dihilangkan?" 　　Jiang Si menjelaskan: "Ibu dan anak menyatu, jika ada upaya membunuh cacing anak, cacing induk akan langsung merasakan. Pemilik racun Gu pasti akan tahu. Dalam sekejap, Dayang Duo punya cukup waktu membuat Janda Permaisuri menderita bahkan kehilangan nyawa." 　　Wajah Kaisar Jingming semakin pucat: "Benarkah kita tak bisa berbuat apa-apa?" 　　"Tidak heran dalam wasiat rahasia almarhum kaisar ada peringatan, memintanya sebisa mungkin menghindari konflik dengan Suku Wu Miao. Orang Wu Miao yang menguasai ilmu gaib memang sangat merepotkan." 　　Jiang Si terdiam lama, kemudian berkata: "Ada satu cara." 　　"Cepat katakan!" 　　"Dengan metode khusus memindahkan anak cacing ke orang lain sebelum induk cacing menyadarinya." Jiang Si menjelaskan perlahan. 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri terkejut, ekspresi mereka sangat kompleks. 　　Setelah lama, Kaisar Jingming berbicara dengan susah payah: "Apakah ada persyaratan khusus... untuk orang itu?" 　　Sebagai kaisar, betapapun bijaksananya, nyawa Janda Permaisuri dan rakyat biasa tetap berbeda nilainya di hatinya. 　　Jiang Si menggigit bibirnya, ragu sejenak lalu bertekad: "Menantu bisa menjadi orang itu." 　　"Tidak boleh!" Sang Kaisar langsung menolak. 　　Permaisuri menambahkan: "Permaisuri, kau adalah istri Pangeran Yan, lagi mengandung cucu naga. Bagaimana bisa mengambil risiko seperti ini? Ini bukan saatnya berhati lembut. Sebutkan persyaratannya, Kaisar dan hamba akan carikan orangnya. Jika harus menanggung dosa, biarlah hamba yang menanggungnya." 　　Jiang Si tersenyum masam: "Menantu juga tak ingin mengambil risiko. Tapi orang lain tidak paham metode transfer ini. Jika tidak bisa menyelesaikan transfer secepatnya, induk cacing akan tahu..." 　　Risiko berbahaya ini sebenarnya tidak berarti baginya, tapi tanpa menunjukkan kesulitan, bagaimana mungkin memperdalam rasa syukur sang Kaisar? 　　Ini kesempatan bagus untuk mencapai target kecilnya. 　　Kaisar Jingming mengerti, terus menggelengkan kepala: "Ini tidak bisa, menyelamatkan Janda Permaisuri tapi membahayakanmu dan para gadis, Janda Permaisuri pun akan merasa bersalah jika tahu..." 　　Terima kasih atas berbagai resep obat dan obat-obatan yang kalian berikan, saya akan mencatat semuanya! Beberapa hari lagi setelah ledakan pembaruan selesai dan tidak terlalu sibuk, saya akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Sayang kalian semua. 515.BAB 514 Menembus Kebuntuan 　　BAB 514 Menembus Kebuntuan 　　Jiang Si menatap Kaisar Jingming. 　　Cahaya di aula terang benderang, memperlihatkan alis berkerut Kaisar Jingming, kerutan di sudut mata, serta uban di pelipisnya dengan jelas. 　　Antara ibu kandung dan menantu perempuan yang sedang hamil, pilihan hidup-mati menurut etika Dinasti Zhou bukanlah hal yang terlalu sulit. 　　Jika ayah meminta anak mati maka anak harus mati, contohnya di masyarakat bila seorang ibu tua melaporkan anak yang tidak berbakti, pihak berwenang akan membantu sang ibu membunuh anaknya bahkan tanpa memberi kesempatan bertobat - ini dianggap kejahatan tak terampuni. 　　Bagi Kaisar Jingming, bisa ragu-ragu antara Janda Permaisuri dan menantu perempuan saja sudah termasuk murah hati. 　　Jiang Si tentu tidak bisa menunggu keputusan Kaisar Jingming, berkata: "Ayah Kaisar, Nenek Kaisar dikendalikan oleh Gu Ibu-Anak Dayang Duo. Jika Dayang Duo nekat bunuh diri, nyawa Nenek Kaisar akan terancam. Saya memindahkan cacing anak dari tubuh Nenek Kaisar ke tubuh saya, memiliki 70% keyakinan bisa menekan cacing anak ini. Ayah menyayangi saya, saya sangat berterima kasih, tapi Nenek Kaisar sudah tua, tidak kuat menerima guncangan..." 　　“Benarkah kau punya keyakinan tujuh puluh persen?” Mata Kaisar Jingming berbinar. 　　Jiang Si mengangguk perlahan: “Kurang lebih tujuh puluh persen.” 　　Bibir Permaisuri bergetar, ingin bertanya apakah ini juga berasal dari pengetahuan bawaan lahir, namun akhirnya memilih diam. 　　Pasti Kaisar sudah menyuruh Jinlinwei menyelidiki hal ini sejak lama. Jika ada keanehan pada Permaisuri Yan, Kaisar takkan membiarkan situasi tetap tenang sampai sekarang. 　　Kaisar Jingming terdiam. 　　Waktu terus berlalu. 　　Permaisuri akhirnya tak tahan mendesak: “Kaisar?” 　　Jika tidak segera memutuskan, mungkin akan terlambat. 　　Kaisar Jingming memandang Jiang Si dengan tatapan kompleks: “Istri Lao Qi, serahkan Janda Permaisuri padamu.” 　　Ia sangat ingin menjanjikan sesuatu, namun tak bisa mengatakannya. 　　Jika terjadi musibah, janji sia-sia. Jika selamat, tentu akan diberi ganti rugi. 　　Melihat Kaisar telah memutuskan, Permaisuri sedikit lega dan bertanya pada Jiang Si: “Apa yang perlu disiapkan? Janda Permaisuri mungkin sudah tidur...” 　　“Tidak perlu persiapan. Cukup antarkan saya ke hadapan Janda Permaisuri. Tidurnya justru baik, hanya saja saat memindahkan cacing anak tak boleh ada gangguan...” Jiang Si menyebutkan syaratnya. 　　“Permaisuri, suruh orangmu membawa istri Lao Qi berganti pakaian dayang, lalu ikut kita menjenguk Janda Permaisuri.” 　　Permaisuri mengangguk, menyuruh orang mengantar Jiang Si pergi. 　　Hanya tersisa Kaisar dan Permaisuri, suasana tiba-tiba menjadi kaku. 　　“Apakah Aku terlalu egois?” Kaisar Jingming memecah keheningan. 　　Permaisuri berkata dengan hati-hati: "Manusia memiliki kedekatan dan jarak, apalagi Janda Permaisuri telah membesarkan Kaisar. Kaisar tidak perlu menyalahkan diri sendiri." 　　"Aku khawatir jika terjadi sesuatu pada Istri Lao Qi, aku tidak bisa menjelaskannya pada Lao Qi..." 　　Permaisuri kehabisan kata, lama kemudian berkata kaku: "Hal di dunia memang sulit untuk sempurna." 　　Kaisar Jingming tersenyum getir: "Aku tahu. Di antara Istri Lao Qi dan Janda Permaisuri, aku memilih Janda Permaisuri. Padahal sebenarnya, jika Istri Lao Qi tidak banyak bicara, dia tidak perlu dihadapkan dengan pilihan melawan Janda Permaisuri. Para gadis ini berbakti dan baik hati, aku yang berhutang padanya..." 　　"Kaisar tenanglah, Permaisuri Yan pasti akan selamat." 　　Kaisar Jingming mengangguk. 　　Penghiburan seperti ini sangat lemah, tapi dia tetap membutuhkannya. 　　Jika... jika terjadi sesuatu pada Istri Lao Qi, dia pasti akan memberikan hadiah besar pada ayah dan kakak serta keluarga marganya, menjamin kemuliaan keluarga mereka seumur hidup. 　　Jiang Si segera dibawa keluar oleh dayang, mengenakan gaun hijau sederhana seperti seragam dayang biasa. 　　Kaisar Jingming tak tahan bertanya: "Istri Lao Qi, masih ada pesan apa lagi darimu?" 　　Jiang Si membungkuk hormat pada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, apapun hasil perjalanan menantu perempuan ini, tolong jangan beri tahu kebenaran pada A Jin." 　　Kaisar Jingming mengangguk perlahan: "Baik, aku janji padamu." 　　Kaisar dan Permaisuri berjalan bergandengan menuju Istana Cining, sementara Jiang Si menyamar di antara dayang yang mengikuti Permaisuri. 　　Istana Cining masih menyala lentera-lenteranya. 　　“Janda Permaisuri tiba-tiba merasakan sakit tangan yang tak tertahankan, baru saja memanggil tabib istana untuk beristirahat. Seluruh Istana Cining tidak berani memejamkan mata, bahkan tabib tua sengaja ditahan sementara.” 　　Melihat Kaisar dan Permaisuri mendekat, pelayan istana di pintu hendak memberitahu, namun dihentikan oleh Kaisar Jingming. 　　“Jangan ganggu istirahat Janda Permaisuri.” 　　Dayang pengurus Istana Cining menyambut untuk memberi salut kepada Kaisar dan Permaisuri. 　　“Aku dengar Janda Permaisuri sakit, datang bersama Permaisuri untuk melihat. Bagaimana keadaan beliau sekarang?” 　　Dayang pengurus berjalan mengikuti Kaisar Jingming ke dalam sambil menjawab: “Janda Permaisuri sudah tidur.” 　　“Aku akan melihat Janda Permaisuri sebentar.” 　　Segera memasuki aula dalam dan melihat Janda Permaisuri yang sedang tertidur lelap. 　　Janda Permaisuri terlihat normal, hanya alutnya berkerut tak bisa diluruskan. 　　“Pergi ke ruang depan, jelaskan detail kondisi Janda Permaisuri padaku.” Kaisar Jingming mengalihkan dayang pengurus lalu berpesan pada Permaisuri: “Aku khawatir, Permaisuri rawat beliau di sini dulu.” 　　“Kaisar tenang saja.” Permaisuri sedikit membungkukkan keperawanannya, menunggu Kaisar Jingming dan dayang pengurus pergi, lalu segera berkata pada Jiang Si: “Permaisuri Yan, sisanya serahkan padamu.” 　　Permaisuri dengan bijak berjalan ke pintu untuk berjaga, membelakangi ruangan. 　　Jiang Si mengamati Janda Permaisuri, kemudian meletakkan tangannya di pergelangan tangan beliau. 　　Merasakan aliran energi dalam tubuh Janda Permaisuri dengan cermat, wajahnya tak bisa menyembunyikan keheranan. 　　 Janda Permaisuri baru saja terkena Gu Ibu-Anak yang saling terhubung. 　　Dayang Duo yang telah mendampingi Janda Permaisuri lebih dari sepuluh tahun, mengapa baru bertindak belakangan ini? 　　“Jiang Si tidak langsung mengerti, namun karena waktu terbatas tak bisa merenung lama, segera memindahkan cacing anak.” 　　Sekitar waktu sebatang dupa terbakar, Jiang Si mendekati Permaisuri dan berbisik, “Ibu, sudah selesai.” 　　Permaisuri yang tegang seketika lega, memberi isyarat pada dayang kepercayaannya untuk melapor ke Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming kembali dan bertanya pada Permaisuri: “Bagaimana keadaan Ibu?” 　　“Ibu terus tertidur, terlihat cukup tenang.” 　　Kaisar Jingming tampak lega, berkata pada Dayang kepala: “Malam ini kalian harus menjaga Janda Permaisuri dengan baik, jika ada masalah segera laporkan pada Aku dan Permaisuri.” 　　Dayang kepala meski merasa kunjungan Kaisar dan Permaisuri di malam hari berlebihan, namun tersentuh oleh bakti mereka, segera menyanggupi. 　　“Tak perlu memberitahu Janda Permaisuri tentang kedatangan kami, agar beliau tidak khawatir.” 　　“Hamba mengerti.” 　　Kaisar Jingming menahan kegelisahan kembali ke aula sebelumnya, tak sabar bertanya pada Jiang Si: “Bagaimana?” 　　Jiang Si tersenyum: “Cacing anak sudah berhasil dipindahkan ke tubuh menantu perempuan, Janda Permaisuri kini aman.” 　　“Lalu kau—” Kaisar Jingming ragu-ragu, merasa tak enak saat bertemu sorot mata berkilau itu. 　　Ini pertama kalinya merasa demikian di hadapan junior, manusia memang tak boleh berbuat curang. 　　“Beruntungnya, cacing anak belum lama di tubuh Janda Permaisuri sehingga belum berkembang parah. Menantu masih bisa mengendalikannya.” 　　“Jika Dayang Duo melukai diri sendiri atau disiksa, apakah akan memengaruhimu?” 　　“Ayah Kaisar tenang saja. Jika cacing anak berhasil ditekan, maka tidak akan menimbulkan masalah karena cacing induk.” 　　Kaisar Jingming akhirnya menunjukkan senyum tulus, berkali-kali mengangguk: "Bagus, bagus." 　　Permaisuri di sampingnya mengingatkan: "Kaisar, Bukankah Dayang Duo mengatakan di dalam tubuhnya masih ada cacing racun lain? Jika kita menyiksanya, dalam sekejap dia bisa mengaktifkan cacing racun itu dan mati. Dengan begitu, kita tetap sulit membuka mulutnya..." 　　"Menantu perempuan bisa mencoba." 516.BAB 515 Penekanan 　　BAB 515 Penekanan 　　Pandangan Kaisar Jingming ke arah Jiang Si bisa dibilang penuh keterkejutan. 　　Jangan-jangan menantu perempuannya ini di kehidupan sebelumnya pernah mencuri ilmu dari Wu Miao? 　　Kaisar Jingming pernah menyuruh Jinlinwei menyelidiki Jiang Si, namun hasilnya hanya menunjukkan dia seorang putri bangsawan biasa, tanpa kemungkinan kontak dengan orang Wu Miao. 　　Hanya satu hal yang membuat Kaisar Jingming kesal: Lao Qi si brengsek itu ternyata sudah lama mengenal Jiang Si! Pantas saja di Pesta Bunga Mei semua plum hijau diberikan ke Jiang Si, rupanya sudah naksir dari dulu, tapi malah menipu dirinya. 　　Setelah marah, akhirnya dilupakan saja. 　　Sebagai orang yang sudah berpengalaman, Kaisar Jingming sangat memahami perasaan tertarik di masa muda. 　　"Istri Lao Qi, bagaimana caramu mencoba?" 　　Jiang Si menjawab tenang: "Menantu perempuan bisa mencoba menekan cacing Gu di tubuh Dayang Duo." 　　"Cacing Gu di tubuh orang lain juga bisa kau tekan?" Kaisar Jingming bertanya heran. 　　Jiang Si mengangguk, menjelaskan: "Jika menantu perempuan bisa menekan cacing anak dari Gu hubungan hati ibu-anak di dalam tubuh, maka bisa mencoba menekan cacing Gu dalam tubuh Dayang Duo, prinsipnya sama." 　　Untuk menjadi Imam Suci Wu Miao, bakat bisa dikatakan prasyarat mutlak. Tanpa bakat, sekeras apa pun berusaha sulit untuk maju, hanya akan menjadi orang biasa yang membiakkan dan menggunakan Gu. 　　Ilmu Gaib Suku Wu Miao dalam mengendalikan Gu hanya bisa dikuasai oleh Imam Suci, sepertinya ini adalah bakat bawaan dari para Imam Suci sepanjang masa, misterinya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 　　Konon alasan lowongnya posisi Imam Suci Wu Miao sebelumnya adalah karena di antara beberapa calon Imam Suci, tak ada yang bisa menguasai ilmu mengendalikan Gu dalam waktu lama. 　　Hingga kini Jiang Si masih ingat ekspresi terkejut Tetua saat dirinya berhasil mempelajari ilmu mengendalikan Gu. 　　Saat itu, tatapan Tetua padanya sangat aneh, bahkan tanpa sengaja melontarkan tiga kata: "Pantas saja..." 　　Pantas saja apa, Tetua tidak melanjutkan. Dengan pengalaman hidup yang sudah penuh luka, ia bijak tidak bertanya lebih lanjut. 　　Sejak saat itu, sikap Tetua padanya jelas berubah, mengajar ilmu gaib dengan semakin sabar. 　　Bagi Jiang Si, selama bukan Tetua Besar Wu Miao yang datang langsung, mungkin butuh usaha lebih untuk menghadapi generasi Tetua seperti Hua, tapi menghadapi Tetua generasi kedua Dayang Duo, menekan cacing Gu dalam tubuhnya dengan ilmu pengendalian Gu tidak terlalu sulit. 　　“Prinsipnya sama——” Kaisar Jingming mengusap kumisnya, sangat ingin menanyakan prinsip apa sebenarnya. Tapi takut terlihat tak berpengetahuan, beliau menahan diri dan memberikan isyarat mata ke Permaisuri. 　　Permaisuri yang paham situasi bertanya, "Penjelasan Permaisuri Yan terlalu misterius. Hamba sulit memahaminya, prinsip apa yang bisa menekan cacing Gu dalam tubuh lawan?" 　　Kaisar Jingming mengangguk diam-diam. 　　Permaisuri memang jauh lebih cerdas daripada Ibu Suri Xian dan lainnya. 　　Jiang Si tersenyum: "Seperti yang Ibu katakan, hal ini terlalu gaib. Sulit bagi menantu untuk menjelaskan prinsipnya, seolah-olah ini naluri..." 　　Permaisuri meremas-remas saputangannya. 　　Keluarga calon suami sudah punya bakat alami, tak bisa ditanya lagi. 　　Beliau memandang Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming juga tak bisa mendesak, hanya mengonfirmasi: "Benarkah bisa menekan cacing Gu dalam tubuh Dayang Duo, mencegahnya bunuh diri untuk menghindari interogasi?" 　　Jiang Si tak langsung menjawab. 　　Terhadap Jiang Si, Kaisar Jingming tampak sangat sabar, menunggu jawabannya dalam diam. 　　Beberapa saat kemudian Jiang Si menjawab: "Ayah Kaisar, di dunia ini tak ada yang mutlak. Menantu akan berusaha sebaik mungkin. Jika berhasil menekan cacing Gu itu bagus, jika tidak ya kembali ke kondisi semula. Bagaimana pendapat Ayah?" 　　Ia tak ingin memberi kesan bisa dimanfaatkan oleh Kaisar. 　　Semua orang bisa dimanja, termasuk kaisar sekalipun. 　　“Begitu orang merasa dia bisa terus-menerus memenuhi permintaan pihak lain, sekali dua kali mungkin masih berterima kasih, tapi jika terlalu sering akan dianggap wajar, bahkan suatu saat ketika tak bisa dipenuhi malah akan disalahkan.” 　　Ini bukan masalah individu semata, sifat manusia memang demikian adanya. 　　Kaisar Jingming agak tersipu oleh pertanyaan Jiang Si, terkekeh canggung, “Istri Lao Qi, kau benar, ini Aku yang kurang berpikir.” 　　Permaisuri di samping diam-diam merasa gemetar. 　　Keberanian Permaisuri Yan benar-benar luar biasa, berani membalikkan situasi melawan Kaisar. 　　Menanggapi reaksi berbeda Kaisar dan Permaisuri, Jiang Si hanya mengatupkan bibirnya halus. 　　Seperti sikap merendahkannya terhadap Mulia Putri Rongyang sebelumnya, hanya orang tak berdaya yang sibuk ingin membuat senang penguasa, membiarkan suka-duka penguasa mengendalikan emosinya. 　　Daripada menjadi orang seperti itu, dia lebih memilih meraih rasa hormat dengan kemampuannya sendiri. 　　Menghadapi sikap mengalah Kaisar Jingming, Jiang Si tiba-tiba merasa keputusannya untuk tidak lagi menyembunyikan kemampuannya sejak masuk keluarga kerajaan adalah pilihan tepat. 　　Sekalipun akhirnya sama saja, setidaknya dia sudah untung bisa hidup sesuka hati. 　　Andai tidak hamil, saat ini dengan secawan arak dan orang tercinta di hadapannya, tentu akan dia ajak bersulang bersama. 　　“Kalau begitu, segera panggil Dayang Duo!” Kaisar Jingming mengambil keputusan tegas. 　　Melihat Istri Lao Qi berhasil menyelamatkan Janda Permaisuri dengan mudah, sempat membuatnya overconfiden, untung Istri Lao Qi segera menyadarkannya. 　　Di dalam kamar berpenjaga ketat, Dayang Duo sama sekali tidak tidur. 　　“Di sekelilingnya sudah ada beberapa orang yang mengawasinya dengan tatapan tajam, seolah-olah dalam sekejap mata ia bisa berubah menjadi nyamuk dan terbang. Tentu saja ia tidak bisa tidur.” 　　Pintu terbuka, Pan Hai masuk terlebih dahulu. 　　Dayang Duo melirik dengan malas, tetap tidak bergeming. 　　Pan Hai menyingkir ke samping, memberi jalan bagi Kaisar dan Permaisuri untuk masuk. 　　Barulah Dayang Duo menggerakkan kelopak matanya, bertanya, "Sekarang belum subuh, apakah Kaisar mengubah pikiran dan berencana membebaskan saya dari istri lebih awal?" 　　Kaisar Jingming menyeringai dingin, "Benar aku mengubah pikiran, tapi membebaskanmu dari istana adalah mimpi belaka!" 　　Perasaan tidak diremehkan orang lain ini sungguh menyenangkan. 　　Tanpa sengaja ia melirik ke belakang. 　　Jiang Si berada di luar pintu, tidak ikut masuk. 　　Hati Kaisar Jingming masih gelisah. Bagaimanapun, klaim Jiang Si tentang pemberantasan cacing anak dalam tubuh Janda Permaisuri tidak bisa dibuktikan langsung. Namun logikanya mengatakan istri Lao Qi tak mungkin bercanda dalam hal serius seperti ini. 　　Apapun yang terjadi, satu-satunya jalan sekarang adalah percaya. 　　Dayang Duo tak tahu dari mana keberanian Kaisar Jingming muncul, mengejek, "Apakah Kaisar tak peduli lagi pada keselamatan Janda Permaisuri? Tampaknya bakti Kaisar selama ini hanya pura-pura!" 　　"Diam! Hubunganku dengan Janda Permaisuri bukan urusanmu!" bentak Kaisar Jingming. Kepada Pan Hai ia perintah, "Aku akan mengawasi di sini. Buka mulutnya dan cari tahu motif di balik kekacauan yang ia buat di istana!" 　　Pan Hai mengangguk, segera memberi isyarat pada dua pelayan istana. 　　Dua pelayan istana maju menahan Dayang Duo di kiri-kanan, memegangi tangannya, lalu mengambil paku besi yang sudah disiapkan sebelumnya dan menancapkannya perlahan ke dalam salah satu kukunya. 　　Dayang Duo menjerit kesakitan. Setelah rasa sakit yang menusuk tulang sumsum berlalu, wajahnya yang terdistorsi dipenuhi keheranan: "Mengapa tidak ada reaksi? Tidak mungkin, tidak mungkin!" 　　Kaisar Jingming langsung merasa lega setelah mendengarnya, bertukar pandangan dengan Permaisuri. 　　Keduanya melihat bayangan senyum di mata masing-masing. 　　Permaisuri Yan ternyata benar-benar berhasil menekan cacing anak dari Gu Ibu-Anak! 　　Setelah terkejut, Dayang Duo teringat sesuatu dan segera mengaktifkan Gu Pemakan Hati di dalam tubuhnya. 　　Gu Pemakan Hati akan menggigit putus pembuluh darah jantung dalam sekejap, metode bunuh diri yang cepat dan praktis. 　　Saat diaktifkan, Gu Pemakan Hati yang tertidur di dekat jantung mulai bangun, tapi tiba-tiba wajah Dayang Duo berubah drastis. 517.BAB 516: Melangkah Menuju Tujuan 　　BAB 516: Melangkah Menuju Tujuan 　　Dayang Duo memegangi dadanya sambil terhuyung bangkit, terlalu terkejut sampai tak merasakan sakit. 　　"Mengapa Gu Pemakan Hati lepas kendali?" 　　Dengan geram, dia mencoba mengaktifkan Gu itu lagi. Namun wajahnya berangsur memerah keunguan, tiba-tiba mulutnya menganga dan memuntahkan sesuatu. 　　Benda itu jatuh ke lantai, ternyata seekor cacing hitam. 　　Cacing hitam yang terpapar udara itu menggeliat beberapa kali lalu tak bergerak, segera berubah menjadi genangan darah. 　　"Permaisuri wajahnya pucat pasi, menutup mulut dengan sapu tangan erat-erat untuk menahan muntah." 　　"Kaisar Jingming memandangi genangan darah di lantai dengan bulu kuduk meremang." 　　"Benar-benar ada makhluk aneh dan menjijikkan di dunia ini!" 　　"Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin..." Dayang Duo mulai kehilangan akal, memberontak sambil melirik ke sekeliling, "Apa mungkin Tetua Agung datang?" 　　"Kaisar Jingming memandangi Dayang Duo yang sudah kehilangan kewibawaannya, menikmati posisi unggul: "Dayang Duo, kau sudah kehilangan semua perlindungan. Masih tidak mau mengaku?!" 　　"Dayang Duo melirik Kaisar Jingming, tiba-tiba menerjang ke arahnya." 　　"Dua pelayan istana di samping langsung menahan tubuhnya erat-erat." 　　"Lepaskan! Aku harus lihat siapa di luar!" Sorot mata Dayang Duo menancap tajam ke arah pintu." 　　"Kaisar Jingming dan Permaisuri tak bisa tidak mengikuti pandangan Dayang Duo." 　　"Mereka tentu tahu siapa di balik pintu. Justru karena itu, hati mereka terguncang hebat." 　　"Permaisuri Yan ternyata memiliki kemampuan supranatural seperti ini..." 　　"Permaisuri berpikir: Permaisuri Yan bisa melakukan hal yang tak mungkin dilakukan orang biasa. Ke depannya jangan sampai bermusuhan." 　　"Dia tiba-tiba merasa Ibu Suri Xian agak bodoh." 　　"Tidak tahukah Ibu Suri yang selalu bersikap sok sebagai mertua itu, bahwa menantu perempuannya seganas ini?" 　　"Permaisuri yang jarang bersimpati pada selir Kaisar, kali ini merasa agak kasihan." 　　"Kaisar Jingming malah berpikir: Untung istri Lao Qi berasal dari keluarga kerajaan. Jika suatu saat berhadapan dengan Wu Miao, kita tidak akan kehabisan akal..." 　　"Pikiran Kaisar dan Permaisuri ini tak sebanding dengan badai dahsyat yang menggelora di hati Dayang Duo." 　　"Siapa sebenarnya di luar sana? Aku tak percaya di dunia ini selain Tetua, masih ada yang bisa menekan cacing Gu dalam tubuhku!" 　　"Tapi Tetua mustahil datang ke ibu kota Dinasti Zhou, apalagi masuk istana." 　　"Mungkinkah ini Imam Suci?" 　　Dayang Duo tiba-tiba terpikir hal ini, berteriak dalam bahasa Wu Miao: "Imam Suci, apakah ini kau?" 　　"Jika sebelumnya dia masih meragukan status Permaisuri Yan, mengira Tetua Hua pasti tertipu, sekarang dia tak bisa tidak percaya." 　　"Selain Tetua, yang menguasai ilmu pengendalian Gu hanyalah Imam Suci Wu Miao A Sang!" 　　"Ketika dia meninggalkan Wu Miao, A Sang masih balita berusia setahun lebih, belum masuk dalam perhatian mereka. Tapi dalam sejarah Suku Wu Miao, yang bisa kuasai ilmu pengendalian Gu selain Tetua hanya Imam Suci." 　　Saat ini, Dayang Duo justru merasa gembira. 　　"Dulu dia salah satu calon Imam Suci, namun di generasi mereka tak muncul Imam Suci." 　　"Ini adalah bencana bagi Wu Miao, sekaligus aib bagi generasi calon Imam Suci mereka." 　　"Sejak itu dia memikul tugas berat ke ibu kota Dinasti Zhou, tak pernah punya kesempatan kembali ke Wu Miao, tapi tetap tahu penderitaan kerabatnya." 　　"Ketakutan dan kegelisahan kerabatnya baru mereda setelah A Sang menonjol menjadi Imam Suci, begitu pula dirinya." 　　"Kini, dengan merasakan langsung kemampuan Imam Suci, hatinya semakin tenang." 　　"Imam Suci, mengapa kau membantu kaisar Dinasti Zhou? Apakah kau tidak tahu misi rahasia yang menyangkut kelangsungan hidup suku kita?" Dayang Duo berteriak dalam bahasa Wu Miao dengan panik. 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri tampak kebingungan, sementara Jiang Si di balik pintu justru memahaminya. 　　Karena memahaminya, dia terkejut bukan main. 　　Misi rahasia yang menyangkut hidup-mati Suku Wu Miao? 　　Dia bukan Imam Suci A Sang yang asli, tentu saja tidak mengetahuinya. 　　Menghadapi tuduhan Dayang Duo, Jiang Si hanya bisa diam. 　　Secara emosional, Suku Wu Miao sebenarnya pernah berjasa padanya. Jika bukan karena Gu Pemikat Hati dari Dayang Duo yang diberikan kepada Putri Rongyang hingga membahayakan ibunya, dia sama sekali tidak berniat terlibat dalam semua ini. 　　Tentu saja, jika Suku Wu Miao mengancam negara Dinasti Zhou, dia juga tidak akan tinggal diam. Dari sananya dia adalah orang Zhou, meski sebagai wanita, dia paham betul bahwa runtuhnya negara berarti hancurnya keluarga. 　　Dayang Duo yang emosional terus-menerus menuduh dalam bahasa Wu Miao, namun hanya keheningan yang menjawabnya. 　　Jiang Si bertekad untuk tidak menampakkan diri. 　　Perlahan Dayang Duo mulai pasrah dan tenang. 　　"Apa yang kau katakan tadi?" tanya Kaisar Jingming. 　　Dayang Duo menyeringai dingin tanpa menjawab. 　　"Lanjutkan!" bentak Kaisar Jingming pada Pan Hai dengan marah. 　　Jeritan Dayang Duo terus terdengar hingga fajar menyingsing. 　　Permaisuri yang wajahnya pucat membujuk, "Baginda, sudahlah beristirahat sebentar. Tak lama lagi akan sidang pagi, Baginda bisa kelelahan nanti." 　　Kaisar Jingming mengangguk pada Pan Hai, lalu keluar dari pintu ditemani Permaisuri. 　　Di luar pintu, Jiang Si berbaring di dipan rendah yang dipindahkan sambil memejamkan mata. Mendengar suara, ia membuka matanya. 　　"Istri Lao Qi, ikutlah Aku," bisik Kaisar Jingming. 　　Jiang Si mengikuti Kaisar dan Permaisuri masuk ke ruangan sebelah. 　　"Kau sudah bekerja keras." 　　"Menantu perempuan ini masih baik-baik saja. Hanya saja, apakah ada perkembangan dalam kasus ini?" 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Dayang Duo ini keras kepala. Sampai sekarang belum juga berbicara." 　　Seorang wanita biasa yang terlihat sederhana ini ternyata mampu menahan siksaan seperti itu. Apakah orang Wu Miao sebegitu menakutkannya? 　　"Menantu merasa malu, tidak bisa membantu dalam hal ini." 　　"Tidak, kau sudah melakukan yang terbaik." Kaisar Jingming memuji tulus, menatap dalam-dalam ke arah Jiang Si. "Istri Lao Qi, kau rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan Janda Permaisuri, bahkan berhasil memperoleh kesempatan menginterogasi Dayang Duo. Dua jasa besarmu ini. Katakanlah permintaanmu, selama tidak melampaui batas, Aku pasti akan mengabulkannya." 　　"Membantu Ayah Kaisar dan Ibu Permaisuri adalah kehormatan bagi menantu." Jiang Si membungkuk hormat. 　　Kaisar Jingming melihat Jiang Si diam saja, mengira dia malu, lalu berpikir sejenak: “Masalah Dayang Duo tidak boleh tersebar. Jika Ayah dan Kakakmu tiba-tiba diberi gelar bangsawan, bisa menimbulkan rumor. Begini saja, Aku catat dulu. Tunggu sampai kakakmu meraih jasa perang di Perbatasan Selatan baru akan kuberi hadiah layak. Selain itu, Aku berikanmu medali bebas hukuman mati. Kedepannya dengan medali ini di tangan, siapapun yang bersalah, apapun kesalahannya, asal kau mau, nyawanya bisa diselamatkan...” 　　Jiang Si berlutut: “Hadiah mulia Ayah Kaisar, menantu sungguh berterima kasih. Kakak menantu punya niat membela negara, gelar Jenderal Xuanwu pemberian Ayah Kaisar sudah merupakan berkah baginya, tidak berani meminta lebih. Medali bebas hukuman mati yang begitu berharga, menantu semakin tidak layak menerimanya. Jika Ayah Kaisar ingin memberi hadiah, bolehkah menantu memohon satu hal—” 　　“Lantai dingin, bangunlah bicara.” 　　Jiang Si patuh bangkit. 　　Kaisar Jingming berkata datar: “Sabda emas, sudah Kukatakan akan memberimu ini, terimalah. Lainnya... katakan dulu permintaanmu.” 　　Tidak mau hadiah untuk kakak, bahkan menolak medali bebas hukuman mati. Dia jadi penasaran, permintaan Istri Lao Qi ini sebenarnya apa. 　　Jiang Si menekan bibirnya, wajah serius: "Ibu almarhumah menantu perempuan ini meninggal karena gagal jantung bertahun-tahun lalu. Saat memasuki istana kali ini, hamba melihat cacing beracun yang diberikan Dayang Duo kepada Putri ke-14. Hamba merasa curiga dan gelisah, mohon Ayahanda memerintahkan penyelidikan terhadap Dayang Duo untuk memastikan apakah ibu hamba benar-benar meninggal karena gagal jantung atau karena cacing Gu ini!" 　　Ia tak pernah menetapkan target sembarangan. Tampaknya target kecilnya untuk membalas dendam bagi ibu dengan menyingkirkan Mulia Putri Rongyang akan segera tercapai. 518.BAB 517 Kemarahan Hebat 　　BAB 517 Kemarahan Hebat 　　Ibu almarhumah istri Lao Qi? 　　Kaisar Jingming yang bahkan tak hapal semua putrinya sendiri tentu tak langsung ingat siapa ibu Jiang Si. 　　Ia spontan menoleh ke Permaisuri. 　　Permaisuri justru ingat jelas, mengingatkan: "Paduka, ibu Permaisuri Yan berasal dari Keluarga Marquis Yining." 　　Hampir seketika itu juga ia teringat hubungan masa lalu antara Nyonya Su dengan Mulia Putri Rongyang. 　　Saat ini, pertarungan batin hebat berkecamuk dalam hati Permaisuri. 　　Mengungkit perseteruan Nyonya Su dengan Mulia Putri Rongyang di hadapan Kaisar jelas akan menyinggung Mulia Putri Rongyang bahkan Janda Permaisuri, namun di sisi lain akan memperoleh simpati Permaisuri Yan. 　　Sebagai Permaisuri ratu negara, seharusnya ia tak perlu mempertimbangkan apakah Permaisuri Yan bersimpati padanya. Tapi setelah menyaksikan berbagai strategi Jiang Si, ia tak bisa lagi berpikir secara konvensional. 　　Jiang Si mampu menyembuhkan mata Fuqing, kini menyelamatkan Janda Permaisuri. Siapa tahu di masa depan akan ada saatnya ia membutuhkan bantuannya? 　　Berbuat sekadar formalitas dan bertindak dengan tulus ikhlas jelas berbeda. 　　Selain itu, hanya dari fakta bahwa Permaisuri Yan berhasil menyembuhkan mata Putri Fuqing, dia sudah patut berterima kasih. 　　Permaisuri ragu sejenak sebelum memutuskan, lalu berkata lembut pada Kaisar Jingming: "Paduka tentu masih ingat, dulu Nyonya Su pernah memiliki ikatan pertunangan dengan Menantu Kaisar Cui Xu dari Putri Rongyang..." 　　Wajah Kaisar Jingming berubah samar, sorot matanya tiba-tiba menjadi tajam. 　　Nyonya Su memiliki permusuhan dengan Putri Rongyang, sedangkan Dayang Duo masuk istana karena hubungan dengan Putri Rongyang... 　　Melihat Permaisuri, lalu menatap wajah tenang Jiang Si, hati Kaisar Jingming semakin berat. 　　Sekarang istri Lao Qi mencurigai penyebab kematian Nyonya Su, mungkinkah kematiannya terkait Rongyang? 　　Begitu memikirkannya lebih dalam, Kaisar Jingming langsung meriang ketakutan. 　　Ia menatap Jiang Si. 　　Jiang Si menatapnya dengan tenang, pandangan jernih dan ekspresi yakin. 　　"Permaisuri, kau dan istri Lao Qi beristirahatlah di sini. Aku akan menyuruh Pan Hai melakukan interogasi." Setelah berkata demikian, Kaisar Jingming melirik Jiang Si sekali lagi lalu pergi dengan wajah muram. 　　Ruangan hanya tersisa Jiang Si dan Permaisuri. 　　Jiang Si sedikit menekuk lutut: "Terima kasih, Ibu." 　　Tidak dijelaskan apa yang dia ucapkan terima kasih. 　　Permaisuri juga tidak menyinggungnya, hanya menghela napas: "Permaisuri Yan, kau benar-benar nekat. Baginda sedang kesal dengan kerusuhan Dayang Duo, tidak takutkah kau membangkitkan masalah lain di saat seperti ini?" 　　Jiang Si tersenyum: “Ayah Kaisar pernah berkata, yang berjasa harus diberi hadiah, yang bersalah harus dihukum. Di hati saya, Ayah Kaisar adalah sosok yang adil dalam memberi penghargaan dan hukuman. Pasti Beliau tidak akan marah dengan permintaan kecil yang saya ajukan ini.” 　　Kesempatan tidak datang dua kali. Jika karena ketakutan saya melewatkan kesempatan yang ada, bagaimana mungkin saya bisa membalas dendam untuk ibu? 　　Permaisuri tersenyum. 　　Rupanya kekhawatirannya sia-sia. Permaisuri Yan ternyata orang yang sangat cerdik. 　　Orang cerdik seperti ini tentu layak mendapatkan sikap bersahabat darinya. 　　Saat ini, Jiang Si juga sedang merenung dalam hati. 　　Di kehidupan sebelumnya, ia terlalu rendah diri. Jangankan mendapat bantuan Permaisuri, sang Permaisuri bahkan tak pernah meliriknya, memperlakukannya sama seperti permaisuri lainnya. 　　Karena sikap Permaisuri terhadap semua permaisuri memang sama, Jiang Si tidak merasa sang Permaisuri berpihak. 　　Jika tidak ada ikatan emosional antar manusia, kedekatan biasanya terjalin karena kepentingan atau karakter. Ia menunjukkan nilai yang patut diperhatikan Permaisuri, sehingga mendapat perlakuan khusus. Ini wajar. 　　Di sisi lain, Kaisar Jingming kembali memasuki ruang interogasi Dayang Duo, membuat Pan Hai terkejut. 　　“Baginda, Mengapa Yang Mulia belum beristirahat?” 　　Kaisar Jingming mengusap kelopak matanya yang berkedut kesal: “Tidak usah.” 　　Pan Hai diam patuh tanpa bersuara. 　　Ia sangat memahami suasana hati Kaisar yang gagal membuat Dayang Duo bicara. 　　Kaisar Jingming melirik sinis ke Pan Hai sambil bergumam dalam hati: Kau mengerti apa?! Aku sekarang semakin kesal, bukan hanya gagal menginterogasi Dayang Duo, tapi Putri Rongyang juga semakin terlibat dalam kasus ini! 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya, berkata lelah: "Pergi tanya Dayang Duo, apakah cacing racun yang dia berikan ke Putri ke-14 pernah diberikan ke orang lain juga…" 　　Pan Hai gemetar ketakutan, segera menjawab "Ya" lalu bergegas masuk ke dalam. 　　Saat ini Dayang Duo sudah sekarat, tak ada satu pun bagian tubuhnya yang masih utuh. 　　Melihat Pan Hai masuk, dia membuka mata dengan susah payah, nada bicaranya tetap dingin dan keras: "Kusarankan kau menyerah, apapun hukuman yang diberikan aku takkan bicara." 　　Sebelum datang ke Dinasti Zhou, demi melatih ketahanan diri dia bahkan pernah merasakan siksaan ribuan ular melilit, semua demi bisa menjaga rahasia jika suatu saat terungkap. 　　Dia hanya menyesal cacing Gu pemakan hati berhasil ditekan, membuatnya tak bisa mati tanpa rasa sakit. 　　"Kali ini pertanyaannya berbeda." 　　Dayang Duo menyeringai dingin tanpa menghiraukan Pan Hai. 　　Pan Hai menggerakkan bibirnya lesu, bertanya tanpa banyak harapan: "Cacing racun yang kau berikan ke Putri ke-14, selama bertahun-tahun ini pernahkah kau berikan ke orang lain?" 　　Dayang Duo tertegun sejenak, tak lama kemudian tiba-tiba tertawa di luar dugaan Pan Hai. 　　Selama bertahun tinggal di Dinasti Zhou, setiap kali menggunakan cacing Gu pasti ada tujuannya, pertama kali memberikan Gu Pemikat Hati adalah untuk masuk istana dengan memanfaatkan hubungan Mulia Putri Rongyang. 　　Pertanyaan Pan Hai ini membuktikan Kaisar curiga Mulia Putri Rongyang menggunakan Gu Pemikat Hati untuk mencelakai orang... 　　Dayang Duo lebih memilih mati daripada membocorkan rahasia misinya, tapi tak berniat menjaga rahasia Mulia Putri Rongyang. 　　Putri Rongyang sangat dekat dengan Janda Permaisuri sebagai ibu-anak, dan dengan Kaisar sebagai saudara kandung. Dia sangat penasaran bagaimana reaksi Kaisar setelah tahu Putri Rongyang menggunakan cacing Gu untuk berbuat jahat. 　　Jika hubungan Kaisar dan Janda Permaisuri retak karena Putri Rongyang, setidaknya sebelum mati dia masih bisa berguna sekali lagi. 　　"Apa yang kau tertawakan?" Pan Hai merasa merinding tanpa alasan. 　　"Cacing beracun itu, selain Putri ke-14, hamba memang pernah memberikannya ke satu orang lagi, dan itu dua ekor." 　　"Siapa?" Kaisar Jingming dan Pan Hai bertanya serempak. 　　Melihat Kaisar Jingming muncul lagi, Dayang Duo semakin sombong, mengucapkan perlahan: "Putri Rongyang." 　　Setelah selesai berbicara, dia tertawa heh: "Tanpa memberi imbalan memadai pada Mulia Putri Rongyang, bagaimana mungkin Putri Rongyang mau membantuku masuk istana? Kaisar, bukankah ini logis?" 　　Kaisar Jingming merasakan BOOM—amarah meledak di hatinya, membuatnya menggeretakkan gigi. 　　Sebenarnya dia sudah punya firasat buruk, tapi di lubuk hati masih berharap ini hanya kekhawatiran berlebihan. 　　Sayangnya Rongyang tak pernah "mengecewakan"-nya! 　　"Untuk apa Putri Rongyang membutuhkan cacing beracun itu?" Kaisar Jingming bertanya dengan wajah berang. 　　Memandangi wajah pucat Kaisar Jingming, Dayang Duo merasa puas: "Gu Pemikat Hati tentu untuk berbuat jahat. Bukankah Kaisar sudah tahu? Korban Gu ini akan menunjukkan gejala gagal jantung, dan akhirnya mati karenanya. Adapun siapa yang jadi korban Putri Rongyang—setelah masuk istana, saya tak lagi mencari tahu." 　　Kaisar Jingming tak sanggup mendengar lebih lama. Dia pergi sambil mengibaskan lengan baju. 　　“Dayang Duo tidak tahu, tapi dia sudah tahu, Rongyang sudah menggunakan cacing racun itu untuk membunuh ibu kandung istri Lao Qi lima belas tahun yang lalu!” 　　Dengan kata lain, Rongyang sudah mengetahui kemampuan Dayang Duo sejak lima belas tahun lalu. Tapi demi kepentingan pribadi, dia malah mengirim Dayang Duo ke istana, bahkan sampai ke sisi Janda Permaisuri. 　　Hebat sekali Rongyang ini, di hatinya selain percintaan dengan Cui Xu, masih adakah ikatan ibu dan anak perempuan? 　　“Pan Hai——” 　　Pan Hai yang mengejar keluar karena khawatir segera menjawab: “Hamba di sini.” 　　“Segera panggil Putri Rongyang ke istana!” 　　Jangan lupa vote... Penulis malang kalian masih terkunci di ruang gelap sibuk menumpuk naskah. 519.BAB 518 Menjatuhkan Hukuman 　　BAB 518 Menjatuhkan Hukuman 　　Fajar mulai menyingsing, pintu gerbang istana telah diam-diam terbuka. 　　Pelayan istana keluar dari Istana Kekaisaran, langsung menuju kediaman Putri Rongyang. 　　Istana putri itu terletak di kawasan yang dipadati keluarga kerajaan, tertidur lelap dalam cahaya subuh yang remang-remang. 　　Putri Rongyang yang sudah bertahun-tahun hidup terpisah dari Cui Xu semakin malas, sering tidur sampai matahari tinggi baru mandi, sehingga area sekitar kamarnya di istana selalu sunyi. 　　Para pelayan berusaha mengurangi suara agar tidak membangunkan sang putri dan kena marah. 　　Malam itu Putri Rongyang sulit tidur. 　　Hatinya benar-benar dipenuhi kejengkelan. 　　Menggunakan seorang kerabat jauh Permaisuri Yan untuk merusak reputasi Permaisuri Yan, awalnya berharap dapat melampiaskan dendam, tapi tak disangka dengan mudah dilumpuhkan oleh Pangeran Yan. 　　Seorang anak liar yang dibesarkan di luar istana sejak kecil justru mengambil jalan pintas yang tidak biasa, sama sekali tidak mengikuti logika umum. 　　Putri Rongyang merasa sesak dada tak tertahankan, berbaring gelisah di ranjang, baru saja mulai mengantuk, tiba-tiba mendengar teriakan dayang: "Paduka, ada utusan dari istana--" 　　Putri Rongyang langsung terduduk, masih membalut selimut sutra dengan wajah bingung: "Utusan istana?" 　　Dayang itu berbisik: "Benar, Kaisar memanggil Paduka untuk menghadap ke istana." 　　Putri Rongyang tak urung melirik ke luar. 　　Kasa jendela samar-samar, tirai pintu tebal, meskipun dayang baru saja menyalakan lentera, kegelapan dalam ruangan tetap tak tersibak. 　　"Sudah shichen keberapa?" 　　Mendengar laporan shichen dari dayang istana, Putri Rongyang terkejut: "Baru saja pintu gerbang istana dibuka sudah harus masuk?" 　　Kakak Kaisar ini sedang gila apa? 　　Kalimat ini tidak diucapkan Putri Rongyang, hanya bergolak dalam hatinya. 　　Bagaimanapun juga panggilan Kaisar tak boleh ditunda, Putri Rongyang bermuka masam berkata: "Siapkan aku untuk bersolek." 　　Setelah berdandan, Putri Rongyang menemui pelayan istana pembawa pesan lisan di Ruang Penerimaan. 　　Pelayan istana itu segera memberi hormat pada Putri Rongyang. 　　Putri Rongyang langsung menyerang dengan pertanyaan: "Mengapa Kaisar memanggil hamba ke istana?" 　　Pelayan itu canggung tersenyum: "Hamba tidak tahu, hanya Kaisar memerintahkan Paduka segera menghadap..." 　　Putri Rongyang mengerutkan alis: "Baik, mari kita pergi sekarang." 　　Sebuah tandu kecil berhenti di depan Pintu Kedua istana putri. 　　Putri Rongyang naik ke tandu, lalu empat pengusung tandu segera berlari membawanya. 　　Pengusung tandu istana telah melalui seleksi ketat, tidak hanya menstabilkan guncangan tapi juga melaju dengan kecepatan tinggi. 　　Putri Rongyang membuka tirai tandu dan menjulurkan kepala keluar, angin dingin yang menusuk seperti pisau melukai wajahnya. 　　Rasa kantuknya benar-benar hilang, pikirannya mulai bekerja. 　　Sebagai putri kekaisaran paling terhormat, masuk istana selama ini sudah menjadi rutinitasnya, tapi masuk istana sepagi ini adalah pertama kalinya. 　　Untuk apa kakak Kaisar memanggilnya secara mendadak? 　　Memandang langit yang mulai kebiruan, awan kegelisahan tiba-tiba menyelimuti hati Putri Rongyang. 　　Sesegini ini... mungkin bukan kabar baik... 　　Tandu berhenti di tengah spekulasi Putri Rongyang. 　　Turun dari tandu, matanya langsung tertuju pada sosok tinggi berdiri tak jauh darinya. 　　Fajar hampir tiba, bayangannya di perbatasan gelap dan terang terasa seperti ilusi. 　　Putri Rongyang tertegun sesaat sebelum wajahnya berubah masam. 　　Ternyata Pangeran Yan! 　　Yu Jin menoleh mendengar suara: "Bibi datang pagi-pagi sekali?" 　　"Apa maksudmu di sini?" Suara Putri Rongyang semakin dingin. 　　Yu Jin diam, namun kegelisahan terpancar dari matanya. 　　A Si ternyata belum pulang semalaman! 　　“Demi langit, entah bagaimana dia melewati malam ini. Begitu memperkirakan pintu gerbang istana akan segera dibuka, dia langsung bergegas datang untuk meminta audiensi.” 　　Memandang pintu gerbang istana yang angker, untuk pertama kalinya Yu Jin merasakan perasaan tak berdaya yang membuatnya sangat tidak nyaman. 　　“Paduka, Kaisar masih menunggu,” pelayan istana yang mengantarkan pesan lisan ke istana putri mengingatkan. 　　Putri Rongyang melirik Yu Jin, lalu berjalan melewatinya. 　　Yu Jin menatap punggung yang pergi dari Putri Rongyang sambil mengangkat sudut bibirnya, menyiratkan senyum sinis. 　　Entah apa yang dibanggakan wanita bodoh ini. Dayang Duo sudah tertangkap tadi malam, A Si juga dipanggil ke istana. Dengan sifat A Si, pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghajarnya. 　　Seorang pelayan istana lainnya berjalan cepat mendekat: “Pangeran, Kaisar memanggil Tuan masuk.” 　　Yu Jin mengangguk, kemudian segera menyusul Putri Rongyang. 　　“Kakak Kaisar, mengapa Anda memanggil saya pada saat ini?” tanya Putri Rongyang begitu melihat Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming memandang Putri Rongyang dengan wajah datar, lalu menoleh ke Yu Jin. 　　Setelah memberikan penghormatan, Yu Jin cepat-cepat menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. 　　Tidak melihat bayangan Jiang Si, hatinya langsung sangat kecewa. 　　Kaisar Jingming malas melayani orang yang tergila-gila pada istri, lalu bertanya pada Putri Rongyang: “Kau kenal Dayang Duo?” 　　Putri Rongyang tertegun sejenak, lalu tersenyum: “Maksud Kakak Dayang Duo dari istana Ibu Suri? Tentu saja saya kenal.” 　　“Bukan hanya kenal, Dayang Duo masuk istana juga karena hubungan denganmu, bukan?” 　　“Kakak Kaisar, ada apa?” Putri Rongyang menghentikan tawanya, mulai merasakan keanehan, “Mungkinkah Dayang Duo melakukan kesalahan?” 　　“Rongyang, Aku bertanya padamu, imbalan apa yang diberikan Dayang Duo padamu sampai kau melanggar aturan mengirimnya ke istana?” 　　Kegalauan di hati Putri Rongyang terbukti benar. Ia berusaha tenang: “Mana ada imbalan, menurutku Dayang Duo cukup baik, kebetulan saat itu Istana Cining kekurangan staf, lalu aku menyarankan pada Ibu, Ibu juga tidak menolak...” 　　“Bukankah karena Dayang Duo memberimu sejenis cacing racun?” 　　Wajah Putri Rongyang berubah pucat. Setelah sadar ia buru-buru berkata: “Kakak Kaisar, tidak ada hal seperti itu!” 　　Mendengar sangkalan Putri Rongyang, Kaisar Jingming merasa kecewa. 　　Sampai saat ini Rongyang masih berkilah. 　　“Tidak ada? Rongyang, apakah kau harus melihat peti mati dulu baru mau mengaku?” 　　Wajah Putri Rongyang memerah karena merasa terhina: “Kakak, siapa yang menghasutmu sampai mempercayai omongan seperti ini? Sebagai Mulia Putri yang serba berkecukupan, untuk apa aku membutuhkan cacing racun?” 　　Kaisar Jingming menutup mata dan menghela napas: “Rongyang, Aku harap kau jujur, jangan lagi membohongi Aku.” 　　“Adikmu sedang berkata jujur!” Putri Rongyang membalas dengan emosi. 　　Jika dia panik sekarang, semuanya akan berakhir. 　　Langkah kaki tergesa datang, seorang pelayan istana masuk: “Paduka, ini ditemukan di istana putri.” 　　Pan Hai menerima kotak giok dari tangan pelayan itu dan mempersembahkannya kepada Kaisar Jingming. 　　“Buka.” 　　Pan Hai membuka kotak giok, hampir menjatuhkannya. 　　Di dalam kotak giok, dua ekor cacing merah muda berukuran besar dan kecil mengangkat tubuh mereka dengan ganas, membuat bulu kuduk merinding. 　　Wajah Putri Rongyang berubah pucat. 　　Bagaimana mungkin cacing Gu yang diam-diam dipelihara oleh orang kepercayaannya bisa ditemukan pelayan istana? Kapan mereka menyisir istana putri? 　　Kaisar Jingming menunjuk kotak giok dengan wajah bengis: "Dayang Duo sendiri mengaku memberi dua cacing beracun padamu tahun lalu. Kau gunakan satu untuk membunuh Nyonya Su putri Marquis Yining, lalu kembangbiakkan sisanya. Apakah kau berencana menggunakan ini pada Aku dan Ibu Suri jika tak puas?" 　　Semakin dipikir, semakin murka sang Kaisar: "Kau kirim Dayang Duo ke sisi Ibu Suri, apa maksudmu mengontrol beliau?" 　　"Tidak! Mana mungkin aku menyakiti Ibu dan Kakak Kaisar--" 　　Kaisar Jingming memotong: "Putri Rongyang berkolusi dengan orang asing, niat busuknya patut dihukum. Mulai hari ini gelarnya dicabut, diturunkan menjadi rakyat jelata, dilarang masuk istana selamanya!" 520.BAB 519 Hasil 　　BAB 519 Hasil 　　Ucapan Kaisar Jingming bagai petir menyambar, membuat Putri Rongyang membeku. 　　"Kakak Kaisar, aku tak berkomplot dengan orang asing, apalagi berniat jahat pada Ibu dan Kakak--" 　　Kaisar Jingming menutup mata sambil melambai: "Bawa dia pergi." 　　Beberapa pelayan istana maju dan menyeret Putri Rongyang. 　　Putri Rongyang berjuang: "Kakak Kaisar, aku ingin bertemu Ibu... Biarkan aku menemui Ibu sekali lagi, Yang Mulia tidak boleh melakukan ini——" 　　Kaisar Jingming langsung membalikkan badan. 　　Beberapa saat kemudian, teriakan Putri Rongyang menghilang di depan pintu. Kaisar Jingming melirik ke arah Yu Jin. 　　Yu Jin memusatkan pandangan ke hidungnya sendiri, seolah tak melihat apapun. 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Bawa pulang istrimu ke rumah keluarga, dia juga sudah bekerja keras semalaman..." 　　Yu Jin langsung bersemangat: "Terima kasih Ayah Kaisar!" 　　Jiang Si keluar dari pintu samping. 　　Yu Jin bergegas menyambutnya dan menggenggam tangannya: "Bagaimana, lelah?" 　　"Masih bisa bertahan." 　　Kaisar Jingming batuk dua kali. 　　Keduanya mendekat dan memberi hormat serempak: "Ayah Kaisar, kami pamit undur diri." 　　"Hmm." Kaisar Jingming yang murung menjawab dengan malas. 　　Yu Jin tak peduli suasana hati Sang Kaisar, langsung membawa istrinya pergi. 　　Angin pagi menusuk tulang, tapi Jiang Si yang berpakaian tebal dan bertudung tak merasa terlalu menderita. 　　Yu Jin menggenggam tangannya semakin erat, berbisik: "Aku khawatir semalaman, tak ada yang menyulitkanmu kan?" 　　Jiang Si tersenyum tulus: "Tidak, Ayah Kaisar takkan seenaknya menyulitkan orang." 　　Saat ini medali bebas hukuman mati itu masih tersimpan di balik bajunya, terasa berat. 　　"Perjalanan masuk istana kali ini sungguh membawa hasil berlimpah, mendapatkan tanda bebas hukuman mati yang berharga adalah kejutan tak terduga. Yang lebih penting, Putri Rongyang akhirnya mendapat hukuman, dia seperti telah membalaskan dendam untuk ibunya." 　　"Bagi sebagian orang, terjatuh dari awan kehormatan jauh lebih menyakitkan daripada mati. Putri Rongyang adalah tipe orang seperti ini." 　　"Apakah Dayang Duo sudah mengaku semuanya?" 　　"Tidak mengungkap alasan mengacaukan istana belakang, tapi mengaku tentang urusan Putri Rongyang." 　　Yu Jin melirik ke depan. 　　Putri Rongyang terus meronta-ronta sedang diseret keluar oleh pelayan istana. 　　Senyum dingin mengkilat di matanya, berbisik pelan: "Orang yang bisa menjadi Tetua Wu Miao, tulang punggungnya keras. Sulit membuka mulutnya tentang rahasia suku..." 　　Jiang Si teringat teriakan permintaan penjelasan dalam bahasa Wu Miao dari balik pintu, berbisik: "Bicarakan setelah pulang saja." 　　Keduanya keluar dari pintu gerbang istana, melihat Putri Rongyang yang linglung tak karuan. 　　Putri Rongyang langsung menatap Jiang Si, mendorong pelayan di sampingnya lalu menyerbu. 　　"Bibi bertingkah seperti wanita gila yang menabrak tak karuan, tidak pantas." Yu Jin menghalangi Jiang Si sambil berkata datar, khawatir Putri Rongyang menyakiti Jiang Si. 　　Putri Rongyang mengabaikan sindiran Yu Jin, matanya menatap tajam Jiang Si sambil menggeretak gigi: "Perempuan hina! Kau yang mengatur semuanya ya? Membuat Kaisar menghukumku sampai gelar Mulia Putri-ku hilang?" 　　“Jiang Si dan Putri Rongyang saling bertatapan, lalu dia mengucapkan perlahan dua patah kata: "Ya."” 　　“Mata Putri Rongyang tiba-tiba membelalak, sejenak tak tahu harus berkata apa.” 　　“Semua sangkaan penyangkalan dan pembelaan dalam bayangannya ternyata tak ada. Malah lawannya langsung mengakui dengan begitu enteng!” 　　“Perempuan hina, kau berani menghasut di hadapan Kaisar, tak takut karma?” 　　“Jiang Si merasa lucu.” 　　“Orang yang menyakiti tanpa batas, memang punya logika sesat yang membuat orang awam menghela nafas.” 　　“Aku tak pernah berbuat dosa, kenapa harus takut karma?” Jiang Si tersinik dingin. “Justru Bibi yang menganggap nyawa seperti rumput, suka merebut milik orang, akhirnya dapat karma.” 　　“Sambil berkata demikian, dia maju selangkah dan merendahkan suara: "Seperti putrimu."” 　　“Tubuh Putri Rongyang gemetar hebat, wajahnya mengerikan: "Perempuan hina! Aku tahu pasti kau yang meracuni Mingyue!"” 　　“Suara Jiang Si meninggi: "Bibi sebaiknya berhati-hati bicara. Kaisar bukan orang tak tahu benar-salah, bisa menghukummu hanya karena hasutan? Ini karena kau bangsawan tapi tak bersyukur, hidup mewah tapi tak puas, serakah dan jahat. Hukuman ini pantas! Kaisar sebagai Putra Langit menjatuhkan hukuman sebagai perwujudan keadilan Surgawi! Jika Bibi tetap tak insaf, karma lebih besar akan menantimu."” 　　“"Diam kau! Diam!!" Putri Rongyang menggeram siap menerkam Jiang Si.” 　　Yu Jin menggenggam pergelangan tangan Putri Rongyang, berkata dengan dingin: "Kau pikir kau masih Putri Mulia? Tolol!" 　　Beberapa pelayan istana tertegun. 　　Pangeran Yan benar-benar berani mengatakan apa saja. Putri Rongyang yang telah jaya selama puluhan tahun, juga sebagai anak angkat kesayangan Janda Permaisuri, takkah ia takut jika Janda Permaisuri mendengar lalu memohon beberapa patah kata kepada Kaisar, kemudian Permaisuri menarik kembali hukuman? 　　Yu Jin melirik malas ke arah para pelayan istana: "Mengapa para pelayan tidak segera mengantar orang ini pergi? Biarkan dia terus berteriak di sini?" 　　Para pelayan istana segera menahan Putri Rongyang dan membujuk: "Lebih baik Yang Mulia tidak membuat keributan lagi. Kembalilah ke istana putri untuk membereskan barang-barang." 　　Gelar Putri Mulia telah dicabut dari Putri Rongyang, sehingga ia tak berhak lagi tinggal di istana putri. 　　Perkataan pelayan istana itu membuat Putri Rongyang hampir mengamuk: "Membereskan apa? Mengapa aku harus membereskan barang di rumahku sendiri?" 　　Jiang Si tersenyum: "Bibi, tidakkah lebih baik menjaga sedikit harga diri? Dalam hal ini, Anda kalah dari Nona Pertama Keluarga Cui." 　　Meski dipaksa menikah melalui dekrit kekaisaran, Cui Mingyue tidak menerima takdir. Ia dengan tegas membunuh pengantin pria lalu pergi membawa barang-barangnya. 　　Dari sisi ini, performa Cui Mingyue memang jauh lebih baik daripada sang ibu. 　　Putri Rongyang langsung kehilangan suara. 　　Para pelayan istana memanfaatkan kesempatan saat ia diam, segera menyeretnya pergi. 　　"Ayo pulang. Sebelum meninggalkan istana pangeran, aku sudah memerintahkan dapur untuk mengukus daging..." 　　Di aula, Kaisar Jingming duduk dengan wajah muram sambil terus-menerus meneguk teh. 　　Pan Hai mendekat dan mengingatkan dengan hati-hati, "Kaisar, sudah waktunya sidang pagi." 　　Kaisar Jingming menggerakkan kelopak matanya dan berkata datar, "Bilang saja Aku tidak enak badan, suruh mereka bubar." 　　Pan Hai ragu sejenak, lalu membungkuk dan mundur keluar menuju Gerakan Qianqing untuk menyampaikan titah. 　　Setelah mendengar pengumuman Pan Hai, para menteri tertegun saling pandang. 　　Sidang pagi dibatalkan hari ini? 　　Sejak naik takhta, Kaisar selalu rajin, jarang sekali absen dari sidang. 　　Beberapa menteri mengerumuni Pan Hai bertanya, "Paman Pan, apakah kesehatan Kaisar baik-baik saja?" 　　Pan Hai melirik para menteri dan berkata dingin, "Para Paduka harap bubar, kembali besok." 　　Para menteri saling bertukar pandang. 　　Dilarang bertanya, rupanya ini bukan sekadar masalah kesehatan Kaisar. 　　Apa yang terjadi sampai Kaisar membatalkan sidang pagi? 　　Setelah meninggalkan Gerbang Qianqing, para menteri segera mengirim orang menyelidiki. 　　Tak lama kemudian, kabar mengejutkan sampai ke telinga mereka: Gelar Mulia Putri Rongyang dicabut, diturunkan statusnya menjadi rakyat biasa! 　　Alasannya? 　　Permaisuri Yan mencurigai kematian ibunya yang almarhumah, ternyata terbukti Mulia Putri Rongyang bersekongkol dengan orang asing meracuni almarhumah Nyonya Su, ibu kandung Permaisuri Yan. Kaisar bertindak adil tanpa pandang bulu, menghukum Mulia Putri Rongyang. 　　Para menteri mengusap dagu serentak berpikir: Kalau Kaisar begitu memihak menantu perempuannya, apakah Janda Permaisuri tahu? 　　Hari ini hanya ada satu bagian, tapi ada kejutan setelah tengah malam. Semuanya bisa lihat besok pagi, jangan sampai mengganggu tidur. 521. BAB 520 Senja (Pemimpin Aliansi Xinyun Qianyin) 　　BAB 520 Senja (Pemimpin Aliansi Xinyun Qianyin) 　　Kaisar Jingming juga pusing menghadapi masalah ini. 　　Meskipun beliau adalah Kaisar, tapi harus mempertimbangkan perasaan sang ibu. 　　Di Istana Cining, Janda Permaisuri sudah bangun. 　　Orang tua memang tak seperti pemuda. Janda Permaisuri semalam memanggil tabib istana karena sakit tangan, meski sudah minum ramuan herbal penenang dan tidur, masih terlihat lesu. 　　Kedatangan Kaisar Jingming membuat Janda Permaisuri curiga: "Hamba ingat saat ini Kaisar seharusnya sedang sidang pagi, kenapa datang kemari?" 　　Kaisar Jingming duduk di samping Janda Permaisuri, melihat wajahnya lalu bertanya: "Bagaimana tidur Ibu semalam?" 　　"Cukup nyenyak." Alis Janda Permaisuri tetap berkerut, jari semakin cepat memutar tasbih. 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak, lalu berkata: "Anak lelaki hari ini menghukum Rongyang." 　　Tangan Janda Permaisuri yang sedang memutar tasbih berhenti, bertanya dengan tenang: "Rongyang kenapa?" 　　Penggunaan kata "menghukum" oleh Kaisar menunjukkan kesalahan Rongyang cukup besar. 　　Janda Permaisuri sangat paham, Kaisar yang toleran ini pasti menghukum Rongyang karena kesalahannya yang keterlaluan. 　　"Dayang Duo di sisi Ibu adalah orang Wu Miao——" 　　Tatapan Janda Permaisuri menyempit, tiba-tiba teringat satu hal: "Sejak aku bangun sampai sekarang, sepertinya belum melihat Dayang Duo." 　　Dayang Duo memang diperbolehkan masuk ke kamar Janda Permaisuri, tapi tidak terus-menerus mendampingi. Kepergiannya sebentar takkan mencuri perhatian. Semalam Dayang Duo diperintahkan mengunjungi Putri ke-14 dan belum kembali, para pelayan Janda Permaisuri sebenarnya tahu tapi belum melapor. 　　Tak ada yang mau mengganggu tuanku yang baru saja siuman dengan kabar buruk. 　　Kaisar Jingming merenung lalu berkata jujur: "Sejak kasus Chen Meiren meracuni Pangeran Kelima Belas, hamba sudah menyelidiki diam-diam. Seorang selir rendahan mustahil mendapat duancao (akar dan daun gelasium), pasti ada dalang... Investigasi akhirnya mengarah ke Dayang Duo. Tadi malam saat mengunjungi Putri ke-14, dia akhirnya menunjukkan belangnya..." 　　Janda Permaisuri menyimak lalu bertanya: "Apa hubungannya dengan Rongyang?" 　　Di sini alisnya berkerut, seperti teringat sesuatu: "Hamba ingat, dulu Rongyang yang merekomendasikan Dayang Duo masuk istana. Apakah Kaisar menuduh Rongyang karena ini?" 　　Kaisar Jingming tersenyum getir: "Seandainya hanya merekomendasikan Dayang Duo masuk istana, putra paling-paling akan memarahi Rongyang beberapa patah, mana mungkin menghukumnya. Rongyang dulu mendapat cacing racun dari Dayang Duo, digunakan untuk membunuh ibu kandung Permaisuri Yan, bahkan diam-diam memelihara cacing racun sampai sekarang. Aku bukan tidak memberi kesempatan, tapi dia tetap membantah sampai mati..." 　　"Bagaimana Kaisar menghukum Rongyang?" 　　Kaisar Jingming berhenti sejenak. 　　Ucapan panjangnya tadi dimaksudkan agar Janda Permaisuri punya persiapan mental, tidak sampai merenggangkan hubungan ibu-anak karena Rongyang. 　　"Putra telah menurunkan status Rongyang menjadi rakyat biasa." 　　Wajah Janda Permaisuri berubah sedikit. 　　Jantung Kaisar Jingming berdebar kencang. 　　Janda Permaisuri seumur hidup tak punya anak kandung, mengadopsi dirinya dan Rongyang, memperlakukan Rongyang seperti anak sendiri. Ia khawatir Janda Permaisuri tak bisa menerima kenyataan ini. 　　Janda Permaisuri menghela napas: "Rongyang melakukan kesalahan sebesar ini, memang pantas dihukum. Kaisar tidak salah." 　　Kaisar Jingming lega sedikit: "Ibu tidak marah pada saya saja sudah baik." 　　Janda Permaisuri melirik Kaisar Jingming: "hamba belum pikun, mana mungkin menyalahkanmu? Hanya saja, jika Kaisar bisa menyelidiki bahwa Rongyang membunuh ibu Permaisuri Yan, apa peran Permaisuri Yan dalam hal ini?" 　　Kaisar Jingming berkata: "Kali ini memang berkat Permaisuri Yan kita bisa mengungkap Dayang Duo yang berbuat onar dan mengungkap kebenaran di balik kematian Nyonya Su." 　　“Janda Permaisuri menggenggam tasbih, berkata datar: ‘Permaisuri Yan memang berbakat. Dulu yang menyembuhkan Fuqing juga jasanya. Kaisar, jangan kau lupakan.’” 　　Kaisar Jingming tersenyum mengangguk: “Anak lelaki ingat semuanya.” 　　“Kaisar karena urusan Rongyang menunda sidang istana, ini tidak baik. Ke depannya jangan lagi begini.” 　　“Anak lelaki paham.” 　　Janda Permaisuri menggerakkan kelopak mata: “Hamba lelah, Kaisar silakan melanjutkan urusan.” 　　Kaisar Jingming berdiri: “Ibu, harap beristirahat dengan baik.” 　　Setelah Kaisar Jingming pergi, Janda Permaisuri melempar tasbih ke lantai. 　　Butiran tasbih cendana mengkilap berbenturan dengan lantai, menimbulkan bunyi nyaring, berhamburan ke segala penjuru. 　　Di Istana Cining, semua orang membeku bagai jangkrik malam. 　　Beberapa lama kemudian, Janda Permaisuri menyuruh pelayan mundur, bertanya pada dayang kepercayaan: “Dayang Duo mengunjungi Putri ke-14, tidak kembali lagi?” 　　“Tidak.” 　　Janda Permaisuri mengatupkan bibir, bertanya lagi: “Ada kejadian tak biasa tadi malam?” 　　Dayang kepercayaan ragu sebentar. 　　“Apakah kau masih mau menyembunyikan dari hamba?” 　　Dayang kepercayaan buru-buru menjawab: “Lapor Janda Permaisuri, Kaisar telah memerintahkan untuk tidak memberitahu Paduka...” 　　Janda Permaisuri mencibir: “Kalian semua menganggap hamba sudah mati? Haruskah hamba menunggu Kaisar tiba-tiba datang memberi tahu?” 　　Dayang kepercayaan menunduk: “Tadi malam Paduka sakit tangan memanggil tabib istana, sampai ke telinga Kaisar. Kaisar dan Permaisuri datang bersama setelah Paduka tidur...” 　　“Janda Permaisuri mengangkat alis: ‘Kaisar dan Permaisuri datang bersama?’” 　　“‘Benar...’” 　　“Janda Permaisuri mengerutkan alis, wajahnya berubah beberapa kali, akhirnya menghela napas: ‘Hamba sudah tua.’” 　　“Rupanya pertengkaran Kaisar dan Permaisuri yang disebut-sebut itu hanyalah sandiwara untuk diperlihatkan padanya.” 　　“‘Bantu hamba jalan-jalan keluar, hamba ingin menghirup udara segar.’” 　　“Di depan pintu Putri Rongyang, beberapa pelayan istana berhenti dan mengingatkan: ‘Segeralah Bunda berkemas dan pindahkan barang-barang, Kaisar hanya memberi waktu satu hari. Besok pada waktu ini istana putri akan disegel...’” 　　“Putri Rongyang melotot ke pelayan istana yang berbicara, marah: ‘Pergi!’” 　　“Melihat Putri Rongyang memasuki pintu istana putri dengan lesu, pelayan istana itu meludah ke tanah: ‘Huh, masih mengira diri sebagai putri senior yang tinggi kedudukannya? Tidak tahu diri!’” 　　“Pangeran Yan bekerja dengan baik, dia memutuskan akan lebih mendukung Pangeran Yan di masa depan.” 　　“Putri Rongyang terus berjalan maju, melangkah di jalan yang familiar.” 　　“Penghuni istana putri sudah menerima kabar tersebut, wajah mereka pucat pasi, ingin mendekat tapi tak punya keberanian.” 　　“‘Huizhen!’ Putri Rongyang berseru.” 　　“Seorang wanita paruh baya bergegas keluar.” 　　“Putri Rongyang menampar telinganya, bertanya dengan suara keras: ‘Kau mati kah? Bagaimana cacing Gu itu bisa ditemukan pelayan istana?’” 　　Wanita paruh baya berlutut, merangkak di kaki Putri Rongyang sambil terisak: "Hamba benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Paduka baru saja pergi, sekelompok pelayan istana langsung datang mengatakan diperintahkan menggeledah istana putri. Salah satu pelayan itu seolah memiliki mata dewa langsung menuju kamar hamba dan menemukan cacing Gu..." 　　"Mustahil! Mana ada orang yang punya mata dewa!" Putri Rongyang berkata dengan wajah pucat. 　　Kembali ke rumah sendiri yang familiar, dia perlahan tenang namun semakin merasa putus asa. 　　Dekrit kerajaan sudah turun, dia pun tak bisa memohon belas kasihan Janda Permaisuri. Tampaknya mustahil untuk membalikkan keadaan... 　　"Paduka, lebih baik kita segera membereskan barang-barang. Kalau tidak, semua harta di kediaman ini akan disita." 　　Kaisar Jingming masih memberikan jalan hidup untuk Putri Rongyang. Setidaknya barang-barang di kediaman yang boleh dibawa, cukup untuk menghidupinya seumur hidup tanpa khawatir kekurangan uang. 　　Staf istana putri buru-buru mulai mengemas. Saat matahari condong ke barat, seorang pelayan datang tergopoh-gopoh: "Jenderal datang!" 　　Bab ini dipersembahkan untuk Xie Xinyun Qianyin sebagai Pemimpin Aliansi buku ini. 522.BAB 521 PENUTUP (Aliansi Ai Aiyuanzi) 　　BAB 521 PENUTUP (Aliansi Ai Aiyuanzi) 　　Melihat Cui Xu, Putri Rongyang tidak bangun. Kelopak matanya bergetar: "Apa kau datang menertawakanku?" 　　"Tidak. Aku datang menanyakan sesuatu." 　　Putri Rongyang menatap Cui Xu. 　　Wajah Cui Xu tenang, namun matanya menyimpan badai. Satu per satu katanya: "Apakah A Ke mati karena ulahmu?" 　　Wajah Putri Rongyang berkerut: "Sudah kuduga kau datang karena perempuan hina itu!" 　　"Apakah A Ke mati karena ulahmu?" Cui Xu tetap tak bergeming menghadapi histeria sang putri, mengulang pertanyaannya. 　　Di hadapan Cui Xu, perasaan cinta-benci Putri Rongyang bercampur aduk. Selama bertahun-tahun tidak pernah kalah secara psikologis. Tapi kini statusnya jadi rakyat biasa—keseimbangan yang itu hancur sepenuhnya. 　　Dia mulai kehilangan kendali, bicara semakin seenaknya: "Benar! Lalu apa?" 　　"Kau benar-benar mencelakakan A Ke?" Suara Cui Xu bergetar, semua cahaya di matanya benar-benar padam, seolah berubah menjadi genangan air mati yang tak akan pernah lagi beriak. 　　Putri Rongyang langsung bangkit mendekati Cui Xu. 　　Dengan postur tinggi langsing dan aura intimidasi hasil bertahun-tahun hidup mewah, dia menghadapi Cui Xu: "Ya, aku yang membunuhnya! Dasar perempuan meski sudah menikah punya tiga anak masih berani menggoda kau! Cui Xu, aku yang menikahimu tapi kau biarkan aku menjaga rumah kosong sendirian sambil masih berkutat dengan perempuan bersuami di Kuil Baiyun. Haruskah aku membiarkan perempuan hina itu hidup?" 　　Tatapan Cui Xu pada Putri Rongyang menjadi sangat dalam: "Dia tidak bersalah, aku juga tidak. Semua ini hanya imajinasimu yang kacau!" 　　"Putri Rongyang tertawa terbahak-bahak: 'Cui Xu, kau menipu hantu! Beraninya kau menyangkal pernah muncul bersama Nyonya Su di Kuil Baiyun? Perempuan hina itu berani menyentuh suamiku, harusnya dia siap mati di tanganku.'" 　　"Bagaimana bisa ada perempuan berhati ular dan kalajengking sepertimu di dunia ini?" 　　"'Berhati ular dan kalajengking? Ini juga paksaanmu! Dulu saat aku menikahimu, seandainya kau sedikit saja perhatian padaku, akankah aku menjadi seperti ini?'" 　　"Cui Xu menggelengkan kepala: 'Ini hasil paksaanmu. Dekrit kerajaan bisa mengikat tubuh, tapi tak bisa mengikat hati. Sudah kukatakan sejak awal padamu...'" 　　"Putri Rongyang terdiam sejenak ditanya demikian." 　　"Sebelum pernikahan besar, Cui Xu memang pernah berkata seperti itu, tapi dia tak percaya." 　　"Dia adalah Mulia Putri yang terhormat, punya status dan kecantikan. Asal menikah dengan Cui Xu, bukankah seiring waktu bisa membuatnya jatuh hati?" 　　"Tapi pria yang dihadapinya ini berhati batu, bahkan hubungan suami istri pun harus menggunakan obat baru bisa terwujud..." 　　"Mengingat semua ini, rasa penghinaan dan kebencian yang menggulung seperti gelombang menerpanya, membuat kata-kata Putri Rongyang semakin pedas: 'Untuk apa kau datang? Sudah jelas aku yang membunuh perempuan hina itu, apa kau mau balas dendam untuknya?'" 　　"'Tidak bolehkah?' Cui Xu bertanya dengan tenang." 　　Putri Rongyang tertawa terbahak-bahak: "Cui Xu, kau jangan lupa Kakak Kaisar hanya mencabut gelar Mulia Putriku, bukan menghukum mati. Sekalipun menjadi rakyat biasa, aku tetap putri Janda Permaisuri. Sentuh aku sedikit saja, lihat apakah Kakak Kaisar akan memaafkanmu! Ingin membalas dendam untuk perempuan hina itu? Tunggu sampai kehidupan selanjutnya—" 　　Sebilah pedang tajam menembus dada Putri Rongyang, memutus ucapannya yang belum selesai. 　　Ia menunduk perlahan, memandangi Cui Xu dengan tatapan tak percaya. 　　Wajah Cui Xu tetap tenang, berbisik pelan: "Kali ini, aku tak mau menunggu kehidupan selanjutnya lagi." 　　Dengan sekuat tenaga ia mencabut pedang, lalu menggoreskannya keras-keras ke lehernya sendiri. 　　Darah segar menyembur, mengaburkan penglihatan Putri Rongyang. 　　Ia membuka mata selebar-lebarnya, tapi yang terlihat hanya hamparan merah darah. 　　Suara benda berat terjatuh menggema—itu pasti suaminya yang ia cintai dan benci seumur hidup. 　　Lalu, suara jatuh lagi bergema—kali ini tubuhnya sendiri. 　　Dinginnya lantai mengembalikan kesadarannya. Kabut di matanya sirna, jelas melihat sosok yang tergeletak di samping. 　　Pria itu memejamkan mata, senyum tipis mengembang—seperti sedang menikmati pemandangan indah dalam mimpi. 　　Besar-besar air mata mengalir dari sudut mata Putri Rongyang. Sakit di hatinya jauh melebihi luka di tubuh. 　　“Cui Xu, Cui Xu——” Ia berteriak lemah berkali-kali, namun suami yang hanya berjarak sejengkal itu tetap tak bergerak. Hanya darah panas yang mengalir deras dari tubuh pria itu yang menggenangi dirinya, bercampur dengan darahnya sendiri. 　　Teriakan lemah itu perlahan mereda, berganti dengan riuh tangis panik. Para pelayan istana putri berhamburan datang dari segala penjuru. 　　“Ayah, Ibu——” Cui Yi mendorong pelayan yang menghalangi, terhuyung-huyung mendekati kedua mayat. 　　Terpampang pemandangan mengerikan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya: Ayahnya yang tegas dan misterius dalam ingatannya terbaring di tanah dengan luka menganga di leher. Sang ibu yang anggun dan flamboyan juga tergeletak, lubang darah besar di dadanya mengucurkan darah deras. 　　Keduanya berbaring berdekatan. Satu wajah memancarkan ketenangan lega, satu lagi membeku dengan ribuan kata tak terucap. 　　Dekat, namun terasa begitu asing... 　　Cui Yi berlutut di samping jenazah, menjerit histeris. 　　Ia benar-benar tak mengerti. 　　Setahun lalu ia masih memiliki adik, ibu, dan ayah. Meski ada konflik dalam keluarga, setidaknya semua masih utuh. Bagaimana mungkin dalam sekejap adiknya menghilang, ayahnya membunuh ibu lalu bunuh diri... 　　Para pelayan istana putri bersimpuh di lantai, bertanya sambil menangis: “Tuan Gong, apa yang harus kami lakukan?” 　　Sang Putri Mulia telah tiada. Barang-barang berharga tak boleh disentuh. Nasib mereka hanya bisa pasrah menunggu. 　　Cui Yi bangkit berdiri, bertahan sambil berkata: “Aku akan masuk istana!” 　　“Tuan Gong, Tuan Gong——” 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming melempar laporan ke samping sambil kelopak matanya berkedut ganas. 　　Kaisar Jingming merasa panik. 　　Tidak mungkin! Urusan dua hari ini sudah cukup membuatnya pusing, masakan masih ada ulah aneh lagi? 　　“Pan Hai——” 　　“Hamba di sini.” 　　“Pergi tanyakan perkembangan dari Dayang Duo. Jangan-jangan Dayang Duo tak tahan hukuman sampai mati?” 　　Pan Hai segera pergi menjalankan perintah, bahkan belum sempat Kaisar Jingming meneguk teh dia sudah kembali. 　　Kaisar Jingming langsung duduk tegak: “Ada apa?” 　　Ini terlalu cepat, pasti ada kabar buruk! 　　Pan Hai benar-benar bingung bagaimana menyampaikan pada Kaisar Jingming. 　　Kaisar sudah mengalami terlalu banyak pukulan dalam dua hari ini... 　　“Katakan sekarang juga!” 　　“Tuan Cui memohon audiensi——” 　　Kaisar Jingming merenung sejenak: “Cui Yi? Dia pasti datang memohon pengampunan untuk ibunya. Pergi katakan padanya, ibunya sudah berbuat salah, pantas menerima hukuman. Siapapun yang memohon tidak akan——” 　　Pan Hai mengeraskan hati: “Tuan Cui menangis sambil berkata Jenderal Cui dan Putri Rongyang sudah meninggal...” 　　Patung giok Yu Pixiu yang sedang dipegang Kaisar Jingming langsung terjatuh ke lantai hingga rusak parah. 　　“Panggil Cui Yi masuk! Brengsek ini, demi bertemu Aku sampai berani mengarang cerita!” 　　Cui Yi masuk dengan mata merah, langsung bersujud sambil terisak: “Paman Zhang, Ayah Saya dan Ibu sudah tiada——” 　　“Apa maksudmu tiada? Cui Yi, kalau kau berani mengada-ada, Aku tidak akan mengampunimu!” 　　“Paman Zhang, bagaimana mungkin saya mengada-ada tentang orang tua, Ayah dan Ibu saya benar-benar sudah meninggal——” 　　“Apa yang sebenarnya terjadi?” 　　Cui Yi menangis tersedu-sedan: “Ayah Saya membunuh ibu saya, lalu bunuh diri……” 　　Ucapan terima kasih ini dipersembahkan untuk Ai Aiyuanzi yang telah menjadi Paduka Mecenas buku ini. 523. BAB 522 Permohonan (Hadiah He Shibi) 　　BAB 522 Permohonan (Hadiah He Shibi) 　　Kaisar Jingming terdiam sesaat, lama kemudian bingung menatap Pan Hai: “Apa yang dia katakan?” 　　Pan Hai dengan wajah masam mengulangi: “Jenderal Cui membunuh Mulia Putri, lalu bunuh diri……” 　　Kaisar Jingming mengangkat tangan menahan dahinya, pandangannya berkunang-kunang. 　　Tangisan Cui Yi yang bergema di telinganya membuat kepalanya semakin sakit tak tertahankan. 　　Kacau, kacau, dunia ini benar-benar kacau. 　　Dia hanya menjalankan hukum secara adil terhadap Rongyang, kenapa malah muncul korban jiwa lagi? Apakah mereka tidak menganggap keberadaan Kaisar ini sama sekali! 　　Kaisar Jingming masih memiliki ikatan saudara kandung dengan Mulia Putri Rongyang, meskipun nyaris habis terkikis oleh kenakalan sang putri yang terus-menerus, tetap saja merasa sedih. 　　Tangisan Cui Yi membuatnya semakin gelisah. 　　“Paman Zhang, harus bagaimana ini?” 　　Memandang keponakannya yang menangis bodoh itu, tiba-tiba Kaisar Jingming teringat pada Jiang Zhan yang dengan sukarela meminta ditempatkan di perbatasan. 　　Dua remaja yang sebaya, menunjukkan perilaku yang sangat berbeda…… 　　Namun saat ini dia tak bisa menyalahkan keponakannya ini, hanya menghela nafas: “Jangan menangis lagi, Aku akan memerintahkan penguburan yang layak untuk orangtuamu, dan mengatur nasibmu dengan baik……” 　　Tangisan Cui Yi semakin keras, sambil menangis ia mengusap hidung: "Paman Zhang, saya punya satu permintaan——" 　　"Katakan." Pelipis Kaisar Jingming berdenyut-denyut. 　　Saat ini yang paling ia takuti adalah mendengar kata "permintaan". Istri Lao Qi mengajukan permintaan, akibatnya langsung dua orang tewas, itupun adik dan iparnya sendiri... 　　"Mohon Jendera jangan makamkan orangtua saya bersama." 　　"Hmm?" Kaisar Jingming terkejut, tidak menyangka Cui Yi akan mengajukan permintaan seperti ini. 　　Pasangan suami istri dimakamkan bersama sudah menjadi hukum alam. Banyak pasangan bermusuhan di dunia ini, setelah mati segalanya ditutupi tanah, lalu menerima sembahyang cucu. Permintaan untuk tidak memakamkan orangtua bersama benar-benar langka. 　　Mata Cui Yi memerah, ujung hidungnya juga merah, namun ekspresinya tegas: "Jangan dikubur bersama, saya tidak mau orangtua terus seperti ini di alam baka." 　　Kaisar Jingming terdiam lama, lalu mengangguk halus: "Baik, kalau begitu tidak usah dikubur bersama." 　　Pan Hai dalam hati menghela napas. 　　Dari langit jatuh ke bumi, kadang terjadi sekejap mata. 　　Mulia Putri Rongyang yang kini jadi rakyat biasa, tidak bisa dimakamkan di pemakaman kerajaan maupun makam leluhur keluarga Cui, akhirnya sungguh menyedihkan. 　　"Pan Hai, urusan pemakaman Rongyang dan Cui Xu, kau kirim orang untuk membantu mengurus." Setelah memberi perintah, Kaisar Jingming menatap Cui Yi. 　　Cui Yi berkata lagi: "Paman Zhang, keponakan masih punya satu permintaan lagi." 　　Kelopak mata Kaisar Jingming berkedut. 　　Masih ada permintaan lagi? 　　"Katakan." 　　“Tolong Paman Zhang bantu saya menemukan adik, sekarang saya hanya punya adik sebagai keluarga satu-satunya.” 　　Kaisar Jingming hanya bisa mengangguk: "Hal ini akan Aku ingat baik-baik, kau tak perlu khawatir." 　　“Terima kasih Paman Zhang.” 　　“Cepat pulanglah, urusan orangtuamu pasti membutuhkan tenagamu.” 　　Setelah Cui Yi pergi sambil mengusap air mata, Kaisar Jingming menghela napas panjang. 　　“Baginda Kaisar, pihak Janda Permaisuri——” 　　Kaisar Jingming wajahnya berubah serius: “Untuk sementara tutup rapat-rapat. Jika Janda Permaisuri mendengar sepatah kata pun, pasti tidak akan kuampuni!” 　　Dalam waktu dekat dia tidak punya keberanian lagi untuk mengajak Janda Permaisuri berbincang, bisa ditunda ya ditunda saja. 　　Berita kematian Cui Xu dan Putri Rongyang dengan cepat tersebar, mengejutkan banyak orang. 　　Di kediaman Keluarga Marquis Yining, Ibu Suri menangis deras namun raut wajahnya gembira: “Si tua, Putri Rongyang yang membunuh A Ke sudah dapat balasannya, benar-benar dapat balasan.” 　　Marquis Yining yang tua menepuk lengan Ibu Suri: “Kenapa menangis lagi? Baru saja menangis tadi, hati-hati matamu sakit.” 　　Ibu Suri tersenyum sambil mengusap air mata: “Ini namanya menangis karena bahagia. Awalnya dengar Putri Rongyang diturunkan jadi rakyat biasa sudah cukup senang, tak disangka ada kabar lebih baik. Si tua, menurutmu Langit akhirnya membuka mata?” 　　Marquis Yining yang tua memandang tirai pintu kapas bermotif burung magpie di poon plum, tersenyum: “Bukan Langit yang buka mata, tapi kita punya cucu perempuan yang baik...” 　　“Kau bilang Si'er?” Ibu Suri mengusap air mata, senyumnya semakin lebar, “Benar, Si'er kita memang hebat, sudah membalas dendam untuk ibunya.” 　　Marquis Yining yang tua sedikit mengerutkan kening: “Aku hanya khawatir kematian Putri Rongyang akan mempengaruhi kesan Kaisar terhadap Si'er.” 　　Ekspresi Ibu Suri menjadi serius: “Itu sepadan. Takut mempengaruhi diri sendiri lalu tidak berani membalas dendam untuk ibu, bukankah itu menyia-nyiakan status sebagai anak?” 　　Marquis Yining yang tua mengendurkan alis putihnya: “Kau benar. Ada yang harus dilakukan dan ada yang tidak, Si'er sudah bertindak tepat.” 　　Sejak mengetahui dalang kematian putri mereka adalah Putri Rongyang, namun terpaksa menahan diri demi kelangsungan keluarga, kedua orang tua ini seperti memiliki penyakit hati. 　　Perasaan tertekan, marah, tak terhitung malam terjaga, akhirnya cucu perempuan mereka telah melepaskan dendam ini. 　　Perasaan Paman tertua Su sedikit berbeda dengan orang tuanya. 　　Istri meracuni ibu dan adik perempuan, istri mati. Putri Rongyang sebagai dalang, Putri Rongyang juga mati. Semua ini karena keponakan perempuan... 　　Paman tertua Su merasa sangat kompleks: Keponakan perempuannya ini, sungguh garang. 　　Di Dongping Bo Residence, Jiang Yi menghadang Jiang Zhan: “Adik Kedua, jangan menyalakan petasan!” 　　Jiang Zhan tertawa: “Aku hanya bicara, Kakak benar-benar percaya.” 　　Ia sudah tidak sembrono seperti dulu, meski dalam hati sudah menyalakan ribuan kembang api, takkan benar-benar menyalakan petasan di luar. Kakaknya sampai ketakutan seperti ini. 　　“Hanya omong kosong?” Jiang Yi tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis, mencubit Jiang Zhan, “Lalu mengapa kau menakut-nakutiku? Aku kira kau benar-benar akan menyalakan petasan di jalan untuk merayakannya.” 　　Meski Putri Rongyang telah kehilangan restu Kaisar, dia tetap anak angkat Janda Permaisuri. Orangnya sudah meninggal, jika terlihat bersukacita pasti akan membuat Kaisar jijik. 　　Tirai pintu tersibak, Jiang Ancheng masuk dengan langkah lebar. 　　“Ayah——” Kedua kakak-beradik itu berseru serempak. 　　Mata merah Jiang Ancheng menatap tajam kedua anaknya: “Putri Rongyang telah membunuh ibumu!” 　　Jiang Yi dan Jiang Zhan saling memandang, bingung harus berkata apa. 　　“Apakah kalian sudah tahu sejak lama?” Jiang Ancheng bertanya sambil bersandar ke dinding. 　　Jiang Zhan buru-buru menjawab: “Kami tahu saat mengunjungi nenek dari pihak ibu. Anak takut Ayah tidak bisa menerima, jadi meyakinkan kakak dan Adik Keempat untuk merahasiakannya.” 　　Melihat Jiang Zhan mengambil alih tanggung jawab, Jiang Yi berbisik lembut: “Ayah, ini bukan keputusan Adik Kedua saja. Akulah yang memutuskan untuk menyembunyikannya dari Ayah.” 　　Jiang Ancheng memukul dinding keras-keras, bertanya: “Si'er tidak menghadiri pemakaman Bibi, apakah ada hubungannya dengan ini?” 　　Nyonya You dan Putri Rongyang sudah meninggal, tak ada beban lagi untuk memberitahu kebenaran. Jiang Yi ragu sejenak: “Putri Rongyang menggunakan tangan Nyonya You untuk membunuh Ibu...” 　　“Kalian benar-benar bisa merahasiakan ini dariku!” Jiang Ancheng menggigil sambil menghela napas. 　　Pada saat seperti ini, mungkinkah dia menyalahkan anak-anaknya? Tentu tidak. 　　Hatinya terasa seperti direbus dalam minyak panas. Memikirkan kematian istrinya yang begitu menyakitkan, ia hampir tak kuasa menahan diri untuk menyerbu istana putri dan membunuh Putri Rongyang si wanita beracun itu. Tapi ternyata Cui Xu yang sudah bergerak lebih dulu. 　　Dan semua ini adalah jasa Si'er. 　　Jiang Anchengu mengusap wajahnya, tiba-tiba sangat merindukan putri bungsunya. 　　Terima kasih untuk hadiah lima He Shibi dari Yin Xiaotiao, dua He Shibi dari tsubaki, serta He Shibi dari Feng Zhi Dian, Masa Lalu Desa Gunung, dan Najia. 524.BAB 523 Kembali ke Keluarga Bo (Hadiah He Shibi) 　　BAB 523 Kembali ke Keluarga Bo (Hadiah He Shibi) 　　Jiang Si memiliki kebiasaan tidur siang. Mungkin karena begadang semalaman, kali ini tidurnya sangat lama hingga hampir petang saat terbangun. 　　Yu Jin bersandar di dipan rendah tak jauh sambil membaca. Melihat Jiang Si membuka mata, ia meletakkan bukunya dan mendekat: "Sudah bangun." 　　Jiang Si mengangkat tubuhnya: "Apa aku tidur lama?" 　　"Cukup lama, pasti karena kemalaman kelelahan." Yu Jin menuangkan air dan menyodorkannya. 　　Jiang Si meminum beberapa teguk, baru rasa lemas setelah tidur panjang itu hilang. 　　"Ada kabar baik untukmu." 　　Jiang Si meletakkan cangkir, tersenyum bertanya: "Kabar baik apa?" 　　"Putri Rongyang sudah tewas." 　　Senyum Jiang Si langsung menghilang. 　　Kematian Putri Rongyang ini cukup mengejutkan. 　　"Bagaimana dia mati?" 　　Jangan-jangan bunuh diri karena tak tahan tekanan? Tapi itu tidak seperti karakter Putri Rongyang. 　　Yu Jin berkata dengan tenang: "Dibunuh oleh Cui Xu." 　　Jiang Si semakin terkejut: "Apa Cui Xu sudah gila? Dia membunuh Mulia Putri Rongyang, pasti Ayah Kaisar tidak akan mengampuninya dan keluarga Cui." 　　Yu Jin tersenyum: "Dia tidak perlu takut lagi. Setelah membunuh Mulia Putri Rongyang, dia langsung bunuh diri." 　　Jiang Si terdiam. 　　Akhir hubungan Cui Xu dan Mulia Putri Rongyang ini sama sekali tidak dia duga. 　　"Awalnya aku meremehkan orang seperti Cui Xu, tapi tindakannya hari ini membuatku merasa dia masih layak disebut pria sejati." Yu Jin berkata datar. 　　Menurutnya, jika sudah memiliki kekasih hati, bahkan tekanan dari Kaisar sekalipun tidak boleh membuatnya menikahi orang lain. Dan jika sudah menyerah pada takdir dengan menikahi orang lain, jangan lagi berpura-pura masih mengingat mantan. 　　Karena itu dia selalu memandang rendah Cui Xu. 　　Tapi hari ini, setelah mengetahui kekasihnya dibunuh Mulia Putri Rongyang, Cui Xu membalas dendam lalu bunuh diri, membuat Yu Jin merasa dia masih punya nyali. 　　"Jika jadi diriku, aku juga akan bertindak demikian." 　　Menghadapi penyiksaan terhadap kekasih hati namun selalu bisa menahan diri secara rasional, hanya membuktikan cinta pria itu palsu belaka. 　　"Aku ingin pulang ke Kediaman Bo sebentar, pasti Ayah sudah tahu kabar ini." 　　"Baik, besok akan kuantarmu." 　　Keesokan harinya mereka langsung menuju Kediaman Dongping Bo. 　　Kediaman Bo telah menerima kabar sebelumnya. Pintu gerbang utama sudah terbuka lebar. Mandor beserta banyak pelayan telah menunggu di depan gerbang. Begitu melihat kereta kuda Istana Pangeran Yan datang, segera menyuruh orang masuk memberi kabar. 　　Tuan Jiang Kedua dan rombongan buru-buru datang, secara pribadi menyambut Jiang Si dan pasangannya masuk. 　　"Ibu Suri telah menanti-nanti kedatangan Pangeran dan Permaisuri." Tuan Jiang Kedua tersenyum kecut. 　　Yu Jin menoleh bertanya pada Jiang Si: "Ke mana kita pergi duluan?" 　　Senyum Tuan Jiang Kedua langsung menghilang. 　　Apa maksud perkataan Pangeran Yan ini? Jangan-jangan Jiang Si tidak mau menghadap Ibu Suri untuk memberi salam pun dibiarkan? 　　Sudah biasa melihat suami yang memanjakan istri, tapi yang seenaknya seperti ini belum pernah dilihat. 　　Tentu saja, dia tidak berani marah. Bahkan jika Jiang Si benar-benar minta pergi ke tempat lain dulu, terpaksa harus diterima dengan pasrah. 　　Lihat saja Putri Rongyang yang melawan keponakan ini sampai kehilangan nyawa, berani apa dia? 　　Saat ini, Tuan Jiang Kedua merasakan tekanan berat dalam hati: Mengapa dia tidak bisa membesarkan putri yang sesukses Jiang Si? 　　"Paman, apakah ayah saya ada di sini?" 　　"Sebelum menerima kabar dari istana pangeran, ayahmu sudah pergi. Saya sudah menyuruh orang mencarinya, mungkin sebentar lagi kembali." 　　Barulah Jiang Si berkata pada Yu Jin: "Ayo ke Cixintang." 　　Dia sangat tidak ingin berurusan dengan neneknya, tapi karena sudah datang, tetap harus memberi salam. 　　Nyonya Feng di Cixintang menunggu dengan gelisah. Baru setelah dayang melapor bahwa tamu sudah datang, dia lega dan menampilkan sikap lembut nan anggun. 　　Jiang Si dan pasangannya masuk, memberi hormat pada Nyonya Feng. 　　Pandangan Nyonya Feng tertuju pada perut Jiang Si, langsung bertanya: "Bagaimana keadaan keperawananmu?" 　　"Baik-baik saja." Jawab Jiang Si singkat. 　　"Sudah lebih dari empat bulan, ya? Tidak terlalu kelihatan." 　　“Tabib utama mengatakan kondisi setiap orang berbeda, terima kasih atas perhatian Nenek.” 　　Nyonya Feng menggelengkan kepala: “Permaisuri sedang mengandung tidak seperti biasa, sebisa mungkin hindari keluar rumah nanti.” 　　Jiang Si berkata datar: “Saya datang menjenguk Ayah.” 　　Hati Nyonya Feng dipenuhi rasa jengkel. 　　Dari sekian banyak cucu perempuan, kenapa justru si gadis keras kepala dan bandel ini yang berkuasa? Sungguh tidak menghormati dirinya sama sekali. Berani langsung menyatakan akan menjenguk Putra Sulung di hadapannya, seolah-olah Ibu Suri ini tidak ada. 　　Namun kemarahan ini tak bisa diluapkan, Nyonya Feng tetap memaksakan senyum: “Ayahmu sudah pergi sejak pagi.” 　　“Kalau begitu saya tunggu Ayah pulang.” 　　“Tahun baru hampir tiba, tidak pantas Bibi sepupu terus menetap di istana pangeran. Biar Ibu Suri yang menjemputnya pulang.” 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Keluarga Bo maupun istana pangeran bukanlah rumah Bibi sepupu. Dimana pun ia tinggal sama saja, lebih baik tidak usah repot-repot. Kebetulan bisa menemani saya.” 　　Nyonya Feng mengerutkan kening: “Tapi dia sudah cukup merepotkan kalian. Seandainya tahu kakaknya begitu brengsek, tidak seharusnya diizinkan datang ke ibu kota——” 　　“Tak apa. Orang seperti itu pada akhirnya hanya badut yang melompat-lompat, takkan bisa membuat ombak besar.” Ekspresi Jiang Si tetap datar, nada bicaranya semakin dingin, “Bahkan jika ada pejabat tinggi yang sok berkuasa sekalipun, tidak akan mudah merepotkan saya. Nenek tak perlu khawatir.” 　　Bibir Nyonya Feng berkedut. Ingatannya melayang pada nasib Putri Rongyang, membuatnya tak bisa berkata-kata lagi. 　　Setengah shichen kemudian, Jiang Ancheng kembali dengan membawa hawa dingin. 　　“Kau pergi ke mana？” Nyonya Feng langsung mengerutkan kening begitu melihat putra sulungnya. 　　Jiang Si sudah berjalan cepat mendekat dan berkata lembut: “Ayah, minumlah teh hangat untuk menghangatkan diri.” 　　Yu Jin segera menyerahkan teh panas itu. 　　Jiang Ancheng tidak merasa ada yang aneh, menerima teh itu dan meneguk beberapa kali. 　　Hati Nyonya Feng mulai terasa asam: Pangeran Yan hanya menyapa beliau lalu diam, tapi sangat perhatian melayani teh untuk putra sulung. 　　Tuan Jiang Kedua bahkan matanya memerah karena iri. 　　Kakak yang tidak punya masa depan saja bisa dihormati Pangeran Yan seperti ini. Seandainya Pangeran Yan adalah menantunya, betapa besar bantuannya dalam dunia birokrasi. 　　Keberuntungan seperti ini malah jatuh ke tangan Kakak, sungguh sia-sia. 　　Setelah menghabiskan teh, Jiang Ancheng berkata pada Nyonya Feng: “Ibu, biarkan Pangeran dan Si'er berkunjung ke tempat saya. Kami tidak ingin mengganggu Ibu beristirahat.” 　　Dalam sekejap Cixintang menjadi sepi, Nyonya Feng hampir meluapkan umpatan. 　　Istirahat apaan! Baru ingin memperbaiki hubungan dengan Si'er malah diganggu oleh si bodoh ini, benar-benar membuatnya kesal. 　　Jalan batu hijau telah dibersihkan, timbunan salju di kedua sisi terlihat kotor. 　　Jiang Ancheng berjalan di depan, Jiang Si dan Jiang Yi menemani di sisi kiri dan kanan, sementara Yu Jin dengan bijak berada di belakang. 　　“Aku baru berziarah ke makam ibu kalian,” ujar Jiang Ancheng pelan di tengah angin dingin. 　　Jiang Si dan Jiang Yi saling memandang. 　　Jiang Yi membuka mulut: "Ayah——" 　　Jiang Ancheng mengangkat tangan: "Tak perlu menasihati, aku baik-baik saja." 　　Suaranya semakin lirih seolah diterbangkan angin: "Semalam bermimpi bertemu ibu kalian, dia bilang pelaku kejahatannya sudah dihukum, tak ada penyesalan lagi. Kini dia hanya menungguku untuk bersatu kembali." 　　Wajah Jiang Si dan Jiang Yi berubah pucat. 　　Jiang Ancheng berbalik, mengusap rambut mereka seperti saat mereka kecil: "Tenang, ayah masih ingin melihat Yan-yan menikah, melihat anak Si'er tumbuh dewasa, lalu kabar baik ini akan kusampaikan pada ibu kalian." 　　Barulah Jiang Si dan Jiang Yi lega, menemani Jiang Ancheng menuju Minghua Hall. 　　Terima kasih untuk Mo Yu Moyo yang memberi tiga He Shibi, Liu Chengxuepao dan Panni yang menyumbangkan He Shibi. 525. BAB 524 Pangeran Lu yang Meragukan Hidupnya 　　BAB 524 Pangeran Lu yang Meragukan Hidupnya 　　Menjelang akhir tahun, kantor kabupaten telah ditutup, Kaisar Jingming sedikit lega. 　　Setidaknya kini bisa beristirahat, masalah menyebalkan biarlah ditangguhkan sampai tahun baru. 　　Tak disangka baru saja berpikir begitu, ulah aneh muncul lagi: Pangeran Lu memukul Pangeran Jing! 　　Memandangi Pangeran Lu yang bersujud dan Pangeran Jing yang babak belur, wajah Kaisar Jingming lebih hitam dari wajan. 　　"Lao Wu, kau kekenyangan sampai berani ke Jingyuan memukul kakak keduamu?" 　　Pangeran Lu membela diri dengan kaku: "Awalnya hamba hanya ingin mengunjungi Kakak Kedua, dia mengajak hamba minum arak. Entah kenapa mulutnya jadi tidak karuan, hamba yang sedang mabuk tak tahan akhirnya berkelahi—" 　　"Diam!" teriak Kaisar Jingming yang membuat Pangeran Lu kaget. 　　Pangeran Lu bergumam dalam hati: Ayah Kaisar terlihat agak menyeramkan ya, kenapa amarahnya hanya dilampiaskan ke hamba? Dulu Lao Qi memukul Kakak Kedua tidak diperlakukan seperti ini. 　　Sejujurnya, hamba sengaja mengunjungi Taman Sunyi untuk minum dengan mantan Putra Mahkota, mencari alasan untuk memukulinya dan mewujudkan keinginan lama. 　　Melirik mantan Putra Mahkota yang wajahnya babak belur seperti kepala babi, Pangeran Lu merasa sangat puas. 　　Sudah terlanjur dipukul, paling-paling hamba hanya akan dimarahi dan dikurung di Biro Urusan Kerajaan beberapa hari seperti Lao Qi. Masih cukup sepadan. 　　Tunggu, mungkin tidak akan separah itu. Saat Lao Qi memukul Kakak Kedua, dia masih menjabat Putra Mahkota. Itu namanya melawan atasan. Sekarang hamba memukul mantan Putra Mahkota, mungkin Ayah Kaisar akan menghukum Kakak Kedua untuk ikut dikurung di Biro Urusan Kerajaan. 　　Hehehe, kalau begitu hamba malah untung. 　　"Berkelahi?" suara Kaisar Jingming meninggi, menunjuk mantan Putra Mahkota, "Ini namanya berkelahi? Ini jelas pemukulan sepihak!" 　　Bajingan kecil ini benar-benar menganggap Aku pikun. Memukul Kakak Kedua sampai ibunya sendiri hampir tak mengenali, masih berani membela diri di hadapan-Ku. 　　Aku paling benci alasan-alasan! 　　Kala itu jika Putri Rongyang tidak membela diri dan mengakui kesalahan dengan jujur, hukuman tidak akan seberat ini. Mungkin dia tidak akan tewas di tangan Cui Xu... 　　Kaisar Jingming merasa bersalah atas kematian Putri Rongyang. Kebetulan Pangeran Lu membuat masalah di saat yang tidak tepat, bagaikan menginjak bara api. 　　Pangeran Lu masih belum menyadari bahaya yang mengintai, "Kekuatan anak lelaki ini terlalu besar. Tak kusangka Kakak Kedua begitu lemah, sampai tak bisa mengontrol tenaga..." 　　"Diam kau, binatang!" bentak Kaisar Jingming sambil menatap mantan putra mahkota, "Lao Er, ada yang ingin kau katakan padaku?" 　　Mantan putra mahkota yang tampak menyedihkan itu menunduk, berbisik pelan, "Anak lelaki ini salah. Mohon pengampunan Ayah Kaisar." 　　Gelombang kemarahan dan kebencian menggelora dalam hatinya. 　　Saat masih menjadi putra mahkota, selain Lao Qi si pembangkang, semua saudara tetap menunjukkan rasa hormat. Kini sebagai Pangeran Jing, bahkan Lao Wu si idiot berani memukulinya. 　　Calon mertua memang benar. Yang harus dilakukannya sekarang hanya bersabar. 　　Selama calon penguasa belum ditetapkan, masih ada harapan untuk bangkit. Dengan bertahan dan membuat Ayah Kaisar berubah pikiran, gelar putra mahkota akan kembali menjadi miliknya. 　　Hidup selamanya sebagai Pangeran Jing di Taman Jing yang sepi itu sungguh mengerikan. 　　Pengakuan jujur mantan putra mahkota membuat Kaisar Jingming tersentuh sesaat. 　　Marahnya pada kelakuan Lao Er yang durhaka, bukan berarti siapa pun boleh menghina mantan putra mahkota. 　　Bagaimanapun, Lao Er adalah satu-satunya anak lelakinya bersama Permaisuri Pertama. 　　Kaisar Jingming memandangi Pangeran Lu dengan tatapan dingin: "Di masa penuh masalah ini, kau bukannya memikirkan cara meringankan beban Ayah, malah memukul kakak laki-laki, sungguh sangat mengecewakan Aku!" 　　"Ayah Kaisar——" 　　Kaisar Jingming mengangkat tangan: "Aku tak mau mendengar penjelasanmu. Pan Hai, sampaikan maklumat Kaisar: Pangeran Lu tidak menghormati kakak, dikhawatirkan akan menimbulkan perseteruan antar saudara. Sekarang diturunkan dari pangeran kerajaan menjadi pangeran wilayah, semoga pangeran lain bisa mengambil pelajaran..." 　　Mantan Putra Mahkota yang sedang berlutut dengan wajah memelas langsung tertegun. 　　Lao Wu memukulnya, tapi Ayah Kaisar malah menurunkan gelar bangsawan Lao Wu? 　　Setelah terkejut, datanglah kegembiraan luar biasa. 　　Ayah begitu menyayanginya, pasti masih ada kesempatan! Calon mertua ternyata tidak membohonginya... 　　Mantan Putra Mahkota mengingat perkataan Ayah Yang dengan sungguh-sungguh, menahan diri agar tidak menunjukkan sedikitpun kegembiraan, merasa telah menggunakan semua kemampuan menahan diri seumur hidupnya. 　　Yang lebih terkejut dari mantan Putra Mahkota adalah Pangeran Lu. 　　Turun jabatan? Tunggu, hasil ini tidak tepat. 　　Lao Qi yang memukul Putra Mahkota hanya ditahan beberapa hari di Biro Urusan Kerajaan tanpa konsekuensi berarti, sementara dirinya yang memukul Pangeran Jing malah harus turun jabatan? 　　"A-Ayah Kaisar, apakah Ayah keliru——" 　　Kaisar Jingming menyepak Pangeran Lu: "Salah apaan? Pergi kau dari sini!" 　　Pangeran Lu diusir keluar, tinggallah mantan Putra Mahkota yang masih setia berlutut. 　　"Kau bangunlah." Kaisar Jingming melirik mantan Putra Mahkota, perasaan marah dan sayang bercampur. 　　Terhadap anak lelaki ini memang dia menaruh harapan besar, memiliki ikatan emosional yang tak tergantikan oleh pangeran lainnya. 　　“Dia pernah melihatnya belajar berjalan tertatih-tatih, mengangkatnya saat terjatuh, bahkan mengajarinya menulis secara pribadi dan memperbaiki posisi memegang kuas... Semua ini tidak pernah didapatkan oleh pangeran-pangeran lain.” 　　Amarah Kaisar Jingming mereda saat melihat kondisi menyedihkan Putra Mahkota yang dipecat, bertanya: “Apakah istrimu dan Chun Ge'er sudah beradaptasi dengan baik di Jing Yuan?” 　　Langsung menanyakan apakah Putra Mahkota yang dipecat hidup baik-baik saja, dia masih merasa enggan menjaga harga dirinya. 　　“Jing Yuan luas, Chun Ge'er sering membuat boneka salju bersama dua adik perempuannya, mereka sangat gembira...” Putra Mahkota yang dipecat mengingat nasihat Ayah Yang, begitu ada kesempatan bertemu Kaisar, jangan pernah mengeluh. 　　Seolah melihat pemandangan cucu-cucunya bermain boneka salju, senyum tipis mengembang di bibir Kaisar Jingming: “Puas bisa beradaptasi.” 　　Dia menatap tajam Putra Mahkota yang dipecat: “Statusmu tidak seperti dulu, harus rukun dengan saudara-saudaramu.” 　　“Anak patuh akan ajaran Ayah Kaisar.” 　　“Bawa Chun Ge'er saat jamuan keluarga nanti.” 　　Putra Mahkota yang dipecat langsung menengadah, memandangi Kaisar Jingming dengan penuh harap. 　　Apakah Kaisar mengizinkannya menghadiri jamuan keluarga Tahun Baru? 　　“Hmm?” 　　Putra Mahkota yang dipecat menangis tersedu-sambil bersujud: “Terima kasih Ayah! Saya kira Ayah tak mau melihat saya lagi...” 　　Bibir Kaisar Jingming bergetar. 　　Dulu benar-benar ingin mencekik brengsek ini, sekarang melihat si brengsek yang terinjak-injak ini merasa kasihan juga benar adanya. 　　"Bilang dia tidak sukses juga tidak apa, atau aku pilih kasih, tapi terhadap Lao Er aku memang tidak bisa tega." 　　Memulihkan posisi Lao Er sebagai calon penguasa sudah tidak mungkin, tapi aku tidak bisa membiarkan orang menganggap Lao Er yang sudah kehilangan pengaruh boleh diinjak-injak. Hukuman untuk Lao Wu dan jamuan keluarga Tahun Baru adalah cara ku menyampaikan sikap pada mereka. 　　"Jangan buang waktu dengan omong kosong, pulanglah." Kaisar Jingming mengusir mantan Putra Mahkota dengan wajah masam. 　　Pangeran Lu pulang sambil hampir menangis. Sampai di depan istana Pangeran Yan, dia berbalik dan mengetuk pintu gerbang Kediaman Pangeran Yan. 　　"Ada apa dengan Kakak kelima ini?" 　　Pangeran Lu mengusap wajahnya, bertahan dengan gigi terkunci: "Lao Qi, katakan jujur padaku hari ini." 　　"Apa?" 　　"Waktu Lao Er masih jadi Putra Mahkota, benar kau pernah memukulinya?" 　　Jangan-jangan ini umpan untuk menjebakku? 　　Yu Jin tersenyum: "Masa bisa bohong? Aku memukulinya tepat di depan pintu gerbang istana, waktu itu banyak pengawal yang melihat. Kenapa Kakak kelima tanya ini?" 　　Mendengar itu, Pangeran Lu langsung linglung, bergumam pelan: "Aku mengerti, mungkin aku anak pungut..." 526. BAB 525 TIDAK PUNYA UANG JUSTRU BAIK 　　BAB 525 TIDAK PUNYA UANG JUSTRU BAIK 　　Yu Jin saja masih kurang waktu untuk membujuk istrinya, apalagi harus sabar menghadapi pria dewasa bertubuh besar. Dia menyeringai: "Kakak kelima ngomong apasih yang tidak jelas begini?" 　　Pangeran Lu langsung meledak: "Tidak jelas? Lao Qi kau tahu tidak, gelarku diturunkan!" 　　"Diturunkan?" 　　Pangeran Lu mengusap wajahnya: "Ya, dari Pangeran Kerajaan turun jadi Pangeran Kabupaten!" 　　“Mengapa?” Yu Jin akhirnya menunjukkan sedikit rasa ingin tahu. 　　“Karena aku memukul Lao Er!” Pangeran Lu menatap Yu Jin dengan pandangan penuh keraguan, “Lao Qi, bisakah kau menganalisis alasanku? Mengapa ketika kau memukul Lao Er yang saat itu masih Putra Mahkota, melakukan pelanggaran hierarki, hanya dihukum beberapa hari di Biro Urusan Kerajaan——” 　　Yu Jin tak bisa menahan diri menambahkan: “Dan denda gaji satu tahun...” 　　“Apa bedanya meski didenda tiga tahun gaji? Kau membelikan istrimu toko kosmetik!” Pangeran Lu menepuk meja dan bangkit, menghela nafas panjang, “Sedangkan aku diturunkan pangkat kebangsawanannya! Semua saudara kita tetap bergelar pangeran kerajaan, hanya aku yang sekarang lebih rendah dari kalian!” 　　Yu Jin diam-diam mengalihkan pandangannya ke vas bawang putih warisan pria besar itu. 　　Masih bisa mengingat dia membelikan toko kosmetik untuk istrinya di situasi seperti ini, membuktikan vas ini memberi kesan mendalam pada Lao Wu. 　　Pangeran Lu meletakkan tangan di bahu Yu Jin dan mengguncangnya keras: “Lao Qi, analisislah! Kau memukul Putra Mahkota tidak kenapa-kenapa, tapi kenapa ketika aku memukul mantan Putra Mahkota malah diturunkan pangkatnya?” 　　Yu Jin melepaskan genggaman Pangeran Lu dan menyodorkan cangkir teh: “Minumlah dulu untuk menenangkan diri.” 　　Pangeran Lu menerimanya dan menenggak habis dalam sekali teguk, lebih lahap daripada minum anggur. 　　Yu Jin melirik Pangeran Lu: “Sebenarnya Kakak Kelima sudah menyebutkan alasannya.” 　　“Aku bilang apa?” Pangeran Lu terlihat kebingungan. 　　“Ayah Kaisar menghukumku ringan karena saat aku memukul Lao Er, dia masih Putra Mahkota. Ayah Kaisar menghukummu berat karena saat kau memukul Lao Er, dia sudah bukan Putra Mahkota lagi.” 　　Putra Mahkota yang berkuasa bertindak tidak pantas. Dipukuli akan membuat Kaisar berpikir ini pelajaran baik baginya, mungkin setelah ini Putra Mahkota bisa lebih bijak. 　　Tapi mantan Putra Mahkota yang dipukuli hanya akan membuat Kaisar merasa ini seperti melempar batu ke sumur yang sudah kering, menghina Putra Mahkota yang sedang jatuh. 　　Dua situasi berbeda tentu mendapat hukuman berbeda. 　　Yu Jin tersenyum dan mengelus dagunya. 　　Ngomong-ngomong, waktu itu dia tepat sekali memukul Lao Er. 　　Pangeran Lu semakin bingung: "Lao Qi, maksudmu apa? Aku tidak mengerti!" 　　Apa maksudnya Lao Qi memukul Lao Er saat dia masih Putra Mahkota, sedangkan aku memukulnya saat dia sudah bukan? Ini sama saja tidak menjelaskan apa-apa! 　　Yu Jin tersenyum dan menyerahkan secangkir teh: "Beberapa hal harus Kakak kelima pahami sendiri." 　　Apakah dia dekat dengan Lao Wu? Jika kata-kata spekulasi tentang niat Kaisar ini dibocorkan Lao Wu, bagaimana jika gelarkunya juga diturunkan? 　　Status Permaisuri Junyuwang lebih rendah dari Permaisuri Qinwang. Dia tak bisa membiarkan A Si direndahkan orang. 　　"Apakah lima saudara perempuan sudah tahu ini?" 　　Wajah Pangeran Lu langsung pucat: "Belum..." 　　Yu Jin menepuk bahu Pangeran Lu kuat-kuat: "Kakak kelima sebaiknya pulang lebih awal." 　　Pangeran Lu pergi dari Kediaman Pangeran Yan dengan wajah lesu. 　　Yu Jin meletakkan teh yang sudah dingin di meja kayu mahoni, lalu buru-buru kembali ke halaman belakang untuk berbagi gosip dengan istrinya. 　　"Pangeran Lu memukul mantan Putra Mahkota sampai dicabut gelarnya?" Jiang Si hampir tak bisa menahan tawa, "Pangeran Lu benar-benar punya nyali." 　　Meski Putra Mahkota yang dipecat seolah bisa diinjak-injak siapa saja, sebenarnya justru yang paling berbahaya untuk diganggu sebelum Kaisar benar-benar kehilangan harapan pada putranya ini. 　　Di dunia ini, yang paling sulit ditebak adalah hati manusia, terutama kasih sayang orangtua yang memanjakan anak tertentu. 　　Kau kira seseorang yang dipukul dan dimarahi orangtuanya, seolah-olah orangtuanya ingin membunuh anak ini, tapi jika orang lain berani menendangnya, yang pertama marah justru orangtuanya. 　　Hati manusia bisa sangat keras, tapi hati orangtua bisa sangat lembut. 　　Jiang Si sangat yakin akan hal ini, setidaknya pemulihan gelar Putra Mahkota di kemudian hari membuktikan keinginan Kaisar Jingming. 　　Pangeran Lu benar-benar bodoh berani, mencari mati. 　　Ujian "punya nyali" dari Jiang Si membuat Yu Jin tersenyum paham. 　　A Si-nya jauh lebih pintar daripada Pangeran Lu. 　　"Kemungkinan Pangeran Jing dipulihkan gelarnya sangat besar," kata Jiang Si. 　　Meski tak bisa mengungkapkan peristiwa kehidupan sebelumnya, ia tetap bisa memberi peringatan. 　　"Tenang, aku tak akan mengganggu mantan Putra Mahkota." 　　Karena itu lakukan hal yang ingin dilakukan selagi bisa, kesempatan tak datang dua kali. Menikahi A Si begitu, memukuli Putra Mahkota juga begitu. 　　Pangeran Lu kembali ke kediaman Pangeran Lu, mengeraskan hati menemui Permaisuri Lu. 　　"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan——" 　　“Permaisuri Lu mengerutkan alisnya, tatapannya penuh amarah: ‘Apakah Pangeran berniat membawa selir pulang untuk merayakan tahun baru?’” 　　Usai berkata demikian, ia menepuk meja kayu mahoni dengan keras, menunggu jawaban Pangeran Lu dengan wajah datar. 　　“Andai saja begitu——” Pangeran Lu menghela napas. 　　“Apa yang Pangeran katakan?” 　　Pangeran Lu mengencangkan kulit kepalanya, berkata putus asa: “Hari ini aku memukul Pangeran Jing, diturunkan jabatan menjadi pangeran kabupaten oleh Ayah Kaisar...” 　　Setelah menunggu cukup lama, badai kemarahan yang dibayangkannya tak kunjung datang. 　　Pangeran Lu heran memandang Permaisuri Lu. 　　“Hanya ini?” Permaisuri Lu mengangkat alis. 　　Pangeran Lu mengangguk berat: “Ya.” 　　Bukankah ini sudah cukup buruk? 　　“Sudah tahu. Kalau tak ada urusan lain, mandi dan makanlah.” Permaisuri Lu berkata datar. 　　Pangeran Lu berkedip, menahan tangan Permaisuri Lu: “Apakah kau tidak mendengar jelas ucapanku?” 　　Permaisuri Lu melototi Pangeran Lu: “Aku bukan tuli.” 　　“Aku diturunkan jadi pangeran kabupaten, kau dari permaisuri pangeran kerajaan menjadi permaisuri kabupaten.” 　　“Ya.” 　　Pangeran Lu meraba dahi Permaisuri Lu: “Apakah kau demam?” 　　Permaisuri Lu memalingkan kepala, kesal: “Masih mau makan atau tidak?” 　　“Makan tentu mau, tapi... kau tidak marah?” 　　Permaisuri Lu kembali melemparkan |mata putih ke arahnya, langsung berdiri: "Turunkan gelar bangsawan ya turunkan, gaji tahunan berkurang malah menghemat uangmu untuk memelihara |selir dan istri kelas dua. Sudah, saya lapar, ayo makan." 　　Memandang |Permaisuri Lu yang memiliki |wajah cerah berseri, |Pangeran Lu tiba-tiba merasa terharu. 　　Tak disangka |Macan Betina ini juga bisa terlihat menyenangkan, kenapa |matanya terasa perih begini? 　　Haham, pasti karena |anginnya terlalu kencang yang membuat |mata perih. 　　|Pangeran Lu mengusap sudut |matanya, tersenyum: "Saya juga lapar, ayo makan." 　　Maklumat penurunan gelar |Pangeran Lu resmi sampai di |kediaman Pangeran Lu, dengan cepat menyebar ke telinga beberapa |pangeran. 　　|Lao Wu memukul |Putra Mahkota yang dipecat, malah diturunkan gelarnya! 　　Ini tidak masuk akal, kenapa |Lao Qi memukul |Putra Mahkota tidak kena hukuman? 　　Sepertinya harus mengunjungi |kediaman Pangeran Lu untuk minum beberapa gelas dengan |Lao Wu, lalu ke |Kediaman Pangeran Yan seberang jalan untuk minum dengan |Lao Qi. 　　Seketika |para pangeran mulai berencana, jalan |batu pualam hijau di antara |kediaman Pangeran Lu dan |Kediaman Pangeran Yan langsung ramai. Ketika kabar partisipasi keluarga |Pangeran Jing dalam |jamuan keluarga Tahun Baru tersebar, bahkan pengunjung ke |Taman Jing untuk menemui |Putra Mahkota yang dipecat bertambah banyak. 　　Awalnya khawatir |Kaisar Jingming membenci |Putra Mahkota yang dipecat sehingga takut mengunjungi, sekarang dengan sikap jelas |Kaisar, alasan ke |Taman Jing sudah jadi: "|Pangeran Jing dipukuli |Pangeran Lu begitu parah, pasti perlu menyampaikan belasungkawa." 　　Terhadap keriuhan ini, Kediaman Pangeran Yan, kediaman Pangeran Lu, dan Taman Jing menunjukkan reaksi yang luar biasa seragam: semuanya menutup pintu dan menolak tamu. 　　Kerumunan yang menahan gejolak akhirnya menanti sampai Hari Zhengdan tiba. 527.BAB 526 Hari Zhengdan 　　BAB 526 Hari Zhengdan 　　Zhengdan, yaitu hari pertama bulan pertama, hari pertama Tahun Baru Imlek, merupakan hari penting dimana pejabat militer-sipil dan utusan asing menyampaikan penghormatan kepada Putra Langit Dinasti Zhou. 　　Di saat bersamaan, putri-putri dan permaisuri dengan pangkat memadai harus memberikan penghormatan kepada Janda Permaisuri dan Permaisuri. 　　Setelah berbagai keributan ini, ketika jamuan keluarga akhirnya disiapkan di Aula Changsheng, kerumunan sudah mulai tampak letih. 　　Namun kelelahan fisik ringan tak mampu mencegah perhatian mereka terhadap tiga pihak: Putra Mahkota yang Dipecat, Pangeran Lu, dan Pangeran Yan. 　　Putra Mahkota yang Dipecat datang lebih awal, duduk di sudut sambil minum teh dengan patuh. Dibandingkan semangatnya saat masih menjadi putra mahkota, kini tampak sangat merana. 　　Kerumunan melirik sesekali dengan sudut mata, merasa iba sekaligus puas. 　　Akhirnya lumpur busuk itu jatuh dari tembok. Mereka sempat putus asa mengira akan menempel selamanya di sana. 　　Tapi untuk mendekat dan mengucapkan kata-kata sinis, tak ada yang mau menjadi burung yang menonjol. 　　Dengan pelajaran dari Pangeran Lu sebelumnya, mereka tak berani bertindak bodoh. 　　Kerumunan kembali melirik ke arah Pangeran Lu. 　　Meski tidak ditegur istrinya, Pangeran Lu tiba-tiba merasa lebih rendah dari saudara-saudaranya dalam acara seperti ini, sungguh terasa pahit. 　　"Dia meneguk teh sekali lagi, lalu berbisik kasar ke arah Pangeran Xiang yang paling dekat: 'Lao Ba, kalau matamu ingin memandang, lakukanlah terang-terangan! Jangan seperti perempuan yang mengirim gelombang mata sembunyi-sembunyi!'" 　　Pangeran Xiang mengernyitkan bibir, dalam hati mengumpat: Ibu! Apakah "mengirim gelombang mata" dipakai seperti ini? 　　"Mengapa Kakak kelima marah-marah? Adik hanya mengkhawatirkanmu." 　　Pangeran Lu menaruh cangkir teh di meja kayu mahoni sambil menyeringai: "Jangan repot-repot! Lebih baik kau pikirkan kapan akan mencari istri." 　　Wajah Pangeran Xiang langsung berubah: "Apa maksudmu, Kakak kelima?" 　　Memukul jangan di muka, mengumpat jangan buka aib. Saat ini tiga kata "mencari istri" adalah pantangan baginya. 　　Dia mengira bertemu pezina Cui Mingyue di jalan pernikahan sudah jadi lelucon terbesar. Tapi tak disangka, Cui Mingyue malah menikahi si pezina lalu membunuh suaminya sendiri dan kabur! 　　Setiap teringat kejadian itu, keringat dinginnya langsung bercucuran. 　　Wanita terlalu menakutkan. Dibuat malu habis-habisan sudah biasa, malah harus berterima kasih karena nyawanya selamat. 　　Cari istri? Seumur hidup dia takkan mau menikah lagi... 　　Pangeran Xiang yang tersentuh titik lemahnya memandang Pangeran Lu dengan mata berapi-api. 　　“Pangeran Lu saat ini sedang dalam kondisi tak terkalahkan seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki.” Ia mengerlingkan mata putihnya dengan provokatif, “Ya seperti yang diduga Adik Kedelapan. Adik Kedelapan memandangiku seperti ini, apakah ingin memukulku?” 　　Lagipula gelarnya sudah diturunkan. Jika Lao Ba berani memukulnya, mungkin mereka akan mendapat pendamping hukuman. 　　Pangeran Lu menatap Pangeran Xiang dengan sorot mata penuh harap. 　　Pangeran Xiang segera siaga. 　　Lao Wu ingin membuatnya dihukum Ayah Kaisar? Jangan mimpi! 　　Pangeran Xiang kembali tenang, tersenyum dingin: “Bagaimana mungkin? Saya malah sangat kasihan pada Kakak Kelima.” 　　Sempoa keinginan Pangeran Lu berantakan. Dengan geram ia meneguk tehnya beberapa kali. 　　Di area perempuan, gelombang tersembunyi juga mengalir. 　　“Sudah lama tak bertemu San Sao, mengapa badanmu kurus?” Permaisuri Qi bertanya penuh perhatian. 　　Permaisuri Jin menatapnya dalam-dalam, lalu berkata lembut: “Banyak urusan tahun baru. Adik ipar keempat terlihat segar.” 　　Ia tak pernah merasa segelisah ini selama hidupnya. 　　Dulunya di depan suaminya ada Putra Mahkota. Suaminya tak pernah berpikir aneh-aneh. Tapi kini Putra Mahkota dipecat, suaminya jadi pangeran tertua. Persaingan diam-diam dengan Pangeran Qi membuatnya gemetar ketakutan. 　　Tidakkah lebih baik menjalani hidup dengan mengasuh anak? Suaminya bilang akan merebutkan tahta Permaisuri, tapi ia tak ingin menjadi Ratu. 　　Namun menikah berarti mengikuti suami, saat suami sudah memutuskan, dia hanya bisa bertahan mengikuti, bukan menariknya mundur. 　　Mendengar perkataan Permaisuri Jin, Permaisuri Qi tersenyum: "Benar, aku juga tidak menyangka anak ini tidak merepotkanku. Saat mengandung dulu tidak seperti ini, waktu itu setiap hari muntah berkali-kali, hampir tidak bisa makan apa-apa, sampai kurus belasan kati..." 　　Permaisuri Jin tersenyum: "Adik ipar keempat sungguh beruntung." 　　"Justru kakak ipar ketiga yang beruntung, Fu Ge-er patuh dan mengerti, kedua putri juga sudah dewasa." Mengingat ini, hati Permaisuri Qi terasa asam. 　　Harus diakui Permaisuri Jin memang beruntung, dua putri dan satu putra Pangeran Jin semuanya anak sah. Sementara dirinya, anak perempuan dari selir sudah empat lima orang... 　　Permaisuri Qi merasa sesak, lalu menghibur diri: Berapa pun jumlah anak perempuan dari selir tak masalah, yang penting putra adalah anak kandungnya. 　　Asalkan bayi dalam kandungannya laki-laki, membuat Pangeran tak punya kelemahan, maka dengan pasti akan mengungguli Pangeran Jin. Tanpa modal berebut takhta, siapa peduli anak Permaisuri biasa lahir sebagai lelaki atau perempuan? 　　Sambil berpikir demikian, matanya menyapu Jiang Si sekilas. 　　Sorot mata Jiang Si berputar, menatap balik. 　　Permaisuri Qi refleks menunjukkan senyum tipis, buru-buru menarik pandangan, lalu kembali merasa kesal. 　　Tadi dia bahkan sempat gugup, sungguh tidak masuk akal. 　　“Tapi tidak heran, Permaisuri Yan baru saja menghabisi Mulia Putri Rongyang...” 　　Memikirkan hal ini, Permaisuri Qi semakin waspada terhadap Jiang Si, dalam hati bertekad harus mencari kesempatan untuk membuat Permaisuri Yan tak bisa bangkit kembali. 　　Orang mati pasti takkan bisa bangkit kembali - pikiran ini melintas di benak Permaisuri Qi. 　　Jiang Si menunduk memandang cangkir air di hadapannya. 　　Di dalam cangkir berisi air bersih yang bisa memantulkan bayangannya. 　　Kapan Permaisuri Qi mulai berniat membunuhnya? Di kehidupan sebelumnya Permaisuri Qi yang langsung bertindak, apa peranan Ibu Suri Xian dalam hal ini? 　　Ia mengambil cangkir dan perlahan meminum beberapa teguk, sementara telinganya menangkap suara Permaisuri Qi yang sedang menghibur Permaisuri Lu. 　　"Adik ipar kelima, tenangkan hatimu. Mungkin Ayah Kaisar akan melunak dalam beberapa hari." 　　Wajah cerah Permaisuri Lu terlihat bingung: "Apa maksud kakak keempat? Di tahun baru ini aku sangat bahagia, kenapa harus khawatir?" 　　Biasanya di tahun baru, Pangeran Lu yang bejat itu selalu meminta hadiah selir cantik, tapi tahun ini tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya senang, tapi wajah palsu Permaisuri Qi ini justru membuatnya tidak nyaman. 　　Menurut Permaisuri Lu, wajah jelek masih bisa dimaafkan, tapi senyuman yang palsu sama sekali tak bisa diterima. 　　Terhadap orang seperti ini, ia hanya ingin menjaga jarak. 　　Permaisuri Qi mendapat penolakan halus, dengan malu memegang cangkir dan menyesap air, dalam hati menggigit gigi: Ketika suatu hari nanti ia menjadi permaisuri, pasti akan menghukum habis-habisan perempuan-perempuan hina ini. 　　Setelah Kaisar dan Permaisuri mengumumkan dimulainya pesta, kerumunan sementara menyimpan berbagai pikiran mereka, menikmati anggur dan menonton pertunjukan musik serta tarian dengan patuh. 　　Saat jamuan berakhir, Kaisar Jingming yang terus-menerus tegang akhirnya menarik napas lega perlahan. 　　Syukurlah, hari ini akhirnya tidak ada masalah lagi. 　　Kerumunan memberi hormat perpisahan kepada Kaisar dan Permaisuri, lalu berjalan menuju pintu gerbang istana. 　　Kereta kuda masing-masing keluarga berhenti tidak jauh dari luar istana. Yu Jin membopong Jiang Si ke dalam kereta kuda, lalu ikut naik. Serangkaian tindakan ini segera membuat banyak orang mengerutkan bibir dan menggelengkan kepala. 　　Memeluk istri di depan umum, malah berdesak-desakan dalam satu kereta kuda dengan perempuan, tidak tahu malu, benar-benar tak tahu malu! 　　Pangeran Qi berpikir demikian sambil dengan gagah melompat naik ke punggung kuda. 　　Permaisuri Qi menarik kembali pandangannya dengan penuh penghinaan. 　　Dengan kelakuan sembarangan seperti Pangeran Yan ini, mana bisa menandingi Tuan? Jika ia menjadi Permaisuri Yan, sudah seharusnya mati malu. 　　Permaisuri Qi mengulurkan tangan menyangga dayangnya, lalu mengangkat kaki menaiki kereta kuda. 528. BAB 527 Keguguran 　　BAB 527 Keguguran 　　Pangeran Qi menyukai kesederhanaan. Kereta kuda Kediaman Pangeran Qi terlihat biasa dari luar, namun bagian dalamnya diatur dengan sangat nyaman. 　　Selimut tebal dan lembut，sandaran empuk yang nyaman，serta manisan pembuka selera yang mudah dijangkau—semua ini membuat Permaisuri Qi senang，terutama karena ini semua sengaja diatur atas perintah Pangeran Qi. 　　Pesta istana yang ramai dan membosankan tentu tak bisa menandingi kenyamanan kereta kuda yang hangat dan terlindung ini dalam merilekskan tubuh dan pikiran. 　　Permaisuri Qi yang sudah tak sabar menginjak tangga kuda dengan satu kaki dan melangkah ke papan kereta，tiba-tiba terdengar teriakan dayang di telinganya："Permaisuri——" 　　Sebelum Permaisuri Qi menyadari，tubuhnya sudah terjatuh keras ke tanah，suara jeritannya tak tertahan keluar dari tenggorokan. 　　Saat itu lentera-lentera mewah mulai dinyalakan，rangkaian lentera merah meriah menerangi pintu gerbang istana terang benderang. 　　Begitu jeritan Permaisuri Qi terdengar，kereta-kereta yang hendak bergerak tiba-tiba diam membeku，bahkan kereta yang sudah berjalan beberapa jarak pun berhenti mendadak. 　　Ada apa yang terjadi? 　　Ratusan pasang mata tertuju，melihat Permaisuri Qi terbaring di tanah. 　　Pangeran Qi yang sedang menunggang kuda langsung panik，lalu melompat turun dan berlari ke sisi Permaisuri Qi："Kau baik-baik saja?!" 　　Wajah Permaisuri Qi mengkerut kesakitan，tangan menekan perutnya bergumam："Sakit... para gadis... para gadis——" 　　Pandangan Pangeran Qi perlahan turun. 　　Karena Permaisuri Qi mengenakan pakaian longgar，keadaan sebenarnya tak terlihat jelas. 　　Ia tak lagi peduli pada tata krama，langsung mengulurkan tangannya untuk memeriksa. 　　Sensasi lengket membuat hatinya langsung tenggelam, saat mengangkat tangan dia melihat warna merah yang menyakitkan mata. 　　Wajah Pangeran Qi langsung memucat, berteriak keras: "Tabib istana, panggil tabib istana!" 　　Pangeran Qi mengulurkan tangan menggendong Permaisuri Qi, saat ini terasa seperti langit runtuh dan bumi terbelah. 　　Dengan susah payah dia menantikan istri sahnya hamil lagi, memberinya keyakinan besar untuk mengalahkan Putra Ketiga. Mengapa Permaisuri bisa celaka? 　　Pangeran Jin yang menjegalnya, pasti Pangeran Jin yang menjegalnya! 　　Jangan panik, mungkin para gadis masih bisa diselamatkan—— 　　Pangeran Qi menggendong Permaisuri Qi berlari ke pintu gerbang istana, berteriak: "Cepat panggil tabib istana!" 　　Melihat Pangeran Qi membawa Permaisuri Qi masuk ke pintu gerbang istana, kerumunan pun mengurungkan niat untuk pergi. 　　Permaisuri Qi sampai terjatuh saat naik kereta kuda, ini sungguh tak biasa. 　　Apakah ini kecelakaan, atau ulah manusia? 　　Kerumunan serentak mengalihkan pandangan ke kereta kuda Kediaman Pangeran Qi. 　　Kereta kuda itu tampak biasa-biasa saja, kuda penariknya juga biasa, saisnya berlutut di samping kereta sambil gemetar ketakutan. 　　Yu Jin menurunkan tirai jendela kereta yang sempat diangkatnya, berkata pada Jiang Si: "Benar-benar silih berganti, tiba-tiba aku merasa kasihan pada Ayah Kaisar." 　　Menjadi Kaisar juga tak mudah, selain terkungkung seharian dalam sangkar bernama istana, tahun baru yang tenang pun tak bisa dinikmati. 　　Jiang Si mengusap-usap perutnya, wajahnya agak pucat. 　　"Meski membenci Permaisuri Qi, menyaksikan sendiri bagaimana anak dalam kandungannya hilang seperti ini, hatinya tetap merasa pilu." 　　"A Jin, menurutmu jatuhnya Permaisuri Qi itu kecelakaan?" 　　"Kecelakaan?" Yu Jin tersenyum tanpa banyak simpati, "Di dunia ini mana ada begitu banyak kecelakaan? Kira-ku ini ulah Putra Ketiga." 　　Jiang Si mengerutkan alisnya perlahan. 　　Ia ingat, akhir hidup pasangan Pangeran Jin tidaklah baik... 　　Yu Jin memeluk Jiang Si heran, "A Si, kulihat kau tak punya kesan baik pada Permaisuri Qi, tapi wajahmu pucat ketakutan?" 　　Jiang Si melirik Yu Jin: "Mana ada takut, cuma—" 　　Ia mengusap perutnya, menghela napas: "Cuma merasa para gadis itu tak bersalah saja." 　　Sebagai pemuda yang belum dinobatkan, Yu Jin tak punya empati, berkata datar: "Utang ayah dibayar anak. Dosa orangtua pasti mengurangi berkah anak. Ini hukum alam, tak perlu dikasihani." 　　Melihat wajah Jiang Si masih muram, ia menepuk bahunya: "Sudahlah, mungkin anak Permaisuri Qi baik-baik saja." 　　"Tak mungkin terselamatkan..." gumam Jiang Si. 　　"Apa?" 　　Jiang Si menatap Yu Jin serius: "Anak Permaisuri Qi tak bisa diselamatkan." 　　Yu Jin terkekeh: "Itu takdir. A Si, bagaimana perasaanmu?" 　　"Aku baik-baik saja." 　　Yu Jin kembali membuka tirai kereta kuda, melihat kerumunan sudah turun dan berkumpul di pintu gerbang istana. Ia berkata pada Jiang Si: "Ayo kita turun juga. Saat seperti ini tak perlu menonjolkan diri. Kalau pulang sekarang bisa dituduh merancang jatuhnya Permaisuri Qi, hanya akan bikin repot." 　　Jiang Si mengangguk, turun dari kereta kuda bersama Yu Jin, masih digendong olehnya seperti sebelumnya. 　　Mendengar suara ribut, kerumunan menoleh. Kali ini tak ada lagi yang mengejek Yu Jin berwajah tebal. 　　Pangeran Qi yang biasanya sangat menjaga muka, kini kehilangan para gadis... 　　Bila benar-benar ditimbang, terkadang reputasi tak sepenting itu. 　　Selama jamuan, Kaisar Jingming terus khawatir akan ulah aneh. Pikirannya ruwet sehingga hampir tak menyentuh makanan. Begitu jamuan keluarga bubar, barulah nafsu makan tengah malamnya muncul. 　　Di tengah cuaca beku, semangkuk bubur sarang burung walet hangat memang pilihan tepat. 　　Hm, dia tak suka yang manis. Lebih baik rasa gurih dengan serutan ham iris tipis. 　　Kaisar Jingming membayangkan nikmatnya sambil duduk di tandu menuju kamar Permaisuri. Di tengah jalan, tiba-tiba dihadang pelayan istana yang tergopoh-gopoh. 　　Memandang pelayan yang terjatuh di depannya, hanya satu pikiran berkecamuk di benak Kaisar: Bubur sarang burung walet dengan ham Yunnan takkan jadi santapan malam! 　　"Lapor—" 　　"Paduka, Permaisuri Qi terjatuh dari kereta kuda..." 　　Mata Kaisar Jingming terbelalak. Pandangannya berpindah ke Permaisuri. 　　Permaisuri menunjukkan ekspresi prihatin yang tepat, namun hatinya sama sekali tak bergejolak: "Bagaimana kondisi Permaisuri Qi sekarang? Sudahkah memanggil tabib istana?" 　　Mendengar laporan pelayan istana bahwa Pangeran Qi telah menggendong Permaisuri Qi ke aula samping, sementara tabib istana sedang dalam perjalanan, Permaisuri segera berkata pada Kaisar Jingming: "Kaisar, mari kita ke sana." 　　Kaisar Jingming hanya bisa mengangguk dengan wajahnya gelap. 　　Saat Kaisar dan Permaisuri tiba di depan pintu aula samping yang sedang kacau-balau, suara Pangeran Qi terdengar: "Tabib, apa katamu? Anak dalam kandungan Permaisuri tidak bisa diselamatkan?" 　　Langkah Kaisar Jingming terhenti. Ia berkata pada Permaisuri: "Kau yang masuk lihat." 　　Permaisuri mengangguk dan bergegas masuk. 　　Udara hangat di dalam ruangan membuat bau darah semakin menyengat. 　　Secara refleks Permaisuri mengendus hidungnya sambil mendekat. 　　Permaisuri Qi terbaring di dipan rendah, wajahnya pucat bagai salju, keringat terus bercucuran. Bunyi kukunya menggores ranjang membuat bulu kuduk merinding. 　　"Para gadis, para gadis--" Teriakannya yang tak henti-henti memperlihatkan kerapuhan yang belum pernah Permaisuri saksikan sebelumnya. 　　Permaisuri menghela napas pelan sebelum bertanya pada tabib: "Bagaimana keadaan Permaisuri Qi?" 　　Tabib itu ingin menghela napas tapi tak berani. Ia hanya menggeleng pelan: "Para gadis itu hilang..." 　　Permaisuri Qi tiba-tiba bangkit menyentak, tangan mencengkeram lengan tabib: "Tidak mungkin! Anakku pasti masih ada! Katakan kau berbohong!" 　　Tabib tua istana nyaris pingsan ketakutan ketika digampar Permaisuri Qi, buru-buru melepaskan tangan sang permaisuri lalu bersujud. 　　"Tabib, benarkah tidak ada cara lagi?" Pangeran Qi sepertinya telah pulih ketenangannya, bertanya dengan suara berat. 　　Tabib mengangguk. 　　Pangeran Qi menggetarkan kelopak matanya, berkata: "Kalau begitu, mohon tabib meracik obat penguat tubuh untuk permaisuri." 529.BAB 528 Sais 　　BAB 528 Sais 　　Dalam pandangan Pangeran Qi, karena janin sudah tidak bisa diselamatkan sementara Kaisar Jingming masih berada di luar istana, jika ia menunjukkan kesedihan berlebihan hingga mengecewakan Ayah Kaisar, kerugiannya akan semakin besar. 　　"Repotkan tabib." 　　"Tuan terlalu merendahkan hamba yang bodoh ini." Tabib diam-diam menghela napas, segera mencari alasan meracik obat untuk meninggalkan tempat bermasalah ini. 　　Pangeran Qi menggenggam tangan Permaisuri Qi: "Permaisuri, jangan kau pikirkan hal buruk. Setelah pulih, kita masih bisa punya anak lagi." 　　"Tidak akan, tidak akan ada lagi..." Permaisuri Qi menangis histeris dalam kesedihan yang memuncak. 　　Kilasan jijik melintas cepat di mata Pangeran Qi, namun raut wajahnya tetap tenang: "Permaisuri, tenangkan diri. Kita sedang di istana." 　　Peringatannya ini tidak didengar oleh Permaisuri Qi yang biasanya bijaksana. 　　Perutnya terasa seperti dipilin pedang, hatinya remuk redam, mana lagi ia peduli sedang berada di mana. 　　Istana atau luar istana, anak yang dinantikannya telah tiada, sandaran masa tuanya pun lenyap... 　　Tangisan Permaisuri Qi semakin memilukan. 　　Dayang yang datang kebingungan: "Pangeran, Tuan tinggal di sini tidaklah pantas, lebih baik pergi dulu." 　　Pangeran Qi ingin segera meninggalkan tempat berdarah ini, namun berpura-pura sedih: "Harap Dayang merawat Permaisuri dengan baik." 　　Pangeran Qi memberi hormat kepada Permaisuri, lalu menghibur Permaisuri Qi dengan lembut beberapa patah kata sebelum berbalik pergi. 　　Permaisuri Qi keguguran dengan darah terus mengalir, meski Permaisuri sesama wanita tak bisa lama tinggal. 　　Bagi orang berstatus mulia, keguguran dianggap kesialan. Sekalipun Permaisuri tak peduli, pasti akan ditegur pegawai wanita. 　　Permaisuri menghibur: "Permaisuri Qi, hamba tahu kau menderita. Perempuan mana pun pasti hancur menghadapi ini. Tapi hidup harus terus berjalan, masih panjang hari esok, kau masih muda..." 　　Jawabannya adalah tangisan menyayat hati. 　　Permaisuri menghela nafas, berpesan pada dayang: "Rawati Permaisuri dengan baik." 　　Dayang segera menjawab, menyuruh dayang-dayang lain sibuk bekerja. 　　Permaisuri melirik Permaisuri Qi yang memilukan, lalu berjalan keluar. 　　Pangeran Qi yang lebih dulu keluar memberi hormat pada Kaisar Jingming: "Anak memalukan, membuat Ayah Kaisar tidak tenang di hari pertama tahun baru." 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan: "Sudahlah. Bagaimana keadaan istrimu?" 　　Pangeran Qi menggeleng berat: "Anak itu hilang, dia tidak sanggup menerimanya……" 　　Kaisar Jingming menghela nafas, sejenak bingung bagaimana menghibur. 　　Di keluarga biasa, dari tujuh delapan anak yang lahir, hanya tiga empat yang bertahan sampai dewasa. Keguguran pada wanita pun biasa terjadi. Tapi Permaisuri Qi sudah sangat menantikan anak ini, dia tahu itu. 　　"Bagaimana bisa istri kau terjatuh?" 　　Pangeran Qi menunduk, berduka: "Ini salah anak, tidak merawat Permaisuri dengan baik." 　　Dari atas kuda, dia melihat jelas. Jatuhnya Permaisuri itu terlalu aneh. Sebagai kecelakaan? Dialah yang pertama tak percaya. 　　Tak ada yang lebih tahu darinya betapa Permaisuri menginginkan anak ini. Bagaimana mungkin dia ceroboh sampai terjatuh? 　　Tapi semua ini tak bisa diungkapkan pada Ayah Kaisar. Dia harus menelan ludah sendiri. 　　"Sudahlah. Yang terjadi sudah terjadi. Sedih tak berguna. Kabar baiknya kalian masih muda." 　　Pangeran Qi menahan tangis, memaksa diri menjawab: "Ya, anak mengerti." 　　Di usianya ini, anak orang lain sudah masuk sekolah. Anaknya sendiri bahkan belum ada bayangan. Apalagi di masa krusial bersaing dengan Putra Ketiga. Kehamilan istri sah malah berakhir keguguran. Lebih baik anak ini tak pernah datang— 　　"Yang lain sudah bubar?" Kaisar Jingming bertanya pada Pan Hai. 　　"Sebagian besar masih menunggu di luar istana." 　　Wajah Kaisar Jingming berkerut, geram: "Tunggu apa lagi? Suruh mereka pulang!" 　　Mereka hanya bisa menambah masalah. Dayang Duo di sana hampir dipukuli sampai mati tapi tetap tak mau bicara sepatah kata pun. 　　Memikirkan semua ini, Kaisar Jingming merasa nyeri di dada. 　　Pan Hai menerima perintah dan pergi. Sesampainya di luar gerbang istana, ia memandang sekeliling lalu berseru keras: "Sang Kaisar memerintahkan kalian semua untuk bubar!" 　　Ada yang tak tahan ingin tahu bertanya: "Paman Pan, apakah Permaisuri Qi baik-baik saja?" 　　Pan Hai berpikir kabar keguguran Permaisuri Qi pasti tak bisa disembunyikan, lebih baik tidak membuat musuh, lalu menjawab: "Janinnya sudah tidak ada." 　　Desah pilu bergema, namun hanya langit dan bumi yang tahu keikhlasan mana yang tulus. 　　Satu per satu kereta kuda mulai beranjak, hingga akhirnya hanya tersisa kereta Kediaman Pangeran Qi yang sepi tertinggal. 　　Sais kereta berjongkok di sisi kereta, melirik pengawal yang berpatroli sambil memeluk kaki kuda dan menangis pelan. 　　Permaisuri jatuh dari kereta hingga keguguran, pasti nasibnya akan sengsara. 　　"Diam!" bentak seorang pengawal yang mendekat. 　　Sais itu mengusap air mata lalu perlahan berdiri. Tatapannya tiba-tiba terpaku pada suatu titik, wajahnya berangsur dipenuhi teror. 　　Aktivitas di aula samping terus berlangsung hingga gerbang istana hampir dikunci. Permaisuri Qi dibawa menggunakan tandu dengan didampingi Pangeran Qi meninggalkan istana. 　　Meski Permaisuri Qi keguguran, tak pantas bagi pasangan bangsawan itu menginap di istana. Beberapa tata krama bahkan Kaisar dan Permaisuri sekalipun tak bisa langgar. 　　Sais yang bersandar di dinding kereta namun tak berani memejamkan mata itu langsung menyambut dengan wajah pucat saat melihat Pangeran muncul: "Tuan Pangeran--" 　　Pangeran Qi saat ini tidak punya mood untuk berbicara dengan sais, dengan wajah muram ia menaiki kuda dan mendekati tandu: "Ayo pergi." 　　Tandu sedikit mempercepat laju. 　　Sais melihat sekeliling lalu naik ke kereta kuda dan mengibaskan cambuk. 　　Malam Tahun Baru, langit gelap tanpa bintang dan bulan, seperti suasana hati Pangeran Qi yang kelam. 　　Pangeran Qi ingin cepat-cepat kembali ke istana pangeran, namun perjalanan ini terasa sangat menyiksa. 　　Akhirnya tandu berhenti di Pintu Kedua Kediaman Pangeran Qi. 　　Pangeran turun dari kuda, berkata pada pengusung tandu: "Angkat langsung ke pintu halaman utama." 　　Memang terpaksa menggendong Permaisuri di istana demi menjaga kesan di depan Ayah Kaisar. Kini sudah di kediaman, ia tak ingin lagi mencium bau darah. 　　Tandu berhenti di depan pintu halaman utama. Beberapa Dayang-dayang berkerumun mengeluarkan Permaisuri Qi dari tandu, menggotongnya masuk ke kamar. 　　Setelah berbagai keributan, wajah Permaisuri Qi pucat tak berdarah, membuat hati ciut melihatnya. 　　Beberapa dayang kepercayaan menjerit: "Permaisuri, Permaisuri--" 　　"Diam!" bentak Pangeran Qi kesal. Tangisan langsung terhenti. 　　Permaisuri Qi menggerakkan kelopak mata, membuka matanya dengan susah payah. 　　"Bagaimana perasaanmu?" Suara Pangeran Qi melunak. 　　Permaisuri Qi tiba-tiba mendapat kekuatan, mencengkeram pergelangan tangan Pangeran Qi dengan suara parau: "Tuan, papan kereta... licin--" 　　"Kelopak mata Pangeran Qi berkedut. Reaksi pertamanya adalah mencari sepatu yang telah dilepas Permaisuri Qi." 　　Di musim dingin, para wanita bangsawan biasa memakai sepatu bot yang ringan dan hangat. 　　Karena sedang hamil, sepatu bot Permaisuri Qi dibuat khusus tanpa hak. 　　Pangeran Qi langsung meraih sepatu bot pendek itu, membalikkannya, lalu mengusap-usap bagian dalamnya dengan jari sebelum memeriksanya di bawah cahaya. 　　Kotoran berwarna coklat kehitaman itu terasa lengket saat diremas. 　　Wajah Pangeran Qi langsung berubah pucat. Tanpa sempat berkata apapun pada Permaisuri Qi, ia langsung berlari ke kandang kuda. 　　Sais biasanya beristirahat di gubuk dekat kandang kuda untuk memudahkan perawatan kereta dan kuda. 　　Tapi malam itu, sang sais masih berada di kandang kuda, sedang membersihkan papan kereta dengan kain basah berulang kali. 　　Pangeran Qi bergegas mendekat lalu menendang punggung sais itu dari belakang. 　　"Apa yang kau lakukan?" 530.BAB 529 Kabar Buruk 　　BAB 529 Kabar Buruk 　　Di kandang kuda yang remang-remang, bau menyengat memenuhi udara sementara suara ringkikan kuda yang terganggu bergema. 　　Pangeran Qi tak pernah menyangka suatu hari akan berada di tempat kumuh seperti ini. 　　"Apa yang kau lakukan?" soraknya dengan mata berapi-api, seolah ingin menerkam sais itu. 　　Sais itu gemetar sambil terus membungkuk-bungkuk: "Tuan, ampunilah nyawa hamba! Ampunilah!" 　　Tendangan lagi menghantam. Pangeran Qi menggeretak: "Kau yang menyakiti Permaisuri?" 　　Sais tiba-tiba gemetar hebat, pertanyaan Pangeran Qi, sejenak kemudian seperti terbangun dari mimpi, merangkak di tanah sambil menggigil: "Hamba yang tua tak berani, bahkan mati sekalipun takkan berani menyakiti Permaisuri!" 　　Inilah yang membuat Pangeran Qi merasa aneh. 　　Sais ini adalah budak bawaan Permaisuri dari rumah orangtua, bagaimana mungkin punya niat jahat pada majikannya? 　　"Lalu apa yang kau lap tadi?" 　　Sais menggigilkan bibirnya tanpa bisa berkata-kata. 　　Sorot mata Pangeran Qi dingin membeku, berucap dingin: "Tidak mau bicara? Ingat baik-baik nasib seluruh keluargamu!" 　　Badan sais bergoyang, ia menampar wajahnya sendiri dengan keras: "Hamba yang dungu ini sudah dibutakan... Saat Permaisuri celaka, hamba melihat ada minyak di papan kereta, takut dihukum Tuan, lalu berniat menghapus bekasnya diam-diam..." 　　Barulah Pangeran Qi mengerti alasan sais melakukan ini. 　　Minyak di papan kereta pasti sengaja ditumpahkan orang, sedangkan sais yang seharusnya menjaga kereta tak pernah lengah, pasti si sais malas - mungkin tertidur atau pergi ke tempat lain sehingga memberi kesempatan pada pelaku. Karena takut dimarahi majikan, ia berniat menghilangkan bukti. 　　Dari segi kesalahan, kelalaian sais menyebabkan Permaisuri keguguran, dihukum pancung pun pantas. 　　Pangeran Qi menahan niat membunuh, bertanya: "Kau benar-benar tak melihat orang mencurigakan?" 　　Sais menggeleng bingung. 　　Wajah Pangeran Qi membeku seperti es. 　　Sais itu ketakutan setengah mati, terus-menerus menampar pipinya sendiri: "Hamba yang tua pantas mati, hamba yang tua pantas mati——" 　　"Kau memang pantas mati." Pangeran Qi menatap sais itu dalam-dalam, lalu berbalik meninggalkan kandang kuda. 　　Udara di luar tiba-tiba terasa dingin dan segar. 　　Pangeran Qi menatap langit yang bergulung awan hitam, hatinya seolah terjatuh ke jurang yang dalam. 　　Ia tidak kembali ke kamar utama untuk menemani Permaisuri Qi yang sedang keguguran, melainkan pergi ke ruang belajar halaman depan. 　　Pangeran Qi sejak lama memiliki ambisi merebut takhta, banyak tamu yang datang dan pergi, ruang belajarnya pun luas dan megah. 　　Ia menyelam ke dalam ruangan itu, menghancurkan barang-barang dengan amarah selama berjam-jam sebelum akhirnya tenang. Memandangi kekacauan di lantai, ia bergumam: "Putra Ketiga, kau tunggu saja!" 　　Di Istana Pangeran Jin, Pangeran Jin dan Permaisuri Jin sedang berbaring bersama di kamar yang sudah gelap. 　　Permaisuri Jin tak bisa tidur, diam-diam membalikkan badan dan menatap kait perak di kelambu. 　　Sebuah lengan meraihnya, suara suami terdengar: "Tak bisa tidur?" 　　Permaisuri Jin membalikkan badan, minta maaf: "Apakah aku mengganggu Tuan?" 　　"Tidak. Mengapa kau tak bisa tidur?" 　　Permaisuri Jin diam sejenak, lalu berkata: "Aku memikirkan kasus keguguran Permaisuri Qi." 　　"Untuk apa memikirkan itu? Banyak kecelakaan di dunia ini. Permaisuri Qi hanya keguguran, bukan kehilangan nyawa. Bukan masalah besar." 　　Permaisuri Jin mengatupkan bibirnya rapat-rapat. 　　“Pangeran Jin menepuknya dengan lembut, berkata halus: \"Sudahlah, cepat tidur, jangan biarkan perasaanmu terganggu oleh orang yang tidak penting.\"” 　　“\"Ya, Pangeran juga tidurlah.\" Permaisuri Jin tersenyum dan menutup matanya.” 　　“Setelah lama, napas teratur dan panjang terdengar di telinganya. Permaisuri Jin membuka mata diam-diam dan menatap profil Pangeran Jin.” 　　“Apakah keguguran Permaisuri Qi benar-benar kecelakaan? Ataukah Pangeran yang bertindak——” 　　“Permaisuri Jin tidak ingin memikirkannya lagi, menutup matanya kembali.” 　　“Hari pun terang.” 　　“Hari kedua Tahun Baru cuacanya cerah. Para selir di istana seperti biasa pergi memberi salut kepada Permaisuri.” 　　“Mereka tinggal di istana dalam, keributan semalam belum sampai ke telinga mereka untuk sementara.” 　　“Permaisuri belum muncul. Para selir yang menunggu mengobrol santai.” 　　“Sudah beberapa tahun tidak ada orang baru masuk ke istana. Para selir yang sukses maupun yang menderita, akhirnya sudah saling akrab. Di hari raya, tidak ada yang ingin membuat masalah, semua hanya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan.” 　　“Ibu Suri Xian secara alami menjadi pusat perhatian.” 　　“\"Saudari Xian memang beruntung, dua menantu perempuannya sedang hamil, sungguh membuat iri.\"” 　　“\"Benar, tahun ini kedua Permaisuri pasti akan memberikan dua cucu untuk Ibu Suri Xian.\"” 　　“\"Kudengar kehamilan yang berdekatan biasanya berbeda jenis kelamin, satu lahir laki-laki, satu perempuan. Nanti Ibu Suri Xian akan mendapatkan cucu laki-laki dan perempuan...\"” 　　“Ada kebiasaan seperti itu?” Ibu Suri Xian yang selama ini tersenyum anggun menatap selir kecil yang berbicara. 　　Selir kecil itu mengangguk: "Di kampung hamba memang ada kepercayaan seperti itu." 　　“Permaisuri Yan dan Permaisuri Qi hamil berurutan, tak tahu siapa yang akan melahirkan cucu naga?” Di tengah kerumunan selir-selir, seseorang tak dikenal berkata. 　　Ibu Suri Xian refleks mengerutkan alis, namun tidak menghiraukan suara tersebut, matanya tetap menatap selir kecil. 　　Siapa yang akan melahirkan cucu naga? Tentu saja ia berharap istri Lao Si yang melahirkan cucu naga. Adapun istri Lao Qi, melihat sikap pasangan itu terhadap dirinya sebagai ibu selir, apapun yang dilahirkan tak akan membuatnya senang. 　　Jika si kurang ajar istri Lao Qi itu melahirkan cucu naga, bukankah dia akan semakin sombong? Ini sangat tidak diharapkannya. 　　Selir kecil yang cerdik segera menjawab: "Di kampung hamba juga percaya, berbunga dulu baru berbuah adalah keberuntungan, kedua Permaisuri pasti diberkahi." 　　Ibu Suri Xian tersenyum, pandangannya pada selir kecil itu penuh pujian. 　　Si gadis kecil ini cukup pandai bersilat lidah. 　　Berbunga dulu baru berbuah - Permaisuri Qi yang sudah memiliki putri akan melahirkan anak lelaki, sementara Permaisuri Yan yang pertama kali hamil akan mendapat anak perempuan. 　　Meski tahu selir kecil itu hanya mengatakan apa yang ingin didengarnya, tapi siapa yang tak suka pujian? Hatinya tetap berbunga-bunga. 　　Selir kecil yang dipuji Ibu Suri Xian itu mengangkat sudut bibirnya dengan bangga. 　　“Banyak yang mengatakan setelah Putra Mahkota dipecat, Pangeran Jin dan Pangeran Qi adalah kandidat terkuat. Dengan dukungan Ibu Suri Xian dan Keluarga An Guogong, ditambah kehamilan Permaisuri Qi, Pangeran Jin mungkin tidak akan mampu bersaing dengan Pangeran Qi.” 　　“Jika Pangeran Qi naik takhta, Ibu Suri Xian akan menjadi nyonya rumah sejati di istana belakang. Jika tidak berusaha menjilat sekarang, akan terlambat untuk menunjukkan kesetiaan nanti.” 　　“Tidak sedikit selir yang berpikiran seperti selir muda ini. Dalam sekejap, banyak suara setuju bermunculan.” 　　“Istana belakang sering menjadi bayangan pemerintahan depan. Contohnya, jika dua menteri bermusuhan dan keluarga mereka memiliki perempuan yang masuk istana, dua selir tersebut pasti tidak akan rukun. Kini Pangeran Qi menjadi kandidat kuat posisi Putra Mahkota, para selir istana tentu semakin menjilat Ibu Suri Xian.” 　　“Zhuangfei menunduk meminum seteguk teh.” 　　“Masalah penetapan Putra Mahkota belum jelas, tapi mereka sudah sangat antusias.” 　　“Permaisuri tiba——” 　　“Tak lama kemudian Permaisuri yang berdandan megah muncul di hadapan para selir.” 　　“Para selir segera memberi salam kepada Permaisuri.” 　　“Tidak perlu banyak tata krama.” 　　“Setelah salut rutin, Permaisuri membicarakan beberapa urusan sepele istana, lalu mengalihkan pandangannya ke Ibu Suri Xian.” 　　“Adik Ibu Suri Xian, ada satu hal yang perlu hamba sampaikan.” 　　“Ibu Suri Xian buru-buru menjawab: ‘Silakan Permaisuri berbicara.’” 　　“Menurut protokol, semalam Kaisar akan bermalam di tempat Permaisuri. Urusan apa yang perlu Permaisuri sampaikan padanya?” 　　“Permaisuri berhenti sejenak, lalu berkata: ‘Tadi malam Permaisuri Qi malangnya mengalami keguguran.’” 531.BAB 530 Persiapan Membalas 　　BAB 530 Persiapan Membalas 　　Sorotan mata tak terhitung jumlahnya serentak tertuju pada wajah Ibu Suri Xian. 　　Pada detik itu, pikiran Ibu Suri Xian seakan membeku, senyum anggun masih membeku di sudut bibirnya. 　　Beberapa saat kemudian, warna wajahnya mulai memucat perlahan hingga akhirnya sama sekali tak berdarah. 　　"Permaisuri, apa yang Nyonya katakan?" 　　Permaisuri menghela napas pelan, menasihati: "Adik Suri Xian, tenangkan hatimu. Permaisuri Qi masih muda, jika kesehatannya pulih nanti masih bisa mengandung lagi." 　　"Bagaimana mungkin sampai keguguran? Kemarin di jamuan keluarga Permaisuri Qi masih terlihat sehat!" Ibu Suri Xian sama sekali tak mau menerima kenyataan ini, terus mendesak. 　　Permaisuri mengerutkan alis halus, berkata: "Setelah keluar istana, Permaisuri Qi tidak sengaja terjatuh saat naik kereta kuda..." 　　Bibir Ibu Suri Xian bergetar, menelan ucapan "tidak mungkin" yang nyaris meluncur, tangan di atas lututnya gemetar tak terkendali. 　　Permaisuri Qi yang selalu bersikap tenang sampai bisa terjatuh saat naik kereta? Mati pun dia tak percaya, pasti ada yang mengatur segalanya! 　　Tapi semua kecurigaan ini hanya bisa dipendam dalam hati, tak boleh diteriakkan keluar. 　　Ibu Suri Xian sangat paham, para wanita di istana ini gemar mempermainkan keadaan dan menertawakan kesialan orang. Sekalipun dia protes, tak akan mendapat setitik simpati pun. 　　Lagipula, janin di kandungan Permaisuri Qi sudah tiada, untuk apa lagi meminta belas kasihan? 　　Saat ini juga, hati Ibu Suri Xian dipenuhi kekecewaan terhadap Permaisuri Qi. 　　"Dia sudah lama membebaskan Permaisuri Qi dari kewajiban salut, khawatir terjadi sesuatu pada kandungan yang masih muda ini. Meskipun jamuan keluarga Tahun Baru penting, tidak ada yang akan berkomentar jika Istri Lao Si tidak hadir. Seandainya Istri Lao Qi yang hamil sebulan lebih, dia yakin Permaisuri Qi pasti tidak akan datang ke jamuan ini." 　　Ibu Suri Xian yang telah bertahun-tahun di istana menguasai ilmu mengendalikan emosi. Setelah keterkejutan awal, wajahnya kembali tenang sambil berkata pahit, "Terima kasih Permaisuri telah memberitahu hal ini. Nanti akan kusuruh Pangeran Qi datang ke istana untuk menanyakan kondisi Permaisuri Qi." 　　"Sudah seharusnya begitu." 　　Ibu Suri Xian mengangguk tipis, tak lagi bicara. Sapu tangannya nyaris robek digenggamannya. 　　Permaisuri memandang para selir-selir, "Hari ini tidak ada urusan lagi. Kalian semua boleh bubar." 　　Para selir-selir memberi hormat lagi, menunggu Permaisuri pergi didampingi dayang, lalu serentak memandang Ibu Suri Xian. 　　Di tengah sorotan mata penuh makna, Ibu Suri Xian dengan wajah tanpa ekspresi mengibaskan sapu tangan dan bergegas pergi. 　　Bisikan-bisikan mulai terdengar dari belakang. 　　"Ibu Suri Xian benar-benar bisa mengendalikan diri. Mendengar Permaisuri Qi keguguran, bisa menerima begitu cepat." 　　"Hehe, mau tidak menerima bagaimana lagi? Kalau sampai menangis histeris malah lebih memalukan..." Seorang selir menyenggol selir muda yang sebelumnya menjilat Ibu Suri Xian, mengejek, "Ada orang yang tidak tahu sasaran saat menjilat, sungguh menggelikan." 　　"Selir kecil itu tidak memiliki kemampuan mengendalikan diri seperti Ibu Suri Xian, wajahnya merah putih karena malu." 　　"Menerima beberapa pandangan merendahkan, selir kecil itu meninggalkan Istana Kuning dengan wajah memerah." 　　"Berbeda dengan rasa malu yang terlihat jelas pada selir kecil, penderitaan Ibu Suri Xian tersimpan di hati. Dengan tetap mempertahankan martabatnya, beliau kembali ke Istana Yuquan dan langsung menendang bangku kecil kayu mahoni hingga terlempar jauh." 　　"Mendengar suara bangku kecil jatuh, Ibu Suri Xian duduk di kursi lalu menepuk meja dengan keras." 　　"Cangkir teh di atas meja kayu mahoni bergetar, tutupnya jatuh dan pecah berkeping-keping di dekat kaki." 　　"Ibu Suri Xian menatap tutup cangkir porselen berwarna yang pecah tak berkedip." 　　"Sesuatu itu terlalu mudah dihancurkan, kadang hanya dalam sekejap - seperti tutup cangkir yang pecah ini, seperti janin Istri Lao Si yang belum berbentuk..." 　　"Membayangkan janin itu, hati Ibu Suri Xian seperti dicakar-cakar." 　　"Janin ini datang di waktu yang tepat, tepat ketika Lao Si bersaing dengan Pangeran Jin untuk posisi Putra Mahkota, memberi bobot tambahan bagi Lao Si." 　　"Tapi sayangnya tidak bisa dipertahankan." 　　"Lebih baik tidak pernah ada daripada gagal mempertahankannya..." 　　"Ibu Suri Xian segera memerintahkan pelayan istana: 'Panggil Pangeran Qi untuk masuk istana'." 　　"Pangeran Qi yang hampir tidak tidur semalaman segera tiba di Istana Yuquan." 　　"'Salut untuk Ibu Selir'." 　　“Sekarang tak usah bicara tentang salut. Aku tanya, keguguran istri kau sebenarnya bagaimana ceritanya?” Setelah mengusir para pelayan, Ibu Suri Xian langsung bertanya. 　　Pangeran Qi menatap ke atas, bertemu pandangan Ibu Suri Xian, matanya penuh urat merah, suaranya semakin serak: "Di papan kereta ada minyak..." 　　Ibu Suri Xian menyandarkan satu tangan di meja kayu mahoni langsung berdiri: "Ada minyak di papan kereta?" 　　Pangeran Qi mengangguk berat, meninju meja dengan keras: "Pasti ulah Pangeran Jin!" 　　Ibu Suri Xian berdiri sebentar, perlahan duduk kembali, tanpa sedikitpun keraguan, berkata dingin: "Kalau bukan dia siapa lagi? Sudah lama kuperingatkan istri kau harus ekstra hati-hati, tak perlu datang untuk salut. Kalau dia tetap di istana pangeran, mana mungkin orang bisa menyusup..." 　　Wajah Pangeran Qi menjadi gelap mendengar ini. 　　Setelah mengeluh, Ibu Suri Xian berkata dingin: "Kau dan Pangeran Jin sebenarnya seimbang, masing-masing punya kelebihan. Kehamilan ini memberimu keunggulan, tapi sekarang anak tak terselamatkan, situasi jadi lebih buruk dari sebelumnya..." 　　Pangeran Qi yang tak punya keturunan, akhirnya mendapat kehamilan istri sah tapi malah keguguran, tak terhindarkan membuat sebagian orang menganggap Pangeran Qi tak beruntung, Langit tak berpihak padanya. 　　Perlu diketahui, Putra Langit adalah pilihan Langit, hampir tak ada kaisar yang tak suka fenomena Lambang Keberuntungan, sebenarnya untuk membuktikan konsep ini. 　　Orang-orang zaman ini masih sangat memperhatikan hal-hal semacam itu. 　　Pangeran Qi mana tak tahu ini, dengan suara penuh kebencian berkata: "Putra Ketiga tega menyasar anak yang belum lahir, benar-benar tak beda dengan binatang!" 　　Ibu Suri Xian berkata sinis: "Menggunakan anak lawan yang belum lahir untuk membalikkan situasi, mengapa tidak dilakukan?" 　　Pangeran Qi matanya berkilat penuh kegeraman, tak menyembunyikan niat pada Ibu Suri: "Dia bisa menang dengan anak, putra juga bisa!" 　　Ibu Suri mengangkat alis: "Kau berniat berbuat jahat pada Fu Ge-er?" 　　Fu Ge-er adalah satu-satunya putra Pangeran Jin sekaligus anak lelaki sah, statusnya sangat mulia. 　　"Ini tak tepat." Ibu Suri geleng kepala, "Istri kau keguguran, lalu Fu Ge-er mengalami masalah, ini terlalu mencolok. Ayah Kaisar bukan orang bodoh, pasti curiga." 　　Pangeran Qi tertawa dingin: "Putra tentu takkan menyentuh Fu Ge-er." 　　"Lalu apa rencanamu?" 　　Pangeran Qi menyipitkan mata, mengucap satu nama dengan dingin: "Chun Ge-er." 　　Ibu Suri terkejut: "Kau mau mencelakai putra Putra Mahkota yang Dipecat?" 　　"Bukan putra yang bertindak, tapi menggoda Putra Ketiga untuk mencelakai putra Putra Mahkota yang Dipecat!" Mata Pangeran Qi penuh kebencian, "Ibu tak perhatikankah Ayah Kaisar masih sayat pada Putra Mahkota yang Dipecat? Beberapa hari lalu Lao Wu memukulinya sampai diturunkan pangkatnya, itu bukti nyata." 　　Ibu Suri mengangguk perlahan, senyum sinis mengambang: "Kaisar tak pernah lupa Permaisuri Pertama, cinta pada putranya adalah efek samping dari rasa sayangnya." 　　Ucapan "mencintai rumah hingga burung gagak di atapnya" diucapkan Ibu Suri dengan gigi gemeretak. 　　“Kalau ditanya wanita harem mana yang paling diidamkan, bukan Permaisuri sekarang, apalagi Janda Permaisuri, melainkan Permaisuri Pertama si hantu berumur pendek itu!” 　　Seorang wanita yang berstatus permaisuri tapi tetap dikenang Kaisar, putranya menjadi calon penguasa selama lebih dari dua puluh tahun, semua keberuntungan di dunia seolah direbut wanita ini. 　　Tentu saja, setelah Putra Mahkota dipecat, para wanita harem baru sedikit seimbang. 　　“Bagaimana rencanamu memancing Pangeran Jin untuk bertindak terhadap putra Putra Mahkota yang Dipecat?” 532.BAB 531 Perjalanan Jauh 　　BAB 531 Perjalanan Jauh 　　“Melihat Ayah Kaisar marah besar karena Lao Wu memukuli Putra Mahkota yang Dipecat, Putra Ketiga pasti akan mengevaluasi kembali posisi Putra Mahkota di hati ayah. Anak akan berpura-pura mundur dengan alasan keguguran Li Shi, sehingga ancaman yang dianggap Putra Ketiga beralih ke Putra Mahkota yang Dipecat…” Pangeran Qi memaparkan strateginya. 　　Ibu Suri Xian mengangguk-angguk, lalu mengingatkan: “Jangan terburu-buru, pastikan Ayah Kaisarmu tidak menyadari ini ulahmu...” 　　“Tentu saja, Ibu Selir tak perlu khawatir.” 　　Ibu Suri Xian menarik napas panjang: “Ibu lega melihatmu tidak patah semangat.” 　　“Patah semangat?” Pangeran Qi tersenyum, “Ibu tak perlu khawatir, anak tidak akan mudah menyerah.” 　　Kalau cuma keguguran seorang bayi belum berbentuk bisa membuatnya menyerah, buat apa dia berjuang? Mendingan seperti Lao Si yang hidup bahagia dengan istri dan anak di atas kang yang hangat. 　　“Kaisar tiba——” 　　Begitu teriakan pelayan istana menggema di luar pintu, Ibu Suri Xian dan Pangeran Qi segera menyongsong. 　　Kaisar Jingming yang melihat Pangeran Qi di samping Ibu Suri Xian berkata: “Lao Si juga ada di sini?” 　　“Pangeran Qi memberi salam kepada Kaisar Jingming dan berkata, ”Ibu Suri mendengar kabar tentang keguguran Nyonya Li, beliau sangat khawatir. Karena itu menyuruh hamba untuk menanyakan kabar Nyonya Li.”” 　　“Bagaimana keadaan istrimu?” tanya Kaisar Jingming sambil berjalan ke dalam. 　　Meskipun merasa tidak sejalan dengan Istana Yuquan, sebagai kaisar ia tetap harus mengunjungi ketika menantu Ibu Suri Xian mengalami keguguran. 　　“Mereka begadang semalaman... Tapi Yang Mulia tidak perlu khawatir. Keguguran wanita memang seperti ini, cukup dirawat baik-baik saja.” Ucap Pangeran Qi datar, berusaha menyembunyikan kesedihan. 　　Kaisar Jingming menghela nafas, “Di bulan pertama ini urusan negara sedikit, temanilah istrimu dengan baik.” 　　“Baik, hamba mengerti.” 　　“Kalau begitu pulanglah.” 　　Pangeran Qi memberi hormat dan mundur. 　　Kaisar Jingming menghibur Ibu Suri Xian, “Ikatan anak dan orangtua adalah takdir. Akan datang saatnya tiba.” 　　“Hamba paham kata-kata Yang Mulia, hanya saja hati ini masih sedih...” Ibu Suri Xian memanfaatkan kesempatan untuk mencari simpati. 　　Sudah lama Kaisar tidak menginap di Istana Yuquan. 　　Meski di usianya ini sudah tidak lagi mendapat kasih sayang, menginap di sini menunjukkan posisi di hati Kaisar. Misalnya setiap tanggal 1 dan 15, Kaisar pasti akan tidur di Istana Kuning. 　　Kaisar Jingming yang tidak pandai menghibur berkata, “Jangan sedih, Istri Lao Qi pasti akan memberimu cucu yang gemuk dan sehat.” 　　Ibu Suri Xian: ”...” Seandainya boleh memukul Kaisar, tamparan sudah ia lemparkan! 　　Menahan diri, Ibu Suri Xian menggigilkan bibir, “Terima kasih atas doa baik Yang Mulia.” 　　Kaisar Jingming diam-diam menghela napas: Rupanya Ibu Suri Xian sangat sedih, bibirnya pucat menahan duka. Lebih baik ia pergi agar Ibu Suri bisa menangis lepas. 　　Kaisar Jingming meninggalkan Istana Yuquan. 　　Ibu Suri Xian yang semakin kesal sambil menekan dadanya melempar cangkir teh yang tutupnya sudah pecah, matanya terus memutar putih. 　　Kembali ke ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming membuka-buka buku cerita baru saat Pan Hai terburu-buru masuk. 　　"Ada masalah apa lagi?" Kaisar Jingming merasa firasat buruk. 　　Pan Hai menundukkan kepala, menghindari pandangan Kaisar Jingming: "Dayang Duo tidak tahan hukuman, sudah tiada……" 　　Kaisar Jingming menutup mata sejenak lalu membukanya kembali, meraih buku cerita di meja dan menyobek-nyobeknya dengan kasar. 　　"Yang Mulia, harap tenangkan kemarahan—" Melihat Kaisar Jingming menyobek buku cerita, Pan Hai gemetar ketakutan. 　　Kaisar benar-benar murka! Buku cerita ini adalah edisi koleksi terbatas yang baru dirilis Liuchuhua Zhai sebelum tutup di akhir tahun! 　　Melemparkan buku cerita yang sobek ke lantai, raut wajah Kaisar Jingming kembali tenang: "Panggil Kepala Kuil Honglu untuk menghadap." 　　Sebenarnya dia sudah mempersiapkan diri kalau Dayang Duo tidak mau bicara, tapi mendengar kabar bahwa dayang itu tidak tahan hukuman hingga tewas, kemarahannya tidak begitu besar—lebih kepada perasaan terhimpit yang luar biasa! 　　"Suku Wu Miao di mata para kaisar Dinasti Zhou sebelumnya selalu dianggap sebagai entitas mistis yang sulit dihadapi. Karena perang berkepanjangan dengan Negeri Nanlan, lebih baik tidak menyinggung suku minoritas yang terjepit antara Zhou dan Nanlan ini." 　　Tapi kali ini merekalah yang mulai menjulurkan tangan. Jika ditahan-tahan begini, buat apa dia menjadi kaisar? 　　Kepala Kantor Urusan Luar Negeri sedang berkeliling mengunjungi sanak saudara ketika pelayannya yang sudah lari tercengkah-cengkah menemukannya, lalu buru-buru masuk istana. 　　"Hamba yang bodoh menghadap Kaisar." 　　Melihat pakaian meriah Kepala Kantor Urusan Luar Negeri, suasana hati Kaisar Jingming sedikit membaik. "Kau sedang bersilaturahmi tahun baru?" 　　Kepala Kantor Urusan Luar Negeri tertegun, lalu buru-buru menjawab, "Ah, iya, bersilaturahmi..." 　　Ini hari kedua Tahun Baru, kalau bukan bersilaturahmi ngapain lagi? Untuk apa Kaisar memanggilnya? 　　Dialog kaku antara penguasa dan bawahan ini membuat Pan Hai mengernyitkan bibir. 　　"Cuaca akan segera menghangat." 　　"Benar." Kepala Kantor mulai berkeringat. 　　Seberapa cepat cuaca menghangat dia tak tahu, yang jelas sekarang dia sudah kepanasan ingin melepas jubah. 　　"Setelah sungai es mencair, pilihlah beberapa anak buah yang cerdas dari bawahmu untuk pergi ke Wu Miao." 　　Kepala Kantor Urusan Luar Negeri membelalakkan mata. 　　Misi ke Wu Miao? Ini bukan tugas enak. Nanti saat memilih siapa yang pergi dan tidak, dia pasti akan dapat banyak keluhan. Tapi bisa sekalian cari keuntungan kecil, anak buah pasti rela menyuap dengan tael perak... 　　Saat sedang membayangkan hal baik, tiba-tiba Kaisar Jingming berkata datar, "Nanti Qing juga ikut, untuk menunjukkan keseriusan Dinasti Zhou kita." 　　“Kepala Kuil Honglu tubuhnya goyah, menahan kuat dorongan untuk menangis, lalu berusaha menghibur diri dalam hati: Lebih baik jadi kepala ayam daripada ekor phoenix, nanti saat tiba di Wu Miao, dianggap tamu kehormatan juga tidak buruk.” 　　Kaisar Jingming berkata datar: “Yang Mulia tak perlu khawatir, pasukan Jinlinwei akan ikut bersamamu.” 　　Kepala Kuil Honglu matanya berkunang-kunang, menerima kenyataan kejam ini dengan putus asa. 　　Seluruh bulan pertama tahun baru berlalu di bawah bayang-bayang awan kelabu. 　　Memasuki bulan kedua, cuaca mulai menghangat. Dipimpin Kepala Kuil Honglu, sebuah regu berangkat dari ibu kota menuju Wu Miao. 　　Yang juga akan meninggalkan ibu kota adalah Jiang Zhan. 　　Di hari perpisahan ini, paviliun di luar kota dipenuhi orang. 　　“Adik Kedua di selatan, jangan nekat, ingat keselamatan yang utama.” Jiang Yi matanya kemerahan, menyerahkan bungkusan pada Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan tersenyum bertanya: “Kakak menyiapkan apa untukku?” 　　“Dua set pakaian, dua pasang sepatu.” 　　“Pas semua berguna. Nanti pulang dari selatan, kubawakan hadiah untuk kalian.” 　　“Tempat macam apa punya hadiah bagus? Kau kembali saja sudah cukup!” Jiang Ancheng geram melihat senyum tak peduli anaknya, menamparnya. 　　Jiang Zhan mengusap lengannya yang ditampar, setengah tertawa: “Ayah, anakmu ini sudah pejabat militer kelas empat, anak buah sedang lihat.” 　　Jiang Ancheng melirik regu yang menunggu di luar paviliun, membelalak ke arah Jiang Zhan, tak lagi memarahi. 　　Jiang Zhan memandang Jiang Si, mengangkat tangan ingin menepuk bahunya, namun diam-diam menurunkan tangan lagi di bawah tatapan penuh ancaman seseorang. 　　"Adik Keempat, urusan rumah tangga akan kuserahkan padamu. Jika ada masalah, ingat untuk mengirim surat padaku." 　　"Kakak Kedua tenang saja." 　　Pandangan Jiang Zhan turun ke perut adiknya, tersenyum: "Saat keponakanku lahir, ingat juga untuk mengabari lewat surat." 　　Jiang Si mengangguk setuju, menyerahkan sebuah bungkusan kecil pada Jiang Zhan: "Di dalam ada beberapa barang yang mungkin berguna untuk Kakak. Jangan sampai hilang." 　　"Pasti tidak akan hilang." 　　Jiang Zhan yang berjiwa bebas ini telah menyelesaikan semua ucapan perpisahan. Ia mengambil tali kekang dari pelayannya, melompat ke atas kuda, lalu melambaikan tangan pada keluarga sebelum mencambuk perut kuda dan menghilang. 533. BAB 532 Penyakit Sang Raja 　　BAB 532 Penyakit Sang Raja 　　Di luar paviliun panjang, barisan pohon yang telah meranggas daunnya membentang hingga ujung jalan, bagaikan pasukan penjaga yang tegap. 　　Februari di ibu kota masih terasa dingin. 　　Awalnya Jiang Si ingin kembali ke Dongping Bo Residence menemani ayah dan kakak tertua makan malam sederhana, namun dihentikan Jiang Ancheng: "Lebih baik segera kembali ke istana pangeran untuk beristirahat. Kau sedang hamil, jangan kemana-mana." 　　Dia mendengar Permaisuri Qi mengalami keguguran setelah menghadiri jamuan keluarga resmi Istana pada Hari Tahun Baru, membuktikan bahwa wanita hamil paling aman tinggal di rumah. 　　Melihat keteguhan Jiang Ancheng, Jiang Si tidak memaksa lagi. Bersama Yu Jin, mereka pun kembali ke Kediaman Pangeran Yan. 　　Er Niu dengan gembira menyambut kedatangan mereka, mengelilingi Jiang Si dua putaran, lalu menggonggong dua kali ke arah perut kecilnya yang mulai membuncit, seolah menyapa calon majikan kecilnya. 　　Yu Jin melototi Er Niu, lalu berkata pada Jiang Si: "Jalan perlahan-lahan." 　　Jiang Si yang sudah hamil enam bulan tak terlihat gemuk dan kikuk seperti ibu hamil biasa. Selain perutnya yang agak membesar, lengannya masih ramping, kakinya jenjang, dan langkahnya tetap lincah. 　　Dia memperlambat langkah, berjalan-jalan bersama Yu Jin di taman. 　　Taman mulai dihiasi rona hijau, bunga aprikot di sudut dinding bermekaran satu persatu. 　　"A Si, tenang saja. Aku sudah surat temanku di Perbatasan Selatan untuk lebih memperhatikan Jiang Zhan, sekaligus mengirim orang untuk mengawasinya diam-diam." 　　"Ya, semoga Kakak Kedua cepat pulang." 　　Membicarakan perjalanan jauh Jiang Zhan, mustahil Jiang Si tidak khawatir. Tapi dia tak bisa menghalangi. 　　Melihat senyuman merekah di wajah Jiang Si, Yu Jin mengusap perutnya dengan gembira: "Menurutmu nama apa yang cocok untuk anak kita?" 　　"Jenis kelaminnya saja belum tahu, bagaimana mau memberi nama?" 　　"Bisa kasih nama panggilan dulu. Kalau laki-laki namanya Ali, kalau perempuan namanya Ajiao, bagaimana?" 　　Er Niu yang selama ini mengikuti mereka dari belakang langsung protes, menengadahkan kepala dan menggonggong dua kali. 　　Mau memberi nama calon majikan kecilnya Ali? Tidak setuju! 　　Yu Jin sudah terbiasa dengan tingkah aneh Er Niu, melototinya sekali lalu menoleh menunggu jawaban Jiang Si. 　　Jiang Si tersenyum mengangguk: "Ali dan Ajiao sudah bagus, panggil saja begitu." 　　Suara 'plung' terdengar, mereka berdua menoleh serentak dan melihat Er Niu tergeletak di lantai dengan posisi limbs terbuka, tampak putus asa. 　　Sebagai anjing besar yang punya pendirian, ia tidak menerima panggilan Ali dari majikan kecilnya! 　　Kedamaian di Kediaman Pangeran Yan tak mampu menahan gelombang bawah permukaan di luar. 　　Para menteri yang sudah lama bersiap akhirnya mengajukan permohonan penunjukan Putra Mahkota. 　　Setiap kali Kaisar Jingming menghadiri sidang, pasti beberapa pejabat berdiri membahas masalah penunjukkan Putra Mahkota. 　　Jika sikapnya lunak, para menteri akan semakin agresif, bersikap seolah siap menabrak pilar jika tidak setuju. 　　Jika sikapnya keras, mereka akan meratap sambil berteriak bahwa calon penguasa belum ditunjuk, negara tidak stabil, dan mereka tak mau jadi pengkhianat Dinasti Zhou demi kemewahan pribadi. 　　Kembali ke ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming menghantam meja: "Bajingan! Mereka lebih pandai berakting daripada pemain opera! Kenapa tidak jadi pesinden saja!" 　　Pan Hai diam-diam memungut buku cerita yang jatuh, menyelipkannya di bawah tumpukan dokumen tanpa menanggapi omelan kaisar. 　　Masalah penunjukkan Putra Mahkota bukanlah urusan yang boleh ia komentari. 　　Kaisar masih emosi: "Aku belum tua bangka! Posisi Putra Mahkota kosong belum setengah tahun, mereka sudah tak sabar. Tunjuk siapa? Pangeran Jin atau Pangeran Qi?" 　　"Suara Kaisar Jingming terdengar tinggi. Pelayan istana yang berdiri di pintu menundukkan pandangan, tak berani bersuara." 　　"Paduka, jangan biarkan amarah merusak keperawanan. Para paduka hanya memikirkan negara..." Pan Hai buru-buru menenangkan, khawatir kaisar jatuh sakit. 　　Kaisar Jingming mengangkat alis: "Negara? Ini negara siapa? Siapa yang berhak menetapkan Putra Mahkota? Aku yang menentukan waktunya, bukan mereka yang memaksa!" 　　Keesokan harinya di sidang istana, ketika bawahan mengangkat lagi masalah penetapan Putra Mahkota, Kaisar Jingming yang murka mengulangi kata-kata ini. 　　Setelah hening sejenak di aula, pejabat pengawas itu berseru lantang: "Paduka keliru. Kami rakyat Zhou, makan gaji negara, wajib mengingatkan. Tak bisa diam melihat Paduka ragu-ragu. Ini tanggung jawab pada negara—" 　　"Kau!" Jarang-jarang Kaisar marah. Telunjuknya menuding si pejabat, tiba-tiba matanya berkunang-kunang, tubuhnya miring ke samping. 　　Para menteri langsung gempar. 　　"Paduka, Paduka—" 　　Keributan terjadi. Pan Hai muncul di aula dengan wajah pucat. 　　Desis bisu langsung menyapu ruangan. Para menteri mengepung Pan Hai: "Paman Pan, bagaimana keadaan Kaisar?" 　　Pan Hai berkata dingin: "Tenanglah para Paduka. Kaisar hanya kelelahan. Tabib istana bilang butuh istirahat. Tak ada bahaya." 　　"Para menteri serentak menghela napas lega: 'Baguslah, baguslah.'" 　　"Para Paduka sekalian boleh bubar." 　　Sebagian mulai melangkah pergi, namun lebih banyak yang tetap berdiri: "Paman Pan, apakah besok akan ada sidang istana?" 　　Pan Hai memutar mata putih, berkata: "Kaisar perlu istirahat total, sementara tidak mengadakan sidang. Kaisar berpesan, jika para Paduka ada urusan, tuliskan saja dalam laporan resmi dan serahkan ke dalam..." 　　Kembali ke Aula Pemeliharaan Hati, memandang Kaisar Jingming yang terbaring di ranjang, Pan Hai menghela napas pelan. 　　Menjadi kaisar pun tak mudah, selain pingsan karena marah, harus pura-pura sakit untuk menghindari tekanan para bawahan. 　　"Mereka sudah bubar?" 　　"Sudah." 　　"Hm, baiklah. Beberapa hari ini jangan biarkan mereka mengganggu Aku!" 　　Pan Hai merenung sejenak, mengingatkan: "Paduka, dengan alasan sakit, pasti para Pangeran dan Putri akan datang menjenguk. Nanti-" 　　"Jika datang, persilakan masuk," kata Kaisar Jingming dingin. 　　Pengangkatan Putra Mahkota memang tak terhindarkan. Ia perlu waktu tenang untuk merenungkan hal ini. 　　"Penyakit" Kaisar Jingming ini langsung membuat Pangeran Jin bersukacita diam-diam. 　　Sejak Permaisuri Qi keguguran, Lao Si seolah kehilangan semangat, tak lagi agresif. 　　Jika kondisi Ayah Kaisar semakin memburuk, penetapan Putra Mahkota harus dipercepat - peluangnya semakin besar. 　　Meskipun Pangeran Jin sangat ingin segera melayani Kaisar Jingming untuk mendapatkan perhatiannya, ia merasa menjadi yang pertama mengunjungi terkesan terlalu terburu-buru. Akhirnya ia menahan diri, menunggu orang lain bergerak lebih dulu. 　　Pangeran Qi juga berpikir demikian. 　　"Senjata selalu menargetkan burung yang menonjol," kalimat ini selalu diingatnya. 　　Selain itu, ia perlu melumpuhkan Pangeran Jin dengan membuatnya mengira dirinya sudah tak berminat memperebutkan tahta, sehingga tak boleh terlihat terlalu aktif. 　　Orang pertama yang mengunjungi Kaisar Jingming adalah Yu Jin. 　　Kaisar Jingming terkejut sekaligus tersentuh. 　　Saat ayah dan anak ini sedang berbincang, Pan Hai melapor: "Paduka, Pangeran Jin membawa Putra Mahkota untuk menemui Yang Mulia." 　　"Persilakan." 　　Tak lama kemudian Pangeran Jin masuk bersama putranya memberi penghormatan pada Kaisar Jingming. 　　Pandangan Kaisar Jingming tertuju pada Fu Ge-er, Putra Mahkota Pangeran Jin. 　　Fu Ge-er adalah anak yang pemalu. Terhadap kakeknya yang seorang kaisar, ia secara naluriah merasa takut dan bersembunyi di belakang Pangeran Jin. 　　Wajah Pangeran Jin tetap tenang, tapi hatinya gelisah: Fu Ge-er benar-benar tak tahu cara menyenangkan orang! 　　Saat hendak berkata-kata, pelayan istana melapor: "Pangeran Jing membawa Putra Mahkota untuk mengunjungi Yang Mulia." 534.BAGIAN 533 RENCANA BERACUN 　　BAGIAN 533 RENCANA BERACUN 　　Selain Pangeran Jing dan Putra Mahkotanya, Pangeran Qi dan yang lain juga berduyun-duyun masuk. 　　Chun Ge-er, Putra Mahkota Pangeran Jing yang beberapa bulan lalu masih menjadi Cucu Kaisar, tumbuh besar di istana. Berbeda dengan ketakutan Fu Ge-er, ia justru merasa sangat dekat dengan Kaisar Jingming. 　　Setelah memberi hormat dengan tata krama yang sempurna kepada Kaisar Jingming, Chun Ge-er memandang sang kaisar dengan penuh kekaguman dan berkata lantang: "Kakek Kaisar, Chun Ge-er merindukan Paduka." 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming hampir menitikkan air mata. 　　Entah para pangeran brengsek yang datang menjenguk ini benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura, dia tak tahu. Tapi dia yakin kata-kata Chun Ge-er tulus. 　　Ini memang cucu kesayangannya sejak lahir, langsung dinobatkan sebagai Putra Mahkota. Tak pernah terbayang gelar itu akan beralih ke orang lain... 　　Kaisar Jingming melototi Putra Mahkota yang Dipecat dengan geram. 　　Semua ini ulah binatang itu! Hingga Chun Ge-er yang baik hati ini terpaksa pindah dari istana ke tempat terpencil seperti Taman Jing. 　　Sang Kaisar mengabaikan para putranya, lalu tersenyum penuh kasih ke Chun Ge-er: "Chun Ge-er, mari ke sisi Kakek." 　　Chun Ge-er mendekat dan mengamati wajah Kaisar dengan serius: "Kakek Kaisar, hamba dengar Paduka sakit. Apakah sudah membaik?" 　　Kaisar tersenyum: "Sudah jauh lebih baik." 　　Wajahnya tampak kekuningan, setengah jujur setengah berpura. Rasa bersalah muncul melihat gadis kecil yang begitu khawatir ini. 　　"Kalau Kakek Kaisar baik-baik saja, Chun Ge-er tenang." Dengan sikap dewasa, Chun Ge-er mengeluarkan bungkusan kertas. 　　"Ini apa?" 　　Chun Ge-er menjelaskan dengan sungguh-sungguh: "Permen bunga osmanthus. Setelah minum obat, Kakek bisa menghisap ini agar tak terasa pahit." 　　Kaisar Jingming tiba-tiba merasa terharu, menerima permen bunga osmanthus sambil mengelus ubun-ubun Chun Ge'er: "Chun Ge'er benar-benar gadis yang baik." 　　Pangeran Jin memperhatikan Kaisar Jingming yang mengabaikan banyak pangeran lain, hanya menunjukkan perhatian khusus pada Chun Ge'er. Diam-diam dia mendorong Fu Ge-er. 　　Fu Ge-er malah semakin menyembunyikan diri di belakang. 　　Pangeran Jin gelisah dan marah, tapi tidak bisa meluapkan emosi di acara seperti ini. Ia hanya bisa memandangi Chun Ge'er yang membawa keharuman nama Putra Mahkota yang Dipecat. 　　Pangeran Qi bahkan lebih iri lagi. 　　Putra dari keluarga Putra Ketiga hanya tidak pandai merebut perhatian, tapi dia bahkan tidak punya anak yang bisa dimanfaatkan untuk merebut kasih sayang. 　　Memikirkan ini, kebencian Pangeran Qi terhadap Pangeran Jin semakin membara di tulang sumsum. 　　“Chun Ge'er suka Taman Jing?” Kaisar Jingming bertanya, hatinya terasa pahit. 　　Chun Ge'er berpikir sejenak lalu berkata: “Suka, tapi juga tidak suka.” 　　“Hmm, kenapa begitu?” 　　“Taman Jing lebih besar dari Istana Timur. Saat salju turun di musim dingin, kami bisa menangkap burung gereja dan bermain petak umpet.” Mata Chun Ge'er berbinar-binar. 　　Ekspresi gembiranya sama sekali tidak palsu. 　　Kaisar Jingming semakin penasaran: “Lalu kenapa tidak suka?” 　　Chun Ge'er tiba-tiba terdiam, lama kemudian baru berbisik pelan: “Di Taman Jing tidak ada Kakek Kaisar...” 　　Kaisar Jingming tercekat, sudut matanya basah. 　　Putra Mahkota yang Dipecat melotot pada Chun Ge'er: “Jangan bicara sembarangan!” 　　Setelah melotot pada Chun Ge'er, dia berkata pada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, Chun Ge'er masih anak kecil yang tak mengerti sopan santun, jangan dihiraukan." 　　Kaisar Jingming menggumam kesal: "Kurasa Chun Ge'er lebih tahu diri daripada kau!" 　　Putra Mahkota yang Dipecat itu mengusap hidungnya dengan malu setelah dimarahi, lalu diam seribu bahasa. 　　Pangeran Jin memandang dingin kehangatan yang ditunjukkan Kaisar Jingming pada Chun Ge'er, hatinya tiba-tiba terasa berat. 　　Jangan-jangan Putra Mahkota yang Dipecat ini akan bangkit kembali melalui Chun Ge'er? 　　Pikiran ini sekilas melintas, Pangeran Jin menggeleng pelan. 　　Mustahil. 　　Pemecatan putra mahkota bukanlah permainan anak-anak, mana mungkin seenaknya memecat lalu mengangkat kembali? 　　Ini karena terlalu khawatir sampai berpikir berlebihan. 　　Namun setelah Kaisar Jingming tidak menghadiri sidang selama beberapa hari, sebuah laporan resmi tiba-tiba mengguncang istana. 　　Seorang menteri ternyata mengusulkan untuk mengangkat kembali Chun Ge'er, Putra Mahkota Pangeran Jing, sebagai Cucu Mahkota. 　　Usulan ini sangatlah rumit. 　　Kaisar Jingming masih dalam usia produktif, jika melewati putra mahkota langsung menunjuk cucu mahkota, maka setelah Aku tiada nanti, jelas-jalan Cucu Mahkota akan langsung naik takhta. 　　Konon, Kaisar Jingming menatap laporan ini lama sekali tanpa sepatah kata pun. 　　Para menteri yang sebelumnya bimbang antara Pangeran Jin dan Pangeran Qi, belakangan ini mulai condong ke Pangeran Jin, kini kembali goyah. 　　Prinsip "jika ada putra permaisuri, angkat dia; jika tidak, angkat yang tertua". Namun Pangeran Jin sebagai putra tertua tak menonjol, ibunya pun berasal dari kalangan rendahan, inilah alasan mereka condong ke Pangeran Qi. 　　Jika Putra Mahkota dipulihkan, lebih baik daripada harus memilih pihak antara Pangeran Jin dan Pangeran Qi. 　　Chun Ge'er adalah putra sulung Pangeran Jing, mengalir darah Kaisar dan Permaisuri Pertama dalam tubuhnya, tak ada cucu kerajaan yang lebih mulia darinya. 　　Apalagi Chun Ge'er sejak kecil dididik sesuai standar Putra Mahkota, tata krama hingga wawasannya jauh melampaui cucu kerajaan lain, bahkan bisa dibilang melebihi ayahnya Pangeran Jing. 　　Langsung menetapkan Putra Mahkota, juga tidak buruk... 　　Dalam sekejap, desakan untuk menjadikan Putra Mahkota Pangeran Jing sebagai Putra Mahkota kian menggema. 　　Sejak desakan ini muncul, Pangeran Jin yang semula merasa pasti menang tak bisa tidur beberapa hari, ingin menghabisi menteri pertama yang mengusulkan ide ini. 　　Tapi desakan sudah menyebar, menghabisi siapa pun tak berguna - Pangeran Jin tertegun, sebuah ide tiba-tiba muncul dari hati-nya. 　　Siapa bilang menghabisi orang tak berguna? Bagaimana jika Putra Mahkota Pangeran Jing yang mati? 　　Seperti dirinya dengan Lao Si, Lao Si yang semula unggul langsung kalah setelah Permaisuri Qi keguguran. 　　Terkadang nyawa seseorang memang bisa mengubah situasi kritis, seperti janin Permaisuri Qi yang belum berbentuk, apalagi Putra Mahkota Pangeran Jing. 　　Pangeran Jin yang sudah merasakan manisnya kemenangan tak bisa menolak godaan ini. 　　Membunuh Putra Mahkota Pangeran Jing adalah taktik mengeringkan sumber api, jalan pintas menuju sukses yang jauh lebih mudah daripada kerja keras di bidang lain. 　　Begitu Niat Jahat muncul, dengan cepat berkembang menjadi lautan luas di dalam hati, tak bertepi. 　　Pangeran Jin diam-diam mulai merencanakan. 　　Depan Kediaman Pangeran Qi sudah sepi beberapa waktu, Pangeran Qi duduk di ruang belajar, menyeruput teh dengan senyum. 　　Sepertinya, Putra Ketiga sudah terpancing. 　　Penasihat kepercayaan memuji: "Tuan Pangeran memang hebat, hanya dengan mengirim surat tanpa nama ke Pejabat Pengawas Liu, mengingatkan untuk mengangkat kembali Cucu Kaisar, langsung membuat Pangeran Jin panik..." 　　Pangeran Qi tersenyum, bergumam: "Bukan karena Pangeran Jin terburu-buru, tapi godaannya terlalu besar..." 　　Takhta itu, ketika sudah dalam jangkauan, siapa yang bisa tetap diam? 　　Andai dia sendiri, mungkin juga akan tanpa ragu melenyapkan ancaman terbesar. 　　Apalagi Pangeran Jin sudah pernah bertindak sekali, tak masalah untuk mengulanginya. 　　Pangeran Qi mulai menantikan apa yang akan dilakukan Pangeran Jin. 　　Chungeer mengalami insiden di Taman Jing. 　　Di bulan keempat, Taman Jing penuh kemegahan, pemandangan indah tak terkira, bertepatan dengan hari ulang tahun Putra Mahkota yang Dipecat. 　　Karena penurunan gelar Pangeran Lu membuat mereka menyadari kembali posisi Putra Mahkota yang Dipecat di hati Kaisar Jingming, ditambah desakan untuk mengangkat kembali Putra Mahkota Pangeran Jing sebagai Cucu Kaisar, semua pangeran hadir pada hari ulang tahunnya. 　　Yu Jin bertekad mengikuti arus, tentu hadir dalam acara seperti ini. 　　Mendengar langkah tergesa-gesa dan teriakan Putra Mahkota Pangeran Jing yang jatuh ke air, dia segera mengikuti kerumunan menuju danau di Taman Jing. 　　Chun Ge'er sudah berhasil diangkat dari air, menutup rapat kedua matanya dengan perut menggembung tinggi. 　　Permaisuri Jing sudah kehilangan sikap anggunnya, seperti ibu mana pun yang kehilangan anak tercinta, menjerit histeris sambil menangis. 535.BAB 534 Menyelamatkan dan Membangunkan 　　BAB 534 Menyelamatkan dan Membangunkan 　　Putra Mahkota yang Dipecat berlari mendekat, mengangkat tubuh Chun Ge'er dan mengguncang-guncangnya keras: "Chun Ge'er, Chun Ge'er!" 　　Melihat kepala gadis itu terkulai tanpa reaksi, ia berteriak histeris: "Tabib mana, tabib mana?" 　　Permaisuri Jing mendorong Putra Mahkota yang Dipecat dengan kuat: "Kau menyakiti Chun Ge'er--" 　　Pinggir danau dipenuhi orang-orang dengan ekspresi beragam. 　　Yu Jin memandang dingin keputusasaan Permaisuri Jing, hatinya sesaat terenyuh. 　　Ia tak pernah peduli dengan nyawa orang tak dikenal, tapi A Si juga akan menjadi ibu. Seorang ibu yang kehilangan anak, pasti sangat sedih? 　　Yu Jin teringat sesuatu, lalu berjalan cepat mendekat. 　　"Apa yang kau lakukan?" Putra Mahkota yang Dipecat menyadari kedekatan Yu Jin, berteriak waspada. 　　Yu Jin mengulurkan tangan: "Biarkan saya periksa apakah masih ada harapan." 　　"Apa katamu?" Putra Mahkota yang Dipecat tertegun. 　　Permaisuri Jing mendorong Putra Mahkota yang Dipecat ke samping, menyodorkan Chun Ge'er kepada Yu Jin. 　　"Kau gila?" Putra Mahkota yang Dipecat membentak Permaisuri Jing. 　　Permaisuri Jing bahkan tak memberikan sekilas pandang pada Putra Mahkota yang Dipecat, matanya menatap tak berkedip pada Yu Jin tanpa sepatah kata. 　　Keputusasaan seorang ibu membuatnya lebih memilih untuk mempercayai segala kemustahilan. 　　"Dia tidak bisa menerima kenyataan Chun Ge'er-nya telah tiada. Chun Ge'er adalah nyawanya. Jika Chun Ge'er benar-benar tak tertolong, maka hidupnya pun tak berarti lagi." 　　Yu Jin memasukkan jarinya ke dalam mulut Chun Ge'er. 　　Putra Mahkota yang Dipecat kembali panik, meraih bahu Yu Jin: "Lao Qi, apa sebenarnya yang kau lakukan?" 　　Yu Jin terus bergerak, berkata dingin: "Sudah kukatakan, mencoba menyelamatkan anak ini." 　　"Kau benar-benar bisa menyelamatkan Chun Ge'er?" 　　Yu Jin tak tahan lagi, memaki: "Tolol! Diam kau! Aku hanya bilang mencoba, seperti mengobati kuda mati dengan cara kuda hidup—kau tak punya akal? Ini anakmu yang mati, bukan orang lain! Aku juga tak mencampaknya ke danau. Kau gila minta jaminan dariku?" 　　Putra Mahkota yang Dipecat terpaku dimaki: "Kau... kau... kau——" 　　Permaisuri Jing mengambil batu dan melemparkannya ke kepala Putra Mahkota yang Dipecat. 　　Gerakannya terlalu mendadak. Putra Mahkota yang Dipecat tak sempat menghindar, terkena tepat di kepala. Matanya terbalik lalu pingsan. 　　Kerumunan tertegun. 　　Permaisuri Jing berkata tanpa ekspresi: "Pangeran Yan, mohon upaya maksimalmu. Tak akan ada lagi gangguan." 　　Yu Jin telah membersihkan benda asing dari hidung dan mulut Chun Ge'er. Menarik napas dalam, di tengah decak kagum orang-orang, ia memberikan napas buatan dari mulut ke mulut berkali-kali, lalu menekan bagian jantungnya dengan kedua tangan berlipat. 　　“Apa sebenarnya yang dilakukan Lao Qi?” Pangeran Lu tertegun, menyikut Pangeran Xiang di sampingnya dengan siku. 　　Pangeran Xiang kesal: “Bagaimana aku tahu? Jangan-jangan dia punya hobi aneh?” 　　Pangeran Qi menatap Yu Jin dengan tatapan penuh pertimbangan. 　　Tak disangka Lao Qi ikut campur. Untuk apa dia melakukan ini? Terlihat sangat aneh... 　　Ekspresi Pangeran Jin sama seperti kerumunan, namun di kedalaman matanya mengeras bagai es, memandang sinis segala yang terjadi. 　　Cukup lancar. Hanya perlu menyuruh orang mendorong pelan-pelan, nyawa itu pun terenggut, mengakhiri ancamannya. 　　Lao Qi ini sedang gila apa? 　　Menyelamatkan Putra Mahkota Jing? Sungguh konyol. 　　Saat kerumunan menganggap situasi ini absurd, tiba-tiba Chun Ge'er yang sudah tak bernyawa membuka mulut dan memuntahkan air. 　　Permaisuri Jing melepaskan batu yang tergenggam, berlari sambil berteriak: "Chun Ge'er——" 　　Chun Ge'er memuntahkan beberapa kali air lagi, perlahan membuka matanya. 　　“Chun Ge'er, Chun Ge'er, bagaimana kondisimu?” tanya Permaisuri Jing sambil terisak. 　　Yu Jin bangkit dengan tenang, memandang Chun Ge'er yang sadar dengan perasaan lega telah menyelesaikan tugas. 　　Dia menyelamatkan Chun Ge'er bukan untuk alasan lain, hanya tak tega melihat seorang ibu kehilangan anak. Adapun intrik-intrik kotor itu, sama sekali tak ingin dia libat. 　　Chun Ge'er mengedipkan mata, pandangan bingungnya perlahan pulih, memanggil lembut: "Ibu——" 　　Permaisuri Jing memeluk Chun Ge'er, air mata mengalir deras. 　　"Tabib datang, tabib datang!" 　　Pelayan yang menarik tabib berlari kencang berteriak keras. 　　Tabib utama yang terengah-engah bertanya panik: "Putra Mahkota di mana?" 　　Permaisuri Jing bersuara tegas: "Putra Mahkota baik-baik saja, mohon periksa Pangeran." 　　Tabib utama: ?? 　　Ini tidak sesuai rencana! 　　Kerumunan berkerumun menghibur: "Syukurlah, Putra Mahkota selamat..." 　　Permaisuri Jing memeluk erat Chun Ge'er bagai harta karun, masih trauma. 　　Sukacita karena mendapat kembali? Tidak, ketakutan masih menguasainya. 　　Hampir saja Chun Ge'er pergi selamanya... 　　"Permaisuri, baju Putra Mahkota basah kuyup, cepat ajak masuk ke dalam," seseorang mengingatkan. 　　Permaisuri Jing mencium dahi Chun Ge'er: "Ayo kita masuk, Nak." 　　Chun Ge'er yang bersembunyi di pelukan tiba-tiba berkata: "Ibu, ada yang mendorongku——" 　　Kalimat itu membuat sunyi senyap, semua mata tertuju pada Chun Ge'er. 　　Putra Mahkota yang Dipecat tiba-tiba duduk bangun, membuat Tabib utama yang sedang bersiap merawatnya terjatuh terduduk ketakutan: "Kau bilang apa?" 　　Meski masih kecil, Chun Ge'er tampak sangat tenang dan berkata serius: "Seseorang mendorongku, aku melihat bayangannya di danau!" 　　Suasana semakin mencekam. 　　Putra Mahkota yang Dipecat marah sekali: "Selidiki! Sekalipun harus menggali tiga kaki tanah, temukan orang yang berani menyakiti Putra Mahkota!" 　　Permaisuri Jing menggendong Chun Ge'er berdiri, tak ingin anaknya menghadapi ini lagi. 　　Ia membungkuk hormat pada Yu Jin: "Terima kasih, Adik ketujuh. Kau telah menyelamatkan nyawa Chun Ge'er. Aku akan mengingatnya di hati." 　　Yu Jin tersenyum: "Aku hanya mencoba. Keselamatan Chun Ge'er membuktikan takdirnya belum berakhir. Kakak Ipar tak perlu berterima kasih." 　　Beberapa suara segera menyambut: "Benar, Putra Mahkota yang selamat dari bencana pasti akan dapat berkah..." 　　Wajah Pangeran Jin tetap datar, tapi tinjannya mengepal erat hingga urat-urat menonjol. 　　Pangeran Qi mengangkat sudut bibirnya halus. 　　Tak disangka Lao Qi bisa memberinya kejutan besar! Putra Ketiga pasti tamat! 　　Membayangkan akhir yang akan dihadapi Pangeran Jin, Pangeran Qi merasa lega dalam hati. 　　"Aku akan menghadap Ayah Kaisar!" Putra Mahkota yang Dipecat melempar ucapan itu lalu berlari ke istana, meninggalkan tamu pesta ulang tahunnya. 　　Kaisar Jingming sedang merenungkan urusan ulang tahun putra mahkota yang dipecat. 　　"Dia masih ingat setiap detik hari ketika Permaisuri Pertama melahirkan anak, hari yang takkan terlupakan seumur hidupnya." 　　Mendengar laporan pelayan istana bahwa Pangeran Jing meminta audiensi, alut Kaisar Jingming berkerut: "Untuk apa dia datang?" 　　Jangan-jangan mau minta dirayakan ulang tahunnya? 　　"Pangeran Jing... Pangeran Jing bilang Putra Mahkota tenggelam..." 　　Kaisar Jingming langsung bangkit berdiri, hampir terjatuh karena tergesa-gesa, tapi sama sekali tak peduli: "Suruh dia masuk!" 　　Tak lama Putra Mahkota yang Dipecat masuk, langsung menangis histeris melihat Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, ada yang mendorong Chun Ge-er ke kolam, hu hu hu--" 　　Pandangan Kaisar Jingming berkunang-kunang mendengarnya. 　　"Ayah Kaisar, tolong berikan keadilan untuk Chun Ge-er!" 　　"Siapa yang membunuh Chun Ge-er?" Tanya Kaisar Jingming dengan hati seperti diremas-remas. 　　Putra Mahkota yang Dipecat berkedip, baru ingat harus menjelaskan: "Chun Ge-er berhasil diselamatkan..." 536. BAB 535 Kekalahan Pangeran Jin 　　BAB 535 Kekalahan Pangeran Jin 　　Chun Ge-er tidak mati? 　　Kaisar Jingming berlari menghampiri dan menampar Putra Mahkota yang Dipecat dua kali: "Brengsek! Kenapa tidak jelaskan bahwa Chun Ge-er baik-baik saja!" 　　Putra Mahkota yang Dipecat melindungi kepala sambil berdalih: "Anak tidak bilang Chun Ge-er kenapa, Ayah Kaisar salah paham..." 　　Kaisar Jingming tak peduli terus memukuli hingga Putra Mahkota yang Dipecat menjerit-jerit kesakitan. 　　Pan Hai memejamkan mata pura-pura tak melihat, berusaha menghilangkan kehadirannya. 　　Tangan Kaisar Jingming kesakitan memukul, baru berhenti. 　　Perasaan yang naik turun drastis ditambah kemarahan, membuat Kaisar tua itu wajahnya memerah dan terengah-engah. 　　Putra Mahkota yang Dipecat menundukkan kepala tanpa bersuara. 　　Awalnya masuk istana untuk mencari hiburan dari Ayah Kaisar, siapa sangka malah dipukul lagi! 　　Beberapa saat kemudian, Kaisar Jingming baru tenang, bertanya: "Bagaimana sebenarnya kejadiannya, kau ceritakan secara detail!" 　　Maka Putra Mahkota yang Dipecat mulai bercerita dari pesta ulang tahun. Saat menceritakan Chun Ge'er tenggelam dan Yu Jin maju menolong, Kaisar Jingming berteriak: "Tunggu, kau bilang Chun Ge'er dihidupkan kembali oleh Lao Qi?" 　　Putra Mahkota yang Dipecat ragu-ragu. 　　Saat itu dia dipukul pingsan oleh Nona Yang, tidak melihat apa-apa! 　　"Ragu apa? Apa sulitnya mengucapkan kata baik untuk Lao Qi yang telah menyelamatkan anak lelakimu?" Kaisar Jingming melihat keraguan Putra Mahkota yang Dipecat langsung naik darah, hatinya yakin Yu Jinlah yang menyelamatkan Chun Ge'er. 　　Dimarahi, Putra Mahkota yang Dipecat terpaksa berkata: "Seharusnya Lao Qi yang menghidupkannya--" 　　Melihat Kaisar Jingming melotot, Putra Mahkota yang Dipecat tiba-tiba merasa ini kesempatan baik untuk melapor, geram berkata: "Ayah Kaisar tidak tahu, saat itu anak lelakiMu dipukul pingsan oleh Nona Yang si perempuan galak itu, tidak melihat proses pertolongan Lao Qi, saat bangun Chun Ge'er sudah baik, jadi tidak tahu harus bagaimana..." 　　Kaisar Jingming mencibir: "Pasti kau mengganggu upaya Lao Qi menolong Chun Ge'er, makanya istrimu menyuruhmu jangan ikut campur." 　　Putra Mahkota yang Dipecat：“……”Dia benar-benar bahkan tidak lebih baik dari angin kencang yang menerpa! 　　“Pan Hai, panggil Pangeran Yan dan Permaisuri Jing ke istana.” Kaisar Jingming memberi perintah, lalu bertanya pada Putra Mahkota yang Dipecat, “Bagaimana kau mengetahui Chun Ge'er sengaja didorong ke air?” 　　Putra Mahkota yang Dipecat mengusap bagian yang dipukul, “Chun Ge'er sendiri yang bilang. Dia melihat bayangan pelaku sebelum didorong!” 　　Sorot mata Kaisar Jingming tiba-tiba menyempit: “Sudahkah pelakunya ditemukan?” 　　Putra Mahkota yang Dipecat berkedip: “Aku sudah suruh orang mencari, lalu buru-buru melapor pada Ayah Kaisar.” 　　Bibir Kaisar Jingming bergetar, ingin memaki seperti biasa, tapi ditahannya. 　　Sudahlah, meski brengsek ini tidak berguna, setidaknya dia memberi tahu hal ini lebih awal daripada menyembunyikannya. 　　Tak lama kemudian, Yu Jin dan Permaisuri Jing tiba di istana. 　　“Permaisuri Jing, bagaimana kondisi Chun Ge'er?” 　　Wajah Permaisuri Jing pucat pasi, masih terguncang: “Lapor Ayah Kaisar, Chun Ge'er agak kedinginan, sudah minum ramuan penghangat dan tidur, ibu susu sedang menjaganya.” 　　“Syukur tidak ada masalah serius.” Kaisar Jingming menghela napas lega. 　　Permaisuri Jing melirik Yu Jin, “Beruntung Adik Ketujuh menyelamatkan Chun Ge'er.” 　　Kaisar Jingming langsung menatap Yu Jin: “Lao Qi, bagaimana cara kau menyadarkan Chun Ge'er?” 　　“Pertama, bersihkan benda asing dari hidung dan mulut Chun Ge'er agar bisa bernapas lancar, lalu berikan napas buatan sambil menekan dadanya untuk membantu pemulihan pernapasan...” Yu Jin menjelaskan. 　　Kaisar Jingming terkejut: "Napas buatan? Apa maksudmu orang yang sudah meninggal bisa hidup kembali dengan diberi napas?" 　　Putra Mahkota yang Dipecat dan kerumunan lainnya juga terlihat takjub, semua mata tertuju pada Yu Jin menunggu jawaban. 　　Yu Jin tersenyum kecut: "Sepertinya tidak. Jika benar begitu, bukankah semua orang bisa hidup abadi?" 　　"Lalu bagaimana dengan Chun Ge'er——" 　　"Begini, di selatan banyak perairan sehingga sering terjadi kasus tenggelam. Selama bertahun-tahun di Perbatasan Selatan, saya pernah melihat seseorang menyelamatkan anak yang tenggelam dengan cara ini. Saat melihat Chun Ge'er tenggelam di Taman Jing tadi, saya coba terapkan metode itu dan berhasil. Namun tentang prinsip ilmiahnya, saya tidak paham." 　　Pandangan Yu Jin menyapu kerumunan: "Dan metode ini tidak selalu berhasil, tujuh hingga delapan dari sepuluh kasus gagal." 　　Dia tersenyum: "Jadi Putra Mahkota Pangeran Jing ini benar-benar diberkahi, memiliki keberuntungan besar." 　　Kaisar Jingming merasa sangat senang, matanya melirik tajam ke arah Putra Mahkota yang Dipecat. 　　Lihatlah Lao Qi yang pandai bicara, meski berhasil menyelamatkan Chun Ge'er sama sekali tidak menyombongkan jasa. 　　Karena Lao Qi tidak mengklaim prestasi, Sang Kaisar akan mengingatnya dalam hati. 　　Di hadapan Kaisar Jingming, Permaisuri Jing membungkuk dalam-dalam kepada Yu Jin: "Adik ketujuh adalah penyelamat sejati Chun Ge'er. Tanpa sihir penyembuhan Adik, sekalipun Chun Ge'er diberkahi nasib, tak mungkin termasuk dalam 20-30% yang selamat." 　　Putra Mahkota yang Dipecat sangat menyayangi putra tunggalnya. Mendengar perkataan Permaisuri Jing, ia ikut mengepalkan tangan: "Adik ketujuh, Kakak berterima kasih." 　　"Kakak Kedua, Kakak Ipar, tak perlu begitu. Chun Ge'er juga keponakanku." Meski berwatak keras, Yu Jin pandai merangkai kata-kata manis. 　　Kaisar Jingming tersentuh melihat keharmonisan antara kedua adik-beradik ini. 　　"Permaisuri Jing, Aku dengar dari Pangeran Jing ada yang mendorong Chun Ge'er ke air. Benarkah?" Kaisar Jingming memastikan pada Permaisuri Jing. 　　Putra Mahkota yang Dipecat hampir memutar bola mata putihnya. 　　Apakah Ayah Kaisar sama sekali tak percaya padanya? 　　Permaisuri Jing mengangguk halus: "Itu yang Chun Ge'er katakan setelah siuman." 　　"Sudahkah pelakunya ditemukan?" 　　"Saat menantu keluar, pelaku sudah ditangkap. Detailnya belum diketahui..." 　　Kaisar Jingming tak menyangka pelaku cepat tertangkap. Segera ia memerintah Pan Hai: "Cepat kirim orang untuk menyelidiki!" 　　Pan Hai segera melaksanakan perintah. 　　Kaisar Jingming tak menyuruh ketiganya pergi. Dengan suara dingin ia berkata: "Menyakiti anak seperti Chun Ge'er sungguh melanggar hukum alam. Kalian akan menunggu bersama Aku untuk melihat siapa pelakunya!" 　　“Dia tidak percaya semua orang sekeras mulut Dayang Duo, kali ini jika tidak menyelidiki sampai tuntas, dia tidak akan berhenti!” 　　Kebenaran ternyata lebih mudah daripada yang dibayangkan Kaisar Jingming. 　　Saat Pan Hai membawa orang yang mendorong Chun Ge-er ke hadapan Kaisar Jingming, pelaku itu langsung mengaku semuanya. 　　“Hamba tidak punya pilihan, jika hamba tidak melakukan ini, seluruh keluarga hamba akan tewas...” 　　“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Kaisar Jingming dengan wajah datar, hatinya sudah terasa sesak. 　　“Adalah... Pangeran Jin...” 　　Putra Mahkota yang Dipecat langsung marah: “Mengapa Putra Ketiga tega menyakiti seorang anak seperti Chun Ge-er?” 　　Kaisar Jingming menyambar cangkir teh di meja dan melemparkannya ke lantai: “Binatang terkutuk ini!” 　　Lao Er bingung mengapa Putra Ketiga mau menyakiti Chun Ge-er, tapi dia tiba-tiba menyadari alasannya. 　　Putra Ketiga yang gila itu pasti mendengar isu pengangkatan kembali Cucu Kaisar belakangan ini, sehingga merasa Chun Ge-er mengancam posisinya! 　　Posisi calon penguasa yang kosong memang menumbuhkan roh-roh jahat. 　　“Panggil Pangeran Jin masuk istana!” 　　Saat Pangeran Jin berlutut di hadapan Kaisar Jingming, melihat wajah sang Kaisar yang pucat pasi, dia tahu semuanya sudah berakhir. 　　Dia menunduk memandangi ubin emas yang bisa memantulkan bayangan dengan jelas, tersenyum masam. 　　Menyesalkah? Sejak memutuskan memperebutkan takhta, dia sudah kehilangan hak untuk menyesal, hanya merasa bersalah pada istri dan anaknya. 537.BAB 536 Menerima Kekalahan 　　BAB 536 Menerima Kekalahan 　　“Kaisar Jingming memandang dari atas ke bawah, menatap Pangeran Jin yang berlutut di tanah, bertanya dengan penuh kekecewaan: ‘Putra Ketiga, apa yang membuatmu menjadi begitu gila hingga berani melukai Chun Geer, seorang anak?’” 　　Pangeran Jin menyentuhkan dahinya ke lantai, memberi hormat kepada Kaisar Jingming, dan berkata dengan gemetar: “Anak lelaki ini telah tersesat oleh bisikan hantu. Ayah Kaisar boleh memberikan hukuman apapun, semua akan kuterima. Hanya istri dan anakku yang tak bersalah, mohon Ayah Kaisar berbelas kasih dan ampuni mereka.” 　　Apa pasal untuk menyuruh orang melukai Putra Mahkota Pangeran Jing? Karena Putra Mahkota Pangeran Jing selamat, hukumannya bisa ringan atau berat. 　　Namun Pangeran Jin tahu hukumannya pasti tak akan ringan, bukan hanya karena Chun Geer adalah cucu kesayangan Kaisar Jingming, tapi lebih penting lagi karena niatnya merebut takhta telah terbongkar. 　　Dan inilah yang paling ditakuti oleh seorang kaisar. 　　Di keluarga kekaisaran tak ada hubungan ayah-anak. Sekalipun dalam hati sangat menginginkan, begitu orang yang duduk di kursi itu yakin kau mengincar posisinya, apa mungkin ada akhir baik? 　　“Putra Ketiga, kau benar-benar mengecewakan Aku. Aku belum mati, kau sudah mulai berani melukai saudara dan keponakan?” Wajah Kaisar Jingming memucat sambil menepuk kursi naganya, “Jika kau benar-benar naik ke posisi ini, apakah kau akan membasmi semua orang yang mengancammu?” 　　Memandang Pangeran Jin yang berlutut, Kaisar Jingming merasa sangat pedih. 　　Dalam ingatannya, putra ini jarang bicara, sering diam dan rendah hati di berbagai kesempatan, bahkan setelah Pangeran Qin, dia yang paling patuh. Bagaimana bisa dalam sekejap berubah menjadi sosok mengerikan seperti ini? 　　Kaisar Jingming teringat suara para menteri yang menyerukan penunjukan calon penguasa. 　　Dia sebenarnya mengerti permintaan para bawahannya itu benar. 　　Kekosongan posisi calon penguasa memang bisa menggoyahkan stabilitas. 　　Bahkan sebelumnya, meski Putra Mahkota yang Dipecat dituduh dengan alasan menghasut pembunuhan Pangeran An, banyak menteri tetap menentang pemecatannya karena pertimbangan ini. 　　Jika bukan karena perselingkuhan Putra Mahkota yang Dipecat dengan Selir Yang yang benar-benar tak termaafkan, dia sebenarnya tak ingin memecat putra mahkotanya. 　　Karena memahami hal ini, dia terus menahan diri menghadapi tekanan agresif para menteri. 　　Dia tahu bahaya kekosongan posisi calon penguasa, tetapi karena sudah kecewa dengan putra mahkota yang dipecat, semakin takut menunjuk calon baru secara gegabah. 　　Bagaimana jika calon baru bahkan lebih buruk dari yang dipecat? Tak mungkin memecat lagi. 　　Tapi kenapa anak-anak kurang ajar ini begitu tergesa-gesa! 　　Kaisar Jingming hati hancur, menatap dingin Pangeran Jin. 　　Sementara Pangeran Jin yang menunduk dalam-dalam dalam hati mencemooh: Kecewa padanya? Heh, Ayah Kaisar mana pernah memberi harapan, bahkan tak pernah memandangnya. 　　Dia pangeran tertua setelah putra mahkota yang dipecat, kenapa tak rebut kesempatan ini ketimbang memberikannya pada anak kecil? 　　Dia juga ingin membuktikan diri, melihat mereka yang mengabaikannya bersikap hormat dan takut. 　　Sekarang, hanya menerima konsekuensi kekalahan. 　　"Pada saat ini, Pangeran Jin mulai menyadari bahwa dirinya telah terjebak. Jika tidak, orang yang mencoba membunuh Chun Ge'er tidak akan dengan mudah ditemukan, apalagi begitu cepat mengakuinya." 　　Tapi pada akhirnya, seperti yang dikatakan sebelumnya—kalah dalam persaingan, dia menerima. 　　"Pan Hai, sampaikan maklumatku—" 　　Pangeran Jin gemetar mendengar Kaisar Jingming melanjutkan ucapannya. 　　Kaisar Jingming menutup mata perlahan, berucap dengan tenang: "Pangeran Jin yang mementingkan diri sendiri hingga merencanakan pembunuhan keponakan, hatinya penuh kejahatan. Sekarang turunkan gelarnya menjadi pangeran, dan seumur hidup membawa istri serta anak menjaga makam kekaisaran, tidak boleh meninggalkan..." 　　Banyak orang di aula istana menarik napas dalam-dalam. 　　Hukuman Pangeran Jin untuk menjaga makam kekaisaran terlihat cukup menyedihkan. 　　Tentu, seandainya yang menjadi korban adalah Cucu Kaisar atau Putra Mahkota, ini bukan lagi urusan biasa. Ini akan menjadi pemberontakan tingkat tinggi. Jika demikian, hukuman seberat apapun pantas diberikan. 　　Sementara hukuman berat untuk Pangeran Jin yang mencoba membunuh Putra Mahkota Pangeran Jing membuktikan betapa pentingnya posisi Putra Mahkota Jing di hati Kaisar. 　　Pangeran Jin terdiam mendengarkan, tubuhnya limbung. 　　Kaisar Jingming sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan. Setelah berpikir, menambahkan: "Selir An, ibu kandung Pangeran Jin, harus segera meninggalkan istana dan menyusul putranya ke makam kekaisaran." 　　Setelah kekacauan yang dibuat Dayang Duo di Istana Cining, dia tidak ingin meninggalkan potensi masalah di istana belakang. 　　Selir An yang selama ini tak terdengar gaungnya di istana, mungkin reuninya dengan putra justru merupakan berkah tersembunyi. 　　Selir Anping yang menerima maklumat, selain sedih untuk anaknya, sebenarnya juga mulai memiliki sedikit harapan untuk masa depan. 　　Hanya Tuhan yang tahu sudah berapa tahun dia merindukan kehidupan bersama anak dan cucu. 　　Menurut kebiasaan, para selir seperti mereka hanya bisa dikeluarkan dari istana oleh anak-anak mereka setelah kaisar mangkat, sementara yang tidak punya anak hampir pasti akan masuk kuil keluarga dan mengakhiri sisa hidup dalam pengasingan. 　　Dulunya dia mengira tidak akan bisa bertahan lebih lama dari Kaisar, tak disangka Sang Kaisar memberi keringanan... 　　Selir Anping tidak bertemu muka dengan Kaisar Jingming. Dia datang ke Istana Kuning dan melakukan sujud sesuai tata krama kepada Permaisuri. 　　Permaisuri melihat Selir Anping yang bersujud dengan patuh, menghela napas dalam hati, lalu berkata dengan suara lembut: "Bangunlah. Kaisar mengizinkanmu keluar istana untuk berkumpul dengan Pangeran Jin adalah anugerah. Janganlah kau menyimpang pikiran karena hukuman Pangeran Jin, jangan mencari masalah sendiri..." 　　Selir Anping buru-buru menjawab: "Nyonya tenang, hamba bukan orang tak tahu terima kasih. Setelah bertahun-tahun di istana yang selalu dilindungi Nyonya, saat perpisahan ini hamba berdoa semoga Nyonya diberkahi sepanjang hayat." 　　Permaisuri mengangguk kepada dayang senior di sampingnya. 　　Dayang itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada Selir Anping. 　　Permaisuri berkata lembut: "Isinya beberapa barang berharga. Bawa saja, sebagai kenangan pertemanan kita." 　　"Terima kasih atas hadiah Nyonya." Selir Anping menerima bungkusan itu, mengusap air mata, lalu bersujud lagi, "Hamba pamit undur diri." 　　Setelah An Pin pergi, Permaisuri bangkit berdiri dan berkata pada dayang kepercayaannya: "Pergi ke tempat Putri Fuqing." 　　Apa lagi yang lebih baik di dunia ini daripada keluarga yang berkumpul lengkap? Semoga keluarga Pangeran Jin dapat berpikiran terbuka. 　　Maklumat sampai ke Istana Pangeran Jin, pelayan istana langsung panik hingga ditegur keras oleh Permaisuri Jin kepada seorang mandor baru tenang. 　　Pangeran Jin menatap dengan malu: "Wenjun, aku yang merugikanmu..." 　　Permaisuri Jin tersenyum, menggenggam tangan pangeran: "Pasangan suami istri pada dasarnya adalah satu kesatuan, Tuanku jangan bicara begitu." 　　"Tapi kau dan anak-anak akan menjaga makam kekaisaran yang dingin, jauh dari keramaian ibu kota—" 　　Permaisuri Jin menempelkan jari di bibir pangeran, berbisik lembut: "Apa masalahnya? Asal kita sekeluarga bersama sudah cukup. Tuanku, sejujurnya sejak kau punya niat itu, aku berkali-kali membayangkan kegagalan, bermimpi buruk tak terhitung. Kini kita semua selamat, aku sudah sangat bersyukur..." 　　Air mata Permaisuri Jin mengalir deras seperti hujan. Hatinya yang terus berdebar-debar akhirnya tenang, bisa berdetak normal lagi. 　　Kehidupan sederhana yang tenang baginya adalah yang terbaik. Ia bahkan bersyukur bisa keluar sebelum pangeran terjerumus lebih dalam. 　　Andai Putra Mahkota Jing tewas saat itu, atau jika pangeran terus bersaing hingga melakukan kesalahan fatal, nyawa bisa terancam—itu baru bencana besar bagi dirinya dan anak-anak. 　　Istana Pangeran Jin segera kosong, sejak saat itu pintu merah terkunci rapat, memancing banyak renungan. Tentu ini menjadi cerita lain yang akan datang. 　　Saat ini di Kediaman Pangeran Qi, sang tuan rumah hampir tak bisa menahan tawa riang ke langit. 　　Pangeran Qi bergegas masuk ke halaman utama, membawa kabar baik tentang hukuman Pangeran Jin kepada Permaisuri Qi. 538. BAB 537 Kesempatan 　　BAB 537 Kesempatan 　　Keguguran di bulan pertama membuat kesehatan Permaisuri Qi merosot drastis, semangatnya semakin lesu. Namun kabar hukuman Pangeran Jin menyegarkan kembali dirinya: "Tuanku, benarkah Pangeran Jin dihukum menjaga makam kekaisaran?" 　　Pangeran Qi tersenyum: "Tentu benar. Bukan hanya dia, istri dan anak-anaknya juga harus ikut. Bahkan Nyonya An yang menikmati kemewahan di istana pun diusir Ayah Kaisar." 　　"Sungguh luar biasa!" Permaisuri Qi mengusap perutnya sambil menangis, "Anakku, kau dengar? Ayahmu akhirnya membalaskan dendam untukmu!" 　　Bayi yang keguguran ini menjadi duri di hati Pangeran Qi, membuatnya enggan menyentuh topik ini atau melihat Permaisuri Qi dalam kondisi emosional seperti ini. 　　Ia mengerutkan alis: "Pelaku yang membunuh anak kita telah mendapatkan hukuman setimpal. Tenangkan hatimu. Jika kesehatanmu pulih, anak pasti akan kembali kepada kita." 　　Permaisuri Qi menyeka air mata, untuk pertama kalinya tersenyum: "Baik, aku akan patuh pada Tuanku. Berkat Tuanku, pelaku yang membunuh anak kita telah dihukum." 　　Usianya belum tiga puluh tahun. Dengan perawatan yang baik, anak pasti akan datang kembali. 　　“Begini baru benar.” |Pangeran Qi memeluk bahu |Permaisuri Qi dan menepuk-nepuknya perlahan. 　　|Putra Ketiga sudah tumbang, peluangnya semakin besar. Justru di saat seperti ini, dia tak boleh lengah, apalagi memiliki |permaisuri yang hanya tahu meratap dan menjadi beban. 　　|Yu Jin kembali ke |Kediaman Pangeran Yan dan menceritakan badai yang terjadi di luar. 　　Yang lebih menarik minat |Jiang Si adalah peristiwa dia menyelamatkan Chun Ge'er. 　　"Memberi nafas buatan untuk menyambung nyawa, memang sesuatu yang langka." 　　Seperti yang dikatakan |Yu Jin, di |selatan yang banyak perairan sering terjadi kasus tenggelam. Dia sendiri pernah menyaksikan beberapa kali, tapi belum pernah melihat metode penyelamatan dengan nafas buatan. 　　|Jiang Si merasa seolah-olah |selatan yang ditempatinya bersama |A Jin bukan tempat yang sama. 　　Wajah tampan itu tiba-tiba mendekat, membesar secara drastis dalam pandangannya. 　　Napasnya terasa panas, sorot matanya bahkan lebih membara. 　　"|A Si, kalau kau penasaran, bagaimana kalau kita mencoba?" 　　|Jiang Si tertegun sejenak, dalam sorot mata |Jin yang |tidak pantas itu dia melihat api yang tertahan. 　　Pikirannya teringat pada |Dayang Ji yang sering muncul di hadapannya. 　　|dayang tua itu dengan wajah kaku berkata terus terang: "|Pangeran masih muda dan bergairah, apakah |Permaisuri tega membiarkannya terus menahan diri? Jika |Permaisuri tak mau menggunakan |dayang pengajar dari istana, pilihlah satu dua orang yang berbudi dan bisa dipercaya untuk |melayani |Pangeran. Bukankah ini lebih baik daripada |Pangeran tak tahan lalu mencari di luar? Saat itu terjadi, |Permaisuri baru akan menyesal tiada akhir..." 　　Akhirnya, Dayang Ji yang terus menasihati dengan jujur diusir oleh Yu Jin untuk membersihkan toilet, baru dibebaskan dari kamar mandi setelah Jiang Si membujuk. 　　Jiang Si merangkul leher Yu Jin dan menariknya mendekat, bibir mereka bersentuhan: "Ayo coba." 　　Diam-diam dia sudah mempelajari, meski sedang hamil tetap bisa dilakukan, yang penting tidak akan pernah mengizinkan A Jin memiliki wanita lain! 　　Yu Jin buru-buru mundur sejauh setengah zhang, tergopoh-gopoh: "A Si, lebih baik kita bicara baik-baik saja..." 　　Jiang Si tersenyum: "Tidak mau mencoba lagi?" 　　"Tidak, nanti saja kalau sudah waktunya." Ia mengusap keringat, dalam hati mengeluh gelisah karena gejolak perasaan tadi. 　　Sebelum bayi lahir, tidak berani lagi bercanda dengan A Si - setiap kali dia yang selalu kalah. 　　"Kapan sih dia mau keluar?" Yu Jin mengelus perut Jiang Si yang sudah mulai membulat. 　　Jiang Si juga belum berpengalaman, hanya bisa mengikuti saran tabib: "Bukannya Tabib Utama bilang akhir Mei atau awal Juni?" 　　Menyebut perkiraan tanggal persalinan, Jiang Si tampak khawatir: "Sebaiknya lahir bulan Juni." 　　"Kenapa?" Yu Jin bingung, "Juni kan sudah panas, nanti masa nifasmu lebih sulit." 　　Jiang Si memandangnya kesal: "Lupa dengan kepercayaan di sini? Anak yang lahir di bulan Racun tidak baik, apalagi yang lahir di hari Duanwu." 　　Yu Jin tertawa getir: "A Si, kok kamu juga percaya tahayul begituan." 　　"Jiang Si membelai perutnya dengan lembut dan menghela napas: \"Mungkin karena aku akan menjadi seorang ibu. Untuk diriku sendiri, aku bisa tak peduli pandangan orang lain. Tapi untuk anakku, aku berharap dia mengalami sedikit kesulitan dan cobaan.\"" 　　"Yu Jin menatap perutnya dan tersenyum: \"Kalau begitu aku berharap ini anak laki-laki.\"" 　　\"Mengapa?\" 　　\"Anak laki-laki lebih tahan banting. Mengalami sedikit cobaan bukanlah hal buruk.\" Yu Jin menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum, \"Seperti aku, sejak kecil dibilang membawa sial bagi penguasa negara. Bandingkan dengan anak yang lahir di bulan kelima yang dianggap sial? Lihatlah aku tetap tumbuh sehat, saudara-saudaraku tidak setampan aku, tidak sekaya aku, istri mereka juga tidak secantik istriku...\" 　　"Dia terus berbicara tanpa henti, membuat Jiang Si tertawa terpingkal-pingkal hingga segala kekhawatiran di hatinya lenyap tak berbekas." 　　"Saat itu A Qiao masuk melaporkan hadiah dari Taman Jing telah tiba." 　　"Hadiah dari Taman Jing sangat banyak, diangkut dengan kereta kuda. Mandor dari Taman Jing itu terus-menerus mengucapkan terima kasih kepada Yu Jin dan Jiang Si sebelum akhirnya pergi." 　　\"Lao Er juga tahu mengirim hadiah, semakin dewasa dia.\" 　　"Jiang Si menyerahkan tugas mengatur hadiah kepada dayang-dayang sambil berkata: \"Setelah kasus Putra Mahkota Jing yang hampir menjadi korban pembunuhan, dengan satu kesempatan lagi, mungkin Pangeran Jing bisa bangkit kembali.\"" 　　"Bangkit hanya untuk dijatuhkan lagi. Baru pada kali kedua itulah kehancuran yang sesungguhnya. Kasihan Permaisuri Jing..." 　　"Mengingat akhir hidup Permaisuri Jing di kehidupan sebelumnya, hati Jiang Si terasa berat." 　　“Hadiah yang dikirim dari Taman Jing kali ini, banyak yang berguna untuk anak-anak, terlihat jelas sudah dipersiapkan dengan penuh perhatian.” 　　Terhadap mantan Permaisuri Putra Mahkota yang kini menjadi Permaisuri Jing, Jiang Si memiliki kesan baik. 　　Sebenarnya itu adalah wanita yang bijaksana, sayangnya bertemu dengan orang yang salah. 　　Inilah yang membuat Jiang Si merasa tak berdaya bahkan terkadang frustasi. 　　Di dunia ini sebenarnya ada begitu banyak wanita hebat, tapi begitu mereka menikah, kehormatan dan aib seumur hidup hampir bergantung pada pria itu. 　　Ini sungguh tidak adil, mungkin setelah memiliki kemampuan cukup, dia harus melakukan sesuatu. 　　“Biarkan dia membolak-balik segalanya, bagaimanapun itu tetap ikan busuk.” Yu Jin malas membahas lagi urusan Putra Mahkota yang Dipecat, lalu menarik Jiang Si untuk makan bersama. 　　Ayah Yang dan Ibu Yang dari keluarga Menteri Ritus memanfaatkan kesempatan mengunjungi cucu mereka untuk bertemu dengan pasangan Pangeran Jing. 　　Ayah Yang dan Putra Mahkota yang Dipecat berdiskusi di ruang belajar. 　　“Mertua, kau hampir tidak bisa melihat cucumu lagi, Pangeran Jin binatang itu benar-benar brengsek!” 　　Melihat Putra Mahkota yang Dipecat bahkan memaki dengan begitu blak-blakan, Ayah Yang merasa agak kecewa. 　　Tidakkah menantu ini bisa bersikap lebih dewasa?! 　　“Syukurlah Chun Geer selamat, malah Tuan Pangeran mendapat berkah dari musibah.” 　　“Berkah dari musibah?” Putra Mahkota yang Dipecat tertegun. 　　"Benar, Pangeran. Coba pikir, Pangeran Jin menyakiti Chun'er demi posisi Putra Mahkota. Kaisar melihat kekosongan posisi calon penguasa menimbulkan banyak masalah, pasti tak akan menunda lagi. Tak lama lagi Beliau akan memutuskan mengangkat putra mahkota. Bukankah ini kesempatan Tuan?" 　　Putra Mahkota yang Dipecat berkedip gelisah, "Tapi bagaimana jika Ayah Kaisar mengangkat orang lain?" 　　Ayah Yang mengernyit, bertanya pada mantan putra mahkota, "Menurut Pangeran, siapa yang paling berpeluang?" 　　Mantan putra mahkota berpikir sejenak, mencoba menjawab, "Pangeran Qi?" 　　Ayah Yang menggeleng, berkata penuh makna, "Pangeran keliru. Yang paling berpeluang adalah Anda sendiri!" 539. BAB 538 Kau Tak Mengerti 　　BAB 538 Kau Tak Mengerti 　　"Saya?" Mantan putra mahkota menunjuk hidungnya sendiri, gembira namun ragu, "Mertua benar-benar menganggap saya paling berpeluang? Tapi saya telah berbuat kesalahan besar, Ayah Kaisar takkan memaafkan saya." 　　Melihat mantan putra mahkota putus asa, Ayah Yang diam-diam kesal. 　　Benar-benar lumpur busuk yang tak bisa dibentuk! 　　"Mengapa Pangeran tak percaya diri? Pertikaian dengan Pangeran An karena persaingan pribadi hingga menyebabkan pembunuhan, sebenarnya hanya impuls sesaat. Hanya karena status Pangeran An-lah hukuman Tuan menjadi seberat ini. Sekarang segalanya telah berlalu, kemarahan Kaisar pun hampir reda. Pengangkatan putra mahkota sudah mendesak. Menurut saya, yang paling dihargai Kaisar di hati tetaplah Pangeran..." 　　Mantan putra mahkota memandang kosong, menggeleng, "Mertua, kau tak mengerti..." 　　Seandainya dia benar-benar hanya membunuh Pangeran An, mungkin Ayah Kaisar tidak akan mencabut posisi Putra Mahkotanya! 　　Ayah Yang melihat Putra Mahkota yang Dipecat begitu murung, menjadi cemas. Dengan terus terang dia berkata: "Tuan, hubungan kita sebagai mertua dan menantu bukanlah orang asing. Di ibu kota, banyak bangsawan yang tangan mereka berlumuran darah—pernahkah ada yang diusut? Menurut saya, Tuan kurang pertimbangan saat menyuruh orang bertindak di aula istana peristirahatan saat pesta. Pengaruhnya terlalu besar sehingga Kaisar terpaksa menghukum berat. Tidakkah Tuan lihat banyak menteri yang menentang pemecatan Tuan? Setelah sekian lama, kini muncul kasus Pangeran Jin yang hendak membunuh Chun'er—pasti Kaisar menyesal sekarang..." 　　Ayah Yang telah berbicara panjang lebar, namun Putra Mahkota yang Dipecat tetap mengulang kalimat itu: "Kau tidak mengerti..." 　　Ayah Yang hampir tak kuasa menahan diri untuk menampar Putra Mahkota yang Dipecat. Dalam hati bergumam: Seandainya menantu ini orang biasa, tamparan kerasnya pasti sudah mendarat di pipi. 　　Tidak mengerti? Tidak mengerti? Coba kau jelaskan apa yang tidak kumengerti! 　　Menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Ayah Yang bertanya: "Tuan, sebenarnya apa yang Tuan khawatirkan? Saya adalah mertua Tuan, pasti berada di pihak Tuan. Tak perlu ada yang disembunyikan." 　　Putra Mahkota yang Dipecat menatap Ayah Yang dengan intens, lalu berkata dengan gigih: "Kalau begitu, akan kukatakan yang sebenarnya pada Mertua!" 　　"Yang sebenarnya?" Ayah Yang merasa ada keanehan, segera menyiapkan diri. "Silakan Tuan ceritakan, kebenaran apa yang dimaksud?" 　　“Sebenarnya……Pangeran An bukan saya yang menyuruh orang membunuhnya!” 　　“Apa?” Ayah Yang tertegun. 　　“Saya sama sekali tidak kenal dengan prajurit Jinwuwei yang melakukan pembunuhan itu.” 　　“Apa?” Ayah Yang semakin terkejut, menggenggam tangan Putra Mahkota yang Dipecat dengan kuat, “Kalau begitu, mengapa Kaisar menjatuhkan hukuman pada Tuan? Sss——Jangan-jangan Zhen Shicheng orang tua kolot itu salah memutuskan kasus?” 　　Putra Mahkota yang Dipecat menghela napas: “Mertua keliru, Zhen Shicheng orang tua kolot itu justru terlalu ahli dalam mengadili kasus! Ayah Kaisar menjatuhkan pasal menghasut pembunuhan Pangeran An pada saya adalah untuk……untuk……” 　　Hati Ayah Yang berdebar-debar: “Pangeran, cepat katakan!” 　　Putra Mahkota yang Dipecat memberanikan diri: “Untuk menutupi kesalahan saya, saat itu saya sedang bersama Selir Yang——” 　　Brak! Ayah Yang terjatuh bersama kursinya ke lantai. 　　Suara pelayan pria di luar pintu terdengar: “Pangeran, Tuan baik-baik saja?” 　　“Tidak apa, jaga baik-baik pintumu!” Putra Mahkota yang Dipecat berteriak, melihat Ayah Yang yang sedang berjuang bangun di lantai, tanpa sadar merasa lega. 　　Lebih baik sudah diungkapkan, rahasia ini akhirnya ada yang ikut menanggung. 　　Ayah Yang yang bangun dengan susah payah justru ingin menangis terisak-isak. 　　Dosa apa yang telah diperbuatnya sampai mendapat menantu seperti ini! 　　Segala penyesalan dan kemarahan yang menyesak harus ditelan mentah-mentah saat bertatapan dengan wajah Putra Mahkota yang Dipecat. 　　Tidak ada obat penyesal di dunia ini, mana mungkin putri yang sudah dinikahkan ke keluarga kerajaan ditarik kembali? Kapal bajak laut ini harus terus dia tumpangi. 　　Setelah beberapa saat terdiam, Ayah Yang bertanya: “Apakah Permaisuri mengetahui hal ini?” 　　Putra Mahkota yang Dipecat menggelengkan kepala: “Selain Ayah Kaisar dan beberapa orang seperti Zhen Shicheng, hanya Mertua yang tahu.” 　　Sudut mata Ayah Yang berkedut, tersenyum pahit dalam hati: Berarti dia benar-benar merasa terhormat. 　　“Pangeran harus ingat, hal ini tidak boleh diberitahu siapa pun lagi, bahkan pada Permaisuri sekalipun.” Ayah Yang menasihati dengan serius. 　　Putrinya yang keras kepala itu, jika mengetahui suaminya berselingkuh dengan selir, mungkin akan melakukan hal yang mengerikan... 　　“Tentu saya mengerti.” Putra Mahkota yang Dipecat memandangi Ayah Yang dengan penuh harap, “Mertua, menurut Anda apakah saya masih memiliki kesempatan?” 　　Bibir Ayah Yang bergetar. 　　Putra Mahkota yang Dipecat menghela napas: “Karena itu saya bilang, setelah Putra Ketiga jatuh, kesempatan terbesar ada pada Lao Si...” 　　Ayah Yang melirik ke arah jendela. 　　Untuk rahasia, jendela ditutup rapat. Kasa jendela tipis memantulkan bayangan rumpun pisang di luar. 　　Ruang belajar ini terlalu pengap, Taman Jing bahkan lebih mencekik. 　　Menantunya yang terlahir sebagai Putra Mahkota, tidak boleh terus terpuruk di tempat seperti ini! 　　Ayah Yang mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, berbisik: “Tidak, Pangeran masih punya kesempatan.” 　　Putra Mahkota yang Dipecat menatapnya. 　　“Sebelumnya ada menteri yang mengusulkan mengangkat kembali Cucu Mahkota, Kaisar tidak menentang. Ini membuktikan Kaisar belum sepenuhnya kehilangan harapan pada Anda...” 　　Kehilangan harapan? 　　Putra Mahkota yang Dipecat merasa dua kata ini terdengar aneh, tapi sekarang bukan saatnya mempermasalahkan ini. Lebih baik dengarkan penjelasan Mertua. 　　Ayah Yang menatap Putra Mahkota yang Dipecat yang bersungguh-sungguh meminta petunjuk, lalu menghela nafas: "Adalah benar bahwa Pangeran memberitahukan kebenaran kepada saya, dengan begitu kita baru bisa memperkirakan pikiran Kaisar dengan akurat. Kesalahan yang dilakukan Pangeran cukup besar, penyakit parah perlu obat keras. Agar Kaisar berubah pikiran, Pangeran harus menunjukkan ketulusan hati..." 　　"Tapi bagaimana caranya agar Ayah Kaisar melihat ketulusanku?" 　　"Menunggu." 　　"Menunggu?" 　　"Benar. Selama bersabar menunggu, kesempatan pasti datang. Lagipula, jika benar-benar tak ada kesempatan, kita bisa menciptakannya..." 　　Cahaya di ruang belajar berangsur redup. 　　Di halaman utama, Ibu Yang setelah melihat Chun Ge-er, menutup pintu dan berbicara berdua dengan Permaisuri Jing. 　　"Syukurlah, Chun Ge-er tidak apa-apa serius." Ibu Yang menyatukan kedua telapak tangan. 　　Permaisuri Jing tersenyum: "Ibu salah. Bukan syukur kepada langit dan bumi, kesembuhan Chun Ge-er berkat jasa Pangeran Yan." 　　"Memang begitu, tapi akhirnya Chun Ge-er kita yang beruntung bisa diselamatkan. Kudengar Kaisar dan Permaisuri memberi banyak hadiah untuk Chun Ge-er, bahkan berencana menjemputnya ke istana untuk tinggal sementara setelah kesehatannya pulih?" 　　"Hmm, tapi saya menolak dengan halus." Jawab Permaisuri Jing datar. 　　Ibu Yang terkejut: "Chun Ge-er bisa tinggal di istana kan bagus, mengapa Permaisuri menolak——" 　　“Permaisuri Jing memotong ucapan Ibu Yang: “Aku mengerti maksud ibu, tapi aku tidak ingin Chun Ge’er lagi terlibat dalam gejolak ini. Chun Ge’er sekarang hanya Putra Mahkota, statusnya tak berbeda dengan Putra Mahkota lainnya. Melampaui orang lain bukanlah hal baik.” 　　“Kau ini——” Ibu Yang hendak membujuk, akhirnya hanya berkata, “Kakekmu belakangan ini rambutnya seluruhnya memutih...” 　　Permaisuri Jing tetap tak tergoyahkan, berkata datar: “Kakek sudah berusia lebih dari 60 tahun, rambut putih sangat normal.” 　　Setelah melewati penderitaan hampir kehilangan Chun Ge’er, siapa pun jangan harap bisa memberinya tekanan dengan alasan apa pun. 　　Dia hanya ingin melihat Chun Ge’er tumbuh besar dengan selamat, menikah, punya anak, dikelilingi cucu-cicit. 　　Adapun hal lain, pergi jauh-jauh darinya! 540. BAB 539 Guncangan Bumi 　　BAB 539 Guncangan Bumi 　　Seluruh bulan April seolah musim penuh masalah. Kaisar Jingming masih resah tentang masalah penetapan Putra Mahkota, tiba-tiba datang kabar guncangan bumi di Kabupaten Qianhe. 　　Kabupaten Qianhe terletak di provinsi tetangga, sangat dekat dengan ibu kota. Saat guncangan terjadi, bahkan ibu kota merasakan tanah bergoyang, ayam berkokok dan anjing menggonggong. 　　Menerima laporan darurat guncangan bumi di Kabupaten Qianhe, Kaisar Jingming segera mengumpulkan Menteri-menteri Utama dan pejabat tinggi untuk membahas urusan penutupan. 　　Satu per satu tim berangkat dari ibu kota menuju Kabupaten Qianhe. 　　Kabar demi kabar kembali dikirim dari Kabupaten Qianhe. 　　“Guncangan bumi di Kabupaten Qianhe, ribuan rumah runtuh, korban jiwa lebih dari sepuluh ribu...” 　　Rangkaian angka yang mengerikan itu membuat wajah Kaisar Jingming semakin muram dari hari ke hari. 　　Dalam suasana khidmat dan pilu ini, ketika hampir memasuki bulan kelima, datang kabar yang lebih mengejutkan: Wabah penyakit muncul di Kabupaten Qianhe! 　　Bencana besar biasanya diikuti wabah, ini hampir menjadi pengetahuan umum. Alasannya sederhana: setelah bencana, banyak mayat tak tertangani membusuk, lalat bertebaran, bahkan air minum masyarakat terkontaminasi. 　　Dalam kondisi buruk seperti ini, kemunculan wabah hampir tak terelakkan. 　　Meski sudah diprediksi, Kaisar Jingming tetap murung. Satu tim tabun membawa bertumpuk obat-obatan bergegas menuju Kabupaten Qianhe. 　　Sungguh sial! 　　Tak tahan lagi, Kaisar Jingming mengikuti sida negara. Biro Astronomi Kekaisaran memilih hari baik, lalu kaisar memimpin keluarga kerajaan dan para pejabat berdoa di Kuil Leluhur. 　　Kuil Leluhur adalah tempat ibadah keluarga kerajaan. Selain ritual tahunan, setiap peristiwa penting harus dilaporkan pada leluhur untuk memohon restu. 　　Bertahun-tahun Dinasti Zhou dilanda bencana. Kaisar Jingming sempat merasa kuat, tapi nasib buruk beruntun membuatnya ingin curhat pada leluhur dan minta dukungan. 　　Hari ritual cuaca cerah. Langit biru bersih, sinar matahari menyilaukan tangga marmer putih di depan aula kuil. 　　Dipimpin Kaisar Jingming yang mengenakan jubah kebesaran, seluruh hadirin mulai bersujud dalam pakaian seremonial megah. 　　Kaisar Jingming melafalkan kata-kata yang telah disiapkan, sementara dalam hati berbisik: Leluhur yang terhormat, cucu yang tidak berbini ini belakangan ini benar-benar dalam penderitaan. Jika tidak diberi bantuan, saya tidak akan sanggup bertahan— 　　Keluh kesah dalam hati belum selesai, tiba-tiba langit dan bumi berputar, dunia berguncang. 　　Ibu kota ternyata mengalami gempa bumi! 　　Gempa datang terlalu mendadak. Pada saat itu, keluarga kerajaan dan bangsawan serta pejabat militer-sipil semuanya terkejut. Beberapa saat kemudian, teriakan panik mulai bergema, situasi langsung menjadi kacau balau. 　　Kaisar Jingming bahkan tidak bisa berdiri tegak, tersandung dan jatuh ke tanah. Melihat tiang bendera patah hendak menghunjam, orang-orang yang menyaksikan berteriak histeris: "Lindungi Kaisar! Cepat lindungi Kaisar—" 　　Yang berada jauh tak berdaya, yang dekat—sebuah bayangan manusia menerjang, mendorong Kaisar Jingming dengan kasar. Seketika jeritan kesakitan terdengar. 　　Untungnya ini bukan episentrum gempa. Kekacauan yang terasa sangat panjang ini sebenarnya hanya berlangsung selama waktu minum secangkir teh. 　　Bumi berhenti berguncang, orang-orang akhirnya bisa bangun dengan mantap. 　　"Kaisar, Baginda baik-baik saja?" Rombongan orang bergegas mendekati Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menenangkan diri, dibantu orang di sampingnya untuk berdiri, lalu menatap orang yang tertindih tiang bendera. Suaranya gemetar: "Lang'er!" 　　Putra Mahkota yang Dipecat bernama "Lang". 　　Kerumunan baru tersadar bahwa yang menyelamatkan Kaisar ternyata adalah Pangeran Jing. 　　"Pangeran, Tuanku tidak apa-apa?" Serentak mereka bertanya. 　　Putra Mahkota yang Dipecat tergeletak di tanah tanpa bergerak, darah mengalir keluar dari punggungnya. 　　Kaisar Jingming yang masih terguncang pasca gempa berlari mendekat: "Lang'er, Lang'er kau bagaimana?" 　　Saat ini hati Kaisar Jingming benar-benar hancur, merasakan kesakitan yang nyata. 　　Ia harus mengakui, meski membenci anak lelaki ini setengah mati, ikatan ayah dan anak tak bisa diputuskan. 　　"Lang'er——" 　　"Batuk-batuk——" suara batuk lemah terdengar, Putra Mahkota yang Dipecat bersusah payah berkata, "Bisakah... tiang bendera ini... dipindahkan dulu..." 　　Mendengar suaranya, Kaisar Jingming berseri-seri lalu menghardik: "Kalian ini orang mati atau apa? Cepat angkat tiang bendera dan obati Putra Mahkota!" 　　Panggilan "Putra Mahkota" yang sudah 20 tahun lebih terlanjur melekat, di saat genting malah terucap spontan, sementara gelar "Pangeran Jing" terlupakan. 　　Begitu kata "Putra Mahkota" meluncur, Menteri Ritus Yang Deguang hampir menangis bahagia. 　　Bagus! Kaisar memanggilnya Putra Mahkota di momen seperti ini, pasti statusnya akan dipulihkan. 　　Pangeran Qi yang baru saja bangun dari terjatuh saat gempa dengan luka lecet di sekujur tubuh, membeku mendengar ucapan Kaisar Jingming. 　　Mengobati Putra Mahkota? 　　Sadarkah Ayah Kaisar betapa besar dampak dari salah sebut ini? 　　Wajahnya pucat pasi, hati diselimuti kecemasan yang lebih dalam dari saat gempa, perlahan berubah menjadi keputusasaan. 　　"Gempa bumi apalah, tempat ini jelas bukan area pemanas bawah tanah yang aktif. Guncangan tanah hanya sebentar lalu berhenti. Paling-paling banyak yang terluka karena terinjak atau terjatuh." 　　Namun teriakan Ayah Kaisar tiba-tiba membuat semua rencananya yang matang tiba-tiba menjadi fatamorgana, sia-sia belaka... 　　Wajah muram Pangeran Qi tidak mencolok di antara kerumunan yang baru saja mengalami kejutan. Ia menahan gejolak hatinya, memaksakan diri untuk bersama yang lain menghibur Putra Mahkota yang Dipecat. 　　Putra Mahkota yang Dipecat langsung diusung kembali ke Istana Kekaisaran untuk diobati. 　　"Bagaimana keadaan Pangeran Jing?" Begitu tabib istana datang melapor, Kaisar Jingming tak sabar bertanya. 　　Tabib istana membungkuk hormat: "Atas berkah Kaisar, luka di punggung Pangeran tidak parah. Hanya organ dalam mengalami guncangan, perlu istirahat beberapa waktu." 　　Kaisar Jingming lega: "Syukurlah. Pastikan kondisi Pangeran Jing pulih total, jangan sampai ada penyakit sisa." 　　Tabib istana segera menyanggupi. 　　Masak sih, dia sudah dengar teriakan "Putra Mahkota" Kaisar di depan Kuil Leluhur. Rupanya Pangeran Jing akan bangkit kembali, dia tidak boleh sembarangan. 　　Kaisar Jingming masuk ke dalam, memandangi wajah pucat Putra Mahkota yang Dipecat di ranjang: "Bagaimana perasaanmu?" 　　Putra Mahkota yang Dipecat berusaha bangun, dihentikan Kaisar: "Jangan bergerak. Tetap berbaring saja." 　　Putra Mahkota yang Dipecat menoleh ke Kaisar Jingming, menahan sakit: "Anak tidak apa-apa. Yang penting Ayah Kaisar selamat." 　　“Kau—” Kaisar Jingming ingin bertanya mengapa waktu itu bergegas menyelamatkannya tanpa peduli nyawa, namun akhirnya menelan kembali pertanyaan itu. 　　Mereka adalah ayah dan anak. Ia memiliki perasaan terhadap Lao Er, bukankah Lao Er juga begitu terhadapnya? 　　Kaisar Jingming menepuk bahu Putra Mahkota yang Dipecat dengan lembut, berkata halus: “Pulanglah ke Taman Jing dan beristirahatlah dengan baik.” 　　Mantan Putra Mahkota yang masih berstatus Pangeran Jing ditandu keluar dari Istana Kekaisaran kembali ke Taman Jing untuk pemulihan, tapi semua orang tahu Pangeran Jing mungkin tidak akan lama tinggal di sana. 　　Ayah Yang sebagai mertua Putra Mahkota yang Dipecat, wajar jika mengunjungi Taman Jing. 　　Setelah menyuruh para pelayan pergi, Pangeran Jing bertanya dengan bersemangat: “Mertua, menurutmu apakah Ayah Kaisar akan berubah pikiran?” 　　Ayah Yang tak bisa menyembunyikan sukacita: “Paduka rela mengorbankan diri menyelamatkan Kaisar, pasti Kaisar akan berubah pikiran. Selamat Paduka!” 　　Putra Mahkota yang Dipecat tertawa bodoh sejenak, lalu bertanya: “Mertua, tiang bendanya apakah Bapak yang menyuruh orang merusaknya?” 　　Ayah Yang tertegun, lalu tertawa getir: “Paduka terlalu banyak berpikir. Bagaimana mungkin melakukan itu di situasi seperti itu...” 　　Putra Mahkota yang Dipecat mulai menangis tersedu-sedu. 541. BAB 540 Pemulihan 　　BAB 540 Pemulihan 　　“Mengapa Paduka menangis?” Ayah Yang dibuat bingung dengan reaksi mantan Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota yang Dipecat memandang Ayah Yang dengan mata berkaca-kaca, wajah penuh ketakutan: “Mertua menjebak saya. Saya kira tiang bendanya sengaja Bapak gergaji sebelumnya, pasti sudah direncanakan matang-matang, pasti tidak akan apa-apa kalau saya tertimpa!” 　　“Pangeran memang tidak apa-apa——”Ayah Yang sudah kehabisan kata-kata. 　　Putra Mahkota yang Dipecat berkata kesal: "Aku selamat karena keberuntungan, padahal kupikir sudah pasti aman sebelum maju..." 　　Ayah Yang tercekik sejenak, mencoba bertanya: "Andai Pangeran tahu ini hanya kebetulan——" 　　Putra Mahkota yang Dipecat langsung menjawab: "Tentu tak boleh main-main dengan nyawa sendiri!" 　　Ayah Yang: "..." 　　Putra Mahkota yang Dipecat masih marah: "Andai benar-benar tertimpa sampai mati, meski Ayah Kaisar memberiku kehormatan tertinggi, akhirnya negara luas ini kan jatuh ke tangan orang lain. Sungguh rugi besar..." 　　Ayah Yang ingin sekali menutup mulut sang Pangeran: "Paduka, janganlah bicara begitu lagi." 　　Terhadap si lumpur busuk ini, apa lagi yang bisa diucapkan? 　　"Aku tahu, ini hanya curhat pada mertua." Tiba-tiba Putra Mahkota yang Dipecat mengerutkan dahi, "Aduh! Sakit sekali!" 　　Ayah Yang berdiri: "Paduka istirahatlah baik-baik. Beberapa hari ini pasti banyak tamu akan berkunjung. Sebelum kabar baik dipastikan, tolaklah tamu dengan alasan masih berobat untuk menghindari masalah." 　　"Hmm." 　　Melihat sang Pangeran menjawab asal-asalan, Ayah Yang menasihati: "Paduka sudah menahan diri begitu lama, jangan sampai kecerobohan merusak semua usaha." 　　Putra Mahkota yang Dipecat mulai kesal: "Mertua tak perlu mengulangi nasihat. Aku bukan anak kecil lagi. Pelajaran sekali sudah cukup. Kali ini pasti akan rendah hati dan sabar menunggu hari kebangkitan." 　　"Ayah Yang menggerakkan bibirnya, ingin berkata bahwa meski telah bangkit kembali harus tetap rendah hati." Kalimat itu mengambang di ujung lidah, akhirnya ditelannya kembali. 　　Membicarakan hal-hal ini sekarang masih terlalu dini, hanya akan membuat sang menantu menjadi kesal. 　　Lagipula, jika sang menantu kembali menjadi Putra Mahkota, hubungan antara mertua dan menantu akan berubah. Beberapa ucapan tak bisa lagi disampaikan sesantai belakangan ini. 　　Di Kediaman Pangeran Qi, sang pangeran mengunci pintu rapat-rapat. Satu set peralatan teh dihancurkannya berkeping-keping, tinjunya menghantam dinding dengan keras. 　　"Hati-hati, jangan sampai tangan Tuan terluka." Permaisuri Qi yang kondisi tubuhnya mulai pulih, kembali menjadi permaisuri yang bijaksana. Ia mengeluarkan sapu tangan dan dengan lembut membersihkan bekas darah di tangan suaminya. 　　Pangeran Qi menyentakkan tangannya, berkata dingin: "Luka kecil apa ini? Jika bisa menyelamatkan Ayah Kaisar, aku rela terluka seratus kali lebih parah daripada Lao Er—" 　　Permaisuri Qi menempelkan jari di bibirnya: "Jangan bicara begitu, Tuan. Kesehatan tetap yang paling utama—" 　　Pangeran Qi menghindar dengan gelisah, mendesah: "Tapi aksi heroik Lao Er itu hanya menyebabkan luka ringan, namun berhasil membalikkan situasi untuknya." 　　Pangeran Jin dipecat untuk menjaga makam kekaisaran, ditambah bencana besar di Kabupaten Qianhe. Pengangkatan Putra Mahkota menjadi sangat mendesak. 　　Ia mengira akhirnya datang kesempatan untuk menunggu hingga awan berlalu dan melihat bulan bersinar terang. Siapa sangka malah terjadi insiden saat upacara di Kuil Leluhur. 　　"Apakah... Lao Er memang ditakdirkan menjadi Putra Mahkota?" Pada titik ini, Pangeran Qi pun mulai percaya pada takdir. 　　"Sekuat apa pun tekadnya, dia tetaplah manusia biasa. Wajar jika ada saat-saat keraguan dan kebimbangan menyelimutinya." 　　Melihat Pangeran Qi mulai goyah, Permaisuri Qi dengan halus mengusap perutnya, tatapannya berkilat penuh keyakinan. 　　Demi ambisi sang pangeran, dia sudah mengorbankan seorang anak. Busur telah dilepas, tak ada panah yang bisa ditarik kembali. Sekalipun sang pangeran ingin mundur, dia takkan mengizinkannya. Kematian anaknya tak boleh sia-sia! Dia harus mengenakan mahkota fenghuang, memberikan keadilan bagi janin yang gugur itu! 　　"Tuan, Anda salah." 　　Pangeran Qi tertegun: "Aku salah?" 　　"Benar, Tuan salah." 　　"Coba jelaskan di mana letak kesalahanku." Pangeran Qi hanya merasakan masa depan yang suram. 　　Sekalipun Putra Mahkota yang Dipecat itu bebal, para pendukungnya jelas bukan orang sembarangan. 　　Dialah ancaman terbesar bagi mantan putra mahkota. Jika sang mantan pangeran kembali menjadi putra mahkota lalu naik takhta, suatu hari nanti giliran dirilah yang akan dihitung habis. Saat itulah penderitaan sejati akan datang. Mungkin nasibnya akan lebih buruk dari Pangeran Jin yang dikirim menjaga makam kekaisaran. 　　Permaisuri Qi menarik lengan sang pangeran masuk ke kamar dalam. Setelah duduk di ranjang, barulah dia berbicara: "Jika Pangeran Jing benar-benar calon penguasa yang ditakdirkan langit, tentu dia takkan dilahirkan sebodoh dan seekstrem ini. Coba Tuan pikir, Pangeran Jing adalah putra sah Permaisuri Pertama, statusnya begitu mulia. Sejak kecil pun dia langsung dinobatkan sebagai putra mahkota. Tanpa perlu menjadi luar biasa, sekadar berkemampuan rata-rata pun takkan mengganggu posisinya. Tapi dia benar-benar lumpur busuk yang tak bisa ditempel di dinding, membuat Ayah Kaisar kecewa berkali-kali..." 　　Pangeran Qi manggut-manggut setuju. 　　“Seandainya Langit berpihak pada Pangeran Jing, mengapa membiarkannya terpuruk seperti ini? Ini membuktikan dia bukan pilihan takdir, barulah memberi kesempatan pada Pangeran.” 　　Pangeran Qi merasa hatinya sedikit lega, menghela napas: "Tapi dia sebentar lagi akan dipulihkan sebagai Putra Mahkota..." 　　Permaisuri Qi menyeringai dingin: "Dipulihkan lagi apa gunanya? Pangeran Jing yang bodoh ini, sekali saja bisa dipecat, pasti bisa dipecat kedua kalinya. Menurut Pangeran, bagaimana jadinya jika Pangeran Jing dipecat lagi setelah dipulihkan? 　　Pangeran Qi tertegun sejenak, lalu tertawa. 　　Pemecatan pertama, Ayah Kaisar masih menyimpan rasa kasih sayang pada Lao Er, masih memberinya status sebagai Pangeran Jing. Jika ada pemecatan kedua kali, mungkin dia takkan bisa bangkit selamanya. 　　Hubungannya dengan Putra Mahkota yang Dipecat sudah seperti air dengan minyak. Hanya ketika Putra Mahkota yang Dipecat benar-benar tak bisa bangkit, barulah kesempatan sesungguhnya tiba. 　　Pandangan Pangeran Qi pada Permaisuri Qi melunak, ia menggenggam tangan sang permaisuri: "Permaisuri benar, aku tadi sempat kecewa hingga pikiran kacau. Saat perasaan Ayah Kaisar pada Pangeran Jing masih ada, memaksakan untuk menghancurkan Pangeran Jing justru akan menjerat diri sendiri. Bersabar adalah cara teraman." 　　Permaisuri Qi tersenyum cerah: "Yang penting Pangeran tidak patah semangat." 　　"Beruntung ada peringatanmu. Nanti ketika Pangeran Jing dipulihkan sebagai Putra Mahkota, Permaisuri jangan lupa kirimkan hadiah mewah padanya." 　　"Pangeran tenang saja, semua ini akan katur dengan baik." 　　Keesokan harinya, suara-suara pemulihan Putra Mahkota langsung bergema. 　　Kaisar Jingming tidak marah, juga tidak menanggapi. 　　Hari ketiga, suara pemulihan Putra Mahkota semakin menjadi-jadi. 　　"Orang-orang yang mendukung usulan ini memiliki alasan kuat: Pangeran Jing rela mengorbankan diri menyelamatkan Kaisar di depan Kuil Leluhur, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan pribadi, menunjukkan ketulusan hatinya. Kini kekosongan posisi calon penerus takhta menyebabkan ketidakstabilan dan bencana yang sering terjadi. Penetapan putra mahkota tidak boleh ditunda lagi. Mengingat Pangeran Jing memiliki kesucian dan kebaktian luar biasa, serta pernah menjadi putra mahkota selama lebih dari 20 tahun, adakah kandidat yang lebih cocok darinya?" 　　"Pengangkatan kembali putra mahkota merupakan aspirasi rakyat." 　　Desakan ini semakin menguat hari demi hari, membuat keraguan di hati Kaisar Jingming kian goyah. 　　Pada malam keenam sejak munculnya wacana pengangkatan kembali putra mahkota, Kaisar Jingming tiba-tiba terbangun dengan perasaan hampa memikirkan mimpi yang dialaminya. 　　Dia bermimpi tentang Permaisuri Pertama. 　　Detail mimpi itu sudah tidak jelas diingat, namun kesedihan samar itu tak pernah pudar. 　　Keesokan harinya cuaca cerah. Ketika kerumunan kembali mengangkat topik pengangkatan putra mahkota, Kaisar Jingming akhirnya mengangguk setuju. 　　"Disetujui." 　　Para menteri bersukacita, memuji kebijaksanaan sang Kaisar. 　　Kaisar Jingming bangkit perlahan dari kursi naga, memandang jauh ke kejauhan. 　　Kebijaksanaan? 　　Dia hanya berharap keputusan ini tidak salah. 542. BAB 541 Tugas 　　BAB 541 Tugas 　　Upacara pengangkatan kembali putra mahkota disederhanakan karena bencana besar di Kabupaten Qianhe. 　　Putra Mahkota sama sekali tidak keberatan. Saat pindah kembali ke Istana Timur yang selalu didambakannya, nyaris melompat kegirangan. 　　Wajah Permaisuri Putra Mahkota tidak menunjukkan sukacita, justru menyimpan kekhawatiran mendalam di balik sorot matanya. 　　“Putra Mahkota melihatnya jadi tidak enak hati, hendak mengumpat tapi ingat sulitnya kembali menjadi putra mahkota, lebih baik ditahan dulu.” 　　Istana Timur untuk sementara terlihat damai dan menyenangkan. 　　Bencana di Kabupaten Qianhe semakin parah, sudah ada pengungsi yang mulai membuat kerusuhan karena pembatasan mobilitas akibat wabah. 　　Pejabat penanggulangan bencana mengirim laporan darurat meminta bantuan. Kaisar Jingming menatap dokumen di meja tulis sambil mempertimbangkan calon tim penanggulangan. 　　Kerusuhan pengungsi, jika ada anggota keluarga kerajaan yang mewakili Putra Langit datang memberi penghiburan, pasti akan menenangkan hati rakyat. 　　Kaisar Jingming berpikir panjang akhirnya memutuskan menyerahkan tugas ini ke Putra Mahkota. 　　Meski sebelumnya banyak bawahan mendukung pengangkatan kembali Putra Mahkota, itu karena khawatir kekosongan calon penguasa akan mengganggu stabilitas negara, bukan berarti mereka benar-benar mendukung sang Putra Mahkota. 　　Kaisar Jingming paham, Putra Mahkota bukanlah bakat cemerlang, tak pernah melakukan hal yang dipuji rakyat, apalagi sebelumnya punya noda tuduhan menyuruh membunuh Pangeran An. 　　Noda ini untuk menutupi noda yang lebih besar, tapi bahkan noda seperti ini suatu hari bisa membuat Putra Mahkota ditekan pejabat tinggi. 　　Kaisar Jingming berharap Putra Mahkota lebih banyak prestasi politik agar takhta bisa stabil di masa depan. 　　“Pan Hai, panggil Putra Mahkota ke sini.” 　　Putra Mahkota yang baru saja bercanda dengan dayang di taman kecil yang dikenalnya, langsung dipanggil ke ruang studi kekaisaran. 　　"Putra Mahkota yang sebelumnya dipecat, demi bangkit kembali mengikuti saran Ayah Yang untuk memburu muka Kaisar Jingming. Kini setelah kembali menjadi Putra Mahkota, sikapnya berubah. Rasa takut alami terhadap Kaisar itu kembali muncul." 　　"Ayah Kaisar, ada urusan dengan anak lelaki-Mu?" tanya Putra Mahkota dengan hati-hati. 　　Kaisar Jingming melirik Putra Mahkotanya, alisnya berkerut: "Sedang apa kau?" 　　Putra Mahkota langsung tegang. 　　Dia cuma memegang tangan dayang kecil di taman, apa ini sampai ketahuan Ayah Kaisar? 　　Putra Mahkota tertawa kaku: "Anak lelaki sedang jalan-jalan di taman..." 　　Kaisar Jingming tidak peduli apakah Putra Mahkota jalan-jalan atau memegangi dayang, bertanya: "Setelah kembali ke Istana Timur, sudah terbiasa?" 　　Putra Mahkota buru-buru menjawab: "Sangat terbiasa!" 　　Kaisar Jingming mengernyitkan bibir: "Ingatlah tugasmu, jangan bertindak sembrono." 　　"Anak lelaki paham." Putra Mahkota menunduk, menjawab patuh. 　　Kini dia sepenuhnya mengerti: Meski selir itu menarik, wanita Ayah Kaisar tak boleh disentuh. 　　Melihat sikap Putra Mahkota ini, Kaisar Jingming merasa sakit kepala. Satu-satunya penghiburan adalah Cucu Mahkota Chun yang baik. Jika dia hidup cukup lama hingga Chun Ge dewasa, lebih baik langsung wariskan tahta padanya. 　　Memikirkan ini, Kaisar Jingming tak lagi terlalu menuntut Putra Mahkota. Ia batuk kecil: "Ada tugas untukmu." 　　Putra Mahkota tertegun. 　　Tugas? 　　"Sejak dewasa, Ayah Kaisar tak pernah memberikanku tugas... Hei, jangan-jangan Ayah ingin memberikan tanggung jawab penting padaku?" 　　Putra Mahkota langsung bersemangat, matanya berbinar-binar memandang Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengusap dagu, bertanya perlahan: "Masalah Kabupaten Qianhe kau tahu kan?" 　　"Kabupaten Qianhe? Apakah Ayah menanyakan gempa di Qianhe? Tentu saja anak tahu." Putra Mahkota buru-buru menjawab. 　　Andai bukan karena gempa Qianhe dan gempa susulan di ibu kota, mungkin dia masih bersantai di Taman Jing menikmati musim panas. 　　Kaisar Jingming berwajah serius: "Bukan cuma gempa, sekarang ada wabah penyakit dan kerusuhan pengungsi di Qianhe..." 　　Putra Mahkota tak paham maksud kaisar, ikut berkomentar: "Rakyat Qianhe benar-benar menderita, hati anak sakit mendengarnya, sampai susah tidur." 　　Kaisar Jingming tersenyum puas: "Ada niat baik sudah cukup. Aku memanggilmu untuk mewakiliku ke Qianhe, menenangkan rakyat..." 　　Putra Mahkota membeku. 　　Apa pendengarannya tidak salah? Ayah Kaisar malah menyuruhnya ke Qianhe! 　　Qianhe yang sedang dilanda wabah dan pemberontakan! 　　Putra Mahkota menatap tajam Kaisar Jingming, satu pikiran melintas: Pasti Ayah masih dendam karena kasus Selir Yang, sampai tega mengirim anaknya ke lubang maut! 　　"Kenapa, tidak mau?" Melihat wajah bodoh putranya, amarah Kaisar Jingming langsung berkobar. 　　Brengsek-brengsek yang cuma bisa makan-minum dan menggoda dayang ini, begitu dapat tugas resmi langsung ciut nyalinya! 　　Tatapan Kaisar Jingming yang dalam menyentuh jiwa Putra Mahkota. Dengan gemetar, Putra Mahkota tersentak sadar, memaksakan senyum kaku di pipinya yang tegang: "Anak tentu bersedia..." 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Bagus kalau bersedia. Pulanglah beri tahu Permaisuri Putra Mahkota, bersiap-siaplah. Besok pagi kita berangkat." 　　Tubuh Putra Mahkota limbung hampir terjatuh. Melihat raut serius sang Kaisar yang bukan main-main, akhirnya ia tak bisa berpura-pura lagi. Dengan mata berkaca-kaca ia merengek: "Ayah Kaisar, meski anak bersedia... hati ini masih takut. Entah bagaimana wabah di Kabupaten Qianhe..." 　　Kaisar Jingming menyorotkan pandangan hina pada putranya yang pengecut itu. 　　Seburuk apa pun wabah, pasti ada yang mengendalikan. Masuk atau tidak ke kota Kabupaten Qianhe bisa disesuaikan situasi. Putranya ini benar-benar belum berpengalaman, belum berangkat sudah ketakutan sendiri. 　　"Bagaimana wabahnya, baru bisa diketahui setelah melihat langsung." Kaisar Jingming berkata datar, sengaja mengamati reaksi Putra Mahkota. 　　Wajah Putra Mahkota memucat tiga tingkat. 　　Kaisar Jingming merengut: "Jika kau tak mau pergi-" 　　"Anak mau!" Putra Mahkota buru-buru memotong. 　　Baru saja kembali jadi Putra Mahkota, kursinya belum hangat. Tak boleh mengecewakan sang Ayah Kaisar. 　　Kaisar Jingming memandangnya dalam-dalam. 　　Putra Mahkota mengeraskan hati: "Ayah Kaisar, anak belum pernah meninggalkan ibu kota seumur hidup. Tugas seberat ini membuat hati resah. Bolehkah..." 　　"Lanjutkan." Kaisar Jingming melunakkan nada. 　　"Putra Mahkota meski agak pengecut, bisa menyadari berat dirinya sendiri juga cukup baik." 　　"Bisakah mencari teman untuk pergi bersama..." Putra Mahkota memberanikan diri mengajukan permintaan ini, matanya melirik reaksi Kaisar Jingming. 　　Bagaimana mungkin Kaisar Jingming memperlihatkan emosinya? Dengan wajah datar ia berpikir sejenak, bertanya: "Siapa yang kau inginkan untuk menemanimu?" 　　Putra Mahkota diam-diam lega, tersenyum: "Ayah Kaisar anggap siapa yang cocok, anak lelaki tidak memilih." 　　Prinsip 'berhenti saat sudah cukup baik' memang ia pahami, yang penting ada yang ikut sial bersamanya. 　　"Baiklah--" Kaisar Jingming merenung sebentar, lalu memerintahkan Pan Hai: "Panggil semua pangeran kemari." 　　Tak lama kemudian, ruang studi kekaisaran dipadati para pangeran, kecuali Pangeran Jin yang sudah dikirim menjaga makam kekaisaran. 　　Kaisar Jingming menghitung anak-anaknya satu per satu, memastikan jumlahnya pas, lalu bersuara berat: "Aku memanggil kalian untuk memilih satu orang yang akan mendampingi Putra Mahkota ke Kabupaten Qianhe menghibur pengungsi, siapa yang bersedia?" 　　Para pangeran saling pandang bingung. 　　Mendampingi Putra Mahkota ke Kabupaten Qianhe? 　　Pikiran pertama yang muncul di benak kerumunan: Ini benar-benar 'mendampingi Putra Mahkota belajar'! 　　Pikiran kedua segera menyusul: Kabupaten Qianhe dengan wabah parah dan kerusuhan pengungsi? Ini tugas sengsara. 543.BAB 542 Undian 　　BAB 542 Undian 　　Kaisar Jingming pertama-tama menatap Qin Wang. 　　Qin Wang adalah anak angkat yang sudah terbiasa hidup sederhana. Di situasi seperti ini dimana pangeran lain diam, ia semakin tak mungkin berbicara. 　　Kaisar Jingming memandang ke arah Pangeran Qi. 　　Pangeran Qi berdiri dengan menundukkan pandangan, ekspresinya tidak menunjukkan emosi berlebih. Namun di dalam hati, ia telah memutuskan selama Kaisar Jingming tidak menunjuk langsung, ia pasti tidak akan menjadi orang yang pertama bertindak. 　　Di periode posisi calon penguasa yang kosong, persaingannya dengan Pangeran Jin sudah mulai terlihat. Kini Putra Mahkota dipulihkan, ini saatnya meminimalkan eksistensi. Tidak ada gunanya ia menonjolkan diri. 　　Lebih baik bersabar sementara waktu, menunggu Putra Mahkota membuat masalah sendiri adalah prioritas. 　　Pandangan Kaisar Jingming beralih ke Pangeran Lu. 　　Pangeran Lu berdiri di sudut, mengira tak ada yang memperhatikan, padana postur berdirinya yang sembrono membuat Kaisar Jingming terus mengerutkan kening. 　　Menyuruhnya pergi ke Kabupaten Qianhe? Tidak mungkin! Dari semua orang di sini, hanya dia yang berstatus pangeran kabupaten. Mengapa tugas sulit selalu diberikan padanya? 　　Tidak mau, tidak mau, sama sekali tidak mau! 　　Kaisar Jingming memandang Pangeran Shu. 　　Pikiran Pangeran Shu: Tidak ingin pergi... 　　Pikiran Pangeran Xiang: Tidak ingin pergi... 　　Yu Jin: Istrinya akan segera melahirkan, tentu tidak ingin pergi... 　　Kaisar Jingming marah hingga tangannya meraba pemberat kertas giok putih di Meja Naga. 　　Bagus! Anak-anak kurang ajar ini! 　　Karena semua enggan pergi - Kaisar Jingming mengamati satu per satu dari ujung ke ujung. 　　Para pangeran langsung tegang: Ayah Kaisar akan menunjuk seseorang! 　　Siapa kira-kira yang akan menjadi korban? 　　"Mengapa tidak ada yang berbicara?" Kaisar Jingming bertanya lebih dulu. 　　Para pangeran mengeraskan hati serempak menyampaikan pesan serupa: Tugas terhormat ini sebaiknya tidak diperebutkan, semua menunggu perintah Ayah Kaisar. 　　“Kalau begitu——” Kaisar Jingming berhenti sejenak, lalu berkata dengan datar, “mari kita mengundi.” 　　Para pangeran saling memandang dengan ekspresi aneh. 　　Undian? 　　Urusan serius seperti ini, pantaskah diselesaikan dengan undian? 　　Kaisar Jingming menyeringai dingin dalam hati: Tidak ada yang lebih adil dari undian, jujur dan setara tanpa membedakan usia. 　　“Bagaimana pendapat kalian?” 　　Serentak para pangeran menjawab: “Undian adalah cara terbaik.” 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai, memberi isyarat agar kasim itu mengambil tabung undian. 　　Tak lama kemudian Pan Hai kembali membawa tabung undian berukir indah berwarna merah tua, berdiri di hadapan kerumunan. 　　Kaisar Jingming mengetuk-ngetuk meja perlahan: “Baik, silakan mengundi. Untuk hal ini tak perlu sungkan.” 　　Pan Hai membersihkan tenggorokannya, menambahkan: “Total ada enam batang undian. Yang mendapat tanda anggrek tetap di sini, yang mendapat tanda peoni akan pergi ke Kabupaten Qianhe bersama Putra Mahkota.” 　　Para pangeran mengernyitkan bibir diam-diam. 　　Ternyata pakai tanda bunga pula. 　　Tabung undian diedarkan ke setiap orang, para pangeran masing-masing mengambil sebatang undian. 　　Yu Jin menunduk membalik undiannya, terlihat gambar peoni merekah sempurna. 　　Ia mengusap wajahnya. 　　Sialan, nasibku buruk sekali! 　　Bukanlah ia tak tahan kesulitan, bahkan pernah bergulat di tumpukan mayat. Pergi ke Kabupaten Qianhe bukan masalah besar, tapi A Si akan melahirkan dalam sebulan lagi... 　　Yu Jin menggenggam undian peoni, hati terasa pahit. 　　Kaisar Jingming berdehem ringan: “Siapa yang dapat undian peoni?” 　　“Setelah hening sejenak, Yu Jin maju ke depan: 'Anak lelaki mendapatkan lot bunga peony.'” 　　Mata para pangeran langsung berbinar dengan kegembiraan jahat. 　　Kaisar Jingming melihat itu adalah Yu Jin, tanpa sadar menghela napas lega. 　　Lao Qi punya kemampuan tertentu. Dengan dia menemani Putra Mahkota ke Kabupaten Qianhe, setidaknya tak perlu khawatir Putra Mahkota pulang dengan cacat. 　　“Kalian semua boleh pergi. Lao Qi, kau tetap di sini.” 　　Para pangeran serentak menghela napas lega, belum pernah sebegitu inginnya segera meninggalkan Istana Kekaisaran. 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming memandangi Putra Mahkota lalu Yu Jin: “Kalian berangkat besok. Sebagai saudara harus saling mendukung dan berhati-hati.” 　　Keduanya serentak menjawab: “Baik.” 　　“Lao Qi, Aku tahu kau merindukan istrimu. Kabupaten Qianhe tidak jauh dari ibu kota, pergi cepat pulang cepat. Seharusnya tak butuh waktu lama...” 　　“Anak mengerti.” Ekspresi Yu Jin sama sekali tidak menunjukkan ketidakpuasan. 　　Sudah dapat lot peony, buat apa menunjukkan wajah kesal hanya untuk membuat Kaisar tidak suda? Dia tidak sebodoh itu. 　　Melihat Yu Jin tanpa keluhan, Kaisar Jingming tersenyum: “Bagus. Kalian boleh pergi.” 　　Baru saja keluar dari pintu ruang studi, Putra Mahkota langsung menyambar bahu Yu Jin. 　　Yu Jin refleks menghindar. Putra Mahkota meraih kosong, tersenyum kecut: “Adik ketujuh, aku senang kau mau menemaniku.” 　　Yu Jin terkekeh pendek. 　　Dia tidak senang! 　　Putra Mahkota tidak menyadari bahwa dirinya dijauhi, dengan nada akrab: "Saat itu Adik ketujuh menyelamatkan Chun Ge'er, Kakak langsung tahu kau orang baik. Dengan Adik ketujuh menemaniku pergi, hatiku jadi tenang..." 　　Tanpa alasan dianggap orang baik, Yu Jin mengerutkan bibir, tidak banyak menanggapi. Setelah mendengar Putra Mahkota berbicara panjang lebar, ia tiba-tiba berhenti berjalan: "Kakak Kedua tak perlu mengantar lagi, jalannya tidak searah." 　　Ia melambaikan tangan dengan hormat pada Putra Mahkota, lalu bergegas pergi. 　　Putra Mahkota tetap berdiri di tempat, mengusap hidungnya. 　　Lao Qi masih sama dinginnya. 　　Tapi ia sudah paham, Lao Qi berwajah dingin namun berhati hangat, jauh lebih baik daripada mereka yang mulut manis namun hati beracun. 　　Putra Mahkota kembali ke Istana Timur, menceritakan rencana pergi ke Kabupaten Qianhe pada Permaisuri Putra Mahkota: "Selimut ganti tak perlu banyak, siapkan tiga set saja... Oh ya, bantal yang biasa kugunakan harus dibawa, takut tidak bisa tidur dengan yang lain..." 　　Permaisuri Putra Mahkota yang mendengar Putra Mahkota bahkan ingin membawa pispot, akhirnya tidak tahan lagi: "Paduka pergi untuk penanggulangan bencana, bukan bersenang-senang. Membawa barang-barang ini tidak pantas." 　　"Tidak pantas?" Putra Mahkota melompat seperti ekornya terinjak, "Aku cuma bawa barang yang biasa digunakan, kenapa tidak pantas? Sudah cukup menderita dan sial harus mempertaruhkan nyawa untuk penanggulangan bencana, masak tidak boleh membuat diri sedikit nyaman?" 　　“Permaisuri Putra Mahkota berkata dengan khidmat: "Paduka, rakyat Kabupaten Qianhe sedang menderita. Paduka menerima perintah kerajaan untuk menghibur korban bencana, tapi membawa kereta kuda penuh barang kebutuhan pribadi. Bagaimana ini di mata pejabat dan rakyat? Bukankah ini akan merusak reputasi?" 　　Sebenarnya dia selalu berpikir lebih baik menjadi Pangeran Jing yang hidup tenang. Sayangnya takdir bermain-main - gempa saat ritual sembahyang membuat suaminya bangkit kembali, juga membuat nasibnya dan Chun Ge'er menjadi tak menentu. 　　Seandainya keluarga kerajaan mengizinkan perceraian, dia benar-benar ingin membawa Chun Ge'er menjauhi lumpur busuk ini! 　　"Merusak reputasi?" Kata-kata Permaisuri Putra Mahkota membuat Putra Mahkota ragu. 　　Dengan susah payah dia bisa kembali menjadi Putra Mahkota, reputasinya tidak boleh ternoda. 　　"Baiklah, kau yang atur barang bawaan..." Putra Mahkota menjawab lesu, malas melihat wajah dingin Permaisuri yang penuh kesungguhan. Dia bergegas ke taman untuk mengobrol dengan dayang. 　　Yu Jin kembali ke istana pangeran, langsung menuju Yuyuan. 　　Awal Mei adalah musim bunga bermekaran. Anggrek di Yuyuan tumbuh subur di sudut-sudut sepi, pohon sutra yang tinggi dipenuhi kipas kecil berbulu lebat berwarna merah muda. 　　Perut Jiang Si sudah sangat besar, ditemani Dou Shuwan berjalan perlahan di halaman. 　　Er Niu malas-malasan mengikuti di belakang, sesekali menyapu ujung gaun bermotif anggrek Jiang Si dengan ekor berbulu lebatnya untuk menarik perhatian nyonya rumah. 　　Merasakan kedatangan Yu Jin, Er Niu segera berlari menyambut. 　　Yu Jin terus memikirkan cara mengajak Jiang Si pergi ke Kabupaten Qianhe, sama sekali tidak memperhatikan sambutan antusias seekor Anjing Besar, berjalan melewatinya dengan wajah masam. 　　Er Niu: “……” 544. BAB 543 Mimpi 　　BAB 543 Mimpi 　　Melihat Yu Jin datang, Dou Shuwan sedikit membungkuk lalu berpamitan pergi. 　　Jiang Si menarik pandangannya, menoleh dan bertanya pada Yu Jin: "Ayah Kaisar memanggilmu ke istana untuk urusan apa?" 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, menemani dia berjalan terus. 　　Beberapa kuntum bunga sutra tertiup angin, jatuh di jalan batu pualam hijau di depan mereka. Sepatu bot hitam sang suami menginjaknya, meninggalkan jejak merah di permukaan jalan. 　　Yu Jin membuka suara: "Ayah Kaisar memerintahkanku dan Putra Mahkota pergi ke Kabupaten Qianhe untuk menanggulangi bencana." 　　Jiang Si berhenti, mengerutkan alis: "Kabupaten Qianhe?" 　　Di kehidupan sebelumnya tahun ke-20 Jingming, mereka masih berada di selatan dan tidak terpengaruh sama sekali oleh gempa bumi ini. 　　Tapi dia agak ingat tentang gempa ini. 　　Wilayah Dinasti Zhou yang luas sering mengalami bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan gempa. Yang membuatnya ingat bukan karena gempa ini terjadi di Kabupaten Qianhe - gempa terdekat dari ibu kota dengan korban cukup banyak - juga bukan karena wabah yang menyusul setelahnya, melainkan karena gempa susulan. 　　Benar, pada bulan kelima tahun ke-20 Jingming, Putra Langit mengirim Putra Mahkota yang baru saja dipulihkan jabatannya ke Kabupaten Qianhe untuk membina korban. Namun Putra Mahkota pengecut tidak berani masuk kota, menginap di kota besar yang tidak jauh dari Kabupaten Qianhe. 　　Suatu malam, gempa kedua terjadi di kota ini. Karena semua orang sedang tertidur, korban jiwa yang sangat besar berjatuhan hingga hampir seluruh kota menjadi reruntuhan. 　　Yang mengejutkan, Putra Mahkota selamat dari bencana ini. Selain beberapa pengiringnya yang beruntung, hampir semua pejabat penanggulangan bencana yang menginap di kota bersama Putra Mahkota tewas. 　　Wajah Jiang Si memucat perlahan hingga tak berdarah sama sekali. 　　Di kehidupan sebelumnya, A Jin tidak termasuk dalam rombongan perjalanan ini. Bagaimana bisa menjamin A Jin termasuk dalam sedikit orang beruntung itu? 　　Risiko ini tidak boleh diambil! 　　Melihat wajah Jiang Si yang pucat, Yu Jin dengan pilu mengusap pipinya yang pucat: "Jangan khawatir, di Perbatasan Selatan banyak gas beracun dan wabah penyakit sering terjadi. Aku punya pengalaman dalam pencegahan epidemi, tidak akan membahayakan diri. Tapi kamu yang hampir melahirkan ini justru membuatku cemas..." 　　Yu Jin menghela napas, semakin kesal dengan nasib sialnya. 　　Kenapa justru dirinya yang mengocok tanda peony itu! 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming juga membahas topik ini: "Tak disangka tanda peony diambil Lao Qi. Pan Hai, sejujurnya di antara mereka, aku paling tenang bila Lao Qi yang dapat tugas ke Qianhe. Mereka yang tumbuh di ibu kota hanya tahu kemewahan, tak seperti Lao Qi yang belajar keterampilan di Perbatasan Selatan. Dia pasti bisa tetap tenang di tempat kacau seperti Kabupaten Qianhe." 　　Dengan begitu bisa saling mendukung dengan Putra Mahkota. 　　Pan Hai tersenyum dan memuji, “Terlihat jelas maksud hati Anda adalah takdir dari langit.” 　　Kaisar Jingming tertegun sejenak, lalu tertawa lebar, suasana hati yang jarang terlihat belakangan ini. 　　Pan Hai menghela nafas dalam hati, berpikir tidak sia-sia ia melakukan berbagai siasat, hanya berharap Pangeran Yan tidak akan pernah mengetahuinya. 　　Menurut Pan Hai, meskipun menemani Putra Mahkota ke Kabupaten Qianhe adalah tugas berat bagi Yu Jin, hal ini bisa meningkatkan kesan baik di mata Kaisar sekaligus menjalin hubungan dengan pejabat tinggi, bila ditilik lebih dalam tidak terlalu merugikan. 　　Hm, sebenarnya ini juga untuk kebaikan Pangeran Yan. 　　Pan Hai menghibur diri sendiri, rasa bersalahnya lenyap bagai asap. 　　Di bawah pohon sutra di Yuyuan, Jiang Si berdiri tegak dan menengadah bertanya, “A Jin, ada satu hal yang belum pernah kutanyakan padamu.” 　　“Katakanlah.” Yu Jin menangkap kelopak yang hendak jatuh di bahu Jiang Si, lalu melemparkannya perlahan ke tanah. 　　Di bawah pohon, tanah tertutupi lapisan tipis bunga sutra merah muda, bagai permadani bunga yang ditenun longgar. 　　“Saat aku genap lima belas tahun dulu, kamu kembali dari Perbatasan Selatan. Mengapa memilih menetap di sini dan tidak kembali ke selatan?” 　　Jejak kehidupan sebelumnya jelas berbeda. Saat itu, tak lama setelah menghadiri pernikahanku dengan Ji Chongyi, A Jin langsung meninggalkan ibu kota. Pertemuan sejati kami baru terjadi saat aku terlunta ke wilayah Wu Miao. 　　Yu Jin tersenyum: “Awalnya memang ingin kembali. Tapi sebelum berangkat, kamu membatalkan pertunangan. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal.” 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya perlahan. 　　Ternyata benar ia tinggal karena diriku. 　　“Tapi karena perubahan ini, meski aku telah bereinkarnasi, nasib A Jin sama sekali tak bisa kulihat.” 　　Jiang Si menyimpan kegelisahan dalam hati, tidurnya di malam hari agak gelisah. 　　Yu Jin meletakkan tangannya di pinggangnya: “A Si, kau benar-benar tak perlu khawatir tentangku. Kekhawatiranmu justru membuatku cemas... Bagaimana kalau besok aku cari alasan untuk bilang pada Ayah Kaisar agar tak pergi, minta diganti orang lain?” 　　Jiang Si memandangnya dengan kesal: “Hal yang sudah diputuskan, mana bisa dibatalkan semaunya? Kau pikir Ayah Kaisar itu ayah biasa? Lagipula, ini kan hasil undianmu, tak ada alasan untuk mengelak.” 　　Yu Jin tercekat, berkata dengan malu: “Keberuntungan undianku memang payah.” 　　Jiang Si mendekat, bersandar di dada lebar suaminya: “Sudah, tidurlah. Besok pagi kau harus berangkat.” 　　“Hmm, tidur. Jangan berpikir macam-macam, nanti aku jadi tak bisa tidur.” 　　“Mengerti.” 　　Suara dalam tirai sutra pelan-pelan mereda. 　　Keesokan harinya, saat cahaya fajar mulai merekah, Jiang Si tiba-tiba terduduk tegak sambil terengah-engah. 　　Yu Jin buru-buru bangun memeluk bahunya: “A Si, kenapa?” 　　Bola mata Jiang Si berputar perlahan, kesadarannya pulih bertahap. 　　Wajah pucatnya bagai giok putih dalam bayangan tirai sutra, masih membekas ketakutan yang belum sirna. 　　“A Si?” 　　Jiang Si menggenggam erat lengan baju Yu Jin: “A Jin, aku mimpi buruk.” 　　“Bermimpi apa?” Jika orang lain yang bertanya, Yu Jin pasti akan melontarkan mata putih besar sambil mencibir. 　　Cuma mimpi, buat apa lebay? 　　Tapi yang bertanya adalah Jiang Si, tentu berbeda. Ini kesempatan bagus untuk menghibur istri. 　　Yu Jin menarik Jiang Si ke pelukannya, menepuk-nepuk lembut punggungnya: "Jangan takut, kalau mimpi buruk, diutarakan pasti tidak jadi kenyataan." 　　Jiang Si merebah di dada Yu Jin, bulu matanya bergetar. 　　Sebenarnya dia tidak mengalami mimpi buruk, hanya mencari alasan agar Yu Jin terhindar dari bahaya. 　　"Aku bermimpi kalian sampai di Kabupaten Qianhe, menginap di kota sebelah. Suatu malam terjadi gempa bumi dahsyat, semua orang tewas..." 　　Fakta bahwa Putra Mahkota selamat tidak disebutkannya. 　　Tidak relevan... Ehm, maksudku, kalau terlalu detail justru tidak masuk akal disebut mimpi. 　　"Gempa? A Si, kau pasti terlalu khawatir sampai terbawa mimpi..." 　　Jiang Si mendorong dada Yu Jin, wajah serius: "A Jin, jangan anggap remeh karena ini cuma mimpi. Lupa kalau aku bisa bahasa Wu Miao? Aku belum pernah ke Perbatasan Selatan, bagaimana menjelaskan ini?" 　　Melihat kesungguhannya, Yu Jin buru-buru menenangkan: "Aku percaya. Nanti di Kabupaten Qianhe, kita pasti tidak menginap di kota itu. Sekarang tenanglah?" 　　“Jiang Si akhirnya menunjukkan senyum, lalu mengingatkan lagi, “Kau jangan membohongiku, sekarang setuju dengan baik, begitu keluar pintu langsung menganggap ucapanku omong kosong dan melupakannya.”” 　　Jika bukan karena sedang mengandung, pasti dia akan ikut pergi bersamanya agar merasa tenang. 　　“Aku janji tidak akan. A Si, di mimpimu gempa terjadi di kota mana?” 　　Jiang Si terdiam sejenak. 545.BAB 544: Meninggalkan Ibu Kota 　　BAB 544: Meninggalkan Ibu Kota 　　Jiang Si tidak ingat nama kota tempat gempa terjadi. 　　Saat kembali ke ibu kota di kehidupan sebelumnya sudah dua tahun kemudian, bencana yang membuat segelintir korban selamat trauma ini sudah menjadi masa lalu, dia hanya kebetulan mendengar orang menyebutkannya, mana sempat menghafal nama kota kecil di provinsi tetangga. 　　“Ada apa?” Yu Jin menepuk-nepuk bahunya perlahan. 　　Jiang Si tersadar, kesal berkata: “Aku lupa.” 　　Yu Jin tak tahan tertawa, mencubit pipinya sambil tersenyum: “Memang begitulah mimpi, semua detail dalam mimpi terlihat jelas-jelas, tapi begitu bangun, langsung lupa separuhnya.” 　　Jiang Si menggigit bibir: “Tidak ingat nama kota tetap merepotkan.” 　　Setelah berpikir, dia berpesan: “A Jin, setelah kau sampai di sana, lihat dulu di kota mana Putra Mahkota dan yang lain memutuskan untuk tinggal baru kau halangi, lagipula dalam mimpi tempat tinggal mereka memang ditentukan sendiri.” 　　“Baik, tenang saja.” 　　“Benar-benar sudah kau ingat di hati?” Jiang Si tidak merasa cerewet, bertanya sekali lagi. 　　Yu Jin menggenggam tangannya dan menaruhnya di dada, matanya penuh senyuman: "Benar-benar diingat di hati. A Si, kapan aku pernah tidak serius dengan ucapanmu?" 　　Mendengar ini, hati Jiang Si sedikit tenang. Tentu saja tidak mungkin benar-benar lega, nama kota yang dilanda gempa bumi tidak dia ketahui, ditambah gempa bumi adalah bencana alam mendadak yang penuh ketidakpastian. 　　Mengernyitkan alis dan berpikir sejenak, Jiang Si berkata hati-hati: "A Jin, dalam mimpiku, itu kota besar yang cukup ramai dengan banyak penduduk. Jika memungkinkan, tolong bantu mereka..." 　　Beberapa hal yang tidak diketahui bisa membuat hati tenang, tapi setelah tahu, meski sama sekali tak ada hubungannya dengan diri sendiri, puluhan nyawa yang mati mengenaskan itu bagai gunung Tai menindih dada, membuat sulit bernapas. 　　Di antara korban gempa bumi, ada pasangan suami istri mesra seperti dia dengan A Jin, juga banyak anak kecil. 　　Yu Jin mengangguk: "Tentu saja." 　　Hati Jiang Si terasa hangat. 　　Dia memberikan peringatan melalui mimpi buruk, kesediaan Yu Jin untuk menerima adalah karena ikatan pernikahan, tapi memilih mempercayai mimpinya untuk menolong warga itu tidak mudah. Membuat banyak orang percaya pada peristiwa yang belum terjadi tidaklah sederhana. 　　"A Si, dalam mimpimu, tanggal berapa gempa bumi itu terjadi di kota itu?" 　　Jika hanya ingin menyelamatkan rombongan Putra Mahkota, cukup dengan tidak menginap di kota itu. Tapi untuk menolong warga, mengetahui waktu pasti akan jauh lebih mudah. 　　Jiang Si menggeleng penuh penyesalan: "Aku juga tidak ingat. Tapi yang pasti, terjadi beberapa hari setelah Putra Mahkota tinggal di kota itu..." 　　“——” Ia mengerutkan kening sambil berusaha mengingat, namun tak kunjung teringat detail-detail itu, bergumam pelan: “Seharusnya tidak lebih dari tiga hari.” 　　Yu Jin mengangkat tangan merapikan kerutan di keningnya, tersenyum: “Sudah, aku ingat. Kau jangan memusingkan hal ini. Masih pagi, tidur lagi sebentar.” 　　Sambil berkata demikian, ia menarik Jiang Si berbaring dan memeluknya erat hingga tertidur bersama. 　　Entah berapa lama kemudian, mendengar nafas orang di sampingnya sudah teratur, barulah ia melepaskan pelukan dan bangun dengan hati-hati. 　　“Pangeran——” Ah Qiao yang melihat Yu Jin keluar segera menyapa dengan hormat. 　　Yu Jin melambaikan tangan, berbisik: “Permaisuri sedang tidur nyenyak, jangan ganggu dia.” 　　Ah Qiao ragu-ragu melirik ke arah pintu kamar yang tertutup. 　　Apa Pangeran tidak mengizinkan tuanku mengantar? Nanti tuanku akan kecewa kalau terbangun—— 　　“Permaisuri semalam kurang tidur, baru saja terlelap.” 　　Mendengar penjelasan Yu Jin, Ah Qiao segera mengurungkan niat membangunkan Jiang Si. 　　Tuanku sedang hamil, harus cukup istirahat. 　　Pagi hari di bulan Mei, mentari selalu bersinar terang hingga tak tega untuk bermalas-malasan. Kicau burung di luar jendela riang tak henti. 　　Jiang Si membuka mata, tangannya meraba-raba sisi ranjang yang kosong. 　　Apakah A Jin sudah pergi? 　　Ia duduk sambil mengusap kening dengan bingung. 　　Ah Qiao dan Ah Man yang mendengar suara segera masuk, diikuti dayang kecil membawa handuk dan baskom cuci muka. 　　“Di mana Pangeran?” 　　A Qiao dan Ah Man saling memandang. 　　A Qiao menjawab, "Pangeran sudah pergi. Karena melihat Tuanku sedang tidur nyenyak, beliau tidak membangunkan." 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu berkata, "Bantu aku bersiap-siap." 　　Setelah bersiap, sarapan telah dihidangkan. 　　Jiang Si yang dibantu A Qiao duduk di depan meja penuh hidangan, merasa hampa melihat semua makanan ini. 　　Masih belum terbiasa setelah sekian lama selalu makan berdua. 　　Meski begitu, Jiang Si menghabiskan satu keranjang bakpao dan semangkuk bubur millet sebelum berhenti. Perutnya yang dielus-elus masih terasa belum kenyang. 　　Memandang perutnya yang membuncit, Jiang Si bertanya dalam hati: Apakah semua ibu hamil memang sebegitu lahap? 　　Ia ingat pesan Tabib Utama untuk mengontrol porsi makan menjelang persalinan agar janin tidak terlalu besar. 　　Setelah makan, harus jalan-jalan lagi. 　　"Tuanku, Bibi Dou sudah datang." 　　Tak lama kemudian tirai mutiara terdorong, Dou Shuwan masuk. 　　Jiang Si tersenyum, "Waktu kedatangan Bibi sepupu tepat, mari kita jalan-jalan di taman." 　　Dou Shuwan memapah Jiang Si, berdua berjalan keluar. 　　"Permaisuri makannya lancar?" tanya Dou Shuwan sambil berjalan di taman berbunga. 　　Meski hati Jiang Si merindukan Yu Jin, wajahnya tetap ceria, "Lancar! Aku habiskan satu keranjang bakpao dan semangkuk bubur millet. Ingin tambah lagi tapi Ah Man tak mengizinkan." 　　Dou Shuwan tertawa terbahak: “Tabib istana memang berbeda, dulu di kampung halaman, saya belum pernah dengar orang yang hamil dilarang makan banyak.” 　　Jiang Si mengedipkan mata sambil tersenyum: “Bibi sepupu sekarang sudah punya pengalaman, nanti akan tahu harus bagaimana——” 　　Wajah Dou Shuwan memerah, ia melototi Jiang Si: “Permaisuri jangan mengolok-olok saya.” 　　Jiang Si tahu Dou Shuwan mudah malu, mengingat statusnya sebagai generasi yang lebih tinggi, akhirnya berhenti menggoda. 　　Pada awal musim semi, Dou Shuwan dan Long Dan bertunangan, sama seperti dirinya, kini sama-sama punya orang yang dikhawatirkan. 　　“Permaisuri jangan khawatir, Pangeran pasti akan kembali sebelum persalinan.” Meski Dou Shuwan masih berada di rumah orang tua, ia bukan gadis 13-14 tahun yang polos, tahu ibu hamil mudah overthinking, ia menghibur. 　　Pandangan Jiang Si menembus rumpun peoni, memandang ke kejauhan: “Ya, dia akan segera kembali.” 　　Masih ada sekitar sebulan sebelum persalinannya, sementara gempa bumi kedua yang memakan banyak korban akan terjadi tak lama lagi. Saat gempa terjadi, Putra Mahkota pasti akan dipanggil pulang. 　　Hal ini tidak ia khawatirkan, yang paling membuatnya cemas adalah keselamatan Yu Jin. 　　Kebersamaan seharian sebelumnya tak terasa, kini saat orang itu pergi, keindahan taman kehilangan warnanya. 　　Setelah berjalan-jalan sebentar, mereka berbalik arah. Tiba-tiba Jiang Si menyadari sesuatu: “Kenapa Er Niu tidak kelihatan?” 　　Jiang Si tidur kembali sehingga tidak sempat mengantar kepergian, namun Dou Shuwan melakukannya. Mendengar kabar itu, dia berkata: "Pangeran membawa Er Niu ikut serta." 　　Membayangkan anjing besar yang malas mengunyah tulang sepanjang hari, Jiang Si tersenyum: "Biarkan Er Niu keluar menghirup udara segar juga baik." 　　Er Niu benar-benar bersemangat, mengikuti di samping Yu Jin sambil terus-menerus mengibaskan ekornya. 　　Putra Mahkota terkejut matanya terbelalak: "Adik ketujuh, mengkau pergi jauh malah membawa anjing?" 　　Pejabat pengiring juga menggeleng kepala diam-diam. 　　Membawa anjing saat bencana? Sepertinya Pangeran Yan lebih tidak bisa diandalkan daripada Putra Mahkota! 　　Yu Jin menepuk kepala Er Niu, serius berkata: "Kakak Kedua salah, ini bukan anjing biasa." 546.BAB 545 Anjing Pejabat 　　BAB 545 Anjing Pejabat 　　"Apa yang tidak biasa?" Putra Mahkota mengamati Er Niu, "Cuma lebih besar sedikit dari anjing lain, lebih gemuk sedikit, eh, sepertinya kaki agak bermasalah--" 　　Er Niu tak tahan lagi memperlihatkan giginya: "Guk!" 　　Kalau tidak menunjukkan taring, dikira kelinci? Orang ini pantas digigit! 　　Pandangan anjing besar itu jatuh pada pantat Putra Mahkota. 　　Di situlah tempat andalannya menggigit. 　　Putra Mahkota merinding ditatap Er Niu, refleks mendekati pejabat pengiring: "Adik ketujuh, ini mungkin anjing gila yang suka menggigit, lebih baik secepatnya dikembalikan ke istana pangeran." 　　"Guk!" Er Niu menggonggong, dua kaki depannya terangkat berdiri. 　　"Putra Mahkota yang ketakutan wajahnya memucat: "Cepat singkirkan anjing ini!"" 　　Saat Er Niu berdiri, tingginya hampir menyamai bahu orang dewasa, membuat Yu Jin semakin mudah mengelus kepalanya. 　　Ia membelai bulu Anjing Besar dengan lembut sambil tersenyum: "Kakak Kedua keliru lagi, anjing yang baik tentu akan menggigit, kalau tidak untuk apa? Dimasak jadi sop daging?" 　　"Lupakan soal gigit atau tidak, cepat jauhkan itu dariku!" Putra Mahkota berteriak dengan wajah pucat. 　　Wajah Yu Jin menjadi serius: "Kakak jangan mempersulit adik, ini adalah pejabat anjing yang menemani perjalananku." 　　"Pejabat anjing?" Putra Mahkota tertegun. 　　Yu Jin menunjuk lempeng tembaga di leher Er Niu: "Ini kartu identitas pemberian Kaisar, Er Niu adalah Jenderal Xiaotian berpangkat resmi kelas lima. Kalau Kakak tidak percaya, silakan lihat langsung." 　　Bersamaan dengan penjelasan Yu Jin, Anjing Besar mengangguk dan berjalan dua langkah ke depan hanya dengan kaki belakang. 　　Putra Mahkota tiba-tiba menyadari: Rupanya Anjing Besar tadi berdiri tegak khusus untuk memperlihatkan kartu identitasnya. 　　Anjing ini sudah jadi siluman. 　　Menyadari ini anjing besar yang paham perintah manusia dan takkan berani menggigit tanpa perintah majikannya, Putra Mahkota langsung hilang rasa takut dan malah tertarik pada Er Niu. 　　"Menarik, aku tak tahu Adik ketujuh punya anjing bergelar jenderal." Putra Mahkota mengusap dagunya. 　　Beberapa pejabat pengiring menggeleng kepala diam-diam。 　　“Sebelumnya ketika melihat ada seekor anjing yang menyusup dalam rombongan perjalanan, mereka hanya mengira Pangeran Yan sedang bermain-main. Tapi sekarang teringat, bertahun-tahun lalu Kaisar memang pernah menganugerahi gelar Jenderal Xiaotian pada seekor anjing. Konon anjing ini pernah menyelamatkan nyawa Pangeran Yan.” 　　“Dulu di ibu kota sempat ramai membicarakan hal ini. Sayangnya karena Pangeran Yan jarang kembali ke ibu kota, perlahan-lahan orang pun melupakannya.” 　　“Sang Putra Mahkota sama sekali tidak tahu hal ini sungguh tidak pantas. Sebegitu tidak pedulikah ia pada urusan negara?” 　　“Begitulah sifat manusia. Setelah Putra Mahkota dipecat dan posisi calon penguasa kosong, para menteri khawatir negara akan goyah sehingga mendesak Kaisar Jingming segera menunjuk penerus. Saat Putra Mahkota dipulihkan, mereka bersukacita. Tapi kini melihat Putra Mahkota tetap seperti lumpur busuk yang tak bisa dibentuk, hati mereka kembali mengeluh.” 　　“Untungnya keluhan seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun, para menteri pun hampir terbiasa.” 　　“Selain membawa anjing ini, Adik ketujuh--” 　　Yu Jin membetulkan: “Er Niu.” 　　Sang Putra Mahkota mengerenyit, tidak ingin menyinggung saudara yang tak terduga ini. Ia tersenyum kecut: “Selain Er Niu, tidak membawa yang lain?” 　　“Masih perlu bawa apa lagi?” Yu Jin bingung, menunduk memeriksa pakaiannya. 　　“Setidaknya beberapa set pakaian ganti dan barang-barang kebiasaan.” Mengingat sedikit barang yang disiapkan Permaisuri Putra Mahkota, sang Putra Mahkota jadi kesal. 　　“Pakaian ganti dan senjata kebiasaan sudah dipegang pengawal. Lainnya tidak perlu.” Yu Jin menengadah melihat matahari, “Kakak Kedua, bukankah sudah waktunya berangkat?” 　　Sang Putra Mahkota menghela napas: “Pergi, pergilah.” 　　“Bukan pergi jalan-jalan, buru-buru apa!” 　　Mengiringi Putra Mahkota menuju Kabupaten Qianhe adalah rombongan besar yang mengangkut obat-obatan, kain, dan bahan-bahan lainnya. Mereka tiba di perbatasan Kabupaten Qianhe setelah tiga hari. 　　Pejabat penanggulangan bencana yang telah menerima kabar darurat sejak pagi menunggu di luar kota untuk menyambut, namun terus menunggu hingga matahari condong ke barat tanpa melihat kedatangan rombongan. 　　“Ada apa ini? Seharusnya sudah sampai satu shichen yang lalu.” 　　“Siapa yang tahu, mungkin ada hal yang menunda mereka?” 　　“Ini kan datang untuk menenangkan rakyat, hal apa lagi yang bisa menunda?” 　　Kerumunan berbisik-bisik, menduga-duga alasan keterlambatan rombongan Putra Mahkota. 　　Seekor kuda tunggal melesat mendekat, penunggangnya memberi hormat: “Paduka sekalian, Paduka Putra Mahkota berhenti di Baiyangchang sepuluh li dari sini.” 　　Baiyangchang adalah perbukitan landai dipenuhi pohon poplar putih, menjadi jalur wajib dari ibu kota ke Kabupaten Qianhe. 　　Mereka saling pandang bingung. 　　Baiyangchang terpencil di tengah jalan, untuk apa Putra Mahkota berhenti di sana? 　　Sebagai calon penguasa dan utusan Kaisar, apapun alasannya berhenti, mereka harus segera menghadap. 　　Dari kejauhan terlihat asap putih mengepul dari rombongan yang berhenti di antara pepohonan. 　　Ini sedang memasak? 　　Mereka bergegas memberi hormat: “Hamba menyambut Paduka. Perjalanan Paduka pasti melelahkan.” 　　Putra Mahkota memandangi mereka: “Kalian semua pejabat yang bertugas di kota kabupaten untuk penanggulangan bencana?” 　　Pejabat Bantuan Bencana yang mengepalai adalah Wakil Menteri Kementerian Keuangan bernama Zhao, menjawab: "Hamba adalah Zhao Ruqing Wakil Menteri Kanan Kementerian Keuangan, penanggung jawab utama bantuan bencana ini. Ini adalah para pejabat yang menyertai hamba dari ibu kota, dan ini adalah para pejabat Kabupaten Qianhe..." 　　Putra Mahkota mengangguk perlahan, sebenarnya selain Wakil Menteri Zhao, ia tidak mengingat banyak orang. 　　"Bagaimana kondisi Kabupaten Qianhe saat ini?" 　　Wajah Wakil Menteri Zhao menjadi suram: "Keadaannya cukup buruk. Gempa kali ini adalah bencana sekali dalam seratus tahun di Kabupaten Qianhe. Korban jiwa melebihi sepuluh ribu, dan cuaca panas memperparah wabah penyakit yang mulai sulit dikendalikan..." 　　Putra Mahkota menutupi rasa jijik di matanya, bertanya: "Lalu bagaimana kalian memastikan diri tidak tertular?" 　　Pertanyaan ini membuat kerumunan orang menyeringai masam. 　　Wakil Menteri Zhao berkata: "Hamba dan rekan-rekan setiap kali memasuki kota untuk inspeksi akan mengikuti arahan tabib istana: meminum ramuan herbal, mandi dengan ramuan obat, menguapi pakaian..." 　　Putra Mahkota merinding mendengarnya. 　　Kekhawatirannya terbukti benar. Ternyata perlu ritual sebanyak ini untuk memasuki kota, membuktikan betapa berbahayanya wabah itu. 　　Daripada menyesal kemudian, lebih baik mencegah. Ia tak mau mengambil risiko! 　　"Bagaimana pengungsian warga kota ditangani?" Suara merdu yang tegas tiba-tiba terdengar. 　　Pertanyaan logis ini membuat Wakil Menteri Zhao tertegun sejenak. Setelah beberapa saat, ia menatap wajah muda yang tak mirip sama sekali dengan Putra Mahkota namun jauh lebih tampan. 　　Yu Jin tidak menyangka sekadar mengajukan pertanyaan biasa dan wajar justru membuat suasana menjadi canggung, padahal pertanyaan-pertanyaan idiot Putra Mahkota selalu dijawab lancar oleh Paduka Zhao ini. 　　Ia batuk pelan, mengingatkan kelupaan Menteri Zhao. 　　Menteri Zhao tersadar, memandang Yu Jin dengan semangat: "Saat ini kota terbagi menjadi dua wilayah timur dan barat, pengungsi tanpa penyakit berkumpul di barat, yang memiliki anggota keluarga sakit namun enggan pindah tetap di timur. Korban jiwa sedang didata, semua mayat dikuburkan secara massal dan keluarga diberi satu tael perak sebagai santunan... Namun wabah semakin parah, pengungsi di barat berulang kali memblokir pintu gerbang kota menuntut keluar..." 　　Setiap daerah yang terkena wabah biasanya hanya memperbolehkan masuk bukan keluar, apalagi Kabupaten Qianhe begitu dekat dengan ibu kota, para pejabat semakin takut melepas pengungsi. 　　Bagaimana jika ada pengidap wabah yang lolos, pasti akan terjadi kekacauan besar. 547.BAB 546 Kota Koi 　　BAB 546 Kota Koi 　　Dialog antara Yu Jin dan Menteri Zhao mengalir deras, namun Putra Mahkota tak sabar menyela: "Makan dulu saja." 　　Setelah melakukan perjalanan jauh, perutnya sudah keroncongan. 　　Makanan telah siap - beberapa kuali besar nasi kacang sederhana, dan buruan segar yang baru ditangkap pengawal. Tapi buruan tak banyak, hanya cukup untuk para orang terhormat. 　　Putra Mahkota menggerutu: "Daging kelinci harus dibakar dengan madu baru enak." 　　Kerumunan mengatupkan bibir tak berani bersuara. 　　“Bagaimana, baru mau bicara rasanya ingin memarahi Putra Mahkota habis-habisan.” 　　Er Niu berbaring di samping Yu Jin sambil makan dengan lahap, dalam hati berpikir: Orang ini terlalu berisik, suatu hari nanti harus menggigit pantatnya biar diam. 　　Setelah makan seadanya, Putra Mahkota menyeka mulut lalu bertanya pada Wakil Menteri Zhao: "Di mana biasanya kalian beristirahat?" 　　"Kami mendirikan gubuk-gubuk kayu di luar kota." 　　Cuaca bulan Mei sangat tidak ramah bagi mayat yang cepat membusuk, tapi cukup nyaman bagi orang hidup. 　　Meski tidur di tanah terbuka pun bisa ditolerir, apalagi dengan gubuk kayu yang bisa meneduhi hujan dan panas. 　　Wakil Menteri Zhao yang terbiasa hidup mewah di ibu kota sebenarnya enggan hidup serba sederhana. Tapi Kabupaten Qianhe terlalu dekat dengan istana, kabar buruk bisa langsung sampai ke telinga Kaisar. Berfoya-foya saat bencana jelas bunuh diri. 　　Setelah puluhan tahun menjabat Wakil Menteri Keuangan Kanan, kinerja baik dalam penanganan bencana ini bisa menjadi batu loncatan karirnya. 　　"Bagaimana bisa tinggal di gubuk?" Alut Putra Mahkota berkerut. Tiba-tiba ingat harus berperilaku baik, ia batuk kecil. "Para Paduka semua pejabat berdedikasi. Jika tempat tinggal tak nyaman sampai jatuh sakit, tentu tak elok." 　　Wakil Menteri Zhao diam-diam memutar mata, tapi tetap sopan bertanya: "Apa maksud Paduka?" 　　"Tidak adakah lokasi dekat Kabupaten Qianhe yang bebas gempa dan wabah?" 　　Yu Jin menatap Putra Mahkota, jantungnya berdebar kencang. 　　Tampaknya sekarang, mimpi buruk A Si itu memang agak menarik, Putra Mahkota ternyata benar-benar mengusulkan untuk tinggal di desa dan kota terdekat. 　　Mengenai mimpi buruk yang diceritakan Jiang Si, jika dikatakan sepenuhnya percaya akan terjadi di dunia nyata, itu jelas kebohongan besar. Bagaimanapun dia punya otak, seberapa pun tulusnya pada istri, mustahil tidak punya pemikiran dan keraguan sendiri. 　　Tapi, jika A Si ingin dia percaya, maka dia mau percaya. 　　Ini tidak ada hubungannya dengan otak, tapi terkait niat hati. 　　A Si melarangnya tinggal di kota itu maka dia tidak akan pergi, apakah adegan dalam mimpi akan terwujud tidak penting, yang utama bisa menenangkan hati istri. 　　Yu Jin memutuskan untuk tidak ikut campur dulu, menunggu dingin keputusan akhir. 　　Kerumunan saling pandang. 　　Sudah jelas, Putra Mahkota ini ingin mencari tempat aman untuk bermalas-malasan. 　　Dengan Putra Mahkota memimpin, tentu mereka tidak keberatan, tinggal di kota dekat kabupaten memang lebih nyaris daripada gubuk jerami, juga tidak mengganggu inspeksi harian kondisi bencana. 　　Dituduh? 　　Tidak mungkin, ini kan usulan Putra Mahkota. 　　Wakil Menteri Zhao memberi kode pada seorang bawahan. 　　Bawahan itu berkata: "Lapor Paduka, ada beberapa desa seperti itu. Yang terdekat dengan Kabupaten Qianhe adalah Desa Dahe dan Xiaohe, tepat di pinggir kota, dari sini kita bisa sampai dalam beberapa li perjalanan. Selain itu ada Kota Shuangyang, Kota Jinli, Kota Wuji dan beberapa kota lain, yang terdekat adalah Kota Shuangyang..." 　　Putra Mahkota mendengar sampai sakit kepala, memotong: "Desa tidak perlu, mana yang paling ramai di antara kota-kota terdekat ini?" 　　Ramai? 　　Pejabat bawahan yang menjawab tertegun sejenak, baru berkata: "Kalau soal keramaian, tentu tidak bisa menandingi kabupaten sebelum gempa bumi, apalagi ibu kota. Yang paling ramai di antara kota-kota ini adalah Jinli Zhen." 　　Putra Mahkota mengangguk ringan: "Jinli Zhen terdengar bagus. Berapa jauh dari Kabupaten Qianhe?" 　　Pejabat itu menjawab: "Kurang dari sepuluh li dari Kabupaten Qianhe." 　　"Masih cukup dekat. Apakah tidak terkena dampak gempa ini?" Putra Mahkota tidak yakin dan bertanya lagi setelah mendengar kedekatan jaraknya. 　　Wakil Menteri Zhao kedutan di sudut matanya. 　　Sikap Putra Mahkota yang menunjukkan ketakutan mati di depan pejabat lokal membuatnya sendiri merasa malu! 　　Beberapa pejabat ibu kota diam-diam menengadah ke langit. 　　Putra Mahkota benar-benar mengharumkan nama para pejabat... 　　Pejabat bawahan itu menjawab: "Anehnya, meski Kabupaten Qianhe gempa, desa-desa sekitar mengalami korban jiwa, hanya Jinli Zhen yang sama sekali tidak ada korban, cuma beberapa rumah yang roboh." 　　Putra Mahkota langsung puas hati dan memutuskan: "Kita akan menginap di Jinli Zhen." 　　Ia pura-pura melihat cuaca: "Hari sudah sore, langsung pergi ke Jinli Zhen saja. Besok pagi baru periksa bencana dan menghibur rakyat di Kabupaten Qianhe." 　　Kerumunan segera menyahut. Rombongan dipandu pejabat lokal berangkat dengan gegap gempita menuju Jinli Zhen. 　　Jinli Zhen adalah kota besar, di bawah Kabupaten Qianhe, kota ini memang yang paling ramai. 　　“Berdiri di ujung jalan kota kecil, Putra Mahkota tampak cukup puas.” 　　“Setidaknya lebih baik dari bayangannya tentang reruntuhan, mari tinggal di sini.” 　　“Yu Jin menyamar dalam tim, tetap membisu sepanjang jalan.” 　　“Dia sedang menunggu.” 　　“A Si tidak ingat nama kota, jika mimpi A Si dianggap mutlak benar, demi kepastian, dia harus menunggu hingga Putra Mahkota benar-benar menetap baru bertindak.” 　　“Di bawah pengaturan pejabat setempat, penginapan sementara telah disiapkan di rumah seorang tuan tanah lokal untuk Putra Mahkota dan rombongan.” 　　“Rumah itu tidak besar, tapi cukup bersih.” 　　“Setelah inspeksi, Putra Mahkota mengangguk puas, reflek mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Yu Jin.” 　　“Yu Jin refleks menghindar.” 　　“Adik ketujuh, kau terlalu menjaga jarak. Kakak justru merasa akrab denganmu.” Sejak Yu Jin menyelamatkan anak lelakinya, di mata Putra Mahkota dia menjadi orang terpercaya, bahkan hukuman pukulan berat itu tak lagi dipedulikan. 　　“Tak disangka meski dia tak mempermasalahkan, lawannya tetap bersikap dingin.” 　　“Yu Jin berkata datar: "Terlalu lama di selatan, tak terbiasa dengan sentuhan mendadak orang lain."” 　　“"Eh, kakak cuma memberitahumu, tempat ini cukup untuk tinggal sementara, istirahatlah dulu."” 　　“"Hm." Yu Jin mengangguk singkat, berdiri di koridor melingkar menyaksikan Putra Mahkota masuk kamar, lalu meneliti pelataran kecil sambil menengadah ke langit.” 　　“Langit biru jernih, mentari bersinar terang.” 　　“Benarkah pada suatu malam nanti, kota kecil ini akan menjadi reruntuhan akibat gempa bumi tanpa seorang pun yang selamat?” 　　Yu Jin teringat pada tuan tanah yang menyambut mereka dengan sangat hormat, bahkan menyerahkan halaman utama, serta putrinya yang menghidangkan teh dengan sikap agak kikuk. 　　Mereka telah menggunakan yang terbaik dari keluarga itu. 　　Ada juga rasa penasaran dan kegembiraan warga saat mereka memasuki kota. 　　Yu Jin menekan dadanya. 　　Tidak ada hati manusia yang terbuat dari batu. Jika terasa dingin dan keras, itu hanyalah baju zirah untuk melindungi diri. 　　Bahkan tanpa pesan A Si, dia tetap ingin menyelamatkan penduduk kota ini. Bukan untuk reputasi, apalagi atas nama Dinasti Zhou. Menyelamatkan orang baginya tak perlu alasan rumit. 　　Dia manusia, ingin menyelamatkan sesamanya, sesederhana itu. 　　Anggap saja sebagai tabungan berkah untuk anaknya dan A Si yang belum lahir. 　　Yu Jin melangkah masuk ke kamar, berbaring di ranjang sambil merenung. 　　A Si berkata dalam mimpinya, gempa terjadi beberapa hari setelah Putra Mahkota tinggal di kota. Tanggal pastinya tidak jelas, tapi hari pertama pasti aman. 　　Karena itu, malam ini tidur nyenyak saja, besok baru dipikirkan. 548. BAB 547 Kekacauan 　　BAB 547 Kekacauan 　　Keesokan harinya cuaca tetap cerah. 　　Yu Jin bangun pagi-pagi, mandi lalu berlatih jurus di pekarangan. Setelah mandi kembali, baru terdengar suara aktivitas mandi dari sisi Putra Mahkota. 　　Di perjalanan tak bisa banyak pilih, Menteri Zhao yang menemani Putra Mahkota dan Yu Jin sarapan bersama. 　　"Tuan tanah sendiri yang membawa nampan masuk, yang menyusun mangkok dan sumpit adalah putrinya——seorang nona kecil yang cantik jelita." 　　Putra Mahkota tak bisa menahan diri untuk memandangi nona kecil itu beberapa kali. 　　Meski tak bisa dibandingkan dengan para selir di Istana Timur, bunga liar pedesaan seperti ini memiliki pesona tersendiri. 　　Putra Mahkota adalah pria yang tak bisa hidup tanpa perempuan. Tapi dalam perjalanan kali ini ia tak bisa membawa istri, selir, atau dayang, sehingga hatinya mulai gelisah. 　　Melihat Putra Mahkota memperhatikan putrinya, wajah tuan tanah memerah karena gembira. 　　Langit Yang Maha Kuasa! Betapa banyak jasa leluhur mereka sampai bisa mendapat kesempatan menjamu Putra Mahkota dan Pangeran! 　　Andai saja putrinya dilirik Putra Mahkota, itu akan mengangkat derajat mereka setinggi langit. 　　Dengan suara "plak" yang nyaring, sepasang sumpit jatuh ke lantai. 　　Nona kecil itu buru-buru memungutnya, mengusapkannya pada roknya, lalu hendak meletakkannya kembali di meja. 　　Tuan tanah menarik lengan putrinya sambil memarahi: "Sumpit jatuh ke lantai mana pantas diberikan pada orang terhormat? Cepat bawa keluar!" 　　Nona kecil itu menyunggingkan bibir kesal, lalu berlari keluar. 　　Alut Putra Mahkota berkerut. 　　Tingkah laku kasar seperti itu sungguh merusak selera. 　　Gairahnya yang tadi langsung lenyap bagai asap. 　　Tuan tanah segera meminta maaf: "Putri saya kurang ajar, telah lancang terhadap Paduka." 　　"Tak apa. Tak perlu kau melayani di sini, pergilah." Tak ada lagi ketertarikan pada nona kecil itu, apalagi pada ayahnya, Putra Mahkota berkata dengan kesal. 　　Tuan tanah mundur ke luar, memanggil putrinya dan memarahinya: "Biasanya kau begitu lincah, bagaimana bisa sampai tak bisa memegang sumpit dengan stabil? Ini masih bisa dimaafkan, tapi setelah menjatuhkan sumpit malau mengusapnya ke baju, apakah kau ingin membunuhku dengan amarah?" 　　Gadis itu tersenyum kecut: "Aku sengaja melakukan itu, supaya mata mesum itu tidak terus menerus menatapku. Hmph, jangan kira aku tidak tahu maksud Ayah. Aku lebih baik menikahi petani yang bercocok tanam daripada menjadi selir Putra Mahkota yang mata keranjang itu--" 　　"Dasar si gadis, pelankan suaramu--" 　　Gadis itu menjulurkan lidah ke arah tuannya tanah, lalu berlari cepat-cepat. 　　Tuan tanah menggelengkan kepala pasrah. 　　Sudahlah, anak yang sudah dewasa tak bisa dikendalikan. Lebih baik tidak usah dipusingkan, biar tidak mati muda karena marah. 　　Di ruang makan, Putra Mahkota makan pagi dengan lamban. Menyadari tak bisa lagi menghindar, ia berkata pada Menteri Zhao: "Ayo, pergi melihat Kabupaten Qianhe." 　　Menteri Zhao diam-diam menghela napas lega. 　　Ia sempat khawatir Paduka ini bahkan tidak mau pergi sama sekali, membuat malu rombongan dari ibu kota. 　　Setengah shichen kemudian, rombongan Putra Mahkota muncul di gerbang kota. 　　"Paduka, silakan kenakan mantel terlebih dahulu sebelum masuk kota. Mantel ini sudah dikukus dengan ramuan obat." 　　Putra Mahkota tentu tidak menolak. Cepat-cepat mengenakan mantel tipis yang disodorkan Menteri Zhao, lalu menunjak tembok setinggi satu zhang: "Melihat jauh dari ketinggian, mari kita naik ke atas tembok kota. Dengan begitu bisa melihat keseluruhan." 　　Kerumunan orang bereaksi dengan ekspresi aneh. 　　“Ahem, Putra Mahkota benar.” Wakil Menteri Zhao antara ingin tertawa dan menangis, melihat Putra Mahkota sama sekali tidak mau mengambil risiko, akhirnya tidak memaksa. 　　Kaisar mengutus Putra Mahkota untuk menghibur korban bencana, secara formal ini adalah pertunjukan untuk pejabat dan rakyat. Setelah pulang nanti akan ditulis dengan kuas besar untuk disebarluaskan, semua orang akan memuji kebaikan hati Putra Mahkota. Siapa yang tahu apakah Putra Mahkota benar-benar masuk kota atau tidak? 　　Ini juga baik, setidaknya keselamatan Putra Mahkota terjamin. Jika terjadi sesuatu pada Putra Mahkota, maka karirnya benar-benar akan berakhir. 　　Kerumunan menemani Putra Mahkota naik ke tembok kota. 　　Seperti kata Putra Mahkota, mendaki tinggi melihat jauh. 　　Yu Jin berdiri di atas tembok kota memandang ke sekeliling. Di timur laut terlihat hamparan reruntuhan yang mengerikan. Ke arah barat daya, rumah-rumah yang roboh lebih sedikit, daerah itu memang lebih lapang. Kini berdiri banyak tenda, terlihat siluet orang-orang kecil yang bergerak. 　　Ia memandang semua ini dengan tenang, ekspresinya tidak banyak berubah. 　　Di selatan, ia telah mengalami berbagai peperangan besar kecil. Pemandangan yang lebih mengerikan dari ini sudah sering ia lihat. Hanya saja kesengsaraan itu dibangun oleh kawan dan musuh, sedangkan yang menderita di depan mata semua adalah rakyat Dinasti Zhou. 　　Baru sekarang Yu Jin menyadari bahwa kedua hal ini memberikan perasaan yang berbeda baginya. 　　Sementara Putra Mahkota tertegun membelalakkan mata. 　　Gempa bumi di depan aula Kuil Leluhur waktu itu, bumi berguncang, tiang bendera patah. Saat mengingatnya kembali, ia masih merasa ngeri, mengira itu adegan paling menakutkan. Tak disangka pemandangan di sini bisa separah ini. 　　Ia bahkan melihat beberapa prajurit mengangkat mayat bengkak menuju suatu tempat. 　　Untung jaraknya jauh, kalau tidak, makanan yang dia makan pagi tadi pasti akan dimuntahkannya. 　　Putra Mahkota menatap kosong ke arah Wakil Menteri Zhao: "Gempa sudah lama berlalu, mengapa masih ada mayat?" 　　Wakil Menteri Zhao sudah tak ingin mengomentari keluguan sang Putra Mahkota, menjawab: "Itu orang yang mati karena wabah. Satu orang tertular, biasanya akan menulari seluruh keluarganya, hingga seluruh keluarga punah..." 　　Putra Mahkota menggigil keras. 　　Wabah terlalu mengerikan, dia ingin pulang! 　　Menahan dorongan untuk lari terbirit-birit, Putra Mahkota berkata dengan wajah pucat: "Tidak bisa dikendalikan?" 　　Wakil Menteri Zhao tersenyum getir: "Wabah mana bisa mudah dikendalikan? Biasanya—" 　　Takut menakuti Putra Mahkota, dia tidak melanjutkan. Tiba-tiba suara dingin menyela: "Kalau sudah mati semua, barulah bisa dibilang terkendali." 　　Putra Mahkota dan Wakil Menteri Zhao serentak menoleh ke sumber suara. 　　Ekspresi Yu Jin datar, seolah bukan dia yang baru saja bicara. 　　Sekarang dia sudah mengerti rencana orang-orang ini. 　　Bantuan bencana tetap akan diberikan, tapi orang-orang di kota jangan mimpi untuk keluar. Biarkan mereka bertahan sampai tak ada lagi yang mati karena wabah. Namun berapa orang yang masih hidup saat itu, itu urusan takdir. 　　Metode penanganan wabah seperti ini sudah menjadi tradisi turun-temurun di berbagai dinasti. 　　Di hadapan bencana alam, nyawa manusia dianggap remeh seperti semut. Memang tak ada cara lain. 　　Menteri Zhao tidak menyangka Yu Jin akan membuka kebenaran memalukan itu secara langsung, ia tertawa kecut: "Pangeran terlalu pesimis, rakyat yang berkumpul di barat saat ini masih belum bermasalah——" 　　Ucapan itu belum selesai, tiba-tiba keributan pecah. 　　Puluhan orang membanjiri kota, berkumpul di pintu gerbang kota berhadapan dengan prajurit bersenjata tombak. 　　"Buka pintu untuk kami, buka pintu!" 　　"Cepat buka gerbang kota, kami tak mau tinggal di sini menunggu mati——" 　　Rakyat berpakaian compang-camping terdiri dari pria-wanita, tua-muda, dengan wajah lesu dan putus asa, semua mata merah berteriak. 　　Putra Mahkota membuka mulut: "Orang-orang ini——" 　　Menteri Zhao menjelaskan: "Rakyat yang berkumpul di barat ingin keluar kota." 　　Kilatan jijik muncul di mata Putra Mahkota. 　　Siapa tahu apakah rakyat jelata ini sudah tertular wabah, berani-berani ribut minta keluar kota, sama sekali tak bertanggung jawab pada keselamatan orang lain! Untung dia bijak hanya berdiri di atas tembok kota mengawasi, kalau tidak masuk ke dalam kota pasti akan dihina rakyat jelata ini. 　　Putra Mahkota diam-diam memuji dirinya sendiri. 　　Bupati Qianhe melihat pengungsi berlaku tidak pantas di depan Putra Mahkota, berteriak keras: "Tenang semua, dengarkan hamba. Para pejabat pasti akan menampung kalian dengan baik, takkan sembarangan meninggalkan siapa pun. Lihatlah, ini Paduka Putra Mahkota, mewakili Kaisar datang menjenguk kalian——" 　　Kerumunan mendadak hening, sebuah sepatu compang-camping tiba-tiba dilempar ke atas tembok, tepat mengenai dahi Putra Mahkota. 549.BAB 548 Lonceng Fajar 　　BAB 548 Lonceng Fajar 　　Putra Mahkota menutupi wajahnya sambil menjerit: "Ada pembunuh bayaran——" 　　Di bawah tembok kota, semakin kacau. 　　"Putra Mahkota sendiri tidak berani masuk kota, jelas-jelas ingin mengurung kita di sini sampai mati. Buka pintu gerbang!" 　　"Benar, buka pintu! Kami ingin keluar! Kami ingin hidup——" 　　Rakyat berduyun-duyun dari segala penjuru, kerumunan di depan pintu gerbang semakin padat, mulai menunjukkan tanda-tanda akan menerobos. 　　Menteri Zhao melototi Bupati Qianhe yang bodoh itu, lalu buru-buru berkata pada Putra Mahkota: "Paduka, lebih baik turun dari tembok kota." 　　Putra Mahkota segera menyetujui. 　　Terlalu berbahaya, rakyat jelata ini sudah gila! Berani menyerang Putra Mahkota! 　　Menteri Zhao melindungi Putra Mahkota turun dari tembok, tapi Yu Jin tetap diam di tempat. 　　Konflik berdarah sudah pecah di pintu gerbang. 　　Melihat seorang pria hendak merobohkan pintu gerbang, penjaga gerbang tak tahan lagi menusukkan tombaknya. 　　Pria itu tertusuk di dada, menjerit lalu menggantungkan kepala. 　　Kejadian ini langsung meredam gelombang serangan warga. 　　Rakyat tak bersenjata ini biasanya tak berani melawan pasukan keamanan. Mereka hanya memberontak karena terdesak ancaman kematian. 　　Menyaksikan orang di sampingnya mati mengenaskan, kerumunan tiba-tiba sunyi senyap. 　　Yu Jin menarik lengan Putra Mahkota yang sedang memanjat tangga ke luar tembok: "Kakak Kedua, dalam situasi ini kau harus berbicara, atau konflik akan semakin parah." 　　Putra Mahkota buru-buru melepaskan tangan Yu Jin: “Jangan bercanda! Aku belum bicara apa-apa sudah diserang sepatu rusak. Jika aku bicara dua patah kata lagi, yang menyerangku mungkin sudah berubah menjadi panah tajam!” 　　Yu Jin menyeringai: “Kakak Kedua terlalu khawatir. Dari mana rakyat yang tertimpa bencana punya panah? Sepatu rusak saja sudah hampir habis.” 　　“Tidak boleh, sama sekali tidak boleh!” Putra Mahkota menarik lengannya keluar, buru-buru memanjat turun melalui tangga tembok. 　　Di bawah pintu gerbang kota, setelah keheningan sesaat, seorang wanita yang menggendong anak tiba-tiba menjerit histeris: “Ayahnya Huwa, kau tidak boleh mati! Jika kau mati, bagaimana nasib para gadis kita?” 　　Bocah lelaki dalam gendongan wanita itu pun menangis keras. 　　Tiba-tiba, wanita itu memeluk erat bocah lelaki dan berlari ke arah pintu gerbang kota, berteriak histeris: "Kumohon kasihanilah, aku tidak mau keluar, biarkan anak lelakiku keluar saja, dia tidak sakit, benar-benar tidak sakit--" 　　Beberapa tombak menghadang di depan wanita itu. 　　Wanita itu mendorong anak dalam pelukannya ke arah seorang prajurit: "Tolong selamatkan anakku, dia jelas-jelas anak yang sehat, tidak boleh dibiarkan mati menganggur di kota ini... Aku tidak mau pergi, meski diusir pun aku tidak akan pergi, aku masih harus pulang merawat Niuniu--" 　　Teriakan wanita itu membuat para prajurit tersentuh, namun perintah atasan tak bisa dilanggar. Saat wanita itu mendorong anaknya ke depan, tombak di tangan mereka secara refleks menusuk. Ketika menyadari dan berusaha menarik kembali, anak itu sudah tertusuk, mengeluarkan tangisan yang memekakkan telinga. 　　“Hutou, Hutouku!” Wanita itu memeluk gadis berlumuran darah, akhirnya ambruk. Kepalanya menunduk dan langsung menubruk tombak, "Bunuh saja aku juga, kalian binatang! Biar keluarga kami berkumpul di akhirat—" 　　Yu Jin menyipitkan mata, mengambil sepatu rusak yang dilempar ke Putra Mahkota lalu melemparkannya. 　　Sepatu itu menghantam lekukan lutut wanita itu, membuatnya limbung dan terjatuh. 　　Semua terjadi secepat kilat. Kerumunan rakyat mengira wanita dan anak itu sudah tertusuk tombak pasukan penjaga. 　　Jika kematian suami sempat meredam keberanian mereka, kematian wanita dan anak justru membangkitkan kebuasan dalam hati. 　　Pasukan yang seharusnya melindungi rakyat malah mengangkat senjata ke perempuan dan anak, apa lagi harapan mereka? 　　Tak ada cara lain selain menyelamatkan diri sendiri. 　　Kerumunan semakin ricuh. 　　Yu Jin mengumpat: "Dasar tolol!" 　　Situasi yang sebenarnya bisa dikendalikan, cukup dengan pidato tepat dari Putra Mahkota. Tapi malah ia kabur duluan, membuat situasi jadi tak terkendali. 　　"Busur panah!" Yu Jin mengulurkan tangan. 　　Long Dan segera menyodorkan busur dan kantong panah. 　　Yu Jin mengambil anak panah, membidik dengan gesit. Panah melesat bagai meteor. 　　Anak panah menembus angin, mengarah ke menara lonceng tinggi. 　　"Duummm—" Gemuruh lonceng sakral tiba-tiba menggema ke seluruh kota. 　　Dua anak panah lagi ditembakkan berturut-turut, suara lonceng kembali bergema, terdengar semakin jauh. 　　Tabuhan genderang menutup gerbang kota, ribuan rumah terlelap; dentang lonceng membuka gerbang, memulai aktivitas harian. 　　Lonceng fajar dan genderang senja sudah akrab di telinga warga, namun sejak bencana terjadi, mereka tak lagi mendengar dentang penanda fajar. 　　Tak ada fajar, yang tersisa hanyalah kegelapan. 　　Warga tertegun membeku, beberapa tampak linglung, lalu tanpa sadar mengikuti jejak panah menatap sosok pemuda di atas tembok kota. 　　Siluet pemuda penarik busur itu kontra dengan cahaya, wajahnya tak jelas, tapi posturnya tegak bagai pohon poplar. 　　Setelah meredakan keributan, Yu Jin melompat dari tembok dengan wajah muram. 　　"Pangeran!" Menteri Zhao yang belum sempat pergi terkejut. 　　Tembok setinggi kurang dari dua zhang itu mudah dituruni Yu Jin, mendarat tepat di depan kerumunan warga. 　　"Aku putra ketujuh Kaisar, Pangeran Yan." Seru Yu Jin sambil melangkah mantap ke arah mereka. 　　Kerumunan warga otomatis membuka jalan. 　　Dengan ekspresi datar, Yu Jin menerobos kerumunan, mendekati wanita yang terjatuh di semak pinggir jalan, lalu membungkuk mengangkat bocah lelaki yang terpaku ketakutan. 　　Darah masih mengalir dari bahu bocah itu. 　　"Long Dan!" panggil Yu Jin. 　　Long Dan yang sudah ikut melompat segera berlari mendekat: "Pangeran?" 　　"Balut luka anak ini." 　　Long Dan segera menerima bocah itu. 　　Bocah lelaki itu langsung menangis histeris saat berada dalam pelukan Long Dan. 　　Para pengungsi yang semula putus asa dan mati rasa, tersenyum gembira mendengar tangisan para gadis. 　　Rupanya bocah itu baik-baik saja! 　　Hati manusia memang aneh - bagi para pengungsi yang tak melihat harapan hidup ini, kematian bocah lelaki yang mereka sangka menjadi jerami penghancur terakhir. Saat mengetahui anak itu masih hidup, harapan hidup seperti tunas di musim semi, mulai bertunas diam-diam. 　　Tak lama kemudian, wanita yang terjatuh di rerumputan itu pun bangkit, memandang Yu Jin dengan panik. 　　Yu Jin tersenyum ramah, "Kakak Ipar tak perlu khawatir, aku akan membawa anakmu keluar kota dan menempatkannya dengan baik." 　　"Benarkah?" Mata wanita itu bersinar terang penuh sukacita. 　　"Aku datang bersama Putra Mahkota atas perintah Putra Langit untuk menjenguk kalian, tentu tak akan berjanji sembarangan. Maukah Kakak Ipar mempercayaiku?" 　　Wanita itu memandang wajah tampan nan sempurna sang pemuda, mengangguk kuat-kuat: "Wanita kecil ini percaya--" 　　Ucapannya terpotong oleh tangisan yang tiba-tiba meledak. 　　Tangisan itu segera diikuti oleh ribuan rakyat. 　　Mereka berdiri di tempat, mengusap air mata dengan punggung tangan. Laki-laki, perempuan, tua muda, semua menangis terisak-isak. 　　Pemandangan ini aneh, hampir tak pernah terdengar, namun sungguh mengguncang hati. 　　Setidaknya Wakil Menteri Zhao benar-benar terguncang. 　　550.BAB 549 Menepati Janji 　　BAB 549 Menepati Janji 　　Dia bisa ditunjuk sebagai pejabat utama untuk memimpin penanggulangan bencana, di mata Kaisar Jingming tentu dianggap sebagai pejabat yang kompeten. Sebelumnya terpaksa ikut Putra Mahkota mempersiapkan retret hanyalah karena terseret akibat kesalahan Putra Mahkota. Melihat pemuda yang melompat ke dalam kota, Menteri Zhao mengangkat lengan bajunya. 　　Bahkan Pangeran Yan yang mulia sebagai putra kaisar tak segan mengorbankan diri, apalagi dirinya! 　　Menteri Zhao yang hendak melompat dari tembok kota dicegat keras oleh pengawalnya: "Paduka, jangan melompat! Tinggi tembok hampir dua zhang. Jika Paduka melompat, kaki bisa patah!" 　　Menteri Zhao melihat ke bawah, wajahnya pucat lalu tersadar. 　　Pangeran Yan itu pernah berjuang di medan Perbatasan Selatan. Dirinya yang sudah tua dan lemah sebagai pejabat sipil, ngapain ikut-ikutan. 　　Setelah pulih akalnya, Menteri Zhao menyuruh orang menyiapkan tangga tembok lalu turun lewat tangga. 　　"Kakak Ipar masih punya keluarga di rumah?" tanya Yu Jin. 　　Wanita itu menjawab: "Masih ada seorang putri. Dia... dia sedang demam——" 　　Kerumunan mendadak hening, secara refleks menggeser posisi. 　　Demam sering menjadi pertanda wabah. Putri wanita itu sudah terjangkit, mungkin wanita itu juga tertular... 　　Pengungsi yang buru-buru keluar kota ini hampir semua berasal dari kawasan barat yang menganggap diri mereka sehat, tak mau tinggal di kota menunggu mati. 　　Mereka takut tertular dari wanita itu. 　　Wanita itu juga mengerti situasi, tiba-tiba berlutut dan memberikan tiga kali kowtow berturut-turut kepada Yu Jin: "Pangeran, Hu Tou diserahkan pada Paduka." 　　Ia memandang penuh kerinduan ke arah bocah lelaki dalam pelukan Long Dan, lalu berbalik dan lari. 　　Tak ada yang bersuara menahan, hanya tangisan keras bocah itu: "Ibu——" 　　Tangisan semacam ini menyayat hati, tapi bagi pengungsi yang sudah terbiasa melihat kehidupan dan kematian, itu hanyalah hal biasa. 　　Mereka semua orang yang hidupnya tak menentu, apa yang bisa dilakukan? Apakah harus menasihati wanita itu untuk mengabaikan putrinya yang sedang menunggu ajal? 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu berkata pada Long Dan: "Bawa dulu para gadis ini pergi." 　　"Paduka jangan!" Menteri Zhao terburu-buru datang dengan panik. 　　Yu Jin menatapnya. 　　Menteri Zhao menasihati dengan sungguh-sungguh: "Paduka tak boleh bertindak gegabah. Keluarga bocah ini sudah tertular wabah, mungkin sekarang penyakitnya sudah mengendap dalam tubuhnya, hanya menunggu waktu muncul. Jika dibawa keluar kota, sekali wabah menyebar, itu akan menjadi bencana tak terkendali, tak bisa dipertanggungjawabkan pada Kaisar dan rakyat..." 　　Ia memahami niat baik pangeran muda ini, tapi situasi seperti ini tak bisa diselesaikan dengan kebaikan hati. Seringkali kebaikan hati justru menimbulkan bencana lebih besar. 　　Pelajaran semacam ini tak jarang dalam sejarah. Cara terbaik adalah mengikuti prosedur: pantau dulu perkembangan wabah. Jika benar-benar tak terkendali, hanya bisa mengorbankan mereka untuk mengeliminasi bekas masalah. 　　Namun perkataan Menteri Zhao menyentuh luka para pengungsi. 　　“Kami tidak sakit, keluarga kami juga tidak sakit, mengapa tidak mengizinkan kami keluar?” 　　Melihat Wakil Menteri Zhao turun, Bupati Kabupaten Qianhe juga ikut turun sambil bermuka masam: "Sakit atau tidak, bukan kalian yang menentukan. Tak ada orang yang mengakui diri sakit, tapi bagaimana jika setelah keluar kota malah menyebarkan wabah penyakit?" 　　Seseorang di kerumunan mengeluarkan suara "Cis!": "Kalau begitu, Pejabat Kabupaten juga orang dalam kota, kenapa bisa masuk-keluar sesuka hati?" 　　Yang lain menambahkan: "Benar! Pasukan bantuan yang masuk kota untuk penanggulangan bencana, kenapa mereka boleh keluar-masuk?" 　　Bupati Kabupaten Qianhe terbungkam, wajahnya memerah padam seperti hati babi. 　　Yu Jin melirik Bupati Kabupaten Qianhe, dalam hati bergumam: Bagaimana mungkin idiot seperti ini bisa jadi bupati? 　　"Tenang dulu, saudara-saudara." Yu Jin mengangkat tangannya. 　　Kerumunan pun mereda. 　　Terhadap pangeran muda yang berani membunyikan lonceng darurat untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ini, mereka bersedia mendengarkan. 　　"Jika ada pertanyaan tentang izin keluar-masuk untuk Bupati dan pasukan bantuan, silakan Paduka Wakil Menteri yang menjawab." 　　Wakil Menteri Zhao yang didorong keluar oleh Yu Jin meski tak berdaya, teringat pada pemandangan para pengungsi yang menangis serentak tadi, diam-diam menghela nafas dan berkata: "Semua bisa melihat, jika kita ingin masuk kota, perlu mengganti pakaian yang telah dikukus dengan ramuan herbal, setelah keluar kota harus berulang kali mandi obat, minum ramuan herbal... Sedangkan para prajurit tidak hanya melakukan ini semua, tempat tinggal mereka di luar kota juga ditentukan khusus, mereka hanya boleh tinggal di area tersebut. Bahkan setelah operasi bantuan bencana ini selesai, harus diamati minimal setengah bulan, baru diizinkan pergi jika tak ada masalah..." 　　Mendengar penjelasan Wakil Menteri Zhao, seseorang berteriak: "Kami juga bisa seperti itu, asal izinkan kami keluar kota!" 　　Wakil Menteri Zhao tersenyum pahit: "Puluhan ribu orang di dalam kota, begitu keluar, bagaimana mungkin menahan begitu banyak orang di area yang ditentukan selama sebulan? Dan jika ada satu saja orang yang membawa penyakit laten pergi, bisa menyebabkan bencana di satu kota, bahkan satu negara. Siapa yang bisa bertanggung jawab?" 　　Kerumunan terdiam lama, seseorang bergumam: "Jadi kita harus menunggu mati?" 　　Wakil Menteri Zhao tentu tak bisa berkata demikian, buru-buru menambahkan: "Kaisar dan para pejabat selalu memikirkan kalian semua, mana mungkin membiarkan kalian menunggu mati? Sekarang kota sudah dibagi menjadi dua wilayah timur dan barat, silahkan tinggal tenang di wilayah barat. Ketika wabah di kota sudah hilang, kalian akan diizinkan keluar..." 　　"Lalu bagaimana dengan anak ini?" Seseorang menunjuk anak kecil yang digendong Long Dan. 　　Anak berusia beberapa tahun itu yang sudah lelah menangis, mulai mengantuk di bahu Long Dan. 　　"Long Dan, meski seorang pria dewasa, mendadak merasa iba saat menggendong bayi kecil yang lembut ini. Tanpa sadar ia mengencangkan pelukannya dan menatap Yu Jin dengan gugup." 　　Bagaimanapun kasihannya pada gadis ini, pada akhirnya ia tetap harus patuh pada tuannya. 　　Balita yang sedang terkantuk-kantuk itu tak tahu dirinya tiba-tiba jadi pusat perhatian banyak orang, tetap tertidur dengan tangan mungilnya terkepal. 　　"Pangeran tadi bilang akan membawa anak ini keluar kota..." 　　Bukan kelangkaan yang ditakuti, tapi ketidakadilan. Saat nyawa sendiri dipertaruhkan, belas kasih pada seorang anak asing pun jadi tak berarti. 　　Yu Jin mengangguk halus: "Benar, aku memang berkata begitu." 　　Menteri Zhao terus memberi kode mata pada Yu Jin: "Paduka, jangan sampai seorang anak membuat seluruh kota kacau balau--" 　　Yu Jin menjawab tegas: "Paduka keliru. Kekacauan kota mustahil disebabkan seorang anak. Lagipula, jika aku ingkar janji pada seorang anak, bukankah itu mengkhianati amanah Ayah Kaisar?" 　　Menteri Zhao bergetar kulit wajahnya. 　　Pangeran Yan benar-benar pandai memanipulasi. Yang mendapat mandat Kaisar sebenarnya adalah Putra Mahkota, Pangeran Yan hanya menemani. 　　Ngomong-ngomong, di mana Putra Mahkota? 　　Mengingat sikap lari dari tanggung jawab Putra Mahkota, Menteri Zhao tiba-tiba merasa Pangeran Yan lebih disukai. 　　Meski masih ada nuansa kepolosan pemuda, karakternya baik. 　　Entah niat baik bisa berujung malapetaka atau tidak, yang penting niat tulus itu sendiri. Itu selalu lebih baik daripada sikap kejam tanpa belas kasih. 　　“Tolong dengarkan perkataan hamba pangeran.” Yu Jin menyatukan tangan ke kerumunan pengungsi, bersuara lantang, “Sejak hamba berjanji pada Kakak Ipar itu akan membawa anaknya keluar kota, hamba pasti menepati janji——” 　　“Tidak takkah anak ini membawa wabah? Jika dia boleh keluar, kami juga mau pergi!” Kerumunan mulai bergolak. 　　Yu Jin mengangkat tangan memberi isyarat tenang, kerumunan pun diam kembali. 　　Setelah berhari-hari menderita keputusasaan, ini pertama kalinya orang terhormat mengatakan bisa mengeluarkan orang, meski hanya seorang anak, hal ini memberi secercah harapan. 　　Terhadap orang yang memberi harapan, tentu mereka mau bersabar dan menghormati. 　　“Anak ini akan dikarantina setelah keluar. Apapun hasilnya, akan kami beri tahu.” Yu Jin menghela nafas, “Ayahnya baru meninggal, ibunya tak bisa ditemui, kalian tega mempermasalahkan balita?” 　　“Lalu kami bagaimana?” Mendengar ini, banyak pengungsi merasa malu dan nada suara melunak. 551.BAB 550 Harapan 　　BAB 550 Harapan 　　Saat menghadapi maut, kebanyakan orang akan melanggar norma, seperti rasa takut pada pejabat tinggi. 　　Sorot mata pengungsi menancap tajam pada Yu Jin. 　　Meski sangat menyukai pangeran ini, jika tidak mendapat jawaban memuaskan, mereka tetap akan memberontak, tak mau mati menganggur di kota. 　　Betapa mengerikannya wabah ini, mereka telah menyaksikan sendiri. 　　Orang sehat besoknya bisa demam, muntah darah, tubuh bernanah... Cukup membayangkan saja sudah merinding. 　　“Di sini pernah menjadi surga tempat mereka hidup damai, namun sekarang berubah menjadi neraka.” 　　“Mereka manusia, mengapa harus tinggal di neraka?” 　　Yu Jin melihat tekad baja di sorot mata para pengungsi. 　　Diam-diam ia menggelengkan kepala. 　　Pejabat Zhao dan kawan-kawan berusaha memaksa pengungsi tetap tinggal di kota, mengira warga yang tak pernah berani berdiri tegak ini akan patuh karena wibawa para pejabat. Mereka lupa akan kekuatan insting bertahan hidup. 　　Ia yakin, tanpa solusi konkret dan harapan bagi mereka, konflik akan semakin memanas hingga berujung pada pertumpahan darah antara pasukan dan pengungsi. 　　Tentu saja, pasukan bantuan dari para pejabat akhirnya akan menumpas pengungsi. Dengan memanipulasi data wabah, kekacauan berdarah ini bisa ditutupi, bahkan mungkin diubah menjadi laporan keberhasilan. 　　Di selatan dulu, ia pernah menyaksikan prajurit membantai warga tak bersalah untuk mengklaim jasa perang. Perbuatan itu sangat ia benci. 　　“Tunggu sebentar, hamba pangeran akan berunding dengan Paduka Sekretaris dan lainnya tentang penempatan kalian. Hasil musyawarah akan hamba sampaikan langsung di sini.” 　　“Kapan perundingannya selesai?” teriak seseorang. 　　Ratusan suara bergemuruh: “Benar! Kalau terus tak ada keputusan, apa kami harus menunggu selamanya?” 　　“Hari ini pukul empat sore, hamba pasti memberi jawaban.” Yu Jin menatap serius kerumunan berbaju compang-camping. 　　Para pengungsi terdiam sejenak. Akhirnya seseorang berteriak: “Baik! Kami percaya Paduka Pangeran! Kita akan kembali ke sini pukul empat sore!” 　　Wakil Menteri Zhao menggerakkan bibirnya berkali-kali ingin mencegah, namun situasi ini harus ditahan. 　　Setelah melewati pintu gerbang kota, Wakil Menteri Zhao menghela nafas: "Pangeran, Paduka terlalu impulsif!" 　　Yu Jin melirik anak kecil yang berhasil dibawa keluar kota, berkata datar: "Tunggu sampai semua orang lengkap baru bicara." 　　Di hamparan tanah luas tak jauh dari luar kota Qianhe, berdiri perkemahan besar yang menjadi tempat bermarkas para prajurit. 　　Di sisi lain berdiri deretan gubuk kayu beratap jerami yang jelas terpisah dari perkemahan, dengan balai kayu terluas sebagai tempat pertemuan para pejabat penanggulangan bencana. 　　Yu Jin diam-diam mengamati sekeliling. 　　"Di mana Paduka Putra Mahkota?" tanya Wakil Menteri Zhao kepada pejabat yang mendampingi Putra Mahkota keluar kota. 　　Banyak pejabat yang semula mendampingi Putra Mahkota ke atas tembok kota, kini hanya tersisa beberapa orang. 　　Salah seorang menjawab: "Paduka sudah kembali ke Kota Jinli..." 　　Wakil Menteri Zhao tercekat. 　　Sudah kembali ke Jinli? Setidaknya berpura-pura datang ke tempat pertemuan. 　　Terhadap Putra Mahkota ini, Wakil Menteri Zhao sudah kehabisan kata-kata. Ia menghela nafas: "Pangeran, mari kita juga kembali ke Jinli untuk bergabung dengan Paduka Putra Mahkota." 　　Yu Jin mengangkat alis: "Siapa pejabat utama penanggulangan bencana ini?" 　　Wakil Menteri Zhao menyatukan tangan: "Hamba yang bertugas." 　　"Apa tujuan kedatangan Putra Mahkota ke sini?" tanya Yu Jin lagi. 　　Wakil Menteri Zhao menjawab: "Mewakili Kaisar untuk menghibur para pengungsi bencana." 　　Yu Jin tersenyum, alisnya yang tajam menampakkan kedinginan: "Barusan Putra Mahkota telah menghibur rakyat kota, kembali ke Jinli Zhen untuk beristirahat wajar adanya. Namun urusan Paduka Zhao belum selesai." 　　"Maksud Pangeran adalah——" 　　"Tentu berdiskusi baik-baik dengan rekan sejawat tentang penanganan pengungsian rakyat kota." Di sini Yu Jin berhenti sejenak, senyum sinis samar di bibirnya, "Ataukah kita tinggalkan rakyat kota menunggu mati di sini?" 　　Kelopak mata Wakil Menteri Zhao berkedut, buru-buru berkata: "Pangeran salah paham, hamba dan staf telah bekerja keras, tak berani mengabaikan nyawa rakyat..." 　　Yu Jin memotong sebelum Wakil Menteri Zhao selesai: "Bagus kalau begitu. Mari ke ruang rapat." 　　Tak lama kemudian ruang rapat dipenuhi pejabat, meski sebagian menemani Putra Mahkota ke Jinli Zhen. Yu Jin tak memaksa kehadiran penuh. 　　"Bagaimana pendapat para Paduka tentang kejadian hari ini?" 　　Wakil Menteri Zhao mengeluh: "Pangeran seharusnya tak membuat pengecualian mengeluarkan anak-anak dari kota. Preseden ini akan menyulitkan pengendalian rakyat." 　　Pejabat ibu kota Dinasti Zhou punya kebiasaan baik: Saat membahas urusan resmi, mereka berani berdebat bahkan dengan Kaisar, apalagi dengan Pangeran tak berkuasa seperti Yu Jin. 　　Setelah Wakil Menteri Zhao memulai, pejabat dari ibu kota ramai-ramai menyetujui. 　　Pejabat daerah hanya diam patuh. 　　"Bantuan bencana adalah milik keluarga itu yang menarik, pasukan adalah mereka yang dikerahkan, yang akan melapor di hadapan Kaisar juga mereka. Tidak ada hak kita untuk bicara, diamlah dan dengarkan." 　　"Fokus Yang Mulia Zhao tidak tepat." Yu Jin mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, "Yang kubicarakan adalah tuntutan rakyat kota. Mereka bisa bertahan satu hari, dua hari, tapi bisakah terus bertahan? Hari ini sudah ada pertumpahan darah, ini baru permulaan. Jika tidak diatasi, saat konflik besar meletus, apakah kita akan menindas mereka dengan kekerasan?" 　　Matanya menyapu setiap orang secara perlahan, berkata dingin: "Jika seperti itu, ini bukan bantuan bencana tapi pembantaian. Di mana hati nurani kalian?" 　　Kerumunan pejabat serentak berubah wajah. 　　Hidup manusia bergantung pada reputasi. Bahkan pejabat korupsi pun ingin memiliki nama baik, apalagi banyak di antara mereka yang ingin berkontribusi. Terutama pejabat rendah daerah yang lahir dan besar di sini, memiliki ikatan kekerabatan dengan warga. Sebaliknya pejabat luar daerah seperti Bupati Qianhe tidak memiliki pertimbangan seperti ini. 　　Di Dinasti Zhou, pejabat daerah tingkat kabupaten ke atas harus berasal dari luar wilayah, inilah alasan Bupati Qianhe tidak memiliki ikatan emosional dengan warga. 　　Wakil Menteri Zhao merasa malu, bertanya: "Ada strategi apa dari Paduka Pangeran?" 　　Yu Jin langsung menjawab tanpa basa-basi: "Di dalam kota, saya usulkan membentuk zona tambahan yang disebut Zona Transisi." 　　"Zona Transisi?" 　　“Bagus, saat ini hanya ada Zona Timur dan Barat, tidak ada pilihan lain. Jika ada penderita penyakit laten dari Zona Timur langsung masuk ke Zona Barat, akan menimbulkan konsekuensi serius. Jika kita membuat zona transisi antara kedua zona tersebut, siapapun yang pindah dari Timur ke Barat harus dikarantina di zona ini selama dua tiga hari untuk mengurangi kemungkinan penderita masuk ke Zona Barat...” 　　Kerumunan manggut-manggut setuju. 　　Usul Pangeran Yan ini bagus, cara ini memang bisa mengurangi risiko. 　　Menteri Zhao mengelus kumisnya tanda setuju, berkata: "Meski begitu, tetap tidak bisa menghilangkan keinginan warga Zona Barat untuk keluar kota." 　　Yu Jin tersenyum: "Mengapa harus menghilangkan? Menahan lebih baik dialihkan, kenapa tidak beri harapan pada warga itu? Selama ada harapan, bahkan mereka yang tetap di dalam kota akan menunggu dengan sabar." 　　Manusia hidup harus punya harapan. 　　Tak ada yang mengajarinya filosofi muluk, tapi dia sangat paham apa yang paling dibutuhkan manusia dalam situasi terjepit. 　　Bukan semangkuk bubur encer di depan mata, atau beberapa tael uang santunan, tapi harapan untuk bisa bertahan hidup. 552.BAB 551 Metode 　　BAB 551 Metode 　　Harapan? 　　Kerumunan saling pandang, tak mengerti maksud perkataan Yu Jin. 　　Menteri Zhao batuk dua kali, bertanya: "Bagaimana Paduka memberi harapan pada warga ini?" 　　"Saya ingin tanya dulu, berapa jumlah warga yang berkumpul di Zona Barat saat ini?" 　　Menteri Zhao langsung menjawab karena hafal datanya: "Hingga kemarin, sekitar 28.000 lebih orang." 　　"Bagaimana dengan Zona Timur?" 　　Wajah Menteri Zhao berkerut kesulitan: "Jumlah di Zona Timur sulit didata, setiap hari selalu ada yang meninggal karena wabah..." 　　“Beberapa pejabat lokal diam-diam mengusap sudut mata mereka.” 　　“Kabupaten Qianhe termasuk kabupaten besar dengan populasi lebih dari 50.000 jiwa. Kini, gempa bumi disertai wabah telah mengurangi hampir separuh penduduk.” 　　“Ini semua adalah manusia hidup yang nyata.” 　　“Saya sudah berkonsultasi dengan tabib istana. Masa inkubasi wabah sekitar dua minggu. Sudah lebih dari sepuluh hari sejak wabah pertama terdeteksi. Mereka yang pertama kali ke area timur tinggal beberapa hari lagi menuju batas waktu ini. Mengapa tidak pilih beberapa ratus orang untuk berkemah sementara di luar kota guna menenangkan rakyat? Dengan begitu, setelah melewati masa inkubasi dengan aman, kita bisa bebaskan warga area barat dari kota.” 　　“Setelah masa inkubasi berlalu tanpa gejala, mereka boleh keluar kota. Para pejabat juga berencana demikian. Namun untuk memastikan keamanan mutlak, mereka tidak mau melepas satu orang pun lebih awal. Inilah yang membuat ketegangan antara pengungsi dan para pejabat semakin memanas seperti pedang terhunus.” 　　“Wakil Menteri Zhao meski menganggap langka seorang pangeran yang begitu memperhatikan rakyat, merasa proposal Yu Jin terlalu naif. Ia menggeleng: ‘Kini ada hampir 30.000 warga di area barat. Sudahkah Paduka mempertimbangkan cara memilih beberapa ratus orang? Memilih satu dari seratus, mana yang layak dipilih? Masalah bukan pada jumlah sedikit tapi ketidakadilan. Jika rakyat yang tidak terpilih menyimpan dendam, situasi mungkin akan lebih kacau dari sekarang.’” 　　“Prinsip ‘bukan masalah sedikit tapi ketidakadilan’ memang benar. Karena itu semua pilihan manusiawi tak akan meyakinkan,” kata Yu Jin dengan tenang. 　　“Lalu maksud Paduka adalah——” 　　“Yu Jin tersenyum memandang kerumunan, mengucap dua kata: ‘Undi.’” 　　“Undi?” 　　Kerumunan saling pandang dengan ekspresi aneh. 　　Masalah serius seperti ini malah diundi? 　　Yu Jin memandangi ekspresi kerumunan dengan dingin, tersenyum sinis di hati. 　　Apa masalahnya dengan undian? Dia sendiri didapatkan melalui undian! 　　Siapa pun yang berani mengoceh, langsung akan kuungkapkan urusan Kaisar, lihat mereka masih berani bicara satu kata pun tidak. 　　Untungnya meski merasa undian kurang serius, para pejabat ini setelah merenung justru merasa metode ini lebih layak. 　　Menyerahkan takdir pada undian, menyerahkan segalanya pada kehendak langit, yang tidak terpilih tak boleh menggerutu. 　　Meski metode ini layak, masih terlalu banyak detail yang perlu didiskusikan. 　　Seorang pejabat daerah tak tahan bertanya: "Kalau undian, caranya bagaimana? Puluhan ribu orang antri mengundi, urutan berbeda pasti tidak adil? Lagipula meski terkumpul di area barat, mereka terbagi zona dan dilarang berpindah agar tidak tertular. Kalau dikumpulkan, risiko infeksi akan meningkat drastis..." 　　Yu Jin mengangguk setuju dengan perkataan pejabat tersebut. 　　Tentu yang disetujuinya adalah paragraf terakhir. 　　Keajaiban undian: peluang sama meski urutan berbeda. Tapi orang awam mengira yang duluan lebih berpeluang. Ia tak mau repot menjelaskan hal ini. 　　Memang benar mengumpulkan ribuan orang akan meningkatkan risiko penularan. 　　“Berkumpul bersama untuk mengundi memang tidak tepat. Paduka Zhao, wilayah mana saja yang dibagi untuk kerumunan di area barat?” 　　“Lima wilayah, masing-masing 5-6 ribu orang. 5-6 ribu orang ini dibagi menjadi tim, tiap tim dibagi lagi menjadi kelompok untuk memudahkan pengelolaan.” 　　“Berapa orang per kelompok?” 　　Wakil Menteri Zhao menatap Magistrate Kabupaten Qianhe. 　　Magistrate Kabupaten Qianhe lalu menoleh ke bawahannya. 　　Bawahan itu buru-buru menjawab: “Satu area dibagi enam tim, tiap tim punya sepuluh kelompok. Tiap kelompok sekitar seratus orang.” 　　Yu Jin menyimak dengan saksama, pandangannya terhadap para pejabat ini mulai berubah. 　　Pejabat yang benar-benar bekerja lapangan jelas lebih berpengalaman daripada orang awam seperti dirinya. 　　Awalnya ada puluhan ribu pengungsi yang kacau balau, dengan pembagian seperti ini hampir bisa dikelola seperti sistem garnisun militer. 　　Hanya saja mengelola warga yang emosional jauh lebih sulit daripada tentara. Ditambah pasukan penanggulangan bencana punya banyak tugas, sumber daya untuk mengelola pengungsi kurang, sehingga terjadi banyak kerusuhan. 　　Yu Jin merenung sejenak lalu tersenyum: “Kebijaksanaan para paduka sungguh membuat hamba pangeran kagum.” 　　Kerumunan pejabat terkejut mendapat pujian, serentak menjawab: “Tuan Pangeran terlalu memuji.” 　　Hati mereka tiba-tiba dipenuhi kesan baik pada Yu Jin. 　　Seorang pangeran yang bisa melihat jerih payah mereka, sungguh mengharukan. 　　“Kalau kelompok sudah dibagi sedetail ini, mudah saja. Tiap kelompok pilih satu orang melalui undian, adil dan merata, tak ada yang bisa protes.” 　　Wakil Menteri Zhao menghitung dengan jari: “Satu kelompok satu orang, tiap area 60 orang. Lima area total 300 orang...” 　　Para pejabat saling bertukar pandang. 　　“Memilih tiga ratus orang untuk keluar dari kota, .” 　　“Setelah tiga ratus orang keluar dari kota, mereka akan tinggal bersama di luar kota. Pengelolaan makanan dan minumen mereka sementara dapat ditangani oleh para pejabat, tidak masalah kan?” 　　Mengetahui tidak semua pejabat ini sampah tak berguna, Yu Jin mulai berbicara dengan lebih sopan. 　　Dengan prinsip "mengukur hati dengan hati", kerumunan merasakan kesopanannya dan rasa hormat mereka semakin bertambah. 　　Pangeran Yan benar-benar jauh lebih baik daripada Putra Mahkota... 　　Shenglang Zhao merenung: “Mengelola tiga ratus orang masih dalam batas kemampuan.” 　　Yu Jin tersenyum: “Tiga ratus orang ini akan menjadi harapan bagi warga kota. Dengan harapan ini, mereka bisa terus menunggu alih-alih memicu konflik beruntun.” 　　Kerumunan mengangguk setuju, menyetujui usulan Yu Jin. 　　“Ada satu hal lagi, hamba pangeran ingin mengingatkan kalian semua.” 　　“Silakan bicara, Pangeran.” Seru kerumunan serempak. 　　“Perlu diberlakukan pembatasan lebih ketat antara zona timur dan barat. Keluarga wanita tadi pagi mungkin berasal dari zona timur, bercampur dengan warga zona barat tanpa pemeriksaan medis. Jika ada yang terinfeksi, akibatnya akan sangat fatal.” 　　Shenglang Zhao mengernyit: “Tenaga terbatas, pasti ada yang lolos...” 　　Yu Jin terdiam. 　　Beberapa hal tidak bisa diselesaikan hanya dengan asumsi, dia hanya bisa memberikan peringatan sebisanya. 　　“Mari laksanakan usulan Pangeran, tenangkan dulu warga kota.” 　　Menjelang sore hari Shenzheng, Yu Jin dan Shenglang Zhao muncul tepat waktu di atas tembok kota. 　　Lebih banyak warga berkerumun di pintu gerbang kota, mata penuh harap tertuju pada pemuda yang berdiri di atas tembok. 　　Saat Yu Jin mengangkat tangan, keributan di tempat itu langsung sunyi senyap. 　　Setelah mendengar penjelasan Yu Jin tentang pengundian kelompok untuk menentukan siapa yang keluar kota, suasana kembali menjadi kacau. 　　Yu Jin kembali mengangkat tangan, menunggu keramaian mereda lalu berkata: "Hamba pangeran ini bodoh, ini sudah cara terbaik yang bisa dipikirkan. Jika semua tidak puas, harap bersabar menunggu para pejabat merundingkan cara yang lebih baik." 　　Rakyat jelata langsung panik mendengarnya. 　　Menunggu pejabat itu memberi solusi bagus? Lebih baik menunggu babi betina memanjat pohon! 　　"Kami setuju!" teriak orang-orang serentak. 553.BAB 552 Er Niu Bukan Anjing Biasa 　　BAB 552 Er Niu Bukan Anjing Biasa 　　Setelah sementara waktu menenangkan warga kota, Menteri Zhao menemani Yu Jin turun dari tembok kota, rombongan kembali ke Kota Jinli. 　　Putra Mahkota sudah lama tidak sabar, melihat Yu Jin dan yang lain kembali, mengerutkan kening: "Hampir gelap kalian baru pulang." 　　Kerumunan tak kuasa menyeringai. 　　Paduka Putra Mahkota ini kabur lebih dulu tapi masih mengeluh mereka pulang terlambat. 　　Pada saat ini, kerumunan semakin merasa Yu Jin lebih baik, sepakat berpikir: Benarlah naga melahirkan sembilan anak yang berbeda. Sama-sama pangeran, mengapa bedanya begitu besar? 　　"Masih lama sampai gelap." Yu Jin meletakkan cangkir teh kosong lalu berdiri, "Saya mau jalan-jalan di kota." 　　Putra Mahkota menjadi bersemangat: "Adik ketujuh mau ke mana? Saya ikut bersama." 　　Yu Jin memandangi Putra Mahkota, ragu sejenak lalu mengangguk. 　　Putra Mahkota yang semula sudah menyiapkan kata-kata penolakan, terkejut melihat Yu Jin justru langsung menyetujui. Dengan agak tersentuh, ia buru-buru melangkah mendekat dan mengangkat tangan hendak menepuk pundak lawan bicara. 　　Yu Jin dengan tenang menghindar sambil melirik sang Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota mengusap hidungnya sambil tersenyum: "Adik ketujuh, mari kita pergi." 　　Melihat kedua saudara itu berjalan bersama, kerumunan yang tertinggal terlihat takjub. 　　Bagaimana mungkin Pangeran Yan bisa akur dengan Putra Mahkota? 　　Batuk-batuk kecil, seharusnya tidak berpikir begitu. Bagaimanapun mereka saudara kandung, dan Putra Mahkota tetap calon penguasa... 　　Kerumunan itu segera bergegas mengikuti. 　　Berbeda dengan keputusasaan dan mati rasa warga Kota Qianhe, Desa Jinli bagaikan dunia lain. 　　Penduduk desa sibuk berlalu-lalang mencari nafkah: teriakan pedagang, pertengkaran, tawar-menawar dengan penjaja, hardikan pada anak-anak... Semua memenuhi udara dengan keriuhan duniawi yang biasa. 　　Putra Mahkota mengamati pemandangan ini dengan penuh minat, lalu menoleh ke Yu Jin: "Tak kira desa kecil juga semeriah ini... Lihat Adik, nona kecil berbaju merah muda itu cukup cantik. Kukira cuma di ibu kota ada wanita cantik..." 　　Putra Mahkota mengusap-usap dagunya, hati mulai berdebar. 　　Entah harus tinggal berapa lama di sini. Andai ada nona berbaju merah muda itu menemani, tentu tak bosan menghabiskan waktu. 　　Yu Jin tidak menanggapi, hanya menepuk punggung Er Niu: "Pergilah bermain." 　　Er Niu menggigil lalu melesat pergi. 　　Melihat sosok gesit anjing besar yang berlari menjauh, Putra Mahkota berkata dengan kagum: "Adik ketujuh, anjingmu ini cukup memahami perasaan manusia." 　　"Er Niu." Yu Jin menatap Putra Mahkota, menekankan lagi. 　　Putra Mahkota menyeringai: "Er Niu memang cukup memahami perasaan manusia." 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Ya, Er Niu bukan anjing biasa." 　　"Tidak biasa bagaimana?" tanya Putra Mahkota penasaran. 　　Senyum Yu Jin mengembang dengan nuansa misterius: "Dulu saat adik terkubur dalam tumpukan mayat, Er Niu yang menggali saya keluar... Er Niu punya kecerdasan meramalkan bahaya..." 　　Putra Mahkota terbelalak: "Meramalkan bahaya? Ini terlalu mistis." 　　Ekspresi Yu Jin tiba-tiba dingin: "Kalau Kakak Kedua tidak percaya, tidak usah dipaksakan." 　　"Bukan tidak percaya padamu, hanya saja aku belum pernah dengar anjing yang bisa meramal bahaya." Putra Mahkota menoleh bertanya pada Menteri Zhao dkk, "Para Paduka pernah dengar?" 　　Menteri Zhao dan yang lain serentak menggeleng: "Belum pernah." 　　Tidak mungkin mengorbankan integritas hanya karena hubungan baik dengan Pangeran Yan. 　　Yu Jin mengangkat alis: "Selain Er Niu, para Paduka juga belum pernah dengar pejabat anjing kelas lima resmi." 　　Kerumunan mengusap hidung, tak bisa membantah. 　　Melihat pandangan Putra Mahkota yang terus mengincar nona kecil, Menteri Zhao buru-buru berkata: "Paduka, Pangeran, waktu makan malam hampir tiba, lebih baik kita kembali ke tempat peristirahatan." 　　"Kalau terus jalan-jalan, bagaimana jika Paduka Putra Mahkota memaksa menculik gadis rakyat?" 　　Ini datang untuk menanggulangi bencana, bukan berwisata. Jika benar terjadi hal seperti itu, Pastinya Kaisar akan memarahinya habis-habisan. 　　Putra Mahkota tak mau pulang, melirik Yu Jin. 　　"Kalau begitu saya panggil Er Niu kembali." Yu Jin menempelkan jari di bibir, meniup peluit nyaring. 　　Tak lama kemudian, seekor Anjing Besar gagah berlari dari kejauhan, diikuti rombongan anjing-anjing dengan bulu dan ukuran beragam. 　　Melihat begitu banyak anjing datang, kerumunan orang spontan kaget. 　　Er Niu berhenti, menoleh dan menggonggong sekali. Segera semua anjing berhenti dan duduk patuh. 　　"Er Niu, kamu ini--" 　　Er Niu menggonggong dua kali gusar ke arah Yu Jin, lalu menggigit celananya. 　　Yu Jin mengerutkan alis dalam-dalam. 　　Orang-orang bingung bertanya, "Pangeran, anjing ini... Er Niu kenapa?" 　　"Sepertinya Er Niu menemukan sesuatu." Kata Yu Jin serius. 　　Mendengar itu, Er Niu menggonggong lebih kencang, seolah menyetujui perkataan majikannya. 　　Orang-orang merasa penasaran sekaligus terkejut. 　　Penasaran apa yang bisa ditemukan Er Niu dalam waktu sebentar, terkejut karena anjing ini benar-benar paham perkataan majikannya. 　　"Er Niu, apa yang kamu temukan?" Yu Jin membungkuk sedikit sambil mengelus kepala anjing besar itu, bertanya sungguh-sungguh. 　　“Er Niu mengelilingi Yu Jin berputar sebentar, tiba-tiba mengangkat satu kaki depannya dan menepuk tanah dengan keras, lalu merebahkan diri di tanah dengan perut menghadap ke atas sambil melakukan gerakan kaku pada keempat kakinya.” 　　Wajah Yu Jin berubah, namun dalam hati merasa lucu: Er Niu ini benar-benar pandai berakting, tidak sia-sia latihannya. 　　Melihat perubahan ekspresi Yu Jin, Putra Mahkota buru-buru bertanya sebelum yang lain: “Adik ketujuh, apa maksud Er Niu?” 　　Yu Jin menatap Putra Mahkota, wajahnya pucat dengan alis hitam tebal yang berkerut dalam: “Er Niu memberitahuku bahwa akan terjadi gempa bumi di tempat ini.” 　　Mendengar kata “gempa bumi”, kerumunan langsung berubah wajah. 　　“Pangeran, jangan-jangan Anda sedang bercanda?” Menteri Zhao spontan berkata. 　　Wajah Yu Jin menjadi serius: “Masalah seperti ini bagaimana mungkin hamba pangeran bercanda?” 　　“Tapi—” Menteri Zhao melirik anjing besar yang masih pura-pura mati, terus menggelengkan kepala, “meskipun Er Niu bermaksud demikian, tapi hanya berdasarkan reaksi seekor anjing saja menyimpulkan akan terjadi gempa bumi di sini, bukankah terlalu gegabah?” 　　“Er Niu bukan anjing biasa, dia bisa meramalkan bahaya.” Yu Jin menegaskan kembali pernyataan sebelumnya. 　　Jika awalnya kerumunan masih menyikapi pernyataan Yu Jin dengan rasa penasaran dan hiburan, kini situasinya berbeda. Terkejut, takut, curiga – berbagai emosi saling bertautan, akhirnya hanya merasa ini konyol. 　　“Pangeran, bagaimana mungkin seekor anjing bisa mendeteksi gempa bumi terlebih dahulu? Bahkan anjing berpangkat resmi kelas lima pun tidak mungkin!” 　　Yu Jin mengangkat alisnya: "Benarkah? Menurut catatan sejarah, sebelum bencana besar terjadi, ayam berkokok, anjing menggonggong, ular dan cacing keluar dari lubang. Semua tanda ini menunjukkan bahwa hewan-hewan ini akan merasakan bahaya lebih dulu daripada manusia. Er Niu adalah yang terbaik di antara jenisnya, kenapa tidak mungkin dia bisa merasakan gempa bumi?" 　　Pertanyaan ini membuat kerumunan tak bisa berkata-kata. 　　Er Niu yang mendengar majikannya memujinya sebagai yang terbaik di antara jenisnya, segera bangkit dari sikap pura-pura mati dan menggoyangkan bulunya dengan bangga. 　　Yu Jin langsung melewati kerumunan dan bertanya langsung ke Putra Mahkota: "Kakak Kedua, di sini akan terjadi gempa bumi, haruskah kita pergi dari tempat ini?" 　　Putra Mahkota mengangguk cepat: "Tentu saja! Tunggu apa lagi? Segera pergi!" 　　Astaga! Pengalaman gempa bumi di depan Kuil Leluhur sudah membuat nyaris copot nyawanya. Terlalu mengerikan, dia harus menjauh dari semua bahaya! 554.BAB 553: Tak Rela Mengorbankan Diri Ini 　　BAB 553: Tak Rela Mengorbankan Diri Ini 　　Putra Mahkota hampir tak sabar: "Adik ketujuh tunggu apa lagi? Segera pergi." 　　Keramaian, nona kecil cantik, semuanya tidak lebih penting dari keselamatan. 　　Dia adalah Putra Mahkota. Begitu kembali ke ibu kota, apapun bisa didapat. Apakah anjing besar Lao Qi bisa meramal bahaya atau tidak, selama sudah dikatakan begitu, dia tak mau mengambil risiko sedikitpun. 　　Seperti kata pepatah, kalau dia sampai celaka, para bajingan itu pasti akan senang. 　　Putra Mahkota terus-menerus mendesak. 　　Kerumunan yang dipimpin Menteri Zhao saling pandang bingung. 　　“Benarkah kita harus pergi hanya karena seekor anjing? Kalau dipikir-pikir ini memang konyol.” 　　Putra Mahkota berubah muram, wajahnya masam disertai senyum sinis: “Tuan Zhao, kalau kalian tidak percaya, silahkan terus tinggal di kota ini. Aku dan Pangeran Yan akan pergi ke tempat lain.” 　　Menteri Zhao segera memberi isyarat pada kerumunan sambil tersenyum: “Seperti kata peribahasa, lebih baik percaya pada yang ada daripada mengabaikan. Karena Er Niu bereaksi seperti ini, lebih baik kita pergi saja.” 　　Lagipula tinggal di mana saja sama saja, tak perlu bertentangan dengan Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota langsung puas: “Adik ketujuh, mari kita pergi.” 　　Tapi Yu Jin tetap diam tak bergerak. 　　Putra Mahkota heran: “Adik ketujuh, kenapa tidak mau pergi?” 　　Yu Jin memandang Putra Mahkota lalu menatap sekeliling kerumunan: “Apa kita akan pergi begitu saja?” 　　Putra Mahkota tertegun: “Lalu bagaimana?” 　　Jangan-jangan dia ingin membawa serta nona kecil berbaju merah muda yang baru saja dilihatnya? 　　Memang ada keinginan seperti itu, tapi urusan semacam ini perlu diplomasi, tak bisa dilakukan secara terbuka yang akan meninggalkan bukti kompromi. 　　Yu Jin mengangkat dagunya, pandangannya tertuju pada warga kota yang lalu-lalang dan kepulan asap dapur yang mulai mengepul. 　　“Bagaimana dengan nasib penduduk kota ini?” 　　Menteri Zhao tiba-tiba menjadi serius, memandang Yu Jin dengan panik. 　　Apa maksud Pangeran Yan? Jangan-jangan ingin mengungsikan seluruh penduduk kota? 　　Hanya karena seekor anjing? 　　Konyol, ini sungguh konyol! 　　Yu Jin berkata dengan tenang: “Para Paduka, gempa bumi di Kabupaten Qianhe menimbulkan korban jiwa lebih dari sepuluh ribu orang, ditambah wabah penyakit yang merenggut nyawa sepuluh ribu jiwa lainnya. Total populasi kabupaten berkurang hampir setengah, betapa dahsyatnya akibatnya?” 　　Beberapa kalimat itu membuat kegelapan menyelimuti hati kerumunan, semua terdiam. 　　Yu Jin menunjuk ke arah tertentu: “Jika gempa terjadi di Kota Jinli, rakyat di sini akan mengikuti nasib rakyat Kabupaten Qianhe, menjadi bencana tak terelakkan lagi...” 　　Wakil Menteri Zhao membuka mulut: “Tapi——” 　　Yu Jin memotongnya dengan datar: “Tidak ada ‘tapi’. Saya tahu para Paduka menganggap mustahil memindahkan seluruh penduduk kota hanya karena reaksi seekor anjing. Bahkan kalian sendiri tidak percaya akan ada gempa. Alasan kalian setuju pindah tempat tinggal sebelumnya hanyalah untuk menyenangkan Putra Mahkota, dan karena pindah tempat tinggal tidak merepotkan. Ini sangat berbeda dengan mengungsikan seluruh kota.” 　　Kerumunan tersenyum kecut. 　　Pangeran Yan cukup bijak, tahu mereka sedang merayu Putra Mahkota. 　　“Tapi bagaimana jika benar terjadi?” tanya Yu Jin. 　　Kerumunan menatapnya. 　　Pandangan Yu Jin menerawang ke kejauhan: “Jika gempa benar terjadi, konsekuensinya tak akan bisa ditarik kembali. Mengungsikan penduduk sementara memang merepotkan, tapi seberapa pun repotnya, tetap sepadan dibandingkan nyawa manusia. Bagaimana pendapat para Paduka?” 　　Kerumunan membisu. 　　Mereka tak bisa menyangkal telah tersentuh oleh ucapan Pangeran Yan. 　　Dibandingkan dengan hidup dan mati, sedikit kerumitan tentu sepadan. 　　"Tapi bagaimana menjelaskannya pada rakyat kota?" Menteri Zhao menggeleng-geleng, "Tidak mungkin bilang karena Er Niu mendeteksi gempa di sini, lalu menyuruh mereka meninggalkan harta di rumah dan mengungsi?" 　　"Benar, tanpa alasan yang meyakinkan, rakyat pasti tak pelit pergi..." 　　"Lagipula, berapa lama harus mengungsi? Pangeran hanya bilang Er Niu mendeteksi gempa di sini, tapi kapan tepatnya?" 　　Semakin lama mereka berdiskusi, semakin tidak mungkin usulan Yu Jin terlaksana. 　　Putra Mahkota mulai panik, mendesak: "Adik ketujuh, lebih baik kita pergi dulu saja." 　　Gempa tidak akan menunggu, bagaimana jika tiba-tiba terjadi? Mengungsi cepat-cepat itu yang utama. 　　Yu Jin dengan tenang mengelus kepala Er Niu, berkata: "Paling lama tidak lebih dari lima hari." 　　"Lima hari?" 　　"Ya. Er Niu hanya bisa memprediksi bahaya beberapa hari sebelumnya, jadi tidak akan lama. Para Paduka, bagaimana kemungkinan bisa membujuk rakyat kota untuk mengungsi lima hari dan berkemah di pinggiran kota?" 　　Menteri Zhao mengusap kumisnya: "Sulit. Pertama, Pangeran harus memberi alasan meyakinkan. Jika bilang ini karena deteksi Er Niu, takkan ada yang mau pergi." 　　Kecintaan dan kerinduan rakyat pada rumah mereka luar biasa. Banyak yang bekerja seumur hidup untuk membangun beberapa kamar dan mengumpulkan harta, mana mungkin pergi hanya karena perkataan kosong. 　　Yu Jin menatap Putra Mahkota: "Bagaimana kalau kita katakan Tuan Putra bermalam di Jinli Zhen tadi malam, dan mendapat peringatan dari makhluk suci dalam mimpi?" 　　Orang-orang pada masa itu percaya pada hantu dan dewa, terutama fenomena gaib yang muncul di kalangan bangsawan - hasil indoktrinasi bertahap dari dinasti ke dinasti. 　　Para penguasa yakin bahwa kombinasi kekaisaran dengan mandat langit akan memperkuat pemerintahan negara. 　　Mendengar usulan Yu Jin, kerumunan segera memandang Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota langsung geleng-geleng kepala menolak: "Tidak boleh!" 　　Jangan main-main, dia sama sekali tak ingin menanggung urusan ini. 　　"Adik ketujuh bisa menjamin pasti akan terjadi gempa bumi?" 　　Yu Jin ragu sejenak, lalu menggeleng. 　　Jika dia terlihat terlalu yakin, justru akan menimbulkan kecurigaan. 　　Apalagi ini hanya mimpi A Si. Meski dia bersedia mempercayai dan berusaha, tetap ada kemungkinan penyimpangan. 　　Dari sudut pandang orang lain, peristiwa dalam mimpi itu mustahil terjadi. 　　"Nah, lihat kan. Jika aku menggunakan namaku untuk membujuk warga pindah, lalu gempa tidak terjadi? Bukankah nanti seluruh negeri akan menganggapku pembohong, atau makhluk suci mempermainkan Putra Mahkota?" Sang Putra berbicara dengan logika rapi. 　　Menyangkut reputasinya sendiri, Putra Mahkota sama sekali tidak main-main. 　　Kerumunan langsung mengangguk-angguk setuju. 　　Perkataan Putra Mahkota memang masuk akal. Entah masyarakat menganggapnya sembrono atau makhluk suci mempermainkuan, keduanya menunjukkan dia bukan calon penguasa yang layak... 　　Melihat ekspresi serius Yu Jin, Putra Mahkota menghela napas: "Adik ketujuh, kau juga harus memikirkan kakak. Aku baru saja dipulihkan jabatannya, semua orang sedang mengawasi. Jika memindah-balikkan penduduk satu kota tapi akhirnya tidak terjadi gempa, Ayah Kaisar pasti akan memarahiku habis-habisan..." 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu berkata dengan wajah tenang: "Kalau begitu, katakan saja dewa memasuki mimpiku untuk memberi peringatan." 　　Dia menatap dalam-dalam ke arah Putra Mahkota: "Jika Kakak Kedua tidak keberatan—" 　　Putra Mahkota segera menyahut: "Tidak masalah, tidak masalah, katakan saja seperti itu." 　　Lebih baik Lao Qi yang mau mengambil alih tanggung jawab ini, asalkan aku tidak perlu bertanggung jawab. 　　Menurutnya, Lao Qi ini sudah kenyang malah ikut campur urusan orang... 　　Ekspresi kerumunan menjadi samar-samar. 　　Dewa memilih memberi mimpi kepada Pangeran Yan alih-alih Putra Mahkota, entah harus disebut keberanian Pangeran Yan atau kelambanan Putra Mahkota? 　　Sekalipun gempa benar-benar terjadi, tindakan Pangeran Yan ini justru tidak menguntungkan, nanti pasti akan menimbulkan kecurigaan Kaisar dan Putra Mahkota. 　　Yu Jin menatap seluruh hadirin dengan tenang: "Saya mengerti apa yang Paduka pikirkan. Apa arti nyawa ini jika bisa menyelamatkan satu kota?" 555. BAB 554 Peringatan Dewa 　　BAB 554 Peringatan Dewa 　　Apa arti nyawa ini jika bisa menyelamatkan satu kota? 　　Kerumunan terguncang hatinya, pandangan mereka terhadap Yu Jin kini sudah berbeda. 　　“Wakil Menteri Zhao seolah melihat kembali sosok pemuda bermata tajam itu berdiri di atas tembok kota Kabupaten Qianhe, melepaskan tiga anak panah berturut-turut yang membentur lonceng fajar hingga meredam keributan, lalu terjun dari tembok untuk mengangkat anak kecil yang terjatuh.” 　　“Bahkan seorang Pangeran pun bertindak demikian, masih apa yang perlu ia khawatirkan?” 　　“Mengajak warga kota untuk sementara mengungsi—jika gempa benar terjadi, nyawa seluruh penduduk kota akan terselamatkan. Jika tidak terjadi, paling-paling hanya mendapat celaan dan tertawaan.” 　　“Mana yang lebih penting, tidak perlu dijelaskan lagi.” 　　“Bagaimana pendapat para Paduka?” tanya Wakil Menteri Zhao. 　　Pejabat dari ibu kota langsung paham bahwa Wakil Menteri Zhao setuju. 　　“Jika atasan sudah menyetujui, masih perlu apa kita bicara?” 　　“Melawan arus di saat seperti ini hanya akan menyinggung seorang Pangeran, sama sekali tidak menguntungkan.” 　　Perasaan pejabat lokal agak rumit. 　　“Para pejabat ibu kota ini mau ikut-ikutan Pangeran Yan berbuat konyol. Nanti setelah semua selesai, mereka bisa kembali ke Ibu Kota dengan tenang, meninggalkan kita yang dicibir rakyat dari belakang.” 　　“Tapi sepertinya hak untuk menolak pun tidak mereka miliki.” 　　Sekretaris Kabupaten Qianhe membuka mulut hendak bicara, namun langsung ditarik lengan oleh Bupati Qianhe. 　　Melihat tidak ada yang keberatan, Wakil Menteri Zhao berkata: “Jika semua Paduka setuju, panggillah Lurah ke sini.” 　　Tak lama kemudian, seorang pria tua muncul di depan kerumunan. 　　Pria tua itu terlihat sangat bersemangat, segera memberi salam kepada semua orang. 　　“Hamba memberi hormat kepada Paduka Putra Mahkota, Paduka Pangeran, dan para Paduka——” 　　“Lihat Lurah sampai-sampai hampir pingsan karena terkesima,” Pejabat Kabupaten Qianhe berdehem, “Lurah, kami memanggilmu untuk membahas urusan penting.” 　　“Silakan Paduka Pejabat Kabupaten memberi perintah.” Dibandingkan dengan rasa takutnya pada Putra Mahkota yang begitu tak terjangkau, sikap hormat Lurah terhadap Pejabat Kabupaten terasa lebih nyata. 　　Paduka Pejabat Kabupaten yang suka semena-mena itu—eh, salah ucap—Paduka Pejabat Kabupaten yang berwibawa. 　　Lurah diam-diam mengusap keringatnya. 　　Pejabat Kabupaten Qianhe dengan wajah kaku berkata: “Tadi malam Pangeran beristirahat di Kota Jinli, tiba-tiba ada dewa yang muncul dalam mimpi memberi peringatan, mengatakan dalam lima hari pasti akan terjadi gempa bumi di Jinli——” 　　Lurah wajahnya berubah pucat: “Benarkah hal ini?” 　　Pejabat Kabupaten Qianhe mengernyitkan alis dengan tidak senang: “Apa maksudmu? Mungkinkah Pangeran akan bercanda seperti ini?” 　　Lurah melirik Yu Jin sekilas. 　　Pemuda yang terlihat di depannya adalah pria tampan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, tegak bagai pohon pinus yang menjulang, sungguh memikat hati. 　　Pemuda setampan ini umumnya tidak akan bermain-main dengan lelucon. 　　Entah mengapa Lurah tiba-tiba terlintas pikiran aneh ini, baru kemudian kembali berpikir jernih, menunggu Pejabat Kabupaten Qianhe melanjutkan. 　　“Maksud para Paduka adalah meminta Lurah segera menggerakkan warga kota untuk secepatnya evakuasi dari tempat ini……” 　　Lurah terdiam membeku. Setelah Pejabat Kabupaten selesai bicara, ia gagap: “Ini... ini tidak mungkin……” 　　“Mengapa tidak mungkin?” Pejabat Kabupaten Qianhe mengerutkan kening. 　　Lurah mengusap keringat di dahinya: "Paduka, meskipun Pangeran mendapat peringatan lewat mimpi dari dewa, ke mana rakyat akan tinggal setelah mengungsi dari kota? Bagaimana dengan makanan dan minuman? Lalu harta benda di rumah mereka bagaimana?" 　　"Ini mudah." Yu Jin menyela, "Meski seribu lebih penduduk kota bukan jumlah kecil, berkemah di pinggiran kota selama beberapa hari dengan pasokan makanan dari para pejabat masih bisa diatasi. Untuk harta benda, bawa yang bisa dibawa, tinggalkan sementara yang tidak bisa. Nyawa lebih berharga daripada harta duniawi." 　　Lurah memberanikan diri: "Tapi bagaimana dengan babi, kambing, ayam dan bebek? Ayam bebek masih bisa dimaafkan, tapi tidak mungkin membawa babi kambing? Jika dibiarkan beberapa hari tanpa makan pasti mati, rakyat pasti tidak tega." 　　Yu Jin mengernyit tapi paham betapa pentingnya ternak bagi rakyat jelata. 　　Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan: "Segera minta Lurah mengumpulkan data. Untuk setiap hewan ternak yang sulit dibawa, para pejabat akan memberi ganti rugi sesuai harga pasar... Tidak, ganti rugi ganda—" 　　"Pangeran!" kerumunan berteriak serempak. 　　Dana bantuan bencana dari istana sudah ada alokasinya. Jika benar terjadi gempa di Jinli Town tidak masalah, tapi jika ternyata usaha sia-sia, lubang defisit besar ini tidak bisa ditutup. 　　Yu Jin berkata dingin: "Jika tidak terjadi gempa, defisit ini akan ditanggung oleh Kediaman Pangeran Yan." 　　Mendengar ini, kerumunan pun diam dan mata mereka beralih memandang Putra Mahkota. 　　“Pangeran Yan bersedia menggunakan uang istana pangeran untuk menutupi defisit, apakah Putra Mahkota tidak menunjukkan sikap sama sekali?” 　　Putra Mahkota terlihat sangat tenang. 　　Dia tidak punya uang! 　　Bagaimana mungkin ada tabungan bagi orang yang sejak kecil tinggal di Istana Timur? Hampir mati kelaparan setelah beberapa bulan tinggal di Taman Jing. 　　Lapisan kekecewaan kerumunan terhadap Putra Mahkota bertambah, meski tak secuil pun terlihat di wajah mereka. 　　“Lurah, apakah ini bisa diterima?” tanya Yu Jin. 　　Lurah mengangguk ragu: “Orang tua ini akan segera mengajak warga mengungsi dari kota...” 　　Terlalu tidak masuk akal, matahari hampir terbenam dan keluarga-keluarga sudah mulai memasak makan malam. 　　Dang dang dang—— 　　Bunyi gong nyaring segera mengumpulkan warga kota. 　　Memberi peringatan atau mengumumkan hal penting dengan gong sudah menjadi kebiasaan di seluruh Dinasti Zhou, sehingga orang-orang akan langsung berlari keluar rumah begitu mendengarnya. 　　“Warga sekalian, tadi malam Pangeran tinggal di Kota Koi kita. Seorang dewa memberi peringatan dalam mimpi bahwa gempa bumi akan terjadi dalam lima hari. Demi keselamatan, segera kemas barang berharga dan mengungsi sementara...” 　　Warga kota kaget, reaksi pertama mereka adalah tidak percaya. 　　“Lurah, Kota Koi kita belum pernah mengalami gempa bumi selama ratusan tahun!” teriak seorang warga lanjut usia. 　　Siapa yang mau meninggalkan rumah nyaman untuk tidur di alam terbuka? 　　Lurah tak bisa tidak menatap Magistrat Qianhe. 　　Pejabat Kabupaten Qianhe yang jarang bertindak cerdik, berteriak: "Warga sekalian, jangan-jangan lupa, Kabupaten Qianhe juga tidak pernah mengalami gempa bumi selama ratusan tahun, lalu bagaimana sekarang?" 　　Begitu mendengar Pejabat Kabupaten Qianhe menyebut gempa di kabupaten, orang-orang terdiam. 　　Kota Jinli tidak jauh dari Kabupaten Qianhe, pasti ada hubungan kekerabatan. Banyak kerabat warga tewas dalam gempa langka seabad ini. 　　Pejabat Qianhe sangat puas karena satu kalimatnya meredakan keributan, lanjut berkata: "Jika kabupaten bisa diguncang gempa, mengapa Kota Jinli mustahil? Ada dewa masuk mimpi memberi peringatan pada Pangeran, ini berkah besar bagi kalian semua!" 　　Berkah? 　　Tidak hanya warga kota yang tertegun, Yu Jin pun terpaku. 　　Kok tiba-tiba jadi bahas berkah? 　　Pejabat Qianhe dengan wajah serius berkata: "Mengapa warga kabupaten tidak bisa menghindari bencana ini? Karena tidak ada orang mulia seperti Pangeran di sana, dewa pun tak punya pilihan untuk memberi peringatan. Paduka Putra Mahkota dan Pangeran kebetulan singgah di Jinli, barulah kita dapat peringatan. Menurut kalian, bukankah ini berkah?" 　　Warga kota mengangguk bingung. 　　Perkataan Pejabat Kabupaten sepertinya masuk akal. 　　Yu Jin mengusap dagunya pelan. 　　Tak disangka, Pejabat Qianhe ternyata orang berbakat. 　　Di satu sisi karena takut akan keajaiban, di sisi lain karena kepatuhan alami terhadap pemerintah, yang lebih penting lagi adalah janji kompensasi uang untuk hewan hidup seperti babi dan kambing yang sulit dibawa pergi. Atas seruan Bupati Qianhe dan Lurah, warga Kota Jinli akhirnya setuju untuk sementara mengungsi dari kota. 556.BAB 555 Evakuasi 　　BAB 555 Evakuasi 　　Senja Mei masih terang, ketika warga kota beramai-ramai mengungsi dengan membawa seluruh keluarga, langit berwarna jingga kemerahan. 　　"Jangan makan lagi, jangan makan lagi! Para pejabat sudah menunggu!" Teriak petugas yang diorganisir Lurah kepada orang-orang yang masih menyantap makan malam di rumah. 　　Pria yang dikejar-kejar itu meletakkan mangkuk keramik kasar di atas meja kayu, bergumam kesal: "Apa-apaan ini? Aku tidak percaya mimpi dari dewa ini. Sampai-sampai makan saja tidak tenang." 　　"Sudahlah, jangan menggerutu. Dua babi milikmu yang tidak bisa dibawa akan diganti uang yang lumayan." 　　Mendengar ini, si pria langsung diam. Setelah mengusap mulutnya, ia mengangkat pikulan penuh barang, membawa istri dan anaknya pergi. 　　Di ambang pintu, ia melirik penuh rindu ke kandang babi tempat dua ekor babi gemuknya sedang mengendus-endus, baru kemudian mengunci rumahnya. 　　Banyak warga yang merasa tidak puas, terutama ketika mereka dibawa ke tanah lapang di tengah hutan belantara, kemarahan mereka semakin memuncak. 　　"Apa? Malam ini kita harus tidur di hutan liar begini?" 　　"Benar juga, katanya ada tenda. Tidur di sini begini saja kan cuma mengenyangkan nyamuk?" 　　"Ibu, aku mau pulang——" Tangisan anak kecil itu semakin membuat orang dewasa kesal. 　　Beberapa orang langsung berdiri: "Tidak bisa! Ayo tanya Lurah, penempatan seperti ini tidak boleh diterima!" 　　Lurah dikerubungi kerumunan orang, kepalanya seperti hendak pecah. 　　"Lurah, tidur di sini tidak mungkin. Meski sudah masuk bulan lima, malam hari lembab dan nyamuk banyak. Orang dewasa mungkin tahan, tapi para gadis tidak akan kuat." 　　"Iya betul! Lebih baik pulang saja. Buat apa tidur di hutan belantara ini daripada di kang yang nyaman?" 　　Lurah yang pusing mendengar teriakan itu berusaha menenangkan: "Saudara-saudara tenanglah! Para Paduka sudah mengirim tentara untuk mendirikan tenda. Sabar sebentar lagi!" 　　"Langit sudah hampir gelap gulita. Masak prajurit-prajurit itu akan datang? Lurah, pasti para pejabat hanya membohongimu." 　　Wajah Lurah memerah karena malu. Dengan wajah masam ia membentak: "Jangan asal bicara! Mana mungkin pejabat membohongi saya?" 　　Warga kota itu serentak mengeluarkan suara cibir: "Srrrt." 　　Pejabat pemerintah mana yang tidak pernah membohongi rakyat kecil seperti mereka? 　　“Lurah batuk-batuk: "Ahem, maksud saya meski pejabat mungkin membohongi kita, tapi Paduka Putra Mahkota dengan Pangeran tak mungkin berbohong. Orang sebesar itu kan, ludahnya adalah paku, tak mungkin ingkar janji. Lagi pula, bukankah Pangeran berjanji memberi subsidi uang? Untuk babi gemuk dihargai satu tael perak, kita dapat subsidi dua tael! Ini jauh lebih menguntungkan daripada memelihara babi sampai tahun baru untuk disembelih. Benar tidak, warga sekalian?"” 　　“Begitu mendengar Lurah menyebut subsidi uang, suara-suara penentang melemah.” 　　“Dalam hati Lurah mengakui kecerdikan Pangeran Yan - untuk meredakan keresahan, tak ada yang lebih ampuh daripada uang, sejak zaman dulu memang begitu.” 　　“"Kalau begitu, mari kita tahan dulu."” 　　“"Ya, tahan saja. Uangnya belum kita terima."” 　　“"Bagaimana jika... mereka tidak memberikannya?"” 　　“Sementara warga kota berbisik-bisik, derap langkah kaki bergema.” 　　“"Lihat! Pasukan datang!"” 　　“Tak lama kemudian sebuah tim dengan perlengkapan logistik mendekat dari kejauhan.” 　　“Melihat begitu banyak prajurit, warga justru menjadi takut bersuara, hanya memandang gugup saat pasukan keamanan cepat-cepat mendirikan tenda demi tenda di tanah lapang.” 　　“Senja di ufuk baru saja menghilang, bintang-bintang bertaburan di langit. Padang yang sebelumnya sepi kini dipenuhi tenda-tenda.” 　　“Para lansia dan perempuan-anak diutamakan masuk tenda. Setelah pembagian, masih banyak yang belum kebagian tempat.” 　　“Yang memimpin pasukan keamanan datang adalah Yu Jin. Mendengar keluhan orang-orang ini, ia berseru: "Tenda terbatas, kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya."” 　　“Menghadapi pangeran yang berwibawa, keluhan-keluhan itu tidak berani diucapkan terang-terangan. Seseorang di tengah kerumunan bertanya: "Pangeran, berapa lama kita harus tinggal di sini ya?"” 　　“"Minimal dua hari, maksimal lima hari."” 　　“Mendengar ini, kerumunan langsung ramai berdiskusi.” 　　“"Harus tinggal di tempat kumuh ini berhari-hari! Bagaimana kalau hujan? Meski tidak hujan, kita yang tidak punya tenda pasti akan jadi santapan nyamuk di malam hari, siang hari panas terik..."” 　　“"Benar! Terlalu menyiksa! Lebih baik pulang saja..."” 　　“Yu Jin mengerutkan kening.” 　　“Belas kasihannya terbatas. Tugasnya sudah dilakukan. Jika ada yang nekat pulang, dia pun tak mungkin menghalang-halangi.” 　　“"Hamba pangeran memang mendapat peringatan dari dewa bahwa Kota Jinli akan gempa. Demi keselamatan warga, kami menempatkan kalian di sini. Mohon bertahan beberapa hari. Meski panas, hujan, dan digigit nyamuk, setidaknya nyawa kalian aman."” 　　“Sebagian orang menyeringai diam-diam.” 　　“Jika benar ada bahaya maut, penderitaan ini tentu sepadan. Tapi siapa yang tahu apakah benar akan terjadi gempa?” 　　“Dari seribu lebih penduduk Jinli, sebagian besar percaya pada ramalan dewa yang diterima Pangeran Yan. Tapi selalu ada minoritas yang tidak percaya dan lebih mementingkan hal-hal konkret.” 　　“Subsidi uang yang dijanjikan Pangeran Yan belum kunjung turun. Jangan-jangan ini cuma tipuan belaka?” 　　“Sedang berpikir, tiba-tiba mendengar Yu Jin berkata: ‘Subsidi uang yang dijanjikan untuk warga sudah hamba pangeran bawa. Hari ini akan dibagikan setengahnya dulu, sisanya akan diberikan saat kalian pergi. Tentu saja, siapa yang pergi lebih awal tidak akan mendapat bagian sisanya.’” 　　“Mendengar subsidi setengahnya akan segera dibagikan, orang-orang langsung bersukacita.” 　　“Setengah pun sudah bagus, kan memang seharusnya diberikan dua kali lipat. Setengahnya saja sebenarnya sudah bisa menutupi kerugian... Tidak, setengahnya saja sudah untung!” 　　“Perlu diketahui ini masih bulan Mei, babi di kandang masih kurus. Satu tael perak ini dihitung berdasarkan harga babi saat siap dijual.” 　　“Melihat warga kota berkerumun mengambil uang, Yu Jin sedikit lega. Saat kembali ke tempat tinggal barunya, hari sudah larut malam.” 　　“Meski larut, Putra Mahkota ternyata belum tidur.” 　　“‘Adik ketujuh, akhirnya kau kembali.’” 　　“‘Kakak Kedua belum tidur?’” 　　“Putra Mahkota melambaikan tangan: ‘Tidak bisa tidur.’” 　　“Setelah pindah ke Kota Ayam Hitam, Putra Mahkota semakin ingin Kembali ke Ibu Kota.” 　　“Tinggal di Kota Ayam Hitam tidak seenak Kota Koi. Putri tuan tanah di sini juga tidak secantik putri tuan tanah di Kota Koi...” 　　“‘Erm, kalau begitu saya tidur dulu.’ Tidak seperti Putra Mahkota yang seharian bosan, Yu Jin sudah sibuk menenangkan pengungsi di Kota Sungai Uang siang hari, lalu malamnya menghibur warga Kota Koi. Lelah sekali secara fisik dan mental.” 　　“Melihat Yu Jin hendak mandi dan tidur, Putra Mahkota buru-buru bertanya: ‘Adik ketujuh, benarkah akan ada gempa di Kota Koi?’” 　　Dalam kegelapan malam, Yu Jin memandangi Putra Mahkota di bawah sinar lentera halaman, lalu berkata datar setelah beberapa saat: "Jika bisa menghindari gempa, tentu lebih baik." 　　Meski menurut perkataan A Si dia telah membujuk seluruh penduduk kota untuk sementara mengungsi, tapi dia tak berharap bencana alam benar-benar terjadi. 　　Bencana alam bisa menghancurkan rumah yang dibangun seumur hidup dalam sekejap, terlalu kejam dan tak berperasaan. 　　Putra Mahkota berpikir lebih praktis: "Tapi jika tidak terjadi gempa, Ayah Kaisar pasti akan menghukummu..." 　　Yu Jin tersenyum acuh: "Tak masalah, Biro Urusan Kerajaan saja sudah kumasuki dua kali. Kakak Kedua, saya permisi mandi dulu." 　　Memandang punggung Yu Jin yang menghilang di pintu, Putra Mahkota merasa iri. 　　Mengapa Lao Qi tidak takut pada Ayah Kaisar? 　　Sehelai ekor berbulu lebat menyapu, membuat Putra Mahkota terkejut. 　　"Siapa?" 　　Er Niu memandangi Putra Mahkota dengan sikap merendahkan, lalu pergi sambil mengibaskan ekornya. 557.BAB 556 Hujan Turun 　　BAB 556 Hujan Turun 　　Keesokan harinya cerah berangin, penduduk Kota Jinli yang menginap di tanah liar antre menerima bubur dan mi dari petugas, semua terlihat lesu. 　　Kecuali anak-anak yang berlarian liar di sawah. 　　Anak-anak yang semalam masih merengek pulang kini berlarian di bawah langit biru berawan, saling kejar sambil tertawa riang. 　　Ini sedikit meredakan kegelisahan para orang dewasa. Setelah menghabiskan mangkuk bubur, mereka saling pandang dalam diam. 　　"Hari ini masih harus bekerja di ladang," kata seseorang. 　　“Masih bulan kelima, pekerjaan di sawah semakin menumpuk. Tidak boleh ada hari yang terbuang.” 　　Lurah kembali dikepung berlapis-lapis oleh warga. 　　“Lurah, hari ini harus pergi mencangkul.” 　　“Lurah, jagung keluarga kami belum ditanam. Jangan sampai tertunda.” 　　“Benar, Lurah! Beri kami kepastian, bisakah kita pergi dari sini?” 　　Keringat mengucur deras di wajah Lurah bagai orang kepanasan: “Tenang dulu, masih pagi. Nanti saat para Paduka datang akan kubicarakan.” 　　Beberapa warga menatap langit: “Masih pagi? Matahari sudah terbit. Biasanya saat langit masih gelap kami sudah angkat cangkul...” 　　“Biasa-biasa aja! Mana ada gempa tiap hari?” Lurah kesal bergumam. 　　Gumamannya memicu rentetan pertanyaan: “Lurah, benarkah kota kita akan diguncang gempa?” 　　Lurah meneguk air besar-besaran. 　　Menjawab pertanyaan itu hampir membuat bibirnya pecah-pecah. 　　Saat Yu Jin muncul, Lurah buru-buru menghampiri: “Pangeran, warga sudah tidak sabar.” 　　“Tidak sabar akan apa?” 　　Lurah mengeluh: “Pangeran mungkin belum tahu. Bulan kelima dan keenam adalah puncak musim tanam. Tenaga kerja sangat dibutuhkan.” 　　Yu Jin mengangguk pelan setelah merenung: “Warga boleh ke sawah, tapi setelah bekerja harus kembali tidur di sini.” 　　Khawatir mereka pulang ke rumah, ia menegaskan: “Menjelang senja, Lurah harus pastikan jumlah warga lengkap.” 　　Lurah mengusap keringat di dahinya, berbisik: "Pangeran, jumlah penduduk kota ini lebih dari seribu. Jika ada yang menyelinap kembali, mungkin sulit untuk dihitung." 　　"Lakukan semampunya saja." 　　"Baik, baik." Lurah hanya bisa mengangguk. 　　"Long Dan, kau tetap di sini membantu Lurah." 　　Long Dan mengepalkan tangan: "Siap." 　　Yu Jin melirik sekeliling, lalu pergi bersama Er Niu. 　　Saat senja tiba, ternyata ada sekitar seratus orang yang belum kembali. 　　Lurah dengan pasrah menyuruh beberapa orang membawa gong ke kota untuk membujuk tujuh puluh hingga delapan puluh orang kembali. 　　Yu Jin sibuk seharian mengurus pengungsi baru di Kota Xian He, baru mendengar laporan Long Dan saat kembali ke Kota Wuji malam hari. 　　"Artinya, setelah selesai kerja ladang, yang kembali ke Kota Jinli hanya sepuluh persen?" 　　Sepuluh persen, artinya satu dari sepuluh. 　　"Tuanku, benar begitu. Menurut hamba, bukankah mereka bodoh? Padahal Tuan sudah berusaha keras, masih saja nekat kembali mencari bahaya." 　　Yu Jin tersenyum: "Bagaimana bisa memaksa semua orang mempercayai sebuah mimpi?" 　　Long Dan melanjutkan: "Kemudian Lurah berhasil membujuk 70-80 orang kembali, tapi masih ada belasan orang yang bersikeras tidak mau pergi." 　　Yu Jin mengerutkan alis, mandi di halaman penginapan sementara, lalu kembali ke kamar untuk tidur. 　　Malam musim panas sangat hidup, suara burung dan serangga memenuhi telinga. 　　Yu Jin tak bisa tidur, merindukan Jiang Si. 　　Bagaimana kabar A Si? Apakah perutnya semakin membesar? Masih mudahkah bergerak? 　　Tanpa kehadirannya, apakah dia juga sulit tidur seperti dirinya? 　　Saat ini Jiang Si memang belum tidur. 　　"Menghitung hari-hari kepergian Yu Jin, hatinya terus-menerus cemas." 　　"Kapankah tepatnya gempa kedua yang kejam itu terjadi? Atau mungkin sudah terjadi, hanya belum sampai kabarnya ke ibu kota?" 　　"Ibu kota dan Kabupaten Qianhe letaknya tidak jauh. Jika benar terjadi, dengan kurir delapan ratus li, besok pasti kabarnya sudah sampai." 　　Dia mengusap perutnya yang membuncit tinggi, lalu berbalik pelahan-pelahan dengan hati-hati. 　　"Tuanku, tidak bisa tidur?" A Qiao yang tidur di lantai bangun, mengambil bantal untuk menyangga kaki Jiang Si sembari memijat betisnya perlahan. 　　Memasuki trimester akhir kehamilan, Jiang Si kerap mengalami kram betis di malam hari. Saat Yu Jin di rumah, dialah yang selalu memijat kaki istrinya. 　　Melihat A Qiao melakukan tugas yang biasa dikerjakan Yu Jin, Jiang Si semakin merindukan suaminya yang sedang di perjalanan. 　　"Tidur." Dia menghela napas sambil menatap kelambu bermotif bunga warna langit, lalu menutup matanya kembali. 　　Penduduk Kota Jinli sudah tiga hari tidur di tanah lapang. Yang tidur di tenda masih lumayan, sementara yang tidur di luar sudah penuh bentol digigit serangga. 　　Anak-anak yang awalnya merasa seru kini mulai bosan dan merengek minta pulang. 　　"Ibu, aku ingin makan bakpao. Di sini cuma ada roti kukus dan bubur encer." 　　"Ayah, badan Nini panas. Sudah kubilang tidur di lapangan begini tidak baik, mana tahan anak kecil..." 　　"Gatal sekali! Aku mau mandi!" 　　Keluhan-keluhan mulai bermunculan semakin sering. 　　"Menjelang sore, situasi tiba-tiba berubah. Hujan turun tanpa diduga." 　　"Dalam kondisi begini, bukan cuma yang tak punya tenda, bahkan yang punya tempat berteduh pun mulai tak tahan." 　　"Lihat derasnya hujan ini. Kalau turun semalaman, kuatkah tenda-tenda ini menahan?" 　　"Semakin banyak orang berteriak minta pergi." 　　Lurah teringat pesan Yu Jin, wajahnya memerah karena panik: "Jangan pergi! Pangeran sudah bilang, paling lambat lima hari lagi desa ini akan diguncang gempa. Waktunya tinggal sebentar lagi, tahanlah sebentar wahai warga!" 　　"Tahan?" Seorang pria kekar mengusap wajahnya, "Hujan deras begini, mau tidur bagaimana malam ini? Lurah, kau saja yang tahan, aku tidak sanggup!" 　　"Benar, kami tidak sanggup!" Banyak orang mulai bersorak mendukung. 　　Orang-orang yang ngotot pergi berkumpul dan berjalan maju menerobos hujan. 　　Yu Jin yang terburu-buru datang berdiri di depan, bajunya basah kuyup oleh air hujan. 　　"Pangeran, mereka ngotot mau pulang," Long Dan menyambutnya. 　　Yu Jin mengangguk, mengusap air hujan yang hampir masuk ke matanya, lalu berseru: "Benarkah warga sekalian mau pulang?" 　　Meski deras hujan, suaranya menembus angkasa dan sampai ke telinga kerumunan. 　　Pria kekar itu berteriak: "Pangeran, kami sudah tinggal di sini beberapa hari. Mana ada gempa? Sekarang hujan deras begini, tempat ini terlalu polos untuk tidur. Kami mau pulang!" 　　"Jika warga pulang sekarang, separuh uang subsidi sisanya akan hilang!" teriak Long Dan. 　　Pria tinggi kekar menggelengkan kepala: "Aku lebih baik tidak menerima kompensasi dan pulang, anakku sedang demam." 　　Wanita yang berdiri tepat di sebelah pria tinggi kekar itu menggendong bayi, kepala si kecil ditutupi topi anyaman daun. Wajahnya memerah karena demam, matanya yang lebar menatap Yu Jin. 　　Tatapan mata hitam seperti anggur itu membuat hati Yu Jin yang semula dingin menjadi lunak: "Satu tael perak." 　　"Apa?" Kerumunan bingung menangkap maksudnya. 　　Yu Jin berkata datar: "Dihitung per kepala. Selain kompensasi yang sudah disepakati, setiap orang yang tetap tinggal akan mendapat satu tael perak." 　　Banyak yang semula berniat pulang menyeka air hujan di wajah mereka dengan kasar. 　　Satu tael perak setara dengan pendapatan setahun menggarap ladang! Hujan bukan masalah, bahkan badai pisau pun takkan mengusir kami! 558. BAB 557 Bencana Tiba 　　BAB 557 Bencana Tiba 　　Sebagian besar tetap tinggal demi satu tael perak, tapi segelintir orang nekat pulang. 　　Seperti pria tinggi kekar itu. Berkat tenaganya yang perkasa, dia menjadi tulang punggung keluarga. Saat musim dingin tiba dan aktivitas pertanian sepi, dia bisa bekerja sebagai kuli angkut untuk menambah penghasilan. Kehidupan keluarganya lebih sejahtera dibanding warga biasa, sehingga enggan bertahan di tanah terbuka yang tak ada atapnya ini hanya demi satu tael perak. 　　"Apa artinya satu tael perak? Kalau anak sakit, berapa pun uang takkan menggantikan kesehatannya. Pulang ke rumah yang nyaman, minta istri memasak air jahe merah, itu baru nikmat!" 　　Terpengaruh ucapan pria itu, tiga lima orang berpindah ke sisinya. 　　Yu Jin melirik sekilas, sekitar seratus orang yang bersama para pria itu. 　　Terhadap orang-orang yang bersikeras pergi ini, dia tidak berniat membujuk lagi. 　　Dia bisa menambah tael perak lagi, asal jumlahnya cukup, pasti bisa mempertahankan mereka. Tapi itu tidak masuk akal. 　　Jika menambah tael untuk mereka, bagaimana dengan yang memilih bertahan? Haruskah ditambah juga? 　　Seribu lebih orang, tambahan uang sebanyak itu harus ditanggung Kediaman Pangeran Yan? 　　Jika tidak ditambah, yang awalnya mau tinggal akan merasa tidak adil, pasti lebih banyak lagi yang merengek pulang. 　　Apalagi menurut Yu Jin, kita boleh membantu yang terjepit, tapi nasib akhir tetap di tangan mereka sendiri. 　　Dia sudah mengorbankan reputasi dan melakukan semua yang bisa dilakukan. Sisanya tergantung pilihan mereka. 　　Sambil berpikir demikian, pandangan Yu Jin kembali tertuju pada kelompok yang nekat kembali ke kota. 　　Hampir semuanya keluarga lengkap - pria, wanita, tua muda, termasuk belasan para gadis. 　　Mungkin karena sebentar lagi menjadi ayah, hati Yu Jin mudah luluh melihat anak-anak kecil. 　　Jika nasib orang dewasa bisa mereka pilih, para gadis ini tak punya pilihan. Mereka hanya bisa ikut keputusan orangtua. 　　Dia bersuara lagi: "Dari sini ke kota butuh minimal Dua shichen. Para gadis kehujanan selama ini, sehat pun bisa sakit. Daripada memaksa mereka kehujanan, lebih baik tinggal di tenda yang bisa menghalang angin dan hujan. Bagaimana pendapat Paduka?" 　　Ada beberapa keluarga yang hendak pergi, sang ibu melihat anak yang digendong atau digandengnya, sejenak ragu: "Ayah si anak, bagaimana jika kita menunggu hujan reda dulu? Pangeran benar, membawa anak pulang dalam hujan bisa membuat mereka sakit meski awalnya sehat..." 　　Sang suami mendengar perkataan istri, lalu melihat bocah yang malang itu, akhirnya mengangguk: "Baik, kita tunggu hujan reda dulu." 　　Para lansia, wanita, dan anak-anak dari beberapa keluarga ini pun kembali berlindung di tenda. 　　Yang tersisa hanya puluhan orang dewasa dan empat lima anak-anak. 　　Manusia cenderung ikut arus, beberapa pria berkata: "Bagaimana kalian masuk tenda dulu menghindar hujan? Aku akan pulang merapikan barang. Lagipula tinggal di sini juga tidur di luar tanpa atap." 　　Para wanita pun menggandeng anak-anak masuk ke tenda. 　　Dengan demikian, dari yang bersikeras pergi hanya tersisa dua anak balita. 　　Melihat tatapan Yu Jin, pria kekar itu berkata: "Jangan dinasihati lagi, Pangeran. Hamba pasti pulang. Anak sakit, di sini tak ada fasilitas, takkan tahan." 　　Keluarga lain yang membawa anak menambahkan: "Benar, anak kami juga sakit. Lebih baik pulang." 　　"Hamba pangeran ingat di kota tak ada tabib. Membawa anak pulang hanya bisa mandi air hangat dan minum air panas. Bagaimana jika hamba bawa kedua anak ini ke tabib? Setelah sembuh akan hamba antar kembali." 　　Kota Jinli adalah kota besar yang awalnya memiliki tabib. Namun setelah gempa bumi di Kabupaten Qianhe terjadi, pejabat setempat segera mengumpulkan tabib dari desa-desa sekitar untuk menolong korban bencana. Saat ini para tabib tersebut dikelola oleh pejabat medis dari ibu kota dan belum kembali ke rumah masing-masing. 　　Sebuah keluarga lain yang memiliki anak berdiskusi dengan suara pelan. Seorang wanita menggendong anak kecilnya mendekat dan membungkuk hormat kepada Yu Jin: "Mohon Pangeran mencari tabib untuk memeriksa anak ini. Keluarga hamba berterima kasih atas kebaikan Pangeran." 　　"Kakak Ipar tidak perlu sungkan." Yu Jin menerima anak tersebut dan menyerahkannya kepada Long Dan. 　　Long Dan menggendong bayi yang menangis terkekeh sambil berpikir: Ini sudah yang kedua kalinya, sepertinya Pangeran mulai kecanduan mengadopsi anak-anak... 　　Melihat keluarga itu menyerahkan anaknya kepada Yu Jin, istri pria kekar itu membujuk: "Suamiku, mari kita serahkan Nini kepada Pangeran untuk diperiksa tabib juga." 　　Pria kekar itu melototi istrinya dan memarahi pelan: "Periksa apa? Nini pasti akan merindukan kita. Lagipula, Pangeran ini masih muda, bagaimana jika dia kehilangan anak kita?" 　　Yu Jin yang memiliki pendengaran tajam menangkap gumaman pelan pria kekar itu, mengangkat alisnya dengan sinis. 　　Apakah ada hubungan pasti antara usia muda dengan kehilangan anak? 　　Melalui tirai hujan, pria kekar itu melambaikan tangan kepada Yu Jin: "Terima kasih banyak, Pangeran. Tapi kami memilih untuk pulang." 　　Yu Jin menatap tajam pria kekar itu sejenak, lalu tidak berkata-kata lagi. 　　"Dia sudah berusaha maksimal, sisanya terserah takdir." 　　"Mungkin gempa bumi dalam mimpi A Si ini tidak akan benar-benar terjadi." 　　"Pergi, pergi." 　　Puluhan orang berjalan semakin jauh dalam hujan, sebagian besar adalah pria yang tidak ingin bermalam di luar karena tidak punya tenda. 　　Sedangkan perempuan dan anak-anak, tidak apa-apa jika tetap di sini. Lagipula ada tenda untuk berteduh dan bisa mendapat uang. 　　Memandangi orang-orang yang pergi, Yu Jin menarik pandangannya dan bertanya pada Lurah: "Selain mereka, berapa banyak orang yang sebelumnya sudah kembali ke kota?" 　　Lurah mengusap air hujan di wajahnya: "Dalam dua tiga hari terakhir ini, selalu ada warga yang diam-diam pulang ke kota setelah bekerja di ladang. Sekarang diperkirakan ada lebih dari seratus orang di kota." 　　Tentu saja rumah lebih nyaman dibanding gurun berhama dimana-mana. 　　Yu Jin menengok ke langit. 　　Mungkin karena hujan, meski belum malam hari, langit sudah gelap gulita. 　　A Si bilang dalam mimpinya gempa itu terjadi setelah orang-orang tertidur, berarti sekarang masih aman. 　　"Long Dan, suruh orang ke Kota Jinli sekali lagi. Pukul gong dan umumkan: siapa yang mau kembali akan dapat satu tael perak." Suara Yu Jin berubah datar: "Tak perlu door-to-door membujuk, cukup pukul gong tiga kali. Juga tak perlu menunggu, yang mau kembali pasti akan datang sendiri." 　　Long Dan segera menyampaikan perintah itu. 　　Yu Jin mengangguk ringan pada Lurah: "Lurah, serahkan semuanya padamu. Hamba pangeran akan membawa para gadis ini ke tabib dulu." 　　"Selamat jalan, Pangeran." Lurah menyaksikan Yu Jin pergi sambil mendongak ke hamparan hujan tak berujung, lalu menghela napas. 　　"Sekarang dia semakin curiga bahwa ramalan gempa di Kota Jinli hanyalah ulah Pangeran yang iseng. Katanya para bangsawan di ibu kota memang punya hobi aneh-aneh, mungkin Pangeran Yan senang mengganggu orang?" 　　Untungnya lima hari hampir berlalu dan akan ada uang lagi. Warga kota yang menderita ini bisa dianggap seperti menjual tenaga kerja selama beberapa hari. Dengan uang sebanyak ini, rasanya tidak rugi. 　　Di bawah godaan uang, puluhan orang satu per satu mulai kembali. 　　"Erdazi, kenapa balik lagi?" 　　"Ada uang ngapain tidak kembali? Sebelumnya keluargaku tidak punya babi atau kambing untuk dapat subsidi, tentu tidur di rumah sendiri lebih nyaman." Pria itu menggoyang-goyangkan kain terpal di tangannya, "Dengan kain ini, di sini lebih nyaman daripada kalian!" 　　"Bagaimana kalau kita juga pulang ambil barang?" 　　Lurah membentak: "Jangan pada macam-macam! Cepat tidur! Siapa yang pulang uangnya hilang! Aku catat semua nama di sini!" 　　Orang-orang menggerutu sebentar lalu akhirnya diam. 　　Mereka yang terbiasa kerja keras tetap bisa tertidur lelap meski dalam kondisi buruk. 　　Entah berapa lama kemudian, guncangan tiba-tiba datang. 559. BAB 558 Kerakusan 　　BAB 558 Kerakusan 　　"Erdazi, ngapain tendang aku?" orang yang setengah tidur itu menggerutu sambil mendorong orang di sebelahnya. 　　Pria di sebelahnya menepis tangan yang mendekat, "Siapa yang nendang? Aku tidur nyenyak! Ngapain goyang-goyang aku?" 　　Goyangan semakin kuat. 　　Lurah pertama kali berlari keluar dari tenda, melihat tanah yang berguncang, tenda-tenda yang bergoyang seperti perahu di sungai, wajahnya tiba-tiba berubah pucat, berteriak: "Gempa, gempa datang--" 　　Kakek tua itu menjerit, terduduk berlutut dengan keras, kedua tangan menempel di tanah lembab, menangis: "Gempa, benar-benar gempa!" 　　Ratusan orang terbangun, teriakan panik para wanita dan tangisan anak-anak segera memenuhi tenda. 　　Para suami melompat bangun, merasakan guncangan tanah, wajah pucat pasi. 　　Perkataan Pangeran itu ternyata benar! 　　"Bahaya, kota kita!" seseorang berteriak ketakutan, hendak berlari ke arah Kota Koi, tapi dihentikan keras oleh orang di sampingnya. 　　Orang yang dihentikan itu panik, membentak: "Lepaskan! Saudara saya sudah kembali ke sana--" 　　"Kau tak takut mati? Guncangan ini justru datang dari arah kota kita. Di sana penuh rumah dan pohon, kau mau mati tertimpa?" 　　Keduanya saling tarik-menarik, jatuh ke tanah saat guncangan semakin hebat. 　　Tangisan panik para gadis semakin keras, bahkan banyak wanita yang ikut menangis. 　　Meski berada di tanah lapang, guncangan alam yang tak terkendali ini tetap membuat mereka merasakan ketakutan mendalam. 　　Di bawah bencana alam, manusia bagai semut kecil, tak berarti. 　　Kota Ayam Hitam juga merasakan guncangan tanah. 　　Yu Jin langsung membuka mata, melompat bangun, dan bergegas keluar rumah. 　　Goyangan di pekarangan semakin jelas, terlihat dedaunan pohon bergoyang hebat. 　　Long Dan mendekati Yu Jin, suaranya gemetar: "Tuanku, apakah ini gempa bumi?" 　　Yu Jin mengangguk halus, pandangannya tertuju ke arah Kota Jinli. 　　"Er Niu benar-benar ajaib." Long Dan menghela napas, lalu berlari ke dapur mengambil beberapa tulang berisi daging untuk diberikan pada Er Niu. 　　"Er Niu, cepat makan, ini hadiah untukmu." 　　Er Niu melirik tulang itu, menunjukkan gigi dengan sikap meremehkan. 　　"Anjing ini, bahkan tulang berisi daging pun ditolaknya." Long Dan memutar mata, lalu memeluk leher Er Niu sambil membelai bulunya, "Er Niu, katakanlah, bagaimana kau bisa tahu akan terjadi gempa di Kota Jinli?" 　　Er Niu: "Guk!" 　　Long Dan mengusap hidungnya lalu berdiri. 　　Lupa kalau Er Niu tidak bisa bicara bahasa manusia, sayang sekali. 　　Saat guncangan terus berlanjut, Menteri Zhao dan yang lain baru sadar kemudian berlari keluar. 　　Di luar, guncangan di bawah kaki semakin terasa. 　　Menteri Zhao dengan wajah pucat memandang Yu Jin dengan tatapan kompleks: "Pangeran, gempa bumi!" 　　"Ya." Yu Jin mengangguk tenang. 　　Tak lama kemudian orang lain datang berlari, ekspresinya rumit: "Pangeran, gempa bumi!" 　　"Ya." 　　Satu lagi orang datang: "Pangeran, gempa bumi!" 　　"Ya." 　　Long Dan mendengarkan sambil menatap langit dalam diam. 　　Apakah orang-orang ini sudah berkomplot? Setiap bertemu Pangeran pasti mengucapkan kalimat ini. 　　Orang terakhir yang mendorong pintu keluar adalah Putra Mahkota. 　　Mengusap mata mengantuknya, Putra Mahkota bergumam: "Apa yang ribut di luar? Bikin orang tidak bisa tidur--" 　　Guncangan di bawah kakinya membuatnya langsung tersadar, reflek merunduk ke tanah sambil menutupi kepala: "Gempa bumi!" 　　Suasana mendadak hening, hanya terdengar gemerisik ranting pohon. 　　Setelah lama tidak merasakan guncangan, Putra Mahkota mengangkat kepala dan menerima tatapan aneh dari sekelilingnya. 　　Ada apa ini? 　　Putra Mahkota bangkit berdiri, bingung memandang sekeliling. 　　Kaki masih merasakan getaran, tapi berdiri tegak sepertinya tidak masalah. 　　Lalu reaksinya tadi-- 　　Muka tua Putra Mahkota memerah, ia cepat-cepat mendekati Yu Jin dan mengeluh: "Adik ketujuh, kenapa tidak menyuruh orang membangunkanku saat gempa?" 　　Yu Jin menyatukan tangan di belakang punggung, berkata tenang: "Di sini aman, Kakak Kedua bisa tidur lebih lama." 　　Putra Mahkota menggeleng keras: "Gempa bumi, mana mungkin bisa tidur!" 　　Jangan-jangan saat ia tertidur, orang lain semua kabur? 　　Putra Mahkota berpikir dengan logika yang sangat sederhana. 　　"Pangeran, soal Kota Koi--" 　　Yu Jin menatap Menteri Zhao, berucap datar: "Bisa membuat Er Niu merasakan bahaya besar, gempa ini mungkin berasal dari sana." 　　Menteri Zhao langsung terdiam. 　　“Kota Ayam Hitam saja sudah merasakan guncangan sebegitu jelas, apalagi Kota Koi—bencana ini mungkin sudah menghancurkan segalanya.” 　　Putra Mahkota menatap Er Niu dengan sorot mata berapi-api: "Adik ketujuh, Er Niu ini benar-benar ajaib." 　　Anjing yang bisa memprediksi gempa, andai saja itu miliknya, tentu dia takkan pernah takut gempa lagi. 　　Merasakan tatapan penuh hasrat Putra Mahkota, Er Niu waspada memperlihatkan giginya. 　　Cara orang ini menatapnya sangat aneh, membuatnya ingin menggigit... 　　Putra Mahkota bergeser mendekati Yu Jin. 　　*batuk-batuk* Anjing ini masih belum akrab dengannya, nanti dicoba diberi tulang berisi daging beberapa kali. 　　“Mari kita lihat dulu tempat pengungsian warga Kota Koi.” 　　Putra Mahkota menjadi tegang: “Adik ketujuh, apakah tempat itu tidak berbahaya?” 　　Yu Jin tersenyum: “Tidak, di tengah hutan belantara tidak ada bangunan yang bisa runtuh.” 　　Putra Mahkota melirik langit gelap lalu menggeleng: “Saya masuk angin tadi malam dan masih pusing, tidak ikut Adik ketujuh ke sana.” 　　“Kalau begitu Kakak Kedua istirahatlah dengan baik.” Terhadap Putra Mahkota, Yu Jin memang tak pernah berharap banyak, lebih baik tidak ikut campur. 　　Putra Mahkota melirik Er Niu, mencoba bertanya: “Adik ketujuh, bisakah Er Niu ditinggal di sini?” 　　“Hmm?” Yu Jin menaikkan alis. 　　Putra Mahkota tertawa: “Kalau-kalau ada tanda bahaya di sini, Er Niu bisa memberi sinyal.” 　　Yu Jin berpikir masuk akal, lalu mengangguk setuju. 　　Pejabat Zhao dan yang lain tentu ikut Yu Jin, seketika pekarangan menjadi sepi. 　　Para pejabat yang tersisa tidak berani mendekat tanpa perintah Putra Mahkota, hanya menunggu dari kejauhan. 　　Putra Mahkota tentu tidak mau berbicara lebih dengan mereka, beliau berbisik ke pelayan istana yang dekat: "Ambil semangkuk tulang berisi daging dari dapur." 　　Setelah memegang tulang itu, Putra Mahkota dan Er Niu saling tatap beberapa saat, lalu sang pangeran tersenyum merayu: "Er Niu, mau makan daging?" 　　Er Niu memandangnya dengan wajah jijik, lalu berbalik pergi. 　　"Hei--" Putra Mahkota membuka mulut mencoba menahan sang anjing. 　　Er Niu menoleh, memperlihatkan giginya dengan geram pada pangeran, lalu pergi sambil mengibaskan ekor. 　　Meski ketakutan, sorot mata Putra Mahkota semakin bernafsu. 　　Jika bisa menjadi majikan Er Niu, anjing ini hanya akan patuh padanya, sementara ke orang lain tetap galak. 　　Sekedar membayangkannya saja sudah menyenangkan. 　　Saat Yu Jin tiba di tempat pengungsian warga Kota Jinli, tangisan yang menggema ke langit sudah memenuhi area. 　　Lurah terhuyung-huyung mendekat, langsung bersujud: "Hamba memberi hormat pada Pangeran, budi baik Pangeran akan dikenang turun-temurun--" 　　Yu Jin membantu sang lurah berdiri: "Bagaimana kondisi di sini, adakah yang terluka?" 　　Meski tempat ini lapang, namun lebih dekat ke Kota Jinli. Dalam kekacauan, mungkin ada yang terluka terjatuh atau terinjak. 　　“Semuanya baik-baik saja, semuanya baik-baik saja.” Lurah berkata sambil menangis, "Setelah tanah berhenti bergetar, orang tua ini mengirim beberapa orang yang gesit kembali ke kota untuk melihat, seluruh kota sudah menjadi reruntuhan..." 560.BAB 559 Reruntuhan 　　BAB 559 Reruntuhan 　　Semakin banyak orang berkerumun, mengabaikan kotoran di tanah dan bersujud kepada Yu Jin. 　　Saat ini rasa syukur mereka pada Yu Jin sudah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa melepaskan emosi yang tertekan hingga puncaknya dengan terus-menerus membungkuk. 　　Mereka bahkan bukan bersujud kepada Yu Jin, melainkan pada takdir yang memilih hidup mereka karena keputusan sepersekian detik. 　　Terutama mereka yang melihat kota yang familiar berubah menjadi reruntuhan, semakin merasa betapa beruntungnya bisa selamat. 　　"Pangeran, sekarang harus bagaimana?" Lurah sudah sangat mengagumi Yu Jin dan siap menuruti semua perintahnya. 　　"Banyakkah orang yang kembali ke kota?" 　　"Mereka yang punya suami pulang, atau saudara laki-laki/paman pulang, nekat ingin kembali. Tapi orang tua ini berhasil menghentikan mereka." 　　Yu Jin mengangguk: "Lurah bertugas dengan baik. Biasanya setelah gempa utama, mungkin ada beberapa gempa susulan. Ditambah sekarang hari masih gelap, pulang tidak hanya sia-sia tapi juga berbahaya." 　　Lurah lega mengusap keringatnya, berteriak: "Dengar kata Pangeran! Jangan berpikir kembali ke kota sebelum subuh! Sebelumnya Pangeran sudah memperingatkan gempa dan membujuk dengan uang, tapi tetap ada yang nekat pulang. Sekarang bagaimana? Kali ini kalian harus patuh pada Pangeran!" 　　“Kami patuh pada perintah Pangeran...” Rakyat kota berteriak ramai-ramai, beberapa masih ketakutan, beberapa lain terdengar seperti hendak menangis. 　　Kawasan pinggiran gelap gulita, hanya beberapa obor yang menyinari sekeliling, memperlihatkan samar-samar wajah satu sama lain. 　　Yu Jin tidak memandang lama kerumunan itu, berkata pada Lurah: "Kalian istirahat dulu, masih banyak pekerjaan saat fajar nanti." 　　"Lalu bagaimana dengan Pangeran——" 　　"Kami pulang dulu, akan bawa bantuan saat subuh." 　　Sang Lurah mengantarkan Yu Jin dan rombongan hingga jauh: "Jalan licin di kegelapan, hati-hati Yang Mulia." 　　Kali ini pengantaran ini tulus dari lubuk hati. 　　"Cukup, Lurah. Jangan diantar lagi." 　　Yu Jin melambaikan tangan, pergi bersama Wakil Menteri Zhao dan yang lain. 　　Rombongan yang kembali ke Kota Ayam Hitam tidak langsung tidur, malah berkumpul berdiskusi. 　　"Kota Koi benar-benar terjadi gempa bumi. Dengan ini, janji Pangeran untuk bantuan perak pada warga bisa terpenuhi..." Seorang pejabat Kementerian Keuangan bergumam, entah kagum atau lega. 　　Kementerian Keuangan yang mengelola dana bantuan gempa meski sudah ada janji Pangeran Yan, jika di ibu kota nanti Pangeran menyangkal, defisit ini tetap jadi beban kementerian mereka. Saat itu terjadi, mereka tak bisa menangis. 　　Bencana gempa mengubah segalanya. Pemerintah memang punya subsidi perak untuk korban bencana besar, kadang bahkan memberi bantuan kain sutra. 　　"Sekarang waktunya mikirin ini?!" Wakil Menteri Zhao membentak bawahannya, tapi perasaannya justru lebih rumit dari anak buahnya. 　　“Seandainya tidak terjadi apa-apa di Kota Koi, semua persiapan ini akan menjadi bahan tertawaan. Jika sampai ke telinga Kaisar, tentu akan mendapat teguran. Tapi sekarang——” 　　“Coba pikirkan laporan Lurah bahwa Kota Koi menjadi reruntuhan, namun 80-90% dari 1000 lebih penduduknya selamat. Prestasi politik ini sungguh luar biasa...” 　　Wakil Menteri Zhao merasa agak sulit melanjutkan pemikirannya. 　　Gempa bumi tetap menimbulkan korban jiwa, seharusnya ini bukan hal yang patut disyukuri. 　　Melihat kerumunan yang masih semangat berdiskusi tanpa tahu kapan akan berakhir, Yu Jin yang tak berpengalaman dalam rekonstruksi pascabencana berdiri: "Para Paduka boleh melanjutkan musyawarah, hamba pangeran akan istirahat sejenak." 　　Kepergian Yu Jin meninggalkan kerumunan yang saling pandang. Seseorang berkata: "Mungkin kita juga perlu bubar. Bantuan bencana harus menunggu sampai melihat kondisi sebenarnya di Kota Koi." 　　"Ya, bubar saja." 　　Tanpa disadari, tanpa kehadiran Yu Jin, diskusi ini terasa tidak bersemangat. 　　Kembali ke kamar, Wakil Menteri Zhao berbaring di ranjang yang tidak nyaman sambil memandang ke jendela. 　　Jendela terbuka, di luar gelap gulita. 　　Gempa bumi di Kota Koi akan membuat mukjizat Pangeran Yan yang mendapat peringatan lewat mimpi dari dewa tersebar ke seluruh negeri... 　　Ekspresi Wakil Menteri Zhao rumit, entah apa yang dipikirkannya, akhirnya ia tertidur perlahan. 　　Esok harinya sebelum fajar, semua orang buru-buru bangun dan memanggil pasukan untuk berangkat ke Kota Koi. 　　Reaksi pertama Putra Mahkota adalah menolak. 　　Bantuan bencana itu repot dan berbahaya, dia sama sekali tidak ingin ikut campur. 　　Pelayan istana pun menasihati: "Paduka, kini gempa baru saja terjadi, ini saat yang tepat untuk membuat rakyat bersyukur atas kebijaksanaan Paduka. Jika Paduka tidak pergi, bukankah itu justru menguntungkan Pangeran Yan?" 　　Putra Mahkota ragu sebentar. 　　Perkataan pelayan itu ada benarnya. Setelah keluar istana, tentu dia ingin mendapat reputasi baik, hanya saja menganggap keselamatan lebih penting daripada reputasi. 　　Jika tidak ada bahaya—— 　　Pelayan seolah membaca pikiran sang pangeran, berbisik: "Paduka, anjing milik Pangeran Yan kan bisa meramalkan bahaya. Dengan kehadiran anjing itu, kita bisa segera pergi bila ada tanda bahaya." 　　Putra Mahkota langsung terbujuk, berkata dengan tidak senang: "Anjing apa? Namanya Er Niu, pejabat kelas lima yang resmi. Statusnya tidak kalah dengan kalian." 　　Pelayan diam-diam mengernyitkan bibir. 　　Paduka belum berhasil mendapatkan Er Niu, tapi sudah mulai membelanya. 　　Sebagai orang yang mendampingi Putra Mahkota selama 20 tahun lebih, pelayan ini paham betul sang pangeran sudah mengincar Er Niu. 　　Putra Mahkota tak lagi menghiraukan pelayan, mendatangi Yu Jin: "Adik ketujuh, hari ini Er Niu akan ikut juga kan?" 　　Yu Jin menatap wajah sang pangeran sebentar, mengangguk halus: "Akan ikut." 　　Putra Mahkota tersenyum: "Kalau begitu saya juga ikut." 　　Yu Jin: "..." 　　Kata "juga" yang digunakan sang pangeran sungguh penuh makna. 　　Bersama Putra Mahkota, sekelompok orang bergegas menuju tempat pengungsian warga Kota Jinli. Setelah bertemu dengan penduduk kota, mereka bersama-sama berangkat menuju Kota Jinli. 　　Jarak dari sini ke Kota Jinli hanya dua shichen. Dengan kecepatan yang dipercepat karena kegelisahan, waktu tempuh menjadi lebih singkat. 　　Begitu tiba, semua orang langsung terdiam. 　　Di bawah cahaya fajar, segala sesuatu terlihat jauh lebih jelas dan mengerikan dibandingkan malam hari. 　　Kota kecil yang semula ramai dan makmur kini telah menjadi puing-puing. Hampir tidak ada bangunan yang masih berdiri. Udara dipenuhi bau aneh campuran tanah dan darah yang samar. 　　Dipimpin oleh Lurah, warga Kota Jinli berderai air mata dan bersujud mencium tanah sambil meratap. 　　Mereka sama sekali tidak bisa mengendalikan kesedihan. 　　Sekitar seratus lebih warga yang memilih kembali ke kota ini memiliki hubungan kekerabatan. Meski tidak ada keluarga yang tewas dalam gempa, kehancuran kampung halaman tetap membuat pria dewasa setinggi enam chi menangis tersedu-sedu. 　　Tempat yang telah dihuni turun-temurun ini kini berubah menjadi neraka di dunia manusia. 　　Sesuai pembagian tim, orang-orang mulai memasuki kota untuk mencari korban selamat. 　　Prajurit yang masuk ke Kota Jinli melakukan pencarian secara sistematis berbekal pengalaman menyelamatkan Kota Qianhe. Namun dibandingkan ketenangan prajurit, warga sipil jauh lebih rapuh, terutama saat melihat mayat-mayat yang terkubur reruntuhan. 　　"Putra Mahkota menunggu dengan bosan di pinggir kota, berkata pada Yu Jin: 'Adik ketujuh, aku akan pergi melihat tempat persinggahan sementara orang-orang ini.'" 　　"Kakak Kedua pergilah." 　　Putra Mahkota melirik Er Niu: "Bisakah membawa Er Niu--" 　　Belum selesai bicara, langsung menerima lemparan mata putih dari Er Niu, Anjing Besar menggoyangkan bulunya lalu berlari ke arah reruntuhan. 561.BAB 560 Korban Selamat 　　BAB 560 Korban Selamat 　　Dibandingkan kehati-hatian orang-orang yang berjalan di antara reruntuhan, gerakan Er Niu jauh lebih lincah, beberapa kali melompat sudah sampai di atap yang roboh, mulai menggonggong guk guk. 　　Di bawah cahaya fajar, Anjing Besar tampak gagah perkasa, membuat Putra Mahkota terpana. 　　Lihatlah postur tubuh Er Niu yang anggun, gerakan lincah, bulu yang halus, jauh lebih enak dipandang daripada kebanyakan orang. 　　Gonggongan Er Niu menarik perhatian banyak orang. 　　Yu Jin mendekat dan bertanya pada Er Niu: "Ada makhluk hidup di dalam?" 　　Er Niu menampar-nampar tanah dan batu dengan cakarnya sambil menggonggong beberapa kali. 　　Yu Jin segera memanggil satu tim: "Hati-hati, mungkin ada makhluk hidup di dalam." 　　Lurah yang tajam pendengarannya langsung berteriak keras: "Cepat ke sini, masih ada orang hidup di sini!" 　　Sekumpulan orang berhamburan datang. 　　Yu Jin mengerutkan alis: "Suruh orang-orang ini melakukan tugas masing-masing. Berkumpul di sini malah mengganggu proses evakuasi." 　　Muka tua Lurah memerah, dia mengusir orang-orang itu tapi sendiri tetap tinggal, bergumam: "Ini rumah keluarga Gou Sheng." 　　Yu Jin melirik Lurah. 　　Lurah menjelaskan: "Gou Sheng itu si badan besar, putrinya demam, nekat pulang ke rumah..." 　　Sampai di sini, lurah mengusap matanya, berteriak ke reruntuhan: "Gou Sheng, kau memang keras kepala ya, nekat pulang, bawa istri dan anak sekalian, kasihan si anak baru tiga tahun--" 　　Warga kota yang mendengar teriakan lurah di kejauhan memerah matanya. 　　Di seluruh kota, Gou Sheng adalah pemuda paling tangguh. Meski tanpa dukungan orangtua, hidupnya malah sejahtera, bahkan menikahi wanita tercantik sepenjuru ratusan li, punya putri yang manis. Tapi akhirnya-- 　　"Masih ada yang hidup terperangkap di bawah, mungkin keluarga Gou Sheng selamat..." Harapan tipis menggelayut di hati orang-orang yang menunggu. 　　Melihat reaksi Er Niu, Putra Mahkota pun membatalkan niatnya untuk pergi. 　　Ia ingin menyaksikan kesaktian Er Niu. 　　Yu Jin berdiri tak jauh dari Er Niu, mengingatkan prajurit penyelamat: "Hati-hati, waspadai reruntuhan susulan dan benda jatuh yang bisa melukai korban di bawah." 　　Proses evakuasi berjalan lancar, tapi tatkala melihat makhluk hidup yang berhasil diselamatkan, suasana tiba-tiba menjadi hening aneh. 　　Seekor babi gemuk patah kaki menggeram, bola matanya melotot ketakutan, waspada memandang sekeliling. 　　Sepi menyergap sesaat. 　　Melihat raut galak Er Niu, sang babi tertegun sejenak sebelum lari cepat sambil terpincang-pincang. 　　“Melihat seekor babi berlari kencang di antara reruntuhan, kerumunan menatap Er Niu dalam diam. 　　Susah payah menyelamatkan seekor babi pincang? 　　Er Niu sama sekali tidak merasa malu. 　　Bukankah babi juga makhluk hidup? 　　Jika dia terperangkap di bawah, pasti tuannya akan menyelamatkannya. 　　Yu Jin mengangguk setuju pada Er Niu: "Er Niu, kerja bagus. Cari lagi di mana ada makhluk hidup." 　　Er Niu yang dipuji tuannya menggoyangkan ekor dengan girang, menggonggong pada Yu Jin, lalu menepuk tanah dengan cakar depannya. 　　Ekspresi Yu Jin menjadi serius. Setelah berpikir, ia bertanya: "Masih ada yang hidup di bawah?" 　　“Guk guk!” Er Niu menggonggong lebih keras. 　　“Kira-kira di posisi mana?” 　　Er Niu mengitari tumpukan barang, mengendus-endus, lalu menggonggong pada Yu Jin. 　　Yu Jin menunjuk lokasi itu pada prajurit: “Lanjutkan!” 　　Lurah mendekat dengan ekspresi aneh: “Pangeran, hamba ingat keluarga Gou Sheng memelihara dua ekor babi gemuk...” 　　Baru saja susah payah menyelamatkan babi pincang, nanti mungkin harus menyelamatkan... 　　Membayangkan pemandangan itu, Lurah menggeleng-geleng kepala diam-diam. 　　Yu Jin menatap Lurah dengan tegas: “Selagi masih hidup, kita tak boleh menyerah.” 　　Lurah terkejut, lalu manggut-manggut: “Pangeran benar, pikiran hamba ini sempit.” 　　Setelah lewat seperdua shichen, Sang Putra Mahkota yang sudah bosan menunggu mendekat: “Adik ketujuh, suruh Er Niu menemani hamba melihat tempat tinggal sementara mereka.” 　　"Dia juga berencana ke sana untuk mendapatkan dukungan rakyat." 　　"Kakak Kedua tidak melihat bahwa Er Niu paling efektif jika tetap di sini?" Yu Jin menatap para prajurit yang memindahkan barang-barang, sama sekali tidak memandang Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota menyeringai: "Bukannya cuma menyelamatkan seekor babi gemuk-" 　　Tiba-tiba pantatnya terasa sakit, saat menunduk dilihatnya Anjing Besar sedang menggigit pantatnya. 　　Putra Mahkota berteriak ketakutan. 　　Pelayan istana yang gemetar berteriak: "Binatang! Berani-nya kau menyerang Paduka! Panggil penjaga-" 　　"Er Niu, lepaskan." Yu Jin memandang Er Niu dengan kesal. 　　Er Niu enggan melepaskan gigitannya, menjilat-jilat mulutnya. 　　"Er Niu punya harga diri, mendengar perkataan Kakak Kedua jadi tidak bisa menghargai posisinya. Kakak Kedua tidak marah padanya kan?" 　　Putra Mahkota memegangi pantatnya yang perih, mencibir: "Tidak-" 　　Lalu apa? Haruskah menggigit balik? 　　"Adik ketujuh, Er Niu mengerti percakapan kita?" Tanya Putra Mahkota penasaran setelah kemarahannya mereda. 　　"Perintah sederhana bisa dimengerti, yang rumit tentu tidak. Tapi dia bisa menilai niat baik/malas melalui nada bicara." Yu Jin melirik Er Niu, tapi dalam hati tidak yakin. 　　Er Niu ini semakin cerdas, tidak hanya mengerti, tapi juga bisa bersaing untuk mendapatkan perhatian! 　　"Ketemu!" Teriak seorang prajurit tiba-tiba, kemudian ekspresinya berubah aneh. 　　Yu Jin segera menghampiri, mengintip ke dalam. 　　"Pria perkasa yang masih bersuara lantang kemarin, kini bagai gunung tertidur, tegak tak bergerak." 　　Tubuhnya membungkuk, di bawahnya samar terlihat helai rok wanita. 　　Orang-orang yang menyaksikan pemandangan ini terdiam, teringat akan gempa bumi. 　　Pasti pria ini melindungi istrinya di bawah tubuhnya saat bencana datang. 　　Tangisan lemah terdengar. 　　Er Niu mencakar tepi lubang, menggonggong semakin gugup. 　　Wajah Yu Jin berubah pucat, berteriak: "Para gadis itu masih hidup!" 　　Sebelum orang lain bereaksi, dia langsung melompat ke bawah. 　　"Pangeran--" beberapa teriakan panik bergema. 　　"Long Dan, turunlah membantu." 　　Long Dan segera menyusul melompat. 　　Reruntuhan yang dipindahkan sementara ini sangat berbahaya, Yu Jin berpesan: "Kau topang batu-batunya, aku akan mengeluarkan mereka." 　　Pria perkasa bagai bukit kecil itu melindungi seorang wanita, sementara wanita itu juga melengkungkan tubuhnya. Keduanya membentuk ruang sempit untuk putri mereka. 　　Celah yang ditopang daging dan darah orangtua inilah yang menyelamatkan gadis tiga tahun ini. 　　Yu Jin mengangkat si kecil dengan hati-hati dan menyerahkannya ke atas. 　　"Tuanku, mereka--" Long Dan menahan reruntuhan dengan punggungnya, ragu bertanya. 　　Suara Yu Jin dingin: "Mayat tak perlu dipedulikan." 　　Dia tak punya belas kasihan berlebihan untuk mengorbankan keselamatan anak buah demi menguburkan jenazah. 　　“Long Dan dan Yu Jin berhasil memanjat keluar. Begitu Long Dan keluar, celah yang digeser itu runtuh, mengubur pasangan suami istri di bawahnya.” 　　Anak perempuan kecil di pelukan Lurah menangis lemah, wajahnya merah membara karena demam. 　　“Long Dan, bawa dia ke tabib!” 　　Long Dan menerima anak itu, hati berdesir: Yang ini sudah yang ketiga. 　　Setelah itu, Er Niu tidak menemukan lagi tanda kehidupan. 　　Proses penyelamatan berlangsung hingga senja. Lebih dari 50 mayat berhasil digali, gadis tiga tahun itu menjadi satu-satunya yang selamat. 562. BAB 561 Rasa Syukur 　　BAB 561 Rasa Syukur 　　Gempa bumi di Kota Jinli memungkinkan penggunaan logistik bantuan bencana secara jujur dan terhormat. 　　Saat Yu Jin dan rombongan kembali ke tempat penampungan di bawah senja, lebih banyak tenda dan tungku tanah telah didirikan. 　　Seluruh kota hancur. Urusan makan puluhan orang tak bisa lagi diabaikan. 　　“Lurah kembali!” 　　Warga yang menunggu di penampungan segera mengerumuni, berkata serentak: “Lurah, ada yang selamat?” 　　Lurah menghela nafas di hadapan tatapan penuh harap: “Hanya Nini keluarga Gou Sheng yang selamat. Sang Pangeran telah membawa sang putri ke tabib. Yang lain...” 　　Tangisan pecah seketika. 　　“Suamiku, andai aku tidak mengizinkanmu kembali! Hiks... Kini kami yatim piatu ini harus bagaimana melanjutkan hidup...” 　　"Adik Kedua, seharusnya kau tidak pulang. Baru dua bulan menikah, bahkan belum sempat memiliki keturunan--" 　　Mereka yang tidak mengalami korban jiwa dalam keluarga maupun kerabat dekat meski tidak menangis, mata mereka memerah, hati dipenuhi rasa ngeri: Seandainya waktu itu pulang, mungkin merekalah yang jadi korban gempa sekarang. 　　Semua ini berkat Pangeran Yan! 　　Seorang pria menarik istri dan anaknya bersujud di depan Yu Jin, menampar pipinya sendiri: "Tuan, hati kecilku tertutup lemak babi, sempat menyimpan dendam pada Paduka... Paduka menyelamatkan seluruh keluargaku, hamba akan bersujud dan membuat papan umur panjang untuk Paduka, setiap hari mendoakan keselamatan dan umur panjang..." 　　Keluarga lain ikut bersujud: "Paduka benar-benar dermawan, demi menyelamatkan nyawa kami sampai menggunakan uang untuk menghalangi kami pulang mencari maut... Tak ada yang lebih welas asih daripada Paduka..." 　　Banyak orang berkeringat dingin. 　　Andai bukan karena janji uang dari Pangeran, pasti mereka sudah pulang... 　　Semakin banyak orang bersujud di depan Yu Jin, mengucapkan kata-kata terima kasih. 　　Putra Mahkota memandang dingin, hatinya tidak karuan. 　　Rakyat bodoh ini mana tahu yang menyelamatkan mereka sebenarnya adalah Er Niu! 　　Er Niu yang meramalkan bahaya, Lao Qi kemudian mengarang kebohongan tentang peringatan mimpi dewata. 　　Melihat Yu Jin disembah rakyat, hati Putra Mahkota semakin tidak enak: Andai tahu Kota Jinli benar-benar akan gempa, dulu pasti dia yang mengaku mendapat peringatan mimpi dewata. 　　“Semua tidak perlu seperti ini, hamba pangeran hanya memberikan bantuan kecil saja, yang benar-benar bersusah payah adalah para Paduka…” Yu Jin tidak terlalu berminat berinteraksi dengan rakyat yang menangis penuh syukur, setelah berbicara singkat langsung mengajak Menteri Zhao maju. 　　Menteri Zhao dan para pejabat lain merasa tersanjung: Terjadi gempa di Kota Jinli, sudah pasti Pangeran Yan akan dipuja rakyat, namun sang pangeran tidak lupa menyebut jasa mereka, tindakan ini sungguh menghangatkan hati. 　　Menteri Zhao membersihkan tenggorokannya, baru saja hendak berpidato, tiba-tiba mendengar Putra Mahkota berkata: “Saudara-saudara, saya adalah Putra Mahkota yang sedang menjabat, kedatangan saya kali ini untuk menjenguk kalian semua. Tenanglah, kalian yang tertimpa bencana pasti akan ditangani dengan baik oleh pemerintah. Saya berjanji, selain uang yang dijanjikan Pangeran Yan sebelumnya, setiap orang akan mendapat bantuan dua tael perak tambahan untuk membangun kembali rumah…” 　　Wajah Menteri Zhao dan yang lain langsung pucat. 　　Subsidi yang dijanjikan Pangeran Yan sudah melebihi standar bantuan bencana pemerintah, meski masih bisa ditutupi. Putra Mahkota seenaknya memberi dua tael perak per orang, seolah-olah uang ini bukan berasal dari Istana Timur, apakah Paduka Putra Mahkota mengira uang ini jatuh dari langit? 　　Meski panik, Menteri Zhao dan rekan-rekannya tidak bisa menginterupsi pidato panjang Putra Mahkota di depan rakyat, hanya bisa mendengar dengan wajah masam. 　　Untungnya hari sudah gelap, wajah masam mereka tak terlihat. 　　“Terima kasih Paduka, Panjang umur Paduka—” seseorang berseru keras. 　　“Terima kasih Paduka, Ribuan tahun umur Paduka——” kerumunan berseru serempak. 　　Mendengar itu, Putra Mahkota langsung bergairah, membuka mulut: "Tambahkan satu gulung kain sutra untuk setiap rumah tangga—" 　　Para pejabat Kementerian Keuangan serempak pucat pasi, hampir pingsan. 　　Rakyat Kota Jinli bersorak semakin bersemangat. 　　Berteriak beberapa kali tidak menguras tenaga, malah dapat uang dan kain sutra, benar-benar keuntungan besar. 　　Mendengar sorak sorai rakyat, Putra Mahkota yang sedang bersemangat hendak memberikan hadiah lagi. 　　"Paduka Menteri, tidak boleh membiarkan Paduka berbicara lagi! Jika dilanjutkan, kita harus kembali ke Ibu Kota dengan telanjang bulat!" Dalam kepanikan, pejabat itu tak peduli kesopanan. 　　Putra Mahkota yang baru saja ingin menambah hadiah tiba-tiba ditarik keras dari belakang. 　　"Ada apa?" Putra Mahkota menoleh kesal. 　　Belum pernah ia merasakan puja puji dari begitu banyak orang. Sedang di puncak euforia, siapa yang berani mengganggu? 　　Melihat ke bawah, Er Niu sedang mengibas-ngibaskan ekor tak jauh darinya. 　　Melihat itu, wajah Putra Mahkota melunak: "Oh Er Niu..." 　　Er Niu diam-diam memalingkan kepala. 　　Apa hubungannya denganku? Dasar tolol yang sok akrab. 　　Menteri Zhao yang sedang bingung mencari alasan, nyaris ingin berlari memeluk Er Niu. 　　Er Niu benar-benar Anjing Sakti! Bisa meramal bahaya, bahkan siap jadi kambing hitam di saat genting. 　　Kembali ke Kota Wuji, Putra Mahkota masih bersemangat: "Tak kusangka rakyat begitu mudah ditenangkan..." 　　Kerumunan serentak mengernyitkan sudut bibir. 　　Sungguh ingin meludahi wajah sang Putra Mahkota. 　　Itu disebut mudah ditenangkan? Menghadapi orang bodoh yang membagi-bagikan uang, siapa yang tak mau mengucapkan kata manis? Mengatakan hal baik tak butuh tenaga! 　　Menteri Zhao menahan dorongan untuk memarahi, menenangkan amarahnya: "Paduka tahu berapa defisit jika memberi dua tael per orang dan satu gulung sutra per rumah tangga?" 　　Putra Mahkota tertegun: "Defisit?" 　　Menteri Zhao memegang kening: "Paduka, bantuan bencana dari para pejabat memiliki aturan tetap. Jika melebihi, dari mana uang akan datang?" 　　Putra Mahkota langsung terdiam membeku. 　　Kerumunan tak tahan lagi, berseru: "Benar, Paduka! Janji uang tak boleh sembarangan, banyak masalahnya. Apalagi Paduka menambah satu gulung sutra, defisit akan semakin besar..." 　　Putra Mahkota mengedipkan mata. 　　Apakah dia sedang ditegur oleh semua menteri? 　　Putra Mahkota tak urung menoleh ke Yu Jin. 　　Lao Qi berjanji memberi uang pada rakyat dipuji, mengapa ketika dia berjanji memberi uang malah ditegur? 　　"Pangeran Yan juga pernah berjanji memberi uang!" 　　Menteri Zhao mengerutkan sudut bibir: "Paduka, saat itu Pangeran berjanji karena mimpi belaka tak cukup membuat rakyat mau mengungsi. Harus ada insentif uang. Kini gempa telah terjadi, bantuan harus sesuai aturan. Perubahan sembarangan hanya akan menimbulkan masalah..." 　　Jika diberikan sedikit akan merepotkan para korban bencana, jika diberikan banyak justru akan merepotkan mereka. Paduka ini benar-benar menambah masalah begitu membuka mulut, lebih baik tinggal diam di Kota Wuji saja. 　　Lagipula, mana bisa Putra Mahkota dibandingkan dengan Pangeran Yan? Waktu itu Pangeran Yan sudah berkata, jika gempa bumi tidak terjadi, dana perak ini akan ditanggung dari Kas Pangeran Yan. 　　Wajah Putra Mahkota berkerut tak senang: "Rakyat yang sudah kehilangan rumahnya, apa salahnya mendapat beberapa tael ekstra? Paduka Zhao tak perlu pelit-pelit. Saya lelah, mau tidur dulu." 　　Putra Mahkota mengibaskan lengan baju dan pergi, meninggalkan Wakil Menteri Zhao yang hampir pingsan karena marah. 　　Para pejabat lainnya semakin muram. 　　Wakil Menteri Zhao menghela nafas: "Sudahlah, saya akan segera menulis laporan darurat ke ibu kota." 563.BAB 562 Laporan Darurat 　　BAB 562 Laporan Darurat 　　Di ruang studi kekaisaran yang sudah diterangi lentera, Kaisar Jingming mengerutkan kening sambil membuka-buka laporan resmi. 　　Mei yang hujan terus, belakangan ini banjir melanda berbagai daerah, ditambah gempa bumi di Kabupaten Qianhe yang terus membebani pikirannya. 　　Tenaga manusia dan dana bantuan bencana terus mengalir ke daerah-daerah terdampak, sementara kas negara kosong dengan kecepatan yang membuatnya gemetar. 　　Kecemasan dan kekesalan menjadi perasaan utama Kaisar Jingming belakangan ini. 　　Buku cerita yang tergeletak di sudut dan terlupakan sudah berdebu. 　　Derap langkah kaki terdengar mendekat. 　　Kaisar Jingming mengangkat pandangan menatap Pan Hai. 　　Pan Hai segera mundur pelan, tak lama kemudian kembali membawa sepucuk laporan darurat. 　　"Laporan dari mana?" tanya Kaisar Jingming. 　　Pan Hai melirik amplop itu dan menjawab, "Dari Kabupaten Qianhe..." 　　Kaisar Jingming meletakkan laporan di tangannya, "Bawa ke sini." 　　Laporan dari Kabupaten Qianhe belakangan ini selalu muncul di Meja Naganya setiap pagi, sudah menjadi rutinitas. Laporan hari ini sudah dia baca, mengapa ada laporan lagi yang datang di malam hari? 　　Berdasarkan pengalaman, Kaisar Jingming yakin ini bukan kabar baik. 　　Menerima laporan dari Kabupaten Qianhe, Kaisar Jingming menahan sebentar sebelum membukanya. Matanya menyapu cepat bagian tentang gempa bumi di Kota Jinli, Kabupaten Qianhe, tangannya langsung gemetar sebelum terus membaca. 　　Laporan darurat harus singkat dan padat. Kaisar Jingming cepat menyelesaikan membacanya. 　　Setelah selesai, dia terlihat bingung. 　　Melihat reaksi Kaisar Jingming, Pan Hai dengan hati-hati memanggil, "Paduka—" 　　Kaisar Jingming melihat Pan Hai, menggenggam erat laporan itu, "Kota Jinli di wilayah Kabupaten Qianhe mengalami gempa bumi." 　　Ekspresi Pan Hai berubah, "Bagaimana dengan korban—" 　　Wajah Kaisar Jingming menunjukkan ekspresi aneh, "Surat ini menyebut Kota Jinli menjadi reruntuhan, tapi warga sudah mengungsi beberapa hari sebelumnya. Hanya puluhan korban, jumlah pasti masih didata. Laporan lebih akurat akan datang besok atau lusa..." 　　"Bagaimana mungkin?" Pan Hai spontan berseru. 　　Kaisar Jingming meletakkan laporan darurat di atas meja, suaranya berat: “Benar, bagaimana mungkin ini terjadi! Di Kota Qianhe, tiga dari sepuluh bagian rumah runtuh, bahkan korban jiwa mencapai lebih dari sepuluh ribu orang, atau dua belas persen populasi kota. Sementara Desa Koi menjadi reruntuhan, mengapa hanya puluhan korban? Apakah Desa Koi hanya berpenduduk seratus orang?” 　　Pan Hai berkata: “Setelah gempa bumi terjadi di Kabupaten Qianhe, hamba pernah memeriksa data. Hamba ingat Desa Koi adalah kota paling ramai di bawah jurisdiksi Kabupaten Qianhe, dengan populasi lebih dari seribu orang…” 　　Seribu lebih penduduk, dalam kondisi seluruh bangunan runtuh hanya puluhan korban. Ini terlalu aneh. 　　Kaisar Jingming menepuk meja: “Zhao Ruqing ini, dalam laporan darurat pun tidak menjelaskan secara rinci, sedang bermain apa sebenarnya!” 　　Pan Hai tidak menyahut. 　　Inti laporan darurat terletak pada kata “darurat”, seringkali ditulis terburu-buru, cukup menyampaikan hal paling penting. Penjelasan lebih detail akan dilaporkan setelah dikompilasi nanti. 　　Keesokan harinya saat sidang pagi, Kaisar Jingming mengusap surat di tangannya. Setelah para menteri melaporkan berbagai urusan, beliau bersuara berat: “Kemarin terjadi gempa bumi di Desa Koi, Kabupaten Qianhe.” 　　Perkataan ini membuat seluruh menteri terkejut. 　　Gempa bumi lagi? 　　Jika gempa sebelumnya di Kabupaten Qianhe membuat para menteri merasa lokasinya jauh, gempa kecil di depan Kuil Leluhur telah membuat mereka ketakutan. 　　Tahun ini kenapa begini? Bahkan ibu kota mengalami gempa. Kini Desa Koi gempa lagi, apakah bencana gempa ini tidak akan pernah berakhir? 　　"Gempa bumi jauh lebih menakutkan daripada banjir. Banjir setidaknya tidak terjadi dalam sehari, dan bisa dihindari jika pencegahan dilakukan dengan baik. Namun gempa bumi tidak bisa dihindari, ketika terjadi kita hanya bisa pasrah pada takdir." 　　"Aku kemarin malam menerima laporan darurat dari Wakil Menteri Zhao, mengatakan hampir semua rumah di Kota Koi runtuh, ribuan rakyat kehilangan tempat tinggal, dan sangat membutuhkan dana untuk penanganan..." 　　"Tidak mungkin!" Wakil Menteri Kiri Kementerian Keuangan spontan berseru. 　　Menteri Kementerian Keuangan sudah mendekati usia pensiun. Wakil Menteri Kiri dan Kanan Kementerian Keuangan sama-sama sebagai deputi, keduanya mengincar posisi menteri. Persaingan antara mereka telah berlangsung lama. 　　Bukan angin timur yang menekan angin barat, pasti angin barat yang menekan angin timur. Pada momen kritis seperti ini, Wakil Menteri Kiri tidak sempat memikirkan rasa solidaritas antar rekan. 　　Kaisar Jingming menatap Wakil Menteri Kiri Kementerian Keuangan. 　　"Paduka, total penduduk Kota Koi hanya seribuan. Jika semua rumah runtuh, bagaimana mungkin ada ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal? Menurut hamba yang bodoh, pasti ini ulah Zhao Da Ren yang melebih-lebihkan agar kas negara mengucurkan lebih banyak uang!" 　　Menteri Kementerian Keuangan menatap tajam Wakil Menteri Kiri sejenak, lalu kembali menundukkan kelopak matanya yang berkerut. 　　Jika dirinya masih beberapa tahun lebih muda, Wakil Menteri Kiri tidak akan begitu gegabah menyerang pejabat satu departemen. Mempermalukan Kementerian Keuangan di depan kantor kabupaten lain adalah hal yang tidak akan ditoleransinya. 　　Kini masa pensiunnya sudah di depan mata, beliau bisa memahami persaingan antara Wakil Kiri dan Kanan. 　　Sudahlah, biarkan mereka bersaing. 　　“Wakil Menteri Kiri Kementerian Keuangan sudah berkata begitu, para menteri yang memiliki perselisihan dengan Wakil Menteri Zhao tentu tidak akan ketinggalan, segera menyetujui.” 　　Kaisar Jingming sangat sabar. Setelah serangan mereka selesai, beliau berkata dengan tenang: “Dalam laporan darurat Wakil Menteri Zhao disebutkan korban jiwa di Kota Jinli hanya puluhan orang. Jumlah pasti seharusnya bisa dilaporkan dalam dua hari ini.” 　　“Apa? Hanya puluhan korban jiwa?” 　　Aula yang tadinya tertib tiba-tiba berubah menjadi pasar kacau seperti pasar sayur. 　　Kaisar Jingming tidak merasa terganggu oleh keriuhan seperti ini. 　　Banyak masalah penting justru ditetapkan melalui perdebatan dan diskusi berulang seperti ini. Keriuhan semacam ini setidaknya lebih membuatnya tenang daripada sistem satu suara. 　　Para menteri terus berdebat hingga akhirnya menyimpulkan: Pasti ada kejanggalan dalam hal ini. 　　Kaisar Jingming menatap Menteri Keuangan yang tenang: “Bagaimana pendapatmu, Kekasih Menteri?” 　　Meskipun Menteri Keuangan akan segera pensiun, karena masih menjabat sekarang, Kaisar Jingming wajar menanyakannya. 　　Menteri Keuangan membuka matanya sedikit lebih lebar, berkata perlahan: “Kabupaten Qianhe tidak jauh dari ibu kota. Dengan kuda cepat, tidak sampai dua hari sudah sampai. Karena semua merasa ada kejanggalan, mengapa Yang Mulia tidak mengirim utusan untuk memeriksa?” 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming mengangguk setuju. 　　Beliau memang sudah berniat demikian. 　　Ditambah Putra Mahkota dan Pangeran Yan berada di sana, kedekatan lokasi dengan gempa membuatnya khawatir akan keamanan mereka. 　　Mengenai kinerja Putra Mahkota dalam penanggulangan bencana ini - Kaisar Jingming penasaran dan menaruh harapan. 　　“Begitu pikirnya, seorang menteri pun berkata, ‘Paduka, Putra Mahkota adalah calon penguasa negara, tubuhnya sangat berharga. Tidak seharusnya Beliau membahayakan diri. Setelah Kabupaten Qianhe, Kota Jinli mengalami gempa bumi, siapa tahu tempat lain tidak akan terjadi? Hamba berpendapat sebaiknya Putra Mahkota dipanggil kembali ke Ibu Kota.’” 　　“Hamba-hamba yang lain setuju.” 　　Kaisar Jingming merenung sejenak, lalu berkata, “Kirim seorang pejabat pengawas untuk menyelidiki hal ini di Kabupaten Qianhe. Mengenai pemanggilan Putra Mahkota... kita putuskan setelah laporan pejabat pengawas.” 　　Secara pribadi, sebagai ayah Putra Mahkota, tentu ia tak ingin anaknya dalam bahaya. Secara resmi, justru karena Putra Mahkota adalah calon penerus, ia ingin sang putra lebih terlatih agar kelak mampu mengelola negara yang luas ini. 　　Memiliki anak lelaki sah seperti ini, Kaisar Jingming langsung pusing jika terlalu dipikirkan. Kegelisahan ini tak bisa diungkapkan kepada orang lain. 　　Segera pejabat pengawas dan murid Pan Hai berangkat menjalankan perintah kaisar menuju Kabupaten Qianhe dengan tergesa-gesa. 564.BAB 563 Mencuri Ikan 　　BAB 563 Mencuri Ikan 　　Setelah gempa di Kota Jinli, berbagai urusan menumpuk. Dari Wakil Menteri Zhao hingga petugas kecil, semua sibuk bekerja. 　　Yu Jin sangat dicintai dan dipercaya warga Kota Jinli. Banyak urusan lebih mudah dijalankan dengan partisipasinya, sehingga ia pun tak kalah sibuk dengan para pejabat. 　　Hanya Putra Mahkota yang benar-benar menjadi orang menganggur. 　　Sejak malam itu Putra Mahkota sembarangan menjanjikan uang dalam jumlah besar dan menyusahkan para pejabat, untuk mencegahnya kembali membuat masalah, kerumunan memilih seorang petugas cerdik untuk menemani Putra Mahkota berwisata di Kota Wuji. 　　Kota Wuji memang tidak ada yang menarik, Putra Mahkota juga tidak berani pergi ke tempat lain karena takut terjadi gempa seperti di Kota Jinli. Karena bosan, dia memerintahkan pelayan istana: "Suruh petugas bawahan pergi ke tempat pengungsian warga Kota Jinli. Kemarin saat hamba berpidato di sana, melihat seorang nona kecil berbaju hijau yang cukup cantik..." 　　Pelayan istana ragu: "Paduka, nona itu kemarin pakai baju hijau, belum tentu hari ini masih hijau. Hamba khawatir salah bawa orang..." 　　Dalam hal ini Putra Mahkota lebih cerdik. Melotot ke pelayan sambil memaki: "Dasar bodoh! Pikirkan - mereka pengungsi yang rumahnya sudah rata dengan tanah, mana mungkin punya baju ganti? Nona itu kemarin pakai hijau, hari ini pasti masih hijau." 　　"Paduka bijaksana!" 　　Khawatir pelayan salah bawa orang, Putra Mahkota menambahkan: "Nona itu ada tahi lalat kecil di pipi, ingat itu." 　　"Hamba ingat. Tapi--" 　　"Tapi apa?" 　　"Paduka, bagaimana kalau nona itu menolak? Sekarang kan kita di luar--" 　　Putra Mahkota tertawa sinis: "Justru di luar lebih mudah. Hamba ini Putra Mahkota, mau tidur dengan gadis desa mana ada yang berani protes? Kalau dia tidak mau, kasih lebih banyak uang. Gempur dengan uang sampai dia mau." 　　"Hamba paham." 　　Pelayan istana memanggil petugas kecil, berbisik membicarakan hal ini. 　　Petugas kecil terkejut sebentar lalu kembali normal. 　　Sang Putra Mahkota meninggalkan kemewahan ibu kota ke daerah kecil ini, wajar jika ingin mencari hiburan. 　　Hmm, dibandingkan Pangeran Yan yang bersinar keemasan, Putra Mahkota inilah yang sesuai dengan bayangannya tentang sosok orang terhormat. 　　Tanpa ragu, petugas kecil itu membawa pelayan istana diam-diam menuju tempat pengungsian warga Jinli Town. 　　Nona kecil berbaju hijau yang cantik dan segar—— 　　Mata pelayan istana itu berputar-putar, menyapu semua perempuan yang menyanggul rambut ala gadis. Banyak yang berbaju hijau, tapi tak ada yang benar-benar cantik. 　　Sampai akhirnya ia bahkan memeriksa anak perempuan 12-13 tahun, tertegun tak menemukan yang segar. 　　Pelayan istana itu mulai kebingungan. 　　Melihat waktu yang terbuang, petugas kecil bertanya: "Apa kriteria yang Bapak cari sebenarnya?" 　　Pelayan istana lesu menjawab: "Baju hijau, segar, ada tahi lalat di pipi." 　　Petugas kecil menunjuk: "Lihatlah wanita yang sedang mencuci di sungai itu, apakah itu orangnya?" 　　Wanita? 　　Reaksi pertama pelayan istana adalah menyangkal, tapi matanya tak sadar mengikuti arah tunjukan. 　　Banyak perempuan sedang mencuci pakaian di tepi sungai. 　　Biasanya, para perempuan akan bercanda riang saat mencuci bersama. Tapi kini kehancuran rumah mereka membuat tak ada lagi tawa, kebanyakan hanya diam menggosok pakaian, yang berbicara pun berbisik-bisik. 　　Pandangan pelayan istana tertuju pada seorang wanita berbaju hijau. 　　Wanita itu terlihat berusia awal dua puluhan, bertubuh ramping dengan kulit wajah putih bersih. Meski tak bisa dibilang cantik, tapi dibandingkan wanita-wanita berkulit kasar di sekitarnya, ia terlihat cukup segar. 　　Yang lebih penting, di pipi wanita muda itu terdapat tahi lalat hitam yang mencolok. 　　Inilah orang yang dicari Putra Mahkota! 　　Pelayan istana awalnya lega, tapi kemudian tertegun. 　　Ini... ini kan wanita yang sudah menikah... 　　Pegawai kecil itu melihat sang pelayan bingung, lalu berkata bijak: "Bapak tak perlu khawatir. Wanita menikah justru lebih mudah diurus daripada nona kecil." 　　"Hmm?" 　　"Paduka pasti takkan membawa wanita ini kembali ke Ibu Kota, bukan?" 　　Wajah pelayan istana berkerut: "Tentu saja tidak." 　　Wanita dengan kecantikan selevel ini bahkan tak sampai ke tingkat dayang istana. Hanya hiburan seadanya di pelosok miskin ini. Mustahil Paduka mau membawanya. 　　Lagipula, Paduka datang untuk menenangkan korban bencana. Jika membawa pulang seorang wanita, pasti akan dimarahi Kaisar. 　　Pegawai itu tersenyum: "Nah, itu dia. Jika yang dipilih Paduka adalah nona kecil belum menikah, nanti akan repot melepaskannya. Masalah keperawanan bisa jadi masalah untuk pernikahannya kelak. Tapi wanita menikah berbeda - cukup beri imbalan memadai, maka angin pun berlalu tanpa jejak..." 　　Pelayan istana tersenyum puas, menepuk bahu si pegawai: "Kau memang cerdik. Nanti hamba akan laporkan jasamu pada Paduka." 　　"Terima kasih atas rekomendasi Bapak." 　　“Laksanakan saja.” Pelayan istana menganggukkan kepala. 　　Hal seperti ini tentu paling baik ditangani oleh penduduk lokal. 　　Pejabat kecil itu tak buru-buru. Ia mencari tahu dulu dari orang lain keluarga mana wanita berbaju hijau itu, tak langsung menghadap si wanita, melainkan menemui suaminya. 　　Begitu mendengar, sang suami langsung panik: "Ini tidak boleh!" 　　Pejabat kecil menyelipkan dompet kecil ke tangan pria itu. 　　Pria itu merogoh isinya, wajahnya langsung berubah: "Ini... ini emas?" 　　Di dalam dompet terlihat jelas beberapa lembaran emas. 　　Pejabat kecil tersenyum: "Belum pernah lihat kan? Suruh istrimu menemani orang terhormat beberapa hari, kau akan dapat keuntungan tak terhingga." 　　Memandang kilauan lembaran emas yang membutakan mata, pria itu mulai ragu. 　　Melihat keraguannya, pejabat segera menambahkan: "Saudara, kakak bicara jujur padamu. Dengan lembaran emas sebanyak ini, bahkan membeli bidadari pun cukup! Apalagi nanti sang tamu terhormat pasti akan memberi hadiah lebih. Dengan uang ini, kau bisa terus hidup bersama istrimu setelah dia pulang, atau ganti dengan istri muda cantik. Semuanya untung, tak ada ruginya. Masih ragu apa lagi?" 　　Pria itu semakin tergoda. 　　Pejabat terus membujuk: "Aku juga dengar, kalian sudah menikah bertahun-tahun tapi istrimu tak kunjung memberimu keturunan. Jujur saja, dia seperti ayam tak bertelur. Dengan uang sebanyak ini, kalau kau tak tega ganti istri, setidaknya bisa mengambil istri muda..." 　　Akhirnya pria itu mengangguk. 　　Melihat ini, pejabat kecil itu tersenyum puas. 　　Uang bisa membuat hantu menggerakkan batu penggilingan, ini benar adanya. Daun emas sebanyak ini bukan hanya membuat petani itu tergiur, bahkan dia sendiri juga tergoda. 　　Meraba-raba daun emas yang disembunyikan di kantong rahasia, si pegawai kecil itu merasa hati berbunga-bunga. 　　Angsa terbang pun dicabuti bulunya, ini juga kebenaran yang nyata. 　　Ketika malam tiba, Putra Mahkota akhirnya berhasil meniduri "nona kecil" yang segar itu, bahkan karena wanita tersebut sudah menikah, semakin membuatnya bergairah. 　　Peristiwa dengan Selir Yang bagi Putra Mahkota bagaikan mimpi buruk, namun juga meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. 　　Putra Mahkota terpaksa mengakui, sekarang minatnya pada wanita menikah jauh lebih besar daripada pada gadis-gadis muda. 　　Tentu saja, semua ini tidak boleh diceritakan kepada orang lain. 　　Putra Mahkota sementara terbuai dalam kenikmatan hubungan intim, mengabaikan segala hal lain. 　　Sedangkan para menteri justru lega Putra Mahkota tidak banyak membuat masalah, sehingga tidak terlalu memperhatikan. 　　Hingga suatu hari ketika dua utusan kekaisaran yaitu Pejabat Pengawas dan murid Pan Hai bernama Xiao Lezi tiba, Putra Mahkota panik dan buru-buru mengembalikan wanita itu. 565.BAB 564 Verifikasi 　　BAB 564 Verifikasi 　　Dua utusan yang ditugaskan menyelidiki memberi hormat kepada Putra Mahkota dan Pangeran Yan, lalu langsung menanyai Wakil Menteri Zhao: "Paduka Zhao, dalam laporanmu disebutkan korban di Desa Koi hanya puluhan orang. Kaisar mengutus kami untuk memastikan detailnya. Mengapa gempa bumi di Desa Koi yang meratakan semua rumah justru memiliki korban sedikit?" 　　Wakil Menteri Zhao melirik Yu Jin, menjawab: "Yang Mulia belum tahu, sedikitnya korban di Desa Koi ini berkat jasa Pangeran!" 　　Pangeran Yan? 　　Keduanya segera menatap Yu Jin. 　　Ekspresi Yu Jin terlihat datar, tidak terlihat ada keanehan. 　　Wakil Menteri Zhao menjelaskan: "Setelah Paduka dan Pangeran tiba, awalnya tinggal di Kota Jinli. Namun malam itu ada dewa yang masuk ke mimpi Pangeran, memperingatkan akan terjadi gempa bumi di Jinli. Keesokan harinya Pangeran membujuk warga kota untuk mengungsi, sehingga mereka bisa menghindari bencana ini..." 　　Pejabat pengawas dan Xiao Lezi saling pandang, keduanya melihat kejutan di mata masing-masing. 　　Benarkah ada kejadian ajaib seperti ini? 　　Pejabat pengawas yang lulus ujian kekaisaran secara resmi tidak begitu percaya hal-hal mistis. Setelah sadar kembali, ia berkata datar: "Paduka Zhao, tolong antar hamba melihat kondisi kota." 　　Xiao Lezi memandang Yu Jin beberapa saat lebih lama. 　　Dewa memberi peringatan kepada Pangeran Yan? 　　Ini karena dewa yang tidak sopan, atau Pangeran Yan yang tidak tahu tata krama? Mengapa melewati Putra Mahkota? 　　Penasaran, ia melirik Putra Mahkota dan benar melihat wajah yang tidak menyenangkan. 　　Xiao Lezi menghela napas dalam hati, semakin penasaran. 　　Sungguh tidak tahu bagaimana orang-orang bisa kompak mengatakan dewa memberi peringatan ke Pangeran Yan. Ke mana perginya muka Putra Mahkota? 　　Saat ini Putra Mahkota benar-benar sedang menyesali untuk keseratus kalinya. 　　Gagal menguasai peristiwa gemilang seperti ini benar-benar penyesalan yang sangat besar! 　　Sayangnya kabar tentang Lao Qi mendapat peringatan dewa dalam mimpi sudah tersebar luas, dia tidak bisa mengambil alih jasa ini. 　　Tapi—hmm, Wakil Menteri Zhao berani berbohong di hadapan inspektur kekaisaran, ini adalah tindakan menipu kaisar! Nanti dia akan melaporkan ke Ayah Kaisar! 　　Pejabat pengawas dan rombongan dari ibu kota tiba di sini dengan cepat, meskipun menggunakan kuda tercepat tetap memakan waktu hampir dua hari. Saat ini Kaisar Jingming telah menerima laporan kedua dari Wakil Menteri Zhao. 　　Surat darurat delapan ratus li tentu jauh lebih cepat daripada tim biasa. 　　Dengan waktu yang cukup, laporan ini menjadi lebih detail. Dijelaskan bahwa Yu Jin menggunakan mimpi peringatan dari dewa untuk mengungsikan warga, sehingga menghindari banyak korban. Padahal sebenarnya Pangeran Yan bisa memprediksi gempa karena Anjing Besar berpangkat kelas lima—Jenderal Xiaotian. 　　Kaisar Jingming memegang laporan tebal itu dengan perasaan heran sekaligus bersyukur. 　　Yang mengherankan adalah seekor anjing bisa memprediksi gempa. Yang disyukuri adalah rakyat Jinli Zhen selamat dari bencana, juga Putra Mahkota dan rombongan yang selamat. 　　Seandainya Putra Mahkota terus tinggal di kota itu, akibatnya tidak terbayangkan... 　　Kaisar Jingming menggigil, dalam hati bertekad: Saat rombongan Putra Mahkota kembali ke ibu kota, harus ditanya siapa brengsek yang mengusulkan tinggal di Jinli Zhen—dia benar-benar pembawa sial! 　　Kaisar Jingming mencatat dendam ini dalam hati, lalu berkata pada Pan Hai: "Kau masih ingat Jenderal Xiaotian yang kuberi gelar beberapa tahun lalu?" 　　Pan Hai tertegun: "Yang Mulia maksud Anjing Besar peliharaan Pangeran Yan?" 　　Kaisar Jingming meliriknya, membetulkan: "Itu juga pejabat istana." 　　Pan Hai sudut bibir berkedut, tersenyum: "Hamba salah, sesaat lupa jasa Jenderal Xiaotian." 　　Kaisar Jingming meletakkan laporan, menghela napas panjang: "Kali ini berkat Jenderal Xiao. Saat mereka Kembali ke Ibu Kota, Aku akan memanggil Jenderal Xiaotian ke istana." 　　Jenderal Xiao? 　　Kelopak mata Pan Hai bergetar, tak berani tertawa, lalu memuji: "Semua karena kebajikan Kaisar, sehingga lahir Jenderal Xiaotian yang perkasa. Jenderal Xiaotian sama seperti Zhuangyuan Lang tahun lalu yang Meraih tiga gelar sekaligus, keduanya adalah Lambang Keberuntungan zaman kita." 　　Kaisar Jingming mengangguk berulang kali. 　　Nasib buruk terlalu banyak, Lambang Keberuntungan makin banyak makin baik. 　　Tapi—mengapa Lambang Keberuntungan muncul di Lao Qi? 　　Pikiran ini melintas sekejap, lalu ditekan kembali oleh Kaisar Jingming. 　　Bagaimanapun, menyelamatkan banyak orang adalah berkah besar, nanti harus diberi hadiah. 　　"Pan Hai, menurutmu jabatan Jenderal Xiaotian perlu dinaikkan?" 　　Pan Hai menyembah dengan tangan: "Kaisar bijaksana." 　　Lagipula ini cuma seekor anjing, terserah Kaisar. 　　Di bawah pimpinan Wakil Menteri Zhao dkk, pejabat pengawas dan Xiao Lezi melihat Kota Koi pascagempa. 　　Xiao Lezi terbelalak: "Sampai separah ini?" 　　Pejabat pengawas berkeringat dingin, terus bertanya: "Benar hanya puluhan korban?" 　　Wakil Menteri Zhao menjawab: "61 tewas, 1 selamat. Sudah dibersihkan 23 mayat, sisanya sulit dievakuasi..." 　　“Di mana para penyintas?” Pada saat ini, pejabat pengawas sama sekali tidak meragukan keseriusan gempa bumi ini. 　　Gempa ini terjadi di tengah malam saat orang-orang terlelap. Seandainya penduduk masih berada di kota, konsekuensinya tidak terbayangkan. 　　Wakil Menteri Zhao berkata: "Satu-satunya penyintas adalah anak perempuan tiga tahun yang diselamatkan langsung oleh Pangeran, sudah dibawa ke Kota Wuji untuk dirawat tabib. Jika Paduka ingin bertemu, bisa dilihat setelah kembali ke Wuji." 　　Pejabat pengawas mengangguk, mengalihkan pandangan dari reruntuhan yang porak-poranda, lalu berkata: "Tidak perlu buru-buru kembali. Hamba masih ingin melihat kondisi penampungan korban gempa di Kota Jinli." 　　Meskipun pangkat pejabat pengawas rendah, kekuasaannya besar. Terutama pejabat yang bertugas atas perintah kaisar, sama sekali tidak boleh dihina. 　　Tentu saja, pelayan istana seperti Xiao Lezi juga tidak boleh diremehkan. 　　Wakil Menteri Zhao sendiri memimpin jalan, mengantar dua utusan kaisar ke lokasi penampungan sementara korban Kota Jinli. 　　"Paduka Zhao silakan melanjutkan urusan. Hamba akan berkeliling sendiri." 　　Wakil Menteri Zhao memang masih punya banyak tugas. Menyadari ini adalah cara pejabat pengawas menyelidiki tanpa kehadirannya, ia dengan bijak mengundurkan diri. 　　Selama ini ia yakin telah bertindak tanpa cela, sudah berusaha maksimal, tidak takut diperiksa siapapun. 　　Yang ingin diselidiki pejabat pengawas bukanlah Wakil Menteri Zhao, melainkan peringatan gaib dari dewa melalui mimpi Pangeran Yan. 　　Peristiwa aneh seperti ini masih membuatnya curiga. 　　"Bapak-bapak, apakah Bapak orang Desa Jinli?" tanya pejabat pengawas yang menghentikan seorang warga sembarangan. 　　Melihat banyak pejabat belakangan ini, bahkan Pangeran pun bisa ditemui setiap hari, kakek tua itu sudah tak terlalu takut. "Tentu saja," jawabnya, "Selain para Paduka, semua orang di sini adalah penduduk kota kami." 　　"Bolehkah saya bertanya, mengapa Bapak mengungsikan diri dari kota ini sebelum gempa terjadi?" 　　Begitu mendengar pertanyaan itu, si kakek langsung bersujud ke arah tertentu dan membungkukkan kepala. 　　Reaksi ini membuat pejabat pengawas tertegun, lalu menoleh ke Xiao Lezi. 　　Ada apa ini? 　　Kalau takut melihat pejabat, seharusnya langsung bersujud sejak awal. Reaksinya agak terlambat, ya? 　　Lagipula, arahnya salah. 　　Si kakek bangkit sambil mengusap sudut matanya. "Paduka jangan marah, hamba terlalu terharu mendengar pertanyaan Paduka. Kami bisa mengungsi lebih awal berkat kebaikan Pangeran Yan..." 　　Setelah mendengar pujian untuk Pangeran Yan selama seperempat jam, pejabat pengawas tak tahan lagi mengibaskan tangan. "Bapak boleh melanjutkan aktivitasnya." 　　Begitu si kakek pergi, pejabat pengawas dan Xiao Lezi saling memandang. Keduanya sepikir: Setelah peristiwa ini, reputasi Pangeran Yan mungkin akan tersebar ke seluruh negeri. 566. BAB 565 Kembali ke Ibu Kota Menghadap Kaisar 　　BAB 565 Kembali ke Ibu Kota Menghadap Kaisar 　　Kembali ke Kota Wuji, pejabat pengawas bertemu dengan Nini, satu-satunya korban selamat dari gempa. 　　Gadis kecil itu masih terlihat lesu. Wajahnya pucat, matanya bengkak kemerahan - jelas terlihat telah menangis lama. 　　Wanita yang merawat para gadis itu menyeka air mata sambil berkata, "Para gadis terus merengek mencari orang tua, sungguh memilukan." 　　"Kau bernama Nini?" Melihat seorang gadis kecil yang seusia dengan Putri-nya sendiri, pejabat pengawas itu merasa hati luluh mengingat sang nona kecil sudah menjadi yatim piatu. 　　Gadis kecil itu memandang pejabat pengawas dengan takut-takut sambil mengangguk, bola mata hitam seperti anggur terus melirik ke arah pintu. 　　"Apa yang kau lihat?" 　　Gadis itu menggigit bibirnya, akhirnya membuka mulut: "Aku menunggu Kakak tampan." 　　Pejabat pengawas tertegun. 　　Gadis kecil itu menambahkan: "Kakak tampan memelukku..." 　　Barulah pejabat pengawas mengaitkan "Kakak tampan" dengan Pangeran Yan. 　　Mengingat wajah Pangeran Yan, memang tampan tapi menyebut 'Kakak'— 　　Pejabat pengawas mengusap dagu yang belum ditumbuhi sungut, antara ingin tertawa dan menangis, keraguan tentang laporan Zhao Shilang bahwa Pangeran Yan sendiri menyelamatkan gadis kecil itu sirna sama sekali. 　　Memandangi gadis kecil yang memilukan namun menggemaskan, pejabat pengawas terdiam. 　　Anak ini satu-satunya yang selamat di kota itu, diselamatkan Pangeran Yan dengan mengabaikan keselamatan dirinya sendiri... 　　Citra Yu Jin di mata pejabat pengawas muda itu melambung tinggi tak terkira. 　　Malam itu, lentera di kamar pejabat pengawas tetap menyala, laporan resmi setebal buku disusun, dimasukkan ke amplop segel lalu dikirim dengan kuda cepat menuju ibu kota. 　　“Setelah menerima laporan dari Menteri Zhao, Kaisar Jingming akhirnya mendapatkan laporan dari Pejabat Pengawas dan Xiao Lezi. Setelah membandingkan keduanya, isinya hampir sama dengan laporan Menteri Zhao.” 　　Setelah merenung lama, Kaisar Jingming memerintahkan Pan Hai: "Sampaikan maklumatku, panggil Putra Mahkota, Pangeran Yan, Wakil Menteri Keuangan Zhao Ruqing dan lainnya untuk kembali ke ibu kota menghadap Kaisar." 　　“Baik.” 　　Kaisar Jingming teringat sesuatu dan menambahkan: “Oh ya, ingatkan Pangeran Yan untuk membawa Jenderal Xiaotian masuk istana bersama.” 　　Pan Hai segera menyebarkan maklumat tersebut. 　　Putra Mahkota dan rombongan menerima maklumat dua hari kemudian. Ketika tiba di ibu kota, bulan Mei sudah hampir berakhir. 　　Yu Jin melirik ke arah Kediaman Pangeran Yan dari kejauhan. Meski hatinya ingin segera pulang, terpaksa mengikuti rombongan masuk istana dulu. 　　“Bawa kedua anak ini kembali ke kediaman terlebih dahulu. Beri tahu Permaisuri bahwa aku sudah kembali, setelah menghadap Ayah Kaisar akan langsung pulang,” Yu Jin berpesan pada Long Dan. 　　Pulang ke rumah... Sekadar mengucapkan dua kata ini saja sudah terasa semanis madu, membuat hatinya dipenuhi sukacita. 　　Sudah lama pergi baru bisa kembali, tidak tahu apa urusan penting si tua ini sampai harus buru-buru. 　　Karena menunda pertemuan dengan istrinya, Kaisar Jingming dalam sekejap berubah dari Kaisar menjadi si tua di hati Yu Jin. 　　Er Niu juga tak senang. 　　Lama meninggalkan rumah, rindu kandangnya, rindu nyonya rumah, juga rindu daging sapi kecap, paha babi kecap, daging kukus... 　　Semakin banyak yang dirindukan, anjing besar ini semakin murung. Dengan lesu ia mengikuti Yu Jin masuk istana. 　　Pelayan istana di luar ruang studi kekaisaran melihat kerumunan telah tiba, segera mengumumkan kedatangan mereka. 　　Kaisar Jingming di dalam ruang studi sudah tak sabar menunggu, langsung mempersilakan mereka masuk. 　　Ruang studi kekaisaran tiba-tiba dipenuhi banyak orang, pandangan pertama Kaisar Jingming tertuju pada pemuda yang bersinar bagai mutiara indah. 　　Bukan karena ia berjalan di depan, melainkan karena cahayanya tak tertutupi oleh siapapun di depannya. 　　Di dunia ini selalu ada orang-orang seperti ini, meski diam berdiri di tengah kerumunan, tetap mencolok bagai bangau di antara ayam-ayam. 　　Pandangan Kaisar Jingming turun, melihat seekor anjing besar berbulu licin. 　　"Hmm, Menteri Xiao agak gemuk ya—" 　　Baru saja pikiran itu melintas, suara salut segera memenuhi telinganya. 　　"Tak perlu banyak basa-basi." 　　Kaisar Jingming baru menatap Putra Mahkota, melihatnya malah lebih gemuk dari saat berangkat, wajahnya langsung berubah muram. 　　Pergi menangani bencana malah jadi gemuk? Sudah pasti brengsek ini tak bekerja keras! 　　Tentang kinerja Putra Mahkota di lapangan, Kaisar Jingming telah membaca laporan Wakil Menteri Zhao, pejabat pengawas, dan Xiao Lezi, hatinya mulai memahami situasi. 　　Tentu saja, tak satu pun dari ketiganya berani mengkritik Putra Mahkota, bahkan memujinya beberapa kalimat. 　　Tapi pujian yang disampaikan sekilas itu justru membuat Kaisar Jingming semakin paham. 　　Putra Mahkota diutus sebagai wakilnya untuk menghibur korban bencana, jika benar-benar berprestasi, bukankah laporan harusnya memujinya setinggi langit? 　　Dasar tak berguna! 　　Perubahan ekspresi dingin Kaisar Jingming yang tiba-tiba membuat Wakil Menteri Zhao kebingungan. 　　“Secara logis perjalanan ini tidak ada prestasi tapi ada kerja keras, apa maksud Kaisar ini?” 　　“Mengerti, pasti marah karena dana bantuan bencana melebihi anggaran!” 　　Begitu memikirkannya, Menteri Zhao dalam hati kembali memarahi Putra Mahkota. 　　Kaisar Jingming melihat ke Menteri Zhao, ekspresinya melunak: “Menteri Zhao, perjalananmu kali ini sungguh berat.” 　　Menteri Zhao segera menjawab: “Membantu mengurus urusan Kaisar adalah kewajiban hamba.” 　　“Aku dengar Menteri Zhao mengerjakan semuanya sendiri, hatiku sangat terhibur. Jika semua pejabat istana seperti Menteri Zhao, maka aku bisa tidur nyenyak.” 　　Menteri Zhao mengucapkan kata-kata rendah hati, tapi hatinya sudah berbunga-bunga, hanya berharap besok pagi di sidang istana Kaisar akan memujinya lagi di depan semua pejabat, maka tidak ada penyesalan lagi. 　　Setelah memuji Menteri Zhao, Kaisar Jingming menatap Yu Jin: “Lao Qi, kali ini kau melakukan dengan baik. Menyelamatkan ribuan rakyat, ini adalah jasa besar, kau tidak mengecewakan harapanku...” 　　Putra Mahkota mendengar itu, hatinya terasa perih. 　　Ini jelas-jelas jasa Er Niu, kok bisa semua jadi milik Lao Qi seorang? 　　Masih tersisa sedikit akal sehat yang mencegah Putra Mahkota mengungkapkan penipuan Menteri Zhao di depan semua orang. 　　Hmph, nanti diam-diam akan kuberitahu Ayah Kaisar! 　　Yu Jin dengan tenang berkata: “Ayah Kaisar terlalu memuji, anak hanya bertindak sesuai hati, tidak memikirkan soal jasa atau bukan.” 　　“Bertindak sesuai hati?” Kaisar Jingming tertegun, kemudian tertawa, “Bagus bertindak sesuai hati, baguslah bertindak sesuai hati.” 　　“Pan Hai menatap Yu Jin dalam-dalam, dalam hati berpikir: Tampaknya Pangeran Yan memiliki posisi yang lebih penting di hati Kaisar. Entah nasib apa yang akan menanti Pangeran Yan di masa depan…” 　　Pan Hai tidak berani memikirkan lebih jauh, hanya diam-diam bertekad untuk lebih berusaha mengambil hati Pangeran Yan ke depannya. Setidaknya tidak akan merugikan. 　　Meski Kaisar Jingming sangat puas dengan performa Yu Jin selama perjalanan ini, tapi karena ini anaknya sendiri, tidak pantas jika dipuji berlebihan. Akhirnya pandangannya beralih ke Er Niu. 　　“Inikah Jenderal Xiaotian yang pernah Kuberi gelar di masa lalu?” 　　Begitu mendengar itu, Er Niu segera berdiri dengan dua kaki belakangnya. 　　Pan Hai buru-buru menghalangi di depan Kaisar Jingming. 　　“Pan Hai, minggirlah.” Kaisar Jingming berkata dengan datar. 　　Seekor anjing sakti yang bisa memprediksi bahaya dan menemukan korban selamat dalam gempa, mana mungkin menggigit orang sembarangan seperti anjing gila? 　　Jika anjing sakti seperti ini menggigit orang, pasti ada alasannya. 　　Yu Jin tidak menyangka Kaisar Jingming bisa berpikiran terbuka seperti ini. Khawatir terjadi kesalahpahaman, ia buru-buru menjelaskan: “Ayah Kaisar, Er Niu sedang menunjukkan kartu identitas di lehernya kepada Ayah.” 　　Kaisar Jingming memperhatikan, dan benar melihat lempengan tembaga di leher anjing besar itu dengan tulisan samar-samar. 　　Melihat Kaisar Jingming sudah selesai melihat, Er Niu menurunkan kedua kaki depannya ke tanah. 　　Wajah Kaisar Jingming langsung berseri-seri: “Jenderal Xiaotian yang Kuberi gelar memang benar-benar anjing sakti. Tapi kalungnya agak kecil, nanti harus diganti untuk Menteri Xiao.” 　　Hmm, Menteri Xiao memang agak gemuk… Lempengan tembaga di lehernya hampir tidak terlihat… 567.BAB 566 Mengasihani Besi yang Tak Menjadi Baja 　　BAB 566 Mengasihani Besi yang Tak Menjadi Baja 　　Setelah memuji Er Niu, Kaisar Jingming baru melirik Putra Mahkota dan berkata datar: "Putra Mahkota juga cukup baik." 　　Putra Mahkota nyaris menangis tersedu-sedu. 　　Pujian yang didapatnya bahkan tak sebanyak yang diterima Er Niu! 　　Setelah kerumunan mundur dan tak ada orang luar di dalam ruangan, Kaisar Jingming menatap tajam Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota gemetar ketakutan, memaksakan senyum: "Ayah Kaisar—" 　　"Apa kesan Putra Mahkota selama perjalanan ini?" tanya Kaisar Jingming dingin. 　　Putra Mahkota tertegun sejenak, lalu buru-buru menjawab: "Rakyat yang tertimpa bencana sangat menyedihkan, anak merasa tak tega melihatnya..." 　　Masih bisa berbelas kasih pada rakyat, itu cukup baik. 　　Kaisar Jingming mengangguk dalam hati, sambil tetap bersikap dingin: "Rakyat yang tertimpa bencana ini adalah rakyatku dari Dinasti Zhou. Penderitaan mereka sama dengan penderitaan kita. Kau ingat?" 　　Putra Mahkota mengangguk cepat: "Anak ingat." 　　Kaisar Jingming tiba-tiba mengubah topik: "Tapi kau juga harus ingat, tanpa tata krama tak akan terbentuk kesempurnaan. Rakyat yang tertimpa bencana memang patut dikasihani, tapi mengenai penempatan setelah bencana, jumlah tunjangan perak—semua ini sudah ada aturannya. Jangan sembarangan menambah atau mengurangi karena emosi sesaat, nanti malah menimbulkan masalah yang tidak perlu..." 　　Putra Mahkota langsung naik pitam, bergumam: "Menteri Zhao tua bangka itu, berani-beraninya mengadu!" 　　"Apa katamu?" Gerutu Putra Mahkota yang tertahan di tenggorokan tak terdengar jelas oleh Kaisar Jingming. 　　"Ada satu hal, anak bingung apakah pantas untuk diutarakan—" 　　Kaisar Jingming yang memang tidak terlalu puas dengan perjalanan Putra Mahkota kali ini, berkata dengan kesal: "Katakan langsung! Jangan tiru kebiasaan buruk orang rendahan!" 　　Putra Mahkota tercekat, perasaan tersakiti memenuhi hatinya. 　　Ayah Kaisar memang tidak menyukainya. Apapun yang dia ucapkan selalu salah. 　　Meski frustasi, dia tak berani menunda lagi. Dengan wajah serius Putra Mahkota berkata: "Ayah, Menteri Zhao telah menipu kaisar!" 　　Kelopak mata Kaisar Jingming berkedut, matanya menatap tajam ke arah Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota berkata geram: "Sama sekali tidak ada dewa yang menampakkan diri lewat mimpi kepada Lao Qi. Yang memprediksi gempa di Kota Jinli sebenarnya adalah anjing peliharaan Lao Qi! Hanya karena khawatir warga tidak percaya, mereka mengarang cerita dewa yang memberi peringatan lewat mimpi..." 　　Memandangi Putra Mahkota yang terus berbicara, amarah Kaisar Jingming semakin membara. 　　"Ayah, Menteri Zhao tahu kebenarannya tapi malah menggunakan alasan dewa memberi mimpi kepada Lao Qi saat melapor ke pejabat pengawas. Ini jelas-jelas penipuan terhadap kaisar—" 　　"Cukup!" Kaisar Jingming menghantam meja keras-keras. 　　Suara Putra Mahkota terhenti, matanya membelalak ke arah kaisar. 　　Wajah Kaisar Jingming memerah marah, jarinya menuding Putra Mahkota: "Brengsek! Kau pergi tugas, bukannya menghargai jerih payah bawahan, malah belajar mengadu domba! Pantaskah kau disebut calon penguasa? Kalau kabar ini tersebar, bukankah akan membuat seluruh pejabat militer-sipil kecewa?" 　　Jika seluruh aparat pemerintah sudah kecewa, siapa yang akhirnya akan menanggung akibatnya? 　　"Sedikit jerih payah Putra Mahkota keluar istana" di hati Kaisar Jingming langsung lenyap seketika, hanya menyisakan kekecewaan. 　　Mengingat pujian dan penghormatan terhadap Yu Jin dalam tiga laporan tebal itu, lalu melihat Putra Mahkota yang menutup pintu ruang belajar hanya untuk mengadu, tiba-tiba terlintas pikiran dalam hati Kaisar Jingming: Apakah memulihkan jabatan Putra Mahkota adalah keputusan yang salah? 　　Pikiran itu segera ditekan habis-habisan olehnya. 　　Putra Mahkota sudah dipulihkan jabatannya, bagaimanapun tidak boleh dirombak lagi. Bahkan - performa Lao Qi yang begitu cemerlang dengan mengklaim mimpi peringatan dari dewa, apakah benar-benar tanpa maksud tersembunyi? 　　Hati seorang kaisar selalu dipenuhi kecurigaan, Kaisar Jingming pun tak terkecuali. 　　Sejujurnya, performa Yu Jin dalam tugas kali ini terlalu mencolok, jauh melampaui perkiraannya, juga melampaui ekspektasi para pejabat militer-sipil bahkan rakyat, membuatnya tidak bisa tidak curiga. 　　Setelah memarahi Putra Mahkota habis-habisan, Kaisar Jingming menarik napas panjang lalu melambaikan tangan: "Pulanglah ke Istana Timurmu! Renungkan kesalahanmu baik-baik untuk Aku!" 　　Putra Mahkota meninggalkan ruang studi kekaisaran dengan muka tertunduk, dalam hati mengutuk Menteri Zhao setengah mati: Si tua bangka ini, tunggu saja hari pembalasan nanti! 　　Ruang studi kekaisaran mendadak sunyi. Setelah lama, Kaisar Jingming membuka mata dan berkata pada Pan Hai: "Panggil muridmu kemari." 　　Pan Hai berjalan keluar, memanggil Xiao Lezi mendekat, lalu berbisik mengingatkan: "Kaisar akan menanyaimu tentang mimpi peringatan dewa Pangeran Yan." 　　"Shifu—" Xiao Lezi ragu-ragu, matanya meminta petunjuk Pan Hai. 　　“Tentu saja dia sepenuh hati dengan Shifu, pandangan Shifu terhadap Pangeran Yan langsung mempengaruhi ucapannya setelah masuk.” 　　Seperti orang-orang sepertinya yang sudah mahir dalam teknik berbicara, meskipun jasa besar Pangeran Yan tak bisa dihapus, namun dengan sedikit mengubah diksi di detail tertentu bisa membuat kesan pendengar terhadap Pangeran Yan berubah secara halus. 　　Pan Hai berbisik pelan: “Pangeran Yan adalah orang yang tulus ikhlas.” 　　Xiao Lezi segera memahami maksud Pan Hai, berbisik: “Anak sudah mengerti.” 　　“En, masuklah.” 　　Tak lama kemudian, Xiao Lezi muncul di hadapan Kaisar Jingming. 　　“Hamba memberi salut pada Kaisar.” 　　“Ceritakan apa yang kau lihat di Kabupaten Qianhe.” Kaisar Jingming berkata tanpa ekspresi. 　　Xiao Lezi pun mulai bercerita. 　　Kaisar Jingming mendengarkan dengan serius, di akhir bertanya: “Awalnya, bagaimana Pangeran Yan mengangkat masalah peringatan mimpi dewa ini?” 　　Xiao Lezi ragu sejenak. 　　“Katakan saja, Aku hanya ingin tahu fakta.” 　　Laporan resmi ditulis oleh orang lain, dia hanya bisa memakai mata dan telinga orang lain sebagai miliknya, banyak keterbatasan dalam hal ini. 　　Dibandingkan itu, kasim di sekitarnya jelas lebih bisa dipercaya oleh Kaisar. 　　Xiao Lezi akhirnya berkata: “Hamba sudah menyelidik, sebenarnya awalnya Pangeran Yan mengusulkan agar Putra Mahkota yang mengemban pernyataan ini...” 　　“Putra Mahkota dia——” 　　“Paduka berpendapat prediksi gempa Jenderal Xiaotian adalah omong kosong, lalu menolak.” 　　Kaisar Jingming bergetar sudut bibirnya. 　　Dia sepenuhnya bisa memahami alasan penolakan Putra Mahkota, takut harus bertanggung jawab jika gempa tidak terjadi. 　　Xiao Lezi menundukkan kepala, melanjutkan, "Saat itu para paduka juga merasa ini terlalu berisiko, tapi Pangeran Yan bersikeras, akhirnya——" 　　"Cukup, kau boleh mundur." 　　Xiao Lezi melirik cepat ke arah Pan Hai, mengiyakan, lalu mundur perlahan-lahan. 　　Wajah Kaisar Jingming muram, hatinya sangat tidak tenang. 　　Pan Hai menghibur, "Paduka, ini bukan kesalahan Putra Mahkota... Orang lain tidak memiliki kearifan Paduka yang bisa mengenali keistimewaan Jenderal Xiaotian sejak dini, tentu sulit mempercayai kemampuannya meramalkan gempa. Seandainya saat itu Putra Mahkota mengambil alih urusan ini namun gempa tidak terjadi, bukankah malah jadi bahan ejekan..." 　　Kaisar Jingming menggeleng, berbisik lirih, "Putra Mahkota kurang tanggung jawab——" 　　Dibandingkan nyawa seluruh penduduk kota, ejekan apa artinya? 　　Di dunia ini, selalu ada hal yang pantas dilakukan meski berisiko diejek, karena sepadan. 　　Meski kemungkinan terjadinya gempa hanya satu persen, tetap harus dilakukan. 　　Jika dilakukan dan gempa benar terjadi seperti sekarang, seluruh kota akan terselamatkan. Seandainya tidak terjadi, paling hanya ditertawakan beberapa kali. 　　Seorang calon penguasa negara, jika untuk menyelamatkan rakyat satu kota saja tidak mau menanggung risiko diejek, bagaimana bisa mengabdi sepenuhnya pada negara dan rakyat di kemudian hari? 　　Kaisar Jingming menyeruput tehnya, merasakan pahitnya hingga ke kerongkongan. 　　Yu Jin membawa Er Niu meninggalkan Istana Kekaisaran, sekadar melambaikan tangan pada Menteri Zhao yang sengaja menunggu untuk berbincang, lalu bergegas kembali ke Kediaman Pangeran Yan. 568.BAB 567 Jasa yang Tak Terhingga 　　BAB 567 Jasa yang Tak Terhingga 　　Jiang Si sudah sejak pagi menerima kabar kembalinya Yu Jin ke ibu kota, tak tahan berlari menunggu di Pintu Kedua. 　　"Tuanku, lebih baik Anda kembali beristirahat. Begitu Pangeran datang, hamba akan segera lari memberitahu," kata Ah Man sambil melirik perut besar Jiang Si. 　　"Aku memang perlu jalan-jalan, sambil menunggu Pangeran saja." 　　Ah Man hendak membujuk lagi, tapi ditarik oleh A Qiao. 　　"Tarik aku ngapain? Tidak lihat tuanku membawa perut besar begitu berat?" gerutu Ah Man pelan. 　　A Qiao terkekeh: "Tuanku saja 'sambil-sambil' menunggu Pangeran, kalau kau terus membujuk, malah mempersulit tuanku." 　　Ah Man tersadar: "Oh, tuanku rindu Pangeran. Hehe, sehari tak bertemu seperti tiga musim..." 　　Suara dua dayang itu meski pelan, terdengar jelas oleh Jiang Si yang melototi mereka dengan tajam sebelum mengalihkan pandangan ke kejauhan. 　　"Pangeran sudah kembali--!" teriak seseorang dari jauh. 　　Yu Jin berjalan cepat menuju Pintu Kedua, wajahnya masih berdebu perjalanan. 　　Melihat Jiang Si yang menunggu di Pintu Kedua, langkahnya semakin dipercepat. 　　Yang lebih cepat darinya adalah Er Niu. 　　Er Niu menyenggol Yu Jin, lalu berlari kecil mendekati Jiang Si sambil mengibas-ngibaskan ekor gembira pada nyonya rumah. 　　Ingin makan paha babi kecap, ingin makan daging sapi bumbu, ingin makan daging kukus... 　　Er Niu meneteskan air liur sambil menepuk lantai tiga kali berturut-turut dengan satu kaki depannya. 　　Jiang Si segera memahami maksud Er Niu, tersenyum: "Tenang saja, paha babi kecap, daging sapi rebus bumbu, dan daging kukus sudah disiapkan." 　　Er Niu bersorak gembira. 　　Saat itu Yu Jin baru sampai di depan Jiang Si, dengan wajah masam menendang Er Niu ke samping. 　　Sebenarnya dia bisa lebih cepat, tapi anjing sialan ini tiba-tiba mempercepat langkah. 　　Masak iya dia harus balapan dengan anjing? 　　Membayangkan pemandangan itu, Yu Jin yang matang dan stabil menahan dorongan hatinya dengan susah payah. 　　Berdiri di hadapan Jiang Si, Yu Jin mengatupkan bibirnya, lalu menariknya ke dalam pelukan: "A Si, saya pulang." 　　Perut besar Jiang Si yang hamil terasa mengganjal di antara mereka, membuat pose pelukan terlihat agak aneh. 　　Terhadap keintiman tanpa malu kedua tuannya yang sering terjadi, A Qiao sudah mulai terbiasa, apalagi Ah Man yang malah menutupi mulutnya sambil tertawa. 　　Jiang Si mendorongnya perlahan: "Masuklah untuk bicara." 　　Yu Jin menatap Jiang Si lama-lama, baru mengangguk setelah beberapa saat: "Ya, kau masuk dan istirahat dulu. Saya mau mandi dulu. Tubuh kotor setelah lama di perjalanan." 　　Tak lama setelah Jiang Si masuk, Yu Jin membuka tirai mutiara dan masuk. 　　Dia berganti jubah panjang hijau bambu yang setengah baru, rambut basahnya ditusuk sembarangan dengan tusuk konde bambu, membuatnya terlihat sejernih giok. 　　A Qiao menyuguhkan secangkir teh baru untuk Yu Jin, lalu menarik Ah Man keluar. 　　Di dalam ruangan hanya tersisa pasangan suami istri yang baru saja bertemu setelah berpisah. 　　Keduanya saling memandang, bertanya serempak: "Kamu baik-baik saja?" 　　Setelah bertanya, keduanya tertawa bersama. 　　Jiang Si bersandar pada Yu Jin, tersenyum: "Aku baik-baik saja, sepanjang hari hanya makan, tidur, tidur, makan, pagi dan sore jalan-jalan sebentar di taman, hari-hari berlalu begitu saja..." 　　Mengatakan hari-hari yang mengalir seperti air, tanpa kehadiran orang yang saling mencintai, tak ada rasanya. 　　Merasa waktu berjalan lambat mungkin berlebihan, tapi memang menyiksa, terutama saat malam tak bisa tidur nyenyak, semakin sering terbangun. 　　Saat itu Jiang Si merasa masih beruntung, akhir masa kehamilan cuaca sudah panas, bayangkan jika harus sering terbangun di musim dingin, itu baru benar-benar siksaan. 　　Baru tahu berterima kasih pada orangtua setelah punya anak, belakangan ini selain merindukan Yu Jin, Jiang Si sering teringat pada almarhumah ibunya Nyonya Su yang tak pernah dikenalnya. 　　Kehidupan sebelumnya dan sekarang, sosok Nyonya Su dalam hati Jiang Si lebih seperti sebutan "ibu", meski dirindukan, tapi kerinduan itu hampa. 　　Bagaimanapun juga Nyonya Su meninggal saat ia baru berusia satu tahun lebih. 　　Tapi sekarang, merasakan setiap detik kehidupan kecil dalam perutnya, bahagia dan khawatir karenanya, menderita karenanya, barulah citra ibu dalam hatinya menjadi nyata. 　　"Sedang memikirkan apa?" Yu Jin mengelus hidung Jiang Si. 　　Jiang Si menarik kembali pikirannya: "Aku sedang berpikir, menjadi ibu sungguh tidak mudah." 　　Yu Jin tertawa: "Ya, saat si kecil ini lahir nanti, kalau tidak menyayangimu, akan kuhajarnya." 　　Jiang Si melirik Yu Jin dengan ekspresi aneh. 　　“Ada apa?” 　　“A Jin, kau sedang berlatih jadi ayah lebih awal ya?” 　　“Tidak ada——” 　　“Kau belum sampai, sudah mengirim dua bocah dulu. Satu bocah lelaki satu anak perempuan, lengkap sekali.” 　　Yu Jin yang telah bertemu Jiang Si, langsung melupakan dua anak kecil yang dibawanya. Mendengar perkataannya, ia menjawab: "Mereka sudah tidak punya orangtua, kebetulan kutemui di jalan, kubawa saja. Lagipula istana pangeran tidak kekurangan makanan. Nanti saat anak kita lahir, bisa punya teman bermain." 　　“A Jin, ceritakanlah kisahmu di Kabupaten Qianhe.” 　　“Baik, mari kita mulai dari dua anak ini.” Yu Jin memeluk Jiang Si dengan satu tangan, sementara tangan satunya memijat betisnya yang agak bengkak. 　　“Bocah lelaki ini berasal dari Kota Kabupaten Qianhe. Ayahnya tewas ditusuk tombak prajurit penjaga gerbang kota saat mengantarnya keluar. Ibunya menitipkan anak ini padaku, lalu kembali ke zona wabah untuk merawat putrinya yang demam. Sejak itu aku tak pernah melihatnya lagi... Anak perempuan ini dari Kota Jinli. Saat sakit di hutan, orangtuanya nekat membawanya pulang. Kemudian gempa bumi terjadi, kedua orangtuanya tewas. Saat kami menemukannya, mayat orangtuanya membentuk jembatan manusia melindunginya di bawah...” 　　Suara Yu Jin tenang, tanpa emosi berlebihan, hanya menceritakan kisah kedua anak itu secara rinci. 　　Jiang Si mendengarkan dalam diam, air matanya telah membasahi pipi. 　　Yu Jin berhenti, menunduk dan mencium lembut dahi mulusnya, berbisik lembut: "A Si, dari seribu lebih penduduk Kota Jinli, hanya enam puluh lebih yang tewas dalam gempa itu. A Si, seribu lebih nyawa itu semua adalah kau yang selamatkan..." 　　Ia mengangkat tangan menyeka air mata istri dalam pelukannya, berkata serius: "A Si, entah mereka tahu atau tidak, nyawa mereka semua adalah kebaikanmu." 　　Jiang Si tersenyum: "Aku tidak punya hobi jadi penyelamat, jangan kau lanjutkan. Lagipula, aku hanya memberi petunjuk, yang benar-benar berusaha menyelamatkan mereka adalah kau." 　　"Karena petunjukmulah aku bisa bertindak." Yu Jin mengulurkan tangan, meletakkannya dengan lembut di perut membuncit Jiang Si. 　　Bayinya sebentar lagi lahir, tapi kekhawatirannya semakin menjadi. Katanya melahirkan bagi wanita bagai melewati gerbang hantu... 　　"A Si." 　　"Hm?" 　　"Menyelamatkan satu nyawa melebihi membangun tujuh pagoda, kau telah selamatkan seribu lebih nyawa, pahalamu tak terhingga. Pasti semua akan lancar untukmu." 　　Menangkap kegelisahan mendalam di mata suaminya, Jiang Si menggenggam tangannya sambil tersenyum: "Jangan khawatir, Tabib Utama sudah bilang, posisi janinku bagus, persalinan akan lancar." 　　Yu Jin mengangguk, baru bersemangat melanjutkan: "Ngomong-ngomong A Si, aku sudah alihkan kabar pra-gempa itu ke Er Niu. Sepertinya Er Niu akan naik pangkat..." 　　Pada sidang pagi keesokan harinya, Kaisar Jingming benar-benar menyebutkan kenaikan pangkat Jenderal Xiaotian kelas lima Er Niu. 　　Segera ada orang yang suka melawan berdiri menentang: "Kaisar, seekor anjing diberi pangkat jenderal kelas lima saja sudah belum pernah terdengar, bagaimana bisa naik pangkat lagi?" 569.BAB 568 Payung Rakyat 　　BAB 568 Payung Rakyat 　　Para menteri mengangguk-angguk diam-diam. 　　Benar, pangkat kelas lima saja sudah keterlaluan, masa mau dinaikkan lagi! 　　Jika preseden ini dibuat, bagaimana jika anjing ini terus naik pangkat di kemudian hari? Jika sampai menjadi atasan mereka, bukankah itu akan jadi bahan tertawaan? 　　Tidak boleh, harus menghentikan ulah kaisar yang sembrono ini! 　　"Kaisar, memberi jabatan pada seekor anjing memang tidak pantas, harap Kaisar pertimbangkan kembali!" 　　"Harap Kaisar pertimbangkan kembali——" 　　Kaisar Jingming menundukkan kelopak mata mendengar para bawahan meronta-ronta menentang, hatinya menyeringai dingin. 　　Hmph, hari ini dia benar-benar bertekad untuk menaikkan pangkat Er Niu. 　　Melihat Kaisar Jingming diam saja mendengar nasihat para menteri, seorang pejabat sensor maju: "Kaisar, hamba yang bodoh ini mendengar Jenderal Er Niu menemukan seorang anak perempuan saat gempa di Kota Jinli. Jenderal Er Niu menyelamatkan satu nyawa memang berjasa, tapi jika dikatakan jasanya sampai pantas naik pangkat, itu terlalu polos... Jika Kaisar bersikeras begitu, bagaimana dengan Menteri Zhao dkk yang sudah bekerja keras selama ini?" 　　Perkataan pejabat sensor ini segera disambut gemuruh persetujuan. 　　Kaisar Jingming memandang para menteri dari atas, tiba-tiba tersenyum: "Jika bicara jasa, hamba yakin Menteri Zhao dkk tidak akan ada yang membantah, bahwa Er Niu-lah yang paling berjasa." 　　Segera semua mata tertuju pada Menteri Zhao. 　　Menteri Zhao agak terkejut. 　　Apakah Kaisar akan mengungkapkan jasa sebenarnya Er Niu? 　　“Paduka Zhao, kau bisa bicara--” seorang menteri yang berdiri dekat berbisik. 　　“Bicara apa?” Paduka Zhao tersadar dari lamunannya. 　　Menteri itu menggerakkan sudut bibirnya, mengingatkan: “Kaisar bilang jasa Jenderal Er Niu lebih besar dari kalian semua...” 　　Paduka Zhao mengangguk: “Kaisar memang benar.” 　　Sang menteri nyaris tak bisa bernapas, memandangi Paduka Zhao dengan tatapan kaget dan menghina. 　　Tak disangka Paduka Zhao ternyata orang seperti ini! 　　Kaisar Jingming malas mendengar keributan para menteri, berkata datar: “Para qing mungkin belum tahu, rakyat Kota Jinli bisa mengungsi sebelum gempa bukan karena mimpi gaib yang memperingatkan Pangeran Yan, tapi karena Er Niu bisa meramalkan gempa!” 　　Beliau melirik ke arah Yu Jin sambil berbicara. 　　Yu Jin awalnya terkejut, lalu tersenyum. 　　Separuh senyum itu tulus, separuhnya lagi dipamerkan untuk Kaisar Jingming. 　　Menurut Yu Jin, reputasi sebagai orang yang dapat peringatan gaib lewat mimpi justru merepotkan. 　　Ia tak berminat pada tahta, sebelumnya mengambil alih tugas ini karena Putra Mahkota menolak, terpaksa bertindak demi seribu lebih nyawa. 　　Siapa sangka gempa benar-benar terjadi, di mata mereka yang mengincar tahta, ini jadi kesalahan fatal. 　　Ia tak takut membuat musuh, tapi harus ada artinya. Yang ia inginkan cuma hidup tenang berdua A Si di balik pintu, menikmati kebebasan. 　　"Kaisar Jingming secara proaktif membuka topik ini, bagi Yu Jin hal ini merupakan pengurangan beban, tentu ia merasa senang. Namun sebenarnya kebahagiaan ini tidak perlu ditunjukkan, menampakkan ekspresi gembira hanyalah untuk membuat Sang Kaisar tenang." 　　Yu Jin tidak merasa terganggu, hanya agak tertegun: Duduk di posisi itu sungguh melelahkan... 　　Melihat senyum pembebasan Yu Jin, Kaisar Jingming benar-benar merasa lega. Di balik kelegaan itu terselip rasa haru. 　　Beliau tidak berencana memberikan mukjizat pada Lao Qi, didasari oleh dua pertimbangan. 　　Pertama, posisi Putra Mahkota sebagai calon penguasa tidak boleh mendapat ancaman apapun. Kedua, demi kebaikan Lao Qi sendiri. 　　Kelak ketika Putra Mahkota naik takhta, toleransinya terhadap saudara yang memiliki mukjizat mungkin tidak akan tinggi... 　　Bagaimanapun dipikir, Kaisar Jingming merasa ini adalah potensi masalah, lebih baik diselesaikan sejak dini. 　　Reaksi Yu Jin jelas-jelas membuatnya tersentuh. 　　Beliau sempat khawatir Lao Qi menginginkan reputasi kosong, menganggapnya pilih kasih... *batuk* Memang ada sedikit keberpihakan, ini diakuinya. Bagaimanapun Putra Mahkota adalah satu-satunya anak lelaki sahnya. 　　Tapi beliau juga berharap Lao Qi bisa hidup makmur dan damai di masa depan. 　　Perkataan Kaisar Jingming menggemparkan para menteri. 　　"Jika para Paduka masih ragu, silakan tanyakan pada Deputi Menteri Zhao dan lainnya." 　　"Paduka Zhao, sebenarnya apa yang terjadi?" Para menteri berkerumun mengelilingi Deputi Menteri Zhao. 　　Deputi Menteri Zhao maju dan menceritakan kejadian hari itu secara detail, bahkan menggambarkan gerakan peringatan Er Niu hingga para menteri tidak bisa lagi meragukan. 　　Kaisar Jingming cukup puas dengan penjelasan Menteri Zhao, memandangi para menteri dan berkata perlahan: "Dalam gempa bumi di Kota Koi ini, jasa Menteri Zhao dan yang lain memang tidak kecil, namun penghargaan utama harus diberikan kepada Er Niu. Aku telah berulang kali mengatakan, yang berjasa harus dihargai, yang bersalah harus dihukum. Er Niu telah menyelamatkan lebih dari seribu nyawa rakyat Jinli, menurut kalian para menteri, pantaskah Er Niu dinaikkan jabatannya?" 　　Para menteri tak bisa berkata-kata, hanya bisa menjawab jujur: "Pantas--" 　　Menteri Zhao diam-diam memandang Yu Jin. 　　Pangeran Yan yang berdiri bersama beberapa pangeran lain tetap begitu mencolok, luar biasa. 　　Kaisar benar-benar licik, menggunakan alasan kenaikan jabatan Er Niu untuk secara alami mengeluarkan Pangeran Yan dari masalah. 　　Dari sini terlihat, Kaisar sebenarnya sangat menyayangi Pangeran Yan. 　　Menteri Zhao menarik kembali pandangannya, berpikir dalam hati: Jika dia punya anak lelaki sehebat Pangeran Yan, dia juga akan sangat menyayanginya. 　　Putra Mahkota? 　　Ehem-ehem, anak seperti Putra Mahkota itu tidak ada, begitu lahir terlihat tidak berbakat langsung ditenggelamkan... 　　Akhirnya, gelar Jenderal Xiaotian Er Niu tetap dipertahankan, langsung naik dari pangkat 5 utama ke pangkat 4 utama. 　　Para menteri menghela napas. 　　Banyak orang yang berjuang puluhan tahun masih berkutat di bawah pangkat 4. Jika ada keponakan mereka yang mencapai pangkat 4 utama, seluruh klan akan dianggap punya penerus. Tapi seekor anjing malah jadi jenderal pangkat 4 utama. 　　Benar-benar membuat putus asa jika dipikir-pikir. 　　Selanjutnya Kaisar Jingming kembali memberikan penghargaan kepada Wakil Menteri Zhao dan lainnya. Meski belum menaikkan jabatan Wakil Menteri Zhao, orang-orang yang berpengalaman bisa melihat bahwa tinggal menunggu Menteri Keuangan pensiun, Wakil Menteri Zhao diperkirakan akan segera dipanggil sebagai Menteri Zhao. 　　Wakil Menteri Keuangan Bidang Kiri tersenyum kecut, menyesal karena saat gempa bumi di Qianhe County kebetulan sedang sakit sehingga kehilangan kesempatan untuk berjasa. 　　Sebenarnya di dalam hati dia mengerti bahwa sebagian besar ini adalah keberuntungan Wakil Menteri Zhao. 　　Menurut prosedur biasa, penanggulangan bencana bukanlah prestasi besar. Tapi siapa sangka Kota Jinli terkena gempa. 　　Gempa di Kota Jinli pun sebenarnya biasa saja, namun dari lebih dari seribu penduduk Kota Jinli hanya puluhan korban. Hal ini menjadikannya prestasi luar biasa bahkan akan tercatat dalam sejarah. 　　Sungguh keberuntungan yang luar biasa! 　　Wakil Menteri Keuangan Bidang Kiri melirik Wakil Menteri Zhao, lalu melihat Yu Jin sambil menghela napas dalam-dalam. 　　Setelah memberikan penghargaan kepada pihak luar, Kaisar Jingming memuji Yu Jin di hadapan para pejabat, menyebutkan Putra Mahkota seadanya, baru kemudian membubarkan sidang. 　　Begitu tiba di Kediaman Pangeran Qi, wajah Pangeran Qi langsung menjadi muram. 　　Lao Qi benar-benar beruntung memiliki anjing yang begitu spiritual. 　　Meskipun Ayah Kaisar telah menjelaskan bahwa mimpi peringatan dari dewa Lao Qi adalah omong kosong, reputasinya sudah tersebar luas. Masak bisa menjelaskan satu per satu kepada rakyat awam yang tak tahu apa-apa? 　　Popularitas di kalangan rakyat seperti ini telah lama dia idamkan selama bertahun-tahun, tapi Lao Qi justru mendapatkannya dengan mudah. 　　Pangeran Qi merasa iri hingga giginya gemeretak. Tak disangka, beberapa hari kemudian, Kabupaten Qianhe mengirimkan dua Payung Rakyat - satu untuk Wakil Menteri Zhao, satunya lagi untuk Pangeran Yan. 　　Tidak aneh jika pejabat bermoral menerima Payung Rakyat dari rakyat, tapi sangat langka jika anggota keluarga kerajaan mendapatkannya. 　　Dalam sekejap, Yu Jin menjadi figur paling menonjol di kalangan para pejabat. 570.BAB 569: SERANGAN 　　BAB 569: SERANGAN 　　Kaisar Jingming memanggil Yu Jin ke istana dan menasihati, "Jangan sombong atau gegabah. Janganlah kau menjadi angkuh hanya karena punya reputasi baik di masyarakat." 　　Yu Jin menjawab dengan patuh, "Anak lelaki ini mengerti." 　　Pan Hai memandang langit diam-diam. 　　Perkataan Kaisar itu seolah-olah Pangeran Yan sebelumnya tidak pernah bertindak semena-mena. 　　Berkelahi massal, memukul Putra Mahkota... Setelah menghitung "kenakalan" Yu Jin dalam hati, Pan Hai terkejut menemukan jumlahnya cukup banyak. 　　Yang lebih mengejutkan, meski Pangeran Yan punya banyak tindakan kontroversial, kesan yang tertinggal justru cukup baik. 　　Setelah Yu Jin pergi, Kaisar Jingming tersenyum puas, "Pan Hai, belum pernah ada anggota klan kerajaan yang mendapat Payung Rakyat, bukan?" 　　"Semua berkat kebijaksanaan dan kebajikan Kaisar, sehingga bisa membesarkan pangeran sehebat Pangeran Yan," puji Pan Hai dengan lancar. 　　Kaisar Jingming merasa senang mendengarnya. 　　Beliau tahu Pan Hai sedang menjilat, tapi selama pujiannya enak didengar, apa salahnya? Hidup sudah cukup pahit dan melelahkan, tak ada salahnya menikmati beberapa pujian. 　　"Apalagi anak lelakinya memang berbakat, mana ada ayah yang tidak bangga." Contohnya Zhen Shicheng si tua bangka itu, dulu ketika anaknya meraih tiga gelar sekaligus menjadi Lambang Keberuntungan, dia pernah pamer di hadapannya. Saat itu hatinya sangat kesal, tapi sebagai kaisar negara, dia tidak bisa menunjukkannya. 　　"Panggil Putra Mahkota ke sini." Baru senang sebentar, Kaisar Jingming teringat anaknya yang lain, moodnya langsung turun. 　　Tak lama Putra Mahkota masuk, menunduk patuh: "Ayah Kaisar memanggil saya?" 　　Kaisar Jingming melirik Putra Mahkota: "Apa yang kau lakukan di Istana Timur?" 　　"Saya sedang membaca buku..." Setiap kali ditanya Kaisar Jingming, Putra Mahkota langsung tegang. 　　Tentu saja, yang lebih ditakutkan adalah kalau Kaisar Jingming bertanya lanjut buku apa yang dibaca... 　　Untungnya perhatian Kaisar Jingming tidak di situ, dia mengangguk pelan: "Adik ketujuhmu mendapat Payung Rakyat, kau sudah dengar?" 　　"Saya sudah dengar." Hati Putra Mahkota mendadak kesal, ekspresinya tak bisa menyembunyikannya. 　　Lao Qi, Lao Qi! Sekarang semua orang hanya membicarakan Lao Qi, kapan berhentinya! 　　Melihat ekspresi Putra Mahkota yang tidak beres, amarah Kaisar Jingming langsung meluap. Ditepaknya meja: "Kau tidak introspeksi diri? Mengapa adikmu bisa dapat dukungan rakyat, sementara kau malah ngawur bicara sampai membuat defisit besar di Kementerian Keuangan!" 　　Putra Mahkota merasa sangat tidak adil, membela diri dengan suara kecil: "Adik bisa berprestasi karena anjing peliharaannya Er Niu--" 　　“Cukup!” Kaisar Jingming semakin kecewa, hampir ingin mengambil pemberat kertas giok di meja untuk memukul kepala anaknya yang bebal agar sadar. 　　Melihat Putra Mahkota masih menunjukkan raut tidak terima, Kaisar Jingming menggelengkan kepala: "Gempa bumi memang diprediksi oleh Er Niu, tapi bagaimana dengan urusan setelahnya? Andai kau punya sedikit tanggung jawab, yang dikagumi rakyat hari ini pasti kau!" 　　Sudut bibir Putra Mahkota bergetar, menunjukkan penyesalan. 　　Kaisar Jingming semakin marah melihatnya. 　　Tidak punya ketegasan saat menghadapi masalah, setelah kejadian hanya bisa menyesal tanpa introspeksi... Tak boleh dipikirkan lagi, nanti darah tinggi. 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan: "Pulanglah dan renungkan baik-baik. Kuharap kau bisa menunjukkan sikap layaknya Putra Mahkota di kemudian hari." 　　Putra Mahkota meninggalkan ruang studi kekaisaran, terus memikirkan perkataan ayahnya sepanjang jalan. 　　Apakah Ayah Kaisar menyuruhnya bersikap layaknya Putra Mahkota karena menganggapnya tidak pantas? 　　Putra Mahkota menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba terlintas pikiran: Jika ayah terus menganggapnya tidak layak, apakah akan memecatnya? 　　Mengenang pengalaman di Taman Jing, Putra Mahkota menggigil. 　　Tidak mungkin, Ayah pasti tidak akan memecatnya lagi. 　　Kembali ke Istana Timur, melihat raut wajah Permaisuri Putra Mahkota yang muram, suasana hatinya semakin buruk. 　　"Tak bisakah kau tersenyum? Muka berkabut terus, rejeki pun jadi hilang!" 　　Permaisuri Putra Mahkota menatap sang Putra Mahkota dengan ekspresi dingin. 　　“Dulu suami ini hanya bodoh, sekarang tambah moody. Apakah beberapa hari lagi akan mulai memukul orang?” 　　Putra Mahkota mengangkat kaki dan menendang sebuah bangku kecil hingga terlempar: “Apa maksudmu sebenarnya?” 　　Bangku kecil yang terlempar itu jatuh di dekat kaki seorang dayang, membuatnya ketakutan sambil menutup mulut rapat-rapat tapi tak berani bersuara. 　　“Kalian semua boleh pergi.” Permaisuri Putra Mahkota berkata dengan lembut. 　　Para dayang istana yang melayani di dalam ruangan segera membalas “Daulat” dan buru-buru keluar. 　　Permaisuri Putra Mahkota kemudian menuangkan secangkir teh, meletakkannya di samping tangan Putra Mahkota, dan berkata datar: “Tidakkah Paduka merasa malu bertengkar dengan hamba di depan banyak dayang?” 　　Putra Mahkota menyeringai: “Malu apa? Mereka cuma budak pelayan, masak aku harus mempertimbangkan perasaan mereka?” 　　Permaisuri Putra Mahkota memandang Putra Mahkota dalam diam, sudah tak ingin mengucapkan sepatah kata pun. 　　Amarah di hati Putra Mahkota tiba-tiba berkobar. 　　Sejak pindah dari Taman Jing kembali ke Istana Timur, perempuan ini sering memandangnya dengan tatapan seperti ini yang selalu membuatnya ingin memukul. 　　Putra Mahkota menggenggam pergelangan tangan Permaisuri Putra Mahkota dengan kasar: “Apa maumu sebenarnya? Sudah bosan jadi Permaisuri?” 　　Permaisuri Putra Mahkota mengerutkan alis kesakitan namun nada bicaranya tetap dingin: “Menjadi Permaisuri bukanlah keputusanku. Hanya harap Paduka bersyukur, demi Chun Ge'er.” 　　Setelah berkata demikian, Permaisuri Putra Mahkota melepaskan diri dari genggaman Putra Mahkota dan bergegas masuk ke kamar dalam. 　　“Putra Mahkota awalnya ingin mengejar masuk untuk bertengkar hebat, namun khawatir kabar ini akan sampai di telinga Kaisar Jingming dan membuatnya dimarahi, akhirnya mengurungkan niat. Ia pun menoleh pergi ke taman untuk mengobrol dengan dayang kecil.” 　　Permaisuri Putra Mahkota duduk di kamar dalam yang sepi, dada terasa dingin membeku. 　　Hampir-hampir ia tak tahan lagi menghadapi suaminya ini. 　　Bodoh atau tidak, emosional atau bukan, nasib telah dihadapkan padanya, hanya bisa pasrah. 　　Namun kemarin ibu datang menjenguknya, membawa adik ipar perempuan yang baru saja masuk keluarga. Sorot mata Putra Mahkota yang menatap adik iparnya membuat jantungnya berdebar kencang. 　　Suami ini mulai kehilangan akal! 　　Lelaki tak berguna seperti ini, ibu malah menasihatinya untuk terus merangkul hati Putra Mahkota... 　　Permaisuri Putra Mahkota mengusap sudut matanya, jemari menyentuh air mata dingin. 　　Paruh kedua bulan kelima sepertinya berjalan tenang, namun mendekati akhir bulan, Menteri Kekayaan Negara terserang panas dalam hingga harus beristirahat, lalu resmi mengajukan permohonan pensiun. 　　Kaisar Jingming menahan sesuai protokol sebanyak tiga kali, Menteri Kekayaan Negara bersikeras tiga kali pula, akhirnya permohonan pun dikabulkan. 　　Seperti diduga banyak orang, yang menggantikan posisi Menteri Kekayaan Negara tak lain adalah Wakil Menteri Zhao. 　　Wakil Menteri Zhao yang baru berusia awal lima puluhan ini menjadi salah satu kepala enam kementerian, masa depan bagaikan kembang yang merekah. Seketika itu pula pintu rumah keluarga Zhao dipadati kereta dan kuda, tak terhitung banyaknya pelayat yang datang memberi selamat. 　　Mantan Wakil Menteri Zhao, kini Menteri Zhao, saat ini dalam hati sangat berterima kasih pada seseorang. 　　“Keberhasilanku hari ini berkat berkah Pangeran Yan.” Di dalam kamar, Menteri Zhao berujar penuh haru pada sang nyonya. 　　“Nyonya Shangshu belakangan ini juga sedang berseri-seri,” ujar Nyonya Shangshu sambil tersenyum, “Kudengar Permaisuri Yan sebentar lagi akan melahirkan. Nanti kita siapkan hadiah mewah untuk dikirim ke Kediaman Pangeran Yan.” 　　Zhao Shangshu mengangguk-angguk, “Istriku sudah mengingatnya. Permaisuri Yan akan segera melahirkan, Pangeran Yan bahkan tidak mau keluar rumah. Ingin mengajaknya minum untuk menyampaikan terima kasih pun tidak bisa. Hanya bisa memikirkan hadiah yang lebih istimewa.” 　　“Tapi entah apakah Permaisuri Yan akan melahirkan di bulan Mei?” desah Nyonya Shangshu sekenanya. 　　Banyak orang yang berpikiran sama. 　　Jika anak lahir di bulan sial, keberuntungan pernikahan akan berkurang. 　　Di bawah pengamatan diam-diam beberapa orang, pada hari terakhir bulan Mei, Jiang Si akhirnya mulai kontraksi. 　　Terima kasih untuk semua Hadiah dan vote. Naskah yang ditumpuk selama 2 bulan lebih, batuk-batuk selama sebulan, kemarin tante datang bulan masih datang, begadang sampai jam 1 pagi baru tidur. Ditambah bab hari ini akhirnya genap 50 bab. Sebenarnya meski ada permintaan ledakan pembaruan, kurang 2 bab pun tidak apa, tapi tidak ingin mengecewakan antisipasi kalian yang sudah lama. Minta reward vote! Rekomendasi tambahan: "Wei Wu Bu Neng Qu" karya Jiu Shi Liu, judulnya menarik, silakan dibaca. Sinopsis: 　　Di kehidupan sebelumnya, Gu Yunrong yang berasal dari keluarga militer terobsesi dengan dunia sastra. Meski sudah memaksa diri menjadi lembut dan berbudi, nasibnya berakhir meninggal karena sakit di vila terpencil. 　　Membuka mata lagi, semuanya dimulai dari awal, dimulai dengan kepalan tangan. 　　Gu Yunrong: Persetan dengan pelajar! Nona ini akan bicara dengan kepalan tangan! 　　Kerumunan: Nona yang gagah, tak ada yang berani meminang. 　　Jiang Muyuan: Saya berani! 571. BAB 570 Kelahiran 　　BAB 570 Kelahiran 　　Enam bidan sudah disiapkan sejak awal. 　　Sebenarnya empat cukup, tapi Yu Jin merasa enam lebih baik artinya kelancaran, lalu menambah dua lagi. 　　Enam bidan sibuk di ruang bersalin, para dayang membawa berbagai hadiah keluar masuk. 　　Yu Jin berdiri di bawah koridor, gelisah mengintip ke dalam sampai hampir menabrak Dayang Ji. 　　Dayang Ji meninggikan suara: "Pangeran, Buat apa Pangeran ke sini mengganggu!" 　　Pangeran Yan yang biasa bermuka dingin di depan pelayan kini tak bisa angkuh, melongok melewati Dayang Ji: "Saya cuma mau lihat..." 　　"Lihat pun tak boleh! Mana ada pria dewasa mengintip wanita melahirkan." Dayang Ji bermuka masam berteriak, "Panggil seseorang antar Pangeran ke tempat istirahat!" 　　Yu Jin melirik Dayang Ji, sebelum dayang datang mengusir, langsung berbalik menuju kamar samping. 　　Dayang Ji menghela napas lega lalu masuk kembali. 　　Sungguh, pria dewasa tak bisa bantu saat persalinan. Belum pernah lihat pangeran seperti ini. 　　Menurut Dayang Ji, melahirkan urusan wanita. Pria tak pantas ke halaman belakang. Siang hari kerjakan tugasmu, cukup diberi tahu saat bayi lahir. 　　“Pangeran benar saja, hampir tak sabar ingin masuk menggantikan Permaisuri melahirkan, tak peduli kesialan.” 　　Untungnya masih mau mendengarkan nasihat. 　　Baru saja bayangan Dayang Ji menghilang di pintu kamar, Yu Jin sudah keluar dari kamar samping sambil membawa bangku kecil. 　　Nenek sihir itu benar-benar menyebalkan! 　　Yu Jin meletakkan bangku kecil di bawah koridor lalu duduk, menyimak dengan telinga tegak. 　　Di dalam ruangan selain suara bidan dan langkah kaki kacau, hampir tak terdengar suara Jiang Si. 　　Hati Yu Jin menggantung. 　　Ada apa ini? Ia pernah bertanya pada banyak orang berpengalaman, katanya wanita melahirkan pasti menjerit kesakitan, kenapa A Si tak bersuara? 　　“A Man——” Yu Jin gelisah, melambaikan tangan pada A Man dengan suara tertekan, takut didengar Dayang Ji di dalam. 　　A Man berlari kecil menghampiri: “Pangeran, Tuan memanggil hamba?” 　　A Man dan A Qiao masih gadis belia. A Qiao telaten dan salah satu dayang kepercayaan Jiang Si, dipaksa diizinkan Dayang Ji tinggal di dalam. A Man yang ceroboh diperlakukan sama seperti Yu Jin, sudah diusir keluar. 　　“Masuklah lihat keadaan Permaisuri.” 　　“Ya.” A Man menjawab lalu masuk. 　　Yu Jin menatap tak berkedip ke pintu kamar, tiba-tiba merasakan ada yang mendekat. 　　Er Niu mengibaskan ekor lalu berbaring di sampingnya. 　　Yu Jin mengulurkan tangan dan meletakkannya di punggung Er Niu, terus-menerus membelai bulu lebat Anjing Besar. 　　Anjing Besar awalnya menikmati, tapi kemudian menjadi tidak sabar. 　　Apakah tuannya membelai terlalu cepat? Hampir semua bulu di punggungnya tercabut! 　　Di pintu muncul Ah Man, diikuti Dayang Ji yang wajahnya masam. 　　Melihat Yu Jin tidak hanya belum pergi tapi malah membawa bangku kecil dengan anjing di sampingnya, wajah Dayang Ji menjadi pucat: "Tuan, mengapa Anda masih di sini!" 　　Wajah Yu Jin berkerut: "Dayang jangan bicara lagi, aku tidak akan pergi." 　　Bibir Dayang Ji bergetar, tak tahu harus berkata apa. 　　Dengan begitu beraninya menolak pergi tanpa alasan, apa lagi yang bisa dia katakan? 　　Melihat Dayang Ji tidak mengusirnya, Yu Jin malah mengejar: "Dayang, mengapa Permaisuri tidak berteriak?" 　　Dayang tua itu wajahnya dingin seperti air: "Baru mulai kontraksi, masih lama. Kalau berteriak sekarang nanti tidak ada tenaga untuk melahirkan, tidak boleh berteriak." 　　Yu Jin mengerutkan alisnya. 　　Tidak boleh berteriak, berarti sebenarnya masih sakit... 　　"Berapa lama lagi Permaisuri bisa melahirkan para gadis ini?" 　　“Ini sulit dipastikan. Ada wanita yang cepat melahirkan, ada pula yang lambat, yang singkat hanya beberapa jam, yang lama bahkan bisa sampai tiga hari dua malam...” Melihat wajah Yu Jin berubah, Dayang Ji menghibur, “Pangeran tenang saja, posisi janin Permaisuri normal, kondisi fisiknya juga terawat baik, pasti lancar. Kira-kira baru akan selesai setelah tengah malam.” 　　Tengah malam? Bukankah itu setelah zishi (jam 23.00-01.00)? 　　Wajah Yu Jin semakin pucat mendengarnya, spontan berkata: “Lama sekali?” 　　Dayang Ji merengut: “Pangeran jangan terburu-buru, lebih baik para gadis lahir setelah tengah malam.” 　　Setelah tengah malam berarti sudah memasuki bulan keenam. 　　Selisih sejenak saja akan membawa perbedaan besar bagi sang anak, apalagi bagi istana pangeran. 　　“Yang penting Paduka sedikit menderita,” ujar Yu Jin sambil mengerutkan kening. 　　Dayang Ji mencibir, menasihati: “Pangeran tenang saja, beberapa bidan ini terbaik di ibu kota, tuan kecil pasti lahir selamat. Lebih baik Tuan menunggu di depan, begitu tuan kecil lahir hamba akan segera mengirim kabar.” 　　Yu Jin menggeleng: “Anak saya sendiri yang lahir, mengapa harus dikabari orang? Lagipula, walau tak bisa membantu, hati saya tenang di sini. Permaisuri juga akan merasa tenang mengetahui saya menunggu di luar.” 　　Dayang Ji tak memahami pola pikirnya, bergumam: “Semua wanita juga melalui ini...” 　　Wajah Yu Jin berkerut: “Dayang keliru.” 　　“Bagaimana bisa salah？”Dayang Ji tertegun oleh ucapan itu. 　　Urusan melahirkan perempuan, Pangeran masih mau mengajari saya? 　　“Pria tidak bisa melahirkan sementara wanita bisa, ini memang perbedaan alami. Tapi bukan berarti penderitaan wanita saat melahirkan dianggap wajar. Meski semua wanita mengalaminya, rasa sakit tidak akan berkurang hanya karena wanita lain pernah mengalaminya.” Yu Jin menatap ke arah pintu kamar sambil berkata dengan tegas, “Selain itu, saya memang sangat menyayangi istri saya, tidak bolehkah?” 　　Sudut bibir Dayang Ji berkedut: “Pangeran begitu menyayangi Permaisuri, itu adalah keberuntungan Permaisuri. Silakan Tuan menunggu di sini, asal jangan masuk ke dalam.” 　　Dia tidak punya waktu untuk menganalisis omongan Pangeran. Yang penting dia tahu Pangeran ini sangat mencintai istrinya, dan tidak akan mau pergi meski dibujuk bagaimana pun. 　　Hingga malam tiba, jerit kesakitan Jiang Si terus terdengar dari dalam kamar. Yu Jin tidak tahan lagi hingga menendang bangku kecil, ingin masuk untuk memastikan keadaannya. 　　Dayang Ji bagai gunung kecil menghalangi pintu, wajahnya gelap seolah siap membunuh: “Pangeran sama sekali tidak boleh masuk!” 　　Keterlaluan, benar-benar keterlaluan! Jika Pangeran nekat masuk, dia rela mempertaruhkan nyawa tuanya! 　　Saat itu juga, Dayang Ji membenci setengah mati Sekretaris kediaman pangeran. 　　Si tua bangka itu tidak bisa mencari alasan untuk menahan Pangeran? Untuk apa jadi Sekretaris istana kalau tidak bisa melakukan tugasnya? 　　Kelahiran Permaisuri adalah urusan penting. Saat ini Sekretaris istana tentu belum beristirahat, namun dia hanya menunggu kabar di bagian depan. 　　Setelah menyeruput teh, Sekretaris istana diam-diam berpikir: Dayang Ji pasti gelisah sampai ingin melompat? Sudah waktunya dia merasakan keadaan ini. Dulu saat diminta menasihati Permaisuri yang sering masuk ke ruang belajar Pangeran, dia malah berani melemparkan tugas. 　　Yu Jin ingin masuk melihat, Dayang Ji mati-matian melarang. Saat kebuntuan terjadi, A Qiao berlari keluar berteriak: "Dayang, tuan kecil sepertinya akan keluar——" 　　Dayang Ji langsung berlari kembali masuk. 　　Yu Jin mengangkat kaki ingin menyusul, ujung hidungnya nyaris terbentur pintu yang ditutup keras. 　　Tengah malam baru lewat, Permaisuri Yan selamat melahirkan. 572. BAB 571 Putri 　　BAB 571 Putri 　　Enam bidan mengelilingi Jiang Si. Salah satu bidan menerima bayi, pertama-tama langsung memeriksa jenis kelaminnya. 　　Seorang anak perempuan—— 　　Hati bidan sedikit berat, namun raut wajahnya tetap tenang. Dengan cekatan dia dan bidan lain membersihkan bayi menggunakan selimut lembut, lalu mengunjukkan pada Jiang Si. 　　"Selamat Permaisuri, ini putri kecil yang cantik seperti Permaisuri." 　　Para bidan ini paham, semakin kaya keluarga, semakin penting anak lelaki. Apalagi untuk keluarga kerajaan yang melanjutkan dupa leluhur. 　　Karena Permaisuri melahirkan anak perempuan untuk anak pertama, tentu tidak sebahagia jika melahirkan anak lelaki. 　　"Mereka mengucapkan selamat kepada Permaisuri, namun hati mereka masih cemas." 　　Sebagai penolong persalinan berpengalaman, sudah banyak kejadian aneh yang mereka alami. Banyak ibu bersalin yang histeris menangis setelah tahu melahirkan anak perempuan, bahkan ada keluarga kejam yang diam-diam membuang bayi perempuan. 　　Menyedihkan, sungguh menyedihkan. 　　Tentu saja, setelah reputasi mereka terbangun, kejadian seperti ini jarang terjadi. Keluarga kaya setidaknya masih bisa memberi makan anak perempuan, tidak sampai membuang atau menenggelamkannya. 　　Jiang Si saat itu sudah kelelahan total. Dengan susah payah ia membuka matanya, lalu melihat seorang bayi mungil. 　　Bayi itu menutup mata sambil menangis kencang. 　　Jiang Si tak bisa menahan senyum tipis. 　　Si kecil ini sejak dalam kandungan sudah suka bergerak-gerak. Tangisannya setelah lahir begitu nyaring, benar-benar anak yang aktif. 　　Melihat senyum tulus Jiang Si, bidan yang menggendong bayi memberanikan diri mendekatkan bayi ke pipinya. 　　Saat itu juga air mata Jiang Si tumpah deras. 　　Bukan karena sedih, bahkan bukan pula bahagia. Air mata itu datang begitu saja tak terbendung. 　　Inilah mungkin yang disebut ikatan darah daging. 　　Mulai saat ini, ada seorang manusia kecil di dunia ini yang mengalirkan darahnya dan A Jin dalam tubuhnya. 　　Ternyata menjadi ibu adalah perasaan seperti ini. 　　"Permaisuri jangan menangis, nanti mata Anda sakit." Bidan yang menggendong bayi mulai panik. 　　Jangan-jangan Permaisuri tidak bahagia? 　　Jiang Si tersenyum: "Hanya karena bahagia. Bawa anak ini keluar untuk diperlihatkan pada Pangeran." 　　Barulah bidan itu menenangkan diri, menggendong bayi keluar. 　　Yu Jin di luar sudah mendengar tangisan bayi, sedang bersiap menginjak Dayang Ji yang menghalangi, untungnya bidan segera keluar. 　　"Selamat Pangeran, Permaisuri telah memberikan Putri pada Tuan." 　　"Anak perempuan?" Yu Jin bergegas mendekat. 　　Bidan itu tersenyum kecut: "Bunga mekar dulu baru berbuah--" 　　Permaisuri terlihat cukup puas, apakah Pangeran ini merendahkan? 　　Yu Jin terpaku melihat bayi keriput dalam selimut merah. 　　"Pangeran?" 　　Yu Jin mengulurkan jari, mencolek lembut pipi bayi: "Ini... anak Permaisuri?" 　　Anak ini jelek seperti monyet, lagi pula perempuan-- 　　Bidan itu tertegun: "Ehem, Pangeran bercanda." 　　Bukan anak Permaisuri, apa lahir dari batu? 　　Pangeran benar-benar merendahkan! 　　Bayi itu menangis keras akibat colekan kasar sang ayah. 　　Yu Jin panik: "Dia menangis... Dayang Ji, cepat panggil inang pengasuh! Aku mau masuk menemui Permaisuri." 　　Melihat Yu Jin berlari masuk, Dayang Ji hanya bisa memutar mata. 　　Bidan tertegun sejenak, lalu bertanya hati-hati pada Dayang Ji: "Apakah Pangeran kecewa melihat Permaisuri melahirkan putri——" 　　Dayang Ji tersenyum: "Pangeran sangat bahagia. Serahkan putri kepada inang susu, silakan ambil hadiahmu." 　　Bidan luar yang tidak tahu adat, mana paham? Selama itu anak Permaisuri, meski lahir sebagai monyet sekalipun, Pangeran takkan menolak. 　　Batuk-batuk. Pasti karena terlalu kesal pada Pangeran sampai berani bergumam dalam hati sembarangan. 　　Dayang Ji merasakan citra tegasnya mulai goyah. Ia segera menyusun rencana lanjutan setelah mengumpulkan perasaannya. 　　Permaisuri selamat melahirkan. Banyak yang harus disiapkan: mengabari istana dan keluarga Permaisuri di rumah orangtua. 　　Bau darah masih menyengat di ruangan. Jendela tertutup rapat di bulan Juni, gerah seperti dandang. 　　Yu Jin memandang sosok yang terbaring di ranjang. 　　Wajah pucat, rambut hitam berantakan, sprei yang terkoyak... 　　Hatinya terasa diremas. Ia bergegas mendekati Jiang Si dan menggenggam tangannya: "A Si, kau baik-baik saja?" 　　Jiang Si membuka mata lelah: "Lelah sekali. A Jin, aku ingin tidur dulu. Keluarlah." 　　"Baik, tidurlah." 　　Jiang Si menutup matanya kembali. 　　Bagi yang pertama kali melahirkan, proses ini benar-benar menguras tenaga. 　　Yu Jin tetap tak bergerak. 　　Aroma samar darah yang memenuhi ruangan membuatnya seolah bisa merasakan penderitaan yang dialami Jiang Si sebelumnya. 　　Di hati Yu Jin hanya ada satu pikiran: Cukup, jangan melahirkan lagi, seorang putri yang mirip monyet jelek ini sudah cukup. 　　A Qiao memberi hormat kepada Yu Jin: "Pangeran, lebih baik Tuan keluar dulu, kami perlu membersihkan dan mengganti pakaian Permaisuri." 　　Yu Jin mengangguk, menatap Jiang Si dalam-dalam sebelum akhirnya pergi. 　　Udara di luar langsung terasa segar. 　　"Bagaimana dengan para gadis?" Yu Jin langsung bertanya pada Dayang Ji. 　　Dayang Ji menjawab: "Sang inang sedang menyusui nona kecil." 　　Mendengar inang sedang menyusui anak itu, Yu Jin mengurungkan niat untuk melihat, lalu bertanya rendah pada Dayang Ji: "Apakah semua bayi baru lahir sejelek ini?" 　　Kelopak mata Dayang Ji berkedut, lalu berkata serius: "Nona kecil tidak jelek, justru termasuk bayi baru lahir yang cantik, mengikuti Permaisuri." 　　Yu Jin mengingat kembali bayi keriput itu, matanya memandang Dayang Ji dengan curiga yang mendalam. 　　Sudah tengah malam, lentera di halaman utama Kediaman Pangeran Qi masih belum padam. 　　Pangeran Qi bergegas masuk, Permaisuri Qi langsung bangkit dari tempat tidur. 　　"Belum tidur?" 　　Permaisuri Qi mana mungkin bisa tidur. 　　“Kehamilannya hanya sedikit lebih lambat dari Jiang Si. Jika tidak mengalami keguguran, pasti sudah mempersiapkan kelahiran anak. Tapi sekarang dia hanya bisa bolak-balik gelisah menunggu kabar dari Kediaman Pangeran Yan.” 　　“Permaisuri Yan sudah melahirkan?” 　　“Sejak terdengar suara Permaisuri Yan akan melahirkan dari Kediaman Pangeran Yan, Kediaman Pangeran Qi langsung mengirim orang untuk memantau. Sekarang Pangeran datang, tentu sudah ada hasilnya.” 　　“Sudah melahirkan.” 　　“Kapan waktu persalinannya?” Permaisuri Qi langsung bertanya begitu. 　　Pangeran Qi mengatupkan bibir, “Lewat tengah malam.” 　　Permaisuri Qi langsung kehilangan semangat. 　　Lewat tengah malam berarti tanggal 1 bulan keenam. Andai saja lebih cepat sedikit di bulan kelima... Kenapa semua keberuntungan selalu diambil Permaisuri Yan? 　　Dia segera teringat pertanyaan kedua: “Anak lelaki atau perempuan?” 　　Baru sekarang wajah Pangeran Qi tersenyum: “Seorang putri.” 　　“Oh, anak perempuan…” Permaisuri Qi langsung lega. 　　Jika itu anak lelaki, reputasinya pasti semakin kalah dari Permaisuri Yan. Mungkin akan merasa tidak nyaman cukup lama. 　　Pangeran Qi juga merasa lebih ringan. 　　Setelah Pangeran Jin tumbang, target utamanya adalah menjatuhkan Putra Mahkota. Tapi tak disangka Lao Qi bisa membuat kejutan besar. 　　Reputasi di rakyat sudah baik. Kabarnya Menteri Zhao yang baru sangat memuji Lao Qi. Jika lahir anak lelaki lagi, apa Lao Qi mau naik ke langit? Permaisuri Yan melahirkan putri, ancamannya jauh lebih kecil. 　　Pasangan Pangeran Qi saling tersenyum, lalu mereka pun tidur bersama. 　　Keesokan harinya, kabar Permaisuri Yan melahirkan seorang putri segera dikirim ke istana. 　　Terima kasih atas dukungan semua, sore ini akan ada satu bagian lagi. 573.BAB 572 Putri Jelek di Mata Yu Qi 　　BAB 572 Putri Jelek di Mata Yu Qi 　　Sebagai pemimpin istana belakang, Permaisuri tentu yang pertama menerima kabar. Ia segera memberikan hadiah dan mengutus orang ke Istana Yuquan untuk menyampaikan berita. 　　Ibu Suri Xian sedang memegang gunting perak kecil merapikan bunga mekar di pot, mendengar utusan dari Istana Kuning datang, ia berdiri tegak: "Persilah masuk." 　　Tak lama kemudian pelayan istana dari Istana Kuning masuk sambil tersenyum: "Memberi selamat pada Ibu Suri Xian." 　　Hati Ibu Suri Xian berdebar, senyum sempurna tetap terpampang di wajahnya: "Dari mana asal kabar gembira ini?" 　　Jangan-jangan istri Lao Qi sudah melahirkan? 　　Pelayan itu pun berkata: "Tengah malam kemarin, Permaisuri Yan dikaruniai seorang putri." 　　"Terima kasih sudah datang. Hongyu-" 　　Seorang dayang segera memberikan amplop hadiah pada pelayan itu. 　　Pelayan itu mengucapkan beberapa kata keberuntungan lagi sebelum mundur keluar. 　　Senyum di wajah Ibu Suri Xian langsung menghilang. Ia mengambil kembali gunting perak kecilnya sambil berkata datar: "Siapkan tonik untuk dikirim ke Kediaman Pangeran Yan." 　　Seorang anak perempuan, tentu tak ada yang perlu disyukuri. 　　Apalagi ini membuat hatinya perih. 　　Dulu ketika istri Lao Si dan istri Lao Qi sama-sama hamil, ada selir kecil yang menjilat dengan mengatakan 'bunga mekar dulu baru berbuah'. Tapi kenyataannya? 　　“Istri Lao Si mengalami keguguran, tak ada hasil apalagi bunga. Istri Lao Qi malah membenarkan kata-kata sial ini, hanya melahirkan seorang gadis kecil.” 　　“Dengan banyaknya pangeran yang membuka rumah di luar, ditambah Istana Timur, gadis-gadis sudah berlimpah. Kaisar pasti tak akan mengedipkan mata saat mendengar.” 　　Ibu Suri Xian dengan tenang merapikan ranting bunga, mengabaikan kabar kelahiran putri Permaisuri Yan. 　　Tepat tanggal 1 bulan keenam, Kaisar Jingming turun dari sidang kerajaan dan seperti biasa mengunjungi Permaisuri. 　　“Hari ini Kaisar menyelesaikan tugas lebih awal.” 　　“Belakangan urusan negara tidak terlalu banyak, jadi aku datang untuk makan bersama Permaisuri.” Mungkin karena memiliki rahasia bersama, meski tak ada cinta, hubungan Kaisar Jingming dengan Permaisuri terasa nyaman. 　　Pasangan yang sudah tua dan beristri lama, ini sudah cukup. 　　“Ada kabar gembira untuk Kaisar.” 　　Kaisar Jingming bersemangat: “Kabar apa?” 　　Belakangan urusan pemerintahan kacau balau, jarang ada hal yang menyenangkan. 　　“Tadi malam Permaisuri Yan melahirkan putri dengan selamat. Bukankah ini kabar gembira?” Permaisuri tersenyum manis. 　　Kaisar Jingming tertegun, lalu tersenyum: “Memang kabar gembira. Yang penting selamat.” 　　Sebagai Kaisar yang sibuk, tentu tak mungkin memantau kapan menantu perempuan di istana luar melahirkan. 　　“Permaisuri ingat untuk menyiapkan tonik untuk dikirim ke Kediaman Pangeran Yan.” 　　“Sudah kusuruh orang mengantarkannya.” 　　Kaisar Jingming teringat janji yang pernah diutarakan diam-diam, berkata pada Permaisuri: "Lao Qi belakangan ini menunjukkan performa yang baik, Aku berencana menganugerahkan nama untuk Putri Sulung-nya." 　　Yu Jin berhasil menyingkap Dayang Duo yang membuat kekacauan di istana, juga menunjukkan prestasi gemilang di Kabupaten Qianhe. Semua ini tercatat dalam hati Kaisar Jingming. Sebagai seorang pangeran yang tak bisa dinaikkan jabatan atau gelar, hanya bisa diberi penghargaan melalui cara lain. 　　Permaisuri tertegun. 　　Pemberian nama oleh Kaisar bukan sekadar memberi nama pada para gadis. 　　Pemberian nama berarti memberikan gelar kebangsawanan kepada penerimanya, sebuah kehormatan yang luar biasa bagi bayi yang baru lahir. 　　Perlu diketahui, dari banyak putri di istana, selain putri mahkota Fuqing dan Putri Kelima Belas yang meninggal tragis, putri-putri lain hingga kini belum mendapat gelar, hanya akan diberi gelar saat mencapai usia pernikahan. 　　Putri para pangeran kerajaan juga demikian, baru bisa mengajukan gelar saat putri mereka tiba usia menikah. 　　Permaisuri segera memahami alasan Kaisar Jingming melakukan hal ini. 　　Ada pepatah "Utang ayah dibayar anak", sebaliknya anak juga menikmati naungan orangtua. Pasangan Pangeran Yan telah banyak membantu Kaisar mengatasi masalah, namun beberapa hal tak bisa diungkapkan ke publik, sehingga Kaisar perlu memberi kompensasi melalui cara lain. 　　Permaisuri bertanya sambil tersenyum: "Sudahkah Paduka menentukan nama?" 　　"Belum, biarkan Aku berpikir dulu." Kaisar Jingming memegang kumisnya sejenak, tiba-tiba tak bisa menemukan ide, lalu berkata pada Permaisuri, "Permaisuri juga turut membantu mencari." 　　Kaisar dan Permaisuri berdiskusi, mulai merenungkan nama untuk putri bungsu pasangan Pangeran Yan yang baru lahir. 　　Sedangkan Jiang Si dan Yu Jin juga sedang pusing memikirkan nama putri mereka. 　　"Karena masih muda, keesokan harinya Jiang Si sudah pulih semangatnya. Setelah menenangkan putrinya dan menyerahkannya ke pengasuh, pasangan suami istri ini mulai membahas pemberian nama." 　　"Nama resmi tidak perlu buru-buru. Untuk nama panggilan, aku sudah punya ide, kita panggil dia A Huan." 　　Jiang Si berkedip: "Aku ingat dulu kau bilang kalau anak laki-laki namanya A Li, kalau perempuan namanya A Jiao?" 　　Memandangi putrinya yang keriput, Yu Jin menghela napas dalam hati. 　　Separah ini, mana bisa dipanggil A Jiao... Jangan-jangan orang akan menertawakan diam-diam? 　　Tentu saja Yu Jin tidak berani jujur pada Jiang Si. Ia cengar-cengir: "Tiba-tiba aku merasa A Huan lebih bagus. Biarlah putri kita bahagia seumur hidup." 　　Jiang Si merenung sejenak lalu mengangguk: "Baiklah A Huan. Aku juga rasa itu lebih baik." 　　"Tuanku, ada tamu dari Kediaman Dongping Bo." 　　"Siapa yang datang?" 　　A Qiao menjawab: "Tuan Besar, Nyonya Muda, dan Nyonya Ketiga." 　　Yu Jin langsung berdiri: "Aku akan menyambut mertua." 　　Karena Jiang Si masih dalam masa nifas, Jiang Ancheng tidak bisa bertemu putrinya. Ia hanya melihat cucu perempuannya yang terbungkus bedong. 　　Jiang Ancheng tak bosan-bosan memandangi bayi itu, tersenyum lebar: "Yi'er, lihatlah! Bayi ini persis seperti adikmu waktu kecil..." 　　Jiang Yi yang mengelilingi bayi itu menyambut: "Benar, mirip sekali dengan Adik Keempat. Alis matanya seperti dicetak dari cetakan yang sama. Pasti akan secantik dirinya nanti." 　　"Mendengar ayah dan anak perempuan ini terus-menerus memuji putri mereka sendiri, Yu Jin merasa bingung." 　　"Apakah orang lain yang buta atau diriku yang buta?" 　　"Pangeran, hamba akan masuk melihat Permaisuri." 　　Jiang Yi bersama Nyonya Ketiga masuk ke kamar bersalin. Melihat Jiang Si dalam keadaan baik, mereka menemani berbincang sebentar sebelum keluar. 　　Orang yang sedang dalam masa nifas tentu tidak boleh diganggu terlalu lama. 　　Dalam perjalanan pulang, Jiang Ancheng menghela napas: "Waktu berlalu begitu cepat, dalam sekejap Adik Keempatmu sudah menjadi ibu." 　　Jiang Yi tahu ayahnya teringat pada almarhumah ibunya, segera menghibur. 　　Sesampai di Cixintang, Nyonya Feng yang sudah menunggu buru-buru bertanya: "Bagaimana?" 　　"Adik Keempat dan anaknya baik-baik saja, Nenek tak perlu khawatir," jawab Jiang Yi. 　　Nyonya Feng mengangkat sebelah alis: "Bagaimana dengan Pangeran?" 　　Jiang Ancheng tampak heran: "Melahirkan kan bukan urusan Pangeran, apa yang bisa terjadi padanya?" 　　Nyonya Feng melototi anaknya: "Maksudku, Si'er melahirkan anak perempuan, apakah Pangeran tidak kecewa?" 　　Jiang Ancheng menyeringai: "Si'er bersusah payah melahirkan putri yang cantik jelita untuknya, mana mungkin tidak senang? Ibu jangan mengkhawatirkan hal yang tidak perlu." 　　Nyonya Feng langsung tersedak marah. 　　Jiang Si yang baru bangun membuka mata dan melihat Yu Jin menunggui di sampingnya, tersenyum: "A Jin, kau tidak urus tugas kerajaan malah menemaniku nifas?" 　　“Yu Jin tertawa geli: \"Kantor kabupaten belakangan ini tidak perlu didatangi, ada apa yang penting? Menemanimu adalah hal paling penting.\"” 　　Wanita menjalani masa nifas benar-benar melelahkan. Di bulan Juni, jendela dan pintu tidak boleh dibuka. Baru sebentar masuk, dia sudah berkeringat deras. Kasihan A Si harus bertahan sebulan lagi. 　　“A Jin, tolong tuliskan surat untuk Kakak Kedua. Beri tahu dia dia punya seorang keponakan perempuan lagi...” 　　Hmm, nanti malam akan ada satu lagi. Minta dukungan vote. 574. BAB 573 Pemberian Nama 　　BAB 573 Pemberian Nama 　　Terhadap kakak laki-laki yang berada jauh di Perbatasan Selatan, Jiang Si merasa sangat rindu. 　　“Entah apakah Kakak Kedua bisa beradaptasi di Perbatasan Selatan. Cuaca dan makanan di selatan sangat berbeda dengan ibu kota...” 　　Yu Jin langsung kesal mendengarnya, bergumam kesal: “Pria dewasa harusnya bisa beradaptasi. Makan yang enak, minum yang segar. Kalau sulit tidur dan tidak bisa menyesuaikan diri, itu karena kurang capek.” 　　Dulu dia pergi ke selatan baru berusia 12 tahun, tak ada yang kasihan padanya. 　　Tentu saja, dia tak butuh belas kasihan orang lain. Hanya saja saat itu A Si bahkan belum mengenalnya, apalagi menyayanginya. 　　Memikirkan hal ini, Yu Jin semakin diam-diam iri pada Jiang Zhan. 　　Orang bodoh punya keberuntungannya sendiri, seperti Jiang Zhan. Orang pintar sepertinya sebelum menikah hanya bisa menyayangi diri sendiri. 　　Pria yang merasa tak adil ini memandang istrinya, berkata penuh akal bulus: “Wanita Perbatasan Selatan berbeda dengan wanita ibu kota. Mereka semuanya antusias dan berani, mungkin Jiang Zhan sudah punya kekasih sekarang——” 　　“Jiang Si menggenggam telinga Yu Jin, bertanya dengan senyum mengejek: 'Bersemangat dan berani? Tidak tahu berapa banyak nona bersemangat dan berani yang Pangeran temui di Perbatasan Selatan?'” 　　“Yu Jin dalam hati berteriak 'celaka', asyik menggali lubang untuk Jiang Er, tak menyadari dirinya sendiri justru terperosok.” 　　“Ahem, A Si, kau tahu diriku, yang tidak lebih cantik dariku bahkan tidak kulihat sekilas——” 　　“Kalau yang lebih cantik darimu?” 　　“Wajah Yu Jin langsung serius: 'Sampai saat ini, hanya kaulah yang kupandang lebih cantik dariku.'” 　　“Jiang Si melototinya, baru kemudian menghentikan pertanyaan.” 　　“Yu Jin menghela nafas lega, meninggalkan Jiang Si lalu menuju ruang belajar, mulai menulis surat untuk Jiang Zhan.” 　　“Di akhir penulisan, kertas yang terisi justru menumpuk tebal.” 　　“Yu Jin menatap kertas surat yang tintanya masih basah, mengusap dagu berbulu halus, berpikir: Aneh, istri sudah didapat, apa lagi yang perlu dibicarakan dengan si bodoh Jiang Er itu?” 　　“Bulan Juni di Perbatasan Selatan adalah puncak kerimbunan pepohonan.” 　　“Jiang Zhan memimpin timnya menyelesaikan penyergapan gemilang, kembali ke markas lalu memanggang rusa liar yang diburu dalam perjalanan di atas api.” 　　“Potongan besar daging rusa ditusuk kayu, lemak menetes deras, aroma harumnya membuat para prajurit terus menelan air liur.” 　　“Jenderal, sudah matang.” Seorang prajurit menyodorkan tusukan daging rusa yang sudah kecoklatan kepada Jiang Zhan.” 　　“Terima kasih.” Jiang Zhan baru saja menerima barang itu, lalu bersin berturut-turut tiga kali. 　　Siapa yang sedang merindukanku? 　　Jiang Zhan merenung sejenak, hatinya berdebar: Jangan-jangan dia akan menjadi Paman Zhang lagi? 　　Menggigit sepotong daging, Jiang Zhan bertanya pada prajurit di sampingnya: "Sudah menikah belum?" 　　Prajurit itu langsung bersemangat: "Jenderal, apakah Anda ingin menjadi perantara untuk hamba?" 　　Jiang Zhan menyeringai dingin: "Jangan berkhayal, saya sendiri juga belum punya istri." 　　"Oh." Prajurit itu langsung menunduk patuh. 　　Kali ini Jiang Zhan mencari prajurit yang terlihat cukup berumur. 　　Prajurit itu tersipu malu: "Jenderal, wajah hamba hanya terlihat lebih tua sedikit, juga belum menikah." 　　Jiang Zhan mengernyitkan sudut bibir, dalam hati bergumam: Sedikit? Wajahmu sudah terlihat terlalu dini. 　　Akhirnya seorang prajurit tak tahan melihatnya, mengajukan diri: "Jenderal, hamba sudah menikah beberapa tahun." 　　"Sudah punya anak?" 　　"Sudah, satu putra satu putri." Mengenang istri dan anak di kampung halaman, sang prajurit berseri-seri. 　　"Kalau begitu ceritakan, berapa lama wanita mengandung sampai melahirkan?" 　　Dia ingat tanggal kabar gembira dari Adik Keempat, tapi bingung berapa bulan kandungan baru bisa lahir. Ingin menghitung apakah sudah waktunya. 　　Prajurit itu terbata-bata, menghitung dengan jari: "Kira-kira sembilan bulan..." 　　"Salah! Bukankah katanya 'sepuluh bulan mengandung'? Minimal harus sepuluh bulan--" 　　Sekelompok pria dewasa mengelilingi daging rusa yang hampir gosong, segera berdebat hingga wajah merah dan leher tegang. 　　Jiang Zhan mendengar sampai pusing, menggigit kuat daging rusa sambil membayangkan mungkin ada tambahan satu kerabat di ibu kota yang jauh, matanya dipenuhi senyum. 　　Saat kembali ke Ibu Kota nanti, mungkin anak Adik Keempat sudah bisa memanggilnya Paman Zhang. 　　Tuan kecil dari Kediaman Pangeran Yan menyambut upacara Mandi Tiga Hari tiga hari setelah kelahiran. 　　Upacara Mandi Tiga Hari sebagai ritual keberuntungan besar tak boleh asal-asalan, tapi tak perlu mengundang banyak kerabat, cukup undang keluarga dekat. 　　Dari pihak perempuan diundang wanita dari Dongping Bo Residence dan Keluarga Marquis Yining, sedangkan pihak laki-laki tentu Permaisuri dan putri-putri yang sudah menikah. 　　Walau begitu, hari upacara Mandi Tiga Hari di Kediaman Pangeran Yan tetap ramai luar biasa. 　　Sore hari, di ruang luar kamar bersalin didirikan altar dupa, dipimpin oleh bidan tradisional untuk memulai ritual. 　　Saat bidan tradisional menyiramkan air dari baskom ke tubuh A Huan, sang bayi langsung menangis keras. 　　Kerumunan segera mengucapkan kata-kata keberuntungan, meski dalam hati meremehkan. 　　Bagaimanapun ini hanya anak perempuan, sekalipun merupakan anak pertama Kediaman Pangeran Yan, tetap tak layak diperhatikan. 　　Kedatangan mereka hari ini hanyalah formalitas belaka. 　　Ketika bidan tradisional melantunkan syair "Kang Gong dan Kang Mu bermarga Li, Paduka dan para gadis kami serahkan; Lebih banyak anak laki, sedikit anak perempuan...", sorot mata Permaisuri Qi berkilau senang. 　　Nyanyian bidan tradisional sudah baku, dulu ia pun mendengar kata-kata serupa saat upacara anaknya. 　　“Lebih banyak laki-laki, sedikit perempuan” – Saat itu hatinya terasa sangat sesak mendengarnya. 　　Mengapa tidak bisa langsung mendapat anak laki-laki? 　　Permaisuri Qi tak bisa menahan diri untuk melihat ke arah Jiang Si. 　　Baru tiga hari pascapersalinan, wanita di hadapannya sama sekali tidak terlihat gemuk, hanya lebih berisi dibanding sebelum hamil. Namun bentuk tubuh yang lebih berisi ini justru membuatnya terlihat semakin memesona. 　　Permaisuri Qi merasa getir di hati. 　　Di dunia ini selalu ada orang-orang yang dianugerahi keistimewaan, membuat orang lain tidak bisa iri. 　　Memandang alis mata Jiang Si yang tenang dan tersenyum, Permaisuri Qi berpikir dalam hati: Apakah Permaisuri Yan benar-benar tidak peduli setelah melahirkan putri? 　　Huh, pasti dia hanya memaksakan senyuman belaka. 　　“Permaisuri, utusan dari istana datang!” Seorang dayang berlari masuk terburu-buru. 　　Suasana di ruang tamu langsung hening, para hadirin saling pandang. 　　Mengapa istana mengirim utusan untuk upacara mandi ketiga? 　　Penambahan anggota keluarga di rumah bangsawan kerajaan bukanlah hal besar maupun kecil. Melaporkan ke Biro Urusan Kerajaan untuk dicatat dalam jade register adalah prosedur wajib. Hadiah dari istana tergantung pada keluarga mana yang mendapat keturunan. Untuk bangsawan yang tidak penting, paling hanya mengirim suplemen sesuai rutinitas. 　　Mengutus orang khusus untuk upacara mandi ketiga sangat jarang terjadi. Jika dipikir-pikir, hanya beberapa istana pangeran yang melahirkan putra mahkota saja yang pernah didatangi utusan istana... 　　Para tamu terus menduga-duga, hingga akhirnya pelayan istana itu tiba. 　　Melihat bahwa pelayan istana yang datang ternyata adalah Yue Gonggong, murid Pan Hai, para hadirin semakin merasakan keanehan situasi ini. 　　Kasim Le adalah murid Pan Hai, Pan Hai merupakan orang kepercayaan Kaisar. Pelayan istana yang datang ternyata diutus oleh Kaisar, bukan Permaisuri atau Janda Permaisuri—— 　　Kerumunan semakin penasaran dengan maksud kedatangan pelayan istana, hingga Xiao Lezi mengeluarkan dekrit kerajaan berwarna kuning terang, membuat mata semua orang menyempit tajam. 　　Bagaimana mungkin ada dekrit kerajaan? 　　Xiao Lezi melirik kerumunan, membuka dekrit dengan hati-hati dan membacakan: "Dengan mengikuti titah Langit dan membawa mandat kekaisaran, Kaisar berfirman: Permaisuri Yan berbudi luhur, bijaksana dan berbudi pekerti mulia. Kini terdengar kabar Permaisuri Yan telah melahirkan putri sulung kandung yang pasti mewarisi keanggunan ibundanya…… Putri sulung Pangeran Yan sangat berkenan di hati Sang Kaisar, dengan ini diberi gelar Putri Bangsawan Heshu. Demikian titah ini." 　　Ruangan tanpa angin maupun suara, tercipta keheningan yang ganjil. 　　Sampai jumpa besok. 575. BAB 574 Syok 　　BAB 574 Syok 　　Kerumunan serentak memandang Jiang Si, lalu melihat bayi perempuan dalam gendongan inang pengasuh. 　　Permaisuri Yan berbudi luhur? 　　Bagaimana Kaisar bisa mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan hati nurani ini? 　　Apalagi soal apakah bayi perempuan ini mewarisi keanggunan ibunya, sungguh menggelikan! Kaisar bahkan belum melihat bayi sekepalan tangan ini! 　　Baru lahir tiga hari langsung diberi nama dan gelar putri bangsawan, setara dengan perlakuan untuk putri mahkota. 　　Tak hanya Permaisuri Qi, bahkan para permaisuri lain hingga putri-putri yang sudah menikah, senyum di wajah mereka mulai kaku. 　　Tindakan mengejutkan Kaisar ini, apakah ingin membuat orang mati iri hati? 　　Melihat suasana yang aneh, Xiao Lezi batuk kecil: "Permaisuri Yan, ucapkan terima kasih atas nama putri kecil." 　　Jiang Si menerima dekrit kerajaan dengan kedua tangan, lalu mengucapkan syukur resmi dengan khidmat. 　　"Permaisuri boleh bangun, hamba akan kembali melapor." Kata Xiao Lezi sambil tersenyum, matanya melirik cepat ke A Huan. 　　Entah keistimewaan apa yang dimiliki bayi ini sampai Kaisar langsung menganugerahi gelar. Bukan hanya para bangsawan, bahkan dirinya pun terkejut. 　　"Terima kasih atas jerih payah Kasim." Jiang Si memberi isyarat mata ke A Qiao. 　　A Qiao segera menyodorkan amplop hadiah dan mengantar Xiao Lezi keluar. 　　"Batuk... Putri kecil baru lahir sudah mendapat kasih Kaisar, selamat Permaisuri." Seorang putri yang sudah menikah batuk, memecah keheningan yang canggung. 　　Kerumunan yang seperti terkena sihir pun tersadar, menyembunyikan perasaan rumit mereka, lalu ramai-ramai memberi selamat pada Jiang Si. 　　Hingga tiba di kediaman masing-masing, perasaan campur aduk mereka masih belum reda. 　　Di Cixintang Kediaman Dongping Bo, Nyonya Feng langsung berdiri mendengar laporan Nyonya Guo: "Apa? Kaisar benar-benar menganugerahi gelar putri bangsawan untuk anak Permaisuri?" 　　Nyonya Guo menunduk sopan: "Saat itu menantu sedang di aula, menyaksikan langsung Permaisuri menerima dekrit." 　　Jika melihat langsung Jiang Si menerima dekrit, tentu tak mungkin palsu. 　　Nyonya Feng perlahan duduk kembali, matanya kosong. 　　Apakah dirinya sudah terlalu tua, hingga tak paham lagi dengan dunia sekarang? 　　"Jiang Si si gadis itu bukanlah berwatak baik. Meski merasa terhormat menikah ke istana pangeran, hatiku selalu cemas, khawatir suatu hari nanti si gadis ini akan menimbulkan masalah karena sifat buruknya." 　　"Meski putri yang sudah menikah ibarat air yang ditumpahkan, tapi menikah ke keluarga kerajaan berbeda. Begitu terlibat masalah, mana mungkin rumah orangtua tidak ikut terseret." 　　"Permaisuri Jin adalah contoh nyata di depan mata." 　　"Tak lama setelah keluarga Pangeran Jin pergi menjaga makam kekaisaran, ayah Permaisuri Jin diturunkan jabatannya. Membawa seluruh keluarga, mereka meninggalkan ibu kota yang megah seperti kembang untuk menjabat di daerah." 　　"Tapi mengapa Jiang Si selalu di luar dugaan?" 　　"Kaisar memuji Si'er santun dan berbudi luhur—Nyonya Feng menggelengkan kepala sambil berpikir." 　　"Yang lebih tidak habis pikir daripada Nyonya Feng adalah Permaisuri Qi." 　　"Saat itu Pangeran Qi belum mendapat kabar. Ia sedang berdiskusi dengan penasihat di ruang belajar ketika pelayan datang melapor: 'Paduka, Permaisuri telah kembali. Beliau meminta kehadiran Paduka.'" 　　"Pangeran Qi secara refleks mengerutkan kening." 　　"Nyonya Li selalu bijaksana, jarang mengganggunya saat urusan penting. Jika memanggil, pasti ada masalah." 　　"Mengingat Permaisuri Qi baru kembali dari Kediaman Pangeran Yan, Pangeran Qi paham ini pasti terkait Pangeran Yan lagi." 　　"Belakangan ini semua urusan terkait Lao Qi selalu membuatnya sesak dada. Entah masalah apa lagi kali ini." 　　"Pangeran Qi bergegas ke sana. Seketika ia melihat ekspresi rumit Permaisuri Qi." 　　"'Ada apa?'" 　　Permaisuri Qi memberi isyarat pada pelayan untuk mundur, lalu berkata dengan bibir terkatup: "Apakah Pangeran tahu apa yang terjadi di upacara mandi bayi tiga hari di Kediaman Pangeran Yan hari ini?" 　　"Katakan saja, mana mungkin saya tahu." Pangeran Qi mengerutkan kening. 　　Tidak ada hal baik, pasti tidak ada hal baik. 　　Ekspresi Permaisuri Qi semakin rumit, ia berkata perlahan: "Ayah Kaisar menganugerahkan Putri Sulung Pangeran Yan sebagai Putri Bangsawan Heshu." 　　Pangeran Qi tertegun sepenuhnya. 　　Putri Bangsawan Heshu? 　　Mengusap wajahnya, Pangeran Qi berkata kasar: "Apa Ayah Kaisar sudah pikun?" 　　Pangeran Qi yang dikenal kalem dan santun oleh orang-orang, belum pernah terlihat sebobrok ini. 　　Wajah Permaisuri Qi berubah halus, berbisik: "Tuan, berhati-hatilah dengan ucapan." 　　Seberapa pun merasa Kaisar sudah pikun, tak boleh diucapkan secara terbuka. 　　"Pangeran, menurutmu apa yang dipikirkan Ayah Kaisar? Mana ada alasan memberi gelar pada bayi yang baru lahir tiga hari..." 　　Pangeran Qi menggosok pelipisnya, tenang kembali, lalu berkata sinis: "Tampaknya Ayah masih mengingat jasa Lao Qi di Kabupaten Qianhe." 　　Mendengar prestasi Yu Jin di Kabupaten Qianhe dan reputasinya yang baik di rakyat sekarang, Permaisuri Qi tak bisa berkata-kata, bahkan diam-diam berpikir: Seandainya waktu itu yang pergi ke Qianhe adalah Pangeran, mungkin takkan sehebat performa Pangeran Yan. 　　“Pangeran Qi telah kembali tenang, malah merasa ini hal yang baik: ‘Ini juga baik, lagipula ini hanya seorang putri, setelah diberi gelar ya sudah, seberharga dan seistimewa apapun tetap hanya seorang putri bangsawan. Lebih baik daripada Ayah Kaisar terus mengingat jasa Lao Qi di hati, lalu memberinya kompensasi di bidang lain.’” 　　“Perkataan benar adanya.” 　　Pangeran Qi melirik Permaisuri Qi, lalu menghela nafas: “Kau juga jangan terus memikirkan hal ini, pulihkan kesehatanmu, segera berikan aku seorang lebih penting dari apapun.” 　　Seluruh tubuh Permaisuri Qi gemetar, ia mengangguk lemah, namun dalam hati terasa getir. 　　Meski sudah pulih setelah kali ini, siklus haidnya semakin tidak teratur, kemungkinan untuk takkan bisa dipulihkan dalam waktu singkat. 　　Memikirkan hal ini, Permaisuri Qi menghela nafas dalam hati, lalu tersenyum paksa: “, saya telah memilih dua yang patuh dan cerdas, maukah Tuan melihat dan memilih satu untuk menemani Tuan malam ini?” 　　Pangeran Qi sama sekali tidak tertarik dengan selir pilihan Permaisuri Qi, berkata datar: “Selir-selir yang kau pilih sebelumnya semuanya melahirkan anak perempuan. Permaisuri jangan terlalu kaku, mungkin bisa memilih dua wanita berparas menawan untuk dicoba.” 　　Li Shi ini, selir-selir yang dipaksakan padanya semuanya wanita rendahan, tak bisa melahirkan anak lelaki sudah biasa, tapi putri-putri yang lahir semuanya mirip ibunya, tak satu pun yang menonjol, memikirkan keadaan sepuluh tahun lagi saja sudah membuat sesak. 　　Intinya ini semua hanya kedok kesalehan palsu belaka, tak tegas memberikannya dua tiga selir cantik bak bunga. 　　“Pangeran Qi memikirkan hal ini, rasa tidak puasnya terhadap Permaisuri Qi semakin mendalam, namun sama sekali tidak terlihat di wajahnya.” 　　“Permaisuri Qi mengepal tangannya yang tersembunyi dalam lengan baju, tersenyum tipis: "Saya mengerti."” 　　“"Kalau begitu saya akan ke ruang belajar, Permaisuri boleh beristirahat dulu."” 　　“Kembali ke ruang belajar, Pangeran Qi membicarakan perihal pengangkatan putri sulung Pangeran Yan kepada penasihatnya.” 　　“Penasihat itu mengelus kumisnya: "Yang Mulia tidak perlu mempedulikan hal ini. Pangeran Yan adalah putra ketujuh, segala sesuatu harus mengutamakan Yang Mulia. Yang perlu Yang Mulia lakukan sekarang hanyalah satu hal: segeralah menjatuhkan orang itu kembali..."” 　　“Pangeran Qi mengangguk pelan.” 　　“Penasihat itu benar. Putra Mahkota adalah batu sandungan terbesar. Selama dia masih menduduki posisi itu satu hari pun, orang lain hanya bisa menonton dengan gigil.” 　　“Untungnya untuk menjatuhkan orang lain perlu mencari-cari bukti kompromi, tetapi si tolol Putra Mahkota itu seperti tongkat yang tumbuh di seluruh tubuhnya, sampai-sampai orang bingung harus mulai dari mana.” 　　“Lakukanlah langkah demi langkah.” 　　“Di bulan keenam, terjadi lagi satu peristiwa.” 　　“Hari ulang tahun Yu Jin jatuh di bulan keenam, dan tahun ini genap berusia 20 tahun, tiba saatnya untuk penobatan. Penobatan pria menandakan kedewasaan sejati.” 　　“Upacara penobatan pangeran harus dilaksanakan di Kuil Leluhur, seluruh prosesnya rumit dan khidmat, tidak perlu dijelaskan panjang lebar.” 　　“Bulan keenam berlalu sekejap mata. Kediaman Pangeran Yan menyambut upacara satu bulan Putri Heshū.” 　　“Berbeda dengan upacara tiga hari yang hanya mengundang kerabat dekat perempuan, upacara satu bulan ini akan mengadakan pesta besar dengan banyak tamu.” 　　“Kali ini, bahkan Putra Mahkota pun datang.” 576.BAB 575 Putra Mahkota yang Menjemput Maut 　　BAB 575 Putra Mahkota yang Menjemput Maut 　　Di depan Kediaman Pangeran Yan, kereta-kereta mewah berjejer tak putus datang silih berganti. 　　Apapun alasan Kaisar menganugerahi Putri Sulung Pangeran Yan, satu hal sudah jelas: pasangan Pangeran Yan sangat diistimewakan oleh Kaisar. 　　Mendapat perhatian dari orang paling mulia di Dinasti Zhou, tentu layak untuk didekati. 　　Seketika, bahkan orang yang belum pernah sekalipun bertemu dengan pasangan Pangeran Yan pun berusaha mengirimkan hadiah ucapan. 　　Sebuah kereta kuda yang keluar dari Istana terlihat sederhana, ditumpangi oleh Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota. 　　Permaisuri Putra Mahkota hari ini mengenakan jubah brokat bermotif bunga mawar, anting mutiara Nanzhua bergantung di telinga, wajahnya yang jarang tersenyum terlihat bak bunga yang sedang mekar sempurna. 　　Putra Mahkota tak urung memandanginya beberapa saat, lalu berkata: "Jika kau selalu seperti hari ini setiap hari, tentu lebih baik." 　　"Apakah ada yang tidak beres dengan penampilanku sehari-hari?" tanya Permaisuri Putra Mahkota dengan datar. 　　Putra Mahkota tertegun, lalu menjawab: "Setidaknya tidak sebagus penampilanmu hari ini." 　　Sambil mengangkat alisnya, ia melanjutkan: "Ini hanya acara bulanan di Kediaman Pangeran Yan, perlu segementeng ini?" 　　Mengingat adiknya yang begitu menonjol, hati Putra Mahkota tiba-tiba menjadi berat. 　　Jangan-jangan Nona Yang memberikan perhatian khusus pada Lao Qi? 　　Permaisuri Putra Mahkota tidak tahu bahwa sang Putra Mahkota telah salah paham dengan memproyeksikan pikirannya sendiri, berkata datar: "Pangeran Yan memiliki jasa menyelamatkan nyawa Chun Ge'er. Bukankah seharusnya kita lebih menghargainya? Paduka sengaja meminta izin Ayah Kaisar untuk keluar, bukankah juga karena hal ini?" 　　Putra Mahkota menggaruk hidungnya: "Oh, memang begitu." 　　Secara protokol, untuk pesta bulanan seperti ini Putra Mahkota tidak perlu keluar istana memberi ucapan selamat, cukup mengirimkan hadiah melalui utusan. 　　Putra Mahkota bersusah payah memohon izin kepada Kaisar Jingming dengan alasan ingin berterima kasih pada Pangeran Yan yang telah menyelamatkan Chun Ge'er, sehingga ingin membawa Permaisuri Putra Mahkota untuk menghadiri perayaan bulanan putri Pangeran Yan. 　　Kaisar Jingming menyetujui permohonan itu setelah menilai sikap bersyukur Putra Mahkota. Kini ketika Permaisuri menggunakan alasan ini untuk membalas sang Putra, ia pun tak bisa membantah. 　　Padahal sebenarnya, tujuan Putra Mahkota adalah Er Niu. 　　Setelah mengalami gempa bumi di depan Kuil Leluhur, sang Putra Mahkota menjadi sangat trauma sampai-sampai wajahnya pucat hanya mendengar kata "gempa", apalagi setelah nyaris tertimpa gempa di Kota Jinli, ketakutannya semakin menjadi-jadi. 　　Andai bukan karena Er Niu, pasti ia sudah terkubur hidup-hidup saat berada di Kota Jinli. Sekedar membayangkannya saja sudah membuatnya bermimpi buruk. 　　Faktanya, setelah kembali ke istana, Putra Mahkota benar-benar mengalami beberapa kali mimpi buruk. Dalam setiap mimpinya, ia selalu tertindih puing dan tanah, tak bisa melepaskan diri meski sudah berjuang mati-matian, dan tak bisa berteriak minta tolong. 　　Pada akhirnya, mimpi itu selalu berakhir dengan dua cara: batu raksasa berjatuhan menghancurkannya, atau Er Niu yang menyeretnya keluar dari reruntuhan. 　　Keyakinan Putra Mahkota semakin menguat: Ia harus mendapatkan Er Niu. 　　Dengan adanya Er Niu, anjing yang memiliki kemampuan spiritual, dia tidak lagi takut akan gempa bumi. 　　Kesempatan untuk mengunjungi Kediaman Pangeran Yan secara jujur dan terhormat seperti ini tentu tidak akan dilewatkan oleh Putra Mahkota. 　　Kereta kuda terus melaju hingga akhirnya berhenti. 　　Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota turun dari kereta kuda satu per satu, segera disambut oleh pelayan yang berpakaian rapi untuk memandu mereka. 　　Tamu yang datang ke Kediaman Pangeran Yan hari ini sangat banyak, tentu tidak mungkin diterima di satu tempat saja—pertama karena tidak ada ruang yang cukup, kedua karena perbedaan status. 　　Pasangan Putra Mahkota dipandu oleh pelayan menuju taman istana. 　　Di bulan ketujuh, menikmati pemandangan dan jamuan di taman jauh lebih nyaman daripada terkurung di balai. Area ini khusus untuk kerabat kerajaan dan keluarga ibu Jiang Si. 　　Melihat wajah-wajah familiar seperti Pangeran Qi dari kejauhan, Putra Mahkota kesal berkata: "Cukup, tidak perlu memandu lagi." 　　Pelayan itu mundur dengan hormat. 　　Sambil berjalan, Putra Mahkota memandang taman dengan penasaran dan tertawa: "Taman Kediaman Pangeran Yan tidak memiliki bunga-bunga langka." 　　"Bunga tidak harus langka, yang penting mekar dengan meriah," jawab Permaisuri yang jarang mendapat kesempatan menghadiri jamuan di luar istana, matanya juga menyapu sekeliling. 　　Putra Mahkota melirik Permaisuri, alisnya berkerut halus. 　　[Berpikir] Katanya bersyukur pada Lao Qi yang menyelamatkan nyawanya, padahal jelas-jelas memperlakukan Lao Qi secara khusus. 　　Mengingat sikap dingin Permaisuri belakangan ini, dadanya terasa sesak. 　　Jangan-jangan wanita ini ingin memberinya tudung hijau? 　　"Hm, kalau dia berani punya niat itu, aku akan mencekiknya sampai mati dulu, baru kubunuh Lao Qi." 　　Putra Mahkota sedang melamun tak karuan ketika tiba-tiba matanya berbinar. 　　Seekor anjing besar sedang berbaring di dekat semak bunga tak jauh dari situ, tak lain adalah Er Niu. 　　"Kau pergilah dulu." Putra Mahkota melemparkan ucapan singkat pada Permaisuri Putra Mahkota lalu bergegas mendekat. 　　Er Niu yang sedang asyik berteduh tiba-tiba menyadari kehadiran orang, matanya waspada menatap. 　　"Er Niu, ini aku--" Putra Mahkota tak berani terlalu dekat, berdiri setengah zhang sambil tersenyum menjilat. 　　Permaisuri yang biasa bersikap tenang pun kini membelalakkan matanya. 　　Putra Mahkota tiba-tiba mengganggu anjing besar, apa dia kekenyangan? 　　Yang lebih mengejutkan Permaisuri masih ada di belakang. 　　Melihat Er Niu tak menunjukkan taring, Putra Mahkota lega. Cepat-cepat dikeluarkannya bungkusan kertas minyak sambil membuka, "Kudengar kau suka daging sapi bumbu, kali ini sengaja kubawakan. Ini daging sapi bumbu yang dibuat oleh koki istana, coba rasakan apakah lebih enak dari biasanya?" 　　Permaisuri Putra Mahkota membelalakkan mata sampai bulat. 　　Kapan bungkusan daging sapi itu diselipkan Putra Mahkota di bajunya? 　　Saat ini Permaisuri merasa pemahamannya tentang sang suami masih terlalu dangkal. 　　Disangkanya sudah cukup mengenal kebodohan dan kejahatan pria ini, tak disangka masih ada sisi lain. 　　Permaisuri mulai penasaran, diam-diam mengamati gerak-gerik sang Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota saat ini tentu tidak sempat memperhatikan perasaan orang lain (Permaisuri Putra Mahkota), dengan hati-hati mengulurkan bungkusan kertas minyak ke depan. 　　Er Niu menyeringai sambil memalingkan kepala. 　　Daging sapi bumbu sudah bukan favoritnya lagi, sekarang kesukaannya adalah daging kukus. 　　Tidak suka? 　　Putra Mahkota tidak mau menyerah, membungkuk dan meletakkan daging sapi bumbu di tanah: "Ini buatan juru masak istana, kau pasti belum pernah mencobanya." 　　Telinga Er Niu berkedut. 　　Apa itu juru masak istana? Coba saja. 　　Er Niu menunduk mengendus daging di tanah, memastikan tidak ada masalah, lalu menggigit sepotong. 　　Daging sapinya kenyal, harum dan lembut. 　　Rasa yang disetujui Er Niu membuat Anjing Besar segera melahap dengan gembira. 　　Melihat Er Niu menghabiskan seluruh bungkusan daging sapi bumbu dengan cepat, Putra Mahkota sangat senang dan mencoba melangkah maju. 　　Er Niu mengangkat kepala menjilat-jilat mulut sambil menatap Putra Mahkota. 　　Orang ini mau apa ya? 　　Putra Mahkota mendekat lagi selangkah. 　　Er Niu mengamati dengan tenang orang yang semakin mendekat, dalam hati: Sudah hampir mencapai jarak yang tidak bisa ditoleransinya. 　　Putra Mahkota merasa girang luar biasa melihat dirinya bisa mendekati Er Niu langkah demi langkah tanpa masalah. 　　Bukankah mereka pernah mengalami kesulitan bersama di Kabupaten Qianhe, ditambah lagi bungkusan daging sapi bumbu ini sudah dilahap dengan lahap, seharusnya anjing besar ini sudah cukup akrab dengannya? 　　Dia pernah bertanya pada kasim yang pernah memelihara anjing, katanya selama seekor anjing mau memakan makanan dari seseorang, berarti dia sudah menerima orang itu. 　　“Er Niu, enak tidak daging sapi lu ini?” 　　Er Niu mengibaskan ekornya. 　　Ia adalah anjing yang jujur, dibandingkan makanan sebelumnya yang pernah dimakannya, memang ini lebih enak. 　　Putra Mahkota tersenyum sambil melangkah maju, berkata: "Kalau begitu, lebih baik ikut saja denganku mulai sekarang, aku jamin kau bisa makan daging sapi lu setiap hari——" 　　Anjing Besar itu melompat dan menggigit pantat Putra Mahkota. 　　Teriakan kesakitan Putra Mahkota bergema, disusul jeritan para tamu yang menyaksikan kejadian ini. 　　"Aduh, Paduka Putra Mahkota digigit anjing——" 　　Akan ada satu bagian lagi. Minta dukungan vote. 577.BAB 576 Jangan Mengincar 　　BAB 576 Jangan Mengincar 　　Sekelompok orang langsung berhamburan, bersiap menolong Putra Mahkota (Menonton Keributan). 　　Er Niu tetap menggigit pantat Putra Mahkota yang menjerit kesakitan: "Aduh, cepat usir dia——Lao Qi, Lao Qi, masih peduli tidak dengan anjingmu ini?" 　　Yu Jin mendekat, berkata datar: "Er Niu, lepaskan." 　　Er Niu berpikir sejenak, lalu melepaskan gigitannya. 　　Mempertimbangkan orang ini pernah memberinya daging sapi lu, dia tidak menggigit terlalu keras, tapi tak disangka jeritannya bisa separah ini. 　　Sudahlah, lebih baik cari majikan kecil untuk bermain. 　　Er Niu pergi sambil mengibaskan ekor. 　　"Kau berhenti!" Pelayan istana yang mengiringi Putra Mahkota menyangga tuannya, berteriak pada Er Niu. 　　Er Niu berhenti, memandang sang pelayan istana dengan serius. 　　Apa, orang ini mau digigit juga? 　　Pelayan istana itu ternyata langsung mengerti maksud Er Niu, sampai-sampai mundur ketakutan sambil bergetar suaranya: "Pangeran, anjing ini sudah menghina Paduka Putra Mahkota, bagaimana Tuanku membiarkannya pergi begitu saja?" 　　Sebelum Yu Jin sempat bicara, Putra Mahkota sudah membentak: "Diam! Cepat bantu aku menangani luka!" 　　Er Niu sampai sekarang belum menganggapnya sebagai majikan, wajar saja menggigitnya. Mana boleh budak anjing ini berteriak-teriak. 　　Pelayan istana itu membeku. 　　Dia sudah bergegas menyelamatkan Putra Mahkota tadi, kenapa binatang yang menggigit Putra Mahkota tidak dimarahi, malah dia yang kena semprot? 　　Jangan-jangan di hati Paduka, dirinya bahkan lebih hina dari binatang ini? 　　Pelayan istana itu mulai meragukan nilai dirinya sendiri. 　　Putra Mahkota melirik pelayan itu dengan wajah mengerenyit, dalam hati bergumam: Buat apa meragukan? Seorang hamba biasa mana bisa menandingi Er Niu. Di dunia ini cuma Er Niu yang bisa meramalkan gempa bumi. 　　"Kakak Kedua, lebih baik kita ke dalam dulu untuk merawat lukanya." Yu Jin mengusulkan dengan tenang. 　　"Cepat bawa aku!" Putra Mahkota menahan pantatnya, keringat dingin sudah mengucur deras. 　　Sebagai tuan rumah hari ini, Yu Jin tentu mendampingi Putra Mahkota masuk. 　　Permaisuri Putra Mahkota masih berdiri di tempat, raut wajahnya kompleks. 　　Beberapa permaisuri pangeran lain mendekat. 　　"Kakak Ipar, ada apa sebenarnya?" Permaisuri Lu penasaran bertanya. 　　Permaisuri Putra Mahkota menyapu pandangannya ke sekeliling, lalu menggeleng: "Saya juga tidak terlalu paham." 　　Apa harus dia ceritakan bahwa Putra Mahkota ingin mencuri anjing Pangeran Yan, tapi gagal malah digigit? 　　Permaisuri Putra Mahkota sekarang hanya bersyukur tidak membawa Chun Ge'er menghadiri jamuan, para gadis tidak akan melihat drama memalukan yang ditimbulkan oleh ayah yang tidak bertanggung jawab ini. 　　Di dalam ruangan, Putra Mahkota sudah melepas celananya, sementara Tabib utama yang bergegas datang sedang mengobati lukanya. 　　"Aduh, pelan-pelan, pelan-pelan!" Putra Mahkota terus-menerus menjerit kesakitan. 　　Bagi Putra Mahkota yang dibesarkan dalam kemewahan, selama bertahun-tahun bahkan lecet kecil pun jarang dialami. Perjalanan ke Kabupaten Qianhe sebelumnya sudah dianggap sebagai penderitaan terbesar, mana mungkin tahan dengan siksaan ini. 　　Tabib utama sambil merawat luka Putra Mahkota menghibur: "Hanya kulit yang sedikit tergigit, Paduka harap bersabar sebentar. Jika luka tidak dibersihkan sampai tuntas dikhawatirkan akan meninggalkan bekas..." 　　Akhirnya selesai juga perawatan, Tabib utama diam-diam menghela nafas lega. Setelah memberi instruksi perawatan lanjutan, segera mengangkat kotak obat dan pergi. 　　Putra Mahkota yang baru saja diobati hanya bisa telungkup telanjang pantat di atas ranjang. 　　Pelayan istana mendekat: "Paduka, perlu hamba bantu bangun?" 　　"Celana saja tidak bisa dipakai, kau mau aku bangun dengan pantat telanjang? Pergi sana dan jaga di pintu!" 　　Pelayan itu dicaci maki, diam-diam berdiri di depan pintu. 　　Putra Mahkota mengangkat kepala memandang Yu Jin. 　　"Kakak Kedua lebih baik istirahat di sini dulu. Hari ini saya tidak bisa menemani, nanti setelah keluar akan saya beritahu Kakak Ipar bahwa Kakak ada di sini." 　　Melihat Yu Jin berbalik hendak pergi, Putra Mahkota segera berteriak: "Adik ketujuh, jangan pergi dulu!" 　　Yu Jin memandangi Putra Mahkota dengan ekspresi datar: "Masih ada urusan, Kakak Kedua?" 　　Putra Mahkota ragu sejenak. 　　Ia sudah lama menginginkan Er Niu, mustahil menunggu Lao Qi secara sukarela menyerahkan anjing itu. 　　Kalau begitu, lebih baik langsung minta sekarang. Pasti Lao Qi tak akan berani menyinggungnya sebagai Putra Mahkota hanya karena seekor anjing. 　　Setelah memantapkan hati, Putra Mahkota merengut: "Hari ini Er Niu menggigitku sampai babak belur——" 　　Yu Jin bertanya dingin: "Pasti Kakak Kedua melakukan sesuatu pada Er Niu?" 　　Putra Mahkota mengeluh: "Aku cuma memberinya daging sapi bumbu. Dia malah lahap sampai habis." 　　Tapi setelah makan pun masih menggigitku, sisa remah daging masih menempel di moncongnya. 　　Benar-benar anjing tak tahu balas budi—— Putra Mahkota merenung pilu. 　　Mata indah Yu Jin menyipit. 　　'Tak ada angin tak ada hujan' tiba-tiba baik hati, pasti daging sapi bumbu itu sengaja dibawa dari istana. Sungguh perhitungan. 　　Merasa sudah cukup basa-basi, Putra Mahkota menarik suara: "Adik ketujuh, sebagai Putra Mahkota yang dipermalukan di depan umum oleh Er Niu, tentu ini tak bisa dibiarkan." 　　Yu Jin menaikkan alis: "Oh? Kakak Kedua ingin bagaimana?" 　　Putra Mahkota merasa senang di hati, berusaha terlihat tenang di wajah: "Bagaimana kalau kau serahkan Er Niu padaku. Er Niu tetap dianggap sebagai pejabat istana, tidak boleh dibunuh, tapi harga diriku tidak bisa diinjak-injak begitu saja. Karena Er Niu menggigitku, maka aku menjadi majikannya, bukankah masalah ini selesai..." 　　Yu Jin hampir tertawa getir. 　　Rupanya Putra Mahkota berbelit-belit sejak tadi demi mengincar Er Niu. 　　Ia menatap tajam ke arah Putra Mahkota. 　　Sejak kapan Putra Mahkota punya niat jahat ini? 　　"Adik ketujuh, bagaimana pendapatmu?" Melihat Yu Jin diam, Putra Mahkota bertanya penuh harap. 　　Pelayan istana yang berjaga di pintu langsung paham. 　　Pantas saja Paduka tidak marah meski digigit anjing, rupanya menginginkan anjing itu! 　　Entah apakah Pangeran Yan akan menyetujui? 　　Pelayan itu menyimak baik-baik. 　　Yu Jin berkata tanpa ekspresi: "Menurutku tidak bisa." 　　Napas Putra Mahkota nyaman tersedak. 　　Ia pernah membayangkan kemungkinan Lao Qi menolak meski tipis, tapi tak menyangka penolakannya secepat ini, persis seperti Er Niu yang menggigit pantatnya tanpa ragu tadi. 　　Apakah Lao Qi sama sekali tidak menghormati posisinya sebagai Putra Mahkota? 　　Wajah Putra Mahkota memerah, ekspresinya langsung berubah suram. 　　"Adik ketujuh, Er Niu sudah menggigitku, tidak mungkin dibiarkan begitu saja? Jika kau tidak mau menyerahkan Er Niu, maka anjing yang berani menggigit Putra Mahkota harus..." Ucapan Putra Mahkota terhenti di tenggorokan oleh tatapan dingin yang tiba-tiba membeku dari lawannya. 　　Tatapan Yu Jin sangat dingin, dingin bagai pisau es yang bisa melubangi tubuh manusia. 　　Putra Mahkota tiba-tiba merasa luka di pantatnya semakin sakit, muncul dorongan untuk menutupinya dengan tangan. 　　"Adik ketujuh...kau ini sedang apa..." Nafas Putra Mahkota tiba-tiba terasa sesak. 　　Yu Jin sudah kembali tenang, berkata datar: "Kakak Kedua bisa melaporkan Er Niu pada Ayah Kaisar, hukuman untuk Er Niu pasti akan diputuskan-Nya. Adapun hal lain--" 　　Di sini ia berhenti sejenak, nada bicaranya berubah dingin: "Ada satu hal ingin kusampaikan lebih dulu pada Kakak Kedua." 　　Tertegun oleh aura mengerikan Yu Jin, Putra Mahkota spontan bertanya: "Apa?" 　　Yu Jin mengucapkan kata demi kata: "Barang orang lain sebaik apa pun, tak kuinginkan. Demikian pula, barang milikku jangan ada yang berani sentuh. Ingatlah ini, Kakak Kedua, maka kita tetap saudara baik." 　　Usai bicara, Yu Jin bahkan tak memandang Putra Mahkota, langsung melangkah ke pintu dan membantingnya, meninggalkan sang Putra Mahkota dan pelayan istana yang terpana. 　　Sampai jumpa besok. 578.BAB 577 Keinginan yang Bergerak 　　BAB 577 Keinginan yang Bergerak 　　Permaisuri Putra Mahkota sedang berdiri di koridor luar, tertegun melihat Yu Jin tiba-tiba keluar membanting pintu. 　　Yu Jin mengangguk ringan pada Permaisuri Putra Mahkota: "Kakak Kedua ada di dalam." 　　Setelah itu ia langsung pergi. 　　Permaisuri Putra Mahkota ragu sejenak, lalu melangkah masuk. 　　Putra Mahkota masih mempertahankan posisi menoleh ke arah pintu, raut wajahnya campur kaget dan marah. Karena masih tak menarik celana sehingga pantatnya terbuka, pemandangan ini sungguh memalukan di mata Permaisuri Putra Mahkota. 　　"Kau datang untuk apa?" Meski sudah jadi pasangan suami istri, Putra Mahkota tetap harus menjaga muka. Keadaan memalukan seperti ini tentu tak ingin diperlihatkan pada Permaisuri Putra Mahkota. 　　Permaisuri Putra Mahkota segera menyembunyikan ekspresinya, lalu mendekati suaminya. "Saya akan merawat Paduka." 　　Karena tadi Pangeran Yan juga berada di dalam kamar sehingga tak memungkinkan baginya masuk, ia terpaksa menunggu di luar. Namun sebagai istri, ia tak bisa tinggal diam. 　　"Kau melihat Lao Qi?" tanya Putra Mahkota. 　　"Pangeran Yan baru saja keluar." 　　Wajah Putra Mahkota menghitam seperti wajan, giginya gemeretuk. "Lao Qi ini benar-benar brengsek!" 　　Permaisuri Putra Mahkota menggigit bibirnya. Mengingat hari ini mereka datang ke istana pangeran untuk merayakan bulan purnama keluarga itu, pertengkaran tentu tak pantas. "Paduka, tenangkan diri. Meski anjing itu milik Pangeran Yan, saat menggigit Paduka ia tak berada di situ. Tak adil menyalahkan Pangeran Yan—" 　　Dalam benaknya, Permaisuri membayangkan sosok anjing besar yang gagah menerjang Putra Mahkota. Entah mengapa, perasaannya pada Er Niu justru bertambah baik. 　　"Kau tahu apa!" raung Putra Mahkota, wajahnya pucat pasi karena marah. 　　Permaisuri Putra Mahkota memandang suaminya dengan tenang. 　　"Kau tahu apa yang baru saja diperbuat Lao Qi brengsek itu?" 　　Tanpa sadar, Permaisuri melirik pantat mulia sang suami. 　　Putra Mahkota hampir tercekik amarah. "Kau lihat ke mana itu!" 　　Apa yang dipikirkan perempuan ini? Jangan-jangan ia mengira Lao Qi juga menggigitnya seperti Er Niu? 　　Yu Jin yang sudah berjalan menjauh tiba-tiba bersin, dengan gelisah mengusap hidungnya menggunakan saputangan. 　　Putra Mahkota bajingan itu ternyata mengincar Er Niu, ini benar-benar di luar perkiraannya. 　　Di dalam ruangan, amarah Putra Mahkota semakin memuncak: "Lao Qi berani mengancamku!" 　　"Apa yang diancam Pangeran Yan kepada Paduka?" Terhadap ancaman Pangeran Yan kepada Putra Mahkota, Permaisuri Putra Mahkota justru tidak merasa terkejut. 　　Adik iparnya ini berbeda dengan orang lain... Orang biasa juga takkan menggunakan cara ajaib seperti itu untuk menyelamatkan Chun Ge'er. 　　"Dia berani bilang jangan mengincar miliknya. Aku hanya ingin anjingnya, bukan istrinya. Dengarlah omong kosong apa yang dia ucapkan!" Mata Putra Mahkota dipenuhi kebengisan, geram berkata, "Aku ini Putra Mahkota, apa masalahnya meminta seekor anjing darinya?" 　　Kelak ketika ia naik takhta, seluruh negeri ini akan menjadi miliknya. Masih ada orang tak tahu diri seperti ini! 　　Permaisuri Putra Mahkota merasa sangat memalukan, menarik napas dalam-dalam: "Paduka adalah Putra Mahkota, jika suka anjing, peliharalah beberapa ekor. Mengapa harus mengincar anjing orang—" 　　"Kau tahu apa!" Terdengar suara bentakan Putra Mahkota yang sedang kesal kepada Permaisuri. 　　Memelihara lebih banyak anjing, apa bisa sama dengan Er Niu? 　　Permaisuri Putra Mahkota mengerutkan kening, berkata dingin: "Bagaimanapun juga, tindakan Paduka tidak sesuai dengan status—" 　　"Sudah! Obatnya kering, aku mau bangun." Putra Mahkota malas mendengar si wajah kuning ini cerewet, berjuang bangkit dari tempat tidur. 　　Pelayan istana segera datang, melayani Putra Mahkota dengan hati-hati sambil membantu menarik celananya. 　　Putra Mahkota mencoba berjalan beberapa langkah, menyadari bokongnya tidak terasa perih lagi. Dengan wajah kaku ia berkata pada Permaisuri Putra Mahkota: "Ayo pergi. Kita tidak bisa terus mengurung diri di sini saat keluar istana. Aku juga ingin melihat seperti apa rupa putri Lao Qi." 　　Yu Jin kembali ke tempat pesta, kerumunan orang segera mengerumuni dan bertanya: "Bagaimana keadaan Putra Mahkota?" 　　"Putra Mahkota itu--" Yu Jin tersenyum tipis, "Tidak apa-apa." 　　Pangeran Lu menggaruk kepala: "Adik ketujuh, ternyata Er Niu-mu suka menggigit orang sembarangan ya." 　　Anjing besar sekuat itu, mulut anjing selebar itu - kalau menggigit keras, bukankah bisa mematahkan kaki manusia? 　　Bukan hanya Pangeran Lu yang memikirkan hal ini. 　　Yu Jin memandang kerumunan, dengan nada penuh makna: "Kakak kelima salah. Er Niu tidak pernah menggigit sembarangan." 　　Pangeran Lu tertawa kecil. 　　"Putra Mahkota datang!" teriak seseorang. 　　Kerumunan segera menoleh, melihat Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota berjalan mendekat dari kejauhan. 　　Pangeran Lu menarik napas dengan penyesalan. 　　Er Niu keluarga Lao Qi ini terlalu tidak sembarangan, kenapa tidak menggigit lebih keras ya? 　　Putra Mahkota segera tiba di depan mereka. 　　Yu Jin tidak ingin menimbulkan keributan di pesta bulan penuh putrinya, bertanya: "Kondisi Kakak Kedua sudah membaik?" 　　Putra Mahkota mengangguk dengan enggan, sedikit rasa simpati yang muncul pada Yu Jin saat pergi bersama ke Kabupaten Qianhe telah lenyap akibat percakapan di dalam ruangan tadi. 　　Pangeran Qi yang menjadi penonton pasif tiba-tiba merasa sangat senang. 　　Dia justru berharap hubungan Putra Mahkota dengan Lao Qi semakin buruk, karena itu akan menguntungkannya. 　　Pangeran Lu berkata sambil tersenyum: "Kakak Kedua harus lebih hati-hati, kita sudah melewati usia bermain dengan kucing dan anjing. Huh, bagaimana bisa masih digigit anjing..." 　　Putra Mahkota melirik Pangeran Lu dan bertanya kesal: "Adik kelima ingin berkelahi lagi?" 　　Dendamnya pada Lao Wu masih membara. Saat dia jatuh miskin, orang ini malah melempar batu ke sumur yang sudah kering. Suatu hari nanti pasti akan mendapat balasan. 　　Pangeran Lu menggerakkan bibirnya, menelan kembali kata-kata balasannya. 　　Putri Lao Qi langsung diberi gelar putri bangsawan sejak lahir, sementara dia diturunkan menjadi pangeran. Saat putrinya memasuki usia pernikahan nanti, hanya akan diberi gelar tuan wilayah. Saat itu pasti akan dikeluhkan anak-anaknya. 　　Sudahlah, ditahan saja. 　　Pangeran Lu merasa pilu karena harus menahan diri seperti ini. 　　Er Niu memang hebat, bisa menggigit siapa saja tanpa harus bertanggung jawab... Mungkin dia juga harus memelihara anjing seperti Er Niu? 　　Pelayan istana di samping Putra Mahkota tiba-tiba berteriak gugup: "Paduka, anjing itu datang lagi!" 　　"Di mana?" Putra Mahkota langsung kehilangan minat mengobrol dengan kerumunan, matanya menjelajah mencari. 　　Seseorang tertawa: "Permaisuri Yan sedang membawa putri bangsawan kecil ke sini." 　　Putra Mahkota mematung sejenak, benar-benar melihat sekelompok orang mengerumuni seorang wanita yang berjalan ke arah ini, seekor Anjing Besar mengejar di samping wanita itu. 　　Wanita yang dikerumuni itu mengenakan blus putih dengan kerah merah delima di bagian atas dan rok delima merah menyala di bagian bawah, cantik anggun dengan pesona tak tertandingi. 　　Putra Mahkota terpana memandang, hatinya berbisik: Mengapa Istri Lao Qi terlihat semakin cantik? 　　Pikiran ini bukan hanya muncul di benak Putra Mahkota. 　　Gerakan sederhana dari kecantikan kelas atas langsung menarik perhatian, semua orang menyukai keindahan. 　　Namun Langit tampak sangat memanjakan Permaisuri Yan yang baru saja selesai masa nifas ini. Tubuhnya sama sekali tidak terlihat gemuk, lebih berisi dibanding masa gadisnya yang kurus - tak bisa ditambah atau dikurangi sedikit pun. 　　Pangeran Qi berpikir: Lao Qi dapat semua keberuntungan, Langit benar-benar tidak adil! 　　Pangeran Shu merenung: Andai dulu dia memberi semua bunga prem kepada Nyonya Jiang seperti Lao Qi, apa hasilnya? 　　Pangeran Xiang menggerutu: Nasibku sial. Tak kuminta istri secantik Permaisuri Yan, tapi setidaknya jangan seperti Cui Mingyue! 　　Pangeran Lu: Istri orang lain, secantik apapun tak ada gunanya dipikirkan. 　　Putra Mahkota memandang tak berkedip pada Jiang Si yang tersenyum pada Yu Jin, hanya satu pikiran: Selir Yang yang kudapatkan dengan mempertaruhkan nyawa, tak secantik Permaisuri Yan... 579. BAB 578 Yu Qi yang Tak Tahan Lagi 　　BAB 578 Yu Qi yang Tak Tahan Lagi 　　Meski Selir Yang memang seorang kecantikan sejati, tapi bila dibandingkan dengan Permaisuri Yan di hadapannya, ada sesuatu yang kurang. 　　Putra Mahkota menatap Jiang Si, hatinya membara. 　　Pantas saja Lao Qi melarang orang lain menyentuh barang miliknya. 　　Anjing yang memiliki kesaktian adalah milik Lao Qi, kecantikan luar biasa juga milik Lao Qi, ternyata semua hal baik sudah direbut Lao Qi, pantas dia tak mau orang lain menyentuh. 　　Perasaan tak rela muncul dari hati Putra Mahkota. 　　Dialah Putra Mahkota, calon penguasa negara, sementara Lao Qi hanya pangeran tak berarti. Tak mungkin semua hal baik jadi milik Lao Qi! 　　Yu Jin seakan merasakan sesuatu, menoleh ke arah Putra Mahkota. 　　Berbeda dengan reaksinya saat tahu Putra Mahkota mengincar Er Niu, kali ini pandangannya tenang seperti kolam dalam yang tak tergapai, sulit ditebak. 　　Tatapan itu membuat Putra Mahkota tersentak sadar, telapak tangannya berkeringat. 　　Reaksi ini membuatnya kesal. 　　Dia Putra Mahkota, Lao Qi hanya seorang pangeran. Tak mungkin dia takut! Pasti karena cuaca terlalu panas sampai berkeringat. 　　Tak berani lagi memandangi kecantikan luar biasa itu, mengingat semua mata tertuju, sebagai Putra Mahkota dia masih punya akal sehat ini. 　　Setelah kekaguman awal berlalu, pandangan Putra Mahkota beralih ke seorang wanita yang berdiri di samping Jiang Si. 　　Wanita itu posturnya mirip Permaisuri Yan, kulit putih bak salju dan wajah cantik bagai bunga, juga termasuk kecantikan langka. Jika diamati lebih seksama, ada kemiripan satu dua persen dengan Permaisuri Yan... 　　“Putra Mahkota tak sadar menggigit bibirnya.” 　　“Sejujurnya, dibandingkan Permaisuri Yan yang cantik memesona, dia lebih tertarik pada wanita anggun dan lembut ini.” 　　“Wanita berusia dua puluhan tahun sedang berada di masa terbaik, jauh lebih menarik daripada remaja belasan tahun.” 　　“Apa status wanita ini? Dia terlihat akrab dengan Permaisuri Yan, mungkinkah saudara perempuan?” 　　“Hati Putra Mahkota mulai berdebar-debar.” 　　“Pangeran Qi yang menjadi penonton pasif, mengangkat alisnya halus.” 　　“Apakah Putra Mahkota tertarik pada wanita di dekat Permaisuri Yan?” 　　“Dia juga memandangi wanita itu beberapa saat, memutuskan untuk menyelidiki latar belakangnya.” 　　“Kerumunan berdesakan mendekat, berebut melihat putri bangsawan kecil.” 　　“Mereka semua sudah punya anak, dan sering melihat bayi, tapi tetap penasaran apa keistimewaan anak ini sampai Kaisar begitu istimewa memperhatikannya.” 　　“Bayi dalam selimut merah bermotif fu itu tidur nyenyak, tak sadar sedang dikerubungi banyak orang.” 　　“Putri kecil ini cantik sekali, hidung mancung dan bibir seperti ceri, persis seperti Permaisuri.” 　　“Benar, rambutnya hitam lebat, sungguh langka...” 　　“Amarah Yu Jin di hati sedikit mereda oleh pujian-pujian ini, memungkinkannya tetap tenang menghadapi tamu.” 　　“Jiang Si tidak berlama-lama, pamit pada tamu lalu membawa pergi putri kecilnya.” 　　“Memperlihatkan bayi pada keluarga dekat di pesta bulan purnama memang tata krama, tapi bayi yang masih kecil tentu tak perlu tinggal lama.” 　　Pangeran Qi diam-diam memperhatikan Putra Mahkota. Ketika melihat tatapan Putra Mahkota terus mengikuti wanita itu, hatinya semakin yakin dengan dugaan sebelumnya. 　　Setelah pesta usai, pasangan Pangeran Qi kembali ke Kediaman Pangeran Qi. Pangeran Qi bertanya: "Siapa wanita berbaju hijau yang berdiri di sebelang Permaisuri Yan hari ini?" 　　Permaisuri Qi terkejut. 　　Bukankah wanita berbaju hijau di sebelang Permaisuri Yan itu kakak tertuanya? Mengapa Tuan menanyakan hal ini? 　　Meski bingung, Permaisuri Qi menjawab: "Wanita itu adalah kakak tertua Permaisuri Yan, dulunya istri keluarga Zhu..." 　　Pangeran Qi tersenyum: "Kulihat kemiripan wajahnya dengan Permaisuri Yan, jadi kuduga pasti kakaknya. Aku ingat, dialah yang memutuskan hubungan secara moral dengan Zhu Ziyu?" 　　Permaisuri Qi mengerutkan kening: "Mengapa Tuan menanyakan orang ini?" 　　Saat Permaisuri Yan muncul di taman, ia memperhatikan tatapan semua pria yang tertuju padanya. 　　Huh, pria. 　　Permaisuri Qi mencemooh dalam hati. 　　Pangeran Qi tak merasa ada yang salah dengan perilakunya di taman Kediaman Pangeran Yan. Ia berbisik: "Dari pengamatanku, Putra Mahkota tertarik pada wanita ini." 　　"Apa?!" Permaisuri Qi terkejut. 　　Ia mengira semua perhatian pria tertuju pada Permaisuri Yan yang memesona, tak menyangka Pangeran dan Putra Mahkota malah memperhatikan kakaknya. 　　"Suami... Permaisuri Qi tiba-tiba tak lagi memahami pikiran suaminya." 　　"Maksud Paduka adalah——" 　　Pangeran Qi tersenyum: "Tentu mencari kesempatan untuk mewujudkan kebaikan orang lain." 　　Ia terlalu memahami pikiran Putra Mahkota. 　　Dibandingkan dengan Permaisuri Yan yang dilindungi dengan baik oleh Lao Qi, kakak perempuan Permaisuri Yan yang tinggal di Kediaman Dongping Bo jauh lebih mudah dijangkau. Tak heran Putra Mahkota tak kuasa menahan godaan. Dengan sifat Lao Qi yang tak mau dirugikan, jika kakak iparnya disakiti Putra Mahkota, pasti akan bertarung habis-habisan. 　　Saat itulah ia bisa duduk menyaksikan harimau bertarung. 　　Putra Mahkota kembali ke Istana Timur, hatinya benar-benar bergolak. Diam-diam ia menyuruh pelayan istana menyelidiki urusan Jiang Yi. 　　"Jadi, kakak tertua Permaisuri Yan setelah memutuskan hubungan dengan keluarga suami, sekarang menumpang di Kediaman Dongping Bo?" Mendengar kabar dari pelayan istana, Putra Mahkota mengusap dagu, merasa ada peluang besar. 　　Sejak kembali dari Qianhe County, Ayah Kaisar kecewa dengan kinerjanya yang biasa-biasa saja, menyuruhnya bergiliran mengunjungi enam kementerian setiap hari untuk mempelajari urusan pemerintahan. 　　Kesempatan keluar istana cukup banyak—— 　　Pelayan istana gemetar ketakutan: "Paduka, ibu kota berbeda dengan Qianhe County. Sedikit angin berhembus bisa sampai ke telinga Kaisar..." 　　Putra Mahkota mengerutkan kening: "Ayah Kaisar takkan mengawasiku setiap hari. Lagipula ini perlu menunggu kesempatan, kali ini aku takkan meninggalkan bukti! Kau tutup mulut rapat-rapat!" 　　"Kali ini?" Pelayan istana terkejut. 　　Apa sebelumnya pernah ada? 　　“Urusan wanita dari Kota Jinli itu ditangani langsung olehnya, tidak ada jejak yang tersisa, tentu saja bukan hal yang diangkat oleh Putra Mahkota.” 　　“Mengingat sebelumnya Putra Mahkota dipecat, semua pelayan istana yang melayani Putra Mahkota menghilang,” hati pelayan istana mendadak dingin. 　　Putra Mahkota menyadari ucapannya sembrono, melototi pelayan istana: “Pergi kau, kalau masih banyak bicara akan kusuruh membersihkan toilet!” 　　Pelayan istana buru-buru mundur, tak lama kemudian kembali masuk: “Paduka, Kaisar memanggil Paduka ke Aula Yangxindian.” 　　Putra Mahkota memasuki Aula Yangxindian dengan kebingungan: Mengapa Ayah Kaisar memanggilnya? Dia tidak mengadu pada Ayah Kaisar. 　　Melihat tatapan kosong Putra Mahkota, Kaisar Jingming langsung naik darah: “Kudengar kau digigit Er Niu hari ini?” 　　Putra Mahkota langsung menunjukkan ekspresi sedih, mengangguk membenarkan. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis: “Tidak bisakah kau bersikap tenang? Di depan umum mengganggu anjing, digigit anjing di hadapan semua orang, masih pantaskah kau disebut calon penguasa?” 　　“Anak tidak mengganggu anjing——” 　　“Lalu mengapa Er Niu tidak menggigit orang lain, khusus menggigitmu?” Kaisar Jingming membalas. 　　Putra Mahkota tercekat, bibirnya gemetar hampir menangis. 　　Demi Er Niu dia bahkan tidak berani mengadu, mengapa masih dimarahi Ayah Kaisar? 　　Rupanya di hati Ayah Kaisar, dia bahkan tidak lebih berharga dari Er Niu... 　　Kaisar Jingming semakin marah: “Mengapa kau pura-pura sedih? Mau bertengkar dengan seekor anjing?” 　　“Anak tidak berani.” Putra Mahkota menahan diri dengan suara gemetar. 　　“Sebenarnya tak tega mempermasalahkan, tapi Ayah Kaisar begitu memarahinya, sampai dia ingin memasak Er Niu!” 　　“Pulang dan introspeksi diri baik-baik!” 　　Putra Mahkota meninggalkan Aula Yangxindian dengan wajah lesu. 　　Kediaman Pangeran Yan yang sepi setelah tamu bubar. Yu Jin masuk ke ruang dalam, menyuruh dayang mundur lalu duduk di depan Jiang Si, melontarkan kalimat dingin: "A Si, aku ingin membunuh Putra Mahkota!" 　　Terima kasih untuk hadiah dan vote. Meski tak bisa menyebut satu per satu, semua nama pemberi hadiah dan voter akan kubaca. Terima kasih banyak. Nanti sore ada bagian tambahan. 580.BAB 579 Suami Istri Harmonis 　　BAB 579 Suami Istri Harmonis 　　Jiang Si menuangkan air dari teko ke cangkir, menyodorkannya ke Yu Jin: "Minumlah dulu." 　　Yu Jin menerimanya, minum beberapa teguk lalu meletakkan cangkir: "A Si, aku ingin membunuh Putra Mahkota!" 　　Jiang Si tersenyum: "Kudengar. Kenapa tiba-tiba muncul niat ini?" 　　Yu Jin mengangkat alis: "Kau tidak terkejut?" 　　Jiang Si mengusap cangkir porselen putih berkualitas tinggi, berkata santai: "Aku tahu jika kau ingin membunuh seseorang, pasti ada alasannya." 　　Seperti dirinya yang tak selalu ingin membunuh siapa pun, tapi ketika mengetahui kejahatan yang dilakukan orang-orang tertentu, munculah target-target kecil. 　　Pikiran manusia selalu berubah-ubah, tak perlu heran. 　　Jiang Si yang ahli merealisasikan target kecil itu meneguk tehnya, diam-diam berpikir. 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, terharu: "A Si, aku tahu kau pasti akan memahamiku." 　　Benar-benar sepasang suami istri. Jika A Si ingin membunuh seseorang, dia langsung menyodorkan pisau. 　　"Cepat ceritakan, bagaimana bisa timbul niat untuk membunuh Putra Mahkota?" Jiang Si mendorongnya sambil tersenyum. 　　Pesta bulan purnama diadakan siang hari. Saat ini tepat sore hari, mentari menyilaukan hingga pepohonan rimbun pun terlihat lesu, suara jangkrik terdengar dari kejauhan. 　　Di tengah suasana sore yang tenang dan santai ini, tak ada yang menyangka pasangan muda di balik pintu tertutup ini sedang membahas rencana membunuh Putra Mahkota. 　　Jiang Si mendongakkan wajahnya sedikit. Kulit putihnya bak mutiara salju yang berkilau, senyum tipis di sudut bibirnya membuatnya jauh lebih memesona dari mutiara mana pun. 　　Yu Jin menatapnya lama-lama, lalu mendesah dan berkata dengan geram: "Tadi di taman, Putra Mahkota melirikmu!" 　　Jiang Si baru tersadar: "Hanya karena itu?" 　　Yu Jin mengangkat alis: "Itu belum cukup?" 　　Jiang Si menggeleng sambil tertawa: "A Jin, jangan seperti tong cuka--" 　　"Siapa yang tong cuka?" Yu Jin melirik Jiang Si. 　　Tong cuka? Apakah dia tipe orang seperti itu? 　　Dia jelas-jelas tong cuka raksasa! 　　Yu Jin yang merasa istrinya belum sepenuhnya memahaminya ini merasa sesak di dada. 　　Jiang Si membalas tatapannya: "Masih bilang bukan tong cuka. Jangan-jangan setiap orang yang menoleh padaku harus kau bunuh?" 　　"Kalau begitu, target kecil A Jin terlalu banyak." 　　Jiang Si sudah terbiasa dengan tatapan kerumunan. 　　Sejak kecil dia sudah terbiasa. 　　Begitu seseorang terlahir sangat rupawan, perhatian yang diterima akan berlimpah. Hal ini membentuk sifat angkuh dan percaya diri dalam dirinya sejak kecil. Di kehidupan sebelumnya, dia nekat menikah tinggi ke Keluarga An Guogong meski dilarang Ayah, bisa dikatakan tragedi yang lahir dari wataknya. 　　Karena menganggap diri terlalu tinggi, dia tak rela menikah sembarangan dengan status lebih rendah dari orang lain. 　　Hingga kemudian tiba di Perbatasan Selatan dan jatuh cinta dengan Yu Qi yang di matanya hanya anak pedagang, barulah dia berulang kali merenungkan kenaifan masa mudanya. 　　Dibandingkan hal-hal rumit itu, tak ada yang lebih penting dari diri manusia sendiri. 　　"Ini bukan sekadar masalah melihat biasa." Yu Jin mengusap pelipisnya, ekspresi sangat serius. "A Si, kau tak paham pria, apalagi pria seperti Putra Mahkota. Tatapannya padamu hari ini bukan sekadar melihat biasa." 　　Wajar pria melirik kecantikan yang mencolok, meski kesal dia masih bisa memaklumi. Tapi Putra Mahkota bukan pria biasa. 　　Itu pria serakah dan bodoh yang kebetulan memiliki status sangat tinggi. 　　Istri diincar pria seperti itu, membuatnya tak bisa tidur nyenyak. 　　Putra Mahkota memang belum berbuat apa-apa sekarang, tapi hanya karena belum sempat. 　　Kalau tak menyelesaikan ancaman ini sekarang, apakah harus menunggu A Si terlalu dulu baru menyesal? 　　"Pada saat itu, meski kubunuh Putra Mahkota dan berikan ke Er Niu, apa gunanya? Kerusakan yang terjadi sudah tidak bisa diperbaiki lagi." 　　Yu Jin tak pernah merasa diri sebagai orang baik, terhadap musuh ia menganut prinsip lebih baik menyerang duluan. 　　Heh, hal ini banyak diketahui orang di Perbatasan Selatan, hanya penduduk ibu kota yang belum paham karakternya. 　　Jiang Si terdiam setelah mendengar perkataan Yu Jin. 　　Di kehidupan sebelumnya, alasan pertama Putra Mahkota dipecat adalah perselingkuhannya dengan Selir Yang. 　　Seseorang yang berani berselingkuh dengan selir ayahnya, sudah keterlaluan nafsunya - apa lagi yang tidak bisa dia lakukan? 　　"A Jin bilang tatapan Putra Mahkota padamu mencurigakan, itu memang harus diwaspadai." 　　Yu Jin mencemoh: "Putra Mahkota bukan hanya menginginkanmu, tapi juga mengincar Er Niu!" 　　"Apa?" Jiang Si tertegun. 　　Mengincar dirinya, lalu mengincar Er Niu - loncatan ini agak aneh. 　　"A Si, kau tahu kenapa Putra Mahkota digigit Er Niu? Er Niu kan tidak suka menggitu sembarangan. Putra Mahkota berusaha mendekati Er Niu, makanya Er Niu memberi peringatan." 　　"Kenapa Putra Mahkota menginginkan Er Niu?" 　　Yu Jin menyeringai: "Penakut itu trauma gempa bumi. Seluruh istana tahu warga Kota Jinli selamat berkat Er Niu saat gempa. Pasti karena itu dia mengincar Er Niu. A Si tidak tahu? Hari ini dia khusus bawa daging sapi bumbu dari istana untuk menyogok Er Niu, bukti niatnya sudah lama matang - dia pasti ingin merebut Er Niu--" 　　“Jiang Si mengencangkan bibirnya, berkata dengan datar: \"Kau benar, Putra Mahkota yang serakah seperti itu lebih baik dihabisi saja.\"” 　　“Bagi Jiang Si, Er Niu tak kalah penting dibanding keluarga.” 　　“Mengincar Er Niu? Ini sudah keterlaluan!” 　　“Pasangan suami istri itu mencapai kesepakatan, saling tersenyum.” 　　“\"A Jin, kau berencana bagaimana?\"” 　　“Mengingat pemecatan kedua Putra Mahkota masih butuh waktu, seharusnya kita sabar menunggu. Tapi masa tunggu penuh ketidakpastian, bagaimana jika Putra Mahkota buru-buru menyasar Er Niu?” 　　“Adapun dirinya, Jiang Si tidak khawatir.” 　　“Dia adalah Permaisuri resmi, sekalipun Putra Mahkota berniat jahat, mustahil ada kesempatan.” 　　“Secara logis, meski Putra Mahkota bertekad menguasai Jiang Si, kecuali setelah menjadi Kaisar yang menguasai dunia, baru mungkin merebut menantu perempuan.” 　　“Dalam sejarah, bukan hanya merebut menantu ipar, bahkan Kaisar yang merampas menantu perempuannya sendiri pun ada.” 　　“Ini memang ancaman potensial, tapi Jiang Si tahu Putra Mahkota akhirnya takkan mencapai tahta, jadi tak perlu dikhawatirkan.” 　　“Dia lebih khawatir akan Er Niu.” 　　“Pola pikir Yu Jin berbeda dengan Jiang Si.” 　　“Karena tak yakin dengan pemecatan kedua Putra Mahkota, dia sama sekali tak bisa mentolerir orang yang mengincar istrinya.” 　　“Putra Mahkota mengincar Er Niu masih bisa dia peringati dengan geram, tapi tatapan Putra Mahkota ke Jiang Si membuatnya tak ingin lagi sekedar memperingatkan.” 　　"Bagi seseorang yang berniat membunuh, hanya orang bodoh yang akan memberi peringatan. Tentu lebih baik membunuh diam-diam." 　　"A Si, kau tak perlu khawatir. Putra Mahkota itu tubuhnya penuh Tongkat, cukup cabut satu saja sudah membuatnya sengsara." 　　Yu Jin segera memanggil Leng Ying. 　　Di ruang belajar yang remang-remang, sosok Leng Ying yang dingin nyaris tak terasa kehadirannya. 　　"Ada perintah apa, tuanku?" 　　Yang menyertai Yu Jin ke Kabupaten Qianhe bukan hanya Long Dan, tapi juga Leng Ying - satu orang terang-terangan, satu lagi sembunyi-sembunyi. 　　"Bocorkan soal urusan gelap Putra Mahkota di Kabupaten Qianhe kepada Pangeran Qi secara halus." Yu Jin yang duduk membelakangi cahaya mengeluarkan perintah dengan wajah samar. 　　Karena Lao Si mengawasi begitu ketat, lebih baik dia bantu sedikit. 　　Sampai jumpa besok. 581.BAB 580: Ayam Tak Dapat, Beras pun Tumpah 　　BAB 580: Ayam Tak Dapat, Beras pun Tumpah 　　Juli yang gerah segera berlalu. Saat aroma osmanthus merebak, jalanan semakin ramai. 　　Festival Pertengahan Musim Gugur mendekat. Meski keluarga miskin pun sangat menghargai ritual bulan, banyak barang perlu dibeli. 　　Hari ini Jiang Yi pergi membeli lentera untuk Yan-yan. 　　Tradisi festival ini memang melihat anak-anak membawa lentera bermain di bawah sinar bulan. 　　Setelah memilih lentera ikan mas dan lentera kelinci giok di toko, Jiang Yi menyerahkan pada dayang lalu melanjutkan ke toko pernak-pernik mewah. 　　“Ulang tahun Ayah akan segera tiba, dia berencana memilih hadiah berharga sebagai kado ulang tahun.” 　　Jiang Yi memasuki Toko Zhenbao yang cukup terkenal di ibu kota. 　　Toko Zhenbao terletak di Jalan Barat yang ramai, meski bukan toko perhiasan terbesar di ibu kota, unggul dalam keanggunan. 　　Begitu masuk, pelayan segera menyambut untuk melayani. 　　Jiang Yi berkeliling di lantai dasar sebentar, lalu bertanya pada pelayan: "Apakah ada giok berkualitas baik?" 　　Pelayan langsung tersenyum lebar: "Silakan Nyonya naik ke lantai atas." 　　Jiang Yi mengangguk, membawa dayang-nya naik ke lantai dua. 　　Di pangkal tangga berdiri seorang pelayan wanita sambil memandu jalan: "Jika Nyonya ingin melihat barang lebih bagus, silakan masuk ke dalam." 　　Jiang Yi dipandu pelayan wanita masuk ke Ruang VIP. 　　Ruangan itu dihiasi dengan sederhana namun elegan, deretan penyekat memisahkan area dalam dan luar. Di atas meja tinggi dekat dinding terpajang tungku wangi berbentuk paruh bebek tiga warna yang mengeluarkan asap wangi. 　　Alis Jiang Yi sedikit berkerut. 　　Indra penciumannya memang lebih sensitif dari orang biasa, meski tak sehebat adiknya. 　　Karena itu, dia biasanya tidak terlalu suka menggunakan wewangian. 　　Berwatak enggan mencari masalah, meski tak menyukai aroma wewangian di ruangan, Jiang Yi tak berkomentar dan mulai memilih giok sesuai rekomendasi Tuan pemilik toko wanita. 　　"Untuk siapa Nyonya membeli ini?" 　　"Mencari hadiah ulang tahun untuk Ayah." 　　"Nyonya pemilik toko membawa nampan, di atas bantalan kain beludru merah tergeletak beberapa perhiasan giok." 　　"Istri utama lihatlah, giok ikan kembar ini pengerjaannya sangat halus, terbuat dari giok putih lemak domba kualitas terbaik, paling cocok untuk dikenakan pria…" 　　Jiang Yi mengangkat giok itu dan memeriksanya dengan teliti, lalu mengangguk pelan. 　　Nyonya pemilik toko mengambil perhiasan giok lain: "Ada juga cincin tali rusa giok ini, maknanya sangat baik, apakah istri utama berminat…" 　　Jiang Yi memilih dengan hati-hati, waktu berlalu tanpa terasa seperti asap dupa yang terus mengepul dari paruh bebek. 　　Tiba-tiba ia merasa mengantuk, mengusap pelipis lalu memanggil dayangnya. 　　Tak ada jawaban. 　　Jiang Yi menoleh dan terkejut melihat dayang kecil itu tertidur bersandar di dinding dengan mata terpejam, entah sejak kapan. 　　Ia buru-buru ingin bangkit tapi kepalanya berkunang-kunang, akhirnya tertidur juga. 　　Nyonya pemilik toko mengelap keringat di telapak tangan ke bajunya, berteriak gemetar ke arah penyekat: "Orang terhormat… orang terhormat, mereka sudah tertidur…" 　　Dua sosok muncul dari balik penyekat bermotif bunga empat musim. Yang di depan adalah Putra Mahkota, di belakangnya pelayan istana berwajah pucat tanpa janggut. 　　Nyonya pemilik toko tak berani menatap, hanya cepat-cepat memberi hormat pada Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota memandangi Meiren yang tertidur di atas meja, lalu melambaikan tangan: "Pergilah." 　　"Pemilik wanita itu menjawab, lalu buru-buru mundur keluar. Saat sampai di koridor luar, ia menghela napas pelan. 　　Dosa betul— 　　Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, di bawah tekanan penguasa harus mengalah, terpaksa melakukan hal tak bermoral ini... 　　Di dalam ruangan masih harum oleh asap dupa. Putra Mahkota mendekati Jiang Yi, mencubit dagu putih saljunya sambil mengamati, lalu mengangguk puas: "Benar-benar kecantikan langka, tak sia-sia aku memikirkannya sekian lama." 　　Sensasi halus kulit lembut itu membuat Putra Mahkota semakin tak sabar. Ia memerintah pelayan istana: "Bawa dia ke belakang penyekat. 　　Di balik penyekat ada dipan rendah, sangat cocok untuk urusan ini." 　　Pelayan istana mengiyakan dan mulai menarik Jiang Yi. 　　"Cepat—!" desak Putra Mahkota terus-menerus. 　　Keduanya tak menyadari, di jendela terbuka tiba-tiba muncul seseorang bergantung terbalik. 　　Orang itu melongok ke dalam, lalu langsung melompat masuk tanpa suara. Berjalan di belakang mereka, dua tebas tangan menghantam Putra Mahkota dan pelayan hingga pingsan. 　　Dengan satu tangan mengangkat masing-masing tubuh, ia melemparkan mereka ke dipan rendah di balik penyekat. Segera ia menyuapkan sebutir obat ke mulut Jiang Yi. 　　Jiang Yi perlahan sadar. Matanya membelalak melihat orang di hadapannya. 　　Orang itu segera berbisik: "Jangan berteriak, Nyonya. Hamba ini utusan Pangeran Yan." 　　Jiang Yi menahan teriakannya, bertanya gemetar: "Apa yang terjadi?" 　　Orang itu menunjuk ke balik penyekat, berbisik: "Lihatlah, tapi jangan bersuara." 　　Jiang Yi terkejut dan bingung, menggenggam erat saputangan di tangannya sambil mengintip ke balik penyekat. 　　Seketika itu juga nyaris pingsan. 　　Di balik penyekat, di atas dipan rendah ternyata ada dua orang suami! 　　"Mereka--" 　　"Istri utama tak perlu urusi mereka, cepatlah pergi." 　　Baru kini Jiang Yi menoleh ke dayang yang masih tertidur lelap. 　　Pria itu mengeluarkan sebutir obat dan memasukkannya ke mulut dayang, berkata pada Jiang Yi: "Setelah dia bangun, bawa dia pergi secara jujur, agar reputasi Putri tak ternoda..." 　　Jiang Yi mengangguk tegas dengan hati berdebar. 　　Jika orang melihatnya bersama dua pria dewasa dalam satu ruangan, semuanya akan jadi rumit. 　　Melihat Jiang Yi masih tenang, pria itu lega dan segera menghilang di balik penyekat. 　　Dayang terbangun dengan bingung: "Tuanku--" 　　"Bawa lentera pilihan putri, kita pergi." Suara Jiang Yi datar meski hatinya bergolak. 　　Dayang mengutuk dalam hati karena tak sengaja tertidur, buru-buru mengangkat lentera mengikuti tuannya. 　　Langkah Jiang Yi sempat goyah saat melangkah, hampir terjatuh. 　　"Hati-hati, Tuanku--" Dayang segera menyangga. 　　Jiang Yi mencubit telapak tangannya, memarahi diri sendiri: Adik keempat yang masih muda sudah melewati begitu banyak cobaan, dia tak boleh kalah oleh hal ini! 　　Menarik napas dalam-dalam, Jiang Yi mendorong pintu keluar. 　　Pemilik warung perempuan itu sudah lama menghindar ke lantai bawah. 　　Ketika melihat Jiang Yi turun tanggan ditemani dayang, matanya terbelalak, teriak histeris: "Istri utama, Kenapa Ibu turun--" 　　Tidak mungkin, menurut rencana licik sebelumnya, jelas orang terhormat itu tertarik pada istri muda ini dan berencana memingsankannya lalu memaksa melakukan hubungan. Kenapa sekarang istri ini bisa turun dengan tenang? 　　Mungkinkah aku salah paham, bukan pemaksaan tapi hubungan gelap suka sama suka? Memingsankan orang hanya kebiasaan unik si orang terhormat? 　　Memandangi Jiang Yi yang turun tangga dengan wajah datar, pemilik warung tak bisa menahan pikirannya: Kalau begitu, orang terhormat itu terlalu cepat... 　　Jiang Yi menghampiri pemilik warung, menahan dorongan kuat untuk menamparnya, berkata datar: "Tidak ada yang cocok, ya sudah turun." 　　Baru ketika Jiang Yi dan dayangnya sudah keluar toko, pemilik warung tersadar dan buru-buru naik ke lantai atas. 　　Pintu Ruang VIP tertutup longgar. Pemilik warung masuk langsung menuju balik penyekat. 　　Di balik penyekat, dua lelaki telanjang bulat terbaring di dipan rendah. 　　Pemandangan ini terlalu mengerikan. Pemilik warung menutup mulut sambil mundur terhuyung. 　　Dentam! Penyekat itu roboh. 582. BAB 581 Putra Mahkota Ditangkap Petugas Keamanan 　　BAB 581 Putra Mahkota Ditangkap Petugas Keamanan 　　"Keributan ini benar-benar menggemparkan." 　　Lantai dua Toko Zhenbao memiliki beberapa Ruang VIP, masing-masing digunakan untuk melayani tamu yang berkecukupan dan berstatus tinggi. 　　Keributan besar ini segera menarik perhatian orang-orang dari dua Ruang VIP yang keluar untuk melihat. 　　"Astaga, ada...ada orang berselingkuh di Toko Zhenbao——" teriak seorang nenek dengan suara nyaring, tiba-tiba tercekik seperti ada batu di tenggorokannya, bibirnya bergetar lama sebelum meneriakkan lanjutannya, "Dua pria tidur bersama——" 　　Aneh, orang yang memberinya uang jelas-jelas mengatakan ada tuan muda yang berselingkuh dengan wanita bersuami, menyuruhnya berteriak saat melihat kejadian itu. Tapi kenapa yang tidur di ranjang bukan sepasang pria-wanita, melainkan dua pria? 　　Sudahlah, yang penting ini tetap skandal. Tugasnya hanya meneriakkan hal ini. 　　"Ayo semua lihat! Dua pria dewasa berselingkuh terang-terangan di Toko Zhenbao——" Nenek itu semakin keras berteriak. 　　Toko Zhenbao yang memang terletak di jalan ramai langsung dipadati orang yang berduyun-duyun masuk. 　　Manajer wanita nyaris gila karena panik, berteriak: "Yang Mulia, bangunlah! Bangun!" 　　Pengawal bayangan Yu Jin sepertinya terlalu kasar. Putra Mahkota dan pelayan istana yang telanjang itu masih tetap tertidur puluk sambil berpelukan. 　　Sudah banyak orang mengerumuni pintu, berkomentar keras. 　　"Ck ck, ini anak siapa? Memalukan sekali. Kalau anakku, pasti kupatahkan kakinya." 　　“Hehe, kau takkan bisa melahirkan anak lelaki seperti ini. Lihatlah pakaian di lantai, bahannya bagus semua. Pasti ini anak tuan muda dari keluarga terpandang.” 　　“Aneh juga, kenapa datang ke Toko Zhenbao untuk melakukan perbuatan kotor seperti ini?” 　　“Kalau tidak di sini, dua pria dewasa berbuat hal tak senonoh di rumah, lebih mudah ketahuan bukan?” 　　“Masuk akal——” 　　Nyonya pemilik toko hampir hilang akal, mendorong-dorong orang di pintu: “Keluar! Cepat keluar semua!” 　　Orang yang didorong itu malah membalas mendorong nyonya pemilik toko hingga sempoyongan. 　　“Kenapa harus keluar? Susah payah baru bisa masuk!” 　　“Iya! Toko Zhenbao boleh menyimpan kekotoran, kami tidak boleh melihat?” 　　Penonton keributan itu semakin emosi. Entah siapa yang mengeluarkan ayam panggang dan melemparkannya dengan geram. 　　Ayam panggang itu tepat menghantam wajah Putra Mahkota, menyadarkannya. 　　Melihat kerumunan hitam legam, Putra Mahkota panik. Menendang kasim yang masih menindih lengannya, ia melompat berdiri: “Apa yang terjadi?” 　　Saat melompat, baru ia sadar tubuhnya terasa dingin. 　　Putra Mahkota menunduk melihat, hampir pingsan. Buru-buru mengambil pakaian di lantai untuk menutupi diri, berteriak marah: “Pergi semua!” 　　Ia mengira masih di Istana Timur, dimana teriakannya akan membuat para kasim dan dayang bercerai-berai seperti binatang. 　　Tak seorang pun penonton yang pergi. Tiba-tiba ada yang berteriak: “Lihat! Pria itu tidak puna kelamin laki-laki!” 　　Putra Mahkota yang ketakutan langsung membuka pakaian yang menutupi bagian bawahnya. Melihat "benda" itu masih utuh, barulah dia menarik napas lega. 　　Kerumunan sebenarnya tidak menatap Putra Mahkota, melainkan pelayan istana yang ditendangnya hingga terjatuh - membuat aurat sang pelayan terbuka lebar. 　　Terjatuhnya membuat pelayan itu tersadar, menjerit kencang. 　　Suara melengking, wajah putih tanpa janggut, ditambah bagian bawah yang kehilangan sesuatu... 　　Akhirnya seseorang tersadar terlambat: "Ini dari istana--" 　　Kalimat selanjutnya terhenti. Orang itu langsung berbalik pergi. 　　Jika ini skandal antara orang terhormat istana dengan pelayan, bukankah para penonton bisa dibungkam? 　　Banyak yang berpikir sama, beramai-ramai lari keluar ingin menjauhi tempat sial ini. 　　Sayang kerumunan di luar sudah menumpuk, sulit untuk kabur cepat. 　　"Minggir, minggir--" 　　Orang belakang yang tak tahu situasi berdesak ingin melihat, sementara yang depan ingin keluar. Dorong-dorongan membuat banyak orang terguling di tangga. 　　Kekacauan semakin menjadi. 　　Putra Mahkota buru-buru memakai baju, tangan yang mengikat tali masih bergetar. 　　"Aul... Tuanku, bagaimana ini--" Pelayan itu menahan celana nyaris menangis. 　　"Pergi kau!" Putra Mahkota menendangnya lagi, lalu menerjang ke jendela dan mengangkat kaki untuk kabur. 　　Pelayan istana ketakutan setengah mati, memeluk erat kaki Putra Mahkota yang lain: "Tuanku, jangan melompat--" 　　Putra Mahkota mendorong pelayan istana dengan kasar. 　　Tidak boleh melompat? Dikepung di sini, ingin semua orang tahu Putra Mahkota dan pelayan istana berbuat mesum di sini? 　　Saat ini, Putra Mahkota sudah sama sekali tak memikirkan bagaimana Jiang Yi bisa lolos. Hanya satu pikiran di kepalanya: Cepat kabur, pergi dari tempat hantu ini. 　　Putra Mahkota melompat dari jendela lantai dua Toko Zhenbao, mendarat tepat di depan petugas keamanan yang bergegas datang. 　　Petugas keamanan mundur terkejut: "Inikah penjahatnya? Tangkap dia!" 　　Ia sedang memimpin anak buahnya berpatroli di jalan tiba-tiba ada warga melapor bahwa di Toko Zhenbao ada penjahat berbuat onar yang sudah menewaskan orang. 　　Siang bolong di bawah langit Putra Langit, berani menumpahkan darah? 　　Petugas keamanan segera membawa anak buahnya datang tanpa ragu. 　　Melihat Putra Mahkota yang tergeletak, petugas keamanan menyeringai dingin: "Mau kabur? Mimpi kau!" 　　Menyaksikan Putra Mahkota yang terkapar tak bisa bicara akan diborgol, pelayan istana berteriak: "Jangan ditangkap!" 　　Ia buru-buru melompat dari jendela, terdengar jeritan lalu sunyi. 　　Terlalu panik, wajahnya menghantam tanah... 　　Melihat orang yang pingsan itu, petugas keamanan melambaikan tangan: "Bawa semua!" 　　Level segini berani berbuat jahat? 　　“Baru saja melompat dari lantai dua, kalau digantikan dia, ketinggian segini bahkan tidak membuatnya berkedip. Benar-benar dua orang tidak berguna.” 　　Putra Mahkota dibawa keluar belasan zhang jauhnya, akhirnya tersadar. Sambil menggigit gigi berkata: "Brengsek, lepaskan aku!" 　　“Heh, berbuat jahat masih bisa kasar.” 　　Depan Toko Zhenbao kacau balau. Petugas keamanan pemimpin sudah mengerahkan anak buah untuk menyelidiki, semakin yakin dengan laporan rahasia warga itu. 　　“Lepaskan! Kau tahu siapa aku ini?” 　　Hari ini Putra Mahkota sebenarnya pergi ke Kementrian Pendapatan untuk observasi administrasi. Setelah menyelinap keluar, sengaja mengganti pakaian yang dibeli dari toko pakaian. Kainnya meski bagus, hanya terlihat bagus di mata rakyat biasa, tidak bisa dibilang mewah. 　　Petugas keamanan melirik, mencibir: “Apa, masih sok bangsawan? Kukasih tahu, tak peduli tuan muda dari keluarga mana, hari ini kena masalah, ikut aku ke kantor kabupaten!” 　　Mendengar kantor kabupaten, wajah Putra Mahkota langsung berubah. Panik berkata: “Aku Putra Mahkota, cepat lepaskan!” 　　Petugas keamanan tertawa: “Kau Putra Mahkota? Kalau begitu aku Pangeran! Jangan ngawur, nanti kena hukuman pemusnahan sembilan suku!” 　　“Aku benar-benar Putra Mahkota, cepat lepaskan!” Putra Mahkota meronta tak bisa lepas, tak berani berteriak keras, sangat gugup. 　　Petugas keamanan mengernyit, menarik handuk dan menyumpal mulut Putra Mahkota. Dingin berkata: “Tidak boleh biarkan kau teriak sembarangan, merusak reputasi orang terhormat!” 　　“Wu wu wu——” Putra Mahkota tidak bisa berteriak, melirik ke pelayan istana. 　　Pelayan istana yang jatuh tertelungkup dengan muka lebam dan bengkak masih tak sadarkan diri. 　　Putra Mahkota benar-benar putus asa, hanya satu pikiran di kepalanya: Dia bodoh, seharusnya tidak meninggalkan pengawal bayangan di kantor kabupaten Kementerian Keuangan! 　　Sore ini masih ada satu bagian lagi. Mohon dukungan vote. 583. BAB 582 Kemarahan 　　BAB 582 Kemarahan 　　Saat kekacauan di Toko Zhenbao belum mulai, Jiang Yi sudah bergegas keluar dari pintu utama toko. 　　Baru saja keluar, kakinya gemetar. Berpegangan pada pohon di depan pintu, wajahnya pucat dan menakutkan: "Bantu saya naik kereta..." 　　Dayang terkejut melihat ekspresi wajah tuannya: "Tuanku--" 　　"Bantu saya naik kereta!" seru Jiang Yi dengan suara keras. 　　Biasanya Jiang Yi selalu berbicara lembut pada pelayan. Ini pertama kalinya dayang mendengarnya bersuara tinggi, jadi segera membantunya naik ke kereta kuda dengan setengah menyeret. 　　Baru setelah duduk di dalam kereta, Jiang Yi merasa hidup kembali, rasa takut pascatrauma menyergapnya. 　　"Tuanku, ada apa?" tanya dayang panik melihat kondisi majikannya yang tidak biasa. 　　Jiang Yi bersandar pada dinding kereta yang dingin, wajahnya pucat tak berdarah, kening putihnya basah oleh keringat. 　　Seperti baru dikeluarkan dari air, ia terengah-engah antara ketakutan dan kelegaan, tak sempat menghiraukan dayang yang cemas. 　　Sebenarnya apa yang terjadi? 　　Dia hanya ingin melihat-lihat Toko Zhenbao, mengapa jadi target orang? Siapa sebenarnya dua pria itu? 　　Tanpa sadar ia dibius, hari ini jika tidak diselamatkan, akibatnya—— 　　Benar, orang yang menyelamatkannya mengaku sebagai bawahan Pangeran Yan! 　　Jiang Yi tiba-tiba teringat sesuatu, menarik lengan dayang dengan kencang: "Bilang ke sais...langsung ke Kediaman Pangeran Yan..." 　　"Apa?" Dayang tertegun mendengar permintaan mendadak ini. 　　Menurut tata krama, keluarga bangsawan seperti Istana Pangeran Yan saja, bahkan keluarga biasa pun, kerabat yang ingin berkunjung harus mengirim undangan terlebih dahulu. 　　Tuanku ini kenapa? 　　"Cepat!" Jiang Yi mendorong dayang. 　　Keterdesakan Jiang Yi menular ke dayang. Dayang merangkak ke pintu membuka tirai gerbong, menjerit: "Lao Tietou, ke Kediaman Pangeran Yan!" 　　Sais memegang cambuk memutar kepala: "Tidak kembali ke Keluarga Bo?" 　　Dayang melotot: "Tuanku menyuruh ke mana ya ke sana." 　　"Baik, duduk yang mantap." Sais mencambuk kuda, memutar kereta dengan kencang. 　　Jiang Yi menggenggam saputangan tanpa bicara. Suasana di dalam gerbong hampir seperti membeku. 　　Dayang beberapa kali ingin bertanya, namun karena suasana yang mencekam tak berani bersuara, dalam hati terus menerka apa yang terjadi. 　　Tiba-tiba ia teringat dirinya yang tertidur tanpa sadar di Toko Zhenbao, wajahnya langsung pucat. 　　Kereta berhenti. Suara sais terdengar: "Nyonya Muda, sudah sampai." 　　Dayang mengintip keluar: "Lao Tietou, kau beritahu Pelayan." 　　Sais berlari memanggil pintu. 　　"Tidak ada Undangan?" Pelayan melambaikan tangan menyuruh sais pergi. 　　Belakangan ini semakin banyak orang sembarangan yang mencoba menjalin hubungan dengan Istana Pangeran. Tidak boleh sembarang orang dimasukkan. 　　Sais ini orang jujur, secara alami takut pada Istana Pangeran. Melihat Pelayan mengusir, dia tak berani banyak bicara, diam-diam berbalik pergi. 　　Pelayan melirik kereta kuda yang berhenti tak jauh, samar-samar merasa familiar. 　　"Tunggu--" Pelayan memanggil sais, "Boleh tahu dari kediaman mana?" 　　Sais menjawab: "Nyonya Muda dari Dongping Bo Residence ingin menemui Permaisuri..." 　　Pelayan hampir terjatuh, menarik pergelangan sais: "Kakak, kenapa tidak bilang dari tadi!" 　　Menolak kakak Permaisuri di depan pintu? Kalau sampai Pangeran tahu, masih adakah jalan hidup baginya? 　　Pelayan melotot kesal pada sais, dalam hati berpikir: Tak terlihat orang ini licik! Untung dia bertanya lebih dulu. 　　Jiang Si sedang bermain dengan Ah Huan. 　　Ah Huan yang berusia dua bulan lebih telah tumbuh menjadi bayi gemuk putih, kulit putih mata besar, suka tersenyum mengangkat sudut bibir. 　　Tiba-tiba si kecil Ah Huan meringis menangis. 　　"Apa pipis?" Jiang Si yang masih dalam fase kerepotan ibu baru segera meraba, benar merasakan basah: "Benar pipis!" 　　“Sebelum ibu susu sempat mengambil anak itu, Er Niu yang berbaring di samping tiba-tiba berdiri, lincah berlari ke lemari pendek dan menjepit sehelai popok di atasnya dengan mulutnya sebelum kembali sambil mengibas-ngibaskan ekor, memberi isyarat pada Jiang Si untuk segera mengganti popok Ah Huan.” 　　Jiang Si menerima popok itu, memandangi Er Niu yang terlihat meminta pujian sambil tak tahu harus tertawa atau menangis. 　　“Baru berapa lama Er Niu mengamati, dia sudah bisa mengambil popok untuk Ah Huan. Kalau dilatih lebih lama lagi, jangan-jangan bisa mengganti popok sendiri?” 　　Ibu susu yang sedang gesit mengganti popok Ah Huan memuji, “Hamba belum pernah melihat anjing sepintar Er Niu.” 　　Ah Man menyeringai, “Wajar belum pernah lihat! Er Niu kita ini pejabat istana kelas empat utama!” 　　Meski sudah tahu sebelumnya, ibu susu tetap terkesima setiap mendengar hal ini. 　　“Astaga, kelas empat! Bagi rakyat biasa, punya anggota keluarga yang jadi Pejabat Kabupaten kelas tujuh saja sudah dianggap berkah leluhur.” 　　Tak bisa dibandingkan, manusia kalah dengan anjing—— 　　Saat kehangatan sedang terasa di dalam ruangan, dayang masuk melapor bahwa Jiang Yi datang. 　　Jiang Si segera menyuruh orang mempersilakan Jiang Yi masuk. 　　“Kakak tiba-tiba datang——” Tatkala melihat ketakutan di mata Jiang Yi, Jiang Si menelan kata-kata selanjutnya dan memberi isyarat agar orang dalam ruangan mundur. 　　Melihat ibu susu membawa pergi Ah Huan, Er Niu berpikir sejenak lalu ikut keluar. 　　Ruangan kini hanya menyisakan kedua saudari ini, Jiang Yi bahkan menyuruh dayang pengiringnya ikut keluar. 　　“Kakak, apakah terjadi sesuatu?” 　　Jiang Yi memegang cangkir teh dengan erat, buku-buku jarinya memucat samar. Setelah menenangkan diri, ia berkata: "Adik Keempat, hari ini ada orang... yang berniat mencelakai saya..." 　　Tangan Jiang Si bergetar, hampir saja menjatuhkan cangkir teh. 　　Jiang Yi takut membuat Jiang Si panik, buru-buru menambahkan: "Saya tidak apa-apa!" 　　Jiang Si mengeluarkan saputangan dan menyeka keringat di dahi Jiang Yi: "Kakak, ceritakan perlahan." 　　Jiang Yi mengangguk, mulai bercerita dengan suara gemetar. Semakin ke akhir cerita, semakin tak terkendali rasa takut yang menguasai hatinya. 　　Jiang Si sangat memahami perasaan kakaknya. 　　Bayangkan, hanya sekadar berbelanja di toko biasa, nyaris saja kehormatannya ternoda oleh penjahat. Perempuan mana yang tidak ketakutan? 　　"Orang yang menyelamatkan saya mengaku sebagai bawahan Pangeran... Adik Keempat, apa kau tahu tentang ini?" 　　Jiang Si menutup matanya, mencubit telapak tangannya kuat-kuat untuk menahan amarah yang nyaris meledak. 　　Belakangan ini A Jin hanya mengawasi Putra Mahkota. Jika orang A Jin yang menyelamatkan kakakku, hampir pasti Putra Mahkota lah dalangnya! 　　"Adik Keempat?" 　　Jiang Si menyunggingkan senyum paksa: "Saya belum bertemu Pangeran. Nanti saat dia pulang akan kutanyakan, mungkin dia tahu sesuatu." 　　Ia menggenggam tangan Jiang Yi. Tangan kedua bersaudari itu sama-sama terasa dingin. 　　"Kakak, pulanglah dulu ke rumah keluarga. Jangan keluar rumah dulu sebelum ada kejelasan tentang kejadian hari ini." 　　Sekalipun sudah memastikan bahwa yang berusaha mencelakai kakak adalah Putra Mahkota, sebelum Putra Mahkota itu ditumbangkan, lebih baik kakak tidak diberi tahu. 　　Jika kakak tahu dirinya menjadi incaran Putra Mahkota, pasti gelisah tidak bisa tidur dan makan. 　　Jiang Yi mengangguk: "Baik, saya akan menunggu kabar dari Adik Keempat." 　　Ada keterlibatan anak buah Pangeran Yan dalam kasus ini, pelaku yang menargetkannya mungkin bukan orang sembarangan. Dirinya tidak punya kemampuan seperti Adik Keempat untuk menuntut keadilan, setidaknya harus bisa tidak merepotkan dan tidak membuat Adik Keempat khawatir. 　　Tentang rasa takut... Tentu saja takut, mana mungkin tidak takut... 　　Jiang Si memerintahkan pengawal untuk mengantar Jiang Yi kembali ke Dongping Bo Residence, lalu segera memberi instruksi: "Panggil Pangeran pulang dari kantor kabupaten." 584. BAB 583 Tidak Perlu Alasan 　　BAB 583 Tidak Perlu Alasan 　　Yu Jin yang sudah mendapat laporan dari bawahannya langsung menghancurkan gelas di genggamannya karena marah. 　　Jika dia tidak menyuruh orang mengawasi, seorang kakak A Si bisa saja menjadi korban dalam kelalaian ini? 　　Saat itu terjadi, A Si pasti akan sangat sedih. 　　Bagi si istri mania, semua yang membuat istri sedih pantas mati. 　　Yu Jin berdiri, bersiap pulang untuk berkoordinasi dengan Jiang Si, tiba-tiba langkahnya terhenti. 　　Tunggu, selera apa sih Putra Mahkota itu? Awalnya jelas berniat jahat pada A Si, kok sekarang ganti incar kakaknya? 　　Begitu dipikir, Yu Jin jadi semakin geram. 　　Putra Mahkota bukan hanya bodoh dan hina, tapi juga buta! 　　Hm, sepertinya tidak perlu marah, semakin sedikit yang mengincar istri kan bagus. 　　Yu Jin diam-diam menghibur diri sendiri, saat melewati Toko Zhenbao dari jauh, ia berhenti sejenak menyaksikan drama yang menarik, baru kemudian bergegas kembali ke Kediaman Pangeran Yan. 　　Belum lama setelah Jiang Si mengutus orang pergi, A Qiao segera masuk melapor bahwa Sang Pangeran telah kembali. 　　Yu Jin berjalan tergesa masuk, matanya menyapu sekilas ruangan lalu berkata datar: "Kalian semua mundur." 　　A Qiao dan yang lain diam-diam meninggalkan ruangan. 　　"Cepat sekali kau kembali." Jiang Si terlihat terkejut. 　　Yu Jin tertegun sejenak lalu paham maksud Jiang Si, tersenyum: "Rupanya kau mengutus orang untuk menjemputku." 　　Hati Jiang Si semakin berat, menguatkan dugaan itu: "Kalau begitu, hari ini benar Putra Mahkota berniat jahat pada kakakku?" 　　Yu Jin mengangguk. 　　"Lalu setelah kakak pergi?" 　　Membayangkan kelakuan bejat Putra Mahkota dan pemilik Toko Zhenbao yang tak berperikemanusiaan, gigi Jiang Si gemeretuk karena kebencian. Ia menepuk meja: "A Jin, beri aku beberapa orang, akan kuhancurkan Toko Zhenbao!" 　　Yu Jin menarik Jiang Si mendekat, tertawa: "Kenapa sifat buru-burumu lebih parah daripadaku?" 　　Jiang Si berkata serius: "Ini bukan sifat buru-buru. Ada kemarahan yang tak bisa dan tak perlu ditahan, hanya dengan meluapkan seketika hatiku baru lega." 　　Mengenai apakah aksinya menghancurkan Toko Zhenbao akan dikaitkan dengan Jiang Yi, tak perlu dikhawatirkan. 　　Karena Jiang Yi telah berhasil meninggalkan tempat bermasalah itu saat itu juga, setelah kejadian tak akan tersangkut lagi. 　　“Seberapa bodohnya Putra Mahkota, mustahil dia mengakui nafsu birahinya pada kakak ipar adiknya sendiri. Toko Zhenbao juga tidak berani mengaku.” 　　Menurut Jiang Si, menghancurkan toko itu sah saja, bahkan alasan "tidak enak dipandang" sudah cukup. Lihat nanti apakah Toko Zhenbao berani bersuara. 　　Apa? Ini akan merusak reputasi Permaisuri Yan? Justru tidak perlu ragu. Reputasi mana bisa menandingi kepuasan menghancurkan Toko Zhenbao. 　　Jiang Si adalah wanita yang sangat paham prioritas. 　　Yu Jin mengelus rambut Jiang Si, matanya penuh kerinduan: "A Si, sepertinya Toko Zhenbao tidak perlu kau hancurkan sendiri." 　　“Kenapa?” 　　“Ada kasus pembunuhan di Toko Zhenbao.” 　　Alis Jiang Si terangkat. 　　Dia hanya mendengar kisah pelarian dramatis kakaknya, belum tahu perkembangan terbaru. 　　“Pengawalku yang mengantarkan kakakmu pergi, lalu melucuti pakaian Putra Mahkota dan pelayan istana. Pangeran Qi juga menempatkan mata-mata di Toko Zhenbao yang langsung menyebarkan skandal ini. Rakyat yang suka keributan langsung membanjiri toko itu. Dari kejauhan kulihat kekacauan di Toko Zhenbao, katanya ada yang terjatuh tangga dan terinjak-injak sampai tewas...” 　　Jiang Si mencemooh: “Ini semua ulah binatang itu, Putra Mahkota!” 　　Satu nyawa melayang berarti satu keluarga menderita. Akar masalahnya adalah kelakuan tak bermoral Putra Mahkota yang tak tahu malu. 　　“Benar, lebih baik membunuh orang semacam itu daripada membiarkannya merusak negara dan menyengsarakan rakyat. A Si, bukankah ini yang disebut membasmi bahaya bagi rakyat?” 　　Ekspresi Jiang Si yang tegang sedikit melunak: “Ya, tentu saja ini untuk kepentingan rakyat.” 　　“Coba tebak apa yang terjadi pada Putra Mahkota kemudian?” Senyum mengembang di sudut bibir Yu Jin. 　　Jiang Si merenung sejenak: “Penonton keributan memblokade Putra Mahkota di Toko Zhenbao. Takut ketahuan identitas, pasti dia ingin segera kabur. Mungkin... dia kabur lewat jendela?” 　　Yu Jin bertepuk tangan: “A Si, kau semakin cerdik.” 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Bukan aku yang pintar, tapi Putra Mahkota yang terlalu bodoh.” 　　Yu Jin mengangguk setuju dengan dalam. 　　Sebenarnya mereka berdua bukanlah orang yang jenius, hanya saja kebodohan Putra Mahkota benar-benar luar biasa... 　　“Lalu? Apa dia patah kaki?” 　　Yu Jin tertawa: “Lompat dari lantai dua tak sampai patah kaki, tapi kebetulan mendarat tepat di depan pasukan Wucheng Bingmasi. Akhirnya dia dibawa petugas keamanan. Dengan begini, mustahil baginya menutupi aib. Toko Zhenbao yang menjadi tempat persembunyiannya bersama pelayan istana pun pasti akan kena imbas.” 　　Jiang Si terdiam sejenak: “Petugas datang tepat waktu, apa ini ada hubungannya dengan Pangeran Qi?” 　　Yu Jin mencemooh: “Tentu tak lepas dari 'bantuan' kakak baikku itu.” 　　“Ini bukan bantuan, tapi upaya licik untuk menyingkirkan batu sandungan bernama Putra Mahkota.” Nama Pangeran Qi membuat suasana hati Jiang Si semakin buruk. 　　“Dalam kehidupan sebelumnya, dia tewas langsung di tangan Permaisuri Qi. Mungkin karena itu, dia paling waspada terhadap pasangan Pangeran Qi.” 　　“Bukan karena Permaisuri Qi sangat kuat, tapi karena pernah mengalami kekalahan telak sebelumnya, secara psikologis jadi lebih berhati-hati.” 　　“Jika Putra Mahkota dicopot, apakah Pangeran Qi akan naik tahta...” gumam Jiang Si. 　　“Dalam kehidupan sebelumnya, saat A Jin dan aku kembali ke ibu kota dari Perbatasan Selatan, persaingan antar pangeran untuk posisi calon penguasa sedang memanas. Siapa yang akhirnya menang, aku tidak sempat melihat hasilnya.” 　　Yu Jin berkata santai: “Jika Putra Mahkota dicopot lagi, Pangeran Jin akan dikirim ke makam kekaisaran. Meski Qin Wang sebagai anak sulung cuma anak angkat, yang tersisa tinggal Pangeran Qi. Dari segi usia, reputasi, garis keturunan ibu, Lao Si punya keunggulan. Bukan tidak mungkin dia naik tahta...” 　　Wajah Jiang Si langsung berubah muram. 　　Yu Jin menyadarinya, menggenggam tangan perempuan itu: “Ada apa?” 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya: “Siapa pun pangeran lain yang naik tahta tidak masalah, hanya Pangeran Qi, aku tidak ingin melihatnya berkuasa.” 　　Yu Jin tersenyum tipis: “Kalau begitu, nanti kita cukup tarik tali kekangnya.” 　　Jiang Si terkejut: “A Jin, kau tidak mau tanya alasannya?” 　　“Tidak perlu alasan. Keinginanmu sudah cukup. Lagipula, perlukah alasan untuk membenci seseorang? Kadang memang sekadar tidak suka, meminta alasan malah merepotkan.” 　　Jiang Si pun tak bisa menahan tawa. 　　“Ingat waktu itu Permaisuri Qi bertanya mengapa saya bersikap dingin padanya, memaksa saya memberi jawaban, begitulah jawaban saya.” 　　“Peribahasa 'bukan satu keluarga takkan masuk satu pintu' memang benar, karena itu Permaisuri Qi dan Pangeran Qi bisa menjadi pasangan suami istri, sedangkan pria yang saya sukai adalah A Jin.” 　　“Apa kau merasa ucapan saya salah?” Yu Jin bingung melihat Jiang Si tertawa. 　　Jiang Si berhenti tertawa, menatap Yu Jin dengan penuh kelembutan: “Tidak, menurutku itu sangat benar.” 　　Seketika hati Yu Jin berbunga-bunga. 　　Sedangkan suasana hati Putra Mahkota saat ini sudah tak bisa lagi diungkapkan dengan kata 'buruk'. 　　Dia, calon penguasa negara, Putra Mahkota yang mulia, malah dikurung di penjara! 　　“Tuanku, bagaimana ini?” Kasim yang pingsan karena jatuh menempel wajah akhirnya sadar, memeluk Putra Mahkota sambil menangis. 　　Putra Mahkota menendang kasim itu: “Minggir, kau ini sampah!” 　　“Huhu, semua salah hamba, semua salah hamba!” Kasim itu mulai menampar pipinya sendiri. 　　Derap langkah terdengar, pintu penjara terbuka, petugas berkata dengan wajah masam: “Keluar, mau diinterogasi!” 585.BAB 584 Pembebasan 　　BAB 584 Pembebasan 　　Peristiwa terjadi di Jalan Barat, yang menangkap Putra Mahkota adalah petugas Wucheng Bingmasi, sehingga Putra Mahkota dikurung di penjara dalam Wucheng Bingmasi. 　　Putra Mahkota dan kasimnya dibawa keluar sel, bertemu dengan Pejabat Pengawas Patroli Barat. 　　Wucheng Bingmasi bertugas menangkap orang, sedangkan Wucheng Yushi bertugas interogasi sesuai pembagian tugas. 　　"Kalian adalah penjahat yang melakukan perbuatan mesum di Toko Zhenbao hingga menyebabkan tiga korban jiwa dan belasan luka-luka dalam kerusuhan warga?" Pejabat Pengawas Kota Barat yang berwajah lonjong ini sedang pusing tujuh keliling, merasa kasus ini sulit ditangani. 　　Perbuatan mesum kedua orang ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran moral, namun justru memicu korban jiwa sehingga menjadi kasus ambigu. 　　Untungnya masih ada Kementerian Hukum yang bisa menampung, setelah pemeriksaan awal langsung kirim ke sana saja. 　　Bagi pejabat pengawas lima kota, memang wajib hukumnya mengirim kasus rumit ke Kementerian Hukum setelah investigasi pendahuluan. 　　"Berani-beraninya kau menyebut tuanku kami sebagai penjahat!" bentak pelayan istana itu dengan amarah. 　　Suara melengking khas kasim membuat Pejabat Pengawas Kota Barat tertegun, segera menatap lelaki berbicara itu. Melihat wajah pucat tanpa janggut, hatinya langsung ciut. 　　Celaka, ini sepertinya seorang kasim! 　　Di seluruh Dinasti Zhou, hanya keluarga kerajaan yang menggunakan kasim - tepatnya penghuni istana atau keluarga pangeran... 　　Jika yang dihadapinya ini seorang pangeran, sudah pasti tak boleh disakiti. Jika dari istana - Pejabat Pengawas Kota Barat menggigil kedinginan. 　　Itu bukan lagi sekadar persoalan "tak boleh disakiti". 　　"Segera sumbat mulut mereka!" Pejabat Pengawas Kota Barat tak peduli lagi menginterogasi. Dengan sigap ia mencegah pengungkapan identitas, sambil mengutuk habis-habisan komandan pasukan Kota Barat dalam hati. 　　Dasar tolol! Mau bunuh dirikah? Menangkap orang tanpa investigasi menyeluruh! 　　Syukurlah ada Kementerian Hukum! 　　Sebelum Putra Mahkota sempat bereaksi, tubuhnya sudah diikat rapi (terutama mulut yang disumbat) lalu dikirim ke Kementerian Hukum. 　　“Kenapa mulutnya masih ditutup?” Petugas Kementerian Hukum bertanya heran. 　　Petugas pengawal menunjuk kepala: “Ada masalah di kepala kedua orang ini. Kalau mulutnya tidak ditutup, mereka suka ngomong sembarangan...” 　　Petugas Kementerian Hukum baru mengerti, sambil membuka catatan kasus berkata: “Ternyata memang bermasalah otaknya. Kenapa tidak cari tempat sepi saja untuk berbuat mesum, malah memilih Toko Zhenbao yang ramai-” 　　Di tengah kalimat, petugas Kementerian Hukum tiba-tiba merasa ada yang janggal. 　　Orang yang bisa berbuat mesum di Toko Zhenbao, seharusnya punya uang kan? 　　Kalau punya uang, itu namanya bukan gila. Para tuan muda di ibukota demi sensasi berani melakukan apa saja. 　　Berdasarkan pengalaman, mungkin kedua orang ini punya status penting- 　　“Lepaskan sumbat mulut mereka.” 　　Putra Mahkota akhirnya bisa bernapas lega. 　　“Kalian ini siapa?” 　　Kalau benar keturunan keluarga terpandang, bisa dijadikan kesempatan mengeruk uang. Pasti mereka tidak mau aib ini diketahui senior keluarga. 　　Soal korban jiwa akibat kerumunan di Toko Zhenbao, mudah saja: suruh mereka membayar ganti rugi besar. 　　Tidak bisa bayar? Terpaksa minta keluarga tebus dengan uang. 　　Petugas Kementerian Hukum sudah menghitung semuanya. 　　Kalau kasus pembunuhan tentu tidak bisa diatur begini, tapi korban hari ini akibat kecelakaan, masih banyak celah. 　　Menghadapi pertanyaan ini, Putra Mahkota justru kebingungan menjawab. 　　“Sebelumnya, dua kali dia menyatakan statusnya tapi mulutnya ditutup. Bagaimana kalau kali ini mulutnya ditutup lagi?” 　　“Pertama kali mulut ditutup lalu dikirim ke kantor komando pasukan, kedua kali mulut ditutup dikirim ke Kementerian Hukum. Kalau mulut ditutup lagi, apa nanti harus menghadap Ayah Kaisar?” 　　Begitu dipikirkan, pandangan Putra Mahkota langsung gelap. 　　“Kenapa diam? Kalian ini siapa sebenarnya, cepat katakan!” 　　Putra Mahkota panik ditanya, buru-buru menoleh ke pelayan istana, lalu menyambar dan menarik celana pelayan itu. 　　Pelayan istana terpaku, pejabat Kementerian Hukum juga terpaku. 　　Melihat bagian bawah pelayan yang kosong, pejabat Kementerian Hukum tersentak sadar, wajahnya langsung berubah pucat. 　　Putra Mahkota lega sekali: “Lihat kan? Dia pelayan istana!” 　　“Paduka adalah——” 　　“Saya Putra Mahkota.” 　　Pejabat Kementerian Hukum langsung terjatuh. 　　Putra Mahkota senang dalam hati. 　　Ini percaya? 　　“Cepat bebaskan hamba! Hamba akan memaafkan kejahatanmu yang tak sopan ini——” 　　Putra Mahkota belum selesai bicara, pejabat Kementerian Hukum menutupi wajahnya dan lari terbirit-birit. 　　Putra Mahkota tertegun, melihat ke pelayan: “Dia mau kemana?” 　　Pelayan itu wajah pucat seperti mau pingsan: “Apa dia mau lapor ke atasan?” 　　Pelayan yang dianggap sangat bodoh oleh Putra Mahkota akhirnya tebakan tepat sekali. 　　Wakil Menteri Kementerian Hukum yang mendengar laporan bawahannya suaranya berubah: “Orang yang ditangkap mengaku sebagai Putra Mahkota?” 　　Bawahan mengangguk keras: “Hamba sudah konfirmasi, orang satunya memang pelayan istana yang dikebiri.” 　　Wakil Menteri Hukum pertama kali ingin melarikan diri, namun mengingat kecelakaan injak-injakkan di Toko Zhenbao yang menyebabkan korban jiwa, jika yang ditangkap benar-benar Putra Mahkota, akhirnya pasti tidak bisa ditutupi. Jika melarikan diri, dia akan dimintai pertanggungjawaban kemudian. Akhirnya dia mengurungkan niat kabur dan meremas kumisnya karena cemas. 　　"Paduka, apa yang harus kita lakukan?" 　　"Sudahlah, lebih baik kita laporkan dulu ke Menteri Hukum." 　　Menteri Hukum sedikit lebih tenang dibanding wakilnya. Dengan mengeraskan hati, dia mendekat dan melihat sekilas, langsung merinding. 　　Benar-benar Putra Mahkota! 　　Putra Mahkota langsung melihat Menteri Hukum dan berteriak: "Menteri Gao, cepat bebaskan saya!" 　　Menteri Hukum tidak tahu bagaimana dia bisa berjalan mendekati Putra Mahkota: "Hamba yang bodoh menghadap Paduka Putra Mahkota." 　　Putra Mahkota lega. 　　Untungnya Menteri Hukum mengenalinya! 　　"Tak perlu formalitas, cepat suruh orang-orang ini melepaskan hamba. Hari ini hamba sudah terlambat kembali ke istana." 　　Menteri Hukum sedikit membungkuk: "Paduka telah menderita, hamba segera mengantar Paduka keluar." 　　Hati Putra Mahkota akhirnya tenang. 　　Belakangan ini waktu pulangnya dari kantor Kementerian Keuangan ke ibu kota memang sekitar ini. Jika sekarang kembali, tidak akan ada yang tahu. 　　Putra Mahkota keluar dari kantor Kementerian Hukum, langsung menuju kantor Kementerian Keuangan. Dia membawa pengawal bayangan yang dititipkan di sana dan buru-buru kabur kembali ke Istana Kekaisaran. 　　Yang tidak diketahui Putra Mahkota: baru saja dia meninggalkan kantor Kementerian Hukum, Menteri Hukum langsung menghadap Kaisar Jingming. 　　Sudah sampai ke tahap ini, Menteri Hukum benar-benar tak mampu menutupi ulah Putra Mahkota. Melapor lebih awal kepada Kaisar adalah tindakan bijak. 　　Kaisar Jingming baru saja menanyakan kinerja Putra Mahkota belakangan ini. Ia sama sekali tidak percaya dengan pujian para bawahan, tapi setidaknya lega Putra Mahkota mau mengamati urusan pemerintahan di kantor kabupaten. 　　Mau bagaimana lagi? Satu-satunya anak lelaki sahnya memang biasa-biasa saja. Tidak mungkin dimasukkan kembali ke perut dan dilahirkan ulang. 　　Secara teori, pendidikan Putra Mahkota tidak pernah diabaikan. Guru-gurunya adalah cendekiawan terkemuka. Mengapa pertumbuhannya tidak maksimal? 　　Kaisar Jingming semakin bingung, mulai meragukan apakah standarnya terlalu tinggi. 　　Sudahlah. Asalkan Putra Mahkota bisa hidup jujur, menjadi penguasa yang mempertahankan warisan masih mungkin. 　　Baru saja menghibur diri, kelopak mata Kaisar Jingming tiba-tiba berkedut. 　　Wajah Kaisar Jingming yang awalnya tenang langsung berubah. Hanya satu pikiran: Celaka! Ada ulah aneh lagi. Kali ini siapa pelakunya? 　　Sampai jumpa besok. 586.BAB 585 Pukul Hingga Pingsan 　　BAB 585 Pukul Hingga Pingsan 　　Pan Hai masuk: "Kaisar, Menteri Hukum memohon audiensi." 　　Mendengar itu adalah Menteri Hukum, Kaisar Jingming langsung lega. 　　Permohonan audiensi Menteri Hukum berarti masalah tidak terlalu serius. Setidaknya anak-anak brengseknya tidak terkait dengan Kementerian Hukum, juga tidak ada masalah permintaan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum atau Keuangan. 　　Saat sidang pagi tadi, dua menteri dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Keuangan hampir berkelahi karena masalah uang. 　　"Bayangkan situasinya," Kaisar Jingming langsung pusing. 　　Menjadi kaisar itu tidaklah mudah baginya. 　　"Panggil Menteri Gao masuk," kata Kaisar Jingming dengan tenang. 　　Kedutan di kelopak mata pasti pertanda buruk, tapi dia rasa ini bukan masalah besar. 　　Musim gugur hampir tiba, sesuai tradisi saatnya melakukan eksekusi, namun Dinasti Zhou selalu sangat hati-hati dalam hukuman mati yang akhirnya memerlukan persetujuan akhir sang kaisar. 　　Mungkin ada kasus rumit yang sulit diputuskan? 　　Saat Kaisar Jingming sedang merenung, Menteri Hukum pun masuk. 　　"Ada urusan apa Yang Mulia Gao datang ke istana?" tanya Kaisar Jingming perlahan. 　　Menteri Hukum membungkuk dalam-dalam: "Paduka, hamba yang bodoh ini bersalah!" 　　Kaisar Jingming langsung duduk tegak: "Yang Mulia Gao, bicaralah baik-baik." 　　Setiap kali langsung mengaku bersalah, mau menakuti siapa? 　　Menteri Hukum melirik cepat sang kaisar, melihat ekspresinya yang tenang, sedikit lega. 　　Tapi raut wajahnya tetap tegang. 　　"Hari ini Toko Zhenbao ramai dikerumuni warga karena ada pasangan mesum, akibatnya terjadi kepadatan hingga banyak orang terjatuh dari tangga. 3 orang tewas, belasan orang terluka..." 　　Wajah Kaisar Jingming memerah: "Apa? Di mana pelakunya? Bagaimana hukuman mereka?" 　　Meskipun urusan perselingkuhan selalu ada sepanjang zaman, tapi yang sampai menimbulkan korban jiwa seperti ini sangat langka. 　　"Apakah kedua orang itu bermasalah di otak, sampai berani melakukan hal mesum di Toko Zhenbao?!" 　　Meski belum pernah mengunjungi Toko Zhenbao, dari namanya jelas ini toko yang menjual barang-barang antik dan permata. 　　Apakah mereka sengaja ingin ketahuan? 　　Menteri Hukum terdiam. 　　"Mengapa Gao Aiqing tidak menjawab?" Diamnya Menteri Hukum tiba-tiba menimbulkan firasat buruk pada Kaisar Jingming. 　　Menteri Hukum menarik napas dalam-dalam dan mengeraskan hati: "Paduka, dua orang yang berbuat mesum di Toko Zhenbao... adalah Putra Mahkota dan pelayan istananya..." 　　Kepala Kaisar Jingming mendengung, tangannya menyenggol cangkir teh di sampingnya. 　　Cangkir jatuh ke ubin emas yang mengilap, hancur berkeping-keping. 　　"Gao Aiqing, ulangi sekali lagi! Siapa identitas kedua orang itu?" 　　Menteri Hukum menatap Kaisar Jingming dalam-dalam sebelum menundukkan kepala. 　　Paduka benar-benar suka menipu diri sendiri, bukankah ini sudah jelas? 　　Namun perintah Kaisar tak boleh ditolak. Menteri Hukum menghela napas: "Putra Mahkota dan--" 　　"Cukup!" bentak Kaisar Jingming sambil menutup mata. 　　Ia khawatir akan membantai Putra Mahkota jika terus berbicara. 　　Ruang studi kekaisaran diselimuti keheningan yang mencekam. 　　Usia Menteri Hukum yang tak lagi muda membuat tulang-tulangnya terasa remuk. 　　Menjadi bawahan dengan calon penguasa seperti ini, sungguh melelahkan. 　　"Namun—sambil melirik Kaisar Jingming yang berdiam diri dengan wajah pucat pasi, Menteri Hukum merasa bisa bertahan sedikit lebih lama." 　　"Ah, punya anak dan penerus seperti ini, Kaisar pasti lebih sulit." 　　Tak diketahui berapa lama, akhirnya Kaisar Jingming bersuara: "Putra Mahkota di mana?" 　　"Putra Mahkota... seharusnya sudah kembali ke istana," jawab Menteri Hukum dengan ragu. 　　Kaisar Jingming segera memerintahkan Pan Hai: "Suruh si Putra Mahkota itu datang ke sini sekarang!" 　　Putra Mahkota menyelinap kembali ke Istana Timur, menghela napas lega. 　　Akhirnya kembali dengan selamat meski sempat genting. 　　Baru saja meneguk beberapa teguk teh, seorang pelayan istana masuk memberitahu sang Kaisar memanggilnya. 　　Dengan jantung berdebar, Putra Mahkota pergi ke Ruang Studi Kekaisaran. Begitu melihat wajah muram Kaisar Jingming, lututnya langsung gemetar. 　　"Anak menghadap Ayah Kaisar. Ada urusan apa Ayah memanggil anak?" 　　"Kau hari ini pergi ke mana?" 　　Jantung Putra Mahkota berdegup kencang. Menahan dorongan untuk menangis dan mengaku, ia memaksakan diri: "Anak pergi ke Kementerian Keuangan untuk mempelajari administrasi..." 　　"Lalu?" 　　"Lalu?" Putra Mahkota masih bersikukuh: "Lalu anak langsung pulang ke istana—" 　　Kaisar Jingming menyambar pemberat kertas giok putih di meja dan melemparkannya. 　　Putra Mahkota buru-buru menghindar, namun pemberat itu tepat menghantam dahinya. 　　Badannya limbung. Setelah melirik Kaisar Jingming, Putra Mahkota pun roboh. 　　Kaisar Jingming hampir hilang akal. 　　Meski ingin memukul mati si brengsek ini, tentu tak mungkin benar-benar membunuhnya. Sebenarnya lemparan pemberat itu sengaja diarahkan ke bahu. 　　Sungguh tak disangka Putra Mahkota menghindar, malah terkena! 　　Pan Hai melirik Putra Mahkota yang pingsan di lantai, berkata dengan suara gemetar: "Kaisar——" 　　"Panggil tabib istana!" Menyebabkan Putra Mahkota kepala pecah berdarah, Kaisar Jingming hanya bisa memanggil tabib. 　　Semua tabib yang sedang bertugas bergegas datang. 　　Tabib sedang memeriksa Putra Mahkota di dalam, sementara Kaisar Jingming berjalan mondar-mandir di luar dengan tangan terkepal di belakang. 　　Permaisuri yang mendengar kabar buruk itu bertanya pelan pada Permaisuri Putra Mahkota yang lebih dulu tiba: "Sebenarnya apa yang terjadi?" 　　Permaisuri Putra Mahkota menggeleng: "Menantu tidak tahu." 　　Putra Mahkota masih sehat saat meninggalkan Istana Timur, tiba-tiba jadi begini. Pasti karena perbuatan terkutuknya lagi. 　　Permaisuri Putra Mahkota sudah mulai menerima keadaan ini dengan pasrah. 　　Permaisuri menghampiri Kaisar Jingming: "Kaisar, bagaimana kondisi Putra Mahkota?" 　　Kaisar berhenti melangkah, melirik ke dalam ruangan lalu berkata dingin: "Sepertinya belum mati." 　　Meski begitu, hatinya dipenuhi kebingungan. 　　Pemberat kertas giok itu sangat keras, darah menggenangi ubin emas. Bagaimana jika Putra Mahkota benar-benar tewas? 　　Sedih, marah, menyesal... Kaisar Jingming merasa semua emosi terlampiaskan dalam waktu singkat. 　　Kemudian muncul rasa lelah tak terkatakan. 　　Anak brengsek seperti ini, kalau mati pun sudah; kalau hidup, harus terus dibuat kesal tanpa ujung. 　　"Mengapa Putra Mahkota——" 　　"Dilempar oleh saya." Menghadapi Permaisuri, Kaisar Jingming sudah tak punya tenaga untuk berbohong. 　　Meskipun kantor kabupaten akan menyembunyikan perbuatan Putra Mahkota hari ini, tapi sekalipun bisa menipu seluruh rakyat, dia sendiri yang tahu. 　　Calon penguasa seperti ini, benarkah bisa mempertahankan negara warisan leluhur? 　　Ini pertama kalinya Kaisar Jingming merenungkan masalah ini secara mendalam. 　　Permaisuri terkejut, berbisik: "Kaisar, marah merusak kesehatan, kalau Putra Mahkota bermasalah, cukup dididik dengan baik——" 　　"Hari ini Putra Mahkota berbuat mesum dengan pelayan istana." Kaisar Jingming memotong nasihat Permaisuri. 　　Permaisuri: "……" 　　"Di luar istana." 　　Permaisuri: "……" 　　"Dan menarik kerumunan warga yang menonton." 　　Permaisuri: "……" 　　"Kerumunan warga menyebabkan insiden terinjak-injak, puluhan korban jiwa." 　　Permaisuri menahan dahi. 　　Sejujurnya, Kaisar belum menghajar Putra Mahkota sampai mati di tempat, itu sudah menunjukkan kasih sayang ayah! 　　Tiba-tiba seorang tabib istana keluar: "Kaisar, Paduka sudah siuman." 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri saling pandang, lalu masuk bersama. 　　Mendengar ini, Permaisuri Putra Mahkota menggigit bibirnya kuat-kuat, diam-diam mengikuti. 　　Di ranjang, kepala Putra Mahkota dibalut perban, matanya kosong. 　　Kaisar Jingming mendekati Putra Mahkota, melihatnya tak bereaksi, mendengus keras. 　　Putra Mahkota berkedip: "Kau siapa?" 587. BAB 586 Hilang Ingatan 　　BAB 586 Hilang Ingatan 　　Begitu Putra Mahkota bicara, semua orang di ruangan tertegun. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis memandangi Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota melirik ke sekeliling: "Ini tempat apa?" 　　"Kau tidak mengenal aku?" Hati Kaisar Jingming berat, menanyakan hal ini. 　　"Putra Mahkota menggeleng bingung: "Tidak kenal, kakek ini siapa ya?"" 　　Kaisar Jingming menunjuk Permaisuri di sampingnya: "Kalau dia kau kenal tidak?"" 　　Putra Mahkota berkedip, ragu-ragu bertanya: "Istri Paduka kah?"" 　　"Tabib, keadaan seperti apa ini?" Kaisar Jingming bertanya dengan muka masam. 　　Beberapa tabib istana saling pandang, salah seorang menjawab hati-hati: "Baginda mengalami benturan keras di kepala, mungkin ada darah beku di otak, sehingga sementara kehilangan ingatan..."" 　　"Hilang ingatan?" Kaisar Jingming segera menatap Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota tampak polos: "Paduka? Mengapa saya disebut Paduka?"" 　　Kaisar Jingming pergi tanpa sepatah kata. 　　Melihat hal ini, Permaisuri berpesan pada Permaisuri Putra Mahkota untuk merawat sang putra, lalu ikut keluar. 　　Di luar, Kaisar Jingming bertanya pada tabib: "Kehilangan ingatan seperti ini, kapan bisa pulih?"" 　　"Ini--"" 　　"Jujur saja!" Kaisar sudah kehilangan kesabaran karena kejadian ini. 　　"Hamba laporkan, otak manusia itu sangat kompleks. Waktu pemulihan Baginda sulit dipastikan. Jika lancar mungkin 2-3 hari, tapi bisa juga permanen..." Tabib tak berani melanjutkan. 　　Kalau Putra Mahkota tak kunjung ingat, harus bagaimana? 　　Kaisar Jingming juga memikirkan hal ini. 　　Melihat kondisi Putra Mahkota tadi, sepertinya tidak sampai bodoh, tapi entah masih bisa baca tulis tidak... 　　"Paduka, jangan panik. Tunggu dua hari mungkin Putra Mahkota akan pulih." Permaisuri menghibur. 　　Kaisar Jingming menenangkan diri, lalu masuk kembali. 　　Putra Mahkota melihat Kaisar Jingming masuk, matanya memancarkan rasa ingin tahu: "Mereka bilang Paduka adalah Kaisar, dan saya Putra Mahkota, benarkah ini?" 　　Kaisar Jingming mengangguk halus, di hatinya tersimpan kekesalan yang mendalam. 　　Amarah yang dipicu oleh binatang ini belum sempat diluapkan, eh si binatang malah kehilangan ingatan. 　　Bagaimana bisa menyalahkan orang yang sama sekali kehilangan ingatan? 　　"Menurutmu bagaimana?" tanya Kaisar Jingming. 　　Putra Mahkota membuka mulut: "Saya... saya rasa baik-baik saja, hanya saja sama sekali tidak bisa mengingat..." 　　"Kepala masih sakit?" 　　Putra Mahkota mengangguk polos: "Masih sedikit sakit." 　　Memandang Putra Mahkota yang kepalanya dibalut perban, Kaisar Jingming menghela napas, lalu mengambil sebuah buku dan bertanya: "Kau kenal huruf-huruf ini?" 　　Putra Mahkota segera membacanya sesuai tulisan. 　　Kaisar Jingming mengajukan beberapa pertanyaan akademis, semuanya bisa dijawab Putra Mahkota. 　　Kaisar Jingming sedikit lega. 　　Tampaknya hanya ingatan tentang orang-orang yang hilang, aspek lain tidak terpengaruh. 　　"Permaisuri Putra Mahkota, rawatlah Putra Mahkota dengan baik. Laporkan segera jika ada perkembangan." 　　Permaisuri Putra Mahkota menjawab dengan tata krama yang sempurna. 　　Kaisar Jingming melirik Putra Mahkota, memberi perintah: "Antarkan Putra Mahkota kembali ke Istana Timur." 　　Setelah Putra Mahkota pergi, Kaisar Jingming menepuk dahinya sambil bergumam: "Benar-benar masalah datang sambung-menyambung, tahun yang sial ini--" 　　Permaisuri yang mendengar menjadi iba, menasihati: "Paduka harus legawa, setidaknya Putra Mahkota tidak lupa ilmu pengetahuan. Meski sementara tidak ingat orang juga tidak masalah, perlahan-lahan bisa dikenalkan lagi--" 　　"Apa katamu?" tiba-tiba Kaisar Jingming bertanya. 　　Permaisuri ditanya sampai tertegun, ragu-ragu menjawab: "Aku bilang Putra Mahkota tak ingat orang tak apa, perlahan-lahan dikenali saja..." 　　Kaisar Jingming menepuk tangan: "Bagus! Orang bisa perlahan-lahan dikenali, prinsip hidup juga bisa dipelajari ulang!" 　　Sampai di sini, Kaisar Jingming malah terlihat agak bersemangat. 　　Sebelumnya dia masih khawatir Putra Mahkota yang sudah terbentuk karakternya tidak mungkin dikembalikan ke kandungan ibu, sekarang ternyata ada kemungkinan! 　　Jika dia memerintahkan cendekiawan terhormat untuk mendidik Putra Mahkota lagi, apakah Putra Mahkota bisa berubah? 　　Tidak perlu sampai menjadi junzi sempurna, setara orang biasa pun sudah cukup. 　　Membayangkan Putra Mahkota yang kabur ke toko barang antik luar istana dan main serong dengan pelayan istana, Kaisar Jingming langsung lelah. Tapi amnesia Putra Mahkota memberinya secercah harapan. 　　Asalkan Putra Mahkota bisa belajar baik, itu lebih penting dari segalanya. 　　Permaisuri mengerti maksud Kaisar Jingming, tiba-tiba merasa kasihan pada penguasa negara ini: Kaisar sudah sampai di titik ini karena Putra Mahkota, sampai-sampai anaknya amnesia malah dianggap keberuntungan... 　　Pelayan istana yang main serong dengan Putra Mahkota diam-diam dihukum mati tidak perlu disebut lagi, hukuman untuk Putra Mahkota ditunda karena amnesianya. 　　Kedamaian di istana membuat Pangeran Qi curiga, berkata pada Permaisuri Qi: "Ada yang aneh dalam hal ini." 　　"Maksudmu?" 　　"Putra Mahkota mengincar kakak ipar Lao Qi. Hari ini orangku jelas melihat Nyonya Jiang masuk Toko Zhenbao, tapi yang ketahuan malah Putra Mahkota dengan pelayan istana... Aku curiga Lao Qi ikut campur..." 　　“Saat ulang tahun Ibu Suri Xian, Jiang Si secara blak-blakan mengatakan bahwa melihat beliau membuatnya mual. Permaisuri Qi membenci setengah mati Jiang Si, berkata: "Ini tidak aneh, dari pengamatanku pasangan Lao Qi memang bukan tipe yang mudah diajak kerjasama. Pangeran harus waspada." 　　Pangeran Qi menyeringai dingin: "Lao Qi baru sekali keluar istana langsung menciptakan reputasi besar, tentu tidak sesembrono penampilannya. Lihat saja nasib orang yang benar-benar impulsif - contohnya Lao Wu." 　　Matanya masih awas, otaknya pun masih tajam. Tentu saja dia tidak akan tertipu oleh topeng Lao Qi. 　　Di kalangan keluarga kerajaan, orang yang benar-benar ceroboh tidak akan bisa bertahan lama. Lihat saja Putri Rongyang yang jaya puluhan tahun - akhirnya tetap mati mengenaskan. 　　"Tapi kita tak perlu buru-buru. Reputasi Lao Qi di rakyat sekalipun besar, peluangnya tetap tipis. Urutan kelahiran saja sudah membuatnya harus mengantri. Yang mengkhawatirkanku justru situasi di istana." 　　"Istana?" 　　Pangeran Qi mengangguk halus: "Putra Mahkota ditahan Kementerian Hukum. Kabar ini pasti bocor. Secara logika Ayah Kaisar pasti sudah tahu, tapi kenapa belum ada hukuman yang diumumkan?" 　　Permaisuri Qi menggigit bibir: "Ayah Kaisar yang mengangkat kembali Putra Mahkota, pasti ingin menjaga reputasinya." 　　"Meski begitu, pasti akan mencari alasan lain... Bagaimana kalau kau masuk istana, tanyakan informasi pada Ibu Selir?" 　　"Baik, aku akan segera ke istana." 　　Pangeran Qi menggeleng: "Lupakan. Lebih baik kita pantau dulu. Urusan Toko Zhenbao ini tidak boleh sampai tercium oleh Ayah Kaisar bahwa aku terlibat." 　　"Urusan hari ini tidak akan menggoyahkan Putra Mahkota, masih ada masalah Kabupaten Qianhe yang menunggu." 　　Dia tidak terburu-buru. 　　Sekali, dua kali, tiga kali, selama Putra Mahkota tetap menjadi lumpur busuk yang tak bisa dibentuk, kesabaran Ayah Kaisar pada akhirnya akan habis suatu hari nanti. 　　"Untungnya sebentar lagi Festival Pertengahan Musim Gugur, kita bisa menyelidiki saat pesta reuni." Gumam Pangeran Qi. 　　Yu Jin juga menyimpan keraguan tentang reaksi Istana. 　　Apakah Kaisar sudah mencapai pencerahan seperti Buddha, hingga bisa bersabar seperti ini? 　　Sudahlah, tunggu saja pesta istana Festival Pertengahan Musim Gugur nanti. 　　Dua hari lagi adalah pesta istana Festival Pertengahan Musim Gugur. 　　Saat Putra Mahkota muncul di hadapan para pangeran dengan kepala terbungkus perban, kerumunan terkejut dan bertanya: "Apa yang terjadi pada Putra Mahkota?" 　　Putra Mahkota tersenyum lembut pada saudara-saudaranya seperti rusa hutan yang polos: "Tidak sengaja terbentur kepala." 　　"Bagaimana bisa sampai terbentur? Putra Mahkota harus lebih hati-hati." Para pangeran menghibur dengan ketidakikhlasan. 　　Putra Mahkota tersenyum: "Aku tidak ingat bagaimana terjadinya." 588.BAB 587 Perubahan 　　BAB 587 Perubahan 　　Saat Putra Mahkota mengucapkan kalimat itu, suasana tiba-tiba hening. 　　Tidak ingat maksudnya apa? 　　Pangeran Lu yang berwatak panas langsung berseru: "Kakak Kedua pasti bercanda, bagaimana mungkin lupa cara terbentur kepala?" 　　Hehe, jangan-jangan dipukul Ayah Kaisar? 　　Harus diakui, Pangeran Lu telah menebak kebenaran. 　　Pertanyaan Pangeran Lu jelas mewakili isi hati semua orang, kerumunan menatap Putra Mahkota menunggu jawaban. 　　Putra Mahkota menunjukkan ekspresi kesulitan: "Tabib istana mengatakan mungkin ada pembekuan darah di kepala, sehingga sementara memengaruhi ingatan..." 　　Hati kerumunan berdebar: Memengaruhi ingatan——berarti Putra Mahkota kehilangan ingatan? 　　"Kakak Kedua kehilangan ingatan?" Pangeran Lu blak-blakan bertanya. 　　Putra Mahkota membuka mulut, lalu diam. 　　Melihat Putra Mahkota membiarkan hal itu, Pangeran Lu tiba-tiba merasa menyesal. 　　Kehilangan ingatan jadi tidak seru, Lao Wu nanti tidak akan tahu pernah dipukulinya. Bagaimana bisa memamerkan pakaian mewah di malam hari, pukulan sia-sia... 　　Suara berwibawa bergema: "Lao Wu, apa yang kau bicarakan dengan kakak keduamu?" 　　Pesta keluarga Pertengahan Musim Gugur hanya mengundang beberapa pangeran dan permaisuri dari luar istana, sehingga lebih santai. Kaisar Jingming tidak menyuruh pelayan istana mengumumkan kedatangannya, langsung masuk bersama Permaisuri, tepat mendengar Pangeran Lu berteriak tentang Putra Mahkota yang hilang ingatan. 　　Tentang hilangnya ingatan Putra Mahkota, Kaisar Jingming tidak berniat menyembunyikan ketat, tapi juga tak ingin mengumumkan ke seluruh negeri. Mendengar Pangeran Lu membicarakannya sembarangan, tentu tidak senang. 　　Sejak diturunkan jadi pangeran, Pangeran Lu takut melihat Kaisar Jingming, menjawab canggung: "Anak lelaki hanya mengobrol dengan Kakak Kedua." 　　Kaisar Jingming memandangi putra-putranya, lalu duduk di tempat kehormatan bersama Permaisuri. Setelah semua memberi penghormatan, berkata datar: "Hari ini pesta keluarga Pertengahan Musim Gugur, langka kalian semua hadir——" 　　Sampai di sini, Kaisar Jingming berhenti sejenak, teringat Pangeran Jin yang menjaga makam kekaisaran. 　　Hatinya dipenuhi kepahitan. 　　“Total ada delapan putra yang sudah dewasa, kalau dipikir, Lao Qi sejak kecil dibawa keluar dari istana, yang benar-benar sering menemaninya adalah tujuh orang lainnya.” 　　“Kini, Mingyue masih ada, tapi Putra Ketiga sudah tidak mungkin lagi datang menikmati bulan di istana ini.” 　　“Kaisar Jingming merasa sedih, namun kesedihan tetaplah kesedihan. Mengingat ambisi Pangeran Jin dan kesalahan yang diperbuatnya, membebaskan Pangeran Jin dari hukuman dan memanggilnya kembali ke ibu kota adalah hal yang mustahil.” 　　“Beberapa hal begitu terjadi, hanya bisa direnungkan dengan perasaan penyesalan dan kepahitan.” 　　“Pandangan Kaisar Jingming menyapu wajah satu per satu putranya, dalam hati berharap: Semoga mereka tetap tahu diri, jangan sampai mengikuti jejak Putra Ketiga.” 　　“Sorotan mata Kaisar Jingming yang kompleks dan aneh membuat kerumunan gemetar ketakutan.” 　　“‘Mendampingi raja seperti mendampingi harimau’ – pepatah ini meski ditujukan untuk para menteri, bukankah juga berlaku bagi mereka?” 　　“Di keluarga kekaisaran, keinginan untuk memiliki hubungan ayah-anak yang santai seperti keluarga biasa tentu mustahil.” 　　“Suasana sejenak menjadi kaku.” 　　“Permaisuri menyentuh lembut lengan Kaisar Jingming.” 　　“Kaisar Jingming menarik kembali pikirannya, sudut bibirnya kembali mengembang: ‘Langka kalian bisa berkumpul lengkap, ada hal yang ingin kuberitahukan.’” 　　“‘Ayah Kaisar silakan berbicara.’ Serentak mereka menjawab.” 　　“Kaisar Jingming melirik Putra Mahkota: ‘Putra Mahkota kemarin terbentur kepalanya, ingatan masa lalu menjadi kabur. Kalian semua adalah saudara Putra Mahkota, ke depannya harus lebih memahami. Jangan sampai menertawakannya karena sementara lupa masa lalu...’” 　　“Mengingat performa Putra Mahkota dua hari terakhir, perasaan Kaisar Jingming menjadi sangat rumit.” 　　“Anak lelakinya menjadi hilang ingatan karena dipukulnya, seharusnya menyesal, menyalahkan diri, khawatir... Tapi semua emosi itu sama sekali tidak ada padanya.” 　　Memandang dengan dingin performa Putra Mahkota selama dua hari ini, dia justru merasa lega. 　　Putra Mahkota ternyata menjadi lebih matang dari sebelumnya, selain tidak lagi mengobrol dengan dayang kecil di taman. 　　Bicaranya juga lebih sedikit, terlihat lebih tenang. 　　Kaisar Jingming tidak mengharapkan anak ini menjadi luar biasa pintar, asal mencapai level orang biasa saja sudah cukup. 　　Sudah hampir tiga puluh tahun, seharusnya lebih dewasa. 　　Kaisar Jingming menghela napas, memandangi para putranya. 　　Para pangeran pun serentak mengiyakan. 　　Pesta istana Mid-Autumn ini suasananya datar saja, bahkan bisa dibilang membosankan dari awal sampai akhir. Kerumunan yang ingin mencoba minum bersama Putra Mahkota untuk menyelidik, semua ditolak Kaisar dengan alasan luka di kepala sang Putra Mahkota. 　　Begitu pesta berakhir, Kaisar Jingming lega dalam hati: Syukurlah, jamuan keluarga kali ini akhirnya tak ada ulah aneh. 　　Para pangeran langsung bergegas meninggalkan istana. 　　Begitu tiba di kediamannya, Pangeran Lu menghela napas berat. 　　Permaisuri Lu yang sedang gembira hari ini langka sekali menyajikan teh untuk suaminya, sambil menyipitkan mata bertanya: “Mengapa Tuan menghela napas?” 　　Pangeran Lu menaruh cangkir teh dengan keras di meja kayu mahoni, menggeleng: “Menurutmu kenapa Putra Mahkota bisa hilang ingatan?” 　　“Hah?” Permaisuri Lu mengerutkan alis. 　　Justru ini yang membuatnya senang hari ini, apa maksud sang Pangeran? 　　“Putra Mahkota tidak ingat saya pernah memukulnya, gelar bangsawan saya turun sia-sia.” Pangeran Lu bergumam. 　　Permaisuri Lu tertawa geram: “Bukankah ini hal baik?” 　　Pangeran Lu mengedipkan mata: “Bagaimana bisa disebut baik?” 　　Meski berwatak keras dan blak-blakan, Permaisuri Lu tidak kehilangan akal. Sambil memegang cangkir teh, ia mendesah: “Tuan pernah berpikir tidak? Saat Anda memukulnya, dia masih Putra Mahkota yang Dipecat. Kini statusnya dipulihkan, suatu hari nanti akan naik takhta. Masakan tidak ada pembalasan? Kehilangan ingatan ini justru menguntungkan, setidaknya kita lebih aman.” 　　Pangeran Lu mengusap wajahnya, berbisik lirih: “Kau benar...” 　　Di Kediaman Pangeran Qi, suasana hati pasangan kerajaan ini sama sekali tidak menyenangkan. 　　Pangeran Qi sangat menjunjung tinggi tata krama. Atau lebih tepatnya, dia ingin seluruh dunia menganggapnya sebagai sosok yang taat protokol. 　　Citra moral sempurna adalah penilaian yang ingin Pangeran Qi dapatkan dari masyarakat. 　　Di hari istimewa seperti tanggal lima belas bulan delapan, tentu harus beristirahat bersama Permaisuri Qi. 　　“Mengapa Putra Mahkota sampai terbentur kepala?” Permaisuri Qi menyandar sambil menopang dagu, bergumam sendu. 　　Pangeran Qi menyeringai dingin: “Dia membuat skandal di luar istana, mana mungkin Ayah Kaisar tenang-tenang saja? Menurutku pasti dipukul pakai hadiah olehnya. Tapi tak disangka Putra Mahkota sampai hilang ingatan, ini sangat merugikan kita!” 　　“Merugikan?” 　　“Hilang ingat sebenarnya adalah masalah, tapi siapa yang bisa menyangka Putra Mahkota sebelumnya seperti lumpur busuk yang tak bisa dibentuk? Hal ini malah membuat Ayah Kaisar mulai menaruh harapan, merasa bisa membentuk kembali lumpur busuk itu jika diajari ulang.” 　　“Pangeran, lalu apa yang harus kita lakukan?” 　　Pangeran Qi memandang dengan sinis: “Apa lagi yang bisa dilakukan? Kita hanya bisa menunggu sambil memantau perkembangan.” 　　Setelah kejadian di Toko Zhenbao, dia berniat melanjutkan momentum dengan mengungkap masalah Kabupaten Qianhe. Saat itu, dia yakin Ayah Kaisar pasti kecewa pada Putra Mahkota. 　　Tapi Putra Mahkota tiba-tiba hilang ingat. Bagi Ayah Kaisar yang sangat menghargai anak lelaki sah, skandal Kabupaten Qianhe itu juga perbuatan Putra Mahkota di masa lalu, tetap tak bisa menghilangkan harapan kecilnya. 　　Karena itu, saat ini bukan waktu tepat untuk membongkar masalah Kabupaten Qianhe. 　　Prinsip "menggunakan baja terbaik untuk mata pedang" sangat dipahami Pangeran Qi. 　　Di Yuyuan Kediaman Pangeran Yan, Jiang Si dan Yu Jin yang sudah selesai bersuci berbaring berdampingan di ranjang, juga membahas topik serupa. 　　“A Si, menurutmu Putra Mahkota benar-benar hilang ingat atau pura-pura?” 589.BAB 588: Kelainan 　　BAB 588: Kelainan 　　Pertanyaan Yu Jin ini membuat Jiang Si teringat kehidupan sebelumnya. 　　Di kehidupan sebelumnya, Putra Mahkota dicopot kedua kalinya karena berkhianat, tapi detailnya tak ada yang berani membahas. 　　Setelah mereka kembali dari Perbatasan Selatan, kejadian itu sudah berlalu beberapa waktu, semakin sulit untuk mencari informasi. 　　Mereka juga tidak berniat mencari tahu. 　　"Baik dia maupun A Jin saat itu tidak pernah terpikir untuk menjadi pasangan protagonis di istana yang dingin itu. Membahas hal ini hanya akan mendatangkan masalah, jadi tentu saja kami tidak ingin ikut campur." 　　Sebelum Putra Mahkota melakukan pemberontakan, apakah dia pernah kehilangan ingatan? 　　Jiang Si saat itu tidak pernah mendengar orang menyebutkan hal itu. 　　Terhadap Putra Mahkota yang dipecat karena pemberontakan, orang-orang tidak akan membicarakannya secara terbuka. 　　Karena itulah, pertanyaan Yu Jin ini membuatnya tertegun. 　　"Aku tidak bisa menebak." Jiang Si menjawab dengan jujur. 　　Cahaya main-main berkilau di mata Yu Jin saat mendorong bahu Jiang Si: "Coba tebak." 　　"Benar-benar tidak bisa menebak." 　　Melihat Jiang Si tidak mau bekerja sama, Yu Jin hanya bisa tersenyum masam. 　　"Menurutmu bagaimana?" 　　"Menurutku dia berpura-pura." 　　Jiang Si memeluk bantal bordir motif anggrek, menatap Yu Jin: "Apa maksudmu?" 　　Yu Jin menunjuk kepalanya: "Meski hari ini tidak sempat menguji, aku sengaja mengamati lokasi luka di kepala Putra Mahkota. Kurasa itu bekas pukulan pemberat kertas giok putih dari ruang studi kekaisaran milik Ayah Kaisar..." 　　Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Benda apa yang dipakai memukul saja bisa kau tebak?" 　　Wajah Yu Jin menjadi serius: "Istriku jangan meremehkanku, aku tidak asal bicara." 　　Jiang Si masih ragu, tersenyum: "A Jin, apakah Paman Zhen Shicheng tidak memberitahumu bahwa memutuskan kasus harus berdasarkan bukti?" 　　Yu Jin menyeringai: "Panggilan 'Paman Zhen' begitu akrab, apa ada juga 'Kakak Zhen'?" 　　Jiang Si meliriknya dengan kesal: "Jangan bicara sembarangan." 　　Hati Yu Jin terasa asam. 　　Lao Zhen bahkan pernah melamar calon mertua untuk anak lelakinya, memikirkannya saja sudah bikin kesal. 　　Sebuah Lambang Keberuntungan, seharusnya cukup bersinar terang, ngapain mencari istri. 　　Melihat Yu Jin kembali menumpahkan tong cukanya, Jiang Si setengah marah setengah geli: "Sudahlah, jangan bicara omong kosong. Cepat jelaskan bagaimana kau bisa menebak Putra Mahkota terluka oleh pemberat kertas giok putih dari ruang studi kekaisaran Ayah Kaisar." 　　Yu Jin menghela napas: "A Si, karena kau tak punya kesempatan ke ruang studi kekaisaran, kau tak tahu. Sejak lama kuperhatikan, setiap kali Ayah Kaisar mendengar kabar yang tidak menyenangkan, beliau secara refleks akan meraba pemberat kertas giok putih di mejanya. Kurasa, suatu saat ketika amarahnya memuncak, benda itu pasti akan dilempar. Putra Mahkota yang terlibat skandal Toko Zhenbao langsung mengalami luka di kepala. Menurutmu, bagaimana mungkin itu terjadi?" 　　"Dilempar dengan pemberat kertas giok putih dari ruang studi kekaisaran..." Jiang Si mengakui kagum. 　　Yu Jin meliriknya dengan bangga sambil tersenyum: "Makanya, dalam menyelesaikan kasus, selain bukti langsung, diperlukan juga deduksi. Tentu saja deduksi harus berdasar, perlu ketelitian ekstra, kewaspadaan tinggi, kecerdasan luar biasa..." 　　Jiang Si tak tahan lagi memotong omongan narsis yang tak berkesudahan: "Sudah, semua kelebihanmu itu sudah kuketahui. Cepat jelaskan mengapa kau menduga Putra Mahkota hanya berpura-pura!" 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Mana mungkin kebetulan? Baru kena pukul di kepala langsung hilang ingatan?" 　　“Mungkin memang kebetulan? Banyak kabar di masyarakat tentang orang yang ingatannya terganggu karena cedera kepala.” Jiang Si berkata sambil teringat peristiwa reinkarnasinya. 　　Saat dia membuka mata, dirinya telah kembali ke usia lima belas tahun. 　　Padahal di usia lima belas tahun itu, dirinya hanya mengalami sakit biasa. 　　Mungkin karena telah mengalami hal mistis seperti reinkarnasi, Jiang Si justru tidak merasa aneh dengan amnesia Putra Mahkota. 　　Yu Jin bersikeras pada pendapatnya: "A Si, menurutmu bagaimana kondisi seseorang yang kehilangan ingatan?" 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu menjawab: "Kebingungan, ketakutan?" 　　Yu Jin mengangguk: "Benar, setidaknya dalam waktu singkat pasti ada amarah seperti itu. Baik Putra Mahkota maupun rakyat jelata, siapa yang tidak bingung kehilangan ingatan masa lalu? Tapi hari ini aku tidak melihat amarah itu di mata Putra Mahkota. Malah terlihat tenang, dengan santai mengaku kehilangan ingatan." 　　Jiang Si mengangguk setuju: "Pendapatmu masuk akal. Kehilangan ingatan bukan hal baik. Meski tidak berniat menyembunyikan, tak perlu langsung diungkap saat baru bertukar salam di depan banyak orang. Sikapnya lebih mirip—" 　　Keduanya saling bertatapan. 　　Yu Jin menyambung: "Seolah sengaja ingin semua tahu dia kehilangan ingatan. Melindungi diri adalah insting alami. Kehilangan ingatan masa lalu sangat tidak nyaman. Orang lain mengenalmu tapi kau tak tahu apa-apa tentang mereka. Apa bedanya dengan telanjang di depan umum? Orang normal akan berusaha menutupi, mana mungkin malah mengingatkan orang 'lihatlah, aku telanjang'?" 　　Jiang Si sangat setuju dengan analogi itu. 　　"Selain itu, misalnya urusan reinkarnasiku, bahkan dengan orang dekat seperti A Jin pun aku tidak pernah membocorkan." 　　"Coba pikir, jika aku mengalami amnesia, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengamati dengan seksama, memahami lebih banyak tentang masa lalu diriku dan orang lain, berusaha agar orang lain tidak melihat keanehan." 　　"Putra Mahkota yang membuat skandal memalukan di luar istana seharusnya mendapat hukuman berat. Sekarang karena amnesia, Ayah Kaisar terpaksa tidak menindaklanjuti. Lagipula tidak ada gunanya. Menurutku inilah tujuan Putra Mahkota pura-pura amnesia." Di lingkungan istana yang serba formal, Yu Jin tidak sempat berpikir panjang. Kini di tengah keheningan malam, menganalisis hal ini dengan orang terdekatnya, pikirannya semakin jernih. 　　Jiang Si berkomentar penuh kagum, "Jika Putra Mahkota benar-benar pura-pura lupa, benar-benar membuatku tercengang." 　　"Dia tidak terlihat seperti orang yang punya otak seperti itu." 　　Yu Jin tersenyum, "Binatang pun bisa melakukan hal tak terduga saat terancam nyawa. Putra Mahkota kan manusia, pasti ada saat-saatnya mendapat ilham mendadak. Tapi kita harus cari kesempatan untuk menguji dan memastikannya." 　　"Sudah terlanjur bertindak terhadap Putra Mahkota, gaya-ku adalah membuatnya tidak bisa bangkit lagi." 　　"Aku tidak mau membiarkan Putra Mahkota yang pura-pura amnesia ini duduk nyaman di posisinya. Nanti ketika sudah tak tergoyahkan, hanya bisa pasrah melihat brengsek ini berani menyakiti A Si." 　　"Sekarang berani menyakiti kakak A Si, di masa depan pasti akan berani menyakiti A Si. Menurutku ini bahkan tidak perlu dipikirkan lagi." 　　"Harus menyingkirkan Putra Mahkota!" 　　Putra Mahkota yang sedang menjadi bahan perbincangan saudara-saudaranya malam ini beristirahat bersama Permaisuri Putra Mahkota. 　　Hal ini merupakan sesuatu yang langka bagi Istana Timur. 　　Seluruh penghuni Istana Timur tahu bahwa Putra Mahkota tidak terlalu puas dengan Permaisuri Putra Mahkota. Bahkan di hari-hari seperti tanggal satu dan lima belas penanggalan lunar, ia sering mengabaikan Permaisuri dan lebih memilih mengobrol dengan dayang-dayang muda. 　　Putra Mahkota benar-benar berbeda dari sebelumnya —— para pelayan istana yang baru saja dipromosikan bersyukur dalam hati. 　　Pergantian pelayan istana di sisi Putra Mahkota terlalu cepat, membuat orang merinding. Jika Putra Mahkota bisa lebih bijak, mungkin mereka bisa hidup lebih lama. 　　Benarkah Putra Mahkota telah berubah dari sebelumnya? 　　Permaisuri Putra Mahkota yang berbaring di balik tirai sutra berwarna hijau kekuningan membalikkan badan perlahan, menatap Putra Mahkota yang sedang tertidur lelap sambil bertanya dalam diam. 　　Dua hari terakhir ini cara Putra Mahkota berbicara dengannya sangat sopan, mirip seperti masa awal pernikahan mereka sebelum sifat aslinya muncul. 　　Benar, setiap pasangan pengantin memiliki masa bulan madu. Saat baru menikah, Putra Mahkota juga pernah bersikap lembut dan penuh perhatian. 　　Jika Putra Mahkota terus-menerus tidak bisa mengingat masa lalu, mungkin ini hal yang baik... 　　Tiba-tiba Putra Mahkota membuka matanya, beradu pandang dengan Permaisuri. 590. BAB 589 Penyamaran 　　BAB 589 Penyamaran 　　Di dalam ruangan menyala sebuah lentera yang digunakan untuk penerangan malam hari. 　　Di balik tirai sutra yang remang-remang, Permaisuri menghadapi sepasang mata yang tiba-tiba terbuka itu, detak jantungnya seketika berhenti. 　　"Kau belum tidur?" Putra Mahkota bersuara, suaranya terdengar parau dari balik tirai, mengesankan kelugasan yang familiar dibandingkan sikap lembutnya selama dua hari ini. 　　“Perasaan familiar ini membuat detak jantung Permaisuri Putra Mahkota yang sempat terhenti tiba-tiba berdenyut kembali, berdegup kencang beberapa kali.” 　　“Pada detik ini, dia merasa Putra Mahkota yang dulu dikenalnya telah kembali.” 　　Permaisuri Putra Mahkota membuka mulut, suaranya terdengar kering: "Tiba-tiba terbangun... Mengapa Paduka juga terjaga?" 　　“Oh, dua hari ini sering pusing, jadi tidur tidak nyenyak.” Mata Putra Mahkota terlihat dalam di balik tirai sutra yang redup. 　　Permaisuri Putra Mahkota tiba-tiba merasa sesak, dadanya seperti tertindih batu, berat untuk bernapas. 　　Dia pun duduk dan membuka tirai tempat tidur. 　　Sudah pertengahan musim gugur, udara malam mulai terasa sejuk. 　　Putra Mahkota memandang bingung tindakan sang permaisuri: “Mengapa tirai dibuka?” 　　“Paduka tidak terbiasa?” Permaisuri Putra Mahkota menatap dalam ke arah suaminya, ekspresi wajahnya samar dalam kegelapan, “Dulu Paduka suka seperti ini.” 　　“Benarkah?” Putra Mahkota terdiam setelah mendengar perkataan sang permaisuri. 　　Permaisuri Putra Mahkota kembali berbaring, memandang suami yang berada sedepa darinya: “Apakah Paduka sudah merasa lebih baik?” 　　“Sedikit membaik, mari tidur.” Jawab Putra Mahkota. 　　Permaisuri Putra Mahkota mengangguk: “Ya, mari tidur.” 　　Sang permaisuri membalikkan badan, menghadap ke luar tanpa bersuara. 　　Ruangan kembali sunyi. 　　Namun hati Permaisuri Putra Mahkota tidak tenang, sebuah pertanyaan mengusik pikirannya: Benarkah Putra Mahkota kehilangan ingatan? 　　Putra Mahkota membuat marah Ayah Kaisar, kepalanya terkena pemberat kertas giok putih yang dilempar sang ayah. Saat sadar, ingatannya telah hilang. 　　Awalnya Permaisuri tidak terlalu memikirkan hal ini. 　　Cedera kepala bisa menjelaskan kejadian seperti itu. 　　Tapi sebagai pasangan suami istri selama lebih dari sepuluh tahun, meski Putra Mahkota selalu bersikap dingin, Permaisuri tetap memahami beberapa kebiasaan kecilnya. 　　Seperti pertanyaan santai tadi. 　　Jika benar kehilangan ingatan sepenuhnya, seharusnya sikapnya akan asing. Tapi cara bertanya tadi justru khas gaya Putra Mahkota... 　　Ada yang tidak beres. 　　Jangan-jangan amnesia ini palsu? 　　Permaisuri tak ingin berpikir demikian. 　　Bagi Permaisuri, Putra Mahkota yang kehilangan ingatan bukan hanya awal baru baginya, tapi juga untuk diri Permaisuri sendiri. 　　Ia sangat berharap ini adalah suami biasa, bahkan jika biasa-biasa saja. Setidaknya tak perlu khawatir tentang masa depan Chun Ge'er. 　　Tapi jika amnesia ini palsu, semua harapan itu akan sirna. 　　Anjing tak bisa berhenti makan kotoran. Sekalipun Putra Mahkota yang bodoh ini berpura-pura amnesia untuk menghindari hukuman Ayah Kaisar, tetap saja ia tumpukan lumpur busuk. 　　Permaisuri ingin berpaling, tapi tetap diam. 　　Ia tak ingin menguji lagi. 　　Jika amnesia itu nyata, semua bahagia. Jika palsu, setidaknya bisa bertahan lebih lama selama tidak diungkap. 　　Permaisuri menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Tanpa disadari, sudut matanya mulai basah. 　　Putra Mahkota yang tidur di bagian dalam ranjang mendengar napas teratur orang di sebelahnya, ketegangan di hatinya mulai mengendur. 　　Bahaya sekali, hampir saja ketahuan oleh perempuan ini! 　　Hingga saat ini, Putra Mahkota masih merasa seperti berada dalam mimpi. 　　Bagaimana bisa terpikir olehnya metode sempurna berpura-pura kehilangan ingatan ini! 　　Putra Mahkota telah berkali-kali terkagum pada kecerdikan yang muncul setelah sadar. 　　Setelah dipukul pingsan oleh Ayah Kaisar, entah berapa lama kemudian ia tersadar, tapi tak bisa membuka mata. 　　Ia mendengar pertanyaan Ayah Kaisar pada tabib istana, juga kata-kata penuh amarah yang diucapkan, hatinya dipenuhi ketakutan. 　　Apakah Ayah Kaisar akan mencabut lagi gelarnya karena skandal memalukan di luar istana itu? 　　Tidak, tidak, ia sama sekali tak ingin dicabut gelarnya lagi. 　　Ia tak bodoh - seorang Putra Mahkota yang dua kali dicabut gelarnya, mustahil bisa bangkit kembali. 　　Bagaimana ini? 　　Dengan mata yang tak bisa terbuka, ia terus memikirkan masalah ini, lalu mendengar bisikan dua tabib istana. 　　Seorang tabib berbisik: "Luka di kepala Putra Mahkota cukup rumit. Kepala manusia sangat kompleks, bahkan yang terlihat utuh pun bisa bermasalah. Ada pasien yang lupa penyebab luka saat baru sadar..." 　　Tabib lain berbisik: "Ini bukan saatnya membahas itu. Prioritas kita adalah membangunkan Putra Mahkota secepatnya." 　　Perhatian Putra Mahkota tertuju pada perkataan tabib pertama. 　　Lupa penyebab luka? 　　Bagaimana jika dia tidak hanya tidak ingat kenapa terluka, tapi juga lupa apa yang telah dilakukannya sebelumnya? 　　Tidak, bagaimana jika dia lupa semua hal? 　　Ayah Kaisar meski keras padanya, tidak seperti kelembutan pada saudara-saudaranya yang lain, tapi jika dia benar-benar lupa segalanya, pasti tidak akan menghukumnya dengan berat kan? 　　Putra Mahkota semakin berpikir semakin merasa ini ide brilian. Saat membuka mata, dia berubah menjadi sosok yang linglung dan tak bersalah karena amnesia. 　　Sebenarnya berpura-pura tidak sulit, cukup sedikit bicara, sedikit bertindak, dan bersikap jujur. 　　Tak disangka mimpi buruk di malam hari membuatnya terbangun, mendapati Permaisuri Putra Mahkota sedang menatapnya tajam. Panik seketika membuatnya nyaris terbongkar. 　　Putra Mahkota diam-diam mengusap dadanya. 　　Benar-benar membuatnya berkeringat dingin. 　　Tidak boleh, mulai sekarang harus mengurangi kontak dengan wanita ini. 　　Wanita ini tidak hanya membosankan tapi juga licik. Jika ketahuan pura-pura amnesia, bisa-bisa dia akan lapor ke Ayah Kaisar. 　　Saat ini, Putra Mahkota merasa sangat jijik pada Permaisurinya. 　　Di ranjang yang sama, Putra Mahkota berpikir dengan geram: Begitu naik takhta nanti, hal pertama yang akan dilakukannya adalah menceraikan wanita ini dan menikahi wanita lembut dan berbudi sebagai permaisuri. 　　Memikirkan ini, Putra Mahkota kembali merenungkan kejadian di Toko Zhenbao. 　　Bagaimana bisa "bebek yang sudah matang" bisa terbang? 　　Sungguh menyebalkan, tengkuknya tiba-tiba sakit, lalu saat sadar semuanya sudah kacau, sama sekali tak bisa menemukan ujung pangkal. 　　Tapi satu hal yang pasti: Ada yang menjebaknya! 　　Menyelamatkan wanita itu, lalu membuatnya sial, apa ini ulasan Lao Qi? 　　Tapi tidak mungkin, Lao Qi tidak tahu dia menyukai wanita itu. 　　Sudahlah, lebih baik menghukum seribu orang tak bersalah daripada melewatkan satu. Lao Qi sudah merebut Er Niu dan selir cantik jelita, pantas dihukum mati. Nanti setelah naik takhta, akan kubereskan hutangnya di musim gugur. 　　Putra Mahkota benar-benar tak paham siapa dalangnya. Daripada pusing, lebih baik setelah naik tahta dengan mulus, carilah alasan untuk membasmi semua yang mengganggu. 　　Saat ini yang harus dilakukannya adalah jangan bocor rahasia, terus berpura-pura amnesia. 　　Syukurlah, dua hari berakting ini sudah mulai terbiasa, tidak terlalu sulit. 　　Putra Mahkota mulai rileks dan memejamkan mata. 　　Tanggal 16 Agustus, beberapa pangeran secara bergiliran mengunjungi Putra Mahkota di istana. 　　Putra Mahkota bertekad melanjutkan sandiwara ini. Menghindar justru mencurigakan, maka ia menemui semua pangeran yang datang. 　　Tak lama kemudian pelayan istana masuk lagi: "Paduka, Pangeran Yan dan Jenderal Xiaotian datang menjenguk." 　　Putra Mahkota tertegun: "Siapa?" 　　Pelayan itu juga tampak kikuk: "Pangeran Yan dan Jenderal Xiaotian--" 　　Pangeran Yan benar-benar tidak tahu aturan! Wajar menjenguk Putra Mahkota, tapi kenapa bawa anjing? 　　Sekalipun pejabat kelas empat anjing, tetap saja itu seekor anjing! 591.BAB 590 Mengunjungi Putra Mahkota 　　BAB 590 Mengunjungi Putra Mahkota 　　"Pangeran Yan membawa Er... maksudku Jenderal Xiaotian?" Putra Mahkota hampir berkeringat dingin. 　　Benar kata pepatah, mulut banyak pasti celaka, dia hampir menyebut nama Er Niu! 　　Meskipun Er Niu sangat terkenal, tapi dia masih dalam kondisi amnesia, di mata orang lain belum ada kesempatan untuk mengetahui hal ini. 　　Pelayan istana segera menjawab: "Benar, Paduka. Jenderal Xiaotian adalah anjing peliharaan Pangeran Yan yang bernama Er Niu, secara resmi dianugerahi pangkat 4 utama oleh kekaisaran." 　　Fakta bahwa Jenderal Xiaotian bernama Er Niu sudah diketahui semua orang di istana. 　　Mustahil tidak tahu, belum lama ini Jenderal Xiaotian bahkan dipanggil menghadap Kaisar. Kehormatan seperti ini jatuh pada seekor anjing, masakan anjing itu bisa tidak terkenal? Tentu tidak mungkin. 　　Tapi kenapa seekor anjing dinamai Er Niu? 　　Pelayan istana yang kesekian kali merenungkan pertanyaan ini, menunggu instruksi Putra Mahkota apakah akan menerima tamu atau tidak. 　　Putra Mahkota tampak ragu sejenak. 　　Sudah bertemu beberapa saudara, tapi khusus tidak menemui Lao Qi jelas tidak pantas. 　　Sekarang dia sedang dalam kondisi amnesia, hubungan dekat atau renggang di masa lalu tidak berlaku lagi, seharusnya bersikap netral terhadap semua saudara. 　　Pasti harus bertemu Lao Qi, tapi apakah perlu menemui Er Niu? 　　Mengingat kejadian di taman Kediaman Pangeran Yan dimana pantatnya digigit Er Niu, Putra Mahkota masih merasa ngeri. 　　Tapi jika Lao Qi berani membawa Er Niu untuk menjenguk, pasti Er Niu tidak akan sembarangan menggigit orang lagi? 　　Terhadap Er Niu, Putra Mahkota jelas tidak akan putus asa hanya karena satu kali gigitan itu. 　　Seekor anjing yang menggigit orang selain majikannya, bukankah itu hal yang wajar? 　　“Kalau anjing lain, dipukul sampai mati saja, tapi Er Niu berbeda. Er Niu bisa memprediksi gempa bumi, bisa menyelamatkan nyawa di saat genting.” 　　“Keserakahan menguasai diri, menekan rasa takut ke bawah, Putra Mahkota tertawa, 'Kalau begitu, silakan Pangeran Yan dan Jenderal Xiaotian masuk bersama. Aku ingin melihat seperti apa anjing berpangkat 4 utama itu.'” 　　Putra Mahkota berkata demikian, sangat puas dengan penampilannya sendiri. 　　Hmm, reaksinya sangat natural kan? 　　Siapa yang tidak penasaran mendengar anjing berpangkat 4 utama datang menghadap? 　　Pelayan istana segera kembali menyampaikan pesan. 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming meletakkan memorial, menerima cangkir teh dari Pan Hai dan menyeruput, bertanya, "Di Istana Timur sedang ramai ya?" 　　Putra Mahkota yang hilang ingatan berpotensi untuk dididik ulang, Kaisar Jingming sangat memperhatikan aktivitas di Istana Timur belakangan ini. 　　Kemarin ada jamuan keluarga Mid-Autumn, hari ini beberapa pangeran datang mengunjungi Putra Mahkota, persis seperti dugaannya. 　　Performa Putra Mahkota dua hari ini cukup baik, tidak hanya lebih tenang tapi juga aktif membaca buku sejarah, membuatnya sangat terharu. 　　Biarkan Lao Si dan yang lain melihat perubahan Putra Mahkota sekarang, sekalian menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak seharusnya. 　　Pan Hai menjawab, "Pangeran Yan baru saja tiba." 　　"Lao Qi?" Kaisar Jingming bertanya santai, "Datang lebih lambat dari yang lain." 　　"Sang Pangeran datang bersama Jenderal Xiaotian." 　　Kaisar Jingming meletakkan cangkir teh, menjadi tertarik: "Bawa Er Niu?" 　　"Benar." 　　"Keterlaluan!" 　　Mana ada orang menjenguk orang sambil bawa anjing-- 　　Kaisar Jingming berdiri dan berkata dengan datar, "Ayo pergi ke Istana Timur." 　　Sejujurnya, dia juga merindukan Jenderal Xiao yang terkasih, entah apakah Jenderal Xiao sudah kurusan setelah promosi? 　　Kaisar Jingming yang terkurung di istana mustahil keluar sesuka hati, apalagi memanggil Jenderal Xiaotian sesering mungkin. Kesempatan langka ini takkan dia lewatkan. 　　Kaisar Jingming duduk di tandu, Pan Hai mengikuti di sampingnya, berjalan santai menuju Istana Timur. 　　Yu Jin mendengar pelayan istana berkata "Paduka mempersilakan", dalam hati lega. 　　Dia khawatir Putra Mahkota takut bertemu Er Niu karena pernah digigit. Kalau begitu, mengungkap kebohongan Putra Mahkota harus ditunda. 　　Yu Jin orangnya gesit, ingin segera menyingkirkan musuhnya tanpa banyak menunggu. 　　Apa? Mungkin Putra Mahkota lupa pernah digigit Er Niu karena amnesia? 　　Yu Jin mengejek mentah-mentah ide itu. 　　Bagaimanapun orang berpikir, menurutnya Putra Mahkota pasti pura-pura. Ini mungkin hasil intuisi liar yang terasah di medan laga Perbatasan Selatan. 　　"Tuan silakan lewat sini." Pelayan istana membungkuk hormat membuka jalan. 　　Kabarnya Er Niu yang menggigit Putra Mahkota tak dihukum, Pangeran Yan pun tidak dimarahi Kaisar. Jelas mereka berdua sangat disayangi, harus dihormati. 　　Saat Yu Jin membawa Er Niu masuk, ternyata Pangeran Lu juga ada di dalam. 　　“Sebenarnya hendak pamit, tapi dengar Adik ketujuh datang, nanti akan pergi bersama kau.” Pangeran Lu menjelaskan. 　　“Baguslah.” Yu Jin membalas sambil menyapa Putra Mahkota, “Kemarin tahu Kakak Kedua terluka, hatiku cukup khawatir. Sayangnya di jamuan tak bisa banyak bertanya, hari ini masuk istana untuk menjenguk Kakak Kedua.” 　　Ucapan seperti ini sudah beberapa kali didengar Putra Mahkota, ia tersenyum: “Adik ketujuh terlalu sungkan, saya tidak apa-apa.” 　　“Kakak Kedua baik-baik saja itu sudah cukup.” Yu Jin tersenyum, menepuk Er Niu, “Dulu Kakak Kedua sangat sayang Er Niu, jadi kubawa Er Niu juga.” 　　Bersamaan dengan tepukan Yu Jin, Er Niu melangkah maju. 　　Saat itu, pupil mata Putra Mahkota tiba-tiba melebar. 　　Yu Jin memperhatikan hal ini, sudut bibirnya naik. 　　Putra Mahkota memang pura-pura. Kalau tidak, takkan bereaksi seperti ini melihat Er Niu mendekat. 　　Pupil mata melebar - ini tanda gugup, bukan? 　　Jika Putra Mahkota benar-benar lupa, bukankah reaksi pertama melihat anjing yang diberi pangkat 4 utama sebagai jenderal seharusnya rasa ingin tahu? 　　Dengan temuan ini, Yu Jin semakin yakin dengan langkah selanjutnya. 　　Sayangnya tak bisa membongkar kepura-puraan Putra Mahkota di hadapan Kaisar, sedikit menyesal. Tapi tidak masalah, kabar yang sampai ke telinga Kaisar efeknya sama. 　　Persis saat berpikir demikian, terdengar teriakan pelayan istana: “Kaisar tiba——” 　　Sesaat itu, Yu Jin sampai tertegun. 　　Baru saja mengantuk sudah ada yang mengirim bantal? 　　“Mengingat delapan belas tahun sebelumnya tanpa kasih sayang ayah dan ibu, Yu Jin diam-diam menarik kesimpulan: Menikahi A Si, peruntungannya berubah.” 　　Kaisar Jingming segera masuk, Pan Hai diam-diam mengikuti dari belakang. 　　“Anak menghadap Ayah Kaisar.” Putra Mahkota, Yu Jin, dan Pangeran Lu serempak bersuara. 　　“Tak perlu banyak formalitas.” Kaisar Jingming berpura-pura tidak tahu kabar apapun, berkata pada Yu Jin dan lainnya, “Kalian juga ada di sini.” 　　Pangeran Lu langsung gugup melihat Kaisar Jingming, buru-buru berkata: “Saya dan Adik ketujuh datang mengunjungi Kakak Kedua.” 　　Ia melirik Yu Jin sambil memberi kode. 　　Ayah Kaisar sudah datang, mari kita mundur. 　　Menanggapi reaksi Pangeran Lu, Kaisar Jingming merasa geli. 　　Dulu ia menganggap anak ini paling ceroboh, tak disangka setelah sekali dihukum, jadi lebih menahan diri. 　　Pangeran Lu menghela nafas dalam-diam. 　　Masih bisa tidak menahan diri? Putri Lao Qi baru lahir langsung jadi bangsawan, putrinya sendiri harus menunggu sampai usia menikah baru diberi gelar bangsawan rendah. Nanti kalau putrinya bertanya "Kenapa ya?", mana ada muka untuk menjawab? 　　“Lho, Menteri Xiao juga datang?” Terhadap dua putranya, Kaisar Jingming tak tertarik memandang, sorot mata jatuh pada Er Niu. 　　Er Niu mengibaskan ekornya patuh pada Kaisar Jingming. 　　Putra Mahkota sampai panas mata, dalam hati bertanya-tanya: Kenapa Er Niu begitu galak padanya, tapi di hadapan Kaisar jadi begitu jinak? 　　Yu Jin melirik Putra Mahkota dari sudut matanya, tersenyum tidak berbahaya: "Di pesta bulan purnama A Huan sebelumnya, Kakak Kedua bilang sangat menyukai Er Niu, jadi anakmu membawanya kesini." 592.BAB 591 Membongkar Kebohongan 　　BAB 591 Membongkar Kebohongan 　　Mendengar perkataan Yu Jin, Kaisar Jingming menatap Putra Mahkota. 　　Di pesta bulan purnama Putri Heshu, Putra Mahkota sengaja keluar istana untuk memberi selamat, namun akhirnya digigit Er Niu di taman Kediaman Pangeran Yan - hal ini sudah lama diketahuinya. 　　Ternyata ulah Putra Mahkota menggoda Er Niu itu karena rasa suka, bukan sekadar iseng. 　　Memikirkan hal ini, Kaisar Jingming merasa sedikit tersentuh. 　　Meski hasilnya sama-sama memalukan, tapi alasannya berbeda, hati jadi sedikit lebih nyaman. 　　“Putra Mahkota merasa tersinggung oleh tatapan Kaisar Jingming: Apakah Ayah Kaisar menganggapnya sebagai orang yang hina? Kalau bukan karena tertarik pada Er Niu, apakah dia akan kekenyangan sehingga mengganggu anjing?” 　　“Kalau suka anjing, pelihara satu juga boleh, asal jangan sampai lalai.” Mengingat performa Putra Mahkota selama dua hari ini, Kaisar Jingming merasa tidak boleh terlalu keras. Memberi motivasi mungkin bisa membuatnya lebih baik. 　　Putra Mahkota membuka mata lebar-lebar, ada dorongan kuat untuk mengorek telinganya. 　　Apakah pendengarannya salah? Ayah Kaisar secara aktif mengizinkan memelihara anjing jika suka. Dulu dia tidak pernah dapat perlakuan seperti ini. 　　Ternyata berpura-pura hilang ingatan memberikan imbalan memadai. 　　Saat ini, Putra Mahkota sekali lagi bersyukur akan kecerdikannya sendiri. 　　Ia melihat Er Niu dengan ekspresi penasaran: "Baru saja mendengar dari pelayan istana bahwa Er Niu adalah Jenderal Xiaotian kelas empat utama, aku jadi penasaran. Sayangnya aku tidak ingat pernah bertemu Er Niu sebelumnya." 　　Mungkin Er Niu tidak suka yang terlalu terburu-buru, dia mulai lagi perlahan-lahan, dengan kesabaran. Lama-kelamaan mungkin bisa membuat Er Niu menyukainya. 　　Putra Mahkota berpikir dengan gembira. 　　Yu Jin melirik Putra Mahkota dengan pandangan bermakna, tersenyum tipis: "Tidak masalah jika Kakak Kedua tidak ingat, hari ini Er Niu datang, kan kita sudah bertemu." 　　Sambil berkata demikian, dia menepuk kepala Anjing Besar: "Ayo, Er Niu, sapa Putra Mahkota." 　　Er Niu yang duduk patuh di samping Yu Jin seperti bayi baik itu berdiri, mengibaskan ekornya perlahan sambil melangkah dua langkah ke depan. 　　Melihat ekor Er Niu bergoyang dan ekspresi ramahnya, hati Putra Mahkota langsung melepas kewaspadaan. 　　Pelayan istana yang pernah memelihara anjing di keluarganya sebelumnya berkata, jika anjing mengibaskan ekor pada seseorang, berarti ia menyukai orang itu. 　　Ternyata hari itu terlalu terburu-buru. Sekarang kelihatannya Er Niu memang patuh dan penurut, pasti masih ingat kebaikan bungkusan daging sapi bumbu itu. 　　Pikiran itu baru saja melintas, tiba-tiba wajah Anjing Besar di depannya berubah. 　　Kepatuhan manis berubah menjadi wajah mengerikan dengan gigi tajam yang menakutkan, kedua kaki depannya tiba-tiba terangkat. 　　Kilasan kejadian saat digigit Er Niu itu tiba-tiba muncul di benak Putra Mahkota. 　　Status Putra Mahkota sangat mulia. Sejak kecil meski sering mendapat teriakan dan makian dari Kaisar yang menghancurkan mentalnya, jasmaninya tetap lembut dan berharga. 　　Ada satu kali terkena tiang bendera di punggungnya di depan Kuil Leluhur karena gempa, sekali dipukul oleh Yu Jin dan Pangeran Lu masing-masing, sekali dilempar pemberat kertas giok oleh Kaisar Jingming, lalu terakhir digigit oleh Er Niu. 　　Selain itu, selama bertahun-tahun hampir tidak pernah mengalami luka lecet sekalipun. 　　Dalam alam bawah sadar Putra Mahkota, seberapa pun menakutkannya Ayah Kaisar dan saudara-saudaranya, mereka masih punya akal sehat. Er Niu berbeda, sebanyak apa pun kecerdasannya tetap binatang buas yang bisa benar-benar membunuh jika mengamuk. 　　Dari sini bisa diketahui betapa besar trauma psikologis yang ditinggalkan gigitan Er Niu di pantat Putra Mahkota. 　　Melihat reaksi Er Niu yang persis seperti sebelum menggigitnya dulu, Putra Mahkota refleks menutupi pantatnya sambil mundur panik berteriak: "Cepat singkirkan Er Niu! Dia mau menggigit pantatku lagi--" 　　Anjing Besar itu berdiri hanya dengan dua kaki belakang, mengulurkan cakar depan seolah melambai, memandang tuannya dengan wajah polos sambil menoleh. 　　Yu Jin tampak heran: "Kakak Kedua, Er Niu cuma ingin menyapamu. Kenapa kau lari?" 　　Putra Mahkota yang belum lepas dari ketegangannya langsung berseru: "Menyapa apa? Tadi dia jelas-jelas mau menggigitku, persis seperti di kebun rumahmu dulu--" 　　Sampai di sini, Putra Mahkota seolah-olah dikenai mantra pengunci oleh dewa, tiba-tiba membeku, lalu wajahnya berubah pucat memandang Kaisar Jingming. 　　Saat ini wajah Kaisar Jingming sudah gelap bagai air keruh, matanya tajam seperti pisau menatap Putra Mahkota. 　　Kedua kaki Putra Mahkota gemetar, nyaris terjatuh berlutut. 　　Apakah...dia ketahuan? 　　Habis, habis! Pasti Ayah Kaisar akan membunuhnya! 　　Suara terkejut Pangeran Lu terdengar: "Kakak Kedua, kau sudah ingat?" 　　Ucapan ini bagai memberikan sehelai jerami penyelamat bagi Putra Mahkota, membuatnya tersadar sambil tertawa kaku: "Karena ketakutan oleh Er Niu, tiba-tiba ingat sedikit--" 　　"Cukup!" Kaisar Jingming menggelegar marah, mengibaskan lengan baju lalu berbalik badan. "Gulingkan dirimu ke ruang studi kekaisaran!" 　　"Ayah--" Putra Mahkota memanggil dengan wajah pucat. Melihat Kaisar Jingming pergi tanpa menoleh, terpaksa mengeraskan hati mengejarnya. 　　Pangeran Lu menoleh ke Yu Jin: "Adik ketujuh, kita harus bagaimana?" 　　Barusan Ayh Kaisar menyuruh 'berguling ke ruang studi', mungkin hanya untuk Putra Mahkota. 　　Saat ini Pangeran Lu hanya ingin segera kabur. 　　Keributan memang menarik ditonton, tapi ekspresi Ayah Kaisar terlalu menyeramkan. Ini bukan waktu yang tepat untuk Menonton Keributan. 　　Yu Jin menyampingkan pandangan ke Pangeran Lu, hampir tak tahan ingin menendang si tolol ini hingga terpental. 　　Benar-benar sampah yang hanya bisa merusak! Kalau bukan karena celoteh Lao Wu mengingatkan, mungkin Putra Mahkota langsung mengaku pura-pura lupa ingatan. 　　Yu Jin yang sedang marah tentu tidak akan membiarkan Pangeran Lu merasa senang, dengan wajah serius berkata: "Bukankah Kakak kelima mendengar Ayah Kaisar menyuruh kita pergi ke ruang studi kekaisaran? Ayo pergi." 　　Berjalan menuju ruang studi kekaisaran, Pangeran Lu baru tersadar, berbisik: "Adik ketujuh, apakah Ayah sebenarnya hanya memanggil Putra Mahkota?" 　　Yu Jin bahkan tidak mengangkat kelopak matanya, berkata datar: "Ayah tidak menyebut nama spesifik. Bagaimana jika kita dipanggil tapi tidak datang? Ingat Ayah sedang marah..." 　　Mendengar ini, Pangeran Lu tidak berani lagi berharap keberuntungan, terpaksa mengikuti dengan patuh. 　　Kaisar Jingming bergegas kembali ke ruang studinya, berbalik dan melihat Putra Mahkota masih berdiri di depan pintu, berteriak: "Masuk sekarang!" 　　Putra Mahkota yang biasanya langsung menunduk, kali ini mengingat peringatan Pangeran Lu, berusaha tetap tenang saat masuk. 　　Mengatakan bahwa ingatannya kembali karena trauma seharusnya tidak masalah, kan? 　　Putra Mahkota gelisah, merasakan dorongan ingin menangis. 　　Berdiri di hadapan Kaisar Jingming, dia berkata canggung: "Ayah..." 　　Kaisar Jingming mengangkat alis: "Apa? Ingatanmu sudah pulih?" 　　Putra Mahkota tidak berani menatap mata ayahnya, menunduk: "Tiba-tiba ingat sedikit..." 　　"Ingat berapa banyak?" Suara Kaisar Jingming tenang. 　　Hati Putra Mahkota berdebar senang: Apakah Ayah mempercayai ini? 　　Dengan begitu, keberaniannya bertambah sedikit, dia berkata: "Ketika ketakutan oleh Er Niu, teringat kejadian digigit Er Niu di kediaman Adik ketujuh..." 　　Bagaimanapun, tak ada yang bisa membelah kepalanya untuk melihat, Ayah Kaisar pun tidak bisa. 　　"Masih ada yang teringat lagi?" 　　"Belum..." 　　"Angkat kepala, lihat mataku." 　　Putra Mahkota mengangkat pandangan, bertatapan dengan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menatap tajam Putra Mahkota, sorot matanya yang tenang membuat gelisah: "Kau benar-benar baru ingat sekarang, bukan sebenarnya tak pernah hilang ingatan?" 　　Putra Mahkota tak sengaja mengalihkan pandangan. 　　"Sudah kukatakan, lihat mataku!" Kaisar Jingming meningkatkan tekanan suaranya. 　　Putra Mahkota menggenggam tangannya diam-diam, telapak tangan basah oleh keringat. 　　"Bagaimana mungkin anak berani membohongi Ayah, benar-benar baru teringat——" 　　Kaisar Jingming meraih pemberat kertas giok putih yang baru diganti di meja. 　　Tuan rumah sedang pergi, hari terakhir bulan ini, mohon dukungan vote untuk Xiao Jia si Naskah Cadangan. 593. BAB 592 Selamat Utuh 　　BAB 592 Selamat Utuh 　　Melihat gerakan Kaisar Jingming, mata Putra Mahkota menyipit, refleks melindungi wajah dengan kedua tangan. 　　Kaisar Jingming mengelus pemberat kertas giok yang dingin, lebih dingin dari pemberat kertas adalah hatinya. 　　Binatang ini ternyata hanya berpura-pura! 　　Semua ajaran ulangan, sikap tenang dan pengertian, semuanya omong kosong, hanyalah tipu muslihat si binatang untuk menghindari hukuman. 　　Kaisar Jingming memandang dingin Putra Mahkota, amarah yang terakumulasi memuncak saat pemberat kertas giok putih terlepas dari genggamannya. 　　Meskipun Putra Mahkota yang jarang mendapat inspirasi tiba-tiba menemukan cara pura-pura lupa ingatan dan berhasil berpura-pura selama beberapa hari, begitu menghadapi bahaya, sifat aslinya langsung terbongkar seketika itu juga. 　　Dia begitu ketakutan sampai lututnya gemetar dan terjatuh berlutut, berteriak panik: "Ayah Kaisar, anak lelaki ini salah——" 　　Pemberat kertas giok putih melayang ke arah yang cukup jauh dari Putra Mahkota, menghantam dinding di dekat pintu, lalu memantul ke lantai dengan suara keras yang membuat Pangeran Lu yang baru sampai di pintu terkejut. 　　Kali ini, Kaisar Jingming memang tidak berniat melempar pemberat kertas ke Putra Mahkota. Kekecewaan yang mendalam bahkan membuatnya kehilangan tenaga untuk menghukum. 　　Melihat Putra Mahkota yang mengaku sendiri tanpa disiksa, hati Kaisar Jingming menjadi sesak. 　　Lebih baik jangan berpura-pura. Tapi setelah berpura-pura, tidak bisa mengendalikan diri. Hanya sedikit ketakutan langsung ketahuan. Jika negara Zhou besar diserahkan pada binatang ini, apakah tidak akan hancur? 　　Menjadi penguasa yang mempertahankan warisan dengan tenang, mungkin hanya angan-angan naifnya belaka. 　　Putra Mahkota yang merasakan Kaisar Jingming tidak bergerak, secepat kilat mengangkat pandangannya. 　　Pandangan sekilas itu langsung membuatnya seperti jatuh ke lautan es. 　　Pandangan seperti apa itu dari Ayah Kaisar? 　　Dibandingkan kemarahan, pandangan seperti ini justru lebih membuatnya panik... 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin dan Pangeran Lu yang berdiri di pintu, tidak menyuruh mereka masuk, terus menatap Putra Mahkota: "Bagaimana kau bisa memikirkan cara pura-pura lupa ingatan?" 　　Putra Mahkota yang tahu sudah tidak bisa menyembunyikan lagi, mengeraskan hati menjawab: "Anak lelaki ini... tiba-tiba dapat inspirasi..." 　　Pangeran Lu tak bisa menahan diri menyeringai keras. 　　“Ternyata ilham yang tiba-tiba muncul bisa digunakan seperti ini, benar-benar menambah wawasan.” 　　Kaisar Jingming menarik napas dalam-dalam, menunjuk ke pintu ruangan: "Keluar!" 　　"Ayah Kaisar——" 　　"Aku menyuruhmu keluar!" 　　Putra Mahkota ketakutan sampai menundukkan kepala, tidak berani berbicara lagi, bangkit dan lari keluar. 　　Di tangga batu di luar pintu ruang studi kekaisaran, seekor Anjing Besar berbaring dengan wajah polos menatap Putra Mahkota yang berlari keluar terburu-buru. 　　Melihat Er Niu, wajah Putra Mahkota berubah, niat untuk menguasai Anjing Sakti itu memudar digantikan keinginan membunuh. 　　Semua kesalahan binatang ini, kalau tidak dia bisa terus berpura-pura, takkan ada yang tahu. 　　Er Niu melihat perubahan ekspresi Putra Mahkota, tetap mempertahankan sikap patuh, malas-malasan mengibaskan ekornya. 　　Manusia seperti ini, satu gigitan saja bisa mati, hmph! 　　Putra Mahkota akhirnya tidak berani berlama-lama, segera pergi. 　　Kaisar Jingming memandang Yu Jin dan Pangeran Lu dengan ekspresi datar, mengucapkan dua kata: "Masuk." 　　Keduanya masuk. 　　Suasana di dalam ruangan terasa begitu mencekam sampai sulit bernapas. 　　"Ayah Kaisar, kami——" Pangeran Lu mulai berbicara dengan kaku. 　　Kaisar Jingming meliriknya, berkata dingin: "Siapa yang menyuruh kalian ikut?" 　　Pangeran Lu: ?? 　　Dia refleks menatap Yu Jin, hanya satu pikiran di benaknya: Dikibuli Lao Qi! 　　Yu Jin mengarang bohong: "Anak lelaki khawatir Yang Mulia marah, jadi datang ke sini." 　　Pangeran Lu: ?? 　　Katanya Ayah Kaisar tidak menyebut nama, jadi harus datang? 　　Saat itu, Pangeran Lu memiliki dorongan kuat untuk mengangkat pedang besar dan membunuh Yu Jin. 　　Sorot mata Kaisar Jingming yang dalam terus tertuju pada Yu Jin, setelah lama terdiam, beliau bertanya perlahan: "Kalau begitu, kau sudah tahu sejak awal Putra Mahkota pura-pura amnesia?" 　　Pertanyaan ini agak terlalu luas, Yu Jin tentu tak mau terlibat. Dengan wajah serius dia menjawab: "Er Niu menyapa Kakak Kedua, melihat reaksi Kakak Kedua, anak lelaki ini hanya menduga sekilas..." 　　"Sebelumnya?" 　　"Sebelumnya?" Ekspresi polos yang terpampang di wajah Yu Jin sempurna tanpa cela. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis: "Mengapa hari ini kau membawa Er Niu mengunjungi Putra Mahkota?" 　　Biasanya, meski ada keraguan, beliau tak akan bertanya langsung seperti ini, apalagi yang ditanya adalah seorang putra di hadapan putra lainnya. 　　Tapi saat ini kemarahannya sudah mencapai puncak, sehingga tak lagi mempedulikan tata krama. 　　Mendengar perkataan Kaisar Jingming, Pangeran Lu memandang Yu Jin dengan heran. 　　Masak sih? Lao Qi berani sekali, berani menjebak Putra Mahkota? 　　Yu Jin tetap tenang: "Ayah Kaisar mungkin belum tahu, pada pesta bulan purnama Ah Huan, Kakak Kedua pernah meminta Er Niu secara langsung. Saat itu anak lelaki ini tak tega melepasnya. Tak disangka baru beberapa hari kemudian Kakak Kedua terkena amnesia. Mengingat nasib Kakak Kedua, anak lelaki ini menyesal telah berlaku pelit. Karena itulah anak membawa Er Niu masuk istana mengunjungi Kakak Kedua. Anak berpikir, jika Kakak Kedua masih menyukai Er Niu, lebih baik hewan itu dihadiahkan saja. Meski berat hati melepas, tapi ikatan persaudaraan jauh lebih penting..." 　　Di atas tangga batu di luar pintu, Er Niu yang biasanya malas-malasan kini dalam keadaan waspada, telinganya berdiri tegak. 　　Selalu merasa ada bahaya mengintai! 　　Di dalam ruangan, Yu Jin dengan tenang menyatakan alasan membawa Er Niu masuk istana, kemudian menunduk malu: "Tak disangka niat baik malah jadi masalah, membuat Kakak Kedua terkejut——" 　　"Niat baik jadi masalah apaan?" Kaisar Jingming memotong ucapan Yu Jin, berkata dingin, "Kalau bukan karena Er Niu, apakah membiarkan Putra Mahkota terus berpura-pura itu baik?" 　　Bila ditelusuri sebenarnya, Putra Mahkota telah melakukan kejahatan menipu kaisar. 　　Hanya saja Kaisar Jingming masih belum memutuskan hukuman apa yang pantas diberikan kepada Putra Mahkota. 　　Beberapa keputusan bisa dibuat impulsif saat emosi memuncak, tapi beberapa tidak boleh. 　　Contohnya pemecatan Putra Mahkota, sudah dipecat lalu dipulihkan, masak mau dipecat kedua kalinya? 　　Kaisar Jingming menatap dalam-dalam ke arah Yu Jin, melihat matanya yang jernih dan raut wajah yang tenang, membuatnya mulai mempercayai 70-80% alasan yang diberikan. 　　Ditatap seperti ini masih tetap tenang, sepertinya tidak ada yang disembunyikan. 　　Lagipula, bahkan dirinya sendiri tidak menyadari kepura-puraan Putra Mahkota. Lao Qi yang hampir tidak punya kontak dengan Putra Mahkota, tentu juga tidak tahu. Kejadian hari ini mungkin hanya kebetulan. 　　Bahkan keberuntungan tidak memihak Putra Mahkota——memikirkan ini, Kaisar Jingming semakin merasa putus asa. 　　Setelah menguji dan memastikan Yu Jin tidak mencurigai apapun, Kaisar Jingming tak mau membuang waktu lagi dengan dua anak lelakinya, melambaikan tangan: "Sudah, kalian boleh keluar istana." 　　Keluar dari pintu gerbang istana, Pangeran Lu mengusap keringat dingin di dahinya sambil bergidik, "Kupikir Ayah Kaisar akan membelah kepala Putra Mahkota." 　　Meski membenci Putra Mahkota, menyaksikan ayah sendiri menghabisi anaknya tetap membuat bulu kuduknya meremang. 　　Sebagai anak lelaki, jika Ayah Kaisar bisa membunuh Putra Mahkota, tentu juga bisa membunuhnya. 　　Melihat ekspresi datar Yu Jin, Pangeran Lu berbisik, "Lao Qi, benarkah hari ini kau tidak sengaja?" 　　Yu Jin tersenyum, "Kakak kelima bercanda. Mungkinkah aku tahu sebelumnya bahwa Putra Mahkota pura-pura hilang ingatan? Atau meramalkan reaksinya saat melihat Er Niu? Mana mungkin aku punya kemampuan meramal seperti itu? Hari ini benar-benar hanya ingin menghadiahkan Er Niu untuk Putra Mahkota." 　　Pangeran Lu menggaruk kepala lalu percaya, "Benar juga. Tak perlu bicara soal meramal, seandainya ini disengaja, mana mungkin kau tetap tenang menghadapi interogasi Ayah Kaisar?" 　　Andai dia yang di posisi itu, pasti sudah gagap. Mana bisa tenang seperti Lao Qi. 　　Yu Jin dalam hati tertawa dingin: Siapa bilang berbohong harus grogi? Dia bukan tipe orang seperti itu. 　　Er Niu yang mengikuti dari belakang menatap pantat majikannya dengan tatapan tajam: Menghadiahkanku?? 594. BAB 593 Kekasih 　　BAB 593 Kekasih 　　Putra Mahkota kembali ke Istana Timur dengan langkah gontai, terus bergumam, "Bagaimana ini, bagaimana ini?" 　　Seluruh penghuni Istana Timur sudah mencium tanda bahaya, menjauh dari Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota memasuki kamar Permaisuri Putra Mahkota. 　　Permaisuri Putra Mahkota yang duduk di kursi menatapnya, tidak bergerak. Wajah pucatnya telah kembali tenang selama ketiadaan Putra Mahkota. 　　Ketenangan ini bukanlah ketenangan hati, melainkan keputusasaan akan takdir yang bermain-main. 　　Langit telah menakdirkannya mengikuti pria seperti ini, dia hanya bisa menerima nasib. 　　Andai saja pria ini bukan Putra Mahkota, meski keluarga marga menentang, dia akan tetap bercerai untuk kabur dari rawa ini. 　　Sambil memikirkan semua ini, Permaisuri Putra Mahkota melihat Putra Mahkota datang menghampirinya, lalu berkata datar: "Paduka kembali, minumlah secangkir teh." 　　Putra Mahkota seolah tersentak, dengan kasar menjatuhkan cangkir teh ke lantai sambil berteriak kalut: "Minum teh apa lagi! Mungkin sebentar lagi aku bukan Putra Mahkota lagi!" 　　Permaisuri Putra Mahkota menatap pecahan keramik di lantai, tetap diam. 　　Saat ini, dayang-dayang yang pandai berbasa-basi tak lagi dianggap setia oleh Putra Mahkota. Dia menggenggam pergelangan tangan Permaisuri Putra Mahkota: "Menurutmu, apakah Ayah Kaisar akan menghukumku atas tuduhan menipu kaisar?" 　　Permaisuri Putra Mahkota melepaskan diri dengan lembut: "Ayah Kaisar adalah penguasa sekaligus ayah Paduka. Menurut saya, asalkan Paduka sungguh-sungguh meminta maaf, kemarahan Ayah Kaisar akan mereda perlahan." 　　Dia tidak berani menambah minyak ke api. 　　Suami yang bodoh ini, siapa tahu akan melakukan kebodohan apa dalam keputusasaan. 　　"Benarkah?" Putra Mahkota seolah mendapat jerami penyelamat, bertanya dengan gugup. 　　"Ayah Kaisar adalah ayah yang penyayang." 　　Putra Mahkota membuka mulutnya: "Tapi... tapi aku baru saja membuat masalah dan membohongi Ayah Kaisar..." 　　Sekalipun beliau murah hati, ada batas kesabarannya. Kali ini sepertinya aku benar-benar membuat Ayah Kaisar marah. 　　"Maka Paduka harus menunjukkan tekad bertobat kepada Ayah Kaisar." 　　Suara tenang Permaisuri Putra Mahkota sedikit meredakan amarah suaminya yang hampir meledak. Putra Mahkota bertanya penuh harap: "Bagaimana cara menunjukkan tekad bertobatku?" 　　Memandangi suaminya yang tak berdaya ini, Permaisuri Putra Mahkota merasakan kesedihan mendalam. 　　"Katakan, bagaimana cara menunjukkan pada Ayah Kaisar?" 　　Permaisuri Putra Mahkota menghela napas: "Bukan sekadar pura-pura. Jika Paduka benar-benar bertobat, tak lagi berbuat konyol, dan memikirkan negara beserta rakyat, tentu Ayah Kaisar akan melihatnya." 　　Melihat sang Putra Mahkota masih bingung, Permaisuri Putra Mahkota bicara terus terang: "Kepalsuan takkan bertahan lama. Penyamaran Paduka tentang hilang ingatan akhirnya terbongkar juga, masihkah Paduka tak mengerti?" 　　Wajah Putra Mahkota memerah: "Aku tidak sengaja!" 　　Itu namanya ilham mendadak, berkah tak terduga, mana bisa disebut sengaja? 　　Permaisuri Putra Mahkota mengatupkan bibir tanpa sepatah kata. 　　Putra Mahkota menjatuhkan diri ke kursi, putus asa: "Sudahlah, Ayah Kaisar sudah marah. Semoga saranmu berhasil..." 　　Yu Jin kembali ke Kediaman Pangeran Yan dan memberitahu Jiang Si kabar baik tentang terbongkarnya kebohongan Putra Mahkota. 　　"Hari ini Er Niu berjasa besar. Tidak sia-sia kita membesarkannya." 　　Er Niu melirik Yu Jin dengan pandangan kesal. 　　"Jangan kira dia tidak mengerti, setelah besar nanti sudah siap-siap mau diberikan ke orang!" 　　"Lagipula, dia jelas-jelas tumbuh besar karena kemampuannya sendiri makan banyak daging." 　　Jiang Si mengelus kepala Er Niu sambil tersenyum: "A Jin, kenapa kau menggoda Er Niu? Aku lihat Er Niu siap-siap mau menggigitmu." 　　Yu Jin membelalakkan mata: "Berani dia!" 　　Kebiasaan buruk Er Niu yang suka menggigit pantat orang memang harus diubah. Kalau masih berani menggigitnya, pasti akan dimasak sup daging. 　　Merasakan aura pembunuhan dari Yu Jin, Er Niu buru-buru mengeong memelas pada Jiang Si. 　　Jiang Si melirik Yu Jin: "Jangan nakut-nakuti Er Niu. Kalau bukan karena Er Niu hari ini, kapan lagi kita bisa membongkar kedok Putra Mahkota?" 　　Er Niu melirik sombong ke arah Yu Jin, lalu pergi sambil mengibaskan ekor. 　　Yu Jin menepuk meja: "Anjing sialan ini semakin menjadi-jadi!" 　　Sambil berkata demikian, dia memandang Jiang Si dengan wajah kesal. 　　Jiang Si tertawa: "Masih marah sama Er Niu?" 　　Yu Jin bertanya serius: "A Si, apakah posisiku di hatimu turun lagi?" 　　"Hmm?" 　　"A Huan pertama, calon mertua kedua, Jiang Zhan ketiga, Er Niu keempat, aku kelima?" 　　Er Niu yang sedang berjalan di depan pintu menggerakkan telinganya. 　　Dia cuma peringkat keempat? 　　Hmph, selain majikan kecil, semua yang di atasnya nanti tunggu saja digigit! 　　Er Niu yang marah pergi dengan aura mengintimidasi. 　　Jiang Si menepuk bahu Yu Jin: "Bisa tidak kau mengurangi omongan sampahmu?" 　　“Ranking macam apa ini, sampai Ayah dan Kakak Kedua ikut diseret?” 　　Melihat Jiang Si menghindari jawaban, Yu Jin merasa hatinya mulai dingin. 　　Ternyata tebakannya benar! 　　Jiang Si mengusap dahinya, menjawab dengan pasrah: “Kau yang nomor satu.” 　　“Sungguh?” Jawaban Jiang Si membuat Yu Jin terkejut. 　　Jiang Si melotot padanya: “Tentu saja benar. Ah Huan, Ayah, Kakak Kedua, dan Er Niu adalah keluargaku, sedangkan kau bukan.” 　　“Lalu aku ini apa?” Yu Jin tersenyum bertanya. 　　Jiang Si mengedipkan mata, menjawab jenaka: “Kekasih.” 　　Yu Jin langsung berbunga-bunga hatinya, mencium bibir merah Jiang Si dengan garang. 　　Jiang Si buru-buru menghindar: “Ini siang bolong, nanti Ah Huan akan mencariku.” 　　Lengan kuat Yu Jin mengurung tubuhnya: “Kalau datang pasti ada dayang yang lapor, abaikan saja...” 　　Tangannya meraih, dengan lihai membuka gaun lawan bicara. 　　Lama kemudian, Jiang Si merapikan ranjang dengan wajah memerah. 　　A Jin si bajingan ini, berani berbuat seenaknya di siang bolong, memalukan kalau sampai ketahuan dayang-dayang. 　　Yu Jin tak peduli pada pikiran dayang-dayang, menarik Jiang Si dan berbisik di telinganya: “Bagaimana performa sang kekasih?” 　　Aura panas menyembur di pipi lembut itu, wajah Jiang Si semakin merah. 　　Yu Jin tersenyum puas, dalam hati bertekad: Ia ingin selamanya menjadi kekasih A Si, menetap di hati A Si hingga kehidupan demi kehidupan. 　　“Sedang memikirkan apa?” Jiang Si bersandar di pelukan Yu Jin, menengadah bertanya. 　　Yu Jin berbisik pelan: “Sedang berpikir apakah manusia memiliki kehidupan setelah kematian.” 　　“Pasti ada.” Jiang Si menjawab tanpa ragu. 　　“Sekepastian itu?” 　　“Saya percaya akan ada.” 　　Dalam pandangan Jiang Si, jika manusia bisa bereinkarnasi, maka tentu ada kehidupan berikutnya. 　　“Kalau begitu saya juga percaya.” Kata Yu Jin. 　　Di luar rumah rumput taman saling berhijauan, di dalam kamar nuansa asmara tak terbatas, bahkan mentari musim gugur pun semakin cerah. 　　Di hari indah seperti ini, menyebarkan gosip sepertinya lebih mudah, tak lama kemudian orang-orang yang penasaran pun mengetahui kabar tentang Putra Mahkota yang pura-pura lupa ingatan, seperti Pasangan Pangeran Qi. 　　“Tak kusangka Putra Mahkota berani sekali, berani menipu Ayah Kaisar dengan berpura-pura amnesia. Pangeran, tindakan Putra Mahkota ini bisa dianggap sebagai kejahatan menipu kaisar, Ayah Kaisar dia--” 　　“Belum cukup.” Pangeran Qi memotong ucapan Permaisuri Qi. 　　“Pangeran, ini masih belum cukup?” 　　Pangeran Qi menggeleng: “Ayah Kaisar masih ragu-ragu. Skandal Putra Mahkota di Toko Zhenbao ditambah akting amnesia palsu, tetap belum cukup untuk membuat Beliau mengambil keputusan.” 　　Entah jika ditambah dengan kasus Kabupaten Qianhe, apakah akan cukup? 　　Cukup atau tidak, Pangeran Qi tak berani memastikan, bagaimanapun sulit menebak isi hati manusia, apalagi restu kekaisaran. Tapi satu hal yang pasti, saat inilah waktu terbaik untuk membocorkan kasus Kabupaten Qianhe. 　　Pangeran Qi adalah tipe orang yang begitu memutuskan takkan ragu lagi, segera mengatur segalanya diam-diam, menanti kedatangan kehebohan berikutnya. 　　Karena sedang bepergian, waktu update beberapa hari ini mungkin tidak stabil. Mohon pengertiannya, akan kembali normal beberapa hari lagi setelah pulang. Tentu akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan update ganda. 595. BAB 594 Mencari Ayah untuk Anak 　　BAB 594 Mencari Ayah untuk Anak 　　Angin musim gugur semakin dingin, daun-daun kuning bertaburan di jalanan ibu kota yang tetap ramai oleh kerumunan orang. Baik gempa bumi beberapa waktu lalu maupun kemewahan para bangsawan, hanya menjadi bahan obrolan ringan warga yang sibuk mencari nafkah. Kehidupan tetap berjalan seperti biasa. 　　Seorang wanita berusia awal dua puluhan berdiri tak bergerak di tengah keramaian jalanan. 　　Pejalan kaki yang lewat melirik penasaran. 　　Setelah beberapa lama, tiba-tiba wanita itu menghalangi seorang pejalan: "Kakak, bagaimana caranya ke kantor Shuntianfu?" 　　Pria yang dihadang itu juga sekitar dua puluhan tahun, matanya lincah, tidak terlihat seperti orang jujur. 　　Melihat wanita cantik yang menghampirinya, pria itu langsung antusias: "Lurus saja dari sini, belok kiri di persimpangan pertama, lalu jalan ke barat dua persimpangan dan belok kiri lagi." 　　Ekspresi wanita itu masih bingung. 　　Pria itu tersenyum: "Lebih baik aku antar saja. Lagipula tidak ada urusan mendesak." 　　Meski bukan kecantikan langka di ibu kota, wanita berkulit putih lembut ini cukup memikat hati. 　　Pria itu dengan senang hati membantu, tak berharap banyak, sekadar bisa mengobrol pun sudah menyenangkan. 　　Wanita itu mengangguk, mengikuti langkah pria tersebut. 　　Orang yang menyaksikan adegan ini bergumam: “Tsk, wanita ini pasti pendatang. Ceroboh sekali mengikuti orang asing, tidak takut diculik?” 　　“Tidak bisa. Harus ikut mengawasi. Mungkin ada kejadian menarik.” 　　Banyak orang tidak punya urusan mendesak berpikir demikian. Satu per satu mereka mengikuti. 　　Di jalan, pria bertanya: “Kakak, apakah kau pendatang?” 　　Wanita itu menekan bibirnya diam. 　　“Datang ke ibu kota sendirian?” pria itu bertanya lagi. 　　Wanita itu tetap tidak memberikan respons. 　　“Ke kantor Shuntianfu untuk apa?” 　　Wanita itu masih diam. 　　Pria itu mengusap dagunya, berpikir dalam hati: Ini merugi. 　　Untung kantor Shuntianfu tidak jauh. Tak lama kemudian pria itu menunjuk: “Lihat, kantor Shuntianfu sudah sampai.” 　　“Terima kasih, Kakak.” Barulah wanita itu membuka mulut, berjalan perlahan menuju pintu kantor. 　　Pria yang selesai menunjukkan jalan tidak pergi. 　　Bercanda, kalau pergi tanpa menonton keributan, itu pasti lebih merugi. 　　Wanita itu mondar-mandir di depan kantor kabupaten sejenak, lalu mendekati genderang besar dan mulai memukulnya dengan tongkat pemukul. 　　Brak brak brak-- 　　Suara genderang yang bergema memecah keheningan kantor kabupaten. 　　Zhen Shicheng meletakkan berkas kasus di meja, langsung bersemangat. 　　Genderang pengaduan dibunyikan, berarti ada pekerjaan lagi. 　　Tak lama kemudian Zhen Shicheng melihat wanita muda yang memukul genderang itu, langsung menepuk meja sidang dan menanyakan alasannya. 　　Wanita itu mengusap perutnya, dan perkataan pertamanya membuat semua orang di ruangan itu tertegun. 　　“Wanita kecil ini mendengar Tuan Zhen Shicheng yang bijaksana selalu membela rakyat. Kali ini datang ke ibu kota untuk memohon Tuan Besar yang bijaksana membantu mencari ayah bagi anak dalam kandungan saya.” 　　Mencari ayah? 　　Beberapa petugas saling menyenggokkan mata, sudah membayangkan berbagai kemungkinan. 　　Wanita ini berkulit putih dan cantik, mungkin pernah digauli lalu ditinggalkan oleh beberapa tuan muda kaya. 　　Sebagai pendatang, mungkin suaminya lebih dulu merantau ke ibu kota lalu sukses dan menikah lagi dengan selir cantik. 　　Skenario paling membosankan adalah mereka berpisah dan meminta bantuan kantor kabupaten mencari. 　　Dibanding rasa penasaran para petugas, Zhen Shicheng tetap tenang dan bertanya lembut: "Asalmu dari mana?" 　　"Wanita kecil ini berasal dari Kota Jinli, Kabupaten Qianhe." 　　Mendengar asal wanita tersebut dari Jinli, alis Zhen Shicheng berkerut spontan, firasat buruk muncul. 　　"Ada surat jalan?" 　　Wanita itu mengeluarkan surat jalan dan menyerahkan ke petugas untuk diperiksa Zhen Shicheng. 　　Setelah memastikan asal usul, Zhen Shicheng melanjutkan: "Ceritakan detail alasanmu mencari suami ke ibu kota." 　　Wanita itu bersuara lantang: "Paduka, hamba bukan mencari suami, tapi mencari ayah untuk anak dalam kandungan. Orang itu bukan suami hamba!" 　　Begitu kata-kata ini meluncur, petugas yang menduga ke arah itu langsung bersemangat. 　　Wajah Zhen Shicheng menjadi dingin. 　　Beberapa bulan lalu Kabupaten Qianhe dilanda gempa. Banyak utusan dikirim untuk bantuan. Jangan-jangan orang yang dicari ini pejabat pemerintah? 　　"Saling melindungi antar pejabat tentu bukan gaya Zhen Shicheng." 　　"Lanjutkan." 　　"Pria itu meminta hamba menemaninya beberapa hari. Tak disangka setelah lebih dari sebulan, hamba sadar diri hamil. Tak punya pilihan lain, hamba datang mencari dia..." 　　Zhen Shicheng mengusap kumisnya: "Kalau begitu, suamimu orang lain?" 　　Wanita itu mengangguk pelan. 　　Pandangan petugas-petugas seketika dipenuhi cibiran pada wanita itu. 　　Sudah punya suami masih menemani pria lain, wanita ini benar-benar tak menjaga kesucian. 　　"Bila demikian, bagaimana kau yakin janin dalam kandunganmu adalah milik orang lain?" 　　Para petugas memandang Zhen Shicheng dengan kagum. 　　Tuan benar-benar langsung menohok inti persoalan. 　　Wanita itu menggigit bibir: "Hamba sudah menikah bertahun-tahun tak dikaruniai anak. Setelah menemani orang terhormat itu, hamil pun datang. Bukan milik beliau, lalu milik siapa lagi?" 　　Seorang petugas bergumam: "Belum tentu. Bisa menemani orang terhormat, bisa juga menemani yang lain?" 　　Beberapa orang terkekeh-kekeh. 　　Sorot mata wanita itu tajam menusuk si pembicara: "Hamba bukan wanita yang suka bermain cinta! Suami hamilah yang menerima uang perak dari orang terhormat itu--" 　　Tak sanggup melanjutkan, ia menutup wajah dengan tangan dan terisak. 　　Para petugas tertegun. 　　Ada pria seperti itu? 　　Zhen Shicheng berdehem: "Kau tahu status orang itu?" 　　"Hamba tahu, tapi tak bisa menemukannya. Karena itu bersujud memohon bantuan Tuan Besar yang bijaksana." 　　"Ehm... Siapa orang itu?" 　　Setelah hening sejenak, wanita itu bergetar: "Orang terhormat itu... adalah Putra Mahkota." 　　“Kata-kata ini diucapkan, semua orang di ruangan itu terkejut.” 　　“Ekspresi Zhen Shicheng berubah masam, menatap beberapa helai sungut yang dicabutnya karena syok sambil menarik napas dalam-dalam kesakitan.” 　　“Sudah tua, memang mudah rontok kumis. Kalau dicabut terus bisa botak.” 　　“Sesaat kemudian, kepala Zhen Shicheng pusing tujuh keliling.” 　　“Wanita ini mengaku janin dalam perutnya adalah milik Putra Mahkota. Meski terdengar mustahil, mengingat Putra Mahkota berani selingkuh dengan selir Kaisar, ia sama sekali tidak merasa heran.” 　　“Kau tahu apa hukumannya jika memfitnah Putra Mahkota?” 　　“Wanita itu menggigil: ‘Wanita kecil tidak berani berbohong, ada bukti!’” 　　“Di mana buktinya?” 　　“Setelah ragu sejenak, wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dadanya dan menyerahkan kepada Zhen Shicheng.” 　　“Itu adalah sepotong giok.” 　　“Melihat pola naga berkuku empat pada giok itu, pupil mata Zhen Shicheng menyempit.” 　　“Wanita itu menunduk: ‘Giok ini pemberian orang terhormat.’” 　　“Zhen Shicheng terdiam sejenak.” 　　“Putra Mahkota diutus Kaisar untuk menolong korban bencana, malah menghabiskan uang untuk meniduri istri mereka. Sudah begitu, setelah berbuat mesum masih meninggalkan barang bukti. Apa dia tak takut ketahuan?” 　　“Memikirkan Dinasti Zhou memiliki calon penguasa seperti ini, Zhen Shicheng hanya merasa lelah hati.” 　　Melihat Zhen Shicheng diam, wanita itu membenturkan kepala ke lantai: "Paduka, hamba benar-benar tak punya jalan hidup lagi. Setelah orang terhormat pergi, suami hamba menuduh hamba kehilangan keperawanan, lalu cepat-cepat mengambil selir. Saat mengetahui hamil, uangnya sudah habis dihamburkan. Dia memaksa hamba datang ke ibu kota untuk meminta uang dari orang terhormat. Jika hamba menolak, dia akan membunuh hamba..." 　　Beberapa hari kemudian, Zhen Shicheng masuk istana menghadap Kaisar. 596.BAB 595 Hati Bagai Abu 　　BAB 595 Hati Bagai Abu 　　Saat Zhen Shicheng bertemu Kaisar Jingming, dia melihat Sang Kaisar terlihat agak lesu. 　　Zhen Shicheng menghela napas dalam hati. 　　Kaisar ini benar-benar tangguh. Andai dia punya putra seperti Putra Mahkota itu, bukan hanya lesu, tapi kumisnya mungkin sudah rontok semua karena stress. 　　"Ada urusan apa, Zhen Aiqing?" 　　"Hamba yang bodoh beberapa hari lalu menangani suatu kasus yang perlu dilaporkan kepada Kaisar." 　　Setelah berpikir semalaman, dia memutuskan untuk melaporkan ke Kaisar. 　　Putra Mahkota sudah busuk sampai ke akarnya. Memulihkan statusnya bukan berkah bagi negara, tapi malapetaka bagi Zhou! 　　Sekali lagi dipecat atau terjadi gejolak sementara tak apa. Memilih calon penguasa yang minimal normal, negara Zhou masih bisa bertahan. 　　Sebagai pejabat biasa yang netral, seharusnya dia tak campur tangan. 　　Tapi makan gaji kerajaan harus memikul kekhawatiran raja. Dia tak bisa diam melihat Zhou jatuh ke tangan calon penguasa seperti itu lalu hancur. 　　Tentu ini sangat berisiko. Jika Putra Mahkota naik tahta, pasti hamba tak akan berakhir baik. 　　Tapi hamba rela! 　　“Kaisar Jingming menatap Zhen Shicheng, tiba-tiba mengangkat tangan dan menekan kelopak matanya.” 　　“Selesai, selesai, kelopak matanya berkedut lagi!” 　　Tekad kuat Zhen Shicheng menggantung di udara. 　　Dia masih menunggu kaisar merespon, tapi mengapa kaisar terus menekan kelopak mata sambil menatapnya tanpa bicara? 　　“Ahem.” Zhen Shicheng menutupi mulutnya dengan kepalan tangan, batuk ringan. 　　Kaisar Jingming akhirnya mempersiapkan mental dan bertanya: “Kasus apa?” 　　Zhen Shicheng diam-diam melegakan napas. 　　Asalkan ada respon, dia bisa melanjutkan pembicaraan. 　　“Kasus ini terkait Putra Mahkota--” 　　Kaisar Jingming berdiri mendadak, lalu duduk kembali di bawah pandangan heran Zhen Shicheng, suaranya terdengar asing: “Katakan, apa lagi yang dilakukan Putra Mahkota?” 　　Kata “lagi” ini membuat Zhen Shicheng semakin bersimpati pada Kaisar Jingming. 　　“Beberapa hari lalu ada wanita muda yang memukul genderang di depan kantor Shuntianfu, mencari ayah untuk janin dalam kandungannya--yang dicari adalah Putra Mahkota--” 　　“Tunggu!” Kaisar Jingming memotong pembicaraan, “Zhen Aiqing, maksudmu Putra Mahkota terlibat dengan wanita luar istana?” 　　Putra Mahkota sempat diizinkan keluar istana beberapa hari sebelum kepalanya pecah, tapi dengan waktu yang singkat ini, tidak mungkin sudah punya anak? 　　Kali ini Kaisar Jingming mengagumi kewarasannya sendiri yang masih bisa menganalisis banyak hal. 　　Mungkin karena sudah terlalu kecewa dengan si brengsek itu, apapun perbuatannya tidak lagi mengejutkan. 　　Kaisar Jingming berpikir dengan sinis pada dirinya sendiri. 　　“Siapa wanita itu?” 　　“Laporan Kaisar, wanita itu berasal dari Kota Jinli, Kabupaten Qianhe. Suaminya bernama Du Er, penduduk setempat memanggilnya Nyonya Du.” 　　Kaisar Jingming wajahnya gelap, bertanya kata demi kata: “Wanita itu sudah bersuami?” 　　Zhen Shicheng menundukkan pandangan: “Menurut keterangan wanita tersebut, pelayan istana di sisi Putra Mahkota melakukan transaksi dengan Du Er, mengirimnya ke sisi Putra Mahkota selama beberapa hari. Kemudian Du Er menghamburkan semua uang yang didapat, bahkan berutang judi. Setelah mengetahui wanita itu hamil, dia memaksanya datang ke ibu kota untuk menagih uang dari Putra Mahkota. Wanita itu tidak tahu cara menemui Putra Mahkota di ibu kota, lalu datang meminta bantuan ke kantor Shuntianfu...” 　　Kaisar Jingming sendiri kagum bisa mendengarkan dengan tenang. Hanya pemberat kertas giok putih di meja yang diambilnya lalu diletakkan, diulang-ulang, membuat Zhen Shicheng deg-degan. 　　Jangan-jangan Kaisar yang sedang marah ini akan melempar pemberat kertas ke arahnya? 　　Batuk-batuk, semoga Kaisar bisa bertahan sampai kedatangan Putra Mahkota. 　　Setelah lama, Kaisar Jingming menghela napas berat: “Keterangan wanita itu hanya sepihak--” 　　Zhen Shicheng sigap menyerahkan giok bermotif naga. 　　Kaisar Jingming menggenggam erat giok itu, wajahnya pucat pasi. 　　Giok ini tentu pernah dilihatnya. 　　Zhen Shicheng tak lupa menjelaskan: “Wanita itu bilang ini pemberian Putra Mahkota.” 　　Segera disusul dengan menyerahkan berkas kasus. 　　“Hamba yang bodoh ini memerintahkan penyelidikan ke Kabupaten Qianhe, ini adalah kesaksian yang diperoleh...” 　　“Zhen Shicheng tidak tahu apakah harus bersimpati pada Putra Mahkota yang begitu mudah terbukti berselingkuh. Ini salahnya sendiri karena tidak memahami prinsip 'kelinci tidak memakan rumput di sarangnya'. Dia malah menggoda wanita di Kota Jinli, bahkan berpidato di depan rakyat sana sampai seluruh kota mengingatnya…” 　　Kaisar Jingming menutup matanya setelah membaca berkas kasus. 　　Zhen Shicheng menunggu dengan tenang. 　　Lama kemudian, Kaisar membuka mata dan berkata, “Zhen Aiqing, mundurlah dulu. Rawatlah wanita itu sementara waktu.” 　　Zhen Shicheng membungkuk hormat dan keluar dari ruang studi kekaisaran. 　　Langit di atasnya cerah berawan, tapi hatinya diselimuti awan kegelisahan. 　　Mengapa Kaisar tidak memanggil Putra Mahkota untuk berhadap-hadapan? Apakah untuk menutupi aib sang putra, atau… melindungi dirinya sebagai bawahan yang menuduh Putra Mahkota? 　　Apapun alasannya, apakah ini pertanda posisi Putra Mahkota sebagai calon penguasa tetap kokoh? 　　Zhen Shicheng yang biasanya tajam analisanya kini langka kebingungan. 　　Tak lama setelah Zhen Shicheng pergi, Kaisar Jingming memanggil Putra Mahkota. 　　“Ayah Kaisar, akhirnya Ayah mau menemui anak. Selama ini anak tak sempat menjelaskan, sungguh anak sudah sadar kesalahan dan takkan ulangi perbuatan brengsek lagi…” Suara Putra Mahkota bergetar dalam pertemuan pertama setelah sekian hari. 　　Permaisuri Putra Mahkota menasihatinya untuk bertobat tulus. Dia datang mengakui kesalahan, tapi sang ayah berulang kali menolak pertemuannya. 　　Sekarang pasti ketulusannya telah meluluhkan hati sang ayah! 　　Melihat wajah Putra Mahkota yang penuh gejolak, Pan Hai diam-diam melemparkan pandangan simpati. 　　Sebelumnya, Kaisar sudah tak tahan melihat sikap ragu-ragu Putra Mahkota, namun setiap kali datang selalu seperti ini. Sekarang ketika akhirnya berubah, hasilnya malah... 　　"Benarkah sudah tahu salah?" Kaisar Jingming bergumam pelan. 　　Putra Mahkota mengangguk kencang: "Benar-benar tahu salah, anak lelaki tidak akan bertindak sembrono lagi, tidak akan menyembunyikan apapun dari Yang Mulia." 　　Kaisar Jingming mendorong giok bergambar naga ke arahnya. 　　Wajah Putra Mahkota langsung pucat pasi melihatnya. 　　"Ini milikmu?" 　　Putra Mahkota menggeleng keras, lalu setengah jalan berubah menjadi anggukan, suaranya lirih: "Milik hamba..." 　　"Coba jelaskan asal-usul giok ini." Kaisar Jingming berkata dengan nada lesu. 　　Entah mengapa, kali ini bahkan amarah pun tak bisa dibangkitkannya, mungkin inilah yang disebut hati bagai abu mati. 　　Merenungkan hal ini, Kaisar Jingming merasa kesedihan yang tak terperi. 　　"Saya..." Putra Mahkota membuka mulut, sama sekali tak tahu harus memulai dari mana. 　　Langit sedang mempermainkannya! 　　Ia pun ingin tahu bagaimana giok ini bisa sampai di tangan ayah Kaisar? 　　"Tidak akan ada lagi kebohongan padaku?" Kaisar Jingming tersenyum sinis. 　　Putra Mahkota tiba-tiba dilanda ketakutan luar biasa, dengan nekat menceritakan semuanya sambil bergumam: Asal bisa melewati rintangan ini, kelak akan menggiling tulang pasangan rakyat jelata itu! 　　Kaisar Jingming terus menatap tajam, menangkap kilatan kekejaman sekilas di mata Putra Mahkota, membuat hatinya semakin membeku. 　　"Saat ini hanya ada satu pikiran dalam benaknya: Anak lelaki ini mungkin benar-benar tidak bisa diandalkan lagi." 　　Namun memecat Putra Mahkota untuk kedua kalinya juga bukan perkara mudah. 　　"Kau kembali ke Istana Timur." 　　"Ayah Kaisar--" 　　Kaisar Jingming memandang Putra Mahkota dengan tatapan yang sangat dalam. 　　Putra Mahkota nyaris secara insting merasakan bahaya, wajahnya pucat pasi. 　　"Pergilah." Kaisar Jingming melambaikan tangan. 　　Setelah keluar dari ruang studi kekaisaran, Putra Mahkota berpikir bingung: Dengan pura-pura amnesia sebelumnya ditambah kejadian hari ini, mengapa Ayah Kaisar sama sekali tidak menyebutkan hukuman? Ada apa dengan Ayah Kaisar? 597.BAB 596 Penyakit Datang 　　BAB 596 Penyakit Datang 　　Setelah Putra Mahkota pergi, Kaisar Jingming kembali ke Aula Yangxindian. Sepanjang malam ia bolak-balik di ranjang seperti kue yang digoreng, tak kunjung tidur. 　　Menjelang fajar, Kaisar Jingming baru tertidur lelap, dan tidur ini membuatnya tak bisa bangun lagi. 　　Kaisar Jingming jatuh sakit. 　　Satu hari, dua hari, tiga hari... Para menteri yang tidak perlu menghadiri sidang pagi mulai panik. 　　Para pangeran juga mulai cemas, yang paling gugup adalah Pangeran Qi. 　　"Ayah Kaisar sakit di waktu yang tidak tepat..." keluh Pangeran Qi kepada Permaisuri Qi. 　　Serangkaian kesalahan Putra Mahkota ditambah skandal Kabupaten Qianhe yang terbongkar di hadapan Kaisar Jingming, sangat mungkin menggoyahkan posisinya sebagai calon penguasa. 　　Sayangnya Kaisar Jingming justru jatuh sakit. 　　Penyakit datang bagai longsor, sembuh sehelai demi sehelai. Setelah beberapa waktu sakit, amarah Kaisar Jingming yang terpendam pasti akan mereda. Mengingat hubungan lama, tekad untuk memecat Putra Mahkota pasti akan goyah. 　　Pangeran Qi memikirkan semua ini, hatinya pun merasa resah. 　　"Apakah Langit juga berpihak pada Putra Mahkota?" 　　Permaisuri Qi menasihati: "Janganlah Tuan berpikir demikian. Jika benar Langit berpihak pada Putra Mahkota, mengapa setiap kali dia membuat masalah selalu diketahui oleh Ayah Kaisar? Putra Mahkota terus mengikis hubungan ayah-anak dengan Ayah Kaisar, cepat atau lambat suatu hari Ayah Kaisar akan kecewa total padanya." 　　Pangeran Qi tersenyum tipis. 　　Setiap kali membuat masalah selalu diketahui Ayah Kaisar, apa hubungannya dengan Langit? Itu semua hasil usahanya diam-diam. 　　Tentu, mungkin juga ada campur tangan saudara-saudara lainnya. 　　"Penundaan akan menimbulkan perubahan, siapa yang tahu kapan 'cepat atau lambat' ini terjadi?" 　　Mata Permaisuri Qi berkedip-kedip: "Maksud Tuan...?" 　　Pangeran Qi memandang dengan dingin: "Tentu lebih baik segera daripada menunda. Manfaatkan kesempatan Ayah Kaisar sakit ini!" 　　Karena Ayah Kaisar kebetulan sakit sekarang, dia akan mengubah malapetaka menjadi berkah, membuat Ayah Kaisar benar-benar putus asa pada Putra Mahkota. 　　Kali ini, dia menginginkan nyawa Putra Mahkota! 　　Tatapan dingin mengerikan dari Pangeran Qi membuat Permaisuri Qi tidak berani bertanya lebih lanjut, hanya berkata: "Kapan kita masuk istana menjenguk Ayah Kaisar?" 　　Begitu Kaisar Jingming sakit, para pangeran yang sudah membuka kediaman sendiri wajib masuk istana sekali sehari untuk menunjukkan bakti, terlepas bisa bertemu atau tidak. 　　"Bersiap-siaplah, mari berangkat sekarang. Jangan sampai orang lain lebih dulu menunjukkan kesalehan." 　　"Pasangan Pangeran Qi tiba di istana dan menemukan beberapa saudara laki-laki mereka sudah hampir lengkap datang bersama istri-istrinya, kecuali pasangan Pangeran Yan." 　　"Jiang Si dan Yu Jin saat ini sedang dalam perjalanan ke istana dengan kereta kuda." 　　"Di pagi hari saat hendak berangkat, A Huan muntah susu membuat pasangan yang baru pertama kali menjadi orangtua ini kalang kabut. Setelah memastikan putri mereka baik-baik saja, barulah mereka tenang pergi." 　　"Keduanya juga sedang membicarakan penyakit Kaisar Jingming." 　　"'Ayah Kaisar sudah sakit beberapa hari, tidak mau menemui siapa pun. Tidak tahu bagaimana kondisi kesehatannya.'" 　　"Yu Jin menyeringai: 'Masih karena marah pada Putra Mahkota.'" 　　"Meski kasus wanita dari Kota Jinli yang datang ke ibu kota mencari ayah untuk anak dalam kandungannya belum tersebar luas, tapi karena dia akrab dengan orang-orang Shuntianfu dan sempat merekrut beberapa orang selama magang di sana, dia langsung tahu sejak awal." 　　"Apalagi masalah wanita itu sengaja dihembuskannya secara halus kepada Pangeran Qi, sehingga kejadian ini sudah diprediksinya." 　　"Jiang Si mengangkat tirai jendela kereta dan memandang ke luar." 　　"Langit musim gugur cerah berawan, luas tak bertepi, membuat hati yang memandangnya merasa lega." 　　"Dia menurunkan tirai jendela: 'Tampaknya Putra Mahkota tidak akan lama lagi.'" 　　"Masalah pemecatan kedua Putra Mahkota belum sempat dia bahas serius dengan A Jin. Saat ini adalah waktu yang tepat." 　　"Yu Jin tersenyum: 'Lao Si lebih gugup daripada kita. Mungkin dia akan memanfaatkan sakitnya Ayah Kaisar untuk mencabut nyawa Putra Mahkota.'" 　　"Jiang Si menghela napas: 'Ya. Jika Putra Mahkota dipecat untuk kedua kalinya, kecil kemungkinan nyawanya bisa diselamatkan.'" 　　"Dalam kehidupan sebelumnya, Putra Mahkota dicopot jabatannya untuk kedua kalinya dengan pasal pengkhianatan, dihukum mati dengan anggur beracun. Permaisuri Putra Mahkota juga dihukum mati, hanya Cucu Kaisar dan dua putri yang selamat. Cucu Kaisar dikurung, sementara nasib kedua putrinya tidak diketahui - dikirim ke kediaman mana untuk diasuh." 　　Jiang Si sama sekali tidak merasa kasihan pada kematian Putra Mahkota, hanya menyayangkan Permaisuri Putra Mahkota. 　　Saat mereka berbincang, tibalah di pintu gerbang istana. Keduanya turun dari kereta kuda menuju Aula Yangxindian. 　　"Adik ketujuh, kalian yang paling akhir datang." Pangeran Lu berseru saat melihat Yu Jin masuk. 　　Yu Jin melirik Pangeran Lu, berkata datar: "Yang penting bisa menghadap Ayah Kaisar. Buat apa datang lebih awal hanya untuk mengobrol?" 　　Pangeran Lu mengusap hidungnya, memilih diam. 　　Setiap berurusan dengan Lao Qi selalu merugi, lebih baik ia menahan mulut. 　　Suara riuh di pintu, tampak Pan Hai mendekat. 　　"Paman Pan, bagaimana kondisi Ayah Kaisar?" tanya kerumunan serempak. 　　Mereka sudah datang beberapa hari berturut-turut, namun hingga kini belum juga bisa bertemu Kaisar Jingming. 　　Pan Hai memandang sekeliling, memberi hormat lalu berkata: "Yang Mulia memanggil beberapa pangeran dan permaisuri untuk masuk." 　　Kerumunan pun menghela nafas lega. 　　Hari ini akhirnya bisa bertemu. 　　Yang paling bersemangat adalah Putra Mahkota. 　　Beberapa hari ini ia diliputi kecemasan, tidur pun tak nyenyak, terus-menerus memikirkan hukuman apa yang akan dijatuhkan ayahnya. Namun karena tidak bisa bertemu, kegelisahannya semakin menjadi. 　　Putra Mahkota bergegas berjalan di depan. 　　Pan Hai ragu sejenak, lalu berkata: "Paduka, mohon ditahan sebentar." 　　Kerumunan berhenti sejenak, memandang ke arah Putra Mahkota dan Pan Hai. 　　Putra Mahkota bertanya kesal: "Bukankah Ayah Kaisar memanggil kita masuk? Mengapa Paman Pan menahan hamba?" 　　Pan Hai tersenyum kecut: "Paduka, Kaisar memanggil para pangeran dan permaisuri untuk masuk..." 　　Putra Mahkota tertegun, kaget: "Ayah tidak mau menemui hamba?" 　　Pan Hai mengangguk halus. 　　Wajah Putra Mahkota langsung memerah padam, bibirnya bergetar ingin memprotes namun ditahannya. 　　Kerumunan menarik kembali pandangan mereka yang beragam, mengikuti Pan Hai masuk ke dalam. Segera aula hanya menyisakan Putra Mahkota dan Permaisuri. 　　"Mengapa Ayah menolak hamba?" Setelah orang pergi, Putra Mahkota tak kuasa menahan diri, berbisik marah pada Permaisuri. 　　Permaisuri menatapnya, wajah datar: "Paduka seharusnya mengerti." 　　Putra Mahkota tercekat, mengepal tangan hingga berbunyi kretek. 　　Di hadapan banyak orang, Kaisar sengaja menolaknya. Ini benar-benar tidak menghargai posisinya. 　　Tidak, bukan sekadar masalah muka. Apakah Ayah berniat mencabut statusnya? 　　Putra Mahkota menggigil, wajah merah padamnya berubah pucat. 　　Melihat sang suami diam, Permaisuri pun tak berminat menghiraukannya. 　　"Terhadap pria yang ditugaskan menenangkan korban bencana tapi malah tidur dengan perempuan ini, dia sudah tak punya rasa kecewa lagi. Kini hanya berharap satu hal: Begitu Ayah Kaisar sembuh, turunkan Putra Mahkota karena perilaku tak bermoral. Dengan begitu keluarga masih bisa hidup tenang, dan mencegah Putra Mahkota naik tahta merusak negara Dinasti Zhou." 　　Keduanya tak bersuara, tetap menunggu di ruang penerimaan. 　　Apakah akan dipanggil atau tidak, mereka tak boleh pergi lebih dulu - ini masalah sikap. 　　Penyakit Kaisar Jingming tidak parah, sejujurnya hanyalah ledakan kemarahan bertubi-tubi akibat ulah Putra Mahkota. 　　Sekarang memandangi anak-anak lelakinya satu per satu, setelah masing-masing bicara beberapa patah kata, langsung melambaikan tangan mengusir mereka semua. 　　Panggilan hari ini hanya untuk memberitahu anak-anak sialan ini bahwa beliau belum mati, tak perlu bermimpi macam-macam. 　　"Syukurlah, Ayah Kaisar terlihat cukup baik, pasti akan segera pulih total." 　　Putra Mahkota yang gelisah mendengar kalimat ini tiba-tiba tak tahu harus bersedih atau bersuka. 　　Pan Hai berdehem pelan: "Paduka, lebih baik Tuan pulang dulu. Para pangeran lain juga akan segera pergi..." 　　Putra Mahkota berjalan keluar dengan wajah muram, Permaisuri Putra Mahkota mengikuti diam-diam dari belakang. 　　Jiang Si melirik Permaisuri Putra Mahkota, setelah berpikir sebentar, memperlambat langkah. 　　Beberapa hari ini sedang dinas luar kota, update tidak stabil. Besok sudah pulang, lusa seharusnya bisa update rutin lagi. 598.BAB 597 Kebaktian 　　BAB 597 Kebaktian 　　Permaisuri Putra Mahkota tak menyangka Jiang Si bermaksud mengajaknya bicara. 　　Dengan dingin ia memperhatikan, Permaisuri Qi berulang kali menunjukkan sikap ramah pada Permaisuri Yan, namun selalu ditolak. Jelas terlihat, Permaisuri Yan bukan tipe orang yang pandai bersosialisasi. 　　Jiang Si memulai percakapan: "Mengapa Kakak Ipar tidak membawa Cucu Kaisar? Ayah Kaisar sangat menyayangi Cucu Kaisar." 　　Permaisuri Putra Mahkota tersenyum kecut: "Takut Chun Ge'er mengganggu Ayah Kaisar. Ngomong-ngomong, tentang insiden Chun Ge'er jatuh ke air, aku belum sempat berterima kasih pada adik ipar ketujuh--" 　　Jiang Si tersenyum: "Kakak Ipar terlalu sungkan. Bagi Pangeran hanya sekedar bantuan kecil, tak perlu terus diingat." 　　Permaisuri Putra Mahkota menggeleng: "Bagi Adik ketujuh mungkin sepele, tapi bagiku ini urusan hidup-mati. Adik ketujuh telah menyelamatkan Chun Ge'er, rasa terima kasih ini akan kukenang seumur hidup, sayangnya mungkin tak ada kesempatan membalas budi Adik dan adik ipar ketujuh." 　　Sorot mata Jiang Si berubah mendalam. 　　Perkataan Permaisuri Putra Mahkota terdengar pesimis, rupanya ia tak yakin dengan masa depan Putra Mahkota. 　　Jiang Si kembali menghela napas. 　　Orang yang begitu bijaksana ini malah terjerumus dalam kubangan kotoran bernama Putra Mahkota, sungguh nasib sial dan perjalanan hidup yang penuh rintangan. 　　"Kakak Ipar benar-benar tak perlu terus memikirkannya. Sekarang Ayah Kaisar sedang sakit, kami dan Pangeran tinggal di luar istana, tak nyaman berlama-lama di dalam. Jika Kakak Ipar sering membawa Cucu Kaisar menjenguk Ayah Kaisar, itu sudah termasuk bentuk bakti dari kami." 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Permaisuri Putra Mahkota menatapnya dalam-dalam. 　　Ia agak bingung menangkap maksud Permaisuri Yan. 　　"Sementara itu, ekspresi lawannya terlihat tulus, seolah tidak ada maksud tersembunyi." 　　"Bakti Adik Ipar ketujuh patut dipuji, membuat saya merasa malu." 　　Jiang Si tersenyum tipis dan menurunkan suaranya: "Hari ini saya melihat Ayah Kaisar, rambut di pelipisnya sudah banyak yang memutih. Orang yang sedang sakit akan semakin merindukan ikatan keluarga. Kakak Ipar sebaiknya sering menemani Ayah Kaisar bersama Cucu Kaisar. Dengan hati yang senang, pasti kesehatan Ayah Kaisar akan membaik, sehingga kita semua bisa tenang." 　　Permaisuri Putra Mahkota mengangguk: "Perkataan Adik Ipar ketujuh benar, saya tidak sepandai itu dalam berpikir." 　　"Kakak Ipar terlalu rendah hati. Bakti Anda pasti diperhatikan Ayah Kaisar. Ayah Kaisar adalah orang yang bijaksana." Setelah mengucapkan ini, Jiang Si mengangguk ringan pada Permaisuri Putra Mahkota dan mempercepat langkah menyusul Yu Jin. 　　Naik ke kereta kuda, Yu Jin bertanya sambil tersenyum: "Apa yang dibicarakan dengan Permaisuri Putra Mahkota?" 　　"Saya hanya mengingatkannya untuk sering berbakti pada Ayah Kaisar." 　　Yu Jin memandang Jiang Si dalam-dalam dan menghela napas: "Kau memang terlalu baik hati." 　　Jiang Si tidak sepakat: "Hanya beberapa kalimat saja, tidak bisa disebut baik hati." 　　Meski ia menyayangkan nasib Permaisuri Putra Mahkota di kehidupan sebelumnya, tidak mungkin ia mengingatkan tentang rencana makar Putra Mahkota. Ini semua yang bisa dilakukannya. 　　Kaisar Jingming adalah orang yang lembut dan menghargai hubungan. Jika Permaisuri Putra Mahkota sering muncul bersama Cucu Kaisar di hadapannya, mungkin akan menyelamatkan nyawanya ketika kasus makar Putra Mahkota terungkap nanti. 　　“Yu Jin menyipitkan matanya, tersenyum: "Beberapa kalimat kunci sering mengubah banyak hal. Tapi tidak apa, Permaisuri Putra Mahkota memang orang yang baik."” 　　“Jiang Si mengangkat sudut bibirnya: "Asal kau tidak menganggapku ikut campur."” 　　“Yu Jin tertawa geli sambil menarik tangan Jiang Si: "Urusanmu adalah urusanku, tidak ada yang namanya ikut campur."” 　　“Jiang Si bersandar pada Yu Jin, menghela napas pelan.” 　　“Begitu Putra Mahkota kembali dipecat, hari-hari mereka mungkin akan semakin tidak tenang.” 　　“Tapi tidak mengapa. Jika benar-benar tidak bisa dihindari, tinggal habisi beberapa target kecil saja. Lagi pula dia sudah berpengalaman dalam hal ini.” 　　“Saat ini yang penting selesaikan dulu binatang terkutuk yang lebih hina dari hewan itu - Sang Putra Mahkota.” 　　“"A Si, apa yang kau pikirkan?"” 　　“"Lalu kau?" Jiang Si balas bertanya sambil tersenyum.” 　　“Bibir tipis Yu Jin melengkung manis: "Aku berpikir, apapun yang terjadi nanti, lebih baik kita habisi dulu Sang Putra Mahkota."” 　　“Jiang Si tertawa terkekeh.” 　　“Yu Jin memeluk bahunya: "Bukankah kita saling memahami tanpa kata?"” 　　“Jiang Si meliriknya: "Siapa yang saling memahami denganmu?"” 　　“"Sudah jelas saling memahami, kau masih tidak mau mengaku."” 　　“"Baiklah, terserah katamu."” 　　“"Sudah jelas..."” 　　“Tawa riang keduanya menggema dalam gerbong.” 　　“Putra Mahkota menunggu Permaisuri-nya menyusul di jalan kembali ke Istana Timur: "Apa yang kau lambat-lambatkan?"” 　　“"Baru mengobrol sebentar dengan Permaisuri Yan."” 　　“"Apa yang perlu kalian obrolkan?" Sang Putra Mahkota tiba-tiba kesal tanpa alasan.” 　　Ia selalu curiga bahwa hari itu orang-orang Lao Qi yang menyelamatkan kakak Permaisuri Yan, membuatnya gagal mendapat keuntungan malah mendapat masalah. Kini melihat Permaisuri Yan mendekati Permaisuri Putra Mahkota, ia merasa pasti ada niat jahat. 　　"Ke depannya jauhi orang-orang itu, satu per satu semuanya punya niat buruk." 　　Permaisuri Putra Mahkota malas berbicara lebih banyak dengan sang Putra Mahkota, berkata datar: "Mengerti." 　　Putra Mahkota merasa sangat kesal, kembali ke Istana Timur tak ingin melihat wajah dingin Permaisuri, langsung menyelam ke ruang belajar. 　　Di tengah situasi genting, mengobrol dengan dayang kecil tak mungkin dilakukan, bersembunyi di ruang belajar melihat gambar erotis untuk melampiaskan kekesalan masih bisa dilakukan. 　　Permaisuri Putra Mahkota terus memikirkan perkataan Jiang Si. 　　Ia tidak punya hubungan dekat dengan Permaisuri Yan, sejujurnya hanya karena Pangeran Yan menyelamatkan Chun Ge'er, mereka jadi lebih sering berinteraksi. 　　Perkataan Permaisuri Yan sebenarnya tidak terlalu aneh, tapi karena sengaja disebutkan, jadi terkesan mencurigakan. 　　"Ibu, hari ini Ibu mengunjungi Kakek Kaisar?" Chun Ge'er masuk ruangan, memberi salam lalu bertanya. 　　"Sudah. Bagaimana kabarmu di sekolah hari ini, Chun Ge'er?" 　　Chun Ge'er tersenyum: "Guru memuji hafalan bukuku bagus." 　　Permaisuri Putra Mahkota merasa terhibur, sudut bibirnya sedikit melengkung. 　　"Ibu, jangan khawatir. Pasti Kakek Kaisar akan sembuh." Chun Ge'er menghibur ibunya dengan serius. 　　Ia berpikir sejenak, lalu menambahkan: "Aku akan belajar lebih giat lagi." 　　Kalau begini, apakah ibu tidak akan bersedih setiap hari lagi? 　　Melihat anak lelakinya yang bersikap seperti orang dewasa kecil, Permaisuri Putra Mahkota merasa ingin menangis, tangannya mengelus lembut rambut Chun Ge'er. 　　Anaknya yang begitu pintar dan penurut ini, malah mendapat ayah seperti itu. 　　Bagaimana jika Putra Mahkota membuat masalah lebih besar hingga mereka tak bisa hidup tenang di sisa hari? 　　Hidupnya tak berarti, tapi bagaimana dengan Chun Ge'er? 　　Tidak, dia tak bisa pasif menunggu. Dia harus berusaha maksimal melindungi Chun Ge'er. 　　Saat ini, Permaisuri Putra Mahkota yang cerdik tiba-tiba memahami maksud Jiang Si. 　　Jika dia membawa Chun Ge'er berbakti dengan baik di hadapan Ayah Kaisar, setidaknya itu lebih baik daripada diam saja. 　　Permaisuri Putra Mahkota segera mengambil keputusan. Membawa semangkuk bubur millet keemasan, dia menggandeng tangan Chun Ge'er menuju Aula Yangxindian. 　　"Paduka, Permaisuri Putra Mahkota membawa Cucu Kaisar menjenguk Yang Mulia." 　　Kaisar Jingming agak terkejut. 　　Menantu perempuannya yang cerdas dan sopan ini biasanya sangat tahu diri. Setelah sebelumnya mengikuti Putra Mahkota, kini kembali dengan Chun Ge'er, sungguh mengejutkan. 　　"Paduka, apakah--" 　　"Persilakan masuk." 　　Permaisuri Putra Mahkota menunggu di luar dengan gelisah, tangan yang menggandeng Chun Ge'er terasa dingin. 　　Chun Ge'er seakan merasakan ketegangan ibunya, tampil semakin penurut. 　　Pan Hai keluar mengumumkan: "Permaisuri Putra Mahkota, Cucu Kaisar, Yang Mulia mempersilakan kalian masuk." 　　Putra Mahkota menerima kabar itu, menggosok-gosok matanya. 　　Ini tidak masuk akal. Ayah Kaisar telah menemui semua anak lelaki dan menantu perempuan, bahkan Permaisuri Putra Mahkota pun ditemui, tapi hanya aku yang tidak? 　　Beberapa hari berikutnya, Permaisuri Putra Mahkota mengajak Chun Ge'er mengunjungi Kaisar Jingming tiga kali sehari. Wajah Kaisar yang melihat cucu kesayangannya mulai menampakkan senyuman. 　　Namun Putra Mahkota semakin panik, lalu memanggil pejabat bawahannya untuk berunding. 599.BAB 598: Rencana Penderitaan 　　BAB 598: Rencana Penderitaan 　　Para pejabat Istana Timur memiliki hubungan simbiosis dengan Putra Mahkota - untung rugi bersama. 　　Setelah pemecatan pertama Putra Mahkota, sebagian besar pejabatnya dihukum. Kini para pejabat telah diganti, dan yang tersisa adalah beberapa veteran yang sebelumnya tidak berpengaruh, tapi kini justru mendapat kepercayaan Putra Mahkota. 　　Namun pejabat veteran yang dipercaya ini tidak merasa senang. 　　Ia menyaksikan sendiri nasib buruk rekan-rekannya. Setelah Putra Mahkota dipulihkan, ia berharap situasi akan tenang. Tapi ternyata sang Putra Mahkota tak berubah sedikit pun. 　　"Apa yang harus kulakukan? Ayah Kaisar sakit dan telah menemui semua pangeran, bahkan Permaisuri dan Cucu Kaisar. Hanya aku yang tidak..." Putra Mahkota begitu gelisah sampai sehelai uban muncul di rambutnya. 　　Pejabat itu berpikir sejenak: "Paduka tidak diterima mungkin karena amarah Sang Kaisar masih membara. Menurut hamba, Paduka harus menunjukkan ketulusan lebih besar. Gunakanlah kebaktian dan bakti Paduka untuk meluluhkan hati Kaisar." 　　Putra Mahkota berkata kesal: “Bicara mudah, sekarang Ayah Kaisar bahkan tidak mau menemuiku, bagaimana aku menunjukkan ketulusan? Meski ingin menunjukkan, Ayah tidak bisa melihat atau mendengar.” 　　“Paduka keliru.” 　　“Di mana kesalahanKu?” Putra Mahkota mengerutkan alis melihat bawahannya. 　　Bawahannya berbisik: “Yang Mulia tidak melihat dan mendengar, tapi pasti ada orang yang akan melaporkan perbuatan Paduka kepada Kaisar. Itu sama efeknya dengan Kaisar menyaksikan sendiri.” 　　“Kalau begitu temukan cara untukKu. Aku tidak bisa terus menerus menjadi satu-satunya yang tidak diizinkan menemui Ayah.” 　　…… 　　Keesokan harinya, kerumunan seperti biasa mengunjungi Kaisar Jingming. 　　Tak lama kemudian, Pan Hai mengizinkan mereka masuk, sementara Putra Mahkota tetap ditahan di luar seperti biasa. 　　Pangeran Lu mengedipkan mata pada Putra Mahkota, berbisik terkekeh: “Kakak Kedua, lagipula Ayah tidak mau menemuimu, lebih baik pulang saja.” 　　Putra Mahkota melotot marah pada Pangeran Lu tapi tidak bersuara. 　　Pangeran Lu agak terkejut. 　　Hei, Putra Mahkota ternyata sudah belajar menahan diri. 　　Sakit mendadak di pinggangnya - Permaisuri Lu diam-diam mencubit suaminya. 　　“Pangeran masih belum mau berjalan cepat?” Permaisuri Lu tersenyum tipis tanpa kehangatan, hatinya sudah mendidih marah. 　　Benar-benar kalau tiga hari tidak dipukul akan memanjat atap! Setiap hari memprovokasi Putra Mahkota, bagaimana kalau nanti Putra Mahkota naik tahta? 　　Pangeran Lu mengusap hidungnya: “Ayo pergi.” 　　Dia salah. Bukan Putra Mahkota yang belajar menahan diri, tapi dirinya sendiri yang harus belajar menahan diri. 　　"Selama Putra Mahkota masih menjadi Putra Mahkota, mengingat dia akan mewarisi takhta di masa depan, sejijik apapun pandangannya terhadap Putra Mahkota, dia harus menahan diri." 　　"Bagaimana kalau--" Langkah Pangeran Lu terhenti mendadak, matanya berkelip-kelip. 　　"Mencari kesempatan untuk menyingkirkan Putra Mahkota?" 　　Untuk pertama kalinya, Pangeran Lu menyimpan pikiran seperti ini. 　　Ketika kerumunan selesai menjenguk Kaisar Jingming dan keluar, mereka terkejut menemukan Putra Mahkota berlutut di anak tangga batu di luar aula. 　　"Adik Kedua, kau ini--" 　　Putra Mahkota menatap Qin Wang yang bertanya, menjawab: "Saya telah menyebabkan kemarahan Ayah Kaisar, berlutut di sini untuk memohon ampunan-Nya sekaligus berdoa agar Ayah Kaisar cepat pulih." 　　Kerumunan saling bertukar pandangan. 　　Apakah Putra Mahkota telah berubah sikap? 　　Tidak ingin berlama-lama di istana, Qin Wang berkata lembut: "Adik Kedua harus menjaga kesehatan, lantainya dingin." 　　"Benar, Kakak Kedua, hati-hati lutut tidak kuat jika berlutut terlalu lama." Pangeran Qi menyampaikan keprihatinannya. 　　"Terima kasih atas perhatian saudara-saudara. Asalkan Ayah Kaisar berkenan memaafkan dan cepat sembuh, pengorbanan saya tidak berarti apa-apa." Putra Mahkota berkata dengan sungguh-sungguh. 　　Setelah melewati gerbang istana, Pangeran Lu menghela nafas: "Sayang, tidak bisa tinggal untuk Menonton Keributan." 　　Permaisuri Lu melototi suaminya: "Nonton apa lagi, cepat kembali ke rumah keluarga!" 　　Di sisi lain, Lao Qin telah mengibaskan cambuk kuda, menggerakkan kereta kuda Kediaman Pangeran Yan. 　　Di Dalam Kereta, Yu Jin berdecak dingin: "Tak kusangka Putra Mahkota masih bisa menggunakan strategi mengorbankan diri, memang cuma segitu kemampuannya." 　　"Jiang Si bersandar pada bantal yang nyaman, berkata tenang: "Strategi penderitaan tidak terletak pada kerumitannya, tapi bertaruh pada kelembutan hati orang yang menjadi sasarannya." 　　"Menurutmu, apakah Ayah Kaisar akan luluh?" 　　"Sulit dipastikan." 　　Karena reinkarnasinya, banyak hal telah berubah. Ia tidak yakin kapan tepatnya pemecatan kedua Putra Mahkota terjadi. 　　"Mari kita lihat. Kelembutan hati hanya menunjukkan sisa kasih sayang Ayah Kaisar sebagai orang tua, bukan berarti seorang Kaisar masih mengakui Putra Mahkota sebagai penerus," kata Yu Jin dengan datar. 　　Jika dalam kondisi seperti ini Kaisar masih belum berniat memecat Putra Mahkota, maka bisa dikatakan Dinasti Zhou akan runtuh. 　　Di Aula Yangxindian, Pan Hai berbisik pelan: "Baginda, Putra Mahkota masih berlutut di luar." 　　"Biarkan dia terus berlutut!" bentak Kaisar Jingming. 　　Pan Hai tidak berani menanggapi, mundur diam-diam ke samping. 　　Para pangeran telah mengunjungi Kaisar Jingming sejak pagi. Menjelang tengah hari, Putra Mahkota yang berlutut di tangga batu mulai pusing dan dalam hati mengutuk habis-habisan para bawahannya. 　　"Brengsek-brengsek yang memberi saran bodoh! Aku sudah hampir mati berlutut, Ayah Kaisar tetap tidak mau menemuiku!" 　　Sangat menderita, sangat tersiksa-- 　　Putra Mahkota berkali-kali ingin bangkit, tapi mengingat kecemasan selama ini, ia bertahan dengan gigih. 　　Jangan sampai usaha sia-sia. Bertahan sedikit lagi mungkin Ayah Kaisar akan menerima. Melihat kondisinya yang mengenaskan, pasti hati-Nya akan luluh. Sejak kecil, berapa kali ia membuat marah tapi akhirnya Ayah Kaisar selalu melunak... 　　"Putra Mahkota berpikir dengan bingung," matanya berkunang-kunang dan tubuhnya terjatuh ke samping. 　　Pelayan istana segera masuk melaporkan ke Kaisar Jingming. 　　"Putra Mahkota pingsan?" Kaisar Jingming secara refleks melirik jam pasir. 　　Baru tengah hari sudah pingsan karena berlutut, kalau diganti Lao Wu atau Lao Qi, bisa berlutut sampai malam tanpa masalah. 　　Begitu dipikir, Kaisar Jingming semakin marah. 　　"Bawa Putra Mahkota kembali ke Istana Timur!" 　　Putra Mahkota terbangun dan mendapati dirinya sudah kembali ke Istana Timur, langsung duduk tegak: "Kenapa aku di sini?" 　　Seorang pelayan istana menjawab: "Paduka pingsan di luar Aula Yangxindian, Kaisar memerintahkan untuk mengantar Paduka kembali." 　　"Berarti... Ayah Kaisar tidak mau menemui saya?" gumam Putra Mahkota. 　　Pelayan istana tidak berani bersuara. 　　"Permaisuri Putra Mahkota mana?" tiba-tiba Putra Mahkota teringat sesuatu. 　　"Permaisuri Putra Mahkota sedang memasak bubur. 　　Wajah Putra Mahkota menjadi gelap. 　　Tak perlu ditanya, bubur ini untuk dipersembahkan kepada Kaisar. 　　Beberapa hari ini Permaisuri Putra Mahkota setiap hari memasak bubur sendiri dan mengantarnya ke Aula Yangxindian. Meski Kaisar Jingming tidak memakannya, selalu menerima sebagai bentuk pengakuan atas ketulusan hatinya. 　　Semakin dipikir, Putra Mahkota semakin geram. 　　Permaisuri ini begitu menjilat Ayah Kaisar, apakah yakin dia sudah tidak berguna? Hmph, dia justru akan berusaha merebut kembali hati Kaisar, setelah naik tahta nanti baru akan menghabisi perempuan hina ini! 　　Tidak, besok harus berlutut lagi! 　　Hari ini saja dia sampai pingsan, besok jika berlutut lagi, pastilah Kaisar akan menemui. 　　Putra Mahkota sudah bulat tekad, tapi saat meraba lututnya yang bengkak dan perih, kembali ragu-ragu. 　　"Sudah musim gugur yang dalam, anak tangga batu sedingin air. Sakit sekali berlutut di situ, jangan-jangan kaki jadi lumpuh ya?" 　　Setelah berpikir sejenak, Putra Mahkota memanggil dayang yang paling sering 'mengobrol' dengannya dulu, bertanya: "Bisa menjahit?" 　　Dayang itu mengangguk: "Bisa." 　　Putra Mahkota menunjuk ke lututnya: "Buatkan aku sepasang bantalan kapas untuk pelindung lutut." 　　"Ha?" Dayang itu tertegun. 　　Wajah Putra Mahkota langsung muram: "Yang bener bisa atau nggak?" 　　Dayang itu buru-buru menjawab: "Bisa, Paduka ingin model seperti apa—" 　　"Yang tebal saja." Begitu teringat anak tangga yang dingin, Putra Mahkota merasa semakin tebal semakin baik. Tapi khawatir ketahuan, ditambahkannya, "Tidak boleh kelihatan saat pakai jubah luar, ngerti?" 　　Dayang itu mengangguk kaku: "Ngerti." 　　BAB kedua ditulis siang hari. Akhirnya bisa pakai komputer rumah. Beberapa hari ini di perjalanan selalu nulis pakai hape. 600.BAB 599: Gagal di Ambang Keberhasilan 　　BAB 599: Gagal di Ambang Keberhasilan 　　Keesokan harinya, Putra Mahkota kembali berlutut di anak tangga luar Aula Yangxindian. Bertahan sampai hampir tengah hari, lalu pingsan lagi. 　　"Paduka, Yang Mulia pingsan." Pan Hai mendekati Kaisar Jingming, melapor pelan. 　　Kaisar Jingming yang sudah sakit beberapa hari ini wajahnya pucat kekuningan. Mendengar laporan itu kelopak matanya berkedut: "Bawa kembali ke Istana Timur." 　　Pan Hai keluar dari aula, berseru: "Antarkan Putra Mahkota kembali ke istana!" 　　Putra Mahkota yang tengkurap di anak tangga dingin itu perlahan menggerakkan kelopak matanya. 　　Kali ini, dia pura-pura pingsan. 　　“Pakai bantalan kapas di lutut memang bagus, tidak sesakit kemarin, tapi terus berlutut tetap tidak tertahankan, lebih baik lanjutkan besok saja.” 　　Putra Mahkota segera diangkat pergi oleh beberapa pelayan istana. 　　Pan Hai berbalik kembali. 　　Kaisar Jingming membuka mata: “Putra Mahkota sudah pulang?” 　　“Benar.” Pan Hai mendekat, mulai memijit betis Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming diam seribu bahasa, tenggelam dalam pikirannya. 　　Hari ketiga, kerumunan menunggu di aula, melihat Pan Hai mendekat, serentak memandang ke Putra Mahkota. 　　Sudah hari ketiga, apakah Ayah Kaisar akhirnya mau menemui Putra Mahkota? 　　Putra Mahkota pun tidak bisa menahan kegelisahannya. 　　Jika hari ini Ayah Kaisar masih menolak menemuinya, dia harus kembali berlutut di luar. 　　Pan Hai memandang sekeliling kerumunan, berkata: “Kaisar memanggil beberapa pangeran dan permaisuri untuk masuk.” 　　Wajah Putra Mahkota dipenuhi kekecewaan. 　　Ternyata tetap tidak mau menemuinya! 　　Putra Mahkota mengeratkan gigi, berbalik menuju keluar aula. 　　Berlutut ya berlutut, dia tidak percaya Ayah Kaisar akan membiarkannya berlutut terus seperti ini. 　　Pangeran Lu paling suka menertawakan Putra Mahkota, menoleh menyaksikannya pergi sambil menyipitkan mata, seolah merenungkan sesuatu. 　　“Lihat apa? Ayo pergi, tinggal kita yang tertinggal.” Permaisuri Lu menarik lengan Pangeran Lu. 　　“Eh, baik.” Pangeran Lu mengikuti kerumunan masuk sambil terus berpikir. 　　Ada kesan familiar dalam gerak-gerik Putra Mahkota... 　　Kaisar Jingming memandangi anak-anak lelakinya yang berduyun masuk dengan wajah lesu. 　　“Sudah kukatakan, kalian tidak perlu datang setiap hari.” 　　Kerumunan serentak berkata, "Anak lelaki (menantu perempuan) tidak bisa menjaga di sisi Ayah Kaisar untuk merawat sudah seharusnya dilarang, jika tidak datang menjenguk Ayah Kaisar, itu semakin tidak berbakti." 　　Kaisar Jingming mengarahkan pandangannya ke wajah putra-putranya secara perlahan, berkata, "Aku tersentuh kalian memiliki niat ini, hanya berharap persaudaraan antar kalian bisa saling mendukung, itulah bentuk bakti terbesar." 　　Kerumunan segera menyahut. 　　Pangeran Qi berkata, "Ayah Kaisar, Kakak Kedua sudah berlutut tiga hari, keperawanannya mungkin tidak tahan... Mohon redakan amarah Paduka dan izinkan Kakak Kedua bangkit." 　　Pangeran Lu diam-diam menyeringai. 　　Ayah Kaisar baru saja menekankan pentingnya persaudaraan yang harmonis, Lao Si sudah membela Putra Mahkota, benar-benar pandai memanfaatkan celah. 　　"Benar, Ayah Kaisar, anak tangga ini dingin, berlutut lama akan merusak kaki..." Qin Wang ikut membujuk. 　　Ekspresi Kaisar Jingming mulai melunak. 　　Kekecewaannya pada Putra Mahkota tidak berarti ingin melihat sang putra cacat kedua kakinya. 　　Sudahlah, berlarut-larut seperti ini tidak ada gunanya. Cari waktu tepat untuk menjelaskan pada Putra Mahkota, biarkan dia menjadi pangeran tak berkuasa di kemudian hari. Ini mungkin yang terbaik bagi Dinasti Zhou maupun anak yang tak berguna ini. 　　Kaisar Jingming mengambil keputusan, berkata pada Pan Hai: "Panggil Putra Mahkota masuk." 　　Melihat Kaisar Jingming melunak, kerumunan menunjukkan ekspresi ambigu. 　　Baru tiga kali berlutut Sang Kaisar sudah luluh, terbukti Putra Mahkota tetap yang paling istimewa di hati Ayah Kaisar. 　　Pan Hai keluar dari aula, menghampiri Putra Mahkota: "Paduka, Sang Kaisar memanggil Tuan masuk." 　　Putra Mahkota bangkit terburu-buru: "Ayah Kaisar mau menemui saya?" 　　“Paduka silakan.” 　　Putra Mahkota langsung bergegas masuk, begitu melihat wajah Kaisar Jingming langsung bersujud sambil berkata penuh semangat: "Anak lelaki memberi salut pada Ayah Kaisar." 　　Pangeran Lu menatap tajam ke arah Putra Mahkota, perasaan familiar itu semakin kuat. 　　Saat Putra Mahkota bersujud tadi, ada yang aneh di area lututnya seolah menyelipkan sesuatu – mata Pangeran Lu tiba-tiba membelalak. Andai tidak di depan banyak orang, pasti sudah menepuk dahinya. 　　Pantasan terasa familiar! Dulu waktu muda sering dihukum bersujud, diam-diam kan menyelipkan bantalan kapas di lutut! 　　Dengan bantalan kapas itu, dia bisa bersujud dari pagi sampai matahari terbenam. 　　Soal cara menyelipkan benda di lutut tanpa ketahuan, Pangeran Lu ahlinya. Putra Mahkota di hadapannya masih kalah jauh. 　　Hehe, bagaimana jika Ayah Kaisar tahu Putra Mahkota menyelipkan bantalan kapas di lutut? 　　Pangeran Lu mengusap dagunya, mulai merancang cara menjebak Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota tak sadar sedang diawasi Pangeran Lu. Setelah memberi salut pun tak bangun, hanya memandang Kaisar Jingming dengan wajah memelas. 　　Melihat ekspresi memelas itu, Kaisar Jingming merasa tak karuan, berkata dingin: "Bangunlah." 　　Putra Mahkota segera bangun, tak peduli kerumunan di sekeliling, bertanya: "Ayah Kaisar sudah membaik? Hari-hari ini anak lelaki tak bisa menemui Ayah, sangat khawatir." 　　Kaisar Jingming bergumam kesal: "Tidak akan mati." 　　Putra Mahkota tertegun, lalu menampar pipinya sendiri: "Ini semua salah anak lelaki, membuat Ayah Kaisar marah." 　　"Sudahlah, kau jangan berbuat ceroboh lagi di kemudian hari." Kaisar Jingming berkata dengan datar. 　　Setelah mengambil keputusan untuk tidak lagi menganggap Putra Mahkota sebagai penerus, sikapnya terhadap anak lelaki ini justru menjadi lebih tenang. 　　Mungkin karena cinta yang mendalam melahirkan tuntutan yang tinggi, kini saat harapannya pupus, justru bisa lebih santai. 　　Putra Mahkota tidak memahami perubahan halus dalam pikiran Kaisar Jingming, malah tersenyum gembira mendengar perkataan itu. 　　Syukurlah! Ayah Kaisar tidak mempermasalahkannya lagi, tidak sia-sia berlutut tadi! 　　"Saya lelah, kalian semua boleh pergi." Kaisar Jingming mulai mengusir mereka. 　　"Semoga Ayah Kaisar beristirahat dengan baik, anak lelaki (menantu perempuan) mohon pamit." 　　Pangeran Lu mulai gelisah. 　　Tidak bisa dibiarkan begitu saja! Jika Putra Mahkota tidak perlu berlutut lagi, bukankah berarti dia lolos dari hukuman? 　　Pangeran Lu memutar matanya, sengaja berjalan di samping Putra Mahkota, lalu diam-diam menjulurkan kakinya. 　　Putra Mahkota yang tidak waspada itu langsung terjungkal ke depan. 　　Dengan cepat, Pangeran Lu menginjak ujung celana Putra Mahkota. Saat Putra Mahkota terjatuh, celananya terlepas, namun masih tertutup mantel luar sehingga hanya memperlihatkan betis. 　　Suasana menjadi sunyi seketika. 　　Setelah lama, Pangeran Xiang yang termuda baru bertanya: "Apa yang ada di lutut Kakak Kedua?" 　　Putra Mahkota yang masih limbung karena jatuh langsung pucat pasi mendengar ini, buru-buru bangkit dan menarik celananya. 　　Kerumunan serentak menoleh ke arah Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming dengan wajah pucat pasi menatap Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota lututnya gemetar lalu bertekuk lutut: "Ayah... Ayah Kaisar——" 　　Barusan Ayah Kaisar tidak melihat, kan? 　　Kaisar Jingming menutup mata sebentar lalu membukanya kembali, berkata dengan nada dingin: "Putra Mahkota dan Pangeran Lu tetap di sini, kalian semua keluar!" 　　Beberapa pangeran meski sangat ingin menyaksikan keributan ini, tak berani menunjukkan ekspresi apapun, buru-buru mundur keluar. 　　Kaisar Jingming kemudian berkata: "Lepaskan celana Putra Mahkota, Aku ingin melihat apa sebenarnya ini." 　　Putra Mahkota panik: "Ayah Kaisar, Ayah Kaisar——" 　　Beberapa pelayan istana maju, dengan gesit menarik celana Putra Mahkota hingga terbuka bantalan kapas yang diikat di lututnya. 　　Putra Mahkota matanya berkunang-kunang, hanya ada satu pikiran: Kali ini benar-benar tamat! 　　Kaisar Jingming menarik napas dalam, menahan dorongan amukannya, berkata datar: "Pan Hai, suruh orang antar Putra Mahkota kembali ke Istana Timur." 　　"Ayah Kaisar, saya salah, saya tidak berani lagi, mohon ampuni saya——" Teriak Putra Mahkota yang masih berusaha meronta sebelum akhirnya dibawa keluar oleh pelayan istana. 　　Kaisar Jingming melirik Pangeran Lu. 　　Pangeran Lu gemetar ketakutan, tertawa kaku: "Ayah Kaisar——" 　　Kaisar Jingming menunjuk ke luar pintu: "Pergi berlutut di sana!" 601. BAB 600 Racun di Hati 　　BAB 600 Racun di Hati 　　Kerumunan tak pelit pergi, memperlambat langkah sambil menunggu di luar. 　　Tak lama kemudian, terlihat Putra Mahkota digotong pelayan istana menuju arah Istana Timur. 　　Permaisuri Putra Mahkota mengatupkan bibir, diam-diam mengikuti dari belakang. 　　“Setelahnya, Pangeran Lu keluar dan dengan patuh berlutut di anak tangga batu.” 　　Kerumunan menyentak sudut bibir mereka, nyaris tertawa. 　　Permaisuri Lu berjalan mendekat dengan wajah hitam, menggertakkan gigi bertanya: "Kau kebanyakan makan ya?" 　　Menganggap Ayah Kaisar bodoh? Tidak sadar dia sengaja? 　　Pangeran Lu melotot ke Permaisuri Lu, berbisik: "Istri kusir, beraninya kau bicara seperti ini pada suamimu?" 　　Dia sudah bersusah payah membongkar kebohongan Putra Mahkota di tempat, malah dibilang menganggur? 　　Permaisuri Lu berlutut di samping Pangeran Lu dengan wajah muram: "Ayah Kaisar baru saja berpesan untuk saling menyayangi sesama saudara, tapi kau langsung menjatuhkan celana Putra Mahkota. Bukannya ini menunjukkan permusuhan terbuka, membuat Ayah Kaisar bagaimana memandangmu?" 　　Pangeran Lu menyeringai: "Aku sudah jadi pangeran, mau dipandang bagaimana lagi? Sudah, untuk apa kau berlutut di sini? Cepat pulang ke rumah urusi para gadis! Memang perempuan itu rambut panjang pikiran pendek!" 　　Dengan mempertaruhkan risiko dihukum, dia berhasil memperburuk citra Putra Mahkota di mata Ayah Kaisar. Siapa tahu ini memicu tekad Ayah Kaisar untuk memecat Putra Mahkota. Dipikir-pikir, sangat worth it! 　　Berlutut sebentar apa sih? Lututnya sudah berkapal! 　　Pangeran Qi kembali ke Kediaman Pangeran Qi sambil tertawa terbahak-bahak. 　　"Tak disangka Lao Wu ikut campur, malah membuat Ayah Kaisar semakin kecewa pada Putra Mahkota." 　　Permaisuri Qi tampak gelisah: "Tuan, jangan-jangan Pangeran Lu juga punya niatan itu..." 　　“Pangeran Qi tersenyum tidak setuju: ‘Tidak apa. Lao Wu berani tapi tak punya strategi, Ayah Kaisar pasti tidak akan memilihnya.’” 　　Permaisuri Qi mengangguk: “Pangeran, menurutmu apakah Ayah Kaisar sudah kehilangan harapan pada Putra Mahkota kali ini?” 　　Pangeran Qi menyeruput tehnya, senyum di sudut bibirnya tak kunjung pudar: “Menurut pemahamanku tentang Ayah Kaisar, seharusnya sudah. Jika masih ada harapan, Beliau bahkan takkan repot marah. Sikap dingin ini tanda sudah sepenuhnya menyerah.” 　　Wajah Permaisuri Qi berseri: “Kalau begitu, apakah Ayah Kaisar berniat memecat Putra Mahkota untuk kedua kalinya?” 　　Pangeran Qi menaruh cangkir tehnya dengan keras di meja: “Ini belum cukup.” 　　“Pangeran——” 　　Sorot mata Pangeran Qi dingin membeku: “Restu Kekaisaran sulit ditebak. Putra Mahkota pernah dipecat lalu dipulihkan, siapa tahu setelah dipecat kedua kali bisa bangkit kembali?” 　　“Maksud Paduka——” 　　Suara Pangeran Qi datar tanpa gelombang: “Hanya orang mati yang takkan bangkit kembali.” 　　Permaisuri Qi mengerutkan alis: “Dari pengamatanku, sekalipun Ayah Kaisar ingin memilih calon penguasa baru, Beliau takkan mengambil nyawa Putra Mahkota.” 　　“Belum tentu.” Senyum Pangeran Qi penuh makna. 　　Putra Mahkota yang diantar pelayan istana kembali ke Istana Timur, seluruh dirinya putus asa. Ia menggenggam pergelangan Permaisuri Putra Mahkota: “Ayah Kaisar pasti takkan memaafkanku lagi, bukan?” 　　Permaisuri Putra Mahkota menatap pergelangan tangannya yang diremas sakit, berkata datar: “Aku tidak tahu.” 　　"Sampai saat ini, bukankah suami ini masih belum mengerti? Jika Ayah Kaisar masih punya sedikit harapan padanya, tak mungkin sampai malas memarahi sekalipun." 　　Putra Mahkota melepaskan tangan Permaisuri Putra Mahkota, geram: "Tidak tahu, tidak tahu! Lalu apa yang kau tahu? Kau hanya tahu membawa Chun Ge'er menghadap Ayah Kaisar untuk mencari muka, tapi tidak berpikir jika aku celaka, kalian bisa selamat?" 　　Permaisuri Putra Mahkota memandang Putra Mahkota sambil menghela napas, langka menyetujui ucapannya: "Paduka benar, kita satu keluarga. Jika Paduka celaka, saya dan Chun Ge'er pasti ikut sengsara. Karena itu mohon Paduka pertimbangkan Chun Ge'er sebelum bertindak." 　　"Tak perlu kau ingatkan!" Pahit hati tak tersalurkan, Putra Mahkota melemparkan kalimat itu lalu berbalik pergi. 　　Keesokan harinya, Putra Mahkota bahkan tak bisa mendekati Aula Yangxindian sebelum diantar pulang oleh pelayan istana. 　　"Kaisar membebaskan Paduka dari salut. Paduka tak perlu datang lagi ke depan." 　　Putra Mahkota tercengang, kembali ke Istana Timur lalu limbung berjalan ke taman, tak tahu berapa lama akhirnya jongkok terduduk. 　　Di bawahnya hamparan rumput lembut, sekelilingnya harum bunga yang dingin. 　　Putra Mahkota menutupi wajah, keputusasaan memuncak. 　　Apa yang harus dia lakukan? 　　Tiba-tiba gemuruh diskusi samar terdengar dari balik rimbun bunga. 　　"Bagaimana nasib kita jika Paduka dipecat lagi?" 　　Putra Mahkota mengepal tangan, ingin segera menghajar pengucap kalimat itu. 　　Orang luar berprasangka begitu sudah biasa, tapi orang istananya sendiri juga berkomentar demikian? 　　"Dia kan masih Putra Mahkota!" 　　"Jangan asal bicara, Putra Mahkota baru saja dipulihkan, mana mungkin dipecat lagi?" 　　"Asal bicara? Kau tidak tahu sikap Kaisar terhadap Putra Mahkota?" 　　"Kaisar sepertinya tidak sering marah kepada Paduka—" 　　"Justru itu pertanda buruk." 　　"Bagaimana maksudnya?" 　　"Bayangkan, calon penguasa berkaitan dengan kelangguran Dinasti Zhou kita, mana mungkin Kaisar tidak serius? Sekarang sampai malas marah pada Putra Mahkota, sudah jelas ada niat..." 　　"Maksudmu pemecatan kedua Putra Mahkota—" 　　"Pelankan suara!" orang yang bicara tadi membentak, "Urusan para bangsawan bukan wilayah kita, tapi kita semua orang Istana Timur. Begitu Putra Mahkota dipecat, nasib kita pasti sial, ingat nasib orang-orang dulu." 　　"Lalu harus bagaimana? Cari jalan lain?" 　　"Cari jalan lain? Hah! Sudah tercap stempel Istana Timur, mau cari apa? Kita dengan Putra Mahkota itu satu tenggelam semua tenggelam, satu jaya semua jaya." 　　"Andai saja Paduka bisa naik takhta." 　　"Awas kau! Berani bicara begitu!" 　　"Bisik-bisik saja, tidak ada yang dengar. Aku hanya merasa sayang, Paduka sudah 30 tahun jadi Putra Mahkota, tinggal selangkah lagi—" 　　Orang tadi menghela napas: "Ini takdir, siapa suruh Putra Mahkota sejak kecil tak ada perlindungan Permaisuri Pertama..." 　　Putra Mahkota menggenggam tinju semakin kencang, urat tangan menonjol. 　　Suara percakapan menghilang, hanya langkah kaki yang makin menjauh. 　　Dari awal sampai akhir, Putra Mahkota tidak menampakkan diri. 　　“Di masa lalu, dengan sifatnya yang seperti itu, pasti dia akan menyeret kedua orang itu keluar dan memberikan pelajaran keras. Tapi sekarang dia sudah tidak punya keinginan itu lagi.” 　　“Mereka benar. Ayah Kaisar bahkan tidak lagi marah padanya, pasti sudah memutuskan untuk memecatnya.” 　　Dipecat untuk kedua kalinya... Dia benar-benar menjadi bahan tertawaan dalam sejarah! 　　Putra Mahkota melangkah limbung, langsung menyergap ke ruang belajar dan mulai membuka-buka catatan sejarah. 　　Setelah membalik-balik lembaran sejarah, nasib tragis para putra mahkota yang dipecat membuatnya merinding. 　　Dia bahkan menemukan satu fakta: dari mereka yang diangkat sebagai putra mahkota sejak lahir, hampir tidak ada yang akhirnya naik takhta dengan mulus. Delapan atau sembilan dari sepuluh orang berakhir tragis. 　　Putra Mahkota tiba-tiba memukul meja tulis dengan keras. 　　Tidak, dia tidak ingin berakhir seperti itu! 　　Tapi apa yang harus dilakukan? 　　Tiba-tiba Putra Mahkota teringat omongan yang pernah didengarnya. 　　“Andai saja Paduka bisa naik takhta.” 　　“Paduka sudah menjadi putra mahkota selama tiga puluh tahun lebih, tinggal selangkah lagi——” 　　Hati Putra Mahkota berdegup kencang. 　　Bagaimana jika dia yang naik takhta? 　　Daripada hidup dalam ketakutan terus-menerus akan dipecat ayahnya, jika dia menjadi kaisar, siapa lagi yang bisa memecatnya? 　　Benar! Dia harus merebut takhta sebelum ayahnya memecatnya! 　　Putra Mahkota menekan tangannya di dada, di sana berkecamuk satu pikiran: Untuk naik takhta, ayah kaisar harus mati! 602.BAB 601 Jalan Sesat 　　BAB 601 Jalan Sesat 　　Seorang putra mahkota, apalagi yang pengecut, ingin membunuh kaisar itu sulitnya seperti menyuruh babi betina memanjat pohon. 　　Membunuh kaisar jelas tidak mungkin, sekarang dia bahkan tidak bisa bertemu wajah Ayah Kaisar. 　　Memberontak? Jangan bercanda, dia hanya punya sedikit pasukan Istana Timur yang tunduk padanya, mustahil berhasil. 　　Putra Mahkota menarik-narik rambutnya. 　　Tampaknya terlalu sulit menyelesaikan masalah Ayah Kaisar melalui cara resmi. 　　Bagaimana ya? 　　Putra Mahkota yang lunglai seperti tak bertulang di kursinya menatap langit-langit dengan cemas, berpikir keras. 　　Yang juga merenungkan masalah ini adalah Pangeran Qi. 　　Sekarang dia sangat penasaran apa yang akan dilakukan Sang Putra Mahkota. 　　Meski telah membangkitkan tekad nekat Sang Putra Mahkota, dia tidak tahu metode apa yang bisa ditemukan kakak kedua yang bodoh ini. 　　Ini juga yang disesali Pangeran Qi. 　　Dia berada di luar istana, sulit mengulurkan tangan ke dalam istana. 　　Dua pelayan istana kecil di Istana Timur bisa disuap karena situasi genting istana tersebut. 　　Janjinya untuk mempromosikan mereka di masa depan berhasil menggoda hati keduanya. 　　Bekerja untuknya masih ada masa depan, mengikuti Putra Mahkota berarti mati, hanya orang bodoh yang tidak tahu memilih. 　　Putra Mahkota terus-menerus cemas, sering melamun, selalu memikirkan sesuatu. 　　Melihat keadaan suaminya, Permaisuri Putra Mahkota merasa gelisah. Meski sudah sangat kecewa dengan pria ini, dia tetap menasihati: "Paduka harus semangat lagi, jangan putus asa." 　　Bertahanlah, sampai kesehatan Ayah Kaisar pulih sepenuhnya dan punya tenaga untuk menangani pencabutan gelar Putra Mahkota. Agar keluarga mereka bisa hidup tenang di sisa hari. 　　Putra Mahkota semakin kesal mendengar perkataan Permaisuri: "Bagaimana caranya membangkitkan semangat? Kau masih sempat-sempatnya memasak bubur setiap hari untuk merayu Ayah! Apa gunanya? Jika Ayah mencabut gelarku, kau pikir kau masih bisa jadi Permaisuri?" 　　Permaisuri Putra Mahkota tak tahan lagi: "Aku tak pernah menginginkan gelar Permaisuri—" 　　Putra Mahkota merah padam mencengkeram dagu Permaisuri, bertanya dengan gigi gemeretak: "Lalu kau ingin jadi apa?" 　　Tidak mau jadi Permaisuri, meremehkanku sebagai Putra Mahkota. Apa kau ingin jadi Permaisuri Yan? 　　Sudah kuduga perempuan hina ini punya perasaan khusus pada Lao Qi! 　　Permaisuri sama sekali tak mengerti dari mana amarah Putra Mahkota berasal. Bulu matanya bergetar, bibirnya terkunci: "Aku hanya ingin tetap menjadi ibu Chun Ge'er selamanya." 　　Sekalipun harus jadi rakyat jelata pun tak masalah. Yang ditakutkannya adalah mengikuti suami seperti Putra Mahkota yang takkan berakhir baik—tak bisa melihat Chun Ge'er tumbuh dewasa, bahkan mungkin Chun Ge'er sendiri... 　　Wajah Permaisuri pucat membeku, tak berani melanjutkan pikiran itu. 　　Jawaban ini membuat Putra Mahkota tertegun sejenak, lalu meledak: "Bintang sial! Kau mengutukku ya!" 　　Permaisuri memegangi pipinya yang perih terbakar, memandangi Putra Mahkota dengan tak percaya. 　　Hubungan mereka memang selalu tegang, tapi ini pertama kalinya Putra Mahkota melakukan kekerasan padanya. 　　Melihat Permaisuri Putra Mahkota dalam keadaan seperti ini, Putra Mahkota merasa puas secara aneh dan berkata dengan nada sinis, "Ayah Kaisar sudah sangat kecewa padaku, kau pikir aku masih peduli?" 　　Hati Permaisuri Putra Mahkota semakin membeku. 　　Rupanya sebelumnya suaminya tidak memukulinya hanya karena takut Ayah Kaisar marah, namun sekarang seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki, bertindak semena-mena. 　　"Jangan banyak bicara ucapan sial lagi!" Putra Mahkota melemparkan kalimat ini sebelum pergi sambil mengibaskan lengan baju. 　　Permaisuri Putra Mahkota menatap punggung Putra Mahkota yang pergi tanpa berkata-kata, di hatinya berkecamuk pertanyaan: Jika Putra Mahkota sudah menyadari posisi calon penguasa sulit dipertahankan, dari mana datangnya keberaniannya? 　　Putra Mahkota meninggalkan Permaisuri, lalu berjalan menuju dayang kesayangannya. 　　Dayang itu bertanya dengan hati-hati, "Paduka tidak bahagia?" 　　Putra Mahkota melirik dayang itu, diam. 　　"Marah merusak kesehatan, Paduka minum teh untuk meredakan amarah." Dayang itu menyajikan secangkir teh panas. 　　Putra Mahkota meneguk teh, tetap gelisah. Ia menaruh cangkir dengan keras di meja kayu mahoni, bergumam, "Bagaimana cara membunuh seseorang tanpa ketahuan?" 　　"Paduka berkata apa?" 　　Sudah bertahun-tahun Putra Mahkota curhat dengan dayang ini yang dianggapnya bisa dipercaya. Dalam keputusasaan ia bertanya, "Menurutmu, bagaimana cara membunuh seseorang tanpa ketahuan?" 　　Wajah dayang itu pucat, menggigit bibir, "Meracuni?" 　　Putra Mahkota menggeleng, "Racun tidak bisa, masih bisa terdeteksi." 　　Pertama, dia harus mendapatkan racun, kedua harus bisa meracuni Ayah Kaisar, dan kedua hal ini sama-sama mustahil. 　　Putra Mahkota mulai merasa putus asa. 　　Dia benar-benar bingung sampai bertanya pada seorang dayang kecil. Jika dia saja tidak bisa menemukan cara, mungkinkah dayang kecil itu punya ide? 　　Tiba-tiba dayang kecil itu mengucapkan dua kata: "Ilmu sihir Gu?" 　　Putra Mahkota kaget dan menatap tajam dayang itu: "Kau bilang apa?" 　　Wajah dayang itu pucat saat berbisik gemetar: "Di kampung hamba ada ilmu sihir Gu yang bisa membunuh orang tanpa disadari..." 　　"Bagaimana caranya?" tanya Putra Mahkota dengan suara bergetar. 　　Dayang itu menggigit bibirnya: "Tidak sulit, buat boneka dari kayu tong, tulis tanggal lahir dan mantra orang tersebut, lalu kubur di suatu tempat..." 　　Mata Putra Mahkota berkilat, hatinya berdebar kencang. 　　Penyakit datang bagai longsor, sembuh sehelai demi sehelai. Setelah sakit beberapa waktu, meski masih lesu, Kaisar Jingming memutuskan untuk sidang pagi. 　　Terlalu lama tidak mengadapat sidang bukanlah hal baik. 　　Para menteri yang menunggu di Gerbang Qianqing bersukacita mendengar Kaisar akan menerima mereka. 　　Kesehatan Kaisar akhirnya membaik, hati yang tergantung selama ini bisa tenang. 　　Selama ini para menteri tetap datang pagi-pagi ke Gerbang Qianqing meski hanya mendapat kabar Kaisar masih sakit, sehingga pertemuan hari ini membuat semua gembira. 　　Bagaimana lagi? Meski calon penguasa sudah berusia tiga puluh tahun, tapi tetap tidak bisa diandalkan. Jika Kaisar jatuh sekarang, Dinasti Zhou pasti dalam bahaya. 　　"Kaisar Jingming ditopang oleh Pan Hai duduk di kursi naga. Setelah para menteri memberi salam, beliau berkata perlahan: "Para qing, bangkitlah." 　　Para menteri berdiri tegak, melirik sekilas ke arah Kaisar Jingming. Melihat penampilannya masih cukup baik, mereka diam-diam menghela nafas lega. 　　Kaisar tampak benar-benar pulih. Syukurlah. 　　"Para menteri yang terkasih, laporkanlah urusan kalian satu per satu." Kaisar Jingming yang sudah lama tidak mengikuti sidang pagi merasa rindu. Kembali ke lingkungan yang familiar, senyum tak sengaja mengembang di wajahnya. 　　Sudah lama dia tidak mendengar para pejabat tua ini berdebat hingga muka merah dan leher tegang. 　　Seorang menteri maju melaporkan urusan penting terkini. 　　Disusul oleh menteri lainnya yang tampil ke depan. 　　Mereka sudah lama menunggu Kaisar Jingming mengadakan sidang. Berbagai departemen menumpuk banyak urusan tertunda. 　　Kaisar Jingming mendengarkan dengan sabar laporan para menteri, sembari merenungkan urusan pemecatan Putra Mahkota. 　　Memecat putra mahkota untuk kedua kalinya bukan perkara sepele. Lebih baik ditunda dulu, setidaknya tidak diungkit saat kondisi fisiknya baru pulih dan hati para pejabat militer-sipil belum stabil. 　　Para menteri yang mempertimbangkan kondisi Kaisar yang baru sembuh, tidak melaporkan masalah terlalu rumit. Adegan perdebatan sengit yang dirindukan Kaisar tak juga terjadi hingga tiba waktunya sidang ditutup. 　　"Ada yang hendak dilaporkan? Jika tidak ada, sidang ditutup--" 　　Para menteri membungkuk: "Hamba-hamba mengantarkan Keberangkatan Yang Mulia." 　　Kaisar Jingming yang ditopang tangan Pan Hai berjalan dua langkah, tiba-tiba merasakan sakit tajam di dada. Badannya oleng dan terjatuh ke depan. 　　Semuanya ingat untuk vote ya, kalau tidak ada Suara bulanan, Rekomendasi juga sangat dibutuhkan. Seperti Kembang kita hampir stabil di top 3 daftar bestseller harian, artinya banyak yang baca lanjut, tapi di chart rekomendasi bahkan sering tidak masuk 10 besar. Selain itu rekomendasikan "Lukisan Musim Semi" karya Wei You, cerita ringan dan lucu, bisa kalian baca. Sinopsis: 　　Dentuman petir menggelegar tiba-tiba, ahli gosip tingkat dewa Xue Wan bereinkarnasi! 　　Sebagai pemimpin tim pengumpul gosip istana Qianji Si, mulai dari pejabat tinggi sampai rakyat jelata, tidak ada skandal di Dinasti Sheng yang tidak dia ketahui. 　　Hidup kembali dengan kemampuan khusus, mengubah awan dengan telapak tangan, menumpahkan hujan dengan punggung tangan! 　　Xue Wan: Sudah reinkarnasi, tidak boleh lagi hidup sengsara seperti kehidupan sebelumnya, sehari pun tidak boleh! Tianwang Laozhi pun tidak boleh! 603. BAB 602 Sakit Hati 　　BAB 602 Sakit Hati 　　Kaisar Jingming terjatuh tiba-tiba, membuat para menteri panik. 　　"Kaisar--" Teriakan panik bergema, terdengar seperti dengungan nyamuk di telinga Kaisar Jingming. 　　Ia sudah tidak peduli dengan citra di depan para menteri, memegangi dadanya sementara keringat dingin bercucuran. 　　Pan Hai menopang tubuh Kaisar Jingming dengan separuh badannya, berbisik: "Baginda, ada apa?" 　　Suara Kaisar Jingming lirih: "Bawa... bawa aku masuk..." 　　Pan Hai tidak berani bertanya lagi, segera membawa Kaisar Jingming pergi. 　　Aula istana sudah kacau balau. 　　Para menteri saling pandang bingung. 　　"Bukannya Baginda sudah sembuh total, kenapa bisa--" 　　"Iya, melihat kondisi Baginda, sungguh mengkhawatirkan..." 　　"Mungkinkah Baginda punya penyakit lain yang tersembunyi?" 　　“Paduka Zhang, berhati-hatilah dengan ucapan!” 　　Tak lama kemudian, seorang pelayan istana keluar dan berseru: “Para Paduka harap bubar.” 　　Para menteri tak mau menyerah, berkerumun mengelilingi pelayan istana hingga tak ada celah, bertanya ramai-ramai: “Bagaimana keadaan Kaisar?” 　　Pelayan istana terus menjawab: “Para Paduka tenang, tabib istana sudah memeriksa Kaisar. Kaisar tidak apa-apa...” 　　“Lalu kondisi Kaisar sebenarnya bagaimana? Apakah penyakit sebelumnya belum sembuh?” 　　Pelayan itu berkeringat dingin, mengusap dahinya: “Detailnya keluarga kami tidak tahu. Para Paduka lebih baik pulang dan menunggu kabar.” 　　“Kaisar jatuh sakit, mana mungkin kami sebagai bawahan bisa pulang dengan tenang menunggu kabar.” 　　“Benar, kami harus tahu kondisi Kaisar baru bisa pulang dengan tenang.” 　　Pelayan istana berdehem: “Kaisar benar-benar tak apa-apa. Perintah untuk pulang ini juga dari Kaisar. Apakah Paduka-paduka mau melanggar titah kaisar?” 　　Para menteri tertegun sejenak. 　　Pelayan istana segera menyelinap pergi saat ada kesempatan. 　　Setelah pelayan pergi, para menteri saling pandang, menghela napas, lalu pergi dengan perasaan berat. 　　Saat meninggalkan ibu kota, langit mendung. Cuaca suram mencerminkan suasana hati para menteri. 　　Apakah langit Dinasti Zhou akan berubah? 　　Pertanyaan yang menggelayut di benak para menteri segera menyebar ke dalam dan luar istana, menciptakan kecemasan. 　　Kaisar Jingming yang wajahnya pucat bertanya pada tabib: “Aku sebenarnya sakit apa?” 　　Tabib gemetar menjawab: “Paduka, sepertinya Anda mengalami serangan jantung...” 　　“Serangan jantung？” Kaisar Jingming mengingat rasa sakit menusuk yang baru saja dialami, wajahnya semakin pucat. 　　Perasaan lemas akibat nyeri itu melanda seluruh tubuhnya, membuatnya memiliki firasat buruk. 　　Apakah dia sudah tidak bisa bertahan? 　　Dia tidak pernah berpikir seorang Kaisar bisa hidup abadi, tapi juga tidak ingin mengalami masalah di saat seperti ini. 　　Calon penguasa tidak layak diandalkan, jika sesuatu terjadi padanya sekarang, negara dan altar leluhur akan terancam. 　　Dia benar-benar akan mati dengan penuh penyesalan! 　　Begitu memikirkan hal ini, Kaisar Jingming merasa kesedihan menguasai hatinya, sudut matanya mulai basah. 　　“Apakah parah？” Setelah rasa sakit yang hebat, Kaisar Jingming bahkan tidak punya tenaga untuk berbicara, bertanya dengan lemah. 　　Tabib istana berkeringat dingin ditanya demikian, bergumam pelan: “Hamba yang bodoh akan membuatkan ramuan obat untuk Kaisar...” 　　Bibir Kaisar Jingming bergetar, dia mulai memahami implikasinya. 　　Ini berarti mereka bahkan tidak yakin apa penyebab penyakitnya. 　　Suasana hati Kaisar Jingming semakin buruk, menggerakkan tangan menyuruh semua tabib mundur. 　　Permaisuri yang bergegas datang juga terlihat pucat, memegang tangan Kaisar bertanya: “Baginda, sejak kapan serangan sakit seperti ditusuk ini mulai?” 　　Kaisar Jingming bersandar di bantal, keningnya basah oleh keringat dingin, menjawab lemah: “Tepat saat akan membubarkan sidang istana, sebelumnya tidak pernah terasa sakit.” 　　Dia juga merasa heran, penyakit sebelumnya disebabkan oleh kemarahan pada Putra Mahkota, seharusnya sudah hampir sembuh, bagaimana bisa tiba-tiba kambuh? 　　Permaisuri mengusap keringat di dahi Kaisar Jingming dengan saputangan, setelah lama terdiam berkata pelan: "Kaisar, apakah Yang Mulia merasa penyakit ini datang terlalu mencurigakan?" 　　"Hmm?" 　　Permaisuri menggigit bibirnya: "Mungkin ini bukan penyakit biasa." 　　"Apa yang kau pikirkan?" Sorot mata Kaisar Jingming menjadi tajam. 　　Permaisuri ragu lama sebelum akhirnya berkata: "Hamba teringat peristiwa pembunuhan Pangeran Kelima Belas dan kejadian di Gunung Qingliang. Saat itu penari yang meracuni Pangeran Kelima Belas dan Selir Yang sama-sama meninggal karena serangan jantung mendadak--" 　　Permaisuri tidak berani melanjutkan, cemas mengamati ekspresi wajah Kaisar Jingming. 　　Wajah Kaisar Jingming berubah drastis, tangannya gemetar tak terkendali. 　　Sebenarnya dia sudah menduga hal ini samar-samar, hanya tidak berani memikirkannya lebih jauh. Kini setelah diucapkan Permaisuri, mustahil lagi menipu diri sendiri. 　　Tiba-tiba hatinya terasa diremas, jangan-jangan ada yang ingin mencelakakannya? 　　"Tapi Dayang Duo sudah mati..." Kaisar Jingming mengerutkan alis memandang Permaisuri. 　　Permaisuri juga bingung, mengerutkan kening tanpa bicara. 　　Wajah Kaisar Jingming semakin pucat, suaranya gemetar: "Jangan-jangan... masih ada kaki tangan Dayang Duo di istana?" 　　"Kaisar, bukan tidak mungkin--" 　　Sebelum selesai bicara, Kaisar Jingming tiba-tiba memegang dadanya, sekujur tubuhnya basah keringat. 　　Permaisuri panik, berteriak kencang: "Tabib istana, tabib istana--!" 　　Beberapa tabib istana bergegas masuk, namun hanya bisa melihat Kaisar Jingming menggelepar kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa. 　　"Kalian semua tidak berguna!" Hardik Permaisuri yang jarang meninggikan suara. 　　“Seluruh tabib istana berlutut di lantai memohon ampun.” 　　Permaisuri tak sempat lagi memarahi para tabib, tangannya mengusap-usap dada Kaisar Jingming. 　　Beberapa saat kemudian, Kaisar Jingming baru bisa melewati rasa sakitnya, seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. 　　Melihat kondisi Kaisar Jingming yang semakin memburuk, Permaisuri berkata dengan suara keras: "Kalian semua mundur!" 　　Para tabib beserta pelayan istana segera meninggalkan ruangan, hanya menyisakan Pan Hai di tempat. 　　Kejadian ini membuat Kaisar Jingming semakin lemah, dengan susah payah ia membuka mata memandang Permaisuri. 　　Ia tahu Permaisuri sengaja menyuruh orang-orang mundur pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. 　　"Paduka, bagaimana jika memanggil Permaisuri Yan untuk menghadap ke istana?" 　　Kelopak mata Kaisar Jingming bergetar halus. 　　Permaisuri menatap Kaisar Jingming, berbisik lembut: "Mungkinkah serangan jantung Paduka seperti penyakit mata Fuqing? Bagaimanapun, panggil dulu Permaisuri Yan untuk memeriksanya." 　　Kaisar Jingming mengangguk, setelah berpikir sejenak berkata: "Tak perlu khusus memanggil istri Lao Qi. Mereka pasti sudah mendapat kabar dan akan segera menghadap." 　　Jika sakit hatinya terkait dengan Dayang Duo, sebaiknya jangan menarik istri Lao Qi ke dalam masalah ini. 　　Benar saja, tak lama kemudian para pelayan istana mulai melapor bahwa beberapa pangeran beserta permaisuri mereka datang menjenguk. 　　Dari Istana Timur, Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota juga telah tiba. 　　Pan Hai memasuki aula tempat para tamu menunggu, matanya menyapu sekeliling: "Paduka memerintahkan Pangeran Yan dan Permaisuri Yan untuk menghadap." 　　Ekspresi kerumunan tiba-tiba menjadi aneh. Setelah Yu Jin dan Jiang Si pergi bersama Pan Hai, mereka saling pandang bingung. 　　Ayah Kaisar tiba-tiba sakit, tapi malah memanggil pasangan Lao Qi pertama kali? 　　Pangeran Lu mengusap dagunya sambil bergumam, "Tak kusangka, yang paling disayang Ayah Kaisar ternyata Lao Qi!" 　　Permaisuri Lu melotokinya, berbisik, "Jangan banyak bicara." 　　Wajah Pangeran Qi tetap tenang, tapi hatinya gundah. 　　Saat genting baru terlihat ketulusan. Apa maksud Ayah Kaisar memanggil pasangan Lao Qi pertama kali di saat seperti ini? 　　Jangan-jangan jika Putra Mahkota jatuh, rival terbesarku justru Lao Qi? 　　Sakit seperti ditusuk di dada tak tertahankan. Kaisar Jingming sudah tak peduli dengan pikiran orang-orang. Lagipula, pasangan Lao Qi memang banyak membantunya. Ia tak keberatan menunjukkan sedikit perhatian. 　　Setelah Yu Jin dan Jiang Si memberi salam, Kaisar Jingming langsung bersabda, "Istri Lao Qi, lihatlah kondisi tubuhku ada masalah apa." 604. BAB 603 Tidak Relevan 　　BAB 603 Tidak Relevan 　　Jiang Si refleks menatap Yu Jin. 　　Dari nada bicara bisa ditangkap maksud tersirat. Apakah Ayah Kaisar curiga ini bukan penyakit biasa? 　　Yu Jin mengangguk halus. 　　Segala sesuatu ada untung ruginya. Karena A Si memilih tidak menyembunyikan kemampuan, pasti akan sering diminta menunjukkan keahlian. Menolak justru terlihat mencurigakan. 　　Jiang Si maju dan mengamati Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming yang terlalu lama ditatap akhirnya tak tahan bertanya, "Tidak perlu memeriksa denyut nadi?" 　　Jiang Si tersenyum manis: "Tidak perlu, Ayah Kaisar mohon menunggu sebentar." 　　Dia mulai memeriksa mata Kaisar Jingming, kemudian melihat hidung, mulut, leher, jari-jari, dan bagian lain dengan ekspresi yang semakin serius. 　　Wajah Kaisar Jingming tetap tenang, namun hatinya mulai cemas. 　　Apakah kondisi Kaisar lebih rumit daripada kasus Janda Permaisuri karena Istri Lao Qi belum bisa menyimpulkan? 　　Permaisuri yang memahami perasaan tegang Kaisar dan keengganannya menunjukkan kelemahan di depan menantu perempuannya bertanya: "Permaisuri Yan, bagaimana kondisi Kaisar sebenarnya?" 　　Jiang Si merenung sejenak lalu bertanya: "Ayah memanggil saya, apakah curiga ini bukan penyakit biasa?" 　　Permaisuri melirik Kaisar Jingming dan mengangguk: "Benar. Sebelumnya Putri Kelima Belas diracuni penari, saat interogasi penari itu tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Penyakit Kaisar kali ini datang mencurigakan, apakah ada kaitannya dengan Dayang Duo..." 　　Jiang Si dan Yu Jin saling bertatapan. 　　Dayang Duo sudah meninggal, Kaisar dan Permaisuri mencurigai masih ada kaki tangan Dayang Duo di istana. 　　Ekspresi Jiang Si terlihat aneh. 　　Permaisuri tidak tahan berkata: "Permaisuri Yan, apapun keadaannya, kau bisa bicara terus terang. Saya dan Ayahmu bisa menerima." 　　Mengingat Permaisuri Yan punya kemampuan mengendalikan cacing Gu, bahkan bisa menyelesaikan Gu hubungan hati ibu-anak yang dipasang Dayang Duo pada Janda Permaisuri, tentu bisa membantu meringankan beban Kaisar. 　　Kaisar Jingming ikut berkata: "Benar. Istri Lao Qi, kondisi tubuhku sebenarnya bagaimana? Kau boleh langsung mengatakannya, bahkan jika tidak bisa diatasi pun tidak apa-apa." 　　Jiang Si baru menjawab: "Ayah Kaisar, Ibu, bukanlah menantu tidak berani bicara. Setelah melakukan pemeriksaan, gejala Ayah tidak ada hubungannya dengan cacing Gu..." 　　Inilah yang membuatnya heran, Kaisar dan Permaisuri curiga ada kelainan pada penyakit, namun setelah diperiksa berulang kali tidak ditemukan masalah. 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri sama-sama tertegun, saling memandang. 　　"Apakah ini berarti, Aku benar-benar hanya menderita serangan jantung?" Kaisar Jingming bergumam, hatinya semakin berat. 　　Jika itu cacing Gu, dengan kehadiran Istri Lao Qi, justru lebih mudah diatasi. Tapi jika benar penyakit jantung, situasinya mungkin memburuk. 　　Ekspresi Kaisar Jingming menjadi muram. 　　"Permaisuri Yan, apakah kau yakin gejala Kaisar tidak ada hubungannya dengan cacing Gu?" Permaisuri bertanya. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis memandang Permaisuri. 　　Pertanyaan Permaisuri ini berarti menyulitkan Istri Lao Qi. 　　Sebagai ayah sekaligus kaisar, ia sangat memahami bahwa beberapa pertanyaan tidak mudah dijawab. 　　Tiba-tiba Jiang Si berkata: "Yakin." 　　Dua kata pendek itu diucapkan dengan tegas dan pasti. 　　Kaisar Jingming tak bisa tidak memperhatikan Jiang Si lebih lama. 　　Dibandingkan gadis lemah yang mempesona pertama kali dilihatnya di Pesta Bunga Mei, wanita di hadapannya kini lebih tenang, seolah tetap tabah meski gunung runtuh. 　　Kaisar Jingming merasa sangat terhibur. 　　Menantu perempuan keluarga kerajaan memang seharusnya seperti ini. 　　Permaisuri terkejut dengan keberanian Jiang Si. 　　Pertanyaannya ini hanya karena tidak rela menerima kenyataan bahwa Kaisar benar-benar sakit. Dengan kehadiran Permaisuri Yan yang mampu mengendalikan cacing Gu, penyakit justru menjadi masalah paling rumit. 　　Tak disangka Permaisuri Yan memberikan jawaban yang begitu tegas. 　　Kaisar dan Permaisuri saling bertukar pandang. 　　Kaisar Jingming tersenyum masam: "Tampaknya aku terlalu khawatir." 　　Permaisuri berkata dengan malu: "Bukan Kaisar yang berlebihan, ini aku yang berpikir sembarangan——" 　　Kaisar Jingming menggeleng memotong ucapan Permaisuri: "Permaisuri juga bertujuan baik untukku, tak perlu berkata begitu." 　　Jiang Si diam-diam mundur ke samping Yu Jin. 　　"Pan Hai, panggil mereka semua masuk." 　　Pan Hai ragu sejenak, lalu bertanya hati-hati: "Bagaimana dengan Putra Mahkota——" 　　Setelah lama berdiam, Kaisar Jingming berkata: "Panggil Putra Mahkota juga masuk." 　　Karena kondisi tubuhnya sudah memburuk, justru semakin penting untuk menstabilkan hati rakyat. Tunggu sampai kondisinya sedikit pulih, baru akan berdiskusi serius dengan para menteri tentang pemecatan Putra Mahkota. 　　Mendengar keputusan Kaisar Jingming, mata Pan Hai berkedip. 　　Ia telah melayani Kaisar puluhan tahun, terlalu memahami tabiat Kaisar. 　　Justru keinginan Kaisar menemui Putra Mahkota di saat seperti ini merupakan pertanda buruk bagi sang Putra Mahkota. 　　Tampaknya langit Dinasti Zhou benar-benar akan berubah. 　　Membayangkan pemecatan Putra Mahkota yang kedua, Pan Hai merasa ini tidak sesederhana itu. Ia menghela napas dalam hati lalu pergi. 　　Begitu Pan Hai keluar, kerumunan segera mengepungnya bertanya: "Bagaimana kondisi Ayah Kaisar?" 　　Semua orang berpikir: Ayah Kaisar pertama-tama menemui pasangan Lao Qi, lalu siapa yang akan ditemui berikutnya? 　　Pan Hai melirik kerumunan, berkata: "Kaisar memanggil beberapa Pangeran dan Permaisuri untuk masuk." 　　Kerumunan menghela napas lega sementara hati mereka terasa agak rumit. 　　Memanggil pasangan Lao Qi secara terpisah, lalu menemui mereka bersama-sama, tindakan Ayah Kaisar ini benar-benar membingungkan. 　　Apapun pikirannya, kerumunan tetap berjalan masuk, meninggalkan Putra Mahkota berdiri sendirian. 　　Pan Hai menangkupkan tangan ke arah Putra Mahkota: "Paduka, Kaisar juga memanggil Yang Mulia masuk." 　　Putra Mahkota tertegun sejenak, kilatan ketakutan melintas di matanya: "Ayah Kaisar ingin menemui saya?" 　　Kerumunan serentak menoleh. 　　Mereka juga tak menyangka Ayah Kaisar bersedia menemui Putra Mahkota lagi. 　　Di bawah tatapan banyak pasang mata, Putra Mahkota berusaha tenang: "Baguslah, akhirnya Ayah Kaisar mau menemui saya." 　　Namun hatinya berkecamuk, muncul dorongan kuat untuk melarikan diri. 　　Dia telah membuat marah Ayah Kaisar sedemikian rupa, mengapa tiba-tiba bersedia menemuinya? Jangan-jangan sudah mengetahui perbuatannya? 　　Tidak mungkin, hal itu hanya diketahui olehnya dan dayang kecil itu, tidak ada orang ketiga. Ayah Kaisar pasti tidak tahu. 　　Benar, pasti tidak tahu, dia tak boleh panik! 　　Setelah menghibur diri, Putra Mahkota mengikuti kerumunan masuk. 　　Pandangan pertamanya tertuju pada Yu Jin dan Jiang Si yang berdiri berdampingan, baru kemudian melihat Kaisar Jingming yang bersandar di kepala ranjang. 　　Kerumunan bertanya serentak: "Ayah Kaisar, bagaimana kondisi Yang Mulia?" 　　"Saya baik-baik saja." Kaisar Jingming memandangi para pangeran satu per satu dimulai dari Qin Wang. 　　Putra Sulung bersikap tenang dan patuh, namun bagaimanapun juga dia adalah anak angkat, dia juga memiliki kepentingan pribadi. 　　Lao Si yang merupakan pangeran tertua setelah Putra Mahkota dan Putra Ketiga, memiliki reputasi baik, tetapi tanpa alasan Kaisar tidak menyukainya. 　　Jika Lao Wu menjadi Putra Mahkota, mungkin akan setiap hari berlutut di tangga marmer luar aula. 　　Putra Keenam cerdas tapi belum mengalami kesulitan, Lao Qi terlalu berani, Lao Ba yang termuda jelas tidak layak dipertimbangkan... 　　Kaisar Jingming dengan cepat melintirkan pikiran ini, akhirnya mengalihkan pandangan ke Putra Mahkota. 　　Napas Putra Mahkota tersekat, jantungnya berdebar kencang beberapa kali, dengan memaksakan diri berkata: "Ayah Kaisar, bagaimana keadaanmu? Anak sangat khawatir——" 　　Sebelum kalimatnya selesai, Kaisar Jingming tiba-tiba memegangi dadanya, ekspresinya menjadi mengerikan karena kesakitan. 　　Kerumunan terkejut: "Ayah Kaisar, apakah Ayah baik-baik saja?" 　　Beberapa tabib istana bergegas masuk, setelah kekacauan kedua ini, Kaisar Jingming baru bisa bertahan melewati serangan itu, keringat dingin telah membasahi seluruh pakaiannya. 　　Permaisuri marah: "Kalian semua sampah tak berguna? Obat yang diberikan sama sekali tidak mempan, apakah kita hanya akan melihat Kaisar menderita seperti ini terus menerus?" 　　Para tabib istana bersujud ke lantai, terus-menerus memohon ampun. 　　Putra Mahkota terpaku menyaksikan semua ini, selain panik, hatinya dipenuhi kegembiraan: Boneka itu benar-benar manjur! 　　Saat itu, Yu Jin tiba-tiba melirik Putra Mahkota. 605.BAB 604 Rasa Bersalah 　　BAB 604 Rasa Bersalah 　　Putra Mahkota hampir roboh ketakutan oleh pandangan Yu Jin ini, bulu kuduknya meremang. 　　Jangan-jangan bonekanya tidak terpasang dengan baik, sampai ketahuan oleh Lao Qi? 　　“Lao Qi ini bukan orang yang mudah dihadapi, licik sekali.” 　　Saat ini, Putra Mahkota sudah melupakan sepenuhnya peristiwa Yu Jin menyelamatkan anak lelakinya. 　　Yu Jin memandangi Putra Mahkota dengan senyum samar. 　　“Putra Mahkota ini merasa bersalah karena bersalah?” 　　Meski tidak tahu kesalahan bodoh apa lagi yang dilakukan Putra Mahkota, tapi dengan menatapnya seperti ini, cukup membuatnya merasa bersalah. 　　Orang bodoh tetaplah bodoh, rasa bersalah akan membuatnya panik sendiri. 　　Wajah Yu Jin tetap tenang, di dalam hati ia bersenang-senang. 　　Keringat dingin mengucur di dahi Putra Mahkota. 　　Apa sebenarnya yang ditemukan Lao Qi? 　　Hati Putra Mahkota gelisah, rasanya ia hampir tak sanggup bertahan. 　　Permaisuri menutupi Kaisar Jingming dengan selimut tipis, lalu berpaling ke kerumunan: “Kalian semua pulanglah, Kaisar perlu istirahat. Hal-hal hari ini, jangan diperbincangkan di luar gerbang istana agar tidak menimbulkan kepanikan.” 　　“Patuh pada nasihat Ibu.” Serentak mereka menjawab lalu mundur keluar. 　　Pangeran Qi berpikir sejenak, lalu membawa Permaisuri Qi ke Istana Yuquan. 　　Ibu Suri Xian sedang gelisah. 　　Dulunya jelas-jelas Permaisuri tidak disayang, sejak kapan Kaisar mulai sering datang ke Istana Kuning tanpa alasan jelas? 　　Belum lagi, saat Kaisar sakit, ia setiap hari menjenguk tapi tiga kali datang hanya sekali bisa bertemu. Baru saja mendengar kabar kondisi Kaisar memburuk, ia buru-buru ke Aula Yangxindian tapi bahkan tak bisa melihat wajah Kaisar. 　　"Sungguh tidak masuk akal, dia kan seorang selir, atas dasar apa Permaisuri melarangnya menemui Kaisar?" 　　Satu-satunya penghiburan adalah Zhuangfei dan yang lain juga tidak bisa menemui Kaisar segera. 　　"Nyonya, Pangeran Qi dan Permaisuri Qi telah datang." 　　Mendengar laporan dayang itu, Ibu Suri Xian segera memerintahkan agar keduanya dipersilakan masuk. 　　"Kalian baru saja dari Aula Yangxindian? Sudah bertemu Ayah Kaisar?" Ibu Suri Xian tidak bertele-tele, menyuruh pengawal keluar lalu bertanya bertubi-tubi. 　　Pangeran Qi mengangguk: "Sudah." 　　"Bagaimana keadaan Kaisar?" 　　Pangeran Qi berbisik: "Awalnya terlihat agak lemah, tak lama setelah kami masuk tiba-tiba sakit, kondisinya tampak memburuk..." 　　"Permaisuri ada di sana?" 　　Melihat Pangeran Qi mengangguk, wajah Ibu Suri Xian berubah masam: "Permaisuri benar-benar bertindak semaunya!" 　　"Ibu, menurut saya Ayah sangat mempercayai Permaisuri. Jangan tunjukkan ketidaksukaan Ibu pada Permaisuri..." 　　Ibu Suri Xian kembali tenang: "Ini tidak perlu kau ingatkan." 　　Seberat apapun hatinya ditolak Permaisuri, dia tetap tersenyum lembut, berbeda dengan Ning Fei yang menggerutu. 　　Pada akhirnya, Permaisuri tetaplah Permaisuri. Sekesal apapun dia harus menahan diri. 　　Ibu Suri Xian semakin kesal, melirik Pangeran Qi: "Kenapa kalian datang sekarang?" 　　Pangeran Qi tersenyum: "Ibu tidak perlu khawatir. Lao Wu dan Putra Keenam juga mengunjungi ibu mereka masing-masing." 　　"Lao Qi bagaimana?" Ibu Suri Xian bertanya sekilas. 　　“Adik ketujuh……” Pangeran Qi berhenti sejenak, lalu berkata, “Pasangan Adik ketujuh sudah dibebaskan dari istana.” 　　Ibu Suri Xian membanting meja, berkata dingin: “Aku sudah tahu sia-sia melahirkan brengsek itu!” 　　Bagaimanapun juga Lao Qi adalah anak yang dikandungnya selama sepuluh bulan, tak disangka binatang itu begitu kejam. 　　Permaisuri Qi tetap diam, melihat Ibu Suri Xian marah, diam-diam melengkungkan sudut bibirnya. 　　“Ibu Suri jangan marah lagi.” Pangeran Qi menasihati beberapa patah kata, lalu mengerutkan alis, “Sebenarnya anak datang saat ini juga ada urusan untuk dibicarakan dengan Ibu Suri.” 　　“Katakan.” Melihat Pangeran Qi hendak membahas urusan penting, Ibu Suri Xian mulai tenang. 　　Pangeran Qi berbisik pelan: “Kita bersama-sama mengunjungi Ayah Kaisar, awalnya semua orang menunggu di luar, Ayah Kaisar memanggil khusus pasangan Lao Qi...” 　　Mata Ibu Suri Xian menyempit: “Ada hal seperti ini?” 　　Pangeran Qi mengangguk: “Ibu Suri, menurut Ibu apa maksud Ayah Kaisar?” 　　Ibu Suri Xian mengerutkan kening tak berbicara. 　　Kaisar memanggil khusus Lao Qi? Jangan-jangan sudah pikun. 　　“Saya mengamati dengan dingin, posisi Putra Mahkota sebagai calon penguasa tidak begitu stabil akhir-akhir ini. Kau harus bertindak hati-hati. Selain Putra Mahkota, berikutnya adalah kau. Tidak seperti Pangeran Jin yang lahir dari dayang, reputasimu di kalangan pejabat militer-sipil juga baik. Asal kau tetap tenang, tak peduli mana yang disayangi atau diistimewakan Ayah Kaisar, takkan ada yang bisa menggesermu. Ada ahli waris resmi? Angkat dia. Tak ada? Angkat yang tertua. Ini tata krama warisan leluhur. Sekalipun melanggar ini dan mengangkat berdasarkan kebajikan, peluangmu tetap terbesar. Mengangkat berdasarkan kasih sayang? Itu perbuatan penguasa bodoh.” 　　Ibu Suri Xian meneguk teh untuk melembabkan tenggorokan, lalu melanjutkan: “Putra Mahkota tak becus dan tak berbudi, dipecat lalu dipulihkan kembali karena Ayah Kaisarmu orang yang taat aturan. Dia tak mau meninggalkan putra sulungnya ini kecuali terpaksa. Begitu Putra Mahkota tumbang, mustahil orang lain bisa menyaingimu.” 　　Mengangkat ahli waris berdasarkan status bukan kebajikan. Sekalipun putra sulung itu biasa-biasa saja dan adik-adiknya lebih berbakat, ahli waris haruslah putra sulung. Ini ditentukan oleh hukum dan tata krama, bahkan seorang penguasa negara harus mematuhinya. 　　“Anak lelaki mengerti.” 　　“Hm, sedang dalam situasi genting, takkan kau tahan lama di sini.” Pandangan Ibu Suri Xian berputar ke arah Permaisuri Qi, berkata datar, “Istri Lao Si, rawat baik-baik pangeranmu. Bantu dia memikul beban, urusan sepele tak usah dipermasalahkan. Lao Si baik, barulah kau bisa baik.” 　　Permaisuri Qi menundukkan mata: “Menantu perempuan mengerti.” 　　Di Istana Chunhua, Ning Fei sedang menegur Pangeran Lu. 　　"Kau tidak ada kerjaan ya? Siapa yang menyuruhmu menginjak celana Putra Mahkota?" 　　Kabar tentang Putra Mahkota yang ketahuan menggunakan bantalan kapas di lutut setelah celananya terinjak Pangeran Lu telah menyebar ke seluruh penjuru istana belakang. Sebagai ibu kandung Pangeran Lu, Ning Fei tentu sudah mengetahuinya. 　　Setiap mengingat hal ini, Ning Fei langsung marah tak terkendali. 　　Melihat sikap acuh tak acuh anaknya, wajahnya semakin muram. 　　"Yang lain diam saja, hanya kau yang cari sensasi. Apa kau tidak takut Putra Mahkota menyimpan dendam?" 　　Pangeran Lu terkekeh: "Ibu Selir jangan marah, anak benar-benar tidak sengaja—" 　　Ning Fei membelalakkan mata: "Anak kurang ajar! Kalau ini tidak sengaja, huruf '' ini akan kutulis terbalik!" 　　Pangeran Lu bergumam pelan: "Dibalik pun tetap ''..." 　　Melihat Ning Fei akan meledak amarahnya, Permaisuri Lu diam-diam menyepak betis suaminya dari belakang. 　　Pangeran Lu langsung berlutut dan memeluk kaki ibunya: "Anak sudah salah, Ibu Selir jangan marah lagi. Nanti wajah ibu berkerut tidak karuan." 　　Ning Fei memandang sekeliling dengan wajah masam. 　　Di mana parangnya? Ia ingin membabat anak sialan ini! 　　Serangan jantung mendadak Kaisar Jingming memicu reaksi berbeda dari berbagai istana. 　　Kembali ke Kediaman Pangeran Yan, Jiang Si bertanya pada Yu Jin: "Kenapa waktu itu kau memperhatikan Putra Mahkota?" 　　Yu Jin mengusap dagu: "Putra Mahkota ada masalah." 　　"Hm?" 　　“Putra Mahkota berulang kali membuat Ayah Kaisar marah. Seharusnya kabar pemanggilan ini menjadi hal baik baginya setelah lama menunggu. Tapi dari pengamatanku, napasnya menjadi tidak teratur saat Ayah Kaisar memperhatikannya. Ini bukan tanda kegembiraan, melainkan seperti orang yang punya dosa tersembunyi.” Yu Jin menjelaskan dengan tenang. 　　Sejak kecil belajar bela diri, dia sangat peka terhadap ritme pernapasan orang. Kecurigaan terhadap Putra Mahkota sudah terendus sejak awal. 　　“A Jin, maksudmu serangan jantung mendadak Ayah Kaisar mungkin terkait Putra Mahkota?” 606.BAB 605 Pengkhianatan 　　BAB 605 Pengkhianatan 　　Yu Jin tersenyum: “Bisa saja. Kalau tidak bersalah, mengapa panik? Tapi jika benar terkait, aku penasaran bagaimana caranya.” 　　“Putra Mahkota seharusnya tidak punya kesempatan menyakiti Ayah Kaisar.” 　　“Mungkin aku terlalu curiga. Mari kita pantau perkembangannya. Setelah diadu domba Lao Si, Putra Mahkota pasti seperti anjing terpojok akan melompati tembok.” Yu Jin tersenyum manis. 　　Bukan hanya provokasi Lao Si, tapi juga ancamanku. Jika benar bersalah, Putra Mahkota pasti sudah kalut. 　　Orang bodoh memang daya tahannya rendah, tidak seperti aku yang bisa tetap tenang. 　　Seperti dugaan Yu Jin, Putra Mahkota semakin cemas setelah kembali ke Istana Timur. 　　Cara boneka kutukan yang diajarkan dayang itu benar-benar bekerja. Ini keberuntungan besar! Begitu Ayah Kaisar wafat, dia bisa naik tahta secara jujur dan terhormat. 　　Tapi apakah Lao Qi mencurigai sesuatu? 　　Dari perjalanan ke Kabupaten Qianhe itu, dia menyadari bahwa Lao Qi memiliki banyak tipu muslihat, apalagi ada anjing yang memiliki kemampuan gaib. 　　Putra Mahkota yang resah tanpa sadar berjalan ke tempat dayang itu. 　　Dayang segera menyambut: "Paduka——" 　　Tatapan tajam Putra Mahkota membuat suara dayang tercekat. 　　"Benar-benar manjur." 　　"Apa?" 　　Putra Mahkota menggenggam bahu dayang dengan gemetar: "Dengan boneka santet, kita bisa membunuh seseorang tanpa ketahuan! Ini benar-benar bekerja!" 　　Dayang tersenyum tipis: "Syukurlah..." 　　Namun tiba-tiba sorot mata Putra Mahkota berubah dingin. 　　Jika rencana menggunakan boneka untuk membunuh Ayah Kaisar terbongkar, pasti dia akan mati tanpa kuburan. 　　Saat ini hanya langit, bumi, dia, dan dayang ini yang tahu... 　　Tangan Putra Mahkota yang semula di bahu dayang merayap ke leher, lalu tiba-tiba mencekik. 　　"Paduka... ugh..." Dayang membelalak, kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman. 　　Di saat seperti ini, perbedaan kekuatan fisik pria dan wanita benar-benar terlihat. 　　Cengkeraman Putra Mahkota semakin kencang. Tak tahu berapa lama, perlahan dayang tak bergerak lagi. 　　Putra Mahkota melepaskan cengkeramannya, mundur beberapa langkah, dan terjatuh di kursi. 　　Kursi di kamar dayang tak seperti di istananya—keras dan dingin tanpa bantalan empuk. 　　"Dia menatap dayang kecil yang tergeletak di tanah dengan mata membelalak, sambil terengah-engah." 　　"Dia telah membunuh dayang kecil yang telah lama melayaninya!" 　　"Putra Mahkota mengangkat kedua tangannya dan menatapnya beberapa saat, tiba-tiba tertawa." 　　"Membunuh itu baik. Dengan ini dia tak perlu khawatir rahasianya terbongkar." 　　"Putra Mahkota menarik napas lega, lalu bangkit dan mendorong pintu keluar." 　　"Sinar musim gugur yang tidak terlalu hangat menyinari tubuhnya, namun tak mampu menembus hati yang suram di dada Putra Mahkota." 　　"Di Istana Kekaisaran yang luas, ratusan pelayan tewas tanpa jejak setiap tahunnya. Sebagai Putra Mahkota, menutupi kematian seorang dayang kecil bukanlah hal sulit." 　　"Putra Mahkota segera memerintahkan pelayan istana terdekatnya untuk menangani penutupan kasus." 　　"Permaisuri Putra Mahkota yang baru saja kembali dari mengunjungi Kaisar Jingming bersama Chun Ge'er mengusap alisnya saat tak melihat suaminya." 　　"Ayah Kaisar bersedia menerima Putra Mahkota hari ini. Entah ini pertanda baik atau buruk." 　　"Hari telah gelap tanpa terasa. Setelah menemani Chun Ge'er makan malam, Permaisuri Putra Mahkota menyuruh pengawal mengantarnya pulang, hingga tinggal sendirian di kamar." 　　"Nyala lentera tiba-tiba berkerlip memecahkan keheningan." 　　"Seorang dayang menghampiri dan berbisik, 'Permaisuri, Hongyu mohon audiensi.'" 　　"Permaisuri Putra Mahkota mengerutkan alis, lalu berkata, 'Suruh dia masuk.'" 　　"Jika ingatannya tidak salah, Hongyu adalah salah satu dayang yang paling disayangi Putra Mahkota." 　　"Tak lama kemudian, dayang berbaju hijau dengan paras ayu dibawa masuk. Begitu melihat permaisuri, dia langsung bersujud: 'Hamba memberi salut pada Permaisuri Putra Mahkota.'" 　　"'Bangunlah. Ada keperluan apa?'" 　　Hongyu bangkit berdiri, melirik dayang di samping Permaisuri Putra Mahkota. 　　"Ada yang ingin kau sampaikan, silakan bicara tanpa ragu." Permaisuri Putra Mahkota berkata datar. 　　Ia tak merasa perlu berurusan dengan dayang kesayangan Putra Mahkota. 　　Dari segi status, dia adalah Permaisuri Putra Mahkota, sementara lawannya hanya seorang dayang. Tak peduli seberapa sayang Putra Mahkota pada dayang itu, jika ada pelanggaran tata krama, dia tak akan ragu menindak meski harus berhadapan dengan Putra Mahkota. 　　Hongyu menundukkan kepala, berbisik pelan: "Permaisuri, hal ini... sebenarnya terlalu sensitif untuk diketahui banyak orang..." 　　Permaisuri Putra Mahkota termenung sejenak, memberi isyarat pada pengiringnya untuk mundur, hanya menyisakan satu dayang kepercayaan. 　　Ia ingin tahu apa yang hendak diungkapkan dayang ini, tapi seorang bangsawan tak boleh membiarkan diri berada dalam situasi rentan. Mustahil membiarkan mereka berdua sendirian. 　　"Baik, kau boleh bicara sekarang." 　　Hongyu tahu dayang yang tersisa adalah orang kepercayaan Permaisuri, tak mungkin diusir. Ia menggigit bibir: "Hamba ingin melaporkan seseorang..." 　　"Siapa?" 　　"Cuishan." 　　Wajah Permaisuri Putra Mahkota berubah. 　　Hari ini baru saja ada yang melapor bahwa Cuishan meninggal mendadak karena penyakit akut... 　　"Apa yang hendak kau laporkan tentang Cuishan?" 　　"Hamba tak sengaja melihat Cuishan mengukir benda dari kayu paulownia... Hamba satu kampung dengannya. Di daerah kami ada ilmu sihir populer: membuat boneka kayu paulownia, menuliskan tanggal lahir seseorang, lalu menguburnya di tempat tertentu agar orang itu terkena sial-" 　　“Bencana macam apa?” Permaisuri Putra Mahkota bertanya dengan suara keras. 　　“Tergantung di bagian mana jarum perak ditusukkan ke boneka oleh pelaku sihir. Jika hanya ingin menyebabkan rasa sakit, tusuk bagian pinggang, bahu, tangan-kaki——” 　　“Bagaimana kalau mau mengambil nyawa seseorang?” 　　Hongyu mengatupkan bibir, menjawab: “Tusuk tepat di bagian dada orang itu.” 　　Permaisuri Putra Mahkota langsung berdiri tiba-tiba. 　　Dada... dada... Mengingat serangan sakit seperti ditusuk yang tiba-tiba dialami Kaisar Jingming, Permaisuri Putra Mahkota memegang sandaran kursi dengan gemetar, tubuhnya limbung. 　　“Permaisuri——” Hongyu terlihat tak menyangka reaksi sebesar itu, terkejut memanggil. 　　Permaisuri Putra Mahkota mengabaikan Hongyu. Wajahnya pucat menyeramkan, seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali. 　　Apakah penyakit jantung Ayah Kaisar berkaitan dengan Cuishan? 　　Sedangkan Cuishan adalah orang Istana Timur—— 　　“Panggil Putra Mahkota kemari——” Perintahnya tiba-tiba dibatalkan, “Tunggu, jangan dulu.” 　　Hongyu dan dayang pengiring memandangi Permaisuri Putra Mahkota. 　　Sang Permaisuri yang biasanya tenang kini seperti semut di wajan panas, mondar-mandir beberapa putaran sebelum akhirnya berkata datar: “Ikut aku ke Istana Kuning!” 　　Lentera istana telah dinyalakan. Permaisuri Putra Mahkota bergegas menuju Istana Kuning dengan beberapa dayang. 　　“Nyonya, Permaisuri Putra Mahkota mohon audiensi.” 　　Permaisuri tertegun sejenak, lalu mempersilakan masuk. 　　Begitu masuk, Permaisuri Putra Mahkota langsung bersujud. 　　Permaisuri semakin terkejut, maju sendiri untuk membantu Permaisuri Putra Mahkota bangkit sambil berkata lembut: "Untuk apa berlutut tiba-tiba? Bicaralah baik-baik." 　　Permaisuri Putra Mahkota mengangkat kepala, wajahnya sudah basah oleh air mata. 　　Wajah Permaisuri berubah pucat: "Apa sebenarnya yang terjadi? Jangan-jangan——" 　　Jangan-jangan Putra Mahkota lagi membuat masalah? 　　Karena bukan ibu kandungnya, pertanyaan ini akhirnya tak bisa diucapkan. 　　Permaisuri Putra Mahkota menarik napas dalam, mulai menceritakan masalah baju hijau. 　　Mendengar akhir cerita, wajah Permaisuri menjadi putih pucat, suaranya gemetar: "Sudah periksa tempat tinggal dayang itu?" 　　Permaisuri Putra Mahkota menggeleng, berbisik pelan: "Ini menyangkut hal besar, menantu tak berani sembarangan menyelidik. Jadi datang meminta keputusan Ibu..." 　　Masalah terjadi di Istana Timur. Sebagai Permaisuri Putra Mahkota pun tak bisa menjelaskan. Menyelidik secara tertutup hanya akan membuat semakin terperosok. 　　Permaisuri juga memikirkan konsekuensi seriusnya. 　　Jika boneka santet untuk Kaisar ditemukan di Istana Timur, seluruh istana itu bisa runtuh... 607.BAB 606 Penggeledahan Istana Timur 　　BAB 606 Penggeledahan Istana Timur 　　Permaisuri menatap Permaisuri Putra Mahkota. 　　Wajah Permaisuri Putra Mahkota pucat tak berdarah, ketenangan di matanya bukanlah ketenangan sejati, melainkan usaha terakhir sebelum kehancuran. 　　Mengutuk Kaisar dengan boneka santet, konsekuensinya takkan ada yang sanggup menanggung. 　　Hati Permaisuri berpikir cepat, segera mengambil keputusan: "Ikut aku menghadap Kaisar!" 　　Saat ini, Kaisar Jingming belum tidur. 　　Setelah berbagai kejadian siang hari, dia sudah kelelahan, tapi rasa sakit di dadanya selalu datang tiba-tiba, membuatnya tak bisa tidur nyenyak. 　　Tangan Kaisar Jingming menekan dadanya, perasaan sesak menggelayut. 　　Jika para tabib istana yang sampah tak berguna itu terus tak berdaya, penyakitnya tak kunjung membaik, maka Putra Mahkota harus segera dipecat paksa dan mempertimbangkan pejabat penasihat. 　　Tapi saat Kaisar sakit parah, memecat Putra Mahkota pasti tak akan ditoleransi pejabat militer-sipil. Memilih Putra Mahkota baru secepatnya adalah keharusan agar posisi calon penguasa tak kosong. 　　Namun setelah proses pemecatan dan pemulihan Putra Mahkota, kini harus dipecat lagi, Kaisar kesulitan memilih kandidat yang cocok. 　　Para anak lelaki masing-masing punya kekurangan. Ia tak ingin terburu-buru menetapkan Putra Mahkota lalu menyesal kemudian. 　　Saat ini, Kaisar Jingming merasakan kesedihan waktu yang tak berpihak. 　　Putra Mahkota brengsek itu benar-benar membuat hatinya membeku. Sayang Permaisuri Putra Mahkota yang anggun dan Chun Ge'er yang cerdas—— 　　Memikirkan ini, tiba-tiba hati Kaisar Jingming berdesir. 　　Bagaimana jika memecat Putra Mahkota dan mengangkat Cucu Kaisar? 　　Chun Ge'er memang anak baik, pasti tak akan sebodoh ayahnya. Tapi Chun Ge'er masih kecil, sementara paman-pamannya masih muda. Mengangkat cucu ketimbang pangeran bisa menimbulkan masalah. 　　Kaisar Jingming merenungkan ini semua sampai kepalanya terasa seperti hendak pecah. 　　Pan Hai bergegas masuk: "Paduka, Permaisuri dan Permaisuri Putra Mahkota mohon audiensi." 　　Kelopak mata Kaisar berkedut keras: "Persilakan masuk." 　　Permaisuri dan Permaisuri Putra Mahkota datang di saat seperti ini, pasti ada masalah. 90% pasti Putra Mahkota brengsek-brengsek itu membuat onar lagi. 　　Permaisuri segera memasuki ruangan bersama Permaisuri Putra Mahkota. 　　"Ada urusan apa, Permaisuri?" tanya Kaisar Jingming, pandangan sampingnya menyapu ke arah Permaisuri Putra Mahkota. 　　Permaisuri ragu sejenak, lalu berkata: "Baru saja, seorang dayang kecil dari Istana Timur melaporkan sesuatu kepada Permaisuri Putra Mahkota..." 　　Permaisuri Putra Mahkota melirik Permaisuri dengan penuh rasa syukur. 　　Bagaimanapun nanti reaksi Ayah Kaisar, setidaknya saat ini Permaisuri sengaja menjauhkannya dari masalah. 　　Tentu saja, mustahil terlepas dari imbasnya. Yang bisa diharapkan sekarang hanyalah berusaha sekuat tenaga melindungi Chun Ge'er. 　　Wajah Kaisar Jingming langsung berubah pucat mendengar penuturan itu. 　　Seorang dayang rendahan Istana Timur berani menggunakan boneka santet untuk mencelakainya? 　　Kedengarannya menggelikan, tapi serangan sakit seperti ditusuk yang tiba-tiba menimpanya tak bisa dipalsukan. Dibandingkan sakit mendadak, lebih percaya ini ulah ilmu hitam. 　　Setiap kejadian pasti meninggalkan jejak. Seandainya tidak ada kasus Dayang Duo sebelumnya, mungkin Kaisar Jingming tak akan berpikir demikian. Tapi kini... 　　"Di mana kini dayang yang mengukir benda dari kayu tong itu?" 　　Permaisuri Putra Mahkota menunduk: "Siang tadi dilaporkan dayang itu meninggal mendadak. Jenazahnya sudah dikeluarkan dari istana..." 　　Kaisar Jingming mengeratkan gigi, berteriak: "Pan Hai—" 　　"Hamba di sini." 　　"Segera selidiki penyebab kematian dayang itu!" 　　Di istana, dayang biasa yang meninggal tidak boleh dijemput oleh orangtua untuk dimakamkan, melainkan langsung diangkat keluar istana dan dibawa ke tempat kremasi bernama Jingletang di pinggir kota. 　　Jingletang bukan rumah kecil, melainkan dua sumur dalam. Abu jenazah dayang yang dikremasi akan ditaburkan ke dalam sumur, mengakhiri riwayat hidup mereka. 　　Dayang itu baru saja dibawa kesana siang tadi, mungkin belum sempat dikremasi. 　　Pan Hai segera memerintahkan bawahannya untuk menindaklanjuti. 　　Suasana hati Kaisar Jingming semakin buruk, "Bagaimana dengan dayang yang melaporkan hal ini?" 　　Tak lama kemudian, Hongyu berlutut di hadapan Kaisar Jingming. 　　"Kau yang tahu cara boneka santet itu bekerja, tahukah dimana boneka itu dikubur?" tanya Kaisar. 　　Terhadap dayang pengadu ini, Kaisar juga menyimpan kecurigaan. 　　Mana mungkin kebetulan seorang dayang membuat ukiran kayu tong, lalu langsung ketahuan oleh dayang lain dari kampung halaman yang sama. 　　Kalau dikatakan dayang kecil ini bersih, maka puluhan tahun pengalamannya sebagai kaisar sia-sia belaka. 　　Tapi sekarang bukan saatnya menyelidiki ini. Mencari boneka santet itu adalah prioritas. 　　"Konon dikubur dekat tempat tinggal pelaku, tapi hamba tidak tahu pasti. Meski ada kabar burung seperti itu di kampung hamba, tapi detailnya tidak jelas bagi orang biasa..." 　　Wajah Kaisar Jingming berawan memandang Pan Hai: "Segera periksa! Gali Istana Timur sampai ke dasar!" 　　Pan Hai membungkuk hormat dan bergegas keluar. 　　Untuk menggeledah Istana Timur, sebagai Kepala Dongchang, kehadirannya mutlak diperlukan. 　　Baru sampai di pintu, terdengar suara Kaisar Jingming dari belakang bertanya: "Permaisuri Putra Mahkota, di mana kedua dayang ini bertugas?" 　　Setelah keheningan sejenak, Permaisuri Putra Mahkota menjawab: "Mereka berdua melayani Putra Mahkota..." 　　Langkah Pan Hai terhenti sejenak, lalu ia segera pergi. 　　Di luar langit dipenuhi awan gelap, tak ada bintang maupun bulan, menciptakan suasana yang sangat menekan. 　　Pan Hai menengadah ke langit, menghembuskan napas berat. 　　Benar-benar perubahan cuaca politik, badai akan segera melanda ibu kota. 　　Wajahnya berubah masam saat ia melesat menerobos kegelapan menuju Istana Timur. 　　Sebagai pelayan istana paling dipercaya Kaisar, saat sang penguasa menjadi korban konspirasi, semua pihak harus disingkirkan - bahkan calon penerus takhta sekalipun. 　　Kali ini, ia bersumpah akan mengobrak-abrik Istana Timur sampai ke dasarnya untuk menemukan boneka santet yang mengancam nyawa Kaisar! 　　Dalam gelap, Istana Timur dikepung diam-diam. 　　Pan Hai memimpin satu tim untuk memulai penggeledahan dari tempat tinggal kedua dayang. 　　Keributan besar ini tak mendapat reaksi dari Putra Mahkota. 　　Setelah mengetahui boneka santetnya bekerja di siang hari dan mencekik dayang muda, malamnya sang Putra Mahkota dilanda ketakutan dan kegembiraan yang membuatnya harus menenggak sebotol anggur sampai tertidur pulas. 　　"Paduka, Paduka--" Pelayan istana yang wajahnya pucat berdiri di samping ranjang memanggil. 　　Putra Mahkota bergumam tak jelas sambil membalikkan badan. 　　Sang pelayan panik, menarik-narik lengan tuannya: "Paduka, cepat bangun, terjadi masalah." 　　"Putra Mahkota menutup mata, bergumam tak jelas sambil mengangkat kaki dan menendang." 　　"Pelayan istana memegangi perutnya mundur dua langkah, terbelalak." 　　"Bagaimana ini? Paduka tak bisa dibangunkan." 　　"Pelayan lain nekat meraih bahu Putra Mahkota dan mengguncangnya: 'Paduka, cepat bangun! Ada kebakaran!'" 　　"Putra Mahkota melonjak berdiri, matanya liar melihat sekeliling: 'Mana yang kebakaran?'" 　　"Ia berlari keluar tanpa alas kaki, menabrak penyekat ruangan. Tubuhnya terguncang, efek alkohol dan kantuk pun sirna." 　　"Sadar sepenuhnya, Putra Mahkota menuju pintu. Melihat tak ada api, ia menendang ulu hati pelayan: 'Berani-beraninya menipuku!'" 　　"Sungguh berani melakukan ini! Bagaimanapun ia Putra Mahkota, mungkin sebentar lagi jadi Kaisar." 　　"Pelayan yang ditendang meringis kesakitan. Rekannya buru-buru menjelaskan: 'Paduka, ada masalah besar!'" 　　"Apa?" 　　"'Paman Pan bawa orang ke Istana Timur untuk penggeledahan!'" 　　"Putra Mahkota membeku: 'Ge...geledah? Cari apa?'" 　　"'Entah apa yang dicari!' Pelayan itu hampir menangis." 　　"Paman Pan sendiri yang memimpin penggeledahan - tentu bukan pertanda baik." 　　"'Di mana Permaisuri Putra Mahkota?' tanya Putra Mahkota panik." 　　"Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari Ai Aiyuanzi. Mohon dukungan vote untuk semangat menulis, supaya bisa banyak menyiapkan naskah dan update lebih sering." "608.BAB 607 Persembahkan Jenderal Xiaotian" 　　"BAB 607 Persembahkan Jenderal Xiaotian" 　　“Permaisuri Putra Mahkota tidak menunjukkan aktivitas apa pun...” 　　Putra Mahkota langsung bergegas pergi. 　　Pelayan istana mengambil sepatu sambil mengejar: "Paduka, sepatu--" 　　Putra Mahkota berbalik tiba-tiba dan menampar pelayan itu: "Sepatu apa? Kesialan!" 　　Pelayan itu terhuyung-huyung, sepatu di tangannya terjatuh ke lantai. 　　Putra Mahkota buru-buru memakai sepatunya lalu masuk ke dalam kegelapan. 　　Kamar tidur Permaisuri Putra Mahkota gelap, dayang penjaga pintu segera membungkuk: "Hamba menyambut Paduka." 　　Putra Mahkota mengabaikannya dan langsung berjalan masuk. 　　Dayang itu mencoba menghalangi: "Paduka, Permaisuri sudah tidur--" 　　"Minggir!" Putra Mahkota mendorong dayang itu dan masuk dengan langkah besar. 　　Dayang dalam kamar berusaha menghadang tapi tak sanggup menghentikannya. 　　Putra Mahkota menuju kamar dalam, melihat kamar kosong: "Mana Permaisuri?" 　　"Hamba... hamba tidak tahu..." 　　Putra Mahkota melepaskan tangan dayang itu dan bergegas ke kamar Chun Ge'er. 　　Chun Ge'er sedang tertidur, tetap tak ada jejak Permaisuri. 　　Putra Mahkota memanggil dayang pengawal Permaisuri: "Katakan, ke mana Permaisuri pergi?" 　　"Hamba sungguh tidak tahu." 　　"Tidak mau bicara?" Putra Mahkota marah, mengambil bangku kecil dan melemparkannya ke kepala dayang. 　　Dayang menjerit kesakitan lalu terjatuh ke lantai, darah mengalir deras dari dahinya. 　　Putra Mahkota mengangkat bangku kecil yang masih meneteskan darah, matanya menyapu ruangan dengan tatapan garang: "Katakan, Permaisuri Putra Mahkota sebenarnya pergi ke mana?" 　　Melihat Putra Mahkota menghantam dayang pengawal pribadi Permaisuri hingga seperti ini, para dayang panik. Akhirnya seorang dayang berbisik: "Permaisuri sepertinya pergi ke Istana Kuning..." 　　Istana Kuning? 　　Putra Mahkota gemetar. 　　Pan Hai membawa orang untuk menggeledah Istana Timur, sementara Permaisuri malah pergi ke Istana Kuning. Apa artinya ini? 　　Sampai saat ini, meski lamban Putra Mahkota mulai menyadari: Pasti Permaisuri mengetahui gerak-geriknya, lalu melaporkan pada Permaisuri! 　　Artinya, perbuatannya menggunakan boneka santet untuk membunuh Ayah Kaisar sudah diketahui... 　　Seorang pelayan istana berlari terengah-engah: "Paduka, Paman... Paman Pan sudah membawa orang menggeledah kamar tidur Paduka..." 　　Tubuh Putra Mahkota goyah. 　　"Paduka—" Pelayan istana segera menyangga tubuhnya. 　　Putra Mahkota mengumpulkan keberanian, mendorong pelayan itu dan berlari ke kamar tidur. 　　Selama Pan Hai tidak menemukan boneka santet, masih ada kesempatan untuk lolos! 　　Di sisi lain, Pan Hai juga merasa dilema. 　　Keputusan menggeledah kamar tidur Putra Mahkota bukan perkara mudah. 　　Jika kali ini tidak menemukan masalah pada Putra Mahkota, begitu Kaisar tiada, Putra Mahkota yang naik takhta pasti akan menghukumnya nanti. 　　“Putra Mahkota bergegas datang, berseru: ‘Paman Pan, apa yang kau lakukan ini?’” 　　“Melihat Putra Mahkota tiba, Pan Hai menyembunyikan niatnya lalu memberi salam: ‘Hamba menghadap Paduka. Hamba diperintahkan mencari suatu barang.’” 　　“‘Diperintahkan? Perintah siapa?’” 　　“‘Tentu saja perintah Kaisar.’” 　　“Wajah Putra Mahkota memucat tiga tingkat. Ia marah: ‘Menurut saya, kau hanya mengada-ada! Saat ini Ayah Kaisar sudah tidur, mana mungkin menyuruhmu mencari barang di Istana Timur? Lagipula, apa yang bisa dicari-cari di sini?’” 　　“‘Paduka bercanda. Hamba tak berani memalsukan pesan lisan Kaisar.’” 　　“Putra Mahkota menyeringai dingin, berseru keras: ‘Hentikan semua!’” 　　“Para pelayan istana yang sedang menggeledah berhenti sejenak.” 　　“‘Pan Hai, jika ingin menggeledah, tunjukkan dekrit kerajaan Ayah! Atau hentikan tindakanmu! Ini Istana Timur. Saya Putra Mahkota! Tak mengizinkan kalian bertindak semena-mena!’” 　　“Kegusaran Putra Mahkota justru membuat hati Pan Hai semakin tenang.” 　　“Putra Mahkota yang biasanya penurut di hadapan Kaisar, kini bersikap keras kepala. Jelas-jelas menyimpan sesuatu dan mempertaruhkan segalanya.” 　　“Wajah garang tapi hati lemah - itulah kondisi mental Putra Mahkota saat ini.” 　　“‘Pesan lisan Kaisar, Paduka memaksa hamba menunjukkan dekrit, ini sungguh menyulitkan. Bagaimana jika Paduka ikut hamba ke Istana Qianqing? Kaisar belum tidur.’ Pan Hai bersikap tegas.” 　　“‘Kau—!’ Putra Mahkota menuding Pan Hai. Wajahnya lebih gelap dari awan badai, mengeluarkan kata demi kata dari sela gigi: ‘Pan Hai, kau sudah memikirkan konsekuensinya!’” 　　Pan Hai membungkuk hormat ke arah Putra Mahkota: "Hamba hanya menjalankan perintah Kaisar, tanpa maksud lain." 　　Usai bicara, ia melototi para pelayan istana yang berhenti dan berteriak: "Apa kalian bengong? Kaisar masih menunggu laporan kita!" 　　Para pelayan istana seketika mempercepat gerakan. 　　Memandang kamar tidur yang porak-poranda, wajah Putra Mahkota memucat lalu membiru, lebih berwarna daripada palet cat, hanya bisa menghibur diri dalam hati: Pasti tidak akan ketemu, mustahil mereka menemukannya... 　　Waktu berjalan perlahan. Seluruh Istana Timur telah digeledah habis-habisan, bahkan tanah di tangga luar pun dibongkar. 　　Satu per satu pelayan istana melapor ke Pan Hai. 　　"Tuan Pengawas, tidak ditemukan barang mencurigakan." 　　"Tuan Pengawas, tidak ada penemuan!" 　　"Tuan Pengawas..." 　　Ekspresi Pan Hai semakin muram. Dari sudut matanya ia mencuri pandang ke Putra Mahkota yang sedang menyunggingkan senyum. 　　Tangannya menggenggam kencang di balik punggung. 　　Pasti ada yang disembunyikan Putra Mahkota, tapi di mana persembunyian barang itu? 　　"Paman Pan, sudah ketemu?" tanya Putra Mahkota dengan dingin. 　　Pan Hai menunduk: "Paduka harap bersabar." 　　"Bersabar? Menurutku Ayah Kaisar telah dibutakan oleh pengkhianat, sampai mengizinkan penggeledahan memalukan ini! Pan Hai, hentikan sekarang juga, aku bisa berpura-pura tak terjadi apapun. Jika tidak, saat fajar aku akan melapor ke Ayah Kaisar!" 　　“Ancaman Putra Mahkota membuat Pan Hai semakin gelisah.” 　　“Sampai saat ini, dia sudah membuat Putra Mahkota murka hingga tak ada ruang rekonsiliasi. Jika tidak bisa menemukan hadiah itu, nyawanya akan melayang.” 　　“Malam ini, antara Putra Mahkota tumbang atau dia yang binasa!” 　　“Pan Hai mengeraskan hati, memberi hormat pada Putra Mahkota: 'Mohon Paduka menunggu sampai subuh. Lanjutkan pencarian!'” 　　“Kau lancang!” 　　“Pan Hai malah bergabung dalam tim pencari, pura-pura tuli akan makian Putra Mahkota.” 　　“Di manakah barang itu?” 　　“Berjalan di antara kekacauan, wajah Pan Hai tetap tenang meski batinnya sudah hampir gila.” 　　“Tidak bisa pasrah begitu saja!” 　　“Di bawah tekanan berat, tiba-tiba Pan Hai teringat seseorang... eh, seekor anjing: Jenderal Xiaotian pangkat 4 utama!” 　　“Jenderal Xiaotian peliharaan Pangeran Yan punya kesaktian. Mungkin bisa membuat keajaiban dalam mencari barang...” 　　“Setelah berpikir sebentar, Pan Hai segera menyuruh orang kepercayaannya Xiao Lezi kembali ke Istana Qianqing untuk meminta instruksi Kaisar Jingming.” 　　“Kaisar Jingming yang sudah mendapat informasi dari Permaisuri Putra Mahkota tentang dua dayang kesayangan putranya, semakin curiga. Begitu mendengar permohonan Xiao Lezi, langsung menyetujui.” 　　“Ikatan ayah dan anak bisa dijaga di masa damai. Tapi saat menyangkut hidup-mati dan altar leluhur negara, itu harus disingkirkan.” 　　"Saat ini, Kaisar Jingming bukan hanya seorang ayah, melainkan juga penguasa negara, tuan dari Dinasti Zhou." 　　Pintu gerbang Kediaman Pangeran Yan kembali diketuk di tengah malam. 　　"Paduka Pangeran, istana meminjam Jenderal Xiaotian untuk sementara." 　　Buku pertama "Sorot Masa Lalu" dalam versi karakter tradisional telah dirilis di Taiwan. Para Shū Yǒu yang menyukai bisa memperhatikan. 609.BAB 608 Menemukan 　　BAB 608 Menemukan 　　Di bawah naungan malam, pintu gerbang istana sedikit terbuka. Xiao Lezi membawa Er Niu menyelinap masuk, meninggalkan penjaga pintu yang terpaku. 　　Saat manusia dan anjing itu menghilang dalam kegelapan, seorang penjaga bertanya pada rekannya: "Ada apa di istana? Kenapa membawa anjing masuk di jam seperti ini?" 　　"Jangan asal bicara! Itu Jenderal Xiaotian, pangkatnya jauh lebih tinggi dari kita." 　　"Lalu kenapa Jenderal Xiaotian dipanggil ke istana di jam begini?" 　　"Siapa tahu? Aku rasa malam ini tidak akan tenang. Sudah, bukan urusan kita. Jaga pintu baik-baik saja." 　　Tempat ini kembali sunyi, sementara Istana Timur semakin ramai. 　　Pan Hai berdiri di tengah halaman, terus melirik ke arah pintu. 　　Putra Mahkota menyeringai: "Ada apa, Paman Pan? Mau menambah personil lagi?" 　　Melihat Istana Timur yang berantakan akibat digeledah, justru hatinya menjadi tenang. 　　Sudah diobrak-abrik sampai begini belum juga ketemu, berarti memang tidak akan ditemukan. 　　Memang juga, boneka itu dikubur di tempat yang sangat khusus, tidak mudah ditemukan. 　　Putra Mahkota mengangkat sudut bibirnya, hati pelan-pelan menjadi lega. 　　“Tahan sebentar lagi, sampai subuh aku akan menghadap Ayah Kaisar untuk mengadu, pasti akan membuat budak anjing Pan Hai ini menderita!” 　　Pan Hai mengusap keningnya dengan lengan baju, perasaan berat. 　　“Shifu, dia datang!” 　　Xiao Lezi menyampingkan badan, memperlihatkan seekor anjing besar yang kekar. 　　Mata Putra Mahkota menyipit, terucap spontan: “Kenapa Er Niu datang?” 　　Er Niu mendongak melihat Putra Mahkota, lalu memandang Pan Hai. 　　Pan Hai menangkupkan tangan ke arah Er Niu: “Jenderal Xiaotian, kuserahkan padamu.” 　　Er Niu mengibas-ngibaskan ekor, tak bereaksi sama sekali. 　　Pan Hai tertegun sejenak. 　　Putra Mahkota tiba-tiba tertawa: “Pan Hai, kau pikir Er Niu bisa berkomunikasi dengan dewa? Sepintar apa pun dia tetap anjing, tak mengerti bahasa manusia.” 　　Er Niu melirik sinis ke arah Putra Mahkota. 　　Dia tak mengerti? Tolol! 　　Wajah Pan Hai pucat pasi di bawah cemochan Putra Mahkota. 　　Xiao Lezi berbisik mengingatkan: “Shifu, Pangeran Yan bilang, kalau ingin Jenderal Xiaotian menemukan benda tertentu, sebaiknya biarkan dia mencium orang yang pernah menyentuh hadiah itu. Jika aroma orang itu masih melekat pada hadiahnya, akan mudah ditemukan Jenderal Xiaotian.” 　　Mendengar ini, Pan Hai langsung menunjuk Putra Mahkota, lalu membuat gerakan membentuk tulang dengan tangannya. 　　Mengutuk Kaisar dengan boneka santet, tindakan makar seperti ini terlalu bodoh untuk dilakukan Putra Mahkota meski melalui tangan orang lain, pasti dia sendiri yang menguburkan boneka itu. Tapi apakah boneka itu masih menyisakan aroma sang Putra Mahkota tidak diketahui, apalagi apakah Er Niu bisa memahami isyaratnya. 　　Er Niu melirik Pan Hai dengan pandangan merendahkan, lalu berbalik menerjang Putra Mahkota. 　　Mencari barang ya mencari, harusnya tidak perlu menirukan tulang berisi daging. Kalau anjing bodoh lain pasti tersesat, bagaimana kalau benar-benar membawa tulang? 　　Ternyata ini juga bodoh. 　　Melihat Er Niu menerjang, Putra Mahkota refleks berteriak: "Jangan mendekat!" 　　Anjing besar yang secepat kilat sudah menerjang ujung celana Putra Mahkota, mengendus-ngendus kuat, lalu lari seperti angin. 　　Putra Mahkota masih belum sadar dari keterkejutannya. 　　Pan Hai juga masih terpaku. 　　Baru saja dia melihat ekspresi merendahkan di wajah seekor anjing? 　　Pasti matanya yang salah lihat. 　　"Kalian semua mati kah? Segera bantu aku bangun!" teriak Putra Mahkota yang gemetaran ketakutan. 　　Pan Hai segera menyusul: "Diam semua! Lanjutkan pencarian!" 　　"Mengundang Jenderal Xiaotian masuk istana untuk membantu hanyalah didasari sedikit harapan kosong, tidak mungkin benar-benar menggantungkan semua harapan pada seekor anjing." 　　Er Niu dengan tubuh lincah berlarian kesana kemari, tak lama kemudian kembali ke hadapan Pan Hai, meletakkan satu per satu barang yang dibawanya di mulut. 　　Sebuah sisir gading, sepasang sepatu anyaman rami, handuk sutra putih... beragam barang-barang yang biasa digunakan melekat di badan. 　　Putra Mahkota tertawa terbahak: "Pan Hai, inikah teman yang kau panggil? Sudah kukatakan sebelumnya, binatang tetap binatang, meski punya sedikit kemanusiaan tetap tak bisa melebihi manusia. Kau benar-benar terjepit sampai anjing terpojok akan melompati tembok ya?" 　　Dia mengincar Er Niu, tapi binatang ini berulang kali menakutinya, rasa sayang itu sudah lama hilang. 　　Apa gunanya anjing yang tidak bisa memprediksi gempa? Asalkan dia naik takhta dan tidak kemana-mana, belum ada kaisar dalam sejarah yang mati karena gempa. 　　Putra Mahkota yang sudah sadar menatap Anjing Besar yang bolak-balik mengangkut barang, ingin segera menyembelihnya untuk dimakan. 　　Ekspresi Pan Hai semakin buruk, sementara hadiah di depannya terus bertambah. 　　Saat ini, Pan Hai juga merasa dirinya bodoh. 　　Mengapa dia berpikir memanggil Er Niu untuk membantu? Ini bukan bantuan, malah menambah masalah dan mempermalukannya. 　　Er Niu meletakkan dompet tua sambil mendengus tidak puas. 　　Ekspresi apa ini? Merasa kerjanya tidak bagus? 　　Dia juga bingung, di mana-mana bau orang itu, ini barang-barang pilihannya sendiri! 　　Xiao Lezi tiba-tiba mendapat ide, berdehem dan berkata: "Shifu, haruskah Jenderal Xiaotian mencium aroma kayu tong——" 　　Mata Pan Hai berkilat. 　　Benar! Ini kan istana Putra Mahkota, penuh bau tubuhnya. Mustahil Er Niu bisa menemukan barang hanya dengan mencium bau tubuhnya, harusnya mencium aroma kayu tong. 　　Pan Hai ingin sekali menepuk kepalanya sendiri. 　　Dia terlalu fokus pada satu hal, sampai kalah cepat dengan Xiao Lezi. 　　Untungnya kayu tong mudah ditemukan. Di taman ada pohonnya, pelayan istana segera memetik ranting tong. 　　“Pan Hai menyerahkan sesuatu pada Er Niu untuk diendus, lalu menunjuk Putra Mahkota sambil membentuk gerakan tulang berisi daging dengan tangannya.” 　　“Er Niu memandang Putra Mahkota dengan mata menyamping.” 　　“Putra Mahkota marah besar: ‘Pan Hai, kau jangan terlalu lancang!’” 　　“‘Hamba tidak berani.’” 　　“Er Niu mengabaikan perdebatan mereka, berbalik dan lari.” 　　“Suara pencarian berangsur berhenti, seluruh area istananya telah diperiksa namun tetap tak ditemukan, terpaksa berhenti.” 　　“Er Niu mengendus ke timur dan barat, tiba-tiba seperti menemukan target, langsung menuju kamar dalam di kamar tidur Putra Mahkota.” 　　“Dua pelayan istana mengikutinya.” 　　“Er Niu masuk ke ruang dalam, mengendus-endus lalu lari ke jendela, kedua cakar depannya menempel di ambang jendela.” 　　“Kedua pelayan istana saling pandang, salah satu berbisik: ‘Apa Jenderal Xiaotian menemukan sesuatu?’” 　　“‘Apa mungkin ada sesuatu di sini? Jangan-jangan cuma menemukan kaus kaki bau Putra Mahkota...’” 　　“‘Jangan asal bicara, dia tetap Putra Mahkota. Kalau hari ini kita tak menemukan apapun, kita semua termasuk sang Pengawas akan celaka.’” 　　“‘Guk guk!’ Er Niu menggonggong.” 　　“Pan Hai di luar mendengar suara, buru-buru masuk diikuti Putra Mahkota yang wajahnya sudah pucat.” 　　“Melihat Pan Hai masuk, Er Niu menggonggong lebih keras ke arah ambang jendela.” 　　“Pan Hai mendekat, menatap ambang jendela sambil mengerutkan alis.” 　　“Er Niu tak tahan lagi, mengulurkan cakarnya dan mendorong pot bunga di ambang jendela hingga jatuh ke lantai.” 　　Pot bunga yang terbuat dari porselen pecah berantakan dengan suara "brak!", ranting bunga dan tanah berserakan. 　　"Berhenti!" Putra Mahkota menjerit histeris. 　　Pan Hai menyipitkan matanya, lalu membungkuk untuk mengambil suatu benda yang terpendam setengah di dalam tanah. 　　Terlihat sebuah boneka kayu tongmu dengan jarum tertancap di tengah dadanya. Di bagian belakangnya tertulis tanggal lahir seseorang. 　　Pan Hai menggenggam erat boneka itu, lalu menatap tajam ke arah Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota sudah tergelepar lemas di lantai. 　　"Bawa Putra Mahkota ke Istana Qianqing!" teriak Pan Hai sambil menahan gejolak kemarahan dan kegembiraan di hatinya. 610.BAB 609 Titik Keraguan 　　BAB 609 Titik Keraguan 　　Beberapa pelayan istana segera mengepung Putra Mahkota. 　　Melihat situasi sudah aman, Er Niu duduk dengan santai sambil mengibas-ngibaskan ekornya. 　　Pan Hai teringat sesuatu, lalu membalikkan badan dan membungkuk dalam-dalam kepada Er Niu: "Jenderal Xiaotian, silakan pulang dulu. Nanti keluarga kami akan datang menyampaikan ucapan terima kasih." 　　Pada saat seperti ini, siapa lagi yang berani bilang Jenderal Xiaotian cuma seekor anjing biasa, pasti akan dia marahi. 　　Kerumunan orang berhamburan keluar dari Istana Timur, meninggalkan kekacauan di mana-mana. 　　Chun Ge'er mendongak dan bertanya pada dayang: "Apa ayahku berbuat kesalahan?" 　　Dayang itu menggenggam erat tangan Chun Ge'er sambil membisik dengan bibir pucat: "Cucu Kaisar, cepatlah kembali. Permaisuri Putra Mahkota akan khawatir melihatmu seperti ini." 　　"Sebelum pergi, Permaisuri Putra Mahkota khusus berpesan padanya untuk merawat Cucu Kaisar. Tak disangka Cucu Kaisar yang sudah tidur tiba-tiba bangun dan bersikeras ingin keluar melihat, tak bisa dihalangi meski sudah dibujuk berkali-kali." 　　Akhirnya Cucu Kaisar menyaksikan pemandangan Putra Mahkota dibawa pergi oleh pelayan istana, serta Istana Timur yang berantakan. 　　"Cucu Kaisar, malam ini dingin. Hamba akan mengantar Yang Mulia kembali ke kamar." 　　Chun Ge'er tetap berdiri tak bergerak, bertanya lagi: "Ayahku melakukan kesalahan?" 　　Dayang menunduk, berbisik pelan: "Hamba juga tidak tahu jelas..." 　　Dia hanya tahu terjadi masalah besar di Istana Timur, tapi urusan sebenarnya mana mungkin bisa dipahami dayang rendahan seperti dirinya. 　　Lagipula, meski paham pun tak berani memberi tahu Cucu Kaisar. 　　Chun Ge'er juga menyadari hal ini, berkata: "Kembali saja." 　　Ia berbalik lebih dulu, bahu kecilnya bergetar seolah menahan tangis. 　　Dayang mengusap sudut matanya, air mata terasa dingin. 　　Putra Mahkota terlibat masalah. Melihat sikap Paman Pan yang sudah tak peduli muka, pasti kesalahannya besar. Nanti mungkin semua penghuni Istana Timur akan ikut dihukum mati... 　　Dayang tak berani terus memikirkannya, menarik tangan Chun Ge'er pergi. 　　Di Istana Qianqing, Kaisar Jingming sudah mulai tak sabar. Tapi ketika pelayan istana melapor bahwa Paman Pan telah membawa Putra Mahkota, rasa tak sabarnya lenyap seketika berganti panik. 　　Jangan-jangan Pan Hai benar-benar menemukan boneka santet di Istana Timur? 　　Setelah beberapa saat, Kaisar Jingming baru berkata: "Suruh mereka masuk." 　　Tidak lama kemudian Pan Hai masuk, diikuti oleh Putra Mahkota yang wajahnya pucat seperti tanah, ditopang oleh beberapa pelayan istana. 　　Begitu melihat wajah pucat Putra Mahkota, hati Kaisar Jingming langsung setengah beku, matanya menatap berat ke arah Pan Hai. 　　Wajah Pan Hai juga tak kalah buruknya, ia menyerahkan boneka itu kepada Kaisar Jingming: "Mohon Kaisar melihatnya." 　　Begitu melihat boneka dengan jarum tertancap di dadanya, mata Kaisar Jingming tiba-tiba menyempit. Ketika melihat tulisan delapan karakter kelahiran di badan boneka itu, suaranya bergetar: "Di mana ini ditemukan?" 　　Pan Hai melirik Putra Mahkota, lalu berkata pelan: "Boneka ini ditemukan oleh Jenderal Xiaotian, terkubur di pot bunga ambang jendela kamar dalam istana Putra Mahkota..." 　　"Binatang!" Kaisar Jingming tiba-tiba berdiri, jarinya menuding Putra Mahkota. 　　Putra Mahkota roboh berlutut di lantai, menangis tersedu-sedu: "Ayah... Ayah Kaisar... anak lelaki ini salah... anak lelaki ini benar-benar menyadari kesalahan..." 　　Kaisar Jingming menutup matanya. Di telinganya bergema suara permohonan ampun Putra Mahkota, tapi justru membuat kemarahannya semakin memuncak, kemarahan yang mencapai puncaknya berubah menjadi kesedihan yang mendalam. 　　Inikah putra sulung yang paling diandalkannya? Yang sejak lahir langsung diberi jabatan calon penguasa, dengan susah payah memilih menteri-menteri terbaik untuk mendidiknya. Siapa sangka akhirnya berani melakukan pembunuhan terhadap kaisar dan ayahnya sendiri? 　　Bukankah pelajaran dari dinasti sebelumnya yang memilih penerus berdasarkan kasih sayang hingga menyebabkan kekacauan besar sudah cukup sebagai peringatan? 　　Kaisar Jingming membuka matanya, suaranya terdengar letih: "Gadis pelayan itu, kau cekik sampai mati?" 　　Orang yang dikirim Pan Hai ke Jingletang untuk memeriksa penyebab kematian dayang telah kembali melapor. Untungnya jenazah di sana belum dikremasi, sehingga mudah mendeteksi sebab kematiannya. 　　Putra Mahkota menggigil ketakutan, tetap diam. 　　"Katakan, apakah kau yang mencekiknya!" 　　Utusan yang kembali melapor menyatakan ada bekas cekikan jelas di leher dayang, nyaris mustahil pelaku kejahatan selain Putra Mahkota. 　　Seluruh tubuh Putra Mahkota bergetar, pasrah berkata: "Ya, memang anak lelaki..." 　　Menatap wajah Kaisar Jingming yang pucat marah, Putra Mahkota panik: "Ayah Kaisar, semua ini bujukan perempuan hina itu! Anak lelaki sedang kebingungan—" 　　Kaisar Jingming sudah terlalu marah hingga tak bisa bicara. 　　Hingga kini, niat jahat Putra Mahkota telah terbukti jelas. Tapi Kaisar tetap tak percaya ini hanya kebetulan. 　　Putra Mahkota ingin mencelakai, kebetulan ada dayang yang paham cara boneka jahat, lalu kebetulan ditemukan dayang lain yang masih satu kampung. 　　Bisa jadi masih ada kaki tangan Dayang Duo di istana. Dayang itu dihasut kaki tangan Dayang Duo, lalu Putra Mahkota terjerat... 　　Kaisar Jingming menatap tajam Putra Mahkota, gigi gemeretuk karena kebencian. 　　Entah ini ide Putra Mahkota sendiri atau hasutan orang lain, sama-sama tak termaafkan. 　　Pandangan Kaisar Jingming tertuju pada boneka kayu, raut wajah berubah-ubah. 　　Boneka kayu kecil ini benar bisa membunuh orang? 　　Kaisar Jingming masih menyimpan keraguan akan hal ini. 　　"Tentang cacing Gu, dia mempercayainya, lagipula cacing-cacing itu benar-benar ada di dalam tubuh manusia, mudah saja untuk menyebabkan kerusakan." 　　Kecurigaan ini mungkin harus ditelusuri mulai dari dayang yang melaporkan rahasia itu. 　　"Bawa Putra Mahkota pergi." 　　Putra Mahkota panik: "Ayah Kaisar, anak lelaki sungguh bersalah, sudilah Ayah mengampuni anak—" 　　Kaisar Jingming memalingkan wajah. 　　Tak lama Putra Mahkota diseret keluar. 　　Kaisar Jingming menatap Permaisuri Putra Mahkota. 　　Permaisuri Putra Mahkota bersujud, menyentuhkan dahi ke lantai dalam penghormatan besar: "Menantu perempuan berdosa. Sebagai permaisuri, hamba tak mampu mencegah kesalahan besar Putra Mahkota. Mohon dihukum bersama. Hanya memohon belas kasih Ayah Kaisar pada Chun Ge'er, biarlah dia tumbuh dengan baik..." 　　Suaranya tercekat, tak lagi bisa menahan emosi. 　　Prediksi terburuk menjadi kenyataan - Putra Mahkota berani merencanakan pembunuhan kaisar! 　　Suami tolol ini menghancurkan dirinya sendiri tak apa, tapi jika membahayakan Chun Ge'er, bahkan sebagai hantu pun hamba takkan memaafkannya! 　　Kaisar Jingming menatapnya sejenak, lalu menghela: "Permaisuri Putra Mahkota, pulanglah ke Istana Timur dulu. Rawat baik-baik Chun Ge'er." 　　Permaisuri Putra Mahkota gemetar, membungkuk hormat sebelum mundur keluar. 　　Ruangan sunyi senyap. 　　Lama kemudian, Permaisuri bertanya: "Bagaimana hendak menangani boneka santet ini?" 　　"Panggil dayang itu kemari." 　　Hong Yu berlutut di hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming tidak bersuara, Permaisuri bertanya: "Boneka sudah ditemukan, apakah kau tahu cara menanganinya agar boneka itu tidak lagi membahayakan orang?" 　　Hongyu melirik boneka itu secepat kilat, menunduk dalam-dalam: "Hapus karakter kelahiran pada boneka, lalu hancurkan bonekanya." 　　Kaisar dan Permaisuri saling bertatapan. 　　Kaisar Jingming memberi isyarat mata pada Pan Hai. 　　Pan Hai paham, mengibaskan tangannya: "Bawa orang ini pergi!" 　　Hongyu terkejut: "Kaisar——" 　　Pan Hai menghibur: "Jangan takut, masih ada beberapa hal yang perlu ditanyakan padamu." 　　Hongyu segera dibawa pergi. 　　Kaisar dan Permaisuri terdiam cukup lama. 　　Tak tahu berapa lama kemudian, Permaisuri membuka mulut: "Kaisar, Permaisuri Putra Mahkota dan Cucu Kaisar——" 　　Dalam hatinya, Putra Mahkota sudah dianggap seperti mayat hidup. Sebesar apapun kasih sayang Kaisar padanya, kejahatan membunuh ayah dan penguasa tak bisa dimaafkan. Memberi jenazah utuh saja sudah cukup baik. 　　Sayang sekali Permaisuri Putra Mahkota dan Cucu Kaisar... 　　Wajah Kaisar Jingming tampak letih, seolah mendadak tua beberapa tahun, berbisik pelan: "Saya sudah punya pertimbangan." 611.BAB 610 Hukuman Mati 　　BAB 610 Hukuman Mati 　　Er Niu kembali ke Kediaman Pangeran Yan saat fajar belum menyingsing, diantar pulang langsung oleh Xiao Lezi. 　　"Di mana Pangeran?" 　　Mandor yang menjemput Xiao Lezi berkata malu-malu: "Pangeran sudah tidur, Tuan Kasim harap menunggu sebentar, saya akan membangunkan beliau." 　　Xiao Lezi buru-buru menjawab: "Tak perlu, rawat saja Jenderal Xiaotian dengan baik. Keluarga kami harus kembali ke istana untuk melapor." 　　Ck ck, Pangeran Yan benar-benar berhati lapang. Menjemput Jenderal Xiaotian ke istana di tengah malam buta, jelas ada masalah di dalam istana, tapi beliau malah tertidur pulas tanpa menunggu. 　　Setelah menghela nafas, Xiao Lezi menengok ke sekeliling dan menyadari hilangnya bayangan Er Niu. 　　Dia tertegun seketika: "Ke mana Jenderal Xiaotian?" 　　Sang mandor tersenyum kecut: "Jenderal Xiaotian baru saja menyelusup lewat sana..." 　　Er Niu ini, bagaimana bisa menyelusup lewat lubang anjing di hadapan Bapak? Tidak malu kah sebagai Jenderal Xiaotian? 　　Xiao Lezi juga bingung memandang lubang yang ditunjuk sang mandor. 　　Ternyata Jenderal Xiaotian juga bisa menyelusup lewat lubang anjing— 　　Setelah bergumam dalam hati, Xiao Lezi berpamitan undur diri. 　　Sang mandor mengantar Xiao Lezi sampai pintu samping. Begitu bayangan Xiao Lezi lenyap dalam kegelapan, dia segera menyampaikan kabar ke Yuyuan. 　　Yu Jin jelas belum tidur saat ini. 　　Menjemput Er Niu ke istana di jam segini pasti ada masalah besar, kemungkinan besar terkait Sang Putra Mahkota. Alasan memberi tahu pelayan istana bahwa beliau sudah tidur hanyalah sikap pura-pura tak peduli. 　　Ehem, penyamaran yang diperlukan tetap harus dilakukan. 　　"Er Niu sudah kembali?" Mendapat kabar tapi tak melihat sang anjing, Yu Jin mengerutkan alis lalu bersiul di depan pintu ruang belajar. 　　Sejak muda beliau tekun berlatih ilmu bela diri, napasnya panjang dan stabil. Semburan siulan itu menggema jauh di malam yang sunyi. 　　Er Niu yang baru merebah di sarang hangatnya menegakkan telinga, lalu dengan enggan bangun untuk menghadap tuannya. 　　“Apa yang kau lakukan di istana?” Yu Jin mengusap-usap kepala Anjing Besar dengan kuat. 　　Er Niu mengendus-enduskan hidungnya. 　　“Barangnya sudah ketemu? Seperti apa bentuknya?” Yu Jin bertanya sambil membuat gerakan menirukan bentuk Tulang berisi daging. 　　Er Niu langsung melirik dengan pandangan merendahkan. 　　Kalau orang lain bodoh masih bisa dimaklumi, tapi kenapa tuannya juga begini? 　　Wajah Yu Jin menjadi muram. 　　Anjing ini berani-berainya meremehkannya, padahal dia hanya khawatir si anjing tidak mengerti. 　　Er Niu mulai mengobrak-abrik ruang belajar, namun setelah lama mencari akhirnya kembali ke hadapan Yu Jin dengan mulut kosong, mengibaskan ekornya pasrah. 　　Benda yang mirip pun tidak ada, bagaimana harus mencari? 　　Tiba-tiba terdengar suara dari pintu: “Er Niu sudah pulang ya.” 　　Yu Jin menyambut dan menggenggam tangan Jiang Si: “Bukannya sudah kubilang tidur dulu.” 　　“Mana bisa tidur. Er Niu ini--” 　　“Istana membawa Er Niu tengah malam, pasti ingin menyuruhnya mencari sesuatu. Sayangnya Er Niu tidak bisa bicara, kita coba suruh cari benda yang mirip.” Yu Jin melirik ke Er Niu sambil menghela nafas, “Entah apa itu, sepertinya tidak ada di sini.” 　　Melihat Jiang Si, Er Niu teringat sesuatu dan tiba-tiba melesat keluar menuju kamar utama. 　　Keduanya langsung mengejar, tapi melihat Er Niu melompat masuk melalui jendela kamar samping barat. 　　Jiang Si dan Yu Jin saling pandang, raut wajah mereka berubah. 　　Ah Huan masih kecil, belum waktunya pindah kamar, masih tinggal di kamar samping barat Yuyuan. 　　"Apa yang dilakukan Er Niu di tempat tinggal Ah Huan? Jangan-jangan di sana ada barang itu?" 　　Sebelum mereka masuk, Er Niu sudah kembali dengan benda tergigit di mulut yang langsung disodorkan ke tangan Jiang Si. 　　Jiang Si mengamati benda itu - sebuah patung A Fu besar, yaitu boneka tanah liat. 　　Er Niu menjulurkan lidahnya. 　　Barang ini terlalu tidak nyaman digigit di mulut, bikin gigi sakit. 　　"Apa yang dicari Istana dari Er Niu ternyata boneka tanah liat?" Jiang Si menunduk memandang Er Niu yang justru menggelengkan kepala. 　　Yu Jin menggeleng: "Sepertinya bukan boneka. Boneka yang dibawa Er Niu ini hanya mirip dengan barang itu, artinya barang itu berbentuk manusia--" 　　Keduanya saling pandang, wajah sama-sama berubah pucat. 　　Barang apa yang berbentuk manusia dan bisa membuat kekacauan sebesar ini di Istana? 　　"Bahas di kamar." 　　Mereka berjalan bergandengan menuju kamar utama, meninggalkan Er Niu yang bengong cukup lama. 　　Setelah berjasa besar, majikan malah kabur berdua sambil bergandengan? 　　Di dalam kamar, Yu Jin bertanya: "A Si, menurutmu barang apa itu?" 　　Jiang Si melirik Yu Jin sambil tersenyum: "Kau pasti sudah menebak, kan? Kemungkinan besar itu boneka sihir." 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Putra Mahkota benar-benar mencari mati kali ini." 　　Pandangan Jiang Si menerawang ke jendela: "Ya. Sepertinya fajar nanti, langit akan berubah." 　　Sepanjang sejarah, Bencana Sihir Gu selalu berawal dari boneka manusia - hal yang paling ditabukan Kaisar. 　　“A Si, menurutmu boneka kecil ini benar-benar bisa membunuh orang?” Yu Jin mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut pendek, bertanya. 　　Selama bertahun-tahun di selatan, dia sedikit memahami Suku Wu Miao. Namun meski suku itu punya banyak ilmu gaib, belum pernah dengar penggunaan boneka untuk mencelakai orang. 　　Jiang Si menggeleng: “Aku juga tidak yakin.” 　　Saat belajar di bawah Tetua Besar Wu Miao, dia pernah mendengar secara sepintas bahwa di pulau lebih selatan ada orang sakti yang bisa mengendalikan benda mati dengan mantra. Boneka... termasuk benda mati? 　　Tapi informasi ini hanya didengarnya sekilas, Tetua Besar tidak menjelaskan lebih lanjut. 　　“Bagaimanapun, sakit seperti ditusuk di dada Ayah Kaisar muncul tiba-tiba, bertepatan dengan kemunculan boneka. Pasti ada hubungannya.” 　　Sekalipun boneka itu tidak berfungsi, sakit mendadak Kaisar Jingming kemungkinan ada campur tangan manusia. 　　Yu Jin memeluk Jiang Si: “Sudah, jangan dipikirkan. Mari kita tidur dulu. Besok pasti akan ada badai yang menarik disaksikan.” 　　Mereka berbaring berdampingan, menutup kelambu ranjang. 　　Beberapa saat kemudian, suara Jiang Si terdengar: “A Jin.” 　　“Hmm?” 　　“Kali ini, Putra Mahkota tidak akan bisa menghindar, kan?” 　　Yu Jin tertawa pendek, nada datarnya terdengar kejam: “Jika boneka itu terkait Putra Mahkota, dia tidak akan bisa lolos.” 　　Di kegelapan, sudut bibir Jiang Si melengkung. 　　Dengan begitu, target kecil mereka kali ini tercapai lebih cepat. 　　“Tidurlah.” Yu Jin mengulurkan lengan, menyampirkan di tubuh Jiang Si. 　　Di dalam kelambu, suara perlahan-lahan menghilang. 　　Kaisar Jingming duduk termenung di Istana Qianqing cukup lama. Menjelang subuh, akhirnya titah kerajaan dikeluarkan. 　　Putra Mahkota memberontak di malam hari, dihukum dengan secawan anggur beracun. Permaisuri Putra Mahkota dan Cucu Kaisar diturunkan statusnya menjadi rakyat biasa, menetap permanen di Taman Jing. Adapun staf Istana Timur lainnya, dari atas ke bawah, semua yang melayani Putra Mahkota dihukum mati. 　　Ketika maklumat itu sampai ke Permaisuri Putra Mahkota, ia memeluk Chun Ge'er erat sementara air mata berderai. 　　Air mata itu mengandung ketakutan, namun lebih banyak rasa syukur. 　　Awalnya ia sudah mempersiapkan diri untuk mati, tak menyangka Ayah Kaisar berbelas kasih, menyisakan nyawanya bahkan memberikan tempat berlindung untuk membesarkan Chun Ge'er. 　　Hasil seperti ini sudah membuatnya puas. 　　Permaisuri Putra Mahkota menggandeng Chun Ge'er, membungkuk hormat ke arah Istana Qianqing dengan sungguh-sungguh. 　　Pan Hai yang datang langsung menyampaikan titah menghela nafas, "Barang-barang dari istana jangan dibawa. Bawalah Ta... Tuan Gong kecil ini ke Taman Jing secepatnya." 612.BAB 611: Tahu Berterima Kasih 　　BAB 611: Tahu Berterima Kasih 　　Fajar baru merekah. Permaisuri Putra Mahkota - sekarang harus dipanggil Nona Yang - tanpa membawa barang pribadi, hanya naik kereta kuda sederhana bersama Chun Ge'er menuju Taman Jing. 　　Istana Timur dilanda kutukan ilmu sihir. Seberharga apapun perhiasannya, tak ada yang melebihi nilai Chun Ge'er baginya. 　　Di dalam kereta kuda, Chun Ge'er dengan mata merah bertanya pada Nona Yang: "Ibu, bagaimana keadaan ayah?" 　　Anak kecil itu sudah menyadari sesuatu yang tidak baik. 　　Nona Yang menunduk memandangi anak lelakinya, lalu berkata lembut: "Ayahmu melakukan kesalahan, jadi Kakek Kaisar menghukumnya untuk merenung di dalam kamar." 　　Chun Ge'er menundukkan pandangan ke tangan sambil diam. 　　Nona Yang memeluk Chun Ge'er dan bertanya: "Bukankah Chun Ge'er suka Taman Jing? Musim dingin akan tiba, nanti ibu akan menemanimu dan adik-adik membuat boneka salju, main perang salju..." 　　Kasus yang melibatkan Putra Mahkota dengan dayang kesayangannya berakibat semua selir di Istana Timur dihadiahi kain putih kecuali dia. Kini dua saudari tiri Chun Ge'er hanya bisa bergantung pada Nona Yang. 　　Setelah lama terdiam, Chun Ge'er mengangkat wajah memandangi Nona Yang sambil menggigit bibir: "Ibu, apakah ayah dihukum mati karena kesalahan besar?" 　　Wajah Nona Yang berubah: "Chun Ge'er jangan berkhayal." 　　Chun Ge'er menggeleng: "Hamba tidak mengkhayal. Ibu, hamba mengerti..." 　　Apa yang dimengerti tidak diungkapkan, tapi tiba-tiba air mata Nona Yang mengalir deras seperti hujan. 　　Dosa apa yang telah diperbuat hingga anak seusia ini harus mengerti semua ini. 　　Nona Yang memeluk Chun Ge'er, hati bagai ditusuk pisau. 　　Chun Ge'er mengedipkan matanya perlahan dan memeluk Nona Yang: "Ibu, jangan menangis. Chun Ge'er hanya butuh ibu saja." 　　Nona Yang mengusap air mata dan memaksakan senyum: "Ibu akan selalu menemani Chun Ge'er." 　　Pada saat ini, hatinya dipenuhi rasa syukur yang mendalam pada seseorang. 　　Seandainya Permaisuri Yan tidak memberikan nasihat tulus meski belum akrab, atau jika ia hanya patuh pada aturan tanpa rajin menghadap Ayah Kaisar, mungkin saat ini ia sudah menjadi mayat tergantung dengan seutas kain sutra putih. 　　Ia tak boleh mati, tak berani mati. Jika ia mati, Chun Ge'er akan kehilangan ibu. 　　Kereta kuda meluncur dalam kabut tipis fajar, sunyi hanya terdengar derap kuda dan gemuruh roda. 　　Dengan perasaan lega sekaligus trauma, Nona Yang berbisik pada Chun Ge'er: "Anakku, ibu harap kau tetap menjadi pribadi baik hati, bijaksana, dan cukup cerdas untuk mempertahankan kebaikan itu. Ada seseorang yang menjadi penyelamat kita..." 　　Kereta kuda semakin menjauh, perlahan menghilang dalam kesunyian. 　　Sementara itu, para pejabat di seluruh istana gempar setelah subuh tiba. 　　Putra Mahkota dihukum mati malam tadi karena pemberontakan. Permaisuri Putra Mahkota dan Cucu Kaisar diturunkan status menjadi rakyat biasa dan diusir dari Istana Timur. Ratusan pelayan Istana Timur dihukum karena terlibat. Hanya dalam satu malam, Istana Timur menjadi sunyi sepi. 　　Saat Pan Hai membacakan keputusan ini di hadapan pejabat militer-sipil, Menteri Ritus Yang Deguang langsung pingsan. 　　“Para menteri tidak ada yang berani menahan, melihat Pan Hai hendak pergi, mereka semua mengerumuninya.” 　　“Paman Pan, sebenarnya apa yang terjadi?” 　　“Benar, Paman Pan, bagaimana mungkin Putra Mahkota melakukan pemberontakan?” 　　“Paman Pan, apakah Kaisar akan mengadakan sidang pagi besok?” 　　Wajah Pan Hai muram dengan lingkaran hitam di bawah mata, berkata dingin: “Para Paduka jangan banyak bertanya. Tunggu Kaisar tenang dulu, Beliau akan memanggil menteri-menteri penting enam kementerian untuk berunding.” 　　Setelah Pan Hai pergi, para menteri tetap bertahan di tempat. 　　Peristiwa sebesar ini terjadi tanpa tanda-tanda sebelumnya, hukuman Kaisar terhadap Istana Timur pun dilakukan secepat kilat. Apa yang sebenarnya terjadi? 　　Bagaimana persisnya Putra Mahkota melakukan pemberontakan? 　　Para menteri penuh pertanyaan di kandungan, menunggu dengan gelisah. 　　Tanpa jawaban yang jelas, mustahil mereka meninggalkan tempat. 　　Meskipun Kaisar adalah penguasa tertinggi, tapi menghukum mati Putra Mahkota tanpa berunding dengan para menteri terlebih dahulu sungguh keterlaluan. 　　“Mereka belum pergi juga?” Kaisar Jingming yang sedang bersandar membuka matanya saat mendengar langkah kaki yang familiar. 　　Pan Hai segera mendekat, memijat bahu Kaisar: “Kaisar, Paduka hampir tidak tidur semalaman, istirahatlah sebentar.” 　　“Panggil beberapa anggota Dewan Hanlin dan kepala enam kementerian ke Aula Yangxindian.” 　　“Kaisar—” Pan Hai tidak bergerak, khawatir kondisi Kaisar tidak kuat. 　　Kaisar Jingming tersenyum getir: “Jika tidak menenangkan hati mereka, Aku semakin tidak bisa tidur. Pergilah.” 　　Para menteri yang dipanggil hampir tidak sabar untuk tiba di Aula Yangxindian, termasuk Menteri Ritus Yang Deguang yang sebelumnya pingsan. Terlihat jelas bahwa para menteri menjaga jarak tertentu dengan Yang Deguang. 　　Saat melihat Kaisar Jingming, para menteri langsung tertegun. 　　Hanya dalam waktu satu hari, Kaisar terlihat seperti telah menua beberapa tahun. 　　"Sudah datang semua." Kaisar Jingming melirik para menteri, suaranya terdengar letih. 　　Para menteri serentak melirik Penasehat Utama Gu Juguan. 　　Di saat seperti ini, sudah seharusnya penasehat utama yang berada di garis depan. 　　Gu Juguan tidak ragu-ragu, meskipun wajah Kaisar Jingming dipenuhi kelelahan dan kesedihan. 　　Ia membersihkan tenggorokannya dan bertanya, "Paduka, berani hamba tanya atas tuduhan apa Putra Mahkota dihukum mati karena pemberontakan?" 　　Ekspresi para menteri serius. 　　Jika Kaisar tidak bisa memberikan alasan, mereka tidak akan mudah pergi. 　　Pemecatan kedua Putra Mahkota dan eksekusi calon penerus takhta, Dinasti Zhou tidak akan tahan dengan gejolak seperti ini. 　　Kaisar Jingming terdiam, hingga para menteri mengira beliau tidak akan menjawab, tiba-tiba bersuara: "Gu." 　　Para menteri kaget. 　　Kaisar Jingming berkata dengan suara berat: "Aku tiba-tiba merasakan sakit hati yang menusuk, tabib istana tidak bisa berbuat apa-apa. Ada informan dari Istana Timur yang melaporkan Putra Mahkota menggunakan boneka untuk menyihirku, setelah dilakukan penggeledahan, benar ditemukan boneka bertuliskan horoskepku dalam pot bunga di kamar tidur Putra Mahkota... Niat jahat Putra Mahkota patut dihukum, langit pun tidak akan memaafkan..." 　　Kaisar Jingming mengalihkan pandangannya ke Menteri Ritus Yang Deguang. 　　Yang Deguang perlahan-lahan limbung jatuh ke lantai. 　　"Ternyata ini adalah Gu, apakah Putra Mahkota sudah kehilangan akal sehat?" 　　Para menteri semuanya tertegun. 　　Mereka semula masih berniat berdebat dengan Kaisar, tak menyangka Putra Mahkota tega menggunakan Gu untuk membahayakan Kaisar. 　　Dalam catatan sejarah, siapa pun yang terlibat dalam kasus Gu, bukan hanya pelaku utamanya, korban tewas yang terseret bisa mencapai puluhan ribu orang. 　　Kaisar menghukum mati Putra Mahkota namun hanya menurunkan status Permaisuri Putra Mahkota dan Cucu Kaisar menjadi rakyat biasa, ini sudah termasuk welas asih. 　　"Aku semula menaruh harapan besar pada Putra Mahkota, tak disangka dia tega melakukan pembunuhan penguasa dan patrisida yang gila ini. Memikirkannya, hatiku hancur tak bisa tidur semalaman. Jika para menteri tak ada urusan lagi, bubarlah." 　　"Hamba pamit mundur." Para menteri keluar dengan perasaan berat. 　　Para pejabat yang menunggu di luar berkerumun mengejar bertanya, namun mereka semua menggelengkan kepala lalu cepat-cepat pergi. 　　Kaisar Jingming tidak beristirahat, melainkan memanggil beberapa pangeran untuk menjelaskan kasus Putra Mahkota, akhirnya berkata: "Aku harap kalian mengambil pelajaran dari Putra Mahkota yang dipecat, jangan lakukan hal yang akan kalian sesali." 　　Para pangeran serentak menjawab: "Anak patuh pada ajaran Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan, memberi isyarat untuk bubar. 　　Pangeran Qi kembali ke Kediaman Pangeran Qi, menutup pintu lalu tertawa terbahak: "Putra Mahkota sampai bisa berpikir menggunakan Gu untuk membahayakan orang, itu juga suatu kemampuan." 　　Permaisuri Qi yang mengetahui nasib Putra Mahkota dan kroni-kroninya merasa ngeri: "Pangeran, dayang yang menghasut Putra Mahkota menggunakan boneka untuk membahayakan orang itu--" 　　“Tidak ada hubungannya dengan saya.” 　　“Bukankah ini agak kebetulan...” 　　Pangeran Qi menyeringai dingin: "Banyak orang yang ingin Putra Mahkota mati, mungkin mereka berdua yang menyuruh. Pasti Ayah Kaisar juga tidak akan menghentikan penyelidikan, yang penting tidak ada kaitannya dengan kita." 　　Sudahkah kalian memotong tangan? (Catatan: Idiom Tionghoa "" untuk belanja kompulsif) 613. BAB 612 Pikiran Berbagai Pihak 　　BAB 612 Pikiran Berbagai Pihak 　　Di kediaman Pangeran Lu, Pangeran Lu tidak tersenyum malah menghela nafas, berkata pada Permaisuri Lu: "Katanya Putra Mahkota punya status calon penguasa yang baik, kenapa malah membuat masalah?" 　　Dia memang membenci Putra Mahkota, tapi setelah membenci bertahun-tahun, tiba-tiba orangnya hilang, jadi terasa aneh. 　　Permaisuri Lu melirik tajam ke arah Pangeran Lu: "Urusi saja diri sendiri Tuan, yang penting kita jangan membuat masalah." 　　Dia sudah paham, menjadi Putra Mahkota benar-benar profesi berisiko tinggi. 　　Pangeran Lu menyeringai: "Aku ini cuma pangeran biasa, bisa buat masalah apa? Menurutku, status terlalu tinggi itu berbahaya, mundur selangkah langit dan laut terasa luas." (Catatan: Idiom "" diartikan literal) 　　Permaisuri Lu mengernyitkan sudut bibirnya, hampir ingin meludahi wajah Pangeran Lu. 　　Hah, "mundur selangkah langit laut luas" dipakai seperti ini? 　　"Kalau begitu saya benar-benar harus berterima kasih pada Tuan yang telah melindungi keluarga kita." 　　Pangeran Lu memandang puas ke Permaisuri Lu: "Kau paham itu saja sudah cukup." 　　Dengan kebijaksanaannya ini, nanti tidur dengan satu dua wanita cantik, pasti tidak masalah kan? 　　Permaisuri Lu menaikkan alis sambil menyeringai dingin. 　　Selalu merasa hati suami ini mulai bergejolak lagi, memang kalau tiga hari tidak dipukul akan naik ke atap menggali genteng, nanti harus mengeluarkan kembali pisau dapur. 　　Pangeran Shu kembali ke Istana Shu, langsung menyelami ruang belajar, memanggil para penasihat untuk berdiskusi. 　　Permaisuri Shu berdiri di tepi jendela, memandang ke arah ruang belajar luar, senyum sinis mengambang di sudut bibirnya. 　　Setelah Putra Mahkota tewas, hati Pangeran mulai bergejolak? 　　Hati Pangeran Shu memang benar-benar bergejolak. 　　Dalam pandangannya, di bawah Putra Mahkota ada Pangeran Qi, dan yang mampu bersaing dengan Pangeran Qi adalah dirinya sendiri. 　　Usianya lebih muda dari Pangeran Qi, ini kelemahan terbesar, tapi Ibu Selirnya lebih disukai Ayah Kaisar, dan dirinya juga lebih disayangi Ayah Kaisar. 　　Dulunya Ayah Kaisar sangat menjunjung tinggi tata krama, berambisi menyerahkan tahta ke Putra Mahkota, tapi akhirnya malah membesarkan putra sulung pembunuh kaisar. Ini pasti sangat mempengaruhi mental Ayah Kaisar, mungkin sekarang beliau sudah berubah. 　　Kalau putra sulung tidak bisa diandalkan, kenapa tidak pilih pangeran favorit sebagai penerus? Atau kalau bukan berdasarkan kasih sayang, berdasarkan kebijaksanaan pun dirinya tetap punya peluang. 　　Reputasi kebajikan Lao Si itu cuma kemunafikan, pikir siapa yang tidak tahu maksud tersembunyinya. Kalau Lao Si bisa berebut tahta, kenapa dirinya tidak? Siapa yang menang belum tentu. 　　Di Istana Xiang, Pangeran Xiang malah tidak pergi ke ruang belajar. Lagipula dia bahkan belum punya istri, mau bicara rahasia pun tidak perlu menghindari orang. 　　Pangeran Xiang merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit kelambu sambil mengerutkan alis. 　　Hubungannya dengan Kakak Keempat selalu baik, melihat Kakak Keempat akan sukses, apakah dia bisa ikut menikmati keuntungan di masa depan? 　　Kediaman Pangeran Yan dibandingkan dengan istana pangeran lainnya yang sementara sepi, terasa lebih ramai. 　　Hadiah dari Permaisuri untuk Er Niu telah tiba. 　　Er Niu mendapat kalung emas kuning jernih bertatahkan rubi dengan berat total dua kati. 　　Tentu saja, kalung emas biasa beratnya tidak sampai separuh ini, ini berkat leher Er Niu yang kokoh. 　　Setelah pelayan istana pergi, Yu Jin memegang kalung emas sambil tertawa: "Tampaknya kalung emas ini adalah hadiah untuk Er Niu." 　　Setelah menyingkirkan ancaman terbesar Putra Mahkota, Jiang Si tersenyum lega: "Apakah Pangeran masih berharap Er Niu bisa naik jabatan? Orang lain tidak tahu peran Er Niu dalam hal ini, kalau sampai tahu, itu tidak baik untuk Er Niu. Kalung emas dua kati bertatahkan rubi ini cukup praktis." 　　Yu Jin juga dalam suasana hati yang baik, mengusap kepala Er Niu sambil berkata: "Kalung emas dua kati mana bisa dibandingkan dengan kenaikan jabatan. Harus diingat Er Niu juga punya gaji resmi. Jika pangkat 4 utamanya naik lagi, kenaikan gajinya jauh melebihi nilai kalung emas ini." 　　Jiang Si tertawa geli: "Aku sampai lupa Er Niu kita juga menerima gaji tahunan. Ngomong-ngomong, A Huan langsung punya gelar dan tunjangan sejak lahir, Er Niu juga punya gaji, malah Pangeran yang sebelumnya dihukum potong gaji setahun karena memukul Putra Mahkota, sampai sekarang belum pernah menerima uang..." 　　Yu Jin tertegun, ekspresinya kompleks: "Kalau begitu, selama lebih setahun ini ternyata kita hidup bergantung pada Er Niu dan putri kita?" 　　Jiang Si wajahnya berubah serius: "Siapa yang bilang? Masih ada barang-barang maharku." 　　Yu Jin canggung mengusap wajahnya, tiba-tiba menarik Jiang Si ke dalam pelukannya. 　　"Apa maksudmu?" 　　Yu Jin mendekatkan bibirnya ke telinga Jiang Si sambil tertawa rendah: "Aku berpikir, memutuskan untuk membayar dengan tubuh--" 　　Jiang Si mendorongnya: "Jangan main-main, Er Niu masih di sini." 　　Yu Jin melepaskan Jiang Si, tidak puas melirik Anjing Besar. 　　Makhluk ini semakin tidak tahu diri, tidak lihat tuannya punya urusan penting? 　　Er Niu menggigit lingkaran emas dengan mulutnya, berbalik dan lari, terus berlari ke kandang anjing yang hangat dan nyaman sebelum meletakkan lingkaran emas itu. 　　Tuan terus memegang barangnya tidak mau melepaskan, jangan-jangan mau mencuri? 　　Er Niu menggigit lagi lingkaran emas dan melemparkannya ke langit, menunggu jatuh lalu menangkapnya kembali. Jelas ia sangat puas dengan benda kuning ini, tapi saat lemparan keempat gagal ditangkap, lingkaran emas seberat dua kati itu menghantam wajah anjing. 　　Er Niu meraung kesakitan, diam-diam menggali lubang dan mengubur lingkaran emas itu. 　　Di Istana Kekaisaran, Pan Hai sedang melaporkan hasil interogasi terhadap dayang Hongyu kepada Kaisar Jingming. 　　"Tidak berhasil ditanyakan?" Mendengar hasil ini, Kaisar Jingming merasa kelelahan mental. 　　Kematian Putra Mahkota akhirnya menjadi duri dalam hatinya, duri beracun yang tetap menyakitkan meski tidak disentuh. 　　Pan Hai tahu mood Kaisar Jingming sedang sangat buruk, menunduk sopan: "Paduka, dayang Hongyu sepertinya benar-benar tidak tahu..." 　　“Lalu dia kebetulan melihat dayang Cuishan sedang mengukir boneka?” tanya Kaisar Jingming dengan nada kesal. 　　Keributan yang ditimbulkan Dayang Duo di istana ternyata tidak menghasilkan informasi apapun tentang urusan Suku Wu Miao, membuat Kaisar Jingming semakin frustrasi. Tak disangka hari ini kejadian serupa terulang lagi. 　　Sampai sekarang, ia masih ragu apakah kasus gu Putra Mahkota ini ada dalang di balik layar. Jangan-jangan ini benar-benar hanya kebetulan? 　　“Yang Mulia, menurut hamba, jika ini bukan kebetulan, mungkin dayang Cuishan sengaja memperlihatkan hal ini kepada Hongyu...” 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya dengan lesu, kepala terasa hendak pecah: “Intinya, jika ada dalang di belakang Cuishan, kita masih belum bisa menemukan orangnya?” 　　Pan Hai terdiam sejenak: “Hamba sudah memerintahkan orang untuk menyelidiki kampung halaman kedua dayang tersebut. Mungkin ada petunjuk baru.” 　　“Lanjutkan penyelidikan pada Hongyu. Jangan sampai dia mati.” 　　“Da.” 　　Tiba-tiba seorang pelayan istana masuk melapor: “Yang Mulia, Janda Permaisuri memohon kehadiran Paduka di Istana Cining.” 　　Kaisar Jingming menghela napas halus dalam hati, lalu berangkat menuju Istana Cining. 　　“Ibu, mengapa Ibu tidak beristirahat?” 　　Janda Permaisuri memandangi Kaisar Jingming dengan mata kemerahan: “Paduka harus menjaga kesehatan.” 　　“Anak lelaki ini tahu. Ibu tak perlu khawatir.” 　　Setelah diam sejenak, Janda Permaisuri berkata: “Hamba seharusnya tidak usah ikut campur. Tapi kasus Putra Mahkota ini telah menimbulkan kepanikan. Paduka harus tetap waspada.” 　　“Anak lelaki mengerti. Sudah bertahun-tahun anak lelaki memerintah namun masih membuat Ibu khawatir, sungguh memalukan.” 　　“Antara ibu dan anak tidak perlu kata-kata seperti itu.” Janda Permaisuri menghela napas dan mengalihkan topik, “Dua tahun terakhir banyak peristiwa terjadi di istana. Hamba malah tidak menyukai kesunyian, merasa keheningan membuat hati terasa berat. Ke depannya, biarkan Fuqing dan Si Empat Belas sering menemani hamba.” 614. BAB 613: Di Bawah Awan Kegelisahan 　　BAB 613: Di Bawah Awan Kegelisahan 　　Janda Permaisuri ingin ditemani dua cucu perempuan, Kaisar Jingming tentu tidak keberatan. Beliau kemudian menyampaikan hal ini kepada Permaisuri. 　　Permaisuri ragu sejenak lalu tersenyum, “Mendampingi Ibu adalah keberuntungan bagi Fuqing dan mereka.” 　　Sejak mengetahui penyakit mata Putri Fuqing adalah akibat ulah orang, dan nyaris tewas dalam pesta itu, Permaisuri menjadi sangat melindungi putrinya ini. Meski menemani Janda Permaisuri adalah kehormatan, hatinya sebenarnya enggan. 　　Namun apapun isi hatinya, beliau tak bisa menolak usul Kaisar. Masalah Putra Mahkota telah menjadi pukulan berat bagi Kaisar. Tak seorang pun berani melawan keinginan Kaisar di saat seperti ini. 　　“Paduka, beristirahatlah.” Selaput merah di mata Kaisar Jingming membuat Permaisuri merasa pilu. Sementara menyimpan pikiran-pikirannya, beliau membujuk dengan lembut. 　　Kaisar Jingming memaksakan senyum di sudut bibirnya, “Permaisuri beristirahatlah. Aku akan kembali ke Istana Qianqing.” 　　Permaisuri ingin membujuk lagi, bibirnya bergerak namun akhirnya menelan kata-katanya. 　　Di saat seperti ini, yang dibutuhkan Kaisar adalah ketenangan. Bukan nasihat yang bisa diungkapkan dengan beberapa patah kata. 　　Setelah Kaisar Jingming pergi, Permaisuri memanggil Putri Fuqing dan berpesan: "Mulai sekarang kau harus pergi ke Janda Permaisuri bersama Si Empat Belas, ingat untuk selalu masuk dan keluar bersamanya." 　　Putri Fuqing menunjukkan ekspresi bingung: "Harus selalu bersama Adik Keempat Belas?" 　　Permintaan Ibu agak aneh. 　　Permaisuri tersenyum sambil membelai rambut hitam Putri Fuqing yang halus: "Janda Permaisuri sangat berwibawa, adikmu yang keempat belas ini penakut. Sebagai kakak, kau harus lebih banyak merawatnya." 　　Barulah keraguan Putri Fuqing hilang, ia menjawab serius: "Ibu tenang saja, saya akan merawat Adik Keempat Belas dengan baik." 　　Permaisuri memandangi putrinya, dalam hati menghela napas pelan. 　　Seharusnya dia tidak berpikir macam-macam, tapi Fuqing adalah nyawanya. Rasa khawatir membuatnya harus lebih waspada. 　　Dayang Duo sudah bertahun-tahun di istana Janda Permaisuri, siapa tahu di Istana Cining masih ada orang bermasalah lainnya? Apalagi dayang yang menghasut Putra Mahkota menggunakan boneka santet jelas bukan orang sembarangan, dan dalang di balik dayang itu belum terungkap. 　　Situasi istana sekarang penuh intrik, membuatnya harus ekstra hati-hati. 　　Permaisuri juga merasa kesal dengan keadaan ini. 　　Sebagai penguasa istana belakang, tapi malah terus menerus menjadi target pasif. 　　Setelah mengirim Putri Fuqing pergi, Permaisuri memanggil Putri ke-14. 　　Setelah berhasil menjerat Dayang Duo dengan menjadi umpan, Putri ke-14 mulai lega. Setelah pemulihan beberapa hari ini, kondisi tubuhnya membaik dan pipinya mulai kemerahan seperti gadis seusianya. 　　Memberikan salam kepada Permaisuri, Putri ke-14 menunggu perintah dengan tenang. 　　"Hari ini kau dipanggil ke sini karena ada satu hal yang perlu disampaikan." 　　"Ibu silakan bicara." 　　"Janda Permaisuri merasa Istana Cining terlalu sepi, ingin kau dan Fuqing sering menemani di sana." 　　Putri ke-14 tertegun, menatap Permaisuri. 　　Banyak putri di istana, wajar jika Janda Permaisuri meminta cucu perempuan untuk menemani dengan menyebut Kakak ketigabelas. Tapi yang mengejutkan, nama Putri ke-14 juga disebut. 　　Ibunya pernah melakukan kesalahan, ini tetap menjadi noda baginya. 　　"Menemani Janda Permaisuri adalah kehormatan besar yang akan memberi imbalan memadai untuk masa depanmu. Tapi kau pernah mengalami sendiri kasus Dayang Duo, harusnya tahu Istana Cining tidak sesunyi yang terlihat. Tetap waspada." 　　Putri ke-14 menggigil, mengangguk perlahan: "Si Empat Belas paham." 　　Permaisuri menghela napas: "Si Empat Belas, Fuqing polos sifatnya. Saat kalian ke Istana Cining nanti, kau harus lebih memperhatikan..." 　　"Ibu tak perlu khawatir, Si Empat Belas pasti akan lakukan." Putri ke-14 langsung menyanggup tanpa ragu. 　　Dunia ini memang tak adil sejak lahir. Dia tak bisa memilih asal usul, apalagi menyalahkan ibu yang selalu memikirkan nasibnya. Yang bisa dilakukannya hanya hidup lebih hati-hati dan lebih gigih daripada orang lain. 　　Satu-satunya keberuntungan adalah Permaisuri tidak bertindak semata berdasarkan suka atau benci. Selama dia tetap tahu diri, setidaknya bisa hidup tenang. Jika kelak bisa mendapat menantu kaisar berkarakter cukup lumayan, itu sudah merupakan berkah. 　　Permaisuri tersenyum: "Hamba tahu kau gadis baik. Pergilah sekarang." 　　Setelah Putri ke-14 pergi, Permaisuri masih merasa emosinya belum sepenuhnya tenang. 　　“Chen Meiren adalah pelaku kejahatan yang merugikan Fuqing. Sebagai seorang ibu tiri, dia tidak bisa menyayangi putri Chen Meiren. Namun sebagai Permaisuri, dia mengapresiasi gadis seperti Si Empat Belas.” 　　Cerdik, tahu diri, memahami apa yang diinginkan, dan memegang prinsip hidup. 　　Andai semua penghuni istana belakang seperti ini, pasti hidupnya lebih tenang. 　　Bagaimanapun, kehadiran Si Empat Belas menemani Fuqing ke Istana Cining membuatnya lega. Kehati-hatian tidak pernah salah. 　　Kaisar Jingming kembali ke Istana Qianqing, duduk termenung di kursi. 　　Saat ini, dia tidak memikirkan calon penguasa yang cocok, atau kekacauan akibat hukuman mati Putra Mahkota. Pikirannya kosong. 　　"Paduka, sudilah menikmati secangkir teh." 　　Kaisar Jingming menatap Pan Hai, tiba-tiba bertanya: "Boneka yang ditemukan Er Niu itu?" 　　Pan Hai tertegun sebentar, lalu buru-buru membenarkan. 　　Setelah lama terdiam, suara Kaisar penuh kelelahan: "Aku pernah berkata, yang berjasa diberi hadiah, yang bersalah dihukum. Er Niu—" 　　Pan Hai menyambung: "Permaisuri telah menganugerahi Jenderal Xiaotian kalung emas." 　　"Benarkah?" Kaisar berhenti sejenak, bergumam, "Bagus juga." 　　Di situasi genting ini, memberi hadiah besar pada Er Niu justru akan memicu spekulasi. Saat ini dia sama sekali tak ingin memikirkan masalah suksesi. 　　Kaisar Jingming menatap Pan Hai dalam-dalam, seolah ingin menanyakan banyak hal tapi ragu. 　　Pan Hai menundukkan pandangan, menghindari tatapan Kaisar sambil menghela napas dalam hati. 　　Sebenarnya dia bisa menebak pertanyaan apa yang ingin diajukan Sang Kaisar. 　　“Apakah Kaisar ingin menanyakan situasi saat Putra Mahkota dihukum mati?” 　　Dari teriakan Putra Mahkota yang ingin bertemu Kaisar, sampai ia meminum anggur beracun dan tewas, Pan Hai menyaksikan seluruh prosesnya. 　　Bisa dikatakan, kematiannya sungguh tepat! 　　Setelah bertahun-tahun melayani Kaisar, ia tak bisa menghitung berapa kali Kaisar marah karena Putra Mahkota. Bahkan uban Kaisar muncul akibat ulahnya. 　　Dengan kematian Putra Mahkota, Kaisar terbebas dari belenggu sistem putra sulung. Memilih pangeran yang berbakat dan bermoral dari para pangeran sebagai calon penguasa, itulah berkah bagi negara. 　　Tentu sebagai pelayan istana, ia tak pantas mengurusi urusan negara. Ia hanya berharap Kaisar bisa hidup bahagia lebih lama - itu sudah merupakan berkah besar bagi mereka. 　　Setelah lama berpikir, Pan Hai membuka mulut: "Kaisar, hamba menerima kabar dari selatan. Utusan Kuil Honglu yang dikirim ke Suku Wu Miao akan segera kembali ke Ibu Kota." 　　Awalnya untuk menyelidiki kaitan Dayang Duo yang membuat kekacauan di istana belakang dengan Suku Wu Miao, pada bulan kedua Kaisar Jingming mengirim utusan Kuil Honglu. Kini setelah setengah tahun berlalu, sudah waktunya mereka kembali. 　　Pan Hai sengaja menyebutkan ini agar Kaisar Jingming tidak terus terpuruk dalam duka akibat pemberontakan Putra Mahkota yang bisa merusak kesehatannya. 　　Kaisar Jingming langsung beralih perhatian: "Kira-kira kapan mereka akan tiba?" 　　"Dalam tiga hingga lima hari ini, Yang Mulia." 　　"Suruh mereka menghadap Aku segera setelah tiba." 　　Pan Hai segera membungkuk menjawab. 　　Istana Kekaisaran kembali sunyi sepi. Seluruh penghuni istana menahan napas, gemetar ketakutan menunggu awan kegelisahan akibat pemberontakan Putra Mahkota yang dihukum mati berlalu seiring waktu. 　　Jiang Si yang sedang menikmati ketenangan, membawa Ahuan pulang ke rumah orangtuanya. 615.BAB 614: KERINDUAN 　　BAB 614: KERINDUAN 　　Di tengah situasi genting ini, Jiang Si membawa putrinya sendiri kembali ke Dongping Bo Residence tanpa ditemani Yu Jin. 　　Keluarga Bo pun menyambut dengan suka cita. 　　Tentu saja sukacita ini diungkapkan secara sederhana, demi menghindari tuduhan yang tidak perlu. 　　"Ahuan, panggil Kakek." Jiang Ancheng menggendong tubuh gemuk dan lembut Ahuan, menciumi pipi mungil cucu perempuannya berulang kali hingga kumisnya membuat Ahuan menangis keras. 　　Jiang Ancheng panik dan segera meminta bantuan Jiang Si. 　　Jiang Si mengambil Ahuan dan menenangkannya lama sekali. Setelah tangisan Ahuan mereda, ia menyerahkan anak itu kepada inang pengasih sambil bergumam, "Ayah, kenapa Paduka mengganggu Ahuan? Dia baru tiga bulan lebih, mana bisa memanggil Kakek. Bahkan memanggil 'ibu' pun belum bisa." 　　"Kapan dia bisa memanggil 'ibu'?" Jiang Ancheng penasaran. 　　Meski telah menjadi ayah dari tiga anak, pria dewasa mana bisa mengingat detail seperti ini, apalagi setelah bertahun-tahun berlalu. Karena itu, setiap tingkah cucu perempuannya yang putih seperti bola salju terasa baru baginya. 　　"Jiang Si terdiam sejenak, lalu menebak, 'Setidaknya masih empat lima bulan lagi.'" 　　Jiang Ancheng menghela napas lesu, "Berarti harus menunggu empat lima bulan lagi ya." 　　"Katanya anak-anak biasanya memanggil 'ibu' dulu. Kalau Ayah ingin mendengar Ahuan memanggil Kakek, mungkin harus menunggu lebih lama lagi." Jiang Si tersenyum sambil menggigit bibir. 　　Jiang Yi yang berdiri di samping tak tahan lagi, "Siapa bilang dalam empat lima bulan Ahuan sudah bisa memanggil ibu? Biasanya anak baru bisa memanggil setelah berusia satu tahun." 　　Ia menggelengkan kepala, "Adik Keempat, kau sudah menjadi ibu, kok masih bingung seperti ini." 　　Jiang Si tersipu malu, "Ini kan pengalaman pertama merawat anak, jadi belum berpengalaman." 　　"Permaisuri, putri kecil sudah tidur," bisik sang inang pengasuh. 　　Jiang Si melirik wajah merah putrinya yang sedang tertidur lelap, lalu menyuruh para pengasuh membawa Ahuan ke kamar sebelas untuk tidur. 　　Ruangan itu seketika hanya menyisakan ayah dan dua putrinya. 　　Ekspresi Jiang Ancheng tiba-tiba berubah serius. 　　"Si'er, keluarga kerajaan terlalu berbahaya. Kalian harus sangat berhati-hati." 　　Membicarakan hal ini, Jiang Ancheng sampai tidak bisa tidur nyenyak. 　　Belum lama ini seluruh keluarga Pangeran Jin dikirim untuk menjaga makam kekaisaran, meninggalkan istana pangeran yang megah menjadi sepi. Tak berapa lama kemudian, Putra Mahkota pun tertimpa masalah. 　　Sungguh, keluarga kerajaan itu terlalu mengerikan. 　　Untuk kesekian kalinya, Jiang Ancheng menyesal tidak bersikap tegas dulu. Seandainya Si'er dinikahkan dengan keluarga Zhen pasti lebih baik. 　　Pemuda dari keluarga Zhen itu kabarnya sekarang sudah bisa masuk-keluar Istana Wenyuan, karirnya cukup cemerlang. 　　“Tentu saja, ini tidak penting. Yang penting adalah hidup tenang bersama pemuda bermarga Zhen itu. Zhuangyuan Lang yang meraih tiga gelar sekaligus adalah Lambang Keberuntungan Dinasti Zhou. Selama pemuda bermarga Zhen itu tidak membuat kesalahan besar, siapa yang akan menyakiti Lambang Keberuntungan?” 　　“Lagipula, pemuda itu sampai sekarang belum menikah.” 　　“Kakak tua Zhen tidak terburu-buru soal ini. Tapi suatu kali ketika minum bersamanya, kudapati sudut matanya agak kehitaman—jelas bekas pukulan Nyonya Zhen...” 　　“Ayah tenang saja, A Jin dan saya tidak ikut campur dalam urusan-urusan itu.” 　　Jiang Ancheng menghela napas lega: “Memang harus menjaga jarak. Kondisi kalian sekarang sudah bagus—hidup mewah, bebas keluar masuk, dihormati banyak orang...” 　　“Merebut posisi itu sama saja mencari masalah. Untunglah menantuku ini orang yang pintar.” 　　Jiang Ancheng mengajak Jiang Si berbincang cukup lama, memberi waktu bagi kedua bersaudari itu untuk berbicara berdua, lalu berjalan ke rumah sebelas untuk menjenguk A Huan. 　　Setelah Jiang Ancheng pergi, Jiang Si menatap Jiang Yi. 　　Setelah beberapa waktu tak bertemu, tubuh Jiang Yi semakin kurus, tipis bagai kertas, terlihat seperti akan tertiup angin. 　　Jiang Si meraih tangan Jiang Yi. 　　Tangan lawan bicaranya itu kurus dan terasa dingin. 　　Jiang Si membuka pembicaraan: “Kakak akhir-akhir ini kurang tidur?” 　　Pengalaman nyaris dilecehkan saat mengunjungi Toko Zhenbao adalah mimpi buruk yang takkan terlupakan bagi wanita mana pun. Satu-satunya cara untuk terbebas adalah mengetahui bahwa pelakunya telah mendapat karma. 　　Inilah tujuan Jiang Si khusus pulang ke Keluarga Bo. 　　Jiang Yi secara refleks menarik tangannya ke belakang, berusaha tampak tenang: "Tidak, Adik Keempat jangan khawatir padaku." 　　Adik Keempat yang berada di sarang naga dan gua harimau seperti keluarga kerajaan, terlalu banyak yang harus dipikirkan. Jika masih harus mengkhawatirkan kakaknya ini, sungguh membuatku malu. 　　Jiang Si menghela napas pelan, berbisik lembut: "Kakak, orang yang menjebakmu sudah mati." 　　Ekspresi Jiang Yi berubah drastis, spontan bertanya: "Siapa orang itu?" 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu menjawab: "Putra Mahkota." 　　Tangan Jiang Yi bergetar, wajahnya seketika pucat seperti salju, bergumam: "Bagaimana mungkin... Bagaimana mungkin?" 　　Mengapa seorang wanita yang tinggal di rumah orangtuanya ini bisa menarik perhatian Putra Mahkota? 　　Jiang Si memeluk lengan Jiang Yi, penuh penyesalan: "Kakak, aku yang mencelakakanmu. Putra Mahkota itu bejat, tapi aku tidak waspada sehingga dia melihatmu..." 　　Bulu mata Jiang Yi bergetar: "Adik Keempat, maksudmu Putra Mahkota di pesta bulan Anakanak—" 　　Kata-kata selanjutnya terhenti di tenggorokannya. 　　Jiang Si mengangguk. 　　Wajah Jiang Yi memerah karena marah: "Orang seperti itu tidak pantas menjadi calon penguasa!" 　　Ini terlalu gila. Dia hanya bertemu Putra Mahkota sekali, bahkan bukan pertemuan yang sesungguhnya, tapi dia berani berbuat hal hina seperti itu. 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Makanya dia mati." 　　Jiang Yi tertegun sejenak, lalu menoleh ke sekeliling. Melihat hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, dia sedikit lega dan buku-buku jari yang menggenggam erat memucat: "Adik Keempat, Putra Mahkota... dia—" 　　Jiang Yi tidak berani melanjutkan perkataannya. 　　Orang lain tidak tahu, tapi dia dan Adik Kedua paham betul kemampuan Adik Keempat. 　　Adik Keempat bahkan tidak ragu membunuh Putri Rongyang untuk membalas dendam ibu. Mungkinkah kematian Putra Mahkota juga terkait Adik Keempat— 　　Jiang Yi semakin merasa ngeri. 　　Putra Mahkota adalah calon penguasa. Jika Adik Keempat terlibat, bagaimana jika ketahuan? 　　Melihat ketakutan Jiang Yi, Jiang Si menggenggam tangannya dengan tenang: "Putra Mahkota membunuh kaisar dan ayahnya sendiri, layak mati. Langit yang menghukumnya, tak ada hubungannya dengan siapa pun." 　　Jiang Yi membuka mulut, lalu mengangguk: "Ya, Langit yang menghukumnya, tak ada hubungannya dengan siapa pun." 　　Bagaimanapun juga, ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Adik Keempat. Sama sekali! 　　Jantung Jiang Yi berdegup kencang seperti genderang, tapi raut wajahnya kembali tenang. 　　Adik Keempat saja tetap tenang, dia tidak boleh panik. Jika sampai membahayakan Adik Keempat, mati sepuluh ribu kali pun tak akan cukup menebus. 　　"Jadi Kakak tak perlu terus-menerus khawatir, apalagi seperti digigit ular lalu takut pada tali sumur. Penjahat di dunia ini mungkin sempat berkuasa, tapi akhirnya akan dihukum Langit juga." 　　Jiang Yi mengangguk keras. 　　Adik Keempat khawatir dia hidup dalam ketakutan, sampai-sampai Putra Mahkota pun dihabisi. Dia tidak boleh takut lagi... Tapi kalau dipikir-pikir, bagaimana jika malah semakin takut? 　　Melihat adiknya yang terlihat tenang, Jiang Yi merasa putus asa sekaligus terharu. 　　"Apa yang sedang Kakak pikirkan?" 　　Jiang Yi menarik kembali pikirannya dan mengalihkan topik: "Aku agak khawatir dengan Adik Kedua. Belakangan ini tidak ada surat keluarga darinya. Apakah Adik Keempat menerima?" 　　Mendengar Jiang Yi menyebut Jiang Zhan, Jiang Si juga mulai merindukan: "Aku juga tidak menerima. Mungkin Kakak Kedua sedang sibuk." 　　"Menurutmu Adik Kedua bisa pulang untuk tahun baru? Sudah setengah tahun lebih dia pergi." 　　Jiang Si tersenyum masam: "Sepertinya tidak mungkin. Begitu masuk ketentaraan, dia tidak bisa bertindak semaunya. Jika semua orang ingin pulang untuk tahun baru, pasti akan kacau." 　　Kedua bersaudari itu menghela napas bersama, suasana hening sejenak. 616.BAB 615 Keanehan Wu Miao 　　BAB 615 Keanehan Wu Miao 　　Tak beberapa hari kemudian, tim utusan ke Wu Miao kembali ke Ibu Kota. 　　Kepala Kuil Honglu bahkan tidak pulang ke rumah, langsung masuk istana menghadap Kaisar. 　　"Bagaimana situasi di Wu Miao selama beberapa bulan ini, Kaisar Jingming?" Setelah beberapa hari beristirahat, kondisi Kaisar Jingming tetap tidak membaik, seluruh tubuhnya terasa mati rasa. Hanya kembalinya Kepala Kuil Honglu dkk yang memberinya sedikit semangat. 　　Kepala Kuil Honglu yang belum tahu masalah Putra Mahkota terkejut melihat penampilan Kaisar Jingming yang tua dan kelelahan, lalu khusus menceritakan kisah-kisah menarik dari selatan untuk menghibur Kaisar. 　　Wajah Kaisar Jingming semakin gelap mendengar cerita itu. 　　Jadi selama ini dia mengirim mereka ke Wu Miao hanya untuk berwisata? 　　"Mengingat masa-masa suram belakangan ini, dan melihat ekspresi sumringah Kepala Kuil Honglu, Kaisar Jingming hampir tak bisa menahan dorongan untuk melemparkan pemberat kertas ke wajahnya." 　　Melihat situasi memburuk, Pan Hai dengan halus membersihkan tenggorokannya. 　　Kepala Kuil Honglu melirik Pan Hai dari sudut matanya, dan kaget saat melihat sang kasim menggelengkan kepala hampir tak terlihat. 　　"Sial! Ingin menghibur Kaisar, malah memuji secara tidak tepat." 　　"Ngomong-ngomong, baru setengah tahun tidak bertemu, mengapa Kaisar terlihat jauh lebih tua?" 　　"Aneh. Saat masuk istana tadi, seluruh Istana Kekaisaran sunyi mencekam. Sungguh tidak biasa." 　　Kepala Kuil Honglu bertekad akan menyelidiki situasi ibu kota segera setelah keluar dari istana. 　　"Apakah aku sudah ketinggalan informasi hanya karena meninggalkan ibu kota selama setengah tahun?" 　　Melihat Kepala Kuil Honglu merendahkan suaranya, Kaisar Jingming mulai tenang dan bertanya: "Bagaimana sikap suku Wu Miao terhadap kalian?" 　　"Paduka, orang-orang Wu Miao memperlakukan hamba dengan sangat hormat, tidak ada kelalaian dalam penyambutan..." 　　Setelah mendengar laporan selama lebih dari satu shichen tanpa mendapatkan informasi penting, Kaisar Jingming berkata datar: "Pangeran Ma pasti lelah setelah perjalanan jauh. Pulanglah dan beristirahatlah." 　　Kepala Kuil Honglu diam-diam lega dan membungkuk: "Hamba yang bodoh mohon diri." 　　Setelah pejabat itu pergi, Kaisar Jingming segera memerintahkan Pan Hai: "Nanti kau pergilah ke Istana Kuning. Suruh Permaisuri memanggil Permaisuri Yan. Ada beberapa hal yang perlu Aku sampaikan padanya." 　　Pan Hai segera menyahut. 　　“Panggil Han Ran masuk.” 　　Dalam misi diplomatik ke Suku Wu Miao ini, Kepala Kuil Honglu dan rombongan tampil sebagai utusan resmi, sementara Jinlinwei menyamar di antara mereka untuk memudahkan penyelidikan diam-diam. 　　Tak lama kemudian Han Ran masuk bersama seorang anak buahnya yang merupakan pemimpin tim Jinlinwei yang dikirim ke Wu Miao. 　　“Hamba yang bodoh menghadap Kaisar.” 　　Kaisar Jingming menggerakkan alisnya dan berkata datar: “Tidak usah banyak basa-basi. Apakah kalian menemukan jejak Tetua Hua dan cucunya di Wu Miao?” 　　Kabar Tetua Hua yang telah membuka toko kecil selama belasan tahun di ibu kota berhasil kabur dari penjara khusus masih menjadi duri dalam hati Kaisar Jingming. 　　Anak buah Han Ran menjawab: “Paduka Kaisar, hamba dan tim tidak menemukan jejak Tetua Hua dan cucunya di wilayah Wu Miao.” 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening. 　　Tidak adanya jejak Tetua Hua dan cucunya hanya memiliki dua kemungkinan: pertama, Suku Wu Miao mengetahui sepak terjang mereka di ibu kota lalu menyembunyikan mereka saat utusan Dinasti Zhou datang; atau kedua, mereka masih berada di wilayah Dinasti Zhou. 　　Apapun kemungkinannya, hal ini tetap tidak bisa meredakan kekesalan sang kaisar. 　　“Adakah kejanggalan di wilayah Wu Miao?” tanya Kaisar Jingming dengan nada putus asa. 　　Mengapa banyak hal menjadi misterius begitu terkait Wu Miao? Akankah penyelidikan diam-diam Jinlinwei yang menyamar dalam rombongan diplomatik ini membuahkan hasil? 　　Kaisar Jingming hampir tak berharap apa-apa, namun jawaban anak buah Han Ran ternyata memberinya kejutan tak terduga. 　　“Laporan pada Kaisar, selama beberapa bulan di Wu Miao, kami kebetulan menghadiri perayaan persembahan tiga tahunan mereka. Namun Imam Suci Wu Miao tidak muncul.” 　　Kaisar Jingming mengangkat alisnya. 　　Sebagai negara tetangga Dinasti Zhou yang menguasai kekuatan misterius, Kaisar Jingming telah lama mempelajari adat istiadat Wu Miao. 　　Upacara persembahan tiga tahunan merupakan acara sangat agung di Wu Miao, selalu dipimpin oleh Tetua Besar sementara Imam Suci bertindak sebagai persembahan. 　　Ketidakhadiran Imam Suci dalam acara sepenting ini jelas sangat tidak wajar. 　　“Lanjutkan.” 　　Anak buah Han Ran melanjutkan: “Karena Imam Suci tidak hadir, banyak penduduk Wu Miao gelisah. Hamba juga tak sengaja melihat dua tetua bertengkar, mempertanyakan mengapa Imam Suci tidak muncul setelah bertahun-tahun mengasingkan diri...” 　　“Artinya, ketidakhadiran Imam Suci Wu Miao membuat rakyat mereka resah?” 　　Anak buah Han Ran mengangguk: “Benar. Meski para tetua berusaha menutupi kehadiran kami, kegelisahan menyebar. Hamba jelas merasakan kecemasan mereka, bahkan ada yang berkumpul menuntut bertemu Imam Suci.” 　　“Ada informasi sejak kapan Imam Suci Wu Miao menghilang?” 　　“Dari seorang gadis Wu Miao, hamba dengar Imam Suci mereka sudah tidak muncul setidaknya tiga tahun.” 　　“Keanekan lain?” 　　Anak buah Han Ran menggeleng: “Hamba yang bodoh ini tidak menemukan keanehan lain.” 　　Kaisar Jingming tersenyum: “Kau sudah cukup baik. Han Ran, pilihan orang kali ini tepat.” 　　Han Ran segera berkata, "Kaisar terlalu memuji, kebetulan dia sedikit mengerti bahasa Wu Miao..." 　　Ingin menjadi mata-mata yang baik, hanya mengandalkan kekuatan fisik tidaklah cukup. Pengetahuan tidak boleh diabaikan. Tidak sia-sia dua tahun lalu dia memilih sekelompok pemuda cerdas untuk belajar bahasa asing bersama staf Honglu Si, akhirnya berguna juga sekarang. 　　Melihat tak ada informasi lagi yang bisa digali, Kaisar Jingming mengangguk perlahan. 　　Anak buah Han Ran segera mundur dari ruangan. 　　Kaisar Jingming menatap Pan Hai dan Han Ran, bertanya dengan suara berat, "Bagaimana pendapat kalian?" 　　Pan Hai dan Han Ran saling bertukar pandang. 　　Setelah beberapa saat, Han Ran berbicara, "Hamba yang bodoh berpendapat Imam Suci Wu Miao sedang mengalami masalah. Tidak mungkin dia tidak muncul dalam ritual penting seperti pemujaan dewa." 　　Posisi Imam Suci Wu Miao setara dengan Putra Mahkota Dinasti Zhou, bahkan lebih penting. Jika Imam Suci terus-menerus tidak muncul, selain membuat kerabat gelisah, juga akan memancing niat jajar suku asing. 　　"Berapa banyak orang kita yang tersisa di sana?" tanya Kaisar Jingming lagi. 　　Han Ran segera menjawab, "Enam orang, tapi semua menyamar sebagai pedagang biasa. Sejak awal mereka tidak pernah menampakkan diri." 　　Orang Wu Miao sangat kompak dan populasinya sedikit. Orang asing yang muncul di wilayah mereka akan sangat mencolok dan mustahil disembunyikan. Cara terbaik adalah menyamar sebagai rakyat perbatasan agar bisa berinteraksi. 　　"Perintahkan mereka untuk mengawasi ketat wilayah Wu Miao, terutama hal-hal terkait Imam Suci Wu Miao. Segera laporkan setiap perkembangan darurat." 　　"Da!" 　　Kaisar Jingming mengusap pelipisnya, "Pan Hai, mari ke Istana Kuning." 　　Pan Hai pergi ke Istana Kuning dan menjelaskan kepada Permaisuri tentang keinginan Kaisar untuk bertemu Permaisuri Yan. 　　Permaisuri terkejut sejenak, lalu mengangguk setuju. 　　Permaisuri Yan berbeda dengan para pangeran, panggilan langsung dari Kaisar akan terlalu mencolok, tentu melalui jalur Permaisuri lebih pantas. 　　Jiang Si segera menerima panggilan dari Permaisuri. 　　Yu Jin tampak tidak senang: "Apa urusan Permaisuri memanggilmu tiba-tiba?" 　　Istana Kekaisaran belakangan ini penuh gejolak, dia tidak ingin A Si sering ke sana. 　　Jiang Si tersenyum: "Kita akan tahu setelah pergi. Jangan cemberut lagi, mana mungkin menolak panggilan Permaisuri?" 　　Yu Jin mengatupkan bibir tipisnya, bergumam: "Di atas Putra Mahkota masih ada Permaisuri, di atas Permaisuri masih ada Janda Permaisuri dan Kaisar. Benar-benar memuakkan." 617. BAB 616 Pesta Kecil 　　BAB 616 Pesta Kecil 　　Meski Yu Jin tak merelakan, Jiang Si tetap patuh mengikuti pelayan istana masuk ke istana. 　　Saat tiba di Istana Kuning, baru saja pelayan melapor, seorang gadis sudah menyambut dengan gesit: "Istri ketujuh, sudah lama tak bertemu." 　　Yang menyambut adalah Putri Fuqing. 　　Putri ke-14 mengikuti dari belakang seperti bayangan tanpa bersuara, hanya memberi salam anggun kepada Jiang Si. 　　Dia gadis yang tahu diri, paham diam adalah sikap paling tepat dalam situasi ini. 　　Putri Fuqing bergegas mendekat dan menggandeng tangan Jiang Si: "Istri ketujuh, cepat masuklah." 　　Jiang Si mengedipkan matanya. 　　Jangan-jangan panggilan Permaisuri ini hanya karena Putri Fuqing ingin bertemu? 　　“Bagi Permaisuri yang mencintai putrinya hingga ke tulang sumsum, bukan tidak mungkin hal seperti itu terjadi.” 　　Jiang Si menebak-nebak dalam hati, sambil tetap menjaga ekspresi wajahnya mengikuti Putri Fuqing masuk ke dalam. 　　Permaisuri duduk di ruang tengah, melihat Jiang Si masuk tanpa berdiri, tersenyum lembut: "Permaisuri Yan datang, silakan duduk." 　　“Menantu perempuan menghadap Ibu.” 　　“Tak perlu banyak formalitas. Si gadis Fuqing ini merindukanmu, hamba pikir kalian berdua cocok sebagai kakak ipar, seharusnya lebih akrab saja, maka hamba memanggilmu masuk istana. Tidak mengganggu urusan di rumahmu, kan?” 　　Permaisuri berbicara sopan, Jiang Si pun membalas dengan sopan: “Segala urusan di rumah sudah ada aturan tetap, tidak banyak hal.” 　　“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar A-Huan belakangan ini? Sudah gemukkah?” 　　Saat menyebut putrinya, mata Jiang Si berbinar: “Sudah lebih gemuk, sampai saya agak kesulitan menggendongnya.” 　　Permaisuri tertawa: “Gemuk itu baik, anak kecil yang bisa makan dan tidur nyenyak pertanda sehat kuat.” 　　Pada masa ini banyak bayi yang meninggal muda, bahkan di keluarga kaya sekalipun. 　　Bayi yang sehat tentu lebih membuat tenang. 　　Jiang Si menyambung: “Semua berkat berkah Ayah Kaisar dan Ibu.” 　　Suasana ruangan terasa hangat sejenak. 　　Beberapa saat kemudian Permaisuri mengingatkan: “A'Quan, Si Empat Belas, bukankah kalian berdua seharusnya berangkat?” 　　Putri Fuqing memandang Jiang Si dengan rasa enggan, lalu mengangguk patuh. 　　Jiang Si bertanya: “Ke mana kedua adik ini akan pergi?” 　　Permaisuri tersenyum: “Mereka akan ke Istana Cining untuk memberi salut kepada Janda Permaisuri.” 　　Jiang Si tertegun sejenak. 　　Dalam ingatan, Janda Permaisuri selalu menyukai ketenangan, mengapa kedua putri itu pergi memberi salut saat ini? 　　Permaisuri melihat kebingungan Jiang Si, menjelaskan: "Janda Permaisuri merasa istana terlalu sepi, menyuruh mereka sering menemani. Bagaimanapun dulu masih ada Rongyang—" 　　Saat Putri Rongyang masih hidup, ia sering masuk istana untuk memberi salut kepada Janda Permaisuri, bahkan Cui Mingyue sebelumnya juga kerap menemani. Kini ibu dan anak ini satu meninggal satu hilang, wajar jika Janda Permaisuri merasa kesepian. 　　Beberapa hari terakhir Putri Fuqing setiap hari pergi ke Istana Cining untuk memberi salut, tidak terlihat keanehan apa pun. Permaisuri tersenyum kecut menuduh dirinya berprasangka, menemukan alasan perubahan sikap Janda Permaisuri. 　　"Begitu rupanya." Jiang Si dengan wajah datar meneruskan percakapan, dalam hati memohon maaf pada Janda Permaisuri. 　　Seolah-olah Putri Rongyang dan Cui Mingyue semuanya dibunuh olehnya... 　　"Cepatlah pergi. Jika ingin mengobrol dengan istri ketujuhmu, masih banyak kesempatan nanti." 　　"Ya. Istri ketujuh, aku dan Adik Keempat Belas pergi dulu. Lain kali jika kau masuk istana lagi, akan kubuatkan arak bunga osmanthus." 　　Wajah Permaisuri berkerut: "Baru saja belajar membuat sup manis, Ibu belum sempat mencicipi." 　　Wajah Fuqing memerah sedikit: "Tentu Ibu yang pertama mencoba." 　　"Sudah, cepat pergilah." 　　Setelah kedua Putri Fuqing pergi, Permaisuri menggeleng sambil tertawa: "Untung kau yang datang, kalau tidak hamba akan curiga si gadis itu sedang jatuh cinta." 　　Memandangi wajah cantik Jiang Si, hati Permaisuri berdesir: Permaisuri Yan punya kakak laki-laki yang sepertinya masih lajang... 　　“Fuqing akrab dengan Permaisuri Yan. Jika memilih kakak laki-laki Permaisuri Yan sebagai menantu kaisar, tentu baik untuk Fuqing.” 　　“Tapi kudengar kakak laki-laki Permaisuri Yan pergi ke selatan. Untuk sementara tak bisa dipertimbangkan. Senjata di medan perang tak memiliki mata - bila terjadi sesuatu, bukankah itu akan menyakiti Fuqing?” 　　“Sudahlah, tunggu saja sampai kakak laki-laki Permaisuri Yan membuat nama dan kembali ke ibu kota.” 　　Permaisuri diam-diam menyimpan niat ini, sikapnya terhadap Jiang Si pun menjadi lebih lembut. 　　“Memanggilmu masuk istana kali ini sebenarnya karena Kaisar ada hal untuk dibicarakan. Tunggulah sebentar, Kaisar seharusnya segera tiba.” 　　Tak lama setelah perkataan Permaisuri, Kaisar Jingming pun tiba. 　　“Menantu perempuan menghadap Ayah Kaisar.” 　　“Tak perlu banyak formalitas.” Di Istana Kuning, Kaisar Jingming bersikap santai dan duduk di samping Permaisuri. 　　Jiang Si merapikan posturnya, menunggu dengan tenang Kaisar Jingming berbicara. 　　Kaisar Jingming memperhatikan Jiang Si beberapa saat. 　　Di Pesta Bunga Mei dulu, Lao Qi memberikan semua bunga prem kepada wanita di hadapannya. Saat itu dia mengangguk begitu saja, tak menyangka kini banyak masalah di istana belakang diselesaikan si gadis ini. 　　Sejujurnya, dia telah membuat banyak keputusan salah - seperti memulihkan jabatan Putra Mahkota. 　　Di keheningan malam, Kaisar Jingming telah merenung berkali-kali: Andai setelah pertama kali memecat Putra Mahkota, dia tak mengembalikan jabatannya, mungkin sekarang Putra Mahkota masih menjadi Pangeran Jing yang tenang tinggal di Taman Jing, bukan seperti keadaan sekarang. 　　Tapi satu keputusan tak pernah salah: menemukan istri yang tepat untuk Lao Qi. 　　"Bagaimanapun, Jiang Si sudah tahu banyak hal. Kaisar Jingming tidak bertele-tele dan langsung berkata, 'Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu.'" 　　Jiang Si segera menjawab, "Ayah Kaisar silakan perintahkan. Menantu perempuan pasti akan berusaha sebaik mungkin." 　　"Utusan yang dikirim ke Wu Miao sudah kembali." 　　Jiang Si mengangkat pandangannya menatap Kaisar Jingming. 　　Saat ini, dia tidak bisa menebak maksud Kaisar Jingming. 　　Untungnya Kaisar Jingming segera menjelaskan tujuannya: "Mereka telah tinggal di Wu Miao selama berbulan-bulan. Aku khawatir ada yang terjebak tipu daya orang Wu Miao tanpa disadari. Aku ingin kau periksa apakah ada yang dikendalikan cacing Gu..." 　　Ekspresi ragu muncul tepat waktu di wajah Jiang Si. 　　"Istri Lao Qi, katakan saja langsung jika ada kesulitan." 　　"Menantu khawatir akan ada kelalaian—" 　　Kaisar Jingming mengibaskan tangan: "Jika bisa menemukan keanehan itu bagus. Jika benar ada kelalaian, itu bukan salahmu. Istri Lao Qi, tenang saja. Aku tidak begitu bodoh." 　　Mendengar ini, Jiang Si tersenyum tipis: "Kalau begitu menantu akan mencoba." 　　Dalam hal ini, dia tidak mengejar prestasi, hanya ingin menghindari kesalahan. Selalu baik untuk menyebutkan kesulitan di awal. 　　Segera Komandan Jinlinwei Han Ran mengadakan pesta penyambutan untuk mereka yang kembali. Tentu dalam situasi ini tidak dirayakan besar-besaran, hanya mengundang pejabat Jinlinwei dan Honglusi. 　　Seorang dayang bermuka manis menyamar di antara banyak pelayan, melintas di samping setiap orang tanpa meninggalkan jejak. 　　Han Ran tak bisa menahan diri untuk melirik dayang itu dari sudut matanya, dalam hati bergumam Permaisuri Yan yang menyamar sebagai dayang ini cukup meyakinkan. Ia hanya berharap pesta kecil ini berjalan lancar tanpa ulah aneh. 　　Meski ini seharusnya perkumpulan terhormat para pejabat, Han Ran sangat paham bahwa suami yang sudah mabuk minuman keras akan lupa diri. 　　Tapi yang ditakuti justru terjadi. Saat Jiang Si yang menyamar sebagai dayang membawa nampan melewati seorang tamu, tangan pria itu bukannya mengambil anggur malah meraba tangannya. 　　Dengan gesit Jiang Si menghindar, lalu menyiramkan anggur ke wajah pria itu. 　　Han Ran: "..." 　　Penulis: Merampok! Pembaca: Tangan sudah kubunuh, hadiah mustahil kuberi. Penulis: Hah, kau kira aku masih punya tangan? Lihatlah aku menggenggam pisau dengan kaki! Tak perlu hadiah, serahkan segera rekomendasi gratismu! 618.BAB 617 Hati yang Membalas 　　BAB 617 Hati yang Membalas 　　Suasana mendadak hening, puluhan pandangan tertuju ke arah mereka. 　　Masih ada dayang yang berani seperti ini? 　　Korban siraman adalah Sekretaris Pengadilan Honglu. Meski jabatannya rendah, ia tetap pejabat istana. Seorang dayang hamba berani menyiram anggur di depan umum dengan gerakan begitu lancar, sulit dipercaya. 　　Sekretaris yang wajahnya basah anggur itu tertegun, baru sadar setelah beberapa saat lalu meledak marah: "Hamba lancang--!" 　　Komandan Jinlinwei Han Ran sudah bergegas melangkah mendekat. 　　Jiang Si menundukkan pandangan, berbisik pelan: "Paduka, dia yang—" 　　Han Ran tertegun sejenak, lalu segera menyadari maksudnya, dalam hati memuji kecerdasan Permaisuri Yan. 　　Metode seperti ini untuk menunjukkan orang yang mencurigakan sama sekali tidak menimbulkan keraguan dari orang lain. 　　Seandainya Jiang Si tahu pikiran Han Ran, pasti akan tertawa geli karena sang komandan terlalu banyak berpikir. 　　Aksi melemparkan anggur itu murni karena jijik melihat ulah hantu mesum itu, lebih dulu melampiaskan amarah barulah berpikir. 　　Han Ran memasang wajah kaku menatap Sekretaris Pengadilan. 　　Sekretaris Pengadilan mengeluh: "Paduka Han, lihatlah hamba ini—" 　　Pesta kecil ini diadakan oleh Komandan Jinlinwei Han Ran. Meski sehari-hari mereka selalu waspada terhadap Jinlinwei, tapi kali ini Jinlinwei sebagai tuan rumah sedangkan mereka tamu. Bila ada masalah dengan dayang di pesta tuan rumah, tamu tentu bisa bersikap tegas. 　　Apalagi, Sekretaris Pengadilan sama sekali tidak menyangka Han Ran akan membela dayang yang berani melakukan ini. 　　Tapi siapa sangka, hal yang tak terduga benar-benar terjadi. 　　Pandangan Han Ran tertancap di wajah Sekretaris Pengadilan, suaranya dingin: "Bawa pergi." 　　Sekretaris Pengadilan berdehem: "Ini cuma dayang kecil yang tak tahu diri, Paduka Han jangan menghukum berat—" 　　Sebelum kalimatnya selesai, dua anggota Jinlinwei maju dan menahan bahunya. 　　Sekretaris Pengadilan kaget: "Paduka Han, apa maksudnya ini?" 　　Han Ran meliriknya, wajah tanpa ekspresi: "Bawa pergi!" 　　"Paduka Han, Paduka Han—" 　　Dua anggota Jinlinwei mengabaikan jeritan perlawanan Sekretaris Pengadilan, langsung menyeretnya keluar. 　　Ruangan menjadi sunyi senyap, tak ada lagi bunyi denting cangkir. 　　Kerumunan terdiam membeku, refleks menelan air liur. 　　Apa maksudnya? Hanya ingin menggenggam tangan dayang, itu pun belum kesampaian, masak sampai harus dijebloskan ke penjara khusus? 　　Han Ran tersenyum ramah ke kerumunan: "Silakan Tuan-tuan terus menikmati anggur." 　　Mata kerumunan tertuju pada cangkir di depan, anggur yang semula harum terasa hambar. 　　Situasi mengerikan begini, siapa yang masih berani minum? Nyali sudah ciut semua. 　　"Kalau begitu saya duluan." Han Ran mengangkat cangkir, menghabisi isinya. 　　Melihat Han Ran sudah minum, kerumunan tak berani berlama-lama, serentak menyulang anggur. 　　Han Ran meletakkan cangkir kosong di nampan dayang, berkata datar pada Jiang Si: "Kau juga ikut saya." 　　Jiang Si mengikuti langkah Han Ran meninggalkan aula dalam diam. 　　Di tempat sepi, Han Ran segera memberi hormat khidmat: "Hari ini Permaisuri telah direpotkan—" 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Tidak apa-apa. Paduka Han, tolong ambilkan secangkir anggur." 　　Han Ran segera menyodorkan cangkir berisi anggur. 　　Jiang Si menusukkan jarum perak ke ujung jari, memeras setetes darah ke dalam cangkir. Cairan amber itu segera diwarnai semburat merah muda. 　　“Dia menggoyangkan gelas anggur, segera cairan anggur kembali ke warna aslinya, lalu menyerahkannya kepada Han Ran dengan senyuman: "Paduka Han, berikan anggur ini kepada Sekretaris Pengadilan itu untuk diminum, maka cacing dalam tubuhnya akan keluar." 　　Han Ran menerima gelas itu, bibirnya bergetar. Sangat ingin bertanya dari mana cacing itu keluar, tapi merasa jawabannya akan mengerikan sehingga lebih baik tidak ditanyakan. 　　"Permaisuri, apakah yang lain——" 　　"Yang lain tidak apa-apa." Setelah memberikan instruksi, Jiang Si diam-diam naik ke kereta kuda yang berhenti di belakang kantor pemerintahan, menuju Kediaman Pangeran Yan. 　　Sekretaris Pengadilan dibawa ke sebuah ruangan. Saat hatinya gelisah, Han Ran masuk. 　　Dia tiba-tiba berdiri: "Paduka Han——" 　　Han Ran membawa dua gelas anggur, menyerahkan satu gelas sambil tersenyum: "Maaf atas ketidaknyamanan, saya mohon maaf pada Paduka Liu." 　　"Tidak berani, tidak berani." Sekretaris Liu dengan gemetar menerima gelas itu. 　　Han Ran menyentuhkan gelasnya: "Mari kita habiskan anggur ini." 　　Sekretaris Liu ragu-ragu memegang gelasnya. 　　Di aula tadi Komandan Han begitu keras, sekarang tiba-tiba ramah. Bukankah ini segelas anggur beracun? 　　Memikirkan ini, tangan Sekretaris Liu gemetar. Cairan amber di gelas bergelombang, hampir tumpah. 　　Han Ran berwajah muram: "Bagaimana? Paduka Liu tidak menghargai posisi saya?" 　　“Tidak ada.” Sekretaris Pengadilan Liu memberanikan hati, meneguk habis anggur dalam cangkirnya. 　　Jika Komandan Jinlinwei benar-benar ingin menghabisi nyawanya, mustahil dihindari. Lebih baik langsung diminum saja. 　　Han Ran tersenyum tipis, meletakkan cangkir anggur di mejadengan santai. 　　Melihat itu, wajah Sekretaris Liu semakin pucat. Tiba-tiba perutnya mual, mulutnya terbuka dan muntah. 　　Di tengah bau busuk muntahan yang menusuk, mata Han Ran menyipit. Ia melihat seekor cacing bergerak-gerak dalam muntahan. 　　Saat itu juga, kulit kepalanya bergidik, bulu kuduk seluruh tubuhnya meremang. 　　Hanya dengan melihat langsung baru tahu ada hal ajaib seperti ini. Strategi Permaisuri Yan sangat hebat. 　　Usai muntah, Sekretaris Liu tidak sempat melihat kekacauan di lantai. Dengan wajah pucat ia hendak berkata pada Han Ran. 　　Han Ran tersenyum: "Tampaknya Paduka Liu terlalu mabuk. Tak perlu khawatir, saat sadar nanti ada beberapa hal tentang Wu Miao yang perlu ditanyakan. Pengawal, antar Paduka Liu ke tempat lain untuk istirahat." 　　Dua anggota Jinlinwei segera muncul dan membawa Sekretaris Liu pergi. Dari awal sampai akhir, Sekretaris Liu tak menyadari cacing yang perlahan merayap dalam muntahan. 　　Setelah orang pergi, Han Ran berjongkok, menjepit hidungnya dengan sumpit untuk mengambil cacing itu dan memasukkannya ke kotak kecil yang dibawanya. 　　Saat melapor pada Kaisar tentu tidak bisa hanya mengandalkan kata-kata. Entah Kaisar ingin melihat cacing ini atau tidak, ia harus membawanya. 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming terus menanti kabar dari Han Ran. 　　"Paduka, Komandan Han memohon audiensi." 　　"Panggil dia masuk." 　　Tak lama kemudian Han Ran masuk, memberikan penghormatan lengkap, lalu melapor: "Paduka, Permaisuri Yan menemukan cacing di dalam tubuh Sekretaris Liu." 　　Wajah Kaisar Jingming sedikit berubah muram. 　　Kekhawatirannya ternyata terbukti - orang-orang Wu Miao benar-benar melakukan trik kotor. 　　"Apakah ada yang menyadari?" 　　Han Ran segera menjelaskan detailnya. 　　Kaisar Jingming membuat ekspresi aneh: "Kau bilang Permaisuri Yan yang menyamar sebagai dayang langsung menyiramkan anggur ke wajah Sekretaris Liu?" 　　"Benar, karena itu hamba segera membawa permaisuri dan Sekretaris Liu pergi." 　　Kaisar Jingming yang jarang tersenyum pun tertawa, berkata pada Pan Hai: "Aku selalu tahu Permaisuri Yan punya kecerdikan cepat." 　　Mengenai Sekretaris Liu, sebagai pejabat istana tapi bersikap sembrono, lebih baik pulang kampung menanam ubi jalar. 　　Pan Hai yang melihat raut cerah kaisar, diam-diam berterima kasih pada Jiang Si, lalu tersenyum: "Semua berkat kearifan Paduka." 　　Kaisar Jingming menghentikan tawa, bertanya pada Han Ran: "Bagaimana sekarang?" 　　"Cacing dalam tubuh Sekretaris Liu sudah dimuntahkan. Akan diinterogasi setelah sadar tentang kontaknya di Wu Miao." Han Ran berhenti sejenak, "Apakah Paduka ingin melihat..." 　　Kaisar Jingming tertegun sebentar sebelum tersadar, sudut bibirnya berkedut: "Tidak perlu." 　　Rasa ingin tahunya tak sampai segitu, tapi waktunya membalas dendam pada Wu Miao! 619.BAB 618 Pasang Tangan Kotor 　　BAB 618 Pasang Tangan Kotor 　　“Kaisar Jingming memang berwatak baik. Dibandingkan para leluhur Dinasti Zhou yang kecanduan membuat pil keabadian, menempa besi, atau menyelinap keluar istana untuk mengunjungi rumah bordil, Beliau bisa dianggap sebagai kaisar bijak.” 　　“Namun bahkan yang paling sabar pun punya batas. Provokasi berulang suku Wu Miao akhirnya membangkitkan niat balas dendam Sang Kaisar.” 　　“Han Ran.” 　　“Hamba yang bodoh hadir.” 　　“Suruh orang-orang yang tinggal di selatan menyebarkan kabar ini.” 　　Keseriusan Kaisar Jingming membuat Han Ran menundukkan pandangan, mendengarkan dengan khidmat. 　　Pan Hai juga menjadi tegang. 　　Belakangan ini suku Wu Miao semakin merajalela. Entah bagaimana Kaisar akan membalas? 　　Kaisar Jingming menyeruput cangkir teh lalu menyerahkannya ke Pan Hai, berkata datar: “Katakan bahwa Imam Suci Wu Miao yang dikabarkan sedang menjalani retret bertahun-tahun sebenarnya telah meninggal dunia!” 　　Bila suku Wu Miao sangat menghormati Imam Suci mereka, mari kita beri mereka pekerjaan baru agar tak sempat mengacau di Dinasti Zhou. 　　Han Ran terkejut, lalu mengepalkan tangan: “Kaisar yang bijaksana.” 　　Pan Hai segera menyambung: “Kaisar yang bijaksana.” 　　Ketidakhadiran Imam Suci Wu Miao yang tak kunjung menampakkan diri telah menggoyang stabilitas internal suku mereka. Kabar ini pasti akan memicu kegaduhan. 　　“Pergilah.” Kaisar Jingming melambaikan tangan dengan lesu. 　　“Hamba yang bodoh permisi undur diri.” 　　Setelah Han Ran pergi, Kaisar Jingming berjalan menuju Istana Kuning. 　　Permaisuri menyambut dengan senyuman, "Kaisar datang saat ini, apakah Permaisuri Yan sudah ada kabar?" 　　Kaisar Jingming duduk di dalam ruangan, menceritakan peristiwa Jiang Si menyiram anggur ke Sekretaris Pengadilan Liu. 　　Permaisuri tercengang sejenak, lalu menghela napas, "Permaisuri Yan benar-benar tak seperti yang lain..." 　　Mengingat dia menyamar sebagai dayang, bukankah tindakan ini agak gegabah? 　　Kaisar Jingming mengangguk, "Istri Lao Qi memang cerdik dalam keadaan darurat. Dengan begitu Han Ran bisa membawa mereka berdua secara wajar tanpa mencurigakan siapa pun." 　　Permaisuri diam-diam menyentak sudut bibirnya. 　　Memang saat seseorang sudah disukai, segala tindakannya terlihat sempurna. Cara berpikir Kaisar juga benar-benar unik. 　　Tapi harus diakui, meski tindakan Permaisuri Yan ini terkesan gegabah, nyatanya tidak menimbulkan masalah. 　　Mungkinkah Permaisuri Yan benar-benar telah merencanakan semuanya? 　　Permaisuri harus mengakui bahwa setelah berbagai peristiwa, Jiang Si semakin terasa misterius di pandangannya. 　　Kaisar Jingming mengalihkan topik, "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Fuqing dan Si Empat Belas saat menemani Janda Permaisuri?" 　　Permaisuri tersenyum, "Merupakan keberuntungan bagi mereka bisa mendampingi Janda Permaisuri. Kedua gadis itu sangat senang." 　　Kaisar Jingming mengangguk, "Mereka berdua juga membantu kita menjalankan kewajiban bakti." 　　Mengingat posisi penting Janda Permaisuri di hati Kaisar Jingming, Permaisuri pun menyetujui dengan senyuman. 　　"Fuqing dan Si Empat Belas sudah cukup besar, bukan?" tanya Kaisar Jingming lagi. 　　"Kedua gadis itu sebaya, sudah tujuh belas tahun." 　　Kaisar Jingming terkejut, "Sudah tujuh belas? Aku selalu mengira mereka masih kecil." 　　Permaisuri tersenyum: "Hari-hari berlalu begitu cepat." 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Benar, kita sudah tua. Permaisuri, mengingat kedua gadis ini sudah tidak muda lagi, kita harus mulai memperhatikan perjodohan mereka. Jika kau melihat calon yang cocok, beri tahulah padaku." 　　"Kaisar tak perlu khawatir, hamba akan memperhatikannya." 　　Putri Dinasti Zhou tidak memiliki tradisi pernikahan politik, umumnya dinikahkan dengan keluarga bawahan yang ingin didekati kaisar. Perkataan Kaisar Jingming ini merupakan janji halus bahwa pernikahan Putri Fuqing dan Putri ke-14 tidak akan dijadikan alat transaksi, sebab jika tidak demikian, tentu langsung diatur tanpa perlu Permaisuri turut campur. 　　Permaisuri tidak terkejut dengan janji khusus untuk putrinya ini. 　　Fuqing adalah satu-satunya putri mahkota di istana, pantas menerima keistimewaan. Bagaimanapun juga, Putra Mahkota yang tak berguna itu bisa bertahan selama ini hanya karena statusnya sebagai anak permaisuri. 　　Namun Permaisuri merasa agak terharu mendengar Putri ke-14 mendapatkan berkah ini. 　　Tak disangka putri Chen Meiren beruntung mendapat janji dari Kaisar, membuatnya lebih beruntung daripada kebanyakan putri lainnya. 　　Meski begitu, sebagai ibu negara, Permaisuri tak bermaksud menghalangi proses perjodohan Putri ke-14. Tak pantas baginya bersaing dengan putri kecil. 　　Pembicaraan tentang pernikahan anak-anak ini berlangsung lama. Dayang istana diam-diam mengganti cangkir teh lalu mundur perlahan. 　　Dibandingkan dengan suasana harmonis Kaisar dan Permaisuri, Yu Jin sudah menendang bangku kecil di ruangan itu hingga terbang dua kali. Dengan wajah muram, ia berkata pada Long Dan: "Masukkan Sekretaris Liu ke dalam karung goni dan hajar habis-habisan!" 　　Berani-beraninya memanfaatkan A Si. Pulang-pulang A Si malah tutup mulut. Untung ada orangnya di pesta itu, baru dia tahu kabarnya. 　　Semakin dipikir Yu Jin semakin geram. Ia berjalan ke pintu ruang belajar, melihat bangku kecil yang tergeletak di situ, menendangnya lagi lalu membanting pintu pergi. 　　Long Dan diam-diam membetulkan bangku kecil itu, lalu pergi mengintai di sekitar kantor Jinlinwei. 　　Di sisi lain, Sekretaris Liu yang sudah sadar dari mabuknya terus mengulang-ulang cerita kejadian di Wu Miao. Saat akhirnya keluar dari kantor Jinlinwei, belum jauh berjalan tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Pukulan dan tendangan menghujani seperti hujan. 　　Para tamu pesta kecil itu menyimak kabar terbaru Sekretaris Liu. Mendengar kabar Sekretaris Liu dipukuli setengah mati oleh orang tak dikenal dengan karung goni, mereka ternganga. Keesokan harinya, tatapan mereka pada Komandan Jinlinwei Han Ran pun berubah. 　　Tidak sampai segitunya kan? Cuma mau menggenggam tangan dayang, ditahan saja sudah, kok malah dipukuli? Apa dengan memasukkan Sekretaris Liu ke karung goni, orang-orang jadi tidak tahu ini ulah Jinlinwei? 　　Ck ck, tak disangka Komandan Jinlinwei begitu membenci orang mesum. Apa ini mencerminkan kehendak Kaisar? 　　Untuk sementara, bahkan bisnis kapal hias di Sungai Jinshui pun menjadi sepi. 　　Tentu saja, ini adalah cerita di kemudian hari. 　　Komandan Pengawal Jinlin Han Ran dengan hati penuh ketidakbersalahan memasuki istana untuk menghadap Kaisar, melaporkan hal ini. 　　Mendengar bahwa Sekretaris Pengadilan Liu telah dipukuli sampai tidak bisa mengurus diri sendiri dan mustahil bertugas, Kaisar Jingming sangat puas, segera menyampaikan pesan lisan memerintahkan Sekretaris Liu pulang ke rumah untuk beristirahat. 　　Sebenarnya sudah berencana mencopot jabatan Sekretaris Liu, sekarang alasan sudah tersedia, ini justru menghemat pikirannya. 　　"Kaisar, ini bukan perbuatan bawahan hamba yang bodoh." Han Ran menjelaskan dengan kaku. 　　"Aku tahu." Kaisar Jingming menjawab dengan wajah kaku, lalu berbalik menyuruh Pan Hai memanggil Yu Jin masuk istana. 　　Kalau bukan Lao Qi brengsek itu yang melakukan, dia tidak percaya! 　　Kaisar Jingming tidak curiga Yu Jin memiliki mata-mata di pesta kecil, hanya mengira Jiang Si yang menyebutkannya setelah pulang ke rumah. 　　Tak lama kemudian Yu Jin memasuki ruang studi kekaisaran. 　　"Anak lelaki memberi salut kepada Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengangkat kelopak matanya melihatnya, langsung menanyakan: "Sekretaris Liu itu kau suruh orang pukuli?" 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu menjawab dengan tegas: "Ya, anak suruh orang pukuli." 　　Kaisar Jingming memukul meja: "Brengsek-brengsek! Masalah tidak bisa diselesaikan dengan baik? Sekretaris Liu itu pejabat istana, bagaimana bisa dikarung goni lalu dipukuli?" 　　Yu Jin diam sejenak, bertanya: "Maksud Ayah... tidak perlu pakai karung goni?" 　　Kaisar Jingming tertegun, wajahnya menghitam: "Omong kosong apa ini? Sebagai pangeran, hatimu harus lapang. Jangan seperti preman jalanan yang langsung memasukkan ke karung goni dan main tangan kotor hanya karena beda pendapat." 　　Hal seperti ini pun tak pernah ia lakukan semasa menjadi pangeran! 　　"Kembalilah dan renungkan kesalahanmu! Potong gaji setengah tahun!" 620.BAB 619 Uang Simpanan Rahasia Kaisar Tua 　　BAB 619 Uang Simpanan Rahasia Kaisar Tua 　　Yu Jin terdiam, di otaknya hanya berputar-putar empat kata: Potong gaji setengah tahun! 　　Sedangkan perintah untuk merenungkan kesalahan, sama sekali tidak masuk ke telinganya. 　　Ia justru senang bisa mengurung diri di rumah keluarga bersama istri dan putrinya, malas ikut campur urusan kacau ini. Pulang ke rumah keluarga disebut hukuman? Jelas tidak. 　　Tapi potong gaji setengah tahun sepuluh ribu kali tidak bisa! Belum lama ini ia baru diejek oleh A Si. 　　Melihat Yu Jin tidak bergerak, Kaisar Jingming mengerutkan kening dan bertanya dengan kesal: "Kenapa masih di sini? Apa kau berani membantah perintahku?" 　　Yu Jin menatap Kaisar Jingming dengan senyum tulus. 　　Wajahnya yang tampan dengan alis indah dan sorot mata berkilau terlihat sangat memikat hati saat tersenyum. 　　Kaisar Jingming malah menjadi waspada dan membentak: "Apa yang kau tertawakan?" 　　Yu Jin tak gentar dan berkata dengan sungguh-sungguh: "Hamba memang memiliki sedikit pemikiran." 　　Pan Hai diam-diam melirik dengan tatapan penuh kekaguman. 　　Ia melihat Mantan Putra Mahkota tumbuh dari remaja hingga usia tiga puluh, tapi tak pernah sekalipun melihatnya berani membantah perkataan Kaisar. Satu-satunya kali Mantan Putra Mahkota nekat melakukan kebodohan, malah berujung pada kematiannya sendiri. 　　Apakah Pangeran Yan yang tumbuh besar di luar istana ini tidak memahami makna kewibawaan Kaisar? 　　Andai tahu pemikiran Pan Hai ini, pasti semua pejabat militer-sipil akan meludahinya. 　　Mereka semua juga tumbuh di luar istana. Mana ada yang tidak paham kewibawaan Kaisar? Pangeran Yan memang dari sananya berani, jangan dikait-kaitkan dengan faktor tumbuh di luar istana. 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin, suaranya berat: "Bicaralah." 　　Ia ingin melihat apa yang akan diutarakan si brengsek ini. 　　Yu Jin menunjukkan senyum penuh syukur, hati-hati berkata: "Bagaimana jika Ayah menghukum anak untuk merenung dalam pengasingan lebih lama?" 　　"Hmm?" Alis Kaisar Jingming terangkat keheranan. 　　Masih ada yang mengeluh hukuman terlalu ringan? 　　Melihat Kaisar tidak menunjukkan kemarahan, Yu Jin memberanikan diri: "Tapi bisakah jangan dipotong gaji?" 　　"Hmm?" Kali ini dengusan Kaisar semakin keras, pertanda amarah akan meledak. 　　Yu Jin buru-buru menjelaskan: "Sebelumnya Ayah sudah memotong gaji anak selama setahun. Baru beberapa bulan berlalu, pembayaran gaji berikutnya belum turun." 　　Kaisar Jingming baru teringat si brengsek ini memang sudah dihukum potong gaji sebelumnya. 　　"Kau kekurangan tael perak sebanyak itu?" 　　Yu Jin diam-diam memutar matanya. 　　Lihatlah omongan Kaisar ini. Siapa yang tidak butuh uang? 　　Dia tidak seperti para pangeran lain yang diurus oleh Ibu Selir mereka, yang sesekali bisa mendapat subsidi. Selama bertahun-tahun dengan berbagai hadiah kerajaan, seharusnya sudah banyak terkumpul. Sejak membuka rumah keluarga, menikah dan memiliki putri, uangnya mengalir deras seperti air. Jika bukan karena Modal untuk menikahi istri yang dikumpulkannya di selatan, pasti sekarang dia sudah minum angin barat laut. 　　Begitu memikirkannya, ekspresi Yu Jin tiba-tiba menjadi memelas: "Ayah Kaisar tidak tahu, selama setahun lebih ini anak lelakiMu hidup dari barang-barang mahar Permaisuri, gaji Er Niu, dan tunjangan gelar Heshu..." 　　Dia menghela napas berat: "Anak ini setidaknya seorang pangeran, putraMu, tapi malah harus bergantung pada istri, putrinya, dan seekor anjing untuk hidup——" 　　Kaisar Jingming tidak tahan mendengarnya lagi. 　　Brengsek ini ternyata ada benarnya. Seorang pangeran kerajaan menggunakan barang-barang mahar istrinya, memakan tunjangan gelar putrinya dan Er Niu – sungguh memalukan. Jika dipikir-pikir, bukankah ini akan membuat Kaisar sebagai ayahnya terlihat kejam? 　　Bagaimanapun dia adalah penguasa negara, masak putranya bisa semenderita ini? 　　"Lihatlah ketidakmampuanmu! Selain gaji, tidak ada sumber pendapatan lain?" 　　Yu Jin menghela napas: "Anak belum lama membuka rumah keluarga. Menikah dan memiliki putri membutuhkan biaya besar. Tidak seperti saudara-saudara yang sudah lama membuka rumah keluarga, desa mereka sudah menghasilkan pendapatan..." 　　Kaisar Jingming berpikir, Lao Qi memang tidak bisa disamakan dengan saudara-saudaranya dalam hal ini. 　　"Anak seharusnya tidak membuat Ayah Kaisar sulit. Potong gaji ya potong gaji. Paling-paling hanya ditertawakan Permaisuri beberapa kali——" 　　"Istri kau menertawakanmu?" 　　“Yu Jin dengan wajah polos: "Benar, awalnya anak belum memikirkan sampai sejauh ini, baru tersadar setelah Permaisuri mengingatkan bahwa ternyata selama ini anak hidup bergantung pada istri."” 　　Kaisar Jingming merasa canggung. 　　Menghukum anak sendiri sebanyak apapun tidak masalah, tapi dipermalukan di depan menantu perempuan itu memalukan. 　　"Sudahlah, kali ini hukuman potong gaji dihapuskan. Segera pulang ke rumah dan introspeksi diri!"” 　　"Baik!"” 　　Kaisar Jingming ragu sejenak, lalu menambahkan: "Pan Hai, ambilkan 500... tidak, 1.000 tāel perak dari kas pribadi untuk dibawa pulang Pangeran Yan."” 　　Pan Hai sampai mengangguk-angguk takjub. 　　Bagaimana bisa? Akhirnya Pangeran Yan bukan saja lolos dari hukuman, malah mendapat 1.000 tāel perak dari tabungan pribadi Kaisar? 　　Setelah Yu Jin pergi, Kaisar Jingming baru tersadar. Ingin berdiskusi dengan Pan Hai apakah dirinya telah dibodohi Lao Qi, tapi merasa malu. Dengan kesal, ia mengambil buku cerita berdebu dan mulai membaca. 　　Yu Jin pulang ke istana pangeran dengan gembira membawa 1.000 tāel perak. 　　"Ada urusan apa Ayah Kaisar memanggilmu ke istana?" Jiang Si merasa khawatir saat Yu Jin tiba-tiba dipanggil. 　　Masalah Putra Mahkota belum lama berlalu. Perasaan Kaisar masih buruk, sementara A Jin bukan tipe yang mau mengalah. Khawatirnya ucapan tertentu bisa memicu kemarahan Ayah Kaisar. 　　"Bukan masalah besar, hanya mengingatkan untuk hidup tenang. Mulai sekarang kita tutup pintu rumah dan hidup damai, jauhi urusan Lao Si dan kawan-kawannya."” 　　Jiang Si menekan bibirnya, berkata: "Memang lebih baik tidak ikut campur, tapi sekarang Pangeran Qi menguasai semua keuntungan. Kita tidak bisa hanya diam melihatnya mendapatkan posisi calon penguasa dengan lancar." 　　Dia sudah lama berkata, siapa pun bisa menjadi Putra Mahkota Dinasti Zhou, kecuali Pangeran Qi. 　　Permaisuri Qi di kehidupan sebelumnya telah meregang nyawanya. Jika dia membiarkan sang rival itu menjadi Permaisuri Putra Mahkota dengan megah, maka sia-sialah reinkarnasinya kali ini. 　　Melepaskan dendam? Dendam akan lenyap sendiri setelah musuh dihancurkan. Memaksakan diri untuk berpura-pura lapang dada sebelum itu hanya akan merusak kesehatan jiwa dan raga. 　　Yu Jin tersenyum: "Putra Mahkota baru saja meninggal, Ayah Kaisar tidak akan tergesa-gesa menunjuk penerus. Semakin giat seseorang berusaha, semakin dia akan menjengkelkan. Lao Si mengira ini kesempatannya? Tunggu saja tangisannya nanti. A Si, tenang saja. Jika Ayah Kaisar benar-benar berniat menunjuk Lao Si, kita masih punya waktu untuk menggagalkannya." 　　Batuk-batuk, sebenarnya dia juga ingin segera menggagalkan rencana Lao Si. Tapi bukankah dia baru saja dihukum tirakat di rumah? 　　Tentu saja, hal sepele seperti ini tidak perlu diketahui A Si yang akan membuatnya khawatir. Tapi ada satu hal penting yang harus diberitahukan. 　　"A Si, saat masuk istana kali ini, aku membawa pulang 1.000 tael perak." 　　Jiang Si tertegun: "1.000 tael? Dari mana?" 　　"Tentu hadiah dari Ayah Kaisar. Simpan saja uang ini. Nanti mungkin akan ada hadiah lebih banyak lagi." 　　Meski Jiang Si tidak menganggap penting 1.000 tāel perak ini, menerima hadiah tetap lebih baik daripada mendapat hukuman. Dengan senyum manis, dia menyerahkan uang tersebut kepada A Qiao untuk disimpan di gudang uang. 　　Seperti yang diprediksi Yu Jin, Kaisar Jingming sama sekali tidak membahas masalah penunjukan putra mahkota. Diam-diam mengamati tingkah laku beberapa putranya. 　　Putra Sulung yang selalu menghindari persaingan bisa diabaikan. 　　Seorang pangeran seperti Lao Wu yang bahkan gagap saat bicara, apa lagi yang bisa diharapkan? 　　Belakangan ini Lao Qi selalu berdiam di istana pangerannya, membuat Kaisar agak tenang. 　　Lao Ba tidak perlu disebutkan. 　　Lao Si sendiri tidak menunjukkan aktivitas mencurigakan, tapi para menteri yang digaji negara ini sering menjilatnya - apa maksudnya? 　　Ada juga Lao Liu, frekuensi anak ini mengunjungi ibu selirnya di istana jelas meningkat. 　　Kaisar Jingming diam-diam mencatat semua ini dalam buku catatannya, membiarkan hari-hari berlalu bagai air mengalir. 　　Suatu hari, kabar buruk datang dari selatan. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote. Bahu saya sakit parah sampai sulit mengetik. Besok harus ke rumah sakit. Tapi tenang, update tetap stabil. 621.BAB 620 Kabar Duka 　　BAB 620 Kabar Duka 　　Pasukan Zhou dan tentara Nanlan bertempur sengit di wilayah Sungai Ji, memakan korban jiwa yang sangat besar di kedua belah pihak. 　　Dalam daftar nama prajurit yang gugur, Kaisar Jingming terkejut menemukan nama familiar: Putra Dongping Bo, Jiang Zhan. 　　Kaisar Jingming menutup buku daftar nama panjang itu dengan keras. Bayangan seorang pemuda muncul di benaknya. 　　Wajah tampan, mata yang berbinar, dan senyuman cerahnya yang khas. 　　“Ketika dia bertanya di aula kepada pemuda itu tentang hadiah yang diinginkan, pemuda itu menjawab seorang pria sejati harus mengorbankan dirinya demi melindungi tanah Dinasti Zhou.” 　　“Karena terkesan oleh perkataan itu, Kaisar akhirnya mengangguk menyetujui permintaan sang pemuda.” 　　“Tapi kini, nama pemuda itu tercantum dalam buku daftar nama prajurit yang gugur – dia adalah putra tunggal Dongping Bo dan kakak laki-laki Permaisuri Yan... Kaisar Jingming mengerutkan dahi, menutup mata lama sebelum akhirnya membuka kembali dan memandang Pan Hai.” 　　“Pan Hai sedikit membungkuk: 'Ada perintah apa dari Kaisar?'” 　　“Setelah diam sejenak, Kaisar Jingming berkata: 'Panggil Pangeran Yan ke istana terlebih dahulu.'” 　　“‘Siap.’” 　　“Yu Jin merasa bingung menerima panggilan ini.” 　　“Belakangan ini dia sama sekali tidak melakukan kesalahan – untuk apa lagi dipanggil ke istana?” 　　“Karena tak bisa menebak maksudnya, Yu Jin bersikap sangat sopan saat menghadap Kaisar Jingming kali ini.” 　　“‘Anak lelaki ini menghadap Ayah Kaisar.’” 　　“Kaisar Jingming melirik Yu Jin dalam-dalam, suaranya berat: ‘Kau datang.’” 　　“Mendengar nada itu, Yu Jin semakin merasa ada yang tidak beres. Menundukkan pandangan, dia bertanya: ‘Ada perintah apa dari Ayah Kaisar?’” 　　“Pandangan Kaisar Jingming tertuju pada buku daftar nama di meja. Setelah lama terdiam, dia menyodorkannya kepada Yu Jin: ‘Baca.’” 　　“Begitu menyentuh buku itu, firasat buruk menyergap hati Yu Jin. Tangannya cepat membalik halaman sampai matanya menangkap deretan karakter yang familiar.” 　　“Tulisan sederhana itu bagai pisau tajam yang menembus tubuhnya, membuat wajahnya langsung pucat pasi.” 　　Tangan yang memegang pedang dengan kokoh itu mulai bergetar. 　　Kaisar Jingming diam seribu bahasa, memandangi Yu Jin tanpa berkata-kata. 　　Setelah lama, pandangan Yu Jin baru beralih dari buku daftar nama ke arah Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming akhirnya berbicara: "Untuk masalah Dongping Bo Residence, Aku akan mengutus Pan Hai untuk menenangkan situasi. Adapun masalah istrimu, kau sendiri yang harus memberitahunya." 　　Yu Jin menggerakkan bibirnya, ada dorongan kuat untuk tetap tinggal di Istana. 　　Apa yang harus dia katakan? 　　Haruskah dia mengatakan pada A Si bahwa Jiang Zhan gugur dalam perang? 　　"Hmm?" 　　Yu Jin mengepal tangannya kuat-kuat, mengakui: "Anak lelaki ini tidak sanggup mengucapkannya." 　　Kaisar Jingming menghela napas setuju. 　　Siapa yang tega mengatakan hal itu pada anak satu-satunya keluarga mereka? 　　Dua pria itu saling bertatapan, sama-sara bungkam. 　　Suasana mendadak menjadi sangat kaku, Pan Hai diam-diam mengusap keringatnya. 　　Kakak laki-laki Permaisuri Yan gugur dalam perang, ini benar-benar masalah besar. 　　Meskipun Kaisar Jingming merasa sangat menyesal, mengingat pengalamannya yang luas - belum lama ini dia bahkan menghukum mati anak kandungnya sendiri - masalah ini terasa lebih ringan. Akhirnya beliau berkata: "Pergilah. Lebih baik kau yang memberitahu istrimu daripada dia menerima kabar dari Dongping Bo Residence." 　　Yu Jin menggigit bibirnya, menyerahkan buku daftar nama itu kepada Pan Hai dengan lembut: "Anak lelaki ini mohon diri." 　　Dia berbalik menuju pintu, tiba-tiba berhenti dan kembali. 　　Kaisar Jingming terkejut: "Ada apa?" 　　“Ayah Kaisar, anak lelaki ingin mengetahui detail kejadiannya, dan kapan jenazah kakak ipar bisa dipulangkan ke ibu kota.” 　　Memintanya pulang begitu saja dan mengatakan pada A Si bahwa Jiang Zhan telah tewas, bukan hanya A Si yang tak bisa menerima, dirinya pun tak bisa menerima. 　　Bagaimana mungkin si bodoh yang polos dan selalu melihat kebaikan dalam diri semua orang itu bisa mati? 　　Ini sangat tidak masuk akal, padahal diam-diam dia sudah mengirim orang untuk melindungi... 　　Kaisar Jingming mendengar perkataan Yu Jin, lalu menoleh ke Pan Hai. 　　Pan Hai berkata: "Laporan yang masuk sejauh ini hanya ini, kemungkinan perlu menunggu dua hari lagi untuk mendapatkan kabar detail." 　　Kaisar Jingming kembali menatap Yu Jin, berkata perlahan: "Pulanglah. Segera setelah ada kabar dari selatan, aku akan memberitahumu." 　　Yu Jin terdiam lama, lalu mengatupkan tangan: "Anak lelaki mohon pamit." 　　Keluar dari pintu gerbang istana, angin dingin menerpa, membuat pipi Yu Jin terasa beku. 　　Musim dingin telah tiba, udara semakin hari semakin dingin, tapi takkan menyamai dinginnya hatinya saat ini. 　　Bagaimana caranya nanti dia menyampaikan hal ini pada A Si? 　　Matahari hanya menampakkan setengah wajahnya, separuh lainnya tertutup awan tebal. Meski masih pagi, langit terlihat suram seolah malam akan segera tiba. 　　Kembali ke istana pangeran, Yu Jin tidak langsung pergi ke Yuyuan, tapi memanggil Leng Ying. 　　"Ada yang perlu tuanku perintahkan?" 　　"Orang yang dikirim diam-diam ke selatan untuk melindungi Jiang Zhan, itu bawahannya kan?" 　　"Ya." 　　"Ada kabar darurat dari selatan bahwa Jiang Zhan gugur dalam pertempuran. Apa kau menerima kabar apa-apa?" 　　Di wajah Leng Ying yang biasanya tidak menunjukkan ekspresi, terpancar keheranan. Beberapa saat kemudian ia berkata, "Hamba tidak menerima kabar apa pun." 　　"Kau sendiri yang bawa orang untuk menyelidiki, lihat apakah orang yang diam-diam melindungi Jiang Zhan masih hidup atau mati." Yu Jin mengatakannya sambil bertahan. 　　"Baik." 　　Yu Jin berdiri, baru kemudian berjalan menuju Yuyuan. 　　Jalan dari ruang belajar halaman depan ke Yuyuan yang dulu selalu ia anggap terlalu panjang, kali ini justru terasa terlalu pendek. 　　Berhenti di depan pintu, Yu Jin berpikir: Kok bisa sampai secepat ini? 　　Kebetulan Ah Man keluar dan heran bertanya, "Mengapa Pangeran tidak masuk?" 　　Ini tidak seperti kebiasaan Pangeran. Biasanya saat datang menemui tuanku, ia tak sabar menunggu laporan langsung masuk. 　　Yu Jin yang kesal dengan banyaknya omongan Ah Man, meliriknya sebentar lalu melangkah masuk. 　　Ah Man mengedipkan mata dengan bingung. 　　Ada apa dengan Pangeran ini? 　　Setelah berpikir, diam-diam ia ikut masuk. 　　Tugas bisa ditunda sebentar, yang penting mengamati penyebab kelakuan tidak biasa Pangeran. Ada firasat buruk. 　　Jiang Si sedang menghibur A Huan bermain. 　　A Huan yang sudah berusia lima bulan lebih selalu menghargai bujukan ibunya dengan tersenyum lebar, bahkan terkadang tertawa terkekeh. 　　Mendengar tawa putrinya, langkah Yu Jin terhenti. Hatinya semakin berat meski raut wajahnya tetap biasa saja. Ia mendekat dan menemani Jiang Si menghibur putri mereka. 　　Jiang Si menangkap keanehan situasi, lalu memberi isyarat pada ibu susu untuk membawa A Huan keluar. 　　"Meski baru lima bulan lebih sedikit, seharusnya belum bisa benar-benar mengenali orang, tapi Ah Huan langsung menangis keras saat merasa akan digendong pergi." 　　Ibu susu ragu-ragu menatap Jiang Si. 　　Jiang Si walau sedih, tidak mengubah keputusan, berkata datar: "Bawa putri bangsawan ini turun." 　　Saat tangisan Ah Huan semakin menjauh, Jiang Si menoleh ke Yu Jin: "Ada masalah?" 　　Sorot mata Yu Jin berkedip: "Kau tahu?" 　　"Langkah kakimu lebih berat dari biasanya." 　　Mendengar ini, Yu Jin semakin terasa pahit di hati. 　　A Si bahkan bisa merasakan perubahan kecil dalam langkah kakinya, membuktikan betapa dia menaruh hatinya padanya, sementara dia gagal melindungi kakak laki-laki A Si... 　　Rasa malu, sedih, keraguan... berbagai amarah berkecamuk di matanya. 　　Jiang Si duduk tegak, ekspresi semakin serius: "A Jin, apa yang sebenarnya terjadi?" 　　Biasanya A Jin bukan tipe orang yang plin-plan seperti ini. 　　Memikirkan ini, hati Jiang Si langsung ciut. 　　Yu Jin mengatupkan bibir tipisnya, suara agak parau: "Dari selatan datang kabar darurat—" 　　"Lalu?" Jantung Jiang Si berdebar tak terkendali, muncul firasat buruk. 　　Yu Jin memberanikan diri: "Jiang Zhan... nama Jiang Zhan ada dalam daftar prajurit yang gugur!" 622. BAB 621 Kesedihan 　　BAB 621 Kesedihan 　　"Ah—!" Ah Man menjerit kencang, langsung menutup mulutnya dengan tangan. 　　Jiang Si sama sekali tidak bereaksi, bagaikan boneka kayu yang kehilangan tuannya. 　　Yu Jin khawatir bukan main, memanggil: "A Si——" 　　Jiang Si menutupi wajahnya. 　　Yu Jin menariknya ke dalam pelukan, berbisik lembut: "Kalau sedih, menangislah. Jangan dipendam dalam hati." 　　Jiang Si tidak mengeluarkan suara, namun air mata mengalir deras dari sela-sela jarinya. 　　Yu Jin semakin merasa sesak, tenggorokannya seperti tersumbat batu, tak tahu harus berkata apa. 　　Di hadapan maut, semua penghiburan terasa hambar dan tak berarti. 　　Jiang Si membenamkan wajah di dada Yu Jin, tangannya mencengkeram erat kerah baju pria itu sementara air matanya semakin deras. 　　Lama setelah itu, pikirannya masih tumpul, benaknya kosong bagai hamparan kabut. 　　Apakah takdir yang telah ditetapkan tak bisa diubah? Bagaimanapun usahanya, tetap tak bisa mengubah nasib kakak kedua yang meninggal muda? 　　Entah berapa lama, akhirnya Jiang Si mengangkat kepala dan bertatapan dengan Yu Jin. 　　"Kakak kedua saya——" Ribuan pertanyaan ingin dia lontarkan, namun ucapannya tercekat di tenggorokan. 　　Kehilangan orang tercinta, berapa kali pun mengalaminya, tetap akan menghancurkan hati. 　　"Detailnya masih belum jelas. Dua hari lagi seharusnya ada kabar lebih lengkap, kita tunggu dulu. Selain itu, saya sudah menyuruh Leng Ying berangkat segera ke selatan..." 　　Jiang Si mengangguk pelan. 　　Yu Jin menyeka air matanya, ragu-ragu berkata: "Calon mertua mungkin juga sudah dapat kabar. Mau kutemanin pulang?" 　　"Baik." 　　Kedua orang itu berganti pakaian, naik kereta kuda dan bergegas menuju Dongping Bo Residence. 　　Saat ini Pan Hai baru saja mengumumkan kabar gugurnya Jiang Zhan di Dongping Bo Residence, melirik Jiang Ancheng yang membeku seperti patung kayu, dalam hati menghela nafas. 　　Orang beruban mengantar yang berambut hitam, apalagi itu satu-satunya anak lelaki, sungguh tragis. 　　Tapi seberapa pun tragisnya, ini adalah fakta yang tak bisa diubah. 　　"Sang Bangsawan, sudahlah... terimalah takdir ini dengan lapang dada." Pan Hai menghibur. 　　Jiang Ancheng mengangguk kaku. 　　Suasana seperti ini membuat Pan Hai tak ingin berlama-lama, buru-buru berkata: "Kalau begitu keluarga kami akan kembali ke istana untuk melapor." 　　Pan Hai hampir keluar pintu gerbang, barulah Jiang Ancheng seperti terbangun dari mimpi, berseru keras: "Bapak, tolong tunggu!" 　　Pan Hai berhenti, berbalik. 　　Jiang Ancheng melangkah besar mengejar, tanpa sadar menggenggam pergelangan tangan Pan Hai dengan kekuatan yang membuatnya mengernyit diam-diam. 　　"Apakah jenazah anak saya berhasil ditemukan?" 　　Jiang Ancheng di masa muda pernah bertempur di medan perang. Dia tahu setelah pertempuran, jika ada kesempatan membersihkan medan perang, prajurit akan berusaha membawa pulang jenazah rekan seperjuangan. Tapi jika pihak mereka kalah telak, hal itu sulit dijamin. 　　Kematian anak lelakinya sudah merupakan pukulan berat, tapi jika jenazahnya pun tak bisa ditemukan, itu akan semakin tak tertahankan. 　　"Gunung hijau beruntung mengubur tulang-tulang setia, tak perlu dibungkus kulit kuda untuk pulang." 　　Ungkapan ini terdengar heroik, tapi ketika menyangkut anak sendiri, tak seorang pun bisa menerimanya. 　　“Sang Bangsawan tenang, kami pasti akan berusaha keras menemukan jenazah prajurit yang gugur untuk negara.” Situasi di selatan masih belum banyak diketahui, Pan Hai tentu tidak berani menjamin, hanya bisa mengucapkan kata-kata formal. 　　"Benarkah?" Jiang Ancheng terdiam setelah mendengarnya. 　　Pan Hai pergi diam-diam. 　　Halaman dipenuhi orang, ada Nyonya Feng, pasangan Tuan Jiang Ketiga, serta Tuan Jiang Kedua yang buru-buru kembali. 　　Saat ini semua mata tertuju pada Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng lama tidak bereaksi. 　　Nyonya Feng mengerutkan alis, berkata: "Putra Sulung, kau harus bangkit." 　　Terhadap cucu Jiang Zhan ini, ia tak pernah menaruh harapan. Baru setelah masuk Jinwuwei ada sedikit perhatian. Tak disangka anak ini meninggalkan posisi Jinwuwei yang nyaman, sukarela maju ke medan perang. 　　Seandainya ini terjadi pada cucu tertua Jiang Cang, pasti akan dihalanginya. Tapi untuk Jiang Zhan, biarlah. 　　Medan perang memang berbahaya, tapi juga ada kesempatan. Jika berjasa besar mungkin bisa langsung mendapat gelar bangsawan, ini jauh lebih baik daripada pejabat sipil yang harus bekerja puluhan tahun baru bisa masuk kabinet. 　　Lagipula, masuk kabinet pun bagaimana? Kekuasaan sementara memang gemilang, tapi jika keturunan tak berbakat, dua generasi tanpa talenta akan merosot. Mana bisa dibandingkan gelar bangsawan yang diwariskan turun-temurun. 　　Di Dinasti Zhou, pejabat sipil tak punya kesempatan dapat gelar, kecuali punya putri yang jadi Permaisuri atau Janda Permaisuri. Tapi seisi istana hanya ada satu Permaisuri. 　　Dibandingkan itu, kesempatan perwira jauh lebih besar. 　　"Dalam pandangan Nyonya Feng, seorang cucu yang tidak penting pergi ke medan perang untuk mencari masa depan adalah hal yang sangat menguntungkan. Jika tewas dalam pertempuran, memang menyedihkan, tapi tidak sampai merusak pondasi keluarga." 　　Karena itu, Nyonya Feng jauh lebih tenang dibandingkan Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng menggerakkan kelopak matanya, menatap Nyonya Feng: "Apa yang ibu katakan?" 　　"Kuberkata kau harus bangkit. Kau adalah kepala keluarga, urusan pemakaman Zhan'er masih perlu kau atur. Jangan sampai Kaisar menganggap Keluarga Bo kurang loyal pada negara." 　　Tuan Jiang Kedua ikut membujuk: "Benar, Kakak. Zhan'er sendiri yang memohon ke medan perang. Gugur demi negara adalah kehormatan baginya--" 　　Mata Jiang Ancheng memerah, tinjunya menghantam Tuan Jiang Kedua: "Kehormatanmu tai kucing! Apa kau mengharapkan kompensasi dari Kaisar untuk Keluarga Bo agar bisa ikut numpang keuntungan?!" 　　Terhadap ibu kandungnya, ia tak berdaya. Tapi terhadap saudara yang mulut sampah ini, lebih baik dipukul habis-habisan dulu. 　　Suasana hati Jiang Ancheng memang sudah berada di titik terburuk, dan kini akhirnya menemukan pelampiasan. 　　Tuan Jiang Kedua yang tumbuh sebagai intelek lemah gemulai, mana bisa menandingi Jiang Ancheng. Menghindar tak bisa, lari tak sempat, segera menjerit-jerit kesakitan. 　　"Putra Sulung, kau gila? Mengapa melampiaskan amarah pada adikmu sendiri!" Terlihat putra kesayangannya dipukuli, Nyonya Feng berteriak histeris. 　　Jiang Ancheng pura-pura tuli, terus menghajar Tuan Jiang Kedua tanpa henti. 　　"Nyonya Feng tak bisa berbuat apa-apa, langsung memarahi Tuan Jiang Ketiga: "Putra Ketiga, kau ini kayu apa? Cepat larang kakakmu!"" 　　Adapun beberapa cucu yang hanya berdiri bengong, sama sekali diabaikannya. 　　Senior keluarga berkelahi, generasi muda tak bisa menghalangi. 　　Dalam hati, Tuan Jiang Ketiga mendecakkan lidah. 　　Ucapan Kakak Kedua barusan memang pantas dipukul, sekadar ngomong tanpa merasakan sakit pinggang. Biarlah kakak melampiaskan amarahnya. 　　Atas perintah Nyonya Feng, Tuan Jiang Ketiga baru berpura-pura tersadar dan maju menghalangi: "Kakak, hentikan pukulannya." 　　Jiang Ancheng menendang Tuan Jiang Ketiga yang setengah hati, terus meringkus Tuan Jiang Kedua dan memukulinya habis-habisan. 　　Saat Jiang Si dan Yu Jin tiba, pemandangan kacau balau inilah yang menyambut mereka. 　　"Adik Keempat, kau datang." Mata Jiang Yi merah membengkak, bekas air mata masih basah. 　　Jiang Si mengangguk, memanggil: "Ayah--" 　　Tangan Jiang Ancheng yang sedang mengayun terhenti, kepalanya menoleh. 　　Tuan Jiang Kedua memanfaatkan kesempatan ini melepaskan diri, bersandar pada putra sulung Jiang Cang dengan lemah: "Cepat... panggil tabib..." 　　Kakak pasti sudah gila, apa mau membunuhnya untuk menemani Jiang Zhan di alam baka? 　　"Oh." Jiang Cang mengangguk kaku seperti orang mengigau. 　　Benarkah Adik Kedua sudah tiada? 　　Setelah amarahnya reda, Jiang Ancheng terpaku di tempat berdiri. 　　Jiang Si melangkah perlahan mendekatinya. 　　Bola mata Jiang Ancheng bergetar, matanya memerah, suara seraknya pecah: "Si'er... Kakakmu sudah tiada..." 　　Pria kuat ini akhirnya menangis tersedu-sedu di hadapan putri kesayangannya, persis seperti saat kehilangan istri dulu. 623.BAB 622 Menghilang 　　BAB 622 Menghilang 　　Jiang Si memegang lengan Jiang Ancheng, melirik Tuan Jiang Kedua. 　　Tuan Jiang Kedua mengerutkan kening menarik napas, menunggu hiburan dari keponakan yang telah menjadi Permaisuri. 　　Dia hanya mengatakan kebenaran, bagaimana bisa memukulinya sampai begini? 　　Sebagai ayah yang linglung karena kesedihan kehilangan anak, sang putri seharusnya lebih mengerti. 　　Ya, dia akui tak banyak berduka mendengar kabar kematian Jiang Zhan, tapi dia tak memperlihatkannya. Masak Kakak tega memukulinya sampai sekarat! 　　Keluarga Kedua yang tak pernah tenang, Jiang Si sudah lama mengetahuinya. 　　Di kehidupan sebelumnya saat Ayah diusir dari keluarga, gelar Dongping Bo justru diwarisi Paman. Sulit dipastikan apakah Paman ikut bermain curang. 　　Dengan demikian, mustahil Jiang Si menghibur Tuan Jiang Kedua. 　　Dia hanya menyapu pandangan dingin ke Tuan Jiang Kedua, lalu berkata pada Jiang Ancheng: "Ayah, biar saya antar Ayah masuk kamar." 　　Jiang Ancheng tampak hampa, membiarkan diri dipapah Jiang Si pergi. 　　Melihat situasi, Yu Jin segera menyusul tanpa peduli orang lain. 　　Dengan statusnya, memang tak perlu memberi muka pada mereka. Kebaikan yang ditunjukkannya semata-mata karena menghargai posisi Jiang Si. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua tiba-tiba memerah padam, kesal berkata pada Nyonya Feng: "Ibu, lihatlah--" 　　"Wajah Nyonya Feng juga tidak enak dilihat, tapi cucu perempuannya adalah Permaisuri, menantunya seorang pangeran, sementara anak sulung satu-satunya yang bisa diatur sedang mengalami kesedihan kehilangan anak, selalu di ambang kehancuran. Apa lagi yang bisa ia katakan?" 　　"Sudahlah, biarkan mereka. Tunggu tabib datang memeriksamu." 　　Bibir Tuan Jiang Kedua bergetar, menelan kata-kata yang tersisa. 　　Kakak bisa membesarkan putri yang berbakat, apa lagi yang bisa ia lakukan selain menelan kekesalan ini? 　　Tapi mari kita lihat nanti, kejayaan sesaat apa artinya? Kakak sudah tak punya anak lelaki, kemewahan sebesar apapun ibarat tanaman air tak berakar, cepat atau lambat akan berantakan. 　　Memikirkan ini, Tuan Jiang Kedua merasa sedikit lega, lalu membentak Jiang Cang: "Tabibnya belum datang juga?" 　　Putra kedua Jiang Yuan mulai mengusap air mata: "Nenek, Ayah, Kakak Kedua... Benarkah Kakak Kedua celaka?" 　　Sejak dua tahun lalu, ia menganggap Kakak Kedua yang menjadi pasukan Jinwuwei sebagai panutan. Ketika Kakak Kedua ingin ke medan perang dan berpidato di hadapan Kaisar serta pejabat militer-sipil: "Lelaki sejati tak takut mengorbankan diri demi membela negara dan keluarga", kekagumannya memuncak. 　　Begitulah seharusnya seorang lelaki. Dibandingkan dengan Kakak yang hanya tahu asyik membaca buku, Kakak Kedua jauh lebih hebat. 　　Tuan Jiang Kedua melotot pada Jiang Yuan: "Jangan ikut campur urusan orang dewasa!" 　　Jiang Yuan mengedipkan mata merah sambil mencibir: "Ini urusan apa orang dewasa? Aku sedih Kakak Kedua meninggal--" 　　Jiang Cang mengulurkan tangan ke bahu Jiang Yuan, mendesah: "San Di, jangan bicara terlalu banyak. Semua orang sedih di dalam hati." 　　Di sisi lain, Jiang Si membantu Jiang Ancheng masuk ke dalam rumah dan duduk, tersedu-sedu: "Ayah, tenang saja. Di pihak Kakak Kedua, A Jin akan mengawasi." 　　Meski dia sedih, yang paling menderita adalah ayahnya. Saat ini dia harus mengumpulkan semangat untuk menghibur sang ayah. 　　Jiang Yi juga ikut membujuk. 　　Jiang Ancheng memandangi kedua putrinya, lalu menoleh ke Yu Jin. 　　Yu Jin berjongkok setengah, suaranya tulus: "Mertua, silakan perintahkan apa pun yang Anda inginkan." 　　Jiang Ancheng seolah baru sadar dari kebekuan, suaranya parau: "Lelaki gugur untuk negara memang tak perlu disesali, tapi aku tak tega melihat Zhan'er mati di tanah asing. Tolong Pangeran memerintahkan pasukan selatan untuk berusaha membawa jenazah Zhan'er pulang, biarkan dia kembali ke pangkuan leluhur..." 　　"Mertua tenang, maksudku pasti akan melaksanakannya." 　　Jiang Ancheng mengedipkan mata merahnya sambil menarik sudut bibir: "Dengan ucapanmu ini, hatiku sudah tenang. Persahabatan Zhan'er denganmu tidak sia-sia." 　　Mendengar perkataan Jiang Ancheng, Yu Jin semakin teriris hatinya. 　　Awalnya dia berteman dengan Jiang Zhan hanya untuk mendekati A Si. Tapi seiring waktu, meski sering mengeluh Jiang Er kurang licik, diam-diam dia mengaguminya. 　　Mungkin karena terlalu banyak mengalami kelicikan, dia justru semakin menyukai bergaul dengan orang berkarakter jujur seperti ini. 　　Jiang Si dan Yu Jin menemani Jiang Ancheng hingga hari gelap, akhirnya diusir pulang oleh Jiang Ancheng. 　　Seluruh penghuni Kediaman Pangeran Yan mengetahui kabar kakak laki-laki Permaisuri yang tewas, semua tak berani bersuara. Karena itu, istana pangeran semakin terasa sunyi, kesunyian yang hampa dan menyiksa hati. 　　Jiang Si berjalan langkah demi langkah menuju kamar tidurnya, seolah telah menempuh perjalanan jauh yang menghabiskan seluruh tenaganya. 　　Ia duduk termenung di tepi ranjang bersandar pada bantal, kesedihan yang tak berani ditunjukkan di depan ayahnya menerpa dengan hebat, membuat matanya kembali memerah. 　　Yu Jin duduk rapat di samping Jiang Si, diam-diam memeluk bahunya. 　　Jiang Si menatap Yu Jin: "A Jin, apakah aku salah? Jika waktu itu aku memaksa menghalangi Kakak Kedua dan melarangnya pergi, mungkin dia tidak akan celaka..." 　　Yu Jin menepuk-nepuk lembut punggungnya: "A Si, jika waktu itu kau memaksa menghalangi Jiang Zhan, apakah hatimu akan tenang? Apakah Jiang Zhan akan bahagia? Tak ada yang bisa menentukan hidup orang lain, saudara sekandung pun tidak, bahkan orangtua juga tidak. Kau sebenarnya mengerti prinsip ini." 　　Jiang Si diam, menggigit bibirnya kuat-kuat sampai berdarah, lalu berkata dengan sinis: "Ya, aku mengerti." 　　Ia hanya tak bisa menerima kenyataan kakaknya telah tiada, mencari-cari alasan untuk penyesalan dan kepedihan yang tak berujung ini. 　　"Jadi jangan kau tanggung semua tanggung jawab ini, nanti aku jadi sakit hati, Jiang Zhan di alam baka pun tidak akan tenang——" 　　Jiang Si tak bisa lagi mendengar, meraih lengan baju Yu Jin sambil menangis tersedu-sedu. 　　Semua sopan santun dan muka, dia tinggalkan begitu saja. Hanya tangisan keras yang bisa meredakan kepedihan di hatinya. 　　A Qiao dan Ah Man berdiri di depan pintu, terus-menerus mengusap air mata. 　　Tuan Kedua telah tiada, tuanku menderita. Bukankah kami juga merasakan kesedihan yang sama? Kebaikan Tuan Kedua kepada tuanku sejak kecil selalu mereka saksikan dan rasakan di hati. 　　"A Qiao, Tuan Kedua yang begitu baik, bagaimana mungkin beliau meninggal?" tanya Ah Man sambil mengusap sudut matanya. 　　Suara A Qiao tersendat: "Di medan perang pedang tak bermata, hal semacam ini mana bisa dipastikan..." 　　Ah Man menggigit bibir: "Aku tak percaya Tuan Kedua akan meninggal." 　　A Qiao meliriknya, menelan kembali kata-kata sanggahan. 　　Dia pun tak ingin percaya, tapi kabar ini datang dari istana, mana mungkin dusta? 　　Ekspresi Ah Man serius: "Sudah berapa kali kulihat, bentuk dahi Tuan Kedua kita yang penuh, sama sekali bukan pertanda umur pendek!" 　　Setelah lama terdiam, A Qiao berbisik: "Aku juga berpikir begitu." 　　Kedua dayang itu serentak melirik ke arah pintu, tak lagi bersuara. 　　Setelah hari-hari penuh siksaan, Yu Jin kembali dipanggil ke istana. 　　Begitu bertatapan dengan Kaisar Jingming, Yu Jin buru-buru bertanya: "Ayah Kaisar, adakah kabar dari selatan?" 　　"Melihat A Si semakin kurus kering selama hari-hari ini, hampir saja aku tak tahan. Jika tak ada kabar lagi, terpaksa aku jaga pos peristirahatan. Setiap kurir dari selatan akan kusita lebih dulu!" 　　Ketidaksabaran Yu Jin membuat Kaisar Jingming menggerakkan sudut bibirnya, memberi isyarat pada Pan Hai untuk berbicara mewakilinya. 　　Pan Hai diam-diam menghela napas. 　　Dia juga tidak mudah, semua hal sulit yang tidak ingin diucapkan Kaisar selalu dilimpahkan padanya. 　　Seberat apapun harus diucapkan, Pan Hai mengumpulkan keberanian lalu berkata: "Kabarnya dari selatan, sebagian besar jenazah prajurit yang gugur sudah dikumpulkan dan bersiap dikirim ke ibu kota, namun—" 　　"Namun apa?" 　　"Ada beberapa jenazah prajurit yang tidak ditemukan, termasuk jenazah putra Dongping Bo..." 624. BAB 623 Keputusan untuk Berangkat ke Selatan 　　BAB 623 Keputusan untuk Berangkat ke Selatan 　　"Tidak ditemukan?" Wajah Yu Jin langsung berubah hitam. 　　Gugurnya Jiang Zhan sudah membuat A Si dan mertua sangat berduka, apalagi jika mendengar jenazahnya pun tidak ditemukan. 　　Pan Hai refleks mundur selangkah, kulit kepalanya bergidik. 　　Ia merasa bahkan di hadapan Kaisar pun Pangeran Yan berani memukulnya... Eh, kenapa muncul pikiran seperti ini? 　　"Bapak Pan, saya ingin tahu detail kejadiannya." 　　Pan Hai buru-buru menjelaskan: "Sebagian pasukan kedua belah pihak bertempur di daerah Sungai Ji, 90% korban di pihak kita, pasukan yang selamat mundur terburu-buru. Saat kembali ke medan perang untuk membersihkan, sebenarnya Pasukan Nanlan sudah lebih dulu membersihkan... Singkatnya setelah pencarian berulang kali, tetap tidak menemukan jenazah putra Dongping Bo..." 　　Di medan perang selalu ada aturan tak tertulis: Berapa pun besarnya kebencian kedua pihak, sekeras apa pun pertempurannya, setelah perang usai harus menyisakan waktu untuk membersihkan medan perang. 　　Yang disebut membersihkan medan perang sebenarnya adalah mengumpulkan jenazah rekan seperjuangan, sekaligus tidak merusak mayat prajurit musuh. 　　Saat hidup, mereka adalah musuh bebuyutan. Tapi setelah mati, tak peduli dari pihak mana, semua adalah pahlawan yang gugur untuk negara. 　　Karena itu, sebagian besar jenazah prajurit yang gugur akan ditemukan dan dipulangkan. 　　Tentu ada pengecualian, seperti beberapa orang yang terkubur longsoran batu, jatuh dari tebing atau sungai, jenazah seperti itu sulit ditemukan. 　　Pan Hai melihat wajah Yu Jin yang muram, menambahkan: "Dalam pertempuran terakhir kami dengan pasukan Nanlan di daerah Sungai Jishui, beberapa jenazah prajurit jatuh ke sungai. Jenazah putra Dongping Bo mungkin juga ada di sana..." 　　Yu Jin menatap Kaisar Jingming dengan wajah masam: "Ayah Kaisar, dengan hasil seperti ini, anak tidak bisa memberikan penjelasan pada istri." 　　Mata Kaisar Jingming berkedip-kedip: "Maksudmu--" 　　Jangan-jangan mau tinggal di Istana Kekaisaran terus? 　　Ini melanggar tata krama. Sekalipun Beliau kasihan pada nasib Istri Lao Qi, tidak bisa mengiyakan. 　　Yu Jin mengatupkan bibir tipisnya, setelah diam sejenak seolah mengambil keputusan: "Anak ingin pergi ke selatan sendiri." 　　Alis Kaisar Jingming berkedut. 　　Lao Qi mau pergi sendiri ke selatan? 　　Dalam beberapa pertempuran terakhir, prajurit Nanlan bertarung mati-matian. Sementara Wu Miao yang terjepit antara Zhou dan Nanlan jadi tidak stabil karena rumor kematian Imam Suci. Jika Lao Qi pergi, mungkin tidak aman... 　　Kaisar Jingming ragu sejenak. 　　Melihat situasi ini, Yu Jin berkata dengan tenang, “Ayah Kaisar, anak lelaki telah tinggal di selatan selama bertahun-tahun. Dalam hal keakraban, banyak prajurit ekspedisi selatan mungkin tidak lebih berpengalaman daripada saya. Sedangkan mengenai Wu Miao, anak lelaki juga pernah berinteraksi dengan mereka. Kali ini ke selatan, tujuan utama anak lelaki adalah mencari jenazah kakak ipar, sekaligus menyelidiki situasi Wu Miao. Mohon Ayah Kaisar mengizinkan.” 　　Kaisar Jingming berpikir sejenak, lalu bertanya, “Kau benar-benar ingin pergi ke selatan?” 　　“Jika tidak, anak lelaki tidak bisa mempertanggungjawabkan kepada istri.” Ekspresi Yu Jin penuh tekad. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alisnya, “Selatan sedang dalam kekacauan. Meski kau pangeran, tidak mungkin mengirim pengawal besar-besaran—” 　　“Tidak perlu mengirim pengawal. Jumlah kecil justru lebih mudah. Anak lelaki akan membawa dua pengawal pribadi.” Jawab Yu Jin dengan lancar. 　　Kaisar Jingming tampak ragu-ragu. 　　Yu Jin menambahkan, “Jika pulang begitu saja, anak lelaki tidak bisa menjelaskan pada istri.” 　　Kaisar Jingming mengernyitkan sudut bibirnya. 　　Si anak ini mengancam akan terus menginap di istana jika tidak diizinkan? 　　Sudahlah. Meski tidak takut ancaman, Istri Lao Qi memang telah banyak membantu menyelesaikan masalah. Demi menghargai Istri Lao Qi, lebih baik setujui saja. 　　Memandang Yu Jin, Kaisar Jingming berkata dengan wajah kaku, “Boleh pergi ke selatan, tapi harus bertindak diam-diam. Jangan membuat keributan.” 　　“Anak lelaki mengerti.” Yu Jin segera menjawab. 　　“Mencari jenazah putra Dongping Bo tentu baik, jika memang tidak ditemukan segeralah kembali. Istri kau sedang mengalami kesedihan kehilangan kakak laki-laki, mertua mengalami kesedihan kehilangan anak, semuanya butuh dukungan.” 　　Yu Jin menundukkan pandangan: "Anak lelaki mengerti." 　　Bagaimanapun juga Kaisar sudah menyetujui permintaannya, tentu semua perkataan beliau baik adanya. 　　Setelah meninggalkan Istana Kekaisaran dan kembali ke Kediaman Pangeran Yan, Yu Jin kembali pusing. 　　A Si masih menunggu dengan gelisah, sementara kabar yang dibawanya semuanya buruk... 　　Langkah berat Yu Jin memasuki Yuyuan, melihat Jiang Si duduk termenung di bawah pohon. 　　Ia bergegas mendekat dan menggenggam tangan perempuan itu. 　　Tangan ramping itu terasa dingin membeku. 　　Yu Jin melepaskan jubahnya dan menyelimutkannya ke badan Jiang Si, berdesah: "Cuaca sedingin ini, sudah berapa lama kau duduk di sini?" 　　Sambil melirik ke arah Ah Man di samping, ia berkata kesal: "Tidak bisakah kau membujuk Permaisuri masuk ke dalam?" 　　Ah Man menundukkan kepala, diam-diam menjulurkan lidah. 　　Bila sang tuanku tidak bahagia, amarah Pangeran pun ikut membara. 　　Jiang Si bersuara: "Bukan salah mereka. Aku merasa pengap di dalam ruangan, jadi keluar mencari udara segar. A Jin, Ayah Kaisar memanggilmu ke istana, apakah ada kabar dari selatan?" 　　"Hmm." 　　Jiang Si menekan bibirnya, suaranya parau: "Kakak Kedua dia--" 　　Ia sangat ingin bertemu kakak laki-lakinya, tapi sekaligus takut. 　　Hingga kini ia masih tak mau percaya kakak laki-lakinya telah tiada, apalagi membayangkan sosoknya yang ceria dan tampan itu mati di medan perang. 　　"Jenazahnya tak ditemukan." Yu Jin mengatupkan hati dan langsung menyampaikan kabar itu, lebih baik sakit sebentar daripada berlarut-larut. 　　Jiang Si tertegun, bergumam pelan: "Bagaimana mungkin tak ditemukan? Lalu Kakak Kedua saya?" 　　"Pasukan bertempur di sekitar Sungai Ji. Mungkin jenazahnya jatuh ke sungai—" 　　Di tengah kalimat, Yu Jin menyadari wajah Jiang Si semakin pucat melebihi warna kapur, seluruh tubuhnya bergetar hebat. 　　"A Si, tenanglah—" Yu Jin menggenggam tangan dingin Jiang Si yang semakin bergetar dalam genggamannya. 　　Saat ini Jiang Si sudah tak bisa mendengar teriakan Yu Jin. Di telinganya hanya bergema kata-katanya tadi: Pasukan bertempur di Sungai Ji, mungkin jenazahnya jatuh ke sungai. 　　Rasa takut dan putus asa merambat di hatinya, perlahan menyelimuti segalanya. 　　Di kehidupan sebelumnya Kakak Kedua tewas di Sungai Jinshui. Ia telah berusaha keras menghindarkan malapetaka itu, namun ternyata Kakak Kedua tetap mati di air... 　　Jika demikian, bagaimana dengan Ayah? Kakak? Dirinya dan A Huan? 　　"A Si, aku akan ke selatan!" Yu Jin memegang bahu Jiang Si, berteriak keras. 　　Jiang Si tersentak sadar. Melalui lapisan air mata, wajah pria di hadapannya tampak samar-samar. 　　Walau bagaimanapun kabur, dia masih mengenal setiap inci konturnya. 　　"Kau mau pergi ke selatan?" Jiang Si menekan keputusasaan dan panik yang menyergap, bertanya perlahan. 　　Kematian Kakak Kedua memberinya pukulan besar, tapi dia tak akan runtuh, masih banyak orang yang ingin dilindunginya. 　　Begitu memikirkannya, sorot mata Jiang Si semakin jernih. 　　"A Si, aku sudah memohon izin Ayah Kaisar. Besok akan berangkat ke selatan untuk mencoba mencari jenazah kakak keduamu." 　　Jiang Si menggigit bibir, diam sejenak, lalu berkata: "Aku juga ingin ikut." 　　Yu Jin menghela napas: "Masih ada A Huan yang harus diurus." 　　Jiang Si tersenyum getir. 　　Benar, A Huan tak bisa lepas dari ibunya. Dia hanya bisa mengatakannya saja. Di dunia ini selalu banyak keterpaksaan, tak mungkin semuanya berjalan sesuai keinginan. 　　"Kalau begitu aku akan merawat putri kita baik-baik. Kau cepatlah pergi dan pulang." 625.BAB 624: Ayah Menyangga 　　BAB 624: Ayah Menyangga 　　Hari itu, Jiang Si mengumpulkan semangat dan mulai sibuk. 　　Yu Jin akan berangkat ke selatan besok. Meski perjalanannya sederhana, persiapan barang bawaan harus disiapkan sejak awal. 　　Biasanya Yu Jin pasti melarang Jiang Si mengurus ini. Banyak dayang-dayang yang dipekerjakan bukan untuk berdiam diri, tak perlu nyonya rumah repot. 　　Tapi sekarang dia senang melihat Jiang Si sibuk. 　　Kesibukan akan mengalihkan dari kesedihan. 　　Keesokan harinya cuaca mendung. 　　Angin dingin berhembus kencang, awan tebal bergulung di ufuk langit, bagaikan suasana hati Jiang Si yang tertekan saat ini. 　　"Mari kita pulang, di luar dingin, A Huan juga tidak akan tahan." Yu Jin dengan lembut mengusap pipi Jiang Si, merapikan helai rambut yang berantakan diterpa angin ke belakang telinganya. 　　Jiang Si mengangguk, mengambil A Huan dari tangan ibu susu, berkata lembut: "A Huan, Ayahmu akan pergi jauh." 　　A Huan kecil membuka matanya yang hitam seperti anggur, memandang ayahnya yang masih muda dengan tatapan polos. 　　Bayi mungil ini tentu belum mengerti kepahitan perpisahan. 　　Tapi kedua orang dewasa ini sama-sama merasakan pahit di hati. 　　Perpisahan kali ini bukan sekadar perjalanan biasa. 　　Yu Jin mengambil A Huan dan menepuk-nepuknya pelan, berpesan: "A Huan, Ayah pergi. Dengarkan kata ibumu, jangan sering menangis atau ngompol sembarangan..." 　　Setelah lama menggendong putrinya, barulah Yu Jin menyerahkan kembali ke ibu susu. Ia mencium kening Jiang Si, suaranya parau: "Aku pergi. Tenang, pasti akan kubawa Jiang Zhan pulang." 　　Memandang Yu Jin yang menjauh dengan kudanya, A Huan tiba-tiba menangis tanpa alasan jelas. 　　Jiang Si menggendong A Huan, menahan pedih menghiburnya: "A Huan baik, jangan menangis. Ayah dan Paman Zhang akan segera kembali..." 　　Begitu ucapannya selesai, A Qiao dan Ah Man yang berdiri di belakang diam-diam mengusap air mata. 　　"Setelah menenangkan A Huan, Jiang Si berpesan pada ibu susu untuk menjaga para gadis, lalu naik kereta kuda menuju Dongping Bo Residence." 　　"Seluruh Dongping Bo Residence beberapa hari ini diselimuti awan kegelisahan, bahkan singa batu di pintu gerbang yang telah melewati banyak badai terlihat lesu." 　　"Jiang Si bergegas masuk dan bertanya kepada pelayan Keluarga Bo yang mendampinginya, 'Di mana Sang Bangsawan?'" 　　"'Sang Bangsawan sedang di kediaman Ibu Suri.'" 　　"Jiang Si bergegas menuju Cixintang. Saat tiba di depan pintu, terdengar suara pertengkaran dari dalam." 　　"'Kita belum bisa mengadakan pemakaman sekarang! Zhan'er belum pulang!'" 　　"Terdengar teriakan Nyonya Feng: 'Bodoh! Istana sudah menyampaikan pesan bahwa jenazahnya tidak ditemukan. Apa kau mau terus menunda sampai dia tak bisa dimakamkan di makam leluhur, bahkan tanpa makam simbolis?'" 　　"'Ibu tak perlu membujuk. Zhan'er adalah anak lelakiku. Aku akan menunggu!'" 　　"Nyonya Feng mendesis: 'Zhan'er adalah cucuku juga! Aku tak akan izinkan kau bertindak gegabah!'" 　　"Zhan'er bukan hanya Putra Kedua Keluarga Dongping Bo, tapi juga saudara kandung Permaisuri Yan dan kakak ipar Pangeran Yan. Tentunya Kaisar akan mempertimbangkan hal ini." 　　"Jiang Zhan gugur untuk negara. Sangat mungkin Kaisar merasa bersalah dan menganugerahinya gelar Putra Mahkota secara anumerta. Dengan gelar ini, gelar kebangsawanan Keluarga Bo bisa diperpanjang satu generasi. Mengingat Putra Sulung tak punya keturunan, gelar baru kemungkinan besar akan jatuh pada cucu tertua Jiang Cang." 　　“Sedangkan Keluarga Bo terus menunda pemakaman Jiang Zhan, maka kompensasi dari istana tidak akan segera turun, apalagi gelar Putra Mahkota anumerta untuk Jiang Zhan.” 　　Jiang Si mendorong pintu masuk, juga menyeringai dingin: “Nenek terlalu terburu-buru, jenazah prajurit yang gugur belum diangkut ke ibu kota, sudah mau mengadakan pemakaman untuk Kakak Kedua saya?” 　　Menghadapi Jiang Si, Nyonya Feng terpaksa melunakkan nada: “Jenazah kakakmu tidak ditemukan, apa gunanya menunggu jenazah prajurit lain diangkut? Lebih baik cepat adakan pemakaman, buatkan makam simbolis, agar keluarga bisa mendapat penghiburan.” 　　Suara Jiang Si membeku: “Jangan menipu diri sendiri, Nenek. Kakak yang belum genap 20 tahun sudah gugur untuk negara. Apakah makam simbolis bisa menghibur kesedihan keluarga?” 　　“Lalu bagaimana? Jika jenazahnya tak kunjung ditemukan, kita tidak akan adakan pemakaman? Menunggu setahun dua tahun? Bagaimana jika tak pernah ditemukan?” Nyonya Feng berwajah muram membalas. 　　“Pangeran pergi mencarinya.” 　　Nyonya Feng dan Jiang Ancheng terkejut: “Apa?” 　　Jiang Si berkata datar: “Hari ini Pangeran berangkat ke selatan untuk mencari jenazah Kakak Kedua saya.” 　　Nada datarnya terdengar di telinga Nyonya Feng bagai petir menggelegar. 　　Nyonya Feng bertanya tak percaya: “Pangeran pergi ke selatan mencari kakakmu?” 　　Jiang Si mengangguk: “Ya.” 　　Nyonya Feng membuka mulut, lama akhirnya bergumam: “Pangeran sendiri yang pergi——” 　　"Ini terlalu membingungkan, Keluarga Bo bahkan belum memiliki keinginan untuk mencari sendiri." 　　Jiang Si menatap Nyonya Feng dalam-dalam, lalu berkata dengan santai: "Tidak aneh jika Pangeran pergi sendiri. Saya adalah istrinya, Kakak Kedua adalah saudara iparnya. Bukankah wajar dia membantu di saat seperti ini?" 　　Nyonya Feng diam-diam terkejut, niatnya mendesak Jiang Ancheng untuk segera mengurus pemakaman mulai memudar. 　　Pangeran Yan menganggap Si'er lebih penting dari yang dia bayangkan. Karena Si'er tidak setuju, tidak perlu baginya untuk memaksa. 　　Jiang Ancheng justru merasa tersentuh, menahan kesedihan berkata: "Mengapa tidak memberitahu saya? Seharusnya Pangeran tidak pergi." 　　Selatan begitu kacau, anak lelaki sudah tiada. Jika menantu sampai terjadi sesuatu, dia akan menyesal seumur hidup. 　　"Ayah tenang saja, A Jin tahu batas. Anggap saja dia sebagai anak kandung. Kedepannya jika ada masalah jangan dipikul sendiri, beri kabar ke istana pangeran untuk saya dan A Jin." Jiang Si melirik Nyonya Feng dengan sudut pandangnya. 　　Ekspresi Nyonya Feng menjadi kaku. 　　Apakah perkataan Si'er ini ditujukan padanya? 　　Di usia senjanya, dia malah ditegur oleh cucu perempuan. Tentu saja hati merasa sesak, tapi selain pura-pura tidak paham, tak ada cara lain. 　　Saat ini masih ada selubung kesopanan. Jika terbongkar, malu tujuh turunan. 　　Pada detik ini, Nyonya Feng kembali merenung dalam hati. 　　“Di keluarga ini ada begitu banyak cucu perempuan, kenapa justru si gadis keempat yang paling bandel ini bisa melonjak naik?” 　　Harus diakui, ini adalah takdir. 　　Melihat ekspresi dingin sang cucu, Nyonya Feng merasa kebingungan yang disertai kekecewaan. 　　“Nenek, Ayah, saya akan pulang dulu. Jika ada urusan, kirimkan pesan saja.” 　　Jiang Ancheng mengangguk: “Pangeran tidak di rumah, kau harus merawat A Huan baik-baik. Yi'er, antarkan adikmu keempat.” 　　Jiang Yi menemani Jiang Si berjalan menuju gerbang utama. 　　Sepanjang jalan, kedua saudari ini sempat terdiam, akhirnya Jiang Si yang memulai: “Kakak, bagaimana tidur dan makan Ayah beberapa hari ini?” 　　Jiang Yi menghela napas: “Seperti biasa, butuh waktu untuk memulihkan diri. Adik juga begitu, tanpa Pangeran di samping, jaga baik diri dan anak-anak. Adik kedua... dia sudah seperti itu, kita harus tetap kuat...” 　　“Saya tahu. Saya tidak bisa tinggal di keluarga Bo sepanjang hari, tolong rawat Ayah untukku.” 　　“Baik, jangan khawatir.” 　　Saat kedua saudari masih berbincang di depan gerbang, tiba-tiba pintu merah tetangga terbuka, seorang pemuda muncul. 　　Jiang Si tertegun sejenak, mengenali sang tamu. 　　Yang muncul tak lain adalah mantan Putra Mahkota Yongchang Bo, yang kini menjadi Yongchang Bo - Xie Yinlou. 　　Jiang Si segera melakukan kalkulasi dalam hati. 　　Masa berkabung untuk orangtua selama tiga tahun sebenarnya 27 bulan. Dua tahun lebih berlalu cepat, kini saudara Xie telah menyelesaikan masa berkabung. 　　Xie Yinlou berdiri di tangga sejenak, lalu berjalan mendekati kedua saudari. 　　Tidak sengaja ada bug karena kurang perhatian, sudah diperbaiki. 626.BAB 625 Niat Jahat 　　BAB 625 Niat Jahat 　　Sejak Pemutusan hubungan secara moral dan kembali ke Keluarga Bo, Jiang Yi selalu hidup menyendiri. Ditambah pengalaman di Toko Zhenbao sebelumnya, ia semakin enggan berinteraksi dengan pria luar. Meski pemuda di hadapannya adalah adik yang dilihatnya tumbuh besar, ia tetap gugup mundur selangkah. 　　Xie Yinlou tak bisa menahan diri meliriknya, lalu memandang Jiang Si. 　　Jiang Si menyapa Xie Yinlou dengan sikap terbuka: "Kakak Xie." 　　Xie Yinloo diam sejenak sebelum berkata: "Kakak tertua Jiang, Nona Keempat Jiang, tentang masalah Jiang Zhan... Jika Paman Jiang membutuhkan bantuan apapun, silakan panggil saya kapan saja." 　　Jiang Yi sedikit membungkuk sebagai ucapan terima kasih kepada Xie Yinlou. 　　Jiang Si menjawab: "Terima kasih banyak, Kakak Xie. Saya sudah menikah dan tak bisa sering pulang, jadi selama ini memang harus merepotkan Kakak Xie." 　　"Tenang saja, Nona Keempat Jiang. Saya pasti akan membantu." 　　Setelah mengucap terima kasih, Jiang Si naik kereta kuda dan pergi. Di tengah perjalanan, ia mengangkat tirai jendela sedikit dan melihat ke belakang: Xie Yinlou masuk melalui pintu Dongping Bo Residence, sementara kakak tertuanya Jiang Yi tertinggal beberapa langkah, menjaga jarak. 　　Jiang Si menurunkan tirai jendela kereta, bersandar di dinding kereta sambil memejamkan mata. 　　Memikirkan perjalanan jauh Yu Jin dan tekanan nenek pada ayahnya, hatinya semakin terasa berat. 　　Tadinya kukira setelah menyelesaikan sebagian besar musuh yang menghancurkan keluarga kami di kehidupan sebelumnya, aku bisa tenang. Tapi baru beberapa hari damai, musim dingin yang kejam tiba. 　　Medan perang tak kenal ampun, kematian tak terhindarkan. Tapi bahkan jenazah kakak laki-lakiku tak ditemukan, katanya kemungkinan besar jatuh ke Sungai Jishui. Ini membawa Jiang Si bukan hanya kesedihan, tapi juga ketakutan. 　　Ketakutan besar akan ketidakpastian masa depan. 　　Bisa dikatakan kematian Jiang Zhan adalah pukulan berat bagi Jiang Si. 　　Kereta kuda berhenti, suara Lao Qin terdengar: "Permaisuri, kita sudah sampai." 　　Jiang Si tersadar, ditopang Ah Man turun dari kereta, berjalan diam-diam menuju pintu gerbang istana pangeran. 　　Lao Qin memandang punggung Jiang Si yang pergi, ingin menghibur tapi tak pandai bicara, akhirnya hanya bisa menghela napas pelan. 　　Jiang Si berhenti di depan gerbang, menatap tulisan emas "Kediaman Pangeran Yan" di papan nama. Meski kesedihan dan ketakutan masih ada, itu tak bisa menghentikannya untuk menjadi kuat. 　　Bahkan hanya untuk putrinya, dia harus kuat. 　　Berusaha mungkin tak mengubah hasil buruk yang ada, tapi tanpa usaha pasti takkan berubah. Demi sedikit kemungkinan perubahan, dia takkan menyerah. 　　Tanpa majikan pria, istana pangeran yang luas ini terasa sepi. 　　Kepergian Yu Jin tak hanya mempengaruhi Kediaman Pangeran Yan, tapi juga Istana Yuquan. 　　Saat ini Ibu Suri Xian sedang marah di hadapan menantu perempuannya, Permaisuri Qi. 　　“Anak tak punya hati nurani ini, berani pergi sendiri ke selatan untuk mengurus jenazah kakak ipar!” Ibu Suri Xian mengerutkan alis marah, semakin dipikir semakin kesal, “Keluarga Ayah dan Kakak pihak mempelai belum ada yang pergi, kenapa justru dia yang menonjol?” 　　Anak lelaki ini entah dilahirkan untuk siapa, sejak kecil tak pernah di dekatku. Susah payah kembali dari selatan, jumlah salam hormatnya padaku tak sampai lima jari. Tapi giliran urusan keluarga mertua, malah begitu bersemangat. 　　Melihat kemarahan Ibu Suri Xian, Permaisuri Qi dengan cepat menyembunyikan senyumnya, menghibur: “Ibu jangan marah. Adik ketujuh itu sangat menjunjung perasaan dan kewajiban. Buktinya Ayah Kaisar sudah merestui. Jika Ibu terus protes, bagaimana jika sampai ke telinga Ayah Kaisar——” 　　Ibu Suri Xian menepuk meja sambil menyeringai: “Kaisar juga sudah pikun, membiarkannya bertingkah semaunya!” 　　Di dalam ruangan hanya ada ibu mertua dan menantu perempuan, Ibu Suri Xian tak perlu berhati-hati dalam bicara. 　　Permaisuri Qi memutar matanya, menuangkan secangkir teh hangat: “Ibu minumlah. Restu Ayah Kaisar pada Adik ketujuh justru berkah bagi kita.” 　　Ibu Suri Xian menerima cangkir teh, sedikit mengerutkan kening: “Kau jelaskan, bagaimana ini bisa disebut berkah?” 　　Permaisuri Qi tersenyum manis: “Bukankah ini membuktikan Ayah Kaisar sangat menghargai dan menyayangi Adik ketujuh?” 　　Ibu Suri Xian tercekat, sorot matanya redup, bergumam: “Kenapa kasih sayang ini tak diberikan pada Lao Si…” 　　Meski Kaisar sangat menyayangi Lao Qi, mungkinkah takhta akan diwariskan padanya? 　　Saat ini jelas Lao Si adalah calon penguasa yang tak terbantahkan, namun Kaisar sama sekali tidak menunjukkan sinyal, membuat orang sulit menebak pikiran sang penguasa. 　　Mendengar perkataan Ibu Suri Xian, Permaisuri Qi menghela nafas: "Katanya hubungan orangtua dan anak juga bergantung takdir. Mungkin Ayah Kaisar memang memiliki ikatan alami dengan Adik ketujuh. Meski sejak kecil tidak dibesarkan di sisi beliau, begitu bertemu langsung disayangi..." 　　"Mengejek!" Ibu Suri Xian mendengus dingin, namun hatinya sedikit tergugah. 　　Perkataan istri Lao Si ada benarnya. Ambil contoh dirinya sendiri yang melahirkan Lao Si dan Lao Qi, namun perasaan terhadap dua anak lelakinya bagai langit dan bumi. 　　Saat melahirkan Lao Si, baru dua tahun memasuki istana. Kelahiran sang pangeran langsung mengantarkannya meraih posisi Ibu Suri Xian, mengokohkan kedudukannya di istana belakang. Sejak itu baik Permaisuri maupun Janda Permaisuri memberi dia sedikit kehormatan. 　　Terhadap Lao Si yang memberikan semua ini, dia menjaganya lebih berharga dari biji matanya. 　　Tapi Lao Qi berbeda. Kelahiran pangeran kedua seharusnya menjadi kebanggaan, namun Lao Qi dianggap membawa sial pada Kaisar. Baru beberapa hari lahir langsung dikeluarkan dari istana, membuatnya menerima banyak ejekan terselubung. Saat itu bahkan Janda Permaisuri yang biasanya lembut tak menunjukkan wajah ramah padanya. 　　Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa menumbuhkan rasa sayang pada Lao Qi? 　　Fakta membuktikan, meski dua anak kandung sekalipun, tetap ada perbedaan tingkatan dalam hati orangtua. 　　Permaisuri Qi memijat kaki Ibu Suri Xian dengan lembut: "Ibu Selir, Anda seharusnya senang. Pangeran kami dengan Adik ketujuh adalah saudara kandung, Ayah Kaisar sangat menghargai Adik ketujuh, maka mereka bisa saling mendukung——" 　　"Heh." Ibu Suri Xian memotong dengan tersenyum sinis. 　　Wajah Permaisuri Qi memerah, berbisik: "Ibu Selir, ucapan menantu perempuan ini salah?" 　　"Saudara kandung saling mendukung, prinsip itu benar. Tapi bagaimana bisa saling membantu jika mereka bahkan tidak saling mengunjungi?" 　　Permaisuri Qi menghela napas: "Saya dan Pangeran benar-benar ingin menjalin hubungan baik dengan Adik ketujuh, hanya saja——" 　　Kalimat terakhir tidak diucapkan, tapi Ibu Suri Xian sudah memahami maksudnya. 　　Permasalahan antara Lao Qi dan Lao Si: pertama karena tidak dibesarkan bersama, kedua mungkin karena Permaisuri Yan. 　　Bahkan, melihat perhatian Lao Qi pada Permaisuri Yan, bisa dikatakan penyebab utamanya adalah Permaisuri Yan. 　　Alis Ibu Suri Xian berkerut: "Benarkah waktu itu Permaisuri Yan bilang padamu bahwa melihatmu membuatnya tidak nyaman?" 　　Wajah putih Permaisuri Qi memerah membara: "Ya. Awalnya saya ingin tulus menjalin hubungan baik dengan adik ipar ketujuh, tapi dapat ucapan seperti ini... sungguh tak pantas lagi memaksakan wajah hangat mendekati..." 　　Mengangkat pandangan menyapu sekilas ekspresi Ibu Suri Xian, Permaisuri Qi menunjukkan wajah pasrah: "Ikatan darah antara saudara kandung takkan terputus. Seandainya adik ipar ketujuh tak bersikap demikian, mungkin Pangeran kami dan adik ketujuh tak akan sedingin ini——" 　　Sorot mata Ibu Suri Xian membeku. 　　Siapapun yang menghalangi Lao Si, takkan ia izinkan. 　　Lao Qi yang meraih kasih Kaisar seharusnya bisa menjadi penopang bagi Lao Si. Tapi karena sikap istri Lao Qi yang tak tahu diri, hubungan mereka malah renggang. Bukan hanya tak saling mendukung, di masa depan bisa jadi malah menjadi batu sandungan. 　　Tidak! Tak boleh biarkan perempuan hina itu terus menduduki posisi Permaisuri Yan! 627.BAB 626 MEMASANG PERANGKAP 　　BAB 626 MEMASANG PERANGKAP 　　Ide pertama Ibu Suri Xian adalah mencari cara agar Yu Jin menceraikan Jiang Si. 　　Tapi pikiran ini langsung ia tepis seketika. 　　Melihat betapa Lao Qi menggandrungi keluarga Permaisuri Yan, mungkin dia lebih memilih putus hubungan ibu-anak daripada menceraikan Nyonya Jiang. 　　Perceraian mustahil dilakukan. Karena itu, hanya tersisa satu jalan—— Sorot mata Ibu Suri Xian berkilat dingin. 　　Bagaimana jika Nyonya Jiang mati? 　　Lao Qi baru 20 tahun. Tak mungkin dia membujang seumur hidup untuknya. 　　Laki-laki, apalagi pemuda berdarah panas, mana ada yang bisa tahan lama? Meski Lao Qi sangat mencintai istrinya, beri dia waktu setahun dua tahun lalu ajukan perjodohan baru, pasti tak akan ditolak. 　　“Kali ini, mengenai perjodohan Lao Qi, dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Harus memilih seseorang yang satu hati dengannya, agar bisa membujuk Lao Qi untuk mendekatkan diri dengan Lao Si.” 　　Ibu Suri Xian semakin berpikir, semakin merasa jalan di depan mata adalah jalan yang terang. Sudut bibirnya tanpa sadar terangkat. 　　Permaisuri Qi memandang dingin tatapan penuh kebekuan Ibu Suri Xian, diam-diam merasa puas. 　　Setelah menjadi menantu Mertua selama bertahun-tahun, dia terlalu mengenal sifat kejam Mertua ini yang tak pernah ragu-ragu. 　　Apakah Mertua berniat menyingkirkan Permaisuri Yan? 　　Benar saja, seketika Ibu Suri Xian langsung blak-blakan: "Yang lain tidak kuperdulikan, siapa pun yang menghalangi Lao Si, mutlak tidak boleh." 　　“Ibu Selir, maksud Anda——” Permaisuri Qi bertanya penuh kewaspadaan. 　　Ibu Suri Xian mengangkat sudut bibirnya, berkata dingin: “Maksudku adalah memaksa Nyonya Jiang menyerahkan posisi Permaisuri Yan.” 　　Permaisuri Qi menunjukkan ekspresi terkejut: “Ibu Selir, Anda, Anda maksudnya——” 　　Ibu Suri Xian tiba-tiba menatap Permaisuri Qi dengan pandangan mendalam. 　　Permaisuri Qi gemetar ketakutan oleh tatapan itu, gagap: “Ibu Selir——” 　　Ibu Suri Xian tersenyum penuh makna: “Istri Lao Si, kau seharusnya orang yang pintar. Tidak mungkin bisa duduk di posisi Permaisuri Qi jika tidak pintar.” 　　Hmph, bermain taktik di hadapanku? Masih terlalu hijau! 　　Setelah memutuskan membasmi Keluarga Jiang, mana mungkin hanya tanganku yang kotor. 　　Wajah Permaisuri Qi memerah: “Ibu Selir——” 　　Ibu Suri Xian mulai tidak sabar, melirik Permaisuri Qi dengan acuh tak acuh: "Urusan ini kuizinkan. Tapi cara melaksanakannya harus melalui tanganmu." 　　Permaisuri Qi tertegun, wajahnya pucat: "Ibu Selir, hamba..." 　　Wajah Ibu Suri Xian menjadi muram: "Istri Lao Si, jika kau masih pura-pura bodoh di saat seperti ini, aku cuci tangan dari urusan Lao Si dan Lao Qi. Bagaimanapun, siapa pun di antara mereka yang dihargai Kaisar, tetap anakku..." 　　Permaisuri Qi tersenyum kecut: "Menantu akan patuh pada perintah Ibu Selir." 　　Ibu Suri Xian mengangkat alis: "Nah, begitu baru benar. Mari kita rencanakan dengan matang." 　　Permaisuri Qi menghabiskan hampir setengah hari di Istana Yuquan sebelum akhirnya berpamitan. 　　Tak berapa hari kemudian, kabar sakitnya Ibu Suri Xian menyebar dari Istana Yuquan. 　　Pangeran Qi bersama Permaisuri Qi tentu saja segera masuk istana untuk menjenguk. 　　Kabar ini sampai ke telinga Jiang Si. Meski tak punya simpati pada Ibu Suri Xian, ia tetap harus pergi ke istana. 　　Dinasti Zhou menjadikan kebaktian sebagai dasar pemerintahan. Biasanya ia bisa cari alasan untuk menghindari Istana Yuquan, tapi jika sama sekali tidak menjenguk saat Ibu Suri sakit, itu keterlaluan. Terutama di masa Yu Jin tidak ada di ibu kota, ia harus lebih berhati-hati agar tak memberi celah yang membahayakan diri dan putrinya. 　　Jiang Si mengenakan gaun sederhana yang masih cukup baru, lalu naik kereta kuda menuju istana. 　　"Nyonya, Permaisuri Yan sudah tiba," seorang dayang melapor pada Ibu Suri Xian. 　　“Ibu Suri Xian yang bersandar di meiren ta menggerakkan kelopak matanya, berkata lemah: ‘Persilakan Permaisuri Yan masuk.’” 　　“Tak lama kemudian, tirai sutra disibak. Jiang Si memasuki ruangan.” 　　“Di dalam ruangan tercium bau obat bercampur dupa samar, membentuk aroma aneh yang tak sedap bagi Jiang Si.” 　　“Dia sedikit mengerutkan alis, memberi hormat kepada Ibu Suri Xian di atas meiren ta: ‘Salam penghormatan untuk Nyonya.’” 　　“‘Tak perlu formal, bangunlah.’” 　　“Jiang Si bangkit, menundukkan pandangan dan tak bersuara lagi.” 　　“Dari awal tak berniat berpura-pura akrab dengan mertua, berpegang pada prinsip 'sedikit bicara sedikit salah', dia memang malas bicara.” 　　“Sikap Jiang Si ini membuat Ibu Suri Xian ingin memutar mata putih.” 　　“Belum pernah melihat menantu perempuan yang tak tahu diri seperti ini. Saat mertua sakit, tak menawarkan merawat, setidaknya tanya keadaan sebagai bentuk perhatian!” 　　“Menantu seperti ini, dibunuh pun tak akan ragu.” 　　“Ibu Suri Xian memberi isyarat mata ke Permaisuri Qi, menyuruhnya memecahkan keheningan.” 　　“‘Dia sedang sakit’, mana mungkin pasien yang harus mencari topik pembicaraan.” 　　“Permaisuri Qi tersenyum lembut pada Jiang Si: ‘Awalnya ingin mengajak adik ipar ketujuh bersama masuk istana menjenguk ibu... Kulihat adik kurus banyak. Ah, kabar tentang kakakmu juga kudengar, sungguh langit iri pada bakat... Adik harus tabah, jangan sampai merusak keperawanan.’” 　　“Terima kasih atas perhatian kakak ipar keempat.” Jiang Si menjawab dengan dingin, hati mulai waspada. 　　Sejak saat itu menunjukkan kebencian pada Permaisuri Qi, Permaisuri Qi akhirnya tenang. Mengapa sekarang tiba-tiba menjadi akrab lagi? 　　Memberi perhatian tanpa alasan pasti ada maksud jahat. Pepatah ini sangat cocok untuk tipe orang seperti Permaisuri Qi. 　　Jawaban dingin dan formal Jiang Si membuat Permaisuri Qi merasa gelisah. 　　Mana ada Permaisuri Yan yang tidak tahu diri seperti ini? Membuat orang ingin mengobrol pun tak bisa. Bagaimana kayu kaku seperti ini bisa mengikat hati Pangeran Yan? Apa hanya karena wajahnya sedikit cantik? 　　Permaisuri Qi menyembunyikan rasa tidak puas di wajah, menghela nafas: "Belakangan ini sungguh tidak lancar. Ibu Selir yang biasanya sehat, tiba-tiba jatuh sakit. Benar-benar mengkhawatirkan..." 　　Ibu Suri Xian membuka mulut: "Mengkhawatirkan apa? Di usiaku ini, demam dan pusing itu hal biasa." 　　Jiang Si memandang Ibu Suri Xian dengan seksama, merasakan keanehan. 　　Dia tidak paham ilmu pengobatan, tak bisa memeriksa, namun cacing Gu yang dipelihara dalam tubuhnya bisa merasakan aura seseorang secara samar. 　　Saat ini, Ibu Suri Xian memberinya kesan energi vital yang sangat kuat, tidak seperti orang sakit. Paling tidak tidak selemah yang ditunjukkan. 　　Apakah Ibu Suri Xian pura-pura sakit? 　　Pertanyaan ini muncul, kewaspadaan Jiang Si semakin meningkat. 　　“Ibu Suri Xian pura-pura sakit，Permaisuri Qi mulai tersenyum ramah padanya lagi.” Semua ini menunjukkan kedua orang ini punya maksud tersembunyi. 　　Memikirkan hal-hal ini，Jiang Si semakin enggan membuka mulut. 　　Apapun tujuan mereka，mungkin memasukkan dirinya ke istana adalah langkah pertama. Selama dia tidak merespons，biarkan mereka terus memainkan drama ini. 　　Setelah memahami semuanya，Jiang Si justru tenang，memandang kedua orang itu dengan tatapan dingin seolah melihat badut yang melompat-lompat. 　　Sikap keras kepala Jiang Si membuat Permaisuri Qi pusing，akhirnya dengan gigih berkata: "Adik ipar ketujuh，saya punya usulan." 　　Jiang Si dalam hati menertawakan，tetapi wajah tetap netral，bertanya datar: "Apa usulan Kakak Ipar Keempat?" 　　"Bagaimana kalau kita pergi bersama ke Kuil Baiyun untuk berziarah dan berdoa，mendoakan kesembuhan Ibu Selir?" Takut ditolak，Permaisuri Qi segera menambahkan，"Adik juga bisa mendoakan Adik Ketujuh，siapa tahu urusannya lancar dan cepat kembali ke Ibu Kota." 　　Wajah Jiang Si berubah pucat saat mendengar Permaisuri Qi mengusulkan ziarah ke Kuil Baiyun. 　　Pergi berziarah ke Kuil Baiyun... 　　Mendengar undangan ini lagi dari mulut Permaisuri Qi，benar-benar terasa "akrab" yang menyesakkan. 628.BAB 627 Menuai Akibat Perbuatan Sendiri 　　BAB 627 Menuai Akibat Perbuatan Sendiri 　　Dalam kehidupan sebelumnya, Jiang Si tewas dalam perjalanan berziarah ke Kuil Baiyun bersama Permaisuri Qi. Sampai sekarang ia tak bisa melupakan kereta kuda yang lepas kendali, angin kencang di tepi tebing, dan yang paling tak terlupakan adalah senyuman dingin wanita di hadapannya yang membuka paksa tangannya yang mencengkeram tepi jurang, membiarkannya terjatuh ke jurang yang dalamnya tak terhingga. 　　Seberapa buruk sifat manusia, seberapa jahat hati manusia - semua itu ia pelajari dari Permaisuri Qi. 　　Yang sebelumnya masih ia ragukan adalah seberapa besar peran Ibu Suri Xian dalam hal ini, apakah terlibat atau tidak. 　　Jiang Si merenungkan hal ini sambil menatap Ibu Suri Xian. 　　Hari ini, banyak dugaan sepertinya akan menemukan jawaban. 　　Melihat tatapan Jiang Si, Ibu Suri Xian batuk kecil dengan suara lemah: "Pergilah bersama kakak ipar keempatmu, anggap saja sebagai doa untuk Lao Qi. Daerah selatan tidak aman..." 　　Mendengar ini, Jiang Si menyeringai dingin dalam hati. 　　Bagus. Sekarang ia yakin, kematiannya di kehidupan lalu tak hanya melibatkan Permaisuri Qi, pasti ada andil Ibu Suri Xian. 　　Dengarkan perkataan Ibu Suri Xian ini, bahkan menyertakan A Jin - ini jelas agar ia tak bisa menolak ajakan Permaisuri Qi, bukan? 　　Jiang Si menatap Ibu Suri Xian dengan pandangan datar, menggigit bibirnya. 　　Bukan tidak mungkin Ibu Suri Xian adalah dalang utamanya. 　　Tentu saja, siapa yang jadi dalang antara Ibu Suri Xian dan Permaisuri Qi tidak penting baginya. Yang pasti, keduanya takkan bisa lolos, harus dihabisi semua. 　　Melihat ekspresi Jiang Si yang samar antara senyum dan bukan, Ibu Suri Xian sedikit mengerutkan kening. Dengan suara lemah ia berkata, "Istri Lao Qi, jika kau tak ingin pergi, tak perlu dipaksakan. Ziarah ini harus dilakukan dengan ketulusan hati, bukan karena terpaksa." 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Tentu saja saya bersedia berdoa untuk Nyonya." 　　Ia mengamati lawan bicaranya, menangkap kilatan senyum yang cepat menghilang di mata Ibu Suri Xian - senyum lega setelah rileks. Dalam hati ia berdesah: Dua mertua ini benar-benar tak sabar menjeratku. 　　"Kapan rencana kakak ipar keempat berangkat?" Tatapan Jiang Si beralih ke wajah Permaisuri Qi. 　　Permaisuri Qi yang ditatap oleh sepasang mata jernih bagai kristal ini tiba-tiba merasa seperti terbongkar rahasianya. Jantungnya berdebar kencang tak terkendali. 　　Kemudian datanglah penyesalan yang dalam. 　　Mengapa dia merasa bersalah? Yang merencanakan pembunuhan Permaisuri Yan adalah mertuanya, bukan dirinya. Lagipula, perempuan seperti Nyonya Jiang memang tak pantas menduduki posisi Permaisuri Yan. Sekalipun tanpa jebakan mertuanya, cepat atau lambat pasti akan jatuh juga. Ini hanya mempercepat proses saja. 　　Begitu pikirnya, sisa rasa bersalah itu pun menghilang. Ia tersenyum manis pada Jiang Si: "Bagaimana kalau dua hari kemudian? Atau menyesuaikan dengan jadwal adik ipar ketujuh?" 　　Jiang Si mengangguk: "Saya tidak ada halangan. Berdoa untuk Nyonya harus disegerakan, mari kita berangkat dua hari lagi." 　　Permaisuri Qi menahan gejolak hatinya dan mengangguk: "Adik ipar ketujuh, kalau begitu kita sepakat, dua hari lagi aku akan menunggumu di depan gerbang Kediaman Pangeran Yan." 　　Dia mengira perlu usaha lebih untuk membujuk Nyonya Jiang yang keras kepala ini, tak disangka sang pihak lawan justru mudah menyetujui. 　　Memikirkan hal ini, Permaisuri Qi semakin yakin dengan rencana dua hari mendatang. 　　Awal yang mulus seperti ini jelas merupakan pertanda baik. 　　Melihat Jiang Si menyetujui, Ibu Suri Xian juga menghela napas lega, mengusap pelipisnya berkata: "Ibu juga lelah, kalian boleh pulang." 　　Permaisuri Qi memberi hormat kepada Ibu Suri Xian: "Kalau begitu menantu mohon pamit, Ibu Selir jaga kesehatan baik-baik." 　　Ibu Suri Xian mengangguk ringan, melirik Jiang Si. 　　Jiang Si sedikit menekuk lutut, berjalan di belakang Permaisuri Qi. Saat hampir sampai di pintu, tiba-tiba berbalik arah sehingga membuat Ibu Suri Xian kaget. 　　"Ada apa?" 　　Jiang Si tersenyum: "Saya benar-benar ceroboh, sampai lupa menanyakan penyakit apa yang Nyonya derita." 　　Wajah Ibu Suri Xian sedikit menghitam, menahan dorongan untuk mengernyitkan bibir, berkata datar: "Bukan penyakit serius, tabib istana bilang hanya masuk angin." 　　"Kalau boleh tahu, gejala apa yang Nyonya alami?" 　　Ibu Suri Xian merasa gelisah oleh pertanyaan Jiang Si, mengira sandiwara sakitnya ketahuan. Setelah mengamati wajah lawan yang tak menunjukkan keanehan, barulah lega: "Demam dan sakit kepala, batuk-batuk--" 　　“Baiklah, Nyonya harap beristirahat dengan baik. Besok hamba akan masuk istana lagi untuk mengunjungi Nyonya.” Jiang Si tersenyum ramah. 　　Ibu Suri Xian batuk-batuk kecil, lalu buru-buru berkata: “Tidak perlu. Tunggu setelah kau dan kakak ipar keempatmu selesai berziarah baru datanglah.” 　　Tujuan pura-pura sakitnya telah tercapai, ia tak ingin Jiang Si terlalu sering datang ke istana. Perempuan ini licik seperti hantu, khawatir nanti ketahuan akal bulusnya sehingga rencana ziarah bisa gagal. 　　Belum lagi berpura-pura sakit di depan umum sangat melelahkan – akhirnya setelah berhasil mengusir kedua menantu perempuannya, Ibu Suri Xian menghela napas lega. 　　Demam dan pusing tentu saja hanya akal-akalan. Tabib istana yang memeriksanya sering berkunjung ke Istana Yuquan, sudah lama dibeli loyalitasnya. 　　Imbalan memadai dan kebohongan sepele, tabib-tabib ini tentu takkan menolak permintaan sederhana. 　　“Hongye, ambilkan secangkir air untuk hamba.” Ibu Suri Xian setengah duduk, memerintahkan dayang kepercayaannya. 　　Hongye segera menyajikan segelas air hangat. 　　Sang ibu suri menerima gelas itu, menyentuhkannya ke bibir – tiba-tiba seluruh tubuhnya kaku seakan batang besi mengaduk otaknya. 　　Rasa sakit tajam yang tiba-tiba membuat tangannya gemetar. Gelas terjatuh, membasahi selimut dan pakaian di tepi ranjang. 　　Hongye menutup mulutnya sambil berteriak lirih: “Nyonya, ada apa?” 　　Wajah Ibu Suri Xian pucat pasi: “Kepala... kepala hamba sakit——” 　　Hongye tertegun, matanya tak sadar mengamati ekspresi sang nyonya. 　　"Nyonya pura-pura sakit, sebagai dayang yang selalu mendampingi tentu mengetahuinya. Alasan yang diberitahu ke luar adalah terserang flu disertai demam dan sakit kepala. Baru saja Permaisuri Yan bertanya, Nyonya menjawab seperti itu, dan dia juga mendengarkan di samping." 　　"Nyonya, Permaisuri Yan sudah pergi jauh——" Hongye mengingatkan dengan halus. 　　Ibu Suri Xian sedang merintih kesakitan, mendengar itu langsung marah besar, menampar Hongye dengan tangan, berkata tergesa-gesa: "Hamba! Cepat panggil tabib istana!" 　　Dia hampir mati kesakitan, hamba ini malah mengira dia pura-pura, benar-benar tidak bisa membaca situasi. 　　Hongye baru menyadari Ibu Suri Xian benar-benar kesakitan, buru-buru menyuruh orang memanggil tabib. 　　Tak lama kemudian tabib istana bergegas datang membawa kotak obat, melihat Ibu Suri Xian yang wajahnya pucat terbaring di dipan. 　　Setelah disiksa sakit kepala hebat, kini keringat dingin mengucur di tubuh Ibu Suri Xian, bahkan tenaga untuk bicara pun tak ada. 　　"Tabib, cepat periksa apa yang terjadi padaku, kepalaku sakit sekali..." 　　Ekspresi tabib agak aneh, dalam hati berpikir Ibu Suri Xian terlalu pandai berpura-pura, jelas-jelas palsu tapi bisa terlihat sempurna... Batuk-batuk, wanita memang menakutkan. 　　Sambil berpikir begitu, gerakan tabib menjadi agak lamban. 　　"Tabib, kenapa masih berlambat-lambat? Nyonya kami benar-benar kesakitan!" Hongye mendesak. 　　Tabib tertegun, tak urung menatap Hongye. 　　Hong Ye mengangguk kuat, mengisyaratkan pada tabib bahwa kali ini Ibu Suri Xian tidak berpura-pura. 　　Tabib istana segera memeriksa Ibu Suri Xian. Setelah beberapa lama, ekspresinya menjadi aneh: "Tampaknya penyakit flu Nyonya semakin parah, demamnya lebih tinggi dari sebelumnya." 　　Sangat aneh, Ibu Suri Xian benar-benar demam! 　　Mendengar kata-kata tabib, Ibu Suri Xian pun tertegun, tanpa sadar mengangkat tangan untuk menyentuh dahinya. 　　Dahinya terasa panas membara. 　　Ibu Suri Xian benar-benar membeku. 　　Apa yang sebenarnya terjadi di sini? 　　Flu ringan dan demam yang tadinya hanya rekayasanya sendiri, mengapa kini benar-benar menjadi nyata? 　　Saat pikiran ini melintas, sakit kepala tajam yang tak tertahankan kembali menyerang. 　　Terima kasih untuk Hadiah sepuluh ribu koin dari An Nanxiu, terima kasih untuk hadiah dari Zhong Yi Ya, Zai Huanxiang Zhong Youli, Xiao Bai Yu Xiao Huang, Shū Yǒu 160612124033950, evoivy, Shū Yǒu 20170210172404521, Leng Lingjun, Luo Wuchang. Terima kasih untuk vote dari teman-teman pembaca. 629.BAB 628: MEMBAKAR AMARAH TANPA KOMPENSASI 　　BAB 628: MEMBAKAR AMARAH TANPA KOMPENSASI 　　Di Istana Yuquan, Ibu Suri Xian menderita sakit kepala yang tak tertahankan. Sementara Jiang Si yang baru keluar dari istana, melepaskan segala kekesalan selama ini dengan menghembuskan nafas lega ke langit biru. 　　Ibu Suri Xian ingin pura-pura sakit? Baiklah, kita kabulkan keinginannya. 　　Sebenarnya Jiang Si tidak berani sembarangan menggunakan Ilmu Gaib. Setelah menunjukkan berbagai kemampuan khusus di hadapan Kaisar dan Permaisuri, menggunakan Ilmu Gaib terhadap orang istana bisa mudah membakar diri sendiri. Untung rugi selalu berimbang, situasi ini sudah lama dia antisipasi. 　　Tak disangka Ibu Suri Xian berpura-pura sakit, bahkan menyuap Tabib istana untuk menutupi. Maka dia tak perlu ragu lagi. Jika Ibu Suri Xian mengaku demam dan pusing, biarlah demam dan pusing, biarkan Ibu Suri Xian merasakan akibat perbuatannya sendiri. 　　Yang paling indah adalah tak perlu khawatir Kaisar dan Permaisuri menghubungkannya dengan dirinya, toh Ibu Suri Xian sudah sakit sebelum dia masuk istana menjenguk. 　　Sambil berpikir begitu, sudut bibir Jiang Si sedikit terangkat, kilau dingin melintas di matanya. 　　Demam dan pusing hanyalah pelajaran kecil untuk Ibu Suri Xian. Masalah pembunuhannya di kehidupan sebelumnya belum selesai! 　　Permaisuri Qi yang berjalan di depan menengok, heran bertanya: "Adik ipar ketujuh, kenapa berhenti?" 　　Jiang Si kembali ke ekspresi datarnya, memandang dingin ke arah Permaisuri Qi. 　　Permaisuri Qi merasa tidak nyaman dengan pandangan itu, tersenyum kecut: "Adik ipar ketujuh, ada apa?" 　　Jiang Si tersenyum manis: "Hanya berpikir kakak ipar keempat sangat sabar, apapun yang saya katakan tak dihiraukan." 　　Wajah Permaisuri Qi mendadak berubah kaku. 　　Permaisuri Yan benar-benar keterlaluan! Ini sindiran bahwa dia berusaha menjilat dengan wajah hangat menemui pantat dingin Permaisuri Yan. 　　Bayangkan dua hari lagi, Permaisuri Qi menahan diri dan tersenyum pahit: "Adik ipar ketujuh masih muda, tentu saja saya tidak akan terlalu mempermasalahkannya." 　　Jiang Si mengangguk dan menghela napas: "Kakak ipar keempat benar-benar berhati lapang. Kudengar selir dan dayang kakak keempat mencapai puluhan orang, sampai Kediaman Pangeran Qi yang luas ini hampir tak muat menampung. Ini semua berkat jasa kakak ipar, ya?" 　　Wajah Permaisuri Qi menjadi kaku, tangannya menggenggam erat untuk menahan dorongan ingin memaki. 　　Perempuan hina dari keluarga Jiang ini jelas-jelas menusuk hatinya dengan pisau tajam. 　　Mana ada wanita yang tak ingin hidup berdua dengan suami seumur hidup? Jiang Si yang sombong karena dikasihi Pangeran Yan ini malah mengejeknya, sungguh membuat darah mendidih. 　　Jiang Si tak peduli seberapa marah Permaisuri Qi. Dua hari lagi adalah urusan nanti. Saat ini, ia ingin mengambil kembali sedikit 'bunga' terlebih dahulu agar hatinya lega. 　　Benar, saat orang yang tak disukainya menderita, barulah ia merasa nyaman. 　　Melihat senyum dingin Jiang Si yang jelas disengaja, Permaisuri Qi menggigit gigi: "Laki-laki berbeda dengan kita wanita. Saat masih muda dan baru menikah, mereka setia pada istri, tak ingin ada orang ketiga. Tapi setelah masa romantis berlalu... Meski istri di rumah secantik bidadari, mereka tetap ingin melirik gadis desa bermata jernih di pinggir jalan... Hehe, adik ipar keempat masih muda. Beberapa tahun lagi setelah banyak pengalaman, baru akan mengerti..." 　　Ah Man yang berdiri di belakang Jiang Si diam-diam memutar mata putihnya. 　　Permaisuri Qi ini sungguh menjengkelkan, mengatakan istri secantik bidadari tak semenarik gadis desa pinggir jalan, ini maksudnya merendahkan tuanku mereka ya? 　　Huh, suaminya sendiri bermuka dua, lalu iri melihat tuanku dan Pangeran hidup harmonis, sungguh tak tahu malu. 　　Saat ini, dayang kecil sudah melupakan fakta bahwa tuankunya lah yang memulai provokasi. 　　Apa? Tuannya yang memulai duluan? 　　Cih, kalau tuanku yang baik hati ini sampai memulai masalah, sudah pasti lawannya sudah keterlaluan tak tertahankan. Untuk orang seperti ini, kalau tidak diberi pelajaran, apa harus diam saja menelan penghinaan? 　　Dayang kecil dengan angkuh memutar matanya, seandainya bukan karena masih di depan pintu gerbang istana dengan banyak yang memperhatikan, pasti sudah melontarkan tatapan sinis ke wajah Permaisuri Qi. 　　Setelah mengucapkan sindiran bernada, Permaisuri Qi menanti-nanti perubahan ekspresi lawannya, sambil tersungging senyum dingin di hati. 　　Ia tak percaya Permaisuri Yan bisa mendengar kata-kata ini tanpa gelisah. Memudarnya cinta seiring memudarnya kecantikan memang penyakit umum para suami, dan nasib buruk yang dialami kebanyakan wanita. 　　Tak disangka, Jiang Si bahkan tidak menggerakkan kelopak matanya, malah bertanya dengan senyum manis: "Ngomong-ngomong, kabarnya untuk membiayai banyak selir dan istri sampingan, gaji tahunan Kakak Keempat tidak cukup ya? Harus pakai tael perak dari barang-barang mahar kakak ipar keempat?" 　　Menghajar lawan harus dilakukan tanpa ampun. Permaisuri Qi naif sekali, kira dengan mengalihkan topik saya akan merespons? Tentu tidak, hari ini saya memang ingin membuatnya mati kesal. 　　Mengenai masalah bahwa tunjangan tahunan Pangeran Qi tidak cukup untuk menghidupi selir dan selir kamar tidur, sehingga membutuhkan subsidi dari mahar Permaisuri Qi, sebenarnya Jiang Si hanya menebak sembarangan. 　　Bagaimanapun juga, A Jin hanya memiliki satu istri seperti dirinya, saat ini pengeluaran istana pangeran masih memerlukan tambahan dari tunjangan tahunan Er Niu dan A Huan. Bagaimana mungkin tunjangan tahunan Pangeran Qi yang sedikit itu cukup untuk menghidupi sekumpulan wanita? 　　Beberapa putri Pangeran Qi tidak mendapatkan gelar putri bangsawan, sehingga tidak berhak menerima tunjangan tahunan putri bangsawan. Apalagi memiliki Anjing Besar yang menerima tunjangan tahunan. Kalau bukan uang mahar Permaisuri Qi yang dipakai, lalu uang apa lagi? 　　Dugaan sederhana namun tajam Jiang Si bagaikan panah melesat tepat menembus jantung Permaisuri Qi. 　　Wajah Permaisuri Qi berubah pucat, kuku-kukunya menghujam ke telapak tangan yang lembut hingga mengeluarkan darah. 　　Pengeluaran istana pangeran memang besar, tunjangan tahunan pangeran dan hasil perkebunan memang tidak mencukupi, sebagian harus ditutupi dengan uang mahar-nya. Tapi dari mana Permaisuri Yan mengetahui hal ini? 　　Banyak orang mungkin memujinya sebagai istri yang berbakti dan murah hati karena menggunakan uang mahar untuk menghidupi selir suaminya. Tapi hanya dirinya sendiri yang tahu betapa memalukannya hal ini. 　　Andai bukan demi sang pangeran agar cepat memiliki anak lelaki, demi ambisi besar sang pangeran, mana mungkin dia mau merendahkan diri seperti ini. 　　Melihat reaksi Permaisuri Qi, Jiang Si mengangkat alisnya. 　　Ternyata tebakanku benar! 　　Karena sudah benar, tentu aku semakin tidak perlu sungkan. 　　Jiang Si mengedipkan matanya, mengganti ekspresinya menjadi penuh simpati dan kekagetan, lalu berkata heran: “Benarkah kabar yang beredar? Kakak ipar keempat benar-benar menggunakan barang-barang maharmu sendiri untuk membiayai para selir Kakak Keempat?” 　　“Dari mana adik ipar ketujuh mendengar hal ini?” Permaisuri Qi menahan malu bertanya. 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Dari mana mendengar tidaklah penting. Kakak ipar benar-benar murah hati. Tapi ada nasihat yang ingin kusampaikan: Saat berkorban untuk orang lain, lihatlah apakah mereka pantas. Ada orang yang akan mengingat pengorbananmu dalam hati, seperti Pangeranku. Tapi ada juga orang yang terbiasa menerima pengorbananmu hari demi hari, tahun demi tahun. Mereka tidak menghargai kesulitanmu, hanya menikmati kemudahannya. Jika suatu hari kemudahan itu hilang, bukan tidak mungkin mereka tidak hanya tak bersyukur, malah menyalahkanmu karena tak mau berkorban lagi.” 　　Permaisuri Qi terdiam sejenak. 　　Senyuman Jiang Si semakin lebar: “Kebiasaan manusia itu hal yang paling menakutkan. Benar bukan, Kakak ipar?” 　　Sebelum Permaisuri Qi sempat menjawab, Jiang Si berjalan cepat meninggalkannya sambil tersenyum. 　　Ah Man mengikuti dari belakang. Setelah berjalan belasan langkah, ia menoleh dan melihat Permaisuri Qi masih berdiri terpaku dengan ekspresi wajahnya sangat rumit. 　　“Ah Man, masih bengong apa?” ujar Jiang Si dengan suara datar. 　　Ah Man segera menyusul. Saat sudah naik ke kereta kuda, ia menutupi mulutnya sambil tertawa: “Tuanku, Anda benar-benar hebat. Lihatlah Permaisuri Qi sampai tak bisa bicara karena marah!” 　　"Dia masih khawatir tuanku akan dirugikan, hampir tak tahan untuk berlari membantu, tapi lupa bahwa tuanku adalah wanita yang berani memotong kemaluan laki-laki dengan gunting di tengah malam." 　　"Hanya mengatakan kebenaran." Jiang Si berkata dengan datar. 630. BAB 629 Pasangan Suami Istri 　　BAB 629 Pasangan Suami Istri 　　Permaisuri Qi tetap berdiam di tempatnya. Dayang berbisik, "Permaisuri, Permaisuri Yan sudah pergi. Udara luar dingin, mari naik ke kereta." 　　Permaisuri Qi tersadar, melirik dayang: "Apa yang dikatakan Permaisuri Yan hari ini, jangan sembarangan mengumbar omong kosong." 　　Dayang segera menunduk: "Hamba mengerti." 　　Permaisuri Qi lalu mengulurkan tangan, dibantu dayang naik ke kereta kuda Kediaman Pangeran Qi. 　　Kembali ke istana, pasangan Pangeran Qi bertemu. 　　Pangeran Qi langsung bertanya: "Ibu Selir kemudian menahanmu dengan Permaisuri Yan, bicara apa?" 　　Permaisuri Qi tak sadar mengamati suami di hadapannya. 　　Terasah oleh waktu namun belum meninggalkan jejak usia, Pangeran Qi tampak lebih gagah dari tahun pernikahan mereka, gerak-geriknya penuh keanggunan dan sikap tenang yang tak dimiliki dulu. 　　Dari segi fisik, Permaisuri Qi punya sepuluh ribu kepuasan pada Pangeran Qi. Karenanya, sejak menikah dia serahkan seluruh hati pada suaminya, berjuang mati-matian untuknya. 　　“Tetapi benarkah seperti yang dikatakan Permaisuri Yan, begitu Pangeran terbiasa dengan pengorbanannya, di masa depan bukan saja tidak berterima kasih, malah akan menyalahkannya karena tidak cukup berkorban?” 　　Meski Permaisuri Qi telah dibutakan oleh cinta dan kekuasaan mutlak, dia bukanlah orang bodoh. Bagaimana mungkin tidak merasakan perubahan pada Pangeran Qi? 　　Untuk pertama kalinya dia secara aktif mengusulkan untuk mengambil selir bagi Pangeran. Sang Pangeran awalnya menolak dengan tegas, kemudian menerima dengan setengah hati, lalu mengangguk acuh tak acuh, hingga kini—— 　　Permaisuri Qi teringat pada ketidakpuasan yang tersirat dalam ucapan Pangeran Qi belakangan ini, hatinya terasa getir. 　　Kini mana mungkin Pangeran akan menolak? Malah menyalahkannya karena dayang selir yang dipilihnya tidak cukup cantik. Dan tuduhan ini pun berubah dari yang awalnya halus menjadi langsung terang-terangan. 　　Hati manusia mudah berubah, Permaisuri Yan sama sekali tidak melebih-lebihkan. 　　Pangeran Qi merasa heran ditatap Permaisuri Qi, mengangkat alis bertanya: "Kenapa diam saja?" 　　Permaisuri Qi tersadar, tersenyum paksa sambil menunduk: "Memikirkan tugas yang Ibu Selir berikan padaku, jadi agak takut." 　　"Apa tugas yang Ibu berikan padamu?" tanya Pangeran Qi dengan lembut. 　　Pria mengurus urusan luar, wanita mengurus urusan dalam. Di masa krusial seperti ini, Permaisuri yang mengelola istana pangeran dengan rapi merupakan penopang besar baginya. 　　Kelembutan Pangeran Qi membuat Permaisuri Qi kembali bimbang. 　　Dia seharusnya tidak terpengaruh oleh Permaisuri Yan, Pangeran berbeda dengan pria-pria tak berperasaan itu, pasti tidak akan mengkhianatinya. 　　Pangeran Qi mengangkat tangan membelai rambut Permaisuri Qi, suaranya semakin lembut: "Apa sebenarnya yang terjadi?" 　　Ketidaksabaran di matanya tidak terlihat karena Permaisuri Qi menundukkan pandangan. 　　Permaisuri Qi menggetarkan bulu matanya, berbisik pelan: "Ibu Selir menyuruhku mengajak Permaisuri Yan bersama ke Kuil Baiyun berziarah, lalu--" 　　"Lalu apa?" Pangeran Qi bertanya tanpa ekspresi. 　　Permaisuri Qi menggigit bibir, menunjukkan ekspresi panik: "Lalu menyuruhku mencari kesempatan membuat Permaisuri Yan tewas dalam kecelakaan..." 　　Mata Pangeran Qi menyempit, spontan bertanya: "Ibu Selir benar-benar memberi perintah seperti itu?" 　　Permaisuri Yan melirik Pangeran Qi, mencela: "Apakah Tuan sangka aku berbohong? Meski aku tidak akur dengan Permaisuri Yan, tapi aku tidak berani memiliki pikiran seperti itu..." 　　Meski yakin Pangeran tidak akan mengkhianatinya, tapi dia harus tetap waspada, setidaknya jangan sampai Pangeran menganggapnya wanita berhati kejam. 　　Memikirkan ini, Permaisuri Qi menghela napas pelan dalam hati. 　　Jika bukan karena terpaksa, siapa yang tidak ingin dianggap sebagai wanita lembut, baik hati, dan polos di mata suami? Sayangnya dia harus membantu Pangeran merebut posisi itu, takdirnya tak bisa tampil polos dan naif. 　　Semua pengorbanan ini, hanya berharap Pangeran bisa melihat dan mengingatnya dalam hati. 　　Pangeran Qi merangkul Permaisuri Qi, bersuara lembut: "Aku tahu kau baik hati, semua yang kau lakukan ini demi diriku." 　　Permaisuri Qi menghela napas halus: "Dengan ucapan Tuan ini, hatiku sudah puas. Meski tangan ini berlumuran darah, aku rela asalkan kelak Tuan tak akan menjijikkan—" 　　Pangeran Qi menutup tangan Permaisuri Qi, kesal: "Apa maksudmu? Apa aku ini orang tak berhati nurani?" 　　"Jangan marah, Tuan. Ini hanya prasangka burukku saja." 　　Pangeran Qi tersenyum: "Jangan berpikiran negatif. Kita suami-istri harus seia sekata demi ambisi besar. Nanti aku duduk di kursi naga, kau kenakan mahkota fenghuang, bersama kita nikmati negara Zhou." 　　Adapun detail rencana Permaisuri Qi dalam mematikan Permaisuri Yan secara "kecelakaan", Pangeran Qi tidak bertanya. 　　Urusan seperti ini jika ditanya detailnya, Nyonya Li akan merasa malu, dirinya pun tak dapat imbalan memadai. Lebih baik tidak bertanya dan menunggu hasil saja. 　　Jika berhasil, Ibunda pasti akan memilih wanita yang mudah dikendalikan sebagai istri kedua Lao Qi, sangat menguntungkan baginya. Jika gagal, paling-paling keadaan tetap seperti sekarang, tak ada kerugian. 　　Hanya saat teringat wajah sempurna Jiang Si, Pangeran Qi merasa sedikit menyesal. 　　Kecantikan Permaisuri Yan termasyhur di seluruh ibu kota. Sungguh disayangkan ia harus wafat... 　　Namun segera Pangeran Qi menghilangkan rasa tertariknya. 　　Membuatnya melakukan hal keterlaluan demi seorang Meiren, itu sama sekali tidak mungkin. Dia bukan Putra Mahkota berumur pendek yang tak bisa mengendalikan nafsu birahinya, juga bukan Lao Qi yang terlalu romantis. Asalkan bisa menjadi pemenang terakhir dan naik sebagai Putra Langit Dinasti Zhou, apa susahnya mendapatkan Meiren cantik untuk menemaninya? 　　Saat itu nanti ada tiga ribu selir di istana belakang, perempuan cantik seperti apa pun bisa dia dapatkan. Apa artinya seorang Permaisuri Yan? 　　Pangeran Qi telah kembali tenang, menyadari hari ini Permaisuri Qi tampak gelisah, lalu berusaha menghiburnya. 　　Bagi seorang wanita seperti Permaisuri Qi yang seluruh hatinya tertambat pada Pangeran Qi, mendengar kata-kata manis sang kekasih membuat segala kecurigaan terlupakan, hanya menyisakan harapan akan masa depan. 　　Saat itu nanti, sang Pangeran duduk di kursi naga, dia mengenakan mahkota fenghuang, pemandangan itu pasti sangat indah. 　　Rencana detail Permaisuri Qi selanjutnya tak perlu dijelaskan, Jiang Si juga sedang merancang kunjungannya ke Kuil Baiyun dua hari lagi. 　　Permaisuri Qi jelas ingin mengambil nyawanya saat berziarah nanti. Daripada menunggu, lebih baik dia menyelesaikan target kecil ini dengan mengikuti skenario mereka. 　　Bagi Jiang Si, target-target yang dulu terasa mustahil itu, setelah dijalani langkah demi langkah, akhirnya hanya menjadi target-target kecil belaka. 　　Permaisuri Qi demikian, Ibu Suri Xian pun demikian. 　　Jiang Si memutar-mutar selembar sutra kecil di tangannya, senyum tipis mengembang di bibirnya. 　　Ingin menjebaknya saat A Jin tidak ada? Silakan datang! Tanpa A Jin yang selalu mengkhawatirkannya, dia justru bisa bermain lebih baik. 　　“Tuanku, siapa yang akan Bawa saat berziarah?” Ah Man bertanya penuh harap. 　　“Bawa A Qiao saja.” 　　Wajah cantik dayang kecil itu langsung muram, membantah: “Tuanku, A Qiao lemah tak berdaya, tubuhnya tidak kuat menempuh perjalanan jauh.” 　　Di sampingnya, A Qiao diam-diam menyeringai. 　　Mana ada dia lemah? Lagipula, ke Kuil Baiyun kan tidak perlu lari pakai kaki... 　　Saat masih bergumam dalam hati, tiba-tiba Jiang Si berkata: “Kalau begitu Ah Man saja yang ikut.” 　　Ah Man berseri-seri gembira, sementara A Qiao memandangi Jiang Si dengan tatapan sendu. 　　Jiang Si berkata santai: “Membawa Ah Man lebih praktis.” 　　A Qiao langsung menutupi mulutnya. 　　Bahaya! Tuanku akan melakukan hal nekat lagi! 　　Eh, seharusnya merasa tegang, kenapa kali ini malah merasa bersemangat? 　　A Qiao mengingatkan diri sendiri untuk menjaga sikap, lalu kembali berpose manis. 　　Dua hari kemudian tibalah hari yang ditentukan untuk berziarah. 　　Semalam anak lelaki bungsu berusia dua tahun melempar-lemparkan papan permainan lalu menangkapnya berkali-kali. Setelah lebih dari sepuluh kali, papan itu menghantam wajahnya. Saat dia menangis minta digendong, hatiku tersayat tapi tiba-tiba teringat Er Niu.... Terima kasih untuk dompet kecil dari Jenderal, donasi dari Zai Huanxiang Zhong Youli, serta Xiao Bai dan Xiao Huang. Terima kasih untuk teman-teman pembaca yang sudah memberikan vote. 631.BAB 630 Pergi Berziarah 　　BAB 630 Pergi Berziarah 　　Hari itu cuaca sangat cerah. 　　"Bila musim dingin tak berangin, sinar matahari yang hangat bersinar tak terasa menyiksa." 　　Jiang Si duduk di depan cermin rias, menatap sosok dalam pantulan. 　　Wanita dalam cermin itu secantik bunga Pohon yang sedang mekar penuh, seolah semakin memancarkan pesona. 　　Tapi hati Jiang Si sesak tak tertahankan. 　　Kakak Kedua gugur di medan perang, suami merantau jauh - semua beban ini bagai batu raksasa menindih hatinya, membuatnya tak bisa tersenyum lepas. 　　Justru intrik dari Ibu Suri Xian dan Permaisuri Qi inilah yang membangkitkan semangat tempurnya, memaksanya mengusir kesedihan dan bersiap menghadapi pertempuran. 　　Medan perang punya gemerincing pedang, sementara istana kekaisaran, kediaman bangsawan, bahkan kompleks belakang rumah - di manapun ada konflik kepentingan, selalu ada badai berdarah yang tak kasat mata. 　　Takluk oleh ketakutan? Bukan gayanya. 　　Melihat A Qiao hendak memasang anting karang, Jiang Si menghentikan: "Jangan pakai itu. Ganti dengan anting mutiara." 　　Untuk perjalanan kali ini, ia tak ingin memakai aksesori yang berpotensi merepotkan. 　　A Qiao mengembalikan anting karang lalu memasangkan sepasang anting mutiara sebesar biji padi pada telinga majikannya. 　　"Tuanku, kereta kuda Kediaman Pangeran Qi sudah tiba." Ah Man membuka tirai kamar sapa sembari mengembuskan nafas putih. 　　Tangannya saling menggosok-gosok, matanya berbinar penuh antisipasi menunggu respons Jiang Si. 　　Jiang Si berdiri perlahan: "Mari kita tengok A Huan." 　　Saat ini hari masih pagi buta, A Huan masih terlelap. 　　Jiang Si tiba di kamar samping, menatap lembut putrinya yang sedang tertidur pulas. 　　Inang pengasuh mundur ke samping, diam seribu bahasa tak berani bersuara. 　　Dua orang inang pengasuh bergantian merawat A Huan, tak satu pun berani bernapas lega di hadapan permaisuri yang cantik luar biasa ini. 　　Seluruh penghuni kediaman pangeran sudah memahami betapa sang pangeran memanjakan permaisuri. 　　Setelah mengamati A Huan sejenak, Jiang Si berbisik pada inang pengasuh, "Jaga baik-baik putri bangsawan kecil." 　　"Permaisuri tak perlu khawatir." Inang pengasuh segera menjawab. 　　Jiang Si mengangguk, melangkah menuju pintu. Sesampai di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi memandang putrinya, baru kemudian mengambil jubah bulu rubah salju yang disodorkan A Qiao, lalu pergi meninggalkan kediaman. 　　Kereta kuda Kediaman Pangeran Qi terparkir di depan gerbang Kediaman Pangeran Yan. Permaisuri Qi yang sudah menunggu di dalam kereta mulai gelisah, membuka tirai jendela dan menjenguk keluar. Matanya langsung tertumbuk pada sosok wanita berpostur anggun yang sedang melangkah keluar - tak lain adalah Jiang Si. 　　Permaisuri Qi turun dari kereta kuda dengan ditopang dayangnya, lalu menyapa Jiang Si. 　　"Maafkan saya membuat kakak ipar keempat menunggu lama." 　　Permaisuri Qi mengamati Jiang Si dari ujung rambut hingga kaki. 　　Kecantikannya memang tiada tanding. Jubah bulu rubah salju berkualitas tinggi semakin menonjolkan kulit putihnya yang mulus dan rambut hitam legam, ditambah bibir merah merona tanpa perlu perona - sungguh memancarkan pesona yang memikat hati. 　　Pandangan Permaisuri Qi tertahan sejenak pada jubah bulu rubah salju yang lembut dan mewah itu, rasa iri menyelinap di hatinya. 　　Mantel bulu rubah salju yang begitu bagus ini pernah ia miliki juga, dibawa sebagai bagian dari barang-barang mahar, kemudian setelah usang tak bisa dipakai keluar lagi lalu disimpan di dasar peti, sejak itu tak pernah menambahkan yang baru. 　　Belakangan, mantel bulu rubah salju yang tersimpan itu ia bersihkan, menyuruh dayang kecil diam-diam membawanya keluar untuk dijual, ditukar dengan uang sebagai subsidi untuk keluarga. 　　Begitu memikirkannya, Permaisuri Qi semakin merasakan ketidakadilan. 　　Mengapa Permaisuri Yan dengan mudah mendapatkan kasih sayang suami hanya berkat kecantikan yang memukau, pakaian dan pernak-perniknya semuanya yang terbaik, sejak menikah masuk keluarga kerajaan tak pernah sekalipun menderita kesulitan? 　　Sedangkan ia yang bersusah payah mengurus istana pangeran, meski usianya belum mencapai tiga puluh, sudah merasa tua? 　　Menangkap sorotan mata Permaisuri Qi, Jiang Si tersenyum: "Apa yang Kakak Ipar Keempat lihat? Apakah ada yang tidak beres pada saya?" 　　Sambil menunduk melihat bola bulu rubah salju yang terjuntai di dadanya, ia berkata malu-malu: "Sudah kukatakan bola bulu seperti ini hanya cocok untuk nona kecil, harusnya pakai jubah bulu rubah salju model lain, tapi dayang kecil ini bersikeras bilang cantik, membuat Kakak Ipar tertawa." 　　Ah Man di belakangnya menyela cekatan: "Tuanku, beberapa mantel bulu rubah salju itu memang tak secantik ini, percayalah pada penilaian hamba!" 　　Mendengar itu, Jiang Si hanya bisa tersenyum pasrah pada Permaisuri Qi. 　　Wajah Permaisuri Qi menjadi kaku, hatinya semakin asam. 　　Katanya begitu bertemu Permaisuri Yan langsung naik darah, di sini dia masih mengeluh tidak punya jubah bulu rubah salju yang layak, eh ternyata pihak lain malah sibuk memilih-milih pakaian. 　　Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membuat mati, kalau tak bisa menyaingi Nyonya Jiang, lebih baik bunuh saja dia. 　　Hehe, setelah hari ini berlalu, ketika Nyonya Jiang sudah menjadi mayat dingin, berapapun jubah bulu rubah salju yang dimiliki tak akan berguna lagi. 　　Dan meski saat ini keuangannya sedang tidak longgar, selama Pangeran menjadi penguasa tertinggi dan dia menjadi Permaisuri, tak perlu khawatir kekurangan harta berharga. 　　Begitu pikirannya, raut wajah Permaisuri Qi kembali normal. 　　Jiang Si menyeringai dingin dalam hati. 　　Meski sekarang dia tak peduli dengan harta benda, tapi di masa muda dulu dia juga paham tentang rasa iri seperti ini. 　　Dulu saat bergaul dengan sepupu dari keluarga paman, dia selalu khawatir pakaiannya kurang bagus sampai diejek sepupu, jadi sangat memperhatikan hal-hal semacam ini. 　　Karena Permaisuri Qi benar-benar menggunakan barang maharnya untuk menutupi pengeluaran istana, dan dikenal sebagai istri yang bijaksana hemat, pasti dia enggan membeli pakaian terlalu mewah. Kalau dia iri dengan jubah bulu rubah salju ini, biarlah dia semakin ngiler. 　　Apa? Pamer seperti ini terlalu kampungan? Dia tak peduli, yang penting bisa membuat pihak lain kesal. 　　Jiang Si membenci Permaisuri Qi yang berusaha membunuhnya sampai ke tulang sumsum. 　　Sebuah istana pangeran sampai harus mengandalkan subsidi dari barang mahar permaisuri, kemana larinya semua uang itu? 　　"Biaya makan, pakaian, kebutuhan sehari-hari, dan pergaulan sosial - meskipun pengeluaran ini besar, tapi tidak sampai segitu. Uang Kediaman Pangeran Qi mungkin sebagian besar digunakan untuk membiayai orang." 　　Yang disebut "membiayai orang" ini bisa berupa memelihara penasihat dan pengikut, diam-diam menyuap dan menempatkan mata-mata, atau secara rahasia melatih tenaga kerja. Ini bagai lubang tanpa dasar, kekayaan sebesar apapun takkan sanggup menanggungnya. 　　Pada dasarnya, kesulitan keuangan Kediaman Pangeran Qi disebabkan ambisi berlebihan pasangan Pangeran Qi. Lihat saja Pangeran Lu yang sudah diturunkan menjadi pangeran kabupaten, tapi kehidupan di kediamannya tetap makmur. 　　Ingin mengejar karier itu wajar, tapi menggunakan tulang-belulang orang tak bersalah sebagai pijakan - itu pantas dihukum mati. 　　"Waktunya sudah tidak, Adik Ipar Ketujuh, ayo kita pergi." Permaisuri Qi yang tak ingin berlama-lama segera mendesak. 　　Keduanya masing-masing naik ke kereta kuda. 　　Permaisuri Qi hanya membawa satu dayang, dua nenek, ditambah dua pengawal - menunjukkan kesederhanaan rombongan. 　　Melihat ini, mata Jiang Si seakan membeku oleh es. 　　Di kehidupan sebelumnya saat Permaisuri Qi mengajaknya berziarah, persis seperti ini. 　　Waktu itu bukan musim seperti sekarang, alasan berziarah juga berbeda, tapi penjelasan Permaisuri Qi sama: "Berziarah harus dengan ketulusan hati. Tak perlu ribet-ribet, bawa sedikit orang, pergi diam-diam dan pulang diam-diam." 　　Kini teringat, tentu harus bawa sedikit orang - bagaimana bisa pihak lawan beraksi leluasa kalau rombongannya banyak? 　　"Jiang Si tersenyum kecut di sudut bibir, dalam hati bergumam: Mungkinkah diriku waktu itu benar-benar bodoh? Begitu saja mengikuti Permaisuri Qi menuju maut, tak tahu bagaimana sedihnya A Jin nanti saat mengetahui." 　　Kereta kuda mulai bergerak. 　　Di dalam kereta yang cukup luas, selain Jiang Si juga ada Ah Man, sementara nenek dan pengawal mengikuti di samping kereta. 　　Ah Man bersemangat, mengangkat tirai jendela kereta sambil menjulurkan kepala ke luar, hatinya berbunga-bunga bagai terbang. 　　"Ah Man—" panggil Jiang Si. 　　Ah Man segera menurunkan tirai, bertanya lantang: "Tuanku, ada yang perlu hamba lakukan?" 632.BAB 631 Minyak lampu Buddha 　　BAB 631 Minyak lampu Buddha 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta, bertanya seolah santai: "Menurutmu bagaimana hubunganku dengan Permaisuri Qi?" 　　Ah Man menjawab tegas: "Buruk." 　　Tuanku baik hati dan penyayang, sangat baik pada orang yang cocok, seperti Bibi Dou. 　　Tapi terhadap Permaisuri Qi, tak pernah kulihat tuanku menunjukkan wajah ramah. 　　"Ya, aku juga merasa hubungan kami buruk. Tapi anehnya Permaisuri Qi mengajakku berziarah bersama—" 　　Ah Man menutup mulut terkejut: "Tuanku, ini pasti Permaisuri Qi punya niat jahat! Pasti menyimpan racun di kandungannya!" 　　Jiang Si mengangguk ringan: "Aku juga berpikir begitu." 　　Ah Man mengedipkan mata bingung: "Lalu mengapa tuanku masih menyetujui ajakannya?" 　　“Jiang Si tersenyum: "Jika tidak setuju, bagaimana kita bisa tahu rencana jahat apa yang akan dilakukannya?"” 　　Ah Man langsung bersemangat: "Tuanku benar, kita lihat saja rencana jahat apa yang akan dia lakukan, lalu kita balas!" 　　"Aku juga berpikir begitu, jadi kau harus siap mental. Jangan panik jika terjadi sesuatu yang tak terduga." 　　Ah Man mengangguk berkali-kali: "Tuanku tenang saja, hamba pasti tidak akan panik." 　　Sudah lama melayani tuannya, badai apa lagi yang belum pernah dia alami? 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu berpesan: "Terutama jaga keselamatan diri. Ingat, aku sudah siap sebelumnya dan tidak akan terjebak olehnya." 　　Ah Man mengangguk setengah mengerti: "Hamba paham." 　　Melihat ekspresi Ah Man, Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Di kehidupan sebelumnya yang menemani sampai mati adalah Ah Man. Karena itu, meski Ah Man kurang cerdik dan agak ceroboh, di matanya tetap dayang terbaik. 　　Seorang dayang yang rela mempertaruhkan nyawa untukmu, semua kekurangannya bukan lagi cela. 　　Dia ingin membiarkan Ah Man tetap polos dan lugu seperti sekarang. 　　Ah Man diam sejenak, lalu tak tahan bertanya: "Tuanku, menurutmu apa yang akan dilakukan Permaisuri Qi?" 　　Jiang Si tersenyum tipis: "Siapa yang tahu? Kita baru akan tahu setelah kejadian. Cukup pantau perkembangannya." 　　Ah Man mengangguk, lalu kembali menempelkan wajahnya di jendela kereta, kali ini mengamati kereta kuda yang berjalan di depan. 　　"Itu kereta kuda Kediaman Pangeran Qi, di dalamnya duduk Permaisuri Qi dan dayang pendampingnya." 　　Ah Man mengerutkan kening: "Tidak peduli, jika Permaisuri Qi berniat mencelakai tuanku, aku akan lebih dulu membunuhnya. Paling-paling nanti kubayar nyawa, yang penting tuanku tak sampai terluka." 　　Dayang kecil tak sengaja melihat sais yang mengendarai kereta mereka, segera menutup tirai jendela dan berkata pada Jiang Si: "Tuanku, sais hari ini bukan Lao Qin!" 　　Kemampuan Lao Qin memang sudah diketahui, juga sangat bisa diandalkan. Melihat sais diganti orang lain, hatinya mulai gelisah. 　　Jiang Si menjawab tenang: "Tidak apa, sesekali biarkan Lao Qin beristirahat." 　　Lao Qin terlalu bertanggung jawab. Jika dia yang mengawal, bagaimana si tolol Permaisuri Qi bisa bertindak curang? 　　Ah Man mencibir, bergumam pelan: "Tuanku jarang keluar, Lao Qin kan setiap hari sudah istirahat." 　　Meski begitu, dayang kecil itu tak lagi mempersoalkan. 　　Menurutnya, keputusan tuanku pasti ada alasannya. Jika dia tak paham, itu hanya karena kurang pintar. 　　Tak lama kereta kuda keluar kota, melanjutkan perjalanan cukup jauh, dan akhirnya berhenti saat matahari mulai naik. 　　"Tuanku, kita sudah sampai di Kuil Baiyun." Ah Man melompat turun dulu, mengulurkan tangan membantu Jiang Si turun. 　　Jiang Si menatap pintu kuil. 　　Setelah reinkarnasi, ini kedua kalinya dia menginjakkan kaki di Kuil Baiyun. 　　“Pertama, aku janjian dengan Kakak, banyak petualangan seru selama perjalanan. Kali ini pasti tak kalah seru…” 　　Jiang Si mengumpulkan semangat dan menyambut Permaisuri Qi yang turun dari kereta kuda. 　　“Adik ipar ketujuh, mari kita masuk.” 　　Biksu penerima tamu sudah menunggu di pintu. Melihat keduanya mendekat, dia merangkapkan tangan dan berseru: “Silakan masuk, Tuan-tuan.” 　　Jiang Si berjalan masuk dan menyadari tak ada peziarah di dalam vihara. 　　Permaisuri Qi tersenyum menjelaskan: “Sudah kami beri tahu sebelumnya agar tak ada yang mengganggu Adik ipar ketujuh.” 　　Ekspresi Jiang Si datar: “Kakak ipar keempat terlalu mempertimbangkan saya. Sebenarnya tak perlu segini heboh untuk berdoa bagi Nyonya. Menolak peziarah lain demi kami malah tidak pantas.” 　　Mengusir peziarah jelas untuk memudahkan rencana jahatnya. Masih mau aku berterima kasih? Permaisuri Qi benar-benar ahli main sempoa dan tebal muka. 　　Permaisuri Qi tersipu: “Kukira Adik ipar ketujuh suka ketenangan. Lain kali kita ziarah lagi, tak akan seperti ini.” 　　Jiang Si menatap Permaisuri Qi dengan senyum sinis, matanya berkilau: “Kakak ipar masih mau ajak saya ke sini lagi nanti?” 　　Tatapan mata hitam pekat itu membuat Permaisuri Qi merasakan hawa sejuk menjalar dari dalam hati. 　　Setelah hari ini, jika rencana berhasil, Permaisuri Yan sudah jadi mayat. Tentu tak mungkin dia ajak mayat ke sini lagi. 　　Pertanyaan Nyonya Jiang itu benar-benar membuat bulu kuduk merinding. 　　“Kakak ipar keempat?” Wajah Jiang Si terlihat polos, sepertinya bersikeras menunggu jawaban dari lawan bicara. 　　Permaisuri Qi menahan rasa tidak nyaman, tersenyum paksa: "Tentu saja kita harus datang bersama." 　　Dalam hati, ia terus mengumpat: Semoga Buddha tidak menganggap serius ucapannya ini... 　　Melihat Permaisuri Qi merasa tidak nyaman, mood Jiang Si pun membaik. Ia mengikuti biksu menuju Aula Utama untuk berziarah. 　　Masuk ke aula megah nan suci, Jiang Si berlutut perlahan di atas bantal sembahyang di hadapan Buddha, berdoa dengan tulus. 　　Tentu saja bukan untuk Ibu Suri Xian, melainkan untuk Yu Jin yang sedang dalam perjalanan jauh. 　　Berharap ia cepat kembali dengan selamat, membawa jenazah kakak laki-lakinya pulang ke kampung halaman, agar arwahnya bisa tenang. 　　Permaisuri Qi juga berdoa penuh khidmat, permintaannya sama sekali tidak terkait Ibu Suri Xian: "Buddha lindungi Pangeran Qi agar keinginannya tercapai, lindungi hubungan suami-istri kami agar kekal abadi..." 　　Mengenai rencana jahat terhadap Jiang Si, Permaisuri Qi tidak berani menyebutnya di hadapan Buddha. 　　Bagaimanapun juga, berbuat jahat itu tidak baik. Buddha pasti tidak akan membantu. Hal ini masih dipahami Permaisuri Qi. 　　Setelah berziarah, sesuai tata krama yang dipahami bersama, tibalah saatnya menyumbang minyak lampu Buddha. 　　Permaisuri Qi melirik Jiang Si. 　　Jiang Si terkejut: "Ini untuk menyumbang minyak lampu Buddha, kan?" 　　Permaisuri Qi seketika merasa canggung, menganggukkan kepala. 　　Hal yang sudah jelas seperti ini masih perlu ditanyakan? 　　Baru saja dia melirik Nyonya Jiang, hatinya mulai ragu-ragu, tak tahu berapa banyak sumbangan yang akan diberikan Nyonya Jiang. 　　Jika jumlah sumbangan mereka berdua hampir sama masih bisa diterima, bahkan jika Nyonya Jiang memberi lebih banyak pun tidak masalah. Yang dikhawatirkan adalah jika perbedaan jumlahnya terlalu besar, itu akan memalukannya. 　　Setelah berpikir demikian, Permaisuri Qi memutuskan untuk menyumbang terlebih dahulu. 　　Jika dia menyumbang lebih dulu, selama Nyonya Jiang masih memahami tata krama, jumlah sumbangannya tidak boleh jauh melebihi miliknya. Sekalipun Nyonya Jiang nekat melakukannya, hal itu akan menjadi bahan ejekan bahwa Permaisuri Yan tidak tahu sopan santun. 　　Begitu pikiran ini melintas di benak Permaisuri Qi, dia mendengar Jiang Si berkata dengan lega: "Aku kira kali ini berbeda dari sebelumnya. Ah Man—" 　　Ah Man segera menjawab dengan lantang sambil mengeluarkan setumpuk kertas perak: "Shifu, ini sumbangan minyak lampu Buddha dari Permaisuri kami." 　　Kertas perak dari rumah uang terbesar di ibu kota, setumpuk tebal dengan nominal sepuluh tael perak masing-masing, totalnya minimal mencapai seribu tael. 　　Permaisuri Qi menatap tumpukan kertas perak di tangan dayang kecil itu, matanya gelap. 633. BAB 632 Terkejut 　　BAB 632 Terkejut 　　Seribu tael perak bukanlah jumlah yang kecil. 　　Tentu saja sebagai seorang permaisuri pangeran kerajaan, Permaisuri Qi biasa mengelola uang dalam jumlah lebih besar. Namun menyumbangkan seribu tael untuk minyak lampu Buddha tetap terasa sangat menyakitkan. 　　Sumbangan yang disiapkan Permaisuri Qi adalah empat ratus tael, jumlah yang sudah dipaksakannya untuk dikeluarkan. 　　“Dia menyumbang 400 tael, masih belum mencapai separuh dari sumbangan Permaisuri Yan, selisihnya agak terlalu besar...” 　　Hati Permaisuri Qi mendidih, ia berusaha keras menjaga sikap sambil menghibur diri: Sudahlah, biarkan selisihnya besar. Kali ini kalah dari Permaisuri Yan, lain waktu bisa ditutupi. Sedangkan Permaisuri Yan mungkin hanya punya satu kesempatan untuk bersinar seperti ini. 　　Begitu pikirnya, perasaan Permaisuri Qi pun sedikit membaik, ekspresinya berangsur pulih seperti biasa. 　　Saat itu biksu telah selesai menghitung kertas perak yang diserahkan Ah Man, lalu menulis di buku jasa: Permaisuri Yan menyumbang minyak lampu Buddha 1.800 tael. 　　“1.800 tael?” Dayang Permaisuri Qi berteriak sambil menutup mulutnya. 　　Permaisuri Qi melototi dayangnya dengan tajam, wajahnya akhirnya berubah pucat, seluruh tubuhnya gemetar menahan amarah. 　　Nyonya Jiang pasti sengaja mempermalukanku! 　　Ini bukan tahun baru atau hari raya, menyumbang minyak lampu biasa-biasa saja sudah cukup untuk menjaga harga diri. Mana ada yang langsung menyumbang 1.800 tael! 　　1.800 tael, apakah Nyonya Jiang ingin membuat patung Buddha emas kecil? 　　Jika sebelumnya mengira Jiang Si menyumbang 1.000 tael, selisih 600 tael masih bisa membuat Permaisuri Qi menghibur diri. Tapi dengan selisih seperti ini, benar-benar membuatnya tak bisa turun panggung. 　　Ia hanya menyiapkan 400 tael, bahkan belum mencapai separuh dari angka pecahan sumbangan orang itu... Memalukan, sungguh memalukan. 　　Pada saat ini, Permaisuri Qi membenci Jiang Si sepenuh hati. 　　Bukankah menyumbang ratusan tael minyak lampu Buddha sudah cukup banyak? Mengapa harus mempermalukannya seperti ini? 　　Perempuan hina Nyonya Jiang ini memang pantas mati! 　　Biksu itu menyatukan telapak tangan ke arah Jiang Si dan membungkuk: "Permaisuri dermawan, Buddha pasti akan memberkati Permaisuri agar semua keinginan terkabul." 　　Jiang Si tetap tenang, menjawab dengan sopan: "Uang perak hanyalah benda duniawi. Yang penting Buddha dapat melihat ketulusan hamba, itu sudah berkah terbesar." 　　Biksu itu dalam hati mengakui kefasihan Permaisuri Yan, lalu memandang Permaisuri Qi. 　　Jiang Si ikut menoleh, ekspresinya seperti tersenyum tapi tidak. 　　Mata Permaisuri Qi berkedip-kedip, dadanya hampir meledak karena marah. 　　Perempuan hina Nyonya Jiang ini sengaja mempermalukanku lalu menantang! 　　Memandang reaksi Permaisuri Qi dengan tatapan dingin, Jiang Si menghela napas pelan. 　　Baru sekarang Permaisuri Qi menyadari kesengajaan ini, sungguh lambat merespons. 　　Mengalahkan lawan tanpa disadari, ibarat berjalan malam dengan pakaian mewah, tentu mengurangi kenikmatan kemenangan. 　　Permaisuri Qi masih bisa menahan diri, tapi dayangnya tak tahan: "Permaisuri—" 　　Kantong minyak lampu Buddha yang disiapkan Permaisuri ada padanya. Biksu senior sudah menunggu. Haruskah empat ratus tael perak itu dikeluarkan? 　　Permaisuri Qi mengangguk halus. 　　“Sekarang selain dengan muka tebal menyumbang, apa lagi yang bisa dilakukan?” 　　Uang perak lebih banyak tidak mungkin dikeluarkan, semakin ditunda semakin memalukan. 　　Pada saat ini, Permaisuri Qi hanya bisa terus menghibur diri dalam hati: Bertahan hari ini saja, setelah Nyonya Jiang mati, selain biksu yang hadir siapa lagi yang tahu kejadian hari ini? 　　Tak ada yang tahu, maka muka yang pernah memalukan itu bukanlah aib. 　　Dayang mengeluarkan minyak lampu Buddha yang sudah disiapkan dari lengan bajunya, menyerahkannya kepada biksu. 　　Biksu hanya melirik sebentar, lalu menulis di buku jasa: Permaisuri Qi menyumbang minyak lampu Buddha empat ratus tael. 　　Dayang itu tersipu malu, cepat-cepat melirik Permaisuri Qi. 　　Permaisuri Qi tetap berpura-pura tenang, dalam hati menyesal tak karuan: Andai tahu begini, lebih baik tidak memaksakan diri menambah jumlah, tapi menukar kertas perak dengan kepingan sepuluh tael nominal kecil. Dengan setumpukan kecil, saat biksu menghitung bisa langsung pergi. Mana sampai seperti sekarang, cuma dilirik sebentar sudah tercatat... 　　“Amitabha.” Biksu mengucapkan mantra Buddha kepada Permaisuri Qi sebagai ucapan terima kasih, tak berkata lebih. 　　Walau uang adalah hal duniawi, tapi tanpa ini bagaimana menunjukkan ketulusan pada Buddha? Tanpa perbandingan jumlah materi, bagaimana melihat siapa yang lebih tulus? 　　Ah, sumbangan Permaisuri Qi bahkan tak sampai sepersepuluh Permaisuri Yan. Sama-sama permaisuri, jaraknya terlalu jauh. 　　Biksu dalam hati berdecak kagum, mengantar kedua perempuan menuju kamar tamu untuk beristirahat. 　　"Dua Permaisuri silakan beristirahat sebentar, nanti akan diantar hidangan vegetarian." 　　"Terima kasih atas perhatian Shifu." Permaisuri Qi mengangguk halus. 　　Setelah biksu pergi, Permaisuri Qi menahan amarahnya, tersenyum pada Jiang Si: "Sudahkah Adik ketujuh mencoba masakan vegetarian Kuil Baiyun? Hidangan di sini sangat termasyhur——" 　　"Sudah." Jiang Si memotong omong kosongnya dengan santai. 　　Permaisuri Qi tertegun, jelas terkejut dengan jawaban itu. 　　Sejak menikah ke Kediaman Pangeran Yan, tidak ada kabar Jiang Si pernah berziarah ke Kuil Baiyun. 　　Melihat reaksinya, Jiang Si tersenyum: "Mungkin Kakak keempat belum tahu, sebelum menikah saya pernah mengunjungi kuil ini bersama kakak. Pengalaman itu sangat membekas." 　　"Membekas?" 　　"Ya. Dalam perjalanan pulang, kereta kuda kakak tiba-tiba lepas kendali. Setelah diperiksa, ditemukan jarum panjang tertancap di pantat kuda. Saya yang marah langsung melapor ke Shuntianfu. Akhirnya terungkap——Zhu Ziyu si binatang itu ingin mencelakai kakak demi mengejar status..." 　　Semakin Jiang Si bercerita, wajah Permaisuri Qi semakin pucat. 　　Ia teringat skandal Zhu Ziyu yang menggemparkan ibu kota. Bukan saja karir hancur, pria itu jadi gila dan merusak pernikahan Pangeran Xiang dengan Cui Mingyue—— 　　Begitu memikirkan ini, hati Permaisuri Qi semakin bergolak. 　　Akhir Zhu Ziyu sungguh tragis. Meski rakyat biasa tak menyadarinya, orang-orang selevel mereka tahu betul Cui Mingyue yang berbadan sehat itu tiba-tiba menghilang. Semua menduga Cui Mingyue telah membunuh Zhu Ziyu di malam pernikahan lalu kabur. 　　Melawat senyum tipis Jiang Si, Permaisuri Qi merasakan dingin menyergap: Bagaimana bisa ia lupa, wanita di hadapannya inilah biang keladi nasib tragis Zhu Ziyu! 　　Andai dulu Nyonya Jiang tidak melapor ke pihak berwajib, bagaimana mungkin perbuatan Zhu Ziyu membunuh istri sahnya terungkap ke permukaan? 　　Jiang Si tersenyum manis bertanya pada Permaisuri Qi: "Jaring Surga Tak Terelakkan, kejahatan pasti berbalas. Kakak ipar keempat, bukankah begitu?" 　　Permaisuri Qi memaksakan senyum mengangguk: "Adik ipar ketujuh memang benar." 　　Dalam hati tekadnya kian mengeras: Hari ini Nyonya Jiang harus binasa, jangan sampai ada kesempatan bangkit. Ia tak ingin menjadi Zhu Ziyu kedua, apalagi Cui Mingyue kedua. 　　Tunggu, masih ada Putri Rongyang! Karena laporan Nyonya Jiang ke Ayah Kaisar, terungkaplah pembunuhan ibu Nyonya Jiang oleh Putri Rongyang di masa lalu. Sang Putri diturunkan jadi rakyat jelata lalu dibunuh dengan pedang oleh Jenderal Cui. 　　Wajah Permaisuri Qi memucat, satu pertanyaan mengganggu pikirannya: Nyonya Jiang terlalu berbahaya, harus segera dibunuh agar tenang! 　　Tak lama kemudian, seorang biksu menghidangkan makanan vegetarian. Baik Jiang Si maupun Permaisuri Qi sama-sama tidak berselera. Mereka menyantapnya dengan tergesa-gesa lalu beristirahat sejenak sebelum meninggalkan vihara pegunungan dan kembali naik kereta kuda untuk pulang ke kota. 634.BAB 633 Aroma Harum 　　BAB 633 Aroma Harum 　　Perjalanan pulang terlihat tenang. Ah Man yang menemani Jiang Si di dalam kereta merasa sedikit kecewa seperti pahlawan tak mendapat kesempatan unjuk gigi. 　　Bukankah tuanku bilang Permaisuri Qi akan berbuat jahat? Tapi sekarang kita hampir sampai, kenapa belum ada aksi? 　　Jika Permaisuri Qi tak bertindak, bukankah percuma aku mengikuti tuanku kemari? Hanya makan makanan vegetarian di Kuil Baiyun, apa yang bisa dibanggakan ke A Qiao? 　　Ah Man memicingkan mata sambil menghela napas dalam hati. 　　Tiba-tiba kereta kuda berhenti mendadak. Dayang kecil itu nyaris terjungkal ke depan. 　　Dengan refleks cepat, satu tangannya menahan dinding kereta sementara tangan satunya menyangga Jiang Si: "Tuanku—" 　　Jiang Si jelas melihat sorot mata bersemangat dari dayang kecil itu. 　　"Tunggu dulu," bisik Jiang Si lembut. 　　Tak lama, suara sais terdengar dari luar: "Permaisuri, keretanya rusak." 　　Dengan dibantu Ah Man, Jiang Si turun dari kereta dan melihat satu roda yang miring jelas tak bisa digunakan. 　　"Bagian ini patah, perlu diperbaiki," ujar sais sambil menunjuk suatu bagian. 　　"Biar saya lihat—" Ah Man hendak mendekat namun dihentikan Jiang Si. 　　"Baik, perbaiki saja. Kira-kira butuh waktu berapa lama?" tanya Jiang Si dengan suara lembut. 　　Sais itu wajahnya tampak bingung: "Yang patah bukan di tempat yang tepat, mungkin perlu waktu cukup lama……" 　　Tiba-tiba suara lembut terdengar: "Adik ipar ketujuh, ada apa?" 　　Jiang Si menoleh ke arah suara itu, bertatapan dengan Permaisuri Qi yang penuh perhatian. Dalam hati ia mencemooh: Penjahat tak punya trik baru, akhirnya tetap main-main dengan kereta kuda. 　　Tapi untuk hal ini dia sudah siap sejak lama, toh di kehidupan sebelumnya kecelakaan itu juga terjadi di kereta kuda. 　　Takutkah? 　　Melirik kereta kuda yang terparkir tak jauh, Jiang Si mengangkat sudut bibirnya. 　　Dia punya watak pantang menyerah. Semakin takut justru harus dihadapi, meski gemetaran takkan mundur. 　　"Kereta kuda rusak." Jiang Si menjawab Permaisuri Qi dengan tenang. 　　Permaisuri Qi tak bisa menahan senyum tipis mendengar jawaban itu. 　　Bagi dia, ini awal yang sempurna untuk menjerat Permaisuri Yan ke dalam perangkap. 　　Jiang Si menangkap ekspresi itu, juga menyunggingkan senyum. 　　Siapa pemburu siapa mangsa? Sayang Permaisuri Qi terlalu bodoh untuk membedakan. 　　Tak apa. Hasil akhir akan membuatnya mengerti. 　　Permaisuri Qi mengamati kereta kuda sejenak: "Adik ipar ketujuh, entah kapan kereta ini bisa diperbaiki. Jika tak keberatan, naiklah keretaku." 　　Jiang Si berpura-pura ragu sejenak. 　　Permaisuri Qi kembali membujuk: "Adik ipar ketujuh, hari yang sedingin ini, lebih baik kita tidak berlama-lama di jalan. Kereta kudaku cukup luas, bisa menampung kita berdua. Lagipula, kau bisa lebih cepat pulang menemani para gadis..." 　　Jiang Si sepertinya tersentuh oleh ucapan itu, mengangguk perlahan. 　　Ah Man tampak gugup, berteriak pelan: "Tuanku——" 　　Jiang Si melirik Ah Man, memberi isyarat agar tidak ikut campur. 　　Melihat ini, Permaisuri Qi tersenyum: "Hanya dayang adik ipar yang harus ikhlas berjalan kaki bersama dayangku." 　　Biasanya satu orang dengan seorang dayang di dalam kereta masih cukup lega, tapi jika Jiang Si dan Permaisuri Qi naik bersama ditambah dua dayang, pasti akan terlalu sempit. 　　Jiang Si melirik Ah Man dengan acuh, berkata santai: "Dayang kecil apa pantas mengeluh." 　　Mendengar ini, sorot mata Permaisuri Qi berkedip-kedip, hatinya lega. 　　Syukurlah, Permaisuri Yan menyetujui. Sebelumnya dia masih khawatir kalau si duri keluarga Jiang ini lebih memilih jalan kaki daripada naik kereta bersamanya. 　　Menyaksikan Jiang Si akan naik kereta bersama Permaisuri Qi, Ah Man merintih memanggil: "Tuanku——" 　　Ini bagaimana? Tuanku mau naik kereta dengan perempuan jahat Permaisuri Qi, sementara dirinya harus berjalan kaki. Kalau tuanku menghadapi bahaya, bagaimana dia bisa membantu dengan cepat? 　　Jiang Si melirik Ah Man, wajahnya berkerut: "Lupa nasihatku? Saat bepergian, tata krama paling penting." 　　Ah Man langsung teringat petunjuk Jiang Si selama perjalanan, menggigit bibir: "Tuanku benar, hamba sudah paham." 　　Baru kemudian Jiang Si naik kereta kuda dengan tenang, matanya menyapu gerbong. 　　Kereta ini sama dengan yang diingatnya, tata interiornya pun tak jauh berbeda. 　　Masuk akal, Permaisuri Qi memang miskin, pakai kereta sama bertahun-tahun bisa hemat banyak uang. 　　Pikiran ini membuat Jiang Si merasa agak kejam, tapi kekejaman kecil ini justru menyenangkan hatinya sekaligus membuatnya tenang. 　　Kereta berguncang mulai bergerak. 　　"Adik ipar ketujuh mau makan apa?" Permaisuri Qi membuka percakapan. 　　Jiang Si melirik kotak manisan di meja kayu mahoni: "Terima kasih kakak ipar keempat, saya tak biasa makan di kereta." 　　Di kehidupan sebelumnya, meski satu kereta dengan Permaisuri Qi pun ia tak makan, yang membuatnya lemas sampai tak bisa kabur bukanlah makanan ini, melainkan— 　　Jiang Si mengendus halus, pandangannya tertuju pada bola aroma berlubang di sudut dinding kereta. 　　Aroma samar mulai menyebar seiring goyangan bola aromatik itu. 　　"Aroma itu sulit dijelaskan seperti apa, tapi cukup harum. Terutama bagi Jiang Si yang memiliki indra penciuman sangat sensitif, perasaan seperti ini sudah tergolong langka." 　　Di kehidupan sebelumnya, dia pernah bertanya tentang wewangian ini. Permaisuri Qi menjelaskan itu adalah rempah langka dari seberang lautan, dan berjanji akan memberikannya jika Jiang Si menyukai. 　　"Ini wewangian apa? Sangat harum." Jiang Si bertanya sambil mengingat-ingat kejadian masa lalu. 　　Permaisuri Qi tertegun sejenak, lalu tersenyum: "Ini rempah langka dari seberang lautan. Jika adik ipar ketujuh menyukainya, nanti akan kukirimkan." 　　Jiang Si terkikik ringan: "Rempah berharga seperti ini lebih baik kakak ipar keempat simpan untuk diri sendiri. Aku jarang pakai wewangian, hanya penasaran saja." 　　Permaisuri Qi diam-diam lega, kepalan tangannya yang kaku mulai mengendur. 　　Nyonya Jiang memang licik. Permaisuri Qi sempat mengira rencananya ketahuan. 　　Wewangian dalam bola aromaterapi memang berasal dari luar negeri, dicampur zat yang bisa membuat tubuh lemas tak berdaya. Namun jika sebelumnya minum ramuan penangkal, efeknya akan netral. 　　Permaisuri Qi diam-diam menghitung waktu, menanti saat Jiang Si mulai kontraksi. 　　Sementara Jiang Si juga sedang menghitung waktunya sendiri. 　　Kalau sudah berakting, harus sempurna. Biar sesuai dengan skenario yang Permaisuri Qi susun. 　　"Perkiraan waktu sudah hampir tiba," Jiang Si bersandar di dinding kereta sambil mengerutkan alis. "Kakak ipar keempat, tolong buka tirai jendela kereta. Saya merasa agak sesak nafas." 　　Sorot mata Permaisuri Qi berkilat, senyumannya yang tertuju pada Jiang Si terasa semakin menusuk. 　　"Adik ipar ketujuh merasa sesak nafas?" 　　"Ya." 　　"Baik, saya akan membuka tirai ini." Suara Permaisuri Qi terdengar ganjil. Dia menjepit sudut tirai dengan dua jari rampingnya sambil batuk kecil. 　　Tubuh Jiang Si semakin lunglai menyandar, bagai tanaman rambat yang kehilangan tumpuan di batang pohon. 　　Tiba-tiba kereta kuda melaju kencang. 635.BAB 634 Pelarian 　　BAB 634 Pelarian 　　Kereta yang semula melaju perlahan tiba-tiba menyimpang ke jalur sempit seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. 　　Dua pengawal dari Kediaman Pangeran Yan di belakang kereta langsung bergegas mengejar dengan wajah pucat. 　　Ah Man tertegun sejenak sebelum berlari sambil menjerit-jerit mengangkat roknya: "Sialan! Kuda liar—!" 　　Sungguh bencana! Waktu itu tuanku mengalami kuda liar sepulang dari Kuil Baiyun, sekarang kembali mengalami hal serupa. 　　Apa maudewa Buddha di Kuil Baiyun ini? Uang persembahan minyak lampu pun tak pernah kami kurangi. 　　Melihat kereta semakin menjauh, Ah Man semakin panik dan mempercepat langkahnya dengan wajah putih pucat. 　　Di dalam kereta kuda saat itu, Permaisuri Qi memandangi Jiang Si dengan ekspresi misterius, suaranya lembut: "Adik ipar ketujuh, ada apa denganmu?" 　　Suara Jiang Si terdengar gugup: "Kakak ipar keempat, apakah kudanya panik?" 　　"Benar." Jawab Permaisuri Qi. 　　"Apa yang harus kita lakukan... haruskah kita melompat dari kereta?" 　　Permaisuri Qi menatap Jiang Si, nada suaranya penuh makna: "Masih sanggupkah adik ipar ketujuh melompat?" 　　Alis Jiang Si berkerut rapat, berkata kebingungan: "Aku... sepertinya seluruh tubuhku lemas tak bertenaga..." 　　Permaisuri Qi tiba-tiba tertawa: "Kalau begitu adik ipar ketujuh benar-benar kurang beruntung." 　　"Apa maksud kakak ipar keempat?" 　　Permaisuri Qi menyandarkan diri ke dinding kereta, tersenyum bagai bunga musim semi: "Maksudku? Bukankah adik ipar ketujuh pernah berkata, melihatku saja sudah membuatmu mual. Sama halnya, perasaanku terhadapmu pun demikian. Hanya saja aku lebih berbudi daripada adik ipar ketujuh, tentu tak akan menunjukkan perasaan secara vulgar seperti dirimu. Untunglah, setelah hari ini semua akan berakhir. Bagaimanapun tak mungkin terus bersitegang dengan mayat. Adik ipar ketujuh, bukankah begitu?" 　　Wajah Jiang Si semakin pucat: "Kalau begitu, kuda liar hari ini adalah ulah kakak ipar keempat?" 　　Permaisuri Qi tertawa terbahak-bahak: "Agar adik ipar ketujuh mati dengan mata terbuka, memang aku yang mengatur semuanya. Kalau tidak bagaimana cara mengambil nyawamu? Tapi setelah adik ipar ketujuh menjadi hantu, jangan menuntutku ya. Tuntutlah Ibu Selir saja, karena dialah yang menyuruhku melakukan ini, hehehe..." 　　Di mata Jiang Si, dingin semakin menusuk. 　　Tak disangka Permaisuri Qi kali ini bicara begitu banyak, di kehidupan sebelumnya dia tak pernah mengatakan ini padaku. 　　Mungkin karena terlalu terpukul, merasa harus meluapkan isi hati? 　　Jiang Si menggigit bibirnya, memandang Permaisuri Qi yang hendak melompat dari kereta: "Kakak ipar keempat, kereta kuda sudah lepas kendali. Tak takut kakimu patah jika melompat?" 　　Permaisuri Qi menyunggingkan senyum kejam: "Patah kaki pun tak apa! Kalau tidak ada luka, bagaimana bisa lepas dari kematian adik ipar ketujuh?" 　　Nyonya Jiang bukan rakyat biasa, melainkan Permaisuri Qinwang yang dihargai Kaisar. Kalau tidak direncanakan matang, bagaimana bisa lolos? 　　Merasakan derap kereta yang sangat dahsyat, Permaisuri Qi menekan rasa panik di hatinya. 　　Patah tulang tidak sampai, luka ringan tak terhindarkan - semua sudah diperhitungkannya. 　　Jiang Si bersandar di dinding kereta menghela nafas: "Di saat ini, aku justru mengagumi kakak. Bukan hanya kejam pada orang lain, tapi juga pada diri sendiri. Tak takut wajahmu hancur menghantam batu?" 　　Permaisuri Qi kaku, membentak: "Jangan nakut-nakuti! Aku akan lindungi wajahku. Yang harus kau khawatirkan adalah kereta ini yang akan jadi kuburanmu!" 　　Setelah berkata, satu tangannya memegang dinding kereta, tangan lainnya mengangkat tirai pintu hendak melompat turun. Namun tiba-tiba kekuatan besar dari belakang membuatnya tak bisa bergerak. 　　Permaisuri Qi berbalik mendadak dengan wajah terkejut: "Kau—" 　　Jiang Si yang sebelumnya terlihat lemah tiba-tiba berubah, matanya berkilat-kilat: "Mengapa kakak ipar keempat terburu-buru?" 　　Wajah Permaisuri Qi memucat seketika: "Kau... kau tidak apa-apa?" 　　Jiang Si mendekat, tersenyum tipis: "Aku ada masalah. Bagaimana mungkin tidak apa-apa saat berada dalam kereta kuda yang lepas kendali ini?" 　　Di luar, sais masih berusaha mengendalikan arah pacuan kereta kuda. 　　Jiang Si sudah menyadari: Ini adalah jalan menuju tebing. 　　Di kehidupan sebelumnya, Permaisuri Qi lebih dulu melompat dari kereta. Sais baru melompat saat hampir mencapai ujung tebing, menyisakannya sendirian terbaring di kereta yang meluncur ke jurang sepuluh ribu zhang nan mengerikan. 　　Mungkin Langit membuka mata, di tepi tebing roda kereta tersandung batu. Guncangan hebat melempar tubuhnya keluar, tertahan oleh pohon kecil yang tumbuh menyamping. Secara refleks ia mencengkeram tepi tebing, tak rela terjatuh. Namun dengan munculnya Permaisuri Qi, hilanglah harapan terakhirnya. 　　"Kakak ipar keempat, ke mana sais ini akan membawa kita?" Suara Jiang Si lembut dengan ekspresi polos gadis muda, tapi bagi Permaisuri Qi ia bagai hantu jahat. 　　Sais yang berjuang mengendalikan kereta kuda yang lepas kendali tidak mendengar percakapan di dalam karena sangat tegang. 　　"Sais--!" Permaisuri Qi membuka mulut untuk berteriak, tapi terkejut menyadari suaranya telah hilang dan seluruh tubuhnya lumpuh. 　　Jiang Si memainkan duri beracun lumpuh di tangannya dengan ekspresi ambigu: "Kulihat kereta ini seperti menuju tepi jurang." 　　Permaisuri Qi menggerakkan bibirnya dengan mata penuh ketakutan. 　　Apa yang sebenarnya terjadi? Dia jelas sudah meminum penawar, mengapa tubuhnya lumpuh dan suaranya hilang, sementara Nyonya Jiang yang seharusnya tak berdaya malah baik-baik saja? 　　Di bawah tatapan panik Permaisuri Qi, Jiang Si tersenyum: "Aku masih muda, belum puas menikmati hidup. Tak ingin hancur tulangnya di jurang, jadi tak akan menemani kakak ipar keempat." 　　Setelah berkata demikian, dia menatap Permaisuri Qi dalam-dalam, melindungi kepala dan wajahnya lalu melompat keluar. 　　Memandangi ujung baju Jiang Si menghilang di pintu mobil, Permaisuri Qi dipenuhi keputusasaan di mata. 　　Tidak, dia tidak ingin mati! 　　Seharusnya tidak seperti ini, jelas-jelas tidak seharusnya seperti ini. 　　Dengan tangan tak bisa bergerak dan mulut tak bisa bersuara, Permaisuri Qi membelalak menatapi punggung sais. Satu-satunya harapan saat ini adalah sang sais menyadari bahwa yang tertinggal di dalam kereta adalah dirinya, lalu mencari cara menghentikan kereta kuda yang tak terkendali ini, bukannya membiarkannya melanjutkan rencana menerjang tebing. 　　Tapi Permaisuri Qi ditakdirkan untuk kecewa. 　　“Sais mendengar suara benda berat jatuh, segera menoleh sebentar. Sekilas melihat bayangan wanita, mengira Permaisuri Qi telah kabur dari kereta sesuai rencana. Alih-alih mengendalikan kuda liar, malah membiarkan kereta yang tak terkendali melaju lebih cepat ke tepi tebing.” 　　“Melihat tebing sudah dekat, sais buru-buru melompat turun.” 　　“Tidak——” Permaisuri Qi menjerit histeris tapi tak bersuara, akhirnya putus asa total. 　　“Jiang Si melindungi kepala dan wajah saat jatuh, terguling beberapa kali karena momentum. Masih pusing, mendengar Ah Man berteriak di telinganya: "Tuanku, apa Anda baik-baik saja?"” 　　“Bantu aku berdiri.” 　　“Ah Man segera membantu Jiang Si berdiri.” 　　“Jiang Si mengamati sekeliling. Selain Ah Man, ada empat pengawal yang menyusul - dua dari Kediaman Pangeran Yan dan dua dari Kediaman Pangeran Qi. Dayang Permaisuri Qi dan empat nenek masih belum terlihat.” 　　“"Permaisuri, di mana Permaisuri kami?" salah satu pengawal Kediaman Pangeran Qi bertanya tergesa-gesa.” 　　“Jiang Si menenangkan diri seolah baru pulih dari kepanikan, wajah pucat menunjuk: "Aku terlempar keluar, sepertinya Permaisuri Qi masih di dalam kereta..."” “636.BAB 635 Pergi Mengadukan” 　　“BAB 635 Pergi Mengadukan” 　　“Dua pengawal Kediaman Pangeran Qi berubah wajah, berlari cepat ke arah yang ditunjuk Jiang Si.” 　　“Dua pengawal Kediaman Pangeran Yan ikut menyusul.” 　　Ah Man menyandarkan tangan di pinggang dan berteriak: "Kalian berdua bodoh sekali, cepat rawat Permaisuri!" 　　Buat apa kejar? Kuda liar pasti ulah Permaisuri Qi. Biar saja wanita jahat itu mati terjatuh. 　　Entah apa yang dipikirkan tuanku. Di rumah ada banyak pengawal cakap, kok malah bawa dua orang bodoh ini. Long Dan saja lebih kompeten dari mereka. 　　Jiang Si langsung paham isi pikiran dayang kecil itu begitu melihat ekspresi Ah Man, tak bisa menahan senyum. 　　Justru dengan membawa pengawal yang kurang cerdik, rencana menjebak Permaisuri Qi akan lebih mudah terwujud. 　　Mendengar teriakan Ah Man, dua pengawal itu pun menghentikan langkah. 　　Jiang Si berpura-pura masih gemetar ketakutan, menyuruh: "Cepat bantu mereka." 　　"Baik." 　　Melihat dua pengawal telah berlari jauh, Ah Man menyunggingkan bibir tak puas: "Tuanku—" 　　Jiang Si berkata datar: "Kita ikut ke sana." 　　"Tuanku, baju Tuan putri sobek..." 　　Karena sebelumnya berada di dalam kereta kuda, jubah bulu rubah putih telah dilepas. Jiang Si hanya mengenakan gaun hijau sederhana. Saat menunduk, terlihat rok tersangkut dan robek, pakaian penuh debu. 　　"Tak usah pedulikan. Mari kita lihat situasi." Jiang Si sama sekali tak menghiraukan, langsung bergegas ke arah tersebut. 　　Baru beberapa langkah berjalan, rasa nyeri samar di kaki mulai terasa. Mungkin terluka saat melompat dari kereta kuda. 　　Melihat Jiang Si bergerak lamban, Ah Man terkejut, suaranya berubah: "Tuanku, apakah Tuan terluka?" 　　Wajah Jiang Si berkerut masam: "Jangan banyak bicara, ikuti mereka." 　　Melihat tuannya berubah ekspresi, Ah Man tidak berani melanjutkan, melangkah beberapa langkit tiba-tiba membungkuk menggendong Jiang Si lalu berlari kencang. 　　Jiang Si yang tergendong di punggung Ah Man tertegun: "Ah Man, kau--" 　　Dayang kecil yang berlari gesit itu tanpa terengah-engah berketa lantang: "Tuanku tak perlu khawatir, hamba memang kuat." 　　Lagipula dua kukusan mantou setiap makan bukanlah percuma. 　　Ah Man selalu geli mendengar A Qiao dan yang lain sesekali mengejek nafsu makannya. 　　Kalau makan sedikit mana ada tenaga? Saat genting begini mana bisa menggendong tuanku lari kencang? Setiap kali tuanku ada urusan penting pasti mengajak hamba, masa mereka tak pernah berpikir alasannya? 　　Sambil berbangga hati, langkah Ah Man tak melambat, segera menyusul para pengawal. 　　Saat itu kerumunan telah sampai di tepi tebing. 　　Jiang Si menyaksikan dua pengawal Kediaman Pangeran Qi menarik Permaisuri Qi dari tepi jurang, perasaannya campur aduk. 　　Keinginannya mengejar hingga ke sini memang didasari kemungkinan ini. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia tidak langsung terjatuh dari tebing, melainkan tertahan oleh pohon kecil yang tumbuh di lereng tebing. Permaisuri Qi mungkin mengalami nasib serupa. 　　Bagaimanapun tebing itu masih sama, pohon kecil itu masih tumbuh di tempat yang sama. 　　Berbeda dengan kehidupan sebelumnya yang dihadapi Permaisuri Qi, sehingga mengantarnya pada jalan buntu kematian. Kini giliran pengawal Kediaman Pangeran Qi yang tiba, Permaisuri Qi pun terselamatkan. 　　Ada penyesalan? 　　Jiang Si tidak merasakan emosi demikian. Bahkan setelah tenang, ia memandang Permaisuri Qi yang pingsan dalam pelukan pengawal dengan perasaan iba. 　　Terkadang bertahan hidup lebih tragis daripada mati. Permaisuri Qi yang lolos dari maut ini akan segera memahami kebenaran tersebut. 　　"Bagaimana kondisi Permaisuri Qi?" Jiang Si memberi isyarat pada Ah Man untuk menurunkannya, lalu berjalan mendekat perlahan. 　　Pengawal yang menggendong Permaisuri Qi itu menatap ngeri pada dua goresan dalam di pipi kanan sang permaisuri. 　　Terdengar jeritan memilukan: "Permaisuri! Apa yang terjadi padamu?" 　　Dayang Permaisuri Qi terjatung maju, tangan menutup mulut yang menganga, pandangan terpaku pada wajah sang nyonya. 　　Wajah Permaisuri-- 　　Jiang Si mengangkat tangan menyentuh pipinya sendiri. Kulitnya halus mulus saat diraba. 　　Saat bergantung di tepi tebing waktu itu, ia bisa merasakan sengatan samar di pipi. Pasti wajahnya terluka batu tajam seperti Permaisuri Qi sekarang. 　　Tapi saat itu rasa sakit tak berarti, yang ada hanyalah tekad bertahan hidup. 　　"Permaisuri! Bangunlah, Permaisuri!" teriak dayang itu gemetar. 　　Permaisuri Qi yang bersandar pada pengawal sama sekali tidak bereaksi. 　　Saat itu empat nenek juga tiba, dua nenek dari Kediaman Pangeran Qi langsung berteriak histeris melihat kejadian. 　　"Diam semua!" bentak Jiang Si dengan suara dingin. 　　Suasana langsung hening, kerumunan pun menoleh ke arahnya. 　　Jiang Si ditopang Ah Man maju dua langkah, suaranya tegas: "Kecelakaan kuda liar hari ini belum jelas apakah ulah manusia atau kecelakaan biasa. Kedua dayang bergantian menggendong Permaisuri Qi kembali ke jalan raya dulu. Dari dua pengawal istana, satu tetap menjaga lokasi kejadian sementara dua lainnya mengawal kita kembali ke kota. Selain itu—" 　　Di sini Jiang Si berhenti sejenak, menatap sais yang wajahnya pucat pasi di kejauhan: "Tangkap sais ini dan bawa ke Shuntianfu!" 　　Sais itu tertegun. 　　Pikirannya tak bisa mengikuti logika Permaisuri Yan. Sekalipun dia bersalah, mengapa harus dibawa ke Shuntianfu? 　　Sebelum pengawal Qi bereaksi, dua pengawal Yan sudah mendekati sais dengan wajah garang. 　　Baru sekarang mereka paham - bahaya yang mengancam Permaisuri hari ini mungkin ulah sais terkutuk ini! 　　Untung yang celaka Permaisuri Qi. Andai ini menimpa Permaisuri kami, pasti Pangeran akan menguliti kami hidup-hidup sepulang dari selatan. 　　Sais itu seperti terbangun dari mimpi, berbalik tubuh dan langsung kabur. 　　"Jangan mimpi lari!" Ah Man yang sudah siaga melemparkan batu tepat mengenai tengkuk sais. 　　Sais memutar mata dan terjatuh dengan suara 'plok'. 　　Ah Man melompat: "Hei, kena!" 　　Dia sudah tahu dua pengawal bodoh tak bisa diandalkan, Ah Man-lah yang paling cepat tangannya. 　　Seorang pengawal membungkuk memeriksa nafas sais. 　　Ah Man tiba-tiba menutup mulutnya, memandang Jiang Si dengan panik: "Tuanku, hamba jangan-jangan membunuhnya?" 　　Majikan bilang sais ini bermasalah, kalau sampai mati akibat dilempar pasti repot! 　　"Masih hidup." teriak pengawal. 　　Wajah Ah Man cerah sejenak lalu berkerut: "Kalau masih hidup cepat bawa orangnya! Tidak dengar permaisuri bilang mau bawa ke Shuntianfu?" 　　Dayang kecil itu kembali menggendong Jiang Si, bertanya: "Tuanku, kita pulang ke istana pangeran atau ikut ke Shuntianfu?" 　　Jiang Si melirik Permaisuri Qi yang masih pingsan, berkata datar: "Cukup satu orang ke Shuntianfu untuk jelaskan kronologi pada Tuan Zhen." 　　"Kalau begitu kita pulang--" 　　"Tidak, masuk istana." 　　Ucapan ini membuat kerumunan tertegun, terutama dayang, nenek, dan pengawal Kediaman Pangeran Qi yang terkejut. 　　Jiang Si mengabaikan reaksi mereka, berkata tegas: "Permaisuri Qi perlu perawatan. Jangan buang waktu lagi, ayo berangkat." 　　Selama Permaisuri Qi masih hidup, dia punya hadiah spesial untuknya. 　　Kali ini cukup bukan hanya lapor ke Shuntianfu, dia juga akan mengadukan hal ini langsung ke Kaisar. 　　Kediaman Pangeran Yan dan Kediaman Pangeran Qi masing-masing menyisakan satu pengawal, bagaimana orang-orang lain kembali ke kota tidak perlu dijelaskan secara detail. 　　Jiang Si tidak menunda sedikit pun, langsung menuju Istana Kekaisaran. 　　Sementara itu, Pangeran Qi yang terus mengurung diri di ruang belajar tanpa keluar rumah menerima kabar dari seorang nenek yang buru-buru kembali dalam keadaan penuh antisipasi. 　　"Tuan Pangeran, tidak baik! Permaisuri mengalami musibah!" 637. BAB 636 Kelalaian Besar 　　BAB 636 Kelalaian Besar 　　Pangeran Qi meletakkan gulungan buku yang selama ini dipegangnya sebagai pura-pura di atas meja tulis, berusaha tetap tenang: "Bukankah Permaisuri hari ini pergi berziarah? Musibah apa yang bisa terjadi?" 　　Nenek itu langsung bersujud, badannya bergetar seperti ayakan, wajahnya pucat menakutkan, gemetar ketakutan: "Kuda liar, Permaisuri... Permaisuri—" 　　"Permaisuri bagaimana sebenarnya?" Wajah Pangeran Qi berubah muram. 　　Pangeran Qi yang biasanya bersikap lembut pada pelayan rumah tangga jarang terlihat marah seperti ini. 　　Nenek itu semakin pucat ketakutan, menangis: "Permaisuri hampir jatuh dari tebing karena kuda liar, tapi berhasil diselamatkan pengawal—" 　　"Bagaimana dengan Permaisuri Yan?" Pangeran Qi spontan bertanya. 　　Tangisan nenek itu tercekat, memandang Pangeran Qi dengan bingung. 　　Apakah pendengarannya salah? 　　Pangeran Qi menyadari ketidaksopanannya, dalam hati mengingatkan diri untuk tetap tenang. Meski situasi buruk, selalu ada ruang untuk perbaikan, tapi jika panik duluan justru akan memperparah keadaan. 　　Menahan napas dalam-dalam, Pangeran Qi berdiri dan menunjukkan ekspresi khawatir tepat waktu: "Di mana Permaisuri?" 　　Nenek itu ragu sejenak, menjawab: "Permaisuri dibawa Permaisuri Yan masuk istana--" 　　"Apa?" Pangeran Qi kembali spontan memotong ucapan nenek itu. 　　Dia mengira bisa tetap tenang, namun perkembangan situasi benar-benar melampaui bayangannya. 　　Bukankah Nyonya Li berniat mengambil nyawa Permaisuri Yan saat ziarah ini? Mengapa justru Nyonya Li yang terluka malah dibawa Permaisuri Yan ke istana? 　　Saat ini, Pangeran Qi mulai menyesal dalam hati. 　　Demi menjaga reputasi tetap bersih, dia tidak menanyakan rencana Nyonya Li hingga kini seperti buta sama sekali, benar-benar terjepit. 　　"Mengapa Permaisuri Yan membawa Permaisuri ke istana?" 　　"Permaisuri pingsan dan terluka, Permaisuri Yan berkata akan memanggil tabib istana..." 　　Pangeran Qi menghantam meja keras-keras. Ingin memaki Dayang-dayang brengsek yang tak tahu membawa Permaisuri Qi pulang, tapi rasio menghentikan dorongan makiannya. 　　Dalam situasi seperti itu, para pelayan sulit menolak perintah Permaisuri Yan. 　　"Yang lain mana?" Pangeran Qi teringat sesuatu secara tiba-tiba. 　　Seharusnya ada satu dayang, dua nenek, dan dua pengawal yang ikut. Kenapa hanya satu nenek yang kembali melapor? 　　Ke mana yang lainnya? 　　Memikirkan hal ini, firasat buruk mulai muncul di hati Pangeran Qi. 　　Nenek itu berkata: "Permaisuri Yan mengatakan bahwa insiden kuda liar kali ini mencurigakan, dua istana pangeran masing-masing meninggalkan seorang pengawal di tebing untuk berjaga... Pengawal lain dari Kediaman Pangeran Yan membawa sais kereta kita ke Shuntianfu untuk melapor ke pihak berwajib. Pengawal kita yang melihat kejadian itu ikut pergi, sisanya menemani Permaisuri ke ibu kota. Hamba tua ini berpikir harus memberitahu Paduka, jadi berlari kembali..." 　　Kepala Pangeran Qi berdengung bagai gemuruh petir, hampir terbelah dua. Ia menggeretakkan gigi: "Mengapa harus melapor ke pihak berwajib?" 　　Sang nenek menunduk ketakutan melihat raut mengerikan Pangeran Qi, gagap menjawab: "Perintah Permaisuri Yan... Beliau juga berkata pernah melapor sebelumnya. Tuan Zhen selaku Prefect Shuntian yang bijaksana dan teliti pasti akan menyelidiki apakah ini kecelakaan atau ulah manusia..." 　　Pangeran Qi menghantam meja keras-keras, wajahnya lebih pucat daripada orang yang kehilangan ibu kandung. 　　Hebat benar Permaisuri Yan ini! 　　Ia bertindak cepat dan tegas, mengambil alih kendali dua istana pangeran sementara Nyonya Li tak sadarkan diri. 　　Melihat nenek yang gemetar ketakutan di lantai, Pangeran Qi ingin bertanya apakah dia tahu rencana Permaisuri Qi. Tapi ucapannya tertahan di kerongkongan. 　　Karena rencana gagal, ia harus menjaga jarak dan tidak terlibat. 　　Tidak boleh. Aku harus melakukan sesuatu. 　　Pangeran Qi pertama kali berniat segera membawa orang ke tebing untuk menghancurkan bukti merugikan jika ada, lalu berniat pergi ke Shuntianfu untuk menahan Zhen Shicheng. 　　Namun setelah kedua ide ini terlintas, dia menghela napas, berganti pakaian, lalu bergegas masuk istana. 　　Sebagai suami yang istrinya dalam bahaya, sudah semestinya dia menunjukkan keprihatinan di hadapan Ayah Kaisar daripada sibuk dengan urusan lain. 　　Lagipula, dengan berpura-pura tak tahu apa-apa, reaksi pertama yang wajar setelah mendapat kabar tentu langsung masuk istana. 　　Cuaca dingin membuat Kaisar Jingming tak berada di ruang studi kekaisaran, melainkan bersantai di Aula Yangxindian. 　　Bersandar di kang yang hangat sambil membaca buku, ini merupakan kemewahan langka bagi Kaisar Jingming. 　　Tiba-tiba kelopak matanya berkedut, tangannya yang memegang gulungan buku menjadi kaku. 　　Syukurlah, tak ada reaksi lanjutan. 　　Kaisar Jingming yang masih menggenggam gulungan buku perlahan melemaskan genggamannya. 　　Pasti hanya khayalannya belaka. Masa tenang belum lama, tak mungkin ada nasib buruk lagi. 　　Tak yakin juga, Kaisar Jingming melambaikan tangan ke kucing putih di ujung kang: "Jixiang, kemarilah." 　　Sejak sering berinteraksi dengan Er Niu, Kaisar Jingming jadi menyukai hewan peliharaan. Karena anjing besar seperti Er Niu bisa menakutkan, akhirnya dia memelihara kucing. 　　Kaisar Jingming sangat menikmati membelai bulu kucing sambil memanggil "Jixiang", seolah semua kesialan bisa diusir. 　　“Kucing putih yang memicingkan mata mendengar teriakan, malas melihat Kaisar Jingming sejenak lalu melompat beberapa kali dan menghilang dari pandangan.” 　　Kaisar Jingming canggung menarik kembali tangannya, menghela napas. 　　Bagaimanapun ini hanya kucing biasa, jauh tidak sepintar Er Niu yang memahami manusia. 　　Saat itu Pan Hai datang menghampiri dengan raut wajah aneh. 　　Melihat ini, Kaisar Jingming mengerutkan alis: “Hm?” 　　“Paduka, Permaisuri memohon kehadiran Paduka.” 　　Kaisar Jingming tertegun sejenak. 　　Tanpa alasan jelas, Permaisuri tidak akan memanggilnya di waktu seperti ini. 　　“Apakah Permaisuri menyebutkan urusan apa?” 　　Pan Hai buru-buru menjawab: “Permaisuri Yan membawa Permaisuri Qi masuk istana, memohon Permaisuri memanggil tabib istana untuk Permaisuri Qi——” 　　Kaisar Jingming memotong ucapan Pan Hai: “Tunggu, ada apa dengan Permaisuri Qi? Mengapa Permaisuri Yan yang mengantarnya minta tabib?” 　　Jika istri Lao Si butuh tabib, bukankah lebih baik langsung panggil ke Kediaman Pangeran Qi? 　　Kaisar Jingming bertanya sambil bergegas keluar. 　　Berdasarkan pengalaman, pasti ada ulah aneh lagi. 　　“Paduka, jubah——” Pan Hai menyusul dengan buru-buru membawa jubah dan menyampirkannya ke bahu Kaisar. 　　Istana Kuning saat ini sibuk namun tertib, dua tabib istana telah mulai merawat Permaisuri Qi. 　　Kaisar Jingming masuk tanpa menunggu laporan, langsung melihat Jiang Si yang tidak jauh dari Permaisuri. 　　“Paduka datang.” Permaisuri segera menyambut. 　　Jiang Si berjongkok memberi salut: “Menantu perempuan menghadap Ayah Kaisar.” 　　Kaisar Jingming buru-buru mengangguk pada Permaisuri, lalu menghampiri Jiang Si: "Istri Lao Qi, sebenarnya ada masalah apa?" 　　Jiang Si berdiri tegak, menjelaskan dengan teratur: "Hari ini Kakak Ipar Keempat mengajak saya berziarah ke Kuil Baiyun. Dalam perjalanan pulang, kereta kuda saya rusak, sehingga saya naik satu kereta bersama Kakak Ipar. Tak disangka kuda liar tiba-tiba panik, saat itu kami berdua tidak bisa bergerak sama sekali, hanya bisa terbawa kereta yang melaju kencang. Kemudian guncangan kereta melemparkan saya keluar... Untungnya saya tidak apa-apa, tapi Kakak Ipar hampir jatuh dari tebing. Setelah diselamatkan pengawal, dia tetap tidak sadarkan diri. Saya merasa kejadian ini mencurigakan, jadi membawa Kakak Ipar ke istana untuk berobat sekaligus melapor pada Ayah Kaisar dan Ibu." 　　Kaisar Jingming mendengarkan sambil mengusap kelopak matanya, dalam hati mengumpat: Kelopak mata ini mulai malas bekerja, baru berkedut sekali saja! 638.BAB 637 Zhen Shicheng Masuk Istana 　　BAB 637 Zhen Shicheng Masuk Istana 　　Cukup dengan mendengarkan sepintas ucapan Jiang Si, sudah terasa banyak keanehan. 　　Kereta kuda istana pangeran bukan barang rongsokan, bagaimana bisa rusak tiba-tiba? Belum lagi kereta lain mengalami kuda liar, sementara Permaisuri Qi dan Permaisuri Yan sama-sama tidak bisa bergerak saat itu... 　　Kaisar Jingming pusing mendengarnya, bertanya pada Permaisuri: "Bagaimana keadaan Istri Lao Si?" 　　Ekspresi Permaisuri serius: "Masih belum sadar—" 　　"Lukanya parah?" 　　Permaisuri mengerutkan kening: "Dayang sudah memeriksa, hanya ada lecet-lecet di tubuhnya, tapi——" 　　"Tapi apa?" Kaisar Jingming merasakan firasat buruk. 　　Permaisuri menghela nafas: "Luka di wajah Permaisuri Qi cukup dalam, hampir pasti meninggalkan bekas..." 　　Kaisar Jingming menggerakkan alisnya. 　　Cacat wajah adalah bencana besar bagi wanita, tapi di hati Kaisar Jingming jelas kebenaran kasus lebih penting. 　　"Lalu kenapa sampai sekarang belum siuman?" 　　Permaisuri menggeleng: "Tabib istana belum menemukan penyebabnya." 　　Kaisar Jingming menatap Jiang Si: "Istri Lao Qi, apa pendapatmu?" 　　Karena menantu perempuan ini berani menghadap ke istana untuk melapor, pasti ada pemikiran tertentu. 　　"Menurut saya kuda liar itu bukan kecelakaan, lebih mungkin ulah manusia. Tapi ini hanya dugaan, perlu penyelidikan menyeluruh." 　　Kaisar Jingming mengangguk tegas: "Harus diselidiki tuntas! Pan Hai——" 　　"Hamba siap." 　　"Sampaikan pesan lisan Aku, perintahkan Prefect Shuntian Zhen Shicheng segera menyelidiki kasus kuda liar yang menimpa dua permaisuri." 　　Masalah terkait muka keluarga kerajaan biasanya ditangani oleh pengawal khusus, bukan Shuntianfu. Tapi Prefect Shuntian saat ini berbeda, mengingat Lao Zhen bahkan tahu kasus selingkuh Putra Mahkota terdahulu, di mata Kaisar Jingming tak ada lagi yang perlu ditutupi. 　　Dibandingkan metode interogasi pengawal khusus, kemampuan Zhen Shicheng memecahkan kasus lebih diakui Kaisar Jingming. 　　“Setelah Kaisar Jingming selesai memberi perintah, Jiang Si buru-buru berkata: "Ayah Kaisar, Paduka Zhen pasti sudah mulai menyelidiki."” 　　“Hmm?” 　　“Saat menantu kembali ke kota, hamba segera memerintahkan pengawal untuk melaporkan ke Shuntianfu, juga membawa sais kereta dari Kediaman Pangeran Qi.” 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Kaisar dan Permaisuri secara bersamaan mengernyitkan sudut bibir. 　　Permaisuri Yan benar-benar cepat bertindak. 　　“Pan Hai, kirim dua orang ke Shuntianfu untuk melihat situasi.” 　　“Da.” 　　Kaisar Jingming kembali memandang Jiang Si dengan nada kompleks: “Istri Lao Qi, di kemudian hari jika menghadapi masalah——” 　　Awalnya ingin mengatakan 'jangan buru-buru laporkan ke pihak berwajib', tapi saat sampai di mulut mengubah keputusan. 　　“Zhen Shicheng memang orang yang bisa diandalkan, jika ada kesulitan silakan cari dia.” 　　Sudahlah, apa lagi yang bisa dilakukan dengan anak lelaki dan menantu perempuan yang bertindak di luar kebiasaan? Lagipula Lao Zhen sudah tahu begitu banyak rahasianya, tak masalah menambah beberapa lagi. 　　Jiang Si menyembunyikan senyum di matanya, membungkuk hormat pada Kaisar Jingming: “Menantu mengerti.” 　　Setelah keheningan sejenak, Kaisar Jingming tak tahan bertanya: “Istri Lao Qi, menurutmu sais keretakah yang bermain curang?” 　　Jiang Si tersenyum: “Hamba tidak berani sembarangan menduga.” 　　“Tidak perlu sungkan,” kata Kaisar Jingming dengan datar. 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu berkata dengan wajah tenang: "Sebenarnya tidak ada yang perlu ditebak. Di perjalanan, kereta kuda saya rusak, kakak ipar keempat mengundang saya naik ke keretanya. Kemudian kuda liar itu lepas kendali, kami berdua tidak bisa bergerak. Hanya karena keberuntungan kami bisa selamat. Ketika saya memerintahkan pengawal untuk membawa sais Kediaman Pangeran Qi ke Shuntianfu, sais itu langsung lari terbirit-birit. Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada masalah..." 　　Wajah Kaisar Jingming semakin suram. 　　Jika perkataan Istri Lao Qi benar, Kediaman Pangeran Qi tidak bisa lepas dari tanggung jawab soal kuda liar itu. Tapi sekarang Permaisuri Qi juga menjadi korban, bagaimana menjelaskannya? 　　Setelah mengalami kasus Pangeran Jin yang menyuruh orang mendorong Chun Ge'er ke air dan mantan Putra Mahkota yang menggunakan boneka santet untuk mengutuknya, Kaisar Jingming tidak ragu Permaisuri Qi bisa melakukan kejahatan terhadap Permaisuri Yan. 　　Bukankah mustahil pelaku merugikan diri sendiri? 　　Karena itu, Kaisar Jingming diam-diam membujuk diri sendiri untuk tidak berpikir buruk, setidaknya menunggu Permaisuri Qi siuman dulu. 　　Tak lama kemudian dua tabib istana keluar, memberi hormat pada Kaisar dan Permaisuri. 　　Kaisar Jingming bertanya pada mereka: "Bagaimana keadaan Permaisuri Qi?" 　　"Lapor pada Kaisar, Permaisuri masih dalam keadaan pingsan," jawab salah satu tabib. 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: "Bukannya tidak ada luka serius? Apa ada cedera internal?" 　　Dua tabib saling pandang. Tabib yang berbicara tadi menjawab: "Berdasarkan pemeriksaan hamba, organ dalam Permaisuri tidak mengalami kerusakan parah." 　　“Lalu kenapa bisa tidak sadarkan diri?” Kaisar Jingming semakin heran. 　　Seorang tabib istana lain berkata: “Permaisuri hampir terjatuh dari tebing, hamba menduga mungkin karena terkejut sangat hebat——” 　　Kaisar Jingming menggelengkan kepala perlahan. 　　Jadi, istri Lao Si yang tak kunjung sadar ini karena ketakutan? 　　Jiang Si menundukkan pandangan sambil tersenyum tipis. 　　Permaisuri Qi tentu tak boleh bangun sekarang, agar tidak mengacaukan rencana dengan bicara jujur. 　　Menurut Jiang Si, Permaisuri Qi sebaiknya bangun setelah semuanya selesai, langsung mengetahui hasil akhir. 　　Hadiah besar yang dijanjikannya bukan sekadar omong kosong. 　　“Paduka, Pangeran Qi mohon audiensi.” Seorang pelayan istana masuk melapor. 　　Kaisar Jingming memberi isyarat agar pelayan mengantar Pangeran Qi masuk. 　　Setelah menunggu sejenak, Kaisar melihat Pangeran Qi yang tampak gelisah. 　　“Ayah, Ibu, bagaimana keadaan Li Shi?” 　　Permaisuri berkata: “Masih belum sadar, Paduka boleh masuk melihat.” 　　Pangeran Qi bergegas masuk dengan panik. 　　Kaisar dan Permaisuri saling pandang tanpa bersuara. 　　Saat memasuki kamar dan melihat Permaisuri Qi terbaring di ranjang, Pangeran Qi hampir tak bisa menyembunyikan reaksinya. 　　Apakah perempuan dengan luka menganga di wajah yang menakutkan itu Li Shi? 　　Ekspresi jijik segera ditahannya, diganti wajah berduka: “Permaisuri, bangunlah!” 　　Gagal membangunkan Permaisuri, Pangeran Qi justru lega. 　　“Saat ini, dia benar-benar tidak punya mood untuk menghibur si buruk rupa ini, apalagi takut wanita ini secara ceroboh mengucapkan hal-hal yang seharusnya tidak dikatakan.” 　　Menatap wajah mengerikan itu, Pangeran Qi tiba-tiba terlintas sebuah pikiran: Mungkin lebih baik jika Nyonya Li mati begitu saja. Bahkan jika Zhen Shicheng menemukan bahwa kereta kuda diutak-atik orang, semua ini bisa dialihkan ke kepala Nyonya Li. Lagipula perselisihan Nyonya Li dengan Permaisuri Yan sudah dilihat banyak orang. Adapun dirinya—— 　　Heh, dari awal sampai akhir dia memang tidak terlibat dalam hal ini. 　　Pangeran Qi berpura-pura berteriak beberapa kali, lalu pergi dengan wajah berduka. 　　“Ayah Kaisar, Ibu Suri, apakah luka Nyonya Li sangat parah?” 　　Pasti luka Nyonya Li tidak ringan, sampai sekarang masih belum siuman. 　　Sebelum Kaisar dan Permaisuri sempat bicara, Jiang Si sudah dengan bijak mengatakan: “Kakak Keempat tidak perlu khawatir. Konon kakak ipar keempat hanya terluka di wajah, bagian tubuh lainnya lecet ringan. Kapan saja bisa siuman.” 　　Mata Pangeran Qi menyipit, menatap Jiang Si. 　　Jiang Si memandangnya dengan tenang, ujung bibirnya sedikit terangkat. 　　Jantung Pangeran Qi berdebar kencang, menyadari satu hal: Permaisuri Yan sudah tahu segalanya! 　　Setelah kejutan awal, Pangeran Qi kembali tenang. 　　Tidak aneh jika Permaisuri Yan mengetahuinya. Jika dia wanita biasa, reaksi pertamanya pasti bukan menyuruh pengawal mengantar sais kereta Kediaman Pangeran Qi ke pihak berwajib. 　　Kaisar Jingming membuka mulut: "Lao Si, kau tunggu di sini bersama kami. Lihat apa yang akan ditemukan Zhen Shicheng dalam penyelidikannya." 　　Waktu tunggu terasa lebih singkat dari perkiraan, akhirnya datang juga kabar bahwa Zhen Shicheng memohon audiensi di istana. 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari Ai Aiyuanzi, terima kasih untuk Li Hua Chun 2019, Shū Yǒu 160612124033950, Zai Huanxiang Zhong Youli, yaoye6, sepatu bot kecil Tuan Tuan, juju5505, Shū Yǒu 20180608130656795, selinajin, machan, wanita yang menjelajah dalam novel ju, Tiamo Wo Ai De Shi Ni Ai Wo, Shū Yǒu 151231070435445. Terima kasih untuk teman-teman pembaca yang telah memberikan vote. 639.BAB 638 Dia Punya Saksi 　　BAB 638 Dia Punya Saksi 　　Zhen Shicheng berjalan masuk ke Aula Yangxindian bersama pelayan istana, menunduk memberi salut kepada Kaisar dan Permaisuri: "Hamba yang bodoh menghadap Paduka Kaisar, menghadap Permaisuri." 　　Selain Kaisar dan Permaisuri, di aula juga hadir Jiang Si dan Pangeran Qi. Mereka semua datang dari Istana Kuning, sementara Permaisuri Qi yang masih tak sadarkan diri tetap berada di sana. 　　"Zhen Aiqing, adakah perkembangan dalam penyelidikan?" Kaisar Jingming tak sabar ingin tahu hasilnya, meski raut wajahnya tetap tenang. 　　Dengan sudut matanya, Zhen Shicheng melirik cepat ke arah Jiang Si, merasa hangat seperti bertemu keluarga sendiri. 　　Belakangan ini situasi tenang-tenang saja, tangannya sudah lama gatal ingin menangani kasus. 　　Sejak kembali ke ibu kota dan menjabat sebagai Prefect Shuntian, hampir separuh lebih kasus besar yang ditanganinya berasal dari si gadis Keluarga Jiang. 　　Hei, Jiang Si ini benar-benar talenta langka. 　　Tanpa sadar, Zhen Shicheng memandangi Jiang Si beberapa saat lebih lama. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alutnya, kesal berpikir: Dia sedang bertanya pada Lao Zhen, tapi kenapa Lao Zhen terus melirik menantu perempuannya? 　　Hmph, jangan dikira dia tidak tahu si orang tua kolot ini pernah ingin menjodohkan istri Lao Qi dengan putranya, jangan-jangan sampai sekarang masih belum menyerah? 　　Sayangnya, sang mertua Dongping Bo tidak tertarik! 　　Memikirkan hal ini, Kaisar Jingming tiba-tiba merasa sangat simpati pada Jiang Ancheng. Namun mengingat Jiang Ancheng kehilangan putra, rasa bersalah pun muncul. 　　Tidak boleh, harus memberikan kompensasi untuk mertua yang bijak, tahu diri, dan berwawasan ini. 　　Kaisar Jingming termenung, merenungkan cara mengkompensasi Jiang Ancheng. 　　Putra keluarganya sudah gugur untuk negara, orang beruban mengantar yang berambut hitam, berapapun kompensasinya tidak akan pernah berlebihan. 　　Kaisar Jingming mendapat ide: Perpanjang gelar Dongping Bo selama tiga generasi lagi. Dongping Bo masih cukup muda, masih sempat menikah dan memiliki ahli waris. 　　Zhen Shicheng tidak tahu bahwa karena dia memandangi Jiang Si beberapa detik lebih lama, sang rival Kaisar tua merasa terancam sehingga keberuntungan besar akan menghantam Dongping Bo Residence. 　　Ia menyembah dan berkata: "Lapor Paduka, hamba yang bodoh ini telah menemukan beberapa fakta." 　　Pangeran Qi yang berdiri di samping langsung tegang. 　　Nasib kasus Nyonya Li sekarang bergantung pada Zhen Shicheng. 　　Meskipun sebelumnya saat bertemu Permaisuri Qi, Pangeran Qi sudah berniat menjadikannya tumbal, tapi jika bisa ditutupi tentu lebih baik. Bagaimanapun upaya membersihkan diri, pasti akan berdampak padanya. 　　“Zhen Aiqing, jelaskan secara detail.” Kaisar Jingming menegakkan ekspresi wajahnya. 　　Dia sudah tahu Zhen Shicheng berbakat, terbukti pilihannya tidak salah. 　　“Anak buah hamba menemukan bola aromaterapi di tepi tebing. Setelah interogasi, diketahui bola itu terlempar dari kereta Permaisuri Qi. Hamba mengambil sisa aroma untuk percobaan, menemukan bahwa orang yang menghirupnya akan lemas tak berdaya...” 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming segera melirik Jiang Si. 　　Jiang Si berbicara tepat waktu: “Ayah Kaisar, setelah naik kereta kakak ipar keempat, hamba melihat bola aromanya cantik dan aroma mistisnya harum. Hamba sempat bertanya pada kakak ipar.” 　　“Apa jawabannya?” Kaisar Jingming langsung bertanya. 　　Jiang Si melirik Pangeran Qi: “Dia bilang wewangian itu langka dari negeri seberang. Jika hamba suka, akan dikirimkan nanti.” 　　Kaisar Jingming menatap tajam Pangeran Qi: “Lao Si, kau tahu ini wangi apa?” 　　Pangeran Qi pucat: “Anak jarang memperhatikan barang-barang wanita, tidak tahu aroma apa yang digunakan Li Shi...” 　　Zhen Shicheng berkata: “Reruntuhan kereta kuda dan bangkai kuda di dasar tebing sudah ditemukan.” Perhatian kerumunan langsung tertuju padanya. 　　Kaisar Jingming terkejut: “Sepatutnya sudah ditemukan?” 　　Menurutnya, dalam waktu sesingkat ini, Zhen Shicheng sudah berhasil mengungkap bahwa wewangian dalam bola aromaterapi adalah "biang keladi" yang membuat Permaisuri Qi dan Permaisuri Yan tak bisa bergerak. Ini sudah sangat luar biasa. Mana mungkin kereta kuda yang terjun ke tebing bisa ditemukan dengan mudah. 　　Zhen Shicheng menjelaskan: "Tebing itu tidak terlalu dalam ke dasarnya, dan ada jalan setapak yang langsung menuju bawah tebing. Kebetulan ada seorang petugas yang keluarganya tinggal di sekitar sana dan sangat mengenal topografi daerah itu, jadi dia segera memimpin beberapa orang turun ke dasar tebing dan menemukan kereta kuda." 　　Saat sampai di bagian ini, nada suara Zhen Shicheng berhenti sejenak, lalu melanjutkan: "Tidak hanya menemukan kereta kuda, anak buah hamba juga telah membedah bangkai kuda, sehingga berhasil mengungkap penyebab kuda itu mengamuk——" 　　Mata Kaisar Jingming menyipit, bertanya dengan panik: "Apa penyebabnya?" 　　"Anak buah hamba menemukan sisa-sisa ramuan herbal yang bisa membuat kuda berhalusinasi dan mengamuk di lambung kuda." 　　Permaisuri yang selama ini diam mulai menggerakkan alisnya. 　　Wajah Kaisar Jingming suram: "Artinya, kuda penarik kereta itu panik karena memakan ramuan herbal beracun?" 　　"Tepat sekali." 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara berat: "Lalu kesimpulan apa yang bisa diambil oleh Zhen Aiqing?" 　　“Tidak ada keraguan,” kata Zhen Shicheng tegas, “Ketika kedua Permaisuri berhenti di Kuil Baiyun, sais kereta dari Kediaman Pangeran Qi telah memanfaatkan kesempatan untuk memberi makan kuda dengan jerami yang tercampur tanaman beracun, menyebabkan kuda menjadi liar. Sementara itu, bola pengharum yang digantung di gerbong berfungsi melumpuhkan penumpang sehingga sulit melarikan diri... Berdasarkan logika umum, hamba yang bodoh berpendapat bahwa Permaisuri Qi-lah yang berniat mencelakai Permaisuri Yan—” 　　“Mustahil!” Pangeran Qi tiba-tiba memotong ucapan Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng menatap Pangeran Qi dengan tenang: “Paduka memiliki keberatan apa?” 　　Wajah Pangeran Qi berkerut, tak menyembunyikan ketidaksukaannya: “Bukankah kesimpulan Tuan Zhen ini sangat tidak masuk akal?” 　　Zhen Shicheng mengelus kumisnya perlahan: “Bagian mana yang Paduka anggap tidak masuk akal?” 　　Pangeran Qi menyeringai dingin: “Jika benar istri saya ingin mencelakai Permaisuri Yan, mengapa dia membahayakan diri sendiri? Apakah dia ingin bunuh diri bersama Permaisuri Yan?” 　　Dua pertanyaan bertubi-tubi dari Pangeran Qi membuat Kaisar Jingming mengangguk diam-diam. 　　Keraguan Sang Kaisar juga terletak di sini. 　　Dia tidak terlalu memperhatikan hubungan antara istri Lao Si dan istri Lao Qi, tapi tentu tidak sampai level ingin saling membinasakan. 　　“Mengapa Tuan Zhen diam saja?” tanya Pangeran Qi sambil menaikkan alis, sorot matanya dingin membeku. 　　Zhen Shicheng menangkupkan tangan dengan tenang: “Hamba juga tidak mengerti alasan Permaisuri Qi ingin bunuh diri bersama. Untuk mengetahui sebabnya, mungkin harus langsung bertanya pada Permaisuri Qi sendiri.” 　　Pangeran Qi mengejek, "Apakah ini yang disebut kewaspadaan Tuan Zhen? Hanya menemukan bukti permukaan, mengabaikan berbagai ketidakmasukakalan, memaksa menyalahkan istri saya, bahkan mengeluarkan pernyataan konyol bahwa alasan harus ditanyakan pada istri saya!" 　　Zhen Shicheng memandang Pangeran Qi dan menghela napas pelan: "Kebingungan Paduka dapat saya pahami. Namun tuduhan saya bahwa insiden kuda liar yang dialami dua permaisuri direncanakan oleh Permaisuri Qi tidak hanya berdasarkan racun rumput di perut kuda dan aroma beracun dalam bola wangi, tapi ada bukti yang lebih penting." 　　"Bukti apa?" Kali ini Kaisar Jingming dan Pangeran Qi bertanya serentak. 　　Jiang Si berdiri dengan menundukkan mata, ekspresinya tenang. 　　Permaisuri tak berkedip memandangi Zhen Shicheng, penasaran dengan bukti yang akan ditunjukkan. 　　Zhen Shicheng tidak bertele-tele, membersihkan tenggorokannya: "Sais dari Kediaman Pangeran Qi telah mengaku." 　　Beberapa orang tertegun, seolah tak memahami maksud Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng menjelaskan pada Pangeran Qi: "Sais dari kediamanmu mengaku di bawah interogasi bahwa Permaisuri Qi menyuruhnya mencampur racun ke pakan kuda—" 　　Jadi, kapan saya hanya mengandalkan spekulasi? Saya punya saksi. 640.BAB 639 Ah Man Tahu Alasannya 　　BAB 639 Ah Man Tahu Alasannya 　　Penjelasan Zhen Shicheng membuat Pangeran Qi seperti dipukul godam, pingsan sesaat. 　　Jiang Si menundukkan mata, hampir tersenyum. 　　Jika bicara soal kecocokan karakter, bahkan saya rasa A Jin berada di bawah Tuan Zhen. 　　“Kaisar Jingming melirik Pangeran Qi dengan dingin, lalu menoleh ke Permaisuri bertanya: "Apakah ada orang lain yang masuk istana?"” 　　Permaisuri mengangguk: "Selain dua Permaisuri, ada beberapa dayang dan nenek." 　　"Bawa mereka kemari." 　　Pan Hai segera memerintahkan pelayan istana untuk melaksanakannya. 　　Tak lama kemudian, beberapa dayang termasuk Ah Man dibawa masuk dan berjajar berlutut di aula. 　　Ah Man memberanikan diri melirik cepat ke atas, hatinya berdebar kencang saat melihat Kaisar Jingming. 　　Dia melihat Kaisar! 　　Seorang dayang kecil seperti dirinya, ternyata bisa melihat Kaisar. 　　Hehe, kehormatan ini cukup untuk menyombongkan diri di depan A Qiao selama bertahun-tahun setelah pulang. 　　Dayang-dayang lain tak seberani Ah Man, mereka gemetar ketakutan bahkan tak berani bernapas keras, apalagi menatap wajah Kaisar. 　　Kaisar Jingming mengamati orang-orang yang berlutut di bawah, bertanya dengan suara berat: "Mana yang dari Kediaman Pangeran Qi?" 　　Seorang dayang dan nenek menyungkurkan dahi ke lantai, gemetar: "Hamba dari sana." 　　Dari atas tak ada suara yang terdengar. 　　Kaisar Jingming bungkam, Permaisuri dan yang lain pun ikut diam. 　　Aula menjadi sunyi senyap, tekanan tanpa suara ini membuat dayang-dayang dari Kediaman Pangeran Qi hampir tak sanggup menahan diri, gemetar seperti ayakan. 　　Tak terasa berapa lama, tiba-tiba Kaisar Jingming berteriak keras: "Mengapa Permaisurimu berani membahayakan Permaisuri Yan?" 　　Mendengar ini, Pangeran Qi langsung menatap tajam ke Kaisar Jingming, matanya dipenuhi rasa tak percaya. 　　Ayah Kaisar ternyata sedang menggunakan taktik penipuan! 　　Zhen Shicheng mengelus-elus kumisnya sambil mengangguk diam-diam. 　　Bukankah ini strategi yang biasa mereka gunakan saat menginterogasi? Tak disangka Kaisar punya bakat alami dalam hal ini, bisa menguasainya tanpa diajari. 　　Menurut Zhen Shicheng, efektivitas taktik yang digunakan Kaisar Jingming jauh melebihi hasil yang mereka capai. 　　Tekanan yang ditimbulkan penguasa negara terhadap rakyat biasa sungguh tak terbayangkan. Pertanyaan Kaisar Jingming ini akan menghancurkan pertahanan mental 80-90% orang biasa, membuat mereka mengaku sendiri tanpa disiksa. 　　Tentu saja para pejabat yang setiap hari berdebat sengit di hadapan Kaisar saat sidang pagi tidak termasuk kategori ini. Sebagai bawahan yang jujur dan kompeten, dirinya sama sekali tidak merasa takut. 　　Zhen Shicheng segera memikirkan semua pertanyaan ini sambil mengamati reaksi dayang dan nenek dari Kediaman Pangeran Qi. 　　Nenek yang berlutut dengan kepala tertunduk langsung mengangkat wajahnya secara refleks saat Kaisar Jingming bertanya, wajahnya penuh kebingungan. Sementara dayang di sampingnya limbung seperti lumpur busuk. 　　Pandangan semua orang segera tertuju pada dayang tersebut. 　　Sorot mata Kaisar Jingming tiba-tiba menjadi tajam. 　　Pan Hai membentak: "Hamba lancang! Kaisar sedang bertanya padamu! Cepatlah mengaku! Jika masih ragu-ragu, waspadalah dengan hukuman sembilan sukumu!" 　　Meski Pan Hai bertindak sok berkuasa, Kaisar Jingming sama sekali tidak menunjukkan ketidaksenangan. 　　Terkadang beberapa ancaman yang tidak pantas diucapkannya sendiri perlu disampaikan melalui mulut Pan Hai. 　　Dayang，membungkuk-bungkuk：“hamba，hamba，Kaisar，hambaorangtua——” 　　Kaisar Jingming。 　　Dayang，Permaisuri Qi。 　　Pangeran Qidayang，。pandangan，hati，。 　　，，，，Tongkat。 　　Jiang Sipandangan，。 　　，，target kecil。 　　“，！”Pan Hai。 　　Dayang：“Permaisuri……PermaisurihambaPermaisuri Yan，hambaaroma harum。，，……” 　　，Permaisuri QiJiang Si。 　　Kaisar Jingmingdayang，Zhen Shicheng：“sais？” 　　“saisPermaisuri Qi，kereta kuda，kereta kudatebing。” 　　“Lalu bagaimana yang hampir jatuh dari tebing malah menjadi Permaisuri Qi?” 　　Zhen Shicheng melirik Jiang Si dengan sudut matanya, berkata: "Sais mendengar suara lalu menoleh, mengira Permaisuri Qi yang melompat, sehingga membiarkan kuda liar berlari ke tebing. Belakangan baru tahu salah, yang jatuh dari kereta kuda saat itu adalah Permaisuri Yan, sementara Permaisuri Qi tetap di dalam kereta..." 　　Kerumunan tak bisa menahan pandangan ke arah Jiang Si. 　　Permaisuri Qi ingin membahayakan Permaisuri Yan, tapi yang lolos malah Permaisuri Yan, sementara yang hampir jatuh dari tebing adalah Permaisuri Qi. Apakah Permaisuri Yan hanya sekedar beruntung? 　　Kaisar dan Permaisuri saling bertatapan, teringat metode misterius Jiang Si, seketika timbul pemahaman. 　　Jiang Si dengan tenang membiarkan dirinya diamati. 　　Fakta bahwa Permaisuri Qi ingin mencelakai dirinya sudah tak terbantahkan. Masak hanya pelaku kejahatan yang boleh menggunakan segala strategi keji, sementara korban dilarang membela diri bahkan melakukan balasan kecil? 　　Tentu, mengakui secara langsung niat membalas mustahil baginya. Dia bukan anak kecil, mana mungkin seperti dayang kecil di Kediaman Pangeran Qi yang mengaku sendiri tanpa disiksa? 　　Adapun bagaimana tanggapan Kaisar, Jiang Si tidak merasa takut. 　　Sekalipun Kaisar curiga dia membalas, apa lagi? Kelinci terpojok pun bisa menggigit. Jika Kaisar sampai tak memahami dan tak mengizinkan hal sederhana ini, tentu bukan Kaisar Jingming yang dia kenal selama dua kehidupan. 　　Kaisar Jingming memandang dalam-dalam Jiang Si dengan sorot mata tajam, tak mengajukan pertanyaan. 　　Pangeran Qi menyembunyikan ketidakrelaan dan menuntut penjelasan: "Adik ipar ketujuh, bisakah kau jelaskan bagaimana bisa melarikan diri saat tubuhmu lemas tak bertenaga? Mengapa istriku tetap berada di dalam kereta?" 　　Wajah Jiang Si berubah muram, ia balik bertanya: "Dengan saksi dayang Kediaman Pangeran Qi dan sais, serta bukti bola dupa dan bangkai kuda, sekarang saya tegaskan bahwa kakak ipar keempat merencanakan kecelakaan kuda liar ini. Apakah Kakak Keempat mau mengakuinya?" 　　Di bawah tatapan banyak pasang mata, Pangeran Qi terpaksa mengangguk. 　　Pada titik ini, ia tak bisa menyangkal kesalahan Nyonya Li. Hanya saja ia tak rela Permaisuri Yan tidak hanya selamat, tapi juga memperoleh semua keuntungan. 　　Melihat anggukan Pangeran Qi, Jiang Si mencemooh: "Setelah Kakak Keempat mengakui bahwa kakak ipar berusaha membunuhku, bukankah reaksi pertama yang pantas adalah rasa malu, penyesalan, lalu meminta maaf? Mengapa malah menekanku? Apakah ini berarti rencana jahat kakak ipar bukan hanya inisiatifnya sendiri—" 　　"Tidak!" Wajah Pangeran Qi berubah pucat, menahan amarah berkata, "Adik ipar jangan berkhayal. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa—" 　　Jiang Si sama sekali tidak memberi Pangeran Qi menghargai, berkata dingin: "Kakak bilang tidak tahu lalu selesai? Kalau begitu saya juga tidak tahu kenapa bisa terlempar dari gerbong, sementara Permaisuri Qi yang ingin membunuhku malah tetap di dalam. Atas dasar apa Kakak berani menuntut penjelasan dariku?" 　　Di sudut ruangan, Pan Hai mengamati Jiang Si yang beraura menggentarkan, dalam hati berdecak kagum: Di hadapan Kaisar dan Permaisuri, Permaisuri Yan benar-benar tak kenal kompromi. 　　Tiba-tiba terdengar suara lantang: "Hamba tahu alasannya!" 641. BAB 640 Mengenai Fungsi Minyak Lampu Buddha 　　BAB 640 Mengenai Fungsi Minyak Lampu Buddha 　　Kerumunan langsung tertarik pada suara lantang tersebut. 　　Kaisar Jingming melihat dayang kecil yang berlutut di bawah mengangkat kepala, wajah putihnya dengan sepasang mata yang sangat lincah, terlihat sangat bersemangat. 　　Kaisar Jingming tak sengaja melirik Jiang Si, dalam hati berpikir istri Lao Qi memang berwatak tegas, dayangnya juga tidak kalah. 　　Kaisar Jingming tidak suka melihat orang yang bergemetar ketakutan di hadapannya, hal ini mudah mengingatkannya pada anak lelaki tak berguna yang sudah binasa, sehingga merusak suasana hati. 　　Sedangkan keberanian dan kelugasan Ah Man justru lebih menyenangkan dipandangnya. 　　Setelah merenung sejenak, Kaisar Jingming bertanya: "Kau dayang dari Kediaman Pangeran Yan?" 　　Ah Man buru-buru menjawab: "Lapor Kaisar, hamba adalah dayang utama di sisi Permaisuri." 　　Terlalu banyak dayang di Kediaman Pangeran Yan, mana pantas dengan status dayang utama pendampingnya. Kesempatan langka untuk unjuk diri, jangan sampai Kaisar salah paham. 　　Semangat bangga yang terpancar dari dayang kecil ini membuat Kaisar Jingming tak bisa menahan senyum: "Siapa namamu?" 　　Ah Man menjawab dengan lantang: "Hamba bernama Ah Man." 　　"Ah Man--" Kaisar Jingming mengangguk, "Nama yang bagus. Sekarang jelaskan alasannya." 　　Saat mengucapkan ini, ekspresi Kaisar Jingming berubah total dari kelembutan sebelumnya, menjadi sangat serius. 　　"Tidak diragukan lagi Permaisuri Qi telah berbuat jahat. Awalnya saya tidak berniat menyelidiki mengapa istri Lao Qi bisa selamat, namun karena dayangnya secara sukarela mengangkat topik ini, tentu saya senang mendengar penjelasannya." 　　Meski mengagumi menantu perempuan yang memiliki banyak strategi misterius, kadang timbul rasa tidak nyaman. 　　Ini wajar, semakin tinggi posisi penguasa semakin gelisah terhadap hal di luar kendali, sehingga muncul keinginan untuk mengetahui sampai tuntas. 　　Saat ini, tidak hanya Kaisar Jingming, semua orang di aula termasuk Permaisuri memandang ke arah Ah Man, menunggu jawabannya. 　　Bagaimana sebenarnya Permaisuri Yan bisa lolos? Mengapa Permaisuri Qi yang jahat tertinggal di kereta kuda? Apakah saat itu Permaisuri Yan melakukan sesuatu pada Permaisuri Qi? 　　Hanya Jiang Si yang tetap tenang tanpa kecemasan. 　　Tentang Ah Man, dia cukup memahaminya. 　　Ah Man menjawab dengan logika sederhana: "Karena sumbangan minyak lampu Buddha Permaisuri kami lebih banyak." 　　"Apa?" Jawaban tak terduga ini membuat Kaisar Jingming spontan bersandar ke depan. 　　Semua yang hadir tertegun sejenak. 　　Apa hubungannya dengan sumbangan minyak lampu Buddha? 　　Ah Man menghitung dengan jarinya menjelaskan: "Hari ini Permaisuri kami bersama Permaisuri Qi pergi berziarah ke Kuil Baiyun untuk berdoa. Permaisuri kami menyumbang 1.800 tael minyak lampu Buddha, sedangkan Permaisuri Qi hanya menyumbang 400 tael, bahkan tidak sampai sepersepuluh jumlah kami. Besarnya sumbangan minyak lampu mencerminkan ketulusan hati kepada Buddha. Karena Permaisuri kami begitu tulus, tentu Buddha akan melindungi..." 　　Dayang kecil itu memandang kerumunan lalu berkata dengan yakin: "Jadi wajar saja Permaisuri kami selamat, orang baik pasti dapat balasan baik." 　　Alasan sederhana begini saja para orang terhormat ini terus-menerus menanyai, tidakkah itu menyebalkan? 　　Suasana di aula masih terasa aneh dan sunyi, namun sorot mata kerumunan kini tertuju pada Pangeran Qi. 　　Wajah Pangeran Qi memerah padam seperti hati babi. 　　Seumur hidupnya belum pernah ia merasa semalu ini! 　　Dua Permaisuri pergi berziarah. Permaisuri Yan menyumbang 1.800 tael, sementara istrinya hanya 400 tael. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Nyonya Li bisa bertahan saat itu. 　　Sebenarnya ia paham kondisi rumah keluarga dan ketertarikan Nyonya Li - mungkin berpikir masalah sumbangan akan selesai bila Permaisuri Yan meninggal. Tapi sekarang hal ini justru diungkap dayang kecil di hadapan Ayah Kaisar. 　　Pangeran Qi merasa seperti ditampar berulang kali sampai wajahnya membengkak. 　　Kaisar Jingming menatap Pangeran Qi tanpa ekspresi, lalu bertanya pada Permaisuri: "Aku lupa bertanya, mengapa Permaisuri Qi dan Permaisuri Yan pergi berziarah ke Kuil Baiyun bersama hari ini?" 　　Secara diam-diam Permaisuri merasa puas, namun raut wajahnya tetap netral: "Bukankah Ibu Suri Xian sedang sakit? Kedua permaisuri pergi ke Kuil Baiyun untuk berdoa bagi kesembuhannya." 　　Mendengar ini, alis Kaisar Jingming berkerut. Ia kembali menatap Pangeran Qi, kali ini dengan sorot mata yang semakin tidak senang. 　　Sikap Ibu Suri Xian terhadap Lao Si dan Lao Qi telah ia amati selama ini. Jika dikatakan Lao Si seperti daging di telapak tangan baginya, maka Lao Qi mungkin hanyalah kapalan di tumit——deskripsi yang muncul tiba-tiba ini membuat sudut bibir Kaisar Jingming berkedut. 　　Perumpamaan kapalan di tumit mungkin agak berlebihan, namun ia tahu betul betapa Ibu Suri Xian memanjakan Lao Si. 　　Tapi saat momen krusial, sumbangan "minyak lampu Buddha" dari Istri Lao Si bahkan tak mencapai sepersepuluh dari Istri Lao Qi. Ini membuktikan sifatnya yang dingin. 　　Bagaimana menantu perempuan memperlakukan ibu mertua, pada dasarnya mencerminkan sikap sang anak lelaki terhadap ibunya. Prinsip ini berlaku baik di keluarga rakyat biasa maupun keluarga kekaisaran. 　　Setidaknya dalam pemahaman sederhana Kaisar Jingming, logikanya memang demikian. Karena itu, ketidaksenangannya terhadap Pangeran Qi sama sekali tidak mengherankan. 　　Pangeran Qi nyaris limbung dipandang seperti itu. Hatinya seperti dijatuhkan ke jurang. 　　Dia rajin, disiplin, menahan diri dan menjaga tata krama, semua demi membuat Ayah Kaisar melihatnya dengan pandangan berbeda. Tapi setelah berusaha bertahun-tahun tak juga mendapat perhatian, tak disangka ketidakpuasan justru datang begitu mudah. 　　Saat ini, Pangeran Qi benar-benar merasa diperlakukan tidak adil. 　　Kaisar Jingming tidak peduli perasaan Pangeran Qi, memerintah Pan Hai: "Suruh orang periksa apakah Nyonya Li sudah siuman." 　　Sebutan "Nyonya Li" membuat semua yang hadir merinding. 　　Nasib Permaisuri Qi sudah jelas tanpa perlu diucapkan. 　　Pan Hai segera menyuruh pelayan istana lari ke Istana Kuning untuk menanyakan, tak lama kemudian ada kabar: "Permaisuri Qi belum siuman." 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening sejenak, berkata: "Lao Si, bawa dia kembali ke Kediaman Pangeran Qi." 　　Bukti saksi dan barang sudah lengkap, keadaan Permaisuri Qi tidak relevan lagi. Kaisar Jingming jelas tak ingin menyelidiki lebih jauh. 　　Jika Permaisuri Qi diberi kesempatan berbicara dan menyebutkan strategi balasan Permaisuri Yan, situasi akan jadi canggung. 　　Bagaimana mungkin menghukum istri Lao Qi hanya karena menggunakan sedikit taktik untuk membela diri? Kalau begitu, bukankah korban hanya bisa jadi sasaran empuk? 　　Ini bertentangan dengan prinsip sederhana Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming merenung sejenak, berkata: "Permaisuri Qi Nyonya Li mengalami gangguan mental akibat kuda liar, mulai sekarang biarkan dia beristirahat untuk pemulihan, jangan temui orang luar." 　　Pangeran Qi terkejut: "Ayah Kaisar—" 　　Keterkejutan ini hampir seluruhnya palsu, agar tidak terlihat terlalu kejam. 　　“Hmm?” Wajah Kaisar Jingming sedikit muram. 　　Pangeran Qi menampakkan ekspresi kebingungan dan penderitaan, akhirnya mengangguk berat sambil menjawab "Ya". 　　Kaisar Jingming menatap Jiang Si: "Istri Lao Qi, hari ini kau pasti terkejut, pulanglah dan beristirahatlah. Nanti... akan ada kompensasi." 　　"Menantu perempuan ini telah merepotkan Ayah Kaisar dan Ibu." Jiang Si menjawab sopan tanpa memperpanjang masalah. 　　Ia tak pernah rakus, menyingkirkan Permaisuri Qi sudah mencapai target kecil, target sisanya bisa diselesaikan perlahan. 　　Tidak, Permaisuri Qi baginya bukanlah target kecil. 　　Meski kesulitan mengatasi Permaisuri Qi tak sebanding dengan Rongyang Chang Gongzhu dll, tapi Permaisuri Qi memang spesial baginya. 　　Di kehidupan sebelumnya ia mati di tangan Permaisuri Qi, secara psikologis selalu inferior, mengatasi ketakutan insting itu butuh tekad besar. 　　Kaisar Jingming mengusir semua orang, hanya menyisakan Permaisuri. 　　"Permaisuri, jangan lupa beri tahu Ibu Suri Xian." 642. BAB 641 Permaisuri Qi Bangun 　　BAB 641 Permaisuri Qi Bangun 　　Permaisuri mengangguk serius pada Kaisar Jingming: "Yang Mulia tenang saja, saya sendiri yang akan memberitahu Ibu Suri Xian." 　　Setelah Permaisuri pergi, Kaisar Jingming baru menyadari: Tak perlu Permaisuri sendiri yang menyampaikan, apakah Permaisuri terlalu bersemangat? 　　Bersemangat? Tentu tidak bagi Permaisuri. 　　Di istana yang dingin ini, tak ada orang yang polos, termasuk Permaisuri yang terlihat tenang sekalipun. 　　Permaisuri tidak memiliki putra, sehingga kemenangan pangeran mana pun di masa depan tidak akan menggoyahkan posisinya. Namun terkait pangeran tertentu, situasinya tetap berbeda. 　　Misalnya Pangeran Qi: ibunya adalah Ibu Suri Xian yang menguasai istana, kakek-nenek dari pihak ibu berasal dari Keluarga An Guogong yang berjasa mendirikan negara. Jika Pangeran Qi menang, meski Permaisuri tetap di posisinya, Ibu Suri Xian akan menjadi ancaman baginya. Ketika Pangeran Qi naik takhta, Ibu Suri Xian pasti akan menjadi Janda Permaisuri Barat. Saat itu hubungan ibu-anak mereka yang erat mungkin akan membuat Permaisuri Timur hanya bisa tersisih. 　　Status Janda Permaisuri memang mulia, namun kemuliaan ini diberikan oleh Kaisar. Seorang Janda Permaisuri tanpa ikatan emosional dengan Kaisar hanyalah simbol kosong. 　　Pada akhirnya, hanya ada satu penguasa Dinasti Zhou - pria yang duduk di kursi naga itu. 　　Jika pangeran dengan ibu berstatus rendah atau bahkan tanpa ibu, ancaman terhadap Permaisuri tentu jauh lebih kecil. 　　Permaisuri sangat memahami hal ini. Melihat Pangeran Qi membuat Kaisar Jingming tidak senang hari ini, apalagi Permaisuri Qi melakukan kesalahan besar, hatinya bersukacita dan dengan senang hati memberitahu Ibu Suri Xian kabar ini. 　　Saat ini, Ibu Suri Xian sedang merasa gelisah. 　　Sakit kepalanya belum membaik selama dua hari ini, sementara hari ini adalah hari yang disepakati Istri Lao Si dan Istri Lao Qi untuk berziarah. 　　Sudah seharusnya ada kabar yang masuk jika terjadi masalah di jam seperti ini. 　　Ibu Suri Xian takut ketahuan, justru tidak berani mengirim orang untuk menyelidiki secara sembarangan hari ini, agar tidak mencurigakan ke Istana Yuquan jika terjadi sesuatu pada Permaisuri Yan. 　　Seorang dayang masuk melapor: "Nyonya, Permaisuri datang." 　　Ibu Suri Xian tertegun sejenak, lalu segera tersadar dan berusaha bangun untuk menyambut. 　　Permaisuri sudah memasuki ruangan. Melihat Ibu Suri Xian berjuang bangun, ia segera berkata: "Kau masih sakit, tak perlu bangun." 　　Ibu Suri Xian bersikeras bangun memberi salam: "Tidak separah itu. Tata krama tak boleh diabaikan." 　　Permaisuri mengerutkan bibir: "Adik Suri Xian selalu patuh pada tata krama. Bagaimana kondisimu hari ini? Ada perbaikan?" 　　"Kepala sesekali masih pusing, lebih baik dari dua hari lalu." Ibu Suri Xian mengajak Permaisuri duduk sambil menebak maksud kedatangannya. 　　Permaisuri menerima cangkir teh hangat dari dayang, menyesap sedikit lalu meletakkannya: "Hari ini Permaisuri Qi dan Permaisuri Yan pergi berziarah ke Kuil Baiyun, terjadi musibah." 　　Tangan Ibu Suri Xian gemetar memegang cangkir, setetes teh panas menciprati punggung tangannya. Ia memaksakan senyum: "Musibah apa? Jangan menakuti saya." 　　Dalam hati ia bersukacita: Tampaknya istri Lao Si berhasil! 　　Dengan tewasnya Nyonya Jiang, si brengsek Lao Qi akan tenang sementara. Nanti ia akan memilih seorang keponakan dari keluarga asalnya untuk menjadi istri kedua Lao Qi. Perlahan merayu Lao Qi, meski saat ini Lao Qi belum berminat membantu Lao Si, setidaknya hubungannya dengan ibu kandungnya tak akan renggang seperti sekarang. 　　Adapun istri Lao Si, dengan bukti pembunuhan Nyonya Jiang di tangan, tak sulit untuk mengendalikannya di kemudian hari. 　　Keuntungan ganda seperti ini tentu membuat Ibu Suri Xian gembira diam-diam. 　　Permaisuri menepuk tangan Ibu Suri Xian, mengingatkan: "Jika saya bicara, Adik Ibu Suri Xian harus tetap tenang. Sudah sakit, jangan sampai stres——" 　　"Permaisuri silakan bicara langsung, saya bisa menerima." Ibu Suri Xian berpura-pura tegang. 　　Permaisuri menghela nafas: "Dua permaisuri pangeran bertemu kuda liar dalam perjalanan pulang, Permaisuri Qi hampir jatuh dari tebing——" 　　"Apa? Permaisuri Qi?" Kali ini keterkejutan Ibu Suri Xian bukan pura-pura, pupil matanya tiba-tiba melebar. 　　Apakah pendengarannya salah? 　　Melihat Permaisuri terlihat heran, Ibu Suri Xian segera memperbaiki: "Permaisuri Qi baik-baik saja? Permaisuri Yan bagaimana?" 　　"Permaisuri Qi tergantung di tepi tebing dan diselamatkan pengawal yang datang. Permaisuri Yan tidak apa-apa." 　　Ibu Suri Xian menahan kekecewaan di hati, menghela nafas lega: "Syukur keduanya selamat." 　　Permaisuri menghela nafas lagi: "Masih ada masalah. Wajah Permaisuri Qi terluka." 　　Mulut Ibu Suri Xian terbuka, sorot matanya berkedip-kedip. 　　Orangnya tidak mati tapi wajahnya rusak? Ini agak merepotkan. 　　"Prefek Shuntian menemukan kuda liar ini bukan kecelakaan, tapi Permaisuri Qi yang menyuruh orang untuk membunuh Permaisuri Yan——" 　　"Apa?!" Ibu Suri Xian langsung berdiri, wajahnya berubah pucat, tubuhnya gemetar tak terkendali diikuti sakit kepala menusuk yang membuatnya limbung. 　　Permaisuri segera mengulurkan tangan menopang Ibu Suri Xian dan menasihati: "Adik Ibu Suri Xian jangan terburu-buru, tenangkan diri——" 　　Sisa-sisa rasionalitas Ibu Suri Xian mengendalikannya untuk tidak memaki. 　　Tenang apa? Apa yang sebenarnya terjadi? 　　Ia akhirnya menyadari, Permaisuri datang untuk menertawakannya! 　　Memikirkan hal ini, Ibu Suri Xian tiba-tiba menjadi tenang, menarik napas panjang dan berkata: "Bisakah Permaisuri menjelaskan kronologi kejadiannya secara detail?" 　　Istri Lao Si sepertinya belum melibatkannya, jika tidak tentu yang memberitahunya bukan Permaisuri. Jadi sama sekali tidak boleh panik. 　　Permaisuri merasa sudah cukup, barulah menceritakan peristiwa tersebut secara rinci. 　　Mendengar akhir cerita, Ibu Suri Xian menggerakkan bibir keringnya: "Kalau begitu, Kaisar melarang Permaisuri Qi bertemu orang lain selamanya?" 　　Permaisuri mengangguk: "Kejadian seperti ini memalukan jika tersebar. Demi martabat keluarga kerajaan, hanya bisa begini." 　　Ibu Suri Xian menggerakkan bibirnya, wajahnya lesu. Setelah lama, ia memegang kening: "Permaisuri, kepala saya pusing——" 　　Permaisuri dengan cerdik berdiri: "Adik Ibu Suri Xian beristirahatlah. Urusan Permaisuri Qi harus kamu relakan, yang penting keperawananmu." 　　Begitu Permaisuri pergi, Ibu Suri Xian duduk di ranjang, ekspresinya berubah-ubah. 　　Nyonya Li si pengacau yang tak bisa menyelesaikan tugas! 　　Satu-satunya hikmah adalah Nyonya Li masih belum sadar dan tak bisa bertemu orang luar, jadi tak perlu khawatir ia bicara hal yang tak semestinya. 　　“Tapi Lao Si memang tidak punya anak, ditambah Permaisuri yang sakit jiwa, bagaimana masa depannya nanti!” 　　Tidak bisa, Nyonya Li hanya 'gila' itu tidak cukup, tidak boleh biarkan dia terus menduduki posisi Permaisuri Qi. 　　Ibu Suri Xian tiba-tiba merasa meski rencana menjerat Jiang Si gagal, mengganti Permaisuri Qi juga tidak buruk. Nanti carikan Lao Si istri kedua yang subur untuk melahirkan beberapa anak lelaki sah, lebih baik daripada dukungan apa pun. 　　Tapi ingin membunuh Nyonya Li sekarang belum saatnya, harus tunggu sampai gelombang masalah berlalu dan tak ada yang memperhatikan. 　　Di Kediaman Pangeran Qi, Permaisuri Qi akhirnya siuman. 　　Dia menggerakkan kelopak mata dan membuka mata, pemandangan yang terlihat bukan perabotan yang dikenalnya. 　　“Ini dimana?” Permaisuri Qi yang belum sepenuhnya sadar bertanya reflek. 　　Kenangan menegangkan saat pulang dari Kuil Baiyun sepertinya terlupakan sejenak. 　　Dayang yang menjawab juga wajah asing: “Permaisuri, ini adalah Ruang Youjian.” 　　Ruang Youjian terletak di sudut barat laut Kediaman Pangeran Qi, merupakan pekarangan yang selalu terkunci, sangat terpencil dan sunyi. 　　Permaisuri Qi mendengar tiga kata ini langsung tersadar, berusaha bangun: “Di mana Pangeran?” 　　Suara langkah kaki terdengar dari luar, kemudian Pangeran Qi membuka pintu masuk, menatap Permaisuri Qi yang telah sadar dengan wajah datar. 643. BAB 642 Kekerabatan Terdekat dan Terasing 　　BAB 642 Kekerabatan Terdekat dan Terasing 　　Rasa takut yang tertunda、ketakutan、kepanikan……Saat melihat Pangeran Qi, semua kesedihan itu menerpa bagai air bah, membuat Permaisuri Qi langsung memerah matanya, membuka mulut dan berteriak: "Tuan——" 　　Namun Pangeran Qi sama sekali tidak menunjukkan rasa iba. 　　Seandainya ini adalah seorang wanita cantik jelita yang berbuat demikian, mungkin hatinya akan luluh. Tapi Nyonya Li yang sudah biasa-biasa saja wajahnya, kini dengan luka di wajahnya yang mengerikan, terlihat lebih menyeramkan daripada hantu—mana mungkin dia akan merasa iba. 　　"Pergilah," kata Pangeran Qi pada dayang itu. 　　Dayang itu menekuk lutut sedikit, menunduk dan berjalan keluar, sambil menutup rumah. 　　Seketika, hanya tinggal suami-istri di dalam kamar. 　　Permaisuri Qi yang masih diliputi kesedihan dan ketakutan tidak menyadari dinginnya sorot mata Pangeran Qi, terisak berkata: "Tuan, kupikir aku takkan bisa melihatmu lagi……" 　　Saat tergantung di tepi tebing itu, dia benar-benar menyesal. 　　Saat itu desiran angin dingin di telinganya menggoyang-goyangkan tubuhnya, setiap saat bisa terjatuh ke jurang—dia sangat takut, dan sangat menyesal. 　　Apa akibatnya jika Tuan tak bisa menduduki posisi itu? Apa artinya jika aku tak bisa menjadi permaisuri? 　　Cukup menjadi permaisuri yang hidup bebas, mungkin aku bisa hidup sebebas Permaisuri Yan dan Permaisuri Lu. Tak perlu lagi memaksakan diri mengirim wanita-wanita ke ranjang Tuan sambil menahan pedihnya hati. Bahkan tak perlu lagi menahan diri untuk tidak membeli mantel bulu rubah yang sangat kuinginkan. 　　“Selama bertahun-tahun ini, demi target jauh yang sulit itu, berapa banyak yang telah ia korbankan, berapa banyak kepahitan dan kesedihan yang harus ia telan.” 　　Saat nyawa terancam pada momen itu, ia benar-benar menyesal. Mungkin sudah waktunya melepaskan keserakahan dan menikmati hidup. 　　Sebagai sisa hidup Permaisuri, sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya, tapi kini sepertinya tak buruk. Ini sebenarnya status yang didambakan banyak wanita. 　　Pangeran Qi yang tak kunjung berbicara membuat Permaisuri Qi menyadari sesuatu yang tidak beres. 　　“Pangeran——” 　　Pangeran Qi melirik Permaisuri Qi, nada suaranya dingin: "Masalahmu sudah terbongkar." 　　“Masalahku?” 　　“Perbuatanmu memanipulasi kereta kuda untuk mencoba membahayakan Permaisuri Yan.” 　　Wajah Permaisuri Qi berubah drastis: “Pangeran, apa yang kau bicarakan?” 　　“Ayah Kaisar sudah tahu. Nyonya Li, mulai sekarang tinggallah di Balai Youjian, jangan keluar lagi.” Pangeran Qi tak ingin berlama-lama di ruangan tanpa pemanas bawah tanah ini, setelah berkata demikian ia langsung berpaling pergi. 　　“Pangeran, Pangeran——” Permaisuri Qi mengabaikan rasa sakit di tubuhnya dan mengejar, mencengkeram pakaian Pangeran dengan erat, “Jelaskan, sebenarnya apa yang terjadi?” 　　Pangeran Qi berbalik badan, menjelaskan situasi secara singkat. Menatap wajah Permaisuri Qi yang terlihat mengerikan, ekspresinya semakin membeku: “Segalanya sudah seperti ini, tak ada ruang untuk berkompromi. Pokoknya hadapi sendiri, jangan membuat keributan.” 　　Permaisuri Qi menatap pria yang dingin tak terperi ini dengan perasaan seperti nyawa hampir melayang: "Pangeran, apakah aku masih bermimpi?" 　　"Coba kau bercermin, baru kau tahu ini mimpi atau bukan." Pangeran Qi berkata datar. 　　Terhadap Permaisuri Qi, ia sangat geram. 　　Belum pernah ia melihat wanita sebodoh ini, merugikan orang sampai terjerat sendiri, bahkan nyaris menyeretnya. 　　Mendengar peringatan Pangeran Qi, Permaisuri Qi melirik sekeliling, lalu langsung berlari ke meja rias di sudut ruangan. 　　Wajah mengerikan di cermin bunga calincing itu membuatnya menjerit: "Tidak, tidak——" 　　Melihat Permaisuri Qi mengamuk dan menjerit-jerit, Pangeran Qi semakin tak sabar, berpaling menuju pintu. 　　Tangannya menarik gagang pintu, tapi tiba-tiba Permaisuri Qi yang sadar langsung menubruk dan mencengkeramnya. 　　"Pangeran, kau tahu! Kau pasti tahu! Semua ini kulakukan demi kau!" 　　Pangeran Qi tetap membisu. 　　Permaisuri Qi semakin putus asa, teriak tanpa kendali: "Aku sama sekali tidak punya niat mencelakai Permaisuri Yan, Ibu Selir yang menyuruhku——" 　　"Diam!" Pangeran Qi berbalik badan, berkata dengan suara keras. 　　Permaisuri Qi terdiam sejenak, melihat sorot mata pria itu semakin garang seolah ingin mencincang tubuhnya. 　　"Nyonya Li, sampai detik ini kau masih mau menyeret Ibu Selir ke dalam masalah, apa maksudmu sebenarnya?" 　　Permaisuri Qi menggelengkan kepala: "Pangeran, kau tahu ini perintah Ibu Selir kepadaku……" 　　Pangeran Qi menyeringai dingin: "Nyonya Li, kau sudah linglungkah? Sekalipun ini keinginan Ibu Selir, apa maksudmu? Haruskah aku menghadap Ayah Kaisar untuk menjelaskan segalanya, lalu memenjarakan Ibu Selir di istana dingin?" 　　Permaisuri Qi tertegun, semakin linglung. 　　Bukan seperti ini, tentu saja dia tak bermaksud membuat Ibu Selir dihukum, tapi sikap Pangeran jelas-jelas tak seharusnya seperti ini. 　　"Cukup! Kau tinggal diam di sini mulai sekarang, kebutuhan hidup tak akan kukurangi——" 　　Permaisuri Qi tak tahan lagi, bertanya dengan suara serak: "Pangeran, setelah bertahun-tahun aku berjuang untukmu, inikah balasanmu padaku sekarang?" 　　Alut Pangeran Qi berkerut, suaranya membeku: "Nyonya Li, pengurunganmu ini perintah Ayah Kaisar, mau aku bagaimana lagi?" 　　Permaisuri Qi terus menggeleng: "Bukan begitu, bukan begitu——" 　　Pangeran Qi tak sabar: "Apa lagi yang kau mau? Haruskah aku melawan titah Ayah Kaisar, tetap menjadikanmu nyonya rumah Kediaman Pangeran Qi?" 　　Permaisuri Qi menitikkan air mata, tersenyum getir: "Benarkah Pangeran tak mengerti? Aku tak punya kemampuan Permaisuri Yan, kalah darinya, aku terima. Kasus terbongkar, mendapat hukuman dari Ayah Kaisar, aku pun rela. Tapi mengapa kau tak bisa bersikap baik sedikit saja? Sekadar memberi penghiburan lewat kata-kata pun tak mau……" 　　Dia menangis tersedu-sedu, menatap lelaki yang wajahnya samar-samar dan terdistorsi melalui air mata yang mengaburkan pandangan, putus asa dan menderita, namun di kedalaman hatinya masih tersisa secercah harapan. 　　Peluklah dia, katakan padanya bahwa dia telah bekerja keras dan menderita, bahkan jika harus hidup tidak manusia atau hantu sejak saat ini, dia akan menerimanya. 　　Tapi Permaisuri Qi pasti akan kecewa. 　　Di bawah tuduhannya, ekspresi lelaki itu semakin dingin: "Nona Li, jangan terus-menerus bilang ini untukku, bukankah kau menginginkan mahkota fenghuang sang Permaisuri?" 　　Permaisuri Qi tertegun, wajahnya berubah pucat pasi. 　　Pangeran Qi menatap Permaisuri Qi sejenak, lalu menghela napas: "Jangan membuat keributan lagi. Selain beberapa dayang-dayang, Aula Youjian tidak akan ada yang datang lagi. Kau bisa mengoceh semaumu, tak ada yang berani menyebarkannya. Diamlah dengan tenang, hiduplah lebih lama, mungkin kau masih bisa menyaksikan mencapai usia pernikahan." 　　Wajah Permaisuri Qi berubah drastis, teriaknya: "Kau... kau menggunakan untuk mengancamku?" 　　Suara Pangeran Qi dingin: "Aku tidak mengancammu dengan , hanya mengingatkanmu. Pendeknya, pikirkan baik-baik. Meributkan ini tidak ada gunanya. Aku pergi, ke depannya tempat ini hanya akan kudatangi jika diperlukan." 　　Setelah berkata demikian, Pangeran Qi melepaskan genggaman Permaisuri Qi, membuka pintu dan pergi. 　　Suara pintu tertutup membangunkan Permaisuri Qi yang linglung. Dia berlari ke pintu untuk membukanya, tapi menyadari rumah telah dikunci dari luar. 　　“Buka pintu, buka pintu——” 　　Pangeran Qi berjalan sampai ke pekarangan masih bisa mendengar teriakan yang menyayat hati itu, tapi dari awal sampai akhir tidak menoleh, bergegas menuju halaman depan. 　　Kabar Permaisuri Qi dan Permaisuri Yan nyaris terjatuh dari tebing saat pulang berziarah dari Kuil Baiyun tersebar seketika di ibu kota. 　　Apa? Permaisuri Yan sama sekali tidak apa-apa, sedangkan Permaisuri Qi hampir jatuh dari tebing sampai hilang akal? 　　Naik kereta yang sama, kok bisa beda jauh sekali? 　　Setelah mengetahui jumlah sumbangan minyak lampu Buddha dari kedua permaisuri, pendapatan Kuil Baiyun langsung melonjak. 644. BAB 643 Lanjutan 　　BAB 643 Lanjutan 　　Permaisuri Qi yang trauma mental tiba-tiba dikunjungi banyak pelayat, depan gerbang Kediaman Pangeran Qi ramai bagai pasar. 　　Beberapa pangeran tak mau ketinggalan menunjukkan rasa persaudaraan (sambil menonton keributan), berbondong-bondong datang dengan permaisuri masing-masing. 　　Baru saja mengantar Pangeran Qin pergi, Pangeran Qi sudah mendapat laporan kedatangan Pangeran Lu dan Pangeran Shu, terpaksa menyambut dengan wajah lelah. 　　"Kakak Keempat, kabarnya Kakak Ipar Keempat kena teror kuda liar sampai trauma. Sekarang bagaimana keadaannya?" Pangeran Lu langsung melontarkan pertanyaan saat bertemu. 　　Permaisuri Lu yang berdiri di samping suaminya mengernyitkan sudut bibir halus. 　　Belum sempat dia bertanya, kenapa sang Pangeran yang sebagai adik ipar malah lebih heboh? 　　Pangeran Qi mengerutkan alis, wajahnya dipenuhi kekhawatiran: "Cuma shock berat, tidak mau bertemu siapa-siapa." 　　Pangeran Lu matanya berbinar: "Tidak boleh dilihat orang?" 　　Pangeran Qi terdiam sejenak. 　　Apa maksud mata Lao Wu yang berbinar-binar ini? 　　Tiba-tiba Pangeran Shu menyela: "Benar, Kakak Keempat, bagaimana kabar kakak ipar keempat? Apakah istri saya boleh menjenguknya?" 　　Jika Pangeran Qi merasa kesal dan toleran menghadapi kebodohan Pangeran Lu, dia jauh lebih waspada terhadap Pangeran Shu. 　　Setelah kematian Putra Mahkota, menurutnya ancaman terbesar dari para pangeran yang tersisa adalah Pangeran Shu. 　　Ibu kandung Pangeran Shu adalah Zhuangfei, statusnya tidak kalah dengan Ibu Suri Xian, bahkan lebih disayangi Kaisar Jingming. Kakek maternalnya adalah Jijiu Guozijian yang muridnya tersebar di mana-mana. 　　Apalagi, dibandingkan Pangeran Qi yang keempat, Kaisar Jingming jelas lebih menyukai Pangeran Shu yang keenam. 　　Pangeran Qi sangat menyadari hal ini. 　　Apakah pasangan Putra Keenam ini datang untuk menertawakannya? 　　Pangeran Qi geram dalam hati tapi tetap tenang, menghela nafas: "Terima kasih atas perhatian Adik Keenam dan Adik Ipar Keenam. Namun, istrimu masih trauma, ketakutan melihat orang asing, dan butuh istirahat..." 　　"Kalau begitu, rawatlah baik-baik kakak ipar keempat. Kami tidak akan mengganggunya." Pangeran Shu tersenyum. 　　Permaisuri Lu dan Permaisuri Shu sama-sama tak bersemangat bicara. Percakapan santai antar saudara berlanjut hingga Pangeran Lu akhirnya tak tahan bertanya: "Benarkah kakak ipar keempat hanya menyumbang 400 tael minyak lampu Buddha, sedangkan adik ipar ketujuh menyumbang 1.800 tael?" 　　Wajah Pangeran Qi langsung menghitam. 　　Pangeran Shu juga terbelalak. 　　Dia pernah membayangkan Lao Wu yang blak-blakan, tapi tak menyangka seblak-blakan ini. Ini benar-benar mempermalukan Lao Si di depan umum. 　　Tapi malu-maluin ini justru menyenangkan, dia senang menonton keributan. 　　"Kakak Keempat?" Melihat Pangeran Qi yang bermuka masam tidak menjawab, Pangeran Lu mengingatkan dengan wajah polos. 　　Hehehe, dia sudah lama menunggu kesempatan balas dendam ini. 　　Lao Si selalu pura-pura baik, mungkin sudah lupa waktu kecil pernah memecahkan tempat cuci kuas Ayah Kaisar, tapi akhirnya dirinya yang jadi kambing hitam? 　　Pangeran Lu teringat saat itu dia mati-matian menjelaskan bukan dia yang melakukannya, sementara Pangeran Qi juga mati-matian membela bahwa bukan adik kelima yang bersalah. Alhasil semua orang malah yakin dialah pelakunya. Kekesalan itu benar-benar tak terlupakan seumur hidup. 　　Jangan dikira dia bodoh! Orang tak bersalah seperti dirinya yang harus menanggung kesalahan si bersalah, sekalipun dia berlagak seperti orang baik, tetap saja ibunya bukan orang baik! 　　Pangeran Lu dalam hati membuka-buka kembali buku catatan tua berisi dendam kesumat. 　　Pangeran Qi benar-benar tak ingat kejadian receh itu. Melihat wajah Pangeran Lu, dorongan untuk memukulinya menggelegak. 　　Tapi tak ada cara lain, harus ditahan. 　　Nyonya Li baru saja berbuat salah. Kalau dia lagi-lagi terlibat insiden memukul saudara, citranya di mata Ayah Kaisar akan semakin buruk. 　　Tunggu, kenapa dia menggunakan kata "semakin"? 　　Pangeran Qi bergumam dalam hati "sial!", lalu berkata dengan muka masam: "Urusan perempuan, aku tidak banyak bertanya." 　　Pangeran Lu menggelengkan kepala: "Ckckck, kakak ipar keempat memang terlalu pandai mengatur hidup." 　　Pangeran Qi akhirnya tak tahan dan mengusir mereka: "Aku masih harus pergi ke tempat kakak ipar keempat--" 　　Pangeran Lu mengambil kesempatan untuk mundur, berkata sambil tertawa: "Kalau begitu kami pulang. Adik keenam, kalian bagaimana?" 　　Pangeran Shu menggerakkan sudut bibirnya dengan cepat: "Kakak keempat, cepatlah pergi menemui kakak ipar keempat. Kami juga akan pulang." 　　Acara seru sudah selesai, masih mau tinggal untuk makan? 　　Dua pasang suami-istri itu berlalu dengan anggun dari Kediaman Pangeran Qi. 　　Pangeran Lu berjalan beberapa langkah lalu berhenti, ragu-ragu: "Haruskah kita mengunjungi adik ipar ketujuh?" 　　Permaisuri Lu menaikkan alis: "Aku dan adik ipar keenam yang akan pergi." 　　Sebelum Pangeran Lu bereaksi, Pangeran Shu sudah tertawa: "Benar juga. Saat ini adik ketujuh tidak ada di rumah, tidak pantas kita datang." 　　Permaisuri Lu melirik suaminya, lalu bergegas menuju Kediaman Pangeran Yan bersama Permaisuri Shu. 　　Saat ini Ah Man sedang bersemangat menceritakan pengalaman menegangkan ini, dikelilingi para dayang-dayang. 　　Seorang dayang kecil mengangkat dagu sambil memandang sekeliling: "Kalian tahu wajah Kaisar seperti apa?" 　　Kerumunan itu menggelengkan kepala serempak. 　　"Aku tahu!" Ah Man dengan bangga menggambarkan rupa Kaisar Jingming. 　　Seorang dayang kecil penuh kekaguman berkata: "Kak Ah Man, kakak hebat sekali, sampai bisa bertemu Kaisar." 　　Beberapa dayang kecil ikut menyambung: “Benar, Kaisar adalah orang paling mulia di Dinasti Zhou kita, Kakak Ah Man benar-benar berbakat ya——” 　　Ah Man menyeringai, tersenyum: “Apa bakat yang kumiliki? Semua ini karena mengikuti tuanku, barulah ada kesempatan bertemu wajah suci Kaisar. Jadi kalian juga harus mengabdi tulus pada Permaisuri agar mendapat keberuntungan.” 　　A Qiao yang hendak melangkah mencegah Ah Man membual geleng-geleng kepala sambil menelan kata-katanya. 　　“Ngomong-ngomong, Kaisar bahkan tahu namaku!” 　　Pernyataan Ah Man langsung memicu riuh decak kagum, sampai seorang dayang buru-buru melapor kedatangan Permaisuri Lu dan Permaisuri Shu, barulah para dayang bubar dengan rasa penasaran. 　　Kegembiraan Jiang Si mencapai target kecil tak bertahan lama. 　　Kematian kakak laki-laki, kepergian suami – kepedihan dan kerinduan inilah yang abadi. 　　Tak lama setelah menemui Permaisuri Lu dan Permaisuri Shu, Jiang Si kembali menerima surat dari Dongping Bo Residence. 　　Surat yang ditulis Jiang Yi itu penuh kekhawatiran atas kejadian yang menimpanya, menanyakan apakah besok boleh berkunjung. 　　Melihat ini, Jiang Si langsung membalas undangan, bertekad pulang ke Keluarga Bo. 　　Begitu menerima balasan Jiang Si, Dongping Bo Residence segera mengirim mandor menunggu di gerbang. Saat Jiang Si tiba, langsung diantar ke Cixintang. 　　“Si'er, kau tidak apa-apa?” Jiang Ancheng memandangi Jiang Si dengan cermat. Melihat putrinya tidak tampak terluka, wajah pucatnya baru terlihat lebih baik. 　　Baru saja kehilangan anak lelaki, jika putri kecil ini juga celaka, sungguh aku tidak sanggup bertahan. 　　Jiang Si memandang ayahnya yang kurus kering, mata berkaca-kaca: "Saya benar-benar baik-baik saja, membuat Ayah khawatir." 　　"Kekhawatiran itu tak berarti, yang penting kau selamat." 　　Nyonya Feng memecahkan keharmonisan antara ayah dan anak: "Permaisuri, bagaimana bisa bertemu dengan kuda liar di situasi tenang begini?" 　　Wajah Jiang Si berubah dingin: "Pertanyaan Nenek ini menyulitkan saya, kecelakaan seperti ini mana bisa cucu jelaskan alasannya?" 　　Meski melihat ketidaksenangan Jiang Si, Nyonya Feng tetap melanjutkan: "Kudengar kau membantah Pangeran Qi di hadapan Kaisar? Permaisuri, Pangeran Qi tetap kakak laki-laki suamimu, kau harus lebih Berkata-hati-hati di masa depan." 　　Jiang Si menyunggingkan senyum sinis. 　　Kakak A Jin? Nenek jelas-jelas yakin Pangeran Qi calon penerus tahta, takut aku menghina calon Kaisar dan mencelakakan Keluarga Bo. 　　Tante datang bulan berkunjung, harus rebahan seharian lagi. Sampai jumpa besok. 645.BAB 644 Kue Pai 　　BAB 644 Kue Pai 　　Sikap masa bodoh Jiang Si membuat Nyonya Feng geram, tapi amarah itu harus ditahan: "Permaisuri, jangan bertindak semaumu, nanti malah menyeret Pangeran--" 　　Jiang Si memicingkan mata memotong ocehan Nyonya Feng: "Nenek memikirkan apa, jika saya bertindak semaunya dan tidak tahu di depan Kaisar, mungkinkah Kaisar akan mentolerir? Mengenai menentang Pangeran Qi——" 　　Suara Jiang Si terhenti sebentar, tersenyum sinis memandang Nyonya Feng: "Dari mana nenek mendengar gosip semacam ini?" 　　Nyonya Feng terdiam sejenak, tak bisa menjawab. 　　Asal-usul desas-desus ini sudah tak bisa dilacak sumbernya, tiba-tiba saja kabar angin itu muncul. Ketika sampai di telinganya, ia langsung panik khawatir Pangeran Qi akan melampiaskan dendam pada Keluarga Bo setelah berkuasa kelak, sehingga buru-buru menasihati Jiang Si. 　　Melihat wajah kaku cucu perempuannya, pelipis Nyonya Feng berdenyut-denyut. 　　Kenapa si gadis ini semakin susah diatur? Sekadar nasihat baik saja harus dilawan, apa setelah menjadi Permaisuri sama sekali tidak menganggap neneknya ini? 　　Mengingat berbagai ucapan dan perbuatan Jiang Si sejak menikah ke Kediaman Pangeran Yan, kekesalan yang tertumpuk di hati Nyonya Feng akhirnya meledak. Wajahnya menjadi muram: "Darimana saya dengar tidak penting! Yang penting Permaisuri yang sudah menjadi bagian keluarga kerajaan harus berhati-hati dalam bicara dan bertindak, jangan sampai menghina orang yang salah yang bisa mencelakakan keluarga di kemudian hari." 　　Jiang Ancheng tak tahan menyela: "Ibu, Si'er selalu bijaksana, dia tahu batasan——" 　　"Kau diam!" Nyonya Feng tak perlu menahan diri lagi menghadapi putra sulung yang tak pernah disukainya, membentak keras. 　　Melihat ayah diperlakukan seperti itu, pandangan Jiang Si semakin dingin. Dia mengangkat alis dan bertanya, "Nenek merasa siapa yang tidak boleh disakiti?" 　　Nyonya Feng diam dengan wajah muram. 　　Jiang Si tersenyum dan mengucapkan tiga kata: "Pangeran Qi?" 　　Nyonya Feng tidak ingin hubungan dengan cucu perempuannya yang kini menjadi permaisuri terlalu tegang. Dia menghela napas, "Si'er, nenek tidak menyalahkanmu. Tapi Panger Qi benar-benar tak boleh diusik. Beliau adalah pangeran tertua setelah Qin Wang..." 　　"Nenek terlalu banyak berpikir," jawab Jiang Si dingin. 　　Melihat cucunya tak mau mendengar nasihat, Nyonya Feng marah: "Si'er, kau benar-benar ingin bertindak semaumu? Tidak takut nanti menyeret Keluarga Bo ke masalah?" 　　Jiang Si melirik Nyonya Feng, tiba-tiba berkata: "Permaisuri Qi sudah kehilangan akal sehat. Mulai sekarang tidak bisa menampakkan diri." 　　Nyonya Feng tertegun, tidak yakin dengan maksud perkataan Jiang Si. 　　Namun setelah mengatakannya, Jiang Si langsung mengambil cangkir teh dan meminumnya perlahan. 　　Nyonya Feng merasa perkataan itu mengandung makna tersirat, matanya tak berkedip memandanginya. 　　Seolah merasakan tatapan itu, Jiang Si tersenyum: "Tidak ada, saya hanya bicara sembarangan." 　　Jiang Yi yang duduk di samping tiba-tiba berubah pucat, jantungnya berdebar kencang. 　　Adik Keempat... dia menyingkirkan Permaisuri Qi lagi? 　　Perubahan ekspresi Jiang Yi tertangkap oleh Nyonya Feng. Alutnya berkerut, tiba-tiba ia menyadari maksud tersembunyi dari perkataan Jiang Si. 　　Pada saat itu, Nyonya Feng hampir pingsan. Setelah pulih, hanya satu pertanyaan yang terlintas di pikirannya: Apakah Si'er sedang menakut-nakutinya? 　　Setelah lama terdiam, Nyonya Feng berbicara dengan suara kering: "Permaisuri—" 　　Jiang Si memutar-mutar cangkir teh di tangannya, bertanya dengan tenang: "Bukankah Nenek merasa hidup ini penuh ketidakpastian?" 　　Ekspresi Nyonya Feng berubah-ubah, tetap diam. 　　Jiang Si meletakkan cangkir porselen putih di meja kayu mahoni, tersenyum: "Karena itu, jangan terlalu banyak berpikir. Menyiksa diri untuk hal yang mustahil tercapai, bukankah itu kebodohan?" 　　Nyonya Feng menggelengkan kepala berulang kali. 　　Gadis ini sudah gila! Berani menjebak Permaisuri Qi hanya karena tak mau sedikit saja menderita? 　　Perbuatannya pasti akan menyebabkan malapetaka! 　　Nyonya Feng mengubah nada bicaranya menjadi penuh nasihat: "Si'er, mendampingi raja seperti mendampingi harimau—" 　　Ia tak bisa menghadapi si gadis gila ini dengan keras. Jika gadis ini berani menjebak Permaisuri Qi, apalah arti seorang nenek baginya? 　　Kini Nyonya Feng harus mengakui bahwa hubungan darah dengan cucu perempuan yang telah menanjak tinggi ini sangat tipis. Kesempatan untuk menunjukkan wibawa sebagai nenek sudah hilang. 　　Melihat sikap Nyonya Feng melunak, Jiang Si tersenyum tipis: "Nenek tak perlu khawatir, Ayah Kaisar sangat baik padaku." 　　Nyonya Feng tak tahan memutar matanya. 　　Dengan sifat keras kepala Si'er seperti ini, mungkinkah Kaisar benar-benar menyukainya? 　　Pada saat itu, seorang dayang berlari terburu-burui masuk: "Ibu Suri, dari istana... utusan istana datang membawa titah kaisar!" 　　Nyonya Feng langsung berdiri, melirik Jiang Ancheng yang terlihat bingung, lalu menatap Jiang Si yang tenang. Ia segera merapikan rambutnya dan memerintah: "Bantu aku berganti pakaian resmi." 　　Setelah berganti pakaian formal dengan cepat, Nyonya Feng memimpin rombongan menuju halaman depan. 　　Kasim pembawa titah sudah menunggu di pekarangan, mendengar suara lalu berbalik badan. 　　Nyonya Feng berjalan cepat sambil berkata: "Maaf membuat Bapak menunggu lama." 　　"Ibu Suri tak perlu sungkan." Kasim itu bersikap sopan, lalu memberi salut kepada Jiang Si, "Permaisuri ternyata juga ada di sini." 　　Jiang Si mengangguk ringan: "Kasim Le tak perlu banyak tata krama." 　　Percakapan ini membuat Nyonya Feng merasa tak enak di hati. 　　Ia yang khawatir tak sopan pada kasim titah sampai kaki tua nyaris copot, sementara si gadis keempat malah menerima penghormatan dengan tenang. Inilah perbedaan status yang didambakan banyak orang. 　　Memiliki cucu perempuan seperti ini seharusnya menjadi kebanggaan, tapi sifat gadis ini yang aneh selalu membuat khawatir akan menimbulkan masalah. 　　Saat ini pun, hati Nyonya Feng berdebar-debar tak karuan, tak bisa menebak maksud titah dari istana. 　　Jika ini kompensasi untuk masalah Jiang Zhan, bukankah seharusnya menunggu Pangeran Yan kembali dari selatan dulu? 　　Semakin dipikirkan, Nyonya Feng semakin tak mengerti, jantungnya serasa mau melompat keluar. 　　Xiao Lezi telah mengeluarkan dekrit kerajaanyang berwarna kuning keemasan, membukanya dan mulai membacakan. 　　Dipimpin oleh Nyonya Feng, seluruh anggota keluarga Bo langsung bersujud serentak. 　　Suara melengking pelayan istana bergema di atas: "Dengan resti Langit, Sang Kaisar berfirman: Aku memandang bahwa mengelola negara perlu sastra, menumpas pemberontak butuh militer. Sedangkan Jiang Ancheng, Pangeran Dongping, menguasai keduanya. Ia bagaikan pilar penopang pemerintahan. Putranya Zhan luar biasa, putrinya Si elok parasnya... Kini menganugerahkan gelar bangsawan Dongping Bo yang bisa diwariskan tiga generasi. Demikian titah." 　　Sudah lama setelah Xiao Lezi selesai membacakan dekrit, halaman masih sunyi sepi. Waktu seolah membeku sejenak. 　　Di antara kerumunan yang masih bersujud, bahkan Jiang Si pun belum bisa menyadari situasi. 　　Apa yang terjadi? Dia jelas-jelas belum melakukan apapun, mengapa tiba-tiba mendapat rezeki nomplok? 　　Gelar bangsawan ini milik Jiang Ancheng, bisa diwariskan tiga keturunan. Artinya masa depan anak cucu terjamin. 　　Jiang Si tidak bisa menahan perasaan, dari hati terdalam turut bersukacita untuk ayahnya. 　　Melihat semua diam membatu, Xiao Lezi berdehem ringan: "Sang Bangsawan, silakan terima dekrit." 　　Jiang Ancheng menerima gulungan sutra dengan wajah blank, pikirannya kosong melompong. 　　"Kalau begitu hamba kembali ke istana untuk melapor." Xiao Lezi tidak berlama-lama, segera pergi tergopoh. 　　Nyonya Feng yang ditopang Nyonya Guo berusaha bangkit, tapi seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. 　　Ia menggenggam lengan Jiang Ancheng, bertanya penuh kecemasan: "Putra Sulung, apa sebenarnya yang terjadi?" 　　Jiang Ancheng memandang Jiang Si dengan tatapan bingung. 　　Maaf telah membuat semua menunggu lama. 646. BAB 645: HILANG 　　BAB 645 Hilang 　　Jiang Ancheng terkena angin dingin, sedikit sadar, bertanya kering pada Jiang Si: "Si'er, apakah ini ada kesalahan?" 　　Mahir sastra dan bela diri? Pilar pemerintahan? Ini sebenarnya membicarakan siapa? 　　Jiang Ancheng bingung merenung. 　　Nyonya Feng juga kebingungan. 　　Mahir sastra dan bela diri? Pilar pemerintahan? Siapapun itu, yang pasti bukan anak sulungku... 　　Tuan Jiang Kedua semakin bingung, disela kebingungannya dadanya terasa nyeri. 　　Sudah sekian lama ia berkecimpung di dunia birokrasi, tapi Kaisar tak pernah meliriknya. Sedangkan kakaknya yang tak berguna ini malah dipuji sebagai "pilar pemerintahan"? 　　Walau hanya basa-basi, tapi saat keturunan mereka membaca dekrit kerajaan seratus tahun kemudian, siapa yang tahu bagaimana sosok Dongping Bo generasi ini sebenarnya? 　　Kakak ini hidup sembrono, tinggal di rumah saja tiba-tiba dapat rezeki nomplok. Lalu untuk apa usahanya selama ini? 　　Saat ini, Tuan Jiang Kedua ingin menunjuk Langit sambil memaki-maki. 　　Langit tak adil! Sudah membuat putri kedua kakaknya jadi Permaisuri, sekarang malah memberi hak waris tiga generasi! 　　Langit benar-benar tak adil! 　　Ekspresi Tuan Jiang Kedua berubah-ubah, Nyonya Feng tak tahan bertanya: "Permaisuri, kau tahu apa yang terjadi?" 　　Jiang Si kini sudah tenang, matanya berkilau lembut. 　　Nyonya Feng tersadar: "Mari bicara di dalam." 　　Dalam sekejap mata, beberapa orang memasuki Cixintang. Nyonya Feng menyuruh semua pelayan keluar, lalu bertanya serius pada Jiang Si: "Si'er, sebenarnya apa yang terjadi?" 　　Jiang Si tersenyum: "Pertanyaan Nenek ini seharusnya tidak ditujukan padaku. Bukankah sudah jelas dijelaskan dalam dekrit kerajaan itu? Ayah mahir dalam sastra dan bela diri, merupakan pilar penting pemerintahan—" 　　"Si'er, jangan bercanda di saat seperti ini." Nyonya Feng menghela napas. 　　Jiang Si mengangkat alis: "Nenek, apakah Nenek merasa pujian ini tidak pantas untuk Ayah?" 　　Sudut bibir Nyonya Feng berkedut, matanya melirik Jiang Ancheng yang masih terlihat bingung. 　　Dengan keadaan Putra Sulung seperti ini, siapa yang percaya dia pantas mendapat pujian seperti itu? 　　Jiang Ancheng tersadar dari pandangan Nyonya Feng, mengerutkan kening: "Si'er, tidak ada masalah kan?" 　　Putra tunggalnya sudah tiada, hak waris turun-temurun selama tiga generasi tidak lagi menjadi perhatiannya. Yang lebih dikhawatirkannya adalah apakah putri kecilnya menerima perlakuan tidak adil di keluarga kerajaan, sehingga kompensasi diberikan padanya. 　　Hak waris yang diperoleh dengan cara seperti ini sama sekali tidak diinginkannya. 　　"Ayah jangan terlalu banyak berpikir. Sudah kukatakan sebelumnya, Kaisar adalah penguasa yang murah hati, dan memperlakukan putri dengan baik." Jiang Si menghibur ayahnya dengan lembut. 　　Nyonya Feng terkejut, memandang Jiang Si dengan tak percaya: "Si'er, benarkah Kaisar memperlakukanmu dengan baik?" 　　Jiang Si menarik sudut bibirnya: "Apakah Nenek mengira omonganku sebelumnya hanyalah bualan kosong?" 　　Nyonya Feng tersenyum kecut, pandangannya pada Jiang Si semakin antusias: "Nenek benar-benar tidak menyangka——" 　　Tidak menyangka cucu perempuan yang keras kepala ini benar-benar mendapat perhatian Kaisar! 　　Apakah Kaisar buta? 　　Pikiran ini tiba-tiba muncul di benak Nyonya Feng, yang segera buru-buru menekannya, yang tersisa hanyalah kegembiraan. 　　Gelar kebangsawanan Keluarga Bo yang hanya sampai pada Putra Sulung telah menjadi penyakit hati yang terus menghantuinya, ia selalu bermimpi untuk melanjutkan gelar Dongping Bo Residence. Karena itu, setelah melihat kemampuan terbatas Putra Sulung, ia menaruh semua harapan pada Putra Kedua, diam-diam berharap Putra Kedua bisa sukses dan membawa kejayaan bagi keluarga. 　　Tak disangka, hal yang selalu dirindukan dan diimpikan tiba-tiba menjadi kenyataan, begitu cepat hingga ia tak sempat bersiap. 　　Pandangan Nyonya Feng pada Jiang Si semakin penuh kasih sayang. 　　Si'er benar, memikirkan masa depan terlalu banyak tidak berguna, imbalan saat ini yang benar-benar nyata. 　　Si'er yang baru menikah ke keluarga kerajaan ini langsung membawa gelar bangsawan yang bisa diwariskan tiga generasi untuk Keluarga Bo. Bukankah dengan mengandalkannya, Keluarga Bo bisa lebih maju lagi di masa depan? 　　Hati Nyonya Feng dipenuhi gejolak semangat. 　　"Nenek, Ayah, saya akan kembali ke istana pangeran dulu." 　　Nyonya Feng segera menahan: "Permaisuri tinggal makan dulu di sini." 　　"Tidak perlu, A Huan akan rewel jika lama terpisah dariku." 　　Nyonya Feng tersenyum sabar: "Kalau begitu cepatlah kembali. Yi'er, antar adikmu pergi." 　　“Baik.” Jiang Yi merendahkan diri, mengantar Jiang Si keluar. 　　Melihat kedua cucu perempuannya pergi berpegangan tangan, Nyonya Feng untuk pertama kalinya merasa cucu tertua yang tinggal di rumah orangtuanya bukanlah hal buruk. 　　Dulu dia menganggap cucu seperti ini memalukan, tapi sekarang melihat kedekatan kakak-adik Jiang Si dan Jiang Yi, selama Jiang Yi masih di kediaman ini, Jiang Si takkan memperlakukan Keluarga Bo dengan buruk. 　　“Ibu Feng, beri tahu dapur untuk menyiapkan jamuan makan.” Perintah Nyonya Feng dengan hati riang. 　　“Tidak perlu.” 　　Nyonya Feng tertegun, menatap Jiang Ancheng. 　　Jiang Ancheng mengusap wajahnya, berkata datar: “Tak ada yang perlu dirayakan.” 　　Wajah Nyonya Feng muram: “Putra Sulung, ini berkah besar, kau bicara apa?” 　　Suara Jiang Ancheng semakin dingin: “Turun tiga generasi lalu bagaimana? Zhan'er sudah tiada...” 　　Saat mengucapkan ini, postur gagah pria itu terlihat murung. 　　“Bodoh!” Nyonya Feng membentak, teringat sikapnya terhadap Keluarga Utua harus diubah, nada melunak: “Meneruskan gelar bangsawan Keluarga Bo tiga generasi adalah kehormatan leluhur, bagaimana kau bisa berpikiran sempit?” 　　Zhan'er tiada pun tak apa, Putra Sulung masih muda. Asal mau menikah lagi, apa sulit punya anak lelaki? 　　Paling buruk, jika Putra Sulung keras kepala tak mau menikah atau mengambil selir, adopsi salah satu putra Lao Er untuk mewarisi gelar juga baik. 　　Perkataan-perkataan ini tak perlu dibahas sekarang, agar Putra Sulung tidak tersinggung. 　　Jiang Ancheng tidak membantah ucapan Nyonya Feng, berkata dengan tenang: "Putra masih ada urusan, tak akan ikut makan. Ibu ingin merayakan silakan saja." 　　Melihat Jiang Ancheng pergi, Nyonya Feng berpesan pada Tuan Jiang Kedua: "Kakakmu sedang bersedih, nanti suruh Cang'er dan yang lain sering datang memberi salut padanya." 　　Tuan Jiang Kedua paham, segera menjawab: "Ibu tenang saja, putra mengerti." 　　Di sisi lain, Jiang Yi mengantar Jiang Si keluar, sambil mengamati profil adiknya yang sempurna, tak tahan bertanya pelan: "Adik Keempat, Permaisuri Qi itu—" 　　Jiang Si menoleh, suaranya nyaris tak terdengar: "Dia ingin mencelakaiku." 　　Jiang Yi menggigil, lalu meregangkan alisnya. 　　Dia selalu mengagumi ketegasan Adik Keempat, ternyata Permaisuri Qi memang bukan orang baik! 　　Jiang Si berpamitan pada Jiang Yi dan kembali ke istana pangeran. Baru saja menimang-nimang A Huan, A Qiao sudah buru-buru masuk dengan wajah pucat: "Tuanku, Lush Sheng Xiang ada masalah." 　　Sebelum Jiang Si sempat bicara, Ah Man sudah menggosokkan telapak tangannya, bertanya penuh amarah: "Masalah apa? Masih ada orang tak tahu diri yang berani mengganggu Lush Sheng Xiang?" 　　Tidak mungkin, sekarang seluruh Jalan Pasar Barat tahu pemilik di balik Lush Sheng Xiang adalah Permaisuri, mana ada yang berani membuat onar? 　　"Apa yang terjadi di Lush Sheng Xiang?" tanya Jiang Si dengan tenang. 　　A Qiao berbisik: "Xiuniangzi menghilang." 　　Xiuniangzi adalah Ratu Tahu yang kehilangan putrinya dalam kasus pembunuhan kejam 10 gadis oleh Putra Mahkota Marquis Changxing. Bisa dikatakan sejak awal Jiang Si membuka Lush Sheng Xiang bertujuan untuk menolong ibu malang ini. 　　Begitu mendengar kabar hilangnya Xiuniangzi, alis Jiang Si langsung berkerut. 647.BAB 646 Taman Mei 　　BAB 646 Taman Mei 　　Sejak status Jiang Si sebagai pemilik Lush Sheng Xiang diumumkan secara terbuka, bisnis toko ini justru menyusut pasokan wewangiannya, semakin fokus melayani kalangan nyonya-nyonya dan putri bangsawan. 　　Karena itu, meskipun Lush Sheng Xiang lebih menguntungkan dari sebelumnya, kesannya justru lebih low-profile. Apalagi sudah tak ada lagi yang berani membuat keributan di sana. 　　"Bagaimana cara memastikan Xiuniangzi hilang?" 　　"Kemarin Xiuniangzi pergi ke taman mei di pinggir kota untuk memeriksa kualitas bunga wintersweet. Sampai hari ini belum kembali. Nona Chuchu curiga dan menyusul ke sana, tapi pemilik taman bilang Xiuniangzi sudah pergi sejak kemarin..." 　　Jiang Si mengernyit: "Xiuniangzi pergi sendirian?" 　　A Qiao menjawab: "Ditemani satu pelayan." 　　"Artinya, keduanya tak kembali?" 　　A Qiao mengangguk: "Nona Chuchu memaksa pemilik taman mengaku tapi tak mendapat informasi. Karena itu dia buru-buru mengirim utusan untuk memberitahu hamba. Tuanku, bagaimana..." 　　Jiang Si berpikir sejenak: "Pergi ke Lush Sheng Xiang dulu." 　　Ada banyak kemungkinan di balik hilangnya Xiuniangzi. 　　Bisa jadi mereka jadi korban penjahat yang mengincar harta, atau... ini sasaran sebenarnya adalah tuanku. 　　Menurut Jiang Si, kemungkinan besar ini memang ditujukan padanya. 　　Baru saja dia menyelesaikan masalah Permaisuri Qi, bahkan membuat Pangeran Qi kehilangan muka. Konon sekarang setiap kali orang menyebut Pangeran Qi, kesan pertama mereka adalah Kediaman Pangeran Qi agak miskin – dalam situasi seperti ini, sangat mungkin Pangeran Qi ingin balas dendam dengan mengincar toko Lush Sheng Xiang miliknya. 　　Lagipula, langsung menyerang Jiang Si sendiri cukup sulit, sementara menargetkan Lush Sheng Xiang jauh lebih mudah. 　　Sambil memikirkan semua ini, Jiang Si cepat-cepat pergi ke Lush Sheng Xiang bersama pengawalnya. 　　Toko Lush Sheng Xiang terkunci rapat dengan papan "Sementara Tutup" tergantung di depan. 　　Begitu tiba, Jiang Si langsung masuk melalui pintu belakang dan bertemu Lu Chuchu. 　　Wajah Lu Chuchu terlihat sangat muram: "Permaisuri, Xiuniangzi menghilang!" 　　"Aku sudah dengar dari A Qiao," Jiang Si mengangguk ringan, "Nona Chuchu, adakah keanehan yang terlihat pada Xiuniangzi sebelum dia pergi kemarin?" 　　Lu Chuchu berpikir keras lalu menggeleng: "Sama seperti biasanya. Xiuniangzi sangat serius dalam urusan wewangian. Dia selalu mau melihat sendiri jika ada bunga bagus di suatu tempat. Ini juga bukan pertama kalinya." 　　"Pelayan itu--" 　　"Pelayannya juga bisa dipercaya, bahkan lebih lama bekerja di sini daripada aku." 　　"Bagaimana situasi keluarganya?" 　　Lu Chuchu tertegun sejenak: "Aku sudah menyuruh orang ke rumahnya. Keluarganya tampak sama sekali tidak tahu dan sedang panik mendengar kabar kehilangannya." 　　Untuk sementara, Jiang Si mengesampingkan kecurigaan pada pelayan tersebut. 　　"Umumnya, jika seorang pelayan disuap, mereka akan diam-diam mengurus keluarga mereka, tidak seperti sekarang di mana keluarga mereka sama sekali tidak tahu." 　　"Tentu saja, ada juga orang kejam yang meninggalkan istri dan anak demi imbalan, tapi orang seperti itu sangat jarang, kemungkinannya kecil." 　　"Ini bukan kekayaan yang luar biasa. Rakyat kecil biasa yang serakah akan imbalan biasanya melakukannya untuk membuat keluarga mereka hidup lebih baik." 　　"Pemilik Taman Plum mana?" 　　Cahaya jahat berkilat di mata Lu Chuchu. Ia melempar kata "Permaisuri harap tunggu sebentar" sambil membuka tirai dan keluar. Tak lama kemudian ia kembali sambil menyeret seseorang. 　　Orang itu agak gemuk, seorang pria paruh baya yang berwajah makmur. Wajahnya merah padam tapi tak berani melawan saat diseret Lu Chuchu. 　　"Pemilik kami sudah datang. Di hadapan Permaisuri, berani-beraninya kau menyembunyikan kebenaran!" Lu Chuchu mendorong pria paruh baya ke depan Jiang Si. "Permaisuri, inilah pemilik Taman Plum. Dialah yang mengundang Xiuniangzi untuk menikmati bunga plum." 　　Jiang Si mengamati pria paruh baya itu dengan tatapan dingin. 　　Pria paruh baya itu langsung membungkuk hormat: "Hamba... hamba memberi salam pada Permaisuri..." 　　Jiang Si tak mau bertele-tele. Langsung bertanya: "Kemarin Xiuniangzi tiba di Taman Plum-mu jam berapa?" 　　"Sekitar pukul 2 siang. Hamba baru saja selesai makan siang." 　　"Lalu pergi jam berapa?" 　　Pria itu tak ragu: "Mungkin sekitar pukul empat sore." 　　Jiang Si berpikir sejenak. 　　Dari pukul 2 siang hingga pukul 4 sore, jika pemilik Plum Garden tidak berbohong, maka Xiuniangzi menghabiskan sekitar satu shichen di Plum Garden untuk memeriksa kualitas bunga plum. Perjalanan dari Plum Garden pinggiran kota ke Lush Sheng Xiang memakan waktu sekitar satu shichen. Xiuniangzi yang berangkat sekitar pukul empat sore masih bisa masuk kota sebelum pintu gerbang dikunci, secara kronologis sesuai dengan pilihan Xiuniangzi. 　　Jiang Si memandangi pria paruh baya itu dengan ekspresi datar, membuat kulit wajah pria itu bergetar gugup. 　　Ini Permaisuri resmi, kalau benar-benar marah, bisa-bisa Plum Garden-ku dihancurkan? 　　Tunggu, menghancurkan Plum Garden saja belum cukup, jangan-jangan aku yang dihancurkan? 　　Memikirkan ini, pria paruh baya itu tak bisa berdiri tenang, kedua kakinya bergetar. 　　Intuisi Jiang Si mengatakan pria ini tidak terlalu terlibat, tapi tak boleh dilepaskan begitu saja: "Kau bilang Xiuniangzi pergi sekitar pukul empat sore, ada saksi?" 　　Pria paruh baya itu tertegun. 　　Saksi? Ini kok jadi seperti pengadilan pejabat, perlu saksi dan bukti segala. 　　Lu Chuchu melototi pria itu: "Permaisuri bertanya padamu, cepat jawab!" 　　Ah Man ikut melotot: "Iya! Matamu melirik-lirik tanpa jawab, apa sedang memutar otak membuat kebohongan?" 　　Pria paruh baya itu hampir bersujud, wajahnya berlinang air mata: "Hamba tak berani menipu Permaisuri, saksi mata—iya, hamba ingat! Saat hamba mengantar Xiuniangzi pergi, beberapa anak berlari ke Kebun Prem untuk memetik ranting prem diam-diam. Istri hamba melihat mereka dan mengejar anak-anak sialan itu dengan sapu. Seorang anak terjatuh, lalu Xiuniangzi yang membantu mengangkatnya—Xiuniangzi benar-benar orang baik—" 　　"Jangan banyak bicara!" hardik Lu Chuchu, matanya beralih ke Jiang Si. 　　Jiang Si merenung sejenak lalu memutuskan: "Kalau begitu, mari kita cari anak itu di Kebun Prem untuk dimintai keterangan." 　　Hilangnya Xiuniangzi terlalu mendadak. Dia harus memastikan apakah pegawai toko dan pemilik kebun terlibat sebelum fokus menyelidiki aspek lain. 　　"Permaisuri, bawalah lebih banyak pengawal," bisik A Qiao dengan perasaan cemas. 　　Jiang Si mengangguk, menyuruh Long Dan membawa beberapa pengawal tambahan. Sekelompok orang bergegas menuju Kebun Prem di pinggiran kota. 　　Waktu belum sampai tengah hari. Kebun prem dipenuhi bunga mekar sempurna, kuning keemasan berkilauan memesona. 　　Bunga prem musim dingin mekar dua bulan lebih awal dari prem biasa, kini sedang di puncak keindahannya. 　　Jiang Si berhenti sejenak, menghirup aroma harum yang memenuhi udara. 　　“Tanaman wintersweet memang termasuk bunga penghasil wewangian tingkat tinggi, tak heran menarik perhatian Xiuniangzi untuk datang memeriksa.” 　　“Permaisuri, beberapa bocah yang memetik ranting plum liar telah ditemukan.” Long Dan melapor sambil mendekat. 　　Jiang Si mengalihkan pandangannya, lalu melihat empat lima bocah berusia tujuh delapan tahun yang masing-masing tangan mereka dipegang erat oleh orang dewasa. 　　Beberapa orang dewasa memandangnya dengan wajah tegang, sementara anak-anak itu penuh rasa ingin tahu. 　　Suara Jiang Si menjadi lembut: “Kudengar kemarin ada di antara kalian yang terjatuh, siapa ya? Apa lukanya sakit?” 　　Beberapa anak langsung menoleh ke seorang bocah lelaki gemuk. 　　Bocah itu tiba-tiba memerah mukanya, berbisik pelan: “Sama sekali tidak sakit.” 648. BAB 647 Kuil Runtuh 　　BAB 647 Kuil Runtuh 　　Jiang Si memandang bocah yang sedang kesal itu dengan ekspresi semakin lembut, sedikit membungkuk bertanya: “Kemarin saat kalian bermain di sini, apakah bertemu dengan seseorang?” 　　Melihat si bocah gemuk ini cukup menjaga harga diri, Jiang Si tidak lagi menyinggung soal terjatuh, mengganti cara bertanya yang lebih halus. 　　Bocah itu memang jadi tidak terlalu menolak, menjawab: “Ketemu seorang ibu dan seorang paman.” 　　“Bisakah kau ingat wajah ibu itu?” 　　Pertanyaan Jiang Si membuat bocah itu bingung, si gemuk melirik teman-temannya. 　　Jiang Si memandang A Qiao. 　　A Qiao segera mengeluarkan banyak permen dari dompetnya, dengan senyum membagikannya ke anak-anak. 　　Anak-anak dari keluarga biasa hanya bisa mendapatkan permen saat hari raya, sehari-hari tak terlihat. Para gadis yang mendapat permen bersorak gembira, suasana pun langsung meriah. 　　Saat Jiang Si bertanya lagi, seorang anak perempuan berkata dengan malu-malu: "Aku ingat——" 　　Jiang Si segera menatap anak perempuan itu. 　　"Ibu tua itu memakai mantel putih bermotif bunga biru, rok kain hitam, alis melengkung, dagu runcing, lebih——" Anak perempuan itu ragu sejenak lalu memberanikan diri, "Lebih cantik dari ibuku." 　　Wanita yang menggandeng anak itu langsung berubah wajahnya, melototi putrinya. 　　Mendengar perkataan anak itu, Jiang Si menoleh ke Lu Chuchu. 　　Lu Chuchu mengangguk dengan wajah pucat: "Kemarin Xiuniangzi memang berpakaian seperti itu." 　　Pemilik Kebun Plum di samping akhirnya lega, mengusap keningnya lalu membungkuk: "Yang Mulia, hamba tidak berbohong, kemarin Xiuniangzi dan pelayan memang tidak lama di sini, sudah pergi cepat..." 　　Jiang Si menunduk memandangi beberapa anak polos, lalu melihat pemilik Kebun Plum yang sopan. Sementara menepiskan kecurigaan pada pemilik kebun, dia berkata pada Long Dan: "Kirim beberapa orang menyisir jalan dari Kebun Plum ke kota, lihat ada petunjuk apa." 　　Dari Kebun Plum pinggiran kota ke Lush Sheng Xiang tidak terlalu jauh, dua orang hidup tak mungkin hilang begitu saja... Sekalipun terjadi sesuatu, mana mayatnya? 　　Jiang Si tidak ingin berpikir yang buruk-buruk. 　　“Xiuniangzi telah melewati sebagian besar hidupnya yang penuh penderitaan, semoga paruh kedua hidupnya diliputi kedamaian dan kebahagiaan, bukan tak berakhir baik.” 　　Jiang Si berpikir sejenak, lalu berpesan: “Xiuniangzi dan yang lain akan pergi sekitar pukul 3 sore. Jika mereka sampai di pintu gerbang kota dengan lancar, itu hampir mendekati waktu penguncian gerbang. Aku yakin tidak akan banyak orang yang keluar-masuk kota. Long Dan, kau ingat untuk bertanya pada prajurit penjaga gerbang, apakah mereka punya kesan tertentu.” 　　Long Dan mengangguk: “Tuanku tenang, hamba akan menyuruh orang menyelidiki. Hamba akan mengantar tuanku pulang dulu, dan akan segera melapor jika ada perkembangan.” 　　Dibandingkan nasib Xiuniangzi, dia lebih mencemaskan keselamatan Jiang Si. 　　Sebelum berangkat ke selatan, sang pangeran pernah berpesan: "Jika sehelai rambut pun Permaisuri hilang, kepala Long Dan akan dijadikan bola tendang!" Dia tak boleh membiarkan Permaisuri celaka sedikit pun. 　　Lagipula, Permaisuri adalah keponakan sepupu tunangan Dou, sementara dirinya sendiri adalah tunangan Nona Dou. Kalau dipikir-pikir, *batuk*, dia sebenarnya adalah bibi sepupu Permaisuri. Wajar saja merawat yang lebih muda – pikiran ini melintas, Long Dan segera menghela nafas dalam hati. 　　Akhir-akhir ini mulai sombong, berani memikirkan hal-hal tak pantas. Jika sampai diketahui tuannya, pasti kulitnya akan dikuliti hidup-hidup. 　　Jiang Si tidak menolak usul Long Dan, mengangguk lembut. 　　Mencari orang bukan pekerjaan instan. Dia tak bisa berlama-lama di sini. Banyak urusan di rumah keluarga yang menunggu, belum lagi putrinya yang selalu dirindukan. 　　“Nona Chuchu, mari kita pulang dulu.” 　　Lu Chuchu yang telah hidup bersama Xiuniangzi siang dan malam dengan ikatan khusus, mengerutkan alis dan berkata: "Aku ingin ikut mencari bersama mereka, tak mau pulang menunggu begitu saja." 　　Jiang Si merenung sebentar lalu mengangguk: "Baiklah, dengan bantuan Nona Chuchu, mungkin kabar tentang Xiuniangzi akan cepat ditemukan." 　　A Qiao mewakili Jiang Si berpamitan dengan pemilik Mei Yuan, lalu rombongan bersiap pergi. 　　Pemilik Mei Yuan dalam hati menghela nafas lega, berpikir akhirnya para pejabat tinggi yang tak bisa dia lawan ini pergi juga. 　　Saat asyik berpikir, Ah Man tiba-tiba menoleh dan memperingatkan dengan wajah tegas: "Jangan sembunyi-sembunyi! Kami mungkin akan kembali memeriksa. Nyatanya dia hilang setelah pergi dari sini." 　　Pemilik Mei Yuan mengangguk cepat: "Baik, baik, hamba siap melayani kapan saja." 　　Melihat rombongan telah berjalan belasan zhang, pemilik Mei Yuan akhirnya santai: Kali ini benar-benar pergi. 　　Tiba-tiba bocah lelaki gendut itu berlari mengejar sambil berteriak: "Tunggu—" 　　Pemilik Mei Yuan langsung pusing, ingin sekali menghajar si bocah gendut itu. 　　Ibu bocah itu yang telah menyadari status penting Jiang Si, panik melihat anaknya mengejar: "Er Pang, cepat kembali!" 　　Teriakan si bocah gendut telah didengar Jiang Si. 　　Saat wanita itu menarik telinga bocah itu untuk pulang, Jiang Si kembali sambil berseru: "Kakak Ipar jangan menyusahkan para gadis." 　　Wanita itu terpaksa melepaskan cubitan, berkata dengan malu: "Yang Mulia maafkan, anak ini memang pantas dipukul." 　　Si gendut kecil menahan air mata, memandangi Jiang Si dengan penuh keprihatinan. 　　Jiang Si melangkah maju, membungkuk bertanya: "Kau memanggilku ada perlu apa?" 　　Ia berusaha tidak memberi tekanan pada bocah lelaki itu, senyum tipis tetap mengembang di bibirnya, sementara parasnya yang cantik jelas memberi ketenangan pada si gendut sehingga berani bicara. 　　Si gendut menghirup ingusnya: "Ada urusan--" 　　"Hmm, urusan apa ya?" 　　Meski meragukan bocah 7-8 tahun ini bisa memberi informasi berarti, Jiang Si tetap sangat sabar. 　　Memanggil para gadis hari ini pasti membuat mereka gugup, padahal urusan Xiuniangzi sebenarnya tak ada hubungannya dengan mereka. 　　Tapi perkataan si gendut berikutnya bagai petir di siang bolong: "Ada surat untuk Ibu--" 　　Mata Jiang Si menyempit tiba-tiba: "Surat apa? Di mana suratnya?" 　　Tak terhitung tatapan langsung tertuju pada bocah itu, membuatnya gelisah menggeliat. 　　Melihat ini, Jiang Si mengambil dompet berisi permen milik A Qiao, menyerahkan seluruh dompet itu ke tangan bocah sambil berbisik lembut: "Jangan takut, tante kasih permen, kamu berikan suratnya ya?" 　　Si gendut memandangi dompet penuh permen, ketegangannya langsung lenyap. Ia menelan air liur lalu mengeluarkan surat kusut dari saku dan memberikannya pada Jiang Si. 　　Jiang Si menerimanya, sekilas melihat dan langsung menemukan kejanggalan: Amplop itu tak bertuliskan huruf apa pun. 　　“Jika demikian, mengapa bocah lelaki itu mengatakan surat ini untuknya? Perlu diketahui kedatangannya ke sini hanyalah kebetulan.” 　　Jiang Si mengutarakan pertanyaannya. 　　Si gendut kecil dengan permen di mulutnya berkata: “Orang itu bilang jika bertemu wanita cantik seperti bidadari, serahkan ini padanya. Jika dalam tiga hari tidak ketemu, bakar suratnya di tungku.” 　　Kakak di depannya cantik dan memberinya permen, pasti tidak salah orang. 　　Hati Jiang Si berdebar, ia segera menarik surat itu dan membaca. Di kertas hanya tertulis tiga huruf: San Shi Miao. 　　“San Shi Miao——” Jiang Si bergumam pelan. 　　Ibu bocah itu terkejut: “San Shi Miao?” 　　Jiang Si langsung menatapnya: “Kakak Ipar tahu tempat ini?” 　　Ibu bocah itu mengangguk: “San Shi Miao kami semua tahu, terletak di gunung tak jauh dari sini. Itu kuil tua yang ditinggalkan, tidak pernah ada orang pergi...” 649.BAB 648 Tujuan 　　BAB 648 Tujuan 　　Para warga desa serentak berkata: “Iya benar, sudah ditinggalkan bertahun-tahun, biasanya sama sekali tak ada orang.” 　　“Siapa yang bersedia menunjukkan jalan?” Long Dan bertanya sambil tersenyum. 　　Mereka langsung ragu-ragu, akhirnya Pemilik Kebun Plum berkata: “Biarkan pelayan hamba yang memandu Yang Mulia.” 　　Di desa ini, Pemilik Kebun Plum termasuk keluarga kaya yang mempekerjakan banyak pelayan. 　　Segera seorang pria paruh baya berpenampilan sederhana maju dan memberi hormat pada Jiang Si. 　　Jiang Si mengangguk halus: “Baik, terima kasih. A Qiao, kau tinggal di sini menemani gadis ini sampai kami kembali.” 　　Prioritas saat ini adalah segera pergi ke Kuil Tiga Batu untuk menyelidiki. Jika tidak menemukan apa-apa, kita harus kembali dan menanyai bocah lelaki itu lebih banyak. 　　Jiang Si menggenggam surat ini, sudah yakin hilangnya Xiuniangzi adalah target untuk dirinya. Karena itu, keinginannya untuk menemukan Xiuniangzi semakin mendesak. 　　Menyisakan dua pengawal untuk A Qiao, rombongan Jiang Si bergegas menuju Kuil Tiga Batu. 　　Setelah Jiang Si pergi, ibu bocah lelaki itu memberanikan diri, mencubit pipi anaknya sambil memarahi: "Dasar anak kecil! Siapa yang memberi surat? Kenapa tidak bilang dari tadi? Malah bawa masalah ke keluarga!" 　　Bocah gemuk itu menjerit kesakitan saat pipinya dicubit sang wanita. 　　A Qiao buru-buru menghalangi: "Kakak Ipar jangan memukul para gadis. Mereka sudah membantu tuanku, kami malah harus berterima kasih." 　　A Qiao yang cerdas segera mengeluarkan ikan perak kecil dari dompetnya dan menaruhnya di tangan bocah itu sambil tersenyum: "Ambilah untuk bermain." 　　Wanita itu terbelalak, terus menggeleng: "Tidak boleh, tidak boleh--" 　　Ya Tuhan, ini perak? 　　Ikan perak kecil ini beratnya tiga qian! Ini cukup untuk biaya makan keluarga sebulan. 　　Sambil berbicara, wanita itu merebut ikan perak dari tangan bocah itu dan cepat-cepat menyimpannya di dada, membuat A Qiao hampir tertawa. 　　“Orangtua anak-anak lain memandang dengan penuh iri, melototi anak mereka sendiri sambil berpikir: kemarin mereka semua pergi mencuri bunga plum bersama, mengapa Er Pang bisa berhubungan dengan orang terhormat dan langsung mendapat ikan perak kecil, sedangkan anak sialan mereka ini seolah tidak ikut mencuri sama sekali?” 　　Wanita itu sangat waspada terhadap tatapan serakah itu, meraba dadanya untuk memastikan ikan perak kecil tersimpan aman, lalu tersenyum manis ke A Qiao: “Putri ingin menanyakan apa tentang Er Pang, silahkan tanyakan.” 　　A Qiao tersenyum, menarik si gendut ke samping, dan mulai bertanya dengan lembut. 　　Gunung tempat Kuil Tiga Batu berada tidak terlalu jauh dari Taman Mei, rombongan Jiang Si berjalan tanpa henti dan segera tiba di kaki gunung. 　　“Nyonya lihat, itu dia Kuil Tiga Batu,” ujar buruh penunjuk jalan sambil menunjuk. 　　Jiang Si menyipitkan mata memandang ke kejauhan, melihat bangunan rendah di lereng gunung samar-samar, seandainya bukan musim dingin dimana tumbuhan layu, mungkin sulit ditemukan. 　　“Bagaimana jika Nyonya menunggu di sini, hamba akan mengirim orang untuk memeriksa,” usul Long Dan. 　　Jiang Si menggeleng: “Mari naik bersama.” 　　Hilangnya Xiuniangzi jelas ditujukan padanya, dan karena sudah dibawa ke sini, mungkin tidak bisa dihindari lagi. 　　Mendaki gunung bukan masalah bagi Jiang Si, apalagi gunung ini tidak terlalu terjal, tak lama kemudian rombongan itu tiba di depan kuil tua di lereng gunung. 　　"Disebut kuil reyot sama sekali tidak berlebihan—dindingnya compang-camping terlihat rapuh, hanya tiga batu bentuk aneh di depan kuil yang masih bertahan meski diterpa angin dan hujan. 　　"Tuanku—" Ah Man berteriak pelan sambil menunjuk ke suatu arah. 　　Kerumunan menyipitkan mata, melihat sudut kain coklat tersembul di balik salah satu batu. 　　Lu Chuchu berlari tergopoh-gopoh, "Ini pelayan yang kemarin ikut Xiuniangzi!" 　　Orang-orang segera mengerumuni. 　　Pelayan berbaju coklat itu bersandar di batu besar, tangan-kakinya tidak terikat tapi terlihat kaku tak bergerak. 　　"Kenapa kau di sini? Di mana Xiuniangzi?" tanya Lu Chuchu gusar. 　　Bibir pecah-pecah pelayan itu bergetar, tenggorokannya mengeluarkan suara 'uh-uh' sementara matanya memerah panik. 　　"Apa yang terjadi?" Lu Chuchu memeriksa dengan cepat, wajahnya penuh kebingungan. 　　Hal seperti menekan titik bisu hanya ada di buku cerita, tak mungkin terjadi di dunia nyata. 　　Ekspresi Jiang Si mengeras, pandangannya perlahan beralih ke kuil reyot. 　　Kuil itu bermandikan sinar matahari musim dingin yang lembut, terlihat damai—tapi setelah melihat keadaan pelayan yang lumpuh, semua merasakan aura mistis dari ketenangan itu. 　　Jiang Si menatap tak berkedip ke pintu kuil. 　　Pintu kayu kuil sudah hilang separuh, terlihat lapuk dan kosong. 　　Ia menarik pandangan, kembali mengamati si pelayan. 　　Orang lain tidak mengerti apa yang terjadi pada pelayan ini, tapi dia menyadarinya. 　　Pelayan itu terkena Gu! 　　Dengan begini, lawan yang menyebabkan hilangnya Xiuniangzi ternyata tidak biasa. 　　Apakah orang itu ada di kuil tua ini? Apakah Xiuniangzi juga ada di sini? 　　Jiang Si ragu sejenak, mengeluarkan sebutir obat dari dompetnya dan memberikannya ke pelayan. 　　Alasan keraguannya adalah sebuah dugaan: pihak lawan sengaja memberi Gu pada pelayan, mungkin ingin melihat apakah dia bisa menyembuhkan Racun Gu. 　　Tapi terkadang meski sudah tahu, tetap harus dilakukan. 　　Tak lama kemudian, pelayan akhirnya bisa berbicara: "Xiun... Xiuniangzi ada di dalam..." 　　Lu Chuchu langsung melangkah menuju kuil tua. 　　Long Dan mengulurkan tangan menghalangi Lu Chuchu: "Nona Chuchu, tunggu dulu." 　　Lu Chuchu mengerutkan alis memandang Jiang Si. 　　"Long Dan, kau bawa orang masuk untuk memeriksa." 　　"Baik." 　　Long Dan menunjuk dua orang untuk ikut masuk ke kuil tua. 　　Pelayan itu tiba-tiba berteriak: "Ma... masih ada satu orang lagi!" 　　Langkah Long Dan terhenti sebentar, menoleh melihat Jiang Si. 　　Jiang Si mengangguk halus: "Pergilah." 　　Jika lawan hanya menggunakan Gu, dia bisa menjamin keselamatan Long Dan dan yang lain. Jika lawan mahir bela diri, dengan kemampuan Long Dan pasti bisa mundur dengan selamat. 　　Jiang Si menyaksikan Long Dan melangkah perlahan menuju pintu kuil tua. Saat hampir sampai, tiba-tiba seseorang terjatuh keluar dari dalam pintu. 　　Long Dan dengan sigap menyangga orang itu, wajah Lu Chuchu berubah pucat: "Xiuniangzi!" 　　Orang yang didorong keluar tak lain adalah Xiuniangzi. 　　Long Dan mengamati pintu kuil sejenak, lalu segera membawa Xiuniangzi mundur ke dekat Jiang Si. 　　"Xiuniangzi, kau tidak apa-apa?" tanya Lu Chuchu buru-buru. 　　Xiuniangzi terlihat agak lesu namun tampak tidak apa-apa, menjawab: "Saya baik-baik... Bagaimana Permaisuri bisa datang ke sini—" 　　Ucapan selanjutnya terhenti mendadak karena gerakan tiba-tiba Jiang Si. 　　Jiang Si menggenggam pergelangan tangan Xiuniangzi, menatap tangan kirinya. 　　Meski tak lagi muda dan penuh penderitaan, wanita cantik ini masih dikaruniai sepasang tangan putih yang ramping. 　　Di kuku jari ketiga tangan kiri Xiuniangzi, terlihat jelas tiga garis merah tipis. 　　Mata Jiang Si menyempit tajam, menatap bekas merah itu, lalu mengalihkan pandang ke pintu kuil yang sunyi. 　　Jika Xiuniangzi terkena gu biasa mungkin tak masalah, tapi ini Gu Pemikat Hati yang pernah membunuh ibunya dan nyaris membunuh neneknya. 　　Orang di dalam kuil itu memang tahu banyak hal tentangnya, bahkan sengaja menanam Gu Pemikat Hati pada Xiuniangzi untuk menarik perhatiannya. 　　Apa tujuan sebenarnya mereka? 650.BAB 649 Permintaan Menggelikan 　　BAB 649 Permintaan Menggelikan 　　Jiang Si tidak bertanya apa pun pada Xiuniangzi, melainkan melangkah perlahan menuju pintu kuil yang rusak. 　　"Permaisuri—" Long Dan memanggil, kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatiran. 　　Dia biasanya tak takut langit maupun bumi, tapi ini menyangkut Permaisuri Yan. 　　Langkah Jiang Si tak berhenti, suaranya rendah: "Ikut saya masuk." 　　Keduanya berjalan menuju kuil, Ah Man langsung mengikuti tanpa ragu. 　　Tiga batu itu tak jauh dari kuil, Jiang Si segera sampai di depan pintu lalu berhenti sebentar. 　　Long Dan berbisik: "Permaisuri, izinkan hamba masuk duluan." 　　Jiang Si tidak nekat, hanya mengangguk halus. 　　Tapi begitu Long Dan melangkah masuk, suara perempuan terdengar dari dalam: "Berhenti!" 　　Suaranya terdengar tak muda lagi. 　　Jiang Si menangkap sesuatu yang familiar, alisnya terangkat. 　　Suara itu kembali berbunyi: "Hanya Permaisuri Yan yang boleh masuk." 　　Long Dan mencemooh: "Konyol! Xiuniangzi sudah tidak di tanganmu, mengapa Permaisuri harus masuk?" 　　Orang ini sama sekali tak paham fungsi sandera. Mana ada melepas sandera dulu baru mengancam. 　　Long Dan bergumam dalam hati, menganggap orang dalam kuil itu bodoh. 　　Tapi bagi Jiang Si, orang dalam kuil itu tidak bodoh. 　　Melepas Xiuniangzi terlebih dulu karena sandera itu tak penting. Mereka tahu Xiuniangzi tak bisa dipakai untuk mengancamnya. 　　Xiuniangzi bagi orang itu, mungkin hanya berfungsi untuk memancingnya datang ke sini. 　　Suara itu mengandung sedikit tawa: "Permaisuri kalian akan masuk." 　　Long Dan segera menatap Jiang Si: "Permaisuri——" 　　Ekspresi Jiang Si berubah beberapa kali, lalu benar-benar melangkah masuk. 　　Gu Pemikat Hati, suara yang samar-samar familiar... Dia sudah menebak siapa orang itu. 　　Dalam situasi seperti ini, seperti yang dikatakan orang itu, dia akan masuk. 　　Orang itu ada di dalam kuil, mendatanginya secara tiba-tiba. Mustahil dia pulang tanpa berani bertemu, harus mengetahui tujuan beraninya orang itu mencari dirinya. 　　Long Dan panik melihatnya: "Permaisuri, berbahaya! Kalau mau masuk, hamba yang masuk dulu!" 　　Sorot mata Jiang Si dingin: "Tidak apa, kalian tunggu di pintu saja." 　　"Permaisuri——" Long Dan tidak berani menyetujui. 　　Jiang Si akhirnya berkata: "Aku pernah bertemu orang itu, akan berhati-hati dengan keamanan." 　　"Tapi tetap terlalu riskan!" 　　Jiang Si tersenyum pada Long Dan: "Makanya kau tunggu di pintu. Begitu ada gerakan, langsung masuk. Percaya reaksimu bisa menghadapi seorang nenek tua." 　　Long Dan melihat Jiang Si bersikeras, terpaksa menyetujui. 　　Permaisuri benar. Jika tidak bisa menjamin keamanan Permaisuri melawan nenek tua, lebih baik dia berhenti bekerja. 　　Tapi tidak takut sepuluh ribu, hanya takut satu kemungkinan—— 　　Saat Long Dan masih ragu, Jiang Si sudah masuk ke kuil tua. Yang menunggu di luar adalah Ah Man. 　　Ah Man melotot ke Long Dan, mengancam pelan: "Kalau Permaisuri sampai celaka, kau tamat!" 　　Long Dan yang sedang tegang langsung memutar matanya: "Aku sedang mendengarkan suara dari dalam, jangan ganggu konsentrasiku!" 　　Ah Man segera diam patuh. 　　Berani-beraninya si bocah nakal mengancamku, nanti pulang pasti akan aku adukan ke Bibi Dou. 　　Kuil tua itu berbau lembab, meja persembahan penuh debu, sarang laba-laba masih tersisa di sudut dinding dan balok langit-langit. 　　Jiang Si mengamati sekeliling, lalu pandangannya tertuju pada satu titik. 　　Di sana duduk bersila seorang nenek tua, wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya remang, namun Jiang Si sudah mengenalinya sebagai Tetua Hua yang diduganya tadi di luar kuil. 　　Tetua Hua tetap diam, Jiang Si yang pertama berbicara: "Sejak berpisah di toko kecil Jalan Pasar Barat, tak kusangka bisa bertemu Tetua Hua di sini." 　　Kakek-nenek Tetua Hua sempat ditangkap dan dimasukkan ke penjara khusus, tapi tak lama kemudian mereka kabur tanpa jejak, menjadi beban pikiran Kaisar Jingming dan aib besar bagi Jinlinwei. 　　Utusan yang dikirim Kaisar Jingming ke Wu Miao kemudian juga tidak menemukan jejak Tetua Hua dan cucunya. 　　Kehadiran Tetua Hua di kuil tua ini memang sangat mengejutkan Jiang Si, pikirannya segera berputar mencari tahu tujuan sesungguhnya. 　　Apakah Tetua Hua benar-benar sudah kembali ke Wu Miao setelah kabur? 　　Saat itu Dayang Duo memanfaatkan kesempatan menemani Janda Permaisuri keluar istana untuk berziarah demi bertemu Tetua Hua. Dari mulut Tetua Hua, dia mengetahui kabar tentang kemunculan Imam Suci Wu Miao yang asli dan palsu di ibu kota. Namun saat itu Dayang Duo belum bertemu dengannya, sehingga tidak bisa memberitahu Tetua Hua tentang statusnya sebagai Permaisuri Yan. 　　Artinya, secara logika Tetua Hua seharusnya hanya tahu bahwa Imam Suci berada di ibu kota, tanpa mengetahui identitas aslinya. 　　Tapi sekarang Tetua Hua jelas-jelas telah mengetahuinya, sehingga menggunakan Xiuniangzi untuk memancingnya datang. 　　"Kenapa tidak terlihat cucu perempuan kecil Tetua Hua?" Melihat Tetua Hua masih diam, Jiang Si bertanya lagi. 　　Akhirnya Tetua Hua membuka mulut, tapi bukan untuk menjawab pertanyaan Jiang Si. Dengan bahasa Wu Miao dia berkata: "Kau memang bukan Imam Suci." 　　Di luar pintu, Long Dan dan Ah Man yang sedang menyembamkan telinga langsung tertegun, hanya bisa saling pandang dengan wajah bingung. 　　Jiang Si tersenyum tipis, menggunakan bahasa Wu Miao yang sama: "Mengapa Tetua Hua tidak percaya kata-kataku? Aku benar-benar Imam Suci yang datang ke ibu kota dengan misi rahasia sepertimu." 　　Tetua Hua terdiam sejenak, lalu perlahan berkata: "Aku telah kembali ke Wu Miao dan bertemu dengan Tetua." 　　Ekspresi Jiang Si tetap tenang, tapi dalam hatinya sudah paham alasan Tetua Hua yakin dia bukan Imam Suci. 　　Setelah bertemu Tetua, tentu dia tahu Imam Suci A Sang telah tiada. 　　"Imam Suci sedang menderita penyakit parah dan beristirahat dalam pengasingan di suku kami. Jadi mustahil kau adalah Imam Suci." Tetua Hua menatap tajam Jiang Si. 　　Alis Jiang Si berkedut halus. 　　Rupanya kematian Imam Suci A Sang terlalu besar dampaknya bagi Wu Miao, sampai sekarang Tetua Hua masih tidak berani mengungkapkan fakta sebenarnya. 　　“Jiang Si diam seribu bahasa, justru Tetua Hua yang semakin banyak bicara: ‘Kau sebenarnya siapa? Mengapa wajahmu persis sama dengan Imam Suci suku kami? Dan mengapa kau menguasai bahasa Wu Miao, bahkan memahami Ilmu Gaib Wu Miao?’” 　　Beberapa pertanyaan yang dilontarkan Tetua Hua tak kunjung dijawab Jiang Si, kerut di antara alisnya semakin dalam: “Mengapa kau diam saja?” 　　Tiba-tiba Jiang Si tersenyum: “Apa karena Tetua Hua bertanya, saya harus menjawab? Tapi kalau saya jawab, apakah kau akan percaya?” 　　“Kau jelaskan, saya sendiri yang akan menilai percaya atau tidak.” 　　“Baiklah, saya akan menjawab. Saya orang asli Dinasti Zhou, tak pernah menginjakkan kaki di Wu Miao. Pertanyaan-pertanyaan Tetua Hua itu sama sekali tidak saya ketahui jawabannya, saya sendiri juga sedang bingung.” 　　Wajah Tetua Hua berubah masam, jelas mengira Jiang Si sedang mempermainkannya. 　　Tapi status Jiang Si sebagai Permaisuri Yan membuatnya tak bisa berbuat banyak. Setelah lama bermuka masam, ia menghela nafas: “Sudahlah, bagaimana kau melakukannya tak usah dibahas. Pertemuan kali ini adalah untuk meminta bantuanmu.” 　　“Bantuan apa?” tanya Jiang Si tenang, hatinya sudah menduga-duga. 　　Benar saja, Tetua Hua berkata: “Belakangan ini beredar rumor di kalangan kerabat bahwa Imam Suci telah tiada, menyebabkan keresahan besar. Sayangnya Imam Suci karena alasan kesehatan tak bisa menampakkan diri untuk menenangkan mereka. Saya datang untuk memintamu pergi ke selatan, tampil di hadapan kerabat sebagai Imam Suci kami, meredakan kegelisahan mereka.” 　　Setelah mendengar penjelasan Tetua Hua, Jiang Si tak bisa menahan tawa: “Saya ini Permaisuri Yan, mengapa harus memenuhi permintaan konyol Tetua Hua?” 　　Tetua Hua menarik sudut bibir, berkata dengan datar, "Jika ada alasan yang mengharuskan untuk pergi?" 651. BAB 650 Syarat yang Tak Bisa Ditolak 　　BAB 650 Syarat yang Tak Bisa Ditolak 　　Alasan yang mengharuskan untuk pergi? 　　Jiang Si menatap Tetua Hua dengan tenang, menunggu alasan yang memaksanya harus pergi. 　　Tetua Hua membalikkan telapak tangannya, muncul sebuah dompet dengan desain biasa. 　　Wajah Jiang Si berubah pucat saat melihat dompet itu, tak lagi bisa menjaga ketenangan, bertanya terburu-babar, "Dari mana kau mendapatkannya?" 　　Dia mengulurkan tangan untuk meraih dompet itu tanpa sadar. 　　Tetua Hua tidak bergerak, membiarkan Jiang Si mengambil dompet tersebut. 　　Jiang Si memeriksa dompet hijau bambu itu dengan cermat, melihat bekas noda coklat tua dari darah kering di jahitannya yang rapat, matanya memerah. 　　Dompet ini adalah hadiah yang diberikan langsungnya kepada kakaknya sebelum berangkat ke selatan. 　　Jiang Zhan akan ke medan perang, Jiang Si menyiapkan berbagai obat: hemostatik, penawar racun, penangkal miasma... Semua ramuan khusus buatannya yang tak tersedia di pasaran. 　　Obat-obatan itu disimpannya dalam beberapa dompet berbeda, dompet hijau bambu ini berisi bubuk hemostatik. 　　Jiang Si sangat memahami Jiang Zhan. 　　Kakaknya selalu menggunakan hadiah dari saudara perempuannya, baik sepatu dari kakak tertua maupun dompet darinya, takkan sembarangan membuangnya. 　　Tapi sekarang, dompet yang seharusnya dipakai Er-ge justru ada di tangan Tetua Hua. 　　“Ini tidak bisa tidak membuat Jiang Si terkejut, setelah terkejut datanglah kemarahan hebat.” 　　Pandangan Jiang Si dingin seperti es, menatap Tetua Hua dengan erat. 　　Ekspresi Tetua Hua semakin tenang, bahkan mengangkat tangan menyentuh sudut rambutnya, berkata perlahan: "Sekarang apakah Permaisuri bersedia menemani hamba ke selatan?" 　　“Hamba tanyakan sekali lagi, dari mana sebenarnya Tetua Hua mendapatkan dompet ini?” 　　Menatap pandangan yakin Tetua Hua, hati Jiang Si mendadak dingin, kemarahan yang terpancar sebelumnya berhasil diredam. 　　Semakin panik, semakin tidak boleh diperlihatkan, agar tidak dimanfaatkan oleh lawan. 　　Sebenarnya dia sudah paham prinsip ini, hanya karena menyangkut kakak laki-lakinya, akhirnya emosinya tak terkendali. 　　Dia tidak bisa tenang - kakaknya gugur di medan perang, jenazahnya pun hilang. Sekecil apapun petunjuk yang muncul harus dikejar. 　　“Hanya sebuah dompet, tidak bisa membuktikan apa-apa. Jika Tetua Hua tidak mau menjelaskan, apakah kira hamba akan ikut ke selatan hanya karena dompet ini?” Suara Jiang Si kali ini lebih tenang dari yang dibayangkannya. 　　Ketenangan ini bukanlah ketenangan sejati, melainkan arus deras di balik lapisan es, keheningan sebelum badai yang bisa pecah kapan saja dan menyeret lawan ke dalamnya. 　　Tetua Hua menyadari bahaya ini, tapi mengabaikannya - jelas sudah memegang kartu as. 　　“Konon kakak laki-laki Permaisuri Yan ikut dalam Pasukan Ekspedisi Selatan. Belakangan ini Pasukan Zhou bertempur sengit dengan Pasukan Nanlan, jenazah sang kakak tidak ditemukan - benarkah kabar ini?” 　　Jiang Si memandang dengan dingin, suaranya semakin menusuk: "Di ibu kota Dinasti Zhou, hal ini seharusnya sudah diketahui semua orang." 　　Tetua Hua tersenyum: "Konon Pangeran Yan pergi sendiri ke selatan untuk mencari jenazah kakanda." 　　"Hal ini pun seharusnya sudah umum diketahui. Aku tidak mengerti maksud Tetua Hua sebenarnya?" Jiang Si menunjukkan sedikit ketidaksabaran. 　　Perasaan seperti dikendalikan lawan bicara ini sungguh menyebalkan. Berlawanan dengan ketidaksabaran di permukaan, justru saat ini pikirannya semakin jernih. 　　Tetua Hua mengira wanita muda yang memiliki kecantikan serupa dengan Imam Suci ini akhirnya kehilangan kesabaran. Dengan nada penuh makna ia berkata: "Yang ingin kukatakan - Pangeran tidak akan bisa menemukan jenazah kakanda." 　　Jiang Si menyempitkan matanya. 　　Tetua Hua dengan yakin menyatakan A Jin tidak akan menemukan jenazah kakaknya. Sementara dompet yang selalu dibawa kakaknya muncul di tangan mereka, apakah ini berarti jenazah Kakak Kedua mungkin berada di tangan Suku Wu Miao? 　　Membayangkan kemungkinan itu, Jiang Si mengepal tangannya dengan kencang. 　　"Apa maksud Tetua Hua? Apakah kau menemukan jenazah kakakku?" tanya Jiang Si berusaha tetap tenang. 　　Namun Tetua Hua memberikan jawaban yang lebih mengejutkan: "Permaisuri tidak pernah terpikir bahwa kakanda mungkin masih hidup?" 　　Dalam pandangan Tetua Hua, mayat tidak bisa dijadikan jaminan untuk membuat mereka bersedia pergi ke selatan. 　　Pupil mata Jiang Si membesar tiba-tiba. Urat-urat di punggung tangan yang terkepal menonjol, kukunya hampir melukai telapak tangan hingga berdarah. 　　"Tetua Hua, kau... serius? Bukan sedang mempermainkanku?" 　　“Jiang Si bertanya, meski berusaha keras untuk tetap tenang, bulu mata yang bergetar tetap mengungkapkan amarah sebenarnya. 　　Sedangkan pandangannya menjadi sangat dingin. 　　Saat ini Jiang Si berpikir dengan keras: Jika Tetua Hua berani mempermainkannya, dia pasti akan memukulnya sampai cucu perempuan sendiri tidak mengenalinya. 　　Bagi Jiang Si, saat amarah memuncak, pepatah seperti "seorang pria baik bisa membalas dendam sepuluh tahun kemudian" atau "membalas dengan elegan" semua adalah omong kosong, hanya tinju yang merupakan kebenaran sejati. 　　Tetua Hua dengan cerdik merasakan bahaya, diam-diam mundur perlahan: "Saya bersusah payah menemui Permaisuri, bukan untuk bercanda." 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya erat-erat, tidak bersuara. 　　Dia takut begitu membuka mulut, tidak bisa lagi mengendalikan gelombang dahsyat di hatinya. 　　Kakak Kedua masih hidup! 　　Kakak Kedua masih hidup – pertanyaan ini seperti ombak yang terus menerpa bilik hati Jiang Si, membuatnya lupa bahwa mereka masih berada di kuil runtuh. 　　Long Dan dan Ah Man yang menunggu di luar menyadari tidak ada suara dari dalam, menjadi tegang. 　　Jiang Si dan Tetua Hua berbicara menggunakan bahasa Wu Miao, sehingga orang di luar kuil tidak memahami percakapan mereka. 　　"Haruskah kita masuk melihat?" Ah Man menunjuk ke dalam, bertanya pelan. 　　Long Dan mengangguk halus, baru saja bersiap masuk ketika akhirnya suara Jiang Si terdengar dari dalam. 　　"Apakah Kakak Kedua saya di Wu Miao?" 　　“Tetua Hua tersenyum tipis, bertanya dengan suara yang tegas: "Permaisuri melakukan perjalanan ke selatan, membawa pulang kakak laki-laki yang sehat walafiat ke ibu kota. Apakah syarat ini dapat diterima?"” 　　Jiang Si hampir langsung ingin menyetujuinya. 　　Syarat ini tidak bisa ia tolak, dan mustahil untuk ditolak. 　　Kesadaran kembali, ia mengatupkan bibir halus: "Tetua Hua jawab dulu, apakah kakak laki-lakiku berada di Wu Miao?"” 　　“Ya.” Tetua Hua tak lagi berbelit, memberikan jawaban pasti. 　　Jiang Si menggenggam tangan lebih kencang, menarik napas pendek: "Jika aku setuju, bagaimana menjamin bisa membawa kakak pergi dengan selamat setelah menyelesaikan tugas kalian?"” 　　Tetua Hua memintanya tampil sebagai Imam Suci untuk menenangkan kerabat. Tapi siapa tahu nafsu mereka sebesar apa. Jangan-jangan merasa sekali tidak cukup, ingin menahannya lama di Wu Miao sebagai imam suci boneka? 　　Tetua Hua tak tahu bahwa ia sudah mengetahui kebenaran tentang Imam Suci A Sang yang telah tiada. 　　Tetua Hua sepertinya sudah mengantisipasi pertanyaan ini, serius berkata: "Aku bersedia bersumpah atas nama Dewa Sejati. Asalkan Permaisuri bekerja sama dengan Tetua untuk tampil sekali di depan kerabat, kami akan melepas Permaisuri dan kakakmu. Mungkin Permaisuri belum tahu, kerabat kami hanya gelisah karena lama tak melihat Imam Suci. Tidak perlu menemani Imam Suci setiap hari."” 　　Jiang Si tersenyum: "Kalau begitu, Tetua Hua silakan bersumpah."” 　　Meski lawan bersumpah, ia tetap tak akan percaya sepenuhnya. Tapi beberapa hal harus dilakukan meski diragukan, seperti membawa pulang Kakak Kedua. 　　“Setelah Tetua Hua mengucapkan sumpah dengan khidmat, ekspresi Jiang Si terlihat jauh lebih tenang: "Saya masih punya satu pertanyaan."” 　　“Permaisuri Yan silakan bertanya.” 　　“Bagaimana Tetua Hua mengetahui status saya?” 　　Kemarin hari terakhir di akhir bulan, saya sampai lupa minta suara bulanan. Hari ini hari pertama bulan baru, tidak boleh lupa lagi. Saya teriak minta: Tolong berikan suara bulanan! 652. BAB 651 Keputusan Tegas 　　BAB 651 Keputusan Tegas 　　Dalam situasi di mana Tetua Hua dan Dayang Duo tidak bertemu untuk kedua kalinya, bagaimana Tetua Hua bisa mengetahui bahwa wanita yang tiba-tiba muncul di toko kecil itu adalah Permaisuri Yan? Ini hal yang tidak bisa dipahami Jiang Si. 　　Mendengar pertanyaan Jiang Si, Tetua Hua berkata dengan tenang: "Sama seperti Permaisuri yang memiliki banyak pertanyaan yang tidak ingin dijawab, saya pun tidak ingin menjawab pertanyaan ini." 　　Jiang Si tersenyum: "Kalau begitu, saya tidak akan memaksamu. Tetua Hua, ikutlah saya kembali ke istana pangeran." 　　Tetua Hua tetap diam. 　　Jiang Si mengangkat alis: "Apakah Tetua Hua ingin saya langsung mengikutimu ke selatan begini saja?" 　　Tetua Hua ragu sejenak, lalu mengangkat tudung kepala dan mengenakannya. Tudung itu persis menutupi separuh wajah bagian atasnya, membuat alis matanya tak terlihat. 　　“Ayo pergi.” Suara tua yang dingin terdengar. 　　Jiang Si berbalik dan berjalan keluar terlebih dahulu. 　　Ah Man yang melihat Jiang Si keluar langsung berseri-seri: "Tuanku——" 　　Jiang Si menggeleng halus: "Tidak perlu banyak bicara, pulang dulu ke rumah keluarga." 　　Long Dan melihat Tetua Hua keluar kemudian, tangannya langsung mencengkeram sarung pedang. 　　“Long Dan, tidak perlu menyusahkannya. Dia akan ikut saya ke istana pangeran.” 　　“Permaisuri, tapi dia——” 　　Ah Man melirik Long Dan: "Sudah, apa pun yang tuanku katakan, janganlah kau banyak bicara." 　　Long Dan tergagap lalu mengusap hidungnya, dalam hati bergumam: 'Untuk siapa aku berhati-hati seperti ini? Si gadis kecil ini benar-benar tak tahu menghargai kebaikan.' 　　Di luar kuil yang menunggu hanya rombongan Long Dan, Lu Chuchu, Xiuniangzi, dan tiga orang pelayan. Sedangkan pemandu jalan sudah diantar pulang saat di kaki gunung. 　　Dengan demikian, tak perlu khawatir tentang kebocoran informasi pergerakan Tetua Hua. 　　Jiang Si berpesan: "Long Dan, suruh satu orang ke Mei Yuan untuk memanggil A Qiao dan yang lain. Kita langsung kembali ke istana pangeran." 　　Meski sudah bulat hati mengikuti Tetua Hua ke selatan, bukan berarti bisa berangkat segera. Masih banyak hal yang harus diatur dan direncanakan. 　　Sekembalinya ke kota, Lu Chuchu berkata: "Permaisuri, saya akan mengantar Xiuniangzi dan yang lain kembali ke Lush Sheng Xiang." 　　Melihat wajah lesu Xiuniangzi, Jiang Si merasa bersalah: "Ibu telah menderita. Nanti akan kukirim dua pengawal khusus untuk menjaga keamanan semua orang di Lush Sheng Xiang." 　　Setelah berpamitan dengan Lu Chuchu dkk, Jiang Si buru-buru kembali ke istana pangeran. Ia menyuruh Ah Man mengatur akomodasi Tetua Hua di kamar tamu, lalu segera menjenguk putrinya. 　　Setengah hari tak bertemu ibu, begitu melihat Jiang Si, wajah A Huan langsung merengut menunjukkan rasa sedih. 　　A Huan yang berusia setengah tahun mulai memahami rasa rindu pada ibu. 　　Hati Jiang Si tersayat melihatnya. Ia segera mengambil sang putri dari tangan inang pengasuh dan mulai menenangkannya. 　　A Huan yang berada dalam pelukan ibu, mencium aroma yang familiar, menarik-narik mulut kecilnya yang baru tumbuh satu gigi sambil tertawa. Tak lama kemudian ia pun tertidur. 　　"Permaisuri, hamba akan menggendong putri kecil. Belakangan ini putri semakin berat." Inang pengasuh mengulurkan tangan untuk mengambil bayi itu. 　　"Tak perlu dipindahkan." Jiang Si dengan hati-hati meletakkan A Huan di ranjang, menjaganya sejenak hingga benar-benar tertidur baru pergi. 　　Saat keluar dari kamar samping, angin dingin yang menusuk tulang menerpa wajahnya seperti sabetan pisau. 　　Sudah masuk bulan ke-12 kalender lunar, cuaca sangat dingin. Jika ia pergi ke selatan, mungkin tak akan bisa kembali dalam waktu dekat. 　　Akankah A Huan menangis? 　　Atau saat ia kembali nanti, sang bayi sudah tak lagi mengenali ibunya? 　　Memikirkan hal ini, hati Jiang Si lebih sakit daripada teriris pisau. 　　Tetua Hua yang menunggu di kamar tamu juga gelisah tak karuan. 　　Bagaimana jika pihak itu mengingkari janji? 　　Statusnya masih buronan, siapa tahu Permaisuri Yan akan langsung menyerahkannya ke Jinlinwei? 　　Beberapa risiko terpaksa diambil Jiang Si, demikian juga dengan Tetua Hua. 　　Saat Tetua Hua sedang cemas, Jiang Si membuka pintu: "Maaf membuat Tetua menunggu lama." 　　Tetua Hua berdiri dan menyapa dengan sopan. 　　Keduanya duduk berhadapan. Setelah dayang menyajikan teh dan pergi, barulah pembicaraan serius dimulai. 　　"Mengapa Kakak Kedua saya berada di Wu Miao?" 　　“Seorang calon Imam Suci dari suku kami pergi keluar dan menyelamatkan seorang pria yang terluka parah. Setelah pria itu siuman dan mengungkapkan identitasnya, barulah kami tahu dia adalah Tuan Kedua Dongping Bo Residence, kakak laki-laki Permaisuri Yan.” 　　Jiang Si mengangkat alisnya, nada suaranya datar: "Kalau begitu, Wu Miao memiliki hutang nyawa pada Kakak Kedua saya?" 　　"Ini hanya kebetulan belaka." 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya, menyeringai dingin dalam hati. 　　Tetua Hua mengira dirinya orang Dinasti Zhou yang minim pengetahuan tentang Wu Miao, tak tahu bahwa dia pernah hidup di sana di kehidupan sebelumnya. 　　Wanita Wu Miao sangat dihormati, terutama calon Imam Suci yang jarang keluar dari wilayah suku. Bahkan jika pergi, mereka tak akan sembarangan membawa pulang pria asing. 　　Jangan-jangan karena melihat Kakak Kedua tampan, si calon Imam Suci jadi tergila-gila? 　　Meski kemungkinan itu ada, Jiang Si tetap meragukan perkataan Tetua Hua. 　　Dia tidak menunjukkan keraguannya, hanya mengerutkan alis hitamnya dengan ragu: "Nama Kakak Kedua tercatat di buku daftar nama prajurit gugur Dinasti Zhou, sedangkan Tetua Hua bilang dia masih hidup. Jujur, sebuah dompet saja tak cukup meyakinkan saya..." 　　"Ada ini juga." Tetua Hua mengeluarkan benda lain dan menyerahkannya pada Jiang Si. 　　Itu adalah sepasang sepatu. 　　Mata Jiang Si berkedip cepat: "Sepatu buatan saya untuk Kakak Kedua juga ada padamu?" 　　Tetua Hua tertegun, lalu tiba-tiba tersenyum: "Permaisuri memang sangat hati-hati. Sepatu ini memang milik saudaramu, tapi bukan buatan Permaisuri, melainkan kakak perempuanmu. Kalimat ini diucapkan langsung oleh saudaramu." 　　“Jiang Si juga tersenyum: ‘Hal sepenting ini memang harus ditangani dengan hati-hati. Sekarang aku percaya kakak laki-lakiku masih hidup.’” 　　“Diam-diam ia menggigit gigi, dalam hati bertekad jika benar Kakak Kedua yang memberitahu orang-orang ini, pasti akan menghajarnya habis-habisan saat bertemu.” 　　“Tapi sekarang, tentu saja dia tidak sepenuhnya mempercayai perkataan lawannya.” 　　“Dompet yang dipakai Kakak Kedua adalah pemberiannya, sepatu yang dikenakan dibuat oleh Kakak. Meski hal-hal ini bersifat pribadi, bukan tidak mungkin diketahui orang luar.” 　　“Melihat sikap Jiang Si, Tetua Hua mulai tersenyum lega.” 　　“Harus diakui Permaisuri Yan sangat sulit ditaklukkan, sampai berhati-hati sampai level ini. Pantas saja dulu hampir membuatku terkecoh, mengira Sang Imam Suci benar-benar datang ke ibu kota. Kalau bukan karena kemudian——” 　　“Sementara Tetua Hua sedang berpikir, tiba-tiba wajahnya berubah dingin.” 　　“Jiang Si menaruh cangkir teh di meja kayu mahoni, suaranya penuh kedinginan: ‘Meski sementara percaya pada perkataan Tetua Hua, ada satu peringatan keras yang harus kusampaikan.’” 　　“‘Silakan Permaisuri bicara.’” 　　“‘Jika ini ternyata hanya harapan kosong, jangan salahkan aku jika menghancurkan Wu Miao——’” 　　“‘Kurang ajar!’ Tetua Hua spontan berteriak, wajahnya pucat.” 　　“Bahkan Kaisar Dinasti Zhou pun tidak berani mengucapkan kata-kata seperti ini. Mana mungkin seorang permaisuri kecil berani mengancam seperti itu!” 　　“Saat ini juga, Tetua Hua benar-benar murka oleh kesombongan Jiang Si yang keterlaluan.” 　　“Jiang Si justru tersenyum manis: ‘Karena itulah peringatan keras harus disampaikan lebih dulu. Tentu saja hasil terbaik adalah kita semua bahagia.’” 　　Tetua Hua menatap wajah cantik yang mirip dengan Imam Suci namun lebih ekspresif, hatinya tiba-tiba merasa bingung. 　　Kali ini mereka mengambil langkah berisiko, mungkinkah segala keinginan mereka terkabul? 　　Jiang Si terus mengamati ekspresi Tetua Hua, menangkap perubahan halus pada raut wajahnya, hatinya pun menjadi jelas. 　　Perjalanan ke Wu Miao ini mungkin mudah untuk pergi tapi sulit untuk kembali, tidak sesederhana yang dikatakannya. 　　Namun dengan tegas dia berkata: "Tetua Hua istirahatlah yang baik, besok kita berangkat." 653.BAB 652 Dayang Ji Pingsan 　　BAB 652 Dayang Ji Pingsan 　　"Tuanku, Anda mau pergi ke Wu Miao?" Ah Man terkejut, menutup mulutnya sambil berteriak. 　　A Qiao semakin bingung, menarik lengan baju Ah Man bertanya: "Tempat apa itu Wu Miao?" 　　Ah Man berbicara cepat penuh semangat: "Wu Miao di selatan, suku di perbatasan Dinasti Zhou dan Nanlan. Di sana wanita lebih dihormati daripada pria, katanya bisa memilih suami sesuka hati..." 　　Ekspresi A Qiao menjadi aneh. 　　Mengapa dia mendengar nada bersemangat dari suara Ah Man? Jangan-jangan si gadis ini bukannya mencegah tuanku, malah mendorongnya untuk segera berkemas? 　　Merasa kemungkinan besar benar, A Qiao memohon dengan wajah pucat: "Tuanku, Wu Miao sangat jauh dari ibu kota, jangan pergi. Ini terlalu berbahaya." 　　"Aku sudah memutuskan." Jiang Si berkata dengan datar. 　　Begitu memutuskan hati, dia tak akan menunda-nunda. Urusan membawa Kakak Kedua kembali ke Ibu Kota harus disegerakan. Dengan mempercepat waktu, mungkin masih bisa kembali sebelum tahun baru. 　　Melihat ucapan Jiang Si, wajah A Qiao semakin pucat, cemas bertanya: "Tuanku, Baginda sebagai Permaisuri Yan, apakah harus meminta izin Kaisar dan Permaisuri untuk pergi ke selatan?" 　　Jiang Si menggeleng kepala: "Hal ini tidak pantas diajukan kepada Kaisar dan Permaisuri." 　　Kedua dayang itu terlihat bingung. 　　Ah Man tak tahan bertanya: "Mengapa tidak boleh memberitahu?" 　　Menghadapi dua dayang kepercayaannya, Jiang Si tak perlu menyembunyikan apapun: "Aku pergi ke Wu Miao karena dititipi suatu urusan. Tidak bisa bepergian dengan status sebagai Permaisuri Yan." 　　Ini juga hasil musyawarah dengan Tetua Hua. 　　Karena harus menyamar sebagai Imam Suci, orang tak boleh tahu Permaisuri Yan pergi ke selatan. 　　Dari sudut pandang Kaisar Jingming, jika anak lelakinya diam-diam ke selatan masih bisa ditolerir, tapi menantu perempuan meniru tidak diperbolehkan. Jika Jiang Si mengajukan alasan untuk memohon izin, mungkin Kaisar akan mengizinkannya ke selatan, tapi pasti memaksanya menggunakan tandu kebesaran Permaisuri. 　　Suku Wu Miao bukan orang bodoh. Jika prosesi kebesarannya terlalu mencolok, risiko ketahuan saat menyamar sebagai Imam Suci akan meningkat. Jika permintaan Tetua Besar Wu Miao gagal dipenuhi, tak ada alasan kuat untuk membawa kembali Kakak Kedua. 　　Bagi Jiang Si, berpura-pura menjadi Imam Suci untuk menukar Kakak Kedua adalah transaksi yang adil. Jika dia berhasil namun pihak lain berulah, maka ikatan dengan Tetua Besar Wu Miao dari kehidupan sebelumnya akan putus, dan dia bisa bertindak leluasa. 　　"Tapi jika Tuanku pergi diam-diam, bagaimana jika orang terhormat dari istana mencari? Tahun baru segera tiba..." A Qiao gelisah, keputusasaan memenuhi hatinya membayangkan keras kepala majikannya. 　　Dulu dia selalu cemas menemani majikannya keluar di malam hari, tapi sekarang semuanya terasa tak berarti. 　　"Aku akan ke istana untuk mencari alasan berdalih mengurung diri mulai besok. Tugas kalian berdua adalah menutupi kepergianku, tolak semua tamu yang mencari di dalam maupun luar kediaman." 　　Ah Man tertegun, "Tuanku, tidak membawa hamba?" 　　Jiang Si tersenyum masygul, "Untuk apa? Kepergianku yang lama pasti menimbulkan kecurigaan. Jika kau juga menghilang, keraguan akan semakin besar." 　　Ah Man langsung lesu. 　　A Qiao justru lega. 　　Meski tak bisa mengubah keputusan majikannya, setidaknya Ah Man tetap bersamanya untuk menghadapi situasi. Sendirian, dia takut tak sanggup dan merusak rencana besar tuannya. 　　Keesokan paginya, Jiang Si segera menghadap Permaisuri di istana. 　　Menyambut Jiang Si, Permaisuri bersuara hangat, "Pangeran Yan sedang tidak di kediaman. Jika ada kesulitan, datanglah kemari dan ceritakan pada ibu." 　　"Terima kasih perhatian Ibu. Sebenarnya ada satu hal..." Jiang Si tak menyangka Permaisuri begitu perhatian, memudahkannya mengarahkan topik pembicaraan. 　　Permaisuri tersenyum kaku, dalam hati berpikir dia hanya bersikap sopan, tapi Permaisuri Yan benar-benar tidak sungkan. 　　Setelah menenangkan diri, Permaisuri bertanya sambil tersenyum: "Ada urusan apa?" 　　Wajah Jiang Si pucat, bibir merahnys pun kehilangan warna, sambil meremas-remas saputangan berkata: "Tadi malam menantu bermimpi, mimpi Pangeran mengalami bahaya..." 　　Permaisuri mengulurkan tangan menepuk-nepuk tangannya: "Kau ini, terlalu khawatir sampai tidak bisa berpikir jernih." 　　Jiang Si tersenyum dipaksa: "Tapi Ibu tentu tahu, kemampuan aneh menantu ini sepertinya semua berasal dari mimpi..." 　　Kelopak mata Permaisuri berkedut, tidak bisa menentukan maksud perkataan Jiang Si. 　　"Setelah bangun, semakin kupikir semakin khawatir, tidak tahu bagaimana keadaan Pangeran sekarang." 　　Permaisuri tertawa kaku: "Kalau kau begitu khawatir, tulis saja surat keluarga, suruh kurir mengantarkannya dengan cepat ke selatan." 　　Saputangan di tangan Jiang Si sudah terpelintir seperti tali: "Kalau Pangeran benar-benar dalam masalah pun tidak akan menceritakannya dalam surat..." 　　Permaisuri mulai tegang. 　　Jangan-jangan Permaisuri Yan memohon padanya untuk berbicara pada Kaisar, ingin pergi ke selatan mencari Pangeran Yan? 　　Melihat intimidasinya sudah cukup, Jiang Si menggigit bibir: "Ibu, aku ingin mendirikan ruang sembahyang di rumah, setiap hari membaca sutra dan berdoa agar Pangeran segera pulang dengan selamat." 　　Hati Permaisuri langsung tenang. 　　Rupanya setelah sekian lama hanya ingin membuat ruang sembahyang kecil. 　　“Permaisuri Yan sungguh orang yang sopan, sampai-sampai masuk istana untuk memberitahuku, membuatku kaget tanpa alasan.” 　　Dia berhutang budi pada Permaisuri Yan. Jika yang bersangkutan bersikeras pergi ke selatan mencari Pangeran Yan, terpaksa dia harus membantu dengan menyampaikan hal ini kepada Kaisar. 　　“Jika Permaisuri merasa tindakan ini bisa membuat hati tenang, silakan lakukan.” 　　Jiang Si menunduk malu: “Jika demikian, hamba tak bisa sering masuk istana untuk memberi salam pada Ibu.” 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Permaisuri merasa sangat nyaman, seperti minum air es di hari terpanas. 　　Pantas saja Permaisuri Yan cocok di matanya. Di antara semua permaisuri, dialah yang paling cakap dan bijaksana. 　　“Aku dan Ayahmu tidak mempermasalahkan formalitas semacam ini. Kau cukup tekun membaca sutra dan berdoa untuk Pangeran Yan. Saat dia kembali, barulah datang ke istana bersamanya.” 　　Jiang Si terharu: “Terima kasih atas pengertian Ibu. Bagaimana dengan Ayah Kaisar——” 　　“Jika Kaisar bertanya, hamba yang akan menjelaskan.” 　　Kaisar tidak akan sebegitu rewel sampai perlu menanyakan urusan menantu perempuan yang bertapa di rumah. 　　Mendengar jawaban Permaisuri, Jiang Si tersenyum tipis: “Kalau begitu menantu tidak mengganggu Ibu lagi.” 　　Permaisuri bergumam: “Ibu justru ingin kau sering datang. Nanti Fuqing tahu kau datang, pasti menyesal tidak bertemu.” 　　“Putri Ketigabelas pergi ke Istana Cining lagi?” 　　“Ya, Janda Permaisuri semakin tak bisa lepas dari dua gadis Fuqing dan Si Empat Belas.” Ucap Permaisuri dengan nada tak tentu antara bahagia atau khawatir. 　　“Senang karena mendapat perhatian Janda Permaisuri, ini sangat menguntungkan masa depan Putri. Tapi sedih karena sekarang waktu bertemu Putri pun semakin sedikit, terasa pahit jika dipikir-pikir.” 　　Jiang Si mengobrol sebentar dengan Permaisuri sebelum kembali ke rumah keluarga. 　　“A Qiao, panggil Dayang Ji ke sini.” 　　Tak lama Dayang Ji masuk bersama A Qiao: “Ada perlu apa Permaisuri memanggil hamba yang tua ini?” 　　“Saya berencana pergi ke selatan mencari Pangeran. Urusan internal istana pangeran akan saya serahkan pada Dayang.” 　　“Apa?!” Suara Dayang Ji meninggi. 　　Jiang Si mengerutkan kening: “Tolong pelan-pelan, saya ingin pergi diam-diam.” 　　Dayang Ji merasa pusing, berpegangan pada lengan A Qiao sambil berseru: “Permaisuri tidak boleh sembrono! Bagaimana jika Kaisar dan Permaisuri mengetahuinya?” 　　“Saya baru saja kembali dari Istana Kuning.” 　　Dayang Ji tak percaya: “Permaisuri menyetujui permintaan Anda?” 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Saya bilang pada Permaisuri akan mengurung diri membaca sutra.” 　　Brak! Dayang Ji terjatuh. 　　Terima kasih pada Meilingsu atas hadiah sepuluh ribu koin, juga teman-teman pembaca yang memberi vote dan hadiah. Hari ini hanya satu bagian, besok akan ada tambahan. 654.BAB 653 Perjalanan Jauh 　　BAB 653 Perjalanan Jauh 　　A Qiao kesulitan menopang Dayang Ji, bertanya khawatir: “Dayang Ji, kau baik-baik saja?” 　　Dayang Ji yang wajah pucat pasi dan bibir kebiruan menggetarkan kelopak matanya, hanya satu pikiran di kepalanya: Permaisuri tidak waras, dua dayang utamanya juga tidak normal. 　　Permaisuri ingin diam-diam pergi ke selatan, bahkan sengaja masuk istana menipu Permaisuri kerajaan, apakah penting seorang nenek separuh badan sudah masuk tanah seperti dirinya? 　　"Permaisuri, pastilah Tuanku sedang bercanda?" Dayang Ji merasa masih bisa berusaha lagi. 　　Jiang Si tersenyum: "Bagaimana mungkin? A Qiao dan Ah Man bahkan sudah menyiapkan barang bawaan." 　　Dayang Ji memutar kedua matanya, kembali menunjukkan gejala pingsan. 　　A Qiao satu tangan menopang Dayang Ji, satu tangan menepuk punggungnya: "Dayang Ji, jangan terburu-buru, dengarkan dulu tuanku sampai selesai bicara." 　　Dayang Ji menjauh dari A Qiao, dengan ekspresi ingin menusuk lawannya dengan jarum bertanya: "A Qiao, kau benar-benar sudah menyiapkan barang bawaan?" 　　A Qiao mengangguk malu-malu. 　　Dayang Ji memegangi keningnya, berusaha keras tidak pingsan: "A Qiao, Permaisuri bertingkah sembrono, mengapa kau ikut-ikutan?" 　　Sebelum A Qiao bersuara, Jiang Si sudah berubah dingin: "Cukup." 　　Nada dingin itu membuat Dayang Ji tercekat, gemetar tak tertahan, 　　Bagaimana mungkin ia lupa, Permaisuri ini sejak dulu bukanlah sosok yang penyabar. 　　"Jiang Si menghentikan senyumannya, wajahnya tegas dan berbicara perlahan: 'Dayang Ji, aku memanggilmu hanya untuk memberitahumu, bukan meminta pendapatmu.'" 　　"Sejak kapan urusan istana pangeran bisa dicampuri orang lain?" 　　"Meski takut akan kewibawaan Jiang Si, Dayang Ji memberanikan diri: 'Bahkan jika Permaisuri membenci hamba yang tua ini, menghukum hamba, atau menyuruh hamba membersihkan jamban, hamba tetap harus bicara. Sudahkah Permaisuri memikirkan konsekuensinya jika ini terbongkar?'" 　　"Terhadap keteguhan Dayang Ji, Jiang Si tidak marah." 　　"Justru karena tahu dayang tua ini setia pada istana pangeran, dia memberitahu kebenaran." 　　"Dalam mengurus urusan pemerintahan rumah tangga, A Qiao dan Ah Man tidak ahli, Dayang Ji-lah kandidat terbaik." 　　"'Aku sudah mendapat izin Permaisuri, tidak perlu keluar menemui siapapun sebelum Pangeran kembali. Dayang tak perlu panik, selama istana pangeran tidak kacau, takkan ada yang tahu.'" 　　"'Tapi—'" 　　"Jiang Si berkata dengan nada seperti babi mati yang tak takut air panas: 'Pokoknya sudah begini keadaannya. Jika dayang mau membantu A Qiao dan yang lain, aku sangat berterima kasih. Jika tidak, anggap saja tak tahu. A Qiao, antarkan dayang keluar.'" 　　"'Permaisuri, Permaisuri—' Dayang Ji dibopong keluar kamar oleh A Qiao. Berdiri di depan pintu sambil gelisah berputar-putar, akhirnya dia menghentakkan kaki dan pergi." 　　"Tidak boleh! Dia harus mencari bala bantuan!" 　　Jiang Si memandang Dayang Ji yang berlari menjauh dari balik jendela, menghela napas perlahan, lalu berjalan menuju kamar samping. 　　Saat itu A Huan belum tidur, matanya menatap bola warna-warni yang menggantung di atasnya. 　　Jiang Si menahan kepedihan di hati, mengambil drum mainan di sampingnya dan menggoyangkannya. 　　Bunyi "dong dong" terdengar, A Huan segera mencari sumber suara dan tersenyum pada ibunya. 　　Jiang Si memeluk si kecil dalam dekapan, hampir saja air matanya tumpah. 　　A Huan masih sangat kecil, tapi dia harus pergi meninggalkannya, bahkan tak tahu kapan bisa kembali. 　　Tidak, dia harus kembali sebelum tahun baru untuk menemani A Huan. 　　Jiang Si mengeraskan hatinya dengan tekad baja. 　　"Di selatan sungai kami memetik teratai, daun teratai membentang hijau permai, ikan-ikan bermain di sela dedaunan..." 　　Nyanyian lembut itu membuat A Huan penasaran memandang wajah ibunya tak berkedip. 　　Lagu pengantar tidur itu dinyanyikan berulang kali hingga si kecil akhirnya terlelap. 　　Jiang Si menempelkan pipinya ke wajah mungil putrinya, menyerahkannya pada inang pengasuh, lalu pergi diam-diam. 　　Pekarangan tampak suram diterpa angin dingin, hanya bunga mei musim dingin di sudut tembok yang merekah sembari menyebarkan aroma samar. 　　Kepingan salju mulai berjatuhan dari langit bagai jarum kapas, berdesir menutupi bumi. 　　Salju turun. 　　A Qiao melirik Jiang Si diam-diam, matanya perlahan memerah. 　　Dia belum pernah menjadi seorang ibu, namun dia tahu pasti tuannya saat ini sedang sangat menderita, sama seperti dirinya yang dulu dipisahkan paksa dari ibunya saat masih kecil. 　　Bertahun-tahun telah berlalu, wajah ibu telah samar dalam ingatannya, namun rasa sakit itu tetap tertanam dalam di kedalaman memorinya, tak pernah pudar. 　　Air mata dingin mengalir, A Qiao buru-buru mengusapnya dan berbisik pelan: "Tuanku——" 　　Jiang Si tidak menangis, bahkan ekspresinya tak menunjukkan gejolak berarti, hanya suaranya yang semakin dingin: "Selama aku tidak di rumah keluarga ini, tugas terpenting kalian berdua adalah merawat A Huan. Bahkan jika keberangkatanku ketahuan, itu tidak lebih penting dari menjaga keselamatan A Huan. Mengerti?" 　　A Qiao mengangguk kuat. 　　A Man bahkan menepuk dadanya: "Tuanku tenang saja. Selama hamba ada di sini, takkan ada yang berani menyentuh sehelai rambut pun putri bangsawan kecil ini." 　　Jiang Si kembali ke kamar, melepas hiasan rambut, menyanggul rambutnya kembali, lalu mengganti pakaiannya dengan seragam dayang biasa sebelum mengikuti Tetua Hua keluar. 　　Tetua Hua masih mengenakan kerudung yang menutupi alis dan matanya, membuat para dayang yang melintas melemparkan pandangan penasaran. 　　A Man melotot: "Si gadis kecil ini masih belum paham tata krama? Tamu yang diundang Permaisuri berani kau tatap sembarangan! Nanti kubuat matamu buta!" 　　Dayang yang ditegur itu buru-buru menunduk dan bergegas pergi. 　　Sebuah kereta kuda berkelambu hijau telah menunggu di luar pintu gerbang, dengan Lao Qin sebagai kusirnya. 　　Long Dan berdiri tak jauh dari kereta kuda, begitu melihat Jiang Si yang menyamar sebagai dayang keluar, nyaris menangis. 　　Awalnya dia mengira tugas menjaga Permaisuri di istana pangeran adalah pekerjaan ringan, sesekali bisa melirik tunangannya. Tapi kenyataannya— 　　Long Dan mengusap wajahnya dengan putus asa, lalu menyambut mereka dengan pasrah. 　　Tirai pintu kereta dibuka, Jiang Si mengulurkan tangan membantu Tetua Hua naik ke dalam kereta. 　　Mata A Qiao memerah, bisiknya pelan: "Hati-hati, Nyonya." 　　Gerakan Jiang Si terhenti sejenak, ia mengangguk hampir tak terlihat. 　　A Qiao dan Ah Man tetap berdiri di tempat, memandang tak berkedip saat kereta perlahan mulai bergerak menjauh. 　　Ah Man tak tahan berlari beberapa langkah, ditarik oleh A Qiao: "Ah Man, jangan sampai ketahuan orang." 　　"Aku tahu." Ah Man menghela napas sedih, menggosok matanya. "Cuma... tak kusangka tuanku benar-benar meninggalkan kita. A Qiao, siapa yang akan menyisir rambutnya, memasak, mencuci baju..." 　　Suara A Qiao tersekat: "Jangan dilanjutkan." 　　Ah Man bicara seolah dia bisa melakukan semua tugas itu. Andai saja dia bersikeras ikut dari awal. 　　Saat kedua dayang itu larut dalam kesedihan, bayangan hitam-kekuningan melesat seperti anak panah. 　　Mereka tertegun sejenak sebelum tersadar. 　　"A Qiao, Er Niu kayaknya mengejar kereta! Bagaimana ini?" 　　Melihat Er Niu berhasil melompat ke kereta, A Qiao justru tenang: "Kita tak mungkin mengejar Er Niu. Biarkan saja." 　　“Benar juga.” Ah Man dengan perasaan iri dan dengki terhadap Er Niu, pulang ke Yuyuan bersama A Qiao. 　　Tak lama kemudian, dayang kecil masuk menyampaikan pesan bahwa Dayang Ji meminta audiensi dengan Permaisuri. 　　Dayang Ji yang sudah mengumpulkan semangat kembali mengerutkan alutnya melihat kedua dayang itu, lalu berkata dengan wajah masam: "Apakah Permaisuri masih beristirahat? Tolong sampaikan pada Permaisuri bahwa hamba sudah mengutus orang untuk memberi tahu Sekretaris istana. Harap Permaisuri mempertimbangkan matang-matang." 　　Ah Man menggeleng: "Sudah tidak bisa dipikirkan lagi, Permaisuri sudah berangkat." 655. BAB 654 Penyamaran 　　BAB 654 Penyamaran 　　Entah karena sudah terbiasa atau mati rasa, kali ini Dayang Ji tidak pingsan. Wajahnya langsung berubah sambil berteriak: "Cepat, halangi mereka--" 　　Ah Man menyeringai: "Dayang tak perlu repot-repot, kereta kuda Permaisuri sudah jauh." 　　A Qiao khawatir Dayang Ji yang sudah berumur ini terlalu panik, menambahkan: "Benar, Dayang Ji. Sekalipun kau utus orang untuk menghalangi, tuanku kami sekali mengambil keputusan takkan bisa diubah..." 　　Dayang Ji memutar matanya: "Siapa bilang mau menghalangi Permaisuri? Hamba suruh halangi utusan yang mau melapor ke Sekretaris istana!" 　　Sekretaris istana itu berwatak kaku, jenis orang yang lebih baik mati daripada menyerah. 　　Tadi dia mencari Sekretaris istana tapi tidak ketemu, ternyata pulang ke rumah. Lalu dia mengutus orang ke keluarga Sekretaris istana untuk menyampaikan pesan, berharap Sekretaris istana yang pantang menyerah itu bisa membujuk Permaisuri mengubah keputusan. 　　“Siapa sangka, cuma sebentar ibu pergi, Permaisuri malah langsung pergi!” 　　Dari situ jelas Permaisuri pasti tidak bisa dihalangi lagi. Kalau sampai Sekretaris istana tahu Permaisuri kabur diam-diam, bagaimana jika tua bangka itu bunuh diri di depan Kediaman Pangeran Yan? 　　Dayang Ji panik berkeringat dingin: "Cepatlah!" 　　"Oh." A Qiao dan Ah Man baru tersadar, langsung kalang kabut. 　　Saat itu kereta kuda sudah keluar dari kota. 　　Jiang Si memandang Anjing Besar yang menyelip di gerbong dengan masygul: "Er Niu, cepat pulang. Kali ini tidak bisa bawa kau." 　　Er Niu melirik Jiang Si, tetap diam tak bergerak. 　　Jiang Si mengelus kepala Er Niu. 　　Dalam perjalanan ke selatan ini, dia senang ditemani Er Niu, tapi benar-benar tidak mungkin membawanya. 　　Dia bisa beralasan tutup pintu baca kitab sembahyang agar tidak ketemu orang, tapi bagaimana jika Kaisar ingin menemui Er Niu? 　　Selama dia tidak ada di istana, semakin sedikit perubahan di rumah semakin tidak menarik perhatian. 　　"Er Niu, aku dan A Jin tidak ada di rumah. Kalau kau ikut juga, siapa yang jaga A Huan?" 　　Anjing yang menempelkan moncongnya di papan kereta dengan sikap ngotot tidak mau pergi itu mengangkat kepala, menggerakkan telinganya. 　　"Inang pengasuh semuanya baru. Tanpa pengawasanmu, bagaimana jika mereka malas sampai A Huan kelaparan? Atau tidak mengganti popok A Huan?" 　　Er Niu kembali menggerakkan telinganya. 　　Di dalam kereta yang sama, Tetua Hua diam-diam merasa heran. 　　Anjing besar ini terlihat sangat memahami sifat manusia, seolah-olah bisa mengerti perkataan manusia. 　　Pasti dia terlalu banyak berpikir, wajar anjing melekat pada majikannya. Itu sebabnya mengikuti Permaisuri Yan pergi, mana mungkin bisa mengerti ucapan manusia. 　　Kereta kuda semakin menjauh dari pintu gerbang kota. Melihat Er Niu mulai goyah, Jiang Si berkata tegas: "Er Niu, aku akan pergi lama sekali. Jika kau ikut, saat kembali nanti A Huan pasti tidak mengenalimu lagi——" 　　Er Niu tiba-tiba berdiri, melirik sang nyonya rumah dengan rasa berat hati, lalu mengibaskan ekor dan melompat turun dari kereta. 　　Sudahlah, lebih baik menemani majikan kecil sambil menunggu nyonya rumah kembali. 　　Jiang Si mengangkat tirai jendela kereta dan mengintip keluar. Terlihat anjing besar itu duduk kesepian di tengah jalan, memandang penuh harap ke arah kereta yang menjauh. 　　Dengan berat hati dia menutup tirai jendela, membiarkan kereta berderit cukup lama sebelum mengintip lagi dari celah tirai. 　　Er Niu sedang mengejar kereta dari belakang. Merasa sang nyonya mengintipnya, langsung menggonggong bersemangat. 　　Saat itu juga Jiang Si hampir berteriak menyuruh berhenti, tapi Er Niu malah berbalik arah dan lari menjauh. 　　Tak tahu berapa lama, Tetua Hua batuk-batuk kecil. Barulah Jiang Si melepaskan tirai jendela dan tersadar. 　　"Anjing peliharaan Permaisuri benar-benar memahami sifat manusia," puji Tetua Hua tulus. 　　Jiang Si mengangguk tipis, tak ada keinginan untuk melanjutkan percakapan dengan Tetua Hua. 　　"Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, tapi bukan saat ini, baru saja meninggalkan putri dan Er Niu." 　　Tetua Hua membuka mulut lagi: "Saya ingin merias Permaisuri kembali." 　　Jiang Si menatapnya. 　　Tetua Hua menjelaskan: "Meski Permaisuri berperan sebagai pelayan terlihat alami dan berpengalaman, Begitu masuk ke wilayah suku kami, kau pasti akan menarik perhatian." 　　"Riasan seperti apa yang Tetua Hua rencanakan untukku?" 　　"Permaisuri lebih baik menunggu dan melihat." 　　"Baiklah, saya percayakan pada Tetua Hua." Jiang Si menyetujui dengan lapang dada. 　　Dia tak pernah melakukan hal sia-sia. Karena sudah menerima permintaan Tetua Hua, menyelesaikan urusan dengan cepat adalah prioritas, hal lain hanyalah sampingan. 　　Jiang Si menutup matanya, membiarkan Tetua Hua mengoles-oleskan sesuatu di wajahnya. Tak terasa waktu berlalu, suara Tetua Hua terdengar: "Permaisuri bisa membuka mata sekarang." 　　Jiang Si perlahan membuka mata. Yang terlihat adalah cermin, namun bayangan di dalamnya bukan dirinya. 　　Dia heran menatap Tetua Hua. 　　Tetua Hua tersenyum: "Permaisuri harus rela disebut Hua Wo untuk sementara waktu." 　　Rupanya Tetua Hua telah menyamarikan Jiang Si menjadi seperti wajah cucu perempuannya. 　　Cucu perempuan Tetua Hua lebih muda dua tahun dari Jiang Si, namun postur mereka hampir sama. Dengan wajah cucu perempuan Tetua Hua ini, Jiang Si hampir tak bisa membedakan mana yang asli. 　　Jiang Si terdiam sejenak menatap bayangan di cermin, tak kuasa mengagumi keahlian Ilmu Gaib penyamaran Tetua Hua yang luar biasa tinggi. 　　Teknik penyamaran Suku Wu Miao agak unik. Melalui teknik pijatan tertentu dan obat-obatan, benar-benar bisa mengubah bentuk wajah dan fitur seseorang. 　　Teknik penyamaran ini pernah dipelajari Jiang Si di Wu Miao di kehidupan sebelumnya, tapi tidak dikuasai. Menurut Tetua, dia kurang bakat di bidang ini. 　　Tetua Hua adalah ahli penyamaran yang handal. 　　Jiang Si menatap nenek tua di hadapannya, tiba-tiba muncul pertanyaan: Mengingat orang ini ahli teknik penyamaran, bagaimana bisa yakin dia benar-benar Tetua Hua? 　　Pikiran ini membuat Jiang Si berkeringat dingin, lalu dia tersenyum tipis. 　　Barusan dia seperti menakuti diri sendiri. 　　Di toko kecil di Jalan Pasar Barat dia pernah bertemu Tetua Hua. Aroma tubuh orang ini sama dengan nenek tua waktu itu, jadi pasti dia Tetua Hua. 　　Melihat Jiang Si diam, Tetua Hua berkata: "Permaisuri tenang, menghilangkan penyamaran sangat mudah. Hanya perlu menahan diri beberapa waktu. Hanya dengan menyamar sebagai cucu perempuan saya, kita bisa kembali ke suku tanpa diketahui." 　　Orang Wu Miao sangat waspada terhadap wajah asing, hal ini diketahui Jiang Si. 　　"Ke depannya mohon bimbingan Hua Wo." Jiang Si tersenyum pada Tetua Hua. 　　Entah mengapa, melihat keahlian penyamaran Tetua Hua, hatinya merasa tidak nyaman. 　　Kegelisahan ini tak jelas asalnya. Jika harus dijelaskan, mungkin hanya intuisi belaka. 　　Intuisi seperti ini menambah beban di hati Jiang Si. 　　Tetua Hua memandang Jiang Si dengan tatapan penuh kasih: "A Hua, kau akan segera menjadi nona pertama yang berusia enam belas tahun. Setelah kembali ke suku, bersikaplah lebih tenang dan penurut, jangan lagi lincah seperti dulu." 　　Sampai di sini, Tetua Hua tersenyum: "Untungnya A Hua sudah cukup lama tinggal di Dinasti Zhou sehingga menjaga jarak dengan teman-teman lamanya. Selama Permaisuri di Wu Miao tidak banyak bicara, pasti tidak akan ketahuan." 　　"Saya akan ingat perkataan Hua Wo." Jiang Si yang berperan sebagai A Hua tampak sama sekali tidak canggung, menyebut nama Hua Wo dengan lancar. 　　Tetua Hua menghela nafas lega, menunjukkan senyum yang rileks. 　　Permaisuri Yan ternyata berbakat dalam hal penyamaran. Tampaknya tidak perlu khawatir dia akan ketahuan saat berperan sebagai Imam Suci. 　　Saat itu, Jiang Si bertanya seolah tak sengaja: "Di mana A Hua yang asli sekarang?" 656.BAB 655 Badai Salju 　　BAB 655 Badai Salju 　　Tetua Hua tertegun sejenak oleh pertanyaan Jiang Si, lalu segera menjawab: "A Hua berada di tempat yang sangat aman, Permaisuri tidak perlu khawatir." 　　Jiang Si tersenyum, semakin memahami sikap hati-hati Tetua Hua. 　　Sekarang dia akhirnya mengerti bagaimana nenek dan cucu Tetua Hua itu bisa lolos dari operasi penyisiran Jinlinwei yang seketat jaring laba-laba. 　　Dengan keahlian menyamar yang luar biasa ini, setelah kabur dari penjara khusus, mereka bagai ikan masuk laut. Mencari mereka lebih sulit daripada naik ke langit. 　　Kereta kuda semakin menjauh dari ibu kota. Sepanjang perjalanan, kendaraan yang berlalu-lalang tidak banyak. 　　Sudah memasuki bulan La, tidak bisa menggunakan jalur air, baik dari selatan ke utara maupun utara ke selatan sangat tidak praktis, perjalanan darat memakan waktu lebih lama. 　　Menjelang tahun baru, mereka yang bepergian sudah lama pulang ke rumah, sedangkan yang berencana pergi menunda perjalanannya sampai setelah tahun baru. 　　Tahun baru sejatinya adalah hari reuni keluarga. 　　Keinginan Jiang Si saat ini adalah bertemu kakak laki-lakinya dengan lancar, lalu bersatu dengan Yu Jin, agar seluruh keluarga bisa pulang merayakan tahun baru bersama. 　　Namun setelah beberapa hari perjalanan ke selatan, badai salju tiba-tiba menghebat. 　　Angin dingin yang menderu dan jalanan bersalju membuat kereta kuda berjalan tersendat-sendat, kecepatannya semakin melambat. 　　Long Dan terpaksa mendekati jendela kereta dan mengetuk dindingnya: "Tuanku, jika terus berjalan, kuda mungkin tidak akan kuat lagi. Di depan ada sebuah rumah, lebih baik kita berteduh di sana sebentar, sekalian makan, lalu melanjutkan perjalanan saat badai reda." 　　Tak lama kemudian, suara Jiang Si terdengar dari dalam kereta: "Baik." 　　Kereta kuda mempercepat lajunya, namun saat tiba di depan bangunan itu, ternyata itu adalah kuil yang terbengkalai. 　　Kuil ini lebih besar dibandingkan Kuil Tiga Batu di pinggiran ibu kota, dan terlihat tidak terlalu rusak. 　　Jiang Si turun dari kereta, melirik sekeliling, lalu melangkah masuk. 　　Mereka berempat: Jiang Si, Tetua Hua, Long Dan, dan Lao Qin yang mengemudikan kereta. 　　Long Dan memeriksa sekeliling, memilih tempat yang sesuai, lalu mengambilkan bangku kecil yang dibawanya untuk Jiang Si dan Tetua Hua duduk. Kemudian dia mengumpulkan kayu kering yang menumpuk di sudut kuil, lalu dengan terampil menyalakan api unggun. 　　Di luar salju turun lebat membaluti langit, cahaya di dalam kuil agak remang-remang. Seiring nyala api unggun, kuil pun terang kembali. 　　Long Dan tersenyum, "Sepertinya kuil tua ini pernah menjadi tempat berteduh banyak orang. Masih banyak sisa kayu kering yang bisa digunakan." 　　"Belakangan ini sepertinya aku sering berurusan dengan kuil-kuil tua," kata Jiang Si sambil melirik Tetua Hua. 　　Tetua Hua juga tersenyum, namun diam seribu bahasa. 　　Lao Qin berdiri di ambang pintu, menatap langit. 　　Salju semakin deras, berhamburan seperti bulu angsa yang menari-nari di antara langit dan bumi, tak berujung pandang. 　　Lao Qin menoleh ke dalam kuil, berkata pada penghuninya, "Salju semakin menjadi-jadi. Kayaknya kita tak bisa melanjutkan perjalanan dalam waktu dekat." 　　Long Dan mengerutkan kening, menatap Jiang Si. 　　Bagi mereka yang terbiasa bertarung di medan perang bertahun-tahun, berteduh di kuil tua pun sudah lebih dari cukup. Bahkan tidur di alam terbuka pun bukan masalah. Tapi Permaisuri yang berdarah bangsawan tentu tak boleh hidup serba darurat begini. 　　Ekspresi Jiang Si tetap tenang, "Kalau tak bisa pergi, kita beristirahat saja di sini. Jika perlu, menginap semalam pun tak apa." 　　Jika ada fasilitas yang memadai tentu lebih nyaman. Tapi sejak memutuskan bepergian, semua harus disederhanakan. 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Long Dan tak banyak bicara lagi. Dia membawa wajan dan menggantungkannya di atas api unggun, memasukkan beras dan bahan lainnya untuk mulai memasak bubur. 　　“Lao Qin lalu merapikan seekor kelinci liar, menusukkannya ke tusukan dan memanggangnya di atas api.” 　　“Kelinci liar ini tiba-tiba melintas di samping kereta kuda saat dalam perjalanan, dengan refleks cepat Lao Qin memukulnya hingga pingsan menggunakan cambuk kuda untuk memperbaiki menu makanan.” 　　“Mengingat status khusus Tetua Hua dan penyamaran Jiang Si yang kini menjadi cucu perempuan Tetua Hua, demi menghindari pengawasan Jinlinwei, beberapa hari ini mereka sengaja tidak berhenti di rumah pos untuk menghindari masalah yang tidak perlu.” 　　“Karena itu, meskipun rombongan ini belum pernah menginap di alam liar, mereka sudah beberapa kali makan di luar.” 　　“Aroma daging panggang segera menyebar ke sekeliling.” 　　“Long Dan mengendus-endus lalu tersenyum: 'Lao Qin, keterampilanmu memang bagus.'” 　　“Lao Qin dengan mahir membalikkan kelinci panggang: 'Terbiasa karena sering melakukannya.'” 　　“Long Dan jadi penasaran, mendekat dan bertanya: 'Tak kusangka, dulu kau sering memanggang daging?'” 　　“'Hmm.' Lao Qin mengangguk, matanya tak lepas dari kelinci panggang yang kulitnya mulai menguning keemasan.” 　　“'Lao Qin, daging apa yang paling kau ahli panggang? Aku beri tahu, soal makan daging rusa aku lebih ahli--' Kebosanan selama perjalanan berubah menjadi cerewet di saat ini.” 　　“Tetua Hua memandang Long Dan dengan serius, ragu apakah pendengarannya salah.” 　　“'Bertanya keahlian orang memanggang daging, bukannya seharusnya menyebut keahlian diri sendiri? Apa maksudnya 'ahli makan daging rusa'?'” 　　“Sejak kecil aku belajar Bahasa Zhou, dan sudah tinggal di Dinasti Zhou selama bertahun-tahun. Tak kusangka Bahasa Zhou begitu luas dan dalam...” 　　Lao Qin yang sedang fokus membakar daging menyahut: "Aku ahli memanggang daging tikus." 　　Dulu hidup sangat melarat, sering menangkap tikus sawah untuk dipanggang. 　　“Daging tikus?” Long Dan mengerutkan sudut bibir, menatap daging kelinci yang sudah menguning di tusukan sate dengan tatapan aneh. 　　Lao Qin berkata datar: “Waktu itu sering tidur beralaskan langit berselimut bumi. Makan sepotong daging tikus sawah, minum seteguk arak murahan. Mabuk lalu tidur, bangun lalu mengembara tak tentu arah. Lapang lagi, tangkap tikus atau burung pipit untuk dipanggang. Kalau diingat-ingat--” 　　“Indahnya!” Long Dan tak tahan menyela. 　　Lao Qin memandang dalam-dalam ke arah Long Dan: “Benar-benar tak ingin kembali ke masa itu.” 　　Bagi pria itu, masa itu adalah mimpi buruk. Bertahun-tahun menjadi mayat hidup, bahkan tak sudi mengingatnya. Long Dan yang biasanya terlihat normal ini malah iri? Jangan-jangan dia idiot? 　　Long Dan membuka mulut lalu menutupnya lagi, wajahnya tersudut. 　　Lao Qin ini benar-benar tidak mengikuti logika biasa. Masih bisakah ngobrol dengan tenang? 　　Jiang Si menyimak percakapan mereka, hampir tertawa. 　　Kukira tanpa Ah Man, hari-hari yang selalu ditemani Tetua Hua akan membosankan. Ternyata obrolan Lao Qin dan Long Dan cukup menghibur. 　　Aroma daging panggang di kuil semakin kuat, angin dan salju di luar semakin ganas, tanpa terasa hari pun gelap. 　　Melihat daging kelinci sudah hampir matang, Lao Qin mengeluarkan belati bersih dan bersiap membagi daging. 　　Saat ujung belati tajam menggores kulit emas kelinci panggang, beberapa tetes minyak menetes ke api dan membesar nyalanya, Lao Qin tiba-tiba berhenti. 　　Bersamaan itu, Long Dan menghapus senyumannya dan menatap ke arah pintu kuil. 　　Papan pintu sudah lama hilang, pintu kuil yang kosong tak berdaya membiarkan angin dingin dan serpihan salju masuk, menerpa tirai Buddha yang compang-camping hingga bergetar tak henti. 　　Long Dan meraba sarung pedangnya, mendekati Jiang Si dan berbisik: "Tuanku, ada orang datang." 　　Jiang Si sudah menangkap keanehan reaksi Lao Qin dan Long Dan, mengangguk pelan: "Tak perlu tegang, mungkin mereka hanya pelancong yang berteduh seperti kita." 　　Kuil tua ini terletak di pinggir jalan, mereka bisa datang, orang lain pun pasti bisa. 　　Suasana di antara mereka segera kembali normal. 　　"Lao Qin, sudah matang?" tanya Long Dan sambil tersenyum. 　　Lao Qin membalikkan kelinci panggang, cahaya api menerangi wajahnya: "Sebentar lagi." 　　Tiba-tiba ada suara di pintu kuil. 657.BAB 656 Kekacauan Dimulai 　　BAB 656 Kekacauan Dimulai 　　Dua orang masuk dari luar. 　　Keduanya pria, satu berusia awal dua puluhan, satunya lebih tua sekitar tiga puluhan. 　　Mereka mengamati Jiang Si dan rombongannya. 　　Seorang nenek tua, seorang gadis, seorang pria dekil, dan seorang pria bermuka putih. 　　Keduanya langsung rileks, mengibaskan salju yang menempel di badan di depan pintu, lalu melangkah masuk dengan gagah. 　　Long Dan dan Lao Qin saling bertukar pandang diam-diam, tanpa bicara, hanya menggeser badan untuk menutupi sebagian besar tubuh Jiang Si dan Tetua Hua. 　　Jiang Si menarik napas halus setelah kedua orang itu masuk. 　　Aroma bubur manis dan daging panggang harum yang seharusnya menenangkannya, kini tercampur bau amis darah samar yang membuatnya tak nyaman. 　　Kedua orang ini tampaknya sering bersentuhan dengan darah - entah sebagai pemburu atau pembunuh? 　　Jiang Si menunduk memandang nyala api yang berkedip-kedip, lebih cenderung pada yang terakhir. 　　Tapi dia tak berniat ikut campur. Saat di perjalanan, prinsipnya: selama mereka tak mengganggu, dia pun tak akan mencari masalah. 　　Tapi terkadang masalah datang sendiri. 　　Kedua pendatang baru langsung duduk di dekat api tanpa sungkan. Yang lebih tua berkata pada Long Dan: "Adik, pinjam api sebentar." 　　Sudut mata Jiang Si menyipit memperhatikan pria yang berbicara tadi. 　　Mungkin karena pernah mempelajari Ilmu Gaib, dia selalu memperhatikan detail - logat pria ini terdengar aneh. 　　Tapi keanehan itu sangat halus, sulit bagi Jiang Si untuk menjelaskan letak keanehannya. 　　Hampir reflek, Jiang Si melirik ke Tetua Hua. 　　Ekspresi Tetua Hua tetap tenang, seolah sama sekali tak terganggu oleh kehadiran para pendatang baru. 　　“Jiang Si tidak dapat melihat petunjuk apa pun, lalu kembali menundukkan matanya. 　　Long Dan tidak menyadari keanehan, meski sikap tidak sopan dari kedua orang yang masuk membuatnya kesal. Jika dulu, dia pasti sudah menendang kayu bakar menyala ke arah mereka, tapi karena ada Jiang Si di sini, dia memilih tidak membuat masalah. 　　Bersabar sejenak untuk kedamaian. Demi Permaisuri, tahan! 　　Ahem, semoga tuanku melihat jasanya mengantarkan Permaisuri ke sini, dan memberi lebih banyak tael perak saat dia menikah nanti, sehingga pengorbanannya menahan diri saat ini tidak sia-sia. 　　Melihat Long Dan menggeser posisi dengan patuh sementara Lao Qin tidak bereaksi, kedua pria itu saling memandang lalu fokus pada daging kelinci yang sedang dipanggang Lao Qin. 　　Kelinci panggang itu sudah matang sempurna, mengeluarkan aroma sedap yang sangat menggoda. 　　"Piring." seru Lao Qin. 　　Long Dan mengeluarkan piring dari entah mana dan menyodorkannya ke Lao Qin. 　　Dengan belati, Lao Qin mengiris satu kaki kelinci yang kulitnya renyah dan dagingnya lembut, lalu meletakkannya di piring. 　　Long Dan membawa piring ke hadapan Jiang Si, dengan berat hati mengubah arah dan menyerahkan daging itu kepada Tetua Hua. 　　Tetua Hua tanpa bicara menerimanya, lalu menyodorkan ke Jiang Si dengan suara penuh kasih: "Makanlah." 　　Persis seperti nenek yang sangat menyayangi cucu perempuannya. 　　Jiang Si tidak menerima, berkata lembut: "Anda saja yang makan." 　　Aksi saling mengalah mereka membuat pria muda itu tak tahan lagi, dia berkata pada Lao Qin: "Bang, pertemuan ini adalah takdir. Bagaimana kalau bagi daging kelinci ini separuh untuk kami?" 　　Lao Qin：“Piring.” 　　Sebuah kaki kelinci panggang keemasan kembali jatuh ke piring baru, Long Dan membawa piring berisi kaki kelinci itu kembali. 　　Kali ini Jiang Si dengan Tetua Hua tidak lagi menolak, masing-masing mengambil piring berisi daging kelinci dan mulai makan. 　　Belati di tangan Lao Qin mulai memotong kaki kelinci ketiga, dari awal sampai akhir tidak sekali pun melirik pria muda yang berbicara. 　　Pria muda itu marah: “Kau tuli ya?” 　　“Tidak tuli.” Jawab Lao Qin singkat, langsung menggigit kaki kelinci ketiga yang baru dipotongnya. 　　Daging kelinci panggang yang lembut dan harum itu langsung memuaskan seluruh tubuhnya. 　　Dia menyerahkan belati yang masih meneteskan lemak kepada Long Dan. 　　Kaki kelinci terakhir disisakan untuk Long Dan. 　　Melihat ini, pria muda itu panik dan menyambar untuk merebut. 　　Long Dan yang melihat makanannya direbut refleks ingin menghunus pedang, tapi mengingat berbagai pertimbangan, akhirnya menahan diri. 　　Kaki kelinci berhasil direbut oleh pria muda itu. 　　“Taruh.” Dua kata dingin terdengar. 　　Pria muda yang sudah hampir menyentuhkan daging kelinci ke mulutnya tertegun, bingung mencari sumber suara. 　　Jiang Si duduk bersebelahan dengan Tetua Hua, terlihat seperti gadis biasa yang cantik sederhana, sangat tidak mencolok. 　　Pria muda itu tidak langsung menyadari siapa yang berbicara. 　　Tapi Long Dan sudah paham. 　　Permaisuri sudah berbicara, artinya dia diizinkan bertindak leluasa. 　　“Sialan, benar-benar kurang ajar! Macan tidak mengaum dia anggap kucing sakit!” 　　Gerakan Long Dan lebih cepat dari pikirannya, menyambar daging kelinci kembali, lalu meninju tepat di wajah pria muda itu. 　　Pria muda itu jelas tak menyangka lelaki bermuka putih ini tiba-tiba berubah muka. Terkena pukulan, darah hidungnya mengalir deras, wajahnya membeku sesaat. 　　Pria yang lebih tua bereaksi lebih cepat, langsung menghunus pedang ke arah Long Dan—tepatnya Jiang Si di sampingnya. 　　Seandainya pedang itu diarahkan ke Long Dan, Lao Qin mungkin akan diam mengamati kemampuan mereka. Tapi karena sasaran pedang itu adalah Jiang Si, dia tak bisa tinggal diam. 　　Lao Qin yang marah langsung melemparkan panci bubur panas ke arah pria yang lebih tua itu. 　　Pria itu buru-buru menghindar, meski sebagian besar terhindar, sedikit masih mengenai tubuhnya. 　　Bubur mendidih itu membakar kulit. Meski memakai baju kapas, rasa perih menusuk. Kulit yang terbuka langsung melepuh. 　　"Bunuh mereka!" Teriaknya penuh amarah. 　　Jiang Si yang diam mengamati tiba-tiba menyipitkan mata, jari-jarinya menggenggam kencang. 　　Kalimat itu menggunakan bahasa asing. Meski teriakan itu cepat dan parau, bercampur gemuruh pertarungan, dia tetap bisa mengenalinya. 　　Bukan bahasa Wu Miao. 　　Jiang Si segera mengenyahkan pikiran itu, namun pikirannya tetap bergolak. 　　Sejak pria yang lebih tua itu berbicara kalimat pertama, dia sudah merasa logatnya aneh. Sekarang terbukti kecurigaannya tidak berlebihan. 　　Kedua pria ini bukan orang Dinasti Zhou! 　　Salju yang memblokir jalan, kuil tua di pinggir jalan, bersiap makan malam dengan Tetua Hua dari Suku Wu Miao, lalu bertemu dua orang asing - nasib macam apa ini? 　　Jiang Si menekan berbagai pertanyaan yang bermunculan dan fokus mengamati pertarungan. 　　Baik Long Dan maupun Lao Qin adalah pendekar ulung yang berpengalaman di medan perang. Namun dua pria asing itu ternyata mampu bertahan meski kalah inisiatif, membuktikan kemampuan mereka luar biasa. 　　Melihat pertarungan masih akan berlanjut, Jiang Si mengambil daging kelinci yang hampir gosong di atas api dan meletakkannya di piring belakangnya. 　　Kelinci panggang yang hanya tersisa kepala dan badan terlihat lucu. 　　Tetua Hua melirik Jiang Si dengan pandangan kompleks. 　　Jiang Si yang bingung oleh tatapan itu menjelaskan: "Buburnya tumpah." 　　Tetua Hua mengernyitkan sudut bibirnya. 　　Rupanya Permaisuri Yan merasa sayang melihat wajan bubur panasnya tumpah, lalu menyelamatkan sisa kelinci panggang. 　　Memandang Jiang Si yang menyamar sebagai cucunya, Tetua Hua mulai meragukan: Wanita ini bisa berpura-pura menjadi Imam Suci saat pertama bertemu tanpa gugup, mungkin Permaisuri Yan ini juga palsu... 　　Barulah suasana canggung yang halus di sini terpecahkan setelah dua pria ditangkap bersama-sama oleh Long Dan dan Lao Qin. 　　Bagian keempat, digunakan untuk memohon suara bulanan berharga dari para pembaca. 658.BAB 657 Intimidasi 　　BAB 657 Intimidasi 　　Menangani situasi seperti ini, Long Dan cukup berpengalaman. 　　Ia terlebih dahulu membabat dua pria itu dengan tebas tangan hingga pingsan, baru kemudian bertanya pada Jiang Si: "Menurut Anda bagaimana seharusnya mereka dihukum?" 　　Meski dua bajingan ini merebut paha kelinci panggangnya sungguh keterlaluan, tapi tidak sampai harus membunuh mereka. Lagi pula dia bukan pembunuh berdarah dingin. 　　Jiang Si mendekat, memandangi dua pria tak sadarkan diri dari atas. 　　Setelah diamati lebih teliti, kedua pria ini bertubuh tinggi besar dengan kulit agak kasar. 　　"Ini adalah dua orang asing," ujar Jiang Si. 　　Tetua Hua tidak ikut mendekat, tetap di tempatnya sambil menggerakkan alis tipis mendengar ucapan itu. 　　Long Dan terkejut, menunjuk keduanya: "Mereka bukan orang Dinasti Zhou?" 　　Tampilannya sama saja, bahasa Zhou-nya pun sangat lancar. 　　Memikirkan ini, Long Dan tak sengaja melirik ke arah Tetua Hua. 　　Ibu Suri ini juga bukan orang Zhou, tapi kalau bukan karena sudah tahu statusnya, dia pun takkan menyadari. 　　Lao Qin yang diam selama ini tiba-tiba bersuara: "Tadi orang ini berteriak sesuatu, terdengar seperti bahasa Qi Utara." 　　Yang dimaksud Lao Qin adalah pria yang lebih tua. 　　Tadi karena disiram bubur panas oleh Lao Qin, pria itu sampai hilang kesabaran dan mengeluarkan kata-kata spontan. 　　“Qi Utara?” Long Dan mengusap dagunya, sorot mata penuh gelora pembunuhan, “Ini sudah di selatan ibu kota, orang Qi Utara kenapa bisa muncul di sini dengan tiba-tiba?” 　　Dinasti Zhou dan Qi Utara selama bertahun-tahun tidak terlibat perang resmi, hanya sesekali terjadi konflik kecil di wilayah perbatasan. 　　Atau lebih tepatnya, ini merupakan aksi sepihak orang Qi Utara yang menyergap rakyat perbatasan Dinasti Zhou. 　　Qi Utara adalah bangsa yang hidup di atas punggung kuda, kehidupan keras dengan sumber daya terbatas. Merampas bahan pangan dan kain milik orang Zhou menjadi jalan pintas untuk memperbaiki taraf hidup. 　　Tentu saja, pasukan Dinasti Zhou yang bertugas di Utara akan melakukan serangan balik, namun orang Qi Utara biasa kabur setelah merampok, sulit diantisipasi dan sangat menjengkelkan. 　　Selama bertahun-tahun, selama tidak ada konflik besar atau kejadian di depan mata, pasukan penjaga hanya bisa tutup sebelah mata. 　　Dari segi kemampuan tempur, orang Zhou memang sejak dulu kalah dari orang Qi Utara. Bangsa yang tumbuh makan daging sapi-kambing dan minum susu ini bertubuh tinggi besar dengan keahlian menunggang kuda yang luar biasa. 　　“Lihatlah postur dua orang ini memang lebih tinggi dari pria biasa di Zhou. Tapi orang ini hanya teriak satu kalimat, aku bahkan tak dengar jelas teriakannya. Lao Qin, kau yakin ini orang Qi Utara?” Long Dan mengitari dua mayat di tanah dengan rasa penasaran dan kewaspadaan. 　　Ia lebih sering berurusan dengan orang Nanlan. Jika ini benar orang Qi Utara, itu merupakan pengalaman pertamanya. 　　Lao Qin berjongkok, sambil menarik pakaian pria yang lebih tua ia berkata: “Di masa mudaku, aku pernah bertugas di Utara sebagai bagian dari rotasi pertahanan.” 　　Long Dan baru teringat asal-usul Lao Qin, tertawa berkata: "Aku sampai lupa, kau dulu adalah Jenderal Qin." 　　"Jenderal Qin apa." Lao Qin jelas tak ingin membahas masa lalu, mempercepat gerakan tangannya. 　　Melihat ini, Long Dan buru-buru menghalangi: "Lao Qin, tuanku masih di sini, apa maksudmu?" 　　Lao Qin mengangkat kepala melirik Jiang Si. 　　Selama ini dia merasa Permaisuri bukan orang yang mempermasalahkan hal seperti ini, tapi setelah diingatkan Long Dan, memang kurang pantas membuka pakaian pria di hadapan Permaisuri. 　　"Apakah sedang mencari sesuatu? Jangan ragu, silakan cari saja." Jiang Si berkata tanpa perubahan ekspresi. 　　Apakah dia tipe perempuan yang malu melihat pria telanjang dada? Jangan bercanda, lebih baik gunakan waktu untuk memastikan tujuan dua orang asing ini berada di sini. 　　Mendengar perkataan Jiang Si, Lao Qin leluasa bertindak, cepat-cepat membuka mantel kapas pria itu hingga memperlihatkan dadanya. 　　Dada pria yang terbuka itu berbulu lebat, tepat di tengahnya terdapat tato. 　　Lao Qin melihat tato tersebut, berkata dengan yakin: "Orang ini pasti dari Qi Utara." 　　Dia kemudian membuka pakaian pria muda itu, juga menemukan tato serupa di dadanya. 　　Long Dan penasaran mendekat, ragu-ragu berkata: "Pola di dada orang ini adalah kepala serigala, kan?" 　　Lao Qin mengangguk: "Orang itu mentato kepala serigala, tato orang ini adalah elang. Serigala dan elang merupakan benda yang dipuja orang Qi Utara, melambangkan kekuatan dan kehormatan. Pria Qi Utara biasa menato pola serigala atau elang di dada, ini bisa dianggap sebagai penanda identitas mereka." 　　Jiang Si mengamati sejenak, bergumam: "Kedua orang ini menyamar sebagai orang Dinasti Zhou, menguasai bahasa Zhou dengan baik, apa tujuan mereka datang ke sini? Long Dan, bisakah kau menginterogasi mereka?" 　　Long Dan tersenyum: "Ini pertama kalinya berurusan dengan orang Qi Utara, hamba akan berusaha. Tapi butuh kerja sama dari semua." 　　"Kerja sama seperti apa?" 　　Long Dan berbisik beberapa kalimat, membuat tiga orang termasuk Jiang Si menunjukkan ekspresi aneh. 　　Tak disangka Long Dan adalah tipe orang seperti ini. 　　Setelah waktu yang tak pasti, pria muda itu menggerakkan kelopak matanya lalu membuka mata. 　　Yang terlihat adalah patung Buddha rusak dan dinding gelap, aroma daging panggang menyengat hidungnya. 　　Setelah kebingungan sesaat, pria muda itu segera menutup mata lagi, mencoba menggerakkan tangan dan kaki diam-diam. 　　Tangan dan kakinya tidak diikat! 　　Apakah si wajah putih itu memukul mereka sampai pingsan lalu meninggalkan begitu saja? 　　Pria muda itu membuka mata sedikit, mengalihkan pandangan ke arah sumber cahaya api dan aroma kuat. 　　Seorang nenek tua, seorang gadis, pria dekil, dan si wajah putih. 　　Cahaya api menerangi wajah mereka, membuat pria muda itu melihat dengan jelas. 　　Orang-orang ini belum pergi... Mereka masih memanggang daging! 　　“Menyadari hal ini, reaksi pertama pria muda itu adalah kemarahan.” 　　“Mereka sudah memukul hingga pingsan dia dan Kakak, tapi orang-orang ini malah terus membakar daging dengan santai? Sungguh meremehkan kami, penghinaan yang keterlaluan!” 　　“Pria muda itu menggerakkan jarinya, baru ingin bergerak tiba-tiba suara terdengar dari arah sana.” 　　“Suara pria bermuka putih itu berbunyi: 'Hei hei, kubilang satu kelinci panggang tak cukup untuk empat orang, bahkan tidak cukup untuk mengisi celah gigi. Di tengah badai salju di kuil rusak ini, ternyata ada yang datang menyerahkan diri.'” 　　“Pria muda itu kaget, entah mengapa merasa kata-kata itu membuat dadanya merinding.” 　　“Kemudian suara pria dekil berbunyi: 'Bantu buat beberapa sayatan, daging paha terlalu tebal, susah meresap bumbu.'” 　　“'Baik!'” 　　“Desis minyak menetes ke api pun terdengar.” 　　“Pria muda itu merasa tegang tanpa alasan, matanya tertuju pada api unggun.” 　　“Di atas api tergantung sepotong daging paha. Bagian kaki yang dipilih hanya ruas tengahnya, ditusuk dengan ranting besar dan dibalik-balik oleh pria dekil. Kulitnya sudah berwarna keemasan, aroma harum itu berasal dari sana.” 　　“Pria bermuka putih menusuk-nusak daging paha tebal itu dengan belati, khawatir: 'Sayang sekali, daging paha pria dewasa masih terlalu kasar, rasanya kurang enak.'” 　　“Pria dekil itu dengan wajah datar membalik daging panggang: 'Di tengah badai salju seperti ini, bisa makan saja sudah beruntung.'” 　　Si tampan mengusap dagunya: "Benar juga, dan sekali datang dua orang, kita bakar semalaman lalu jadikan dendeng, bisa dimakan cukup lama. Tapi kubilang, daging wanita dan anak-anak tetap lebih enak..." 　　Pria muda itu memandang kaku ke samping, melihat sebuah sepatu bot. 　　Itu sepatu pria yang lebih tua. 　　Pria muda itu melompat berdiri dan langsung lari terbirit-birit. 　　Bagian Kelima, Minta dukungan vote. 659. BAB 658 Mencari Orang 　　BAB 658 Mencari Orang 　　Pria muda itu melompat bangun, baru menyadari kakinya lemas, jatuh terduduk kembali dengan suara 'plok'. 　　Long Dan mendekat sambil membawa belati, berdiri di depan pria muda itu dengan wajah garang: "Lari lagi! Kulihat mau lari ke mana!" 　　Pria muda itu menatap wajah tampan yang jauh lebih putih dari pria Qi Utara itu, namun merasakan hawa dingin menyebar. 　　Ini... si tampan ini kanibal! 　　Tidak, yang kanibal bukan cuma si tampan ini. 　　Pria muda itu menoleh ke tiga orang lain di dekat api unggun. 　　Pria dekil sedang memotong daging paha menjadi irisan tipis, menumpuknya di piring lalu menghidangkan ke nenek tua dan gadis itu. 　　Nenek tua itu masih memandang gadis itu dengan tatapan penuh kasih: "Makanlah." 　　Gadis itu menolak lembut: "Anda saja yang makan." 　　Saat pertama kali melihat mereka seperti ini, pria muda itu menganggap mereka lemah. Tapi melihat adegan yang sama lagi, keringat dingin seketika membanjiri punggungnya. 　　Nenek tua berwajah welas asih, gadis pemalu nan lembut... Terlalu, terlalu mengerikan! 　　“Orang-orang ini setan, ya?” 　　Menyaksikan gadis itu memakan sepotong daging panas tanpa perubahan ekspresi, bahkan menunjukkan ekspresi puas, pria muda itu memalingkan kepala dan muntah. 　　Long Dan menggelengkan kepala jijik, menendang pria muda itu: “Kami sedang makan, kau cari mati?” 　　Pria muda itu menggigil, wajahnya pucat. 　　Biasanya dia tak takut apapun, bahkan tak takut mati, tapi dia takut mati dipanggang orang – hanya memikirkannya saja sudah membuatnya merinding, tak berani mati. 　　Tiba-tiba pria dekil itu bertanya: “Bagaimana rasanya? Enak?” 　　Gadis itu berpikir sejenak, lalu mengevaluasi dengan serius: “Cukup lumayan.” 　　Pria dekil itu agak menyesal: “Seharusnya kakinya dipotong saat masih hidup baru dipanggang. Setelah mati baru dipanggang, rasanya kurang enak.” 　　Pria muda itu hampir menangis ketakutan, otot wajahnya berkedut tak terkendali. 　　Di... dipotong saat masih hidup?? 　　Ya Tuhan, tadi dia masih berpikir tak berani mati, sekarang bahkan tak berani hidup... 　　Melihat pria muda itu sudah cukup ketakutan, Long Dan berjongkok di depannya dan bertanya: “Kau siapa?” 　　“Aku... aku...” Pria muda itu bingung menjawab. 　　Pertanyaan ini terlalu luas, sulit bagi orang yang setengah mati ketakutan. 　　“Orang hidup atau mayat?” 　　“Orang hidup.” 　　“Pria atau wanita?” 　　“Pria.” 　　“Orang Qi Utara atau Zhou?” Long Dan bertanya cepat. 　　Pria muda itu menjawab kilat: “Qi Utara—” 　　Suara itu baru saja berhenti, wajahnya langsung pucat pasi. Ia menampar pipinya sendiri dengan keras, lalu bergumul berkata: "Bicara, bicara terlalu lancar—" 　　"Heh." Jawaban pria muda itu adalah suara cemojian dingin dari Long Dan. 　　Pria muda itu merinding mendengar tawaan itu. 　　Long Dan menempelkan belatinya yang berminyak ke wajah dingin pria muda itu: "Bicara lancar? Lalu kenapa kau tak lancar bilang dirimu mayat?" 　　Pria muda itu menggerakkan bibirnya, tak bisa menjawab. 　　"Sudah, cukup omong kosong. Mengakulah dengan jujur, untuk apa kalian orang Qi Utara datang ke Dinasti Zhou kami?" 　　Melihat pria muda itu melirik ke arah Lao Qin dan yang lain, wajah Long Dan berubah dingin: "Jangan mikir macam-macam! Menangkap mata-mata adalah kewajiban setiap pria! Meski kami rakyat biasa, tak boleh tutup mata!" 　　Pria muda itu tertegun. 　　Menangkap mata-mata kewajiban setiap pria? Orang Zhou di perbatasan utara sepertinya tidak seperti ini— 　　Saat ia masih ragu, pergelangan tangan Long Dan berputar. Belati itu menembus lengan pria muda, lalu belati berlumuran darah itu didekatkan ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah menjilatnya. 　　Pria muda itu ingin muntah lagi. 　　Long Dan melotot, berkata dengan aura pembunuh: "Kalau muntah lagi, kau ku potong lidahmu dan panggang! Lidah itu paling kenyal saat dikunyah." 　　Sudah berkorban segini, kalau bajingan ini masih keras kepala, ia benar-benar tak akan segan lagi. 　　Pria muda itu menggigit bibirnya kuat-kuat, menelan kembali sesuatu yang naik ke kerongkongannya. 　　“Pertanyaan terakhir, apa tujuanmu datang ke Dinasti Zhou? Apakah untuk memata-matai informasi guna menyerang negara kami? Jika tidak mau bicara, lidahmu akan kupotong!” 　　Pria muda itu benar-benar ketakutan, matanya kosong: “Bukan memata-matai, hanya mencari seseorang...” 　　Long Dan melirik ke arah Jiang Si, ekspresinya semakin garang: “Mencari orang? Siapa yang kau cari?” 　　Pria muda itu ragu sejenak, merasakan aura pembunuhan dari pria tampan itu, diam-diam melirik ke arah sana. 　　Pria dekil itu terus memanggang daging, sorotan api membuat wajahnya lebih merah dari daging yang matang. 　　Nenek tua itu hampir tidak menyentuh piring berisi irisan daging di depannya, sementara gadis itu makan dengan perlahan-lahan. Setelah selesai, dia menyeka sudut bibirnya, menatap dengan santai sambil tersenyum penuh arti. 　　Pria muda itu merinding, menyerahkan perlawanan terakhir: “Kami datang ke Dinasti Zhou untuk mencari putri bangsawan.” 　　“Apa tujuan putri bangsawanmu datang ke Dinasti Zhou? Apa maksudnya?” Long Dan segera mengejar. 　　Pria muda itu menggeleng panik: “Tidak ada tujuan khusus, putri bangsawan hanya suka kabur dari rumah. Kali ini dia sudah lama tidak pulang, keluarga khawatir lalu mengirim kami mencari. Petunjuk kami menunjukkan putri bangsawan datang ke Dinasti Zhou...” 　　“Tidak bohong?” 　　Pria muda itu hampir menangis: “Tidak, saya benar-benar tidak bohong——” 　　Long Dan menoleh melihat Jiang Si bertiga, mengusap wajahnya, lalu menyunggingkan senyuman menyeramkan pada pria muda itu: "Kalau begitu, cukup potong telinganya saja untuk dipanggang." 　　Begitu kata-katanya habis, belati langsung menyambar ke arah telinga pria muda itu. 　　Pria muda yang semula lemas tiba-tiba mengeluarkan dua kali lipat kekuatan, berguling menghindar tepat pada saat kritis. 　　Menyaksikan belati kembali menyambar, pria muda itu berteriak: "Kalian orang Dinasti Zhou semua penipu! Aku tidak bohong sedikitpun, kenapa masih memotong telinga?" 　　Long Dan mencemooh: "Kau pikir ini main rumah-rumahan anak kecil pakai kait kelingking? Tak kenal prinsip 'Penipuan tak dilarang dalam perang'?" 　　Kali ini Long Dan tak lagi menahan diri, dengan gerakan cepat belatinya menyambar dan memotong separuh telinga kiri pria muda itu. 　　Pria muda itu menjerit kesakitan sambil menutupi telinganya yang terus mengucurkan darah. 　　Long Dan menjepit potongan telinga itu dengan wajah jijik, lalu melemparkannya ke Lao Qin: "Bocah ini menghindar terlalu cepat, cuma dapat segini. Panggang saja seadanya." 　　Lao Qin menangkapnya dengan mantap, lalu bertanya serius: "Pakai madu atau saus?" 　　Pria muda itu mengeluarkan mata putih, pingsan ketakutan. 　　Long Dan langsung melompat sambil meludah: "Cih, jijik sekali!" 　　Meski pernah membunuh banyak orang, ini pertama kalinya dia mencicipi darah manusia. 　　Lao Qin jauh lebih tenang, meletakkan potongan telinga itu di tanah, lalu menusuk-nusuk daging kaki yang sudah berminyak: "Kalau dipanggang lagi akan jadi alot, mau makan?" 　　Long Dan bibirnya agak pucat: "Kau masih bisa makan?" 　　Lao Qin dengan wajah bingung: "Kaki babi panggang yang berminyak, kenapa tidak bisa dimakan?" 　　Long Dan memberikan jempol ke Lao Qin. 　　Selama ini dia mengira Lao Qin hanyalah janda tua yang berantakan, tak menyangka ternyata orang yang kejam. 　　Jiang Si teringat perkataan Lao Qin saat meminta ditampung: Aku tak punya keahlian lain, hanya ahli membunuh. 　　Lao Qin benar-benar orang jujur, perkataannya tidak berbasa-basi sama sekali - pikir Jiang Si dalam hati. 　　"Dua orang ini dibunuh atau tidak?" Lao Qin mengambil daging panggang, meminta pendapat Jiang Si. 　　Terima kasih untuk vote dan hadiah dari kalian. Bagian keenam, tetap minta dukungan vote, berusaha menguras habis vote kalian. 660.BAB 659 Kuil Tua Berpenghuni 　　BAB 659 Kuil Tua Berpenghuni 　　Memandang pria muda yang pingsan, mata Jiang Si berkilauan. 　　Membunuh atau tidak, ini memang masalah yang membuat ragu. 　　Hanya karena dua orang ini merebut daging panggang kita, membunuh terlalu berlebihan, tapi mereka orang Qi Utara, perkataannya belum tentu bisa dipercaya. 　　Membunuh, tentu paling praktis. 　　Tapi ini nyawa dua orang. 　　Jiang Si langsung mengalihkan masalah ke Long Dan: "Long Dan, kau yang urus." 　　Perjalanan ke selatan ini, secara resmi hanya empat orang, tapi Long Dan sudah menyiapkan cadangan, lebih aman diserahkan padanya. 　　Long Dan berpikir sejenak: "Biarkan mereka tidur pingsan semalam di kuil tua." 　　Tentang hal lain, dia tidak menyinggung lagi. 　　"Jiang Si tidak bertanya." Lao Qin memang bukan tipe yang banyak bicara, apalagi Tetua Hua yang lebih pendiam. 　　Long Dan menyeret pemuda itu dan seorang pria dari Qi Utara lainnya ke sudut. 　　Lao Qin tiba-tiba menempelkan telinganya ke lantai, wajahnya berkerut: "Sepertinya ada yang datang lagi." 　　"Ada yang datang lagi?" Long Dan menghela napas lesu, "Hari ini benar-benar aneh. Sekarang hari sudah gelap, salju turun deras, kenapa kuil reyot ini terus kedatangan orang?" 　　"Justru karena salju turun, lebih banyak orang mencari tempat berteduh." Lao Qin berdiri sambil menyeret pria Qi Utara yang lebih tua ke sudut. 　　Dua mayat terbaring kaku, salah satunya kehilangan separuh telinga kirinya. Tidak pantas dilihat pendatang baru. 　　Untungnya hari sudah gelap dan cahaya di dalam kuil remang-remang. Menyembunyikan kedua mayat ini di sudut tidaklah sulit. 　　Begitu Lao Qin dan Long Dan selesai menyamarkan kedua mayat tak sadarkan diri itu, suara langkah kaki terdengar di pintu kuil. 　　"Ada orang di dalam?" Dua sosok muncul di ambang pintu, salah satunya bertanya. 　　Jiang Si dan yang lain menoleh. Dalam cahaya api unggun terlihat pria berambut putih yang bertanya tadi, berdampingan dengan seorang pemuda belasan tahun. 　　Melihat tatapan mereka, pria tua itu sopan bertanya: "Malam dingin bersalju, bolehkah hamba dan cucu ini menginap semalam?" 　　Tetua Hua berpegang pada prinsip "lebih baik hindari masalah", tetap membisu. 　　Jiang Si yang menyamar sebagai cucu perempuan Tetua Hua, melihat neneknya diam, tentu lebih tak pantas untuk angkat bicara. 　　“Long Dan melihat kakek berambut putih itu, di sampingnya seorang pemuda kurus dengan wajah memerah kedinginan, lalu mengangguk: "Silakan masuk, kami juga cuma pejalan yang sedang berteduh dari badai salju."” 　　“Sang kakek jelas-jelas melegakan napas, membawa cucunya masuk.” 　　“Kehangatan di dalam kuil membuat raut wajah kakek dan cucu itu sedikit rileks, sementara aroma harum yang menyeruak membuat mata mereka tak sengaja melirik ke arah api unggun.” 　　“Long Dan melirik Jiang Si diam-diam, melihatnya tidak keberatan, lalu berkata: "Jika kalian lapar, silakan makan daging panggang ini."” 　　“Pemuda tampan dengan pipi kemerahan itu tak kuasa menelan air liur.” 　　“Dalam perjalanan di hari bersalju, daging panggang beruap panas jelas memiliki daya tarik yang luar biasa.” 　　“Sang kakek ragu sejenak, menunjukkan ekspresi malu: "Maaf merepotkan."” 　　“Long Dan aktif memotong beberapa potong daging panggang, menyerahkannya ke kakek dan pemuda itu.” 　　“Kakek dan cucu itu mengucapkan terima kasih, mungkin karena sangat lapar, mereka melahap makanan dengan lahap.” 　　“Untuk sementara, kuil hanya diisi suara kunyahan kedua orang itu dan derak api yang berkobar.” 　　“Tak lama kemudian mereka selesai makan, sang kakek kembali berterima kasih pada Jiang Si dan yang lain.” 　　“"Tidak perlu sungkan, Kakek. Pertemuan tak terduga ini juga takdir. Waktunya sudah larut, kami akan beristirahat." Long Dan tersenyum.” 　　“Sang kakek cukup peka, membawa cucunya ke sisi lain kuil, berbaring setengah bersandar di dinding.” 　　“Kedua kelompok tak lagi berbicara, rasa kantuk mulai menyerang.” 　　“Lao Qin tiba-tiba bangkit dan berjalan menuju pintu kuil.” 　　Orang tua yang sudah menutup matanya segera membuka mata, pandangannya mengikuti Lao Qin. 　　"Angin kencang, lihat apakah ada yang bisa menahan pintu." Lao Qin menjelaskan, berputar di luar pintu sebentar, lalu kembali dengan tangan kosong. 　　Long Dan membuka matanya sedikit: "Jangan repot-repot, cepatlah tidur. Besok pagi jika salju berhenti kita harus segera melanjutkan perjalanan, hari ini sudah banyak waktu terbuang." 　　Lao Qin mendekat dan duduk bersebelahan dengan Long Dan. 　　Kuil perlahan kembali sunyi. 　　Meski mata Long Dan tertutup, ia tidak tidur. 　　Bukan karena tidak mengantuk, tapi di hutan belantara ini ia tidak bisa tenang. Keselamatan Permaisuri selalu menjadi prioritas utama di hatinya. 　　Tiba-tiba seseorang menggenggam tangannya. 　　Kelopak mata Long Dan bergetar, matanya terbuka. 　　Orang yang menggenggam tangannya adalah Lao Qin. 　　Long Dan mengedipkan mata menyiratkan kebingungan. 　　Api unggun hampir padam, cahaya dalam kuil semakin redup. Karena jarak mereka dekat, ekspresi wajah masing-masing terlihat jelas. 　　Lao Qin melepaskan genggamannya, lalu menulis beberapa huruf di tanah. 　　Long Dan menunduk membaca, wajahnya langsung berubah pucat. Di tanah tertulis: Ada orang di bawah pohon pinggir jalan. 　　Long Dan menggerakkan bibirnya tanpa suara: "Berapa?" 　　Lao Qin menulis karakter ''. 　　Long Dan mengalihkan pandangan ke sisi lain. 　　Orang tua dan pemuda itu berdekatan, tertidur. 　　Ekspresi Long Dan menjadi serius. 　　Benar-benar malam badai salju yang tidak tenang. 　　Lao Qin menemukan dua orang di bawah pohon di luar kuil. Apakah dua orang itu satu kelompok dengan kakek-cucu yang datang belakangan ini, atau satu kelompok dengan dua orang Qi Utara yang datang lebih dulu? 　　Terlepas dari kelompok mana pun, di cuaca seperti ini tidak masuk ke dalam untuk menghindari badai salju malah diam-diam berdiri di bawah pohon luar, pasti ada masalah. 　　Mungkinkah mereka ingin masuk ke kuil dan membunuh setelah kita tertidur lelap? 　　Long Dan berpikir sejenak, tiba-tiba bangkit dan berjalan keluar. 　　Gerakannya ini langsung membuat beberapa pasang mata terbuka, termasuk pasangan kakek-cucu itu. 　　Long Dan menyeringai dingin dalam hati. 　　Gerakannya cukup pelan, tapi pasangan kakek-cucu itu tetap langsung menyadarinya, membuktikan kedua orang ini tidak tertidur. 　　Sampai di pintu kuil, Long Dan bergumam sendiri: "Kebanyakan minum, tidak tahan lagi, sialan cuaca dingin begini." 　　Begitu suaranya menghilang, bayangannya telah lenyap dari pintu kuil, menyatu dengan malam gelap tanpa bintang-bulan. 　　Pemuda yang duduk bersandar pada orang tua itu menggerakkan badan, hendak bangkit, tapi ditahan oleh sang kakek. 　　"Kakek——" Ekspresi pemuda menjadi kaku, memanggil tanpa suara. 　　Sang kakek menggeleng halus, mencegah cucunya melanjutkan, tapi matanya tak lepas dari pintu kuil dengan ekspresi tegang. 　　Begitu melangkah keluar kuil, rasa kantuk Long Dan langsung tersapu angin salju. Ia cepat-cepat melirik sekeliling. 　　Tak jauh dari kuil rusak itu terdapat deretan pohon, samar terlihat dua siluet manusia berdiri di tepi pepohonan. 　　Jika musim panas, dedaunan yang rimbun mungkin bisa menutupi kedua bayangan itu, sulit terlihat di malam hari. Tapi sekarang hanya menutupi sebagian kecil, kalau diperhatikan baik-baik akan terlihat. 　　Long Dan menginjak salju menuju ke sana. 　　Pergi ke pinggir pohon untuk kencing adalah hal yang wajar bagi suami. 　　Perlahan semakin mendekat, kedua bayangan itu tetap tak bergerak. 　　Langkah Long Dan melambat, merasakan keanehan. 　　Salju masih belum berhenti, tidak tahu sudah berapa lama kedua orang ini berdiri di bawah pohon. Belum lagi apakah mereka tahan, tapi kenapa sama sekali tidak bereaksi saat ada orang mendekat? 　　Sungguh tenang, jangan-jangan mereka mengira dia tidak menyadari dan bersiap menikam saat dia mendekat? 　　Tapi bahkan ketika Long Dan sudah berada di depan mereka, kedua bayangan itu tetap tak bergerak. 　　Apa yang terjadi? 　　Long Dan terkejut dan waspada, mendekat lagi dengan hati-hati lalu melihat dua wajah pucat kaku. 　　Bagian ketujuh, tetap minta dukungan vote. Seorang pembaca bilang penulis sebenarnya bisa update minimal tiga bagian per hari, tapi sengaja malas update. Jujur, melihat komentar seperti ini saya kaget sekaligus marah. Genre berbeda, kemampuan penulis juga beda. Setidaknya bagi saya, menulis 4000 karakter sehari sambil mengurus keluarga adalah kondisi terbaik. Belakangan demi menyimpan naskah untuk ledakan update, saya harus menambah 2000 karakter per hari menjadi total 6000 karakter. Hampir seharian penuh di depan komputer. Anak bungsu minta digendong, minta diajak main, terpaksa saya tolak dengan berat hati demi menyimpan naskah. Tapi di mulut beberapa pembaca, ini dianggap bisa dengan mudah update beberapa bagian sehari, penulis sengaja malas update.... Setelah menggerutu, hati jadi lebih lega. Hanya ingin semua tahu saya benar-benar sudah berusaha maksimal. 661.BAB 660 Pengusung Mayat 　　BAB 660 Pengusung Mayat 　　Long Dan pernah melihat wajah pucat ketakutan, wajah pucat karena marah, tapi wajah pucat kaku seperti ini baru pertama kali ia lihat. 　　Ini adalah dua wajah mayat. 　　Seberani apapun Long Dan, bulu kuduknya berdiri saat ini. Refleks ia mundur setengah langkah. 　　Dua sosok, tidak, dua mayat itu tetap diam tak bergerak, bagaikan prajurit paling setia yang berjaga di samping pohon. 　　Setelah keterkejutan awal, Long Dan mendekat dan mencium bau busuk mayat yang samar. 　　Wajah Long Dan berubah drastis. 　　Dengan cuaca seperti ini sudah muncul bau busuk, berarti kedua orang ini sudah meninggal minimal tiga hari. 　　Kenapa mayat yang sudah meninggal lebih dari tiga hari bisa ada di sini? 　　Keadaan tampaknya semakin misterius. 　　Long Dan menekan rasa paniknya, mengamati kedua mayat itu dengan cahaya salju yang redup. 　　Keduanya adalah mayat pria, karena cahaya terlalu gelap wajah mereka hampir tak bisa dikenali, samar-samar terlihat satu berusia setengah baya dan satunya lagi masih sangat muda, mungkin belum dewasa. 　　Langit benar-benar gelap gulita, hanya pantulan cahaya lemah dari salju yang menerangi alam. 　　Tanpa sadar Long Dan mendekat lagi, ingin melihat lebih jelas. 　　Tiba-tiba mayat pria muda itu melangkah maju mendekatinya. 　　Rasa dingin langsung merambat dari tulang ekor ke seluruh tubuh, Long Dan berbalik dan lari tergopoh-gopoh hingga berhenti di depan pintu kuil. 　　Saat ini, wajahnya sudah pucat bagai salju. 　　Long Dan menguatkan keperawanannya sebentar, memberanikan diri menoleh ke belakang sambil mengusap keringat dingin di dahinya, lalu masuk ke dalam kuil. 　　Di dalam kuil sunyi senyap, sepertinya yang lain sudah terlelap. 　　Long Dan kembali ke sisi Lao Qin dan berbaring. 　　Dalam gelap, Lao Qin membuka matanya dan menyentuh tangan Long Dan pelan-pelan. 　　Long Dan menarik tangannya ke belakang, sudut bibirnya berkedut. 　　Kebiasaan Lao Qin ini harus diubah, terlihat pendiam dan dingin tapi kok suka sekali menggenggam tangan orang. 　　Di malam hari begini, mudah membuat orang ketakutan. 　　Membayangkan mayat pria muda itu tiba-tiba mendekat, Long Dan masih merinding. 　　Hari ini benar-benar aneh! 　　Melihat Lao Qin masih menatapnya dengan sorot mata tajam, Long Dan menggeleng pelan lalu menutup matanya. 　　Lao Qin terlihat bingung, matanya melirik ke arah nenek dan cucu yang beristirahat di seberang api yang hampir padam, lalu menengok ke luar kuil. 　　Lengannya disentak, bertatapan dengan mata Long Dan yang terbuka kembali. 　　“Tidur dulu.” Long Dan berbisik tanpa suara. 　　Sementara itu, Jiang Si juga masih terjaga. 　　Long Dan tidak akan pergi tanpa alasan, alasan buang air kecil tadi mungkin karena mendeteksi sesuatu yang mencurigakan. 　　Tidak, seharusnya Lao Qin yang pertama menyadari, lalu Long Dan pergi memastikan. 　　Setelah masuk, Long Dan tidak bereaksi sama sekali - ini membuktikan situasinya benar-benar tak terduga dan aneh sampai-sampai ia tidak berani bertindak gegabah. 　　Apa sebenarnya yang ada di luar kuil? 　　Jiang Si melirik ke arah pintu kuil. 　　Cahaya api redup di dalam kuil hanya mampu menerangi kegelapan pekat di luar. 　　Jiang Si menyerah menebak, lalu melepaskan segala pikiran dan tertidur. 　　Obat bius yang diberikan akan membuat kedua orang Qi Utara itu tetap tertidur sampai mereka pergi. Soal hal lain, lebih baik tidur nyenyak untuk mengumpulkan tenaga. 　　Saat Jiang Si terbangun, fajar telah terang. Lao Qin dan Tetua Hua sedang menyiapkan sarapan, sementara Long Dan bersandar di dinding dengan dengkuran halus. 　　“Saljunya sudah berhenti?” 　　Lao Qin berhenti bekerja: “Sudah. Long Dan berjaga hampir semalaman, baru tidur sebentar.” 　　“Biarkan dia tidur lagi.” Jiang Si melirik ke tempat nenek-cucu itu tidur, yang kini sudah kosong. 　　“Bulan belum terang, nenek dan cucu itu sudah pergi, saya tidak menghalangi.” kata Lao Qin. 　　Dia berjaga di separuh malam terakhir, tahu persis waktu kepergian mereka, setelah dipikir tidak perlu dihalangi. 　　Apapun keanehan nenek-cucu itu, pertemuan sepintas, tidak ada hubungan erat dengan kita. 　　“Lao Qin, tadi malam kau tiba-tiba keluar, apakah menemukan sesuatu yang mencurigakan?” 　　“Tidak menemukan keanehan dari nenek-cucu itu, hanya karena mereka muncul di waktu itu, untuk berjaga-jaga saya keluar melihat. Lalu menemukan dua bayangan orang berdiri samar di bawah pohon pinggir jalan. Saya bisikkan ke Long Dan, kemudian Long Dan keluar. Tapi setelah kembali dia tidak berkata apa-apa, menyuruh saya tidur cepat...” 　　Jiang Si tidak membangunkan Long Dan yang sedang tidur, setelah cuci muka sederhana duduk di samping api unggun. 　　Saat bubur matang, Long Dan yang mencium aroma membuka matanya. 　　Dia melirik cepat ke seberang, langsung melompat bangun: “Nenek dan cucu itu pergi?” 　　“Sudah pergi.” 　　Long Dan berlari keluar, hanya melihat area bawah pohon jalanan kosong. Di ujung lain terparkir kereta kuda yang telah disapu salju oleh Lao Qin, kuda hitam yang sudah segar menghembuskan uap putih dari hidung. 　　Dia membungkuk mengambil segenggam salju menggosok wajah, kembali ke dalam kuil roboh. 　　“Long Dan, sebenarnya apa yang kau temukan tadi malam?” tanya Lao Qin yang sudah menahan rasa penasaran semalaman. 　　Wajah Long Dan pucat, dia meludah ke tanah: “Benar-benar kesialan. Lao Qin, dua bayangan manusia yang kau lihat tadi malam itu bukan orang hidup, melainkan dua tael mayat!” 　　Lao Qin meletakkan mangkuk bubur dengan ekspresi terkejut. 　　Jiang Si juga kaget, menatap Long Dan. 　　"Setidaknya sudah mati lebih dari tiga hari, wajahnya pucat kehijauan dan menghitam, benar-benar mengerikan. Yang lebih menyeramkan lagi mayat pemuda itu tiba-tiba melangkah ke arahku. Untunglah aku pemberani, kalau orang lain mungkin sudah nyaris ketakutan setengah mati..." 　　Long Dan terus berbicara tak henti. Pengalaman aneh semalam cukup untuk diceritakan seumur hidup. 　　"Kakek dan cucu itu seharusnya adalah pengusir mayat." Tetua Hua yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. 　　Ketiganya menatapnya. 　　Wajah Tetua Hua tetap tenang saat menjelaskan: "Di dekat Wu Miao ada sebuah suku yang sebagian anggotanya menguasai teknik mengusir mayat. Mereka mencari nafkah dengan mengantar jasad orang yang meninggal di perantauan pulang kampung. Tapi mereka biasanya beraktivitas malam hari. Kemungkinan karena badai salju terlalu besar, mereka terpaksa bermalam di kuil rusak itu." 　　Long Dan semakin penasaran: "Kalau beraktivitas malam, mengapa kakek-cucu itu tidak menunggu sampai gelap?" 　　Tetua Hua menghela nafas: "Mereka khawatir ketahuan sesuatu olehmu, jadi pergi sebelum fajar. Mungkin mencari tempat lain untuk menunggu malam. Intinya para pengusir mayat ini tidak suka bertemu orang asing selama perjalanan, tidak akan mengganggu kita." 　　Mendengar penjelasan itu, Long Dan berhenti bertanya dan mulai menyantap buburnya dengan lahap. 　　Rupanya cuma pengusir mayat. Dikira mayat hidup bangkit, sampai berkeringat dingin sia-sia. 　　“Jiang Si memperlambat gerakannya menyantap bubur, pikiran berputar halus.” 　　Suku yang disebut Tetua Hua menguasai teknik pengendalian mayat itu seharusnya bernama Suku Bai Xiang. Di kehidupan sebelumnya, ia pernah tinggal di Wu Miao dan mendengar sekilas tentang mereka, tapi tak pernah berinteraksi dengan anggota suku tersebut. 　　Hubungan antara Wu Miao dan Bai Xiang terbilang damai, kadang berinteraksi, bagaikan air sumur tidak mengganggu air sungai. 　　Setelah sarapan, keempat orang itu pergi diam-diam dari kuil tua, meninggalkan dua orang Qi Utara yang masih tertidur lelap. 　　Long Dan berjalan di barisan paling belakang. Saat melewati pohon di pinggir jalan, ia menyisipkan tanda tanpa terlihat. 　　Entah berapa lama kemudian, pria Qi Utara yang lebih tua tersadar, melihat sekeliling lalu menemukan rekannya yang masih pingsan. 　　“Bangun.” Pria yang lebih tua memanggil nama pria muda itu. 　　Setelah beberapa kali dipanggil, pria muda itu akhirnya membuka matanya. 　　“Kau akhirnya sadar——” 　　Pria muda itu menyodorkan tinju sambil berteriak ketakutan: “Hantu——” 　　Bagian Kedelapan, tetap Minta dukungan vote. Stok naskah habis, update besok mungkin agak malam, sabar ya semua. 662. BAB 661 Menyelamatkan Orang 　　BAB 661 Menyelamatkan Orang 　　Dunia es dan salju, jalanan tertimbun lapisan tebal, roda kereta terbenam menghambat laju perjalanan. 　　Karena lambatnya gerak, udara di dalam gerbong terasa pengap. 　　Jiang Si membuka tirai kapas tebal. Angin dingin menyambar masuk, menyapu pengap di dalam gerbong. 　　Tetua Hua yang duduk bersandar di dinding kereta membuka matanya, mengamati Jiang Si. 　　Meski wajahnya telah diubah menyerupai cucu perempuan, seni penyamaran tak mungkin sempurna. Bisa membuat orang dekat tak menyadari kecuali diamati seksama sudah cukup baik. 　　Memandangi Jiang Si diam-diam, Tetua Hua teringat kata-katanya yang dingin "Taruh itu!" saat orang Qi Utara merampas kaki kelinci panggang di kuil rusak itu. 　　Tetua Hua mulai paham: Si gadis ini punya watak tak mau dirugikan, bukan tipe yang bisa dianggap remeh. 　　Jiang Si merasakan tatapan Tetua Hua, tapi tak menengok. Matanya tetap menatap ke kejauhan. 　　Seluruh pandangan tertutup salju putih, seolah-olah alam semesta hanya punya satu warna. 　　Selain kereta kuda mereka, tak terlihat kendaraan lain yang lalu lalang. 　　Tiba-tiba, pupil mata Jiang Si menyempit. Tanpa sadar ia menjulurkan kepala keluar. 　　Beberapa saat kemudian, ia berseru: "Berhenti sebentar." 　　Lao Qin menarik tali kekang, kereta kuda langsung berhenti. 　　Long Dan mendekati jendela kereta: "Ada yang perlu hamba lakukan?" 　　Jiang Si menunjuk ke arah tertentu: "Lihat ke sana. Bukankah ada orang yang tertelungkup?" 　　Long Dan mengikuti arah jarinya. 　　Di hamparan salju yang jauh dari jalan raya, terlihat bayangan biru yang samar-samar berbentuk manusia. 　　Long Dan menjadi serius: "Tunggu sebentar, hamba akan periksa." 　　Jiang Si mengangguk: "Pergilah." 　　Long Dan berlari cepat ke sana. Saat mendekat dan melihat jelas bayangan biru itu, ia terkejut sedikit. 　　Seorang pemuda berbaju tebal biru tertelungkup di tepi lubang salju. Dari punggungnya yang pergi, terlihat ia masih muda. 　　“Long Dan segera bergegas mendekat dan membalikkan tubuh orang itu, memperlihatkan wajah pemuda yang membeku hingga kebiruan.” 　　“Pada detik ini, Long Dan tak bisa menahan diri untuk tidak membelalakkan matanya.” 　　“Pemuda ini baru saja mereka temui, tepatnya cucu dari pasangan kakek-cucu yang menginap di kuil rusak tadi malam, salah satu pengusung mayat yang disebutkan Tetua Hua.” 　　“Apakah pemuda ini mati kedinginan? Di mana kakeknya?” 　　“Dengan berbagai pertanyaan ini, Long Dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa nafas pemuda.” 　　“Tidak terdeteksi nafas.” 　　“Long Dan segera membuka mantel kapas yang menutupi tubuh pemuda.” 　　“Karena posisi awal pemuda tengkurap, kerah baju membeku oleh es. Dengan susah payah ia berhasil membukanya, menempelkan telinganya ke dada pemuda dan mendengar detak jantung yang samar.” 　　“Mata Long Dan berbinar, tak tahan berseru: "Masih hidup!"” 　　“Suara menyela: "Bawa dia masuk ke kereta kuda dulu."” 　　“Long Dan menengok dan melihat Jiang Si yang tiba-tiba muncul di sampingnya, ragu sebentar: "Masuk ke kereta kuda?"” 　　“Kereta kuda itu adalah kendaraan Permaisuri dan Tetua Hua. Memasukkan pengusung mayat beku ini ke dalam—” 　　“"Cepat! Kalau ditunda lagi mungkin benar-benar mati kedinginan," desak Jiang Si.” 　　“Meski tegas dalam menangani target-target besar maupun kecil, belas kasih tak pernah hilang dari hatinya.” 　　“Sebagai manusia, memutuskan menolong sesama yang nyaris mati adalah hal paling alamiah.” 　　“Tanpa ragu lagi, Long Dan segera mengangkat pemuda itu dan membawanya masuk ke kereta kuda.” 　　Tetua Hua awalnya tetap di dalam kereta tanpa turun, namun karena situasi ini terpaksa membungkuk dan keluar dari gerbong. 　　Jiang Si berdiri di luar kereta kuda memberi instruksi pada Long Dan: "Lepaskan semua pakaian di tubuhnya, bungkus seluruh badan dengan selimut, lalu coba beri air hangat." 　　Long Dan mengiyakan dan segera sibuk bekerja. 　　Lao Qin tidak masuk untuk membantu. 　　Dari empat orang dalam rombongan, tugas utama dia dan Long Dan adalah menjamin keamanan Permaisuri. Sekarang Long Dan sedang menyelamatkan orang, yang harus dilakukannya adalah tetap di dekat Permaisuri untuk mengantisipasi hal tak terduga. 　　Jiang Si berdiri di tepi lubang salju mengamati sejenak, tiba-tiba bertanya pada Lao Qin: "Lao Qin, menurutmu di mana kakek pemuda itu?" 　　Pertanyaan yang terdengar biasa ini membuat wajah Lao Qin berubah, memandang ke lubang salju. 　　Lebih tepat disebut lubang es daripada lubang salju. 　　Di permukaan tertutup salju, di bawahnya terlihat pecahan-pecahan tepi es, serta jejak tubuh pemuda yang tertelungkup di sana. 　　Setelah mengamati sejenak, Lao Qin berkata: "Ini seharusnya adalah lubang air. Sulit dipastikan seberapa besar dan dalam, sudah tertutup salju lebat kemarin. Kakek pemuda itu... mungkin ada di bawah lapisan es--" 　　Berhenti sejenak, Lao Qin menatap Jiang Si dan menyampaikan pendapatnya: "Menurutku tidak perlu lagi upaya penyelamatan." 　　Jika kakek pemuda itu benar ada di bawah sini, jelas sudah mati kaku. 　　Meski memiliki belas kasihan, Jiang Si bukanlah orang yang naif. Ia mengangguk: "Kita lihat apakah Long Dan bisa menyadarkan pemuda itu." 　　Selama ini, Tetua Hua sama sekali tidak berbicara, seolah-olah bagi dirinya yang terpenting hanyalah membawa Jiang Si kembali, sedangkan hal lain tidak termasuk dalam perhatiannya. 　　Setelah beberapa saat, terdengar teriakan Long Dan yang agak gembira: "Dia sadar!" 　　Jiang Si berjalan mendekat dan berdiri di samping jendela kereta untuk melihat ke dalam. 　　Pemuda yang terbungkus selimut itu membuka mata dan menatap Long Dan dengan pandangan kosong. 　　Long Dan yang agak emosional menepuk pipi pemuda itu: "Kau, akhirnya kau sadar. Untung bertemu kami, nyawamu bisa diselamatkan dari gerbang hantu." 　　Pemuda itu menggerakkan bola matanya, tiba-tiba berusaha bangun dengan susah payah. 　　Long Dan segera menahannya: "Gerak-gerak apa? Tangan kakimu masih kaku, belum benar-benar pulih." 　　Mengabaikan peringatan Long Dan, pemuda itu menoleh ke arah jendela dan berteriak: "Kakek--" 　　Teriakannya ini membuat matanya bertemu dengan sorot mata gadis di luar kereta. 　　Pemuda itu tertegun sejenak, seolah malu telah berteriak pada seorang gadis, lalu menarik lengan Long Dan: "Tolong selamatkan kakekku..." 　　"Di mana kakekmu?" 　　"Kakekku jatuh ke lubang es--" Saat mengucapkan ini, pemuda itu seperti menyadari sesuatu, lalu menunduk lesu. 　　Mungkin karena terbiasa membantu kakeknya mengurus mayat berjalan, pemuda ini jauh lebih rasional daripada remaja seumurannya. Setelah gejolak emosi awal, dia kembali tenang dan memohon pada Long Dan: "Tolong turunkan aku." 　　Long Dan mengangkat alis: "Untuk apa kau turun sekarang?" 　　“Pemuda itu matanya memerah, tapi tidak menangis: "Kakekku masih di lubang es, aku harus menyelamatkannya."” 　　“Orangnya pasti sudah lama tidak ada──” 　　“Aku tahu.” Pemuda itu menghirup hidungnya, suaranya tersekat, “Tapi aku tidak bisa meninggalkan kakek di sini, aku harus membawanya pulang ke keluarga.” 　　Long Dan tak bisa menahan diri untuk melirik Jiang Si, melihat dia tidak keberatan, menghela napas: “Kamu ceritakan dulu, bagaimana kalian bisa jatuh ke lubang es?” 　　“Aku dan kakek sedang dalam perjalanan, kakek berjalan di depan, aku mengikuti dari belakang. Padang salju yang rata tiba-tiba kakek terperosok saat melangkah, aku berusaha menariknya lalu semuanya gelap... Saat sadar sudah berada di kereta kuda...” 　　“Cukup. Tampaknya lubang esnya cukup dalam. Kau, tunggu di sini. Aku akan coba mengangkatnya. Jangan terlalu berharap, tergantung keberuntungan.” 　　Long Dan turun dari kereta kuda, berjalan menuju lubang salju. 　　Pemuda itu merangkak susah payah ke jendela, matanya tak lepas mengintip ke luar. 　　Waktu berlahan berlalu. Ketika pemuda itu mulai merasakan tenaganya pulih sedikit, akhirnya Long Dan dan Lao Qin berhasil mengangkat mayat beku yang mengeras seperti kayu. 　　Hampir empat jam hanya menulis satu bagian, hari ini hanya satu bagian. Kemarin duduk di depan komputer belasan jam, sekarang kondisi benar-benar buruk butuh istirahat beberapa hari. Besok kembali update stabil dua bagian, bagian pertama mungkin agak terlambat, tunggu beberapa hari penyesuaian baru bisa tepat waktu. 663.BAB 662 Yun Chuan 　　BAB 662 Yun Chuan 　　Long Dan mengumpat: “Akhirnya berhasil diangkat juga.” 　　Ia awalnya bersamaan dengan Lao Qin mengerahkan tenaga, tiba-tiba menyadari gerakan Lao Qin di seberang telah berhenti. 　　"Lao Qin, ada apa?" 　　Baru beberapa hari keluar, orang jujur seperti Lao Qin malah belajar bermalas-malasan dalam bekerja, tidak mungkin. 　　Long Dan sedang bingung, tiba-tiba mendengar suara Lao Qin yang aneh: "Ini sepertinya bukan kakek pemuda itu kan?" 　　Long Dan tertegun, segera menatap mayat yang diangkat dari air. Begitu melihatnya, ia melepaskan genggaman dan melompat dua langkah ke samping, wajahnya berubah pucat: "Ini yang di bawah pohon tadi!" 　　Lao Qin mengerutkan kening jijik, tak berkata apa-apa. Dilemparkannya mayat kaku itu ke samping, lalu menyeka serpihan salju di bajunya. 　　Di dalam kereta kuda, pemuda yang berselimut mengintip keluar terdiam membeku. 　　Long Dan berjalan cepat mendekat, berdiri di samping jendela kereta dengan wajah garang: "Bocah nakal, kau tidak jujur! Masih ada yang ini di lubang es, kenapa tidak bilang dari tadi?" 　　Pemuda itu memucat dan menundukkan kepala: "A... aku tidak tahu..." 　　Long Dan menepuk dinding kereta, jelas-jelas kesan buruknya pada pemuda itu bertambah karena mengangkat mayat yang sudah lama mati: "Katakan, yang kecil itu mana?" 　　Pemuda itu mengangkat kepala, wajahnya penuh keterkejutan. 　　Long Dan mengerutkan kening: "Kau, jangan pura-pura bodoh lagi. Kedua orang yang kalian tinggalkan di bawah pohon tadi malam sudah kulihat. Kau diam seribu bahasa, malah menyuruh kami mengangkat kakekmu, hasilnya dapat yang ini. Nanti kalau kami mengangkat lagi, apa harus dapat yang kecil itu juga?" 　　Pemuda yang menundukkan kepala itu terdiam lama, lalu merangkak keluar dari kereta kuda dengan selimut. Berdiri telanjang kaki di depan Long Dan, ia berbisik: "Aku tidak sengaja, tadi benar-benar tidak menyangka dua Dewa Keberuntungan juga ada di dalam..." 　　"Dewa Keberuntungan?" Long Dan mengangkat alis, menatap mayat pria paruh baya yang tergeletak di tanah. 　　Pemuda itu melirik Jiang Si dan yang lain, menjelaskan: "Di tempat kami, kami memang memanggil mereka seperti itu..." 　　Sambil menghentakkan kaki gugup, pemuda itu melanjutkan: "Beberapa nyonya telah menyelamatkanku, aku sangat berterima kasih... Kalian boleh pergi, tak perlu mengurusiku lagi..." 　　Long Dan melotot marah: "Bocah nakal, kau pikir kami benar-benar tidak akan pergi?" 　　Pemuda itu mengatupkan bibir rapat-rapat, tak bersuara lagi. 　　Di bidang pekerjaan mereka, memang jarang berurusan dengan orang luar, apalagi dengan seorang pemuda. 　　Tiba-tiba Jiang Si berbicara: "A-Long, ambilkan dia satu set pakaian dan sepatu gantianmu." 　　Meski bicara kasar, Long Dan tak benar-benar mempersulit pemuda itu. Ia berbalik menuju ekor kereta. 　　Empat orang dalam rombongan ini membawa banyak perlengkapan perjalanan - peralatan masak, pakaian ganti, semuanya disimpan di bagian belakang kereta. 　　Saat pintu belakang gerbong dibuka, yang terlihat bukan interior gerbong melainkan lemari penyimpanan setinggi gerbong dengan kedalaman tiga chi. 　　Long Dan mengambil baju dan sepatu, lalu menyerahkannya ke pemuda: "Cepat ganti baju! Berkeliling dengan selimut seperti apa? Sepatunya kebesaran, tahan saja." 　　Pemuda itu memeluk pakaian sambil mengucapkan terima kasih. Matanya melirik cepat ke arah Jiang Si sebelum berlindung di belakang kereta untuk berganti pakaian. 　　Tak lama kemudian, pemuda yang telah berganti pakaian Long Dan keluar, menarik-narik mantel kapas yang kebesaran dengan canggung. 　　Ia terkejut menemukan Lao Qin dan Long Dan mulai mengevakuasi mayat lagi, lalu diam-diam lari ke tepi lubang salju untuk berjaga. 　　Mayat lain berhasil diangkat, sesuai prediksi Long Dan, itu adalah mayat pemuda tersebut. 　　Pemuda pengantar mayat itu menundukkan kepala: "Dua tuan baik hati, jangan lanjutkan... Saya, saya akan cari cara..." 　　Mayat yang baru diangkat ternyata sudah lama meninggal. Long Dan yang sudah menahan ampun akhirnya meledak: "Kau bisa cari omong kosong apa! Jalan biasa saja bisa jatuh, mau cari cara angkat kakekmu? Lebih mirip cari mati!" 　　Pemuda itu menerima bentakan Long Dan tanpa sepatah kata pun. 　　Meski diomeli kasar, ia tahu telah bertemu orang baik hati. 　　"Ah Long, cepat selesaikan evakuasi. Kita harus segera melanjutkan perjalanan," Jiang Si mengingatkan. 　　Long Dan mengangguk, menahan perasaan aneh dipanggil "Ah Long", lalu mempercepat tempo kerjanya. 　　Sekitar seperempat jam kemudian, akhirnya mayat kakek pemuda itu berhasil diangkat. 　　Begitu melihat kakeknya, pemuda itu tak bisa lagi menahan diri. Ia berlari memeluk jasad yang sudah dingin dan kaku itu sambil menangis. 　　Long Dan mendekati Jiang Si, berbisik: "Menurut Anda, bagaimana mengurus pemuda ini?" 　　Meski bicaranya kasar, melihat anak 15-16 tahun ditinggal di tengah salju yang membeku, hatinya tak tega. 　　“Tanyakan padanya apakah dia bersedia ikut bersama kita, nanti saat sampai di kota berikutnya kita bisa menurunkan dia.” 　　Long Dan mengangguk, lalu menghampiri pemuda itu. 　　Tangisan pemuda itu terhenti, matanya menatapnya. 　　“Kau, orangnya sudah tiada, menangis pun percuma. Kami harus melanjutkan perjalanan. Bagaimana kalau kami bantu menggali kuburan untuk menguburkannya, lalu kau ikut kami?” 　　Pemuda itu menggelengkan kepala: “Terima kasih Kakak, aku tidak ikut. Aku ingin membawa Kakek pulang ke rumah.” 　　“Tapi bagaimana kau membawa——” Long Dan baru teringat pemuda ini bisa mengantar jenazah, ekspresinya langsung berubah aneh. 　　Tiba-tiba pemuda itu berlutut dan memberi hormat dengan menyentuhkan kepala ke tanah pada Long Dan. 　　Long Dan cepat menghindar, berkata tergagap: “Jangan sujud padaku, yang menyelamatkanmu adalah... maksud Nona Hua.” 　　Pandangan pemuda itu beralih antara Jiang Si dan Tetua Hua, akhirnya tertuju pada Jiang Si. 　　Sudut bibir Jiang Si berkedut: “Ini hal sepele, tak perlu kau ingat. Tapi benarkah kau tidak butuh tumpangan kami?” 　　Pemuda itu menggeleng tegak, memberi hormat pada Jiang Si, lalu memberi hormat pada Lao Qin, kemudian berjalan kembali dan berjongkok di samping jenazah kakeknya. 　　Jelas terlihat, dia akan tetap menunggui mayat kakeknya sampai Jiang Si dan rombongan pergi. 　　Jiang Si dan Long Dan saling pandang, lalu berkata pasrah: “Kalau begitu mari kita pergi.” 　　Mereka naik kembali ke kereta kuda yang perlahan mulai bergerak. 　　Pemuda itu termenung memandang kereta yang semakin menjauh. 　　Tiba-tiba pria muda yang berjalan di samping kereta itu berlari mendekat, menyerahkan sebuah bungkusan kertas minyak pada pemuda tersebut. 　　“Di dalamnya ada bekal makanan, Nona Ahua yang menyuruhku memberikannya padamu.” 　　Pemuda itu memegang bungkus kertas minyak, berbisik pelan: "Namaku Yun Chuan." 　　Yun Chuan? 　　Long Dan menarik sudut bibirnya. 　　Nama yang sangat elegan, padahal dia mengira pemuda yang agak jelek ini seharusnya bernama Erdazi atau semacamnya. 　　"Kau, berhati-hatilah. Orang mati tak bisa hidup lagi, yang masih hidup paling penting." Long Dan mengingatkan sekali lagi sebelum berlari mengejar kereta kuda. 　　Pemuda itu menyimpan bungkus kertas minyam ke dalam dekapan setelah melihat Long Dan naik ke kereta, lalu berdiri sambil melepas lonceng tembaga di lehernya dan menggoyangkannya pelan. 　　Bunyi lonceng aneh itu menggema, tiga mayat termasuk kakek pemuda itu tiba-tiba berdiri dan berjalan kaku mengikuti pemuda menuju hutan pinggir jalan. 　　Beraktivitas di malam hari dan beristirahat siang hari adalah tata krama yang harus mereka patuhi. Andai pagi ini mereka tidak berangkat, mungkin kakeknya tidak akan mati. 　　Ini pasti hukuman. 　　Saat pemuda itu menggiring tiga mayat menuju hutan bersalju, dia tidak menyadari Long Di di kereta yang menjauh sedang menoleh penasaran. 　　"Lao Qin, lihat! Mayat-mayat itu benar-benar bergerak!" 　　Lao Qin menoleh sebentar, menyembunyikan keheranannya, lalu mengibaskan cambuk kudanya. 　　Sore ini masih ada satu bagian lagi. 664. BAB 663 Kembali ke Wu Miao 　　BAB 663 Kembali ke Wu Miao 　　Pemuda penggiring mayat itu hanya menjadi selingan kecil bagi Jiang Si, tapi dari mulut Long Dan dia mengetahui nama pemuda itu adalah Yun Chuan. 　　"Sementara Tetua Hua dari awal sampai akhir, baik terhadap dua orang Qi Utara maupun pemuda pengantar mayat, tidak menunjukkan antusiasme berlebihan." 　　Hanya satu hal yang terus menghantui pikirannya: segera membawa Jiang Si kembali ke suku. 　　Akhirnya rombongan itu tiba di kota perbatasan kecil. 　　Dibandingkan kemegahan dan keanggunan ibu kota, kota kecil ini jauh lebih sederhana, namun ramai oleh orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian Dinasti Zhou, serta wanita-wanita berpinggang ramping berbaju warna-warni yang menampilkan pesona etnis yang eksotis. 　　Long Dan yang pernah mengunjungi kota perbatasan ini berjalan di samping kereta kuda sambil berkata pada Jiang Si: "Meskipun ini kota kecil milik Dinasti Zhou kita, tempat ini campur aduk dengan banyak orang suku asing yang bertukar barang atau berdagang." 　　Jiang Si menatap Tetua Hua: "Wu Miao sudah dekat?" 　　Tetua Hua mengangguk dengan lega seolah melepas beban berat: "Sudah sangat dekat. Aku sudah menyiapkan tempat menginap, mari kita ke sana dulu." 　　Jiang Si tersenyum: "Sepertinya Tetua Hua sejak awal yakin aku akan ikut denganmu." 　　Tetua Hua mengangkat alisnya mengingatkan: "Sudah sampai di sini, panggil saja aku Hua Wo untuk menghindari kebocoran informasi." 　　Melihat Tetua Hua menghindari jawaban, Jiang Si tidak mempermasalahkannya dan mengangguk setuju. 　　Di bawah petunjuk Tetua Hua, kereta kuda berkelok-kelok dan akhirnya berhenti di depan sebuah penginapan. 　　"Kita sampai." Tetua Hua turun pertama dari kereta kuda. 　　Keempat anggota rombongan memasuki kamar yang sudah dipesan. Tetua Hua melirik Long Dan dan Lao Qin: "Aku akan kembali ke suku dulu. Tunggu setengah hari." 　　"Setengah hari cukup?" tanya Long Dan. 　　“Cukup! Sebelum aku kembali, kalian sebaiknya tidak bepergian sembarangan, terutama Permaisuri, harus tetap menunggu di dalam kamar.” 　　Jiang Si menjawab dengan tenang: “Hua Wo, pergilah dan cepatlah kembali.” 　　Setelah Tetua Hua pergi, Jiang Si berkata pada Long Dan: “Saat Tetua Hua kembali dan membawaku masuk ke Suku Wu Miao, kau dan Lao Qin pasti akan ditahan di sini——” 　　Long Dan memotong ucapan Jiang Si: “Ini tidak boleh!” 　　Lao Qin juga mengerutkan alisnya, berkata singkat: “Terlalu berisiko.” 　　Jiang Si tersenyum: “Tidak bisa disebut berisiko. Mereka membutuhkanku, pasti akan menjamin keselamatanku.” 　　“Tapi setelah urusan yang mereka minta selesai?” tanya Long Dan. 　　“Setelah selesai——” Jiang Si melirik ke luar jendela. 　　Berbeda dengan kesuraman musim dingin di ibu kota, di sini lebih hangat. Dari jendela terlihat warna hijau segar yang menyenangkan. 　　Jiang Si mengeluarkan sepucuk surat dari lengan bajunya, menyodokkannya ke tangan Long Dan: “Mungkin akan ada sedikit masalah setelah selesai, tapi aku akan berusaha menyelesaikannya. Kau tak perlu khawatir. Setelah aku pergi dengan Tetua Hua, temui Pangeran dan berikan surat ini padanya.” 　　Yu Jin datang ke wilayah selatan mencari “jenazah” Jiang Zhan. Bisa dikatakan jarak antara suami-istri ini tidaklah jauh. 　　Tentu saja Jiang Si tidak akan menyembunyikan keberadaannya dari Yu Jin. Baginya, Yu Jin selalu menjadi orang terdekat. 　　Long Dan memandangi surat di tangannya, kata-kata untuk ikut Jiang Si ke Wu Miao tertahan di mulutnya. 　　Dia pernah tinggal di selatan. Karena hubungannya dengan Yu Jin, pernah juga berurusan dengan orang Wu Miao, tentu tahu tata krama aneh mereka. 　　Daripada mengikuti Permaisuri ke Wu Miao dan dihalangi dengan strategi, lebih baik menyelesaikan pesan Permaisuri agar tuanku tahu kedatangannya. 　　"Bagaimana dengan Lao Qin?" Long Dan bertanya, masih khawatir membiarkan Jiang Si pergi sendirian ke Wu Miao. 　　Jiang Si melirik Lao Qin sambil tersenyum: "Lao Qin perlu membantuku mengawasi seseorang." 　　"Siapa?" Kali ini Lao Qin dan Long Dan bertanya serempak. 　　Jiang Si menunjuk wajahnya sendiri, berkata perlahan: "A Hua yang asli." 　　Dengan kewaspadaan Tetua Hua yang ingin segera membawanya kembali ke Wu Miao, tapi malah meninggalkannya di penginapan sendirian, Jiang Si sudah menebak maksud tersembunyi ini. 　　Saat Tetua Hua kembali, mungkin dia tidak sendirian lagi. 　　Long Dan tak langsung paham, mengulangi: "A Hua yang asli?" 　　Jiang Si meliriknya dengan senyum sinis: "Ya, Nona A Hua yang sebenarnya." 　　Long Dan terkekeh menjelaskan: "Ini kan karena tidak pantas memanggil Yang Mulia di depan orang luar." 　　Permaisuri malah memanggilnya Ah Long, apakah dia tidak mempertimbangkan keselamatannya? 　　Wajah Jiang Si menjadi serius: "Lao Qin, jika Tetua Hua kembali membawa A Hua, berpura-puralah pergi bersama Long Dan dan awasi A Hua diam-diam." 　　Lao Qin mengangguk penuh kesungguhan. 　　Ketiganya menunggu sampai senja ketika Tetua Hua akhirnya kembali. 　　Long Dan melihat ke belakang Tetua Hua, kosong melompong. 　　Dia tak bisa menahan diri melihat ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si tetap tenang menunggu Tetua Hua berbicara. 　　“Silakan kedua kalian menghindar sebentar, saya ada hal yang ingin dibicarakan secara pribadi dengan Permaisuri kalian.” 　　Di bawah isyarat Jiang Si, Long Dan dan Lao Qin pergi ke kamar sebelah. 　　Jiang Si menyeruput tehnya dengan tenang: “Hua Wo, bisakah kita pergi sekarang?” 　　Tetua Hua duduk, menuangkan secangkir teh untuk dirinya sambil mengambil napas: “Aku membawa A Hua.” 　　Jiang Si menggerakkan alisnya halus, diam. 　　Tetua Hua melanjutkan: “Tapi A Hua tidak tahu tentang rencana memalsukanmu sebagai Imam Suci suku kami.” 　　Jiang Si terkejut: “Masalah ini, Tetua Hua berniat menyembunyikannya dari A Hua?” 　　Tetua Hua menyungging senyum getir: “Permaisuri tidak mengerti kedudukan Imam Suci di hati kerabat kami. Jika A Hua tahu ada yang memalsukan Imam Suci, bisa timbul kekacauan.” 　　“Begitu rupanya.” Ekspresi Jiang Si menunjukkan pemahaman yang samar. 　　Tetua Hua menekankan: “Karena itu nanti Permaisuri jangan bertemu A Hua, aku akan membawamu pergi diam-diam.” 　　“Apa A Hua yang tidak tahu apa-apa akan tinggal sendirian di penginapan?” 　　“Ini tidak perlu menjadi perhatian Permaisuri.” Jelas Tetua Hua tidak ingin Jiang Si tahu terlalu banyak. 　　Jiang Si tersenyum acuh: “Kalau Long Dan dan Lao Qin——” 　　Tetua Hua memotong dengan serius: “Mereka tidak boleh ikut.” 　　Meski sudah mengantisipasi dan menyiapkan rencana, Jiang Si tetap menunjukkan ketidakpuasan: “Jika Tetua melarang saya membawa pengawal, bagaimana jaminan keselamatan saya?” 　　“Kekhawatiran Permaisuri saya mengerti, tetapi jika mereka pergi akan menarik perhatian. Penjelasan asal-usul mereka yang tidak jelas mudah menimbulkan masalah. Permaisuri juga tidak ingin melihat masalah muncul, kan?” 　　Jiang Si merenung lama, baru kemudian mengangguk: "Baiklah, biarkan mereka tinggal. Harap Tetua Hua tidak melupakan sumpah yang telah diucapkan." 　　Tetua Hua tersenyum: "Tentu saja, Permaisuri tidak perlu khawatir. Tolong beri tahu mereka." 　　Tidak lama kemudian, Jiang Si dan Tetua Hua diam-diam meninggalkan penginapan menuju Wu Miao. 　　Wu Miao tidak terlalu jauh dari kota kecil. Saat matahari terbenam, langit barat hanya menyisakan beberapa helai awan kemerahan, mereka tiba di gerbang desa. 　　Berdiri di depan desa yang familiar, kilasan kerinduan terlihat di mata Jiang Si. 　　Di tempat inilah dulu ia mengenal Yu Qi, yang kemudian menjadi permaisurinya. 　　Kini setelah berliku-liku, melalui kehidupan sebelumnya dan sekarang, ia kembali dengan identitas gadis muda lain bernama Ahua. 　　Gerbang desa hendak ditutup. Penjaga gerbang menyapa Tetua Hua: "Anda sudah kembali cepat? Tidak mengajak Ahua jalan-jalan lebih lama di kota?" 　　"Barang sudah dibeli." Tetua Hua memberi alasan sembarangan, lalu masuk bersama Jiang Si. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya, sampai jumpa besok. 665.BAB 664 Bertemu Kakak Laki-Laki 　　BAB 664 Bertemu Kakak Laki-Laki 　　Bekerja saat matahari terbit dan beristirahat saat matahari terbenam, bagi desa seperti Wu Miao, sepertinya memang demikian adanya. 　　Saat ini di dalam desa hampir tak terlihat orang yang lalu lalang, asap dapur mengepul dari setiap rumah, pertanda waktu makan malam tiba. Jika kebetulan berpapasan dengan penduduk, semuanya diatasi secara terburu-buru oleh Tetua Hua. 　　Jiang Si membuntuti Tetua Hua tanpa sepatah kata, sorot matanya menyapu sekeliling. 　　Terasa agak familiar, namun juga asing. 　　Perlahan ia mulai menyadari ke mana Tetua Hua hendak membawanya. 　　Jika tebakannya benar, Tetua Hua mungkin akan langsung mengantarnya menemui Tetua Besar. 　　Langkah Jiang Si mulai diperlambat. 　　Tetua Hua segera menyadarinya, bertanya dengan suara rendah: "Ada apa?" 　　Jiang Si menatap langsung mata Tetua Hua: "Saya harus menemui kakak laki-laki saya dulu." 　　Alis Tetua Hua berkerut, wajahnya berubah masam. 　　Jiang Si malah berhenti total, nada bicaranya tegas: "Temui kakak saya dulu, baru bahas hal lain." 　　Mau memintanya membantu tanpa menunjukkan Kakak Kedua? Jangan-jangan mereka cuma mau mengibuli saja? 　　"A-Hua—" Tetua Hua sepertinya enggan membuat keributan, wajahnya memperlihatkan keengganan. 　　Ekspresi Jiang Si semakin mengeras. 　　Sebenarnya sejak awal ia meragukan apakah Kakak Kedua benar-benar masih hidup, atau bahkan berada di Wu Miao. Tapi karena kakaknya termasuk orang terpenting dalam hidupnya, sekecil apapun harapannya, ia rela melakukan perjalanan ini. 　　Kini sudah sampai di sini, kesabarannya selama perjalanan tak bisa dipertahankan lagi. Ia harus memastikan nyawa kakaknya. 　　Dengan sikap pantang mundur yang diperlihatkan Jiang Si, Tetua Hua masih ingin membujuk ketika terdengar suara memanggil: "A-Hua, kau sudah kembali?" 　　Seorang gadis seusia Hua Wo berjalan mendekat, suaranya merdu seperti burung kuning yang keluar dari lembah: "Aku justru mencari-mu, tapi katanya kau sudah kembali dengan Hua Wo, dia mengajakmu jalan-jalan..." 　　Gadis itu mendekat, memberi hormat kepada Tetua Hua dengan menyebut "Tetua Hua", namun matanya penuh rasa ingin tahu mengintip benda yang dipegang Tetua Hua, sambil menyeringai ke arah Jiang Si. 　　Tampak jelas gadis ini sangat akrab dengan Hua Wo. 　　Sepanjang perjalanan, Jiang Si telah mendengar banyak cerita tentang Hua Wo dari Tetua Hua. Ia tahu Hua Wo memiliki dua tiga teman dekat di suku, dan nama-nama mereka pun diingatnya. Kira-kira ia bisa menebak gadis yang dihadapinya ini siapa, namun tak berani sembarangan bicara. 　　Meski wajahnya telah disamarkan mirip Hua Wo, dan kegelapan malam menyamarkan ketidaksempurnaan hingga orang terdekat pun sulit mengenalinya, namun suara dua orang ini berbeda. 　　Penyamaran pada akhirnya hanya bisa mengubah penampilan luar, suara tak mungkin ditipu. 　　Inilah yang membuat Jiang Si heran. Di kehidupan sebelumnya saat menyamar sebagai Imam Suci A Sang di Wu Miao, meski mengisolasi diri atas nama pertapaan dan jarang berinteraksi dengan kerabat, tetap tak bisa dihindari sepenuhnya. 　　Tapi para tetua generasi pertama dan kedua yang menyaksikan A Sang tumbuh besar tak ada yang menyadari keanehan. 　　Hidup dengan identitas A Sang, ia selalu khawatir akan ketahuan dan kehilangan tempat bernaung, lebih memilih sedikit bicara dan bertanya. 　　Keraguan ini terpendam dalam hatinya, akhirnya menjadi misteri yang tak terpecahkan. 　　Pada detik ini, Jiang Si menyesali sikap pengecutnya dulu. 　　"Hua Wo, kenapa kau diam saja?" Gadis itu mengernyitkan alis heran. 　　Jiang Si menunjuk tenggorokannya, membuat suaranya terdengar parau dan serak: "Agak tidak nyaman…" 　　Tetua Hua menyambung ucapan: "Aku membawa Ahua makan mie, tak disangka ada bumbu tertentu yang membuat tenggorokannya bengkak. Ahong, cepat pulanglah makan. Nanti setelah Ahua sembuh, dia akan mencarimu untuk bermain." 　　Gadis itu menutupi mulutnya sambil tertawa, gelang-gelang perak di pergelangan tangannya saling bertabrakan mengeluarkan bunyi merdu. 　　"Ahua, rupanya kau lagi rakus makan. Apa di ibu kota Dinasti Zhou kau terlalu banyak makan makanan enak, sampai tidak suka masakan kita di sini?" 　　Jiang Si sedang merangkai kata-kata yang tepat, tapi gadis itu langsung melambaikan tangan: "Sudah, aku tahu tenggorokanmu sakit. Nanti setelah sembuh, aku akan mencarimu." 　　Melihat gadis itu telah menjauh, Tetua Hua sedikit melepas napas, berbisik mendesak Jiang Si: "Ayo pergi, kalau terlambat akan bertemu lebih banyak orang." 　　Jiang Si menaikkan alis sambil tersenyum, suaranya kembali normal: "Ini seharusnya menjadi kekhawatiran Hua Wo." 　　Tetua Hua tertegun, memandang wajah yang 90% mirip cucunya namun dengan aura yang sangat berbeda, akhirnya memilih untuk mengalah. 　　Permaisuri Yan memang wanita yang sulit ditaklukkan dan cerdik. 　　Datang ke wilayah asing seperti Wu Miao, tidak hanya tidak mengikuti arahan karena grogi, malah balik mengancamnya. 　　Masih adakah keadilan di dunia ini? 　　Tetua Hua memandang langit dalam diam, menghela napas dalam hati, suaranya terdengar letih: "Baiklah, ikutlah aku." 　　“Tampaknya tidak mungkin mencegah Permaisuri Yan bertemu kakak laki-lakinya.” 　　Melihat Tetua Hua berbalik arah, Jiang Si mengangkat sudut bibirnya tipis. 　　Beberapa hal bisa ditoleransi, sementara hal lain harus dipertahankan meski mengandung risiko besar. 　　Keduanya melewati jalan setapak kecil dan tiba di depan sebuah rumah. 　　Tetua Hua berhenti, berbisik: "Kau boleh menemui kakakmu, tapi sebelum menyelesaikan tugas yang kau janjikan, jangan beri tahu statusmu. Jika setuju, aku akan antarmu masuk." 　　Jiang Si langsung mengangguk. 　　Seperti katanya tadi - hal yang bisa ditoleransi tak perlu diperdebatkan. 　　Setelah Jiang Si menyetujui, Tetua Hua mengetuk pintu gerbang bersamanya. 　　Pintu terbuka, memperlihatkan gadis berbaju biru berdiri di baliknya, wajahnya cantik. 　　Melihat Tetua Hua, gadis itu memberi salam. 　　“Dia sudah bangun?” tanya Tetua Hua. 　　Gadis itu berjalan bersama Tetua Hua sambil menjawab: “Masih tidur.” 　　Jiang Si menatap punggung gadis berbaju biru itu, sorot matanya mengeras. 　　Jika di kehidupan sebelumnya, orang yang paling dikenalnya di Suku Wu Miao adalah Tetua dan gadis di hadapannya ini. 　　Gadis itu bernama A Lan, dayang pendamping Imam Suci A Sang. 　　Terhadap A Lan, Jiang Si tidak memiliki kesan baik. 　　Dulu yang tahu identitasnya hanya Tetua dan A Lan, karena itu A Lan sering menyiratkan sikap merendahkan. 　　Mungkin di hati A Lan, dirinya adalah penjahat tak bermalu yang merebut status Imam Suci. 　　Jika Kakak Kedua benar-benar sedang memulihkan diri di sini, mengapa A Lan yang merawatnya? 　　Jiang Si menekan kebingungan di hatinya dan mempercepat langkahnya. 　　Sampai di depan pintu rumah, Tetua Hua berhenti dan berkata pada A Lan: "Kau tunggu di luar dulu, kami akan masuk terlebih dahulu." 　　A Lan melirik Jiang Si dengan pandangan aneh, lalu mengangguk dan mundur ke samping. 　　Jiang Si secara halus mengerutkan alisnya. 　　Dari sikap A Lan terhadapnya saat ini, kemungkinan besar gadis itu tahu bahwa dia bukan Ahua. 　　Masuk ke dalam ruangan, Tetua Hua sepertinya merasakan kebingungan Jiang Si dan berbisik: "Dia A Lan, tahu kau bukan Ahua. Nanti saat kau tampil sebagai Imam Suci, kami butuh kerjasamanya..." 　　Jika memungkinkan, mereka tidak ingin memberitahu terlalu banyak pada A Lan yang masih gadis kecil. Namun A Lan adalah dayang pendamping Imam Suci, dan salah satu dari segelintir orang yang tahu bahwa Imam Suci telah tiada. 　　Kematian Imam Suci bisa disembunyikan dari sebagian besar kerabat, tapi bagaimana mungkin disembunyikan dari dayang pendampingnya? 　　Jiang Si mengikuti Tetua Hua melewati ruang tengah, berhenti di depan pintu yang digantungi tirai kapas berwarna-warni. 　　"Masuklah, orangnya ada di dalam." 　　Jiang Si menarik napas dalam-dalam diam-diam, lalu melangkah masuk. 　　Di dalam ruangan, di sisi duduk terdapat ranjang bambu. Di atas ranjang terhampar selimut yang menutupi tubuh seseorang. 　　Orang itu sedang berbaring miring ke arah luar. Di bawah sinar lentera minyak, wajahnya terlihat jelas. 　　Benar itu Jiang Zhan. 　　Terima kasih atas hadiah sepuluh ribu koin dari Liu Cheng Xue Pao, terima kasih kepada Wu Dazhuang, YFHFLF, Qifen Zhiyi Caihong, Shū Yǒu Ōu Ruo La, Zai Huanxiang Zhong Youli, Xiao Yao Xiao Cong, Qing Sa Hongchen, mcj221, Da Mo Wang Zhe Wo Ye, Shū Yǒu 20180813212711538, A Zan Yu, Wu Huang Zai Shang, Xi Zi Xiao Niao, Jing Ye Jia You, Lü Mao Tu Zi, Kan Kan Kan Kan Kan5, dan teman-teman Shū Yǒu lainnya yang memberikan hadiah. 666.BAB 665 Dikucilkan 　　BAB 665 Dikucilkan 　　Jiang Si berdiri kaku di tempat, matanya berkaca-kaca, air mata mengalir tak terkendali. 　　Di hadapan orang lain dia tidak ingin menangis, tapi ada istilah "menangis karena bahagia", mana bisa dikendalikan oleh akal sehat. 　　Awalnya mengira kakak laki-lakinya yang sudah gugur dalam perang tiba-tiba muncul hidup-hidup, kebahagiaan besar ini benar-benar membuatnya terhanyut. 　　Tetua Hua batuk pelan: "A Hua, ayo pergi." 　　Jiang Si tidak bergerak. 　　Tetua Hua menurunkan suaranya: "A Hua, kamu bilang setelah ketemu orang langsung pergi." 　　Jiang Si mengusap sudut matanya, suaranya terdengar sudah tenang kembali: "Tapi aku tidak yakin apakah orang yang terbaring itu benar kakakku." 　　"Masa kamu tidak bisa mengenali kakakmu sendiri?" Wajah Tetua Hua berubah. 　　Permaisuri Yan ini benar-benar semakin menjadi-jadi, jangan-jangan ingin menginap di sini? 　　Jiang Si menunjuk wajahnya sendiri tanpa berkata-kata. 　　Tetua Hua langsung memahami maksudnya. 　　Karena dia bisa menyamarkan Permaisuri Yan menjadi seperti rupa A Hua, wajar jika Permaisuri Yan curiga terhadap orang yang terbaring di ranjang. 　　Tetua Hua menghela napas pahit: "Ilmu penyamaran bukanlah sesuatu yang bisa sembarangan mengubah rupa seseorang menjadi orang lain——" 　　"Aku tak peduli. Aku harus memastikan apakah ini kakakku atau bukan." Jiang Si memotong pidato panjang Tetua Hua tanpa ekspresi. 　　Meski tidak ahli, dia cukup memahami ilmu penyamaran unik Suku Wu Miao. Saat ini dia tak punya mood untuk mendengar cerewetnya Tetua Hua. 　　"Lalu apa rencanamu?" tanya Tetua Hua sambil menggeretakkan gigi. 　　Tahanlah diri. Meminta bantuan orang lain mengharuskan merendahkan kepala. Setelah berhasil, pasti akan tiba giliran kita. 　　Jiang Si melirik Tetua Hua lalu melangkah menuju ranjang bambu. 　　Tetua Hua membuka mulut ingin menghalangi, tapi akhirnya diam. 　　Percuma menghalangi. Dia ingin melihat bagaimana Permaisuri Yan memastikan identitasnya. 　　Jiang Si sudah sampai di sisi ranjang bambu. Dia duduk di bangku bambu sambil menatap tajam sosok di atas tempat tidur. 　　Mengidentifikasi melalui aroma agak sulit. 　　Ruangan dipenuhi wewangian bola dupa, sementara tubuh orang itu mengeluarkan bau obat kuat yang menutupi aroma aslinya. 　　Setelah ragu sejenak, Jiang Si menggenggam tangan Jiang Zhan dan mendekatkannya ke hidungnya. 　　Pada detik itu, mata Tetua Hua melotot dengan ekspresi aneh. 　　Apa yang dilakukan Permaisuri Yan? Sepertinya... dia ingin mencium tangan sang kakak? 　　Jiang Si tidak peduli bagaimana pikiran Tetua Hua. Setelah memastikan pria di depannya adalah kakaknya, ia hendak melepaskan cubitan ketika tiba-tiba Jiang Zhan membuka mata. 　　Tatapan saudara kandung ini saling bertemu. Mata Jiang Si tiba-tiba berbinar. 　　Jiang Zhan menunduk memandang tangan yang dicengkeramnya, ekspresinya mendadak kaku sebelum melepas tangan Jiang Si seolah menyentuh besi panas: "Kau siapa?!" 　　Mendengar suara itu, hati Jiang Si semakin tenang. 　　Memang Kakak Kedua. 　　"Batuk-batuk kecil." Tetua Hua sengaja membersihkan tenggorokan. 　　Jiang Si menelan kata-katanya, memandang Jiang Zhan dengan mata berkilau. 　　Begitu terbayang apa saja yang mungkin dilakukan gadis ini saat ia tak sadar, telinga Jiang Zhan memerah karena malu dan jengkel. 　　Hanya karena tampangnya sedikit tampan, bahaya sekali! 　　Sadar akan hal itu, Jiang Zhan merasa bahkan tidur pun tak nyaman. Ia melirik Tetua Hua: "Apa maksud kalian? Bilangnya menyelamatkanku, tapi kenapa menghalangi kepergianku padahal lukaku sudah hampir sembuh?" 　　Ia harus segera menghubungi anak buahnya. Pasti mereka mengira ia sudah mati. 　　Salah mengira hidup-mati tidak masalah, tapi satu orang ini harus ditangkap! 　　Saat itu adalah momen pertempuran paling sengit antara pihak musuh dan kita. Awalnya dia sedikit unggul, tapi sebuah panah menancap di bahunya, membuatnya terkena tebasan lawan dan terjatuh ke Sungai Jishui. 　　Panah itu datang dari belakang. 　　Meski Jiang Zhan berpikiran sederhana, dia tahu arti panah yang datang dari belakang. 　　Hampir pasti ada orang di pihak kita yang ingin dia mati! 　　Mengapa ini terjadi? 　　Dia yakin tak pernah menyinggung siapapun, apalagi merebut jasa orang. Siapa yang diam-diam ingin menghancurkan dirinya? 　　Terjebak dalam konspirasi seperti ini, Jiang Zhan tak bisa menerimanya. 　　Tapi dia justru terjebak. 　　Setelah membuka mata, yang dilihatnya hanyalah beberapa perempuan - yang tua, yang muda... tak ada laki-laki sama sekali. 　　Mereka bilang telah menyelamatkannya dari sungai dan memintanya beristirahat. Tapi setelah pulih, mereka tak mengizinkannya pergi. 　　Dari awalnya memohon baik-baik, sekarang dia jadi gelisah dan waspada. 　　Apa maksudnya ini? Jangan-jangan ingin menjadikannya menantu? 　　Melihat gadis berbaju bunga itu, Jiang Zhan merasakan bahaya mengintai. 　　Jiang Si mengernyitkan sudut bibirnya. 　　Apa maksud tatapan Kakak Kedua itu? 　　Tetua Hua berbicara: "Tuan Gong harap bersabar. Setelah luka Anda sembuh total, kami akan mengantarkan Anda pergi." 　　Jiang Zhan ingin menunjukkan mata putihnya: "Ibu, saya sudah bisa bergerak." 　　Tetua Hua menarik sudut bibirnya: "Tuan Gong sekarang bahkan tak bisa berdiri dengan stabil, masih disebut bisa bergerak?" 　　Jiang Zhan tertegun. 　　"Tuan Gong jangan terburu-buru. Urusan sebesar langit pun harus menunggu pemulihan kesehatan. Menyelamatkan orang sampai tuntas adalah tata krama kami. Saat ini Tuan Gong tak boleh pergi." Mata Tetua Hua berkedip, melirik Jiang Si sambil tersenyum sinis, "Jika Tuan Gong tak puas dengan pelayanan A Lan, bagaimana kalau mulai sekarang A Hua yang melayani?" 　　Jiang Si melirik Tetua Hua dengan heran. 　　Apakah Tetua Hua memiliki niat baik seperti ini? 　　Tetua Hua diam-diam mencemooh. 　　Permaisuri Yan bagai duri. Daripada membiarkannya mengajukan permintaan setelah keluar pintu ini, lebih baik aku yang mengajukan duluan. 　　Dengan ditolak langsung oleh kakak kandungnya sendiri, Permaisuri Yan pasti akan putus asa. 　　Tetua Hua yang sudah berpengalaman ini telah lama menyadari apa yang ditakuti Jiang Zhan. 　　Tepat seperti dugaan Tetua Hua, Jiang Zhan langsung berubah wajah mendengar usulan ini, buru-buru berkata: "Tidak perlu, A Lan sudah cukup baik." 　　Gadis kecil sebelumnya masih tahu tata krama, sedangkan gadis di depan mata ini terlalu berbahaya. Baru saja... baru saja ingin berbuat tidak sopan padanya! 　　Mata Jiang Si menyipit, sorot matanya menjadi berbahaya. 　　Apa yang dikatakan Kakak Kedua? A Lan sudah cukup baik? 　　Sudah berjanji pada Tetua Hua sebelumnya. Setidaknya sekarang tidak bisa membocorkan identitas pada kakak, agar jangan sampai kakak menunjukkan kelemahan dan memberi celah pada Tetua Hua. 　　Tapi tak disangka, Ershazi ini malah menolak demi A Lan! 　　“Baru berapa lama, Kakak Kedua sudah terpesona oleh A Lan?” 　　Jiang Si merasa kesal, melotot ke arah Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan mengeraskan wajah dan mengalihkan pandangan. 　　Hmph, nona kecil ini begitu galak, jangan-jangan saat dirinya tak bisa bergerak akan memperkosa paksa? 　　Ternyata memang tak boleh lengah. 　　Untuk menunjukkan tekad mempertahankan dayang sebelumnya, Jiang Zhan membersihkan tenggorokannya: "A Lan cukup baik, dan namanya lebih enak diucapkan daripada A Hua." 　　Wajah Jiang Si semakin menghitam, ingin rasanya menyumbat mulut Jiang Zhan dengan sesuatu. 　　Tetua Hua terkekeh, menatap dalam ke arah Jiang Si: "Kalau Tuan Gong bersikeras, biarkan A Lan tetap merawatmu." 　　Jiang Zhan jelas-jelas menghela napas lega. 　　“A Hua, mari kita pergi.” 　　Jiang Si menahan dorongan untuk memukuli kakaknya, mengangguk perlahan. 　　Setelah Tetua Hua membawa Jiang Si pergi, Jiang Zhan bersusah payah bangun dari ranjang dan berjalan beberapa langkah, pusing yang familiar menyerang. 　　Terima kasih untuk hadiah dari Feng Zhi Dian, Shū Yǒu Ōu Ruò Lā, Zai Huanxiang Zhong Youli, serta teman-teman pembaca yang memberikan vote. 667.BAB 666 A Sang yang Lain 　　BAB 666 A Sang yang Lain 　　Terjatuh kembali di ranjang, wajah Jiang Zhan menjadi muram. 　　Di depan orang tua dan muda tadi dia tidak menunjukkan ekspresi, tapi dalam hati sudah lama merasa ada yang aneh. 　　Berdasarkan pengalaman, luka-luka di tubuhnya jelas sudah sembuh separuh, paling-paling gerakan sedikit terhambat, tapi kini dia bahkan tak bisa berjalan. 　　Apakah orang-orang ini menambahkan sesuatu dalam makanan dan minuman sehari-harinya? 　　Meski memiliki dugaan ini, Jiang Zhan tak bisa berbuat apa-apa, apalagi membuka konflik secara terang-terangan. 　　Pura-pura bodoh setidaknya masih memberi kesempatan. Jika sampai terbuka konflik, mungkin mereka akan langsung menggunakan strategi keras untuk mengurungnya, sehingga peluang kabur semakin kecil. 　　Memikirkan hal ini, tiba-tiba Jiang Zhan merasa menyesal. 　　Seandainya dulu setuju mengganti orang. 　　Gadis bernama A Hua itu jelas tertarik padanya, mungkin bisa menggunakan strategi ketampanan? 　　Jiang Zhan sangat menyesal, bertekad untuk mengajukan permintaan ganti orang begitu ada kesempatan. 　　Tetua Hua memimpin Jiang Si keluar, saat melewati A Lan langkahnya sedikit terhenti: "A Lan, ikut juga." 　　A Lan ragu sejenak, lalu membungkuk sedikit dan mengikuti di belakang Tetua Hua. 　　Malam telah menyelimuti seluruh desa, di luar jarang ada orang berkeliaran. Aroma masakan dari rumah-rumah semakin menggoda, membuat air liur menetes. 　　Jiang Si mengikuti Tetua Hua menjauhi aroma kehidupan sehari-hari ini, akhirnya berhenti di sebuah rumah. 　　Kediaman Tetua Tertinggi telah tiba. 　　Tetua Hua menggoyang lonceng tembaga di samping pintu, dan segera pintu terbuka. 　　Yang membuka pintu adalah seorang wanita paruh baya, memberi hormat pada Tetua Hua. 　　Tetua Hua mengangguk ringan, memimpin Jiang Si dan A Lan masuk. 　　Wanita paruh baya itu sepertinya sama sekali tidak penasaran, menundukkan mata sambil menutup pintu rapat-rapat, tanpa melirik Jiang Si sekalipun. 　　“Halaman sepi, cahaya bulan seputih salju berpadu dengan sinar lentera dari dalam rumah, menerangi jalan di depan.” 　　Jiang Si menapaki anak tangga batu, perasaan cemas tanpa alasan tiba-tiba menyergap. 　　Perasaannya terhadap Tetua sangat kompleks. Jika harus dirunut, rasa syukur lebih mendominasi. 　　Di kehidupan sebelumnya, sesosok tua berambut putih itulah yang memberinya identitas baru dan mengajarinya berbagai keahlian. 　　Meski kini terlihat jelas bahwa permintaan menyamar sebagai Imam Suci adalah hubungan simbiosis mutualisme bagi Wu Miao, mungkin sang Tetua memiliki motif tersembunyi dalam melatihnya - namun hari-hari penuh bimbingan itu tulus adanya. 　　Hanya tiga anak tangga, Tetua Hua telah masuk ke dalam. Merasa Jiang Si tertahan, ia menoleh. 　　A-Lan yang mengikuti di belakang Tetua Hua juga berbalik, sorot matanya penuh sikap kritis. 　　Inikah perempuan yang dicari Tetua Hua dari tempat lain untuk menyamar sebagai Imam Suci? 　　Tampak biasa saja. Pantaskah orang seperti ini berpura-pura menjadi Imam Suci? 　　A-Lan menahan sikap merendahkan, menahan diri karena kehadiran Tetua Hua. 　　Jiang Si tersadar dari lamunan, segera menyusul. 　　Aroma mistis menyebar di dalam ruangan, samar-samar layaknya ilusi. 　　Suara tua bergema: "Sudah datang?" 　　Tetua Hua buru-buru menjawab: "Sudah." 　　Ruangan sunyi sejenak sebelum suara itu kembali terdengar: "Bawa masuk." 　　"Baik." Tetua Hua memberi isyarat pada Jiang Si untuk mengikuti, melangkah melewati pintu bergorden lima warna. 　　“Di dalam ruangan yang remang-remang, seorang nenek tua berambut perak duduk bersila, pandangannya tenang menatap ke arah pintu.” 　　Tetua Hua bergegas maju, menyampingkan badan untuk memperlihatkan Jiang Si: “Tetua, inilah wanita ini.” 　　Tatapan Tetua tertuju pada Jiang Si. 　　Jiang Si memberi salam hormat kepada Tetua. 　　Tetua terkesiap, ekspresi acuhnya berubah saat menoleh ke Tetua Hua. 　　Wanita di hadapannya mengenakan wajah cucu perempuan Tetua Hua, namun melakukan tata krama Wu Miao. 　　Dan salam itu, sangat sempurna. 　　Benarkah ini wanita dari ibu kota Dinasti Zhou yang jauh itu yang mirip dengan A Sang seperti diceritakan Tetua Hua? 　　Tetua Hua menekan keheranannya: “Di perjalanan sudah kuceritakan sedikit tentang urusan kita.” 　　Tentang cara memberi hormat kepada senior di Wu Miao, memang pernah disebutkannya pada Jiang Si, tapi tak menyangka bisa dilakukan sebaik ini. 　　“Lepaskan penyamaran di wajahnya.” 　　Tetua Hua mengangguk, mengeluarkan stoples salep obat dari tasnya. Dia mengoleskannya pada saputangan bersih, perlahan menghapus penyamaran Jiang Si. 　　Tatapan Tetua tak berkedip menyaksikan kulit wajah wanita itu semakin pucat, garis alisnya berubah gradual. 　　“Perjelas lentera!” seru Tetua tiba-tiba. 　　A Lan yang sedang terpana menatap Jiang Si, tak segera menyadari perintah itu untuknya. 　　Tetua Hua membentak: “A Lan, tak kau dengar perintah Tetua?” 　　A Lan tersadar dari lamunannya, meminta maaf, lalu buru-buru menyesuaikan kecerahan lentera. 　　Ruangan seketika menjadi terang benderang. 　　Pada saat itu, wajah asli Jiang Si akhirnya terungkap di hadapan mereka. 　　"Imam Suci!" seru A Lan dengan penuh emosi, langkahnya tak tertahan mendekati Jiang Si. 　　Tangan Tetua yang tersembunyi di balik lengan lebar gemetar halus, matanya dipenuhi keterkejutan. 　　Mirip, sungguh terlalu mirip! Ini persis seperti A Sang yang hidup kembali! 　　Hanya saja, tak ada titik merah di antara alisnya. 　　Setelah tenang, Tetua akhirnya menyadari perbedaan ini, namun hal itu tak mengurangi gejolak hatinya. 　　Kematian Imam Suci A Sang bagai pedang tajam tergantung di atas kepala para pengetahuannya, setiap saat bisa jatuh dan mengobrak-abrik Suku Wu Miao. 　　Gagasan mencari wanita bertubuh dan berwajah mirip A Sang untuk menyamar bukan tak pernah terpikir oleh Tetua, namun tak berani diwujudkan. 　　Memperlihatkan wanita pengganti sesaat pada kerabat mungkin bisa mengelabui massa, namun takkan lolos dari pengamatan beberapa tetua seangkatannya. 　　Ilmu penyamaran ini pernah dipelajari para tetua, bahkan salah satunya lebih ahli darinya. 　　Internal Suku Wu Miao tak sepenuhnya solid. Jika para tetua mengetahui ada pengganti A Sang yang menenangkan kerabat, rahasia kematiannya akan terbongkar. 　　Saat itu terjadi, kekacauan pasti melanda. 　　Dewa berbelas kasih, mengirimkan wanita yang nyaris identik dengan A Sang ke hadapannya. 　　A Lan bahkan menunjukkan emosi yang lebih meluap daripada Tetua. 　　A Lan berlari berlutut di depan Jiang Si, menutupi wajahnya sambil menangis: "Imam Suci, Anda..." 　　Tetua Hua batuk keras, khawatir A Lan akan mengatakan sesuatu yang tidak semestinya. 　　A Lan menggenggam ujung rok Jiang Si tak mau melepaskannya. 　　Jiang Si menggeser kakinya ke samping, suaranya dingin: "Kau salah mengenali orang." 　　Begitu mendengar ini, Tetua langsung berdiri, berteriak histeris: "Ulangi lagi!" 　　Bahkan suaranya sangat mirip, mungkinkah A Sang benar-benar telah kembali? 　　Jiang Si menatap Tetua, nada suaranya tenang: "Saya bukan Imam Suci, Nona A Lan salah orang." 　　A Lan mengangkat kepala, bergumam: "Tapi penampilannya persis sama dengan Imam Suci..." 　　"Meski begitu saya bukan Imam Suci, saya orang Dinasti Zhou." kata Jiang Si dengan datar. 　　A Lan membuka mulutnya, menoleh memandang Tetua. 　　Tetua kini tak peduli pada si gadis kecil, matanya menyala-nyala menatap Jiang Si, tiba-tiba berkata: "Julurkan tangan kirimu." 　　Jiang Si dengan tenang mengulurkan tangannya. 　　Tetua menggenggam pergelangan tangannya, mengangkat lengan bajunya dan memeriksa dengan teliti, wajahnya menunjukkan campuran kekecewaan dan keterkejutan: "Di dunia ini ternyata ada orang yang begitu mirip dengan A Sang." 　　Di bagian dalam siku kiri A Sang terdapat tanda merah kecil bawaan lahir, sementara wanita di depan mata ini tidak memilikinya. 　　Ini pasti pertanda Dewa Agung mengirimkan "Imam Suci" pengganti! 　　Tetua tak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke arah Tetua Hua. 668.BAB 667 Pelajaran 　　BAB 667 Pelajaran 　　Tetua tetap diam, ruangan itu tenggelam dalam kesunyian sementara. 　　Sebuah kesunyian yang misterius. 　　A Lan terus memperhatikan Jiang Si, ekspresi matanya terus berubah. 　　Setelah waktu yang lama, Tetua Besar akhirnya berbicara: "Tetua Hua sudah memberitahumu, kan? Imam Suci suku kami sakit parah dan tidak bisa muncul di hadapan kerabat, jadi kami memintamu untuk sementara menggantikan posisi Imam Suci untuk menenangkan anggota suku." 　　Jiang Si mengangguk halus. 　　"Baiklah, dalam beberapa hari ini aku akan menjelaskan hal-hal penting kepadamu. Pada Festival Api Baru tujuh hari lagi, kau akan muncul sebagai Imam Suci di hadapan kerabat untuk melaksanakan ritual pengambilan api..." Setelah selesai berbicara, Tetua Besar bertanya dengan lembut pada Jiang Si, "Sudah mengerti?" 　　Jiang Si mengangguk lagi, menjawab singkat: "Mengerti." 　　Terhadap Tetua Besar Wu Miao, dia tidak bisa bersikap terlalu santai. 　　Dia bersyukur pada orang tua ini, namun juga waspada padanya. 　　Jika ingin menahannya di Wu Miao, Tetua Hua mungkin tidak mampu, tapi Tetua Besar memiliki banyak strategi. 　　"A Lan, antarkan... Imam Suci ini untuk beristirahat." 　　A Lan melirik tajam ke arah Tetua Besar, bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tidak berani mengucapkan apa pun. Dia memberi hormat pada Tetua Besar, lalu berkata pada Jiang Si: "Ikutlah denganku." 　　Tetua Besar sedikit mengerutkan kening, mengingatkan: "A Lan, perhatikan sikapmu terhadap Imam Suci." 　　A Lan gemetar ketakutan, lalu menjawab patuh: "Baik," dengan ekspresi yang lebih hormat: "Mohon Imam Suci mengikuti hamba." 　　Entah A Lan meremehkan atau menghormati, ekspresi Jiang Si tetap tenang dari awal sampai akhir, dia diam-diam mengikuti ke luar. 　　"Tunggu sebentar." Tetua Besar berbicara lagi. 　　Jiang Si berhenti. 　　"Tetua berjalan perlahan mendekatinya, menjulurkan jari telunjuk dan menekan lembut di antara alisnya." 　　Sensasi hangat samar terasa, lalu sebuah titik merah muncul jelas di antara alis. 　　Ekspresi A Lan berubah penuh gejolak, matanya menatap tajam titik merah kecil itu. 　　Dengan titik merah ini, seandainya tidak menyaksikan sendiri sang Imam Suci meninggal, ia hampir menyangka sang Imam Suci berdiri di hadapannya. 　　"Ayo pergi." Tetua melambaikan tangan. 　　Saat Jiang Si pergi, raut wajah Tetua menjadi samar, bicara pelan di tengah aroma mistis yang menggantung di ruangan: "Dulu kau bilang ada wanita di ibu kota Dinasti Zhou yang mirip sekali dengan A Sang, saat itu aku masih ragu. Tapi hari ini, dia seperti A Sang yang hidup kembali." 　　Tetua Hua mengangguk: "Ya, yang lebih ajaib lagi dia bisa bahasa Wu Miao. Saat pertama bertemu di ibu kota, hampir saja kukira Imam Suci datang." 　　Tetua terdiam. 　　A Sang telah tiada lebih dari tiga tahun. 　　Selama tiga tahun terakhir, Imam Suci tak pernah muncul di hadapan kerabat. Banyak spekulasi bermunculan baik dari dalam suku maupun luar. Terutama belakangan ini, kabar bahwa Imam Suci Wu Miao telah meninggal semakin menjadi-jadi, membuat Wu Miao bagai diterpa badai. 　　Kematian Imam Suci awalnya hanya diketahui aku dan A Lan, kini terpaksa diberitahukan pada Tetua Hua dan lainnya. Sungguh sudah di ujung tanduk. 　　Wanita yang mirip dengan A Sang ini adalah penebusan Dewa untuk Wu Miao. 　　Tetua berlutut, bersujud penuh khidmat ke arah tertentu. 　　Tetua Hua mengikuti bersujud. 　　Tempat pertapaan Imam Suci A Sang tidak jauh dari kediaman Tetua. Jiang Si mengikuti A Lan dan tidak berjalan lama hingga tiba. 　　A Lan membuka pintu dan berhenti, suaranya dingin: "Ini kamar Imam Suci." 　　Jiang Si mengamati sekeliling. 　　Meski ruangan ini sudah lama tidak dihuni, namun dibersihkan hingga tak ada debu. 　　Jiang Si duduk di sisi meja. 　　Kelelahan perjalanan jauh tidak bisa pulih hanya dengan istirahat satu dua hari. Apalagi hatinya selalu tegang, semakin melelahkan. 　　A Lan langsung marah melihatnya, bersuara keras: "Siapa yang menyuruhmu duduk?" 　　Jiang Si memutar pandangannya, menatap A Lan dengan tenang. 　　Sikap acuhnya membuat A Lan semakin geram, berkata dingin: "Kau pikir kau benar-benar Imam Suci? Kuberitahu, kau hanya pengganti sementara. Taat saja pada perintah Tetua dan selesaikan tugas. Jangan sembarangan menyentuh meja-kursi atau tanaman di tempat Imam Suci ini..." 　　Jiang Si mendengarkan tanpa ekspresi. 　　A Lan merasa malu karena bicara sendiri, tatapannya semakin dingin: "Kau dengar apa yang kubicarakan?" 　　Jiang Si menuangkan secangkir teh dan menyerahkannya: "Nona A Lan tak perlu marah. Minum teh dulu untuk meredakan amarah, baru bicara baik-baik denganku." 　　Untuk mempertahankan ilusi bahwa Imam Suci A Sang masih hidup, semua perlengkapan di sini sama persis seperti saat beliau masih hidup. 　　Teh dalam pot di atas meja masih hangat, itu pun teh bunga kualitas terbaik. 　　Aliran alisnya melengkung naik, marah: "Siapa yang suruh kau menyentuh teh tadi? Apa kau tidak mendengar satu pun kata-kataku barusan——" 　　Ucapan selanjutnya terputus tiba-tiba. Cangkir teh hangat di tangan Jiang Si tercurah seluruhnya ke wajah Alian. 　　Daun teh menempel di rambut dan wajahnya, air teh mengalir turun di pipi putih yang cantik itu, terlihat sangat memalukan. 　　Pada detik itu, Alian lupa bereaksi, hanya menatap kosong ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si dengan santai meletakkan cangkir kosong kembali ke meja, berkata perlahan: "Sudah kubilang minum teh untuk meredakan amarah. Sayangnya Nona Alian tidak mau menghargai, jadi terpaksa saya yang bergerak." 　　Sudah lama ingin melakukan ini! 　　Di kehidupan sebelumnya selalu merasa telah merebut status keluarga orang, harus rendah hati, akhirnya juga tidak bisa melampiaskan kekesalan ini. Memikirkannya saja membuat kesal. 　　Baru sekarang Alian bereaksi, menuding Jiang Si: "Kau... kau gila?" 　　Jiang Si tidak bergerak, duduk di kursi sambil menatap balik Alian. 　　Meski Alian berada di posisi lebih tinggi, aura Jiang Si justru menekannya. 　　Jiang Si malah bersandar di sandaran kursi, bersikap santai: "Nona Alian tidak paham situasi? Tetua besar sukulah yang mengundangku. Kaummu yang membutuhkanku, bukan aku yang memaksa jadi Imam Suci omong kosong!" 　　Wajah Alian langsung pucat, gemetar karena marah: "Kau... kau berani menghina Imam Suci——" 　　“Menghina Imam Suci?” Jiang Si menaikkan alis, nada suaranya dingin seperti es, “Bukankah kau yang sekarang berteriak-teriak di hadapan Imam Suci?” 　　Ah Lan tertegun oleh pertanyaan itu, kemudian marah: “Tapi kau jelas-jelas palsu——” 　　Jiang Si bangkit dengan senyum sinis, membanting pintu rumah terbuka: “Kalau begitu berdirilah di luar dan teriakkan, katakan ada orang yang memalsukan Imam Suci, suruh kerabatmu mengusirku selaku Imam Suci palsu ini.” 　　Ah Lan pucat ketakutan, buru-buru menutup pintu rumah lalu menyandarkan punggungnya ke pintu, gemetar ketakutan: “Apa maksudmu? Jika kabar ini bocor, kau tahu konsekuensinya?” 　　Jiang Si menatap dalam-dalam ke Ah Lan, tersenyum manis: “Apapun konsekuensinya, apa hubungannya dengan saya orang Dinasti Zhou?” 　　Sebuah pertanyaan retoris membuat Ah Lan terdiam lama tak bisa bicara. 　　Ekspresi Jiang Si seperti tersenyum bukan: “Jadi sekarang Nona Ah Lan sudah paham situasinya?” 　　“Aku, aku——” Baru saja memperingatkan wanita ini agar jangan sok karena mirip Imam Suci, tiba-tiba dirinya sendiri yang terjepit tanpa bisa membalas, tenggorokan Ah Lan seperti tersumbat kapas, tercekik tak bisa bicara. 　　Jiang Si langsung berjalan ke tempat tidur bambu dan duduk, bersandar di kepala ranjang sambil berkata santai: “Kalau sudah paham, cepat cuci wajahmu dan ingat satu hal.” 　　“Apa?” Ah Lan bertanya reflek. 　　“Selama aku menjadi Imam Suci ini, kau harus berlaku baik. Jika tidak, aku berhenti.” 669.BAB 668 Malam Sebelumnya 　　BAB 668 Malam Sebelumnya 　　Untuk perasaan Alán, sebenarnya Jiang Si bisa memahami sedikit. 　　Di hati Alán, Imam Suci adalah sosok yang tak boleh dinodai, suci dan tak tersentuh. Bahkan bagi dayang pendamping ini, posisi Imam Suci dalam hatinya lebih tinggi daripada Tetua. 　　Tapi ternyata ada orang yang berani menyamar sebagai Imam Suci, menikmati penghormatan yang seharusnya menjadi milik sang Imam. 　　Bagi Alán, ini sama sekali tak bisa ditoleransi. 　　Karena itu, meski sudah diperingatkan Tetua, Alán tetap tak sabar ingin memberi pelajaran pada Jiang Si agar pengganti ini menyadari kenyataan. 　　Kemiripan wajah bahkan suara Jiang Si dengan Imam Suci, bukannya membuat Alán takut, malah semakin membuatnya panik. 　　Wanita yang bangga menjadi dayang pendamping Imam Suci ini khawatir Jiang Si benar-benar akan menggantikan sang Imam. 　　Namun meski Jiang Si memahami perasaan lawannya, bukan berarti ia akan memanjakan mereka. 　　Lebih baik segera membuat mereka sadar kenyataan daripada terus menahan amarah. 　　"Bagaimana? Masih belum mengerti?" Jiang Si melirik Alán dengan senyum mengejek. 　　Jantung Alán berdebar. Ia menahan amarah: "Mengerti." 　　Wanita Dinasti Zhou ini benar-benar jahat, berani bertindak semena-mena di wilayah Wu Miao. 　　Tapi ucapannya benar – saat ini Tetua masih membutuhkannya. Jika ia membuat orang ini marah hingga urusan penting terganggu, pasti Tetua akan melemparkannya ke Gua Ular Sepuluh Ribu. 　　Membayangkan adegan itu, Alán gemetar dan terpaksa menekan amarahnya untuk sementara. 　　“Kalau sudah paham, cepat cuci muka. Juga sediakan secangkir teh panas untukku.” 　　A Lan menggigit bibirnya, lalu berbalik dan pergi dengan langkah cepat. 　　Ekspresi Jiang Si terlihat rileks, tapi hatinya sama sekali tidak tenang. 　　Festival Api Baru yang disebut Tetua akan segera tiba. Sebelum itu dia tidak perlu khawatir. Yang harus dipikirkan matang-matang adalah cara membawa kakaknya kabur setelah menenangkan kerabat Suku Wu Miao saat festival. 　　Dia tahu persis Imam Suci A Sang sudah meninggal. Sumpah Tetua Hua saja tidak cukup berarti. 　　Malam itu berlalu tanpa kejadian. 　　A Lan pertama-tama mendatangi Jiang Zhan. 　　“Apa? Kau mau A Hua yang merawatmu?” Wajah A Lan berubah aneh mendengar permintaan Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan mengangkat alis pedangnya sedikit: “Tidak boleh? Kemarin ibu itu bilang boleh.” 　　Bibir A Lan bergetar, hatinya mendidih karena marah. 　　Mengapa Tetua Hua berkata begitu? Apa dia merasa pelayananku kurang baik? 　　Laki-laki brengosan ini! Sudah kujaga dia tanpa mempedulikan statusku sebagai dayang pendamping Imam Suci, malah mau ganti orang? 　　A Lan tidak sadar, kemarahannya sebagian besar berasal dari perasaan lain yang mulai tumbuh di hatinya. 　　Jiang Zhan tak peduli dengan amarah gadis kecil itu, dengan santai berkata: “Merepotkan Nona A Lan terus-terusan tidak baik. Bergantian saja.” 　　Bibir A Lan bergetar, dia bertanya perlahan: “Benarkah Tuan Gong ingin A Hua yang merawatmu?” 　　“Benar.” Jiang Zhan mulai merasa Nona ini agak aneh. 　　Alan menghentakkan kaki: “Baiklah, Tuan Gong tunggulah.” 　　Alan berbalik pergi, meninggalkan Jiang Zhan terdiam tercengang. 　　Pergi ya pergi, kenapa sarapannya ikut dibawa? Nona ini terlihat marah, jangan-jangan punya kebiasaan aneh melayani orang—— 　　Alan keluar dengan marah baru sadar masih membawa nampan, mustahil baginya mengembalikan. Dengan wajah masam dia membuang sarapan ke tong sampah, dalam hati menggeram: Bajingan, lebih baik mati kelaparan! 　　Tiba di tempat Tetua, Alan menyampaikan permintaan Jiang Zhan. 　　Tetua agak pusing. 　　Kedua saudara kandung ini memang sulit dihadapi. 　　“Panggil Tetua Hua.” Tetua memerintahkan wanita paruh baya. 　　Tak lama, Tetua Hua buru-buru datang. 　　“Mana A Hua?” 　　Tetua Hua tertegun sejenak, tiba-tiba teringat Jiang Si. 　　Permaisuri Yan sedang berulah aneh lagi? 　　Tetua sepertinya menebak pikiran Tetua Hua, berkata pasrah: “Maksudku cucu perempuanmu.” 　　Barulah Tetua Hua tersadar: “Di penginapan.” 　　“Diam-diam bawa dia kembali, Tuan Gong itu meminta A Hua yang merawat.” 　　Tetua Hua terkejut. 　　Kemarin Tuan Gong jelas-jelas tidak mengatakan begitu, bahkan mengeluh nama A Hua tidak enak didengar. 　　“Pergilah.” 　　Tetua Hua segera mengiyakan, meninggalkan kediaman Tetua. 　　“Kemarin menitipkan cucu perempuan di penginapan demi keamanan. Sekarang Permaisuri Yan telah menjadi Imam Suci, A Hua seharusnya kembali ke sukunya.” 　　Saat A Hua berdiri di depan Jiang Zhan, perutnya sudah keroncongan kelaparan. 　　“Silakan makan, Tuan Gong.” 　　“Akhirnya kau datang juga. Kukira nona tidak mau datang lagi karena ucapan kemarin.” Jiang Zhan memaksakan senyum genit yang dianggapnya menawan. 　　A Hua tampak bingung: “Apa maksud Tuan Gong?” 　　Jiang Zhan terdiam kaku. 　　Tidak mungkin. Sudah berkorban segini, bukankah nona kecil ini seharusnya linglung lalu diam-diam melepaskannya? 　　Mungkin masih kesal dengan omongannya kemarin. 　　Jiang Zhan menyembunyikan senyumnya, berwajah serius: “Setelah kupikir, nama A Hua jauh lebih enak didengar daripada A Lan. Putri kakak perempuanku memelihara kucing gemuk bernama A Hua, bukti nama ini disukai semua orang—” 　　“Sakit jiwa!” A Hua melirik dengan mata putih, membawa nampan lalu berbalik pergi. 　　Jiang Zhan terpana seperti patung. 　　Pasti ini bukan nona kecil yang sama dengan kemarin! 　　Sarapan diambil, makan siang juga diambil. Sekarang makin tak ada tenaga untuk kabur, bukan? 　　Memandang keluar jendela dengan lesu, Jiang Zhan merasa hidupnya hampa. 　　Sementara itu, Jiang Si telah mendengarkan penjelasan Tetua selama setengah hari tentang Suku Wu Miao, termasuk ilmu-ilmu gaib mereka yang misterius. 　　“Ilmu Gaib ini seharusnya tidak diungkapkan kepada orang luar. Namun karena perlu memalsukan Jiang Si sebagai Imam Suci, jika sama sekali tidak memahami Ilmu Gaib, akan sangat mudah ketahuan.” 　　“A Sang, apakah kau sudah mengingat semua yang kusampaikan?” 　　Jiang Si mengangguk: “Sudah.” 　　Ekspresi Tetua tetap datar, namun di dalam hati ia terkejut. 　　Selama setengah hari ini ia telah menjelaskan banyak hal, tanpa berharap lawan bicaranya bisa mengingat semuanya. 　　“Kalau begitu, coba uraikan 49 jenis Ilmu Gaib yang telah kusebutkan.” 　　Jiang Si sedikit menunduk, berkata: “Ilmu Mengamati Awan dan Mencium Angin merujuk pada cara memprediksi cuaca cerah atau hujan dengan mengamati bentuk dan warna awan di langit serta membedakan perubahan halus kelembapan dalam hembusan angin...” 　　Mendengar Jiang Si menyelesaikan penjelasan tentang Ilmu Gaib terakhir dengan tenang, Tetua semakin terperangah. 　　Wanita ini memiliki ingatan yang luar biasa! 　　Hati Tetua perlahan menjadi tenang. 　　Dengan ingatan yang baik, semua yang perlu diingat akan tersimpan. Rencana penggantian Li dengan Tao ini akan berjalan lebih mulus. 　　Memandang sorot mata yang persis sama dengan A Sang, Tetua tergerak: Jika bisa mengajarkannya Ilmu Gaib, siapakah yang berani menyangkal bahwa wanita ini adalah Imam Suci? 　　Sayangnya menguasai Ilmu Gaib bukanlah hal instan, ditambah lagi status wanita ini sulit untuk diatur... 　　Tetua tak bisa menahan imajinasinya, sementara Jiang Si justru semakin tenang. 　　Tak lama kemudian menjelang Festival Api Baru, beberapa tetua bersama-sama meminta audiensi dengan Tetua. 　　Tetua menemui kerumunan tersebut di aula utama. 　　Seorang tetua berwajah lonjong langsung membuka pembicaraan, "Tetua, Festival Api Baru dipimpin oleh suku kita bersama lebih dari sepuluh suku untuk mendoakan tahun baru. Kali ini apakah Imam Suci masih belum keluar dari masa tapa?" 　　"Benar, Tetua. Meskipun Imam Suci sedang bertapa untuk menguasai ilmu mengendalikan Gu, tapi tidak mungkin terus-terusan tidak muncul," ujar tetua lainnya. 670.BAB 669 Festival Api Baru 　　BAB 669 Festival Api Baru 　　Para tetua ramai bersahut-sahutan, menunjukkan tekad tidak akan berhenti sebelum bertemu Imam Suci. 　　Saat ini Tetua tentu tidak akan mengizinkan Jiang Si muncul. 　　Palsu tetaplah palsu. Jika cacatnya terlihat sekarang, Festival Api Baru besok pun tidak akan bisa dilalui. 　　Bagi Tetua, prioritas utamanya adalah menenangkan kerabat suku dan mengintimidasi suku luar. Masalah lain bisa diselesaikan belakangan. 　　"Para tetua tidak perlu khawatir. A Sang pasti akan muncul di Festival Api Baru." Tetua tetap teguh meski terus didesak. 　　Tetua berwajah lonjong itu tak mau menyerah, "Tetua, jika Imam Suci sudah keluar dari tapa, mengapa tidak bisa muncul sekarang? Apakah ada masalah?" 　　Tatapan Tetua menjadi dingin, "Menurut Tetua An, ada masalah apa?" 　　Di antara seluruh suku, keahlian Tetua An dalam ilmu penyamaran bahkan melebihi Tetua. 　　Tetua berwajah lonjong itu matanya berkedip-kedip, nekat bertanya, "Apakah Tetua belum mendengar kabar angin belakangan ini?" 　　Ekspresi kerumunan berubah aneh. 　　Mereka semua pernah mendengar kabar itu, tapi tidak ada yang berani mengatakannya terang-terangan. 　　"Kabar angin?" Wajah Tetua mengeras. 　　Tetua Berwajah Panjang langsung bicara terus terang: "Benar, kerabat semua mengatakan Imam Suci sudah lama tidak muncul, sama sekali bukan karena sedang bertapa, melainkan sudah lama meninggal——" 　　"Omong kosong!" Tetua Besar menamuk meja dengan keras, wajahnya penuh kemarahan, "Tetua An, kalau kerabat yang awam percaya rumor itu masih bisa dimaklumi, kau sebagai tetua generasi pertama suku kami, bagaimana bisa juga percaya omong kosong tak berdasar?" 　　Tetua Berwajah Panjang tidak mau mengalah: "Kalau begitu, mengapa Tetua Besar tidak mengundang Imam Suci untuk muncul, agar hati kami semua menjadi tenang." 　　Tetua Besar membalikkan badan, nada suaranya tegas: "Kalian pulang saja, besok di Festival Api Baru kalian pasti bisa bertemu A Sang." 　　Melihat ketegasan Tetua Besar, kerumunan akhirnya pergi dengan wajah kesal. 　　Setelah kembali, wajah Tetua Berwajah Panjang sangat muram. Seorang tetua generasi kedua yang dekat dengannya menasihati: "Karena Tetua Besar sudah bilang Imam Suci akan muncul di Festival Api Baru, lebih baik Tuan tidak perlu berselisih dengan beliau, semuanya akan jelas besok." 　　Ekspresi Tetua Berwajah Panjang berubah-ubah: "Aku khawatir Tetua Besar menutupi kebenaran dan menipu kerabat... Sudahlah, tunggu besok saja." 　　Esok harinya cuaca cerah. 　　Wajah orang-orang Suku Wu Miao berseri-seri menyambut cuaca baik dan Festival Api Baru. 　　Tapi di balik senyum itu tersembunyi kecemasan. 　　Festival Api Baru tahunan kembali tiba, akankah Imam Suci muncul? 　　Jika Imam Suci tetap tidak muncul, apakah rumor itu benar? 　　Begitu memikirkan kemungkinan itu, kerabat biasa langsung dilanda kepanikan besar. 　　Tanpa Imam Suci, bagaimana Suku Wu Miao yang kehilangan pewaris bisa memimpin belasan suku? Atas dasar apa mereka bisa hidup berkecukupan? 　　Pintu gerbang desa terbuka, puluhan suku telah datang. 　　Setiap suku membawa rombongan mulai dari belasan hingga beberapa orang, yang akan mengikuti Festival Api Baru di bawah pimpinan Tetua Besar Wu Miao untuk mengambil api suci bagi sukunya masing-masing. 　　Hanya hari inilah satu-satunya hari dalam setahun mereka bisa memasuki desa Wu Miao. 　　Desa ini dipenuhi cacing beracun dan kabut miasma, hanya dengan mengenakan Kantong Wewangian khusus yang dibagikan oleh orang Wu Miao di pintu gerbang, mereka bisa terhindar dari racun. 　　Kantong wewangian ini hanya efektif selama setengah hari lebih, persis cukup untuk orang luar mengikuti ritual festival. 　　Rombongan dengan pakaian beragam memasuki desa - pria-wanita, tua-muda, jika diperhatikan mereka menjaga jarak samar dari beberapa orang berbaju hijau. 　　Wajah orang-orang berbaju hijau itu datar tanpa ekspresi, bahkan pemuda satu-satunya terlihat kaku tanpa rasa ingin tahu layaknya remaja seumurannya. 　　Tetua Besar Wu Miao beserta para tetua lainnya menyambut mereka. 　　Seorang pria paruh baya berbaju putih tersenyum tipis tanpa kehangatan: "Tetua Besar, siapakah yang akan menyalakan api tahun ini? Masih seperti tahun lalu yang Tuan sendiri yang melakukannya?" 　　Tetua Besar melirik pria itu dan menjawab datar: "Sebagai Tetua Besar Wu Miao, tindakan langsungku menunjukkan kesungguhan. Apakah Kepala Suku Xue Miao merasa tidak pantas?" 　　Pria itu tertawa: "Tetua Besar bercanda, mana berani kami protes? Hanya saja biasanya Imam Suci Wu Miao yang menyalakan api, namun beberapa tahun terakhir Tuan yang melakukannya. Agak aneh saja." 　　Perwakilan suku-suku lain saling bertukar pandang sembunyi-sembunyi, masing-masing menyimpan pikiran tersendiri. 　　“Suku Wu Miao dan Salju Miao, meski secara lahiriah tidak terlibat konflik terbuka, sebenarnya telah lama saling berhadapan.” 　　“Sebenarnya Salju Miao dan Wu Miao awalnya satu suku, kemudian terpecah karena beberapa perselisihan hingga membentuk dua suku. Salju Miao yang lemah posisinya dianggap suku lain hanya sebagai bawahan Wu Miao, namun tentu tidak demikian bagi Suku Salju Miao sendiri.” 　　“Terutama setelah posisi Imam Suci Wu Miao sebelumnya kosong, dan Imam Suci saat ini tidak muncul selama bertahun-tahun, membuat Salju Miao semakin tidak sabar untuk bertindak.” 　　Sang Tetua dengan tenang menyesap teh: “Urusan suku kami, Kepala Suku Salju Miao tidak perlu repot-repot mengurusinya.” 　　“Belum lagi suaranya reda, bunyi terompet tiba-tiba menggema di seluruh desa. Semua orang terdiam, hanya suara terompet yang semakin nyaring dan merdu.” 　　“Di tengah gemuruh terompet yang tak putus-putus itu, seorang wanita berjubah hitam dengan rambut legam perlahan melangkah, menapaki tangga menuju panggung tinggi.” 　　“Keheningan yang bertahan sesaat itu tiba-tiba pecah, kerabat Wu Miao mulai bergerak gelisah.” 　　“Imam Suci, itu Imam Suci!” 　　“Dengan suara berdebam, seseorang berlutut, disusul oleh puluhan kerabat yang bersujud menyembah wanita berjubah hitam itu.” 　　“Perwakilan suku-suku lain saling pandang, sementara Kepala Suku Salju Miao langsung berubah wajahnya.” 　　“Benarkah Imam Suci Wu Miao masih hidup?” 　　“Matanya yang berapi-api mengikuti gerak wanita berjubah hitam itu. Dibandingkan gadis polos berwajah kekanak-kanakan tiga tahun silam, kematangan wanita di hadapannya tak menyangkal identitas yang sama.” 　　“Saat itu juga, Kepala Suku Salju Miao merasakan kekecewaan yang mendalam.” 　　“Berlawanan dengan suku-suku lain, kerabat Wu Miao justru tampak bersemangat, wajah-wajah mereka dipenuhi kegembiraan.” 　　"Jiang Si" berjalan menuju podium di tengah sorotan ribuan pasang mata. Seluruh ritual pemujaan dan doa dilakukannya tanpa kesalahan sedikitpun, membuat Tetua dan yang lain yang sempat cemas akhirnya lega. 　　"Nyalakan api——" teriak Tetua. 　　Jiang Si memegang kayu api, mulai menyalakan sumber cahaya. 　　Kayu yang telah diproses khusus segera menyala dengan kobaran terang. 　　Suasana langsung meriah, dentuman gembira gong dan drum bergema, orang-orang mulai menari dan menyanyi. 　　Jiang Si berdiri di podium mengamati arah Tetua, melihat sang Tetua mengangguk halus padanya dengan senyum. 　　Matanya berpindah, menyapu sekeliling sebentar, pandangannya tertahan sesaat di suatu titik. 　　Seorang pemuda berdiri di belakang tuaian berjubah hijau terlihat sangat familiar. 　　Jiang Si segera mengenali pemuda itu sebagai Yun Chuan, pemuda pengantar jenazah yang pernah diselamatkannya dalam perjalanan ke selatan. 　　Temuan tak terduga ini tak mengguncang hatinya. Diam-diam ia turun dari podium dan berjalan ke arah Tetua. 　　Kerabat yang menari mengikuti setiap gerakan Sang Imam Suci yang lama tak terlihat. Wajah mereka penuh senyum lega seolah beban terangkat, membuat tarian mereka semakin lincah. 　　Suasana semakin semarak, orang-orang berpengaruh mulai menyatu dengan kerumunan penari, termasuk perwakilan suku lain. 　　Kecintaan akan nyanyian dan tarian tertanam dalam diri mereka, menjadi cara utama mengekspresikan sukacita. 　　Yun Chuan si pemuda pengantar jenazah pun menyatu dalam kerumunan penari. 　　Ia tidak datang untuk menari, melainkan menemukan wajah yang familiar. 671. BAB 670 Gertakan 　　BAB 670 Gertakan 　　Melihat salah satu penyelamatnya, Yun Chuan merasa terharu. 　　Karena berkecimpung dalam profesi pengawet mayat, ia jarang berinteraksi dengan orang luar dan tak pernah berpikir untuk berteman, tapi bukan berarti ia tak menghargai pertolongan orang. 　　Terutama setelah ia memberitahu nama pada Kakak itu, menandakan kedudukan mereka di hatinya sangat istimewa. 　　Kakak itu mengatakan yang mengusulkan penyelamatan adalah Nona A Hua—— 　　Yun Chuan ingin mendekati gadis yang sedang menari riang itu, tapi takut menarik perhatian. Dengan gerakan kaku, ia pelan-pelan bergerak mendekat. 　　Sampai di belakang gadis itu, pemuda itu memberanikan diri memanggil: "Nona A Hua." 　　A Hua tetap menari mengikuti irama drum, berputar dengan lincah lalu bertanya penasaran: "Kau memanggilku?" 　　Dentuman gong dan suara terompet memekakkan telinga, Yun Chuan mendekat selangkah karena ragu apakah dengarannya tepat. 　　Gerakan tari A Hua tak berhenti, tapi raut wajahnya mulai waspada: "Kau ini siapa sebenarnya?" 　　Yun Chuan bingung, spontan menjawab: "Roge yang kau berikan, masih belum habis——" 　　Seorang gadis berbaju warna-warni berputar mendekati A Hua, suaranya merdu seperti burung oriole: "A Hua, sedang bicara dengan siapa?" 　　A Hua tersenyum pada gadis itu: "Tidak dengan siapa-siapa, dua hari ini sering ketemu orang aneh……" 　　Yun Chuan memandangi kedua gadis yang perlahan menjauh, rasa dingin merambat dari dasar hatinya. 　　Gadis ini bukan A Hua! 　　Apa yang sebenarnya terjadi di sini? 　　Sang pemuda merasa sangat bingung, seolah kabut tebal menyelimuti pandangannya. 　　Saat itu Jiang Si sudah sampai di tempat Tetua, para petinggi Suku Wu Miao dan suku-suku lain yang sibuk tak sempat memperhatikan seorang pemuda, termasuk Tetua Hua yang pernah bertemu dengannya. 　　Saat ini, seluruh perhatian kerumunan tertuju pada pertanyaan tajam yang diajukan Kepala Marga Xue Miao. 　　Kepala Marga Xue Miao menatap tajam Jiang Si dan bertanya, "Imam Suci telah menjalani retret selama tiga tahun lebih, apakah ilmu mengendalikan Gu telah sempurna?" 　　Pertanyaan ini membuat wajah Tetua Hua berubah pucat, sementara Tetua tetap tenang meski hatinya berdebar-debar. 　　Setelah kematian A Sang, alasan yang diberikan untuk menenangkan kerabat adalah Imam Suci perlu retret untuk mempelajari ilmu mengendalikan Gu. 　　Di Wu Miao, hanya Imam Suci dari generasi ke generasi yang bisa menguasai ilmu mengendalikan Gu. 　　Artinya, saat ini di Wu Miao yang bisa menguasai ilmu ini hanya Tetua dan A Sang. 　　Namun kenyataannya, A Sang belum sepenuhnya menguasai ilmu mengendalikan Gu. 　　Inilah yang menjadi sumber gejolak dalam hati banyak orang. 　　Mengenang kematian A Sang, hati Tetua membeku bagai es. 　　Bahkan para kerabat dan tetua lainnya tak tahu bahwa A Sang bukan meninggal karena sakit, melainkan tewas akibat dibalas cacing Gu saat berlatih ilmu pengendalian Gu. 　　Alasan retret Imam Suci untuk berlatih ilmu mengendalikan Gu memang benar, namun A Sang justru kehilangan nyawa karena terburu-buru ingin menguasainya sepenuhnya. 　　Ini adalah bencana bagi Suku Wu Miao, sebenarnya bencana Wu Miao sudah dimulai sejak generasi setelah Tetua ketika posisi Imam Suci kosong... 　　Tetua menarik kembali pikirannya, memandang dingin Kepala Marga Xue Miao: "Urusan Imam Suci suku kami tidak perlu dilaporkan kepada Kepala Marga Xue Miao, bukan?" 　　Kepala Marga Xue Miao tersenyum tipis: "Puluhan suku menghormati bangsawanmu karena perlindungan Dewa Sejati bagi Wu Miao yang melahirkan Imam Perempuan secara eksklusif. Tapi saya ingat lebih dari tiga tahun lalu, Imam Suci hanya menguasai dua tiga persen ilmu mengendalikan Gu - ini memalukan gelar Imam Suci." 　　Orang-orang dari suku lain mengangguk diam-diam. 　　Tak ada suku yang rela ditaklukkan turun-temurun oleh suku lain. Alasan mereka diam adalah karena Wu Miao menguasai kekuatan besar yang diwariskan melalui Imam Suci. 　　Sejak posisi Imam Suci sebelumnya kosong, ketidakpuasan sudah mulai muncul. Ketika akhirnya muncul anak perempuan Wu Miao yang bisa mempelajari ilmu mengendalikan Gu, yaitu A Sang, barulah keinginan memberontak mereda sementara. 　　Tapi mereka tidak lupa bahwa Imam Suci A Sang generasi ini belum sepenuhnya menguasai ilmu mengendalikan Gu. Jika diteliti, Imam Suci yang hanya menguasai dua tiga persen ilmu ini paling-paling hanya sedikit lebih unggul dari calon-calon Imam Suci lainnya. 　　Tentu saja, tidak semua Imam Suci Wu Miao sepanjang sejarah langsung menguasai penuh ilmu mengendalikan Gu sejak awal. Banyak Imam Suci yang awalnya hanya menguasai tiga lima persen setelah mulai belajar, lalu perlahan mencapai kesempurnaan seiring waktu. 　　Kepala Suku Xue Miao menatap Jiang Si sambil tersenyum: “Setiap Imam Suci Suku Wu Miao dari generasi ke generasi telah menguasai ilmu mengendalikan Gu sepenuhnya di usia delapan belas tahun. Aku dengar Tetua memiliki bakat luar biasa, sudah menguasainya di usia lima belas tahun. Imam Suci sudah hampir delapan belas tahun, pastinya sudah mahir sepenuhnya?” 　　Xue Miao berasal dari pecahan Suku Wu Miao, sehingga sangat memahami hal-hal ini. 　　Sebenarnya, Kepala Suku Xue Miao selalu meragukan bakat A Sang. Jika dihadapan puluhan suku yang berkumpul terungkap bahwa Imam Suci Wu Miao saat ini kurang berbakat, membuktikan kemunduran Wu Miao, maka peluang untuk Xue Miao akan datang. 　　Menghadapi provokasi Kepala Suku Xue Miao, Tetua menjadi marah: “Hari ini adalah Festival Api Baru, ribuan kerabat bersukacita, tapi Kepala Suku Xue Miao sama sekali tidak menghormati Imam Suci kami. Apa maksudmu sebenarnya?” 　　Kepala Suku Xue Miao tertawa ringan: “Tetua, penghormatan harus diraih dengan kemampuan. Aku tidak berani meremehkan Imam Suci, hanya menanyakan perkembangan latihannya. Mengapa Tetua menghindari pertanyaan ini?” 　　“Tetua, karena Imam Suci sudah keluar dari retret, mengapa tidak tunjukkan kemampuan beliau agar mereka tidak meremehkan Suku Wu Miao kita!” seru Tetua berwajah panjang dengan marah. 　　Dua tiga Tetua Wu Miao mengangguk setuju. 　　Sebelumnya Imam Suci terus-menerus tidak muncul, menimbulkan spekulasi. Kini meski sudah hadir, tetap menjadi bahan dugaan. Jika terus begini, Wu Miao benar-benar akan diinjak-injak. 　　Bahkan orang sendiri tanpa sadar berada di pihak lawan. Sang Tetua merasa pusing tujuh keliling, seolah tak sanggup bertahan lebih lama. 　　Jika A Sang masih hidup dan sering muncul di hadapan orang, mungkin tidak masalah. Tapi hari ini adalah pertama kalinya Imam Suci muncul setelah menjalani pertapaan, baik kerabat maupun orang luar sedang berada pada masa paling memperhatikan dan sensitif terhadapnya. 　　Terus-menerus menghindar memang akan memicu berbagai spekulasi. 　　Tiba-tiba lengan Tetua ditarik perlahan oleh seseorang. 　　Tangan wanita muda itu putih panjang, sempurna tanpa cacat. 　　Yang menarik perhatian Tetua bukanlah tangan ini, melainkan sebaris tulisan merah di telapak tangan: "Menepati janji, menakut-nakuti." 　　Mata Tetua berkilat, segera memahami maksud Jiang Si. 　　Jika dia menepati janji untuk melepas kami (saudara kandung) setelah misi selesai, maka sekarang Jiang Si bersedia tampil untuk menekan orang-orang ini. 　　Saat ini, perasaan Tetua agak rumit. 　　Terkejut, bingung, dan sedikit harapan yang tak terungkapkan. 　　Harapan akan apa, dia sendiri pun tidak tahu. 　　Akhirnya, Tetua mengangguk hampir tak terlihat. 　　Sesuai keinginannya, harus bertahan menghadapi tekanan Kepala Suku Xue Miao. Bahkan jika ini adalah A Sang palsu, sekalipun A Sang bangkit kembali tanpa menguasai ilmu mengendalikan Gu sepenuhnya, tetap harus dihadapi. 　　Dia ingin melihat bagaimana wanita Dinasti Zhou ini bertindak. 　　Melihat Tetua mengangguk, sudut bibir Jiang Si sedikit terangkat. 　　Janji Tetua jauh lebih meyakinkan daripada Tetua Hua. 　　Jiang Si tersenyum ramah pada Kepala Suku Xue Miao: "Kepala Suku begitu memperhatikan latihanku, apakah rindu pada cacing-cacing kecil itu?" 　　Sambil berkata, tangannya yang putih diletakkan di atas meja, jemarinya mengetuk perlahan. 　　“Lihat ke tanah!” seseorang berteriak kaget. 　　Ratusan cacing aneh menggeliat merayap mendekati Kepala Marga Xue Miao. 672.BAB 671 Strategi Pria Tampan 　　BAB 671 Strategi Pria Tampan 　　Suasana hening sejenak, kemudian riuh rendah. 　　Kepala Marga Xue Miao tentu tak takut cacing-cacing ini, tapi melihat gelombang cacing yang bergerak seperti air bah sementara cacing beracun peliharaannya bergetar ketakutan mengeluarkan suara merintih, hatinya terguncang luar biasa. 　　Imam Suci Wu Miao benar-benar menguasai ilmu mengendalikan Gu. 　　Begitu ilmu pengendalian Gu digunakan, sepuluh ribu cacing tunduk pada perintah. 　　Yang lebih terkejut dari Kepala Marga Xue Miao adalah Tetua. 　　Di situasi seperti ini, Tetua tak kuasa bangkit dari duduknya sambil berseru: "A Sang!" 　　Teriakan ini langsung menyedot perhatian kerumunan. 　　Jiang Si menatap Tetua dengan tenang: "Ada yang perlu Anda perintahkan?" 　　Di bawah tatapan tenangnya, wajah Tetua kembali tenang. Ia mengibaskan lengan bajunya yang lebar sambil memarahi: "Jangan main-main." 　　Begitu tangannya diayunkan, cacing-cacing itu berhenti lalu menyebar ke segala penjuru, menghilang tak berbekas. 　　Tetua perlahan duduk kembali, tersenyum minta maaf pada Kepala Marga Xue Miao: "Mohon maaf atas kelakuan A Sang." 　　Berbeda dengan penampilannya yang tenang, hati Tetua sedang dilanda badai hebat. 　　Bahkan lebih dahsyat dari badai. 　　Ilmu pengendalian Gu yang bahkan A Sang tak kuasa kuasai, bagaimana bisa wanita Dinasti Zhou ini menguasainya? 　　Jangan-jangan, selama ini dirinya keliru... 　　“Jangan terlalu banyak berpikir, urus saja yang di depan mata dulu.” 　　Tetua Besar menarik kembali pikiran yang kacau balau, senyum anggun tergantung di sudut bibirnya saat matanya perlahan menyapu kerumunan. 　　Imam Suci Wu Miao telah membuktikan kemampuannya di depan umum, setelah ini suku mana lagi yang berani berniat jahat? 　　Pada detik ini, Tetua Besar merasa dorongan kuat untuk menangis. 　　Puluhan tahun lamanya, sejak ketiadaan penerus setelah dirinya, batu raksasa itu telah menindih hatinya, membuatnya sesak napas siang malam. Kini akhirnya beban itu terlepas. 　　Dewata berbelas kasih, berkah bagi Wu Miao! 　　“Apakah Kepala Marga Xue Miao sudah puas?” tanya Tetua Besar dengan tenang. 　　Kepala Marga Xue Miao tersenyum kecut: “Setelah melihat langsung hari ini, Imam Suci memang sesuai dengan reputasinya. Selamat untuk Tetua Besar.” 　　Kepala Marga Xue Miao mengangkat piala, tak lagi menunjukkan sikap provokatif. 　　Bukan tidak ingin, tapi tidak bisa. 　　Imam Suci Wu Miao telah menguasai ilmu mengendalikan Gu, bahkan jika Tetua Besar Wu Miao wafat, Wu Miao masih bisa aman selama puluhan tahun. Xue Miao hanya bisa sementara berdiam diri, memantau perkembangan. 　　Menantang yang kuat adalah kebodohan. 　　Lebih banyak orang mengangkat piala, serempak berseru: “Imam Suci sesuai reputasinya, selamat untuk Tetua Besar.” 　　Tetua Besar merasa sangat lega, tapi tetap menjaga sikap anggun: “Ah, A Sang hampir delapan belas tahun. Sebenarnya prosesnya masih agak lambat...” 　　Kerumunan segera menyahut: “Yang bisa menandingi Tetua Besar hanya satu dari sepuluh ribu, Imam Suci sudah sangat luar biasa...” 　　Pujian dari orang luar ini membuat para tetua Wu Miao hampir menitikkan air mata haru. 　　Imam Suci yang menguasai ilmu mengendalikan Gu baru bisa dianggap menghilangkan kekhawatiran Suku Wu Miao akan punahnya penerus, sekaligus menggentarkan suku-suku lain agar tidak berani bertindak sembarangan. 　　Sampai hari ini, sungguh tidak mudah untuk menantikannya! 　　Dibandingkan dengan kelegaan dan kegembiraan para tetua yang tidak tahu kebenaran ini, perasaan Tetua Hua jauh lebih kompleks. 　　Dia menyelundupkan seorang Imam Suci palsu dari ibu kota Dinasti Zhou, tapi bagaimana bisa akhirnya malah lebih mirip Imam Suci asli daripada yang asli? 　　Seperti terjebak dalam mimpi, itulah reaksi paling jujur dari Tetua Hua saat ini. 　　Antusiasme, keheranan, yang lebih dominan adalah ketakutan akan terbangun dari mimpi indah dan segalanya kembali ke titik awal. 　　Dalam jamuan terbuka berikutnya, Tetua dan Tetua Hua sebagai yang tahu kebenaran benar-benar merasa seperti setahun berlalu, ingin segera menangkap Jiang Si untuk memastikan, tapi tidak boleh menunjukkan sedikitpun keanehan di wajah. 　　Di sekeliling ada kerumunan yang menyanyi, menari, dan tumpukan api unggun, di depan mata ada hidangan lezat dan minuman anggur, tapi pikiran para penguasa suku ini telah melayang jauh. 　　Tak ada yang memperhatikan pemuda pengantar mayat yang diam-diam mengikuti seorang gadis masuk semakin dalam ke perkampungan suku. 　　Ahua berjalan membawa nasi dan lauk pauk dengan perasaan tidak enak. 　　Baru saja bertemu orang aneh, sekarang harus menemui orang aneh lainnya. 　　Andai saja dia tidak cukup tegas beberapa hari ini, mungkin dia sudah mengira yang aneh bukan orang lain tapi dirinya sendiri. 　　Sampai di depan pintu rumah, Ahua berhenti dan bergumam, "Entah siapa orang ini, sampai perlu dilayani khusus. Orang lain pada nyanyi, menari, minum anggur makan daging, aku malah harus mengantarkan makanan untuknya!" 　　A Hua mengeluh sambil mendorong pintu terbuka, bergegas masuk dan meletakkan makanan di meja dengan wajah masam. "Makanlah!" 　　Jiang Zhan menyunggingkan senyum saat melihat A Hua. "Nona A Hua, mengapa hari ini begitu ramai? Aku dengar suara genderang dan musik dari sini." 　　A Hua memutar matanya. "Jangan tanya yang tidak perlu!" 　　Jiang Zhan mengedipkan mata. "Mengapa Nona A Hua tiba-tiba galak? Padahal waktu itu-" 　　...nyaris menciumnya. 　　Tapi dia masih punya malu. Hal sejelas itu tak perlu diucapkan. 　　Jiang Zhan tak seharusnya menyebut itu. A Hua langsung berang. "Kau ini, apa mau mogok makan lagi?" 　　Jiang Zhan melirik makanan panas yang mengepul, menahan diri seraya bergumam. "Makan!" 　　Sebenarnya, makanan ini bermasalah. 　　Dua hari sebelumnya dia sengaja tidak makan, tapi bukannya lemas malah bertambah tenaga. Saat itu dia sudah curiga, dan setelah uji coba dua hari akhirnya yamin masalahnya ada pada bubur milet. 　　Dua hari hanya makan lauk tanpa nasi, setelah tenaganya pulih separuh, dia langsung kabur diam-diam saat pelayan pergi. Pintu tak dikunci seperti sebelumnya. 　　Saat itu, amarahnya membara. 　　Di medan perang dia pernah menumpas banyak musuh. Para wanita ini terlalu meremehkannya, sampai-sampai pintu pun tak dikunci! 　　"Kakak Kedua Jiang yang sedang murka kabur ke pintu halaman lalu limbung jatuh. Karena takut ketahuan berniat kabur, dia nekad merangkak kembali." 　　Sungguh tak adil! Meracuni makanannya saja sudah keterlaluan, bahkan tanaman-tanaman di halaman yang masih mekar meriah di musim dingin ini ternyata mengeluarkan aroma yang melemahkan tulang dan otot! 　　Tempat macam apa ini sebenarnya? 　　Jiang Zhan berpikiran putus asa, matanya menyala-nyala menatap gadis di hadapannya. 　　Sepertinya selain siasat tampan, tak ada cara lain! 　　Melihat ekspresi tuan tampan ini kembali tak wajar, persis seperti korban ilmu hitam Tetua Mo, Ah Hua segera waspada dan mundur selangkah: "Tuan silakan menikmati, makan malam akan diantar tepat waktu." 　　Usai berkata, gadis itu pergi tanpa ampun. Jiang Zhan terduduk bingung, bergumam: "Orangnya diganti, pasti diganti. Ah Hua ini jelas bukan Ah Hua yang dulu!" 　　"Kau bilang ada dua Ah Hua?" Suara pemuda itu terdengar dingin. 　　Kemunculan tiba-tiba pemuda itu membuat Jiang Zhan kaget: "Siapa kau?" 　　Yun Chuan tidak menjawab, bertanya lagi: "Ada dua Ah Hua?" 　　Kegigihan pemuda itu membuat hati Jiang Zhan berdesir. Entah kenapa ia tersenyum: "Adik, kalau kuberi tahu, maukah kau membantuku?" 　　"Bantuan apa?" 　　"Bawa aku pergi dari sini." Baru sadar apa yang diucapkannya, Jiang Zhan menghela napas dalam hati. 　　Lihatlah, sampai segini parahnya keadaan orang hidup sepertinya, sampai-sampai berpikir menggunakan siasat tampan pada seorang pemuda. 　　Sedangkan Yun Chuan yang mendengar permintaan Jiang Zhan, langsung mengangguk tanpa ragu: "Baik." 　　Jiang Zhan benar-benar tertegun, menggosok wajahnya dengan keras. 673. BAB 672 Pelarian 　　BAB 672 Pelarian 　　Hingga Yun Chuan mendekat dan memeluknya, Jiang Zhan masih bingung. 　　Jangan-jangan strategi pesona tampannya berhasil melebihi ekspektasi? 　　Bukan, yang di depan jelas seorang pemuda! 　　Jiang Zhan tiba-tiba merasa waspada. Saat tangan pemuda itu menyentuh tubuhnya, ia langsung gemetar, mencengkeram pergelangan tangan Yun Chuan dan berteriak: "Sedang apa kau?" 　　Yun Chuan terdiam sebentar, suaranya datar tanpa ekspresi: "Bukankah kau bilang jika aku membawamu pergi, kau akan memberitahuku." 　　Pertanyaan itu membuat Jiang Zhan melepaskan pegangan dengan malu. Ia berkata "Tunggu sebentar", lalu melahap dengan cepat hidangan yang berisi satu paha ayam, hanya menyisakan semangkuk nasi jawawut. Setelah membersihkan sudut bibirnya, ia berkata: "Ayo pergi." 　　Jiang Zhan sebenarnya tidak terlalu berharap, hanya saja karena sudah terlalu lama terkurung, kehadiran pemuda itu memberinya secercah harapan. 　　Seperti tanaman di pekarangan yang bisa melemahkan tangan dan kaki, ia tidak yakin tubuh kecil pemuda itu mampu menyeretnya kabur. 　　Saat melewati hamparan tanaman itu, Jiang Zhan terkejut karena tidak terpengaruh aroma bunganya. 　　Ia merenung sejenak lalu bertanya pada pemuda itu: "Apa kalian meminum semacam penawar?" 　　Yun Chuan menatap Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan menunjuk ke arah hamparan tanaman itu. 　　Yun Chuan berpikir sejenak, lalu menunjukkan kantong kecil berwarna-warni padanya. 　　"Ini——" 　　“Ada ini, tidak perlu takut.” Yun Chuan menjelaskan dengan singkat. 　　Jiang Zhan menyipitkan matanya, memandangi pemuda yang agak jelek itu, dalam hati berpikir si adik ini agak bodoh, berani-beraninya tanpa perlindungan mengatakan hal-hal ini, tidak takut dia merampas Kantong Wewangian lalu kabur? 　　Tentu saja, dia bukan tipe orang seperti itu. 　　Melewati pekarangan kosong yang sepi dari bayang manusia, hanya deretan rumah yang berdiri tegak, dan suara genderang dari kejauhan. 　　“Apa ada perayaan khusus hari ini?” tanya Jiang Zhan. 　　“Festival Api Baru tahunan.” 　　“Oh begitu rupanya.” Ekspresi Jiang Zhan menunjukkan pencerahan, padahal sama sekali tidak mengerti apa itu Festival Api Baru. 　　Sudahlah, tidak usah ditanya lagi, jarang-jarang ketemu orang yang kurang pikiran begini, siapa tahu benar-benar bisa mengantarnya keluar. 　　Dalam bayangan Jiang Zhan, skenario terburuk ya cuma seperti dua hari lalu saat tidak makan, merangkak pulang sendiri lagi, bukan masalah besar. 　　Tapi pemuda ini memang agak tolol, sampai tidak menyuruhnya menjawab pertanyaan dulu. 　　Perasaan superior secara spontan muncul. 　　Tak lama kemudian Jiang Zhan sudah bisa melihat kerumunan orang yang menari-nari, telinganya dipenuhi nyanyian dan tawa riang. 　　Tiba-tiba, si pemuda berhenti melangkah. 　　Jiang Zhan ikut berhenti, bertanya: “Kenapa tidak jalan lagi?” 　　Yun Chuan menatapnya dengan intens, perlahan bertanya: “Ada dua A Hua ya?” 　　Alis Jiang Zhan berkerut. 　　Kenapa sekarang baru nanya ini? 　　Saat sedang bingung, si pemuda tiba-tiba menunjuk ke kerumunan gelap manusia, tetap dengan ekspresi datarnya: “Kalau kau tidak mau bicara, aku akan teriak panggil orang.” 　　Jiang Zhan membuka mulutnya sedikit, hampir ingin menampar dirinya sendiri. 　　Dia salah, bukan si jelek ini yang bodoh, ternyata dirinyalah yang bodoh! 　　Rupanya si jelek ini takut tidak bisa mengalahkannya di dalam ruangan, makanya membawanya ke kerumunan orang... 　　"Di bawah atap orang lain, harus menundukkan kepala," Jiang Zhan menghela napas, "Benar, kurasa ada dua A Hua. Adik, kuberi tahu, saat pertama kali A Hua bertemu denganku, sikapnya sama sekali tidak seperti ini..." 　　Setelah mendengar penjelasan Jiang Zhan, Yun Chuan memastikan kecurigaannya: A Hua yang menari hari ini bukan A Hua yang menyelamatkannya! 　　Suaranya berbeda. 　　Dia terbungkus selimut dengan compang-camping, menunggu dengan putus asa jenazah kakeknya diangkat dari air. Suara itu tak akan pernah terlupakan seumur hidupnya. 　　Yun Chuan menatap kerumunan di depan, menggigit bibirnya kuat-kuat. 　　Ke mana perginya A Hua yang menyelamatkannya? 　　Jiang Zhan batuk kecil: "Adik, sebenarnya apa yang kau inginkan?" 　　Diam-diam dia mulai mempertimbangkan untuk merebut Kantong Wewangian pemuda itu dan menyelinap ke kerumunan. 　　Dengan banyaknya orang, mungkin bisa melarikan diri? 　　Yun Chuan tersadar, mengangguk halus: "Aku akan membawamu pergi." 　　Jiang Zhan mengangkat alisnya dengan terkejut. 　　Si jelek ini cukup menepati janji. 　　Yun Chuan tidak berbicara lagi, membawa Jiang Zhan menuju pintu gerbang perkampungan. 　　Hingga mereka berhasil keluar dari perkampungan, Jiang Zhan masih seperti orang bermimpi, mengingat kata-kata pemuda itu: Hari ini akan ramai sepanjang hari, keluar dari sini mudah tapi masuk lagi sulit. Setelah pergi, kau tak akan punya kesempatan kembali... 　　“Dia hampir ingin memutar mata putih: Kecuali dia Ershazi, mana mungkin dia berpikir untuk masuk lagi!” 　　Long Dan juga merasa seperti sedang bermimpi. 　　Dia menarik lengan Lao Qin dengan kuat: "Lao Qin, lihat cepat orang itu! Aku rasa itu Kakak Kedua Jiang!" 　　Lao Qin yang biasanya tenang pun tertegun, setelah mengamati sebentar membenarkan: "Benar, itu memang Tuan Jiang Kedua!" 　　Long Dan bingung melirik pintu gerbang perkampungan suku: "Apa yang terjadi? Bukankah Permaisuri menyuruh kita menyusup masuk saat perayaan Wu Miao hari ini. Kok belum sempat masuk, Tuan Jiang Kedua sudah keluar?" 　　Lao Qin meremas-remas dompet yang diberikan Jiang Si sebelum pergi dengan Tetua Hua, sama-sama kebingungan. 　　Permaisuri memberi dua dompet berisi obat kepada mereka, mengatakan bahwa benda ini harus dipakai untuk memasuki wilayah Wu Miao. Ramuan di dalamnya harus dibakar salah satunya untuk aktif, dan hanya bertahan sehari, sehingga mereka harus menunggu hari H. 　　Tapi belum sempat digunakan— 　　Long Dan keluar dari persembunyian: "Tanya langsung saja pada Tuan Jiang Kedua." 　　Jiang Zhan menghela nafas lega, belum sempat bersukacita atas pelariannya, sudah diseret seseorang dengan tangan menutup mulutnya. 　　"Mmm—" Begitu melihat wajah penyeretnya, matanya terbelalak, "Long Dan?" 　　Ekspresi Long Dan rumit: "Tuan, apakah kau memakan obat pelunak tulang?" 　　Ini terlalu mudah, bahkan nona pertama pun bisa "merampok" Tuan Jiang Kedua. 　　Jiang Zhan，：“Jangan sebut itu lagi, bagaimana kalian bisa ada di sini?” 　　Long Dan mengedipkan mata heran: “Aku dan Lao Qin sedang berusaha menyusup masuk untuk menyelamatkan Tuan.” 　　Jiang Zhan semakin bingung: “Tunggu, kalian tahu aku di sini?” 　　“Tentu tahu, bukankah Permaisuri sudah memberitahu Tuan?” 　　“Permaisuri?” Wajah Jiang Zhan berubah pucat, kegembiraannya lenyap, “Apakah Adik Keempatku juga datang? Di mana dia?” 　　Long Dan menunjuk ke arah pintu perkampungan Wu Miao: “Permaisuri sudah masuk beberapa hari lalu. Bukankah Tuan Kedua bertemu dengannya?” 　　Seolah disiram air dingin, wajah Jiang Zhan berubah kelabu: “Tidak boleh! Aku harus masuk mencari dia!” 　　Dialah si Ershazi itu! 　　Long Dan segera menahan Jiang Zhan: “Tuan Kedua, Tuan sudah keluar dengan susah payah. Mari kita pergi. Permaisuri sudah berpesan, cukup kirim sinyal kembang api jika kami berhasil membawa Tuan keluar.” 　　Saat itu juga, Lao Qin mengeluarkan sesuatu dari dalam jubah dan melemparkannya ke udara. 　　Kembang api merah mekar di langit malam. 　　Tangan Jiang Si yang sedang memegang cangkir anggur berhenti sejenak. Meski wajahnya tetap tenang, hatinya dipenuhi keheranan. 　　Aneh sekali. Sebelumnya mereka sudah berjanji: jika Lao Qin dan Long Dan berhasil menyusup, mereka akan menembakkan kembang api hijau. Dengan begitu Jiang Si akan mencari mereka untuk menyusun rencana. Kembang api merah seharusnya baru dinyalakan setelah mereka berhasil menyelamatkan Kakak Kedua. 　　Tapi sekarang, kembang api hijau belum terlihat, kok kembang api merah sudah muncul? 　　Long Dan ceroboh, jangan-jangan dia salah menyalakan? 　　Sore nanti ada satu bagian lagi. Terima kasih untuk Hadiah sepuluh ribu koin dari Yuwei Wen Yu Mao, Zai Huanxiang Zhong Youli, Gadis Cantik 007, mcj221, Shū Yǒu 20181123155402829, Ai AMY, Xiao Bai Yu Xiao Huang dan lain-lain. 674.BAB 673 Imam Palsu yang Tak Patuh Aturan 　　BAB 673 Imam Palsu yang Tak Patuh Aturan 　　Jiang Si meneguk anggur, lalu meletakkan cawan kembali di meja. 　　Tak ada lagi kembang api yang muncul, sepertinya Kakak Kedua benar-benar sudah diselamatkan. 　　Benar, sejak awal Jiang Si tidak sepenuhnya menggantungkan harapan pada janji Tetua dan Tetua Hua. 　　Lebih baik mengandalkan diri sendiri, selama Kakak Kedua tidak lagi di tangan Wu Miao, dia bisa berubah dari pasif menjadi aktif, tidak perlu ragu-ragu lagi. 　　Jiang Si yang sudah terbebas dari tekanan semakin tenang. 　　Akhirnya pesta terbuka selesai, dua Tetua Wu Miao bertugas mengantar tamu dari suku lain ke gerbang desa, sementara Tetua-Tetua lainnya berkumpul dengan wajah bersemangat. 　　Tarian dan nyanyian kerabat di luar masih terus bergema, hati mereka seakan ikut menari riang gembira. 　　Sang Tetua jarang melihat semuanya begitu gembira, senyum mengembang di bibirnya. 　　Tetua berwajah panjang tiba-tiba memberi hormat dalam-dalam kepada Sang Tetua. 　　Sang Tetua bertanya dengan wajah datar: "Tetua An, maksudmu apa ini?" 　　Tetua An wajahnya penuh penyesalan: "Selama ini aku salah paham pada Sang Tetua, mohon Sang Tetua dan Imam Suci berkenan memaafkan." 　　Tetua mengangguk dengan angkuh: "Tetua An tidak perlu seperti ini, kau juga berpikir demi Wu Miao. Selama bertahun-tahun meski pandangan kami berbeda, niat untuk kebaikan Wu Miao tetaplah sama." 　　Sembari berkata demikian, Tetua dalam hati menghela napas pelan. 　　Beberapa tahun terakhir ini konflik yang cukup besar muncul antara dia dengan sebagian tetua, dengan Tetua An sebagai pemimpin kelompok tersebut. 　　A Sang adalah Imam Suci dengan bakat terlemah sepanjang sejarah, semasa hidupnya penguasaan ilmu mengendalikan Gu tidak sampai 10-20%, kemudian menghilang lama dari pandangan publik. 　　Tetua An memiliki pertanyaan berani: Menurutnya A Sang bukanlah Imam Suci yang ditakdirkan, menyalahkan Tetua karena terburu-buru memilih Imam Suci untuk menenangkan kerabat, yang justru membuat Wu Miao kehilangan penerus. 　　Awalnya pandangan ini tentu tidak diterima, namun seiring waktu tanpa kehadiran A Sang, semakin banyak tetua yang mendukung ide ini. 　　Tentu saja, kontroversi ini hanya terbatas di antara generasi pertama dan kedua tetua, kerabat biasa tidak tahu gelombang bawah permukaan ini. 　　Kini, menyaksikan "A Sang" menunjukkan kekuatan pada Festival Api Baru, akhirnya membuat Tetua An menyerah. 　　Tetua merasa terharu, tapi tidak menunjukkan kesombongan. 　　Bahkan dia agak bingung: Apakah Tetua An benar-benar salah? A Sang telah tiada, yang benar-benar menguasai ilmu mengendalikan Gu memang bukan Imam Suci yang dulu dipilihnya sendiri! 　　Dari sudut matanya, Tetua melirik Jiang Si yang tampak santai, dalam hati bertekad: Apapun pengorbanannya, pasti harus menahannya di sini! 　　"Untuk menghindarkan Suku Wu Miao dari bencana pemusnahan, bahkan jika aku dan Tetua Hua harus menderita digigit sepuluh ribu ular yang menggerogoti hati karena melanggar sumpah, itu sepadan." 　　Dia sudah tua, sementara Suku Wu Miao tak bisa kehilangan Imam Suci. 　　"Semuanya bubar saja." Tetua yang telah bulat tekadnya mulai berbicara. 　　Para tetua serentak memberi hormat dan bersiap mundur. 　　"A Sang, Tetua Hua, kalian tetap di sini." 　　Tak lama kemudian hanya tersisa tiga orang di dalam ruangan. 　　Tetua memandang Jiang Si: "A Sang—" 　　Jiang Si melambaikan tangan sambil tersenyum: "Tetua, hamba sudah menyelesaikan tugas dengan sukses. Bolehkah hamba membawa kakak laki-laki hamba pergi sekarang?" 　　Dia perlu memastikan apakah Kakak Kedua masih ada di sini atau tidak. 　　Tetua tersenyum kecut: "Baru hari ini kau muncul, sukacita kerabat belum mereda. Terlalu terburu-buru jika pergi sekarang—" 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Apa maksud Tetua?" 　　Dia sudah menangkap maksud Tetua. Kekecewaan muncul, tapi ini sesuatu yang wajar. 　　Dibandingkan dengan masalah kelangsungan hidup seluruh suku, janji pada seorang wanita kecil seperti dirinya memang tak berarti. 　　Tetua Hua buru-buru menjelaskan: "Maksud Tetua adalah menunggu beberapa hari lagi. Ketika kerabat sudah tak punya perasaan khawatir kehilangan Imam Suci, Permaisuri baru boleh pergi. Lagipula, kakak Tuan Gong masih terluka dan perlu istirahat—" 　　Jiang Si tertawa kecil memotong penjelasan Tetua Hua: "Setidaknya biarkan hamba bertemu kakak sebelum membahas hal lain." 　　Tetua Hua spontan menoleh ke Tetua. 　　Tetua merenung sejenak lalu mengangguk: "Tetua Hua, antarkan A Sang menemui Tuan Gong itu." 　　Tetua Hua mengangguk paham. 　　"Karena bernama A Sang, tak perlu menyamar menjadi rupa A Hua. Cukup lihat sekilas dari luar lalu pergi diam-diam." 　　"Silakan ikut saya." 　　Jiang Si membungkuk hormat kepada Tetua, lalu mengikuti Tetua Hua menuju tempat Jiang Zhan ditahan. 　　Semakin dalam memasuki perkampungan, semakin sepi tak berpenghuni. 　　Kerabat masih berpesta hingga malam nanti sebelum bubar. 　　Sampai di tempat tujuan, mereka mendorong pintu masuk. Halaman sunyi tanpa penjaga. 　　Jiang Si memahami kepercayaan diri Suku Wu Miao. 　　Seluruh perkampungan ditanami bunga dan tumbuhan beracun, ditambah ribuan cacing beracun yang mengintai. Jerat sejati ada pada ini semua. Mereka yakin penyusup takkan bisa bergerak leluasa. 　　"Tuan Gong belum pulih benar, Yang Mulia sebaiknya menunggu beberapa hari lagi—" Kata-kata selanjutnya Tetua Hua tiba-tiba terhenti. Matanya terbelalak menatap kamar kosong. 　　Beberapa saat kemudian, Tetua Hua tersadar. Ia menyisir ruangan, lalu menatap mangkuk nasi millet sambil bergumam: "Ke mana orangnya?" 　　Jiang Si diam-diam lega. 　　Karena Kakak Kedua tidak ada di sini, dan ada sinyal suar merah di langit, berarti ia sudah bersama Long Dan dan kawan-kawan. 　　Dengan wajah dingin ia bertanya: "Di mana kakak saya?" 　　Tetua Hua bingung memandanginya. 　　Wajah Jiang Si semakin beku: "Rupanya Tetua Hua sudah merencanakan pengkhianatan ini. Terburu-buru sekali menyembunyikan kakak saya." 　　Ekspresi Tetua Hua berubah: "Bukan begitu! Kami tidak menyembunyikan Tuan Jiang. Permaisuri harap bersabar, saya akan mencari informasi." 　　“Meski ada niat untuk melanggar janji, tapi belum sempat melakukannya. Kok orangnya bisa hilang?” 　　“Aku ingin menemui Tetua.” Jiang Si berkata dengan dingin. 　　Menghadapi perubahan situasi ini, Tetua Hua tentu harus melapor ke Tetua. Ia segera membawa Jiang Si kembali tergesa-gesa. 　　Mendengar laporan Tetua Hua, Tetua berwajah dingin: “Orangnya hilang?” 　　Tetua Hua mengangguk: “Lauknya habis dimakan, nasinya masih tersisa.” 　　Sekalipun tidak makan, dengan adanya tanaman beracun dan cacing beracun itu, bagaimana Tuan Gong itu bisa pergi? 　　“Aku akan tanya Ahua.” 　　Ruangan seketika hanya diisi oleh Tetua dan Jiang Si. 　　“Tetua, kalian sebenarnya menyembunyikan kakak laki-lakiku di mana?” 　　Tetua sedikit mengerutkan alis: “Harap bersabar, ini hanya insiden——” 　　Jiang Si menyeringai dingin tanpa sepatah kata. 　　Tak lama kemudian, Tetua Hua datang tergesa-gesa: “Sudah ditanya Ahua. Ahua bilang saat mengantar makanan tidak ada keanehan. Dua hari sebelumnya Tuan Gong itu sepertinya hendak kabur. Ahua menemukan jejak merayap di pekarangan, tapi jejaknya mengarah kembali...” 　　Tetua Hua melirik Jiang Si, berdehem ringan: “Mungkin Tuan Gong itu sadar tidak bisa kabur, lalu balik lagi.” 　　Sudut bibir Jiang Si berkedut, sudah tak ada tenaga untuk berkomentar. 　　Gagal kabur lalu merayap pulang diam-diam, masak kakak keduanya tidak bisa lebih kompeten sedikit? 　　Tetua juga bingung: “Secara logika, setelah satu kali gagal, Tuan Gong itu seharusnya tidak akan melakukan usaha sia-sia lagi——” 　　Ia tak bisa tidak menatap Jiang Si. 　　Jiang Si dengan wajah muram berkata dingin, "Kakak laki-laki saya hilang di sini. Jika Tetua tidak bisa menyerahkan orangnya, maka saya tidak akan pergi!" 675.BAB 674 Pembicaraan Rahasia 　　BAB 674 Pembicaraan Rahasia 　　Tidak, tidak pergi? 　　Sejenak, Tetua mengira pendengarannya salah, lalu menoleh ke Tetua Hua. 　　Tetua Hua mengangguk tegas. 　　Tidak salah dengar, meski dia juga sempat berilusi. 　　Tatapan Tetua Hua dan Tetua bertemu. 　　Tidak pergi itu bagus, mereka memang tak ingin melepasnya. 　　Menatap ekspresi dingin Jiang Si, hati Tetua berdesir. 　　Lawan secara sukarela bertahan, mengapa terasa tidak nyaman? 　　Tetua memutuskan berhati-hati: "Saudaramu hilang di dalam desa, kami pasti berusaha maksimal mencari. Tapi kejadiannya mendadak, bertepatan dengan Festival Api Baru yang ramai, lalu lintas orang keluar-masuk desa terlalu banyak, mungkin sulit ditemukan segera..." 　　Sudut bibir Jiang Si melengkung, bicara perlahan: "Sudah saya katakan, jika kakak tidak ditemukan, saya akan tinggal di sini." 　　Tetua Hua tak tahan menyela: "Jika Permaisuri benar-benar bisa tinggal, Suku Wu Miao sangat menyambut baik." 　　Jika bisa menahan orang tanpa melanggar janji, itu sungguh kabar baik. 　　Tetua melirik Tetua Hua, tanpa sedikitpun kegembiraan. 　　Apakah ada rejeki jatuh dari langit? Tetua Hua terlalu tidak sabar. 　　Tepat seperti dugaannya, Jiang Si tersenyum: "Tetua Hua jangan buru-buru, perkataan saya belum selesai." 　　Ini dia. 　　Tatapan Tetua dan Tetua Hua bertemu, lalu serempak menatap Jiang Si. 　　“Hari ini saya beruntung bisa menghadiri Festival Api Baru sebagai Imam Suci. Baru sekarang saya sadar betapa tinggi status Imam Suci di mata bangsawan dan pengaruhnya terhadap suku-suku lain. Kalau saya tertarik pada Kepala Suku Xue Miao, kira-kira apa yang akan terjadi?” 　　“Brengsek!” Tetua langsung berseru tanpa berpikir. 　　Wu Miao dan Xue Miao sudah lama bermusuhan. Hubungan mereka bagai angin timur dan barat yang saling menjatuhkan. Jika Imam Suci Wu Miao menyatakan cinta pada Kepala Suku Xue Miao, mungkin akan memicu kerusuhan di antara kerabat. 　　Jiang Si bahkan tidak mengangkat kelopak matanya. 　　Bukankah dia bukan A Sang yang asli? Masak takut dimarahi Tetua? 　　Sikap acuh Jiang Si membuat Tetua menyadari diri. Setelah menenangkan diri, dia berkata pelan: “Saya dengar dari Tetua Hua bahwa kau adalah Permaisuri Dinasti Zhou. Bagaimana bisa bicara sembarangan seperti itu?” 　　Bukankah wanita Dinasti Zhou katanya sangat pemalu? 　　Jiang Si mengedipkan mata dengan wajah polos: “Bukankah saya Imam Suci Wu Miao?” 　　Tetua terdiam sejenak. 　　“Sebagai Imam Suci, tentu saya bebas mencintai siapa pun. Apa hubungannya dengan status Permaisuri Zhou?” 　　Sekalipun memalukan, itu adalah aib untuk seluruh suku Wu Miao. 　　“Kepala Suku Xue Miao sudah hampir 40 tahun. Usia anak-anaknya tidak jauh berbeda dengan Permaisuri.” Tetua Hua tidak bisa menahan diri lagi. 　　Jiang Si tersenyum manis: “Tidak masalah. Yang penting hati saya senang. Kalau nanti bosan, tinggal ganti orang saja.” 　　Wajah Tetua menghitam seperti wajan: “Sudahkah kau pikirkan reputasi Imam Suci suku kami dengan sikap seperti ini?” 　　Jiang Si dan Tetua saling berpandangan. Tiba-tiba ia menyembunyikan senyumannya dan berkata dengan dingin, "Tampaknya Tetua lupa, aku bukan Imam Suci Wu Miao yang sebenarnya. Apa urusanku dengan reputasi imam suci? Jika aku tinggal di Wu Miao dan sedang bad mood, aku akan bertindak semaumu. Jika Tetua tidak suka, silakan turunkan Imam Suci A Sang dari jabatannya. Dengan begitu, aku bisa kembali ke Dinasti Zhou dan melanjutkan hidupku sebagai Permaisuri." 　　Ucapan Jiang Si membuat Tetua geram namun tak bisa membantah. 　　Ancaman si gadis ini masuk akal! 　　Jiang Si menuangkan teh untuk dirinya sendiri, meneguk beberapa kali lalu berkata, "Sudah lama kusadari, kalian menyembunyikan kakak laki-lakiku hanya untuk memaksaku tinggal. Sebenarnya tak perlu segitunya. Jika hatiku tidak tenang, bahkan jika kalian mengusirku pun aku takkan pergi. Tetua, yakin mau menyimpan seorang imam suci yang sedang murung di tengah suku?" 　　Wajah Tetua muram, benar-benar terancam oleh perkataan itu. 　　Bagaimana bisa situasi berbalik seperti ini? Awalnya merekalah yang mati-matian ingin menahan orang ini, kini malah dikendalikan lawan? 　　Jiang Si memainkan cangkir tehnya dengan santai. 　　Wu Miao terlalu membutuhkan seorang imam suci, sementara kebetulan wajahnya mirip dengan A Sang. Hanya karena ini, gangguan Wu Miao terhadapnya mungkin tak akan pernah reda. 　　Daripada terus waspada terhadap berbagai strategi yang mungkin mereka lakukan, lebih baik mengambil inisiatif. Biarkan mereka menyadari betapa mengerikannya seorang imam suci yang dipaksa dengan hati tak ikhlas. 　　Tetua terdiam lama, tiba-tiba menghela napas: "Kakakmu dibawa pergi oleh orang-orangmu, bukan?" 　　Alis Jiang Si berkedut, matanya menatap Tetua. 　　Tetua tersenyum: "Walau saya tak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi melihat perhatian Permaisuri pada kakak lelakimu, ketenanganmu saat ini sebenarnya punya alasan sederhana—yakni kakakmu dibawa pergi oleh orangmu sendiri. Kau yakin betul tak ada bahaya mengancamnya." 　　Jiang Si tidak bersuara, hanya tersenyum tipis. 　　Sebagai pemimpin tertinggi suku, tentu Tetua bukan orang tanpa strategi. Adanya dugaan seperti itu tak mengherankan. 　　Dia tak takut ditebak, yang penting lawan sadar bahwa dirinya bukan bidak yang bisa dimanipulasi sesuka hati. Kerjasama harus diawali dengan sikap saling menghormati. 　　Benar, sejak menginjakkan kaki di Wu Miao, Jiang Si sudah berniat menjalin aliansi. 　　Di kehidupan lalu maupun kini, hal-hal yang tak bisa dihindari lebih baik diambil alih kendalinya. 　　Dengan dukungan Wu Miao, mungkin hari-harinya bersama A Jin di ibu kota akan lebih tenang nanti. 　　Kebijaksanaan seumur hidup membuat Tetua langsung paham maksud di balik senyuman itu. 　　Dia bangkit mendekati jendela, menatap bunga merah dan rumput hijau di luar sebentar sebelum berbalik ke rak buku. 　　Di sana terdapat meja tinggi dengan ukiran kayu berbentuk ular melingkar. 　　Lidah ular hijau itu terulur dengan sangat mirip, seolah-olah hidup. 　　Tangan Tetua memutar kepala ular. Suara 'krek' halus terdengar, lalu rak buku bergeser membuka ruang rahasia. 　　"Masuklah kalian semua." Ekspresi Tetua terlihat muram, seolah baru mengambil keputusan berat. 　　Jiang Si menaikkan alisnya perlahan, lalu melangkah masuk dengan anggun. 　　“Lihatlah, menjadi tebal muka memang ada manfaatnya. Di kehidupan sebelumnya, dia tinggal di Wu Miao hampir tiga tahun, tapi tak tahu ada ruang rahasia di sini.” 　　Tetua Hua ragu-ragu sebentar. 　　Menurut statusnya, seharusnya dia tak perlu tahu banyak. 　　Tapi setelah dipikir lagi, dia pun lega. 　　Dialah yang membawa Permaisuri Yan kembali dari ibu kota Dinasti Zhou. Beberapa rahasia yang seharusnya tak dia ketahui, mungkin memang tak bisa disembunyikan lagi. 　　Tetua Hua mengikuti Jiang Si masuk ke ruang rahasia. 　　Tetua Besar menyentuh kepala ular di dinding ruangan. Pintu rahasia menutup, cahaya remang-remang membuat wajahnya terlihat samar-samar. 　　Jiang Si menunggu dengan tenang sambil menanti Tetua Besar berbicara, ekspresinya santai. 　　Tetua Hua juga diam, tapi tanpa sebab merasa gugup. 　　Bukan urusan penting sekali, Tetua Besar tak perlu masuk ruang rahasia untuk membicarakannya. 　　Dalam suasana mencekam ini, Tetua Besar akhirnya berbicara: “Kudengar dari Tetua Hua, saat pertama bertemu, kau sudah tahu Imam Suci kami bernama A Sang?” 　　Jiang Si mengangguk. 　　“Bisakah Permaisuri ceritakan dari mana mengetahuinya?” 　　Jiang Si tersenyum: “Pangeran yang memberitahuku.” 　　“Permaisuri bisa berbicara bahasa Wu Miao dengan fasih——” 　　“Pangeran yang mengajarku.” 　　“Lalu mengapa Permaisuri menguasai ilmu mengendalikan Gu yang bahkan Imam Suci kami tak kuasai?” Tatapan Tetua Besar membara, menatap Jiang Si. 　　Hati Jiang Si berdesir. 　　Tetua Besar ternyata langsung mengakui A Sang tak menguasai ilmu Gu. Apakah akan ada pernyataan lebih mengejutkan lagi? 　　Tetua tidak menunggu Jiang Si menjawab, melanjutkan: "Jujur saja, Imam Suci dari suku kami, A Sang, sudah lama meninggal dunia." 676. BAB 675 Ramalan 　　BAB 675 Ramalan 　　Jiang Si dengan tepat menunjukkan ekspresi terkejut. 　　Harus menunjukkan sedikit reaksi, kalau tidak Tetua akan kesulitan melanjutkan pembicaraan. 　　Tetua Hua terkejut: "Tetua--" 　　Tetua melambaikan tangan, matanya tetap menatap Jiang Si: "Aku berpikir, mungkin Imam Suci yang sebenarnya adalah kau, bukan A Sang." 　　Kali ini keterkejutan Jiang Si bukan pura-pura: "Jangan bercanda, Tetua." 　　Tetua menunjuk sekitar: "Kalau ini candaan, tidak akan kubicarakan di tempat ini." 　　"Imam Suci Wu Miao adalah gadis terpilih langit, sedangkan aku orang Dinasti Zhou tulen." 　　Tetua terdiam sejenak, lalu berkata: "Darah Dinasti Zhou mengalir dalam tubuh A Sang." 　　"Apa?" Yang lebih terkejut dari Jiang Si adalah Tetua Hua. 　　Jiang Si tidak bersuara, hanya membelalakkan matanya untuk menunjukkan keterkejutan. 　　Dia tak menyangka dengan mengubah cara berinteraksi dengan Tetua, bisa mengetahui rahasia seperti ini. 　　Di kehidupan sebelumnya, dia adalah tunawisma yang menyembunyikan identitas dan hidup dalam ketakutan, sedangkan di kehidupan sekarang dia adalah Permaisuri Dinasti Zhou yang berani melakukan apapun, sehingga pilihan Tetua pun berubah. 　　Tetua menjelaskan dengan suara berat: "Nenek A Sang pernah mengunjungi Dinasti Zhou di masa muda, lalu pulang membawa bayi perempuan yang menjadi ibu A Sang... Kakek A Sang kemungkinan besar orang Dinasti Zhou, jadi darah Dinasti Zhou mengalir dalam tubuh A Sang..." 　　Hal ini tidak diketahui oleh Tetua Hua, namun Tetua An mengetahuinya. 　　Karena mengetahui hal ini, setelah A Sang menunjukkan bakat yang kurang memuaskan, Tetua An mulai meragukan bahwa A Sang bukanlah Imam Suci Terpilih sejati, melainkan hasil rekayasa Tetua untuk menenangkan rakyat. 　　Sejujurnya, hati Tetua juga pernah goyah, namun ia sama sekali tidak bisa menerima pandangan Tetua An. 　　Sudah satu generasi posisi Imam Suci kosong di bawahnya. Ia masih bisa menunggu hingga generasi ketiga Imam Suci dewasa. Namun jika kosong lagi satu generasi, setelah ia meninggal, Wu Miao akan mengalami kekacauan. 　　Baik Tetua maupun Tetua An, keduanya bekerja untuk kepentingan Wu Miao. Hanya karena perbedaan prinsip, konflik terus terjadi. 　　Jiang Si mendengarkan dengan tenang hingga Tetua selesai bicara, lalu berkata dengan tenang: "Menurut penuturan Tetua, nenek dari pihak ibu A Sang dan kedua orangtuanya adalah orang Wu Miao. Meskipun kakek dari pihak ibu berdarah Zhou, persentase darah Dinasti Zhou dalam diri A Sang sangat sedikit. Tidak mengherankan ia menjadi Imam Suci Terpilih. Sedangkan saya asli orang Zhou, bagaimana mungkin menjadi Imam Suci Terpilih Wu Miao?" 　　Tetua terdiam lama, nadanya tidak terlalu meyakinkan: "Mungkin ada kesalahan dalam prosesnya. Bisa jadi Dewata memilih Imam Suci tidak terbatas pada Wu Miao. Kalau tidak, bagaimana menjelaskan kekosongan posisi Imam Suci sebelum generasi A Sang?" 　　Jiang Si tertawa getir: "Maksud Tetua, Dewata sudah bosan melihat anak sendiri, lalu mulai mengagumi anak orang lain?" 　　Sudut bibir Tetua berkedut, merasa sangat helpless dengan pernyataan Jiang Si ini. 　　"Bagaimanapun, karena kau telah menguasai ilmu mengendalikan Gu, maka kaulah Imam Suci yang sejati. Ketahuilah bahwa dalam sejarah Suku Wu Miao, hanya Imam Suci yang bisa menguasai ilmu ini." Tetua berbicara dengan tegas. 　　Imam Suci generasi baru yang benar-benar menguasai ilmu mengendalikan Gu berarti tugas Tetua telah selesai, sekalipun terjadi hal tak terduga tak perlu khawatir lagi. 　　Tatapan Tetua pada Jiang Si teramat rumit. 　　Kemunculan Imam Suci sejati seharusnya menjadi kabar gembira, tapi mengapa harus wanita dari Dinasti Zhou? 　　Jiang Si bersikap dingin, jelas tidak menyetujui pernyataan Tetua. 　　Melihat ini, Tetua akhirnya membuka rahasia lain: "Alasan dugaan ini juga terkait tiga ramalan yang ditinggalkan Tetua Agung sebelum wafat." 　　Tetua Hua terkejut. 　　Tiga ramalan peninggalan Tetua Agung? 　　Rupanya masih banyak rahasia suku yang bahkan tidak diketahui olehnya sebagai seorang tetua. 　　Tetua sepertinya membaca pikiran Tetua Hua, menghela napas: "Wajar jika kau tidak tahu. Tiga ramalan Tetua Agung terkait kelangsungan hidup suku kita, hanya segelintir orang yang mengetahuinya." 　　Saat mengatakan ini, wajah Tetua mendadak muram. 　　Rahasia sepenting ini bahkan tidak banyak diketahui tetua suku, tapi justru kemungkinan besar telah diketahui Suku Xue Miao... 　　Jiang Si bertanya: "Apakah Tetua Agung adalah pendahulu Anda?" 　　Meski pertanyaan ini retoris, tetap harus diajukan. Jika tidak, Tetua akan semakin yakin dirinya adalah Imam Suci sejati. 　　Tetua mengangguk: "Benar. Tetua Agung ahli ilmu ramal, pernah meramalkan tiga hal terkait kelangsungan Suku Wu Miao. Salah satunya adalah——" 　　Ia menatap Jiang Si dalam-dalam sebelum berkata, “Putra Ketujuh Naga akan membawa cahaya fajar, mengusir kegelapan Wu Miao.” 　　Hati Jiang Si berdebar kencang. 　　Suara Tetua bergema redup di ruang rahasia, “Di seluruh dunia, hanya Dinasti Zhou yang menganggap naga sebagai simbol Kaisar. Putra Ketujuh Naga pastilah Pangeran Ketujuh Zhou, yaitu suamimu Sang Permaisuri Yan, Pangeran Yan.” 　　“Lalu?” Ekspresi Jiang Si tetap datar tanpa perubahan. 　　Tetua menatapnya beberapa saat, lalu berucap perlahan, “Pangeran Yan pernah menyelamatkan A Sang. Awalnya kukira ini menggenapi ramalan Tetua Tertinggi, tapi kemudian A Sang tewas... Sedangkan kau yang menjadi Permaisuri Yan tidak hanya memiliki kecantikan mirip A Sang, tapi juga menguasai ilmu mengendalikan Gu...” 　　Jiang Si membisu. 　　Di balik ketenangannya, gejolak hati mengamuk tak karuan. 　　A Jin pernah menyelamatkan A Sang? 　　Pantas saja A Jin tahu tentang kematian A Sang dan banyak ilmu gaib... 　　Jiang Si mulai merindukan gunting yang tertinggal di istana pangeran. 　　“Baik, aku tak keberatan menjadi Imam Suci.” Ucapnya santai setelah meredakan gejolak. 　　Kesigapannya justru membuat Tetua tertegun sejenak. 　　“Apa dua ramalan lainnya?” 　　Tetua menggeleng, “Dua ramalan itu belum pantas kau ketahui, kecuali kau bersedia tinggal permanen sebagai Imam Suci sejati Wu Miao.” 　　Tentunya Jiang Si tak mungkin memenuhi syarat itu. 　　“Apakah Anda sementara mengurungkan niat untuk menyelidiki dua ramalan lainnya?” tanyanya sambil tersenyum. “Kalau begitu, mari kita bahas kerja sama.” 　　“Kerja sama?” Ekspresi Tetua berubah aneh. 　　Jiang Si mengangguk ramah. “Ya, kerja sama akan menguntungkan kedua belah pihak. Bagaimana pendapat Tetua?” 　　“Coba jelaskan cara kerja samanya.” 　　“Suku Wu Miao membutuhkan seorang Imam Suci, sementara saya adalah Permaisuri Dinasti Zhou yang tak bisa tinggal di sini terus-menerus. Bagaimana jika begini: saat suku membutuhkan kehadiran Imam Suci, saya akan berusaha memenuhi, sedangkan di waktu biasa saya tetap menjalankan peran sebagai permaisuri. Masa berlaku ini berlangsung hingga suku memiliki Imam Suci baru.” 　　“Apa yang harus kami lakukan?” Tetua menanyakan inti persoalan. 　　Dia sudah menyadari bahwa berbeda dengan A Sang yang luhur dan tak bernoda, Permaisuri Yan dari Dinasti Zhou ini tidak mudah ditipu. 　　Setiap keuntungan pasti ada pengorbanannya. Tinggal dilihat apakah syarat yang diajukan Permaisuri Yan bisa diterimanya. 　　Jiang Si memandang Tetua lalu Tetua Hua, berkata datar: “Di masa biasa tak perlu melakukan apapun. Jika saya dan Pangeran menghadapi masalah tak terhindarkan, harap Suku Wu Miao membantu kami melewati kesulitan.” 　　Setelah merenung sejenak, Tetua mengangguk khidmat: “Baik.” 　　Setelah menyetujui, tangannya mengeluarkan sebuah token kecil: “Ini Token Imam Suci. Begitu kamu menghadapi masalah, kirimkan token ini ke Suku Wu Miao, dan kami akan memberikan bantuan penuh.” 　　Jiang Si menerima Token Imam Suci yang sangat bermakna ini, merasa perjalanan ini sangat sukses. 　　Tak lama kemudian, Tetua menerima kabar ada orang membawa Token Imam Suci ingin bertemu. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, sampai jumpa besok. 677.BAB 676 Mengarungi Lautan Cuka 　　BAB 676 Berenang di Lautan Cuka 　　Mendengar kabar ini, hati Tetua dipenuhi kebingungan: Kapan perintah Imam Suci Wu Miao menjadi begitu tidak berharga? 　　Saat melihat pemuda yang meminta audiensi, Tetua segera tersadar: "Oh, ternyata Yang Mulia Pangeran yang datang." 　　Orang yang membawa perintah Imam Suci itu tak lain adalah Yu Jin. 　　Yu Jin pernah menyelamatkan A Sang, kemudian beberapa kali mengunjungi Wu Miao. Bahkan ketika A Sang menderita akibat mempelajari ilmu mengendalikan Gu dan ingin bertemu Yu Jin sebelum ajalnya, Tetua menyetujui. 　　Masalah Imam Suci adalah urusan besar. Tak hanya harus dirahasiakan dari orang Dinasti Zhou, bahkan dari kerabat suku sendiri. Namun saat itu Tetua tetap mengabulkan permintaan A Sang setelah berpikir panjang. 　　Saat itu Tetua belum tahu tentang keberadaan Jiang Si. Memandangi A Sang yang sekarat, dia hanya bisa berharap seperti ramalan Tetua Tertinggi: Mungkin pertemuan A Sang dengan Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou bisa menghidupkannya kembali? 　　Tentu saja, akhirnya A Sang tetap meninggal. 　　Tapi Tetua tak pernah meragukan ramalan Tetua Tertinggi. 　　Tetua Tertinggi bukan hanya guru spiritual Tetua, tapi juga ahli ramal terhebat di antara para Imam Suci Wu Miao, yang telah berkali-kali menyelesaikan masalah suku dengan ilmu ramalnya. 　　Ternyata ramalan itu terwujud di sini. 　　Tetua memandang pemuda bermata tajam itu, menghela napas dalam hati. Tak heran mengapa dia memegang perintah Imam Suci. 　　Dulu, A Sang juga pernah menaruh hati pada Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou ini. Sayang nasib gadis itu malang, tak seberuntung Nyonya Jiang. 　　Saat ini, Tetua Besar sangat ingin menanyakan apa sebenarnya perasaan Yu Jin terhadap A Sang, tapi akhirnya menelan kembali kata-katanya. 　　Orangnya sudah tiada, tak ada gunanya bertanya lebih banyak. Jika Permaisuri Yan yang garang itu mengetahui, jangan-jangan dia marah dan mengundurkan diri, nanti Tetua Besar menangis pun tak ada tempat. 　　Tetua Besar Wu Miao yang biasanya diagungkan dan berkuasa, kini merasakan betapa menyiksanya dipermainkan oleh orang lain. 　　"Ada keperluan apa Pangeran datang kemari?" Meski tahu maksud kedatangan Yu Jin, Tetua Besar tetap bertanya demikian. 　　Yu Jin melirik orang yang berdiri di samping Tetua Besar. 　　"Kalian semua mundur." 　　Melihat orang-orang yang tak berkepentingan telah pergi, Yu Jin mendorong Lencana Imam Suci ke depan sambil tersenyum: "Lencana Imam Suci kembali utuh. Aku akan membawa permaisuriku pulang." 　　Tetua Besar menerima lencana itu, mengangguk perlahan: "Baik." 　　Ekspresi tenang di wajah Yu Jin tiba-tiba retak, terlihat bengong sejenak. 　　Apakah pendengarannya salah? 　　Tetua Besar tak jelas mengapa ingin tertawa, membersihkan tenggorokannya lalu bertanya: "Apakah Pangeran akan membawa Permaisuri pergi sekarang, atau mau makan siang dulu?" 　　"Hah?" Yu Jin semakin bingung. 　　Situasi apa ini? Jangan-jangan yang dihadapannya ini Tetua Besar Wu Miao palsu? 　　Demi segera membawa istrinya pergi dari Wu Miao, dia sudah mempersiapkan banyak hal, bahkan diam-diam menanam bahan peledak. Tinggal menunggu penolakan dari orang Wu Miao untuk bertindak. Tapi kini Tetua Besar hanya menjawab "baik"? 　　Pasti ada konspirasi! 　　Yu Jin tiba-tiba menjadi tegang. 　　“Di mana istri saya sekarang?” 　　Tetua sedikit mengerutkan kening: “Saat ini seluruh kerabat menganggap Permaisuri sebagai Imam Suci. Tidak pantas bagi Pangeran bertemu Permaisuri di sini.” 　　Sorot mata Yu Jin menjadi dingin, dalam hati ia menyeringai sinis. 　　Ternyata ada udang di balik batu! 　　“Begini saja, Pangeran bisa mengikuti A Lan diam-diam ke tempat tinggal Imam Suci untuk menemui Permaisuri.” 　　Yu Jin: “……” 　　Pangeran Ketujuh yang penuh kewaspadaan akhirnya bertemu Jiang Si di kediaman Imam Suci. 　　Melihat sorot mata asing pria itu, Jiang Si mengerutkan alis: “Baru sebentar pergi dari rumah, apa kau sudah melupakan istrimu?” 　　Mata Yu Jin berbinar, spontan berseru: “A Si, benarkah ini dirimu?” 　　“Lalu siapa lagi?” Jiang Si melirik Yu Jin penuh makna. Mengingat pertolongan pria ini menyelamatkan A Sang, ditambah tahu begitu banyak rahasia Wu Miao bahkan memiliki Lencana Imam Suci, dadanya mendidih. 　　Tentu di sini ia tetap bisa menahan diri. Masalah gunting ini akan dihitung setelah pulang. 　　“Aku kira——” Yu Jin dengan tajam menangkap aroma bahaya, pura-pura tertawa kaku, “A Si, apa orang-orang Wu Miao menyusahkanmu?” 　　“Tidak.” 　　“Apakah mereka benar-benar akan melepasmu pergi?” 　　Jiang Si berpikir sejenak: “Awalnya tidak ingin pergi. Tapi karena sudah berunding baik, lebih cepat pulang merayakan tahun baru juga tak apa.” 　　Yu Jin tertegun: “Apa maksudmu tidak ingin pergi?” 　　Jiang Si tersenyum: "Aku melihat Tetua punya niat untuk menahanku sebagai Imam Suci palsu. Lebih baik aku ambil inisiatif, biarkan mereka paham bahwa seorang Imam Suci yang tak terkendali lebih menakutkan daripada tanpa Imam Suci. Lebih mudah memanggil dewa daripada mengusirnya." 　　Yu Jin tiba-tiba diam membisu. 　　"Ada apa?" Jiang Si mendorongnya sambil tersenyum. 　　Yu Jin mengusap wajahnya sambil menghela nafas: "A Si, kau sudah menyelesaikan semuanya. Aku merasa seperti sia-sia berjuang." 　　Bukannya sudah janji akan marah membara dan menyelamatkan istri dari bahaya? 　　Semuanya berjalan lancar sampai-sampai rasanya seperti meninju kapas. Bahkan kegembiraan pun tak terasa. 　　Jiang Si meliriknya dengan senyum samar: "Siapa bilang sia-sia? Bukankah kau sudah mengembalikan Lencana Imam Suci dengan utuh?" 　　Yu Jin merinding, terkekeh gelagapan tak berani bersuara. 　　"Omong-omong, sudah bertemu Kakak Keduaku?" 　　"Iya, bersama Long Dan dan yang lain." 　　Jiang Si mengungkapkan keraguannya: "Awalnya sepakat menggunakan kembang api sebagai sinyal, tapi Long Dan menyusup masuk tanpa menghubungiku lalu menyelamatkan Kakak Kedua—" 　　Kapan Long Dan jadi sehebat ini? 　　Yu Jin terkejut: "Jiang Zhan bukan diselamatkan Long Dan." 　　Jiang Si tertegun. 　　"Long Dan dan Lao Qin berjaga di luar sambil mencari kesempatan menyusup, tapi malah menemukan Jiang Zhan keluar sendiri. Menurut Jiang Zhan, yang membawanya keluar adalah seorang pemuda." 　　Jiang Si sangat terkejut: "Seorang pemuda menyelamatkan Kakak Kedua? Bagaimana ini bisa terjadi?" 　　Yu Jin tersenyum pasrah: "Jiang Zhan sendiri tidak bisa menjelaskan dengan jelas, tanyakan saja langsung padanya saat kau bertemu." 　　Dengan pertanyaan mengganjal ini, Jiang Si tak berniat berlama-lama, segera berpamitan pada Tetua. 　　Tetua telah mempersiapkan jawaban: "Pangeran membawa pergi Imam Suci di depan umum tidaklah pantas. Lebih baik Pangeran pergi dulu, biarkan Permaisuri menyamar sebagai A Hua untuk pergi diam-diam agar tidak menarik perhatian." 　　Jiang Si mengangguk setuju. 　　Yu Jin terlihat ragu sejenak. 　　Awalnya merasa proses membawa A Si terlalu mudah, jangan-jangan Tetua ingin menyingkirkannya dulu baru menyulitkan A Si? 　　Tetua sepertinya membaca pikiran Yu Jin, menatap Jiang Si dalam-dalam: "Pangeran tak perlu khawatir, hamba tak akan menahan Permaisuri. Lagi pula Permaisuri sudah bilang jika tidak dituruti, dia akan mengungkapkan kekaguman pada Kepala Suku Xue Miao di depan umum." 　　Ekspresi Yu Jin tetap netral, namun sorot matanya mengeras: "Oh, ada hal seperti itu?" 　　Jiang Si menghela napas dalam hati. 　　Tak disangka Tetua yang sudah sepuh ini sifat balas dendamnya cukup kuat. 　　Setelah hening sejenak, Yu Jin bertanya: "Kepala Suku Xue Miao belum diganti? Masih pria paruh baya bermulut kodok dan bermata kacang hijau itu?" 　　Sudut bibir Tetua berkedut, lama baru bisa menjawab dengan ekspresi normal: "Masih Kepala Suku Xue Miao yang pernah Pangeran temui." 　　Di mata banyak orang, Kepala Suku Wu Miao bisa dibilang pria tampan yang berwibawa. Apakah Pangeran Yan tidak merasa bersalah mengatai keluarga seperti ini? 678.BAB 677 Penginapan 　　BAB 677 Penginapan 　　Bersalah? 　　Yu Jin tentu tidak tahu apa itu. Ia diam-diam mengingat ciri-ciri si bejat bermulut kodok dan bermata kacang hijau itu, lalu lebih dulu meninggalkan Wu Miao. 　　Saat ini, Kepala Suku Wu Miao bermulut kodok dan bermata kacang hijau itu mendapat kabar kunjungan Yu Jin ke Wu Miao. Wajahnya muram seketika, tangan menghantam keras sandaran kursi. "Sialan!" 　　Orang kepercayaan di sampingnya, seorang pria paruh baya, mencoba menenangkan. "Jangan marah, Kepala Suku. Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou berani datang, pasti akan kita habisi!" 　　Kepala Suku Wu Miao tersenyum sinis. "Benar! Awalnya kukira setelah kembali ke ibu kota Dinasti Zhou, itu seperti melepas harimau ke gunung. Pasukan kita berkali-kali terpukul mundur hingga akhirnya harus menghentikan sementara rencana. Tapi siapa sangka, alih-alih tinggal tenang di ibu kota, dia malah kembali ke Perbatasan Selatan." 　　Mustahil Kepala Suku Wu Miao tidak marah. 　　Ramalan tentang Putra Naga Ketujuh itu memang dia ketahui, sayangnya terlambat. Saat itu Pangeran Ketujuh berada di dalam pasukan Dinasti Zhou, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Setelah kembali ke ibu kota, semakin sulit dijamah. 　　Karena masih ragu-ragu dengan ramalan itu, setelah beberapa kali gagal mencoba, dia memilih berhenti. Tapi siapa sangka, Imam Suci yang dikabarkan sudah meninggal ternyata muncul di Festival Api Baru, menggunakan ilmu mengendalikan Gu untuk menggentarkan semua pihak. 　　Di saat genting seperti ini, Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou muncul lagi di sini. 　　Kalau disebut kebetulan, sama sekali tidak dia percaya. 　　“Ramalan Tetua Tertinggi Wu Miao itu benar, Putra Ketujuh Naga-lah kunci yang membawa cahaya fajar bagi Wu Miao!” 　　“Mereka sulit bertindak terhadap Imam Suci Wu Miao, tapi lebih mudah menangani Pangeran Ketujuh yang datang sendirian dengan diam-diam ke Perbatasan Selatan.” 　　“Jika orang yang membawa cahaya fajar bagi Wu Miao mati, apa yang akan terjadi pada Wu Miao?” 　　“Bagaimanapun juga, ini perubahan baik bagi Suku Xue.” 　　“Suku Xue telah menahan diri puluhan tahun, bukan untuk hanya menyaksikan kebangkitan kembali Wu Miao.” 　　“Atur strategi, pastikan nyawa Pangeran Ketujuh dipertahankan.” 　　Orang kepercayaan segera menjawab: “Baik.” 　　Sementara itu, Jiang Si telah menyamar kembali menjadi A Hua, berdiri di hadapan Tetua. 　　“Tetua, saya pergi.” 　　Tetua menatap dalam-dalam Jiang Si, lama tak bersuara. 　　Jiang Si tak terburu-buru, menunggu dengan tenang. 　　“Pergilah.” Akhirnya Tetua hanya mengucapkan dua kata ini, terlihat kurang semangat. 　　Wajar merasa kurang semangat, ini sama sekali berbeda dengan yang ia bayangkan semula. 　　Awalnya sudah siap menanggung dosa melanggar janji demi menahan Permaisuri Yan, tapi tak disangka kini malah gelisah dan takut, hanya berharap Permaisuri Yan tidak bertindak sembarangan dengan status sebagai Imam Suci. 　　Melihat rambut perak Tetua, Jiang Si merasa iba, sedikit membungkuk: “Kalau begitu saya pergi. Jika ada masalah di sini, Tetua bisa mengirim kabar padaku.” 　　Yang mengantar Jiang Si keluar desa suku tetap adalah Tetua Hua. 　　“Di tempat sepi, Tetua Hua menasihati, ‘Tuan lebih baik menghilangkan penyamaran setelah melewati wilayah Perbatasan Selatan. Jika tidak, jika jejak ditemukan oleh suku-suku lain, akan kurang baik.’” 　　Terlepas apakah orang di depan mata ini adalah A Sang atau bukan, selama sudah diakui oleh Tetua, maka dia adalah Imam Suci Suku Wu Miao. Karena itu, sikap Tetua Hua terhadap Jiang Si mulai berubah. 　　“Tenang saja, Tetua Hua. Saya tahu batas.” 　　Setelah berpamitan dengan Tetua Hua, Jiang Si langsung menuju penginapan kecil tempat mereka menginap sebelumnya. 　　Yu Jin dan yang lainnya sedang menunggunya di sana. 　　Ketika Jiang Si sudah cukup jauh, seorang pemuda mengintip diam-diam dan mulai mengikuti. 　　Dia tidak berani mendekat, tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi dia harus mencari tahu misteri dua “A Hua” ini. 　　A Hua yang menyelamatkannya telah digantikan oleh A Hua yang galak. Apakah A Hua penyelamatnya dalam bahaya? 　　Pemuda itu tidak tahu teori mulia “membalas budi selaut dengan gunung”, tapi dia sedang melakukannya melalui tindakan nyata. 　　Jiang Si hampir-hampir tidak sabar saat tiba di penginapan. 　　“A Jin, ini aku.” 　　Yu Jin yang berdiri di luar tersadar, mengangguk halus, lalu masuk terlebih dahulu. 　　Jiang Si menyusul sambil berbisik, “Di kamar mana Kakak Keduaku?” 　　“Di sebelah sini.” 　　Kamar Jiang Zhan bersebelahan dengan Long Dan. Baru sampai di depan pintu, Jiang Si sudah mendengar suara tertawa dari dalam. 　　Yu Jin masuk lebih dulu sambil tersenyum, “A Si sudah datang.” 　　Jiang Zhan langsung bersemangat, buru-buru menyambut. 　　Seorang gadis muda berjalan menghampiri. 　　“Jiang Zhan membelalakkan matanya, lalu refleks berbalik dan berlari.” 　　Jiang Si berteriak dengan putus asa: “Kakak Kedua, ini aku.” 　　Saat bertemu Kakak Kedua dalam wujud Ahua di Wu Miao, dia tidak berbicara karena khawatir Kakak Kedua akan menunjukkan kejanggalan. 　　Entah apa kesalahpahaman yang terjadi, sampai-sampai Kakak Kedua ketakutan begitu melihat Ahua. 　　“Empat... Adik Keempat?” Suara Jiang Zhan serak, wajahnya pucat bagai melihat hantu. 　　“Kenapa reaksimu begitu? Lukamu sudah membaik?” Jiang Si melangkah mendekat, nada bicaranya penuh perhatian. 　　Jiang Zhan mundur, wajah penuh kengerian: “Adik Keempat, kenapa kau berubah jadi begini?” 　　Dari suara masih bisa dikenali sebagai adik kandungnya, tapi mengapa Adik Keempat berubah menjadi Ahua? 　　Jiang Si tersenyum: “Di Wu Miao ada seorang nona bernama Ahua. Aku menyamar sebagai dirinya untuk memudahkan urusan.” 　　Jiang Zhan menoleh, memandang Long Dan dengan bingung. 　　Long Dan tidak memberitahunya soal ini! 　　Long Dan dipandangi dengan wajah polos. 　　Ia juga tidak tahu bagaimana Permaisuri akan bertindak setelah menyusup ke Wu Miao, tentu tidak bisa sembarangan bicara. 　　“Lalu... nona Ahua yang merawatku itu——” 　　Jiang Si berkasa santai: “Itu Ahua yang asli. Ahua yang pertama kali kau temui adalah aku.” 　　Wajah tampan Jiang Zhan bergetar, ia berbicara perlahan: “Pertemuan pertama itu... Adik Keempat?” 　　Jiang Si mengangguk, meliriknya: “Bukannya Kakak Kedua mengeluh nama Ahua tidak sebagus Alan? Kenapa malah minta dirawat Ahua kemudian?” 　　Jiang Zhan wajah putus asa: “Mungkin lukanya terlalu parah, jadi agak linglung.” 　　Suara tiba-tiba terdengar. 　　Jiang Si melihat ke arahnya. 　　Long Dan segera menyembunyikan senyumnya, memaksakan ekspresi serius. 　　Jiang Zhan sudah penuh amarah, muncul keinginan untuk membungkam Long Dan. 　　Bodohnya dia, saat Long Dan bertanya bagaimana dia kabur, dia malah cerita tentang nona yang merawatnya sampai linglung karenanya. 　　Jiang Zhan hampir ingin menampar dirinya sendiri. 　　Tidak bisa berhenti membual, ya? Sekarang kecolongan... 　　“Bagaimana Kakak Kedua meninggalkan Wu Miao?” Jiang Si merasa reaksi Jiang Zhan aneh, tapi terlalu banyak pertanyaan sehingga mengabaikannya. 　　Jiang Zhan menceritakan kisah aneh saat meninggalkan Wu Miao. 　　Jiang Si melirik Long Dan dan Lao Qin: “Bisa mengenali dua A Hua, sepertiku tahu siapa dia.” 　　Long Dan menyela: “Apakah itu pemuda yang kita tolong di jalan?” 　　Jiang Si mengangguk: “Seharusnya dia.” 　　“Kalian menyelamatkan para gadis di perjalanan?” Yu Jin tiba-tiba tertarik. 　　Long Dan tertawa: “Sebenarnya bukan anak-anak, pemuda 15-16 tahun yang bisa mengusung mayat.” 　　Yu Jin melirik Jiang Si, berkata datar: “Oh.” 　　Ada Kepala Suku Xue Miao, ada pemuda pengusung mayat, A Si-ku memang hebat. 　　Jiang Si diam-diam mencubit Yu Jin, memberi isyarat agar dia menahan rasa cemburu yang tak masuk akalnya, lalu berkata, "Kakak Kedua, ceritakan pengalamanmu. Ayah dan yang lain mengira kau telah celaka, mereka sangat sedih." 　　Ekspresi Jiang Zhan langsung berubah dingin, senyumannya menghilang. 679.BAB 678 Bencana dan Keberuntungan 　　BAB 678 Bencana dan Keberuntungan 　　Jiang Zhan meletakkan tangan di atas meja kayu mahoni, menggenggam erat sambil berkata kata demi kata, "Ada pengkhianat di pihak Dinasti Zhou!" 　　Wajah Jiang Si berubah pucat, "Apa Kakak Kedua dijebak orang?" 　　Jiang Zhan mengangguk, "Saat itu aku sedang bertarung dengan musuh, awalnya kami unggul. Tiba-tiba ada panah dari belakang yang membuatku terpukul hingga jatuh ke sungai..." 　　"Jadi Kakak tak tahu siapa yang melepaskan panah itu?" Amarah membara, tapi raut wajah Jiang Si justru semakin tak terbaca. 　　Jiang Zhan kesal memukul meja, "Kalau ketahuan siapa pelakunya, aku pasti menghabisi dia!" 　　"Aku akan menyelidiki hal ini," ujar Yu Jin. 　　Jiang Zhan masih geram, tapi setelah dipikir-pikir tak ada yang pernah dia musuhi di selatan, akhirnya menghela nafas, "Baiklah, kuserahkan pada Pangeran. Tolong beritahu jika pelakunya ketahuan." 　　"Tentu saja." Yu Jin menepuk lengan Jiang Zhan, "Jangan terus-terusan memikirkannya. Bencana dan keberuntungan selalu berdampingan, sulit dipisahkan." 　　Jiang Zhan mengernyit, "Aku hampir tewas dijebak orang, masa ini disebut beruntung?" 　　"Dalam pertempuran di Sungai Jishui, Pasukan Zhou hampir musnah seluruhnya," kata Yu Jin. 　　Yang dimaksud dengan Pasukan Zhou dihancurkan total tentu bukan berarti semua prajurit Zhou gugur. Dalam setiap pertempuran, kedua belah pihak tidak mungkin mengerahkan semua pasukan sekaligus, melainkan mengirim sebagian prajurit untuk bertempur. 　　Ketika Yu Jin menyebut Pasukan Zhou hampir dihancurkan total, yang dia maksud adalah pasukan yang dikerahkan ini. 　　Jiang Zhan langsung terdiam. 　　Dia memahami maksud Yu Jin. 　　Hampir semua pasukan kita dihancurkan. Andai saat itu aku tidak tercebur ke Sungai Jishui tetapi terus bertarung, mungkin nasibku akan berakhir dibungkus kulit kuda. 　　Tidak, pasti akan berakhir dibungkus kulit kuda. 　　Dalam situasi seperti itu, bertarung sampai akhir tanpa mundur adalah pilihan yang pantas bagi seorang prajurit. 　　Tapi aku lebih memilih mati bersama rekan-rekan seperjuangan. 　　Mengenang wajah-wajah rekan sejawat itu, yang muda maupun tua, saling bergantian muncul di benaknya. Sudut mata Jiang Zhan tanpa sadar membasah. 　　Saat ini, bahkan di hadapan Jiang Si dan yang lain, dia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Mengusap mata dengan punggung tangan, suaranya serak: "Aku punya banyak teman... Ada yang bernama Tie Dan, selalu minta tolong carikan istri. Lainnya bernama A Shan, suka pamer punya anak lelaki dan perempuan. Tapi bodohnya, dia tak tahu berapa bulan istri mengandung sebelum melahirkan. Adik Keempat, waktu itu kami sampai berdebat wajah memerah dan leher tegang..." 　　Semakin diceritakan, Jiang Zhan semakin banjir air mata. 　　Semuanya mati, semua orang ini sudah tiada. 　　Tangannya menggenggam erat hingga urat-urat di punggung tangan menonjol. 　　Tangan itu tidak lagi seperti tangan seorang tuan bangsawan dalam ingatan Jiang Si, melainkan telah menjadi kasar dan penuh luka. 　　Semua orang terdiam. 　　Setelah lama, Jiang Zhan mengumpulkan kembali perasaannya dan tersenyum lebar: "Pangeran benar, aku adalah orang yang beruntung." 　　Ia menatap Jiang Si dengan sikap agak merendah: "Adik Keempat, kurasa setelah selamat dari bahaya besar, pasti ada keberuntungan besar menanti—" 　　Jiang Si meliriknya dingin: "Kalau Kakak Kedua ingin kembali ke medan perang nanti, tak perlu berdiskusi denganku. Cukup dapatkan izin Ayah." 　　Kakak Kedua bukan lagi pemuda berandalan yang hidup tanpa tujuan, melainkan telah tumbuh menjadi pria yang peduli pada keluarga dan negara. 　　Meski tak ingin, beberapa hal tak bisa dihalangi secara paksa. Tapi setelah kejadian menegangkan ini, aku benar-benar takut... 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, berkata pada Jiang Zhan: "Masih terlalu dini memikirkan ini. Kembali ke Ibu Kota dulu. Selama pelaku penyeranganmu belum tertangkap, aku tak menyarankanmu kembali ke medan perang." 　　Jiang Er ini sungguh menyebalkan, selalu membebani A Si dengan masalah seperti ini. Bagaimana jika terjadi sesuatu lagi nanti? Apa A Si bisa tenang? 　　Intinya, Jiang Er butuh seorang istri. Cepat menikahlah, urusan seperti ini harusnya didiskusikan dengan istrimu sendiri. 　　Jiang Zhan tersenyum canggung: "Tentu saja kita kembali ke Ibu Kota dulu." 　　Katanya seluruh ibu kota sudah mengira aku tewas. Jika tak segera kembali, mungkin makam simbolisku akan didirikan. 　　"Beristirahatlah semalam, besok kita berangkat." Setelah berkata demikian, Yu Jin segera menarik tangan Jiang Si pergi. 　　Long Dan melirik langit dan bergumam pelan, "Istirahat sekarang apakah tidak terlalu cepat?" 　　Yu Jin melirik dingin ke arah Long Dan. 　　Long Dan merinding, lalu segera tersenyum, "Ah, memang sudah lelah. Tuan Kedua, apakah Tuan ingin beristirahat?" 　　Jiang Zhan terlihat bingung. 　　Istirahat? Dia tidak lelah, masih banyak yang ingin dibicarakan dengan adiknya. 　　Saat Jiang Zhan sadar, Jiang Si sudah ditarik pergi oleh Yu Jin. 　　Setelah mengunci pintu, Yu Jin ingin memeluk Jiang Si, tetapi ragu melihat wajah asing itu. "A Si, lebih baik kau hapus dulu penyamaran wajahmu." 　　"Hm." Jiang Si mengeluarkan salep obat khusus, lalu perlahan menghapus penyamaran menggunakan cermin linghua sebesar telapak tangan. 　　Meski Tetua Hua menyarankan menunggu sampai meninggalkan Perbatasan Selatan, dia tidak berniat melakukannya. 　　Tetua Hua dan A Hua masuk daftar buruan Jinlinwei. Penampilan aslinya di sini tidak pantas, menggunakan wajah A Hua untuk bertemu A Jin juga berisiko. 　　Paling aman adalah menjadi orang yang tidak ada di dunia. 　　Yu Jin memandangi penampakan asli Jiang Si dengan antusias, tapi segera tangan putih itu mengolesi wajahnya menjadi orang lain. 　　Seorang pemuda... pemuda? Yang tampak bersih tapi tidak mencolok. 　　Yu Jin tertegun, "A Si, kenapa kau ubah dirimu seperti ini?" 　　Jiang Si tersenyum manis, "Mirip tidak?" 　　“Dia tidak terlalu mahir dalam seni menyamar, ingin seperti Tetua Hua yang bisa membuat seseorang mirip 80-90% dengan orang lain itu agak sulit, tapi mengubah fitur wajah secara alami untuk menjadi seseorang yang tidak pernah ada di dunia ini tidaklah sulit.” 　　“Dengan penampilannya sekarang yang mengenakan pakaian pria, tidak perlu khawatir dilihat siapa pun.” 　　“Setelah penyamaran dihilangkan, siapa yang bisa menemukan orang yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia ini?” 　　“Apa terlalu mirip pemuda, kau sampai terdiam?” Jiang Si mendorong Yu Jin sambil tertawa melihatnya tidak bereaksi. 　　“Mirip…” jawab Yu Jin dengan perasaan campur aduk. 　　“Dia merasa bisa mencoba mencium A Si yang memakai wajah gadis asing, tapi sekarang——” 　　Yu Jin hanya bisa tersenyum getir, mengubur niat mesra dan beralih ke urusan resmi: “Masalah Jiang Zhan yang dijebak diam-diam, selama beberapa hari ini aku sudah menemukan beberapa petunjuk.” 　　Wajah Jiang Si berubah serius: “Ada petunjuk?” 　　Yu Jin mengangguk: “Dari orang yang diam-diam melindungi Jiang Zhan, satu selamat. Dari mulutnya aku tahu identitas penembak curang, seorang prajurit biasa bernama Huang Qi asal Hedong, status permukaannya normal, tapi perlu penyelidikan lebih lanjut di ibu kota.” 　　“Asal ada petunjuk. Ikuti jejaknya, pasti akan ketemu sesuatu.” 　　“Ya, aku curiga dalang di balik jebakan ini sebenarnya menarget kita, jadi sementara jangan beri tahu Jiang Zhan agar tidak membuatnya bertingkah aneh di ibu kota dan membuat ular berbisa kabur.” 　　Jiang Si menganggukkan kepala, menjelaskan dengan singkat perjanjiannya dengan Tetua Besar Wu Miao, lalu berkata: "Aku tidak menyebutkan soal Dayang Duo kepada Tetua karena khawatir akan membuat ular berbisa kabur. Tujuan kedatangan Tetua Hua dan Dayang Duo ke ibu kota mungkin terkait dua ramalan lain yang tidak ingin diungkapkan Tetua Besar." 680.BAB 679 Krisis Malam Gelap 　　BAB 679 Krisis Malam Gelap 　　Jiang Si memiliki firasat bahwa jika mengetahui isi dua ramalan lainnya, mungkin bisa mengungkap rahasia ulah Dayang Duo yang mengacau di istana. 　　Namun dia tidak bisa menanyakan hal ini kepada Tetua Besar. 　　Meski dia dan A Jin mengetahui masalah Dayang Duo, Tetua Besar tidak tahu bahwa mereka mengetahuinya. 　　Hati-hati terhadap orang lain itu perlu. Perasaan Jiang Si terhadap Tetua Besar sangat kompleks: ada rasa hormat, rasa syukur, tapi juga kewaspadaan. 　　Bahkan dia mulai berpikir, mungkin pengalaman hidupnya di Wu Miao di kehidupan sebelumnya tidak sesederhana itu. 　　"A Jin, kau tahu isi tiga ramalan yang ditinggalkan Tetua Tertinggi Wu Miao?" 　　Yu Jin mengangkat alis heran: "Bagaimana mungkin aku tahu?" 　　Tiba-tiba dia merasakan aura bahaya yang tak jelas asalnya. 　　"Tidak tahu?" Mata Jiang Si menyipit, memandangnya dengan senyum samar. 　　Yu Jin yang bingung dengan tatapan itu merasakan firasat bahaya semakin kuat, dengan kikuk dia tertawa: "Tentu tidak tahu. Ini harusnya termasuk rahasia tertutup Wu Miao." 　　"Tapi kau tahu banyak ritual rahasia Wu Miao." 　　Yu Jin terdiam. 　　"Kau juga tahu Imam Suci A Sang sudah meninggal." 　　“Yu Jin tenggorokannya mulai gatal, tak tahan ingin batuk.” 　　“Kau masih menyimpan Token Imam Suci A Sang.” 　　Yu Jin mengusap wajahnya, menggenggam tangan Jiang Si: “A Si, dengarkan penjelasanku!” 　　Jiang Si melengkungkan bibirnya: “Baik.” 　　Yu Jin terdiam sejenak. 　　Begitu mudahnya dia setuju? 　　Jiang Si mendorongnya, bersungut: “Kau bisa jelaskan sekarang!” 　　Dasar bodoh, diberi kesempatan menjelaskan malah melamun. Apa harus disodori gunting kecil dulu? 　　“Aku jelaskan…” Yu Jin tersadar, tiba-tiba bingung harus mulai dari mana, “Ceritanya panjang--” 　　Jiang Si menggosok-gosok tangannya: “Persingkat saja.” 　　Tidak membawa gunting kecil memang kesalahan taktis. 　　“Setibanya di Perbatasan Selatan, suatu kali aku tersesat di hutan berawa, tak sengaja menyelamatkan A Sang--” 　　Menatap sorot mata hitam Jiang Si, Yu Jin menggaruk hidung canggung: “Baiklah... waktu itu kulihat dari kejauhan gadis yang miripmu dalam bahaya, kukira itu kau, langsung kusambar untuk menyelamatkan...” 　　Jiang Si mengangkat alisnya. 　　Istilah “disambar” yang digunakan A Jin cukup menarik. 　　Melirik ke arah Jiang Si, Yu Jin buru-buru berkata: “Begitu dekat langsung tahu itu bukan kau.” 　　Jiang Si menopang dagu dengan tangan, penasaran: “Waktu itu kita hanya bertemu sekali. Aku dan A Sang sangat mirip, bagaimana kau bisa yakin itu bukan aku?” 　　Yu Jin telinganya memerah, gagap: “Pokoknya... aku tahu.” 　　"Tentu saja dia tidak mungkin memberitahu A Si, meskipun pertemuan mereka jarang, tapi dia telah muncul ribuan kali dalam mimpinya, terutama seiring bertambahnya usia, mimpi itu semakin mendalam." 　　"Istri yang sudah diakui sendiri, mana mungkin salah mengenali." 　　"Lalu bagaimana?" 　　Yu Jin terdiam sejenak, lalu berkata: "Setelah menyelamatkan A Sang, awalnya kukira tidak akan ada interaksi lagi. Tak disangka Tetua Besar Wu Miao menunjukkan antusiasme besar, secara khusus mengirim utusan untuk berterima kasih, lalu setiap tahun selalu menerima hadiah dari mereka. Suatu kali kami mempersiapkan pertempuran penyergapan yang membutuhkan solusi masalah kabut beracun, aku pergi ke Wu Miao meminta bantuan. Tetua Besar langsung membantu tanpa ragu, begitu sering berinteraksi akhirnya jadi akrab..." 　　Melihat Jiang Si, dia merasa bisa melanjutkan: "Tiga tahun lalu, dayang Imam Suci A Sang bernama A Lan tiba-tiba datang tergopoh-gopoh mencari aku, bilang Tetua Besar punya urgent mendesak. Setelah sampai baru tahu ternyata A Sang yang bermasalah——" 　　"Apa yang terjadi dengan A Sang?" Jiang Si menggigit bibir bertanya. 　　Tentang penyebab kematian sebenarnya A Sang, dia memang tidak terlalu paham. 　　Yu Jin mengerutkan alis: "Tidak terlihat seperti sakit, lebih mirip——" 　　Melihat Yu Jin ragu, Jiang Si mendesak: "Mirip apa?" 　　"Orang yang latihan ilmu silat di buku cerita sampai kesurupan energi dalam." 　　Meski topiknya serius, Jiang Si hampir tertawa terbahak, terpaksa menggigit bibir lembut untuk tetap tenang. 　　Yu Jin khawatir Jiang Si tidak mengerti, dengan sabar menjelaskan: "Seperti kita yang belajar bela diri, latihan yang salah mungkin menyebabkan cedera internal, tapi istilah 'kesurupan' seperti di cerita itu sebenarnya tidak ada--" 　　Jiang Si tersenyum: "Aku hanya heran kapan kau sempat membaca buku cerita." 　　Yu Jin tercekat, lalu berkata malu-malu: "Long Dan yang suka baca, aku hanya kebetulan melihat dan membuka-buka." 　　Pria bijaksana dan tenang sepertinya mana mungkin kecanduan baca buku cerita. 　　"Apa yang A Sang katakan sebelum meninggal?" Mengenai tindakan Yu Jin menyalahkan Long Dan, Jiang Si tidak berkomentar dan melanjutkan topik sebelumnya. 　　Wajah Yu Jin menjadi serius: "Tentu tidak mengatakan apapun padaku, hanya memberiku Token Imam Suci. Kupikir suku Wu Miao punya banyak keajaiban, mungkin berguna di masa depan, jadi kuterima." 　　"Token Imam Suci memang sangat berguna, sayang sekali kau mengembalikannya." Jiang Si bergumam. 　　Yu Jin memeluknya, berusaha membiasakan diri dengan wajah muda asing itu, tersenyum: "Asal bisa membawamu pulang, tidak ada yang sayang--" 　　Saat mengatakan ini, ia teringat sikap Tetua Besar Wu Miao yang ingin segera mengusirnya, membuatnya tersipu malu. 　　Datang dengan penuh tekad untuk merebut orang, tapi malah diantar pulang dengan sukacita-- perbedaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. 　　"A Jin, kita istirahat semalam. Besok kita berpisah rute. Aku bersama Lao Qin dan Long Dan, kau bawa Kakak Keduaku." 　　“Jiang Si keluar secara diam-diam, jika ketahuan bersama Yu Jin kembali ke ibu kota akan merepotkan.” 　　Yu Jin tidak membantah, menahan diri berkata: “Urusan menyelamatkan orang serahkan pada Long Dan dan yang lain, tak perlu turun tangan sendiri.” 　　Hari ini menyelamatkan pemuda pengantar mayat, besok menyelamatkan pemuda penunggang kuda, di dunia ini begitu banyak pemuda, bisakah semuanya diselamatkan? 　　Sebagai suami yang membalas budi dengan menikahi penyelamatnya, dia sangat paham bahaya sembarangan menolong orang. 　　Adapun kepala marga Xue Miao, pria tua bermulut kodok dan bermata kacang hijau itu, sama sekali tidak dihiraukannya, lagipula akan dibunuh. 　　Jiang Si mengangguk, tidak membongkar kedengkian kecil seseorang. 　　Dulu jika dia tidak baik hati menyelamatkan si bodoh itu, mungkin takkan ada keadaan seperti sekarang. 　　Saat malam tiba, melihat Jiang Si masih belum melepas penyamarannya, Yu Jin tak tahan mengingatkan: “Sudah waktunya tidur.” 　　Jiang Si melirik Yu Jin dengan geli: “Tidurlah.” 　　“Itu... aku agak tidak terbiasa...” 　　Meski tahu itu A Si, tapi dengan wajah pemuda begini, rasanya anak saat memeluk. 　　Jiang Si menepis tangan yang mengulur: “Tidur yang baik, kurasa ini belum berakhir, lebih baik tetap waspada.” 　　Sepuluh lebih suku yang dipimpin Wu Miao masing-masing punya strategi, sementara kembalinya Imam Suci akan mengubah situasi yang terbentuk beberapa tahun terakhir. Selama belum jauh dari Perbatasan Selatan, kita tak boleh lengah. 　　Yu Jin menggerutu setengah hati. 　　Dibanding keselamatan, hal lain memang bisa ditunda dulu. 　　Batuk-batuk, meski dia merasa tidak perlu meletakkannya, lebih baik mendengarkan A Si—seseorang dengan penyesalan menyimpan semua ketertarikan itu. 　　Tak lama kemudian larut malam tiba, segala suara telah mereda, bahkan sepertinya angin pun berhenti, hanya bayangan dedaunan yang bergoyang di jendela. 　　Seekor cacing hitam seperti ular kecil menyusup diam-diam melalui celah pintu, merayap berliku menuju ranjang. 681. BAB 680 Cacing Tinta 　　BAB 680 Cacing Tinta 　　Cacing itu seolah punya kesadaran, menghindari rintangan dalam gelap dengan gesit, lalu memanjat pilar ranjang dengan lincah saat tiba di sisi tempat tidur. 　　Setelah naik, cacing hitam itu ragu sejenak. 　　Dua orang? 　　Saat cacing itu ragu, Jiang Si membuka matanya dan menjentikkan jarinya. 　　Cacing hitam terkena jentikan di kepalanya, terguling jatuh dari ranjang dan merayap keluar sambil limbung. 　　Yu Jin menatap tajam cacing hitam yang merayap ke pintu, nadanya kompleks: "A Si, kau... tidak takut?" 　　Jiang Si memandang Yu Jin dengan ekspresi geli. 　　A Jin sampai sekarang ternyata masih belum menerima kenyataan, ini juga membuatnya agak terkejut. 　　"Aku adalah Imam Suci Wu Miao yang menguasai ilmu mengendalikan Gu." Jiang Si menjelaskan dengan datar. 　　Yu Jin mengusap dagunya, melihat cacing hitam itu menggeliat keluar melalui celah pintu, bertanya: "Ikuti mereka?" 　　Lentera malam di samping ranjang memancarkan cahaya redup, membuat ekspresi Jiang Si terlihat misterius. 　　Dia tersenyum ringan dan berbisik: "Tidak perlu terburu-buru, kita akan keluar sebentar lagi." 　　Ruangan kembali sunyi. 　　Setelah merayap keluar, cacing hitam itu seolah memiliki target, langsung menuju suatu tempat. 　　Di balik bayangan ranting yang bergerak, seorang pria sedang bersembunyi. 　　Melihat cacing hitam mendekat, mata pria itu berbinar saat mengulurkan tangannya. 　　Seperti biasa, cacing hitam menggeliat naik dan melingkar di telapak tangan pria itu. 　　"Berhasil?" Pria itu tersenyum puas, bergumam pelan. 　　Tentu bukan pada cacing dia bicara, melainkan pujian untuk dirinya yang telah menyelesaikan misi dengan mulus. 　　Menyelesaikan tugas dengan mudah memang patut disyukuri, tapi selanjutnya masih perlu memastikan ke dalam. 　　Saat pria itu sedang berpikir demikian, tiba-tiba jarinya terasa nyeri. 　　Menunduk melihat, cacing hitam sedang menggigit jari tengah tangan kirinya. 　　Jari tengah kiri terhubung dengan meridian jantung - masuknya racun dari sini sangat berbahaya. 　　Wajah pria itu berubah pucat, tangan satunya bergerak kilat mencoba mencubit cacing itu. 　　Tapi cacing itu lebih cepat, melompat sambil melengkungkan tubuhnya dan menempel di wajah pria itu dengan suara 'plak'. 　　Pria itu menjerit kesakitan, berusaha mati-matian menggaruk wajahnya. 　　Mendengar jeritan itu, Jiang Si menarik lengan Yu Jin: "Sudah, mari kita periksa." 　　Suara itu juga terdengar oleh Jiang Zhan dan yang lain. 　　Tak lama kemudian lentera-lentera mulai dinyalakan, disertai gemerisik aktivitas. 　　Melihat Yu Jin keluar bersama seorang pemuda tampan, mata Jiang Zhan terbelalak. 　　"Ini A Si." Yu Jin malas merenungkan apa yang dipikirkan Jiang Zhan, langsung mengungkapkan "identitas" si pemuda. 　　Jiang Zhan menggerakkan bola matanya, ekspresinya menjadi sangat rumit. 　　Dulu tak pernah terbayang bahwa mengenali adik kandung sendiri adalah hal yang begitu sulit. Adik Keempat kadang menyamar sebagai Nona Ahua, kadang berpura-pura jadi pria, sebenarnya ingin apa? 　　Jiang Si membuka mulut: "Mari kita pergi lihat dulu." 　　Saat beberapa orang itu mendekati sumber suara, sang pria sudah menggeliat-geliat berguling di tanah tak bisa bersuara. 　　"Bawa dia masuk ke dalam rumah." Yu Jin memberi instruksi sambil menarik tangan Jiang Si kembali. 　　Long Dan melirik ke kiri-kanan, di satu sisi ada Lao Qin, di sisi lain Jiang Zhan, akhirnya terpaksa mengangkat tubuh pria itu. 　　Di dalam ruangan, lentera menyala terang seperti siang hari. 　　Long Dan melemparkan pria itu ke lantai. Saat melihat wajahnya, dia menarik napas tajam: "Hiss, kenapa orang ini sampai nekat begini?" 　　Wajah pria itu sudah tercakar sampai hancur berdarah, tak bisa dikenali lagi. Sepuluh jarinya berlumuran darah, bahkan masih ada sisa daging yang menempel. 　　Sedangkan cacing hitam itu sedang menempel di leher pria, bergeliat-geliat menghisap darah tuannya. 　　"Apa itu?" Jiang Zhan membelalakan matanya. 　　Long Dan membuat ekspresi jijik: "Cacing hitam penghisap darah!" 　　Yu Jin tetap menjaga ekspresi datar sambil bertanya pada Jiang Si: "Tidak perlu menyisakan hidup-hidup?" 　　Jiang Zhan terkejut, memandang Yu Jin dengan tatapan aneh, hati bergumam: Mengapa Pangeran menanyakan Adik Keempat? Dalam situasi seperti ini seharusnya Adik Keempat tidak boleh menyaksikan, bagaimana jika dia ketakutan? 　　Jiang Si yang sedang dikhawatirkan kakaknya maju selangkah, mengulurkan tangan mengambil cacing hitam yang sudah membesar itu. 　　Sungut cacing hitam masih berlumuran darah, mengangkat tubuhnya dan menatap polos ke arah Jiang Si. 　　"Masuk." Jiang Si menunjuk lengan bajunya. 　　Cacing itu menggeliat sebentar, lalu diam-diam merayap masuk. 　　Jiang Zhan terperanjat: "Dia, dia--" 　　"Kakak Kedua jangan takut, dia tidak akan menggigit orang sembarangan." Jiang Si menghibur. 　　Melihat senyum tipis adiknya, Jiang Zhan ingin menampar dirinya sendiri. 　　Pasti ini mimpinya! 　　Memutar leher kaku melihat Yu Jin, tapi mendapati wajah Yu Jin sangat biasa saja. 　　Jiang Zhan diam-diam mencubit tangannya sendiri. 　　Rasa sakit datang, tapi malah membuatnya semakin bingung. 　　Kalau bukan mimpi, mengapa adiknya berubah seperti ini? 　　Long Dan memandang Jiang Zhan dengan kasihan, berpikir: Ternyata Kakak Kedua Jiang sama sekali tidak tahu situasi, Permaisuri bahkan tidak berkedip melihat mayat, apalagi seekor cacing? 　　Lao Qin juga memandang Jiang Zhan dengan iba, diam-diam berpikir: Apakah Tuan Kedua tahu Permaisuri menampungnya karena kemampuan membunuhnya? 　　Jiang Zhan: "……" Mengapa semua orang melihatku? Apakah mereka tidak merasa aneh? 　　Yu Jin mengangkat kaki dan menendang pria di tanah: "Jangan pura-pura mati, bangun dan bicara, atau aku akan kembalikan cacing itu." 　　Pria yang tadinya bersikeras berbaring itu langsung terduduk, menatap Yu Jin dengan wajah mengerikan sambil menunjukkan kebingungan dan ketakutan di matanya. 　　Yang ditakutinya bukanlah pria di depannya, melainkan mengapa cacing hitam yang dipeliharanya selama ini malah menyerang majikannya. 　　"Kau ini siapa?" 　　Pria itu diam. 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Kalau tidak mau bicara, bunuh saja. Long Dan——" 　　Long Dan tertegun sejenak. 　　Cara interogasi tuanku... agak terlalu kasar. 　　"Hmm?" Yu Jin mengangkat alis dengan tidak senang. 　　Long Dan segera tersadar: "Baik." 　　Setelah itu dia mengeluarkan belati dan mengarahkannya ke dada pria tersebut. 　　Wajah pria itu pucat pasi: "Aku bicara!" 　　Ujung belati sudah menusuk mantelnya dan melukai kulit. Terlambat bicara sedetik saja nyawanya akan melayang. 　　Pria itu bergetar seperti ayakan, hampir ambruk ke tanah. Hanya satu pertanyaan di hatinya: Orang ini sakit jiwa, mana ada yang langsung membunuh hanya karena satu kali tidak dijawab. 　　"Bicaralah, kau dari suku mana?" tanya Yu Jin tanpa ekspresi. 　　Pria itu melirik belati di dadanya. Jelas maksudnya: Ambil dulu belatinya baru bisa bicara. 　　Yu Jin mengangguk pengertian, berpesan pada Long Dan: "Jangan disimpan. Kalau dia ragu-ragu, langsung tusuk saja." 　　pria：“……” 　　Menyadari nyawanya tak berharga bagi keluarga itu, pria menundukkan kepala dan berkata lesu: "Aku orang Wu Miao——" 　　Tertawa sinis terdengar, disusul suara dingin: "Kau berbohong." 　　Pria itu spontan menatap orang yang berbicara. 　　Yang berbicara adalah seorang pemuda tampan yang sedang menatapnya dingin. 　　Cacing hitam yang bersembunyi di lengan baju merasakan gerakan, hati-hati mengeluarkan kepala. 　　Jiang Si menekan cacing itu kembali, pandangannya semakin dingin. 　　Cacing hitam peliharaan pria itu bernama Mo Chong, salah satu serangga langka. Di Wu Miao yang didominasi perempuan, tak ada pria berhak memeliharanya. 　　Pria yang memfitnah Wu Miao sekaligus memelihara serangga langka—— 　　"Mengapa Suku Salju mengirimmu membunuh Pangeran Yan?" tanya Jiang Si tenang. 682. BAB 681 Mulut Kodok, Aku Datang 　　BAB 681 Mulut Kodok, Aku Datang 　　Nada Jiang Si terlalu tenang dan yakin, membuat pria itu panik: "Bagaimana kau tahu?!" 　　Dia takut mati, tapi lebih takut membocorkan rahasia sukunya. Melepaskan gigitan tadi hanya tipu muslihat untuk memindahkan kesalahan ke Wu Miao. 　　Tapi bagaimana pemuda ini tahu dia orang Suku Salju? 　　Semakin tenang Jiang Si, semakin ketakutan pria itu. 　　Yu Jin tiba-tiba membungkuk menyamakan pandangan dengan pria itu, mengusap dagu: "Kepala suku kalian yang menyuruhmu membunuhku?" 　　Orang yang seharusnya dibunuh malah menyerang duluan. Ini mau mengacaukan langit? 　　“Oleh karena itu, sisa keraguan di hati Yu Jin pun lenyap sama sekali.” 　　“Coba jelaskan alasannya.” 　　Pria itu menekan bibirnya rapat-rapat, tak mengeluarkan sepatah kata pun. 　　Lebih baik mati daripada mengaku! 　　Perilaku pria tersebut tidak mengejutkan Jiang Si. 　　Suku-suku ini menjadikan Dewa Sejati sebagai keyakinan, dengan keteguhan hati luar biasa. Rahasia yang tak boleh diungkap akan tetap dijaga meski harus menderita siksaan sepuluh ribu ular menggerogoti jantung. 　　Pasti ada motif kuat dibalik serangan Suku Salju terhadap A Jin. Jika tidak, tak mungkin mereka berani berkonfrontasi dengan pangeran Dinasti Zhou. 　　Selama beberapa hari ini, Jiang Si telah mempelajari banyak hal dari Tetua yang tak diketahui di kehidupan sebelumnya. Pikirannya berputar cepat, mulai menyusun tebakan. 　　“Apakah ini terkait ramalan itu?” 　　Pria itu tertegun, memandangi Jiang Si seperti melihat hantu. 　　Ia tak mengerti bagaimana pemuda biasa ini bisa mengetahui rahasia tersebut. 　　Reaksi pria itu semakin menguatkan dugaan Jiang Si. Dengan suara dingin ia berkata, “Kalian Suku Salju ingin menyingkirkan Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou yang bisa membawa fajar bagi Wu Miao, bukan?” 　　Dahulu kala, Suku Salju dan Wu Miao berasal dari satu rumpun. Namun beberapa pria berbakat memisahkan diri karena tak puas dengan tradisi matriarki, membentuk Suku Salju. 　　Sayangnya, bakat terbesar selalu diwariskan kepada para Imam Suci dari generasi ke generasi, membuat Suku Salju terus-menerus berada di bawah bayang-bayang Wu Miao. 　　Jika bicara tentang suku yang menganggap Wu Miao sebagai duri dalam daging, pastilah Suku Salju. Siapapun yang menguntungkan Wu Miao, pasti akan mereka singkirkan. 　　“Jika diletakkan di kehidupan sebelumnya, Jiang Si tidak tahu keberadaan ramalan ini, dan tidak akan begitu cepat menebak Xue Miao. Ini menunjukkan pentingnya informasi.” 　　Saat ini, Jiang Si tidak bisa menahan diri untuk berpikir: Apa dua ramalan lainnya itu? Jika mengetahui kedua ramalan itu, rahasia yang membingungkan itu pasti akan terungkap. 　　“Kau ini siapa sebenarnya?” Pria itu menatap tajam Jiang Si, hatinya semakin ciut. 　　Bahkan Tetua Besar Wu Miao tidak bisa memastikan mereka tahu ramalan ini, bagaimana mungkin pemuda ini mengetahuinya? 　　Ia menatap wajah Jiang Si, ingin sekali menembus rahasianya. 　　Jiang Si mengabaikan pertanyaan pria itu, teringat suatu kejadian masa lalu: “Kalau begitu, memilih seorang wanita yang mirip dengan Imam Suci Wu Miao untuk mendekati Pangeran Yan, itu juga ulangan kalian?” 　　Insiden menegangkan di Kuil Baiyun masih jelas dalam ingatannya. Kemudian mereka berhasil menangkap kedua orang itu bersama A Jin, tapi akhirnya tidak mendapatkan informasi apapun. 　　Dan percobaan pembunuhan terhadap A Jin tidak hanya sekali ini—— 　　Jiang Si melirik Yu Jin. 　　Wajah Yu Jin gelap, tersenyum sinis: “Aku heran kenapa selalu ada lalat busuk tak jelas sejak kembali ke ibu kota. Sekarang akhirnya tahu sumbernya.” 　　Pria itu merinding melihat senyuman Yu Jin, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. 　　Tentang hal-hal yang sudah mereka ketahui, dia tidak bisa berbuat apa. Tapi selain itu, dia tidak akan mengucapkan satu kata pun. 　　Suara retak halus terdengar. 　　Ekspresi pria itu berubah menyakitkan, ingin mengatakan sesuatu, tapi sadar suaranya sudah hilang. 　　Ada apa? 　　Sebelum tenggelam dalam kegelapan total, pertanyaan ini muncul di hati pria itu. 　　Dalam sekejap, dia tiba-tiba menyadari apa yang terjadi: Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou ternyata mematahkan lehernya tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut. 　　Orang ini pasti sakit... siapa yang melakukan interogasi seperti ini... 　　Semua pikiran ini menghilang seiring dengan kepala pria yang terkulai. 　　Yu Jin mengeluarkan saputangan putih, membersihkan tangannya, lalu melemparkannya di samping mayat sambil berkata datar: "Bersihkan jenazah ini." 　　Long Dan mengiyakan dan menyeret mayat yang masih hangat itu keluar. 　　Jiang Zhan menjilat bibirnya: "Pangeran, kita belum sempat bertanya apa-apa, mengapa kau langsung membunuhnya?" 　　Setelah ke selatan dan mengalami medan perang, Jiang Zhan sudah banyak melihat darah. Tapi membunuh begitu cepat selama interogasi, ini pertama kalinya dia menyaksikan. 　　Yu Jin tersenyum: "Cukup tahu siapa yang ingin mencelakaiku. Bertanya lebih lanjut sia-sia." 　　Jiang Zhan tidak setuju, khawatir: "Tapi Suku Salju ingin mencelakaimu. Strategi ajaib suku asing ini terus bermunculan, sulit diantisipasi." 　　Sejak tiba di sini, dia mendapat perhatian khusus dari atasan. Sang atasan pernah menasihatinya untuk tidak memprovokasi anggota suku yang hidup di perbatasan Dinasti Zhou dan Nanlan, agar tidak terjerat jebakan tanpa tahu pelakunya. 　　Jika Pangeran membunuh tanpa interogasi tuntas, pasti akan ada masalah lagi. Bagaimana jika Adik Keempat juga terlibat? Itu akan lebih buruk lagi. 　　"Jiang Zhan tak bisa menahan diri untuk melirik Jiang Si. Tatapannya turun tanpa sadar, membayangkan cacing hitam yang bersembunyi di lengan baju adiknya, lalu diam-diam mengalihkan pandangan." 　　"Mungkin... ini hanya prasangkaku yang berlebihan..." 　　Yu Jin tersenyum sinis: "Tak peduli seberapa hebat trik mereka. Long Dan, lindungi Permaisuri. Aku akan keluar sebentar." 　　"A Jin——" 　　Yu Jin menepuk tangan Jiang Si: "Jangan khawatir, aku hanya akan membunuh seseorang lalu segera kembali." 　　Jiang Zhan mengusap wajahnya: "Tunggu, Pangeran, siapa yang mau kau bunuh?" 　　Nada santainya mengingatkannya pada teman-temannya dulu yang biasa bilang "Aku mau jalan-jalan ke Sungai Jinshui dulu". 　　"Kepala Marga Xuemiao." Jawab Yu Jin datar. 　　Jiang Zhan hampir terjatuh, menggenggam lengan Yu Jin: "Pangeran, membunuh kepala marga bukan hal mudah! Menurutku kita perlu merencanakan ini matang-matang——" 　　Jiang Si menyerahkan kantong wewangian pada Yu Jin dengan lembut: "Pergi dan pulanglah cepat." 　　Jiang Zhan memutar lehernya perlahan, memandang Jiang Si dengan tatapan kosong. 　　Jiang Si menghibur: "Kakak Kedua jangan khawatir, A Jin tahu batasannya." 　　Mendengar ini, Yu Jin berseri-seri, sudut bibirnya merekah: "Ya, akan kembali sebelum subuh. Tidak akan mengganggu perjalanan besok." 　　Hingga bayangan Yu Jin menghilang dalam kegelapan, Jiang Zhan masih belum bisa mempercayainya. 　　Ini masalah mengganggu perjalanan atau bukan? Adik Keempat malah membiarkan Pangeran pergi begitu saja? 　　"Adik Keempat——" 　　"Hmm?" 　　“Saya selalu merasa saya cukup ceroboh——” 　　“Kakak Kedua belakangan ini sudah jauh lebih baik.” Jiang Si tersenyum menghibur kakak laki-lakinya. 　　“Tidak, maksud saya... apakah Pangeran tidak terlalu terburu-buru?” 　　“Kakak Kedua jangan khawatir, A Jin bukan orang yang ceroboh. Sudah larut, mari kita semua beristirahat, besok harus melanjutkan perjalanan.” 　　Jiang Zhan kembali ke kamar, duduk tergolek, baru menyadari belakangan: Pangeran bukan orang ceroboh, sedangkan dirinya belakangan membaik, ini jelas Adik Keempat pilih kasih! 　　Setelah menggerutu beberapa saat, Kakak Kedua Jiang yang menyadari tak ada yang menghiburnya pun tertidur dengan kesal. 　　Berbeda dengan orang yang terlelap, Yu Jin justru berlari cepat di tengah malam musim dingin. 　　Membunuh seseorang terkadang sangat rumit, tapi kadang juga sederhana. 　　Dan dia lebih suka memutus masalah seketika, tak peduli berapa banyak strategi Suku Wu Miao, begitu si mulut kodok mati, mereka pasti sibuk mengurus internal dalam waktu dekat. 683. BAB 682 Membunuh dan Membakar 　　BAB 682 Membunuh dan Membakar 　　Kota kecil ini tidak jauh dari Wu Miao, tentu juga relatif dekat dengan Suku Salju. 　　Kemampuan bela diri Yu Jin luar biasa, stamina-nya mengagumkan, jarak sebanyak ini ditempuhnya tanpa terengah-engah. 　　Dia berdiri menyilangkan tangan di luar benteng, matanya menyimpan kegelapan malam, redup seperti air tergenang. 　　Bagi Suku Salju yang biasa memelihara cacing beracun, pertahanan terhadap orang asing bukanlah tembok tinggi atau penjaga, melainkan serangga atau ular yang mengerikan. 　　Yu Jin berputar-putar sebentar, memilih titik yang agak rendah untuk memanjat, lalu memasuki perkampungan suku. 　　Dengan Kantong Wewangian pemberian Jiang Si di tangan, semua cacing beracun yang bersembunyi tetap diam tak berani membuat masalah. Yu Jin dengan mudah menyusup ke kediaman kepala marga Xue Miao. 　　Di antara banyak rumah, kediaman kepala marga Xue Miao yang paling megah. 　　Yu Jin yakin tidak salah tempat. Setelah masuk diam-diam, ia melihat sebuah kamar yang masih menyala lentera. 　　Masih belum tidur di jam seperti ini? 　　Yu Jin berpikir sejenak lalu memahami situasinya. 　　Setelah mengirim orang untuk membunuhnya diam-diam, pasti kepala marga Xue Miao tak bisa tidur sebelum mendapat laporan dari anak buah. 　　Menyelinap ke tepi jendela, Yu Jin menggelengkan kepala. 　　Hal kecil begini saja sudah tak bisa tidur, kepala marga Xue Miao payah benar. 　　Merasa keunggulan psikologisnya membesar, Yu Jin memutuskan tak perlu lewat jendela lagi. Langsung saja ia mengetuk pintu. 　　Suara ketukan bergema. Pintu rumah langsung terbuka dengan ganas, memperlihatkan wajah kepala marga Xue Miao yang tampak tak sabar. 　　Melihat target pembunuhan yang seharusnya sudah mati berdiri di hadapannya, kepala marga Xue Miao terkejut. Baru hendak berteriak, mulutnya sudah ditutup tangan Yu Jin dan tubuhnya didorong masuk. 　　Pintu ditutup oleh Yu Jin dengan kaki, hanya mengeluarkan suara gesekan halus yang patuh. 　　Di bawah cahaya lentera terang, kepala marga Xue Miao bisa melihat jelas ekspresi merendahkan di wajah tamu tak diundang ini. 　　Yu Jin mencubit kedua pipi kepala marga tersebut sambil menyumpal mulutnya dengan handuk, lalu mengejek: "Teriak histeris seperti perempuan hanya karena sedikit ketakutan. Sebagai kepala marga, tidak malukah kau?" 　　Kepala Suku Wu Miao tertegun, karena tak bisa bersuara, hanya bisa mengedipkan mata dengan panik akibat kemarahan dan kecemasan. 　　Kapan dia pernah berteriak seperti perempuan? 　　Baiklah, ketika menyadari yang mengetuk bukan anggota sukunya melainkan target pembunuhan, dia memang kaget dan refleks berteriak. Tapi jelas-jelas mulutnya sudah disumbat sebelum sempat bersuara, bahkan erangan pun tak keluar. Kenapa pemuda ini bisa mengarang cerita sembarangan! 　　Yu Jin dengan mudah mengendalikan Kepala Suku Wu Miao, lalu duduk santai di kursi sambil mencibir, "Untuk apa melotot? Sekeras apapun kau melotot, tetap saja matamu seperti kacang hijau. Apa bisa bermekaran kalau dipaksa melotot?" 　　Mata Kepala Suku Wu Miao tiba-tiba membesar tiga kali lipat. 　　Mata kacang hijau? Apa maksud omongan orang ini? 　　Yu Jin mengerutkan alis dengan jijik, "Untung handuknya cukup panjang, bisa menyumbat mulut kodokmu. Dengarlah, kalau jelek jangan keluar mengganggu orang. Tidakkah lebih baik kau tetap jadi kepala suku di wilayahmu saja?" 　　Sambil berkata demikian, Pangeran Ketujuh yang tampan sempurna itu mengamati Kepala Suku Wu Miao dari atas ke bawah dengan pandangan kritis, lalu mengangguk tegas, "Benar-benar terlalu jelek." 　　Ekspresi Kepala Suku Wu Miao berubah dari ketakutan menjadi kebingungan. 　　Apakah pemuda di hadapannya benar-benar Pangeran Ketujuh Dinasti Zhou? 　　Perempuan-perempuan hina dari Wu Miao itu mahir ilmu penyamaran. Jangan-jangan ini orang Wu Miao yang menyamar? 　　Tapi tidak mungkin, meski orang Wu Miao jahat, otak mereka normal. Mana ada yang menyerang orang dengan menyoroti keburukan wajah seperti ini? 　　Merenungkan sampai di sini, Kepala Suku Xue Miao tertegun, hampir ingin menampar mulutnya sendiri. 　　Mana ada dia jelek? Semuanya karena terperangkap omongan pemuda gila ini! 　　Yu Jin mengepal tinju, nada bicaranya dingin membeku: "Awalnya kau mengirim si tolol untuk membunuhku diam-diam, aku malas menghiraukan. Tapi wajahmu yang jelek ini sampai menarik perhatian istriku, pantas mati—" 　　"Wu wu wu——" Kepala Suku Xue Miao berteriak keras, meski hanya suara serak dari tenggorokan, kegelisahannya jelas terlihat. 　　Eh, atau lebih tepatnya kemarahan. 　　Kepala Suku Xue Miao tidak bisa tidak marah. 　　Dia, dia ingin bertarung habis-habisan dengan si bajingan ini! 　　Pembunuhan balas dendam ini dia terima, tapi mengapa si brengsek ini terus-menerus memaki jelek wajahnya? 　　Urusan pembunuhan yang serius, bajingan ini jelas-jelas menghina dirinya, kalau berani coba jelaskan dendam kesumat dengan baik! 　　Kecemburuan yang menumpuk di hati Yu Jin akhirnya tumpah semua, dengan wajah puas dia tersenyum: "Jangan marah, memang jelek bukan salahmu, cuma kemampuan memilih kelahiran yang payah. Tak apa, dengan pelajaran kali ini, pasti next time lebih berpengalaman..." 　　Mendengar ini, warna darah di wajak Kepala Suku Xue Miao langsung memudar, matanya menatap ngeri ke arah Yu Jin. 　　Yu Jin mengerutkan alis: "Apa? Kau pikir hanya boleh mengirim pembunuh ke aku, tapi aku tak boleh datang membawa golok? Siapa yang kasih kepercayaan diri palsu ini? Ini namanya bukan percaya diri, tapi kebodohan! Kebodohan yang mematikan, paham?" 　　Kepala Suku Xuemiao entah karena terkejut oleh sindiran pedas Yu Jin yang tiba-tiba, atau karena panik di bawah ancaman kematian, secara tak sadar mengangguk. 　　Yu Jin mencemooh, "Kalau dari awal sudah tahu diri begini, ngapain juga cari masalah." 　　Melihat "rival cinta" kelas rendah yang sudah babak belur itu, Yu Jin mengangguk puas, "Kalau sudah sadar kesalahan fatalmu, mari kita urus bisnis resmi." 　　Saat itu juga, kepala suku yang emosional itu merasa sedikit lega. 　　Bagus kalau bicara bisnis. Selama masih ada kesempatan bicara, dia bisa cari cara balik menyerang. Nanti pasti akan membuat brengsek bermulut racun ini menderita lebih dari mati. 　　Tapi baru saja pikiran itu muncul, dilihatnya lawannya mengangkat tebas tangan dengan wajah datar, menyambar tengkuknya. 　　Katanya mau urus bisnis? Dasar penipu! – Pikiran terakhir kepala suku sebelum pingsan. 　　Kepala Suku Xuemiao pingsan dengan rasa frustasi dan amarah, sementara Yu Jin justru merasa lebih ringan. 　　Melihat ke bawah dengan tatapan merendahkan, ia geleng kepala, "Bisnis resmiku ya membunuhmu. Dasar bodoh, kira aku mau ngobrol ngalor-ngidul samamu? Mending pulang peluk istri." 　　Ia menyeret tubuh tak berdaya itu ke meja, menyiramkan minyak lentera ke badannya, lalu membiarkan api menjilat-jilat. 　　“Api dengan cepat menjilat-jilat pakaian kepala marga suku Salju Muda.” 　　Sebelum kobaran api menjadi terang benderang, Yu Jin meninggalkan rumah namun tidak buru-buru pergi, melainkan bersembunyi di tempat gelap sambil mengawasi. 　　Dia harus memastikan kepala marga suku Salju Muda benar-benar mati sebelum pergi, tidak ingin menjadi bahan tertawaan karena targetnya hidup kembali. 　　Kerabat suku Salju Muda baru menyadari kebakaran ini lebih lambat dari perkiraan Yu Jin. 　　“Kebakaran——” 　　Bunyi gong berdentang, rumah demi rumah membawa ember dan baskom untuk memadamkan api. Saat melihat api berasal dari rumah kepala marga, kekacauan pun terjadi disertai jeritan histeris. 　　Kepala marga suku Salju Muda adalah tumpuan harapan mereka. Kepergiannya bagai langit runtuh. 　　Yu Jin bahkan menyaksikan beberapa orang nekat menerobos kobaran api, diikuti jeritan memilukan. 　　Tak lama kemudian, seorang yang seluruh tubuhnya terbakar menyeret keluar mayat kepala marga, sementara yang lain tak terlihat lagi. 　　Melihat mulut kodok yang hangus terbakar, Yu Jin puas pergi diam-diam di tengah keributan. 684.BAB 683 Mayat Menghilang 　　BAB 683 Mayat Menghilang 　　Saat Yu Jin kembali ke penginapan kecil, fajar masih jauh. 　　Dia tidak langsung masuk ke kamar dalam. Setelah mencuci tangan, membersihkan wajah, dan mengganti pakaian bekas membunuh dan membakar, barulah dia masuk. 　　Di dalam kamar masih tersisa lentera malam. 　　Cahaya redup lentera itu memperlihatkan samar-samar sosok yang sedang tidur di ranjang. 　　“Yu Jin berjalan pelan-pelan mendekat, melepas sepatu lalu naik ke ranjang, berbaring di sebelah Jiang Si.” 　　Saat itu Jiang Si membuka matanya, suaranya terdengar terkejut: “Kok sudah kembali secepat ini?” 　　Dalam kegelapan, sorot mata Yu Jin berkilauan bagai memungut serpihan bintang-bintang. 　　“Aku membangunkanmu?” 　　Jiang Si tersenyum: “Mana mungkin aku benar-benar tertidur lelap.” 　　Yu Jin berpikir sejenak lalu mengangguk, tentu saja A Si khawatir saat dia pergi membunuh. 　　“Bagaimana dengan Kepala Suku Xuemiao?” 　　“Aku membakar tempat mereka…” Yu Jin menceritakan kejadiannya dengan santai. 　　Jiang Si mendengarkan diam-diam, lalu bertanya: “Yakin dia mati terbakar?” 　　Yu Jin terkekeh: “Tenang saja, sudah mati sempurna tak bersisa.” 　　Dia justru menyukai ketegasan A Si, tak seperti nona-nona biasa yang histeris melihat mayat, sungguh menyebalkan. 　　Tentu saja, sekalipun A Si takut, dia tak akan keberatan. Justru itu kesempatannya untuk menunjukkan kemampuan. 　　Jiang Si melirik ke jendela, nadanya berat: “Kepala Suku Xuemiao mengirim pembunuh bayaran, entah berapa orang yang tahu hal ini. Jika ada yang lain menyadari utusannya tak kunjung kembali, pasti akan menyelidiki penginapan ini…” 　　“Yu Jin berpikir sejenak lalu berkata: “Aku menyuruh Long Dan membuang mayat orang itu ke tebing. Mereka pasti butuh waktu untuk mencari. Ketika mereka benar-benar mencurigaiku, kita sudah jauh dari sini, tidak takut mereka membuat keributan. Bagaimanapun, mengeliminasi Kepala Marga Xue Miao sepadan dengan segala risiko yang mungkin timbul.” 　　Jika ada masalah, selesaikan saja. Tidak mungkin karena takut masalah lalu ragu-ragu, membiarkan mereka menindas kita seenaknya. 　　Jiang Si mengangguk: “Baik, mari kita hancurkan mayat dan hilangkan jejak dulu. Metode Xue Miao dalam menghadapi musuh mirip dengan Wu Miao, semua itu tidak kukhawatirkan. Asalkan tidak ada bukti jelas bahwa ini ulahmu, sehingga memicu permusuhan dan balas dendam Xue Miao terhadap Zhou.” 　　Yu Jin tersinik dingin: “A Si, jangan khawatir. Jika Xue Miao menunjukkan tanda-tanda melawan Zhou, aku akan ajak Tetua Besar Wu Miao berdiskusi serius.” 　　“Tetua Besar?” Jiang Si bingung tiba-tiba nama Suku Wu Miao disebut lagi. 　　“Putra Naga Ketujuh akan membawa cahaya fajar, mengusir kegelapan Wu Miao.” Yu Jin mengutip ramalan itu dengan yakin, “Kepala Xue Miao ingin menyingkirkan aku demi melawan Wu Miao. Masak Wu Miao hanya nikmati untung tanpa berkontribusi?” 　　Apakah aku terlihat seperti orang yang mau ditipu habis-habisan tanpa menuntut pertanggungjawaban? 　　Jika Xue Miao berani menyerangku bahkan Zhou, Wu Miao jangan harap bisa cuci tangan. 　　“Padahal sebenarnya, selama bertahun-tahun ini meskipun pengaruh Wu Miao semakin menurun, mereka tetap memiliki keunggulan mutlak atas Xue Miao. Asalkan Wu Miao turun tangan, Xue Miao akan sibuk mengurus diri sendiri, mana ada tenaga lagi untuk membuat masalah untuknya.” 　　“Yu Jin sudah mempersiapkan jalan mundur sejak awal, makanya dengan tegas membunuh kepala suku Xue Miao agar tidak merepotkan lagi setelah kembali ke ibu kota.” 　　“Mendengar penjelasan Yu Jin, Jiang Si merasa kasihan sebentar pada Tetua, lalu mengangguk pelan.” 　　“Yu Jin bangkit berdiri, pergi ke kamar sebelah untuk memberi instruksi pada Long Dan.” 　　“Long Dan yang masih setengah tidur langsung mengernyit mendengar kabar bahwa mayat yang susah payah disembunyikan harus dikeluarkan lagi.” 　　“Saat tiba di tempat persembunyian mayat, semua keluhan dan rasa kantuknya lenyap seketika, berubah menjadi teror.” 　　“Mana... mana orangnya? Tidak, mana mayatnya?” 　　“Menatap lokasi kosong tempat mayat seharusnya, hawa dingin menyebar dari hatinya, membuat bulu kuduk Long Dan meremang.” 　　“Setelah shock awal, ia segera melapor ke Yu Jin.” 　　“Apa? Mayatnya hilang?” Yu Jin yang jelas-jelas sudah tidur, membuka pintu rumah sambil mengenakan mantel, terlihat terkejut mendengar laporan Long Dan.” 　　“Suara lembut terdengar dari belakang: "Ada apa?"” 　　“Yu Jin menoleh, berkata pada Jiang Si: "Long Dan baru saja pergi memindahkan mayat, tapi ternyata mayatnya sudah tidak ada."” 　　“Jiang Si berjalan ke meja, mengambil lentera minyak lalu mendekati pintu: "Mari kita periksa."” 　　“"Ya." Yu Jin mengangguk halus, memberi perintah pada Long Dan: "Panggil Lao Qin untuk dimintai keterangan."” 　　Long Dan segera membangunkan Lao Qin dan Jiang Zhan. 　　Jiang Zhan yang jarang bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir ini bangun dengan mata merah, bertanya dengan suara parau: "Ada apa?" 　　Rasa panik Long Dan karena menemukan mayat menghilang berubah menjadi kekaguman: "Tuan Kedua, dalam situasi seperti ini Anda masih bisa tidur pulas..." 　　Wajah Jiang Zhan memerah, ia menjelaskan: "Tidur cukup baru ada tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Apa Pangeran sudah kembali—Aduh, jangan-jangan Pangeran menghadapi masalah?" 　　Katanya juga membunuh kepala suku keluarga orang lain tidak boleh sembarangan, tidak seperti di medan perang dimana ia hanya perlu mengayunkan pedang besar dan memenggal kepala musuh yang kemudian dihitung sebagai prestasi. 　　Harus direncanakan dengan matang! 　　"Tuanku sudah lama kembali, tidak ada masalah. Mayat yang kusembunyikan hilang, tuanku memanggil kita semua untuk melihat." 　　Jiang Zhan langsung tersadar sepenuhnya, buru-buru mengikuti Long Dan. 　　Long Dan menunjuk ke tanah: "Sejak kita tinggal di sini, aku menemukan ada gang dekat penginapan yang ujungnya adalah rumah kosong dengan sumur kering. Hari ini sesuai perintah Pangeran, aku menyembunyikan mayat di sumur itu dan menutupnya dengan batu. Kok bisa hilang?" 　　Yu Jin menggunakan cahaya lentera minyak untuk mengamati sekeliling dengan cermat, terutama menatap batu yang disebutkan Long Dan untuk menutupi mulut sumur. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Batu ini sudah dipindahkan. Yang memindahkannya kemungkinan seorang pemuda yang belum sepenuhnya kuat." 　　"Pemuda?" Long Dan terlihat bingung, "Tuanku, bagaimana Anda bisa memastikan itu seorang pemuda?" 　　Yu Jin menunjuk jejak dari mulut sumur ke batu tersebut, "Lihatlah jejak-jejak ini. Ini jelas bekas tarikan batu yang digulingkan, menunjukkan orang yang memindahkannya tidak cukup kuat. Untuk pria dewasa, batu sebesar ini cukup diangkat, tidak perlu susah-susah seperti ini." 　　"Oh begitu rupanya." Long Dan mengangguk setuju. 　　Jiang Zhan mengajukan pendapat berbeda, "Tidak harus pemuda yang kurang kuat. Bisa juga wanita." 　　Yu Jin mengucapkan dua kata, "Jejak kaki." 　　"Jejak kaki?" Jiang Zhan segera menunduk melihat, dan benar menemukan jejak kaki samar di tanah. 　　Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, dia langsung memahami alasannya. 　　Meski jejak kaki itu tidak besar, jelas bukan berasal dari sepatu wanita. Ini memperkuat dugaan Yu Jin bahwa yang memindahkan batu kemungkinan besar seorang pemuda, atau pria dewasa yang bertubuh kecil dan kurus secara alami. 　　Tiba-tiba mata Jiang Zhan menyempit, menunjuk suatu titik, "Lihatlah jejak kaki ini! Pasti ditinggalkan oleh pria dewasa bertubuh besar!" 　　Jiang Si meliriknya, lalu berkata datar, "Hmm, ini mungkin jejak mayat." 685.BAB 684 Kekacauan Berlipat 　　BAB 684 Kekacauan Berlipat 　　Jiang Zhan terkejut: "Mayat?" 　　Yang membuatnya terkejut bukanlah mayat yang meninggalkan jejak kaki, melainkan nada bicara Adik Keempat yang santai saat membahas mayat. 　　Namun Jiang Zhan segera menyadari sesuatu, menunjuk jejak kaki di tanah dengan tak percaya: "Tidak mungkin, mayat tidak bisa berjalan, bagaimana mungkin meninggalkan jejak kaki?" 　　Jiang Si menunjuk jejak kaki yang ditemukan Jiang Zhan: "Kakak Kedua tidak memperhatikan jejak ini berbeda dengan jejak biasa?" 　　Jiang Zhan membungkuk lebih rendah, hampir menempelkan matanya ke tanah: "Ukuran jejaknya biasa saja." 　　Long Dan dan Lao Qin saling bertatapan. 　　Jiang Si mengingatkan: "Jejak kiri-kanan sejajar, tidak berselang-seling." 　　Jiang Zhan bingung: "Benar juga, bagaimana cara berjalannya ya?" 　　"Bukan dengan berjalan." Long Dan menyela. 　　Jiang Zhan menatapnya. 　　Long Dan mengangkat kedua tangan ke depan, melompat dua kali. 　　Jiang Zhan matanya terbelalak, sudut bibirnya berkedut: "Apa yang kau lakukan? Mayat bangkit?" 　　Long Dan berhenti, membungkuk hingga sejajar dengan Jiang Zhan yang setengah berjongkok, tersenyum aneh: "Ya, persis mayat bangkit." 　　Jiang Zhan menyepaknya. 　　Long Dan yang tak waspada terkena lutut, badannya miring dan terjatuh. 　　Jiang Zhan marah: "Dasar keparat, iseng saja menakuti orang!" 　　“Long Dan menggosok pantatnya sambil bangkit, wajahnya penuh kekesalan berkata: "Tuan Kedua, di situasi serius, resmi, dan menyeramkan seperti ini, mana mungkin aku berani bercanda sembarangan!"” 　　Jiang Zhan tertegun, tak sadar menatap Jiang Si. 　　Di hati Jiang Er Gongzi, tentu adik kandungnya sendiri yang paling murni dan bisa diandalkan. 　　Terlihat Jiang Si mengangguk, wajahnya tenang berkata: "Seharusnya memang seperti itu bekasnya."” 　　“Adik... Adik Keempat——” 　　Jiang Si menoleh ke arahnya. 　　Jiang Zhan menjilat bibirnya: "Kau bilang mayatnya meloncat sendiri pergi?"” 　　“Mengatakan meloncat sendiri kurang tepat, seharusnya ada yang mengusirnya.” Jiang Si sampai di sini agak tersedu, "Bukan tak mungkin itu pemuda yang membawa Kakak Kedua pergi tadi."” 　　Seketika bayangan wajah muda agak jelek muncul di benak Jiang Zhan. 　　Mengatakan "agak jelek" sebenarnya masih sopan, menurut Jiang Zhan, si pemuda itu benar-benar buruk rupa... 　　“Bisa sampai mengikuti ke penginapan, gigih sekali.” Jiang Zhan menggeleng memikirkan pemuda aneh itu. 　　Long Dan bertanya pada Yu Jin: "Tuanku, sekarang harus bagaimana?"” 　　Yu Jin merenung sejenak: "Pemuda itu seharusnya tidak berniat jahat, mari lacak dulu jejak kaki ini, lihat ke arah mana perginya."” 　　Beberapa orang menyorotkan lentera minyak mencari, sampai ke jalan batu hijau di mana jejak menghilang. 　　Yu Jin berdiri membelakangi angin, sesaat kemudian berkata: "Kembali ke penginapan."” 　　"Tuanku, kalau tidak menemukan mayatnya, bagaimana jika nanti timbul masalah?"” 　　Yu Jin mengangkat dagunya: "Hari hampir subuh, kita kembali ke penginapan untuk bersiap lalu berangkat ke utara. Masalah tidak akan datang secepat ini." 　　Mayat menghilang tanpa jejak, lebih baik pergi daripada membuang waktu mencari tanpa arah. Pergi adalah pilihan terbaik. 　　Jiang Zhan mengusap hidungnya, dalam hati bergumam: "Pangeran ini lebih sembrono daripadaku. Aku dibesarkan dengan pukulan ayah, tapi dia baik-baik saja?" 　　Seperti yang diduga Yu Jin, Suku Salju Miao sedang kacau balau, bahkan api yang mulai menjalar pun tak mereka padamkan. 　　Kepala suku tewas, separuh langit runtuh. Tangisan pecah di mana-mana. 　　Di tengah kekacauan, sesosok bayangan masuk ke kobaran api dengan gerakan aneh. 　　Rumah-rumah terbakar, namun orang-orang berkumpul di depan sambil menangis atau memadamkan api. Tak ada yang menyadari sosok yang masuk dari belakang. 　　"Padamkan api dulu! Jika tidak, seluruh desa akan habis!" teriak seorang tetua yang posisinya kedua setelah kepala suku. 　　Tangisan mereda, lebih banyak orang bergabung memadamkan api. Situasi semakin kacau. 　　Dalam kekacauan itu, seorang pemuda kurus menyelinap pergi. 　　Api akhirnya padam. Sebagian mulai membersihkan puing, sebagian lain menangisi jenazah kepala suku. 　　Tetua itu memeriksa jenazah dengan cermat: "Tidak ada luka luar di tubuh kepala suku." 　　Tidak ada luka luar berarti kemungkinan besar meninggal secara alami. 　　"Bagaimana dengan leher?" tanya seseorang. 　　Tetua itu menggelengkan kepala: "Kepala marga tewas dalam kebakaran, jika ada bekas jeratan sulit terdeteksi, kecuali——" 　　"Kecuali apa?" 　　Tetua ragu sejenak, berkata: "Dengan alat tajam menguliti daging di leher, melihat apakah ada luka pada tulang tenggorokan..." 　　Perkataan ini membuat kerumunan langsung gempar. 　　Baik di Dinasti Zhou maupun suku-suku ini, sebagian besar masih menghormati jenazah dan tidak sembarangan merusak mayat. 　　Akhirnya putra kepala marga Xue Miao bertahan berkata: "Tetua boleh memeriksa, jangan biarkan ayahku mati dalam kebingungan." 　　Setelah ada izin putra kepala marga, tetua tak ragu lagi. Ia memeriksa lebih teliti, lalu menggeleng. 　　"Tidak mungkin!" teriak putra kepala marga penuh amarah, "Bahkan jika kebakaran terjadi saat ayah tertidur, cacing Gu peliharaannya pasti akan membangunkannya. Ayah tidak mungkin tidak sadar sama sekali." 　　Banyak kerabat berseru: "Benar, bagaimana mungkin kepala marga bisa——" 　　Sang pemimpin yang biasanya begitu agung ternyata mati dengan mudah, sungguh tak bisa diterima. 　　"Mengapa hari ini ayah berada di ruang belajar?" tanya putra kepala marga. 　　Kepala marga Xue Miao dikenal playboy, memiliki banyak selir cantik. Di puncak musim dingin, bukannya menikmati kehangatan tubuh lembut dan harum di ranjang, malah tidur di ruang belajar—jelas ada urusan penting. 　　Seorang tetua menundukkan alis diam-diam, sementara tetua lain matanya berkedip-kedip, entah memikirkan apa. 　　Tiba-tiba seseorang berteriak: "Ada mayat lagi!" 　　Beberapa orang mengangkat jasad lain ke tempat itu. 　　Mayat hangus terbakar, namun tingkat kerusakannya jelas tidak separah kepala marga Xue Miao, membuat orang langsung mengenalinya. 　　"Kenapa ini A Shan?" 　　A Shan termasuk orang kepercayaan kepala marga Xue Miao, biasanya tidak pernah jauh darinya. 　　Tetua yang berbicara sebelumnya membungkuk memeriksa, wajahnya berubah pucat: "Leher A Shan patah..." 　　Pandangan kerumunan bolak-balik antara mayat kepala marga Xue Miao dan A Shan. 　　"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya putra kepala marga dengan bingung. 　　Tetua melirik sekeliling, berkata: "Mari bicara di dalam rumah." 　　Termasuk putra kepala marga, tujuh delapan orang membanjiri sebuah ruangan. 　　Mereka ini termasuk lapisan penguasa Suku Salju. 　　Di dalam ruangan yang terang benderang, tetua yang berbicara tadi menatap tetua lain: "Tetua Rong, apa kau tahu sesuatu?" 　　Sudut bibir Tetua Rong berkedut. 　　"Sudah sampai saat ini, kau masih diam? Mau lihat kepala marga mati sia-sia?" 　　Setelah lama bergulat batin, Tetua Rong berkata: "Kemarin kepala marga menerima kabar, berniat membunuh Pangeran Ketujuh Zhou yang sedang berkunjung ke Wu Miao. Semalam seharusnya A Shan yang dikirim menjalankan tugas, tapi siapa sangka kepala marga dan A Shan malah tewas dalam kebakaran..." 　　"Pangeran Ketujuh Zhou? Apa ayahku dibunuhnya?" 　　Seorang lain heran bertanya: "Mengapa kepala marga ingin membunuh Pangeran Ketujuh Zhou?" 　　"Tidak masuk akal, sekalipun benar Pangeran Zhou yang berbuat, bagaimana mungkin dia masuk ke perkampungan? Di dalam pintu gerbang ada rumpun bambu hanxiang, orang asing yang melewatinya pasti akan pingsan..." 　　Setelah perdebatan, tiba-tiba ada suara yang muncul: "Bukankah Pangeran Ketujuh Zhou sedang berkunjung ke Wu Miao? Mungkinkah Suku Wu Miao memberinya obat pelindung?" 686.BAB 685 Surat Rahasia 　　BAB 685 Surat Rahasia 　　Dugaan ini sangat mungkin. 　　Dari lebih dari sepuluh suku di Perbatasan Selatan, hanya Wu Miao dan Xue Miao yang berasal dari satu nenek moyang, menggunakan cacing beracun, tumbuhan beracun, dll. sebagai strategi perlawanan. 　　Jika ada yang bisa menyusup diam-diam ke Xue Miao, pasti ada hubungannya dengan Wu Miao. 　　Tetua yang pertama berbicara mengajukan pertanyaan: "Pendapat bahwa Pangeran Ketujuh Zhou membunuh kepala marga, ini hanya dugaan Tetua Rong, bukan?" 　　Tetua Rong terkejut: "Tetua Bai, apa maksudmu?" 　　Tetua Bai berkata dengan suara berat: "Jika kepala marga yang menyuruh Ah Shan membunuh Pangeran Ketujuh Zhou, mengapa kepala marga dan Ah Shan mati dalam kebakaran ini? Mungkinkah Pangeran Ketujuh Zhou sudah menduga rencana jahat kepala marga kemarin, lalu memilih menyerang lebih dulu?" 　　"Bisa saja seperti itu," kata Tetua Rong. 　　"Lalu apakah Tetua Rong tahu alasan kepala marga ingin menyingkirkan Pangeran Ketujuh Zhou?" 　　Tetua Rong terdiam. 　　Dia baru mendapat kepercayaan kepala marga beberapa tahun terakhir, banyak hal yang tidak diketahuinya. 　　Melihat ini, Tetua Bai tersenyum tipis. 　　Alasan kepala marga ingin membunuh Pangeran Ketujuh Zhou, dia mengetahuinya. 　　Awalnya setelah mengetahui ramalan Suku Wu Miao, kepala marga pernah menyebutkan padanya, bersikeras ingin menyingkirkan Pangeran Ketujuh Zhou, tapi ditentangnya. 　　Menurutnya ramalan itu hanya omong kosong, sedangkan posisi Xue Miao sudah lebih lemah dari Wu Miao. Jika bermusuhan dengan Zhou, keadaan akan semakin buruk. 　　“Siapa yang tahu apakah ramalan itu benar-benar nyata, atau hanya umpan yang sengaja disebarkan oleh Wu Miao.” 　　Kepala marga terlalu radikal, sementara dia lebih suka berhati-hati, sehingga perbedaan prinsip membuat keduanya semakin menjauh. 　　Sampai sekarang, Kepala marga langsung bertindak tanpa memberitahukan sepatah kata pun padanya. 　　"Jadi, pendapat bahwa kemarin malam Kepala Marga mengirim A Shan untuk membunuh Pangeran Ketujuh Zhou hanyalah pernyataan sepihak dari Tetua Rong." 　　Tetua Rong marah: "Tetua Bai, apa kau meragukan saya?" 　　Tetua Bai tersenyum: "Bukan itu maksudku, hanya tidak ingin dengan gegabah memicu permusuhan antara suku kita dengan Dinasti Zhou. Lagipula Kepala Marga baru saja meninggal, mustahil kita menghadapi Wu Miao dan Dinasti Zhou sekaligus." 　　"Tetua Bai, apa kau takut pada Dinasti Zhou? Lalu apakah pembalasan dendam untuk Kepala Marga tidak dilakukan?" 　　Wajah Tetua Bai berubah dingin: "Jika benar Pangeran Ketujuh Zhou yang membunuh Kepala Marga, tentu tidak boleh dibiarkan. Yang kukatakan adalah jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Misalnya A Shan, menurut versi Tetua Rong dia pergi membunuh Pangeran Ketujuh Zhou, lalu bagaimana menjelaskan mayatnya ditemukan di rumah yang terbakar?" 　　"Tetua Bai, lalu menurutmu harus bagaimana?" tanya putra Kepala Marga. 　　Hati Tetua Bai dipenuhi kegembiraan, tapi raut wajahnya tetap netral: "Tentu harus menyelidiki kebenarannya dulu. Di satu sisi lacak pergerakan Pangeran Ketujuh Zhou, di sisi lain konfirmasi ke Wu Miao." 　　"Ke Wu Miao?" Kerumunan terkejut. 　　Bukankah maksud Tetua Bai tidak setuju dengan pendapat Tetua Rong? Kenapa tiba-tiba berubah arah? 　　Tetua Bai berkata dengan kesedihan: "Tubuh kepala marga tidak ada luka luar. Satu kemungkinan adalah benar-benar meninggal karena kecelakaan kebakaran, kemungkinan lain adalah semasa hidup sudah dikendalikan orang sehingga tidak bisa melarikan diri. Jika itu yang terakhir, pelaku yang bisa menyusup ke ruang belajar kepala marga dengan tenang dan mengendalikan cacing Gu peliharaan kepala marga hingga kehilangan daya melawan, pasti tidak lepas dari bantuan Wu Miao, bahkan mungkin orang Wu Miao sendiri!" 　　Setelah Tetua Bai selesai berbicara, kerumunan terdiam lama. Seorang tetua berkata: "Tapi kita tidak punya bukti. Tubuh kepala marga tidak ada luka luar. Tetua Besar Wu Miao bisa saja bersikeras bahwa kepala marga benar-benar meninggal karena kecelakaan kebakaran." 　　Tetua Bai menyeringai dingin: "Kita harus bersikeras bahwa kepala marga dibunuh. Wu Miao harus memberi kompensasi. Tenang saja, saya sendiri akan pergi ke Wu Miao untuk menuntut keadilan bagi kepala marga." 　　Kerumunan serentak memberi hormat: "Kami serahkan pada Tetua Bai." 　　Di bawah kepala marga, sebenarnya kekuasaan Tetua Bai sudah paling kuat. Saat seperti ini tentu tidak ada yang berani menentangnya. 　　Melihat reaksi kerumunan, meski wajah Tetua Bai masih berduka, hatinya merasa cukup puas. 　　Memanfaatkan kematian kepala marga untuk menyatukan kerabat dan menjadi kepala marga baru adalah prioritas. Masalah lain bisa ditunda dulu. 　　Tetua Rong hanya bisa menahan ketidakpuasan dalam hati, bergumam dalam hati nanti harus bicara baik-baik dengan pewaris, tidak bisa membiarkan Tetua Bai leluasa. 　　Selanjutnya Tetua Bai pergi menghadap Wu Miao untuk menuntut imbalan, sebagian orang Suku Salju menyelidiki tempat tinggal Pangeran Ketujuh Zhou, ditambah perebutan kekuasaan internal Suku Salju yang semakin sengit - semua ini tidak perlu dirinci lagi. 　　“Kereta kuda yang menuju utara telah meninggalkan kekacauan itu jauh di belakang, semakin mendekati ibu kota.” 　　“Namun, yang lebih cepat dari Jiang Si adalah sepucuk surat rahasia yang mendarat di Meja Naga Kaisar Jingming.” 　　“Melihat cap intel Jinlinwei pada surat itu, Kaisar Jingming hampir tak sabar membukanya.” 　　“Awal tahun ini, Kaisar mengirim Kepala Kuil Honglu dan lainnya sebagai utusan ke Wu Miao, di antara mereka menyusup agen Jinlinwei. Ketika para utusan kembali, beberapa anggota Jinlinwei tetap di selatan dengan identitas biasa.” 　　“Terhadap Wu Miao yang penuh misteri, Kaisar Jingming sangat waspada dan tentu ingin mengawasi pergerakan di sana.” 　　“Setelah membaca surat itu, Kaisar Jingming bersandar di kursinya, lama terdiam.” 　　“Pan Hai diam-diam menyiapkan secangkir teh dan menaruhnya di hadapan Kaisar, bijak menjaga sikap.” 　　“Setelah beberapa saat, Kaisar Jingming memerintahkan Pan Hai: 'Undang Permaisuri kemari.'” 　　“Pan Hai baru saja pergi melaksanakan perintah ketika Kaisar Jingming berubah pikiran, berdiri dan berkata: 'Sudahlah, pergi ke Istana Kuning.'” 　　“Waktu itu pagi hari, pemanas bawah tanah di ruangan menyala kuat. Permaisuri memegang gunting perak sedang fokus merapikan pot bunga di tepi jendela.” 　　“‘Nyonya, Kaisar datang.’” 　　“Permaisuri meletakkan gunting peraknya, bergegas menyambut: 'Mengapa Kaisar datang di waktu seperti ini?'” 　　“Kaisar Jingming masuk dan duduk santai, ekspresinya sulit terbaca.” 　　“Melihat ini, Permaisuri tak bertanya lebih lanjut. Ia melambaikan tangan menyuruh dayang mundur, lalu sendiri menuangkan teh untuk Kaisar.” 　　Kaisar Jingming mengulurkan tangan mengambilnya, memegang cangkir teh keramik halus sejenak, lalu berkata: "Surat dari mata-mata yang mengawasi Wu Miao di Perbatasan Selatan sudah datang." 　　Permaisuri yang tadinya santai segera berubah serius: "Ada gerakan apa di sana?" 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Belum lama ini beredar kabar di Perbatasan Selatan bahwa Imam Suci Wu Miao sudah tiada, tapi pada Festival Api Baru, Imam Suci Wu Miao muncul kembali..." 　　Permaisuri mengangkat alis heran: "Kalau begitu, selama bertahun-tahun tidak muncul, benarkah Imam Suci Wu Miao sedang bertapa?" 　　"Entah benar sedang bertapa atau tidak, tapi ada satu hal yang sangat aneh." 　　"Apa itu?" 　　Kaisar Jingming berhenti sejenak, lalu berkata: "Surat itu menyebutkan, pada Festival Api Baru sulit menyusup ke wilayah Wu Miao. Mereka bersembunyi di tempat tinggi dan mengintip dengan teropong, menemukan bahwa Imam Suci Wu Miao... wajahnya sangat mirip dengan Istri Lao Qi..." 　　Permaisuri benar-benar terkejut: "Ada hal seaneh itu?" 　　Ekspresi Kaisar Jingming menjadi rumit, setelah lama berpikir dia berkata: "Istri Lao Qi mengaku punya bakat Ilmu Gaib sejak lahir, tapi wajahnya mirip Imam Suci Wu Miao... Oh ya, Permaisuri, sebelumnya kau bilang Istri Lao Qi sedang berdoa untuk Lao Qi dan tidak keluar rumah?" 　　Hati Permaisuri berdebar, dia mengangguk perlahan tanpa menunjukkan perubahan ekspresi. 　　"Kalau dihitung, Istri Lao Qi sudah cukup lama tidak keluar rumah ya?" 　　"Benar." 　　Kaisar Jingming mengetuk-ngetuk meja perlahan dengan jarinya, terlihat masih ragu. 　　Permaisuri mulai menangkap maksud tersembunyi, tapi memilih diam. 　　Setelah lama, Kaisar Jingming akhirnya memutuskan: "Begini saja, kirim orang untuk memeriksa Kediaman Pangeran Yan." 　　Terima kasih atas hadiah sepuluh ribu koin dari Liǔ Chéng Xuě Pào, serta hadiah dari Xiāo Xiāo 121, Lǚ Rén_C, Yuè Zhī Tiān, Xiǎo Bái yǔ Xiǎo Huáng, Yuki Hé, Dà Mó Wáng Zhě Wǒ Yě, Zài Huànxiǎng Zhōng Yóulì, Shū Yǒu 160612124033950, Yán Bīng Liànyàn, dan lainnya. 687.Kartu Penopang Festival Tahunan 　　Kartu Penopang Festival Tahunan 　　Ikut tren bikin postingan khusus minta penopang. Sayangku, masuk ke halaman acara Festival Tahunan, cari "Dōngtiān de Liǔ Yè" di kolom pencarian, lalu beri saya kartu penopang. Kartu ini tidak perlu dibeli—pembaca yang pernah berlangganan tahun ini akan otomatis dapat kartu penopang. Kalau tidak digunakan, kartu akan hangus setelah acara selesai. Tolong ya, yang bisa bantu silakan vote. 688.BAB 686 Kedatangan Putri 　　BAB 686 Kedatangan Putri 　　Kaisar Jingming semakin yakin keputusannya tak boleh ditunda: "Sebenarnya, istri Lao Qi bahkan tidak datang ke istana selama Tahun Baru. Aku agak khawatir..." 　　Permaisuri diam-diam mengernyitkan sudut bibir. 　　Saat pesta reuni disebutkan Permaisuri Yan tidak hadir, Kaisar malah memujinya setia pada keluarga. Sekarang tiba-tiba khawatir... Benarlah hati kaisar bagai jarum di dasar laut. 　　"Permaisuri, menurutmu siapa yang tepat dikirim ke sana?" 　　Mendengar pertanyaan Kaisar Jingming, Permaisuri sudah agak mempersiapkan jawaban. 　　Kalau tidak ada urusan, Kaisar takkan datang ke Istana Kuning. Setidaknya Pan Hai bukan kandidat yang cocok. 　　"Tidak heran jika dipikir-pikir, Permaisuri Yan mengumumkan secara terbuka bahwa dia akan menutup diri untuk berdoa dan membaca sutra hingga Pangeran Yan kembali dengan selamat. Sekarang hampir semua orang tahu, Kaisar tiba-tiba mengirim kasim kepercayaannya ke Kediaman Pangeran Yan, hal ini mudah menimbulkan spekulasi." 　　"Harus diketahui, segala sesuatu yang terkait dengan Putra Langit akan menjadi berbeda." 　　Permaisuri merenung sejenak lalu mengusulkan: "Bagaimana kalau mengirim Fuqing untuk pergi ke sana?" 　　"Fuqing?" Kaisar Jingming tidak langsung terpikir pada putri kesayangannya. 　　Permaisuri tersenyum: "Benar, Fuqing akrab dengan Permaisuri Yan. Pada pesta tahun baru dia masih bertanya-tanya mengapa tidak melihat Permaisuri Yan. Nona kecil ini ingin keluar istana untuk menghirup udara segar dan menemui kakak ipar yang akrab. Siapa pun tidak akan bisa berkomentar. Bagaimana pendapat Kaisar?" 　　Kaisar Jingming mengangguk berulang kali: "Permaisuri berkata benar. Biarkan Fuqing yang pergi ke sana, sehingga kita semua bisa tenang." 　　Tentang apa yang dimaksud dengan "ketenangan" itu, Kaisar tidak menjelaskan, tapi Permaisuri sudah paham. 　　Bertepatan dengan masa Permaisuri Yan yang lama tidak muncul, Imam Suci Wu Miao yang mirip wajahnya dengan Permaisuri Yan tiba-tiba muncul. Ini benar-benar memancing imajinasi. Kaisar curiga ada hubungan antara Permaisuri Yan dengan Imam Suci Wu Miao. 　　Meskipun kecurigaan ini agak aneh, lebih baik berjaga-jaga daripada menyesal. Tentu saja lebih tenang jika mengirim orang untuk memeriksa. 　　"Apakah Fuqing sudah kembali dari Ibu Suri?" 　　"Sudah kembali." 　　“ awalnya tak ingin terlihat terlalu tergesa-gesa, tapi kemudian berpikir: bahkan tahu tentang yang memberinya , masih ada apa lagi yang harus ditutupi? Dengan santai ia mendesak: "Kalau begitu suruhlah pergi ke sana."” 　　 terdiam sejenak, lalu mengangguk halus: "Aku akan segera memberi tahu ." 　　Menghadapi yang bersikap , apa lagi yang bisa ia katakan? 　　 yang mendengar kabar akan dibawa ke berseri-seri: "Bolehkah aku pergi ke luar untuk bermain dengan ?" 　　 tersenyum lembut: "Pergilah, juga merindukan mu yang sudah lama tak jumpa." 　　Mata berbinar, merengek: ", bolehkah aku mengajak bersama?" 　　Hubungan kedua ini awalnya biasa saja, namun setelah sering menemani di bersama-sama, keduanya semakin akrab. 　　 polos dan baik hati, sedangkan lebih berhati-hati dan peka situasi. Usia mereka sebaya sehingga mudah akur. 　　Mendengar permintaan , tampak ragu. 　　", kabulkanlah. Kesempatanku keluar sudah jarang, apalagi ... Anggap saja dia temanku." 　　Melihat putri kesayangannya merajuk, pun mengangguh: "Kalau begitu habis mengunjungi segera pulang, jangan bermain-main di luar." 　　", aku juga ingin melihat-lihat jalanan—" Suara semakin lirih menyadari permintaannya yang keterlaluan. 　　Pikir-pikir, Ayah Kaisar hanya punya satu kesempatan setahun untuk keluar istana, sementara Putri bisa lebih sering keluar. Permintaan seperti ini agak serakah. 　　Permaisuri melihat putrinya menatapnya dengan penuh harap, merasa antara ingin tertawa dan menangis. 　　Fuqing ini terlalu jujur. Kenapa tidak diam-diam pergi saja setelah keluar istana, malah minta izin resmi? 　　Permaisuri semakin iba melihat putrinya, menghela nafas: "Boleh pergi jalan-jalan, tapi jangan terlalu lama—" 　　Putri Fuqing segera berseri-seri mendengarnya. 　　Meski rombongan kedua Putri sederhana, pengawal yang menyertai cukup banyak. Mereka langsung menuju Kediaman Pangeran Yan. 　　Saat menerima kabar kedatangan Putri, Dayang Ji nyaris pingsan saking kagetnya. 　　Jangan pingsan! 　　Dia mencubit dirinya sendiri untuk kembali sadar, tapi jantungnya berdegup kencang. Untuk sesaat, dia bingung harus berbuat apa. 　　Dayang pembawa kabar bertanya bingung: "Dayang, apakah perlu memberi tahu Permaisuri—" 　　"Tentu saja!" Dayang Ji menjawab sambil semakin panik dalam hati. 　　Permaisuri yang suka membuat masalah ini benar-benar menghancurkan istana pangeran yang megah! 　　Putri datang pasti harus diterima, tapi Permaisuri malah tidak ada di rumah. Sekarang harus bagaimana? 　　Keringat dingin membasahi kening Dayang Ji. 　　Saat ini, dia sangat menyesal kenapa menutupi kenakalan Permaisuri alih-alih segera melapor ke Sekretaris istana. 　　Apa? Melapor ke Sekretaris istana bisa menyelesaikan masalah sekarang? 　　Ya tidak juga, setidaknya ada orang lain yang bisa ikut panik dan takut bersama. 　　“Dayang, ada apa denganmu? Apakah tidak enak badan?” 　　Dayang Ji tersadar, wajahnya berubah serius: “Segera antarkan kedua Putri ke Ruang Penerimaan, minta Manajer Wang melayani dengan baik. Saya akan segera laporkan pada Permaisuri.” 　　Belakangan semua urusan langsung dilaporkan Dayang Ji ke Permaisuri. Para dayang tidak berpikir panjang, segera mengatur segalanya. 　　Dayang Ji berlari kencang menuju Yuyuan, napasnya tersengal-sengal. 　　Ah Man menutup mulut sambil tertawa melihatnya: “Dayang Ji, ada urusan apa yang begitu mendesak——” 　　“Putri Fuqing dan Putri ke-14 datang mengunjungi Permaisuri!” Dayang Ji tak sempat mengatur napas, suaranya gugup. 　　Tawa Ah Man terhenti mendadak, suaranya melengking: “Siapa yang datang?” 　　Dayang Ji menghentakkan kaki: “Putri Fuqing dan Putri ke-14! Putri Fuqing adalah putri mahkota, sengaja datang menjenguk Permaisuri. Permaisuri pasti tidak bisa menolak bertemu. Sekarang bagaimana ini?” 　　Melihat Ah Man dan A Qiao saling pandang bingung, Dayang Ji mulai memperlihatkan mata putihnya, memegangi dadanya: “Sudah kubilang Permaisuri bertindak sembrono, kalian malah ikut-ikutan. Lihat sekarang, bencana datang juga!” 　　Ah Man tak terima, meludah sambil berkata: “Di hari raya begini, bicara bencana-bencana. Dayang tidak bisa bicara baik-baik ya?” 　　Andai bukan karena ikatan mereka dalam menutupi kesalahan Permaisuri, dia sudah menendang si dayang tua ini sampai menangis. 　　“A Qiao terlihat jauh lebih tenang, berkata datar: ‘Dayang Ji tidak perlu panik, silakan beri tahu kedua Putri bahwa Permaisuri kami sedang membacakan sutra untuk mendoakan Pangeran di kuil kecil, dan sudah berikrar tidak akan keluar sebelum Pangeran pulang. Jika kedua Putri ingin bertemu, sudilah mereka menghampiri kuil kecil itu.’” 　　Dayang Ji tak bergerak: “Tapi bagaimana jika kedua Putri benar-benar pergi ke sana?” 　　A Qiao tetap tenang: “Kalau begitu, mohon Dayang mengantarkan mereka. Saya dan Ah Man akan menunggu di sana.” 　　Dayang Ji membuka mulut lalu menutupnya lagi, kebingungan. 　　Lalu setelah sampai di sana? Bagaimana penjelasannya jika mereka tidak bisa bertemu Permaisuri? 　　Dua pelayan wanita ini benar-benar sembrono. 　　“Dayang Ji cepatlah pergi, jangan sampai kedua Putri menunggu terlalu lama dan mengira Istana Pangeran tidak menghormati mereka.” A Qiao mendesak. 　　Dayang Ji seolah terpanggang di atas api, namun tak bisa mundur. Ia pun mengeraskan hati menuju Ruang Penerimaan. 　　Putri Fuqing mendengar Permaisuri Yan di kuil kecil, lalu berkata sopan: “Sebenarnya tidak pantas mengganggu ketekunan Qisao dalam membaca sutra, tapi kami benar-benar rindu. Mari kita kunjungi beliau.” 　　Bagian kedua akan disajikan sore ini. Belakangan suami sedang dinas luar kota, semua urusan dua anak saya tangani sendiri sehingga waktu agak sempit dan update kurang tepat waktu. Tapi tenang, saya akan pelan-pelan menyimpan naskah sebagai hadiah Natal untuk kalian. Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya, juga kartu penopang dari semuanya. 689.BAB 687 Selamat dari Bahaya 　　BAB 687 Selamat dari Bahaya 　　Dayang Ji berjalan di depan memimpin jalan, Putri Fuqing dan Putri ke-14 mengikuti dari belakang. 　　Orang yang berjalan di depan gemetar ketakutan namun tak berani memperlihatkannya, sementara dua gadis di belakang mengamati pemandangan dalam istana pangeran dengan penasaran. 　　Awal bulan pertama penanggalan lunar, udara masih sangat dingin, pepohonan tampak gersang tanpa banyak warna hijau, namun kedua putri itu menikmati pemandangan dengan antusias. 　　Keluar dari istana bersama saudari perempuan merupakan pengalaman langka baik bagi Putri Fuqing maupun Putri ke-14. 　　"Dua Paduka Putri silakan lewat sini." Dayang Ji berhenti di depan sebuah pekarangan dan memberi isyarat hormat. 　　Putri Fuqing tersenyum lembut dengan suara manis: "Apakah istri ketujuh sedang membaca kitab suci dan berdoa di sini?" 　　Pekarangan ini tidak terlalu besar, dengan jalan kecil berkerikil warna-warni menuju pintu masuk yang sederhana, sunyi dan damai. 　　Putri Fuqing berhenti sejenak mengamati, lalu mengangkat roknya dan melangkah masuk. 　　Putri ke-14 mengikuti dekat di samping Putri Fuqing tanpa banyak bicara. 　　Semakin masuk ke dalam, aroma kayu cendana semakin menyengat. 　　Dua dayang cantik berdiri di kedua sisi pintu, melihat kedua putri mendekat mereka segera membungkuk hormat: "Hamba menyambut kedatangan dua Paduka Putri." 　　Putri Fuqing yang berwatak lembut dan selalu ramah pada pelayan, mengangkat tangannya secara simbolis: "Cepatlah bangun. Kalian adalah dayang pendamping istri ketujuh?" 　　A Qiao dan Ah Man bangkit bersama-sama. 　　Ah Man yang telah diingatkan oleh A Qiao untuk sedikit berbicara, akhirnya A Qiao yang menjawab: “Hamba bernama A Qiao, ini Ah Man. Kami adalah dayang utama yang mengikuti Permaisuri sejak kecil.” 　　Putri Fuqing tersenyum mengangguk, pandangannya menyapu ke dalam: “Permaisuri ada di dalam?” 　　“Permaisuri sedang berdoa memohon berkah.” A Qiao sedikit menyingkirkan badannya. 　　Putri Fuqing melihat siluet anggun sedang bersujud di depan patung Bodhisattva, hanya dari punggung yang pergi sudah terasa sangat khusyuk. 　　Dayang Ji di samping juga melihat siluet itu, matanya terbelalak kaget memperhatikan lebih seksama. 　　Namun cahaya dalam ruangan redup dan asap dupa mengepul, sulit dipastikan apakah ini hanya ilusi penglihatan. 　　“Permaisuri, Putri Fuqing dan Putri ke-14 datang mengunjungi.” teriak A Qiao. 　　Sosok di dalam perlahan menolehkan wajah, mengangguk ringan ke arah pintu sebagai salam. 　　Dayang Ji membelalakkan mata, refleks mundur setengah langkah ditopang oleh Ah Man. 　　Dayang Ji berpaling menatap Ah Man, bertanya dengan tatapan: Bagaimana bisa? 　　Ah Man mengatupkan bibirnya, diam. 　　A Qiao menjelaskan pada Putri Fuqing: “Permaisuri sebelumnya bermimpi, orang dalam mimpinya berkata berdiam diri dalam pertapaan adalah bukti kekhusyukan. Sejak hari itu Permaisuri berhenti bicara.” 　　“Mimpi seajaib itu?” Putri Fuqing terkejut. 　　A Qiao segera mengangguk: “Benar, Permaisuri kami terkadang mengalami mimpi-mimpi luar biasa, berbeda dengan orang biasa.” 　　Putri Fuqing tidak bisa tidak mengangguk, teringat penyakit matanya yang disembuhkan Jiang Si. 　　Istri Ketujuh memiliki banyak strategi ajaib, dia mengetahuinya. 　　"Permaisuri sedih karena jenazah kakak laki-laki tak bisa ditemukan, sekaligus khawatir akan keselamatan Pangeran. Karena itu, permohonan doa di balik pintu ini dilakukan dengan penuh ketulusan. Kedua Paduka datang, Permaisuri tak bisa melayani dengan baik. Hamba mohon maaf atas nama Permaisuri——" 　　"Tak perlu demikian. Kedatangan kami memang tiba-tiba. Aku sangat merindukan Istri Ketujuh, sekarang bertemu pun sudah Hasrat Terkabul. Kami tak akan mengganggu permohonan doanya. Saat Kakak Ketujuh kembali, aku dan Adik Keempat Belas akan berkunjung lagi." Putri Fuqing sedikit menekuk lutut ke arah pintu, suaranya jernih, "Istri Ketujuh, nanti kami akan datang lagi bermain." 　　Orang di balik pintu membungkuk membalas salam kepada Putri Fuqing dan Putri ke-14. 　　"Adik Keempat Belas, mari kita pergi." Putri Fuqing menarik lengan Putri ke-14. 　　Putri ke-14 yang tidak suka bicara hanya mengangguk, mengikuti Putri Fuqing meninggalkan istana pangeran. 　　Setelah kedua putri pergi, Dayang Ji langsung lemas di kakinya, menunjuk ke dalam ruangan: "Pa... Permaisuri kan sudah pergi, bagaimana bisa... bagaimana——" 　　Ucapannya tercekat karena wanita di dalam ruangan sudah berdiri dan berjalan keluar. 　　Saat wanita itu meninggalkan lingkaran dupa dan cahaya remang-remang, berdiri di area terang dekat pintu, Dayang Ji membelalakkan matanya tak percaya, menunjuk sambil berteriak: "Ka...kau bukan Permaisuri?" 　　Saat dia berkata demikian, ada sedikit keraguan karena wanita di depannya terlihat sangat mirip dengan Permaisuri Yan, sekitar tujuh-delapan persen kemiripannya. 　　Wanita itu wajahnya pucat, masih ketakutan bertanya: "Dua putri sudah pergi?" 　　A Qiao yang sebelumnya tenang tiba-tiba juga menunjukkan wajah ketakutan: "Sudah, Yang Mulia tak perlu khawatir." 　　Wanita itu menghela napas lega, bersandar di pintu untuk menenangkan diri. 　　Dayang Ji semakin bingung: "Ini--" 　　Ah Man tersenyum: "Ini kakak perempuan Permaisuri kami. Nyonya Muda, tadi di dalam kamar Yang Mulia sangat mirip dengan tuanku, hamba sampai tak mengenalinya. Kalau bukan karena tahu tuanku sedang perjalanan ke selatan, hamba pasti mengira ini tuanku." 　　Dayang Ji baru tersadar, memandang Jiang Yi dengan heran: "Mengapa penampilan Yang Mulia--" 　　Jiang Yi yang sudah tenang tersenyum lembut: "Hanya sedikit dirias. Aku dan Adik Keempat memang sudah agak mirip." 　　"Oh begitu rupanya." Dayang Ji mengangguk ragu. 　　Ah Man menyemangati: "Dayang, di depan masih banyak urusan yang perlu Dayang atur." 　　Dayang Ji menatap Jiang Yi dalam-dalam sebelum akhirnya pergi. 　　Melihat Dayang Ji pergi, Ah Man tak bisa menahan diri lagi dan menepuk dadanya: "Sungguh menakutkan! Untung Nyonya Muda berakting dengan sempurna." 　　Jiang Yi menggeleng dengan hati masih berdebar-debar: "Ini semua karena kearifan Adik Keempat yang sudah menyiapkan segalanya lebih dulu." 　　Di Yuyuan, selain A Qiao dan Ah Man, ada juga seorang dayang bernama Hongxian yang cekatan dan ahli dalam merias wajah, juga dibawa dari Keluarga Bo. 　　Sebelum pergi, Jiang Si mengajarkan teknik penyamaran secara singkat kepada Hongxian. 　　Tentu saja, Jiang Si tidak menguasai teknik penyamaran dengan baik, sehingga muridnya pun biasa-biasa saja. Namun ini tidak menghalangi Hongxian untuk memberi sentuhan riasan ringan pada Jiang Yi, membuatnya terlihat seperti Jiang Si di dalam ruangan remang-remang. 　　Sebenarnya kedua saudari ini memang memiliki kemiripan wajah, sehingga tidak sulit untuk mencapai efek tersebut. 　　Ah Man tertawa mendengarnya: "Tentu saja! Tuanku sangat teliti, pasti sudah mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum pergi." 　　Jiang Yi mengangguk sambil tersenyum, namun hatinya kembali cemas saat mengingat adiknya yang sedang dalam perjalanan jauh. 　　Tuhan saja tahu bagaimana paniknya dia saat menerima surat adiknya yang mengaku pergi diam-diam. Begitu buru-buru datang ke istana pangeran, Nona Keempat sudah lama pergi. 　　Untungnya Hongxian ahli merias, setelah dirias wajahnya mirip 70-80% dengan Nona Keempat, barulah hatinya sedikit tenang. 　　Nona Keempat berpesan agar tidak perlu datang ke istana pangeran sampai tahun baru untuk menghindari kecurigaan. Jika belum bisa kembali sebelum tahun baru, setelah hari kedua Imlek diam-diam menginap di istana pangeran untuk mengantisipasi keadaan darurat. 　　Tak disangka baru dua hari di sini, benar-benar menghadapi situasi ini! 　　Apakah Nona Keempat sudah meramalkan kejadian hari ini? 　　Pada detik ini, Jiang Yi semakin mengagumi kecerdikan adiknya. 　　Padahal ini adalah adik perempuan yang selalu dikhawatirkan dan dirindukannya, tapi sekarang justru lebih hebat daripada kakaknya yang tak berguna ini. 　　Dulunya masih ada Adik Kedua yang menopang keluarga, tapi sekarang Adik Kedua sudah tiada, tinggal dia sendiri... 　　Jiang Yi mengusap sudut matanya dengan lembut, menghapus sedikit garis lengkung yang digambar dengan kuas tinta di ujung mata, menampakkan wajah aslinya. 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 setelah meninggalkan Kediaman Pangeran Yan berjalan-jalan di jalanan ramai, tapi mendapati toko-toko belum buka, akhirnya terpaksa cepat kembali ke istana untuk memberi salut pada Permaisuri. 690.BAB 688 Nyonya Wei Masuk Istana 　　BAB 688 Nyonya Wei Masuk Istana 　　Melihat kedatangan Putri Fuqing dan Putri ke-14, Permaisuri meletakkan cangkir teh di tangannya sambil tersenyum bertanya: "Bukannya setelah menemui istri ketujuh kalian mau jalan-jalan, kok cepat sekali kembali?" 　　Putri Fuqing mengatupkan bibir: "Toko-toko masih tutup semua, jadi terpaksa cepat kembali." 　　Dia curiga berat sang Ibu Permaisuri sudah tahu ini sebelumnya, makanya mengizinkan dengan mudah. 　　Permaisuri memandang Putri ke-14: "Kalian sudah bertemu Permaisuri Yan?" 　　Kedua putri serentak menjawab: "Sudah." 　　"Lalu... bicara apa saja?" 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 saling pandang. 　　Permaisuri mengangkat alis: "Kenapa?" 　　Putri Fuqing mengatupkan bibir: "Saat kami datang, istri ketujuh sedang berdoa di kuil kecil, jadi tidak berbicara..." 　　Hati Permaisuri berdebar, tapi tetap tenang: "Kenapa tidak bicara? Apakah kalian tidak menunggu Permaisuri Yan selesai membaca sutra dulu?" 　　"Putri Fuqing tidak merasa ada yang aneh, tersenyum berkata: 'Dayang pendamping istri ketujuh bilang Nyonya Ketujuh bermimpi, orang dalam mimpi menyarankan diam lebih menunjukkan ketulusan. Dengan begitu bukan saja Kakak Ketujuh bisa cepat pulang, mungkin juga dapat kejutan tak terduga. Kami pun tak mau mengganggu istri ketujuh.'" 　　Permaisuri merasa ada yang aneh setelah mendengarnya. Setelah mengantar kedua putri pergi, dia berpikir sejenak lalu diam-diam memanggil kembali Putri ke-14. 　　Saat berdiri kedua kalinya di hadapan Permaisuri, Putri ke-14 baru sadar perjalanan hari ini tidak sesederhana itu. 　　Sebagai orang yang tahu diri, dia berdiri anggun tanpa bicara selama Permaisuri belum membuka mulut. 　　Permaisuri mengangguk halus, bertanya: "Si Empat Belas, kau benar-benar bertemu Permaisuri Yan bersama Fuqing?" 　　"Benar." 　　"Coba ceritakan detail kejadian saat itu." 　　"Setelah tiba, saya dan Kakak Ketigabelas menunggu sebentar di Ruang Penerimaan, lalu dipimpin seorang Dayang ke kuil kecil. Di sana ada dua dayang yang mengaku sebagai pelayan pribadi istri ketujuh--" 　　"Lalu Permaisuri Yan?" 　　"Istri ketujuh ada di dalam kuil. Kami tidak masuk, hanya menyapa dari luar pintu." 　　"Artinya dari awal sampai akhir tidak ada percakapan dengan Permaisuri Yan?" 　　"Ya." 　　Setelah lama merenung, Permaisuri bertanya: "Kau yakin tidak salah mengenali? Itu benar Permaisuri Yan?" 　　Pertanyaan semakin aneh ini membuat hati Putri ke-14 berdebar. 　　Dengan hati-hati dia menjawab setelah berpikir sejenak: "Putri jarang bertemu istri ketujuh, tapi saat itu yang terlihat memang dia..." 　　Permaisuri mengangguk: "Kalau begitu kau boleh pulang. Masalah hari ini, ingat jangan bocorkan kepada siapa pun." 　　Putri ke-14 memberi hormat kepada permaisuri: "Ibu tenang saja, putri mengerti." 　　Atas kesopanan Putri ke-14, permaisuri sangat puas dan memberinya sepasang gelang emas untuk dibawa pulang. 　　Putri ke-14 menerimanya dengan lapang dada lalu pergi diam-diam. 　　Permaisuri bersandar di penyekat sambil merenung. 　　Menjelang waktu makan malam, pihak Kaisar Jingming mengirim utusan untuk memberitahu bahwa makan malam akan diadakan di Istana Kuning. Permaisuri segera memerintahkan Dapur Kecil untuk bersiap. 　　Hari cepat gelap, Istana Kuning telah memasang deretan lentera merah yang menghangatkan suasana dalam ruangan. 　　Namun suasana hati Kaisar Jingming terlihat gelisah. Setelah hanya menyantap beberapa suap, ia menyuruh dayang-dayang mundur sambil memegang cangkir teh bertanya: "Fuqing mereka sudah kembali, apa mereka bertemu dengan istri Lao Qi?" 　　"Saat mereka tiba, Permaisuri Yan sedang sembahyang. Keduanya tidak berlama-lama, hanya bertemu sebentar di pintu..." 　　Mendengar laporan permaisuri, Kaisar Jingming menghela napas lega dan tersenyum: "Istri Lao Qi benar-benar bisa tenang. Tak mudah bagi pemuda seusianya bersikap seperti ini." 　　Kalau aku yang disuruh membaca sutra, pasti sudah tertidur. 　　Permaisuri yang telah merenung lama akhirnya memilih tidak menyuarakan firasat anehnya tanpa bukti konkret, lalu menyambung: "Dengan ketulusan Permaisuri Yan seperti ini, pasti Pangeran Yan akan segera pulang." 　　Kaisar Jingming mendengar Permaisuri menyebut anak lelaki mereka, alutnya berkerut, dengan nada tidak puas berkata: "Sudah pergi begitu lama belum kembali, anak ini memang keras kepala, hal-hal yang jelas sia-sia tetap dipaksakan." 　　Konon jenazah putra Dongping Bo jatuh ke Sungai Jishui yang luas dan berarus deras. Mencari jenazah di sana bagaikan mencari jarum dalam jerami. 　　Permaisuri berkesan baik pada pasangan Pangeran Yan, memuji: "Pangeran Yan sangat menghargai Permaisuri Yan, ini hal yang baik." 　　Kaisar Jingming mendengus: "Pergi jauh meninggalkan istri yang setiap hari membaca sutra, tidak takutkah dia benar-benar menganut Buddha—" 　　"Batuk-batuk." Permaisuri mendengar ucapan Kaisar semakin tak pantas, berdehem lembut dua kali. 　　Namun Kaisar Jingming justru terlihat lega seolah beban telah terangkat, langsung beristirahat di Istana Kuning. 　　Di Istana Yuquan, Ibu Suri Xian mendengar kabar Kaisar bermalam di Istana Kuning, hati dipenuhi kejengkelan. 　　Seandainya Kaisar bermalam di tempat peri muda cantik, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi ini malah di tempat Permaisuri. Bagaimana perasaan kami yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana? 　　Belakangan ini, Ibu Suri Xian merasa semua hal berjalan tak sesuai rencana. 　　Rencana menjebak Istri Lao Qi gagal malah menyangkutkan Istri Lao Si. Seandainya Istri Lao Si tewas mungkin masih bisa diterima, tapi ini malah diselamatkan. Untuk sementara dia tetap menduduki posisi Permaisuri Qi tanpa bisa mengurus rumah tangga Lao Si. 　　Dengan begini, Lao Si pasti akan kelelahan. Selain itu, selama tahun baru ini Lao Si bersikap sangat rendah diri. Meskipun seharusnya menghindari sorotan, tetap saja membuatku merasa iba melihatnya. 　　Sekarang jelas-jelas Lao Si yang paling berhak, tapi Kaisar sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda. Sebenarnya apa yang ada dalam pikirannya? 　　Mengingat perhatian Kaisar terhadap Permaisuri selama dua tahun terakhir, Ibu Suri Xian tiba-tiba merasa cemas. Ia berencana memanfaatkan kesempatan tahun baru untuk mengundang kakak iparnya, Nyonya Wei, masuk istana sebagai pengingat. 　　Keesokan harinya, Ibu Suri Xian mengundang Nyonya Wei dari Keluarga An Guo Gong masuk istana dengan alasan merindukan keluarga di tahun baru. 　　Ibu Suri Xian sudah lama tidak bertemu Nyonya Wei. Ketika bertemu di istananya hari ini, ia terkejut: "Mengapa penampilan Kakak terlihat kurang baik?" 　　Kakak iparnya ini adalah tipe yang manis di luar tapi pahit di dalam. Karena selalu berpenampilan lembut, dua tahun lalu sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang sudah memiliki putra sulung berusia tiga puluh tahun. 　　Tapi sekarang, tanda-tanda penuaan mulai terlihat jelas. 　　Uban yang tak tersembunyi di pelipis, sudut mata yang mulai melorot, dan penampilan yang kurang segar - semua menunjukkan proses penuaan. 　　Mendengar pertanyaan Ibu Suri Xian, Nyonya Wei menghela napas: "Tak ada yang perlu disembunyikan dari Nyonya. Semua ini karena ulah pasangan Putra Ketiga!" 　　Jika ini terjadi lebih awal, Nyonya Wei mungkin masih bisa bertahan. Tapi menantu ketiga sudah menikah cukup lama. Menyaksikan rumah tangga ketiga semakin kacau, anak bungsunya yang dulunya patuh dan baik hati berubah menjadi playboy di Sungai Jinshui, Nyonya Wei sudah kehabisan tenaga untuk menutupi. 　　"Dulu Yi'er sangat tergila-gila pada Qiao Niang, bagaimana bisa berakhir seperti ini?" 　　Nyonya Wei mendengus: "Keluarga rendahan memang tak bisa lepas dari sifat picik. Tak hanya mandul, dia juga setiap hari menuduh Yi'er berselingkuh dengan dayang. Kau tahu sendiri Yi'er, seburuk apapun tak mungkin main serong dengan pelayannya. Tapi terus-menerus dicurigai, ditambah hasutan teman-teman tak bermoral, akhirnya dia kabur ke Sungai Jinshui. Lebih baik dia menggauli dayang bersih daripada berurusan dengan sampah masyarakat di sana..." 691.BAB 689 Kakak Kedua Jiang Kembali 　　BAB 689 Kakak Kedua Jiang Kembali 　　Ibu Suri Xian mendengar keluhan Nyonya Wei tanpa mengusulkan untuk menyuruh keponakannya menceraikan Qiao Niang. 　　Sebenarnya jika anak keluarga An Guogong menikahi gadis desa dan tidak cocok, menceraikan istri lalu menikah lagi adalah hal biasa. Tapi keluarga An Guogong adalah keluarga ibu Pangeran Qi. Ibu Suri Xian tidak ingin keluarga tercoreng noda perceraian yang bisa merusak masa depan putranya. 　　Di saat krusial seperti ini, satu kesalahan kecil yang jatuh ke tangan lawan bisa menjadi bukti kompromi untuk diserang. Ibu Suri Xian tak ingin menimbulkan masalah baru. 　　Nyonya Wei berbicara cukup lama, sampai tehnya sudah dingin. Ia mengangkat cangkir dan menyesap sedikit, lalu meletakkannya kembali, alisnya berkerut tanda kesal. 　　Ibu Suri Xian membujuk dengan lembut: "Kakak ipar jangan terlalu khawatir. Yi'er masih kecil, dua tahun lagi pasti akan lebih mengerti. Setidaknya dia berbakti padamu——" 　　Nyonya Wei menggeleng dan mengejek: "Kalau si bencana itu benar-benar berbakti, dulu dia tidak akan nekat menikahi gadis desa sampai mau mati..." 　　Meskipun status Keluarga Dongping Bo lebih rendah, tapi anak perempuan keluarga bangsawan mana pun pasti lebih baik daripada gadis desa yang tak tahu aturan. 　　Mengingat kembali sikapnya dulu yang meremehkan Jiang Si, Nyonya Wei merasa kegelisahan. Andai saja dari awal... 　　Mendengar Nyonya Wei menyebut ini, Ibu Suri Xian langsung naik darah. 　　Kalau dulu keluarga tidak terlibat masalah berantakan ini dan bisa menjalin hubungan baik dengan Dongping Bo Residence, mana mungkin Nyonya Jiang menjadi menantu perempuannya. 　　Ini benar-benar bencana yang gagal menimpa kakak ipar, malah menimpa dirinya. 　　Tapi kemudian terpikir, menantu ketiga Nyonya Wei sekarang bahkan lebih buruk. Ibu Suri Xian merasa amarahnya sedikit mereda. Dengan nada datar ia berkata: "Kapal sudah berlayar. Kakak ipar curahkan saja tenaga untuk mendidik Qiao Niang. Lingkungan membentuk karakter, meski Qiao Niang berasal dari kalangan biasa, lama-lama di lingkungan An Guogong Residence dan dengan bimbinganmu, pasti akan membaik." 　　Nyonya Wei mengangguk setengah hati, mengubah topik pembicaraan. 　　"Bagaimana kesehatan ibu?" 　　"Ibu Suri masih baik, cukup sehat." 　　"Kakak bagaimana? Masih sibuk?" 　　“Kakakmu sekarang sudah banyak menyerahkan urusan pada Chongli, jadi tidak bisa dibilang sibuk……” 　　Setelah berbincang sebentar, suara Ibu Suri Xian menjadi rendah: “Saudari pasti tahu, Zhang'er sedang dalam masa krusial, dukungan Kakak sangat diperlukan……” 　　Nyonya Wei terdiam sejenak, lalu berkata: “Saya ini cuma wanita biasa, tidak pantas mengambil keputusan——” 　　Ibu Suri Xian tersenyum tipis: “Saya tidak bisa bertemu langsung dengan Kakak, tolong sampaikan pesan saya dan tanyakan pendapat Kakak.” 　　Melihat Nyonya Wei masih ragu, Ibu Suri Xian menghela napas: “Zhang'er juga sedang menderita belakangan ini. Setelah bertahun-tahun hidup harmonis dengan istrinya yang cakap mengurus Istana Qi dengan baik, siapa sangka malah tertimpa musibah saat pergi beribadah. Sekarang istrinya jadi gila tak bisa ditemui, entah kapan akan…… Bagaimana nanti Zhang'er bisa hidup tanpa pendamping? Mungkin harus merepotkan Saudari nanti……” 　　Hati Nyonya Wei berdebar, matanya menatap tajam Ibu Suri Xian yang membalas dengan senyum penuh makna. 　　Nyonya Wei sudah paham: ini adalah umpan yang dilemparkan Ibu Suri Xian. 　　Jika Pangeran Qi naik jabatan, pilihan istri kedua akan berada di tangannya. Meski tidak punya putri, tapi keluarga asalnya punya keponakan perempuan. 　　Selain itu, Nyonya Wei juga mendukung ambisi Pangeran Qi. Bagaimanapun, Keluarga An Guogong adalah keluarga pihak ibu Pangeran Qi, secara alami berpihak padanya. 　　“Nyonya tenang saja, pulang nanti saya akan bicarakan dengan Kakak.” 　　Ibu Suri Xian puas mengangkat cangkir teh. 　　Nyonya Wei meninggalkan Istana Kekaisaran dan kembali ke keluarga An Guogong. Saat hendak tidur malam, ia menyampaikan hal ini kepada An Guogong. 　　An Guogong segera berubah muram: "Konyol, urusan macam apa ini kau ikut campur?" 　　"Suami beliau, ini bukan ikut campur sembarangan. Pangeran Qi adalah keponakan kandung Tuan. Jika dia berhasil, bukankah kita akan semakin makmur——" 　　An Guogong mencemooh: "Kurasa kau mulai linglung. Saya sudah menjadi Adipati, mau lebih makmur bagaimana lagi? Api menyala-nyala, bunga berseri-seri, bukankah kemewahan saat ini sudah cukup?" 　　Nyonya Wei tidak setuju: "Suami beliau, keluarga An Guogong adalah keluarga pihak ibu Pangeran Qi. Di mata orang lain kita sudah mendukungnya. Jika kita diam sekarang, tapi bila Pangeran Qi kalah, orang-orang tetap akan menekan kita. Daripada jadi bulan-bulanan, lebih baik bantu Pangeran Qi menang!" 　　"Tidak semudah itu!" An Guogong berwajah masam berseru keras, "Pokoknya jauhi urusan ini! Saya tahu batas!" 　　"Suami beliau——" 　　Nyonya Wei masih ingin membujuk, tapi An Guogong sudah memejamkan mata membelakangi sambil pura-pura tidur. 　　Nyonya Wei menggigit bibir, terpaksa menahan kesal dan tidur. 　　Sementara An Guogong sama sekali tak bisa terlelap. 　　“Dulu adik masuk istana adalah ide ibu, aku tidak punya hak bicara. Setelah dewasa mewarisi gelar, melihat posisi Putra Mahkota stabil, hati agak tenang. Tapi siapa sangka Putra Mahkota menghancurkan diri sendiri, memaksa keluarga para pangeran seperti kami terlibat dalam konflik ini.” 　　“Tadi aku bilang pada istri jangan ikut campur, tapi sebenarnya saat situasi sudah tegang seperti pedang terhunus, mana mungkin bisa netral?” 　　“Pada akhirnya, mungkin Keluarga An Guogong tidak punya pilihan lagi.” 　　“Tapi Pangeran Qi——” 　　“Mengingat keponakan yang selalu dipuji orang itu, entah mengapa An Guogong merasa gelisah.” 　　“Keponakan itu baik, mungkin karena aku orang yang blak-blakan, tidak cocok dengan kepribadian lembut seperti dia.” 　　“Memikirkan masa depan, An Guogong jadi pusing, baru tertidur setelah lama.” 　　“Sementara itu, Jiang Si akhirnya tiba di Kediaman Pangeran Yan pada tanggal 7 bulan pertama.” 　　“Melihat Jiang Si, Jiang Yi langsung menangis: ‘Adik Keempat, akhirnya kau kembali.’” 　　“Kenapa kakak kurus sekali?” 　　“Jiang Yi menggigilkan bibir, jujur berkata: ‘Kalau Adik Keempat telat lagi pulang, aku pasti lebih kurus.’” 　　“Hidup dalam ketakutan seperti ini bukanlah hidup manusia.” 　　“Jiang Yi bahkan merasa setelah melewati ini, apapun di masa depan bisa dihadapi dengan tenang.” 　　“Maaf membuat kakak susah, tapi perjalanan ini worth it.” 　　“Adik Keempat, sebenarnya kenapa kau ke selatan?” Melihat Yu Jin tidak ikut pulang, Jiang Yi paham tujuan perjalanan adiknya tidak sederhana. 　　Jiang Si menyuruh orang lain pergi, lalu mendekat ke telinga Jiang Yi dan berbisik: "Kakak, saya telah menemukan Kakak Kedua." 　　Seluruh tubuh Jiang Yi bergetar, air mata mengalir tak terbendung dari sudut matanya: "J-jenazah Adik Kedua sudah ditemukan?" 　　Jiang Si terdiam sejenak, memandang kakak tertuanya yang sangat emosional, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan: "Bukan, Kakak Kedua... tidak mati——" 　　Jiang Yi menutup mulut sambil terkejut: "Adik Keempat, apa yang kau katakan?" 　　Saat berpisah dulu, Jiang Si sengaja tidak memberi tahu Jiang Yi karena khawatir kakaknya akan terlalu berharap. Kini setelah Kakak Kedua benar-benar kembali, tak perlu lagi disembunyikan. 　　"Saya pergi untuk menjemput Kakak Kedua. Sekarang dia bersama A Jin, mereka akan tiba sebentar lagi..." 　　Jiang Yi sudah tak bisa bicara karena tersedu-sedan. 　　Setelah berpesan pada Jiang Yi untuk merahasiakan kabar ini, Jiang Si membersihkan diri dan menemani putrinya yang sudah lama tak dijumpai. 　　Di hari kedua kepulangan Jiang Si, Yu Jin tiba di ibu kota bersama Jiang Zhe langsung menuju Dongping Bo Residence. 692.BAB 690: Yang Hidup 　　BAB 690: Yang Hidup 　　Di perjalanan, Jiang Zhe masih ragu: "Pangeran, apakah keluarga benar-benar mengira saya sudah mati?" 　　Yu Jin tersenyum: "Nanti sampai di sana pasti tahu." 　　Jiang Zhe mengangguk, lalu menekan perasaan campur aduk: rasa ingin tahu, bersalah, menyesal, dan semacam kegembiraan yang tak jelas, mempercepat langkah menuju Dongping Bo Residence. 　　Di tahun-tahun sebelumnya, Dongping Bo Residence pasti sudah dihiasi lentera dan hiasan merah seperti rumah bangsawan lain. Tapi tahun ini suasana perayaan itu terasa kurang meriah. 　　Meskipun dalam pandangan Nyonya Feng, kehilangan seorang cucu yang tidak penting sebagai ganti gelar bangsawan yang bisa diwariskan selama tiga generasi adalah transaksi yang sangat menguntungkan, namun tuan rumah Keluarga Bo adalah Jiang Ancheng. Tidak pantas jika anggota keluarga lain sama sekali tidak menunjukkan kesedihan. 　　Kematian Jiang Zhan membuat perayaan Tahun Baru di Keluarga Bo menjadi sepi. Pelayan-pelayan mengantuk di pos penjagaan sambil minum teh, bahkan dua patung singa batu di depan gerbang terlihat lesu. 　　Ketukan pintu terdengar. Penjaga pintu membuka: "Siapa di sana?" 　　Jiang Zhan menyunggingkan senyum lebar: "Ini saya." 　　"Aaaa--!" Teriakan panik menggema sebelum pintu gerbang dibanting tertutup. 　　Terdengar jeritan lebih keras dari dalam: "Hantu!!" 　　Jiang Zhan mengusap hidungnya yang hampir tertimpa pintu, tersenyum masam pada Yu Jin: "Rupanya mereka benar-benar mengira aku sudah mati." 　　Di dalam kompleks, penjaga pintu berlari sambil berteriak: "Arwah Tuan Kedua kembali!!" 　　Pelayan-pelayan di sepanjang jalan bereaksi campur antara ingin tahu dan takut. Seorang pelayan menghadang si penjaga: "Apa yang terjadi?" 　　Wajah penjaga pintu pucat membatu: "T-Tuan Kedua... Tuan Kedua kembali!" 　　"Ini siang bolong, jangan mengada-ada--" 　　Mata penjaga melotot: "Siapa yang mengada? Kalian tidak percaya lihat sendiri ke gerbang! Aku harus lapor ke Sang Bangsawan." 　　Penjaga itu mendorong pelayan yang menghalangi dan lari tunggang langgang, meninggalkan kerumunan yang saling pandang bingung. 　　"Lihat reaksi Pak Zhang tua, sepertinya tidak bohong." 　　"Kalau bukan bohong berarti beneran? Lihatlah ke atas, matahari masih tinggi!" 　　“Pergi lihat saja pasti tahu.” 　　Beberapa pelayan berunding, lalu bergegas menuju pintu gerbang. 　　Jiang Zhan yang ditolak mentah-mentah tidak marah, tersenyum pada Yu Jin: "Mungkin mereka ketakutan." 　　Yu Jin menggeleng tanpa ekspresi: "Pelayan Keluarga Bo harus diganti." 　　Setelah mengembalikan kakak iparnya dengan selamat, dia buru-buru ingin reunian dengan A Si. Pelayan tua hanya buang waktu. 　　Saat bergumam dalam hati, pintu gerbang perlahan terbuka. 2-3 orang mengintip, matanya terbelalak melihat situasi di luar bagai melihat hantu. 　　"Cepat minggir, Pangeran masih di luar." Jiang Zhan menunjuk Yu Jin, menarik pintu. 　　Gerakannya malah membuat para pelayan lari terbirit-birit sambil berteriak: "Hantu, hantu--!" 　　Jiang Zhan tersinggung, melangkah masuk sambil membentak: "Hantu ibumu! Tahun baru malah nyantet aku? Lapor ke Ayah, anaknya pulang hidup-hidup!" 　　Mendengar suaranya yang gagah, para pelayan berhenti dan bertanya hati-hati: "Benarkah Tuan ini... Tuan Kedua?" 　　Jiang Zhan memutar mata: "Lagi siapa? Hantu secantik ini? Dasar tolol!" 　　Tak mau buang waktu, dia melangkah ke dalam dan segera bertemu Jiang Ancheng yang berlari keluar. 　　Melihat anaknya, tubuh Jiang Ancheng langsung kaku. Kulit wajahnya bergetar hebat. 　　Jiang Zhan bergegas mendekat, lalu bersujud di hadapan Jiang Ancheng dengan suara "plok": "Ayah, anak lelaki ini tidak mati, anak sudah pulang!" 　　Jiang Ancheng menatap putranya yang bersujud, lama kemudian baru berkata: "Bangunlah—" 　　Jiang Zhan patuh berdiri, menyunggingkan senyum ke arah Jiang Ancheng. 　　Melihat senyum bodoh khas putranya, hati Jiang Ancheng yang semula terombang-ambing mulai tenang. Tapi perasaan seperti dalam mimpi masih tersisa, lalu ia menjepit kulit wajah Jiang Zhan. Merasa kehangatan dan bisa memuntir setengah lingkaran, barulah ia lega: "Pulang saja sudah baik, pulang saja sudah baik." 　　Wajah tampan Jiang Zhan mengernyit kesakitan, tapi tak berani melawan. Dalam hati: Biarlah, ayah sudah terlalu khawatir, dijepit beberapa kali tak apa. 　　Setelah beberapa saat merasakan genggaman belum dilepas, Jiang Zhan batuk: "Ayah, Pangeran yang mengantarkan anak pulang." 　　Jiang Ancheng baru tersadar, menoleh ke arah Yu Jin. 　　Yu Jin menyembah dengan hormat: "Mertua, maksudku sudah mengembalikan kakak ipar." 　　Jiang Ancheng menggenggam tangan Yu Jin, tak bisa berkata-kata. 　　Sebagai menantu pangeran yang membawa pulang putra yang dikira gugur dari ribuan li, hatinya hanya terisi satu pertanyaan: Putriku tidak salah memilih suami. 　　Mencintai rumah hingga burung gagak di atapnya, perhatian menantu pada putrinyalah yang menggerakkan perjalanan ke selatan ini. 　　“Di… di mana dia ditemukan?” Setelah lama, Jiang Ancheng baru bisa mengeluarkan suaranya yang tak bisa menyembunyikan getarannya. 　　“Mertua, lebih baik kita masuk ke dalam untuk berbicara.” 　　Jiang Ancheng tersadar, mengangguk berkali-kali: “Masuk, masuk.” 　　Kemudian kedua mertua dan menantu itu berjalan berpegangan tangan ke dalam, meninggalkan Jiang Zhan yang mengusap wajahnya yang masih perih dicubit, bergumam pelan: “Jadi cuma semangat sesaat, lalu menantu lebih disayangi daripada anak sendiri?” 　　Bukankah dia anak kandung yang “mati lalu hidup kembali”? Begitu saja ditinggalkan? 　　Setelah meragukan hidupnya sebentar, melihat orang-orang sudah menjauh, Jiang Zhan terpaksa berlari menyusul. 　　Seluruh anggota keluarga berkumpul di Cixintang. Setelah memastikan Jiang Zhan benar-benar hidup kembali, mereka semua memberi selamat kepada Jiang Ancheng. 　　Di antara mereka, Tuan Jiang Kedua yang paling kesal. 　　Awalnya gelar bangsawan Keluarga Bo akan diwariskan selama tiga generasi. Karena putra satu-satunya kakak sulung telah tiada, dan menurut pengetahuannya sang kakak pasti tak akan menikah lagi untuk melanjutkan keturunan, gelar itu seharusnya jatuh ke salah satu putranya. Tak disangka Jiang Zhan ternyata kembali hidup! 　　Memandangi kerumunan yang tertawa dan berbicara riang, Tuan Jiang Kedua merasakan kekecewaan yang tak terucapkan. 　　Berbagai kerinduan, selalu hancur di puncak harapan. 　　Namun bagaimanapun, Tuan Jiang Kedua harus berpura-pura gembira. 　　Tiba-tiba Jiang Yuan berkata: “Kakak Kedua, mulai sekarang kau menjadi Putra Mahkota.” 　　Begitu kata-kata ini terucap, ruangan langsung hening seketika. 　　“Putra Mahkota apa?” Jiang Zhan kebingungan, tak sadar menoleh ke Jiang Ancheng. 　　Jiang Yuan bersemangat menjawab: "Putra Mahkota Dongping Bo. Saat Kakak Kedua belum pulang, Kaisar sudah menganugerahkan gelar bangsawan Keluarga Bo yang bisa diwariskan selama tiga generasi. Bukankah Kakak sekarang jadi Putra Mahkota?" 　　Melihat kegembiraan putra keduanya, Tuan Jiang Kedua merasa pusing berputar, namun tak ada yang memperhatikan perasaannya saat ini. 　　"Ayah, sebenarnya ada masalah apa?" 　　Jiang Ancheng tersenyum lebar: "Karena prestasimu dan Adik Keempat, Kaisar memberikan hadiah. Tapi posisi Putra Mahkota baru resmi setelah diajukan permohonan resmi." 　　Jiang Zhan tiba-tiba tersadar: "Kalau aku pulang begini, apakah harus masuk istana untuk berterima kasih?" 　　Yu Jin berkata: "Saat masuk kota sudah kusuruh orang mengirim kabar ke istana. Jika Ayah Kaisar ingin bertemu, seharusnya kabar balasan akan segera datang." 　　Kaisar Jingming yang sedang membelai kucing putihnya menyipitkan mata: "Lao Qi memang beruntung, dia benar-benar menemukan jenazah putra Dongping Bo." 　　Pan Hai buru-buru menjelaskan: "Yang Mulia, ini masih hidup." 693.BAB 691 Pahlawan Terbesar 　　BAB 691 Pahlawan Terbesar 　　Tangan Kaisar Jingming yang sedang membelai kucing putihnya bergetar. 　　Kucing putih itu mengeluarkan suara "Meong" kesal, lalu melepaskan diri dari belaian dan kabur. 　　Kaisar Jingming tak lagi peduli dengan kucing kesayangannya, menatap Pan Hai tajam: "Masih hidup?" 　　Pan Hai mengangguk cepat: "Benar, Kakak Kedua Jiang tidak meninggal, sudah kembali ke Dongping Bo Residence." 　　Ekspresi Kaisar Jingming terus berubah, lama kemudian baru bertanya: "Bagaimana dengan Pangeran Yan?" 　　"Pangeran Yan menemani Kakak Kedua Jiang sepanjang perjalanan pulang." 　　Kaisar Jingming langsung mendengus: "Setelah kembali ke Ibu Kota, bukan langsung masuk istana untuk melapor ke Aku, malah pergi ke Dongping Bo Residence——" 　　Anak ini seperti dipelihara keluarga orang lain ya? 　　Pan Hai tak bisa menanggapi perkataan ini, hanya tertawa kaku tanpa bicara. 　　Kaisar Jingming meliriknya: "Panggil Pangeran Yan dan Putra Mahkota Dongping Bo ke istana." 　　Pan Hai ragu sejenak. 　　Memanggil Pangeran Yan ke istana wajar, tapi Putra Mahkota Dongping Bo... Apa Yang Mulia tidak salah sebut? 　　Perlu diketahui keluarga bangsawan tidak langsung memberikan gelar pada anak yang baru lahir, harus mengajukan permohonan terlebih dahulu, baru resmi setelah Kaisar menyetujui. 　　Biasanya Kaisar tidak akan menolak permohonan seperti ini, tapi ada pengecualian. 　　Misalnya jika tidak puas dengan bawahan tertentu, Kaisar bisa menunda untuk membuat mereka sadar. Atau ketika bangsawan ingin mengajukan gelar untuk anak selir karena istri sah tak punya keturunan, harus diselidiki dulu apakah ada kasus mengistimewakan selir dan mengabaikan istri. 　　Secara umum, Kaisar Jingming sangat perhatian. Permohonan sesuai tata krama tidak dipersulit, yang tidak sesuai langsung ditolak. 　　Melihat Pan Hai ragu, Kaisar Jingming mengangkat kelopak matanya: "Pergilah." 　　"Da." 　　Saat Pan Hai hendak keluar, Kaisar Jingming teringat sesuatu: "Undang Permaisuri ke sini." 　　Tak lama Permaisuri datang. Melihat Kaisar duduk tegak, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun sebagai pasangan, ia merasa hari ini Kaisar agak bersemangat meski terlihat tenang. 　　"Yang Mulia memanggil hamba, ada urusan apa?" 　　Kaisar Jingming membuka matanya: "Lao Qi sudah pulang." 　　Permaisuri terlihat terkejut: "Pangeran Yan sudah kembali? Kalau begitu——" 　　"Dia membawa pulang putra Dongping Bo." 　　Permaisuri tersenyum: "Langit akhirnya membuka mata, tidak menyia-nyiakan ketulusan Pangeran Yan." 　　Kaisar Jingming tahu Permaisuri salah paham, namun tidak menjelaskan, hanya tersenyum penuh makna. 　　Tak lama kemudian, Pan Hai kembali: "Paduka, Pangeran Yan dan Tuan Kedua Jiang sudah tiba." 　　"Bawa mereka masuk." 　　Permaisuri merasa ada yang aneh. 　　Apa maksudnya Pangeran Yan dan Tuan Kedua Jiang tiba? 　　Saat masih bingung, terlihat dua pria muda berjalan berdampingan masuk dan memberi hormat bersama. 　　Sekalipun tenang seperti Permaisuri, saat ini wajahnya berubah pucat, tangannya gemetar hingga penutup cangkir terjatuh dengan suara keras. 　　Sedangkan Kaisar Jingming yang sudah mempersiapkan diri, tetap tenang namun matanya tak lepas mengamati Jiang Zhan. 　　Benar-benar pulang dalam keadaan segar bugar. 　　"Berikan tempat duduk." 　　Pelayan istana membawakan dua bangku kecil. 　　Yu Jin dan Jiang Zhan duduk dengan patuh. 　　Kaisar Jingming memandang keduanya bergantian, berbagai pertanyaan berputar di benaknya, akhirnya berkata: "Yang penting sudah pulang, pasti ayahmu sangat bahagia." 　　Jiang Zhan tersentuh. 　　Lihatlah, Kaisar begitu penyayang, sejak tadi tak pernah mengalihkan pandangan darinya. Tidak seperti ayahnya yang hanya semangat sebentar, lalu matanya hanya tertuju pada calon menantu baik. 　　"Ceritakan bagaimana menemukannya." 　　Jiang Zhan melirik ke arah Yu Jin. 　　Yu Jin langsung berbicara: "Ditemukan di Wu Miao." 　　Sorot mata Kaisar Jingming menjadi tajam: "Wu Miao?" 　　Permaisuri sedang mengusap noda teh di punggung tangan dengan saputangan, mendengar ini tangannya juga terhenti. 　　Di bawah tatapan Kaisar dan Permaisuri, raut wajah Yu Jin tetap tenang: "Putra mengunjungi selatan dan menanyai banyak orang, akhirnya mendapat informasi dari seorang wanita pencuci pakaian. Dia melihat orang berpakaian seragam suku asing menyelamatkan seorang tuan di tepi sungai. Setelah menanyai detail-detailnya, Putra memastikan bahwa penyelamatnya adalah orang Wu Miao. Dengan tekad tak meninggalkan satu pun kemungkinan, Putra pergi ke Suku Wu Miao. Tak disangka, kakak ipar benar-benar diselamatkan mereka..." 　　Yu Jin sangat memahami prinsip berbohong harus dicampur kebenaran agar tak mudah ketahuan. 　　Memang dia tak menyembunyikan apa pun saat pergi ke Wu Miao. Jiang Zhan juga sudah lama tinggal di sana. Jika Jinlinwei di selatan menyelidiki dengan teliti, pasti akan ketahuan. Daripada nanti menimbulkan kecurigaan Ayah Kaisar, lebih baik tutup celah ini sejak awal. 　　"Kalau sudah diselamatkan Wu Miao saat itu, kenapa tidak mengirim kabar?" Kaisar Jingming menatap Jiang Zhan dengan nada kesal, "Kabarmu tewas dalam perang membuat seluruh keluarga sedih." 　　Jiang Zhan diam-diam mengagumi kewaspadaan Yu Jin yang sudah mengajarinya jawaban sebelumnya. Dengan malu dia menjawab: "Ini semua karena kebodohan hamba. Setelah sadar, hamba ternyata kehilangan ingatan!" 　　Kehilangan ingatan? 　　Mendengar dua kata ini, sudut bibir Kaisar Jingming berkedut tak terkendali, langsung teringat pada Putra Mahkota yang Dipecat yang sudah meninggal. 　　Dulu si anak durhaka itu juga pernah "kehilangan ingatan"! 　　Kaisar Jingming mengalihkan pandangan dari kenangan buruk, menatap pemuda tampan dan baik hati di hadapannya. 　　Dari raut wajahnya saja terlihat anak ini jujur dan polos, pasti kehilangan ingatannya asli. 　　Lagipula, berada di tengah suku asing, siapa yang mau pura-pura kehilangan ingatan? Kalau tidak benar-benar lupa pasti sudah mencari cara menghubungi kerabat sejak lama. 　　Kaisar Jingming mempercayai penjelasan ini dan tersenyum, "Bagaimanapun juga, yang penting pulang dengan selamat." 　　Jiang Zhan segera menyahut, "Semua berkat Pangeran Yan, kalau tidak mungkin saya tidak tahu kapan bisa pulang." 　　Kaisar Jingming menatap Yu Jin dan mengangguk anggun, "Kali ini kau memang berbuat baik." 　　Tidak perlu memuji anak sendiri secara berlebihan, nanti jadi besar kepala. 　　Dengan sikap ayah yang tegas, raut wajah Kaisar Jingming semakin serius, "Sebenarnya, semua ini berkat istrimu." 　　Yu Jin tertegun. 　　Meski tidak akan kekanak-kanakan meminta pujian kepada ayahnya setelah berbuat baik, dan sangat menyayangi istrinya, tapi apakah wajar Ayah Kaisar mengatakan hal ini tanpa tahu bahwa A Si diam-diam pergi ke selatan? 　　Jiang Zhan menjadi gugup dan bertanya, "Ada apa dengan Adik Keempat?" 　　Jangan-jangan rahasia perjalanan diam-diam Adik Keempat ke selatan terbongkar? 　　Setelah melihat ekspresi Kaisar Jingming, Jiang Zhan menyangkal dalam hati. 　　Mustahil Kaisar yang bijaksana ini sengaja mengatakan hal sebaliknya untuk menakut-nakuti orang. 　　Kaisar Jingming tertawa, "Kalian tidak tahu ya? Tak lama setelah Lao Qi meninggalkan ibu kota, Permaisuri Yan mengurung diri untuk membaca kitab suci dan berdoa. Untuk menunjukkan ketulusannya, dia bahkan tidak mau bicara. Ternyata doanya terkabul..." 　　Yu Jin dan Jiang Zhan terdiam tertegun setelah mendengar, dalam hati sama-sama bergumam: A Si (Adik Keempat) benar-benar hebat, sampai bisa membujuk Ayah Kaisar (Kaisar) seperti ini... 　　Setelah merasa cukup memahami situasi, Kaisar Jingming mengibaskan tangan menyuruh mereka pergi. 　　Aula menjadi sepi, Kaisar dan Permaisuri saling bertatapan. 　　Beberapa saat kemudian, Kaisar Jingming berkasa-kata seolah tak sengaja: "Nanti tanyakan pada Istri Lao Qi Buddha mana yang dia sembah, kok bisa begitu mujarab." 　　Orang yang sudah dipastikan mati malah hidup kembali, ini terlalu aneh. Seandainya dari dulu membuat kuil kecil untuk Permaisuri sembahyang, mungkin nasib istana sudah berubah. 　　Permaisuri tanpa alasan merasakan firasat buruk, menjawab dengan samar. 694. BAB 692 Kembali ke Rumah Keluarga 　　BAB 692 Kembali ke Rumah Keluarga 　　Setelah keluar dari Istana Kekaisaran, langkah Jiang Zhan terhenti, dia berbisik: "Masalah ada orang melepaskan panah gelap ke aku, kenapa hari ini tidak diberitahu ke Kaisar?" 　　Yu Jin menatap genteng emas dan tembok merah yang berkilau di bawah sinar matahari, berkata pelan: "Tidak perlu buru-buru, lain kali masuk istana baru dibahas." 　　Sudah lama pergi baru pulang, dia belum sempat bertemu putrinya yang tercinta. Harus mampir ke rumah dulu. Kalau sekarang dibahas, pasti akan repot lagi dan waktunya terbuang. 　　Melihat ekspresi penuh makna di wajah Yu Jin, Jiang Zhan dalam hati berpikir Pangeran pasti sudah punya rencana matang, lalu tidak bertanya lagi. 　　Di persimpangan jalan, Yu Jin memegang tali kudanya: "Aku pulang ke Istana Pangeran dulu, lalu ajak A Si ke Rumah Keluarga Bo bersama." 　　Begitu kabar bahwa Jiang Zhan "hidup kembali" tersebar, tak hanya adik kandungnya, semua keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan pasti akan datang berkunjung. 　　Jiang Zhan langsung berkata tergesa-gesa: "Aku akan ikut denganmu ke istana pangeran, sekalian menemui keponakan perempuanku." 　　Meski Yu Jin sangat tidak suka dengan kehadiran orang yang mengganggu ini, dia tetap menganggukkan kepala. 　　Tidak ada cara lain. Paman ingin menemui keponakan perempuannya, mana mungkin dihalangi. 　　Keduanya melesat dengan cepat menuju Kediaman Pangeran Yan. 　　Begitu menginjakkan kaki di pintu istana, sorak gembira bergema dari gerbang hingga ke dalam: "Pangeran sudah pulang——" 　　Terutama Dayang Ji yang kebetulan sedang hendak keluar karena ada urusan, suaranya bergetar kegirangan sambil berlari kencang. 　　Jiang Zhan tertegun, heran memandang Yu Jin: "Pangeran, rupanya Tuan sangat dicintai para pelayan di istana ini." 　　Yu Jin mengusap dagunya, matanya berkedip-kedip: "Ya, aku memang selalu disukai orang." 　　Yang tadi berteriak keras dan berlari kencang itu Dayang Ji? 　　Kenapa setelah pergi sebentar, Dayang Ji yang dulu kukenal sebagai sosok kaku, serius, dan suka mengomel jadi seperti ini? 　　Sambil berpikir begitu, Yu Jin mempercepat langkahnya. 　　Dayang Ji berlari terlalu tergesa-gesa hingga menabrak Sekretaris istana yang buru-buru keluar mendengar kabar kepulangan pangeran. 　　Sekretaris istana langsung memasang wajah tegas, menasihati dengan khidmat: "Dayang Ji, meskipun Pangeran telah kembali, kau tak boleh panik seperti ini. Di usiamu yang sudah sepuh ini kok bertingkah seperti si gadis kecil——" 　　“Kau ngerti apa!” Dayang Ji menarik Sekretaris istana senior dengan kasar, lalu menghilang dalam sekejap mata. 　　Sekretaris istana terdiam sesaat sebelum akhirnya mengeluh panjang, "Kemerosotan moral di istana pangeran, sungguh memprihatinkan!" 　　Bagaimana Dayang Ji yang baik bisa berubah seperti ini? Pasti karena pengaruh buruk Permaisuri! 　　Yu Jin yang mendekat melihat si tua berkumis putih menghentakkan kaki sambil mengeluh, wajahnya langsung berubah masam: "Apa yang kau keluhkan? Kalau soal kemerosotan moral, kenapa harus menyebut istana pangeran?" 　　Sekretaris istana terkekeh ingin pingsan, tapi tak berani mengutarakan isi hatinya. 　　Pangeran itu masih berani bertanya dengan wajah tebal! Ibu kota yang katanya penuh kebajikan itu baik-baik saja, yang merosot moralnya justru istana pangeran! 　　Dayang Ji berlari menuju Yuyuan sambil menyimpan amarah di hati. 　　Si keparat Sekretaris istana itu masih berani menasihatinya! Apakah si tua bangka itu tahu betapa besar tekanan yang dia tanggung sendirian? Dia harus menanggung beban ini seorang diri karena takut orang tua kolot itu mati kaget jika tahu kebenaran, eh malah ditegur. 　　Dibilang tidak bisa mengendalikan emosi masih bisa ditahan, tapi dibilang sudah tua? 　　Goblok! Keriput di wajah si tua itu saja sudah bisa menjepit nyamuk mati, berani-beraninya menyebut dia tua! 　　Berkat amarahnya, Dayang Ji yang sampai di Yuyuan sama sekali tidak terlihat kelelahan. Dengan suara melengking dia berteriak: "Ah Man, A Qiao, Pangeran sudah kembali!" 　　Ah Man dan A Qiao saling memandang, lalu melihat Dayang Ji yang berlari dengan rambutnya acak-acakan, tiba-tiba merasa bersalah. 　　Di istana pangeran, hanya empat orang yang tahu rahasia ini. A Qiao, Ah Man, dan Hongxian adalah orang kepercayaan Jiang Si, sementara Dayang Ji terlibat secara tidak sengaja. 　　Melihat Dayang Ji begitu bersemangat, kedua dayang ini langsung paham: Sang dayang senior mengira Permaisuri yang kabur akhirnya pulang, sehingga tak perlu lagi hidup dalam ketakutan. Kegembiraannya ini sama sekali bukan untuk Pangeran, melainkan untuk Permaisuri. 　　Padahal kenyataannya Permaisuri sudah kembali sejak kemarin, hanya saja tidak memberitahu Dayang Ji... 　　Melihat kedua pelayan perempuan tidak bereaksi, Dayang Ji mengulangi, "Pangeran sudah kembali!" 　　A Qiao segera berpura-pura gembira, "Pangeran sudah kembali? Bagus! Saya akan segera melapor ke Permaisuri!" 　　Ah Man tidak bisa berakting sebaik A Qiao, lalu bertanya, "Apakah Pangeran pulang sendirian?" 　　"Bukan itu——" Dayang Ji tiba-tiba terhenti, "Tidak, ada seseorang yang menyertai Pangeran——" 　　Usianya seumuran dengan Pangeran, ketampanannya hampir menyamai, dan berjalan berdampingan dengan Pangeran. Siapakah pemuda itu? Wajahnya terlihat familiar—— familiar? 　　Tiba-tiba Dayang Ji teringat sesuatu. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar seperti orang menggigil kedinginan. 　　Ah Man kaget melihatnya, segera menyangga Dayang Ji, "Dayang Ji, ada apa denganmu?" 　　Dayang Ji bibirnya pucat, gemetar berkata: "Jiang, Kakak Kedua Jiang——" 　　Saat itu Jiang Si sudah bergegas keluar, menggenggam pergelangan tangan Dayang Ji dengan gugup bertanya: "Apa yang kau katakan?" 　　Suara Dayang Ji tiba-tiba terputus, matanya melotot menatap tajam Jiang Si. 　　Jiang Si masih menunggu Dayang Ji menyebutkan kabar tentang kedatangan kakak laki-lakinya, untuk melanjutkan sandiwara berikutnya. Dengan nada lebih lembut ia berkata: "Dayang jangan terburu-buru, ceritakan perlahan." 　　"Per, Permaisuri?" Dayang Ji menunjuk Jiang Si, "Anda——" 　　Jiang Si tersenyum manis padanya: "Aku kenapa?" 　　Dayang Ji kaget lalu tersadar: Senyum sinis seperti itu pasti Permaisuri asli, bukan sang kakak perempuan yang lembut dan penurut. 　　"Tadi Dayang panik karena apa sebenarnya?" 　　Dayang Ji menekan keheranannya tentang kehadiran Jiang Si di sini, lalu bercerita hal yang lebih mengejutkan: "Pangeran pulang membawa Kakak Kedua Jiang——" 　　Jiang Si sudah bergegas meninggalkan Yuyuan. 　　Dayang Ji menarik lengan A Qiao yang berjalan paling belakang: "A Qiao, sebenarnya ada apa?" 　　A Qiao mengedipkan mata: "Dayang menanyakan apa?" 　　Dayang Ji berbisik: "Kapan Permaisuri kembali? Bukannya sebelumnya yang berpura-pura adalah Nyonya Muda Keluarga Jiang?" 　　A Qiao mengerutkan kening: "Apa maksud Dayang? Bukankah Permaisuri selama ini terus bersemedi di kuil kecil untuk mendoakan Pangeran?" 　　Dengan mata penuh harap melihat A Qiao bergegas menyusul, Dayang Ji tercengang. 　　Ia akhirnya menyadari, dayang-dayang di sisi Permaisuri semuanya licik, hanya dirinya yang bodoh... 　　"A Si, aku kembali." Yu Jin mempercepat langkah saat melihat Jiang Si, memeluknya erat. 　　Jiang Zhan menyeringai sambil memutar matanya. 　　Secara logika, dirinya "hidup kembali" setelah mati, seharusnya Adik Keempat langsung memeluknya dengan haru. Kalau tidak, aktingnya akan ketahuan. 　　Jiang Zhan melihat mereka masih berpelukan, batuk-batuk kecil sebagai peringatan. 　　Jiang Si mendorong Yu Jin dengan kasar, lalu berlari ke arah Jiang Zhan: "Kakak Kedua, syukurlah kau baik-baik saja——" 　　Belum sampai mendekat, ia sudah ditarik kembali oleh Yu Jin. 　　"A Si, jangan terburu nafsu. Mari kita masuk dan bicara perlahan." Yu Jin tersenyum manis sambil menarik Jiang Si masuk ke dalam rumah, dalam hati mencemooh. 　　Si Jiang Zhan ini semakin tak tahu malu. Cukup dapat kesempatan sedikit saja, masih berharap bisa memeluk istrinya? 　　Saat Pangeran Ketujuh Yu Qi sedang bergumam, bayangan kuning-hitam melesat dari samping dan menerjang Jiang Si. 695.BAB 693 Satu Masalah 　　BAB 693 Satu Masalah 　　Er Niu berdiri dengan kaki belakangnya, cakar depan bertumpu di bahu Jiang Si, menjulurkan lidah penuh kasih ingin menjilat pipinya. 　　Yu Jin menendang Anjing Besar yang menyergapnya dengan gerakan cepat, wajahnya masam: "Anjing tak berhati nurani! Tuanmu yang membesarkanmu sejak kotoran masih melekat di tubuhmu sudah pulang, tapi kau malah bersikap seperti ini!" 　　Er Niu melirik Yu Jin, lalu merengek-rengek pada Jiang Si dengan wajah memelas. 　　Jiang Si menepuk lengan Yu Jin, berkata dengan kesal: "Untuk apa kau ribut dengan Er Niu?" 　　Meski sudah pulang sehari sebelumnya demi meminimalkan celah dalam sandiwara hari ini, bahkan Dayang Ji pun tidak diberi tahu, ternyata mereka lalai memperhatikan Er Niu. Performa Er Niu hari ini bisa dibilang menjadi celah yang cukup mengganggu. 　　Yu Jin masih terus menggerutu: "Sudah setiap hari bersama nyonya rumah masih belum puas? Minggir sana!" 　　Er Niu menggonggong dua kali pada Yu Jin, lalu melesat ke kamar samping. 　　"Kakak Kedua, kabar tentang musibah yang menimpamu membuat keluarga kami kacau balau... Ceritakanlah pengalamanmu selama ini." Melihat banyak pelayan masih mengawasi, Jiang Si terpaksa melanjutkan aktingnya. 　　Jiang Zhan yang tidak mahir berpura-pura hanya tersenyum cerah: "Itu nanti saja, aku ingin melihat keponakan perempuanku dulu." 　　Jiang Si malas melanjutkan sandiwara, melangkah menuju kamar samping: "Ikutlah Kakak Kedua, A Huan mungkin sedang tidur." 　　Semua orang berduyun masuk ke kamar samping, meninggalkan dayang-dayang yang bertugas di luar. 　　Bulan masih dingin, A Huan ditempatkan di ruangan paling dalam yang dilindungi lapisan-lapisan tirai kapas berhiaskan sulaman indah, menahan hawa dingin di luar. 　　Suara drum mainan terdengar melalui tirai pintu, berbunyi tak berirama. 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Ini ibu susu atau dayang? Menggunakan drum mainan untuk menghibur anak saja tidak becus, sebaiknya ditugaskan ke tempat lain." 　　Jiang Si dengan tenang mengangkat tirai pintu dan masuk. 　　Yu Jin dan Jiang Zhan segera menyusul, tertegun melihat pemandangan di dalam ruangan. 　　Er Niu menggigit drum mainan sambil menggelengkan kepala, suara pukulan tak beraturan keluar dari mulutnya. A Huan yang duduk goyah tertawa terkekeh menatap anjing besar yang bermain drum, tak menyadari kedatangan orang. 　　Inang pengasuh berdiri di samping dengan tangan terentang waspada, siap menahan bila A Huan terjatuh. 　　Jiang Zhan membelalakkan mata, bahkan lupa melihat keponakan perempuannya yang belum pernah dijumpai, terpaku menatap Er Niu. 　　Selama ini dia merasa anjing ini tidak biasa, terutama sangat menyebalkan saat mengusik, memberi kesan sengaja provokatif. Ternyata makhluk ini benar-benar jadi siluman, bisa menghibur anak dengan drum mainan! 　　Yu Jin menatap pemandangan ini dengan perasaan kompleks. 　　Melihat Er Niu membuat A Huan tertawa riang, kalau begini terus, apakah si anjing ini akan menyisihkannya sebagai ayah ke pinggir tembok? 　　Merasakan krisis, Yu Jin bergegas mendorong Er Niu ke samping. 　　Drum mainan dari mulut Er Niu jatuh berdebam ke lantai. 　　Suara drum mainan berhenti, A Huan langsung mengerutkan bibir kecilnya melihat wajah ayah, lalu menangis keras. 　　Yu Jin seketika merasa canggung, tak tahu harus berbuat apa sambil mencoba menggendong putrinya, tapi tangisan si kecil malah makin keras. 　　Ia pun memandang Jiang Si minta tolong. 　　Jiang Si buru-buru mengambil A Huan, menggendongnya sambil menenangkan sambil melirik Er Niu. 　　Jangan dikira dia tidak tahu, Er Niu sengaja menjatuhkan drum mainan itu. Kasihan seseorang yang tak sadar dikibuli anjing peliharaannya sendiri... 　　Setelah sebentar merasa kasihan pada suaminya, Jiang Si memutuskan untuk tidak campur tangan. 　　Bagaimanapun, baik putrinya maupun Er Niu paling dekat dengannya. Itu sudah cukup. 　　A Huan berhenti cegukan di pelukan Jiang Si. Baru berani Jiang Zhan bersuara: "A Huan, lihat paman. Aku pamanmu." 　　Yu Jin buru-buru berkata: "A Huan masih malu-malu. Baru berhenti menangis, tak bisakah kau menunggu sebentar?" 　　Belum selesai bicara, A Huan sudah mengamati Jiang Zhan penasaran, lalu mengulurkan tangan. 　　Ini minta digendong? 　　Wajah Yu Jin menjadi gelap. Ia hanya bisa memandang Jiang Zhan menggendong A Huan dan menciumnya, sementara A Huan tidak menangis malah terkikih-kikih. Hatinya semakin tidak karuan. 　　Baru pergi sebentar, putri kesayangannya sudah tidak mengenalinya lagi. Bertemu dengannya tidak sebagus bertemu Er Niu. Sudahlah, Er Niu si anjing ini memang tidak punya kesadaran sebagai anjing, sampai bisa main drum. Tapi ini pertama kalinya Jiang Zhan bertemu A Huan! 　　“A Huan mungkin melihat Kakak Kedua dan saya agak mirip, jadi merasa akrab,” ujar Jiang Si berusaha menenangkan suaminya. 　　Jiang Zhan mengangkat A Huan tinggi-tinggi, membuat sang bayi tertawa riang. “Betul! Makanya panggil paman. Pamannya ini orang terdekat A Huan. Kalau kelak A Huan dizalimi, harus cari paman untuk membela!” serunya penuh kesombongan. 　　Yu Jin menyeringai dingin. 　　Masih saja bermulut besar? Benar-benar tak tahu diri kalau tidak diingatkan. 　　“Sedekat apapun bukan anak kandung. Kalau suka anak, lebih baik punya sendiri.” Tiba-tiba Yu Jin tersadar, “Oh iya, baru ingat kau belum menikah.” 　　Jiang Zhan menyeringai ke arah Yu Jin. 　　Ipar macam apa ini? Sungguh menyakitkan hati. 　　Setelah menemani A Huan bermain sebentar, ketiganya menuju Dongping Bo Residence. 　　Dalam waktu singkat, Dongping Bo Residence telah dibersihkan total. Bahkan singa batu di pintu masuk terlihat lebih gagah dari sebelumnya. 　　“Paduka Pangeran, Permaisuri, dan Tuan Kedua telah tiba!” 　　Jiang Ancheng menyambut langsung. Ia menepuk bahu Yu Jin, lalu memandangi Jiang Si dengan seksama. “Syukur tidak kurus. Masih muda, beribadah setiap hari boleh saja, tapi jangan sampai pantang makan merusak kesehatan.” 　　Tiba-tiba ia melotot ke Jiang Zhan. “Dasar kau! Selalu membuat adikmu khawatir. Sehari tidak berbuat onar saja tidak bisa ya?” 　　Jiang Zhan mengusap hidungnya dengan kesal, tak bisa menangis. 　　Dia baru saja kembali, "hidup kembali dari kematian", tidak bisakah Ayah Paduka lebih memikirkan hal ini? 　　Jiang Yi menyambut dan membujuk, "Ayah, jangan bicara tentang ini di luar, mari masuk dulu." 　　Sekelompok orang memasuki Cixintang. 　　Setelah kehangatan sesaat, Nyonya Feng menatap Jiang Si dengan nada kompleks: "Ternyata doamu selama mengurung diri benar-benar membawa Zhan'er pulang, sungguh Langit membuka mata..." 　　Kalau Si'er begitu mujarab berdoa, bukankah nanti jika aku sakit, bisa menyuruhnya memohon kepada Buddha? 　　Ibu Suri sedang berkhayal indah, tiba-tiba Jiang Si tersenyum ringan: "Hati yang tulus pasti dikabulkan. Kakak Kedua adalah orang terdekatku, ketulusanku tentu tak berkurang sedikitpun." 　　Dada Nyonya Feng serasa tertembak panah, tak bisa berkata-kata. 　　Ternyata dia berkhayal berlebihan. Dengan sikap Si'er padanya, sudah untung tak dikutuk. 　　Setelah makan malam bersama keluarga Bo, Jiang Si mencari kesempatan berbicara berdua dengan Jiang Ancheng. 　　"Ayah, ada sesuatu ingin kutanyakan." 　　Jiang Ancheng belum menyadari pertanyaan mengejutkan yang akan diajukan putrinya, sambil mengangkat cangkir teh berkata santai: "Mau tanya apa?" 　　Jiang Si mengutarakan keraguan yang lama mengganggu pikirannya: "Apakah ibu dulu hanya melahirkanku seorang?" 　　"Mana mungkin hanya kamu, kan ada Kakak dan Kakak Kedua." Jiang Ancheng menjawab sambil menyeruput teh. 　　“Maksud Putri, saya tidak punya saudari kembar?” 　　Dengan suara "plak", Jiang Ancheng memuncratkan teh dari mulutnya. 696. BAB 694 Ujicoba 　　BAB 694 Ujicoba 　　Melihat reaksi Jiang Ancheng, hati Jiang Si berdebar kencang. 　　Jangan-jangan tebakanku benar, sehingga reaksi Ayah begitu keras? 　　Ia pura-pura santai menyodorkan saputangan, bersuara lembut: "Ayah jangan gugup, saya hanya bertanya saja——" 　　Sebelum kalimat selesai, telapak tangan besar sudah mendarat di dahinya. 　　"Tidak demam…" Jiang Ancheng bermuka serius, benar-benar khawatir, "Si'er, jangan-jangan kau setiap hari menghadapi patung Buddha sambil bermeditasi, terlalu lama tidak bertemu orang, jadi linglung?" 　　Jika Putri yang baik ini jadi linglung, nanti anak brengsek itu akan kugantung dan pukuli. 　　Jiang Si antara ingin tertawa dan menangis: "Ayah salah sangka, saya tidak linglung." 　　"Lalu kenapa kau bertanya yang aneh-aneh?" 　　Jiang Si sudah mengantisipasi pertanyaan ini, ragu sebentar lalu menjawab: "A Jin kan pernah ke selatan, tidak sengaja bertemu seorang nona yang mirip dengan saya..." 　　Jiang Ancheng langsung tertarik: "Benar mirip denganmu?" 　　"Ya." 　　Jiang Ancheng mengibaskan tangan: "Tidak mungkin, kau kira paras cantik semudah itu? Pasti Pangeran salah lihat." 　　Jiang Si semakin frustasi, berulang kali meyakinkan bahwa Yu Jin tidak salah lihat, barulah Jiang Ancheng percaya. 　　“Ini hanya kebetulan. Saat ibumu melahirkanmu, Ayah menunggu di luar. Kamu lahir sendirian, mana mungkin ada anak kembar?” 　　Jika memiliki dua putri seperti Si'er, mana mungkin Ayah tidak tahu sampai ada satu yang hilang? Pasti Ayah sudah sangat bangga! 　　Melihat keteguhan Jiang Ancheng, Jiang Si mulai percaya. 　　Dia sangat paham betapa Ayah menyayanginya. Mustahil Ayah menyembunyikan kebenaran jika ditanya. Apalagi kasus kematian ibu sudah tuntas, pelakunya telah dihukum. Rasanya tak mungkin ada rahasia lain. 　　Jiang Si bingung apakah merasa kecewa atau justru lega. 　　Dulu saat Tetua Besar bilang A Sang memiliki darah Zhou, sempat terpikir mungkin A Sang diadopsi orangtua sekarang, dan sebenarnya punya orangtua kandung yang sama dengannya. 　　Membayangkan A Sang sebagai saudari kembarnya membuat perasaan Jiang Si jadi rumit. 　　"Apa mungkin... bidan diam-diam menyembunyikan satu bayi?" Meski peluangnya tipis, Jiang Si tak tahan bertanya. 　　Jiang Ancheng memandangnya aneh: "Si'er, bukankah A Huan adalah anakmu?" 　　"Benar." 　　Jiang Ancheng menghela napas: "Kalau begitu, mana mungkin seorang ibu tidak tahu melahirkan satu atau dua bayi?" 　　Jiang Si langsung terdiam, pipinya memerah. 　　Terlalu fokus mencari kemungkinan di pihak Ayah, dia lupa bahwa seorang ibu pasti tahu berapa anak yang dilahirkannya setelah sepuluh bulan mengandung. 　　Dari kakak, dia sudah tahu bahwa ibu benar-benar jatuh cinta dengan ayah setelah menikah, sehingga kecil kemungkinan melakukan tipu muslihat dalam urusan melahirkan untuk menipu kekasih hatinya. 　　Melihat kecanggungan putrinya, Jiang Ancheng berkata dengan serius: "Jangan berpikir macam-macam lagi. Ke depannya juga dilarang sembahyang dan membaca sutra." 　　Putrinya yang cerdas ini malah membuatnya khawatir... Ah sudahlah, nanti pukul anak lelaki saja untuk melegakan hati. 　　Di bawah tatapan penuh wibawa Ayah Paduka, Jiang Si terpaksa mengangguk malu-malu. 　　Masih lama sebelum malam tiba, Jiang Ancheng menyuruh Jiang Zhan segera mengunjungi Keluarga Marquis Yining. 　　Saat Jiang Zhan mengalami masalah sebelumnya, keluarga Marquis Yining menunjukkan kepedulian sungguhan. Meski membenci Nyonya You yang menyebabkan kematian istrinya, Jiang Ancheng yang baik hati tahu kedua orang tua itu sangat mengkhawatirkan cucu mereka. Kini putranya telah pulang dengan selamat, tentu harus mengunjungi keluarga kakek nenek dari pihak ibu. 　　Di mana pun, keluarga pihak ibu tetap dianggap sebagai kerabat terdekat. 　　Jiang Si yang belum pergi segera menawarkan: "Saya akan menemani Kakak Kedua pergi." 　　Jiang Zhan langsung mengangguk gembira: "Adik Keempat ikut tentu lebih baik." 　　Yu Jin buru-buru menyela: "Aku ikut juga ya." 　　Jiang Si menolak mentah-mentah permintaan suaminya: "Mendadak datang sekarang hanya akan merepotkan Kediaman Marquis. Hari ini saya dan Kakak Kedua saja yang pergi. Nanti setelah Istana Pangeran mengirim undangan, baru kita pergi bersama." 　　“A Jin yang bergelar Pangeran, jika benar datang ke Kediaman Marquis, pasti semua orang akan sibuk melayani beliau. Mana mungkin saya bisa leluasa bertanya pada nenek.” 　　Benar, Jiang Si buru-buru ke Keluarga Marquis Yining karena tidak mendapat informasi dari Jiang Ancheng. Meski hanya secuil harapan, dia ingin menyelidiki sikap Ibu Suri Marquis Yining. 　　Wajahnya mirip dengan A Sang, dan hubungan mereka terjalin erat baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang. Mungkinkah mereka benar-benar orang asing yang tak bertalian darah? 　　Melihat keengganan Yu Jin, Jiang Si menghibur: “A Huan hampir tak mengenalmu lagi. Cepat pulanglah menemani putri kita.” 　　Baru setelah itu Yu Jin mengalah. Setelah keluar pintu, dia berpisah dengan saudara kandung Jiang Si. 　　Kedua saudara ini disambut dengan sangat hangat saat tiba di Kediaman Marquis Yining. 　　Pasangan Marquis Yining yang senior berseri-seri melihat cucu laki-laki yang sehat walafiat dan cucu perempuan yang anggun tenang. 　　Paman tertua Su juga gembira bukan main. 　　Selamat dari maut pertanda rejeki berlimpah. Keponakan yang lolos dari maut ini sudah mendapat perhatian Kaisar. Masa depannya cerah, status sebagai Putra Mahkota pun sudah pasti. Belum lagi dukungan dari keponakan perempuan yang menjadi Permaisuri. 　　Meski Paman tertua Su takkan mengusir keponakan yang melarat, tapi tentu lebih baik jika keponakan itu sukses. 　　“Nenek, biarkan Kakak Kedua menemani kakek dan para paman bicara. Saya temani nenek ke paviliun hangat saja.” 　　Ibu Suri Marquis Yining tentu tidak menolak, dibantu Jiang Si masuk ke ruang hangat lalu duduk nyaman di ranjang, menghela napas: "Si gadis, Kakak Keduamu baik-baik saja, nenek dari pihak ibu pun lega. Nanti di alam baka baru bisa berbincang dengan ibumu——" 　　Jiang Si buru-buru menyela: "Tahun baru belum usai, jangan bicara sembarangan, Nek." 　　Menurut kebiasaan setempat, tahun baru dianggap benar-benar berakhir setelah perayaan Cap Go Meh. 　　Ibu Suri Marquis Yining tertawa: "Ini urusan apa? Tak ada yang hidup selamanya, tidak akan jadi makhluk gaib." 　　Melihat suasana mulai cair, Jiang Si menggigit bibir lalu mencoba bertanya: "Nek, kenapa dulu hanya melahirkan ibuku seorang putri?" 　　Senyum Ibu Suri Marquis Yining mendadak kaku. 　　Jiang Si memijat lembut kaki neneknya sambil berujar: "Andai ada bibi sepupu, pasti bisa menemani Nek menggantikan ibu." 　　Mata Ibu Suri langsung memerah. 　　Menyadari percobaannya kurang efektif, Jiang Si langsung blak-blakan: "Dalam perjalanan ke selatan, Pangeran menemukan wanita yang mirip denganku. Tapi ibu tak mungkin melahirkan anak kembar. Nek, jangan-jangan dulu ibu punya saudari yang terpisah——" 　　"Jangan ngawur!" hardik Ibu Suri. 　　Jiang Si mengamati reaksi neneknya tanpa berkedip. 　　Ibu Suri telah kembali tenang, membelai rambut lebat cucunya sambil bergumam: "Kau ini biasanya bersikap tenang, kenapa tiba-tiba berkhayal aneh?" 　　Jiang Si menatap Ibu Suri dengan sorot mata tajam, sudut bibirnya menggantung senyuman tipis: "Hanya merasa terlalu kebetulan, apakah nenek tidak penasaran dari mana asal wanita yang mirip cucu perempuan itu?" 　　Ibu Suri mengalihkan pandangan, terkekeh: "Tak ada kebetulan tak jadi cerita, si gadis ini janganlah berkhayal macam-macam." 697.BAB 695 He 　　BAB 695 He 　　"Nenek benar, wajah manusia ada yang mirip, walau jarang tapi memang ada, aku yang berlebihan." Jiang Si menyambut perkataan Ibu Suri Marquis Yining dengan senyuman, tapi hatinya mulai mengendap. 　　Baru saja neneknya menghindari tatapannya. 　　Reaksi seperti ini setidaknya menunjukkan kemungkinan adanya rasa bersalah di mata Jiang Si. 　　Terhadap cucu, apa yang bisa membuat seorang sesepuh berpengalaman merasa bersalah? 　　Jiang Si enggan mencurigai senior dekatnya, namun reaksi ayah dan neneknya yang nyaris sama terhadap perkataannya justru bertolak belakang. 　　Reaksi pertama sang ayah adalah rasa ingin tahu, tak percaya ada orang yang mirip putrinya, sementara neneknya jelas-jelas menunjukkan ketidaksenangan. 　　Jelas reaksi Jiang Ancheng lebih masuk akal. 　　Saat meninggalkan kediaman Marquis Yining, Jiang Si diam seribu bahasa, terlihat murung. 　　Jiang Zhan meliriknya: "Adik Keempat, kenapa kelihatan ada yang dipikirkan?" 　　Urusan berantakan ini takkan Jiang Si bebankan pada kakaknya, ia melengkungkan bibir: "Tidak ada." 　　"Lalu kenapa kau lesu begini?" 　　"Agak lelah, soalnya baru kemarin pulang." 　　Jiang Zhan terlihat cukup bersalah: "Semua ini karena saya yang menyeret Adik Keempat ke dalam masalah——" 　　Jiang Si melotot padanya: "Apa yang Kakak Kedua bicarakan? Ngomong-ngomong, soal percobaan pembunuhanmu itu belum dilaporkan ke Kaisar?" 　　Wajah Jiang Zhan langsung serius: "Masalah ini saya dan Pangeran sudah punya rencana, Adik Keempat tak perlu khawatir. Kamu sudah terlalu lelah belakangan ini, cukup temani keponakan perempuan saya saja." 　　Punya rencana sendiri? 　　Jiang Si menggelengkan kepala sambil tersenyum. 　　Baiklah, biarkan mereka merencanakan sendiri. Menurutnya, mungkin Kakak Kedua sudah dibohongi lagi oleh A Jin. 　　Jiang Zhan mengantar Jiang Si sampai pintu istana pangeran, baru kemudian berangkat ke Dongping Bo Residence. 　　Pelayan segera membukakan pintu untuk Jiang Si: "Permaisuri, Yang Mulia sudah kembali." 　　"Di mana Pangeran?" tanya Jiang Si sambil lalu. 　　"Pangeran sedang menerima tamu di aula depan." 　　Langkah Jiang Si terhenti, matanya menatap pelayan itu. 　　Pelayan itu membungkuk sambil tersenyum: "Beberapa pangeran seperti Pangeran Qi, Pangeran Lu, Pangeran Shu, dan Pangeran Xiang datang berkunjung." 　　Alis Jiang Si naik. 　　Selain Qin Wang, ternyata semua pangeran sudah datang. 　　Bukan seperti wanita dari keluarga rendahan yang penakut, sebagai nyonya rumah yang kebetulan ada di tempat, sudah selayaknya memberi salam. Jiang Si pun melangkah ke aula depan. 　　Pelayan yang berjaga di depan pintu melihat kedatangan Jiang Si, segera melapor: "Pangeran, Permaisuri sudah datang." 　　Aula yang ramai tiba-tiba hening, semua mata tertuju ke pintu. 　　Tirai brokat sudah disingsingkan pelayan, masuklah seorang wanita dengan tubuh ramping. 　　“Jiang Si yang baru saja berpura-pura menjadi Imam Suci selama perjalanan ke selatan, kini memiliki perubahan halus pada kecantikan lembutnya yang biasanya terpelihara di rumah kaca. Terdapat percikan keliaran wanita Perbatasan Selatan dalam dirinya yang membuatnya terlihat berbeda secara misterius.” 　　Karena itu, kerumunan sejenak lupa mengalihkan pandangan. 　　Yu Jin dengan wajah kaku meletakkan cangkir teh di meja kayu mahoni dengan keras hingga menimbulkan suara gedoran. 　　Suara itu seketika memecah keheningan aula. Beberapa pangeran segera menyapa Jiang Si. 　　Jiang Si membalas salam dengan tersenyum, lalu berkata kepada Yu Jin, “Pangeran, kau temani beberapa pangeran duduk di sini, saya akan ke belakang melihat.” 　　“Silakan.” 　　Saat Jiang Si masih di aula, Yu Jin masih menyunggingkan senyum di sudut bibir. Begitu dia pergi, tangannya menepuk meja kayu mahoni dan senyum itu langsung hilang. 　　Pangeran Lu buru-buru bertanya, “Adik ketujuh, ada apa?” 　　Buat apa menepuk meja? Jangan-jangan ini kode untuk berkelahi ramai-ramai? 　　Begitu pikirannya sampai di situ, Pangeran Lu langsung bersemangat. 　　Sejak Putra Mahkota yang Dipecat tewas, Kakak Keempat terus berpura-pura bodoh seolah tak ingin ikut campur. Adik keenam juga licik diam-diam. Sudah pasti tak mungkin melihat mereka ribut. Hanya Adik ketujuh yang baik hati, menciptakan kesempatan ini. 　　Berkelahi ramai-ramai bagus! Lebih baik sampai dilaporkan ke Ayah Kaisar sampai mereka semua diturunkan jadi pangeran biasa. Begitu tak ada yang bisa menertawakan siapa-siapa lagi. 　　Antusiasme Pangeran Lu membuat Pangeran Shu mengernyitkan sudut bibir. 　　“Lao Wu ini ingin memprovokasi perkelahian kelompok? Hm, jangan harap.” 　　“Saat ini dia dan Lao Si punya peluang terbesar. Berbuat nekat di saat seperti ini, kecuali otaknya sudah ditendang keleledai.” 　　“Adik ipar ketujuh benar-benar tulus hati pada adik ketujuh, sampai Buddha pun tersentuh. Aku datang hari ini ingin bertanya pada adik ketujuh tentang Buddha mana yang disembah adik ipar, nanti akan buat altar kecil di istana pangeran agar istri keenammu juga bisa sembahyang.” 　　Setelah Pangeran Shu menyatakan maksudnya, yang lain mengangguk-angguk. 　　Kemarahan Yu Jin baru mereda, ia berkata acuh: “Kalian masih percaya hal-hal seperti ini? Apa sebegitu sakti?” 　　Pangeran Lu mengusap wajahnya: “Adik ketujuh, apakah adik iparmu belum memberitahumu?” 　　“Memberitahu apa?” Wajah Yu Jin terlihat bingung. 　　Tentu saja dia sudah lama tahu soal A Si kabur diam-diam dengan alasan menutup diri untuk berdoa. Tapi harus diakui, mendengar cerita tentang cinta yang tulus A Si padanya dari mulut orang-orang ini cukup menyenangkan. 　　Hmm, biarkan mereka terus bercerita. 　　Pangeran Lu pun menyebutkan soal Jiang Si yang menutup diri untuk berdoa: “Demi mendoakanmu, adik ipar bahkan tidak hadir di jamuan reuni tahun baru... Ternyata tidak hanya adik ketujuh pulang dengan selamat, Putra Mahkota Dongping Bo yang dikira tewas dalam perang juga hidup kembali.” 　　Andai tahu berdoa semujarab ini, pasti sudah suruh istri buat altar kecil. Kalau sering baca sutra, mungkin gelar bangsawanku bisa dipulihkan. 　　Yang lain mengangguk setuju. 　　Meskipun Jiang Zhan baru kembali hari ini, kabar ini sudah tersebar seperti angin, kalau tidak mereka tidak akan datang ke Kediaman Pangeran Yan. 　　Lebih baik bertanya situasi dari Lao Qi ini daripada langsung mengintai di Dongping Bo Residence. 　　Pangeran Lu tiba-tiba tersenyum seolah teringat sesuatu: "Jika hanya ini satu-satunya kejadian, aku tidak akan menganggapnya serius--" 　　Yu Jin mengedipkan matanya: "Oh, masih ada kejadian lain?" 　　Pangeran Qi yang diam-diam minum teh mulai menunjukkan wajah yang sedikit menghitam. 　　Seperti firasat Pangeran Qi, Pangeran Lu melirik ke arahnya: "Baru-baru ini adik ipar ketujuh dan kakak ipar keempat pergi berziarah ke Kuil Baiyun. Dalam perjalanan pulang, kuda mereka panik. Kasihan kakak ipar keempat hampir jatuh dari tebing, nyaris kehilangan nyawa dan sampai sekarang masih trauma. Tapi coba tebak?" 　　Di tengah wajah pucat Pangeran Qi, Yu Jin bertanya perlahan: "Apa yang terjadi?" 　　Pangeran Lu menepuk pahanya: "Adik ipar ketujuh sama sekali tidak terluka! Bukankah ini berkah Buddha?" 　　Pangeran Shu yang menganggap Pangeran Qi sebagai saingan terbesar setelah insiden Pangeran Jin dan Putra Mahkota, menambahkan dengan senyum: "Katanya ini karena adik ipar ketujuh ikhlas menyumbang 1.800 tael minyak lampu Buddha ke Kuil Baiyun, sedangkan kakak ipar keempat hanya 400 tael--" 　　Pangeran Qi tidak tahan lagi: "Adik keenam, kau percaya omong kosong ini?" 　　Pangeran Shu dengan wajah serius: "Adik percaya. Kakak kelima, kau percaya?" 　　Pangeran Lu menggaruk kepala, jujur: "Aku memilih untuk percaya. Misalnya jika di kemudian hari adik ipar ketujuh lagi sembahyang minta sesuatu, pasti aku percaya. Tapi untuk orang lain, tergantung situasi." 　　Pangeran Xiang yang awalnya dekat dengan Pangeran Qi, kini mengangguk setuju mendengar perkataan Pangeran Lu. 　　Sebenarnya dia juga mulai percaya... 　　Yu Jin meneguk teh dari cangkir, nada suaranya datar: "Hoh, kakak ipar keempat masih mengajak istriku ke Kuil Baiyun untuk berziarah?" 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, sampai jumpa besok. 698. BAB 696 Satu Pikiran Muncul 　　BAB 696 Satu Pikiran Muncul 　　Ekspresi wajah Yu Jin terlihat dingin dan menjaga jarak, namun dalam hatinya bergolak. 　　A Si benar-benar bisa menahan diri! Urusan sebesar ini, selama perjalanan ke utara sama sekali tidak dia singgung padaku! 　　Semakin dipikir semakin kegelisahan, tak ada mood untuk membuang waktu dengan orang-orang bodoh ini. 　　Yu Jin menatap tajam Pangeran Qi sampai yang bersangkutan berkeringat dingin. 　　Sebagai calon penguasa paling diunggulkan, memalukan jika dipukul Lao Qi. Tapi Lao Qi memang sembarangan, bisa saja memukul dulu baru cari alasan... 　　Pangeran Qi buru-buru menjelaskan: "Waktu itu ibu selirku sakit, mereka berdua pergi ke Kuil Baiyun untuk berdoa keselamatan." 　　Wajah Yu Jin semakin dingin: "Oh, ternyata untuk Ibu Suri Xian." 　　“Saat berziarah bertemu kuda liar, kalau dikatakan kecelakaan pasti hantu saja yang percaya, pasti ini ulah aneh Permaisuri Qi yang berniat jahat. Tak disangka Ibu Suri Xian juga ikut campur.” 　　Terhadap Ibu Suri Xian, Yu Jin sama sekali tidak punya perasaan rindu dan sayang. Begitu teringat padanya, yang ada hanyalah kedinginan. 　　Melahirkan tapi tidak membesarkan, bahkan hanya ada kebencian dan eksploitasi. Pantaskah orang seperti ini disebut "ibu"? 　　“Kalau begitu, apakah kondisi Ibu Suri Xian sekarang sudah membaik?” 　　Pangeran Qi tak menyangka Yu Jin begitu tenang. Setelah dipikir-pikir, ternyata dirinya sendiri yang merasa bersalah. Lao Qi kan tidak tahu soal rencana Nyonya Li yang memanfaatkan kesempatan ziarah untuk menyakiti Permaisuri Yan, jadi tidak mungkin dia tiba-tiba marah. 　　Begitu dipikir, Pangeran Qi pun merasa lebih lega. Dengan senyum dia bertanya, “Sudahkah Adik Ketujuh mengunjungi ibumu sejak pulang?” 　　Yu Jin sedikit mengangkat alisnya, tidak menghiraukan omong kosong Pangeran Qi. Dia bertanya lagi, “Apakah Ibu Suri Xian sudah sembuh?” 　　Pangeran Qi mengganti ekspresinya menjadi penuh kekhawatiran, “Belum sepenuhnya pulih. Sekilas tampak baik-baik saja, tapi kadang tiba-tiba sakit kepala.” 　　“Begitu ya. Kalau begitu nanti saya akan masuk istana untuk menjenguk Ibu Suri Xian.” 　　Memanfaatkan keberadaan beberapa pangeran, Pangeran Qi dengan senang hati mencari-cari kesalahan Yu Jin, “Adik Ketujuh, memanggil ibu kandungmu sendiri dengan sebutan ‘Nyonya’ terlalu dingin.” 　　Yu Jin mencemoh, “Kakak Keempat jangan terlalu ikut campur urusan orang.” 　　Berlagak sok sebagai kakak dengan wajah jelek yang tak tahu malu – apakah tidak sakit? 　　Pangeran Qi sama sekali tidak menyangka Yu Jin langsung melontarkan kalimat itu di depan umum, wajahnya berganti-ganti antara pucat dan merah, terlihat sangat terjebak dalam situasi memalukan. 　　Melihat hal itu, Pangeran Xiang ikut bersuara: "Kakak Ketujuh, Kakak Keempat toh adalah kakak laki-laki kita—" 　　Pandangan Yu Jin menyapu wajah Pangeran Xiang dengan dingin, sudut bibirnya mengembang senyum sarkas: "Bagaimana? Apakah kakak tertua bisa menggantikan ayah? Saya tidak melihat kalian ada yang meratapi kematian Putra Mahkota yang Dipecat." 　　Seketika wajah beberapa orang itu berubah pucat. 　　Pangeran Shu batuk-batuk kecil: "Adik ketujuh, waktunya sudah larut, saya akan pulang ke rumah keluarga." 　　Lao Qi ini benar-benar tidak bisa menjaga mulut, selalu menyebut hal-hal yang seharusnya tidak disebutkan. Jika omongan tentang Putra Mahkota yang Dipecat sampai ke telinga Ayah Kaisar, apa akibatnya bagi mereka? 　　Belum lagi jika terus berdebat, perkelahian grup mungkin akan terjadi lagi. 　　Setelah menimbang situasi, Pangeran Shu memutuskan lebih baik pergi. 　　Begitu Pangeran Shu berdiri, Pangeran Qi juga buru-buru bangkit, memaksakan senyuman: "Saya juga pulang. Pikirkan baik-baik perkataan saya tadi, Adik Ketujuh. Kau sekarang sudah menjadi ayah, harusnya mengerti betapa beratnya wanita mengandung selama sepuluh bulan." 　　Yu Jin mengangkat kelopak matanya perlahan. 　　Pikirkan pantat. 　　Jika benar-benar peduli pada penderitaan wanita mengandung, mengapa tadi Lao Wu menghina Permaisuri Qi begitu keji, tapi Pangeran Qi sama sekali tidak bereaksi? Seberapa pengecutnya dia sampai tidak peduli pada ibu dari anaknya sendiri? 　　Benarlah kata orang: mengkritik orang lain dengan moral tinggi, tapi sendiri jatuh dalam kemerosotan akhlak. 　　“Dengan penuh penantian melihat tiga anggota keluarga Pangeran Qi pergi, Pangeran Lu akhirnya berdiri dengan berat hati: 'Adik ketujuh, aku juga harus pergi sekarang. Kapan-kapan kita berkumpul lagi.'” 　　"Pertarungan kelompok yang seharusnya seru akhirnya batal. Memang benar orang yang mengincar posisi itu pengecut." 　　Yu Jin mengantar beberapa orang sampai ke pintu, lalu segera bergegas menuju Yuyuan. 　　Setelah kembali, Jiang Si berganti pakaian rumah, menenangkan A Huan, dan baru saja bersandar di penyekat samping ranjang untuk beristirahat ketika mendengar langkah kaki tergesa datang. 　　Langkah kaki yang familiar membuatnya langsung tahu siapa yang datang, sudut bibirnya melengkung saat membuka mata. 　　Yu Jin berjalan cepat, menendang bangku kecil di tengah jalan dengan kakinya, lalu duduk di tepi ranjang. 　　Jiang Si mengangkat alis: "Apa kau baru saja berkelahi?" 　　"Tidak mungkin. Saat meninggalkan aula depan belum ada tanda-tanda. Tapi kalau mau berkelahi, cukup dengan menjatuhkan cangkir teh saja, pasti langsung bisa berantem." 　　"Tidak berkelahi, tidak perlu." Yu Jin menatap Jiang Si dengan intens, mengusap rambutnya, "Baru-baru ini Permaisuri Qi mengajakmu berziarah?" 　　Jiang Si tertegun sebentar, lalu tersenyum: "Kupikir tidak ada yang akan membahas ini." 　　"Ceritakan detailnya padaku." 　　"Tidak ada yang istimewa. Permaisuri Qi ingin membuatku terjatuh dari tebing, tapi kuhindari. Malah dia sendiri yang jatuh. Awalnya kukira wanita berhati ular ini akan hancur tulangnya, tapi ternyata nyawanya bisa diselamatkan." 　　"Apa dia jadi idiot ketakutan?" 　　"Bagaimana mungkin dia menjadi gila ketakutan? Sebenarnya hanya ada pihak tertentu yang membutuhkan Permaisuri Qi untuk 'pura-pura gila'. Ini justru baik, membiarkannya hidup dalam kesadaran untuk menyaksikan wajah asli orang-orang yang selama ini ia layani dengan sepenuh hati. Itu lebih menyiksa daripada kematian." Jiang Si tersenyum sinis. 　　Kematian hanyalah penderitaan sesaat, hidup adalah siksaan yang berkepanjangan. 　　Yu Jin sangat setuju: "Sepertinya kita harus mengirim pengawal rahasia untuk melindungi Permaisuri Qi. Jangan sampai dia mati dengan mudah." 　　Seorang permaisuri yang dinyatakan sakit jiwa, tidak bisa mengurus urusan pemerintahan istana maupun hubungan sosial, tapi tetap mempertahankan posinya sebagai permaisuri - bayangkan betapa tersiksanya Pangeran Qi. 　　"Bagaimana dengan Ibu Suri Xian? Apakah dia juga terlibat?" Nada Yu Jin semakin dingin saat menyebut nama itu. 　　Permaisuri Qi adalah orang asing baginya, apapun perbuatannya tidak mengejutkan. Tapi Ibu Suri Xian masih memiliki hubungan darah dengannya, tindakannya terhadap Jiang Si membuat hatinya semakin membeku. 　　"Tanpa alasan sakit dari Ibu Suri Xian, tidak akan ada perjalanan ke Kuil Baiyun ini," ujar Jiang Si datar. 　　Yu Jin menghantam pilar ranjang dengan tinjunya. 　　Seluruh ranjang bergetar. 　　Jiang Si melotot padanya: "Kenapa marahin ranjang? Mau tidak tidur malam nanti?" 　　Yu Jin tersadar, tersenyum malu sambil menyepak bangku kecil lebih jauh. 　　Selain suara bangku kecil terjungkal berguling, ruangan kembali sunyi. 　　Setelah beberapa lama, Yu Jin akhirnya berbicara: "A Si, saya mengubah keputusan." 　　Melihat keseriusannya, Jiang Si tak sadar duduk tegak: "Mengubah keputusan apa?" 　　Entah dari mana asal pikiran A Jin ini, sebelumnya keputusan apa yang dimaksud? 　　Yu Jin meremas-remas tangan yang tergenggam, sudut bibirnya menampilkan senyum sinis: "Lao Si memimpikan posisi itu, Ibu Suri Xian juga paling mengharapkan Lao Si naik ke takhta. Awalnya saya hanya ingin menghambat Lao Si, tidak membiarkannya sukses, tapi baru sekarang menyadari betapa konyolnya pemikiran ini. Jika Lao Si dihabisi, diganti Putra Keenam, siapa bisa jamin dia tidak akan gila dan membuat masalah untuk kita?" 　　Jiang Si samar-samar menebak maksud Yu Jin, bergumam: "A Jin, kamu ingin——" 　　Yu Jin tertawa pendek: "Saya yang duduk di posisi itu, tidak perlu waspada siapa pun yang akan mengganggu kita lagi." 　　Dan inilah sandaran terkuat yang dia berikan untuk A Si. 699.BAB 697 Siku yang Menghilang 　　BAB 697 Siku yang Menghilang 　　Meski sudah punya firasat, saat benar-benar mendengar Yu Jin mengucapkan ini, hati Jiang Si berdebar kencang, bagai kabut yang lama mengambang di hatinya tersibak. 　　Jalan itu memang terjal, bahkan kesuksesan pun belum tentu membawa kebahagiaan. Tapi sejak terlibat dalam pusaran ini, daripada terus waspada akan ancaman dan hanya membalas setelah dijebak, mengapa tidak merebut posisi tertinggi agar mayoritas tidak berani sembarangan bertindak? 　　Pasif, bukanlah pilihan yang disukai Jiang Si. Bahkan di kehidupan sebelumnya, dia memiliki sifat kompetitif. Jika tidak, dia tak akan bersikeras menikah tinggi ke Keluarga An Guogong. 　　Tentu, fakta membuktikan sikap terlalu kompetitif itu salah dan memberikan pelajaran mendalam bagi Jiang Si. Namun sifat yang melekat dalam diri seseorang sulit diubah. Setidaknya ketika keadaan memaksa untuk bersaing, dia tak akan mundur atau takut pada siapapun. 　　Melihat Jiang Si lama tak bersuara, Yu Jin mulai gelisah: "A Si, apa kau tidak rela—" 　　Jiang Si tersenyum kecut: "Bisa memperoleh mahkota fenghuang untuk dipakai, mengapa aku tidak rela?" 　　Setelah mengambil keputusan, tak perlu lagi merisaukan kehilangan kebebasan setelah sukses. Mencapai target adalah prioritas utama. 　　Yu Jin melihat ketulusan dalam ucapan Jiang Si, tertawa lebar: "Baik! Aku akan rebutkan mahkota itu untukmu!" 　　Urusan serius selesai, sorot mata seseorang menjadi gelap, tatapannya membara saat memandang sang istri. 　　"A Si—" 　　"Hmm?" 　　"Bagaimana kalau kita mandi dan tidur?" Kasihan, dia sudah 'berpuasa' lebih dari dua bulan! 　　"Belum waktunya makan malam. Jangan banyak angan-angan." 　　Yu Jin menarik Jiang Si, sudah kehilangan semangat heroik sebelumnya, bergelayut di lehernya seperti anak manja: "Aku tak peduli. Aku merindukanmu." 　　Wajah Jiang Si memerah perlahan, tanpa terlalu malu, berbisik pelan: "Kalau... jangan sampai ketinggalan waktu makan malam..." 　　“Tidak apa melewatkan satu kali makan, tapi kalau dua orang berdiam di kamar tanpa keluar, siapa pun bisa menebak apa yang terjadi.” 　　“Tapi Jiang Si tetap meremehkan kemampuan seseorang. Saat kelambu ranjang warna ungu tua itu akhirnya berhenti bergoyang, bulan sabit sudah menggantung di ujung dahan.” 　　Jiang Si seluruh tubuhnya lemas, melirik Yu Jin: “Sama sekali tidak tahu menahan diri. Sekarang Ah Qiao dan yang lain pasti menertawakan kita di belakang.” 　　Yu Jin wajahnya segar bugar: “Tidak mungkin.” 　　“Kenapa tidak mungkin? Kau jangan menipu diri sendiri.” 　　“Maksudku mereka sudah terbiasa…” 　　Di kamar samping, Ah Man menelan air liur sambil menjaga kompor kecil: “Ah Qiao, sikut babi yang empuk ini, ditambah gula batu, benar-benar harum!” 　　Ah Qiao duduk di sebelah Ah Man, mengangguk mencium aroma: “Hm, harum sekali.” 　　Ah Man membuka tutup panci dan menusuknya dengan sumpit. Kulit babi yang bening bergetar, sumpit pun mudah menembusnya. 　　Ia menutup panci lagi, menjilat bibir dan bertanya: “Kurasa tuanku dan Pangeran tidak akan bangun sampai besok pagi. Bagaimana menurutmu?” 　　Ah Qiao mengangguk lagi: “Aku juga berpikir begitu.” 　　Kedua dayang itu saling pandang. Ah Man yang pertama berbicara: “Kalau… begitu, lebih baik kita makan saja.” 　　“Hm.” Ah Qiao mengangguk mantap. 　　“Dua dayang bersembunyi di kamar samping menikmati paha babi dengan lahap. Adapun kehidupan majikan yang tak tahu malu... *batuk-batuk*, sudah terbiasa, siapa yang peduli.” 　　“Yu Jin terbangun karena lapar di tengah malam.” 　　“Menenung langit-langit kelambu sejenak, jarinya tak sengaja menyentuh orang di sebelah bantal.” 　　“Jiang Si terbangun, melototi Yu Jin dengan suara serak: "Ada apa?"” 　　“Tanpa rasa bersalah telah membangunkan istri, Yu Jin bertanya: "A Si, kau lapar?"” 　　“Jiang Si menggerakkan bola matanya, hilang kantuk, menghela nafas: "Seharusnya bisa tidur sampai subuh sarapan, tapi dibangunkanmu. Tentu saja lapar."” 　　“Tak makan malam tapi tenaga terkuras habis, siapa yang tak lapar?” 　　“"Entah ada makanan enak apa untuk makan malam hari ini."” 　　“Jiang Si tak puas dengan ulah seseorang yang terbangun lapar tapi harus membangunkannya, membalas: "Aku suruh A Qiao memasak paha babi bumbu gula batu."” 　　“"P-paha babi bumbu gula batu?" Suara Yu Jin berubah.” 　　“Jiang Si mengangguk pasti: "Iya. Paha babi dibeli pagi-pagi, khusus pilih kaki depan, daging segar banyak. Kalau sudah dimasak, paling enak."” 　　“"Lalu-- masih dihangatkan di dapur besar?"” 　　“"Bukan di dapur besar. A Qiao ahli masak paha babi bumbu gula batu. Direbus di dapur kecil pekarangan kita. Setelah matang, dipindahkan ke kamar samping dan dihangatkan di kompor kecil, biar bisa dimakan kapan saja."” 　　Yu Jin matanya langsung berbinar, duduk tegak: "A Si kau tunggu, saya ke kamar samping lihat." 　　Sambil mengenakan pakaian dan sepatu, dia mengeluh: "Pantas dulu saya sering mencium aroma harum, kira itu halusinasi." 　　Katanya makan dan nafsu adalah kodrat manusia. Susah payah bisa sekamar dengan istri, aroma daging yang terus menerbas hidung bikin dia mengira ini efek terlalu lama menahan diri, sampai memeluk A Si pun terbayang daging merah kecoklatan. 　　Karena itu dia agak merasa bersalah, toh kedudukan A Si di hatinya jauh melebihi daging merah, mana mungkin ada khayalan begitu. 　　Ternyata bukan khayalan, beneran ada babi panggang saus gula! 　　Setiap kali mereka tidur bersama, dayang-dayang tidak perlu berjaga malam sudah jadi kebiasaan. Yu Jin cepat-cepat mengenakan sepatu menuju kamar samping. 　　Tak lama, langkah kaki berat kembali. 　　Jiang Si langsung curiga mendengar suara langkah itu, diterangi lentera malam terlihat wajah tampan seseorang yang muram. 　　Langkahnya yang biasanya tegap kini terlihat goyah, seolah baru mengalami pukulan berat. 　　Baru sampai tepi ranjang, Yu Jin dengan wajah pedih berkata: "Babi panggang saus gula sudah habis!" 　　Coba bayangkan perasaan bangun tengah malam lapar, tahu ada babi panggang di sebelah, tapi saat bergegas ke sana hanya menemukan wajan bekas kuah. 　　Sungguh, saat memegang wajan itu dia hampir saja keluar untuk menghajar orang. 　　“Kalau begitu tidurlah, tunggu sampai subuh baru bisa makan.” Jiang Si menghibur. 　　Orang kelaparan yang mendapati makanan enak yang dirindukannya menghilang tanpa jejak, kekecewaan seperti ini masih bisa dia pahami. 　　Yu Jin hanya bisa diam-diam melepas sepatu dan naik ke ranjang, menarik selimut sutra untuk menutupi tubuhnya. 　　Entah berapa lama kemudian, dia membalikkan badan sambil menopang dagu dengan satu tangan: "A Si." 　　Jiang Si yang sedang bersiap tidur menoleh ke arahnya. 　　“Menurutmu apakah paha babi bercuka gula dicuri oleh Er Niu?” 　　Jiang Si ragu sejenak, terbelah antara dayang utama kepercayaannya dengan Anjing Besar, akhirnya memutuskan: “Mungkin saja, Er Niu memang suka paha babi.” 　　Dua dayang biasa takkan tahan dipukul A Jin, sedangkan Er Niu bisa lari cepat untuk melindungi diri. 　　Ekspresi Yu Jin terlihat garang dalam cahaya lentera yang redup, bergumam pelan: “Benda anjing ini!” 　　Tak ada percakapan lagi, setelah bertahan sampai subuh, Yu Jin meloncat bangun, buru-buru cuci muka lalu mencari Er Niu untuk "berbincang". 　　Pagi-pagi orang di Yuyuan melihat sosok gesit mengejar seekor anjing besar berlarian ke sana kemari. 　　Ah Man membawa nampan berkedip: “Mengapa Pangeran mengejar Er Niu?” 　　A Qiao menggeleng: “Entahlah, mungkin Er Niu berbuat salah.” 　　Er Niu menggeram kesal dua kali. 　　Pagi-pagi begini, majikan ini gila apa? 　　Acara Pesta Akhir Tahun akan berlangsung hingga akhir bulan, bagi saudari-saudari yang masih memiliki kartu dukungan, mohon bantu Liu Ye sepenuhnya. Kami menyayangi kalian. 700. BAB 698 Pilih Kasih 　　BAB 698 Pilih Kasih 　　Dibandingkan dengan keharmonisan di Kediaman Pangeran Yan, suasana di Istana Yuquan sama sekali tidak menyenangkan. 　　Ibu Suri Xian baru mengetahui bahwa Yu Jin telah kembali dari perjalanan ke selatan saat menghadap ke Istana Kuning untuk memberi salut. 　　Sudah cukup menyebalkan bangun pagi-pagi di musim dingin untuk memberi salut kepada perempuan lain, malah mendapat kabar menyebalkan ini. 　　Hingga kini Ibu Suri Xian masih bisa mengingat ekspresi para perempuan hina itu. 　　Mereka hanya menertawakan ibunya yang bahkan tidak tahu anak kandungnya sendiri telah pulang. Para pelacur kecil ini, melihat Permaisuri semakin mendapat perhatian Kaisar, jadi lancang di hadapanku. Otak babi mereka tidak bisa berpikir jernih - apa gunanya Permaisuri yang berkuasa? 　　Permaisuri tanpa anak lelaki, kelak ketika menjadi Janda Permaisuri hanyalah boneka belaka. Di istana belakang yang luas, yang benar-benar berkuasa tetaplah ibu kandung Kaisar. 　　Meski Ibu Suri Xian tampak tenang di luar, saat mendengar Permaisuri menyebut Pangeran Yan telah kembali, mukanya terasa panas. Ia menahan diri sekuat tenaga. 　　Kembali ke Istana Yuquan, ia meneguk dua cangkir teh panas namun amarahnya tetap menyala-nyala. 　　Dibandingkan para pelacur picik itu, yang lebih membuatnya geram adalah Lao Qi! 　　“Apa sebenarnya yang dilahirkannya ini? Pergi ke selatan selama itu, membawa pulang Putra Mahkota Dongping yang hidup-hidup, masuk istana menemui Kaisar dan Permaisuri, tapi sama sekali tidak mampir ke Istana Yuquan!” 　　Jika saat ini Yu Jin berdiri di hadapan Ibu Suri Xian, mungkin ia takkan bisa menahan diri untuk tidak menyiramkan air teh ke wajahnya. 　　“Binatang ini!” 　　Dayang kepercayaan di sampingnya berbisik pelan: “Nyonya jangan terburu-buru, nanti kepala sakit lagi.” 　　Mendengar ini, ekspresi Ibu Suri Xian langsung berubah masam. 　　Sejak berpura-pura sakit untuk memberi kesempatan pada istri Lao Si dan istri Lao Qi pergi berziarah ke Kuil Baiyun, ia benar-benar jatuh sakit. Setelah terbaring lama di tempat tidur, kini ia sering mengalami sakit kepala yang bahkan tabib istana tak bisa menemukan akar penyakitnya, apalagi mengobati. 　　Sambil mengutuk para tabib yang tak berguna, Ibu Suri Xian juga merasa merinding. 　　Jangan-jangan Buddha benar-benar tahu ia pura-pura sakit lalu menghukumnya? 　　Dengan pikiran seperti ini, Ibu Suri Xian tiba-tiba merasa bersalah. Namun perasaan ini justru membuatnya semakin tak puas terhadap pasangan Yu Jin. 　　Sudah membayar mahal tapi tujuan tak tercapai, mana mungkin bisa merasa puas? 　　Saat amarahnya memuncak, kepalanya tiba-tiba berdenyut-denyut seolah ditusuk paku. 　　Rasa sakit itu datang dan pergi cepat, tapi membuat keringat dingin mengucur di dahi Ibu Suri Xian yang wajahnya langsung pucat. 　　“Nyonya, kepala sakit lagi?” Dayang kepercayaan itu tampak panik. 　　Nyonya sudah tidak muda lagi, jika benar-benar terjadi sesuatu, para hamba yang bergantung pada Nyonya akan sengsara. 　　Ibu Suri Xian menghentikan Dayang kepercayaan yang hendak mengusap keringatnya dengan saputangan, lalu memerintahkan, “Katakanlah saya sakit, mohon Kaisar datang ke sini.” 　　Dayang kepercayaan itu ragu sebentar. 　　“Pergilah.” 　　“Baik.” 　　Tahun baru belum sepenuhnya berlalu, Kaisar Jingming akhir-akhir ini relatif santai. Terutama kemarin Yu Jin berhasil membawa pulang Putra Mahkota Dongping Bo dengan selamat, menyelamatkan seorang ayah tua dari nasib "orang beruban mengantar yang berambut hitam", membuat hatinya gembira. Ia pun mengambil buku cerita dan bersandar di dipan rendah sambil membaca dengan rileks. 　　Pan Hai mendekat: “Paduka, Istana Yuquan mengirim orang untuk memohon kedatangan Paduka.” 　　Kaisar Jingming meletakkan buku ceritanya, melirik Pan Hai. 　　Pan Hai membungkuk: “Ibu Suri Xian sedang tidak enak badan——” 　　Kaisar Jingming mengangkat kelopak matanya: “Sudahkah memanggil tabib istana?” 　　Pan Hai semakin menunduk: “Utusan itu tidak menyebutkannya.” 　　Alis Kaisar Jingming berkerut. 　　Kalau sakit panggil tabib, buat apa mencari dirinya? 　　Namun terkait maksud tersembunyi para selir ini, Kaisar Jingming memberi pengertian dan toleransi. Setelah ragu sebentar, ia turun dari dipan dan berkata datar, “Berangkat ke Istana Yuquan.” 　　Meskipun mengganggu kesantaiannya membaca buku cerita, tapi ini adalah selir yang telah mendampinginya bertahun-tahun, tak ada salahnya untuk mengunjungi. 　　Di Istana Yuquan, begitu mendengar kedatangan Kaisar, Ibu Suri Xian segera menyambut. 　　"Kalau tubuhmu tidak nyaman, mengapa masih keluar? Istirahatlah yang cukup." Kaisar Jingming mengamati Ibu Suri Xian, melihat wajahnya pucat bagai kertas dengan rambut masih sedikit basah. Ia tidak mencurigai kemungkinan sang selir pura-pura sakit, sehingga nada bicaranya melunak. 　　Ibu Suri Xian tersenyam lemah sambil berjalan mengikuti Kaisar Jingming ke dalam: "Ini penyakit lama yang kambuh lagi, sakit kepala ini benar-benar menyiksa. Seharusnya hamba tidak merepotkan Kaisar datang, tapi—" 　　Di sini, Ibu Suri Xian terdiam. 　　Kaisar Jingming duduk di dipan rendah, memberi isyarat agar Ibu Suri Xian juga duduk, lalu bertanya: "Ada apa?" 　　Ibu Suri Xian duduk dengan kepala sedikit menunduk memperlihatkan leher jenjangnya, membuatnya terlihat rapuh. 　　Suaranya lembut disertai desahan: "Hari ini saat bersolek di depan cermin, hamba menemukan banyak uban. Baru tersadar bahwa hamba benar-benar sudah tua. Kini penyakit datang seperti benang ditarik, siapa tahu kapan akan memburuk. Ingin rasanya memandang wajah Kaisar lebih lama selama masih bisa." 　　Wajah Kaisar Jingming berubah muram: "Di awal tahun baru ini, jangan bicara sembarangan." 　　Ibu Suri Xian mengerutkan bibir, senyumannya pudar tanpa warna: "Ini hanya luapan perasaan hamba saja." 　　Meskipun sudah berumur, kecantikan Ibu Suri Xian tak pernah memudar. Namun kali ini Kaisar Jingming benar-benar menyadari bahwa wanita yang dulu bersinar dalam ingatannya itu telah menua. 　　Beberapa selir termasuk Ibu Suri Xian telah mengikuti Kaisar Jingming sejak Permaisuri masih hidup. Jika Ibu Suri Xian sudah tua, bukankah Kaisar Jingming juga demikian? 　　Begitu dipikirkan, suara Kaisar Jingming semakin lembut: "Kau fokus sembuhkan penyakitmu saja. Jika tabib istana sekarang tidak bisa mengobati, kita ganti dengan kepala tabib atau wakilnya. Jangan terlalu banyak berpikir yang bukan-bukan." 　　Ibu Suri Xian sendiri menuangkan secangkir teh untuk Kaisar Jingming, berbisik pelan: "Hamba bukan takut tua, hanya ingin lebih sering menemui Kaisar, lebih sering melihat para gadis." 　　Kaisar Jingming berkata sambil lalu: "Bukankah Lao Si sering mengunjungimu?" 　　Ibu Suri Xian diam sejenak, lalu berkata sendu: "Lao Si memang berbakti, tapi hamba sedih memikirkan Lao Qi. Sejak kecil Lao Qi sudah dibawa keluar istana. Sebagai ibu kandung, hamba ingin bertemu tapi tak bisa. Sekarang akhirnya bisa berkumpul, tapi anak ini sudah menjadi asing dengan hamba..." 　　Suara Kaisar Jingming sedikit berat: "Lao Qi belum pernah datang ke Istana Yuquan?" 　　Ibu Suri Xian mengangguk halus: "Baru tahu Lao Qi sudah pulang saat menghadap ke Istana Kuning hari ini untuk salut. Sejujurnya, status hamba sebagai ibu ini terasa hambar..." 　　Karena sudah tidak lagi berharap apapun pada Lao Qi, dia lebih memilih menghancurkannya sampai ke lumpur. Paling tidak harus memastikan dia tidak bisa mengganggu Lao Si. 　　Wajah Kaisar Jingming langsung berubah masam: "Brengsek! Sungguh tak tahu tata krama!" 　　Setelah mengunjungi dia dan Permaisuri, bukankah seharusnya mampir ke Istana Yuquan? Bagaimana bisa sama sekali tidak menghiraukan etiket? 　　"Jangan marah, Kekasihku. Nanti Aku akan panggil si brengsek itu ke istana untuk dimarahi." 　　Lagipula sedang tidak ada kerjaan, memarahi anak bisa jadi hiburan mengisi hari yang membosankan. 　　Kaisar Jingming meninggalkan Istana Yuquan, baru hendak memerintahkan Pan Hai untuk memanggil Pangeran Yan masuk istana, tiba-tiba mendengar laporan pelayan istana bahwa Pangeran Yan mohon audiensi. 　　"Suruh dia masuk." 　　Tak lama kemudian Yu Jin memasuki Aula Yangxindian, dengan patuh memberikan salut kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menyapu pandangannya ke arah Yu Jin, wajahnya sedikit muram: "Ada urusan apa kau masuk istana pagi-pagi begini?" 　　Setelah si brengsek ini menyelesaikan urusan resmi, dia akan menegur habis-habisan anak muda yang tak menghormati ibu kandungnya ini. 　　Yu Jin menjawab: "Anak masuk istana ada dua urusan. Pertama khusus mengunjungi Ibu Suri Xian, kedua——" 　　"Tunggu, kau bilang apa?" 701. BAB 699 Ikatan Ibu dan Anak 　　BAB 699 Ikatan Ibu dan Anak 　　Ucapan Yu Jin terpotong oleh Kaisar Jingming, ekspresinya terlihat bingung: "Anak bilang hari ini masuk istana ada dua urusan——" 　　"Salah satunya adalah mengunjungi Ibu Suri Xian?" 　　"Benar." Yu Jin menatap Kaisar Jingming dengan pandangan penuh tanya. 　　Melihat ekspresi polos putranya, Kaisar Jingming tercekat. 　　Semalaman dia menyiapkan berbagai makian, bahkan sudah memikirkan kata-kata hinaan, tapi ternyata Lao Qi datang untuk mengunjungi Ibu Suri Xian. Bagaimana mungkin dia bisa memarahi sekarang? 　　Meski ayah memarahi anak adalah hal wajar, tapi sebagai kaisar bijak, mana mungkin dia memaki tanpa alasan jelas? 　　Tentu tidak boleh! 　　Kaisar Jingming kesal mengangkat cangkir teh dan menyesapnya, mencoba meredakan perasaan seperti meninju kapas yang tak membalas itu. 　　"Lalu urusan kedua apa?" 　　“Menyebut hal lain, ekspresi Yu Jin tiba-tiba menjadi sangat serius, dengan keseriusan yang dibumbui dua belas bagian kekecewaan: "Ayah Kaisar, dalam perjalanan ke selatan mencari kakak ipar, anak menemukan bahwa kakak ipar diserang secara licik saat bertempur dengan musuh, dan orang yang melepaskan panah gelap itu adalah prajurit dari pihak kita sendiri!" 　　“Apa?” Wajah Kaisar Jingming tiba-turat muram. 　　Dibandingkan urusan kecil seperti biji wijen, inilah masalah besar yang harus diperhatikan. 　　Di medan perang dimana kedua pihak saling bunuh, muncul pengkhianat dari barisan sendiri – ini benar-benar tak bisa ditolerir! 　　Yu Jin berlutut satu kaki, menyatukan kepalan tangan: “Aku mohon Ayah Kaisar memberikan keadilan bagi Jiang Zhan!” 　　“Ada petunjuk lain yang berhasil ditemukan?” Kaisar Jingming mendesak. 　　“Orang yang melepaskan panah gelap itu bernama Huang Qi.” 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak. 　　Bahkan identitas si penembak panah gelap berhasil diketahui? 　　“Huang Qi itu——” 　　“Asal He Dong, informasi lain tidak bisa dilacak lebih jauh. Tapi anak sudah memerintahkan orang untuk membawanya ke ibu kota, semoga Ayah Kaisar yang memutuskan.” 　　Siapapun orang di balik layar ini, apakah targetnya hanya Jiang Zhan atau menyasar dirinya, menurut Yu Jin lebih baik melapor ke Kaisar Jingming. Andai dia menyelidiki sendiri, meski kebenaran terungkap, membalas dendam tetap harus menunggu persetujuan kaisar. 　　Kaisar Jingming merenung sejenak lalu mengangguk: “Baik, serahkan kasus ini kepada Jinlinwei.” 　　“Terima kasih Ayah Kaisar.” 　　Kaisar Jingming memandang Yu Jin yang masih berlutut, dalam hati berpikir Lao Qi ini cukup tahu diri, tahu melapor padanya. Tidak seperti beberapa brengsek yang suka menipu atasan dan bertindak semaunya sendiri. 　　“Kalau dipikir begitu, dia merasa lebih puas dengan anak lelakinya ini, lalu berkata dengan suara lembut: "Pergilah ke Istana Yuquan."” 　　Yu Jin tetap berlutut tanpa bergerak. 　　Kaisar Jingming sedikit mengerutkan alisnya. 　　Apakah masih ada hal yang perlu dilaporkan? 　　"Ada hal lain lagi?" 　　Yu Jin mengangkat kepala dan bertanya: "Ayah Kaisar, jika alasan Huang Qi menyakiti Jiang Zhan terungkap, bisakah memberitahu anak?" 　　Kaisar Jingming mengernyitkan sudut bibirnya, di bawah tatapan penuh harap itu akhirnya mengangguk: "Baik, mengundurkan diri lah." 　　"Terima kasih Ayah Kaisar." Yu Jin tak menyembunyikan senyum cerianya, langkah kakinya yang pergi terasa ringan. 　　Kaisar Jingming menggeleng sambil menghela nafas. 　　Bocah nakal ini melaporkan nasib buruk padanya, tapi sendiri pergi dengan gembira. Ini namanya apa? 　　Dalam pertempuran dua pihak, muncul pengkhianat yang menyerang kawan sendiri. Masalah ini bisa besar bisa kecil, membuat Kaisar Jingming harus serius menanganinya. 　　Gairah membaca buku cerita sudah hilang. Kaisar Jingming melirik Pan Hai yang berdiri di sudut, lalu berkata datar: "Panggil Han Ran ke sini." 　　"Baik." Pan Hai membungkuk hormat lalu berjalan keluar, hati dipenuhi perasaan campur aduk. 　　Pangeran Yan terlihat nekat dan emosional, tapi sebenarnya dialah orang yang cerdik. 　　Yu Jin pergi dari Aula Yangxindian langsung menuju Istana Yuquan. 　　Mendengar Pangeran Yan meminta audiensi, Ibu Suri Xian bersandar di meiren ta sambil malas berkata: "Persilakan masuk." 　　Tak lama Yu Jin masuk dan memberi hormat: "Kabarnya Nyonya kurang sehat, apakah sekarang sudah membaik?" 　　"Ibu Suri Xian mengangkat kelopak matanya memandangnya, berkata dengan nada datar: 'Berkat kebaikanmu, hamba belum mati.'" 　　Yu Jin tidak menunjukkan sedikit pun ketidaksenangan, menjawab dengan hormat: "Nyonya jangan mengucapkan kata-kata sial seperti ini, nanti membuat orang yang menyayangi Nyonya khawatir." 　　"Hmph, kau peduli pada hamba?" Ibu Suri Xian semakin geram melihat sikap Yu Jin ini. 　　Jangan dikira dia tidak tahu binatang ini hanya berpura-pura. 　　Dulu saat mengadakan Pesta Bunga Mei untuk memilih permaisuri kedua pangeran, binatang ini juga berpura-pura sopan dan patuh seperti ini sehingga hamba lengah dan membiarkan perempuan hina dari keluarga Jiang itu menjadi Permaisuri Yan. 　　Sekarang hamba sudah tahu binatang ini sama sekali tidak punya kasih sayang ibu-anak pada hamba, tentu tidak akan tertipu lagi. 　　Yu Jin tersenyum manis dengan wajah polos: "Apa maksud Nyonya? Tentu saja saya peduli pada Nyonya." 　　Ibu Suri Xian mengangkat alisnya yang runcing: "Peduli? Kalau benar peduli, kenapa kemarin masuk istana tidak mengunjungi Istana Yuquan, baru datang setelah Kaisar menyuruh? Menurut hamba kau bukan peduli, tapi takut membuat Ayah Kaisar tidak senang!" 　　Yu Jin terlihat kaget: "Apa yang Nyonya maksud? Ayah Kaisar tidak mengatakan apa-apa pada saya." 　　"Tidak?" Ibu Suri Xian tertawa sinis, "Bukankah Kaisar yang menyuruhmu datang?" 　　Yu Jin semakin bingung: "Nyonya salah sangka, Ayah Kaisar benar-benar tidak mengatakan apa-apa. Saya datang karena merindukan Nyonya, langsung setelah urusan di tangan selesai--" 　　“Cukup, kau anggap hamba ini bodoh?” Ibu Suri Xian memotong ucapan Yu Jin dengan marah. 　　Yu Jin menundukkan pandangan, suaranya penuh kebingungan dan kekecewaan: "Yang Mulia sungguh salah paham pada hamba, mana mungkin hamba baru datang memberi salut setelah diingatkan Ayah Kaisar? Sungguh karena kemarin terlalu banyak urusan sehingga terlambat sehari. Tentu ini kesalahan hamba, seharusnya langsung datang sejak awal..." 　　Yu Jin bersikap sangat rendah hati, namun Ibu Suri Xian semakin geram. Tiba-tiba terdengar suara batuk ringan dari Dayang kepercayaan di sampingnya. 　　Sorot mata Ibu Suri Xian menyapu Dayang kepercayaan itu, ucapan yang hendak dilontarkannya ditahan. 　　Melihat hal ini, Dayang kepercayaan itu menghela napas lega. 　　Mungkin karena penyakit yang menggerogoti, biasanya Yang Mulia tidak segampangan ini marah. Sekalipun kesal, takkan meluapkan emosi di depan umum. Namun belakangan ini semakin tak terkendali. 　　Sikap Pangeran Yan yang begitu baik justru membuat tindakan Yang Mulia yang terus mendesak di hadapan banyak dayang istana ini terkesan kejam. Jika tersebar kabarnya, akan merugikan Yang Mulia. 　　Ibu Suri Xian yang diingatkan Dayang kepercayaan-nya pun tersadar. Dengan tenang ia berkata: "Bagaimanapun juga, kehadiranmu membuat hamba tersentuh. Biarlah orang-orang tak berbudi itu tak bisa menertawakan hubungan ibu-anak kita." 　　"Suasana akhirnya mencair. Ibu dan anak bertukar beberapa kata hambar, tiba-tiba Yu Jin berkata serius: 'Nyonya, dalam perjalanan ke selatan ini saya mengalami beberapa hal yang ingin saya ceritakan pada Nyonya.'" 　　"Bicaralah." 　　Yu Jin ragu-ragu melihat ke sekeliling. 　　"Kalian semua mundur." 　　Para dayang istana yang sudah gemetar ketakutan dalam ketegangan seperti pedang terhunus tadi segera bergegas keluar. 　　"Bisa kau bicara sekarang?" 　　Yu Jin menatap Dayang kepercayaan satu-satunya yang masih tinggal. 　　Ibu Suri Xian mengerutkan alis. 　　"Hal yang ingin saya bicarakan ini sangat penting, tidak pantas diketahui orang lain." 　　Ibu Suri Xian ragu sebentar, lalu mengangguk halus pada Dayang kepercayaannya. 　　Tidak apa tidak ada yang menemani, Lao Qi se-tidak berbakti apapun pasti tidak berani menyakitinya. 　　Dayang kepercayaan itu sedikit membungkuk lalu mundur. 　　"Apa sebenarnya urusanmu, sampai semisterius ini?" 　　Yu Jin tersenyum tipis, keseluruhan sikapnya seolah berubah dari sebelumnya, berbisik lembut: "Barusan Nyonya mengatakan ikatan ibu-anak kita tipis itu salah, antara kita mana ada ikatan ibu dan anak?" 702.BAB 700 PEMUTUSAN 　　BAB 700 PEMUTUSAN 　　Memandang wajah tampan yang tersenyum lembut itu, Ibu Suri Xian mengira salah dengar: "Kau bilang apa?" 　　Suara Yu Jin semakin halus, tapi matanya membeku sepenuhnya, mengeja setiap kata: "Saya bilang, Nyonya terlalu berkhayal, masih mengira ada ikatan ibu-anak antara kita?" 　　"Kau...ulangi lagi!" Ibu Suri Xian menuding Yu Jin, seolah mendengar hal paling tak terduga. 　　Wajar Ibu Suri Xian terkejut. 　　"Hubungan ibu dan anak yang renggang, sebenarnya ini adalah hal yang sudah dipahami kedua belah pihak. Tapi bagaimanapun juga dia tak menyangka Yu Jin akan terang-terangan mengungkitnya." 　　"Dinasti Zhou mengatur negara dengan prinsip kebaktian. Meski dia punya seribu kesalahan, statusnya sebagai ibu kandung Lao Qi saja sudah cukup untuk menutupi segalanya. Apalagi sebenarnya dia tak punya kesalahan jelas. Dulu membawa Lao Qi keluar istana pun bukan keinginannya." 　　"Seorang pangeran yang diusir dari istana karena dianggap membawa sial bagi Kaisar. Jika dia diam-diam tetap menjalin kontak dan memperhatikan, itu justru penghinaan terhadap Kaisar. Jika Lao Qi mempersoalkan hal ini, takkan ada yang membelanya." 　　"Di mata Ibu Suri Xian, Yu Jin sudah gila atau bodoh, sampai berani mengucapkan kata-kata tak waras seperti ini." 　　"Tawa ringan terdengar, indah seperti gemericik air sungai." 　　"Berapa kali diulang tetap sama. Antara Ibu Suri Xian dan saya tak ada ikatan ibu-anak. Jika sebelumnya saya masih menghargai setetes darahmu dalam tubuhku, dan ingin menjaga reputasimu, sisa perasaan itu sudah lenyap saat kau menyakiti istriku." 　　"Wajah Ibu Suri Xian berubah pucat: 'Menyakiti siapa? Jangan asal tuduh!'" 　　"Sudut bibir Yu Jin mencibir: 'Saya belum menyebut apa-apa, mengapa Nyonya begitu panik?'" 　　"Sementara itu, batin Ibu Suri Xian sedang dilanda badai." 　　"Apa maksud Lao Qi? Apakah dia tahu rencana saya memanipulasi insiden Nyonya Jiang di Kuil Baiyun?" 　　"Tidak mungkin. Nyonya Jiang sendiri belum tahu, bagaimana mungkin Lao Qi sudah mengetahuinya?" 　　“Tapi seketika Ibu Suri Xian tertegun, hawa dingin menyusup dari dasar hati: Jangan-jangan Nyonya Jiang sudah menebak?” 　　Jika Nyonya Jiang memang sudah menebak, lalu membocorkannya pada Lao Qi sepulangnya, maka hal itu tidaklah aneh. 　　Membayangkan Jiang Si yang mungkin sudah tahu kebenaran namun tetap tenang, Ibu Suri Xian tiba-tiba merinding, seolah mengenali sisi lain dari perempuan ini. 　　Ia terlalu lengah. Nyonya Jiang dan Nyonya Li pergi berziarah bersama, namun si penjebak nyaris kehilangan nyawa sementara yang dijebak justru selamat. Pasti dia bukan orang sembarangan. 　　Pasti perempuan hina itu sudah mencurigaiku. 　　“Lao Qi, beginikah caramu jadi anak, mendengar hasutan perempuan lalu menyangkal ibu kandungmu sendiri?” 　　Yu Jin menyeringai: “Nyonya juga sudah setengah badan masuk tanah, berani berbuat tapi tak berani mengakui, di usia segini wajah tidak memerah?” 　　Wajah Ibu Suri Xian berubah pucat pasi, menuding Yu Jin: “Kurang ajar kau——” 　　Yu Jin dengan santai menepis jari Ibu Suri Xian: “Kiraku akan diam saja kalau dijebak? Atau kau pikir karena melahirkanku, bisa semena-mena? Aku bukan tipe yang berpura-pura, jadi hari ini kuterangkan: Jangan lagi berlagak burung elang berekor besar di hadapanku. Elang-elang yang pernah berani begitu, bulunya sudah kucabut semua.” 　　Sambil berkata demikian, Yu Jin berdiri, memandang Ibu Suri Xian yang duduk di meiren ta dari atas: “Dan kau, tak akan kukecualikan.” 　　Sebelum usia dua belas tahun, Yu Jin pada dasarnya tumbuh liar. Meskipun ada guru pengajar, tak ada yang mau mendekati anak yang dianggap membawa sial bagi Kaisar. Orang dewasa bisa dengan mudah bersikap dingin dan menjaga jarak dari seorang anak tanpa terlihat jelas, bahkan tanpa bisa disalahkan. Beberapa tahun setelah dua belas tahun itu dihabiskannya di medan perang, tahun-tahun yang membuatnya cepat matang dan belajar melindungi diri. 　　Pengalaman masa kecil dan remaja membentuk watak Yu Jin yang tidak sesuai dengan norma duniawi. Ucapan yang ditujukan kepada Ibu Suri Xian ini terdengar sesat di telinga orang biasa, tapi baginya sungguh berasal dari hati yang tulus. 　　Setelah melontarkan kata-kata itu, Yu Jin merasa lega. Dengan senyum manis ia menyatukan tinju menghormat ke arah Ibu Suri Xian, suaranya sedikit meninggi: "Nyonya yang sedang tidak enak badan harus beristirahat baik-baik, jangan sampai membuat orang-orang yang peduli khawatir." 　　Melihat Yu Jin berbalik dengan senyuman hendak pergi, darah Ibu Suri Xian langsung naik ke kepala. Suaranya tak terkendali membesar: "Binatang, kau berhenti di situ--" 　　Kalimatnya belum selesai, tubuhnya goyah dan terjatuh. 　　Dayang istana di luar yang mendengar keributan bergegas masuk, tapi Yu Jin lebih cepat bergerak dari mereka. 　　Saat dayang kepercayaan itu masuk, terlihat Yu Jin sedang menopang Ibu Suri Xian dengan satu tangan sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan, suaranya penuh kecemasan: "Nyonya, ada apa denganmu?" 　　"Kau... kau--" Ibu Suri Xian tak menyangka Yu Jin bisa berubah secepat itu dengan begitu natural. Tubuhnya gemetar marah sampai tak bisa bicara. 　　Dayang kepercayaan maju mengambil alih pekerjaan Yu Jin: "Pangeran, biarkan hamba yang melakukannya." 　　Yu Jin melihat Ibu Suri Xian sudah marah sampai begini, tentu tidak buru-buru pergi. Ia berdiri di samping dengan wajah penuh perhatian menasihati: "Hamba tahu Nyonya marah pada hamba, tapi merusak keperawanan karena marah sungguh tidak sepadan, bukankah begitu?" 　　Ibu Suri Xian melihat Yu Jin tidak hanya tidak pergi malah memprovokasi, matanya langsung memutih karena marah. 　　Dayang kepercayaan hampir mati ketakutan, berteriak pada dayang istana: "Apa masih bengong? Cepat panggil tabib istana!" 　　Perkataan dayang kepercayaan membuat Ibu Suri Xian tiba-tiba menemukan suaranya, terputus-putus berkata: "Panggil... panggil Kaisar..." 　　"Nyonya—" Dayang kepercayaan ragu-ragu, mencoba menasihati. 　　Pagi tadi baru memanggil Kaisar, sekarang memanggil lagi, apakah terlalu sering? 　　"Pergi!" Tubuh Ibu Suri Xian bergetar hebat, wajahnya pucat pasi, seperti ingin pingsan setiap saat. 　　Dayang kepercayaan tidak berani menunda lagi, segera menyuruh orang melapor ke Kaisar Jingming. 　　Amarah dalam dada Ibu Suri Xian menyumbat nafasnya, hanya bisa melototi Yu Jin dengan mata penuh kebencian. 　　Anak durhaka ini! Nanti saat Kaisar datang, pasti akan kuhukum karena ketidakbaktiannya! 　　Wajah Yu Jin tetap menunjukkan kekhawatiran, namun matanya tenang bagai air danau. 　　Mengadukan pada Ayah Kaisar? Hehe, hamba tunggu saja. 　　Orang-orang Istana Yuquan bergegas menuju Aula Yangxindian, sementara Komandan Jinlinwei Han Ran yang baru saja masuk istana masih berdiskusi di dalam. 　　Ketukan di pintu memutuskan percakapan antara kaisar dan menteri. 　　"Ada apa?" Kaisar Jingming kesal menatap Pan Hai. 　　Pan Hai sendiri agak mengagumi keberanian Istana Yuquan, menjawab: "Laporan Paduka, utusan Yuquan memohon kehadiran Paduka. Katanya kondisi Ibu Suri Xian memburuk——" 　　"Memburuk?" Kaisar Jingming tertegun, "Pagi tadi saat Aku berkunjung masih terlihat lumayan, kenapa tiba-tiba memburuk?" 　　"Katanya sudah memanggil Tabib istana, tapi kondisi Ibu Suri benar-benar mengkhawatirkan, sehingga berani mengganggu Paduka." 　　"Sakit kepala kambuh lagi?" Kaisar Jingming yang baru saja mulai berdiskusi dengan Han Ran enggan diganggu, memerintahkan Pan Hai memanggil utusan Yuquan untuk dimintai keterangan. 　　Yang datang melapor adalah seorang pelayan istana. 　　"Apa yang terjadi dengan nyonyamu?" 　　Pelayan itu menunduk gemetar: "Nyonya... Nyonya sepertitu marah karena Pangeran Yan..." 　　Kaisar Jingming terkesiap, baru teringat bahwa Yu Jin seharusnya berada di Yuquan saat ini. 　　Lao Qi membuat Ibu Suri Xian jatuh sakit? 　　Terima kasih atas hadiah sepuluh ribu koin dari An_Nanxiu, Liucheng Xuepao, juga kepada malasnya cacing3, Tangguo Dong9, Mo Yu Moyo, Yilan Youyou, Kuaileyu121, kathleen999, Shū Yǒu20170406070620165, Jinyu13, Lvren_C, Xiao Xiao121, dan donatur lainnya. Terima kasih untuk semua yang telah memberikan vote. 703.BAB 701 Menolak Mengakui 　　BAB 701 Menolak Mengakui 　　Tidak mungkin, Lao Qi masuk istana hari ini untuk mengunjungi Ibu Suri Xian, bagaimana bisa membuatnya marah? 　　Mengingat kemampuan Yu Jin dalam membuat masalah, Kaisar Jingming mulai meragukan dirinya sendiri. 　　Dia tahu hubungan ibu dan anak ini memang renggang, mungkin kata-kata Lao Qi tanpa sengaja menyakiti hati Ibu Suri Xian. 　　Dengan pemikiran ini, Kaisar Jingming berdiri dan berkata pada Han Ran: "Komandan Han, tunggu sebentar." 　　Han Ran tentu tidak berani protes, bahkan rasa ingin tahu pun tidak ada. 　　Rasa ingin tahu bisa membunuh! Sebagai salah satu saksi yang tahu Kaisar diberi tudung hijau oleh Putra Mahkota yang Dipecat, dia terus-menerus gelisah dan tak bisa tidur nyenyak, khawatir suatu hari Kaisar akan memenggalnya karena mood buruk. 　　Urusan keluarga kerajaan, sama sekali tidak ingin dia ketahui. 　　Kaisar Jingming berangkat ke Istana Yuquan. Entah mengapa, kucing putih yang biasanya cuek terhadap kaisar tiba-tiba melompat ke tandu, ikut menonton keributan. 　　Istana Yuquan benar-benar sedang ramai. 　　Tabib istana tiba lebih dulu dari Kaisar Jingming dan menyimpulkan bahwa Ibu Suri Xian mengalami serangan jantung akibat kemarahan. 　　"Dayang-dayang istana sibuk menyuapkan air, menepuk punggung, dan mengambil handuk lembut. Semuanya sibuk tak henti hingga teriakan 'Kedatangan Kaisar' mengguncang ruangan. Segalanya tiba-tiba membeku dalam keheningan sesaat." 　　Kaisar Jingming masuk, memandang sekeliling lalu menatap Ibu Suri Xian. 　　Dibandingkan wanita pucat lesu yang dilihatnya pagi ini, wajah Ibu Suri Xian kini kehitaman, terlihat lebih parah. 　　Pandangannya beralih ke Yu Jin. 　　Yu Jin segera memberi hormat pada Kaisar Jingming: "Anak menghadap Ayah Kaisar." 　　"Apa yang terjadi di sini?" tanya Kaisar Jingming dengan wajah masam. 　　Apakah Ibu Suri Xian benar-benar marah karena Lao Qi? 　　Seberapa bodohkah Lao Qi sampai berani membuat ibu kandungnya marah di depan banyak dayang istana? 　　Yu Jin menunduk dengan wajah penuh penyesalan: "Ini semua kesalahan anak. Seharusnya kemarin setelah masuk istana langsung menjenguk Nyonya, tapi karena kesibukan tertunda hingga hari ini sehingga membuat Nyonya marah..." 　　Ibu Suri Xian yang sudah mulai pulih menyeringai dingin: "Baru datang Kaisar langsung pura-pura anak berbakti? Katanya sibuk sampai tertunda, padahal baru ingat Istana Yuquan setelah diingatkan Kaisar!" 　　"Saya tidak--" 　　Suara Ibu Suri Xian semakin dingin bernada menusuk: "Tidak? Di depan Kaisar pun masih tidak mau mengaku, terlihat berbohong sudah jadi kebiasaan sehari-harimu--" 　　Mengumpat sampai di sini, Ibu Suri Xian tiba-tiba merasa ada yang aneh, secara refleks menatap Kaisar Jingming. 　　Ekspresi Kaisar Jingming agak aneh, berkata dengan pasrah: "Barusan memang aku yang bilang." 　　Ibu Suri Xian：“……” 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi serius: "Kekasihku mungkin salah paham, Lao Qi hari ini masuk istana untuk menemui khusus menjengukmu, bukan karena Aku mengatakan sesuatu padanya setelah pergi dari Istana Yuquan." 　　Dia juga ingin bicara, sekalian memarahi anaknya, tapi anak sialan ini tidak memberi kesempatan. 　　Ibu Suri Xian terlihat tidak percaya. 　　Kaisar Jingming semakin putus asa: "Apakah Kekasihku mengira Aku akan membohongimu?" 　　"Hamba tidak beranti." Wajah Ibu Suri Xian memerah dan pucat silih berganti seperti palet cat. 　　Bukankah Lao Qi datang ke Istana Yuquan karena peringatan Kaisar? 　　Ia tak sengaja menatap Yu Jin, kebetulan saat itu Yu Jin juga menoleh. 　　Pandangan mereka bertemu, Ibu Suri Xian melihat ejekan samar di mata lawannya. 　　Semua rasa malu Ibu Suri Xian berubah menjadi amarah, menunjuk Yu Jin sambil berkata: "Paduka, tahukah Anda apa yang diucapkan anak tidak berbakti ini?" 　　"Apa yang dia katakan?" Kondisi Ibu Suri Xian saat ini membuat Kaisar Jingming terkejut. 　　Dalam ingatannya Ibu Suri Xian selalu anggun dan tenang, bahkan suara tinggipun tidak pernah terdengar, kini kenapa mulai mirip perempuan kasar? 　　Ibu Suri Xian sepertinya menyadari keheranan Kaisar Jingming, menenangkan diri lalu berkata dingin: "Dia bilang tidak ada ikatan ibu-anak antara kami, mulai sekarang tidak akan menganggapku sebagai ibu kandung!" 　　Begitu kata-kata ini terucap, semua yang hadir menatap Yu Jin dengan wajah terkejut. 　　Kaisar Jingming tidak terkecuali, menatap tajam Yu Jin dan bertanya: "Lao Qi, apa benar kau berkata begitu?" 　　Yu Jin mengangkat ujung jubahnya dan berlutut satu kaki: "Anak tidak pernah mengatakannya." 　　Ibu Suri Xian membuka matanya lebar-lebar, memandang Yu Jin dengan tak percaya: "Kau brengsek ini, sampai saat ini masih tidak mau mengaku?" 　　Yu Jin memandang Ibu Suri Xian dengan heran, dalam hati berpikir mengapa harus mengaku, dia tidak bodoh. 　　Berlutut di atas ubin yang dingin, Yu Jin menunduk memandang bayangannya yang terpantul di lantai, suaranya tenang seperti air: "Ayah Kaisar, hari ini anak memang telah membuat Nyonya tidak senang, tapi mana mungkin anak berani mengucapkan kata-kata yang memberontak seperti itu? Anak bukan orang gila." 　　Kaisar Jingming tidak bisa tidak mengangguk. 　　Benar juga, Lao Qi ini cukup cerdik, meski dalam hati mungkin berpikir begitu, mana mungkin diucapkan? 　　Melihat Kaisar Jingming malah mengangguk, Ibu Suri Xian hampir muntah darah, bibirnya gemetar: "Kaisar, si bencana ini berbohong. Selir yang telah mendampingi Paduka puluhan tahun ini, mana mungkin asal mengada-ngada?" 　　Kaisar Jingming menggerakkan alisnya, diam tidak bersuara. 　　Kalau dikatakan Ibu Suri Xian mengada-ngada, tentu tidak. Tapi tadi dia masih yakin kalau Sang Kaisar yang memberi isyarat pada Lao Qi, ini membuktikan mungkin ada kesalahpahaman antara ibu dan anak. 　　Perempuan memang begitu, berpikiran sempit, suka salah paham. Dia paham, apalagi di istana belakang yang penuh selir. 　　Meski berpikir begitu, tuduhan Ibu Suri Xian terhadap anaknya di depan umum tetap merupakan masalah serius. 　　Dinasti Zhou mengutamakan kebaktian dalam pemerintahan, keluarga kerajaan harus menjadi teladan. Dia tidak bisa mengabaikan hal ini. 　　Kaisar Jingming kembali mengalihkan pandangannya ke Yu Jin yang berlutut di lantai, bertanya dengan kesal: "Lao Qi, apa sebenarnya yang kau lakukan hari ini sampai membuat Ibumu marah besar?" 　　Ibu Suri Xian segera menangkap nada tak enak itu, berkata dengan nada sinis: "Paduka jangan bicara begitu, Pangeran Yan tak mengakui hamba sebagai ibunya." 　　Saat itu Yu Jin mengangkat kepala, wajahnya menunjukkan kesedihan dengan tatapan jernih seperti mata air: "Ayah Kaisar, sungguh anak tidak mengatakan kata-kata itu. Jika tidak percaya, tanyalah para dayang istana ini." 　　Wajah Kaisar Jingming berkerut penuh wibawa, matanya menyapu ruangan: "Siapa di antara kalian yang mendengar ucapan Pangeran Yan?" 　　Seluruh dayang istana segera bersujud, saling pandang bingung. 　　Melihat ini, alis Kaisar Jingming semakin berkerut dalam. 　　Pan Hai membentak: "Apa kalian tuli? Paduka sedang bertanya!" 　　Seorang dayang istana gemetar ketakutan: "Paduka... hamba... hamba tidak mendengar..." 　　Beberapa orang lain mulai mengaku hal serupa. 　　Kaisar Jingming menatap Ibu Suri Xian. 　　Bibir Ibu Suri Xian bergetar, nyaris tak bisa berkata-kata lagi. 　　Saat ini, dia baru menyadari kelicikan dan niat jahat anak haram itu. 　　"Pangeran Yan berpura-pura ada urusan lalu menyuruh hamba mengusir semua dayang. Ucapan itu dia lontarkan saat hanya kami berdua." Ibu Suri Xian menahan amarah, suaranya meninggi. "Paduka, apa hamba akan mengada-ada memfitnah anak sendiri?" 　　Kaisar Jingming ragu-ragu memandang Yu Jin. 　　Yu Jin menunjukkan ekspresi terluka, berkata dengan tenang: "Anak lelaki memang ada hal yang ingin dibicarakan secara pribadi dengan Nyonya. Pengalaman kakak ipar kali ini membuat saya tergerak, ingin berdiskusi baik-baik dengan Nyonya, tapi tidak menyangka... Sudahlah, apa pun yang Nyonya katakan akan saya ikuti, Jin mengaku bersalah." 　　Lagipula saat itu hanya mereka berdua yang berbicara, siapa yang mengatakan apa tidak penting, yang penting Ayah Kaisar percaya pada siapa. 　　Selir yang marah tak karuan dengan anak lelaki yang penuh kekesalan di perut, bukankah jelas siapa yang lebih dipercaya? 704.BAB 702 Pergi dengan Gaya 　　BAB 702 Pergi dengan Gaya 　　Yu Jin sangat yakin bisa mengalahkan Ibu Suri Xian. 　　Berdasarkan pemahamannya yang tidak mendalam namun cukup tentang Ibu Suri Xian, dia tahu Ibu Suri Xian pasti tidak puas karena kemarin dia masuk istana tapi tidak mengunjungi Istana Yuquan. 　　Ketidakpuasan ini mungkin tidak akan terlihat sebelumnya, tapi setelah Ibu Suri Xian menjebak Jiang Si namun malah merugi, situasinya menjadi berbeda. 　　Kemungkinan besar Ibu Suri Xian akan mengadukan hal ini kepada Kaisar Jingming, dan Kaisar yang mementingkan kebaktian pasti akan berjanji menghukumnya. 　　Karena itu Yu Jin memperkirakan waktu dan masuk istana, mengusulkan untuk mengunjungi Ibu Suri Xian. 　　Inilah jebakan pertama yang dia pasang untuk Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian baru saja mengadu lalu melihatnya datang, siapapun akan berpikir: Dia datang karena diingatkan oleh Kaisar. 　　"Dengan demikian, ketika Ibu Suri Xian menyerangnya di hadapan Kaisar Jingming dengan alasan ini, hal itu akan memberi kesan pada Kaisar Jingming bahwa dia telah salah paham tanpa memeriksa kebenaran." 　　Membangkitkan minat Ibu Suri Xian dengan pembicaraan rahasia, dan memastikan bahwa perkataan itu tidak didengar oleh orang ketiga sama sekali, adalah rencana yang telah lama dipersiapkan oleh Yu Jin. 　　Segala sesuatu memerlukan bukti, terutama saksi manusia. 　　Di wilayah kekuasaannya sendiri, namun tak ada seorang pun yang bisa menjadi saksi untuk Ibu Suri Xian, maka seberapa besar kredibilitas perkataan Ibu Suri Xian di mata Kaisar Jingming? Terutama dalam situasi dimana kesan buruk sudah tertanam. 　　Bisa dikatakan, situasi saat ini adalah hasil jebakan yang telah direncanakan Yu Jin langkah demi langkah. 　　Dia sudah memiliki istri dan anak perempuan, boleh bertindak sewenang-wenang tapi tidak boleh sembrono. Segala tindakan yang berani dilakukan tidak boleh hanya mengandalkan keberanian bodoh belaka. 　　"Semua ini kesalahan hamba yang membuat Nyonya begitu marah, mohon Ayah Kaisar menghukum anak lelaki ini." 　　Melihat hal ini, Ibu Suri Xian gemetar seluruh tubuhnya dengan dada yang naik turun hebat: "Binatang... Kau berani berbohong di depan mata..." 　　Kaisar Jingming tidak senang mendengarnya, mengingatkan dengan dingin: "Ibu Suri Xian, Lao Qi tetap seorang pangeran kerajaan. Jika ada kesalahan, tegurlah langsung. Jangan mempermalukan diri di depan para pelayan." 　　Ibu Suri Xian hampir muntah darah karena marah. 　　Sudah lama dia menegur! Binatang ini bahkan tidak mengakui ibunya sendiri, tapi Kaisar tidak percaya! 　　Tunggu, Kaisar tidak percaya— 　　Wajah Ibu Suri Xian semakin pucat, seolah kehilangan sandaran, limbung akan terjatuh. 　　Dalam keputusasaan, tiba-tiba dia kembali tenang. 　　Situasi saat ini jelas Kaisar tidak percaya pada ucapannya. Jika dia bersikeras mengejar si anak durhaka itu, hanya akan mempermalukan diri sendiri. 　　"Selir ini kehilangan kendali, hanya karena sakit hati oleh Lao Qi..." Ibu Suri Xian tersenyum paksa. 　　Kaisar Jingming melototi Yu Jin dan membentak, "Bodoh! Kenapa masih diam? Cepat minta maaf pada ibumu!" 　　Yu Jin memberi hormat pada Ibu Suri Xian dan berkata lantang, "Hamba memohon maaf telah membuat Nyonya tidak senang. Mohon jangan ditanggapi, nanti kesehatan Nyonya terganggu akan menjadi dosa hamba." 　　Kaisar Jingming tertawa, "Antara ibu dan anak tak ada permusuhan abadi. Ibu Suri Xian, Lao Qi sejak kecil tak dibesarkan di istana, tak paham tata krama. Sabarlah, tak perlu emosi." 　　Ibu Suri Xian hanya bisa mengangguk. 　　"Masih ada urusan?" Kaisar Jingming melirik Yu Jin dengan sebelah mata. 　　Yu Jin menggeleng polos, "Awalnya ingin berbincang dengan Nyonya, sekarang sudah selesai." 　　"Kalau sudah pergi sana! Jangan mengganggu ibumu di sini!" 　　Yu Jin bangkit, menunduk patuh, "Baik." 　　Kaisar Jingming menyapu pandangan dingin pada para dayang istana, lalu mengangguk pada Ibu Suri Xian, "Aku masih ada urusan dengan para menteri. Beristirahatlah, jangan emosi lagi." 　　Sehari dipanggil dua kali, kalau begini terus bukan cuma Ibu Suri Xian yang tak kuat, dia sendiri juga akan kelelahan. 　　“Ibu Suri Xian menggigilkan bibirnya.” Kalimat penahanan tak terucap, hanya bisa menatap Kaisar Jingming pergi, bahkan mendengar Kaisar berseru "Lao Qi, tunggu sebentar". 　　Segera Istana Yuquan hanya menyisakan orang dalam. Ibu Suri Xian menghantamkan cangkir teh ke lantai dengan wajah pucat, mengatupkan gigi memerintahkan dayang kepercayaan: "Panggil Pangeran Qi masuk istana." 　　Meski tadi Kaisar Jingming telah memarahi si durjana itu, sebenarnya dirinya telah kalah. 　　Kaisar yang sangat menjunjung kebaktian itu, setelah dituduh begitu kejam terhadap anak kandungnya sendiri, hanya memberikan hukuman ringan. Bukankah ini tamparan bagi dirinya? 　　Si durjana itu sejak awal datang ke Istana Yuquan hanya untuk menjebaknya, mempermalukannya di hadapan Kaisar! 　　Ibu Suri Xian sangat paham bahwa Kaisar Jingming mulai tak sabar padanya. 　　Ini bukan salah Kaisar. Andai Permaisuri memanggil Kaisar dua kali dalam setengah hari saja, pasti Kaisar juga akan jengkel. 　　Yang patut disalahkan adalah si brengsek berhati dingin itu! 　　Saat Ibu Suri masih marah, terdengar suara kucing mengeong. 　　“Meong——” 　　Matanya menoleh, melihat kucing putih berdiri di antara pecahan keramik, mencium aroma teh yang tumpah. 　　“Binatang apa ini?” Ibu Suri sangat tak menyukai kucing-anjing, wajahnya langsung berubah. 　　Dayang kepercayaan segera mengingatkan: "Nyonya, ini Jixiang peliharaan Kaisar!" 　　Ibu Suri Xian tertegun, kemudian baru tersadar mengingat sesuatu. 　　Di istana belakangan ini muncul tren memelihara kucing yang tidak baik, ini karena Kaisar memelihara seekor kucing, yang dipelopori Kaisar, diikuti bawahannya. 　　Kucing putih itu dipelihara Kaisar Jingming, para dayang istana pun tidak berani mengusirnya, semua menunggu reaksi Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian sangat jengkel pada kucing dan anjing, bingung harus berbuat apa, saling tatap dengan kucing putih itu. 　　Kucing putih itu mengeong, melirik Ibu Suri Xian, lalu berjalan pergi dengan langkah anggun. 　　Ibu Suri Xian bahkan melihat tatapan menghina dari mata kucing gemuk itu, tapi tidak mungkin mengejar untuk memukulnya, hanya bisa menarik napas dalam-dalam, merasa hari ini sangat sial. 　　Kaisar Jingming memanggil Yu Jin, berjalan sambil bermuka masam: "Brengsek! Katanya mau menjenguk Ibu Suri Xian, begini caranya?" 　　Yu Jin menunduk, wajah penuh kesedihan: "Anak benar-benar tidak menyangka--" 　　Kaisar Jingming menoleh ke arahnya: "Apa sebenarnya yang kau katakan pada ibumu? Aku masih mengerti Ibu Suri Xian, dia bukan tipe yang mudah marah." 　　Suka marah dan mudah tersinggung itu berbeda. Ibu Suri Xian jelas tipe yang lebih memilih diam meski hati terluka, kok bisa sampai marah besar pada Lao Qi brengsek ini, sampai menuduhnya tidak berbakti di depan banyak dayang istana. 　　Tidak berbakti, ini tuduhan serius. Jika benar Lao Qi tidak berbakti, maka dia akan dalam masalah besar. 　　Kaisar Jingming tentu tidak sepenuhnya memihak Yu Jin, namun hanya karena pertengkaran kecil antara ibu dan anak sampai terjadi keributan seperti ini, sungguh tidak sepadan. 　　Kaisar Jingming memandangi putranya yang kembali membuat masalah dengan kesal, memikirkan Ibu Suri Xian pun membuatnya jengkel. 　　Sudah menjadi nenek, bagaimana bisa tega memperlakukan anak kandung sendiri seperti ini? Jika ini terjadi pada Lao Si— 　　Begitu pikirnya, Kaisar Jingming mulai menyimpan benih ketidakpuasan terhadap Ibu Suri Xian. Tentu saja, perasaan ini hanya tersembunyi di hati, sama sekali tidak terlihat di permukaan. 　　Bagaimanapun juga, membuat ibu kandung murka adalah kesalahan sang anak, ini tak perlu diragukan lagi. 　　"Saya—" Yu Jin ragu sejenak, wajahnya memerah, "hanya menyebutkan perbedaan sikap Nyonya terhadap saya dan Kakak Keempat... Tak disangka Nyonya langsung—" 　　Di sini, ia tersenyum masam: "Anak tidak seharusnya mengungkit hal itu. Mohon Ayah Kaisar tenang, ke depannya tak akan terulang lagi." 　　Kaisar Jingming yang awalnya ingin memarahinya lagi, melihat sikapnya tiba-tiba tak tega melanjutkan. 　　Secara objektif, Ibu Suri Xian memang agak pilih kasih... 　　"Sudah! Jangan lagi mengungkit luka lama. Maukah wajahmu tetap anggun setelah dituduh tidak berbakti oleh ibu kandung di depan umum?" 　　"Baik." 　　Kaisar Jingming tiba-tiba berhenti. 　　Yu Jin memandanginya dengan bingung. 　　"Ketinggalan Jixiang." 705.BAB 703 Tidak mau dengar, tidak mau dengar 　　BAB 703 Tidak mau dengar, tidak mau dengar 　　"Jixiang?" Ekspresi Yu Jin agak aneh. 　　Jika ingatannya tidak salah, bukankah Jixiang adalah kucing putih yang sering terlihat di ruang studi kekaisaran atau Aula Yangxindian, yang sering mengabaikan Sang Kaisar? 　　Yang bentuk tubuhnya perlahan menyerupai Er Niu. 　　Karena menyadari kucing putih bernama Jixiang ini tidak ambil pusing dalam merebut kasih sayang kaisar, pelayan istana yang cerdik pun membawa dua kucing lain yang lebih lucu. Namun anehnya, Kaisar Jingming tetap lebih menyukai kucing putih ini, sering memberinya camilan lezat seperti irisan daging atau ikan kering. 　　Meski Jixiang acuh tak acuh pada majikannya, ia tak pernah menolak menyantap ikan kering. Lama-kelamaan tubuhnya pun membulat. 　　Melihat ekspresi aneh Yu Jin, Kaisar Jingming segera menegakkan wajah dan berkata datar: "Aku hanya tiba-tiba teringat, ayo pergi." 　　Bercanda, masa karena seekor kucing sampai gelisah? Tentu saja iya! Tapi harus menunggu sampai anak lelakinya pergi dulu. Bagaimana menjaga kewibawaan wajah naga ini kalau tidak? 　　Khawatir Jixiang berkeliaran dan disakiti orang yang tak tahu diri, Kaisar Jingming segera memberikan kode mata pada Pan Hai. 　　Meski Pan Hai menerima dan memahami isyarat kaisar, ia tetap berpura-pura tidak tahu apa-apa. 　　Mana mungkin dia mau mencari! 　　Kucing putih licik dan rakus itu mungkin sedang menonton Ibu Suri Xian yang sedang marah melempar cangkir di Istana Yuquan. Buat apa ke sana cari masalah? Apalagi Jixiang bisa kabur seenaknya tanpa alasan. Kalau sampai tercakar, Kaisar pasti tak akan membelanya. Lebih baik terima nasib! 　　Sang kasim tua yang samar-samar menyadari posisinya di hati kaisar telah dikalahkan kucing putih itu berjalan maju tanpa menoleh. 　　Kaisar Jingming melihat kasim tua yang biasanya selalu selaras dengannya tidak bereaksi sama sekali, hati pun dipenuhi kegelisahan. 　　Bukankah Pan Hai biasanya sangat waspada? Kenapa hari ini begini? Tidak bereaksi saja sudah keterlaluan, tatapan penuh kemarahan yang sekilas terlihat itu maksudnya apa? 　　Mirip ekspresi yang kadang terlihat di wajah beberapa selir saat dia mengunjungi istana mereka. 　　Begitu pikiran ini melintas, Kaisar Jingming langsung merasa ngeri. 　　Pasti ini hanya khayalannya saja! 　　Saat hampir tiba di Aula Yangxindian, Kaisar Jingming yang ingin buru-buru menemui Jixiang tiba-tiba berhenti dan batuk kecil: "Batuk-batuk, Lao Qi, kau boleh pulang." 　　Sudah sampai di Aula Yangxindian masih belum mau pergi, kenapa anak ini tidak punya kewaspadaan sama sekali? 　　"Hamba mohon diri." Yu Jin menunduk hormat sesuai tata krama, lalu mengangguk ringan ke arah Pan Hai sebelum dipandu seorang pelayan istana muda menuju luar istana. 　　Melihat Yu Jin sudah menjauh, Kaisar Jingming buru-buru berbalik arah. 　　Pan Hai segera mengingatkan: "Kaisar, Komandan Han masih menunggu Paduka." 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai dengan kesal: "Apa? Han Ran tidak bisa menunggu Aku sebentar?" 　　Hmph! Mengingat kepalanya sudah hijau, dia seharusnya bersyukur Aku belum membunuh Lao Han. Masih mau mengeluh apa lagi? 　　Pan Hai pura-pura menampar mulutnya sendiri: "Hamba terlalu banyak bicara. Kalau begitu Paduka hendak ke..." 　　"Tentu saja kembali mencari Jixiang!" Kaisar Jingming menjawab kesal sambil berbalik dan langsung berjalan cepat. 　　"Dia yakin, Pan Hai hari ini pasti tidak menggunakan otaknya, reaksinya jauh tidak selincah biasanya. Apa dia pulang bukan untuk mencari Jixiang, masa untuk menemui Ibu Suri Xian?" 　　"Batuk-batuk, dia tidak kejam pada Ibu Suri Xian, tapi hari ini sudah dua kali mengunjungi, bahkan menjenguk Janda Permaisuri tidak sesering ini." 　　Pelayan istana yang dikirim untuk menjemput Pangeran Qi baru sampai di pintu gerbang istana ketika bertemu sang pangeran yang sedang masuk istana untuk memberi salut pada Ibu Suri Xian. 　　Melihat pelayan dari Istana Yuquan, Pangeran Qi secara refleks mengerutkan alis: "Mau ke mana?" 　　Pelayan itu buru-buru menjawab: "Tuan datang tepat waktu, Nyonya sedang ingin memanggil Tuan ke istana." 　　"Ada apa dengan Nyonya?" 　　"Nyonya baru saja bertengkar dengan Pangeran Yan, bahkan Kaisar sendiri sudah datang..." 　　Wajah Pangeran Qi berubah: "Ada hal seperti itu? 　　Tak perlu bicara panjang dengan pelayan kecil, Pangeran Qi mempercepat langkah menuju Istana Yuquan. 　　Di Istana Yuquan, kekacauan di lantai sudah dibersihkan, tapi suasana hati Ibu Suri Xian masih sangat buruk. 　　Dia tidak punya ikatan emosional dengan Lao Qi, juga tahu sang pangeran tidak dekat dengannya, tapi sama sekali tidak menyangka bahwa Lao Qi bukan hanya tidak dekat, bahkan tidak punya sedikitpun kesadaran sebagai seorang anak. 　　Sekarang dia yakin bahkan jika dia mati, si anak durhaka itu takkan meneteskan air mata, malah mungkin akan bertepuk tangan gembira. 　　Semakin dipikir, semakin marah. 　　Untungnya tak lama kemudian pelayan melaporkan kedatangan Pangeran Qi, memecahkan suasana beku di Istana Yuquan. 　　Ibu Suri Xian duduk di meiren ta, menatap Pangeran Qi yang masuk ke dalam ruangan, perlahan rasa hangat muncul di hatinya: "Kenapa datangnya cepat sekali?" 　　Pangeran Qi dengan senang hati berusaha menyenangkan Ibu Suri Xian, berkata: "Anak berpikir adik ketujuh sudah pulang kemarin, hari ini mungkin akan datang mengunjungi Ibu Selir. Jadi anak datang untuk berkumpul bersama Ibu dan adik ketujuh, mengingat jarang ada kesempatan seperti ini." 　　Sambil bergegas mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran: "Mengapa penampilan Ibu Selir terlihat kurang baik?" 　　Ibu Suri Xian memberi isyarat pada dayang istana untuk mundur, berkata dengan sinis: "Tidak mati karena kemarahan oleh anak durhaka Lao Qi itu saja sudah syukur, mana mungkin baik-baik saja?" 　　"Ibu Selir, sebenarnya apa yang terjadi?" 　　Ibu Suri Xian menceritakan seluruh kejadian. Karena teringat semua yang baru saja terjadi, amarahnya kembali menguasai: "Kau benar-benar anak naif, masih berpikir untuk mendekati si anak durhaka itu! Menurut ibu, dia pasti ingin kita mati agar bisa lebih leluasa!" 　　"Ibu Selir, adik ketujuh seharusnya tidak sampai segitu—" 　　Ibu Suri Xian mengangkat alis tinggi-tinggi: "Lao Si, sifat baik hati harus melihat lawannya. Hapuskan harapanmu pada Lao Qi, jangan berkhayal tentang persaudaraan lagi. Orang yang tega pada ibu kandung sendiri, mana mungkin baik pada saudara?" 　　Pangeran Qi menghela napas, berbisik pelan: "Anak benar-benar tidak menyangka Lao Qi seperti ini. Awalnya berpikir kita saudara bisa saling mendukung—" 　　Ibu Suri Xian mengibaskan tangan, menasihati: "Saat ini adalah momen krusial. Pangeran Shu adalah lawan terbesarmu, yang aku khawatirkan adalah Lao Qi akan menghambatmu. Kau harus selalu waspada ke depannya." 　　Pangeran Qi mengangguk serius: "Anak lelaki mengerti." 　　Ibu Suri Xian sedikit menghela napas lega. 　　Si anak durhaka itu benar-benar membuatnya jengkel, mengandalkan perlindungan Kaisar dan mengira dia tak bisa berbuat apa-apa. Biarlah waktu yang membuktikan, saat Lao Si berhasil, akan tiba saatnya untuk menghukumnya. 　　"Kaisar tiba——" 　　Pengumuman ini membuat Ibu Suri Xian dan Pangeran Qi terkejut serentak, saling memandang. 　　Sebelum sempat ragu, Kaisar Jingming sudah masuk. Matanya langsung tertuju pada Pangeran Qi, alisnya berkerut: "Lao Si, kenapa kau di sini?" 　　Baru sebentar dia pergi, bagaimana Lao Si sudah berada di Istana Yuquan? 　　Kaisar Jingming menahan ketidakpuasan di hatinya, menatap Pangeran Qi. 　　Pangeran Qi dalam hati berteriak "celaka", buru-buru memberi hormat pada Kaisar Jingming dan menjelaskan: "Anak lelaki datang mengunjungi ibu selir." 　　Kaisar Jingming melirik Ibu Suri Xian, berkata datar: "Hm, Ibu Suri Xian sedang tidak sehat. Lao Si bisa datang secepat ini, bakti yang patut dipuji." 　　Apakah informasi Kediaman Pangeran Qi terlalu cepat mendapat kabar? 　　Wajah Pangeran Qi menjadi kaku. Dia tahu Kaisar Jingming salah paham, buru-buru berkata: "Anak lelaki awalnya tidak tahu ibu selir sakit, hanya merasa sudah lama tidak mengunjungi ibu selir, jadi masuk istana untuk melihat..." 　　Kaisar Jingming tetap bersikap dingin: "Hm, setelah selesai membaca, kembalilah ke rumah keluarga." 　　Apakah Kaisar akan percaya dengan kebetulan seperti ini? 　　Hmph, penjelasan hanyalah alasan. Dia malas mendengarnya. Lebih baik gunakan waktu ini untuk mencari Jixiang. 706. BAB 704 Manusia Tak Seberharga Kucing 　　BAB 704 Manusia Tak Seberharga Kucing 　　Pangeran Qi melihat ekspresi dingin Kaisar Jingming yang jelas tidak percaya pada penjelasannya. Hatinya berdebar-debar, lalu berusaha berkata: "Ayah Kaisar—" 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis: "Apakah kau berniat tinggal di Istana Yuquan untuk makan?" 　　Apa lagi yang bisa dijelaskan Pangeran Qi? Ia hanya bisa pergi dengan perasaan tertahan. 　　"Kaisar, apakah Yang Mulia akan tinggal untuk makan?" Ibu Suri Xian yang kesal karena putranya disalahpahami Kaisar Jingming, tahu bahwa semakin dijelaskan semakin rumit, memilih untuk tidak membahasnya. 　　Untungnya, kepulangan Kaisar Jingming memberinya sedikit penghiburan. 　　Apakah Kaisar merasa dia kesal karena anak durhaka itu, lalu sengaja kembali untuk menemani makan siangnya? 　　Sejujurnya, Kaisar sudah lama tidak menemaninya makan bersama. 　　Kegembiraan Ibu Suri Xian belum sempat muncul ketika Kaisar Jingming berkata: "Kekasihku, beristirahatlah yang baik. Aku masih ada urusan penting, tidak akan tinggal untuk makan." 　　Ibu Suri Xian sangat kecewa, tapi tidak berani menunjukkannya. Ia memaksakan senyum sambil mengantar Kaisar Jingming keluar. 　　Kaisar Jingming menghentikannya dengan gerakan tangan: "Kekasihku sedang tidak sehat, tak perlu mengantarkan Aku." 　　Ibu Suri Xian hanya bisa membungkuk hormat, menyaksikan punggung Kaisar Jingming menghilang di pintu, lalu terjatuh kembali ke meiren ta dengan wajah yang semakin pucat. 　　Hari ini benar-benar sial, tidak hanya dibuat marah setengah mati oleh si bencana itu, juga membuat Lao Si disalahpahami oleh Kaisar. 　　Ini saat-saat krusial. Jika Kaisar menganggap Lao Si mengetahui semua gerak-gerik di Istana, tentu bukan hal baik. 　　Kaisar masih dalam masa kejayaan. Meski ingin memilih calon penguasa, Beliau tak ingin melihat anak-anaknya memiliki ambisi terlalu besar. 　　Hubungan antara Kaisar dan calon penguasa seringkali penuh kontradiksi. Kaisar mengharapkan calon penguasa yang kompeten agar negara memiliki penerus, namun juga tak ingin melihat calon penguasa terlalu menonjol sehingga merasakan kepahitan tersingkirkan sebelum turun tahta. 　　Takhta tertinggi hanya boleh diduduki satu orang. Bahkan anak kandung sendiri, jika membuat penghuni takhta merasa terancam, akan ditumpas tanpa ragu. 　　Ibu Suri Xian memahami hal ini, semakin merasa frustasi, lalu memanggil pelayan istana bertanya: "Apakah Kaisar mengatakan sesuatu saat pergi?" 　　Karena Kaisar bukan datang untuk menemani makan siangnya, lalu apa artinya berkeliling Istana Yuquan sebentar lalu pergi? Jangan-jangan Beliau sengaja datang untuk memberi peringatan pada Lao Si? 　　Berdasarkan intuisi, Ibu Suri Xian merasa Kaisar Jingming takkan sebegitu parah. 　　Pelayan istana ragu sejenak, berbisik: "Paman Pan dari rombongan Kaisar bertanya apakah ada yang melihat Jixiang..." 　　Wajah Ibu Suri Xian memucat, memerah, lalu menghitam. Tangannya yang tersembunyi dalam lengan baju bergetar menahan amarah. 　　Ternyata Kaisar datang mencari kucing itu! 　　Dia bahkan tak lebih penting dari seekor kucing. 　　Tak lebih dari seekor kucing. 　　Seekor kucing! 　　“Ibu Suri Xian semakin memikirkannya semakin marah, dadanya bergejolak, tenggorokan terasa manis berdarah.” 　　“Pangeran Qi yang meninggalkan Istana Yuquan tak kalah menderitanya, melangkah keluar istana dengan langkah berat seperti menginjak kapas, seluruh tubuh terasa melayang.” 　　“Dia tidak melakukan apa-apa, mengapa Ayah Kaisar kembali memberinya tatapan mata putih?” 　　“Malangnya, bahkan menjelaskan pun tidak bisa.” 　　“Saat ini, Pangeran Qi tiba-tiba memahami situasi Putra Mahkota yang Dipecat.” 　　“Putra Mahkota yang Dipecat baru mengumpulkan keberanian untuk memberontak di usia senjanya, sungguh sulit baginya.” 　　“Pangeran Qi keluar istana dalam keadaan linglung, diterpa angin dingin perlahan sadar, matanya kembali penuh tekad.” 　　“Disedikit disalahpahami Ayah Kaisar bukanlah masalah, kasih yang dalam mengharuskan teguran keras. Kekosongan calon penguasa justru membuktikan Ayah Kaisar menganggapnya layak jadi penerus takhta.” 　　“Benar, seperti cara Ayah Kaisar mencela Putra Mahkota yang Dipecat dulu.” 　　“Lihatlah Lao Qi, Lao Ba, untuk pangeran tak berpeluang seperti mereka, Ayah Kaisar tentu lebih toleran.” 　　“Tentu saja, siapa yang akan menuntut tinggi pada pangeran tak berkuasa? Asal tidak merampas gadis desa atau sawah rakyat sudah cukup baik.” 　　“Setelah menghibur diri, Pangeran Qi tak berjalan jauh sebelum melihat Yu Jin di depan.” 　　“Adik ketujuh, tunggu sebentar—” Pangeran Qi segera mempercepat langkahnya. 　　“Yu Jin menarik tali kekang, memandangi Pangeran Qi yang menyusul tanpa sepatah kata.” 　　Pangeran Qi menghela napas: "Adik ketujuh sekarang bertemu denganku, bahkan tidak mau memanggilku kakak laki-laki?" 　　Di wajahnya terpapar kesedihan, namun di hatinya justru senang melihat sikap seperti itu dari lawannya. 　　Semakin tidak dewasa Lao Qi, semakin bisa membuat Ayah Kaisar melihat kelapangan hatinya. 　　"Ada perlu apa?" Yu Jin bertanya dengan ekspresi datar, hatinya sudah dipenuhi kejengkelan. 　　Ibu Suri Xian dan Pangeran Qi benar-benar pantas disebut ibu-anak, sama-sama suka berakting. 　　"Adik ketujuh, hari ini aku masuk istana mengunjungi Ibu Selir, dari Ibu Selir kudengar--" Perkataan Pangeran Qi terpotong oleh suara "hehe". 　　Yu Jin tersenyum bertanya: "Ayah Kaisar tidak memuji kakak keempat atas kebaktianmu yang patut dipuji?" 　　Sang Kaisar buru-buru mengusirnya pergi, jelas-jelas kembali ke Istana Yuquan mencari kucing putih. Diperkirakan waktunya, pasti bertemu Lao Si di tempat Ibu Suri Xian. 　　Membayangkan pemandangan itu, senyum di sudut bibir Yu Jin semakin dalam. 　　Sekalipun tenang seperti Pangeran Qi, saat mendengar perkataan Yu Jin ini, tak bisa menahan diri: "Bagaimana kau tahu?" 　　Wajar Pangeran Qi terkejut. Kaisar Jingming memang menyebutnya "kebaktian yang patut dipuji", tapi ungkapan ini sama sekali bukan pujian melainkan teguran. 　　Mengapa Lao Qi tahu tentang teguran Ayah Kaisar padanya? 　　Pangeran Qi bingung dan curiga, sementara Yu Jin tetap tersenyum lembut semakin tenang: "Semua orang tahu kakak keempat berbakti, mana mungkin aku tidak tahu?" 　　Pangeran Qi sementara menahan kebingungannya dan menasihati dengan sungguh-sungguh: "Adik ketujuh, saya tahu kau punya ketidakcocokan dengan Ibu Selir, tapi setidaknya hargailah jerih payah Ibu Selir yang mengandungmu selama sepuluh bulan. Dulu kau dibawa keluar istana, itu bukan keinginan Ibu Selir——" 　　"Oh, kalau begitu, apakah ini menyalahkan Ayah Kaisar yang menyebabkan perpisahan antara saya dan Ibu Suri Xian?" 　　Wajah Pangeran Qi langsung berubah, hampir tak tahan ingin menutup mulut Yu Jin: "Adik ketujuh, jangan sembarangan bicara, maksud saya bukan begitu." 　　Dia yang awalnya mengangkat prinsip 'kebaktian' untuk menegur Lao Qi, bagaimana bisa Lao Qi malah menyeret Ayah Kaisar ke dalam masalah? 　　Seribu kesalahan, sepuluh ribu kesalahan, siapapun yang bersalah, mustahil Ayah Kaisar yang salah. 　　Pangeran Qi tiba-tiba merasa tak berani melanjutkan pembicaraan. 　　Pada saat ini, dia benar-benar merasakan betapa sulitnya menghadapi lawannya. 　　Lao Qi memberi kesan sembrono dan nekat, seolah siap kapan saja mengangkat lengan untuk berkelahi. Tapi jika Lao Wu yang bertingkah seperti ini hanya akan terlihat konyol, sementara Lao Qi sama sekali berbeda. 　　Alasannya jelas, Lao Wu kehilangan gelar pangeran kerajaan karena sekali bertindak impulsif, tapi setiap kali Lao Qi melakukan hal serupa, yang celaka justru orang-orang yang dihadapinya. 　　Masih adilkah ini? 　　Mungkin lawan terbesarnya bukan Putra Keenam, melainkan Lao Qi——Melihat senyum manis di seberang, Pangeran Qi tiba-tiba mendapat pencerahan ini. 　　Melihat ekspresi Pangeran Qi yang terus berubah tapi tak berani bersuara, Yu Jin kehilangan kesabaran untuk berlama-lama dan berkata datar: "Ada hal yang ingin saya minta pada Kakak Keempat." 　　“Apa yang terjadi?” Pangeran Qi tidak bisa menahan tanya. 　　“Kedepannya jangan sering-sering datang memberiku khotbah, kau belum pantas.” Setelah mengucapkan ini, Yu Jin tersenyum tipis lalu menggiring kudanya pergi. 　　Debu yang terlempar oleh kuku kuda menghujam ke wajah Pangeran Qi, hampir membuatnya terjatuh dari punggung kuda. 　　Yu Jin tidak kembali ke Kediaman Pangeran Yan, melainkan langsung menuju Dongping Bo Residence. 　　Untuk merayakan kembalinya Jiang Zhan dengan selamat dan memberitahu dunia bahwa Kakak Kedua Jiang belum meninggal, Keluarga Bo akan mengadakan tiga hari jamuan berkesinambungan. Jiang Si sudah pergi ke kediaman keluarga tersebut sejak pagi. 　　Yu Jin berencana mampir sebentar ke kediaman keluarga itu sekaligus menjemput istrinya pulang. 　　Semoga semua merayakan Natal yang bahagia. Minta dukungan vote, minta kartu dukungan, minta pelukan dari bidadari-bidadari kecil. 707. BAB 705 Teman Dekat Ibu Suri Marquis Yining 　　BAB 705 Teman Dekat Ibu Suri Marquis Yining 　　Hari ini Dongping Bo Residence sangat ramai, kereta dan kuda di depan pintu hampir memenuhi area, bahkan meja jamuan sampai berjejer di jalanan. 　　Jamuan di luar adalah benar-benar pesta berkesinambungan. Piring dan cawan kosong terus diambil, langsung diganti dengan anggur lezat dan hidangan mewah. Pejalan kaki yang lewat bisa langsung duduk menikmati makanan sambil merasakan keberuntungan. 　　Saat ini, Keluarga Bo sama sekali tidak merasa sayang mengeluarkan uang yang mengalir seperti air. 　　Dalam pandangan Nyonya Feng, uang harus digunakan di mata pedang, dan saat ini memang sudah digunakan di tempat yang tepat. 　　Apa lagi yang lebih membanggakan daripada gelar bangsawan yang bisa diwariskan? Ini adalah hal yang memuliakan leluhur. Dan karena ini tercapai di masa kepemimpinannya, setelah aku tiada nanti bertemu para pendahulu pasti bisa berbangga hati. 　　Dengan alasan cucu pulang dengan selamat, mengadakan perayaan adalah hal yang wajar. Takkan ada yang berani mencela keluarga Bo sebagai sombong. 　　Uang ini harus dikeluarkan. 　　Berbeda dengan jamuan di luar yang harus dimakan dalam udara dingin, jamuan dalam istana disiapkan khusus untuk orang-orang berstatus. 　　Hari itu banyak tamu terhormat bahkan kerabat kerajaan yang datang, jelas-jelas menghormati nama besar Pangeran Yan. 　　Kaisar mengizinkan Pangeran Yan pergi ke selatan, membuktikan sikap baiknya. Apalagi Pangeran Yan berhasil membawa pulang Putra Mahkota Dongping Bo dengan selamat, tentu semakin menaikkan nilainya di mata Kaisar. 　　Terhadap pangeran yang disukai Kaisar, orang-orang tentu ingin menjalin hubungan baik. 　　Lagipula menurut banyak orang, Pangeran Ketujuh Yan tak mungkin berebut takhta. Berdekatan dengannya takkan membuat Kaisar curiga. 　　Adapun Pangeran Qi dan Pangeran Shu - diam-diam saja menjalin hubungan, tak boleh terang-terangan mendekat. 　　Nyonya Feng yang dikelilingi para nyonya bangsawan terlihat sangat bangga. Namun karena usia, akhirnya memohon maaf: "Nenek tua ini sudah tak kuat, mohon maaf atas ketidakhormatan ini." 　　Para tamu serentap menjawab: "Ibu Suri silakan beristirahat, kami cukup minum teh saja." 　　Status keluarga Dongping Bo yang semakin meningkat terlihat jelas. Mereka pun menghormati ibu suri ini, apalagi Permaisuri Yan juga hadir hari ini. 　　Nyonya Feng dibantu dayang pelan-pelan bangkit. 　　Saat itu Jiang Si berdiri: "Nenek, biar saya antar Nenek beristirahat." 　　Nyonya Feng tertegun, kerutan di wajahnya pun meregang, jelas senang melihat sikap Jiang Si di depan banyak orang, tapi tetap berusaha menjaga gengsi: "Permaisuri cukup temani para Nyonya saja." 　　Jiang Si bersikeras: "Saya antar Nenek dulu, baru kembali menemani para Nyonya." 　　"Permaisuri terlalu sopan." 　　"Permaisuri sungguh berbakti dan berbudi luhur..." 　　Jiang Si mendengar pujian itu tanpa gejolak di hati, sementara wajah Nyonya Feng semakin berseri, mengangguk halus ke Nyonya Guo: "Kau layani para Nyonya dengan baik." 　　Nyonya Guo membungkuk sambil penasaran: Biasanya Permaisuri tak pernah ramah pada Ibu Suri, kenapa hari ini berubah? 　　Melirik sekeliling, Nyonya Guo menduga: Mungkin Permaisuri tak ingin dicap tak hormat di depan orang asing. 　　Tujuan Jiang Si mengantar Nyonya Feng ternyata berbeda dengan dugaan Nyonya Guo. 　　Ia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas masa lalu dengan Nyonya Feng, siapa tahu ada petunjuk. 　　Setelah memasukkan Nyonya Feng ke ruang istirahat, Jiang Si menyuruh dayang: "Kau keluar dulu." 　　Dayang melirik meminta izin Nyonya Feng. 　　Nyonya Feng yang masih puas diri akhirnya menganggukkan persetujuan. 　　“Dayang segera mundur keluar, meninggalkan ruang privat untuk mereka berdua, bahkan dengan penuh perhatian menutup pintu.” 　　Wajah Nyonya Feng menjadi serius: “Apakah Permaisuri ada keperluan?” 　　Jiang Si tersenyum lembut: “Nenek benar, cucu perempuan ini memang ada sesuatu ingin bertanya pada nenek.” 　　Mendengar ini, Nyonya Feng spontan menyiapkan diri. 　　Pantas saja si'er hari ini bertingkah aneh, rupanya pertanyaan yang ingin dia ajukan tidak biasa. 　　“Katakanlah.” 　　Jiang Si justru terlihat ragu sejenak sebelum bertanya: “Apakah nenek mengenal nenek dari pihak ibu saya?” 　　Nyonya Feng tertegun. 　　Banyak dugaan pertanyaan yang terlintas di benaknya, tapi tak menyangka si'er akan menanyakan tentang Ibu Suri Marquis Yining. 　　Ibu Suri Marquis Yining seangkatan dengan Nyonya Feng. Jika melihat puluhan tahun ke belakang, mereka kerap bertemu di berbagai pesta bangsawan. 　　Namun jika dikatakan akrab, jelas tidak. 　　Tak mampu menebak maksud pertanyaan Jiang Si, Nyonya Feng menjawab jujur: “Tidak terlalu akrab, tapi saling mengenal.” 　　Setelah pembukaan ini, Jiang Si tak lagi ragu dan bertanya lagi: “Kalau begitu, apakah nenek tahu dengan siapa nenek dari pihak ibu saya dekat? Atau orang-orang yang sering dia temui?” 　　Masuk dalam lingkaran Putri Bangsawan Ibu Kota yang seumuran, Jiang Si yakin meski Nyonya Feng tidak akrab dengan Ibu Suri Marquis Yining, pasti mengetahui beberapa hal tentangnya. 　　Kemarin pergi ke keluarga Marquis Yining untuk menguji Ibu Suri Marquis Yining, Jiang Si bisa memastikan bahwa Ibu Suri Marquis Yining menyembunyikan sesuatu, sayangnya sang Ibu Suri tidak mau mengatakannya, ia tak bisa memaksa. 　　Dengan statusnya sekarang, mencari orang sembarangan untuk menyelidiki masa lalu nenek pihak ibu terasa terlalu aneh, setelah berpikir panjang, ternyata bertanya pada Nyonya Feng adalah pilihan paling tepat. 　　Nyonya Feng berbicara dengan nada aneh: "Untuk apa kau menanyakan ini?" 　　Jiang Si tersenyum: "Jika nenek tahu sesuatu, beri tahulah cucu perempuanmu ini." 　　Sampai di sini, ia melirik Nyonya Feng dengan tatapan penuh arti, matanya berkilat: "Cucu akan mengingat kebaikan ini." 　　Nyonya Feng segera berhenti bertanya lebih lanjut. 　　Hanya dengan bercerita tentang masa lalu, bisa mendapatkan balasan budi dari Si'er, ini benar-benar transaksi menguntungkan. 　　Hingga kini, Nyonya Feng sudah menyadari cucu perempuannya ini bukanlah karakter lemah, apalagi tipe yang hanya memikirkan keluarga asal. Jika ingin membuatnya lebih mendukung keluarga Bo, sikap sok sebagai senior tak akan berguna. 　　Jika Si'er bisa berterima kasih, itu yang terbaik. Kebetulan cucu tertua tahun ini akan mengikuti Ujian Musim Gugur. Begitu Cang'er memulai karir pemerintahan, pasti membutuhkan bantuan Si'er untuk merencanakan masa depan. 　　Sambil merenung demikian, Nyonya Feng berkata: "Walau aku tidak terlalu akrab dengan nenek pihak ibumu, tapi tahu siapa sahabat dekatnya semasa masih di rumah orangtua." 　　Di sini, nada bicara Nyonya Feng berhenti sejenak, ekspresinya agak aneh: "Soalnya orang itu sekarang statusnya sangat terhormat, kami para putri bangsawan seangkatan dulu masih ingat jelas tentang hal ini." 　　Seseorang yang tidak dikenal menjalin persahabatan dengan siapa pun, setelah bertahun-tahun seharusnya tidak meninggalkan kesan yang mendalam. Namun identitas sahabat karib Ibu Suri Marquis Yining ini terlalu istimewa, membuatku tak bisa melupakannya. 　　"Orang itu adalah——" 　　Nyonya Feng tersenyum tipis, mengucapkan dua kata: "Janda Permaisuri." 　　Bulu mata Jiang Si bergetar halus, jelas tak menyangka jawaban ini. 　　Saputangan nenek dari pihak ibu ternyata milik Janda Permaisuri? 　　Tapi dari pengamatanku, nenek dan Janda Permaisuri jarang berinteraksi. 　　Dalam hati Jiang Si bertanya-tanya, lalu mengajukan pertanyaan itu. 　　Nyonya Feng menggelengkan kepala: "Ini juga membuatku heran. Dulunya mereka sangat akrab, tiba-tiba hubungannya merenggang." 　　"Nenek tidak tahu alasannya?" 　　Nyonya Feng terkekeh: "Aku dan nenekmu bukan teman bermain, mana mungkin tahu. Tapi waktu itu masih gadis kecil, persahabatan yang retak karena hal sepele memang wajar." 　　Hadiah Natal. 708.BAB 706 Tiga Orang 　　BAB 706 Tiga Orang 　　Jiang Si tak mau melewatkan kejanggalan apapun, setelah merenung sejenak bertanya lagi: "Nenek masih ingat kapan hubungan nenek dengan Janda Permaisuri mulai merenggang?" 　　Nyonya Feng mengerutkan alis, menjawab: "Sebelum Janda Permaisuri masuk istana. Saat itu nenekmu sudah usia pernikahan, bahkan Paman tertuamu sudah lahir." 　　Sorot mata Jiang Si berkilat, bergumam: "Kalau begitu, Janda Permaisuri menikah agak terlambat." 　　Secara hitungan usia, nenekmu lebih muda dari Janda Permaisuri. Tapi nenekmu sudah melahirkan paman tertua saat Janda Permaisuri bahkan belum menikah... 　　Nyonya Feng berkata dengan santai: “Ini tidak aneh, waktu Janda Permaisuri memasuki usia pernikahan tidak bisa ditentukan sendiri olehnya.” 　　“Kenapa?” Jiang Si tidak bisa menahan diri untuk duduk tegak. 　　Nyonya Feng seolah tenggelam dalam kenangan, nada suaranya penuh kekaguman yang tak tersembunyi: “Karena Janda Permaisuri adalah Permaisuri Putra Mahkota yang ditunjuk langsung, sudah lama bertunangan dengan Putra Mahkota saat itu. Jadi waktu pernikahan tergantung keputusan keluarga kerajaan, bukan ditentukan oleh pihak Janda Permaisuri...” 　　Setelah mendengar penjelasan Nyonya Feng, Jiang Si mengangguk pelan: “Begitu rupanya.” 　　“Sejak itu, apakah Janda Permaisuri dan nenek dari pihak ibu saya tidak lagi berhubungan?” 　　Meski sekarang hubungan mereka tampak sudah putus, apakah beberapa puluh tahun lalu tiba-tiba menjadi renggang? 　　“Sepertinya iya.” Nada Nyonya Feng tidak begitu pasti. “Tidak lama setelah hubungan mereka merenggang, Janda Permaisuri masuk ke istana. Kesempatan berinteraksi pun semakin sedikit...” 　　Jiang Si merenung sejenak lalu bertanya: “Selain Janda Permaisuri, adakah orang lain yang dekat dengan nenek?” 　　Nyonya Feng mengerutkan alis sambil berpikir, lalu menggeleng perlahan: “Sudah terlalu lama. Dari dulu juga tidak akrab, sulit untuk mengingatnya sekarang.” 　　Jangankan urusan Ibu Suri Marquis Yining, setelah puluhan tahun berlalu, bahkan wajah suami yang meninggal muda pun hampir terlupakan olehnya. 　　Memikirkan hal ini, Nyonya Feng tiba-tiba merasa sedih. 　　Jiang Si tidak memberi waktu lama untuk bersedih, langsung melanjutkan pertanyaan: “Tolong Nenek berpikir lebih detail lagi. Apa pun tentang nenek saya, sekadar ingatan samar pun silakan diceritakan.” 　　“Sudah berlalu begitu lama, jelas tidak realistis mengharapkan seorang ibu suri mengingat semua detail. Tapi ini mungkin membawa keuntungan. Dalam situasi seperti ini, hal-hal yang bisa diingat Nyonya Feng biasanya adalah peristiwa khusus, seperti nenek dari pihak ibu yang menjadi sahabat saputangan Janda Permaisuri.” 　　“Si'er, sebenarnya kenapa kau menanyakan semua ini?” Kali ini, Nyonya Feng benar-benar penasaran. 　　Jiang Si tersenyum manis: “Apakah Kakak akan turun ke panggung lagi dalam beberapa bulan mendatang?” 　　Tiga tahun lalu saat Ujian Musim Gugur, Tuan Pertama Jiang Cang dari Dongping Bo Residence karena nasib malang mendapat bilik berbau busuk di lokasi ujian, menyebabkan muntah-muntah tak henti dan gagal menyelesaikan ujian sehingga harus digotong keluar, kehilangan kesempatan mengikuti Ujian Provinsi tiga tahunan. 　　Sejak itu, Tuan Pertama Jiang yang di mata orang-orang berjanji cerah seperti kembang pun terpuruk, butuh waktu lama untuk pulih. 　　Kini tiga tahun telah berlalu, saat bunga osmanthus mekar Jiang Cang akan kembali turun ke panggung. Bagi Dongping Bo Residence ini adalah peristiwa besar, terutama bagi Tuan Jiang Kedua yang melihat gelar bangsawan semakin jauh dan Nyonya Feng yang sangat menghargai cucu tertua, ini adalah peristiwa paling penting. 　　Dalam hati Nyonya Feng, yang paling berbakat selalu cucu tertuanya Jiang Cang. Adapun cucu kedua Jiang Zhan yang kini beruntung hanyalah kebetulan nasib belaka. 　　Jiang Cang harus lulus Ujian Juren, lalu setelah Ujian Musim Semi tahun depan menjadi Jinshi, baru bisa membuktikan bahwa ia tak pernah salah menilai. 　　Makna tersirat dalam perkataan Jiang Si terlalu jelas, membuat hati Nyonya Feng berbunga-bunga. Dengan bijak ia menghentikan pertanyaan, merenung sejenak lalu matanya berbinar: “Aku teringat satu hal.” 　　“Silakan Nenek ceritakan.” 　　“Nenekmu dari pihak ibu saat itu juga memiliki seorang sahabat dekat, namun status gadis itu agak khusus——” Nyonya Feng tampak tidak yakin, ragu sejenak. 　　Suara Jiang Si lembut dan manis: "Ibu cukup mengatakan apa yang terlintas dalam pikiran, meskipun kurang akurat pun tidak apa-apa." 　　Nyonya Feng melirik Jiang Si, dalam hati bergumam si gadis ini benar-benar berbeda sikapnya saat membutuhkan bantuannya. 　　Hmph, salah ucap pun bagaimana? Masak berani mempermalukanku? 　　Bergumam dalam hati beberapa kali, Nyonya Feng berkata: "Gadis itu sepertinya bukan orang Dinasti Zhou." 　　Sorot mata Jiang Si menegang, suaranya tak terkendali meninggi: "Bukan orang Dinasti Zhou?" 　　Wajar saja dia kehilangan kesopanan, informasi dari Nyonya Feng hari ini benar-benar memberinya banyak kejutan. 　　Pertama, neneknya ternyata berteman dekat dengan Janda Permaisuri, sekarang baru tahu ada sahabat lain neneknya yang bukan orang Dinasti Zhou. 　　Jiang Si mulai menebak-nebak sesuatu, tak sabar bertanya: "Lalu dari mana asalnya?" 　　"Saat itu ada kabar angin gadis itu berasal dari selatan, ada yang bilang orang Nanlan, ada juga yang bilang dari suku Perbatasan Selatan, intinya berbagai rumor beredar, asal pastinya tidak bisa dipastikan." 　　"Dari selatan..." Jiang Si bergumam pelan, detak jantungnya berdesir kencang. 　　Mungkinkah sahabat lain neneknya itu orang Wu Miao? 　　Jika benar sahabat itu orang Wu Miao, apakah wanita itu nenek dari A Sang? 　　Jiang Si terdiam, sebuah pertanyaan berputar di hatinya: Jika wanita yang akrab dengan neneknya itu adalah nenek A Sang, dan kemiripannya dengan A Sang begitu mencolok, apa artinya semua ini? 　　Jiang Si seolah menangkap sesuatu, tapi saat direnungkan tak ada kejelasan, hanya kabut tebal yang menyelimuti pandangannya. 　　Tampaknya beberapa hal hanya diketahui oleh nenek, pertanyaan pada orang lain hanya akan menghasilkan jawaban yang umum belaka. 　　Tentu saja keumuman ini sudah merupakan pencapaian besar baginya. 　　Mata Jiang Si berbinar memandang Nyonya Feng: "Nenek, nenek dari pihak ibu yang merupakan putri bangsawan ibu kota, bagaimana bisa berteman akrab dengan wanita dari suku asing? Tidakkah kalian merasa aneh? Bagaimana dia bisa mengenal wanita itu?" 　　Nyonya Feng tersenyum: "Tentu saja aneh, makanya banyak rumor beredar. Tapi seiring waktu rasa penasaran itu memudar, apalagi bagi gadis muda yang selalu punya hal baru untuk dieksplorasi. Soal bagaimana nenekmu mengenal wanita itu—kabarnya nenekmu pernah tersesat saat piknik dan diselamatkan oleh gadis itu, lalu dibawa pulang untuk tinggal sementara..." 　　"Apakah saat itu Janda Permaisuri sering mengunjungi nenek?" Tanya Jiang Si tiba-tiba, seolah digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. 　　Nyonya Feng tertegun, lalu mengangguk: "Saat itu nenekmu sudah menikah, yang kumaksud 'membawa pulang' adalah ke Kediaman Marquis Yining. Waktu itu Janda Permaisuri masih sangat dekat dengan nenekmu, sering main ke kediaman marquis." 　　Jiang Si menundukkan mata berpikir. 　　Wanita Perbatasan Selatan tinggal bersama nenek dari pihak ibu, sementara Janda Permaisuri sering mengunjungi nenek tersebut. Dengan demikian, wanita suku asing itu pasti mengenal Janda Permaisuri. 　　Nenek dari pihak ibu, Janda Permaisuri, wanita Perbatasan Selatan - peristiwa apa yang sebenarnya terjadi di antara ketiganya dulu? 　　Melihat Jiang Si lama tak bersuara, Nyonya Feng berkata: "Hanya ini yang bisa kuingat. Masalah kakakmu--" 　　Jiang Si tersenyum: "Nenek tak perlu khawatir. Dengan kemampuan Kakak, pasti tidak ada masalah. Tahun ini Kakak akan mendapat undian bagus." 　　Nyonya Feng tak bisa menahan senyumnya: "Kalau begitu saya tenang." 　　Cucu ini memang berbakat sejati, hanya khawatir seperti tiga tahun lalu terperangkap di bilik berbau busuk yang mengganggu ujian. Dengan jaminan Jiang Si, masalah teratasi. 　　Baru saja Jiang Si kembali dari kediaman Nyonya Feng dan duduk, dayang datang melapor: "Permaisuri, Pangeran datang menjemput." 　　Bagian kelima, kesempatan langka meminta dukungan vote dengan bangga karena ada tambahan bab. Sampai di sini untuk hari ini, sampai jumpa besok (stok naskah habis, bagian pertama mungkin siang besok). 709.BAB 707 Cuka Tua 　　BAB 707 Cuka Tua 　　Jin sudah datang? 　　Jiang Si terkejut mendengar laporan dayang. 　　Pagi tadi bukankah Jin pergi mengganggu istana? Eh, maksudku pergi urusan ke istana. Kok bisa cepat sekali datang ke Keluarga Bo? 　　Saat Jiang Si masih ragu-ragu, sorak-sorai pujian mulai berdatangan. 　　"Permaisuri dan Pangeran sungguh harmonis, membuat kami iri." 　　"Benar, Pangeran bahkan khusus datang menjemput. Jika wanita bisa seperti Permaisuri, apa lagi yang kurang..." 　　…… 　　Jiang Si sama sekali tidak memasukkan perkataan itu ke dalam telinganya, dia tersenyum dan mengangguk pada kerumunan: "Silakan menikmati hidangan, saya permisi dulu." 　　Hingga Jiang Si pergi, gemuruh diskusi seputar pasangan Pangeran Yan di aula masih belum berhenti. 　　Di sudut ruangan, meja tersebut diisi oleh saudari-saudari Jiang Yi, Jiang Qiao, Jiang Li, dan Jiang Pei. 　　Di antara mereka, Jiang Li telah menikah tahun lalu, sedangkan Jiang Qiao dan Jiang Pei masih menunggu usia perjodohan. 　　Suara Jiang Pei tak bisa menyembunyikan kekaguman, berbisik pada Jiang Li: "Kakak kelima, lihatlah Kakak keempat semakin bersinar. Para nyonya tadi benar, jika seorang wanita bisa seperti Kakak keempat, apa lagi yang perlu disesali dalam hidup..." 　　Jiang Li mendengarkan dengan senyum tanpa membantah, namun saat mengingat Jiang Si yang berkilauan, hatinya tetap tenang. 　　Menurutnya, berusaha menjalani hidup dengan baik sudah cukup, tak perlu iri pada siapapun. 　　Sebagai anak perempuan dari selir yang hidup di bawah kendali selir utama, ibu kandungnya dahulu menjadi duri di mata selir utama dan sudah lama meninggal karena perlakuan buruk. Dibandingkan keadaan adik keenam, masa mudanya sangat sulit - tak berani melangkah lebih jauh atau berbicara lebih banyak. 　　Kemudian, kakak keempat meroket naik, selir utama yang tidak disukainya pun "beristirahat untuk pemulihan" dalam jangka panjang. Perubahan ini bisa disebut sebagai takdir yang merestuinya. 　　Setelah selir utama tak lagi berkuasa dan nenek tak peduli pada cucu perempuan dari selir, pernikahannya diurus oleh Bibi Ketiga. 　　"Bibi Ketiga adalah orang yang baik hati, juga tidak perlu memperlakukan keponakan dengan keras, perjodohan yang ditetapkan untuknya adalah putra bungsu Jining Bo." 　　Gelar bangsawan Keluarga Jining Bo bisa diwariskan, statusnya sedikit lebih tinggi dibanding Dongping Bo Residence; putra bungsu Jining Bo adalah anak lelaki sah, sedangkan dia hanyalah anak perempuan dari selir. 　　Tapi dia juga punya modal: Kakak keempat yang mulia sebagai Permaisuri, ini tidak akan diabaikan oleh keluarga manapun. Kakak Kedua telah menarik perhatian Kaisar dan kembali dengan selamat, masa depannya pasti cerah. 　　Jadi perjodohan yang dipilih Bibi Ketiga ini tepat, dia sedikit menikah ke atas, tapi tidak sampai harus merendahkan diri di hadapan mereka. 　　Mungkin karena seperti inilah, ditambah dengan keramahan dan kerendahan hatinya, terciptalah keharmonisan seperti kecapi dan seruling antara dia dengan suaminya. 　　Jiang Li berpikir demikian, senyum di sudut bibirnya semakin lembut. 　　"Kakak Kelima, menurutmu bagaimana?" Melihat Jiang Li hanya tersenyum tanpa bicara, Jiang Pei menunjukkan ketidakpuasan. 　　Jiang Li mengangguk halus: "Kakak Keempat memang sangat baik." 　　"Bukan tentang baik atau tidaknya dia, maksudku--" Jiang Pei menyeringai, "Lupakan, jangan bahas Kakak Keempat lagi. Kakak Kelima, bagaimana denganmu?" 　　Setelah tahun baru ini Jiang Pei akan genap 16 tahun, tapi pernikahannya masih belum ditetapkan. 　　Melihat kakak seayah yang juga anak selir dan berwatak kaku seperti Jiang Li bisa menikah dengan putra bungsu Jining Bo, standar Jiang Pei semakin tinggi. Nyonya Guo telah mengajukan beberapa calon keluarga, tapi selalu ada yang tidak memuaskannya. 　　Lama-kelamaan, Nyonya Guo tidak lagi terlalu aktif mencarikan. 　　Tidak lain, keponakan yang belum dinikahkan sudah berpotensi menyimpan dendam. Nyonya Guo bukan orang bodoh, buat apa repot-repot tanpa hasil? 　　Jiang Pei mulai gelisah di hati, tapi sebagai gadis muda tak pantas membuka mulut. Hanya bisa dipendam dalam hati, lalu jadi penasaran dengan kehidupan Jiang Li setelah menikah. 　　Di antara beberapa saudari: Kakak mengalami Pemutusan hubungan secara moral dan kembali ke rumah orangtua, Kakak Kedua dikirim ke perkebunan, Sanjie belum mencapai usia pernikahan, Kakak Keempat sebagai Permaisuri tidak pantas menanyakan hal tertentu. Hanya Kakak Kelima yang bisa memenuhi rasa ingin tahunya ini. 　　Rasa ingin tahu Jiang Pei tentang pernikahan Jiang Li sebenarnya lebih merupakan keingintahuan terhadap kehidupan pernikahannya sendiri di masa depan. 　　Saat membicarakan dirinya sendiri, Jiang Li tersenyum malu-malu sambil menekan bibir: "Aku baik-baik saja." 　　Terhadap Jiang Li, Jiang Pei tidak sungkan-sungkan. Memutar matanya dia bertanya: "Maksudku bagaimana sikap Kakak Ipar Kelima padamu?" 　　"Dia juga baik padaku..." Jiang Li yang pendiam langsung memerah mukanya karena terus-menerus dikejar pertanyaan Jiang Pei. 　　Entah mengapa, Jiang Pei merasa silau memandanginya. Membentuk senyum melengkung dia bertanya: "Kalau jamuan sudah bubar, apakah Kakak Ipar Kelima akan menunggumu pulang bersama ke rumah keluarga?" 　　Pasangan suami-istri pergi menghadiri pesta bersama. Karena waktu berakhirnya jamuan di kedua tempat sering berbeda, biasanya saat pulang ke rumah keluarga mereka akan berjalan terpisah tanpa saling mengganggu. 　　Jiang Li bukan tipe yang suka pamer. Saat ditanya, dia tetap merasa perlu untuk tidak menyembunyikan: "Aku sudah janji dengan kakak ipar untuk mampir ke Toko Zhenbao sepulang dari sini." 　　“Jiang Pei mengatupkan bibirnya tanpa bersuara, saputangan di tangannya hampir remuk. Dalam hati, dia berpikir, 'Ini cuma putra bungsu Keluarga Bo, biasa-biasa saja tanpa bakat. Begitu warisan dibagi, dia takkan punya apa-apa. Suami masa depanku pasti takkan kalah dari Jiang Li.'” 　　Pertikaian verbal antar perempuan di aula itu telah tertinggal jauh di belakang oleh Jiang Si. 　　Melewati halaman yang dipenuhi bunga prem bermekaran, mereka tiba di bagian depan di mana Yu Jin sudah menunggu. 　　“Sudah makan minum anggur?” Jiang Si menyambutnya dengan senyum. 　　Yu Jin terkekeh: “Cuma makan beberapa suap asal. Aku lebih ingin makan paha babi rebus dengan gula batu buatan rumah. Ayo pulang dan makan bersama.” 　　Di cuaca dingin begini, duduk mengelilingi kompor kecil sambil menikmati paha babi yang empuk, ditambah daging putih dengan acar sawi dan anggur hangat, jauh lebih nikmat daripada makanan dingin di jamuan resmi. 　　Begitu membayangkannya saja, hati Yu Jin sudah melayang pulang ke rumah. 　　“Baiklah, ayo kita pulang.” Jiang Si mengangguk lembut. 　　Kebetulan semua informasi yang bisa ditanyakan sudah didapat. Kembali ke rumah juga bisa berdiskusi dengan A Jin. Tak perlu membuang waktu di sini. 　　Mengingat status pasangan Jiang Si, tak perlu menghadiri jamuan seperti ini sampai akhir. Sekadar muncul di rumah orangtua sudah cukup menghargai posisi. Apalagi Jiang Si tahu ayah dan kakaknya tidak peduli formalitas semacam ini. Pendapat orang lain? Mereka memang tak pernah mempedulikannya. 　　Keduanya berjalan berdampingan menuju keluar ketika seorang pria muda menghampiri dari depan. 　　Pria itu sedikit lebih pendek dari Yu Jin, bertubuh ramping. Jubah hijau zamrudnya menonjolkan mata hitamnya yang berkilau dan kulit pucatnya, memberi kesan lembut seperti giok halus. 　　Yu Jin tertegun sejenak, lalu dengan cepat menggenggam tangan Jiang Si, menyapa pria itu dengan ramah: "Bukankah ini Kakak Zhen Lambang Keberuntungan? Ternyata Anda juga datang untuk minum arak." 　　Orang yang datang itu adalah Zhen Heng, sang Lambang Keberuntungan Dinasti Zhou yang meraih tiga gelar sekaligus dalam ujian kekaisaran. 　　Zhen Heng yang tak sengaja bertemu Jiang Si mendadak linglung, namun sapaan tidak ramah ini segera menyadarkannya, membuat citra pria santunnya hampir runtuh. 　　Sengaja menggandeng tangan Nona Jiang saja sudah keterlaluan, masih berani menyebutnya Lambang Keberuntungan! 　　Sudahlah, sebut saja Lambang Keberuntungan. Lagipula belakangan ini banyak yang memanggilnya begitu, lama-kelamaan sudah terbiasa. Tapi maksud "pelaku sebenarnya" itu apa? 　　Marganya Zhen, Ayah Paduka adalah Tuan Zhen Shicheng yang ahli memecahkan kasus. Pantaskah menyebutnya "pelaku sebenarnya"? 　　Kalau dikatakan Pangeran Yan tidak sengaja, sama sekali tidak bisa dipercaya. 　　Zhen Heng menatap lelaki berwajah dingin di seberang yang matanya menyala-nyala, merasa lelah secara mental. 　　Sudah dua tahun menikahi wanita yang dicintainya, masih juga menantang. Apa dia pikir "Lambang Keberuntungan" tidak bisa berkelahi? Jangan semena-mena mempermainkan orang baik! 　　Zhen Heng diam-diam mengepal tinju, ada dorongan kuat untuk menghajar orang itu. 　　Terima kasih untuk hadiah 10.000 koin dari An_Nanxiu, juga para teman pembaca yang memberikan hadiah dan vote. Saya membaca semua daftar hadiah dengan penuh syukur, tapi terlalu banyak jika disebutkan satu per satu di sini agar tidak mengganggu bacaan. Bagian Kedua menyusul. 710.BAB 708 Tekad 　　BAB 708 Tekad 　　Yu Jin terus memandang Zhen Heng. Melihat lawannya mengepal tinju, alisnya sedikit terangkat. 　　Heh, masih berani melawanku? 　　Memang dasar si bajingan ini tidak pernah kapok! 　　Dalam hal belajar, dia kalah dari si "Lambang Keberuntungan" ini. Tapi soal berkelahi, dia bahkan tidak layak mengikat sepatuku! Saat aku sudah membunuh dengan pedang, si bocah ini mungkin masih nangis ngompol. 　　"Kudengar Kakak Zhen sudah bekerja di Sekretariat Kabinet?" Yu Jin mengabaikan amarah yang terpendam, bertanya dengan senyum manis. 　　Yang bekerja di Sekretariat Kabinet bukan hanya menteri senior, tapi juga staf bawahan. 　　Tentu saja, pemuda yang bisa bekerja di sana dianggap punya masa depan cerah, dan suatu saat nanti pasti akan menjadi menteri. 　　Zhen Heng adalah yang paling diunggulkan. 　　Tapi kalimat itu terdengar menyebalkan saat keluar dari mulut Yu Jin. 　　Zhen Heng menarik napas dalam-dalam, mengingatkan diri sendiri untuk tetap tenang. 　　Berkelahi sebenarnya biasa, pemuda mana yang tidak pernah berantem. Tapi kalah berkelahi itu memalukan. 　　Dia sadar, Pangeran Yan sudah lama menunggu kesempatan ini. Dia harus bodoh jika memenuhi keinginan lawannya. 　　Setelah berpikir jernih, Zhen Heng kembali menunjukkan sikap lembut seperti giok. Dengan senyum, dia memberi hormat kepada Yu Jin dan Jiang Si: "Hamba mengucapkan salam kepada Tuan Pangeran dan Permaisuri. Kebetulan bertemu pasangan mulia di sini sungguh kehormatan besar." 　　"Kakak Zhen terlalu sungkan." Jiang Si mengangguk membalas salam. 　　Yu Jin melihat sikap tenang lawannya, untuk sementara tidak bisa bertingkah seenaknya. Dengan penuh penyesalan dia berkata: "Benar-benar kebetulan. Saudara Zhen, hamba pangeran masih harus mengajak permaisuri berkeliling toko perhiasan, kami pamit duluan." 　　Zhen Heng mengangguk sambil tersenyum: "Pangeran dan Permaisuri, hati-hati di jalan." 　　Memandang Yu Jin dan Jiang Si berjalan bergandengan tangan menjauh, Zhen Heng diam-diam menoleh melihat ke belakang, lalu menghela napas halus yang nyaris tak terdengar. 　　Pertemuan tak terduga hari ini benar-benar meninggalkan kesedihan. 　　Untungnya Zhen Heng bukan tipe orang yang terbelenggu dalam kesedihan, dia segera melupakan kepedihan ini dan masuk ke dalam rumah untuk minum anggur. 　　Yu Jin menarik Jiang Si masuk ke kereta kuda, wajahnya langsung berubah gelap. Dengan marah dia bergumam: "Bocah nakal itu masih punya niat jahat, licin seperti rubah, benar-benar anak tua Zhen." 　　Jiang Si menepuknya dengan lemah: "Kau cemburu apa lagi? Sudah berapa lama kejadian itu..." 　　Sorot mata Yu Jin meredup, mendekati Jiang Si: "Ada kejadian apa?" 　　Jiang Si terdiam. 　　Sepertinya dia tidak sengaja bocor mulut. 　　Di antara sedikit orang yang tahu keluarga Zhen pernah melamar ke keluarga Bo, mereka hanya tahu Zhen Shicheng mengincarnya sebagai menantu perempuan. Mungkin Zhen Heng juga sangat menyukainya, tapi perkenalan pertama mereka hanya diketahui berdua. 　　Karena itu, Jiang Si mengerti isi hati Zhen Heng. 　　Jiang Si meski tak sengaja membocorkan sedikit isyarat, namun tak merasa bersalah, melotot pada Yu Jin: "Ada masalah apa lagi, cuma soal dulu Paman Zhen Shicheng melamar ayahku. Sudah lama berlalu, kau masih cemburu kering, tak takut Tuan Gong Zhen menertawakan—" 　　Yu Jin mendekat, geram: "Masih menyebut Tuan Gong Zhen, Shixiong Zhen, kau panggil lagi, aku akan menusukmu dengan kumis!" 　　Dia langsung menerjang, menggesekkan dagunya kasar di pipi Jiang Si. 　　Jiang Si gatal dan sakit, buru-buru menghindar sambil mencubit telinga lawan, memutarnya dengan mahir. 　　Yu Jin menarik napas tajam, langsung kalem. 　　Jiang Si merapikan sanggul yang agak berantai, meliriknya sinis. 　　Yu Jin mengambil cangkir teh di meja kayu mahoni, menuang dan meneguk dua kali: "A Si, dengar, si brengsek itu masih berniat jahat. Kau kira aku cemburu buta? Bukan begitu, aku ini tipe sembarangan cemburu?" 　　Jiang Si cekikikan. 　　"Kalau tak tertarik, kenapa belum menikah?" Yu Jin bergumam sambil cemburu lagi, "Pertemuan hari ini pasti direkayasanya..." 　　Jiang Si menghela: "Terus, mau pukuli dia?" 　　Yu Jin mengusap hidung, kesal: "Dia terlalu licik, tak kasih kesempatan." 　　Jika saat ini dia belum menikahi A Si, dan menemukan ada saingan cinta seperti ini, pasti akan langsung lari ke hadapan Ayah Kaisar untuk mempengaruhi agar si "bocah" itu dijadikan menantu kaisar. Sekarang sudahlah, beri kesempatan pada si "bocah" itu untuk saling mencintai dengan nona lain. 　　Pasangan muda ini bercanda sampai puas, dan akhirnya tiba juga di Kediaman Pangeran Yan. 　　Keduanya memasuki Yuyuan, mengganti pakaian luar, mencuci tangan dan wajah, lalu menyantap daging dengan lahap di sekitar kompor kecil. Setelah berkumur, mereka bersantai di kamar dalam sambil membahas urusan masing-masing. 　　Jiang Si memegang cangkir teh kental untuk menghilangkan rasa enek, meniup lembut daun teh yang mengambang di permukaan air, dan mulai bercerita tentang informasi yang didapatnya dari Nyonya Feng: "Aku baru tahu nenek dari pihak ibu ternyata bersahabat karib dengan Janda Permaisuri. Mereka sepertinya punya teman bersama seorang wanita Perbatasan Selatan. Kukira wanita ini berasal dari Suku Wu Miao, mungkin nenek mendiang A Sang..." 　　Yu Jin terkejut: "Ternyata ada latar belakang seperti itu?" 　　Jiang Si mengangguk: "Tak disangka, bukan? Aku ini cucu perempuan kandungnya, tapi selama bertahun-tahun tak pernah kulihat nenek berinteraksi dengan Janda Permaisuri. Kalau bukan karena sengaja bertanya pada nenek hari ini, takkan terbayang hubungan mereka di masa lalu." 　　Yu Jin menanyakan beberapa detail lagi, merenung sejenak sebelum mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya: "A Si, apa kau menyadari ada sosok kunci di sini?" 　　Jiang Si matanya berkilat: "Maksudmu-- Janda Permaisuri?" 　　Yu Jin mengangguk: "Benar, itu Janda Permaisuri. Dayang Duo sebelumnya berasal dari Istana Cining, sementara nenek dari pihak ibu A Sang di Dinasti Zhou hanya terhubung dengan dua orang - nenekmu dan Janda Permaisuri. Jelas terlihat, ada rahasia besar pada diri Janda Permaisuri." 　　Ketika peristiwa masa lalu yang penuh kabut terus melibatkan seseorang, jangan tertipu oleh statusnya. Meskipun itu patung Buddha tanah liat, jika dipecahkan pasti ada sesuatu di dalamnya. 　　Pemikiran Yu Jin sangat sederhana, namun cukup tajam. 　　"Alasan memburuknya hubungan antara Janda Permaisuri dengan Ibu Suri Marquis Yining kemungkinan besar adalah kunci untuk membuka rahasia ini." 　　Jiang Si mengusap dahinya dengan kesal: "Aku juga berpikir begitu, tapi nenek dari pihak ibu terus menghindar saat ditanya tentang masa lalu--" 　　Yu Jin menepuk lengan Jiang Si dan berkata tanpa ragu: "A Si, kunci masalah ini tetap ada pada nenekmu." 　　Melihat Jiang Si menatapnya, Yu Jin tersenyum: "Mengorek informasi dari mulut Ibu Suri Marquis Yining pasti lebih mudah daripada dari mulut Janda Permaisuri." 　　Janda Permaisuri sangat dihormati Kaisar Jingming. Jangankan memaksa menginterogasi, jika beliau sedikit saja mencurigai niat kita, Kaisar bisa dengan mudah menghukum kita berdua. 　　Untuk sementara, kita tidak boleh membuat ular berbisa kabur di pihak Janda Permaisuri. 　　"Sudah bertahun-tahun berlalu, kebenaran tidak perlu terburu-buru. Ke depannya kita akan sering mengunjungi Kediaman Marquis Yining. Kau harus memanfaatkan keahlianmu bermuka tebal untuk menggerogoti. Lagipula kita junior, merengek atau bertingkah kekanakan tidak memalukan..." Yu Jin berbagi pengalaman dengan istrinya. 　　“Jiang Si melotot padanya, mengucapkan kata per kata: ‘Apa maksudmu aku harus mengeluarkan kemampuan muka tebal?’” 　　“Mana ada mukanya tebal!” 　　Yu Jin sadar telah salah bicara, tergelak kaku mengalihkan topik: “Hari ini aku masuk istana juga dapat hasil.” 　　“Hasil apa?” 　　“Resmi bermusuhan dengan Ibu Suri Xian, membuatnya berhenti berkhayal.” 　　Sudut bibir Jiang Si berkedut. 　　Ini namanya hasil? Ini jelas cari masalah! 　　Yu Jin menggosok wajahnya keras-keras, serius berkata: “A Si, aku tak mau menunda lagi. Aku harus jadi Putra Mahkota secepat mungkin!” 　　Sampai jumpa besok. Istirahat dulu dua hari, update pertama besok mungkin masih sore. 711.BAB 709 Perjuangan 　　BAB 709 Perjuangan 　　Ucapan Yu Jin penuh tekad menggema, tapi Jiang Si tak menghargai malah tertawa. 　　“Tertawa apa? Apa kau pikir aku cuma jago omong?” Yu Jin tak puas diremehkan istri. 　　Jiang Si berhenti tertawa: “Kita suami-istri seia sekata, tak takut bersaing dengan mereka. Tapi kau bilang mau jadi Putra Mahkota secepatnya, apa tidak terburu-buru?” 　　Pangeran Jin dihukum penjagaan makam kekaisaran, mantan Putra Mahkota memberontak hingga dihukum mati. Kini posisi calon penguasa kosong, jadi incaran banyak pihak. Kaisar Jingming mungkin takkan mudah memutuskan. 　　Perebutan takhta umumnya proses panjang dan kejam. 　　Yu Jin menyeringai: "A Si, kau meremehkanku. Lihatlah Lao Si dan Putra Keenam itu, liur mereka hampir menetes mengincar posisi calon penguasa. Tapi mereka takut bertindak gegabah dan mengira itu kehati-hatian, heh, benarkah itu kehati-hatian? Itu kebodohan! Kalau benar-benar ingin menang, menghitung terlalu banyak tak ada gunanya, meraih kunci utama itulah yang terpenting." 　　Jiang Si terpengaruh oleh aura percaya diri lawan bicaranya, tak sadar tersenyum tipis: "A Jin, lalu menurutmu apa kunci utamanya?" 　　Yu Jin menyipitkan mata sambil menyeruput teh, ekspresinya santai seolah tak sedang membahas persaingan perebutan takhta yang menegangkan: "Kuncinya tentu saja Permaisuri." 　　Wajah Jiang Si serius: "Permaisuri?" 　　Sungguh menarik, hari ini mereka berdua membahas dua tokoh kunci berbeda dalam permasalahan masing-masing. Di sisinya ada Janda Permaisuri, sementara A Jin menyebut Permaisuri. 　　Yu Jin mendekat, bertanya dengan santai: "A Si, menurutmu dalam urusan calon penguasa ini, apa yang paling diutamakan Ayah Kaisar?" 　　Jiang Si merenung sejenak, lalu berkata: "Calon penguasa sangat krusial. Ayah Kaisar pasti mempertimbangkan banyak aspek seperti moral dan kemampuan sang pangeran... Tapi kurasa yang paling beliau utamakan adalah legitimasi." 　　Sorot mata Yu Jin berkedip halus, memandang Jiang Si dengan kekaguman, lalu mengangguk sambil tersenyum: "Benar, yang dimaksud adalah legitimasi. Dalam hal penerus, Ayah Kaisar sangat mementingkan legitimasi. Ini bisa dilihat dari cara beliau memperlakukan mantan Putra Mahkota. Meski seperti lumpur busuk yang tak bisa menempel di tembok, mantan Putra Mahkota itu terus diangkat-angkut ke posisi tinggi, jatuh lalu diangkat lagi... Bahkan saat sudah benar-benar rusak tak bisa dipakai, hati beliau masih enggan mengganti. Pada dasarnya, ini karena mantan Putra Mahkota adalah anak Permaisuri Pertama, bukan?" 　　Jiang Si sangat setuju dengan pandangan ini. 　　Sejujurnya, seorang kaisar yang mementingkan legitimasi adalah hal baik. Terutama dalam urusan penunjukan penerus tahta, mengandalkan preferensi pribadi adalah tindakan tak bertanggung jawab. Sayangnya, Kaisar Jingming kurang beruntung karena mewarisi anak sah yang terlalu lemah. 　　Seandainya mantan Putra Mahkota memiliki kecerdasan orang biasa, situasi takkan sampai seperti ini. 　　Dia mulai menangkap maksud Yu Jin: "A Jin, apakah kau ingin menggunakan Permaisuri untuk mendapatkan hak bersaing tahta?" 　　Yu Jin menggeleng: "Bukan sekadar hak bersaing. Aku ingin menjadi kandidat paling sah, membuat Lao Si dan Putra Keenam yang terus mengiler itu hanya bisa terus meneteskan air liur." 　　Sambil mengusap wajahnya, ia tertawa sinis: "Dulu tak ada niat ini, senang hidup bebas. Tapi kemudian kusadari begitu banyak gunung menindih kepala. Kebebasan itu palsu, kedamaian itu semu. Hanya dengan berada di puncak baru bisa nyata. Tapi begitu perebutan tahta dimulai, tak ada jalan mundur. Aku tak bisa membawamu menanggung risiko." 　　Yu Jin mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Jiang Si. 　　Tangannya besar dan hangat, memberikan rasa nyaman. 　　Ekspresi Jiang Si lembut, mendengarkan dengan penuh perhatian. 　　Sudut bibir Yu Jin mengerut dengan nada menyindir diri: "A Si, aku tidak takut kau menertawakanku. Sejak memutuskan memperebutkan posisi itu, aku sudah siap mengorbankan muka. Orang yang benar-benar berpegang pada moral pasti takkan mau berdarah-darah memperebutkannya." 　　"Apa rencanamu?" tanya Jiang Si dengan tenang. 　　Selama masih memegang prinsip dasar, kehilangan muka bukan masalah. Seperti kata A Jin, orang benar-benar bermoral takkan ikut berebut status calon penguasa, seharusnya menunggu keputusan Kaisar dengan patuh. 　　Dan justru itulah yang menggelikan. 　　Begitu niat mengarungi air keruh telah bulat, tak perlu lagi berselubung kesucian. Tanpa strategi tertentu, apa mungkin menunggu takhta jatuh dari langit? Kalau begitu A Jin bukan anak kandung Ayah Kaisar, melainkan anak emas Langit. 　　Yu Jin memalingkan pandangan ke jendela. 　　Di luar jendela, bunga prem bermekaran menyebarkan aroma samar. Sebulan lagi musim semi akan tiba. 　　Suara Yu Jin lirih: "Ibu Suri Xian tak pernah menganggapku sebagai anak. Sedangkan Permaisuri masih membutuhkan seorang putra, bukan?" 　　Sejak lama, pengalaman hidup Yu Jin membuatnya acuh pada norma duniawi. Baginya hanya orang yang tulus baik padanya yang layak diperlakukan istimewa, bukan sekadar ibu kandung yang seenaknya menyakiti orang-orang yang dicintainya. 　　Sejak tahu Ibu Suri Xian menjebak nyawa Jiang Si, dia sudah tak mengakui wanita itu sebagai ibu kandungnya lagi. 　　"Mengakui orang lain sebagai ibu memang menunjukkan sifat yang kurang bermental, tapi ini benar-benar strategi terbaik untuk Memutus Masalah Seketika. Dengan begitu, istri tidak akan menghadapi bahaya tak terduga akibat perebutan takhta yang berkepanjangan." 　　"Masalah ini menguntungkan baik bagi saya maupun Permaisuri jika disatukan." Yu Jin mengakhiri kalimatnya dengan tatapan penuh harap ke Jiang Si, "A Si, apakah kau menganggapku terlalu licik?" 　　"Sedikit." 　　Wajah Yu Jin berubah pucat, namun Jiang Si segera tersenyum: "A Jin, aku bukan tipe orang yang mendapat keuntungan tapi masih berpura-pura suci. Jika menurutmu ini cara yang tepat, lakukan saja." 　　Andai bukan karena dirinya, dengan sifat asli A Jin yang bebas merdeka, pasti dia akan hidup sebagai pangeran tak berkuasa yang bisa meninju siapa saja yang mengganggunya. 　　Tapi sekarang dia rela berdarah-darah memperjuangkanku. Jika aku meremehkannya karena ini, pasti otakku sudah sakit parah. 　　Senyum Yu Jin semakin lebar, matanya berbinar-binar. 　　"Tapi selama bertahun-tahun Permaisuri selalu bersikap netral, tidak pernah menunjukkan ketertarikan untuk mengangkat anak angkat." Jiang Si mengingatkan. 　　Yu Jin tersenyum: "Permaisuri memang cerdas. Selama ini tidak punya anak, dia juga memahami betapa Ayah Kaisar mementingkan garis keturunan sah. Jadi dia tak mau melakukan perlawanan sia-sia." 　　"Benar. Ayah Kaisar sangat menghormati Permaisuri. Meski Permaisuri tidak merebut apa pun, posisinya di istana belakang tak tergoyahkan." 　　"Tapi bagaimana dengan status Janda Permaisuri di masa depan yang hanya dihormati secara lahiriah oleh anak selir? Bandingkan dengan Janda Permaisuri yang punya anak angkat resmi yang menjadi Kaisar!" Tatapan Yu Jin beralih dari bunga plum merah di jendela ke wajah Jiang Si, "Sangat mudah bagi Permaisuri untuk mulai tertarik." 　　“Orang yang benar-benar tidak berebut dan tidak memperebutkan hanyalah patung tanah liat, bukan orang yang hidup tenang di istana selama bertahun-tahun ini.” 　　“Kalau begitu kau sudah punya cara?” Jiang Si tak bisa menyembunyikan rasa penasaran, “Coba ceritakan.” 　　Yu Jin tiba-tiba mengedipkan mata, mengubah sikap seriusnya tadi: “Ayo, layani Tuan dengan baik baru akan kuberitahu.” 　　Jiang Si menaikkan alis, hanya mengucapkan satu kata: “Heh.” 　　Bagi Yu Jin meski sering dikalahkan oleh istrinya, tapi semangatnya justru semakin membara. Dengan muka tebal ia merengek: “Cepat, atau benar-benar tidak kuberitahu.” 　　“Benar tidak mau cerita?” 　　“Benar tidak.” 　　“Baiklah.” Jiang Si tiba-tiba meraih tirai brokat dan menjatuhkannya, lalu dengan gesit mendorong seseorang. 　　Lama kemudian, suara parau pria terdengar dengan napas tersengal: “Lalu?” 　　Wanita itu tertawa riang: “Lalu? Tentu sudah tidak ada lanjutannya. Karena kau tidak mau bicara, aku akan menghibur A Huan.” 　　Yu Jin: “……” 712.BAB 710 Musibah Putri 　　BAB 710 Musibah Putri 　　Keesokan harinya, Jiang Si masuk istana untuk memberi salut kepada Permaisuri. 　　Sebelumnya Putri Fuqing dan Putri ke-14 khusus keluar istana mengunjunginya di Kediaman Pangeran Yan, sehingga alasan masuk istana kali ini sangat kuat. 　　“Saat itu kedua Putri datang ke kediaman mencari saya, karena saya sedang bernazar tidak akan keluar ruang sembahyang sebelum Pangeran kembali sehingga menelantarkan kedua Putri. Hari ini menantu khusus datang untuk meminta maaf kepada kedua adik.” 　　Permaisuri melihat Jiang Si begitu peka, merasa sangat senang. Dengan senyum ia menegur, "Kau terlalu resmi. Sebagai kakak ipar, tak perlu minta maaf pada adik. Kalau tersiar kabar, orang akan menertawakan kedua gadis kecil itu. Tapi Fuqing paling menyukaimu, pasti sangat gembira mendengar kau datang ke istana hari ini." 　　Kejadian memalukan di Istana Yuquan kemarin telah sampai ke telinga Permaisuri. Karena itulah, Permaisuri semakin menyukai Jiang Si. 　　Seperti kata Yu Jin, di istana mana ada orang yang benar-benar tidak berebut dan tidak menuntut? 　　Permaisuri tidak memiliki anak laki-laki. Awalnya, beberapa selir yang tidak memahami situasi mengira Permaisuri tanpa ahli waris takkan bertahan lama, sering menyombongkan diri di hadapannya. 　　Ini jelas menggunakan kelemahan Permaisuri untuk melukai hatinya. Mana mungkin Permaisuri senang? Hanya saja ia tetap tenang karena berpikir jernih. 　　Belakangan, melihat Kaisar Jingming tetap menghormati Permaisuri Pengganti, bahkan semakin memperhatikannya beberapa tahun terakhir, barulah mereka merendahkan diri dan mulai menjilat Permaisuri. 　　Tapi Permaisuri sangat jernih-jelas. Jika umurnya lebih pendek dari Kaisar, tidak masalah. Tapi jika hidup lebih lama dan menjadi Janda Permaisuri sementara hubungan dengan Kaisar baru tidak akrab, tentu sikap mereka akan berubah lagi. 　　Meski memahami situasi, Permaisuri tak bisa berbuat apa-apa. 　　Ia tak bisa tiba-tiba punya anak lelaki. Yang bisa dilakukan hanyalah melihat salah satu selir itu suatu hari nanti akan berjaya. 　　"Permaisuri juga manusia biasa, memiliki emosi senang dan sedih layaknya orang biasa. Melihat Yu Jin dan Ibu Suri Xian berselisih, timbul perasaan senang yang tak bisa diungkapkan pada orang lain." 　　"Batuk-batuk, sebagai permaisuri berpikir demikian tentu tidak tepat, tapi tak bisakah ia bersenang-senang diam-diam?" 　　Dengan senyum tipis menghiasi wajahnya, Permaisuri tetap memancarkan kesan anggun sambil memikirkan hal-hal tersebut. 　　"Kedua adik sudah pergi ke Istana Cining?" 　　Permaisuri mengangguk sambil tersenyum: "Benar, setiap hari di waktu seperti ini mereka menemani Janda Permaisuri. Tapi hamba sudah mengirim orang untuk memberitahu Fuqing dan Si Empat Belas, mereka akan datang setelah memberi salam pada Janda Permaisuri." 　　"Sepertinya Nenek Kaisar sangat menyayangi kedua adik." Ucap Jiang Si santai, tapi dalam hati mulai menganalisis situasi. 　　Jika ada masalah dengan Janda Permaisuri, apakah seseorang yang menyimpan rahasia bertahun-tahun benar-benar akan memanggil cucu perempuan setiap hari karena kesepian? Lagipula kedua putri ini tidak dibesarkan di sisi Janda Permaisuri, secara logika tidak ada ikatan emosi yang kuat. 　　Jiang Si merasakan keanehan samar, tapi tak bisa menemukan alasannya, hanya bisa sementara memantau perkembangan. 　　"Hamba juga tak menyangka Fuqing dan Si Empat Belas memiliki keberuntungan bisa mendapatkan perhatian Janda Permaisuri." Awalnya Permaisuri sempat khawatir ketika Janda Permaisuri meminta putrinya untuk menemani, namun setelah sekian lama tanpa masalah, perlahan menjadi tenang. 　　Jiang Si membalas dengan senyuman. 　　Tiba-tiba Permaisuri mengubah topik: "Sebenarnya hamba penasaran, bagaimana idemu untuk membaca sutra dan berdoa ini muncul?" 　　Jiang Si menggetarkan bulu matanya, mata memancarkan sedikit keputusasaan: "Saat itu saya mengira kakak laki-laki mengalami musibah, Pangeran sedang bepergian jauh. Sebagai menantu perempuan yang lemah di istana pangeran, tidak bisa berbuat banyak. Tapi kalau tidak melakukan sesuatu, hati ini merasa tersiksa. Setelah berpikir panjang, akhirnya menghindar ke ruang sembahyang kecil untuk membaca sutra dan berdoa demi ketenangan hati..." 　　Permaisuri mengerutkan sudut bibirnya. 　　Wanita lemah? Perkataan Permaisuri Yan sama sekali tidak jujur. 　　Tapi ini bukan inti persoalan, intinya ada di bagian belakang. 　　Permaisuri menahan rasa canggung, berpura-pura santai bertanya: "Tidak tahu Dewi mana yang disembah?" 　　Kaisar akhir-akhir ini pasti kerasukan, beberapa kali memberi isyarat agar membuat ruang sembahyang kecil di Istana Kuning, menyuruhnya sembahyang jika ada waktu. 　　Ini masih bisa ditahan, tapi Kaisar juga menunjuk harus menyembah Dewi yang sama dengan Permaisuri Yan. Ini benar-benar tak tertahankan. 　　Meski tak tertahankan tetap harus ditahan, sehingga muncul pertanyaan ini. 　　Setelah bertanya, wajah Permaisuri memanas, dalam hati kembali memaki Kaisar Jingming beberapa kali. Tentu tidak berani memaki terlalu keras, bagaimanapun beliau adalah Kaisar. 　　Ekspresi Jiang Si tiba-tiba berubah halus, tapi segera menyadari, menahan tawa menjawab: "Yang saya sembah adalah Dewi Pelindung Anak." 　　Permaisuri langsung terkejut mendengar, raut wajaknyo berkerut aneh. 　　Tidak masuk akal, berdoa untuk keselamatan suami yang bepergian jauh, kenapa harus menyembah Dewi Pelindung Anak? 　　Jiang Si menjelaskan: "Kebetulan ada patung Dewi Pelindung Anak di istana pangeran. Saya pikir Buddha pasti baik hati, asal tulus hati, berdoa untuk keselamatan seharusnya juga tidak masalah——" 　　Ekspresi Permaisuri semakin rumit. 　　Ini bisa terjadi? 　　Sekarang dia bingung harus bilang Permaisuri Yan terlalu nekat atau keberuntungannya luar biasa. 　　Memohon keselamatan ke Nyonya Dewi Kesuburan, malah dikabulkan, mana ada keadilan kosmis seperti ini? 　　Tapi satu hal yang pasti bagi Permaisuri: Jika Kaisar menyuruhnya menyembah Nyonya Dewi Kesuburan setiap hari, dia rela turun tahta dan melawannya! 　　Dengan usia dan status Permaisuri, ini bukan sekadar memalukan. 　　Setelah mantap hatinya, Permaisuri langsung kehilangan minat pada topik ini. 　　Tiba-tiba dayang melapor: "Nyonya, kedua putri sudah tiba." 　　Dari luar pintu terdengar tawa sebelum suara, lalu masuk seorang gadis secantik lukisan. Setelah memberi salam pada Permaisuri, dia langsung menarik tangan Jiang Si: "Aku khawatir istri ketujuh sudah pulang." 　　Gadis cantik itu tak lain adalah Putri Fuqing. 　　Gadis yang menyusul di belakangnya lebih kurus dari Putri Fuqing, berpenampilan tenang, pasti Putri ke-14. 　　Setelah saling menyapa, Jiang Si tersenyum: "Hari ini aku sengaja datang untuk meminta maaf pada kalian berdua. Bagaimana mungkin aku pulang? Sekalipun harus memaksa, aku akan tetap di sini bersama Ibu." 　　Wajah Putri Fuqing memerah, malu-malu berkata: "Istri ketujuh selalu bercanda. Aku senang sekali kau datang main ke istana. Benar kan, Adik Keempat Belas?" 　　Putri ke-14 terkejut ditanya tiba-tiba, tertegun sejenak sebelum mengangguk: "Iya, waktu itu kita tidak sempat ngobrol lama dengan istri ketujuh." 　　Dalam hati Putri ke-14, rasa keakraban terhadap Jiang Si tak sebesar itu. 　　Ia tidak membenci sang istri ketujuh ini, namun Permaisuri Yan telah menunjukkan banyak strategi ajaib. Ditambah perkataan ibu setelah kembali dari Kediaman Pangeran Yan itu, semuanya membuktikan Permaisuri Yan bukan orang sembarangan. 　　Terhadap orang yang tidak biasa, ia lebih memilih menjaga jarak. Bagaimanapun, ia bukan kakak ketigabelas yang berstatus mulia. Seorang putri tanpa akar sangat mudah mendatangkan malapetaka. 　　Suasana pun menjadi harmonis, hingga Permaisuri mengusir mereka: "Sudahlah, bukankah kau bilang ingin menyulam penyekat panjang umur untuk nenek kaisar? Waktunya sudah sore, jangan bermalas-malasan di sini." 　　Putri Fuqing terpaksa menarik tangan Putri ke-14 untuk berpamitan pada Jiang Si. 　　Setelah kedua putri pergi, Permaisuri menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Fuqing benar-benar terlalu kudimanjakan." 　　Jiang Si menatap pintu lama-kelamaan tanpa menarik kembali pandangannya. 　　Kunjungannya ke istana hari ini bukan sekadar balas budi. Kemarin Yu Jin menyebut tentang merebut posisi calon penguasa melalui Permaisuri, yang mengingatkannya pada suatu hal: Di kehidupan sebelumnya, Putri Fuqing terjatuh dari podium tinggi dan tewas, sepertinya tepat di festival lentera. 　　Permaisuri menangkap perubahan ekspresi Jiang Si, bertanya: "Ada apa?" 　　Jiang Si ragu sejenak, lalu bertanya: "Apakah Putri suka melihat lentera?" 713.BAB 711 Peringatan 　　BAB 711 Peringatan 　　Mendengar pertanyaan Jiang Si, Permaisuri tersenyum lembut: "Fuqing... dialah yang paling suka melihat lentera." 　　Putri Fuqing menderita penyakit mata sejak kecil, selama lebih dari sepuluh tahun tidak bisa melihat warna-warni dunia. Setelah disembuhkan oleh Jiang Si, ia tak pernah bosan menikmati pemandangan, bahkan semut yang pindah sarang pun bisa membuatnya tertawa gembira, apalagi lentera indah yang tak terhitung jumlahnya di Festival Lampion. 　　Keluarga kerajaan berbeda dengan rakyat biasa. Pada Festival Shangyuan, para putri tidak boleh main ke jalanan untuk melihat lampion, tapi bisa naik ke Menara Xuande untuk menikmati pemandangan. 　　Gerbang Xuande adalah pintu utama ibu kota kekaisaran. Di sebelah selatan gerbang terbentang Jalan Kekaisaran sepanjang sepuluh li. Sepanjang jalan lebar ini berdiri menara-menara hias dengan langkan berkelok dan pintu merah menyala. Saat Festival Lampion tiba, gunungan lentera berkilauan memenuhi jalan, terutama di depan Gerbang Xuande yang paling megah. 　　Permaisuri tak henti bercerita tentang putrinya: "Hamba masih ingat tahun lalu Putri Fuqing menangis sampai dua saputangan basah saat melihat lampion di Menara Xuande, sampai harus dipaksa kembali ke istana..." 　　Jiang Si tersenyum: "Kalau saya, mungkin tiga saputangan pun tak akan cukup." 　　Mata Putri Fuqing sembuh dua tahun lalu. Festival Lampion tahun lalu adalah pertama kalinya ia melihat lentera setelah bertahun-tahun, wajar jika emosinya meluap. 　　Di kehidupan sebelumnya, Jiang Si baru kembali dari Wu Miao ke ibu kota tahun depan. Saat itu ia takut hubungannya dengan Nona Keempat Dongping Bo Residence terbongkar, hanya hidup menyendiri dan menghindari acara kerajaan seperti jamuan. Kemudian terdengar kabar putri mahkota tunggal jatuh dari panggung dan tewas. 　　Permaisuri yang kehilangan putri tercinta mengalami trauma berat. Sejak itu tak ada yang berani menyebut nama Putri Fuqing lagi. 　　“Mengingat gadis yang meski buta namun berhati lembut itu, Jiang Si tak bisa menghindari perasaan bersalah. Diam-diam ia berpikir, seandainya Putri Fuqing bisa melihat, mungkin kecelakaan ini takkan terjadi.” 　　“Kini mata Putri Fuqing telah pulih, apakah malapetaka itu masih akan terjadi? Jiang Si tak bisa memastikan, namun tak berani lengah.” 　　“Di kehidupan sebelumnya, mengapa Putri Fuqing yang buta naik ke menara untuk melihat lentera? Sekarang terasa sangat aneh.” 　　“Apakah Putri Fuqing ingin mendengar gemuruh dunia manusia dengan telinganya, ataukah itu bukan sekadar kecelakaan biasa?” 　　“Sebenarnya musibah Putri Fuqing bukan terjadi pada Festival Shangyuan tahun ini, tapi Jiang Si takkan pernah melupakan pelajaran dari kematian mengenaskan pasangan Yongchang Bo.” 　　“Di kehidupan sebelumnya, pasangan Yongchang Bo masih hidup tenang sebelum kematianku. Di kehidupan ini, karena beberapa perubahanku, mereka tewas tragis hingga membuat sahabatku Xie Qingyao kehilangan kedua orang tua.” 　　“Ini menjadi peringatan bagi Jiang Si: Reinkarnasi tak menjamin semua perubahan membawa hasil baik.” 　　“Dia telah menyembuhkan mata Putri Fuqing, siapa tahu malapetaka yang seharusnya terjadi dua tahun kemudian di Festival Shangyuan bisa datang lebih awal?” 　　“Meski dianggap bicara ngawur oleh Permaisuri, peringatan tetap harus disampaikan.” 　　“Sang Permaisuri masih bercerita tentang kejadian lucu setelah kesembuhan Putri Fuqing, tapi Jiang Si terpaksa mengganggu keharmonisan ini.” 　　“Semalam aku bermimpi——” 　　“Begitu Jiang Si membuka mulut, sang Permaisuri langsung terdiam dengan ekspresi aneh.” 　　“Permaisuri Yan bermimpi lagi?” 　　"Perlu diketahui, beberapa hari lalu Permaisuri mengutus Putri Fuqing dan Si Empat Belas ke Kediaman Pangeran Yan untuk memastikan apakah Permaisuri Yan ada di kediaman. Namun kedua putri bahkan tidak sempat berbicara sepatah kata pun dengan Permaisuri Yan, alasannya karena Permaisuri Yan mendapat petunjuk dalam mimpi yang mengharuskannya berdiam diri untuk berdoa demi menunjukkan ketulusan." 　　"Sebelum Yu Jin kembali, Permaisuri hanya bisa menggelengkan kepala. Namun ketika Yu Jin kembali dengan Putra Mahkota Dongping Bo yang masih sehat walafiat, Permaisuri terkejut." 　　"Rupanya mimpi orang lain hanyalah mimpi biasa, tapi mimpi Permaisuri Yan itu seperti ritual gaib..." 　　"Mendengar lagi kata 'mimpi' dari mulut Jiang Si, Permaisuri tidak bisa menyepelekan. Ia segera bertanya: 'Mimpi apa?'" 　　"'Bermimpi Putri terjatuh dan terluka saat menikmati lentera——'" 　　"Belum sempat Jiang Si menyelesaikan kalimatnya, Permaisuri sudah bangkit berdiri dengan wajah pucat pasi: 'Apa katamu?'" 　　"Terhadap reaksi Permaisuri, Jiang Si tidak merasa heran." 　　"Putri Fuqing adalah satu-satunya putri Permaisuri, bagaikan biji mata yang sangat berharga. Bila terjadi sesuatu, Permaisuri pasti tidak akan sanggup menerimanya." 　　"Permaisuri sama sekali tidak peduli dengan sikapnya yang kurang sopan. Ia menggenggam pergelangan tangan Jiang Si dengan kuat: 'Permaisuri Yan, sebenarnya apa yang kau lihat dalam mimpi?'" 　　"Jiang Si mengatupkan bibir, tampak ragu-ragu." 　　"Permaisuri tersadar, segera melambaikan tangan menyuruh dayang-dayang yang melayani mundur. Setelah ruangan hanya berdua, ia buru-buru bertanya: 'Apa yang terjadi pada Fuqing?'" 　　"Jiang Si menggigit bibir dengan canggung: 'Ini hanya mimpi samar-samar. Sepertinya berada di tengah lautan lentera, entah bagaimana Fuqing tiba-tiba terjatuh...'" 　　"Saya tidak enak mengatakan Putri Fuqing tewas terjatuh, juga tidak bisa menjelaskan terlalu detail. Bagaimanapun kecelakaan tragis Putri Fuqing di kehidupan sebelumnya tidak terjadi pada Festival Shangyuan tahun ini. Peringatan ini hanya sebagai antisipasi." 　　Jika benar terjadi, tentu akan mendapat rasa syukur Permaisuri. Tapi jika tidak terjadi apa-apa, Permaisuri mungkin akan menyimpan dendam dalam hati. Jadi tidak baik terlalu meyakinkan. 　　Namun peringatan samar ini sudah cukup membuat Permaisuri berkeringat dingin. 　　"Hanya mimpi kacau yang sudah hampir terlupa saat bangun... Sebagai menantu seharusnya tidak mengoceh hal yang mengundang tawa. Tapi karena menyangkut Fuqing, saya tak tahan memberitahu Ibu. Mohon Ibu jangan marah atas omong kosong saya——" 　　Permaisuri masih ingat statusnya. Setelah terkejut awal, wajahnya kembali tenang. Ia tersenyum paksa sambil menepuk tangan Jiang Si: "Mengapa Ibu marah? Lebih baik percaya daripada tidak. Bisa jadi Buddha menggunakanmu untuk memberi peringatan pada Fuqing..." 　　Mimpi Permaisuri Yan tidak boleh diabaikan? Tentu tidak boleh! 　　Jiang Si diam-diam mengernyitkan sudut bibir. 　　Permaisuri mungkin benar-benar panik. Buddha dan dewa tidak sejalan. Jika benar masuk ke mimpiku, bisa-bisa mereka bertengkar. 　　"Ibu, hari sudah larut. Sebagai menantu tidak ingin mengganggu lagi." Setelah menyampaikan pesannya, Jiang Si tidak ingin berlama-lama di istana lalu berpamitan. 　　Permaisuri secara pribadi mengantarkan Jiang Si ke pintu, berpesan pada pelayan istana: "Antarkan Permaisuri Yan keluar, beri pengawalan yang baik." 　　Melihat pelayan istana dengan hormat memandu Jiang Si, seluruh Istana Kuning tak bisa menahan kekaguman: Permaisuri benar-benar memperhatikan Permaisuri Yan. 　　Saat itu hati Permaisuri sudah bergolak, ia mondar-mandir di dalam ruangan, tiba-tiba tubuhnya berhenti, lalu memerintahkan: "Panggil Putri Fuqing ke sini." 　　Putri Fuqing baru menyulam setengah huruf 'Shou' di istananya ketika dipanggil kembali, masih bingung: "Ibu memanggil putri kembali ada keperluan apa?" 　　Permaisuri memandangi putrinya dari atas ke bawah, mengelus rambut Putri Fuqing, lalu menelan kata-kata yang ingin diucapkan: "Tidak ada, hanya ingin melihat apakah kau malas." 　　Meski sangat memperhatikan mimpi Permaisuri Yan itu, tapi melarang Putri Fuqing menikmati lentera sekarang akan terlihat terlalu tiba-tiba. 　　Sudahlah, tunggu sampai hari Shangyuan nanti dengan alasan kesehatan untuk menahan Fuqing menemani. 　　Setelah mengambil keputusan, Permaisuri kembali tenang sementara. 　　Tak lama kemudian tiba hari menjelang Shangyuan. Sebelum Permaisuri sempat mengaku sakit, Putri Fuqing yang baru kembali dari Istana Cining sudah bersuka cita di hadapan Kaisar dan Permaisuri: "Ayah Kaisar, Ibu, Nenek Kaisar bilang tahun ini beliau juga ingin naik Gerbang Xuande menikmati lentera, kebetulan saya dan Adik Keempat Belas bisa menemani--" 　　Ada sedikit kesalahan waktu kecelakaan Putri Fuqing di bab sebelumnya, sudah diperbaiki. 714.BAB 712 Shangyuan 　　BAB 712 Shangyuan 　　Permaisuri menggenggam cangkir teh di tangannya bergoyang, air panas terciprat keluar, wajahnya langsung pucat. 　　Kaisar Jingming justru sangat gembira: "Tahun ini Janda Permaisuri juga berminat menikmati lentera? Itu bagus, kalian dan Si Empat Belas harus menemani Nenek Kaisar dengan baik." 　　Di dalam hati Kaisar Jingming, ia sangat berharap Janda Permaisuri lebih sering ikut dalam keramaian. 　　Selama bertahun-tahun sebelumnya Janda Permaisuri selalu mengasingkan diri, hidup sepi dan sunyi, membuatnya sebagai anak lelaki merasa sangat sedih. Syukurlah belakangan ini Janda Permaisuri senang ditemani cucu perempuan, sehingga tidak terlalu kesepian. 　　Mengusulkan untuk menikmati lentera, ini adalah pertama kalinya dalam bertahun-tahun bagi Janda Permaisuri. 　　"Kaisar--" Permaisuri memanggil dengan panik. 　　Kaisar Jingming menatap Permaisuri: "Permaisuri ada keperluan apa?" 　　Permaisuri menggenggam erat cangkir teh, buku-buku jarinya memucat, tersenyum paksa: "Janda Permaisuri sudah lanjut usia, di festival Shangyuan cuaca masih dingin, apakah aman pergi melihat lentera?" 　　Wajah Kaisar Jingming berubah muram: "Apa yang tidak aman?" 　　"Saya khawatir Janda Permaisuri masuk angin--" 　　"Pakai banyak lapisan saja," Kaisar Jingming menggerakkan tangan tak acuh, "Lagipula Paviliun Xuande bukan tempat terbuka, Aku akan perintahkan menambah lebih banyak tungku pemanas." 　　"Tapi Paviliun Xuande sangat tinggi, Janda Permaisuri naik-turun pasti sulit--" Permaisuri masih berusaha membantah. 　　Kaisar Jingming semakin tak menganggap serius: "Ini lebih mudah, naik-turun tangga bisa dipapah oleh pelayan istana." 　　Sampai di sini, Kaisar Jingming memandang Permaisuri dengan heran: "Permaisuri, ada apa denganmu hari ini?" 　　“Istri Lao Qi dari keluarga lain sudah bersemedi selama lebih dari sebulan dan hatinya tenang, kenapa Istana Kuning belum mendirikan ruang sembahyang kecil, tapi Permaisuri sudah mulai bertindak aneh-aneh?” 　　“Saya hanya khawatir tentang Yang Mulia Janda Permaisuri——” Permaisuri menjelaskan dengan kaku, menyadari alasan ini terlalu lemah. 　　Dia benar-benar panik oleh perubahan tak terduga ini, setelah berhitung ribuan kali, tak menyangka tahun ini Janda Permaisuri ingin melihat lentera. 　　Apakah karena ini Fuqing tidak bisa menghindari naik menara untuk melihat lentera di Festival Shangyuan, sehingga mengalami kecelakaan seperti yang diramalkan Permaisuri Yan dalam mimpinya? 　　Meskipun Permaisuri Yan mengatakan Fuqing hanya terluka jatuh, tapi tingkat keparahannya tidak diketahui, bagian tubuh mana yang terluka juga tidak jelas——pasti parah, kalau tidak mengapa Permaisuri Yan sengaja datang ke istana. 　　Permaisuri tidak bodoh, setelah merenung sebentar dia paham Jiang Si pasti meminimalkan situasi daripada membesar-besarkannya. 　　Semakin dipikir, semakin takut dia akan takdir yang tak bisa dielakkan. 　　“Sudah kukatakan tidak perlu khawatir.” Wajah Kaisar Jingming berubah serius, “Jarang-jarang Janda Permaisuri bersemangat melihat lentera, jangan kau rusak suasana dengan kekhawatiranmu.” 　　Wajah Permaisuri kaku, memandang putrinya yang tersenyum lalu Kaisar Jingming yang mulai tidak senang, akhirnya hanya mengangguk. 　　“Fuqing, kau dan Si Empat Belas boleh bermain dulu, Ibu perlu bicara dengan Permaisuri.” 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 pun pamit undur diri. 　　Kaisar Jingming batuk kecil, seolah tiba-tiba teringat: "Oh ya, beberapa hari lalu apakah istri Lao Qi masuk istana?" 　　"Benar." Permaisuri menggigit bibir, dalam hati berpikir Permaisuri Yan sudah jelas masuk istana, pasti ada urusan tidak baik yang ditanyakan Kaisar. 　　Seperti dugaannya, Kaisar Jingming bertanya: "Sudahkah kau tanya Permaisuri Yan memuja Buddha yang mana?" 　　"Dewi Pelindung Keturunan." 　　Kaisar Jingming terkesiap: "Hah?" 　　Permaisuri menyeringai, menjawab tenang: "Permaisuri Yan memuja Dewi Pelindung Keturunan." 　　Ia ingin melihat apakah Kaisar berani memintanya—seorang permaisuri tua—untuk memuja Dewi Pelindung Keturunan. 　　Kaisar Jingming terdiam lama, akhirnya berkata: "Sebenarnya tidak penting Buddha mana yang dipuja, yang penting ketulusan hati——" 　　Lagipula, para Buddha saling mengenal. Bisa jadi Dewi Pelindung Keturunan yang menyampaikan pesan ke Buddha lain, sehingga istri Lao Qi berhasil 'memanggil' kembali kakak laki-laki Jiang Si. 　　Mendengar penjelasan Kaisar, Permaisuri membelalakkan mata. Menahan keinginan untuk mencakar muka tua Kaisar dengan kuku panjangnya, ia berkata dengan suara tertekan: "Kalau begitu, kenapa tidak langsung memuja Buddha yang tepat? Ngapain merepotkan Dewi Pelindung Keturunan?" 　　Kaisar menunjukkan ekspresi "kau tidak mengerti": "Masalahnya kita tidak tahu ke Buddha mana Dewi Pelindung Keturunan menyampaikan pesan." 　　Permaisuri: "..." Logikanya masuk akal, hampir saja ia terbujuk. 　　"Permaisuri?" Kaisar mengingatkan saat Permaisuri diam. 　　Permaisuri tetap teguh pendirian: "Aku tidak akan memuja." 　　“Kaisar Jingming tertegun, jelas tidak menyangka Permaisuri menolak dengan begitu tegas.” 　　“Seandainya di waktu biasa, meski menolak Permaisuri akan bersikap halus. Tapi saat ini, setelah mengetahui rencana Janda Permaisuri menghadiahkan lentera yang membuatnya gelisah, mana sempat memikirkan perasaan Kaisar tua yang sedang merajuk? Langsung ditolak mentah-mentah.” 　　“Permaisuri, pikirkan sekali lagi—belakangan ini situasi di istana benar-benar tidak tenang——” 　　Permaisuri hanya berkata pendek: “Itu adalah Nyonya Pengirim Anak!” 　　“Ada apa dengan Nyonya Pengirim Anak? Meski tidak bisa mendapat yang lain, mungkin bisa mengirim anak.” Kaisar Jingming berkomentar sembarangan. 　　Kulit wajah Permaisuri bergetar: “Paduka terlalu banyak khayal. Di usia selir ini, jangan-jangan malah membuat Nyonya Pengirim Anak kecapekan.” 　　Kaisar Jingming buru-buru batuk dua kali, asal mencari alasan: “Mengirim anak belum tentu harus melahirkan sendiri——” 　　Sebelum kalimat selesai, Kaisar teringat sesuatu dan buru-buru menghentikan ucapannya. 　　Permaisuri juga tiba-tiba tersentuh hatinya, tidak berani melanjutkan pikiran. 　　Kaisar dan Permaisuri saling memahami tanpa kata dan mengalihkan topik ini. Setelah mengobrol sebentar, Kaisar Jingming bangkit dan pergi. 　　Begitu Kaisar pergi, Permaisuri segera memanggil Putri ke-14 dengan pesan khusus untuk menghindari Putri Fuqing. 　　Putri ke-14 kembali ke Istana Kuning, menahan kebingungan memberi salut pada Permaisuri. 　　Permaisuri mengulurkan tangan: “Si Empat Belas, datanglah duduk di samping hamba.” 　　Putri ke-14 mendekat, duduk rapi di sebelah Permaisuri sesuai tata krama. 　　Permaisuri menatap dalam-dalam ke Putri ke-14, menepuk tangan gadis itu: “Ada satu hal yang ingin hamba percayakan padamu.” 　　“Ibu, silakan bicara.” 　　"Besok saat naik menara untuk menikmati lentera, kau jangan tinggalkan Fuqing." Permaisuri mengusap sudut matanya, memutuskan untuk memberitahu Putri ke-14 sebagian kebenaran, "Hati ibu dan anak perempuan selalu terhubung, ketika memikirkan acara besok malam hamba merasa gelisah tanpa alasan, seperti ada firasat Fuqing akan menghadapi bahaya..." 　　Ekspresi Putri ke-14 perlahan berubah penuh keheranan. 　　Permaisuri tersenyum: "Ini hanya perasaan hamba saja, tak pantas mengerahkan pengawal secara berlebihan untuk mengawal Fuqing, jadi harus merepotkanmu..." 　　Dalam acara semacam itu, dayang istana mungkin tidak bisa terus-menerus mendampingi Putri Fuqing. Hanya Putri ke-14 yang statusnya setara dan memiliki hubungan dekat dengannya yang bisa melakukan pengawasan tanpa mencurigakan. 　　Meski bingung, Putri ke-14 sama sekali tidak memperlihatkannya, mengangguk halus: "Ibu tenang saja, Si Empat Belas pasti tidak akan menjauh setapak pun dari Kakak ketigabelas." 　　"Baik, pulanglah. Jangan beri tahu Fuqing agar dia tidak overthinking." Saat mengucapkan ini, kilatan dingin melintas di mata Permaisuri. 　　Fuqing bukanlah gadis sembrono. Bahkan saat masih buta dulu, tata kramanya tak kalah dari putri lain. Tidak mudah baginya untuk terjatuh. 　　Yang dikhawatirkannya adalah kemungkinan itu bukan kecelakaan biasa. Jika benar demikian, tindakan gegabah hanya akan membuat ular berbisa kabur. 　　Keesokan harinya adalah Festival Shangyuan. Cuaca cerah langka, malam hari pun tak terasa terlalu dingin. 　　Di depan Xuande Lou, sepuluh ribu lentera bergemerlap menciptakan keriuhan spektakuler. 　　Kaisar dan Permaisuri mendampingi Janda Permaisuri naik menara perlahan. Di samping Janda Permaisuri berjalan Putri Fuqing dan Putri ke-14, diikuti putri-putri lainnya di belakang. 　　Tepat setelah kerumunan naik ke Xuande Lou, gunungan lentera tiba-tiba menyala terang. 715. BAB 713 Jatuh dari Gedung 　　BAB 713 Jatuh dari Gedung 　　Di sepanjang Jalan Kekaisaran di selatan Xuande Lou, terdapat banyak gunungan lentera berwarna-warni dengan jarak yang berdekatan. Yang paling memukau adalah gunungan lentera di depan pintu Xuande Lou. 　　Itu adalah menara lentera bernama Ao Shan. Dua pilar naga setinggi lebih dari 20 Zhang, dengan naga raksasa melilitnya sambil menggenggam lentera terang. Ketika ratusan ribu lentera menyala serentak, pemandangan megah ini sungguh memesona hati. 　　Putri Fuqing terpana memandang lentera di mulut naga. 　　Tahun lalu dia telah menyaksikan pemandangan spektakuler naga kembar menggenggam lentera ini, namun hari ini hatinya kembali berdegup kencang. 　　Betapa indahnya dunia ini, sungguh beruntung bisa menyaksikannya. 　　Sambil berpikir demikian, matanya menerawang ke kejauhan. 　　Jalan Kekaisaran dipenuhi tarian dan nyanyian, riuh rendah tawa bahagia menggambarkan kemakmuran yang sempurna. 　　Putri Fuqing merasa sedikit penyesalan. 　　Sebagai putri, keinginannya untuk bermain bebas sambil membawa lentera di Festival Yuanxiao seperti wanita biasa hanyalah khayalan belaka. 　　Namun penyesalan ini segera ditepisnya. 　　Justru karena statusnya sebagai putri, dia bisa menikmati pemandangan lentera dari Xuande Lou ini tanpa beban kehidupan. Bersyukurlah atas berkah ini. 　　Di bawah menara, ada pula yang sedang mengagumi keajaiban naga kembar menggenggam lentera. 　　"Hari ini sangat meriah, sayang A Huan masih terlalu kecil untuk diajak menonton." Jiang Si berjalan di jalan yang diterangi lentera gemerlap dengan rasa sesal. 　　“Ada banyak dayang, nenek, dan ibu susu, membawa A Huan keluar menonton lentera tidak masalah. Tapi aku khawatir malam ini akan terjadi insiden di Menara Xuande, nanti menimbulkan kekacauan. Untuk keamanan, lebih baik putri kita tinggal di rumah keluarga.” 　　Membayangkan wajah memelas A Huan saat mereka berdua pergi, rasa pahit di hati Jiang Si semakin menjadi. 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, sama sekali tak memiliki kekhawatiran itu: “Kita jarang bisa keluar bersama, jangan pikirkan putri kita.” 　　Tahun depan di waktu yang sama A Huan sudah bisa berlari. Saat itu, ingin meninggalkan putri untuk berduaan akan jauh lebih sulit. 　　Kesempatan seperti ini seharusnya benar-benar dihargai. 　　Keduanya berjalan bergandengan di lautan lentera. Tiba-tiba sorak-sorai bergemuruh, membuat mereka berhenti dan menengadah. 　　Kembang api bermekaran di langit, sebaris demi sebaris, segera memenuhi separuh angkasa. 　　Ribuan orang pada saat itu menatap kembang api, termasuk para bangsawan di Menara Xuande. 　　Kaisar Jingming menyangga lengan Janda Permaisuri, tersenyum manis: “Bagaimana menurut Ibu tentang kembang api di sini?” 　　Janda Permaisuri tersenyum: “Tentu indah. Hamba sudah lama tidak melihat yang seperti ini.” 　　“Kalau begitu Ibu bisa menonton setiap tahun, anak dan Permaisuri akan menemani.” Wajah Kaisar Jingming berseri melihat sang ibu senang. 　　Permaisuri yang sejak tadi mengawasi Putri Fuqing dari sudut mata, segera menyambung dengan senyuman saat namanya disebut. 　　“Dengan bakti kalian seperti ini, apapun yang hamba lihat akan terasa indah.” Sorot lentera membuat raut Janda Permaisuri semakin tenang. 　　“Yang penting Ibu senang.” 　　“Permaisuri——” Kaisar Jingming memanggil, refleks menarik lengan baju Permaisuri. 　　Permaisuri yang sedang asyik mengobrol dengan Janda Permaisuri tiba-tiba berubah wajahnya saat matanya mencari-cari bayangan Putri Fuqing. 　　Putri Fuqing yang tadi masih terlihat tak jauh dari situ sedang menikmati lentera tiba-tiba menghilang. 　　Permaisuri segera memandang sekeliling dengan cemas. 　　Tiba-tiba terdengar teriakan panik dari suara wanita muda, disusul bunyi "plok" sesuatu yang jatuh. 　　"Ada orang jatuh dari atas gedung——" 　　Keriuhan langsung menyebar di jalanan, teriakan panik bersahutan dari berbagai penjuru. 　　Kembang api yang indah tak lagi dinikmati, kerumunan orang berhamburan seperti air bah menuju Gedung Xuande. 　　"Apa yang terjadi?" Yu Jin yang sedang menuntun Jiang Si di depan lentera kelinci giok setinggi orang tiba-tiba menoleh tajam ke arah Gedung Xuande. 　　Jiang Si terkejut sekaligus lega. 　　Mengingat perhatian besar Permaisuri pada Putri Fuqing, ia yakin peringatannya pasti bisa mencegah musibah. 　　Lebih baik kejadian ini terjadi sekarang daripada nanti. Jika festival Shangyuan tahun ini aman, tahun depan tak mungkin lagi ia masuk istana dengan alasan mimpi untuk memberi peringatan. 　　"Sepertinya ada masalah di Gedung Xuande. Mau kita periksa?" 　　Yu Jin mengangguk: "Ayo kita lihat." 　　Saat itu situasi di Gedung Xuande sudah kacau balau. 　　Mendengar teriakan wanita muda, wajah Permaisuri langsung pucat. Ia berlari kencang menuju sumber suara. 　　"Permaisuri yang khawatir akan keselamatan putrinya tercinta tak lagi mempedulikan hal ini, menarik lengan bajunya dengan keras hingga nyaris membuat Kaisar Jingming tersandung." 　　Pan Hai di samping segera menyangga Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menegakkan posturnya, terlihat canggung sejenak sebelum berpura-pura tenang berkata pada Janda Permaisuri: "Ibu, jangan bergerak. Saya akan pergi ke sana melihat apa yang terjadi." 　　"Kaisar harap berhati-hati," pesan Janda Permaisuri sambil menatap punggung Kaisar Jingming yang bergegas pergi dengan sorot mata yang dalam. 　　Setelah menerobos ke depan, Permaisuri baru bisa menenangkan hati yang sempat tercekat di tenggorokan saat melihat pemandangan di depannya. 　　Putri Fuqing sedang dipeluk erat oleh Putri ke-14, wajah keduanya pucat pasi sementara dayang istana di samping menjulurkan kepala melihat ke bawah pagar. 　　"Apa yang terjadi?" Permaisuri bergegas mendekat. 　　Putri Fuqing menahan air mata, menggigit bibir: "Ibu, Qingdai terjatuh--" 　　Permaisuri yang melihat ekspresi anik Putri Fuqing segera melirik Putri ke-14 dengan tatapan bertanya. 　　Putri ke-14 yang tak kalah pucatnya bahkan masih terus gemetar, tetap tak lupa memberi hormat: "Ibu, tadi... Qingdai tiba-tiba mendorong Kakak ketigabelas, untung dayang di samping berhasil menepisnya..." 　　Mengingat kejadian barusan, Putri ke-14 masih merinding ketakutan. 　　Dia mengingat betul perintah Permaisuri, tidak melepaskan pandangan dari Kakak ketigabelas sesaat pun. Saat kembang api menyala tadi, Kakak ketigabelas bilang area ini memiliki pemandangan lebih jelas, menariknya ke sini untuk menonton. Siapa sangka dayang bernama Qingdai itu ternyata ingin mencelakai Kakak ketigabelas. 　　Qingdai adalah dayang pengiring Putri Fuqing. Siapa yang menyangka dia berani mengkhianati tuannya? 　　Karena terlalu terkejut, meski Putri ke-14 terus mengikuti Putri Fuqing dari dekat, saat itu juga dia tidak sempat bereaksi. Untungnya seorang dayang yang tidak jauh darinya langsung menyambar dan mendorong Qingdai, kalau tidak akibatnya bisa fatal. 　　Permaisuri juga merasakan ketakutan pasca kejadian. 　　Meski sudah memperingatkan Putri ke-14, keselamatan putrinya tentu tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada gadis kecil. Dayang yang mendorong Qingdai itu sengaja dia tempatkan, memiliki ilmu bela diri. 　　Alasan memberi petunjuk pada Putri ke-14 adalah karena kehadiran Janda Permaisuri. Khawatir jika terjadi sesuatu dayang itu tidak bisa mendekat, dibuatlah persiapan cadangan. 　　Tapi Permaisuri sama sekali tidak menyangka yang ingin mencelakai Putri Fuqing adalah Qingdai, dayang pengiringnya sendiri. 　　"Bagaimana hamba terkutuk itu bisa jatuh?" Permaisuri bertanya dengan suara keras. 　　Putri Fuqing yang sudah pulih ketenangannya bersuara: "Dia sendiri yang melompat turun." 　　Permaisuri tertegun. 　　Putri ke-14 menyambung: "Benar, setelah didorong dayang istana, dia langsung terjun. Kami sama sekali tak sempat bereaksi--" 　　Permaisuri hendak bertanya lagi, suara rendah Kaisar Jingming terdengar: "Bicara di istana nanti." 　　Di bawah Menara Xuande, kerumunan orang yang berdatangan tidak berani mendekat. Wanita yang terjatuh di tanah segera diseret pergi oleh para pengawal. 　　Yu Jin membawa Jiang Si mendekat, diikuti pula oleh Pangeran Qi dan yang lainnya. 　　Melihat beberapa pangeran dan permaisuri yang datang, para pengawal tentu tidak berani menghalangi. 　　Kaisar Jingming yang turun dari menara melirik putra-putranya yang berkerumun menonton keributan, dadanya langsung membara. 　　Tante datang bulan telah tiba lagi..... 716. BAB 714 Ketakutan Sang Permaisuri 　　BAB 714 Ketakutan Sang Permaisuri 　　Memandang sekeliling: Putra Keempat, Pasangan Putra Kelima, Putra Keenam, Pasangan Putra Ketujuh, Putra Kedelapan—semua putra kecuali Qin Wang telah hadir. Kaisar Jingming mendengus: "Untuk apa kalian datang?" 　　Di Festival Shangyuan, para brengsek ini bisa jalan-jalan sesuka hati. Tidak seperti dirinya yang hanya bisa naik menara menikmati lentera. Kini ada masalah di Menara Xuande, mereka semua bergegas menonton keributan. 　　Kaisar Jingming hendak mengusir mereka semua ketika Permaisuri memanggil pelan: "Kaisar——" 　　Kaisar Jingming menoleh ke Permaisuri. 　　Setelah Permaisuri membisikkan sesuatu di telinganya, Kaisar Jingming mengangguk lalu berkata pada Yu Jin dan Jiang Si: "Kalian ikut Aku kembali ke istana. Yang lain bubar!" 　　Sambil berkata demikian, Kaisar Jingming menyangga lengan Janda Permaisuri: "Ibu, hati-hati jalannya." 　　Rombongan Kaisar Jingming segera meninggalkan Menara Xuande dengan gegap gempita, meninggalkan Pangeran Qi dan lainnya saling pandang bingung. 　　Pangeran Shu yang pertama berbicara: "Tak kuduga Kakak Keempat keluar menikmati lentera. Kukira Kakak akan menemani Kakak Ipar di istana." 　　Pangeran Qi tersenyum tipis: "Istri keempatmu sedang tidak enak badan, tidak bisa keluar. Aku berjanji akan menikmati pemandangan indah ini untuknya. Mengapa Adik keenam juga sendirian?" 　　Pangeran Shu tak menyangka Pangeran Qi bisa berbicara dengan begitu mulia dan resmi, membuatnya tertegun sejenak. 　　Alasan ia keluar sendirian malam ini tentu karena perselisihan dengan Permaisuri Shu. 　　Bukankah Permaisuri Shu sebelum menikah adalah putri bangsawan ibu kota yang paling berbakat dan cantik? Mengapa sifatnya begitu angkuh dan keras kepala? Ia hanya sedikit menyinggung soal keturunan, tapi langsung diberi wajah dingin. 　　Harus diingat, pernikahannya bahkan lebih awal satu bulan dari Lao Qi. Lihatlah putri Lao Qi sudah hampir bisa memanggil ayah, sini belum ada tanda-tanda. Mana mungkin tidak cemas? 　　Biasanya masih bisa ditolerir, tapi sekarang zaman seperti apa? Memiliki keturunan pasti akan menambah bobot di hati Ayah Kaisar. Siapa tahu keunggulan kecil ini bisa menentukan siapa yang menang antara dirinya dengan Lao Si. 　　Menekan rasa tidak nyaman, Pangeran Shu berkata santai: "Entah ada kejadian apa. Lihatlah kita semua datang, tapi Ayah Kaisar hanya memanggil pasangan Lao Qi ke istana." 　　Urutan tahta, di atasnya masih ada Lao Si dan Lao Wu. Diabaikan ayah memang tidak memalukan. Tapi Lao Si dilangkahi oleh Lao Qi? Itu baru memalukan. 　　Pangeran Qi juga menyadari hal ini, hanya bisa merasakan kegelisahan yang sia-sia. 　　Hati kaisar sulit ditebak. Malu yang diberikan Ayah Kaisar hanya bisa diterima. Kecuali ia naik takhta kelak, baru tak ada yang berani mempermalukannya lagi. 　　Meski tidak menyukai keberpihakan Ayah Kaisar terhadap Lao Qi, dia merasa lebih tenang. 　　Di saat kritis seperti ini, jika Ayah Kaisar benar-benar menginginkan Lao Qi, tentu tidak akan menunjukkan sikap yang begitu jelas. Tindakan Ayah Kaisar justru membuktikan bahwa dia tidak pernah mempertimbangkan Lao Qi sama sekali. 　　Pangeran Qi merenungkan hal ini, hatinya sedikit lebih lega. Ancaman terbesar tetaplah Pangeran Shu yang ada di hadapannya. 　　Pangeran Lu mendengar percakapan tidak jelas antara keduanya, merasa sangat membosankan. "Kalian tidak penasaran dengan kejadian tadi?" 　　Ngapain banyak bicara. 　　Pangeran Qi dan Pangeran Shu sama-sama menatap Pangeran Lu. Mereka penasaran, tapi jelas Ayah Kaisar tidak berniat memberitahu mereka. 　　Pangeran Lu menyeringai, tiba-tiba menangkap seorang pengawal yang hendak pergi: "Tadi sebenarnya ada apa?" 　　Pengawal itu takut tidak menjawab: "Saat acara lentera, dayang yang melayani Putri Fuqing terjatuh..." 　　"Jawaban tidak jelas." Pangeran Lu tahu tak bisa dapat informasi lebih, menoleh ke Permaisuri Lu. "Lanjut melihat lentera atau pulang?" 　　Permaisuri Lu sudah tidak berminat: "Pulang saja." 　　Pangeran Lu senang, segera menyuruh dayang-dayang mengantar Permaisuri Lu pulang. 　　Permaisuri Lu menyipitkan matanya: "Pangeran tidak pulang bersama saya?" 　　"Aku mau lihat lentera dulu. Masih banyak lentera baru yang belum kulihat." 　　“Hehe, akhirnya bisa melepaskan si wajah kuning ini. Di festival lentera yang ramai ini, pasti ada banyak nona kecil, mungkin bisa bertemu wanita cantik.” 　　Saat sedang berkhayal, tiba-tiba pinggangnya terasa sakit. 　　“Pangeran ingin menikmati lentera sendirian?” Permaisuri Lu menekankan tiga kata “sendirian” dengan nada khusus. 　　Pangeran Lu menyeringai. Di depan Pangeran Qi dan yang lain, dia menahan rasa sakit dan berkata dengan penyesalan: “Tiba-tiba ini terasa tidak menarik, lebih baik kita pulang ke rumah keluarga.” 　　Jika tidak segera pergi, bagaimana jika macan betina ini mengejarnya di festival lentera? Pasti wajahnya akan dipermalukan di depan rakyat ibu kota. 　　Melihat pasangan Pangeran Lu pergi, yang lain pun berangsur bubar. 　　Kaisar Jingming yang kembali ke istana berada dalam suasana hati yang sangat buruk, bahkan melampiaskan kemarahannya pada Permaisuri. 　　Dua tahun terakhir ini kemalangan datang bertubi-tubi tanpa henti. Sudah dia nasihati Permaisuri untuk rajin sembahyang Buddha, tapi wanita ini keras kepala tidak mau. 　　Sekarang lihatlah, masalah baru muncul lagi! 　　Meski hati sedang gundah, Kaisar tetap memaksakan senyum di hadapan Janda Permaisuri: “Ibu, hamba akan mengantar Ibu kembali ke Istana Cining.” 　　“Jika Kaisar sibuk, tidak perlu mengurus hamba. Fuqing dia——” 　　“Fuqing baik-baik saja. Ibu kembalilah beristirahat dulu. Anak lelaki ini akan menjelaskan semuanya setelah urusan selesai.” 　　“Baiklah, hamba akan pulang dulu.” Janda Permaisuri mengangguk halus pada Permaisuri, “Permaisuri, rawatlah Kaisar dan Fuquing dengan baik.” 　　Permaisuri sedikit menekuk lutut: “Ibu tidak perlu khawatir.” 　　Setelah Janda Permaisuri pergi, wajah Kaisar Jingming langsung menjadi muram. 　　Permaisuri menepuk tangan Putri Fuqing: "Fuqing, kau juga boleh pulang." 　　Putri Fuqing menggelengkan kepala: "Ibu, kejadian hari ini jelas menargetku. Saat itu aku yang paling tahu apa yang terjadi, biarkanlah aku tetap di sini." 　　Dia tidaklah selemah itu hingga harus selalu bersembunyi di belakang adik keempat belas saat menghadapi masalah. 　　Dia adalah putri mahkota, bukan bunga dodder yang hanya bisa merambat. 　　Mengingat saat kejadian ketika Putri ke-14 berlari melindunginya, Putri Fuqing merasa malu dan tak tega membiarkan sang adik menghadapi pemeriksaan sendirian. 　　Permaisuri ragu sejenak, namun menghadapi tatapan memohon putrinya, akhirnya mengangguk. 　　"Baiklah, kalian berdua ceritakan apa yang terjadi saat itu. Jangan ada detail yang terlewat," kata Kaisar Jingming. 　　Setelah kedua putri selesai bercerita, Kaisar Jingming menatap Yu Jin. 　　Waktu itu Permaisuri mengatakan pasangan Pangeran Yan ahli dalam menyelesaikan kasus, maka dia sengaja memanggil mereka ke istana. 　　Yu Jin merenung sejenak lalu bertanya: "Sejak kapan Qing Dai mulai melayani Putri Ketigabelas?" 　　"Qing Dai sudah melayaniku selama beberapa tahun, tak pernah membuat kesalahan." 　　"Apakah ada keanehan dalam perilakunya akhir-akhir ini?" tanya Yu Jin lagi. 　　Putri Fuqing ragu-ragu menggeleng: "Aku tidak melihat sesuatu yang aneh. Hongxiu, kau yang paling sering bersama Qing Dai, apakah ada yang kau perhatikan?" 　　Sebagai dayang pengiring lain Putri Fuqing yang juga naik ke menara hari ini, Hongxiu sudah ketakutan hingga wajahnya pucat pasi. Ditanya oleh Putri Fuqing, ia buru-buru menjawab: "Hamba tanpa sengaja melihat Qingdai matanya bengkak dua hari lalu, sepertinya habis menangis. Saat hamba tanya kenapa, dia bilang matanya kemasukan debu. Sekarang hamba baru sadar, pasti saat itu Qingdai sedang ada masalah... Hamba memang bodoh, tidak mengejar sampai jelas..." 　　Hongxiu mulai menampar pipinya sendiri dengan keras. 　　Permaisuri mengabaikan suara tamparan yang nyaring itu, bergumam: "Qingdai adalah orang yang hamba pilih sendiri untuk menemani Fuqing, bagaimana mungkin bermasalah?" 　　Semua pelayan Putri Fuqing dipilih langsung oleh Permaisuri dengan ketat. Tapi yang bermasalah justru dayang pengiringnya. Ketakutan besar nyaris menenggelamkan Permaisuri, membuatnya menggenggam tangan Jiang Si: "Permaisuri Yan, katakan siapa yang ingin mencelakai Fuqing?" 　　Terima kasih atas hadiah dan vote yang diberikan. Suara bulanan dihitung ganda, hamba minta dukungan vote, suara akan hangus jika lupa memilih. Besok hamba ada urusan di luar, update tetap sore hari. 717.BAB 715 Keberanian 　　BAB 715 Keberanian 　　Meski hari masih gelap, karena hari raya Shangyuan, di luar aula gemerlap lampu-lentera, di dalam aula terang benderang bagai siang. 　　Karena itu, kerumunan bisa melihat jelas perubahan ekspresi Permaisuri. 　　Sikap Permaisuri terlalu panik dan tulus, jelas saat ini benar-benar menganggap Jiang Si sebagai tali penyelamat. 　　Yu Jin mengernyitkan alisnya diam-diam, berpikir: Jangan-jangan A Si membohongi Permaisuri lagi? 　　"Ini kejadian kapan, kenapa dia tidak tahu?" 　　Kaisar Jingming juga terlihat aneh, melihat Permaisuri kehilangan kendali di hadapan Putri Fuqing dan lainnya, mengingatkan: "Permaisuri, Istri Lao Qi waktu itu tidak ada di Xuande Lou, meski ahli memutuskan kasus, mana mungkin tahu siapa yang ingin membahayakan Fuqing." 　　Baik Kaisar maupun Permaisuri, sama-sama tidak percaya yang benar-benar ingin membahayakan Putri Fuqing hanyalah seorang dayang kecil. 　　Wajah Putri Fuqing pucat, bergumam: "Ayah Kaisar, maksudmu ada yang menyuruh Qingdai menyakiti Putri?" 　　"A'Quan, jangan takut. Ayah pasti akan menemukan pelakunya." Kaisar Jingming berkata sambil menatap Yu Jin, "Lao Qi, masih ada yang ingin kau tanyakan ke A'Quan dan Si Empat Belas?" 　　Yu Jin menggeleng: "Sudah tidak ada." 　　Kedua putri jelas hanya tahu sedikit, informasi yang bisa diberikan sangat terbatas. Semua yang perlu diketahui sudah diketahui. 　　Kaisar Jingming mendengar jawaban Yu Jin, lalu berkata kepada kedua putri: "Hari ini kalian sudah cukup trauma, pulanglah beristirahat." 　　"Ayah Kaisar—" Putri Fuqing masih tak rela, memanggil. 　　Putri ke-14 tidak berhak banyak bicara, hanya diam berdiri di samping Putri Fuqing. 　　Permaisuri yang sudah sadar, menepuk lengan Putri Fuqing perlahan: "Fuqing, dengarkan ayahmu, pulanglah dulu. Ibu akan memberitahumu bila ada hasil." 　　Putri Fuqing mengangguk patuh: "Kalau begitu Putri mohon pamit." 　　Tak lama kedua putri pergi berdua, beberapa pembicaraan baru bisa leluasa dilanjutkan. 　　Permaisuri yang baru saja berhasil menenangkan diri kembali merasa gelisah, menggenggam tangan Jiang Si dengan erat sambil berkata dengan suara gemetar, "Permaisuri Yan, apa kau... apa kau tahu——" 　　Meski sebelumnya Permaisuri Yan telah memberi peringatan lewat mimpi dan dia telah melakukan beberapa persiapan, sebenarnya masih ada keraguan dalam hatinya. Dia hanya memilih untuk berjaga-jaga demi keselamatan putrinya. Tapi siapa sangka malam ini Fuqing benar-benar mengalami musibah... 　　Jika Permaisuri Yan bisa memimpikan Fuqing terluka, mungkin dia juga pernah memimpikan pelaku kejahatan—— 　　Semakin dalam Permaisuri berpikir demikian, semakin kuat genggamannya. 　　Yu Jin mengalihkan pandangannya ke tangan Permaisuri, alisnya berkerut halus. 　　Sudah menjadi Permaisuri, tak bisakah menjaga sopan santun? 　　Kaisar Jingming semakin penasaran: "Permaisuri, apa yang sebenarnya kau bicarakan?" 　　Permaisuri melirik Jiang Si. Melihat tidak ada reaksi darinya, dia pun berkata dengan tegas: "Paduka, tahukah Anda mengapa Fuqing bisa diselamatkan oleh dayang istana tepat waktu hari ini?" 　　"Hmm?" 　　"Ini semua berkat peringatan Permaisuri Yan!" 　　Wajah Kaisar Jingming berubah, matanya langsung tertuju pada Jiang Si. 　　Jiang Si sedikit menekuk lututnya, membenarkan pernyataan itu. 　　Kaisar Jingming menatapnya dengan sorot mata tajam: "Istri Lao Qi, sebenarnya apa yang terjadi?" 　　Permaisuri menyela: "Biarkan aku yang menjelaskan. Beberapa hari yang lalu Permaisuri Yan datang ke istana..." 　　Setelah mendengar penjelasan Permaisuri, Kaisar Jingming memandang Jiang Si dengan ekspresi kompleks: "Istri Lao Qi, apakah kau... pernah memimpikan pelaku kejahatan?" 　　“Menantu perempuan hanya bermimpi terpecah-pecah, saat bangun sudah lupa sebagian besar, hanya samar-samar ingat Putri terluka. Tentang cara jatuh dari podium tinggi sama sekali tak ada ingatan……” 　　Permaisuri mendengar, agak kecewa. 　　Kaisar Jingming tidak merasakan hal itu, berdesah: "Bisa bermimpi seperti ini sudah hal luar biasa." 　　Yu Jin berbicara tenang: "Ayah Kaisar benar. Jika A Si bahkan bisa memimpikan pelaku kejahatan Putri Ketigabelas, Tuan Zhen mungkin harus pulang menggarap sawah." 　　"Pendapatmu apa?" Kaisar Jingming bertanya. 　　Pelaku kejahatan terhadap Putri Fuqing jelas dari dalam istana, sulit memanggil Zhen Shicheng untuk menyelidiki. Kaisar Jingming masih menjaga muka. 　　Yu Jin terdiam sejenak, berkata: "Baru saja bertanya pada Ibu Suri dan dua adik, anak punya dugaan berani——" 　　"Katakan!" 　　"Tapi dugaan ini agak terlalu berani, anak takut Ayah dan Ibu Suri memarahi——" 　　"Katakan!" Kaisar Jingming melotot pada Yu Jin, membentak, "Saat begini masih berbelit-belit, kau kira Aku dan Permaisuri hanya bisa memaki saja?" 　　"Baik, anak berani mengatakan." Yu Jin mengusap ujung hidung, wajah serius: "Qingdai adalah dayang pengiring Putri Ketigabelas, dipilih langsung Ibu Suri. Latar belakang bersih tak perlu diragukan——" 　　"Maksudmu?" Permaisuri tak tahan menyela. 　　Suara Yu Jin menjadi dingin: "Maksudku tidak perlu menyelidiki masa lalu. Qingdai tiba-tiba bertindak seperti ini, selain kemungkinan gila membunuh majikan, hampir pasti baru-baru ini disuruh orang……" 　　“Belakangan ini?” Permaisuri mengulangi dua kata itu dengan suara berbisik. 　　“Ya, misalnya apakah ada perubahan dalam kehidupan sehari-hari Putri Ketigabelas dibanding sebelumnya?” 　　“Perubahan?” Permaisuri tertegun sebentar, “Fuqing memang menunjukkan banyak perubahan sejak matanya sembuh——” 　　Yu Jin menyela dengan datar, “Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Jika perubahan itu karena kesembuhan mata Putri Ketigabelas, berarti kejadiannya bukan di Festival Shangyuan tahun ini melainkan tahun lalu.” 　　Pada Festival Shangyuan tahun lalu, mata Putri Fuqing sudah sembuh total. 　　“Belakangan ini——” Wajah Permaisuri tiba-tiba berubah, “Belakangan ini Fuqing sering menemani Janda Permaisuri, apa mungkin ada masalah?” 　　Ekspresi Kaisar Jingming langsung berubah mendengar perkataan itu. Dengan kesal ia berkata, “Permaisuri, jangan berkhayal sembarangan!” 　　Permaisuri terdiam. 　　Khayalan apa yang dia buat? 　　Menyadari reaksinya yang berlebihan, Kaisar Jingming mengusap hidungnya lalu melototi Yu Jin, “Lanjutkan.” 　　Kok bisa nyeret-nyeret Istana Cining? Dasar anak tidak tahu diri. 　　Yu Jin menyembunyikan senyum sinisnya, “Setiap kali Putri Ketigabelas ke Istana Cining, dayang istana mana saja yang menemaninya?” 　　“Lao Qi!” Kaisar Jingming mulai kehilangan kesabaran melihat Yu Jin terus menyudutkan Istana Cining. 　　Yu Jin berpura-pura tidak mengerti, “Ayah Kaisar ada perintah?” 　　“Kau——” Kaisar Jingming tercekat oleh ekspresi polos yang ditunjukkannya. 　　Memang dia sendiri yang meminta pasangan Lao Qi masuk istana untuk menyelidiki kasus ini. Kini melarang mereka berbicara tentu tidak masuk akal. 　　“Lagipula, Lao Qi yang tahu betul betapa pentingnya Janda Permaisuri dalam hati hamba masih berani berkata demikian, membuktikan ketulusan hatinya yang murni tanpa niatan kotor.” 　　“Merenungkan hal ini, Kaisar Jingming tiba-tiba merasa terhibur, wajahnya berangsur-angsur mencair.” 　　Di sampingnya, Permaisuri yang melihat perubahan ekspresi Kaisar Jingming yang tak menentu, bergetar sudut bibir lalu berkata pada Yu Jin: “Setiap kali Fuqing mengunjungi (Istana Cining) bersama Si Empat Belas, mereka hanya membawa satu dayang pengiring agar tak mengganggu ketenangan Janda Permaisuri. Dayang yang dibawa Fuqing... tak lain adalah Qingdai.” 　　“Menyangkut putriku, meski melibatkan Janda Permaisuri, aku harus menjelaskan semuanya!” 　　“Hanya mereka yang bisa mendekati Qingdai dan menghasutnya untuk membahayakan putri mahkota, berani hamba tebak: orang itu pasti punya pengaruh besar, atau... statusnya sangat tinggi——” 　　“Kurang ajar! Kau mencurigai Janda Permaisuri?” Kaisar Jingming spontan berteriak, wajahnya memerah akibat Kemarahan Hebat. 　　Di seberang, Yu Jin terkejut: “Bagaimana Ayah Kaisar bisa mencurigai Nenek Kaisar? Dugaan hamba tentang kemungkinan adanya ‘Dayang Duo palsu’ di Istana Cining saja sudah sangat berani, apalagi menuduh Nenek Kaisar!” 　　Maaf membuat semua menunggu. Masih ada satu bagian lagi yang akan diupdate malam ini, bisa dibaca besok. 718.BAB 716 Benih Kecurigaan 　　BAB 716 Benih Kecurigaan 　　Kaisar Jingming membuka mulut lalu menutupnya kembali, tak tahu harus berkata apa. 　　Mengingat ucapan Lao Qi tadi, memang bukan bermaksud menuduh Janda Permaisuri. Mengapa pikiranku langsung melayang ke Ibu? 　　Sambil menyalahkan diri, di kedalaman hati Kaisar Jingming sebenarnya sudah mulai menyadari jawabannya. 　　Setelah kembali dari perjalanan ke selatan, Yu Jin menyerahkan orang yang melepaskan panah gelap untuk melukai Jiang Zhan kepada Kaisar Jingming untuk ditangani. Setelah beberapa hari ini, Jinlinwei sebenarnya telah menemukan beberapa hal. Prajurit bernama Huang Qi yang terlihat biasa ini ternyata memiliki hubungan kekerabatan yang tidak biasa. 　　Istri Huang Qi adalah sepupu jauh Permaisuri Qi, meskipun kemungkinan besar belum pernah bertemu dengan Permaisuri Qi sama sekali. Namun hubungan ini tetap menarik perhatian dalam penyelidikan. Selain itu, salah seorang temannya bekerja di Istana Qin Wang. Secara permukaan terlihat mereka sudah tidak berhubungan selama bertahun-tahun, namun keadaan sebenarnya masih perlu diselidiki lebih dalam. 　　Selain itu, kakak perempuannya menikah dengan seorang calon sarjana yang cukup berilmu. Suami kakaknya ini pernah menjadi guru di sekolah klan keluarga besar. 　　Klan keluarga besar tersebut adalah keluarga asal Janda Permaisuri. 　　Ketika Kaisar Jingming melihat informasi yang disampaikan oleh komandan Jinlinwei Han Ran, ia sangat terkejut. Tak disangka seorang prajurit biasa memiliki jaringan hubungan sosial yang begitu rumit. 　　Untungnya Han Ran menjelaskan bahwa di ibu kota, bahkan seorang pedagang keliling yang dipilih secara acak pun jika diselidiki lebih dalam mungkin memiliki hubungan dengan keluarga kerajaan. Penjelasan ini akhirnya menenangkan hati kaisar yang sedang gundah. 　　Walau begitu, fakta bahwa pelaku yang mencoba membunuh Jiang Zhan memiliki hubungan samar dengan Janda Permaisuri tetap meninggalkan jejak dalam pikiran Kaisar Jingming. Inilah yang membuatnya secara spontan menyebut Janda Permaisuri saat Yu Jin memberikan isyarat verbal. 　　Daripada marah karena dianggap Yu Jin berbicara sembarangan, Kaisar Jingming lebih merasa malu karena pikirannya sendiri yang mengembara ke arah yang tidak-tidak. 　　Bagaimana mungkin ia sampai mencurigai ibu kandungnya sendiri! 　　Dengan wajah masam, Kaisar Jingming melototi Yu Jin. 　　"Yu Jin tampak polos." 　　Ayah Kaisar sendiri yang berkata, jadi jangan salahkan orang lain. 　　"Katakan kesimpulanmu!" Kaisar Jingming mendesak dengan kesal, sudah berniat mengusir orang. 　　Yu Jin mengubah ekspresi menjadi serius: "Anak berani berspekulasi, di Istana Cining masih ada pengkhianat seperti Dayang Duo. Tapi siapa persisnya harus diselidiki Ayah, karena itu istana nenek Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis tanpa bicara. 　　Permaisuri telah berpikir seribu macam, wajahnya penuh kecemasan: "Yang Mulia, meski bukan untuk Fuqing, Baginda harus selidiki! Jika masih ada pengkhianat di Istana Cining, bukankah ibu suri dalam bahaya—" 　　Yu Jin mengangguk diam-diam. 　　Harus diakui, Permaisuri cukup cerdik. 　　Ucapannya ini pasti menanamkan kecurigaan terhadap ibu suri di hati Permaisuri. Tapi menyatakan kecurigaan langsung hanya akan membuat Ayah Kaisar jengkel. Dengan alasan mengkhawatirkan keselamatan ibu suri, sentimen bakti Ayah tidak akan tersinggung. 　　Bicara panjang hari ini jelas bukan karena Yu Jin kecanduan menyelidik, tapi untuk menanam benih kecurigaan terhadap ibu suri di hati Kaisar dan Permaisuri. 　　Wajar jika Kaisar Jingming sulit menerima saat ini. Tapi Permaisuri mungkin berbeda. 　　Jiang Si dan Yu Jin sekarang belum punya kesempatan menyelidiki ibu suri. Apapun peran ibu suri dalam insiden Putri Fuqing hari ini, menumbuhkan kecurigaan Permaisuri terhadapnya akan menguntungkan. 　　Siapa tahu Permaisuri akan mulai menyelidiki sendiri? 　　“Ada orang yang berniat mencelakai Putri Fuqing, ini bukan lagi hal yang bisa diatasi secara sembarangan.” Kaisar Jingming mengangguk halus pada Permaisuri, “Tenang, Aku akan menyelidiki sampai tuntas, pasti akan menemukan si pengacau yang membuat kekacauan ini.” 　　Pasti masih ada sisa pengikut Dayang Duo, terkutuklah orang-orang Wu Miao itu! 　　Kaisar Jingming merasa kegelisahan saat mengingat bagaimana Imam Suci Wu Miao muncul dan dengan mudah mengatasi masalah yang dia ciptakan untuk Suku Wu Miao. 　　Mengapa keluarga mereka selalu terhindar dari malapetaka, sedangkan di pihakku ulah aneh terus bermunculan? 　　Sambil berpikir demikian, Kaisar Jingming melirik Jiang Si, dalam hati bersyukur Istri Lao Qi terkadang mendapat pencerahan dari makhluk suci sehingga hasilnya tidak terlalu buruk. 　　Bagaimana jika sekarang Fuqing mengalami kecelakaan—Kaisar Jingming tidak berani melanjutkan pikirannya. 　　“Waktunya sudah larut, kalian berdua boleh pulang.” 　　Karena melibatkan Istana Cining, Kaisar Jingming tidak mungkin mengizinkan Yu Jin menyelidiki lagi, lalu mulai mengusir mereka. 　　“Anak lelaki (menantu perempuan) mohon pamit.” 　　Yu Jin menarik tangan Jiang Si berjalan beberapa langkah, tiba-tiba berhenti. 　　“Ada apa?” 　　“Ayah Kaisar, anak ingat sesuatu.” 　　“Katakan.” 　　“Orang yang anak bawa pulang sebelumnya, apakah sudah ada hasil penyelidikan?” 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi serius: “Masih dalam proses.” 　　Dasar kau, selalu menyentuh hal yang tidak perlu. 　　“Kalau begitu tidak ada hal lain, anak pamit.” 　　Setelah Yu Jin dan Jiang Si pergi, Kaisar Jingming menepuk tangan Permaisuri dengan menghibur: “Kau juga pulanglah untuk beristirahat.” 　　“Tanpa orang lain, Permaisuri pun terbuka, matanya memerah dan suaranya terisak, "Di mana saya bisa beristirahat, hanya dengan memikirkan betapa Fuqing hampir celaka hari ini, hati saya seperti jatuh ke lubang es." 　　Kaisar Jingming menghela napas, "Saya juga merasakan hal yang sama." 　　Permaisuri diam-diam meludah dalam hati. 　　Bagaimana mungkin perasaan Kaisar sama dengannya? Fuqing adalah kemaluan laki-laki baginya, tanpa Fuqing hidupnya tak berarti. Sedangkan Kaisar punya banyak anak, meski menyayangi Fuqing, itu terbatas. 　　"Mengapa nasib Fuqing begitu malang, berkali-kali diincar orang jahat? Kaisar, musibah Fuqing ini mungkin sengaja ditujukan padaku..." 　　"Permaisuri, jangan kau berandai-andai." 　　Permaisuri tersenyum getir, "Lalu mengapa dari sekian banyak putri di istana, hanya Fuqing yang terus mendapat celaka?" 　　Meski menganggap kekhawatiran Permaisuri ada benarnya, Kaisar Jingming lebih bingung, langsung berkata, "Jika Fuqing seorang pangeran masih masuk akal, tapi dia putri yang suatu hari akan menikah, apa untungnya membahayakan dia?" 　　Permaisuri justru fokus pada kata "menikah", matanya berbinar, "Kaisar, Fuqing sudah masuk usia pernikahan, lebih baik kita tetapkan perjodoannya sekarang. Mungkin setelah menikah dia bisa jauh dari orang jahat." 　　Kaisar Jingming menghapus harapannya dengan satu kalimat, "Jika pelakunya belum tertangkap, siapa tahu justru di luar istana akan lebih mudah mereka beraksi?" 　　Permaisuri terdiam. 　　Siapakah orang jahat yang mengincar Fuqing dari bayang-bayang ini? 　　Akankah——Janda Permaisuri? 　　Dia diam-diam menyimpan kecurigaan, hingga kembali ke Istana Kuning, keraguan semakin menjadi-jadi. 　　Saat Janda Permaisuri tiba-tiba mengusulkan Fuqing untuk menemani, hatinya sudah gelisah, kemudian mengira dirinya terlalu curiga. Tapi kini dipikir-pikir, mungkin hubungan batin antara ibu dan anak perempuan telah memberinya peringatan. 　　Bagaimana jika benar Janda Permaisuri? 　　Permaisuri mengambil cangkir teh dan menyesapnya, lalu meletakkannya kembali dengan lembut. 　　Jika benar Janda Permaisuri, apa Kaisar akan menghukumnya demi Fuqing meski terbukti bersalah? 　　Mustahil. Janda Permaisuri adalah ibu angkat Kaisar, pahlawannya yang mendudukkan Kaisar di kursi naga. Baik karena kebaktian maupun hutang budi, Kaisar takkan berbuat apa-apa terhadapnya demi seorang putri. 　　Jika dalangnya benar Janda Permaisuri, penderitaan Fuqing sia-sia belaka. 　　Permaisuri mengulurkan kedua tangan, menatapnya dengan pandangan menunduk. 　　Tangannya masih putih dan lembut, tangan bangsawan yang terlahir dalam kemewahan. 　　Dia Permaisuri, penguasa istana belakang, tapi ketika berhadapan dengan Janda Permaisuri yang dihormati Kaisar, statusnya tak berarti apa-apa. 　　Sebagai seorang ibu, bagaimana cara melindungi putrinya? 　　Sebuah pertanyaan samar muncul di benak Permaisuri, tapi belum jelas bentuknya. 　　Hari ini update malam karena ada urusan. Besok update tetap sore. 719. BAB 717 Permulaan Pikiran 　　BAB 717 Permulaan Pikiran 　　Keluar dari Istana Kekaisaran, malam indah menyambut dengan gemerlap lentera yang berkilauan di kejauhan. 　　“Pada hari-hari biasa, hanya di Sungai Jinshui yang dihiasi nyanyian dan tarian hingga subuh. Namun pada Festival Shangyuan, seluruh kota bersinar gemerlap bagai siang hari, menjadi hari rakyat ibu kota bersukaria.” 　　“Malam ini meski terjadi insiden di Gedung Xuande, takkan mempengaruhi rakyat yang sedang menikmati festival lentera dan teka-teki lentera, para pemuda-pemudi yang berjanji bertemu.” 　　“Yu Jin menarik tangan Jiang Si sambil bertanya, ‘Mau lanjut jalan-jalan?’” 　　“Jiang Si meliriknya heran, ‘Masih ada waktu untuk festival lentera? Pulang saja, A Huan mungkin belum tidur.’” 　　“Yu Jin menghela napas, ‘Teka-teki lentera itu belum terpecahkan.’” 　　“Jiang Si tersenyum manis, ‘Aku sudah tahu jawabannya.’” 　　“‘Apa?’” 　　“Saat insiden terjadi di Gedung Xuande, mereka sedang memecahkan teka-teki lentera dengan petunjuk ‘Tak takut menghadapi dinginnya tiga sembilan’. Yu Jin sampai garuk-garuk kepala berkali-kali tak ketemu jawaban.” 　　“Lentera kelinci giok itu memang indah. Bisa dibawa pulang jika teka-terka terpecahkan, cocok untuk menghibur istri maupun putri.” 　　“Tapi bakat Yu Jin lebih di bidang bela diri, sedikit kurang di studi akademik.” 　　“Katanya, ‘Kalau semua sempurna, bagaimana nasib orang lain? Harus kasih jalan hidup, contohnya Lambang Keberuntungan itu.’” 　　“Jiang Si menatap ke arah Jalan Kekaisaran, berbisik dua kata, ‘Rendong.’” 　　“Yu Jin tepuk tangan, ‘Tepat! Kenapa aku tak terpikir?’” 　　“Jiang Si meliriknya, ‘Seolah-olah nanti bisa mikir.’” 　　“Yu Jin tertegun, melirik ke kiri kanan dan melihat tak ada orang kecuali pengawal ibu kota yang berdiri kaku seperti patung di kejauhan, dengan cepat mencubit pipi Jiang Si sambil berpura-pura galak: "Katakan, apakah kau meremehkanku karena pendidikanku kurang?"” 　　“Jiang Si terkejut: "Kok bisa kau tahu?"” 　　“Keduanya tertawa sambil naik ke kereta kuda yang perlahan melaju menuju Kediaman Pangeran Yan.” 　　“Sesampainya di rumah, A Huan memang belum tidur. Melihat Jiang Si, si kecil langsung mengulurkan tangan minta digendong, dan akhirnya tertidur di pelukan ibu sambil mendengar nyanyian pengantar tidur.” 　　“Yu Jin berpikir dalam hati: Habis sudah, si kue ketan kecil tahun depan pasti tidak bisa dienyahkan lagi.” 　　“Setelah berbaring di kamar tidur, Yu Jin akhirnya mengutarakan keraguannya di istana: "A Si, benarkah kau bermimpi Putri Fuqing akan celaka malam ini?"” 　　“"Hanya bermimpi kecelakaan akan terjadi saat Festival Shangyuan, apakah malam ini atau bukan aku tidak tahu."” 　　“Yu Jin terdiam sejenak, lalu berkata: "Sebelumnya tidak pernah kau sebutkan."” 　　“"Ini hanya mimpi terpisah-pisah, mana kusangka akan benar-benar terjadi. Aku juga takut jika kau tahu sebelumnya akan menunjukkan keanehan dan membuat Ayah Kaisar curiga, jadi tidak kusampaikan." Jiang Si menjelaskan.” 　　“"Mimpi yang menjadi kenyataan, sungguh tak terbayangkan..." desah Yu Jin tanpa menggali lebih dalam.” 　　“Melihat Yu Jin hanya berkata begitu, Jiang Si malah merasa tidak nyaman: "A Jin, tidakkah kau merasa aneh?"” 　　“Yu Jin tersenyum tipis: "Tentu saja terasa ajaib, tapi hanya sampai di situ. Masa karena istriku bisa bermimpi indah, lalu hidup tidak berjalan seperti biasa?"” 　　“Mimpi indah?” Jiang Si terkejut, “Ini tidak bisa disebut mimpi indah, dalam mimpi tidak ada hal baik——” 　　Memori kehidupan sebelumnya itu mana ada yang baik, setiap peristiwa adalah sakit yang menusuk hati, penyesalan yang tak terhingga. 　　Yu Jin tersenyum: “Kau mendapat peringatan melalui mimpi sehingga bisa menghindari malapetaka, kalau bukan mimpi indah lalu apa? Orang lain iri sampai tidak bisa.” 　　A Si mungkin punya rahasianya sendiri, tapi itu tidak penting, yang penting adalah mimpinya menjadi kenyataan, berhasil memperistri A Si. 　　Mendengar perkataan Yu Jin, hati Jiang Si merasa lega, bibirnya melengkung dalam senyuman: “Kau selalu punya banyak alasan yang tidak masuk akal.” 　　Yu Jin menurunkan tirai brokat: “Insiden Putri Fuqing hari ini justru memberi kita kesempatan bagus.” 　　“Apa?” Jiang Si tidak segera mengerti. 　　Yu Jin memeluknya: “Masih ingat perkataanku? Cara termudah untuk menjadi Putra Mahkota adalah lewat Permaisuri, sekarang kesempatannya datang.” 　　“Coba jelaskan.” 　　Tirai brokat menghalangi cahaya bulan purnama yang menyelinap dari jendela, sekaligus meredam bisikan-bisikan di dalam tirai. 　　Dua hari berlalu, Permaisuri yang tidak mendapat perkembangan apapun dari Kaisar Jingming tentang insiden Yuanxiao Putri Fuqing, semakin gelisah. Terutama saat melihat putrinya tetap menemani Janda Permaisuri di Istana Cining setiap hari, bayangan ketakutan di hatinya semakin pekat. 　　Bagi Permaisuri, selama pelaku kejahatan yang ingin membunuh putrinya belum tertangkap, hatinya terus terasa tercekik setiap saat tanpa kelegaan. 　　Permaisuri hanya ditemani seorang dayang berjalan-jalan di taman, perlahan memasuki kedalaman hutan plum. 　　Bunga prem yang jatuh di tanah bertumpuk-tumpuk, membentuk permadani tipis yang membuat langkah kaki tak bersuara. 　　Permaisuri yang sedang dilanda pikiran berat, para dayang pun tak berani bernapas keras, hanya mengikuti dalam diam. 　　Suara berbisik terdengar dari balik rimbunan bunga dan pepohonan. 　　Langkah Permaisuri terhenti, secara refleks ia berhenti untuk menyimak. 　　"Dengar kabar? Insiden Qingdai jatuh dari menara saat Festival Shangyuan bukan kecelakaan, melainkan bunuh diri." 　　Terdengar teriakan kaget: "Bukankah dia dayang pribadi Putri Fuqing? Kenapa tiba-tiba bunuh diri?" 　　"Katanya dia mencoba mencelakai Putri Fuqing. Setelah gagal, langsung lompat dari menara..." 　　"Pantas saja semua pelayan yang melayani Putri Fuqing setelah Festival Shangyuan menghilang, ternyata karena ini." 　　Wajah Permaisuri tetap dingin, namun api kemarahan berkobar di matanya. 　　Masalah dengan dayang pribadi Putri Fuqing membuat Permaisuri tak bisa lengah. Hampir semua penghuni istana Putri Fuqing diganti, sebagian besar yang hilang kini sedang menjalani interogasi di penjara rahasia. 　　Kegaduhan ini menciptakan keresahan di seluruh istana. 　　Insiden yang menimpa Putri Fuqing saat Festival Shangyuan telah diketahui banyak dayang, mustahil disembunyikan. Yang membuat Permaisuri murka adalah masih ada yang berani membicarakan hal ini diam-diam - pelanggaran berat di istana. 　　Tapi di sisi lain, di mana ada orang pasti ada gosip. Mustahil menghentikan semua perbincangan. 　　Wajah Permaisuri berkerut, hendak mengeluarkan amarah. 　　Sebagai Permaisuri, mendengarkan kabar angin tak pantas bagi martabatnya. Tadi hanya karena kaget saja. 　　Tapi sebelum Permaisuri sempat bersuara, salah satu dari mereka berbicara lagi: “Tak disangka ada yang berani menyakiti putri mahkota. Untung Permaisuri sudah mengganti semua pelayan Putri Fuqing.” 　　Yang lain menghela napas: “Apa gunanya dilindungi Permaisuri? Nanti, susah untuk mengatakan…” 　　Wajah Permaisuri merah padam menahan amarah, melirik ke arah dayang. 　　Dayang itu paham maksudnya, langsung berteriak keras: “Siapa yang menggosip? Keluar sekarang!” 　　Ranting-ranting bergoyang, disusul derap kaki kecil yang berlari menjauh. 　　Dayang menerobos semak-semak, hanya melihat dua punggung yang panik berlari. 　　Permaisuri juga mendekat, wajahnya dingin membeku. 　　Pelarian itu memakai seragam dayang biasa, mustahil dilacak. 　　“Nyonya—” 　　Permaisuri mengibaskan lengan baju dan kembali ke istananya, dada sesak oleh amarah. 　　Putri Fuqing terus-terusan dalam bahaya. Tidak heran ada bisikan di istana. Lebih dari marah, Permaisuri merasa panik. 　　Dia khawatir: Saat dia tiada, siapa yang akan melindungi putrinya yang polos dan baik hati? 　　Pertanyaan yang tadi melintas di benaknya semakin jelas: Bagaimana jika dia punya anak lelaki? 　　Sebagai Permaisuri, dengan perhatian Kaisar pada garis keturunan resmi, anak lelakinya pasti jadi calon penguasa. Nanti saat memimpin kerajaan, pasti ada yang menjaga Fuqing. 　　Tahun baru segera tiba. Semoga tahun depan lancar selalu. 720.BAB 718 Aksi 　　BAB 718 Aksi 　　Permaisuri, begitu pertanyaan ini muncul di hatinya, bagai air pasang yang tak terbendung. 　　Memiliki seorang anak lelaki akan menghilangkan kekhawatiran di kemudian hari. 　　Saat ini, tanpa sadar ia teringat pada Nyonya Pengirim Anak, kemudian merasa geli dengan pikirannya yang absurd. 　　Sekalipun Nyonya Pengirim Anak paling sakti, di usianya yang sudah senja ini mana mungkin bisa hamil? 　　Sejak melahirkan Fuqing, tak ada tanda kehamilan lagi – murni masalah fisiknya sendiri. Perlu diketahui Kaisar adalah pria beretika, bertahun-tahun tak peduli betapa cantiknya peri-peri hutan muda di istana belakang, setidaknya setiap tanggal satu dan lima belas penanggalan lunar pasti bermalam di istananya. 　　Beberapa tahun sebelumnya masih ada hubungan suami istri, baru belakangan ini benar-benar hanya tidur. 　　Permaisuri merenungkan tahun-tahun bersama Kaisar Jingming, bukan tanpa penyesalan. 　　Kaisar begitu memperhatikannya, tapi ia hanya melahirkan Fuqing – mungkin inilah takdir. 　　Hati Permaisuri pelan-pelan mulai mendingin. 　　Tak bisa melahirkan, mana mungkin punya anak lelaki? Masakan dengan bersembahyang ke Buddha Pengirim Anak lalu tiba-tiba turun dari langit? 　　Turun dari langit – Permaisuri tiba-tiba tertegun, seolah mendapat pencerahan, jantungnya berdebar kencang. 　　Bukan tidak mungkin ada yang turun dari langit! 　　Ia tak punya putra, mengapa tidak mengangkat seorang pangeran sebagai anak angkat? 　　Benar! Gagasan ini sekalipun diketahui Janda Permaisuri takkan bisa ditentang, mengingat dulu Janda Permaisuri juga melakukan hal serupa. 　　Kaisar sendiri dulunya adalah anak angkat Janda Permaisuri, yang dari pangeran biasa kemudian menanjak hingga menduduki takhta. 　　“Setelah muncul pertanyaan ini, Sang Permaisuri tak bisa lagi menahan diri. Bisa dikatakan, percakapan dua dayang istana yang tak sengaja didengarnya hari ini telah membuka tabir rahasia, membuat pertanyaannya semakin jelas.” 　　“Permaisuri yang sehari-hari tampak tenang dan tak suka bersaing, ternyata sikapnya yang pasif itu hanya karena tak ada yang perlu diperebutkan. Kini setelah memiliki tekad, segalanya berbeda.” 　　“Tak menunggu hari kedua, ruang sembahyang kecil di Istana Kuning segera dibangun. Patung yang dipuja di dalamnya adalah Dewi Pelindung Kelahiran.” 　　“Kaisar Jingming selama dua hari ini merasa bersalah, sehingga sering berkunjung ke Istana Kuning.” 　　“Di mana Permaisuri?” Usai menyelesaikan urusan pemerintahan yang tertunda selama tahun baru, Kaisar Jingming tiba di Istana Kuning. Matanya menyapu ruangan kosong, lalu bertanya pada pelayan. 　　Dayang istana segera menjawab: “Hamba melapor, Nyonya sedang bersembahyang.” 　　“Bersembahyang?” Kaisar tertegun, “Di mana Permaisuri bersembahyang? Dewa apa yang dipuja?” 　　Dayang itu membungkuk: “Nyonya memerintahkan pembuatan ruang sembahyang kecil... sepertinya... untuk Dewi Pelindung Kelahiran...” 　　Kaisar mengira salah dengar: “Antarkan Aku ke tempat Permaisuri.” 　　Dengan hormat dayang itu memimpin Kaisar menuju ruang sembahyang. 　　Ruang sembahyang kecil itu terletak di aula samping, tempat yang sunyi. 　　Di ambang pintu, Kaisar mencium aroma harum kayu cendana. 　　Ia tak masuk, hanya menunggu di luar. 　　Sekitar seperempat jam kemudian, Permaisuri keluar. Melihat Kaisar, ia terkejut lalu cepat-cepat memberi hormat. 　　“Kaisar Jingming mengulurkan tangan untuk menopang Permaisuri, penasaran: ‘Dengar dari dayang, kau sedang sembahyang ke Buddha?’” 　　“Hm.” 　　“Dewa mana yang disembah?” Meski sudah tahu jawabannya dari dayang, Kaisar Jingming masih sulit percaya. 　　Permaisuri menjawab lugas: “Dewi Pemberi Anak.” 　　“Batuk-batuk——” Suara batuk terdengar menyekat, membuat mata Kaisar berkaca-kaca, baru reda setelah beberapa saat, “Bukannya dulu tak mau sembahyang, kenapa sekarang berubah pikiran?” 　　Permaisuri menunduk, wajahnya kemerahan: “Setelah kupikir-pikir, ucapan Kaisar ada benarnya. Sering sembahyang, meski tak bisa minta yang lain, bukankah masih bisa minta anak——” 　　“Batuk! Batuk!” Batuk Kaisar semakin menjadi, hampir tersedak. 　　Sungguh bukan maksudnya menyuruh Permaisuri meminta anak. Sudah tua dan beristri lama, meski Permaisuri masih berminat, dirinya sudah tak sanggup—— 　　Tidak, tak boleh membiarkan Permaisuri berkhayal siang bolong. 　　“Permaisuri, menurutku meminta yang lain masih bisa, tapi meminta anak bukankah terlalu memaksa Dewa?” 　　Wajah Permaisuri muram: “Kaisar maksudku sudah mandul?” 　　Saat berkata ini, bulu mata Permaisuri bergetar, sebaris air mata jatuh. 　　Kaisar Jingming langsung membeku. 　　Merengek, mengamuk, mengancam gantung diri – ini bukan gaya Permaisuri. 　　Tapi ingat nasib Putri Fuqing, rasa bersalah Kaisar muncul: Rupanya Permaisuri terluka oleh kasus Fuqing. Lebih baik jangan memancingnya. 　　“Sebagai Kaisar, pengalaman saya menghibur wanita tidak banyak,” Kaisar Jingming berkata dengan kaku, “Saya tidak bermaksud begitu. Permaisuri boleh saja menyembali Dewi Pengirim Anak, siapa tahu ketulusan hati akan membuahkan hasil.” 　　Permaisuri menghentikan tangisnya, menyeka sudut mata dengan saputangan, lalu tersenyum cerah. “Saya juga berpikir begitu.” 　　Istana Kuning sudah tidak nyaman lagi. Kaisar Jingming mencari alasan untuk segera kabur. 　　Beberapa hari berikutnya ia tidak berani mendekati Istana Kuning, sampai Permaisuri mengirim utusan untuk menjemput. 　　Tentu saja Kaisar Jingming tidak menolak undangan Permaisuri. Ia menduga setelah beberapa hari ini Permaisuri yang biasanya tenang dan anggun pasti sudah pulih perasaannya, lalu berjalan santai menuju Istana Kuning. 　　Permaisuri masih berada di ruang sembahyang kecil. 　　Dengan sabar Kaisar Jingming menunggu, dan tidak lama kemudian Permaisuri keluar. 　　Kaisar dan Permaisuri duduk, memegang teh hangat sambil mulai mengobrol. 　　“Paduka, apakah orang di balik layar yang membahayakan Fuqing sudah ditemukan?” 　　Kaisar Jingming tercekat, mengusap hidungnya. 　　Masih bisakkah Permaisuri mengobrol normal? Seandainya ada perkembangan, bukankah sudah lama ia kabarkan? Sampai-sampai harus menghindari tangisan Permaisuri selama beberapa hari? 　　Jujur saja, ini semua karena rasa bersalah. 　　Setelah keheningan sesaat, Kaisar Jingming tersenyum kecut. “Masih dalam penyelidikan, Permaisuri jangan terlalu gelisah.” 　　Permaisuri menghela napas lembut. “Seandainya yang dalam bahaya adalah saya, tentu tidak pantas mendesak Paduka. Tapi yang menjadi korban adalah Fuqing. Beberapa hari ini setiap kali saya pejamkan mata, bayangan malam Festival Shangyuan itu langsung muncul, sama sekali tidak bisa tidur...” 　　"Hidung Kaisar Jingming dipenuhi aroma kayu cendana samar yang berasal dari Permaisuri, seolah berada di ruang sembahyang. Tanpa berpikir panjang, ia menghibur: 'Jika Nyonya merasa tak tenang, tirulah Istri Lao Qi yang rajin sembahyang ke Buddha.'" 　　Menyembah Buddha untuk mencari hati tenang akan menghentikan pikiran liar, begitulah kebiasaan kebanyakan perempuan. 　　Saat Kaisar Jingming sedang berpikir, ia melihat raut ragu muncul di wajah Permaisuri. 　　"Ada apa?" 　　Permaisuri menunduk memandangi kukunya yang dipotong rapi, berbisik pelan: "Jujur pada Kaisar, semalam hamba bermimpi-" 　　Kelopak mata Kaisar Jingming tiba-tiba berkedut, dorongan kuat untuk segera pergi menguasainya. 　　Melihat Kaisar tak menyahut, Permaisuri menatapnya. 　　Akhirnya Kaisar bertanya: "Mimpi apa yang Permaisuri alami?" 　　Senyum tipis mengembang di wajah Permaisuri: "Ajaib sekali, Dewi Kesuburan datang dalam mimpi memberi petunjuk." 　　"Petunjuk?" 　　"Benar. Mungkin kasihan melihat penderitaanku tak punya anak bertahun-tahun. Dewi itu berkata mengasuh anak sama berharganya dengan melahirkan, mengangkat anak pun tak masalah." 　　Kaisar Jingming tertegun, lama baru bisa bicara: "Permaisuri, maksudmu-" 　　Senyum Permaisuri semakin lebar: "Mukjizat Dewi Kesuburan telah menunjukkanku jalan. Bagaimana jika kita mengangkat seorang pangeran sebagai putra mahkota?" 　　Kaisar Jingming: "..." 　　Pasti hantu yang menghasutnya waktu itu mengajak Permaisuri sembahyang. Masih bisakah ia merobohkan ruang sembahyang kecil itu sekarang? 　　Terima kasih atas hadiah dan vote, sampai jumpa tahun depan, jangan lupa gunakan suara bulanan kalian agar tidak hangus. Sayang kalian semua. 721. BAB 719 Janji 　　BAB 719 Janji 　　Membongkar ruang sembahyang jelas sudah terlambat, Kaisar Jingming pun tidak berani mengatakannya. 　　Urusan yang diusulkan sendiri, menyesal pun harus diterima, ini namanya akibat perbuatan sendiri. 　　Permaisuri melihat wajah Kaisar Jingming yang membeku, dengan penuh pengertian memberi waktu pada sang kaisar tua untuk menenangkan diri sebelum bertanya: "Bagaimana pendapat Kaisar?" 　　"Aku——" Kaisar Jingming menggerakkan bibirnya, sesaat tak tahu harus berkata apa. 　　Permaisuri tiba-tiba mengusulkan hal ini, sama sekali tidak ada persiapannya. 　　Di bawah tatapan penuh harap Permaisuri, Kaisar Jingming hanya bisa terkekeh kaku: "Jujur saja, aku belum siap——" 　　Permaisuri tersenyum kecut: "Para pangeran sudah ada, tak perlu saya lahirkan, tak perlu Kaisar besarkan, persiapan apa lagi yang diperlukan?" 　　Kaisar Jingming: "..." Sejak kapan Permaisuri bisa berbicara begitu meyakinkan? 　　Setelah terkejut, ia sadar: Permaisuri serius! 　　Permaisuri bersungguh-sungguh, dan sudah mengusulkannya, Kaisar Jingming pun harus mempertimbangkan dengan serius. 　　Setelah lama merenung, Kaisar Jingming menghela nafas: "Permaisuri, kau selalu bijaksana, pasti tahu ini bukan hal sepele——" 　　Permaisuri menunduk, sudut bibirnya menggantung senyum pahit: "Selir tidak ingin Putri Fuqing setelah menikah hanya menghadapi kekosongan tanpa anak yang menghibur, apalagi membayangkan setelah kita tiada nanti Fuqing tak ada yang merawat——" 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis memotong: "Fuqing adalah putri mahkota, mana mungkin tak ada yang merawat? Permaisuri terlalu khawatir." 　　Permaisuri tersenyum pahit pada dirinya sendiri: "Kaisar, saat ini Fuqing yang berada di sisi kita masih terus dijebak, bagaimana kita bisa tahu nasibnya di kemudian hari?" 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak. 　　Permaisuri tak lagi mendesak, hanya diam-diam matanya memerah sambil menoleh ke luar. 　　Tumbuhan di halaman mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dalam beberapa waktu lagi semuanya akan tumbuh subur. 　　Tapi di hati Permaisuri, yang ada hanyalah kegersangan. 　　Ia hanya memiliki satu putri yaitu Fuqing. Fuqing adalah nyawanya. Siapapun yang mengincar nyawanya, ia akan bertarung habis-habisan! 　　Mau Kaisar setuju atau tidak, meski ikatan pernikahan selama bertahun-tahun terkikis oleh permintaan ini, ia tak peduli lagi. 　　Kaisar Jingming merasa sedih melihat Permaisuri diam dengan mata memerah. 　　Terhadap Permaisuri, ia tak memiliki cinta romantis. Bisa dikatakan cinta tulusnya telah diberikan kepada Permaisuri Pertama, sementara gairah selanjutnya diberikan pada selir-selir muda yang lebih cantik. 　　Di masa muda, Permaisuri adalah pendamping yang bijak yang mengurus istana belakang. Kini di masa tua, ia adalah teman seumur hidup. 　　Tak ada cinta romantis bukan berarti tak ada ikatan. Apalagi setelah bertahun-tahun hidup nyaman bersama, posisi Permaisuri di hati Kaisar Jingming tentu tidak ringan. 　　Yang lebih penting, ini sepertinya pertama kalinya Permaisuri mengajukan permintaan padanya selama bertahun-tahun. 　　Kaisar Jingming terdiam lama, masih ragu-ragu. 　　Mencatat pangeran di bawah nama Permaisuri, implikasinya ia lebih paham daripada siapapun. 　　Permaisuri juga terdiam lama, tekadnya sudah bulat. 　　Sejak mulut ini sudah terbuka, tak ada alasan untuk mundur lagi. 　　Waktu berlahan berlalu, dayang yang diusir oleh Kaisar dan Permaisuri ke luar sesekali melirik pintu rumah yang terkunci. Berdasarkan pengalaman, mereka tahu teh di dalam pasti sudah lama dingin, tapi tak berani mengambil inisiatif masuk untuk menggantinya. 　　Tentang apa yang dibicarakan Kaisar dan Permaisuri, sudah pasti bukan hal yang berani ditebak oleh hamba rendahan seperti mereka. 　　Meski belum masuk bulan kedua, cuaca masih dingin. Namun di dalam ruangan terasa panas. Baik Kaisar Jingming maupun Permaisuri, dalam suasana yang membeku ini, keringat mulai mengucap di ujung hidung. 　　Alhasil, suasana pun terasa semakin mencekam. 　　Yang akhirnya memecahkan kebekuan adalah Kaisar Jingming. 　　Ia menghela napas panjang, lalu berkata perlahan: "Keinginan Permaisuri untuk memiliki anak penghibur di usia senja memang wajar. Aku... menyetujuinya..." 　　Mungkin karena terlalu lama diam, ekspresi Permaisuri tetap tak berubah saat mendengar ucapan Kaisar Jingming. Namun di dalam hati, gelegak sukacita tak terbendung. 　　Di balik kegembiraan itu, ada pula kesedihan yang menyelimuti. 　　Di situasi non-formal, Kaisar selalu menyebut diri dengan "saya". Tapi tadi, Beliau menggunakan sebutan "Aku". 　　Perbedaan halus ini tentu dipahami oleh Permaisuri yang bijaksana. 　　Tapi ia tak menyesal. 　　Untuk mendapatkan sesuatu, harus ada yang dikorbankan. Sudah kodratnya sulit menemukan hal yang sempurna di dunia ini. Keserakahan berlebihan hanya akan mendatangkan malapetaka. 　　Sedikit kesedihan itu langsung menguap di hadapan terkabulnya harapan. Permaisuri tersenyum tulus: "Terima kasih, Kaisar." 　　"Antara pasangan suami istri tak perlu mengucapkan terima kasih." Kaisar Jingming merasa agak rumit, tak ada lagi hasrat untuk melanjutkan obrolan. "Permaisuri boleh beristirahat. Masih ada urusan yang harus Kuperhatikan." 　　"Semoga Kaisar berjalan dengan hati-hati." 　　Kaisar Jingming mengangguk sembarangan, tangan terkepal di belakang berjalan ke pintu, tiba-tiba berbalik kembali. 　　Permaisuri terkejut, kewaspadaan melintas sekilas di matanya. 　　Jangan-jangan Kaisar mau mengingkari janji? 　　Tentu saja tidak mungkin mengingkari, Kaisar Jingming belum punya muka setebal itu. Ia teringat satu hal penting: "Sudahkah Permaisuri mempertimbangkan pangeran mana yang akan diangkat sebagai anak?" 　　Permaisuri sudah lama memikirkan hal ini. Mendengar pertanyaan Kaisar Jingming, ia menjawab tanpa menunjukkan ekspresi: "Tadi malam Buddha masuk mimpi memberi petunjuk, hatiku penuh sukacita hanya berpikir punya anak lelaki sudah berkah terbesar. Belum terpikir pangeran mana yang cocok." 　　Sambil berkata demikian, Permaisuri menekuk lututnya: "Lagipula, masalah sebesar ini mana bisa ditentukan oleh selir sendiri. Pangeran mana yang diangkat semuanya tergantung kehendak Kaisar." 　　Permaisuri paham prinsip "berlebihan justru merusak". Meminta anak lelaki dewasa sudah keterlaluan. Dulu ketika Janda Permaisuri mengadopsi Kaisar, usia Kaisar masih muda. Berbeda dengan sekarang jika mengangkat pangeran yang langsung bisa dimanfaatkan... 　　Karena itu, meski dalam hati sudah ada calon, tidak boleh diucapkan langsung darinya. 　　Pangeran yang diangkat oleh Permaisuri jelas menjadi kandidat terkuat penerus takhta. Jika sampai menunjuk langsung, dikhawatirkan ada tuduhan campur tangan istana belakang dalam politik yang justru kontraproduktif. 　　Kalau ditanya apakah Permaisuri punya calon? Tentu ada. 　　Setelah merenung beberapa hari, calon yang dipilihnya tepatlah Pangeran Ketujuh Yan Wang. 　　"Pangeran yang ibunya menjabat sebagai kepala istana sama sekali tidak masuk pertimbangan, seperti Pangeran Keempat Qi Wang, Pangeran Kelima Lu Wang, dan Pangeran Keenam Shu Wang." 　　"Dengan demikian, yang tersisa hanyalah Pangeran Ketujuh Yan Wang dan Pangeran Kedelapan Xiang Wang." 　　"Ibu kandung Pangeran Xiang berasal dari keluarga rendahan. Permaisuri yang selama ini menjadi penonton pasif, melihat kedekatan Pangeran Xiang dengan Pangeran Qi, otomatis kehilangan simpati." 　　"Dekat dengan Pangeran Qi, apakah ini tanda mengharapkan kenaikan pamor jika Pangeran Qi berkuasa? Jika Pangeran Qi naik takhta, Ibu Suri Xian pasti jumawa. Lantas apakah sang Permaisuri harus mengalah?" 　　"Pangeran Yan berbeda." 　　"Meski Pangeran Yan adalah anak kandung Ibu Suri Xian, hubungan ibu-anak mereka renggang. Kabar perseteruan mereka bahkan beredar beberapa waktu lalu, jadi tidak perlu khawatir." 　　"Permaisuri bahkan penasaran ingin melihat reaksi Ibu Suri Xian ketika mengetahui Pangeran Yan mengakui dirinya sebagai ibu." 　　"Dia mendapat imbalan memadai sekaligus menekan selir yang ambisius. Ini benar-benar sempurna." 　　"Lagipula, di antara semua pangeran, Permaisuri memang paling menyukai Pangeran Yan. Apalagi Permaisuri Yan yang sudah dua kali menyelamatkan putrinya." 　　"‘Mengingat Permaisuri belum menemukan kandidat yang cocok, izinkan saya merenungkan hal ini. Sebelum keputusan final, jangan bocorkan pada siapapun.’" 　　"Permaisuri tersenyum, ‘Kaisar tenang, urusan sebesar ini tentu tidak akan saya sebarkan.’" 　　"Kaisar Jingming mengangguk lesu. Langkahnya berat meninggalkan Istana Kuning. Sesampainya di Aula Yangxindian, ia terduduk lemas di dipan sambil termenung." 　　Terima kasih kepada Feng Zhi Dian dan Meilingsu, dua Shū Yǒu yang menjadi ketua aliansi untuk Seperti Kembang. Tambahan bab akan diupdate setelah acara tahunan. Terima kasih untuk semua yang memberi Hadiah dan vote. Mohon dukungan suara bulanan awal bulan untuk membantu Xiao Qi cepat naik jabatan dan gaji. 722. BAB 720 Kandidat 　　BAB 720 Kandidat 　　Ditiup angin dingin sepanjang jalan, Kaisar Jingming yang kembali ke Aula Yangxindian menjadi sadar kembali. Ia menyesali keputusan gegabahnya di Istana Kuning. 　　Tapi sabda emas Putra Langit tak bisa ditarik kembali. Meski menyesal, pertimbangan tetap harus dilakukan. 　　Kaisar Jingming mulai menganalisis dari Pangeran Pertama Qin Wang. 　　Qin Wang adalah anak angkatnya. Sebagai manusia biasa yang punya kepentingan pribadi, dengan banyak anak kandung, tentu tak pernah terpikir menyerahkan takhta ke anak angkat. 　　Tapi Qin Wang tetap menyandang status "putra tertua". Mempertahankan status quo masih bisa, namun jika dimasukkan ke nama Permaisuri sebagai "putra mahkota", itu sama saja mencari masalah. 　　Qin Wang sama sekali tak bisa dipertimbangkan. 　　Selanjutnya Putra Keempat Pangeran Qi, Lao Si adalah anak Ibu Suri Xian. Menyerahkannya ke Permaisuri jelas tak pantas. 　　Untuk Lao Wu - bayangkan temperamen Ning Fei, Kaisar Jingming menggeleng diam-diam. 　　Jika benar Lao Wu diberikan ke Permaisuri, bagaimana jika Ning Fei yang sedang emosi memukul Kaisar? Malu luar biasa! 　　Putra Keenam adalah anak Zhuangfei. Meski Zhuangfei lembut dan tenang, pasti akan meronta jika satu-satunya anak diambil. Kaisar takut dipermalukan pukulan selir atau kesal dengan tangisan mereka. 　　Dengan demikian, Lao Wu dan Putra Keenam juga tidak perlu dipertimbangkan. 　　Dengan begitu yang tersisa hanyalah Pangeran Ketujuh Yan Wang dan Pangeran Kedelapan Xiang Wang. 　　Yang pertama terlintas di benak Kaisar Jingming adalah Pangeran Xiang. 　　Ibu kandung Lao Ba, Selir Li, berasal dari keluarga rendah. Meski diberikan kepada Permaisuri, pasti dia tidak berani mengeluh apalagi menangis, sehingga mengurangi banyak masalah. 　　Jika dipikir-pikir, Lao Ba cukup cocok. 　　Sang kaisar tua sama sekali tidak merasa malu karena memilih yang lemah untuk diintimidasi, sambil mengangguk-angguk membayangkan Pangeran Kedelapan Xiang Wang. 　　Namun ini urusan besar, tentu tidak bisa langsung diputuskan begitu saja. Maka Kaisar Jingming mulai mempertimbangkan Yu Jin. 　　Lao Qi adalah anak Ibu Suri Xian. Faktor ini bisa diabaikan, mengingat sikap Ibu Suri Xian terhadapnya. Kehilangan satu anak lelaki seperti ini pasti tidak akan membuatnya sedih. 　　Lao Qi juga bisa masuk pertimbangan. 　　Kaisar Jingming masih meragukan Yu Jin. 　　Segi-segi Lao Qi semuanya bagus, tapi karena dibesarkan di luar istana sejak kecil, sifatnya terkesan terlalu liar. Selalu ada kekhawatiran si anak ini akan terus-menerus membuat masalah. 　　Jika dibandingkan, Pangeran Xiang lebih sesuai dengan harapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming duduk termenung selama setengah hari. Hingga sidang pagi keesokan harinya, hatinya masih kacau. 　　Antara Lao Qi dan Lao Ba, mana yang harus dipilih? 　　Para menteri melihat Kaisar hari ini sering melamun. Suasana seperti pasar yang biasanya terjadi saat mereka berdebat hingga merah wajah dan leher tegang tidak terlihat. Sidang pun bubar dengan lancar. 　　Melihat hal ini, Kaisar Jingming bahkan mulai berpikir: "Bagaimana jika aku sering memasang wajah dingin dan melamun agar suasana lebih tenang?" 　　"Tentu saja sekarang dia ingin ketenangan tidak mungkin didapat. Masalah yang diangkat Permaisuri bagai batu raksasa menindih hati. Selama satu hari belum diputuskan, selama itu pula tak bisa tenang." 　　Setelah lama merenung, Kaisar Jingming menyuruh Pan Hai memanggil Yu Jin dan Pangeran Xiang ke istana. 　　Beberapa kediaman pangeran berdekatan. Keduanya tiba di istana hampir bersamaan, bertemu di pintu gerbang ibu kota. 　　"Kakak Ketujuh, kebetulan sekali." Pangeran Xiang yang mendukung Pangeran Qi tentu tak punya simpati pada Yu Jin. Nada bicaranya datar tanpa kehangatan. 　　Menurutnya, seorang pangeran yang tak pernah mendapat pendidikan kerajaan seharusnya merunduk. Tapi Lao Qi malah sering menantang tanpa dihukum, malah kini lebih termasyhur darinya. 　　Memikirkan ini, meski tanpa alasan lain, Pangeran Xiang tetap tak bisa menerima Yu Jin. 　　Yu Jin mengangguk anggun: "Memang kebetulan." 　　Sudut bibir Pangeran Xiang bergetar. Dia menyesal mulutnya lancang. 　　Seharusnya tak perlu menyapa duluan. Anak liar ini malah bersikap angkuh dihadapannya. 　　Akhirnya percakapan mandeg. Mereka diantar kasim menghadap Kaisar Jingming. 　　Sambil memberi salut, Pangeran Xiang diam-diam terkejut: Permaisuri ternyata juga ada. 　　Sebagai pangeran, memberi salam pada Permaisuri di hari raya wajar. Tapi hari biasa biasanya mereka hanya mengunjungi ibu selir. Tak ada alasan menemui Permaisuri. 　　Ada apa hari ini? 　　Dibanding kebingungan Pangeran Xiang, Yu Jin jauh lebih mengerti situasi. 　　"Tampaknya rencananya berhasil, Permaisuri tidak hanya tertarik, tapi juga sudah membuka kartu di depan Ayah Kaisar." 　　Yu Jin merasa tidak salah memilih orang. 　　Permaisuri yang biasanya terkesan toleran dan tak suka bersaing, sebenarnya lembut di luar tapi tegas di dalam. Begitu mengambil keputusan, langsung memutus masalah seketika tanpa basa-basi. 　　Jika rencana ini sukses, bekerja sama dengan "sekutu" seperti ini sungguh menyenangkan. 　　Yu Jin melihat ini dengan jernih. Jelas tak mungkin ada ikatan ibu-anak mesra antara dirinya dengan Permaisuri, hubungan mereka murni kerja sama. 　　Tapi hubungan berbasis kepentingan pun tak masalah. 　　Sebagai orang yang menepati janji, meski tak bisa menganggap Permaisuri sebagai ibu kandung, Yu Jin akan memberikan penghormatan layak dan merawat Putri Fuqing dengan baik selama Permaisuri membantunya sekarang. 　　Yu Jin sangat puas dengan Permaisuri, tapi tidak begitu dengan Kaisar Jingming. 　　Huh, Kaisar memilih-milih, malah masih mempertimbangkan Lao Ba? Bukankah seharusnya aku satu-satunya kandidat? 　　Memikirkan ini, Yu Jin mendadak kesal dan bergumam dalam hati bahwa Kaisar Jingming tak punya selera. 　　"Lao Qi, sedang memikirkan apa?" Melihat Yu Jin yang diam seribu bahasa, hanya Pangeran Xiang yang asyik bercanda di dekatnya, Kaisar Jingming tak tahan bertanya. 　　Hari ini sengaja memanggil Lao Qi dan Lao Ba masuk istana, sekaligus mengundang Permaisuri, demi mengamati lebih seksama. 　　Meski dalam hati Kaisar Jingming lebih condong ke Pangeran Xiang, melihat keluguan Yu Jin yang bahkan tak bisa berbasa-basi, timbul perasaan mengasihani besi yang tak menjadi baja. 　　Dasar anak bodoh, tak sadarkah hari ini sangat krusial? Bodoh sampai segitunya, sungguh membuat orang khawatir. 　　“Terlintas pertanyaan ini, melihat Pangeran Xiang yang tersenyum ceria, Kaisar Jingming tiba-tiba merasa sedikit jijik.” 　　“Sebenarnya, dengan status seperti kita, lebih pantas bersikap tenang.” 　　“Ditanya oleh Kaisar Jingming, Yu Jin menjawab: ‘Putra sedang memikirkan keadaan Putri Ketigabelas.’” 　　“Mendengar ini, Kaisar Jingming masih biasa saja, namun Permaisuri langsung merasa haru.” 　　“Yang tersisa adalah Pangeran Yan!” 　　“Sejak awal dia sudah condong ke Pangeran Yan, hanya ragu dengan pemikiran Kaisar sehingga tidak berani terlalu terbuka. Bahkan berpikir jika Kaisar memilih Pangeran Xiang, dia akan mengalah. Bagaimanapun, ibu kandung Pangeran Xiang berasal dari keluarga rendah. Jika kelak Pangeran Xiang naik ke posisi itu, dia tidak takir Permaisuri Li akan membuat masalah di hadapannya.” 　　“Tapi sekarang, Permaisuri bertekad bulat: Dia harus menjadikan Pangeran Yan sebagai anaknya!” 　　“Insiden Putri Fuqing di Xuande Lou, meski para pangeran tidak tahu saat itu, seharusnya sudah sampai ke telinga mereka setelah sekian lama. Tapi Pangeran Xiang hanya bicara hal-hal menyenangkan, tak menyebut satu huruf pun tentang Fuqing.” 　　“Masih bisakah dia berharap kakak seperti ini akan benar-benar melindungi Fuqing di masa depan?” 　　“Lihat Pangeran Yan, sejak masuk hampir tidak bicara. Begitu buka mulut langsung tanya tentang Fuqing, jelas dia terus memikirkan siapa yang hendak menyakiti Fuqing.” 　　“Setelah berbincang beberapa saat, dengan Pangeran Xiang yang masih bingung, keduanya diusir dari istana.” 　　“‘Permaisuri punya pendapat apa?’” 　　“Kemarin Permaisuri tidak berani bicara apa-apa, hari ini berbeda.” 　　“Karena Kaisar sudah memanggilnya untuk menemui dua pangeran, sedikit menyampaikan pendapat tidaklah berlebihan.” 　　“Saya tidak punya pemikiran apa-apa, hanya merasa Pangeran Yan sangat memperhatikan Fuqing.” 　　Dia hanyalah seorang ibu yang sepenuhnya memikirkan putrinya. 　　Kaisar Jingming memandang dengan tatapan dalam, perlahan berkata: "Aku akan memikirkannya lagi." 723.BAB 721 Keraguan 　　BAB 721 Keraguan 　　Kaisar Jingming ingin memikirkannya lagi, Permaisuri dengan bijak tidak melanjutkan pembicaraan. 　　Terlalu berlebihan juga tidak baik. 　　Meski perkataannya halus, tapi sudah menunjukkan sikapnya. Kaisar pasti bisa menangkap maksudnya. 　　Jika diteruskan akan menjadi terlalu gamblang. Tidaklah bijak untuk memperjelas masalah saat Kaisar belum bulat tekadnya. 　　Permaisuri memutuskan untuk menunggu dan melihat. 　　Urusan pengakuan anak sebesar ini, pasti Kaisar akan memberitahukan keputusannya padanya. Jika yang dipilih Pangeran Yan tentu semua senang, tapi kalau Xiang Wang... Saat itu dia harus berani menentang. 　　Kali ini giliran Permaisuri yang meninggalkan Aula Yangxindian dengan perasaan gelisah yang tak terucapkan. 　　Kaisar Jingming berdiri dan berjalan mondar-mandir di aula sebanyak dua putaran. 　　Pan Hai berdiri di sudut, sangat rendah profil. 　　Tak terasa berapa lama, Kaisar Jingming bersabda: "Pan Hai, temani Aku jalan-jalan." 　　Pan Hai segera menyahut dan buru-buru mengikuti. 　　Sinar matahari di luar aula sangat cerah, tapi tak meringankan suasana hati Kaisar tua ini. 　　Tanpa sadar Kaisar Jingming berjalan ke kedalaman istana belakang, bertemu Putri Fuqing dan Si Empat Belas yang baru keluar dari Istana Cining. 　　"Menghadap Ayah Kaisar." Kedua putri bersama-sama memberikan salut kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming berkata lembut: "Bangunlah semua." 　　Beliau mengamati kedua putrinya dengan pandangan penuh kelembutan. 　　Hanya beberapa hari menjelang Festival Shangyuan, baik Putri Fuqing maupun Putri ke-14 terlihat jelas semakin kurus. 　　Berbeda dengan putri kesayangannya yang biasa tampil tanpa riasan, dengan pengalaman malang selama puluhan tahun, Kaisar Jingming nyaris bisa mengenali bedak yang dipakai Putri Fuqing hari ini. 　　Riasan itu jelas digunakan untuk menutupi penampilan yang lesu. 　　Kaisar Jingming tak bisa menahan rasa sedih. 　　Putrinya ini terlalu banyak mengalami kemalangan, mutiara yang seharusnya disayang di telapak tangan, tapi berulang kali menjadi korban konspirasi. 　　Ini adalah kelalaiannya, baik sebagai kaisar maupun sebagai ayah. 　　Diamnya Kaisar Jingming membuat Putri ke-14 gelisah, tapi karena kebiasaannya yang hati-hati, ia tak berani bicara banyak. 　　Putri Fuqing justru mengumpulkan semangat, tersenyum riang: "Ayah Kaisar sedang jalan-jalan? Perlukah Putri menemani?" 　　Rasa bersalah Kaisar Jingming semakin bertambah. 　　Fuqing ini, meskipun ketakutan, sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya agar tidak membuat senior khawatir. 　　Watak seperti ini, jika tak ada yang melindungi—Kaisar Jingming teringat perkataan Permaisuri. 　　Tanpa sadar menggeleng, Kaisar Jingming tersenyum: "Tak perlu, kalian cepatlah kembali beristirahat." 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 saling pandang, lalu sedikit berjongkok: "Putri pamit undur diri." 　　Memandang punggung kedua putri yang pergi, Kaisar Jingming menghela napas nyaris tak terdengar sebelum menarik kembali pandangannya, tak lagi berminat jalan-jalan. 　　Kembali ke Aula Yangxindian, hawa hangat dalam aula justru membuat Kaisar Jingming merasa tak nyaman. 　　Sebaiknya pemanas bawah tanah dan brazier disingkirkan, panasnya membuat orang kesal. 　　Duduk tergopoh-gopok, meneguk secangkir teh panas yang disajikan Pan Hai, Kaisar Jingming tiba-tiba bersuara: "Pan Hai——" 　　"Hamba di sini." 　　Kaisar Jingming menatapnya dengan sikap santai: "Menurutmu bagaimana hubungan terbaik antara ibu dan anak?" 　　"Ha?" Wajah Pan Hai terlihat bengong. 　　Kelakuan aneh Kaisar selama dua hari ini diamati Pan Hai, membuatnya hanya ingin bersikap rendah hati. 　　Wajah Kaisar Jingming berubah serius: "Katakan saja apa yang kau pikirkan." 　　Masalah sebesar ini, mungkinkah dia membuat keputusan berdasarkan perkataan seorang kasim? Tentu tidak, tapi tidak ada salahnya mendengar. 　　Pan Hai dalam hati mengeluh, namun tak berani mengabaikan pertanyaan Kaisar. Setelah berpikir ia menjawab: "Hamba tidak banyak membaca buku, tidak paham teori-teori rumit, hanya bisa bicara ngawur——" 　　Kaisar Jingming mengangkat kelopak matanya meliriknya, dalam hati menggerutu omongannya terlalu banyak, lalu bersuara kesal: "Bicaralah." 　　"Hamba hanya berpikir tentang ibu yang penyayang dan anak yang berbakti." 　　Kaisar Jingming menunggu beberapa saat, tak kunjung mendengar lanjutan, lalu mengangkat alis: "Hanya itu?" 　　Pan Hai tersenyum polos: "Hanya itu." 　　Pandangan Kaisar Jingming turun, melayang di area sensitif sang kasim tua. 　　Pan Hai seketika merasakan niat jahat sang Kaisar. 　　Dia hanya menjawab singkat saja, perlu segitunya reaksi Sang Kaisar... 　　Putra Langit yang agung sampai menghina diam-diam seorang kasim tua, tega sekali! 　　Saat ini, Tuan Pengawas Dongchang Paman Pan sangat ingin mengusap air mata dengan lengan baju. 　　Kaisar Jingming secara diam-diam mengecam orang kepercayaan lamanya, lalu melambaikan tangan. "Mundurlah, Aku ingin sendirian." 　　Tak lama kemudian, aula itu hanya tersisa sang kaisar seorang diri. 　　Ia menatap kosong ke arah teh yang masih beriak di depannya. 　　Ibu yang penyayang dan anak yang berbakti, pemikiran yang sangat sederhana. 　　Permaisuri menyukai Pangeran Ketujuh. Jika Lao Qi dijadikan anak angkatnya, mungkin tujuan itu bisa tercapai. 　　Antara Pangeran Ketujuh dan Kedelapan, sebenarnya tak ada beda signifikan. Jika keduanya bisa bahagia, mengapa tidak? 　　Keraguan Kaisar Jingming terletak pada konsekuensi pengangkatan anak: sang pangeran akan langsung memiliki kualifikasi sebagai calon penguasa, padahal sebelumnya Pangeran Ke-7 dan 8 tak pernah dipertimbangkan. 　　Bagi sang kaisar, preferensi permaisuri, pendapat orang lain, bahkan favorit pribadinya tak penting. Yang utama adalah kualifikasi calon penguasa. 　　Merenungkan hal ini, Kaisar Jingming semakin mengesampingkan Pangeran Qi dkk. 　　Meski para menteri belum mulai bersuara, sang kaisar tahu: dukungan terbanyak mengarah ke putra keempat Pangeran Qi, lalu putra keenam Pangeran Shu. Pengangkatan salah satunya sebagai anak permaisuri akan mengunci suksesi. 　　Namun Kaisar Jingming enggan menetapkan putra mahkota terlalu dini. 　　Belajar dari pelalaman pemecatan dan pengangkatan ulang putra mahkota, keputusan tergesa-gesa harus dihindari. Sang kaisar tak mau lagi dikendalikan para menteri. Dengan mengangkat pangeran tanpa basis kekuatan sebagai anak permaisuri, para menteri yang terburu-buru berpihak akan dihambat. 　　“Ini juga alasan terpenting mengapa Kaisar Jingming langsung mengangguk tanpa ragu lama setelah Permaisuri mengajukan permintaan untuk memiliki seorang putra sulung.” 　　Lao Qi atau Lao Ba? 　　Kaisar Jingming menyeruput teh dari cangkirnya. Bayangan Permaisuri, Putri Fuqing, Ibu Suri Xian, dan banyak orang lainnya bahkan termasuk Pan Hai melintas di pikirannya. Timbangan perlahan condong ke arah Yu Jin, namun ia masih belum bisa sepenuhnya memutuskan. 　　Sang Kaisar tua yang lama melamun membuka mulut dan meludahkan daun teh yang sudah dikunyahnya. 　　Pahit sekali! 　　Yu Jin dan Pangeran Xiang meninggalkan istana bersama-sama. 　　Pangeran Xiang pergi dengan segudang pertanyaan. Melirik Yu Jin yang tampak tenang, ia tak tahan bertanya: "Kakak Ketujuh, menurutmu apa maksud Ayah Kaisar memanggil kita ke istana?" 　　Yu Jin menjawab singkat: "Tidak tahu." 　　Pangeran Xiang tercekat. Melihat sekeliling tak ada orang, ia berbisik: "Kau tidak penasaran?" 　　"Tidak penasaran." Yu Jin tersenyum ramah. 　　Ia sudah tahu segalanya, untuk apa penasaran? 　　Percakapan pun mentok. Pangeran Xiang mengatupkan bibirnya dan bersikap hormat: "Kakak Ketujuh, adik pamit dulu." 　　Sudut bibir Yu Jin naik: "Musim semi tiba. Mungkin Ayah ingin memilihkan permaisuri untuk Adik Kedelapan." 　　Pangeran Xiang tertegun, wajahnya langsung gugup. 　　Memilih permaisuri? Trauma pernikahannya dengan Cui Mingyue masih belum hilang. Ia tidak mau menikah lagi! 　　Setelah kepanikan, Pangeran Xiang menemukan celah: "Tidak masuk akal, kalau tujuannya memilih selir, kenapa masih memanggil 'Kakak Ketujuh'?" 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Di antara saudara, usia kita hampir sebaya. Sedangkan aku dan istrimu hidup rukun, penuh kasih. Mungkin Ayah Kaisar ingin aku memberi contoh baik untuk Adik Kedelapan." 　　Pangeran Xiang: "..." Benarkah? 　　Jujur saja, di Wuhan yang menghangatkan diri hanya dengan menggigil, mengetik terlalu menyiksa. 724. BAB 722 Keputusan 　　BAB 722 Keputusan 　　"Kakak Ketujuh tidak sedang bercanda, kan?" 　　Yu Jin mengangkat alis: "Kenapa, apakah Adik Kedelapan merasa masih ada saudara lain yang lebih mesra daripada aku dengan istrimu?" 　　Pangeran Xiang spontan menggelengkan kepala. 　　Tentu saja tidak. 　　Jangankan Kakak Keempat yang sibuk tidur dengan selir untuk segera punya anak lelaki, Kakak Kelima yang kerap dikejar-kejar istri dengan pisau dapur, atau Kakak Keenam yang hubungannya dingin dengan istrinya. 　　Kakak ketiga yang dikirim menjaga makam kekaisaran memang rukun dengan istrinya, tapi jarang ada yang seberani Lao Qi ini. Di depan orang asing saja hampir tak bisa melepaskan istri ketujuh dari pinggangnya. 　　Kalau soal keharmonisan Lao Qi dengan istrinya, ini memang bisa dipercaya. 　　“Bukankah begitu. Adik Kedelapan juga sudah dewasa, sampai sekarang masih sendiri. Ayah Kaisar memanggil kita ke Istana agar Adik Kedelapan paham bahwa di dunia ini banyak pasangan suami istri yang harmonis, tidak semua seperti Nona pertama Keluarga Cui yang tidak hanya memberi tudung hijau pada tunangannya lebih awal, tapi juga membunuh pria yang pernah mesra bersamanya di malam pengantin lalu kabur——” 　　Begitu Yu Jin menyebut Cui Mingyue, wajah Pangeran Xiang langsung menghijau. 　　Memberi tudung hijau pada tunangan lebih awal——apakah tunangan yang dimaksud adalah dirinya? 　　Amarah belum sempat meluap, langsung tertahan oleh kalimat selanjutnya: Benarkah Lao Qi bilang Zhu Ziyu dibunuh Cui Mingyue? 　　Cui Mingyue kabur dari pernikahan, dibawa kembali ke Istana Pangeran Xiang oleh budak bodoh yang dikirimnya untuk mengawasi, terpaksa dia membunuh untuk menghilangkan jejak mayat. Setelah dipikir-pikir, kalau Cui Mingyue bisa kabur sedangkan Zhu Ziyu mati, siapa lagi pelakunya selain dia? 　　Hati wanita paling beracun! 　　Yang membuat Pangeran Xiang kaget adalah bagaimana Yu Jin bisa tahu semua ini. 　　"Kenapa wajah Adik Kedelapan begitu pucat?" tanya Yu Jin dengan wajah penuh perhatian. 　　Bibir Pangeran Xiang terasa kering: "Kakak Ketujuh jangan sembarangan bicara." 　　Yu Jin mengejek: "Sembarangan? Adik memang terlalu naif, sampai tidak mendengar kabar angin itu." 　　"Kabar angin apa?" Pangeran Xiang tak kuasa bertanya, mengabaikan komentar tentang kenaïfannya. 　　Dia senang orang mengira dirinya naif, agar tidak mengaitkan hilangnya Cui Mingyue dengan dirinya. 　　“Pandangan Yu Jin yang tidak sengaja menunjukkan tentang Pangeran Xiang membuat Pangeran Xiang merasa tenang, tanpa sadar timbul keinginan untuk melanjutkan percakapan.” 　　“Katanya Zhu Ziyu dibunuh oleh Nona pertama Keluarga Cui, juga mengatakan Adik Kedelapan beruntung bisa menghindari malapetaka...” 　　Wajah Pangeran Xiang semakin menghijau. 　　Sebenarnya kalau dipikir-pikir, nasibnya memang masih lumayan. Andai saat itu pernikahan benar-benar terlaksana dengan lancar, mungkin suatu hari dialah yang akan jadi korban pembunuhan. 　　Tapi ini namanya nasib apaan? Dia tiba-tiba dikaitkan dengan wanita beracun dan ** ini, mau protes ke mana? 　　Suara Yu Jin yang penuh penyesalan kembali terdengar: "Sekarang baru sadar, pepatah tua memang benar: Menggambar orang mudah menggoreskan kulit, sulit menggambarkan tulang. Mengenal wajah mudah, mengetahui hati sulit. Biasanya Nona pertama Cui terlihat anggun dan berbudi, siapa sangka bisa melakukan hal-hal mengejutkan seperti ini. Benar kan, Adik Kedelapan?" 　　Wajah Pangeran Xiang sudah berubah dari hijau ke biru, sangat muram. 　　Yu Jin menepuk bahu Pangeran Xiang dengan penuh simpati, menghibur: "Adik Kedelapan harus melihat ke depan. Jangan seperti digigit ular lalu takut pada tali sumur. Mungkin Ayah Kaisar akan memilihkan gadis lembut dan baik hati yang bahkan tidak tega menginjak semut untukmu." 　　Setelah menghibur, Yu Jin pergi dengan langkah tegap, meninggalkan Pangeran Xiang yang termenung. 　　Gadis berbudi? Siapa yang bisa jamin soal mengandalkan keberuntungan seperti ini? Bagaimana jika Ayah Kaisar memilihkan Cui Mingyue lainnya untuknya? 　　Begitu dipikirkan, Pangeran Xiang merasa matanya berkunang-kunang. Dalam keputusasaan, diam-diam ia memaki Yu Jin: Lao Qi ini bukan menghibur, tapi sepenuhnya pamer! 　　Hmph, apa dia pikir aku tidak dengar? Sebenarnya Lao Qi sudah lama menaruh hati pada istri ketujuh, saling memahami latar belakang, baru bisa harmonis seperti sekarang. 　　Saling memahami latar belakang——Pangeran Xiang teringat sesuatu, mengepal tangan dengan kencang. 　　Tidak bisa, aku tidak bisa diam menunggu Ayah Kaisar menetapkan perjodohan sembarangan. 　　Bukan aku tidak mau menikah, tapi tidak boleh buta sama sekali. Hanya dengan memahami latar belakang pihak perempuan baru ada jaminan! 　　Pangeran Xiang ragu sejenak, akhirnya mengambil keputusan. Ia berbalik arah menuju pintu gerbang istana. 　　Hingga bayangan Pangeran Xiang lenyap di gerbang istana, baru terlihat separuh keperawanan pria muda dari kejauhan. 　　Yu Jin terkekik kecil. 　　Sudah kubantu Permaisuri sampai tahap ini, Ayah Kaisar malah punya dua kandidat. Apa aku ini orang tolol yang bekerja untuk kepentingan orang lain? 　　Meski 90% yakin akan menang hari ini, tapi 10% risiko sisanya tidak mau kuminum. Makanya ada percakapan tadi dengan Pangeran Xiang. 　　Kalau bukan karena sifat Yu Jin, mana mungkin dia mau bicara panjang lebar dengan Pangeran Xiang. 　　Yu Jin dengan acuh menarik kembali pandangannya, lalu berpaling pergi. 　　Lao Ba memang terlalu "polos", baru dengar beberapa kalimat sudah langsung masuk istana cari Kaisar. Heh, orang tolol yang gampang dibodohi begini kok masih dipertimbangkan Ayah Kaisar, apa matanya buta? 　　Yu Jin sekali lagi mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap selera buruk Kaisar Jingming dalam hati, lalu pulang ke rumah keluarga untuk menemani istrinya. 　　Kaisar Jingming sedang meremas-remas rambutnya dalam kebingungan ketika mendengar laporan pelayan istana bahwa Pangeran Xiang meminta audiensi. 　　Mengapa Lao Ba pergi lalu kembali lagi? 　　Pada momen sensitif seperti ini, Kaisar Jingming tertegun sejenak sebelum memerintahkan pelayan untuk mempersilakan Pangeran Xiang masuk. 　　"Anak lelaki memberi salut pada Ayah Kaisar." Begitu masuk, Pangeran Xiang langsung memberikan penghormatan besar. 　　Kaisar Jingming tak bisa menahan kerutan di dahinya: "Apa maksudmu ini?" 　　Tawaran kebaikan tanpa alasan pasti ada udang di balik batu. Meski ungkapan ini kurang pantas untuk anak sendiri, tapi Lao Ba yang pergi lalu kembali lagi dengan penghormatan besar pasti punya maksud tertentu. 　　Hiss-- Jangan-jangan anak ini sudah mendengar kabar angin? 　　Begitu pikiran ini muncul, wajah Kaisar Jingming langsung muram. 　　Pangeran Xiang bangkit berdiri, melirik wajah Kaisar Jingming, dan dorongan semangatnya tadi langsung redup setengahnya. 　　Ayah Kaisar terlihat sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Apakah terlalu terburu-buru jika dia kembali sekarang untuk mengutarakan maksudnya? 　　Sambil berpikir demikian, Pangeran Xiang mulai ragu-ragu. 　　"Lao Ba, apa sebenarnya urusanmu?" Wajah Kaisar Jingming sudah kembali tenang, tapi matanya menyiratkan keingintahuan. 　　Pangeran Xiang gemetar dalam hati, bicaranya jadi gagap: "Anak... anak bermimpi--" 　　Kaisar Jingming membelalakkan mata: "Apa?" 　　Akhir-akhir ini mimpi jadi tren ya? 　　Yang pertama dia percaya, yang kedua dia percaya lagi, yang ketiga masih mau percaya? 　　Ternyata benar Lao Ba yang pergi lalu kembali lagi pasti membawa masalah. 　　“Apa yang kau mimpi?” tanya Kaisar Jingming dengan suara berat. 　　Perkataan Yu Jin sebelumnya telah membangkitkan kembali bayangan kelam yang dibawa Cui Mingyue kepada Pangeran Xiang, membuat pangeran itu dengan nekat berkata: “Bermimpi Dewa Perjodohan mengatakan anak lelaki ini tidak boleh menikah dalam tiga tahun——” 　　“Jadi?” 　　Di bawah tatapan tajam Kaisar Jingming, Pangeran Xiang menahan gugup: “Sebenarnya anak juga merasa mimpi ini agak konyol, tapi berpikir lebih baik percaya daripada tidak, maka datang melapor pada Ayah Kaisar.” 　　Kaisar Jingming terdiam lama, lalu mengangguk perlahan: “Baik, Aku sudah tahu.” 　　Pangeran Xiang tertegun. 　　Apakah Ayah Kaisar begitu mudah menyetujui? Kenapa merasa ada yang tidak beres... 　　Hingga Pangeran Xiang kembali ke Istana Pangeran Xiang dengan kepala masih berkunang-kunang, perasaan tidak nyaman tetap menyelimuti meski tak tahu letak keanehannya. 　　Bukankah tujuannya sudah tercapai? Seharusnya perasaan gembira yang muncul. 　　Sementara Kaisar Jingming tak lama setelah kepergian Pangeran Xiang, menaruh cangkir teh di meja dengan mantap, akhirnya mengambil keputusan. 　　Pangeran ketujuh saja. 　　Saat udara terlalu dingin, AC sama sekali tidak mempan, akhirnya selesai juga ditulis, sampai jumpa besok. 725. BAB 723 Kepala Kantor Urusan Kerajaan 　　BAB 723 Kepala Kantor Urusan Kerajaan 　　Meski hati Kaisar Jingming mulai condong pada Yu Jin, sebelumnya masih ragu-ragu. Kepulangan Pangeran Xiang akhirnya memicunya mengambil keputusan. 　　Tentang mimpi Jiang Si akan kecelakaan Putri Fuqing di Festival Shangyuan, Kaisar Jingming mempercayainya karena ada bukti fakta yang terjadi kemudian. 　　Ketika Permaisuri mengusulkan untuk mencatat seorang pangeran sebagai anaknya dengan alasan mendapat pencerahan dari Buddha dalam mimpi, Kaisar Jingming mulai meragukan kebenarannya. 　　Buddha bisa masuk mimpi Permaisuri? Setelah bertahun-tahun sebagai suami istri, dia tahu Permaisuri sama sekali bukan tipe yang bisa menarik perhatian Buddha! 　　Ketika kemudian Pangeran Xiang beralasan mimpi untuk menolak pernikahan, Kaisar Jingming bahkan tidak bisa dipercaya—beruntung dia tidak melempar pemberat kertas giok putih yang sudah beberapa kali digantikan itu ke wajah sang pangeran. 　　Jika semua orang mulai mengajukan permintaan tak masuk akal dengan dalih mimpi, bagaimana mungkin dia tetap menjadi Kaisar? 　　Lao Ba benar-benar hebat, berani menipu dengan alasan tidak mau menikah! Pantaskah anak yang menganggap ayahnya bodoh seperti ini diberikan ke Permaisuri? Tentu tidak! 　　Kaisar Jingming membuat keputusan dan bergegas menuju Istana Kuning. 　　Permaisuri yang baru kembali ke Istana Kuning masih gelisah meski ditemani Putri Fuqing dan Putri ke-14 yang datang dari Istana Cining. 　　Akankah Kaisar memilih Pangeran Yan? 　　Meski dia telah menyampaikan keinginannya secara halus, dalam urusan penting seperti ini Kaisar pasti punya pertimbangan sendiri. 　　Jika Kaisar akhirnya memilih Pangeran Xiang, bagaimana dia harus memperjuangkannya? 　　Sebagai istri Kaisar, statusnya berbeda dengan selir-selir, tapi berseteru dengan Kaisar jelas tidak akan menyenangkan. 　　Namun beberapa hal bisa ditolerir, sementara lainnya harus diperjuangkan—seperti urusan pencatatan pangeran sebagai anak ini. 　　Kelainan Permaisuri tertangkap mata Putri Fuqing, dia berbisik pelan: "Ibu, apakah Ibu masih mengkhawatirkan saya?" 　　Permaisuri menyembunyikan perasaannya, tersenyum halus pada Putri Fuqing: "Beberapa hari ini kalian berdua tampak kurus." 　　Putri Fuqing menggigit bibirnya: "Putri telah merepotkan Ibu. Mulai sekarang saya dan Adik ke-14 tidak akan sembarangan keluar istana lagi, setiap hari hanya berada di istana, di tempat Ibu atau Nenek Kaisar, jadi Ibu tak perlu terus memikirkan hal ini—" 　　Permaisuri menepuk-nepuk tangan Putri Fuqing dengan lembut: "Dasar anak bodoh." 　　Justru karena putrinya harus pergi ke Istana Cining, sementara dia sebagai Permaisuri pun tidak bisa menghalangi, maka kekhawatiran itu muncul. 　　Apakah insiden Festival Shangyuan ada hubungannya dengan Janda Permaisuri? 　　Sementara Permaisuri tengah memikirkan hal ini, tiba-tiba dayang istana melapor: "Yang Mulia Kaisar tiba—" 　　Permaisuri dan kedua putri segera berdiri menyambut, namun Kaisar Jingming sudah melangkah masuk dengan langkah lebar. 　　Setelah membebaskan mereka dari salut, Kaisar Jingming memandangi kedua putrinya sambil tersenyum: "Rupanya kalian berdua ada di sini bersama Permaisuri." 　　Putri Fuqing tersenyum sambil menggigit bibir: "Andai tahu Ayah Kaisar akan datang, pasti tadi kami ikut bersama." 　　Melihat Permaisuri tampak bingung, Kaisar Jingming menjelaskan sambil tertawa: "Baru saja saya jalan-jalan di luar, kebetulan bertemu kedua si gadis ini." 　　Permaisuri tahu kedatangan Kaisar Jingming saat ini pasti terkait urusan pencatatan nama pangeran, namun di hadapan Putri Fuqing dan Putri ke-14 sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda, hanya mengobrol santai sebentar sebelum berkata: "Fuqing, Si Empat Belas, kalian boleh kembali." 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 serentak membungkuk lutut, lalu mundur keluar. 　　Permaisuri mengusap-usap cangkir teh, tanpa sadar merapatkan jari-jarinya, namun wajahnya tetap tenang. 　　Di hadapan penguasa negara, kegelisahan hanya boleh disimpan dalam hati. Terlalu menunjukkan keinginan justru bisa berakibat sebaliknya. 　　Kaisar Jingming menyeruput tehnya lalu berkata, "Aku sudah memutuskan, Lao Qi akan dicatat di bawah namamu." 　　Permaisuri menghela nafas lega, tersenyum tulus: "Terima kasih, Kaisar." 　　Memandang senyuman Permaisuri, sudut bibir Kaisar Jingming sedikit terangkat: "Tampaknya Permaisuri puas dengan keputusanku." 　　Permaisuri segera memberi hormat pada Kaisar: "Siapapun pangeran yang Kaisar catat di bawah namaku akan kuterima, tapi tentu lebih baik Pangeran Yan." 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming justru tersenyum: "Permaisuri yakin Lao Qi bisa merawat Fuqing dengan baik?" 　　Permaisuri terdiam sejenak: "Sebagai wanita, pandanganku tak sejauh Kaisar. Tapi menurutku, pria yang baik pada istrinya pasti baik pada keluarganya." 　　Lihatlah Pangeran Qi. Katanya harmonis dengan Permaisuri Qi, tapi selir-selirnya hampir memenuhi istana. Saat Permaisuri Qi bermasalah, dia malah tenang-tenang saja. 　　Bukannya tenang, lebih tepatnya tidak berperasaan. 　　Meski Permaisuri Qi bersalah, jika dia benar-benar peduli, takkan bersikap begitu. 　　Pada istri sendiri saja begitu, apalagi pada orang lain. 　　Kaisar Jingming tertawa mendengar ucapan Permaisuri. 　　Permaisuri memang punya selera yang bagus, dia juga baik kepada istrinya. 　　Kaisar Jingming yang telah membuat keputusan merasa lega, sementara Permaisuri yang keinginannya terkabul pun semakin gembira. 　　Dua orang yang sedang bahagia berkumpul tentu berbincang dengan lancar. Kaisar Jingming duduk cukup lama sebelum akhirnya pergi. 　　Setelah keluar dari Istana Kuning, Kaisar Jingming menengadah melihat langit. 　　Langit tinggi menjulang, awan putih berkelompok. 　　Kembali ke ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming memerintahkan Pan Hai: "Panggil Kepala Kantor Urusan Kerajaan." 　　Dinasti Zhou mendirikan Biro Urusan Kerajaan yang khusus menangani urusan keluarga kerajaan, termasuk tugas menulis dan menyempurnakan silsilah kaisar. 　　Urusan Permaisuri yang ingin mengangkat seorang pangeran sebagai anaknya adalah masalah penting, harus didiskusikan dengan Kepala Kantor Urusan Kerajaan. 　　Tak lama kemudian, Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua itu masuk tergopoh-gopoh dan memberi salam pada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming segera berkata: "Paman Wang tak perlu banyak tata krama, silakan duduk." 　　Jabatan Kepala Kantor Urusan Kerajaan selalu dipegang oleh pangeran kerajaan. Yang sekarang sudah sangat tua, merupakan sepupu ayah Kaisar Jingming. 　　Pan Hai segera mengambilkan bangku kecil dan meletakkannya di samping Kepala Kantor Urusan Kerajaan, lalu membantunya duduk. 　　Melihat pangeran tua yang bertubuh besar itu duduk susah payah di bangku kecil, Kaisar Jingming melirik Pan Hai. 　　Bagaimana bisa menyuruh pangeran tua duduk di bangku kecil? Bagaimana jika jatuh? 　　Pan Hai penuh ketidakpuasan di hati. 　　Bukankah di hadapan kaisar semua orang harus duduk di bangku kecil? Kecuali Permaisuri, siapa yang berani seenaknya duduk di kursi goyang? 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan tidak mempermasalahkan ini, bertanya: "Apa urusan Kaisar memanggil hamba tua ke istana?" 　　Kaisar Jingming memberi isyarat pada Pan Hai untuk menjaga di samping Kepala Kantor Urusan Kerajaan, lalu tersenyum tipis: "Ada satu hal yang ingin Kubicarakan dengan Paman Wang." 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua itu segera duduk tegak, menyiapkan postur mendengar dengan saksama. 　　Kaisar Jingming melirik tak kasat mata ke arah Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua yang gemuk besar itu yang masih bertahan, tanpa sadar merasa khawatir. Setelah ragu sejenak, beliau berkata: "Aku ingin mencatat Pangeran Yan di bawah nama Permaisuri——" 　　Sebelum kalimat selesai, Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua itu terhuyung jatuh dari bangku kecilnya. Untung Pan Hai gesit menangkap sehingga tidak terjadi kecelakaan. 　　Kaisar Jingming tak kuasa bangkit berdiri, wajah penuh perhatian: "Paman Wang tidak apa-apa?" 　　Ekspresi Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua itu berkerut, napasnya tersengal-sengal, sama sekali mengabaikan insiden hampir terjatuh tadi, tergesa-gesa berkata: "Paduka, pencatatan pangeran di bawah nama Permaisuri adalah urusan besar, Paduka harus berpikir tiga kali!" 　　Kaisar Jingming tidak lagi menawarkan kursi, tersenyum dingin: "Paman Wang tenang saja, Aku sudah berpikir tiga kali." 　　"Sudahkah Paduka memanggil enam kementerian dan sembilan menteri untuk bermusyawarah?" 　　Senyum Kaisar Jingming semakin pudar: "Ini urusan rumah tangga, cukup dibicarakan dengan Paman Wang." 　　Suara bulanan masih dalam periode double, jika tertinggal sekarang akan sulit mengejar. Mohon dukungan vote semua! 726.BAB 724: Dia Benar-Benar Bodoh 　　BAB 724: Dia Benar-Benar Bodoh 　　Kaisar Jingming memanggil Kepala Kantor Urusan Kerajaan ke istana bukan untuk berdiskusi, hanya pemberitahuan. Tak disangka di usianya yang sudah senja, pejabat ini masih belum mengerti etiket, membuat Sang Kaisar agak kecewa. 　　"Bagaimana bisa, Permaisuri, pangeran, dan Putri sudah membuatnya pusing, dia juga harus menuruti Paman Kaisar yang tua?" 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua jelas tidak menyadari kemarahan Kaisar, bersikeras: ", Putra Langit tidak memiliki urusan rumah tangga!" 　　Kaisar Jingming menarik senyumnya, berkata datar: "Jika Putra Langit tidak punya urusan domestik, buat apa ada enam kementerian? Lantas untuk apa Biro Urusan Kerajaan?" 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua tercekat, seketika kehilangan kata-kata. 　　Jika dia terus berbicara, bukankah itu sama saja menghapuskan Biro Urusan Kerajaan? Ini sangat mengerikan—— 　　"Tapi ... Bagaimana tiba-tiba memikirkan hal ini?" Setelah ragu sejenak, Kepala Kantor tua bertanya dengan enggan. 　　Apakah dia sebagai Kepala Kantor Urusan Kerajaan hanya hiasan, harus menuruti semua permintaan tidak masuk akal Kaisar? 　　Padahal di zaman almarhum Kaisar, Kepala Kantor Urusan Kerajaan bisa mengadu ke kuil leluhur... 　　Semakin dipikir, semakin tidak adil perasaan Kepala Kantor tua. 　　Kaisar Jingming mengangkat kelopak matanya: "Perkataan Paman Wang ini menyakiti hati Aku. Apakah di mata Paman, Aku orang yang bertindak semaunya tanpa pertimbangan?" 　　Sudut bibir Kepala Kantor tua berkedut. Ingin menjawab "Benar!", tapi tentu tidak berani. Akhirnya berbohong: " jelas bukan tipe seperti itu." 　　Kaisar Jingming berpura-pura lega: "Paman memang yang paling memahami Aku. Keputusan ini sudah Aku pertimbangkan matang-matang..." 　　Di samping, Pan Hai diam-diam menatap bulan. 　　Rupanya 'pertimbangan matang' digunakan seperti ini. 　　"Tapi ——" 　　Kaisar Jingming dengan tenang memotong ucapan Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua: "Apakah Paman Wang menentang Permaisuri memiliki anak lelaki sendiri?" 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua langsung tercekat. 　　Perlu diketahui bahwa Kaisar sendiri dahulu diangkat sebagai anak oleh Janda Permaisuri. Kini jika dia terang-terangan menentang pencatatan seorang pangeran di bawah nama Permaisuri, mustahil Kaisar akan senang. 　　Orang tua yang bijak tentu tak akan bersikap kaku. Seseorang yang mampu bertahan lama di posisi Kepala Kantor Urusan Kerajaan pasti bukan tipe yang terlalu keras kepala. 　　Setelah tenang, Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua menyadari tekad Kaisar Jingming sudah bulat, tak mungkin diubah. 　　Kalau begitu, buat apa dia menentang dan mencari masalah sendiri? 　　Saat Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua diam, Kaisar Jingming berkata dengan suara datar: "Pertemuan hari ini membuatku melihat kaki Paman Wang tak lagi lincah. Jika urusan Biro Urusan Kerajaan terlalu menyibukkan, serahkan saja pada pemuda. Menjaga kesehatan itu yang terpenting..." 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua gemetar: Kaisar sedang mengancamnya! 　　Rupanya jika dia tetap menentang, posisi Kepala Kantor Urusan Kerajaan akan jatuh ke tangan orang lain. 　　Kehilangan jabatan Kepala Kantor Urusan Kerajaan merupakan kerugian besar. 　　Anggota keluarga kerajaan sangat banyak. Tak semua bangsawan hidup mewah - banyak yang merosot dan kesulitan. Pemegang jabatan ini tentu akan membawa keuntungan tak terhingga bagi keturunan keluarganya. 　　Karena itu, meski tubuhnya gemuk hingga hampir tak kuat menahan bangku kecil, Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua tetap enggan turun dari posisinya. 　　"Terima kasih perhatian Kaisar. Hamba tua merasa kesehatan masih baik." 　　"Lalu masalah pencatatan pangeran di bawah nama Permaisuri--" 　　Lao Zongrenling mengatupkan tangan: "Kaisar bijaksana." 　　Kaisar Jingming tersenyum tipis. 　　Kalau dari awal begini kan tidak perlu buang-buang waktu. 　　"Aku tahu Paman Wang yang paling bisa meringankan beban hamba. Dengan kehadiranmu di Biro Urusan Kerajaan, barulah hati hamba tenang." 　　Lao Zongrenling: Hehe. 　　Setelah berdiskusi antara kaisar dan menteri, Lao Zongrenling akhirnya pergi dengan dituntun kasim istana sambil gemetaran. 　　Cahaya di ruang studi kekaisaran terang benderang, memperjelas setiap perubahan ekspresi Kaisar Jingming. Namun setelah kepergian Zongrenling, sang kaisar justru terlihat dingin tanpa ekspresi. 　　"Pan Hai——" 　　Pan Hai segera menyahut: "Hamba di sini." 　　"Umumkan besok." 　　"Baik." Jawab Pan Hai sambil dalam hati berdecak kagum. 　　Sejak lama ia merasa Pangeran Yan luar biasa. Baru berapa lama sudah dianggap sebagai setengah anak sah, padahal sebelumnya sang pangeran dianggap sebagai pangeran tak berpengaruh yang sejak kecil meninggalkan istana. 　　Benarlah kata pepatah: Tiga puluh tahun di timur sungai, tiga puluh tahun di barat sungai. 　　Pan Hai sudah bisa membayangkan kegaduhan yang akan terjadi setelah pengumuman ini. 　　Keesokan harinya saat sidang pagi, langka melihat semua menteri hadir lengkap. Kaisar Jingming mendengar laporan para menteri dengan wajah datar. 　　Berdasarkan pengalaman baru-baru ini, cara ini akan membuat mereka lebih tenang. 　　Benar saja, para menteri tetap menjaga sikap seperti sebelumnya, tak ada yang membahas topik kontroversial. 　　Kaisar jelas sedang tidak mood dua hari terakhir. Masalah apa pun sebaiknya ditunda dulu. Lagi pula urusan itu tidak akan lari kemana-mana. 　　Begitu pikir para menteri, hingga akhirnya tak ada lagi yang melapor. 　　Kaisar Jingming batuk pelan, lalu berkata perlahan, "Aku telah merenung dalam-dalam selama beberapa hari. Ada satu hal yang ingin kusampaikan pada para menteri yang terkasih." 　　Para menteri saling pandang dengan waspada. 　　Kaisar berbicara begitu khidmat, pasti ini urusan besar. 　　Memberi waktu bagi para menteri untuk mencerna, Kaisar Jingming melirik Yu Jin dan rombongan yang berdiri di samping, "Permaisuri setia dan bijaksana, telah membantuku mengurus istana belakang bertahun-tahun... Namun bagai bulan purnama yang berlubang, Permaisuri hingga kini tak punya putra. Aku sangat menyesali hal ini. Setelah berpikir panjang, kini kuputuskan untuk mencatat Pangeran Ketujuh Jin sebagai anak Permaisuri..." 　　Kalimat selanjutnya tak lagi didengar para menteri. Mereka semua terbelalak memandang Pangeran Yan, sang pangeran ketujuh. 　　Pantas saja hari ini beberapa pangeran menghadiri sidang pagi, ternyata ada pengumuman besar! 　　Kelakuan aneh Kaisar belakangan ini ternyata karena ini—para menteri serentak menoleh ke Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua. 　　Tadi pagi melihat Kepala Kantor Urusan Kerajaan sudah heran, pikirku biasanya pejabat ini tak perlu hadir sidang. Jangan-jangan si gemuk ini cuma jalan-jalan? 　　Kalau Kaisar mau mencatat pangeran ketujuh sebagai anak Permaisuri, pasti sudah berembuk dengan Kepala Kantor Urusan Kerajaan. Si gemuk tua ini pasti sudah tahu dari awal. 　　Memikirkan ini, beberapa menteri rasanya ingin menggigit si Kepala Kantor Urusan Kerajaan tua itu. 　　Sungguh keterlaluan! Urusan sebesar bulan ini sama sekali tak dibocorkan si gemuk tua! 　　Yang lebih terkejut dari para menteri adalah beberapa pangeran tersebut. 　　Pangeran Qi menoleh dan menatap Yu Jin, sudah bisa merasakan kekakuan di lehernya, tapi tubuhnya bahkan lebih kaku. 　　Lao Qi dicatat atas nama Permaisuri? 　　Kalau begitu, berarti Lao Qi sekarang dianggap setengah anak lelaki sah? Lalu bukankah Lao Qi punya kesempatan untuk bersaing— 　　Tidak, bukan sekadar kesempatan bersaing. Mengingat betapa Ayah Kaisar mementingkan legitimasi, Lao Qi akan menjadi ancaman terbesarnya! 　　Tapi bagaimana mungkin Ayah Kaisar punya ketertarikan seperti ini? Hal sebesar ini, apakah Ibu Selir sama sekali tidak tahu? 　　Pangeran Qi hanya merasa hatinya kacau dan mulutnya terasa pahit. 　　Pangeran Shu jelas-jelas juga tidak dalam suasana hati yang baik. 　　Sebelumnya melawan Lao Si saja dia sedikit terdesak, sekarang tiba-tiba muncul Lao Qi, kolam ini jadi semakin keruh. 　　Hanya Pangeran Lu yang benar-benar terkejut, setelah syok dia merasa tidak adil: Tidak fair! Lao Qi memukul mantan Putra Mahkota sekali, sekarang jadi setengah anak sah. Aku memukul mantan Putra Mahkota juga, tapi sampai sekarang masih tetap jadi pangeran! 　　Di antara semua ini, yang mengalami badai hebat di hatinya paling besar adalah Pangeran Xiang. 　　Dia hampir langsung teringat kemarin dipanggil masuk istana bersama Yu Jin dan bertemu Permaisuri. Saat itu dia heran mengapa Permaisuri ada di sana, hari ini Lao Qi langsung dicatat atas namanya... 　　Sekarang Pangeran Xiang sudah paham, hanya ada satu pertanyaan di hatinya: Aku benar-benar bodoh! 　　Teruskan memohon Suara bulanan. 727.BAB 725 Penetapan 　　BAB 725 Penetapan 　　Kemarin Ayah Kaisar memanggilku dan Lao Qi masuk istana, jelas bermaksud memilih antara kami berdua untuk dicatat atas nama Permaisuri. Tapi apa yang telah kulakukan? 　　Dia pergi dan kembali, dengan alasan mimpi memberitahu Ayah Kaisar bahwa dia tidak ingin menikah dalam tiga tahun! 　　Memikirkan ini, Pangeran Xiang ingin memukul dirinya sendiri sampai mati. 　　Di momen krusial seperti ini, mengapa dia sengaja merusak masa depannya? Jika hari ini pangeran yang tercatat di bawah nama Permaisuri adalah dia, maka dia akan memenuhi syarat untuk memperebutkan posisi calon penguasa. 　　Terhadap posisi itu, Pangeran Xiang juga diam-diam berfantasi ketika Putra Mahkota pertama kali dipecat. 　　Tentu saja, dia sangat sadar ini hanya khayalan belaka. 　　Seorang pangeran dengan ibu kandung berstatus rendah dan termuda, kecuali semua kakaknya mati baru bisa gilirannya. 　　Mungkinkah para licik itu mati semua? Jelas tidak mungkin. 　　Setelah Putra Mahkota dipulihkan lalu kehilangan nyawa, Pangeran Xiang bahkan berhenti berfantasi, memutuskan untuk mengikuti Pangeran Qi, mendapat imbalan memadai di masa depan juga cukup baik. 　　Tapi ternyata pernah ada kesempatan sangat berharga di depan matanya, namun dia dengan bodoh melewatkannya—— 　　Tidak! 　　Otak Pangeran Xiang yang tumpul karena syok dan penyesalan mulai berputar, aura pembunuhan menyembur. 　　Dia kehilangan kesempatan karena Lao Qi terkutuk itu! 　　Jika Lao Qi tidak menyebut nama Cui Mingyue, bagaimana mungkin dia kembali memberi tahu Ayah Kaisar perkataan itu? 　　Pangerang Xiang menatap Yu Jin, matanya nyaris memancarkan api. 　　Binatang Lao Qi ini pasti sudah tahu rencana Ayah Kaisar sejak awal, jadi menjebaknya! 　　Saat ini, Pangeran Xiang ingin menyiksa Yu Jin dengan hukuman lingchi. 　　Saat itu, ekspresi kerumunan di aula meski aneh, tapi tingkah Pangeran Xiang masih terlalu mencolok. 　　Pangeran Lu berpikir dalam hati, kenapa Lao Ba terlihat seperti tersambar petir? Huh, benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Lihatlah dirinya, menanggung ketidakadilan sebesar ini, apa yang dia katakan? 　　Pangeran Qi tersadar dan diam-diam menarik lengan Pangeran Xiang. 　　Adik Kedelapan terlihat tidak beres. 　　Baru kemudian Pangeran Xiang sadar, meski hati dipenuhi kebencian sampai mati, dia tak bisa berbuat apa-apa. 　　Ini sedang sidang pagi. Jika dia nekat memukul Lao Qi, mungkin akan diturunkan jabatannya menjadi pangeran kabupaten seperti Lao Wu. 　　Yu Jin tetap mempertahankan ekspresi terkejut yang pas, sampai suara dingin Kaisar Jingming terdengar: "Lao Qi, setelah sidang berakhir, segera beri salut kepada Permaisuri." 　　Yu Jin membungkuk dalam-dalam: "Daulat." 　　Begitu dia merespons, para menteri seolah menemukan kembali suara mereka. Aula langsung gempar. 　　Menteri Ritus maju ke depan, keringat bercucuran: "Paduka, ini... bukankah perlu dibahas lagi—" 　　"Benar, Paduka, ini terburu-buru sekali—" Beberapa menteri serentak menyetujuinya. 　　Kaisar Jingming menunduk mendengarkan, dalam hati menyeringai dingin. 　　Bahas apa sih. Begitu dia berdiskusi dengan orang-orang tua kolot ini, minimal perlu 2-3 bulan baru bisa memutuskan sesuatu. 　　Meski sudah puluhan tahun berlalu, dia masih ingat jelas dulu saat Janda Permaisuri mengusulkan mengadopsi seorang pangeran, Almarhum Kaisar langsung mengumpulkan menteri-menteri penting untuk berdiskusi. Perdebatan itu berlangsung hampir setengah tahun baru selesai. 　　Dia tak ingin setiap sidang pagi nanti jadi seperti pasar sayur, telinganya tak pernah mendapat ketenangan. 　　Kaisar Jingming batuk sekali, namun para menteri yang sedang bersemangat tidak mendengarnya dan masih terus berdiskusi. 　　“Para menteri yang terkasih, dengarkanlah kata-kataku.” Kaisar Jingming meninggikan suaranya, dan aula pun kembali hening. 　　Kaisar Jingming membersihkan tenggorokannya lalu berkata dengan tenang: “Ini urusan rumah tanggaku, hari ini hanya memberitahu kalian semua. Kepala Kantor Urusan Kerajaan telah merevisi silsilah kerajaan, mencatat Pangeran Yan di bawah nama Permaisuri...” 　　Di bawah tatapan penuh amarah para menteri, Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua nyaris terjatuh berlutut. 　　Kali ini akan ditahan dulu, jika Kaisar melakukan hal seperti ini lagi di masa depan, meski ada imbalan sebesar langit untuk posisi Kepala Kantor Urusan Kerajaan ini, dia tidak akan mau lagi! Siapa mau mengerjakan silakan! 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua sudah bisa membayangkan serangan bertubi-tubi yang akan dihadapinya setelah sidang ditutup. 　　Tanpa memberi waktu para menteri untuk meratap, Kaisar Jingming melirik Pan Hai. 　　Pan Hai paham isyarat itu, lalu berteriak: “Sidang ditutup——” 　　Kaisar Jingming yang sudah siaga langsung melesat pergi begitu perintah itu keluar, meninggalkan para menteri tercengang lama sebelum akhirnya sadar kembali. 　　Kaisar mengumumkan hal sepenting ini lalu kabur begitu saja? 　　Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua berusaha menyelinap pergi, tapi tubuhnya yang berat menghambatnya. Baru melangkah setengah langkah, dia sudah dikepung para menteri. 　　“Yang Mulia, bagaimana bisa masalah sebesar ini diputuskan sembarangan?” 　　Mendengar tuduhan para menteri, Kepala Kantor Urusan Kerajaan yang tua merasa perutnya penuh kepahitan. 　　Apa para bodoh ini mengira Kaisar berdiskusi dengannya? Dialah orang pertama yang baru diberitahu! 　　"Ada juga menteri yang cerdik yang mendekat, mengepalkan tangan ke arah Yu Jin dan berkata: 'Selamat, Pangeran Yan.'" 　　Yu Jin dengan tenang mengucapkan terima kasih, lalu ditemani pelayan istana pergi memberikan salut kepada Permaisuri. 　　Pangeran Lu mengayunkan tangannya di depan mata Pangeran Xiang: "Sudah, jangan dilihat terus. Orangnya sudah pergi jauh." 　　Lao Ba sampai harus menerima pukulan sebesar ini? Ternyata masih terlalu muda. 　　"Ayo pergi." Suara Pangeran Qi terdengar parau, berusaha keras tidak menunjukkan keanehan. 　　Beberapa pangeran mengikuti kerumunan keluar, meski ingin pergi ke ibu masing-masing untuk mencari informasi, tapi menyadari ini bukan waktu tepat, terpaksa menahan keinginan dan pulang ke kediaman. 　　Istana-istana pangeran berjejer di sepanjang jalan, secara alami mereka melewati rute yang sama. 　　Suasana sepanjang perjalanan agak mencekam, saat hampir tiba Pangeran Xiang berbisik: "Kakak Keempat, aku ingin mampir ke tempatmu." 　　Pangeran Qi tertegun, mengangguk ringan lalu tersenyum paksa pada Pangeran Qin, Lu dan Shu: "Apa kalian semua ingin ikut mampir?" 　　"Tidak perlu." Pangeran Shu yang pertama kali menjawab, menangkupkan tangan lalu bergegas menuju Istana Pangeran Shu. 　　Pangeran Lu sejak awal tidak suka pada Pangeran Qi, tentu tidak akan ikut keramaian. Sedangkan Pangeran Qin paling rendah profil, akhirnya hanya Pangeran Xiang yang mengikuti Pangeran Qi ke Kediaman Pangeran Qi. 　　Setelah menyuruh pelayan pergi, Pangeran Xiang menghantam meja kayu mahoni: "Kakak Keempat, Lao Qi brengsek itu menjebakku!" 　　Wajah Pangeran Qi berubah: "Mengapa Adik Kedelapan berkata begitu?" 　　Tanpa kehadiran orang lain, Pangeran Xiang tak bisa menahan emosi. Setelah lama, ia mengusap wajahnya kasar. "Kemarin... Ayah Kaisar memanggilku dan Lao Qi ke istana. Permaisuri juga ada di sana——" 　　Pangeran Qi menaikkan alis, hati dipenuhi keterkejutan. 　　Pangeran Xiang menutup mata, mengatupkan gigi. "Sekarang jelas ini persiapan untuk kejadian hari ini." 　　"Bagaimana Lao Qi menjebakmu?" 　　Malu menyelimuti Pangeran Xiang. Tapi setelah dipermainkan Yu Jin, harapan naik ke langit pupus. Ia hanya bisa berharap Pangeran Qi membalaskan dendamnya. Maka diungkapkannya provokasi Yu Jin. 　　"Kakak Keempat, selama ini kita meremehkan Lao Qi. Dialah ancaman terbesarmu!" 　　Memandang kebencian di wajah Pangeran Xiang, Pangeran Qi menghela napas. "Benar, Lao Qi bukan orang sembarangan. Kedepannya, Adik Kedelapan harus membantuku. Mari kita bersatu, jangan biarkan Lao Qi menang." 　　Pangeran Xiang segera menyembah. "Tenanglah Kakak, adik pasti mengerahkan seluruh kemampuan untuk membantumu. Lao Qi takkan tenang!" 　　Persatuan Pangeran Qi dan Pangeran Xiang dalam menganggap Yu Jin sebagai duri di mata membuat bahkan Pangeran Shu harus mengalah. 　　Pangeran Xiang menghabiskan empat cangkir teh sebelum pulang ke Istana Pangeran Xiang dengan langkah gontai. 　　Usai sidang istana, Kaisar Jingming hendak ke Istana Kuning menyaksikan adegan kasih sayang ibu dan anak. Pan Hai hati-hati mengingatkan, "Paduka, apakah perlu memberitahu Ibu Suri Xian tentang urusan Pangeran Yan?" 　　Kaisar Jingming berhenti sejenak. 　　Ah, dia lupa hal ini. 　　Lanjutkan minta dukungan vote untuk Lao Qi ya. 728. BAB 726 Perhatian 　　BAB 726 Perhatian 　　Kaisar Jingming berhenti sesaat, kemudian melanjutkan langkah menuju Istana Kuning. 　　Sudahlah, yang penting sudah terlupakan. Tidak ada bedanya datang lebih awal atau agak telat. Lebih baik pergi ke tempat Permaisuri dulu. 　　Kaisar Jingming sangat ingin menyaksikan pertemuan pertama antara Permaisuri dengan Yu Jin setelah perubahan status hubungan ini. 　　Dia masih ingat dulu ketika dayang istana membawanya menemui Janda Permaisuri, perasaan gugup, kalut, namun juga penuh kegembiraan dan harapan yang tak terucap. 　　Saat itu dia masih kecil, perasaannya sangat rumit. Lao Qi lebih beruntung, pasti tidak akan mengalami kecemasan seperti yang dulu dia rasakan. 　　Kaisar Jingming bergegas menuju Istana Kuning, di tengah jalan bertemu dengan Yu Jin. 　　“Kau belum pergi?” 　　Yu Jin memberi hormat dengan sangat sopan, “Anak lelaki ini agak gugup.” 　　Kaisar Jingming tertawa, “Gugup apa?” 　　Lao Qi yang sudah dewasa ini ternyata masih bisa gugup? 　　Memikirkan hal ini, sang Kaisar tua tiba-tiba merasa lebih seimbang secara psikologis. 　　“Tidak tahu bagaimana cara berinteraksi yang tepat dengan Ibu.” Yu Jin menjawab terus terang. 　　Kaisar Jingming semakin senang. 　　Dulu dia juga pernah khawatir tentang hal ini. 　　Sebagai pihak yang dipilih, selalu memiliki kekhawatiran terbanyak. 　　Apakah akan disukai? Jika melakukan kesalahan, apakah akan dikembalikan ke tempat semula dan digantikan orang lain? 　　Dia bahkan pernah mengalami mimpi buruk, dalam mimpinya dia bukan anak angkat Permaisuri yang didamba saudara-saudaranya, melainkan tetap anak kecil malang yang tak punya sandaran. 　　Ternyata Lao Qi juga merasakan hal yang sama. 　　Kaisar Jingming menghela napas lega, tersenyum: "Terhadap Ibumu, cukup dengan berbakti tulus. Ayo, ikut Aku ke sana." 　　Di sisi Permaisuri, setelah menerima kabar, beliau telah berdiri menanti di anak tangga batu depan aula. 　　Kaisar Jingming bergegas mendekat, bertanya riang: "Mengapa Permaisuri menunggu di luar?" 　　Sambil melirik Yu Jin, Permaisuri menjawab: "Hamba khawatir Kaisar mendapat kesulitan--" 　　Kaisar Jingming tertawa terbahak: "Permaisuri terlalu khawatir, para bawahan itu semua paham situasi, mana mungkin menyusahkan Aku." 　　Permaisuri: "..." Kaisar benar-benar ingin menjaga wibawa. 　　Pan Hai: "..." Kaisar benar-benar ingin menjaga wibawa. 　　Yu Jin: "... Kaisar ini benar-benar jago mengumbar kata-kata." 　　Yang tadi di aula lari terbirit-birit siapa lagi kalau bukan dia. 　　Meski bergumam dalam hati, raut Yu Jin tetap tenang, memberi hormat khidmat pada Permaisuri: "Anak menghadap Ibu." 　　Senyum mengembang di bibir Permaisuri, matanya menatap tajam ke arah pemuda yang sedang membungkuk hormat itu. 　　Alisnya elok menawan, sikapnya penuh wibawa. 　　Kini inilah anaknya, seorang putra sulung yang garis wajahnya masih menyiratkan bayangan Ibu Suri Xian. 　　Terhadap hal ini, Permaisuri tidak merasa jengah, malah merasa puas. 　　Bisa melahirkan keturunan darah daging pun tak berarti apa. Tanpa tahu mensyukuri berkah, akhirnya jatah itu jatuh ke tangan orang lain. 　　“Konon kabarnya, Ibu Suri Xian belum mengetahui hal ini?” 　　Permaisuri agak terkejut dengan kemampuan Kaisar Jingming dalam menetapkan masalah ini dengan cepat. 　　Setelah keheranan, datanglah kegembiraan. 　　Hanya dengan Memutus Masalah Seketika, banyak perubahan tak terduga bisa dihindari. 　　Permaisuri menatap Yu Jin cukup lama, sementara Yu Jin tetap mempertahankan postur hormatnya saat memberi salam. 　　“Mari kita bicara di dalam.” Akhirnya Permaisuri berbicara dengan nada lembut. 　　Masuk ke dalam ruangan, Kaisar dan Permaisuri duduk, sedangkan Yu Jin berdiri tegak di hadapan mereka. 　　Permaisuri tersenyum: “Kenapa berdiri? Duduklah.” 　　Seorang dayang telah menyiapkan bangku kecil. 　　Yu Jin melirik bangku kecil itu, lalu duduk sesuai tata krama. 　　Permaisuri berbicara lagi: “Mulai sekarang kita adalah ibu dan anak kandung, Jin tak perlu kaku lagi.” 　　Yu Jin hampir terjatuh dari bangku kecilnya. 　　Seorang pria dewasa seperti dirinya, bagaimana Permaisuri bisa menyebut “Jin’er” tanpa ragu? 　　Jin’er—Yu Jin ingin menggelengkan kepalanya. 　　Bahkan saat masih bayi pun tak ada yang memanggilnya Jin’er... 　　Melihat senyum Permaisuri yang tetap terkembang, untuk pertama kalinya Yu Jin merasa kagum. 　　Memang Permaisuri sejati, kemampuan seperti ini tak tertandingi oleh orang lain. 　　Kaisar Jingming yang melihat Yu Jin termenung, berdehem lembut: “Kenapa masih bengong? Tak dengar Ibu-mu bicara?” 　　Bagaimanapun ini adalah putra sulung yang ia pilihkan untuk Permaisuri. Jika sampai ditolak, menghargai-ku akan ditaruh di mana? 　　“Ibu benar, di hadapan Ibu, anak lelaki tidak akan merasa kaku.” 　　Permaisuri tersenyum: "Begitu baru benar, keluarga tidak boleh menjaga jarak. Nanti bawa Permaisurimu ke sini, Fuqing juga akan kupanggil, kita makan bersama." 　　“Batuk-batuk.” Kaisar Jingming tiba-tiba batuk. 　　Permaisuri buru-buru berkata: “Jika Kaisar sempat nanti, silakan ikut serta.” 　　Kaisar Jingming mengangguk sopan: “Lihat nanti.” 　　Setelah mengobrol beberapa lama sebagai pertemuan resmi ibu-anak, Kaisar Jingming pergi bersama Yu Jin. 　　Berdiri di persimpangan, Kaisar Jingming berhenti dan melihat Yu Jin: “Kunjungi Ibumu lebih sering untuk salut, Ibumu juga melalui banyak hal.” 　　Yu Jin tersenyum: “Ayah Kaisar tenang, anak lelaki akan sering datang.” 　　“Kalau begitu pulanglah, istri kau mungkin belum tahu.” 　　“Anak lelaki pamit undur diri.” 　　Setelah Yu Jin pergi jauh, Kaisar Jingming baru berjalan menuju Istana Yuquan. 　　Sebenarnya tadi dia ragu sebentar, ingin membawa Lao Qi menemui Ibu Suri Xian. Tapi dipikirkannya lagi, hubungan ibu-anak ini memang sudah renggang, sekarang bahkan status ibu-anak pun sudah tiada, buat apa diulangi. 　　Istana Yuquan saat ini belum mendapat kabar. 　　Teriakan “Kedatangan Kaisar” membuat Ibu Suri Xian kaget, buru-buru menyambut. 　　“Kaisar datang——” 　　Kaisar Jingming mengangguk: “Masuklah.” 　　Ibu Suri Xian takut dingin, Istana Yuquan lebih hangat dari Istana Kuning. Kaisar Jingming agak tidak nyaman, sedikit mengerutkan alis. 　　"Menghitung waktu, saat ini baru saja sidang ditutup, seharusnya sedang menangani urusan pemerintahan di ruang studi kekaisaran. Ibu Suri Xian tidak yakin maksud kedatangan Kaisar Jingming, tapi tidak enak bertanya, lalu melanjutkan aktivitas sebelumnya - menyeduh teh. 　　Orang Dinasti Zhou minum teh tidak serumit zaman dinasti sebelumnya, tapi tetap membutuhkan kesabaran. 　　Memandangi Ibu Suri Xian dengan elegan memasukkan daun teh ke teko berisi air mendidih, menuangkannya ke mangkuk porselen putih, lalu kembali ke teko, hati Kaisar Jingming mulai kesal. 　　Ia memang tidak sabar dengan ritual seperti ini, meskipun gerakannya indah seperti bunga, tetap saja hanya secangkir teh. Daripada buang waktu, lebih baik ia baca buku cerita atau mengelus-elus bulu Jixiang. 　　"Kaisar, silakan minum teh." Ibu Suri Xian menyerahkan teh yang baru diseduh kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menerimanya dan menghargai dengan meneguk sedikit, lalu meletakkan cangkir porselen putih di samping. "Lao Qi yang membuat Kekasihku marah waktu itu, apa dia pernah datang ke Istana Yuquan?" 　　Begitu mendengar Kaisar Jingming menyebut Yu Jin, wajah Ibu Suri Xian langsung muram. 　　Datang ke Istana Yuquan? Di mata binatang itu mana ada dia sebagai ibu kandung! 　　Setelah pertikaian dengan Yu Jin waktu itu, si anak durhaka tidak mendapat hukuman dari Kaisar. Ibu Suri Xian masih menahan amarah. Kini Kaisar bertanya, tentu ia tak mau lewatkan kesempatan menghabisi Yu Jin. 　　Ibu Suri Xian menghela napas: "Tidak pernah. Mungkin selir ini tidak beruntung, tak berani mengharapkan bakti dari Lao Qi." 　　Kaisar Jingming ikut menghela napas: "Lao Qi si brengsek itu selalu membuat Kekasihku marah, Aku tahu." 　　Bibir Ibu Suri Xian tak sengaja melengkung. 　　Apakah Kaisar ini sedang tersadar nurani? 　　Kaisar Jingming menepuk tangan Ibu Suri Xian, menghibur: "Karena itu Aku mencatatnya di bawah nama Permaisuri, agar Kekasihku tidak merusak keperawananmu karena si brengsek-brengsek." 　　Terima kasih untuk Hadiah 10.000 koin dari An_Nan Xiu, terima kasih kepada teman-teman pembaca yang memberikan hadiah dan vote. 729. BAB 727 Peristiwa Bahagia 　　BAB 727 Peristiwa Bahagia 　　Ekspresi Kaisar Jingming lembut, suaranya penuh perhatian, sama naturalnya seperti biasanya saat berkata "Kekasihku tidak enak badan, beristirahatlah yang baik". 　　Ibu Suri Xian menatap wajah tua yang familiar sekaligus asing itu, otaknya kosong sejenak, bahkan tidak menyadari apa yang diucapkan pihak lain. 　　"Kekasihku, menurutmu apakah ini solusi sempurna?" 　　Ibu Suri Xian mengangguk secara refleks, sampai ujung jarinya tanpa sengaja menyentuh teko hangat, barulah tiba-tiba tersadar. 　　Ia bangkit berdiri tiba-tiba, wajahnya pucat bagai salju: "Kaisar mengatakan apa?" 　　Jika pendengarannya tidak salah, Kaisar mencatat Lao Qi di bawah nama Permaisuri? 　　Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin! 　　Kaisar Jingming menunjukkan wajah penuh perhatian: "Apakah Kekasihku sakit kepala lagi?" 　　Ibu Suri Xian menatap tajam Kaisar Jingming, ekspresinya terdistorsi, bibir pucat keringnya bergetar hebat, hanya satu pertanyaan yang berputar di kepalanya: Dia ingin mencakar muka orang tua kolot ini! 　　Tangan baru saja terangkat, sakit kepala yang menusuk hati datang tiba-tiba. Bertabrakan dengan gejolak emosi yang bergejolak, membuat Ibu Suri Xian tak kuasa menahan diri. Matanya memutih dan ia pun terjatuh pingsan. 　　"Nyonya!" Dayang yang melayani di aula terkejut. 　　Kaisar Jingming dengan tenang melambaikan tangan: "Tidak apa-apa." 　　Seperti kata pepatah, pengalaman memperluas wawasan. Dengan banyaknya wanita di istana selama puluhan tahun, Kaisar Jingming telah melihat banyak wanita pingsan sehingga cukup berpengalaman menghadapi hal ini. 　　Ia menekan titik renzhong di bawah hidung Ibu Suri Xian dengan kuat. Beberapa saat kemudian, sang ibu suri pun sadar kembali, merasakan nyeri membakar di atas bibirnya. 　　Tapi kini Ibu Suri Xian sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Ia menggenggam lengan baju Kaisar Jingming: "Apa yang Kaisar katakan tadi?" 　　Kaisar Jingming diam-diam mengibaskan tangan: "Mengapa Kekasihku pingsan? Apakah sakit kepala kambuh lagi? Jika demikian, jangan mudah marah atau panik. Harus beristirahat dengan tenang." 　　Dua kata "beristirahat" yang diucapkan dengan penekanan membuat hati Ibu Suri Xian menggigil, menyadarkannya seketika. 　　Yang dihadapannya adalah Sang Kaisar, penguasa negara, bukan lelaki biasa. 　　Dalam keluarga kekaisaran tak ada hubungan ayah-anak, apalagi kasih sayang kaisar pada selirnya. 　　Andai tadi ia benar-benar menggores wajah Kaisar dengan emosi, mungkin istana dinginlah yang menantinya. 　　Ibu Suri Xian gemetar ketakutan, wajahnya semakin pucat bagai kertas tipis. 　　Melihat Ibu Suri Xian telah tenang, Kaisar Jingming diam-diam menghela nafas lega. 　　Wanita memang menakutkan, Ibu Suri Xian yang biasanya terlihat anggun dan bijaksana, tadi tampak seperti ingin membunuhnya. 　　Sebagai kaisar, tentu dia tidak takut pada seorang selir, tapi jika benar dicakar oleh kuku panjangnya, muka tua ini pasti akan sangat memalukan. 　　Memikirkan hal ini, Kaisar Jingming diam-diam menjauh sedikit dan batuk pelan: "Sakit kepala Kekasihku sangat mengkhawatirkan Aku, karena itulah Aku menyerahkan Lao Qi kepada Permaisuri, agar si brengsek itu tidak terus membuatmu marah dan memperparah penyakitmu..." 　　Sudut bibir Ibu Suri Xian berkedut, mulai tidak bisa mengendalikan diri lagi. 　　Jadi anak lelakinya yang dilahirkannya diberikan begitu saja kepada Permaisuri, dan dia masih harus berterima kasih kepada Kaisar? 　　"Kekasihku tenanglah, tidak ada yang lebih penting dari kesehatan." Kaisar Jingming menepuk-nepuk punggung Ibu Suri Xian, merasa semua yang perlu dikatakan sudah diucapkan. Tinggal berlama-lama hanya akan berbahaya, maka dengan cepat memutuskan untuk pergi. 　　"Kalian rawat Nyonya dengan baik! Jika Nyonya tidak enak badan, segera panggil tabib istana! Jika sampai terlambat, kalian yang akan kutuntut!" 　　Saat para dayang menjawab patuh, Kaisar Jingming segera melangkah pergi, meninggalkan seisi ruangan yang gemetar ketakutan memandangi Ibu Suri Xian. 　　Di bawah tatapan penuh kekhawatiran itu, Ibu Suri Xian merasa dirinya seperti badut yang sangat memalukan. 　　Lao Qi sekarang menjadi anak Permaisuri? 　　Kalau begitu, rencananya untuk menyiksa istri Lao Qi agar Lao Qi menyerah juga tidak bisa dilakukan? 　　“Lao Qi tercatat atas nama Permaisuri, mulai sekarang istri Lao Qi tidak perlu lagi datang ke Istana Yuquan untuk salut saat masuk istana. Dia bahkan tidak punya hak untuk marah...” 　　Ibu Suri Xian semakin memikirkannya semakin geram, tiba-tiba tersadar pada masalah lebih serius: Pangeran yang tercatat atas nama Permaisuri dianggap setengah anak sah, bukankah Lao Qi kini berhak menjadi calon penguasa? 　　Dengan begini, sebagai saudara kandung Lao Si, Lao Qi tidak hanya tak memberi dukungan sedikitpun, malah menjadi pesaing terbesar. Bisa jadi dia akan menginjak Lao Si untuk naik. 　　Ibu Suri Xian hampir tak berani membayangkan skenario seperti itu. 　　Jika Lao Si kalah bersaing, dia lebih rela pangeran lain yang naik takhta daripada melihat Lao Qi yang berkuasa. 　　Setelah pertikaian itu merusak hubungan, dia sudah melihat jelas betapa tak berperasaan makhluk itu. 　　Jika Lao Qi menduduki posisi itu, sebagai ibu kandung, alih-alih mendapat imbalan, malah akan menerima penghinaan terbesar. 　　Apa yang lebih menyakitkan daripada melihat anak kandungmu menjadi orang paling mulia di dunia, tapi menunjukkan bakti pada ibu lain? 　　Wajah Ibu Suri Xian berubah pucat, energi vitalnya bergejolak. Tiba-tiba tenggorokannya terasa manis, mulutnya mengucurkan darah. 　　"Nyonya——" Para dayang istana panik. 　　Dayang kepercayaan berteriak: "Cepat panggil Tabib istana——" 　　“Tidak lama kemudian tabib istana bergegas datang membawa kotak obat, setelah memeriksa Ibu Suri Xian, dia menasihati: 'Hati menyimpan darah, kemarahan besar melukai hati. Yang Mulia harus beristirahat dengan tenang dan jangan mudah marah.'” 　　Ibu Suri Xian yang wajahnya pucat tetap diam. 　　Dayang kepercayaan mengantar tabib keluar, diam-diam menyelipkan dompet sambil berbisik: “Hal-hal mengenai Yang Mulia, tolong tabib jangan ceritakan ke orang lain.” 　　Tabib dengan lihai menyimpan dompet itu, mengangguk halus. 　　Dia sering bolak-balik ke Istana Yuquan, bisa dianggap sebagai orangnya Ibu Suri Xian, tentu tahu mana yang boleh dan tidak boleh diucapkan. 　　Belakangan ini emosi Ibu Suri Xian benar-benar fluktuatif, ditambah sakit kepala yang tak jelas penyebabnya, kondisi tubuhnya mungkin— 　　Tabib menghela napas pelan, lalu meninggalkan Istana Yuquan. 　　Kaisar Jingming pergi ke Istana Cining setelah meninggalkan Ibu Suri Xian. 　　Permaisuri telah mengadopsi Lao Qi, hal ini harus dilaporkan ke Janda Permaisuri. 　　“Kedatangan Kaisar——” 　　Melihat Kaisar masuk, Janda Permaisuri meletakkan tasbih di atas meja kang sambil tersenyum: “Kaisar ada waktu luang berkunjung?” 　　Putri Fuqing dan Si Empat Belas segera memberi salut kepada Kaisar Jingming. 　　“Bangunlah.” Kaisar berkata pada kedua putri itu lalu duduk di tepi kang, “Apa yang Ibu lakukan?” 　　Janda Permaisuri menunjuk papan catur di meja kayu mahoni: “Mengisi waktu, melihat dua gadis ini main catur.” 　　Kaisar Jingming melirik papan catur itu: “Batu putih sepertinya unggul.” 　　“Biji putih ini milik A'Quan, tapi Si Empat Belas juga tidak kalah. Kedua gadis ini seimbang kekuatannya.” Janda Permaisuri menatap Putri Fuqing. 　　Putri ke-14 buru-buru menyahut: “Andai Ayah Kaisar datang terlambat sesaat saja, biji hitam pasti sudah kalah telak.” 　　Putri Fuqing berkata tenang: “Saya tidak sebanding dengan Adik Keempat Belas.” 　　Sejak lama matanya buta, mana mungkin keahlian bermain catur bisa menyaingi Si Empat Belas? Ini semua karena Si Empat Belas sengaja mengalah. 　　Meski menyadari hal ini, dia sengaja tidak membongkar rahasia agar Si Empat Belas tidak merasa canggung. 　　“Kalian berdua sama-sama hebat.” Kaisar Jingming memuji sebentar, lalu berkata pada Janda Permaisuri: “Ada kabar gembira yang ingin saya sampaikan pada Ibu.” 　　Alis tipis Janda Permaisuri berkerenyit halus sambil tersenyum: “Hmm, kabar gembira apa gerangan?” 　　“Saya telah mencatat Lao Qi di bawah nama Permaisuri.” 　　Janda Permaisuri menekan tasbih di atas meja kang dengan telapak tangan. 　　Tasbih dari kayu gaharu yang diukir halus, setiap bijinya bulat mulus seperti dilapisi minyak. 　　Ekspresi senyum Janda Permaisuri tak berubah, hanya suaranya yang berat: “Kalau begitu, selayaknya kita memberi ucapan selamat pada Permaisuri.” 　　Xiao Jia, si Naskah Cadangan kembali menemui kalian semua. Tuannya sedang terbang ke Shanghai untuk bertemu banyak penulis besar, akan mewakili kalian semua untuk mendesak update cerita. 730.BAB 728 Kapal Bajak Laut Pangeran Yan 　　BAB 728 Kapal Bajak Laut Pangeran Yan 　　Mendengar ucapan Kaisar Jingming, Putri Fuqing dan Putri ke-14 saling bertatapan dengan wajah penuh keheranan. 　　Kaisar Jingming berkata: “Kalian berdua boleh pergi bermain.” 　　Kedua putri memberi hormat lalu mundur bersama-sama. 　　Janda Permaisuri menggenggam tasbih sambil mengusap-usapnya perlahan: “Ini benar-benar mendadak, sebelumnya tidak pernah dengar Kaisar dan Permaisuri membicarakan——” 　　Kaisar Jingming tersenyum berkata: "Begitu putra mengambil keputusan, langsung bergegas datang memberi kabar gembira pada Ibu. Ibu adalah orang kedua di istana yang tahu setelah Permaisuri." 　　"Hmm, selain Permaisuri, siapa yang pertama tahu?" Janda Permaisuri bertanya sambil tersenyum. 　　Senyumannya tipis, tak sampai ke mata. 　　"Yang pertama adalah Ibu Suri Xian." 　　Janda Permaisuri menggeleng sambil tertawa: "Hamba ini pikun, urusan sebesar ini tentu harus diberitahu Ibu Suri Xian. Apakah Biro Urusan Kerajaan sudah mengetahui kabarnya?" 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Kepala Kantor Urusan Kerajaan sudah merevisi informasi Lao Qi. Pagi tadi putra telah mengumumkan hal ini pada para pejabat di sidang pagi." 　　Sudut bibir Janda Permaisuri berkedut sejenak sebelum kembali normal: "Kaisar benar-benar cepat dan tegas." 　　"Putra teringat kesulitan yang Ibu alami saat mengadopsi putra dulu, jadi merasa lebih baik urusan ini diselesaikan secepatnya..." Suara Kaisar Jingming bernada seperti anak yang mencari pujian dari ibunya. 　　Janda Permaisuri tidak mengecewakannya, mengangguk pelan setelah mendengar: "Kaisar memang menanganinya dengan baik. Permaisuri lebih beruntung daripada hamba—" 　　"Apa yang Ibu katakan? Putra adalah anak Ibu. Di istana ini tak ada yang lebih beruntung dari Ibu..." 　　Ibu dan anak ini berbincang cukup lama dalam suasana harmonis. 　　"Kaisar boleh kembali mengurus negara. Hamba ingin beristirahat." 　　Kaisar Jingming berdiri: "Ibu beristirahatlah dengan nyaman. Putra pamit undur diri." 　　"Mm." Janda Permaisuri kelelahan, kelopak mata sedikit terpejam, suaranya semakin lembut. 　　Begitu Kaisar Jingming pergi, Janda Permaisuri tiba-tiba membuka mata lebar, meraih tasbih dan melemparkannya ke lantai. 　　“Tasbih tangan terlempar keras ke lantai, talinya langsung putus, butiran tasbih berguling ke segala penjuru.” 　　“Janda Permaisuri——” Satu-satunya dayang istana tua yang tersisa di ruangan itu memanggil dengan hati-hati. 　　Janda Permaisuri seolah kehilangan amarahnya seiring putusnya tasbih tangan itu, berkata datar: “Kumpulkan butirannya dan rangkai kembali, jangan sampai ada yang tertinggal.” 　　“Baik.” Dayang tua itu tak berani menanyakan alasan kemarahan Janda Permaisuri, apalagi menduga-duga, ia berlutut mengumpulkan butiran tasbih yang berceceran dengan teliti. 　　Entah berapa lama kemudian, dayang tua itu membawa kotak berisi tasbih sambil berkata pelan: “Janda Permaisuri, ada satu butir yang tidak ditemukan——” 　　Janda Permaisuri menghela napas, bergumam: “Sudahlah, yang rusak memang harus ditinggalkan...” 　　Putri Fuqing yang berjalan keluar dari Istana Cining menarik lengan Putri ke-14 dengan langkah ringan: “Adik Keempat Belas, ayo kita temui Ibu.” 　　Sorot mata Putri ke-14 berkilat samar. 　　Putri Fuqing tersenyum menjelaskan: “Kupastikan Ibu sedang sangat gembira sekarang, mari kita beri ucapan selamat.” 　　Putri ke-14 mengangguk halus. 　　Melihat kedatangan dua putri, Permaisuri tersenyum: “Hari ini kok begitu pagi?” 　　Setelah memberi salam, Putri Fuqing duduk di samping Permaisuri sambil berkeriapan: “Ayah Kaisar pergi ke tempat Nenek Kaisar, jadi saya dan Adik Keempat Belas keluar duluan.” 　　Mendengar Kaisar Jingming pergi ke Istana Cining, sudut bibir Permaisuri sedikit melengkung. 　　“Ibu, benarkah Kakak Ketujuh diangkat sebagai anak angkat?” 　　“Kenapa, takut ada yang merebut perhatianmu?” Melihat sorot mata penasaran dan bersemangat putrinya, Permaisuri bercanda. 　　"Wajah Putri Fuqing sedikit memerah: 'Bisa memiliki seorang kakak kandung, putri sangat senang.'" 　　"'Benar, Ibu juga senang,' bisik Permaisuri." 　　Niatnya mengangkat pangeran sebagai anak resmi demi Fuqing ini, semoga Pangeran Yan tidak mengecewakannya. 　　Kabar Pangeran Ketujuh/Yan menjadi anak Permaisuri menyebar cepat ke seluruh istana setelah Kaisar Jingming mengunjungi Istana Yuquan dan Cining. 　　Sejenak istana ramai oleh mereka yang memberi selamat ke Permaisuri dan 'menghibur' (menertawakan) Ibu Suri Xian. 　　Seorang kasim bersembunyi di sudut sepi, menampar pipinya sendiri sambil bergumam: "Begitu rupanya, begitu rupanya--" 　　Suara familiar terdengar: "Xiao Lezi, kau gila? Ngapain sembunyi sini main tampar wajah?" 　　Ternyata yang menampar diri sendiri adalah murid Pan Hai, Xiao Lezi. 　　Melihat shifu-nya datang, Xiao Lezi segera membungkuk: "Anak baru dengar kabar Pangeran Yan, pikir ini mimpi. Coba tampar diri biar tahu sakit atau tidak." 　　Pan Hai memandang muridnya dengan tatapan sinis, tiba-tiba merasa lelah batin. 　　Kalau mau uji mimpi, tampar orang lain saja. Kenapa harus diri sendiri? Rupanya dia punya murid bodoh. 　　"Banyak yang terkejut soal Pangeran Yan, tapi tak ada yang sepertimu. Pengecut!" 　　Xiao Lezi terkekuk-kekuk: "Shifu mengajar dengan benar, mana mungkin anak ini bisa menandingi Shifu. Shifu bisa tetap tenang meski Gunung Tai runtuh di depan mata—" 　　"Sudah, jangan banyak bicara. Ayo pergi." 　　Pan Hai berjalan di depan, Xiao Lezi mengikuti dari belakang sambil diam-diam menghela nafas. 　　Dia tentu lebih terkejut daripada orang lain. 　　Sebelumnya saat bertugas sebagai utusan kekaisaran untuk inspeksi di Kabupaten Qianhe karena gempa, dia menemukan bahwa Pangeran Yan yang dianggap remeh ternyata sosok menarik. 　　Sejak saat itulah dia mulai berhubungan dengan Pangeran Yan. 　　Yang tak disangkanya, Pangeran Yan bukan hanya menarik tapi juga dewa kekayaan. Segera dompetnya penuh sampai tangannya lemas menerima. 　　Awalnya jumlah uang tak banyak, diterimanya dengan hati tenang. Lama-kelamaan dompet menebal sampai membuatnya deg-degan, tapi kebiasaan menerima membuatnya tak bisa menolak. 　　Xiao Lezi paham betul makna "Mulut pendek karena makan milik orang, tangan pendek karena mengambil milik orang". 　　Belum lama ini Pangeran Yan akhirnya mendatanginya, meminta agar diatur orang untuk membisikkan desas-desus ke telinga Permaisuri di taman kekaisaran. 　　Meski bingung dengan maksud Pangeran Yan, dia tak bisa menolak. Dilaksanakannya permintaan itu, siapa sangka hari ini mendengar kabar mengejutkan bahwa Pangeran Yan tercatat sebagai anak Permaisuri. 　　Saat itu, Xiao Lezi benar-benar mengira sedang bermimpi. 　　Orang lain mengira Pangeran Yan dapat keberuntungan seperti kue pai jatuh dari langit, tapi hanya dia yang tahu pencapaian hari ini pasti karena rencana waktu itu. 　　“Tapi Permaisuri hanya mendengar beberapa kalimat itu, bagaimana mungkin langsung mencatat Pangeran Yan sebagai anaknya? Bagaimana cara Pangeran Yan memastikan dirinya yang akhirnya terpilih?” 　　Xiao Lezi hampir tak berani merenungkan lebih dalam, semakin dipikir semakin terasa Pangeran Yan itu misterius dan tak terduga. 　　Mengingat sosok pria tampan yang selalu tersenyum santai di sudut bibirnya itu, Xiao Lezi menguatkan tekad: Jangan dipikir lagi, mulai sekarang ikut Pangeran Yan saja! 　　Pan Hai yang berjalan di depan tak mendengar langkah kaki mengikuti, berhenti dan membalikkan badan sambil memaki: “Anak-anak sialan, masih belum sadar dari mimpi?” 　　Xiao Lezi buru-buru menyusul, dengan lihai mengucapkan serangkaian pujian untuk menyenangkan Pan Hai. 　　Pan Hai mendengarnya dengan senang, senyum merekah di wajahnya. 　　Di posisinya sekarang, kepintaran murid tidak penting. Yang utama adalah bisa membuatnya tetap riang saat melayani Kaisar. 　　Setelah beberapa langkah, Pan Hai berhenti dan berbisik nasihat: “Ke depannya, hormatilah Pangeran Yan. Jangan sampai kau menyepelekannya.” 　　“Ya!” Xiao Lezi membungkuk, kali ini sungguh-sungguh dari hati. 　　Sudah pasti! Pangeran Yan tak boleh disepelekan. Mulai sekarang dia juga termasuk awak kapal bajak laut milik Pangeran Yan. 　　Apa perlu memberi peringatan pada Shifu? 　　Mengingat kelicikan Pan Hai, Xiao Lezi mengurungkan niatnya. 　　Lebih baik tidak usah. Shifu pasti lebih berpengalaman dan sudah punya pertimbangan sendiri. 731.BAB 729 Sekretaris istana yang terkejut 　　BAB 729 Sekretaris istana yang terkejut 　　Yu Jin melangkah dengan langkah ringan kembali ke Kediaman Pangeran Yan, kebetulan bertemu Sekretaris kediaman pangeran yang sedang hendak keluar. 　　"Hamba menghadap Paduka Pangeran." 　　"Sekretaris hendak pergi?" 　　"Departemen Protokol memanggil hamba tua ini." Jawab Sekretaris sambil hati berdebar-debar. 　　Tahun baru saja berlalu, untuk apa Departemen Protokol memanggilnya tiba-tiba? Jangan-jangan Pangeran lagi membuat masalah? 　　Yu Jin langsung paham situasinya. Karena ingin segera berbagi kabar baik dengan Jiang Si, ia malas berdebat dengan Sekretaris tua: "Kalau begitu silakan pergi. Ngomong-ngomong, Permaisuri ada di kediaman?" 　　Sekretaris tua yang sedang cemas langsung naik pitam, kumisnya bergetar: "Sudah lama Paduka tidak pergi ke kantor kabupaten, bukan?" 　　"Hmm?" 　　Sekretaris tua menyusun tangan ke arah ibu kota, menahan emosi menasihati: "Kaisar menyuruh Paduka ke kantor kabupaten untuk belajar administrasi, demi mengasah kemampuan Paduka. Paduka harus rajin-rajin, jangan mengecewakan harapan Kaisar." 　　Seorang pria dewasa setiap hari mengurung diri di kediaman pangeran untuk memanjakan istri, sungguh tidak pantas! 　　Begitu teringat kemesraan Pangeran dan Permaisuri, Sekretaris tua tak kuasa mengelus dada. 　　Kenapa harus menghadapi majikan yang tak tahu aturan begini? 　　Belum lagi Dayang Ji, yang seharusnya membantunya menasihati Pangeran dan Permaisuri. Tapi pelayan tua ini belakangan malah tidak mengerjakan tugasnya dan sering membuat muka masam tanpa alasan. 　　“Mungkinkah karena dekat dengan yang merah jadi ikut merah, dekat dengan yang hitam jadi ikut hitam, nenek ini ikut-ikutan menjadi jahat karena bergaul dengan Pangeran dan Permaisuri?” 　　Begitu pikirnya, Sang Sekretaris Istana Senior langsung dilanda keputusasaan bagai masa depan yang gelap gulita. 　　Sudahlah, tak bisa mengharapkan orang lain. Ia hanya bisa berusaha sekuat tenaga menasihati Pangeran, demi hati nurani yang tenang. 　　Adapun masa depan—Sang Sekretaris Istana Senior menggeleng kepala diam-diam. 　　Bisa bertahan hidup saja sudah syukur, apalagi memikirkan masa depan. 　　“Kalau begitu, Permaisuri tidak pergi keluar?” Yu Jin sama sekali mengabaikan ocehan Sang Sekretaris Istana Senior. 　　Si tua ini semakin cerewet. Hanya karena sifatku sekarang lembut bagai air, kalau dulu sudah kulepaskan Er Niu. 　　Sang Sekretaris Istana Senior mendadak terdiam, kumisnya bergetar menahan amarah. 　　Rupanya selama ini nasihatku tak didengar sama sekali oleh Pangeran, pikirannya hanya tertuju pada Permaisuri? 　　Kayu busuk tak bisa dipahat, memang kayu busuk tak bisa dipahat! 　　Dengan wajah masam, Sang Sekretaris Istana Senior pergi sambil mengibaskan lengan bajunya. 　　Yu Jin menggeleng kepala, dalam hati bergumam: Jangan-jangan karena aku terlalu baik, si tua ini jadi semakin lancang. 　　Yu Jin segera melupakan Sang Sekretaris Istana Senior dan bergegas menuju Istana Yuhe. 　　Cuaca cukup cerah. Jiang Si sedang menjemur A Huan di halaman, ditemani Anjing Besar berbulu halus yang sibuk bolak-balik membawa bola bunga dan drum mainan untuk menghibur sang tuan kecil, bahkan lebih sibuk dari dayang-dayang. 　　Mendengar langkah kaki, Jiang Si mengangkat kepala dan melihat Yu Jin berdiri di pintu gerbang. 　　“Sidang sudah ditutup?” 　　"Mengenai hal yang akan dihadapi Yu Jin di sidang pagi hari ini, kami berdua suami-istri sudah menduga sejak kemarin malam, hanya saja sama sekali tidak menunjukkan di depan orang lain selain satu sama lain." 　　"Hmm." Yu Jin menerima A Huan dan menciumnya, membujuk sang putri sebentar sebelum menyerahkan ke inang pengasuh, "Masuk dulu ke dalam, kita bicara di sana." 　　Jiang Si mengangguk, membiarkan Yu Jin menarik tangannya menuju ruang dalam. 　　Er Niu yang melihat majikan pria pulang di waktu seperti ini bersama nyonya rumah menuju kamar, berdasarkan pengalaman langsung mengibas-ngibaskan ekor menyusul sambil mengira ada makanan enak. 　　Yu Jin tanpa menoleh, meremas wajah Anjing Besar dengan tangannya sambil mendengus: "Jangan ikut ke dalam bikin ramai." 　　Sungguh keterlaluan, anjing ini sudah lebih akrab dengan putrinya sampai membuatnya ingin menyembelih makhluk ini untuk dimasak, sekarang malah semakin menjadi-jadi mau ikut nimbrung saat ia ingin bicara berdua dengan istrinya. 　　Kalau terus begini, apa masih ada kedudukannya di istana pangeran ini? 　　Er Niu menggelengkan wajahnya yang kesakitan, mengeluarkan suara merintih penuh kekesalan. 　　Untung sang majikan kecil juga ditinggalkan, Anjing Besar pun merasa sedikit terhibur. 　　Setelah masuk ke dalam kamar dan menyuruh para pelayan mundur, seluruh tubuh Yu Jin terlihat lebih rileks sambil tersenyum malas: "Berhasil." 　　"Tak kira secepat ini." 　　"Aku juga tak menyangka, mengira Ayah Kaisar akan berdiskoni dulu dengan Kepala Kantor Urusan Kerajaan beberapa waktu." Bicara soal ini, ketidakpuasan Yu Jin terhadap Kaisar Jingming agak berkurang. 　　Meski selera Kaisar agak payah, setidaknya urusan kerajaan ditangani dengan cepat. 　　"Sang Permaisuri mengajak kita semua masuk istana untuk makan bersama." 　　Jiang Si tersenyum: "Kau menjadi putra Permaisuri, sudah seharusnya aku segera masuk istana untuk memberi salut pada Permaisuri." 　　"Kalau begitu besok pagi saja." 　　Setelah berembuk, Jiang Si teringat sesuatu: "Kemarin Ayah Kaisar memanggilmu dan Pangeran Xiang bersama-sama ke istana, hari ini langsung diumumkan. Mungkin Pangeran Xiang akan membencimu." 　　Yu Jin tertawa sinis: "Dari dulu dia sudah sekongkol dengan Lao Si. Biarlah benci. Di sumur tua Istana Pangeran Xiang masih ada 'kecantikan' yang menunggunya. Kalau dia bersikap baik, aku bukan tipe yang kejam. Tapi kalau berani macam-macam, 'kecantikan' itu akan kupanggil untuk bersuara." 　　Jiang Si tertawa geli: "Aku sampai lupa soal itu." 　　Yu Jin mencubit lembut pipi Jiang Si: "Katanya wanita jadi bodoh setelah melahirkan, ternyata benar—" 　　Berbeda dengannya, semua bukti kompromi orang-orang menyebalkan selalu dia catat diam-diam, sesekali dicek ulang untuk memastikan siap dipakai menghabisi mereka yang tak tahu diri. 　　"Siapa yang kau bilang jadi bodoh?" Jiang Si marah menjangkau, tangan mengincar telinga Yu Jin. 　　Pasangan suami-istri ini segera bergelut dalam tawa riang. 　　Di luar, A Huan yang mendengar tawa orangtuanya langsung menangis tersedu. 　　Ingin dipeluk ibu, dipeluk ayah, tapi malah ditinggal lagi— 　　Er Niu mengangkat cakar menepuk bahu A Huan, menggonggong dua kali untuk menghibur. 　　Sekretaris istana senior itu berlari terburu-buru masuk, nyaris menabrak Dayang Ji saat melintas. 　　“Wah, ini bukan Sekretaris istana? Larinya kencang sekali ya?” Dayang Ji nyaris tertabrak, kesal. 　　Orang tua kolot ini setiap hari menganggapnya tidak berguna, tapi lihatlah penampilannya sendiri sekarang. Mana sikap tenang yang selalu digembar-gemborkan? 　　“Pangeran, di mana Pangeran?” Sekretaris istana senior terengah-engah, lari sampai kehabisan napas. 　　“Pangeran di rumah tentu sedang bersama Permaisuri. Masa iya di ruang belajar?” 　　Sekretaris istana senior mengedipkan mata. 　　Benar juga. Pangeran yang hanya tahu manja dengan Permaisuri ini, kok tiba-tiba tercatat sebagai anak kandung Permaisuri? 　　Mungkin dia terlalu putus asa sampai berhalusinasi. 　　Sambil berpikir begitu, Sekretaris istana senior menarik kumisnya keras-keras. Menatap wajah terkejut Dayang Ji, dia tertawa bodoh: “Sakit!” 　　Setelah itu langsung berlari ke dalam. 　　Dayang Ji terpaku sebentar, bergumam: “Habislah, Sekretaris istana jadi gila.” 　　Dayang Ji buru-buru mengejar dan menghalangi Sekretaris istana: “Lebih dalam lagi itu halaman belakang. Tuan tidak pantas masuk ke sana!” 　　“Tolong sampaikan pada Pangeran untuk keluar.” 　　“Sebenarnya ada masalah apa?” 　　“Pangeran diangkat sebagai anak angkat Permaisuri! Tadi Departemen Protokol memanggil saya untuk membahas prosedur resmi——” 　　“Apa?!” Dayang Ji terkesiap, wajahnya penuh keheranan. 　　Sekretaris istana mengambil napas: “Setelah pulang, Pangeran tidak bilang apa-apa?” 　　“Tidak. Begitu tiba langsung menemani Permaisuri.” 　　Sekretaris istana tak tahan lagi ingin mencabut kumisnya sendiri. 　　“Pangeran yang tidak bisa diandalkan seperti ini, keberuntungan aneh apa yang sebenarnya dia dapatkan?” 　　Tak lama kemudian, Yu Jin dan Sekretaris istana berdiri di dalam ruang belajar. 　　“Silakan duduk, Sekretaris istana.” Yu Jin tersenyum sambil menunjuk kursi. 　　Sekretaris istana duduk, baru saja hendak berbicara, pemuda di seberangnya langsung bertanya: “Apakah Sekretaris istana sudah mendengar tentang urusanku?” 　　Sekretaris istana mengangguk. 　　Yu Jin tersenyum tipis: “Kalau begitu, aku akan memberitahukan satu hal lagi kepada Sekretaris istana.” 732.BAB 730 Provokasi 　　BAB 730 Provokasi 　　Sekretaris istana senior baru saja duduk dengan nyaman, mendengar perkataan Yu Jin ini tiba-tiba muncul firasat buruk. Permukaan kursi terasa seperti ditusuk jarum, membuatnya gelisah. 　　Yu Jin tidak terburu-buru berbicara, dengan penuh perhatian memberikan waktu kepada Sekretaris istana untuk menenangkan diri. 　　Sekretaris istana yang sudah sepuh ini, kalau sampai ketakutan akan sangat memalukan. 　　Sekretaris istana senior semakin kaget: Pangeran yang biasanya sembrono ini tahu memperhatikannya, berarti perkataan berikutnya pasti sangat menakutkan? 　　“Bisa diketahui... hal apa yang ingin Pangeran sampaikan?” 　　Yu Jin menuangkan secangkir teh untuk Sekretaris istana senior, tersenyum ringan: “Jangan tegang, Sekretaris istana. Yang ingin kusampaikan terkait dengan kejadian hari ini.” 　　Mendengar ini, hati Sekretaris istana senior yang sempat menciut akhirnya lega. 　　Hari ini adalah hari yang sangat baik, mengingat yang akan dibicarakan Pangeran terkait dengan hal ini, tentu tidak akan terlalu buruk. 　　Saat ini, Sekretaris istana senior merasa malu: Dirinya terlalu berhati-hati, salah paham terhadap Pangeran. Pangeran sekarang adalah putra Permaisuri, tidak sepatutnya ia selalu melihat dengan pandangan lama. 　　Yu Jin memegang cangkir teh, suaranya tenang: “Tak kusangka aku menjadi putra Permaisuri. Setelah berpikir lama, tidak boleh menyia-nyiakan reputasi kosong ini--” 　　Sekretaris istana senior itu begitu gembira: "Maksud Pangeran--" 　　Sebagai putra Permaisuri, tentu tidak bisa bertindak sembarangan lagi, harus mempertimbangkan muka Permaisuri. 　　Akhirnya dia bisa melihat bulan terang setelah awan berlalu, rupanya Pangeran berniat bertobat! 　　Saat Sekretaris istana senior masih bersemangat, Yu Jin berkata perlahan: "Menurutku putra Permaisuri lah yang pantas jadi Putra Mahkota--" 　　Teh di tangan Sekretaris istana senior tumpah seketika, membasahi bajunya. 　　"Pangeran, Anda bercanda kan?" 　　Yu Jin sedikit mengerutkan alis: "Bercanda adalah hal paling membosankan, aku tidak pernah bercanda." 　　Begitu banyak urusan yang harus dikerjakannya, mana ada waktu bercanda dengan si tua berantakan. 　　Membuka ambisi di depan Sekretaris istana telah direncanakan Yu Jin sejak lama. 　　Sekretaris kediaman pangeran bertugas mengurus urusan pemerintahan istana. Jika tidak sejalan dengannya, akan merepotkan. 　　Yu Jin tidak takir Sekretaris istana berkhianat. 　　Pejabat bawahan seperti Sekretaris istana berbeda dengan pejabat lain. Begitu terikat dengan suatu istana pangeran, mustahil mendapat posisi penting di tempat lain. 　　Selain itu, seluruh keluarga Sekretaris istana tinggal di lingkungan istana pangeran. Keselamatan mereka sepenuhnya ada di tangan Yu Jin. 　　Keduanya benar-benar sehidup semati. 　　Lihat saja nasib pejabat bawahannya Istana Timur Putra Mahkota yang Dipecat - ada yang dipenggal, disita hartanya, kehilangan jabatan pun sudah dianggap beruntung. 　　Sebelumnya Yu Jin tidak membahas ini karena khawatir membuat Sekretaris istana senior ketakutan. Kini statusnya sebagai putra Permaisuri menjadi momentum tepat. 　　Ternyata Yu Jin masih melebih-lebihkan daya tahan Sekretaris istana. 　　Sekretaris istana senior terjatuh kembali ke kursi, matanya kosong dan terpaku, bergumam pelan: "Selesai... pasti tak akan berakhir baik..." 　　Suara dengus keras terdengar. 　　Wajah Yu Jin dingin bagai es, tak senang berkata: "Sekretaris meragukan kemampuan aku?" 　　Sekretaris senior itu terkejut lalu menangis tersedu-sedu: "Pangeran jangan bertindak sembrono!" 　　Tidakkah baik menjadi pangeran dengan tenang? Mengapa harus melakukan hal yang bisa membuat kepala terpenggal? 　　Yu Jin mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni dengan jarinya, kesal berkata: "Aku sudah pertimbangkan matang-matang. Mereka anak kaisar, aku juga anak kaisar. Ibu angkatku adalah permaisuri. Menurut Sekretaris, mengapa aku harus menyerahkan posisi calon penguasa begitu saja?" 　　Sekretaris senior itu tertegun 　　Tiba-tiba merasa ucapan sang pangeran ada benarnya. 　　"Tapi memperebutkan posisi calon penguasa terlalu berisiko--" 　　Yu Jin mencemooh: "Makan pun ada risiko tersedak. Putra Mahkota sebelumnya puluhan tahun menjabat, siapa sangka akhirnya seperti itu. Kehidupan tak terduga, menurut Sekretaris tidak berjuang pasti bisa jadi pangeran tak berkuasa dengan tenang?" 　　Sekretaris senior itu terdiam. 　　"Lihatlah Sekretaris Ma di Kediaman Pangeran Qi, Sekretaris Kou di kediaman Pangeran Lu, Sekretaris Dou di Istana Pangeran Shu, Sekretaris Niu di Istana Pangeran Xiang, bahkan Sekretaris Liu di Qin Wang. Sama-sama sekretaris istana, mereka bekerja keras, tapi Sekretaris malah menarik mundur aku?" 　　Sekretaris istana senior merasa sedikit malu, namun di tengah rasa malunya, dia tak bisa menahan pikiran: Dari sekian banyak sekretaris istana, bagaimana Pangeran bisa mengingat semuanya? 　　Yu Jin menatap Sekretaris istana dalam-dalam sambil tersenyum: "Kudengar di masa muda Sekretaris istana Dou, Anda pernah mengirimkan kaligrafi dan lukisan untuk istri terhormat?" 　　Mendengar ini, wajah Sekretaris istana senior langsung berubah ungu. 　　Istrinya yang sudah tua dulunya adalah teman masa kecil Sekretaris istana Dou. Setelah menikah dengannya, si Dou berhati licik ini masih berani mengirim puisi cinta. 　　Suara dingin kembali terdengar: "Jika Pangeran Shu menjadi Putra Mahkota dan naik takhta nanti, tak tahu bagaimana Sekretaris istana Dou akan meraih kemajuan pesat--" 　　Sekretaris istana senior menepuk meja dan berdiri: "Aku ikut!" 　　"Hmm?" Mata Yu Jin menyipit, menutupi senyum yang mulai mengembang. 　　Tak disangka Sekretaris istana masih punya nyali. Dia mengira perlu membujuk lebih lama. 　　Sekretaris istana senior merasa tersinggung dengan pandangan meremehkan itu. 　　Siapa yang tak pernah muda? Gigi geraham belakang Sekretaris istana Dou yang hilang itu patah karena pukulannya. 　　Tapi tadi memang sudah melewati batas. 　　Sekretaris istana senior mengatupkan tangan: "Hamba rela dikorbankan Pangeran, mati pun tak menyesal!" 　　Lagipula jika si Dou berjaya, dia juga akan mati kesal. Lebih baik bergabung dengan Pangeran. 　　Siapa tahu berhasil? 　　Yu Jin mengangkat cangkir teh, berkata lembut: "Sekretaris istana akan bekerja keras nanti." 　　Kabar Pangeran Yan diadopsi oleh Permaisuri menyebar seperti angin. 　　Tuan Jiang Kedua yang mendengar kabar ini dari rekan sejawat, pulang ke Kediaman Dongping Bo dengan langkah gontai. 　　“Ada apa?” tanya Nyonya Feng dengan sigap saat melihat ekspresi Tuan Jiang Kedua yang panik. 　　“Apa Kakak tidak ada di rumah?” 　　Nyonya Feng mendengus dingin: “Kamu sendiri kan tahu tabiat kakakmu, setiap hari keluyuran tak ada kerjaan tetap.” 　　Membicarakan putra sulungnya, dada Nyonya Feng langsung dipenuhi amarah. Namun ketika mengingat gelar bangsawan yang jatuh dari langit dan kepulangan Jiang Zhan yang hidup-hidup, terlebih lagi status Jiang Si sebagai Permaisuri Pangeran, kata-kata keras pun tertahan di mulutnya. 　　“Ibu sebaiknya memanggil Kakak pulang,” usul Tuan Jiang Kedua, hati dipenuhi kecemburuan saat mengingat Jiang Ancheng. 　　Apakah orang bodoh memang punya keberuntungan? Kok semua kejadian baik selalu menimpa kakak? 　　“Jangan-jangan kakakmu bermasalah lagi?” 　　“Bukan Kakak yang bermasalah, tapi Sang Pangeran.” 　　Tangan Nyonya Feng mencengkeram cangkir teh lebih kencang: “Sang Pangeran?” 　　Tuan Jiang Kedua mengangguk berat: “Sang Pangeran telah dicatat dalam silsilah Permaisuri.” 　　Tangan Nyonya Feng bergetar membuat teh tumpah, suaranya berubah: “Tercatat, tercatat di bawah nama Permaisuri? Lalu Pangeran Yan bukanlah--” 　　Kalimat selanjutnya tak berani diucapkan Nyonya Feng, Tuan Jiang Kedua pun tak berani melanjutkan. Tapi kedua ibu-anak ini sama-sama membayangkan: Bukankah Pangeran Yan yang kini setengah berstatus putra mahkota sah berpeluang menjadi Putra Mahkota? 　　Jika Pangeran Yan naik tahta, keluarga Jiang akan menjadi keluarga permaisuri... 　　Nyonya Feng gemetar kegirangan: “Cepat panggil Sang Bangsawan pulang!” 　　Jiang Ancheng yang kembali dengan wajah bingung bertanya: “Ada masalah besar apa?” 　　Setelah mendengar penjelasan Tuan Jiang Kedua, Jiang Ancheng tidak merasa terkesan: "Ternyata hanya ini, pantas saja memanggilku pulang." 　　"Kakak, ini kabar gembira, haruskah kita mengunjungi istana pangeran untuk memberi selamat kepada Pangeran?" 　　Jiang Ancheng mengerutkan kening: "Ibu kandung diganti, perlu dirayakan?" 　　Tuan Jiang Kedua terdiam seribu bahasa. 　　"Sudahlah, keluarga Bo harus bertindak sesuai prosedur. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak perlu, Adik Kedua." 　　Terima kasih kepada Liu Chengxuepao atas hadiah sepuluh ribu koin, dan para teman pembaca yang memberikan hadiah dan vote. Besok harus buru-buru ke bandara, sampai rumah sudah malam. Tidak tahu apakah bisa update, ingin memberitahu dulu. 733.Izin 　　Izin 　　Perjalanan darat, sampai rumah malam. Hari ini istirahat dulu, update besok siang. Saya mengerti kekecewaan kalian, saya juga kecewa! Beberapa buku yang saya ikuti belakangan ini updatenya kurang karena penulis sedang menghadiri pertemuan tahunan! 734.BAB 731 Percakapan Mendalam 　　BAB 731 Percakapan Mendalam 　　Pencatatan Yu Jin di bawah nama Permaisuri memang menimbulkan gelombang besar. Namun mengingat ibu kandung Pangeran Yan masih hidup dan berstatus selir tinggi, banyak pihak hanya bisa menahan diri dan diam-diam mengirim hadiah, tidak berani mengucapkan selamat secara terbuka. 　　Yang paling canggung dalam situasi ini adalah keluarga An Guogong. 　　Mendengar kabar tersebut, An Guogong langsung masuk istana menghadap Kaisar. 　　"Paduka, An Guogong meminta audiensi." 　　Begitu mendengar ini, kepala Kaisar Jingming mulai terasa pusing. Untuk beberapa saat beliau diam membisu. 　　Pan Hai diam-diam menyeringai. 　　Menghindari tanggal satu tidak bisa menghindari tanggal lima belas. Melarikan diri bukan solusi bagi Kaisar. 　　“Kaisar Jingming jelas juga memahami prinsip ini. Setelah merenung sejenak, beliau berkata, 'Panggil An Guogong menghadap.'” 　　Tak lama kemudian, An Guogong memasuki ruang studi kekaisaran: "Hamba menghadap Kaisar." 　　"Persilakan An Guogong duduk." 　　Pan Hai membawakan bangku kecil dan mempersilakan An Guogong duduk. 　　An Guogong duduk dengan wajah muram. 　　Kaisar Jingming berkata dengan ramah, "Ini bukan sidang kerajaan, An Guogong tak perlu kaku." 　　An Guogong hampir tak kuasa menahan diri untuk memutar mata putih. 　　Apakah ini soal kekakuan? Dia datang untuk menuntut penjelasan! 　　Tentu saja, yang dihadapinya adalah Kaisar. Sebesar apapun kemarahannya, tak mungkin benar-benar menuntut penjelasan. Tapi niat itu tetap ada dalam hatinya. 　　Keponakannya yang baik-baik tiba-tiba menjadi milik orang lain? Yang paling menyebalkan adalah tak ada kabar sama sekali. Dia justru mendengarnya dari orang lain. 　　Setelah menarik napas dalam-dalam, An Guogong mulai berbicara, "Hamba tua mendengar Pangeran Yan dicatatkan di bawah nama Permaisuri—" 　　"Hmm." 　　An Guogong menahan diri agar tidak lancang. Nada suaranya tak terasa meninggi: "Urusan rumah tangga Kaisar hamba tak berani sembarang komentari. Hanya ingin tahu kabar Ibu Suri Xian?" 　　Ibu Suri Xian adalah adik kandungnya. Meski ada perbedaan prinsip di antara mereka, saat seperti ini tentu dia tak bisa tinggal diam. 　　Mendengar An Guogong menyebut Ibu Suri Xian, Kaisar Jingming tersenyum: "Jangan khawatir, An Guogong. Langkah yang Kuambil ini juga demi mempertimbangkan Ibu Suri Xian." 　　An Guogong terdiam. 　　Bagaimana mungkin pertimbangan Kaisar justru menghilangkan anak kandung adiknya? 　　“Adipati An mungkin belum tahu, Lao Qi si brengsek itu berulang kali membuat Ibu Suri Xian marah. Penyakit sakit kepala Ibu Suri mungkin timbul karena emosi akibat ulah si brengsek itu. Ibu Suri telah menemani Aku bertahun-tahun, hati Aku juga sakit melihat kesehatannya rusak karena emosi. Aku pikir keadaan ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus, lebih baik serahkan saja si brengsek itu kepada Permaisuri untuk dididik. Dengan demikian semuanya menjadi sempurna.” 　　An Guogong: “……” Persetan dengan kesempurnaan! Jika ingin memberi pelajaran kepada Pangeran Yan, bukankah seharusnya diturunkan jabatannya seperti Pangeran Lu yang dijadikan pangeran daerah? Menjadi anak Permaisuri bisa disebut hukuman? 　　Kaisar Jingming melihat ekspresi An Guogong yang terus berubah, batuk kecil: “Jika Adipati An merindukan Ibu Suri Xian, maukah Aku mengatur pertemuan antara kalian berdua?” 　　An Guogong gemetar ketakutan, buru-buru menjawab: “Atas kebaikan hati Kaisar, pertemuan tidak perlu diadakan.” 　　Meskipun saudara kandung, seorang selir istana dan pejabat luar istana tidak pantas bertemu sembarangan. 　　Sebenarnya An Guogong sudah bertahun-tahun tidak bertemu Ibu Suri Xian. Segala informasi tentang Ibu Suri disampaikan melalui istrinya. 　　Kaisar Jingming tersenyum tipis, dalam hati memuji sikap An Guogong yang tahu diri. 　　“Jika tidak ada urusan lain, Adipati An boleh pulang. Tadi ada utusan dari Istana Yuquan melaporkan Ibu Suri sedang kurang sehat. Aku berencana mengunjunginya.” 　　An Guogong membuka mulut lalu menutupnya lagi: “Hamba mohon diri.” 　　Setelah An Guogong pergi, Kaisar Jingming menyelipkan sebuah buku cerita dari tumpukan memorial resmi dan mulai membacanya. 　　Pan Hai di samping bertanya: “Paduka, tentang Istana Yuquan——” 　　“Istana Yuquan ada apa?” Kaisar Jingming mengangkat pandangan dari buku yang dipegangnya, bertanya datar. 　　Pan Hai berpura-pura menampar mulutnya sendiri: "Hamba ini terlalu banyak bicara." 　　Omongan Kaisar yang menipu An Guogong, ternyata dipercayanya. 　　Keesokan harinya, Yu Jin dan Jiang Si memasuki istana untuk memberi salut pada Permaisuri. 　　Permaisuri telah mempersiapkan diri. Saat bertemu, beliau tersenyum: "Sudah kuduga kalian akan datang, tapi tak menyangka begitu pagi. Makan sianglah di sini. Meski bahan di Dapur Kecil Istana Kuning tak selengkap dapur kekaisaran, juru masak istana kami cukup berbakat dengan beberapa menu spesial." 　　Yu Jin menjawab: "Terima kasih Ibu. Hari ini saya dan A Si beruntung." 　　Permaisuri melirik dayang-dayang. 　　Seorang dayang menghampiri dengan membawa kotak kecil elegan, disodorkan pada Jiang Si. 　　Permaisuri berkata: "Bukan hadiah berharga, terimalah." 　　"Terima kasih atas hadiah Ibu." Jiang Si menerima kotak itu dengan anggun. 　　Melihat sikapnya yang wajar, Permaisuri mengangguk puas: "Saat pernikahanmu dulu, gelang Lingxiao pemberianku ternyata tepat. Kita memang ditakdirkan menjadi keluarga." 　　Tiba-tiba dayang masuk melapor: "Putri Fuqing dan Putri ke-14 telah tiba." 　　"Suruh mereka masuk." 　　Dua gadis berbaju istana berjalan masuk. Putri Fuqing di depan, Putri ke-14 di belakang. 　　"Ibu, Kakak Ketujuh." Setelah memberi salam, Putri Fuqing menggandeng tangan Jiang Si: "Hari ini akhirnya bisa mengobrol lama dengan Istri Ketujuh." 　　Permaisuri tersenyum mendengarkan sejenak, lalu mengusulkan: "Masih awal, jika kau ingin berbincang baik-baik dengan istri ketujuhmu, lebih baik kita jalan-jalan ke taman kebetulan beberapa pohon kamelia sedang mekar." 　　Putri Fuqing tersenyum: "Baguslah, istri ketujuh, mari kita jalan-jalan?" 　　Jiang Si melirik Yu Jin, 　　Yu Jin berkata: "Kalian saja pergi, saya akan menemani Ibu berbincang." 　　Memandang Jiang Si bertiga pergi, Permaisuri menarik pandangannya dan tersenyum tipis pada Yu Jin: "Saat pertama melihatmu dengan Permaisuri Yan, aku berpikir dalam hati seandainya pasangan rupawan seperti ini menjadi anak lelaki dan menantu perempuanku, tak disangka kini menjadi kenyataan." 　　Yu Jin segera menjawab: "Mendapat perhatian Ibu adalah berkah bagi anak." 　　Permaisuri memberi isyarat pada dayang pelayan untuk mundur, setelah diam sejenak berkata: "Tidak perlu kata-kata formal. Karena kau sudah dianggap sebagai anakku, kedepan aku akan memperlakukanmu seperti anak kandung, sama seperti Janda Permaisuri memperlakukan Kaisar—" 　　Yu Jin berdebar, menduga Permaisuri akan mengucapkan perkataan yang sangat penting. 　　Permaisuri meneguk cangkir tehnya, bertanya dengan tenang: "Apa rencanamu untuk masa depan?" 　　Yu Jin bertatapan dengan Permaisuri. 　　Pandangan sang Permaisuri tenang tanpa gejolak, seperti kolam yang tak tersentuh angin. 　　Yu Jin mengerutkan bibir tipisnya, menyungging senyum penuh makna: "Tentu sesuai harapan Ibu terhadap anak." 　　Karena Permaisuri sengaja menyuruh A Si dan kedua putri pergi untuk membicarakan ini, berpura-pura bodoh lagi hanya akan merendahkan martabatnya. 　　Permaisuri mengangkat alisnya, dalam hati berpikir Pangeran Yan memang orang cerdas, penilaiannya tidak salah. 　　Seorang pangeran yang dikirim keluar istana sejak kecil dan dibiarkan bertahan hidup sendiri, bisa membuat nama di selatan. Kembali ke Ibu Kota dengan reputasi membawa sial bagi Kaisar, tapi malah mendapat perhatian khusus darinya. Mana mungkin sesederhana kelihatannya. 　　Dia ingin memilih seorang anak lelaki untuk melindungi Fuqing, tentu tak bisa memilih orang tolol. 　　Permaisuri diam-diam minum teh sampai habis, lalu tersenyum: "Sebagai ibu, tentu ada harapan terhadap anaknya." 　　Saat mengatakannya, suaranya berubah lembut: "Mengharapkan anak menjadi naga, itulah harapan seorang ibu." 　　Karena sudah memilih melangkah sejauh ini, mustahil mundur dan menerima pilihan kedua. 　　Putra Permaisuri, tentu harus menjadi naga sejati. 　　Yu Jin berdiri membungkuk hormat: "Anak pasti berusaha sekuat tenaga memenuhi harapan Ibu." 735.BAB 732 Makan Belum Selesai 　　BAB 732 Makan Belum Selesai 　　Permaisuri tersenyum, senyuman tulus dari hati. 　　Dia menyukai orang pintar, saatnya bicara terbuka jangan pura-pura bodoh. 　　"Ke depannya, Fuqing akan merepotkanmu sebagai kakak untuk menjaganya." 　　"Menjaga adik adalah kewajiban." 　　Yu Jin dan Permaisuri saling tersenyum, tak berbicara lebih lanjut. 　　Kesepakatan tujuan bersama adalah langkah pertama. Urusan selanjutnya tak bisa diselesaikan dengan beberapa patah kata. 　　Sekitar setengah shichen kemudian, Jiang Si dan Putri Fuqing kembali. 　　"Si Empat Belas?" tanya Permaisuri saat tak melihat Putri ke-14. 　　Putri Fuqing menjawab: "Adik Keempat Belas bilang masih ada pekerjaan sulaman yang belum selesai, pulang dulu." 　　Ulang tahun Janda Permaisuri semakin dekat. Hadiah dari kedua putri untuknya adalah karya sulaman. 　　Permaisuri tersenyum sambil menggelengkan kepala: "Anak ini, katanya mau makan siang bersama." 　　Di dalam hati, ia merasa puas dengan sikap tahu diri Putri ke-14. 　　Meskipun Permaisuri cukup bijaksana dan tidak membenci Putri ke-14 karena kejahatan Chen Meiren, di saat-saat tertentu ia tetap berharap tidak ada gangguan dari orang luar. 　　Seperti jamuan makan siang kali ini bersama pasangan Pangeran Yan. 　　Melihat waktu makan hampir tiba, Permaisuri memerintahkan pelayan: "Panggil Kaisar kemari." 　　Pelayan menjawab lalu bergegas menuju ruang studi kekaisaran. 　　Di ruang studi kekaisaran, Kaisar Jingming mengusap-usap pemberat kertas giok putih di meja, sesekali melirak jam pasir di sudut ruangan. 　　Sudah larut begini, kenapa belum ada kabar dari Istana Kuning? 　　Hmm—Jangan-jangan Permaisuri lupa mengundangnya untuk makan siang? 　　Tidak mungkin, masa orang penting sepertinya bisa dilupakan? 　　Akal sehatnya berusaha menenangkan Kaisar Jingming, tapi perut keroncongan mengingatkannya: Benar-benar sudah waktunya makan! 　　Tapi kalau datang sendiri terlalu tidak menghargai posisi, seolah-olah ia sangat ingin ikut ramai-ramai. 　　Setelah menunggu lebih lama, Kaisar Jingming tiba-tiba batuk: "Pan Hai, kau lihat Jixiang?" 　　Pan Hai langsung kebingungan. 　　Sebagai kasim pembawa kuas sekaligus Kepala Dongchang, orang kepercayaan utama Kaisar—seberapa lapangnya waktu sampai harus memantau kucing gemuk seharian? 　　"Sekarang ini, Jixiang pasti sedang makan ikan kering?" tanya Kaisar Jingming dengan wajah keras. 　　Pan Hai segera menyadari: Kaisar sama sekali tidak memikirkan apakah Jixiang makan ikan kering, melainkan mengingat jamuan yang disebut Permaisuri kemarin. 　　"Hamba akan segera menanyakan." Pan Hai buru-buru keluar, baru saja memanggil kasim kecil untuk mengingatkan Permaisuri di Istana Kuning, utusan dari Istana Kuning sudah datang. 　　Melihat situasi ini, Pan Hai menghela napas lega. 　　Dengan begitu jadi lebih praktis. 　　"Ikut saya masuk." 　　Melihat Pan Hai kembali, Kaisar Jingming menatap ke arahnya. 　　"Kaisar, Permaisuri mengundang Yang Mulia untuk makan siang." 　　Kaisar Jingming melirik utusan Istana Kuning, membersihkan tenggorokannya lalu bertanya pada Pan Hai: "Sudah menemukan Jixiang?" 　　Pan Hai terkekeh kaku: "Jixiang sedang makan ikan kering." 　　"Hmm." Kaisar Jingming mengangguk, lalu dengan wajah angkuh bertanya pada kasim Istana Kuning: "Apakah Pangeran Yan sudah sampai?" 　　Kasim Istana Kuning buru-buru menjawab: "Lapor Kaisar, Pangeran dan Permaisuri sudah tiba sejak lama." 　　Wajah angkuh Kaisar Jingming langsung berubah kaku. 　　Sudah lama sampai? 　　"Siapa saja yang ada?" Kaisar Jingming bertanya lagi. 　　Kasim itu menjawab jujur: "Selain Pangeran dan Permaisuri, Putri Fuqing juga hadir." 　　Kaisar Jingming terdiam. 　　Dia dikucilkan ini— 　　Melihat Kaisar diam, kasim itu buru-buru berkata: "Permaisuri bilang jika Kaisar sibuk, maka—" 　　Pan Hai menarik kasar lengan kasim itu. 　　Tolol ini tidak tahu cara bicara! Jika Kaisar murka, yang jadi korban pasti para pelayan di sekitarnya. 　　“Kaisar Jingming berdiri, bersuara datar: "Kalau Permaisuri sudah mengundang, mari kita lihat. Lagipula tidak ada urusan lain."” 　　“Sepanjang perjalanan Kaisar Jingming berjalan cepat. Pan Hai yang mengejar di belakang terus memutar mata putih, dalam hati bergumam: "Apakah Kaisar tidak bisa menjaga sikap sedikit lebih lama?" Kasihan tubuh tuanya yang sudah renta.” 　　“Saat mendekati Istana Kuning, langkah Kaisar Jingming tiba-tiba melambat.” 　　“"Kaisar tiba——"” 　　“Begitu teriakan pelayan terdengar, Permaisuri dan beberapa orang menyambut keluar.” 　　“"Tak perlu banyak protokol, masuk saja." Kaisar berjalan masuk dengan tangan terkepal di belakang.” 　　“Permaisuri tersenyum: "Kupikir Kaisar sibuk hari ini."” 　　“"Kalau bukan Permaisuri yang mengirim orang untuk mengundang, sungguh aku akan lupa." Kaisar Jingming berkata datar.” 　　“Setelah duduk, para dayang berbaris rapi masuk membawa cangkir, piring, dan hidangan.” 　　“Meski tidak banyak, setiap hidangan disajikan dengan indah.” 　　“Kaisar Jingming menyantap beberapa suap lalu tersenyum: "Masakan Permaisuri masih enak. Kalian beruntung bisa menikmatinya."” 　　“Yu Jin dan Jiang Si cepat-cepat membenarkan.” 　　“Kaisar Jingming memandang istri, lalu putri, terakhir anak lelaki dan menantu perempuan. Tiba-tiba muncul perasaan kelengkapan.” 　　“Tapi tidak, jika Jixiang juga ada, baru benar-benar lengkap.” 　　“"A Huan sudah besar. Nanti saat cuaca hangat, jika kalian masuk istana lagi, bawa para gadis agar kulihat. Tidak pantas seorang kakek tidak mengenal cucu perempuannya."” 　　“Di samping, Pan Hai diam-diam menarik sudut bibirnya.” 　　Kata-kata Kaisar ini sungguh tidak pantas, begitu banyak putri di istana belakang yang belum dikenali semua, apa istimewanya tidak mengenal cucu perempuan? 　　Namun dari sini terlihat betapa Kaisar menghargai pasangan Pangeran Yan. 　　Pangeran Yan yang menjadi putra Permaisuri, memang berbeda nasibnya. 　　Jangan-jangan Pangeran Yan akan——Pan Hai tiba-tiba muncul pertanyaan ini di hati, kaget sendiri, tak berani memikirkannya lebih jauh. 　　Jiang Si tersenyum menyambung: "Saat masuk istana berikutnya untuk memberikan salut pada Ayah Kaisar dan Ibu, menantu perempuan akan membawa A Huan." 　　Makan malam berlangsung harmonis, hal yang langka di keluarga kekaisaran. 　　Kaisar Jingming tanpa alasan merasa enggan melepas suasana santai ini, sengaja memperlambat tempo makannya. 　　Tiba-tiba seorang dayang bergegas masuk: "Kaisar, Permaisuri, utusan dari Istana Cining datang." 　　Kaisar Jingming dan Permaisuri saling pandang, meletakkan sumpit perak: "Suruh masuk." 　　Tak lama masuk seorang kasim dengan wajah panik, langsung bersujud melihat Kaisar: "Paduka, Janda Permaisuri pingsan——" 　　Kaisar Jingming bangkit berdiri, wajahnya langsung pucat. 　　Permaisuri segera menyangga Kaisar, bertanya dengan suara keras: "Apa yang terjadi? Bagaimana Janda Permaisuri bisa pingsan?" 　　Kasim itu menggigilkan bibir: "Hamba... hamba belum sempat menanyakan detailnya, langsung disuruh melapor pada Kaisar dan Nyonya." 　　Kaisar Jingming menopang diri di meja, menarik napas lalu berkata pada Permaisuri: "Mari kita pergi melihat Ibu dulu." 　　“Jalan dua langkah, Kaisar Jingming tiba-tiba berbalik memandang Yu Jin dan Jiang Si: "Kalian juga ikut pergi bersama."” 　　Yu Jin mengikuti di belakang Kaisar dan Permaisuri, diam-diam menggenggam tangan Jiang Si sebentar lalu melepaskannya. 　　Jiang Si mengangguk perlahan. 　　Keduanya mengumpulkan keberanian, segera mengikuti Kaisar dan Permaisuri menuju Istana Cining. 　　Istana Cining telah kacau balau karena Janda Permaisuri pingsan. 　　“Menghadap Paduka Kaisar——” 　　Kaisar Jingming tak sabar mendengar omong kosong ini, langsung bertanya: “Tabib istana sudah datang?” 　　“Tabib sedang memeriksa kondisi Janda Permaisuri.” 　　Kaisar Jingming melewati orang yang menjawab dan masuk ke kamar dalam, melihat tabib menusukkan jarum perak ke titik akupresur tubuh Janda Permaisuri. 　　Meski cemas membara, melihat situasi ini Kaisar Jingming tidak berani mengganggu, diam-diam mundur keluar. 　　“Mengapa Janda Permaisuri bisa pingsan?” 　　Sekelompok orang berlutut di hadapan Kaisar Jingming, gemetar ketakutan mendengar pertanyaan ini. 　　“Kalian tuli semua?” 　　Seorang dayang di dekat Janda Permaisuri mengangkat kepala, wajahnya pucat pasi, bergetar menjawab: “Lapor Paduka, Janda Permaisuri pingsan karena tiba-tiba melihat mayat Bibi Ping——” 　　Saya sudah update dua bab, tapi buku yang saya tunggu-tunggu kemarin baru update satu bab hari ini.... 736.BAB 733 Kematian Bibi Ping 　　BAB 733 Kematian Bibi Ping 　　Bibi Ping—— 　　Tiga huruf ini membuat Kaisar Jingming langsung merinding, bahkan lupa segera menanyakan detailnya. 　　Pada Festival Shangyuan, Putri Fuqing mengalami insiden di Xuande Lou. Berkat ucapan Yu Jin, meskipun Kaisar Jingming tidak mungkin mencurigai Janda Permaisuri, diam-diam mengizinkan penyelidikan di Istana Cining. 　　Bibi Ping ini adalah sosok yang baru-baru ini terungkap sering berinteraksi dengan Qing Dai, dayang pribadi Putri Fuqing. 　　Bibi Ping meninggal? 　　Dalam hati Kaisar Jingming langsung muncul pertanyaan ini, "Bagaimana mungkin Janda Permaisuri melihat mayat Bibi Ping?" 　　Bibi Ping adalah pegawai pakaian di Istana Cining, bertugas mengawasi dayang-dayang yang mengurus pakaian Janda Permaisuri, termasuk orang yang dipercaya di hadapannya. 　　Dayang yang berlutut di tanah menundukkan kepala: "Hari ini Bibi Ping membawa pakaian ulang tahun Janda Permaisuri untuk diperiksa. Setelah melihat, Janda Permaisuri memintanya menyimpan dengan baik. Tapi Bibi Ping lama tidak keluar dari kamar barat, tiba-tiba terdengar teriakan. Janda Permaisuri melihat ke sana dan menemukan Bibi Ping gantung diri-" 　　"Di mana hamba rendah itu?" Kaisar Jingming bertanya dengan wajah masam. 　　Dayang itu gemetar ketakutan: "Masih...masih tergantung di balok-" 　　"Bawa Aku ke sana!" 　　Dayang itu panik melirik Permaisuri. 　　Permaisuri buru-buru berkata: "Kaisar, jangan biarkan hamba rendahan mengganggu-" 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan sambil menyeringai: "Aku sudah biasa melihat berbagai hal, masa takut mayat?" 　　Permaisuri tidak bisa melanjutkan nasihatnya. 　　“Kaisar Jingming melirik Dayang yang tergeletak di lantai, berkata dingin: "Kau yang memimpin jalan."” 　　Dayang itu pun bangkit dengan susah payah, berjalan di depan dengan gelisah. 　　Kaisar Jingming melangkah beberapa langkah, lalu berkata pada Permaisuri: "Kamu dan Fuqing tidak perlu ikut. Biarkan Lao Qi dan istrinya saja yang menemaniku."” 　　Perkataan ini membuat sudut bibir Yu Jin berkedut. 　　Apa maksudnya? Memanggilnya ikut itu wajar, tapi kenapa harus ajak A Si juga? 　　Jadi Permaisuri dan Putri Fuqing adalah dua bunga yang lembut, sementara istrinya bukan wanita lemah? 　　Yu Jin bergumam dalam hati, namun langkahnya tak melambat. Saat menoleh, dilihatnya Jiang Si malah berjalan lebih cepat darinya. 　　Peti pakaian Janda Permaisuri terletak di kamar barat, hanya beberapa langkah saja jaraknya. 　　Di balok langit-langit tergantung mayat seorang wanita yang bergoyang lemah, sementara bangku bordir motif bunga-burung tergeletak menyendiri di sampingnya. 　　Depan kamar barat kini dipenuhi dayang istana yang tak ada berani bergerak, mereka segera memberi hormat saat melihat Kaisar Jingming dan tiga orang lainnya datang. 　　Kaisar Jingming berdiri di ambang pintu, menatap wanita yang tergantung di langit-langit itu beberapa saat, lalu melirik Pan Hai. 　　Pan Hai berbisik: "Ini Bibi Ping." 　　Setelah diam sejenak, Kaisar Jingming berkata: "Lao Qi, periksa apakah ada kejanggalan." 　　"Baik." 　　Yu Jin masuk ke dalam kamar. 　　Tanpa ragu, Jiang Si menyusul masuk. 　　Dayang Istana Cining terkejut, berpikir dalam hati Permaisuri Yan berani sekali, lalu melirik sekilas ekspresi Kaisar Jingming yang sudah terbiasa, semakin kaget: Apakah sekarang keluarga kerajaan memilih menantu perempuan berdasarkan keberanian? 　　Putri Fuqing melirik ke arah kamar barat, berbisik: "Ibu, Bibi Ping dia——" 　　Permaisuri menggenggam tangan Putri Fuqing lebih erat, berbisik: "Jangan banyak bicara." 　　Pegawai pakaian Janda Permaisuri ternyata tewas di kamar tidurnya, kasus ini semakin rumit. Saat seperti ini lebih baik diam. 　　Kaisar Jingming kembali, bertanya pada Dayang tadi: "Apakah Bibi Ping pergi menyimpan pakaian sendirian?" 　　Dayang itu segera menjawab: "Lapor Kaisar, ada dayang kecil yang ikut bersama Bibi Ping." 　　"Lalu di mana dayang kecil itu?" Kaisar Jingming langsung bertanya. 　　Suara gemetar terdengar: "Ha...hamba di sini..." 　　Saat seseorang berlutut di depan mata, Kaisar Jingming melihat jelas penampilan dayang kecil itu: Seorang gadis yang terlihat baru 13-14 tahun, wajahnya pucat pasi, mata berkaca-kaca, jelas sangat ketakutan. 　　"Di mana kau saat Bibi Ping gantung diri?" 　　Tidak mungkin dayang kecil ini menyaksikan Bibi Ping bunuh diri. 　　"Ha...hamba tidak ada di dalam kamar..." Dayang kecil itu bersujud di lantai, gemetar seperti ayakan, "Bibi Ping menyuruh hamba mengambil wewangian untuk dimasukkan ke peti dan mengharumkan pakaian. Saat hamba kembali ke kamar, ternyata Bibi Ping sudah gantung diri——" 　　Kaisar Jingming mendengar hingga wajahnya pucat, bertanya pada Dayang itu: "Sebelumnya kalian tidak mendengar suara apa pun?" 　　Bangku bordir terjatuh pasti mengeluarkan suara. 　　Sang Dayang menggeleng: "Saat itu Janda Permaisuri sedang mendengarkan nyanyian, tidak mendengar suara dari kamar barat. Baru setelah teriakan dayang kecil itu, Janda Permaisuri keluar untuk melihat——" 　　Sampai di sini, Dayang itu melototi si dayang kecil. 　　Kalau bukan karena hamba tak berguna ini berteriak histeris, mana mungkin Janda Permaisuri pingsan ketakutan. Jika Bibi Ping pantas dijadikan bangkai untuk dicambuk, si gadis kecil ini juga layak dihajar sampai mati. 　　Namun Kaisar Jingming tidak mempersoalkan kelakuan dayang kecil itu, melainkan memusatkan perhatian pada Bibi Ping. 　　Jika Bibi Ping dibunuh, yang terpenting adalah menemukan pelaku kejahatan. Jika Bibi Ping bunuh diri, apa motifnya memilih gantung diri di tempat yang begitu mencolok? 　　Langkah kaki terdengar, Yu Jin dan Jiang Si mendekat. 　　Kaisar Jingming buru-buru bertanya: "Bagaimana?" 　　Putri Fuqing menatap Yu Jin dan Jiang Si, wajahnya juga penuh harapan. 　　Sang Permaisuri menangkap reaksi mereka, diam-diam menyunggingkan sudut bibir. 　　Agak malu mengatakannya, tapi kekhawatirannya pada Janda Permaisuri jauh tidak sebesar Kaisar. Justru karena itu ia bisa melihat lebih jelas. 　　Mungkin Sang Kaisar sendiri tak menyadari, dalam kasus seperti ini ia sangat mengandalkan Pangeran Yan. 　　Anak lelaki mendapat perhatian Kaisar tentu merupakan hal yang membahagiakan. 　　Yu Jin menggelengkan kepala: “Tidak ada jejak perlawanan, juga tidak ada luka luar di tubuh. Anak lelaki bertanya pada dayang istana, saat itu selain yang tinggal di kamar Janda Permaisuri, semua orang lain berdiri di luar, tidak terlihat ada yang pergi ke kamar barat. Dengan demikian bisa disimpulkan Bibi Ping bunuh diri.” 　　Kaisar Jingming terdiam lama, lalu marah: “Hamba hina ini!” 　　Tiba-tiba seorang dayang istana berlari tergopoh-gopoh: “Kaisar, Janda Permaisuri sudah siuman.” 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming segera bergegas masuk. 　　Janda Permaisuri disangga setengah duduk oleh seorang dayang. Melihat Kaisar datang, ia tersenyum lemah: “Kaisar datang.” 　　“Ibu, apakah Ibu baik-baik saja?” Kaisar Jingming duduk di samping Janda Permaisuri, bertanya penuh perhatian. 　　Permaisuri menyusul bertanya: “Apakah kondisi Ibu sudah membaik?” 　　Putri Fuqing mengusap air mata, wajahnya mulai berseri: “Nenek Kaisar, syukurlah Nenek sudah siuman.” 　　Yu Jin diam-diam menyentuh tangan Jiang Si, mereka bersama-sama menyampaikan salam pada Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri mengamati kerumunan, pandangannya tertahan agak lama pada Yu Jin, bertanya lemah: “Kalian masuk istana hari ini, apakah untuk memberi salut pada Permaisuri?” 　　Yu Jin mengangguk: “Awalnya ingin memberi salut pada Nenek Kaisar, takut mengganggu ketenangan Nenek.” 　　Kecuali di hari-hari penting, pangeran-pangeran luar istana beserta permaisuri dan putri mereka tidak mungkin selalu datang ke Istana Cining. Janda Permaisuri juga tidak punya tenaga untuk melayani mereka semua, jadi Yu Jin dan Jiang Si yang tidak datang memberi salut ke Istana Cining tidak dianggap tidak sopan. 　　“Hamba justru ingin suasana lebih ramai——” Suara Janda Permaisuri terhenti, seolah teringat sesuatu, serak bertanya, “Bibi Ping benar-benar meninggal?” 　　Kaisar Jingming mengangguk perlahan. 　　Janda Permaisuri menepuk pilar ranjang, berkeluh: “Bibi Ping ini jelas-jelas sengaja mati untuk mempermalukan hamba!” 　　Kaisar Jingming tertegun, buru-buru bertanya: “Apa maksud Ibu?” 737. BAB 734 Kebuntuan 　　BAB 734 Kebuntuan 　　Mendengar pertanyaan Kaisar Jingming, Janda Permaisuri menutup mata sejenak, lama kelamaan baru membuka perlahan, sorot mata dingin berkilat: “Hamba dengar kabar tentang Fuqing.” 　　Kaisar Jingming kaget, spontan menoleh ke Permaisuri. 　　Permaisuri menggeleng halus. 　　Tentu saja dia tidak akan bicara apa-apa pada Janda Permaisuri, sementara Kaisar jelas takut ibunya overthinking, juga takkan menyebut. 　　Janda Permaisuri menghela napas: “Insiden besar Fuqing di Festival Shangyuan kalian sembunyikan dari hamba, untung hamba dengar dari Si Empat Belas, kalau tidak sampai sekarang masih dibodohi...” 　　Wajah Kaisar Jingming muram: “Si Empat Belas itu, sungguh bocor mulut!” 　　Janda Permaisuri melototi Kaisar Jingming: “Menyalahkan Si Empat Belas kenapa? Hamba belum pikun, kejadian sebesar ini kalian diam seribu bahasa, menganggap hamba mayat hidupkah?” 　　Sepatah kata membuat Kaisar Jingming terdiam, malu-malu. 　　Janda Permaisuri menghela napas: “Hamba membayangkan Fuqing menderita seperti itu, keesokan harinya masih datang memberi salut seperti tak terjadi apa, hati ini rasanya teriris...” 　　Kaisar Jingming terpaksa mengaku salah: “Ini salah anak, seharusnya memberi tahu Ibu.” 　　Janda Permaisuri berkeluh: “Kaisar perhatian pada hamba, hamba mengerti.” 　　“Nona Ping itu——” 　　Janda Permaisuri matanya berkilat dingin: "Hamba mendengar yang membahayakan Fuqing adalah dayang pengiringnya Qingdai, langsung merasa ada yang jangkar——" 　　“Ibu merasa ada yang jangkar?” 　　Janda Permaisuri menatap Kaisar Jingming sebentar, lalu mengangguk perlahan: “Qingdai telah melayani Fuqing bertahun-tahun, mana mungkin tiba-tiba berniat menghianati tuannya? Yang bisa berbuat seperti ini, hampir pasti terkait orang yang baru-baru ini berinteraksi dengannya. Setelah hamba pikir-pikir, ternyata yang paling sering berhubungan dengan hamba rendahan itu adalah Nona Ping dari istana hamba——” 　　Sampai di sini, wajah Janda Permaisuri berubah suram, diselimuti kemarahan tipis: “Kemarin hamba mencoba menguji Nona Ping dengan beberapa kalimat, tapi tidak berhasil. Awalnya hamba pikir tidak baik membuat ular berbisa kabur, lebih baik menyelidiki diam-diam dulu, tapi tak disangka hari ini dia gantung diri di kamar barat……” 　　Janda Permaisuri menutup mata, bibirnya bergetar halus: “Hamba rendahan ini sengaja mati di hadapan hamba, jelas berniat membawa rahasia ke liang kubur sekaligus menyusahkan hamba!” 　　Kaisar Jingming menepuk tepi ranjang: “Hamba rendahan ini!” 　　Janda Permaisuri yang hidup berkecukupan dan sudah berusia lanjut, tiba-tiba melihat mayat tergantung tentu saja mengalami syok. 　　Sang Permaisuri sedikit mengerutkan alisnya. 　　Kalau Nona Ping terkait dengan Qingdai, sekarang Nona Ping sudah mati, bukankah petunjuk ini terputus? 　　Tanpa sadar ia melirik Yu Jin dengan sudut matanya. 　　Yu Jin tetap tanpa ekspresi, tak terlihat ada keanehan. 　　"Permaisuri menghela napas pelan dalam hati, menundukkan pandangan dan meraih erat tangan Putri Fuqing." 　　"Ibu pasti terkejut. Ini semua kesalahan anak. Seandainya hamba bisa menyelidiki si hamba ini lebih awal, insiden hari ini tidak akan terjadi." Kaisar Jingming menyalahkan diri sendiri. 　　Meskipun Pan Hai telah menyelidiki Bibi Ping, demi menjaga muka Janda Permaisuri dan menghindari tindakan gegabah yang bisa membuat ular berbisa kabur, rencana penyelidikan diam-diam pun disusun. Siapa sangka Bibi Ping tewas setelah diuji oleh Janda Permaisuri... 　　Perasaan sesak tiba-tiba muncul di hati Kaisar Jingming. 　　Musuh terlalu licik, seolah tak memberi celah untuk bertindak dan mustahil diantisipasi. 　　Melihat ekspresi wajah Janda Permaisuri yang sangat buruk, Kaisar Jingming berkata lembut: "Ibu, istirahatlah dulu. Anak akan menangani urusan Bibi Ping dengan baik." 　　Janda Permaisuri mengangguk halus, meraih tangan Kaisar Jingming: "Pastikan untuk mengungkap alasan Bibi Ping menyakiti Fuqing. Hamba tak akan tenang sebelum ini jelas." 　　"Ibu tak perlu khawatir. Anak pasti akan menyelidikinya." 　　Setelah menghibur Janda Permaisuri, Kaisar Jingming memberi isyarat mata pada Permaisuri. Sang Penguasa Tertinggi pun meninggalkan kamar Janda Permaisuri bersama-sama. 　　Tabib istana yang menunggu di luar segera memberi hormat pada Kaisar dan Permaisuri. 　　Kaisar Jingming tak sabar melambaikan tangan: "Bagaimana kondisi kesehatan Janda Permaisuri?" 　　Tabib itu menundukkan kepala: "Janda Permaisuri pingsan akibat terkejut berat... Hamba telah meracik resep obat penenang. Minum beberapa ramuan herbal akan memperbaiki kondisinya, hanya saja——" 　　"Hanya saja apa?" Kaisar Jingming segera bertanya. 　　“Janda Permaisuri，suka besar、sedih besar、marah besar、kaget besar，menjaga ketenangan hati……” 　　Kaisar Jingming：“Aku，Tabib istanaJanda Permaisuri。” 　　“。”Tabib istanasebelah。 　　Kaisar JingmingPermaisuri，keluar dari Istana Cining。 　　tengah hari，sinar musim semihangat，menyinari tubuh manusiarasa nyaman yang tepat。Tapi Kaisar Jingmingkenyamanan，hatikebekuan。 　　“KaisarIstana Kuningmakanan？”Permaisuri。 　　makan reuni keluargaselesai。 　　Kaisar Jingming：“，sayaAula Yangxindian。” 　　Yu JinJiang Si，menghela napas：“Kalian berduakembali。” 　　Kaisar Jingming，Yu JinJiang SiPermaisuriIstana Kuning，segera meninggalkan Istana Kekaisaran。 　　Kaisar JingmingAula Yangxindian，hati dipenuhi kegelisahan。 　　Seekor kucing gemukkakilewati，lutut，mengelus bulu。 　　Kucing gemukprotes，mungkin merasakan hari ini tuan hati sedang tidak enak，mengedipkan mata。 　　Kaisar JingmingJixiang mengelusbulubuka mulut：“Pan Hai——” 　　“Hamba。” 　　“Bibi Pingselidiki，Janda Permaisuri susah hati。” 　　“Hamba。” 　　Kaisar Jingming tanpa sadar mengetuk kepala Jixiang dengan jarinya. 　　Mengapa Bibi Ping ingin mencelakai Fuqing? Apakah itu keinginannya sendiri, atau ada dalang di baliknya? 　　Jika benar ada orang di balik layar, apa hubungannya dengan Dayang Duo? Mungkin dalang Bibi Ping adalah Dayang Duo yang sudah meninggal, tindakan Bibi Ping terhadap Fuqing hanyalah melaksanakan wasiat Dayang Duo... 　　Kaisar Jingming berpikir panjang, tiba-tiba mendengar suara kucing mengeong. Menunduk, ia melihat Jixiang berjuang bangkit dan akhirnya melompat dari lututnya lalu lari menjauh. 　　Kucing gemuk itu berdiri di kejauhan, mengeong marah ke arah Kaisar Jingming. 　　Tuan terus mengetuk sampai mau pingsan nih! 　　Ternyata manusia memang suka memanfaatkan kesempatan, benar-benar lengah. 　　Jixiang mengeong kesal beberapa kali, lalu menghilang dalam sekejap mata. 　　Kaisar Jingming membuka mulut, lalu menggelengkan kepala. 　　Gawat, tanpa sengaja memperlakukan kepala Jixiang seperti pemberat kertas giok di meja... Sepertinya tak bisa dilakukan lagi di kemudian hari. 　　Kaisar Jingming gelisah dan menyesal, melototi Pan Hai: "Cepat pergi!" 　　Kasim tua yang dimarahi itu pergi sambil menunjukkan mata putih, hati kesal: Sudah puluhan tahun melayani Kaisar, sekarang dikalahkan kucing, hidup jadi tak karuan. 　　Permaisuri yang kembali ke Istana Kuning juga sedang tidak mood. 　　Dengan tewasnya Bibi Ping, penyelidikan insiden Xuandelou Fuqing mungkin akan mentok lagi, tak bisa maju. 　　Dan Putri Fuqing juga diam. 　　Menyadari keanehan putrinya, Permaisuri membelai rambutnya: "Sedang memikirkan apa?" 　　Putri Fuqing berkata lembut: "Nenek Kaisar pingsan hari ini, sebenarnya ini karena urusan putri—" 　　"Si gadis bodoh, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, urusanmu pada akhirnya adalah serangan terhadapku dan Ayah Kaisarmu... Sudah, pulanglah beristirahat." 　　Begitu Putri Fuqing pergi, Permaisuri langsung berubah dingin dan memanggil Putri ke-14. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan rekomendasi, sampai jumpa besok. 738.BAB 735 Keraguan 　　BAB 735 Keraguan 　　Tak lama kemudian Putri ke-14 tiba, memberikan penghormatan dengan tata krama pada Permaisuri. 　　Permaisuri melirik Putri ke-14, diam. 　　Putri ke-14 tampak gelisah, bertanya pelan: "Ada urusan apa Ibu memanggil putri?" 　　"Masalah Festival Shangyuan, kau laporkan pada Janda Permaisuri?" 　　Putri ke-14 tertegun. 　　Sorot mata Permaisuri dingin, nadanya berisi peringatan halus: "Janda Permaisuri sudah sepuh, jangan banyak bicara di hadapannya. Jika sampai terjadi sesuatu, takkan ada yang bisa bertanggung jawab." 　　Putri ke-14 menunduk, bertanya kecil: "Ibu mendengar ini dari Nenek Kaisar?" 　　Permaisuri mengangguk singkat. 　　Putri ke-14 diam lama, lalu sedikit berjongkok: "Putri mengerti." 　　Melihat sikap Putri ke-14, Permaisuri tak tega menghukum lebih lanjut. 　　Si Empat Belas ini gadis pintar, peringatan halus sudah cukup. Terlalu banyak omongan malah menunjukkan Permaisuri berhati sempit. 　　"Sudah, kau boleh pergi." 　　“Putri mohon diri.” Meninggalkan Istana Kuning, Putri ke-14 menatap langit yang sumpek di atas, hatinya terasa kosong. 　　Nenek Kaisar memberi tahu Ibu tentang kecelakaan Kakak ketigabelas saat festival Shangyuan—mengapa Nenek Kaisar mengatakan hal itu— 　　Putri ke-14 berhenti melangkah, menatap arah Istana Cining. 　　Ada kejadian apa di tempat Nenek Kaisar hari ini? 　　Jika bukan karena sesuatu yang penting, dengan budi pekerti Ibu tentu takkan sengaja memanggilnya ke Istana Kuning untuk memberikan nasihat. 　　Putri ke-14 menggigit bibir merenung sejenak, lalu pergi ke tempat Putri Fuqing. 　　Putri Fuqing sedang termenung bersandar di penyekat ketika dayang istana memberitahukan kedatangan Putri ke-14. 　　"Persilakan masuk." Putri Fuqing merapikan pakaiannya, lalu bangkit menyambut. 　　Putri ke-14 berjalan mendekat, tubuhnya ramping namun langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. 　　Putri Fuqing menghentikan langkahnya dan bertanya, "Adik Keempat Belas ada beban di hati?" 　　Sudah bertahun-tahun matanya buta total, ia hanya mengandalkan sepasang telinga untuk mendengar dunia, sehingga sangat pekah terhadap perubahan halus dalam suara. 　　Putri ke-14 tersenyum pada Putri Fuqing: "Tak ada, hanya bosan saja, ingin mengobrol dengan Kakak ketigabelas." 　　Melirik dayang yang berdiri di samping, Putri Fuqing tak bertanya lebih lanjut. Ia menggandeng tangan Putri ke-14 masuk ke dalam ruangan. 　　Segera dayang istana menyajikan teh dan kudapan. 　　Putri Fuqing menyerahkan secangkir teh kepada Putri ke-14, sambil sendiri memegang cangkir teh hangat dengan lembut berkata: "Kalian semua boleh mundur." 　　Kedua putri ini memang akrab, sering berbisik-bisik berdua. Para dayang tak merasa aneh, segera meninggalkan ruangan. 　　Putri Fuqing memperhatikan Putri ke-14 dan bertanya, "Adik Keempat Belas, ada apa denganmu?" 　　Padahal sebelumnya ketika Kakak Ketujuh dan istrinya pertama kali datang, keadaan tidak seperti ini. 　　Putri ke-14 tahu meskipun status Putri Fuqing sangat mulia, dia tetap sensitif dan tidak akan mengabaikan perasaan orang lain. Dengan terpaksa tersenyum dia menjawab, "Aku sedang menyulam penyekat sepuluh ribu fu, tiba-tiba jarum menusuk tanganku. Karena panik, aku langsung mencari Kakak ketigabelas." 　　Menjelang ulang tahun Janda Permaisuri, kedua putri telah sepakat satu menyulam penyekat sepuluh ribu umur panjang, satu lagi menyulam penyekat sepuluh ribu fu sebagai hadiah ulang tahun. Putri ke-14 mendapat tugas menyulam motif sepuluh ribu fu. 　　Saat Permaisuri mengirim orang untuk memanggilnya, dia sedang menyulam karakter fu. Mendengar utusan dari Istana Kuning datang, jarumnya langsung menusuk tangan. 　　Pasangan Pangeran Yan sedang makan siang bersama Ibu, tiba-tiba Ibu mengirim orang untuk memanggilnya, pasti ada masalah. 　　Putri Fuqing menggenggam tangan Putri ke-14. Benar terlihat lubang jarum kecil di jari telunjuk kirinya. Dia mencibir, "Kenapa bisa tidak hati-hati seperti ini?" 　　"Kakak Ketigabelas, besok kita berangkat lebih awal untuk salut pada Nenek Kaisar ya." Putri ke-14 melanjutkan percakapan sebelumnya untuk menyiratkan kekhawatiran pada Janda Permaisuri, sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan Putri Fuqing. 　　Putri Fuqing tersenyum masam, "Entah Nenek Kaisar masih ada mood untuk menemui kita atau tidak." 　　Putri ke-14 langsung bertanya, "Ada apa dengan Nenek Kaisar?" 　　Karena Putri ke-14 hadir di peristiwa Xuande Lou, Putri Fuqing tidak berusaha menyembunyikannya. Ia menceritakan secara singkat tentang urusan Bibi Ping, lalu menghela napas: "Karena urusanku, tidak hanya membuat Ayah Kaisar dan Ibu khawatir, tapi juga membuat Nenek Kaisar resah. Ini benar-benar membuat hatiku sulit tenang——" 　　"Jangan berpikir begitu, Kakak ketigabelas. Kau tak pernah menyakiti siapa pun. Jika ada yang menjebakmu, pasti ada tujuan yang lebih dalam. Bencana ini bukan kau yang undang, kau yang paling tak bersalah." 　　Putri Fuqing menghela napas pelan: "Semoga Ayah Kaisar segera menemukan pelaku kejahatan ini. Kalau tidak, semua orang akan terus resah." 　　Putri ke-14 mengangguk setuju. 　　Setelah berbincang sebentar, Putri ke-14 kembali ke istananya dan duduk di ranjang. Hatinya benar-benar kacau. 　　Nenek Kaisar tahu tentang kejadian di Xuande Lou saat Festival Shangyuan. Kepada Ayah Kaisar dan Ibu, beliau bilang informasi itu darinya——padahal tak sepatah kata pun ia ucapkan. 　　Jelas Nenek Kaisar punya sumber informasi lain yang tak bisa diungkap, lalu seenaknya menimpakan kesalahan padanya. 　　Menyadari hal ini, Putri ke-14 tersenyum getir. 　　Nenek Kaisar yakin meski ia tahu kebenaran, tak berani memberitahu Ayah Kaisar dan Ibu. Ia harus menelan ludah sendiri. 　　Seorang diri yang tak berdaya seperti dirinya, mungkinkah menyatakan bahwa Nenek Kaisar berbohong kepada Ayah Kaisar dan Ibu? Tentu tidak mungkin. 　　Putri ke-14 menutup matanya. Bayangan Janda Permaisuri muncul di benaknya. 　　Lama kelamaan, sebuah pertanyaan muncul di hatinya: Apakah Nenek Kaisar benar-benar penyayang seperti penampilannya? 　　Bahkan Kakak ketigabelas pun tidak tahu, dulu Dayang Duo adalah umpan yang sengaja dipancingnya dengan mengorbankan diri. Meski dia tidak tahu seberapa banyak kejahatan yang dilakukan Dayang Duo, fakta bahwa Ayah Kaisar dan Ibu begitu serius menanganinya membuktikan betapa rumitnya kasus ini. 　　Dayang Duo adalah orang Istana Cining, Bibi Ping juga dari Istana Cining. Berturut-turut muncul provokator dari Istana Cining, apakah kedamaian yang terpancar di sana benar-benar murni? 　　Apakah Nenek Kaisar yang penuh kasih dan tak ingin konflik ini benar-benar tidak tahu apa-apa? 　　Putri ke-14 menggelengkan kepala pelan. 　　Sulit menerka isi hati manusia. Di balik dinginnya Istana Kekaisaran ini, selain Kakak ketigabelas yang jernih hatinya, dia tidak percaya pada siapa pun. 　　Jika Nenek Kaisar tidak seperti yang terlihat selama ini, mungkinkah dialah dalang di balik rencana jahat terhadap Kakak ketigabelas? 　　Membayangkan kemungkinan itu, hati Putri ke-14 seolah terjun bebas ke jurang tak berdasar. Kengerian itu membuat seluruh tubuhnya menggigil, bahkan darah panasnya membeku. 　　Ketakutan yang sesungguhnya. 　　Pertarungan di istana tak pernah menampakkan tetesan darah, namun sabetan pedang maut justru sering datang dari orang terdekat. 　　Haruskah dia memperingatkan Ayah Kaisar dan Ibu? 　　Putri ke-14 gelisah bagai terpanggang di wajan minyak, duduk tak tenang. 　　Akhirnya, dia mengurungkan niatnya. 　　Tanpa bukti konkret, menghadap Ayah Kaisar untuk menjelekkan Nenek Kaisar hanya akan berujung pada hardikan. 　　Terhadap Ibu, dia pun tak berani mengambil risiko. 　　Setelah berpikir panjang, Putri ke-14 diam-diam mengambil keputusan: "Sudahlah, mulai sekarang saat mengunjungi Istana Cining bersama Kakak ketigabelas, aku harus selalu waspada. Setidaknya jangan sampai ada yang menyakiti Kakak ketigabelas lagi." 　　Ketika Yu Jin dan Jiang Si kembali ke Kediaman Pangeran Yan, A Huan masih tertidur siang. 　　Seekor Anjing Besar berbaring mengantuk di sisi ranjang kecil. Mendengar suara, ia menengok dan langsung menyambut mereka sambil mengendus tangan Jiang Si untuk mencari pujian. 　　Hari ini dialah yang berhasil menidurkan majikan kecil. 　　Jiang Si mengelus kepala Anjing Besar itu dan berbisik lembut: "Tetaplah temani A Huan." 　　Keduanya meninggalkan kamar samping dan masuk ke ruangan utama untuk berbincang. 　　Yu Jin meneguk beberapa teguk dari cangkir tehnya lalu berkata dingin: "Jahe semakin tua semakin pedas. Taktik Janda Permaisuri mengorbankan pion untuk menyelamatkan benteng ini cukup bagus." 739.BAB 736: Masing-masing Memiliki Pikiran 　　BAB 736: Masing-masing Memiliki Pikiran 　　Jika sebelumnya masih meragukan Janda Permaisuri, sekarang Yu Jin yakin betul ada yang tidak beres dengan dirinya. 　　"Pertama Dayang Duo, lalu Bibi Ping, Istana Cining terus bermasalah. Jika Janda Permaisuri benar-benar buta seperti ini, mustahil dia bisa bertahan sampai sekarang." 　　Meskipun Janda Permaisuri masuk ke keluarga kerajaan sebagai Permaisuri Putra Mahkota, tapi sepanjang sejarah, berapa banyak Permaisuri Putra Mahkota yang bisa menjadi Permaisuri lalu Janda Permaisuri? 　　Di rawa besar bernama keluarga kerajaan ini, terkadang memimpin terlalu awal bukanlah keberuntungan, melainkan kutukan. 　　Tapi Janda Permaisuri justru bertahan dengan aman sampai sekarang. Tanpa keturunan sendiri tak masalah, mengadopsi Kaisar Jingming untuk jadi kaisar, mengadopsi Putri Rongyang untuk teman bersantai - lengkap sudah anak-anaknya, hidup dalam kemuliaan sepanjang hayat. 　　"Apakah wanita seperti ini bisa tuli dan buta?" 　　Yu Jin sama sekali tidak percaya. 　　Menurutnya, hanya Kaisar yang dibutakan oleh ikatan ibu-anak yang begitu naif. 　　"Janda Permaisuri benar-benar tegas. Begitu penyelidikan menyentuh Bibi Ping, langsung memotong tangan kanannya sendiri. Ini membuat investigasi selanjutnya mandek, sekaligus memposisikan diri sebagai korban untuk menghilangkan kecurigaan dan membuat Ayah Kaisar merasa bersalah..." 　　Jiang Si mengangguk: "Tentu saja Janda Permaisuri tidak sesederhana itu. Setelah kejadian ini, mungkin sulit bagi Ayah Kaisar untuk mencurigainya dalam waktu dekat." 　　Bagi orang dengan status seperti mereka, bukti seringkali tidak terlalu penting. Yang utama adalah apakah penguasa mulai curiga dan mau percaya atau tidak. 　　Yu Jin meletakkan cangkir tehnya dengan suara dingin: "Terburu-buru tak akan mendapat hasil. Janda Permaisuri tak bisa dijatuhkan dalam dua tiga hari. Ekor rubahnya sudah terlihat, semakin banyak bertindak semakin banyak kesalahan. Kita punya waktu." 　　Jiang Si berpikir sejenak: "Aku akan lebih sering mengunjungi Kediaman Marquis Yining, berusaha mencari petunjuk dari nenek." 　　Masa lalu bagai asap, banyak rahasia terkubur dalam aliran waktu. Menggali informasi dari pelaku langsung jelas cara termudah. 　　"Baik, kita bicarakan lagi setelah beberapa hari ini." 　　Baru saja Yu Jin diakui sebagai putra Permaisuri, belum pantas untuk banyak bersilaturahmi akhir-akhir ini. 　　Pasangan suami istri ini kelelahan setelah berkegiatan hampir setengah hari, merapikan diri lalu beristirahat. 　　Matahari bergeser dari tengah langit ke barat, sehari pun berlalu dalam sekejap. 　　“Kabar tentang kondisi Janda Permaisuri yang tidak sehat menyebar dari istana ke luar. Pangeran Qi dan yang lain menggunakan kesempatan mengunjungi Janda Permaisuri untuk menemui ibu kandung mereka masing-masing dan mencari informasi.” 　　“Yang mereka cari tahu tentu saja tentang penempatan Yu Jin sebagai anak Permaisuri.” 　　“Pangeran Lu menepuk-nepuk dadanya dengan sedikit rasa khawatir: 'Ibu, untung Ibu hanya melahirkan anak lelaki satu ini. Bayangkan jika tiba-tiba adikku menjadi milik keluarga orang setelah bangun tidur, bagaimana ini?'” 　　“'Bagaimana?' Ning Fei yang berasal dari keluarga militer tersenyum sinis dengan kecantikan mencolok alis tebalnya. Tangannya menghantam meja kayu mahoni hingga cangkir Gu di atasnya terlempar dan pecah berkeping-keping.” 　　“Melihat nasib tragis cangkir Gu itu, Pangeran Lu mengedipkan mata. Tiba-tiba ia merasa kekhawatirannya berlebihan.” 　　“Ketika istrinya memegang pisau dapur, bahkan meski sedang memeluk bidadari pun ia tak berani berbuat macam-macam. Kira-kira perasaan Ayah Kaisar juga sama seperti ini.” 　　“Sambil berpikir begitu, Pangeran Lu tergerak hati dan terkekek: 'Ibu, anak mohon satu hal.'” 　　“'Bicaralah.' Ning Fei menjawab singkat.” 　　“Keputusan mendadak Kaisar mencatat Pangeran Yan di bawah nama Permaisuri memang tidak terlalu mempengaruhinya, tapi tetap saja meninggalkan rasa tidak nyaman.” 　　“Tindakan Kaisar yang biasanya tampak sabar ini terlalu cepat dan tiba-tiba, sama sekali tidak memberikan rasa aman.” 　　“Kali ini mencatat Pangeran Yan sebagai anak Permaisuri, entah kejadian aneh apa lagi yang akan terjadi berikutnya?” 　　“Memikirkan semua ini, mana mungkin Ning Fei bisa memiliki mood yang baik.” 　　“Ibu Selir, lihatlah Le Ge'er sudah besar, menantu perempuan Ibu mungkin sudah mengandung cucu perempuan di perutnya. Selama ini anak hanya menjadi pangeran kabupaten, ini tidak pantas——” 　　Ning Fei melirik anaknya dengan tatapan sinis, bertanya sambil tersenyum tipis: “Jadi?” 　　Pangeran Lu semakin berseri-seri: “Kalau begitu tolong Ibu berikan kata-kata baik di depan Ayah Kaisar, mintalah Beliau meningkatkan gelar anak. Tidak perlu terlalu tinggi, pangeran kerajaan saja sudah cukup...” 　　Ning Fei menunjuk ke pintu: “Pergi sana!” 　　“Ibu Selir——” Pangeran Lu berdiri dengan wajah memelas. 　　Ini kan ibunya sendiri, tidak mau membantu sudah biasa, tapi reaksi ini terlalu kejam bukan? 　　Ning Fei sama sekali tidak peduli dengan pikiran anak brengseknya, jari rampingnya kembali menunjuk ke pintu. 　　Melirik cangkir Gu yang masih berserakan di lantai, Pangeran Lu pun pergi dengan lesu. 　　Tirai brokat berwarna asap hijau dengan motif bunga yang baru diganti masih bergoyang pelan. Ning Fei menarik pandangannya dan menghela napas perlahan. 　　Setiap orang punya hati yang ingin maju. Setelah melahirkan pangeran dan diangkat menjadi Ning Fei, dulu dia juga pernah memikirkan untuk naik posisi. Tapi seiring bertambahnya usia anak, dia memutuskan untuk menikmati hidup saja. 　　Memaksa anak dengan watak seperti ini merebut posisi itu sama saja dengan menyuruhnya mati. 　　Dia hanya punya satu anak ini, dan masih berharap nanti dibawa keluar untuk hidup bahagia. Mana mungkin dia nekat. 　　"Pangeran kabupaten justru menjadi jimat pelindung terbaik di tengah kekacauan seperti ini." 　　"Semoga anak lelaki saya selamat sejahtera dan dikelilingi banyak cucu." 　　Ning Fei memikirkan semua ini, suasana hatinya semakin buruk. Ia menendang cangkir Gu yang tinggal dasarnya jauh-jauh, lalu berbalik masuk ke kamar dalam. 　　Di sisi Zhuangfei, pemandangannya sama sekali berbeda. 　　Pangeran Shu masuk istana lebih awal dari Pangeran Lu. Saat ini ia sedang duduk berhadapan dengan Zhuangfei, meminum teh dalam keheningan. 　　"Istri kau masih belum ada tanda-tanda?" Zhuangfei meniup cangkir teh dengan lembut lalu menyeruput. 　　Untuk memudahkan percakapan ibu-anak, Pangeran Shu sengaja tidak membawa Permaisuri Shu masuk istana. Wajahnya tampak suram mendengar pertanyaan itu. 　　Zhuangfei yang melihat ini menghibur: "Kalian masih muda, tak perlu terburu-buru." 　　"Tapi jika saya tidak buru-buru, khawatir ada yang sudah tidak sabar." 　　Zhuangfei meletakkan cangkir teh di meja kayu mahoni, tersenyum: "Kau maksud Pangeran Qi, atau Pangeran Yan?" 　　Pangeran Shu terdiam sejenak: "Awalnya saya hanya menganggap Lao Si sebagai lawan, tak menyangka Lao Qi tiba-tiba muncul. Benar-benar di luar perkiraan." 　　Zhuangfei tersenyum tipis: "Kalau sudah di luar perkiraan, lebih baik ditunda dulu." 　　"Ibu Selir, maksud Ibu adalah——" 　　Zhuangfei mengangkat tangan merapikan helai rambut yang terjuntai ke belakang telinga, senyum tipis di sudut bibirnya: "Jika bukan karena Janda Permaisuri sakit, saya juga sedang mencari kesempatan untuk berbicara denganmu. Berhadapan dengan Pangeran Qi, kau tidak memiliki keunggulan status sebagai putra permaisuri maupun anak sulung, sejak awal sudah berada di posisi lemah. Hanya mengandalkan sedikit kasih sayang Kaisar padamu dan jaringan kakekmu yang muridnya tersebar di mana-mana. Tapi semua ini tetap tidak sebanding dengan tata krama resmi—" 　　"Ibu Selir—" 　　Zhuangfei menghela napas: "Dengarkan dulu sampai selesai." 　　Dalam sejarah, pengangkatan putra berdasarkan kasih sayang bukan tidak ada, tapi kemungkinannya kecil jika diterapkan pada Kaisar saat ini. 　　Tentu, anak lelaki yang sudah dewasa dan punya ambisi untuk bersaing, sebagai ibu saya hanya bisa berusaha membantu. Tapi bantuan tetap ada batasnya. Ketika melihat situasi tidak memungkinkan, harus tahu kapan menarik diri. 　　"Sekarang Pangeran Yan menjadi anak Permaisuri, meski bukan darah dagingnya, setidaknya memenuhi syarat 'putra permaisuri'. Bagi beberapa bawahan, ini bahkan lebih penting dari status Pangeran Qi sebagai anak sulung. Untuk sementara, mundurlah dan biarkan mereka berdua yang bertarung." 　　"Tapi Ibu, bagaimana jika salah satu dari mereka muncul sebagai pemenang? Nanti tidak akan ada kesempatan lagi untuk saya—" 　　Zhuangfei berkata datar: "Ingin memetik buah dari pertarungan orang lain tentu ada risikonya. Tapi skenario terburuk hanya kembali ke keadaan semula, masih lebih baik daripada nasib Putra Mahkota yang Dipecat dan Pangeran Jin. Anakku, dengarkan ibu, pantau dulu perkembangannya baru tentukan strategi." 　　Buku utama yang saya ikuti di situs, setelah kembali dari annual meeting malah jadi update satu Bagian saja. Sungguh tidak ramah pembaca, minta dukungan vote untuk hiburan. 740.BAB 737: Perasaan Krisis Pangeran Qi 　　BAB 737: Perasaan Krisis Pangeran Qi 　　Pangeran Shu terdiam lama, akhirnya mengangguk: "Anak lelaki akan mendengarkan Ibu Selir." 　　Ia ingin merebut posisi itu, memandang kursi kekuasaan dengan mata berbinar. Namun jika bahkan Ibu Selir-nya sendiri tak yakin dan memintanya menahan diri, maka tak ada jalan lain selain menunggu kesempatan. 　　Ia berbeda dengan Pangeran Jin. 　　Pangeran Jin tak punya sandaran keluarga ibu maupun istri, bagai orang tak bersepatu yang tak takut kehilangan. Hanya bisa bertarung mati-matian, sedangkan dirinya harus mempertimbangkan banyak hal. 　　Melihat anaknya tak membantah, Zhuangfei lega, menunjuk papan catur di tepi jendela: "Anak keenam, temani ibumu bertanding catur. Jarang-jarang masuk istana." 　　Ibu dan anak menyegarkan pikiran, lalu mulai bermain catur. 　　Di tempat Ibu Suri Xian, suasana jauh lebih buruk. 　　Ibu Suri Xian yang baru muntah darah itu tampak layu seperti tua 7-8 tahun, bersandar lemas di kepala ranjang sambil berbicara dengan Pangeran Qi. 　　"Ibu Selir, kenapa tiba-tiba begini?" Pangeran Qi bertanya setelah lama terdiam, hatinya dipenuhi kekecewaan. 　　Rencana menyuruh Nyonya Li membunuh Permaisuri Yan memang ide Ibu Selir. Alih-alih berhasil, malah seperti mengangkat batu dan menginjak kaki sendiri - Permaisuri Yan selamat, malah Nyonya Li yang terjebak. 　　Sejujurnya, ini karena Ibu Selir tak merencanakan dengan matang. 　　Ini sudah cukup parah, Lao Qi diberikan oleh Ayah Kaisar kepada Permaisuri, namun Ibu Selir sama sekali tidak membocorkan kabar ini padanya, benar-benar mengejutkannya. 　　Mendengar pertanyaan Pangeran Qi, wajah Ibu Suri Xian semakin pucat, bibir keringnya bergetar halus: "Ayah Kaisarmu bahkan tidak membocorkan sepatah kata pun kepada Janda Permaisuri, hari itu langsung memanggil Kepala Kantor Urusan Kerajaan ke istana dan memutuskan segalanya..." 　　Membicarakan hal ini, Ibu Suri Xian ingin muntah darah lagi. 　　Dia adalah ibu kandung Lao Qi, namun setelah pengumuman di istana dan segalanya menjadi keputusan tetap, barulah Kaisar memberitahunya. 　　Tidak perlu dibayangkan, sekarang dia telah menjadi bahan tertawaan di dalam maupun luar istana, tak terhitung orang yang menggunjing di belakangnya. 　　Sungguh menyebalkan, meski menduduki posisi Ibu Suri Xian dan didukung keluarga An Guogong, dia bahkan tak bisa mempertahankan anaknya sendiri. 　　Bagi Ibu Suri Xian, membenci anaknya sendiri adalah satu hal, tapi memberikan anaknya kepada orang lain tanpa pengetahuannya adalah hal yang sama sekali berbeda. 　　Jika bisa memilih, dia lebih rela menghancurkan anak ini dengan tangannya sendiri daripada memberikannya kepada orang lain, terutama Permaisuri. 　　Bertahun-tahun lamanya, dia menghibur diri dengan alasan bahwa Permaisuri tak punya keturunan. Siapa sangka wanita yang telah dihinanya selama puluhan tahun dalam hal keturunan ini, justru merebut anaknya! 　　Direbut begitu cepat dan mudah, sampai-sampai dia masih belum bisa menerima kenyataan ini. 　　Ibu Suri Xian perlahan menutup matanya, menenangkan gejolak hatinya yang bergolak. 　　“Tabib istana sudah bilang, dia tidak boleh lagi mengalami kesedihan atau kemarahan yang hebat, kalau tidak kesehatannya akan benar-benar hancur.” 　　“Tidak memakai mahkota fenghuang tapi malah merusak keperawanannya, maka dia benar-benar akan menjadi bahan tertawaan. Sekarang setidaknya masih ada kesempatan.” 　　“Mari lihat siapa yang bisa tertawa terakhir.” 　　“Ibu Selir——” 　　Mendengar teriakan Pangeran Qi, Ibu Suri Xian membuka matanya, pandangan lembutnya semakin terasa saat tertuju pada wajah putranya. 　　Seluruh harapannya kini tergantung pada anak lelakinya. 　　Ibu Suri Xian berbicara perlahan: “Sungguh meremehkan Permaisuri. Pepatah mengatakan anjing yang menggonggong tidak menggigit, selama ini kuanggap angin lalu. Baru setelah digigit keras sekarang aku sadar pepatah lama itu benar.” 　　Pangeran Qi membuka mulut ingin protes bahwa sudah terlambat membicarakan ini, tapi mengingat ini adalah ibu kandungnya sendiri, keluhannya ditelan dalam-dalam. 　　“Ibu Selir, menurut Ibu apa sebenarnya pemikiran Ayah Kaisar terhadap Lao Qi?” 　　“Pemikiran apa?” Alis Ibu Suri Xian berkerenyit, gerakan sederhana ini pun terasa melelahkan. Setelah menarik napas pendek dia berkata: “Cuma termakan ramuan memabukkan dari Permaisuri. Masa iya karena melihat Lao Qi luar biasa, lalu mau menjadikannya Putra Mahkota?” 　　“Tapi bagaimana jika benar?” 　　Ibu Suri Xian terdiam. 　　Pangeran Qi mengusap wajahnya dengan kasar, tersenyum pahit: "Ibu Selir, Lao Qi bahkan tidak pernah menerima pendidikan resmi keluarga kerajaan, sejak lahir sudah dicap membawa sial pada Ayah Kaisar lalu diusir. Tapi justru dalam kesulitan seperti ini, dia sama sekali tidak dirugikan, malah menjadi setengah anak lelaki sah. Anak ini sering gelisah di malam hari, setiap memikirkan hal ini hati menjadi ciut, bahkan seperti ada ilusi bahwa Lao Qi mungkin benar-benar putera terpilih—" 　　"Omong kosong!" Ibu Suri Xian membentak, pipi pucat bagai salju itu memerah. 　　Pangeran Qi mengatupkan bibir tipisnya, diam. 　　Ibu Suri Xian tetap tidak bisa menerima perkataan anaknya: "Yang ini saya yakin, Ayah Kaisar tidak punya ketertarikan seperti itu pada Lao Qi." 　　Pangeran Qi terdiam sangat lama, sampai Ibu Suri Xian hendak berbicara lagi, barulah dia berbisik: "Situasi sekarang berbeda dengan beberapa bulan lalu. Sebelumnya, saya yakin Ayah Kaisar juga tidak punya niat mencatat Lao Qi di bawah nama Permaisuri." 　　"Maksudmu—" 　　Mata Pangeran Qi dingin bagai es, setiap katanya diucapkan jelas: "Memelihara harimau akan menjadi bencana, bagaimana pendapat Ibu?" 　　Apapun sikap Ibu Selir terhadap Lao Qi, Lao Qi tetaplah anak yang dikandungnya selama sepuluh bulan. Dia yang punya niat membunuh Lao Qi, harus menguji sikap ibunya. 　　Ibu Suri Xian tentu paham maksud Pangeran Qi. Melihat ekspresi kejamnya, bukannya sedih malah lega. 　　Lao Si selalu punya reputasi baik di antara para menteri, tapi ini bagai pedang bermata dua. Terkadang membelenggu gerak-geriknya, membuatnya kurang tegas. 　　"Lao Si bisa dipaksa oleh Lao Qi, mungkin ini hal yang baik." 　　Ibu Suri Xian tersenyum perlahan: "Memang begitulah logikanya." 　　Pangeran Qi menundukkan pandangan, berbisik lembut: "Anak hanya takut membuat ibu sedih, itu akan menjadi ketidakbakti anak." 　　"Sedih karena apa?" Ibu Suri Xian menyeringai dingin, "Ibu hanya punya kau sebagai anak, untuk apa bersedih atas hidup mati orang lain?" 　　Sejak mengetahui Lao Qi dicatat di bawah nama Permaisuri, dia sudah tidak menganggapnya sebagai anak lagi. 　　Siapapun yang menghalangi Lao Si, adalah batu sandungan. 　　"Bagaimana kabar Li Shi?" Setelah mencapai kesepakatan, Ibu Suri Xian beralih bertanya tentang Permaisuri Qi. 　　Kilasan jijik terlihat di mata Pangeran Qi, nadanya membeku: "Masih sama. Untungnya dia tidak bisa keluar rumah, tidak perlu khawatir dia mengoceh sembarangan." 　　Ibu Suri Xian merenung sejenak, berkata datar: "Istana pangeranmu tanpa nyonya rumah yang mengatur, benar-benar tidak pantas." 　　Pangeran Qi mengangguk: "Benar. Kekacauan belakangan ini cukup mengganggu konsentrasi anak." 　　Ibu Suri Xian membelai kuku panjangnya, suaranya tak berperasaan: "Saatnya waktunya nanti 'meninggal karena sakit' saja, posisi Permaisuri Qi tidak bisa selamanya diduduki orang gila." 　　Pangeran Qi ragu-ragu: "Meski tidak perlu menjaga masa berkabung untuk istri, tapi jika Li Shi 'meninggal karena sakit', anak harus berdiam diri cukup lama, mungkin..." 　　“Tidak apa. Ayah Kaisarmu masih sehat dan kuat, kesempatan belum akan datang dalam waktu dekat. Gunakan masa ini untuk menyiapkan diri. Adapun Lao Qi, kejayaannya sekarang belum tentu berarti apa-apa.” 　　Pangeran Qi mengangguk perlahan: “Ibu Selir tenang saja, anak lelaki akan menangani Nyonya Li sesuai situasi.” 　　Di Aula Yangxindian, Kaisar Jingming membuka mata dan bertanya pada Pan Hai: “Apakah Pangeran Qi sudah meninggalkan Ibu Suri Xian?” 　　“Sudah.” 　　“Bagaimana dengan Pangeran Shu?” 　　“Juga sudah pergi.” 　　“Pangeran Lu?” 　　“Lapor Kaisar, Pangeran Lu adalah yang pertama meninggalkan istana.” 　　Kaisar Jingming membungkuk, mengabaikan rengekan protes Jixiang dan mengangkatnya ke lutut, bergumam singkat. 741.BAB 738 Kembali ke Kediaman Marquis 　　BAB 738 Kembali ke Kediaman Marquis 　　Beberapa hari kemudian, setelah isu Pangeran Yan diadopsi oleh Permaisuri mulai mereda, Jiang Si baru berani keluar. 　　Sebelum ke Kediaman Marquis Yining, ia terlebih dahulu mengunjungi Dongping Bo Residence. 　　Saat ini terlalu banyak mata mengawasi Istana Pangeran Yan. Aneh rasanya jika ia sering mengunjungi Marquis Yining tapi tidak menyentuh pintu Dongping Bo Residence. 　　Meski kalangan elite tahu Permaisuri Yan bersikap dingin pada Nyonya Tua Dongping Bo, yang lebih dikenal adalah kedekatannya dengan ayahnya Bupati Dongping dan hubungan harmonisnya dengan Putra Mahkota keluarga tersebut sebagai saudara kandung. 　　Dulu sebelum memiliki ambisi bisa bertindak sesuka hati, kini harus lebih banyak pertimbangan. 　　Kedatangan Jiang Si disambut hangat oleh Nyonya Feng. Selain Nyonya Guo istri ketiga yang menemani duduk, beberapa saudari perempuan Jiang Yi yang berada di kediaman juga hadir. 　　"Pagi ini aku mendengar burung magpie berkicau di ranting, langsung kurenungkan ada kabar baik apa. Ternyata Yang Mulia Permaisuri datang." Nyonya Feng memegang cangkir teh, wajahnya penuh kelembutan, "Nenek sudah merindukanmu beberapa hari ini." 　　Nyonya Guo istri ketiga yang duduk di samping, mendengar perkataan Nyonya Feng merasa sangat kagum. 　　Seorang nenek bisa berkata-kata manis pada Nona Keempat tanpa berubah muka, pantas saja dulu kakak ipar kedua yang terkenal tajam itu bisa dikurung semena-mena. 　　Perasaan Jiang Pei putri keenam sama sekali berbeda. 　　Seorang wanita yang menikah seharusnya seperti Kakak Keempat ini, setelah menikah tinggi kembali ke rumah orangtua bahkan nenek pun harus menjilat, apalagi saudari seumuran seperti mereka. 　　Dulu, saat Kakak Keempat belum menikah, ia masih berani bertengkar dengannya— 　　Merenungkan semua ini, Jiang Pei merasa seolah itu terjadi di kehidupan sebelumnya. Ia semakin merenung: Pantas saja orang bilang pernikahan adalah kelahiran kedua bagi wanita. Kehormatan dan aib di awal hidup bergantung pada keluarga orangtua, sisa umur yang panjang ditentukan oleh suami seperti apa yang dinikahi. 　　Diam-diam melirik wajah cantik bercahaya itu, Jiang Pei menggigit bibirnya. 　　Kakak Keempat benar-benar beruntung. Entah ke keluarga apa nanti aku akan menikah? 　　“Dia adalah anak perempuan dari selir di Keluarga Kedua, tak bisa dibandingkan dengan Kakak Keempat, tapi harus lebih baik dari pernikahan Sanjie dan Wujie baru rela.” 　　Jiang Pei merenungkan hal ini, pandangannya pada Jiang Si terlihat sangat antusias. 　　Jiang Si mengalihkan pandangan menyapu Jiang Pei sekilas, lalu segera menarik kembali tatapannya. 　　Jika dulu dia masih menyindir Jiang Pei dengan kata-kata, sekarang sudah tak perlu lagi. 　　“Jika Nenek merindukan, saya akan sering datang nanti.” Ekspresi Jiang Si datar. 　　Nyonya Feng dalam hati girang, wajahnya semakin penuh kasih: “Bagus sekali. Di usianya yang sudah sepuh ini, nenek hanya berharap kalian sering pulang mengunjungi...” 　　Perkataan ini membuat Jiang Pei diam-diam menyeringai. 　　Suatu kali Wujie pulang ke rumah orangtuanya, datang ke Cixintang untuk memberi salut pada nenek, kebetulan nenek sedang istirahat, akhirnya tak sempat bertemu sama sekali. 　　Merindukan kedatangan yang lebih muda? Tergantung siapa yang datang, kalau yang datang adalah Sijie, bahkan seandainya langit menghujani pedang pun nenek akan rela menyambut. 　　Jiang Pei semakin yakin dengan tekadnya untuk menikah ke strata lebih tinggi. 　　Sementara Jiang Pei sedang dilanda gejolak perasaan, Nyonya Feng sama sekali tak memperhatikan cucu selir ini, memperhatikan suasana hati Jiang Si yang tampak baik hari ini, bertanya: “Permaisuri, benarkah Pangeran resmi diangkat sebagai putra Permaisuri?” 　　Jiang Si tersenyum tipis: “Maklumat kerajaan sudah diumumkan, mana mungkin palsu?” 　　“Nyonya Feng tertawa, \"Ini terlalu mendadak, bukan hanya nenek yang merasa kaget, bahkan ayahmu dan pamanmu juga terkejut. Bagaimana bisa Pangeran Yan tiba-tiba diangkat sebagai anak Permaisuri?\"” 　　“Sejak kabar tentang Pangeran Yan beredar, dia tak bisa sembarangan datang ke Kediaman Pangeran Yan untuk menyelidik. Dua hari ini bahkan tidurnya tak nyenyak, bolak-balik memikirkan hal ini.” 　　“Pangeran Yan menjadi anak Permaisuri tentu kabar baik, namun jika dipikir jangka panjang, belum tentu membawa keberuntungan atau malapetaka.” 　　“Jika pangeran lain yang naik takhta, Pangeran Yan sebagai anak Permaisuri pasti akan disingkirkan. Bisa jadi malah menyeret Keluarga Bo ikut terlibat.” 　　“Tapi jika Pangeran Yan berhasil melangkah lebih jauh, status Keluarga Bo pasti ikut terangkat dengan imbalan yang tak terhingga.” 　　“Contohnya, begitu Si'er menjadi Permaisuri, Putra Sulung biasanya akan diberi gelar Cheng'en Bo. Maka gelar Dongping Bo mungkin jatuh ke tangan Lao Er.” 　　“Dua gelar kebangsawanan dalam satu keluarga – betapa megahnya kehormatan ini.” 　　“Mendengar pertanyaan Nyonya Feng, Jiang Si langsung tahu rencana licik si Ibu Suri ini. Hatinya mendidih dengan kegeraman.” 　　“Hanya mau menikmati keuntungan tapi tak mau menanggung risiko – mana ada keberuntungan semacam itu di dunia ini?” 　　“Bahkan jika A Jin menang dan ayahku diberi gelar, gelar yang kosong itu lebih baik dibuang daripada diberikan ke pamanku.” 　　“Masih kuingat jelas perhitungan keluarga paman terhadap ayahku di kehidupan sebelumnya. Hanya karena terlalu banyak hal yang harus dihadapi sekarang, dan Keluarga Kedua belum bisa membuat masalah, baru kutunda perhitungan ini.” 　　“‘Takdir kaisar sulit ditebak, Nek. Untuk apa bertanya padaku?’” 　　“Nyonya Feng terdiam sejenak, wajahnya memerah malu.” 　　“Si'er jelas tidak ingin bicara, tuduhan 'mencoba menebak restu kekaisaran' ini membuat kami tak berkutik.” 　　Jiang Si melihat Nyonya Feng mulai tenang, lalu tersenyum manis: "Hamba masih harus mengunjungi nenek di Kediaman Marquis, jadi tidak bisa berlama-lama di sini." 　　Nyonya Feng membujuk beberapa kali, melihat Jiang Si bersikukuh, buru-buru berkata: "Biarkan kakakmu mengantarmu." 　　“Tidak perlu. Lain kali hamba akan datang lagi. Jika setiap kali harus repot begini, hati hamba malah tidak enak.” 　　Setelah keluar dari gerbang Dongping Bo Residence, Jiang Si menarik napas lega, lalu bergegas menuju Kediaman Marquis Yining. 　　Di sisi Kediaman Marquis, kabar sudah diterima lebih dulu. Mandor besar telah menunggu lama di gerbang utama. Dari kejauhan melihat kereta Kuda Istana Pangeran Yan mendekat, ia segera menyuruh pelayan masuk memberi laporan sambil menyambut. 　　“Apakah kakek ada di kediaman?” 　　Mandor besar segera menjawab: “Marquis tua sebenarnya hendak keluar, tapi setelah mendengar Permaisuri akan datang, beliau membatalkannya.” 　　Jiang Si segera bertemu dengan Pasangan Marquis Yining senior. 　　“Nenek kelihatan kurus, apakah beliau kurang istirahat akhir-akhir ini?” 　　Ibu Suri Marquis Yining tersenyum: “Orang tua kadang sulit tidur, bukan masalah besar.” 　　“Nenek harus tetap menjaga keperawanan.” 　　“Jangan khawatir, nenek tua ini masih ingin melihatmu segera memberikan seorang pangeran kecil untuk Pangeran.” 　　Marquis Yining senior melototi sang istri: “Perempuan selalu bicara hal-hal seperti ini.” 　　Sebagai menantu keluarga kerajaan yang belum punya anak, tekanan pasti besar. Nenek tua ini masih menyebut-nyebut hingga membuat cucu perempuan resah. 　　"Ibu Suri balas melotot: 'Kalau tidak membicarakan ini, mau bicara apa? Ini percakapan antar wanita, laki-laki ikut campur apa.'" 　　Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Kakek, Nenek jangan bertengkar. A Huan masih kecil, Pangeran bilang tidak perlu buru-buru." 　　Sekarang saja A Jin masih sering meninggalkan A Huan. Kalau punya anak lelaki lagi, dia tidak berani membayangkan bagaimana kelakuan Ayah yang tidak bisa diandalkan itu. 　　Wajah Marquis Yining yang tua berubah serius: "Si'er, ingat baik-baik. Kemakmuran dan kejayaan tidak ada artinya dibanding keselamatan kalian. Jangan sampai salah jalan." 　　"Nenek tenang saja, saya sudah mengerti semuanya." 　　Marquis Yining yang tua mengangguk halus lalu berdiri: "Temani nenekmu ngobrol sebentar. Kakek ingat burungnya belum diberi makan." 　　Melihat Marquis Yining berjalan keluar, Ibu Suri mencibir: "Beli satu burung beo langsung jadi harta kesayangan. Abaikan saja kakekmu." 　　Cuma seekor burung beo. Kalau masih muda, pasti sudah kulempar pedang ke si tua itu kalau berani memelihara selir seperti ini. 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya. Sampai jumpa besok. 742.BAB 739 Penyidikan 　　BAB 739 Penyidikan 　　Ibu Suri Marquis Yining sedikit cemburu pada burung beo Marquis, lalu bertanya: "A Huan sudah gemuk? Sekarang bisa duduk stabil?" 　　Jiang Si tersenyum: "Sudah bisa merangkak." 　　Ibu Suri Marquis Yining terkejut: "A Huan belum genap delapan bulan sudah bisa merangkak?" 　　"Konon katanya tiga bulan bisa tengkurap, enam bulan duduk, tujuh bulan berguling, delapan bulan merangkak. Tapi ini umumnya untuk bayi yang sehat. Pada anak-anak bangsawan yang dimanja, biasanya lebih lambat. Tak lain karena pengasuh yang terlalu banyak malah membuat mereka takut tuan kecilnya terbentur, jadi jarang latihan ya wajar lambat." 　　"Benar, sudah bisa merangkak jauh sekali." Jiang Si membicarakan putrinya, matanya penuh senyum. 　　A Huan yang bisa merangkak lebih awal sama sekali tidak aneh. Pernah suatu kali dia melihat langsung Er Niu mendorong A Huan ke depan dengan moncong besarnya. A Huan malas bergerak, sampai-sampai harus diancam. 　　Membayangkan putrinya merangkak susah payah dikejar anjing besar, Jiang Si hanya bisa geleng-geleng. 　　Ibu Suri Marquis Yining juga berseri-seri: "Bagus sekali, anak yang sehat itu yang paling penting. Waktu kecil kau tidak seperti A Huan, lemah gemulai seperti anak kucing." 　　Ibu Suri Marquis Yining teringat sesuatu, sorot matanya berkilau. 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya pelan, . 　　Ibu Suri Marquis Yining menangkap keanehan itu, bertanya: "Ada apa?" 　　"Nenek, aku merasa Janda Permaisuri tidak menyukaiku—" 　　Ibu Suri Marquis Yining tertegun sejenak, tangan yang memegang cangkir teh mengeratkan cengkeramannya. 　　Jiang Si tahu satu kalimat ini belum cukup, setelah jeda sebentar melanjutkan: "A Jin dijadikan anak angkat Permaisuri, entah ini berkah atau malapetaka..." 　　Tangan Ibu Suri Marquis Yining bergetar halus, semakin membisu. 　　“Jiang Si mengulurkan tangan menggandeng lengan Ibu Suri Marquis Yining, berbisik lembut: "Nenek dari pihak ibu, apakah Janda Permaisuri tidak menyukaiku karena urusan ibuku dulu dengan Mulia Putri Rongyang?"” 　　Ibu Suri Marquis Yining menatap Jiang Si dalam-dalam, perasaan menjadi berat. 　　“Nenek——” 　　Ibu Suri Marquis Yining mengangkat tangan membelai kepala Jiang Si seperti saat dia masih kecil, suaranya terdengar serak: “Mungkin kau terlalu sensitif. Bagaimana mungkin Janda Permaisuri tidak menyukaimu? Perselisihan ibumu dengan Mulia Putri Rongyang itu karena Jenderal Cui, itu bukan kesalahan ibumu. Janda Permaisuri orang yang bijaksana, tak mungkin membencimu karena hal ini——” 　　Jiang Si mengedipkan mata, sorot matanya licik: “Kalau begitu, ada alasan lain mengapa Janda Permaisuri tidak menyukaiku?” 　　Ibu Suri Marquis Yining tercekat, lalu geleng-geleng kepala sambil tersenyum: “Dasar si gadis, kenapa kau yakin sekali Janda Permaisuri tidak menyukaimu?” 　　Jiang Si merasa kecewa. 　　Sang nenek sama sekali tidak mau membocorkan informasi. Tampaknya hari ini kembali pulang dengan tangan hampa. 　　Untungnya dia sudah mempersiapkan diri, tersenyum pahit: “Perasaan suka atau tidak suka bisa dirasakan. Jika orang biasa mungkin tidak masalah, tapi ini Janda Permaisuri. Aku takut nanti hal ini menimbulkan masalah...” 　　Menyadari tak akan mendapat informasi dari Ibu Suri Marquis Yining untuk sementara, Jiang Si mengalihkan topik pembicaraan. Sang nenek tampak mulai tidak fokus. 　　Setelah Jiang Si pamit pergi, Ibu Suri Marquis Yining menyepi di kamar dan duduk termenung lama, tampak diselimuti beban pikiran. 　　Marquis Yining yang tua masuk sambil membawa sangkar burung, tertegun melihat situasi: "Ada apa?" 　　Ibu Suri Marquis Yining tersadar: "Tidak ada apa-apa." 　　Marquis Yining yang tua menggantungkan sangkar burung lalu mendekat: "Kedatangan Si'er seharusnya membahagiakan, tapi kulihat kau seperti punya beban pikiran." 　　Ibu Suri Marquis Yining menatap suaminya, menghela nafas: "Hanya merasa Si'er sudah dewasa, punya banyak pemikiran sendiri." 　　Marquis Yining yang tua tersenyum sinis: "Si'er sudah menjadi ibu, tentu sudah dewasa. Lagipula, lihatlah ke mana dia menikah - lingkungan keluarga kerajaan memang tak nyaman. Sekarang Pangeran Yan menjadi putra Permaisuri, semakin berbahaya bagaikan menginjak es tipis..." 　　Ibu Suri Marquis Yining terdiam lama, akhirnya bicara: "Hari ini Si'er bilang Janda Permaisuri tidak menyukainya-" 　　Mata Marquis Yining yang tua berkerut: "Hah, ada hal seperti itu?" 　　Ibu Suri Marquis Yining mengangguk. 　　Marquis Yining yang tua menepuk meja marah: "Keterlaluan! Dulu Putri Rongyang merebut suami A Ke, akhirnya dapat karma juga itu konsekuensi perbuatannya sendiri. Jika Janda Permaisuri masih menyimpan dendam ke Si'er karena itu, sungguh tak tahu malu!" 　　Ibu Suri Marquis Yining bergumam: "Aku khawatir alasannya bukan karena itu-" 　　"Kau bilang apa?" 　　Ibu Suri Marquis Yining tersadar, menggeleng: "Tidak ada." 　　“Marquis Yining yang tua tiba-tiba teringat sesuatu, mengerutkan alis: "Aku ingat waktu muda dulu kau sangat akrab dengan Janda Permaisuri, kenapa kemudian tidak berhubungan lagi?"" 　　Waktu itu Janda Permaisuri masih gadis di rumah orangtuanya, sering bolak-balik ke kediaman Marquis Yining. Entah bagaimana kemudian hubungan mereka terputus. Kalau aku menyebut-nyebut, si nenek langsung cemberut. Setelah tanya dua kali, aku tak berani tanya lagi. 　　"Waktu akrab itu masih kecil. Setelah dewasa punya pemikiran masing-masing, jadi tidak cocok." Ibu Suri Marquis Yining bicara datar, tapi matanya membeku seperti es, penuh kedinginan. 　　Marquis Yining yang tua tahu pasti ada masalah, tapi si nenek tak mau bicara. Ia melepas sangkar burung sambil menghela nafas: "Apapun penyebab kerenggaman kalian, jika ini mempengaruhi Si'er, lebih baik kau beri petunjuk pada para gadis itu. Jangan biarkan Si'er terjebak rencana licik keluarga itu tanpa bekal... Aku pergi dulu." 　　Marquis Yining yang tua membawa sangkar burung hendak pergi, tiba-tiba suara lain berkata: "Aku pergi dulu." 　　Marquis Yining yang tua langsung terpaku, menunduk melihat. 　　Burung beo dalam sangkar menengadah, wajah polos. 　　Marquis Yining yang tua langsung bersemangat, menunjuk sangkar: "Nenek, kau dengar tidak? Burung beo ini bisa bicara!" 　　Ibu Suri Marquis Yining penasaran mengamati burung beo berwajah bodoh itu. 　　"Ayo, bicara lagi!" 　　Burung beo memiringkan kepala, diam. 　　Marquis Yining yang tua berpikir sejenak, mencoba: "Aku pergi dulu." 　　"Aku pergi dulu." Burung beo merespons. 　　Marquis Yining yang tua tertawa senang hingga giginya terlihat semua: “Burung beo ini memang pintar, tidak sia-sia saya membelinya dengan 300 tael perak——” 　　“Hm? 300 tael?” Ekspresi penasaran Ibu Suri Marquis Yining langsung menghilang, digantikan aura membunuh. 　　Senyum Marquis Yining yang tua membeku. 　　Sial, tanpa sengaja bocor mulut. 　　“Ah, saya ada urusan mendesak, nanti kita bicara lagi.” 　　Marquis Yining yang tua langsung melarikan diri membawa burung beo, meninggalkan Ibu Suri Marquis Yining dengan bibirnya gemetar. 　　Masalah Si'er sudah cukup membuatnya khawatir, si tua itu masih menghamburkan harta keluarga! 　　Memikirkan ini, Ibu Suri Marquis Yining hampir tak kuasa menahan dorongan untuk membongkar semua rahasia seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki. 　　Jiang Si tidak mendapatkan informasi apa pun dari Ibu Suri Marquis Yining, tapi dia tidak berkecil hati. Diam-diam berencana mengunjungi lagi beberapa hari kemudian, percaya dengan usaha bertahap, suatu saat neneknya pasti akan berbicara. 　　Hari-hari berlalu seperti air mengalir, menyongsong hari ulang tahun Janda Permaisuri yang semakin dekat. 　　Pada suatu hari, Pangeran Qi mengundang Pangeran Xiang minum teh di kediamannya. 　　“Untuk ulang tahun Nenek Kaisar, sudahkah Adik Kedelapan menyiapkan hadiah?” 　　Pangerang Xiang tersenyum pahit: “Sama seperti tahun lalu. Bagaimanapun juga hadiahku takkan berarti.” 　　Mengingat gagalnya menjadi putra mahkota Permaisuri, suasana hati Pangeran Xiang terus-menerus suram. Mana ada ketertarikan untuk memikirkan hadiah ulang tahun Janda Permaisuri. 　　Ada satu bagian lagi, akan disajikan nanti. 743. Bab 740 Pesta Ulang Tahun Janda Permaisuri 　　Bab 740 Pesta Ulang Tahun Janda Permaisuri 　　Hanya yang punya keinginan akan berusaha mati-matian dan mencari segala cara untuk menyenangkan hati penguasa. 　　Bagi Pangeran Xiang, posisi itu sudah tak ada hubungan takdir sama sekali. Ke depannya ia hanya akan menjadi bawahan Pangeran Qi. Kebebasannya di masa depan sepenuhnya bergantung pada apakah Pangeran Qi akan menjadi pemenang terakhir. Sekarang ini tak ada gunanya mencari muka ke Janda Permaisuri. 　　Mendengar ucapan Pangeran Xiang, Pangeran Qi diam-diam bersukacita. 　　Bencana yang menimpa Lao Ba karena dijebak Lao Qi justru menjadi keuntungan baginya. 　　Jika dulu ia masih waspada pada Lao Ba, khawatir adik kedelapan ini punya ambisi tersembunyi dan suatu saat bisa berbalik menyerang, sekarang ia sudah benar-benar lega. 　　Lao Ba jelas-jelas kehilangan semangat setelah status sebagai putra Permaisuri lepas darinya. 　　Dengan begini, Lao Ba akan menjadi penolong paling tepercaya baginya di masa depan. 　　Pangeran Qi mengetuk-ngetuk cangkir teh porselen putih dengan jarinya, menasihati: "Hadiah ulang tahun untuk Nenek Kaisar tetap harus Adik Kedelapan perhatikan. Tak perlu mencolok, setidaknya jangan sampai jadi yang terburuk dan membuat Nenek Kaisar tidak senang." 　　Pangeran Xiang mengangguk tak acuh: "Ini saya tahu. Justru Kakak Keempat harus mempersiapkan dengan baik, jangan sampai kalah oleh brengsek Lao Qi itu." 　　Begitu menyebut nama Yu Jin, Pangeran Xiang langsung menggigit-gigit gigi karena kebencian. 　　Belakangan ini ia terus insomnia. Setiap teringat hari itu ketika dibujuk Lao Qi masuk istana dan mengoceh sembarangan di hadapan Ayah Kaisar, dadanya langsung sakit. 　　Berkali-kali ia berpikir: Andai saat itu pulang ke rumah keluarga dengan tenang, belum tentu status sebagai putra Permaisuri jatuh ke tangan Lao Qi. 　　Tidak, Ayah Kaisar jelas-jelas lebih condong ke dirinya. 　　Malangnya dia tidak tahu apa-apa, keesokan harinya langsung mendapat kabar buruk bahwa Lao Qi tercatat di bawah nama Permaisuri. 　　Lebih menyedihkan lagi, saudara-saudara lain masih bisa masuk istana menemui Ibu Selir masing-masing untuk mencari kejelasan, sedangkan dia? Hanya bisa menenggelamkan kesedihan dengan minuman di kediamannya. 　　Ibunya hanyalah seorang penari, baru mendapat gelap Selir setelah melahirkannya. Sekalipun dia masuk istana untuk bertanya, takkan mendapat jawaban. 　　Pangeran Xiang sudah lupa kapan terakhir kali bertemu Selir Li. 　　Baginya, lebih baik tidak bertemu ibu kandung seperti ini. Pertemuan hanya akan mengingatkannya pada darah rendah dari garis keturunan maternal. 　　Pangeran Qi meletakkan cangkir Gu di meja, berkata dengan tenang: "Lao Qi benar-benar di luar perkiraanku. Hanya dalam 2-3 tahun sejak kembali dari Perbatasan Selatan, dari pangeran terlantar yang tak dikenali Ayah Kaisar menjadi anak Permaisuri. Jika diberi waktu, aku tak berani membayangkan sejauh apa dia akan melangkah--" 　　"Kakak Keempat, maksudmu apa?" 　　Pangeran Qi mengambil kembali cangkir Gu, menyeruput teh lalu tersenyum sinis: "Adik Kedelapan tak merasa Lao Qi adalah orang yang dikaruniai nasib besar?" 　　Mata Pangeran Xiang menyempit, terkejut: "Kakak Keempat, kau pikir Lao Qi mungkin jadi Putra Mahkota?" 　　Sorot mata Pangeran Qi berkilat: "Adik Kedelapan merasa tidak mungkin?" 　　Suara Pangeran Xiang bergetar penuh amarah: "Tapi dengan alasan apa dia--" 　　“Berdasarkan statusnya sekarang sebagai putra Permaisuri.” Pangeran Qi meletakkan cangkir Gu dengan keras di atas meja kayu mahoni, sorot matanya dingin seperti es. “Yu Lang adalah putra Permaisuri Pertama, satu-satunya anak lelaki sah Ayah Kaisar, namun akhirnya berakhir dicabut gelar dan tewas. Jika semua hal mungkin terjadi, mengapa Lao Qi tidak mungkin menjadi Putra Mahkota?” 　　Pangeran Xiang diam membisu. 　　Pangeran Qi juga terdiam, menunggu sampai teh dalam cangkir Gu itu benar-benar dingin, lalu menghela nafas: “Jika Lao Qi menjadi calon penguasa, bahkan naik lebih tinggi lagi, apakah Adik Kedelapan rela?” 　　Pangeran Xiang memukul meja keras-keras, suaranya parau: “Jangan dia mimpi!” 　　Jalan naga terbang di sembilan langitnya sudah diputuskan tapi masih ingin menanjak ke langit, hanya memikirkannya saja sudah membuatnya mual. 　　Inilah alasan mengapa dia bersungguh-sungguh membantu Lao Si. 　　Memandangi tumpahan teh yang merembes di permukaan meja, suara Pangeran Qi berubah lembut, bergumam: “Ya, bagaimana mungkin bisa rela.” 　　“Kakak Keempat, apa strategi yang kau punya?” Pangeran Xiang mulai pulih kewarasannya, namun wajahnya tetap sangat muram. 　　Pangeran Qi mengamati dengan puas. 　　Semakin Lao Ba membenci Lao Qi, rencananya akan semakin mudah terwujud. 　　Pangeran Qi menyelipkan tangan ke dalam jubah dan mengeluarkan botol keramik kecil lalu mendorongnya ke depan. 　　“Ini——” 　　Pangeran Qi menatap Pangeran Xiang, mengucapkan kata demi kata dengan jelas: “Sebuah ramuan obat.” 　　Pangeran Xiang tidak menyentuh botol keramik putih kecil itu, nada suaranya ragu-ragu: “Obat apa?” 　　Pangeran Qi melengkungkan sudut bibirnya, mengguratkan senyuman: "Obat ini tak berwarna dan tak berbau, dapat larut dalam anggur. Orang yang meminumnya akan kehilangan kendali diri dalam waktu seperempat jam, melakukan hal-hal yang tak terduga..." 　　Pangeran Xiang menatap botol porselen putih itu, terdiam lama. 　　Pangeran Qi langsung membuka kartu: "Adik Kedelapan, Lao Qi adalah ancaman terbesar bagi kita. Kita harus menjatuhkannya sebelum dia semakin kuat. Inilah yang harus kau lakukan." 　　"Saya?" 　　"Benar. Obat ini bisa membuat seseorang kehilangan muka. Adakah kesempatan yang lebih baik dari perayaan ulang tahun Nenek Kaisar?" 　　Alis pedang Panger Xiang berkerut: "Mempermalukan Lao Qi di acara itu memang bagus, tapi bagaimana cara meracuninya?" 　　Pangeran Qi terkekeh: "Alasan aku memilihmu daripada melakukannya sendiri bukan untuk cuci tangan. Kau punya lebih banyak kesempatan." 　　Pangeran Xiang mengencangkan bibir tipisnya, menunggu penjelasan. 　　Pangeran Qi memutar-mutar botol kecil di tangannya: "Kau lihat sendiri, Lao Qi selalu mengabaikanku. Jika aku menawarkan anggur, pasti akan ditolak. Tapi jika kau mengingatkannya tentang kejadian masuk istana bersama itu, dia pasti mau minum 'anggur penghiburan'-mu. Bukankah dia selalu suka menginjak orang lalu memamerkan pedangnya?" 　　Sorot mata Pangeran Xiang berkilauan, mulai tertarik. 　　Jika bisa lolos setelah meracuni Lao Qi, dia tak keberatan mencoba. 　　Bagaimanapun, segala hal memiliki risiko, yang Lao Si butuhkan bukanlah sekadar pembantu yang hanya ingin menikmati hasil tanpa usaha. 　　Tapi kalau gagal—— 　　Pangeran Qi memahami kekhawatiran Pangeran Xiang, tersenyum: "Obat ini bisa larut seketika dalam anggur, Adik Kedelapan hanya perlu menyelinapkan obat saat memberikan penghormatan dengan anggur. Nanti aku juga akan menghormati Lao Qi dengan anggur, ditambah orang lain yang akan menyusul, Lao Qi mengamuk pun tidak akan bisa melacak sampai ke gelas anggur ini, Adik Kedelapan tak perlu khawatir." 　　Melihat Pangeran Xiang lama terdiam, Pangeran Qi menghela napas: "Kalau Adik Kedelapan merasa ini sulit, lupakan saja. Kita masih punya waktu untuk mencari kesempatan lain. Hanya khawatir Ayah Kaisar hari ini tiba-tiba mencatat Lao Qi di bawah nama Permaisuri, besok bisa tiba-tiba memberikan posisi calon penguasa kepada Lao Qi. Saat itu datang, akan sangat sulit untuk menggoyahkan Lao Qi..." 　　Perkataan Pangeran Qi akhirnya memantapkan tekad Pangeran Xiang, ia mengatupkan gigi: "Ragu-ragu hanya akan mendatangkan bencana, lakukan saja seperti ini." 　　Membantu Lao Si juga berarti membantu dirinya sendiri. Asalkan berhasil, di masa depan bisa hidup tenang. 　　Dalam acara ulang tahun Nenek Kaisar, semua orang saling menghormati dengan anggur. Siapa yang bisa melacak sampai ke gelas anggurnya? 　　Lagipula, kalau Lao Qi sampai kehilangan kendali, mengingat perhatian Ayah Kaisar pada Nenek Kaisar, mungkin langsung akan mengusir Lao Qi keluar tanpa diberi kesempatan menjelaskan. Apa yang bisa diselidiki? 　　Pangeran Qi menepuk bahu Pangeran Xiang sambil tersenyum: "Kalau begitu, serahkan pada Adik Kedelapan. Jika berhasil, Kakak pasti akan membalas budimu dengan baik." 　　Pangeran Xiang menyeringai: "Kakak Keempat terlalu formal. Antara saudara seperti kita tak perlu bicara seperti itu." 　　Keduanya berjabat tangan, saling tersenyum. 　　Sekejap mata tibalah hari ulang tahun Janda Permaisuri, Yu Jin dan Jiang Si naik ke kereta kuda, bergegas menuju Istana Kekaisaran. 　　Di dalam kereta, Yu Jin bersandar malas di dinding kereta, bertanya sambil tersenyum: "A Si, menurutmu apakah akan ada ulah aneh di pesta ulang tahun hari ini?" 744.BAB 741 Orang-orang yang menghadiri jamuan masih rombongan itu 　　BAB 741 Orang-orang yang menghadiri jamuan masih rombongan itu 　　Kereta kuda melaju perlahan, terlihat sederhana dengan kelambu hijau, namun tata interiornya sangat nyaman. 　　Yu Jin meraih buah di atas meja kecil dan menggigitnya, menatap Jiang Si sambil tersenyum. 　　Masuk istana kali ini jelas tak akan damai, tapi baginya sama sekali tidak menakutkan, malah terasa seperti ingin segera bertindak. 　　Ia bukan tipe orang yang ragu-ragu dan bertele-tele. Karena sudah membidik posisi itu, semakin cepat rintangan bermunculan semakin baik, setelah semua diselesaikan, target hampir tercapai. 　　Sorot mata antusias Yu Jin membuat Jiang Si menggeleng sambil tertawa: "Tahu mungkin ada ulah aneh, kok aku merasa kau malah menantikannya?" 　　Yu Jin melempar buah ke piring, tertawa: "Mana ada menanti, ini kan sudah tak sabar." 　　Jiang Si tak tahan tertawa terbahak. 　　Perebutan takhta, jalan depan penuh duri, tapi sikap santai A Jin membuatnya merasa lebih ringan. 　　"Tetaplah waspada, jangan lengah." 　　"Tenang saja, kau juga harus hati-hati." 　　Saat mereka masih berbincang, kereta sudah tiba di ibu kota. 　　Ulang tahun Janda Permaisuri sebenarnya merupakan acara besar kedua setelah ulang tahun kaisar, namun selama bertahun-tahun beliau tidak menyukai perayaan mewah. Tahun ini dengan alasan kesehatan yang buruk, hanya mengadakan jamuan keluarga di Aula Changsheng yang dihadiri seluruh anggota klan kerajaan. 　　Yu Jin turun dari kereta kuda terlebih dahulu, mengulurkan tangan untuk membantu Jiang Si turun. 　　Baru saja Jiang Si berdiri tegak, terdengar suara seseorang: "Kebetulan sekali, bertemu dengan Adik Ketujuh dan adik ipar ketujuh." 　　Keduanya menoleh dan melihat Pangeran Qi berdiri tak jauh, senyum tipis terukir di wajahnya. 　　Pangeran Qi segera mendekat: "Adik Ketujuh, mari masuk bersama." 　　Yu Jin menatapnya dalam-dalam, tiba-tiba melangkah maju dan berbisik: "Kakak Keempat benar-benar gigih menempelkan wajah hangat pada pantat dingin orang lain." 　　"Kau--!" Sekalipun berwatak sabar, Pangeran Qi nyaris kehilangan kesabaran mendengar perkataan seperti itu. 　　Yu Jin malah menyungging senyum ramah: "Bukankah Kakak Keempat ingin masuk bersama? Sebagai kakak, silakan duluan--" 　　Suaranya yang sedikit meninggal langsung menarik perhatian para bangsawan kerajaan yang baru tiba. 　　Amarah Pangeran Qi pun tak bisa diluapkan. 　　Dengan banyaknya orang yang memperhatikan, meski Lao Qi tak peduli muka, dia masih ingin menjaga harga diri. Jika dua saudara bertengkar di ulang tahun Janda Permaisuri, apa kabarnya bila sampai di telinga Ayah Kaisar? 　　Sementara Pangeran Qi berusaha menahan amarah, Yu Jin tersenyum manis: "Kakak Keempat terlalu sopan, kalau begitu adik yang tak tahu muka akan masuk duluan." 　　Sebelum Pangeran Qi bereaksi, Yu Jin sudah menarik Jiang Si pergi menjauh. 　　“Pangeran Xiang yang terlambat datang mendekat: ‘Kakak Keempat, ada apa?’” 　　Ekspresi Pangeran Qi kembali normal, namun di kedalaman matanya mengeras seperti es: “Tidak ada. Adik Kedelapan, mari kita masuk juga.” 　　Pangeran Xiang melirik punggung tegak yang menjauh itu, berjalan sambil berbisik: “Kakak Keempat, apakah brengsek itu memprovokasi lagi?” 　　Sudut mata Pangeran Qi menyapu sekeliling, menurunkan suara: “Adik Kedelapan, perhatikan ucapanmu.” 　　Saat ini banyak orang. Tidak pantas terdengar Lao Ba memanggil Lao Qi sebagai brengsek. 　　Pangeran Xiang menggeleng: “Kakak Keempat terlalu sabar, bisa menahan diri.” 　　Pangeran Qi memicingkan mata, berbisik nyaris tak terdengar: “Apa artinya menahan diri sesaat?” 　　Dengan menahan diri sekarang, asalkan berhasil, dia tak perlu lagi menahan diri. Menukar kesabaran sementara dengan kejayaan seumur hidup tentu sepadan. 　　Kesombongan Lao Qi di matanya hanyalah kekanakan. Akan tiba saatnya dia membayar kebodohannya. 　　Pikiran ini meredakan amarah yang menggelegak dalam diri Pangeran Qi. 　　Persis saat itu, Yu Jin menoleh sekilas. Tatapannya bertemu wajah Pangeran Qi, senyum sinis mengembang di sudut bibirnya. 　　Langkah Pangeran Qi terhenti. Amarah yang baru diredam nyaris meledak lagi. 　　“A Si, Lao Si ini benar-benar orang berbakat.” 　　Jiang Si memiringkan kepala melihat Yu Jin: “Bagaimana?” 　　Yu Jin terkekeh rendah: “Tadi setelah kupermalukan begitu, dia masih bisa menahan amarah. Bukankah ini orang berbakat dalam menghibur diri?” 　　“Apa yang dipikirkan si pengecut itu masih belum jelas baginya? Tentu saja dia cuma menahan diri sementara untuk menghitung utang di kemudian hari. Tapi dia tak tahu bahwa kebiasaan menahan diri hanya cocok untuk jadi kura-kura pengecut, mana mungkin bisa terbang tinggi seperti naga?” 　　“Kau lihat saja, meski hari ini ada ulah aneh, Lao Si si pengecut itu pasti tak berani tampil sendiri.” 　　Jiang Si terkikik kecil, berbisik: “Kau benar-benar memahami Pangeran Qi sampai ke lubuk hati.” 　　Yu Jin mencemooh: “Aku sudah sering melihat tipe orang seperti ini.” 　　“A Jin, kalau begitu kau harus berhati-hati dengan Pangeran Xiang.” Jiang Si mendekat sedikit, suaranya nyaris tak terdengar. 　　Yu Jin mengangguk halus: “Tenang, aku tahu.” 　　Lao Ba pasti masih menyimpan dendam karena urusan anak angkat Permaisuri. Dengan sedikit hasutan dari Lao Si, sangat mungkin dia akan memilih untuk bertindak hari ini. 　　Memikirkan ini, sudut bibir Yu Jin sedikit terangkat, menyimpan senyum sinis. 　　Si tolol yang bahkan tak bisa membersihkan pantatnya sendiri ini masih lompat-lompatan, apa dia ingin menghiburku yang sedang bosan? 　　Dia benar-benar tak sabar menunggu. 　　“Paduka Pangeran dan Permaisuri sungguh pasangan serasi.” Seorang pria di dekat mereka menyela sambil tersenyum. 　　Yu Jin melirik pria itu, mengenali statusnya. 　　Yang berbicara adalah putra sulung Pangeran Kang, dijuluki Pangeran Muda Kang. 　　Tidak akrab, tapi karena ucapannya begitu manis, layak untuk ditanggapi. 　　Yu Jin lalu menunjukkan senyum tipis, mulai menyapa balik. 　　Di Aula Changsheng, tempat duduk untuk jamuan telah disiapkan. Pria duduk di sebelah kiri, wanita di kanan. Karena semuanya masih satu keluarga, tidak perlu terlalu banyak batasan. Hanya disisakan lorong selebar satu zhang di tengah untuk lalu lalang. 　　Adapun menyediakan ruang gerak untuk penari - mereka yang pernah menghadiri pesta perayaan kesembuhan mata Putri Fuqing serentak menggelengkan kepala. 　　Itu sama sekali tidak perlu. Mengingat peristiwa saat itu, mereka masih merinding. Penari yang meracuni Putri Kelima Belas itu bisa bergerak bebas di depan para bangsawan untuk menyelinapkan racun. 　　Istana tampaknya telah belajar dari pelajaran pesta itu. Hari ini panggung hanya ditempatkan tepat di depan aula utama. 　　Di bawah podium tempat Kaisar, Permaisuri, dan Janda Permaisuri duduk, telah dipasang permadani bundar. Saat pesta istana dimulai, para penari akan menari di area ini tanpa boleh melangkah keluar. 　　Banyak yang mengangguk-angguk diam-diam melihat gadis cantik yang sedang menari anggun di atas permadani: "Hmm, ini aman." 　　Seorang pemuda berandalan yang tak tahu soal insiden pesta itu bergumam: "Ini membosankan sekali." 　　Orang di sebelahnya membentak: "Ngerti apa kau!" 　　Membosankan lebih baik daripada ada yang mati. 　　Setelah insiden racun di pesta istana yang menewaskan Putri Kelima Belas, lalu pembunuhan Pangeran An di Gunung Cuiluo, sekarang orang-orang benar-benar was-was menghadiri acara kerajaan. 　　Tapi melihat pengaturan hari ini, seharusnya aman. Lagipula ini pesta ulang tahun Janda Permaisuri, seharusnya tak ada yang berani nekat membuat onar. 　　“Kaisar Jingming yang duduk di podium tinggi mengamati semua ini, diam-diam merasa lega.” 　　Kelopak mata tidak berkedip, hati tidak gelisah, yang terpentung penari tidak bisa bergerak sembarangan lagi, hari ini pasti akan lancar. 　　Sambil berpikir demikian, Kaisar Jingming pun rileks, menoleh dan bercanda sebentar dengan Permaisuri yang duduk di sampingnya. 　　“Konon karpet brokat itu juga dipilih langsung oleh Permaisuri, Permaisuri sudah bersusah payah.” 　　Di depan semua orang, Permaisuri tersenyum anggun: “Ini kewajiban hamba.” 　　Saat Kaisar dan Permaisuri sedang berbisik, terdengar suara pelayan istana berseru: “Janda Permaisuri tiba——” 745. BAB 742 Hadiah Ulang Tahun 　　BAB 742 Hadiah Ulang Tahun 　　Begitu suara itu berhenti, Janda Permaisuri pun masuk dari sudut, didukung Putri Fuqing dan Putri ke-14 di kiri-kanannya. 　　Melihat kedatangan Janda Permaisuri, Kaisar Jingming segera berdiri menyambut, Permaisuri mengikuti diam-diam. 　　“Ibu, pelan-pelan.” Kaisar Jingming mengulurkan tangan untuk menyangga Janda Permaisuri, Putri ke-14 dengan patuh mundur memberi jalan. 　　Tindakan Kaisar Jingming membuat hati Janda Permaisuri sangat terharu, tersenyum: “Kaisar tidak perlu begitu, hamba masih bisa berjalan.” 　　Kaisar Jingming tersenyum: “Ibu tentu sehat walafiat, hanya anak lelaki ingin menyangga Ibu saja.” 　　Menyaksikan Kaisar Jingming dengan hati-hati membimbing Janda Permaisuri naik ke podium, orang-orang di aula itu pun merasa terharu: Kaisar memang tetap berbakti puluhan tahun pada Janda Permaisuri. 　　Para pangeran tua dan nyonya tua yang berusia lanjut pun tak bisa menahan anggukan, diam-diam iri pada keberuntungan Janda Permaisuri. 　　Bahkan dalam keluarga biasa, anak angkat yang berbakti dengan tulus seperti ini kepada ibu angkatnya sudah patut dipuji, apalagi orang itu adalah Kaisar. 　　Menjadi wanita hingga mencapai posisi Janda Permaisuri seperti inilah yang disebut tidak sia-sia hidup, berkah yang mungkin didapat setelah bertumpuk-tumpuk kehidupan. 　　Janda Permaisuri berjalan menuju podium tinggi di bawah sorotan mata penuh kekaguman dan hormat, ditopang oleh Kaisar Jingming sebelum duduk perlahan, memandang ke bawah aula. 　　Semua orang di dalam aula berdiri dan memberi salam, serempak berseru: "Selamat merayakan ulang tahun Janda Permaisuri——" 　　Janda Permaisuri mengangguk ringan. Setelah suasana tenang, beliau tersenyum: "Kita semua keluarga, kalian tidak perlu kaku. Santai saja." 　　Begitu Janda Permaisuri memberi instruksi, kerumunan pun segera duduk kembali. 　　Alunan musik mulai bergema, sekelompok penari berbaju warna-warni muncul anggun. Kaki telanjang mereka menari di atas karpet mewah, gemerincing lonceng perak di pergelangan kaki menyatu dengan irama musik, menghangatkan suasana aula. 　　Janda Permaisuri mengangguk ramah ke arah Permaisuri: "Permaisuri sudah bersusah payah." 　　Permaisuri mengangkat piala: "Merayakan ulang tahun Ibu adalah kehormatan bagi menantu. Semoga Ibu tetap segar bak pohon pinus, tiap tahun merasakan kebahagiaan seperti hari ini." 　　Janda Permaisuri juga mengangkat piala, menyentuh bibirnya sebentar. 　　Selanjutnya para kerabat kerajaan secara berurutan maju memberikan ucapan dan hadiah sesuai susunan yang telah diatur. 　　Dimulai dari generasi seumuran Janda Permaisuri, lalu generasi Kaisar Jingming, setelah semua itu baru tiba giliran generasi cucu. 　　Di antara cucu-cucu, beberapa pangeran tentu yang pertama memberi ucapan selamat. Namun tahun ini, para pangeran tersebut lebih menarik perhatian daripada tahun-tahun sebelumnya. 　　Tak lain, posisi calon penguasa yang masih kosong adalah urusan besar yang diperhatikan semua orang. 　　Yang pertama tampil adalah pasangan Qin Wang. 　　Sebagai anak angkat Kaisar Jingming, meski tak punya harapan atas takhta, Qin Wang selalu diutamakan dalam acara-acara resmi dibanding pangeran lainnya. 　　Banyak orang melirik sekilas ke arah Qin Wang sebelum menunduk minum anggur. 　　Percuma diutamakan, posisi calon penguasa sama sekali tak ada hubungannya dengan Qin Wang. 　　Hadiah pasangan Qin Wang untuk Janda Permaisuri adalah sepasang buah persik giok putih. 　　Di antara harta karun tak terhitung, sepasang buah persik giok mungkin tak termahal, namun menang dalam kerumitan pengerjaan sehingga tampak seperti baru dipetik dari pohon. 　　Janda Permaisuri tersenyum lega, memuji hadiah itu sebelum menerimanya. 　　Berikutnya giliran Pangeran Qi. 　　Hadiahnya adalah kitab suci salinan tangannya sendiri. Yang istimewa, kitab itu merupakan naskah langka dari seberang lautan yang bahkan jarang dibaca biksu terkemuka Dinasti Zhou. 　　Janda Permaisuri tentu menerimanya dengan gembira. 　　Yu Jin di seberang lorong bertatapan dengan Jiang Si, matanya penuh cibir. 　　Lao Si benar-benar hantu miskin yang hidup dari barang-barang mahar istrinya. Hadiah untuk Janda Permaisuri cuma kitab usang! 　　"Salinan tangan sendiri" pada dasarnya berarti tak keluar uang. Soal naskah asli seberang lautan, mungkin saja dia menghafal isinya diam-diam lalu menulis ulang. Lagipula tak ada biaya produksi. 　　Membenci seseorang membuat segala perbuatannya tak sedap dipandang. Yu Jin memberi 10.000 tingkat cibiran pada kelicikan Pangeran Qi ini. 　　Jiang Si membalas senyumnya, berkedip perlahan. 　　“A Jin mengejek Pangeran Qi sebelumnya tanpa memikirkan gaji Er Niu yang dihabiskan siapa……” 　　Mungkin karena saling memahami tanpa kata, Yu Jin langsung mengerti maksud Jiang Si dari kedipan matanya, wajah tampannya seketika menggelap. 　　Apa masalahnya dia menghabiskan gaji Er Niu? Er Niu itu dia yang besarkan sendiri! 　　Hadiah ucapan dari pasangan Pangeran Lu berikutnya sama sekali tidak mewah, hanya sepasang karang merah setinggi setengah zhang. 　　Disebut tidak mewah karena karang merah memang hadiah umum, namun sebenarnya pasangan karang merah ini yang paling bernilai, setidaknya jauh lebih mahal dari persik giok putih dan kitab suci. 　　Saat giliran pasangan Pangeran Shu tampil, hadiah ulang tahun yang dipersembahkan untuk Janda Permaisuri terbilang biasa, namun tetap diterima dengan senyum. 　　Kembali ke tempat duduk, Pangeran Shu merasa sedikit menyesal di hati. 　　Sebenarnya bisa memberikan hadiah yang disukai Nenek Kaisar, tapi Selir Ibunya memintanya untuk merendahkan diri sementara, akhirnya dia memilih untuk lebih rendah profil. 　　Di sudut podium tinggi, Zhuangfei yang duduk tenang mengangguk hampir tak terlihat, lega melihat anaknya mau mendengarkan nasihatnya. 　　Kemudian Yu Jin dan Jiang Si bangkit dari tempat duduk masing-masing, bersama-sama maju ke tengah untuk memberi ucapan kepada Janda Permaisuri. 　　“Cucu (cucu menantu) mengucapkan selamat hari ulang tahun ke Nenek Kaisar.” 　　Sebuah kotak kecil nan elegan diterima pelayan istana, dibuka dan disodorkan di hadapan Janda Permaisuri. 　　Di dalam kotak terbaring untaian tasbih kayu cendana. 　　Saat melihat jelas hadiah itu, pupil mata Janda Permaisuri tiba-tiba menyempit, raut wajahnya tak bisa menahan perubahan halus. 　　Kaisar Jingming paling memperhatikan Janda Permaisuri. Melihat raut wajah sang ibu yang tak biasa, ia penasaran bertanya pada Yu Jin: "Lao Qi, kenapa kau memilih memberikan tasbih sebagai hadiah untuk nenekmu?" 　　Janda Permaisuri memiliki seuntai tasbih kayu gaharu yang biasa dikenakannya sehari-hari. Kaisar Jingming sangat familiar dengan tasbih tersebut. 　　Mendengar pertanyaan kaisar, Yu Jin menjawab dengan sikap terbuka: "Putra yakin nenek pasti menyukainya." 　　Kaisar Jingming tertawa: "Tasbih seperti ini——" 　　Awalnya ingin mengatakan bahwa sang ibu sudah memiliki tasbih serupa yang tak pernah dilepas, namun kata-katanya tertahan di tengah jalan. Matanya reflek menoleh ke pergelangan tangan sang ibu. 　　Tanpa disadari, tasbih di pergelangan tangan Janda Permaisuri sudah menghilang. 　　Aneh, kapan sang ibu melepas tasbih itu? 　　Saat pengumuman penetapan Lao Qi sebagai anak Permaisuri beberapa hari lalu, ia masih melihat tasbih itu ketika melapor ke ibu suri. 　　Kebingungan ini menggelayut di hati kaisar ketika Janda Permaisuri bersabda: "Tasbih semacam ini memang sangat hamba sukai. Kalian sungguh perhatian." 　　Yu Jin menatap sang nenek sambil tersenyum lembut: "Yang penting nenek suka." 　　Setelah berkata demikian, ia mundur bersama Jiang Si. 　　Prosesi persembahan hadiah terus berlanjut, namun tasbih itu telah mengocak kedamaian hati sang Janda Permaisuri. 　　Kaisar Jingming pun merasakan gejolak serupa. 　　Sebenarnya tak perlu memusingkan seuntai tasbih, tapi mengapai raut wajah ibu tadi berubah? Jangan-jangan ada alasan tertentu dibalik penghilangan tasbih lama itu? 　　Entah mengapa, ketika memikirkan momen Janda Permaisuri melepas tasbih kayu gaharu, perasaan Kaisar Jingming tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Namun kegelapan hati ini segera diusir oleh keramaian di aula besar. 　　Pesta masih berlanjut, tepat pada saat suasana mulai memuncak. 　　Orang-orang yang sudah agak mabuk mulai lebih sering bersulang tanpa banyak sungkan. 　　Berbeda dengan masa lalu yang diabaikan, hari ini banyak orang mengerumuni Yu Jin. Jelas status sebagai putra Permaisuri membuatnya berbeda dari sebelumnya. 　　Pangeran Xiang memandang dengan mata berapi-api, untuk kesekian kalinya berpikir: Seandainya hari itu Ayah Kaisar memilihku, orang-orang yang menjilat ini pasti sedang merayuku sekarang! 　　Sebuah tangan menepuk pundaknya dengan lembut. 　　Pangeran Xiang menoleh dan melihat Pangeran Qi mengangkat gelas padanya: "Adik Kedelapan, Kakak bersulang untukmu." 　　Pangeran Xiang menghabiskan anggur di gelasnya lalu berjalan menuju Yu Jin. 　　Pembaruan besok sore. 746.BAB 743 Mempermalukan Diri 　　BAB 743 Mempermalukan Diri 　　Sudut mata Yu Jin sebenarnya sudah melihat Pangeran Xiang mendekat, tapi sama sekali tidak dihiraukannya. 　　Meski sudah menduga si tolol ini akan berulah dan sangat menantikannya, ia tidak boleh menunjukkan hal itu. 　　Kalau ketahuan, takutnya si pengecut ini malah mengurungkan niat? 　　"Pangeran, saya ingin menghormati Anda dengan segelas anggur." Yang bersuara adalah Pangeran Muda Kang. 　　Saat masuk istana tadi mereka sempat berbincang sebentar. Yu Jin tak keberatan memberi sedikit muka, langsung menghabiskan gelasnya. 　　Pangeran Muda Kang tersenyum: "Pangeran benar-benar orang yang bersemangat. Ke depannya jika hamba mengundang pangeran minum, harap Tuan berkenan menghadiri." 　　“Pangeran Xiang yang berjalan mendekat mendengar ucapan itu, hatinya terasa pahit. 　　Meski ayah Pangeran Kecil Kang hanya seorang pangeran kabupaten, namun tetap dihormati di lingkungan keluarga kekaisaran. Biasanya Pangeran Kecil Kang takkan menjilat seperti ini. 　　Rasa tidak puas itu semakin menguat, menghapus sedikit keraguan terakhir Pangeran Xiang. 　　Dengan langkah tegap ia menghampiri, memanggil: "Kakak Ketujuh." 　　Kerumunan pun menoleh ke arahnya. 　　Pangeran Xiang mengangkat gelasnya, tersenyum: "Sejak perpisahan itu, Adik belum sempat berbincang dengan Kakak. Hari ini izinkan Adik menghadiahkan segelas anggur." 　　Yu Jin menoleh ke arahnya, senyumnya penuh kecerobohan. 　　"Jangan-jangan Kakak tidak mau memberi wajah?" Suara Pangeran Xiang tiba-tiba gugup. 　　Lao Qi si bajingan ini memang suka bertindak tak terduga. Jika menolak minum, semua rencana liciknya akan sia-sia. 　　Di tengah kegugupan Pangeran Xiang, Yu Jin tiba-tiba tertawa pendek: "Mengapa tidak? Adik Kedelapan mau minum bersamaku, ini kehormatan." 　　Pangeran Xiang diam-diam lega, melambaikan tangan pada dayang yang berdiri di samping. 　　Dayang yang membawa nampan segera menghampiri. 　　Pangeran Xiang mengambil kendi anggur giok putih di nampan, berkata: "Biarkan Adik yang menuangkan untuk Kakak." 　　Gelas Yu Jin sebelumnya sudah kosong setelah minum dengan Pangeran Kecil Kang, sehingga tindakan Pangeran Xiang ini tak mencurigakan sama sekali. 　　Pangeran Xiang memanfaatkan momen menuangkan anggur untuk menyembunyikan jentikan jarinya di balik lengan baju, menaburkan serbuk obat ke dalam gelas. Saat melakukan ini, detak jantungnya berdegup kencang seperti petir, seolah-olah sebentar lagi akan melompat keluar dari tenggorokan. 　　"Kakak Ketujuh, silakan——" Setelah semuanya selesai, Pangeran Xiang menyerahkan gelas anggur itu kepada Yu Jin, berusaha keras tidak menunjukkan keanehan. 　　Yu Jin menundukkan pandangannya menatap gelas anggur itu. 　　Di dalam cangkir giok bergoyang anggur berwarna amber, minuman istana yang tidak bisa dibeli di pasaran. 　　Tatapannya yang terlalu lama membuat hati Pangeran Xiang yang baru saja tenang kembali berdebar-debar. 　　Lao Qi sangat licik, jangan-jangan dia sudah menyadari keanehan? 　　Pangeran Xiang tak sengaja mengikuti pandangan Yu Jin ke arah gelas berisi "bumbu spesial" itu. 　　Cairan anggur masih berwarna amber, sama persis dengan anggur di gelasnya sendiri. 　　Tidak mungkin, Lao Qi tidak akan menemukan keanehan. 　　Pangeran Xiang berusaha menenangkan diri dalam hati, namun punggungnya sudah basah kuyup oleh keringat dingin. 　　Saat ini baru ia sadar: banyak hal yang mustahil dilakukan tanpa rasa tegang jika dilakukan sendiri. 　　Yu Jin yang sudah cukup membuatnya ketakutan akhirnya mengangkat gelas itu dan mengacungkannya ke arah Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang bagai mendapat ampun, segera menyentuhkan gelasnya dengan gelas Yu Jin. 　　Yu Jin mengangkat gelas ke bibir dengan satu tangan, tangan lainnya menopang secara simbolis, lalu menenggak habis isinya. 　　Pangeran Xiang menatap bibir merah lembab yang basah oleh anggur itu, akhirnya bisa bernapas lega. 　　"Minum saja, asalkan obat itu benar-benar manjur seperti yang dikatakan Kakak Keempat, Lao Qi pasti akan mempermalukan diri hari ini." 　　Sudut bibirnya tak sadar melengkung, Pangeran Xiang tersenyum tulus dan bersiap kembali ke tempat duduk. 　　Yu Jin memandangnya dengan senyum samar: "Adik Kedelapan tak perlu buru-buru pergi." 　　Wajah Pangeran Xiang tetap tenang, tapi hatinya mulai waspada. 　　Yu Jin mengambil kembali kendi anggur yang baru saja diletakkan Pangeran Xiang di nampan dayang, lalu menuangkan penuh cawan kosong milik Pangeran Xiang. 　　Gerakan ini dilakukan begitu cepat, saat Pangeran Xiang menyadarinya, cawan sudah terisi penuh. 　　Yu Jin kemudian mengisi cawannya sendiri, mengangkat cawan sambil tersenyum: "Kakak juga ingin bersulang untuk Adik Kedelapan." 　　Pangeran Xiang menggenggam cawan giok putih, dadanya mulai berdebar. 　　Wajah Yu Jin berubah muram, dengan tidak senang berkata: "Ada masalah? Adik Kedelapan tak mau minum?" 　　Hati Pangeran Xiang berdesir, buru-buru menjawab: "Mana mungkin." 　　Di hadapan semua orang dia datang memberi minum Lao Qi, jika dia menolak balasan Lao Qi, nanti saat Lao Qi mempermalukan diri mungkin orang akan mencurigainya. 　　Memikirkan ini, Pangeran Xiang tak berani menunda lagi, segera meneguk habis cawannya. 　　"Adik Kedelapan benar-benar orang yang bersemangat." Yu Jin tertawa ringan lalu menghabiskan anggurnya. 　　Barulah Pangeran Xiang bisa melepaskan diri, diam-diam bertukar pandang dengan Pangeran Qi. 　　Pangeran Qi mendekat dan ikut mengangkat cawan untuk bersulang. 　　Melihat Yu Jin tidak menolak sama sekali dan dalam waktu singkat telah meminum beberapa gelas anggur, Pangeran Xiang akhirnya bisa menenangkan hatinya yang sempat cemas. Diam-diam ia mengusap keringat dingin di telapak tangannya, lalu segera bergabung minum bersama yang lain agar tidak terlihat mencurigakan. 　　Sambil terus minum, ia tak lupa mengamati Yu Jin diam-diam. 　　Kakak Keempat bilang efek obat itu akan terasa dalam seperempat jam, tapi kenapa Lao Qi belum bereaksi juga? 　　Memperkirakan waktunya sudah cukup, sementara Yu Jin masih asyik bercanda dengan orang lain, Pangeran Xiang mulai gelisah. Akhirnya ia mendekati Pangeran Qi dan berbisik, "Kakak, kenapa belum ada reaksi?" 　　Pangeran Qi juga tampak tak tenang, mengerutkan kening, "Mungkin tergantung kondisi fisik orangnya..." 　　Lao Qi adalah praktisi bela diri, tubuhnya pasti lebih kuat, jadi efek obatnya lebih lambat. 　　Mendengar penjelasan yang masuk akal itu, Pangeran Xiang sedikit lega namun tetap terus memantau keadaan di sana. 　　Beberapa saat kemudian, tiba-tiba raut wajah Pangeran Xiang berubah. Matanya yang jernih tadi kini kosong dan terlihat bingung. 　　"Adik Kedelapan, kau kenapa?" Pangeran Qi menyadari keanehan itu dan buru-buru bertanya. 　　Pangeran Xiang tiba-tiba berdiri. 　　Pangeran Qi panik, menarik lengan baju Pangeran Xiang sambil berbisik gugup, "Apa yang mau kau lakukan?" 　　Saat itu aula sedang ramai dengan suara gelas bersentuhan dan alunan musik, sehingga tak ada yang memperhatikan kejadian ini. Sekalipun ada yang melihat, pasti mengira Pangeran Xiang hendak memberikan toast. 　　Di atas podium, Kaisar Jingming penuh perhatian berkata kepada Janda Permaisuri: "Ibu jika lelah, anak lelaki akan mengantar Ibu beristirahat." 　　Janda Permaisuri telah berusia tujuh puluh tahun, duduk terlalu lama dikhawatirkan tidak tahan. 　　Biasanya di acara seperti ini Janda Permaisuri sudah lama pergi, namun kali ini menggeleng: "Tahun demi tahun, tidak tahu berapa kali lagi bisa melihat keramaian seperti ini, hamba senang melihatnya." 　　"Yang penting Ibu senang. Saat cuaca lebih hangat nanti, suruh Permaisuri menyelenggarakan beberapa pesta bunga. Pasti lebih meriah dari sekarang. Ibu bisa melihat keramaian apa pun yang diinginkan, jangan berkata seperti itu lagi." 　　Janda Permaisuri mengangguk sambil tersenyum, pandangannya melayang sejenak ke arah Yu Jin, mata menyiratkan rasa ingin tahu. 　　Apakah persembahan tasbih kayu gaharu oleh Pangeran Yan itu kebetulan atau disengaja? 　　Tiba-tiba Pangeran Xiang yang berdiri mulai membuka jubah luar dengan kasar, matanya merah berlari menuju podium. 　　Sambil berlari ia terus melepaskan pakaiannya, dalam sekejap hanya tersisa baju dalam putih bersih. 　　Karena kejadian yang mendadak, orang-orang di aula lantas terkaget-kaget, wajah bodoh memandangi Pangeran Xiang yang berlari ke podium. 　　Bahkan para pengawal istana yang bertugas melindungi Kaisar pun terkejut, otak mereka bekerja keras memikirkan pertanyaan sulit: Apakah Pangeran Xiang hendak memberontak... Tapi tampaknya dia mau telanjang, di mana senjata tersembunyinya? 　　Sudahlah, meski tanpa senjata pun Pangeran Xiang tidak boleh mendekati Kaisar. 　　Para pengawal yang sudah paham serentak bertindak, menahan Pangeran Xiang yang sudah hampir telanjang. 747.BAB 744 Bubar Terburu-buru 　　BAB 744 Bubar Terburu-buru 　　Cawan giok putih yang digenggam erat oleh Kaisar Jingming bergoyang, menumpahkan anggur berwarna amber. 　　Aroma anggur menusuk hidung, tapi dirinya mati rasa. 　　Lao Ba sedang apa? 　　Jika matanya tidak salah lihat, Lao Ba sedang – lari telanjang? 　　Mengira ini mimpi, Kaisar Jingming mengusap-usap matanya. 　　"Kaisar——" Permaisuri terlambat mencegah. 　　Anggur yang terciprat ke punggung tangan masuk ke mata, Kaisar Jingming langsung merasa perih menyengat, mengerang kesakitan. 　　Permaisuri kaget: "Kaisar, Bagaimana?" 　　Kaisar Jingming menutupi mata merahnya, menunjuk ke bawah dengan suara keras: "Buang Pangeran Xiang keluar untukku!" 　　Saat ini matanya terlalu sakit untuk membuka, tidak bisa melihat situasi bawah, tapi juga tak perlu melihat, dia hanya ingin membuang si pembawa malu itu sejauh-jauhnya. 　　Saat digiring keluar oleh pengawal istana, Pangeran Xiang seperti masih belum sadar, terisak: "Lepaskan aku, aku mau cari Ayah Kaisar, aku mau cari Ibu——hu hu hu, aku mau cari Ibu——" 　　Permaisuri yang sibuk merawat Kaisar Jingming wajahnya kaku, canggung sesaat. 　　Pangeran Xiang ini mabuk berat? 　　Tapi meski sedang mabuk, untuk apa Pangeran Xiang menjerit-jerit memanggilnya? Orang yang tak tahu pasti mengira itu anak yang kejam dia buang—— 　　Kaisar Jingming mendengar teriakan Pangeran Xiang, gemetar seluruh tubuhnya marah, suaranya parau: "Kalian ini mayat hidup? Cepat bertindak!" 　　Akhirnya tak terdengar lagi teriakan Pangeran Xiang, meski mata Kaisar Jingming masih tak nyaman, setidaknya penglihatannya pulih. 　　Di bawah panggung terhampar wajah-wajah bengong tak karuan, aula istana sunyi senyap, hanya terdengar suara piring dan cangkir jatuh berantakan. 　　Kaisar Jingming hanya punya satu pikiran: Memalukan! 　　Makhluk memalukan itu... adalah anak lelakinya... 　　Suara Janda Permaisuri terdengar: "Kaisar, hamba agak lelah, ingin kembali ke Istana Cining beristirahat." 　　Refleks Kaisar Jingming berkata: "Ibu, anak lelaki akan mengantar——" 　　"Tak perlu. Kaisar masih banyak urusan. Biarkan Fuqing dan Si Empat Belas menemani hamba pulang saja." 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 wajahnya kemerahan, memberi hormat pada Kaisar dan Permaisuri sebelum menyangga Janda Permaisuri pergi tergesa. 　　Meski Pangeran Xiang tak sampai telanjang bulat, tapi sudah cukup memalukan. 　　Setelah Janda Permaisuri pergi, Kaisar Jingming mulai pulih kewarasannya, matanya yang suram menyapu ke bawah: "Apa yang terjadi tadi?" 　　Untuk sementara tak ada yang menjawab. 　　Pangeran Xiang tiba-tiba telanjang berlari, siapa yang tahu apa penyebabnya. 　　Pangeran Lu adalah orang nekat yang tak tahu takut. Melihat tak ada yang menjawab pertanyaan Kaisar Jingming, dia merasa ini kesempatan baik untuk menunjukkan diri. Dia maju ke depan dan berkata, "Ayah Kaisar, anak lelaki ingat tadi Adik Kedelapan sedang duduk bersama Kakak Keempat——" 　　Begitu kalimat ini terucap, puluhan pasang mata di atas maupun bawah podium langsung tertuju pada Pangeran Qi. 　　Wajah Pangeran Qi pucat pasi saat berdiri dan memberi hormat ke arah podium. Di bawah kakinya, sepasang sumpit perak yang entah kapan terjatuh memantulkan cahaya dingin. 　　Kaisar Jingming menarik napas dalam-dalam dan bertanya, "Lao Si, jelaskan apa yang terjadi tadi!" 　　Di bawah tatapan ratusan pasang mata, telapak tangan Pangeran Qi basah oleh keringat. 　　Dengan susah payah menahan dorongan untuk melirik ke arah Yu Jin, dia bersuara keras, "Lapor Ayah Kaisar, mungkin Adik Kedelapan terlalu mabuk——" 　　"Kau maksud Lao Ba mengamuk karena mabuk?" Wajah Kaisar Jingming semakin hitam. 　　Pangeran Qi mengangguk halus, "Adik Kedelapan hari ini sangat gembira, dia minum cukup banyak..." 　　Obat itu memang dia yang berikan kepada Lao Ba. Rencana memberi obat kepada Lao Qi dilaksanakan oleh Lao Ba. Meski tak mengerti kenapa gelas berobat justru terminum oleh Lao Ba sementara Lao Qi tetap sehat, saat ini dia hanya bisa menyalahkan kemabukan sebagai alasan memalukan Lao Ba. 　　Jika mengaku Lao Ba diracuni, masalah akan jadi besar. Investigasi sumber obat nantinya justru akan membakar diri sendiri. 　　Yu Jin memutar cawan giok putih di antara jari-jarinya yang panjang, senyum tipis mengembang sambil memandang sinis ke arah Pangeran Qi. 　　Pengecut! Ternyata benar-benar tak berani membongkar skandal ini. 　　“Tapi tidak apa, Lao Ba sudah mempermalukan diri sebegitu rupa. Apapun alasannya di balik ini, Kaisar pasti tidak akan mengampuninya dengan mudah.” 　　Mendengar jawaban Pangeran Qi, Kaisar Jingming menutup matanya. Memikirkan aksi Pangeran Xiang yang melepas pakaian dan berlarian tadi, selain mabuk berat sepertinya tidak ada penjelasan lain. 　　Sekalipun ada, bukanlah hal yang pantas diselidiki lebih dalam di hadapan khalayak ramai. 　　Wajah Kaisar Jingming dingin saat berdiri: “Bubarkan semuanya.” 　　Kenapa kalian semua masih duduk menempel di kursi? Jangan-jangan mau minta istana menyediakan makan malam? 　　Melihat Kaisar Jingming berjalan ke dalam, Permaisuri segera menyusul. 　　Orang-orang di aula memandangi kepergian Kaisar dan Permaisuri dengan penuh harap, enggan beranjak. 　　Bukankah Kaisar belum mengumumkan hukuman untuk Pangeran Xiang? Langsung bubar begitu saja? 　　Xiao Lezi yang tersisa melirik sekeliling lalu berseru keras: “Segeralah Tuan-tuan meninggalkan tempat ini.” 　　Yu Jin yang pertama bergerak. 　　“Mari kita pulang ke rumah keluarga.” 　　Jiang Si menghampiri Yu Jin, berjalan berdampingan keluar aula. 　　Akhirnya aula mulai ramai kembali. 　　Permaisuri Lu mendekati Pangeran Lu, menyelipkan cubitan di tengah keramaian: “Hanya Tuan yang mulia saja yang banyak bicara.” 　　Saat sudah naik kereta kuda, Permaisuri Lu masih menunjukkan wajah masam pada suaminya. 　　Pangeran Lu mendengus kesal: “Aku kan tidak berkata apa-apa.” 　　Permaisuri Lu meliriknya: “Orang lain semua diam, kenapa Tuan harus menyebut-nyebut Pangeran Qi? Bukankah ini membuat kita dibenci?” 　　Pangeran Lu mencibir: "Aku dan Lao Si memang sudah seperti itu sejak dulu, kau pikir dia menyukaiku? Sudahlah, hari ini ada acara bahagia, Permaisuri pulanglah menemani aku minum sedikit." 　　Permaisuri Lu memerah wajahnya marah: "Masih mau minum? Tidak lihat Pangeran Xiang sudah mabuk sampai seperti itu--" 　　Pangeran Lu terkekeh: "Makanya harus minum sedikit untuk merayakannya." 　　Lao Ba sudah mempermalukan diri segitu parahnya, pasti Ayah Kaisar sangat marah, mungkin tak lama lagi akan menemani dia. 　　Di dalam kereta kuda berkelambu hijau, Jiang Si menarik lengan baju Yu Jin: "A Jin, bukankah Pangeran Xiang itu sedang mabuk?" 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Tentu tidak. Dia menyelipkan obat di anggur saat bersulang, aku kembalikan cangkir itu padanya. Cuma tak menyangka setelah minum dia malah berlari telanjang!" 　　Andai tahu akan mengotori pandangan A Si, pasti akan gunakan cara lain untuk menghajar si tolol itu. 　　"Bagaimana kau mengembalikannya?" tanya Jiang Si penasaran. 　　Yu Jin tersenyum, menunjuk lengan bajunya yang lebar: "Saat minum, aku menuangkan anggur ke dalam cangkir tersembunyi di lengan sambil menutupi dengan lengan baju. Lalu saat menuangkan untuknya, kembalikan anggur dari lengan baju itu." 　　Orang zaman ini minum dengan tangan kanan memegang cangkir, tangan kiri menopang di depan, lengan kiri terjuntai alami. 　　Yu Jin mendemonstrasikan dengan cangkir Gu di meja kayu mahoni. 　　Terlihat, keempat jari lain pada tangan kiri yang ditopang ringan di luarnya merapat dan terentang, ibu jari yang ditekuk ke dalam menekan tepi cangkir Gu. Karena lengan baju menutupi, orang lain sulit melihat cangkir Gu yang disembunyikan itu, hanya bisa menyaksikan gerakan minum anggur yang sempurna darinya. 　　Tentu saja, meski Yu Jin berkata sederhana, untuk mengembalikan anggur yang telah dicampuri sesuatu secara diam-diam saat menuangkan kembali, kecepatan tangan yang lambat mustahil dilakukan. 　　Untungnya, setelah bertahun-tahun belajar bela diri, kelincahannya luar biasa, jauh melebihi orang biasa. 　　"A Jin, hari ini Pangeran Xiang mempermalukan diri. Kau kira bagaimana Ayah Kaisar akan menghukumnya?" 　　Kembali ke Aula Yangxindian, Kaisar Jingming menghantam meja dengan keras: "Makhluk memalukan ini! Sungguh membuatku naik darah!" 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote, sampai jumpa besok. 748. BAB 745 Akibat 　　BAB 745 Akibat 　　Permaisuri melihat Kaisar Jingming sangat marah, dengan lembut menepuk punggungnya sambil membujuk: "Jangan sampai Kaisar sakit karena marah. Pangeran Xiang masih muda, suasana hari ini juga riang, wajar jika kalap minum..." 　　Mengingat lagi kelakuan memalukan Pangeran Xiang, Permaisuri masih merasa ngeri. 　　Untung Kaisar waktu itu tidak linglung. Seandainya Pangeran Xiang diangkat sebagai anaknya - lebih baik dia mengasingkan diri di istana dingin sampai tua. 　　Bukannya reda, bujukan Permaisuri malah membuat Kaisar Jingming semakin murka. Ia melemparkan cangkir Gu ke lantai sambil berteriak: "Dia minum, orang lain juga minum. Kenapa tidak ada yang mabuk sampai telanjang berlari?" 　　Seorang pangeran kerajaan telanjang berlari di pesta ulang tahun Janda Permaisuri - Kaisar Jingming sudah bisa membayangkan ejekan yang akan diterima keluarga kerajaan setelah kabar ini tersebar. 　　Permaisuri teringat teriakan menyayat hati "Ibu" dari Pangeran Xiang, rasa tidak nyaman menggelayut di hatinya. Ia menghela napas ringan: "Mungkin Pangeran Xiang sedang punya masalah." 　　Membujuk Kaisar untuk memadamkan amarah? Tentu tidak. Saat ini ia justru ingin menuangkan minyak ke api. 　　Kaisar Jingming benar-benar tersulut amarah lebih besar: "Masalah? Masalah bisa dijadikan alasan untuk telanjang berlari sambil mabuk?" 　　Dia sendiri juga punya masalah. Bukankah dua tahun terakhir ini masalah yang menyebalkan sudah cukup banyak? Kalau semua orang seperti Lao Ba brengsek-brengsek itu yang bertelanjang berlari saat tidak puas hati, sudah lama dia tak bisa menjadi kaisar. 　　"Masalah apa lagi yang dia punya? Apa karena Aku memilih Lao Qi bukan dia, lalu dia tidak puas?" Kaisar Jingming geram bertanya. 　　Kaisar Jingming bukan orang bodoh. Setelah merenungkan teriakan Pangeran Xiang di Aula Changsheng, mana mungkin dia tidak paham. 　　Lao Ba ini tidak puas karena tidak terpilih! 　　Karena hubungannya dengan Permaisuri cukup harmonis selama dua tahun terakhir, Kaisar Jingming tak perlu sungkan. Dengan marah ia berkata: "Kau bilang dia berani marah? Memilih siapa itu urusan Kita, mana dia seorang junior ikut campur? Apa dia meremehkan ibu kandungnya sendiri?" 　　“Ibu kandung Pangeran Xiang dulunya adalah seorang penari, meski tak berarti di hati Kaisar Jingming, tapi berbeda ceritanya jika sang anak sendiri merendahkan ibu kandungnya.” 　　Lao Ba berbeda dengan Lao Qi. Meski kesempatan bertemu Permaisuri Li setelah dewasa tidak banyak, dalam ingatannya Permaisuri Li selalu menyayangi anak ini secara berlebihan, bagai permata di telapak tangan. 　　"Anak tidak membenci ibu yang buruk rupa, anjing tidak membenci rumah yang miskin. Hanya karena Ibu Selir berasal dari kelas rendah lalu kau menghina, bukankah ini perbuatan mata putih serigala?" 　　Semakin Kaisar Jingming berpikir, semakin buruk kesannya pada Pangeran Xiang. 　　Permaisuri tak lupa menambah bara: "Jangan marah, Kaisar. Manusia mengejar tempat tinggi seperti air mengalir ke tempat rendah, ini adalah kebiasaan manusia——" 　　"Omong kosong tentang kebiasaan manusia!" Kaisar Jingming melempar cangkir Gu dan tak bisa melempar lagi, menendang bangku kecil hingga terbang jauh. 　　Sudut bibir Permaisuri sedikit terangkat, tak lagi memberi nasihat. 　　Setelah kejadian ini, Pangeran Xiang benar-benar kehilangan restu kekaisaran. Keinginannya menjadi anakku mustahil terwujud. 　　Baiklah, aku sudah memiliki Pangeran Yan sebagai anak. Sebenarnya mustahil, tapi pencegahan tetap diperlukan. 　　Permaisuri merasa lega, berkata dengan malu: "Jangan marah lagi, Kaisar. Ada celah dalam pesta ulang tahun ini, semua karena pengaturanku yang kurang sempurna——" 　　"Ini bukan salahmu." Kaisar Jingming memotong ucapan Permaisuri, "Siapa yang menyangka Lao Ba akan berlari telanjang? Ah, siapa yang bisa menyangka?" 　　Amarah yang baru saja mereda kembali berkobar. 　　Pan Hai di samping: "..." Permaisuri mungkin punya dendam dengan Pangeran Xiang. 　　Permaisuri membujuk dengan lembut beberapa saat lagi, lalu pergi dengan anggun. 　　Kaisar Jingming duduk lesu lama sambil menahan amarah, lalu berbisik pada Pan Hai: "Sampaikan maklumatku: Pangeran Xiang telah bertindak tak senonoh dalam pesta ulang tahun Janda Permaisuri setelah mabuk, tanpa sopan santun. Segera turunkan pangkatnya dari pangeran kerajaan ke pangeran biasa, dan potong gajinya selama setahun..." 　　Pan Hai diam-diam merasa simpati pada Pangeran Xiang sejenak, lalu segera melaksanakan perintah Kaisar Jingming. 　　Pangeran Xiang yang langsung dilempar kembali ke Istana Pangeran Xiang oleh pengawal, setelah sadar sepenuhnya, mentalnya langsung runtuh. 　　Apa... apa yang telah kulakukan? 　　Berlari telanjang di pesta ulang tahun Nenek Kaisar——Pangeran Xiang menampar pipinya sendiri, membuatnya semakin sadar. 　　Yang lebih jatuh mental daripada Pangeran Xiang adalah Sekretaris kediaman Pangeran Xiang. 　　Mendengar kabar Pangeran Xiang membuat skandal berlari telanjang di pesta Janda Permaisuri, Sekretaris Niu langsung melepas sabuk pinggang dan melemparkannya ke balok rumah, bersiap mengakhiri hidup. 　　Tidak bisa hidup lagi! Dia yang selama ini diam-diam menertawakan sulitnya posisi sekretaris Istana Pangeran Yan karena pangerannya subuat masalah, tak menyangka tuannya sendiri bisa melakukan hal seperti ini! 　　Sekretaris Niu dicegah orang sehingga gagal bunuh diri, lalu bergegas menemui Pangeran Xiang sambil menangis tersedu-sedu. 　　Pangeran Xiang menendang Sekretaris Niu sambil marah: "Aku sudah cukup kesal, kau masih meratap di sini!" 　　Sekretaris Niu bangkit dengan susah payah: "Ini semua kesalahan hamba, Yang Mulia harus memikirkan cara——" 　　"Cara?" Pangeran Xiang yang habis melampiaskan amuk jatuh terduduk dengan wajah putus asa. 　　Sudah begini masih ada cara apa lagi? 　　Bukankah dia melihat sendiri Lao Qi meminum anggur itu? Tapi kenapa Lao Qi baik-baik saja, malah dirinya yang kena? 　　Pangeran Xiang memukul kepalanya beberapa kali, merasa kepala sakit seakan mau pecah dan pikiran kacau. 　　"Kakak Keempat——" Tiba-tiba Pangeran Xiang teringat Pangeran Qi, bangkit tergesa-gesa hendak pergi. 　　Sekretaris Niu buru-buru menghalangi: "Pangeran, Tuan mau ke mana?" 　　Pangeran Xiang kesal mendorong Sekretaris Niu: "Minggir." 　　Sekretaris Niu terhuyung-huyung, melihat Pangeran Xiang berjalan ke pintu gerbang, terpaksa mengejar. 　　Baru sampai di pintu gerbang, Pangeran Xiang melihat beberapa pelayan istana bergegas mendekat. 　　Dia tiba-tiba membeku di tempat, rasa takut muncul dari dasar hati. 　　Pelayan istana utama Xiao Lezi melangkah masuk ke Istana Pangeran Xiang, berdiri di halaman sambil mengibaskan dekrit kerajaan berwarna kuning terang, lalu mulai membacakan titah. 　　Setelah Xiao Lezi selesai membacakan dekrit, wajah Pangeran Xiang pucat seperti mayat. 　　Xiao Lezi menghela napas tipis dan mendesak: "Pangeran, terimalah dekrit." 　　Pangeran Xiang terjatuh duduk di tanah, menatap kosong retakan batu hijau tempat rumput liar mulai tumbuh. 　　Apakah dia diturunkan jadi pangeran? 　　Persaingan perebutan takhta saja tidak berani dia ikuti, hanya bersiap ikut sorak-sorakan di belakang Kakak Keempat. Belum melakukan apapun, tiba-tiba sudah jadi pangeran? 　　Secara refleks menerima dekrit yang disodorkan Xiao Lezi, bahkan setelah para utusan pembawa titah pergi, Pangeran Xiang masih lama terpaku. 　　Sekretaris Niu sudah lama pingsan karena menangis. 　　Skandal memalukan yang dibuat Pangeran Xiang ini membuat jabatan Sekretaris istananya dicabut - itu masih hukuman ringan. 　　Karena kediaman beberapa pangeran terletak di satu jalan yang sama, para utusan istana yang kembali ke istana pasti akan melewati beberapa istana pangeran. 　　Pintu kediaman Pangeran Lu perlahan terbuka sedikit, seseorang mengintip keluar mengawasi pelayan istana yang pergi jauh, lalu buru-buru melapor ke Pangeran Lu. 　　"Apakah pelayan istana benar-benar pergi ke Istana Pangeran Xiang untuk menyampaikan titah kaisar?" 　　"Hamba melihat langsung dengan mata kepala sendiri." 　　Pangeran Lu menepuk pahanya: "Cepat pergi menyelidik!" 　　Tak lama kemudian pelayan yang dikirim kembali membawa kabar: "Paduka, Pangeran Xiang diturunkan jabatannya menjadi pangeran!" 　　Pangeran Lu tertegun sejenak, lalu wajahnya berseri-seri sambil mencari Permaisuri Lu untuk pamer. 　　Kabar penurunan jabatan Pangeran Xiang menjadi pangeran menyebar ke segala penjuru secepat kilat. 　　Saat itu Sekretaris istana senior di Kediaman Pangeran Yan sedang menangani urusan istana. Mendengar kabar ini, ia duduk lama terpaku tiba-tiba berdiri sambil bertanya gemetar: "Di mana Tuanku?" 　　Ia lengah, mengira pesta ulang tahun Janda Permaisuri pasti takkan ada masalah, sehingga tidak mengingatkan Tuannya berkali-kali. Sungguh tak disangka, para pangeran selalu membuat orang biasa seperti mereka terkejut! 　　"Tuanku sedang di tempat Permaisuri." 　　Sekretaris istana senior mengedipkan mata mendengar ini, matanya berkaca-kaca karena haru, lalu timbul rasa malu yang dalam: Ia salah, Tuannya jauh lebih bisa diandalkan dibanding pangeran lain. 　　Setidaknya tidak akan berlari telanjang di pesta! 　　Pergi mengurus urusan, Bagian kedua seharusnya malam nanti. 749.BAB 746 Pergi Bersama 　　BAB 746 Pergi Bersama 　　Yu Jin tiba-tiba menyadari Sekretaris istana senior melapor padanya dengan suara lebih lembut dari biasanya, membuatnya tak nyaman dan curiga si tua ini kebanyakan makan. 　　“Ada hal lain, Sekretaris istana?” Melihat sekretaris istana senior tidak segera pergi setelah melapor, Yu Jin bertanya. 　　Sekretaris istana senior memandang pangerannya dengan tatapan haru: "Tidak ada lagi, hamba mohon diri." 　　Setelah melihat pangeran-pangeran lain, selama pangeran kami tetap seperti ini, posisi Putra Mahkota ada harapan! 　　Yu Jin menggelengkan kepala, kembali ke Istana Yuhe dan menceritakan keanehan sekretaris istana senior pada Jiang Si, membuatnya tertawa. 　　"Sekretaris istana ini terhibur melihat Pangeran Xiang berlari telanjang. Setidaknya kau tidak akan melakukan hal seperti itu." 　　Wajah Yu Jin berubah masam, kesal: "Persyaratan si tua untukku serendah itu?" 　　Katanya mau mengikutiku meraih puncak kehidupan, tapi malah meremehkanku? 　　Memikirkan ini, Yu Jin semakin yakin bahwa istrinya lebih baik. 　　"Setelah pukulan ini, Pangeran Xiang seharusnya tidak bisa berbuat banyak." Jiang Si mengingat kelakuan memalukan Pangeran Xiang di jamuan, matanya dingin. 　　Yu Jin menggesekkan kepalan tangannya, sudut bibirnya menyungging sinis: "Ini masih terlalu murah baginya. Berani mengganggu kita, harus siap menerima serangan balasan bertubi-tubi." 　　Turun jabatan jadi pangeran biasa tidak berarti apa-apa. Harus membuat Lao Ba mengerti arti rasa sakit, jangan pikir memilih pihak itu mudah! 　　Gadis Mingyue terus berada di sumur tua sungguh menyedihkan. Sudah waktunya bertemu mantan tunangannya. 　　Yu Jin menghitung rencana-rencana ini, hatinya dingin dan keras, sama sekali tidak berniat berhenti memukuli anjing yang sudah jatuh ke air. 　　“Besok mereka kemungkinan akan mengunjungi Lao Ba, nanti saya akan membawa Er Niu.” 　　Melihat ketegasan Yu Jin, Jiang Si tersenyum bertanya: "Bagaimana bisa yakin mereka akan pergi ke Istana Pangeran Xiang? Mungkin mereka justru menghindar karena takut kemarahan Ayah Kaisar." 　　Yu Jin menggeleng: "Tidak mungkin. Insiden Pangeran Xiang di pesta ulang tahun Janda Permaisuri telah membuat Kaisar Jingming murka, para bangsawan pasti menjauh. Tapi para pangeran lain berbeda. Lao Si yang suka pencitraan pasti akan menunjukkan kepedulian, Lao Wu tak akan melewatkan kesempatan menertawakan. Jika Qin Wang dan Putra Keenam tidak ikut, bukankah itu menunjukkan tidak ada ikatan persaudaraan?" 　　Jiang Si mengangguk setuju. 　　Meski Pangeran Xiang mempermalukan diri, kasusnya berbeda dengan Putra Mahkota yang Dipecat atau Pangeran Jin. Wajar jika orang luar menjauh, tapi jika saudara kandungnya acuh tak acuh, justru akan merusak citra di mata Kaisar Jingming. 　　Seorang ayah boleh kecewa pada anaknya yang memalukan, tapi sikap dingin dari saudara kandung lain tidak bisa diterima. 　　Sudah pasti, inilah pola pikir Kaisar Jingming saat ini. 　　Kecuali Pangeran Lu, semua pangeran telah memahami situasi ini. 　　"Kediaman Pangeran Lu berhadapan langsung dengan kita, besok begitu dia keluar saya akan langsung mengikuti." 　　Pagi berikutnya setelah sarapan, saat Yu Jin menunggu laporan pengawasnya, pintu gerbang Kediaman Pangeran Yan diketuk. 　　Ternyata Pangeran Lu yang datang berkunjung. 　　“Kakak kelima mengajak saya pergi menjenguk Adik Kedelapan?” Yu Jin sedikit mengangkat alis, perasaannya campur aduk. 　　Lao Wu yang begitu perhatian ini membuatnya agak malu. 　　Pangeran Lu menahan kegembiraannya sambil membujuk: "Aku lihat Lao Si juga sudah pergi, Kakak sepertinya juga datang, pasti Lao Qi juga akan ikut..." 　　Yu Jin terlihat terkejut: "Semuanya pergi?" 　　"Tentu. Adik ketujuh coba pikir, kalau kami semua pergi hanya kamu yang tidak, bagaimana pendapat Ayah Kaisar nanti?" 　　Yu Jin menundukkan alisnya, sepertinya sedang serius mempertimbangkan perkataan Pangeran Lu. 　　Pangeran Lu menepuk bahu Yu Jin: "Ayah Kaisar pasti akan mengira Adik ketujuh tidak punya rasa persaudaraan, makanya Kakak mengajakmu bersama." 　　Membayangkan akan menertawakan Lao Ba, dia semangat sampai tidak bisa tidur semalaman, akhirnya menanti subuh tiba. 　　Tapi kalau pergi sendirian, bagaimana jika tidak tahan berkelahi dengan Lao Ba? 　　Lao Si munafik, Putra Keenam licik, Kakak terlalu baik hati, nanti hanya dia yang salah jadi masalah. 　　Susah payah menyamai Lao Ba, kalau jadi yang terakhir lagi pasti frustasi. 　　Pangeran Lu berpikir matang-matang, lebih baik mengajak si pembuat onar sejati - tidak diragukan lagi itu adalah Lao Qi. 　　Menatap mata berbinar Pangeran Lu, Yu Jin tersenyum: "Kalau begitu, terima kasih atas bimbingan Kakak kelima." 　　Pangeran Lu tersenyum lebar: "Antara saudara tidak perlu kata bimbingan, ini sudah kewajiban." 　　Yu Jin masih tidak bergerak, menunjukkan ekspresi ragu-ragu: "Awalnya saya tidak bermaksud pergi, takut Adik Kedelapan mengira saya datang untuk menertawakannya——" 　　Pangeran Lu batuk-batuk. 　　Dulu dia tidak menyangka Lao Qi begitu terlalu polos, kok malah hanya mengatakan hal-hal yang terlalu jujur. 　　Khawatir Yu Jin berubah pikiran, Pangeran Lu memeras otak sekuat tenaga untuk membujuk. 　　Yu Jin tidak mengangguk juga tidak menolak, hanya menyipitkan mata mendengarkan, sampai akhirnya Pangeran Lu berbicara hingga mulutnya kering baru melepaskan: "Kalau begitu, mari kita bersama-sama menjenguk Adik Kedelapan." 　　Pangeran Lu lega: "Ayo pergi!" 　　Kedua saudara ini berjalan berdampingan keluar, baru saja meninggalkan pekarangan, sesosok bayangan hitam-kuning menyergap. 　　Pangeran Lu kaget, setelah melihat jelas ragu-ragu berteriak: "Er Niu?" 　　Yang menerjang ke depan mereka tidak lain adalah Er Niu. 　　Setelah gemuk karena musim dingin, Er Niu terlihat lebih gagah, sekilas mirip anak sapi betina, pantas saja Pangeran Lu tidak langsung mengenalinya. 　　"Kakak kelima tidak perlu menghiraukannya, mari kita pergi." 　　Pangeran Lu mengangguk, menghindari Er Niu dan berjalan maju. 　　Er Niu menggeser tubuh kembali menghalangi jalan mereka. 　　"Adik ketujuh, Er Niu mau apa?" Ukuran anjing besar ini membuat Pangeran Lu tidak bisa menyepelekan. 　　Yu Jin mengusap dagunya, menduga-duga: "Mungkin melihat Kakak kelima merasa akrab, tidak tega melepas Kakak pergi." 　　Pangeran Lu langsung terkejut, bicaranya jadi gagap: "T-tidak mungkin kan?" 　　“Dia tidak punya hubungan apa pun dengan siluman anjing keluarga Lao Qi ini.” 　　Di mata Pangeran Lu, anjing yang bisa meraih jabatan pejabat istana kelas 4 utama pasti sudah jadi siluman. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia sebagai pangeran yang semakin merosot ini bisa menerima kenyataan? 　　“Er Niu, jangan lancang.” Yu Jin berpura-pura marah. 　　Er Niu patuh, mundur diam-diam ke samping. 　　Pangeran Lu menghela nafas lega dan segera berjalan maju, tapi tiba-tiba kakinya terasa berat. Menoleh ke belakang, ternyata ujung celananya digigit anjing besar. 　　Seluruh tubuh Pangeran Lu menegang: “Adik ketujuh——” 　　Yu Jin menghela nafas pasrah: “Sepertinya Er Niu benar-benar tidak tega melepas Kepergian Kakak kelima.” 　　“Lalu, lalu harus bagaimana?” Wajah Pangeran Lu berubah pucat. 　　Dengan postur sebesar Er Niu ini, belum tentu dia bisa menang. Bagaimana jika kalah dan celananya terkoyak gigitan anjing besar ini? 　　Lao Ba baru saja lari telanjang——mengingat kelakuan memalukan Pangeran Xiang di pesta ulang tahun, keringat dingin Pangeran Lu langsung mengucur. 　　Yu Jin tersenyum canggung: “Si anjing ini cuma nurut istriku, semakin tidak patuh padaku. Kakak tunggu sebentar, aku akan memberinya pelajaran——” 　　“Guk!” Anjing besar itu seolah mengerti ancaman majikannya, menggeram memperlihatkan taring. 　　Pangeran Lu buru-buru berkata: “Jangan——” 　　Lao Qi yang tidak bisa diandalkan ini, jangan menggarap pekerjaan yang tak kau kuasai. 　　“Kakak kelima?” 　　Pangeran Lu tiba-tiba mendapat inspirasi, spontan berseru: “Bagaimana kalau kita ajak Er Niu bersama-sama?” 　　Asal bisa terbebas dari bahaya kehilangan celana, apa saja bisa dilakukan. 　　“Woof——” Er Niu mengeong lembut, melepaskan gigitannya. 　　Bagi orang rumahan yang mabuk perjalanan, keluar rumah terasa seperti dipukuli habis-habisan... Terima kasih untuk vote dan hadiahnya, sampai jumpa besok sore. 750.BAB 747 Berkumpul 　　BAB 747 Berkumpul 　　Begitu Er Niu melepaskan gigitan, Pangeran Lu langsung tersentuh. Selain terharu, dia juga merasa bangga akan kecerdikannya sendiri. 　　"Adik ketujuh, lihatlah! Bukankah tebakanku tepat?" 　　Yu Jin hampir tertawa melihat kesombongan Pangeran Lu yang tak terbendung, tapi berhasil menahan wajahnya sambil mengangguk: "Kakak kelima memang bisa meramal segalanya." 　　Pangeran Lu tiba-tiba merasa adik ini sangat menyenangkan, lalu menepuk lengan Yu Jin sambil tersenyum: "Kalau begitu mari kita pergi." 　　Yu Jin menggelengkan kepala: "Apakah pantas kita mengunjungi Adik Kedelapan sambil membawa anjing?" 　　"Mengapa tidak pantas?" Pangeran Lu langsung kesal, "Er Niu ini bukan anjing biasa! Dia pejabat istana pangkat 4 utama, paling pantas menemani kita mengunjungi Adik Kedelapan." 　　Lao Qi ini pandai bicara tanpa merasakan sakit di pinggang, tidak lihatkah situasi ini mustahil tanpa Er Niu? 　　Jika benar-benar meninggalkan Er Niu, pasti celananya tidak akan selamat. 　　Melihat Yu Jin masih ragu-ragu, Pangeran Lu kembali membujuk dengan sabar. Butuh waktu seperempat jam baru akhirnya Yu Jin mengangguk. 　　"Kalau Kakak kelima bersikeras, mari kita bawa Er Niu." Yu Jin akhirnya menyerah dengan enggan. 　　“Pangeran Lu menghela nafas lega, dalam hati berkata: Akhirnya bisa membujuk Lao Qi. Nanti di Istana Pangeran Xiang pasti harus minum tiga cangkir teh untuk mengganti tenaga yang terbuang.” 　　Kedua saudara ini tidak menunda lagi, membawa seekor Anjing Besar menuju Istana Pangeran Xiang. 　　Jiang Si tertegun mendengar laporan Ah Man: “Pangeran Lu memohon agar Tuan membawa Er Niu?” 　　“Benar! Pertama memohon Tuan untuk ikut, lalu memohon agar Er Niu dibawa. Setidaknya membujuk selama dua shichen, sampai burung pipit di dahan pun kabur karena bosan.” Ah Man yang fasih itu menceritakan situasi yang dia intai dengan riang kepada Jiang Si. 　　Jiang Si merasa terharu: Tak kusangka Pangeran Lu adalah orang yang begitu unik. 　　Awalnya merasa tindakan A Jin membawa Er Niu menjenguk Pangeran Xiang agak tiba-tiba, khawatir menimbulkan kecurigaan Kaisar kelak. Sekarang dengan sikap Pangeran Lu yang begitu perhatian, bisa tenang tanpa khawatir. 　　Pintu gerbang Istana Pangeran Xiang sudah dibuka beberapa kali sejak pagi, tamu pertama yang datang adalah Pangeran Qi. 　　Dengan sikap hati-hati Pangeran Qi, tentu sudah mempertimbangkan pantas tidaknya menjadi yang pertama menjenguk ke Istana Pangeran Xiang. 　　Hubungan baiknya dengan Lao Ba sudah diketahui umum, Ayah Kaisar juga tahu mereka akur. Sekarang Lao Ba mengalami masalah, kedatangannya yang cepat untuk menghibur tentu tidak akan disalahpahami, malah dianggap sebagai sikap berbudi luhur. 　　Pangeran Qi begitu tak sabar untuk memecahkan kebingungannya: Kemarin sudah sepakat meracuni anggur Lao Qi, kenapa yang jadi korban malah Lao Ba? 　　“Karena terus memikirkan masalah ini, Pangeran Qi bolak-balik di tempat tidur semalaman hampir tidak bisa memejamkan mata, penampilannya terlihat tidak jauh lebih baik daripada Pangeran Xiang yang baru saja mengalami malu besar.” 　　Menatap lingkaran hitam di bawah mata Pangeran Xiang dan janggut yang mulai tumbuh, Pangeran Qi menghela napas: “Adik Kedelapan, sebenarnya apa yang terjadi kemarin?” 　　Ekspresi Pangeran Xiang tampak mati rasa: “Aku tidak tahu.” 　　“Tidak tahu?” 　　Wajah Pangeran Xiang terlihat kehilangan arah: “Pasti aku dijebak Lao Qi, tapi aku benar-benar tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Aku sendiri melihat dengan mataku dia meneguk gelas anggur itu——” 　　Saat berbicara, amarah Pangeran Xiang mulai memuncak. 　　Pangeran Qi menepuk lengannya: “Tenanglah, Adik Kedelapan. Kemarin aku ingat Lao Qi malah memberikanmu segelas anggur, mungkinkah masalahnya ada pada anggur yang dia berikan itu?” 　　“Meski begitu, apa mungkin obat yang dia siapkan sama dengan yang disiapkan Kakak Keempat? Lalu bagaimana menjelaskan dia tidak apa-apa setelah minum anggur yang sudah dicampuri?” balas Pangeran Xiang. 　　Ini juga pertanyaan yang terus dipikirkan Pangeran Qi semalaman. 　　Tidak bisa menemukan jawaban—— 　　Tiba-tiba Pangeran Qi mendapat ilham mendadak: “Mungkinkah Lao Qi tidak benar-benar meminum anggur itu, tapi mengembalikannya ke gelasmu saat memberikan anggur?” 　　Pangeran Xiang tertegun, lalu teringat sesuatu, kepalanya menoleh sambil berusaha muntah kering. 　　Pangeran Qi awalnya heran dengan reaksi Pangeran Xiang, setelah merenung sejenak akhirnya mengerti, lalu menghibur dengan senyum pahit: "Adik Kedelapan, kau salah paham. Sekali pun Lao Qi punya kemampuan, dia tak mungkin mengeluarkan anggur yang sudah diminum di hadapanmu..." 　　Pangeran Xiang wajahnya pucat lesu: "Kakak Keempat jangan lanjutkan. Yang pasti kali ini aku benar-benar sadar, Lao Qi sama sekali tidak sederhana!" 　　"Benar, Lao Qi tidak sederhana..." Pangeran Qi bergumam pelan. 　　Kedua saudara itu duduk diam saling berhadapan sebentar, tiba-tiba pelayan melapor bahwa Qin Wang telah tiba. 　　Pangeran Qi tersenyum dingin: "Kakak sulung kita ini memang tidak pernah melampaui batas." 　　Selalu tidak ketinggalan tapi juga tidak menonjol, begitu rendah profil sampai hampir tak terasa keberadaannya. 　　Pangeran Xiang yang sedang kesal mengejek: "Apa dia masih punya ambisi lain?" 　　Hanya beruntung sebagai putra sulung Ayah Kaisar. Seandainya dulu tidak diangkat sebagai anak kaisar, sekarang mungkin hanya anggota klan kerajaan biasa yang bahkan namanya tak bisa kuingat. 　　"Kakak sulung datang menjengukmu dengan niat baik, jangan sampai kau tolak di depan pintu." Pangeran Qi mengingatkan khawatir adiknya akan bertingkah. 　　Wajar jika dia yang pertama menjenguk Lao Ba. Tapi jika Lao Ba hanya mau menemui dia dan menolak yang lain, itu akan jadi masalah. 　　"Adik Kedelapan, jangan terlalu putus asa. Gelar bangsawan bisa diturunkan juga bisa dinaikkan, kegagalan sementara bukanlah akhir." Pangeran Qi berbicara dengan makna tersirat. 　　Pangeran Xiang mengangguk pahit: "Adik akan mengandalkan bimbingan Kakak Keempat di masa depan." 　　Setelah kejadian kemarin, meski Pangeran Xiang terpukul berat, toh dia tidak dijebloskan ke penjara bawah tanah atau dihukum mati, dia masih harus bertahan hidup. 　　Menyalahkan Lao Si yang menghasutnya untuk tampil ke depan tidak ada gunanya, lebih baik bertekad bulat mengikuti Lao Si. 　　Saat berbaring di ranjang semalam sambil bolak-balik tak bisa tidur, dendam kecilnya pada Pangeran Qi hanya bisa dipendam dalam hati. Satu-satunya penghiburan sekarang adalah Lao Wu juga seorang pangeran, membuatnya tidak terlalu dipermalukan. 　　"Persilakan Pangeran Qin masuk." Pangeran Xiang mengumpulkan sisa semangatnya untuk memberi perintah pada pelayan. 　　Melihat kondisi Pangeran Xiang, Pangeran Qi diam-diam menghela nafas lega. 　　Untunglah Lao Ba tidak jatuh mental setelah pukulan ini. Mungkin setelah melewati masa sulit ini dia akan lebih berguna, suatu saat nanti bisa mencari kesempatan untuk menyakiti Lao Qi. 　　Sampai saat ini, Pangeran Qi sudah sangat waspada terhadap Yu Jin, tidak lagi menganggapnya sebagai orang kasar yang hanya berani tanpa strategi. 　　Tak lama setelah Pangeran Qin dipersilakan masuk, pelayan kembali melapor bahwa Pangeran Shu telah tiba. 　　Aula penerima tamu Istana Pangeran Xiang seketika menjadi ramai. 　　Beberapa istana pangeran letaknya tidak terlalu jauh. Di sebelah kanan Yu Jin berjalan Pangeran Lu, di belakangnya mengikuti Er Niu, mereka segera tiba di Istana Pangeran Xiang. 　　"Beri tahu Pangeran kalian, aku dan Pangeran Yan datang menjenguknya." Pangeran Lu dengan tegas menyuruh pelayan pintu. 　　Karena sebelumnya sudah ada Pangeran Qi dan lainnya yang datang berturut-turut, pelajar pintu sama sekali tidak terkejut, segera masuk untuk melapor. 　　Pangeran Qi khawatir Pangeran Xiang menunjukkan keanehan saat mendengar Yu Jin datang, diam-diam menyentuhnya dan memecah keheningan: "Tak kuduga Adik Kelima dan Adik Ketujuh datang bersama." 　　“Mereka tinggal berhadapan pintu, mungkin kebetulan bertemu.” Pangeran Qin tersenyum menyambung pembicaraan. 　　Pangeran Xiang yang telah menguasai perasaannya berkata datar: "Persilakan kedua pangeran masuk." 　　Para tamu di ruang tamu kehilangan minat mengobrol, hanya minum teh sambil menunggu keduanya masuk. 　　Tak lama kemudian, pelayan di luar pintu mengangkat tirai. Pangeran Lu dan Yu Jin masuk bergantian. 　　Para hadirin serentak menyapa, namun sapaan mereka terhenti di tengah jalan, mata mereka tertancap pada sesuatu di belakang. 　　Apa yang dilakukan sapi yang mengikuti Lao Wu dan Lao Qi dari belakang ini? 　　Eh, salah! Itu Er Niu! 　　Akhir-akhir ini banyak kesibukan. Kebetulan si kecil masuk angin dan jadi sangat manja. Setiap kali aku duduk di depan komputer, dia terus memanggil 'Ibu' minta dipeluk. Update mungkin tidak teratur, tapi akan berusaha menjamin dua update. BAB kedua hari ini akan di malam hari. 751.BAB 748 Kau Masih Muda 　　BAB 748 Kau Masih Muda 　　Di hati Pangeran Xiang memang sudah ada kemarahan terhadap Yu Jin, namun tak bisa meluapkannya. Melihat Er Niu ikut masuk, dia langsung menemukan alasan. 　　Dengan muka pucat, dia segera bertanya: "Kakak Ketujuh, terima kasih sudah menjengukku. Tapi membawa anjing ke sini kurang pantas, bukan?" 　　Sebelum Yu Jin sempat menjawab, Pangeran Lu sudah marah: "Membawa anjing maksudmu? Lihat baik-baik, Adik Kedelapan! Ini Er Niu!" 　　Melihat Pangeran Lu berbicara dengan penuh keyakinan, saat itu juga Pangeran Xiang menjadi bingung, menundukkan kepala untuk mengamati Er Niu lebih seksama. 　　Jangan-jangan Er Niu bukan anjing? 　　Telinga tegak, hidung hitam, meski tubuhnya sedikit lebih kekar, tetap saja jelas-jelas seekor anjing. 　　Pangeran Lu menunjuk lempengan tembaga yang tersembunyi di leher Er Niu sambil menjelaskan: "Adik Kedelapan lupa? Er Niu ini diangkat oleh Ayah Kaisar sebagai Jenderal Xiaotian kelas empat utama. Dia rekan sejawat para pejabat militer-sipil. Apa pantas Adik menolak kunjungan pejabat istana?" 　　Pangeran Xiang nyaris tersedak, menjawab kesal: "Kakak Ketujuh saja belum bicara, mengapa Kakak Kelima buru-buru begitu?" 　　Pangeran Lu sama sekali tak sadar sedang menghibur, mencibir: "Karena Er Niu kubawa sendiri!" 　　Semua orang terkejut, termasuk Pangeran Xiang. Bahkan Pangeran Qin yang biasanya pendiam tak tahan: "Bukankah ini Er Niu milik Adik Ketujuh? Mengapa Kakak Kelima—" 　　Pangeran Lu melirik anjing besar yang gagah itu, malu mengakui bahwa dia dipaksa oleh Er Niu. Setelah membersihkan tenggorokan, dia berkata: "Aku mengajak Adik Ketujuh datang bersama, kebetulan bertemu Er Niu lalu mengundangnya ikut." 　　Pangeran Xiang menahan amarah, menggigit gigi: "Kakak Kelima benar-benar punya banyak waktu luang." 　　Dia tak lupa saat Lao Qi membawa Er Niu ke Istana Timur mengunjungi mantan Putra Mahkota. Hasilnya, mantan Putra Mahkota yang pura-pura amnesia itu langsung ketahuan... 　　Anjing ini benar-benar brengsek——Pangeran Xiang berpikir dalam hati sambil melirik anjing besar berwajah sangar itu. 　　Pangeran Lu mengerutkan kening: "Aku tahu Adik Kedelapan sedang kesal, tapi janganlah bicara dengan nada sinis pada tamu yang datang menjengukmu! Dulu ketika gelarku diturunkan menjadi pangeran, kalau saat itu Adik datang menengok, Kakak pasti akan menangis haru——" 　　Ucapan Pangeran Lu yang sengaja menyentil sakit hati membuat Pangeran Xiang hampir terbalik marah, ia menggigit gigi: "Terima kasih banyak Kakak Kelima sudah datang menengokku!" 　　Sudah bisa ditebak, Lao Wu brengsek ini datang untuk menertawakannya! 　　Datang mengejek saja sudah keterlaluan, belum cukup sendirian, malah membawa anjingnya keluarga Lao Qi. 　　Semakin dipikirkan, wajah Pangeran Xiang semakin hitam legam. 　　Tiba-tiba Yu Jin berbicara: "Meskipun Er Niu dibawa oleh Kakak Kelima, tapi aku tetap pemiliknya. Kalau Adik Kedelapan tidak berkenan, aku akan pamit." 　　Pangeran Xiang menatap Yu Jin dengan mata berapi-api. 　　Masih banyak yang ingin diomongkan dengan si penjahat ini. Mustahil dibiarkan pergi begitu saja. 　　Menahan amarah dalam kandungan, Pangeran Xiang memaksakan senyum: "Kakak Ketujuh berkata begitu membuat adik malu. Adik sangat tersentuh dengan kunjungan Kakak, mana mungkin tidak senang?" 　　"Kalau Er Niu——" 　　"Adik hanya agak terkejut, tidak ada maksud lain." 　　Yu Jin tersenyum lembut bagai fajar menyingsing, menerangi seluruh ruang aula: "Syukurlah." 　　Pangeran Qi yang merasa tak nyaman melihatnya, menyela: "Sulit sekali saudara-saudara berkumpul, mari kita temani Adik Kedelapan minum segelas." 　　Pangeran Lu kembali membuka mulut: "Saat aku diturunkan jadi pangeran, Kakak Keempat bahkan tidak menemaniku minum. Kakak, kau pilih kasih ya." 　　Pangeran Qi: "......" 　　Pangeran Xiang diam-diam mengepal tinju, serius mempertimbangkan apakah perlu memukul Pangeran Lu setelah minum beberapa gelas. 　　Belum pernah melihat orang yang tak tahu malu seperti ini, masa diturunkan jadi pangeran dianggap kebanggaan? Dibelitkan terus ke sana kemari, takut orang lupa ya? 　　Lao Wu ini sedang tidak seimbang, datang untuk menyakiti hati? 　　Pangeran Lu menangkap ekspresi Pangeran Xiang, diam-diam senang dalam hati. 　　Masih perlu ditanya? Tentu saja dia datang untuk menyakiti hati. Tidakkah dia ingat betapa banyak tatapan hina yang diterimanya saat baru diturunkan jabatan? Sekarang akhirnya ada teman seperjuangan. 　　"Ayo, ayo minum. Hari ini hanya minum, tidak bahas hal lain." Pangeran Qin segera melerai. 　　Beberapa saudara itu duduk. Segera beberapa dayang cantik mengantarkan minuman dan makanan. 　　Pangeran Lu melirik dayang tercantik beberapa kali, mendesah: "Hidup Adik Kedelapan tetap enak, setidaknya dayang-dayang pelayanmu semuanya cantik... Aku beritahu, diturunkan jadi pangeran hanya mengurangi sedikit gaji tahunan dan memalukan posisi, tapi bagi Adik tidak terlalu berpengaruh. Lagipula Adik sendirian, tak perlu menghidupi istri-anak, juga tak perlu menjaga gengsi keluarga..." 　　“Lihatlah kehidupan yang dijalaninya, gaji tahunan direbut oleh Macan Betina, bahkan di seluruh istana pangeran tak ada satu pun dayang yang cantik, sampai-sampai dia mengembangkan kebiasaan melirik pelayan pria tampan……” 　　Pangeran Lu ingin menumpahkan air mata getir. 　　Sementara Pangeran Xiang hampir tak kuasa membalik meja. 　　Jangan halangi dia, dia ingin membunuh Lao Wu! 　　Apa masalahnya dia diturunkan jadi pangeran? Apa masalahnya dia tak punya istri dan anak? 　　Dosakah apa yang telah Lao Wu lakukan padanya sampai perlu menjijikkannya seperti ini? 　　Suara gonggongan anjing mengembalikan kesadaran Pangeran Xiang. 　　Er Niu mengendus aroma daging di atas meja, mengibaskan ekor dengan angkuh. 　　Pangeran Xiang mencubit telapak tangannya, memaksakan senyum dengan sisa kewarasan: “Sediakan satu meja untuk Jenderal Xiaotian.” 　　Masak iya Er Niu minum bersama mereka di meja yang sama? Siapa berani usul, pasti dia akan marah. 　　Lagian sudah jadi pangeran biasa, apa bisa lebih buruk lagi? 　　Dua dayang cantik segera membawa meja kayu mahoni kecil berisi semangkuk tulang berisi daging. 　　Kedua dayang itu tak berani mendekati Anjing Besar sebesar pedet, menaruhnya dari jauh lalu cepat-cepat mundur. 　　Er Niu melihat hanya ada semangkuk tulang, mendengkur tidak puas dari tenggorokan, baru diam setelah mendapat peringatan lewat tatapan Yu Jin. 　　“Tak ada kesulitan yang tak bisa diatasi. Adik Kedelapan, Kakak Keempat bersulang untukmu, habiskan anggur ini, setelah ini hanya akan ada keberuntungan.” Pangeran Qi mengangkat gelas menghormati Pangeran Xiang. 　　“Pangeran Lu baru saja ingin berkata-kata pedas, Pangeran Qin berbisik pelan: ‘Adik Kelima, jangan banyak bicara.’” 　　Bagi Pangeran Qin, dia hanya ingin datang dengan tenang dan pergi dengan tenang, bukan tiba-tiba terlibat dalam kekacauan tanpa alasan. 　　Untungnya setelah beberapa gelas anggur masuk ke perutnya, Pangeran Lu tidak lagi melakukan provokasi. 　　Setelah beberapa putaran minum, Yu Jin tiba-tiba berdiri. 　　Beberapa orang serentak menatapnya. 　　“Aku ke kamar mandi sebentar.” 　　Pangeran Xiang meletakkan cangkirnya: “Kebetulan aku juga ingin pergi, mari bersama Kakak Ketujuh.” 　　Yu Jin mengangguk dengan patuh. 　　Melihat keduanya pergi, Pangeran Lu menyeringai: “Ini bukan nona kecil, kok ke WC pun harus berombongan.” 　　Pangeran Shu bertanya sambil tersenyum: “Apakah nona-nona kecil selalu ke WC berombongan?” 　　Di luar, angin musim semi yang sejuk membuat pikiran menjadi jernih. 　　Pangeran Xiang menunggu Yu Jin keluar dari kamar mandi, tiba-tiba maju selangkah dan berbisik: “Kakak Ketujuh, aibku kemarin itu berkat kau, ya?” 　　Yu Jin tersenyum: “Adik Kedelapan mabuk berat?” 　　“Di sini tidak ada orang lain, buat apa berpura-pura bodoh? Kau anggap aku idiot?” Pangeran Xiang menggeretakkan gigi, wajahnya mengerikan. 　　Yu Jin tetap tegak seperti pohon pinus: “Adik Kedelapan benar-benar mabuk.” 　　Melihatnya berbalik hendak kembali, Pangeran Xiang tak rela mengejar sambil menekan suara: “Kakak Ketujuh, sekarang aku tidak takut kehilangan apa pun. Kalau kau terus menjebakku, kita lihat nanti!” 　　Yu Jin berhenti, menatap Pangeran Xiang dalam-dalam, lalu berkata dengan nada serius: "Adik Kedelapan, kau masih muda, belum tahu betapa sialnya nasib orang yang benar-benar tak punya apa-apa." 　　Untungnya sebentar lagi akan tahu. 　　Besok harus periksa kesehatan di rumah sakit kelas tiga, waktu pulang tergantung antrian di rumah sakit, jadi update tetap malam hari. 752.BAB 749 Sumur yang Sudah Tidak Terpakai 　　BAB 749 Sumur yang Sudah Tidak Terpakai 　　"Maksudmu apa?" 　　Yu Jin mengangkat sudut bibirnya: "Hanya mengingatkan Adik Kedelapan, jangan mudah terprovokasi omongan orang sampai rela maju, dijual masih mau menghitung uang untuk si penjual." 　　Pangeran Xiang menyeringai dingin: "Kakak Ketujuh tak perlu main adu domba!" 　　Sudah begini, mana mungkin dia berbalik mendukung Lao Qi ketimbang terus setia pada Kakak Keempat? 　　Berpaling haluan sekarang justru akan jadi bahan tertawaan. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Jika nasihat baik dianggap adu domba, anggap saja aku tak pernah bicara." 　　"Konyol!" Pangeran Xiang mendengus keras, melangkahi Yu Jin dan bergegas masuk. 　　Aula dipenuhi aroma anggur, banyak gelas yang sudah kosong. 　　Saat Yu Jin dan Pangeran Xiang kembali, beberapa gelas lagi dihabiskan. Pangeran Qi berkata: "Kita sudah cukup lama di sini, saatnya pulang. Adik Kedelapan, tenangkan hatimu, nanti kami akan kembali menjenguk." 　　Pangeran Qin ikut meletakkan gelas, tersenyum: "Ya, kalau Adik Kedelapan merasa kesepian, kapan saja bisa kirim surat pada Kakak." 　　Hanya Pangeran Lu yang bersendawa tak puas: "Langsung pulang begitu saja?" 　　"Lao Ba, leluconnya aku belum puas melihat, kok sudah pergi? Sayang sekali." 　　Jangan bilang lain kali datang lagi, kasih Lao Ba waktu untuk menenangkan diri. Kalau lain kali sudah terbiasa dengan status pangeran, bagaimana bisa melihat kejadian lucu? 　　Pangeran Lu cukup berpengalaman dalam hal ini, toh sekarang dia sudah mulai beradaptasi... 　　Pangeran Shu khawatir Pangeran Lu bertindak gegabah, menarik lengannya: "Kakak kelima, ayo pulang. Kalau terlambat, harus repot menjelaskan ke lima saudara perempuan." 　　"Berani dia!" Mata Pangeran Lu melotot, "Suami pergi minum, perempuan berani banyak bicara? Adik keenam, kalau tidak bisa mengontrol adik ipar keenam, kakak ajari. Perempuan jangan dimanjakan, langsung pukul saja biar patuh." 　　Pangeran Shu cekikikan. 　　Sudah lihat yang berpura-pura, tapi belum pernah lihat yang tak tahu malu begini. Kalau dulu tidak melihat lima saudara perempuan bawa pedang kejar Lao Wu sambil menjerit-jerit kesakitan, mungkin aku percaya. 　　"Aku antar kakak-kakak pergi." Melihat mereka hendak pergi, Pangeran Xiang bersemangat mengantarkan tamu. 　　Saat sampai di pintu aula, langkah Yu Jin terhenti, menoleh ke belakang. 　　Yang lain ikut berhenti. 　　"Adik ketujuh, kenapa tidak jalan?" Pangeran Qin mengikuti pandangan Yu Jin, melihat Anjing Besar sedang asyik mengunyah tulang berisi daging dengan kedua cakar depannya. 　　Sudut bibir semua orang berkedut serempak. 　　Yu Jin juga kesal. 　　Si pengecut ini, di rumah pilih-pilih makanan. Di Istana Pangeran Xiang, satu tulang berisi daging saja sudah tidak mau pergi. 　　"Er Niu, kemari." 　　"Er Niu" berhenti sejenak, menunduk melihat tulang berisi daging yang baru digigit setengah, dengan berat hati meletakkannya lalu berlari mendekat. 　　Yu Jin mengerutkan alis jijik: "Bersihkan minyak di sudut bibirmu itu." 　　"Er Niu" membuka mulutnya melihat ke kiri-kanan, tiba-tiba menerjang ke punggung kaki Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang refleks hendak melompat, terdengar teriakan Yu Jin: "Jangan bergerak!" 　　"Adik Kedelapan jangan sembarangan bergerak, awas 'Er Niu' menggigit." 　　"Apa yang dilakukannya?" Seluruh tubuh Pangeran Xiang kaku, bertahan sambil bertanya. 　　Sebelum Yu Jin menjelaskan, Pangeran Lu sudah tertawa terpingkal-pingkal: "Adik Kedelapan, kau tak bisa melihat? 'Er Niu' sedang mengelap mulutnya dengan sepatumu." 　　Pangeran Xiang: "......" 　　Untungnya "Er Niu" bertindak gesit, cepat-cepat menjilat lidahnya sebagai tanda sudah bersih, lalu mengibaskan ekor pada Yu Jin. 　　Yu Jin wajah penuh penyesalan: "Adik Kedelapan, maafkan, 'Er Niu' belakangan ini agak sulit diatur——" 　　Pangeran Xiang menatap noda minyak jelas di permukaan sepatunya, mengeluarkan dua kata dari sela gigi: "Tidak apa." 　　Cepat bawa anjing tak tahu malu ini pergi! Jika nanti pintu Istana Pangeran Xiang masih terbuka untuk satu manusia dan satu anjing ini, aku akan tampar mulutku sendiri! 　　"Adik akan mengantar kakak-kakak pergi." Pangeran Xiang mengulangi, nada mendesaknya jelas. 　　Yang lain ingin tertawa tapi tak enak hati, terpaksa mempercepat langkah. 　　Baru saja rombongan melintasi halaman, anjing besar yang mengikuti Yu Jin tiba-tiba berbalik lari ke suatu arah. 　　Kerumunan terkejut dengan kejadian tak terduga ini. 　　"Er Niu——" 　　Yu Jin berteriak, namun Er Niu sudah menghilang di balik rimbunan tanaman bunga. 　　Beberapa orang memandangi pemilik anjing itu. 　　Yu Jin menggaruk hidungnya dengan wajah polos dan pasrah: "Anjing ini benar-benar semakin tidak patuh. Seharusnya tidak kubawa ke sini——" 　　Mendengar ini, mereka semua menatap Pangeran Lu. 　　Pangeran Lu tidak merasa bersalah: "Apa masalahnya aku membawa Er Niu?" 　　"Tapi sekarang dia kabur!" Pangeran Xiang tiba-tiba merasa gelisah tanpa alasan jelas. 　　"Cari saja nanti. Aku yang akan mencarinya." 　　Pangeran Lu segera mengejar ke arah Er Niu pergi, meninggalkan mereka saling pandang bingung. 　　"Aku ikut melihat. Bahaya kalau Er Niu menggigit Kakak kelima." Yu Jin buru-buru menyusul. 　　Melihat wajah Pangeran Xiang memucat, Pangeran Qi menenangkannya dengan menepuk lengannya. 　　Pangeran Shu mengusulkan: "Kakak kelima dan Adik ketujuh sudah pergi mencari Er Niu, lebih baik kita ikut melihat bersama." 　　Pangeran Xiang terpaksa mengangguk. 　　Sebagai tuan rumah istana pangeran, meski Pangeran Shu tidak berkata, dia tetap harus menyusul. 　　Pangeran Lu yang berlari paling depan sudah melihat Er Niu, berteriak dari jauh: "Er Niu, jangan kabur! Kembali sekarang!" 　　Anjing Besar yang lincah di depan sama sekali tidak menghiraukan, semakin menjauh. 　　Pangeran Lu kesal: "Dasar kau Er Niu! Aku tidak percaya tidak bisa mengejarmu!" 　　Kecepatan larinya adalah hasil latihan, orang biasa sulit menyaingi. 　　Di Istana Pangeran Xiang muncul pemandangan aneh: seekor anjing besar berlari di depan, diikuti oleh sekelompok pangeran yang mengejar dari belakang, membuat puluhan pelayan ikut bergabung dalam barisan pengejaran. 　　Pangeran Lu hanya bisa memandang tak berdaya saat Er Niu semakin menjauh, lalu melompati tembok halaman dan masuk ke dalam pekarangan. 　　Pangeran Lu mengejar hingga menyadari pekarangan ini terletak di sudut terpencil Istana Xiang, dengan pintu gerbang yang terkunci rapat, tampaknya sudah lama tak dijamah. 　　Untuk apa Er Niu datang ke sini? Sekalipun mencari makanan, seharusnya dia menuju ke dapur besar istana. 　　Sambil terengah-engah, Pangeran Lu merasa bingung. 　　Tiba-tiba gonggongan anjing yang keras terdengar dari balik tembok. Setelah ragu sejenak, sang pangeran menggebrak pintu gerbang dengan tendangan. 　　Pintu gerbang yang masih terpasang kunci bertahan sebentar sebelum akhirnya jebol. 　　Pangeran Lu menghela napas lalu melangkah mantap masuk. 　　Dia ingin tahu alasan Er Niu memasuki tempat ini. 　　"Er Niu, Er Niu--" 　　Suara panggilannya bergema di pekarangan sepi nan suram, dengan tumbuhan layu dan mati di sekeliling. 　　Gonggongan anjing kembali terdengar, seolah menanggapi panggilan sang pangeran. 　　Setelah memastikan sumber suara, Pangeran Lu menerobos pintu bulan menuju halaman belakang yang lebih rusak dan kosong. 　　Er Niu sedang menggonggong gila-gilaan menghadap sebuah sumur di halaman belakang. 　　Saat mendekat, Pangeran Lu melihat sebongkah batu besar menindih mulut sumur. Bagian dasar batu itu ditutupi lumut tebal, jelas sudah lama tak digerakkan. 　　"Er Niu" menggonggong dua kali, menggigit ujung celana Pangeran Lu dan menariknya ke arah sumur. 　　"Er Niu, kau sedang apa?" 　　Er Niu melepaskan gigitan, menggonggong keras ke arah mulut sumur. 　　Pangeran Lu berpikir sejenak, lalu bertanya: "Kau ingin batu penutup ini dipindahkan?" 　　"Guk guk!" Gonggongan Er Niu semakin panik. 　　"Tebakanku benar! Lihat ini!" Pangeran Lu menggesekkan tangannya, menenangkan pikiran lalu memindahkan batu besar itu. 　　Sebelum Pangeran Lu sempat melihat ke dalam sumur, Er Niu langsung melompat masuk, kedua cakar depannya menggali dengan ganas. 　　Entah berapa lama kemudian, anjing besar itu melompat keluar, mengibaskan debu dari tubuhnya, lalu menggonggong dua kali ke arah Pangeran Lu. 　　Anehnya, Pangeran Lu bisa merasakan nada "meminta penghargaan" dari gonggongan itu, secara refleks ia menjulurkan kepala ke dalam sumur. 　　Si kecil demam, pemeriksaan kesehatanku batal, jadi sore ini ada update. Terima kasih untuk vote dan Hadiah kalian. 753.BAB 750 Tulang Kering 　　BAB 750 Tulang Kering 　　Ranting kering dan tanah sampah yang semula mengisi sumur telah terkuak, dua lubang mata hitam pekat menatap lurus ke Pangeran Lu. 　　Mata Pangeran Lu membelalak, pikirannya kosong sama sekali. 　　Benda apa itu?! 　　Er Niu melihat Pangeran Lu diam membeku dengan kepala terjulur, menggonggong sekali. 　　Ia menemukan benda aneh, kenapa manusia ini tidak bereaksi sama sekali? 　　Gonggongan itu menyadarkan Pangeran Lu secara mendadak, ia seketika menyadari apa yang ada di depannya. 　　Kaget luar biasa, tubuh Pangeran Lu limbung dan jatuh ke dalam, untung masih sempat bereaksi dengan mencengkeram tepi sumur menggunakan satu tangan. 　　“Er Niu, cepat bantu!” Dalam kepanikan, Pangeran Lu berteriak minta tolong tanpa peduli apakah anjingnya mengerti. 　　Er Niu segera mendekat dan menggigit pergelangan tangan Pangeran Lu yang sedang mencengkeram tepi sumur. 　　Sebenarnya tanpa gigitan Er Niu, Pangeran Lu bisa segera naik dengan tenaganya. Tapi sekarang akhirnya jelas: si tubuh besar itu jatuh kembali ke dalam. 　　Terdengar jeritan menggelegar: "Tolong——!" 　　Yu Jin yang bergegas datang terhenti langkahnya, "Kakak kelima, kau di dalam sumur?" 　　Pangeran Qin dan rombongan yang datang setelah mendengar jeritan kaget: "Adik kelima (Kakak kelima) jatuh ke sumur?" 　　Hanya Pangeran Xiang yang gemetar dengan wajah pucat bagai hantu, tak bisa bersuara. 　　Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana ini mungkin? 　　Teriakan penuh kesakitan bergema dari dasar sumur: "Apa tidak ada orang hidup di atas? Cepat tarik aku naik!" 　　Sungguh ikatan persaudaraan rapuh bagai kertas. Para brengsek ini hanya bisa berteriak-teriak. 　　Mendengar teriakan Pangeran Lu, Pangeran Xiang seperti terbangun dari mimpi, membentak pelayannya: "Cepat tarik Pangeran Lu naik!" 　　Ia ingat pernah memerintahkan pengisian sumur ini. Mungkin Lao Wu hanya jatuh tanpa menemukan mayat Cui Mingyue - Pangeran Xiang berharap dengan putus asa. 　　Beberapa pelayan segera bekerja sama menarik Pangeran Lu ke atas. 　　“Batuk-batuk!” Pangeran Lu yang duduk di tanah terus batuk hebat, wajahnya tak kalah pucat dari Pangeran Xiang. 　　Pangeran Qin melangkah maju dengan wajah penuh perhatian: "Adik kelima, kau tidak apa-apa?" 　　Pangeran Shu berdiri di samping sambil menggeleng diam-diam. 　　Pantas saja Lao Wu ditindas lima saudara perempuan sampai tak bisa angkat kepala. Mengejar Er Niu sampai terjatuh ke sumur sendiri, bahkan tak bisa naik lagi. Sungguh payah. 　　Pangeran Lu yang dicemooh Pangeran Shu ingin menjauh dari sumur itu. Saat bergerak, sebuah tulang telapak tangan jatuh dari tubuhnya. 　　Melihat tulang kering di tanah lalu menatap Pangeran Lu, kerumunan langsung berubah wajahnya. 　　Pangeran Lu dengan susah payah mencoba tersenyum pada Pangeran Qin: "Kakak, menurutmu aku baik-baik saja?" 　　Pangeran Qin menatap tulang telapak tangan yang tergeletak itu dalam diam. 　　Pangeran Lu hampir menangis: "Ada kerangka di sumur itu. Aku jatuh persis di atas tengkorak itu... Ih, jijik sekali..." 　　Mayat memang pernah ia lihat, tapi tengkorak belum. Apalagi membayangkan harus bersentuhan langsung dengan kerangka - begitu membayangkan kejadian tadi, Pangeran Lu ingin menangis keras tanpa peduli harga diri sebagai pria. 　　"Maksud kakak kelima... ada mayat di sumur?" Pangeran Shu yang pertama sadar, sudut matanya menyipit melihat wajah pucat Pangeran Xiang, lalu bergegas mendekati mulut sumur. 　　Rongga mata tengkorak di dasar sumur menatapnya kosong tanpa suara. 　　Pangeran Shu merasa bulu kuduknya berdiri, buru-buru mengalihkan pandangan. 　　Pangeran Qi tampak tidak percaya, mengikuti dari belakang untuk melihat, begitu melihat kondisi di dalam sumur langsung membeku. 　　Pangeran Shu menatap Pangeran Xiang, bertanya penuh arti: "Adik Kedelapan tahu ada mayat di bawah sumur?" 　　Pangeran Xiang gemetar, menyangkal tegas: "Kakak Keenam jangan asal bicara, mana mungkin aku tahu ada mayat di sumur!" 　　"Lalu bagaimana dengan tulang-belulang di sumur ini?" Pangeran Shu tak mau melewatkan kesempatan menjatuhkan Pangeran Xiang, terus mendesak. 　　Lao Ba jelas satu kelompok dengan Lao Si, sementara Lao Si adalah rival beratnya. Kini ada kesempatan menjatuhkan mereka, tentu tak boleh disia-siakan. 　　Pangeran Xiang berusaha tetap tenang: "Siapa yang tahu? Istana pangeran punya banyak orang, tanpa nyonya rumah yang mengatur. Mungkin ada pelayan jahat yang membunuh lalu menyembunyikan mayat di sumur tak terpakai..." 　　Kepanikan Pangeran Xiang berangsur reda seiring pulihnya kesadaran. 　　Cui Mingyue sudah menjadi rangka tulang. Selama dia bersikeras tidak mengaku, siapa yang tahu tulang-belulang itu adalah Nona pertama Keluarga Cui yang hilang sejak lama? 　　Benar! Selama tidak mengaku, tak ada yang bisa berbuat apa-apa padanya! 　　Pangeran Xiang refleks menegakkan punggungnya. 　　"Kalau ada tulang-belulang di sumur, laporkan saja ke pihak berwajib." Suara dingin terdengar. 　　Pangeran Xiang tertegun, lalu menatap sumber suara: "Tidak boleh!" 　　Yu Jin tampak kaget: "Ada kasus pembunuhan, kenapa tidak boleh dilaporkan?" 　　Pangeran Xiang menyeringai dingin: "Kakak Ketujuh bicara seenaknya saja. Di sumur tua Istana Pangeran Xiang muncul tulang-belulang, apakah terdengar baik jika tersiar? Aku tak mau malu seperti ini!" 　　Yu Jin semakin heran: "Apakah bagi Adik Kedelapan, menjaga reputasi lebih penting daripada kebenaran?" 　　Pangeran Xiang tercekat, lalu marah: "Kakak Ketujuh jangan asal bicara tanpa merasakan susahnya. Jika ini terjadi di kediamanmu, apa kau akan bersikeras melapor ke pihak berwajib?" 　　Jangankan di keluarga kerajaan, rumah bangsawan biasa pun setiap tahun pasti ada yang mati tak wajar. Tapi pernahkah kau dengar ada yang melapor? 　　Tak disangka Yu Jin mengangguk tanpa ragu: "Tentu. Jika pelaku kejahatan tidak ditemukan, bagaimana jika dia berbuat jahat lagi? Dulu kakak tertua kakak iparmu mengalami kuda liar saat berziarah, kakak iparmu langsung melapor. Adik Kedelapan ini laki-laki, kok malah kurang bijaksana daripada wanita?" 　　Pangeran Xiang semakin panik digojlok Yu Jin, tetap bersikeras: "Itu urusan Istana Pangeran Yan kalian. Kalian tak peduli reputasi, aku peduli. Aku akan cari cara menghukum pelayan jahat itu, tapi melapor ke pihak berwajib mustahil!" 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Adik Kedelapan mati-matian menolak melapor, jangan-jangan kau merasa bersalah?" 　　"Siapa yang bersalah?! Jika Kakak Ketujuh terus memfitnah, jangan salahkan aku tak sungkan!" 　　Pangeran Shu dengan senang hati melempar batu ke sumur yang sudah kering: "Adik Kedelapan, menurutku kata Kakak Ketujuh benar. Kebenaran lebih penting dari gengsi." 　　Pangeran Lu bahkan mendukung sepenuhnya: "Aku tak peduli! Hari ini aku sampai mual melihat ini, tak boleh dibiarkan begitu saja. Jika Adik Kedelapan tak mau melapor, aku akan laporkan pada Ayah Kaisar." 　　Melihat ekspresi Lao Ba yang gagap, orang di dalam sumur mungkin adalah salah satu dayang cantik atau pelayan pria tampan yang menjadi korban kebuasan Lao Ba hingga tewas. 　　Sss——Awalnya kupikir cukup imbang dengan Lao Ba, tapi rupanya ada kesempatan untuk menginjak-injaknya? 　　Pangeran Lu langsung bersemangat, hingga lupa membalas dendam pada Anjing Besar yang menjatuhkannya. 　　Sementara itu, Er Niu seolah dilupakan kerumunan, duduk merana di sudut sambil mengibas-ngibaskan ekor. 　　Menyaksikan Yu Jin, Pangeran Lu, dan Pangeran Shu bersikeras melapor ke pihak berwajib bahkan hendak mengadu pada Kaisar Jingming, Pangeran Xiang kehilangan keberanian untuk bertahan. 　　Jika dia tetap menolak, kecurigaan pasti akan semakin menguat. 　　Mengingat penanganan yang cukup bersih setelah menghabisi Cui Mingyue dulu, akhirnya Pangeran Xiang mengangguk. 　　Biarlah diperiksa! Sekarang Cui Mingyue sudah menjadi rangka tulang belulang, mana mungkin Prefect Shuntian Zhen Shicheng bisa menemukan bukti! 　　Melihat anggukan Pangeran Xiang, Yu Jin melirik pelayan Istana Xiang terdekat dan berkata datar: "Untuk apa tertegun? Tidakkah kau dengar Pangeranmu ingin melapor ke pihak berwajib?" 　　Pelayan itu kaget, memberi hormat lalu lari tergopoh-gopoh. 　　Jangan lupa untuk vote, terima kasih banyak. 754.BAB 751: Kembali ke Dunia 　　BAB 751: Kembali ke Dunia 　　Pangeran Xiang menatap punggung pelayan yang berlari jauh, hanya satu pertanyaan di hatinya: Nanti akan kuhabisi hamba bodoh ini! Akulah tuan Istana Xiang, Brengsek! Siapa sebenarnya yang mereka dengar?! 　　“Dia lupa akan sifat alami manusia: ketika kejadian mengejutkan terjadi, orang yang sedang linglung sering kehilangan kemampuan menilai. Saat itu, jika orang yang berkedudukan tinggi mengajukan permintaan, sembilan dari sepuluh orang akan patuh melakukannya.” 　　Belakangan ini ibu kota relatif tenang, kasus yang sampai ke Shuntianfu hanyalah hal-hal sepele. Bukan pria Keluarga Zhang mencuri istri Keluarga Li, ya anjing peliharaan Keluarga Wang menggigit mati angsa provokatif Keluarga Zhao. Zhen Shicheng mengantuk setiap hari mendengar hal-hal membosankan ini. 　　Cuaca hari ini cukup baik. Setelah menyelesaikan urusan rumit, Zhen Shicheng duduk di tepi jendela sambil berjemur dengan mata setengah terpejam. Tiba-tiba seorang petugas bergegas masuk melapor: “Paduka, ada kasus!” 　　Zhen Shicheng membuka mata lebar-lebar, sorot matanya berkilat: “Ada kasus?” 　　Petugas itu mengangguk cepat: “Utusan dari Istana Pangeran Xiang melapor, mengatakan menemukan sekerangkeng tulang-belulang di sumur tua istana!” 　　Zhen Shicheng langsung berdiri, berseru tergesa: “Cepat bawa si pelapor masuk!” 　　Penemuan tulang-belulang di sumur tua istana pangeran, sampai harus dilaporkan ke pihak berwajib – berdasarkan pengalaman, ini mungkin kasus besar! 　　Memikirkan hal itu, kumis Zhen Shicheng bergetar karena terlalu bersemangat. 　　Tak lama kemudian seorang pemuda berpakaian pelayan dibawa masuk oleh petugas. Baru hendak memberi hormat pada Zhen Shicheng, langsung dihentikannya. 　　“Singkat saja, jelaskan detail kejadian.” Di hadapan pelapor, Zhen Shicheng berusaha tampak tenang, padahal hatinya sudah terbang ke Istana Pangeran Xiang. 　　Pelayan Istana Pangeran Xiang jelas tidak menyangka Prefek Shuntian yang termasyhur itu begitu cepat dan tegas. Mereka tertegun sejenak sebelum menceritakan semua yang mereka ketahui. 　　"Kalau begitu, apakah semua pangeran hadir?" tanya Zhen Shicheng setelah mendengarkan dengan sabar. 　　Pelayan Istana Pangeran Xiang segera mengangguk: "Semua ada di sini." 　　"Pangeran Yan juga ada?" 　　"Ada, dan justru Pangeran Yan yang menyuruh hamba melapor--" Sebelum selesai bicara, pelayan itu tiba-tiba tertegun lalu menampar pipinya sendiri. 　　Apa hatinya tertutup lemak babi? Tuannya sendiri belum memberi perintah, tapi dia sudah buru-buru melapor ke Shuntianfu. 　　Habislah! Nanti pasti tuannya tidak akan mengampuninya! 　　Semakin dipikir, pelayan itu semakin panik. Tangannya tak henti menampar wajahnya sendiri. 　　Meski Zhen Shicheng sudah berpengalaman, kali ini ia pun terkesima. 　　Apakah karena sudah lama tidak ada kasus pembunuhan, sampai ia tak lagi familiar dengan situasi? Pertama kalinya ia melihat pelapor yang sibuk menghajar diri sendiri. 　　"Bawa juru bedah mayat, kita ke Istana Pangeran Xiang." Perintah Zhen Shicheng pada anak buahnya sambil bergegas keluar. 　　Melihat Prefek Shuntian membawa rombongan pergi, pelayan itu mengusap wajahnya yang bengkak lalu buru-buru menyusul. 　　Suasana di Istana Pangeran Xiang saat ini cukup mencekam. 　　"Kakak Ketujuh, apa maksudmu menghalangi pelayanku turun ke sumur?" Mata Pangeran Xiang memerah saat berhadapan dengan Yu Jin yang berdiri menghalangi mulut sumur. 　　Yu Jin tersenyum: "Adik Kedelapan jangan emosi, saya tidak bermaksud apa-apa. Tapi karena sudah dilaporkan ke pihak berwajib, mari kita tunggu kedatangan Tuan Zhen. Sebelumnya, yang harus kita lakukan adalah menjaga lokasi kejadian sebaik mungkin." 　　"Ini rumah keluarga kami!" Pangeran Xiang menggigit gigi, berkata kata demi kata. 　　Yu Jin berbicara tenang: "Adik Kedelapan yang setuju untuk melapor ke pihak berwajib." 　　"Kau!" Pangeran Xiang tertahan amarahnya. 　　Apakah itu persetujuannya? Dia jelas-jelas dipaksa! 　　Pangeran Qi menepuk bahu Pangeran Xiang dengan lembut: "Adik Kedelapan, harap bersabar." 　　Melihat sikap Lao Ba ini, tampaknya tulang-belulang di sumur tidak bisa dilepaskan dari hubungan dengannya. 　　Karena sudah begitu, kita tidak boleh panik sendiri. 　　Pangeran Xiang yang menerima isyarat mata dari Pangeran Qi, menenangkan diri dan berkata sinis: "Setelah Tuan Zhen menyelidiki kebenarannya, Kakak Ketujuh harus memberikan penjelasan atas tindakanmu hari ini." 　　Yu Jin mengangkat alis dengan polos: "Tulang-belulang ditemukan di sumur tak terpakai kediaman Adik Kedelapan, bukan di rumahku. Mengapa Adik minta penjelasan dariku? Oh, aku mengerti, Adik marah karena aku bersikeras melapor? Kalau begitu, bukankah Kakak Kelima dan Keenam juga harus memberikan penjelasan?" 　　Pangeran Lu memutar matanya: "Penjelasanku adalah melaporkan ke Ayah Kaisar." 　　Dia sedang menunggu Lao Ba jatuh lebih dalam. 　　Pangeran Shu tersenyum ramah: "Yang penting kebenaran bisa terungkap." 　　Kegelisahan Lao Ba ini menunjukkan akan ada pertunjukan menarik. 　　Siapakah sebenarnya tulang-belulang di sumur itu? Dayang yang disiksa Lao Ba, atau nona kecil yang dia incar di luar? 　　Kerumunan terus berspekulasi, ketika seorang pelayan berlari terburu-buru melapor: "Prefect Shuntian sudah tiba!" 　　Pangeran Xiang mengepal tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju, menghilangkan kekakuan sesaat itu, lalu bergegas keluar. 　　Pelayan yang melapor sudah membawa Zhen Shicheng ke arah sini. 　　Dari kejauhan, Zhen Shicheng melihat beberapa pangeran dan memberi hormat dengan tangan tergenggam. 　　Pangeran Xiang membalas hormat dengan cepat, matanya tak lepas dari Zhen Shicheng: "Tuan Zhen, kami tidak sengaja menemukan tulang-belulang di sumur yang sudah tidak terpakai. Kami perlu bantuanmu." 　　"Pangeran terlalu ramah." Zhen Shicheng menjawab formal, lalu melewati Pangeran Xiang dan bergegas menuju sumur kering. 　　Wajah Pangeran Xiang memucat. 　　Si Zhen ini terburu-buru sekali, apakah dia gila! 　　Zhen Shicheng telah sampai di tepi sumur dan menjulurkan kepala untuk melihat ke bawah. 　　Sumur itu tidak terlalu dalam dengan pencahayaan yang cukup. Sebuah rongga mata kosong menatap lurus ke atas, seakan mengadukan kesedihannya pada Tuan Besar yang bijaksana. 　　Zhen Shicheng yang familiar dengan pemandangan ini langsung memerintahkan anak buahnya: "Pindahkan tulang-belulangnya dengan hati-hati." 　　Seorang petugas bertubuh kecil segera turun ke sumur dan dengan hati-hati mengangkat kerangka itu. 　　Mata tajam Zhen Shicheng melihat bekas patahan baru pada tulang panjang, ia menggeleng: "Kerusakannya cukup parah." 　　Yu Jin yang berdiri di samping menjelaskan: "Pangeran Lu jatuh ke dalam, itu yang menghancurkannya." 　　Pangeran Lu: "......" Lao Qi si brengsek ini, bisakah kau diam sebentar? 　　Zhen Shicheng menatap dalam-dalam ke Pangeran Lu, melihat lawannya tampak agak canggung, menghibur: "Paduka telah bekerja keras." 　　Pangeran Lu: ?? 　　"Masih kurang satu tulang telapak tangan kanan." 　　Yu Jin menoleh, menunjuk ke tanah: "Dibawa naik oleh Kakak kelima." 　　"Adik ketujuh!" Muka Pangeran Lu memerah karena malu. 　　Zhen Shicheng kembali menatap tajam ke Pangeran Lu, menunjukkan ketidakpuasan: "Menjaga keutuhan tulang-belulang sangat penting, Paduka harap ingat untuk tidak sembarangan mengambil sesuatu di kemudian hari." 　　Pangeran Lu tak tahan lagi menggulung lengan bajunya. 　　Jangan halangi! Dia ingin berkelahi dengan Lao Qi dan si tua Zhen ini! 　　Juru bedah mayat segera memberikan kesimpulan awal: "Lapor Paduka, jenazah ini diperkirakan perempuan muda, tulang tidak menunjukkan gejala keracunan, kecuali bekas patah baru di tulang lengan kanan. Penyebab kematian adalah patah tulang leher..." 　　"Waktu kematiannya?" tanya Zhen Shicheng dengan serius. 　　Seorang juru bedah mayat perempuan menjawab: "Berdasarkan kondisi sumur dan tingkat pembentukan tulang-belulang, perkiraan waktu kematian antara satu hingga tiga tahun lalu." 　　Zhen Shicheng memandang dari atas ke bawah, mengamati pakaian yang masih melekat pada kerangka. 　　"Hanya baju dalam... Kalian turun ke sumur untuk memeriksa apakah ada pakaian luar atau perhiasan." 　　Pangeran Xiang menyaksikan Zhen Shicheng mengatur semuanya dengan sistematis, tangan kakinya terasa dingin dan jantung berdebar kencang. Baru setelah petugas yang turun ke dasar sumur kembali melapor, hatinya yang tergantung baru bisa tenang. 　　"Laporan Paduka, di dasar sumur tidak ditemukan pakaian maupun perhiasan." 　　Libur musim dingin tiba, kursus pelatihan Dabao dijadwalkan ulang ke jam kerja siang hari, hanya saya yang bisa mengantar-jemput. Saya yang mudah mabuk perjalanan pasti akan limbung pulang ke rumah, Bagian kedua kemungkinan akan terlambat. Terima kasih untuk Hadiah sepuluh ribu koin dari Lik Gao, terima kasih untuk semua yang telah memberi Hadiah dan vote. 755.BAB 752 Pengadu 　　BAB 752 Pengadu 　　Sejak sebelum Zhen Shicheng tiba, Pangeran Xiang telah berulang kali mengingat-ingat kejadian malam itu. 　　Musim gugur tahun ke-19 Jingming, pada malam pernikahan Cui Mingyue, ia membunuh Zhu Ziyu dan melarikan diri, lalu jatuh ke tangan mata-mata yang dikirimnya. Sayangnya mata-mata bodoh itu malah membawanya kembali ke Istana Pangeran Xiang. 　　Terpaksa ia memilih membunuh dan menyembunyikan mayat. Saat itu dengan sengaja melepas semua pakaian luar, sepatu, dompet, dan perhiasan Cui Mingyue, hanya menyisakan baju dalam sebelum membuangnya ke sumur yang sudah tidak terpakai. 　　Namun setelah sekian lama, sulit memastikan apakah ada celah dalam tindakannya waktu itu. Meski terus mengingat-ingat, tetap saja hati merasa cemas. 　　Sekarang baiklah, tim Zhen Shicheng benar-benar tidak menemukan bukti apa pun. 　　Pangeran Xiang mulai menunjukkan warna wajah yang membaik sambil berpikir demikian. 　　Penemuan tulang-belulang di sumur tua istana pangeran bukanlah bukti kuat. Tak seorang pun bisa membuktikan ini pembunuhan yang dilakukannya. Bahkan jika terkait dengannya, pangeran sejati yang tak sengaja membunuh dayang bukanlah masalah besar. Ayah Kaisar pun paling hanya akan marah sesaat. 　　Pangeran Xiang mengerutkan bibir tipisnya, semakin tenang. 　　“Tidak ada penemuan？” Zhen Shicheng melangkah maju, berjongkok mengamati kerangka putih di tanah, bahkan menggeser-geserkannya dengan tangan yang dibalut saputangan. 　　Gerakan ini membuat beberapa pangeran yang menyaksikan berubah pucat, menahan rasa mual. 　　Pangeran Lu mengingat kepanikannya saat jatuh ke sumur tadi, lalu melihat keseriusan Zhen Shicheng, matanya tak sengaja beralih ke Yu Jin. 　　Tuan Zhen begitu menakutkan, tidak tahu bagaimana dulu Lao Qi bisa bekerja di bawahnya. 　　Lalu terlihatlah wajah yang penuh semangat. 　　Pangeran Lu tertegun, memalingkan pandangannya. 　　“Ada penemuan, Paduka Zhen?” Pangeran Xiang yang sudah tenang mengambil inisiatif bertanya. 　　Jika Zhen tidak menemukan apa-apa, dia bisa mengusirnya dengan mengandalkan status pangerannya. 　　Zhen Shicheng berdiri tegak, tidak langsung menjawab, malah bertanya: “Apakah ada wanita hilang di istana pangeran dalam tiga tahun terakhir?” 　　Dia sangat paham, jika mengatakan tak ada penemuan, bangsawan seperti Pangeran Xiang akan segera mengusirnya. 　　Lebih baik mengabaikan pertanyaan sulit dan mengajukan pertanyaan yang diinginkan. 　　Pangeran Xiang terbawa alur pemikiran Zhen Shicheng: “Hamba tidak tahu.” 　　“Tidak tahu?” Zhen Shicheng mengusap kumisnya. 　　Kumisnya pagi ini lupa dirapikan, ada bagian yang kusut. 　　“Paduka tentu tahu, hamba belum menikah. Urusan personel istana sepenuhnya menjadi tanggung jawab mandor...” 　　“Kalau begitu, silakan panggil mandor istana pangeran ke sini.” kata Zhen Shicheng dengan tenang. 　　Pangeran Xiang sangat kooperatif, segera menyuruh pelayan di sampingnya untuk memanggil sang mandor. 　　Belum juga pelayan itu berlari keluar, dia sudah kembali menerobos kerumunan penonton dengan ditemani pria berjanggut kambing sekitar empat puluh tahunan – mandor Istana Pangeran Xiang. 　　Tak perlu dikatakan, sang mandor sejak awal sudah berdiri di antara kerumunan penonton. 　　“Paduka Pangeran—” Mandor itu memberi hormat kepada Pangeran Xiang. 　　Menghadapi orang dalam istana, sikap Pangeran Xiang jauh lebih dingin dan angkuh, bertanya datar: “Perkataan Tuan Zhen sudah kau dengar?” 　　“Saya sudah mendengarnya.” 　　“Maka jawablah pertanyaan Tuan Zhen dengan baik.” Pangeran Xiang mengingatkan dengan penuh makna. 　　Hati sang mandor berdesir, buru-buru menjawab: “Paduka Pangeran tenang saja.” 　　Pangeran Xiang menoleh ke Zhen Shicheng, mengangguk halus: “Silakan Tuan Zhen bertanya.” 　　Zhen Shicheng mengamati sang mandor sejenak, lalu mengulangi pertanyaan sebelumnya. 　　Mandor itu ragu sejenak, menjawab: “Istana ini banyak penghuninya. Jika bicara soal dayang yang hilang dalam tiga tahun terakhir, saya perlu melihat buku daftar nama dulu.” 　　Zhen Shicheng mengusap kumisnya mengingatkan: “Jangan terbatas pada dayang.” 　　“Ini—” Sang mandor tak bisa menahan pandangannya ke arah Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang berkata serius: “Tuan Zhen, hamba pangeran hanya punya empat dayang pribadi. Selain itu, wanita muda di istana ini semuanya dayang biasa.” 　　“Kalau begitu, tidak ada wanita berstatus mulia di istana ini?” 　　Pangeran Xiang mengangguk. 　　“Jika demikian, silakan mandor laporkan saja wanita-wanita yang hilang itu.” 　　Sang mandor memberi hormat, lalu buru-buru periksa buku daftar nama. 　　"Untuk sementara belum ada hasil, Zhen Shicheng memerintahkan petugas untuk terus mencari petunjuk di sumur, kemudian mengalihkan perhatiannya pada Er Niu." 　　"Konon kedatangan Pangeran Lu ke sini adalah berkat jasa Jenderal Xiaotian?" 　　Pangeran Lu mendengar ini sampai matanya memutih. 　　Jadi, karena dia jatuh ke sumur, dia harus berterima kasih pada Er Niu? 　　Yu Jin menjawab mewakili Er Niu: "Benar." 　　Zhen Shicheng mendekati Er Niu, menangkupkan tangan dengan hormat: "Kalau begitu, sudilah Jenderal Xiaotian membantu hamba mencari lagi." 　　Kesungguhannya ini membuat kerumunan terkejut. 　　Apakah Tuan Zhen benar-benar mengira Er Niu punya kekuatan gaib? 　　Zhen Shicheng sama sekali tidak menghiraukan kebingungan para penonton. 　　Menurutnya, anjing memang memiliki keunggulan alami dalam penyelidikan kasus. Dengan bantuan Er Niu, mungkin kebuntuan ini bisa terpecahkan. 　　Dia sudah punya dugaan tentang identitas pelaku kejahatan, tapi menghakimi kasus harus berdasarkan bukti. 　　"Er Niu, carilah." Yu Jin menunjuk ke tulang-belulang di tanah. 　　Er Niu berdiri sambil menggoyangkan bulunya, mendekat dan mengendus tulang putih di tanah, lalu mulai mengendus ke berbagai arah. 　　Pandangan Pangeran Xiang tak lepas dari Anjing Besar, hatinya membara ingin menguliti dan merebus daging anjing itu. 　　Kalau bukan karena anjing sialan ini, hari ini mana mungkin ada masalah begini! Nanti suatu hari pasti kubunuh anjing ini. 　　Saat Pangeran Xiang sedang geram, tiba-tiba terdengar keributan. Seseorang berteriak: "Cepat lihat, Er Niu menemukan sesuatu!" 　　Pandangan kerumunan tertuju pada Anjing Besar, terlihat Er Niu menggali lubang di dekat sumur dan membawa sesuatu dengan mulutnya menghadap Zhen Shicheng. Saat mulut besarnya membuka, benda itu jatuh ke tanah. 　　Di bawah sinar matahari, benda yang jatuh itu berkilau sesaat, membuat orang sulit melihat bentuk aslinya. 　　Zhen Shicheng membungkuk dan mengambil benda itu dengan saputangan yang dilapisi tangan. Barulah orang-orang melihat itu adalah anting mutiara. 　　Pangeran Xiang menatap anting mutiara seukuran biji beras itu, sesaat tertegun. 　　Ia ingat saat penutupan kasus dulu telah mencabut anting Cui Mingyue, apakah ingatannya salah? 　　Waktu telah berlalu terlalu lama, detail seperti ini sulit dipastikan kebenarannya. 　　Keringat dingin mengucur dari telapak tangan, terasa lengket dan tidak nyaman. 　　Pangeran Xiang menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan kegelisahan. 　　Jangan panik, ini hanya anting mutiara biasa tanpa nama terukir. Siapa bisa mengenali ini milik Cui Mingyue? 　　Zhen Shicheng mengamati anting itu dengan saksama, lama terdiam. 　　Tiba-tiba mandor bergegas mendekat, memberi hormat: "Hamba telah menyelidiki, dalam tiga tahun terakhir hanya satu wanita muda yang hilang dari istana pangeran, yaitu penjahit bernama A Cai dari bagian jahit-menjahit..." 　　"Oh, apakah penjahit itu masih memiliki orangtua?" 　　"Lapor Paduka, orangtua A Cai masih bertugas di istana pangeran." 　　Tak lama kemudian, sepasang pria-wanita paruh baya berdiri di hadapan Zhen Shicheng. 　　Pria itu matanya kemerahan, sementara wanita itu seluruh tubuhnya bergetar. Ia melirik tulang-belulang di tanah lalu terjatuh ke arahnya, berteriak dengan hati yang hancur: "A Cai, anakku, kau mati dengan sangat mengenaskan——" 　　Menyaksikan drama ini, Zhen Shicheng tetap tak berubah ekspresi. Setiap tangisan wanita itu mereda, ia bertanya dengan tenang: "Bagaimana Kakak Ipar bisa mengenali rangka kering ini sebagai Putri Anda?" 　　Tangisan wanita itu tercekat. Ia menutup mulutnya: "Sudah dua tahun hilang, wanita muda, kalau bukan A Cai lalu siapa lagi?" 756. BAB 753: Membongkar Kebohongan 　　BAB 753: Membongkar Kebohongan 　　Kehadiran wanita itu memicu bisikan-bisikan dari kerumunan yang menyaksikan. 　　"Tadi aku sudah menduga ini pasti putrinya keluarga Wang Sheng, ternyata benar——" 　　"Iya, sejak putri keluarga Wang Sheng hilang dua tahun lalu, istri Wang Sheng selalu menangis setiap ketemu orang, kasihan sekali." 　　"Bukannya dibilang si gadis keluarga Wang lari bersama kekasihnya? Kenapa mayatnya ada di sumur?" 　　"Siapa tahu, mungkin si kekasih itu merampok dan membunuhnya, lalu pakai uang banyaknya untuk nikah lagi..." 　　"Dulu saja kukira, wajah si gadis Wang biasa-biasa saja, mana mungkin bisa lari bersama orang? Pasti ditipu..." 　　Zhen Shicheng menyimak semua omongan ini diam-diam, lalu bertanya pada wanita itu: "Bisa ceritakan keadaan menghilangnya A Cai?" 　　Wanita itu hanya terus menatap tulang-belulang sambil terisak, tak menggubris pertanyaan Zhen Shicheng. 　　Seorang pria di samping memberi hormat kepada Zhen Shicheng: "Tuan Besar yang bijaksana, saya adalah ayah A Cai, izinkan saya yang menjelaskan." 　　Zhen Shicheng mengangguk perlahan. 　　Pria itu mengusap matanya dan mulai bercerita: "Saya ingat jelas, dua tahun lalu saat Festival Bunga, keluarga bangsawan memberi cuti pada beberapa pelayan. A Cai bilang mau jalan-jalan, saya dan istri saya akhirnya mengizinkan. Tapi ternyata A Cai pergi dan tak pernah kembali——" 　　Zhen Shicheng menunggu dengan sabar sampai pria itu selesai menangis, lalu bertanya: "Ada yang kau curigai?" 　　"Ada!" suara pria itu tak terkendali meninggi, matanya berkilat dingin, "A Cai punya kekasih bernama A Guang. Pasti hari itu mereka janjian... A Guanglah pembunuh A Cai, mohon Tuan Besar berikan keadilan——" 　　Seorang wanita di samping menangis histeris sambil memaki: "Si bedebah A Guang! Dialah yang membunuh A Cai——" 　　Zhen Shicheng mendengar dengan ekspresi datar. Setelah emosi mereka mereda, bertanya: "Jika A Cai dan A Guang saling mencintai, mengapa A Guang mau membunuhnya?" 　　"Karena kami tak setuju hubungan mereka!" wajah pria itu memerah marah, "Orang tua A Guang sudah lama meninggal, hanya ada kakek sakit-sakitan yang pindah dari istana pangeran. Jika A Cai menikah kesana pasti menderita. Kami tak mungkin setuju! Pasti si bajingan itu dendam, melihat tak bisa menikahi A Cai lalu membunuhnya dan kabur membawa uang yang dicuri A Cai hari itu..." 　　“Kalau begitu, Ah Guang saat ini tidak berada di istana pangeran?” Zhen Shicheng membelai kumisnya bertanya. 　　Mandor istana pangeran segera menjawab: “Melapor Paduka, Ah Guang tidak pernah muncul lagi sejak Festival Hua Chao dua tahun lalu.” 　　“Untuk budak kabur seperti ini, apakah ada catatan pelaporan resmi?” 　　Mandor istana pangeran memandang ke arah Pangeran Xiang. 　　Pangeran Xiang tidak menyangka mandor begitu lihai, bahkan menemukan pasangan pengadu yang cocok. Hatinya semakin tenang, berkata datar: “Paduka bertanya padamu, jawablah sesuai fakta.” 　　Mandor istana pangeran membungkuk: “Saat itu sudah dilaporkan, pihak berwenang seharusnya masih menyimpan catatannya.” 　　Zhen Shicheng mengangguk perlahan. 　　Untuk hal yang mudah diverifikasi seperti ini, hanya orang bodoh yang akan berbohong. 　　“Lalu bagaimana dengan kakek Ah Guang?” 　　“Saya masih ingat kejadian ini. Saat itu Ah Cai tidak pulang sampai malam, ayah Ah Cai khusus mengajukan izin pada saya untuk mencari ke rumah Ah Guang. Ternyata ditemukan kakek Ah Guang sudah meninggal...” jawab mandor istana pangeran. 　　Wanita itu berkata dengan emosi: “Tuan Besar, pasti Ah Guang menemukan kakeknya sakit parah tapi tak punya uang berobat. Untuk mendapat uang, dia membunuh Ah Cai. Setelah tahu kakeknya meninggal, langsung kabur sebagai budak...” 　　“Jadi apakah ini karena Ah Guang tidak puas dengan penolakan kalian atas pernikahan Ah Cai, atau demi kakeknya?” 　　Wanita itu terdiam sejenak. 　　Pria itu melototi wanita tersebut, menjelaskan: “Tuan Besar, ini semua hanya dugaan kami. Hanya Ah Guang yang tahu alasan sebenarnya membunuh Ah Cai. Tapi kematian Ah Cai pasti ada hubungannya dengan si brengsek itu.” 　　“Apakah kalian yakin tulang-belulang ini adalah putri kalian, A Cai?” Zhen Shicheng menunjuk ke tulang-belulang di lantai, bertanya dengan serius. 　　Tulang-belulang di lantai sudah tidak ada daging atau darah tersisa, hanya baju dalam yang warnanya tak jelas menggantung longgar di atasnya. Rambut panjang yang telah pudar warnanya justru terlihat sangat lebat. 　　Tapi hanya dengan rambut panjang saja bahkan tidak bisa membedakan laki-laki atau perempuan, apalagi mengenali ini sebagai anak sendiri. 　　Namun pasangan suami istri itu tetap bersikeras mengangguk. 　　“Tidak mungkin salah, mandor sudah memeriksa. Dalam tiga tahun terakhir, gadis muda yang HILANG hanya A Cai kami. Kalau bukan putri kami, siapa lagi?” 　　Pangeran Xiang yang berdiri tak jauh dari situ merasa jauh lebih tenang. 　　Awalnya khawatir kasus ini akan menjerat dirinya, tapi melihat ada anak muda bernama A Guang yang menanggung kesalahan, sekarang ia bisa lega. 　　“Apa tugas kalian berdua di istana pangeran?” tanya Zhen Shicheng. 　　Wanita itu menjawab, “Hamba bekerja di dapur.” 　　Zhen Shicheng memandang ke suaminya. 　　Pria itu segera menyusul, “Saya membantu mandor pengadaan barang—” 　　Zhen Shicheng bertanya seolah santai, “Kalau begitu, kehidupan kalian berdua di sini cukup lumayan ya?” 　　Pasangan itu saling pandang sejenak sebelum ragu-ragu mengangguk, “Pangeran Xiang sangat murah hati, hidup kami cukup...” 　　Zhen Shicheng membuka saputangan, memperlihatkan anting mutiara kecil di dalamnya: “Coba kalian perhatikan baik-baik, apakah anting mutiara kecil ini yang pernah dipakai putri kalian?” 　　Pria itu melirik barang bukti itu, matanya berkedip samar sambil melirik ke arah mandor istana pangeran. 　　Sang mandor mengangguk hampir tak terlihat. 　　Pria itu buru-buru berkata: "Ini milik A Cai, hamba pernah melihat A Cai memakainya!" 　　"Hah, benar ini milik A Cai?" 　　Kali ini sang wanita juga ikut menyeka air mata: "Benar milik A Cai, ini sepasang anting mutiara kesayangannya--" 　　Zhen Shicheng menyeringai dingin, berkata perlahan-lahan: "Bualan belaka! Anting mutiara ini mustahil kalian yang membelinya!" 　　Ucapan ini langsung menimbulkan keributan. Beberapa orang berbisik: "Tidak sampai tidak mampu membeli sepasang anting mutiara..." 　　Bagi staf istana pangeran, pasangan Wang Sheng yang bekerja di istana jelas mampu membeli bukan hanya anting mutiara kecil, tapi bahkan hiasan emas untuk putri mereka. 　　Tak perlu diragukan, mutiara sebesar butiran beras di anting itu dianggap tak bernilai. 　　Pangeran Xiang tidak puas berkata: "Apakah Tuan Zhen beranggapan hamba pangeran ini pelit pada pelayan?" 　　Zhen Shicheng tersenyum: "Kebijakan Pangeran terhadap staf istana bukan bagian dari investigasi resmi hamba. Hamba hanya menganalisis fakta." 　　"Begitukah? Atas dasar apa Tuan Zhen memastikan mereka tak mampu membeli anting mutiara untuk putrinya?" 　　Pangeran Xiang yang terbiasa melihat perhiasan mewah jelas menganggap mutiara sekecil itu tak bernilai. 　　Zhen Shicheng mengangkat anting itu: "Karena mutiara yang terpasang di sini bukan mutiara biasa!" 　　"Apa? Bukan mutiara biasa?" Banyak orang menjulurkan leher penasaran, termasuk beberapa pangeran. 　　Zhen Shicheng dengan hati-hati mengangkat anting mutiara dan mengarahkannya ke sinar matahari. 　　"Apakah kalian semua bisa melihat perbedaan pada mutiara ini sekarang?" 　　Mutiara yang awalnya biasa-biasa saja tiba-tiba memancarkan kilau pelangi ketika diterpa sinar matahari, warnanya berubah-ubah seiring putaran jari Zhen Shicheng. 　　Pangeran Lu menarik napas tajam dan berseru: "Ini adalah Jiaozhu!" 　　Barang ini sangat mahal! Macan betina di rumahnya punya sepasang, menghabiskan banyak uang perak! 757.BAB 754 Identitas Tulang-Belulang 　　BAB 754 Identitas Tulang-Belulang 　　Pernah suatu masa, putri bangsawan ibu kota tren memakai perhiasan berhias Jiaozhu. 　　Benda ini berasal dari luar negeri dan sangat berharga, membuat Pangeran Lu sangat terkesan. 　　Bagaimana tidak? Uang yang dikeluarkannya membuatnya sakit hati sampai beberapa hari tidak tebal makan daging. 　　Begitu Pangeran Lu menyebut "Jiaozhu", Pangeran Qin dan yang lain langsung paham. 　　Tidak heran, istri-istri mereka juga pernah boros membeli perhiasan Jiaozhu. 　　Pangeran Lu menjelaskan pada Pangeran Xiang: "Adik Kedelapan, mungkin hanya kau yang tak tahu. Ini bukan mutiara biasa, harganya selangit. Pelayan istanamu saja tak mampu, apalagi kita yang harus mengeluarkan uang..." 　　Wajah Pangeran Xiang memucat kemudian membiru, lalu memucat lagi. Ia hampir saja mencekik Pangeran Lu. 　　Apa salahnya tak menikah? Apakah dia mencuri istri Lao Wu sampai terus-menerus dihina seperti ini? 　　Lama kemudian, Pangeran Xiang menahan amarah yang berkecamuk: "Tuan Zhen benar-benar memiliki mata yang tajam." 　　Zhen Shicheng tersenyum misterius. 　　Bukan karena matanya tajam, istri di keluarganya juga memiliki sepasang anting mutiara terang seperti ini - dibeli dari tabungan rahasianya yang sengaja disembunyikan tapi malah ketahuan. 　　Karena itu, ia memeluk kotak uang yang kosong dengan perih sepanjang malam, untungnya keesokan harinya menemukan kasus pembunuhan yang menghibur hatinya. 　　Siapa Zhen Shicheng? Seorang ahli yang sangat teliti dan mampu memecahkan kasus dengan kemampuan luar biasa. Hampir semua yang pernah dilihatnya akan diingat, apalagi benda yang meninggalkan kesan mendalam seperti ini. 　　Ucapannya tadi bertahap membongkar kebohongan pasangan suami-istri ini di depan umum, membuat mereka tak bisa mengelak. 　　Zhen Shicheng memandang pasangan itu dan bertanya tenang: "Sekarang apakah kalian masih yakin anting mutiara terang ini pernah dipakai Ah Cai?" 　　Wanita itu gagap: "Hamba salah lihat sebentar..." 　　Pria itu menghindari kontak mata: "Saya orang kasar, tidak paham hal-hal begini, sekilas benar-benar mengira ini anting putri kami--" 　　Zhen Shicheng menggeleng, berkata pada wanita itu: "Baru saja kau bilang ini anting favorit Ah Cai, masa bisa salah mengenali anting yang setiap hari dipakai putrimu?" 　　"Hamba--" Keringat dingin mengucur di dahi wanita itu, matanya spontan menoleh ke suaminya. 　　Pria itu jauh lebih tenang dibanding istrinya, bersikukuh: "Tuan Besar, kami hanya tidak sengaja salah mengenali." 　　"Jika salah mengenali anting, bagaimana dengan tulang-belulang ini?" 　　Pria itu melirik cepat ke arah mandor di istana pangeran, bersikeras itu adalah A Cai: "Hanya A Cai yang hilang di istana, kalau bukan A Cai lalu siapa? Anting ini kan tidak ditemukan di telinga A Cai, mungkin saja ini milik orang lain yang tidak sengaja tertinggal." 　　Mayat sudah membusuk jadi tulang-belulang, dia tetap ngotot itu putrinya, apa yang bisa dilakukan Tuan Besar yang bijaksana? 　　Sang mandor sudah berjanji, asal identifikasi tulang-belulang ini sebagai A Cai, kelak dia jamin keluarga mereka bakal menikmati kekayaan yang tak ada habisnya. 　　Namun baru saja pria itu selesai bicara, teriakan gembira dari dalam sumur terdengar: "Paduka, kami menemukan sesuatu!" 　　Petugas yang turun ke sumur segera naik ke atas, jarinya menjepit sesuatu dengan hati-hati. 　　Di bawah sinar matahari, mutiara Jiao Zhu yang sudah dibersihkan berkilauan indah - ternyata anting pasangannya. 　　Zhen Shicheng meletakkan kedua anting mutiara Jiao Zhu untuk dibandingkan, setelah beberapa saat ia menegaskan: "Seperti yang terlihat, kedua anting mutiara Jiao Zhu ini memiliki desain serupa, jelas merupakan sepasang." 　　Orang-orang yang berdiri dekat mengangguk setuju. 　　Zhen Shicheng menatap pasangan suami istri itu dengan wajah muram: "Satu anting ditemukan Jenderal Xiaotian di dekat sumur kering, satunya lagi ditemukan petugas di dalam sumur, sementara tulang-belulang diangkat dari sumur kering. Apakah menurut kalian anting mutiara Jiao Zhu ini milik mayat perempuan itu?" 　　Sudah lama berkecimpung di bidang ini, paling benci melihat orang memberikan kesaksian palsu! 　　Kerumunan orang kembali mengangguk. 　　Dalam situasi seperti ini, kalau masih menyangkal kepemilikan anting mutiara Jiao Zhu oleh mayat, jelas itu cuma alasan ngeles belaka. 　　“Anting mutiara ini adalah milik mayat perempuan. Kalian tidak punya kemampuan membeli perhiasan mutiara untuk putri kalian. Masihkah kalian bersikeras bahwa mayat ini adalah putri kalian, Acai?” Zhen Shicheng menatap pasangan suami istri itu dengan senyum samar. 　　“Ini—” Pasangan itu tertegun, tak sengaja melirik ke arah mandor istana pangeran. 　　Bibir mandor istana pangeran gemetar, ia menundukkan pandangan dan tidak berani bersuara. 　　Pangeran Xiang mengepal tangan diam-diam, dalam hati mengumpat ibu. 　　Zhen ini benar-benar licik dan berpengalaman, sungguh menjengkelkan! 　　Khawatir ketahuan, Pangeran Xiang berdehem ringan: “Mayat ini mungkin memiliki identitas lain. Tugas Paduka Zhen untuk menyelidiki siapa sebenarnya.” 　　Meski bukan Acai, bukankah anting mutiara bukan hanya milik Cui Mingyue? Mungkinkah Zhen bisa melacak sampai ke perempuan hina itu? 　　Yu Jin yang tak jauh dari Pangeran Xiang melirik Zhen Shicheng dengan santai. 　　Sepasang anting mutiara ini sebenarnya bukan yang dipakai Cui Mingyue saat kabur, melainkan sengaja dia lemparkan ke sini. 　　Setelah membunuh Cui Mingyue, Pangeran Xiang membersihkan jejak dengan rapi—hanya menyisakan baju dalam tanpa sepatu maupun perhiasan. Untuk mengantisipasi identifikasi mayat di kemudian hari, Yu Jin menyusup ke kamar pengantin dan menaruh anting ini di lokasi penyimpanan mayat. 　　Selain itu, mestinya ada sebuah giok yang menjadi bukti identitas asli Cui Mingyue. 　　“Anak buah Zhen Lao Tou terlalu tidak kompeten, sampai sekarang masih belum menemukan giok. Jika begini terus, dia terpaksa mengerahkan Er Niu.” 　　Hanya saja, jika belum benar-benar terdesak, dia tidak ingin melakukan itu. 　　Tulang-belulang ditemukan oleh Er Niu. Jika barang bukti kunci juga ditemukan oleh Er Niu, dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan. 　　Lebih baik dia menunggu lagi. 　　Di bawah tekanan Pangeran Xiang, Zhen Shicheng justru semakin tenang: "Sebelumnya Paduka mengatakan di istana pangeran tidak ada wanita berstatus terhormat, namun mayat perempuan ini jelas bukan dari kalangan rendahan. Bisakah Paduka jelaskan mengapa mayat ini ada di sini?" 　　Wajah Pangeran Xiang berubah: "Bagaimana hamba tahu? Mungkin ada budak anjing yang nekat membunuh wanita keluarga bangsawan dan menyembunyikan mayatnya di sini." 　　"Begitukah?" Zhen Shicheng mengusap kumisnya, diam-diam merapikan ujung kumis yang kusut dengan kelingking. "Jika ada wanita keluarga terhormat yang hilang, seharusnya dilaporkan ke pihak berwajib." 　　Pangeran Xiang tersenyum: "Belum tentu. Jika keluarga tersebut merasa hal itu akan merusak reputasi, mungkin mereka akan menutupinya dengan alasan meninggal karena sakit. Lagipula, jika seseorang hilang, siapa yang bisa membedakan apakah dia dibunuh atau kabur?" 　　"Paduka sangat memahami hal-hal seperti ini." 　　Pangeran Xiang mengerutkan kening: "Hamba hanya menganalisis berdasarkan fakta." 　　Zhen Shicheng menunduk memandang tulang-belulang, berdesah pelan: "Hamba tidak tahu apakah ada keluarga yang menutupi hilangnya anggota wanita mereka. Tapi tentang putri bangsawan yang hilang, hamba teringat seseorang." 　　Pupil Pangeran Xiang tiba-tiba menyempit. 　　Pangeran Lu tak sabar bertanya, "Paduka Zhen, siapa yang Anda maksud?" 　　Zhen Shicheng mengucapkan kata demi kata, "Putri Rongyang dan putri Jenderal Cui Xu - Nona Cui Mingyue." 　　Kerumunan orang langsung gempar. 　　"Tidak mungkin! Paduka Zhen mengira tulang-belulang ini milik Cui Mingyue?" Pangeran Lu menunjuk tulang di tanah dengan wajah tak percaya. 　　Sementara Pangeran Qi mengamati perubahan ekspresi Pangeran Xiang yang tiba-tiba berubah, hatinya mencekam: Celaka! Reaksi Lao Ba menunjukkan tulang ini pastilah Nona Cui yang hilang! 　　"Paduka Zhen, Anda harus bertanggung jawab atas ucapan ini." Pangeran Xiang yang sudah sadar kembali menunjukkan wajah pucat, menuding tulang di tanah, "Apa buktinya ini adalah Nona Cui?" 　　Zhen Shicheng mengelus kumisnya kebiasaan, lalu berkata perlahan, "Ada." 　　Pembaruan besok seharusnya sore hari. 758.BAB 755: Sang Pengadu Sejati 　　BAB 755: Sang Pengadu Sejati 　　Satu kata sederhana bagai petir di siang bolong, membuat kerumunan orang berdengung di kepala. 　　Zhen Shicheng punya bukti? Mustahil! 　　Setelah gejolak batin hebat, Pangeran Xiang bertanya terburu-buru, "Bukti apa?" 　　Meski hatinya sepuluh ribu kali tak percaya, tetap saja tegang luar biasa. 　　Jika benar tulang ini adalah Cui Mingyue, nasibnya akan celaka. 　　Zhen Shicheng menunjuk tanah, berkata tenang, "Baju dalam yang dikenakan tulang-belulang ini, itulah buktinya!" 　　Pangeran Xiang menatap tulang-belulang di tanah, matanya membelalak penuh keheranan: "Baju dalam sebagai bukti? Tuan Zhen, jangan-jangan Paduka mengarang cerita demi menjaga reputasi sebagai hakim yang ulung." 　　Wajar Pangeran Xiang berkata demikian. Baju dalam yang menempel pada tulang-belulang itu sudah compang-camping dan warnanya tak bisa dikenali akibat lama terpendam di tanah. Sungguh sulit dipercaya ini dianggap sebagai bukti. 　　Yang lain juga bingung, dalam hati mengira Tuan Zhen mungkin sudah gila, menganggap baju dalam yang tersisa di tulang-belulang sebagai bukti. 　　Bahkan tatapan Yu Jin ke arah Zhen Shicheng menjadi lebih tajam. 　　Awalnya ia mengira anak buah Lao Tou Zhen diam-diam menemukan giok itu. Tak disangka bukti yang dimaksud malah sepotong baju dalam. 　　Baju dalam wanita bisa dijadikan bukti? Tak kusangka Lao Tou Zhen ahli dalam hal semacam ini. 　　Zhen Shicheng seperti menangkap sinyal itu. Saat pandangannya bertemu dengan tatapan penuh makna Yu Jin, dadanya sesak menahan amarah. 　　Apa maksud tatapan Pangeran Yan itu? 　　Bocah nakal! Jangan sampai ketahuan! 　　Setelah sesaat terganggu, Zhen Shicheng berjongkok. Dengan tangan yang dilapisi saputangan, ia menjepit baju dalam di tulang-belulang itu dan berkata tegas: "Perhatikan baik-baik. Meski warna baju dalam yang dikenakan jenazah ini sudah pudar dan sebagian telah membusuk, lihatlah bagian ini--" 　　Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana baju dalam pada tulang-belulang itu bisa berubah warna sedemikian rupa, juga tidak peduli bahwa ini adalah mayat perempuan. Dengan jari-jarinya yang mencubit ujung pakaian, ia mengangkatnya perlahan sambil menjelaskan pada kerumunan: "Pola hiasan di sini masih bisa terlihat samar-samar. Alasan bawahannya bisa memastikan tulang-belulang ini milik Nona pertama Keluarga Cui adalah berdasarkan pola-pola ini." 　　Beberapa pangeran yang berdiri dekat berusaha keras membedakan detailnya. Pangeran Xiang bahkan tak berkedip memandangi bagian yang ditunjuk Zhen Shicheng, dan benar-benar melihat garis-garis kabur di tepi pakaian. 　　Persis seperti-- 　　Suara Zhen Shicheng sedikit meninggi: "Ini adalah pola bulan air yang disulam teknik double-sided. Sulitannya rumit, polanya sangat unik." 　　Pangeran Xiang menyeringai dingin membantah: "Anting mutiara Jiao itu sudah cukup membuktikan status sosial mayat ini pasti bangsawan tinggi. Apa istimewanya bisa memakai baju dalam berpola bulan air bersulam double-sided?" 　　Ucapan Pangeran Xiang ini disambut anggukan setuju dari banyak orang. 　　Zhen Shicheng membalik saputangannya, melipatnya rapi sebelum menyimpannya di dada, lalu mengusap-usap sungutnya. 　　Kerumunan teringat fungsi saputangan itu sebelumnya, tak bisa menahan kedutan di sudut bibir. 　　Sehelai saputangan berharga berapa? Sudah dipakai mengusap mayat, masak tidak dibuang saja? 　　Zhen Shicheng menyeringai dingin. Dalam hati ia bergumam: Para pangeran ini benar-benar tak tahu pahitnya dunia manusia. Jika harus membuang saputangan setiap kali menyentuh mayat, berapa banyak yang harus dia buang? Apakah mereka pikir dia tidak perlu menabung dana darurat? 　　"Setelah bergumam dalam hati, Zhen Shicheng tersenyum pada Pangeran Xiang: 'Wanita yang mampu mengenakan baju dalam bordir dua sisi memang tidak sedikit, namun baju dalam seharusnya mengutamakan kenyamanan. Sebagian besar baju dalam orang polos tanpa bordiran, yang menggunakan hiasan pola bulan air bordir dua sisi di pinggiran baju dalam mungkin tidak sampai satu dari seratus.' 　　'Meski begitu, apakah Tuan Zhen langsung memastikan ini adalah Nona pertama Keluarga Cui? Tuan Zhen tidak bisa hanya karena pola bulan air mengandung karakter '' (bulan) yang terkait dengan nama panggilan Nona Cui, lalu membuat kesimpulan sembarangan kan?' Pangeran Xiang menggeleng sambil menyeringai, 'Kalau seperti ini, reputasi Tuan Zhen yang termasyhur itu rasanya tidak sesuai kenyataan!' 　　Sikap agresif Pangeran Xiang justru membuat Zhen Shicheng semakin tenang, sambil membelai sungutnya ia berkata: 'Ini bukan spekulasi, pejabat bawahan ini pernah melihat baju dalam Nona pertama Keluarga Cui.' 　　Begitu kata-kata ini keluar, pandangan kerumunan yang tertuju pada Zhen Shicheng langsung berubah aneh. 　　Apakah Zhen Shicheng pernah melihat baju dalam Cui Mingyue? 　　Hanya Yu Jin yang ekspresinya tetap tenang, di dalam hatinya mulai tersadar. 　　Dulu saat Zhu Ziyu tewas dan Cui Mingyue hilang, Sang Kaisar memerintahkan si tua Zhen untuk menyelidiki diam-diam. Mungkin saat itulah dia melihatnya. 　　Benar saja, Zhen Shicheng langsung melanjutkan: 'Setahun lebih yang lalu, Kaisar memerintahkan pejabat bawahan ini menyelidiki kasus hilangnya Nona pertama Keluarga Cui. Pejabat bawahan ini memeriksa semua hadiah di kamar pengantin, salah satu peti pakaian berisi beberapa set baju dalam. Meski warnanya berbeda-beda, semua memiliki kesamaan yaitu bordiran pola bulan air teknik bordir dua sisi di bagian ujung baju dan lengan!'" 　　“Wajah Pangeran Xiang semakin pucat seiring penuturan Zhen Shicheng.” 　　“Sementara kerumunan lain memandang ke arah Pangeran Xiang dengan ekspresi kompleks.” 　　Pangeran Xiang membuka mulutnya, berusaha membantah: "Itu... itu mungkin kebetulan... Bisakah Tuan Zhen menjamin hanya Nona pertama Keluarga Cui yang memakai baju dalam dengan sulaman seperti ini di dunia?" 　　Zhen Shicheng menggeleng sambil berkata: "Pejabat bawahan tentu tak bisa menjamin. Tapi tulang-belulang ditemukan di sumur yang sudah tidak terpakai di halaman belakang kediaman Paduka, baju dalamnya persis seperti yang dipakai Nona pertama Keluarga Cui, dan Nona Cui sebelumnya pernah bertunangan dengan Paduka lalu membuat Paduka malu... Tempat penyembunyian mayat, bukti material, dan motif semuanya lengkap. Masih bisakah ini disebut kebetulan?" 　　Pangeran Xiang mengepal tinju, otaknya berpikir cepat mencari cara membantah. Tiba-tiba suara antusias kembali terdengar dari dalam sumur: "Paduka, kami menemukan benda lain!" 　　Seorang Petugas segera merangkak keluar dari sumur sambil mengangkat giok kotor. 　　"Serahkan ke sini." Zhen Shicheng segera memerintahkan. 　　Meski kasus ini sebenarnya sudah bisa ditutup, bukti tambahan tentu lebih baik mengingat tersangka bukan orang biasa melainkan seorang pangeran. 　　Zhen Shicheng cepat-cepat mengeluarkan saputangan entah sudah dipakai atau belum, lalu membersihkan giok itu dengan hati-hati. Saat pola asli giok mulai terlihat, teriakan kaget terdengar dan sesosok tubuh terhuyung masuk. 　　"Ini milik adikku!" Teriak orang yang masuk itu dengan suara parau. 　　Kerumunan memperhatikan dan segera mengenali pendatang baru: tak lain adalah Cui Yi, kakak laki-laki Cui Mingyue. 　　“Aslinya Zhen Shicheng sudah diam-diam menyuruh orang untuk memanggil seseorang ketika dia mulai curiga pada tulang-belulang itu.” 　　Adik perempuannya hilang, orangtua meninggal, Cui Yi yang dulunya playboy terkenal di ibu kota seolah tiba-tiba menjadi dewasa. Akhirnya mulai bertingkah layak manusia, setelah satu dua tahun malah menunjukkan sedikit kesuksesan. 　　Saat ini Cui Yi memegang giok itu dengan kedua tangan bergetar, matanya memerah. 　　“Tuan Cui, bisakah kau memastikan ini milik adik perempuanmu?” tanya Zhen Shicheng dengan lembut. 　　Terhadap pengadu, dia selalu ramah, asalkan tidak mengganggu penyelidikan kasus. 　　Cui Yi menggenggam giok itu kuat-kuat, tegas berkata: “Tentu bisa! Giok ini selalu dipakai adikku. Aku kakak laki-lakinya, mana mungkin tidak mengenali!” 　　Zhen Shicheng manggut puas, menatap Pangeran Xiang: “Paduka, sampai sejauh ini, masih ada yang ingin dikatakan?” 　　Sangat membenci kasus tak terpecahkan. Hari ini akhirnya bisa diselesaikan. 　　Karena itu, meski ada kejanggalan tentang penemuan giok di sumur, dia tidak berniat menyelidiki lebih lanjut. 　　Sambil berpikir begitu, Zhen Shicheng melirik Yu Jin dari sudut mata. 　　Yu Jin tersenyum polos dengan sudut bibir terangkat. 　　Sementara Pangeran Xiang menatap tajam giok di tangan Cui Yi sambil mundur pelan-pelan bergumam: “Tidak mungkin... Sudah semuanya dilepas, mana mungkin ada giok...” 　　Cui Yi melesat ke depan dan menghantam Pangeran Xiang dengan satu pukulan, berteriak dengan mata merah: “Kau yang membunuh adikku! Kau yang membunuh adikku!!” 　　Yu Jin tersenyum simpul. 　　Bagus, sekarang tidak berani mendekat lagi. Pelayan istana yang tadinya menonton keramaian sudah tahu perbuatan baik tuannya. 　　Terima kasih untuk hadiah sepuluh ribu koin dari Fengqixiang, terima kasih atas semua hadiah dan vote-nya. 759. BAB 756 Masuk Istana untuk Melapor 　　BAB 756 Masuk Istana untuk Melapor 　　Pangeran Xiang memegang bagian yang dipukul Cui Yi, marah tak terkendali: "Cui Yi, berani-beraninya kau memukul pangeran!" 　　Mata Cui Yi memerah, tinjunya terus menghujam: "Pangeran boleh sembarangan membunuh? Aku akan masuk istana menemui Paman, minta dia berikan keadilan untuk Mingyue!" 　　Setelah mengucapkan itu, Cui Yi langsung berbalik pergi. 　　Pangeran Xiang panik, mengejar sambil berteriak: "Cui Yi, berhenti kau!" 　　Tertinggal selangkah, matanya melihat jarak dengan Cui Yi semakin jauh: "Tahan dia!" 　　Arah yang ditempuh Cui Yi kebetulan mengarah ke tempat Yu Jin berada. 　　Mendengar perintah Pangeran Xiang, Yu Jin bergeser ke samping, dalam sekejap bayangan Cui Yi sudah menghilang. 　　Pangeran Xiang tertegun, gagal mengejar, dengan mata merah menghadap Yu Jin: "Lao Qi, kau sengaja membiarkannya melapor ke Ayah Kaisar, ya?" 　　Sang lawan tersenyum tipis di sudut bibir: "Adik Kedelapan, sadarlah. Jangan mengigau. Apa kau pikir masih bisa menyembunyikan ini dari Ayah Kaisar?" 　　Saat itu, sebuah suara menyela: "Tentu saja tidak boleh menyembunyikan dari Kaisar. Kasus ini adalah perintah Kaisar kepada pejabat bawahan untuk diselidiki. Kini akhirnya terselesaikan, meskipun Tuan Cui tidak memohon audiensi, pejabat bawahan tetap harus masuk istana untuk melapor pada Kaisar." 　　Pangeran Xiang melihat Zhen Shicheng yang tenang, lalu memandang Yu Jin yang juga tenang, rasa panik mulai menjalar: "Kalian——" 　　Dalam keputusasaan, dia refleks menoleh ke Pangeran Qi. 　　Pangeran Qi merasa dadanya berdebar kencang. 　　Lao Ba sedang di ambang kehancuran mental, jika kehilangan kendali akal sehat, jangan-jangan akan menyeretnya ke dalam masalah? 　　Memikirkan ini, niat awal Pangeran Qi untuk menjaga jarak segera sirna. Ia menghibur dengan lembut: "Adik Kedelapan, lebih baik kau mengakui kesalahan dengan tulus pada Ayah Kaisar. Beliau murah hati, hukuman pasti tidak akan terlalu berat..." 　　Tidak memberikan secercah harapan pada Lao Ba adalah hal yang mustahil. 　　"Benarkah?" Mendengar perkataan Pangeran Qi, Pangeran Xiang yang hampir kehilangan kendali diri seolah menggenggam jerami penyelamat, bertanya berulang kali. 　　Pangeran Qi mengangguk pasti. 　　Lagipula berbasa-basi tidak akan mematikan, yang penting Lao Ba tidak mengamuk saat ini. 　　Sementara Pangeran Lu menyeringai, dalam hati berpikir: Lao Ba biasanya tidak terlihat sebodoh ini, masa percaya perkataan Lao Si? 　　Dia hanya memukul Putra Mahkota yang Dipecat beberapa kali, status pangeran kerajaan langsung diturunkan menjadi pangeran. Sedangkan Lao Ba membunuh keponakan perempuan Ayah Kaisar, mana mungkin Beliau akan memaafkan dengan mudah? 　　Pagi ini mendengar burung magpie berkicau sudah menduga ada kabar baik, ternyata terwujud melalui Lao Ba. 　　Saat hukuman Ayah Kaisar turun, akhirnya dia bukan yang terendah lagi. 　　Pada momen ini, Pangeran Lu menghela napas lega, merasakan kelegaan dan kebanggaan yang luar biasa. 　　"Pengawal, bersihkan TKP." Zhen Shicheng memberi perintah sambil menangkupkan tangan ke arah Yu Jin dan yang lain, "Kasus telah terpecahkan, pejabat bawahan pamit undur diri dulu." 　　Dia harus segera melapor ke Kaisar. Mengenai pelaku kejahatan - mengingat statusnya sebagai pangeran, hukuman apa yang pantas menjadi wewenang Kaisar. Tak perlu dia menangkap orang sekarang. 　　Memandang Zhen Shicheng pergi, Pangeran Xiang berlari seperti orang gila ke luar. 　　Dia tak bisa pasrah! Harapannya adalah menemui Ayah Kaisar untuk menjelaskan! 　　Dalam sekejap Pangeran Xiang menghilang dari pandangan, menyisakan para pangeran lain saling pandang bingung. 　　Pangeran Lu menjilat bibirnya, memulai pembicaraan, "Bagaimana kalau kita ikut melihat?" 　　Qin Wang menyeringai pahit, "Hari ini kita semua ada di TKP. Setelah Tuan Zhen melapor ke Ayah Kaisar, pasti kita akan dipanggil untuk pemeriksaan..." 　　Maksudnya: mau tak mau harus pergi juga. 　　Wajah Yu Jin tetap tenang, tak bersuara. 　　Yang juga diam adalah Pangeran Shu dan Pangeran Qi. 　　Pandangan Pangeran Shu melayang dari Anjing Besar di samping Yu Jin, lalu mendarat halus pada Pangeran Qi. Hatinya dipenuhi rasa syukur sekaligus trauma. 　　Tulang-belulang Cui Mingyue ditemukan oleh Er Niu! 　　Mayat yang sudah membusuk tinggal kerangka ini masih bisa ditemukan Er Niu? Kalau dikatakan tak ada campur tangan Lao Qi, sama sekali tak percaya. 　　Untung mendengarkan nasihat Ibu Selir untuk mundur sementara, membiarkan Lao Si dan Lao Qi saling berkelahi dengan kejam. Sekarang terlihat Lao Qi cukup kejam, langsung memutuskan lengan Lao Si saat bertindak. 　　Pada momen ini, Pangeran Shu meneguhkan sebuah pertanyaan: Mulai sekarang harus lebih bersembunyi dan menahan diri. Tanpa persiapan sempurna, jangan pernah berhadapan langsung dengan Lao Qi. Dibandingkan Lao Si yang selalu ingin mengontrol segalanya, Lao Qi yang tidak mengikuti aturan normal jauh lebih menakutkan. 　　Sementara itu, Pangeran Qi dilanda badai hebat dalam hatinya, tenggelam dalam ketakutan yang mendalam. 　　Sudah pasti kejadian hari ini terkait Lao Qi, tapi bagaimana dia bisa tahu Cui Mingyue dibunuh Lao Ba dan mayatnya disembunyikan di sumur yang tidak terpakai? 　　Jika Lao Qi sudah tahu sejak Cui Mingyue hilang, lalu membongkar kasus ini sekarang untuk menjeratku, akal seperti ini sungguh mengerikan. 　　Memandang wajah muda yang tanpa ekspresi dan memiliki sedikit kemiripan dengannya, Pangeran Qi merasakan teror yang mendalam. 　　Ruang Studi Kekaisaran. 　　Kaisar Jingming meletakkan gulungan buku, menggosok sudut matanya. 　　Pan Hai yang melihat gerakan Kaisar langsung merasa tegang. 　　Jangan-jangan kali ini Kaisar bertanya lagi: Kedutan mata kiri pertanda bencana atau mata kanan? 　　Beruntung kali ini Kaisar tidak menyulitkan orang kepercayaan lamanya, hanya bertanya: "Apakah mereka semua sudah pergi ke Istana Pangeran Xiang?" 　　Pan Hai buru-buru menjawab: "Benar, semua Pangeran sudah pergi." 　　Kaisar Jingming mengangguk puas. 　　Beberapa bocah itu cukup baik, tidak menghindar saat Lao Ba dalam kesulitan. Masih ada sedikit ikatan persaudaraan di antara mereka. 　　Dalam pandangan Kaisar Jingming, meskipun Pangeran Xiang membuat malu besar dalam pesta ulang tahun Janda Permaisuri, bahkan membuatnya geram karena mengincar status putra Permaisuri, namun kekacauan akibat kemabukan pemuda yang sedang dilanda kesedihan adalah hal yang wajar. 　　Bagaimanapun ini anaknya sendiri, masa bisa dibuang begitu saja meski dijauhi? 　　Setelah dihukum dan didiamkan saja, jika si brengsek ini menunjukkan perkembangan di masa depan, masih mungkin diberikan wajah ramah kembali. 　　Pada saat seperti ini, Kaisar Jingming bisa memahami sikap pejabat militer-sipil yang menjauhi Pangeran Xiang, namun jika ini terjadi pada putra lainnya, pasti akan dianggap berhati dingin. 　　Performa beberapa pangeran hari ini jelas membuat Kaisar tua ini cukup puas. 　　Tiba-tiba, seorang pelayan istana melapor: "Kaisar, Prefect Shuntian dan Tuan Cui mohon audiensi." 　　Mendengar sebutan Prefect Shuntian, alis Kaisar Jingming berkedut halus. 　　Lao Zhen? 　　Belakangan ini tak ada kasus besar, untuk apa Lao Zhen mencarinya? 　　Adapun Tuan Cui, karena teralihkan oleh nama Zhen Shicheng, Kaisar Jingming sempat lupa siapa yang dimaksud. 　　Setelah merenung sebentar, Kaisar Jingming berkata: "Persilakan masuk." 　　Tamu lain mungkin bisa ditolak, tapi jika ini Lao Zhen si maniak kasus, pasti harus diterima. 　　Tak lama kemudian, Kaisar Jingming menyambut Zhen Shicheng berjanggut lebat dan Cui Yi yang matanya kemerahan. 　　"Yi'er, kenapa kau di sini?" Kaisar terkejut melihat Cui Yi. 　　Cui Yi tiba-tiba bersujud, suaranya parau: "Kaisar, mohon berikan keadilan untuk Mingyue!" 　　Seorang playboy yang dulu semena-mena merangkak di lantai, merasakan kekejaman dunia, bahkan panggilan "Paman" pun tak bisa terucap. 　　Dia adalah keponakan Kaisar, cucu yang namanya diingat oleh Janda Permaisuri, dulu bisa masuk istana dengan bebas. Tapi tadi saat ingin menghadap, dihalangi di pintu gerbang, baru bisa masuk setelah mengikuti Tuan Zhen yang datang kemudian. 　　Kaisar Jingming semakin terkejut, tubuhnya condong ke depan: "Yi, bangun dan jelaskan! Apa maksudmu 'membela Mingyue'?" 　　Cui Yi mengangkat kepala, matanya yang gagah berlinang air mata: "Paduka, Mingyue bukan hilang, tapi dibunuh oleh Pangeran Xiang!" 　　Para gadis jangan lupa vote, dilarang bertengkar. 760. BAB 757 Kecurigaan 　　BAB 757 Kecurigaan 　　Tangan Kaisar Jingming yang memegang pemberat kertas giok putih tanpa sadar menggenggam erat. 　　Cuaca semakin hangat. Kaisar Jingming yang tak tahan panas sudah menyuruh pelayan istana menyingkirkan brazier dari ruang studi kekaisaran. Kini saat menyentuh pemberat kertas yang licin, terasa dingin menusuk, seolah mencerminkan perasaannya saat ini. 　　Apakah pendengarannya salah? Cui Yi bilang Cui Mingyue dibunuh Lao Ba? 　　Menarik napas dalam, Kaisar Jingming memaksakan ketenangan: "Yi, dari mana kau dengar kabar ini?" 　　Setelah menjadi yatim piatu, anak ini lama tidak terlihat. Jangan-jangan terpengaruh bujukan jahat, dapat kabar burung dari mana? 　　Mata Cui Yi memerah, suaranya bergetar: "Bukan dengar kabar, tapi melihat langsung tulang-belulang Mingyue di Istana Pangeran Xiang!" 　　“Apa?” Kaisar Jingming sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini, pemberat kertas giok putih di tangannya hampir terlempar. 　　Ia segera menatap Zhen Shicheng, berseru keras: "Zhen Aiqing, jelaskan detailnya dengan rinci!" 　　Pada titik ini, meski enggan mengakui, Kaisar Jingming sudah mulai mempercayai perkataan Cui Yi. 　　Jika Cui Yi hanya mendengar kabar angin, Zhen Shicheng takkan ikut masuk istana bersamanya. 　　Zhen Shicheng memberi hormat kepada Kaisar Jingming: "Paduka, belum lama ini hamba menerima laporan dari Istana Pangeran Xiang tentang penemuan tulang-belulang di sumur tua oleh beberapa pangeran--" 　　Mendengar kata "beberapa pangeran", alis Kaisar berkedut. Tangan yang memegang pemberat giok putih menunjuk Zhen Shicheng: "Lanjutkan!" 　　Zhen Shicheng ragu-ragu menyelinap mundur beberapa langkah. 　　Konon pemberat kertas di Meja Naga sudah beberapa kali diganti. Saat ini Sang Kaisar memegang erat pemberat itu, membuat suasana mencekam. 　　Dengan kekhawatiran tersembunyi, Zhen Shicheng melanjutkan: "Hamba segera memimpin tim untuk--" 　　"Ke intinya!" Kaisar mengayunkan pemberat kertas seolah hendak melempar. 　　Lao Zhen ini biasanya sigap, hari ini kenapa bicara bertele-tele? 　　Zhen Shicheng buru-buru menceritakan investigasi di Istana Pangeran Xiang. Saat bagian dramatis, kumisnya bergetar membuat Pan Hai di belakang takhta menunduk diam-diam. 　　Saat membahas kasus, Tuan Zhen terlalu larut. Tidakkah dia mempertimbangkan perasaan Sang Kaisar? 　　Pan Hai mulai merasa cemas memikirkan hal ini. 　　Sial! Pelakunya adalah anak lelaki Kaisar. Kedepannya, para pelayan dekat seperti dirinya akan menghadapi hari-hari sulit. 　　Meski Kaisar bukanlah penguasa kejam yang mudah menghabisi nyawa orang, seorang kaisar yang sedang murung pasti akan menjadi lebih rewel sekalipun biasanya berwatak baik. 　　Seperti kasim kepala bagian administrasi itu, yang biasanya bersikap rendah hati di hadapannya selaku kasim pemegang kuas, tapi setiap bulan pasti ada beberapa hari berani melawan. 　　Tapi dia bermurah hati, malas berdebat dengan perempuan. 　　Setelah mendengar Zhen Shicheng bercerita penuh semangat selama dua shichen penuh, Kaisar Jingming bertanya dengan suara dingin: "Sudah selesai?" 　　Zhen Shicheng tersentak sadar. Dalam hati ia menjerit: Aduh! Terlalu asyik menikmati penyelesaian kasus tak terpecahkan ini, sampai lupa mempertimbangkan posisi Kaisar... 　　Ia segera membungkuk hormat kepada Kaisar Jingming, berusaha menjaga suaranya tetap datar: "Demikianlah faktanya, mohon Kaisar memutuskan dengan bijak--" 　　Kaisar Jingming terdiam dengan wajah pucat membara. 　　Dalam hal investigasi kasus, di seluruh Dinasti Zhou dia paling mempercayai Lao Zhen. Tapi sampai saat ini, jika Lao Zhen bilang Pangeran Kedelapan bukan pelaku sebenarnya pembunuhan Cui Mingyue, bahkan dirinya sendiri tak bisa meyakini. 　　Saat suasana semakin mencekam, seorang pelayan istana kembali melapor: "Paduka, Pangeran Xiang mohon audiensi." 　　Kaisar Jingming membanting Meja Naganya: "Tolak!" 　　Pelayan yang pergi menyampaikan pesan segera kembali: "Paduka, beberapa pangeran lainnya juga datang." 　　Kaisar Jingming awalnya ingin menolak semuanya. Tapi teringat semua anak lelakinya hadir saat kejadian, timbul secercah harapan di hatinya. Akhirnya dia mengubah keputusan: "Persilakan mereka masuk bersama Jenderal Xiaotian." 　　“Tidak lama kemudian pelayan istana bergegas menyampaikan pesan lisan Kaisar Jingming.” 　　Pangeran Xiang menyaksikan beberapa orang masuk bersama pelayan istana, bahkan ada seekor anjing mengikuti di belakang, tapi hanya dia yang ditinggalkan di luar. Seketika tubuhnya limbung, wajahnya pucat pasi. 　　Wajah Kaisar Jingming juga tak kalah masam. Matanya menyapu anak-anaknya yang masuk, lalu terpaku pada Anjing Besar. 　　Melihat hal ini, sang Kaisar tua hampir tak mengenali. Sudut matanya menangkap bayangan bulat kucing putih Jixiang, barulah ia tersadar. 　　“Tulang-belulang itu ditemukan oleh Er Niu?” 　　Beberapa pangeran mengangguk serempak. 　　Kaisar Jingming kembali menanyakan beberapa detail, akhirnya bertanya pada Yu Jin: “Lao Qi, kenapa kau mengajak Er Niu saat mengunjungi Lao Ba?” 　　Peran Er Niu dalam membongkar kepura-puraan amnesia Putra Mahkota yang Dipecat dulu, serta kehadiran Yu Jin yang membawa anjing itu ke istana. Kembali terulangnya nasib sial Pangeran Xiang kali ini, membuat Kaisar Jingming mulai menaruh curiga. 　　Meski raut wajahnya tak memperlihatkan, di kedalaman mata sang Kaisar tersimpan sorotan penuh selidik. 　　Pangeran Lu yang tak menyadari hal ini langsung menyambar: “Ayah Kaisar, ini anak yang membawa Er Niu!” 　　Kaisar Jingming tertegun, pikirannya sesaat kosong. 　　Jangan-jangan dia salah ingat, Er Niu sebenarnya milik keluarga Lao Wu? 　　Pangeran Qi dan Pangeran Shu serentak menunduk, dalam hati sepakat: Cari kesempatan untuk menghajar Lao Wu. 　　Tindakan Yu Jin belakangan ini menimbulkan rasa krisis yang mendalam pada kedua orang itu. Baru saja Kaisar Jingming mulai mencurigainya, ternyata Pangeran Lu buru-buru mengambil alih masalah ini. Sungguh membuat mereka geram. 　　Pangeran Lu sama sekali tidak memikirkan perasaan Pangeran Qi dan Pangeran Shu saat ini. Bahkan jika dia menyadarinya, dia tidak akan peduli. Dengan semangat dia berkata: "Hari ini hamba bermaksud mengunjungi Adik Kedelapan, lalu mengajak Adik Ketujuh bersama——" 　　"Kau pergi ke tempat Lao Qi?" Kaisar Jingming memotong ucapan Pangeran Lu. 　　Pangeran Lu mengangguk, lalu melanjutkan: "Kemudian hamba melihat Er Niu. Karena hamba kasihan melihat Er Niu kesepian, hamba ajak dia ikut." 　　Tulang berisi daging yang enak tidak digigit, malah menggigit ujung celananya. Jelas ini pertanda dia sedang bosan. Perkataannya sama sekali tidak salah. 　　Mendengar penjelasan Pangeran Lu, keraguan yang muncul di hati Kaisar Jingming perlahan menghilang. Pandangannya beralih ke Er Niu. 　　"Jika tulang-belulang di sumur sudah menjadi kerangka, bagaimana mungkin Er Niu bisa menemukannya?" 　　Setelah mengucapkan ini, pandangannya tertuju pada wajah Yu Jin. 　　Yu Jin dengan tenang memberi hormat kepada Kaisar Jingming: "Mungkin Er Niu memiliki bakat istimewa. Dulu saat hamba membawanya ke Kabupaten Qianhe untuk menangani bencana, dialah yang lebih dulu merasakan akan terjadi gempa di Kota Jinli, sehingga menyelamatkan seluruh penduduk..." 　　Kaisar Jingming kembali memandang Er Niu. 　　Er Niu sepertinya menyadari dirinya diragukan. Tiba-tiba dia mengibaskan ekor dan berjalan menuju Meja Naga. 　　"Berhenti!" Pan Hai takut Er Niu melukai Kaisar, berteriak keras. 　　“Er Niu benar-benar berhenti, menatap Kaisar Jingming dengan sedih sambil menggonggong dua kali.” 　　Kaisar Jingming yang awalnya tegang langsung tenang melihat ini, lalu melambaikan tangan: "Lihat apa yang dilakukan Er Niu." 　　“Kaisar——” 　　Kaisar Jingming melirik Yu Jin, berkata datar: "Tidak masalah, ada Pangeran Yan di sini." 　　Jika benar digigit Er Niu, dia pasti akan menagih utang pada Lao Qi. 　　Di bawah sorotan kerumunan, Er Niu mengangkat kedua kaki depan ke tepi meja, mengendus-endus tumpukan memorial dengan moncongnya. 　　Semua orang terkejut: Apa yang dilakukan Er Niu? 　　Kaisar Jingming yang awalnya membeku tiba-tiba tersadar, berteriak: "Mundur!" 　　Anjing besar yang mengubur moncongnya di tumpukan memorial mengangkat kepala, menatap Kaisar dengan polos. 　　Sebuah buku jatuh dari mulut anjing, mendarat di depan kerumunan. 　　Pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatan, Bagian kedua diperkirakan malam hari. 761.BAB 758 Berkelahi 　　BAB 758 Berkelahi 　　Buku yang jatuh di lantai memperlihatkan beberapa huruf besar: Jinping Zhuan. 　　《Jinping Zhuan》adalah buku cerita paling populer di ibu kota belakangan ini, diterbitkan oleh toko tua Liuchuhua Zhai, bercerita tentang putri bangsawan yang keluarganya mengalami kemalangan, hidup dalam kesulitan, kemudian membangun kembali kejayaan keluarga melalui keterampilan menyulamnya yang luar biasa, dan akhirnya menikah dengan seorang bangsawan biasa berkat karya penyekat ruangan sulamannya yang spektakuler. 　　Buku cerita ini dengan alur yang berliku, konsep yang inovatif, emosi yang intens... berbagai kelebihan dengan cepat memikat banyak penggemar buku cerita. Konon, Toko Bunga Liuchu kini sudah kehabisan stok. 　　Kaisar Jingming terdiam, kerumunan juga terdiam. Hanya Pan Hai yang bereaksi paling cepat, melesat dengan posisi seperti harimau kelaparan dan menindih buku cerita yang jatuh ke lantai dengan tubuhnya. 　　Saat itu, ruangan sunyi senyap hingga jarum jatuh pun terdengar. Bahkan Er Niu yang mengambil buku cerita dari tumpukan dokumen dan Jixiang yang biasanya acuh tak acuh, ikut terpaku oleh aksi Pan Hai. 　　Pandangan kerumunan beserta seekor anjing dan kucing tertuju pada Pan Hai. 　　Pan Hai sungguh layak dijuluki Kasim Pemegang Kuas sekaligus Kepala Dongchang, orang kepercayaan utama Kaisar Jingming, Tuan Pengawas yang disegani para pelayan seperti Xiao Lezi, kasim berhati mulia di mata pegawai wanita - penuh perhatian, cerdik, disiplin, toleran... kelebihannya melebihi buku cerita baru "Legenda Jinping". 　　Pada momen ini, semua kelebihannya terpancar sempurna. 　　Dengan gesit Pan Hai bangkit, tanpa terasa telah menyelipkan buku cerita ke dalam lengan bajunya. Dengan wajah panik dia berkata: "Jangan khawatir Yang Mulia, laporan dari Marquis Beiding tidak rusak. Hamba akan menyimpannya dengan aman agar Jenderal Xiaotian yang tak tahu sopan santun tidak merusaknya--" 　　Sampai di sini, Pan Hai melirik Yu Jin dan mengingatkan: "Harap Pangeran Yan menahan Jenderal Xiaotian. Meski dia Anjing Sakti, tetap berbeda dengan kita yang memahami pentingnya dokumen-dokumen ini..." 　　Dia curiga anjing ini sudah jadi siluman, tumpukan dokumen laporan setinggi gunung, bagaimana bisa buku cerita itu ditemukan? 　　Setiap kali Kaisar menyembunyikan buku ceritanya, bahkan dia sendiri tak bisa menemukannya secepat ini... 　　Yu Jin sebenarnya juga tidak menyangka Er Niu bisa menunjukkan performa "heroik" seperti itu, langsung mengambil kesempatan dan berteriak, "Er Niu, cepat ke sini! Kalau masih usil, kau akan kulempar keluar!" 　　Hati Kaisar Jingming berdebar-debar, tapi wajahnya tetap tenang sambil melirik Pan Hai: "Simpan saja dengan rapi." 　　Jika tadi dia masih meragukan kemampuan Er Niu menemukan tulang belulang di sumur tua rumah Pangeran Kedelapan, sekarang keraguan itu sirna. 　　Anjing Sakti ini bahkan bisa menemukan buku cerita yang disembunyikan Kaisar, apa lagi yang tak bisa dilakukannya? 　　Kaisar Jingming memandangi kerumunan dengan tatapan lambat. 　　Setiap pangeran yang terkena tatapan ayahnya menundukkan kepala, sementara Zhen Shicheng berusaha mati-matian menahan dorongan untuk bicara. 　　Kebiasaan buruknya ini—langsung ingin membongkar kebohongan begitu mendengar orang berbohong... 　　Kaisar Jingming hampir kehilangan muka tua di depan anak-anaknya. Memikirkan kasus Pangeran Xiang, hatinya semakin sesak. 　　Brengsek-brengsek ini semua merepotkan! Dulunya dia mengira Lao Ba sebagai putra bungsu pasti takkan membuat masalah. Siapa sangka, meski tak punya ambisi merebut tahta, anak durhaka ini malah membunuh—itu pun anak perempuan bibinya sendiri! 　　Meskipun Cui Mingyue sudah lama kehilangan restu kekaisaran, tidak menyukai keponakan perempuan ini adalah satu hal, tetapi anak lelakinya sendiri yang membunuh sang keponakan adalah hal lain, apalagi Putri Rongyang sudah tiada. 　　Jika Ibu mengetahuinya--Kaisar Jingming langsung merasa pusing begitu memikirkan kemungkinan ini. 　　Ketakutan datang tepat saat Kaisar Jingming baru saja memikirkan hal itu, Istana Cining mengirim utusan untuk memanggil. 　　Hati Kaisar Jingming tiba-tiba berat, meninggalkan kerumunan di ruang belajar dan buru-buru menuju Istana Cining. 　　Melihat Kaisar pergi, Pangeran Lu berbisik: "Apa kita masih harus menunggu di sini?" 　　Pangeran Qi tidak ingin berbicara dengan Pangeran Lu, Pangeran Shu juga demikian. 　　Pangeran Qin yang terbiasa rendah hati, melihat tidak ada yang berbicara pun diam. 　　Pangeran Lu sama sekali tidak sadar sedang dijauhi saudara-saudaranya, tersenyum pada Yu Jin: "Adik ketujuh, Er Niu-mu benar-benar hebat, tadi bahkan bisa--" 　　"Ahem! Ahem!" Beberapa suara batuk bersahutan. 　　Pangeran Lu menatap Pangeran Qi yang batuk paling keras, mencibir tak puas. 　　Tadi pura-pura bisu, sekarang batuk-batuk. Kira cipratan ludah tidak akan beterbangan? 　　Pangeran Qi khawatir Pangeran Lu akan menyeret mereka semua, berbisik: "Adik kelima, ini ruang studi kekaisaran, lebih baik kita sedikit bicara." 　　Pangeran Shu menambahkan: "Benar, Ayah Kaisar sedang murung, Adik Kedelapan masih menunggu di luar istana." 　　Mereka tidak buta, siapa yang tidak melihat tiga huruf besar "Jin Ping Zhuan"? Tapi kalau terang-terangan menyebutkannya, ke mana muka Ayah Kaisar akan disimpan? Jika marah, bukan hanya Lao Ba, mungkin semua mereka tidak akan luput dari hukuman. 　　Melihat ekspresi acuh tak acuh Pangeran Lu, Pangeran Shu tiba-tiba tersadar: Jangan-jangan Lao Wu ingin menjerumuskan semua orang hingga sama-sama dihukum, lalu diturunkan menjadi pangeran kabupaten untuk menemaninya? 　　Tidak tahu malu, benar-benar tidak tahu malu! 　　Hiss——Mungkin maksud Lao Wu membawa Er Niu ke kediamanan Lao Ba adalah untuk membuat onar. Lagipula Er Niu bukan anjing peliharaannya, untuk apa ia repot-repot mengajak jalan anjingnya Lao Qi? 　　Memikirkan hal ini, Pangeran Shu mulai meningkatkan kewaspadaannya terhadap Pangeran Lu. 　　Harus waspada terhadap Lao Qi, juga harus hati-hati dengan Lao Wu, apalagi Lao Si yang berpura-pura baik tak boleh diabaikan. Merenungkan semua ini, menjadi pangeran memang melelahkan, apalagi posisi calon penguasa. Tidak heran Putra Mahkota yang Dipecat akhirnya jatuh setelah duduk di posisi itu selama tiga puluh tahun, hancur tulangnya... 　　Memikirkan ini, Pangeran Shu semakin yakin dengan tekadnya: Tetap rendah diri dan sabar, jika ada kesempatan bisa berusaha merebut, jika tidak menemukan peluang maka jalani hidup dengan baik... 　　Di ruang studi kekaisaran, kerumunan sedang sibuk dengan pikiran masing-masing ketika tiba-tiba mendengar suara kucing dan anjing. Ternyata Er Niu dan Jixiang tanpa disadari telah mulai berkelahi. 　　Kucing putih gemuk namun lincah itu menerjang, anjing besar mengulurkan cakar berdagingnya dan memukulnya hingga terpelanting. 　　Kucing putih tak kenal menyerah menyerang lagi, tapi kembali dipukul terbang oleh Anjing Besar. 　　Setelah berulang kali begini, akhirnya Er Niu dengan wajah kesal menekan Jixiang menggunakan cakar depan, tidak memberi kesempatan lawan untuk memprovokasi. 　　Xiao Lezi yang menunggu di pintu ruang studi kekaisaran hampir menangis, berteriak gemetar: "Jenderal Xiaotian, jangan sakiti kucing itu, jangan sakiti--" 　　Mendengar teriakan Xiao Lezi, kucing putih seolah merasa terhina, langsung menyambar Er Niu. 　　Er Niu yang pernah berjuang di medan perang mana mungkin terluka oleh kucing gemuk manja, dengan kibasan cakarnya, seberkas cahaya putih melintas di depan kerumunan, kucing besar itu jatuh ke tumpukan dokumen memorial. 　　"Guk!" Er Niu menggonggong ke arah Yu Jin, penuh cibiran. 　　Kenapa tidak boleh disakiti? Dia juga punya majikan! 　　Kucing putih yang terperosok dalam tumpukan dokumen mengeluarkan suara 'meong', untuk pertama kalinya merindukan majikannya yang pergi. 　　Sementara itu, Kaisar Jingming sudah tiba di Istana Cining, bertanya lembut pada Janda Permaisuri: "Ibu memanggil anak lelaki ini ada keperluan apa?" 　　Janda Permaisuri memutar tasbih perlahan, ekspresinya tak terbaca: "Hamba dengar Pangeran Xiang sedang menunggu di luar. Apakah Kaisar masih marah tentang insiden di pesta ulang tahun itu?" 　　Kaisar Jingming tertegun. 　　Bagaimana ibu tahu Lao Ba sedang menunggu di luar? 　　Mohon maaf menunggu lama. Update besok seharusnya sore, minggu-minggu ini benar-benar sibuk sekali. 762.BAB 759 Tekanan dari Janda Permaisuri 　　BAB 759 Tekanan dari Janda Permaisuri 　　Janda Permaisuri seolah telah menduga kebingungan Kaisar Jingming, tersenyum tipis: "Orang yang baru kembali tadi kebetulan melihat Pangeran Xiang di depan pintu gerbang istana, memberitahu hamba." 　　Kaisar Jingming tersadar. 　　Orang-orang di Istana Cining sesekali keluar istana untuk menyumbangkan minyak lampu Buddha ke kuil kerajaan atas nama Janda Permaisuri, kebetulan hari ini mereka menyaksikan kejadian itu. 　　Janda Permaisuri menasihati dengan sungguh-sungguh: "Pemuda pasti pernah melakukan kesalahan, apalagi dalam keadaan mabuk, Kaisar janganlah mempermasalahkan Pangeran Xiang." 　　Kaisar Jingming menatap kerutan di sudut mata Janda Permaisuri, membuka mulut tapi bingung bagaimana mengatakannya. 　　Kematian Rongyang masih disembunyikan dari Janda Permaisuri, jika membongkar kasus Lao Ba membunuh Cui Mingyue, kematian Rongyang mungkin tak bisa ditutupi lagi. 　　Saat Kaisar Jingming berpikir demikian, tiba-tiba Janda Permaisuri menghela napas: "Setiap kali memikirkan anak itu, hamba teringat Mingyue. Seandainya dulu Mingyue bisa menerima takdirnya, mungkin sekarang sudah menjadi cucu menantu hamba, bahkan sudah punya cicit..." 　　"Benar--" Kaisar Jingming tertawa kaku, jantungnya berdebar ketakutan. 　　Janda Permaisuri berhenti memutar tasbih, wajahnya terlihat sedih: "Entah bagaimana keadaan Rongyang sekarang. Setelah diturunkan jadi rakyat biasa, putrinya pun hilang, pasti hidupnya sulit ya?" 　　Kaisar Jingming semakin gugup, tak berani bersuara sedikitpun. 　　Janda Permaisuri melihat Kaisar Jingming diam, tersenyum kecut pada diri sendiri: "Hamba seharusnya tidak mempersulit Kaisar. Pangeran yang melanggar hukum setara dengan rakyat biasa. Rongyang telah berbuat kesalahan, pantas menerima hukuman. Hanya saja dia dibesarkan oleh hamba, sudah lama tidak bertemu, hati ini rindu..." 　　Telapak tangan Kaisar Jingming mulai berkeringat. 　　Dia sungguh-sungguh berbakti pada Janda Permaisuri. Sulit dibayangkan apakah Janda Permaisuri akan terpukul mengetahui kabar kematian Rongyang. Pada usianya ini, sekali mendapat pukulan bisa jatuh sakit— 　　Semakin dipikir, Kaisar Jingming semakin yakin untuk terus menyembunyikan kebenaran dari Janda Permaisuri. 　　"Cukup. Hamba sudah tua, hanya menggerutu sebentar. Kaisar boleh melanjutkan urusan." 　　Kaisar Jingming hampir tak sabar berdiri: "Kalau begitu anak pamit dulu, nanti akan datang lagi menemui Ibu." 　　Janda Permaisuri mengangguk perlahan. Setelah Kaisar Jingming pergi, meraih cangkir teh di meja kecil, membuka tutupnya dan meniup lembut daun teh yang mengapung. 　　Sebelum Qingming tiba, Istana Cining sudah mengganti teh baru. 　　Teh sebelum Qingming, semahal emas. Semua barang yang masuk Istana Cining tentu yang terbaik. 　　Wajah Janda Permaisuri tak berekspresi melihat tunas teh yang tegak berdiri dalam cangkir, jarinya mengerat cangkir dengan kuat. 　　Kaisar Jingming yang berjalan kembali dari Istana Cining melangkah cepat bagai dikejar harimau. Saat hampir tiba di ruang studi kekaisaran, terdengar suara anjing dan kucing disusul teriakan khas pelayan istana. 　　Kaisar Jingming berhenti melangkah, tak bisa menahan kerutan di dahinya. 　　Hatinya sudah kesal sebelumnya, baru pergi sebentar saja, ada masalah apa lagi ini? 　　Pan Hai yang melihat perubahan ekspresi kaisar langsung berlari ke ruang studi kekaisaran sambil memarahi, "Xiao Lezi, kau sengaja membuat masalah ya?" 　　Saat tiba di pintu ruang studi dan melihat situasi di dalam, kewibawaan kasim pembawa kuas itu langsung lenyap, hanya tersisa wajah terpana. 　　Kaisar Jingming menggeser Pan Hai, akhirnya melihat jelas pemandangan di dalam: Seekor kucing gemuk sedang bergulat di tumpukan laporan resmi di atas Meja Naga, sesekali menjatuhkan laporan ke lantai. Xiao Lezi berteriak panik sambil berusaha menyelamatkan dokumen-dokumen yang jatuh, sementara anjing besar di kejauhan mengibaskan ekornya dengan kesal, bersikap masa bodoh. 　　Kaisar Jingming hampir terjengkang marah, "Ini sedang apa?!" 　　Xiao Lezi membeku, buru-buru memeluk laporan sambil membungkuk-bungkuk memohon ampun. 　　Pan Hai menendang Xiao Lezi, "Kaisar sedang bertanya padamu!" 　　Wajah Xiao Lezi pucat pasi, "Tak lama setelah Yang Mulia pergi, Jixiang dan Jenderal Xiaotian mulai berkelahi, hamba tak bisa menghalangi--" 　　"Sampah!" Kaisar yang biasanya kalem ini mengumpat. Matanya beralih antara kucing putih dan anjing besar, bingung harus memarahi yang mana dulu. 　　Sebelum kaisar sempat berbicara, Jixiang sudah melompat ke pangkuannya, menengadahkan kepala sambil mengeong panjang. 　　Senyum kaku muncul di wajah Kaisar Jingming. Amarahnya pada si kucing gemuk itu pun langsung menguap. 　　Jixiang yang biasanya tidak pernah memperhatikannya ternyata menggonggong padanya! 　　Setelah kegembiraan mereda, Kaisar Jingming juga kehilangan minat untuk mempersalahkan Er Niu. Ia mengusap pelipisnya dan berkata, "Bawa dulu Er Niu dan Jixiang keluar." 　　Kucing dan anjing itu diusir keluar, akhirnya ruang studi kekaisaran yang kacau balau kembali tenang. 　　Kaisar Jingming menatap Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng adalah pria tua yang bahkan merawat kumisnya dengan teliti, sangat tidak menyukai keributan kucing dan anjing. Melihat sang Kaisar akhirnya kembali, ia segera menyembah dan berkata, "Paduka, kasus hilangnya Nona pertama Keluarga Cui telah terselesaikan. Jika tidak ada perintah lain, hamba yang bodoh ini mohon pamit." 　　Kaisar Jingming mengabaikan perkataan Zhen Shicheng, bertanya dengan suara berat, "Zhen Aiqing, menurutmu bagaimana seharusnya Pangeran Xiang dihukum?" 　　Zhen Shicheng: "..." Ia hanya tertarik pada penyelidikan kasus, sama sekali tidak ingin terlibat dalam persaingan antar pangeran. 　　Giok yang ditemukan di sumur untuk mengidentifikasi tulang-belulang itu sebenarnya menimbulkan kecurigaannya. 　　Tulang-belulang hanya menyisakan baju dalam, pakaian luar dan perhiasan sudah dilepas. Jika dikatakan lupa melepas anting masih mungkin, tetapi lupa mengambil giok terasa tidak wajar. 　　Zhen Shicheng menduga, giok itu kemungkinan besar sengaja dilempar ke sumur oleh orang yang melihat kejadian tersebut, agar suatu hari nanti kebenaran kasus ini terungkap. 　　Mengingat Er Niu yang menjadi pahlawan penemu tulang-belulang hari ini, tidak sulit menebak siapa orang tersebut. 　　“Tentu saja, ini hanyalah dugaan, dan menguntungkan untuk memecahkan kasus. Zhen Shicheng tidak akan melakukan Penyelidikan Mendalam tanpa alasan yang jelas.” 　　“Hamba yang bodoh tidak berani berkomentar. Pangeran Xiang adalah putra Kaisar, kesalahannya harus diputuskan oleh Yang Mulia dan Biro Urusan Kerajaan.” Zhen Shicheng dengan tenang mengembalikan bola ke pengadilan. 　　Dia masih ingin duduk lama di posisi Prefect Shuntian untuk menangani kasus. Perkataan yang tidak perlu tidak akan diucapkan. 　　Kaisar Jingming memandang Yu Jin dan yang lain. Semua yang tertangkap pandangannya segera menundukkan pandangan, berusaha mengurangi kehadiran mereka. 　　Kaisar Jingming berdiri di samping Meja Naga yang berantakan, tenggelam dalam perenungan. 　　Ketika konspirasi Rongyang membunuh ibu istri Lao Qi terungkap, dia menggunakan prinsip "pangeran yang melanggar hukum setara dengan rakyat biasa" untuk menurunkan Rongyang menjadi rakyat jelata. Kini Lao Ba melakukan kesalahan serupa dengan korban putri Rongyang. Jika hari ini dia memaafkan, bagaimana wajahnya menghadapi Janda Permaisuri jika suatu hari nanti ibu suri mengetahuinya? 　　Memikirkan hal ini, mata Kaisar Jingming menjadi dingin. Suaranya serak: “Pan Hai——” 　　Pan Hai merasa gemetar, buru-buru menjawab: “Hamba di sini.” 　　“Sampaikan maklumatku: Pangeran Xiang telah mabuk dan berperilaku tak pantas dalam pesta ulang tahun Janda Permaisuri, kemudian terbukti merencanakan pembunuhan terhadap bibi sepupunya. Tanpa moral dan bersalah dengan bukti nyata, mulai hari ini gelar pangerannya dicabut dan dipindahkan untuk kembali ke taman...” 　　Begitu kata-kata ini keluar, wajah kerumunan langsung berubah. Pangeran Lu menarik napas tajam sambil menutup mulutnya. 　　Apakah pendengarannya salah? Bahkan gelar pangeran Lao Ba dicabut? 　　Ini, ini benar-benar kejutan yang sama sekali tak terduga! 　　Kaisar Jingming mendengar suara, pandangan dinginnya jatuh pada wajah Pangeran Lu: "Ada masalah?" 　　Pangeran Lu segera menundukkan kepala: "Ayah Kaisar mohon ampun, anak lelaki ini terkejut mendengar hukuman untuk Adik Kedelapan. Mulai sekarang kami pasti menjadikan ini sebagai pelajaran, tidak akan membuat Ayah marah!" 　　Para pangeran lain: "..." Lao Wu hari ini benar-benar menunjukkan performa luar biasa. 　　Nama buku cerita ini diambil secara sembarangan, tidak perlu terlalu banyak dikait-kaitkan. 763. BAB 760 Telanjang Kaki 　　BAB 760 Telanjang Kaki 　　Setelah mengambil keputusan, Kaisar Jingming yang sedang kesal tidak ingin melihat para putranya lagi, dengan muka masam mengusir: "Pergi semua! Siapa yang berani membuat onar lagi, pasti tidak akan kumaafkan!" 　　"Baik." Semua pangeran menjawab dengan wajah penuh hormat, apapun yang ada dalam hati mereka. 　　Kaisar Jingming melihat Yu Jin hendak pergi, tiba-tiba berseru: "Lao Qi--" 　　Yu Jin berhenti, membungkuk bertanya: "Ayah ada perintah?" 　　"Kasus hilangnya Mingyue bisa terpecahkan berkat jasa besar Er Niu. Kedepannya boleh sering membawanya masuk istana." Kaisar Jingming teringat keakraban Jixiang tadi, merasa Er Niu sangat berguna dan tidak boleh diabaikan. 　　Yu Jin tersenyum tipis: "Baik." 　　Pangeran Qi menjadi penonton pasif, perasaan berat di hatinya semakin menjadi. 　　Keberuntungan Lao Qi sungguh luar biasa, memelihara anjing saja bisa membantu merebut kasih sayang. 　　Saat menyaksikan pertarungan kucing dan anjing tadi, kukira Ayah pasti akan menghukum Er Niu, tapi hasilnya-- 　　Pangeran Qi semakin berpikir, semakin merasa tak berdaya. 　　Apakah restu kekaisaran benar-benar sulit ditebak? Selama bertahun-tahun ia menahan diri, namun tak hanya tidak mendapat perhatian Ayah Kaisar, malah kalah dari Lao Qi yang sejak kecil dikirim keluar istana. 　　Jika restu kekaisaran sulit ditebak, maka ia harus merebut posisi itu. Baru dengan demikian nasibnya bisa dikendalikan, bukan bergantung pada tebakan yang rapuh. 　　Ruang studi kekaisaran pun sepi. Pan Hai yang pergi menyampaikan titah, hanya Xiao Lezi yang tak berani bersuara, memungut laporan-laporan yang berceceran. 　　Kaisar Jingming duduk kaku lama, ujung jari menekan kelopak mata: "Dulu saat akan ada ulah aneh, kelopak mata ini masih berkedip. Dua kali terakhir ini kenapa diam saja? Apa kelopak mata juga mogok kerja?" 　　Memikirkan ini, Kaisar Jingming merasa rindu pada kelopak mata lamanya. 　　Dibandingkan kejutan tak terduga, lebih baik memiliki gambaran di hati. 　　Musim semi semakin nyata, dedaunan pohon willow di luar tembok istana mulai menghijau. Pangeran Xiang yang menunggu di luar tak bisa menikmatinya, mondar-mandir gelisah. 　　Tak lama, Pan Hai muncul menghadap Pangeran Xiang, menyampaikan maklumat Kaisar Jingming. 　　Pangeran Xiang seperti tersambar petir, membeku lama. 　　Pan Hai menghela nafas: "Silakan Bapak bijak mengambil tindakan." 　　Melihat Pan Hai berbalik, Pangeran Xiang seperti terbangun dari mimpi: "Paman Pan, apakah ada kesalahan?" 　　Pan Hai berhenti, menatap Pangeran Xiang. 　　“Pangeran Xiang jelas-jelas tidak bisa menerima, menarik lengan lawan bicaranya dan bertanya tergesa-gesa: "Ini benar perintah Ayah Kaisar?"” 　　“Hamba tidak berani memalsukan dekrit kerajaan.” 　　“Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin! Meskipun aku yang membahayakan Cui Mingyue, pasti ada alasannya. Bagaimana mungkin Ayah Kaisar mencabut gelar bangsawanku karena ini?” 　　“Pangeran yang melanggar hukum dihukum sama dengan rakyat biasa hanyalah pepatah untuk menenangkan massa. Berapa banyak kerabat kerajaan yang dihukum karena membunuh? Sebagian besar hukuman disebabkan alasan yang lebih rumit.” 　　“Cui Mingyue telah mempermalukannya, bahkan membunuh Zhu Ziyu di malam pernikahan. Apa salahnya wanita ular berbisa seperti ini mati di tangannya?” 　　“Dia bisa menerima hukuman, tapi sama sekali tidak menyangka akan kehilangan gelar bangsawan.” 　　“Dia tidak memberontak, mengapa harus menerima nasib seperti ini?” 　　“Kepahitan, kemarahan, kebingungan... Segala emosi berbaur di mata Pangeran Xiang, membuatnya terlihat gila.” 　　“Pan Hai menarik lengan bajunya dari genggaman Pangeran Xiang, berpikir sejenak lalu berbisik: "Ingatlah Janda Permaisuri."” 　　“Pangeran Xiang tertegun, lalu tiba-tiba tersadar.” 　　“Cui Mingyue pantas mati, tak ada yang peduli. Tapi ibunya adalah Putri Rongyang, anak angkat Janda Permaisuri.” 　　“Andai Putri Rongyang masih hidup mungkin tidak masalah, tapi dia sudah meninggal. Jika Ayah Kaisar memberikan hukuman ringan atas pembunuhan Cui Mingyue, bagaimana menjelaskannya kepada Janda Permaisuri...” 　　“Ketika Pangeran Xiang tersadar, sosok Pan Hai sudah menghilang.” 　　Kesadaran ini membuatnya menyadari bahwa tidak ada lagi ruang untuk berbalik, seperti orang kehilangan jiwa berjalan kembali, bahkan satu sepatu yang terlepas tidak disadarinya. 　　Pangeran Shu melewati sisi Pangeran Xiang, Pangeran Lu melewati sisi Pangeran Xiang, Pangeran Qi melewati sisi Pangeran Xiang... Justru Yu Jin mengambil sepatu yang jatuh dari Pangeran Xiang dan berhenti di sampingnya, menyerahkan sepatu itu. 　　Pangeran Xiang menatap sepatu itu tertegun sejenak, pandangannya tertancap langsung pada Yu Jin. 　　Yu Jin menyelipkan sepatu ke tangan Pangeran Xiang, berkata dengan penuh makna: "Adik Kedelapan, lihatlah, sekarang benar-benar yang tak beralas kaki." 　　Saat Pangeran Xiang masih terpana, Yu Jin menepuk bahunya untuk menghibur lalu pergi dengan langkah lebar. 　　Sepatu jatuh ke tanah, menghantam punggung kaki. Baru saat itu Pangeran Xiang tersadar, memburu dengan mata merah: "Lao Qi, brengsek! Kau yang menghancurkan aku... Kau sengaja membawa Er Niu ke sana!" 　　Perkataan ini membuat beberapa orang menggeleng-gelengkan kepala. 　　Sekarang semua tahu Er Niu dibawa oleh Lao Wu, Lao Ba ngotot menyalahkan Lao Qi. Tapi tidak berpengaruh pada Lao Qi, hanya jadi bahan tertawaan. 　　Kalau ditanya apakah Lao Qi berbuat licik? Sudah pasti! 　　Melihat tidak bisa menyusul Yu Jin, Pangeran Xiang menggenggam pergelangan Pangeran Qi seperti memegang jerami penyelamat, merintih: "Kakak Keempat, jangan tinggalkan aku--" 　　“Cahaya jijik melintas cepat di mata Pangeran Qi, namun dia tak berani melukai Pangeran Xiang dengan kata-kata. Dengan lembut dia menghibur, "Adik Kedelapan, jangan terus membuat keributan. Meski gelar bangsawanmu sudah dicabut, selama masih ada kehidupan pasti ada harapan. Jika kau terus memberontak sampai Ayah Kaisar benar-benar muak, itu akan berbahaya."” 　　“Pangeran Xiang terdiam membeku dengan wajah blank. Pangeran Qi berpura-pura bersimpati, lalu segera pergi menghindar.” 　　“Yu Jin kembali ke istana pangeran, menceritakan semua kejadian secara detail kepada Jiang Si.” 　　“Jiang Si menghela napas penuh penyesalan: "Sayang sekali, seharusnya aku ikut bersamamu."” 　　“Yu Jin merasa hobi istrinya ini agak tak lazim. Dengan batuk kecil dia berkata, "Apa menariknya melihat tumpukan tulang belulang? Kau tidak tahu reaksi Pangeran Lu setelah jatuh ke sumur. Mungkin dia tak akan bisa mengunyah tulang berisi daging lagi selamanya."” 　　“Jiang Si terdiam sejenak lalu membetulkan, "Pangeran Lu bukan Er Niu. Mungkin dari awal dia memang tak suka mengunyah tulang berisi daging."” 　　“"Pokoknya tak ada yang menarik dilihat."” 　　“"Tak kusangka Tuan Zhen juga datang." Jiang Si masih merasa menyesal hanya berdiam di istana pangeran.” 　　“Wajah Yu Jin langsung berubah dingin: "Kakek tua bangka itu jelas lebih tak ada nilainya untuk dilihat."” 　　“Jiang Si melotot kepadanya: "Dari ceritamu, jelas Tuan Zhen sengaja memberimu kelonggaran. Masih saja kau menjelek-jelekkannya di belakang."” 　　“Membiarkanku lolos juga hal biasa, aku bahkan membantunya memecahkan kasus.” Yu Jin teringat Zhen Shicheng, tak bisa menahan senyum, "A Si kau tak tahu, kasus yang ditangani si tua Zhen kalau belum terpecahkan, dia akan gelisah sampai mencabut-cabut kumis. Lihatlah betapa besar masalah yang kuselesaikan untuknya." 　　Jiang Si tiba-tiba merasa bersalah. 　　Saat itu dia membakar kapal hias, sebenarnya itu juga kasus tak terpecahkan. Tak terhitung berapa helai kumis Tuan Zhen yang rontok karena ini. 　　"A Jin, setelah kejadian ini, Pangeran Qi dan kawan-kawannya mungkin akan mulai waspada padamu." 　　Yu Jin tersenyum sinis: "Biarkan saja mereka waspada. Seolah-olah kewaspadaan mereka bisa berguna." 　　Jiang Si mengelus dahinya. 　　Jarang melihat orang yang percaya diri selevel A Jin, tapi melihatnya begitu yakin diri, hatiku justru senang. 　　Nyonya rumah yang sedang gembira itu segera menyuruh dapur menambah porsi makan Er Niu. 　　Yu Jin: "..." 　　Kabar kejahatan Pangeran Xiang cepat menyebar. 　　Tuan Jiang Kedua sambil menghitung jari: Pangeran Qi, Pangeran Lu, Pangeran Shu, Pangeran Yan... Hah, kalau Pangeran Yan lebih giat lagi, jangan-jangan kakakku bisa jadi ayah mertua kaisar? 　　Besok masih harus ke rumah sakit mengambil laporan medis dan mengurus urusan lain. Perkiraan update masih malam hari. 764.BAB 761 Membunuh Hati 　　BAB 761 Membunuh Hati 　　Dulu, Tuan Jiang Kedua tak pernah menyangka keponakannya yang menikahi pangeran bisa terkait dengan posisi kekaisaran itu. 　　"Seorang pangeran liar yang tumbuh di luar istana sejak kecil dengan reputasi membawa sial bagi Kaisar, mana mungkin bisa menjadi calon penguasa, apalagi naik takhta sebagai Putra Langit?" 　　Sungguh tak terdua, situasi berubah begitu cepat. Pangeran Yan malah menjadi satu dari empat pangeran yang selamat dengan utuh. Bagaimana mungkin ini tidak memicu spekulasi? 　　Begitu Dongping Bo Residence menjadi keluarga permaisuri, kakak sulung pasti akan dianugerahi gelar bangsawan. Dengan begitu, gelar Dongping Bo akan lowong— 　　Memikirkan hal ini, Tuan Jiang Kedua gemetar sepanjang tubuhnya. Ia mengurung diri di kamar dan menghabiskan sebotol anggur untuk meredakan kegembiraannya. 　　Pangeran Lu yang pulang ke rumah dengan riang untuk menyombongkan diri pada Permaisuri Lu malah diusir tidur di ruang belajar semalaman, hingga pagi harinya masih menyimpan amarah saat sarapan. 　　"Wanita memang tak mengerti kesulitan pria. Untuk apa aku buru-buru pulang memberi kabar baik ini? Hanya tak ingin kau merasa statusmu paling rendah di antara saudara ipar. Alih-alih berterima kasih, kau malah mempermalukanku dengan mengusirku tidur di ruang belajar. Di mana keadilan..." gumam Pangeran Lu semakin merajuk. 　　Permaisuri Lu menepuk meja dengan muka masam: "Janganlah Paduka membesar-besarkan diri. Statusku di antara saudara ipar tetap tak berubah." 　　"Masa? Lao Ba sudah diturunkan jadi rakyat biasa!" 　　Permaisuri Lu menusuk tepat sasaran: "Pangeran Kedelapan belum menikah." 　　Pangeran Lu pun langsung canggung. 　　Terlalu ingin menunjukkan kebanggaan di depan Macan Betina, sampai-sampai lupa hal ini. Padahal saat berhadapan dengan Lao Ba seolah ada suara kecil yang terus mengingatkannya. 　　Permaisuri Lu melihat Pangeran Lu yang sudah tenang semalaman masih belum mengerti, berkata kesal: "Tuan pikir saya peduli ini? Tidakkah Tuan sadar, kemungkinan besar kemarin kita dipakai sebagai senjata oleh Pangeran Yan?" 　　Pangeran Lu langsung menggeleng: "Sudah kubilang Er Niu yang kubawa, kenapa malah dikaitkan dengan Lao Qi?" 　　Memikirkan karena dia membawa Er Niu hingga Lao Ba celaka, dia malah merasa bangga. Bagaimana bisa prestasi ini diambil alih oleh Lao Qi? 　　Permaisuri Lu mengerutkan alis melengkungnya, hampir-hampir ingin mencubit Pangeran Lu agar sadar: "Tidakkah Tuan pikir siapa pemilik Er Niu? Jika Pangeran Yan sengaja membawanya dan memberi isyarat, Er Niu pasti akan menempel padamu..." 　　Pangeran Lu menarik napas tajam: "Er Niu secerdas itu?" 　　Tidak mungkin! Apakah aksi Er Niu yang menghadang jalan hanya sandiwara? 　　Permaisuri Lu terdiam sejenak, menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa Pangeran mungkin masih kalah pintar dari Er Niu. Dengan tegas dia menasihati: "Tuan harus lebih waspada ke depan, jangan sampai dijual orang masih membantu menghitung uang." 　　"Mengerti." jawab Pangeran Lu lesu. Memikirkan senyum malas Yu Jin, dalam hati dia mengumpat. 　　Cih, ternyata Lao Qi juga brengsek! 　　Di ruang belajar Kediaman Pangeran Qi, lentera kecil seperti kacang menyala sepanjang malam. Pangeran Qi tak bisa tidur semalaman, saat bangun pagi lingkaran hitam pekat terlihat di bawah matanya. Dayang harus menggosokkan telur rebus yang telah dikupas lama sekali untuk meredakannya. 　　"Pergilah." Meski menghadapi dayang yang anggun dan cantik, Pangeran Qi sama sekali tak berminat bersenang-senang. 　　Dulu semua ini diatur oleh Nyonya Li. Pandangan yang terlihat hanyalah wajah-wajah biasa, demi menjaga reputasi baiknya dia menekan naluri prianya, namun sering tak bisa menahan lamunan. Kini saat Nyonya Li dikurung di pekarangan dan tak bisa keluar, justru keinginannya menghilang. 　　Mana mungkin kecantikan dayang melebihi Permaisuri Yan? Lagipula di dunia ini ada puluhan ribu wanita cantik, apa istimewanya memiliki beberapa dayang jelita? 　　Dibandingkan sekarang, dia lebih rindu masa ketika Nyonya Li mengurus rumah tangga, merapikan kediaman pangeran dengan tertib sehingga banyak masalah terhindari. 　　Pangeran Qi menutup mata, bayangan Anjing Besar muncul di benaknya. 　　Insiden Lao Ba kemarin, anjing inilah yang memainkan peran terbesar. Hasilnya jelas menguntungkan Lao Qi. 　　Ditambah lagi, Lao Qi bukan hanya punya Er Niu sebagai penopang. Putri Lao Qi sejak lahir sudah mendapat julukan dari Ayah Kaisar. Saat dewasa nanti, bisa jadi akan merayu untuk membantu ayahnya merebut kasih sayang. Belum lagi Permaisuri Yan yang berulang kali menunjukkan sikap baik pada Permaisuri. Bisa dikatakan keberhasilan Lao Qi menjadi anak angkat Permaisuri tak lepas dari jasa Permaisuri Yan. 　　Lao Qi punya istri, putri, bahkan anjing peliharaan yang membantu. Lalu dia sendiri? 　　Ibu Selir sakit akibat ulah Lao Qi, Nyonya Li yang sudah tak berguna masih menduduki posisi Permaisuri Qi, bahkan Lao Ba yang dekat dengannya pun menjadi rakyat biasa... 　　Pangeran Qi semakin memikirkannya semakin frustasi, sorot matanya perlahan membeku. 　　Tidak bisa begini, dia tidak boleh membiarkan Nyonya Li terus memegang status dan menghalangi. Saatnya mempertimbangkan untuk membuatnya "meninggal karena sakit", lalu menggunakan masa berkabung untuk berdiam diri sementara, yang terbaik adalah memancing konflik antara Putra Keenam dan Lao Qi agar dia bisa memetik keuntungan. 　　Pangeran Qi memantapkan tekad dan segera mulai merencanakan. 　　Baru saja Pangeran Xiang bermasalah, kematian mendadak Permaisuri Qi akan mencuri perhatian. Tanggal eksekusi ditetapkan satu bulan kemudian, saat perbincangan tentang Pangeran Xiang mulai mereda. 　　Gosip ibu kota selalu berlimpah, orang-orang mudah melupakan. 　　Hari ketika Pangeran Qi memutuskan bertindak, dia sempat ragu namun akhirnya tidak mengatur Yuan Jie'er menemui Permaisuri Qi untuk pertemuan terakhir. 　　Sejak Nyonya Li dikurung, Yuan Jie'er jarang bertemu ibunya. Pangeran Qi khawatir putrinya yang mulai dewasa akan mencurigai sesuatu jika tiba-tiba dipertemukan lalu ibunya langsung meninggal. 　　Lebih baik menghindari masalah yang tidak perlu, pertemuan ini tak diperlukan. 　　Setelah Nyonya Li mati, dia harus mempertimbangkan putri bangsawan mana yang paling cocok dinikahi. 　　Pangeran Qi duduk di ruang belajar, menoleh ke jendela menunggu siang hari yang terang berangsur gelap. 　　Dia sudah terbiasa berhati-hati, bahkan di dalam rumah keluarganya sendiri, bahkan saat menghadapi wanita yang telah kehilangan segalanya. Memilih bertindak diam-diam di malam hari jelas lebih aman daripada siang hari. 　　Musim semi di bulan ketiga, rumput tumbuh subur dan burung berkicau riang. Ini seharusnya musim paling cerah dalam setahun, namun cahaya musim semi yang indah itu tak sampai menyinari halaman tersunyi di Kediaman Pangeran Qi. 　　Keindahan musim semi yang tersisa ini bagai senja, seolah tak punya sisa tenaga untuk menyinari setiap sudut. 　　Halaman itu sunyi tanpa tanda kehidupan, hanya pohon aprikot di sudut tembok yang bunganya sudah lama layu. 　　Tiba-tiba seorang nenek membuka tirai dan meludah ke tanah: "Cih! Masih menganggap diri sebagai Permaisuri yang mulia? Lihatlah wajahmu di cermin, berani-beraninya masih marah-marah--" 　　Saat itu juga, sosok wanita kurus kering muncul bagai hantu di ambang pintu. 　　Sang nenek berteriak sambil memegangi dadanya: "Jangan pura-pura jadi hantu! Nanti benar-benar jadi mayat hidup kau!" 　　"Bilang pada Pangeran, aku ingin bertemu." Permaisuri Qi mengabaikan makian sang nenek, berkata dengan tenang. 　　Sang nenek mencemooh: "Wah, Paduka masih berpikir ini zaman dulu? Putri masih harus memberi salut pagi-sore pada Paduka?" 　　"Bilang pada Pangeran, aku harus bertemu!" Permaisuri Qi menegaskan, "Aku ibunya! Aku harus menemuinya!" 　　"Kau jangan bermimpi lagi." Nenek itu menggerakkan mata putihnya, mendorong Permaisuri Qi ke dalam kamar. 　　Di luar terhampar cahaya musim semi yang tipis, sementara di dalam merayap dingin yang membusuk. 　　Suara nenek semakin melengking: "Xiao Hong, kalau tidak menjaga wanita gila ini dengan baik, bersiaplah menerima sial." 　　Seorang dayang berbisik: "Permaisuri, silakan masuk beristirahat." 　　Baru pulang sehari belum pulih benar, hari ini hanya ada satu Bagian. Pembaruan besok sore hari. 765. BAB 762 Perubahan Tak Terduga 　　BAB 762 Perubahan Tak Terduga 　　Permaisuri Qi tetap diam, namun ditarik paksa masuk oleh nenek dan dayang. 　　Segera terdengar teriakan penuh kegeraman wanita dari kamar yang remang-remang. 　　Nenek yang keluar menggelengkan kepala, meludahkan dahak kental ke tanah. 　　Jika awalnya masih ada sisa hormat saat ditugaskan melayani Permaisuri Qi, sekarang sudah habis tak bersisa. 　　Sudah sekian lama, jelas Permaisuri Qi takkan bisa bangkit lagi. Mungkin Pangeran malah berharap ia cepat mati agar tenang. 　　Sebagai pelayan, kita harus memahami hati tuanku. 　　Nenek itu merapikan bunga di pelipisnya, lalu berjalan ke area paling terang di pekarangan untuk berjemur. 　　Matahari condong ke barat, cahaya musim semi semakin redup ketika ketukan pintu berbunyi di luar pagar. 　　“Nenek buru-buru membuka pintu, sambil dalam hati mengumpat keadaan saat ini: Benar-benar bukan kehidupan manusia, seharian terkunci bersama perempuan gila, bahkan makanan tiga kali sehari diantar khusus tanpa boleh mengambil dari dapur besar.” 　　“Bagi si nenek, jika bisa beberapa kali pergi ke dapur dalam sehari, setidaknya jadi hiburan. Kini keadaannya tak berbeda dengan dipenjara.” 　　“Pintu gerbang segera terbuka, masuklah seorang dayang dengan wajah biasa-biasa saja.” 　　“Di tangan dayang tergantung kotak makanan besar bertingkat tiga. Meski tertutup rapat, mata nenek berbinar-binar seolah mencium aroma sedap.” 　　“Bisa dibilang harapannya sepanjang hari hanyalah tiga waktu makan ini.” 　　“Pangeran benar-benar baik hati. Meski Permaisuri dalam keadaan demikian, urusan makanan tak pernah dikurangi. Sedangkan perempuan gila itu hanya makan sedikit, akhirnya sisanya dinikmati dia dan Xiao Hong.” 　　“Nenek diam-diam meraba pinggangnya yang tambah gemuk setengah inci, tersenyum manis menyambut kotak makanan.” 　　“'Ibu Wang jangan buru-buru.' Dayang ini meski wajahnya biasa, suaranya manis.” 　　“Nenek tertegun, matanya mengamati kotak makanan hitam berhias emas yang besar itu.” 　　“Apa? Baru saja memuji makanan enak, jangan-jangan sekarang mau diganti?” 　　“Dayang menunjuk lapisan paling bawah kotak makanan, berbisik: 'Ibu Wang ingat, ini makanan malam untuk Permaisuri.'” 　　“'Makanan malam?' Nenek semakin bingung.” 　　“Tiga kali makan sehari saja perempuan gila itu hampir tidak menyentuh, masih mau makan apa lagi di malam hari?” 　　Dayang tersenyum manis, suaranya yang merdu tiba-tiba terdengar dingin: "Benar, Nenek Wang ingat untuk menyajikan makanan ke Permaisuri sekitar satu shichen setelah makan malam, agar tidak sakit perut." 　　Nenek itu bingung, tapi tetap mengangguk. 　　Barulah dayang itu berbalik dan pergi. 　　Nenek itu berdiri di halaman sambil memegang kotak makanan berat, rasa penasarannya semakin menjadi. Ia pun membuka lapisan paling bawah. 　　Di bagian bawah tidak ada makanan mewah, hanya sebuah botol keramik putih kecil dan setumpuk kertas perak bernominal kecil. 　　Nenek itu terkejut, buru-buru menyembunyikan kertas perak di dada, lalu meletakkan kotak makanan di meja batu sambil membuka sumbat botol dengan hati-hati. 　　Aroma pahit samar tercium. 　　Nenek itu memegang botol keramik lama sekali sebelum tersentak sadar. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan botol. 　　Ia buru-buru menutup sumbat botol, seluruh tubuhnya menggigil dingin. 　　Pangeran... Pangeran ini ingin mencabut nyawa Permaisuri—— 　　Ia menoleh memandang bayangan kabur di jendela, jantungnya berdebar kencang. 　　Makan malam terasa hambar. Mata nenek itu terus melirik jam pasir, telapak tangannya basah oleh keringat. 　　Dayang Xiao Hong yang tidak perlu berebut makanan, justru makan dengan lahap. 　　“Lihat Dayang yang tak punya perasaan, nenek itu langsung naik darah, mencubitnya sambil berkata: ‘Masih makan, cepat bereskan!’” 　　Xiao Hong menggigit bibir sambil membereskan piring ke kamar samping. Nenek menyusup masuk dan berbisik menceritakan rencana. 　　Secangkir langsung terjatuh dari tangan Xiao Hong. 　　Nenek dengan refleks menyambutnya, menggertak: “Mati kau! Begitu panik mana bisa sukses?” 　　Melihat Dayang kecil itu lebih gugup darinya, nenek justru merasa tenang. 　　Jika Permaisuri tewas, mereka tak perlu lagi terkurung di pekarangan kumuh ini. Tumpukan kertas perak itu sudah dihitung diam-diam - 200 tael! Cukup untuk hidup nyaman sisa umurnya. 　　“Nanti jangan teriak-teriak! Kalau sampai berisik, lidahmu akan dipotong!” 　　Xiao Hong menutup mulut sambil mengangguk cepat. 　　Saat jarum jam mendekati Waktu Xu Zheng, nenek bersiap bertindak. Tiba-tiba pintu gerbang diketuk keras. 　　Bunyi ketukan di tengah malam musim semi itu terdengar menusuk, setiap hentakan seakan menghantam jantung nenek hingga berdebar kencang. 　　Nenek terpaksa berlari sambil membentak: “Siapa?! Malam-malam ngapain ribut?” 　　“Ini aku, buka pintu! Aku mau bertemu ibu—” Suara anak perempuan kecil terdengar dari balik pintu kayu. 　　Nenek kaget: “Nona pertama?” 　　Sadar bahwa di luar pintu gerbang adalah Putri Sulung Istana Pangeran,，nenek itu tidak berani lalai，segera membuka pintu gerbang. 　　Seorang anak perempuan berusia sekitar 8-9 tahun menerobos masuk. 　　Anak perempuan itu menyanggul ganda yang lucu，pipinya memerah karena berlari terburu-buru，mendorong nenek itu dan langsung berlari ke dalam："Ibu——" 　　Permaisuri Qi sudah bergegas keluar："——" 　　Ibu dan anak perempuan itu berpelukan sambil menangis di halaman，membuat nenek dan Xiao Hong bingung tak tahu harus berbuat apa. 　　Meskipun Permaisuri Qi sudah jatuh wibawa，tapi Putri Sulung adalah anak perempuan pertama dari istri resmi istana pangeran，bukanlah orang yang boleh mereka sakiti. 　　Melihat tangisan mereka terdengar sampai jauh，nenek itu khawatir masalah akan membesar，mendekat dan menasihati："Putri Sulung，malam gelap dan embun tebal，tempat ini juga sepi，baiknya Tuan Putri segera pulang——" 　　"Kurang ajar!" Anak yang tadi menangis lemah di pangkuan Permaisuri Qi tiba-tiba menunjukkan wibawa yang menggentarkan saat menghadapi nenek itu，"Aku sedang bicara dengan ibu，nenek tua macam apa berani menyela?" 　　Nenek itu langsung takut dan menarik bahunya："Hamba hanya khawatir Putri Sulung masuk angin——" 　　Permaisuri Qi seperti baru sadar dari keterpurukan，meraba-raba tubuh putrinya sambil berkata terus："，ikut ibu masuk ke dalam." 　　Tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh："Putri Sulung，Putri Sulung——" 　　Wajah nenek itu langsung berseri. 　　Pelayan yang merawat Putri Sulung sudah mengejar. 　　Segera dua orang dayang berlari mendekat, begitu melihat Yuan Jie'er benar-benar berada di pekarangan, mereka terengah-engah berkata: "Nona pertama, bagaimana bisa nona tiba-tiba datang ke sini? Kami hamba sangat khawatir. Segeralah ikut kami kembali, jangan mengganggu ketenangan Permaisuri..." 　　Permaisuri Qi mencengkeram erat tangan Yuan Jie'er, takut putrinya akan dibawa pergi sekejap lagi. 　　Yuan Jie'er menyeringai dingin: "Jika masih berani bicara sembarangan, akan kusuruh Ayah mengusir kalian. Aku ini putri Permaisuri, mana mungkin mengganggu ketenangan ibuku sendiri?" 　　Dua dayang itu tertegun sejenak. 　　"Sudah, kalian pulang saja. Malam ini aku akan tidur bersama ibu." 　　Wajah dua dayang itu berubah pucat: "Nona pertama, ini tidak boleh! Jika Pangeran tahu—" 　　Yuan Jie'er bertanya datar: "Apakah Ayah melarangku tidur bersama ibu?" 　　Pertanyaan itu tak ada yang berani menjawab. 　　Sudah pasti Pangeran melarang Nona pertama sering bertemu Permaisuri, tapi hal ini tak bisa dijelaskan terang-terangan pada sang nona. 　　Seandainya Nona pertama beberapa tahun lebih dewasa, tentu akan lebih bijak menjaga masa depannya dan tidak bertindak gegabah. Sayangnya usia remajanya yang labil ini membuat para pelayan tak bisa menghalangi kenakalannya. 　　"Ibu, mari kita masuk ke dalam." 　　Melihat Yuan Jie'er dan Permaisuri Qi masuk ke rumah, dua dayang itu gemetar sambil menghentakkan kaki: "Ini harus bagaimana!" 　　Nenek berbisik, "Kalian beritahu Pangeran, nona pertama akan kami jaga dulu." 　　Tampaknya malam ini rencana harus dibatalkan. 　　Bagian Kedua pada malam hari. Kemarin pergi ke asosiasi penulis bersama Leidewen, jarang bisa berkumpul makan bersama. Sekalian merekomendasikan novelnya 《Jipin Nongfei》, silakan baca: 　　Doktor sastra modern malah jadi tuan muda di Desa Pandai Besi? 　　Aku ini perempuan! 　　Kakek: Pelan-pelan, terima dulu sekarang, nanti bisa diubah lagi. 　　Pangeran: "Dia cukup baik, dengan Tuan di sini, kau pasti bisa jadi Juara Ujian Kerajaan!" 766. BAB 763 Ibu dan Anak Perempuan yang Hati Bersatu 　　BAB 763 Ibu dan Anak Perempuan yang Hati Bersatu 　　Pangeran Qi masih beristirahat di ruang belajar. Mendengar laporan pelayan pria bahwa dayang nona pertama minta audiensi, alisnya berkerut halus sebelum menyuruh mereka masuk. 　　"Dayang memberi salut pada Pangeran." 　　Melihat wajah panik dayang itu, Pangeran Qi mengernyit: "Ada apa dengan nona pertama?" 　　Dayang gemetar ketakutan: "Paduka, nona pertama pergi ke tempat Permaisuri--" 　　Permaisuri dikarantina karena gangguan jiwa. Jelas Pangeran tak ingin nona pertama dekat-dekat ibu yang tak waras. Hari ini mereka gagal mengawasi nona pertama, pasti akan dimarahi. 　　Semakin dipikir dayang itu semakin takut, menunduk tak berani lihat reaksi Pangeran. 　　Wajah Pangeran Qi langsung berubah dingin mendengar kabar itu. 　　Baik untuk internal maupun eksternal rumah tangga, alasan resminya Nyonya Li perlu istirahat karena trauma Kuda Liar. Tapi sebenarnya Nyonya Li sama sekali tidak gila. 　　Tidak mungkin Pangeran Qi rela membiarkan Yuan Jie'er berinteraksi dengan Permaisuri Qi. 　　Tapi dia pandai berpura-pura, bahkan menghadapi dayang putrinya pun tetap bertanya sabar: "Sudah larut begini, Nona Pertama pergi ke tempat Permaisuri tidak membawa kalian?" 　　Dayang itu gemetar di hati, buru-buru menjawab: "Setelah makan malam, Nona Pertama bilang ingin membaca buku sebentar dan melarang hamba mengganggu. Belakangan saat hamba masuk mengantarkan air, baru tahu Nona Pertama menghilang... Hamba semua mencari ke berbagai tempat dan menemukan Nona Pertama di kediaman Permaisuri..." 　　Sorot mata Pangeran Qi semakin dingin: "Kalian bahkan tidak tahu Nona Pertama menghilang! Ini masih di tempat Permaisuri, bagaimana jika terjadi hal lain?" 　　Dayang itu plok berlutut, terus-menerus memohon ampun. 　　"Kalian tidak mengantar Nona Pertama pulang?" 　　Dayang itu semakin panik, menunduk gemetar: "Nona Pertama bilang ingin tidur bersama Permaisuri malam ini--" 　　Tangan Pangeran Qi mencengkeram sandaran kursi tanpa sadar mengeras, lama baru melepaskan: "Kerinduan Nona Pertama pada ibunya adalah hal manusiawi. Kalian temani baik-baik di sana, besok pagi antar Nona Pertama pulang." 　　Dayang itu tak menyangka masalah selesai mudah, membungkuk-bungkuk berulang: "Terima kasih Pangeran, terima kasih Pangeran..." 　　Pangeran Qi memberi peringatan datar: "Lain kali layani Nona Pertama lebih baik, jangan terulang." 　　"Da." Dayang itu seperti mendapat pengampunan, buru-buru mundur keluar. 　　Pintu ruang belajar tertutup rapat, menghalangi sinar bulan yang terang di luar, membuat ruangan semakin sunyi. 　　Wajah Pangeran Qi berubah dingin. 　　Ia memilih untuk bertindak malam ini, tapi Yuan Jie'er malah lari ke tempat Nyonya Li. Apakah ini kebetulan, atau— 　　Apapun situasinya, malam ini tidak mungkin dilaksanakan. 　　Pangeran Qi tak tenang membaca beberapa halaman buku, lalu melempar gulungan kitab ke meja, memutuskan akan menanyai Yuan Jie'er besok pagi. 　　Di sisi Permaisuri Qi, ibu dan anak ini mengabaikan kecemasan dayang-dayang dan masuk ke dalam kamar, mulai berbicara berdua. 　　"Ibu, apakah kondisi Ibu sudah membaik?" 　　Di bawah cahaya lentera, Permaisuri Qi jelas melihat kekhawatiran di wajah putrinya, juga pucat yang menyelimuti. 　　Hati Permaisuri Qi tersayat, hampir meneteskan air mata. 　　Yuan Jie'er-nya belum genap sembilan tahun, tapi sudah mulai memahami kecemasan. Semua ini kesalahannya, dan juga pria tak berperasaan itu— 　　Permaisuri Qi tak mau meneruskan pikiran ini. 　　Dalam situasi seperti ini, ia tahu mengajarkan keburukan ayah kepada putri hanya tindakan bodoh yang akan merusak masa depan sang anak. 　　Ia harus bertahan sampai putrinya menikah dengan keluarga baik, baru bisa merasa lega. 　　Jangan seperti dirinya, berkorban jiwa-raga melayani pria itu bertahun-tahun, tapi sekali melakukan kesalahan langsung dicampakkan tanpa sisa kasih suami-istri. 　　Memikirkan ini, hati Permaisuri Qi dipenuhi cemoq dingin. 　　Bukan hanya suami yang mengabaikannya seperti sampah, tapi juga ibu mertua yang kejam, serta keluarga dari pihak ibu. 　　Tapi sejujurnya, dia tak bisa menyalahkan keluarga pihak ibu. 　　Dulu saat menikah, pernikahannya megah dengan barang-barang mahar berlimpah, keluarga pihak ibu sudah memperlakukannya dengan sangat baik. 　　Tapi setelah kabar upayanya membunuh Permaisuri Yan diam-diam sampai ke keluarga pihak ibu, mana mungkin mereka mau membelanya. 　　Dunia mengira dia gila ketakutan sehingga perlu istirahat, tapi di mata keluarga pihak ibu, dia adalah aib bagi klan Li. 　　"Ibu——" Yuan Jie'er memandangi ibunya, memanggil lagi. 　　Permaisuri Qi tersadar, membelai pipi putrinya dengan senyum paksa: "Ibu sudah baik." 　　Wajah Yuan Jie'er berseri, matanya berbinar: "Ibu, kalau Ibu sembuh, apakah semuanya bisa kembali seperti dulu?" 　　Permaisuri Qi khawatir putrinya berharap kosong, menghela nafas: "Yuan Jie'er, lihatlah wajah ibu. Meski kondisi membaik, wajah ibu sudah rusak. Tak pantas lagi mengurus rumah tangga istana sebagai nyonya rumah... Kau sudah dewasa, pahamilah kesulitan Ayahmu, bantu dia meringankan beban..." 　　Yuan Jie'er bingung: "Kalau wajah Ibu cacat, tak boleh mengurus rumah lagi?" 　　Permaisuri Qi memeluk putrinya, mata berkaca-kaca: "Benar. Yuan Jie'er tahu ujian kekaisaran?" 　　"Tahu. Pelajar yang lulus ujian Jinshi bisa jadi pejabat." 　　"Benar, tapi apakah tahu? Pelajar yang cacat fisik, meski jenius sekalipun, tak berhak ikut ujian kekaisaran atau jadi pejabat..." Permaisuri Qi dengan sabar menjelaskan alasan harus beristirahat pada, hati dipenuhi kesedihan tak terperi. 　　 adalah satu-satunya anak kandungnya. Dia tak mau meninggalkan kesan gila di hati putrinya. Untuk itu, bahkan alasan konyol pun rela dijadikan dalih. 　　 yang masih belia mengangguk setengah paham. 　　", kenapa tiba-tiba datang larut malam begini?" 　　Mendengar pertanyaan Permaisuri Qi, seluruh tubuh gemetar. Ketakutan melintas sekilas di matanya. 　　Dia datang tiba-tiba karena saat membaca tiba-tiba mengantuk. Dalam mimpi, sebuah suara mendesaknya menjenguk ibu, bilang jika tidak datang, ibu akan mati. 　　Terbangun ketakutan, dihadapannya kosong melompong. 　　Tapi semakin dipikir, semakin takut dan panik, akhirnya dia berlari ke sini. 　　Dia tak bisa kehilangan ibu! 　　Syukurlah itu hanya mimpi. 　　Merapat dalam pelukan Permaisuri Qi, merasakan kehangatan tubuh ibu, perlahan hati menjadi tenang. Mencari kedok: "Bermimpi tentang Yang Mulia, tiba-tiba sangat merindukan..." 　　Mimpi konyol seperti itu tentu tak bisa diceritakan pada ibu. 　　Permaisuri Qi pun memeluk erat-erat, air mata mengalir deras seperti hujan. 　　Dia tiba-tiba merasa panik hari ini, ada firasat buruk yang membuatnya ingin bertemu putrinya. Tak disangka sang putri justru bermimpi tentangnya dan datang mencari. 　　Hati ibu dan anak perempuan selalu terhubung, mungkin beginilah rasanya. 　　Pada saat ini, tekad Permaisuri Qi untuk bertahan hidup semakin kuat: Sekalipun hidup susah, dia tak boleh mati. Jika dia mati, Yuan Jie'er yang kehilangan ibu akan sangat memilukan. 　　Kedua ibu dan anak ini jarang bisa berpelukan tidur bersama. Baru keesokan harinya Yuan Jie'er pergi dalam tatapan penuh kerinduan Permaisuri Qi. 　　Hal pertama yang dilakukan Yuan Jie'er setelah meninggalkan Permaisuri Qi adalah menemui Pangeran Qi untuk mengakui kesalahan. 　　Ini adalah pesan yang diingatkan ibunya padanya. 　　Saat ini Permaisuri Qi sedang beristirahat karena sakit, Pangeran Qi tidak ingin anggota rumah tangga mengira dia mengabaikan Putri Sulung. Awalnya ingin menanyakan Putri Yuan setelah dia berangkat ke sekolah perempuan, tak disangka Putri Yuan sudah datang lebih awal. 　　Setelah menanyakan alasan kejadian semalam, Pangeran Qi mengurungkan kecurigaannya. Dia menasihati putrinya beberapa kata lalu membiarkannya pergi, sementara keinginannya untuk menyingkirkan Permaisuri Qi semakin mendesak. 　　 sekarang sudah tahu sendiri lari mencari Nyonya Li, kalau nanti usianya bertambah, bukankah akan lebih merepotkan? 　　Tidak bisa, harus segera menyingkirkan Nyonya Li, lebih baik dilakukan siang hari, saat pergi sekolah. 　　Terima kasih untuk An_Nanxiu yang memberikan hadiah sepuluh ribu koin, terima kasih untuk semua yang memberikan vote dan hadiah, sampai jumpa besok sore. 767.BAB 764 Bertindak 　　BAB 764 Bertindak 　　"Fenomena kecil di Kediaman Pangeran Qi ini, Yu Jin sudah menerima kabarnya sejak pagi." 　　"Kalau begitu, Pangeran Qi awalnya berencana bertindak tadi malam?" 　　Leng Ying mengangguk membenarkan. 　　Awalnya ketika Permaisuri Qi dikurung, Yu Jin dan Jiang Si sudah memperkirakan suatu hari Pangeran Qi akan bertindak terhadap Permaisuri Qi. 　　Menjaga orang yang ingin dimusnahkan lawan adalah cara melukai musuh. Yu Jin segera mengambil keputusan mengirim mata-mata untuk mengawasi Kediaman Pangeran Qi, dengan Leng Ying sebagai penanggung jawab. 　　"Lanjutkan pengawasan, terutama di siang hari." 　　Yu Jin langsung membicarakan hal ini dengan Jiang Si: "Orang kita mengambil kesempatan saat Yuan Jie'er setengah tertidur untuk membisikkan peringatan di telinganya. Yuan Jie'er mengira ini mimpi buruk lalu menemani Permaisuri Qi semalaman, sehingga Pangeran Qi gagal melaksanakan rencana... Aku perkirakan dia akan bertindak di siang hari..." 　　Jiang Si menghela napas: "Pada akhirnya, para gadis kecillah yang paling mengenaskan." 　　Yu Jin tersenyum dingin: "Memang tidak ada cara lain, siapa suruh dia terlahir dari orangtua seperti itu. Kalau Permaisuri Qi tidak berusaha mencelakaimu, bagaimana bisa berakhir seperti ini?" 　　Apakah dia akan melunak karena seorang nona kecil dan membiarkan Lao Si? Tentu tidak. 　　Jika dia yang kalah, yang menderita adalah istri dan putrinya. 　　Meski merasa Yuan Jie'er patut dikasihani, Jiang Si tidak sampai terlalu berbelas kasihan. Dia berbalik tersenyum: "Dengan campur tangan kita, mungkin Yuan Jie'er tidak perlu kehilangan ibunya." 　　Yu Jin menggelengkan kepala: "Kita sudah menjatuhkan ayahnya. Meski ibunya selamat, saat dia besar nanti dan menyadari perbedaan Putri Sulung pangeran kerajaan dengan gadis biasa, pasti akan membenci kita. Intinya, kita hanya melakukan yang perlu dilakukan. Nasib orang-orang yang menggantungkan hidup pada Lao Si, biarlah itu urusan Lao Si." 　　Sampai di sini, Yu Jin melirik ke luar jendela. 　　Matahari bersinar terang, Anjing Besar sedang menghibur bayi perempuan secantik boneka porselen yang sedang bermain. 　　Perebutan kekuasaan selalu kejam. Jika aku kalah, nasib A Huan akan lebih buruk? 　　Karena itu, dia sama sekali tidak boleh kalah! 　　Di Kediaman Pangeran Qi, segalanya tampak biasa saja. Kepergian nona pertama Yuan Jie'er ke kamar Permaisuri Qi malam tadi tidak menimbulkan banyak perbincangan. 　　Lagipula ini hanya kenakalan sesaat seorang gadis kecil. 　　Setelah merenung, Pangeran Qi memutuskan untuk memanfaatkan momentum ini. Dia menjadwalkan aksi berikutnya pada siang hari itu juga. 　　Karena Yuan Jie'er bermimpi tentang ibunya lalu menemani Nyonya Li semalaman, dia akan memanfaatkan mimpi putrinya ini. Saat Nyonya Li "meninggal karena sakit", bisa dianggap sebagai pertanda gaib sehingga Yuan Jie'er sempat menemani ibunya di malam terakhir. 　　Dengan begitu, takkan ada yang curiga dengan kepergian mendadak Nyonya Li. 　　Matahari semakin terik, waktu telah mendekati tengah hari. 　　Dayang berwajah biasa itu kembali mengantarkan makanan ke paviliun paling terpencil di istana pangeran. 　　Saat menemukan botol keramik kecil di lapisan paling bawah dan sepasang cincin emas, si nenek tidak lagi menunjukkan ekspresi terkejut atau tegang seperti pertama kali. Dengan cekatan ia menyimpan satu cincin emas, sementara satu lagi diselipkan kepada dayang bernama Xiao Hong. 　　Adapun kertas perak 200 tael yang diterimanya semalam, tentu saja Xiao Hong tidak berhak mendapat bagian. 　　Memberi satu cincin emas sudah cukup untuk si gadis itu. Nanti saat bertindak, bukankah dia yang harus bekerja keras? 　　Xiao Hong menggenggam cincin emas dengan wajah pucat: "Ibu Wang, aku--" 　　Si nenek merebut dan menampar Xiao Hong, berbisik marah: "Cepat hilangkan ekspresi kampunganmu! Nanti ingat untuk membantu saja." 　　Xiao Hong mengangguk panik, ingin menangis tapi tak berani. 　　Semalam karena dayang sang nona pertama menginap, dia terpaksa mengosongkan kamarnya dan tidur bersama Ibu Wang. 　　Malam itu, Ibu Wang membocorkan rencana rahasia yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak. 　　Mengharuskan mereka meracuni Permaisuri? Ini terlalu mengerikan-- 　　Si nenek melirik Xiao Hong dengan tatapan yang tak jelas antara iri atau jijik. 　　Memang enak masih muda. Semalam si gadis kecil ini hampir tak tidur, tapi penampilannya tetap segar tanpa lingkaran hitam di mata. 　　"Ibu Wang, bagaimana kita melakukannya?" Xiao Hong bertanya pelan. 　　"Sederhana saja. Masukkan benda itu ke makanan si perempuan gila itu." 　　Di titik ini, si nenek sudah tak sanggup menyebut dua huruf "Permaisuri". 　　“Sebutan ini akan membuatnya merasa bersalah, mengganggu ‘urusan’.” 　　“Mari makan.” 　　Nenek dan Xiao Hong masuk bersama, meletakkan makanan di hadapan Permaisuri Qi. 　　Setelah semalam bersama putrinya, raut wajah Permaisuri Qi terlihat tenang seperti yang belum terlihat lama. Ia mengambil sumpit dan mulai menjangkau lauk. 　　Menu hari ini lebih sederhana dari biasanya: hanya ikan kuning hongshao, bakso kepiting bubuk, dan tumis sayur sawi putih. 　　Permaisuri Qi menyukai ikan, tapi menganggap bakso terlalu berminyak. Secara alami sumpitnya menjulur mengambil sepotong ikan. 　　Nenek itu menahan napas, matanya membelalak saat Permaisuri Qi menyantap ikan. Tiba-tiba alis Permaisuri berkerut, mengeluarkan saputangan dan memuntahkan ikan. Setelah itu ia hanya memakan sawi putih. 　　Melihat nasi di mangkuk Permaisuri Qi sudah separuh habis, nenek itu panik: “Yang Mulia tidak makan ikan?” 　　Permaisuri Qi menatap nenek itu dengan tenang: “Ikan hari ini agak amis.” 　　Telapak tangan yang menggenggam sumpitnya telah basah oleh keringat. 　　Rasa ikannya aneh. Bukan amis, tapi tercampur aroma asing. 　　Ia memuntahkannya hanya karena tidak terbiasa, tapi reaksi si nenek membuktikan ada yang salah dengan makanan ini. 　　Nenek berani melakukan ini! Sudah lama tak menggunakan sebutan hormat, tiba-tiba menyebut “Yang Mulia” dengan hati-hati, bukan dengan nada sarkas seperti biasanya. 　　Kehati-hatian seperti ini sering ia temui saat mengurus rumah tangga istana pangeran, biasanya mengandung maksud permohonan atau harapan tersembunyi. 　　Ia hanya sedang makan, apa yang diharapkan nenek ini? 　　Permaisuri Qi menunduk memandangi nasi putih berbutir kristal dalam mangkuknya, perasaannya bagai terjerembab dalam lautan es. 　　Apakah suaminya yang menganggapnya sebagai pengganggu akhirnya tak tahan untuk bertindak? 　　Dia pernah berjanji, selama ia tinggal diam di pekarangan ini, ia boleh melihat tumbuh besar. 　　Tapi belum berapa lama, dia malah hendak meracuninya! 　　Sungguh kejam suaminya! Ia adalah ibu kandung, istri sah yang telah mendampinginya lebih dari sepuluh tahun! 　　Nenek itu kembali mendesak: "Permaisuri, ikan kuning ini langka. Dapur sengaja menghidangkannya karena tahu Paduka menyukainya. Cobalah cicipi beberapa suap." 　　Tubuh Permaisuri Qi menegang, namun wajahnya tetap tenang: "Hari ini aku tak berselera. Kalian boleh membaginya jika ingin." 　　Usai berkata, ia kembali menunduk menyantap nasinya. 　　Melihat usahanya gagal, sang nenek akhirnya merobek topeng kebaikannya: "Bila Paduka tak suka ikan, cobalah hidangan ini!" 　　Sebuah botol porselen putih tergenggam di tangan nenek itu, mendekati Permaisuri Qi. 　　Ada dua botol racun yang ia terima. Satu botol sudah dituang ke dalam ikan bakar, satunya lagi disimpan sebagai cadangan. 　　“Kalian berani!” Permaisuri Qi melemparkan sumpit ke meja makan dan bergegas bangkit untuk melarikan diri. 　　“Hong, cepat bantu!” 　　Nenek dan Hong mengapit dari depan-belakang, memblokir jalan Permaisuri Qi. 　　Sudah tak peduli dengan sopan santun, nenek berbadan tegap itu dengan sigap meraih bahu Permaisuri Qi satu tangan, sementara tangan lainnya mengarahkan botol keramik ke mulutnya. 　　Hong dari belakang memeluk erat tubuh Permaisuri Qi, membatasi gerakannya. 　　Permaisuri Qi menggelepar keras melawan. 　　Nenek menyeringai dingin: “Teriak sampai tenggorokan pecah pun percuma! Bukan kami yang ingin kau mati.” 　　Bagian Kedua malam ini. Mungkin karena mengucek mata, sejak kemarin sudut mata kiri bengkak merah. Apa salep eritromisin bisa menyembuhkan? Yang pernah mengalami kasih tahu. Kepala sudah pusing membayangkan harus ke rumah sakit. Dabao masuk mode liburan, tiap hari les ini-itu ditambah adik Erbao. Orang dewasa bahkan tak punya hak untuk sakit. 768.BAB 765 Kegagalan 　　BAB 765 Kegagalan 　　Sekalipun sempat putus asa, Permaisuri Qi tak pernah punya keinginan bunuh diri. Terlebih setelah semalam, saat merangkul tubuh kecil putrinya dan merasakan ketergantungan sang Putri padanya, keinginan untuk bertahan hidup semakin membara. 　　Permaisuri Qi mati-matian mengelak, menghindari racun yang terus dijejalkan ke mulutnya. 　　“Xiao Hong, kau ini orang mati?” nenek membentak sambil menambah kekuatan tangannya. 　　Xiao Hong yang dimarahi mengerahkan seluruh tenaga untuk mencengkeram tangan Permaisuri Qi yang meronta. 　　Permaisuri Qi yang sudah lama depresi dan kurus, apalagi melawan nenek yang kuat, bahkan tenaga Xiao Hong pun tak tertandingi. Setelah meronta sebentar, perlahan tubuhnya tak bisa bergerak. 　　Botol porselen putih mulai dituangkan ke mulutnya. Ia sudah merasakan pahitnya cairan itu. 　　Apakah tak bisa lolos lagi? 　　Sebutir air mata mengalir dari sudut mata Permaisuri Qi, membawa segala ketidakrelaan. 　　"Ibu—" Terdengar sayup suara putrinya yang manis di telinganya. 　　Permaisuri Qi terguncang, tiba-tiba melepaskan tenaga tak terduga dan mulai meronta keras. 　　Seketika ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Xiao Hong, menyelip di celah antara Xiao Hong dan nenek lalu kabur. 　　"Xiao Hong—!" nenek terpekik tak percaya sambil berlari mengejar. 　　Xiao Hong ikut mengejar, tiba-tiba kakinya lemas dan terjatuh ke depan, persis menubruk nenek dari belakang. 　　Nenek jatuh dengan posisi anjing menjilat tahi. Sebelum sempat merasakan sakit, tubuhnya sudah tertimpa beban berat hingga menjerit kencang. 　　Xiao Hong yang menindihnya tampak pingsan, lama tak bergerak. 　　“Honghong, kau ini jadi siluman lumpur busuk ya? Tempel di badan orang terus nggak mau lepas?” Nenek itu mengumpat sambil menggeliatkan badan melemparkan Honghong ke bawah. 　　Honghong menjerit kesakitan, tergeletak di tanah tidak bisa bergerak. 　　Nenek itu tak peduli nasib Honghong, berdiri dan mengejar dengan gila-gilaan. 　　Dalam sekejap ilmu bela diri, Permaisuri Qi sudah menerobos pekarangan, lari tunggang-langgang ke belakang. 　　Dia tidak lari ke depan. 　　Di depan ada pengawal istana pangeran, pasti akan langsung diringkus tanpa ampun. Hanya dengan lari ke belakang, mencoba menerobos pintu samping istana, mungkin masih ada secercah harapan. 　　Meski tahu harapannya tipis, Permaisuri Qi tetap tak mau menyerah. 　　Tempat tinggalnya memang terpencil. Pangeran Qi sengaja tidak menempatkan pengawal untuk menghindari kecurigaan. Tanpa kejar-kejaran dengan nenek dan Honghong, jalannya lancar tak terduga. Beberapa saat berlalu hanya bertemu sedikit pelayan. 　　Tapi kelancaran ini tak bertahan lama. 　　Terdengar teriakan nenek dari belakang: "Cepat halangi Permaisuri, Permaisuri sudah gila——" 　　Beberapa pelayan di pinggir jalan yang sempat tertegun baru seperti terbangun dari mimpi, serempak mengejar Permaisuri Qi. 　　Permaisuri Qi di depan, dayang-dayang di belakang, saling kejar bagai pertunjukan konyol. 　　Anehnya, setiap kali ada yang hampir menangkapnya, kaki pengejar tiba-tiba terpeleset sehingga kehilangan kesempatan. 　　Permaisuri Qi berlari hingga pusing dan penglihatan berkunang-kunang, rambutnya terurai kusut, akhirnya melihat pintu samping. 　　"Ibu Zhao, cepat halangi Permaisuri!" 　　Dayang-dayang yang mengejar dari belakang serentak berteriak. 　　"Nenek Zhao" yang mereka sebut adalah penjaga pintu samping itu, kebetulan sedang membawa baskom air keluar saat melihat Permaisuri Qi yang berlari kencang dengan wajah bingung. 　　Teriakan orang-orang membuatnya tersadar, buru-buru maju menghalangi: "Yang Mulia, jangan keluar—" 　　Kaki Nenek Zhao terpeleset, baskom di tangannya terlempar dan tepat menimpa kepala nenek yang paling dekat dengan Permaisuri Qi. 　　Nenek itu sebelumnya sudah kesakitan karena ditimba Xiao Hong, kini kepalanya sakit kena baskom. Matanya berkunang-kunang lalu roboh. 　　Sayangnya dia tidak pingsan. Dengan mata terbuka dia melihat Permaisuri Qi menerobos pintu samping dan segera menghilang dari pandangan. 　　"Ya ampun, Permaisuri lari ke jalan raya—!" Nenek itu menjerit ngeri sebelum akhirnya pingsan menyerah pada kenyataan mengerikan ini. 　　Banyak orang berlarian melewati nenek yang pingsan, tapi tak ada yang peduli. Xiao Hong yang gugup bahkan menginjak tangan nenek itu. 　　Xiao Hong ketakutan, melihat kerumunan yang berlalu lalu menatap nenek tak bergerak. Tiba-tiba naluri jahatnya muncul, dia menginjak lagi perut nenek itu sekuat tenaga. 　　Nenek itu menjerit kesakitan dan membuka matanya, langsung bertatapan dengan wajah pucat Xiao Hong. 　　Xiao Hong terkaget-kaget, berkata dengan bengong: "Permaisuri Qi kabur keluar..." 　　Tadi pingsan, kok baru diinjak sekali langsung sadar? 　　Nenek itu tak menyadari telah dibalas dendam oleh si gadis, mendorong Xiao Hong dan berlari mengejar ke pintu samping. 　　Saat itu Permaisuri Qi sudah sampai di jalan raya. 　　Banyak orang di jalan, melihat seseorang berlarian keluar dari Kediaman Pangeran Qi, ramai berhenti mengamati. 　　Permaisuri Qi berlari sambil berteriak: "Saya Permaisuri Qi, Pangeran Qi ingin membunuh saya untuk menikahi putri bangsawan—" 　　Dia tak berani membongkar perintah Ibu Suri Xian dulu saat ini, itu hanya akan membuat orang-orang menjauh dan mempercepat kematiannya. 　　Gosip mesra tentang Pangeran Qi-lah yang bisa membangkitkan minat orang, bahkan setelah teriakannya ini, meski ditangkap kembali oleh suaminya, nyawanya tak akan langsung dihabisi. 　　Sebab itu akan membuktikan kebenaran ucapannya. 　　Mungkin situasi terjepit ini memicu naluri bertahan hidup Permaisuri Qi yang luar biasa kuat, membuatnya tepat sasaran. 　　Semakin banyak orang yang datang menonton keributan. 　　Pengawal Kediaman Pangeran Qi akhirnya menyusul, dua nenek memaksa menahan Permaisuri Qi sambil menjelaskan ke penonton: "Maaf mempermalukan diri, Permaisuri kami sedang tidak waras, jangan percaya omongannya—" 　　Permaisuri Qi sudah tak memiliki sisa tenaga sedikitpun. 　　Di bawah terik matahari siang hari bolong, dikelilingi kerumunan orang yang menyaksikan, membuatnya menyerah untuk melawan sia-sia dan berteriak parau: "Pangeran hanya muak melihatku sakit, lalu ingin membunuhku untuk menikahi putri bangsawan, tolong selamatkan aku, aku masih harus merawat putriku, aku tak mau mati——" 　　Bukankah dikatakan kecerdasannya terganggu? Maka ia tak menyangkal, justru ingin menunjukkan alasan Pangeran ingin menyingkirkannya pada khalayak. 　　Dalam situasi seperti ini, jika Permaisuri Qi menjerit histeris "Aku tidak gila", itu sama saja mengundang kematian. Kerumunan penonton mungkin akan segera bubar setelah ia diseret kembali ke Kediaman Pangeran. 　　Biasanya orang gila justru akan teriak bahwa dirinya waras. 　　Benar saja, orang-orang yang menonton keributan itu mendengar ucapan Permaisuri Qi, pandangan mereka ke arah rombongan Kediaman Pangeran Qi mulai berubah penuh makna. 　　Rombongan Kediaman Pangeran Qi pun tertegun. 　　Permaisuri tidak mengikuti skenario——Bagaimana ini? 　　Seorang nenek pelayan yang datang berteriak: "Apa kalian beku? Cepat bawa Permaisuri kembali! Bukankah ini mempermalukan diri?" 　　Beberapa dayang-dayang mulai menyeret Permaisuri Qi ke arah kediaman. 　　Dikepung rapat, para pejalan kaki tak lagi melihat bayangan Permaisuri Qi, hanya teriakan putus asa yang terdengar: "Pangeran Qi ingin membunuh istrinya untuk menikah lagi, tolong selamatkan aku, putriku tak bisa kehilangan ibunya——" 　　Tak lama kemudian bahkan teriakan itu pun terdiam. 　　Pangeran Qi yang bergegas datang setelah menerima kabar dan bersembunyi di belakang pintu sudut, wajahnya pucat pasi, hampir-hampir ingin meremukkan Permaisuri Qi beserta dayang-dayang yang hanya bisa merusak segalanya ini menjadi serpihan. 　　Setelah keributan yang dibuat Nyonya Li ini, wajahnya benar-benar tercoreng. 　　Tiba-tiba sebuah suara terdengar: "Tunggu sebentar." 　　Beberapa pria bergegas menuju pintu sudut dan menghentikan para pelayan. 　　Nenek yang memimpin berteriak: "Kalian siapa? Ini adalah Kediaman Pangeran Qi, jangan ikut campur!" 769.BAB 766 Penghinaan 　　BAB 766 Penghinaan 　　Beberapa pria itu berwajah dingin, mengelak dari nenek itu dan berjalan menuju pintu sudut. 　　Pangeran Qi merasa ada yang tidak beres, memberi isyarat pada mandor yang mengikutinya untuk maju menghadapi. 　　Begitu mandor itu mendekat, pria yang memimpin langsung mengangkat kartu identitasnya. 　　Tulisan "Jinyiwei" pada kartu itu membuat sang mandor pusing, berkata "Tunggu sebentar" lalu buru-buru melapor pada Pangeran Qi. 　　"Paduka, ini Jinyiwei--" 　　Wajah Pangeran Qi memucat, dengan tenang yang dipaksakan ia mendorong mandor itu dan maju: "Oh ternyata saudara-saudara dari Jinyiwei, silakan masuk--" 　　Jinyiwei adalah mata dan telinga Kaisar Jingming. Meski berstatus pangeran, tak seorang pun berani menyepelekan kedatangan Jinyiwei. 　　Pria yang memimpin memberi hormat pada Pangeran Qi: "Belakangan ini kami mendapat perintah untuk berpatroli di sini. Tadi melihat kerumunan orang, kami datang untuk menanyakan situasi pada Paduka." 　　Pangeran Qi tersenyum canggung: "Dayang-dayang tidak merawat istri saya dengan baik, membuatnya sakit dan lari ke jalan, mempermalukan hadirin semua..." 　　Saat itu, para pelayan yang menyeret Permaisuri Qi tidak berani bertindak gegabah karena kemunculan mendadak Pengawal Jinlin, berhenti di kejauhan menunggu instruksi Pangeran Qi. 　　Permaisuri Qi dikepung rapat oleh para pelayan, menghalangi pandangan Pengawal Jinlin, sementara mulutnya yang tersumbat hanya bisa mengeluarkan suara mendengkur halus. 　　"Cepat antar Permaisuri kembali!" Pangeran Qi mengerutkan alis lalu tersenyum pada Pengawal Jinlin, "Saudara-saudara, masuklah minum teh." 　　Pria pemimpin bersikap tidak rendah diri maupun sombong sambil mengepalkan tangan: "Tidak berani mengganggu Pangeran, hanya perlu memberitahu bahwa kami harus melaporkan kejadian hari ini kepada atasan." 　　Permaisuri Qi tiba-tiba berhenti meronta, mata berbinar dengan senyum lega. 　　Taruhannya menang! Taruhannya menang! 　　Jika Pengawal Jinlin tahu, berarti Ayah Kaisar juga akan tahu. Apapun keputusan Ayah Kaisar, nyawanya seharusnya aman. 　　Cukup bisa hidup. Selama masih bernafas, akan tetap memiliki ibu... Air mata Permaisuri Qi jatuh berderai-derai. 　　Pangeran Qi merasa dadanya sesak mendengar perkataan Pengawal Jinlin, memaksakan senyum: "Masalah kecil seperti ini tidak perlu merepotkan Ayah Kaisar, bukan?" 　　Pria yang memimpin berkata: “Terus terang pada , sejak insiden , pengawasan di sini diperketat. Atasan memerintahkan untuk melaporkan segala keanehan...” 　　“Kalau begitu, kami merepotkan kalian semua. akan segera menghadap ke istana.” Meski sangat frustasi, sama sekali tidak menampakkannya di wajah. 　　Pria pemimpin yang melihat kooperatif, diam-diam lega lalu bersikap hormat: “Kami mohon diri.” 　　Setelah berkata demikian, ia melirik yang dikepung pelayan istana, baru pergi bersama anak buahnya. 　　 memerintahkan pelayan untuk mengantar kembali ke pekarangan, lalu bergegas menuju istana. 　　Ayah Kaisar pasti akan memiliki kesan berbeda jika mendengar kejadian hari ini dari Jinlinwei dibandingkan dari dirinya. Ia tak bisa pasif membiarkan orang lain yang bercerita. 　　 terlambat selangkah. Saat ini Komandan Jinlinwei sudah berdiri di . 　　 mendengar laporan , wajahnya mulai menghitam. 　　Belum lama ini, kenapa sudah ada ulah aneh lagi! 　　 baru di sudah diganti. Yang sebelumnya hancur setelah maklumat penghukuman dikeluarkan, dihancurkan saat tidak ada orang asing. 　　Sebenarnya ia tak ingin, tapi mustahil meredam amarah di hati tanpa menghancurkan sesuatu. Akhirnya kemarahan itu ditumpahkan pada . 　　 menyaksikan wajah yang menghitam, gemetar ketakutan saat melapor. 　　“Setelah mendengar laporan anak buah, dia terpaksa berlari masuk istana.” 　　“Dalam dua tahun terakhir, insiden sering terjadi, tetapi Jinlinwei sama sekali tidak berfungsi, membuat Kaisar tidak puas. Setelah insiden Pangeran Xiang, dia mengirim orang untuk memantau istana-istana pangeran besar, tidak berani lengah lagi.” 　　“Panggil Pangeran Qi masuk istana.” Kaisar Jingming mengerutkan kening setelah mendengar laporan, lalu memerintahkan Pan Hai dengan wajah muram. 　　“Pan Hai baru saja mengiyakan ketika seorang pelayan istana bergegas melapor bahwa Pangeran Qi telah tiba.” 　　“Suruh dia masuk.” 　　“Tak lama kemudian, Pangeran Qi bergegas masuk ke ruang studi kekaisaran. Sekilas dia melihat Han Ran, komandan Jinlinwei yang berdiri di samping, hatinya langsung tenggelam.” 　　“Mengapa Han Ran bisa secepat ini?” 　　“Han Ran menundukkan pandangan, menghindari tatapan Pangeran Qi.” 　　“Anak buahnya sudah muncul untuk mengingatkan Pangeran Qi. Kalau Pangeran Qi lambat, itu bukan kesalahannya.” 　　“Pangeran Qi tahu situasi buruk. Dia mengangkat ujung jubahnya dan berlutut: 'Anak datang untuk mohon ampun pada Ayah Kaisar.'” 　　“Mohon ampun?” Kaisar Jingming mengangkat alis, sorot matanya dalam. “Apa kesalahanmu sampai perlu minta ampun?” 　　“Pangeran Qi tersendat, lalu berkata canggung: 'Anak gagal mengawasi. Pelayan istana tidak merawat Permaisuri dengan baik, membiarkannya lari keluar dan mempermalukan keluarga kerajaan—'” 　　“Aku dengar Nyonya Li berteriak di jalan bahwa kau ingin membunuhnya?” Kaisar Jingming bertanya dengan muka hitam. 　　“Sungguh mempermalukan muka keluarga kerajaan! Brengsek-brengsek ini tidak ada yang bisa diandalkan!” 　　Pangeran Qi dengan wajah panik berkata dengan sedih: "Ayah Kaisar, itu teriakan sembarangan Nyonya Li, mana mungkin anak lelaki punya niat seperti itu——" 　　Kaisar Jingming mengelus-elus pemberat kertas giok sambil berkata penuh arti: "Lao Si, apakah Nyonya Li benar-benar gila atau tidak, kau sendiri tahu." 　　Seketika keringat mengucur deras membasahi tubuh Pangeran Qi. 　　Awalnya mengumumkan bahwa Nyonya Li gila hanya untuk menutupi aksi kejinya mencoba membunuh Permaisuri Yan. Nyatanya Nyonya Li sama sekali tidak gila. 　　Fakta ini dia tahu, Ayah Kaisar dan Permaisuri juga jelas-jelas paham. 　　Teriakan "ingin membunuh istri" dari Nyonya Li yang dianggap gila mungkin bisa diabaikan Ayah Kaisar, tapi teriakan yang sama dari Nyonya Li yang waras tentu membuat pertanyaan ini tak terhindarkan. 　　Pangeran Qi menyungkurkan dahinya ke lantai, suaranya gemetar penuh permohonan: "Ayah Kaisar, anak lelaki sungguh tak punya niat itu. Nyonya Li adalah istri sah anak lelaki, telah menemani anak lelaki lebih dari sepuluh tahun. Meski telah berbuat kesalahan besar, mencabut kekuasaan dan kebebasannya sebagai permaisuri sudah merupakan hukuman yang sangat berat. Anak lelaki tak punya alasan apalagi tega untuk mencabut nyawanya..." 　　"Bukan karena ingin menikahi putri bangsawan lain?" Masalah yang terus-menerus ditimbulkan para pangeran telah mengikis habis kesabaran Kaisar Jingming, membuat pertanyaannya terdengar kasar. 　　Seluruh tubuh Pangeran Qi bergetar, hatinya dipenuhi kepedihan. 　　Jelas Ayah Kaisar memperlakukan dia berbeda dengan saudara-saudara yang lain. 　　Dari sekian banyak saudara, hanya dia yang mendapat perlakuan paling kejam dan tak berperasaan. 　　Bertahun-tahun dia menahan diri, bahkan kepada pengawal rendahan pun selalu tersenyum. Atas dasar apa Ayah Kaisar memperlakukan dia seperti ini? 　　“Pangeran Qi suaranya tersekat: ‘Matahari dan bulan dapat menjadi saksi, anak lelaki sama sekali tidak memiliki keinginan seperti itu.’” 　　“Kalau begitu, Nyonya Li menderita gangguan histeris?” 　　Pangeran Qi merendahkan kepala: “Mungkin Nyonya Li menyimpan dendam, sehingga melakukan tindakan ini——” 　　Kaisar Jingming menutup mata sejenak, berkata: “Pan Hai, kau bawa orang ke Kediaman Pangeran Qi, antar Permaisuri Qi ke kuil keluarga.” 　　Di belakang kuil kerajaan terdapat sebuah biara yang khusus menampung selir-selir yang pernah melayani almarhum kaisar, atau wanita bangsawan yang bergabung karena berbagai alasan. 　　Pangeran Qi menunduk mendengar pengaturan Kaisar Jingming, hatinya tiba-tiba terasa jatuh. 　　Begitu Nyonya Li masuk ke kuil keluarga kerajaan, selamanya tidak akan ada lagi ruang baginya untuk campur tangan. 　　Selama Nyonya Li masih hidup sehari, dia tidak bisa menikah lagi sehari. Kediaman Pangeran Qi yang megah akan berantakan. 　　Bagaimana jika Nyonya Li hidup lebih lama darinya? Apakah istana pangeran akan terus tanpa nyonya rumah? 　　Memikirkan ini, Pangeran Qi memiliki dorongan kuat untuk membenturkan kepala ke tembok. 　　Kaisar Jingming tidak sabar melihat Pangeran Qi, berkata dingin: “Kau mundur saja, ke depannya berperilakulah baik.” 　　Hati Pangeran Qi benar-benar menjadi dingin. 　　Apakah Ayah Kaisar sudah membencinya? 770.BAB 767 Persyaratan 　　BAB 767 Persyaratan 　　Hati Pangeran Qi mendadak membeku, lupa bergerak. 　　Kaisar Jingming meliriknya, dengan wajah muram mengusap-usap pemberat kertas giok putih. 　　Pangeran Qi membungkukkan kepala sekali, baru bangkit: “Ayah Kaisar, anak lelaki ingin memberi salut kepada Ibu Selir dan memberitahukan tentang masalah Nyonya Li.” 　　“Permaisuri Qi adalah menantu perempuan Ibu Suri Xian. Dengan kejadian seperti ini, wajar jika Pangeran Qi memberitahukan hal tersebut.” 　　“Dulu, Pangeran Qi yang selalu berhati-hati takkan mengungkit hal ini. Tapi kini, setelah menerima pukulan bertubi-tubi, dia mulai sadar bahwa terus menerus menahan diri tak ada gunanya, sehingga memilih untuk lebih terbuka.” 　　“Tak disangka Kaisar Jingming menolak permintaan Pangeran Qi: 'Datanglah menghadap ibumu setelah urusan Nyonya Li selesai. Ibumu belakangan ini kesehatannya menurun, jagalah tutur katamu saat bertemu nanti.'" 　　“Anak lelaki mengerti.” Pangeran Qi mundur dalam diam. 　　Di ruang studi kekaisaran, selain Kaisar Jingming dan Pan Hai, hanya tersisa Komandan Jinlinwei Han Ran sebagai pejabat luar. 　　Kaisar Jingming melirik Han Ran sekilas, tak mau berpanjang lebar, lalu melambaikan tangan menyuruh mereka menjalankan tugas. 　　Pan Hai dan Han Ran segera mundur. Kaisar Jingming yang tersisa sendirian terus mengangkat-meletakkan pemberat kertas giok putih berulang kali. Akhirnya tak kuasa menahan amarah, melemparkan pemberat kertas giok putih yang baru diganti ke lantai. 　　Pemberat kertas itu hancur berkeping-keping. Amarah Kaisar Jingming baru mereda, meski raut wajahnya tetap muram. 　　“Aku belum tua dan pikun! Kejadian hari ini jelas ulah Lao Si yang ingin menyingkirkan Nyonya Li.” 　　“Lao Si ingin membunuh istrinya untuk menikah lagi. Perkataan Nyonya Li mungkin benar.” 　　Meski Permaisuri Qi telah berbuat kesalahan, menurut Kaisar Jingming, siapapun boleh merendahkannya kecuali Pangeran Qi yang berniat membunuh. 　　Keluarga kekaisaran memang kejam, tapi Lao Si tega memperlakukan istri sahnya seperti ini, sungguh terlalu dingin. 　　Apalagi sebelumnya Pangeran Qi selalu berpura-pura saling menghormati dan penuh kasih di hadapan Kaisar Jingming, kini perbuatannya semakin membuat hati merinding. 　　Mengenai perintah untuk Han Ran melanjutkan penyelidikan, itu tidak perlu lagi. 　　Lao Si adalah putranya sendiri. Jika niat membunuh istri diumumkan ke seluruh negeri, apakah itu membawa kehormatan bagi sang Kaisar? Lebih baik kirim Nyonya Li ke kuil keluarga dan tutup rapat kasus ini. 　　Kaisar Jingming bangkit berjalan keluar, memberi perintah pada Xiao Lezi yang berjaga di pintu: "Ganti pemberat kertas dengan yang baru." 　　Konon sudah ada kabar angin bahwa beliau gemar menghancurkan pemberat kertas, sungguh tidak pantas! 　　Pan Hai yang sedang menuju ke Kediaman Pangeran Qi menggelengkan kepala memikirkan sang Pangeran. 　　Meski hari ini Kaisar terlihat tidak menindaklanjuti, mulai sekarang Pangeran Qi mungkin akan dijauhi. Jika dipikir-pikir, ini situasi yang sangat buruk. 　　Posisi calon penguasa mungkin sudah di luar jangkauan Pangeran Qi. 　　Setelah insiden Pangeran Xiang, calon yang tersisa hanya Pangeran Qi, Pangeran Lu, Pangeran Shu, dan Pangeran Yan. 　　Di mata orang awam, peluang Pangeran Qi jelas yang terbesar. Tapi sebagai orang kepercayaan Putra Langit, Pan Hai justru tidak optimis dengan Pangeran Qi. 　　Di antara keempat pangeran, Pangeran Qi yang paling tua dan ibunya seorang selir berdarah bangsawan tinggi. Seharusnya dia calon jelas untuk posisi Putra Mahkota, tapi Kaisar terus menunda penunjukan. 　　Apa artinya ini? Ini menunjukkan Kaisar tidak puas dengan kandidat yang paling cocok, yaitu Pangeran Qi! 　　“Lucunya orang-orang berpandangan sempit, tak bisa melihat dengan jelas.” 　　Apakah Pangeran Qi benar-benar berniat membunuh Permaisuri Qi atau tidak, sebenarnya tidak penting. Yang penting adalah apakah Sang Kaisar akan berpikir demikian. 　　Jelas Sang Kaisar memang beranggapan begitu, bahkan merasa tak perlu penyelidikan lebih lanjut. 　　Keributan yang dibuat Permaisuri Qi ini membuat Pangeran Qi, setelah Pangeran Xiang, tak hanya menjadi bahan perbincangan baru bagi rakyat ibu kota, tapi juga dibenci Kaisar. Benar-benar nasib sial yang luar biasa. 　　Sungguh menarik. Di kedalaman istana pangeran yang dijaga ketat oleh dayang-dayang dan pengawal, bagaimana mungkin Permaisuri Qi yang lemah tak berdaya bisa kabur sampai ke jalanan? 　　Pan Hai menggeleng-gelengkan kepala sambil berpikir, dalam hati bergumam: Urusan-urisan baru para pangeran semakin banyak saja. 　　“Paman Pan, perlukah saya bantu?” Tanya Komandan Jinlinwei Han Ran yang baru keluar dari istana dengan sopan. 　　Pan Hai menangkupkan tangan: “Komandan Han silakan urus tugasmu. Tak usah merepotkanmu.” 　　“Baiklah. Paman Pan bila perlu bantuan, silakan katakan.” Walau berkata demikian, Han Ran tetap berjalan bersama Pan Hai. 　　Pan Hai melirik tajam ke arahnya. 　　Bukannya sudah bilang tak perlu, kenapa masih mengikutinya? 　　Han Ran sepertigus membaca pikiran Pan Hai, lalu menjelaskan dengan pasrah: “Belakangan ini Distrik Zhuque menjadi fokus pengawasan.” 　　Pan Hai tersadar. 　　Beberapa istana pangeran memang terletak di Distrik Zhuque. Tak hanya Jinlinwei, kabarnya Prefect Shuntian Zhen Shicheng juga meningkatkan patroli di sini... 　　"Setibanya di Kediaman Pangeran Qi, Pan Hai berkata kepada Pangeran Qi yang juga baru masuk: 'Paduka, mohon Permaisuri untuk keluar.'" 　　"'Paman Pan harap menunggu sebentar.'" 　　"Meninggalkan Pan Hai di aula penerima tamu, Pangeran Qi bergegas menuju tempat Permaisuri Qi." 　　"Saat itu Permaisuri Qi sedang diawasi ketat oleh beberapa dayang-dayang, bagai sayap yang dipotong - mustahil melarikan diri." 　　"Permaisuri Qi tentu saja tidak punya niat untuk kabur lagi, malah terlihat tenang." 　　"Hanya ketika mencapai titik inilah seseorang benar-benar menyadari betapa berharganya kehidupan." 　　"Kemewahan, kehormatan, dan kemasyhuran tak ada artinya dibanding kehidupan yang damai." 　　"Dengan keributan ini, nyawanya bisa dikatakan aman. Suami itu munafik, mana mungkin mau dicap sebagai pembunuh istri? Justru sekarang dialah yang paling takut Permaisuri mati dalam waktu dekat." 　　"Suara langkah kaki terdengar." 　　"Kelopak mata Permaisuri Qi bergetar halus, tapi ia tak menoleh." 　　"Meski tak melihat, mana mungkin ia tak mengenali siapa yang datang." 　　"Tak lama, suara yang akrab bergema: 'Kalian semua mundur.'" 　　"'Baik.' Dayang-dayang pun bergegas keluar." 　　"Permaisuri Qi membelakangi Pangeran Qi, tetap membisu." 　　"Pangeran Qi menatap punggungnya dengan pandangan penuh jijik: 'Kau terlalu egois! Dengan keributan hari ini yang membuatku kehilangan muka, pernahkah kau pikirkan manfaatnya bagi?'" 　　"Permaisuri Qi berbalik mendadak, menyeringai dingin: 'Apakah kehilangan ibu kandungnya akan membawa manfaat?'" 　　“Pangeran Qi tertegun, tak menyangka Permaisuri Qi yang selama ini dikenal lembut dan patuh bisa begitu tajam.” 　　“Seorang ibu yang gila, seorang ayah yang berstatus pangeran kerajaan, menurutmu siapa yang memberi imbalan memadai untuknya?” 　　Permaisuri Qi mendengar kata-kata ini, hampir-hampir ingin menerjang merobek wajah menjijikkan Pangeran Qi. 　　Apakah lelaki ini menganggapnya bodoh, masih berusaha membujuknya mati? 　　Tapi akhirnya ia menahan amarah, bertanya dengan tenang: “Bagaimana dengan? Aku ingin menemuinya.” 　　Pangeran Qi menyeringai: “Tak perlu menemui, bersiaplah dan ikut Paman Pan ke kuil keluarga.” 　　“Kuil keluarga?” 　　Sorot dingin melintas di mata Pangeran Qi, dengan enggan berkata: “Ayah Kaisar telah mendengar kabarmu, memintamu beristirahat di kuil keluarga.” 　　Justru karena ini, sejak saat itu pengaruhnya tak sampai, mungkin takkan bisa mengendalikan wanita ini lagi. 　　“Ayah Kaisar memintaku pergi ke kuil keluarga?” Permaisuri Qi menatap tajam Pangeran Qi. 　　Pangeran Qi kesal dengan tatapan kosong itu, geram berkata: “Paman Pan masih menunggu di luar, cepatlah pergi. Ingat jangan bicara sembarangan, kalau tak memikirkan dirimu sendiri, pikirkanlah.” 　　Permaisuri Qi tetap diam, membisu begitu lama hingga Pangeran Qi kembali mendesaknya. 　　Permaisuri Qi seolah telah bulat tekad, berkata: “Aku punya satu permintaan terakhir.” 　　“Katakan.” Pangeran Qi menahan jijik, melontarkan satu patah kata. 　　Permaisuri Qi mengucapkan kata demi kata: "Aku ingin membawa ikut bersama." 　　"Kau bilang apa?" 　　Ekspresi Permaisuri Qi tenang: "Kuil keluarga sepi, aku tak tahan derita perpisahan anak kandung. Aku ingin menemaniku." 771.BAB 768 Kepergian 　　BAB 768 Kepergian 　　Alasan yang diberikan Permaisuri Qi agak sedikit manja, padahal biasanya dia bukan tipe orang seperti ini. 　　Pangeran Qi tentu menolak, berkata dengan nada sinis: "Nyonya Li, apa kau benar-benar gila? adalah Putri Sulung Kediaman Pangeran Qi, kau mau dia menemanimu hidup dalam kesunyian lentera dan patung Buddha?" 　　Permaisuri Qi menatap Pangeran Qi, tiba-tiba tersenyum dengan nada penuh ejekan: "Rupanya Paduka juga mengakui bahwa aku tidak gila." 　　Pangeran Qi tersedak, marah: "Untuk apa membahas ini sekarang? Kau tidak gila lalu kenapa? Bukankah urusan meracuni Permaisuri Yan itu ulahanmu?" 　　"Kau--" Permaisuri Qi hampir berteriak bahwa Ibu Suri Xian yang menyuruh, tapi menelan kembali kata-katanya. 　　Seperti yang dikatakan suaminya ini, untuk apa lagi membahas semua ini sekarang? 　　Siapa dalang di balik upaya pembunuhan Permaisuri Yan, bulan yang tahu, bumi yang tahu, dia tahu, dan suaminya ini pun sebenarnya juga tahu. 　　Hanya saja menjadikan dirinya sebagai kambing hitam agar masalah ini bisa ditutup. 　　"Cukup! Jika tidak ada lagi yang perlu dipersiapkan, mari kita pergi. Jangan buat Paman Pan menunggu lama." 　　Permaisuri Qi tetap tak bergeming. 　　Pangeran Qi menahan amarah bertanya: "Apa sebenarnya yang kau inginkan?" 　　Permaisuri Qi semakin tenang: "Sudah kukatakan, aku ingin putriku menemaniku." 　　"Li Shi, dulu kau tidak sebodoh ini. Pernahkah kau pikirkan masa depan Yuan Jie'er jika mengikutimu?" Pangeran Qi menggenggam pergelangan tangan Permaisuri Qi, bertanya sambil menggeretakkan gigi. 　　Permaisuri Qi tersenyum sinis: "Dalam posisiku sekarang, aku tak berhak memikirkan hal sebanyak itu. Hanya ingin mengikuti kata hati ditemani putriku." 　　"Bagaimana jika aku tidak setuju?" Pangeran Qi bertanya dingin. 　　Yuan Jie'er adalah putri sulung resmi Kediaman Pangeran Qi. Jika benar-benar mengikuti Li Shi ke kuil keluarga, ke mana harga dirinya akan pergi? 　　Permaisuri Qi menatap langsung ke mata Pangeran Qi, ketenangan wajahnya tak bisa menyembunyikan tekad di matanya: "Kalau begitu aku tidak akan ikut Pan Hai ke kuil keluarga. Lebih baik mati di sini!" 　　"Kau--" 　　Permaisuri Qi mengabaikan keterkejutan Pangeran Qi, tertawa dingin: "Hanya saja aku penasaran, bagaimana pendapat orang jika aku benar-benar menabrak pilar hingga tewas di istana pangeran ini?" 　　Wajah Pangeran Qi berubah pucat. 　　Jika Li Shi mati saat ini, dunia pasti takkan percaya itu bunuh diri. Dirinya bahkan tidak akan bisa membersihkan diri sekalipun terjun ke Sungai Kuning. 　　Ayah Kaisar-- Pangeran Qi tak berani melanjutkan pikirannya. 　　Meskipun hari ini Ayah Kaisar tidak menyelidiki lebih jauh, tapi jelas sangat tidak puas. Jika Li Shi mati, mungkin beliau akan benar-benar muak padanya... 　　Bagi Pangeran Qi, dibandingkan harga diri, tentu kasih sayang Kaisar Jingming jauh lebih penting. 　　"Ia menatap langsung Permaisuri Qi, akhirnya menasihati: 'Nyonya Li, kau sudah mantap? Jikatinggal lama bersama ibu yang reputasinya seperti ini, masa depannya tidak akan cerah.'" 　　Permaisuri Qi langsung memalingkan kepala, tak lagi memandang Pangeran Qi. 　　"Baiklah, kemas barangmu. Aku akan segera memerintahkan orang untuk memanggil." 　　Permaisuri Qi diam-diam lega, mengusap pelipisnya: "Tak ada yang perlu dikemas. Setelahdatang, kita bisa langsung pergi." 　　Pangeran Qi enggan memandang Permaisuri Qi, berjalan keluar dengan tangan terkepal di belakang. Suara Permaisuri Qi menyusul dari belakang. 　　"Barang-barang maharku akan tetap di istana pangeran. Biarkanyang mengambilnya kelak." 　　Pangeran Qi berbalik mendadak, wajah pucat pasi: "Nyonya Li, jangan keterlaluan! Apakah aku akan mengincar barang-barang maharmu?" 　　Permaisuri Qi tersenyum sinis: "Tuan berbicara seolah-olah tak pernah memakainya dulu--" 　　"Cukup!" Pangeran Qi membentak keras lalu pergi tergesa. 　　Meski pendapatan istana pangeran lumayan, kebutuhan untuk menjaring sekutu tak terhingga. Tentang penggunaan barang mahar Nyonya Li untuk menutupi defisit, ia sudah paham meski tak pernah mengaku. 　　Karena itulah, Pangeran Qi semakin jijik pada Permaisuri Qi yang terang-terangan ini, berusaha menghindar sejauh mungkin. 　　Yang dihindarinya bukan hanya Permaisuri Qi, tapi juga harga diri lelaki yang tercabik-cabik. 　　Pan Hai sudah menunggu cukup lama, wajahnya tetap tenang, hanya dalam hati mengutuk Pangeran Qi berulang kali. 　　Pantas saja Kaisar tidak menyukainya, kerjanya sama sekali tidak efisien. 　　Pangeran Qi datang terlambat, buru-buru meminta maaf ke Pan Hai: "Maaf membuat Paman Pan menunggu lama, istri hamba ada masalah sedikit." 　　Pan Hai segera menanyakan keadaannya. 　　Pangeran Qi tersenyum getir: "Istri hamba bersikeras putri mendampinginya, kalau tidak mau pergi. Hamba sudah membujuk lama tapi tidak berhasil, akhirnya menyuruh orang memanggil..." 　　"Ternyata begitu." 　　 putri kesayangan Pangeran Qi, Pangeran Qi menyetujui putrinya ikut Permaisuri Qi, tentu Pan Hai tidak perlu ikut campur. 　　Setelah menunggu lagi sebentar, Pan Hai akhirnya melihat Permaisuri Qi muncul. 　　Mendampingi Permaisuri Qi ada seorang anak perempuan berusia 8-9 tahun, wajahnya masih polos, sepertinya belum mengerti apa yang terjadi. 　　Permaisuri Qi yang menutupi wajah dengan kerudung tipis memberi hormat khidmat ke Pan Hai, suaranya lembut: "Maaf merepotkan Paman Pan menunggu, mari kita berangkat." 　　Tak lama kemudian Permaisuri Qi menarik tangan naik kereta kuda, semakin menjauh dari Kediaman Pangeran Qi. 　　 mengangkat gorden jendela melihat ke belakang, namun di belakang kosong melompong tak terlihat bayangan Ayah. 　　 kecewa menurunkan gorden jendela, bertanya dengan gelisah: "Ibu, ke mana kita akan pergi?" 　　Permaisuri Qi membelai lembut pipi putrinya yang halus, berkata dengan lembut: "Kita pergi ke tempat yang sepi." 　　"Tempat sepi? Apakah ada Ayah di sana?" 　　"Tidak ada." 　　"Ada teman bermain?" 　　"Tidak ada." 　　"Ada Shifu yang mengajariku bermain qin?" 　　"Juga tidak ada." 　　Yuan Jie'er terdiam. 　　Permaisuri Qi memandangi putrinya dengan penuh kelembutan: "Tapi kau punya ibu, ibu akan selalu menemanimu." 　　Kau juga bisa selalu menemani ibu, bukan mengikuti ayah yang berhati dingin dan kejam itu. Entah kapan malapetaka besar akan datang, bukan hanya kemuliaan sebagai putri bangsawan yang hilang, bahkan nyawa pun bisa melayang. 　　Mungkin karena baru selamat dari maut, Permaisuri Qi melihat dengan jelas bahwa ambisi Pangeran Qi atas posisi kekaisaran hanyalah mimpi siang bolong. 　　Ayah Kaisar yang murah hati, bagaimana mungkin menyukai orang yang begitu kejam dan tak berperasaan pada istri sahnya? 　　Dia akan menjaga putrinya, dan membiarkan suami itu terus membuat masalah sendiri. 　　Dendam karena dimanfaatkan dan dipermalukan tidak bisa dibalasnya, tapi pasti ada yang akan membalasnya. 　　Setelah tenang, Permaisuri Qi mulai meragukan kemampuannya melepaskan diri dari halangan Dayang-dayang tersebut dan melarikan diri ke jalanan. 　　Dia sama sekali tak punya tenaga, jika bukan karena perlindungan dewa, pasti ada yang diam-diam membantu. 　　Apapun penyebabnya, ini menunjukkan suami tak berperasaan itu mulai kalah. 　　Sungguh menyenangkan hati. 　　Senja matahari menarik bayangan panjang kereta kuda, kereta berkelambu hijau yang sederhana perlahan menghilang dalam cahaya senja. 　　Di Kediaman Pangeran Qi yang semakin sepi, sang pangeran menginterogasi para pelayan lalu terbenam dalam perenungan. 　　Kemampuan Nyonya Li melarikan diri ke jalan jelas menunjukkan masalah ini tidak sesederhana itu. 　　Ada pengkhianat di dalam Kediaman Pangeran Qi! 　　Setelah pemeriksaan menyeluruh, terungkap fakta: seorang tukang kebun yang baru direkrut hilang dari kediaman. 　　Pangeran Qi melempar buku daftar nama ke lantai dengan kasar, marah kepada mandor: "Bagaimana kau mengelola ini?!" 　　Dulu saat Nyonya Li mengurus rumah tangga, staf baru harus melalui pelatihan selama tiga tahun sebelum ditempatkan—— 　　Pangeran Qi menghela napas dalam hati. 　　Jangan pikirkan lagi perempuan itu, semakin dipikir semakin kesal. 　　Siapa bajingan yang menyusupkan mata-mata ini ke kediaman pangeran? 772.BAB 769 Perhitungan 　　BAB 769 Perhitungan 　　Yang pertama disingkirkan dari daftar tersangka adalah Pangeran Lu. 　　Kalau Lao Wu punya kecerdasan dan kemampuan seperti itu, dia tak akan tetap menjadi pangeran kelima. 　　Maka tersisa Putra Keenam dan Putra Ketujuh. 　　Putra Keenam jelas sedang mundur sambil menunggu kedua pihak bertarung, kemungkinannya kecil. 　　Putra Ketujuh——Pangeran Qi memikirkan Yu Jin, matanya berkilat dingin penuh kebencian. 　　Pasti Lao Qi anak serigala itu yang jadi dalang! 　　Sejak kepulangan Lao Qi ke ibu kota, masalah terus beruntun datang, mengubah situasi damai yang bertahun-tahun terjaga. 　　"Insiden yang menimpa Lao Ba kali ini jelas ditujukan padanya, mana mungkin tidak ada rencana lanjutan?" 　　"Pertama habisi para pembantunya, lalu habisi dirinya. Lao Qi benar-benar bertindak cepat dan tegas tanpa basa-basi." 　　"Merenungkan semua kesabaran selama bertahun-tahun, membangun reputasi baik sedikit demi sedikit, tapi dengan Nyonya Li berlarian ke jalanan, seketika ia menjadi bahan obrolan ringan masyarakat. Untuk pertama kalinya, Pangeran Qi merasakan keraguan." 　　"Jangan-jangan jalannya selama ini salah, dan seharusnya ia bertindak tanpa peduli seperti Lao Qi?" 　　"Tidak boleh. Ia harus masuk istana untuk memberi sinyal pada ibu selirnya." 　　"Dengan tekad bulat, keesokan harinya Pangeran Qi memasuki istana." 　　"Nyonya, Pangeran sudah tiba." 　　"Di Istana Yuquan yang sejak beberapa waktu lalu selalu tercium aroma obat samar, seorang dayang berbisik pada Ibu Suri Xian yang sedang bersandar di penyekat ranjang sambil memejamkan mata." 　　"Meski sudah musim semi akhir, Ibu Suri Xian masih mengenakan jaket berlapis, wajahnya pucat renta." 　　"Dia membuka mata dan berbisik lebih lembut: 'Persilakan Pangeran masuk.'" 　　"Tak lama kemudian Pangeran Qi masuk. Melihat wajah Ibu Suri Xian, semua kata yang hendak diucapkannya mendadak tertahan." 　　"Ibu Suri Xian mengusir para pelayan lalu bertanya: 'Ada urusan penting?'" 　　"Pangeran Qi menghindari pertanyaan: 'Ibu Selir, penampilan Ibu tidak baik. Apakah Ibu masih tidak enak badan?'" 　　"Ibu Suri Xian tersenyum lemah: 'Sakit pun bukan sakit sungguhan, hanya seluruh tubuh tak bertenaga. Katakanlah urusanmu. Jika dipendam, justru membuatku semakin tak nyaman.'" 　　Pangeran Qi ragu sejenak, lalu mulai bercerita tentang Permaisuri Qi. 　　Ibu Suri Xian memejamkan mata sambil mendengar, wajahnya semakin pucat. Tenggorokannya gatal ingin batuk, tapi ditahannya di hadapan Pangeran Qi. 　　Setelah selesai berbicara, Pangeran Qi mengepal tangan dengan kencang: "Anak lelaki pasti dijebak Lao Qi!" 　　Ibu Suri Xian baru membuka mata setelah lama, suaranya dingin: "Ibu sudah tahu anak durhaka itu takkan puas hanya tercatat di bawah Permaisuri. Dia mengincar posisi calon penguasa!" 　　Pangeran Qi mengusap wajahnya dengan kasar: "Dengan hak untuk bersaing, siapa tak ingin mencoba? Tapi anak lelaki tak bisa diam menunggu Lao Qi menginjak-injakku! Ibu Selir, Ibu lihat sendiri, Lao Qi sama sekali tak punya rasa persaudaraan. Jika dia berhasil, seluruh Kediaman Pangeran Qi mungkin akan binasa..." 　　Ibu Suri Xian menghela napas panjang: "Bagaimana mungkin Ibu Selir tidak tahu. Seharusnya anak haram itu tak pernah lahir, kini hanya menambah kesulitan untuk putraku." 　　Pangeran Qi menunduk menyembunyikan kilatan licik di matanya, berkata perlahan: "Ibu Selir, anak lelaki sudah punya strategi balasan." 　　"Katakan." 　　Kamar dalam itu tak berjendela, tapi pandangan Pangeran Qi tertuju ke arah Istana Cining. 　　Suara Pangeran Qi bergema di telinga Ibu Suri Xian: "Rupanya Janda Permaisuri belum tahu Mulia Putri Rongyang sudah wafat." 　　Ibu Suri Xian tertegun sejenak, lalu tersadar. 　　“Janda Permaisuri tidak memiliki keturunan kandung, seorang putra dan putri diadopsi. Putranya adalah Kaisar Jingming, sedangkan putrinya adalah Putri Rongyang.” 　　Selama bertahun-tahun, kesombongan Putri Rongyang tidak terlepas dari kasih sayang Janda Permaisuri. 　　Setelah Putri Rongyang dibunuh oleh Cui Xu, Kaisar Jingming khawatir Janda Permaisuri akan terpengaruh secara emosional, sehingga menyembunyikan berita ini darinya. 　　“Jika Janda Permaisuri mengetahui kabar kematian Putri Rongyang, tentu dia juga akan tahu penyebab di balik kematiannya. Dengan demikian, apapun alasan yang dimiliki Permaisuri Yan, Janda Permaisuri pasti tidak akan bersimpati padanya, bahkan akan membenci Lao Qi karena hubungannya.” 　　Ibu Suri Xian mengangguk: "Zhang'er, kau benar. Meskipun Janda Permaisuri terlihat bijaksana dan lapang dada, tapi sebagai manusia biasa tetap mudah terbawa emosi. Jika dulu Permaisuri Yan tidak bersikeras membalas dendam untuk ibunya, kasus lama pembunuhan Nyonya Su oleh Putri Rongyang tidak akan terungkap, dan Putri Rongyang tidak akan dibunuh oleh Cui Xu. Meskipun pembunuhnya adalah Cui Xu, yang benar-benar menyebabkan kematiannya adalah Nyonya Jiang si perempuan hina itu. Pasti Janda Permaisuri mengerti ini..." 　　Pangeran Qi menyeringai dingin: "Ayah Kaisar paling berbakti pada Janda Permaisuri. Jika Janda Permaisuri secara jelas menunjukkan ketidaksukaan pada Lao Qi, pasti Ayah Kaisar akan membencinya. Dengan begitu, dia jangan mimpi merebut posisi calon penguasa--" 　　"Belum tentu." Ibu Suri Xian menggelengkan kepala. 　　"Ibu Selir?" 　　“Ibu Suri Xian memandangi anak lelaki itu dengan lembut: 'Kau belum sepenuhnya memahami Ayah Kaisarmu. Meski beliau berbakti pada Janda Permaisuri, tapi pada hakikatnya beliau tetap seorang Kaisar yang tak akan menolak seseorang hanya berdasarkan suka atau tidak suka Janda Permaisuri, apalagi dalam hal yang menyangkut calon penguasa. Bahkan beliau tak akan memilih berdasarkan preferensi pribadi... Itulah sebabnya Ibu yakin peluangmulah yang terbesar.'” 　　“Jika segala sesuatu ditentukan oleh kesukaan pribadi, dia tidak akan menjadi Ibu Suri Xian, dan Permaisuri juga bukan Permaisuri.” 　　“‘Ibu, apakah kita tidak melakukan apa-apa?’” 　　“‘Tindakan tetap perlu diambil. Anak durhaka itu bertindak terlalu sembrono. Membiarkannya akan menjadi ancaman bagimu. Apalagi jika dibiarkan lancar tanpa hambatan, bagaimana jika suatu hari Ayah Kaisarmu menganggapnya cocok menjadi Putra Mahkota? Pertama-tama tekan melalui Janda Permaisuri, pasti dalam waktu dekat Ayah Kaisarmu akan bersikap dingin padanya. Kemudian suruh bawahan-bawahan yang sudah kau rekrut untuk mencari kesalahannya, lakukan impeachment bergiliran. Dengan desakan tiga pihak, Ayah Kaisarmu akhirnya akan muak padanya. Baru setelah itu kita bisa tenang...’” 　　“Pangeran Qi mengatupkan tangan: ‘Ibu memang perhitungannya matang. Hanya saja Janda Permaisuri jarang keluar istana, anak masih bingung menentukan cara memberitahu beliau.’” 　　“Ibu Suri Xian terdiam sejenak: ‘Ini tidak sulit. Meski Janda Permaisuri tidak keluar istana, tapi ada orang dari Istana Cining yang rutin keluar.’” 　　“‘Yang Ibu maksud—’” 　　“‘Dayang Chang dari Istana Cining rutin pergi ke kuil untuk menyumbangkan Minyak lampu Buddha atas nama Janda Permaisuri. Ini kesempatan baik untuk menyampaikan kabar ke telinga beliau.’” 　　“Mata Pangeran Qi berbinar-binar: \"Anak lelaki mengerti, terima kasih atas bimbingan Ibu Selir.\"” 　　Ibu Suri Xian menasihati: \"Jangan terburu-buru sampai melakukan kesalahan, urusan ini sangat penting, harus dipastikan sempurna tanpa cacat.\" 　　“Ibu tenang saja, anak lelaki paham.” 　　Orang-orang yang dia pelihara dengan uang sebanyak itu, bukanlah orang yang sia-sia. 　　Begitu memikirkan uang, kepala Pangeran Qi langsung terasa berdenyut-denyut. 　　Barang-barang mahar Nyonya Li tidak boleh disentuh, pendapatan dari desa dan toko belum saatnya dipungut, defisit di kediamanan sudah cukup besar. 　　Ibu Suri Xian mengeluarkan kotak sebesar telapak tangan dari kompartemen rahasia dan menyerahkannya. 　　“Ibu Selir——” 　　“Ambil saja. Setelah kejadian yang dibuat Nyonya Li ini, kau yang mengurus seluruh istana pangeran sendirian, dana yang cukup akan memudahkan urusan.” 　　“Ibu Selir, anak lelaki pasti tidak akan mengecewakan Ibu.” Kata Pangeran Qi dengan wajah penuh haru. 　　Beberapa hari berikutnya terasa sulit bagi Pangeran Qi, setiap bertemu orang seolah bisa melihat ejekan di mata mereka. 　　Reputasi Pangeran Qi di luar sangat baik, selama bertahun-tahun hampir tak ada catatan buruk. Begitu masalah di Kediaman Pangeran Qi terjadi, gosip di ibu kota dengan antusiasme rasa penasaran tak kunjung mereda. 　　Harus diakui, ulah Permaisuri Qi ini memberikan dampak yang cukup besar pada Pangeran Qi. 　　Dalam hari-hari sulit ini, Pangeran Qi akhirnya menantikan tanggal satu bulan keempat——hari Dayang Chang dari Istana Cining dibebaskan dari istana. 773.BAB 770 Ada Situasi 　　BAB 770 Ada Situasi 　　Tanggal satu bulan keempat kurang beruntung, sejak subuh sudah turun gerimis halus. 　　Langit kehijauan, hujan putih halus, kereta kuda berkelambu hijau kecil melaju melalui kabut hujan. Dayang Chang di dalam kereta menutup mata beristirahat, tak tertarik dengan pemandangan jalan di luar jendela. 　　Bagi wanita-wanita istana, melihat pemandangan luar istana adalah hal langka. Tapi ketika jalan yang sama dilalui bertahun-tahun tanpa bisa melangkah lebih jauh, perlahan-lahan semua semangat dan harapan pun pudar. 　　Kuil Fude terletak di barat kota, di sepanjang jalannya ditanami pohon maple. Saat musim gugur tiba dengan dedaunan merah menjilat langit, barulah saat terindah tiba. 　　Saat ini, Dayang Chang sama sekali tidak melirik pemandangan, segera disambut dengan hormat oleh biksu yang telah menunggu di sana. 　　Setelah sembahyang dan menyalakan hio tak perlu dijelaskan lagi. Usai semua ritual, Dayang Chang tidak buru-buru pergi. Ia berjalan-jalan di sekitar kuil, menghirup udara segar dan bebas, mencuri waktu setengah hari untuk bersantai. 　　Ini sudah menjadi kebiasaan lamanya. Pada saat seperti ini ia tidak suka ditemani samanera, hanya ditemani dua dayang istana yang berjalan mondar-mandir. 　　Langkah mereka akhirnya membawa mereka ke kedalaman taman bunga. 　　Celah-celah pepohonan memperlihatkan sudut warna biru muda, suara percakapan samar-samar terdengar. 　　Dayang Chang menghentikan langkah, hendak berbalik pergi. 　　Lama tinggal di istana yang penuh intrik, ia sangat paham bahaya rasa ingin tahu. Mendengarkan percakapan diam-diam bukanlah minatnya. 　　Tapi kalimat berikutnya menghentikan langkahnya, malah membuatnya menyelinap mendekat selangkah. 　　Meski Kuil Fude adalah kuil kerajaan, tapi tidak hanya terbuka untuk keluarga kerajaan. Kecuali pada hari-hari festival tertentu, kuil ini selalu terbuka untuk peziarah biasa. 　　“Urusan Pangeran Qi ingin membunuh Permaisuri Qi sudah dengar, kan?” 　　Suara lain tertawa: “Siapa yang belum dengar sekarang? Ya ampun, tak kusangka Pangeran Qi tipe orang seperti itu...” 　　Suara pertama membantah: “Menurutku, belum tentu itu kebenarannya. Urusan para bangsawan ini kadang palsu kadang nyata, mana bisa kita orang biasa mengerti.” 　　Yang lain menimpali: “Yang penting para bangsawan ribut, kita bisa nonton tontonan menarik. Hidup jadi tak membosankan.” 　　“Iya. Ngomong-ngomong dua tahun terakhir banyak insiden di kalangan bangsawan. Baru-baru ini ada Pangeran Qi dan Xiang, sebelumnya juga pangeran lain. Bahkan Mulia Putri itu sampai kehilangan nyawa——” 　　Dayang Chang tertegun. 　　Mulia Putri? Yang mana? 　　Banyak Mulia Putri di ibu kota, tak ada kabar yang bermasalah. Baru-baru ini di pesta ulang tahun Janda Permaisuri, yang bisa datang sudah datang. Hanya satu yang absen karena sakit parah. 　　Tapi menurut obrolan mereka, sebutan "kehilangan nyawa" seharusnya tak terkait dengan meninggal karena sakit, kan? 　　Dayang Chang tak sengaja menyimak lebih seksama. 　　Dari balik pepohonan terdengar desahan: "Mulia Putri? Bukankah sudah jadi rakyat biasa? Jujur saja, statusnya lebih rendah dari kita..." 　　Dayang Chang kaget, tak sadar mundur selangkah. 　　Hanya ada satu Mulia Putri yang statusnya turun jadi rakyat biasa—— 　　Putri Rongyang meninggal? 　　Kapan ini terjadi? Kenapa Istana Cining sama sekali tak dapat kabar? 　　Dalam keterkejutannya, Dayang Chang maju lagi selangkah. 　　Dua dayang yang mengikutinya tegang, tak berani bernapas keras. 　　Suara simpati terdengar: "Sang Putri Rongyang juga salah menikah. Konon suaminya Cui Yi selalu bersikap dingin, membuatnya seperti janda. Pada akhirnya dia malah tewas di tangan suaminya sendiri..." 　　Dayang Chang terkejut lagi. 　　Apakah Putri Rongyang dibunuh oleh menantunya sendiri? 　　Terperanjat, Dayang Chang menyipitkan telinganya. 　　Namun dua wanita di balik pepohonan dan bunga tiba-tiba berganti topik, membicarakan kabar terbaru di ibu kota. 　　Jelas ini dua wanita yang gemar bergosip - tipe yang sangat umum di ibu kota. Dayang Chang bahkan tak tertarik mengetahui identitas mereka, hanya fokus pada kasus Putri Rongyang. 　　Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan memberi isyarat pada dua dayang untuk tetap di tempat, lalu berjalan menuju sumber suara. 　　Di balik tanaman berdiri dua wanita berwajah biasa. Yang lebih tua memakai gaun biru, yang muda bergaun merah. Meski modelnya trendy, menurut Dayang Chang kainnya tidak terlalu bagus. 　　Dia segera menyimpulkan: ini pasti istri-istri pejabat kecil. Meski status sosialnya rendah, mereka selalu paling cepat menyebarkan gosip. 　　Rakyat biasa yang sibuk mencari nafkah biasanya tak punya waktu untuk urusan seperti ini. 　　Menghadapi dua wanita seperti ini seharusnya mudah. 　　Dayang Chang berjalan mendekat dengan langkah tegas. 　　Kehadiran Dayang Chang membuat kedua wanita itu tertegun. Yang bergaun biru bertanya: "Anda adalah--" 　　Demi memudahkan keluar dari istana, Dayang Chang hanya mengenakan pakaian gaya luar istana dengan bahan yang tidak terlalu mewah, namun aura kebangsawanannya tetap tak tersembunyi. 　　Setidaknya dua wanita itu bisa melihat bahwa orang yang tiba-tiba muncul ini pasti lebih tinggi statusnya, sehingga mereka menggunakan panggilan hormat. 　　Dayang Chang menyapu kedua wanita itu dengan tatapan tajam: "Kalian tak perlu menanyakan identitas saya, saya juga tak akan menanyakan identitas kalian. Saya hanya ingin bertanya tentang situasi Putri Rongyang." 　　Kedua wanita itu saling memandang bingung. 　　Dayang Chang mengeluarkan dua Yuan Bao emas dan menyodokkannya ke tangan kedua wanita itu. 　　Yuan Bao emas yang berat itu membuat tangan kedua wanita gemetar ketakutan. 　　Dayang Chang tersenyum tipis: "Tampaknya urusan Putri Rongyang sudah menjadi rahasia umum. Kalian hanya perlu menceritakan semua yang kalian tahu, dan Yuan Bao ini akan menjadi milik kalian. Kita saling tidak mengenal, setelah meninggalkan Kuil Fude anggap saja ini tak pernah terjadi, bukan begitu?" 　　Kedua wanita itu saling pandang lalu mulai bercerita seperti menuang air dari bambu, mengungkapkan segala hal tentang Putri Rongyang. 　　Setelah mendengarkan, Dayang Chang menatap dalam-dalam kedua wanita itu sebelum bergegas pergi. 　　Saau suara langkah kaki telah menjauh, wanita bergaun merah mengelus Yuan Bao yang disembunyikan di dada sambil bergumam: "Uang para bangsawan ini benar-benar mudah didapat." 　　Yuan Bao ini saja sudah setara dengan gaji tahunan suaminya selama lebih dari setahun. 　　Wanita bergaun biru melototinnya: "Cepat berhenti bicara omong kosong, ayo segera pergi." 　　Percakapan tadi tentu sengaja diucapkan untuk didengar oleh orang yang baru saja pergi. 　　“Karena ini tanggal satu, meski gerimis turun, jumlah peziarah yang datang berziarah tidak sedikit.” 　　Dua wanita yang merasa bersalah sengaja menghindari orang dan memilih jalan sepi. Saat melewati hutan bambu, tiba-tiba gelap gulita. Saat sadar, mereka tak tahu berada di mana. 　　Yang muncul di depan adalah seorang pria muda. 　　Kedua wanita ingin berteriak, tapi mulut mereka tersumbat dan tak bisa bersuara. 　　Wajah pria muda itu berubah serius: "Pasukan Pengawal Jinlin sedang bertugas!" 　　Mata kedua wanita itu membelalak penuh ketakutan. 　　Mengapa ada Pasukan Pengawal Jinlin? 　　Mereka hanya menerima sebuah Yuan Bao emas dan mengobrol santai. Tidak mungkin sebesar ini! 　　Pria muda itu memainkan belati sambil berkata dingin: "Aku punya pertanyaan. Jika kalian berteriak atau berbohong, ingat Yuan Bao emas yang belum sempat kalian pakai." 　　Kedua wanita itu pucat pasi ketakutan. 　　Ternyata Yuan Bao emas itu sumber masalah! 　　Penyumbat mulut dilepas, kedua wanita terengah-engah. 　　"Katakan, apa status kalian?" 　　…… 　　Setelah interogasi, pria muda itu yakin mereka tidak berani berbohong, lalu melepas keduanya. 　　Hati-hati selalu benar. Tak lama, dua pria biasa-biasa saja mulai membuntuti masing-masing wanita secara diam-diam. 　　Pria muda itu buru-buru kembali ke Kediaman Pangeran Yan. Di ruang belajar, dia bersemangat melapor pada Yu Jin: "Pangeran, ada perkembangan dari pihak Janda Permaisuri!" 774.BAB 771 Menikmati Secangkir Teh 　　BAB 771 Menikmati Secangkir Teh 　　Melihat wajah Long Dan yang bersemangat, Yu Jin meneguk secangkir teh dan berkata dengan malas, "Ceritakan, apa yang terjadi." 　　Bocah ini tidak setenang Leng Ying, jangan terlalu berharap banyak. 　　Begitu melihat reaksi tuannya, Long Dan langsung menunjukkan ketidakpuasan. 　　Apa, Tuanku tidak mempercayaiku? 　　Long Dan membersihkan tenggorokannya, "Hari ini adalah hari Dayang Chang dari Istana Cining pergi berziarah ke Kuil Fude sesuai rutinitas. Mengingat perintah Tuanku sebelumnya, hamba sendiri yang mengawasi. Tak disangka pengawasan ini menemukan hal besar--" 　　Yu Jin mengetuk meja dengan kesal: "Pokoknya!" 　　Sejak mencurigai Janda Permaisuri, sementara sulit menyentuh Istana Cining langsung, fokusnya beralih pada hubungan Janda Permaisuri dengan luar istana. Maka Dayang Chang yang berziarah ke Kuil Fude setiap tanggal satu bulan pun masuk dalam pantauan. 　　Target pengawasan dengan jadwal dan lokasi tetap seperti ini sangat mudah diawasi, hanya membutuhkan satu dua orang saja. 　　Yu Jin pun mempercayakan tugas pengawasan rutin sederhana ini pada Long Dan. 　　Sejujurnya, tidak menyangka akan menemukan keanehan secepat ini. 　　Menangkap ketidaksabaran Yu Jin, Long Dan segera melaporkan detail hasil pengawasannya: "Kedua wanita itu jelas sengaja membocorkan kabar kematian Putri Rongyang kepada Dayang Chang. Jika Dayang Chang tahu, berarti Janda Permaisuri tahu. Jika Janda Permaisuri tahu, pasti akan kecewa pada Tuanku dan Permaisuri... Tuanku, ini ditujukan untukmu!" 　　Yu Jin menjawab dengan datar, "Apa status kedua wanita itu?" 　　"Salah satu adalah istri pejabat Zhao dari Departemen Sumber Daya Manusia, yang lain istri pejabat Zhang dari Honglusi. Hamba menyamar sebagai Jinlinwei untuk menginterogasi mereka, lalu mengirim dua anak buah untuk mengawasi mereka, berjaga-jaga kalau mereka berbohong..." 　　Suami mereka hanya pegawai kecil tingkat delapan, kecil kemungkinan berani berbohong ketika dihadapi Jinlinwei yang ditakuti semua orang. 　　Namun Yu Jin langsung menangkap inti masalah: "Menyamar sebagai Jinlinwei?" 　　Long Dan terkekeh: "Hamba mendapat inspirasi tiba-tiba, pikir menyamar sebagai Jinlinwei paling efektif untuk interogasi. Jika kedua wanita itu melapor ke suami mereka, pegawai rendahan itu takkan berani konfirmasi ke Jinlinwei." 　　Yu Jin mengetuk kepala Long Dan, marah: "Inspirasi sialan! Kalau berani bertindak semaumu lagi, kubuat kepalamu pecah!" 　　Menyamar sebagai Jinlinwei - dasar anak ini nekat. 　　Tapi memang perlu keterlibatan Jinlinwei untuk urusan ini. Yu Jin mengusap dagu, berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk pergi. 　　Setelah mengirim pesan ke Jiang Si, Yu Jin berganti pakaian biasa yang sederhana, diam-diam meninggalkan Kediaman Pangeran Yan. 　　Komandan Jinlinwei Han Ran sedang minum teh di rumah teh tak jauh dari kantor kabupaten Jinlinwei. 　　Tugas Jinlinwei selalu padat dan penuh tekanan. Minum teh bukanlah kemalasan, tapi cara untuk menyegarkan pikiran. 　　Han Ran suka duduk di posisi dekat jendela Ruang VIP lantai dua untuk minum teh. 　　Dalam ruangan tanpa orang lain, sambil memegang cangkir teh ia mengamati keramaian jalanan, memberinya perasaan bahwa semuanya terkendali—tidak, sepertinya ini ilusi. 　　Mengapa Pangeran Yan menatapnya sambil tersenyum? 　　Han Ran tak kuasa menggosok matanya, wajah tampan yang tersenyum di bawah terlihat semakin jelas. 　　Benar, itu Pangeran Yan! 　　Yu Jin yang telah diketahui Han Ran, menunjuk diri sendiri lalu ke arah atas. 　　Han Ran tertegun sejenak. 　　Apakah Pangeran Yan ingin naik untuk berbincang dengannya? 　　Melihat Han Ran tak bereaksi, Yu Jin menganggapnya sebagai persetujuan. Setelah memastikan tak ada yang memperhatikan, ia melompat menggunakan penopang, tangan mencengkeram tepi jendela, lalu dengan sekali dorongan masuk melalui jendela terbuka ke Ruang VIP. 　　Han Ran membeku. 　　Hanya dalam sekejap, Pangeran Yan sudah masuk? 　　Yu Jin duduk santai di seberang, menuangkan teh untuk diri sendiri sambil bertanya dengan senyum: "Komandan Han sudah makan?" 　　Sapaan akrab khas orang Dinasti Zhou ini biasanya mudah dijawab, tapi kali ini Han Ran bingung merespons. 　　Tentu saja belum, tapi bagaimana Pangeran Yan bisa masuk begini saja? 　　"Tidak mengganggu Komandan Han minum teh kan? Saya lihat Bapak tidak menolak, jadi mampir minum teh." 　　Han Ran menatap wajah yang begitu dekat itu, hanya ada satu pikiran: Wajah yang tampan ini, bagaimana bisa muka-nya tebal sekali? 　　Setelah hening sejenak, Han Ran tersenyum: "Pangeran ingin minum teh dengan pejabat bawahan, hamba merasa terhormat. Hanya saja, ke depannya lebih baik Pangeran menggunakan tangga—" 　　Yu Jin menjawab dengan wajah polos: "Melompat jendela lebih praktis." 　　Han Ran: "…" Ia benar-benar tak bisa membantah. 　　Meneguk teh dari cangkirnya yang terasa pahit, Han Ran bertanya sambil tersenyum: "Benarkah Pangeran mencari hamba hanya untuk minum teh?" 　　Pangeran ini terkenal sering bertindak di luar dugaan, itu yang sering ia dengar. 　　Jari-jari panjang Yu Jin memutar cangkir porselen putih dengan sikap acuh: "Hamba menemukan suatu hal yang seharusnya diselidiki Komandan Han." 　　"Silakan jelaskan." Kata Han Ran sambil menahan rasa tidak suka. 　　Jinlinwei adalah mata telinga Putra Langit, hanya patuh pada Kaisar. Kapan seorang pangeran bisa seenaknya memerintahkannya? Tidakkah Pangeran Yan takut kemurkaan Kaisar? 　　Sebagai komandan Jinlinwei kawakan, Han Ran pandai menyembunyikan perasaan. Ekspresinya tetap netral. 　　"Hari ini bawahanku pergi ke Kuil Fude untuk menyumbang minyak lampu Buddha atas nama istri hamba, tanpa sengaja melihat sesuatu…" 　　Usai penjelasan Yu Jin, Han Ran tertegun kaku. 　　Apakah Pangeran Yan ini bodoh? Bukankah ini pengakuan terang-terangan bahwa orang Istana Yan memata-matai orang Janda Permaisuri? 　　Kebetulan "tanpa sengaja melihat" seperti ini, mana mungkin ia percaya? 　　Pada saat ini, Han Ran sudah sama sekali tidak bisa menebak pikiran Yu Jin. 　　Yu Jin tidak membiarkannya menerka-nerka lama, langsung berkata tegas: "Komandan Han, dua istri pejabat kecil berani menjebak orang-orang Janda Permaisuri, pasti ada yang tidak beres. Bukankah Jinlinwei harus menyelidiki ini?" 　　Sudut bibir Han Ran berkedut. 　　Muka Pangeran Yan benar-benar tebal, mengklaim orang lain menjebak orang Janda Permaisuri, padahal dia sendiri juga mengincar orang Janda Permaisuri. 　　"Status dua wanita itu sudah hamba anak buah tanyakan—" Di sini Yu Jin mengusap hidungnya, malu-malu berkata, "Karena terburu-buru dan takut mereka tidak mau bicara, hamba anak buah menggunakan identitas Jinlinwei." 　　Agar Han Ran turun tangan, masalah Long Dan menyamar sebagai Jinlinwei tidak bisa disembunyikan. Lebih baik diungkapkan sejak awal. 　　Api kemarahan menyala di mata Han Ran, kemarahannya sudah melampaui batas. 　　Menyamar sebagai Jinlinwei? 　　Bukan lagi tebal muka, tapi Pangeran Yan ini sudah gila? 　　"Komandan Han?" Melihat Han Ran lama diam, Yu Jin tersenyum mendesak. 　　Han Ran sadar, menatap dalam-dalam ke Yu Jin, wajahnya berubah dingin: "Pangeran ikut campur urusan Jinlinwei, tidak pantas bukan?" 　　Yu Jin terkejut dan tersinggung: "Mana ada ikut campur? Hamba hanya memberi saran kecil. Lagipula mereka yang mengincar Janda Permaisuri layak dihukum. Jika terjadi kekacauan lagi, Komandan Han pasti akan dimarahi Ayah Kaisar." 　　Han Ran tertawa sinis: "Kalau begitu, Han harus berterima kasih pada Pangeran?" 　　Sampai saat ini, ia bahkan tak mau menyebut diri sebagai pejabat bawahan. 　　Jinlinwei memang tidak takut pada kerabat kerajaan mana pun, juga tak perlu menghargai posisi siapa pun. 　　Sekarang yang ingin diketahuinya hanyalah, dari mana Pangeran Yan berani datang kemari dan mengucapkan kata-kata seperti ini! 775.BAB 772 Ancaman 　　BAB 772 Ancaman 　　Yu Jin memegang cangkir teh dengan wajah tenang: "Komandan Han terlalu sopan, hal kecil seperti ini tak perlu diucapkan terima kasih." 　　Han Ran mengerasikan wajah: "Pangeran sudah melewati batas? Urusan Jinlinwei sebaiknya tidak ikut campur, kalau sampai terdengar oleh Kaisar, Han tidak masalah, tapi Pangeran..." 　　Yu Jin berkedip, menghilangkan senyumannya: "Komandan Han berniat mengabaikan masalah ini?" 　　Han Ran menyeringai dingin. 　　Masalah yang sudah sampai di telinganya pasti harus ditangani, kalau tidak nanti muncul ulah aneh lagi, Kaisar pasti akan menyemprotkan cipratan ludah ke wajahnya. Mungkin pemberat kertas giok putih yang baru diganti ini akan diganti lagi. 　　Konon biaya penggantian pemberat kertas giok putih diambil dari kas pribadi Kaisar, yaitu dana khususnya. 　　Pikirannya melayang. Intinya, masalah ini akan ia selidiki, tapi tidak boleh diatur-atur oleh Pangeran Yan. 　　Jinlinwei adalah milik Kaisar, bukan milik Pangeran Yan. 　　Putra Mahkota yang Dipecat pun tidak berani bertindak seperti ini, Pangeran Yan mungkin benar-benar sakit parah—— 　　Setelah berhenti merenung, Han Ran berkata dengan datar, "Bagaimana Han menangani ini, tidak perlu Pangeran repot-repot memikirkannya." 　　Tidak bisa memberikan 'menghargai' seperti ini, kebiasaan buruk Pangeran Yan ini tidak boleh dituruti, kalau tidak bagaimana di masa depan? 　　Sambil berpikir demikian, Han Ran memperingatkan, "Pangeran mengulur tangan sejauh ini, tidak takut Han melaporkan kepada Kaisar?" 　　"Komandan Han ingin melapor?" Yu Jin terlihat kaget. 　　Han Ran hampir saja mengatupkan bibirnya marah. 　　Ini disebut melapor? Dia adalah Komandan Jinlinwei, semua hal besar kecil selama dianggap perlu harus dilaporkan kepada Kaisar. 　　Ini tanggung jawab resmi, tapi di mulut Pangeran Yan malah jadi seperti pengaduan remeh-temeh— 　　Wajah Han Ran menjadi muram, kata demi kata dia berkata tegas, "Ini kewajiban resmi Han, sebutan Pangeran sungguh menggelikan!" 　　Senyum Yu Jin menghilang, tatapannya menjadi dingin: "Hamba pangeran merasa Komandan Han sengaja menargetkan saya?" 　　Bibir Han Ran bergetar, hampir saja menyiramkan teh di tangannya ke wajah lawan. 　　Sedikit waktu luang yang langka, dia duduk di Ruang VIP yang familiar, memandang keluar jendela yang sama, menikmati teh dengan rasa yang sudah dikenalnya, tiba-tiba Pangeran Yan melompat masuk lewat jendela malah menuduhnya sengaja menarget? 　　Han Ran menaruh cangkir teh dengan keras di meja, lalu berdiri: "Pangeran silakan lanjutkan minum, Han masih ada urusan, tidak bisa menemani." 　　Melihat Han Ran berbalik menuju pintu, Yu Jin berseru: "Hamba pangeran mendengar kabar burung tentang Komandan Han." 　　Langkah Han Ran terhenti, dia berbalik badan. 　　“Yu Jin tersenyum menunjuk kursi: „Komandan Han duduklah, mari kita berbincang perlahan.” 　　Han Ran duduk kembali, memandang Yu Jin tanpa ekspresi. 　　Rumor tentangnya? Ia ingin mendengar siapa berani menggosipkan Komandan Jinlinwei. 　　„Kabarnya alasan pemecatan pertama Putra Mahkota Yu Lang bukan karena menyuruh membunuh Pangeran An, tapi terlibat hubungan gelap dengan Selir Yang——” 　　Han Ran melompat berdiri, cangkir teh di sampingnya terjatuh ke lantai. 　　Suara ini membuat pengawal Jinlinwei di luar pintu siaga. 　　„Paduka——” 　　Tanpa perintah Han Ran, dua pengawal Jinlinwei di luar tidak berani membuka pintu. 　　Han Ran berkata dingin ke arah pintu: „Tak ada masalah, jaga baik-baik pintunya.” 　　„Siap.” Suasana di luar kembali hening. 　　Wajah Han Ran pucat pasi menatap Yu Jin, bahkan tangannya bergetar. 　　Komandan Jinlinwei yang ditakuti musuh, sang penguasa yang bisa membungkam tangisan bayi malam hari, gemetaran seperti ini menunjukkan betapa terkejutnya hatinya. 　　Ia tak kuasa mendekati Yu Jin, bertanya kata per kata: „Dari mana Pangeran mendengar rumor seperti ini?” 　　Ini bukan rumor, tapi surat kematian yang akan membinasakan seluruh keluarganya! 　　Yu Jin tersenyum sopan: „Hamba pangeran mengira ini hanya kabar angin, tapi melihat reaksi Komandan Han, ternyata kabar itu benar——” 　　“Pangeran, sekarang bukan saatnya bercanda!” Han Ran menepuk meja, matanya tak berkedip menatap Yu Jin, “Dari mulut siapa Pangeran mendengar desas-desus seperti ini?” 　　Yu Jin menunjuk mulutnya sendiri. 　　Sorot mata Han Ran tiba-tiba menyempit, tangannya mengepal erat: “Apa maksud Pangeran sebenarnya?” 　　Yu Jin mengambil cangkir baru, menuangkan teh dan mendorongkannya ke depan: “Komandan Han jangan terburu-buru seperti ini, minum teh untuk menurunkan api.” 　　Han Ran menerima cangkir teh, menghabiskan teh itu dalam beberapa tegukan, lalu menatap Yu Jin dengan tatapan tajam. 　　Ancaman telah dilontarkan, Yu Jin pun semakin santai, tersenyum malas: “Maukah Komandan Han menyelidiki peristiwa hari ini dengan seksama?” 　　Han Ran memejamkan mata, paham. 　　Rupanya Pangeran Yan bukan sakit parah, melainkan merasa dilindungi. 　　Tapi bagaimana lawan bisa mengetahui raja-rahasia yang menggemparkan itu? 　　Han Ran mengerutkan kening: “Pangeran menggunakan ini untuk mengancam hamba?” 　　Yu Jin tersenyum tipis, nada bicaranya datar: “Jika Komandan Han memang ingin berpikir seperti itu juga tidak apa, tapi hamba pangeran sungguh-sungguh datang meminta bantuan Komandan Han. Kejadian hari ini jelas menarget hamba, jika Komandan Han tak mau membantu, bukankah hamba pangeran akan dirugikan?” 　　Saat mengucapkan ini, senyum Yu Jin berubah dingin, menyeka debu imajiner di bajunya, balik bertanya: “Apakah hamba pangeran tipe yang mau dirugikan?” 　　Han Ran hampir memutar mata putih karena marah: “Pangeran tidak mau dirugikan, lalu mengancam Han?” 　　“Siapa yang tahu rahasia itu bisa dihitung dengan jari,” Yu Jin mengangguk mantap dan menjelaskan dengan ramah, “Hamba pangeran sudah hitung, yang mungkin mengetahui rahasia itu hanya Komandan Han, Tuan Zhen, dan Paman Pan bertiga, bukan?” 　　Han Ran menatap wajah muda itu, hati terasa dingin menggigil. 　　Peristiwa mengerikan di Gunung Cuiluo saat itu, Pangeran Yan tidak hadir. Bagaimana dia bisa tahu? 　　Semakin dipikir, Han Ran semakin merasa lawan bicaranya ini sangat misterius. 　　Yu Jin tak peduli pikiran lawannya, terus mengintimidasi, “Dengan begini, begitu rumor tersebar, sumbernya pasti dari kalian bertiga.” 　　Han Ran menahan amuk bertanya, “Kenapa bukan Pan Hai dan Zhen Shicheng?” 　　Yu Jin melirik Han Ran sambil tertawa, “Ini kan hamba ada keperluan dengan Komandan Han. Bukan dengan mereka berdua.” 　　Han Ran terdiam lama, lalu berkata sendu, “Cara Pangeran meminta bantuan benar-benar tak biasa.” 　　Bukankah meminta bantuan harusnya bersikap rendah hati? Malah yang dimintai tolong seperti ketiban sial? 　　“Kalau begitu hamba merepotkan Paduka Han.” Melihat reaksi Han Ran, Yu Jin langsung tahu permintaannya dikabulkan. Wajahnya langsung cerah sambil mengangkat cangkir teh ke arahnya. 　　Han Ran menggerakkan bibir, ingin bertanya: berani-beraninya mengancam terang-terangan, tak takut kubalas diam-diam nanti? Tapi saat bertemu mata hitam lawannya, diam-diam menelan kembali kata-katanya. 　　Meski dia berusaha menjegal, pihak lawan bisa kapan saja menyebarkan kabar bahwa Putra Mahkota yang Dipecat terlibat hubungan gelap dengan Selir Yang. Jika Kaisar curiga dialah yang membocorkan, seketika itu juga bencana pemusnahan keluarga akan menimpa. 　　Tahun itu Pangeran Yan bahkan tidak pergi ke Gunung Cuiluo. Jika dia melapor ke Kaisar bahwa kabar itu disebarkan Pangeran Yan, pastilah Kaisar akan melemparkan pemberat kertas giok putih hingga kepalanya pecah berdarah. 　　Ancaman ini terpaksa ditelannya dengan menahan diri. 　　Seolah membaca kekesalan Han Ran, Yu Jin menghibur: "Komandan Han tenang saja, hamba pangeran akan ingat budi baik ini." 　　Sudut bibir Han Ran berkedut. 　　Dia benar-benar "berterima kasih". 　　Namun yang keluar dari mulutnya justru: "Pangeran terlalu sopan." 　　Sementara percakapan berlangsung, Dayang Chang sudah buru-buru kembali ke Istana Cining dan melapor semua kabar yang didengar kepada Janda Permaisuri. 776.BAB 773 Dimarahi 　　BAB 773 Dimarahi 　　Janda Permaisuri pingsan. 　　Istana Cining seketika gempar. 　　Saat itu Kaisar Jingming sedang menggoda Jixiang di Aula Yangxindian. 　　Setiap hari selalu ada memorial yang tak habis diproses. Sejak buku cerita yang disembunyikan di tumpukan memorial nyaris ketahuan oleh bawahan dan anak-anaknya, Kaisar Jingming sementara meninggalkan hobi itu. 　　Karena itu, suasana hati lebih mudah muram. Menggoda Jixiang jelas cara terbaik mengembalikan mood. 　　"Jixiang, makan ikan kering ini." 　　Kucing gemuk itu melirik ikan kering sepanjang jari kelingking di tangan Kaisar Jingming, lalu berjalan anggun mendekat dan menyambar ikan kecil itu, meninggalkan sang majikan dengan wajah canggung. 　　“Kaisar Jingming mengelap tangannya dengan saputangan, lalu menghela napas kesal.” 　　Hari itu sebenarnya tidak seperti ini. 　　Saat itu pemandangan Jixiang yang menengadah sambil mengeong padanya terus menghantui pikiran Kaisar Jingming, namun setelahnya Jixiang tetap Jixiang yang sama. 　　Tampaknya sudah waktunya memanggil Jenderal Xiaotian ke istana. 　　Jixiang sepertinya mencium niat licik tuannya, marah mengeong dua kali pada Kaisar Jingming lalu menghilang tanpa jejak. 　　Suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar. 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai yang wajahnya muram, seketika hilanglah niatnya untuk bercanda dengan kucing. 　　Tak perlu ditanya, pasti ada masalah lagi! 　　“Apa yang terjadi?” 　　Pan Hai membungkukkan pinggangnya, bahkan tak berani mengangkat kepala: “Lapor Paduka, Janda Permaisuri pingsan——” 　　Otak Kaisar Jingming mendengung, tanpa sempat bertanya detail, langsung berlari menuju Istana Cining. 　　Pan Hai diam-diam menghela napas, mengusap keringat di dahinya lalu buru-buru menyusul. 　　“Kedatangan Kaisar——” 　　Kaisar Jingming masuk dengan wajah masam, bertanya pada Dayang Chang yang berdiri di depan sambil memberi salam: “Di mana Janda Permaisuri?” 　　Dayang Chang menjawab gemetar: “Di kamar dalam——” 　　Langkah Kaisar Jingming tak berhenti, melewati sisi Dayang Chang. 　　Janda Permaisuri telah dibaringkan di ranjang, tabib istana yang datang tergesa-gesa sedang memeriksa denyut nadinya. 　　Melihat Kaisar Jingming masuk, tabib istana ingin bangun memberi salam, namun dihentikannya dengan gerakan tangan. 　　Setelah melihat sejenak, Kaisar Jingming berbalik ke aula dan bertanya tentang kejadian sebenarnya: "Mengapa Janda Permaisuri bisa pingsan?" 　　Dayang Chang langsung berlutut dengan suara 'plok' sambil terus membungkuk-bungkuk: "Ini semua salah hamba yang terlalu banyak bicara, hingga membahayakan Janda Permaisuri--" 　　"Apa yang sebenarnya terjadi?" teriak Kaisar Jingming dengan suara keras. 　　Dayang Chang menundukkan kepala sambil mengusap air mata: "Hamba pergi ke Kuil Fude untuk menyumbangkan minyak lampu Buddha atas nama Janda Permaisuri, tak sengaja mendengar orang membicarakan wafatnya Mulia Putri Rongyang..." 　　"Kau memberitahu Janda Permaisuri?" 　　"Hamba pantas mati--" 　　"Kau memang pantas mati!" Wajah Kaisar Jingming pucat pasi, kali ini benar-benar mengucapkan kata-kata keras. 　　Saat ini, amarahnya berkobar-kobar sulit dikendalikan. 　　Masuk angin belum reda badai sudah datang, adakah kaisar lain yang memerintah dengan segudang masalah seperti dirinya? 　　Dari dalam terdengar suara Janda Permaisuri: "Apakah Kaisar ada di luar?" 　　Mendengar itu, Kaisar Jingming tak sempat menghukum Dayang Chang, segera bergegas masuk. 　　"Ibu, Ibu baik-baik saja?" Kaisar Jingming melangkah cepat ke ranjang dan duduk sambil menggenggam tangan Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri memandang Kaisar Jingming dengan senyum: "Hamba baik-baik saja." 　　Meski begitu, kilau air mata terlihat di sudut matanya. 　　"Tentang Rongyang... Mengapa Kaisar tidak memberitahu hamba?" 　　Kaisar Jingming menunduk penuh penyesalan: "Ini semua salah anak, kematian Rongyang ada tanggung jawab anak--" 　　"Bukan salah Kaisar, ini sudah takdir Rongyang. Hamba yang gagal mendidik, seharusnya hamba yang disalahkan..." Ucap Janda Permaisuri sambil akhirnya tak kuasa menahan tangis. 　　Kaisar Jingming semakin merasa bersalah, buru-buru berkata: "Ibu jangan sekali-kali berpikir seperti itu, ini karena anak lelaki yang gegabah menurunkan Rongyang menjadi rakyat biasa, sehingga membuatnya tak berakhir baik..." 　　Janda Permaisuri terdiam lama, lalu bertanya: "Andai Rongyang masih menjadi Mulia Putri, akankah Cui Xu membiarkannya setelah mendengar perbuatannya merugikan Nyonya Su?" 　　Kali ini giliran Kaisar Jingming yang terdiam. 　　Cui Xu bukanlah tipe yang mengejar kekuasaan, dulu jika bukan karena memperhatikan ibunya, takkan menikahi Rongyang. 　　Orang sepertinya sekali mengetahui wanita tercintanya dirugikan oleh Rongyang, takkan peduli status Rongyang, pasti memilih balas dendam. 　　Janda Permaisuri tersenyum getir: "Pada akhirnya Rongyang memang bernasib malang, di masa muda memaksakan yang tak pantas diraih, juga karena Nyonya Su melahirkan putri yang terlalu cakap——" 　　"Ibu, Istri Lao Qi yang membela ibu juga merupakan kebaktian sebagai anak——" Kaisar Jingming buru-buru membela Jiang Si. 　　Janda Permaisuri melirik Kaisar Jingming, berkata datar: "Hamba tidak menyalahkan Permaisuri Yan." 　　Kaisar Jingming tersekat. 　　Ibu jelas-jelas marah. 　　Kematian Rongyang seharusnya tak bisa disalahkan pada Istri Lao Qi, ini hanya konsekuensi masa lalu, tapi dia bisa memahami perasaan ibu yang melampiaskan amarah pada Istri Lao Qi. 　　"Setiap kali hamba memejamkan mata, terbayang engkau dan Rongyang kecil, satu di kiri, satu di kanan, mendengar hamba membacakan buku untuk kalian..." 　　Mata Janda Permaisuri berkaca-kaca, mata Kaisar Jingming pun basah. 　　“Kenangan masa muda itu, setelah mengalami kehidupan sebagai kaisar selama puluhan tahun, tak diragukan lagi sangat berharga bagi Kaisar Jingming.” 　　Jika awalnya kematian Putri Rongyang mengejutkan, membuatnya terkejut, marah, dan menyesal, itu hanya sekilas. Ulah Putri Rongyang yang berulang kali melampaui batas telah lama mengikis ikatan persaudaraan itu. 　　Tapi sekarang, menghadapi sang ibu tua beruban yang meneteskan air mata, Kaisar Jingming merasakan penyesalan yang mendalam. 　　Sebagai penguasa negara, tuan Dinasti Zhou, bahkan jika Rongyang bersalah, membiarkannya hidup tenang menemani ibu suri adalah bentuk bakti. Tapi sekarang— 　　“Janganlah Kaisar terpengaruh perasaan hamba. Kematian Rongyang hanya patut disalahkan pada niat jahatnya sendiri dan kekejaman Cui Xu. Tak ada yang lain layak disalahkan.” 　　“Ibu—” Kebijaksanaan ibu suri membuat Kaisar Jingming semakin malu. 　　Ibu suri tersenyum: “Hamba mengerti semua, hanya butuh waktu untuk menerima. Terutama ketika teringat pasangan Lao Qi, tak bisa tidak teringat kematian Rongyang—” 　　Tanpa berpikir, Kaisar Jingming spontan berkata: “Nanti anak perintahkan Lao Qi untuk tidak menghadap Ibu.” 　　“Untuk apa? Hamba bukan orang tua pikun. Menyalahkan mereka memang tidak pantas.” 　　“Ibu, tenangkan hati. Ke depannya, biarkan Fuqing dan Si Empat Belas lebih sering menemani...” 　　Setelah memberi instruksi pada tabib istana dan memperingatkan penghuni Istana Cining, barulah Kaisar pergi. 　　“Kalian semua boleh mundur. Dayang Chang tetap di sini.” 　　“Ada Janda Permaisuri yang melindungi, Kaisar Jingming tidak menghukum Dayang Chang.” 　　Setelah orang-orang lain mundur, Janda Permaisuri bertanya pada Dayang Chang: "Tidak menanyakan status dua wanita itu?" 　　"Hamba tidak banyak bertanya." 　　Janda Permaisuri mengangguk, mengajukan beberapa pertanyaan lagi, baru kemudian menyuruh Dayang Chang mundur. 　　Kamar dalam segera menjadi sangat sunyi, hanya Janda Permaisuri yang sedikit menyunggingkan bibir, menampilkan senyuman dingin. 　　Keluar dari Istana Cining, Kaisar Jingming tidak kembali ke Aula Yangxindian, melainkan langsung menuju ruang studi kekaisaran, dan menyuruh Pan Hai memanggil Yu Jin masuk istana. 　　Yu Jin segera datang, baru tiba langsung dimarahi habis-habisan oleh Kaisar Jingming. 　　Mendengar Kaisar Jingming memarahi sampai percikan ludah beterbangan, Yu Jin menyeringai dalam hati. 　　Sungguh memaksa Kaisar, demi memarahiku, sampai mengungkit peristiwa perkelahian massal delapan ratus tahun lalu. 　　Setelah selesai memarahi, Kaisar Jingming berkata dengan wajah masam: "Bertindak sembrono tanpa perhitungan, sama sekali tidak tahu menyesal, pulanglah ke rumah keluarga dan renungkan baik-baik, jangan sering-sering masuk istana mengganggu pandangan!" 　　"Anak lelaki mengerti." 　　Yu Jin menjawab patuh tanpa bertanya lebih lanjut, membuat Kaisar Jingming merasa sia-sia sudah memarahi. 　　Sore hari, pelayan istana melapor: "Kaisar, Komandan Han dari Jinlinwei mohon audiensi." 777.BAB 774 Pangeran Qi Masuk Istana 　　BAB 774 Pangeran Qi Masuk Istana 　　Kaisar Jingming ragu sebentar, bertanya pada Pan Hai: "Apa Aku memanggilnya?" 　　"Kaisar tidak memanggil Komandan Han," jawab Pan Hai dengan sopan. 　　Kaisar Jingming mengusap pelipis, menghela napas: "Persilahkan dia masuk." 　　"Dia sekarang benar-benar seperti burung yang ketakutan oleh busur, bahkan saat Han Ran meminta audiensi pun dia terus berpikir macam-macam." 　　Sebagai Komandan Jinlinwei, Han Ran memang sering melapor kepada kaisar, ini semua hanyalah urusan rutin pemerintahan. 　　Tak lama kemudian, Han Ran bergegas masuk: "Hamba yang bodoh menghadap Kaisar." 　　Kaisar Jingming meliriknya dan bertanya: "Ada urusan apa?" 　　Han Ran membungkuk: "Hari ini anak buah hamba menemukan kejanggalan di Kuil Fude, hamba khusus datang untuk melapor kepada Kaisar." 　　Mendengar tiga kata "Kuil Fude", Kaisar Jingming langsung teringat pada Istana Cining. 　　Hari ini Dayang Chang dari Istana Cining pergi ke Kuil Fude, dan Ibu jatuh pingsan setelah mendengar kabar yang dibawa pulang Dayang Chang. 　　"Laporkan!" Kaisar Jingming menggenggam pemberat kertas giok putih sambil menunjuk Han Ran. 　　Han Ran gemetar ketakutan, matanya menyiratkan ketidakpuasan saat melirik Pan Hai. 　　Sudah hampir musim panas, tak bisakah meletakkan kipas lipat di Meja Naga untuk Kaisar? Kenapa harus selalu membuat Kaisar memegang pemberat kertas? 　　Setelah menarik napas, Han Ran berkata: "Dua wanita yang membicarakan urusan pribadi bangsawan didengar oleh wanita lain. Wanita itu memberi tael emas sebagai imbalan untuk menyelidiki kematian Mulia Putri Rongyang. Anak buah hamba yang melihat kejadian ini merasa curiga dan membuntuti ketiganya, hasilnya menemukan bahwa wanita pemberi tael emas ternyata berasal dari istana--" 　　Melihat wajah Kaisar yang muram, Han Ran berhenti sejenak. 　　“Lanjutkan bicara.” Wajah Kaisar Jingming semakin muram, firasat buruk mulai muncul. 　　Kehadiran Jinlinwei di Kuil Fude tidak mengejutkan Kaisar Jingming. 　　Kuil kerajaan seperti Fude memang berada dalam pengawasan Jinlinwei. Pengawasan ini tidak ketat, layaknya satu dua mata-mata di tempat berkumpulnya pejabat dan bangsawan, hanya untuk memantau umum. Jika terjadi masalah besar, kabar bisa langsung sampai ke telinga Kaisar Jingming. 　　Tentu, kabar pertama akan sampai ke Komandan Jinlinwei Han Ran. Tentang perlu tidaknya melapor ke Kaisar, itu tergantung pertimbangannya. 　　Justru karena ini, para pejabat dan bangsawan tak berani sembarangan menyinggung Han Ran. 　　Jika tersinggung, urusan sepele pun bisa dilaporkan ke Kaisar. Dua tiga laporan saja, bawahan paling terpercaya pun akan tampak menjijikkan di mata Kaisar. 　　“Dua wanita lainnya yang diinterogasi mengaku bahwa ucapan tentang Putri Rongyang itu diinstruksikan suami mereka, sengaja dikatakan ke dayang istana itu--” 　　BANG! Kaisar Jingming menghantam pemberat kertas giok putih ke meja. 　　Suasana ruangan langsung membeku. 　　“Apa status kedua wanita itu?” tanya Kaisar dengan wajah berang. 　　“Satu adalah istri Pejabat Zhao dari Departemen Sumber Daya Manusia, satunya lagi istri Sekretaris Zhang dari Honglusi--” 　　Sebelum Han Ran selesai, Kaisar membentak: “Di mana mereka sekarang?!” 　　“Anak buah hamba telah membawa Pejabat Zhao dan Sekretaris Zhang ke kantor kabupaten untuk interogasi...” 　　“Sudah ada hasil?” 　　Han Ran matanya berkedip samar, tidak langsung menjawab. 　　Kaisar Jingming marah sampai tertawa: "Apa yang tidak berani kau katakan? Berani-beraninya menjebak Janda Permaisuri, aku ingin tahu siapa orang ini!" 　　"Zhao Tiju mengaku diperintah oleh Wakil Menteri Kanan Departemen Sumber Daya Manusia Li Duolai. Zhang Zhubu mengaku mendapat perintah dari atasannya Chen Shaoqing." Han Ran melirik cepat ke Kaisar Jingming, hati-hati melanjutkan, "Hamba yang bodoh ini berpikir ini menyangkut Janda Permaisuri, sedangkan Wakil Menteri Li dan Chen Shaoqing bukan pejabat kecil seperti Zhao Tiju dan Zhang Zhubu. Interogasi pun tidak akan cepat berhasil, jadi hamba segera masuk istana untuk melapor pada Kaisar." 　　Wakil Menteri Li, Chen Shaoqing—— 　　Kaisar Jingming diam-diam mengulang dua nama ini, mencari-cari jejak hubungan mereka. 　　Jaringan para pejabat dan bangsawan sangat rumit, banyak yang memiliki hubungan kekerabatan. Tidak mudah untuk melacaknya, tapi Kaisar Jingming punya caranya sendiri. 　　Orang yang berani menjebak Janda Permaisuri pasti punya tujuan tersembunyi. 　　Jika Janda Permaisuri mendengar Rongyang sudah meninggal, siapa yang akan jadi korban? 　　Hampir tanpa berpikir, dua huruf besar muncul di otaknya: Pangeran Yan. 　　Wajar saja terpikir, belum lama ini dia baru menghukum Lao Qi dan memutuskan untuk membatasi kehadiran anak itu di istana agar tidak mengganggu Janda Permaisuri. 　　Apa artinya seorang pangeran yang didinginkan di mata para bawahan? 　　Dengan demikian, peristiwa ini hampir pasti menggunakan Janda Permaisuri untuk menjebak Lao Qi. 　　“Lao Qi adalah seorang pangeran. Bawahan biasa tidak perlu berseteru dengan pangeran. Tujuan lawan jelas tertebak: kemungkinan besar terkait posisi calon penguasa.” 　　“Yang berkaitan dengan posisi calon penguasa hanya segelintir orang... Apakah Lao Si, Lao Wu, atau Putra Keenam?” 　　Dengan arahan ini, Kaisar Jingming mencari jejak interaksi Wakil Menteri Li dan Asisten Menteri Chen tidak lagi seperti lalat busuk tanpa kepala yang terbang sembarangan. 　　Wakil Menteri Li adalah sepupu suku Permaisuri Qi. 　　Permaisuri Qi berasal dari keluarga bangsawan Li. Meskipun telah menutupi perbuatan memalukannya dari publik, keluarga Li pasti diberitahu kebenaran. 　　Jika tidak, bagaimana mungkin seorang permaisuri bisa menjadi gila dan perlu beristirahat total hanya setelah sekali pergi sembahyang? Keluarga Li pasti akan mengirim utusan untuk memeriksa. Meskipun keluarga kerajaan tidak takut dengan reaksi Keluarga Li, dan Keluarga Li sendiri tidak berani berbuat apa-apa, lebih baik mengurangi permusuhan yang tidak perlu. 　　Seperti sekarang, Keluarga Li yang tahu perbuatan memalukan Permaisuri Qi justru malu hingga tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. 　　Meskipun Permaisuri Qi telah dicabut gelarnya, Keluarga Li jelas masih akan terus mendukung Lao Si seperti biasa. 　　Sedangkan Asisten Menteri Chen— 　　Kaisar Jingming tiba-tiba tidak teringat, bertanya pada Han Ran: “Asisten Menteri Chen sering bergaul dengan pangeran mana?” 　　Han Ran tertegun, matanya berkedip-kedip. 　　“Katakan apa yang ada di pikiranmu!” 　　“Pangeran Qi.” Han Ran menundukkan kepala, mengucapkan dua kata dengan cepat. 　　Kaisar Jingming tertegun, urat pelipusnya menonjol sambil menatap Han Ran dengan tajam: “Pangeran Qi?” 　　Han Ran dalam hati diam-diam menyalakan hio untuk Pangeran Qi, sambil menjawab dengan polos: "Di kediamanan Pangeran Qi ada seorang penasihat yang seangkatan dengan Chen Shaoqing. Karena hubungan ini, penasihat tersebut sering minum dan berhubungan dengan Chen Shaoqing..." 　　Sambil berkata demikian, Han Ran menghela nafas dalam hati: Pangeran Yan benar-benar tidak memberi jalan hidup. Sekarang Pangeran Qi pasti hancur. 　　Kaisar Jingming menyipitkan matanya, bayangan badai mengumpul di dasar bola matanya yang gelap. 　　Apakah Lao Si? 　　Wakil Menteri Li punya hubungan dengan Lao Si, Chen Shaoqing juga punya hubungan dengan Lao Si. Kalau bukan Lao Si, siapa lagi? 　　Memanggil Wakil Menteri Zhao dan Chen Shaoqing untuk diinterogasi - hal memalukan seperti ini takkan dilakukan Kaisar Jingming. Tapi memanggil anaknya sendiri masih bisa. 　　"Pan Hai, panggil Pangeran Qi masuk istana." 　　Di Istana Pangeran Qi, sang pangeran terus menunggu kabar di ruang belajar. Ketika mendengar Yu Jin dipanggil ke istana lalu dikabarkan mendapat teguran, ia tak bisa menahan tawa. 　　Lao Qi yang selama ini sombong, akhirnya mendapat pukulan. 　　Langkah selanjutnya, dia akan membuatnya lebih menderita. 　　Sudah saatnya para bawahan yang dirangkulnya mulai bersuara. 　　Dengan perasaan gembira, Pangeran Qi menyuruh dapur menyiapkan hidangan dan minuman lezat. Tiba-tiba datang kabar panggilan Kaisar Jingming, ia segera bergegas ke istana. 　　Begitu Pangeran Qi melangkah masuk ke ruang studi kekaisaran, sebuah benda putih berkilauan beterbangan menghantam mukanya. 778.BAB 775 Penolakan 　　BAB 775 Penolakan 　　Sebagai seorang pangeran, berkuda dan memanah adalah pelajaran dasar. Pangeran Qi masih memiliki kemampuan reaksi ini. 　　Dengan panik dia menghindar ke samping, benda putih berkilau itu menyambar pipinya dan menghantam dinding dengan dentuman keras sebelum hancur berkeping-keping. 　　Punggung Pangeran Qi langsung basah oleh keringat dingin. Meski pipinya tidak terluka, terasa perih seperti terbakar. 　　Melubangi hati dan menggerogoti tulang. 　　Pangeran Qi bergegas bersujud, suaranya gemetar: "Ayah Kaisar, tenangkan amarahmu. Hamba tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat hingga Ayah murka. Jangan sampai Ayah merusak keperawanan karena kemarahan." 　　Mengingat kejadian sesaat tadi, hatinya langsung tercebur ke dalam lubang es. 　　Andaikan tadi mengenai wajah hingga cacat—Pangeran Qi menggigil ketakutan. 　　Peristiwa apa yang membuat ayahanda yang terkenal sabar ini murka setengah mati? 　　"Kau tidak tahu kesalahanmu?" Kaisar Jingming menyambar dari balik Meja Naga, menendang tanpa ampun sambil memaki: "Menjebak Janda Permaisuri, menjerat saudara, mengakali Aku... Yu Zhang, sungguh kau anak lelaki yang membanggakan!" 　　Pangeran Qi tak berani menghindar, bahkan lupa untuk melakukannya. Seluruh tubuhnya terkunci oleh teror yang mencekam. 　　Otaknya berdengung kosong bagai sarang lebah. 　　Apa yang ayahanda katakan tadi? 　　Menjebak Janda Permaisuri—apakah skema hari ini telah terbongkar oleh ayahanda? 　　Pangeran Qi menerima pemukulan brutal dari Kaisar Jingming, pikirannya hampir membeku karena teror. 　　Pan Hai yang bersembunyi di sudut tidak tega melihat, Han Ran yang juga bersembunyi di sudut sama tidak tega. 　　Ck ck, Pangeran Qi benar-benar menyedihkan. 　　Pan Hai dan Han Ran saling memandang, masing-masing memiliki pikiran tersendiri. 　　Pan Hai berpikir dalam hati bahwa dia memang tidak salah lihat, Pangeran Yan sama sekali bukan orang lemah melainkan elang perkasa. Pangeran Qi bukan hanya gagal mencuri ayam malah kehilangan beras, tapi juga tidak menyadari bahwa saudaranya adalah burung elang berekor besar. 　　Penglihatan terlalu buruk, pantas saja belum sempat menikmati kemenangan sudah tertimpa malang. 　　Sementara Han Ran diam-diam mengambil keputusan: Kehadirannya di sini hari ini pasti membuat Pangeran Qi membencinya. Kalau sudah begini, lebih baik langkahi saja Pangeran Qi sampai tak bisa bangkit demi keselamatan diri dan seluruh keluarga. 　　Dua-satunya saksi mata mulai melamun jauh, sementara pemukulan masih berlanjut. 　　Pangeran Qi yang mulai pulih sedikit merintih: "Ayah Kaisar tenangkan amarah, Ayah Kaisar tenangkan amarah--" 　　Kaisar Jingming akhirnya kelelahan memukul, terengah-engah bertanya: "Yu Zhang, kau punya ambisi kecil tak apa, tapi pernahkah kau khawatir sedikit pun tentang kesehatan Janda Permaisuri?" 　　Pangeran Qi akhirnya mendapat kesempatan bicara, merangkak di lantai sambil menangis: "Ayah Kaisar, anak lelaki benar-benar tidak mengerti maksud Ayah--" 　　Kaisar Jingming tersenyum sinis: "Tidak mengerti? Lalu apakah kau mengenal Zhao Tiju dari Departemen Sumber Daya Manusia dan Zhang Zhubu dari Honglusi?" 　　Pangeran Qi seluruh tubuhnya kaku, tak sengaja menatap Han Ran yang berdiri di sudut. 　　Han Ran memusatkan pandangan pada hidung dan hatinya, menghindari kontak mata dengan Pangeran Qi. 　　Seketika seluruh tubuh Pangeran Qi terasa membeku. 　　Apakah urusan hari ini sudah diawasi oleh Jinlinwei? 　　"Ayah Kaisar, anak lelaki ini tidak memiliki hubungan dengan pejabat kecil seperti itu..." Pangeran Qi memutuskan untuk terus menyangkal. 　　Dia tidak bisa mengakui, sekali mengaku, mungkin tidak akan bisa bangkit lagi. 　　Kaisar Jingming menatap Pangeran Qi, di kedalaman matanya terlihat kekecewaan yang mendalam. 　　"Tidak ada hubungan dengan pejabat kecil? Lalu apakah dengan Wakil Menteri Li dari Departemen Sumber Daya Manusia dan Chen Shaoqing dari Honglusi juga tidak ada hubungan?" 　　Pangeran Qi terguncang. 　　Suara Kaisar Jingming penuh kemarahan dan kekecewaan: "Yu Zhang, kau pikir Jinlinwei-ku adalah sampah tak berguna yang tidak bisa menyelidiki perbuatan kotormu?" 　　Han Ran di sudut: "..." Kalau begitu, haruskah dia berterima kasih pada bawahan Pangeran Yan yang memalsukan diri sebagai Jinlinwei? 　　Mengingat ancaman Yu Jin, Han Ran yang awalnya penuh amarah tiba-tiba merasakan secara tak wajar seberkas rasa syukur. 　　Tidak bisa, meskipun tindakan mereka menguntungkannya, ancaman seperti ini terlalu menghina. 　　Dia tidak boleh merendahkan diri seperti ini! 　　Han Ran mengingatkan diri sendiri dalam hati, menahan rasa syukur aneh yang muncul tadi. 　　Mendengar perkataan Kaisar Jingming, Pangeran Qi akhirnya menyerah membela diri dan terjatuh sambil memohon ampun: "Anak lelaki ini sesaat linglung, mohon Ayah Kaisar mengampuni——" 　　Pan Hai tak bisa menahan gelengan kepala. 　　Mental Pangeran Qi ini payah, terlalu rapuh. Padahal Kaisar belum sempat menanyai Wakil Menteri Li dan Asisten Menteri Chen, dia sudah mengaku. 　　Seandainya yang dihadapkan adalah Pangeran Yan—— 　　Membayangkan wajah yang sering menampilkan senyum santai itu, sudut bibir Pan Hai berkedut. 　　Pangeran Yan pasti tipe orang yang meski melihat peti mati pun tidak akan menitikkan air mata, mana mungkin gentar oleh ancaman Kaisar. 　　Mendengar pengakuan langsung dari Pangeran Qi, hati Kaisar Jingming benar-benar membeku. 　　Amarahnya tadi meski berasal dari emosi, tapi juga mengandung maksud menguji Lao Si. Seandainya Lao Si bersikeras menyangkal, mungkin masih ada keraguan. 　　Tak disangka ternyata benar-benar ulah Lao Si. 　　Brengsek-brengsek ini, tak pernah "mengecewakan" dirinya! 　　Semakin dipikir, hati Kaisar Jingming semakin dingin. Wajahnya membeku: "Mengapa kau lakukan ini?" 　　Pangeran Qi merangkak di lantai, suaranya gemetar: "Adik ketujuh berulang kali menantang anak lelaki, anak lelaki hanya sesaat tak tahan——" 　　"Sekali tak tahan langsung menggunakan kesehatan Janda Permaisuri sebagai tameng? Apakah kebaktian dan kemanusiaanmu sudah dimakan anjing?" Kaisar Jingming menyela dengan suara keras sebelum Pangeran Qi selesai bicara. 　　Seandainya yang melakukan ini anaknya yang lain, Kaisar Jingming mungkin tidak akan marah sejauh ini. Tapi Pangeran Qi berbeda. 　　"Selama bertahun-tahun Pangeran Qi selalu rendah hati dan taat aturan. Meski Kaisar Jingming tidak terlalu dekat dengan anaknya ini, setiap kali teringat dia merasa ini anak yang tidak merepotkan." 　　"Tapi sekarang, dia merasa telah ditipu secara mendalam." 　　"Perasaan ini bercampur dengan kemarahan Janda Permaisuri yang dijebak, membuat amarahnya berlipat ganda." 　　"Anak bersalah, ini karena kebodohan anak sesaat——" Pangeran Qi terus-menerus memohon ampun, hatinya sudah diliputi keputusasaan. 　　"Meski Pasukan Brokat Emas mengawasi tindakan para pejabat, mereka bukanlah jaring laba-laba yang menyeluruh. Pasukan Brokat Emas yang bertugas di Kuil Fude hari ini jelas-jelas sedang bermalas-malasan, bagaimana mungkin tertangkap basah?" 　　"Pangeran Qi tak bisa memahami, hanya merasa Langit tidak adil yang tak pernah memberikan keberuntungan padanya." 　　"Kaisar Jingming melirik Pangeran Qi, lalu membalikkan badan dan berkata dingin: 'Yu Zhang, mulai sekarang kecuali dipanggil, jangan masuk istana lagi. Tinggallah di istana pangeranmu dan introspeksi diri.'" 　　"Pangeran Qi terkejut, berteriak: 'Ayah Kaisar——'" 　　"'Masih kurangkah Aku menghargai posisimu? Haruskah Aku umumkan perbuatanmu ke seluruh negeri?'" 　　"Wajah Pangeran Qi berubah pucat. Tak berani bersuara lagi, dia dibawa keluar oleh pelayan istana dan meninggalkan Istana Kekaisaran dengan langkah gontai." 　　"Kawasan Zhuque seketika diliputi kecemasan." 　　"Apa yang sebenarnya terjadi? Pertama Lao Qi dipanggil ke istana dengan kabar dimarahi Ayah Kaisar, kemudian Lao Si juga dipanggil dan pulang dengan wajah seperti kehilangan 10.000 tael perak." 　　"Berbagai istana pangeran terus berspekulasi, tapi tak ada yang mengetahui cerita sebenarnya." 　　Tak berapa hari kemudian, Wakil Menteri Honglusi Chen dituduh oleh pejabat pengawas karena mengistimewakan selir dan mengabaikan istri, sehingga dicopot dari jabatannya. 　　Tak lama setelah keributan ini, Wakil Menteri Kanan Departemen Sumber Daya Manusia Li Duolai dijebloskan ke penjara karena menerima suap untuk mengatur jabatan orang. 　　Masalah yang menimpa Wakil Menteri Chen dan Menteri Li ini, ditambah dengan kejadian sebelumnya dimana Pangeran Qi keluar dari Istana Kekaisaran dengan wajah pucat, membuat para pejabat diam-diam berspekulasi. 　　Seketika itu, semua menteri yang sebelumnya mendukung Pangeran Qi menjadi sejinak burung puyuh, tak ada yang berani menonjolkan diri. Bahkan beberapa di antaranya mulai tertarik untuk menjauhi Pangeran Qi. 　　Upaya Pangeran Qi selama bertahun-tahun untuk menyatukan hati orang langsung buyar separuh. 779. BAB 776 Situasi 　　BAB 776 Situasi 　　Rakyat jelas melihat Pangeran Qi mendapat tekanan dari Kaisar Jingming. Para pejabat dan bangsawan pun segera memusatkan perhatian pada Pangeran Lu, Pangeran Shu, dan Pangeran Yan. 　　Pangeran Lu pulang ke rumah dengan gembira dan berkata pada Permaisuri Lu: "Temani Tuan minum." 　　Permaisuri Lu mengangkat alis melengkungnya: "Ada kabar baik, Pangeran?" 　　Pangeran Lu duduk sambil tersenyum lebar: "Kau langsung tahu ya? Memang hari ini moodku bagus." 　　"Ceritakanlah, Pangeran. Biar saya ikut senang." 　　Pangeran Lu bersemangat: "Kukira setelah jadi pangeran biasa aku akan diremehkan mereka. Tapi sekarang malah dihormati! Hari ini beberapa orang bersikap sangat sopan padaku - padahal saat masih jadi pangeran kerajaan pun tak pernah begini--" 　　“Permaisuri Lu melirikkan mata putihnya: "Orang lain hanya bersikap sopan, Tuan jangan terlalu serius."” 　　Pangeran Lu langsung tak senang: "Lao Ba dan Lao Si sudah jatuh, tinggal aku, Putra Keenam, dan Lao Qi yang masih aman. Pikirkanlah, di antara kami bertiga, aku yang paling tua. Apa salahnya jika mereka bersikap hormat padaku?"” 　　“Maksud Tuan——” 　　Pangeran Lu tersenyum puas: "Apakah aku hanya pantas jadi pangeran biasa? Siapa tahu keberuntungan berpihak, mungkin bisa jadi Putra Mahkota——" 　　Permaisuri Lu mendadak tertawa terkekeh. 　　“Tertawa apa?” 　　Permaisuri Lu menghentikan tawanya, melirik tajam ke Pangeran Lu sambil berkata dengan penuh ancaman: "Kuharap Tuan jangan berkhayal muluk. Jadi Putra Mahkota itu soal keberuntungan? Lihat saja Pangeran Qi, bertahun-tahun bersikap sabar dan hati-hati, tiba-tiba dibenci Ayah Kaisar tanpa alasan jelas. Menurut Tuan, apakah kesabaran Tuan melebihi Pangeran Qi? Atau Tuan ingin jadi seperti dia?"” 　　Pangeran Lu gemetar, langsung menggelengkan kepala. 　　Dia tak sudi jadi seperti Lao Si. Masalah di masa kecil ketika dijadikan kambing hitam masih diingatnya sampai mati. 　　Untuk tipe seperti Lao Si, dia hanya ingin meludah "Ptui!". 　　Permaisuri Lu khawatir suaminya belum kapok, melanjutkan: "Aku dan Tuan adalah pasangan suami istri. Entah Tuan meraih kejayaan atau kehilangan nyawa, aku rela. Tapi bagaimana dengan Putri kita?"” 　　Sambil berkata, dia mengusap perutnya: "Apalagi ada kandungan di sini——" 　　“Kau bilang apa?” Pangeran Lu terkejut, lalu girang luar biasa. Ia merangkul Permaisuri Lu dan menciumnya, “Berarti aku akan punya anak lelaki?” 　　Permaisuri Lu memiringkan kepala menghindar: “Siapa tahu anaknya laki atau perempuan... Kalaupun laki, apa gunanya? Kalau Pangeran ikut campur sembarangan, punya anak lelaki pun hanya akan menderita——” 　　Pangeran Lu buru-buru menyahut: “Tidak ikut campur lagi, tidak ikut campur lagi!” 　　Permaisuri Lu diam-diam menghela nafas lega. 　　Pria ini langsung semangat begitu dapat angin, meski otaknya tak cukup cerdas masih nekat cari masalah. Bukankah ini membahayakan seluruh keluarga? 　　Setelah beberapa saat, Pangeran Lu yang sudah tenang berkata canggung: “Karena kamu hamil, aku akan tidur di ruang belajar saja. Itu... tidak perlu banyak, cukup tempatkan seorang Hongxiu untuk temani.” 　　“Tidak banyak?” Permaisuri Lu melirik tajam ke arah Pangeran Lu. 　　Pangeran Lu merasa ini kesempatan langka, imbalan harus diperjuangkan. Ia tertawa kaku: “Satu orang kan tidak banyak?” 　　“Tidak, terlalu banyak.” 　　“Ha?” 　　Permaisuri Lu mengambil gunting dari keranjang bordir, menepaknya di depan Pangeran Lu sambil berkata dingin: “Pangeran memang banyak permintaan!” 　　Segera terdengar teriakan menyakitkan dari dalam kamar. 　　Dayang-dayang yang berjaga di luar pintu berpura-pura tidak melihat dan tidak peduli, sikap yang sudah biasa mereka lihat. 　　Dibandingkan dengan keributan di kediaman Pangeran Lu, Istana Pangeran Shu terasa jauh lebih sepi. 　　Pangeran Shu tidak akur dengan Permaisuri Shu, jadi saat ini tentu tidak akan curhat pada Permaisuri Shu. Ia malah mengurung diri di ruang belajar, merenungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini. 　　Semakin direnungkan, semakin gelisah hatinya. 　　Waktu itu Lao Qi duluan dipanggil ke istana dan dimarahi, kemudian Lao Si juga dipanggil masuk ke dalam istana. Tak lama setelah itu, para pejabat pendukung Lao Si mengalami pukulan berat... Apakah kemalangan Lao Si terkait dengan Lao Qi? 　　Ada juga kasus Lao Ba yang jelas-jelas dijebak Lao Qi, tapi Lao Wu malah berebut mengaku sebagai pelakunya—mengingat kebodohan Pangeran Lu, Pangeran Shu menggelengkan kepala. 　　Dengan demikian, dirinya dan Lao Qi-lah yang paling berpeluang. 　　Setelah kegembiraan kecil yang samar, Pangeran Shu tersadar pada suatu fakta menakutkan: Kalau begitu, bukankah dia harus berhadapan langsung dengan Lao Qi? 　　Tidak, tidak, persiapannya belum matang. Saat ini dia belum bisa melawan Lao Qi secara terbuka. 　　Setelah mengurung diri di ruang belajar selama setengah hari, akhirnya Pangeran Shu berpikir jernih: Dia masih perlu persiapan bertahap. Biarkan saja Lao Qi menikmati masa kejayaannya sebentar. 　　Sementara itu di Kediaman Dongping Bo, Tuan Jiang Kedua kembali menghitung-hitung dengan jarinya: Pangeran Lu, Pangeran Shu, Pangeran Yan... Hmm, kemungkinan Pangeran Yan semakin besar! 　　Rasa iri Tuan Jiang Kedua terhadap keluarga utua kembali membengkak satu lingkaran. 　　Iri tetap iri, tapi menjilat tetap harus dilakukan. Tuan Jiang Kedua memutuskan membawa kendi arak untuk minum bersama kakaknya. 　　Di pihak Keluarga An Guogong, Adipati An Guo dengan serius menasihati Nyonya Wei: "Urusan Pangeran Qi jangan diungkapkan ke pihak ibu, agar beliau tidak khawatir." 　　Nyonya Wei mengangguk gelisah: "Yang Mulia, bagaimana kita harus bersikap ke depannya——" 　　Adipati An Guo menyeringai dingin: "Apa maksudmu? Bertindaklah seperti biasa. Sebelum adik masuk istana menjadi selir pun kita sudah menjadi keluarga adipati turun-temurun. Masak harus mengejar ambisi kosong sebagai keluarga kerajaan?" 　　"Tapi——" 　　"Tidak ada 'tapi'! Urus saja baik-baik rumah tangga adipati." Peringatan Adipati An Guo disertai perhitungan dalam hati. 　　Meski tak ingin terlibat persaingan perebutan takhta, status Keluarga An Guogong sebagai keluarga kakek nenek Pangeran Qi dari pihak ibu membuat mereka dianggap pendukung alami. Jika Pangeran Qi kalah dalam perseteruan sengit dengan pangeran lain, nasib malang pasti menimpa mereka. 　　Namun kini situasi agak berbeda. 　　Kesempatan Pangeran Yan semakin besar. Jika naik takhta, ikatan darah sebagai keluarga kakek nenek dari ibu tak bisa disangkal meski statusnya tercatat sebagai anak Permaisuri. 　　Selama Keluarga An Guogong tidak berlebihan, tak ada alasan bagi Pangeran Yan untuk bertindak terhadap mereka. 　　Jika Pangeran Yan kalah dari pangeran lain, statusnya sebagai anak angkat Permaisuri juga membuat pemenang takkan menyulitkan Keluarga An Guogong. 　　"Setelah berpikir panjang, perebutan berdarah antara Pangeran Yan dengan pangeran-pangeran lain tidak banyak berpengaruh pada Keluarga An Guogong. Namun jika Pangeran Qi yang demikian, keluarga An Guogong mungkin akan ikut kehilangan kepala." 　　"Hmm, biarlah Pangeran Qi tetap seperti ini saja." 　　Sebagai paman dari Pangeran Qi, Adipati An Guo sekali lagi menguatkan tekadnya untuk tidak saling mendukung Pangeran Qi. 　　Jika ada kesempatan, diam-diam membantu Pangeran Yan mungkin bisa dilakukan. 　　"Terhadap Ibu Suri Xian, saat kau masuk istana untuk memberi salut, nasehatilah dia baik-baik. Hidup tenang dan patuh itu adalah berkah." 　　Nyonya Wei menyetujui, namun keesokan harinya saat mengunjungi Ibu Suri Xian di istana, ucapannya justru berbeda. 　　"Apakah Nyonya sudah tahu tentang masalah Pangeran Qi?" 　　Mendengar pertanyaan Nyonya Wei, hati Ibu Suri Xian mendadak berat. Dengan wajah tenang ia bertanya: "Ada apa dengan Zhang'er?" 　　Saat Janda Permaisuri pingsan di tanggal satu bulan keempat penanggalan lunar, dia memang mendapat kabar. Tapi setelah itu sulit untuk menyelidiki lebih lanjut. 　　Dengan adanya Janda Permaisuri dan Permaisuri, bagi para selir, beberapa informasi justru lebih sulit didapat di dalam istana dibanding di luar. 　　Karena itu, beberapa hari terakhir Ibu Suri Xian terus menanti kabar dari Pangeran Qi, tapi sang pangeran tak kunjung datang memberi salut padanya. 　　Mata Nyonya Wei berkedip-kedip. Dengan suara rendah ia berbisik: "Sekarang semua kabar mengatakan Pangeran Qi telah kehilangan pengaruh--" 　　Terima kasih untuk vote dan hadiahnya. Tuan rumah pulang kampung merayakan tahun baru. Ding, Xiao Jia, si Naskah Cadangan online. 780. BAB 777 Muntah Darah Ibu Suri Xian 　　BAB 777 Muntah Darah Ibu Suri Xian 　　Perkataan Nyonya Wei ini membuat Ibu Suri Xian nyaris berdiri terkejut, wajahnya tak bisa menyembunyikan perubahan: "Apa maksud kakak ipar mengatakan ini?" 　　“Nyonya Wei mengamati reaksi Ibu Suri Xian dengan heran, "Nyonya, apakah Anda sama sekali tidak mengetahui hal ini?"” 　　Dari sini terlihat, posisi Ibu Suri Xian di istana memang tidak begitu baik. 　　Faksi Pangeran Qi terus menerus mendapat pukulan. Bahkan wanita yang tinggal di kediaman terpencil seperti dirinya pun telah mendengar kabar ini, tapi Ibu Suri Xian tampak sama sekali tidak tahu. 　　Nyonya Wei tiba-tiba merasa kunjungannya ke istana hari ini untuk memberi salut adalah kesalahan. Sebaiknya dia mengurangi frekuensi mengunjungi Ibu Suri Xian di istana ke depannya. 　　Sebagai Nyonya Adipati, alangkah nyamannya hidup bermewah-mewah di luar. Jika bukan demi mengejar kemakmuran yang lebih tinggi di masa depan, buat apa datang ke istana memberi salut rendah kepada adik ipar? 　　"Kakak Ipar, bagaimana bisa rumor seperti ini beredar di luar?" 　　Nyonya Wei tampak serba salah, "Saya kira Nyonya sudah tahu. Rupanya saya yang terlalu banyak bicara. Jika ini mengganggu hati Nyonya, itu salah saya--" 　　"Kakak Ipar, di saat seperti ini masih berkata kata-kata yang menjauhkan. Bukankah kita satu keluarga? Masih adakah hal yang perlu disembunyikan dariku?" Ibu Suri Xian semakin cemas melihat sikap Nyonya Wei. 　　Nyonya Wei menghela nafas, "Saudara sepupu Permaisuri Qi, Wakil Menteri Li, tiba-tiba dipenjara karena kasus penjualan jabatan. Wakil Menteri Chen dari Honglusi juga bermasalah. Mereka semua dekat dengan Pangeran Qi... Jadi muncul rumor bahwa Pangeran Qi telah kehilangan pengaruh..." 　　Mendengar ini, energi vital Ibu Suri Xian langsung bergejolak. Wajahnya lebih pucat dari kertas. 　　"Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?" 　　"Saya baik. Kakak Ipar, bagaimana kabar Zhang'er?" 　　“Pangeran tidak keluar rumah selama dua hari ini, tidak ada gerakan apa pun.” 　　“Mengurung diri?” 　　Nyonya Wei mengangguk: “Benar. Konon sejak tanggal satu saat Pangeran meninggalkan istana, wajahnya sangat muram. Setelah itu dia tidak keluar dari istana pangeran sama sekali. Wakil Menteri Chen dan Li berturut-turut mengalami masalah, ada yang datang mengunjungi tapi dihalau pelayan di pintu...” 　　Kapan pangeran dipanggil masuk istana, bagaimana keadaan saat pergi, hal-hal seperti ini biasanya tidak tersebar luas. Namun faksi Pangeran Qi tiba-tiba dibenci Kaisar, orang-orang yang penasaran menguliti kasus ini baru menemukan keanehan yang terjadi pada tanggal satu bulan keempat. 　　Faksi Pangeran Qi celaka, sementara sebelum kejadian Pangeran Qi meninggalkan istana dengan wajah muram. Jelas terlihat Pangeran Qi telah membuat Kaisar marah karena suatu alasan. 　　Otak Ibu Suri Xian berdengung, tubuhnya limbung. 　　Tanggal satu bulan keempat... Jangan-jangan rencana Zhang'er terbongkar? 　　Tidak mungkin, ini mustahil! 　　Melihat wajah Ibu Suri Xian sangat pucat seolah akan pingsan, Nyonya Wei mencoba bertanya: “Nyonya, apakah Pangeran telah membuat Kaisar tidak senang?” 　　Ibu Suri Xian tersadar, memaksakan senyum: “Kakak ipar tentu tahu Zhang'er. Dia selalu hati-hati dan patuh tata krama, bagaimana mungkin membuat Kaisar marah? Saya hanya terlalu terkejut, sepertinya harus menanyakan keadaan Zhang'er.” 　　Nyonya Wei dalam hati mencemooh. 　　Hati-hati dan patuh tata krama tidak akan membuat Kaisar marah? 　　Perkataan Ibu Suri Xian ini sungguh menarik. 　　"Kalau Pangeran Qi benar-benar patuh pada tata krama, tentu tidak akan mengincar posisi itu." 　　Dulu kukira peluang Pangeran Qi besar, tapi kini tampaknya jika dia tak punya kemampuan, jangan sampai menarik Keluarga An Guogong ke dalam masalah. 　　Memikirkan ini, Nyonya Wei menyesal tak mendengarkan peringatan An Guogong. 　　Seharusnya dia tidak usah banyak bicara dalam kunjungan ini. 　　Nyonya Wei ingin segera pergi: "Sudah larut, hamba tidak mau mengganggu Nyonya lagi. Kabar angin itu cukup Nyonya ketahui, jangan terlalu dipercayai." 　　Ibu Suri Xian mengangguk paksa: "Kakak ipar tenang saja, aku sudah punya pertimbangan. Naik turunnya pejabat itu hal biasa, cuma bahan gosip bagi sebagian orang." 　　Di akhir kalimat, sudah terasa nada menenangkan Nyonya Wei. 　　Setelah Nyonya Wei pergi, Ibu Suri Xian duduk termenung lama, lalu menyuruh orang ke luar istana untuk memanggil Pangeran Qi. 　　Zhang'er mengurung diri di rumah - apakah karena panik, atau atas perintah Kaisar? 　　Ini harus dia selidiki sampai jelas. 　　Tak lama, utusan itu kembali melapor: "Nyonya, hamba baru sampai gerbang istana sudah dihalangi." 　　"Kenapa?" Ibu Suri Xian langsung tahu ada masalah, kuku terawatnya hampir patah digigit kuat. 　　Utusan itu gemetar menjawab: "Katanya ada perintah dari atas, Pangeran Qi dilarang masuk istana tanpa panggilan resmi Kaisar--" 　　Denting halus terdengar. Sebatang kuku panjang patah, menusuk telapak tangan lembut Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian tidak merasakan sakit, hanya merasakan hati yang kacau balau, bergumam: "Tanpa panggilan resmi dilarang masuk istana, bagaimana mungkin ini terjadi, bagaimana mungkin ini terjadi..." 　　Pelayan istana menundukkan kepala, tidak berani bersuara. 　　Setelah lama, Ibu Suri Xian menekan perasaan paniknya, bertahan berkata: "Panggil Kaisar kemari." 　　Pelayan istana menjalankan perintah menuju Aula Yangxindian untuk memanggil Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming baru saja kembali dari mengunjungi Janda Permaisuri, sedang bersandar di dipan sambil memejamkan mata. 　　Runtutan nasib buruk yang bertubi-tubi membuat Kaisar Jingming semakin merasa lemah semangat, menangani urusan pemerintahan dengan setengah hati, hanya ingin berbaring beristirahat. 　　"Paduka, utusan dari Istana Yuquan datang, memohon kehadiran Paduka." Pan Hai menghampiri Kaisar Jingming, berbisik pelan. 　　Kaisar Jingming membuka mata, kebetulan melihat Jixiang sedang asyik bermain bola benang di kejauhan. 　　Bola benang berwarna-warni itu dihiasi rangkaian bulu kecil yang dijahit rapi, terlihat cantik dan imut, disiapkan khusus oleh dayang istana untuk Jixiang. 　　Kucing putih itu menggelindingkan bola benang ke sana kemari, bermain dengan penuh semangat. 　　Pada detik ini, Kaisar Jingming tak bisa menahan desahan. 　　Terkadang, dia merasa hidupnya sebagai Kaisar tak sebahagia Jixiang. 　　"Ada kabar apa?" 　　Pan Hai terdiam sejenak: "Belum lama ini Istana Yuquan mengirim utusan untuk memanggil Pangeran Qi, tapi dihalangi--" 　　Kaisar Jingming segera paham, bangkit berkata: "Ke Istana Yuquan." 　　Keributan ini hanya menarik pandangan malas Jixiang yang kemudian kembali asyik bermain. 　　Kaisar Jingming menghela napas dalam-dalam. 　　"Dia salah bicara, bukan kadang-kadang, tapi sejak awal memang tidak pernah ada kenyamanan bersama Jixiang." 　　Kaisar Jingming berangkat ke Istana Yuquan, disambut oleh seorang wanita yang terlihat letih dan lesu. 　　Mengingat kecantikan masa lalu Ibu Suri Xian, lalu memandang wanita berwajah sakit di hadapannya, Kaisar Jingming menghela napas dalam hati dan berkata datar: "Masuklah dulu kita bicara." 　　Keduanya masuk dan duduk, mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan, hanya menyisakan orang kepercayaan yang hadir. 　　"Ada urusan apa Kekasihku memanggilku kemari?" 　　Ibu Suri Xian menggigit bibirnya, menjawab: "Selir ini tidak enak badan, rindu pada Zhang'er, baru saja mengutus orang untuk memanggilnya tapi dihalangi... Kaisar, apakah Zhang'er telah membuatmu marah?" 　　"Ya." Jawab Kaisar Jingming singkat. 　　Ibu Suri Xian terdiam cukup lama, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. 　　Apakah rencana Zhang'er benar-benar telah terbongkar oleh Kaisar yang kali ini bersikap begitu tegas tanpa ampun? 　　Kaisar Jingming menghentikan kegelisahan Ibu Suri Xian dengan tegas: "Lao Si menjebak Janda Permaisuri, menjerat saudara-saudaranya, bahkan berani mengakali aku sendiri. Sebagai anak tidak berbakti, sungguh membuatku sangat kecewa!" 　　"Kaisar—" 　　Kaisar Jingming tidak melunak melihat wajah pucat Ibu Suri Xian: "Aku mengerti kerinduanmu pada anak kandung, tapi selama Lao Si belum bertobat, aku tidak akan mengizinkan brengsek penuh perhitungan licik ini masuk istana lagi—" 　　Setiap huruf yang diucapkan Kaisar Jingming bagaikan palu berat, menghantam hati Ibu Suri Xian bertubi-tubi. 　　Tubuh Ibu Suri Xian limbung, seembur darah menyembur keluar dari mulutnya. 　　Kaisar Jingming disemprotkan darah di wajahnya, seketika linglung. 　　Pan Hai bereaksi paling cepat, segera mengeluarkan saputangan dan bergegas mendekat. 　　Hari terakhir akhir bulan, jangan lupa gunakan suara bulanan Anda, nanti hangus terbuang. 781.BAB 778 Mengunjungi Orang Sakit 　　BAB 778 Mengunjungi Orang Sakit 　　Pan Hai sibuk membersihkan kotoran di wajah Kaisar Jingming, dalam hati sangat bersimpati pada Sang Kaisar. 　　Kaisarnya benar-benar tidak mudah—— 　　Ibu Suri Xian di satu sisi tak bisa menerima kenyataan pahit rencana anak lelakinya terbongkar, di sisi lain terkejut telah menyemprotkan darah ke wajah Kaisar, matanya berputar putih lalu pingsan. 　　Pan Hai menyeringai. 　　Pingsan itu bagus, dengan pingsan tak perlu menghadapi apapun. 　　Kaisar Jingming membiarkan Pan Hai membersihkan wajahnya, melirik Ibu Suri Xian yang ditopang dayang-dayang, berkata dengan muka masam: "Panggil tabib istana untuk memeriksa Ibu Suri Xian." 　　Meski tidak marah atas ketidaksopanan Ibu Suri Xian, beliau juga tidak tinggal lama, buru-buru meninggalkan Istana Yuquan menuju Aula Yangxindian. Baru setelah mandi dan berganti pakaian, napasnya mulai tenang. 　　Istana Yuquan benar-benar tak ingin dikunjunginya lagi. 　　"Paduka, makan siang sudah siap——" 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai, berkata dingin: "Aku tak berselera." 　　Siapa pun yang disemprot darah di wajahnya, mana mungkin punya selera makan! 　　Pan Hai sangat memahami, tidak berusaha keras membujuk. 　　Kaisar Jingming memandangi Jixiang mengunyah ikan kering sambil perut keroncongan, suasana hatinya semakin buruk. 　　“Di Istana Yuquan, Ibu Suri Xian telah sadar. Pertanyaan pertamanya adalah: 'Di mana Kaisar?'” 　　Setelah hening sejenak, orang kepercayaan dayang istana menjawab: "Kaisar sudah pergi. Tabib istana sedang merebus obat untuk Nyonya." 　　Ibu Suri Xian mengatupkan bibirnya, merasakan rasa anyir di mulut. Ini membuat perutnya kembali dilanda badai, kepalanya memiring dan ia mulai muntah. 　　Melihat pispot penuh warna merah, seluruh penghuni Istana Yuquan pucat ketakutan. 　　Kondisi Nyonya sungguh mengkhawatirkan—— 　　Orang kepercayaan dayang istana berlutut sambil menangis: "Nyonya, hamba akan menjemput Kaisar kembali." 　　Ibu Suri Xian menyeka mulutnya dengan saputangan, bertanya lemah: "Kapan Kaisar pergi?" 　　Untuk sesaat tak ada yang menjawab. 　　"Bicara!" 　　Orang kepercayaan dayang istana berbisik: "Setelah Nyonya pingsan, Kaisar memerintahkan memanggil tabib lalu pergi." 　　"Artinya, Kaisar pergi sebelum tabib datang?" tanya Ibu Suri Xian dengan wajah pucat. 　　Orang kepercayaan itu mengangguk berat sambil banjir air mata. 　　Ibu Suri Xian menutup mata, tersenyum getir: "Tak perlu menjemput Kaisar lagi." 　　Jika Kaisar bahkan tak punya kesabaran menunggu tabib memeriksa penyakitnya, apa gunanya menjemput lagi? 　　Saat ini, Ibu Suri Xian menyadari dengan jelas: Kaisar Jingming sudah benar-benar muak pada Pangeran Qi, dan juga padanya. 　　Kesadaran ini membuat hatinya layu, keputusasaan merayap, seolah tenaga hidupnya terkuras seketika, membuatnya terlihat tua beberapa tahun dalam sekejap. 　　"Kabaran Ibu Suri Xian muntah darah dan pingsan seketika menyebar ke seluruh Istana." 　　Tak lama kemudian Permaisuri segera mengirim utusan untuk menjenguk. 　　"Nyonya, ada utusan dari Istana Kuning yang datang menemui Yang Mulia." 　　Ibu Suri Xian sempat ingin bersikap keras kepala dengan menolak menemui mereka agar tak perlu melihat hal yang menyebalkan, namun keputusasaan sebesar apapun tak mampu mengalahkan tekadnya untuk mempersiapkan masa depan anak lelaki. 　　Zhang'er belum sampai pada jalan buntu, dia harus tetap bertahan. 　　"Persilakan masuk." 　　Tak lama kemudian masuklah seorang dayang yang merupakan dayang senior Permaisuri bernama A Ping. 　　"Hamba diperintah Permaisuri untuk menjenguk Nyonya, apakah keadaan Nyonya baik-baik saja?" A Ping diam-diam mengamati Ibu Suri Xian sambil bertanya penuh perhatian. 　　Ibu Suri Xian tersenyum: "Hamba baik-baik saja, sampaikan terima kasih hamba kepada Permaisuri." 　　"Permaisuri akan lega mendengar kabar baik ini. Silakan Nyonya beristirahat, hamba tidak akan mengganggu lagi." 　　A Ping kembali ke Istana Kuning dan melaporkan keadaan Ibu Suri Xian kepada Permaisuri: "Menurut pengamatan hamba, wajah Ibu Suri Xian sangat pucat, sama sekali tak ada warna darah..." 　　Permaisuri terdiam sejenak setelah mendengar laporan itu, lalu memberi perintah: "Beri tahu Kepala Pelayan Tao, kebutuhan makan-minum dan sandang di Istana Yuquan jangan sampai diabaikan. Tanpa perintah hamba, orang-orang Istana Kuning dilarang mendekati sana, apalagi melakukan tindakan melempar batu ke sumur yang sudah kering." 　　"Da." 　　Ruangan kembali sunyi. Permaisuri melirik jam pasir di sudut ruangan, lalu tersenyum tipis. 　　Ibu Suri Xian sudah beberapa kali muntah darah. Melihat keadaannya sekarang, tampaknya ajalnya sudah dekat. 　　Permaisuri tiba-tiba merasa terharu. 　　Selama bertahun-tahun Ibu Suri Xian menjadi kekuatan yang tak terabaikan di istana belakang, tak disangka keruntuhannya datang begitu mudah. 　　Sepertinya setelah mengangkat Pangeran Yan sebagai anak resmi, segalanya menjadi lancar. 　　Memikirkan ini, Permaisuri semakin yakin telah memilih anak yang tepat. 　　Andai dulu memilih Pangeran Xiang yang membunuh Cui Mingyue - Permaisuri menggelengkan kepala, sama sekali tak ingin membayangkan skenario itu. 　　Seiring dikirimnya utusan dari Istana Kuning untuk menjenguk Ibu Suri Xian, Istana Yuquan sempat ramai sebentar. 　　Zhuangfei, Ning Fei, dan selir-selir tinggi lainnya mengirim tonik, sementara selir rendahan merasa tak pantas mengirim hadiah tapi takut berkunjung langsung karena situasi tak jelas, sehingga tak ada yang berinisiatif. 　　Ibu Suri Xian menyeringai dingin, semakin merasakan betapa dunia ini kejam dan tak berperasaan. 　　Saat dirinya berjaya, perempuan-perempuan hina itu bergegas memujanya bahkan berani menyinggung Permaisuri, tapi kini saat ia muntah darah terbaring sakit, tak satu pun yang datang menjenguk. 　　Adapun Zhuangfei dan yang lain, mengirim tonik jelas bukan untuk menghibur, melainkan menertawakannya. 　　Memandang sekeliling Istana Yuquan yang sunyi, Ibu Suri Xian menutup mata dengan senyum getir. 　　Mengapa bisa begini? Ia tak rela, sungguh tak rela! 　　Ibu Suri Xian membuka mata, menunduk memandangi kedua tangannya. 　　Kuku kelingking tangan kanannya patah, terlihat botak dan sangat mengganggu pandangan. 　　“Ibu Suri Xian terus memikirkan mengapa tindakan Pangeran Qi bisa terbongkar, tapi tak kunjung menemukan jawaban. Kegelisahan mulai melanda, tenggorokannya kembali gatal.” 　　“Dia berusaha keras menahan dorongan untuk muntah darah, hati semakin membeku: Tubuhnya sudah hancur, mungkin tak bisa bertahan lebih lama seperti yang diharapkan.” 　　“Apakah dia harus meninggalkan dunia ini dengan masih membawa kerinduan tak terhingga pada Zhang'er?” 　　“Dia benar-benar tak rela!” 　　“Ibu Suri Xian mencengkeram kelambu ranjang dengan kuat, raut wajahnya mengerikan.” 　　“Tiba-tiba seorang dayang bergegas masuk: 'Nyonya, ada utusan dari Istana Cining.'” 　　“Ibu Suri Xian sesaat mengira salah dengar: 'Istana Cining?'” 　　“'Dayang Chang dari Istana Cining,' dayang itu segera menjelaskan.” 　　“'Cepat persilakan masuk.'” 　　“Tak lama kemudian Dayang Chang masuk, memberi hormat pada Ibu Suri Xian: 'Hamba diperintahkan Janda Permaisuri untuk mengunjungi Nyonya.'” 　　“Mata Ibu Suri Xian memerah, bergumam: 'Saya malu masih diperhatikan Janda Permaisuri...'” 　　“'Jangan begitu, Nyonya. Janda Permaisuri berpesan, beliau berharap semua selir yang telah lama mendampingi Kaisar tetap dalam keadaan baik.'” 　　“Ibu Suri Xian menahan keheranan dalam hati, berpura-pura tersentuh.” 　　“Bukankah Zhang'er dibenci Kaisar karena menjebak Janda Permaisuri? Mengapa beliau mengirim utusan? Mungkin Janda Permaisuri belum tahu?” 　　“Dayang Chang melanjutkan: 'Nyonya harus beristirahat baik-baik. Setelah pulih, datanglah memberi salut pada Janda Permaisuri.'” 　　"Setelah mengantar Dayang pergi, Ibu Suri Xian merenung lama, semakin merasa tindakan Janda Permaisuri ini mengandung makna mendalam." 　　"Sepertinya setelah agak pulih, hamba harus mengunjungi Istana Cining." 　　"Kabar Istana Cining mengirim utusan mengunjungi Ibu Suri Xian segera sampai ke telinga Kaisar Jingming." 　　"Keesokan harinya, Kaisar Jingming mengunjungi Janda Permaisuri dan membahas hal ini." 　　"Ibu, kemarin Ibu mengirim orang ke Istana Yuquan?" 　　"Janda Permaisuri mengangguk: 'Hamba dengar Ibu Suri Xian sakit parah, jadi hamba kirim orang untuk menengok. Beliau juga pengikut lama Kaisar, bertahun-tahun ini sudah banyak berjasa.'" 　　"Kaisar Jingming terdiam sejenak, akhirnya tidak menyebut rencana Pangeran Qi yang menjebak Janda Permaisuri. Beliau menemani sang ibu beberapa saat sebelum berpamitan." 　　"Janda Permaisuri mengangkat cangkir teh dan meniup lembut daun teh yang mengapung. Dengan santai beliau bertanya pada Dayang di sampingnya: 'Menurutmu berapa lama lagi Ibu Suri Xian bisa keluar?'" 　　"Dayang menjawab: 'Dengan perhatian Paduka, sepertinya Ibu Suri Xian akan segera pulih.'" 　　"Janda Permaisuri tersenyum tipis, menunduk menikmati tehnya." 　　"Awal bulan, penulis memohon dukungan suara bulanan untuk jaminan update." "782.BAB 779 Meminjam Pedang" 　　"BAB 779 Meminjam Pedang" 　　"Memasuki pertengahan bulan keempat, cuaca mulai panas. Di istana terlihat wanita-wanita berbaju tipis musim panas di mana-mana." 　　"Ibu Suri Xian akhirnya bisa keluar dari Istana Yuquan, tapi masih mengenakan gaun tebal dari bahan rami." 　　"Walau begitu, saat berdiri di area terbuka luar Istana Yuquan, beliau masih merasakan hawa dingin." 　　“Dia tahu, rasa dingin ini bukan berasal dari angin awal musim panas, melainkan dari dalam hati, dari tulang sumsum.” 　　Harapan dalam hati telah sirna, tubuh pun ambruk. Wajar jika dari luar hingga dalam terasa membeku. 　　“Nyonya, angin di persimpangan kencang, hati-hati masuk angin.” Dayang istana mengingatkan. 　　Ibu Suri Xian merapikan kerah bajunya, berbisik pelan: “Ke Istana Cining.” 　　Ucapan Dayang Chang waktu itu selalu terasa mengandung makna tersirat baginya. 　　Dua tahun terakhir ini, Janda Permaisuri sepertinya mengalami perubahan, tidak lagi menyendiri seperti dulu. 　　Meski hari-hari terakhirnya sulit, Ibu Suri Xian tetap mengingat perkataan Dayang Chang. Begitu keperawanannya membaik, ia segera memberi salut ke Istana Cining. 　　Baru setengah perjalanan, nafas Ibu Suri Xian sudah tersengal-sengal dengan wajah pucat. 　　Dayang istana khawatir: “Nyonya, istirahatlah sebentar.” 　　Ibu Suri Xian melambaikan tangan: “Untuk apa istirahat? Tidak pantas terlambat memberi salut pada Janda Permaisuri.” 　　Dengan berjalan sambil sesekali berhenti, akhirnya mereka tiba di Istana Cining. 　　Janda Permaisuri sedang menyuruh dua putri bergantian membacakan cerita. Mendengar kedatangan Ibu Suri Xian, ia membuka mata: “Persilakan Ibu Suri Xian masuk.” 　　Tak lama kemudian, Ibu Suri Xian masuk dan memberi salut dengan penuh hormat. 　　“Berikan tempat duduk untuk Ibu Suri Xian.” 　　Seorang dayang membawakan bangku kecil dan meletakkannya di sampingnya. 　　Ibu Suri Xian pun duduk. 　　Janda Permaisuri tersenyum: “Tunggu sebentar, Fuqing hampir selesai bercerita.” 　　Suara gadis yang jernih dan merdu terdengar lagi, Ibu Suri Xian mendengarkan diam-diam, menyadari ini adalah cerita yang sama sekali asing. 　　"Nenek Kaisar, sudah selesai dibacakan." Putri Fuqing menyelesaikan halaman terakhir, masih belum puas. 　　Jelas cerita ini sangat disukai Putri Fuqing. 　　Putri ke-14 di samping tetap tenang seperti biasa, hampir tak terlihat keberadaannya. 　　Janda Permaisuri memberi isyarat pada dayang untuk menyimpan buku cerita itu, berkata dengan wajah penuh kasih: "Kalian berdua boleh pulang dulu." 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 memberi hormat pada Janda Permaisuri dan Ibu Suri Xian, lalu pergi bersama. 　　Janda Permaisuri tersenyum memulai pembicaraan: "Buku cerita sekarang semakin menarik, katanya diterbitkan oleh toko buku di luar istana bernama Liu Chu Hua Zhai. Waktu itu Dayang Chang keluar istana untuk berziarah membawakanku beberapa buku untuk hiburan, apa kau pernah dengar?" 　　Ibu Suri Xian tersenyum kecut: "Hamba sudah lama tinggal di istana dalam, kurang pengetahuan, belum pernah mendengarnya." 　　Janda Permaisuri mengangguk ringan, dengan nada haru: "Benar, lama terkurung di istana, dunia luar menjadi sama sekali asing." 　　Ibu Suri Xian bingung mencari kata-kata balasan. 　　Biasanya Janda Permaisuri tidak akrab dengannya, atau mungkin pada semua selir istana. Kini berbincang santai seperti keluarga, membuatnya agak bingung. 　　"Kalian mundur dulu." Janda Permaisuri menerima cangkir teh yang disajikan dayang, mengusir semua pelayan dengan satu kalimat. 　　Ibu Suri Xian memegang cangkir teh hangat, hati berdebar tidak karuan. 　　"Kau juga jarang pulang ke Keluarga An Guogong ya?" Janda Permaisuri meneguk tehnya, bertanya santai. 　　Ibu Suri Xian cepat-cepat menjawab: "Hanya sekali mengunjungi keluarga delapan tahun yang lalu." 　　Janda Permaisuri berpikir sejenak, lalu berkata: "Hamba ingat, waktu itu ayahmu sedang sakit." 　　Mata Ibu Suri Xian berkaca-kaca, ia mengangguk perlahan. 　　Tahun itu datang kabar ayahnya sakit parah. Demi bertemu terakhir kali, ia memohon izin Kaisar untuk pulang kampung. 　　Saat itu ia sedang jadi kesayangan di istana, Kaisar pun memberinya muka dengan mudah mengizinkan. 　　Itu terakhir kalinya ia melihat ayahnya, sekaligus terakhir pulang ke keluarga. 　　Memikirkan ini, Ibu Suri Xian semakin merasa tak rela. 　　Bertahun menderita kesepian di istana dalam, jika tak bisa mencapai posisi wanita di hadapannya, untuk apa semua ini? 　　"Ke depannya, kau mungkin takkan lagi punya kesempatan pulang kampung?" 　　Ibu Suri Xian terkejut memandang Janda Permaisuri, tak percaya kalimat itu keluar dari mulutnya. 　　Tapi di ruangan ini hanya mereka berdua, tanpa orang ketiga. Siapa lagi selain Janda Permaisuri? 　　Entah khayalan atau tidak, mungkin karena tempat duduk Janda Permaisuri agak gelap, membuat ekspresinya tampak suram. 　　Janda Permaisuri seperti ini membuat Ibu Suri Xian merinding, hilang sudah kehangatan suasana tiga generasi membaca buku tadi. 　　Janda Permaisuri menatapnya tanpa berkedip: "Mengapa tak menjawab?" 　　Ibu Suri Xian semakin tak paham maksudnya, terbata-bata: "Yang Mulia benar, hamba kini tubuh tak sehat, tak kuat menempuh perjalanan-" 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Meski kau kuat, Kaisar mungkin takkan mengizinkan lagi." 　　“Janda Permaisuri——”Ibu Suri Xian terkejut bukan main. 　　Apa maksud sebenarnya Janda Permaisuri? Hari itu ketika Dayang Chang memberi isyarat agar dirinya datang salut, ternyata memang tidak sesederhana itu... 　　“Ibu Suri Xian, kau pasti paham di hati, posisimu dan Pangeran Qi di mata Kaisar sudah jauh merosot, bahkan bisa dibilang dibenci.” 　　Ibu Suri Xian tak bisa duduk tenang lagi. Ia bangkit dari bangku kecilnya dengan wajah pucat: "Selir ini bodoh, mohon Janda Permaisuri berkenan menjelaskan." 　　"Menjelaskan?" Janda Permaisuri menyergah balik. 　　Ibu Suri Xian mengangguk: "Janda Permaisuri yang murah hati dan bijaksana pasti punya maksud tersirat dengan ucapan ini. Hanya saja selir ini terlalu bodoh untuk memahaminya, mohon Yang Mulia berkenan menerangkannya." 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Hamba ada satu hal yang ingin kau lakukan atas nama hamba." 　　Jantung Ibu Suri Xian berdebar kencang. Ia menundukkan pandangan: "Merupakan kehormatan bagi selir untuk melayani Janda Permaisuri. Apakah yang hendak Yang Mulia perintahkan?" 　　Janda Permaisuri menyesap tehnya perlahan, lalu meletakkan cangkir teh di meja kayu mahoni: "Hamba ingin nyawa Fuqing." 　　Cangkir teh di tangan Ibu Suri Xian terjatuh, hancur tulangnya. Namun semua itu tak sebanding dengan rasa ngeri yang menyergapnya saat ini. 　　Ia mundur dua langkah, memandang Janda Permaisuri dengan tatapan terkejut, seolah belum pernah mengenal wanita di puncak kekuasaan ini sebelumnya. 　　Apakah pendengarannya salah? 　　"Kenapa? Takut?" Janda Permaisuri melirik Ibu Suri Xian dengan nada dingin. 　　Ibu Suri Xian membuka mulutnya: "Selir——" 　　Janda Permaisuri mencemooh: "Hamba kira kau sudah tidak punya apa-apa lagi untuk direnggut, sehingga tak lagi merasa takut." 　　"Janda Permaisuri, selir tidak mengerti——" 　　“Tidak perlu kau mengerti, hamba hanya bertanya apakah kau mau melakukannya atau tidak.” 　　Ibu Suri Xian berdiam diri dengan wajah pucat, dari sorot mata Janda Permaisuri ia menangkap bayangan niat membunuh. 　　Hatinya langsung menggigil, tersadar: Jika Janda Permaisuri sudah mengucapkan kata-kata ini padanya, maka jika ia menolak, kemungkinan tak akan bertahan hidup setelah meninggalkan Istana Cining. 　　Menyadari hal ini, Ibu Suri Xian menggigit bibir: "Fuqing adalah putri mahkota, bagaikan bola mata Permaisuri. Hamba khawatir sulit mencari kesempatan... Bahkan jika ada kesempatan, akan sangat sulit untuk lolos tanpa cedera--" 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Hamba hanya ingin ini tak ada hubungannya dengan Istana Cining." 　　Maksudnya, hidup mati Ibu Suri Xian setelah bertindak sama sekali tak ia pedulikan. 　　Ibu Suri Xian terkejut luar biasa. 　　Janda Permaisuri mengetuk-ngetuk meja, suaranya penuh belas kasihan: "Tubuhmu, mungkin sudah seperti lentera yang habis minyaknya?" 　　Seluruh tubuh Ibu Suri Xian bergetar, matanya menatap tajam ke arah Janda Permaisuri. 　　Ia sudah membungkam mulut tabib istana, bagaimana mungkin Janda Permaisuri tahu kondisi kesehatannya? 　　Dulu saat sakit ringan ia suka mengeluh untuk mendapat perhatian Kaisar, tapi ketika benar-benar sekarat, ia justru berusaha bertahan hari demi hari, memaksakan diri tampak sehat di depan orang. 　　Suara tua itu kembali terdengar, terasa asing: "Menggunakan sisa umurmu yang sebentar lagi habis untuk membantu Pangeran Qi dengan dukungan hamba, menurutmu ini tidak menguntungkan?" 783.BAB 780 Keingintahuan 　　BAB 780 Keingintahuan 　　Hati Ibu Suri Xian bergetar hebat. 　　"Jika menggunakan tubuhnya yang hampir mati untuk menukar bantuan Janda Permaisuri agar Zhang'er naik takhta, itu bukan sekadar menguntungkan, ini sangatlah menguntungkan!" 　　"Dia hanyalah orang yang akan segera mati, pantas mati. Tapi apakah lebih baik mati terhina sampai dayang kecil pun bisa menertawakan nasib malang Ibu Suri Xian di belakang, atau menerima gelar anumerta Janda Permaisuri dan mendapat persembahan dari Kaisar?" 　　Pilihan ini tidak diragukan lagi. 　　Tapi Ibu Suri Xian masih memiliki banyak keraguan. 　　"Membahayakan putri mahkota tidaklah mudah. Sekalipun berhasil, jika aku terlibat, Kaisar pasti akan membenciku sampai tulang sumsum. Masih mungkinkah dia bermurah hati pada Zhang'er?" 　　Janda Permaisuri menebak kekhawatiran terbesar Ibu Suri Xian, berkata dengan nada datar: "Bahkan jika kau terlibat, hamba akan berusaha sekuat tenaga membantu Pangeran Qi." 　　"Janda Permaisuri--" Ibu Suri Xian menatap langsung mata sang permaisuri, perasaan berkecamuk. 　　Kemampuan membaca pikiran lawannya membuatnya terkejut, tapi tetap sulit baginya untuk mengambil keputusan. 　　Janda Permaisuri tersenyum tipis: "Kau tidak percaya pada hamba?" 　　"Selir--" Ibu Suri Xian membuka mulut, lalu terdiam kikuk. 　　"Kau tidak percaya janji hamba untuk membantu, atau meragukan kemampuan hamba dalam mendukung Pangeran Qi?" 　　Setelah berkata demikian, Janda Permaisuri menatap tajam Ibu Suri Xian, mengucapkan kata demi kata: "Jangan lupa, bagaimana Kaisar bisa duduk di posisi itu." 　　Sorot mata Ibu Suri Xian berkedip. 　　Kaisar yang dulunya pangeran tak berarti bisa menjadi penguasa tertinggi, semuanya berkat campur tangan Janda Permaisuri. 　　Janda Permaisuri memutar-mutar tasbih dengan santai, tersenyum tipis: "Hamba bisa membantu Kaisar, tentu juga bisa membantu Pangeran Qi. Lagipula Kaisar paling berbakti kepada hamba." 　　Ibu Suri Xian sama sekali tidak meragukan perkataan Janda Permaisuri ini. 　　Siapapun yang didorong naik ke posisi itu oleh seseorang dengan tulus mengedepankan kasih sayang ibu, setelah sukses hidup menyepi tanpa sedikitpun ikut campur, mana mungkin anak lelaki tidak berbakti? 　　Apalagi Kaisar memang dikenal luas sebagai pribadi yang baik hati dan murah hati. 　　"Bagaimana, sudahkah kau pertimbangkan matang-matang?" 　　Pertanyaan Janda Permaisuri terdengar datar, tapi bagi Ibu Suri Xian bagai mantra pemanggil ajal. 　　Kini hanya ada dua pilihan baginya. 　　Setuju, dengan bantuan Janda Permaisuri harapan Zhang'er menduduki posisi itu akan meningkat, tapi juga berisiko situasi memburuk karena kebencian Kaisar padanya. 　　Ini berada di antara dua kemungkinan, sebelum tiba di tahap itu hasilnya sulit diprediksi. 　　Tidak setuju, Zhang'er tetap seperti sekarang, mungkin takkan pernah menyentuh posisi itu. 　　Adapun nyawanya sendiri sudah tidak dipedulikan lagi, toh takkan lama lagi hidup. 　　Melihat Ibu Suri Xian lama terdiam, Janda Permaisuri tertawa: "Ini memang sebuah taruhan, mana ada yang tanpa risiko. Jika hamba langsung menyerahkan posisi calon penguasa, berapa banyak yang akan berebut, mana mungkin sampai ke tanganmu?" 　　Hati Ibu Suri Xian berdebar kencang, raut wajahnya berubah-ubah, akhirnya ia menganggukkan kepala. 　　Janda Permaisuri tersenyum puas: "Hamba sudah tahu kau orang yang berani memperjuangkan sesuatu, ternyata tidak salah menilai." 　　“Ibu Suri Xian menundukkan pandangan, ragu lama, lalu mengangkat mata memandang Janda Permaisuri: ‘Selir ingin tahu alasan Yang Mulia melakukan hal ini.’” 　　“Hmm?” 　　Ibu Suri Xian menggenggam tangan perlahan, meraba kuku yang gundul: “Putri Fuqing sangat menghormati Yang Mulia, lagipula dia hanya seorang putri...” 　　Ia tak paham alasan Janda Permaisuri mengincar nyawa Putri Fuqing. 　　Wajah Janda Permaisuri berubah dingin: “Yang tak pantas ditanya jangan banyak tanya. Pecandu judi tak perlu rasa ingin tahu berlebihan.” 　　“Selir mengerti.” 　　Janda Permaisuri tersenyum kembali: “Pergilah.” 　　“Selir mohon diri.” 　　Ibu Suri Xian keluar dari Istana Cining, menatap langit. 　　April di dunia manusia, musim terindah, tapi hawa dingin menusuk tulangnya, lebih dingin dari saat keluar Istana Yuquan. 　　Awalnya Ibu Suri Xian hanya ingin memberi salut pada Janda Permaisuri, tapi kini berubah rencana. 　　Ia akan memberi salut pada Permaisuri. 　　Setelah salut ke Janda Permaisuri lalu ke Permaisuri, mengurangi kesalahan, akan memudahkan langkah selanjutnya. 　　Permaisuri terkejut mendengar kedatangan Ibu Suri Xian, namun menyuruhnya masuk. 　　Masuklah seorang wanita pucat dan kurus, hampir tak dikenali Permaisuri. 　　Setelah terkejut, Permaisuri menghela: Ibu Suri Xian yang dulu memesona, setelah sakit bagai bunga layu, waktu memang tak kenal ampun. 　　Karena itu suara Permaisuri lebih lembut: “Kondisimu baru membaik, mengapa tak beristirahat?” 　　Ibu Suri Xian tersenyum: "Selir sakit membuat Janda Permaisuri dan Yang Mulia khawatir, sungguh tidak tenang di hati. Sekarang sudah membaik, akhirnya bisa datang memberi salut kepada Yang Mulia dan Janda Permaisuri." 　　"Adik Ibu Suri Xian terlalu sopan. Kau datang dari Istana Cining?" 　　"Benar. Saat selir tiba, Putri Fuqing dan Putri ke-14 sedang membacakan cerita untuk Janda Permaisuri..." 　　Permaisuri membayangkan pemandangan itu, tak bisa menahan senyum. 　　"Dengan ditemani dua putri, Janda Permaisuri terlihat sangat bahagia." Ibu Suri Xian mencoba menguji reaksi, melihat senyum Permaisuri tiba-tiba membeku. 　　Permaisuri segera tersenyum: "Bisa menghibur Janda Permaisuri sudah merupakan keberuntungan bagi kedua gadis itu." 　　Ibu Suri Xian mengiyakan sambil tersenyum, namun hatinya mulai waspada. 　　Ketika Janda Permaisuri tiba-tiba meminta Putri Fuqing dan Putri ke-14 menemaninya, hal ini sempat mengguncang istana belakang. 　　Terutama para selir yang memiliki putri, sungguh iri dengan keberuntungan Putri ke-14. 　　Kini jelas terlihat, tujuan Janda Permaisuri sebenarnya adalah Putri Fuqing. Putri ke-14 hanyalah kamuflase. 　　Sementara Permaisuri jelas tidak menganggap kepergian putrinya sebagai keberuntungan, melainkan penuh kewaspadaan. 　　"Adik Ibu Suri Xian, kulihat wajahmu pucat. Lebih baik cepat kembali beristirahat." Permaisuri mengamati raut wajah Ibu Suri Xian, menasihati. 　　Melihat wajahnya pucat seperti hantu, jika tiba-tiba pingsan di sini karena sesak napas, pasti akan disangka Permaisuri mengatakan sesuatu yang kasar pada Kaisar. Sungguh tuduhan yang tidak adil. 　　Bagi Permaisuri, tidak ada kepentingan untuk pamer kekuasaan di hadapan lawan yang menderita. 　　Menurutnya, semakin sedikit masalah sia-sia seperti ini, semakin baik. 　　Ibu Suri Xian yang tubuhnya lemah memang sudah tak kuat menahan diri, mendengar itu pun turun dari podium sambil bernafas terengah, "Kalau begitu, selir mohon pamit." 　　Permaisuri menghela nafas lega: "Adik Ibu Suri Xian, hati-hati di jalan." 　　Ibu Suri Xian berjalan tertatih-tatih kembali ke Istana Yuquan, pikirannya masih tertuju pada sang penghuni Istana Cining. 　　Sang Janda Permaisuri yang dikenal dunia sebagai pribadi penyabar, ternyata mengincar nyawa Putri Fuqing... 　　Kembali ke wilayahnya, Ibu Suri Xian teringat lebih banyak hal: Penyakit Mata Putri Fuqing, Putri Kelima Belas yang diracun, insiden Festival Lentera yang menimpa Putri Fuqing... 　　Semakin dipikirkan, semakin membuat Ibu Suri Xian gemetar ketakutan. 　　Jangan-jangan semua ini adalah gerakan di balik layar Janda Permaisuri? 　　Tapi saat menderita penyakit mata, Putri Fuqing masih balita, mengapa Janda Permaisuri harus menyasar para gadis? 　　Begitu hati-hati dan tak mencolok, pantas saja selama bertahun-tahun tak membuat Kaisar curiga sedikit pun, sambil menikmati kebaktian melebihi anak kandung sendiri. 　　Tapi apa tujuan Janda Permaisuri mengincar nyawa Putri Fuqing? 　　Ada apa dengan seorang putri hingga harus direncanakan sejak belasan tahun silam? 　　Lalu Permaisuri yang tak rela Putri Fuqing menghibur di bawah lutut Janda Permaisuri—apakah ini murni tak tega melihat putrinya tersakiti, ataukah sudah mencium bayang-bayang wajah asli sang Janda Permaisuri? 　　Ibu Suri Xian semakin memikirkannya semakin merasa ngeri, menyadari bahwa setiap orang di istana dalam ini ternyata tidak sederhana. Sungguh lucu dia mengira penyamarannya baik, pantas saja berakhir seperti sekarang. 　　Dalam situasi seperti ini, mengambil nyawa Putri Fuqing bukanlah hal mudah. Bagaimana cara dia bertindak? 　　Ibu Suri Xian menatap kuku kosongnya, tenggelam dalam perenungan mendalam. 784. BAB 781 Angin dan Hujan Sebelum Badai 　　BAB 781 Angin dan Hujan Sebelum Badai 　　Memikirkan masalah Putri Fuqing, Ibu Suri Xian hampir tidak tidur semalaman. 　　Putri Fuqing baru saja mengalami bahaya saat festival lentera beberapa bulan lalu. Permaisuri pasti tidak akan mengizinkannya keluar istana lagi. Bahkan karena para pangeran baru-baru ini membuat Kaisar kesal, tidak ada rencana mengadakan pesta bunga. 　　Setelah dipikir-pikir, satu-satunya kesempatan adalah saat Putri Fuqing pergi-pulang ke Istana Cining. 　　Biasanya Putri Fuqing dan Putri ke-14 pergi ke Istana Cining bersama, masing-masing membawa seorang dayang. Setelah festival lentera, hanya kedua putri yang pergi berdua. 　　Kecelakaan Putri Fuqing saat festival lentera diduga karena dayang pribadinya bermasalah, sehingga akhirnya tidak lagi membawa dayang ke Istana Cining. 　　Apakah ini perkembangan alami atau rencana Janda Permaisuri sejak awal? Para putri awalnya hanya membawa satu dayang agar tidak mengganggu ketenangan Janda Permaisuri, kemudian dayang yang biasa dibawa bermasalah sehingga hanya dua putri yang pergi. 　　Sejak awal Janda Permaisuri menyuruh Putri Fuqing menemani setiap hari, kecelakaan festival lentera yang akhirnya selamat, kemudian muncul kesempatan mudah seperti ini - jika dikatakan ini semua hanya kebetulan, Ibu Suri Xian tidak percaya. 　　Ibu Suri Xian semakin berpikir, semakin merasa Janda Permaisuri tak terduga dalamnya. 　　Tak diragukan lagi Janda Permaisuri adalah sosok yang hati-hati dan licik. Dengan orang seperti ini membantu Zhang'er, peluang Zhang'er pasti akan meningkat drastis. 　　Langit mulai memutih seperti perut ikan, hari awal musim panas mulai terang lebih pagi. 　　Ibu Suri Xian langsung bangkit, menyelimuti jubahnya dan berjalan ke jendela, membuka celah kecil di kaca jendela. 　　Angin pagi yang sejuk menerobos masuk, membuatnya gemetar tak tertahan dan batuk dua kali pelan. 　　Dayang yang mendengar suara terkejut: "Nyonya, mengapa Berdiri di sini kena angin? Awas masuk angin--" 　　Ibu Suri Xian melirik dayang itu, tak menjawab pertanyaannya. Ia menatap pekarangan sepi di luar jendela: "Mengapa tak ada orang yang lalu-lalang?" 　　Dalam ingatannya, biasanya di jam segini sudah banyak dayang istana menyapu dan bekerja. Hanya saja sejak sakit ia tak lagi memperhatikan. 　　Mendengar pertanyaan Ibu Suri Xian, wajah dayang itu kaku, terbata-bata tak bersuara. 　　Ibu Suri Xian menangkap keanehan itu, mengerutkan alis: "Ada apa?" 　　Dayang itu menunduk, menjawab kaku: "Mungkin yang bertugas hari ini bermalas-malasan--" 　　Ibu Suri Xian tersadar, menyeringai dingin: "Bukan hari ini saja mereka bermalas-malasan, tapi sejak hamba kehilangan pengaruh, mereka tak lagi menganggap tugas penting, bukan?" 　　"Nyonya--" Dayang itu cepat-cepat bersujud. 　　Ibu Suri Xian memandangnya dari atas, berkata datar: "Tak perlu begitu. Bangunlah. Hamba tak akan mempersoalkan hal kecil seperti ini." 　　"Menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, melempar batu ke sumur yang sudah kering - hal semacam ini ada baik di dalam maupun luar istana, bahkan lebih parah di lingkungan kekaisaran. Setelah hidup selama ini, mana mungkin dia tidak memahami." 　　"Marah besar dan menghukum dayang-dayang rendahan karena hal ini justru akan jadi bahan tertawaan jika tersiar." 　　"Dia tak akan melakukannya sekarang. Jika mau bertindak, tunggu sampai hari dimana dia berdiri di puncak." 　　Ibu Suri Xian merapikan jubahnya, lalu berjalan perlahan menjauhi jendela. 　　Kesejukan dan kesunyian Istana Yuquan hari ini semakin menguatkan tekadnya: Lebih baik hancur sebagai giok daripada utuh sebagai genteng. 　　Dia sama sekali tak ingin mengakhiri hidup dalam kepedihan dan penindasan ini. Kalah bertaruh masih lebih baik daripada mati pengecut. 　　"Apa itu cukup bersyukur dan mundur selangkah untuk ketenangan? Orang lain mungkin mau, tapi Ji Rao tak sudi!" 　　Sepanjang hidupnya dia menahan diri, bahkan saat hati mendidih marah tetap tersenyum pada dayang istana lain. Apakah karena dia suka? 　　Semata karena masih ada harapan, maka rela menahan satu nafas lagi. 　　"Jika harus menahan sampai mati, apa bedanya dengan kura-kura pengecut?" 　　"Ambilkan gunting, hamba ingin merapikan kuku." 　　Dayang segera mengambilkan gunting perak. 　　Ibu Suri Xian menunjuk kuku kelingkingnya yang gundul: "Potong semua sependek ini." 　　"Nyonya?" Dayang itu terkejut. 　　Ibu Suri Xian berkata dingin: "Potong saja saat disuruh, jangan banyak bicara." 　　Di hadapan Janda Permaisuri dan Permaisuri, dia harus lebih sering memberikan salut. Di satu sisi untuk meminta jaminan dari Janda Permaisuri, di sisi lain untuk mengamati jalan dari Istana Cining ke Istana Kuning, mencari titik yang mudah untuk bertindak. 　　Istana Cining sudah ramai sejak pagi. Namun di kamar tidur Janda Permaisuri, hanya ada seorang dayang yang sedang menyisir rambutnya. 　　Rambut panjang yang dipegang dayang itu hampir seluruhnya memutih, tipis sehingga sulit tersangkut di gigi sisir. 　　Janda Permaisuri memicingkan mata, ekspresinya tenang dan damai. 　　Sebenarnya Janda Permaisuri hampir selalu seperti ini, bahkan saat kemarin mengusulkan nyawa Putri Fuqing kepada Ibu Suri Xian, raut wajahnya tetap tak berubah. 　　Dayang yang menyisir rambut itu tak tahan bertanya: "Menurut Yang Mulia... apakah Ibu Suri Xian akan bertindak?" 　　Janda Permaisuri membuka mata, berkata datar: "Berapa orang yang bisa rela, setelah memendam obsesi seumur hidup tanpa pernah bisa berbuat semaunya walau sehari?" 　　Dayang itu tersenyum: "Janda Permaisuri bijaksana." 　　Janda Permaisuri tak melanjutkan bicara, melainkan menatap ke arah rumah. 　　Jika tak ada halangan, Ibu Suri Xian akan lebih rajin datang memberi salut ke Istana Cining. 　　Benar saja, tak beberapa hari kemudian Ibu Suri Xian kembali datang memberi salut. 　　Mungkin karena sudah bulat tekad, dan telah meredam keterkejutan yang tersembunyi terhadap Janda Permaisuri, kali ini Ibu Suri Xian menjadi lebih berani. Langsung menyinggung inti persoalan: "Janda Permaisuri, hamba ini nyawa hina yang tak layak ditangisi. Namun Kaisar bukanlah penguasa yang bodoh. Begitu hamba bertindak, belum tentu bisa lolos dengan selamat. Jika saat itu tiba, Kaisar pasti akan membenci Zhang'er karena pengaruh hamba. Sedangkan hamba sendiri sudah tiada, bagaimana hamba bisa memastikan Yang Mulia--" 　　Janda Permaisuri tersenyum bertanya: "Apakah kau khawatir hamba akan ingkar janji?" 　　Ibu Suri Xian menggigit bibir tanpa bersuara. 　　Janda Permaisuri menggelengkan kepala: "Pertanyaan itu seharusnya tak kau lontarkan. Dengan status hamba, mungkinkah hamba menipumu? Andai pun hamba benar-benar menipu, apa yang bisa kau lakukan? Hubungan kita bukanlah kerja sama setara. Hamba adalah perancang strategi, sedangkan kau hanya bidak dalam permainan. Karena itu pertanyaan itu seharusnya tak terucap." 　　Wajah Ibu Suri Xian pucat pasi, tersenyum getir: "Hamba tahu... tapi kekhawatiran membuat pikiran hamba kalut. Memikirkan nasib Zhang'er, hamba tak bisa tenang..." 　　Janda Permaisuri memutar tasbih di pergelangan tangannya, berkata tenang: "Hamba bisa memberitahumu bahwa Pangeran Yan sekarang adalah putra Permaisuri. Hamba takkan membiarkannya menduduki posisi itu. Selain dia, hanya tersisa beberapa kandidat. Apakah hamba akan menepati janji membantu Pangeran Qi, atau malah membantu orang tak berkepentingan?" 　　Mendengar perkataan Janda Permaisuri ini, hati Ibu Suri Xian berdebar kencang. 　　Si bencana Lao Qi yang terlibat hubungan dengan Permaisuri langsung diancam akan dihalangi naik takhta. Belum lagi rencana Janda Permaisuri menyingkirkan Putri Fuqing. Apakah ini berarti ada permusuhan antara Janda Permaisuri dengan Permaisuri? 　　"Jika Janda Permaisuri membenci Permaisuri, wajar jika dia fokus menargetkan anak-anak Permaisuri." 　　Tapi selama bertahun-tahun di istana, dia tak menemukan kesalahan Permaisuri yang membuat Janda Permaisuri tersinggung... 　　Ibu Suri Xian menatap Janda Permaisuri, namun ekspresi tenang sang ibu suri sama sekali tak memperlihatkan celah. 　　Dia kembali menghela napas. 　　Terlalu banyak rahasia istana yang tak diketahuinya, selama ini dirinya terlalu angkuh. 　　"Masih ada yang ingin ditanyakan?" tanya Janda Permaisuri. 　　Ibu Suri Xian menunduk dan menggeleng. 　　Janda Permaisuri tersenyum: "Terlalu banyak tahu belum tentu baik. Haruskah kau pergi ke Istana Kuning untuk bersujud?" 　　Hati Ibu Suri Xian berdebar, di bawah senyum penuh arti sang ibu suri, dia membungkuk hormat: "Benar, selir harus pergi ke Istana Kuning untuk bersujud." 　　Setelah itu, Ibu Suri Xian beberapa kali mengunjungi Istana Cining dan Istana Kuning untuk bersujud, hingga suatu hari di bulan Mei kesehatannya terganggu baru berhenti. 785.BAB 782 Tindakan 　　BAB 782 Tindakan 　　Niat sudah bulat, jalan sudah jelas, tapi Ibu Suri Xian masih dilanda kecemasan. 　　Istana Yuquan tak punya orang yang bisa diandalkan. 　　Saat ini semangat orang-orang Istana Yuquan kacau, dua tiga orang kepercayaan yang sudah lama mengikutinya - jika menggunakan mereka untuk membunuh Putri Fuqing, sekali ketahuan tak mungkin bisa dibersihkan. 　　Ibu Suri Xian tak ingin menghadapi murka bagai petir Kaisar Jingming. 　　Meski Janda Permaisuri berkata bahkan jika dia terseret, tetap bisa membantu Zhang'er di kemudian hari, situasi seperti itu terlalu buruk bagi Zhang'er. 　　Jika bisa menghindari langkah itu, tentu lebih baik. 　　Dia adalah seorang penjudi yang terjerumus dalam keputusasaan, tetapi masih berharap bisa memegang kartu bagus sebanyak mungkin. 　　Ibu Suri Xian merenung berhari-hari, akhirnya memantapkan hati dan menyuruh dayang kepercayaannya mengirim surat kepada seorang pelayan istana di Istana Chunhua. 　　Istana Chunhua adalah kediaman Ning Fei, namun pelayan istana tersebut sebenarnya orang suruhannya sendiri yang sangat setia. 　　Ini sebenarnya bidak gelap yang ditanamnya bertahun-tahun lalu, dimaksudkan untuk digunakan saat suatu hari nanti berhadapan dengan Ning Fei. 　　Tak disangka Ning Fei melahirkan anak lelaki yang bodoh, sama sekali tidak ada kesempatan untuk memanfaatkannya, malah memberi kemudahan sekarang. 　　Menyuruh bidak gelap itu menangani Putri Fuqing, bahkan jika terungkap, itu tetap orang Istana Chunhua, tidak ada hubungannya sama sekali dengan Istana Yuquan. 　　Setelah mengatur semuanya, Ibu Suri Xian menegangkan hati menunggu hari eksekusi. 　　Cuaca semakin panas hari demi hari, jalan dari Istana Cining menuju Istana Kuning dipenuhi bunga mekar dan pepohonan rimbun. 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 sudah terbiasa dengan rutinitas ini: bangun pagi untuk salut di Istana Cining, menemani Janda Permaisuri sarapan, lalu menghabiskan setengah hari bersamanya jika tidak ada urusan, kemudian pergi memberi salut pada Permaisuri di Istana Kuning. 　　Setelah itu kadang tinggal untuk makan siang di Istana Kuning atau pulang ke istana masing-masing untuk beristirahat, baru sisa waktu menjadi milik mereka sendiri. 　　Pada hari ini cuaca sangat cerah, aroma bunga langsung menyergap hidung begitu keluar dari Istana Cining. Memandang ke sekeliling, selain bunga-bunga berwarna-warni, juga ada kupu-kupu yang beraneka warna, menciptakan pemandangan musim panas yang meriah. 　　Menghadapi pemandangan indah seperti ini, Putri Fuqing tak pernah merasa puas memandang. Seekor kupu-kupu merah muda yang mengepakkan sayap di atas bunga pun bisa membuatnya terpana menatapnya tanpa berkedip. 　　Meski di depan umum Putri ke-14 terlihat tenang, setelah lama menghabiskan waktu bersama Putri Fuqing, sikapnya menjadi lebih lincah di hadapan sang kakak. Melihat hal itu, ia menutupi wajahnya dengan kipas sambil tertawa, "Sanjie, jangan terus memandang. Kupu-kupu itu tak secantik dirimu." 　　Wajah Putri Fuqing memerah, "Adik Keempat Belas jangan mengolok-olok. Meski aku juga tak buruk, tetap tak secantik kupu-kupu berwarna itu." 　　Putri ke-14 tertawa kecil, "Sanjie, pemandangan yang sama setiap hari, mengapa kau tak pernah bosan?" 　　"Siapa bilang pemandangannya sama?" Putri Fuqing menunjuk ke rumpun bunga peoni di pinggir jalan, "Lihatlah bunga peoni ungu itu?" 　　Putri ke-14 mengangguk. 　　"Bunga peoni ungu itu kemarin masih kuncup, hari ini sudah mekar sempurna." Putri Fuqing bersemangat, gembira dengan setiap perubahan yang ditemukannya. 　　Bibir Putri ke-14 merekah dalam senyum, matanya memancarkan kehangatan melebihi musim panas, "Aku salah. Ternyata setiap hari memang berbeda." 　　Putri Fuqing menarik tangan Putri ke-14, "Ayo cepat kita pergi. Kemarin Ibu bukan mengatakan ada Buddha Jumps Over the Wall untuk makan siang hari ini?" 　　"Ya." 　　Dua putri berjalan bergandengan tangan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari belakang. 　　"Mohon kedua putri berhenti sejenak--" 　　Putri Fuqing dan Putri ke-14 secara bersamaan berbalik badan, memandang orang yang mengejar mereka. 　　Pelayan istana itu terengah-engah karena berlari, menunduk hormat: "Putri Fuqing, Janda Permaisuri memanggil Tuan Putri kembali." 　　"Nenek Kaisar memanggilku?" Meski terkejut, Putri Fuqing segera berkata pada Putri ke-14, "Adik Keempat Belas, tolong beri tahu Ibu di Istana Kuning terlebih dahulu, aku akan menyusul nanti." 　　Putri ke-14 memandang pelayan yang tak dikenalnya, menggenggam erat tangan sang kakak: "Kakak ketigabelas, biar aku ikut bersama." 　　Saat Putri Fuqing hendak mengangguk, sang pelayan menyela: "Hamba dengar pesan dari dalam, Janda Permaisuri ingin berbicara empat mata dengan Putri Fuqing..." 　　Kedua putri saling bertatapan. 　　Pelayan itu menunduk mendesak: "Janda Permaisuri masih menunggu, Tuanku--" 　　"Kalau begitu adik ke Istana Kuning dulu, aku akan menemui Nenek Kaisar lalu menyusul." 　　Putri ke-14 terpaksa mengangguk. 　　Putri Fuqing berpisah dengan adiknya, mengikuti pelayan kembali ke Istana Cining. 　　Melewati jalan yang sama untuk kedua kalinya, hati Putri Fuqing tak lagi tenang. Ia merenungkan maksud sang nenek. 　　Pesan apa yang harus disampaikan dengan menghindari Putri ke-14? 　　Jika memang ada urusan, mengapa tidak menahannya sejak awal dan menyuruh adik pergi duluan? 　　Apakah sang nenek sudah pikun, atau-- 　　Melirik pelayan istana yang berjalan di depan sebelah kanan memimpin jalan, langkah Putri Fuqing terhenti. 　　Pelayan istana ini ada yang tidak beres! 　　Biasanya, dayang istana penunjuk jalan akan berjalan di depan sebelah kiri, bukan kanan. 　　Putri Fuqing reflek melirik ke depan kanan, di sana berdiri bukit batu palsu, melewatinya adalah Danau Bibo. 　　"Paduka mengapa berhenti?" Pelayan istana menyadari Putri Fuqing berhenti, menunduk bertanya. 　　Putri Fuqing mundur setengah langkah, berkata halus: "Hamba teringat Ibu berpesan agar hamba segera datang, agar Ibu tidak khawatir, hamba akan ke Istana Kuning memberi tahu Ibu dulu sebelum ikut Bapak ke Istana Cining--" 　　Pelayan istana menengadah, dengan wajah kesulitan: "Paduka mau membuat Janda Permaisuri menunggu lama? Putri ke-14 sudah pergi ke Istana Kuning, Permaisuri pasti tahu Paduka dipanggil Janda Permaisuri, mana mungkin khawatir?" 　　"Pesan Nenek Kaisar untuk hamba tidak harus disampaikan sekejap. Jika Bapak khawatir Janda Permaisuri tidak sabar, silakan kembali melapor dahulu." Setelah berkata demikian, Putri Fuqing berbalik badan berjalan kembali. 　　Pelayan istana yang selama ini patuh tiba-tiba berubah wajah. Tangan yang tersembunyi di balik lengan bajunya dengan cepat menutup mulut Putri Fuqing. 　　Meski postur pelayan itu tidak terlalu tinggi, dia memegang saputangan di tangan. Setelah menutup mulut Putri Fuqing, sang putri hanya bergerak beberapa kali lalu pingsan, bahkan teriakan pun tidak sempat keluar. 　　Pelayan istana menghela napas lega, dalam hati bergumam seorang putri manja ternyata cukup waspada. Jika bukan karena saputangan yang direndam obat bius, mungkin akan merepotkan. 　　Untungnya Ibu Suri Xian sudah memberi petunjuk sebelumnya. 　　Pelayan istana menggendong Putri Fuqing memutar bukit tiruan, menyeretnya ke tepi Danau Bibo. 　　Putri ke-14 yang berpisah dengan Putri Fuqing baru saja berjalan sebentar menuju Istana Kuning, tiba-tiba berbalik dan berlari kembali. 　　Sambil berlari dia menyesal: Sudah lama merasa Janda Permaisuri ada yang tidak beres, bertekad untuk selalu menemani Kakak ketigabelas. Bagaimana bisa membiarkan kakaknya pergi sendirian dengan pelayan istana itu? 　　Sekalipun Janda Permaisuri ingin bertemu Kakak ketigabelas secara pribadi dan memintanya menghindar, paling-paling dia bisa menunggu di luar Istana Cining setelah mengantar. 　　Apalagi pelayan istana itu wajahnya asing, jangan-jangan bukan dari Istana Cining? 　　Sungguh keterlaluan! 　　Putri ke-14 yang baru menyadari kesalahan diri sendiri berlari kencang, persis menyaksikan pelayan istana menggendong Putri Fuqing menghilang di balik bukit tiruan. 　　Belakang bukit tiruan adalah Danau Bibo... 　　Wajah Putri ke-14 berubah pucat, nyaris terbang menyambar ke sisi bukit tiruan. Matanya melirik kiri-kanan sebelum mengangkat sebuah batu besar menuju tepi danau. 786.BAB 783 Keberangkatan 　　BAB 783 Keberangkatan 　　Putri Fuqing yang tak berdaya sudah diseret pelayan istana ke tepi danau. 　　Pelayan istana berhenti, berbisik: "Paduka Putri jangan salahkan hamba. Salahkanlah takdirmu yang malang." 　　Bagi orang biasa, membunuh bukanlah hal yang mudah, apalagi targetnya adalah putri mahkota Dinasti Zhou. 　　Tangan pelayan istana bergetar saat mendorong Putri Fuqing dengan kasar ke arah danau. 　　Angin dingin tiba-tiba berhembus dari belakang. Secara refleks pelayan menoleh, batu yang seharusnya menghantam belakang kepalanya justru mengenai bahu. 　　Pelayan istana menahan rasa sakit dan menoleh ke belakang. 　　Putri ke-14 kehilangan keseimbangan, matanya dipenuhi ketakutan tapi batu di tangannya tetap dihantamkan ke wajah pelayan tanpa ragu. 　　Pelayan menjerit kesakitan saat darah mengucur deras dari hidungnya. 　　Sementara itu Putri Fuqing telah tergelincir ke dalam danau dan mulai tenggelam. 　　Putri ke-14 melemparkan batu itu lalu menyambar lengan Putri Fuqing sambil berteriak sekuat tenaga: "Ada yang mau membunuh Putri Fuqing! Tolong!!!" 　　Jeritan melengking gadis remaja itu langsung menggema ke seantero area. 　　Alih-alih kabur, pelayan itu malah menyeka wajahnya lalu mendorong Putri ke-14 ke dalam air sambil menekan kepala korban agar tidak muncul. 　　Gelembung-gelembung bermunculan di permukaan air. 　　Baru saat mendengar langkah kaki, pelayan itu membersihkan bekas darah di wajahnya lalu kabur tergesa. 　　Putri ke-14 di dasar danau sudah kehabisan tenaga. Rambut panjangnya seperti ganggang air yang membungkus pipi pucat dan bibir kebiruan, tapi tangannya masih erat menggenggam lengan Putri Fuqing. 　　“Dia membuka matanya setengah, namun pandangannya kabur, tak bisa melihat birunya langit maupun keindahan hamparan bunga yang indah.” 　　Pada detik ini, Putri ke-14 yang kesadarannya hampir sirna tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan: Sekarang dia mengerti mengapa Kakak ketigabelas tak pernah bosan memandangi dunia manusia ini. 　　Bisa melihat itu baik. 　　Sebutir air mata mengalir dari sudut mata Putri ke-14. 　　Yang pertama tiba di tepi danau adalah dua pelayan istana. Salah satunya dengan sigap melihat siluet punggung pelayan istana lain yang berlari cepat menjauh. 　　Dia baru hendak mengejar ketika dihentakkan kaki oleh pelayan istana lainnya: "Untuk apa mengejar? Dua Paduka Putri ada di dalam air, selamatkan mereka dulu!" 　　Kedua pelayan istana yang tak bisa berenang ini mengeraskan hati masuk ke air sambil terus berteriak minta tolong. 　　Makin banyak dayang istana berdatangan. Seorang pelayan istana yang tak kebagian turun ke air segera berlari ke Istana Kuning untuk melapor. 　　Di Istana Kuning, Permaisuri merasa gelisah tanpa alasan. Meneguk tehnya, dia bertanya pada dayang: "Dua Putri belum juga datang?" 　　"Kedua Paduka belum tiba." 　　Permaisuri memutar-mutar cangkir tehnya: "Jemput mereka. Buddha Melompat Tembok sudah siap, keduanya suka masakan ini." 　　Belum habis ucapan itu, seorang dayang istana masuk dengan wajah pucat: "Permaisuri, terjadi musibah--" 　　Tangan Permaisuri bergetar: "Apa yang terjadi?!" 　　Dayang itu bersujud sambil menangis: "Kedua Paduka... terjatuh ke air--" 　　Dentang keras! Cangkir teh di tangan Permaisuri terjatuh dan pecah berkeping-keping. 　　Dia berdiri tiba-tiba sambil berjalan keluar dan bertanya dengan suara keras: "Di mana tempat terjadinya tenggelam?" 　　"Danau Bibo--" Dayang yang melapor menundukkan kepala, tidak berani melihat wajah Permaisuri. 　　Permaisuri merasa hatinya berat. 　　Danau Bibo terletak di jalur dari Istana Cining ke Istana Kuning, namun harus melewati bukit buatan untuk mendekat. Fuqing dan rombongannya bukan tipe yang suka bermain-main, bagaimana bisa tenggelam? 　　Permaisuri tak sempat berpikir panjang, bergegas menuju Danau Bibo diikuti oleh rombongan dayang istana yang ramai. 　　Di tepi Danau Bibo, Putri Fuqing dan Putri ke-14 berhasil diselamatkan secara berturut-turut, beberapa dayang sedang berusaha memberikan pertolongan pertama. 　　Seketika Permaisuri melihat putrinya terbaring dengan mata terpejam, otaknya mendengung dan matanya melotot penuh kemarahan. 　　"Bagaimana kondisi Putri? Tabib istana mana? Tabib istana mana?" Kecelakaan Putri Fuqing membuat Permaisuri panik. 　　Baik dayang yang memberi pertolongan maupun yang menyaksikan, semua wajahnya pucat dan gemetar ketakutan. 　　Semua orang tahu, bahkan tabib ajaib pun tak berdaya menghadapi korban tenggelam, apalagi tabib istana? 　　Menunggu tabib istana tidak lebih baik daripada berusaha mengeluarkan air dari tubuh kedua putri, mungkin masih ada harapan sadar jika beruntung. 　　Saat kerumunan sedang berpikir demikian, Putri Fuqing tiba-tiba batuk mengeluarkan dua kali air. 　　Permaisuri berseri-seri wajahnya, merangkul dan menggenggam pergelangan tangan Putri Fuqing sambil menangis tersedu-sedu: "A'Quan, A'Quan bagaimana kondisimu?" 　　Putri Fuqing membuka matanya dengan susah payah memandang Permaisuri sebentar, lalu menutupnya kembali. 　　Permaisuri nyaris pingsan: "A'Quan--" 　　Tabib istana yang buru-buru datang membujuk: "Putri Fuqing sudah sadar, kehangatan dan perawatan pasca insiden paling penting. Serahkan Permaisuri kepada hamba yang bodoh ini." 　　Mendengar perkataan tabib, Permaisuri sedikit lega. Ia menggeser posisi sambil melihat tabib mengatur dayang istana mengangkat Putri Fuqing. Tiba-tiba ia menoleh tajam ke arah Putri ke-14. 　　"Bagaimana keadaan Putri ke-14?" 　　Di lantai tergeletak Putri ke-14 yang basah kuyup di atas pakaian yang entah ditaruh siapa. Tiga empat dayang istana sedang menekan perutnya bersama-sama. 　　Namun tak seperti nasib baik sang Putri Fuqing, Putri ke-14 tetap tak bergerak. 　　Permaisuri bergegas mendekat dengan wajah pucat: "Apa sebenarnya kondisi Putri ke-14?" 　　Dayang-dayang yang sedang memberi pertolongan terus membungkuk mengeringkan air dari tubuh putri, tak tahu harus menjawab apa. 　　Melihat pemandangan ini, Permaisuri gemetar. Tiba-tiba ia teringat sesuatu: "Berikan napas buatan dari mulut ke Putri ke-14!" 　　Dulu Pangeran Yan menyelamatkan Chun Ge'er, anak Putra Mahkota yang Dipecat, dengan cara itu. Pengetahuan ini sampai juga ke istana. 　　Waktu itu hanya rasa ingin tahu, tak disangka harus dipraktikkan. 　　Para dayang saling pandang bingung, tak paham maksud Permaisuri. 　　Permaisuri panik. Ia langsung berlutut memeriksa mulut dan hidung Putri ke-14 apakah ada sumbatan. 　　Seorang dayang buru-buru berkata: "Hamba sudah membersihkan kotoran dari mulut dan hidung Putri." 　　Permaisuri menggigit bibirnya, menarik napas dalam lalu memberikan napas buatan ke mulut Putri ke-14. 　　Tindakan Permaisuri ini membuat para dayang istana saling pandang dengan ekspresi aneh. 　　Mengapa Permaisuri mencium Putri ke-14? 　　Meski penasaran, tak ada yang berani bertanya saat itu. 　　Setelah beberapa kali memberikan napas buatan, Permaisuri melihat reaksi Putri ke-14, baru menyadari belakangan harus menekan dada untuk membantu korban tenggelam bernapas. 　　Ia buru-buru menekan beberapa kali, tak yakin apakah caranya benar, lalu panik melanjutkan pemberian napas buatan. 　　Setelah beberapa putaran, Permaisuri sudah terengah-engah dengan wajah memerah, tak lagi punya tenaga. 　　Seorang dayang di samping berkata: "Permaisuri, biarkan hamba yang mencoba." 　　Permaisuri mengangguk halus. 　　Dua dayang bergantian melanjutkan tindakan Permaisuri. Dua shichen berlalu sekejap, namun Putri ke-14 tetap tak bereaksi. 　　Seorang tabib istana yang menunggu di samping akhirnya tak tahan: "Permaisuri, izinkan hamba yang bodoh memeriksanya." 　　Ekspresi Permaisuri terus berubah. Ia akhirnya mengangguk, memandangi wajah kebiruan Putri ke-14 dengan firasat buruk di hati. 　　Dayang mengosongkan tempat untuk tabib. 　　Setelah memeriksa, tabib menggeleng dan membungkuk dalam-dalam: "Permaisuri, tabahlah. Putri Fuqing telah mangkat..." 787.BAB 784 Fuqing Bangun 　　BAB 784 Fuqing Bangun 　　Kelopak mata Permaisuri bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. 　　Memandangi gadis yang lemah dan kurus di lantai, air mata tak tertahan menggenang. 　　Terhadap Si Empat Belas, Sang Permaisuri tak pernah sepenuhnya melupakan sisa keengganan, bagaimanapun ibu kandung Putri ke-14 adalah Chen Meiren yang berulang kali berusaha mencelakai Fuqing. 　　Namun sejak Putri ke-14 dan Fuqing setiap hari bersama-sama menghadap Janda Permaisuri untuk salut, kehadirannya yang sering di depan mata membuat Sang Permaisuri tak bisa tidak mengagumi gadis rendah hati, cerdas, dan tahu batas ini. 　　Dengan tulus ia ingin memberikan masa depan cerah pada gadis ini. 　　Dulunya ia berniat menikahkan Fuqing dengan kakak laki-laki Permaisuri Yan, pemuda tampan dan bersemangat itu, namun setelah Pangeran Yan diangkat sebagai anaknya, rencana ini menjadi kurang tepat. 　　Saat itu, ia berpikir setelah pernikahan Fuqing ditetapkan, akan menjodohkan Putri ke-14 dengan Putra Mahkota Dongping Bo. 　　Tapi siapa sangka-- 　　Sang Permaisuri segera mengumpulkan pikiran, memerintahkan orang untuk melapor ke Kaisar Jingming sambil menyuruh memanggil pasangan Pangeran Yan ke istana. 　　Bukankah Pangeran Yan berhasil menyelamatkan putra Putra Mahkota yang Dipecat, Chun Ge'er dengan metode ini? Mengapa ia tak bisa? 　　Kalau begitu, biarlah Pangeran Yan datang ke istana untuk mencoba, setidaknya ia sudah berusaha sepenuh hati untuk Putri ke-14. 　　Sang Permaisuri hampir tak berani membayangkan betapa hancurnya Putri Fuqing saat bangun dan mengetahui Putri ke-14 telah tiada. 　　Melihat Putri ke-14 yang tak bernyawa, Sang Permaisuri menghela nafas: "Bawa Putri ke-14 ke dalam kamar, ganti pakaiannya yang basah." 　　Beberapa dayang segera melaksanakan perintah Permaisuri. 　　Baru sekarang Sang Permaisuri punya waktu untuk bertanya. 　　Memandang para dayang istana yang hadir, Permaisuri dengan wajah garang bertanya: "Siapa yang pertama tiba di Danau Bibo?" 　　Dua pelayan istana maju, serempak menjawab: "Hamba." 　　"Kalian berdua datang bersamaan?" 　　Kedua pelayan istana serentak membenarkan. 　　"Ceritakan situasi saat itu." 　　Kedua pelayan istana saling pandang, salah satu menjawab: "Hamba mendengar teriakan minta tolong Putri ke-14, lalu segera bergegas ke sana--" 　　Permaisuri mengernyit memotong ucapan pelayan: "Yakin yang berteriak Putri ke-14?" 　　Pelayan itu menunduk: "Hamba yakin, karena... karena teriakan itu menyebut ada yang ingin membunuh Putri Fuqing, tolong--" 　　Permaisuri menggigil, wajahnya berubah pucat: "Kau tidak salah dengar?" 　　Pelayan itu menggeleng pasti: "Hamba tidak salah, yang datang belakangan pasti juga mendengar." 　　Permaisuri menatap yang lain, para dayang istana serempak mengangguk. 　　Wajah Permaisuri semakin suram: "Masih ada lagi?" 　　Pelayan lain menyambung: "Saat kami berdua tiba, melihat seorang pelayan istana buru-buru pergi, sangat mencurigakan. Tapi saat itu kedua Paduka Putri ada di dalam air, kami terpaksa menyelamatkan mereka dulu..." 　　Permaisuri mendengar dengan diam, wajahnya merah padam berang, kepalan tangannya berderak. 　　Ada yang ingin membunuh Fuqing lagi! 　　Siapa gerangan yang begitu kejam, berulang kali ingin mengambil nyawa Fuqing? 　　Jika demikian, bukankah Si Empat Belas berusaha menyelamatkan Fuqing lalu-- 　　Hati Permaisuri berdebar, matanya terpana menatap permukaan Danau Bibo yang beriak. 　　“Apa yang sebenarnya dialami Fuqing dan Si Empat Belas, mungkin hanya bisa ditanyakan setelah Fuqing siuman.” 　　“Kalian berjaga di sini, semua orang yang hadir tidak boleh meninggalkan tempat ini, dan segala sesuatu di sini tidak boleh dirusak!” Setelah mengatur, Permaisuri bergegas menuju kamar tidur tempat Putri Fuqing dirawat. 　　Kaisar Jingming sedang menangani urusan pemerintahan di ruang studi kekaisaran, cukup pusing dengan laporan kekeringan dari berbagai daerah belakangan ini. 　　Dua pelayan istana berdiri di kedua sisi Kaisar Jingming sambil mengipasi secara bergantian, hembusan angin sejuknya sedikit meredakan kegelisahan sang Kaisar. 　　Tidak jauh dari sana, Jixiang memejamkan mata menikmati kesejukan, menjulurkan lidahnya dengan santai sambil membersihkan cakar, sama sekali tidak merasakan kekhawatiran tuannya. 　　Pan Hai dengan sigap mengisi teh, penuh perhatian dan kerapian. 　　Tiba-tiba Xiao Lezi muncul di pintu, mengedipkan mata ke arah Pan Hai dengan ekspresi gugup. 　　Melihat ini, Pan Hai berjalan keluar dengan hati-hati dan berbisik, “Ada apa? Jangan ganggu Kaisar kalau bukan urusan penting!” 　　Kaisar jelas sedang dalam suasana hati buruk, lebih baik tidak memancing amarahnya. 　　Xiao Lezi dengan wajah memelas berkata, “Shifu, terjadi masalah besar!” 　　Sambil berkata, dia menyampingkan badannya dan mendorong seorang pelayan istana ke depan. 　　Pelayan itu gemetar berkata, “Permaisuri memohon Kaisar segera datang, Putri Fuqing dan Putri ke-14 jatuh ke air--” 　　Pan Hai berlari kencang kembali ke dalam ruangan, hembusan anginnya lebih kencang dari kipasan kipas, membuat Kaisar Jingming spontan menoleh. 　　“Ada apa?” 　　Pan Hai memaksakan senyum tipis: “Yang Mulia jangan panik--” 　　"Jangan banyak bicara, cepat katakan urusannya!" Ekspresi Pan Hai seperti ini sudah menimbulkan refleks waspada alami pada Kaisar Jingming. 　　Setiap kali orang tua kolot ini berperilaku seperti ini, pasti akan muncul ulah aneh yang lebih bisa diandalkan daripada kelopak matanya yang suka malas berkedip. 　　"Permaisuri meminta Yang Mulia datang segera, Putri Fuqing dan Putri ke-14 terjatuh ke kolam--" 　　Kaisar Jingming melesat keluar dengan kecepatan yang melebihi saat Pan Hai masuk tadi. 　　Di Istana Kuning, Putri Fuqing membuka matanya. Yang pertama terlihat adalah wajah Permaisuri yang dipenuhi kecemasan. 　　"Ibu--" Suara Putri Fuqing terdengar parau. 　　Permaisuri menggenggam erat tangan putrinya, suaranya bergetar: "A'Quan, apakah kondisimu sudah membaik?" 　　Putri Fuqing mengedipkan mata lalu mengangguk pelan, tiba-tiba ia menggenggam tangan ibunya dengan panik: "Ibu, ada yang mencoba membunuhku!" 　　Hati Permaisuri berdebar kencang, buru-buru bertanya: "Siapa yang berani mencelakaimu?" 　　Tatapan Putri Fuqing tampak bingung: "Pelayan itu mengaku dari Istana Cining. Saat itu aku dan Adik ke-14 sedang menuju Istana Kuning, dia mengejar dan bilang Nenek Kaisar memanggil kami kembali..." 　　Putri Fuqing menceritakan kejadian tersebut, akhirnya mengerutkan alis: "Ibu, kurasa belum tentu dia benar-benar utusan Istana Cining. Itu hanya omongan sepihak. Aku tak sadar apa-apa setelah mulutku ditutup... Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Adik ke-14?" 　　Wajah Permaisuri berubah samar ditanya demikian. 　　Putri Fuqing memandang Permaisuri, tiba-tiba merasa panik: "Waktu itu saya menyuruh Adik Keempat Belas datang lebih dulu memberi kabar pada Ibu. Apakah Ibu setelah mendengar perkataan Adik Keempat Belas merasa tidak beres lalu mengirim orang untuk menyelamatkan saya--" 　　Putri Fuqing sampai di sini, wajahnya berubah drastis: "Tidak, kalau begitu, Ibu tidak mungkin sama sekali tidak tahu... Ibu, di mana Adik Keempat Belas? Di mana Adik Keempat Belas?" 　　Melihat reaksi Putri Fuqing, Permaisuri cepat-cepat berpikir sambil tetap tenang: "Si Empat Belas merasa ada yang tidak beres, buru-buru kembali untuk menyelamatkanmu. Mungkin dia juga didorong penjahat ke dalam danau... Tenang saja, Si Empat Belas ditempatkan di kamar lain. Saat ini tabib istana sedang memeriksanya." 　　Putri Fuqing berusaha bangkit: "Saya ingin menjenguk Adik Keempat Belas." 　　Permaisuri menahannya dengan erat: "Kondisimu seperti ini mau ke mana? Situasi sudah cukup kacau, apakah kau sengaja membuat Ibu khawatir?" 　　"Kedatangan Kaisar--" 　　Mendengar seruan itu, Permaisuri bagai mendapat ampun, segera menyuruh dayang merawat Putri Fuqing, lalu bergegas menyambut. 　　"Bagaimana kondisi mereka berdua?" Begitu melihat Permaisuri, Kaisar Jingming tak sabar bertanya. 　　Permaisuri menurunkan suara: "Fuqing sudah sadar, Si Empat Belas... Kata tabib istana sudah tiada..." 　　Seketika wajah Kaisar Jingming pucat pasi, ia bertahan sambil berkata: "Bawa Aku menjenguknya!" 　　Kaisar Jingming berdiri lama di depan Putri ke-14 tanpa sepatah kata. 　　Tiba-tiba seorang dayang istana bergegas melapor: "Pasangan Pangeran Yan sudah tiba." 788. BAB 785 Darah 　　BAB 785 Darah 　　Kaisar Jingming terkejut, spontan menoleh ke Permaisuri. 　　Permaisuri menjelaskan: "Saat menolong Si Empat Belas, tiba-tiba saya teringat Jin'er pernah menyelamatkan Chun Ge'er yang tenggelam. Jadi saya menyuruh memanggil mereka berdua ke istana." 　　Kaisar Jingming tersadar: "Benar, benar! Cepat panggil Lao Qi dan istrinya!" 　　Ia teringat, dulu Chun Ge'er jatuh ke air di Taman Jing. Katanya sudah tidak bernafas, tapi berhasil diselamatkan Lao Qi. Pasti Lao Qi bisa menangani kasus Si Empat Belas ini. 　　Tak lama kemudian Jiang Si dan Yu Jin dibawa masuk oleh pelayan istana. 　　Pandangan Jiang Si langsung tertuju pada Putri ke-14 yang terbaring tak bergerak di ranjang. Hatinya berdebar kencang sampai lupa memberi salut pada Kaisar dan Permaisuri. 　　Gu mengontrol nyawa. Ia sudah tak merasakan denyut kehidupan pada Putri ke-14. 　　Yu Jin menarik lengan Jiang Si untuk memberi salam pada Kaisar dan Permaisuri. 　　Kaisar Jingming menunjuk Putri ke-14 sambil berkata pada Yu Jin: "Lupakan protokol. Cepat periksa adikmu Si Empat Belas." 　　Yu Jin mendekati ranjang. Setelah mengamati Putri ke-14 sebentar, ia menoleh dengan ekspresi bingung ke Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming melotot: "Lihat saya kenapa?" 　　Yu Jin merenung sejenak sebelum bertanya hati-hati: "Ayah Kaisar menyuruh saya memeriksa adik ke-14, maksudnya apakah..." 　　"Bukannya dulu kau bisa menyelamatkan Chun Ge'er yang tenggelam? Si Empat Belas juga tenggelam. Lihat apakah masih bisa diselamatkan." 　　Yu Jin terdiam sejenak sebelum menjawab: "Ayah Kaisar, adik ke-14 sudah meninggal beberapa saat lalu. Anak lelaki tidak berdaya." 　　Sejak usia sepuluh tahun lebih, ia sudah mulai membunuh di medan perang. Jumlah mayat yang pernah dilihatnya melebihi jumlah orang hidup yang pernah dilihat sebagian orang. Hanya dengan sekali pandang, ia langsung tahu wajah Putri ke-14 sudah seperti mayat, mana mungkin bisa diselamatkan. 　　Kaisar Jingming sulit menerima kenyataan ini, bertanya dengan gigih: "Bukankah Chun Ge'er saat itu sudah tak bernapas, tapi akhirnya kau berhasil menghidupkannya kembali?" 　　Yu Jin menjelaskan dengan pasrah: "Chun Ge'er hanya berhenti bernapas dan detak jantung sementara. Karena pertolongan diberikan tepat waktu dan metode yang benar, akhirnya beruntung bisa sadar. Tapi kasus adik keempat belas berbeda--" 　　"Apa bedanya?" Kaisar Jingming mendesak. 　　Saat mendengar Chun Ge'er dihidupkan kembali oleh Lao Qi dulu, ia mengira itu strategi dewa. Masak dipakai untuk Si Empat Belas jadi tidak mempan? 　　Yu Jin melirik Putri ke-14 lagi, berdesah pelan: "Adik keempat belas sudah tiada. Orang mati tak bisa dihidupkan kembali, anak tak punya daya..." 　　Seandainya orang yang sudah mati bisa dihidupkan, berarti ia memang dewa. Buat apa lagi merebut takhta? 　　Kaisar Jingming menggerakkan bibirnya, wajah muram menghela napas: "Sudahlah." 　　Ia menatap Putri ke-14, kesedihan mulai merambat di hatinya. 　　Pukulan bertubi-tubi ini membuat sang Kaisar semakin terlihat renta. 　　"Permaisuri, bagaimana Fuqing dan Si Empat Belas bisa jatuh ke air?" 　　Wajah Permaisuri suram, ia bertahan menjawab: "Paduka, mereka berdua didorong orang ke air!" 　　"Apa?!" Kaisar Jingming terkejut luar biasa, tak percaya dengan apa yang didengarnya. 　　Permaisuri menceritakan dengan detail perkataan Putri Fuqing dan hasil interogasi terhadap dayang istana, berkata dengan wajah muram: "Area Danau Bibo sudah kuperintahkan untuk dijaga ketat. Mohon Kaisar memberikan keadilan untuk Fuqing dan Si Empat Belas." 　　Wajah Kaisar Jingming gelap gulita, marah: "Tak masuk akal! Penjahat ini benar-benar berani melampaui batas! Begitu tertangkap, Aku akan menghancurkan mayatnya menjadi seribu bagian!" 　　"Paduka, apakah perlu mengirim orang untuk bertanya pada Ibu?" tanya Permaisuri dengan tenang, meski hatinya mendidih. 　　Seharusnya dia tidak terlalu memperhatikan konsep kebaktian Kaisar. Sudah tahu Istana Cining bahkan Janda Permaisuri bermasalah, tapi malah tidak mengirim pengawal rahasia untuk Fuqing, sehingga terjadi malapetaka hari ini. 　　Sebenarnya kekhawatiran Permaisuri bisa dimaklumi. Dua putri yang memberi salut pada Janda Permaisuri jika diam-diam dikawal, akan menjadi masalah besar jika sampai terdengar oleh Kaisar atau Janda Permaisuri. 　　Mana ada cucu perempuan memberi salut kepada nenek tapi dikawal pengawal? Ini sama saja menghina muka Janda Permaisuri. 　　Tapi sekarang, Permaisuri hanya merasakan penyesalan dan ketakutan. 　　Orang jahat yang mengintai di balik layar ini semakin berani, sampai berani bertindak di siang bolong di jalan yang paling familiar bagi Fuqing. 　　Ini benar-benar di luar dugaan. 　　Dia harus menangkap pelakunya, atau tidak bisa tidur atau makan dengan tenang. 　　Kaisar Jingming segera memerintahkan Pan Hai: "Kirim orang ke Istana Cining tanyakan pada Janda Permaisuri - apakah dia mengirim pelayan istana untuk memanggil Putri Fuqing kembali?" 　　Pan Hai segera melaksanakan perintah. 　　Kaisar Jingming berjalan keluar: "Ayo periksa Danau Bibo." 　　“Kaisar dan Permaisuri berjalan di depan, Jiang Si dan Yu Jin mengikuti dari belakang. 　　Saat tiba di pintu, Jiang Si tak kuasa menoleh ke belakang sekali lagi. 　　Di ranjang, Putri ke-14 terbaring sunyi sepi, persis seperti kebiasaannya semasa hidup - tersenyum atau menangis pun tak pernah bersuara keras. 　　Sebagai putri selir yang berdosa, ia selalu hidup penuh kehati-hatian, hanya berharap bisa menikmati ketenangan sepanjang hidup. 　　Namun keinginan sederhana ini pun menjadi mustahil bagi seorang yang terlahir di keluarga kerajaan. 　　Jiang Si menggigit bibirnya, dalam hati berbisik lembut: Adik Keempat Belas, A Jin dan saya pasti akan menemukan pelakunya dan membuatnya mendapat karma. 　　Pergilah dengan tenang. Di kehidupan berikutnya, jadilah putri tuan tanah kecil yang berkecukupan, tak perlu bermain politik, temukan pria yang mencintaimu, hidup bersama sampai tua, dikelilingi banyak cucu. 　　Banyak dayang istana berdiri di tepi Danau Bibo, buru-buru memberi hormat saat melihat Kaisar dan Permaisuri tiba. 　　Kaisar Jingming berjalan dengan wajah muram ke tepi danau yang penuh jejak kaki, berkata: "Lao Qi, periksa apakah ada petunjuk di sini." 　　Yu Jin mengangguk dan mulai memeriksa dengan cermat, segera menemukan percikan darah di tanah. 　　Ia langsung bertanya: "Ibu, apakah ada luka luar di tubuh Putri Ketigabelas?" 　　Permaisuri langsung menggeleng: "Tidak ada." 　　Tentang kondisi putrinya, ia paling teliti mengetahuinya. 　　"Putri ke-14?" 　　"Juga tidak." 　　Pakaian Putri ke-14 sudah diganti, Permaisuri juga telah memastikan ada tidaknya luka di tubuhnya. 　　“Kalau begitu, penjahat itu terluka.” Yu Jin merenung sejenak sebelum menganalisis, “Dari penuturan Putri Ketigabelas, dia pasti langsung kehilangan kemampuan melawan. Luka penjahat itu kemungkinan disebabkan oleh Putri ke-14. Adik ke-14 yang lemah fisik, cara paling mungkin melukai penjahat adalah saat penjahat sedang menyerang Putri Ketigabelas. Maka dia pasti--” 　　Yu Jin menutup matanya membayangkan kejadian saat itu, berspekulasi: “Memilih bagian belakang kepala!” 　　“A Jin--” Suara Jiang Si terdengar menyela, sambil menyerahkan sebuah batu padanya. 　　Yu Jin menerimanya, melihat bekas darah di atas batu tersebut. 　　Jiang Si menunjuk ke suatu arah: “Ditemukan di sana.” 　　Batu itu sempat terjatuh dari tangan Putri ke-14 dan menggelinding ke tempat tersembunyi. Penemuan cepat ini berkat indra penciumannya yang tajam. 　　“Adik ke-14 menggunakan batu untuk melukai penjahat. Luka terbesar kemungkinan ada di area wajah dan kepala, kemudian di tangan atau bagian tubuh lain yang terbuka.” 　　Tiba-tiba utusan yang dikirim Pan Hai berlari tergopoh: “Laporan Paduka, Istana Cining menyatakan tidak mengirim siapa pun untuk menjemput Putri Fuqing...” 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi pucat pasi, berseru keras: “Geledah! Sekalipun harus membongkar setiap sudut istana, temukan semua orang yang memiliki luka!” 　　Yu Jin menggelengkan kepala: “Ayah Kaisar, tidak perlu serumit itu.” 　　Kaisar Jingming menatapnya dengan tatapan bingung. 　　“Panggil Er Niu saja. Karena penjahat meninggalkan bekas darah segar, selama dia masih di dalam istana, Er Niu pasti bisa menemukannya.” 　　Kaisar Jingming segera memerintah: “Pan Hai, panggil Jenderal Xiaotian menghadap!” 789.BAB 786 Pelacakan 　　BAB 786 Pelacakan 　　Saat menunggu Er Niu masuk istana, kabar telah tersebar. Selir-selir dari berbagai istana berduyun-duyun datang menunjukkan kepedulian, namun diusir pergi oleh Kaisar Jingming. 　　Saat ini, dia tidak membutuhkan para selirnya untuk menunjukkan kebaikan di hadapannya. Yang penting jangan menambah masalah. 　　Hingga Janda Permaisuri tiba dari Istana Cining. 　　"Ibu, mengapa Ibu datang?" Kaisar Jingming menyambutnya. 　　Janda Permaisuri menghela napas: "Fuqing dan Si Empat Belas mengalami musibah, mana mungkin hamba bisa duduk diam. Bagaimana keadaan mereka?" 　　Wajah Kaisar Jingming berkerut, menunjukkan kesedihan mendalam: "Si Empat Belas telah tiada." 　　"Lalu Fuqing?" tanya Janda Permaisuri dengan panik. 　　"Fuqing beruntung, berhasil diselamatkan." 　　Kilatan emosi aneh muncul di mata Janda Permaisuri, namun segera tergantikan oleh kepedihan: "Si Empat Belas yang malang... Istana ini semakin kacau, selalu terkait dengan Istana Cining. Kaisar, kali ini Kau harus menyelidiki tuntas, termasuk Istana Cining. Jangan biarkan penjahat terus membuat kekacauan." 　　Kaisar Jingming mengangguk berat: "Ibu tenang, anak lelaki mengerti." 　　Janda Permaisuri baru menyadari kehadiran Jiang Si dan Yu Jin, menatap mereka: "Mengapa kalian masuk istana?" 　　Kaisar Jingming menjawab untuk mereka: "Lao Qi pernah bekerja di bawah Zhen Shicheng. Anak lelaki berpikir dia mungkin bisa membantu penyelidikan, jadi memanggilnya ke istana." 　　Adapun harapan sia-sia bahwa Lao Qi bisa menghidupkan kembali Si Empat Belas, lebih baik tidak usah disebutkan. 　　Saat inilah Kaisar Jingming baru menyadari betapa beruntungnya Chun Ge'er bisa diselamatkan oleh Yu Jin. 　　Mungkin itulah yang disebut keajaiban. 　　Meski Putra Mahkota yang Dipecat dihukum mati karena menggunakan ilmu sihir Gu untuk memberontak, dan Chun Ge'er pun menjadi rakyat biasa, kasih sayang Kaisar Jingming pada Chun Ge'er tidaklah sirna. 　　Bahkan beliau semakin menyayangi cucu yang tak berdosa dan penurut itu. 　　Namun terkadang bahkan seorang Kaisar pun tak bisa bertindak sesuka hati, mustahil baginya menunjukkan kasih sayang pada cucu yang telah diturunkan pangkatnya. 　　Kaisar Jingming hanya bisa memendam perasaannya dalam hati, dan mulai menaruh simpati lebih pada Yu Jin yang menyelamatkan nyawa Chun Ge'er. 　　"Apakah Pangeran Yan sudah menemukan sesuatu?" tanya Janda Permaisuri sambil melanjutkan pembicaraan. 　　Sebelum Kaisar Jingming sempat menjawab, Yu Jin sudah menyela: "Sementara belum banyak temuan, tapi tenanglah Nenek Kaisar, pelaku kejahatan yang menyakiti Adik Keempat Belas pasti akan kami tangkap!" 　　"Pangeran Yan begitu yakin?" 　　Yu Jin tersenyum: "Cucu ini belajar penyelidikan kasus dari Tuan Zhen. Perkataan pertama yang diajarkan beliau pada cucu adalah: Jaring Surga Tak Terelakkan, Luas namun Tak Ada yang Terlewatkan." 　　Janda Permaisuri tercekat, lalu mengangguk: "Bagus. Kau adalah kakak laki-laki Si Empat Belas, tanggungjawabmu lah untuk membuatnya bisa beristirahat dengan tenang." 　　Jiang Si mendengarkan diam-diam sambil mengejek dalam hati. 　　Lidah Janda Permaisuri memang bagai teratai bermekaran. Masalah tenggelamnya Putri Fuqing dan Putri Keempat Belas sebenarnya tidak ada hubungannya dengan mereka, tapi dengan perkataannya itu, jika tidak ada hasil penyelidikan, Yu Jin akan dianggap tidak serius. 　　Untungnya dirinya dan A Jin bukanlah orang yang takut masalah. Mencari pelaku kejahatan dengan segenap tenaga memang sudah menjadi tujuan mereka. 　　Kalau dikatakan Janda Permaisuri tidak terlibat dalam kejadian hari ini, seratus persen dia tidak percaya. 　　Sayangnya, nenek dari pihak ibu terus menghindari pembicaraan tentang kejadian masa lalu, membuatnya sulit mendapat informasi. 　　Yu Jin tersenyum: "Nenek Kaisar tenang saja, cucu pasti akan berusaha sekuat tenaga." 　　Janda Permaisuri menatap Yu Jin sejenak lalu mengangguk halus: "Kalau begitu, hamba bisa tenang." 　　Saat mengucapkan ini, suaranya gemetar tak terkendali menyiratkan kesedihan. 　　Kaisar Jingming buru-buru berkata: "Ibu, anak lelaki akan mengantar Ibu pulang dulu." 　　Janda Permaisuri menggeleng: "Tidak, hamba ingin menyaksikan langsung Pangeran Yan menemukan pelaku kejahatan yang membunuh Si Empat Belas. Pikirkan saja Si Empat Belas yang manis itu, masih kecil tapi sudah tiada..." Suaranya tercekat. 　　Kaisar Jingming menghela napas dan tak melanjutkan bujukan. 　　Xiao Lezi datang membawa seekor anjing besar yang gagah (gemuk dan gagah) sambil berseru: "Paduka, Jenderal Xiaotian telah tiba!" 　　Kaisar Jingming memandang Er Niu dengan penuh harap. 　　Er Niu mengibaskan ekor melewati depan Kaisar Jingming, lalu melompat ke depan Jiang Si sambil terus mengibaskan ekor. 　　Kaisar Jingming yang diabaikan di depan umum berdehem, lalu berkata pada Jiang Si: "Istri Lao Qi, perintahkanlah pada Jenderal Xiaotian." 　　Xiao Lezi yang menjemput Er Niu dari Kediaman Pangeran Yan mengusap keringat sambil berpikir dalam hati: Jenderal Xiaotian benar-benar punya naluri, pantas Pangeran Yan berpesan harus menyebut pasangan suami-istri ini saat menjemput, kalau tidak sang Jenderal tak mau ikut orang asing. 　　Xiao Lezi berkata dengan perasaan, melirik Yu Jin diam-diam dan tanpa sadar merasa sedikit simpati. 　　Sebenarnya awalnya dia menyebut Pangeran Yan, Jenderal Xiaotian yang sedang menghibur putri bangsawan kecil itu mengibaskan ekor dan ragu-ragu lama tak bergerak. Baru setelah disebutkan Permaisuri Yan, Jenderal Xiaotian langsung berdiri, bahkan mendorongnya dengan mulut karena merasa jalannya terlalu lambat. 　　Perbedaan status Pangeran Yan dan Permaisuri Yan dalam hati Jenderal Xiaotian begitu besar, entah apakah Pangeran Yan mengetahuinya... 　　Jiang Si mengelus kepala Er Niu, mendekatkan batu bernoda darah ke hidungnya sambil berkata lembut: "Er Niu, ingat, ini aromanya. Temukan orang itu." 　　Er Niu seolah mengerti, menggonggong pelan pada Jiang Si lalu mulai mengendus lantai. 　　Kerumunan menyaksikan anjing besar sebesar anak sapi ini mengendus-ngendus di depan Kaisar, Permaisuri, dan Janda Permaisuri yang tak berkedip memandang. Mereka merasa aneh sekaligus tegang. 　　Saat kerumunan mulai tak sabar, Er Niu tiba-tiba berhenti bergerak dan berlari ke satu arah. 　　Semua tertegun. 　　Kaisar Jingming langsung berteriak: "Ikuti Jenderal Xiaotian!" 　　Sekelompok orang bergegas mengejar ke arah Er Niu. 　　Er Niu seolah sengaja menunggu penonton, berlari pelan bahkan sesekali menengok memastikan majikan pria dan nyonya rumah mengikuti. 　　Tanpa sadar mereka telah menempuh jarak cukup jauh, dan mulai muncul dugaan di hati. 　　Jenderal Xiaotian hendak pergi ke mana? Melihat arahnya, sepertinya menuju istana salah seorang nyonya-- 　　Permaisuri yang paling familiar dengan istana belakang, hatinya tiba-tiba berdebar: Apakah tujuan Er Niu adalah-- Istana Chunhua? 　　Sosok seorang wanita bermata jernih dan bersinar terbayang dalam benak Permaisuri. 　　Mungkinkah Ning Fei? 　　Pertanyaan pertama Permaisuri adalah mustahil. 　　Dengan kemampuan Pangeran Lu yang biasa saja, untuk apa Ning Fei memberontak? 　　Namun Er Niu benar-benar berhenti di Istana Chunhua, menggonggong dua kali ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si memberi hormat kepada Kaisar Jingming: "Ayah Kaisar, mohon izinkan Er Niu memeriksa Istana Chunhua." 　　Wajah Kaisar Jingming pucat pasi, dengan gigi terkumat-kamit bersabda: "Periksa!" 　　Ning Fei keluar dengan ekspresi terkejut: "Kaisar, ini--" 　　Baru saja ia menunjukkan kepedulian dan diusir pulang, kenapa semua orang malah datang ke sini? 　　Kaisar Jingming menatap Ning Fei tajam, matanya bergejolak gelap: "Pelaku kejahatan yang melukai Putri ada di sini." 　　Wajah Ning Fei langsung berubah: "Tidak mungkin!" 　　Ia justru penasaran menunggu perkembangan kasus, kenapa tiba-tiba terlibat? 　　Saat ini, Ning Fei benar-benar linglung. 　　Terdengar gonggongan sengit dari Istana Chunhua, disusul teriakan para dayang istana. 　　Kerumunan manusia seperti air pasang mengalir ke sumber suara. 　　Di kompleks samping Istana Chunhua terdapat dua tong besar berisi air jernih, ditanami teratai tidur. 　　Namun hari ini, beberapa daun teratai di salah satu tong besar telah jatuh ke lantai, menciptakan kekacauan. 　　Di dalam tong terbalik seorang pria, Er Niu menggonggong dengan ganas ke arahnya. 　　Semoga Tahun Babi membawa keberuntungan dan segala harapan terkabul! Terima kasih untuk hadiah dan vote dari kalian (katanya si pemilik sudah dicabik-cabik pembaca marah, hadiah dan suara bulanan tidak ada?) 790.BAB 787 Dua Hal 　　BAB 787 Dua Hal 　　Matahari bersinar terik, bunga-bunga bermekaran, kicau burung dan derik serangga menyatu dalam melodi khas musim panas. 　　Namun pemandangan indah ini justru membuat bulu kuduk semua yang hadir merinding, tatapan mereka yang tertuju pada pria terbalik di tong besar memancarkan kedinginan. 　　Ekspresi Kaisar Jingming gelap, berkata perlahan: "Keluarkan dia." 　　Beberapa pelayan istana segera maju, bersama-sama mengeluarkan pria dari tong dan meletakkannya di lantai. 　　Tubuhnya basah kuyup, genangan air segera terbentuk di lantai. 　　Melihat wajah pucat kehijauan itu, seseorang berteriak: "Bukankah ini Bapak Deng?" 　　Yu Jin mendekat, membungkuk untuk memeriksa, lalu mengangguk halus ke Kaisar Jingming: "Ada kerusakan pada wajah korban. Meski bekas darah sudah hilang karena terendam air, tapi ujung pakaian dan sepatunya terciprat darah, sehingga Er Niu bisa melacaknya..." 　　"Berarti dialah yang menyakiti Putri?" Kaisar Jingming bertanya berat. 　　Yu Jin menjawab: "Orang inilah yang meninggalkan jejak darah di tepi Danau Bibo." 　　Jawaban yang sempurna ini membuat Kaisar Jingming terkejut sekaligus kagum, dalam hati berpikir anaknya ini ternyata sangat andal dan teliti saat menghadapi masalah, sungguh langka. 　　Kaisar Jingming semakin berkesan pada Yu Jin, lalu bertanya pada dua pelayan istana yang pertama tiba di tepi danau: "Kalian melihat punggung pelaku kejahatan, bisakah memastikan orang ini?" 　　Ditunjuk langsung oleh Kaisar, kedua pelayan istana itu gemetar ketakutan. 　　Permaisuri yang berdiri di samping Kaisar Jingming berkata lembut: "Kaisar bertanya, kalian jawab sesuai kenyataan saja." 　　Salah satu pelayan istana memberanikan diri: "Hamba hanya melihat punggungnya, bisa mengenali postur tubuh secara garis besar--" 　　Kaisar Jingming mengangguk halus, segera dua dayang istana mengangkat pelayan istana yang terbaring di tanah, membuatnya membelakangi dua pelayan tadi. 　　"Bagaimana?" tanya Permaisuri saat melihat dua pelayan itu diam lama memandangi. 　　Kali ini dia harus mengungkap orang licik di balik layar ini, tak ada yang boleh lolos. 　　Seorang pelayan menjawab: "Kelihatannya mirip... Saat itu hamba sekilas melihat, postur tubuh orang itu sedang, agak kurus, mirip dengan orang ini..." 　　Pelayan lain mengangguk setuju. 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi dingin. 　　Er Niu mencium bau hingga ke sini, postur tubuh juga cocok, kalau bukan orang ini yang menyakiti Fuqing dan Si Empat Belas, lalu siapa lagi? 　　"Bapak Deng ini siapa?" tanya Kaisar Jingming dengan wajah muram. 　　Pan Hai segera menjawab: "Lapor Kaisar, Deng kecil adalah petugas teh di Istana Chunhua." 　　Kaisar Jingming menatap Ning Fei dengan sorot mata berat. 　　Bisa diingat oleh Pan Hai, berarti orang ini setidaknya seorang mandor. Dan menjadi mandor di Istana Chunhua, mungkinkah lepas hubungan dengan Ning Fei? 　　"Ning Fei merasa sangat marah karena pandangan Kaisar Jingming ini." 　　"Dengan sifatnya yang biasanya, dia pasti sudah bertengkar dengan Kaisar. Tapi sekarang bukan saatnya untuk mengikuti emosi." 　　"Ning Fei membungkuk sedikit kepada Kaisar Jingming dan berkata dengan wajah kaku: 'Xiao Dengzi memang orang dari Istana Chunhua, tapi hamba benar-benar tidak tahu apapun tentang kejadian hari ini. Mohon Yang Mulia menyelidiki sampai tuntas.'" 　　"'Tentu saja Aku akan menyelidiki sampai tuntas!' kata Kaisar Jingming dengan suara dingin." 　　"Kejadian demi kejadian yang berulang, hingga kematian Putri ke-14, akhirnya memancing kemarahan kaisar yang biasanya sabar ini." 　　"Kali ini tidak boleh ada toleransi lagi, sekalipun terhadap Ning Fei--" 　　"Kaisar Jingming memandang Ning Fei dengan raut wajah gelap." 　　"Siapapun pelakunya, tidak akan Aku ampuni!" 　　"Ning Fei menggigit giginya." 　　"Dia benar-benar menjadi korban yang tak bersalah. Xiao Dengzi yang biasanya terlihat jujur dan taat aturan, bagaimana bisa terlibat dalam hal seperti ini?" 　　"Melihat Yu Jin sedang memeriksa mayat Kasim Deng, Kaisar Jingming memerintahkan Pan Hai: 'Kau yang tanyakan.'" 　　"Pan Hai segera mengumpulkan semua penghuni Istana Chunhua dan mulai melakukan interogasi." 　　"Hierarki di istana sangat ketat, terutama di kalangan pelayan. Para pelayan tingkat bawah memiliki jadwal dan area tugas yang tetap, tanpa kesempatan untuk berkeliaran." 　　"Sedangkan kasim seperti Deng Gonggong yang memiliki jabatan tertentu lebih leluasa, bisa keluar dengan alasan yang tepat tanpa menarik perhatian." 　　"Pan Hai segera mengetahui waktu keberangkatan Deng Gonggong yang ternyata sesuai dengan waktu kejadian pada dua putri." 　　"Dengan ini, identitas Deng Gonggong sebagai pelaku kejahatan telah pasti terbukti." 　　Suara Yu Jin terdengar: "Kemungkinan besar orang ini bunuh diri." 　　"Bagaimana menentukan itu?" tanya Kaisar Jingming dengan wajah muram. 　　Yu Jin menunjuk area hidung dan mulut Kasim Deng, menjelaskan: "Saya memeriksa rongga mulut dan hidungnya, ditemukan busa berbentuk jamur. Tuan Zhen memberitahu saya, kondisi ini menunjukkan kepalanya tenggelam ke dalam tong air saat masih bernapas." 　　"Bukan karena ada yang menekannya masuk?" Permaisuri tak tahan bertanya. 　　Secara intuitif, dia tak percaya ini perbuatan Ning Fei, tapi jika petunjuk terputus di Xiao Lezi, kesalahan pasti akan dialamatkan ke Ning Fei. 　　Tak ada yang akan percaya seorang kasim muda mencelakai Putri karena alasan pribadi. 　　Situasi seperti ini tentu karena disuruh majikan. 　　Jika Kasim Deng dibunuh, kita bisa menyelidiki lebih dalam lewat petunjuk ini. 　　"Saya juga mengamati kepala dan sekujur tubuhnya, selain luka di wajah, tidak ada trauma eksternal jelas atau jejak perlawanan. Ini membuktikan dia tidak diserang dengan kekuatan luar." 　　Menyangkut dirinya sendiri, Ning Fei berpikir cepat dan berkata: "Mungkinkah dia pingsan karena obat bius lalu dimasukkan ke tong? Dengan begitu tubuhnya tetap utuh tanpa luka atau jejak perlawanan saat tenggelam hidup-hidup." 　　Pandangan Permaisuri ke arah Ning Fei tiba-tiba menjadi bernuansa. 　　Fuqing juga didorong masuk ke Danau Bibo dengan cara seperti ini-- 　　Yu Jin mengangguk: "Kemungkinan itu tidak tertutup, perlu pemeriksaan tabib ahli racun. Tapi saya lebih condong ke arah bunuh diri." 　　"Mengapa?" Kaisar Jingming buru-buru bertanya. 　　Menghadapi banyak tatapan penasaran, Yu Jin berkata dengan tenang, "Dalam kebanyakan kasus, kemungkinan seorang pria dewasa dibius dengan obat secara instan tanpa perlawanan sama sekali sangatlah kecil." 　　Meski kekurangan sebagian, tenaga pelayan istana tetap tidak bisa disamakan dengan kebanyakan wanita. 　　"Tabib Chen--" Kaisar Jingming memanggil. 　　Seorang tabib tua mengeraskan hati mendekat, mengeluarkan jarum perak dari kotak obatnya dan mulai memeriksa mayat, sambil dalam hati bertekad mencari kesempatan untuk pensiun. 　　Melayani para bangsawan dengan hati-hati saja belum cukup, sekarang harus meraba-raba mayat? Hidup ini benar-benar tak tertahankan. 　　Setelah waktu yang cukup lama, Tabib Chen memberi hormat kepada Kaisar Jingming, "Yang Mulia, tidak ada reaksi racun yang jelas pada mayat ini." 　　Ada ribuan jenis racun di dunia. Mungkin ada yang bisa membunuh tanpa meninggalkan jejak, tapi untuk kasus seperti itu kemampuan hamba terbatas. 　　Pada titik ini, hampir bisa dipastikan bahwa Kasim Deng melakukan bunuh diri. 　　Pan Hai keluar dari ruang interogasi khusus, lalu memberi hormat kepada Kaisar Jingming, "Yang Mulia, ada dua hal yang berhasil ditemukan." 　　"Laporkan!" 　　Pan Hai melirik Ning Fei sejenak sebelum menundukkan pandangan, "Empat tahun lalu, Nyonya Ningfei pernah berseteru dengan Chen Meiren--" 　　Wajah Ning Fei berubah pucat, "Seorang Meiren rendahan yang sudah mati! Apakah hamba akan membalas dendam pada putrinya karena masalah lama yang sudah usang? Bahkan jika benar, apa hubungannya dengan Putri Fuqing? Apakah hamba sudah gila?!" 　　"Laporan kedua?" Kaisar Jingming mengabaikan protes Ning Fei dan melanjutkan interogasi pada Pan Hai. 　　Pan Hai ragu sejenak, lalu berkata: "Hal kedua terkait dengan Ibu Suri Xian." 　　Terima kasih kepada Mo Yu Moyo yang menjadi Ketua Aliansi Si Jin, terima kasih untuk hadiah dan vote semua, sampai jumpa besok. 791. BAB 788: Penyampaian Ibu Suri Xian 　　BAB 788: Penyampaian Ibu Suri Xian 　　"Ibu Suri Xian?" Bayangan sosok kurus kering seperti hantu perempuan langsung muncul di benak Kaisar Jingming. 　　Bagaimana mungkin hal kedua bisa terkait dengan Ibu Suri Xian? Kondisi fisiknya semakin memburuk setiap hari, sama sekali tidak terlihat seperti orang yang masih punya tenaga untuk membuat ulah aneh. 　　"Apa hubungannya dengan Ibu Suri Xian?" 　　Pan Hai menundukkan pandangan: "Sepuluh tahun lalu, Xiao Dengzi masih pelayan rendahan di ruang teh kekaisaran. Suatu hari dia tak sengaja menjatuhkan cawan kristal, ketakutan sampai ingin bunuh diri di danau. Kebetulan Ibu Suri Xian melihat dan membantunya melewati kesulitan itu." 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: "Apakah ada yang tahu tentang kejadian ini saat itu?" 　　Biasanya pelayan yang pernah dibantu oleh selir tertentu akan dihindari oleh selir-selir lain jika kabar itu tersebar. Tapi sepuluh tahun kemudian, Paman Deng malah menjadi mandor ruang teh di Istana Chunhua. 　　Ning Fei yang menempati posisi utama di Istana Chunhua juga sudah lama menjadi selir. Jika dia tahu hal ini, cukup satu kalimat saja untuk menyingkirkan Paman Deng. 　　"Selir tidak tahu tentang ini!" Ning Fei menahan amarah. 　　Masih ada orang suruhan Ibu Suri Xian di istananya? 　　Pikirkan saja, seorang yang pernah menerima kebaikan Ibu Suri Xian ternyata setiap hari mengurus urusan teh dan buah-buahan di istananya, Ning Fei merasa ingin muntah karena kesal. 　　Kaisar Jingming melirik Ning Fei, mengerutkan alis dengan tidak senang. 　　Biasanya dia bisa menoleransi ulah tidak masuk akal para selir, bukan berarti sekarang mau menahannya. 　　Sejujurnya, kesabaran sehari-hari itu bukan karena takut, melainkan kasihan melihat wanita-wanita istana belakang yang lebih tidak bebas daripada dirinya sebagai Kaisar. 　　Namun kesabaran seperti ini akhirnya terbatas ketika menghadapi urusan penting. 　　Ning Fei menggigit bibirnya, tidak bersuara lagi. 　　Pan Hai menjawab: "Selain pihak Ibu Suri Xian, seharusnya hanya ada satu orang yang tahu bernama Xiao Zhuozi, yaitu orang yang waktu itu pergi ke Istana Yuhua bersama Xiao Dengzi untuk mengantar buah-buahan Lingnan." 　　Buah-buahan Lingnan? 　　Kaisar Jingming menggerakkan alisnya, matanya penuh kebingungan. 　　Pan Hai menjelaskan dengan hati-hati: "Tahun itu Lingnan mempersembahkan beberapa leci, Yang Mulia pernah memerintahkan Dinas Teh Kekaisaran untuk mengirim buah langka ini ke para Nyonya..." 　　Ada hal seperti itu? 　　Kaisar Jingming berkedip-kedip. 　　Tidak menyangka sepuluh tahun lalu dirinya begitu murah hati, kalau diganti sekarang, mungkin akan dimakannya sendiri... 　　Permaisuri dan Ning Fei kemudian teringat. 　　Leci hanya diproduksi di daerah seperti Lingnan, jaraknya ribuan li dari ibu kota namun sulit disimpan, sedangkan Kaisar bukan orang yang boros, jadi meski berstatus seperti mereka, tidak setiap tahun bisa menikmati leci. 　　Karena sulit didapat, maka kesan yang tertinggal pun mendalam. 　　"Pan Hai melanjutkan: 'Xiao Dengzi dan Xiao Zhuozhi pergi bersama ke Istana Yuquan mengantar buah leci. Entah bagaimana, keduanya menjadi penasaran dengan rasa leci, diam-diam mengeluarkan semangkuk leci untuk dicium. Tak disangka, Xiao Dengzi tak sengaja menjatuhkan mangkuk leci itu, sebagian kecil leci terguling ke dalam danau. Xiao Dengzi panik sampai ingin menceburkan diri ke danau.'" 　　"Bagaimana Ibu Suri Xian mengetahuinya?" Kaisar Jingming lupa sejenak tentang Xiao Zhuozhi, beralih bertanya tentang Ibu Suri Xian. 　　"Kebetulan, Ibu Suri Xian sedang keluar berjalan-jalan dan melihat kejadian itu. Ibu Suri Xian tidak hanya memaafkan kesalahan Xiao Dengzi, tapi juga menutup-nutupi insiden itu, berpura-pura telah menerima leci. Inilah hubungan antara Ibu Suri Xian dengan Xiao Dengzi..." Pan Hai menjelaskan sampai mulutnya kering, akhirnya berhasil memaparkan seluruh kejadian. 　　Kaisar Jingming bertanya setelah mendengar: "Ini semua diperoleh dari pengakuan Xiao Zhuozhi?" 　　Ekspresi aneh muncul di wajah Pan Hai: "Xiao Zhuozhi sudah meninggal karena sakit sembilan tahun yang lalu." 　　Kaisar Jingming mengangkat alis: "Kalau hanya Ibu Suri Xian, Xiao Dengzi, dan Xiao Zhuozhi yang tahu, dari siapa kau mendapatkan informasi ini?" 　　Pan Hai memberi isyarat kewaspadaan pada seseorang yang segera berdiri di hadapan Kaisar Jingming. 　　Setelah dilihat lebih seksama, ternyata itu adalah murid Pan Hai, Xiao Lezi. 　　Dalam situasi seperti ini, bahkan orang cerdas seperti Xiao Lezi pun gemetar, menundukkan kepala: "Lapor Paduka, hamba yang memberitahu Shifu." 　　"Bagaimana kau mengetahuinya?" 　　Xiao Lezi melirik Pan Hai secepat kilat, menenangkan diri, lalu menjelaskan: "Hamba saat itu sudah menyelesaikan tugas dan agak lelah, lalu bersandar di bukit batu palsu untuk istirahat sebentar. Tak disangka tiba-tiba mendengar teriakan…" 　　Bukit batu palsu di istana kebanyakan unik dan indah. Jika memilih ceruk untuk bersembunyi, orang yang lewat sulit menyadarinya. 　　Mengenai masalah bermalas-malasan saat itu, Xiao Lezi agak canggung: "Setelah melihat Ibu Suri Xian muncul, hamba semakin takut menampakkan diri. Setelah kejadian itu hamba juga tidak memberitahu siapa-siapa, lama-lama jadi lupa. Hari ini Shifu memeriksa semua orang yang terkait dengan Gonggong Deng, hamba tiba-tiba ingat lalu melapor." 　　Sambil berkata demikian, dia melirik Yu Jin diam-diam dengan sudut mata, berpikir dalam hati: Jika yang menyuruh Gonggong Deng benar-benar Ibu Suri Xian, apakah ini yang disebut Pangeran Yan sebagai 'Jaring Surga Tak Terelakkan'? 　　Sementara Yu Jin yang semenjak mendengar kaitan Gonggong Deng dengan Ibu Suri Xian langsung berubah wajah datar tanpa ekspresi, sama sekali tak terlihat petunjuk apa pun. 　　Kaisar Jingming mengawasi kerumunan dengan tatapan dingin: "Panggil segera Ibu Suri Xian ke Istana Chunhua." 　　Setelah menunggu lebih dari seperempat jam, Ibu Suri Xian muncul di pintu gerbang Istana Chunhua. Ia berhenti sebentar untuk mengatur napas, lalu dipapah dayang menghadap Kaisar Jingming. 　　"Hamba memberi salam kepada Kaisar, Permaisuri." Ibu Suri Xian membungkuk memberi hormat sambil terengah-engah. 　　Janda Permaisuri sudah dibujuk Kaisar Jingming untuk beristirahat di aula utama Istana Chunhua. Saat ini tidak satu tempat dengan Kaisar dan yang lain, sehingga Ibu Suri Xian terhindar dari memberi salam tambahan. 　　Melihat Ibu Suri Xian yang wajahnya pucat pasi seakan hendak pingsan, Kaisar Jingming menghela napas dalam hati. 　　Apakah Ibu Suri Xian dalam kondisi seperti ini masih bisa membuat kekacauan? 　　Tidak mungkin, citra Ibu Suri Xian sangat berbeda dengan selir penggoda. 　　Tidak perlu dipikirkan lagi, tanyakan langsung saja. 　　Kaisar Jingming bertanya dengan wajah muram: "Kau tahu mengapa Aku memanggilmu?" 　　Ibu Suri Xian menggeleng: "Selir tidak tahu." 　　"Kenali dulu seseorang ini. Pan Hai--" 　　Pan Hai mengulurkan tangan: "Ibu Suri Xian, silakan ke sini." 　　Pan Hai memimpin Ibu Suri Xian ke mayat Deng Gonggong lalu menunjuk: "Bolehkah Ibu Suri Xian melihat apakah mengenali orang ini?" 　　Begitu melihatnya, wajah Ibu Suri Xian langsung pucat membiru, tangannya mencengkeram dada seperti hendak roboh. 　　"Nyonya--" Dayang yang menyangga Ibu Suri Xian berteriak ketakutan. 　　Kaisar Jingming: "..." 　　Ketika Ibu Suri Xian kembali menghadap, wajah pucatnya yang mengerikan justru membuat Kaisar Jingming gentar. Setelah ragu sejenak baru bertanya: "Ibu Suri Xian, kau kenal orang itu?" 　　Tanpa ragu Ibu Suri Xian menjawab: "Selir tidak mengenalinya." 　　Wajah Kaisar Jingming langsung membeku: "Tidak kenal? Ibu Suri Xian, kau tahu apa itu tuduhan menipu kaisar?" 　　Ibu Suri Xian memandang takjub dengan ekspresi bingung: "Bagaimana Kaisar bisa mengatakan hal ini? Selir benar-benar tidak kenal. Bukankah dia hanya pelayan istana biasa?" 　　"Pelayan biasa?" Kaisar Jingming mendengus dingin, "Bukankah dia orang yang pernah kau beri bantuan?" 　　“Berkat？”Ibu Suri Xian semakin bingung, keringat di pelipis dan dahinya membuatnya terlihat sangat lemah. 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai. 　　Pan Hai paham, lalu menjelaskan hubungan antara Ibu Suri Xian dengan Kasim Deng. 　　“Ibu Suri Xian, apa masih ada pembelaan darimu?” 　　Ibu Suri Xian tiba-tiba tertawa, getir: “Paduka hanya berpatokan pada ini untuk menuduh hamba sebagai dalang? Bukankah Ning Fei yang menjadi pemilik Istana Chunhua dan majikan Xiao Dengzi selama bertahun-tahun justru lebih patut dicurigai? Paduka, ini tidak adil bagi hamba!” 　　Kaisar Jingming bersuara dingin: “Kalian berdua sama-sama tersangka, dan kau baru saja berbohong.” 　　Ibu Suri Xian menyeka keringat dengan saputangan, tenang: “Hamba tidak berbohong.” 792.BAB 789 Dua Selir 　　BAB 789 Dua Selir 　　Api kemarahan menyala di mata Kaisar Jingming: “Bisakah kau menyangkal pernah memberi bantuan kepada Xiao Dengzi?” 　　Ekspresi Ibu Suri Xian semakin tenang, menatap langsung sang Kaisar: “Hamba tidak memberi bantuan. Dulu hamba hanya tak tega melihatnya hendak bunuh diri di danau karena sekotak leci, tak sampai hati melihat nyawa pelayan istana muda melayang.” 　　Tangannya menggenggam lemah, kuku yang botak tak bisa memberi rasa sakit, hanya gatal yang asing. 　　Hatinya berdebar kencang hampir berhenti, namun mungkin karena sudah berada di ujung tanduk, wajahnya justru terlihat tenang. 　　Sebuah ketenangan yang seperti taruhan nyawa. 　　Dalam pandangan Ibu Suri Xian, menunjukkan Rasa Bersalah dan panik saat ini sama dengan jalan menuju kematian, hanya dengan berargumen berdasarkan alasan logislah ada harapan hidup. 　　Xiao Dengzi ternyata gagal dalam tugasnya. 　　Mencelakai Putri di siang bolong, terlihat seperti tindakan berani melakukan ini dan terlalu ceroboh, namun sebenarnya metode sederhana dan kasar seperti ini seringkali bisa membunuh dengan satu pukulan, lebih efektif daripada rencana licik yang berbelit-belit. 　　Tapi sekarang Putri ke-14 sudah tewas, sementara Putri Fuqing selamat tanpa cedera, hanya bisa dikatakan keberuntungan tidak berpihak padanya. 　　Yang lebih tak terduga, saat menolong Xiao Dengzi dulu, seharusnya hanya Xiao Zhuozhi - teman seperkerjaan Xiao Dengzi yang tahu, kemudian dia sudah menyegel mulut Xiao Zhuozhi, bagaimana mungkin murid Pan Hai yaitu Xiao Lezi justru menyaksikannya? 　　Apakah benar Jaring Surya Tak Terelakkan dan tak ada yang luput? 　　Saat ini, Ibu Suri Xian merasakan guncangan dan ketakutan sesaat, tapi dia segera menekan amarah ini dan berkata datar: "Jika Kaisar menganggap ketidaktegaan hati selir sebagai pemberian jasa, maka selir tak bisa berkata apa-apa." 　　Reputasi sebagai penyebar jasa ke mana-mana ini tak boleh melekat padanya. 　　Terhadap perkataan Ibu Suri Xian ini, Kaisar Jingming sulit menemukan cela, tapi amarahnya justru memuncak: "Alasan 'tidak tega' yang bagus! Jika kamu mengaku pernah menyelamatkan Xiao Dengzi karena tidak tega dulu, mengapa saat Pan Hai membawamu mengidentifikasi mayat tadi, kamu bilang tidak mengenali Xiao Dengzi?" 　　Sampai di sini, Kaisar Jingming meningkatkan suaranya: "Kau berani berbohong di hadapan Aku, bukankah ini bukti Rasa Bersalah?" 　　Xiao Dengzi adalah orang dari Istana Chunhua. Sebenarnya antara Ibu Suri Xian dan Ning Fei, Ning Fei lebih mencurigakan. Namun karena Ibu Suri Xian langsung berbohong saat tiba, membuatnya harus fokus pada Ibu Suri Xian. 　　Wanita ini sudah berbohong tapi tidak mau mengaku, benar-benar tak akan menyerah sebelum melihat peti mati! 　　Suara Ibu Suri Xian meninggi: "Selir tidak berbohong!" 　　Ia melirik Permaisuri, lalu Ning Fei, akhirnya memandang Kaisar Jingming dengan tenang: "Selir selalu bersikap baik, menyayangi kesulitan dayang istana dan tak pernah menghukum mereka. Seperti kasus Xiao Dengzi, sudah tak terhitung sejak selir masuk istana. Bagaimana Kaisar menyuruh Pan Hai membawa selir mengidentifikasi mayat pelayan istana yang pernah berinteraksi sepuluh tahun lalu? Aneh jika selir bisa mengenalinya!" 　　Kaisar Jingming tertegun, tak bisa berkata-kata. 　　Ibu Suri Xian masih melanjutkan, menatap tajam Kaisar: "Apakah bersikap baik pada orang juga salah? Jika memperlakukan para pelayan ini seperti semut, acuh tak acuh pada nyawa mereka, apakah hari ini selir tidak akan dicemooh orang seenaknya?" 　　Sampai di sini, Ibu Suri Xian semakin emosional. Ia menutupi mulutnya dengan saputangan sambil batuk yang menyayat. 　　Setelah batuknya reda, ia menatap saputangan itu sesaat, lalu melipatnya cepat-cepat dan menyimpannya di lengan baju. 　　Namun dalam sekejap, Kaisar Jingming menangkap kilatan merah menyala di atas saputangan putih bersalju itu. 　　Hatinya langsung berdebar: Kondisi Ibu Suri Xian sudah separah ini? 　　Melihat keheranan dan rasa iba di mata Kaisar, Ibu Suri Xian menyeringai dingin dalam hati. 　　Xiao Dengzi sudah mati, mati tanpa bukti, siapa yang bisa mengatakan dia sebagai dalang? 　　Penentuan akhir hanyalah tergantung pada siapa yang lebih dipercaya Kaisar antara dia dengan Ning Fei. 　　Dengan pandangan samping melihat Ning Fei yang wajahnya dipenuhi kemarahan, Ibu Suri Xian sedikit mengangkat sudut bibir. 　　Satu penuh amarah membara, satu lemah tak berdaya - tentang kelembutan hati Kaisar, dia terlalu paham. 　　Kaisar Jingming tertegun sejenak. 　　Orangnya sudah mati, sekarang ada dua selir yang terlibat, mana yang bersalah? Tanpa bukti kuat, bagaimana mengambil kesimpulan? 　　Pandangan Kaisar Jingming bergerak antara Ibu Suri Xian dan Ning Fei. 　　Apakah harus menghukum keduanya demi mencegah yang bersalah lolos, meski mungkin salah satu tidak bersalah? 　　Sementara Permaisuri mengeratkan bibirnya, sudah siap untuk meledak. 　　Kali ini Kaisar jangan harap bisa mengaburkan masalah. Baik Ibu Suri Xian maupun Ning Fei, dia pasti akan membuat dalangnya membayar harga. 　　Si Empat Belas tewas menyelamatkan Fuqing. Jika dia tidak bisa menuntut keadilan untuk Si Empat Belas dan membersihkan bekas masalah untuk Fuqing, bukan hanya gagal sebagai ibu, tapi juga tak layak jadi Permaisuri. 　　Hari ini jika Kaisar berani lemah hati, dia akan melawan sampai titik darah penghabisan. 　　Permaisuri yang tegang tiba-tiba merasa ada yang menyentuh lengan bajunya. Menoleh, ternyata Jiang Si sudah tak tahu sejak kapan berdiri di belakang. 　　Jiang Si memberikan kewaspadaan lewat pandangan mata kepada Permaisuri. 　　Permaisuri paham, mundur beberapa langkah diam-diam lalu berbalik keluar. 　　Jiang Si mengikuti dari belakang. 　　Saat ini perhatian kerumunan tertuju pada Ibu Suri Xian dan Ning Fei, tak ada yang menyadari kepergian Permaisuri. 　　“Ada apa?” Permaisuri bertanya pelan setelah sampai di tempat sepi. 　　“Menurut Ibu, apakah dalang di balik Xiao Dengzi ada di antara kedua selir itu?” 　　Permaisuri menyeringai dingin: “Asap takkan muncul tanpa api. Kalau penyelidikan mengarah ke mereka berdua, tentu salah satunya pelakunya.” 　　“Lalu siapa yang paling mungkin menurut Ibu?” 　　Alut Permaisuri berkerut: “Sulit dikatakan. Ibu Suri Xian pernah berjasa pada Xiao Dengzi, sangat mungkin dia diperintah untuk membalas budi. Sedangkan Ning Fei adalah tuannya Xiao Dengzi. Meski kini Ning Fei berpura-pura memperlakukannya sebagai pelayan biasa, siapa tahu hubungan mereka lebih dalam? Ning Fei punya kesempatan terbaik menjadikannya orang kepercayaan tanpa ketahuan.” 　　Tiba-tiba Permaisuri curiga: “Mengapa kau menanyakan ini?” 　　Jiang Si menjawab jujur: “Banyak kejadian aneh di istana, orang tak bersalah terus meninggal. Menurut saya dalangnya terlalu jahat, tak boleh dibiarkan bebas terus berbuat jahat.” 　　“Kau benar. Masalah hari ini tak boleh diabaikan begitu saja!” 　　“Saya punya cara untuk mengujinya.” 　　Permaisuri tertegun: “Cara apa?” 　　“Ibu bisa undang kedua selir itu menjenguk Putri ke-14 dulu. Nanti saya jelaskan detailnya...” 　　Di sisi lain, Ning Fei sedang marah di hadapan Kaisar Jingming: “Hamba tak pernah menyuruh Xiao Dengzi membunuh putri! Kalau Yang Mulia tak percaya, lebih baik anugerahkan hamba seutas kain sutra putih tiga kaki!” 　　Ibu Suri Xian tersenyum getir: "Hamba sehari-hari bahkan tak tega menginjak seekor semut, mana mungkin membunuh? Apalagi membunuh Putri, apa untungnya bagi hamba? Jika Kaisar yakin hamba yang berbuat, hamba tak bisa membantah, hanya bisa pasrah pada hukuman Yang Mulia." 　　"Kalian——" Wajah Kaisar Jingming muram. 　　Keduanya adalah selir yang mendampinginya puluhan tahun. Pelaku kejahatan tentu pantas dihukum mati, tapi bagaimana mungkin ia tega membunuh yang tak bersalah. 　　Permaisuri mendekat: "Dua adik berkata seperti ini, bukankah membuat Kaisar sulit?" 　　Kedua selir itu serentak menatap Permaisuri. 　　Permaisuri menghela napas halus: "Hamba sungguh tak ingin mencurigai salah satu dari kalian. Jika hati kalian bersih, antarkanlah Si Empat Belas. Anak itu kehilangan ibu kandung, kini dia pun pergi, sungguh menyedihkan." 　　Usul Permaisuri membuat mereka tertegun. 　　Kaisar Jingming tak tahan berseru: "Permaisuri——" 　　Permaisuri melemparkan sorotan tajam. Kaisar Jingming langsung diam. 793. BAB 790 Penipuan Mayat Hidup? 　　BAB 790 Penipuan Mayat Hidup? 　　Setelah diam, Kaisar Jingming baru menyadari kemarahan tersembunyi. 　　Permaisuri berani memberi kewaspadaan padanya? Sejak kapan kebiasaan ini tumbuh! Apa karena status Permaisuri, ia jadi takut? 　　Setelah marah, tiba-tiba ia merasa lega. 　　Permaisuri selalu tenang. Keberaniannya bertindak sekarang pasti ada maksudnya, sekaligus mengatasi kesulitannya. 　　Sudahlah, demi ini ia tak akan mempermasalahkan perempuan itu. 　　Batuk-batuk, wibawa Kaisar tetaplah ada. 　　Kaisar Jingming secara refleks menegakkan punggungnya. 　　Sedangkan Permaisuri tidak punya waktu untuk menggubris Kaisar Jingming. 　　Pasangan yang sudah tua dan beristri lama, apa salahnya dia melotot? Yang penting urusan resmi. 　　Permaisuri memandang kedua selir sambil sedikit melengkungkan bibirnya: "Kenapa? Kedua adik tidak mau pergi?" 　　Ning Fei cepat menjawab: "Pergi ya pergi! Tak pernah berbuat dosa tak takut hantu ketok pintu. Apa yang selir ini tidak berani!" 　　Permaisuri menatap Xian Fei dengan nada datar: "Bagaimana dengan Adik Xian Fei?" 　　Xian Fei merapatkan kepalan tangannya, tersenyum pahit: "Putri ke-14 yang masih belia mengalami nasib malang, sungguh menyedihkan. Meski Nyonya Permaisuri tidak mengusulkan, selir juga ingin melihatnya." 　　Apa maksud Permaisuri tiba-tiba mengusulkan ini? Jangan-jangan mengira dia akan panik dan ketahuan saat melihat jenazah Putri ke-14? 　　Kalau Permaisuri berpikir begitu, itu terlalu naif. 　　Hatinya bisa mengeras sekeras batu ketika diperlukan. Mayat takkan membuatnya gentar. 　　Meski begitu, usulan Permaisuri tetap membuat Xian Fei tidak nyaman, meski sama sekali tak terlihat di wajahnya. 　　Permaisuri hampir ingin bertepuk tangan melihat respon kedua selir. 　　Yang satu penuh kemarahan, yang lain berhati Buddha. Sungguh tidak mudah untuk mengungkap dalang sebenarnya. 　　Entah cara apa yang akan digunakan Permaisuri Yan untuk menguji setelah bertemu Si Empat Belas. 　　Setelah percakapan singkat tadi, karena terburu-buru mereka tidak sempat bicara banyak. Atas kepercayaan pada Jiang Si, Permaisuri memilih mengikuti saran meski sebenarnya sendiri masih bingung. 　　“Kalau kedua adik bersedia, mari kita pergi sekarang.” 　　Ibu Suri Xian dan Ning Fei sama-sama mengangguk. 　　Kaisar Jingming berbalik lebih dulu, lalu berpesan kepada orang-orang Istana Chunhua: "Ini saatnya Janda Permaisuri tidur siang, jangan sampai mengganggu beliau." 　　Setelah berkata demikian, ia melangkah besar ke luar. 　　Ibu Suri Xian tak sengaja menoleh ke belakang, berbagai emosi sekilas terpantul di matanya. 　　"Apa yang dilihat Adik Ibu Suri Xian?" Suara lembut terdengar. 　　Ibu Suri Xian kaget, segera menyembunyikan perasaan dan tersenyum pada Permaisuri: "Selir dengar Janda Permaisuri ada di Istana Chunhua, agak terkejut." 　　"Jangan banyak bicara." Kaisar Jingming tanpa menoleh, memperingatkan dengan kesal. 　　Banyak masalah terjadi di istana, apa dia bangga kalau sampai mengganggu Janda Permaisuri? 　　Ibu Suri Xian ini benar-benar menyentuh topik sensitif. 　　Ibu Suri Xian mengatupkan gigi, menunduk diam. 　　Rombongan pergi, bahkan mayat Pangeran Deng pun sudah diseret pergi. Istana Chunhua tiba-tiba menjadi sunyi. 　　Di aula utama, Janda Permaisuri yang berpura-pura tidur membuka mata, bertanya pada pengiringnya: "Sudah pergi semua?" 　　Dayang yang tinggal di luar untuk memantau situasi menjawab lantang: "Kaisar dan Permaisuri membawa rombongan kembali ke Istana Kuning, katanya ingin dua selir mengantar Putri ke-14." 　　Sorot mata Janda Permaisuri berkilat. 　　Menyuruh Ibu Suri Xian dan Ning Fei mengantar Si Empat Belas, apakah ini untuk mengamati siapa di antara mereka yang menunjukkan Rasa Bersalah? 　　Janda Permaisuri tak bisa menahan gelengan kepala. 　　Setelah puluhan tahun hidup di istana belakang, sungguh aneh kalau dua selir sampai kehilangan kendali hanya karena melihat mayat. 　　Selir-selir seperti ini umumnya tidak bertahan lebih dari dua tahun, mana mungkin bisa bertahan sampai sekarang. 　　Permaisuri—— 　　Mengingat wanita yang rendah hati dan tidak pernah bersaing selama bertahun-tahun itu, mata Janda Permaisuri berkilat tajam. 　　Permaisuri benar-benar tidak boleh diremehkan. 　　Adapun Kaisar Jingming, Janda Permaisuri sama sekali tidak memikirkannya. 　　Selain kebaktian Kaisar padanya, mana ada suami yang memperhatikan urusan kompleks belakang rumah? Setelah sibuk dengan urusan luar, mereka hanya ingin mengaburkan masalah atau acuh tak acuh saat pulang. 　　Istana belakang pun demikian. 　　Janda Permaisuri memegangi lengan dayang istana sambil bangkit perlahan: "Ke Istana Kuning." 　　Ia ingin melihat apa yang akan dilakukan Permaisuri. 　　Di Istana Kuning, dayang-dayang istana sengaja melangkah pelan, bahkan tak berani berbicara. 　　Meski musim panas yang terang benderang, aula megah ini justru terasa dingin mengiris. 　　Jenazah Putri ke-14 belum dimakamkan, masih terbaring di aula samping tempatnya semula diletakkan. 　　Permaisuri mengajak kerumunan ke sana, lalu berhenti di depan pintu: "Si Empat Belas ada di dalam." 　　Ning Fei langsung berjalan mendekat, tanpa menunggu dayang istana membuka pintu, langsung mendorong rumah itu terbuka. 　　Begitu pintu terbuka, hawa dingin langsung menyergap. 　　Meski Ning Fei tidak merasa bersalah, di dalam kamar terbaring putri yang telah tiada. Hawa dingin menusuk di tengah terik musim panas membuat bulu kuduknya meremang. 　　Ning Fei menahan dorongan untuk mundur, lalu melangkah masuk. 　　Xian Fei jauh lebih gugup daripada Ning Fei. 　　Hawa dingin yang menyergap membuat bulu kuduknya merinding, telapak tangan basah oleh keringat. 　　Ibu Suri Xian menutupi kegelisahannya dengan batuk palsu, lalu mengikuti masuk. 　　Setelah kedua selir masuk, baru tersadar ruangan dipenuhi basin es yang menjadi sumber hawa dingin itu. 　　Kaisar Jingming menganut prinsip hemat, umumnya istana baru mulai menggunakan es pada bulan keenam. Saat ini masih bulan lima, belum waktunya pakai es. 　　Permaisuri mengamati reaksi kedua selir lalu menjelaskan datar: "Si Empat Belas meninggal tak wajar, mungkin pemakaman akan ditunda. Es ini bisa menjaga martabat anak malang ini..." 　　Ibu Suri Xian dan Ning Fei sama-sama tertegun. 　　Banyak yang mati tak wajar di istana, tapi tak ada tata krama menunda pemakaman dan menyimpan jenazah di dalam istana. 　　Bahkan Kaisar Jingming tampak terkejut, matanya beralih ke Permaisuri. 　　Permaisuri kembali melemparkan tatapan pedangnya. 　　Kaisar Jingming canggung mengusap hidungnya. 　　Baiklah, dia akan diam dan memperhatikan apa rencana Permaisuri. 　　Usai tatapan tajamnya, mata Permaisuri memerah. Ia menyeka sudut mata dengan saputangan: "Lihatlah Si Empat Belas yang malang ini." 　　Seorang dayang membuka tudung putih yang menutupi jenazah Putri ke-14. 　　Wajah pucat membeku dengan bibir kebiruan, mata yang setengah terbuka, dan ekspresi menyakitkan yang terdistorsi - sulit mengenali sosok lembut Putri ke-14 dalam rupa ini. 　　Ning Fei menggigit bibir, tak tegas memandang langsung. 　　Ibu Suri Xian menundukkan pandangan, tangan mengepal erat diam-diam. 　　Kehidupan panjang di istana telah menempa hatinya berkali-kali. Saat harus tegas, dia takkan ragu. Namun menghadapi langsung mayat orang yang mati karena perintahnya, mustahil hatinya sama sekali tidak gentar. 　　Kaisar Jingming menghela napas berat melihat kondisi Putri ke-14, suaranya berat: "Mereka sudah melihat, jangan ganggu ketenangan Si Empat Belas—" 　　Kalimatnya belum selesai, dayang yang paling dekat dengan Putri ke-14 tiba-tiba menjerit kencang. 　　Ibu Suri Xian refleks menatap Putri ke-14. Dengan ngeri dia menemukan mata Putri yang semula hanya setengah terbuka kini membelalak lebar, menatapnya kosong. 　　Seluruh darah di tubuh Ibu Suri Xian serasa mengalir ke ubun-ubun. Giginya gemertak tak terkendali, tubuhnya gemetar. 　　Ning Fei juga tak kalah panik. Mengikuti jeritan dayang, dia berteriak: "A-ah, Si Empat Belas bangkit sebagai mayat hidup?!" 　　Permaisuri yang sudah agak siap mental pun kaget. Setelah tenang, dia berkata: "Adik Ning Fei, jangan sembarangan bicara." 　　"Tapi mata Si Empat Belas tiba-tiba terbuka!" Ning Fei yang menganggap dirinya pemberani kini detak jantungnya menggema bagai guntur. 　　Permaisuri memandang Ning Fei lalu Ibu Suri Xian. "Dengan energi naga Kaisar yang mengayomi, mana mungkin mayat hidup bangkit? Mungkin Si Empat Belas tak tega meninggalkan kita. Benar kan, Yang Mulia?" 　　Sang Naga Sejati Kaisar Jingming: "..." Seram sekali, apa Si Empat Belas benar-benar bangkit sebagai mayat hidup? 794.BAB 791 Langkah Cadangan 　　BAB 791 Langkah Cadangan 　　Di bawah tatapan penuh harap Permaisuri, Kaisar Jingming membersihkan tenggorokannya dan menegakkan postur tubuh. "Ini hal yang wajar. Selama Aku ada di sini, takkan ada roh jahat yang berani muncul. Apalagi Si Empat Belas adalah Putri-Ku." 　　Mendengar jaminan Kaisar Jingming, Ibu Suri Xian dan Ning Fei sedikit terhibur. 　　Bagaimanapun juga Kaisar adalah Putra Langit yang sesungguhnya, tak perlu takut. 　　Sambil berpikir demikian, kedua selir itu tak bisa menahan diri untuk melirik Putri ke-14. 　　Mata Putri ke-14 terbuka lebar seperti menyimpan keluhan dan keputusasaan tak berujung. 　　Setelah rasa takut awal mereda, Ning Fei justru merasa iba: "Gadis malang ini mati tanpa alasan, matanya tak mau terpejam karena dendam?" 　　"Kakak Ibu Suri Xian, menurutmu apakah Putri ke-14 menolak memejamkan mata sampai orang yang menyuruh Xiao Dengzi membunuhnya ditangkap?" tanya Ning Fei dengan nada dingin. 　　Saat ini baik dia maupun Ibu Suri Xian sama-sama tersangka. Tapi dia yakin akan kebersihan dirinya sendiri - pastilah Ibu Suri Xian dalang pembunuhan Putri ke-14. 　　Sungguh kejam Ibu Suri Xian, membunuh Putri ke-14 tapi masih bisa berpura-pura menangis di depan jenazahnya. Pantas saja dia tega meninggalkan anak kandungnya sendiri. 　　Ibu Suri Xian menyunggingkan senyum pahit. "Putri ke-14 pergi di usia semuda ini, tentu sulit memejamkan mata. Semoga Kaisar yang bijaksana dapat segera menemukan pelakunya..." 　　Mengira dia akan menunjukkan kelemahan? Omong kosong! 　　“Putri ke-14 tiba-tiba membuka mata memang menakutkan,” hatinya masih berdebar-debar, tapi seberapa pun takutnya dia tak boleh memberi celah pada mereka. 　　Mata mayat yang terbuka, hal semacam ini banyak beredar sebagai kabar angin di kalangan rakyat, dipikir-pikir ya memang begitu adanya. 　　Ibu Suri Xian terus menghibur diri sendiri, ditambah berada dalam satu ruangan dengan Sang Naga Sejati, akhirnya rasa takutnya pun berkurang. 　　Permaisuri mendengar perdebatan kedua selir itu, diam-diam merasa cemas. 　　Apakah Permaisuri Yan masih menyimpan kartu as? Jika tidak, hal ini sepertinya tak membantu mengungkap pelaku sebenarnya. 　　Saat itu Pan Hai mendekat ke telinga Kaisar Jingming dan berbisik: "Paduka, Janda Permaisuri sedang menuju ke sini." 　　Kaisar Jingming khawatir Janda Permaisuri akan terkejut, batuk kecil lalu berkata: "Sudah, kita sudah mengantar Si Empat Belas, mari kita keluar." 　　"Tapi Si Empat Belas—" Permaisuri tak enak melihat ke arah Jiang Si, buru-buru tak bisa menemukan alasan tepat, akhirnya terbata-bata. 　　Kaisar Jingming mengernyitkan sudut bibirnya. 　　Tadinya dia kira Permaisuri menyimpan jurus pamungkas untuk membantunya, ternyata tak ada sesuatu pun terjadi. 　　Adapun soal Putri ke-14 yang tiba-tiba membuka mata, Kaisar Jingming sama sekali tak menyangka ada hubungannya dengan Permaisuri. 　　Si Empat Belas ini, tak mau menerima nasib. 　　Kaisar Jingming memandang Putri ke-14 dengan perasaan berat, mengulurkan tangan: "Si Empat Belas, pergilah dengan tenang, Ayah Kaisar pasti akan memberimu keadilan—" 　　Baru saja ucapan itu keluar, mata Putri ke-14 tiba-tiba tertutup. 　　Tangan yang sedang diulurkan Kaisar Jingming gemetar ketakutan. 　　Sebenarnya dia bermaksud menutupkan mata Si Empat Belas, tapi belum sempat melakukannya! 　　"Selain Permaisuri yang sudah punya persiapan, kedua selir lainnya wajahnya pucat." 　　Ibu Suri Xian hampir tidak bisa menahan rasa takut yang menggelegak di hatinya dan ingin kabur dari ruangan. 　　Jika mata Putri ke-14 tiba-tiba terbuka masih bisa dijelaskan sebagai kebetulan, maka setelah Kaisar Jingming mengucapkan kata-kata itu, mata sang putri kembali tertutup, ini mulai terasa menyeramkan. 　　Jangan-jangan arwah Putri ke-14 benar-benar belum tercerai-berai dan akan menuntut nyawanya? 　　Dilanda ketakutan, Ibu Suri Xian tak kuasa melirik lagi ke arah ranjang. 　　Jasad tak bernyawa, wajah pucat membiru, serta hawa dingin yang tak selaras dengan musim panas. 　　Semua ini membuat bulu kuduknya meremang. 　　Tanpa sadar dia mundur selangkah. 　　Kaisar Jingming berdehem sambil berusaha tenang: "Sudah, Si Empat Belas sudah mendengar. Mari kita pergi." 　　Ibu Suri Xian: "..." Apakah Kaisar sengaja menakut-nakutinya? 　　Tenang, harus tetap tenang. 　　Kaisar Jingming berjalan beberapa langkah lalu berhenti, memperingatkan mereka: "Keanehan Si Empat Belas ini jangan sampai diketahui Janda Permaisuri, agar Beliau tidak ikut cemas." 　　Belum jauh mereka melangkah, sudah berpapasan dengan Janda Permaisuri. 　　"Ibu, kenapa Ibu datang kemari?" 　　Janda Permaisuri menatap Kaisar Jingming, tersenyum getir: "Dengan kejadian seperti ini, Kaisar pikir hamba bisa beristirahat? Sudah ketahuan penyebabnya?" 　　Wajah Kaisar Jingming muram: "Anak sudah memerintahkan Pan Hai untuk menginterogasi sepanjang malam. Siapa saja yang pernah berhubungan dengan Xiao Dengzi belakangan ini, termasuk jaringan hubungannya selama bertahun-tahun akan disisir. Berapapun pengorbanannya, pelaku yang menyuruh harus ditemukan!" 　　Saat berkata demikian, matanya menyapu kedua selir itu. 　　“Janda Permaisuri mengangguk: 'Memang tidak boleh dilepaskan begitu saja, tapi Kaisar sibuk mengurus negara sepanjang hari, Jangan sampai terlalu lelah dan mengorbankan kesehatan karena urusan ini.'” 　　“Anak lelaki tahu. Ibu, silakan kembalilah ke Istana Cining. Jika Ibu kelelahan, hati anak akan semakin tidak tenang.” 　　Janda Permaisuri mendengar kata-kata Kaisar Jingming, lalu mengangguk setuju. 　　Setelah mengantar Janda Permaisuri pergi, Kaisar Jingming melirik langit lalu berkata dingin pada dua selir: “Kalian kembalilah masing-masing ke istana. Tunggu panggilan Aku kapan saja.” 　　Ning Fei gemetar marah. 　　Kaisar benar-benar menganggapnya sebagai pelaku kejahatan. Nanti saat kebenaran terungkap, lihatlah bagaimana dia akan melampiaskan amarah. 　　Ibu Suri Xian dengan patuh menekuk lutut: “Baik.” 　　Baru hendak bicara, wajahnya pucat kembali sambil terengah-engah. 　　Kaisar Jingming diam-diam mengingatkan diri sendiri untuk tidak lemah hati, lalu berkata pada Permaisuri: “Aku akan makan di Istana Kuning. Lao Qi dan kalian juga tinggal makan bersama. Setelah selesai, bantu Pan Hai melanjutkan penyelidikan.” 　　Rencana Kaisar Jingming ini membuat Permaisuri hampir menyangka beliau sudah tahu niat Jiang Si. Pengaturan ini terlalu tepat. 　　Setelah makan siang seadanya, Permaisuri menyuruh para pelayan keluar, lalu buru-buru bertanya pada Jiang Si: “Istri Lao Qi, bukankah kau punya cara untuk menguji siapa di antara dua selir itu yang menyuruh?” 　　Kaisar Jingming terkejut melihat Permaisuri, lalu mengalihkan pandang ke Jiang Si: “Apa yang terjadi?” 　　Jiang Si meletakkan cangkir teh, lalu menjawab dengan lugas: “Mengajak Ibu Suri Xian dan Ning Fei bertemu Putri ke-14 untuk terakhir kali adalah ide menantu.” 　　“Dengan begini bisa terlihat siapa yang menyuruh?” Kaisar Jingming mengingat reaksi dua selir tadi, tidak merasa ada yang aneh. 　　“Apakah penglihatannya tidak sebaik Istri Lao Qi?” 　　Jiang Si tersenyum: "Tentu saja tidak bisa seperti ini, tetapi bisa menanam benih ketakutan dalam hati pelaku sebenarnya di balik layar." 　　Mata Kaisar Jingming berbinar, tak sabar bertanya: "Apa rencanamu lagi?" 　　"Metode menantu ini agak nekat." 　　"Tidak apa-apa, katakan saja!" 　　"Jika benar-benar dilaksanakan, mungkin akan menakuti dua Nyonya—" 　　Bayangan Ibu Suri Xian yang terlihat sekarat muncul di benak Kaisar Jingming. Setelah ragu sebentar, ia mengatupkan gigi: "Tidak apa-apa!" 　　Ning Fei yang sehat dan kuat tidak masalah, tapi jika Ibu Suri Xian yang tak bersalah sampai ketakutan, dia hanya bisa memberikan kompensasi lebih. 　　Orang yang membuat kekacauan harus ditemukan, meski harus ada pengorbanan. 　　Setelah mendapat persetujuan Kaisar Jingming, Jiang Si tidak bertele-tele lagi: "Hari ini Nyonya Ningfei mengatakan kalimat yang bagus - jika tidak berbuat dosa, tidak takut hantu mengetuk pintu. Bagaimana jika malam ini ada hantu yang datang?" 　　Kaisar Jingming mengusap wajahnya, memandang Permaisuri minta bantuan. 　　Apakah otaknya lambat bekerja? Mengapa setiap kata yang diucapkan Istri Lao Qi bisa dimengerti, tetapi jika digabungkan sama sekali tidak masuk akal? 　　Permaisuri buru-buru berkata: "Istri Lao Qi, jelaskan lebih rinci." 　　"Hal ini perlu mengganggu Adik Keempat Belas..." 　　Setelah mendengar penjelasan Jiang Si, Kaisar Jingming diam lama sebelum memutuskan: "Lakukan saja! Hanya dengan menemukan dalangnya, Si Empat Belas baru bisa tenang. Dia pasti mengerti di alam baka." 　　Malam pun tiba, keriuhan siang hari menghilang, Istana Kekaisaran kembali sunyi. 795.BAB 792 Mengetuk Pintu di Tengah Malam 　　BAB 792 Mengetuk Pintu di Tengah Malam 　　Bulan bersinar terang dengan bintang-bintang yang jarang, bayangan ranting dan bunga bergoyang di mana-mana. 　　Mungkin karena dua putri baru saja mengalami musibah di siang hari, sementara jenazah Putri ke-14 belum sempat dikafani, istana yang sunyi ini bagai binatang buas tertidur yang menimbulkan rasa ngeri tak terduga. 　　Istana Chunhua masih terang benderang oleh lentera. 　　Ning Fei duduk di ranjang, perasaan sesak dan marah memenuhi hatinya saat mengingat kejadian siang tadi. 　　Ini benar-benar bencana tak terduga! 　　"Nyonya, sudah waktunya tidur," seorang dayang menghampiri dan menasihati. 　　Ning Fei mengerutkan alisnya: "Tidur apa? Hamba terlalu marah sampai tidak bisa tidur." 　　Jika tertidur dan membuka mata besok, hamba harus diinterogasi seperti tahanan. Ini sungguh penghinaan! 　　Ning Fei semakin marah dan memukul pilar ranjang: "Bawakan hidangan ayam panggang!" 　　Dayang itu membelalakkan mata: "Nyonya--" 　　Makan ayam panggang di jam segini? 　　Ning Fei melototi dayang itu: "Apa? Sekadar makan ayam panggang saja tidak boleh?" 　　Kalau tidak bisa tidur ngemil kenapa? Biasanya takut gemuk tidak berani makan. Sekarang hamba sadar, hidup sehari di istana ini sudah untung. Setelah melewati rintangan ini, hamba akan makan apa saja tanpa ragu! 　　Dayang yang dimarahi itu tak berani membantah lagi, segera bergegas ke Dapur Kecil untuk mengambil ayam panggang. 　　Kaisar Jingming yang sedang beristirahat di Istana Kuning kini menanti kabar. 　　Seorang pelayan istana berpakaian ketat berjalan tergesa-gesa, raut wajahnya terlihat agak aneh. 　　"Bagaimana, apakah Selir Ning sudah tidur?" tanya Kaisar Jingming. 　　Antara Selir Ning dan Ibu Suri Xian, siapa yang akan diuji lebih dulu, setelah berpikir panjang ia memilih Selir Ning. 　　Selir Ning fisiknya lebih sehat, biarlah Selir Ning yang maju duluan. 　　Jika Ibu Suri Xian didahulukan, dikhawatirkan kondisi fisiknya yang lemah akan kaget hingga terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hatinya pasti akan merasa bersalah. 　　Pelayan itu menundukkan kepala: "Lapor Paduka, Nyonya Ningfei belum juga tidur." 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming langsung naik darah, bergumam: "Sudah larut begini, masih belum tidur!" 　　Setelah bergumam, ia bertanya lagi: "Lalu Selir Ning sedang apa?" 　　Pelayan itu menahan dorongan untuk menyeringai, menundukkan mata menjawab: "Nyonya Ningfei sedang makan ayam bakar." 　　Saat itu juga, Kaisar Jingming tertegun, lalu menoleh melihat Permaisuri. 　　Permaisuri tetap tenang tanpa ekspresi. 　　Apa anehnya Selir Ning makan ayam bakar? Kok Kaisar sampai heboh begitu? 　　Setelah lama tinggal di istana belakang, banyak wanita kesepian yang akhirnya mengembangkan hobi-hobi aneh. 　　Kebiasaan Selir Ning makan ayam bakar ini bahkan tidak layak disebut. 　　Ketenangan Permaisuri membuat Kaisar Jingming semakin bingung: Selama ini, apakah ada kesalahpahaman tentang selir-selir di haremnya? 　　"Lalu bagaimana dengan Ibu Suri Xian?" Kaisar Jingming mengumpulkan keberanian, bertahan bertanya. 　　"Lentera di istana Ibu Suri Xian sudah padam." 　　"Kaisar Jingming menghela napas panjang." 　　"Akhirnya ada satu yang normal." 　　Setelah merenung sejenak, Kaisar Jingming memerintahkan: "Kalau begitu, mari kita pergi ke tempat Ibu Suri Xian terlebih dahulu." 　　Bukan tidak bisa pergi ke Ning Fei, tapi jika Ning Fei sedang makan ayam bakar dan Si Empat Belas tiba-tiba muncul, efeknya sepertinya akan jauh berkurang. 　　Ning Fei adalah putri jenderal yang pemberani, bagaimana jika dalam panik dia melempar ayam bakar ke Si Empat Belas? 　　Si Empat Belas sudah cukup menderita, tidak boleh menerima siksaan seperti ini lagi. 　　Dibandingkan dengan itu, Ibu Suri Xian yang sedang tidur lebih cocok. 　　Di Istana Yuquan, semua lentera telah dipadamkan, tapi Ibu Suri Xian belum juga terlelap. 　　Setiap kali menutup mata, wajah pucat Putri ke-14 dan kedua kelopak mata yang tiba-tiba terbuka lalu menutup lagi terus menghantuinya, mana mungkin bisa tidur? 　　Seperti kue yang dibolak-balik di atas wajan, ia terus berguling-guling di ranjang. Melalui tirai sutra biru langit, hanya siluet perabot yang samar terlihat, membuat hatinya semakin gelisah dan punggungnya merinding. 　　Pemandangan siang hari itu jelas telah menebarkan bayang-bayang kelam di hatinya. 　　Tok-tok-tok – Suara ketukan pintu samar-samar terdengar oleh Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian langsung terduduk: "Siapa?!" 　　Dayang yang tidur di kaki ranjang bangun sambil mengusap mata: "Nyonya, mengapa Bangun?" 　　"Apakah kau dengar suara ketukan pintu?" 　　"Ketukan pintu? Hamba tidak mendengar apa-apa." Dayang itu bingung melirik ke pintu, melihat wajah pucat majikannya, lalu mengenakan sepatu: "Hamba akan periksa--" 　　“Tidak perlu!” Ibu Suri Xian berbaring setelah berkata. 　　Pasti salah dengar, jika gadis kecil itu membuat keributan sampai terdengar ke Kaisar, akan membuktikan rasa bersalahnya. 　　Tok-tok-tok—— 　　Kali ini, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar jelas. 　　Jika sebelumnya suara ketukan samar seolah berasal dari pintu luar, kini suara itu sudah sampai di depan kamar, tepat di balik pintu berlapis tirai sutra. 　　Seluruh tubuh Ibu Suri Xian menegang di atas ranjang, baju dalamnya sudah basah oleh keringat dingin. 　　Dayang istana bangun terburu-buru dengan wajah panik: "Nyonya, hamba juga mendengarnya." 　　Tidak mungkin, di luar masih ada dayang yang bertugas jaga malam. Jika benar ada yang mengetuk, kenapa tak ada respon? 　　Seandainya yang mengetuk adalah dayang istana, tentu sudah menyampaikan alasannya. 　　Mengganggu Nyonya yang sedang tidur sembarangan pasti akan dikenakan hukuman. 　　Tok-tok-tok——Suara ketukan semakin mendesak, menunjukkan kesigapan si pengetuk. 　　"Nyonya, hamba periksa dulu?" 　　Ibu Suri Xian mengangguk dengan bibir bergetar. 　　Jika suara ketukan ini terus berlanjut, dia pasti akan stres. Lebih baik menyuruh dayang memeriksanya. 　　Dayang membuka kelambu ranjang, menyalakan lentera, lalu berjalan ke pintu sambil menghibur: "Mungkin kucing liar dari istana lain yang masuk." 　　Ucapannya itu sekaligus untuk menyemangati diri sendiri. 　　Kabar tentang Putri ke-14 sudah tersebar di istana belakang, sementara Nyonya mereka justru terlibat... 　　Dayang tiba di depan pintu, menarik napas dalam-dalam lalu membuka pintu rumah. Namun bahkan teriakan pun tak sempat keluar sebelum ia menghilang dalam kegelapan, hanya angin ruang tengah yang menerobos masuk, menerpa tirai hingga berkibar-kibar. 　　Ibu Suri Xian duduk sendirian di ranjang, menatap ke arah pintu dengan tubuh kaku. 　　Beberapa saat kemudian, ia seperti terbangun dari mimpi, berteriak panik memanggil nama dayangnya. 　　Tak ada jawaban, namun langkah kaki aneh mulai terdengar. 　　Disebut aneh karena langkah kaki itu sama sekali tidak ringan, seolah diseret di lantai. 　　Ibu Suri Xian tak kuasa menahan pandangannya ke arah pintu. 　　Sebuah wajah pucat perlahan muncul dari kegelapan, bibirnya kebiruan. 　　Pada detik itu, darah di seluruh tubuh Ibu Suri Xian seakan membeku, sama sekali tak bisa bergerak, hanya bisa menyaksikan Putri ke-14 yang sebelumnya terbujur kaku di ranjang perlahan mendekatinya. 　　Entah berapa lama, akhirnya Ibu Suri Xian menemukan suaranya kembali dan menjerit: "Jangan kau mendekat—" 　　Anehnya, Putri ke-14 berhenti mendengar ini. Mata yang terbuka kembali itu menatap tajam ke arah Ibu Suri Xian. 　　Suara penuh dendam bergema: "Mengapa Nyonya merenggut nyawaku?" 　　Ibu Suri Xian nyaris tak bernyawa ketakutan: "Aku tidak! Jangan cari aku!" 　　"Tidak?" Putri ke-14 yang wajahnya pucat itu seakan menyunggingkan senyum sinis, tiba-tiba maju selangkah. 　　Angin menerpa, nyala lilin di meja berkedip-kedip lalu padam tiba-tiba. Kegelapan total menyergap pandangan Ibu Suri Xian. 　　"Dalam kegelapan, dia seolah bisa merasakan hawa dingin yang memancar dari tubuh lawannya, serta bau khas orang mati." 　　"Jika kau tidak menyuruh Deng Gonggong menyakiti Kakak ketigabelas, aku tidak akan mati sia-sia demi menyelamatkannya... Kembalikan nyawaku--" 　　Ibu Suri Xian yang matanya sudah menyesuaikan dengan gelap melihat dua tangan kaku dan dingin itu menggapainya. Benang rasionalnya pun putus sama sekali, dia merangkak dan berlari kocar-kacir ke arah pintu. 　　"Jangan mendekat! Kau yang rela menyelamatkan Putri Fuqing, jangan salahkan aku--" 　　Nanti malam lihat situasi dulu, mungkin tidak ada Bagian Kedua. Besok seharian naik mobil kembali ke Wuhan. Ikut suami pulang ke kampung halamannya selama sepuluh hari, hampir setiap hari sibuk mengunjungi kerabat. Dalam kondisi sulit seperti ini bisa bertahan dengan dua bagian sampai sekarang, sejujurnya aku sendiri terkejut, pantas dapat bunga merah besar. 796.BAB 793 Menampakkan Wujud 　　BAB 793 Menampakkan Wujud 　　Saat Ibu Suri Xian sampai di pintu, rumah tiba-tiba terkunci. 　　"Buka pintu! Cepat buka pintu!" Ibu Suri Xian histeris memukuli rumah. 　　Sepasang tangan dingin menyentuh lehernya dari belakang. 　　"Katakan, kenapa kau menyakiti Kakak ketigabelas?" 　　"Lepaskan aku, lepaskan--" Ibu Suri Xian hampir gila, ingin melepas tangan tanpa suhu itu. Tapi begitu ingat itu tangan mayat, tak berani menyentuh, hanya bisa menjerit-jerit, apalagi menjawab pertanyaan itu. 　　"Jawab alasanmu menyakiti Kakak ketigabelas, atau aku tidak akan bisa tenang di alam baka!" Suara seram bergema di telinga Ibu Suri Xian. 　　"Pada saat itu, Ibu Suri Xian hampir menyebut kata 'Janda Permaisuri', namun sisa kesadarannya yang terakhir menghentikannya." 　　Kedekatan Putri ke-14 yang hampir membuatnya gila. Untuk melepaskan diri dari teror ini, dia tak bisa menahan teriakan: "Karena aku membenci Permaisuri!" 　　Ruangan mendadak sunyi sejenak. Kemudian, pandangan Ibu Suri Xian menjadi gelap sebelum pingsan. 　　Entah berapa lama, Ibu Suri Xian terbangun dan melihat Kaisar serta Permaisuri di hadapannya. 　　Dengan bingung dia bertanya: "Baginda, di mana tempat selir ini?" 　　Wajah Kaisar Jingming dingin membeku: "Tempat tidak penting. Yang penting, apakah kau masih ingat apa yang terjadi?" 　　"Selir--" Mata Ibu Suri Xian berputar-putar sebelum teringat sesuatu. 　　Wajah pucat mayat, tangan dingin yang mencekik lehernya, suara mengerikan yang penuh dendam... 　　Bukankah dia ada di istananya? Tengah malam terdengar ketukan pintu, Putri ke-14 datang menuntut nyawa dan memaksa pengakuan penyebab kematian Putri Fuqing - Lalu kenapa sekarang...? 　　Jangan-jangan itu hanya mimpi? 　　"Lupa?" Kaisar Jingming menatap tajam. Melihatnya diam terlalu lama, amarahnya memuncak ingin menyeret perempuan jahat ini untuk dihukum mati. 　　Dia paling benci taktik pura-pura hilang ingatan! 　　"Tak apa jika lupa. Aku yang akan mengingatkan. Kau berteriak dalam mimpi karena merasa bersalah telah mencoba membunuh Fuqing... Sudah ingat?" 　　Ibu Suri Xian wajahnya pucat pasi, buru-buru menyangkal: "Selir tidak membahayakan Fuqing, Kaisar pasti salah paham——" 　　Kaisar Jingming malas mendengarkan alasan Ibu Suri Xian, berkata dingin: "Dayang Ibu Suri Xian mana?" 　　Tak lama kemudian seorang dayang bersujud di hadapan Kaisar Jingming. Ibu Suri Xian memandang tajam, ternyata dayang yang berjaga malam ini. 　　Dia ingat saat ketukan pintu terdengar, dia menyuruh dayang membuka pintu untuk melihat situasi, lalu dayang itu menghilang dalam kegelapan. 　　Kaisar Jingming memandang dari atas ke dayang itu, wajah tanpa ekspresi: "Ceritakan apa yang kau lihat pada Ibu Suri Xian." 　　Dayang itu merangkak di lantai, gemetar berkata: "Nyonya semalam lama tidak bisa tidur, menjelang tengah malam dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba bicara dalam mimpi——" 　　"Apa yang dia katakan?" 　　Dayang itu cepat melirik Ibu Suri Xian, wajah pucat berkata: "Nyonya berteriak memohon Putri ke-14 jangan menagih nyawa, bilang yang ingin dibunuhnya bukan Putri ke-14 tapi Putri Fuqing——" 　　"Hamba, kau mengada-ada!" Ibu Suri Xian merasa seluruh tubuhnya menggigil, berteriak lantang. 　　Dia jelas ingat ucapannya, tapi itu jelas bukan mimpi, melainkan Putri ke-14 benar-benar datang menagih nyawa. 　　Kaisar Jingming melirik dingin ke Ibu Suri Xian, bentak: "Lanjutkan." 　　"Nyonya juga bilang... alasan membahayakan Putri Fuqing karena membenci Permaisuri——" Dayang itu semakin merunduk, tak berani mengangkat kepala. 　　Ibu Suri Xian wajahnya berubah pucat: "Kaisar, jangan dengarkan omong kosong hamba ini——" 　　Kaisar Jingming memotong dengan dingin: "Cukup! Jangan kau anggap Aku bodoh. Sekarang Aku hanya ingin mendengar alasanmu membenci Permaisuri." 　　"Kaisar, selir tidak——" Ibu Suri Xian masih berusaha membela diri. 　　Kaisar Jingming menatapnya tajam, matanya penuh kedinginan: "Atau kau ingin Aku memanggil Lao Si ke istana untuk diinterogasi?" 　　Yang dia butuhkan hanyalah memastikan dalang antara Ibu Suri Xian dan Ning Fei. Soal ada tidaknya bukti, atau pengakuan setelah terungkap, itu tidak penting. 　　Perlawanan Ibu Suri Xian hanya akan memperbesar kemarahannya. 　　Sedangkan peristiwa Si Empat Belas mengetuk pintu yang dikaitkan dengan mimpi Ibu Suri Xian, adalah untuk menutupi urusan hantu, memberi alasan yang pantas untuk publik. 　　Bagaimanapun, dibanding hantu mengetuk pintu, cerita selir yang mengigau dan tergelincir lidah jauh lebih terhormat. 　　Bukankah dia Putra Langit yang punya aura naga mengusir roh jahat? Istana kerajaan sampai bisa dihantui hantu? Kalau tersiar kabar, ke mana perginya harga dirinya? 　　Ucapan Kaisar Jingming tepat mengenai titik kelemahan Ibu Suri Xian, membuatnya tak berani membantah lagi. 　　Wajah Ibu Suri Xian memucat seperti abu, tubuhnya limbung dan ambruk. 　　Kaisar Jingming tanpa belas kasihan: "Katakan! Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu." 　　Ibu Suri Xian terkapar di lantai. Padahal ini malam pertengahan musim panas, hawa dingin dari batu giok meresap hingga ke tulangnya. 　　Setetes air mata mengalir dari sudut matanya, masuk ke sudut bibir, bercampur dengan rasa manis berdarah di mulut. 　　Ibu Suri Xian menggigit ujung lidahnya, tersedu-sedu: "Ini karena hamba sesaat dikuasai hantu, iri melihat Permaisuri merebut Lao Qi..." 　　Permaisuri yang sejak tadi diam akhirnya tertawa dingin: "Kau iri karena hamba merebut Jin'er?" 　　Dua kata "Jin'er" membuat Ibu Suri Xian tertegun sejenak, baru menyadari yang dimaksud adalah Yu Jin. 　　Setelah menyadari, darah panas langsung mengalir deras ke tenggorokannya. 　　Perempuan hina tak tahu malu ini, berani memanggil Lao Qi "Jin'er", apakah sedang pamer di hadapanku? 　　Permaisuri mengencangkan sudut bibirnya, tatap mata berhadapan dengan Ibu Suri Xian. 　　Memang dia sedang memukuli anjing yang sudah jatuh ke air, mengharap belas kasihan terhadap orang yang menyakiti putrinya? 　　Tidak hanya memukuli anjing terendam, dia juga akan menarik keluar majikan si anjing. 　　Permaisuri tidak percaya Ibu Suri Xian hanya karena alasan ini berani menyakiti Putri Fuqing. 　　Jika Ibu Suri Xian benar-benar peduli pada Pangeran Yan, tidak mungkin selalu mengabaikannya. 　　Sebagai ibu juga, selalu khawatir apakah putrinya menendang selimut saat tidur, kasih sayang ibu yang tulus tidak seperti Ibu Suri Xian. 　　"Jin'er adalah anak yang kau tinggalkan, Kaisar mengambilnya untuk hamba. Alasanmu tidak bisa meyakinkan hamba." 　　Kaisar Jingming di samping mengernyitkan sudut bibirnya. 　　Dia yang mengambil? Lao Qi jelas juga anaknya sendiri. 　　Ibu Suri Xian matanya berkedip panik, berkata dengan suara serak: "Bahkan jika aku tidak mau, lebih baik kuhancurkan daripada memberikannya gratis pada orang lain. Kau merebut anak lelakiku, maka harus menggantinya dengan putriku——" 　　Kaisar Jingming marah: "Sudah cukup! Kau benar-benar tak terselamatkan, pengawal——" 　　Permaisuri mencegah: "Paduka, menurut hamba Ibu Suri Xian menyimpan rahasia lain. Bisa jadi dia dibujuk oleh seseorang." 　　Hati Ibu Suri Xian berdebar kencang. 　　Setelah kebocoran ini, yang bisa dilakukannya adalah tidak membocorkan Janda Permaisuri. Jika tidak, dia dan Zhang'er benar-benar akan terpuruk selamanya. 　　Sekarang dia hanya bisa bertaruh pada tekad Janda Permaisuri untuk melawan Permaisuri. 　　Kaisar sangat berbakti pada Janda Permaisuri. Selama Janda Permaisuri mendukung Zhang'er sepenuh hati, masih ada kesempatan untuk bangkit, tidak seperti sekarang yang dijauhi Kaisar tanpa harapan. 　　Meski terlihat kalah, tetapi dengan menghubungkan Zhang'er dan Janda Permaisuri, kekalahannya tidak total. 　　Mengenai apakah Janda Permaisuri akan menepati janji, dia sudah menyiapkan senjata rahasia. 　　Ibu Suri Xian mendongak, memandang Permaisuri dengan sinis: "Perkataan Permaisuri lucu sekali. Meski statusku tidak semulia Permaisuri, tapi aku salah satu dari empat selir utama. Siapa di istana ini yang bisa membujukku? Mungkin Permaisuri? Kaisar? Atau Janda Permaisuri?" 　　"Diam!" Wajah Kaisar Jingming pucat pasi. "Jika kau masih bicara sembarangan, jangan salahkan Aku yang tak berperasaan." 　　Kemarin pulang sudah larut malam, benar-benar tidak sempat mengetik. Mulai hari ini kembali update stabil dua bagian. Mengenai naskah cadangan selama tahun baru, pasti ada kesalahpahaman. Bukankah Xiaojia sudah dikeluarkan sebelumnya? Hanya ada dua naskah cadangan Xiaojia dan saudaranya Xiaoyi, sisanya sulit diketik saat mengunjungi kerabat???? 797.BAB 794 Perpisahan Tidak Harmonis 　　BAB 794 Perpisahan Tidak Harmonis 　　Melibatkan Janda Permaisuri, ini tidak bisa ditoleransi oleh Kaisar Jingming. 　　Seorang sesepuh yang hidup menyendiri setelah mengangkatnya naik takhta, mungkin menargetkan Fuqing yang hanya seorang cucu perempuan? 　　Ini sama sekali tidak masuk akal, apalagi diterima. 　　Namun terhadap Istana Cining, dalam hatinya mulai muncul kecurigaan, sehingga semakin geram dengan perkataan Ibu Suri Xian. 　　Ibu Suri Xian batuk ringan, meninggalkan bercak-bercak darah di saputangan, memandang sedih Kaisar Jingming: "Permaisuri yang mulai bicara ngawur, hamba terpaksa membalas bertanya." 　　Kaisar Jingming melirik Permaisuri, berkata dingin: "Sampai saat ini kau masih melibatkan Permaisuri, benar-benar tidak tahu menyesal!" 　　Menjaga martabat Permaisuri di depan selir-selir sudah menjadi kebiasaan Kaisar Jingming, tapi dalam hati ia juga merasa ucapan Permaisuri agak berlebihan. 　　Melihat darah di saputangan Ibu Suri Xian, Kaisar Jingming bermuram durja: "Kain putih atau anggur beracun, pilih salah satu. Pertimbanganmu sudah lama melayani, Aku beri hadiah mayat utuh." 　　Seluruh tubuh Ibu Suri Xian bergetar, bersujud gemetar: "Hamba...berterima kasih pada Kaisar." 　　"Dia mengira dirinya sudah sakit parah, tidak akan berumur panjang, menggunakan nyawa ini untuk membuka jalan bagi anaknya menuju Janda Permaisuri adalah hal yang layak. Tapi ketika kematian benar-benar datang, ternyata masih ada rasa takut." 　　Melihat ini, Permaisuri berseru panik: "Yang Mulia, jangan!" 　　"Kenapa?" Kaisar Jingming menatap Permaisuri dengan wajah tanpa ekspresi. 　　Permaisuri memberi hormat dengan menekuk lutut kepada Kaisar Jingming: "Yang Mulia, hamba masih yakin bahwa kasus Ibu Suri Xian melukai Fuqing pasti ada rahasia tersembunyi, bukan sekadar dendam karena hamba mencatat Jin'er dalam silsilah—" 　　"Lalu menurutmu rahasia apa?" Kaisar Jingming membalas bertanya. 　　Permaisuri terdiam sejenak. 　　Berdasarkan pengetahuannya tentang Kaisar, secara terbuka menyatakan kecurigaan terhadap Janda Permaisuri pasti akan membuat Sang Kaisar marah. 　　Permaisuri terpaksa berkata: "Rahasia apa pun itu, hanya bisa diketahui dengan membuka mulut Ibu Suri Xian." 　　Ibu Suri Xian bersujud di lantai, memandangi ubin giok sambil menyeringai dingin. 　　Ruangan diterangi lentera, ubin giok memantulkan wajah kabur Ibu Suri Xian dan sudut bibir yang melengkung ke atas. 　　Membuka mulutnya? Permaisuri jangan mimpi! 　　Dia sudah tahu Permaisuri tidak berani langsung menyebutkan kecurigaan terhadap Janda Permaisuri, pasti akan membuat Kaisar murka. 　　"Yang Mulia, sejak Lao Qi memutuskan hubungan ibu-anak dengan hamba, hamba sempat keblinger menaruh dengki pada Permaisuri sehingga terjadi hal hari ini. Tapi Permaisuri terus menerus bicara tentang rahasia tersembunyi, mengatakan hamba dibujuk orang lain—ini membuat hamba bingung. Hamba sudah pasti mati, jika benar ada yang membujuk, mungkinkah hamba rela menjadi tumbal sementara orang itu bebas berkeliaran?" 　　Kaisar Jingming mendengar perkataan Ibu Suri Xian, harus diakui ada benarnya. 　　Ibu Suri Xian melanjutkan: "Saya bukan selir rendahan, apalagi telah melahirkan dua pangeran. Selain Permaisuri, Janda Permaisuri, dan saya yang baru saja disebutkan, siapa lagi yang bisa membujuk saya? Padahal saya sudah menjelaskan alasannya, tapi Permaisuri tetap tak mau percaya... Kaisar, kata-kata orang yang akan mati itu tulus. Meski Kaisar membenci saya, marah pada saya, tolong renungkan apa tujuan sebenarnya Permaisuri mengatakan hal ini—" 　　"Cukup! Urusan Permaisuri bukan ranahmu seorang pesakitan untuk berkomentar!" bentak Kaisar Jingming. 　　Mendengar pidato Ibu Suri Xian, Permaisuri di tengah kemarahannya harus mengakui kefasihan lidah lawannya. 　　Dalam situasi yang sudah kalah telak dan tanpa harapan hidup, dia masih bisa mengadu domba Kaisar dengannya, menciptakan kecurigaan di hati Kaisar. 　　Dengan begini, ketika nanti dia menyebut-nyebut Janda Permaisuri, pasti Kaisar akan menjadi curiga. 　　Saat Permaisuri hendak berbicara, tiba-tiba Ibu Suri Xian mencengkeram kerah bajunya sambil batuk keras. 　　Batuknya semakin menjadi-jadi, darah segar memancar dari mulutnya, pemandangan yang mengerikan. 　　Kaisar Jingming yang belum pernah menyaksikan hal seperti ini tertegun sejenak lalu berteriak: "Panggil tabib istana—" 　　Memang Ibu Suri Xian pantas mati, tapi menyaksikannya batuk sampai tewas tetap sulit diterima. 　　Permaisuri bahkan lebih panik daripada Kaisar, menyuruh orang kepercayaannya: "Cepat panggil tabib!" 　　Ibu Suri Xian memandang kegelisahan Permaisuri, sorot matanya dipenuhi senyuman, namun batuknya semakin menjadi. Tiba-tiba semburan darah keluar dari mulutnya, lalu ia terjatuh kaku. 　　Kepalanya menghantam ubin giok yang dingin. Ibu Suri Xian sudah tak merasakan sakit lagi. Saat kegelapan menyergap, setetes air mata mengalir dari sudut matanya. 　　Pada detik itu, serentetan bayangan seperti lentera berputar melintas di hadapannya. 　　Ada ajaran dan harapan ibu kandungnya di masa muda, getaran hati pertama saat memasuki istana dan melihat sang Kaisar yang kemudian berubah menjadi kebekuan panjang. Ada sukacita melahirkan putra sulung, juga perjuangan dan kesabaran dalam kehidupan panjang di istana belakang. 　　Kini, bersama darah yang mengucur keluar dari tubuhnya, segalanya buyar. Membawa serta kekecewaan, penyesalan, serta secerca harapan tipis bagai benang laba-laba. 　　"Zhang'er, mulai sekarang ibu tak bisa lagi membantumu..." 　　Saat tabib istana tiba, dengan hati-hati menahan rasa paniknya, ia memeriksa Ibu Suri Xian lalu menunduk: "Yang Mulia, Ibu Suri Xian telah mangkat." 　　Kaisar Jingming menatap jenazah Ibu Suri Xian lama sekali, lalu berkata datar: "Bawa pergi. Marga Ji yang membunuh dua putri, dosanya tak terampuni. Turunkan statusnya jadi rakyat biasa, dilarang dimakamkan di makam kekaisaran..." 　　Setelahnya, Kaisar dan Permaisuri saling berpandangan tanpa kata, terpuruk dalam kesunyian panjang. 　　Lentera di ruangan berkedip-kedip, sumbunya telah terbakar separuh. 　　Kaisar Jingming memecah kesunyian: "Jika Ibu Suri bertanya, katakanlah sekadarnya saja. Jangan sampai beliau khawatir." 　　Permaisuri menundukkan pandangan dan bertanya: "Apakah perlu memberitahu Keluarga An Guogong tentang kebenaran ini?" 　　"Ini akan Aku atur. Besok panggil Lao Si masuk istana, biarkan dia bertemu Ji Shi untuk terakhir kalinya." 　　Permaisuri mengangguk halus, memandang dingin mayat Ibu Suri Xian yang sedang diseret oleh dua dayang istana, lalu menggigit bibirnya dan bertanya pada Kaisar Jingming: "Apakah Kaisar benar-benar yakin Ibu Suri Xian... Ji Shi menyakiti Fuqing karena iri dengan Lao Qi yang diangkat sebagai anak saya?" 　　"Kalau tidak?" Kaisar Jingming menatap tajam Permaisuri, "Siapa yang Permaisuri curigai?" 　　Dia berhenti sejenak, lalu bertanya: "Janda Permaisuri?" 　　Bulu mata Permaisuri bergetar, ingin sekali mengangguk, namun akal sehat akhirnya menghentikannya. 　　"Tidak berani... Tapi setiap kali Fuqing mengalami musibah selalu terkait dengan Istana Cining, Tidakkah Kaisar merasa aneh?" 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi muram: "Aku juga yakin ada orang jahat di Istana Cining, tapi sebelum investigasi selesai Permaisuri jangan sembarangan mencurigai, nanti menyakiti hati Janda Permaisuri dan membuatku sulit bertindak." 　　Permaisuri menahan diri, akhirnya tak kuasa bertanya: "Kapan Kaisar rasa investigasi akan selesai? Fuqing terus menjadi korban, Pangeran Kelima Belas dan Si Empat Belas mati sia-sia, apakah kita biarkan istana terus dipenuhi kabut miasma?" 　　"Permaisuri masih menganggap hubungan antara kejahatan Ji Shi terhadap Fuqing dengan Istana Cining?" 　　Permaisuri berkata datar: "Saya hanya tahu asap tak mungkin muncul tanpa api." 　　"Kau--" Kaisar Jingming tersinggung dan marah. 　　Permaisuri menatap balik Kaisar Jingming tanpa mundur selangkah pun. 　　“Saya akan menyuruh orang mengawasi Istana Cining dengan ketat, Permaisuri jangan lagi berpikir macam-macam!” Kaisar Jingming berkata dengan geram sambil pergi sambil mengibaskan lengan baju. 　　Permaisuri duduk, menepuk meja dengan kesal dan memarahi: “Kebaktian buta! Keras kepala! Tua bangka!” 　　Tengah memaki, tiba-tiba Kaisar Jingming kembali. 　　Suara Permaisuri tercekat. 　　Kaisar Jingming yang mendengar separuh makian Permaisuri, demi menjaga harga diri tidak mau membongkar, berkata dengan wajah masam: “Ini Aula Yangxindian!” 　　Ini jelas wilayahnya, mengapa dia yang pergi? Seharusnya Permaisuri yang pergi. 　　Permaisuri bangkit, membungkukkan lutut dengan wajah kaku kepada Kaisar Jingming, lalu pergi sambil mengibaskan lengan baju. 　　Pergi ya pergi, pikir dia betah tinggal di sini? 　　Terima kasih atas vote dan hadiah, sampai jumpa besok. 798. BAB 795 Mohon Ampun 　　BAB 795 Mohon Ampun 　　Setelah subuh, kabar Ibu Suri Xian mengaku bersalah menyebar bak angin di seluruh istana. 　　Ning Fei yang kekenyangan makan ayam panggang semalaman sampai tidak bisa tidur, akhirnya tertidur pulas sebelum dibangunkan dayangnya. 　　“Nyonya, cepat bangun, ada masalah!” 　　Ning Fei membuka mata dengan susah payah, bersendawa beraroma ayam panggang, lalu kaget terbangun: “Masalah apa?” 　　Dayang itu wajah berseri: “Ibu Suri Xian sudah mengaku, dialah yang menyakiti Putri--” 　　“Tunggu, Ibu Suri Xian mengaku?” Ning Fei mengusap pelipisnya, buru-buru menanyakan detailnya. 　　Dayang istana dengan wajah bersemangat berkata: "Konon Ibu Suri Xian mengigau di tengah malam, mengaku perbuatannya yang menyakiti Putri, didengar oleh dayang jaga malam lalu dilaporkan kepada Kaisar..." 　　Ning Fei tertegun mendengarnya. 　　Mengaku dosa lewat igauan? Kedengarannya agak aneh? 　　Sambil mengingat tekadnya menyantap ayam bakar tadi malam dan sikap "seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki", Ning Fei mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. 　　Benarlah hidup tak terduga, keberuntungan dan malapetaka sulit diprediksi. Manusia harus hidup di saat ini. 　　"Siapkan air cuci untuk hamba." Ning Fei yang merasa segar bugar berpesan pada dayang, "Untuk makan siang, sampaikan ke dapur istana tambahkan satu porsi angsa panggang untuk Istana Chunhua." 　　Dayang segera membungkuk: "Da." 　　Semalam saat melihat Nyonya menyantap ayam bakar, dia mengira Nyonya sedang stres berat sampai takut. Sekarang baru sadar, untung Nyonya insomnia karena kebanyakan makan ayam. Andai sampai mengigau seperti Ibu Suri Xian dan bicara hal tak pantas - akibatnya tak terbayangkan! 　　Setelah bersuci, Ning Fei bergegas ke Istana Kuning untuk memberi salut pada Permaisuri (sekaligus mengumpulkan informasi). 　　Saat menerima kabar, Pangeran Qi langsung membeku. Dengan pikiran kacau, dia mengikuti pelayan istana masuk ke dalam istana. 　　Masuk ke Aula Yangxindian, Pangeran Qi membungkuk kaku pada Kaisar Jingming: "Anak lelaki menghadap Ayah Kaisar--" 　　“Benci rumah hingga burung gagaknya——” Kaisar Jingming malas melirik Pangeran Qi, membelakanginya dengan suara dingin: “Temui Klan Ji, lalu segera tinggalkan istana. Jangan berlama-lama.” 　　Pangeran Qi gemetar, merendahkan kepala: “Baik.” 　　Pangeran Qi mengikuti pelayan istana dengan langkah tidak stabil menuju Istana Yuquan. Jalan yang seharusnya sangat dikenalnya justru terasa asing. 　　Istana Yuquan yang megah nyaris tak berpenghuni, hanya angin yang berhembus dan bayangan bunga yang bergoyang. 　　Istana yang pernah dipenuhi kemewahan ini tiba-tiba menjadi sunyi senyap, kehilangan segala vitalitas. 　　Pangeran Qi membuka mulut hendak bertanya pada pelayan, namun sang pelayan hanya menunduk setengah wajah tanpa sedikitpun niatan berbicara. 　　Ia terpaksa menelan semua pertanyaan, akhirnya bertemu Ibu Suri Xian di sebuah ruangan terpencil. 　　Ini adalah kamar mayat yang disiapkan secara darurat. 　　Ibu Suri Xian terbaring kaku, wajahnya pucat dan keriput, sudah lama tak bernyawa. 　　“Ibu Selir——” Pangeran Qi bertekuk lutut dengan suara plok, meraih tangan Ibu Suri Xian. 　　Sentuhan dingin itu membuatnya benar-benar menyadari: Sang pelindung yang selalu melindungi dan menyayanginya telah tiada. 　　Memandangi wajah Ibu Suri Xian, Pangeran Qi bergumam: “Ibu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ibu pergi begitu mendadak——” 　　Tentu tak ada yang menjawab. 　　Pelayan istana di sampingnya mengingatkan: “Paduka Pangeran, cepatlah. Sebentar lagi jenazah Klan Ji akan dikeluarkan dari istana——” 　　Pangeran Qi menatap tajam ke arah pelayan istana, berkata dengan marah: "Berani-beraninya kau menyebut Marga Ji?!" 　　Pelayan istana menundukkan pandangan dan menjelaskan: "Paduka mungkin belum tahu, Marga Ji telah diturunkan statusnya menjadi rakyat biasa karena meracuni Putri Fuqing dan Putri ke-14, dilarang dimakamkan di makam kekaisaran——" 　　Ucapan ini telah mendapat izin dari atasan untuk disampaikan kepada Pangeran Qi. 　　"Apa?!" Pangeran Qi terkejut, menatap tak percaya ke arah Ibu Suri Xian yang sudah tak bernyawa. 　　Wajah itu masih wajah yang dikenalnya sejak kecil, penuh kasih sayang dan perhatian tak terhingga, namun kini terasa asing. Perlahan, rasa kecewa mulai menggerogoti hatinya. 　　Apakah ibu sudah gila? Untuk apa meracuni Putri Ketigabelas dan Putri ke-14? 　　Hanya dua putri biasa, apa untungnya membahayakan mereka? 　　Tindakan ibu hanya akan membuat Ayah Kaisar semakin membenciku, menghilangkan sisa-sisa peluangku. 　　Kehilangan restu kaisar adalah pukulan berat bagi pangeran non-putra mahkota yang berambisi menjadi calon penguasa. Inilah sebabnya banyak menteri yang awalnya mendukung Pangeran Qi memilih bersikap netral setelah beberapa pendukung utamanya dihukum oleh Kaisar Jingming. 　　Bukan putra mahkota, tak ada menteri yang berani memperjuangkan legitimasimu melawan Kaisar. Tak mendapat hati penguasa, hanya orang bodoh yang mau mendukungmu. 　　Karena alasan inilah Ibu Suri Xian nekat menjadi pion Permaisuri Janda, berharap bisa bangkit dari keterpurukan. Ia sadar putranya yang dibenci kaisar tak mungkin meraih takhta tanpa dukungan kekuatan luar yang besar. 　　“Namun Pangeran Qi tidak mengerti, saat ini terhadap Ibu Suri Xian hanya ada kebingungan dan kebencian.” 　　“Apakah ada kesalahan? Ibuku baik hati, bahkan seekor semut pun tidak tega menginjak, bagaimana mungkin berbuat jahat?” 　　Pelayan istina dalam hati mengejek. 　　Baik hati? Berapa banyak orang yang bisa bertahan di istana belakang yang kejam ini dengan kebaikan hati? Kasihan para hamba ini yang mengira Ibu Suri Xian orang baik, ternyata tak ada pengecualian. 　　“Paduka Pangeran, ini pengakuan langsung dari Klan Ji.” 　　Pangeran Qi memandang pelayan istana dengan wajah terkejut, lama kemudian menutupi wajah sambil menangis: “Ibu, Ibu keliru... Ini salahku, seandainya aku lebih sering menjenguk Ibu...” 　　Pelayan istana menunggu sejenak lalu mengingatkan: “Paduka Pangeran, sudah waktunya pergi.” 　　Pangeran Qi menangis sambil memberi hormat dengan menyentuhkan kepala ke lantai beberapa kali kepada Ibu Suri Xian, baru kemudian bangkit dan pergi. 　　Keluar dari Istana Yuquan, Pangeran Qi tidak mengikuti pelayan istana ke luar, melainkan dengan mata merah bergegas memohon ampun pada Kaisar Jingming. 　　“Paduka Pangeran, lebih baik segera meninggalkan istana. Saat ini suasana hati Kaisar sedang tidak baik——” 　　Pangeran Qi bersikeras: “Ayah Kaisar berhak menghukumku. Asalkan bisa meluapkan kemarahan Ayah, apapun akan kuterima.” 　　Hari ini, Kaisar Jingming tidak memiliki mood untuk menangani urusan pemerintahan yang rumit, bersembunyi di aula belakang Yangxindian melamun. 　　Jixiang sepertinya merasakan majikannya sedang murung, menjauh sambil mengunyah ikan kering. 　　Kaisar Jingming melirik kucing putih yang semakin gemuk itu, hatinya semakin risau. 　　“Kucing ini sia-sia dipelihara, suasana hatinya begitu buruk, tapi tak tahu datang menghiburnya.” 　　Memandangi ikan kering kecil di mulut Jixiang, Kaisar Jingming muncul pertanyaan: Mungkin di hati Jixiang, sang majikan ini tak lebih penting dari ikan kering itu. 　　Pan Hai mendekat: “Kaisar, Pangeran Qi telah datang.” 　　Kaisar Jingming mengangkat pandangan, dingin: “Bukankah sudah kusuruh pulang?” 　　“Pangeran Qi telah mengunjungi Nyonya Ji, khusus datang mohon ampun, sekarang sedang berlutut di luar.” 　　“Biarkan dia terus berlutut.” 　　Pangeran Qi berlutut selama lebih dari satu shichen. 　　Pan Hai kembali menghampiri Kaisar Jingming: “Kaisar, Janda Permaisuri memanggil Yang Mulia.” 　　Kaisar Jingming mengangguk ringan, melangkah keluar istana, langsung melihat Pangeran Qi yang berlutut di luar. 　　Terik matahari menyengat, Pangeran Qi berlutut di bawah sengatan mentari, wajahnya memerah, baju tipisnya basah kuyup keringat. 　　Kaisar Jingming melirik Pangeran Qi, lalu berjalan menuju Istana Cining. 　　Pangeran Qi menggoyangkan tubuhnya, menundukkan mata menyembunyikan keputusasaan dan dendam pada Ibu Suri Xian. 　　Sesampai di Istana Cining, Kaisar Jingming melihat wajah Janda Permaisuri yang tampak lesu. 　　“Ibu, mengapa semalam tidak tidur nyenyak?” 　　Janda Permaisuri tersenyum getir: “Kemarin terjadi masalah besar, bagaimana hamba bisa tidur? Hari ini Permaisuri mengatakan yang membunuh Si Empat Belas adalah Nyonya Ji...” 　　Xie pada Qingyan atas Hadiah sepuluh ribu koin, terima kasih untuk vote dan hadiah semuanya. 799. BAB 796 Surat Rahasia 　　BAB 796 Surat Rahasia 　　“Di Istana Cining, aroma kayu cendana melayang-layang. Janda Permaisuri berkata dengan nada sedih: 'Hamba benar-benar tak menyangka Klan Ji ternyata orang seperti ini.'" 　　Kaisar Jingming ikut menghela napas: "Anak juga tak menyangka." 　　Membayangkan Ibu Suri Xian yang berwajah ramah tapi berhati racun, Ning Fei yang masih menyantap ayam bakar di tengah masalah besar, serta Permaisuri yang berani melepas lengan baju di hadapannya, Kaisar Jingming merasa wanita terlalu rumit. 　　Hanya ada yang tak terpikir olehnya, tak ada yang tak bisa mereka lakukan. 　　Memikirkan lagi begitu banyak selir di istana belakang, tiba-tiba Kaisar Jingming merasa tiga ribu perempuan di harem justru menjadi beban terbesar bagi seorang kaisar. 　　"'Hamba sudah bilang pada Permaisuri, jangan biarkan Fuqing datang lagi ke sini.'" 　　"'Ibu—'" Wajah Kaisar Jingming berubah pucat. 　　Janda Permaisuri tersenyum getir: "'Kali ini Ibu Suri Xian menyuruh Si Xiao Deng berpura-pura atas nama Istana Cining untuk menipu Fuqing sehingga bisa bertindak, bahkan membunuh Si Empat Belas. Masalah festival lentera juga terkait Istana Cining. Hamba sungguh tak bisa memaafkan diri sendiri...'" 　　Kaisar Jingming segera menghibur: "'Ibu, ini bukan salah Ibu. Fuqing melayani Ibu sudah menjadi kewajiban kebaktiannya sebagai cucu perempuan.'" 　　Janda Permaisuri menggeleng: "'Jangan Kaisar bujuk lagi. Berulang kali masalah Fuqing selalu terkait Istana Cining. Bagaimana pun hamba berusaha menghibur diri, tetap tak bisa menerimanya.'" 　　"'Kalau begitu, pilih saja gadis lain yang Ibu sukai untuk menemani.'" 　　Janda Permaisuri menghela napas dengan wajah muram: "'Tidak perlu. Biarlah hamba beribadah seperti dulu, tenang dan damai.'" 　　Kaisar Jingming sangat menyalahkan diri sendiri: "Semua ini karena ketidakmampuan anak. Sudah lama tidak bisa menemukan orang jahat yang membuat kekacauan di Istana, hingga Ibu tidak bisa tenang." 　　Janda Permaisuri memandang Kaisar Jingming yang mengerutkan kening: "Maksud Kaisar, mengira masih ada orang di balik Ibu Suri Xian?" 　　Kaisar Jingming tertegun, lalu menjelaskan dengan canggung: "Bukan itu maksud anak. Hanya merasa terlalu banyak kejadian tidak menyenangkan di Istana belakangan ini..." 　　Janda Permaisuri menghela napas halus, menunjuk ke luar jendela: "Kaisar lihat, langit Istana ini seberapa besar dibanding langit di luar? Banyak orang terkurung seumur hidup di tempat termulia ini, tidak bisa keluar, hasrat yang terpendam pun menumpuk. Masalah yang timbul karena keinginan yang tak tercapai wajar adanya. Menurut hamba, ini hal biasa. Istana memang akan memperbesar nafsu manusia tanpa batas. Sedangkan Kaisar adalah penguasa negara, harus memandang ke seluruh negeri, jangan terbelenggu urusan Istana ini." 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Perkataan Ibu sangat bijak." 　　Janda Permaisuri menarik kembali pandangannya, menatap wajah Kaisar Jingming: "Sudahkah Pangeran Qi mengetahui?" 　　Mendengar nama itu, wajah Kaisar Jingming berubah muram: "Sudah. Anak izinkan dia masuk Istana untuk menemui Nyonya Ji terakhir kalinya, sebagai pemenuhan ikatan ibu-anak mereka." 　　Janda Permaisuri mengangguk: "Kaisar pertimbangkan dengan matang. Nyonya Jiselir tinggi, kematian mendadaknya harus diberi penjelasan agar tidak timbul rumor. Lalu Pangeran Qi sudah pulang?" 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak: "Masih berlutut di Aula Yangxindian, katanya datang mohon ampun." 　　Janda Permaisuri meraba tasbihnya, menundukkan alis: "Kaisar belum menemuinya?" 　　Kaisar Jingming menyeringai dingin: "Bertemu hanya membuat hati tidak tenang." 　　Janda Permaisuri menggelengkan kepala, menasihati dengan penuh makna: "Kaisar, Ibu Suri Xian memang melakukan kesalahan besar, tapi Pangeran Qi toh tidak mengetahui hal itu, lagi pula dia adalah anak kandungmu. Tidak perlu melampiaskan amarah padanya." 　　Kaisar Jingming menggerakkan bibirnya, diam. 　　Sejujurnya, sejak dulu dia memang tidak punya perasaan apapun terhadap Lao Si. Tidak suka, juga tidak benci. Tapi sekarang tentu saja hanya ada kebencian. 　　Mungkin ini karena tidak cocok perangai? 　　Melihat Kaisar Jingming tidak menyerap nasihatnya, Janda Permaisuri menghela napas: "Paduka, terhadap para pangeran, Yang Mulia bukan hanya seorang ayah, tapi juga seorang penguasa. Jangan hanya mengandalkan suka atau tidak suka. Saat ini posisi calon penguasa masih kosong. Selama para pangeran tidak melakukan kesalahan besar, jangan terlalu keras menghukum mereka. Nanti malah tidak ada calon yang tersisa..." 　　Mendengar perkataan Janda Permaisuri, Kaisar Jingming merasa agak tertekan. 　　Putra Mahkota tewas, Pangeran Jin melakukan kesalahan dan dikirim ke makam kekaisaran, Pangeran Xiang dicabut gelarnya dan dikurung. Dulu mengira punya banyak putra sehingga tidak perlu khawatir tentang penerus. Sekarang dihitung-hitung, ternyata tinggal sedikit. 　　"Paduka, lebih banyak mengalah pada anak-anak ini. Kalau tidak, akhirnya malah membuat diri sendiri terjepit." Kata Janda Permaisuri dengan nada penuh makna. 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Anak mengerti maksud Ibu." 　　Janda Permaisuri tahu harus berhenti di titik yang tepat. Dia mengangkat cangkir tehnya: "Kaisar boleh kembali melanjutkan urusan." 　　Kaisar Jingming meninggalkan Istana Cining dan kembali ke Aula Yangxindian. Dilihatnya Pangeran Qi masih berlutut di sana. Sepatu bot bersulam naga emasnya berhenti di depan pangeran yang terlihat hampir roboh itu. 　　Pangeran Qi menengadah, wajahnya penuh kepedihan: "Ayah Kaisar, anak datang untuk mohon ampun." 　　“Dia mulai membungkuk-bungkuk dengan keningnya terus-menerus menghantam batu giok, segera meninggalkan bekas darah.” 　　Kaisar Jingming berdiri sejenak lalu berkata datar: "Pulanglah. Urusan Keluarga Ji tidak ada hubungannya denganmu." 　　“Utang ibu harus dibayar anak. Jika Ibu Selir bersalah, maka anak lelakinya pun bersalah. Ayah Kaisar boleh melampiaskan amarah pada hamba. Jika Tuanku menahan amarah sampai sakit, dosa hamba akan semakin besar.” 　　“Sudah kukatakan ini tak ada hubungannya denganmu. Pulanglah.” 　　“Baik.” Pangeran Qi membungkuk beberapa kali lagi sebelum pergi tersandung-sandung. 　　Kembali ke Kediaman Pangeran Qi yang sunyi, dia langsung menyepi di ruang belajar sambil memukul meja dan menangis tersedu-sedu. 　　Ibu Selir telah tiada, malah membuat Ayah Kaisar semakin membencinya. Jalan yang telah dirindukannya bertahun-tahun kini terputus sama sekali. 　　Meja bergetar, sebuah gulungan buku jatuh dengan suara gedebuk. 　　Suara itu menyadarkan Pangeran Qi dari luapan emosi. Matanya terpaku kosong pada gulungan buku itu. 　　Setelah waktu yang tak terkira, tiba-tiba dia melompat bangkit dan buru-buru membuka kompartemen rahasia di balik rak buku. 　　Isi kompartemen itu sedikit, terutama surat-surat penting yang sangat krusial. 　　Dengan gemetar, Pangeran Qi membuka surat-surat itu dan mengeluarkan sepucuk surat dari lapisan paling bawah. 　　Amplop itu sama sekali tak bertulisan. 　　Jari-jarinya mengusap pola hiasan elegan di amplop sambil wajahnya berganti ekspresi. Akhirnya dengan gigi terkatup dia membuka segel lilinnya. 　　Kertas surat yang tebal berlembar-lembar itu dibaca sekilas oleh Pangeran Qi, lalu ia mengulanginya kata demi kata dari awal hingga akhir, bersandar pada rak buku sambil bergumam, "Begitu rupanya..." 　　Ibu Selir ternyata baru berani menyakiti Putri Ketigabelas setelah dihasut oleh Janda Permaisuri. 　　Pangeran Qi teringat kunjungan salut yang diperolehnya setelah mendengar Ibu Selir muntah darah dan memohon dengan sangat kepada Ayah Kaisar. 　　Saat itu ia sudah diperingatkan Ayah Kaisar untuk tidak memasuki istana tanpa panggilan. Tindakan ini selain mengkhawatirkan kesehatan Ibu Selir, lebih penting untuk menunjukkan bakti kepada Ayah Kaisar. 　　Akhirnya Ayah Kaisar mengizinkan. 　　Sebelum pergi, Ibu Selir menyerahkan surat rahasia ini sambil berkata, "Zhang'er, jika suatu hari ibu tiada, dan kau dalam kesulitan, barulah buka surat ini." 　　Ia membawa surat itu pulang, menahan rasa ingin tahu dan menyimpannya di kompartemen rahasia. Beberapa malam ia merenungi isi surat tersebut. 　　Tak disangka belum lama berselang, Ibu Selir sudah mengalami musibah. 　　Bayangan wajah Janda Permaisuri yang berwajah ramah muncul di benak Pangeran Qi, membuatnya tak percaya. 　　Janda Permaisuri ternyata menyembunyikan kedalaman seperti ini! 　　Dengan surat Ibu Selir ini, setidaknya ia tak akan dibodohi. Jika kelak Janda Permaisuri tak mau membantunya, ia memiliki Tongkat untuknya. 　　Sekalipun Ayah Kaisar sangat berbakti kepada Janda Permaisuri, surat ini cukup membuatnya curiga - dan ini pasti tak diharapkan Janda Permaisuri. 　　Tentu saja, dia tidak akan memberitahu Janda Permaisuri tentang surat ini kecuali dalam keadaan darurat. Ini merupakan langkah cadangan yang ditinggalkan ibunya, agar tidak dimanfaatkan Janda Permaisuri dan jika Janda Permaisuri melanggar janji setelah kematiannya, dia tidak akan luput dari konsekuensi. 　　Apakah Janda Permaisuri... benar-benar bisa membantunya merebut posisi itu? 　　Hati Pangeran Qi yang sebelumnya putus asa mulai berdebar-debar lagi saat meninggalkan Istana Kekaisaran. 800. BAB 797 Api Unggun 　　BAB 797 Api Unggun 　　Setelah An Guogong dipanggil, kabar tentang Ibu Suri Xian dengan cepat menyebar ke luar istana. 　　Saat itu, Pangeran Shu sedang asyik mengintip dua jangkrik yang bertarung di dalam guci. 　　Trauma dengan catatan perang garang Yu Jin, Pangeran Shu yang memutuskan mundur sementara dari persaingan calon penguasa membeli sepasang jangkrik mahal untuk melatih kesabaran. 　　Baru-baru ini, dia mengadu jangkrik juaranya dengan jangkrik milik Pangeran Kang dan memenangkan ribuan tael, setidaknya membantu penghematan rumah keluarga. 　　Mendengar kabar kematian Ibu Suri Xian, tangan Pangeran Shu gemetar hampir menjatuhkan guci. Dia memeluk guci itu dengan jantung berdebar kencang. 　　Setelah tenang, Pangeran Shu mengusap keringat dingin di dahinya dan semakin yakin: JAUHI LAO QI SI TERKUTUK ITU! 　　Lao Qi sudah menjatuhkan Lao Ba, menghancurkan Lao Si, sekarang bahkan menghabisi ibu kandungnya sendiri... 　　Apa? Kali ini tidak ada hubungannya dengan Lao Qi? 　　Pangeran Shu menyeringai dingin. 　　Bagaimana mungkin tidak ada hubungannya? Siapa pun yang bermusuhan dengan Lao Qi pasti celaka atau tewas. Kalau bilang ini semua kebetulan, Siapa yang percaya! 　　Tiba-tiba seekor jangkrik bersuara nyaring, Pangeran Shu yang sudah berpengalaman tahu ini pertanda salah satunya menang. 　　Merendahkan kepala melihat jangkrik besar yang sedang unjuk gigi di dalam guci, Pangeran Shu menghela nafas lega perlahan. 　　Sudahlah, sebenarnya merawat jangkrik untuk menang lebih banyak emas dan perak juga bagus, jalani saja dulu, nanti saat Lao Qi celaka baru dia akan naik. 　　Kematian Ibu Suri Xian mengguncang para pejabat, para menteri mulai merenungkan: Para pangeran hampir habis dihabisi Kaisar, sementara posisi calon penguasa masih kosong, ini tidak bisa terus begini, haruskah mengusulkan penetapan Putra Mahkota? 　　Para bawahan menghitung, Putra Mahkota yang Dipecat sudah dihukum mati hampir setahun, sekarang mungkin Kaisar sudah cukup tenang untuk membahas penetapan Putra Mahkota, setidaknya tidak langsung dilempar pemberat kertas. 　　Dalam suasana gelisah, lebih dari sebulan setelah insiden Ibu Suri Xian, akhirnya seorang menteri mengusulkan penetapan Putra Mahkota di sidang pagi. 　　Setelah adu mulut antara penguasa dan bawahan yang saling melotot, akhirnya bubar tanpa kesepakatan. 　　Kaisar Jingming yang kembali ke Aula Yangxindian marah berjalan bolak-balik di ruangan. 　　Belum lama ini, mereka sudah memaksanya menunjuk Putra Mahkota lagi. 　　Para pejabat dan istana belakang, kenapa semuanya menyusahkan hatinya? 　　Kaisar Jingming merasakan kesedihan yang tak dipahami, berjalan dengan tangan terkepal di belakang tanpa sadar sampai di luar Istana Kuning. 　　Melirik pintu gerbang Istana Kuning, Kaisar Jingming terkejut. 　　Kenapa dia sampai di sini? 　　“Sejak hari itu tidak akur dengan Permaisuri—uh, belakangan ini memang sering tidak akur.” 　　Pokoknya sejak hari itu Permaisuri pergi dengan marah, Kaisar sama sekali tidak menginjakkan kaki lagi ke Istana Kuning, anehnya Permaisuri juga tidak mengirim orang untuk menjemput. 　　Memikirkan ini, Kaisar Jingming langsung naik darah. 　　Tidak ada yang membantu membagi beban sudah biasa, malah Permaisuri menambah masalah, hidup ini benar-benar tak tertahankan! 　　Kaisar Jingming berjalan mendekat dengan wajah muram. 　　Dayang istana yang melihat kedatangan Kaisar langsung hendak memberitahu, tapi dihentikan oleh Kaisar. 　　Jangan main-main, dia sedang gemetaran dengan Permaisuri. Kalau sampai diketahui semua orang karena diteriaki dayang, malu dong? 　　Permaisuri saat ini sedang menyantap anggur. 　　Anggur sebesar batu akik, ungu yang menggugah selera, setelah didinginkan dengan air sumur terasa sejuk dan manis, tak terkatakan nikmatnya saat masuk ke mulut. 　　Begitu masuk, Kaisar Jingming melihat seorang dayang sedang mengupas kulit anggur dengan lihai, piring kristal di sampingnya sudah penuh butiran anggur hijau, sementara dayang lain menusukkan biji anggur dengan tusuk gigi perak ke mulut Permaisuri. 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi lebih hijau dari biji anggur yang sudah dikupas. 　　Bukankah seharusnya Permaisuri yang diacuhkan itu gelisah, takut sampai tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan? Ini keadaan apa? 　　“Ahem!” Kaisar Jingming sengaja batuk keras. 　　Permaisuri menoleh dan buru-buru menyeka sudut bibirnya dengan saputangan, lalu bangkit menyambut: “Kaisar datang, kenapa tidak disuruh dayang untuk memberitahu?” 　　Ekspresi Kaisar Jingming berubah masam. 　　Laporan ini membiarkannya melihat Permaisuri makan anggur dengan begitu bahagia? 　　Benar-benar membuatnya kesal! 　　Melewati sisi Permaisuri, Kaisar Jingming duduk di kursi, mengambil tusuk gigi dari piring kristal dan menusuk sebutir anggur ke mulutnya. 　　Permaisuri memberi isyarat agar para pelayan mundur, lalu duduk berhadapan dengan Kaisar Jingming dan bertanya, "Manis bukan?" 　　Kaisar Jingming tak bisa menahan anggukan. 　　Sungguh manis, terutama saat sedang gelisah. 　　Permaisuri tersenyum tipis: "Kalau begitu Yang Mulia silakan makan lebih banyak." 　　Tiba-tiba Kaisar Jingming tersadar: Apakah dia datang untuk makan anggur? Bukankah dia datang untuk menuntut penjelasan Permaisuri! 　　Bukan menuntut tepatnya, tapi selama dia tidak nyaman, Permaisuri tidak boleh bersantai seperti ini. 　　Pasangan suami istri biasa berbagi suka duka, hanya wanita ini yang tak tahu adat. 　　Tanpa sadar mengambil anggur lagi, Kaisar Jingming berkata: "Hari ini para tetua... batuk-batuk, para menteri kembali membahas masalah penunjukan putra mahkota." 　　Permaisuri membalas datar sambil menunduk makan anggur. 　　Melihat Permaisuri makan anggur kiri-kanan, Kaisar Jingming mengatupkan gigi: "Bagaimana pendapat Permaisuri?" 　　Tangan Permaisuri terhenti, menatap Kaisar Jingming: "Istana belakang tidak boleh campur tangan dalam urusan politik." 　　Kaisar Jingming tersedak: "Saya hanya menanyakan pendapat Permaisuri, bukan menyuruh campur tangan." 　　Permaisuri mengusap tangan dengan saputangan, lalu berkata dengan tenang: “Kaisar bertanya pendapat saya, maka saya memberanikan diri untuk menyampaikan, harap Kaisar tidak tersinggung.” 　　“Silakan kau bicara.” 　　“Para pangeran sudah dewasa, kekosongan posisi calon penguasa bagai api unggun malam yang menarik ngengang-ngung untuk terbang menghampiri, mustahil dihalangi.” 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak, lalu bertanya: “Maksud Permaisuri, juga setuju untuk segera menetapkan Putra Mahkota?” 　　Permaisuri diam, melanjutkan makan anggur. 　　Tentu saja dia setuju penunjukan Putra Mahkota, tak hanya setuju, tapi juga ingin anak angkatnya Yu Jin yang menduduki posisi itu. 　　Tapi tak pantas baginya untuk terang-terangan mengatakannya. 　　Kaisar Jingming bangkit, bergumam: “Aku perlu merenungkan ini baik-baik.” 　　Dia berjalan keluar, sambil mengambil butir anggur terakhir dan melemparkannya ke mulut. 　　Permaisuri tertegun menatap piring kristal yang sudah kosong, akhirnya tersenyum tipis. 　　Kembali ke Aula Yangxindian, Kaisar Jingming mengurung diri di rumah, tenggelam dalam perenungan. 　　Di masa muda, ibunya pernah berkata: “Jika kau bukan orang yang jenius sejak lahir, ketika semua orang berselisih pendapat denganmu, maka kau yang salah.” 　　Apakah dia salah karena tidak terburu-buru menunjuk Putra Mahkota? 　　Kesehatannya masih baik, masih bisa bertahan di posisi ini selama sepuluh atau delapan tahun lagi. Jika menunjuk Putra Mahkota sekarang, siapa tahu perubahan apa yang akan terjadi selama masa begitu panjang? 　　Sepanjang sejarah, mereka yang terlalu dulu menunjuk Putra Mahkota hampir tak ada yang berakhir baik. Putra sahnya Yu Lang bukankah juga demikian? 　　Namun para menteri mungkin khawatir melihat usianya yang sudah lanjut. Harus diakui, dua tahun terakhir ini Kaisar Jingming merasa kewalahan. Mungkin sudah saatnya menunjuk calon penguasa untuk membantunya memikul beban. 　　Membantu memikul beban? 　　Mata Kaisar Jingming berbinar. 　　Benar! Permaisuri tidak bisa membantu dalam urusan pemerintahan, tapi Putra Mahkota bisa! 　　Tidak mungkin hanya dirinya sendiri yang menderita setiap hari. Para pejabat bebas mengumpat, para selir di istana belakang makan ayam panggang atau anggur semaunya. Semua hidup lebih nyaman daripada sang Kaisar. 　　Merasa tidak adil, Kaisar Jingming mulai mempertimbangkan anak-anaknya. 801.BAB 798 Penetapan Calon Penerus 　　BAB 798 Penetapan Calon Penerus 　　Qin Wang adalah yang pertama tersingkir. 　　Sebagai anak angkat, meski berhati lapang, Kaisar tidak mungkin menyerahkan takhta padanya selama masih ada putra kandung. 　　Lao Si - Begitu teringat Pangeran Qi, alis Kaisar Jingming langsung berkerut. 　　Menyakiti istri sah terlebih dahulu, kemudian menjebak Janda Permaisuri. Apa orang seperti ini bisa memperlakukan saudara-saudaranya dengan baik jika naik takhta? Kaisar meragukannya. 　　Lao Wu terlalu bodoh. Jika jadi kaisar... mungkin takhta akan dicuri orang tapi malah membantu menghitung uang. Masih berani menghadap leluhur? 　　Putra Keenam cukup baik. Zhuangfei juga tidak merepotkan. Tapi setelah dua tahun menikah, istri Putra Keenam belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Ini menjadi kekhawatiran tersembunyi. 　　Mengenai Lao Qi—Kaisar Jingming secara refleks ingin mengabaikan Yu Jin, namun baru menyadari belakangan bahwa kini Lao Qi bukan lagi anak malang yang diusir dari istana sejak kecil, melainkan putra Permaisuri. 　　Kalau dipikir-pikir, selain sedikit kurang dalam hal studi, Lao Qi sebenarnya sangat mumpuni di bidang lain. Kini bahkan kesenjangan statusnya sudah setara—bahkan lebih tinggi. 　　Putra Keenam dan Lao Qi... 　　Kaisar Jingming ragu sejenak. 　　Setelah lama menunggu, Pan Hai tak tega mendekat: "Paduka, sudilah menikmati secangkir teh." 　　Kaisar menerima cangkir teh itu dan menyesap dua kali, melayangkan pandangan kesal ke Pan Hai. 　　Pan Hai ini semakin tidak tahu diri, hanya bisa menyajikan teh. Tak bisakah dia meniru dayang Permaisuri yang menyajikan anggur beku yang sudah dikupas? 　　Pan Hai bingung dan sedih dibuatnya. 　　Dia hanya menyajikan teh, tak berbuat salah apapun. Mengapa Kaisar murka? 　　Kaisar meletakkan cangkir teh di meja kayu mahoni: "Suruh Han Ran menyelidiki kegiatan terakhir Pangeran Shu dan Pangeran Yan." 　　"Daulat." Pan Hai mundur. 　　Tak lama kemudian, Han Ran melapor: "Paduka, Pangeran Shu baru-baru ini sering adu jangkrik dengan Pangeran Kang. Pangeran Yan jarang keluar, lebih banyak membaca di ruang belajar." 　　Kaisar mengira salah dengar: "Ulangi! Pangeran Shu sedang melakukan apa?" 　　Han Ran menunduk: "Beradu jangkrik dengan Pangeran Kang." 　　Kaisar Jingming menggenggam tangannya, hampir tak bisa bernapas. 　　Tidak seharusnya begitu. Dalam ingatannya, Putra Keenam selalu merupakan seorang remaja berbakat dan rajin belajar. Kapan mulai berkembang jadi adu jangkrik? 　　Menahan amarah, Kaisar Jingming bertanya lagi: "Apakah Pangeran Yan belakangan ini belajar?" 　　"Benar." Apa pun yang ditanyakan Kaisar Jingming, Han Ran jawab seperlunya tanpa menambah satu kata pun. 　　Saat Kaisar menanyakan kabar para pangeran seperti ini, situasinya tidak biasa. Tentu lebih baik sedikit bicara. 　　Kaisar Jingming merenung lama, lalu melambaikan tangan: "Aku sudah tahu. Kau boleh pergi." 　　Setelah Han Ran pergi, Kaisar Jingming meneguk beberapa kali teh, berpikir dalam hati: Tampaknya posisi calon penguasa harus segera ditetapkan. Jika tidak, para brengsek ini terus berulah sampai akhirnya tak ada yang layak dipilih, terpaksa mempertimbangkan anak angkat. 　　"Lao Qi di masa mudanya sempat menyia-nyiakan studi karena keterbatasan kondisi, tapi dia tahu ketekunan bisa menutupi kekurangan." Kaisar Jingming bergumam. 　　Pan Hai menyambung: "Yang Mulia lupa, Pangeran Yan memiliki ingatan luar biasa dengan kemampuan mengingat sekali lihat." 　　Kaisar Jingming tertegun, lalu teringat. 　　Benar! Lao Qi punya kemampuan mengingat sekali lihat. Dulu sempat terpikir, seandainya Lao Qi dididik dengan baik sejak kecil, mungkin anak keluarga Lao Zhen pun takkan bisa menandinginya. 　　Kalau begitu, selama Lao Qi rajin belajar, perbedaan akibat kurangnya tahun studi itu pasti bisa cepat dikejar, bukan? 　　Putra Sulung adalah anak angkat, Putra Keempat berkarakter buruk, Putra Kelima bodoh, Putra Keenam kecanduan adu jangkrik. Setelah dihitung-hitung, hanya Lao Qi yang masih lumayan. 　　Rajin belajar, ahli bela diri, pandai memecahkan kasus, anak angkat Permaisuri… Kaisar Jingming tiba-tiba merasa tidak memilih putra ini adalah hal yang tak masuk akal. 　　Kaisar Jingming berwatak lembut, sering dianggap ragu-ragu dalam keseharian, namun begitu mengambil keputusan dalam hal tertentu, tindakannya sangat cepat dan tegas. 　　Ia menepuk meja dengan ekspresi tegas: "Sudah diputuskan!" 　　Kediaman Pangeran Yan, Istana Yuhe. 　　Yu Jin memegang buku sambil tersenyum bertanya pada Jiang Si: "A Si, coba tebak apa yang sedang merepotkan Ayah Kaisar belakangan ini?" 　　Mata Jiang Si berkilat: "Tidak sulit ditebak, pasti urusan penetapan Putra Mahkota." 　　Yu Jin meletakkan buku dan menarik Jiang Si duduk di sampingnya: "Kalau begitu perhatikan baik-baik, masih ada apa yang tidak memuaskan dari diriku bagi Ayah Kaisar?" 　　Mata indah Jiang Si mengamati Yu Jin dari atas ke bawah, jari rampingnya menunjuk buku yang baru saja dia letakkan: "Mungkin beliau kurang puas dengan sedikitnya 'tael tinta' dalam perutmu." 　　Yu Jin mencemooh. 　　Jiang Si mendorongnya: "Kenapa, tidak rela menerima?" 　　Yu Jin meliriknya dengan kesal: "Rela, makanya akhir-akhir ini aku rajin belajar, kabar ini sampai ke telinga Ayah Kaisar bisa menutupi kekuranganku." 　　Omong kosong 'rajin menutupi kekurangan'! Apa dia perlu menutupi kekurangan? Cuma pura-pura rajin agar Kaisar cepat menentukan Putra Mahkota, biar semua pihak tenang. 　　Masak sih Qin Wang dan Pangeran Lu tidak dihitung, hanya tersisa Putra Keenam yang suka adu jangkrik - mana mungkin bisa menyaingi dirinya? 　　“Jika Ayah Kaisar memang berkenan pada Pangeran Shu?” Jiang Si bertanya sambil tersenyum. 　　Yu Jin mengangkat alis menatapnya: "Buta?" 　　Jiang Si terkikih: "Tidak menutup kemungkinan itu." 　　Yu Jin menyeringai dingin: "Awalnya Putra Keenam sudah mulai berperilaku baik, aku tidak berniat menghabisi. Tapi jika pandangan Ayah Kaisar kabur sampai salah pilih, terpaksa aku harus berusaha lebih keras." 　　Jiang Si menggeleng: "Pangeran Shu sebenarnya orang cerdik, belum tentu bisa menemukan Tongkat-nya." 　　"Kecerdikan punya imbalan memadai. Orang pintar akan banyak pertimbangan, semakin banyak pertimbangan semakin pengecut." Yu Jin berkata dengan santai. 　　Bila tak ada bukti, dia akan menciptakannya. Sejak memilih jalan ini, dia tak boleh kalah. 　　Melihat Istri-nya yang tersenyum bak bunga, Yu Jin berpikir dalam hati: Dia tak boleh gagal. 　　"Sudah, serahkan urusan ini padaku. Sepertinya sebentar lagi ada hasil." Yu Jin memeluk Jiang Si, pandangannya tertuju ke jendela. 　　Di luar jendela hamparan bunga berwarna-warni, A Huan terhuyung-huyung ditingkahi dayang mengejar seekor Anjing Besar. 　　A Huan kecil baru beberapa langkah terjatuh menimpa Anjing Besar, terkikih-kikih. 　　Er Niu mengibaskan ekor sambil mengusir nyamuk untuk A Huan, wajahnya penuh keder. 　　Yu Jin tak bisa menahan senyum kecut, berpikir dalam hati: Karena Er Niu sudah mahir mengasuh anak, mungkin saatnya memberi A Huan adik lelaki atau perempuan. 　　Hmm, lebih baik lahirkan anak lelaki. Kalau punya Putri lagi, posisiku akan semakin terdesak. Lebih baik lahirkan anak lelaki sebagai bungsu. 　　Er Niu waspada melihat ke arah jendela. 　　Apakah majikan sedang menyusun rencana jahat lagi? 　　Hmph, kalau begini terus, aku mogok kerja! 　　A Huan berdiri, lalu berjalan tertatih-tatih ke depan. 　　Er Niu langsung lupa segalanya, buru-buru mengejar dan melindunginya, sambil mendorong dayang ke samping dengan wajah jijik. 　　Hasilnya datang lebih cepat dari perkiraan Yu Jin. 　　Keesokan harinya saat sidang pagi, Kaisar Jingming mengumumkan kabar menggemparkan: Demi kestabilan negara Dinasti Zhou, Putra Ketujuh Kaisar Jin ditetapkan sebagai Putra Mahkota. 　　Begitu dekrit kerajaan dibacakan, para pejabat militer-sipil seperti kena santet, membeku tak bereaksi. 　　Apa isi dekrit tadi? Pasti mereka salah dengar? 　　Baru saja mendesak Kaisar untuk segera menetapkan calon penguasa, mengira akan ada perdebatan sengit minimal beberapa bulan sampai bertahun-tahun, kok langsung turun dekrit penunjukan Putra Mahkota? 802.BAB 799 Bertahan 　　BAB 799 Bertahan 　　Ekspresi Kaisar Jingming berwibawa, memandangi para menteri. 　　Semua membeku seperti patung kayu, apakah mereka tidak puas dengan pilihanku pada Lao Qi? 　　"Batuk-batuk." Kaisar Jingming batuk memberi kode pada menteri yang tak terkendali. 　　Para menteri seperti terbangun dari mimpi, plok-plok berjatuhan berlutut. 　　Calon penguasa negara, pondasi kerajaan, diputuskan Kaisar begitu saja setelah tidur semalam? 　　Ini... bukankah terlalu semena-mena, sembrono, dan tidak bertanggung jawab? 　　Menteri yang berlutut menatap bayangan wajahnya di ubin emas, wajah memerah karena menahan emosi. 　　Melompat atau tidak melompat untuk menasihati, ini masalah besar. 　　Dekrit kerajaan telah turun, melompat menentang berarti melampaui batas sebagai hamba. 　　Seorang pejabat seharusnya tidak ikut campur dalam urusan penunjukan putra mahkota oleh Kaisar, mudah sekali dijatuhi pasal "hati berkhianat". 　　Tapi jika tidak melompat... Bukankah makan gaji kerajaan berarti harus meringankan beban Kaisar? Jika Kaisar bertindak sembrono, apakah diam saja tidak menjadikan mereka penjilat? 　　Ada masalah lebih nyata: jika mereka menentang sekarang, berarti telah menghina Pangeran Yan sampai mati. 　　Jika Kaisar bisa berubah pikiran masih baik, tapi jika tetap bersikeras, mustahil Putra Mahkota Yan tidak menyimpan dendam. Saat naik tahta nanti, tunggulah perhitungan di akhir musim gugur. 　　Para menteri dilanda gejolak hati, ragu-ragu tak bisa memutuskan. 　　Melompat, tidak melompat, melompat, tidak melompat... Andai ada bunga krisan di tangan, mungkin banyak yang mulai memetik kelopaknya untuk memutuskan. 　　Lebih baik - banyak menteri mengintip kiri-kanan dengan sudut mata, telah mengambil keputusan. 　　Lebih baik tunggu dulu. Jika ada yang berani melompat, baru ikut. Burung yang menonjol pasti kena tembak, dendam Pangeran Yan pun hanya ke si pembuka jalan. 　　Seketika, aula dipenuhi kerumunan orang berlutut, tapi tenggelam dalam keheningan yang mengerikan. 　　Kaisar Jingming kebingungan. 　　Apa maksudnya berlutut diam seperti ini? 　　Inikah bentuk protes, atau justru ucapan selamat? 　　Kalau begitu, anggap saja mereka sedang memberikan penghormatan. 　　Kaisar Jingming berhenti batuk-batuk, dengan cepat melirik Pan Hai. 　　Pan Hai membersihkan tenggorokannya dan berteriak: "Sidang ditutup——" 　　Kaisar Jingming membusungkan dada dan menegakkan kepala, melangkah cepat seperti angin pergi. 　　Para menteri saling pandang, seseorang berbisik: "Apa...masa membiarkan Kaisar pergi begitu saja?" 　　Para menteri diam membisu. 　　Beberapa saat kemudian ada yang bertanya: "Apakah Putra Mahkota sudah ditetapkan?" 　　Banyak menteri menutupi wajah sambil menangis. 　　Kelalaian besar! Hanya menunggu orang lain yang maju, ternyata semua adalah kura-kura pengecut, sampai-sampai Kaisar bisa lolos begitu saja. 　　"Menteri Dou, kenapa menangis?" tanya lawan politiknya dengan nada jahat. 　　Menteri Dou mengusap hidungnya, berkata tulus: "Dinasti Zhou akhirnya memiliki calon penguasa, ini kebahagiaan." 　　Hmph, siapa yang tidak bisa berpura-pura? Mimpi saja kalau mau mencari kesalahannya! 　　Banyak menteri yang marah sambil menangis berkata: "Ini air mata kebahagiaan..." 　　Beberapa menteri yang lihai sudah keluar dari aula utama, pergi ke Kediaman Pangeran Yan untuk memberi ucapan selamat. 　　Setelah Biro Astronomi Kekaisaran memilih hari baik untuk upacara penobatan Putra Mahkota, Pangeran Yan akan pindah ke Istana Timur. Memberi ucapan selamat nanti tidak akan semudah ini. 　　Banyak menteri yang menyadari hal ini, berbondong-bondong menuju Kediaman Pangeran Yan. 　　Sejak insiden Pangeran Xiang, Kaisar Jingming jarang memanggil para pangeran ke sidang pagi. Hingga hari ini, para pangeran masih belum mengetahui situasi sebenarnya. 　　Banyak orang berbaju qilin tiba-tiba datang ke Perkotaan Zhuque. Pelayan cerdik di berbagai rumah bangsawan buru-buru melapor ke tuannya masing-masing. 　　Sekretaris Kediaman Pangeran Yan belakangan ini tampak gelisah. 　　"Pangeran Jin bermasalah April tahun lalu, Putra Mahkota yang Dipecat bermasalah September tahun lalu, Pangeran Xiang bermasalah akhir musim semi tahun ini, disusul Pangeran Qi... Hiss, kalau begini terus, apakah giliran Pangeran kita akan tiba?" 　　Mengingat beberapa Sekretaris istana yang berseteru dengannya bertahun-tahun ikut celaka bersama majikan mereka, dia tak ingin mengikuti jejak itu. Paling tidak jangan sampai kalah duluan dari si bajingan tua bermarga Dou di Istana Pangeran Shu. 　　Saat sedang resah, seorang pelayan berlari terengah-engah melapor: "Sekretaris, banyak Paduka datang!" 　　Sekretaris istana senior tertegun: "Banyak Paduka?" 　　"Benar, para Paduka sepertinya baru turun dari sidang istana, masih mengenakan jubah resmi. Semua menuju Kediaman Pangeran Yan kita." 　　Suara Sekretaris istana senior bergetar: "Cepat periksa!" 　　Diam lebih baik daripada bergerak. Saat ini yang paling dia takuti adalah munculnya masalah. 　　Sekretaris istana senior menyuruh orang menghadap Yu Jin sambil bergegas ke pintu gerbang. 　　Kilau jubah qilin di luar pintu membuat matanya silau. 　　"Apa maksud kedatangan para Paduka--" Sekretaris istana senior melipat tangan sambil deg-degan. 　　Biasanya tamu yang hendak menemui Pangeran pasti mengirim undangan terlebih dahulu. Ada apa ini sebenarnya? 　　Para menteri membalas hormat: "Kami datang untuk memberi selamat pada Putra Mahkota." 　　"Putra Mahkota?" Sekretaris istana senior mengangkat kepala dengan wajah bingung. 　　Seorang pejabat menegur: "Sekretaris tidak tahu? Hari ini di sidang istana sudah dibacakan dekrit kerajaan, Pangeran kita ditetapkan sebagai Putra Mahkota--" 　　"Belum selesai bicara, Sekretaris istana senior langsung terjatuh. Beruntung Pelayan di belakangnya sigap menopangnya sehingga tidak sampai terluka parah." 　　Para menteri saling bertukar kode mata. 　　Melihat reaksi Sekretaris Kediaman Pangeran Yan ini, jelas Pangeran Yan tidak mendapat kabar sebelumnya. 　　Tapi memang, penetapan Putra Mahkota adalah masalah besar. Kaisar bahkan merahasiakannya dari mereka, mana mungkin memberi bocoran pada para pangeran. 　　"Apa Sekretaris istana tidak apa-apa?" 　　Sekretaris istana senior itu menatap kosong ke langit. 　　Mentari keemasan menggantung di ufuk timur. 　　Matahari tidak terbit dari barat, tapi Sang Pangeran malah jadi Putra Mahkota... 　　Entah berapa lama, Sekretaris istana senior tiba-tiba mendorong Pelayan dan berlari menghilang, meninggalkan para menteri saling pandang bingung. 　　Seseorang berbisik dalam kerumunan: "Sekretaris Kediaman Pangeran Yan kan dikenal sebagai orang yang tenang, ini--" 　　Mengingat kebiasaan Pangeran Yan yang suka main pukul, sepertinya hanya ada satu penjelasan: Balok atas tidak lurus, balok bawah miring. 　　Mengingat "balok atas" itu kini jadi Putra Mahkota mereka, para menteri tiba-tiba merasa masa depan suram. 　　Yu Jin sedang berpura-pura membaca di ruang belajar halaman depan ketika pelayan pria melapor kedatangan banyak menteri. Ia segera meletakkan buku dan bergegas keluar, langsung disambut Sekretaris istana senior yang berlari terhuyung. 　　"Paduka--" 　　Yu Jin menghindar dengan wajah jijik: "Sekretaris istana harus lebih tenang." 　　Berlari memeluk dada tuan muda seperti ini? Tidak pantas untuk orang sepuh. 　　Sekretaris istana senior yang sudah uzur ini terengah-engah: "P-Paduka, Paduka diangkat jadi Putra Mahkota!" 　　"Hmm, jadi orang-orang itu datang untuk memberi ucapan selamat padaku?" Meski agak terkejut dengan kecepatan Kaisar Jingming, Yu Jin yang sudah mempersiapkan diri sejak lama tetap menunjukkan sikap tenang. 　　Apa yang aneh dari pengangkatanku sebagai Putra Mahkota? Kalau bukan aku, masih ada orang lain? 　　Sekretaris istana senior mengira Yu Jin tidak mendengar, mengulangi: "Pangeran, Yang Mulia diangkat sebagai Putra Mahkota!" 　　Yu Jin meliriknya, berkata datar: "Sekretaris mewakili muka saya. Bertindaklah lebih dewasa, jangan sampai jadi bahan tertawaan." Setelah itu, ia melangkah melewati sang sekretaris. 　　Sekretaris istana senior terdiam di tempat cukup lama. 　　Kapan pernah Pangeran perlu mengingatkannya untuk bersikap tenang? Apakah dia dianggap tidak stabil? 　　Tapi Pangeran sekarang Putra Mahkota! 　　Merasa semangatnya mulai memuncak, sang sekretaris menarik napas dalam: "Tenang, tenang." 　　Dayang Ji yang datang mendengar keributan bertanya bingung: "Apa yang Sekretaris gumamkan?" 　　Sekretaris istana senior melompat: "Pangeran diangkat sebagai Putra Mahkota!" 　　Terima kasih untuk An_Nanxiu atas hadiah sepuluh ribu koin, juga untuk teman-teman pembaca yang memberi hadiah dan vote. Akhirnya Xiao Qi menjadi Putra Mahkota, jangan lupa vote untuk merayakannya. 803.BAB 800 Keterkejutan 　　BAB 800 Keterkejutan 　　Dengan sikap tenang, Yu Jin mengusir para menteri yang datang memberi selamat. Baru kemudian menerima dekrit kerajaan dari pelayan istana yang terjepit di kerumunan, membuktikan pada sekretaris senior bahwa ini bukan mimpi. 　　Menutup pintu istana pangeran, Sekretaris istana senior menggenggam lengan baju Yu Jin sambil menangis tersedu-sedu: "Hamba tua mengucapkan selamat kepada Pangeran, eh... maksud hamba, Paduka Putra Mahkota..." 　　Yu Jin merasa lelah mental, dengan pasrah berkata: "Bagaimana jika Sekretaris kembali ke kamar cuci muka?" 　　Cuci muka untuk menenangkan diri, biar tidak ada orang tua menangis-nangis di depannya yang bikin merinding. 　　Sekretaris istana senior menggenggam lengan baju Yu Jin semakin kencang. 　　Ia tak mau kembali ke kamar cuci muka, belum puas meluapkan emosi. 　　Pangeran sekarang jadi Putra Mahkota, berani lagi si Dou ini bersuara di depannya? 　　Ini benar-benar membangkitkan semangat! 　　Sekretaris istana senior merasa hidupnya sudah lengkap, mana mungkin mau kembali cuci muka. 　　Yu Jin menarik lengan bajunya dengan keras, berkata datar: "Kalau begitu saya kembali ke kamar, memberitahu permaisuri kabar ini." 　　"Tentu, tentu." Sekretaris istana senior mengangguk cepat. 　　Yu Jin melangkah besar menuju Istana Yuhe sambil meluruskan lengan bajunya yang kusut. 　　Sekretaris istana senior menatap punggung Yu Jin yang menjauh tanpa berkedip. 　　Dayang Ji melambaikan tangan: "Pangeran sudah pergi jauh, masih ditatap apa?" 　　Sekretaris istana senior tersadar, berkata khidmat: "Dayang Ji, menurutmu bukankah permaisuri kita membawa keberuntungan bagi suami?" 　　Bagaimana lagi menjelaskan Pangeran tiba-tiba jadi Putra Mahkota? Hanya karena jago bertarung? 　　Dayang Ji mengangguk sambil memutar-mutar sutra di tangannya: "Tentu saja benar." 　　"Permaisuri seperti itu yang hanya ingin selalu bersama Pangeran dan tak mau mengurus urusan kediamanan, memiliki hari ini selain takdir baik sejak lahir apa lagi!" 　　Sekretaris istana senior dan Dayang Ji saling memandang, serentak menghela napas. 　　Manusia memang tak bisa melawan takdir. 　　Seiring para menteri meninggalkan tempat dengan gegap gempita, kabar ini sampai ke telinga para tuan di rumah-rumah bangsawan. 　　Saat itu Pangeran Qi sedang menyalin sutra Buddha. 　　Huruf 'tahan' di atas kepala ada sebilah pedang, bertahun-tahun menahan diri bukanlah hal yang mudah. Belakangan ini Pangeran Qi menghabiskan waktu dengan menyalin sutra agar hatinya tetap tenang. 　　Mendengar kabar itu, setetes tinta pekat jatuh di atas kertas Xuan, merusak sutra yang hampir selesai disalin. 　　"Pangeran--" 　　"Keluar!" 　　Pintu segera ditutup. Pangeran Qi menggenggam kuas dengan kuat hingga gagangnya patah berderak, melukai telapak tangannya hingga berdarah. 　　Pangeran Qi tak merasakan sakit, terus memukul meja berulang kali. 　　Lao Qi diangkat jadi Putra Mahkota? 　　Bagaimana mungkin? Pasti Ayah Kaisar sudah gila! 　　Janda Permaisuri? Bukankah dia bermusuhan dengan Permaisuri? Tidakkah dia mencegah Ayah Kaisar? 　　Surat itu bilang Janda Permaisuri akan membantuku, tapi baru sebentar ini Lao Qi sudah jadi Putra Mahkota. Siapa yang bisa jelaskan bagaimana cara Janda Permaisuri membantuku? 　　Siapa yang bisa jelaskan padaku? 　　Pangeran Qi menyapu semua benda di meja tulis hingga berantakan, kemudian duduk lesu di antara puing-puing itu. 　　"Mengapa, mengapa... Tidak mungkin, tidak mungkin..." 　　Pelayan pria di luar pintu tidak berani masuk, mendengar gumaman Pangeran Qi hingga bulu kuduknya merinding. 　　Permaisuri sudah gila, jangan-jangan Pangeran juga ikut gila? 　　Di kediaman Pangeran Lu, Pangeran Lu menopang dagu dengan satu tangan sambil menggosok pantatnya yang sakit, menggerutu: "Sialan, jatuhnya hampir merenggut nyawa aku!" 　　Permaisuri Lu yang sama terkejutnya dengan suaminya tetap menjaga ekspresi tenang, mengipaskan kipas bundarnya perlahan: "Mengapa Tuan begitu bersemangat? Bukan Tuan yang diangkat sebagai Putra Mahkota." 　　Pangeran Lu menggenggam tangan Permaisuri Lu erat-erat: "Lao Qi, ini tentang Lao Qi!" 　　Permaisuri Lu mengerutkan alis, berspekulasi: "Apakah Tuan merasa dekat dengan Pangeran Yan sehingga turut bersukacita?" 　　Sudut bibir Pangeran Lu berkedut: "Cis! Siapa yang senang? Kau tidak terkejut? Jika Lao Qi bisa jadi Putra Mahkota, lalu bagaimana dengan aku?" 　　Aku bahkan lebih tua dari Lao Qi! 　　Permaisuri Lu melindungi perutnya yang sedang mengandung, berkata dingin: "Status Tuan sebagai pangeran sudah cukup baik. Mari kita bersyukur." 　　Pangeran Lu mengangkat lengan bajunya, lalu menurunkannya kembali dengan geram. 　　Sudahlah, jika saja istri kusir ini tidak hamil, pasti sudah kuhajar dia. 　　Suami adalah bulan, pantaskah berbicara seperti itu kepada sang bulan? 　　Pangeran Shu memeluk wadah jangkrik hendak mencari Pangeran Kang untuk bertarung, tiba-tiba mendengar kabar mengejutkan ini. 　　Tangan Pangeran Shu melepaskan, wadah jatuh dari pelukannya. Jangkrik di dalamnya langsung menghilang di balik semak. 　　Pelayan pria yang mengikuti Pangeran Shu segera mengejar, berteriak sambil lari: "Jangkriknya kabur--" 　　Seluruh tubuh Pangeran Shu lunglai bersandar di pohon. Dengan wajah pucat ia bergumam: "Bukan jangkrik yang kabur, posisi calon penguasa lah yang hilang..." 　　Refleks Pangeran Shu menengadah. 　　Sinar matahari cerah menyusup lewat dedaunan lebat, menyengat matanya hingga tak bisa membuka, ingin menitikkan air mata. 　　Bukankah dia hanya ingin beristirahat sebentar? Kok posisi Putra Mahkota bisa hilang begitu saja? 　　Ayah Kaisar keterlaluan, sebelumnya sama sekali tidak ada pertanda. 　　Ke depannya dia harus bagaimana? 　　Pelayan yang berhasil menangkap jangkrik kembali sambil memeluk wadah, hati-hati berseru: "Tuan--" 　　Pangeran Shu menggerakkan bola mata, bertanya datar: "Jangkriknya?" 　　"Ditemukan!" 　　Setelah lama terdiam, Pangeran Shu menghela napas: "Pergi ke istana Pangeran Kang." 　　Lebih baik cari Paman Wang untuk adu jangkrik. Uang perak yang sudah di tangan adalah yang paling nyata. 　　Soal posisi itu dia belum menyerah. Lihat saja Yu Lang yang puluhan tahun jadi Putra Mahkota akhirnya dipecat juga. Biarkan Lao Qi sombong sebentar, nanti dia cari kesempatan lagi. 　　Benar, tahan lagi. 　　“Pangeran Shu berusaha menghibur diri, mengingat harta emas dan perak yang dimenangkannya dari taruhan jangkrik belakangan ini, tiba-tiba rasa sakitnya berkurang.” 　　Saat melangkah keluar pintu istana pangeran, Pangeran Shu berhenti di depan singa batu dan tersadar: Tidak mungkin, Lao Qi jadi Putra Mahkota pun bisa diterimanya dengan cepat, apakah sikapnya terlalu baik? 　　Beberapa pejabat yang tidak berhak menghadiri sidang pagi mengetahui kabar pengangkatan Pangeran Yan sebagai Putra Mahkota lebih terlambat. 　　“Tuan Jiang, selamat ya.” 　　Atasan dan beberapa rekan sejawat berdesakan masuk, serentak memberi selamat kepada Tuan Jiang Kedua. 　　Tuan Jiang Kedua tampak bingung: “Apa maksud kalian——” 　　“Pangeran Yan diangkat menjadi Putra Mahkota!” 　　Cangkir teh di tangan Tuan Jiang Kedua terjatuh, tepat menghantam punggung kakinya. 　　Dia tak peduli sakit, menarik napas dalam lalu mengepalkan tangan ke atasan: “Pejabat bawahan ini minta izin cuti.” 　　Usai berkata, tanpa menunggu persetujuan atasan, langsung berlari keluar. 　　Tuan Jiang Kedua disambar masuk ke Cixintang. 　　Nyonya Feng terkejut: “Terburu-buru begini, apakah terjadi sesuatu?” 　　“Be, besar peristiwa!” 　　“Apa yang terjadi?” Nyonya Feng jantungnya berdebar, tanpa sadar bangkit berdiri. 　　Tuan Jiang Kedua menarik napas: “Pangeran Yan jadi Putra Mahkota!” 　　Nyonya Feng terjatuh kembali ke kursi, mencengkeram kerah baju agar tak pingsan, berseru: “Cepat, panggil Sang Bangsawan!” 　　Tak lama kemudian dayang kembali melapor: “Sang Bangsawan sejak pagi pergi main jangkrik, belum pulang ke rumah keluarga.” 　　“Nyonya Feng terdiam sejenak.” 　　“Belakangan ini di ibu kota entah dari mana datangnya angin tak baik, muncul tren adu jangkrik. Aku sudah berkali-kali memarahi Putra Sulung karena main-main yang merusak moral,” 　　Kini tak bisa lagi mencela main-main yang merusak moral, Putra Sulung telah menjadi mertua Putra Mahkota! 　　“Masih terdiam apa lagi? Pergilah undang Sang Bangsawan kembali.” 　　Setelah mengusir semua pelayan, tinggallah ibu dan anak berhadapan empat mata. 　　“Benarkah Si'er menjadi Permaisuri Putra Mahkota?” 　　“Dekrit kerajaan sudah turun...” Tuan Jiang Kedua menatap jarinya dengan bengong. 　　Jari-jari ini tidak dihitung sia-sia! 804.BAB 801 Penyesalan 　　BAB 801 Penyesalan 　　Kabar sampai ke Keluarga Marquis Yining, Paman tertua Su juga dengan gembira memberitahu orangtuanya. 　　Pasangan Marquis Yining senior tak terlalu bersukacita. 　　Setelah Paman tertua Su pergi, Marquis Yining senior menghela nafas: “Tak kusangka Si'er punya takdir menjadi Permaisuri Putra Mahkota. Ke depannya kita harus lebih berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan.” 　　Ibu Suri Marquis Yining tenggelam dalam pikiran. 　　Cucu perempuan ini telah menjadi Permaisuri Putra Mahkota, sebentar lagi akan pindah ke Istana Timur, dan harus sering berurusan dengan orang-orang terhormat di istana... 　　“Memikirkan apa?” tanya Marquis Yining senior saat melihat Ibu Suri termenung. 　　Ibu Suri Marquis Yining tersenyum paksa: “Hanya tak menyangka Si'er bisa mendapat berkah sebesar ini.” 　　Marquis Yining senior berbisik: “Apakah ini berkah atau bukan, masih harus dilihat ke depannya.” 　　Menurutnya, menjadi Permaisuri yang hidup santai sebenarnya lebih nyaman. Posisi itu bukanlah tempat yang mudah diduduki. 　　“Benar, masih harus lihat ke depan…” Ibu Suri Marquis Yining bergumam setuju. 　　Belakangan ini Si'er sering mengunjunginya, dia tahu Si'er ingin mencari informasi tentang masa lalu darinya. 　　Rahasia yang semula ingin dibawanya ke peti mati, haruskah benar-benar diungkapkan pada cucu perempuannya? 　　Setelah mendengar Jiang Si menjadi Permaisuri Putra Mahkota, keyakinan Ibu Suri Marquis Yining pertama kali goyah. 　　Keluarga An Guogong. 　　Nyonya Wei dari Keluarga An Guo Gong tertegun mendengar kabar ini, baru sadar setelah lama, lalu bergegas keluar. 　　Dia harus membicarakan kabar ini dengan Ibu Suri. 　　Saudari perempuan sudah tiada, melakukan kesalahan besar, menyeret Pangeran Qi tanpa masa depan, sementara Pangeran Yan justru menjadi Putra Mahkota. Padahal Pangeran Yan adalah anak kandung saudari perempuan, namun kejayaan ini sama sekali tak menyentuh keluarga An Guogong. 　　Sungguh memalukan, pasti banyak yang menertawakan keluarga An Guogong di belakang. 　　Baru keluar pekarangan, Nyonya Wei bertemu anak bungsunya Ji Chongyi yang baru pulang. 　　Bekas bangsawan gagah itu kini matanya berkantung hitam, kelemahan tubuh yang terkuras jelas terlihat. 　　Nyonya Wei langsung sakit dada marah, berteriak: "Kurang ajar, kau ke Sungai Jinshui lagi?" 　　Ji Chongyi berdiam di tempat, menjawab datar: "Ya." 　　Melihat sikap anaknya yang seperti guci pecah yang sudah tak bisa diperbaiki, Nyonya Wei naik darah: "Kurang ajar! Dosa apa yang telah kulakukan sampai melahirkan anak pengutang sepertimu? Tak bisakah kau membuatku tenang? Haruskah kau membuatku mati mata barulah kau berhenti..." 　　Rentetan makian membuat mulut Nyonya Wei kering dan tenggorokan terasa terbakar. 　　Namun Ji Chongyi tetap bersikap acuh tak acuh. Saat Nyonya Wei berhenti, ia menundukkan mata: "Anak mengerti. Jika Ibu tak ada urusan lain, anak akan pulang ke kamar." 　　Melihat anaknya berbalik hendak pergi, Nyonya Wei tiba-tiba melontarkan: "Sepupumu telah menjadi Putra Mahkota!" 　　Sepupu? Pangeran Qi? 　　Apa hubungannya dengan dirinya? 　　Langkah Ji Chongyi tak terhentikan, terus berjalan maju. 　　Nyonya Wei membentak dari belakangnya: "Mengapa kau tidak mencontoh sepupumu? Saat Pangeran Yan kembali dari selatan, ia bahkan belum menjadi pangeran. Berapa lama waktu yang..." 　　Ji Chongyi tiba-tiba menoleh: "Pangeran Yan?" 　　Keheranan anaknya membuat suara Nyonya Wei tercekat. Dari tatapan kaget itu, ia seolah memahami sesuatu. 　　Nyonya Wei menyeringai dingin: "Terkejut? Dulu saat Pangeran Yan kembali ke ibu kota, ia hanyalah pangeran ketujuh tanpa gelar bangsawan. Bahkan belum pernah bertemu muka dengan Kaisar. Keadaannya lebih buruk dari tuan muda keluarga bangsawan biasa. Tapi kini ia menjadi Putra Mahkota!" 　　Ji Chongyi tak sadar mengepal tinju, berkata datar: "Apa hubungannya dengan kita? Ia sudah menjadi anak Permaisuri." 　　Nyonya Wei mengatupkan gigi: "Dasar durhaka! Meski tak ada hubungan dengan keluarga An Guogong, ini ada hubungan denganmu!" 　　Ji Chongyi menggerakkan kelopak matanya, memandang Nyonya Wei dengan dingin. 　　Nyonya Wei tidak tahan melihat anaknya seperti mayat hidup yang berjalan, tapi justru sering menyaksikannya selama dua tahun terakhir. Kali ini dia melontarkan kata-kata tajam tanpa ampun: "Jika dulu kau tidak membatalkan pertunangan dengan Nyonya Jiang, apakah akan menjadi seperti ini? Nyonya Jiang jelas membawa keberuntungan bagi suami. Dia bisa membuat pangeran tak berakar menjadi Putra Mahkota, tapi kau malah meninggalkan istri semacam ini untuk menikahi bintang sial..." 　　"Jangan ibu bicara lagi!" teriak Ji Chongyi, wajahnya pucat pasi. 　　Nyonya Wei mengernyitkan alis, nada suaranya melunak: "Yi'er, jika kau tidak ingin terjebak dalam lumpur busuk seumur hidup, dengarkan nasihat ibumu. Ceraikan Qiao Niang, nikahi putri bangsawan yang resmi. Meski status keluarganya lebih rendah tak masalah, setidaknya bisa membuatmu hidup layaknya manusia—" 　　"Ibu tak perlu bicara lagi! Untuk menceraikan Qiao Niang, lebih baik aku mati!" Setelah berkata demikian, Ji Chongyi bergegas pergi tanpa menoleh. 　　Ji Chongyi langsung menyergap ke ruang belajar, duduk di dipan rendah sambil memeluk kepalanya dengan sedih. 　　Bagaimana mungkin dia menceraikan Qiao Niang? 　　Qiao Niang adalah wanita yang dia nikahi dengan menanggung cercaan dan ejekan akibat membatalkan pertunangan. Kini baru tiga tahun hendak menceraikannya, lalu dia akan jadi apa? Bahan tertawaan terbesar? 　　Dia lebih baik mati daripada dipermalukan lagi, apalagi mendorong Qiao Niang ke jalan buntu. 　　Seorang gadis desa yang diusir keluar dari Keluarga An Guogong, Qiao Niang hanya punya satu jalan keluar: kematian. 　　“Mengenai perasaan antara dirinya dengan Qiao Niang, telah lama terkikis habis dalam ribuan pertengkaran...” 　　Ji Chongyi menatap rak buku berdebu, tersenyum getir dalam kesepian. 　　Ia mengakui dirinya brengsek, tak terhitung kali dalam mimpi di malam itu tidak kabur ke Danau Moyou untuk pertemuan gelap dengan Qiao Niang, melainkan menikah dengan mulus bersama Nona Keempat Dongping Bo Residence. Pasangan yang harmonis bagai kecapi-seruling, hidup dalam kekaguman semua orang. 　　Bukan seperti sekarang, di mana ia bahkan tak bisa berkomunikasi dengan Qiao Niang, hanya bisa kabur ke Sungai Jinshui menghindari kenyataan, menjadi lumpur busuk di mata dunia. 　　Membayangkan Jiang Si yang menjadi Permaisuri Putra Mahkota, lalu membandingkan dengan dirinya sendiri, hati Ji Chongyi terasa tertusuk hingga sulit bernapas. 　　Saat air mata jatuh, Ji Chongyi berpikir pilu: Andai hidup bisa diulang... 　　Berbeda dengan kesengsaraan Ji Chongyi, Istana Kuning dipenuhi keceriaan. 　　"Selamat kepada Nyonya." 　　Permaisuri tersenyum dan berjalan cepat ke luar. 　　Hari ini sungguh hari baik, kejutan dari Kaisar terlalu besar. Ia ingin menyambut di pintu sebagai bentuk dorongan. 　　Kaisar Jingming tak membuat Permaisuri menunggu lama. "Mengapa Permaisuri menunggu di sini?" 　　Setelah memberi hormat, Permaisuri mengangkat wajah dengan senyum: "Kuduga Yang Mulia akan datang." 　　Kaisar Jingming berdehem, menjaga sikap angkuh: "Mari masuk untuk berbicara." 　　Kaisar dan Permaisuri berjalan bergandengan masuk ke dalam. 　　Kaisar Jingming memegang cangkir teh dan menyeruput perlahan: "Sebenarnya masalah sebesar ini harusnya hamba diskusikan denganmu, tapi hamba pikir Permaisuri pasti setuju dengan pilihan hamba, jadi tidak perlu menunda..." 　　Permaisuri saat ini bahkan menganggap keriput di sudut mata Kaisar Jingming terlihat tampan, tersenyum lembut dengan bibir terkunci: "Keputusan Kaisar pasti akan hamba dukung." 　　Dengan syarat keputusan itu bisa memuaskannya. 　　"Bagaimana dengan Ibu? Sudahkah Yang Mulia mengunjunginya?" 　　Kaisar Jingming meletakkan cangkir teh: "Hamba memberitahumu dulu, baru pergi ke tempat Ibu." 　　Mengangkat Lao Qi sebagai Putra Mahkota juga butuh pujian, lihatlah para menteri yang terpaku seperti patung itu, tentu harus datang ke Permaisuri untuk mendengar sanjungan. 　　Permaisuri yang paham situasi mengantar Kaisar Jingming hingga jauh dari Istana Kuning, masih berdiri memandanginya. 　　Kaisar Jingming pergi ke Istana Cining dengan hati puas. 805. BAB 802 Hari Baik 　　BAB 802 Hari Baik 　　Begitu dekrit kerajaan tentang pengangkatan Putra Mahkota dibacakan di istana, pelayan istana segera melapor ke Istana Kuning dan Istana Cining. 　　Kabar Yu Jin menjadi Putra Mahkota sudah diketahui Janda Permaisuri sebelum Kaisar Jingming datang. 　　"Janda Permaisuri, Yang Mulia sudah tiba." 　　Janda Permaisuri yang seperti patung tanah liat sejak mendengar kabar itu tersentak kaget diingatkan dayangnya, menggenggam tasbih lebih kuat sambil mengangguk. 　　Suara pengumuman pelayan istana menggema saat Kaisar Jingming melangkah masuk. 　　"Ibu, sarapan pagi ini enak rasanya?" 　　Janda Permaisuri menggerakkan sudut bibir: "Sudah tua, makan apa pun rasanya sama saja." 　　“Anak lelaki datang hari ini untuk menyampaikan kabar gembira kepada Ibu.” Kaisar Jingming duduk di samping Janda Permaisuri dengan wajah berseri. 　　Janda Permaisuri memandang Kaisar Jingming dengan tenang. 　　Kaisar Jingming tersenyum lebar: “Anak telah menunjuk Lao Qi sebagai Putra Mahkota.” 　　Alis Janda Permaisuri sedikit terangkat. 　　Di usianya yang senja, alis putih seperti salju itu membuat gerakannya tampak dingin: “Selamat, Yang Mulia.” 　　“Sama-sama bergembira.” Kaisar Jingming dalam suasana hati yang sangat baik. 　　Dia mengira akan ada menteri yang kurang ajar menentang di hadapan sidang, tapi tak disangka proses pengunduran diri berjalan mulus tanpa hambatan. 　　Meski sudah menyiapkan argumen untuk memarahi siapa pun yang berani protes, tetap lebih baik tanpa gangguan. 　　Bagaimanapun dia bukan tipe yang suka konflik. 　　Janda Permaisuri mengambil cangkir teh dari dayang dan menyodorkannya ke Kaisar, memberi isyarat agar para pelayan mundur. 　　Kaisar menyesap tehnya sambil tersenyum: “Teh Ibu selalu yang terenak.” 　　Janda Permaisuri menjawab datar: “Itu karena bakti Yang Mulia.” 　　Kaisar merendah: “Anak masih harus belajar.” 　　Menahan dorongan untuk menggigit gigi, Janda Permaisuri bertanya halus: “Mengapa keputusan sebesar ini tiba-tiba diambil?” 　　Kaisar tersenyum: “Tidak juga tiba-tiba. Calon penguasa menyangkut masa depan Dinasti Zhou, selalu menjadi prioritas utama dalam hati anak.” 　　“Hamba sungguh tak menyangka akan Lao Qi... Sebelumnya Yang Mulia tak pernah berbisik...” 　　Kaisar Jingming menatap Janda Permaisuri, berkata dengan tulus: "Istana belakang tidak boleh campur tangan urusan politik. Sebagai anak lelaki, jika membahas hal ini dengan Ibu, bukankah akan menyusahkan Ibu? Karena itu hamba tidak ingin mengganggu Ibu." 　　Janda Permaisuri tak bisa menahan diri menggigit gigi. 　　Alasan bagus tentang "tidak ingin menyusahkan"! 　　Memandang wajah tulus Kaisar Jingming, Janda Permaisuri terasa agak bingung. 　　Kadang-kadang dia meragukan apakah kebaktian Kaisar padanya hanya pura-pura belaka! 　　Seperti waktu mencatat Pangeran Yan di bawah nama Permaisuri, maupun kali ini mengangkat Pangeran Yan sebagai Putra Mahkota - setiap kali semua diputuskan secepat kilat tanpa memberi kesempatan campur tangan. 　　"Ibu, ada apa?" Kaisar Jingming bertanya penuh perhatian melihat Janda Permaisuri diam. 　　Janda Permaisuri tersadar, berkata muram: "Sudah tua, tenaga tidak cukup. Tiba-tiba melamun, mungkin suatu hari nanti..." 　　Kaisar Jingming segera menghibur: "Ibu masih kuat dan sehat, pasti panjang umur." 　　Janda Permaisuri tersenyum, bertanya: "Sudah ditentukan hari baik untuk penobatan Putra Mahkota?" 　　Kaisar Jingming menggaruk hidung, menggeleng: "Belum. Nanti hamba suruh Biro Astronomi Kekaisaran mengajukan hari baik." 　　"Baik. Kaisar baru saja menetapkan Putra Mahkota, pasti masih banyak urusan. Jangan buang waktu di sini." 　　Kaisar Jingming berdiri: "Kalau begitu hamba akan kembali menjenguk Ibu lain waktu." 　　Begitu Kaisar Jingming pergi, wajah Janda Permaisuri langsung muram. Cangkir teh dihempaskan ke meja kayu mahoni hingga berbunyi keras. 　　“Pangeran Yan, putra yang tercatat di bawah nama Permaisuri tiba-tiba menjadi Putra Mahkota?” Ini membuatnya terkejut. 　　Setiap kali Fuqing menghindari malapetaka, Pangeran Yan justru naik menjadi Putra Mahkota... 　　Sorot mata Janda Permaisuri menjadi dingin. 　　Ingin melaksanakan upacara penobatan Putra Mahkota dengan lancar? Tidak semudah itu. 　　Kaisar Jingming segera memanggil Kepala Biro Astronomi Kekaisaran, memerintahkannya untuk segera memilih hari baik untuk upacara penobatan Putra Mahkota. 　　Setelah upacara penobatan, Putra Mahkota akan menempati Istana Timur dan statusnya baru resmi ditetapkan. 　　Kepala Biro Astronomi Kekaisaran kembali ke kantor kabupaten dan segera membagikan tugas penting ini. 　　Pemilihan hari baik untuk penobatan Putra Mahkota tak boleh sembarangan, harus dipilih dengan cermat. 　　Di Biro Astronomi ada seorang pejabat observatorium bernama Zhu Duohuan yang khusus bertugas mengamati perubahan cuaca musim panas. Malam itu ia naik ke menara observasi untuk mempelajari bintang, lalu begadang sepanjang malam melakukan perhitungan hingga matanya terbelalak penuh ketakutan. 　　Anjing langit menelan matahari, anjing langit menelan matahari... 　　Tenang, mungkin perhitunganku salah. 　　Zhu Duohuan pulang ke rumah dan tidur menutupi kepala. Saat bangun, yang menyambutnya bukanlah teh hangat atau makanan, melainkan wajah tenang istrinya. 　　"Sudah bangun?" Istri Zhu menyodorkan saputangan basah. 　　Pejabat observatorium hanyalah pejabat kelas tujuh, hidup di ibu kota cukup sulit. Untuk urusan kecil seperti ini tak perlu mempekerjakan dayang, semuanya dikerjakan sendiri oleh Istri Zhu. 　　Zhu Duohuan mengambil saputangan itu dan mengusap wajahnya, lalu buru-buru berlari keluar. 　　"Mau ke mana?" 　　"Ada urusan penting di kantor kabupaten." 　　Istri Zhu menghentikannya: "Aku juga ada urusan penting." 　　Zhu Duohuan kembali, bertanya heran pada istrinya: “Ada apa?” 　　“Atasan telah menghubungi saya.” 　　Baru satu kalimat diucapkan istri Zhu, tubuh Zhu Duohuan langsung gemetar, rasa kantuknya hilang sama sekali. 　　“Mereka bilang apa?” 　　“Bertanya apakah belakangan ini ada hari yang tidak menyenangkan.” 　　Zhu Duohuan terdiam lama, akhirnya menghela nafas lega: “Ada.” 　　Anjing Langit Menelan Matahari, pertanda moral Kaisar dan keputusan politiknya cacat, akan mendatangkan malapetaka bagi rakyat. Adakah hari yang lebih tidak menyenangkan dari ini? 　　Istri Zhu mengatupkan bibir setelah mendengar: “Atasan memerintahkanmu menetapkan hari sial itu sebagai hari baik untuk penobatan Putra Mahkota.” 　　Zhu Duohuan diam sesaat, bergumam parau: “Mengerti.” 　　Kemudian diam yang lebih panjang menyusul. 　　Pasangan suami istri itu saling memandang tanpa kata. Entah berapa lama, tiba-tiba mereka berpelukan sambil menangis. 　　Mereka adalah bidak, Pasukan Mati, orang-orang yang tak bisa menguasai takdir sendiri. Bahkan pernikahan mereka diatur atasan. Perintah dari atas harus dilaksanakan tanpa kompromi. 　　Tapi kehidupan mereka terlalu tenang selama ini. Sudah belasan tahun menikah tak ada yang menghubungi. Ketenangan itu membuat mereka berkhayal bisa hidup tentram bersama sampai tua. 　　Mereka juga manusia. Meski awalnya tak ada perasaan, menjaga rahasia bersama selama ini tak terhindarkan menumbuhkan harapan. 　　Tapi mimpi tetaplah mimpi, pasti ada saatnya terbangun. 　　Kepala Biro Astronomi Kekaisaran segera melaporkan hari baik: 26 Juni. 　　Kaisar Jingming tentu tak curiga, memerintah Pan Hai: “Kirim orang ke Kediaman Pangeran Yan. Beri tahu Pangeran Yan... maksudku Putra Mahkota agar bersiap.” 　　Pan Hai menyanggupi, mengirim Xiao Lezi untuk mengantarkan surat ke Kediaman Pangeran Yan. 　　Xiao Lezi adalah murid kesayangannya sendiri. Kini Pangeran Yan telah menjadi Putra Mahkota, memperlihatkan wajah Xiao Lezi lebih sering pasti akan mendatangkan imbalan memadai yang tak terhitung. 　　Xiao Lezi langsung bergegas ke Kediaman Pangeran Yan tanpa menunda. Memandang papan nama kediaman itu, dia berkecamuk dalam hati: Sudah kuduga naik ke kapal Pangeran Yan adalah keputusan tepat. Lihatlah secepat apa Pangeran menjadi Putra Mahkota, mungkin tak butuh waktu lama lagi dia bisa— 　　Batuk-batuk, saat itu tiba Shifu bisa pensiun, dirinya pasti bisa menggantikan posisi Shifu untuk membantu sang guru tua. 　　Xiao Lezi dipersilakan masuk dengan riang, menjelaskan maksud kedatangannya pada Yu Jin. 　　Mendengar hari baik ditetapkan pada tanggal 26 Juni, Yu Jin berpikir dalam hati: Tak lama lagi hari itu tiba. Setelah pindah ke Istana Timur, bepergian pasti tak seramah sekarang. Lebih baik tanya A Si apakah ingin jalan-jalan ke danau beberapa hari ini. 　　Malam ini rencana meninggalkan si kecil dan suami untuk menonton film. Kukira ini hari Valentine ke-13 yang kami lewati bersama, waktu berlalu begitu cepat. 806.BAB 803 Menghadapi 　　BAB 803 Menghadapi 　　Di Istana Yuhe, Jiang Si sedang mengajari A Huan bicara di pekarangan yang disinari mentari. 　　A Huan yang baru berusia setahun sudah bisa menyebut dua kata: "Ibu" dan "Niu", tapi belum bisa menyebut "Ayah". 　　Karena ini, sang ayah sudah berkali-kali mencari-cari masalah dengan Er Niu. 　　Jiang Si merasa tak tega, jadi sering melatih A Huan memanggil "Ayah". 　　"A Huan, Ayah—" Jiang Si menunjuk gerakan mulutnya. 　　A Huan memiringkan kepala melihat ibunya, otak polosnya dipenuhi kebingungan: Ini jelas ibu, bukan ayah. 　　Merasa ada yang tidak beres, si gadis kecil tak bisa memanggil, lalu menoleh ke Anjing Besar yang sedang berbaring di tepi tembok sambil berseru lembut: "Niu——" 　　Er Niu langsung mengibaskan ekor dan berlari mendekat. 　　Yu Jin yang baru datang menyaksikan adegan ini, wajahnya langsung menghitam. Ia mendekat dan diam-diam menyikut Er Niu pergi. 　　A Huan melihat Ayah Paduka, bibirnya mengerut lalu menangis keras. 　　Jiang Si memandang Yu Jin sambil menghela nafas: "Tak bisakah kau berlaku layaknya ayah? Kau sampai cemburu pada Er Niu." 　　Wajah Yu Jin semakin hitam. 　　Bagaimana tidak kesal? Putrinya sampai sekarang tak bisa memanggil 'ayah', hanya bisa memanggil "Niu". 　　Jiang Si mengabaikan seseorang itu, menghibur A Huan lalu menyerahkannya ke Er Niu, baru berjalan ke meja batu di bawah pohon. 　　Yu Jin duduk di bangku batu, menuangkan teh untuk dirinya: "A Si, maukah pergi berperahu di danau?" 　　"Berperahu?" Jiang Si melihat sinar matahari yang tersaring dedaunan rindang, "Cuacanya agak panas ya." 　　"Di atas danau lebih sejuk." 　　Jiang Si menatap Yu Jin dengan bingung: "Kenapa tiba-tiba ingin berperahu?" 　　Ia sama sekali tak berminat dengan acara berperahu. 　　“Di kehidupan sebelumnya, Ji Chongyi dan Qiao Niang berjanji bertemu di tepi Danau Moyou. Karena Qiao Niang terpeleset dan tenggelam, itu menyebabkan tragedi seumur hidupnya. Kakak laki-laki juga dicekoki minuman sampai mabuk lalu didorong ke Sungai Jinshui hingga tenggelam tak sadarkan diri.” 　　Memikirkan semua ini, dia sama sekali tidak berminat untuk berwisata ke danau. 　　“Hari baik untuk penobatan Putra Mahkota sudah ditetapkan. Mengingat setelah pindah ke Istana Timur, keluar istana akan lebih sulin daripada sekarang, jadi aku ingin tanya kemana kau ingin jalan-jalan.” Yu Jin tersenyum memberikan jawaban. 　　Jiang Si langsung bertanya tanpa berpikir: “Ditentukan tanggal berapa?” 　　“26 Juni.” 　　“26 Juni? Itu sudah dekat—” Awalnya Jiang Si tidak memperhatikan, tapi tiba-tiba suaranya terhenti, wajahnya berubah pucat. 　　26 Juni? 　　Di kehidupan sebelumnya, dia kembali ke ibu kota dari selatan pada tahun ke-22 Jingming, yaitu tahun depan. 　　Untuk tanggal 26 Juni tahun ke-21 Jingming, itu sangat membekas dalam ingatannya. 　　Itu adalah hari pernikahannya dengan A Jin di selatan di kehidupan sebelumnya, sekaligus hari terjadinya gerhana matahari total di Dinasti Zhou. 　　Alasan dia mengingat jelas gerhana matahari di tanggal itu adalah karena hari pernikahannya bertepatan, dan setelah kembali ke ibu kota ada orang yang sengaja menyebut-nyebutnya dengan niat jahat. 　　Melihat ekspresi Jiang Si aneh, Yu Jin buru-buru bertanya: “A Si, kenapa?” 　　Jiang Si menatap Yu Jin dengan nada bicara aneh: “26 Juni adalah hari baik? Siapa yang menetapkan ini?” 　　“Tentu saja hari itu ditetapkan oleh Biro Astronomi Kekaisaran. Mengamati konstelasi bintang dan meramal keberuntungan kan tugas mereka.” 　　Jiang Si menutup matanya, dalam hati menyeringai dingin: "Benar-benar hari yang baik, ini maksudnya ingin menjerumuskan A Jin ke jurang kehancuran!" 　　Meskipun A Jin secara resmi diangkat sebagai anak Permaisuri, statusnya tetap belum sepenuhnya kuat. Para menteri diam-diam banyak memperdebatkan hal ini, hanya saja mereka tidak berani menentang terang-terangan karena dekrit kerajaan sudah dikeluarkan. 　　Namun jika pada hari pelantikan resmi Putra Mahkota terjadi gerhana matahari total, satu-satunya nasib yang menanti A Jin adalah dicampakkan. 　　Terjadinya pertanda sial pada hari pelantikan Putra Mahkota menunjukkan bahwa Kaisar salah memilih penerus. Langit pun menurunkan hukuman sebagai peringatan. Jika Kaisar tetap ngotot, negara Dinasti Zhou dan altar leluhur akan terancam bahaya. 　　Topi besar seperti ini ditimpakan, siapa yang bisa bertahan? 　　Bahkan Ayah Kaisar pun akhirnya harus kompromi dan memilih mengangkat kembali Putra Mahkota. 　　Menetapkan hari sial sebagai hari baik, klaim bahwa ini adalah kesalahan Biro Astronomi Kekaisaran sama sekali tidak bisa dipercayainya. 　　Jiang Si membuka matanya, menatap tajam Yu Jin: "A Jin, kau percaya mimpiku?" 　　Yu Jin tersenyum: "Tentu percaya. Dulu kau bermimpi gempa bumi di Kota Jinli, bukankah itu jadi kenyataan?" 　　Ia tidak percaya takhayul, tapi ia percaya pada A Si. 　　"Dalam mimpiku, tanggal 26 bulan keenam akan terjadi hal buruk, itu bukan hari baik," kata Jiang Si. 　　Sorot mata Yu Jin menyempit, kilatan dingin melintas. 　　Jiang Si meraih tangan Yu Jin, dinginnya telapak tangannya menyampaikan kegelisahan hatinya: "Mimpi yang kualami pasti bukan hal sepele. A Jin, kau tidak boleh menerima penobatan di hari itu!" 　　“Jangan takut, kalau sudah tahu hari itu tidak baik, kita hindari saja.” Yu Jin tersenyum santai melihat Jiang Si yang tegang. 　　“Ya.” 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, suaranya tenang: “Hari baik berubah jadi hari sial, ini pasti bukan kebetulan. Menurutmu siapa yang menjebak kita?” 　　Lao Si sibuk urus diri sendiri, Lao Wu bodoh, Putra Keenam mungkin tidak berani. Sedangkan orang yang bisa menyuruh pegawai Biro Astronomi Kekaisaran... Sebuah nama perlahan muncul di benaknya. 　　“Mungkinkah orang itu adalah yang di Istana Cining?” Jiang Si berhenti sejenak sebelum berspekulasi. 　　Yu Jin mengedipkan mata: “Kau juga curiga itu si nenek sihir?” 　　Jiang Si tersenyum: “Belakangan ini banyak masalah, pusatnya di Istana Cining. Di saat seperti ini terjadi hal begini, sulit untuk tidak membuat orang berasumsi begitu.” 　　Suara Yu Jin lebih tegas: “Selain nenek sihir itu, siapa lagi yang mampu? Biro Astronomi Kekaisaran sangat khusus, pejabatnya dipilih dengan ketat. Menyuap mereka butuh persiapan panjang. Apalagi jika hari itu tiba, seluruh biro akan celaka. Siapa yang mau ambil risiko kepala putus untuk imbalan kecil? Pasti bidak yang sudah ditanam lama. Siapa lagi selain Janda Permaisuri yang bisa melakukan ini?” 　　Jiang Si menunduk berpikir, lalu bertanya: “A Jin, menurutmu kenapa Janda Permaisuri melakukan ini? Dia sudah jadi wanita paling mulia di Dinasti Zhou, didampingi kebaktian tulus Ayah Kaisar. Masih ada apa yang kurang?” 　　“Yu Jin mengejek: ‘Siapa yang tahu, hati manusia tidak pernah puas seperti ular menelan gajah, siapa yang tahu apa yang dipikirkan Nenek sihir itu.’” 　　Jiang Si matanya berkedip-kedip, tiba-tiba berkata: “Nenek dari pihak ibu mungkin tahu sesuatu.” 　　Yu Jin tertegun, menatapnya. 　　“Selama ini saya selalu merasa akan mendapat petunjuk di rumah nenek, mungkin bisa memecahkan misteri ini. Setelah tanggal 26 bulan keenam, saya harus kembali ke Kediaman Marquis Yining.” 　　“Mengapa harus setelah tanggal 26 bulan keenam?” Yu Jin tak tahan bertanya. 　　Jiang Si tersenyum masam: “Agar nenek melihat bagaimana kita berjalan di atas es tipis penuh bahaya, mungkin karena kasihan dia akan bicara.” 　　Tak lama kemudian pakaian seremonial Putra Mahkota dan Permaisuri selesai dijahit. Hari penobatan semakin dekat, suasana tegang penuh antisipasi menyelimuti dalam dan luar istana. 　　Penobatan Putra Mahkota baru adalah peristiwa besar. 　　Tapi persis di saat ini, Yu Jin terserang penyakit diare. 　　Kabar ini sampai ke telinga Kaisar Jingming yang langsung merasa pusing. 　　Sebentar lagi upacara penobatan, kenapa ada masalah lagi? 　　Dengan tangan terkepal di belakang, Kaisar berjalan mondar-mandir beberapa putaran lalu berkata dengan wajah muram: “Perintahkan Kantor Tabib Kekaisaran untuk memeriksa Putra Mahkota, pastikan penyakit diarenya sembuh.” 　　Terkejut melihat peringkat Suara bulanan masuk 10 besar, ini benar-benar luar biasa. Semua berkat dukungan voting kalian, terima kasih sebanyak-sepuluh ribu kali. 807. BAB 804 Menelan Matahari 　　BAB 804 Menelan Matahari 　　Tak lama kemudian, Direktur Rumah Sakit Kekaisaran menghadap Kaisar Jingming. 　　“Bagaimana kondisi Putra Mahkota?” Kaisar Jingming buru-buru bertanya. 　　Tidak heran dia panik, besok adalah hari penobatan Putra Mahkota! 　　Wajah tua Kepala Rumah Sakit berkerut seperti bunga krisan, menjawab dengan hati-hati: "Hamba laporkan pada Paduka, gejala diare Putra Mahkota belum mereda setelah minum ramuan herbal—" 　　"Apakah ini akan mempengaruhi penobatan besok?" 　　Kepala Rumah Sakit memberanikan diri menatap Kaisar Jingming dalam-dalam. 　　Bagaimana menurut Paduka? 　　Kaisar Jingming: "..." Dia paham. 　　Masih tak rela, Kaisar bertanya lagi: "Mungkinkah obatnya tidak tepat?" 　　Menahan dorongan untuk memutar mata, Kepala Rumah Sakit menjawab: "Tim medis sudah beberapa kali berkonsultasi, mencoba sebagian besar resep, kondisi diare Putra Mahkota memang membaik tapi belum sembuh total. Saat ini Putra Mahkota sangat lemas, tak bisa bangun dari ranjang. Jika dipaksakan ikut upacara besok, dikhawatirkan—" 　　Biasanya dia takkan bicara seblak-blak ini, tapi ini menyangkut penobatan Putra Mahkota! Bukan hanya seluruh Dinasti Zhou yang memperhatikan, bahkan negara tetangga akan menyaksikan. Bayangkan jika Putra Mahkota tiba-tiba— Sekedar membayangkannya saja Kepala Rumah Sakit sudah berkunang-kunang. 　　Sebagai warga Dinasti Zhou, dia masih punya rasa malu dasar! 　　Karena itu dia harus tegas, menghancurkan khayalan tak realistis Sang Kaisar. 　　Kaisar Jingming terpukul, bergumam: "Kalau begitu... upacara penobatan besok harus ditunda?" 　　Kepala Rumah Sakit tak berani menyahut. 　　"Tidak adakah cara lain?" 　　Kali ini dia bisa menjawab: "Seandainya gejala Putra Mahkota lain, masih bisa ditopang dengan obat. Tapi untuk kasus diare ini—" 　　Siapa yang bisa menahan buang air besar? Paduka biasanya tidak se-naif ini. 　　“Hanya bisa dikatakan tidak beruntung, bahkan jika Putra Mahkota sakit pinggang atau kaki, pasti ada cara mengatasinya.” 　　Kaisar Jingming dengan perasaan sedih berkata, “Sudahlah, upacara penobatan besok dibatalkan. Pan Hai, sampaikan maklumat ini.” 　　“Baik.” Pan Hai menjawab, buru-buru menyebarkan berita darurat tingkat sepuluh ribu ini. 　　Besok adalah hari upacara penobatan, jika tidak segera menyebarkan maklumat pembatalan, besok ketika semua pejabat militer-sipil datang akan jadi bahan tertawaan. 　　Memikirkan hal ini, Pan Hai diam-diam menghela napas. 　　Sebenarnya, Pangeran Yan—eh, Putra Mahkota yang baru—sangat sial, kenapa harus di saat seperti ini terkena diare? 　　Kabar pembatalan upacara penobatan karena Putra Mahkota diare ini jika tersebar, malu akan sampai ke rumah nenek. 　　“Cukup, pergilah.” Dengan segala kekecewaan, Kaisar Jingming mengusir Direktur Tabib Istana yang membuatnya jengkel, lalu menyendiri di kamar sambil menggerutu. 　　Pan Hai mendekat dengan hati-hati: “Kaisar, maklumat sudah disampaikan.” 　　“Hmm.” Kaisar Jingming mengangguk lesu, lalu dengan wajah masam berkata, “Panggil Permaisuri Putra Mahkota ke istana.” 　　Jiang Si yang sudah mempersiapkan diri untuk audiensi, dengan sopan memberi hormat: “Hormat pada Ayah Kaisar.” 　　Kaisar Jingming menggetarkan kumisnya: “Persilakan duduk.” 　　Pan Hai segera menempatkan bangku kecil di samping Jiang Si. 　　Jiang Si duduk dengan tata krama, menunggu perintah kaisar. 　　Kaisar Jingming memegang kipas lipat bertanya: “Bagaimana kondisi Lao Qi sekarang?” 　　“Sudah banyak tabib istana yang berusaha sepenuh hati, sekarang sudah jauh lebih baik.” Jiang Si berpikir sejenak, lalu berkata dengan serius, “Kemarin buang air lebih dari sepuluh kali, hari ini sampai sekarang baru tujuh atau delapan kali.” 　　Kaisar Jingming: “……” Ini disebut lebih baik? 　　“Kenapa tiba-tiba terkena penyakit diare?” 　　Jiang Si menundukkan pandangan, ekspresinya tenang: “Mungkin karena belakangan ini sering menghadiri pesta dan makan terlalu banyak makanan berminyak, ditambah sedang musim panas——” 　　Kaisar Jingming kesal: “Makanan berminyak apa yang dimakan di cuaca panas begini?” 　　Brengsek, tidak bisakah si bajingan ini diam sedikit? 　　Jiang Si menjawab dengan jujur: “Putra Mahkota suka makan paha babi kecap, daging kukus, kaki babi rebus...” 　　Kaisar Jingming langsung memutar mata putih, tak tahan berkata: “Makanan musim panas harusnya ringan, bagaimana bisa makan seperti itu?” 　　Jiang Si mengangkat pandangan melihat Kaisar Jingming, berkata tanpa ekspresi: “Menantu juga berpikir begitu, pernah menasihati Putra Mahkota untuk makan lebih ringan.” 　　“Dia tidak mendengar?” 　　Tidak mungkin. 　　Jiang Si menghela nafas, penuh keprihatinan: “Putra Mahkota bilang tahun-tahun itu di selatan hidup bersama prajurit, jarang bisa makan enak, jadi sekarang sangat menyukainya.” 　　Kaisar Jingming terdiam. 　　Tiba-tiba rasa marahnya berkurang, malah merasa Lao Qi agak menyedihkan—— 　　Suara Kaisar Jingming tak sadar melunak: “Pulang bilang ke Lao Qi, mulai sekarang tidak akan kekurangan ini, jangan makan seperti itu lagi.” 　　Jiang Si berdiri, membungkuk hormat pada Kaisar Jingming: “Baik. Sebenarnya Putra Mahkota juga tahu telah merepotkan Ayah Kaisar, sedang menyalahkan diri sendiri.” 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: "Menyalahkan diri sendiri tidak berguna, yang terpenting segera pulihkan kesehatanmu. Baiklah, kembalilah merawat Lao Qi." 　　Setelah Jiang Si pergi, Kaisar Jingming mengayun-ayunkan kipas lipat sambil menghela napas: "Sejujurnya, Aku telah mengabaikan Lao Qi." 　　Pan Hai di sudut ruangan ingin tertawa kecut. 　　Yang Mulia yang bodoh, bukannya mau memarahi Putra Mahkota? 　　Pantas saja Pangeran Yan bisa menjadi Putra Mahkota. Karena sakit perut akibat makan berlebihan sampai upacara penobatan harus diubah jadwal - ini benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya dan sulit terulang lagi. Masih bisa mendapat belas kasihan Kaisar? 　　Mengingat Putra Mahkota yang Dipecat dulu selalu dimarahi habis-habisan oleh Kaisar - Pan Hai semakin yakin untuk menjalin hubungan baik dengan Putra Mahkota baru. 　　Kabar penundaan upacara penobatan langsung menggemparkan seluruh istana. 　　Putra Mahkota jatuh sakit tepat sebelum upacara penobatan, ini bukan pertanda baik. 　　Jangan-jangan ini pertanda langit bahwa Putra Mahkota baru tidak pantas? Sudah kuduga keputusan Kaisar terlalu terburu-buru! 　　Banyak pejabat yang mulai menulis laporan resmi untuk menentang keputusan Kaisar Jingming. 　　Kemarin menunggu orang lain yang berani protes, tapi malah kehabisan waktu. Sekarang tidak bisa menunggu lagi - harus segera menasihati Kaisar saat sidang pagi besok. 　　Sementara para menteri resah, Janda Permaisuri yang menerima kabar ini terpaku dingin, bersandar di penyekat ruangan lama tak bersuara. 　　Yu Jin tidak bisa mengikuti upacara penobatan karena penyakit diare? 　　Ini takdir dari langit, ataukah dia sudah mencium sesuatu? 　　Mustahil ada yang menyadari, kuda hitam dari Biro Astronomi Kekaisaran itu sudah ditanam sejak bertahun-tahun lalu, saat itu Yu Jin masih seorang gadis remaja. 　　Setelah lama terdiam, Janda Permaisuri perlahan berdiri dan berjalan ke jendela. 　　Sinar matahari di luar sangat cerah, tak seorang pun akan menyangka besok akan terjadi peristiwa mengerikan. 　　Upacara penobatan Putra Mahkota tidak akan terlaksana sesuai jadwal, tapi gerhana matahari Anjing Langit akan tiba tepat waktu. 　　Setelah besok, Biro Astronomi Kekaisaran akan diselidiki dan dibersihkan secara berdarah, kuda hitam yang dikerahkan sudah tidak berguna sebelum sempat beraksi. 　　Apakah ini takdir yang telah ditetapkan? 　　Janda Permaisuri termenung lama di depan jendela, perasaan bingung menyelimutinya. 　　Keesokan harinya, karena upacara penobatan Putra Mahkota dibatalkan, seluruh pejabat militer-sipil datang ke sidang pagi sambil menggenggam memorial dan menyingsingkan lengan baju. 　　Hari ini akan jadi pertempuran sengit, Kaisar tidak boleh dibiarkan melarikan diri lagi! 　　Di tengah antusiasme para menteri, Kaisar Jingming datang terlambat. 　　Pan Hai membersihkan tenggorokannya lalu berseru: "Ada urusan untuk dimajukan? Jika tidak, sidang ditutup--" 　　Seketika segerombol menteri maju, serempak berkata: "Hamba memiliki memorial." 　　Kaisar Jingming memandang sekeliling, penuh kewaspadaan bertanya ke Menteri Sumber Daya Manusia yang berada di depan: "Mengapa Menteri Gu maju?" 　　"Hamba--" Baru saja Menteri Gu membuka mulut, aula istana tiba-tiba gelap gulita. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya, sampai jumpa besok. 808.BAB 805 Kemarahan Hebat 　　BAB 805 Kemarahan Hebat 　　Kata-kata Menteri Sumber Daya Manusia tertahan di tenggorokan oleh kegelapan yang datang tiba-tiba. 　　Kemudian, riuh teriakan panik memenuhi ruangan. 　　Aula tenggelam dalam kegelapan pekat yang tak tertembus, kegelapan yang mampu memperbesar segala suara dan ketakutan dalam hati manusia. 　　“Lindungi Kaisar!” 　　Teriakan panik, dentuman benda jatuh, dan lebih banyak lagi isak tangis pilu. 　　“Anjing langit menelan matahari!” 　　Tak terasa berapa lama, bagi yang hadir seolah separuh abad telah berlalu, akhirnya lentera-lentera menyala kembali. 　　Di luar aula, kegelapan masih menyelimuti. 　　Saat itu juga, para menteri tak peduli melihat kondisi satu sama lain, bahkan lupa akan keselamatan Kaisar Jingming. Mereka merangkak ke pintu aula sambil menangis dengan posisi bersujud. 　　Fenomena anjing langit menelan matahari adalah pertanda malapetaka, mengisyaratkan perubahan besar yang mengerikan. 　　Kaisar Jingming duduk di kursi naganya, hati membeku dan sekujur tubuh menggigil. 　　Anjing langit menelan matahari? Apakah ini peringatan langit atas kehilangan moralnya sehingga menghukumnya? 　　Cahaya akhirnya kembali, namun sinar lentera di aula tampak redup dibanding terangnya mentari di luar. 　　Di luar aula matahari bersinar terang, seolah bencana mengerikan tadi tak pernah terjadi. 　　Pengalaman puluhan tahun sebagai kaisar membuat Kaisar Jingming yang telah melewati banyak badai segera memulihkan ketenangannya. 　　Memandang para menteri yang masih gemetar ketakutan, beliau bersabda: “Menteri Gu, tadi kau hendak membuka rapat apa?” 　　Para pejabat mengangkat kepala dengan bingung memandang kaisar mereka. 　　Apa yang sedang diucapkan Kaisar? 　　“Menteri Gu, Aku menanyaimu.” Kaisar Jingming menegaskan nada bicaranya. 　　Para tua-tua ini, apakah sudah ingin mendesakku mengeluarkan Surat Pengakuan Dosa begitu cepat? 　　Apa salahnya dia mencari alasan untuk menyelamatkan muka terlebih dahulu? 　　Menteri Gu yang disebut namanya langsung tersentak sadar: "Hamba—" 　　Baru mengucapkan satu huruf, suaranya terhenti lagi. 　　Tadi dia mau melakukan apa ya? 　　Oh benar, dia ingin menasihati Kaisar untuk mempertimbangkan ulang calon Putra Mahkota, karena calon baru tiba-tiba mengalami diare menjelang upacara penobatan sehingga acara terpaksa dibatalkan – ini adalah peringatan dari langit atas keputusan gegabah Kaisar. 　　Tapi baru saja terjadi gerhana matahari, padahal hari ini seharusnya hari penobatan Putra Mahkota! 　　Apa artinya ini? 　　Sebagai pilar penopang pemerintahan, Menteri Gu segera menyadari: Ini menunjukkan calon baru diberkati nasib baik sehingga terhindar dari hari sial! 　　Bukankah ini berarti sang Putra Mahkota adalah calon penguasa yang ditakdirkan langit? Mengapa lagi tubuhnya tiba-tiba sakit persis di saat genting ini? 　　Jika sekarang dia tetap menyarankan mengganti Putra Mahkota, itu sama saja dengan menampar wajahnya sendiri sampai bengkak. 　　Kaisar Jingming yang hemat tak menyediakan basin es di aula, keringat canggung merayapi punggung Menteri Gu. 　　"Menteri Gu?" 　　Menteri Gu berdehem ringan dengan wajah penuh kesungguhan: "Hamba mengusulkan meningkatkan bantuan bencana untuk daerah kekeringan dan banjir, agar rakyat merasakan berkah Kaisar..." 　　Para menteri yang menyimpan memorial di lengan baju hampir tak kuasa menahan keinginan memutar mata putih. 　　Pantas disebut ketua para pejabat, Menteri Gu memang yang paling tebal muka. 　　Kaisar Jingming melayangkan pandangannya ke para menteri, lalu berkata perlahan: "Gerhana matahari yang dianggap pertanda buruk, ini adalah tanda ketidakpuasan LangitShangdi terhadap Aku. Memperkuat upaya penanggulangan bencana dan meringankan pajak serta wajib kerja rakyat memang harus dilakukan. Apakah para menteri yang terkasih masih ada urusan lain untuk dilaporkan?" 　　Para menteri menundukkan kepala dan menghindari kontak mata, tak satu pun yang berani bersuara. 　　Masih ada yang berani angkat bicara di saat seperti ini? Bodoh sekali! 　　Kaisar Jingming menunggu sejenak, melihat tak ada yang bersuara, tiba-tiba ekspresinya menjadi dingin: "Jika para menteri tak ada yang ingin bicara, maka sidang ditutup! Panggil Kepala Biro Astronomi Kekaisaran ke ruang studi kekaisaran!" 　　Nada bicara yang mengeras membuat setiap kata yang keluar dari mulut Kaisar Jingming bagai pecahan es tajam, menusuk-nusuk hati para menteri hingga menggigil ketakutan. 　　Suasana di aula utama semakin mencekam, tak seorang pun berani bergerak. 　　Dengan wajah pucat pasi, Kaisar Jingming segera meninggalkan aula dengan langkah cepat. 　　Setelah beberapa saat, para menteri mulai beranjak keluar satu per satu. Saat melangkah keluar aula, pandangan mereka tak sengaja tertuju ke arah Biro Astronomi, lalu menghela napas dalam-dalam. 　　Biro Astronomi tampaknya akan menghadapi bencana besar. 　　Kepala Biro Astronomi tersandung-sandung saat berlutut di hadapan Kaisar Jingming, merangkak sambil menangis tersedu-sedu: "hamba pantas mati!" 　　Wajah Kaisar Jingming gelap bagai awan petir, bertanya dengan suara menggelegar: "Apa gunanya Biro Astronomi selama ini? Menetapkan hari ini sebagai hari baik, apakah kalian menganggap Aku ini bodoh?!" 　　Kepala Biro Astronomi gemetar ketakutan: "hamba bersalah! Gagal mendeteksi kesalahan fatal bawahan, hamba layak mati sepuluh ribu kali!" 　　Kaisar Jingming menyeringai dingin: “Kau memang pantas mati sepuluh ribu kali! Hari yang seharusnya menjadi hari penobatan Putra Mahkota malah terjadi anjing langit menelan matahari. Bayangkan jika upacara penobatan tetap dilaksanakan, bagaimana muka Aku di hadapan rakyatku? Bagaimana negara lain akan memandang Dinasti Zhou? Kau ingin Aku dan Putra Mahkota menjadi lelucon yang tercatat dalam sejarah, ditertawakan oleh generasi penerus!” 　　Kaisar Jingming gemetar karena kemarahan. 　　Belum pernah sebelumnya beliau marah sehebat ini. Di balik kemarahan itu, terselip rasa ngeri yang tak terkira. 　　Untungnya Lao Qi menderita penyakit diare sehingga upacara penobatan diundur. Jika tidak, akibatnya tak terbayangkan. 　　“Hamba bersalah, hamba bersalah.” Kepala Biro Astronomi Kekaisaran tak bisa membela diri, hanya bisa membungkuk-bungkuk hingga kepalanya berdarah. 　　Dengan kesalahan fatal seperti ini, semua pembelaan sia-sia. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menerima hukuman mati dengan pasrah, sambil berharap Kaisar berkenan memberikannya mayat utuh dan tidak menghukum keluarganya. 　　Tiba-tiba Pan Hai masuk melapor: “Paduka, Komandan Han telah tiba.” 　　“Suruh dia masuk.” 　　Tak lama kemudian Komandan Jinlinwei Han Ran memasuki ruangan dan melapor: “Paduka, Pejabat Pengamat Astronomi Biro Astronomi Zhu Duohuan telah bunuh diri dengan gantung diri di rumahnya. Istrinya pun menyusul.” 　　Segera setelah peristiwa anjing langit menelan matahari terjadi, Jinlinwei langsung mengamankan seluruh pejabat Biro Astronomi. Mendengar bahwa yang bertugas mengamati fenomena langit adalah Pejabat Pengamat Zhu Duohuan yang saat itu tidak berada di kantor kabupaten, mereka langsung menuju rumahnya. 　　Beberapa anggota Jinlinwei baru saja melangkah masuk ke rumah Zhu Duohuan ketika melihat dua mayat tergantung di balok langit-langit. Laki-laki dan perempuan yang bergoyang pelan itu tak lain adalah Zhu Duohuan dan istrinya. 　　Kaisar Jingming langsung berubah wajahnya begitu mendengar. 　　Semua kesialan yang terjadi dalam dua tahun terakhir bukanlah kecelakaan, melainkan ulah orang yang sengaja mengacau. Klaim bahwa Zhu Duohuan bunuh diri karena lalai dalam tugas sama sekali tidak bisa dipercaya! 　　Kesalahan sebesar ini mustahil terjadi karena kecerobohan, pasti disengaja! 　　Kaisar Jingming menunjuk Han Ran dengan pemberat kertas giok sambil bertanya geram: "Bagaimana dengan anggota keluarganya yang lain?" 　　Han Ran berkeringat dingin menatap pemberat kertas itu, menundukkan pandangan: "Orang tua Zhu Duohuan telah lama meninggal. Mereka tidak punya anak, sehari-hari lebih sering bergaul dengan rekan sejawat dan tetangga, hampir tidak ada hubungan dengan kerabat..." 　　Kilatan putih melesat dan menghantam dinding dengan dentuman keras. 　　Pemberat kertas giok itu hancur berantakan, meninggalkan lekukan di dinding yang membuat Han Ran, komandan Jinlinwei yang terhormat, gemetar ketakutan. 　　Pan Hai yang berdiri di sudut justru terlihat lebih tenang. 　　Tidak lain karena sudah terbiasa. 　　"Lakukan penyelidikan menyeluruh di Biro Astronomi Kekaisaran, jangan lewatkan satu orang pun!" Kaisar Jingming berkata dengan wajah muram, lalu menatap kepala Biro Astronomi sambil menggigit gigi: "Kepala Biro Astronomi ditahan di penjara bawah tanah, hukum sesuai kesalahan setelah investigasi selesai." 　　Tak lama kemudian kepala Biro Astronomi yang wajahnya pucat pasi diseret keluar. 　　Kaisar Jingming berjalan mondar-mandir dengan tangan terkepal di belakang, menginjak serpihan pemberat kertas sambil sorot matanya gelap. 　　Pertama di istana, sekarang di luar istana, untuk apa Langit menciptakan gerhana matahari untuk menghukumku? 　　Tidakkah lebih baik petir menyambar mati si pembuat onar itu? 809. BAB 806 Bintang Keberuntungan Bersinar Terang 　　BAB 806 Bintang Keberuntungan Bersinar Terang 　　Karena kejadian Anjing Langit Menelan Matahari, berbagai kantor kabupaten dilanda kepanikan dan kehilangan fokus bekerja. 　　Menteri Gu setelah turun dari istana bahkan tidak kembali ke kantornya, langsung pulang ke kediaman keluarga Gu. 　　Saat ini suasana di rumah keluarga Gu juga tidak stabil. 　　Fenomena Anjing Langit Menelan Matahari tidak hanya mempengaruhi pemerintahan, tapi juga rakyat biasa. 　　Anjing Langit Menelan Matahari adalah pertanda sial, mengisyaratkan datangnya bencana alam, malapetaka manusia, bahkan pergantian dinasti. 　　Lebih baik menjadi anjing di masa damai daripada manusia di zaman kacau. 　　Bagi rakyat ibu kota yang sudah terbiasa dengan kemakmuran dan ketenangan, munculnya rasa takut memang wajar. 　　Menteri Gu masuk ke kamarnya, menenggak setengah teko teh dingin sekaligus sebelum warna wajahnya kembali normal. 　　"Mengapa Suami beliau pulang di jam seperti ini?" Nyonya Gu bertanya dengan wajah pucat. 　　Menteri Gu mengusap keringatnya, melirik sang istri dan menghela nafas: "Hampir saja membuat malapetaka besar." 　　"Apa yang terjadi?" Nyonya Gu bertanya tegang. 　　Menteri Gu menggelengkan kepala: "Urusan pemerintahan, jangan terlalu banyak bertanya." 　　Sungguh keberuntungan di tengah kemalangan, fenomena Anjing Langit Meneling Matahari datang tepat waktu. Andai terlambat sedetik saja, nasihat-nasihatnya pasti sudah terucap. 　　Itu benar-benar akan menjadi bencana! 　　Melihat situasi ini, Nyonya Gu tidak bertanya lebih lanjut. Dengan lembut ia menghibur: "Yang penting Bapak baik-baik saja. Sudahkah Bapak sarapan pagi?" 　　“Untuk pejabat yang menghadiri sidang pagi, istana menyediakan makanan, tapi biasanya baru disajikan setelah sidang ditutup. Nyonya Gu melihat Menteri Gu pulang lebih awal dan menghadapi fenomena gerhana matahari yang dianggap pertanda buruk. Dalam kekacauan, mungkin tak ada yang ingat untuk makan, maka dia bertanya.” 　　“Belum.” 　　“Kalau begitu saya suruh dapur mengirimkan makanan.” 　　“Tak ada selera.” Menteri Gu menolak, tapi segera berubah pikiran, “Sudahlah, suruh dapur kirim paha babi kecap, daging kukus, dan sejenisnya.” 　　Nyonya Gu tertegun. 　　Apa perubahan sikap Tuan terlalu drastis? Baru bilang tak berselera, sekarang langsung minta paha babi kecap? 　　“Tuan, cuaca panas, makan ini——” 　　Menteri Gu menatap dalam-dalam ke Nyonya Gu, berkata penuh makna: “Jangan banyak tanya urusan luar. Antar saja ke sini.” 　　Paha babi kecap dan daging kukus adalah hidangan mewah. Konon Putra Mahkota sakit perut setelah menyantap ini. 　　Nyonya Gu bingung pergi memerintah pelayan, lalu merenung dalam-dalam: Pasti Tuan menghadapi masalah besar. Kalau tidak, mana mungkin bicaranya ngawur. Dia hanya mengingatkan cuaca panas tidak cocok makan paha babi kecap, kok malah dikaitkan dengan urusan luar? 　　Hari itu setelah sidang ditutup, banyak pejabat yang merenungi nasib baik Yu Jin. Isu bahwa Putra Mahkota baru adalah pilihan langit mulai menyebar. 　　Sementara di meja makan berbagai kediaman bangsawan, muncul beberapa hidangan yang sama: paha babi kecap, daging kukus, kaki babi rebus…… 　　"Pejabat Lingtai Lang Zhu Duohuan yang bertanggung jawab atas pengamatan astronomi, telah bekerja di Biro Astronomi Kekaisaran selama belasan tahun tanpa prestasi berarti. Kematiannya membuat Pengawal Jinlin yang biasanya mahir menyelidiki kesulitan menemukan petunjuk." 　　Kaisar Jingming yang baru saja mengeluarkan dekrit pengakuan kesalahan tentu dalam suasana hati buruk. Beliau berkali-kali menendang bangku kecil sambil bertanya pada Pan Hai: "Bagaimana kondisi Putra Mahkota?" 　　Pan Hai segera menjawab: "Lapor Yang Mulia, kabar dari Kediaman Pangeran Yan menyatakan kondisi Putra Mahkota sudah jauh membaik." 　　Sorot mata Kaisar Jingming berkilat samar. 　　"Sakit saat gerhana matahari, lalu cepat pulih. Anak ini memang beruntung." 　　"Panggil Putra Mahkota ke istana." 　　Tak lama kemudian, Yu Jin berdiri menghadap: "Anak memberi salut pada Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming memandanginya: "Kau kurus." 　　Sudut bibir Yu Jin berkedut. 　　BAB lebih dari sepuluh kali sehari, mana mungkin tidak kurus? Sampai sekarang pantatnya masih sakit. 　　Memang menjadi Putra Mahkota bukan hal mudah - harus mengalami penderitaan terlebih dahulu. Untungnya dia sudah siap berkorban untuk meringankan beban kaisar dan saudara-saudaranya. 　　"Anak tidak berbakti, membuat Yang Mulia khawatir." 　　"Kekhawatiran memang ada, tapi kurus itu baik." Kaisar Jingming menghela nafas lega. 　　Mungkin setelah mengalami banyak kemalangan, bertemu Lao Qi yang beraura keberuntungan membuat hatinya tak terduga menjadi riang. 　　Tampaknya pemilihan Putra Mahkota tidak salah. 　　"Hari baik untuk upacara penobatan akan ditentukan setelah memilih kepala baru Biro Astronomi Kekaisaran. Jangan terburu-buru." 　　Yu Jin segera menjawab, "Anak lelaki tidak terburu-buru, semua akan mengikuti pengaturan Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengangguk, "Kalau begitu kau boleh pulang." 　　"Anak lelaki mohon diri." 　　Setelah Yu Jin pergi, Kaisar Jingming bertanya pada Pan Hai, "Menurutmu apakah Putra Mahkota bisa menghindari malapetaka ini karena ada hubungannya dengan Jenderal Xiaotian?" 　　Selama dua hari ini beliau merenung, dibandingkan kebetulan sakit, kemungkinan besar Er Niu lah yang memberi peringatan pada Lao Qi. 　　Harus diketahui bahwa Er Niu adalah Anjing Sakti yang bisa memprediksi gempa bumi. 　　Tapi apapun alasannya tidak penting, yang pasti Er Niu milik Lao Qi, pada akhirnya tetap Lao Qi yang beruntung. 　　Sebelum Pan Hai sempat menjawab, Kaisar Jingming sudah berjalan mendekati Jixiang yang sedang meringkuk di sudut, memandangi kucing putih itu dari atas dengan pandangan dalam, lalu menghela napas panjang. 　　Mengapa kucing gemuk peliharaanku sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda saat itu? 　　Jixiang mengangkat kepala dengan bingung sambil menggigit ikan kering kecil di mulutnya. 　　Manusia dan kucing saling menatap dengan mata besar cukup lama, akhirnya Jixiang berusaha menelan ikan keringnya lalu berbalik pergi, meninggalkan siluet punggung yang angkuh. 　　Kaisar Jingming kesal sambil mengusap hidungnya. 　　Sudahlah, sehebat apapun Er Niu bukan milikku, hanya Jixiang yang berasal dari keluargaku. 　　Tapi nanti setelah Er Niu pindah ke Istana Timur akan lebih mudah untuk bertemu, mungkin bisa membuat kandang anjing di sebelah sarang Jixiang agar kucing ini bisa ikut terpengaruh aura spiritualnya. 　　Kaisar Jingming tidak bisa menahan perasaan antusiasnya terhadap rencana kepindahan Er Niu ke Istana Timur. 　　Jiang Si mengunjungi Kediaman Marquis Yining setelah Yu Jin mengumumkan kesembuhannya. Setelah berurusan dengan Paman tertua Su dan lainnya, dia masuk ke kamar dalam untuk berbincang dengan Ibu Suri Marquis Yining. 　　"Apakah kondisi Putra Mahkota sudah membaik?" 　　"Berkat restu nenek, A Jin sudah pulih sepenuhnya." 　　Ibu Suri Marquis Yining tersenyum: "Putra Mahkota dilimpahi berkah langit, mana mungkin karena si nenek tua ini." 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya, berdesah pelan: "Memang A Jin beruntung bisa menjadi Putra Mahkota, tapi sebesar apapun berkahnya takkan sanggup menangkis konspirasi gelap yang terus mengintai." 　　Wajah Ibu Suri Marquis Yining berubah: "Si'er, maksudmu apa ini?" 　　Jiang Si memutuskan bicara terus terang, menatap mata sang nenek: "Nenek, jangan-jangan nenek benar-benar mengira pertanyaan saya dulu tentang masa lalu hanya sekadar rasa ingin tahu?" 　　Sorot mata Ibu Suri Marquis Yining berkedip. 　　Suara Jiang Si semakin berat: "Sebenarnya tak pantas membebani senior dengan hal ini, tapi status A Jin sebagai Putra Mahkota membuat kelalaian sekecil apapun bisa berakibat fatal. Kantor Astronomi Kekaisaran sengaja memilih hari gerhana matahari sebagai hari penobatan - ini bukan kebetulan, melainkan jebakan untuk menghancurkan A Jin." 　　Ekspresi Ibu Suri Marquis Yining bergetar hebat. 　　Jiang Si menundukkan pandangan dan tersenyum getir: "Saya dan A Jin adalah satu kesatuan sebagai suami istri. Jika A Jin celaka, bagaimana mungkin saya bisa lepas tangan? Andai hanya kami berdua mungkin tidak apa, tapi kami masih punya A Huan dan sanak keluarga seperti Yang Mulia. Sarang yang runtuh tak mungkin menyisakan telur utuh... Nenek, tolong bantu cucu perempuanmu ini." 　　Ekspresi Ibu Suri Marquis Yining berubah-ubah. Setelah waktu yang lama akhirnya ia menghela napas dalam: "Tanyalah." 　　Hati Jiang Si berdebar senang, segera melontarkan pertanyaan yang telah lama dipendamnya: "Saya ingin tahu alasan nenek berseteru dengan Janda Permaisuri." 810. BAB 807 Kenangan Lalu 　　BAB 807 Kenangan Lalu 　　Alis Ibu Suri Marquis Yining berkedut tak sadar, matanya menatap dalam ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si menggigit bibirnya perlahan, jantungnya berdebar kencang. 　　Jika sampai di titik ini nenek masih menolak membicarakan masa lalu, maka ia harus mencari jalan lain. 　　Suasana mencekam sejenak sebelum Ibu Suri Marquis Yining akhirnya berbicara: "Hubungan saya dengan Janda Permaisuri tidak bisa disebut berseteru." 　　Jiang Si tertegun, matanya tak berkedip menatap neneknya. 　　Ibu Suri Marquis Yining tersenyum getir: "Setidaknya bukan permusuhan biasa karena perselisihan atau kejadian buruk." 　　Jiang Si tak tahan bertanya: "Tapi saya dengar nenek dan Janda Permaisuri dulunya sahabat dekat, sangat akrab. Mengapa kemudian jarang berinteraksi?" 　　Apakah hanya karena Janda Permaisuri masuk istana sehingga sulit bertemu? 　　"Sangat akrab..." Ibu Suri Marquis Yining mengulang pelan, ekspresinya aneh. 　　“Nenek?” Jiang Si khawatir Ibu Suri Marquis Yining akan menutup kembali percakapan yang baru saja terbuka, sehingga tak bisa menahan diri untuk memanggil. 　　Ibu Suri Marquis Yining menarik kembali pikirannya, menatap cucu perempuannya yang tegang dengan senyum masam: "Masalahnya justru terletak pada keakraban itu, tapi hal ini terdengar agak konyol jika diucapkan..." 　　Jiang Si dengan patuh memijat kaki Ibu Suri Marquis Yining, berkata lembut: "Nenek, silakan bicara saja, lagipula tidak ada orang asing yang mendengar." 　　Ibu Suri Marquis Yining mengangguk halus, ekspresi wajahnya semakin aneh, mengucapkan kata-kata yang mengejutkan: "Aku merasa dia seperti berganti orang!" 　　Tangan Jiang Si bergetar, dia menggigit bibirnya kuat-kuat tidak berani bersuara. 　　Ibu Suri Marquis Yining matanya berkaca-kaca, tenggelam dalam kenangan: "Aku dan Janda Permaisuri adalah sahabat dekat, persahabatan ini tidak memudar bahkan sampai aku menikah. Saat itu Janda Permaisuri sering berkunjung ke Kediaman Marquis. Tapi entah sejak kapan, aku mulai merasa dia berbeda. Secara fisik, gerak-gerik, bahkan kebiasaan kecilnya tetap sama, tapi aku punya perasaan kuat bahwa dia bukan dirinya yang dulu..." 　　Wajah Ibu Suri Marquis Yining berubah pucat, menatap Jiang Si tajam: "Si'er, bisakah kau memahami perasaan seperti itu?" 　　Cahaya di mata Jiang Si berkelip-kedip, tetap diam tidak bersuara. 　　Ibu Suri Marquis Yining sebenarnya tidak membutuhkan jawaban, ia menghela napas panjang dan melanjutkan, "Setiap kali melihatnya, aku merasa ini seperti jasad sahabat karibku tapi dengan jiwa yang berbeda. Bahkan sempat terpikir apakah dia seperti dalam cerita catatan sejarah tidak resmi yang digantikan hantu pengembara yang merebut keperawanannya..." 　　Sampai di sini, senyum getir Ibu Suri Marquis Yining semakin dalam: "Hal-hal aneh itu akhirnya hanya cerita belaka. Kupikir diriku mungkin kerasukan setan sehingga punya pertanyaan aneh semacam ini. Tapi begitu pertanyaan ini muncul, tak bisa dihilangkan. Saat menghadapinya lagi, hanya ketakutan yang ada di hatiku, perlahan menjauh pun terjadi dengan sendirinya." 　　"Kalau begitu, waktu itu Janda Permaisuri tidak tahu pemikiran Yang Mulia?" Jiang Si menekan badai hebat di hatinya, bertanya dengan tenang. 　　Ibu Suri Marquis Yining menggeleng: "Tentu tidak akan kukatakan. Pemikiran ini terlalu absurd untuk diucapkan." 　　Jiang Si mengangguk paham. 　　Seandainya seorang teman dekat bertanya apakah dia dirasuki hantu pengembara, pasti akan dikira sakit jiwa. 　　Ibu Suri Marquis Yining membelai rambut Jiang Si penuh kasih, berdesah: "Jika bukan karena si gadis ini terus bertanya, nenek pasti akan membawa rahasia ini ke peti mati." 　　Maukah reputasinya sebagai sesepuh ternoda jika generasi muda tahu pemikiran nyelenehnya di masa muda? 　　Jiang Si menatap Ibu Suri Marquis Yining, bertanya sungguh-sungguh: "Nenek, apakah Yang Mulia pernah berpikir mungkin perasaanmu itu benar?" 　　“Ibu Suri Marquis Yining gemetar seluruh tubuhnya, berkata dengan suara serak: ‘Si'er, bagaimana kau bisa punya pikiran seperti ini?’” 　　“Nenek mungkin tidak tahu, Putri Fuqing berkali-kali menjadi target percobaan pembunuhan di istana, setiap kali selalu terkait dengan Istana Cining. Putri ke-14 bahkan sampai kehilangan nyawa karenanya. Jika dikaitkan dengan Janda Permaisuri, tapi segala aspek kehidupan beliau sempurna, hampir tak ada kekurangan. Sungguh tak terbayang alasan beliau bermusuhan dengan seorang putri. Saya terus berpikir tapi tak ketemu jawaban, hingga mendengar perkataan nenek muncul ide baru——” 　　Ibu Suri Marquis Yining mendengar penuturan Jiang Si tentang kejadian mengerikan di istana, jantungnya berdebar kencang. Buru-buru bertanya: “Ide apa?” 　　Jiang Si mengatupkan bibirnya, suaranya berat: “Bagaimana jika sejak awal Janda Permaisuri bukanlah yang asli? Maka orang yang mati-matian menyamar sebagai beliau pasti punya agenda tersembunyi, dan bukan agenda kecil. Dengan begitu, semua kejanggalan ini bisa dijelaskan.” 　　Wajah Ibu Suri Marquis Yining dipenuhi keterkejutan: “Janda Permaisuri bukan dirinya sendiri? Lalu siapa dia?” 　　Jiang Si diam beberapa saat, bertanya: “Apakah nenek tak menemukan jejak-jejak kecil sekalipun?” 　　Ibu Suri Marquis Yining merenung lama, akhirnya menggeleng: “Hanya ada perasaan tak enak, dan tak lama kemudian dia masuk istana. Sejak itu hampir tak ada kontak, paling-paling bertemu saat upacara tahunan ketika para nyonya bangsawan masuk istana untuk salut. Mana mungkin menemukan sesuatu.” 　　Melihat tak ada informasi dari sisi Janda Permaisuri, Jiang Si mengalihkan topik: “Saya juga dengar dulu ada wanita dari suku asing yang tinggal di Kediaman Marquis?” 　　“Wajah Ibu Suri Marquis Yining berubah sedikit, secara refleks menegangkan tubuh.” 　　Jiang Si berhenti sejenak, bertanya: “Apakah ada kejadian khusus antara wanita suku asing itu dengan Janda Permaisuri? Kemana perginya setelah itu?” 　　Ibu Suri Marquis Yining menatap Jiang Si dalam-dalam, kemudian benar-benar membisu. 　　Jiang Si tidak berani menyuruhnya tergesa-gesa, menundukkan pandangan sambil menunggu. 　　Cahaya dalam ruangan agak redup, suara Ibu Suri Marquis Yining terdengar samar-samar. 　　Jiang Si mendengar ucapannya yang perlahan-lahan: “Sebenarnya, wanita suku asing itulah nenek dari pihak ibumu.” 　　Jiang Si langsung membelalakkan mata, memandang Ibu Suri Marquis Yining dengan terkejut. 　　Meski pernah menduga kemiripan wajahnya dengan A Sang, mendengar pengakuan langsung dari neneknya sendiri tetap mengguncang hatinya bagai badai hebat. 　　Setelah mengucapkan bagian tersulit, Ibu Suri Marquis Yining melanjutkan dengan lebih lancar: “Tahun itu aku nyaris celaka saat bersantai di luar, diselamatkan oleh seorang wanita suku asing. Melihatnya mengembara sendirian, kubawa ia tinggal sementara di Kediaman Marquis... Kemudian ia berkenalan dengan pelajar yang datang ke ibu kota untuk ujian. Setelah gagal, pelajar itu menghilang. Tak lama kemudian ia hamil dan melahirkan sepasang putri kembar.” 　　Ibu Suri Marquis Yining memandang Jiang Si sambil menghela napas: “Salah satu dari kembar itu adalah ibumu, A Ke.” 　　“Yang satunya?” 　　“Hilang.” 　　“Hilang?” 　　“Ibu Suri Marquis Yining tersenyum getir: “Benar, tepat sehari setelah melahirkan, dia menghilang. Yang ikut lenyap adalah kakak kembarnya, sementara adiknya ditinggalkan di Kediaman Marquis. Saat itu saya kebetulan hendak bersalin. Dua minggu kemudian, saya melahirkan seorang putri yang sayangnya meninggal. Maka putri yang ditinggalkannya itu saya angkat sebagai anak sendiri.”” 　　Putri tidak terlibat persaingan gelar bangsawan maupun harta warisan. Dengan mempersiapkan barang-barang mahar yang baik lalu menikahkannya, hal ini tentu menjadi penopang yang bagus bagi keluarga. Tindakan Ibu Suri Marquis Yining ini wajar adanya. 　　“Nenek, apakah Yang Mulia tahu asal-usul beliau?” 　　Ibu Suri Marquis Yining terdiam sejenak lalu berkata: “Dia seharusnya berasal dari suku Wu Miao.” 811.BAB 808 Spekulasi 　　BAB 808 Spekulasi 　　Setelah Jiang Si meninggalkan Kediaman Marquis Yining, Ibu Suri Marquis Yining memanggil Marquis Yining yang tua. 　　“Si’er sudah tahu tentang nenek dari pihak ibunya.” 　　Marquis Yining yang tua tertegun, lalu berkata kesal: “Bukankah sudah disepakati untuk tidak membicarakan hal ini kepada siapapun? A Ke sudah tiada bertahun-tahun, mengapa kau memberitahu Si’er tentang ini?” 　　Putri kandungnya yang baru lahir telah meninggal. Ia benar-benar menganggap A Ke sebagai putri kandungnya sendiri. Saudara kandung Jiang dalam hatinya adalah cucu darah dagingnya. 　　Di mata Marquis Yining yang tua, tindakan Ibu Suri Marquis Yining membocorkan rahasia ini adalah mencari masalah tanpa alasan. 　　“Ibu Suri Marquis Yining menghela napas: ‘Si'er dan Zhan'er berbeda dengannya, dia adalah calon Permaisuri Putra Mahkota. Mengetahui beberapa hal setidaknya memungkinkannya bersiap, daripada tetap dibodohi dan dimanfaatkan orang di kemudian hari.’” 　　Alasan sebenarnya yang membuatnya tak bisa terus berbohong adalah dugaan mengejutkan cucu perempuannya tentang Janda Permaisuri. 　　Jika sejak awal masuk istana Janda Permaisuri bukanlah sosok yang sebenarnya, bahkan membawa konspirasi besar - ini terlalu mengerikan. Dia tak bisa mengorbankan altar leluhur Dinasti Zhou demi rahasianya sendiri. 　　Meski seorang wanita dan si nenek yang sudah di ambang kematian, dia tetap warga Dinasti Zhou. 　　Marquis Yining yang tua masih bingung: ‘Saat itu hanya kita yang tahu, paling-paling beberapa pelayan dekat. Selama bertahun-tahun para pelayan itu sudah tiada, kenapa kau masih khawatir?’” 　　“‘Tembok pun punya celah. Dalam posisi Si'er sekarang, lebih baik tahu banyak meski risau daripada buta sama sekali. Si tua, jangan-jangan kau takut Si'er akan menjauh dari kita?’” 　　“‘Siapa yang takut? Si'er bukan tipe orang begitu,’” sang Marquis tua berkata dengan malu. 　　Ibu Suri Marquis Yining tersenyum: “‘Nah, sudahlah. Jangan terus cemberut. Kau selamanya akan menjadi kakek Si'er.’” 　　Wajah Marquis tua memerah, bergumam: “‘Sudah kubilang bukan karena itu!’” 　　Jiang Si bergegas kembali ke Kediaman Pangeran Yan, menyuruh orang memanggil Yu Jin di halaman depan. 　　Seiring perubahan status Yu Jin, para pejabat istana pangeran sibuk berunding di ruang belajar. 　　“Paduka, Permaisuri Putra Mahkota meminta kehadiran Paduka.” Pelayan pria Yuan Bao tidak peduli dengan perdebatan sengit di dalam, langsung berteriak ke arah pintu. 　　Menginterupsi rapat Putra Mahkota sama sekali tidak penting, menunda panggilan Permaisuri Putra Mahkota berarti mencari celaka. 　　Pengalaman berharga ini mungkin bisa ditukar dengan tael perak di kemudian hari. 　　Yu Jin melangkah cepat dengan kaki panjangnya keluar dari ruang belajar, meninggalkan kerumunan yang menatap Sekretaris istana senior. 　　Sekretaris istana senior mengusap hidungnya, berkata pasrah: "Lanjutkan." 　　Lihat aku untuk apa? Kalau memandangku bisa berguna, aku sudah lama bercermin tiap hari. 　　Setiap saat seperti ini, Sekretaris istana senior tak bisa menahan keraguan: Bagaimana Pangeran seperti ini bisa menjadi Putra Mahkota? 　　Yu Jin segera kembali ke Istana Yuhe, duduk bersebelahan dengan Jiang Si sambil menyeruput teh, mengusap sudut matanya: "Tadi hampir tertidur, akhirnya bisa bebas. Ada hasil dari kunjungan ke Keluarga Marquis Yining?" 　　"Banyak informasi penting. Yang terpenting, nenek dari pihak ibu mengatakan nenek kandungku berasal dari Suku Wu Miao..." 　　Setelah mendengar penjelasan Jiang Si, Yu Jin menghela napas: "Ternyata kau dan Imam Suci A Sang adalah sepupu, pantas wajah mirip." 　　Jiang Si masih bingung: "Meskipun ibu kami adalah saudari kembar, tapi kemiripan kami tetap aneh." 　　Tidak pernah dengar putri dari saudari kembar memiliki wajah sama persis. 　　Yu Jin merenung sejenak: "Kurasa ini terkait darah daging khusus kalian." 　　"Maksudmu——" 　　"A Sang adalah Imam Suci Wu Miao, tapi semasa hidupnya ia belum sepenuhnya menguasai ilmu mengendalikan Gu. Yang menguasai teknik misterius ini adalah kau. Aku berpikir, mungkin kaulah Imam Suci Terpilih, sementara A Sang karena memiliki darah imam yang tipis secara misterius memiliki wajah yang mirip denganmu. Ini mungkin ujian dari langit bagi Suku Wu Miao, sehingga melahirkan dua gadis dengan wajah mirip dan hubungan darah..." 　　Jiang Si mendengarkan analisis Yu Jin dengan tenang, berbisik lembut: "Tetua juga pernah memiliki keraguan seperti itu." 　　Jika dirinyalah sang Imam Suci, sedangkan A Sang bukan, maka dalam kehidupan sebelumnya siapa sebenarnya yang memanfaatkan identitas siapa? Benar-benar perhitungan yang kacau... 　　"Mengenai Janda Permaisuri, jika firasat Ibu Suri Marquis Yining tidak salah, kemungkinan besar beliau sudah digantikan orang sebelum masuk istana! Yang menggantikannya hampir pasti orang Wu Miao! A Si, kau pasti paham tentang teknik penyamaran ajaib Wu Miao. Menurutmu apakah mungkin seperti itu?" 　　Jiang Si mengangguk: "Jika dua orang tersebut memang sebaya, dengan bentuk wajah dan postur mirip, teknik penyamaran Wu Miao benar-benar bisa menipu mata." 　　Yu Jin mengusap-usap cangkir tehnya dengan wajah serius: "A Si, pernahkah kau berpikir bahwa nenek maternalmu yang sebenarnya mungkin adalah pelaksana skema penggantian Li dengan Tao ini?" 　　Kelopak mata Jiang Si bergetar halus, sejenak terdiam. 　　Yu Jin menggenggam tangan Jiang Si, menganalisis: "Ibu Suri Marquis Yining, wanita suku asing, dan Janda Permaisuri - ketiganya memiliki persinggungan singkat pada periode itu. Setelah itu Janda Permaisuri masuk istana, sementara Ibu Suri Marquis Yining merasa sahabat dekatnya seolah berganti orang. Lantas peran apa yang dimainkan wanita suku asing ini? Jika A Si adalah wanita suku asing itu, apa tujuanmu muncul di Kediaman Marquis Yining?" 　　Jiang Si baru berbicara setelah lama terdiam: "Jika aku adalah wanita Wu Miao yang mendekati nenek dari pihak ibu dengan rencana penggantian Li dengan Tao, melalui nenek aku bisa berhubungan dengan calon permaisuri putra mahkota. Dengan mengamati perilakunya, pengganti Janda Permaisuri bisa bertindak tanpa cela, sukses menjadi Permaisuri Putra Mahkota Dinasti Zhou, lalu naik menjadi Permaisuri dan Janda Permaisuri-" 　　Semakin diucapkan, rasa ngeri yang besar menyebar di hati Jiang Si. 　　Masuknya Janda Permaisuri ke istana sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Jika Wu Miao sudah mulai menyusun strategi sejak saat itu, sungguh mengerikan. 　　Jiang Si menggenggam erat tangan Yu Jin: "A Jin, menurutmu apa sebenarnya tujuan Wu Miao? Jangan-jangan mereka ingin menggulingkan negara seluas sepuluh ribu li Dinasti Zhou?" 　　"Jika demikian, target Janda Permaisuri seharusnya adalah Ayah Kaisar, bukan Fuqing." 　　"A Jin jangan lupa, yang membuat Janda Permaisuri bertindak bukan hanya Fuqing, tapi juga Putra Mahkota yang Dipecat." 　　Yu Jin menggelengkan kepala: “Wu Miao ingin menggulingkan negara Dinasti Zhou tetap tidak masuk akal. Meski orang Wu Miao punya beberapa strategi ajaib, tapi jumlah kerabat mereka sedikit. Menguasai belasan suku di Perbatasan Selatan saja sudah sulit, manfaat apa yang mereka dapat dari menggulingkan Dinasti Zhou? Seseorang mungkin bisa mengabaikan keuntungan pribadi, tapi tindakan suatu suku pasti didorong oleh kepentingan. Tujuan mereka mungkin masih terkait dengan Imam Suci. Perlu diketahui krisis Wu Miao selama ini muncul karena kekosongan posisi Imam Suci.” 　　Jiang Si mengangguk setuju, mengerutkan alis: “Spekulasi tentang tujuan Wu Miao bisa ditunda dulu. Prioritas sekarang adalah Membongkar Kebohongan Janda Permaisuri agar dia berhenti membuat kekacauan.” 　　Janda Permaisuri menggunakan tangan orang lain untuk membunuh Putra Mahkota yang Dipecat, berkali-kali mencoba mencelakai Putri Fuqing. Sekarang A Jin menjadi Putra Mahkota, setelah ada rencana licik gerhana matahari, target Janda Permaisuri berikutnya jelas adalah kami. 　　Baik pasif menunggu bahaya maupun sekadar menanggapi intriknya bukanlah pilihan yang diinginkannya. Yang dia mau adalah mengambil inisiatif untuk membereskan ancaman besar ini. 　　“Buktinya mana?” Yu Jin menghela nafas, “Teori penggantian Janda Permaisuri dengan Penggantian Li dengan Tao ini sepenuhnya berdasarkan perasaan Ibu Suri Marquis Yining. Yang lebih penting, substitusi ini terjadi sebelum dia masuk istana. Bagi Ayah Kaisar dan semua yang pernah berinteraksi dengannya, dia tetap Janda Permaisuri yang sama dari dulu sampai sekarang.” 812.BAB 809 Panggilan 　　BAB 809 Panggilan 　　“Seorang wanita yang telah memasuki istana selama puluhan tahun, bertahan melewati almarhum Kaisar dan sekumpulan selir, duduk kokoh di posisi Janda Permaisuri, tiba-tiba lari menghadap Kaisar yang dibesarkannya dan mengatakan bahwa Janda Permaisuri ini palsu—ini bukan sekadar membuat masalah, ini membuat masalah besar! 　　Yu Jin mengusap-usap cangkir tehnya, nada suaranya berat: “Yang lebih penting, kita sama sekali tidak mungkin mencari terobosan dari keluarga Janda Permaisuri.” 　　Dibandingkan mengatakan di hadapan Kaisar Jingming bahwa Janda Permaisuri itu palsu, mengatakan hal yang sama pada keluarga Janda Permaisuri justru lebih absurd. 　　Kedua orangtua Janda Permaisuri telah lama meninggal, bahkan sejak dulu orangtuanya sendiri tidak menyadari keanehan, apalagi orang lain. Bahkan bisa dikatakan, seandainya orangtuanya menyadari putri mereka telah diganti, demi kepentingan keluarga mereka pasti akan tutup mulut. 　　Seorang Permaisuri Putra Mahkota yang sudah pasti, terlepas dari benar atau palsu, bagi keluarga Janda Permaisuri pasti dianggap nyata. 　　Saat ini, keluarga Janda Permaisuri sedang menikmati berkah dari posisinya. Kecuali mereka gila, tidak mungkin akan muncul membongkar rahasia. 　　“Titik awal untuk masalah ini tetap harus berada di pihak Wu Miao.” Kata Yu Jin. 　　Pandangan Jiang Si tertuju ke selatan, bergumam pelan: “Tetua pernah berkata, bertahun-tahun lalu nenek dari pihak ibu A Sang membawa pulang seorang bayi perempuan, yaitu ibu kandung A Sang. Sejak itu nenek dari pihak ibu A Sang tak pernah lagi meninggalkan Wu Miao sampai akhir hayatnya.” 　　Nenek dari pihak ibu A Sang, juga adalah nenek dari pihak ibunya sendiri. 　　"Yang sebenarnya selain nenek dari pihak ibu A Sang, mungkin hanya Tetua Besar Wu Miao yang paling tahu. Tapi bagaimana mungkin Suku Wu Miao mengakui telah melakukan penggantian Li dengan Tao terhadap Janda Permaisuri Dinasti Zhou? Jika benar-benar diakui, meski Ayah Kaisar berwatak paling sabar sekalipun pasti akan berkonflik abadi dengan Wu Miao." Setelah menganalisis, Jiang Si menggigit bibirnya, "Bagaimanapun juga, kita harus mencoba." 　　Saat ini bukan lagi masalah keselamatan pribadi mereka, melainkan menyangkut negara dan altar leluhur Dinasti Zhou yang telah berusia ratus tahun. 　　Jiang Si mengambil sebuah kepingan kecil dari petak rahasia, ternyata itu adalah perintah Imam Suci Suku Wu Miao. 　　Ia menyerahkan perintah Imam Suci itu kepada Ah Man, lalu berbisik memberikan instruksi. 　　Ah Man segera melaksanakan perintah itu. 　　Tak sampai setengah hari, seorang nenek berpenampilan biasa memasuki pintu sudut Kediaman Pangeran Yan. 　　"Berkunjung menghadap Imam Suci." Setelah bertemu Jiang Si, sang nenek segera memberikan barang bawaan. 　　Jiang Si mengamati nenek itu lalu tersenyum tipis: "Tetua Hua, sudah lama kita tidak bertemu." 　　Tetua Hua yang sebelumnya membungkuk kini berdiri tegak sambil tertawa: "Kupikir tidak akan ada kesempatan bertemu Yang Mulia dalam waktu dekat." 　　Setelah Jiang Si meninggalkan Wu Miao, Tetua Hua atas perintah Tetua Besar kembali ke ibu kota dengan identitas baru, bertujuan untuk mempermudah komunikasi dengan Jiang Si. 　　Bagi Suku Wu Miao, pentingnya Jiang Si tidak perlu diragukan lagi. 　　Jiang Si menjawab: "Aku juga berpikir demikian." 　　Meski kini tahu dalam dirinya mengalir darah Wu Miao yang tipis, baginya tetaplah ia orang Dinasti Zhou. 　　"Imam Suci memanggil hamba, ada keperluan apa?" 　　Jiang Si mengulurkan Perintah Imam Suci, dan saat Tetua Hua masih tertegun, ia langsung bersikap terbuka: "Saya ingin tahu apakah Janda Permaisuri adalah orang Wu Miao." 　　Pupil Tetua Hua menyempit tiba-tiba, kulit wajahnya bergetar tak terkendali. 　　Jiang Si mengamati reaksi spontan Tetua Hua, dalam hati membenarkan tebakannya bersama Yu Jin. 　　Eh, menurut A Jin, ini bukan disebut menebak tapi membuat dugaan. 　　Bagaimanapun, Janda Permaisuri pastilah orang Wu Miao. 　　"Tetua Hua?" 　　Tetua Hua tersentak, matanya berkedip-kedip: "Perkataan Imam Suci mengejutkan saya, mana mungkin Ibu Suri Dinasti Zhou berasal dari Wu Miao?" 　　"Terkejut?" Jiang Si tersenyum sinis. "Jika Tetua Hua masih terus tidak jujur padaku, maka saya akan mengundurkan diri dari posisi Imam Suci ini." 　　Wajah Tetua Hua berubah drastis: "Imam Suci, bagaimana Yang Mulia bisa-" 　　Apakah posisi Imam Suci semurah pelayan toko yang bisa mengundurkan diri sesuka hati? Ini berarti menghina Wu Miao! 　　Jiang Si merengut: "Andai yang berdiri di hadapan Tetua Hua adalah Imam Suci Wu Miao asli, apakah Tetua Hua juga akan berbicara berbelit-belit?" 　　Tetua Hua tertegun oleh pertanyaan itu. 　　Jiang Si mencemooh: "Wu Miao tak membuka hati padaku, mengapa aku harus menjadi Imam Suci yang hambar ini?" 　　Melihat urat pelipus Tetua Hua berdenyut-denyut, Jiang Si menyeringai: "Ini adalah ibu kota Dinasti Zhou, kediaman Pangeran Yan. Jika benar-benar ingin mundur, apakah Tetua Hua bisa menculikku dari sini kembali ke Wu Miao? Jangan lupa, sekarang tak ada lagi kakak laki-lakiku di Wu Miao." 　　“Imam Suci ingin melanggar perjanjian?” Wajah Tetua Hua sangat muram. 　　Jiang Si tetap tenang: "Syarat utama memegang janji adalah kejujuran. Aku bertanya sekali lagi, apakah Janda Permaisuri sebenarnya orang Wu Miao yang menyamar?" 　　Tetua Hua menggerakkan bibirnya, jelas sangat bimbang. 　　Jiang Si mengingatkan dengan dingin: "Jangan kau coba-coba mengelabui aku dengan dalih tak tahu rahasia suku. Tetua sudah sangat tua, sedangkan kau saat ini satu-satunya orang selain A Lan yang mengetahui kebenaran tentang Imam Suci. Mengirimmu ke ibu kota untuk berkomunikasi denganku, pasti Tetua telah memberitahukan segalanya. Jika tidak, aku masih dianggap orang asing oleh Wu Miao, A Lan hanyalah dayang kecil yang tak bisa diandalkan. Jika Tetua meninggal tiba-tiba, apakah rahasia Wu Miao akan ikut terkubur, meninggalkan kerabat dalam kebingungan?" 　　Tetua Hua tak tahan lagi: "Bagaimana Imam Suci bisa mengutuk Tetua seperti ini?" 　　Jiang Si meliriknya dingin: "Bulan punya fase cerah dan gelap, manusia punya nasib baik-buruk. Mana ada unsur kutukan? Jika semua bisa berjalan sesuai keinginan, Wu Miao takkan repot mencari Imam Suci, bukan?" 　　Tetua Hua terdiam tak bisa membalas. 　　Jiang Si menuangkan secangkir teh dan menyodorkannya sambil tersenyum: "Lebih baik Tetua jelaskan semuanya. Dengan begitu aku bisa tenang membantu Wu Miao." 　　Tetua Hua terdiam lama. Uap panas dari teh mengaburkan wajah biasa itu. 　　Jiang Si hampir tak kuasa menahan dorongan untuk menggosok penyamaran di wajah Tetua Hua dengan saputangan. 　　Mungkin karena setiap kali menyamar selalu disertai pengalaman yang tidak menyenangkan, ia sangat enggan melihat wajah palsu di rumah sendiri. 　　Tentu, akal sehat membuatnya diam-diam menahan diri. 　　Tetua Hua akhirnya membuka mulut: "Mengapa Yang Mulia mencurigai Janda Permaisuri negara ini?" 　　Jiang Si mengangkat cangkir teh dan menyeruput: "Karena belakangan ini saya baru mengetahui asal-usul diri." 　　Untuk mengorek rahasia dari mulut Tetua Hua, harus ada keterusterangan, ini namanya timbal balik. 　　"Asal-usul?" Tetua Hua tertegun. 　　Jiang Si meletakkan cangkir teh dengan santai: "Saya baru tahu nenek dari pihak ibu saya adalah orang Wu Miao. A Sang dan saya sebenarnya saudara sepupu." 　　Tetua Hua tampak tidak percaya: "Tidak mungkin! Nenek A Sang yang kembali ke suku hanya membawa satu bayi perempuan, sejak itu tak pernah meninggalkan Wu Miao lagi. Mana ada sepupu untuk A Sang?" 　　"Dia meninggalkan seorang bayi perempuan di Dinasti Zhou, yaitu ibu kandung saya, Nyonya Su." 　　Bibir Tetua Hua bergetar hebat, lama akhirnya melontarkan: "Yang Mulia... Yang Mulialah Imam Suci sejati!" 　　Bagi orang Wu Miao, fokus utama tetaplah Imam Suci. 　　Permaisuri Putra Mahkota Dinasti Zhou di depan mata ini memiliki darah Wu Miao dan menguasai ilmu mengendalikan Gu, maka dialah Imam Suci, bukan A Sang. 　　Sekalipun darah Wu Miao A Sang lebih murni daripada Jiang Si. 　　Jiang Si jelas merasakan perubahan dalam sorotan mata Tetua Hua padanya. 　　Inilah alasan keterusterangannya - status Imam Suci sejati dalam hati Tetua Hua akhirnya berbeda. 　　“Tetua Hua bisa bicara sekarang?” 813. BAB 810 Bidak 　　BAB 810 Bidak 　　Tetua Hua menatap Jiang Si, perasaannya bergejolak. 　　Dari mata lawannya, ia melihat keteguhan. 　　Tetua Hua teringat performa Jiang Si di Wu Miao. 　　Ini adalah orang yang bahkan berani berdebat dengan Tetua, bahkan mengancam Tetua, apalagi dirinya? 　　Setelah berjuang sejenak, Tetua Hua memilih menyerah. 　　“Benar, Janda Permaisuri negara Anda adalah anggota kami.” 　　Mata Jiang Si berkedip, tangannya di lutut menggenggam pelan, namun nada bicaranya tetap tenang: “Siapa Janda Permaisuri? Apa hubungannya dengan nenek saya?” 　　Tetua Hua yang sudah membuka mulut, kini menyesal. 　　Untuk urutan sepenting ini, seharusnya ia melapor dulu pada Tetua. Mengapa bisa tidak bertahan dan langsung bicara? 　　“Apakah Tetua Hua tidak mau bicara lagi?” Jiang Si meletakkan tangan di meja teh, wajahnya dingin. 　　Tetua Hua melirik cangkir teh di samping tangan Jiang Si, muncul pertanyaan aneh: Jika ia berhenti bicara, apakah Imam Suci akan menyiramkan teh kepadanya? 　　Imam Suci pasti bisa melakukan hal seperti itu! 　　Menarik napas dalam-dalam, Tetua Hua pasrah: “Harap Imam Suci bersabar, dengarkan penjelasanku. Janda Permaisuri awalnya wanita biasa dari Wu Miao. Karena usia dan kecantikannya mirip dengan calon permaisuri putra mahkota Dinasti Zhou saat itu, maka dipilih untuk menggantikan calon permaisuri. Nenekmu ahli seni penyamaran dan peniruan, dialah pelaksana rencana ini...” 　　Seiring penuturan Tetua Hua, pemahaman Jiang Si tentang masa lalu ini semakin jelas, sesuai dengan dugaan mereka. 　　Karena alasan tertentu, Suku Wu Miao perlu menempatkan orang sendiri di tempat paling terhormat Dinasti Zhou. Setelah berbagai pertimbangan, calon Permaisuri Putra Mahkota saat itu dipilih. Lalu nenek pihak ibu A Sang diutus ke Dinasti Zhou, menggunakan Ibu Suri Marquis Yining sebagai batu loncatan untuk mendekati calon Permaisuri Putra Mahkota. Seiring waktu, mereka mempelajari tutur kata dan perilaku sang calon Permaisuri, lalu mengajarkannya kepada gadis Wu Miao yang memiliki kemiripan fisik, sehingga terjadi penggantian Li dengan Tao. 　　Rencana ini sangat berani, namun bukan mustahil untuk direalisasikan. 　　Seorang putri bangsawan yang mendekati usia pernikahan, interaksinya dengan keluarga memang takkan terlalu intens. Setelah Permaisuri diganti, selama berhati-hati dalam bicara dan bertindak, keanehan takkan terdeteksi. Sekalipun ada yang curiga, siapa yang berani bersuara? Begitu sang Permaisuri masuk istana, semua perubahan semakin tak terlihat. 　　Rencana ini nyaris sempurna, tapi melupakan satu hal: Ibu Suri Marquis Yining adalah sahabat dekat Permaisuri asli, pengetahuannya melebihi keluarga Permaisuri sendiri. 　　Intuisi wanita seringkali tajam. 　　Jiang Si bersyukur Ibu Suri Marquis Yining saat itu memendam kecurigaannya alih-alih konfrontasi, kalau tidak, nyawanya mungkin sudah melayang tanpa sebab jelas. 　　"Jika nenek kandungku yang asli datang ke Dinasti Zhou untuk misi penggantian ini, mengapa malah jatuh cinta pada pria Dinasti Zhou?" 　　Tetua Hua matanya berkedip samar, menghela napas: "Imam Suci telah menjadi istri orang, bukankah Anda mengerti bahwa di dunia ini hanya cinta antara pria dan wanita yang paling tak tertahankan?" 　　Jiang Si terdiam sejenak. 　　Ia ucapan Tetua Hua ini masuk akal. 　　Jika bisa bersikap rasional, tentu tidak akan ada kelanjutan hubungan sebelumnya antara dirinya dengan A Jin. 　　Dirinya begitu, nenek dari pihak ibu itu mungkin juga demikian. 　　Namun Jiang Si masih menyimpan keraguan. 　　Jika nenek dari pihak ibu itu hanya menjalin hubungan cinta biasa dengan pria Dinasti Zhou, mengapa pergi tergesa-gesa setelah melahirkan putri? Dan mengapa hanya membawa satu putri, meninggalkan yang lain? 　　Tetua Hua ragu-ragu: "Mungkin dia tidak bisa membawa dua bayi sendirian dalam perjalanan jauh." 　　Jiang Si menatap Tetua Hua sambil tersenyum samar: "Karena nenek datang atas perintah, bukankah pasti ada kerabat yang membantu diam-diam?" 　　Tetua Hua tertegun, menjawab kaku: "Ini saya tidak tahu, kejadian tahun itu sama sekali tidak saya ketahui. Kebetulan saja berhubungan dengan Yang Mulia, Tetua pun memberitahu hal-hal ini." 　　"Kalau begitu Permaisuri Janda hanyalah wanita Wu Miao biasa, apakah dia menguasai Ilmu Gaib Wu Miao?" 　　"Seperti kebanyakan wanita Wu Miao biasa, hanya tahu kulitnya saja." 　　Jiang Si menggerakkan alisnya. 　　Bila demikian, Permaisuri Janda sebenarnya bukan figur inti Wu Miao, melainkan berperan sebagai bidak. 　　Sebuah bidak yang menjadi Permaisuri Janda Dinasti Zhou? 　　Jiang Si tiba-tiba mendapat ilham, seolah menangkap sesuatu, namun ketika dipikir lebih dalam jejaknya menghilang. 　　“Apakah Tetua Hua mengetahui alasan penggantian Li dengan Tao?” 　　Tetua Hua menghindar dengan mengalihkan topik: "Imam Suci mengetahui bahwa Janda Permaisuri berasal dari Suku Wu Miao, apa rencana Anda?" 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu mengangkat alis bertanya: "Jika harus memilih antara saya dengan Janda Permaisuri, menurut Tetua Hua bagaimana pilihan Tetua?" 　　Tetua Hua tertegun. 　　Meski bukan Tetua, dia tahu jawabannya sudah pasti: tentu Imam Suci lebih penting. 　　Bidak yang berjalan sejauh apa pun tetaplah bidak, mana bisa disamakan dengan Imam Suci? 　　"Pangeran sekarang menjadi Putra Mahkota, Tetua Hua sudah dengar kabarnya?" 　　Tetua Hua mengangguk. 　　Ekspresi Jiang Si menjadi dingin: "Tapi Janda Permaisuri ingin membunuh Putra Mahkota baru. Saya dan Putra Mahkota bagai satu tubuh, jika dia celaka mana mungkin saya bisa lepas tangan? Pada akhirnya, Tetua mungkin harus memilih antara saya dengan Janda Permaisuri." 　　"Itu tidak mungkin!" seru Tetua Hua spontan. 　　Jiang Si menyunggingkan senyum sinis: "Ya, tindakan Janda Permaisuri bertentangan dengan ramalan yang Tetua sampaikan padaku. Jika Putra Ketujuh Naga adalah pembawa cahaya fajar untuk Wu Miao, mengapa Janda Permaisuri yang berasal dari Wu Miao justru ingin mencelakai A Jin?" 　　Wajah Tetua Hua terlihat bingung sesaat. 　　Sorot mata Jiang Si menjadi tajam, bertanya perlahan: "Apakah bidak akan selalu patuh?" 　　Wajah Tetua Hua berubah pucat. 　　"Apakah rencana penggantian Li dengan Tao terkait dua ramalan lainnya?" tanya Jiang Si lagi. 　　“Tetua Hua tak bisa menahan diri mengangguk, setelah sadar kembali wajahnya serius berkata: "Imam Suci sangat cerdas, tapi dua ramalan itu apa saya tidak tahu, meski tahu, tanpa izin Tetua tidak boleh mengatakannya, harap Yang Mulia mengerti." 　　Ini adalah batas bawahannya, bahkan jika Imam Suci benar-benar menyiramkan teh padanya, dia tidak akan menyerah. 　　Jiang Si menaruh perintah Imam Suci ke telapak tangan Tetua Hua, sekaligus menambahkan surat: "Kalau begitu mohon Tetua Hua menyampaikan surat ini ke Tetua, saya menunggu pilihan Tetua." 　　Tetua Hua menggenggam perintah Imam Suci, terasa berat bagai seribu kati, lama kemudian mengangguk. 　　Jiang Si tersenyum: "Ah Man, antar tamu keluar." 　　Setelah mengantar Tetua Hua pergi, Jiang Si memanggil Yu Jin dan menceritakan informasi yang didapat. 　　"Surat sampai ke tangan Tetua masih butuh beberapa hari, bagaimana tindakan Tetua masih belum pasti..." 　　Yu Jin melihat kecemasan samar di wajah Jiang Si, menenangkannya dengan menepuk punggung tangannya: "Janda Permaisuri baru saja menjebakku dalam upacara penobatan, melihat kehati-hatiannya menjebak Putri Fuqing, setidaknya sebelum kita pindah ke Istana Timur dia akan memilih berdiam diri. Jangan terlalu khawatir, kita hadapi segala rintangan." 　　Memikirkan Janda Permaisuri, Yu Jin wajahnya dingin: "Ekor rubah Janda Permaisuri tersembunyi dalam, saat ini justru tidak takut dia bertindak, yang dikhawatirkan jika dia menarik kepala dan diam-diam menjadi Janda Permaisuri, itu baru membuat kita tak berdaya." 　　Semakin banyak bertindak, semakin banyak kesalahan, selalu ada benarnya. 　　Saat Jiang Si menunggu surat balasan dari Tetua, sebuah laporan investigasi terhampar di hadapan Komandan Jinlinwei Han Ran, membuatnya gemetar ketakutan. 　　Istri Peramal Wajah Zhu Duohuan ternyata berasal dari panti asuhan. 814.BAB 811 Kecurigaan 　　BAB 811 Kecurigaan 　　Ibu kota Dinasti Zhou bisa dibilang tempat paling makmur di dunia, banyak orang berduit yang suka beramal. Jumlah panti asuhan di sini cukup banyak - ada yang dikelola pihak berwenang, ada milik keluarga bangsawan, bahkan beberapa panti kecil yang tak diketahui siapa pemiliknya. 　　Istri Zhu Duohuan berasal dari panti asuhan kecil tak dikenal itu, yang telah terbakar bertahun lalu. Anak-anak yatim piatu di sana ada yang tewas atau hilang jejak. 　　Han Ran menyelidiki pasangan Zhu Duohuan habis-habisan. Setelah pencarian panjang, baru ketahuan istri Zhu sebenarnya anak angkat yang berasal dari panti asuhan itu. 　　Semakin dalam diselidiki, Han Ran menemukan panti itu pernah mendapat dana dari orang misterius. Yang membuatnya ngeri, orang misterius ini rupanya punya kaitan rumit dengan Istana. 　　Han Ran menatap laporan investigasinya dengan bengong, menggosok wajahnya kuat-kuat: "Kayaknya investigasi ini harus dihentikan." 　　Sebagai Komandan Jinlinwei, mata dan telinga Kaisar, seharusnya tak ada yang boleh disembunyikan dari atasan. 　　Ini prinsip dasar yang menjadi pegangan hidupnya. 　　Tapi jika laporan ini diajukan, pasti akan membuat Kaisar marah besar. 　　Setelah ragu beberapa hari, Han Ran akhirnya mengeraskan hati masuk istana untuk melapor. 　　"Saat itu, hari baik baru telah ditetapkan. Masalah gerhana matahari yang dianggap sebagai pertanda buruk menjadi ganjalan di hati Kaisar Jingming. Tanpa hasil penyelidikan, ia tak bisa tidur nyenyak." 　　"Pertama kali bisa menghindar secara kebetulan, bagaimana jika terjadi masalah lagi? Proses penetapan calon penguasa Dinasti Zhou tak boleh mengalami hambatan sebanyak ini." 　　"Apa yang berhasil kau temukan?" 　　"Han Ran dengan ekspresi khidmat menyerahkan sebuah laporan resmi." 　　"Pan Hai menerimanya dengan kedua tangan, lalu menyerahkan kepada Kaisar Jingming." 　　"Kaisar Jingming membuka laporan itu dan langsung berubah pucat setelah membacanya sekilas." 　　"Han Ran segera menundukkan kepala, telapak tangannya basah oleh keringat dingin." 　　"Kaisar Jingming melirik Han Ran dengan dingin, lalu melemparkan laporan itu ke dekat kakinya." 　　"Denting laporan yang jatuh di ubin emas terdengar samar, namun bergema seperti pukulan gada ke hati, membuat seluruh tubuh gemetar." 　　"Han Ran berlutut dengan satu kaki dalam diam." 　　"Kaisar Jingming memegang meja dengan tangan, wajahnya pucat. Setelah beberapa saat, ia bertanya dengan suara tertahan: 'Inikah hasil penyelidikanmu?'" 　　"Han Ran tetap menunduk, menjawab jujur: 'Benar.'" 　　"'Rumah amal yang didirikan keluarga itu dua puluh tahun lalu terkait dengan istana. Apakah maksudmu Janda Permaisuri yang bermasalah?' Kata 'Janda Permaisuri' terasa berat di lidah Kaisar Jingming." 　　"Ia tak pernah menyangka penyelidikan rahasia ini akan menyentuh sang Ibu Suri. Pertanyaan itu hampir tak bisa ia lontarkan." 　　"Tuduhan Kaisar Jingming bagai gunung yang menindih Han Ran, membuatnya membungkukkan pinggang." 　　Han Ran menggigit gigi geraham belakangnya, berusaha tenang berkata: "Hamba yang bodoh tidak berani membuat spekulasi apapun, hamba hanya bertugas merangkum semua yang dilihat dan didengar ke dalam catatan, lalu menghadirkannya di hadapan Yang Mulia." 　　Han Ran merasa agak terkejut dalam hati. 　　Meskipun laporan resmi itu memuat detail investigasi, tapi orang terhormat di istana tidak menyebutkan Janda Permaisuri, namun Kaisar langsung menyebutkannya. Apa artinya ini? 　　Dalam dua tahun terakhir terjadi begitu banyak peristiwa, apakah Kaisar mulai menaruh curiga pada Janda Permaisuri tanpa disadarinya? 　　Sambil memikirkan semua ini, Han Ran tidak berani menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya, dengan patuh menunggu Kaisar Jingming meluapkan kemarahan. 　　Kaisar Jingming mengerutkan kumisnya sambil menatap tajam Han Ran yang berlutut di bawah, setelah lama akhirnya bergumam kesal: "Pengawal Jinlin semakin tidak berguna, pulang dan lanjutkan penyelidikan!" 　　Han Ran seolah mendapat pengampunan: "Hamba yang bodoh mohon diri." 　　Melihat Han Ran kabur tergesa-gesa, Kaisar Jingming semakin marah. 　　Semuanya bukan orang baik, menyuruh Pengawal Jinlin menyelidiki pejabat astrologi, kok bisa sampai menyangkut Janda Permaisuri? 　　Dengan amarah, Kaisar Jingming berjalan tak sadar mendekat, menyepak laporan resmi yang sudah dia lempar ke lantai. 　　Laporan itu berguling beberapa kali. 　　Kaisar Jingming melirik Pan Hai dari sudut matanya, melihatnya tidak bereaksi, wajahnya masam berkata: "Masih tidak segera mengambilnya!" 　　Laporan itu dia yang melempar, masak harus dia sendiri yang mengambil? 　　Pan Hai ini, semakin tua semakin tidak cekatan dibanding masa mudanya, benar-benak pikun. 　　Pan Hai segera mengambil laporan resmi itu, membersihkan debu yang menempel dengan lengan bajunya, lalu menyerahkannya kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menerimanya dengan enggan, bergumam kesal: "Pergilah, Aku ingin menyendiri." 　　Pan Hai diam-diam menghela napas lega dan segera keluar dari ruang studi kekaisaran. 　　Dia sudah tahu Kaisar perlu menyendiri. 　　Ruangan menjadi sunyi, Kaisar Jingming termenung memandangi laporan resmi di tangannya. 　　Balai Amal yang didirikan lebih dari dua puluh tahun lalu ini ternyata terkait dengan Zhu Duohuan yang nyaris menjerumuskan Putra Mahkota baru ke dalam kehancuran. 　　Artinya, dalang di balik jebakan terhadap Lao Qi masih bisa mengontrol anak-anak yatim piatu itu bahkan setelah dua puluh tahun pendirian balai amal. 　　Siapa yang memiliki kemampuan sehebat ini? 　　Dua puluh tahun lalu, Permaisuri Pengganti bahkan belum masuk istana. 　　Kaisar Jingming menggenggam laporan resmi itu dengan wajah muram. 　　Jika benar ada orang di istana yang mampu melakukan ini, mungkin hanya—bayangan sosok familiar melintas di benak Kaisar Jingming, membuat hatinya perih. 　　Mungkinkah semua ini benar-benar berkaitan dengan Ibu? 　　Tidak mungkin, Ibu sama sekali tidak punya alasan untuk melakukan ini. 　　Kaisar Jingming menyimpan laporan resmi itu dan meninggalkan ruang studi kekaisaran, tanpa sadar telah berdiri lama di luar Istana Cining. 　　Pan Hai bertanya hati-hati: "Paduka, apakah hamba harus memberitahu kedatangan Paduka?" 　　"Tidak perlu." Kaisar Jingming akhirnya mengurungkan niatnya untuk menemui Janda Permaisuri dan berbalik menuju Istana Kuning. 　　Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Kaisar Jingming memasuki istana ditemani Pan Hai. 　　Permaisuri sedang makan lagi. 　　Kali ini yang dimakan bukan anggur, melainkan persik madu. 　　Persik berair manis dipotong rata, disuapkan ke mulut Permaisuri oleh dayang dengan tusuk gigi perak, satu potong sekali suap tanpa mengotori lipstik. 　　Pandangan Kaisar Jingming tertahan pada persik, wajahnya berangsur menghitam. 　　Apakah Permaisuri terus-menerus mengemil setiap saat saat dirinya tidak datang? 　　Sementara dirinya resah sampai rambut memutih, Permaisuri malah bersikap seperti ini? 　　Rasa iri yang muncul membuat Kaisar Jingming lupa bersuara. 　　Permaisuri menyeka mulut lalu menyambut: "Mengapa Yang Mulia tak meminta pemberitahuan? Biar hamba menyambut..." 　　Kaisar Jingming mengerutkan sudut bibir, menyantap dua potong daging persik, lalu memberi isyarat pada dayang untuk mundur. 　　"Bagaimana kabar Fuqing akhir-akhir ini?" 　　Mendengar nama Putri Fuqing, Permaisuri murung: "Anak itu terlalu perasa. Demi urusan Si Empat Belas sampai jatuh sakit, sampai sekarang masih mogok makan. Sudah kurayu tetap tak mau..." 　　"Adakah calon yang cocok? Fuqing sudah cukup umur untuk menikah." 　　Permaisuri tertegun: "Bukannya dulu Yang Mulia bertekad mencari pelaku kecelakaan Fuqing dulu sebelum membahas perjodohannya?" 　　"Pilihkan menantu kaisar dulu, jangan sampai terlambat." 　　Alis Permaisuri berkerut halus. 　　Kaisar tiba-tiba memperhatikan pernikahan Fuqing, pasti ada alasan tersembunyi. 　　Melihat Permaisuri ragu, Kaisar Jingming tersenyum: "Ujian Musim Gugur sudah dekat. Jika Paduka belum punya calon, bagaimana kalau mengamati hasil Ujian Musim Gugur dan Musim Semi untuk mencari pemuda berbakat yang cocok?" 　　Pembicaraan sampai di titik ini, Permaisuri pun berkata terus terang: "Kalau soal pemuda berbakat, mengapa harus menunggu ujian? Kabarnya putra Tuan Zhen, Prefect Shuntian - Sang Zhuangyuan Lang yang meraih tiga gelar sekaligus - masih lajang. Bagaimana menurut Kaisar kalau dia kita jadikan menantu untuk Fuqing?" 　　Mendengar usulan ini, Kaisar Jingming mengunyah buah persik sambil berpikir. 　　Lambang Keberuntungan Dinasti Zhou menjadi menantu untuk Fuqing? Proposal ini sepertinya menarik. 　　Terima kasih untuk Hadiah dan vote-nya. Selamat Hari Yuanxiao. 815. BAB 812 Keluarga 　　BAB 812 Keluarga 　　Meraih tiga gelar sekaligus, Lambang Keberuntungan yang langka ini tentu memuaskan Kaisar Jingming sebagai calon menantu. Apalagi ayah sang juara juga sangat memuaskan. 　　Lao Zhen adalah tangan kanannya yang paling andal. 　　"Nanti saya akan uji pendapat Zhen Shicheng." 　　Kaisar Jingming menganggap dirinya penguasa yang progresif. Jarang melakukan pemaksaan pernikahan. Jika ada ketidakinginan, meskipun tidak berani ditunjukkan, lebih baik tidak dipaksakan. 　　Tapi diam-diam sudah memutuskan: Jika Lao Zhen menunjukkan sedikit keengganan, akan langsung melempar pemberat kertas giok putih ke wajahnya. 　　Putrinya sempurna dalam segala hal, lagi pula putri kaisar sejati. Jika Lao Zhen menolak, pasti matanya buta! 　　Zhen Shicheng yang sedang sibuk dengan dokumen tiba-tiba bersin, mengusap hidungnya dengan bingung: Apakah ada kasus lagi? 　　Setelah Kaisar Jingming pergi, Permaisuri terbenam dalam renungan. 　　Meski Fuqing sudah mencapai usia pernikahan, tiba-tiba Kaisar membicarakan hal ini tetap mencurigakan. 　　Mungkinkah ada masalah lagi? 　　Permaisuri secara refleks menatap ke arah Istana Cining. 　　Berkali-kali, setiap putrinya bermasalah selalu terkait dengan Istana Cining, membuatnya sulit mempercayai Janda Permaisuri bersih. 　　Berbeda dengan Kaisar yang dibesarkan Janda Permaisuri dan buta oleh perasaan. Baginya, apapun motifnya, hasil akhir yang penting. 　　Fuqing terus menjadi korban, haruskah mencari motif dulu baru curiga pada Janda Permaisuri? Mungkin Janda Permaisuri memang sakit? 　　Permaisuri memikirkan ini semua dengan berat hati. 　　Sebagai Permaisuri, dia tak terkalahkan di istana belakang, tapi tak berdaya melawan Janda Permaisuri. 　　Sungguh menyedihkan. 　　Permaisuri berdiri dan berjalan ke jendela, hawa panas menerpa dari luar. 　　Pandangannya tertuju ke timur, dia menghela napas pelan. 　　Semoga setelah Lao Qi dan pasangannya pindah ke Istana Timur, istana bisa lebih tenang. 　　Kaisar Jingming segera memanggil Zhen Shicheng masuk istana. 　　"Apakah Zhen Aiqing sibuk belakangan ini?" 　　Zhen Shicheng tak yakin maksud Kaisar, menjawab jujur: "Tidak terlalu banyak urusan." 　　Mungkin karena panas, pelaku kejahatan jadi berkurang. 　　Kaisar Jingming tertawa: "Tidak sibuk itu bagus. Putra Anda akhir-akhir ini sibuk?" 　　Zhen Shicheng sedikit mengernyitkan sudut bibir, berkata bingung: "Seperti biasa, hamba yang bodoh tidak banyak bertanya." 　　Bukankah anak lelakinya juga bawahan Kaisar? Sungguh aneh Kaisar menanyakan hal-hal seperti ini. 　　"Ini kesalahan Zhen Aiqing, bagaimana bisa tidak peduli sama sekali pada anak sendiri. Aku dengar putra Anda sampai sekarang belum menikah?" 　　Zhen Shicheng langsung siaga. 　　Apa maksud Kaisar? 　　Hiss——Jangan-jangan Kaisar mau menjodohkan sembarangan? 　　Zhen Shicheng berdehem ringan: "Anak itu belum mekar akalnya, bilang pada hamba tidak ingin cepat-cepat menikah." 　　Kaisar Jingming menggeleng tak puas: "Laki-laki dewasa wajib menikah, perempuan dewasa wajib kawin, mana bisa semua mengikuti keinginan anak-anak? Putra Anda belum mekar, Zhen Aiqing juga belum? Tidak ingin cepat punya cucu?" 　　Sudut bibir Zhen Shicheng berkedut hebat. 　　Kaisar keterlaluan! Demi memuaskan hobi menjodohkan sembarangan, sampai menghina dirinya begini? 　　Apa masalahnya anaknya tidak menikah? Makan beras siapa? 　　"Zhen Aiqing?" Suara Kaisar Jingming memanjang, matanya melirik Zhen Shicheng. 　　Zhen Shicheng menenangkan perasaan campur aduk, memaksakan senyum: "Kaisar benar, laki-laki dewasa wajib menikah, perempuan dewasa wajib kawin." 　　Kaisar Jingming mengangguk: "Benar. Ngomong-ngomong Putri Ketigabelasku juga sudah masuk usia pernikahan." 　　Zhen Shicheng tertegun. 　　Apa maksud Kaisar? 　　Mengingatkan bahwa anak lelakinya belum menikah, lalu mengatakan putrinya sudah mencapai usia pernikahan, apakah ini bermaksud menikahkan Putri Fuqing ke keluarga Zhen? 　　Kaisar Jingming memberi isyarat sampai di sini, tidak bisa melanjutkan lagi, lalu mengangkat cangkir teh dengan angkuh sambil minum. 　　Menunggu sebentar, Zhen Shicheng tidak bereaksi. Menunggu lebih lama lagi, Zhen Shicheng masih diam—Kaisar Jingming mulai marah, meletakkan cangkir teh ke meja dengan keras. 　　Barulah Zhen Shicheng tersadar, mengeluarkan kemampuan retorikanya memuji Putri Fuqing, lalu pulang berdiskusi dengan istrinya. 　　Nyonya Zhen terkejut: "Maksudmu, Kaisar berniat menikahkan Putri Fuqing dengan Heng'er?" 　　Melihat Zhen Shicheng mengangguk, Nyonya Zhen cepat-cepat menganalisis. 　　Putri Fuqing adalah putri mahkota. Karena menderita penyakit mata sejak kecil, sifatnya tidak manja malah sangat naif. Cukup cocok dengan Heng'er. 　　Bagi setiap ibu, tidak diragukan lagi bahwa anak sendiri adalah yang terbaik. 　　Dengan sudut pandang yang sangat kritis, Nyonya Zhen tidak menemukan kekurangan. Ragu-ragu: "Putri Fuqing satu-satunya putri mahkota. Jika menikah ke keluarga kita, entak apakah bisa rukun—" 　　Zhen Shicheng tersenyum santai: "Ibu mertua sebaik dan selapang dadamu ini satu dalam sepuluh ribu. Apapun status menantu perempuan, pasti bisa rukun." 　　Pujian ini membuat Nyonya Zhen sangat senang, tersenyum mengangguk: "Kalau begitu, Tuan setujui saja. Agar Kaisar tidak menyulitkanmu nanti." 　　Zhen Shicheng wajahnya berkerut: "Omong kosong, Kaisar adalah penguasa yang bijaksana dan welas asih, mungkin seperti itu?" 　　Di Aula Yangxindian, Kaisar Jingming gelisah, bahkan buku cerita baru pun tak bisa membuatnya tenang. 　　Lao Zhen pasti akan berdiskusi dengan istrinya setelah pulang ke rumah, entah urusan ini akan berhasil atau tidak. 　　Hmph, kalau berhasil semua senang. Tapi kalau gagal... Lao Zhen harus siap menerima akibat buruk. 　　Apa? Ini balas dendam pribadi? Bukankah wajar menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi? Mana ada ayah yang tidak marah saat putrinya diremehkan? 　　Untungnya tak lama menunggu, Kaisar Jingming akhirnya mendapat jawaban pasti dari Zhen Shicheng. 　　Dengan cepat dan tegas, Kaisar Jingming mengeluarkan dekrit pernikahan kerajaan. 　　Begitu dekrit itu diumumkan, gemparlah seluruh istana. 　　Zhen Shicheng benar-benar beruntung, bisa mendapatkan putri mahkota sebagai menantu perempuannya. 　　Di istana kami tak ada aturan yang membatasi karier menantu kaisar. Keluarga Zhen pasti akan semakin makmur. 　　Renungkanlah: Zhen Shicheng berasal dari keluarga miskin, istrinya pun bukan putri bangsawan, tapi kini akan menjadi mertua putri mahkota. Sungguh takdir yang tak terduga. 　　Seketika itu juga, pintu rumah keluarga Zhen ramai bagai pasar, tak terhitung orang yang datang memberi selamat. 　　Sebagai Putra Mahkota baru yang belum menempati Istana Timur, Yu Jin pun dengan santai melangkahkan kaki ke rumah keluarga Zhen. 　　Mengapa tak membawa istri? Jangan main-main! Si Zhen ini sebentar lagi akan menjadi iparnya. Jangan sampai niat buruk si anak itu terpicu. 　　Dengan status Yu Jin, tentu saja Zhen Shicheng menyambutnya langsung dan menemani mengobrol. 　　"Selamat Paduka Zhen. Dahulu saya tak pernah membayangkan akan menjadi satu keluarga dengan Paduka Zhen." 　　Zhen Shicheng mengusap kumisnya sambil tersenyum: "Pejabat bawahan ini juga tak menyangka." 　　Dulu memikirkan si bocah ini merebut menantu perempuannya saja sudah gelisah, mana sangka akhirnya jadi keluarga. 　　Yu Jin menyesap tehnya, senyumnya semakin lebar: "Karena sudah jadi keluarga, tak perlu sungkan lagi, setuju kan Paduka Zhen?" 　　Alarm dalam hati Zhen Shicheng berbunyi, tapi raut wajahnya tetap tenang: "Tentu saja." 　　Yu Jin melirik sekeliling lalu tersenyum: "Keluarga tak perlu bicara basa-basi. Saya ada urusan ingin berdiskusi dengan Paduka Zhen." 　　Zhen Shicheng memberi isyarat pada pelayan untuk pergi, lalu bertanya: "Ada hal apa yang ingin didiskusikan oleh Putra Mahkota?" 　　Yu Jin condongkan badan ke depan, menurunkan suara: "Saya curiga Janda Permaisuri itu palsu." 　　Karena sudah masuk tahap akhir, penulisan jadi sangat sulit. Satu bagian sering memakan waktu setengah hari. Bagian Kedua akan diupdate malam nanti. 816. BAB 813 Provokasi 　　BAB 813 Provokasi 　　Saat ini, seandainya matahari bisa terbit dari barat, pastilah kumis Zhen Shicheng yang terawat rapi itu akan tegak berdiri. 　　Apa yang barusan dia dengar? Janda Permaisuri palsu? 　　"Paduka sedang bercanda?" Setelah bertanya, Zhen Shicheng menatap mata hitam pekat itu dan tiba-tiba menyadari keseriusan lawan bicaranya. 　　Tiba-tiba dia memegang kening dengan ekspresi kesakitan: "Kepala saya sakit--" 　　Yu Jin mengangkat alis: "Hmm?" 　　Kakek ini mau berpura-pura tidak tahu? 　　Zhen Shicheng tersenyum kecut: "Mungkin karena belakangan ini banyak acara jamuan, semangatku agak menurun." 　　Dia memang suka memecahkan kasus, tapi tidak suka mencari masalah. Dia bahkan belum sempat menggendong cucu! Memikirkan hal ini, dia merasa bersyukur Kaisar telah menyelesaikan urusan pernikahan si anak duri. 　　Tiba-tiba dia tersadar: Kalau bukan karena menjadi keluarga kerajaan, mana mungkin Putra Mahkota berani datang dengan muka tebal mengaku sebagai satu keluarga? Tanpa alasan "satu keluarga" ini, mana mungkin Putra Mahkota berani langsung menuduh Janda Permaisuri palsu? 　　Yu Jin berkata dengan ekspresi seolah demi kebaikan Zhen Shicheng: "Dengan ada kasus untuk dipecahkan, Tuan Zhen pasti akan bersemangat kembali." 　　Melihat Zhen Shicheng diam, Yu Jin menghela nafas panjang: "Ini menyangkut kelangsungan altar leluhur Dinasti Zhou. Hanya Paduka yang bisa kumintai tolong, mengingat kita satu keluarga." 　　Wajah Zhen Shicheng menjadi gelap. 　　Tak ada yang memberitahunya bahwa "satu keluarga" ini seperti kapal bajak laut. Andai tahu Putra Mahkota memperlakukan "keluarga" seperti ini, lebih baik dia menolak pernikahan dan kena pemberat kertas Kaisar. 　　Zhen Shicheng tahu pria ini bermuka tebal dan pantang menyerah. Karena tak bisa menghindar, dia melanjutkan: "Mengapa Paduka berkata demikian?" 　　Yu Jin tersenyum: "Ini berawal dari nenek pihak ibu istriku, Ibu Suri Marquis Yining..." 　　Melewatkan latar belakang Jiang Si, dia menceritakan semua yang bisa diungkapkan pada Zhen Shicheng. 　　Karena tak bisa langsung melawan Janda Permaisuri, dia perlu sekutu - dan Zhen Shicheng adalah kandidat terbaik. 　　Tentu saja mustahil mengusik tokoh sebesar Janda Permaisuri tanpa alasan yang kuat. 　　“Zhen Shicheng mengubah ekspresi wajahnya terus-menerus seiring penuturan Yu Jin, sangat dramatis.” 　　Yu Jin meletakkan cangkir tehnya dan menghela nafas, “Begitulah kejadiannya.” 　　Ekspresi Zhen Shicheng rumit: “Paduka tidak takut Ibu Suri Marquis Yining salah merasakan?” 　　Yu Jin berkata: “Perasaan mungkin salah, tapi kekacauan di istana selama dua tahun terakhir ini nyata, dan pusat badainya adalah Istana Cining. Tuan Zhen, bukankah prinsip memecahkan kasusmu adalah tidak mengabaikan sedikitpun keanehan? Hal yang menyangkut negara Dinasti Zhou tidak boleh diremehkan.” 　　Sudut bibir Zhen Shicheng berkedut. 　　Dia tidak punya prinsip seperti itu! 　　“Ini terlalu sulit. Jika benar ada penggantian Li dengan Tao yang sudah terjadi puluhan tahun lalu, tidak ada bukti fisik maupun saksi mata, yang harus diselidiki malah Janda Permaisuri...” Zhen Shicheng menggelengkan kepala. 　　Sorot mata Yu Jin berkilat: “Bagaimana jika Istana Cining menyumbang lagi?” 　　Zhen Shicheng menatapnya. 　　“Tuan Zhen tidak menganggap peristiwa anjing langit menelan matahari sebagai kebetulan belaka?” 　　Wajah Zhen Shicheng sedikit berubah. 　　“Orang yang dijebakku diam-diam pasti akan bertindak lagi. Masa lalu sulit dilacak, kuharap Tuan Zhen bisa membantuku di hari-hari mendatang.” 　　Zhen Shicheng menyatukan tangannya: “Hamba akan berusaha.” 　　Jika hal ini diucapkan pangeran lain, dia tidak akan serius. Tapi karena pernah bekerja sama dengan Putra Mahkota, sedikit kepercayaan masih ada. 　　Jika Janda Permaisuri adalah orang asing, sekecil apapun kemungkinannya, sebagai yang sudah tahu, dia tidak bisa tinggal diam. 　　Makan gaji kerajaan berarti membagi kekhawatiran raja - ini kewajiban sebagai hamba. 　　Yu Jin yang mendapat jawaban memuaskan pergi dengan riang. 　　“Zhen Shicheng kemudian duduk lama tanpa sadar mencabut belasan helai kumisnya sebelum akhirnya meredam amarah.” 　　“Tak lama kemudian tibalah hari penobatan Putra Mahkota.” 　　“Di bawah terik mentari, seluruh pejabat militer-sipil telah mengenakan seragam baru sejak pagi untuk menyambut Putra Mahkota di luar Gerbang Wu.” 　　“Diantara alunan musik upacara, Yu Jin memasuki aula utama untuk berlutut menerima segel penobatan, kemudian menghadap Permaisuri di Istana Tengah, menyembah leluhur di kuil kerajaan, dan dengan gemilang menyelesaikan upacara penobatan. Sejak itu ia resmi menempati Istana Timur sebagai calon penguasa Dinasti Zhou yang sah.” 　　“Melihat ini, Kaisar Jingming menghela nafas lega: Tak ada ulah aneh!” 　　“Entah sejak kapan, justru kejadian tak terduga menjadi hal biasa. Memikirkannya saja membuat frustasi.” 　　“Keesokan harinya, Yu Jin dan Jiang Si memberi salut kepada Kaisar Jingming.” 　　“Sang Kaisar memandangi pasangan muda itu dengan angkuh: "Setelah pindah ke Istana Timur, kalian harus menjadi teladan bagi seluruh negeri. Jangan bertindak sembrono."” 　　“"Anak lelaki (menantu perempuan) patuh akan nasihat Ayah Kaisar."” 　　“Kaisar Jingming mengangguk puas.” 　　“Sejauh ini, Lao Qi tak memberinya kekhawatiran. Istri Lao Qi yang cakap tentu lebih bisa diandalkan.” 　　“"Kalian boleh pergi."” 　　“Setelah meninggalkan Kaisar, mereka menuju Istana Cining.” 　　“Janda Permaisuri sedang memejamkan mata sambil menghitung butir tasbih.” 　　“"Paduka, Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota telah tiba."” 　　“Sang Janda Permaisuri membuka mata: "Suruh mereka masuk."” 　　“Sepasang kekasih tampan-cantik segera masuk berpegangan tangan memberi salut.” 　　"Janda Permaisuri memandangi kedua orang yang sedang bersujud dari ketinggian, tatapannya dalam." 　　Masih teringat ketika kedua mempelai datang ke Istana Cining untuk memberi salut saat pernikahan mereka dan ditolak audiensi, waktu itu benar-benar tidak menyangka akan ada hari seperti ini. 　　Setelah keheningan sejenak, Janda Permaisuri berkata lembut: "Jangan terlalu banyak tata krama, bangunlah." 　　Setelah itu ia melambai pada Jiang Si: "Permaisuri Putra Mahkota, datanglah duduk di samping hamba." 　　Jiang Si mendekat dan duduk di bangku kecil yang disediakan dayang istana. 　　Janda Permaisuri mengamatinya dengan tatapan hangat sambil tersenyum: "Sejak pertemuan pertama, hamba sudah merasa Nona adalah orang yang beruntung. Ternyata benar, ingatlah untuk sering berkunjung ke sini." 　　Jiang Si tersenyum: "Asal Yang Mulia tidak bosan dengan gangguan cucu menantu ini. Sungguh, Yang Mulia adalah sesepuh paling bijaksana yang pernah saya temui." 　　"Mengapa berkata demikian?" tanya Janda Permaisuri sambil lalu. 　　Terlepas dari suka atau tidaknya pada lawan bicara, pujian yang manis selalu enak didengar. 　　Jiang Si tidak menghindari tatapan Janda Permaisuri, senyumnya jernih: "Cucu menantu sempat khawatir Yang Mulia akan menyalahkan saya karena urusan Bibi Rongyang..." 　　Kemarahan sekilas muncul di mata Janda Permaisuri, namun nadanya tetap datar: "Tidak mungkin. Nenek tahu ini bukan salahmu. Nenek sangat senang memiliki cucu menantu yang berbakti sepertimu." 　　Setelah kedua tamu pergi, wajah Janda Permaisuri langsung muram. Bahkan jari-jarinya yang mempercepat putaran tasbih tidak segera mengembalikan ketenangan hatinya. 　　"Yang Mulia, jangan marah karena kejujuran Permaisuri Putra Mahkota. Kesehatan Yang Mulia yang utama," bujuk dayang kepercayaannya. 　　Janda Permaisuri mencibir: "Lurus hati dan ceplas-ceplos? Kau percaya seorang wanita yang berhasil merebut hati Kaisar-Permaisuri dan membantu suaminya merebut posisi calon penguasa adalah tipe ceplas-ceplos? Dia sengaja menantang hamba!" 　　Membayangkan senyuman Jiang Si, tangan Janda Permaisuri bergetar menahan amarah. 　　Terlalu lama hidup dalam kemewahan, sudah bertahun-tahun tak ada yang berani lancang di hadapannya. 　　Ia bahkan menangkap kilatan kesombongan di mata Nyonya Jiang, seolah yang berdiri di hadapannya bukanlah wanita paling mulia di istana belakang, melainkan sosok hina. 　　Persis seperti dirinya di masa muda. 　　Terlalu lama tak mengingat masa lalu, Janda Permaisuri hampir lupa bagaimana rasanya dulu. 　　Namun hari ini, Permaisuri Putra Mahkota yang baru membuatnya teringat kembali. 　　Kenangan-kenangan itu jelas tak menyenangkan bagi Janda Permaisuri yang kini berkuasa. 　　Sorot matanya semakin dingin, niat yang sempat tertahan mulai muncul kembali. 　　Sementara Jiang Si, setelah berhasil memancing amarah Janda Permaisuri, bergegas menuju Istana Kuning dengan langkah ringan. 　　Liu Zhi sudah punya avatar eksklusif, imut banget loh! Yang mau bisa gabung grup atau tinggalkan pesan untuk moderator Mo Yan. 817.BAB 814 PILIHAN YANG TAK TERDUGA 　　BAB 814 PILIHAN YANG TAK TERDUGA 　　Di Istana Kuning, Permaisuri menunggu kedatangan Jiang Si dengan senyum merekah. 　　Putri Fuqing duduk di samping, alisnya berkerut khawatir. Mendengar laporan pelayan istana bahwa Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota telah tiba, ia segera menyusun tenaga. 　　Tak lama kemudian Jiang Si dan Yu Jin masuk, memberi salut pada Permaisuri. 　　Permaisuri bersuara hangat: "Sudah satu keluarga, tak perlu banyak basa-basi. Segeralah duduk." 　　“Keluarga” tiga huruf itu membuat Jiang Si tak sengaja melirik Yu Jin. 　　Konon kabarnya A Jin menggunakan alasan ini untuk memaksa Tuan Zhen... 　　Ekspresi Yu Jin tetap tenang, ia tersenyum dan duduk. 　　"Pengangkatan kemarin cukup melelahkan, bukan?" tanya Permaisuri sambil tersenyum. 　　Yu Jin segera menjawab: "Yang lebih lelah adalah Ayah Kaisar dan Ibu." 　　Permaisuri tersenyum, lalu mengajak mereka minum teh. 　　Setelah duduk selama waktu minum secangkir teh, Yu Jin berdiri: "Ayah Kaisar memerintahkan saya untuk belajar setiap hari di Aula Wenhua, anak lelaki ini mohon pamit dulu." 　　Mengenai hal ini, Yu Jin merasa kesal dalam hati. 　　Di depan A Si, Ayah Kaisar mengingatkannya untuk pergi belajar, apakah ini berarti menganggapnya sebagai orang bodoh yang tak berpendidikan? 　　Ini sudah keterlaluan, tidak bisa ditolerir lagi. 　　Permaisuri menahan tawa: "Jangan sampai menghalangi Putra Mahkota belajar, pergilah. Permaisuri Putra Mahkota bisa tinggal untuk makan siang." 　　Yu Jin mengangguk halus ke arah Jiang Si, lalu pergi sendirian dari Istana Kuning. 　　Dengan ketiadaan Yu Jin, suasana menjadi lebih santai. 　　Permaisuri menanyakan kabar Jiang Si beberapa kalimat, lalu melirik Putri Fuqing sambil berkata: "Kalian berdua selalu akur, ngobrol saja baik-baik. Ibu akan mengurus beberapa urusan dulu." 　　Setelah Permaisuri pergi, Putri Fuqing menggigit bibirnya, lalu membuka percakapan: "Selamat, Istri Ketujuh." 　　Jiang Si menatap tajam Putri Fuqing, suaranya penuh perhatian: "Putri Ketigabelas terlihat kurus." 　　Seluruh tubuh Putri Fuqing bergetar, matanya perlahan memerah. Setelah lama terdiam, ia berbisik: "Apakah Kakak Tujuh merasa aku pembawa sial?" 　　“Putri Ketigabelas, jangan merendahkan diri sendiri.” 　　Putri Fuqing menggeleng kepala: “Bukan merendahkan diri. Dua tahun lalu Adik Kelima Belas mati menggantikanku, belum lama ini Adik Keempat Belas juga tewas karena aku. Setiap kali memikirkan ini, aku merasa sangat berdosa.” 　　Jiang Si meletakkan tangannya di punggung tangan Putri Fuqing, berkata lembut: “Putri Ketigabelas, jangan berpikir seperti itu.” 　　“Tidak boleh?” Putri Fuqing menggigit bibir, bergumam pelan, “Kakak ipar ketujuh, jujur saja, terkadang aku bahkan berpikir seandainya mataku tidak sembuh, mungkin semua tragedi ini tidak akan terjadi. Adik Keempat Belas dan Kelima Belas masih bisa hidup dengan tenang.” 　　Jiang Si menggenggam tangan Putri Fuqing lebih erat, berkata tegas: “Putri Ketigabelas, pikiran seperti ini hanya menyakiti orang yang mencintaimu dan menyenangkan musuh. Musibah yang menimpa Adik Keempat Belas dan Kelima Belas bukan kecelakaan, melainkan ulah manusia. Kamu sendiri juga korban. Bukankah tidak masuk akal menyalahkan korban alih-alih pelaku kejahatan?” 　　Putri Fuqing bergetar kelopak matanya, menatap Jiang Si. 　　Jiang Si melanjutkan nasihatnya: “Sudahkah kamu memikirkan perasaan Ibu Suri selama menyiksa diri seperti ini? Si pelaku yang bersembunyi di balik layar terus mengincarmu. Seandainya matamu tidak sembuh atau terjadi musibah lain, Ibu Suri mungkin tidak akan sanggup bertahan. Putri Ketigabelas, jika kamu terus menyalahkan diri sendiri atas nasib Adik Keempat Belas dan Kelima Belas hingga jatuh dalam keputusasaan, yang tersiksa adalah Ibu Suri. Ini sama saja dengan membantu si pelaku secara tidak langsung.” 　　Putri Fuqing jelas belum pernah mempertimbangkan sudut pandang ini sebelumnya. Ia terdiam sejenak, lalu bergumam: “Lalu... apa yang harus kulakukan?” 　　“Menemukan pelaku sebenarnya agar Adik Keempat Belas dan Adik Kelima Belas bisa tenang, itulah hal yang seharusnya dilakukan.” 　　“Akankah ditemukan?” 　　Jiang Si mengangguk: “Pasti. Putri Ketigabelas tentu pernah mendengar peribahasa: Jaring Surga Tak Terelakkan, meski longgar tak ada yang lolos. Saya dan Kakak Ketujuh akan menyelidiki sampai tuntas. Tugasmu sekarang adalah mengumpulkan semangat, jangan sampai musuh belum dikalahkan, dirimu sendiri sudah ambruk.” 　　Putri Fuqing terdiam sejenak lalu mengangguk tegas: “Saya mengerti.” 　　Putri Fuqing yang berwatak jujur langsung terlihat bersemangat setelah beban hatinya terangkat. 　　Permaisuri yang kembali kemudian melihat perubahan pada putrinya langsung bersukacita, melayangkan tatapan berterima kasih ke arah Jiang Si. 　　Istri Lao Qi memang pantas menjadi menantu perempuannya yang sah, selalu membawa keberuntungan. 　　Usai makan siang, Putri Fuqing kembali ke istananya sementara Permaisuri menahan Jiang Si lebih lama. 　　Ini juga bentuk dukungan Permaisuri pada Permaisuri Putra Mahkota yang baru pindah ke Istana Timur. 　　Lamanya ditahan secara alami menunjukkan betapa Permaisuri menyukai dan menghargai Permaisuri Putra Mahkota. 　　“Hari ini kalian mengunjungi Istana Cining, apakah Janda Permaisuri dalam keadaan baik?” 　　Pertanyaan Permaisuri ini secara tersirat menanyakan sikap Janda Permaisuri terhadap pasangan suami-istri Jiang Si. 　　Sorot mata Jiang Si meredup, namun ucapannya: “Janda Permaisuri baik-baik saja.” 　　Ekspresi Permaisuri langsung berubah halus. 　　Istri Lao Qi jelas tidak tulus, bahkan tidak menyebut "Nenek Kaisar" pada Janda Permaisuri, menunjukkan ada ketidakpuasan dalam hatinya. 　　Permaisuri melirik sekeliling, memberi isyarat pada dayang kepercayaannya untuk mundur. 　　Jiang Si menunjukkan ekspresi kebingungan. 　　Permaisuri menepuk-nepuk punggung tangan Jiang Si lembut: "Apakah Janda Permaisuri menyulitkanmu?" 　　Jiang Si tertegun, seolah tak menyangka Permaisuri akan bertanya demikian. 　　Permaisuri berkata halus: "Kau telah menempati Istana Timur, mulai sekarang kita adalah mertua-menantu yang hidup berdampingan. Kalau ada yang tak beres, ceritakanlah pada Ibu." 　　Sejak lama dia menaruh curiga pada Janda Permaisuri. Di istana megah nan sunyi ini, jika Permaisuri Putra Mahkota bisa sejalan dengannya, mungkin akan ada kejutan tak terduga. 　　Prasyarat persekutuan dengan Permaisuri Putra Mahkota adalah dia harus menunjukkan sikap terbuka dulu. Bukankah Permaisuri Putra Mahkota bukan tipe gegabah yang mudah mengungkap pandangan tentang Janda Permaisuri? 　　Perkataan Permaisuri membuat hati Jiang Si berbunga-bunga. 　　Sedikit kesedihan yang ditunjukkannya tadi tak lain adalah ujian terhadap sikap Permaisuri. Dan Permaisuri tak mengecewakannya. 　　Dia sengaja memancing amarah Janda Permaisuri agar lawan tak bisa menahan diri untuk bertindak, sehingga lebih banyak petunjuk bisa dikumpulkan guna membongkar topeng Janda Permaisuri di saat tepat. Proses ini penuh risiko, namun di momen genting, satu kalimat Permaisuri bisa menjadi penopang besar. 　　Jiang Si berbisik pelan: "Janda Permaisuri sangat pengertian, mana mungkin menyusahkan saya. Hanya saja——" 　　"Hanya saja apa?" 　　Jiang Si menundukkan mata gelisah: "Entah mengapa setiap masuk Istana Cining, dada saya berdebar-debar. Senyuman Janda Permaisuri pun membuat saya tak nyaman. Ibu tentu tahu, saya memang peka terhadap hal-hal tertentu..." 　　“Permaisuri tidak bisa menahan tangan Jiang Si, matanya berbinar: ‘Menurutmu Janda Permaisuri bermasalah?’” 　　Jiang Si menggetarkan bulu matanya, ragu-ragu mengangguk. 　　Permaisuri merasa lega di hati, saling bertatapan dengan Jiang Si. 　　Sejenak kemudian, keduanya sama-sama tersenyum. 　　Setelah Putra Mahkota baru menempati Istana Timur, Istana Kekaisaran seolah menyambut masa tenang yang langka. 　　Bulan Juli berlalu sekejap mata, bulan Agustus ramai dengan Ujian musim gugur, yang patut dicatat adalah Tuan Pertama Jiang Cang dari Kediaman Dongping Bo meraih peringkat ketiga Daftar Kayu Manis, membuat keluarga Dongping Bo semakin termasyhur. Tuan Jiang Kedua berjalan seperti melayang, Nyonya Feng bahkan secara pribadi pergi berziarah ke Kuil Baiyun. 　　Menjelang akhir September, cuaca mulai dingin. Jiang Si menerima pesan lisan dari luar istana. Memanfaatkan kesempatan keluar istana untuk mengunjungi rumah orangtua, ia diam-diam menemui Tetua Hua. 　　Tetua Hua membawakan jawaban dari Tetua tertinggi. 　　“Imam Suci, Tetua tertinggi memilih Yang Mulia.” 　　“Hmm, bagaimana cara menyelesaikan masalah Janda Permaisuri?” Jiang Si bertanya dengan tenang. 818.BAB 815 Pengkhianatan 　　BAB 815 Pengkhianatan 　　Jiang Si sama sekali tidak khawatir dengan pilihan Tetua tertinggi, yang dikhawatirkannya adalah metode penyelesaian yang diberikan Suku Wu Miao. 　　Tetua Hua menurunkan suaranya: “Di istana Janda Permaisuri ada dayang bernama Caixia, dia orang kita.” 　　Jiang Si mengedipkan bulu mata, menatap Tetua Hua. 　　“Caixia akan memberi tahu Janda Permaisuri bahwa misi telah selesai, menyuruhnya berpura-pura mati sesuai rencana tahun lalu untuk kabur, kembali ke suku...” 　　“Pura-pura mati?” Alis hitam Jiang Si berkerut. 　　“Pura-pura mati terlalu menguntungkan nenek sihir yang suka membuat kekacauan itu. Tapi Janda Permaisuri hanya menjalankan perintah, dia pun tak punya pilihan.” 　　“Permintaan Tetua agar Janda Permaisuri pura-pura mati untuk kabur sudah merupakan kompromi. Dari perspektif Suku Wu Miao, mustahil mengakui ke Kaisar Dinasti Zhou bahwa mereka mengirim bidak yang bahkan bisa menjadi Janda Permaisuri.” 　　“Ini sama saja membuat Dinasti Zhou dan Wu Miao bermusuhan selamanya.” 　　“Bagi Dinasti Zhou, Wu Miao adalah suku yang agak merepotkan. Tak ada untungnya memprovokasi mereka, lebih baik hidup damai.” 　　“Sedangkan bagi Wu Miao, Dinasti Zhou adalah raksasa. Sikap sopan mereka selama ini hanya karena tak ingin cari masalah. Tapi jika Zhou benar-benar memutuskan menghancurkan Wu Miao, suku kami akan binasa.” 　　Tetua Hua mengamati ekspresi Jiang Si, bertanya: "Bagaimana pendapat Imam Suci?" 　　Jiang Si berpikir sejenak, akhirnya mengangguk: "Baik juga." 　　"Janda Permaisuri yang pura-pura mati lalu meninggalkan Zhou dan berhenti berbuat jahat... Masih bisa ditolerir." 　　"Saya masih punya satu pertanyaan." 　　"Silahkan, Imam Suci." 　　Jiang Si mengusap cangkir teh porselen putih, menatap tajam Tetua Hua: "Apakah Janda Permaisuri tahu wajah saya sama dengan A Sang?" 　　Tetua Hua terkejut sebentar, lalu menggeleng: "Tidak." 　　Jiang Si meletakkan cangkir, bertanya: "Mengapa Dayang Duo tahu, tapi Janda Permaisuri tidak?" 　　Tetua Hua menjelaskan: "Dayang Duo pernah melihat potret A Sang. Janda Permaisuri tidak pernah melihatnya." 　　Jiang Si terdiam sejenak, lalu tersenyum: "Kalau begitu, status Janda Permaisuri bahkan tidak sebanding dengan Dayang Duo? Apakah Dayang Duo bertugas mengawasi Janda Permaisuri?" 　　Tetua Hua tersipu malu: "Dayang Duo hanya membantu tugas Janda Permaisuri. Janda Permaisuri merupakan mata rantai krusial dalam rencana ini, statusnya sangat khusus. Terlalu banyak tahu justru tidak baik." 　　"Lalu apakah Janda Permaisuri mengetahui tiga ramalan itu?" 　　"Ia tidak tahu detailnya. Sebuah bidak yang telah ditempatkan selama puluhan tahun mengalami terlalu banyak perubahan. Memberitahukan semua rahasia ini padanya akan menimbulkan risiko terlalu besar." 　　Jiang Si menyeringai tipis. 　　Dari sini terlihat jelas, Janda Permaisuri benar-benar layak disebut sebagai bidak. 　　Bagaimana perasaan seseorang yang menjadi bidak selama puluhan tahun, namun justru menduduki posisi paling mulia? 　　Kembali ke istana, Jiang Si kembali memberi salut pada Janda Permaisuri. Kali ini ia memperhatikan ada dayang bernama Caixia. 　　Dayang itu berparas biasa saja, tak ada yang istimewa di antara dayang istana. 　　Caixia sama sekali tidak menunjukkan keanehan saat berhadapan dengan Jiang Si, bahkan tak ada pandangan sekilas pun. Entah karena penyamaran yang baik, atau pembawa pesan ke istana tidak menyebut status Jiang Si. 　　Setelah kepergian Jiang Si, suasana hati Janda Permaisuri kembali muram selama beberapa hari. 　　Menjelang senja suatu hari, Caixia mendekati Janda Permaisuri dan berbisik: "Ada surat dari Tetua Agung." 　　Janda Permaisuri menatap Caixia dengan nada tak terduga: "Bacakan." 　　"Tetua Agung berkata, Yang Mulia sudah saatnya pulang." 　　Ekspresi Janda Permaisuri berubah drastis, membeku dalam pose itu sangat lama. 　　"Janda Permaisuri?" Caixia mulai merasakan keanehan pada sang permaisuri. 　　Janda Permaisuri tersadar dari lamunannya, melirik Cai Xia sejenak lalu berkata dengan tenang: "Baik, saya akan bersiap." 　　Cai Xia akhirnya menghela nafas lega dan pergi. 　　Malam harinya, Janda Permaisuri bolak-balik di tempat tidur tak bisa tidur. 　　Apakah Tetua Agung memanggilnya kembali ke Wu Miao? 　　Di bawah sinar lentera malam, Janda Permaisuri menatap tangannya sendiri. 　　Tangan yang dulu putih halus kini telah keriput, tak seperti masa lalu. 　　Puluhan tahun lalu ketika baru masuk istana, ia sangat merindukan kampung halamannya. 　　Meski statusnya rendah di Wu Miao, tapi di sana ada orangtua, sanak saudara, dan segala yang dikenalnya. 　　Lambat laun, ia terbiasa dengan kemewahan dan kekuasaan di puncak. 　　Masih bisakah kembali? 　　Tiba-tiba Janda Permaisuri batuk. 　　Dayang jaga langsung bangun sambil bertanya khawatir: "Ada apa Permaisuri? Mau minum air hangat?" 　　"Tidak perlu." Janda Permaisuri memberi isyarat agar dayang tidur lagi. 　　Dayang itu diam, tapi nafasnya yang tak teratur menandakan ia tak berani tidur. 　　Janda Permaisuri menggeleng pelan. 　　Tak mungkin kembali. 　　Ia sudah terlalu terbiasa menjadi Permaisuri mulia yang setiap perintahnya menentukan nyawa orang. 　　Masakan harus kembali diam-diam ke Wu Miao jadi nenek tua yang bahkan harus mencuci kaki sendiri? 　　Membayangkan itu saja membuat bulu kuduknya berdiri. 　　“Dia sudah berada di usia senja. Jika benar-benar harus memilih sebuah identitas, tentu adalah sebagai Janda Permaisuri Dinasti Zhou, bukan nenek tua tak dikenal dari Suku Wu Miao.” 　　Hanya dalam beberapa hari, seorang dayang bernama Cai Xia menghilang dari Istana Cining. 　　Meskipun Jiang Si memperhatikan aktivitas di Istana Cining, karena ada kendala tertentu, dia baru mengetahui kabar ini beberapa hari kemudian. 　　Mengetahui kabar ini, Jiang Si ternyata tidak merasa terlalu terkejut. 　　Seseorang yang telah menikmati kemewahan puluhan tahun, bagaimana mungkin mudah untuk mengembalikannya ke kehidupan biasa? 　　Setelah menahan diri beberapa waktu, Jiang Si akhirnya menemukan alasan tepat untuk keluar istana lagi menemui Tetua Hua. 　　“Cai Xia sudah meninggal.” Begitu bertemu, Jiang Si langsung membuka pembicaraan. 　　Tetua Hua terkejut, suaranya berubah: “Cai Xia meninggal?” 　　Jiang Si mengangguk, mengulangi: “Cai Xia sudah meninggal.” 　　Nada suara Tetua Hua gemetar: “Bagaimana ini bisa terjadi?” 　　Selain Janda Permaisuri, Cai Xia adalah satu-satunya anggota rahasia yang tersisa di istana. 　　Makna kematian Cai Xia sangat jelas bagi Tetua Hua, tapi dia jelas tidak bisa menerima fakta ini. 　　Pandangan Jiang Si menatap tajam Tetua Hua, berkata kata demi kata: “Kematian Cai Xia membuktikan Janda Permaisuri sengaja memutuskan hubungan dengan Wu Miao. Dia telah berkhianat.” 　　Kulit wajah Tetua Hua bergetar hebat, tangannya terangkat lalu diturunkan, tampak kebingungan. 　　Ekspresi Jiang Si dingin: “Janda Permaisuri tidak mau pura-pura mati. Menurut Tetua Hua, apa yang harus kita lakukan?” 　　Perasaan Tetua Hua bergejolak hebat. Setelah lama bergulat, dia berkata: “Saya harus melaporkan ini kepada Tetua. Segala keputusan ada di tangan Tetua.” 　　Jiang Si berdiri: "Baiklah, saya akan menunggu kabar dari Tetua." 　　Jarak antara Wu Miao dan Dinasti Zhou sangat jauh, surat bolak-balik membutuhkan waktu berbulan-bulan. 　　Sekilas tahun ke-21 Jingming telah berlalu, Festival Lampion yang diadakan setahun sekali semakin dekat, toko-toko bedak dan perhiasan kembali ramai. 　　Bisnis Lusheng Xiang semakin maju setiap tahun, dengan dukungan Permaisuri Putra Mahkota yang tak ada yang berani mengganggu, pengunjung pun membludak. 　　Hari itu Xiuniangzi dan Lu Chuchu membuka pintu toko, yang segera dipadati pelanggan pembeli wewangian. 　　Melihat ini, hati Xiuniangzi merasa tenang dan puas. 　　Seorang pelayan di sampingnya tak tahan berkata: "Andai saja kita bisa memperluas toko ini." 　　Padahal bisnis begitu baik, toko tidak diperluas, wewangian tidak ditambah stoknya, berapa banyak tael perak yang hilang. 　　Lu Chuchu melotot padanya, memarahi sambil tertawa: "Jangan ikut campur urusan orang, yang begini saja sudah bagus." 　　Hidup tenang dan bahagia, bukankah lebih menyenangkan daripada mengejar harta duniawi? 　　Di ibu kota ini, ia ingin tinggal selamanya. 　　Tiba-tiba seseorang menerjang ke hadapan Lu Chuchu, menunjuknya: "Kau, kau ini Putri Bangsawan Qi Utara, kenapa kau di sini!" 　　Duduk dari jam sembilan pagi sampai hampir enam sore, pantas saja sakit bahu kambuh lagi. 819. BAB 816 Mata-Mata 　　BAB 816 Mata-Mata 　　"Lush Sheng Xiang dipadati orang yang membeli wewangian. Suara riuh yang awalnya ramai mendadak hening seketika, semua pandangan tertuju ke arah Lu Chuchu sambil mundur beberapa langkah. Inilah suasana khas keramaian yang biasa disaksikan." 　　Beberapa orang sudah buru-buru mengeluarkan kacang tanah, kuaci dan camilan lain dari dompet. Sayangnya Lush Sheng Xiang adalah toko wewangian, bukan kedai minum atau rumah teh. Ingin mencari bangku panjang untuk duduk menonton keributan tentu tidak mungkin. 　　Lu Chuchu sejenak tertegun. 　　Wajah pria itu sangat berubah, bertanya keras: "Mengapa putri bangsawan Qi Utara bisa muncul di toko wewangian Dinasti Zhou kita? Apa maksudmu? Jangan-jangan kau mata-mata yang dikirim Qi Utara untuk menyusup ke negara kami?" 　　Ada mata-mata? 　　Para penonton langsung bersemangat, mata mereka menyorot tajam ke Lu Chuchu. Sorot mata yang awalnya hanya penasaran kini berubah. 　　Lu Chuchu tersadar dari keterkejutannya. Wajahnya memerah sambil mundur setengah langkah, membentak: "Siapa kau? Mengapa mengeluarkan omong kosong?" 　　Pria itu memberi hormat: "Saya pejabat Honglusi yang pernah menjalankan perintah kaisar mengikuti atasan dalam misi diplomatik ke Qi Utara. Saya melihat putri bangsawan itu di jamuan resmi." 　　"Saya sama sekali tidak mengenalmu, juga bukan putri bangsawan! Kau salah orang!" Lu Chuchu tanpa sadar mengepalkan tangan. 　　"Putri bangsawan tidak mengenali hamba adalah hal yang wajar. Hamba hanyalah seorang utusan tak mencolok yang selalu berada di pojok dalam berbagai acara, mana mungkin Paduka memperhatikan hamba. Tapi hamba sangat terkesan dengan Putri bangsawan Qi Utara ini, pasti tidak mungkin salah mengenali." 　　Orang itu menoleh ke sekeliling sambil menyatukan tangan ke kerumunan: "Putri bangsawan ini bergelar Qiluo, sangat termasyhur di Qi Utara dan dicintai Janda Permaisuri Qi Utara. Kini setelah hamba mengenalinya tapi ia menyangkal, pasti ada niat jahat yang membahayakan Dinasti Zhou kita!" 　　Begitu kata-kata itu keluar, kerumunan penonton langsung gempar. 　　"Paduka ini bahkan menyebut gelar putri bangsawan, jelas bukan omong kosong." 　　"Benar! Paduka sama sekali tidak punya alasan untuk memfitnah nona ini. Lagipula yang menyangkut Qi Utara harus ditanggapi serius. Harus diselidiki asal-usul nona ini. Kalau salah ya minta maaf, bagaimana jika mata-mata Qi Utara lolos?" 　　Ada yang mengomentari penampilan Lu Chuchu: "Lihatlah, alis nona ini tebal, hidungnya mancung, lebih mirip orang barbar Qi Utara daripada kita--" 　　Wajah Lu Chuchu berubah-ubah mendengarnya. Ia mengangkat bangku bundar dan menanyai orang itu: "Apa kau datang mengganggu karena iri bisnis Lush Sheng Xiang ramai? Ketahuilah, sebelumnya sudah banyak yang mencoba, tanyakan saja nasib mereka!" 　　Saat ini, Chu Chu tahu situasi memburuk dan berusaha mengalihkan pembicaraan ke Lush Sheng Xiang. 　　Sebagian besar penonton adalah pelanggan lama yang masih ingat insiden tahun lalu ketika seorang wanita dengan wajah rusak datang mencari masalah di Lush Sheng Xiang. 　　Ada yang iri melihat kesuksesan bisnis Lush Sheng Xiang dan datang membuat keributan, ini masuk akal. 　　Namun pria itu tidak terpancing oleh ucapan Lu Chuchu, berseru keras: "Sungguh menggelikan! Siapa yang tidak tahu pemilik di balik Lush Sheng Xiang adalah Permaisuri Putra Mahkota? Mana ada yang berani membuat keributan? Putri Bangsawan Qiluo menyamar datang ke Dinasti Zhou dan menghubungi Permaisuri Putra Mahkota kami, apa maksud sebenarnya?" 　　Mendengar nama Jiang Si disebut, Lu Chuchu langsung panik. Bangku bundar di tangannya langsung dilempar: "Jangan kau asal tuduh!" 　　Pria itu sengaja tidak menghindar, menahan pukulan itu. 　　Wanita di sampingnya wajahnya berubah pucat: "Tuan, Yang Mulia tidak apa-apa?" 　　Wajah pria itu menyeringai kesakitan, tapi suaranya keras: "Putri Bangsawan mau membunuh pejabat istana Zhou di depan umum untuk menutupi kebenaran? Jika kau merasa aku salah mengidentifikasi, mari ke kantor kabupaten! Akan dibuktikan apakah tuduhanku salah atau benar. Tindakanmu ini justru menunjukkan rasa bersalah!" 　　Kerumunan penonton sudah dipenuhi amarah, serempak mendesak Lu Chuchu sambil berteriak: "Orang barbar Qi Utara menyerang pejabat istana!!!" 　　"Ada mata-mata Qi Utara di Lush Sheng Xiang!" 　　Di antara teriakan itu, sebuah suara tak dikenal berkata: "Mungkin Putri Qi Utara berani begini karena didukung Permaisuri Putra Mahkota!" 　　Sumber suara itu tak terlacak, namun segera menanamkan bibit keraguan di hati para penonton. 　　“Ada yang melempar barang bawaan ke arah Lu Chuchu, ada juga yang menaburkan kulit kacang, memicu kecaman.” 　　“Bajingan mana yang nyebarin kulit kacang? Mata orang jadi perih!” 　　Keributan seramai ini kalau sampe kelewatan tontonan gara-gara mata perih, benar-benar keterlaluan. 　　Lu Chuchu mencengkeram bangku tapi tak berani melempar, hanya bisa menghindar dengan kikuk. 　　Xiuniangzi melindungi Lu Chuchu berteriak: “Jangan lempar-lempar, tenanglah kalian——” 　　Suasana jadi kacau balau. 　　Orang di luar toko berburu informasi, mendengar Lush Sheng Xiang ternyata menyimpan mata-mata Qi Utara, langsung bergolak. 　　“Apa yang terjadi?” Tak lama kemudian sekelompok petugas datang. 　　Penonton keributan melihat petugas keamanan datang, mengibaratkan air surut menyisihkan Lu Chuchu dan pejabat Honglusi. 　　Petugas pemimpin mendekat: “Ini bagaimana? Siapa yang membuat onar?” 　　Xiuniangzi buru-buru menjelaskan: “Tuan, orang inilah yang mengobrak-abrik dengan omong kosong.” 　　Petugas ini biasa patroli di sini, sudah kenal Xiuniangzi, apalagi tahu pemilik Lush Sheng Xiang adalah Permaisuri Putra Mahkota. Langsung mengangkat tangan: “Bawa pergi!” 　　Pria itu menyeringai: “Aku pejabat istana! Kalian menangkap orang tanpa klarifikasi, apa karena toko ini berkaitan dengan Permaisuri?” 　　"Saat petugas keamanan tertegun," teriak kerumunan penonton, "Tuan-tuan jangan sembarangan menangkap orang, Paduka ini telah menangkap mata-mata Qi Utara!" 　　"Mata-mata Qi Utara?" Petugas semakin bingung, "Di mana mata-matanya?" 　　Ratusan jari menunjuk Lu Chuchu yang dilindungi Xiuniangzi: "Itu nona itu, dia putri bangsawan Qi Utara!" 　　Putri bangsawan Qi Utara? 　　Petugas hampir menahan dagunya yang ternganga. 　　Apa ini keberuntungannya, sampai gilirannya bertugas di Lush Sheng Xiang malah terjadi masalah lagi, bahkan melibatkan putri bangsawan Qi Utara. 　　Sejenak petugas pemimpin bingung menentukan perintah apa yang harus diberikan. 　　Sambil ragu, beberapa pria muncul dan memperlihatkan kartu identitas ke petugas pemimpin: "Bawa semua!" 　　Tak lama Lu Chuchu, pejabat Honglusi, dan Nyonya dibawa keluar dari Lush Sheng Xiang, meninggalkan kerumunan yang ramai berbisik. 　　"Para Paduka itu dari Pengawal Jinlin, bukan?" 　　"Benar, aku pernah melihat kartu identitas seperti itu." 　　"Bagus sekali, pasti Paduka Pengawal Jinlin akan melapor, mata-mata Qi Utara itu takkan bisa kabur." 　　"Belum tentu, kau lupa siapa pemilik Lush Sheng Xiang?" 　　"Menurut kalian, apakah orang terhormat itu tahu status si mata-mata?" 　　"Cepat diam! Bukan urusan kita membahas orang terhormat!" 　　Meski begitu, kabar bahwa toko wewangian Permaisuri Putra Mahkota yang dipecat itu menyimpan mata-mata Qi Utara bagai bersayap, cepat menyebar ke seluruh penjuru kota. 　　Komandan Jinlinwei Han Ran menerima laporan, meminta beberapa pejabat yang pernah bertugas di Qi Utara untuk mengonfirmasi status Lu Chuchu. Ia diam-diam mengkhawatirkan pasangan Putra Mahkota, ingin membantu namun tak berdaya. 　　Setelah Putra Mahkota menempati Istana Timur, penyampaian informasi menjadi lebih sulit. Peristiwa sebesar ini mustahil ditahan tanpa dilaporkan ke Kaisar. 　　Biarlah Putra Mahkota sendiri yang menghadapi konsekuensinya. 820. BAB 817 Pusaran 　　BAB 817 Pusaran 　　Kaisar Jingming belakangan berbahagia. Tahun baru belum sepenuhnya berlalu, menjaga suasana hati yang baik adalah kewajiban seorang kaisar yang bertanggung jawab. 　　Terlebih semenjak Putra Mahkota pindah ke Istana Timur, semuanya berjalan lancar tanpa ulah aneh. 　　Apalagi mendengar para guru istana memuji kemajuan pesat Putra Mahkota dalam studi, membuatnya merasakan keharuan yang lama tak dialaminya. 　　Pan Hai mendekat dan melapor: "Komandan Jinlinwei Han Ran mohon audiensi." 　　Kelopak mata Kaisar Jingming berkedut. Dari sela gigi terdesak: "Suruh masuk!" 　　Festival Lentera belum usai! Jika Han Ran berani mengganggu suasana hatinya karena urusan sepele, pasti takkan dimaafkan! 　　Setelah mengancam, Kaisar Jingming berubah pikiran. 　　Lebih baik memang urusan kecil. Urusan besar malah celaka. 　　Han Ran segera masuk dan memberi salut kepada Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengetuk Meja Naga: "Langsung ke intinya!" 　　Han Ran tercekat, merendahkan kepala: "Paduka, anak buah hamba menemukan putri bangsawan Qi Utara di toko wewangian Jalan Pasar Barat." 　　Kaisar Jingming hampir tak percaya: "Apa? Putri bangsawan Qi Utara?" 　　Putri Bangsawan Qi Utara muncul di toko wewangian di Jalan Pasar Barat? 　　“Putri Bangsawan Qi Utara menyamar datang ke Dinasti Zhou untuk membeli wewangian?” 　　Han Ran cepat-cepat melirik Kaisar Jingming, lalu menundukkan pandangan: “Putri Bangsawan Qi Utara adalah pelayan di toko wewangian itu.” 　　Kaisar Jingming bingung, meneguk teh untuk menenangkan diri: “Ini sebenarnya situasi seperti apa?” 　　Han Ran menceritakan kasus petugas Honglusi yang membongkar identitas Lu Chuchu: “Hamba yang bodoh sudah memeriksa, Putri Bangsawan Qi Utara sudah bekerja di toko wewangian itu selama dua tahun.” 　　Wajah Kaisar Jingming berubah halus, bergumam: “Jangan-jangan Qi Utara sedang merencanakan sesuatu——” 　　Han Ran segera menjelaskan: “Toko wewangian itu milik Permaisuri Putra Mahkota.” 　　Teh di tangan Kaisar Jingming hampir tumpah. 　　“Apakah Permaisuri Putra Mahkota tahu identitas Putri Bangsawan Qi Utara?” 　　Han Ran tampak kesulitan: “Hamba yang bodoh belum sempat meminta petunjuk Permaisuri Putra Mahkota.” 　　Kaisar Jingming berdiri lalu duduk lagi, teringat masalah serius: “Kalau begitu, kabar bahwa pelayan toko wewangian adalah Putri Bangsawan Qi Utara sudah tersebar luas?” 　　Han Ran menunduk: “Tidak hanya itu, ada juga yang meneriakkan hubungan antara toko wewangian dengan Permaisuri Putra Mahkota.” 　　Sorot mata Kaisar Jingming berkilat samar. 　　Kebetulan petugas Honglusi mengenali Putri Bangsawan Qi Utara memang mungkin terjadi, tapi berani menyebut-nyebut Permaisuri Putra Mahkota di depan umum—apakah ini ada keanehan? 　　"Jika tidak ada 'nasib buruk' sebelumnya, Kaisar Jingming pasti akan 'Kemarahan Hebat', marah karena Pasangan Putra Mahkota kekenyangan membuka toko wewangian. Tapi sekarang reaksi pertamanya adalah curiga." 　　"Apakah ini kebetulan belaka, atau lagi-lagi ingin 'menjebak' Putra Mahkota?" 　　"Pan Hai, panggil Putra Mahkota dan Permaisuri Putra Mahkota." 　　Pan Hai segera melaksanakan perintah. 　　Pada jam ini Yu Jin sudah selesai membaca buku dan kembali ke istananya. Saat sedang mengobrol dengan Jiang Si, terdengar panggilan Kaisar Jingming. Kepada Xiao Lezi yang menyampaikan 'pesan lisan', dia berkata: "Kasim Le tunggu sebentar, hamba perlu ganti pakaian." 　　Kemudahan kecil ini tentu tidak ditolak Xiao Lezi yang langsung menunggu dengan patuh 'di aula utama'. 　　Sambil berganti pakaian, Yu Jin berbisik pada Jiang Si: "Ayah Kaisar memanggil kita berdua, mungkin 'Nenek sihir' itu mulai berulah lagi." 　　Jiang Si tertawa kecil: "Bukankah kita memang menunggu aksinya?" 　　Yu Jin mengerutkan kening: "Kita selalu diam di 'Istana', targetnya kemungkinan besar adalah toko wewangianmu." 　　Saat menyelamatkan Jiang Zhan ke 'selatan', Jiang Si bertemu dua 'pria' dari Qi Utara yang mencari putri bangsawan di Dinasti Zhou. Setelah menakuti mereka, Long Dan menyuruh orang mengikuti diam-diam. 　　Jejak mereka berakhir di 'ibu kota', menyaksikan kedua pria itu berkeliaran sebelum akhirnya ditahan oleh Lush Sheng Xiang. 　　Ternyata wakil manajer Lush Sheng Xiang, 'Nona Chuchu', adalah Putri Qiluo dari Qi Utara! 　　"Pada saat itu, dapat dibayangkan betapa terkejutnya anak buah Chen Guang." 　　Dua anak buah segera melaporkan kabar mengejutkan ini kepada Chen Guang, yang kemudian segera memberitahu Yu Jin. 　　Yu Jin telah berdiskusi dengan Jiang Si dan memilih untuk tidak mengambil tindakan. 　　Lu Chuchu selalu berperilaku baik di Lush Sheng Xiang, terlihat benar-benar menikmati hari-harinya. Meninggalkan status putri bangsawan Qi Utara untuk datang ke Dinasti Zhou mungkin memiliki kesulitan tersendiri. 　　Bagi Jiang Si, Lu Chuchu adalah teman. Menjauh hanya karena identitasnya sebagai orang Qi Utara terasa terlalu dingin. 　　Tentu saja, mengingat status khusus Lu Chuchu, wajar jika nanti akan dikirim orang untuk mengawasinya diam-diam. Dengan begini potensi masalah bisa dikendalikan. 　　"Bukankah ini sudah diperkirakan? Mengapa kau mengerutkan kening?" 　　Yu Jin mengelus rambut Jiang Si sambil berkata dengan nada pasrah: "Aku agak menyesal telah melibatkanmu." 　　Jiang Si melototinya: "Jangan bicara omong kosong! Kita pasangan suami istri. Masakan hanya kau yang menanggung segala masalah? Aku jelas punya kesempatan lebih baik untuk ikut ambil bagian." 　　Yu Jin segera merendahkan kepala: "Pelajaran Permaisuri Putra Mahkota benar adanya." 　　Keduanya berganti pakaian lalu berjalan keluar. 　　"Membuat Kasim Le menunggu lama." 　　Xiao Lezi buru-buru menjawab: "Paduka terlalu merendahkan hamba. Silakan ikut hamba." 　　Melihat Yu Jin masuk, Kaisar Jingming bergetar sudut bibirnya dan bergumam kesal: "Tahukah kalian mengapa Aku memanggil?" 　　"Anak (menantu perempuan) tidak tahu, mohon Ayah Kaisar menjelaskan." 　　“Kaisar Jingming melirik keduanya, teringat bahwa toko wewangian itu dibeli Lao Qi untuk hadiah kepada istrinya. Masalah ini sebenarnya disebabkan Lao Qi, sementara Istri Lao Qi benar-benar menjadi korban bencana tak terduga. Maka amarahnya langsung tertuju pada Yu Jin, menghujani makian hingga pria itu dibebaskan pergi.” 　　Dari awal sampai akhir, Jiang Si sama sekali tidak mendapat satu pun makian. 　　Telinganya penuh dengan makian, setelah kembali ke Istana Timur, Yu Jin menghela nafas: "Aku benar-benar curiga kalau aku ini jatuh dari langit, sedangkan kau adalah anak kandung sebenarnya." 　　Jiang Si malas berdebat dengannya, berujar: "Sayang sekali Lush Sheng Xiang harus berhenti beroperasi." 　　Yu Jin melirik ke arah ruang studi kekaisaran, berkata tenang: "Tidak apa. Lambat laun akan buka kembali." 　　"Ya, lebih baik selesaikan masalah di depan mata dulu." 　　Membahas hal ini, Yu Jin menyeringai: "Janda Permaisuri terus kehilangan orang-orangnya, putus hubungan dengan Wu Miao, kini panik tak tentu arah. Tuan Zhen akan menyelidiki pejabat Honglusi itu. Orang yang bersembunyi di kerumunan dan menjeratmu juga sudah diawasi orang kita. Kita akan segera tahu apakah bisa mencabut lobak beserta lumpurnya." 　　Jiang Si mengangguk pelan. 　　Janda Permaisuri sulit keluar istana, kemungkinan di luar istana ada sekelompok orang khusus yang menyebarkan desas-desus untuk mencapai tujuan tertentu. 　　Bila berhasil menangkap mereka, mungkin bisa mendapatkan bukti kompromi Janda Permaisuri. 　　Dugaan ini berasal dari Jiang Si. 　　Ia selalu meragukan kasus pemecatan Putra Mahkota. 　　Dalam kehidupan sebelumnya, dia bisa mengetahui bahwa Putra Mahkota yang Dipecat terlibat hubungan gelap dengan Selir Yang, karena rumor ini tiba-tiba menyebar dari kalangan rakyat, dan dengan cepat menjadi buah bibir semua orang. Sang Putra Mahkota yang Dipecat mungkin memberontak karena tekanan ini, hingga akhirnya dipecat untuk kedua kalinya dan menemui ajal. 　　Sedangkan dalam kehidupan sekarang, kasus Putra Mahkota yang Dipecat ini belum terungkap. 　　Jiang Si menduga karena dirinya dan Yu Jin terlalu dini terlibat dalam pusaran perebutan kekuasaan kerajaan, membuat Putra Mahkota yang Dipecat terus-menerus mendapat pukulan, sehingga orang yang bersembunyi di belakang layar dan menjebaknya mengubah taktik. 　　Kini bisa dipastikan dalang di belakang semua ini adalah Janda Permaisuri. 　　Di kalangan rakyat, sangat mungkin Janda Permaisuri membina sekelompok orang khusus yang bertugas menyebarkan rumor. 　　"Ini mungkin akan membuatmu sedikit menderita untuk sementara waktu." Yu Jin menghela napas. 　　Jiang Si tersenyum: "Tidak apa-apa." 　　Seperti yang mereka duga, di ibu kota segera muncul desas-desus tentang Permaisuri Putra Mahkota yang berkolusi dengan mata-mata Qi Utara, kemudian mulai menyebutkan bahwa Permaisuri Putra Mahkota pernah memutuskan pertunangan. 821.BAB 818 Memberikan Tekanan 　　BAB 818 Memberikan Tekanan 　　Permaisuri Putra Mahkota menyangkut muka keluarga kerajaan dan calon penguasa, membuat Kaisar Jingming sangat memantau rumor-rumor di luar istana ini. 　　Untuk meredakan gosip, awalnya dia berencana memerintahkan Komandan Pengawal Jinlin Han Ran mengembalikan Lu Chuchu dengan selamat. Entah dia putri bangsawan asli atau palsu, cukup dengan mengatakan salah mengenali orang untuk meredakan perbincangan rakyat. 　　Gosip di ibu kota terus bermunculan, mungkin tak butuh waktu lama bagi rakyat untuk melupakan kejadian ini. 　　Siapa sangka utusan Qi Utara yang tinggal di kedutaan mendengar kabar dan datang untuk mengidentifikasi, langsung menangis di depan Lu Chuchu, semakin mengukuhkan statusnya sebagai putri bangsawan Qi Utara. 　　Akibatnya, Kaisar Jingming tidak hanya terpaksa mengakui, tapi juga harus menyetujui permintaan utusan Qi Utara: meminta Dinasti Zhou mengirim pasukan untuk mengawal Putri Qiluo kembali ke Qi Utara. 　　Dari segi kekuatan nasional, Zhou jelas lebih unggul. Tapi orang Qi Utara suka berperang, dalam pertempuran nyata Zhou justru sering menderita kerugian besar dan mengeluarkan biaya tinggi. 　　Untungnya selama bertahun-tahun meski sering terjadi gesekan kecil, perang besar tidak pernah pecah. Ini memberi Zhou kesempatan untuk fokus menghadapi Nanlan. 　　Dalam situasi seperti ini, Kaisar Jingming tentu tak ingin menyinggung Qi Utara. Setelah berpikir sebentar, dia menunjuk Jiang Zhan untuk mengawal Putri Qiluo pulang, segera menyingkirkan 'batu panas' ini. 　　Tim pengawal Putri Qiluo tidak melakukan pemberangkatan besar-besaran, tapi masih terlihat oleh warga ibu kota yang jeli. 　　Akibatnya, rumor semakin menjadi-jadi. 　　Yang tak disadari banyak orang: Xiuniangzi, mantan manajer Lush Sheng Xiang yang sudah tutup, mengajukan surat gugatan ke Shuntianfu. 　　Gugatannya agak aneh: menuntut provokator gosip dengan tuduhan menyebarkan rumor berbahaya yang merusak reputasi pemilik Lush Sheng Xiang dan menyebabkan tutupnya toko. 　　Tapi dalam gugatan tidak disebutkan terdakwa spesifik. 　　Anehnya, Prefect Shuntian Zhen Shicheng menerima surat gugatan ini dan mulai menangani kasus dengan serius. 　　“Tak terasa lebih dari sebulan telah berlalu, memasuki bulan ketiga musim semi yang cerah, bahkan ujian nasional tiga tahunan Chunwei pun sudah usai.” 　　“Secara logika, yang seharusnya menjadi perhatian warga ibu kota saat ini adalah pawai juara ujian kerajaan, perebutan bunga oleh Tanhua, atau membahas insiden Tuan Pertama Dongping Bo yang jatuh dari kuda dalam keadaan mabuk usai Pesta Qionglin hingga kakinya patah, mengakhiri karir politiknya.” 　　“Namun justru skandal Permaisuri Putra Mahkota semakin menjadi-jadi.” 　　“Kerjasama Permaisuri Putra Mahkota dengan mata-mata Qi Utara adalah tuduhan pertama, riwayat pertunangan yang dibatalkan sebagai noda reputasi adalah tuduhan kedua, kini muncul tuduhan ketiga: kekeringan di berbagai daerah sejak tahun lalu hingga ibu kota tak turun setetes hujan, ini dianggap sebagai peringatan dari langit atas ketidakpuasan terhadap Permaisuri.” 　　“Jiang Si mendengar kabar ini justru tertawa.” 　　“Ah Man menghentakkan kakinya: "Bagaimana Yang Mulia masih bisa tertawa? Andai bukan di istana yang sulit keluar, hamba pasti sudah menyobek mulut para penyebar fitnah itu!"” 　　“Jiang Si meliriknya: "Apakah kedua tanganmu bisa menyobek mulut seluruh rakyat?"” 　　“"Lalu harus bagaimana? Biarkan mereka menghancurkan reputasi Yang Mulia? Hamba juga dengar ada pejabat pengawas yang menuduh Yang Mulia di sidang pagi..."” 　　“"Kau memang cepat dapat kabar. Sudah, ini bukan urusanmu. Tenanglah."” 　　“Ah Man menghela nafas melihat keteguhan majikannya.” 　　“Kaisar Jingming mulai pusing menghadapi para pejabat pengawas yang semakin berani dan para bangsawan yang mulai bergerak.” 　　Ia tahu dalam hati, ini tak lepas dari masalah yang ditinggalkan oleh penetapan calon penguasa secara tiba-tiba dulu. 　　Saat itu begitu dekrit kerajaan turun, para menteri marah tapi tak berani protes. Kemudian Putra Mahkota lolos dari peristiwa anjing langit menelan matahari yang dianggap takdir ilahi, semakin tak ada yang berani bersuara. 　　Tapi diam bukan berarti tak punya pendapat. 　　Sekarang Permaisuri Putra Mahkota menghadapi masalah, mereka pun mengasah pedang siap menyerang. 　　Tak bisa menyerang Putra Mahkota, masak tak bisa menyerang Permaisuri Putra Mahkota? 　　Lagipula, Putra Mahkota masih muda dan tampan. Melihat Kaisar telah membersihkan hampir semua pangeran, posisinya pasti aman. Jika Permaisuri dihabisi, bukankah putrinya (cucu perempuan, keponakan) bisa mendapat kesempatan? 　　Memikirkan ini, para menteri semakin bersemangat. 　　Kaisar Jingming duduk di kursi naga, mengantuk mendengar pejabat sensor yang berkoar-koar menuduh Permaisuri Putra Mahkota. 　　Bukan tanpa alasan - belakangan ini terlalu sering mendengar omongan serupa, telinganya sudah kapal. 　　Kaisar Jingming bukannya tidak kesal. 　　Permaisuri Putra Mahkota berkolusi dengan mata-mata Qi Utara? 　　Konon Putri Qiluo yang minum air dingin saja bisa tersedak itu. Jika Qi Utara mengirim mata-mata seperti ini, negara mereka pasti sudah runtuh. 　　Masalah usang seperti Permaisuri yang pernah memutuskan pertunangan juga diangkat lagi untuk menyakitinya. Apa para idiot ini lupa saat Lao Qi masih jadi Pangeran Yan, pernikahannya juga kuasa yang menyetujui? 　　Apa mereka pikir saat itu aku tidak tahu Permaisuri pernah memutuskan pertunangan? 　　Pernikahan yang diakuinya kini dijadikan bahan pembicaraan, apakah ini ditujukan pada Permaisuri Putra Mahkota? Ini tamparan baginya! 　　Adapun kemarau yang terjadi semakin menggelikan, seolah-olah setiap tahun cuaca selalu baik. Ini jelas mengada-ada. 　　Ketika pejabat sensor ketiga maju menyampaikan pasal yang mirip terhadap Permaisuri Putra Mahkota, Kaisar Jingming tak tahan menyela: "Permaisuri Putra Mahkota hanyalah seorang wanita lemah, bagaimana mungkin bersekongkol dengan orang Qi Utara? Para menteri terlalu berprasangka—" 　　Tak disangka pejabat sensor itu berwatak keras, belum lagi Kaisar selesai bicara langsung menghantam pilar. 　　Yang lebih mengejutkan, sekelompok orang di sekitar pejabat sensor tak ada yang bereaksi cepat menahan, hingga pejabat itu langsung kepala pecah berdarah dan tewas seketika. 　　Dengan kejadian seperti ini, Kaisar Jingming semakin sulit mengelak urusan Permaisuri Putra Mahkota. 　　Sampai tahap ini, apakah Permaisuri Putra Mahkota benar bersekongkol dengan Qi Utara sudah tak relevan. 　　Banyak mulut melelehkan emas, desas-desus menakutkan. Jika semua mengatakan kau bersalah, maka kau bersalah. Jika semua menyebut kau penyebab kemarau, maka kaulah biang keladinya. 　　Kaisar Jingming melirik bekas darah di ubin emas, wajahnya muram sambil pergi mengibaskan lengan baju. 　　Kabar pejabat sensor menuduh Permaisuri Putra Mahkota hingga tewas menghantam pilar di aula istana cepat tersebar. 　　Istana Cining mengirim utusan meminta Kaisar Jingming datang. 　　Menghadap Janda Permaisuri, Kaisar Jingming menekan kesal dan tersenyum: "Ada urusan apa Ibu memanggil anak lelaki?" 　　Di hadapan Janda Permaisuri terletak secangkir teh yang masih mengepul asapnya. 　　Ia mengangkat cangkir teh, suaranya rendah: "Hamba mendengar ada pejabat pengawas yang meninggal karena menabrak pilar saat menuduh permaisuri putra mahkota—" 　　"Ibu juga mendengarnya?" Kaisar Jingming mengangkat topik ini dengan perasaan gelisah. 　　Jangan dikira dia tidak tahu, apakah para pejabat sensor yang mudah mengancam bunuh diri itu benar-benar karena kejujuran mereka? 　　Heh, mereka hanya menginjak reputasinya sebagai kaisar untuk mencari ketenaran. 　　Memikirkannya saja membuat marah, tapi orangnya sudah meninggal, apa yang bisa dilakukannya? Jika menghukum keluarga pejabat sensor, cap penguasa lalim segera melekat. 　　Sorot mata Janda Permaisuri berkilat: "Masalah permaisuri putra mahkota begitu menggemparkan, hamba bukan tuli, mana mungkin tidak mendengar kabar angin?" 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Ibu kembali khawatir karena anak." 　　Janda Permaisuri menyesap tehnya, berkata datar: "Kekhawatiran hamba tidak penting, yang utama adalah rencana Kaisar?" 　　Melihat Kaisar Jingming diam, Janda Permaisuri meletakkan cangkir teh, berpesan penuh makna: "Kaisar baru saja memilih calon penerus, permaisuri putra mahkota langsung membuat masalah. Mencegah mulut rakyat lebih sulit daripada membendung sungai. Menenangkan omongan dunia akan sangat sulit. Kaisar perlu memikirkan cara menyelesaikan ini." 　　"Anak mengerti." Kaisar Jingming pergi dari Istana Cining dengan beban pikiran. 　　Sedikit masalah menyebalkan mempengaruhi mood, baru bisa menulis satu halaman sampai sekarang, mohon maaf. 822.BAB 819 Tetua Besar Tiba di Ibu Kota 　　BAB 819 Tetua Besar Tiba di Ibu Kota 　　Kedai minum dan rumah teh di ibu kota selalu ramai, tempat tepat untuk mendengar kabar terkini. 　　“Seorang nenek tua duduk di sudut warung teh pinggir jalan, diam-diam mendengar obrolan pengunjung.” 　　“Pengunjung warung teh seperti ini biasanya tidak berkecukupan, kebanyakan rakyat jelata. Orang seperti ini lebih leluasa membicarakan rumor.” 　　“Ck ck, sampai sekarang belum juga turun hujan. Jika terus begini, tanaman pasti mati kering, tidak ada panen sama sekali.” 　　“Benar. Nanti entah berapa banyak orang yang mati kelaparan. Hari-hari sulit ini!” 　　“Kalian dengar kabar? Kekeringan ini semua gara-gara Permaisuri Putra Mahkota——” 　　Telinga nenek tua itu bergerak-gerak halus. 　　Banyak orang menertawakan si pembicara: “Siapa yang tidak tahu? Tapi dia Permaisuri yang mulia, kita tidak bisa berbuat apa.” 　　“Kita tak bisa, tapi para pejabat terhormat juga tak bisa? Jangan sampai karena seorang wanita, kita semua menderita!” 　　…… 　　Nenek tua itu meletakkan dua keping uang tembaga di meja panjang, lalu bangkit dengan wajah datar. 　　Rumor yang menyangkut stabilitas rakyat ini sudah tidak bisa dipatahkan dengan mudah. Posisi Permaisuri Putra Mahkota mungkin tidak aman. 　　Belum lama ini Kediaman Dongping Bo sedang di puncak kejayaan, membuat banyak orang iri. Kini Permaisuri terkena masalah, ditambah cucu kesayangan Nyonya Feng yang karirnya hancur, sang nyonya tua yang mendengar cemoohan akhirnya jatuh sakit. 　　Jiang Si menggunakan alasan ini untuk memohon izin Permaisuri pulang ke Dongping Bo mengunjungi neneknya. 　　“Permaisuri menghela napas pelan: "Mengunjungi nenek adalah bentuk bakti yang seharusnya, tapi saat ini kau sedang menjadi pusat perhatian, berhati-hatilah saat keluar istana." 　　“Ibu tenang saja, menantu perempuan ini mengerti.” 　　“Kalau begitu pergilah.” 　　Jiang Si mundur keluar ruangan. 　　Permaisuri menggerakkan sudut bibirnya, lalu memanggil lagi: "Permaisuri Putra Mahkota." 　　Jiang Si sedikit menekuk lutut, wajahnya tenang: "Ada pesan apa lagi dari Ibu?" 　　Permaisuri tersenyum: "Tidak ada pesan khusus, hanya ingin memberitahu jangan terlalu stres. Ayah Kaisar tidak akan goyah karena desas-desus, badai ini pasti akan berlalu." 　　Masuk ke dalam istana yang sedalam jurang ini, siapa yang tak pernah menghadapi kesulitan? Ia yakin gejolak ini tak akan menjatuhkan Permaisuri Putra Mahkota. 　　Hati Jiang Si terasa hangat: "Terima kasih atas hiburan Ibu." 　　Setelah keluar istana dan mengunjungi Nyonya Feng, dengan pengaturan matang Jiang Si akhirnya bertemu dengan nenek tua itu. 　　Nenek tua itu menatap Jiang Si lama-lama, lalu menghela napas panjang: "Sudah lama kuduga mungkin kaulah Imam Suci sejati Wu Miao kami, hanya tak mengerti mengapa Imam Suci bisa lahir dari Dinasti Zhou. Kini setelah tahu ada darah Wu Miao dalam dirimu, semuanya menjadi jelas. Wu Miao akhirnya memiliki Imam Suci kembali." 　　Hingga akhir kata-katanya, getir dalam suaranya tak bisa disembunyikan. 　　Sebelumnya meski Jiang Si pernah berjanji akan muncul sebagai Imam Suci saat Wu Miao membutuhkan, itu hanyalah transaksi kepentingan, kerja sama belaka, sangat berbeda dengan keadaan sekarang. 　　Adanya darah Wu Miao dalam diri Jiang Si membuktikan bahwa langit tak hendak memusnahkan Wu Miao, warisan Imam Suci tak terputus. 　　Bisa dikatakan, baru sekarang Tetua Besar benar-benar bisa lega. 　　“Saya tidak menyangka Tetua akan datang sendiri.” 　　“Urusan sepenting ini tentu harus saya hadiri. Hanya saja perlu mengatur urusan suku terlebih dahulu, sehingga sedikit terlambat.” 　　Jiang Si memegang cangkir teh, bertanya tenang: “Rumor rakyat ibu kota, apakah Tetua sudah mendengarnya?” 　　Wajah Tetua berubah samar, perlahan mengangguk. 　　“Janda Permaisuri ingin membunuh saya. Tidak tahu rencana apa yang Tetua miliki untuk menarik kembali bidak ini?” 　　Tatapan Tetua dalam, alis berkerut: “Imam Suci yakin ini ulah tangannya?” 　　Jiang Si mengejek: “Sudah sampai di sini, apakah Tetua masih berharap?” 　　Tetua tersipu malu, memutar cincin giok di jempolnya: “Bidak yang melukai Imam Suci tentu harus dimusnahkan.” 　　Setelah berpikir sejenak, Jiang Si bertanya: “Bidak ini sangat penting dan sudah lama. Tidakkah Tetua punya kendali atasnya?” 　　“Dia pernah bersumpah pada Dewa Sejati. Imam Suci belum benar-benar tinggal di Wu Miao, mungkin tak paham makna sumpah kepada Dewa bagi suku kami.” 　　Jiang Si diam seribu bahasa. 　　Di kehidupan sebelumnya, pengalamannya bertahun-tahun di Wu Miao membuatnya paham betapa khusyuknya penyembahan mereka pada Dewa - belenggu keyakinan itu sangat kuat. 　　Contohnya, orang luar yang menghina Imam Suci bisa dibunuh warga Wu Miao. Tapi jika orang luar memarahi Putra Mahkota Dinasti Zhou, sebagian besar rakyat ibu kota akan pura-pura tuli. 　　Di Wu Miao, Imam Suci dan Tetua adalah simbol dewa, apalagi penyembahan pada Dewa Sejati itu sendiri. 　　Tetua menghela napas: "Tak kusangka dalam puluhan tahun saja, dia sudah melupakan Dewa Sejati." 　　Jiang Si tiba-tiba merasa Tetua agak naif. 　　Kenaifan ini mungkin berkaitan dengan cara pelatihan Imam Suci Wu Miao. 　　Anak perempuan berbakat dipilih sejak kecil untuk berlatih keras, yang menonjol akan menjadi Imam Suci. Sejak itu semua orang menghormatinya. Ketika menjadi Tetua, kekuasaannya mutlak sebagai pengendali takdir suku. 　　Persaingan internal pasti ada, tapi masih jauh kalah dibanding penguasa keluarga kerajaan Dinasti Zhou yang merebut kekuasaan dengan pertumpahan darah. 　　"Puluhan tahun kemewahan semu, apalagi Dinasti Zhou memiliki negara seluas sepuluh ribu li." Jiang Si berkata pelan. 　　Wajah Tetua berubah: "Selain itu kami juga menanamkan Gu dalam tubuhnya. Tapi menurut Tetua Hua, cacing Gu itu entah kapan sudah hilang..." 　　Mata Jiang Si berkedip. 　　Mungkinkah Tetua bicara tentang Gu hubungan hati ibu-anak dalam tubuh Janda Permaisuri? Sepertinya dialah yang menghilangkannya... 　　Tapi saat itu dia bisa merasakan Gu itu belum lama bersarang di tubuh Janda Permaisuri, pasti belum puluhan tahun. 　　"Kalau begitu, tidak ada cara lain?" Jiang Si mengembalikan masalah. 　　Siapa yang bikin masalah harus bertanggung jawab, itu hukum alam. 　　Tapi Jiang Si tahu tak semudah itu, karena suku Wu Miao pasti tak mau terlibat. 　　"Ada satu cara." 　　"Silakan katakan." 　　Setelah mendengar penjelasan Tetua, Jiang Si ragu: "Kalau begitu, Tetua Hua mungkin akan--" 　　“Untuk menyelesaikan masalah Imam Suci adalah kehormatan Tetua Hua, pasti Tetua Hua akan mati tanpa penyesalan.” Tetua berkata dengan wajah datar. 　　Sudut bibir Jiang Si berkedut. 　　Dia bisa memahami semangat orang Wu Miao yang rela mengorbankan segalanya untuk Imam Suci, tapi dia bukan penduduk asli Wu Miao yang lahir dan besar di sini, tak bisa mengabaikan nyawa orang lain demi menyelesaikan masalah. 　　“Selain ini, tidak ada cara yang lebih baik.” Tetua mengingatkan dengan tenang saat melihat Jiang Si ragu-ragu. 　　Dia agak bingung mengapa Jiang Si tiba-tiba ragu untuk Tetua Hua, tapi entah mengapa hatinya merasa lebih tenang. 　　Seorang Imam Suci yang masih mempertimbangkan nyawa orang Wu Miao, mungkin bisa diandalkan. 　　“Jiang Si akhirnya mengangguk: 'Baiklah, saya akan berusaha menyelamatkan nyawa Tetua Hua. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Tetua Hua, cucu perempuannya akan saya rawat dengan baik.'” 　　Di balik penyekat, Tetua Hua yang mendengar perkataan ini menitikkan air mata. 　　Mati demi Imam Suci adalah kematian tanpa penyesalan. Mendengar perkataan Imam Suci sendiri membuatku semakin tak punya ikatan lagi. 　　“Menurutku situasi saat ini sangat merugikan Imam Suci. Masalah ini perlu diselesaikan secepatnya.” 　　Jiang Si tersenyum sinis: “Tidak perlu terburu-buru, belum saatnya. Jebakan ini akan kuselesaikan.” 823. BAB 820: Kemarahan Putra Mahkota 　　BAB 820 Kemarahan Putra Mahkota 　　Lagi-lagi setengah bulan berlalu, tetesan hujan belum juga turun. 　　Bumi retak-retak, tanaman layu dan mati, tak terhitung orang bersujud di pinggir sawah sambil menangis keras, berdoa memohon hujan. 　　Desas-desus bahwa Langit memberi peringatan Permaisuri Putra Mahkota adalah permaisuri siluman yang menyebabkan kekeringan parah di wilayah ibu kota semakin menjadi-jadi. 　　Yu Jin setiap hari dibuat naik darah oleh kabar-kabar ini ke tingkat baru. 　　"Rakyat biasa malah berkumpul meminta petisi agar Istana Timur menceraikan Permaisuri Putra Mahkota? Sungguh tolol tak ketulungan!" Yu Jin menepuk meja keras-keras sambil menyepak bangku kecil hingga terlempar jauh. 　　Seluruh dayang yang bertugas di ruangan itu menahan napas ketakutan. 　　Jiang Si melirik para dayang itu, lalu berkara lembut: "Kalian semua keluar dulu." 　　Para dayang bagai mendapat ampunan, buru-buru mundur keluar. 　　Di luar aula, mentari bersinar terik menyengat kulit. 　　Seorang dayang dengan wajah cemas berbisik ke telinga dayang lain: "Menurutmu apa yang akan terjadi pada Permaisuri kita? Mungkinkah benar-benar di-" 　　"Jangan ngomong sembarangan. Orang luar tidak tahu, tapi kita paham, Paduka sangat mencintai Permaisuri. Mana mungkin mendengar rumor yang menyakiti hati Permaisuri?" 　　Dayang itu menggigit bibir: "Tapi bukankah Paduka juga punya keterpaksaan? Masih ada pejabat sensor yang menabrak pilar..." 　　Ah Man berdiri di anak tangga marmer, tangan di pinggang menyumpah: "Kebanyakan makan tidak ada kerjaan? Awas kalau masih ngerumpi, kubelah mulut kalian!" 　　Ah Man dan A Qiao sekarang adalah pegawai wanita berpangkat sekaligus orang kepercayaan Permaisuri. Mana berani dayang-dayang ini melawan. Begitu melihat Ah Man yang garang muncul, mereka langsung bubar. 　　“Ah Man meludah, wajahnya menghitam sambil berbalik mendekati A Qiao, marah: ‘Sungguh membuatku mati gaya, orang luar mengobrol sembarangan sudah biasa, tapi si gadis kecil ini berani menggunjing juga.’” 　　A Qiao tersenyum: “Mereka juga khawatir tentang Permaisuri Putra Mahkota, tak perlu marah sebesar ini.” 　　“Bukankah aku juga khawatir pada tuanku kita? Kenapa kau sama sekali tidak panik?” 　　A Qiao tetap tenang: “Aku percaya tuanku punya cara. Lupa, itu kan tuanku kita——” 　　A Qiao hanya menyelesaikan separuh kalimat. Pikiran Ah Man tiba-tiba terbayang pemandangan: Malam gelap berangin kencang, tuanku memegang pedang sambil menyeringai dingin ke arah... bawah tubuh seorang pria sial... 　　Ah Man menghela nafas lega panjang, mantap bagai gunung Tai. 　　A Qiao benar, itu kan tuanku mereka. 　　Di dalam ruangan, Jiang Si juga sedang menenangkan Yu Jin: “Bukankah ini sudah diantisipasi? Tahan emosimu, buat apa melampiaskan ke bangku kecil?” 　　Wajah Yu Jin pucat pasi: “Tak kira mereka berani mengatakan segalanya. Rakyat biasa pun berani mempergunjingkanmu.” 　　Jiang Si tak ambil pusing: “Ucapan orang bisa menghancurkan. Banyak yang hancur oleh gosip. Kita justru memanfaatkan gosip untuk memotong akar masalah. Setelah badai ini, dunia takkan bisa mencemarkan reputasi kita lagi.” 　　Yu Jin akhirnya terdiam. Datanglah pelayan istana dari Aula Yangxindian memanggilnya. 　　Begitu tiba di Yangxindian, alis Yu Jin langsung berkedut. 　　Enam kementerian dan sembilan pejabat tinggi ternyata sudah berkumpul semua. 　　Melihatnya masuk, para menteri serentak memberi hormat: "Hamba menyampaikan salam pada Paduka." 　　Yu Jin melangkah masuk, menangkupkan tangan ke arah Kaisar Jingming: "Apa maksud Ayah Kaisar memanggil anak lelaki ini?" 　　Kaisar Jingming yang sedang pusing tujuh keliling, diam-diam lega melihat kedatangan Yu Jin. Dengan suara lembut ia berkata: "Mengenai urusan Istana Timur, para menteri memiliki beberapa pemikiran. Kami memanggilmu untuk mendengarkan." 　　Para menteri serentak ingin memutar mata putih mendengar ini. 　　Ucapan Kaisar ini keterlaluan! Niat tulus mereka semata untuk negara dan altar leluhur, bukan bermaksud buruk pada Istana Timur. 　　Yu Jin menyapu pandangan elangnya ke para menteri, bertanya tenang: "Kalau boleh tahu, pemikiran apa yang dimiliki para Paduka mengenai Istana Timur?" 　　Aura dinginnya bagai diselimuti salju, bola mata hitam legam yang menyapu sekeliling membuat punggung para menteri merinding. Untuk sesaat, tak ada yang berani membuka mulut. 　　Sang Putra Mahkota memang menyeramkan - bahkan sebelum mendapat gelar kepangeranan ia sudah berani berkelahi dengan para pangeran. Ia bahkan pernah memukul mantan Putra Mahkota... 　　Melihat situasi ini, Kaisar Jingming hampir saja marah sampai hidungnya miring. 　　Saat berdebat denganku tadi mereka ribut seperti bebek di pasar, kenapa sekarang jadi pengecut di hadapan Putra Mahkota? 　　Tak tahan, Kaisar langsung menunjuk: "Menteri Gu, tadi kau bukan punya usul? Kenapa sekarang bungkam?" 　　Menteri Gu dalam hati mengutuk kekejaman Kaisar. Di bawah tatapan dingin Yu Jin, ia mengeraskan hati berkata: "Menurut hamba, rumor di kalangan rakyat tentang Permaisuri Putra Mahkota tidak boleh dibiarkan. Kita perlu segera mencari solusi yang tepat." 　　“Apakah Yang Mulia Gu Shangshu memiliki solusi yang tepat?” Yu Jin bertanya dengan suara datar. 　　Yang Mulia Gu melirik ke kiri kanan, lalu menangkupkan tangan: “Rakyat menganggap Permaisuri Putra Mahkota adalah siluman yang turun ke dunia, sehingga menyebabkan kekeringan di wilayah ibu kota——” 　　“Permaisuri siluman?” Mendengar setengah kalimat saja Yu Jin sudah meledak amarahnya, menepuk pilar emas hingga seluruh ruangan seolah berguncang. 　　Yang Mulia Gu bagai bebek yang sedang berkotek tiba-tiba dicekik lehernya, suaranya terhenti mendadak. 　　Kaisar Jingming bermuka masam menghardik: “Asal menepuk apa? Jangan lupa kau ini Putra Mahkota!” 　　Dulu ketika Beliau masih Putra Mahkota, berani-kah menepuk pilar di hadapan Menteri Departemen Sumber Daya Manusia? Brengsek-brengsek ini benar-benar tidak tahu diri! 　　Melihat bekas telapak tangan di pilar emas, Kaisar Jingming menghela nafas dalam-dalam. 　　Andai Beliau yang menepuk juga percuma, hanya membuat tangan sakit... 　　“Ayah Kaisar memberikan pelajaran yang benar. Silakan Yang Mulia Gu melanjutkan.” 　　Yang Mulia Gu menatap langit. 　　Mau berkata apa? Dia masih ingin hidup beberapa tahun lagi. 　　Para menteri mengusap keringat dengan lengan jubah. 　　Tidak bisa diajak berurusan... Putra Mahkota hanya mengandalkan tinju tanpa otak, bagaimana nanti kalau jadi Kaisar? 　　Tepatnya, bagaimana nasib mereka nanti? 　　Yu Jin menyapu kerumunan dengan pandangan, tersenyum: “Jika Para Paduka tidak ada urusan lagi, hamba tidak akan mengganggu musyawarah Bapak dengan Ayah Kaisar. Permaisuri Putra Mahkota belakangan ini terganggu oleh rumor, hamba akan menemaninya.” 　　Mendengar ini, Yang Mulia Gu yang ketakutan tiba-tiba meluap amarahnya. 　　“Di hadapan semua orang, Putra Mahkota malah berkata akan kembali menemani Permaisuri Putra Mahkota. Apakah ini menunjukkan kesetiaan pada permaisuri? Tidak, ini tantangan bagi kami para menteri penting.” 　　“Angin tak baik seperti ini tak boleh dibiarkan berkembang!” 　　“Paduka, desas-desus yang tak kunjung hilang ini dikhawatirkan mengancam stabilitas Istana Timur——” 　　Yu Jin tetap berkata dengan tenang: “Karena itu hamba ingin mendengar pendapat Menteri Gu.” 　　Menteri Gu menarik napas dalam-dalam: “Cara terbaik adalah menurunkan status Permaisuri Putra Mahkota menjadi selir, lalu memilih calon lain yang berperilaku lebih baik sebagai permaisuri——” 　　Yu Jin langsung menendang, membuat Menteri Gu terjungkal. 　　Melihat menteri tua yang tergeletak di depannya, Kaisar Jingming tiba-tiba ingin tertawa. 　　Bagaimana? Dia sudah tahu Lao Qi akan bertarung mati-matian jika istrinya diganggu. Sayangnya para tua-tua ini belum melihat peti mati tak akan meneteskan air mata. 　　Setelah momen itu, Kaisar Jingming marah: “Brengsek! Menteri Gu adalah pilar negara, pilar penopang kerajaan! Beraninya kau menendangnya?” 　　Yu Jin berlutut: “Anak salah.” 　　Kaisar Jingming bersuara keras: “Mengaku salah percuma! Bagaimana jika Menteri Gu terluka? Pengawal, bawa Putra Mahkota ke Biro Urusan Kerajaan untuk merenungkan kesalahan!” 　　Para menteri yang baru sadar berusaha mencegah: “Paduka, pertimbangkan sekali lagi!” 　　Pantat Putra Mahkota belum panas duduk sudah dikirim ke Biro Urusan Kerajaan, apa muka kami akan tetap anggun? 　　Yang ikut memohon termasuk Menteri Gu sendiri. 　　1. Kalau orang tahu Putra Mahkota masuk Biro Urusan Kerajaan untuk merenung kesalahan karena menendangnya, masih punya muka? 　　2. Minta dukungan vote. Sampai jumpa besok. 3. 824.BAB 821 Permaisuri Putra Mahkota Tiba 　　4. BAB 821 Permaisuri Putra Mahkota Tiba 　　5. Suasana di aula tegang, Xiao Lezi yang mendapat isyarat dari Pan Hai langsung disambar lari ke Istana Timur untuk memberi kabar. 　　6. Jiang Si yang sedang mencerna alasan Kaisar Jingming memanggil Yu Jin tiba-tiba, mendengar Kasim Le datang lagi, buru-buru menanyakan sebabnya. 　　7. Xiao Lezi terengah-engah, nada suaranya darurat: "Paduka Putra Mahkota menendang Menteri Gu!" 　　8. Setelah itu, khawatir Jiang Si tidak tahu siapa Menteri Gu, menjelaskan dengan ramah: "Yaitu Menteri Departemen Sumber Daya Manusia!" 　　9. Jiang Si mendengarnya sampai sudut bibirnya kedutan. 　　10. Tentu saja dia tahu Menteri Gu adalah kepala Departemen Sumber Daya Manusia, paling berkuasa di antara enam menteri utama. 　　11. "Paduka Putra Mahkota memukul Menteri Gu, mungkin harus ke Biro Urusan Kerajaan untuk merenung. Hamba datang memberitahu Permaisuri." 　　12. Soal Permaisuri mau cari cara bebaskan Putra Mahkota atau siapkan barang-barangnya, itu di luar wewenang seorang pelayan istana. 　　13. Mendengar penjelasan Xiao Lezi, Jiang Si malah tenang, bertanya: "Kenapa Putra Mahkota memukul Menteri Gu?" 　　14. Sorot mata Xiao Lezi berkelip-kelip. 　　15. "Bapak Le silakan bicara terus terang." 　　16. A Qiao segera menyelipkan dompet kecil berbobot. 　　17. Xiao Lezi baru berkata: "Menteri Gu mengusulkan menurunkan Yang Mulia jadi selir, lalu memilih Permaisuri baru——" 　　"Jiang Si belum sempat bicara, Ah Man di samping langsung meludah: "Glek! Menghasut orang untuk menceraikan istri dan menikah lagi, buat apa menyimpan orang tua tak tahu malu macam ini?"" 　　"Selir bicaranya manis, tapi bukankah dia hanya selir? Sungguh terlalu keterlaluan!" 　　"Xiao Lezi memandang Ah Man yang bertolak pinggang dan melotot sampai matanya terbelalak." 　　"Dayang Permaisuri Putra Mahkota ini memang garang, berani memarahi Menteri Sumber Daya Manusia sebagai orang tua tak tahu malu - memikirkan ini, tendangan Putra Mahkota ke Menteri Gu pun terasa wajar." 　　""Menurunkan saya menjadi selir? Itu kata Menteri Gu?" tanya Jiang Si dengan datar." 　　"Xiao Lezi tiba-tiba merinding, tertawa kaku: "Yang Mulia jangan dipikirkan, tolong jangan dipikirkan..."" 　　"Mengapa dia merasa Permaisuri Putra Mahkota lebih menakutkan daripada Putra Mahkota sendiri?" 　　"Jiang Si berdiri dan berjalan keluar: "Kasim Le, tolong antar saya."" 　　""Mengantar?" Xiao Lezi menyusul sambil gagap." 　　"Jiang Si meliriknya dengan senyum sinis: "Aula Depan Yangxindian belum pernah saya kunjungi, mohon Kasim Le menunjukkan jalan."" 　　"Xiao Lezi antara ingin tertawa dan menangis: "Permaisuri, Aula Depan Yangxindian adalah tempat Kaisar mengurus negara, Yang Mulia pergi ke sana... tidak pantas kan?"" 　　"Permaisuri saja menemui Kaisar di Aula Belakang, mana ada yang berani ke Aula Depan, apalagi Permaisuri Putra Mahkota." 　　“Tidak pantas?” Alis hitam Jiang Si terangkat, bola matanya yang gelap berkilauan, “Usulan Menteri Departemen Sumber Daya Manusia agar Putra Mahkota menceraikan istri itu pantas? Ataukah Kasim Le merasa usulan Menteri Gu ini pantas?” 　　Xiao Lezi nyaris bersujud, wajahnya pucat pasi, “Hamba sama sekali tidak berani berpikir begitu!” 　　“Kalau begitu, antarkanlah aku.” 　　Sambil berjalan patuh di depan memberi tuntunan, kepala Xiao Lezi masih terasa pusing. 　　Bagaimana bisa dia terseret dalam masalah ini? Dia cuma seorang kasim kecil! 　　Apakah Shifu tahu kalau Permaisuri Putra Mahkota ini perempuan pemberani yang berani menerobos Aula Yangxindian bagian depan? Sampai menyuruhnya diam-diam mengirim kabar ke Istana Timur! 　　Terpaksa, Xiao Lezi tanpa sadar mempercepat langkah. Sampai di lokasi, dia berteriak lantang: “Permaisuri Putra Mahkota tiba——” 　　Aula langsung senyap seketika. 　　Para menteri saling pandang, lalu serentak menatap Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming mengerutkan alis: “Mengapa Permaisuri Putra Mahkota datang ke sini? Sungguh keterlaluan!” 　　Para menteri mengangguk-angguk dalam hati: Benar-benar tidak tahu aturan! 　　“Suruh Permaisuri Putra Mahkota masuk,” tambah Kaisar Jingming. 　　Para menteri: “...” Apakah Kaisar kerasukan roh jahat? 　　Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh ramping melangkah gesit masuk. Berjalan di antara barisan menteri penting, dia sama sekali tidak gugup, seolah sedang berjalan-jalan di taman. 　　“Menantu perempuan menghadap Ayah Kaisar.” 　　Memandang Permaisuri Putra Mahkota yang sedang memberi salam hormat, Kaisar Jingming terdiam sesaat. 　　Belum pernah menghadapi situasi seperti ini, sejenak baginda bingung harus berbuat apa. 　　Diam-diam begini bukanlah hal yang baik, Kaisar Jingming batuk-batuk: "Ahem, mengapa Permaisuri Putra Mahkota datang ke sini? Ini bukan tempat yang pantas bagimu!" 　　Jiang Si menjawab dengan tenang: "Belakangan ini menantu terusik oleh rumor, hati gelisah. Mendengar Ayah Kaisar mengumpulkan para menteri dan Putra Mahkota untuk membahas hal ini, sengaja datang menanyakan hasil musyawarah." 　　Menteri Ritus tak tahan lagi: "Baginda Kaisar sedang berunding dengan para menteri, Permaisuri Putra Mahkota seenaknya masuk begitu saja, sungguh tak patut!" 　　Selesai, selesai! Putra Mahkota menginjak Lao Gu di depan umum, Permaisuri Putra Mahkota nyelonong masuk begitu saja. Dinasti Zhou pasti akan runtuh! 　　Para menteri sepakat serentak memohon kepada Kaisar Jingming: "Mohon Baginda memberikan hukuman tegas kepada Permaisuri Putra Mahkota, jangan sampai keluarga kerajaan menjadi bahan tertawaan dunia." 　　Wajah Kaisar Jingming berubah muram: "Permaisuri Putra Mahkota, kau boleh pergi dulu." 　　Mengurus Permaisuri Putra Mahkota itu tugas Permaisuri, kenapa harus dibebankan padanya lagi? 　　Membayangkan Permaisuri yang bersembunyi di Istana Kuning makan anggur tanpa perlu mengupas kulitnya, lalu melihat gerombolan menteri yang seperti serigala, hati Kaisar Jingming semakin kesal. 　　Semula berpikir dengan mengangkat Putra Mahkota bisa membantunya meringankan beban, ternyata hanya khayalan belaka. 　　Jiang Si menekuk lutut, menundukkan mata: "Hari ini menantu memang ceroboh. Hanya mendengar Menteri Gu menghasut Putra Mahkota untuk menceraikan istri, benarkah kabar ini?" 　　Nada suaranya tenang namun sarat aura pembunuhan, membuat semua orang tak sengaja melirik ke Menteri Gu yang sedang duduk di bangku kecil setelah diinjak hingga terjengkang. 　　Menteri Gu tidak bisa duduk tenang lagi, mengabaikan sakit samar di pinggang tuanya dan langsung berdiri, wajahnya memerah: "Kaisar, hamba hanya memikirkan kepentingan Dinasti Zhou, sama sekali tidak ada niat pribadi. Permaisuri Putra Mahkota yang melanggar tata krama datang ke sini menuduh hamba tua menghasut Putra Mahkota, sungguh membuat hamba tua malu sampai tak tahu harus bersembunyi di mana!" 　　Sang menteri tua yang sedang emosi itu menghentakkan kaki sambil menghela napas panjang, air mata dan ingus bercucuran. 　　Yu Jin yang tadinya berlutut dengan patuh berkata dingin: "Lebih baik hancurkan sepuluh kuil daripada rusakkan satu pernikahan. Usulan Menteri Gu sampai diketahui istri saya, wajar jika merasa malu--" 　　"Kurang ajar, kau diam!" Kaisar Jingming mengambil pemberat kertas giok putih dan mengarahkannya ke Yu Jin. 　　Mengingat belakangan ini pemberat kertas giok putih cepat habis terpakai, kas pribadi (dana darurat) hampir kosong, Kaisar Jingming diam-diam meletakkannya kembali. 　　Menteri Gu saat itu juga sudah kehilangan akal, menunjukkan sikap berani melawan Kaisar Jingming sambil berteriak: "Putra Langit tidak punya urusan rumah tangga! Permaisuri Putra Mahkota adalah menantu perempuan Kaisar. Kini rakyat berdemo meminta Putra Mahkota memilih permaisuri baru, mana bisa disamakan dengan pernikahan biasa? Kaisar, jika Yang Mulia mengabaikan ini, dukungan rakyat bisa goyah, posisi calon penguasa bisa goyah, negara Dinasti Zhou bisa goyah!" 　　Menteri Gu menyebut "goyah" tiga kali berturut-turut dengan penuh semangat, cipratan ludahnya hampir mengenai wajah Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming sibuk menghindari "senjata terbang" itu, sementara tidak bisa bicara dengan dua hati. 　　Jiang Si tampak terkejut: "Tak kusangka seorang wanita lemah seperti diriku ternyata begitu penting." 　　Pan Hai yang bersembunyi di sudut menundukkan kepalanya sekuat tenaga, berusaha mengurangi kehadirannya. 　　Seharusnya dia tidak tertawa, tapi entah mengapa rasanya sulit menahan... 　　Melihat Kaisar Jingming benar-benar akan marah, Jiang Si bertanya keras: "Menteri Gu, mengapa rakyat memohon untuk memilih Permaisuri Putra Mahkota yang baru?" 　　Menteri Gu mengatupkan tangan: "Tentu karena rakyat menganggap Permaisuri Putra Mahkota telah kehilangan moral, langit pun memberi peringatan dengan kekeringan ini." 　　Yang penting rakyat menganggap Permaisuri Putra Mahkota kehilangan moral, apakah kenyataannya demikian tidaklah relevan. 　　Mungkinkah Permaisuri Putra Mahkota membungkam mulut seluruh negeri? 　　Jiang Si terkekeh: "Begitu rupanya. Bagaimana jika aku bisa memohon hujan dari langit?" 825.BAB 822 Upacara Memohon Hujan 　　BAB 822 Upacara Memohon Hujan 　　Begitu kata-kata ini meluncur, kerumunan langsung tertegun. 　　Permaisuri Putra Mahkota akan memohon hujan? 　　Upacara memohon hujan bukan hal asing bagi rakyat Zhou. 　　Di Dinasti Zhou, setiap tahun keluarga kerajaan atau pemerintah daerah selalu mengadakan upacara memohon hujan. 　　Di daerah ada upacara yang dipimpin pejabat setempat, ada yang diadakan spontan oleh rakyat, maupun yang dilaksanakan utusan khusus dari ibukota. 　　Memohon hujan untuk panen merupakan salah satu tugas utama pejabat daerah, terkait penilaian kinerja. Banyak pejabat yang kehilangan nyawa dalam tugas ini. 　　Misalnya yang pingsan karena terik matahari, kecapekan bekerja, atau mati karena stress gagal memohon hujan... berbagai kasus tak terhitung banyaknya. 　　Upacara memohon hujan di tingkat pusat tentu lebih megah lagi. 　　Ada ritual meminta hujan rutin yang ditangani Departemen Protokol, pejabat tinggi yang ditugaskan mendadak untuk ritual minta hujan, serta upacara Yu Si yang diselenggarakan keluarga kerajaan setiap musim semi dan panas. 　　Saat kekeringan parah, Putra Langit sendiri atau calon penguasa yang memimpin ritual minta hujan juga umum terjadi. 　　Namun Kaisar Jingming jarang melakukannya dalam beberapa tahun terakhir. 　　Tak lain karena risiko kehilangan muka jika gagal mendatangkan hujan. 　　Biasanya beliau menyerahkan tugas mulia nan sulit ini kepada pejabat tinggi istana, toh jika bawahan gagal, beliau bisa memarahi dan mengganti orang. 　　Soal kapan hujan turun, batuk-batuk, dengan mengerahkan banyak orang untuk berdoa, pasti ada yang kebetulan berhasil, lalu diberi promosi dan hadiah perak... 　　Tapi bagaimanapun, Permaisuri Putra Mahkota yang memimpin ritual minta hujan adalah hal yang belum pernah terdengar! 　　Menteri Ritus yang baru sadar langsung melompat berdiri, lebih bersemangat daripada Menteri Sumber Daya Manusia yang pernah ditendang: "Paduka, Permaisuri Putra Mahkota yang seorang wanita memimpin ritual minta hujan adalah penghinaan terhadap para dewa, ini sungguh tak boleh!" 　　Departemen Protokol baru saja mengadakan ritual minta hujan. Kepala Biro Pemurnian Zhang dari Divisi Upacara masih beristirahat di rumah karena heatstroke, apakah Permaisuri ingin merebut tugas kami?! 　　Bukan, ini bukan kekhawatiran sempit akan kehilangan pekerjaan, tapi demi mencegah Dinasti Zhou menjadi bahan ejekan dunia! 　　Semakin Menteri Ritus berpikir, semakin tegak posturnya, wajah penuh keteguhan prinsip. 　　Para menteri serentak menyetujui: "Pendapat Menteri Chang benar, Paduka mohon pertimbangkan!" 　　Kaisar Jingming memandang Jiang Si, matanya berkedip-kedip. 　　“Para menteri tidak tahu, tapi dia tahu, Istri Lao Qi bukan wanita biasa, selama ini tidak pernah melakukan kesalahan, bagaimana jika benar-benar bisa memohon hujan?” 　　Jiang Si berlutut, suaranya tenang: “Ayah Kaisar, sebagai menantu perempuan, hamba berpikir yang terpenting adalah bisa memohon hujan, bukan melihat apakah pemohon hujan berjenis kelamin perempuan atau bukan.” 　　“Tapi tidak pernah ada prinsip wanita mewakili para pejabat untuk memohon hujan!” Menteri Ritus menggigilkan kumisnya. 　　“Hamba mewakili keluarga kerajaan, bukan para pejabat.” 　　Menteri Gu berteriak keras: “Putra Mahkota masih ada, mana bisa Permaisuri Putra Mahkota yang tampil?” 　　Yu Jin menyela dingin: “Hamba tidak ahli memohon hujan.” 　　Kebenaran tidak terletak pada suara keras, si tua ini berteriak apa? Urusan mistis seperti memohon hujan tentu harus yang paling ahli yang melakukan. 　　Menteri Gu tercekik oleh ucapan Yu Jin, matanya melotot menatapnya, bibir bergetar. 　　“Kekeringan ekstrim mendatangkan belalang, kekeringan ekstrim mendatangkan banjir. Setelah kemarau panjang, bencana lain yang menyusul pasti membuat rakyat menderita tak tertahankan, hidup dalam kesengsaraan. Ayah Kaisar, hamba dengar upaya memohon hujan oleh pusat dan daerah berkali-kali gagal, mengapa tidak memberi kesempatan pada hamba? Cuaca baik dan rakyat sejahtera, bukankah lebih penting daripada jenis kelamin hamba?” 　　Hati Kaisar Jingming sedikit tergerak, bertanya: “Kau punya keyakinan?” 　　Yu Jin tak tahan batuk kecil. 　　Meski percaya A Si berani mengajukan berarti punya keyakinan, tapi perkataan tetap tidak boleh terlalu penuh. 　　Kaisar Jingming melototi Yu Jin: “Diam!” 　　Yu Jin diam-diam memutar mata. 　　A Si sudah bicara panjang lebar tidak apa-apa, apakah aku tidak boleh batuk sekali? 　　"Keberhasilan doa hujan terletak pada ketulusan hati. Hamba hanya bisa mengerahkan seluruh kemampuan untuk berdoa, adapun turunnya hujan atau tidak bergantung pada belas kasihan Langit kepada rakyat yang menderita." 　　Kaisar Jingming tak sadar mengusap kumisnya. 　　Alasan yang dicari istri Lao Qi ini sangat tepat. 　　Hukuman yang dia berikan kepada sejumlah pejabat yang gagal memohon hujan, memang menggunakan pasal 'ketidaktulusan hati'. 　　Dia juga tidak ingin, tapi semua kaisar di berbagai dinasti bertindak demikian. Masakah mengharapkannya menciptakan pasal hukuman baru? 　　Setelah merenung sebentar, Kaisar Jingming perlahan bersabda: "Kalau begitu, perwakilan keluarga kerajaan untuk memimpin Ritual Dayu akan diemban oleh Permaisuri Putra Mahkota." 　　Ritual Yu terbagi menjadi Yu dan Dayu. Dayu adalah upacara persembahan besar kepada Langit, hanya dilaksanakan saat kemarau panjang, sangat megah dan sakral. 　　Bisa dikatakan, Jiang Si yang mewakili keluarga kerajaan dan Putra Langit memimpin Ritual Dayu. Jika berhasil memohon hujan, posisi Permaisuri Putra Mahkota akan tak tergoyahkan. 　　Permaisuri Putra Mahkota yang mendapat pengakuan Kaisar Langit Tertinggi, siapa yang berani mencela? 　　Para menteri terkejut: "Paduka, sungguh tidak boleh!" 　　Kaisar Jingming memandang para menteri, berkata datar: "Keputusan kami sudah bulat." 　　"Paduka——" 　　Kaisar Jingming melambaikan tangan: "Jika Permaisuri Putra Mahkota berhasil memohon hujan, itu adalah kebajikan yang menyelamatkan sepuluh ribu rakyat. Jika gagal——" 　　Kaisar Jingming mengalihkan pandangan ke Jiang Si, berkata dingin: "Maka turunkan jabatan Permaisuri Putra Mahkota menjadi selir seperti usul Menteri Gu, dan angkat permaisuri baru!" 　　"Segala sesuatu ada batasnya, Istri Lao Qi yang masuk begitu saja dan mengeluarkan kata-kata kasar, jika gagal tentu Ayah Kaisar tidak bisa lagi melindungi." 　　"Ayah Kaisar!" Yu Jin terkejut. 　　Kaisar Jingming mendengus dingin: "Ada keberatan?" 　　Masalah sepenting ini tidakkah kalian berdiskusi berdua di balik pintu tertutup? 　　Sekarang menyesal pun sudah terlambat, Kaisar ini bukan orang lemah! 　　"Kebijakan Ayah Kaisar terhadap Permaisuri Putra Mahkota tidak adil, rumor itu sengaja disebarkan orang untuk memprovokasi rakyat--" 　　"Cukup! Jika merasa tidak adil, batalkan upacara permohonan hujan Permaisuri. Cara menenangkan keributan akan dibahas kemudian!" 　　"Ini--" Wajah Yu Jin dipenuhi kebingungan. 　　Melihat reaksi Yu Jin, para menteri justru mendukung keputusan Kaisar Jingming: "Kebijakan Kaisar bijaksana." 　　Yu Jin menunduk, sudut bibirnya melengkung samar. 　　Kaisar Jingming malas berdebat dengan Putra Mahkota dan para menteri, menatap Jiang Si: "Permaisuri, kau berniat melakukan upacara permohonan hujan. Ada ide?" 　　"Ikuti protokol lama saja." 　　Kaisar Jingming mengangguk ringan: "Hari pelaksanaan Upacara Dayu akan ditentukan oleh Biro Astronomi--" 　　"Ayah Kaisar." Suara Jiang Si jernih memotong. 　　Kaisar Jingming terhenti. 　　Jiang Si menunduk tenang: "Tanggal baik dari Biro Astronomi membuat menantu tidak tenang. Menantu tidak punya syarat khusus, hanya ingin menentukan tanggal sendiri." 　　Kaisar Jingming menahan canggung bertanya: "Tanggal berapa yang kau inginkan?" 　　"Mengingat Biro Astronomi Kekaisaran, dia benar-benar merasa bersalah di hadapan Permaisuri Putra Mahkota dan Putra Mahkota." 　　Dia memerintahkan Han Ran untuk menyelidiki pejabat Biro Astronomi Kekaisaran hingga akhirnya menemukan balai amal yang telah hancur akibat kebakaran besar, yang ternyata juga terkait dengan istana. 　　Bahkan dia tidak berani menyuruh Han Ran melakukan penyelidikan lebih mendalam -- 　　"Setiap hari kemarau adalah siksaan bagi rakyat. Menantu perempuan ingin menetapkan ritual minta hujan tujuh hari lagi." 　　Tujuh hari kemudian tepat pada tanggal 18 April tahun ke-22 Jingming. Di kehidupan sebelumnya, hujan turun deras pada hari ini setelah kemarau berbulan-bulan. Saat itu jalanan sepi, ribuan rakyat berlutut di jalanan sambil menangis haru mensyukuri langit. 　　Hari ini juga merupakan hari kepulangannya dari Wu Miao ke ibu kota di kehidupan sebelumnya, persis menyaksikan peristiwa besar itu. 　　"Baik, tetapkan tujuh hari lagi. Menteri Chang, Departemen Protokol harus mengerahkan semua upaya untuk mempersiapkan ritual besar minta hujan ini, jangan sampai ada kesalahan dalam upacara." 　　Menteri Ritus mengeraskan hati menyetujui. 　　Persiapan ritual megah dengan waktu sesingkat ini pasti bentuk balas dendam Permaisuri Putra Mahkota karena tadi dia berani angkat bicara! 　　Ritual minta hujan resmi di zaman kuno adalah urusan penting, hampir setiap tahun diadakan. Bukan sekadar atraksi dukun seperti di rakyat... ehm, anggap saja seperti atraksi dukun versi resmi... 826.BAB 823 Hujan Turun 　　BAB 823 Hujan Turun 　　Kabar Permaisuri Putra Mahkota akan memimpin ritual besar minta hujan atas perintah kaisar bagai petir menyambar ibu kota. 　　Seluruh ibu kota langsung gempar. 　　Di kedai minum, seorang kakeg berjanggut putih menangis tersedu-sedu dalam kegelisahannya: "Menggunakan seorang wanita untuk mewakili keluarga kekaisaran dalam upacara Dayu, Dinasti Zhou benar-benar akan runtuh—" 　　Mendengar ini, para pengunjung yang masih sadar segera menutup mulutnya: "Kakek, kau sudah mabuk!" 　　Kakeg tua itu dengan kekuatan tak terduga mendorong tangan orang itu sambil bersendawa: "Aku tidak mabuk... Dukun iblis telah turun ke dunia, Dinasti Zhou pasti akan hancur!" 　　Satu tim Pengawal Jinlin muncul, pemimpinnya berkata dingin: "Bawa pergi!" 　　Kakeg yang tadi menunjuk langit itu tertegun, tiba-tiba memeluk Pengawal Jinlin yang hendak membawanya sambil merintih: "Aku mabuk—" 　　Pengawal Jinlin itu menjijikkan: "Pergi!" 　　Seketika kakeg itu didorong keluar kedai. Pengawal Jinlin yang tersisa memandang para pengunjung dengan sinis sebelum pergi. 　　Kedai sunyi senyap. Setelah beberapa saat, para pengunjung yang setengah mabuk seperti terbangun dari mimpi, menutup mulut dan berhamburan. 　　Sungguh keterlaluan. Meski Putra Langit sekarang adalah penguasa bijaksana yang tak akan menyakiti rakyat karena hal sepele, teriakan "Dinasti Zhou akan runtuh" di tempat umum jelas bunuh diri—tak ada kaisar sebijak apapun yang bisa menerimanya. 　　Kakeg itu dilempar ke penjara. Sadar sepenuhnya, ia meraih jeruji besi sambil meronta: "Lepaskan aku! Aku mabuk dan bicara sembarangan—lepaskan aku!" 　　Suara dingin terdengar dari belakang, "Hemat tenagalah Kakek, siapa di sini yang tidak bicara sembarangan karena mabuk?" 　　Kakek itu menoleh kaku, di belakangnya terlihat wajah-wajah yang lesu atau menderita, bahkan ia menemukan seorang teman minum di antara mereka. 　　"Saudara Wang, kenapa kau juga ada di sini?" 　　Teman minum itu menjawab dengan getir, "Kebanyakan minum." 　　Si kakek langsung limbung, berjalan ke tengah kerumunan 'saudara sepenanggungan' lalu duduk tergolek, matanya kosong bergumam, "Kapan kita bisa keluar dari sini? Dua ekor babi di rumah masih menunggu diberi makan." 　　Yang lain menghela napas, "Tunggu saja, mungkin saat penjara terlalu penuh, mereka akan melepas kita yang masuk lebih dulu." 　　Entah kenapa ucapan ini memicu si kakek, tiba-tiba ia berteriak lantang, "Permaisuri Putra Mahkota memang selir iblis--" 　　Beberapa tangan langsung menutup mulutnya. 　　Teman minumnya memarahi, "Gila jangan menyeret orang lain! Kau pikir Pengawal Jinlin sekarang tidak berani membunuh?" 　　Di luar sel, seorang Pengawal Jinlin menghela napas, "Sekarang terlalu banyak yang ngawur bicara. Tidak mungkin semua ditangkap." 　　Pengawal lain tersenyum, "Ngapain khawatir? Tangkap saja dulu. Setelah ritual besar Memohon Hujan nanti, apapun hasilnya mungkin semua akan dilepas." 　　"Menurutmu Permaisuri Putra Mahkota benar-benar bisa memohon hujan?" 　　"Siapa yang tahu? Bukan urusan kita. Ayo, terus tangkap orang. Mereka yang ingin bebas pasti harus mengeluarkan 'darah'. Aku dengar si kakek tadi punya dua ekor babi di rumah." 　　"Dua ekor babi saja kau incar." 　　“Nyamuk kaki kecil juga daging.” 　　Dua Pengawal Jinlin pergi sambil tertawa. 　　Dalam sekejap, seluruh ibu kota dipenuhi perbincangan tentang Ritual Besar Hujan, meski di mana-mana terlihat Pengawal Jinlin bermuka hitam menangkap orang, tetap tak bisa mencegah semangat gosip rakyat. 　　Tanggal delapan belas bulan keempat tiba dalam sekejap. 　　Langit pagi putih bersih, sinar matahari mulai terik menyengat, tak ada setitik awan pun. 　　Tak perlu ditanya, hari ini akan menjadi terik yang mampu mengeringkan sungai. 　　Hari itu seluruh ibu kota bangun pagi-pagi, mengikuti rombongan ritual sembahyang ke pinggiran kota. 　　Di Gunung Cuiluo pinggiran ibu kota, terdapat istana peristirahatan kerajaan. Di sisi timur berdiri altar permohonan hujan. Rombongan panjang berangkat dari ibu kota kekaisaran, langsung menuju Gunung Cuiluo. 　　Gunung Cuiluo telah dibersihkan dan ditata rapi oleh Departemen Protokol. Semua persiapan ritual telah selesai, hanya menunggu kedatangan Permaisuri Putra Mahkota. 　　Jiang Si berjalan di barisan terdepan. Saat tiba di kaki gunung, rakyat yang mengikuti rombongan dihalangi Pasukan Pengawal Istana, hanya bisa memandang dengan penuh harap rombongan perlahan naik gunung. 　　Untuk menunjukkan ketulusan, Jiang Si beralih berjalan kaki. Saat tiba di puncak gunung, napasnya sudah terengah-engah. 　　"Waktu keberuntungan hampir tiba, kami persilakan Permaisuri Putra Mahkota naik altar untuk memohon hujan." 　　Begitu petugas berseru, Jiang Si melangkah naik ke altar tinggi diiringi alunan musik sakral. 　　Muncul barisan anak-anak berpakaian hitam membawa bulu burung, total 64 orang. Mereka menari Tarian Ritual Delapan Barisan mengelilingi altar sambil menyanyi. 　　“Langit yang luas, bercahaya mengitari bulan. Sang Raja berkata: Oh! Dosa apa yang dimiliki rakyat kini? Langit menurunkan bencana, kelaparan datang beruntun. Tak ada dewa yang tak kupuja, tak ada korban yang kusayangi. Giok persembahan telah habis, takkah Kau mendengar doaku?” 　　“Kekeringan begitu parah, panas menyengat bagai cacing. Ritual persembahan tak henti, dari pinggir kota hingga istana. Persembahan di atas dan bawah, tak ada dewa yang tak dihormati. Houji tak bisa menolong, Shangdi tak datang. Bumi terkuras menderita, mengapa malah menghalangiku?” 　　“Kekeringan begitu hebat, tak dapat diusir. Ketakutan dan kehati-hatian, bagai guntur dan petir. Rakyat Zhou yang tersisa, nyaris tak ada yang selamat. Dewa Langit Haotian, tak meninggalkanku. Mengapa tak takut? Leluhur akan menghukum.” 　　…… 　　Jiang Si berlutut di atas altar tinggi, ekspresi khidmat, mata terpejam berdoa. 　　Suasana hening menyelimuti, selain anak-anak yang menari Tari Bayi dengan fokus, semua orang berpikir sama: Mungkinkah Permaisuri Putra Mahkota berhasil memohon hujan? 　　Jawabannya hampir pasti tidak. 　　Sudah berbulan-bulan tak turun hujan, pepohonan di Gunung Cuiluo yang dulu hijau segar kini layu lesu, bagai manusia yang lesu akibat kekeringan. 　　Langit tanpa awan, matahari menyengat, mana mungkin hujan turun. 　　Tarian Bayi mendekati akhir, nyanyian anak-anak perlahan menghilang. 　　“Memandang langit luas, bintang-bintang berkelip. Tabib dan bangsawan, berdoa tanpa lelah. Ajal semakin dekat, jangan sia-siakan usahamu. Untuk apa kuminta? Demi kedamaian rakyat. Memandang langit luas, kapan kedamaian datang?” 　　“Di kaki Gunung Cuiluo, ribuan orang bersujud sambil berseru: 'Haotian Shangdi, turunkanlah hujan untuk mengembalikan kedamaian kami!'” 　　“Gunung Cuiluo tidak terlalu tinggi, orang-orang di kaki gunung bisa melihat jelas sosak berjubah hitam di altar tinggi dan tarian ritual yang khidmat.” 　　“Namun hati orang-orang semakin putus asa di bawah terik matahari yang menyengat.” 　　“Seorang pria tiba-tiba berdiri dengan ekspresi histeris: 'Hujan mustahil turun! Kekeringan di ibu kota ini adalah peringatan langka karena munculnya selir iblis. Bagaimana mungkin hujan turun jika selir itu belum dienyahkan?'” 　　“Kerumunan di kaki gunung mulai gempar, banyak yang mulai menyetujui teriakan itu.” 　　“Pada saat kritis ini, pasukan pengawal istana bersenjatakan tombak perak dan pedang emas hanya bisa menjaga ketertiban tanpa bisa menghukum rakyat yang berbicara sembrono.” 　　“Inilah dilema klasik penguasa: 'Menjaga mulut rakyat lebih sulit daripada membendung sungai'.” 　　“Tepat saat kekacauan memuncak, gemuruh dahsyat mengguncang udara.” 　　“'Suara apa itu?'” 　　“Orang-orang membeku seketika.” 　　“Gemuruh kedua menggelegar, membuat mereka seperti tersentak dari lamunan.” 　　“'Dengar! Itu guntur! Guntur!'” 　　“Kilat menyambar langit biru, butiran hujan sebesar kacang mulai berdentik.” 　　“Di altar tinggi, Jiang Si membuka matanya perlahan dengan senyum mengembang di sudut bibir.” 　　“Angin kencang menerbangkan jubah hitamnya yang berkibar-kibar bagai dewa yang turun ke dunia.” 　　Di bawah altar tinggi dan kaki gunung, ribuan orang berlutut memandang langit dengan wajah penuh sukacita, berseru keras: "Hujan turun, hujan turun!" 　　Jiang Si tersenyum memandang Yu Jin yang berdiri di tangga giok. 　　Benar, hujan telah turun. 827. BAB 824 Kasus Fitnah 　　BAB 824 Kasus Fitnah 　　Di ibu kota, rakyat berbondong-bondong di jalanan merayakan dengan gegap gempita. 　　Jiang Si kembali menunggang hujan, sekali lagi menyaksikan pemandangan spektakuler di mana jalanan sepi karena semua orang keluar. 　　"Lihat, itu rombongan ritual minta hujan!" 　　Orang-orang yang menari-nari di tengah hujan melihat rombongan Jiang Si, lalu berduyun mendekat dan bersujud di hadapannya. 　　"Permaisuri Putra Mahkota adalah dewi yang turun ke dunia, semoga langit melindungi Dinasti Zhou!" 　　Bahkan setelah rombongan ritual lewat, rakyat tetap berlutut di tengah hujan tanpa segera bangkit. 　　Saat gemuruh pertama terdengar, Kaisar Jingming segera keluar dari aula utama dan menengadah ke langit. 　　Butiran hujan yang jatuh membuatnya - meski telah berpuluh tahun memerintah dan biasa menghadapi situasi genting - tak kuasa menahan air mata di sudut matanya. "Benar-benar hujan!" desahnya lega. 　　Pan Hai di sampingnya membuka payung bambu: "Yang Mulia, angin kencang dan hujan dingin. Mohon Masuk ke dalam." 　　"Tidak, ke Istana Kuning." 　　Saat ini, Kaisar Jingming sangat ingin berbagi kegembiraan dengan Permaisuri. 　　Langkah Kaisar yang cepat membuat Pan Hai tak bisa berkutik kecuali mengikuti sambil berusaha menaunginya dengan payung bambu. 　　Permaisuri berdiri di bawah koridor menatap tirai hujan dengan mata berkilau, kebetulan melihat Kaisar Jingming datang melintasi hujan. 　　"Mengapa Kaisar datang melalui hujan?" Permaisuri bergegas menyambut. 　　Dayang di sampingnya terlambat membuka payung, gerimis segera membasahi ujung rambut dan bahu Permaisuri. 　　Tapi siapa yang masih mempedulikan hal ini sekarang? 　　Kaisar dan Permaisuri mengabaikan kerumunan, berjalan berdampingan memasuki aula. 　　Hujan bulan keempat tak membawa hawa dingin, hanya kesegaran, seperti perasaan lega yang kini dirasakan pasangan kerajaan. 　　Menerima teh panas yang disajikan dayang, Kaisar Jingming meniup daun teh yang mengapung, mendesah: "Sungguh tak kusangka, Permaisuri Putra Mahkota benar-benar berhasil memohon hujan!" 　　Permaisuri bermata cerah: "Benar, hatiku selalu tergantung, kini akhirnya tenang. Hujan berkat turun, rakyat pun bisa tenang." 　　Dia pun bisa tenang. 　　Mengingat tujuh hari lalu Permaisuri Putra Mahkota menerobos Aula Yangxindian, bahkan sekarang pun ia masih merasakan ketakutan tertunda. 　　Berani sekali, seandainya permohonan hujan gagal pasti akan menjerumuskan diri ke jurang kehancuran. 　　Untungnya berhasil! 　　Dengan pengakuan sepuluh ribu rakyat terhadap Permaisuri Putra Mahkota, posisi calon penguasa menjadi sangat kokoh, dirinya sebagai Permaisuri pun bisa stabil tanpa khawatir akan masa depan. 　　"Permaisuri." 　　"Ya?" 　　"Dupa di kuil kecil harus tetap dibakar, jangan sampai Buddha merasa diabaikan." 　　Permaisuri tak tahan tersenyum: "Kaisar tak perlu khawatir, kuil kecil tak pernah putus asap dupanya, pasti tak akan mengabaikan Buddha." 　　"Bagus kalau begitu." 　　Dibandingkan dengan kegembiraan Kaisar dan Permaisuri, suasana di Istana Cining bagaikan awan gelap yang menggeliat di cakrawala, sangat mencekam. 　　Janda Permaisuri meremas tasbih dengan kuat, lama baru mengeluarkan dua kata: "Iblis!" 　　Permaisuri Putra Mahkota Jiang jelas-jelas makhluk haram, kalau tidak bagaimana mungkin bisa memanggil hujan? 　　Bertemu dengan iblis seperti ini, pantas saja dia selalu kalah dalam setiap persaingan. 　　Janda Permaisuri teringat tekanan yang diberikan pada Kaisar Jingming belum lama ini, hati langsung dipenuhi kegelisahan. 　　Keberhasilan Permaisuri Putra Mahkota memanggil hujan telah mengubah semua desas-desus sebelumnya menjadi lelucon. Sekarang siapa pun yang berani mencela Permaisuri Putra Mahkota di jalanan pasti akan dipukuli massa. 　　Janda Permaisuri menunduk memandang tasbih di tangannya, sebuah pertanyaan terlintas: Mungkin sudah saatnya berdiam diri, tidak ada salahnya menikmati masa tua. 　　Lagipula, dia sendiri yang memutus hubungan dengan Wu Miao. Beberapa pesan Tetua Besar dulu memang tak perlu lagi dilaksanakan. 　　Sebagai Janda Permaisuri, selama dia berhenti bermain tangan, apa yang bisa dilakukan pasangan Putra Mahkota padanya? 　　Saat berpikir demikian, tiba-tiba bayangan Jiang Si dengan ekspresi mengejek tanpa senyuman muncul di benaknya, niat yang sudah mulai padam tiba-tiba berkobar lagi. 　　Tidak boleh! Pasangan Putra Mahkota masih muda, pasti akan naik tahta suatu hari nanti. Jika dia sudah tiada saat itu tak masalah, tapi kalau masih hidup, bukankah akan menjadi bulan-bulanan Nyonya Jiang? 　　Tapi sekarang dia sudah terlalu banyak membuka kartu, bertindak gegabah lagi jelas tidak bijak... 　　Untuk sementara, pikiran Janda Permaisuri menjadi kacau balau. 　　Permaisuri Putra Mahkota berhasil memohon hujan, seluruh rakyat bersukacita. Para pejabat dan bangsawan pun mulai bertingkah laku sangat hati-hati, tak berani lagi sedikitpun mengomentari pasangan Putra Mahkota. 　　Adapun pejabat sensor yang menabrak pilar sampai tewas - seandainya Permaisuri gagal memohon hujan, pejabat itu mungkin akan tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan yang mengorbankan diri demi altar leluhur. Tapi sekarang? Hehe, siapa yang masih ingat si sialan itu? 　　Cuma badut rendahan yang nekat memeras Kaisar dengan taruhan nyawa. 　　Kediaman Keluarga Gu. 　　Nyonya Gu menyuruh dayang menyiapkan ranjang di ruang belajar, lalu berkata tegas pada Menteri Gu: "Mulai hari ini, Tuan tidur di sini." 　　Menteri Gu langsung panik: "Nyonya, ruang belajar tidak nyaman untuk tidur!" 　　Semasa muda, ia sering membaca buku hingga larut malam di ruangan dingin yang membuat bahu dan lehernya sakit. Hanya si wajah kuning yang menguasai teknik pijat ampuh - biasanya memijatnya sebelum tidur agar besok pagi terasa enteng. 　　Mana mungkin tidur di ruang belajar! 　　Nyonya Gu melototi suaminya: "Sudah kuperingatkan untuk jangan ikut campur urusan keluarga kerajaan. Tapi Tuan tak mau dengar. Sekarang malu tujuh turunan!" 　　Muka Menteri Gu memerah: "Istri cukup urusi rumah tangga. Urusan luar tidak kau pahami--" 　　Nyonya Gu menepuk ranjang keras: "Urusan dalam rumah tanggapadaku. Tuan tidur di sini!" 　　Usai bicara, Nyonya Gu berbalik pergi meninggalkan suara pintu yang dibanting keras. 　　“Menteri Gu marah sampai kumisnya berkibar-kibar: 'Makin tua nenek ini makin besar tempramentalnya, benar-benar tidak pantas! Kali ini aku harus memaksamu memohon agar aku kembali tidur!' 　　Tengah malam, sang Menteri tua memeluk alas tidur berdiri di luar ranjang besar, merengek: 'Nyonya, hamba salah. Biarkan hamba kembali tidur di sini.' 　　'Masih mau ikut campur urusan rumah tangga orang lain tidak?' 　　'Tidak lagi.' 　　Barulah Nyonya Gu tersenyum: 'Apakah Tuan sakit bahu lagi? Biar saya pijitkan.' 　　Si tua ini tidak tahu diri. Permaisuri Putra Mahkota itu orang biasa? 　　Dulu saat Permaisuri Putra Mahkota dan Permaisuri Qi berziarah ke Kuil Baiyun lalu kuda mereka panik, Permaisuri Qi sampai histeris, tapi Permaisuri Putra Mahkota sama sekali tidak terluka. Itu karena dia sudah memberikan persembahan besar kepada Buddha di Kuil Baiyun! 　　Memberi persembahan memang biasa, tapi yang luar biasa adalah Buddha menerimanya! Kalau tidak, mana mungkin Beliau melindungi Permaisuri Putra Mahkota? 　　Haruskah saya membiarkan Tuan bermusuhan dengan Permaisuri Putra Mahkota yang dilindungi Buddha, lalu menunggu malapetaka menimpa seluruh keluarga kita? 　　Sudah jadi Nyonya Menteri masih harus pusing urusan begini, semuanya karena si tua ini tidak tahu diri! 　　Para bawahan tiba-tiba jadi penakut, potensi masalah ketidakstabilan calon penerus takhta pun sirna. Kaisar Jingming yang jarang merasa lega akhirnya bisa menikmati beberapa hari ketenangan, sampai merasa terharu. 　　Namun di suatu hari, Pan Hai melapor: 'Paduka, Tuan Zhen mohon audiensi.' 　　Kaisar Jingming ingin menutup telinganya, tapi di bawah tatapan Pan Hai yang menunggu, akhirnya mengangguk: 'Panggil dia masuk.' 　　Kunjungan Lao Zhen selalu urusan resmi, urusan resmi berarti ulah aneh——bagus, ulah aneh datang lagi! 　　Tak lama kemudian Zhen Shicheng masuk sambil membawa peti rotan besar. 　　"Hamba yang bodoh menghadap Kaisar." 　　Pandangan Kaisar Jingming tertuju pada peti rotan: "Zhen Aiqing, ini——" 　　Zhen Shicheng meletakkan peti rotan lalu bersikap hormat: "Lapor Kaisar, ini adalah dokumen kasus." 　　Kaisar Jingming langsung terbelalak: "Sebanyak ini?" 　　Zhen Shicheng menundukkan pandangan: "Hamba juga tak menyangka akan sebanyak ini." 　　"Kasus apa?" Sebenarnya Kaisar Jingming tak ingin bertanya, tapi melihat peti sebesar ini yang bisa dijadikan bangku kecil, terpaksa ia bertanya. 　　"Kasus pencemaran nama baik pemilik Lush Sheng Xiang." 　　Jangan lupa vote jika kalian menikmati cerita. Cerita utama akan segera berakhir, hari-hari meminta dukungan vote untuk buku ini semakin sedikit. 828. BAB 825 Tidak dengar, tidak dengar 　　BAB 825 Tidak dengar, tidak dengar 　　"Pemilik Lush Sheng Xiang?" 　　Zhen Shicheng menjelaskan: "Yaitu Permaisuri Putra Mahkota." 　　Sudut bibir Kaisar Jingming berkedut. 　　Ia tak perlu diingatkan! 　　"Permaisuri Putra Mahkota difitnah, lalu melapor ke pihak berwajib?" 　　Zhen Shicheng membuka peti rotan dan mengeluarkan dokumen teratas: "Awal bulan kedua, menerima surat pengaduan dari manajer Lush Sheng Xiang, Xiuniangzi, yang melaporkan pemicu rumor di ibu kota dengan niat jahat, menyebabkan Lush Sheng Xiang tutup dan reputasi pemiliknya tercemar——" 　　Kaisar Jingming menyela: "Tak ada terdana spesifik?" 　　"Tidak ada." 　　"Kau yang menangani?" 　　Zhen Shicheng heran memandang Kaisar Jingming: "Tentu hamba yang menangani." 　　Kaisar Jingming terdiam. 　　Ia ingin memukul Lao Zhen sampai mati dengan pemberat kertas! 　　Masalah baru saja reda, untuk apa si tua ini membuat keonaran lagi. 　　Namun mengingat si tua ini adalah besannya, Kaisar Jingming menahan diri. 　　Merugikan Putri sampai tidak bisa menikah itu terlalu keterlaluan. 　　"Sudah ketahuan?" 　　Ekspresi tenang Zhen Shicheng berubah malu-malu: "Sudah, tapi masalahnya agak rumit..." 　　"Jelaskan perlahan." Kaisar Jingming melirik peti rotan itu lagi. 　　Peti sebesar ini, mana mungkin tidak rumit? 　　"Setelah menyelidik ke berbagai pihak, hamba memastikan beberapa preman penyebar desas-desus ini terorganisir. Pelacakan membawa hamba ke pemimpin organisasi ini yaitu pemilik rumah teh bernama Li Ji. Li Ji berasal dari keluarga miskin, yatim piatu sejak kecil dan menjadi pengangguran. Modal untuk membuka rumah teh ini sumbernya mencurigakan. Untungnya setelah upaya keras, hamba berhasil membuatnya bicara. Ada penyandang dana misterius di belakangnya yang tidak hanya membiayai rumah teh, tapi kadang memberi tugas - sebagian besar terkait penyebaran desas-desus untuk mempengaruhi opini ibu kota..." 　　Kaisar Jingming mendengarkan dengan wajah semakin suram. 　　Rumah teh dan kedai minum memang tempat campur aduk, paling mudah menyebarkan gosip. Ia sangat paham bagaimana desas-desus bisa membunuh tanpa pisau. 　　Li Ji ini pantas dihukum lingchi! 　　"Sudah ketahuan siapa si misterius itu?" 　　"Zhen Shicheng berhenti sejenak, berkata: 'Setiap kali bertemu Li Ji, orang misterius itu selalu menutupi wajahnya dengan topi. Li Ji tidak bisa menggambarkan rupa orang tersebut, hanya bisa menduga dari postur tubuh dan cara berjalannya bahwa itu seorang pria sekitar tiga puluh tahun, bertubuh sedang, kurus, dengan suara yang agak lembut.'" 　　Kaisar Jingming menggelengkan kepala: "Orang seperti itu sangat banyak, mencari mereka bagai mencari jarum dalam jerami." 　　"Benar, untungnya hamba yang bodoh ini berhasil mendapatkan informasi tambahan dari Li Ji berdasarkan pengalaman." 　　"Apa yang berhasil kau ketahui?" 　　"Suatu kali ketika orang misterius bertemu Li Ji, tanpa sengaja menjatuhkan sebuah kancing daun semanggi tembaga berlapis emas. Li Ji menemukannya dan menyembunyikannya." Zhen Shicheng mengeluarkan kotak kayu merah kecil dari tas rotannya dan membukanya di hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming melirik kancing tembaga berlapis emas di dalam kotak itu, wajahnya mendung. 　　Pakaian rakyat biasa biasanya menggunakan tali tipis yang diikat atau simpul sederhana. Hanya keluarga kaya dan terhormat yang menggunakan kancing dari emas, perak, permata, atau gading. 　　Pola dan model kancing ini sangat ia kenali - milik pelayan istana yang memiliki status tertentu di dalam istana. 　　Zhen Shicheng mengamati ekspresi Kaisar Jingming, memperkirakan sang Kaisar tua masih bisa menerima, lalu membelai kumisnya: "Mengingat keunikan kancing ini, hamba menyelidiki Petugas Observatorium Lima Indra Biro Astronomi Kekaisaran, Zhu Duohuan--" 　　Kaisar Jingming yang sedang menyesap teh untuk meredakan suasana hati tiba-tiba hampir memuntahkan tehnya. 　　"Petugas Observatorium Lima Indra Zhu Duohuan?" 　　“Siapa yang menyuruh Lao Zhen menyelidiki ini!” 　　“Dia awalnya memerintahkan Han Ran untuk menyelidiki, karena menyangkut Putra Mahkota, khawatir ada hubungan dengan Istana, tidak ingin terlalu banyak pejabat luar istana yang tahu.” 　　“Apa hubungannya kancing dengan pejabat Lingtai Lang dari Biro Astronomi?” Kaisar Jingming menahan amarah bertanya. 　　“Sama sekali tidak mengerti bagaimana otak Lao Zhen ini bisa membuat asosiasi seperti itu.” 　　Zhen Shicheng menjawab serius: “Biro Astronomi Kekaisaran menetapkan hari penobatan Putra Mahkota bertepatan dengan hari gerhana bulan, sangat mungkin ada yang ingin membahayakan Putra Mahkota. Mengingat rumor di ibu kota yang menargetkan Permaisuri Putra Mahkota, hamba yang bodoh ini berpendapat kedua kasus bisa diselidiki bersama.” 　　“Sudah ada hasil?” 　　“Terdapat beberapa temuan...” 　　Setelah mendengar laporan Zhen Shicheng, wajah Kaisar Jingming benar-benar menjadi gelap. 　　Bagus! Lebih detail daripada penyelidikan Han Ran. Apa Pengawal Jinlin hanya makan tai? 　　Zhen Shicheng mengatupkan tangan: “Setelah menyelidiki kedua kasus bersama, hamba mendapat kesimpulan berani: donatur misterius Li Ji kemungkinan besar adalah Pelayan Istana Wang Ying dari Istana Cining.” 　　“Apa?!” Mendengar kesimpulan ini, Kaisar Jingming justru tidak terlalu terkejut, malah muncul rasa takut yang sulit diungkapkan. 　　“Paduka, silakan lihat.” Zhen Shicheng mengambil satu berkas kasus dari kotak rotan dan membukanya, “Hamba yang bodoh mendapat informasi dari Li Ji bahwa orang misterius itu selalu menghubunginya setiap tanggal satu. Di istana, hanya orang-orang Istana Cining yang keluar untuk berziarah setiap tanggal satu setiap bulannya, sudah bertahun-tahun seperti ini. Hamba juga menyelidiki orang-orang Istana Cining yang pergi berziarah setiap tanggal satu, Wang Ying selalu ikut setiap kali, dan ciri-ciri Wang Ying sesuai dengan deskripsi orang misterius menurut Li Ji: postur sedang dan kurus.” 　　Wajah Kaisar Jingming menjadi gelap: “Kalau begitu, dua kali kekacauan itu semua dilakukan oleh pelayan istana Wang Ying dari Istana Cining? 　　Zhen Shicheng diam sejenak, lalu bersuara lantang: “Hamba berpendapat pelayan istana Wang Ying hanyalah pelaksana, dalang sebenarnya adalah Janda Permaisuri——” 　　“Diam!” Kaisar Jingming tiba-tiba berdiri, memegang pemberat kertas giok putih dan menunjuk ke Zhen Shicheng, “Kurang ajar!” 　　Pan Hai di samping menundukkan kepala dengan kaku, hatinya penuh kepahitan. 　　Tuan Zhen ini benar-benar menjeratnya, berani mengucapkan kata-kata seperti ini. Bagaimana nanti kalau Kaisar murka dan membunuh mereka semua untuk menutupi mulut? 　　Zhen Shicheng berlutut dengan tenang: “Kesimpulan hamba semuanya berdasarkan investigasi, mohon Paduka menilainya dengan bijak.” 　　“Aku sudah suruh kau diam! Kesimpulanmu hanyalah dugaan belaka, bahkan status pelayan istana Wang Ying sebagai orang misterius itu pun masih dugaan, berani-beraninya kau menyeret Janda Permaisuri ke dalam?” 　　Zhen Shicheng tidak mundur sedikit pun: “Hamba dalam menangani kasus tidak akan memfitnah orang baik, juga tidak akan melepaskan penjahat.” 　　Kulit wajah Kaisar Jingming berkerut-kerut. 　　Ini maksudnya Janda Permaisuri adalah penjahat? 　　Di benaknya terbayang wajah Janda Permaisuri yang berwajah ramah, Kaisar Jingming hanya merasa pusing, marah berteriak: "Zhen Shicheng, jangan semena-mena mengandalkan kepercayaan Aku, ketahuilah batas!" 　　Zhen Shicheng menundukkan pandangan, tetap tenang: "Hamba yang bodoh tak berani semena-mena, apalagi bertindak lancang, yang hamba kejar hanyalah yang sebenarnya." 　　Dua huruf "yang sebenarnya" ini hampir menghancurkan Kaisar Jingming, membuatnya limbung tak berdaya. 　　Pan Hai buru-buru menyangga Kaisar Jingming, membujuk: "Kaisar jangan sampai merusak keperawanan." 　　Kaisar Jingming menarik napas, menatap Zhen Shicheng dengan peringatan: "Perkara ini tak perlu diselidiki lagi. Tanpa bukti hanya mengandalkan dugaan, hanya akan mengacaukan pikiran rakyat!" 　　Pan Hai mati-matian memberi kewaspadaan pada Zhen Shicheng. 　　Tuan Zhen cepatlah pergi, setidaknya beri Kaisar waktu untuk menenangkan diri. Langsung meminta Kaisar mengusik Janda Permaisuri, bukankah ini khayalan belaka? 　　Zhen Shicheng tetap tak bergeming, menunjuk kotak rotan penuh berkas kasus: "Semua ini adalah bukti, hanya saja Kaisar sengaja menutup mata." 　　Apakah dia tipe yang sembarangan bicara? Kaisar meragukan kemampuan penyelidikannya. 　　Segala bisa ditahan, hanya ini yang tak bisa! 　　Kaisar Jingming gemetar marah, berteriak: "Pengawal! Seret Zhen Shicheng keluar!" 829.BAB 826 Kaisar dan Permaisuri Kembali Gemetar 　　BAB 826 Kaisar dan Permaisuri Kembali Gemetar 　　Dua pelayan istana segera masuk, mengapit kedua lengan Zhen Shicheng dan menyeretnya keluar. 　　Zhen Shicheng menenangkan pikiran, berusaha meningkatkan gesekan antara kedua kakinya dengan ubin emas, berteriak: "Hamba yang bodoh belum selesai bicara——" 　　Wajah Kaisar Jingming semakin gelap: "Seret dia pergi, masukkan ke penjara khusus!" 　　Masih ingin bicara, benar-benar bandit yang tak mau bertobat! 　　Zhen Shicheng segera diseret pergi, meninggalkan keranjang rotan yang terisi penuh. 　　Di dalamnya, berkas-berkas kasus tersusun rapi, seolah-olah sedang membela tuannya yang dirugikan. 　　Ini adalah hasil investigasi Zhen Shicheng selama lebih dari dua bulan. 　　Kaisar Jingming melirik sekali, lalu melirik lagi, suasana hatinya semakin buruk, memarahi: "Orang tua kolot yang berani melakukan ini, pasti mengira Aku berwatak lemah sehingga berani bicara semaunya. Hmph, biarkan dia tenang di penjara, merenungkan perkataan apa yang pantas dan tidak pantas diucapkan!" 　　Menunggu sejenak, Pan Hai tidak menyambut pembicaraan. 　　Kaisar Jingming melototi dia: "Kenapa? Apa tindakan Aku tidak tepat?" 　　Pan Hai menjilat dengan manis: "Yang Mulia bijaksana dan perkasa——" 　　"Diam! Saat ini Aku tak ingin mendengar omong kosongmu." 　　Pan Hai berkedip: "Kalau begitu, apakah Yang Mulia perlu memberitahu Permaisuri?" 　　Wajah Kaisar Jingming menghitam: "Bilang apa ke Permaisuri? Aturan istana belakang tidak boleh ikut campur urusan politik, kau sudah lama mengikuti Aku masih belum paham?" 　　Pan Hai menahan dorongan untuk memutar mata putih, berbisik mengingatkan: "Tuan Zhen adalah mertua Yang Mulia." 　　Kaisar Jingming: "..." Ia perlu waktu untuk mencerna, tadi terlalu marah sampai lupa hal ini! 　　Memang istana belakang tidak boleh ikut campur politik, tapi menahan mertua di penjara, perlu diberitahukan ke Permaisuri. 　　“Mengingat ini, Kaisar Jingming semakin gelisah.” 　　“Seandainya aku tahu—berkali-kali merenung, Kaisar Jingming tak bisa memutuskan apakah kesalahannya menikahkan putri dengan putra Zhen Shicheng atau memenjarakan Zhen Shicheng di penjara khusus.” 　　“Menatap pandangan penuh perhatian Pan Hai, Kaisar merasa tersudut. ‘Tak perlu kau ingatkan! Meski ini urusan keluarga, Akulah kepala keluarga. Tak perlu segala hal dilaporkan buru-buru ke Permaisuri!’” 　　“Apa Aku ini seperti Menteri Gu yang takut istri?” 　　“Kau pergi saja.” 　　“Setelah mengusir Pan Hai, Kaisar Jingming termenung sendirian. Mengingat perkataan Zhen Shicheng, hatinya terasa seperti digoreng dalam wajan minyak.” 　　“Setelah lama menderita, Kaisar bangkit mendekati kotak rotan. Membungkuk mengambil berkas kasus dan mulai memeriksanya.” 　　“Pikirannya kacau, sulit berkonsentrasi. Namun harus diakui, pengarsipan sistematis ini mencerminkan dedikasi Zhen Shicheng.” 　　“Zhen Shicheng adalah jenius investigasi. Talenta yang sudah Kaisar akui sejak bertahun-tahun lalu...” 　　“Desah panjang menggema di ruang studi kekaisaran.” 　　“Permaisuri baru mendengar kabar penahanan Zhen Shicheng keesokan harinya melalui sumber terpercaya: Nyonya Zhen datang menghadap ke istana.” 　　“‘Tunggu di depan. Begitu sidang pagi selesai, segera panggil Kaisar kemari.’” 　　“Pelayan istana segera melaksanakan perintah.” 　　“Tak lama menunggu, Kaisar Jingming pun datang.” 　　“Suasana hati Kaisar memburuk usai sidang pagi.” 　　“Kabarnya kasus Zhen Shicheng sudah tersebar luas di luar istana, tapi anehnya tak ada satu pun yang membelanya dalam sidang hari ini!” 　　“Apa maksudnya ini? Mereka semua senang melihat Lao Zhen yang diangkatnya sendiri mengalami kemalangan?” 　　“Awalnya Kaisar hanya ingin memberi pelajaran pada Zhen Shicheng dengan mengikuti desakan para menteri, tapi sekarang bagaimana?” 　　Kaisar Jingming duduk sambil menggerutu, meneguk beberapa kali teh sebelum bertanya, “Permaisuri ada keperluan apa?” 　　Permaisuri memberi isyarat pada dayang istana untuk mundur, berusaha menenangkan suara, “Nyonya Zhen pagi tadi telah masuk istana.” 　　“Hm, jadi kau sudah tahu soal kasus Zhen Shicheng?” 　　“Mengapa Paduka menahan Tuan Zhen di penjara?” 　　“Urusan ini bukan wilayahmu.” 　　Permaisuri bertahan, suaranya menjadi dingin, “Urusan negara di luar istana hamba tidak berani campuri, tapi Tuan Zhen adalah calon mertua Fuqing. Sebelum pernikahan putri, muncul skandal seperti ini, bukankah memalukan?” 　　Kaisar Jingming diam membisu. 　　“Paduka, kesalahan apa sebenarnya yang dilakukan Tuan Zhen?” Permaisuri bertanya hati-hati melihat Kaisar mulai melunak. 　　Kaisar Jingming mendengus, “Dia sembarangan menyelidiki kasus, bahkan berani menyebut Janda Permaisuri sebagai dalang di balik fitnah terhadap Permaisuri Putra Mahkota!” 　　Kaisar yang sedang menanti hiburan justru terkejut ketika Permaisuri diam sejenak lalu berbisik, “Hamba dengar Tuan Zhen tak pernah salah dalam penyelidikan seumur hidupnya.” 　　“Kau maksud bagaimana ini?” 　　Permaisuri menunduk, “Bagaimana jika kali ini Tuan Zhen juga benar?” 　　Kaisar Jingming tertegun, lalu meledak marah, “Permaisuri, bagaimana kau bisa berpikir begitu?!” 　　“Permaisuri suaranya semakin dingin: “Kalau tidak, bagaimana lagi aku harus berpikir? Fuqing berkali-kali mendapat masalah, setiap kali terkait Istana Cining, dan sekarang Tuan Zhen juga menemukan bahwa keributan Permaisuri Putra Mahkota itu ada hubungannya dengan Janda Permaisuri. Yang Mulia, sampai saat ini apakah Yang Mulia masih tidak mau membuka mata melihat?” 　　Permaisuri sudah tidak ingin menahan diri lagi. 　　Dulu sendirian dan berstatus sebagai menantu, mustahil menang melawan Janda Permaisuri. Tapi sekarang berbeda, dia tidak hanya punya sekutu mertua, tapi juga dibantu pasangan Putra Mahkota. 　　Menahan diri adalah untuk mencari kesempatan yang lebih baik, bukan terus menerus mengalah. 　　Sekarang menunjukkan sikapnya mungkin akan membuat Kaisar murka, tapi pasti akan menambah bobot pada timbangan di hati Kaisar, suatu hari nanti akan memberikan kesempatan untuk menjatuhkan Janda Permaisuri. 　　Kesempatan seperti ini tidak akan dia lewatkan. 　　“Kau menuduh Aku buta?” 　　“Aku hanya berharap Yang Mulia tidak tertutup mata oleh sehelai daun, tidak mau mendengar suara hati.” 　　“Cukup! Aku tidak mau dengar omongkosong brengsekmu ini!” Kaisar Jingming pergi sambil mengibaskan lengan bajunya. 　　Permaisuri menekan bibirnya, setelah berpikir masih kesal, menendang bangku kecil hingga terbalik. 　　Menendang bangku kecil untuk meluapkan emosi, siapa yang tidak bisa? Idiotnya Kaisar ini! 　　Kaisar dan Permaisuri kembali mulai berjarak. 　　Prefect Shuntian Zhen Shicheng terlihat seperti akan menetap lama di penjara khusus. 　　Para menteri kebingungan, suasana yang baru mulai longgar kembali tegang. 　　Tak terasa bulan Mei sudah lewat separuh, Komandan Han dari Jinlinwei, Han Ran, buru-buru masuk istana menghadap Kaisar. 　　“Ada apa?” Kaisar Jingming langsung geram melihat Han Ran. 　　Kalau bukan karena Zhen Shicheng masih ditahan di penjara Jinlinwei, dia bahkan ingin mengangkat Zhen Shicheng sebagai Komandan Jinlinwei. 　　Dasar Han Ran bodoh, kapan baru bisa lebih kompeten? 　　Han Ran terlihat bersemangat: “Lapor Paduka, anak buah hamba menerima kabar darurat! Pasukan yang ditempatkan di Perbatasan Selatan berhasil melacak jejak Tetua Hua!” 　　Kaisar Jingming berseri-seri: “Benarkah? Bisakah menangkapnya?” 　　“Anak buah hamba sudah diam-diam mengendalikan situasi dan sedang bergerak cepat menuju ibu kota.” 　　“Bagus!” Kaisar Jingming langsung merasa lega. 　　Kaburannya Tetua Hua bersama cucunya dari penjara khusus sebelumnya bagai batu berat yang terus menghantui hati Kaisar. 　　Han Ran tampak ragu: “Tapi——” 　　Mendengar ini, alis Kaisar Jingming langsung berkerut. 　　Dia paling benci mendengar kata “tapi”. 　　Baru dapat kabar baik langsung ada “tapi”, hidup ini jadi tidak tenang! 　　“Cepat katakan!” Apa harus menunggu hadiah makan kekaisaran dulu? Lebih baik dia beri hukuman cambuk! 　　Ekspresi Han Ran aneh: “Anak buah hamba menemukan Tetua Hua di dekat wilayah Suku Salju.” 　　“Suku Salju?” 　　“Benar. Konon Suku Salju dan Wu Miao berasal dari leluhur sama, tapi selalu ditekan oleh Wu Miao.” 　　Kaisar Jingming mengerutkan kening: “Setelah Tetua Hua ditangkap dan dibawa ke ibu kota, interogasi sampai dia mengaku segala rahasia!” 　　Sudah waktunya untuk mengungkap semua teka-teki ini. 　　Terima kasih pada Lik Gao atas hadiah sepuluh ribu koin, terima kasih untuk yang telah memberikan vote dan hadiah. Rekomendasikan "Melintasi Tahun 70-an dengan Ruang Dimensi" karya Qingqing Chi: Mu Xiu, lulusan universitas pertanian, membawa ruang dimensi berisi peralatan pertanian dan persediaan benih, bereinkarnasi ke desa miskin di akhir tahun 70-an yang kekurangan makanan dan pakaian. 　　Keluarga macam apa ini? 　　Susah payah memisahkan keluarga, memandangi setengah hektar tanah tandus yang dibagi ke orang tuanya, orang tua hampir menangis sedangkan Mu Xiu tertawa dalam hati—apakah ini bisa mengalahkannya? 　　Mantan suami penipu dari kehidupan sebelumnya datang merayu, heh—utang kehidupan lalu akan dibayar lunas di kehidupan ini... 　　Lihat bagaimana dia menggunakan kecerdasan modern untuk mengalahkan para penjahat, hidup sukses gemilang, sekaligus menggoda seorang kakak tampan yang sombong... 830. BAB 827 Pengakuan 　　BAB 827 Pengakuan 　　Pengawal Jinlin yang menyamar di Perbatasan Selatan bergegas siang-malam dengan kuda tercepat membawa Tetua Hua kembali ke ibu kota. 　　Setelah melapor ke Kaisar Jingming, Komandan Han Ran dari Jinlinwei segera memulai interogasi terhadap Tetua Hua. 　　Kali ini penjagaan terhadap Tetua Hua sangat ketat, puluhan pengawal Jinlin mengelilingi selnya berlapis-lapis untuk mencegahnya kabur seperti sebelumnya. 　　"Tetua Hua, sampai sekarang masih belum mau bicara?" 　　Tetua Hua yang dibelenggu rantai di tangan-kakinya menatap Han Ran dengan mata penuh darah. 　　Ini sudah hari ketujuh Tetua Hua tidak diizinkan tidur, setiap kali mencoba memejamkan mata pasti langsung dibangunkan. 　　Ini adalah salah satu strategi interogasi Pengawal Jinlin: mengulur waktu. 　　Mengulur waktu terlihat sederhana, namun sangat efektif. Menurut pengalaman Han Ran, orang biasa akan kehilangan kesadaran dan menjawab semua pertanyaan pada tahap ini. 　　Tapi Tetua Hua jelas lebih teguh hati daripada orang biasa. Tatapannya pada Han Ran penuh kemarahan dan tekad, sambil menyeringai: "Jangan mimpi!" 　　Suaranya parau seolah terbakar api, menyakitkan untuk didengar. 　　Han Ran mengerutkan alut, berkata dingin: "Lanjutkan interogasinya!" 　　Seorang Pengawal Jinlin segera mengajukan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan kepada Tetua Hua. Pertanyaannya sangat sederhana bahkan tidak bermakna. Jika Tetua Hua tidak menjawab, Pengawal Jinlin lain akan menusuknya dengan jarum. 　　Setelah petugas interogasi kehausan bicara, mereka bergantian dengan rekan yang bertugas menusuk jarum. 　　Kesadaran Tetua Hua mulai memudar. 　　Han Ran berdiri di luar ruang interogasi, tatapannya membeku. 　　Suku Wu Miao memang sulit ditaklukkan. Bahkan seorang nenek tua pun sebanding ini. Pantas Dinasti Zhou selalu enggan berperang melawan suku misterius di perbatasan Zhou-Nanlan ini. 　　Tapi kali ini dia harus mendapatkan informasi, atau tak bisa mempertanggungjawabkan pada Kaisar. 　　Setelah dua hari penyiksaan, Han Ran kembali melemparkan pertanyaan: "Apa tujuanmu menyusup ke Dinasti Zhou?" 　　Sorot mata Tetua Hua redup bagai kehilangan daya hidup, bergumam lirih: "Untuk mengoordinasikan bidak yang disusupkan ke Istana Kekaisaran bertahun silam." 　　Han Ran langsung bersemangat, matanya berkilau tajam bagai pedang es. 　　“Dia bicara! Akhirnya nenek tua ini mau berbicara!” 　　Han Ran merasakan detak jantungnya berdegup kencang, namun berusaha tetap tenang di wajahnya. 　　Saat ini bahkan nada bicaranya pun tidak berani diubah, khawatir Tetua Hua akan tersadar karena sedikit ketidaknormalan. 　　Sudah sembilan hari menunggu, jika terus begini dia sendiri yang tidak akan tahan. Saat ini tidak boleh gagal di ujung jalan. 　　"Siapa bidak di Istana Kekaisaran?" tanya Han Ran dengan poker face. 　　Bulu mata Tetua Hua bergetar halus, seolah melawan insting kantuknya. 　　Han Ran mengulangi pertanyaan dengan nada datar: "Siapa bidak di Istana Kekaisaran?" 　　Tetua Hua akhirnya mengeluarkan dua kata: "Janda Permaisuri." 　　Wajah Han Ran langsung berubah, nadanya tak terkontrol: "Janda Permaisuri?" 　　Langit! Tampaknya dia telah menyingkap rahasia besar. 　　Entah berapa lama kemudian, Han Ran meninggalkan ruang interogasi dengan langkah goyah, membuat bawahan yang melihatnya penasaran. 　　Apa yang terjadi dengan Komandan? Wajahnya pucat seperti melihat hantu. 　　Han Ran yang sedang bergegas ke istana merasa lebih menakutkan daripada melihat hantu, bahkan ingin menangis. 　　Orang bilang jabatan Komandan Jinlinwei sangat gemilang, tapi baginya ini pekerjaan mengancam nyawa. 　　Dulu saat tahu Kaisar dikenakan tudung hijau oleh Putra Mahkota, dia sampai tidak bisa tidur berhari-hari. Kini yang dia ketahui lebih mengerikan! 　　Bagaimana ini... 　　Dengan perasaan siap mati, Han Ran menghadap Kaisar Jingming di Aula Yangxindian. 　　“Begitu melihat ekspresi Han Ran yang seperti kehilangan orang tua, hati Kaisar Jingming langsung berat.” 　　“Mungkinkah interogasi bermasalah, Tetua Hua tidak bertahan?” 　　Kemajuan interogasi terhadap Tetua Hua adalah hal paling diperhatikan Kaisar Jingming saat ini. Hampir setiap hari Han Ran dipanggil untuk melapor. 　　Menyiksa hingga hari kesembilan, Kaisar Jingming mulai khawatir, takut Tetua Hua akan bernasib sama seperti Dayang Duo dulu yang tewas selama interogasi. 　　Han Ran menundukkan pandang: “Tetua Hua mengaku.” 　　“Mengaku?” Mata Kaisar Jingming berbinar, tidak menyembunyikan antusiasmenya, “Mengaku apa?” 　　Han Ran mengepal tangannya dengan kencang, urat-urat di punggung tangan menonjol. 　　Dia tahu badai besar mungkin akan datang, tapi harus menghadapinya. 　　“Tetua Hua mengakui bahwa Janda Permaisuri adalah anggota mereka——” 　　“Apa?” Sebelum Han Ran selesai, Kaisar Jingming memotong dengan suara dingin, “Ulangi!” 　　“Tetua Hua mengakui Janda Permaisuri adalah anggota mereka, bertahun lalu masuk istana dengan menyamar sebagai Permaisuri Putra Mahkota lewat strategi penggantian Li dengan Tao...” 　　Kaisar Jingming menahan amarah sambil mendengarkan. Setelah Han Ran selesai, menarik napas dalam: “Maksudnya Janda Permaisuri adalah bidak Wu Miao?” 　　“Tetua Hua mengakui dirinya orang Xue Miao.” 　　Kelopak mata Kaisar Jingming berkedut. Beliau berdiri dan mondar-mandir di aula, kegelisahannya membuat Han Ran tak berani bernapas. 　　Lama kemudian, Kaisar Jingming berucap pelan: “Bawa Tetua Hua menghadap!” 　　Tetua Hua yang cepat menjadi layu dan lesu muncul di hadapan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menatapnya tajam: "Kau berasal dari Suku Xue Miao?" 　　Setelah mengaku, aura seseorang akan berubah total. Tetua Hua sekarang seperti abu dingin, penuh keputusasaan. 　　Dengan wajah beku, dia mengangguk. 　　"Kalau begitu, mengapa kakek dan cucu dari sukumu menyamar sebagai orang Wu Miao membuka toko di Jalan Pasar Barat?" 　　"Untuk mengurangi masalah bagi suku kami." Jawab Tetua Hua tetap datar. 　　Kaisar Jingming menggigit gigi, melanjutkan pertanyaan: "Apa tujuan kalian sebenarnya?" 　　Kelopak mata Tetua Hua berkedut, nadanya monoton: "Membuat Putra Langit Dinasti Zhou tak punya putra mahkota." 　　Membuat Putra Langit Dinasti Zhou tak punya putra mahkota - 　　Mendengar ini, Kaisar Jingming teringat banyak hal. Wajahnya pucat: "Mantan Putra Mahkota--" 　　Tetua Hua menyambung: "Dayang Duo yang menghasut Selir Yang merayu mantan Putra Mahkota, agar dia dipecat karena aib..." 　　Kepala Kaisar Jingming berdengung. Banyak teka-teki terkuak sekarang. 　　"Walau Lang'er doyan wanita, tapi dengan ribuan selir di istana, mana mungkin berani mendekati selirku kalau tidak dijebak." 　　"Tak disangka Yang Mulia ternyata lembut hati, sampai memulihkan status Putra Mahkota. Janda Permaisuri terpaksa menyuruh dayang mantan Putra Mahkota menyuruhnya pakai boneka santet... Akhirnya kami berhasil menyingkirkannya--" 　　"Diam!" teriak Kaisar Jingming sampai mata merah merekah. 　　Amarah, penyesalan, rasa bersalah... Segala emosi ini hampir membuatnya gila. 　　“Apakah tindakan terhadap Fuqing juga karena alasan ini?” 　　“Benar.” 　　Kaisar Jingming masih mempertahankan secercah kewarasan di tengah kemarahan yang meluap: “Apakah ketiadaan keturunan dari Janda Permaisuri juga terkait hal ini?” 　　“Dia datang untuk menggantikan Permaisuri Putra Mahkota yang asli, tentu tidak boleh memiliki keturunan.” 　　Kaisar Jingming menutup mata sejenak, wajahnya pucat pasi: “Mengapa kalian melakukan ini? Manfaat apa yang kalian dapatkan dari semua ini?” 　　“Xue Miao dan Wu Miao berasal dari sumber yang sama, energi nasib kedua suku saling melemahkan. Tetua besar sebelumnya dari Wu Miao pernah meninggalkan ramalan bahwa kemakmuran Wu Miao berkaitan erat dengan darah daging sah Putra Langit Dinasti Zhou. Setelah mengetahui ramalan ini, suku kami tentu tidak bisa membiarkan Wu Miao terus berkembang dan membuat kami tak pernah bangkit selamanya...” 　　Kaisar Jingming menggigilkan bibir, menarik napas dalam-dalam: “Bagaimana Aku tahu kau tidak memfitnah Janda Permaisuri dan ingin melihat kekacauan di keluarga kerajaan kami?” 　　Tetua Hua berkata dengan suara datar: “Bisa dibuktikan, tapi ada permintaan.” 　　“Katakan.” 831.BAB 828 Pertemuan Hidup dan Mati 　　BAB 828 Pertemuan Hidup dan Mati 　　“Maafkan suku kami.” 　　“Tidak mungkin!” Kaisar Jingming menolak tegas. 　　Lang'er, Fuqing, Si Empat Belas, Pangeran Kelima Belas, serta insiden yang nyaris menimpa pasangan Lao Qi - semua ini ulah mereka. Mana mungkin dia memaafkan. 　　Tetua Hua menatap Kaisar Jingming dalam-dalam sebelum menutup matanya. 　　Kaisar Jingming gemas: “Kau sudah mengaku, masih mau bertahan sampai akhir?” 　　Tetua Hua membuka mata kembali, berkata tenang: “Hamba sudah di ujung nyawa, tak ada lagi yang bisa hilang. Jika Yang Mulia tidak setuju, biarlah begitu.” 　　Kaisar Jingming menggigil seluruh tubuhnya karena marah. 　　"Jika bidak yang diakui Tetua Hua adalah orang lain, tak perlu konfirmasi. Lebih baik salah membunuh daripada melewatkan." 　　Tapi orang ini adalah Janda Permaisuri yang membesarkan, mendidik, dan mengangkatnya ke singgasana! 　　Kasih ibu kandung tak sebanding pengasuhan. Sebagai ibu, Janda Permaisuri sungguh luar biasa, apalagi memberi Kaisar Jingming kekuasaan tertinggi. 　　Bagi Kaisar Jingming, mustahil menerima Janda Permaisuri sebagai bidak suku asing tanpa bukti nyata. 　　"Baik, Aku setuju." 　　Hmph, setuju pun tak berarti. Nanti dia bisa ingkar janji. 　　Sabda emas? Jika musuh sudah menjebaknya, bohong kecil tak apa. Ini namanya penipuan tak dilarang dalam perang! 　　Tetua Hua tampak percaya, diam sejenak lalu berkata: "Di pantat kiri Janda Permaisuri ada tanda lahir merah muda berbentuk kelopak bunga..." 　　Kaisar Jingming merasa canggung, lebih dari itu, berat di hati. 　　Dayang Duo yang sudah terbukti pengkhianat di Istana Cining bukan pelayan dekat. Jika Janda Permaisuri tak terlibat, mustahil Dayang Duo tahu rahasia tubuhnya, apalagi Tetua Hua... 　　Setelah lama diam, Kaisar Jingming berujar perlahan: "Bawa dia pergi dulu." 　　Tetua Hua segera dibawa keluar. Di aula hanya tersisa Kaisar Jingming, Pan Hai, dan Han Ran. 　　Keringat dingin mengucur di dahi Han Ran, tak berani mengusap. Pan Hai berusaha menyembunyikan diri. 　　Saat ini Kaisar sedang butuh pelampiasan. Siapa yang mendekat akan jadi sasaran. 　　Tak diketahui berapa lama telah berlalu, suara dingin dan keras Kaisar Jingming terdengar: "Pan Hai——" 　　Pan Hai gemetar hampir terjatuh, mengeraskan hati menjawab: "Hamba di sini." 　　"Diam-diam panggil dayang istana yang melayani dekat Janda Permaisuri di Istana Cining untuk diinterogasi, pastikan... apakah perkataan Tetua Hua ini benar." Kaisar Jingming mengucapkan ini dengan sangat tersendat. 　　"Da." 　　Kaisar Jingming menarik napas dalam, berkata: "Jangan ganggu Janda Permaisuri." 　　Hingga saat ini ia masih menyimpan harapan kosong, jika bisa dibuktikan bahwa Tetua Hua hanya memfitnah, setidaknya Janda Permaisuri takkan tahu ia pernah memberi perintah seperti ini hingga kecewa. 　　Pan Hai menerima perintah lalu pergi. 　　Kaisar Jingming memandang Han Ran. 　　Han Ran merasa bulu kuduk merinding, kepala semakin menunduk. 　　Kaisar Jingming menghela napas: "Kau tetap di sini menunggu bersama Aku" 　　Waktu berlahan-lahan berlalu, sejak Pan Hai pergi, dua orang penguasa dan bawahan di aula ini merasa tersiksa tiada tara. 　　Tak diketahui berapa lama, akhirnya Pan Hai kembali dengan tergesa. 　　Kaisar Jingming sesaat tak berani bertanya. 　　Pan Hai menahan badai hebat di hati sambil memberi hormat: "Paduka, telah berhasil ditanyai." 　　Kaisar Jingming menenangkan diri sejenak baru bertanya: "Bagaimana?" 　　Pan Hai menundukkan pandangan: "Hamba telah menginterogasi dua dayang yang melayani Janda Permaisuri mandi, kedua dayang mengakui perkataan Tetua Hua." 　　Memanggil pelayan dekat Janda Permaisuri mudah menarik perhatian, sementara menanyai dayang yang melayani mandi lebih tidak mencolok. 　　Dayang-dayang ini hanya muncul saat Janda Permaisuri mandi, masih jauh dari kedekatan dengan pelayan inti Janda Permaisuri. 　　“Tangan Kaisar Jingming gemetar, sebutir hati perlahan terjerumus ke jurang.” 　　Perkataan Tetua Hua ternyata benar, Janda Permaisuri memang orang asing. 　　Apakah dia orang Xue Miao atau Wu Miao, apa bedanya? Yang penting semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan Kaisar dari Janda Permaisuri sejak masa kecil hingga kini adalah palsu. 　　Semuanya palsu! 　　“Kalian keluar.” 　　Pan Hai sangat khawatir, tak tahan membuka mulut: “Paduka——” 　　“Keluar!” 　　Han Ran memberikan kode pada Pan Hai, lebih dulu mundur keluar. 　　Keduanya berdiri bengong di koridor luar aula. 　　Putra Mahkota yang Dipecat memasangkan tudung hijau pada Kaisar, Janda Permaisuri palsu... 　　Mereka berdua sepertinya tahu terlalu banyak, bagaimana ini? 　　Di dalam aula sunyi senyap, hingga malam tiba Kaisar Jingming belum juga keluar. 　　Hari kedua, Kaisar Jingming tidak menghadiri sidang pagi, memicu berbagai spekulasi para menteri. 　　Hari ketiga, keempat, kelima... 　　Para menteri mulai panik, sayangnya wajah Kaisar pun tak bisa dilihat. Hanya Pan Hai yang muncul setiap hari di Gerbang Qianqing, berteriak: “Paduka sedang kurang sehat, para Paduka harap pulang.” 　　Pejabat militer-sipil semakin resah. 　　Permaisuri terpaksa mengakhiri sikap dinginnya, berinisiatif mengunjungi Aula Yangxindian untuk menyelidiki. 　　Kaisar Jingming sedang mengurung diri di kamar dalam keadaan bengong. Mendengar pertanyaan Permaisuri, ia berkata datar: “Kau pulanglah. Aku perlu ketenangan untuk mempertimbangkan suatu keputusan.” 　　“Paduka——” 　　Kaisar Jingming menatapnya, nada lebih dingin: “Aku tak ingin diganggu siapa pun.” 　　“Permaisuri terpaksa menunduk dan mundur, setelah keluar dari Aula Yangxindian, matanya tak sengaja menatap ke arah Istana Cining.” 　　“Apakah tindakan Kaisar ini berkaitan dengan Janda Permaisuri? Mungkin ini pertanda baik, siapa yang tahu.” 　　“Saat senja di hari itu, awan kemerahan membungkus langit, Kaisar Jingming akhirnya keluar dari Aula Yangxindian menuju Istana Cining.” 　　“Di Istana Cining, Janda Permaisuri sedang dilanda kecemasan.” 　　“Kaisar membatalkan sidang karena kesehatannya, setiap hari ia mengirim utusan untuk menanyakan kabar tapi tak pernah bisa bertatap muka. Ini sangat tidak biasa.” 　　“Kedatangan Kaisar——” 　　“Janda Permaisuri segera berdiri dan berjalan keluar.” 　　“Kaisar Jingming masuk dengan langkah tegas, menyapu pandangan ke sekeliling: ‘Kalian semua, pergi!’” 　　“Segera ruangan hanya menyisakan Kaisar Jingming dan Janda Permaisuri.” 　　“‘Kaisar terlihat baik, hamba akhirnya lega.’ Sikap keibuan Janda Permaisuri tetap sama.” 　　“Kaisar Jingming menatap Janda Permaisuri tanpa berkedip, lama tak bersuara.” 　　“‘Ada apa dengan Kaisar?’” 　　“Kaisar Jingming memunggungi, menghindari wajah yang terlalu dikenalnya itu: ‘Yang Mulia, apakah hidup di Dinasti Zhou sudah nyaman?’” 　　“Jantung Janda Permaisuri berdebar kencang: ‘Apa maksud Kaisar?’” 　　“Kaisar Jingming berbalik tiba-tiba, menangkap ketakutan yang belum sempat disembunyikan di wajah Janda Permaisuri.” 　　“Dengan cepat Janda Permaisuri menguasai diri, ketakutan berubah menjadi perhatian: ‘Kaisar kenapa? Jika tidak sehat, beristirahatlah. Urusan negara bisa diserahkan pada Putra Mahkota.’” 　　“Kaisar Jingming tersenyum getir: ‘Kemakmuran Suku Wu Miao terkait erat dengan darah daging Putra Langit Dinasti Zhou. Inikah alasan kehadiran Yang Mulia?’” 　　“Wajah Janda Permaisuri berubah total: ‘Kaisar——’” 　　“Saya sudah tahu semuanya, Yang Mulia tidak perlu lagi bersilat lidah hingga menghabiskan sisa ikatan pernikahan terakhir saya pada Anda.” Suara Kaisar Jingming gemetar saat mengucapkan ini, “Mulai sekarang, Yang Mulia tidak perlu lagi melangkah keluar dari kamar ini sampai tiba saatnya menghadap Sang Pencipta.” 　　Setelah berkata demikian, Kaisar Jingming langsung berbalik pergi. 　　Janda Permaisuri ingin memanggilnya kembali, tapi apa lagi yang bisa dikatakan saat ini? Wajahnya lesu runtuh di dipan, seolah lentera hidupnya tiba-tiba padam. 　　Saat sampai di pintu, Kaisar Jingming menoleh dan bertanya dengan suara bergetar: “Selama bertahun-tahun ini, apakah Yang Mulia pernah... menganggap saya sebagai anak kandung?” 　　Janda Permaisuri terdiam sejenak hendak menjawab, tapi Kaisar Jingming tak ingin mendengar jawabannya lagi. Ia tersenyum getir: “Tak perlu dijawab. Selama ini saya hanya menipu diri sendiri.” 　　Kaisar Jingming pergi tanpa menoleh. Segera semua dayang istana yang melayani Janda Permaisuri diganti. Tapi perubahan di Istana Cining hampir tak terlihat oleh orang luar. Hanya para pelayan yang tidak diganti yang merasakan perbedaannya. 　　Mereka tak pernah lagi melihat Janda Permaisuri. 　　Besok cerita utamanya akan selesai, akan ada epilog untuk karakter pendukung. Minta dukungan vote! 832.BAB 829 Bunga Berlimpah 　　BAB 829 Kembang yang Berkilauan 　　Kaisar Jingming mengurung diri di Aula Yangxindian. Tidak mengadakan sidang pagi, tidak menemui Permaisuri, juga tidak bertemu Putra Mahkota. Tapi secara khusus memanggil Permaisuri Putra Mahkota. 　　Berdiri di aula yang remang-remang, Jiang Si memberi hormat dengan menekuk lutut: “Menantu perempuan menghadap Ayah Kaisar.” 　　Kaisar Jingming melirik Jiang Si, lalu berkata pada Pan Hai: “Kalian semua mundur.” 　　Pan Hai ragu sejenak. 　　Ini agak tidak pantas. 　　“Hm?” 　　Kaisar Jingming menaikkan alis, Pan Hai segera memimpin rombongan dayang istana keluar. 　　Kaisar boleh berbuat apa saja yang beliau inginkan, tidak ada yang tidak pantas! 　　Di aula kini hanya tersisa Jiang Si dan Kaisar Jingming. 　　Kaisar Jingming menatap dalam-dalam ke arah Jiang Si. 　　Jiang Si membuka percakapan: "Ayah Kaisar ada perintah untuk menantu perempuan ini?" 　　Kaisar Jingming terdiam sejenak, suaranya bergema di aula yang sunyi terdengar lebih tua dari biasanya: "Istri Lao Qi, Aku punya pertanyaan untukmu." 　　"Silakan Ayah Kaisar bertanya." 　　Kaisar Jingming mengajukan pertanyaan perlahan: "Kau Permaisuri Putra Mahkota Dinasti Zhou, atau Imam Suci Wu Miao?" 　　Hati Jiang Si berdebar, namun ia menjawab tanpa ragu: "Tentu saja menantu adalah Permaisuri Putra Mahkota Dinasti Zhou, istri A Jin." 　　Kaisar Jingming menatapnya, melihat ketenangan dan kejujuran yang selalu terpancar dari wanita ini. 　　Beliau tersenyum lembut: "Aku mengerti. Kau boleh pergi." 　　"Menantu mohon diri." Jiang Si menunduk ringan lalu mundur keluar. 　　Kembali ke Istana Timur, Yu Jin bertanya: "Kenapa cepat sekali? Urusan apa dengan Ayah Kaisar?" 　　Jiang Si menyuruh dayang istana keluar, berbisik: "Ayah Kaisar bertanya apakah aku Permaisuri Putra Mahkota Zhou atau Imam Suci Wu Miao." 　　Yu Jin tertegun, wajahnya berubah serius: "Ayah Kaisar mulai curiga?" 　　Jiang Si menghela napas: "Ayah Kaisar hanya sedang sementara tidak jernih pikirannya." 　　Seorang kaisar yang berpengalaman puluhan tahun dan tidak bodoh, mana mungkin benar-benar linglung? 　　"Lalu bagaimana jawabanmu?" 　　“Jiang Si tersenyum tipis: "Apakah ini perlu dijawab? Tentu saja aku adalah Permaisuri Putra Mahkotamu."” 　　"Yu Jin memeluk Permaisuri Putra Mahkotanya dengan sorot mata berbinar." 　　"Kaisar Jingming memanggil Jiang Si, kemudian memanggil Komandan Han dari Jinlinwei, Han Ran." 　　"Di antara pejabat luar istana, tak ada yang lebih memahami penyebab kemerosotan Kaisar belakangan ini selain Han Ran. Dipanggil saat ini, hatinya dipenuhi kecemasan." 　　"Wajar ia gelisah - ia tahu terlalu banyak!" 　　"Hamba yang bodoh menghadap Kaisar." 　　"Kaisar Jingming memandang bawahannya yang berlutut satu kaki dari tempat duduknya, perasaan campur aduk." 　　"Berkali-kali terlintas keinginan untuk membungkam orang ini, tapi akhirnya tak juga dilaksanakan." 　　"Sebagai Putra Langit, sosok tertinggi di Dinasti Zhou, memalukan bila aibnya diketahui orang. Tapi sebuah rahasia tanpa teman berbagi, alangkah sunyinya?" 　　"Kaisar Jingming menikmati kegelisahan Han Ran sejenak sebelum bersabda: "Han Ran, ada tugas untukmu."" 　　""Mohon perintah Kaisar."" 　　""Wu Miao dan Xue Miao berasal dari akar yang sama, telah lama berseteru. Kini Xue Miao terdesak, kirm sejumlah orang ke Perbatasan Selatan untuk diam-diam membantu mereka."" 　　"Han Ran terkejut: "Membantu Xue Miao?"" 　　"Dugaan akan hukuman berat untuk suku Xue Miao ternyata meleset sama sekali." 　　"Kaisar Jingming tersenyum samar: "Pertunjukan baru seru bila kedua pihak seimbang. Pergilah."" 　　"Ucapan Tetua Hua itu, dipercayainya namun juga diragukannya." 　　"Janda Permaisuri jelas merupakan bidak dari suku asing, namun sulit dipastikan apakah dikirim oleh Wu Miao atau Xue Miao." 　　Karena belum bisa memastikan, tentu dia tidak akan langsung menghukum mati Suku Salju. 　　Membiarkan dua suku yang berasal dari akar yang sama saling bersaing sengit justru paling menguntungkan Dinasti Zhou. 　　Setelah itu, Kaisar Jingming memanggil beberapa menteri penting. Pintu ruang studi kekaisaran ditutup lama sebelum akhirnya dibuka kembali. 　　Dua hari kemudian, Kaisar Jingming akhirnya mengadakan sidang pagi. 　　Para pejabat militer-sipil menitikkan air mata haru, memandang Kaisar Jingming di kursi naga dengan perasaan seolah pertemuan setelah perpisahan singkat lebih manis dari bulan madu. 　　Banyak menteri berpikir dalam hati: Dulu mereka terlalu tak tahu bersyukur, memiliki kaisar seperti Kaisar ini sudah sangat baik. Ke depannya tidak akan berdebat dengan Kaisar lagi... Eh, ini tidak realistis, setidaknya patuhi Kaisar selama setengah tahun agar dia tidak mogok sidang tanpa alasan lagi. 　　"Umumkan maklumat." 　　Pan Hai membuka gulungan giok, berseru lantang: "Sejak dahulu pemerintahan seorang Kaisar selalu mengutamakan penghormatan pada langit dan peneladanan leluhur... Perintahkan Putra Mahkota Jin naik takhta, menduduki posisi kaisar..." 　　Seluruh istana gempar. 　　Ini ternyata maklumat penyerahan tahta! 　　"Kaisar-" 　　Menghadapi para menteri yang emosional, Kaisar Jingming berkata datar: "Aku belakangan merasa kesehatan memburuk, ingin menikmati masa tua. Para menteri tak perlu membujuk lagi." 　　Para menteri serentak menatap Menteri Gu dan lainnya. 　　Menteri Gu dan beberapa orang lain tetap tenang, jelas sudah mengetahui situasi. 　　Para menteri pun terdiam bingung. 　　Pandangan Kaisar Jingming beralih ke Menteri Ritus: "Persiapkan upacara penyerahan tahta." 　　“Setelah upacara penyerahan takhta, tibalah saatnya sang kaisar baru naik takhta. Sejak saat ini, Dinasti Zhou telah menyambut penguasa barunya.” 　　“Setelah Yu Jin naik takhta, sesuai tradisi dilakukan pengangkatan pejabat istana dan pengampunan umum. Suasana ibu kota begitu semarak bagaikan musim panas ini.” 　　“Sebagai Permaisuri, Jiang Si justru lebih mudah bertemu dengan Tetua. Setelah serangkaian persiapan, akhirnya mereka bertemu di istananya dengan Tetua yang telah menyamar.” 　　“Di ruang dalam, Jiang Si sendiri menuangkan teh untuk Tetua: 'Apakah Tetua akan segera pergi?'” 　　“Tetua menerima cangkir teh namun tidak meminumnya, matanya menatapnya dalam-dalam: 'Sudah saatnya.'” 　　“Jiang Si menyentuhkan cangkir ke bibirnya: 'Semoga perjalanan Tetua lancar, cepat kembali ke Wu Miao untuk memimpin situasi.'” 　　“'Terima kasih——' Tetua ragu sejenak, namun tetap mengatakannya, 'Terima kasih, Imam Suci.'” 　　“Jiang Si tidak menyangkal sebutan itu. Setelah diam sejenak ia bertanya: 'Hingga saat ini, apakah Yang Mulia masih enggan memberitahuku dua ramalan lainnya?'” 　　“Tetua tersenyum tipis: 'Apakah dua ramalan itu masih penting bagi Imam Suci sekarang?'” 　　“Jiang Si berkedip, dengan suara lembut khas wanita muda: 'Penting dong. Aku ini penasaran, kalau tidak tahu bisa tidak bisa tidur. Lama-lama jadi tidak bersemangat jadi Permaisuri Zhou, apalagi urusan lain.'” 　　“Senyum di sudut bibir Tetua tiba-tua kaku.” 　　“Tadinya percakapan penuh makna filosofis, bagaimana bisa secepat kilat berubah seperti ini?” 　　“Imam Suci ini terang-terangan mengancamnya. Di usianya yang sudah sepuh, si gadis ini tidak merasa malu?” 　　“Tapi memang, beberapa rahasia sudah tak perlu lagi disembunyikan pada titik ini.” 　　Tetua akhirnya membuka mulut: "Ketika Tetua sebelumnya meramalkan wahyu pertama, kemampuannya masih terbatas. Makna ramalan samar-samar, hanya diketahui bahwa kemakmuran Wu Miao berkaitan dengan tidak adanya putra mahkota di Dinasti Zhou." 　　Jiang Si terkejut: "Hanya karena satu ramalan kabur, Janda Permaisuri dikirim ke Dinasti Zhou?" 　　Tetua menatap Jiang Si: "Ini menyangkut kelangsungan suku kami. Lebih baik percaya daripada menyesal. Sekarang sepertinya ada kesalahan..." 　　Jiang Si: "......" 　　"Wahyu kedua sudah kau ketahui - Putra Ketujuh Naga akan membawa cahaya fajar untuk menghalau kegelapan Wu Miao." 　　Jiang Si menunduk merenung: "Apakah reputasi Jin membawa sial bagi Kaisar Emeritus sejak lahir hingga diusir dari istana terkait ini?" 　　Tetua mengangguk: "Janda Permaisuri menerima perintah ini, tapi tidak tahu ramalannya. Wahyu ketiga agak aneh--" 　　"Apa itu?" 　　Tetua mengucap dua kata: "Pinjam benih." 　　Jiang Si tertegun, lalu tersadar: "Kalau begitu, nenekku bukan dikhianati pelajar, melainkan--" 　　Tetua ekspresi rumit: "Dia seperti pepatah 'tanpa sengaja menanam pohon willow'. Berdasarkan ramalan, suku mengirim delapan belas wanita muda ke Dinasti Zhou. Mereka menjadi selir pria Zhou. Jika melahirkan putra tetap tinggal sampai punya putri, lalu pulang membawa putri itu ke Wu Miao..." 　　Jiang Si menghentikan: "Cukup, Tetua. Saya sudah paham." 　　"Mengenai kelangsungan hidup suku, dia bisa memahami tindakan Wu Miao, tapi tak bisa mengapresiasinya." 　　Tetua jelas mengerti pikiran Jiang Si, dalam hati menghela napas: Tapi akhirnya kami benar, bukan? 　　Tetua pergi diam-diam, persis seperti kedatangannya ke Dinasti Zhou dulu, hanya pulangnya kali ini ditemani seorang. 　　Jiang Si tetap murung karena ramalan ketiga itu. 　　Yu Jin langsung datang menghiburnya setelah sidang istana. 　　"A Si, Tetua sudah pergi kan?" 　　"Sudah." 　　"Bagus! Jangan pernah izinkan dia datang lagi." Tamu jahat yang bikin A Si sedih ini tak disambutnya! 　　Jiang Si mengernyit: "Aku masih merangkap sebagai Imam Suci Wu Miao. Jika ada masalah di Wu Miao nanti, mungkin harus turun tangan." 　　Yu Jin tahu kegelisahannya, tersenyum santai: "Tak masalah. Setelah menghibur Ayah Kaisar beberapa tahun, aku akan hancurkan Xue Miao. Dengan hilangnya ancaman inti, Wu Miao tak akan merepotkanmu lagi." 　　Jiang Si terkekum mengingat Kaisar Emeritus: "Sejak jadi Ayah Kaisar, tawanya justru lebih sering kedengaran." 　　Wajah Yu Jin langsung berubah masam. 　　Si tua itu licik! Makanya cepat-cebat menyerahkan tahta. 　　"Paduka, bahaya--!" Xiao Lezi berlari terengah-engah. 　　Yu Jin menaikkan alis: "Apa?" 　　Xiao Lezi tersengal-sengal: "A-Ayah Kaisar--" 　　Yu Jin dan Jiang Si saling pandang, buru-buru berdiri: "Ayah Kaisar kenapa?" 　　Orang yang usianya sudah sepuh memang tak bisa dibandingkan dengan pemuda, jangan sampai kesehatannya bermasalah. 　　Xiao Lezi terengah-engah melapor: "Kaisar Emeritus melihat Jenderal Xiaotian dan Jixiang berkelahi lagi, berlari ingin melerai, tapi malah ditubruk Jenderal Xiaotian!" 　　Yu Jin dan Jiang Si langsung berlari ke taman istana. Dari jauh terlihat Kaisar Jingming mengibas-ngibaskan ranting willow emas sambil berteriak keras pada Er Niu: "Anjing besar umur segini, masa nggak bisa ngalahin Jixiang? Hah?" 　　Paling nggak ngalahin Kaisar Emeritus ini dong! 　　Yu Jin dan Jiang Si saling tersenyum, tak mengganggu Kaisar Emeritus yang sedang memberi pelajaran pada Er Niu, lalu berjalan menuju hamparan bunga yang indah bagai brokat. 　　(TAMAT) 　　Cerita utama selesai. Selanjutnya akan ada epilog tentang tokoh pendamping dan kisah Xiao Qi dengan A Si setelah menjadi Kaisar-Permaisuri. Minta dukungan vote, ini bulan terakhir Seperti Kembang merangkak di chart. Terima kasih untuk dukungannya selama ini. 833.BAB 830 EPILOG: KEGAGALAN 　　BAB 830 EPILOG: KEGAGALAN 　　Pangeran Qi sudah lama tidak keluar dari Kediaman Pangeran Qi. 　　Tindakan Ibunda Selir terhadap Putri Fuqing membuatnya benar-benar ditolak Ayah Kaisar, memaksanya memilih untuk berdiam diri. 　　Untungnya masih ada surat peninggalan ibundanya. Meskipun Ayah Kaisar secara mengejutkan mengangkat Lao Qi sebagai Putra Mahkota, selama bisa dapat dukungan Janda Permaisuri, peluang bangkit masih ada. 　　Sang mandor bergegas masuk dengan wajah pucat: "Paduka, terjadi masalah besar." 　　Tangan Pangeran Qi yang memegang kitab Buddha mengeras: "Apa yang terjadi?" 　　Mandor merendahkan kepala tidak berani melihat ekspresi Pangeran Qi: "Baru saja tersiar kabar, Kaisar menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota——" 　　Pangeran Qi tiba-tiba berdiri, kitab Buddha di tangannya terjatuh ke lantai. 　　Kitab Buddha yang terbuka itu menampilkan tulisan tentang menenangkan hati yang sangat mencolok, seolah mengejek orang yang menjatuhkannya. 　　Pangeran Qi berlari keluar, menginjak kitab Buddha tanpa ragu. 　　"Tuan——" mandor buru-buru mengejar, "Yang Mulia jangan terburu nafsu!" 　　Belakangan ini sang pangeran terlihat aneh, meski tampak tenang namun sorot matanya mengerikan. 　　Pangeran seperti ini membuatnya gelisah. 　　Pangeran Qi berhenti, berbalik cepat ke ruang belajar dan mengunci mandor di luar pintu. 　　Tak lama kemudian, Pangeran Qi membuka pintu kembali dan bergegas pergi. 　　"Tuan, ke mana Yang Mulia pergi?" 　　"Haruskah aku melaporkan tujuanku padamu? Minggir!" 　　Pangeran Qi mendorong mandor, keluar dari Kediaman Pangeran Qi langsung menuju Istana Kekaisaran. 　　Dia tak bisa menunggu lagi. 　　Terus menunggu, membuat Lao Qi dari pangeran tak berarti menjadi Pangeran Yan, lalu Putra Mahkota, sekarang malah jadi kaisar baru! 　　Padahal dia masih berharap bantuan Janda Permaisuri untuk merencanakan perlahan. 　　Bodohnya dia, sungguh! 　　Emosi Pangeran Qi begitu bergolak sampai hampir terjatuh dari kuda. 　　Mendekati ibu kota, Pangeran Qi turun dari kuda dan meminta audiensi dengan Janda Permaisuri di pintu gerbang istana. 　　"Saat ini Janda Permaisuri telah dikurung, kabar ini tentu tidak sampai ke Istana Cining, melainkan sampai ke telinga Kaisar Jingming yang masih sementara menjabat tugas sebagai Kaisar." 　　"Lao Si memohon audiensi dengan Janda Permaisuri?" Wajah Kaisar Jingming langsung berubah dingin begitu mendengar. 　　Terhadap Putra Keempat Yu Zhang, awalnya ia tidak berencana bertemu lagi. Tapi karena Lao Si ingin menemui Janda Permaisuri, mau tak mau ia harus menemui. 　　Untuk apa Lao Si memohon audiensi dengan Janda Permaisuri tepat saat ia memutuskan turun takhta? 　　"Bawa Pangeran Qi kemari." 　　Pangeran Qi tidak menyangka Kaisar Jingming akan menerimanya. Hatinya berdebar-debar saat bersujud gemetar: "Anak lelaki memberi salut pada Ayah Kaisar." 　　Kaisar Jingming mengamati Pangeran Qi, langsung menembak pertanyaan: "Untuk urusan apa kau memohon audiensi dengan Janda Permaisuri?" 　　Pangeran Qi merunduk di lantai, ragu sejenak: "Anak sudah lama tidak masuk istana memberi salut pada Yang Mulia dan Nenek Kaisar, sangat merindukan..." 　　Sorot mata Kaisar Jingming dalam: "Kebaikan hatimu merindukan senior patut dipuji. Tapi kini sedang masa sibuk. Jika ingin memberi salut pada Aku, tunggulah sampai kaisar baru naik takhta. Saat itu Aku akan punya waktu." 　　Jika Lao Si datang saat itu, mungkin hatinya akan sedikit melunak. 　　Takhta telah diberikan pada Lao Qi. Untuk putra-putra lainnya, meski pernah berbuat kesalahan dan menyakiti hatinya, sepertinya bisa diberi lebih banyak toleransi. 　　Pangeran Qi buru-buru menjelaskan: "Anak berpikir Ayah Kaisar pasti sibuk, jadi ingin lebih dulu mengunjungi Nenek Kaisar." 　　"Mengunjungi Janda Permaisuri tidak perlu. Janda Permaisuri sudah lanjut usia, perlu beristirahat total." 　　Pangeran Qi tidak mau menyerah: "Apakah belakangan ini Nenek Kaisar kurang sehat?" 　　Kaisar Jingming sudah tak bisa menahan amarah, meledak marah: "Anak durhaka, untuk apa kau mati-matian ingin bertemu Janda Permaisuri? Apa karena melihat Aku menyerahkan takhta ke Lao Qi, kau panik dan ingin minta bantuan Janda Permaisuri merebut kekuasaan?" 　　Pangeran Qi pucat ketakutan, buru-buru bersujud: "Ayah Kaisar, anak lelaki sungguh tak punya niatan seperti itu--" 　　"Kalau memang tak punya niatan, minggir dari hadapan-Ku!" 　　Dentuman suara Kaisar Jingming terasa seperti paku es menancap di ujung hati Pangeran Qi. 　　Berkali-kali dia hanya ingin memberi salut pada Nenek Kaisar. Permintaan sederhana ini, mengapa Ayah Kaisar begitu kejam hanya padanya? 　　Mengapa semua ini? 　　Pangeran Qi tak bisa memahaminya, tetap berlutut kaku seperti patung. 　　Kaisar Jingming semakin murka, berteriak: "Pan Hai, kalian ini mayat hidup? Atau karena Aku akan segera jadi Kaisar Emeritus, perintah-Ku tak didengar lagi?" 　　Pan Hai segera menyuruh dua pelayan istana menarik Pangeran Qi keluar. 　　Pikiran Pangeran Qi seperti bubur kertas. Tertarik pelayan, dia meronta: "Ayah, hati anak bersinar seperti matahari-bulan! Sungguh tak ada niatan itu! Perkataan Yang Mulia membuat anak tak punya muka--" 　　Seketika, sepucuk surat terjatuh dari dalam jubah Pangeran Qi saat tarik-menarik. 　　Suasana langsung membeku. 　　Kaisar Jingming yang berdiri di podium bereaksi paling cepat: "Serahkan ke sini!" 　　Pangeran Qi baru seperti terbangun dari mimpi, berusaha merebut surat itu. 　　Pan Hai menggenggam pergelangan tangan Pangeran Qi dengan satu tangan, sambil mengambil surat dengan tangan yang lain dan menyerahkannya dengan gesit kepada Kaisar Jingming. 　　Begitu melihat huruf-huruf kecil yang anggun di kertas surat, kelopak mata Kaisar Jingming berkedip-kedip. Setelah membaca isinya, wajahnya berubah gelap seperti awan badai yang sangat menyeramkan. 　　"Inikah tujuanmu memasuki istana untuk menemui Janda Permaisuri?" Kaisar Jingming mengangkat surat itu dengan tangan yang gemetar. 　　Pangeran Qi sama sekali tak bersuara lagi, tergeletak di lantai yang terbuat dari ubin emas sambil bergetar seperti ayakan. 　　Kaisar Jingming menghampiri dan mulai menendang, sambil melemparkan tumpukan kertas surat tebal itu ke wajah Pangeran Qi. 　　"Seperti ibu begitu pula anaknya. Binatang tak bermoral sepertimu! Seharusnya Aku sudah lama mengusirmu untuk menjaga makam kekaisaran!" 　　Pangeran Qi menghindari tendangan Kaisar Jingming. Mendengar tiga kata 'menjaga makam kekaisaran', matanya tiba-tiba melotot dan hilang akal berusaha merebut surat dari tangan kaisar. 　　Pan Hai kaget, menarik Kaisar Jingming dan melindunginya di belakang, lalu menendang Pangeran Qi hingga terpelanting jauh. 　　Kepala Pangeran Qi terbentur ubin emas yang keras. Dengan teriakannya: "Aku tak mau menjaga makam! Aku punya surat, surat peninggalan Ibu Selirku!" 　　Pan Hai menutup mulutnya dengan tangan. 　　Gawat, jangan-jangan dia menendangnya sampai sakit? 　　"Paduka, Pangeran Qi ini——" 　　Saat itu Kaisar Jingming juga menyadari ketidakpatutan, memerintahkan dengan dingin: "Tutup mulut Pangeran Qi dan kembalikan dia ke Kediaman Pangeran Qi untuk diawasi, jangan biarkan dia bertemu orang asing lagi!" 　　Awalnya dia bermaksud menutup sebelah mata, membiarkan anak ini menjadi pangeran tak berkuasa seumur hidupnya. Namun setelah melihat surat ini, dia tahu pemikiran itu terlalu menggelikan. 　　Dia ingin mengasihani binatang ini, tapi pernahkah binatang ini mengerti rasa terima kasih? 　　Sebagai Kaisar Emeritus, tangannya tak ingin lagi dikotori darah anak kandungnya sendiri. Biarkan Lao Si dikurung seumur hidup seperti Janda Permaisuri. 　　Mulai sekarang takkan bertemu hidup-mati, di kehidupan berikutnya tak lagi menjadi ayah dan anak. 　　Pangeran Qi diam-diam dikembalikan ke kediamannya. Tak lama kemudian pelayan istana melapor: "Pangeran Qi sudah gila." 　　Upacara penobatan kaisar baru berlangsung sangat meriah, seluruh ibu kota bergemuruh sorak-sorai. Tapi Istana Pangeran Qi yang megah sunyi senyap bagai tak berpenghuni. 　　Di sudut ruangan, Pangeran Qi memeluk erat tumpukan kitab suci salinannya. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, mulutnya terus bergumam: "Suratku... surat yang ditinggalkan ibuku... dengan surat ini aku harus jadi Putra Mahkota..." 　　Di luar pintu, pelayan menutup telinga sambil menatap langit. 　　Perkataan seperti ini tak berani dia dengar. 　　Ah, sampai kapan hari-hari seperti ini akan berakhir? 　　Seiring berjalannya waktu, kabar kegilaan Pangeran Qi perlahan menyebar. Suatu hari bahkan sampai ke telinga Permaisuri Qi yang sedang bertapa di kuil keluarga. 　　Permaisuri Qi memarahi karma beberapa kali, menangis sejadi-jadinya, sejak itu sembahyangnya semakin khusyuk. 　　Hidup di dunia ini, jangan berbuat hal jahat, kalau tidak karma pasti datang cepat atau lambat. 　　Begitu dirinya, apalagi pria brengsek yang tak berperasaan itu. 　　Ini sudah cukup baik. 　　Sebelumnya ada pembaca yang menunjuk masalah "ubin emas" seharusnya "ubin ibu kota". Di sini jangan dikoreksi lagi. Ubin ibu kota hanya salah satu sebutan, ubin emas juga disebut ubin tungku kekaisaran, memang sudah ada istilah ini. Sampai jumpa besok. 834. BAB 831 Epilog: Kebahagiaan Bersama 　　BAB 831 Epilog: Kebahagiaan Bersama 　　Sebelum pernikahan besar, Zhen Heng kembali ke hutan tempat pertama kali bertemu Jiang Si. 　　Musim gugur yang dalam, hutan hijau berubah menjadi keemasan dan kemerahan pucat, pemandangan yang memukau. 　　Zhen Heng menginjak daun-daun tebal yang bertumpuk, melangkah perlahan menuju pohon itu. 　　Di sinilah dia bertemu gadis itu. 　　Hari itu tepat hari titik balik matahari musim panas, dia ingat jelas. Bukan karena hari itu spesial, tapi karena di hari itulah dia bertemu orang yang spesial. 　　Dulu dia mengira gadis yang melompat dari dahan pohon itu adalah siluman hutan, membuat semua cerita siluman yang pernah dibacanya tiba-tiba menjadi hidup, sampai-sampai dia gelisah tak bisa tidur, penuh harap. 　　Belakangan baru tahu dia adalah Nona Keempat Dongping Bo Residence, ayahnya memperlakukannya seperti keponakan. 　　Dia mengira ini takdir pemberian langit. 　　Pertemuan mereka melampaui batas duniawi, namun terikat pula oleh urusan duniawi. 　　Namun kemudian dia bertunangan dengan Pangeran Ketujuh, menjadi Permaisuri, lalu Permaisuri Putra Mahkota, hingga kini menjadi Permaisuri. 　　Sebenarnya dia sudah lama melepaskan perasaannya padanya, yang tak bisa dilupakan adalah sensasi jatuh cinta pertama dalam hidupnya. 　　Tapi sekarang dia akan menikah, bahkan perasaan seperti ini pun harus ditinggalkan. 　　Pada suatu hari, Zhen Heng menuangkan anggur ke botol di antara pepohonan, lalu melemparkan botol kosong itu ke jurang. 　　Botol timah itu mengapung dan tenggelam dalam air, lalu lenyap dengan cepat. 　　Hari pernikahan cerah berangin, banyak tamu yang hadir. 　　Tak terhitung orang yang memberi selamat kepada pengantin pria. 　　Zhen Heng mendengarkan semua ini dengan hati yang tenang. 　　Sejak kecil dia dikenal jenius, terbiasa dengan pujian. Setelah meraih tiga gelar sekaligus, hidupnya terus dipuji dan diperhatikan orang. 　　Menikahi putri kerajaan mungkin terlihat megah bagi orang lain, tapi baginya sama saja dengan menikahi putri bangsawan biasa. 　　Usai upacara di kamar pengantin, Zhen Heng membuka kain penutup kepala pengantin atas desakan perias. 　　Wajah secantik bulan purnama muncul di hadapannya. 　　Putri Fuqing mengangkat pandangan, memberanikan diri menatap Zhen Heng. 　　Dia masih agak gugup. 　　Kegugupan ini bukan karena menikah, bahkan bukan karena meninggalkan istana yang familiar, melainkan karena kain penutup kepala itu membuatnya kembali tenggelam dalam kegelapan saat sadar. 　　Dia takut akan kegelapan. 　　Ketakutan yang melekat di tulang ini mungkin takkan pernah hilang seumur hidup. 　　"Karena alasan ini, Putri Fuqing tiba-tiba merasa tertarik pada pria yang mengangkat kain penutup kepalanya." 　　"Dia menatapnya, secara refleks tersenyum manis." 　　"Zhen Heng tertegun sejenak." 　　"Dia tidak terkejut bahwa putri mahkota satu-satunya di Dinasti Zhou ini cantik, tapi dalam bayangannya mungkin kecantikannya yang anggun dan sombong, menyembunyikan kesombongan saat mengamati suaminya; atau mungkin keanggunan dan kelembutan yang gugup dan malu-malu di malam pernikahan." 　　"Tapi dia tidak menyangka akan melihat wajah berseri dengan senyuman tulus. Terutama sepasang mata yang bersinar jernih seperti permata, sama sekali tak ternoda." 　　"Zhen Heng berpikir, wanita dengan mata seperti ini pasti seorang nona yang baik." 　　"Dia tidak pernah berharap memiliki chemistry dengan istri, tetapi memiliki wanita berhati bersih sebagai pendamping hidup, setidaknya hari-harinya tidak akan buruk." 　　"Tanpa sadar Zhen Heng membalas senyumannya." 　　"Setelah serangkaian tata krama rumit, Zhen Heng meninggalkan kamar pengantin untuk bersulang dengan tamu." 　　"Berstatus sebagai menantu kaisar, tamu-tamu tidak berani memaksanya minum berlebihan. Zhen Heng kembali ke kamar pengantin dalam keadaan agak mabuk." 　　"Di atas ranjang pengantin yang tertutupi selimut sutra merah, Putri Fuqing sedang menunggu dengan tenang." 　　"Dia telah melepas perhiasan dan mengikat rambutnya dalam sanggul sederhana, baju pengantin beratnya telah diganti dengan gaun merah longgar." 　　"Jarak yang sebelumnya terasa di hati Zhen Heng tiba-tiba menyusut, membuatnya tanpa sadar mempercepat langkah." 　　""Kau sudah kembali, mau minum teh untuk menyadarkan diri?" Putri Fuqing mengambil inisiatif bertanya." 　　“Suaranya sebersih matanya, tanpa banyak rasa malu khas pengantin wanita.” 　　Zhen Heng tersenyum kecut. 　　Ia tak menaruh perasaan romantis pada putri yang belum pernah dijumpainya, sama seperti sang putri terhadap pengantin pria asing ini. 　　Kesadaran ini justru membuat seluruh tubuhnya terasa ringan. 　　Memulai dari pertemanan mungkin awal yang baik. 　　Zhen Heng tersenyum: “Aku tidak banyak minum, tak perlu obat mabuk. Apakah Putri lapar?” 　　Laparnya pengantin wanita memang sudah menjadi tradisi. 　　Putri Fuqing menggeleng: “Tidak, aku sudah makan.” 　　Sudut bibir Zhen Heng berkedut halus. 　　Putri ini jujur sekali, mengaku telah menyelundupkan makanan. 　　“Kalau begitu mari beristirahat, Putri pasti lelah seharian.” Ucapnya tanpa maksud tersembunyi, baru kemudian tersadar akan makna ganda. 　　Baru saja berniat memulai dari pertemanan, jangan-jangan sang Putri mengira dirinya pria hidung belang— 　　Pikiran ini membuat telinganya memerah karena canggung. 　　Putri Fuqing seolah tak menyadari kecemasannya, bertanya polos: “Apakah aku harus membantumu berganti pakaian?” 　　Konon Istri harus melayani suami berganti baju, tapi ia belum pernah melakukannya... 　　Wajahnya yang semula tenang tiba-tiba memerah membayangkan kesulitan membuka kancing pakaian pria. 　　Memalukan sekali. 　　Melihat pipi Putri yang merah, Zhen Heng semakin canggung: “Jangan repot-repot, aku bisa mandiri.” 　　"Sepertinya" khawatir gerakannya lambat akan membuat Putri Fuqing salah paham menunggu bantuannya, Zhen Heng tak sengaja mempercepat gerakan. Dalam kepanikan, tali pinggangnya tak kunjung terbuka. 　　Melihat ini, Putri Fuqing terkikik ringan. Hatinya tiba-tiba terasa tenang. 　　Jika semua orang seperti ini, "sepertinya" tak ada yang memalukan lagi. 　　Berbaring berdampingan, kelambu ranjang merah menyala diturunkan. Di luar kelambu, lilin naga-phoenix sesekali berkerlap dengan bunga api. Di dalam kelambu, terdengar napas Zhen Heng yang tak teratur. 　　Bagaimanapun dia pria normal. Berada di balik kelambu dengan wanita muda yang cantik, apalagi wanita ini adalah istrinya, bagaimana mungkin hatinya tak bergolak sedikitpun. 　　"Putri——" Zhen Heng bersuara lembut. 　　Awalnya ingin mengatakan akan tidur di dipan rendah luar, tapi tak mendapat respons. 　　Zhen Heng menoleh sedikit. Baru sadar Putri Fuqing sudah tertidur. 　　Zhen Heng tertegun, lalu tersenyum tak sengaja. Hatinya pelan-pelan menjadi tenang. 　　Keesokan harinya, mereka masuk istana untuk memberi salut pada Kaisar dan Permaisuri serta Kaisar Emeritus dan Janda Permaisuri. 　　Putri Fuqing khawatir Zhen Heng akan gugup, menghibur: "Ayah Kaisar, Ibu, juga Kakak Kaisar dan Kakak Permaisuriku semuanya orang baik." 　　Zhen Heng mengangguk sambil tersenyum. Di Istana Ningshou, dia bertemu dengan Kaisar Jingming yang wajahnya kaku dan Yu Jin. 　　Kaisar Emeritus Jingming yang telah turun tahta meminum teh yang disajikan pasangan baru ini, lalu memperingatkan dengan wajah masam: "Dulu sibuk urusan negara sampai tak sempat memperhatikan Fuqing. Sekarang berbeda. Jika kau berani menyakiti Fuqing, hmm..." 　　Kaisar Jingming teringat pada Mulia Putri Rongyang. 　　Rongyang memang banyak kesalahan, tapi jika setelah menikah Cui Xu sedikit saja bersikap baik padanya, mungkin takkan ada kesalahan berulang kemudian. 　　Suami bukanlah makhluk baik, bagaimana jika dalam hati lelaki ini masih ada orang lain yang menyia-nyiakan Fuqing? 　　Dengan pikiran demikian, Kaisar Jingming memberikan kewaspadaan pada Yu Jin. 　　Yu Jin menyambung: "Ayah Kaisar tak perlu khawatir, saya yakin ipar pasti akan baik pada Putri Ketigabelas. Lelaki yang tak menyayangi istri, bukankah itu cacing tolol?" 　　Tak baik pada Fuqing berarti masih mengingat A Si, ini bahkan tak perlu dugaan. 　　Berani mengingat A Si, hehe! 　　Menanggung aura pembunuhan dari dua lelaki, Zhen Heng meninggalkan istana dengan perasaan seperti lolos dari kematian. 　　Putri Fuqing sangat malu: "Ayah Kaisar dan Kakak Kaisar biasanya tidak begitu galak..." 　　Zhen Heng mengernyitkan sudut bibir. 　　Galak atau tidak, tergantung pada siapa. 　　Putri Fuqing berpikir serius lalu usul: "Bagaimana kalau kau lebih menyayangiku mulai sekarang?" 　　Seolah takut ditolak, dia buru-buru menambah: "Aku juga akan lebih menyayangimu." 　　Menantu kaisar menyayanginya sedikit, dia menyayangi menantu kaisar sedikit, begitu tak ada yang dirugikan, menantu kaisar takkan ditakut-takuti ayah dan kakaknya. 　　Karena masih asing, dia malu menjelaskan logika ini pada Zhen Heng. 　　Tapi Zhen Heng yang cerdik seketika paham maksud Putri Fuqing. 　　Memandangi mata jernih bagai air itu, Zhen Heng tak bisa menahan senyum. 　　Ya, yang paling berharga dalam hubungan antar manusia adalah saling memperlakukan dengan baik. Jika dia lebih baik padanya, dia pun akan lebih baik padanya. Kebaikan kecil yang terkumpul ini, dia percaya suatu hari akan menjadi bentuk cinta yang saling mencintai. 　　Takkan ada yang dirugikan. 　　Kereta kuda tak tahu menginjak apa hingga sedikit berguncang, tubuh lembut itu terjatuh. 　　Zhen Heng dengan lembut memegang bahu Putri Fuqing, berkata serius: "Terima kasih atas peringatannya, Putri. Mulai sekarang mari kita saling lebih baik." 　　Sampai jumpa besok. Rekomendasikan "Jin Zhang Chun Man" karya Yuan Qian: Ketika tabib palsu yang mengandalkan tebakan dalam mengobati pasien bertemu dengan pangeran yang menyembunyikan penyakit tak terkatakan - Tuan, untuk mengobati penyakitmu ini tak perlu melepas celana! 835.BAB 832 EPILOG: KEHIDUPAN YANG TERLAMBAT 　　BAB 832 EPILOG: KEHIDUPAN YANG TERLAMBAT 　　Setelah Xie Qingyao menikah, yang paling dikhawatirkannya adalah kakak laki-lakinya. 　　Masalah pernikahan sang kakak benar-benar menjadi masalah besar. 　　Atau lebih tepatnya, sang kakak terlihat sama sekali tidak tertarik untuk menikah dan memiliki keturunan. 　　Xie Qingyao tak mau menyerah, memanfaatkan kemudahan pulang ke rumah orangtua karena tinggal di ibu kota, sekali lagi mencoba membahas topik ini dengan Xie Yinlou. 　　"Kakak, saat aku mengunjungi Kediaman Menteri Zhao kemarin, aku merasa Zhao Shiniang cukup baik--" 　　Xie Yinlou melirik Xie Qingyao dengan ekspresi serius: "Adikku belakangan ini tidak sibuk ya?" 　　Xie Qingyao tersentak, marah: "Kakak, jangan selalu mengalihkan topik pembicaraan!" 　　Xie Yinlou tetap tenang, bertanya santai: "Kira-kira kapan adik akan memberiku seorang keponakan?" 　　“Xie Qingyao wajah pucat, sambil memelintir saputangan mengomel: 'Kakak, saya baru menikah setengah tahun!'” 　　Ini apa maksudnya? Dia mendesak kakaknya menikah, malah kakaknya balik mendesaknya punya anak? 　　“Adik baru saja menikah, sebaiknya fokus mengurus urusan di rumah keluarga. Ke depannya tak perlu terus-menerus mengkhawatirkan kakak.” 　　“Kakak!” Xie Qingyao menggigit bibir marah, mengeluarkan jurus pamungkas dengan mata memerah dan air mata berderai, “Katanya anak perempuan yang sudah menikah seperti air yang ditumpahkan, kalau adik yang menikah mungkin jadi air cucian kaki. Kakak, kau mulai jijik dengan saya ya?” 　　Wajah serius Xie Yinlou langsung berkerut, kepalanya pusing tujuh keliling: “Apa maksudmu? Jangan nangis lagi——” 　　“Lalu kapan Kakak benar-benar akan menikah?” 　　Xie Yinlou terdiam sejenak, lalu berkata: “Untuk sementara kakak belum ada rencana menikah.” 　　Xie Qingyao panik, menarik lengan baju Xie Yinlou: “Kakak, apa sebenarnya yang kau pikirkan? Sekarang saya bukan gadis kecil lagi, tak bisakah kakak curhat pada saya? Ayah dan ibu sudah tiada, di dunia ini hanya ada kami saudara kandung yang saling mengandalkan...” 　　Andai orangtua masih hidup, mana mungkin seorang adik perempuan repot mengurus urusan perjodohan kakaknya. 　　Melihat Xie Yinlou tetap diam, Xie Qingyao menggigit bibir: “Kakak, apa kau masih memikirkan A Si?” 　　Xie Yinlou wajahnya langsung berubah, berkata dengan serius: "Nona Keempat Jiang sudah menjadi Permaisuri, perkataan seperti ini jangan diulangi lagi, kalau sampai tersebar, kita semua tidak akan sanggup menanggungnya." 　　"Kan tidak bilang ke orang lain." 　　Xie Yinlou melihat Xie Qingyao tidak bermaksud mendengarkan, menghela napas: "Aku tidak punya perasaan romantis terhadap Nona Keempat Jiang, di hatiku dia sama sepertimu." 　　"Benarkah?" 　　Xie Yinlou tersenyum kecut: "Kakak tidak perlu membohongimu." 　　"Lalu mengapa Kakak tidak pernah punya keinginan untuk menikah dan punya anak?" Xie Qingyao teringat sesuatu, menarik napas dalam-dalam, "Kakak, jangan-jangan kau itu—" 　　"Apa?" Xie Yinlou bingung. 　　Pandangan Xie Qingyao jatuh pada lengan baju hijau bambu yang masih dia pegang, buru-buru melepaskannya. 　　Jangan-jangan Kakak punya kecenderungan homoseksual? 　　Xie Yinlou mengerutkan kening, menatap lengan bajunya yang bergoyang tiba-tiba mengerti maksud Xie Qingyao. 　　"Adik, sudah larut, cepatlah pulang ke rumah keluarga!" 　　Xie Qingyao menutup mulutnya: "Hancur, tebakanku benar, Kakak marah karena tersinggung!" 　　Urat pelipus Xie Yinlou berdenyut-denyut, tapi tidak bisa memarahi atau memukul adiknya, hanya bisa menarik napas dalam-dalam: "Kakak normal!" 　　"Kalau begitu beri aku alasan, kalau tidak aku tidak akan pergi. Kau sudah lebih dari dua puluh tahun, sampai sekarang belum juga bertunangan, kalau orang tua masih hidup di alam baka apakah mereka bisa tenang?" 　　Xie Yinlou diam-diam mendengarkan, wajahnya pucat bagai kertas, menunjukkan kerapuhan yang belum pernah Xie Qingyao lihat sebelumnya. 　　Xie Qingyao tidak bisa menahan penyesalan karena bicara terlalu keras, bergumam pelan: "Kalau begitu saya pulang ke rumah keluarga, lain hari akan datang menjenguk Kakak." 　　Setelah Xie Qingyao pergi, Xie Yinlou diam-diam memasuki ruang belajar. 　　Ruang belajar itu sangat luas, jendela bersih dan terang benderang, sinar matahari musim semi menyiram masuk, cerah tak terbatas. 　　Tapi suasana hati Xie Yinlou sangat berat, seolah lorong sempit yang terus-menerus diguyur hujan gerimis, tak pernah ada hari cerah. 　　Demi kebaktian, seharusnya dia segera menikah dan memiliki keturunan agar Keluarga Bo memiliki penerus. 　　Tapi dari lubuk hati, dia tidak menginginkannya. 　　Dia tidak mau menikahi orang lain sementara hatinya masih terpaut pada seseorang. 　　Dia tahu pikiran ini sangat konyol, merupakan tindakan tidak berbakti, tapi dia tidak bisa berkompromi dalam hal ini. 　　Dia sudah terbiasa menjadi pendiam, jika yang dinikahi bukan orang itu, khawatir bahkan tidak mau berbicara sama sekali. 　　Akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain. 　　Daripada begitu, biarlah dia menua sambil memikul tatapan aneh dunia, setelah melewati usia tiga puluh mengadopsi anak dari suku, setidaknya bisa memberi pertanggungjawaban pada orangtua di alam baka. 　　Xie Yinlou membuka panel rahasia, mengeluarkan kotak kayu yang indah. 　　Kotak itu terbuat dari kayu cendana kualitas terbaik dengan ukiran halus, saat dibuka terlihat lapisan beludru halus yang di atasnya hanya tersimpan sehelai saputangan terlipat rapi. 　　Saputangan itu awalnya berwarna putih bersih, mungkin karena sudah bertahun-tahun, warnanya tampak menguning. 　　Xie Yinlou mengangkat sutra itu dengan gerakan lembut, mengelusnya perlahan lalu menyimpannya kembali dengan penuh kehati-hatian, pikirannya melayang kembali ke masa lalu yang jauh. 　　Saat itu dia sama nakalnya dengan Jiang Er, senang mengganggu orang, tapi suatu kali malah jadi yang dijahili. 　　Merasa malu tak pulang ke rumah, pemilik saputangan itu membantunya membersihkan noda dan bekas darah, membuatnya tak terlihat dekil. 　　Orang itu adalah kakak tertua Jiang Er, Jiang Yi. 　　Sejak saat itu dia tak pernah melupakan cara lembutnya membersihkan lukanya. 　　Adegan itu terus terngiang di benaknya, ketika mulai paham cinta, baru sadar orang itu sudah lama bersemayam di hatinya. 　　Tapi saat itu dia sudah bertunangan dan segera menikah. 　　Baru tersadar perasaan itu bernama jatuh cinta, tapi sudah terlambat. 　　Cinta muda yang membara, dia sembunyikan di balik sikap dingin yang makin menjadi, menahan gejolak hati yang tak terbendung. 　　Melihatnya hidup bahagia, saat tiba waktunya dia tak menolak ketika orangtuanya merundingkan pernikahan. 　　Restu orangtua dan perantara pernikahan, bukankah semua orang seperti ini? Bertahanlah, hidup ini akan berlalu, setidaknya sang kekasih hidup bahagia. 　　Tapi tiba-tiba musibah menimpanya. 　　Kehidupannya tak sebaik yang dikira, bahkan bisa dibilang seperti di sarang naga gua harimau, sangat buruk. 　　Dia memutus hubungan secara moral dan kembali ke Kediaman Dongping Bo. 　　Kekasih hatinya kini hanya terpisah satu rumah, hidup mengandalkan belas kasihan orang. 　　Tak mungkin lagi dia berpura-pura biasa saja dan menikahi orang lain. 　　Dibandingkan dengan Kediaman Yongchang Bo yang tetap tenang, pintu Kediaman Dongping Bo makin ramai dikunjungi. 　　Keluarga Jiang kini menjadi keluarga permaisuri, tak seperti dulu lagi. 　　“Untuk setiap perubahan di Kediaman Dongping Bo, Xie Yinlou tidak bisa menahan diri untuk memperhatikannya. 　　Perlahan-lahan dia tahu banyak mak comblang yang mendatangi rumah itu adalah untuk melamar Jiang Yi. 　　Jiang Yi memiliki paras yang elok. Meski beberapa keluarga bangsawan keberatan dengan statusnya yang pernah menikah, namun sebagai kakak kandung Permaisuri, lebih banyak keluarga yang tidak mempedulikannya. 　　Apa masalahnya pernah menikah? Permaisuri dari dinasti sebelumnya bahkan punya beberapa anak dari mantan suami, tapi tetap bisa menikah lagi menjadi permaisuri. 　　Hati Xie Yinlou langsung kalut. 　　Hari itu, saat Jiang Yi pulang dari mengunjungi Jiang Si di istana, dia dihadang Xie Yinlou. 　　Di jalan batu hijau, di depan pohon willow, kereta kuda berkelambu hijau kecil berhenti di pinggir jalan. Jiang Yi mengangkat tirai kereta sedikit: "Adik Xie ada keperluan apa?" 　　Wajah Xie Yinlou serius, menundukkan pandangan: "Ada hal yang ingin kutanyakan. Bisakah kita bicara di tempat yang lebih privat?" 　　Jiang Yi ragu sebentar, lalu turun dari kereta. 　　Mereka berjalan ke dekat pohon willow, menjauh dari dayang-dayang. 　　Jiang Yi tersenyum lembut: "Adik Xie ingin menanyakan apa?" 　　Xie Yinlou diam sejenak, tahu waktunya terbatas, lalu memberanikan diri: "Apakah kau... punya rencana untuk menikah lagi?" 　　Senyum Jiang Yi mengeras. Meski terkejut dengan pertanyaan itu, dia menggeleng: "Tidak." 　　Xie Yinlou kembali terdiam. 　　Jiang Yi mulai merasa tidak nyaman, menekuk lutut sedikit: "Jika tidak ada hal lain, saya akan kembali dulu." 　　"Bagaimana jika orangnya... adalah aku?" 　　Jiang Yi terkejut, mundur setengah langkah karena kaget. 　　Xie Yinlou menatap Jiang Yi dengan sungguh-sungguh: "Jiang Yi, jangan panggil aku adik keluarga Xie. Kau bisa memanggilku Yinlou. Aku selalu mencintaimu. Jika kau mau menikahiku, aku akan minta perantara melamar ke Kediaman Bo..." 　　"Jangan bergurau, Adik Xie. Kau punya jodoh yang layak. Aku hanya ingin membesarkan putriku, tak ada niat menikah lagi. Percakapan hari ini... akan kulagukan." Setelah berkata demikian, Jiang Yi kabur tergesa-gesa. 　　Xie Yinlou memandang kereta kuda yang melaju ke Dongping Bo Residence, tersenyum getir. 　　Hasil seperti ini sudah dia duga, hanya saja tidak mau menerima kenyataan. 　　Kedepannya dia tak menikah, aku tak kawin - ini juga bentuk kebersamaan. Dibanding pasangan yang terpisah maut, aku cukup bersyukur. 　　Tapi jika ada kehidupan lain, biarkan aku lahir beberapa tahun lebih awal. Aku tak mau lagi menjadi Adik Xie. 　　Terima kasih untuk An_Nanxiu sebagai Ketua Aliansi Seperti Kembang, terima kasih untuk hadiah dan vote semua. Rekomendasikan "Qi Huan" karya Yun Ni: 　　Dia bisa menemani dari rakyat jelata sampai menjadi kaisar pendiri. Meski harus mati demi prinsip, itu cukup untuk dipuji generasi penerus. 　　Tapi bagaimana jika dia tak mau? Hanya ingin membawa kakak pembuat masalah, ibu polos, ayah tukang omong - hidup sesukanya sebagai pembuat onar sejati. 　　Eh, kamu yang di sana, datang mau cari apa? 836.BAB 833 EPILOG: Air Keranjang Bambu 　　BAB 833 EPILOG: Air Keranjang Bambu 　　"Naik turun drastis" - begitulah perasaan Tuan Jiang Kedua belakangan ini. 　　Sejak Pangeran Yan menjadi Putra Mahkota, posisinya di antara rekan sejawat semakin terhormat. Apalagi setelah putra sulungnya meraih prestasi gemilang dalam Ujian Musim Gugur, kejayaannya semakin bersinar. 　　Ketika kabar kemenangan dari Ujian Musim Semi tiba, suasana di Dongping Bo Residence riuh gembira. Nyonya Feng menghamburkan koin keberuntungan, sementara Tuan Jiang Kedua berjalan seperti menginjak awan. 　　Namun di puncak kejayaan, malapetaka datang. Jiang Cang terjatuh dari kuda saat pulang dari Pesta Hutan Qiong, hingga kakinya patah. 　　Sarjana Jinshi baru yang masih hangat itu kini menjadi cacat, mengubur selamanya impian karir pemerintahan. 　　Perasaan Tuan Jiang Kedua terjun bebas dari langit ke dasar bumi. 　　Keberhasilan orang lain mana bisa menandingi masa depan gemilang anak kandung sendiri? 　　Sang putra sulung yang sudah di depan mata suksesnya tiba-tiba mengalami musibah ini - lebih menyakitkan daripada mencabik jantungnya. 　　Yang lebih menderita dari Tuan Jiang Kedua adalah Jiang Cang sendiri. 　　Tiga tahun lalu penyakitnya sudah pernah menggagalkan ujian kekaisaran, membuatnya depresi lama. Baru kali ini bangkit kembali, namun di puncak pencapaian pertama hidupnya, ia bagaikan elang perkasa yang patah sayap - masa depan hancur berantakan. 　　Bisa dibayangkan pukulan berat yang diterima Jiang Cang. Sejak hari kakinya patah, ia tak pernah keluar kamar. 　　"Tuan! Buruan! Tuan Pertama mabuk dan mengamuk lagi..." Pelayan dari pekarangan Jiang Cang bergegas melapor. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua muram saat bergegas ke sana. Belum masuk rumah sudah tercium bau alkohol menyengat. 　　Dari dalam terdengar keributan yang tak karuan. 　　“Lepaskan aku, lepaskan aku!” 　　“Tuan Pertama, Yang Mulia tidak boleh membenturkan kepala ke tembok, bagaimana jika terluka?” 　　“Apa bedanya hantu seperti aku mati atau hidup? Lepaskan!” 　　Tuan Jiang Kedua berjalan masuk dengan langkah lebar, memandang kacau-balau di lantai lalu berkata dengan wajah muram: “Lepaskan dia!” 　　Dua dayang yang berusaha mati-matian menahan Jiang Cang menghela napas lega setelah mendengar perintah Tuan Kedua. 　　Benda tajam seperti gunting di dalam ruangan sudah lama disingkirkan, khawatir Tuan Pertama mabuk berat. Tapi siapa sangka dia malah membenturkan kepala ke tembok, sulit diantisipasi. 　　Jiang Cang menatap Tuan Jiang Kedua dengan ekspresi beku, tak bereaksi sama sekali. 　　Tuan Jiang Kedua bergegas mendekat, mengangkat tangan dan menampar Jiang Cang. 　　Suara tamparan nyaring itu membuat para pelayan di ruangan tertegun. 　　Sorot mata Jiang Cang yang berkabut mulai jernih, menatap lurus ke arah Tuan Jiang Kedua. 　　Wajah Tuan Jiang Kedua memerah: “Cukup! Sampai kapan kau mau terus terpuruk?!” 　　“Terpuruk?” Jiang Cang menggerakkan bola matanya, menunjuk diri sendiri sambil tersenyum getir. “Ayah, dalam keadaan seperti ini apa lagi yang bisa kulakukan selain terpuruk? Aku sudah jadi sampah!” 　　Jiang Cang menjerit histeris: “Aku manusia tak berguna! Bukankah pantas sampah seperti aku terpuruk? Masih mungkinkah aku memulai lagi seperti tiga tahun lalu?” 　　"Tuan Jiang Kedua mendengar dengan perih hati, namun terpaksa mengeraskan hati membangunkan putranya: 'Kau mengambil jalan ujian kekaisaran karena memiliki bakat, sejujurnya anak bangsawan yang memilih jalan ini sangat langka. Kini jalan itu tertutup, apakah berarti hidupmu berakhir? Kaki yang sedikit lemah apa artinya? Pamanku dulu menyelamatkan An Guogong sampai satu tangannya cacat, bukankah dia tetap menjadi Dongping Bo?'" 　　Jiang Cang tersenyum getir: "Aku mana bisa disamakan dengan paman? Paman punya gelar bangsawan yang bisa diwariskan, aku punya apa? Jika tak bisa jadi pejabat lewat ujian kekaisaran, apakah harus jadi pegawai bayangan tak berguna seumur hidup?" 　　Anak-anak bangsawan bagai bulu kerbau. Hanya putra sulung yang bisa mewarisi gelar dan kemewahan, lainnya hanya dapat pekerjaan biasa kecuali dapat keberuntungan besar. Hidup mereka biasanya biasa saja. 　　Mana bisa dibandingkan dengan jadi pejabat resmi lewat ujian kekaisaran, ditambah dukungan keluarga, perlahan merangkak ke puncak kekuasaan. 　　Tuan Jiang Kedua mengusir para pelayan, matanya berkilat: "Cang'er, siapa bilang kau tak punya gelar untuk diwarisi?" 　　Jiang Cang tertegun: "Ayah bicara apa?" 　　"Bodoh! Kini keluarga Jiang kita adalah keluarga permaisuri, sudah berbeda dari dulu. Meski jalan ujian kekaisaran tertutup, masih banyak peluang berkuasa." 　　"Adik Keempat tidak dekat dengan keluarga kedua kita." Jiang Cang bergumam. 　　Tuan Jiang Kedua mencemooh: "Dekat atau tidak, dia tetap putri Jiang. Orang hanya tahu putri Jiang jadi permaisuri. Ke depannya, apa pun yang kita mau akan ada yang antre memberi orang dan uang." 　　Jiang Cang diam seribu bahasa. 　　“Jauh-jauh tidak usah dibicarakan, Adik Keempatmu menjadi permaisuri, menurut kebiasaan seharusnya keluarga permaisuri diberi gelar kehormatan. Apakah Pamanmu masih mau memonopoli dua gelar bangsawan sendirian?” Tuan Jiang Kedua melanjutkan. 　　“Ayah——” Jiang Cang menggigit bibirnya. 　　Tuan Jiang Kedua menepuk bahunya: “Bangkitlah semangatmu. Kau adalah putra sulung Keluarga Kedua, masih ada adik-adik di bawahmu, kau tidak boleh menyerah!” 　　Kilauan samar terlihat di mata Jiang Cang, perlahan cahaya mulai muncul di dasar matanya. 　　Jika bisa mewarisi gelar, masa depan sepertinya tidak lagi begitu suram... 　　Tuan Jiang Kedua meninggalkan tempat itu dan langsung menuju Cixintang. 　　Jiang Cang adalah cucu kesayangan Nyonya Feng. Insiden ini ditambah desas-desus tentang pencabutan gelar Permaisuri Putra Mahkota yang semakin menjadi-jadi, membuat Nyonya Feng terpuruk dan terbaring sakit selama berhari-hari. Untungnya kabar baik tentang Kaisar Jingming yang menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota datang, sehingga kesehatannya pulih seperti semula. 　　Kegalauan karena cucu perempuan naik ke posisi permaisuri dan cucu tertua kehilangan masa depannya seolah tak lagi begitu penting. 　　Masih ada beberapa cucu laki-laki, jika yang satu ini gagal, masih ada yang lain. 　　Saat Tuan Jiang Kedua bertemu Nyonya Feng, ia mendapati sang ibu suri tampak berseri-seri, dadanya tiba-tiba terasa sesak. 　　“Ada keperluan apa?” Menghadapi putra keduanya, Nyonya Feng tetap bersikap ramah. 　　Di hatinya, Lao Er-lah yang benar-benar berbakat, sedangkan si sulung hanya kebetulan beruntung. 　　“Ibu, apakah di istana belum ada kabar tentang penganugerahan gelar untuk Kakak?” 　　Nyonya Feng melirik Tuan Jiang Kedua. 　　Tuan Jiang Kedua menghela napas: "Aku khawatir Cang'er akan benar-benar hancur jika terus seperti ini. Jika dia hanya menyiksa diri di dalam kamar, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi kalau sampai seperti putra bungsu An Guogong yang setiap hari berkeliaran di Sungai Jinshui, bukankah keluarga Bo kita akan menjadi bahan tertawaan orang?" 　　Nyonya Feng paham maksud Tuan Jiang Kedua. Setelah berpikir sejenak, dia berkata: "Aku akan mencari cara untuk mempercepat urusan ini. Jangan terlalu gelisah." 　　Setelah merenung panjang, Nyonya Feng memutuskan untuk mengirim Jiang Yi sebagai utusan. 　　Jiang Yi tidak enak menolak permintaan neneknya, terpaksa pergi ke istana. 　　Mendengar penjelasan tujuan kedatangan Jiang Yi, Jiang Si tak bisa menahan tawa: "Aku sudah mengingat urusan ini. Katakan pada nenek agar tidak perlu khawatir." 　　Setelah mendapatkan jawaban, Jiang Yi meninggalkan istana dengan kereta kuda berkelambu hijau. 　　Kereta melaju mulus menuju Kediaman Dongping Bo. Saat melewati suatu tempat, Jiang Yi tanpa sadar menyibak tirai kereta. 　　Di luar, dedaunan willow hijau bergoyang, tapi tak terlihat lagi sosok berbaju hijau bambu seperti hari itu. 　　Jiang Yi menurunkan tirai, tersenyum getir. 　　Setelah sidang kenegaraan, Yu Jin mendengar dari Jiang Si tentang kunjungan Jiang Yi ke istana. Dengan nada sinis dia berkata: "Kalau mereka sudah tak sabar seperti ini, baiklah aku akan memenuhi keinginan mereka." 　　Insiden jatuhnya Jiang Cang dari kuda sudah dia atur untuk A Si. Masih berharap bisa merebut gelar bangsawan darinya? Mimpi di siang bolong! 　　Keesokan harinya, sebuah dekrit kerajaan dikeluarkan: Karena Jiang Ancheng sudah menyandang gelar Dongping Bo, gelar Chengen Bo tidak diperlukan lagi. Dia dinaikkan jabatannya menjadi Dongping Hou. 　　“Tuan Jiang Kedua berlutut di tanah, senyum di sudut bibirnya belum sempat menghilang sudah membeku, tetap tak bergerak sampai petugas pengumuman titah pergi.” 　　Meski Nyonya Feng merasa kasihan pada garis keturunan putra kedua, hasil ini masih bisa diterima. Melihat Tuan Jiang Kedua seperti itu, dia segera mengingatkan: "Lao Er, kau sudah bisa bangun." 　　Tuan Jiang Kedua tetap tidak bereaksi. 　　"Bantu Tuan Kedua untuk bangun." 　　Saat pelayan baru menyentuh ujung jubah Tuan Jiang Kedua, tiba-tiba tubuhnya ambruk jatuh. 　　Wajah Nyonya Feng berubah pucat: "Lao Er, ada apa denganmu?" 　　Tuan Jiang Kedua mengalami stroke. 　　Kabar ini sampai ke telinga Kaisar baru yang sangat perhatian, memerintahkan Tuan Jiang Kedua untuk beristirahat total. 　　Sejak saat itu, sosok Tuan Jiang Kedua tak pernah lagi muncul di dunia birokrasi. 　　Namun kemudian di Sungai Jinshui muncul seorang playboy dengan jalan kaki sedikit pincang, sering mabuk berat. Konon dia adalah putra bangsawan, tapi kebenarannya tak ada yang tahu. 　　Sudah bangun jam enam pagi dan keluar rumah, kepala sakit sekali. Karena ini sudah epilog, jika kalian tidak keberatan dengan update tidak teratur bahkan kadang tidak ada update harian, akan saya tulis beberapa epilog lagi secara perlahan. Paling banyak tidak lebih dari lima. Jika tidak sabar, akan diselesaikan dalam dua-tiga epilog. 837.BAB 834 Epilog Musim Semi Indah 　　BAB 834 Epilog Musim Semi Indah 　　Masih belum keluar bulan pertama, udara ibu kota masih dingin. Apalagi kalau ke utara, pasti lebih dingin lagi. 　　Wajah Jiang Zhan bahkan lebih dingin. 　　Putri Bangsawan Qi Utara telah menjerumuskan Adik Keempat ke dalam pusaran rumor. Entah bagaimana keadaan adiknya sekarang. 　　Malangnya, di saat seperti ini dia justru harus mengawal si putri bangsawan menyebalkan ini ke Qi Utara. 　　Kereta kuda tiba-tiba berhenti, tirai tersibak memperlihatkan wajah cantik yang berkesan gagah. 　　"Jiang Zhan." Lu Chuchu memanggil. 　　Jiang Zhan mengerutkan alis, wajahnya kaku: "Panggil aku Jenderal Jiang, kita tidak begitu akrab." 　　Lu Chuchu memutar matanya, mengangkat alis: "Aku sakit perut, hentikan rombongan sebentar." 　　Jiang Zhan yang sedang menunggang kuda, tersenyum sinis: "Putri Bangsawan lebih baik tenang, jangan berpikir untuk kabur lagi!" 　　Lu Chuchu mengernyitkan alisnya yang melengkung, kesal: "Siapa yang mau kabur? Aku benar-benar sakit perut." 　　Brengsek ini sama sekali tidak manis seperti adik perempuannya! 　　Sementara itu, Jiang Zhan juga berpikir: Untung adik perempuannya lembut, perhatian, dan mengerti. Jika seperti Putri Bangsawan Qi Utara ini, sejak kecil pasti sudah dipukulinya berkali-kali. 　　"Tidak kabur? Bukankah kemarin lusa Putri mau kabur dengan alasan pipis?" 　　Wajah Lu Chuchu memerah, meludah: "Karena tidak berhasil tentu aku tidak akan mengulangi usaha sia-sia." 　　Dia membuat ekspresi kesakitan: "Cepat hentikan, benar-benar sakit perut." 　　Jiang Zhan memandangnya curiga, ragu sejenak lalu mengangguk: "Baik, kali ini Putri jangan main akal-akalan lagi." 　　Lu Chuchu melompat turun dari kereta, mengabaikan dua dayang Dinasti Zhou yang buru-buru mengikuti, melewati barisan pengawal menuju balik batu besar. 　　Jiang Zhan dengan santai mengikuti. 　　Lu Chuchu marah menoleh, menggeretakkan gigi: "Jenderal Jiang, kau ini tidak tahu malu!" 　　“Contoh teks A-1——”Contoh teks A-2. 　　“Kau——”Lu Chuchu benar-benar mulai panik. 　　Kali ini dia tidak berbohong, tapi ada pria dewasa berjaga di sini, bagaimana dia harus bertindak? 　　“Putri bangsawan cepatlah, cuaca sangat dingin. Meskipun Yang Mulia tahan, prajurit-prajurit akan menderita.” 　　Jiang Zhan memiliki kesan buruk terhadap Lu Chuchu. 　　Si gadis ini tidak hanya membuat adiknya sial, tapi juga kabur semau-maunya. Jika benar melarikan diri, bukankah akan membahayakan nyawa prajurit? 　　Lu Chuchu benar-benar tidak tahan lagi, melotot ke Jiang Zhan lalu menghentikan pertengkaran. 　　Setelah beberapa saat, Lu Chuchu merapikan pakaiannya dan keluar. Tanpa memandang Jiang Zhan, dia langsung berjalan menuju kereta kuda. 　　Tadinya tidak sempat mempermasalahkan si kepala batu ini, sekarang terlalu canggung ingin menghindari si kepala batu. 　　Jiang Zhan dengan wajah datar mengikuti dari belakang. 　　Tim berjalan beberapa saat, lalu berhenti. 　　“Ada apa?” Lu Chuchu mengeluarkan kepala dari kereta. 　　Jiang Zhan memegang tali kekang sambil memandang ke depan dengan serius: “Jembatannya putus.” 　　Di depan terhampar sungai lebar. Jembatan yang sebelumnya cukup luas ternyata patah. Ujung jembatan yang patah terbenam ke sungai, membeku bersama air yang sudah menjadi es. 　　Jiang Zhan berpikir sejenak, lalu memerintahkan untuk menyeberangi sungai melalui permukaan es. 　　“Untuk keamanan, mohon Yang Mulia turun dari kereta.” 　　Lu Chuchu turun dan berdiri di tepi sungai dengan wajah khawatir: “Kau yakin turun berarti aman?” 　　“Berdasarkan pengalaman, dia akan sial lagi.” 　　“Nenek akan menggendong Putri Bangsawan menyeberangi sungai. Nanti Putri berjalan di tengah tim, keamanan Putri pasti terjamin.” 　　Jiang Zhan merasa heran. 　　Bagaimana Putri Qi Utara yang selalu berkesan nekat dan semaunya ini tiba-tiba jadi berhati-hati? 　　Tak lama kemudian, rombongan panjang mulai menyeberangi sungai yang membeku. 　　Jiang Zhan berjalan di depan Lu Chuchu, terus mengawasi kondisi permukaan es. 　　Semakin dia amati, semakin tenang hatinya. 　　Lapisan esnya sangat tebal. 　　Lu Chuchu patuh digendong nenek, tapi tetap waspada. 　　Meski digendong, kalau terjadi sesuatu, belum tentu siapa yang lebih dulu jatuh. 　　Saat sedang berpikir, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan: “Es retak!” 　　Jiang Zhan langsung membentangkan tangan melindungi Lu Chuchu sambil berteriak: “Mundur!” 　　Refleks pertama Lu Chuchu adalah melompat turun dari punggung nenek. 　　Nenek itu tergelincir karena gugup, orang di punggungnya terlempar dan masuk tepat ke dalam lubang es. 　　Sejenak, Jiang Zhan terpaku. 　　Retakan es ada di depan, orang yang berjalan di depan selamat, tapi Putri Qi Utara yang dia lindungi malah jatuh? 　　Dari seluruh rombongan, hanya Putri Qi Utara yang jatuh sendirian? 　　Setelah tertekan sejenak, Jiang Zhan segera melepas baju kapas tebalnya dan terjun ke lubang es. 　　“Jenderal—” teriak prajurit yang bereaksi lebih lambat dengan panik. 　　Lu Chuchu yang berada di bawah lubang es langsung diserang hawa dingin di seluruh tubuhnya, hampir membeku seketika. Reaksi pertamanya adalah memarahi keras. 　　Dia sudah tahu pasti itu dia lagi! 　　Sebenarnya dia memiliki ilmu bela diri, bukan putri bangsawan lemah yang perlu digendong nenek menyeberangi sungai. Ini semata-mata pertimbangan akan nasibnya yang buruk sehingga tak berani bertindak semaunya. 　　Bagaimana hasilnya? 　　Lu Chuchu mengumpat dalam hati, namun berpengalaman menutup rapat mulutnya dan merilekskan tubuh. 　　Peluang bertahan hidup akan meningkat besar dengan cara ini. 　　Kemampuan renangnya cukup baik, sayangnya jatuh terlalu tiba-tiba ditambah air sungai yang menusuk tulang, membuatnya kehilangan kemampuan menyelamatkan diri seketika. 　　Sebuah tangan besar mencengkeram pergelangan tangan Lu Chuchu dan mengangkatnya ke atas. 　　Lu Chuchu menarik napas lega, sangat kooperatif merilekskan tubuhnya. 　　Jiang Zhan semakin terkejut. 　　Jarang melihat orang yang tetap tenang saat jatuh ke lubang es. 　　Ternyata putri bangsawan Qi Utara ini juga memiliki sisi yang patut dipuji. 　　Setelah mengangkat Lu Chuchu, Jiang Zhan sudah kaku kedinginan. Beruntung segera ditarik prajurit ke atas. 　　Tim sampai di seberang sungai. Karena insiden ini, perjalanan dihentikan sementara. Mereka mendirikan kemah di pinggir jalan dan menyalakan api unggun. 　　Setelah berganti pakaian dan minum teh jahe hangat, Lu Chuchu masih gemetaran di dekat api unggun. 　　Jiang Zhan yang juga sudah berganti pakaian menggosok-gosokkan tangannya tak jauh dari situ, bibirnya ungu kedinginan. 　　"Sialan, dingin sekali! Mulai sekarang, siapa lagi yang berani menugaskan aku untuk mengantar orang, pasti aku marah!" 　　Lu Chuchu melirik Jiang Zhan, berkata dengan tulus: "Terima kasih banyak, Jenderal Jiang, sudah menyelamatkanku." 　　Jiang Zhan agak malu: "Ini salahku yang tidak bisa melindungi Putri Bangsawan dengan baik." 　　Tapi ini benar-benar tidak bisa diantisipasi! 　　Tapi dia mengira Putri Bangsawan Qi Utara akan marah besar, menyalahkan prajurit yang menginjak es sampai retak tapi tidak jatuh, atau melampiaskan kemarahan pada dirinya sebagai pemimpin. Tak disangka Putri Qi Utara ini cukup lapang dada, sama sekali tidak menyebut-nyebut. 　　Kesan buruk Jiang Zhan terhadap Lu Chuchu mulai membaik. 　　"Sekarang kau sudah tahu?" Lu Chuchu berkata dengan nada sendu. 　　"Apa?" 　　Lu Chuchu tersenyum pahit: "Seumur hidupku, dua tahun di ibu kota Dinasti Zhou ini adalah masa paling damai yang kualami. Tapi malah ketahuan oleh kalian dan mau dipulangkan. Belum lagi menginjakkan kaki di wilayah Qi Utara, sialku sudah mulai lagi..." 　　Jiang Zhan tertegun mendengar kisah heroik Lu Chuchu sejak kecil sampai besar. 　　Ini... ini terlalu menyedihkan. 　　Sungguh langka gadis ini bisa bertahan sampai sekarang tanpa kepribadian yang terdistorsi. 　　"Ini alasan Putri Bangsawan ingin kabur di tengah jalan?" 　　Lu Chuchu menyeringai masam: "Kalau tidak? Jenderal Jiang benar-benar mengira aku ini gadis kecil yang tidak mengerti apa-apa, kabur dari rumah hanya untuk bersenang-senang?" 　　Jiang Zhan terkekeh kikuk, hati mulai berbelas kasih. Tiba-tiba ilham mendatang: "Putri di Qi Utara selalu dilanda sial, kalau ingin hidup di tempat lain seharusnya tidak sulit." 　　Lu Chuchu matanya berbinar: "Kau punya cara?" 　　"Ini tidak sulit, seperti kata peribahasa 'menikahi ayam ikuti ayam, menikahi anjing ikuti anjing'. Kau bisa menikah dengan orang Dinasti Zhou atau Xiliang saja. Jangan pertimbangkan orang Nanlan, hubunganmu dengan adik keempatku cukup baik, menikah dengan orang Nanlan akan mempersulitnya." 　　Lu Chuchu tertegun sejenak. 　　Jiang Zhan sangat bangga akan kecerdikannya sendiri, berkata ingin dipuji: "Bukankah cara ini jauh lebih baik daripada putri bangsawan kabur dari rumah?" 　　Lu Chuchu tersadar, menatap dalam-dalam wajah tampan yang pucat karena kedinginan itu, berkata penuh makna: "Jenderal Jiang berbicara masuk akal." 　　Jiang Zhan tiba-tiba merasakan bayangan bahaya, tapi tidak tahu mengapa. 　　Pasti ini hanya khayalan karena terlalu kedinginan! 　　"Jika putri bangsawan sudah cukup istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan." 　　Lu Chuchu memandang Jiang Zhan, tersenyum lebar: "Ya." 　　Jiang Zhan: "..." Selalu merasa sepertinya ada hal mengerikan yang akan terjadi. 　　Lu Chuchu masuk ke dalam kereta kuda, bersandar di dinding kereta sambil tersenyum. 　　Menikah ke Dinasti Zhou sepertinya solusi permanen yang baik, mungkin dia bisa tetap menjadi wakil manajer kedua Lush Sheng Xiang. 　　Ingat rumor-rumur itu jadi kesal, dia jelas-jelas wakil manajer kedua, tapi disebut sebagai pelayan! 　　Sambil berpikir demikian, Lu Chuchu diam-diam mengangkat sudut tirai kereta dan melirik ke luar. 　　Tiba-tiba merasa pulang sekarang juga tidak buruk, musim semi Qi Utara segera tiba. 838. BAB 835: Epilog Mendapatkan Keinginan 　　BAB 835: Epilog Mendapatkan Keinginan 　　Yu Jin turun dari sidang istana, menyelesaikan sebagian kecil urusan pemerintahan dalam waktu singkat, mengabaikan Xiao Lezi yang ingin menasihati Kaisar agar lebih rajin namun ragu-ragu, lalu bergegas menuju tempat Jiang Si dan mengajak Permaisuri berjalan-jalan di taman istana. 　　Taman istana penuh dengan kehidupan, dipenuhi hamparan bunga yang indah di setiap sudut. 　　Yu Jin berjalan sambil mengobrol santai dengan Jiang Si. 　　Para pelayan istana dan dayang yang mengikuti dari jauh memandang pasangan Kaisar dan Permaisuri ini dengan kekaguman tersembunyi. 　　"A Si, ada satu hal yang harus kusampaikan padamu." 　　"Apa itu?" Jiang Si menoleh sambil tersenyum bertanya. 　　Yu Jin melirik ke sekeliling lalu menurunkan suaranya: "Kakakmu dan Yongchang Bo sepertinya memiliki sedikit..." 　　Jiang Si langsung berhenti berjalan: "Memiliki apa?" 　　Yu Jin menatap dalam-dalam ke arah Jiang Si, lalu menghela napas: "Syukurlah dulu aku gigih (tak kenal malu, memaksa tanpa henti)." 　　Kalau tidak, dengan sifat bebal A Si ini, kapan dia bisa menikahi seorang istri. 　　"Kurasa Yongchang Bo jatuh cinta pada kakakmu. Bertahun-tahun tidak menikah mungkin karena kakakmu." 　　Jiang Si terkejut: "Kau maksud Kakak Xie?" 　　Yu Jin mendengus dingin, menunjukkan sedikit cibiran. 　　Dulu dia sempat khawatir dengan "Kakak Xie", ternyata pria ini bodoh. 　　Orang seperti ini bisa dengan mudah mempersunting kekasihnya? Sungguh tak adil! 　　"Sama sekali tak kusadari Kakak Xie ternyata mencintai kakak. Bagaimana mungkin..." Jiang Si menggeleng, merasa tak masuk akal. 　　Yu Jin tertawa: “Bagaimana tidak mungkin? Dia juga tidak jauh lebih muda dari kakakmu, masa tidak boleh punya pikiran nakal?” 　　Jiang Si bergumam: “Aku memang tak pernah memikirkannya.” 　　Setelah dipikir-pikir, kakak hanya lebih tua tiga tahun dari Kakak Xie. Sepertinya tidak masalah juga. 　　“Kalau kakak——” 　　“Aku cuma memberitahumu soal ini. Pada akhirnya, semuanya tergantung keinginan kakakmu.” 　　Adapun keinginan pihak pria, hehe, buat apa dipedulikan keinginan pria dewasa? Dapat istri saja sudah untung. 　　Jiang Si mengangguk serius: “Kalau begitu, aku akan mencari kesempatan untuk mengujinya.” 　　Ini menyangkut kebahagiaan seumur hidup kakak tertua, dia tidak boleh gegabah. 　　Jiang Si tidak ingin terlihat terlalu sengaja. Saat Jiang Yi datang ke istana mengunjunginya, barulah dia berpura-pura tak sengaja menyebut: “Kak, katanya belakangan ini ambang pintu rumah kita sudah diinjak-injak mak comblang.” 　　Wajah Jiang Yi memerah, menatap Jiang Si: “Orang lain boleh, tapi kenapa kau juga mengejekku——” 　　Jiang Si menggenggam tangan kakaknya: “Kakak, adakah pria yang kau sukai? Kau masih muda. Jika ada yang kau sukai, jangan menyiksa diri lagi.” 　　Bayangan seseorang tiba-tiba melintas di benak Jiang Yi. Dia menggigit bibir kuat-kuat: “Jangan mengolok-olok kakak lagi. Kehidupan sekarang ini sudah cukup baik.” 　　Jiang Si membaca perubahan ekspresi kakaknya. Tiba-tiba bertanya: “Bagaimana pendapat kakak tentang Kakak Xie?” 　　Jiang Yi panik sesaat sebelum kembali tenang, berkata dengan wajah masam: “Jangan nodai nama baik saudara Xie.” 　　Jiang Si menggoyang-goyangkan tangan Jiang Yi, dengan nada merengek yang tak bisa ditolak: "Kakak, jangan bicara basa-basi begini. Kita saudara kandung, tidak bisakah kakak jujur pada adikmu ini?" 　　Jiang Yi terdiam sejenak, perlahan menarik tangannya kembali. Dengan wajah serius ia berkata: "Kalau Adik Keempat bertanya, biar kakak jelaskan. Aku tidak pantas dengan saudara Xie. Dia Yongchang Bo, sementara aku cuma perempuan yang menumpang di rumah orangtua dengan seorang putri. Jika menikahinya, hanya akan membuatnya jadi bahan ejekan." 　　Jiang Si merasa teriris hati, berbisik lembut: "Lalu perasaan Kakak sendiri?" 　　Jiang Yi tersenyum getir: "Bodohlah, apa pentingnya perasaan?" 　　Takdir bermain kejam, dunia penuh ketidakpastian. Berapa banyak orang yang bisa bahagia sesuai keinginannya? 　　Tidak semua seberuntung Adik Keempat. 　　Jiang Yi buru-buru berpamitan. 　　Malam tiba, Jiang Si bersandar pada Yu Jin sambil berbicara. 　　"Hari ini Kakak masuk istana, sudah kucoba selidiki. Ternyata dia tidak bermaksud menikah lagi." 　　"Dia tidak tertarik pada Xie Yinlou?" 　　Jiang Si mengerutkan alis: "Kurasa Kakak sebenarnya masih punya perasaan pada Kakak Xie. Lagipula Kakak Xie itu serba unggul——" 　　"Hmm?" Yu Jin mengangkat alis dengan wajah dingin. 　　Serba unggul? Si bodoh yang tak bisa dapat istri itu? 　　Melihat "tong cuka" mulai meletup, Jiang Si segera mencium pipinya. Dengan nada menggampangkan ia berkata: "Tentu saja tak ada yang bisa menyaingi A Jin." 　　Meski sekadar basa-basi, wajah Yu Jin langsung berseri-seri bagai es yang mencair. 　　"Kakak tertua salah memilih pasangan dan hatinya sangat terluka. Saya tak tega melihatnya menghabiskan sisa hidup dalam kesendirian. Kedepannya mari kita beri dia semangat, semoga suatu hari dia bisa membuka hatinya untuk menerima Kakak Xie." 　　Suatu hari? 　　Kapan 'suatu hari' itu? Nanti semuanya sudah terlambat. 　　Yu Jin langsung memanggil Xie Yinlou. 　　Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya: "Apakah Yongchang Bo jatuh cinta pada kakak tertua Permaisuri?" 　　Xie Yinlou langsung panik dan bersujud dengan satu lutut: "Ini hanya khayalan hamba yang bodoh, mohon Kaisar jangan salah sangka pada Nona Pertama Jiang—" 　　"Nona Pertama Jiang?" Yu Jin tersenyum. "Cukup, pulanglah. Jangan lagi berkhayal macam-macam." 　　Jika si bodoh ini berani menyukai A Si, cukup satu jari kakinya saja sudah bisa kuhabisi. Dulu aku sampai cemburu buta. 　　"Hamba pamit undur diri." 　　Setelah Xie Yinlou pergi, Yu Jin memerintahkan Xiao Lezi: "Ambil dekrit kerajaan di rak buku tingkat tiga, suruh utusan kerajaan umumkan titah pernikahan di kedua rumah." 　　Mata Xiao Lezi melotot. 　　Kaisar bertindak terlalu cepat, tidakkah perlu berdiskusi dulu dengan Permaisuri? 　　Meski berpikir demikian, Xiao Lezi tak berani bersuara, buru-buru mengurus perintah. 　　Xie Yinlou mengurung diri di ruang belajar sepulang ke rumah, hatinya resah bagai benang kusut. 　　Bagaimana Kaisar bisa tahu isi hatinya? 　　Jika Kaisar sudah tahu, pasti Jiang Si juga sudah mengetahuinya. 　　Jiang Yi tidak ingin menikah dengannya, tapi Kaisar dan Permaisuri mengetahui hal ini, pasti akan membawa banyak masalah baginya... 　　Suara ketukan pintu yang mendesak terdengar: "Sang Bangsawan, pembawa titah telah datang." 　　Xie Yinlou kaget, segera bergegas keluar untuk menerima dekrit. 　　Ini adalah dekrit pernikahan yang ditetapkan istana. 　　Hingga utusan titah pergi, Xie Yinlou masih memeluk dekrit kerajaan dalam keadaan linglung. 　　Apakah Kaisar menetapkan pernikahan antara dirinya dengan Jiang Yi? 　　Sang mandor di sampingnya bertanya hati-hati: "Sang Bangsawan?" 　　Bagaimana mungkin Kaisar menjodohkan wanita yang sudah menikah dengan Sang Bangsawan? Khawatir Sang Bangsawan akan melawan titah! 　　Xie Yinlou tiba-tiba berdiri, berlari keluar secepat kilat. 　　Di saat yang sama, keluarga Jiang juga menerima titah yang sama. 　　Jiang Ancheng memandangi putri sulungnya yang pucat, merasa sedih sekaligus marah pada keputusan sepihak menantu kedua: "Yi'er jangan panik, meski Kaisar pun tak bisa memaksamu, Ayah akan segera ke istana!" 　　Pergi mengadukan hal ini pada putri bungsu! 　　Jiang Yi menarik lengan Jiang Ancheng dengan gugup, suaranya seperti nyamuk: "Ayah, sabda emas... biarlah seperti ini saja..." 　　"Ini tidak boleh—" Jiang Ancheng geram, tiba-tiba melihat pipi putrinya yang memerah, lalu berubah sikap: "Batuk-batuk... Sebagai mertua Kaisar yang melawan titah memang tidak pantas, akan menyulitkan Adik Keempatmu. Terpaksa Yi'er harus berkorban." 　　Ternyata Xie Yinlou dan putri sulung saling menyukai? Mengapa dia tidak tahu? 　　Dia benar-benar tidak tahu! 　　Jiang Yi memandang pintu gerbang dengan perasaan campur aduk. 　　Saat ini, adik laki-laki keluarga Xie...tidak, Xie Yinlou seharusnya ada di luar pintu ya? 　　Di luar pintu terbentang jalan batu hijau yang sudah memudar karena hujan bertahun-tahun, jalan itu telah menghubungkan kedua rumah keluarga selama puluhan tahun. 　　Ia tak pernah menyangka suatu hari rumahnya berada di ujung jalan ini, sekaligus di ujung jalan sana. 　　Kali ini, semuanya akan berjalan sesuai harapan bukan? 　　Beberapa pembaca berpendapat akhir keluarga Kedua terlalu tragis. Sebelumnya disebutkan bahwa di kehidupan sebelumnya, ayah Jiang Si dicabut gelar bangsawannya karena dituduh mabuk dan bermalam di pemuda pelayan, lalu diusir dari keluarga. Padahal ayah Jiang Si mustahil melakukan hal tersebut, ini semua adalah jebakan. Jadi di kehidupan sebelumnya, keluarga Kedua bukan sekedar melempar batu ke sumur kering, melainkan orang yang mendorong ayah Jiang Si ke dalam sumur. 839.BAB 836 EPILOG: SEJOLI 　　BAB 836 EPILOG: SEJOLI 　　Belakangan ini Kaisar Jingming gemar mengajak Janda Permaisuri bermain catur. Bukan catur atau menang-kalah yang penting, melainkan durasi panjang permainan ini memungkinkan mereka bertukar banyak gosip istana. 　　"Lao Qi sedang menghadapi masalah." Kaisar Jingming meletakkan bidak sambil berkata santai. 　　Janda Permaisuri menatapnya dalam-dalam. 　　Mengapa ia melihat senyum kecut penuh schadenfreude di sudut bibir mantan kaisar ini? 　　Dengan tenang Janda Permaisuri bertanya, "Masalah apa yang dihadapi Kaisar?" 　　Bila mantan kaisar bisa bersikap seperti ini, berarti masalahnya tidak terlalu serius. 　　Kaisar Jingming berkedip, ekspresi schadenfreude-nya semakin jelas: "Seorang menteri mengusulkan agar Lao Qi segera mengisi istana belakangnya." 　　Tangan Janda Permaisuri yang memegang bidak terhenti: "Mengisi istana belakang?" 　　“Dengan Kaisar yang takut pada istri seperti itu, berani mengisi istana belakang?” 　　“Tidak, dengan Kaisar yang seakan ingin menempel di kaki Permaisuri, maukah mengisi istana belakang?” 　　Janda Permaisuri tak lagi fokus bermain catur, menjepit bidak catur sambil mengerutkan alis: “Lalu apa kata Kaisar?” 　　Kaisar Jingming menggetarkan sudut bibirnya, nadanya penuh kerumitan: “Anak itu malah mengibaskan lengan baju dan pergi.” 　　“Mengibaskan lengan baju dan pergi?” Janda Permaisuri tak bisa menahan diri membelalakkan mata. 　　“Ya!” Kaisar Jingming menepuk meja dengan marah, “Bagaimana bisa menyelesaikan masalah seperti ini? Ini bukan urusan besar yang tak bisa dikompromikan dengan bawahan. Sekalipun tidak suka, cukup tunjukkan sikap pada bawahan. Paling-palan bertengkar, masak kabur begitu saja?” 　　Hubungan penguasa dan bawahan adalah proses terus-menerus mencoba dan saling berkompromi, lari apa gunanya? 　　Kaisar Jingming semakin kesal: “Dulu melihat Lao Qi cukup ulet, ternyata kekanak-kanakan begini...” 　　Kaisar Jingming penuh dengan kecemburuan. 　　Menghadapi para menteri yang ribut seperti bebek buta, berapa kali ia ingin mengibaskan lengan dan pergi? Apakah ia melakukannya? 　　Mengapa Lao Qi si anak sialan itu boleh? 　　Wajah Janda Permaisuri sedikit muram: “Jin’er sekarang sudah menjadi Kaisar, Yang Mulia jangan terlalu keras.” 　　Kaisar Jingming membelalakkan mata: “Dia Kaisar, aku tetap ayahnya. Urusan negara dengarkan dia, urusan rumah tangga harus dengar aku.” 　　Janda Permaisuri menaikkan alis: “Lalu apa pendapat Yang Mulia tentang usul menteri untuk mengisi istana belakang?” 　　Kaisar Jingming mendengus: "Urusan seperti ini bukan urusanku. Biarkan dia menyelesaikannya sendiri. Sebenarnya apa yang perlu dihindari? Ikuti saja keinginan para menteri." 　　Jangan-jangan masih ingin hanya Permaisuri satu-satunya wanita? 　　Meskipun tidak menyukai wanita lain, bisa ditaruh sebagai hiasan seperti bunga. 　　Janda Permaisuri tertawa kecil, menaruh bidak dengan keras: "Menang." 　　Kaisar Jingming: "..." Menang ya menang, ngapain diucapkan dengan penuh amarah seperti perang? 　　Perempuan ini sejak menjadi Janda Permaisuri, sifatnya semakin menjadi-jadi. 　　Hmph! Ia pun pergi sambil mengibaskan lengan baju! 　　Kaisar Jingming pergi sambil mengibaskan lengan bajunya. 　　Janda Permaisuri tetap tenang memerintahkan dayang: "Kupas semangkuk anggur." 　　Langsung mundur dari sidang pagi oleh Yu Jin membuat para menteri naik pitam, masing-masing menggosok-gosok tangan dan menyingsingkan lengan baju, bersiap memberi pelajaran ke kaisar baru di sidang esok hari. 　　Kebiasaan buruk sering-sering tutup sidang tak boleh dimanjakan! 　　Tapi keesokan harinya para menteri berkumpul di Gerbang Qianqing, hanya disambut teriakan Xiao Lezi: "Suasana hati Kaisar tidak nyaman, para Paduka dipersilakan bubar." 　　Setelah Xiao Lezi menghilang, para menteri baru tersadar: Kaisar bukan sakit fisik tapi sakit hati... 　　Sakit hati itu apaan sih?! 　　Para menteri bubar dengan perasaan kesal. 　　Hari ketiga, para menteri yang kemarahannya mencapai puncak tetap gagal bertemu Kaisar. 　　Jiang Si memandang Yu Jin yang baru sambil latihan pedang masuk, bertanya sambil tersenyum: "Hari ini masih tidak mau sidang pagi? Tidak takut para menteri marah mencabik-cabikmu?" 　　Yu Jin mengusap keringat di dahinya, berkata santai: "Semangat pertama adalah yang terkuat, kedua mulai melemah, ketiga habis sama sekali. Setelah tiga hari ini, mungkin mereka tidak sempat marah lagi, malah berharap saya segera menghadiri sidang pagi." 　　Seperti dugaan Yu Jin, para menteri segera menekan amarah mereka dan dilanda kecemasan serta kegelisahan. 　　Kaisar baru ini berbeda dengan Kaisar Emeritus, jangan-jangan dia seorang penguasa lalim? 　　Apa rakyat biasa mengira mereka bisa menggulingkan kaisar hanya karena dianggap lalim? Jangan bercanda, penguasa seburuk apapun harus tetap dituruti. 　　Cepatlah Kaisar menghadiri sidang pagi, selama masih mau sidang, setidaknya masih ada harapan. 　　Setelah para menteri kecewa berhari-hari lamanya, akhirnya Kaisar baru menghadiri sidang. 　　Pada saat ini, para menteri hampir menitikkan air mata haru. Mereka saling pandang, tak ada yang berani menjadi pertama menuduh Yu Jin atas pembangkangannya menghadiri sidang. 　　Akhirnya, pandangan semua menteri tertuju pada Menteri Gu. 　　Yang paling tinggi jabatannya harus maju. 　　Menteri Gu berdehem ringan: "Yang Mulia, urusan negara bukan main-main. Tahukah dampak besar yang ditimbulkan selama Yang Mulia tidak menghadiri sidang?" 　　Yu Jin ingin memutar mata putih mendengarnya. 　　Orang tua ini mencoba menipunya lagi. 　　Apa bulan bisa runtuh hanya karena beberapa hari tidak sidang? 　　Pada masa kaisar-kaisar yang bertahun-tahun tidak sidang, bukankah para menteri tetap hidup baik-baik? Bahkan ada yang berkhayal seolah menjadi penguasa, semakin bersemangat bekerja. 　　Namun di depan umum, dia berpura-pura menerima nasihat dengan sopan: "Perkataan Menteri Gu masuk akal. Mari kita mulai rapat." 　　Segera para menteri bergiliran menyampaikan laporan. 　　Yu Jin mendengarkan dengan serius, terkadang memberikan keputusan tegas, terkadang memberi saran, semuanya ternyata sangat tepat. 　　Para menteri benar-benar tersentuh. 　　Syukurlah, Kaisar bukanlah penguasa lalim! 　　Sampai ada seorang menteri yang mengangkat kembali masalah pengisian istana belakang. 　　Wajah Yu Jin tiba-tiba berubah dingin, menatap menteri tersebut dengan sinis: "Li Aiqing begitu memperhatikan istana belakang Aku?" 　　Menteri itu segera bersujud, campur marah dan takut: "Hamba yang bodoh tidak berani! Mengisi istana belakang untuk melanjutkan keturunan Kaisar adalah urusan penting bagi stabilitas altar leluhur, harus diperhatikan!" 　　"Cukup!" Yu Jin berdiri dengan wajah membeku, "Aku tidak enak hati, sidang ditutup!" 　　Kaisar baru kembali pergi dengan gerakan tangan marah, meninggalkan para menteri yang serentak memandang menteri tersebut. 　　Menteri itu merasa sangat tidak adil: "Usulku salahkah? Kalian semua membiarkan Kaisar bertindak semaunya?" 　　Seseorang tersenyum pahit: "Tidak ada yang bilang salah, tapi Kaisar kembali membatalkan sidang." 　　Kabar ini sampai ke telinga Kaisar Jingming yang langsung berlari ke Janda Permaisuri untuk bergosip: "Lao Qi terlalu naif. Tunggu saja, di sidang berikutnya pasti ada yang akan memprotes dengan mempertaruhkan nyawa." 　　Suasana hati Yu Jin kali ini bertahan lebih lama. Saat sidang kembali digelar, seorang pejabat sensor dengan penuh semangat mengkritik habis-habisan lalu berlari menghantam pilar emas di aula. 　　Seorang pengawal yang tak diketahui persembunyiannya dengan mantap menahan tubuhnya. 　　"Lepaskan! Penguasa lalim seperti ini akan menghancurkan Dinasti Zhou kita!" Teriak pejabat sensor itu seperti orang gila. 　　Yu Jin tersenyum dingin: "Aku baru naik takhta, cuaca baik panen melimpah, rakyat hidup damai, urusan pemerintahan meski tak sehandal Kaisar Senior, tapi juga tak ada kesalahan besar. Lalu mengapa Pejabat Pengawas Wang buru-buru mencap Aku sebagai kaisar lalim? Menurutku kau bukan membela negara dan rakyat, hanya mencari popularitas semata!" 　　Pejabat sensor itu memerah malu marah, namun tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman pengawal. 　　"Pengawal! Seret Pejabat Pengawas Wang ke Gerbang Meriam untuk dihukum cambuk, lalu masukkan ke penjara bawah tanah!" 　　"Jangan Kaisar!" Sekelompok pejabat sipil yang dipimpin Menteri Gu berlutut memohon. 　　Para perwira malah menonton keributan itu. 　　Sejujurnya, alasan banyak pejabat sipil membela Pejabat Pengawas Wang adalah karena tindakan Kaisar terhadap pejabat sensor telah mengancam kepentingan mereka, tak ada hubungannya dengan pihak militer. 　　Hehe, sejak lama mereka jengkel melihat pejabat sensor yang suka mengkritik ini. Banyak juga tuduhan yang pernah mereka terima. 　　Yu Jin memandang dingin para bawahan yang berlutut: "Kalian ingin ikut berlutut protes di Gerbang Meriam?" 　　Para menteri tertegun. 　　Seandainya Kaisar bersikeras, memang itulah niat mereka. 　　Yu Jin mencemooh: "Aku peringatkan: Semua yang protes di Gerbang Meriam hari ini akan kumasukkan ke penjara bawah tanah! Aku tak akan menerima tuduhan sebagai kaisar penghancur negara!" 　　Para menteri saling pandang, lalu bangun dengan malu. 　　Mereka tidak puas dengan hukuman Kaisar terhadap pejabat sensor, tapi juga tak bisa menyetujui tuduhan bahwa Kaisar adalah perusak negara. 　　Terhadap kaisar lalim sejati pun tak boleh berkata begitu, apalagi Kaisar masih bisa diperbaiki. 　　"Sidang ditutup." Yu Jin mengibaskan lengan bajunya lalu pergi. 　　Setelah kejadian ini, para menteri tidak berani lagi mengangkat topik pengisian istana belakang dalam waktu dekat. 　　Hingga Permaisuri mengandung, beberapa orang mulai aktif kembali. 　　Kaisar baru kembali tidak menghadiri sidang pagi. 　　Para menteri: "……" 　　Menteri Gu dan lainnya yang sudah tidak tahan berkumpul di ruang studi kekaisaran, membujuk dengan rayuan: "Yang Mulia, tidak menghadiri sidang bukan cara menyelesaikan masalah. Apa rencana Yang Mulia terhadap hal ini?" 　　"Rencana? Aku tidak punya rencana." 　　Menteri Gu mengeraskan hati: "Yang Mulia, kita harus membuat kebijakan yang jelas--" 　　Yu Jin tertawa: "Menteri Gu salah paham. Maksudku tidak ada rencana mengisi istana belakang. Permaisuri seorang saja sudah cukup." 　　Beberapa orang terkejut: "Bagaimana bisa begitu?" 　　"Mengapa tidak? Jika kalian khawatir tentang penerus takhta, bukankah lebih baik Aku dan Permaisuri memperbanyak anak lelaki?" 　　"Tapi Yang Mulia--" 　　Wajah Yu Jin berubah muram: "Atau mungkin kalian ingin memasukkan putri dan cucu perempuan ke istana untuk mencari keuntungan bagi keluarga?" 　　Mereka buru-buru menyangkal: "Hamba sama sekali tidak berniat demikian." 　　Meski benar adanya, bagaimana mungkin Kaisar mengatakannya langsung? Tidak adakah rasa hormat untuk martabat mereka? 　　Yu Jin tersenyum: "Aku tahu kalian semua adalah menteri yang setia. Penghargaanku tidak akan berubah karena seorang wanita. Jangan ganggu Aku lagi dengan hal ini." 　　Beberapa menteri itu meninggalkan istana dengan wajah memelas, saling bertukar pikiran. 　　"Sudahlah, hubungan Kaisar dan Permaisuri sedang mesra. Mungkin saat Permaisuri hamil dan melahirkan, Kaisar akan meminta sendiri." 　　Setelah pangeran kecil berusia satu tahun. 　　“Tak disangka Kaisar begitu setia, tunggu dua tahun lagi sampai rasa baru pada Permaisuri hilang baru bicara.” 　　Setelah kelahiran Pangeran Kedua dan Pangeran Ketiga. 　　“Kaisar belum juga memilih permaisuri, bagaimana ini?” 　　“Bagaimana kalau tunggu Permaisuri melahirkan beberapa pangeran lagi dulu?” 　　“Tunggu apa lagi? Sudah tiga pangeran, apa urgensinya Kaisar memilih permaisuri?” 　　Mau mengorbankan putri keluarga sendiri masuk istana hanya untuk dibunuh Permaisuri dengan sekali jentikan? 　　Setelah bertahun-tahun ditunda, para pejabat terpaksa menerima sikap keras kepala Kaisar yang menolak mengambil selir. 　　Sementara itu, angin tak baik bertiup di ibu kota. 　　Banyak wanita muda memarahi suami yang tak setia: “Mau ambil selir? Ukur dulu kemampuanmu! Kaisar saja hanya punya Permaisuri, beraninya kau mau selir? Muntah kau, kuburkan impianmu itu!” 　　Nyonya Gu yang beruban pun mengusir Menteri Gu tidur di ruang belajar dua hari: “Suruh dua selir tuamu itu pijat bahumu, tanganku sakit.” 　　Para pria ibu kota: Hidup benar-benar tak tertahankan! 　　Kaisar Jingming yang masih enerjik hampir tak sanggup menahan cemburu, mengeluh pada Janda Permaisuri: “Lao Qi berani ajak Permaisuri bersantai di alam!” 　　Saat dia jadi Kaisar, hanya satu hari setahun boleh keluar. Kok Lao Qi bisa ajak Permaisuri jalan-jalan? 　　Janda Permaisuri tak mengangkat mata: “Tak ada pilihan, para menteri khawatir Kaisar stres.” 　　Kaisar Jingming: “……” 　　Di pinggiran kota, Kaisar dan Permaisuri berpegangan tangan di puncak bukit. 　　“A Si, dunia ini begitu luas. Setelah Le'er dewasa, aku akan menyerahkan takhta padanya. Kita akan menjelajah ke mana-mana.” 　　“Baik.” 　　Keduanya saling menggenggam tangan, memandang ke hamparan negeri yang megah. 　　Masih ada satu epilog dari kehidupan sebelumnya, seharusnya baru akan diupdate besok. 840.BAB 837 EPILOG KEBERSAMAAN ABADI 　　BAB 837 EPILOG KEBERSAMAAN ABADI 　　Angin di tepi tebing menderu di telinga, Jiang Si kedua tangannya mencengkram erat tepian jurang, tubuhnya tergantung rapuh. 　　Telapak tangannya yang halus sudah terkoyak berdarah-darah, tubuh perlahan merosot ke bawah, tapi sama sekali tak ada niatan melepaskan pegangan. 　　Ia tak rela mati. 　　Susah payah ia lepas dari masa lalu kelam, kini hidup bahagia dengan A Jin. Hari-hari penuh harapan masih menanti. 　　Jika ia mati, A Jin akan sendirian. 　　Dengan pertanyaan ini, di ujung kelelahan Jiang Si menemukan tenaga baru. Seluruh tubuhnya naik sedikit. 　　Sepatu bersulam benang perak muncul di hadapannya. 　　Dengan susah payah Jiang Si mengangkat pandangan. 　　Permaisuri Qi menyunggingkan senyum sinis di sudut bibir, wajahnya sama sekali berbeda dengan sikap lembut nan pengasih biasanya. 　　“Adik ipar ketujuh memang pantang menyerah.” 　　Jiang Si menggigit bibirnya kuat-kuat. 　　Saat ini, semuanya sudah jelas baginya. 　　Mereka berziarah ke Kuil Baiyun bersama Permaisuri Qi lalu kuda liar mengamuk. Kini ia tergantung di tepi jurang antara hidup dan mati, sementara Permaisuri Qi berdiri tenang di hadapannya. 　　Bencana maut ini, Permaisuri Qi-lah pelaku kejahatannya! 　　“Mengapa?” Jiang Si bertanya. 　　Dia bingung, tak rela, marah, tapi sama sekali tidak memohon ampun. 　　Karena lawan sudah bertindak, memohon tak ada gunanya, hanya akan mempermalukan diri sendiri. 　　Permaisuri Qi tidak menjawab kebingungan Jiang Si, malah membungkuk dan membuka tangan perempuan itu yang berlumuran darah dengan wajah datar. 　　Saat tubuh Jiang Si terjatuh, samar-samar dia mendengar suara tertawa kecil Permaisuri Qi. 　　Tubuh itu jatuh dengan sangat cepat, tapi Jiang Si teringat banyak hal. 　　Tentang ayah dan kakak, kakak tertua, namun lebih banyak tentang Yu Jin. 　　Di saat seperti ini, hal-hal dan orang-orang yang tak menyenangkan sama sekali tidak terlintas di otaknya. 　　Dia tak sempat memikirkan itu semua. 　　Dia tak ingin mati. 　　Tubuh Jiang Si menghantam batu-batu tajam di dasar tebing, tulang-tulangnya remuk. 　　Tapi sesaat itu, dia tidak langsung mati, masih tersisa sedikit kesadaran. 　　Sadar dan menderita. 　　Sakit sekali... 　　A Jin, di mana kau? Aku sakit sekali... 　　Suara benda berat jatuh terdengar. 　　Seekor anjing besar berjuang mendekati Jiang Si. 　　“Guk!” Anjing itu menggonggong sambil menjilati tangan nyonya rumah. 　　Tangan itu tak bergerak sama sekali. 　　Dengan susah payah anjing itu menggeser tubuhnya, menjilati pipi nyonya rumah. 　　Dunia anjing itu sederhana: majikan pria, nyonya rumah, tulang berisi daging. 　　Tapi mengapa nyonya rumah tidak bergerak? 　　Dia mengejar berdasarkan bau sepanjang jalan, mengapa nyonya rumah tidak bergerak? 　　Anjing Besar berusaha menggigit pakaian Jiang Si untuk menyeretnya, namun perlahan kehilangan tenaga. 　　“Guk...” Anjing Besar mengeluarkan suara lemah. 　　Yu Jin yang menerima kabar segera datang dengan cepat, melompat turun dari kudanya hingga hampir terjatuh di tepi jurang. 　　“Tuanku——” Long Dan mengulurkan tangan untuk menyangga, tapi ditepis. 　　“Di sini?” 　　Long Dan tak berani menatap mata merah Yu Jin, mengangguk berat: “Ya...” 　　Yu Jin tanpa ragu langsung turun ke dasar jurang. 　　Long Dan segera menyusul. 　　Dasar jurang sunyi senyap, kesepian yang membuat putus asa. 　　Yu Jin langsung melihat sosok yang terbaring tak jauh, berlari terhuyung-huyung mendekat. 　　Permaisurinya tak bergerak, darah yang menggenang di bawah tubuhnya sudah membeku, menodai bebatuan dengan warna merah. 　　Yu Jin mengulurkan tangan, menyentuh pipi Jiang Si. 　　Wajah yang pernah diciumnya ribuan kali itu terdingin es. 　　Yu Jin mengangkat tubuh Jiang Si tanpa sepatah kata, wajahnya pucat mengerikan. 　　Long Dan yang menyusul gemetar ketakutan, berteriak: “Tuanku——” 　　Yu Jin mengabaikannya, melewati Long Dan sambil menggendong Jiang Si. 　　Long Dan ingin berteriak, tapi mengerti betapa hancurnya tuannya, akhirnya hanya menghela napas dan mengangkat Anjing Besar yang terbaring di samping Jiang Si. 　　Anjing Besar juga sudah tak bernyawa. 　　Long Dan mengusap sudut matanya, menangis. 　　Bukannya semua baik-baik saja, kenapa tiba-tiba begini? 　　Kembali ke tebing, tim penyelamat segera tiba. 　　Yu Jin sama sekali tidak memandang orang-orang ini, menggendong Jiang Si lalu naik ke kuda, mencambuk tali kekang dan pergi. 　　Long Dan yang terlambat naik sambil menggendong mayat Er Niu tertegun: "Tuanku, ke mana Yang Mulia pergi?" 　　Yu Jin memacu kudanya dengan liar, hanya satu pertanyaan di kepalanya: mencari Tetua Besar Wu Miao untuk menyelamatkan istrinya. 　　Beruntungnya, Tetua Besar Wu Miao saat ini sedang berada di ibu kota. 　　Tak tahu sudah berapa lama berlari, Yu Jin menggendong Jiang Si menerobos masuk ke sebuah rumah sipil. 　　"Selamatkan dia!" Yu Jin langsung menghadap Tetua, baru mengucapkan kalimat pertamanya sejak menemukan Jiang Si. 　　Melihat kondisi Jiang Si yang berlumuran darah, wajah Tetua berubah pucat penuh keterkejutan: "Bagaimana ini bisa terjadi?" 　　Yu Jin sudah tidak punya tenaga untuk menjelaskan, hanya dua kata: "Selamatkan dia!" 　　Tetua meraba tubuh Jiang Si, menghela napas: "Imam Suci sudah tiada." 　　"Aku tahu, tapi kalian punya teknik menghidupkan kembali orang mati, gunakan itu untuk menyelamatkannya!" 　　"Tapi--" Kematian Jiang Si membuat Tetua juga kehilangan kendali. 　　Yu Jin bersujud: "Kumohon, selamatkan dia." 　　Tetua memandang pemuda yang bersujud di depannya, berkata berat: "Tahukah Pangeran bahwa teknik menghidupkan kembali suku kami membutuhkan seseorang yang rela menukar nyawa dengan nyawa?" 　　"Aku rela." 　　Dia hanya ingin Permaisurinya tetap hidup. 　　Sorot mata Tetua berkedip-kedip: "Jika dia bangun, mungkin ini adalah awal yang baru. Tahukah kau apa arti awal yang baru?" 　　Yu Jin menggelengkan kepala. 　　"Reinkarnasi! Dengan Ilmu Gaib Suku Wu Miao yang melawan takdir ini, aku akan menukarnya dengan satu kesempatan reinkarnasi untuknya. Saat itu tiba... kau akan melupakannya." 　　Ilmu gaib yang melawan kodrat ini akan membuat sang pelaku - dirinya sendiri - menjadi tumbal, kehilangan nyawa. 　　Tapi dia rela. 　　Baru saat inilah dia melihat secercah takdir, dengan mengorbankan nyawanya untuk membuka jalan hidup bagi Suku Wu Miao, itu sepadan. 　　Yang terpenting adalah apakah pria di hadapannya menganggap ini sepadan. Sedikit saja keraguan, ilmu gaib ini akan gagal. 　　Yu Jin mendengar Tetua berkata bahwa dirinya akan melupakan Jiang Si, mengepal tangan dengan kencang: "Tetua terlalu banyak bicara. Kapan Ilmu Gaib ini dimulai?" 　　"Tengah malam ini." 　　"Tengah malam ini?" Yu Jin melirik ke langit, aura tubuhnya berubah, "Masih ada waktu. Tolong Tetua menjaga istri saya dengan baik." 　　Dengan lembut meletakkan Jiang Si di ranjang, dia melangkah keluar, menunggang kuda menuju Kediaman Pangeran Qi. 　　Angin menerjang tenggorokannya bagai api yang membakar hingga ke perut. 　　Tapi kecepatannya semakin meningkat. Sesampainya di tempat tujuan, dia langsung menuju pintu gerbang. 　　"Apakah Pangeran dan Permaisuri ada di tempat?" 　　Pelayan yang melihat wajah Yu Jin yang menyeramkan segera menjawab: "Pangeran dan Permaisuri baru saja kembali dari istana." 　　Yu Jin sebelumnya pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Rentang waktu antara jatuhnya Jiang Si dari tebing hingga dia menerima kabar cukup panjang, cukup untuk Pasangan Pangeran Qi melapor ke istana dan kembali. 　　"Beritahu mereka, aku ingin bertemu." 　　Pangeran Qi yang menerima pesan segera menemui Yu Jin bersama Permaisuri Qi di Ruang Penerimaan. 　　Pangeran Qi menampakkan wajah malu: "Adik ketujuh, kejadian seperti ini sungguh di luar dugaan. Kakak baru saja hendak menjengukmu." 　　Permaisuri Qi matanya merah membengkak, ekspresi penuh duka: "Ini semua salahku. Jika saja aku tidak mengundang adik ipar ketujuh untuk berziarah, pasti ini takkan terjadi…" 　　Yu Jin mendengarkan dengan tenang hingga mereka selesai berbicara, lalu menghunus pedang panjangnya. 　　"Adik ketujuh, apa yang kau lakukan?!" 　　Yu Jin menyabetkan pedang ke arah mereka. 　　Pangeran Qi yang hidup dalam kemewahan mana bisa menandingi Yu Jin yang bertarung hidup-mat di medan perang. Setelah cuma bisa menghindar dua kali, dadanya tertusuk. 　　Permaisuri Qi menjerit-jerit sambil berlari keluar: "Segera panggil bantuan—!" 　　Teriakan minta tolongnya terputus ketika tubuh Permaisuri Qi roboh tertikam. 　　Yu Jin mengabaikan kerumunan orang yang berdatangan, berkata tenang: "Jangan anggap aku bodoh." 　　"Pangeran Yan membunuh Pangeran dan Permaisuri—!" Seluruh Kediaman Pangeran Qi gempar. 　　Yu Jin berjalan keluar sambil membawa pedang, menebas siapa pun yang menghalangi tanpa peduli hidup-mati. 　　Ujung pedang meneteskan darah, perlahan tak ada lagi yang berani mendekat. 　　Setelah keluar dari istana, ia melemparkan pedangnya lalu memacu kuda secepat mungkin, segera meninggalkan pengejar jauh di belakang. Setelah cukup jauh, ia turun dari kuda dan melanjutkan dengan berjalan. 　　Kabar Pangeran Yan membunuh Pasangan Pangeran Qi dengan cepat tersebar. Ibu Suri Xian pingsan muntah darah setelah mendengar berita ini. 　　Kaisar Jingming murka, memerintahkan Jinlinwei untuk melacak jejak Pangeran Yan dan memberlakukan lockdown di seluruh kota. 　　Yu Jin sama sekali tak menggubris semua ini. 　　“Walaupun seluruh kota dalam keadaan siaga tinggi, bersembunyi hingga jam Zi Shi malam ini tidak masalah sama sekali.” 　　“Waktu segera tiba.” 　　“Tetua, mari kita mulai.” 　　“Benar-benar sudah yakin?” 　　“Tidak perlu berpikir lagi.” 　　Tetua mengangguk, menyalakan dupa magis untuk mengaktifkan Ilmu Gaib. 　　Yu Jin tidak memahami ritual ini, matanya tak berkedip memandang Jiang Si yang terbaring di tempat tidur. 　　Tiba-tiba Tetua menyodorkan belati kuno berdesain sederhana, berseru: “Cepat! Tusuk dadamu dengan belati kuno ini, ambil dua tael darah dari jantungmu!” 　　Yu Jin tanpa ragu sedikit pun menusukkan belati ke dadanya. Darah segera menyembur, sebagian masuk ke mangkuk giok di tangan Tetua. 　　Tangan satu nya menopang dinding, pandangannya berkunang-kunang, menyaksikan Tetua mengoleskan darah di antara alis Jiang Si. 　　Ajaibnya, darah itu meresap ke dalam kulit. 　　Yu Jin tersenyum tipis, lalu menutup mata. 　　Ia yakin: berapa pun kali terlahir kembali, bahkan jika semua ingatan hilang, bahkan jika jati dirinya berubah, cintanya pada A Si akan tetap melekat. 　　“A Si, sampai jumpa di kehidupan berikutnya.” 　　（Tamat）