“Kau… jangan keterlaluan!” Paman Domba Hitam kaget, “Topengmu bau busuk sebau, bisakah kau berhenti membuatku jijik?”
“Aku tidak peduli.” Paman Ular menggelengkan kepala, “Kalau kau tidak membantunya, aku akan membuatmu mual sampai mati.”
Paman Harimau tampaknya tidak ingin menerima kebaikannya, hanya berdiri sambil menggenggam tanganku: “Tikus kecil, tidak perlu dua idiot itu membantumu, Laozi sendiri yang akan memikirkan game untukmu!”
Ia menyeretku ke meja belajar di samping dan duduk, lalu mengambil kertas dan pena mulai mencerna.
Sekitar beberapa menit berlalu, tidak satu karakter pun yang ditulisnya.
“Ss…” Ia menarik napas pelan, lalu berkata, “Bertarung kantong pasir dan lompat rumah tidak bisa… Bagaimana kalau main kok bulu…?”
“Sudah cukup!” Paman Ular melambaikan tangan, “Kau ingin mengantar nona ini ke 「mati」 dengan tanganmu sendiri?”
“Kamu……！” Paman Harimau menggoyang-goyangkan kepala kesal, “Bagaimana mungkin aku mengirimnya mati?”
“Jangan hanya memikirkan apa yang disukai putrimu, lihatlah apa yang cocok untuk「tikus」!” Paman Ular menggelengkan kepala, lalu menatap Paman Manusia Domba, “Manusia Domba, bantulah mereka.”
“Dengan sikap brengos harimau itu, siapa yang mau membantunya?”
“Kalau begitu aku akan memelukmu ya.” kata Paman Ular.
“Kamu...” Ekspresi Paman Manusia Domba seolah pernah dipeluk Paman Ular sebelumnya, dia tampak ketakutan mendengar kalimat itu.
Dengan gesit dia menghampiri Paman Harimau dan merebut kertas serta pena: “Gak nyangka kepala harimau botak sepertimu bisa mikirin「main kokbulu」, kenapa gak usul main tali?”
“Tali***...” Temperamen Paman Harimau benar-benar buruk, dia mulai mengamuk lagi.
“Paman... itu... memaki itu tidak baik lho...” Aku menarik-narik lengan baju beliau.
“Hah……？” Paman Harimau tertegun sebentar, lalu menatapku dengan mata yang berputar liar, “Aku… aku tidak memaki, ini… ini salam…”
Aku mengedipkan mata, tadi dia jelas terlihat seperti sedang memaki… Bagaimana bisa disebut salam?
Paman Harimau memandangiku lama, suaranya melunak: “Hah, baiklah… Salahku, mulai sekarang tidak akan kukatakan lagi.”
Paman Domba Hitam tidak mengacuhkannya, duduk di depan meja sambil memandangiku, “Nak, kemarilah, ada beberapa pertanyaan untukmu.”
“Hah……?”
Perlahan kuhampiri dia, memandangnya dengan takut.
“Di mana kamu memakai topeng ini?” Suara Paman Domba Hitam datar, tak terbaca emosinya.
“Sepertinya di sebuah gudang…”
“Gudang?” Paman Domba Hitam mengambil pena dan mulai 「shua-shua」 menggambar ruangan besar di kertas, “Seperti ini?”
Paman Domba Hitam pandai melukis, tapi sepertinya ada perbedaan dengan gudang yang kuingat.
“Paman, ruangannya sepertinya tidak sebesar ini... itu gudang yang sangat kecil.”
Dia mengangguk, mengeluarkan kertas kedua dan menggambar sebuah ruangan kecil.
“Seperti ini ya...?” gumamnya sambil menggambar beberapa rak barang, “Barang di gudangnya banyak?”
“Sepertinya tidak terlalu banyak...” kataku pelan, “Hanya ada beberapa rak di dekat dinding.”
“Ada barang di rak-rak itu?”
“A-ada beberapa kotak, tidak tahu isinya apa.”
Paman Domba Hitam segera menggambar dua orang di dalam gudang, setelah merenung sebentar, mulai menulis karakter di sampingnya.
“Nama sementara permainan: Permainan Kepercayaan.”
“Aku ada ide.” kata Paman Domba Hitam, “Nak, kemarilah, akan kuberitahu 「aturan」nya.”
“Oh...” Aku mendekati Paman Domba Hitam, melihat rumah kecil dan 「dalang」 yang digambarnya.
“Permainan ini membutuhkan dua peserta, tiket masuk dua butir 「Dao」 per orang.” Paman Domba Hitam menulis sambil menjelaskan, “Kedua orang berdiri di dalam, saling bertanya rahasia satu sama lain. Terutama rahasia yang tidak ingin diungkit...”
“Lalu?” Paman Harimau bertanya.
“Kita boleh berbohong dalam 「aturan」. Aturan kemenangan kedua orang berbeda, satu harus jujur, satu harus berbohong.”
“Oh?” Paman Harimau mengusap dagunya, “Dasar kau main licik?”
“Bukan, ini cuma ciri Domba.” Paman Domba Hitam menggeleng, “Saat dua orang saling merobek topeng lawannya, mereka juga akan melihat sisi paling jelek dari manusia.”
Paman Harimau mengangguk: “Dasar bocah banyak akal.”
“Terima kasih pujiannya, yang pasti sedikit lebih cerdas darimu.”
“Oh...” Paman Harimau mengangguk, tapi tiba-tiba merasa tak pas, “Tapi apa hubungannya game buatanmu dengan 「tikus」? Ini kan kategori Domba?!”
“Kau kok tidak bisa diajak bicara?” Paman Domba Hitam menghela napas, “Game ini kan diadakan di gudang, mana mungkin bukan kategori 「tikus」?”
“Dasar kau Anjing...” Paman Harimau seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi melihatku lalu mengubah kalimat, “Kamu ngaco!”
Paman Harimau merebut kertas dan pena, membuka mulut: "Lagipula, game kamu ini terlalu sulit, biar aku modifikasi sedikit!"
Dia menghapus semua aturan Paman Domba Hitam, lalu menuliskan aturan baru.
"Empat orang ikut, dua orang per grup. Grup yang bisa merebut vas bunga di tengah gudang dianggap pemenang. Kemampuan tidak dibatasi, senjata disediakan wasit......"
Paman Ular kembali tidak bisa diam: "Ah, sudahlah! Masih berani menyindir orang? Berkelahi di gudang disebut 「tikus」?"
"Memang kenapa?!" Paman Harimau membalas, "Apa 「tikus」 tidak perlu rebut wilayah?"
"Rebut apaan!" Paman Ular menyambar kertas kembali, "Kalian hanya bisa merusak nak-nak kecil. Urusan ini harus lihat aku."
Dia mengambil pena dan mencoret aturan Paman Harimau: "Dengar baik-baik. Setelah masuk gudang, kunci pintu dengan lima buah gembok. Lima kunci masing-masing terkait lima pertanyaan. Jawab benar baru dapat kunci, yaitu......"
Tiga paman ini saling merebut kertas, sepanjang malam tidak tidur.
Mereka menulis satu lembar demi satu lembar, beberapa kali hampir berkelahi.
Hingga matahari terbit, barulah mereka memberiku naskah berantakan yang berisi aturan 「game」 yang sama sekali tidak kumengerti.
Saat itu pintu kamar terbuka, Kakak Domba Putih masuk.
Auranya selalu berbeda, bajunya sangat bersih, bulu di wajahnya juga putih, tapi terasa sulit didekati.
Sedangkan ketiga paman itu meski terlihat kumal, mereka baik hati.
“「Tikus」, sudahkah kau menemukan ide?” Kakak Domba Putih duduk di kursi sambil bertanya datar, “Sudah semalaman.”
“Ah… aku…” Kulihat ketiga paman yang mengangguk sambil mengernyitkan mata, akhirnya kuberanikan diri menjawab, “Aku sudah…”
“Coba katakan.”
“「game」ku…… membutuhkan empat orang peserta, dua orang dalam satu grup berebut vas bunga. Setelah berhasil merebut, mereka bisa kabur. Tapi 「pintu」 terkunci dengan lima 「gembok」, masing-masing punya lima pertanyaan. Harus dijawab benar baru bisa keluar…… Saat keluar, dua orang harus saling bertanya privasi……”
“Menggelikan.” Kakak Domba menyela.
