Bab 62 Qiang

　　　　Bab 62 Qiang 　　　　Gu Qingyou mengira Jiang Jun akan marah, namun ia hanya memandangnya dengan ekspresi tak terbaca, bahkan tak ada secercah gejolak di matanya. 　　　　“Gu Qingyou, dengan jelas kukatakan: Aku sama sekali tak menganggapmu sebagai pengganti Xia Qingchen.” Suara Jiang Jun datar bagai air tenang. “Aku menginginkanmu, hanya karena aku menginginkanmu.” 　　　　Gu Qingyou menggelengkan kepala, dia tidak percaya pada perkataan Jiang Jun. Lagipula, sikapnya terlalu tenang, seolah-olah ia sama sekali tidak mencintai Xia Qingchen, padahal cintanya yang mendalam pada Xia Qingchen justru satu-satunya hal yang bisa dipastikannya dari diri pria ini. 　　　　Gu Qingyou tak mau melanjutkan percakapan dengan Jiang Jun. Dia sudah memiliki firasat buruk bahwa akhirnya ini akan berujung pada hasil yang tak terpecahkan. Dengan mendorong tubuh pria itu, dia berusaha pergi. 　　　　Namun baru saja bergerak, tubuhnya langsung dikunci erat oleh Jiang Jun di pagar pengaman balkon. "Bukannya dari tadi ingin bicara? Kenapa terburu-buru pergi?" 　　　　"Direktur Jiang, permainanmu tak bisa kumainkan. Bisakah kita berpisah dengan baik?" ucap Gu Qingyou lemas. Dia tak ingin berdebat, merasa sangat lelah. 　　　　Jiang Jun membalasnya dengan tatapan yang semakin dalam, menyandarkan seluruh tubuhnya di pagar. Ia mendekatkan diri dengan rapat. "Ini bukan permainan, tapi komitmen. Dalam waktu dekat, aku akan memberimu pernikahan." 　　　　"Sekalipun itu pernikahan, aku tak mau." 　　　　Saat ini Gu Qingyou tidak mencerna kata-kata Jiang Jun. Seluruh perhatiannya tertuju pada tubuh pria yang menindihnya. Dadanya terasa sakit akibat tekanan itu. Dengan sekuat tenaga dia bergulat, namun gagal melepaskan diri. Bahkan ketika menggunakan tangan dan kaki sekalipun, Jiang Jun tetap berhasil melumpuhkan gerakannya. Hingga akhirnya kedua tangannya direnggangkan, dipaksa memeluk tubuh pria itu. Ia menunduk, mengejar bibirnya dengan kasar. 　　　　Leher, tulang selangka, sampai ke bibir—dia sempat melepaskan diri, namun kembali dipeluk erat, disantap bagai diterpa badai. 　　　　“Dia terus-menerus menghantam dada pria itu, namun ia sama sekali tak merasakan sakit. Ciumannya yang mengguncang membuat paru-parunya kekurangan udara, pusing tujuh keliling. Tubuhnya kolaps tak berdaya di bawah kendalinya. Baru setelah tubuh lemah itu sepenuhnya takluk, ia melepaskannya.” 　　　　Gu Qingyou membara malu. Tangannya yang lunglai terangkat hendak memukul, namun Jiang Juan dengan sigap menggenggamnya. Tatapannya yang penuh nafsu membara menyala-nyala menembus sosoknya. 　　　　“Tak tahu malu!” 　　　　Wanita itu tak kuasa menahan makian. 　　　　Jiang Juan mencengkeram tangan liar itu, suara seraknya menggema: “Ini saja sudah kauanggap tak tahu malu? Lupa bahwa sebelum transaksi kita berakhir, aku berhak melakukan ini kapan saja.” 　　　　Gu Qingyou mengangkat tangan satunya hendak menghajar, namun seperti diduga, kembali dicekal Jiang Juan. 　　　　Kedua tangan kini lumpuh tak berdaya. Dengan sisa tenaga, Gu Qingyou menggeliat sambil memaki: “Manusia berbulu domba!” 　　　　“Aku tak pernah mengaku sebagai orang bijak.” 　　　　Dengan gerakan kasar mengangkat tubuh yang memberontak itu, Jiang Juan melemparkan Gu Qingyou ke ranjang. 　　　　Tanpa memberi kesempatan melawan, bagai musafir haus di padang pasir, ia menerobos masuk ke oasis pertahanannya. Meski gigi mutiara itu terkunci mati, tekniknya yang mumpumi meruntuhkan benteng terakhir. Air kehidupan yang didambakan itu akhirnya mengalir... 　　　　Ranjang yang besar dan empuk membuat Gu Qingyou merasa seperti orang tenggelam. Menghadapi tekanan dan tuntutannya yang terlalu kasar, dia mulai kehabisan napas. Tangannya terus mencakar dan menghantam punggungnya, hingga akhirnya berhasil mendorongnya pergi setelah bergulat mati-matian... 　　　　Sayangnya, seolah dia sengaja memberinya waktu untuk bernapas. Begitu dia hendak bangkit, bibirnya sudah kembali direbut dengan ciuman yang dalam. Kali ini, tanpa menyisakan sedikit pun tenaga, dia menghantam punggungnya dengan keras... 　　　　Tak lama kemudian mereka berguling dari ranjang ke karpet lembut di lantai. Dalam jeda sesaat dia memalingkan kepala, tapi seperti diberi kesempatan bernapas, paru-parunya baru terisi udara ketika bibir merahnya sudah kembali dikuasai oleh keangkuhan dan sikap dinginnya... 　　　　Akhirnya dia lelah dan jenuh, tak mampu lagi menghantam. Barulah saat itu ia merobek gaun ungu muda yang dikenakannya hari ini. 　　　　Tubuhnya yang terekspos udara membuatnya semakin merasa tak aman. Meski tahu sia-sia, tangannya yang lemas masih berusaha mendorongnya dalam perlawanan sekarat. Dengan mudah ia menarik tangan itu ke pinggangnya, memaksanya memeluk. Mantel jasnya sudah tak tahu kapan dilepas, menyisakan kemeja putih yang basah oleh keringat. 　　　　Menciumnya, ia melemparkannya kembali ke ranjang. Tak sempat menyesuaikan pose mereka, jari-jarinya sudah gesit membuka kancing kemejanya sambil menekan anggota badannya yang gelisah, membuatnya tak bisa bergerak. 　　　　Saat bentuk-bentuk pertama mereka di dunia ini saling terjerat, ia tiba-tiba menghentikan kegarangan tadi, bergumam di dekat telinganya seolah sedang menenangkannya... 　　　　Gerakannya berubah menjadi godaan, tak ada lagi kesewenangan. Hanya saja dia sudah tak punya tenaga untuk melawan, dan perlahan kehilangan kemauan untuk menolak. 　　　　Langit di luar masih membiru, air laut tetap jernih, pasir halus di pantai masih putih bersih. Semua terlihat tenang seperti sebelumnya, hanya suara napas mereka yang memenuhi kamar. 　　　　Saat melihat pantulan dua tubuh yang saling melilit di langit-langit kaca, akhirnya dia merasa tak tahu harus menyembunyikan diri di mana... 　　　　Sama sekali bukan tandingannya. Meski mulutnya menolak, tubuhnya akhirnya tak bisa lagi dikendalikan oleh tekadnya sendiri. 　　　　Pada akhirnya, dia bagaikan batang kayu yang mengapung di permukaan laut, terombang-ambing di samudra tak bertepi. Ingin mencapai pantai tapi terlalu jauh, ingin tenggelam ke dasar tapi tak bisa, akhirnya hanya terbawa arus... 　　　　…… 　　　　Gu Qingyou tertidur lelah. Di tengah tidurnya, sepertinya ada yang menyingkirkan rambutnya yang basah keringat menempel di wajah dengan lembut. Tapi dia bahkan tak punya tenaga untuk membuka mata, kembali terlelap. 　　　　Batang kayu itu akhirnya tenggelam ke dasar laut, jatuh ke dalam kegelapan tak bertepi yang tak bisa disentuh ujungnya. 　　　　Andai bukan getar ponsel yang terus berbunyi di kamar yang menyelamatkannya dari kegelapan tak berujung, mungkin dia akan terus tertidur selamanya... 　　　　Orang yang memeluknya di samping bergerak, mungkin kesal, mematikan ponsel dan melemparnya sembarangan. Suara ponsel menyentuh karpet terdengar pelan, tapi cukup membuat kesadarannya semakin jernih... 　　　　Dia ingin menggeser tubuh untuk bangun, tapi orang di sebelahnya merangkul pinggangnya, menariknya lebih dalam ke dalam pelukan. Rahangnya menempel pada rambutnya, berbisik di telinganya, "Tak usah dipedulikan, tidurlah..." 　　　　Dia terlalu lelah, mendesah menggoda, mata tetap terpejam. Secara insting dia menyembunyikan diri dalam pelukan orang di belakangnya, tidur dengan nyenyak tanpa rasa takut. 　　　　Dalam mimpinya, dia seolah mendengar dirinya mengigau— 　　　　Jiang Jun... 　　　　Jangan jadikan aku pengganti Xia Qingchen. 　　　　Aku bukan pengganti siapa pun, aku adalah diriku sendiri. 　　　　Saat mengigau itu, dia samar mendengar suara beratnya bergetar mengucap "Maaf", tapi sangat lemah hingga hampir tak terdengar. 　　　　…… 　　　　Angin laut berhembus dari balkon, menerbangkan tirai putih. Langit di luar masih biru, air tetap jernih... Dua sosok di ranjang terlihat begitu damai.