“Secara logika normal, pemikiranmu benar.” Domba Putih mengangguk padaku, “Alasan kita berdua bisa berdiri di sini berbincang, saling menatap mata dan mendengarkan pemikiran masing-masing, semua syarat ini berdasarkan asumsi bahwa kita mengira diri kita adalah manusia.”
“Jadi... karena kita manusia... maka ada gembok?” aku bertanya.
“Kita sebagai「dalang」, sudah ditentukan batas maksimal kita. Kita mengira diri akan mati karena kekurangan oksigen, mati kelaparan, mati karena luka - sebenarnya banyak penyebab kematian umum dalam game tidak bisa membunuh kita. Intinya kita sendirilah yang terus-membunuh diri.” Domba Putih menjelaskan, “Bahkan jika kita memperkuat alam bawah sadar sampai level tertinggi, caranya tetap menggunakan pikiran untuk mengontrol alam bawah sadar. Padahal pikiran dan alam bawah sadar inilah ciri khas kita sebagai manusia.”
“Meski masih abstrak, tapi aku mulai paham...” aku mengangguk, “Kak Domba, maksudmu... jika ingin mendapatkan「Gema」terkuat, sejak awal kita tidak boleh bergantung pada pengontrolan「alam bawah sadar」? Kita harus melupakan bahwa diri ini adalah manusia?”
“Benar, berkomunikasi denganmu sungguh lancar.” Domba Putih menunjukkan pandangan kagum yang langka, lalu melanjutkan, “Ini semua yang disebut「kekuatan dewa」adalah sedekah yang mereka berikan kepada kita……”
Domba Putih mengulurkan jari menunjuk ke「Langit」, lalu berkata: “Bisakah pengemis membeli properti orang kaya tersembunyi dengan uang sedekah dari mereka?”
Aku mengangguk, namun raut wajah masih pekat: “Tapi ada satu hal yang masih belum kupahami.”
“Apa?”
“「Dalang」kan sudah menjadi makhluk tercerdas yang kita ketahui saat ini. Jika tidak menganggap diri sebagai manusia……bukankah kita akan berubah menjadi binatang buas tanpa akal sehat?”
Domba Putih setelah mendengar itu berkata: “Makanya tadi kukatakan「menurut logika normal pemikiranmu benar」, sayangnya di「Tanah Akhir」, konsep ini perlu diubah……di sini memang ada eksistensi yang melampaui「dalang」.”
Aku tertegun mendengarnya, bibirku bergetar halus.
Domba Putih kembali mengulurkan jari menunjuk ke「Langit」, bertanya: “Menurutmu mengapa mereka begitu kuat? Apakah mereka menganggap diri sebagai「dalang」?”
Aku mengerti……
Untuk menjadi「Pemilik Gema」terkuat di sini, untuk menjadi entitas yang melampaui segalanya, sejak awal bukan berasal dari alam bawah sadar sendiri.
Meskipun「mengontrol alam bawah sadar」dan「tidak menganggap diri sebagai manusia」terlihat mirip, tapi titik awalnya sudah salah.
Alasan Tianlong bisa sekuat ini bukan karena alam bawah sadarnya kuat, juga bukan karena kegilaannya, tapi karena dia tahu dirinya memang bukan manusia.
Sejak awal dia percaya bisa melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukan manusia.
Sedangkan saat kita mengaktifkan kemampuan transenden, di hati selalu ingat bahwa kita adalah manusia.
Paradoks tersembunyi seberapa dalam ini……?
Seperti investor yang ingin kaya dengan cara「menggoreng saham」.
Bermain saham sendiri sudah paradoks: untuk tahu apakah suatu saham akan naik, perlu pahami operasi bisnis, pola ekonomi, tren pasar, dan alur internasional - baru bisa menilai dengan presisi kenaikan saham.
“Tapi jika seseorang bisa memahami teori-teori ini secara bersamaan, maka dia sama sekali tidak perlu mengandalkan trading saham untuk menghasilkan uang. Karena sudah sepenuhnya mengerti hukum operasional bisnis, nilai bisnis apapun yang dia jalankan akan jauh melebihi keuntungan dari trading saham.”
“Inilah perbedaan logika dasar yang muncul sejak awal.”
“「Jadi kamu sudah merencanakan ini sejak lama……」” Aku bergumam pelan, “「Mengandalkan 「kontrol atas alam bawah sadar」untuk menjadi kuat... itu memang hal yang hanya dilakukan orang biasa.」”
“「Benar, orang biasa menjadi kuat dengan terus mengontrol alam bawah sadar mereka, tapi jika terus begini, suatu hari mereka akan benar-benar gila.」” Domba Putih membuka mulut, “「Mereka tidak menganalisis mengapa orang-atasan bisa begitu kuat. Meski orang-atasan terlihat gila... tapi kegilaan ini bukan kehilangan akal sehat, melainkan kegilaan dimana manusia bisa berbicara dengan 「semut」.」”
“「Lalu kamu...」”
“「Aku harus melupakan bahwa diriku adalah manusia.」” Domba Putih menjawab, “「Menganggap diri sendiri sebagai makhluk apa yang lain.」”
Dia mengangkat kepala dan memandang langit dengan acuh: “Paling tidak sesuatu yang setara dengan mereka. Dengan begini, ke mana hati tertuju, ke sana raga mengarah, aku akan menjadi mahakuasa.”
Setelah mendengar kalimat ini, perasaanku tetap sama.
Jalan ini terasa terlalu sulit.
“Lalu apa yang akan kau lakukan……?” tanyaku lagi.
“Ini terkait pertanyaan yang pernah kusampaikan sebelumnya……” kata Domba Putih, “Setelah mempelajari begitu banyak buku, aku masih belum menemukan motif yang cocok.”
Ia menatapku dengan ekspresi pasrah: “Bahkan hal-hal seperti ini tidak akan tertulis dalam buku... Bagaimana mungkin seseorang masih bertekad bulit keluar setelah tahu bahwa di sini 「keluar」 mustahil?”
Aku mengerti perasaan yang diungkapkan Domba Putih ini.
Ini adalah motif yang melawan logika umum, seperti seorang gelandangan yang nekat berusaha menjadi orang terkaya di dunia meski tahu itu mustahil.
Bagi orang seperti ini, motivasi sekadar 「ingin menghasilkan uang」 jelas tidak cukup.
Tapi sebelum mengungkapkan pemikiran ini, pertama-tama aku harus memastikan apakah Domba Putih sama sepertiku.
“Kakak Domba, apa kau mencintai dirimu sendiri?”「bertanya」ku.
“Mencintai diri sendiri……？” Dia ragu sejenak, lalu menggelengkan kepala, “Seharusnya tidak bisa dihitung. Di waktu yang lalu, sepertinya aku selalu sibuk mempertaruhkan nyawa untuk orang lain.”
“Bagus sekali, kamu dan aku bukan orang yang sama.” Aku berkata, “Kalau begitu, kaburlah demi orang lain.”
“Demi orang lain? Ha……” Domba Putih seolah mendengar ucapan yang sangat menggelikan, lalu menggelengkan kepala, “Sejak kecil aku hidup sepi dan menderita. Sekarang kamu bilang aku harus kabur demi orang lain……？”
“Sejak kecil sepi dan menderita……？”
“Kau tahu mengapa aku selalu mempertaruhkan nyawa untuk orang lain?” Domba Putih bertanya lagi.
“Tidak tahu.” Aku menjawab dengan membuka pintu perbincangan, “Bagiku tidak ada orang di dunia ini yang lebih penting dari diriku sendiri. Aku hanya mencintai diriku sendiri, dan mustahil mau mengambil risiko untuk orang lain.”
“Berarti kita memilih jalan yang berbeda.” Domba Putih berkata, “Setelah tiba di sini, aku menemukan bahwa tidak semua orang pantas turun ke neraka, juga tidak semua orang pantas menerima siklus aneh terkutuk ini. Aku tidak tega melihat 「orang baik」 kesakitan berjuang di sini, juga tidak tega melihat orang jahat terus berbuat kejahatan selamanya. Jadi aku bersiap membebaskan mereka semua dengan kekuatanku sendiri.”
Sejak kalimat pertama ini, seolah aku melihat keilahian manusiawi pada diri Domba Putih.
Itu adalah nilai spiritual ultima yang transenden, tertanam dalam-dalam di hatinya, begitu indah dan menakjubkan.
Aku mulai mengerti 「Sebab-Akibat」 yang Jiang Ruoxue pertahankan. Mungkin karena Domba Putih adalah orang seperti ini, aku memilih membantunya.
“Kakak Domba, kalau begitu... apa kau punya orang yang kau suka?” aku 「bertanya」.
“Orang yang kusukai...?” Dia menatapku, seolah tidak langsung mengerti maksud empat karakter ini.
“Iya Kak.” Aku mengangguk, “Adakah orang di dunia ini... seseorang yang sudah makan asam garam untukmu, menderita menggantikanmu, menjadi sisa pikiran seumur hidupmu?”
Suasana benar-benar terdiam lama selama belasan「detik」。
“Sayang sekali……” Domba Putih memandangku dengan muram, “Ini di luar jangkauan pengetahuanku.”
