“Jangkauan pengetahuan?” Aku tersenyum getir, “Ini tidak ada hubungannya dengan「pengetahuan」, kan?”
“Yan Zhi Chun…… Sudah kubilang sejak kecil aku hidup sepi. Jika ada seseorang yang bisa menjadi sisa pikiranku, tentu aku tak perlu mengucapkan kalimat ini.”
Ini situasi yang cukup langka. Aku ingin langsung bertanya, tapi takut dianggap lancang. Setelah dipikir-pikir, Domba Putih juga bukan orang biasa, mungkin tak masalah jika ditanya langsung?
“Jadi kamu bahkan tidak punya keluarga?”「Aku」bertanya.
“Benar.” Domba Putih mengangguk, “Keluargaku sudah meninggal saat aku kecil. Sejak SMP, orang yang punya hubungan denganku di dunia ini…… tinggal diriku sendiri.”
Aku tiba-tiba agak mengerti dari mana「sifat keilahian」pada Domba Putih berasal. Dia menganggap orang-orang di sini lebih mendekati konsep keluarga dibanding di dunia nyata……
Meski sekelompok orang asing, mereka akan dipaksa berkumpul karena keberadaan 「Ruangan Wawancara」. Bagi Domba Putih, hubungan ini membuatnya menganggap orang-orang di ruangan seperti keluarga dengan ikatan yang rapuh.
Dia seolah tak memiliki jati diri, tapi juga seperti terjerumus dalam diri yang sangat dalam.
"Kakak Domba…… Apakah di dunia ini, dari semua orang yang kau kenal…… tidak ada satu pun yang ingin kau temui lagi?"
Domba Putih menyipitkan mata sambil mencerna lama, akhirnya mengeluarkan dua kata——
"Tidak."
Mendengar jawaban ini aku merasa menyesal…… Mungkin keadaan Domba Putih mirip denganku.
Tapi aku dikucilkan orang lain, sementara dia mungkin sengaja mengucilkan dirinya sendiri.
Jika benar begitu, alasan apa yang dimiliki Domba Putih untuk keluar?
Dia tak punya keluarga atau ikatan, memiliki logika pejuang sejati dan nilai spiritual yang indah. Bahkan kupikir 「Tanah Akhir」 lebih bisa mengeluarkan semua potensinya.
Tapi jika dia nekat ingin keluar, hanya bisa kukatakan——
"Maka aku tidak punya cara."
“Tidak……Tidak bisa tidak ada cara.” Domba Putih mengerutkan kening, “Dengan adanya logika, kita bisa mencoba. Kamu mengatakan sebuah logika yang belum pernah terpikir olehku.”
“Benarkah……”
“Yan Zhi Chun, apakah seseorang benar-benar bisa memiliki motivasi abadi hanya karena ingin bertemu dengan 「orang lain」?”
“Aku hanya merasa bisa mencoba.” Saya menghela napas, “Bagaimanapun kamu tidak punya cara untuk keluar demi dirimu sendiri, jadi satu-satunya jalan adalah demi orang lain.”
“Tapi alasannya……?” Domba Putih memandangku dengan kebingungan, “Mengapa orang itu begitu penting?”
“Alasannya adalah 「cinta」.” Saya menjawab, “Inilah hal di dunia yang melampaui segalanya. Ia bisa eksis di atas logika, di atas rasionalitas, di atas konvensi sosial.”
Domba Putih perlahan menundukkan kepala setelah mendengar penjelasanku, sorot matanya terlihat kebingungan.
Tampaknya meski orang sekuat apapun, tetap ada hal yang tidak pernah dikuasainya.
“Kakak Domba……Apakah dalam kehidupanmu belum pernah ada orang seperti ini?” Aku melanjutkan, “Di suatu momen ketika bersamanya, tiba-tiba terlintas pikiran——「Seandainya sisa hidup bisa dihabiskan bersamanya, itu juga tidak buruk」.”
“Domba Putih” mendengar kalimat ini sorot matanya semakin kosong, mungkin aku benar-benar menyentuh area butanya.
Sayangnya bagi orang pintar seperti Domba Putih, dia selalu merasakan perbedaan yang sangat besar antara dirinya dengan orang lain.
IQ orang biasa sekitar seratus, sedangkan IQ anjing gembala perbatasan sekitar 70. Dengan perbedaan tiga puluh poin, kita bisa jelas merasakan beda kecerdasan antara manusia biasa dan anjing gembala.
Bagaimana jika IQ Domba Putih mencapai 130... Apakah dia melihat orang biasa seperti kita melihat anjing pintar?
Benar, jika itu aku, aku juga tidak tahu cara mencintai seekor anjing. Pada dasarnya kita tidak bisa berempati.
“Ceritakan padaku...” kata Domba Putih, “Pernahkah kau punya pikiran seperti itu? Jatuh cinta pada seseorang... atau ingin menghabiskan sisa hidup dengan orang lain... semacam itu.”
Aku merasa agak malu mendengarnya, perlahan menggeser tangan kiri ke belakang tubuh, menutupi tato di atasnya dengan tubuh.
Jika ada orang yang bisa menemani saya, mengapa saya harus mengukir tiga huruf ini?
“Menarik, tato itu sudah saya ingat sejak pertama kali kamu muncul. Sekarang ditutup apa gunanya?” tanya Domba Putih dengan kasar.
“Saya...”
Saya tahu di mata Domba Putih, saya hanyalah anjing yang cerdas.
“Apa arti tiga huruf itu?” dia bertanya lagi.
Saya menelan ludah, merasa「kamu tidak sendiri」seperti kain penutup aib terakhir saya. Begitu dilepas, saya takkan punya harga diri lagi.
“Itu... nama marga saya,” jawab saya.
Domba Putih memandang saya dengan sorot mata pasrah, lalu berkata: “Apa kamu mau bilang huruf di jarimu bukan「yna」tapi「yan」?”
Saat seseorang secara refleks mempertahankan diri, kebohongan akan terucap begitu saja. Meski menghadapi orang seperti Domba Putih, tetap sama.
Yang menarik, kebohongan bagaikan Kotak Pandora. Begitu mengucapkan dusta pertama, selamanya takkan bisa berhenti.
“Ya……Ya. Karena aku pelajar……uangku pas-pasan.” Aku berkata, “Cari tukang tato murahan, hasilnya malah salah.”
Domba Putih jelas menyadari aku berbohong, tapi mungkin untuk menjaga perasaanku, dia tidak langsung membongkar, hanya menghela napas tipis sambil berucap: “Jadi menato nama di jari……apa ini semacam ?”
“Mungkin, aku memang pernah lihat cewek yang nato begitu.” Jawabku, “Huruf kaligrafi marga, atau singkatan inisial nama.”
Kurasakan Domba sepertinya tertarik dengan topik ini……entah karena rasa penasarannya atau dorongan ingin tahunya.
“Lalu apa yang harus dilakukan dua orang yang saling mencintai?” Domba bertanya lagi, “Hidup berdua sampai tua, tidak akan membosankan?”
“Cinta sejati pada akhirnya memang hambar.”
Sebenarnya aku tak punya pengalaman cinta, hanya bisa menyampaikan pemahamanku ke Domba. Meski interpretasiku mungkin melenceng dari orang normal, setidaknya sudah kucurahkan segenap pemahamanku.
“Bagaimana maksudnya tipis?” Domba Putih bertanya padaku.
“Mungkin di saat biasa dia akan membangunkanmu setelah kamu tidur siang, saat keluar dari 「kamar tidur」 kau menemukan dia sudah menyiapkan dua hidangan kecil kesukaanmu.” Aku mencerna sejenak lalu melanjutkan, “Kalian tidak punya cerita cinta yang menggebu-gebu, tapi menjadi satu-satunya sandaran di dunia ini. Kalian akan duduk bersama mengobrol, bicara banyak hal. Setiap habis makan, kalian duduk di atap gedung memandang matahari terbenam sambil berbagi ingatan.”
Suasana benar-benar hening selama belasan「detik」, seolah Domba Putih sedang mencerna makna ucapan ini.
“Jadi cinta…adalah dua orang menghabiskan waktu melakukan banyak hal tak berarti?” suara Domba Putih berat menanyakan.
“「Ya」.” Aku mengangguk, “Cinta adalah melakukan hal-hal tak berarti yang bisa membuat kalian bahagia dan selalu diingat.”
“Aku mengerti…” Domba Putih menghela napas, matanya menunjukkan kebingungan.
“Jadi sudah terpikir?” tanyaku, “Dalam kehidupanmu tak pernah ada orang seperti ini?”
“Aku akan segera memikirkannya.” Domba Putih membuka mulut, “Bisakah kamu bawa cermin besok?”
