Bab 424 Menjelaskan dengan Jelas
Yaru mau melahirkan?
Bagaimana bisa?
Tanggal perkiraan lahir Yaru kan bulan depan?
Lagipula, bukankah Que Yan seharusnya mendampingi Yaru saat ini?
Segudang pertanyaan berkecamuk di kepalanya, ditambah rasa panik, setelah memberi tahu pasangan Direktur Jiang tentang situasinya, dia langsung menelepon Que Yan.
Tak disangka, Que Yan juga tidak tahu di mana Yaru, baru tersadar kalau Yaru dan Que Yan kemarin sama sekali tidak seperti yang dia harapkan.
Tidak ada waktu untuk meminta penjelasan detail dari Que Yan, mereka berdua sepakat melalui telepon untuk bertemu di apartemen Yaru.
Dia tahu Yaru yang sedang hamil besar tidak mungkin berkeliaran, selain di rumah Bibi Shu, hanya mungkin di apartemen. Tapi saat ini pasti tidak di sana, kalau iya, kenapa Yaru minta tolong padanya?
Sangat khawatir dengan Yaru, dia terus mendesak Cui Hao untuk ngebut.
Kebetulan sekali, dia dan Que Yan tiba bersamaan di apartemen Yaru yang terletak di pusat kota.
Que Yan bagaikan anak panah yang terlepas dari busur, melesat masuk ke lift. Karena sedang mengandung empat bulan, dia tak bisa mengikuti Que Yan.
Saat tiba di apartemen Yaru, melalui pintu yang terbuka lebar, yang dilihatnya adalah Que Yan mengangkat tubuh Yaru yang sudah tak sadarkan diri, sementara genangan darah menggenang di lantai kayu.
Dia terkejut, saat itu juga otaknya kosong. Hanya ingat wajah Yaru yang pucat bagai mayat.
Di Rumah Sakit Jiang Group, berkat hubungan Que Yan dengan keluarga Jiang, dokter kandungan terbaik segera dikerahkan ke ruang operasi tempat Yaru berada.
Tangannya mencengkeram kerah baju Que Yan, bertanya dengan marah, "Kemarin Yaru mencarimu kan? Kenapa kau biarkan dia sendirian?"
Que Yan pun tampak kalut. Pria sembrono berhati baja itu kini wajahnya pucat pasi. Tak peduli seberapa keras dia memaki, tak sepatah kata pun keluar.
Rui'er segera memapahnya, mengingatkan untuk menjaga kondisi. Barulah dia berusaha tenang, tapi karena Yaru masih di ruang operasi, tatapannya tetap menancap tajam ke arah Que Yan.
Que Yan menunduk lesu, seperti bola kempes yang kehilangan kesombongannya.
Perlahan amarahnya mereda. Sadar memaki takkan mengubah keadaan, kini satu-satunya harapannya adalah keselamatan Yaru dan bayinya.
Sepanjang pagi, baru terdengar ketukan pintu ruang operasi terbuka.
Que Yan yang bersandar di tembok seperti lumpur segera bangkit, berlari ke depan dokter, menggenggam bahu dokter dengan erat sambil mengguncang, "Bagaimana Yaru? Bagaimana keadaannya?"
Dokter buru-buru berkata, "Tenang Tuan Que, setelah penyelamatan darurat, ibu dan bayi selamat..."
Mendengar itu, dia menghela napas lega. Que Yan pun perlahan melepaskan kerah putih jas dokter.
Dia bertanya, "Bisakah kita masuk menemuinya sekarang?"
Barulah dokter mendapat kesempatan melepas masker, "Pasien sudah dipindahkan ke kamar perawatan intensif. Kalian bisa menjenguk, tapi harus tetap tenang. Jangan ganggu istirahatnya, mengingat kondisinya masih sangat lemah."
"Baik."
Baru saja dia selesai bicara, Que Yan sudah melesat ke kamar pasien seperti angin.
Melihat pemandangan ini, dia tak kuasa menggelengkan kepala, "Kalau peduli, kenapa biarkan urusan sampai separah ini?"
Di dalam kamar, Que Yan duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Yaru erat-erat. Bekas air mata masih terlihat di matanya.
Berdiri di samping ranjang, dia memandang wajah Yaru yang mulai kembali segar, rasa syukur yang tak terkira membuncah di relung hatinya. Saat melihat Yaru pucat bagai mayat tadi, bayangan terburuk sempat melintas di pikirannya. Syukurlah Tuhan masih berbelas kasih.
Di balkon luar kamar, dia tetap tak lupa menyergah Que Yan, "Katakan padaku, apa sebenarnya yang terjadi setelah Yaru mencarimu kemarin?"
Que Yan wajahnya masih sedikit pucat, tatapannya seolah berada di langit yang jauh, berkata datar, "Aku baru tahu semalam, rupanya dia selalu salah paham kalau aku dan Huo Yutong masih berhubungan, dan semua ini adalah ulah Ibu di belakang layar."
"Jadi kau juga tahu kalau perjanjian perceraian di meja samping tempat tidur itu diutak-atik oleh Ibumu?" tanyanya lagi.
Que Yan menutup mata sejenak, "Ya, baru kusadari ternyata Ibu yang menukar draf perjanjian cerai yang dibuat Yaru, sengaja menambahkan klausa penagihan uang di dalamnya."
"Kalau kau sudah tahu semua ini perbuatan Ibumu, juga tahu perasaan Yaru padamu, mengapa kalian tidak berdamai semalam? Apakah kau benar-benar tidak punya perasaan pada Yaru?" sergahnya dengan suara berat.
"Aku punya." Que Yan tiba-tiba menoleh, menatap lurus ke matanya.
Dia tetap diam, mendengarkan kelanjutan ceritanya.
Que Yan perlahan menjelaskan, "Sebenarnya sejak pertama mengenal Yaru, aku sudah menyadari ada hasrat posesif yang sangat kuat pada gadis ini, sesuatu yang belum pernah kurasakan dengan wanita lain sebelumnya. Sejak saat itu aku mulai menghindarinya, karena aku ingin menghancurkan perasaan ini... Selanjutnya aku tetap menjadi playboy, mati-matian mengejar Huo Yutong, semua kulakukan untuk benar-benar melupakan Yaru... Tapi tak kusangka, suatu kali saat mabuk aku malah mencarinya, dan karena malam itu juga... dia jadi hamil anakku..."
“Aku tidak mengerti maksudmu. Kalau kau punya perasaan pada Yaru, mengapa kau menghindarinya? Apa kau ingin terus menjadi playboy? Lagi pula, apakah kehamilan Yaru adalah kesalahannya? Kalau bukan karena kau yang mendatanginya, dia sudah memutuskan hubungan denganmu!” Dia membentak dengan keras, kali ini benar-benar merasa sahabatnya tak dihargai. Tak disangkanya, Que Yan ternyata pria tak bertanggung jawab.
“Qingyou, kau salah paham. Aku tidak menyalahkan Yaru karena hamil. Aku sedang mencela diri sendiri. Andai Yaru tidak mengandung, aku dan dia tak akan terhubung lagi. Mungkin dia takkan mengalami nasib malang ini!” ujar Que Yan dengan nada penuh penyesalan.
Dia mengerutkan alis, “Aku semakin tak memahamimu. Sebenarnya kau peduli atau tidak pada Yaru? Kalau peduli, mengapa kau bicara seolah kehamilannya salah? Kalau tidak peduli, mengapa kau menunjukkan perhatian padanya? Que Yan, apa caramu menghadapi hubungan selalu ragu-ragu seperti ini?” Kalimat terakhir itu terlantun keras, tak kuasa ditahannya. Sungguh dia merasa tak rela melihat sahabatnya yang baru saja nyaris mati sembilan kali.
Que Yan seolah menyimpan rahasia. Tangannya mengusap kening yang berkerut. Setelah lama terdiam, barulah dia berkata dengan suara parau, “Ya, semua ini kesalahanku... Aku yang tak punya niat bersamanya, seharusnya tak menunjukkan sedikitpun perhatian.”
Terkejut, dia menarik napas pendek. Bola matanya terbelalak, “Kau... kau bilang tak berniat bersama Yaru?”
Kini dia akhirnya mengerti kenapa Yaru tiba-tiba mengalami persalinan prematur di rumah hari ini. Pasti semalam Yaru mencoba mengungkapkan perasaannya pada Que Yan, tapi hanya mendapat respons dingin hati darinya. Terprovokasi, hari ini di rumah dia tidak hati-hati hingga terjatuh atau membentur sesuatu yang memicu persalinan dini...
Mata Que Yan memerah, di balik sorotan matanya tersirat kepedihan. Setelah menarik napas dalam-dalam, barulah ia berkata, "Benar, aku memang tak berencana bersamanya... Sebenarnya aku sudah lama tahu dia hamil, tapi tak kunjung mencarinya. Kukira dia akan mengurus ini sendiri. Tak sangka orangtuaku malah tahu fakta kehamilannya dan memaksaku menikahinya..."
"Apa maksudmu?!" Amarahnya mengeluarkan asap dari telinga. Tangannya kembali mencengkeram kerah baju Que Yan, gigi terkumat-kamit. "Masak menikahi Yaru kau anggap sebagai penderitaan?"
Que Yan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan nada mengamuk, sebelum mengucapkan kata demi kata penuh kesungguhan: "Qingyou, bahkan Jun pun tak tahu. Pada dasarnya aku tak bisa memberi Yaru kebahagiaan."
Tangannya mengendur, wajahnya menunjukkan kebingungan yang dalam, tapi cengkeramannya di kerah baju Que Yan tetap kukuh. "Jelaskan maksudmu!"
